(Tok Kak Cin Jin)
~ Unta Sakti ~
Diceritakan oleh Gan KH
Jilid 1
SELAYANG PANDANG pasir menguning terbentang luas
tidak berujung pangkal, jejak sejarah telah terbenam di bawah
tebaran pasir yang bergulung tertiup angin tak pernah
berhenti.
Sang sunya memancarkan cahayanya yang merah
menguning menyinari padang pasir yang semakin dingin
ditaburi kabut malam. Tatkala itu, di padang pasir nan luas tak
berujung pangkal itu, berkumpul banyak sekali orang-orang
gagah dan Para Enghiong dan empat penjuru, mereka terdiri
dari berbagai aliran dan golongan yang satu sama lain
berlainan haluan dan cita-cita. Tapi jelas bahwa mereka sama
mempunyai pengalaman juang dalam mengarungi kehidupan
kaum persilatan yang penuh diliputi mara bahaya dan elmaut.
Pengalaman gagah dan perbuatan yang perwira mereka sama
dilandasi dan dengan segala pengorbanan yang besar, entah
darah, keringat, pengalaman dan keyakinan yang teguh, dan
yang terutama mereka mempertaruhkan jiwa dan raga.
Apakah tujuan mereka mengadakan pencarian besar di
tengah padang pasir yang serba kekurangan ini?
Tabir malam sudah menyelimuti seluruh alam semesta.
Para gembala yang jauh berada di padang pasir sana mulai
mengumpulkan kotoran untuk membikin api unggun,
menyambut kedatangan kabut malam yang sudah menyelimuti
seluruh penghuni dunia ini.
Bintang mulai bermunculan berkelap-kelip di tengah
cakrawala, putri malampun mulai menongolkan mukanya yang
cantik molek laksana raut wajah seorang putri remaja yang
sedang memadu cinta.
Para gembala sedang bergembira ria, menyanyi dan
menari, ada yang memetik harpa ada pula yang menggesek
biola dan menyebul tanduk, mereka sama melagukan
nyanyian kisah perjuangan kaum gembala yang gagah
perwira, suasana semakin riang dan gegap gempita.
Kelompok orang-orang gagah yang sedang meringkuk
tersebar membentuk sebuah bundaran diam tak bersuara,
suasana sunyi dan kelam, kadang-kadang terdengar suara
gerutu dan umpat caci penasaran tapi itu hanya terjadi
selintas lalu saja.
Apakah yang mereka sedang nantikan?
Dari gundukan pasir tinggi sebelah sana mendadak
terdengar dengusan rendah lirih, disusul sebuah bayangan
yang ditimpa cahaya rembulan muncul dari kejauhan,
bayangan tinggi dan besar, itulah seorang sebatangkara yang
bercokol di punuk unta.
Orang-orang yang meringkuk ada yang duduk ada yang
berbaring itu jadi gempar dan ribut, dalam batin mereka sama
berkata, “Datang. Akhirnya datang?”
Hadirin menjadi tegang serasa hampir susah bernapas tapi
tiada seorangpun yang berani mengeluarkan suara keras,
begitulah sementara bayangan unta itu sudah semakin
mendekat masuk ke tengah bundaran di antara mereka.
Di bawah cahaya rembulan yang terang benderang semua
orang dapat melihat tegas, orang yang bercokol di atas
punggang unta itu ternyata seorang pemuda, meskipun ia
sudah menanjak usia lima enam belasan, tapi usianya yang
masih muda ini, sungguh membuat semua hadirin menjadi
heran dan hampir tak percaya akan pandangan mata sendiri.
Menghadapi sekian banyak orang-orang gagah yang
kenamaan dalam Bulim, ketenangan si pemuda hampir sulit
dipercaya. Pelan-pelan ia menghentikan tunggangannya,
sepasang bijimatanya memancarkan sinar terang setajam
ujung pisau menyapu pandang ke sekitarnya, lalu dengan
suara yang kalem ia berkata, “Maafkanlah keterlambatanku
sehingga tuan-tuan lama menunggu. Apakah kalian sudah
lengkap semua….?”
Suasana sekelilingnya tetap sunyi, tidak terdengar jawaban
seorangpun, pemuda itu menunggu sebentar lalu berseru pula
dengan lantang, “Bagaimana kalian ini, sebelumnya Cayhe
sudah memberi pengumuman, bahwa Kiu-sun-sam-pay, Citkok
Cap-si-po, asal ada salah seorang dari mereka yang tidak
hadir, maka pertemuan ini kuanggap batal!”
Sesaat lamanya keadaan masih sunyi senyap, mendadak
terdengar sebuah suara serak dan ketua-tuaan berteriak,
“Matamu kan tidak picak, apakah semua sudah hadir atau
belum masa kau tidak bisa lihat sendiri?”
Pemuda itu tersenyum, tanyanya, “Siapa yang bicara?
berdiri!”
Di sebelah samping kiri berdiri seorang laki-laki tua tinggi
besar, serunya dengan suara serak, “Lohu Kok Liang dari Kimsapo!”
Seperti kilat biji mata si pemuda menyapu pandang ke
arahnya, ditatap sinar mata yang tajam itu Kok Liang jadi
merinding dan berdiri bulu kuduknya, ia tak habis mengerti
pengalaman puluhan tahun di kalangan Kangouw entah
kenapa hatinya jeri dan kuncup nyalinya menghadapi pemuda
gagah di atas unta itu,
Tampak si pemuda tersenyum ramah, katanya, “Oo,
kiranya Kok-pocu, pengalamanmu sangat luas, minta tolong
untuk memeriksanya sebentar, apakah orang-orang dari
semua aliran dan golongan yang kusebut tadi sudah hadir
semua. Soalnya Cayhe baru pertama kali ini bersua dengan
kalian, terpaksa aku bertanya lebih dulu.”
Seru Kok Liang dengan nada dongkol. “Tak perlu diperiksa
lagi, Lohu berani tanggung seorangpun tidak akan kurang.
Selama dua puluh tahun, seluruh sahabat Bulim menantikan
pertemuan malam ini, tak mungkin mereka yang
berkepentingan tidak hadir pada saat ini.”
“Kalau begitu bagus!” seru si pemuda sambil tertawa keras.
“Marilah kita mulai menyelesaikan urusan kita! Siapa yang
maju lebih dulu?”
Sesaat lamanya suasana sunyi mencekam mata, baru saja
Kok Liang hendak membuka suara, tiba-tiba seorang di
sampingnya keburu berseru, “Kok-pocu harap berhenti
sebentar! Pinceng punya persoalan yang perlu dibikin jelas
lebih dulu.”
Kok Liang berpaling dengan laku hormat berkata, “Silakan
Ciangbunjin!”
Orang itu maju beberapa langkah, jubahnya yang besar
gerombyongan dari kain kasar merupakan seragam
keagamaannya, itulah dia Siau-lim Ciangbun yang menjagoi
dunia Kangouw masa ini, Thong-sian Taysu, beliau sudah
berusia delapan puluhan, suaranya keras berisi, serunya
sambil merangkap tangan di depan dada, “Omitohud!
terhadap asal-usul Sicu tetap masih rada curiga.”
“Jadi Taysu menyangsikan Cayhe bukan Bing-tho-ling-cu
yang tulen?” tanya si pemuda tertawa lebar.
Thong sian Taysu manggut-manggut, sahutnya, “Dua puluh
tahun yang lalu, Lohu beruntung pernah melihat wajah asli
Bing-tho-ling-cu, sebaliknya siau Sicu….”
Pemuda itu bergelak tertawa, ujarnya, “Dua puluh tahun
yang lalu aku berusia lima puluh tahun, yang Taysu jumpai
sudah tentu bukan aku, sang waktu berlalu dengan cepat, kini
guruku sudah mangkat, maka janji beliau kepada tuan-tuan
sekalian terpaksa menjadi tanggung jawabku.”
Hadirin menjadi ribut bisik-bisik dan bersuara heran.
Agaknya mereka tidak mau percaya bahwa tokoh kosen gagah
perwira yang pernah malang melintang menjagoi dunia
persiltan dua puluh tahun yang lalu kini sudah berpulang ke
tempat asal….
Ujar Thong-sian Taysu dengan kejut-kejut heran, “Tokkosiansing
masih berusia sedang dan bertubuh sehat walafiat,
mana bisa meninggalkan dunia fana di tengah jalan ….”
Dengan rasa rawan si pemuda menjawab, “Ya, guruku
memang seorang genius yang tiada taranya, bakatnya tak ada
yang dapat menandingi, sayang ….”
“Sungguh Lolap merasa sayang dan ikut berbela sungkawa
akan nasib Tokko-sianseng yang malang itu. Tapi dapatkah
Sicu membuktikan bahwa kau betul-betul murid Bing-tho-lingcu
yang asli?”
Si pemuda tersenyum dengan angkuh, dari buntalan yang
tergantung di punggung tunggangannya ia mengeluarkan
sebuah bungkusan kain kuning, ia buka kain pembalut di
sebelah luar, seketika mereka semua hadirin terbelalak kiranya
buntalan itu berisi sebuah patung kaki tunggal berbentuk
manusia yang terbuat dari emas, di bawah pancaran sinar
rembulan, menyorot sinar kemilau yang menyilaukan mata.
Sambil angkat patung emas ke atas, pemuda itu berseru
lantang tapi khidmat, “Orangnya sudah mati tapi untanya
belum mati. Kalau tulang bisa menjadi keropos maka senjata
ini akan tetap abadi, unta yang kutunggangi ini adalah
peninggalan dari guruku almarhum. Tok-ga-kim-sin yang
kupegang ini kukira Taysu tidak melupakannya bukan!?”
“Benar!” sahut Thong-sian Taysu dengan sungguhsungguh.
“Memang senjata itu milik Tokko-sianseng dulu,
apakah lolap boleh pinjam lihat sebentar?”
Si pemuda bergelak tertawa, serunya; “Taysu tidak perlu
curiga lagi, di atas jidat Kimsin ini ada melekuk tiga lobang, ini
kan hasil kanya tangan Taysu dulu, waktu guru almarhum
masih hidup beliau sangat mengindahkan Taysu. Dalam
kolong langit ini tokoh yang dapat meninggalkan bekas di atas
senjatanya ini cuma Taysu seorang.”
Dengan sikap hormat Thong-sian Taysu merangkap tangan
pula, cepat ia menjura ke arah Kim-sin di tangan si pemuda.
serunya “Lolap tak curiga lagi. Dua puluh tahun yang lalu
gurumu Tokko sianseng menerjang ke Siau-lim-si, dimana dia
berhasil memecahkan Lo han-tin, syukurlah mengandal segala
kemampuan Lolap selama puluhan tahun, aku hanya
terkalahkan oleh gurumu, dengan suka rela kami
menyerahkan Ling-hu dari partai kami. Meski peristiwa ini
merupakan kejadian yang memalukan bagi kejayaan Siau-limpay
kami selama ratusan tahun, tapi Lolap pribadi sangat
segan dan menghargai gurumu, tak nyana takdir Tuhan
menentukan dia harus mangkat lebih dulu, sungguh Lolap
merasa sangat menyesal dan ikut berduka cita.”
Si pemuda tertawa tawar, ujarnya, “Taysu terlalu sungkan,
dalam masa dua puluh tahun ini tentu Taysu telah melatih dan
menciptakan ilmu yang tiada taranya.”
“Mencipta ilmu apa segala sungguh Lolap tidak berani
menerima pujian ini. Cuma untuk merebut kembali Ling-hu
perguruan kami, terpaksa nanti Lolap akan minta sedikit
pelajaran dari Sicu….”
“Taysu tidak usah sungkan, bukan saja perguruan Taysu,
Kiu-hun-lam-pai, Jit-ko-cap-si-po, seluruhnya berjumlah tiga
puluh tiga Ling-hu atautanda kepercayaan, seluruhnya sudah
diserahkan kepadaku oleh guru almarhum. Setengah tahun
yang lalu tujuanku menyebar Bing-tho-ling (perintah unta
sakti), adalah untuk mengembalikan semua barang-barang itu.
Tapi…. kalian harus dapat memenuhi syarat yang diajukan
oleh guruku almarhum.”
Dengan tajam Thong-sian Taysu menatapnya, katanya
dengan suara heran, “Kapan Sicu ingin membereskan semua
urusan itu?”
“Kukira semua orang sudah menunggu dengan gelisah,
sudah tentu lebih cepat lebih lebih baik. Maka kupikir harus
segera dimulai.”
Thong-sian Taysu agaknya masih kurang percaya,
tanyanya, “Dulu gurumu mengandal bakatnya yang tiada
taranya ia tokh harus makan waktu setengah tahun baru
berhasil menundukkan sekian banyak golongan dan aliran.
Tapi Sicu seorang diri malam ini hendak menghadapi tiga
puluh tokoh kosen secara bergantian?”
Si pemuda menengadah sambil tertawa, serunya, “Dulu
kalian berpencar terlalu jauh, guruku harus satu persatu
meluruk ke tempat kalian, maka akhirnya menghabiskan
waktu begitu lama, tapi sekarang aku lebih beradat keras dan
ingin lekas selesai, maka sekaligus kuundang kalian semua
untuk menyelesaikan urusan ini bersama.”
Perasaan Thong-sian Taysu rada tergetar oleh rasa
sombong dan congkak pemuda di hadapannya ini, setelah
terlongong sekian lamanya ia berkata pula dengan
menggeleng kepala, “Mengandal kekuatan jasmani sicu
sekarang yang perkasa, kau hendak angkat diri dan
menciptakan rekor yang luar biasa, meski lohu percaya bila
Sicu punya kemampuan itu, pihak kami tidak akan sudi
meminta kembali Ling-hu kami dalam keadaan yang demikian,
maka terpaksa Lolap mohon mengundurkan diri saja dari
pertemuan malam ini.”
Mengawasi jenggot memutih di depan dada si padri tua ini,
timbul rasa hormat si pemuda, segara ia menjura serta
katanya hormat, “Taysu punya perasaan yang luhur dan
mengenal kebijaksanaan, sungguh Cayhe sangat kagum. kalau
Taysu tidak sudi mengambil keuntungan ini, Cayhe tidak
berani main paksa. silahkan Taysu menonton dari samping,
nanti setelah Cayhe selesai mengurus persoalan di sini, kalau
Taysu masih anggap Cayhe punya tenaga biarlah nanti kita
lanjutkan babak terakhir saja.”
Thong-sian Thaysu geleng-geleng kepala, tanpa bicara lagi
cepat ia menyingkir ke samping.
Dengan seenaknya si pemuda melompat turun dari atas
punggung unta, lalu menepuk paha belakangnya, katanya
lembut “Sahabat tua, carilah tempat untuk istirahat, tidak akan
lama aku pasti sudah menyelesaikan semua urusan di sini.”
Agaknya unta cerdik yang Sakti itu seperti bisa mendengar
ucapan majikannya, dengan mengeluh rendah perlahan-lahan
ia jalan pergi meninggalkan gelanggang sambil mengobatabitkan
ekornya.
Dulu Bing-tho-ling-cu Tokko Bing dengan kepandaian
silatnya yang maha tinggi berhasil menundukkan banyak
golongan dan aliran silat serta berhasil merebut tanda
kebesaran dan kepercayaan berbagai golongan dan waktu itu
ia berjanji dua puluh tahun yang akan datang, mengundang
berbagai golongan dan aliran itu untuk mengambil pulang
Ling-hu atau tanda kebesaran mereka dengan kepandaian
masing-masing. Sudah tentu kejadian itu merupakan suatu
penghinaan besar terhadap berbagai kaum persilatan itu,
maka mereka rela berlatih dan rajin belajar memperdalam
ilmu masing-masing untuk menagih malu dan penghinaan dua
puluh tahun yang lalu.
Siapa nyana dua puluh tahun kemudian, hari ini mereka
mendengar bahwa Tokko Bing sudah ajal, pemuda congkak
dan takabur yang mengaku sebagai murid tunggalnya akan
menyelesaikan pertikaian lama itu.
Sikap dan tingkah laku si pemuda yang sombong dan
pongah sungguh menimbulkan kemarahan massa, mereka tak
kuasa menahan hawa amarah.
Kim-sa-pocu Kok Liang yang berangasan lebih tidak kuasa
menahan gajolak hatinya, dengan berjingkrak gusar ia
berseru, “Keparat, kau terlalutakabur dan pandang rendah
kami semua.”
Si pemuda tertawa angkuh, sahutnya, “Aku toh ahli waris
dari Bing-tho-ling-cu, sudah tentu cukup setimpal untuk
bersikap angkuh.”
“Lohu ingin tampil lebih dulu!” teriak Kok Liang murka.
“Sudah tentu boleh.” jawab si pemuda acuh tak acuh.
“Coba kau serahkan dulu Bing tho-ling yang kukirim kepada
kau itu.”
Dengan muka merah padam, Kok Liang merogoh keluar
sekeping tembaga dari kantong bajunya terus dilempar di
depan kaki si pemuda.
Tembaga itu sebesar tiga centi persegi berbentuk bundar
sebelah atasnya, di balik yang mengkilap diukir seekor unta,
itulah lambang tunggangan si pemuda.
Perlahan-lahan si pemuda mengeluarkan sebuah lempitan
kertas terus dibeber. Ia membaca di bawah sinar rembulan,
“Kim-sa-po. Satu lembar Panji kuning sutera, harap maaf Pocu
tua, mainanmu itu terlalu besar tak bisa kugembol jadi
terpaksa kulempit dan kusimpan di bawah tempat duduk
tungganganku itu. Kalau kau dapat mengalahkan aku, segera
kuserahkan barang milikmu itu.”
Saking murka muka Kok Liang sampai pucat dan membiru,
teriaknya, “Jikalau Lohu yang menang, maka jiwa bocah
keparat ini pasti melayang.”
“Bagus sekali. Orang lain kurasa tidak perlu menggunakan
banyak tenaga lagi, di atas kertas ini ada daftar gambar milik
kalian, semua boleh silahkan ambil sendiri milik masingmasing,
seluruhnya kusimpan di atas tungganganku itu, harap
nanti kau kembalikan menurut daftar yang tertulis disini.”
Kok Liang menjengek gusar, semprotnya, “Keparat tidak
perlu banyak mulut, boleh kau mulai saja!”
Dengan acuh tak acuh si pemuda berkata, “Nanti dulu, kau
belum lagi mencari tahu namaku! terlanjur kau menghadapi
Giam-lo-ong di akherat, cara bagaimana kau hendak
mengadukan kepadanya, apakah kau tidak penasaran nanti?
Lo-pocu dengarlah supaya jelas, aku she Koan bernama Sangwat!
Bing tho-ling-cu ke II.”
“Sreng.” Kok Liang melolos golok bergigi di atas
punggungnya. Di sebelah atasnya ada sembilan gelang
tembaga yang mengeluarkan suara gemerincing nyaring,
sekali digerakkan terdengarlah suara ribut yang memekakkan
kuping, teriaknya, “Bocah keparat, serahkanlah jiwamu!”
Dengan tenang Koan San-gwat mengangkat Kim-sin di
tangannya ujarnya, “Kok-pocu jangan mengumbar adat, kalau
bertempur paling pantang marah, demi nama dan gengsimu,
kalau hari ini kau terjungkal di tanganku, kau harus tunggu
lagi dua puluh tahun, usiamu kan sudah lanjut, apakah kau
mampu menunggu sekian lamanya ….?”
Ia mengoceh seenaknya, nada ucapannya pun sangat
sombong, tapi setiap arti kata-katanya justru cukup beralasan
dan punya aturan karenanya Kok Liang jadi melengak dan
tertegun, cepat ia kendalikan perasaan hatinya, setelah
longgar ia menjengek dingin, “Kalau hari ini Lohu kalah, panji
kebesaran Kim-sapo kau hancurkan saja. Lohu pun tidak akan
menunggu dua puluh tahun lagi.”
“Kurasa tidak perlu begitu, Kim-sapo kalian toh sudah
angkat nama dan cukup tenar di daerah Ko-liok, panji
kebesaran Kim-sa-po kalian juga sudah kenamaan puluhan
tahun di Bulim, untuk memperoleh kebesaran ini kukira bukan
persoalan yang sepele, maka bolehkah kuberi kesempatan
kepada keturunanmu kelak!”
Kok Liang jadi melongo, sesaat barulah bersuara, “Terima
kasih akan kemurahan hatimu.” tanpa banyak bacot golok
bajanya terangkat terus membacok dari depan, sekian lama
Kok Liang angkat nama di Kangouw mengandal tenaga yang
besar, golok bajanya ini terbuat dari baja murni yang beratnya
ada enam puluh kati ditambah kekuatan latihan tenaga
pergelangan tangannya selama puluhan tahun, jurus serangan
goloknya ini benar-benar laksana gunung Thaysan menindih
batok kepala.
Seluruh hadirin tumplek perhatiannya menyaksikan
pertempuran mereka. Bahwa pemuda yang bernama Koan
San-gwat ini mewakili Bing-tho-ling-cu Tokko Bing yang
digjaya itu, bahwa perbawa dan sikap si pemuda sejak
permulaan memang sudah menggerakkan sanubari banyak
hadirin, maka sekarang tibalah saat mereka membuktikan
kepandaian silatnya yang sejati.
Koan San-gwat mandah tersenyum manis. Patung malaikat
kaki tunggal di tangannya diangkat dan sedikit digentak, maka
terdengarlah suara “trang” yang tidak begitu keras, bacokan
golok Kok Liang yang membawa tenaga laksaan kati itu
dengan mudah dipecahkan, tiada seorang pun yang melihat
tegas dengan Jurus apa ia mematikan sarangan golok yang
hebat itu.
Walaupun Kok Lang sendiri merasa takjup tapi rasa
kuatirnya malah jadi berkurang, serunya sambil tertawa keras,
“Tak heran kau berani mengagulkan diri, kiranya kau mahir
kepandaian dari aliran sesat, kalau berani mari kau sambut
jurus serangan Lohu secara kekerasan.”
Hadirin serempak memberi dukungan atas tantangan Kok
Liang, mereka sama senang tapi juga rada kecewa, jelas
mereka anggap bahwa Lwekang Koan San-gwat betapapun
masih terbatas, paling Tokko Bing cuma mengajar beberapa
jurus pelajaran kembangan belaka dalam hal penggunaan
tenaga betapapun masih terlalu rendah.
Mereka senang karena hari ini bakal menebus rasa malu
dan penghinaan dulu, mereka kecewa pula karena Koan Sangwat
cuma kuat di dalam tapi keropos di dalam.
Cuma Thong-sian Taysu seoranglah yang menghela napas
gegetun, tapi hanya beberapa orang di sekitarnya saja yang
mendengar.
Sementara itu, Koan San-gwat sedang tertawa ringan,
sambil mengulapkan tangan, katanya, “Anggapanmu aku tidak
mampu menyambut sejurus seranganmu?!”
Kok Liang mengangguk, katanya, “Coba waktu aku
bertanding dengan Tokko Bing. Cuma sejurus saja golokku
terpental lepas dari cekalan, meski kalah Lohu tunduk lahir
batin….”
Koan San-gwat menarik muka, katanya dengan nada berat,
“Dulu guruku memberi muka kepadamu, kau kira tenagamu
sendiri betul-betul hebat? Tapi aku tidak akan menggunakan
cara guruku dulu. kalau kau tidak percaya, silahkan kau
bermain beberapa jurus dengan senjataku ini!!”
Tiba-tiba ia ulur tangan mengangsurkan ke hadapan hidung
Kok Liang, jarak mereka cuma beberapa tindak, ujung kepala
Kim-sin tepat menyodok ke hidung Kok Liang, karuan berubah
rona wajah Kok Liang, cepat ia menyampok dengan goloknya,
tak nyana gerakan Koan San-gwat jauh lebih cepat, dimana
tahu-tahu golok Kok Liang sudah terampas sementara Kim-sin
di tangan kanan masih diulurkan kepada Kok Liang.
Kok Liang sendiri tidak tahu cara bagaimana goloknya
dirampas orang, cepat kedua tangannya menyanggah ke atas
dan mencengkram kepala Kim-sin yang dijulurkan kepadanya
itu, tapi seketika berubah air mukanya, badannya terhuyung
mundur beberapa tindak ke belakang.
Ternyata tak kuasa tangannya memegang Kim-sin hingga
jatuh di atas pasir dan “Blesss” amblas ke dalam pasir separo
lebih.
Dengan ayunan tangan seenaknya Koan San-gwat
membuang golok Kok Liang sejauh-jauhnya, terus
membungkuk menjemput Kim-sinnya, katanya, “Sekarang kau
pasti tidak berani mengagulkan tenagamu sendiri. Guruku
menaruh belas kasihan kepadamu, cuma menggetar terbang
senjatamu saja, kalau beliau balas menyerang, yakin tulang
belulangmu sudah remuk redam.”
Pucat dan berkeringat selebar muka Kok Liang, katanya
menghela napas panjang, “Ai, tamat sudah seluruhnya! Untuk
selanjutnya biarlah nama Kim-sa-po dihapus dari percaturan
Bulim.”
Golok bergiginya tidak sempat dijemput lagi, sekali
menggelundung jauh dan beberapa kali loncatan,
bayangannya lenyap ditelan tabir malam.
Kedua orang ini cuma berhantam sejurus belaka, tapi di
luar cara yang ditentukan semula ternyata sudah berhasil
menentukan kalah dan menang, seluruh hadirin kembali
dicekam rasa tegang, rasa girang seketika tersapu bersih, rasa
kecewa sebaliknya semakin bertambah tebal! Tapi rasa
kecewa yang terakhir ini berlainan, karena terselip juga rasa
kejut dan heran yang mulai menghantui perasaan mereka.
Terdengar Lu Bu-wi Ciang bunjin Ciong-lam-pay yang
berdiri di samping Thong-sian Taysu menghela napas,
katanya, “Dula waktu Losiu bertanding dengan Tokko Bing, ia
menggunakan Kim-sin itu, bertanding enam puluh jurus
lamanya, akhirnya ia menang karena permainan tipu jurusnya
yang banyak ragamnya, sunggah di luar tahuku bahwa benda
itu ternyata begitu berat!”
Thong-sian Taysu menggeleng kepala, katanya, “Entah
terbuat dari Logam apa Kim-sin itu. Malam itu Tokko Bing
meluruk ke Siau-lim, ia bertanding dengan Suteku Tay-lik sin
Ngo-seng. Sute kuatir senjatanya terlalu enteng maka ia
memberi peringatan kepadanya, tidak nyana sambil tertawatawa
ia ajak tukar mempergunakan Senjata dengan Suteku
untuk membedakan milik siapa yang lebih berat, ternyata Kimsin
ini satu kali lipat lebih berat dari senjata tongkat besi besar
milik Suteku itu….”
Berubah air muka Lu Bu-wi, katanya terkejut, “Tay-lik sinceng
terkenal pembawaan tenaganya yang besar, kabarnya
besar tongkat besi dinginnya itu ada lima ratusan kati, jadi
Kim-sin sepanjang tiga kaki itu ada ribuan kati lebih beratnya.
….
Thong-sian Taysu manggut-manggut, katanya, “Kalau
penilaian Lolap tak salah, Kim-sin ini paling sedikit ada dua
ribu kati, bocah ini dapat menarikannya seenteng seperti main
gala yang terbuat dari gabus tanpa menggunakan tenaga
sedikitpun, kelihatannya ia sudah mendapat warisan tunggal
Tokko Bing, pertemuan malam ini, akan banyak pihak yang
menghadapi rasa kekecewaan pula.”
Lu Bu-wi menunduk diam, pikirannya kacau-balau, sikapnya
terharu. Didengarnya Koan San-gwat yang bertolak pinggang
di tengah gelanggang sedang berseru, “Selanjutnya siapa lagi
yang ingin memberi petunjuk?”
Suasana hening sebentar, tampak seorang perempuan
pertengahan umur yang mengenakan pakaian serba hijau
melayang maju ke tengah gelanggang, tangannya menghunus
pedang baju warna hijau, gerak langkahnya enteng dan
lincah, begitu melihat orang melayang tiba, segera Koan Sangwat
menyapa dengan tertawa, “Saudara ini tentu Ya-li-kiam
Han Lihiap dari Thian-bok-san bukan?”
Perempuran pertengahan umur itu cuma sedikit
menganggukkan kepala, sahutnya, “Benar, dua puluh tahun
yang lalu beruntung mendapat petunjuk sejurus dari gurumu,
hingga selama ini aliran Thian Bok kami menyembunyikan diri
dari Bulim. Malam ini, aku Han Ji-ing ingin mohon petunjuk
dari ahli waris Bing-tho yang tunggal.”
Koan San-gwat tertawa, katanya, “Guru almarhum sangat
kagum dan memuji pada ilmu pedang Han lihiap, karena Hanlihiap
sudi mengalah, maka Ci kim Hong-ce tanda kebesaran
Han-lihiap itu kusimpan di dalam kantong bajuku. semoga
Han-lihiap nanti berhasil merebutnya kembali.”
Merah jengah muka Han Ji-ing, serunya dengan uring
uringan, “Bocah keparat banyak cerewet, dua puluh tahun
yang lalu pelajaran ilmu pedangku memang belum sempurna
sehingga terkalahkan oleh Tokko Bing. Dalam jangka dua
puluh tahun ini, setiap saat setiap detik aku bersumpah untuk
berlatih lebih giat mempertinggi pelajaran pedang untuk
melampiaskan rasa dongkol dan penghinaan itu, tak kira
Tokko Bing sudah mampus, maka perhitungan ini terpaksa
kutagih kepadamu!”
Koan San-gwat tetap bersikap tawar, katanya, “Agaknya
Han-lihiap suka mengumbar napsu, meskipun guruku
almarhum berhasil mengambil Ci-kim-hong-ce mu itu, tetapi
tidak anggap sebagai benda rampasan dari hasil
kemenangannya, tapi beliau anggap sebagai tanda kenangkenangan.
Sebelum beliau ajal, setiap hari ia suka
mengeluarkan benda itu. Sikap kasar Lihiap apakah tidak
membuat kecewa perasaan guruku….?”
Meskipun usia Han Ji-ing sudah menanjak pertengahan,
tapi dia masih perawan suci belum pernah menikah, karuan ia
malu serta gusar mendengar ocehan Koan San-gwat,
teriaknya bengis, “Keparat bergajul yang tidak tahu malu,
kalau hari ini aku tidak memecah luluh tubuhmu aku
bersumpah tidak akan jadi manusia….!!!”
Seiring dengan bentakannya pedang panjang di tangannya
sudah membabat pergi datang bolak-balik, bayangan
pedangnya menggugus tinggi laksana gunung, setiap jurus
pasti mengarah tempat-tempat penting mematikan di seluruh
tubuh Koan San-gwat.
Meski bentuk tubuh Koan San-gwat terkurung rapat di
dalam sinar pedangnya, tetapi sikapnya masih tenang,
seenaknya saja ia angkat Kim-sin di tangannya, entah
menyambut atau menyampok dan menindih, dengan mudah ia
dapat memunahkan setiap rangsakan pedang lawan yang
hebat dan deras laksana hujan lebat.
Kini hadirin tahu bahwa Kim-sin berkaki situ di tangan Koan
San-gwat itu ribuan kati beratnya, sekarang mereka
menyaksikan benda berat itu dimainkan begitu enteng dan
lincah sekali, sudah tentu hati mereka mendelu dan berkuatir
pula.
Ada beberapa Pay, Pang, Bun dan Keh yang hadir merekareka
dalam hati bahwa kekuatan mereka tidak lebih unggul
dibanding Kok Liang, diam-diam sudah putus asa dan
mengaku asor saja, bahwasanya selama dua puluh tahun ini
berarti mereka menanti dengan sia-sia saja.
Apalagi menurut tafsiran mereka bahwa tenaga si bocah
yang harus mereka hadapi ini agaknya tidak lebih rendah dari
gurunya dulu, lebih ciut nyali mereka.
Dalam pada itu, pertempuran di tengah gelanggang sudah
mencapai puncak yang tidak terkendalikan lagi, semakin
bertempur Han Ji-ing semakin bernapsu dan gagah berani,
pedang panjangnya beruntun merangsak dan menggempur
dengan berbagai tipu pedang yang ganas dan licik, setiap
jurusnya mengandung perubahan yang lihay dan sulit
diselami, semua menjurus ke tempat mematikan di tubuh
lawannya.
Tapi Koan San-gwat sedikitpun tak menjadi gugup
karenanya, ia seperti tidak ambil perhatian terhadap seluruh
gempuran pedang lawan, seenaknya saja ia mainkan senjata
malaikat emasnya yang berat itu, jarang sekali ia gunakan
ajaran gurunya untuk balas menyerang tapi cukup serangan
satu jurusnya saja, pasti berhasil menyusup ke dalam lobang
kelemahan pihak musuh, karuan Han Ji-ing dibuat mencakmencak
dan harus mengurungkan setiap kali serangan
nekadnya untuk menyelamatkan dirinya lebih dulu.
Enam puluh jurus dilampaui. Samar-samar sudah kelihatan
Han Ji-ing mulai payah, sebaliknya Koan San-gwat masih
segar bugar dan seperti tidak terjadi apa-apa, tak kelihatan
sedikitpun merasa lelah, napasnya pun tidak memburu.
Para penonton di luar gelanggang banyak yang menjadi
kabur pandangannya, ada pula yang melotot saking asyik dan
ada pula yang menghela napas gegetun memikirkan nasibnya
sendiri.
Ciong-lam-pay Ciangbunjin Lu Bu-wi berbisik kepada
Thong-sian Taysu. “Di antara sungai dan gunung, seluas dunia
persilatan ini tidak sedikit jumlah orang-orang yang suka
mengagulkan kepandaian dan bernama kosong belaka, tapi
tidak sedikit pula yang berkepandaian sejati. Thian-bok-pay
terletak di daerah yang bersembunyi, jarang berkecimpung di
kalangan Kangouw, tetapi latihan ilmu pedang Han-lihiap
benar-benar sudah mencapai tingkat sempurna, dibanding
para pentolan yang lain seperti Kim-sa-pocu. Kok Liang tadi,
entah berapa tingkat lebih unggul.”
Dengan prihatin Thong-sian Taysu mengangguk, ujarnya,
“Yali-kiam-hoat diciptakan pada jaman Chun-ciu, turun
temurun secara tunggal diturunkan ke generasi muda dalam
lingkungan kekeluargaan sendiri sampai sekarang sudah
ratusan tahun, sudah tentu tidak boleh dipandang ringan atau
dianggap ilmu pedang pasaran belaka. Tapi yang Lolap
khawatirkan justru pemuda itu, naga-naganya dia jauh lebih
hebat dibanding Tokko Bing dulu.”
“Meski murid Bing-tho tidak jelek, tapi bergebrak sebanyak
enam puluh jurus ini, menurut pandangan Losiu tiada tandatanda
dimana letak kelihaiannya,” demikian Lu Bu-wi memberi
tanggapan.”
“Lu-heng cuma melihat lahiriah atau kulitnya saja, harus
diketahui senjata yang digunakan Han-lihiap adalah pedang,
paling berat cuma dua puluh kati, tapi senjata Tok-ga-kim-sin
bocah itu beratnya mungkin ada ratusan kali lipat, untuk
pertandingan berat antara kedua senjata ini saja adalah cukup
mengejutkan.”
Merah muka Lu Bu-wi, rasa kagumnya terhadap Thong-sian
Taysu bertambah tebal, orang tidak malu sebagai seorang
pemuka dari sebuah aliran murni yang kenamaan,
pandangannya memang jauh lebih tajam dan berpengalaman
dari dirinya.
Setelah menonton sekian lamanya, akhirnya Thong-sian
menghela napas panjang, katanya, “Selama ratusan tahun
belakangan ini kaum Bu-lim mengidamkan hidup aman
sentosa dan sejahtera, menutup pintu memperdalam
kepandaian silat masing-masing, semua senang dihinggapi
angan-angan kosong yang muluk-muluk, untung Tokko Bing
muncul sehingga mereka sadar. Kalau tidak, mungkin mereka
bakal tenggelam oleh angan-angan bahwa kepandaian sendiri
sebetulnya sampai di tingkat mana. Lolap rasa pertemuan
malam inilah saatnya yang paling baik.”
Baru saja Lu Bu-wi hendak membuka mulut, tiba-tiba dalam
gelanggang terdengar suara bentrokan lirih, terlihat pedang
panjang Han Ji-ing sudah terpental terbang dan jatuh ke
tanah, seketika ia menjublek di tempatnya.
Ternyata pada gebrakan kesembilan puluh sembilan,
permainan Koan San-gwat mendadak berubah, Tok-ga-kim-sin
mendadak menyodok ke ulu hati Han Ji-Ing, yang di arah
adalah lobang kelemahan lawan, sudah tentu Han Ji-ing jadi
kelabakan dan tak sempat menangkis atau menghindar lagi. Di
saat senjata kepala musuh sudah menyentuh kain bajunya ia
sudah pejamkan mata dan menunggu ajal saja, tanpa merasa
ia mengendorkan cekalan senjatanya.
Tak nyana cara Koan San-gwat melancarkan serangannya
memang hebat, tapi caranya membatalkan serangan serta
menariknya balik justru lebih menakjupkan lagi, jarak tinggal
beberapa mili saja, mendadak ia tarik mentah-mentah tenaga
sodokannya, terus mundur dua langkah, serunya tertawa,
“Kuucapkan selamat kepada Han-lihiap, Yali-kiam-hoat
ternyata berlipat ganda lebih maju setelah kau latih selama
dua puluh tahun, kini ilmu pedang Li-hiap sudah cukup untuk
menjagoi dunia persilatan….”
Sekian lama rona wajah Han Ji-ing masam gelap, dengan
susah payah baru ia kuasa membuka suara, “Bocah keparat,
terhitung kau yang menang! Tapi jangan mulutmu
sembarangan bicara….!”
Cepat Koan San-gwat menggoyangkan Tangan, tukasnya,
“Lihiap salah paham, sebenarnya Cayhe tidak punya maksud
menghina, pedang sebagai raja dari segala senjata, tombak
sebagai pimpinan dari semua senjata panjang. Yang pendek
tidak akan menang dari yang panjang. Ini sudah merupakan
suatu hal yang jamak. Terpaksa Cayhe harus melancarkan
jurus Tiang-liong-ni-coan dari ajaran ilmu tombak Liok-sim-ciohoat
yang paling lihai ….”
“Bohong!” semprot Han ji-ing dengan berjingkrak gusar.
“Senjatamu tiga kaki, mana dapat kau gunakan sebagai
tombak?”
Dengan sabar dan kalem, Koan San-gwat coba
menerangkan, “Tergantung dari pemakainya, Kim-sin ini
kuperoleh dari guruku, aku percaya dia tidak asor dibanding
tombak yang panjang, sebaliknya kalau ganti orang lain,
seumpama dia benar-benar memegang sebatang tombak
aslipun belum tentu kuat menghadapi pedang panjang Lihiap
itu.”
Han ji-ing jadi melongo, akhirnya dia membungkuk
menjemput pedangnya, katanya dengan suara keretekan,
“Bocah, semoga umurmu panjang dapat hidup melewati
malam ini. Cukup tiga tahun pasti akan kudidik seorang murid,
tetap dengan Yali-kiam-hoat ini untuk mwngalahkan kau.”
“Aku percaya akan datang hari yang diharapkan itu.”
demikian ujar Koan San-gwat dengan lapang dada. “Kuharap
Han-lihiap tidak putus asa, lebih giat dan rajin….”
Han Ji-ing mendengus gemas terus tinggal pergi dan
menghilang di dalam kelompok orang orang banyak.
Sambil menenteng senjata beratnya, Koan San-gwat
menyapu pandang ke sekelilingnya. Beruntung dia sudah
barhasil mengalahkan dua tokoh Bulim, perbawanya sudah
cukup menggetarkan nyali semua hadirin, tetapi sikapnya
yang semula angkuh dan congkak kini berganti menjadi dingin
dan tenang, membuka suara pun rasanya ogah.
Keadaan menjadi sepi, yang terdengar cuma pernapasan
orang saja, Ciong-lam-pay Ciangbunjin Lu Bu-wi tidak tahan
lagi, katanya keras, “Losiu ingin maju, meski aku tidak punya
harapan menang, betapa pun waktu yang kutunggu-tunggu
selama dua puluh tahun jangan sampai tersia-sia ….”
“Nanti dulu Lu-heng.” kata Thong-sian Taysu menarik
tangannya.
Dengan tidak mengerti, Lu Bu-wi pandang muka orang.
Dengan merendahkan suaranya Thong-sian Taysu berkata
lirih, “Lolap bisa main hitung nasib orang, kulihat nasib dan
watak bocah ini lain dari yang lain, gebrak selanjutnya aku
kuatir bahayanya jauh lebih besar.”
Tengah Lu Bu-wi keheranan, dari depan sana dilihatnya
berjalan keluar seseorang dengan langkah goyang gontai,
orang itu mengenakan pakaian sastrawan, sikapnya lemah
lembut, seluruh hadirin seketika melongo. Sebab orang ini
teramat asing, agaknya tak pernah menongolkan kepalanya di
dunia persilatan.
Dengan pandangan dingin Koan San-gwat menyambut
kedatangan laki-Laki sastrawan ini, katanya, “Saudara ini dari
golongan mana?”
Perlahan-lahan laki-laki sastrawan itu membuka kipasnya,
serunya bersenandung, “Rumah tinggal di Liok-cau, she aku
turunan Ni-san.”
Tergerak hati Koan San-gwat, katanya, “Oo, kiranya Khongkokcu
dari Liok-cau-san dalam lembah Loh-hun-kok.”
Laki-laki sastrawan itu terkekeh tertawa, ujarnya, “Beliau
adalah engkohku Khong Bun-thong, aku yang rendah Khong
Bun-ki tidak berani menerima penghormatan itu.”
Berdiri alis Koan San-gwat, tanyanya, “Kenapa engkohmu
sendiri tidak datang?”
Khong Bun-ki mengebas-ngebaskan kipasnya, katanya,
“Tuan menyebar Bing-tho-ling, engkohku sudah menduga apa
maksud saudara. Seumpama Tokko bing tidak akan unjukkan
diri, maka hari ini akulah yang mewakili beliau.”
Hadirin ribut dan berbisik-bisik, keluarga Khong di Loh-hunkok
di puncak gunung Liok Cau-san merupakan keluarga
misterius bagi kaum persilatan. Sepak terjang mereka aneh
dan main sembunyi sulit diraba juntrungannya, ilmu silat
mereka pun tersendiri berbeda dari aliran mana pun juga.
Tiada orang luar yang pernah memasuki Loh-hun-kok
(lembah sukma gentayangan), kadang kala cuma Khong bunthong
pernah muncul di kalangan Kangouw, melenyapkan
beberapa pentolan penjahat-penjahat besar yang sering
mengganggu keselamatan umum, nama kebesaran mereka
mulai ternama karena beberapa peristiwa besar yang
menggemparkan itu.
Kata-kata Khong Bun-ki sangat mengejutkan semua
hadirin, sebab sejak tadi baru dia yang berani bersikap kasar
dan main sindir dengan tajam terhadap Koan San-gwat.
Karuan hadirin senang seolah-olah mendapat imbalan yang
cukup melegakan sanubari, tapi melihat tindak-tanduknya
yang lemah lembut itu, mau tidak mau mereka kuatir juga
atas keselamatan dirinya.
Tapi Koan San-gwat tidak menghiraukan perkataan orang.
Dengan nada tawar ia bertanya, “Bagus sekali, saudara ingin
menggunakan cara apa untuk merebut kembali Pi-seng-cu
milik kalian?”
Khong Bun-ki membalikkan mata, lalu balas bertanya,
“Dulu cara bagaimana Tokko Bing merampas dari tangan
kami?”
Melotot mata Koan San-gwat, katanya, “Dalam hal
pelajaran silat dan sastra sudah tentu aku tidak bisa dibanding
guruku, tapi kalau saudara ingin menggunakan cara lama, aku
yang rendah dengan senang hati akan melayani segala
seleramu.”
“Baik! Baik!” seru Khong Bun-ki tertawa besar. “Tokko Bing
seorang terpelajar yang tinggi ilmunya, mana mungkin murid
didikannya seorang berotak tumpul.”
Tiba-tiba Koan San-gwat bersuit nyaring, unta saktinya itu
segera bergegas berdiri dan berlari datang dengan cepat ke
sampingnya. Dari lehernya, Koan San-gwat mengambil sebuah
kantong kulit, lalu menepuk paha untanya itu, tanpa
diperintah unta itu menyingkir ke tempat tadi.
Dari sebelah belakang Khong Bun-ki dengan cermat
mengawasi unta itu, serunya memuji, “Bagus, hebat, memang
seekor unta yang sakti!”
“Tuan tak usah main sindir. Kalau kena aku kau kalahkan,
pertaruhan guruku dulu masih tetap berlaku, bukan saja
tungganganku itu boleh kau bawa pulang, senjata Kim-sinku
ini pun akan kuserahkan sekalian.”
“Saudara tidak perlu berpura-pura royal, kalau malam ini
kau tidak bisa mengenyahkan aku, jangan harap kau dapat
mengangkangi barang-barang itu lagi.”
Mendengarkan percakapan yang membingungkan ini
perhatian hadirin tertuju ke arah kantong kulit yang dipegang
Koan San-gwat. Entah apa isi kantong kulit itu? Demikian
semua orang bertanya-tanya.
Perlahan-lahan Koan San-gwat membuka tali pengikat
mulut kontong itu, bau harum semerbak seketika tersebar luas
menyampok hidung. Bau dari arak wangi yang sudah disimpan
puluhan tahun lamanya.
Koan San-gwat mengangsurkan kantong kulitnya kepada
Khong Bun-ki, katanya, “Di padang pasir yang terpencil begini
sulit mencari arak yang paling bagus, sudah tentu arak
bekalku ini tidak bisa dibanding arak buatan Loh-hun-kok
kalian, coba saudara periksa apakah arakku ini bisa
dipergunakan sebagai alat untuk permainan kita nanti?”
Khong Bun-ki menerima kantong itu terus diendus ke
depan hidung, serunya dengan tertawa besar, “Boleh, boleh.
Saudara masih berusia muda belia, kepandaian memilih arak
ternyata tidak lebih asor dari Tokko Bing. Bau arak ini cukup
baik, kalau dugaanku tidak salah sari airnya terbuat dari
sumber air dingin di puncak Thian-san bukan?”
Koan San-gwat tertawa ringan, katanya, “Tokoh-tokoh dari
Loh-hun-kok ternyata memang hebat, cangkir sinar malam
saudara apakah dibawa serta?”
Khong Bun-ki tersenyum lebar, dari dalam lengan bajunya
ia mengeluarkan sebuah cangkir jade, lalu menuang penuh
secangkir arak, katanya tertawa, “Memang sebelumnya sudah
kupersiapkan, saudara silahkan….”
Koan San-gwat meletakkan Kim-sin di atas pasir, dia sendiri
lantas duduk bersimpuh di atas pasir, matanya menatap tajam
Khong Bun-ki, serunya sambil tertawa lantang, “Bulan sabit
kembali akan menjadi saksi dari dua pertandingan seperti
kejadian masa yang sudah silam. Masih segar dalam
ingatanku, sewaktu pertandingan dulu, saudara tuamu yang
mulai lebih dulu. Maka sekarang kuharap saudara mulai lebih
dulu pula.”
Khong Bun-ki tersenyum perlahan-lahan ia dorong telapak
tangannya kedepan, make cangkir diatas telapak tangannya
itu tahu-tahu terbang lurus ke depan, seolah-olah disanggah
dari bawah pelan-pelan maju ke depan Koan San-gwat.
Cangkir itu terbuat dari jade putih bersemu hijau yang
tembus sinar, di bawah pancaran sinar bulan sabit yang cukup
terang kelihatan memancarkan cahaya kemilau yang berwarna
kelabu.
Sementara cangkir itu tiba di atas Koan San-gwat kira-kira
terpaut satu setengah kaki mendadak berhenti sendiri terus
berputar-putar seperti gangsingan di tengah udara.
Dari jauh sekonyong-konyong Khong Bun-ki sedikit
mengulap dan mengayunkan kedua tangannya, karuan
cangkir yang berputar berhenti di tengah udara itu sedikit
bergetar, maka terlihatlih selarik arak kemilau keluar dari
dalam cangkir terus melesat ke arah Koan San-gwat.
Koan San-gwat duduk tenang tak bergerak, tiba-tiba ia
ayun sebelah tangan memapak ke depan, kontan arak itu
kena ditampar berpercik menjadi titik-titik kecil berterbangan
balik menungkup ke arah Khong Bun-ki.
Jangan dikira cuma percikan arak yang menjadi titik-titik
kecil tapi daya terbangnya ternyata mengeluarkan desir angin
yang keras berpencar lebar maka dapatlah diperkirakan
berapa besar tenaga yang dikerahkan.
Tapi Khong Bun-ki mandah bergelak tawa, sikapnya yang
lemah lembut tadi berubah menjadi beringas dan garang,
sepasang biji matanya memancarkan cahaya buas yang
dilandasi kemarahan, mendadak ia pentang mulutnya
menyedot keras-keras. Titik-titik arak yang beterbangan
memenuhi angkasa itu kena disedot masuk ke dalam mulutnya
tanpa ada setetes pun yang ketinggalan, lalu ia sodorkan pula
telapak tangannya menarik balik cangkirnya. Sekali lagi ia
menuang penuh secangkir arak terus diangkat tinggi di depan
kepalanya, serunya, “Murid tunggalnya Bing-tho-ling-cu
ternyata memang hebat, untuk jurus pertama ini aku mengaku
kalah. Tapi pertemuan malam ini bukan pertemuan asal
ketemu saja, apakah saudara masih sudi memberi pelajaran
lebih lanjut….?”
“Khong-ji sianseng kenapa sungkan, sejak tadi aku yang
rendah sudah siap menanti petunjuk selanjutnya.”
Khong Bun-ki berhenti bergerak, pelan-pelan ia pejamkan
mata. seolah-olah sedang berpikir mencari daya cara
bagaimana ia harus mulai dengan jurus permainannya.
Tak tahan lagi Ciong-lam-pay Ciangbunjin Lu Bu-wi
bertanya kepada Thong-sian Taysu, “Tadi kedua pihak sama
mengeluarkan tenaga dalam yang sembabat kelihatannya
sama kuat dan sebanding, kenapa Khongji sianseng mengaku
kalah?”
“Mungkin Lu-heng tidak perhatikan,” demikian sahut
Thong-sian Taysu. “Orang she Khong itu mengumpulkan arak
menjadi selarik benang meluncur ke depan, kekuatannya
terpusatkan pada satu titik permulaan belaka, sebaliknya Koan
San-gwat masih mampu memukul balik tenaganya itu, malah
titik-titik arak yang tersebar luas di tengah udara ini
memencarkan daya tenaga pukulannya. Tetapi orang she
Khong cuma mampu menyambuti dan tidak mampu balas
menyerang, sudah tentu dia terhitung kalah seurat.”
Berubah air muka Lu Bu-wi, katanya, “Bocah ini masih
berusia muda, lwekangnya ternyata sudah sedemikian hebat.
Naga-naganya jerih payah kami selama dua puluh tahun tak
akan berguna lagi. Bagaimana nanti kami mampu
menyelesaikan uruusan lama ini.”
Thong-sian menggeleng kepala, katanya serius, “Lu-heng
tidak usah putus asa, urusan toh belum sampan ctitik
penentuan. Menurut penglihatan Lolap, orang she Khong
agaknya belum lagi menggunakan seluruh kemampuannya,
siapa duga bakal terjadi sesuatu peristiwa yang
menggemparkan.”
Lu Bu-wi curiga dan setengah percaya, dengan cermat ia
perhatikan pertandingan di tengah gelanggang, demikian pula
seluruh hadirin yang lain, mereka insyaf akan kemampuan
sendiri, maka mereka tumplek seluruh harapan kepada Khong
Bun-ki yang akan menentukan nasib mereka selanjutnya.
Suasana tenang sesaat lamanya, mendadak Khong Bun-ki
membuka mata, katanya pelan-pelan, “Sekarang mulai babak
kedua, harap saudara perhatikan.” lalu dengan suara lantang
ia bersenandung memetik syair-syair gubahan pujanggapujangga
kuno.
Lenyap suaranya tiba-tiba kedua tangan yang menyanggah
cangkir dilepas, Ya-kong-pek (cangkir sinar malam) yang
penuh berisi arak itu kembali terbang lurus ke depan ke arah
Koan San-gwat, daya luncurannya tidak pesat tapi juga tidak
lambat.
Koan San-gwat agaknya tertegun, ia tak dapat menyelami
makna senandung orang, tapi sang waktu tidak mengijinkan ia
memeras otak, terpaksa dia siap waspada menanti
perkembangan lebih lanjut.
Bila cangkir itu dua kaki di hadapannya ia masih belum
merasakan adanya tekanan apa-apa. Pelan-pelan ia ulur
tangannnya meraih dengan mudah sekali ia pegang cangkir
arak itu, tak tertahan ia berseru heran, “Apakah maksud
tindakan Khong-ji sianseng?”
Tanpa menunjukkan perasaannya Khong Bun-ki menyahut,
“Asal saudara berani minum arak itu tentu kau akan paham
apa maksud dan tindakanku.”
Di bawah sinar rembulan, Koan San-gwat mengawasi dan
memeriksa cangkir arak di tangannya, sedikitpun tiada sesuatu
yang ganjil. Arak adalah bekalnya sendiri, sudah tentu akan
terjadi sesuatu, cuma cangkir adalah milik Khong Bun-ki, tadi
juga sudah digunakan minum araknya itu, tak mungkin dia
bisa berbuat licik atau mengatur tipu daya. Setelah berpikir
sejenak, ia angkat cangkir itu terus hendak diteguk habis, tapi
baru saja tiba di dekat bibir, tiba-tiba terjadilah sesuatu
kejadian yang aneh.
Kiranya mendadak terasa telapak tangannya tersalur suhu
hangat dari cangkir arak kemudian arak di dalam cangkirnya
itu bergolak mendidih seperti dimasak, sebentar saja secangkir
arak menguap jadi asap dan menghilang ke tengah udara.
Koan San-gwat tersenyum takjup, ujarnya, “Agaknya
Khong-ji sianseng sudah sempurna melatih Le-hwe-sin-kang
dari kerajaan Lam-bing yang terkenal itu. Secangkir arak ini
jadi sulit kuhirup lagi!”
Khong Bun-ki cuma tersenyum tanpa bersuara. Koan Sangwat
pun tertawa-tawa tanpa berkata apa-apa pula, ia biarkan
secangkir arak itu semakin susut dan akhirnya kering menjadi
asap, sebentar saja cangkir di tangannya sudah menjadi
kosong.
Koan San-gwat menjungkir balikkan mulut cangkir itu ke
bawah, ternyata setetes pun tidak ketinggalan lagi. Seketika
terdengarlah sorak-sorai yang gegap gempita.
Hadirin kagum dan memuji akan kepandaian Khong Bun-ki
yang sempurna. Jarak ke dua pihak ada beberapa tombak,
tetapi jarak sejauh itu ia mampu mengerahkan tenaga dalam
sehingga cangkir arak itu mendidih dan menguap kering,
pertunjukan yang aneh dan ajaib laksana permainan sulap ini
sungguh sulit dipercaya. Siapapun tidak menyangka keluarga
Khong dari Loh-hun-kok yang jarang berkecimpung di dunia
persilatan ternyata adalah tokoh kosen yang luar biasa.
Di samping kagum merekapun senang karena dalam
gebrak kedua ini Koan San-gwat jelas sudah kalah. Cangkir
berada di tangannya tapi orang dari jarak sedemikian jauh tapi
arak itu dapat mendidih kering, Bahwa pemuda yang bersikap
sombong dan takabur ini terjungkal, siapa takkan merasa
senang dan terharu.
Dalam pada itu, tanpa menunjukkan sesuatu perasaan
Koan San-gwat membalik cangkir di tangannya, mulut
menghadap langit, lalu dengan tersenyum ia berkata,
“Permainan sakti Khong-jie siansing sungguh membuat aku
takluk, cuma aku kurang paham makna senandung saudara
tadi.”
“Bukankah tadi sudah kujelaskan, setelah saudara
menenggak habis secangkir arak itu, kau akan paham sendiri.
Sekarang….”
Mendadak Koan San-gwat mendongak ke langit, serta
menukas kata-katanya, “Heeey, bulan bercokol di langit, udara
cerah tanpa mega mendung kenapa bisa hujan!?”
Para hadirin tertegun mendengar ucapan yang tanpa
juntrungan ini. Ada sementara orang yang mengulur tangan,
tapi udara tetap kering, sesuai dengan keadaan padang pasir
yang panas, mana ada setitikpun air hujan!
Tapi ada beberapa orang yang pandangannya tajam
seketika berubah hebat air mukanya, beramai-ramai mereka
berseru heran dan terkejut, semuanya kesima mengawasi
Koan San-gwat, boleh dikata mereka hampir tidak percaya
akan penglihatan mata sendiri.
Kelima jari Koan San-gwat menyanggah pantat cangkir
sambil duduk tenang tak bergerak, di atas kepalanya
bergulung gulung uap merah tebal, uap merah ini semakin
tebal dan akhirnya meneteskan cairan warna merah pula
semua menetes masuk ke dalam cangkir, suaranya berbunyi
tak tik pelan-pelan sangat menusuk pendengaran.
Bagi yang berpengalaman luas sekali pandang lantas
paham bahwa kabut merah di atas kepala Koan San-gwat itu
adalah uap arak dari cangkir yang dipegangnya tadi, tapi kini
kena dikendalikan oleh tenaga dalam Koan San-gwat yang
hebat menjadi kabut yang bergulung-gulung di atas
kepalanya, akhirnya didinginkan menjadi cairan kembali dan
menetes ke tempat semula.
Bahwa arak yang sudah menguap dicairkan kembali
menjadi arak adalah suatu kejadian yang luar biasa. apalagi
dapat dikendalikan oleh tenaga dalam sehingga tidak kering
tersirap udara. Kejadian ini sungguh seperti dongeng dalam
cerita khayal belaka, adalah tidak heran bila semua hadirin
melongo dan takjup.
Tidak Lama kemudian cangkir ini telah penuh terisi arak
lagi. Kabut di atas kepala Koan San-gwat pun sudah sirna, di
lain saat sekali menenggak ia habiskan arak di dalam cangkir
itu, serunya dengan tertawa besar, “Untung guruku almarhum
di alam baka melindungi diriku, sehingga aku tidak konyol
karenanya. Terima kasih akan persembahan arakmu ini. Cuma
aku tidak selihai Khong-ji sianseng. Harap kaupun dengar
senandung syairku ini.” Begitulah ia pun bersenandung
menanggapi keadaan pihaknya yang menang total.
Berubah rona wajah Khong Bun-ki, sambil menyeringai ia
berkata, “Bagus sekali, kiranya kau membekal kepandaian silat
yang luar biasa, aku harus mengaku asor saja, cuma kaupun
jangan dapat bersimaharaja selamanya.”
Koan San-gwat mengangguk, tapi tiba-tiba air mukanya
berubah hebat, cangkir di tangannya kontan dibantingnya
hancur, teriaknya dengan mata mendelik, “Kau taruh apa
dalam arak merahku itu?”
Khoag Bun-ki tertawa sadis, jengeknya, “Tidak apa-apa,
cuma sedikit kupolesi sesuatu.”
Jawaban Khong Bun-ki seketika membuat hadirin gempar,
sungguh mereka tidak menduga akan perubahan yang lihai
ini.
Koan San-gwat sendiripun gugup tanyanya tak sabar,
“Sesuatu apa?”
“Kukira murid tunggal Bing-tho-ling-cu cukup cerdik dan
serba bisa, ternyata ada pula sesuatu yang tidak diketahuinya.
Kalau begitu baiklah kujelaskan. Dalam cangkir itu ada kupoles
getah Ui-ho-ciu-ce-sa, bukankah nama obat ini kusebut dalam
senandungku?”
Seketika berubah pucat dan berkeringat selebar muka Koan
San-gwat, tiba-tiba bibirnya mencibir bersuit panjang
mengundang unta saktinya itu, bergegas unta itu berlari
masuk gelanggang.
Dari bawah tempat duduk unta itu Koan San-gwat
menurunkan berbagai barang besar kecil lalu merogoh
kantong dalam baju membuang seluruh isinya, terus
melompat naik ke punggung tunggangannya, dengan bersoja
keempat penjuru ia berkata dengan tertawa getir, “Semua
barang saudara sudah kutinggalkan, aku percaya kalian bisa
menemukan sendiri dan tidak akan salah ambil milik orang
lain….”
Semua hadirin terkesima dan menjublek di tempat masingmasing
oleh hasil pertandingan yang menakjubkan itu,
sehingga lupa bergerak dan tak bersuara, mereka membiarkan
saja unta itu mencongklang pergi dengan cepat dan sebentar
saja lenyap dari pandangan mata.
Setelah bayangan Koan San-gwat dengan tunggangannya
lenyap barulah Khong Bun-ki memperdengarkan gelak tawa
panjang seperti serigala yang kelaparan, cepat-cepat ia
mendahului maju mengotak-atik barang-barang yang
ditinggalkan di atas pasir, mengambil sebutir mutiara sebesar
telur burung, dengan hati-hati ia simpan di dalam bajunya,
terus mengangkat tangan soja ke sekitarnya, serunya, “Berkat
doa dan harapan saudara-saudara sekalian, aku berhasil
dalam pertandingan ini, sekaligus telah merebut balik separuh
barang milik saudara-saudara sekalian silahkan saudarasaudara
ambil milik kalian masing-masing.”
Sesaat semua orang berdiam diri lalu beramai-ramai maju
ke tengah gelanggang. Tak tertahan lagi Lu Bu-wi menghela
napas, serunya, “Sungguh tidak dikira pertandingan ini bisa
berakhir dalam keadaan yang mengenaskan ini.”
Thong-sian Taysu geleng-geleng kepala tak bersuara, cuma
dengan isyarat mata ia perintahkan salah seorang muridnya
mengambil tanda kebesaran Siau-lim-pay yaitu Giok-ji-i.
Sementara itu, Kim-sa-pocu Kok Liang pun sudah
mengambil panji kuning sutranya, tanyanya ingin tahu,
“Khong-ji sianseng dapat melampiaskan rasa penasaran kami
selama beberapa tahun ini, sungguh Lohu sangat berterima
kasih. Tapi kenapa harimau ganas itu dibiarkan pulang ke
gunung, apakah kelak tidak mendatangkan bibit bencana….?”
“Kok-heng tak usah kuatir,” ujar Khong Bun-ki tertawa.
“Dalam jangka enam jam, padang pasir ini bakal ketambah
sesosok mayat yang sudah membusuk, raja akhirat bakal
kedatangan seorang penghuni baru yang penasaran.”
Kok Liang terkejut, tanyanya, “Sebetulnya barang macam
apakah itu? Masa begitu lihai?”
-oo0dw0oo-
Jilid 2
“HA HA HA…. itulah semacam obat yang jarang terdapat,
tumbuhnya di Sing-siok-hay di pesisir pasir kuning di sebelah
sumber air, dimana ada tumbuh semacam tanaman yang
bernama Ciu-Ceng, akar dari pohon ini ada tumbuh semacam
bisul, akar bisul ini dapat diperas getahnya lalu diramu dengan
berbagai obat-obatan rumput lain. maka jadilah semacam obat
yang tidak berwarna, tidak berbau dan tiada rasanya, obat ini
dapat menyembuhkan penyakit rheumatik dan penyakit tulang
lainnya yang sangat mujarab ….”
“Kalau obat mujarab kenapa bisa menggebah bocah itu
dan kenapa pain dia bakal mampus?” tanya Kok Using tidak
mengerti.
“Kalau cuma setetes memang merupakan obat mujarab,
tapi kalau sampai sepuluh tetes dapat menghancurkan usus
dan isi perut lainnya. Dalam dinding cangkir itu sebelumnya
sudah kupolesi obat itu, takarannya dapat sekaligus
memburuh puluhan orang, begitu obat ini masuk ke dalam
perut segera menjalar ke kaki tangan serta tulang-tulang
seluruh badan, tiada obat untuk menyembuhkannya.”
Kok Liang berpikir sebentar lalu bertanya, “Bukankah
Khong-ji sianseng sendiri juga ada minum arak dari cangkir
itu, kenapa kau tidak keracunan. ….?”
Khong Bun-ki terbahak-bahak, ujarnya, “Dalam suhu udara
biasa Ui-ho ciu-ce-sa itu tidak mudah terbaur dalam cairan
arak atau air, cuma setelah dipanaskan mendidih dengan
sendirinya arak itu jadi beracun, arak yang kuminum arak
dingin, maka aku sendiri tidak kurang suatu apapun.”
Kok Liang menepuk paha sambil memuji, ujarnya, “Jadi
Khong-ji sianseng menggunakan tenaga dalam membuat arak
itu mendidih kiranya punya maksud tertentu.”
“Benar, meski keparat itu berusia muda tapi latihan
Lwekangnya rasanya tidak kalah oleh Tokko Bing dulu, kalau
tidak menggunakan akalku itu, mana bisa mengalahkan dia.
Aku tahu kalau cuma mengandal Le-hwe-sin-kang tidak akan
berhasil menundukkan dia, maka terpaksa kugunakan sedikit
akal muslihat. Ternyata keparat itu kena diketahui, mimpi juga
ia tidak akan menyangka bahwa arak itu mengandung racun
jahat.”
“Khong-ji sianseng mempunyai rencana matang dengan
perhitungan yang lihay. sungguh besar pahalamu untuk
menentramkan seluruh jagat ini.”
Para ketua atau pimpinan dari berbagai golongan dan aliran
memuji dan bersorak mengacungkan jempol.
Cuaca sudah hampir terang tanah, segera Khong Bun-ki
bersoja ke sekelilingnya, ujarnya, “Urusan sudah selesai, kita
boleh bubar saja, maaf terpaksa siau-te harus mendahului
pulang.”
“Silahkan Khong sianseng!” Kok Liang membungkukkan diri
dengan hormat.
Karena dirangsang rasa terima kasih, banyak kaum
persilatan itu yang mengantarkan Khong Bun-ki dengan laku
hormat berkelebihan. Tapi Khong Bun-ki cukup
menganggukkan kepala dan membusungkan dada tinggal
pergi sambil menggoyang-goyangkan kipasnya.
Tak lama kemudian barisan orang-orang gagah yang
berkumpul di padang pasir itu sudah bubar dan menghilang,
tinggal Thong-sian Taysu dan para muridnya belum bergeser
dari tempatnya semula, lekas-lekas Lu Bu wi maju bertanya,
“Ciangbunjin, adakah sesuatu yang kurang beres menurut
nalar Taysu?”
Thong-sian menunduk khidmat, katanya, “Apakah dunia
kini sudah aman dan damai, Lolap kuatir kaum persilatan
selanjutnya bakal dihadapi berbagai keonaran dan keributan
yang tiada habisnya.”
“Kemana juntrungan kata-kata Ciangbunjin?” tanya Lu Buwi
tidak mengerti.
“Firasat telah menyentuh, tapi Lolap tidak bisa
menunjukkan bukti-bukti secara kenyataan, semoga Tuhan
Yang Maha Esa suka memberi jalan kehidupan yang sempurna
kepada umatnya, kalau tidak …. aih!”
Lu Bu-wi ikut tenggelam dalam keprihatinan, agaknya iapun
dapat menyimpulkan apa-apa, katanya, “Ucapan Ciangbunjin,
juga terasakan oleh Losiu. Dari pertemuan malam ini sudah
kentara bahwa Loh-hun-kok punya angan-angan untuk
menjagoi dan bersimaharaja di Bulim. meskipun orang she
Khong mewakili merebut kembali tanda kebesaran kita, tapi
entah bagaimana dalam perasaan Losiu, sedikitpun tidak
merasa simpati terhadapnya.”
Thong-sian taysu menghela napas lalu mohon diri, bersama
para muridnya pelan-pelan mereka beranjak pergi tanpa
bersuara, pertemuan yang, gegap gempita tadi, kini sudah
berubah sunyi dan sepi.
Memang dalam lubuk hati sementara orang amat haru dan
senang bahwa kedatangan mereka malam ini tanpa
mengeluarkan tenaga tapi adapula sementara orang yang
merasa kasihan dan sayang akan nasib Koan San-gwat,
mereka sayang karena pemuda gagah seperti Koan San-gwat
harus menemui ajal tanpa ada tempat untuk menguburnya.
Angin berlalu pasir pun berterbangan merubah bentuk
gundukan pasir yang melebar luas tak berujung pangkal. Di
tengah suara angin ribut dengan selingan pasir berterbangan
secara lapat-lapat terdengar suara kelintingan yang nyaring,
itulah suara kelintingan di bawah leher unta yang sedang
berlari kencang di tengah padang pasir.
Koan San-gwat memeluk punuk untanya tanpa mampu
mengeluarkan tenaga. Dia sudah bertahan selama dua hari,
selama dua hari dua malam dia disiksa dalam kesengsaraan
dari penderitaan yang luar biasa. Dia sendiri heran dan tidak
habis mengerti bahwa dirinya kuat bertahan sekian lamanya.
Sebab setiap orang yang terkena racun Ui-ho-ciu-ce-sa, tiada
yang mampu hidup lewat enam jam. Sebaliknya dia, kondisi
badan yang luar biasa dengan kekuatan batinnya yang
menyala-nyala ternyata kuat bertahan dua hari meski disiksa
penderitaan yang kelewat batas.
Meski demikian, ia paham bahwa tidak akan luput dari
renggutan elmaut yang akan mencabut nyawanya. Dan saat
itu pula dia sedang menuju ke jalan kematian, malah semakin
lama semakin dekat pada puncak kematian.
“Oh, guru berbudi! Agaknya aku harus menyia-nyiakan
harapanmu, kalah di bawah akal licik sungguh mati pun aku
merasa penasaran dan tidak rela. Terpaksa aku menghancurleburkan
harapan dan kebesaran namamu, bagaimana aku
bisa menentramkan arwahmu di alam baka….”
Dia ingin menyumpah dan sesambatan kepada Tuhan, atau
menggembor sekeras-kerasnya untuk melampiaskan rasa
penasaran hatinya, tapi tenggorokannya sudah kering
merekah karena racun, terpaksa hanya mengumpat caci dan
mengeluh di dalam hati.
Tiba-tiba di dalam deru angin kencang didengarnya suara
lain yang memburu datang, menurut pengalamannya yang
sudah lama bertempat tinggal di daerah gurun pasir, ia tahu
itulah suara derap kaki kuda yang dibedal pesat, ada
penunggang kuda mengejar datang di belakangnya.
“Siapakah mereka? Apakah orang-orang gagah Bulim yang
hendak mengejar dan membunuh aku?” demikian pikirnya.
“Lebih baik aku mati tanpa terkubur dengan menjadi mangsa
burung elang daripada terjatuh ke tangan mereka. Aku!
Generasi kedua dari Bing-tho-ling-cu! Mana boleh
menghembuskan napas yang penghabisan di hadapan musuh
….”
Ingin dia mengeprak tunggangannya supaya berlari lebih
pesat, tapi tenaga mengangkat jari saja tidak mampu,
terpaksa di dalam hati ia mengeluh, “Ahhh…. sahabat tuaku,
ayo lekas lari. Bing-tho-ling-cu II betapapun pantang mati di
tangan musuh. Meski aku bakal menjadi generasi terakhir dari
Bing-tho Ling-cu….”
Agaknya unta tunggangannya itu dapat mendengar
gemboran hatinya ternyata ia kerahkan tenaga larinya lebih
pesat dari angin.
Timbullah setitik harapan dalam benak Koan San-gwat,
diam-diam ia bersyukur, “Sahabat tuaku, ternyata kau
memang pintar, unta sakti tidak mengena usia tua, tenaga
baru semangat tetap menyala. Cuma sayang aku tak akan
kuasa menemani kau sepanjang masa….”
Setelah lari sekian lamanya akhirnya ia jadi keheranan pula,
sebab derap di belakangnya bukan saja ketinggalan semakin
jauh malah terdengar semakin dekat, karuan hatinya menjadi
gundah dan gugup.
“Ayah sahabat tua, kenapa kau tidak becus lagi, di atas
pasir masa kau tidak mampu menandingi kecepatan lari
kuda?”
Kecepatan lari unta tetap seperti sedia kala, tapi derap kaki
kuda di belakang semakin kencang. Tanpa terasa ia menghela
napas panjang dan gegetun, karena ia mendapati bahwa
tunggangannya tidak berlari sepenuh tenaga, maka lamakelamaan
terkejar oleh kuda di belakangnya. Padahal tenaga
untuk angkat jari saja tak mampu dikerahkan, bila untanya
berlari pesat, goncangan tubuhnya tidak akan terkendalikan
lagi, bukan mustahil ia bakal terjungkal jatuh.
“Sahabat tua! Jangan hiraukan aku, betapapun kita
pantang jatuh ke tangan musuh …. ….”
Dengan watak kekerasan seekor binatang, si unta
mendengus rendah, tetapi kakinya tetap berlari dengan
kecepatan sama. Kuda di belakang itu sudah mengejar dekat,
dari punggung kuda tampak melesat sesosok bayangan orang
meraih tali kekang yang terikat di besi dan tergigit di mulut
unta, leher panjang si unta bergerak berusaha menghindar.
Koan San-gwat yang berada di punggungnya tidak kuasa
mengendalikan badannya lalu terjungkal jatuh.
Orang yang berusaha menghentikan lari si unta cepat
melompat ke belakang meraih tubuhnya. Samar-samar di
antara sadar tak sadar Koan San-gwat hanya melihat seraut
wajah yang putih halus dan seikal rambut panjang yang
terkuncir di belakang kepala. Selanjutnya apa yang terjadi tak
diketahui olehnya.
Di kala ia siuman, baru dia tahu bahwa dirinya telah
terbaring di tengah padang rumput yang menghijau, di
sampingnya terdapat sebuah kolam air, itulah oase, sumber
air di padang rumput yang tumbuh subur di tengah padang
pasir.
Begitu siuman Koan San-gwat lalu ingin membuktikan
apakah dirinya masih hidup atau sudah mati. Orang yang
hidup di gurun pasir semuamengharap dapat menemui ajal di
oase, maka begitu ia melihat dirinya ada di padang rumput, ia
jadi menganggap bahwa dirinya sudah ajal.
Dengan susah payah ia berusaha menggerakkan badan,
tapi seluruh badannya terass sakit dan menderita luar biasa,
cuma semangatnya saja yang rada pulih kembali. Serta merta
ia menghela napas, keluhnya, “Kata orang, bila orang yang
sudah mati hilanglah segala penderitaannya, tapi kenapa
badanku masih begini sakit….?”
Tiba-tiba di belakangnya seseorang berkata tertawa,
“Orang yang takut melihat setan seumpama mati juga tidak
akan mendapatkan tempat yang sentosa.”
Dengan kejut Koan San-gwat menoleh, dilihatnya seorang
gadis remaja berusia tujuh belasan, mengenakan pakaian
gembala, wajahnya bundar putih, biji matanya yang besar
hitam dan bening, kuncir rambutnya panjang dan besar, itulah
raut wajah yang dilihatnya sekilas sebelum ia jatuh dari atas
tunggangannya di padang pasir itu, tanpa disadari ia jadi
terlongong sekian lamnnya, katanya tersendat, “Nona….
sebetulnya aku sekarang masih hidup atau sudah mati?”
Gadis itu membelalakkan matanya yang bundar,
semprotnya sambil cemberut, “Kau sudah mati! Sekarang kau
sedang berhadapan dengan setan dan aku inilah setannya!”
Koan San-gwat tertegun dibuatnya, dari sikap dan nada
perkataan gadis di hadapannya ini ia tahu orang sedang
berkelakar dan menggoda dirinya, maka dengan sendirinya ia
sadar bahwa dirinya belum mati, lalu dengan menghela napas
ia berkata, “Hm, nona jangan marah, karena aku terluka parah
dan aku anggap diriku tidak tertolong lagi, maka begitulah
jalan pikiranku ….”
“Kalau kau telah tahu terluka berat,” sempot gadis itu pula
dengan uring-uringan. “Kenapa mendengar kami menyusul
kau lari, kami kan bukan rampok, kalau tahu begitu lebih baik
kami tidak menolong kau saja.”
Terpaksa Koan San-gwat menyengir kecut. Sebetulnya
gadis itu marah ingin mengomelinya, tapi mendadak dari
samping didengarnya sebuah suara menyela, “Ah-ceng! Tuan
ini terkena racun dalam tubuhnya belum punah seluruhnya.
Jangan kau bikin ribut, cuma membuang energi dan
tenaganya saja.”
Koan San-gwat cuma melihat sebuah bayangam yang
samar-samar, mendadak dirasakannya Ling-tay-hiat kena
tertutuk dan selanjutnya apapun tidak terlihat lagi, cuma
kupingnya lapat-lapat masih mendengar gadis itu bertanya,
“Yah, sebetulnya ia terkena racun jahat apa? masa Siau-toksan
mu yang mujarab itu tidak mampu menyembuhkannya?”
Lalu didengarnya pula jawaban seorang laki-laki
pertengahan umur, “Jangan kau banyak tanya lagi, racun
macam itu merupakan tantangan bagi dunia pengobatanku,
terpaksa kita harus menggotongnya pulang ke gunung,
dengan segala daya upayaku, ingin kulihat apakah aku mampu
mengendalikan racun semacam itu.”
selanjutnya di antara sadar tak sadar Koan San-gwat
seperti merasa badannya terangkat, ingatannya semakin
kabur, dan akhirnya tak ingat apa-apa lagi.
0000)0(ooco
KHONG BUN-THONG majikan dari Loh-hun-kok di Liok-causan
waktu itu mengundang orang-orang gagah kenamaan di
seluruh dunia persilatan, di antaranya pada Ciangbunjin dari
sembilan Pay dan Para Pangcu dari berbagai Pang yang
tersohor untuk menghadiri perayaan hari ulang tahunnya yang
ke enam puluh. Pertemuan besar di gurun pasir pada malam
itu kini sudah berselang tiga tahun….
Berkat kelicikan Khong Bun-ki yang berhasil meracuni Koan
San-gwat murid tunggal Bing-tho-ling-cu akhirnya seluruh
golongan dan aliran yang hadir dapat mengambil balik tanda
kebesaran mereka masing-masing, untuk ini mau tidak mau
nama Liok-cau-san makin menonjol dan menempatkan darinya
pada kedudukan tertinggi sebagai datuk persilatan.
Liok-cau-san semula tidak pernah diperhatikan khalayak
ramai, dalam jangka tiga tahun itu menjadi ramai, orangorang
gagah dari berbagai aliran berkunjung. Terutama
Kimsa-pocu Kok Liang dan beberapa golongan yang berdiri
tunggal serta para guru silat punya huhungan yang sangat
akrab dengan mereka.
Soalnya tenaga serta wibawa mereka di kalangan Kangouw
sudah pudar, tak mungkin membuka lembaran sejarah yang
gilang gemilang. Dengan rasa kepercayaan yang menjadi
landasan hidup berdampingan begi kaum persilatan, apalagi
murid mereka sering membuat onar dan bikin ribut di luaran,
mereka tidak angkat senjata dan mandah dihina dan terima
nasib melulu, karena kondisi yang buruk ini mau tidak mau
mereka menjilat ke pihak Liok-cau-san, paling juga ingin
gagah-gagahan dan unjuk garang saja.
Sementara Ciangbunjin dan berbagai Pay dan Pang besar,
mengingat budi Khong Bun-ki dahulu karena sungkan lalu
mengalah terhadap Liok-cau-san, setiap kali timbul pertikaian,
asal salah seorang dari keluarga Khong unjuk diri untuk
menyelesaikan urusan itu, kedua belah pihak pasti memberi
muka dan anggap perkara itu tidak pernah terjadi.
Selama tiga tahun mendatang ini, pihak Liok-cau-san
sangat aktif di kalangan Kangouw. Kaki tangan mereka
semakin tersebar luas di mana-mana. Secara terbuka
merekapun anggap sebagai pimpinan tertinggi saja. Nama,
gengsi dan perbawa mereka jadi semakin menonjol dan besar.
Hari ulang tahun keenam puluh majikan Loh-hun-kok
Khong Bun-thong merupakan salah satu peristiwa besar dalam
kalangan Kangouw tahun ini, setengah tahun sebelumnya
mereka sudah menyebar luas undangan.
Sudah tentu para Ciangbunjin atau Pangcu dari berbagai
golongan dan aliran itu sama tahu bahwa dalam perayaan hari
ulang tahun itu, pihak Liok-cau-san pasti mempertunjukkan
sesuatu permainan yang bakal mengggemparkan. Tapi karena
soal muka serta gengsi, seumpama mereka sendiri tidak sudi
datang, terpaksa harus mengurus anak muridnya sebagai
wakil menyampaikan selamat hari ulang tahun.
Perayaan ulang tahun terjadi pada tanggal tujuh belas
bulan sembilan, pada tanggal enam belas, para tamu yang
diundang sudah datang, Liok-hun -kok di Liok-cau-san yang
biasanya sepi kini jadi ramai, dimana-mana didirikan barakbarak
darurat yang penuh sesak dihuni para tamu-tamu yang
berdatangan, mereka makan minum sepuasnya tak mengenal
waktu, agaknya banyak di antara mereka yang siap untuk
berpesta pora semalam suntuk.
Mereka makan minum jor-joran. Banyak tamu jadi sinting
dan mabok. Begitulah keadaan Kim-sa-pocu Kok Liang,
mukanya merah padam, biji matanya mendadak menyala,
dengan sempoyongan ia berdiri dan mengeluarkan suara
bagai bunyi genta, teriaknya, “Para Losu dan sahabat sekalian,
tiga tahun yang silam Khong-ji sianseng dengan secangkir
arak beracun berhasil menundukkan Bing-tho-ling-cu sehingga
kita berhasil memperoleh kembali tanda kebesaran masingmasing,
budi yang luhur ini, seluruh sahabat Kangouw tidak
ada seorangpun yang tidak merasa berterima kasih ….”
Ucapannya ini terlalu menusuk perasaan. Kontan hadirin
merasa kurang senang, agaknya Kok Liang menyadari
omongannya tidak berkenan di hati mereka, cepat ia
melanjutkan, “Pertemuan hari itu, meski Tokko Bing sudah
mampus, tetapi murid tunggalnya Koan San-gwat ternyata
membekal kepandaian yang tiada taranya, jikalau kalian
mengandal tenaga dan kepandaian sendiri, siapa pula yang
bakal bisa mengalahkan dia!”
Ucapannya ini memang kenyataan, orang-orang yang
kurang senang ini mau tidak mau harus menelan rasa
penasaran mereka. Setelah menanti sebentar melihat tiada
orang yang menyanggah pertanyaannya, Kok Liang lantas
mengunjuk sikap gagah-gagahan, serunya, “Besok adalah hari
ulang tahun Khong Kokcu, kami sudah menyiapkan kado
untuk mewakili seluruh sahabat Kangouw untuk menyatakan
hormat dan kagum kepada beliau.” habis berkata ia memberi
tanda keluar, segera dua orang laki-laki menjunjung sebuah
pigura besar yang bercat kuning emas, di atas pigura ini ada
diukir lima huruf besar dengan cat emas yang berbunyi
“Thian-he-te-it-keh.”
“Thian-he-te-it-keh” berarti keluarga nomor satu di seluruh
kolong langit.
Tanpa menanti reaksi orang banyak, cepat-cepat Kok Liang
menambahkan, “Thian-he-te-it-keh, kukira cuma keluarca
Khong dari Loh-hun-kok ini yang pantas mendapatkannya,
sekarang aku harap tuan rumah suka menerima kado ini.”
Ciong-lam Ciangbunjin Lu Bu-wi yang duduk di sebelah
Sim-sian Taysu yang mewakili Siau-lim-si tak tahan lagi segera
ia berjingkrak bangun, serunya, “Sungguh tak masuk akal dan
tidak punya aturan! Kalau kita diamkan saja keparat ini
menganugerahkan pigura itu berarti kami semua sama
mengakui bahwa dia memang Thian-he-te-it-keh. Apakah
kelima nama ini dapat begitu gampang diperoleh?”
Sim-sian adalah Suheng Thong-sian Taysu, usianya pun
lebih tua dari Thong-sian, cuma kepandaiannya sedikit asor,
tapi dia merupakan jago nomor dua dari dari Siau-lim-pay,
cuma dia rada rikuh untuk menyatakan pendapatnya terpaksa
dia tarik baju Lu Bu-wi serta katanya, “Lu-ciangbunjin harap
sabar, perbuatan Kok Liang ini meski harus dicela, tapi kukira
ucapannya itu pasti punya alasannya sendiri, tiga tahun yang
lalu jikalau Khong Bun-ki kalah bertanding, maka Ling-hu atau
tanda kebesaran dari berbagai golongan dan aliran tidak akan
begitu mudah diperoleh kembali.”
Tapi Lu Bu-wi tidak ambil perduli, katanya, “Dalam keadaan
yang memalukan itu meski mendapatkan kembali Ling-hu
kami, sebenarnya aku lebih rela milikku itu masih tetap berada
di tangan Bing-tho-ling-cu.”
Sim-sian Taysu menggeleng kepala, ujarnya, “Meski
kemenangan Khong Bun-ki kurang layak dan tidak bisa
dibanggakan, tapi dari jarak yang jauh dapat mendidihkan
arak sehingga menguap kering, memanaskan arak
mencampur racun, dalam hal latihan dan kesempurnaan
pelajaran silat secara kenyataan memang sudah teramat
hebat dan sangat mengejutkan sekali.”
Lu Bu-wi menjadi keheranan, tanyanya, “Siau-lim-pay
sebagai aliran yang paling diagungkan dan dijunjung tinggi
oleh kaum persilatan, apakah Taysu juga mengakui bahwa
keluarga Khong merupakan keluarga nomor wahid di seluruh
jagat?”
“Orang beribadat seperti kami sudah lepas dari kehidupan
duniawi, tidak mengejar nama dan gengsi, menurut pendapat
kami siapa pun yang mendapat gelar Thian-he-te-it-keh tiada
menjadi soal, cuma kurasa keluarga Khong tidak akan puas
melulu mendapat gelar dan simbol yang kosong.”
“Mereka mau apa lagi? masakan kita harus bertekuk lutut
terhadap mereka?”
Alis Sim-sim Taysu berkerut semakin dalam, katanya
menghela napas, “Kalau hanya bertekuk lutut dan patuh
karena perintah sih lumayan, dunia bakal aman dan tenteram,
untuk itu Pinceng tidak merasa….”
Lu Bu-wi jadi patah semangat mendengar uraian Si Hwesio
tua ini, ia rasakan orang terlalu lemah dan gampang
terpengaruh. Tetapi tatkala itu Khong Bun-thong tuan rumah
yang merayakan hari ulang tahun itu sedang cengar-cengir
melangkah ke tengah siap menerima pigura besar itu, dari
barak-barak sekitarnya sudah terdengar tepuk tangan.
Khong Bun-thong tidak perduli sambutan tepuk tangan itu
hanya sebagian kecil kaki tangannya belaka, serunya sambil
tersenyum lebar, katanya, “Budi kebaikan Kok-heng
bagaimana juga sungguh aku tidak berani terima. Tiga tahun
yang lalu adikku cuma sedikit menyumbaang tenaganya, masa
mengandal kepandaian yang tak berarti itu kami berani
menempatkan diri sebagai keluarga agung nomor satu di
seluruh jagat, maka harap pigura sumbangan Kok-heng ini
dianugerahkan kepada tokoh kosen yang sesuai saja.”
Kok Liang mengulur leher mengeraskan suara, serunya,
“Pada jaman sekarang ini, tokoh kosen mana yang bisa
dibanding dan lebih kosen dari Khong-kokcu?”
“Bukan begitu persoalannya,” ujar Khong Bun-thong. “Aku
sendiri tidak berani mengakui sebagai seorang kosen, kukira
orang lain pun tidak akan berani sembarangan mengakui
dirinya orang kosen, kalau tidak percaya coba Kok-heng lihat
air muka para sahabat yang hadir.”
Kok Liang berpaling dan menjelajahkan pandangannya ke
segenap penjuru, memang dilihatnya rona wajah banyak
orang menunjukkan rasa kurang senang dan penasaran,
kecuali pihak Siau-lim-pay, para Ciangbunjin atau wakil lain
sembilan partai besar lainnya sama mengunjuk tawa dingin
dan mengejek.
Kok Liang jadi serba runyam, tapi segera berteriak lantang,
“Bila siapa yang tidak menyetujui pandanganku ini, maka dia
hanya manusia kerdil yang tidak mengenal budi kebaikan.”
Ucapannya ini terlalu berat. Baru saja lenyap suaranya,
hampir berbareng ada lima orang menekan meja bergegas
berdiri, terutama Ciong-lam Ciangbunjin Lu Bu-wi tidak tahan
lagi, bentaknya dengan suara berat, “Oranng she Kok, Kau ini
manusia apa berani bertingkah dan main gembar-gembor
dihadapan sekian banyak orang-orang gagah!”
Baru saja Kok Liang hendak balas memaki keburu Khong
Bun-thong turun tangan mencegah, ujarnya, “Para saudara
demi ikut menghadiri hari ulang tahunku sam berkunjung ke
Liok-cau-san, untuk ini aku sudah merasa bersyukur dan
berterimakasih, jarang sekali karena urusan kecil sampai
timbul pertikaian merusak persahabatan, mari ku
persembahkan secangkir arak untuk menyatakan rasa terima
kasih kami.”
Lalu ia bertepuk tangan berbareng berteriak dengan suara
lantang, “Bawa arak kemari.”
Dari luar barak sana segera mendatangi empat laki-laki
besar, dengan pikulan mereka sama menggotong sebuah guci
arak yang besar sekali, tinggi guci itu kira-kira ada tiga kaki,
panjang perutnya yang gendut itu ada sembilan kaki, dengan
dipikul empat orang kelihatan masih terasa berat, maka
dapatlah dibayangkan betapa berat seluruh arak di dalam guci
itu.
Guci itu baru diletakkan setelah tiba di sampingnya, dua
orang diantaranya bekerja sama membuka tutupnya, benar
juga di dalamnya terisi arak yang bagus, sambil tersenyum
lebar, Khong Bun-thong memegangi kedua pinggir guci besar
itu, katanya, “Karena hadirin terlalu banyak, terpaksa
kugunakan cara yang paling praktis saja untuk menyuguhkan
arak ini.”
Bertepatan dengan lenyapnya suaranya, arak dalam guci
itu mendadak menyemprot keluar seperti sebuah tonggak
besar melambung tinggi dua tombak, lalu di tengah udara
seperti meledak berpencar ke empat penjuru menjadi titik-titik
bintang bertaburan. Maka di lain saat terdengarlah suara tak
tik, itulah hujan tetesan arak yang masuk ke dalam cangkir.
Seluruh hadirin sama mengeluarkan seruan heran dan
kagum, ada pula yang menghela napas, sebab sekejap saja
cangkir setiap hadirin sama sudah terisi penuh arak, persis
rata dengan mulut cangkir, tidak sampai luber.
Permainan Khong Bun-thong menunjukkan bahwa
Lwekangnya sudah mencapai tingkat paling sempurna.
Sekaligus ia sudah menunjukkan tiga macam permainan yang
sulit dilakukan.
Pertama arak yang dia tebarkan menggunakan Lwekangnya
cuma persis mengisi secangkir semua hadirin. Apalagi duduk
para tamunya itu terpencar lebar, meja yang mereka tempati
selain berisi bermacam-macam makanan masih banyak tempat
luang, tapi setetespun tidak ada yang tercecer di luar.
Kedua, bahwa cangkir sementara orang masih ada sedikit
sisa arak, tapi dia dapat mengisi cukup sampai cangkir itu
menjadi penuh saja, isi dari setiap cangkir itu sama rata
dengan mulut cangkir.
Ketiga, dengan cara menebarkan arak ke tengah udara
untuk mengisi arak ini, sekaligus ia kerjakan terhadap ribuan
tamu yang hadir dalam berbagai barak yang terpencar luas,
tapi tiada satupun yang ketinggalan.
Kim-sa-pocu yang memang bersifat penjilat itu mendahului
bertepuk tangan sekeras-kerasnya, mau tidak mau hadirin
yang lain juga ikut bertepuk tangan bahkan kagum, maka
tepuk tangan kali menjadi amat ramai dan lama sekali.
Terbayang senyum puas dan rasa bangga pada wajah
Khong Bun-thong, cepat ia lepas pegangannya terus angkat
tangan bersoja ke empat penjuru, berulang kali mulutnya
mengucapkan kata-kata merendah, lekas-lekas Kok Liang
menjinjing lagi pigura besar itu terus diangsurkan ke
hadapannya, katanya, “Kepandaian silat dan sastra Khong
Kokcu tak ada bandingannya di dunia ini, maka pigura ini
sudah selayaknya kami persembahkan….”
Kali ini tak ada seorangpun yang berani menentang, Lu Buwi
jadi lesu dan patah semangat, tapi dalam hati ia masih
uring-uringan tapi pertunjukan kepandaian Khong Bun-thong
benar-benar sudah menciutkan nyali, sehingga ia tidak berani
banyak bercuit lagi.
Khong Bun-thong sengaja pura-pura sangsi dan menolak,
tapi setelah melihat tak ada orang yang menantang lagi,
dengan cengar-cengir ia mengulur tangan menerima, katanya,
“Banyak terima kasih akan anugrah yang sangat besar artinya
ini.”
Dengan diterimanya pigura itu berarti semua hadirin diamdiam
sudah mengakui bahwa keluarga Khong merupakan
Thian-he-te-it-keh, dengan mendapat anugerah yang memang
sudah lama dicita-citakan, sudah tentu Khong bun-thong
teramat senang, katanya, “Inilah anugrah dari para orang
gagah yang hadir hari ini, kalian harus hati-hati, serahkan
kepada Jikong-cu untuk disimpan.”
Orang-orang itu mengiyakan, baru saja mereka hendak
bergerak, dari samping sana muncullah Khong Bun-ki yang
tetap mengenakan pakaian sastrawan, katanya sambil berseri
tawa, “Toako! Sekarang sudah lewat tengah malam, sudah
tibalah saat upacara hari ulang tahunmu. Menurut
pendapatku, lebih baik gantung saja pigura itu di samping
pendopo ini, kurasa lebih serasi dan cocok dengan keadaan.”
“Jangan!” sahut Khong Bun-thong menggeleng. “Cara ini
kurasa terlalu takabur!”
“Tidak, tidak!” tersipu-sipu Kok Liang lantas bicara. “Cuma
pendopo upacara Kokcu yang cocok untuk menempatkan
pigura ini, kuharap cepatlah Ji-kokcu menggantungkannya di
sana, kami ingin segera menyampaikan selamat panjang
umur.”
Khong Bun-ki tertawa ringan, sebelah tangannya
menyanggah bagian bawah pigura terus disendal ke atas,
kontan pigura itu terbang ke atas melampaui kepala para
hadirin dan tepat jatuh di atas belandar besar di atas pojok
pendopo.
Di atas belandar mungkin sudah disediakan tempatnya,
sehingga pigura itu tepat sekali menempel di dinding, di lain
saat cepat sekali ke empat laki-laki ini sama mengayun
sebelah tangan menimpukkan sebatang paku panjang yang
gemerlapan, masing-masing melesat ke empat pojok pigura
itu dan tepat sekali memanteknya di atas sana.
Hadirin sekali lagi bertepuk tangan lebih keras dan gegap
gempita. Cuma Lu Bu-wi dengan rasa penasaran menggerutu,
“Terang sekali semua ini sudah dipersiapkan sebelumnya….”
Sim-sian Taysu menarik bajunya, ia beri tanda supaya
orang tidak terlalu banyak kata.
Terdengarlah Kok Liang mendahului berteriak, “Selamat
ulang tahun, selamat ulang tahun. Ayo, harap tuan rumah
menempati tempat duduknya.”
Segera Khong Bun-ki mendorong Khong Bun-thong berdiri
di bawah pigura, seorang protokol segera mengumrumkan
upacara dimulai.
Maka beramai-ramai para hadirin banngun berdiri, ada
yang suka rela dan senang hati, tapi ada pula yang terpaksa,
tapi mereka sama membungkuk diri menjura kepada Khong
Bun-thong.
Khong Bun-thong tersenyum lebar, mulutnya terbuka lebar,
katanya, “Terima kasih, mana aku berani terima
penghormatan besar ini.” sambil balas menghormat dengan
membungkuk-bungkuk badan, tapi waktu dia angkat kepala,
tiba-tiba dilihatnya para hadirin berdiri melongo dan terbelalak
mengawasi pigura di atas kepalanya, cepat ia pun mendongak
melihat ke atas, kontan ia berjingkrak kaget dan hampir saja
ia berteriak terkejut.
Ternyata di tengah antara kelima huruf besar di atas pigura
yang berbunyi “Thian-he-te-it-keh itu kini bertambah dua
huruf kecil berwarna putih yang menyolok sekali, bunyinya,
“Thian-he-te-it-bing-tho-keh.” (Keluarga unta sakti nomor satu
di seluruh jagat).
Sekian lama Khong bun-thong keheranan dan tidak habis
mengerti, akhirnya air mukanya menjadi gelap dan merah
padam. Serunya lantang dengan amarah yang meluap-luap,
“Sahabat manakah yang mencari gara-gara?”
Beruntun ia berkaok-kaok sampai empat kalitanpa ada
reaksi apa-apa. Dengan suara lebih lantang menandakan
amarah yang semakin memuncak ia berteriak lagi, “Hari ini
adalah ulang tahunku, dengan hati tulus dan sejujurnya kami
undang para sahabat Kangouw untuk ikut menikmati
secangkir arak, tidak lebih hanya ingin berkenalan dengan
orang-orang gagah seluruh dunia yang berkumpul hari ini,
kalau mau menyampaikan selamat sebetulnyalah aku tidak
berani terima, bahwa kalian sudah hadir dalam perjamuan ini
berarti memberi muka kepadaku, tapi entah siapa dengan cara
yang memalukan mempermainkan aku, sungguh memalukan
dan menghina keluar batas.”
Setelah berkata mukanya semakin membesi hijau, tapi
keadaan masih tetap tenang dan sunyi. Selang sejenak,
mendadak dari tempat yang agak jauh terdengarlah gelak
tawa berkumandang, nada gelak tawa ini mengandung nada
menghina dan mencemooh.
Serempak pandangan semua hadirin ditujukan ke arah
datangnya gelak tawa, tampak di barak sebelah timur seorang
laki-laki pertengahan umur berpakaian seperti gembala di luar
perbatasan dengan perawakan tubuhnya yang kekar sedang
berdiri bertolak pinggang di atas meja, mukanya rada asing
dan belum dikenal, apalagi tempat duduk sebelah timur sana
disediakan bagi golongan kelas dua, maka hadirin heran dan
kaget bahwa orang ini berani bertingkah begitu kasar dan
menghina kepada Khong Bun-thong.
Sambil memicingkan mata, Khong Bun thong mendesis
berkata, “Kawan ini siapa dan siapa namamu?”
Orang itu lalu tertawa tawar, sahutnya, “Aku yang rendah
Thio Hun-cu, bertempat tinggal di Thian-san utara tidak lebih
cuma seorang keroco kelas rendah saja.”
Sekian saat Khong Bun-thong mengamatinya, tapi ia tidak
berhasil menemukan asal-usul orang ini, akhirnya dengan
menarik muka ia menjengek, “Apa maksud gelak tawa sahabat
Thio tadi?”
Thio Hun-cu menengadah terkekeh dua kali, ujarnya,
“Untuk ini harus tanya kepada dirimu sendiri. Tadi sudah
mengudal mulut membuat sebuah cerita bohong yang
mengelabui orang banyak, kedengarannya memang cukup
mengasyikan den mengetuk hati semua orang, tapi apa pula
maksud tindakan rahasia saudara?”
Berubah hebat air mukanye Khong Bun-thong, matanya
menyorot sinar bengis dan buas, teriaknya beringas, “Kawan
Thio! Hari ini adalah hari baikku, bahwasanya aku tidak akan
membuat salah kepada pare sahabat, tapi sepak terjang
saudara tadi agaknya memang sengaja memaksa aku orang
she Khong untuk bertindak tidak mengenal kasihan lagi.”
“Khong-kokcu!” seru Thio Hun-cu terloroh-loroh. “Tepat
sekali ucapanmu! Hari ini memang hari baikmu, sebab bukan
saja hari ini hari ulang tahunmu, tapi juga merupakan hari
besar dimana kau dapat mengekang dan menindas kaum
persilatan serta menjagoi seluruh jagat ….
“Pembual!” hardik Khong Bun-thong dengan amarah yang
meluap-luap. “Meski pigura itu pemberian dari para sahabat
Kang-ouw tapi aku sendiri masih ragu-ragu apakah aku orang
she Khong sembabat mendapatkan simbol itu.”
“Tapi di bawah ancaman dan tekanan jiwa, siapa yang
berani membangkang dan tidak mendengar perintahmu?”
jengek Thio Hura-cu iambi’ tersenyum.
Rona wajah Kong Bun-thong berubah lebih jelek, sinar
matanya mengandung hawa membunuh yang tebal, terutama
Khöng Bun-ki yang berada di belakangnya sudah tidak bisa
menahan gejolak hatinya, sambil menghardik tubuhnya
berkelebat maju sambil angkat tangannya menyerang,
mulutnya pun memaki keras, “Bedebah berani mengacau
perayaan hari ulang tahun Toakoku, sudah bosan hidup
ya….?”
Tangan kiri mengacungkan dua jari menotok dada Thio
Hun-cu, tipu yang digunakan cukup ganas dan keji, tapi Thio
Hun-cu yang tidak ternama cukup menurunkan pundak dan
menekuk lutut dengan mudah meluputkan diri.
Karuan tercekat hati Khong Bun-ki, cepat kedua telapak
tangannya bergerak bersama dari kiri kanan mengatuk ke
tengah berbareng ia menepuk pula satu kali, jurus serangan
ke dua ini jauh lebih berbahaya dan telengas, seolah-olah
saking gemasnya ia ingin sekali pukul membikin mampus
lawannya. Kelihatannya Thio Hun-cu sulit terhindar dari mara
bahaya, sebab serangan tangan Khong Bun-ki itu di sebelah
atas menepuk Thay-yang-hiat sedang bagian tengah
mencengkeram lambungnya, betapapun ia dapat
mengkerutkan tubuhnya menjadi anak kecil juga tak akan
luput dari rangsakan hebat ini.
Akan tetapi di saat semua orang menjerit kaget den kuatir
itu, tampak badan Thio Hun-cu mendadak berputar seperti
gangsingan cepatnya, sekonyong-konyong badan yang
berputar kencang itu menerjang ke arah Khong Bun-ki, maka
terdengarlah benturan keras, entah dengan cara apa tahutahu
badan Khong Bun-ki yang meluncur ke depan ini ditolak
mundur sempoyongan lima enam tindak, lengan kanannya
lemas semampai tidak bergerak lagi, agaknya terluka oleh
serangan musuh.
Maka terdengarlah dengus rendah Khong Bun-thong. Tibatiba
telapak tangannya terayun menepuk ke punggung Thio
Hun-cu, luncuran telapak tangannya keras tapi tidak
memperdengarkan suara. Seolah-olah Thio Hun-cu tidak
bersiaga, setelah telapak tangan memukul tiba baru ia
berjingkrak kaget, tapi sudah terlambat. Kontan ia tersuruk
maju beberapa langkah oleh tenaga pukulan yang hebat itu.
Tapi kepandaian orang ini agaknya tidak lemah, di luar
dugaan semua hadirin, setelah kena dibokong oleh pukulan
telak Khong Bun-thong, ternyata sedikitpun dia tidak terluka,
begitu menggeliatkan pinggang di lain saat ia sudah dapat
berdiri tegak pula, pelan-pelan ia membalik badan serta
tersenyum, katanya kepada Khong Bun-thong, “Orang she
Khong, ingat akan pukulanmu ini, nanti pasti akan kubalas
sekali pukul kepada kau, tapi dalam melancarkan pukulanku,
kulakukan secara terang gamblang, tidak akan kulancarkan
secara membokong seperti perbuatanmu yang rendah dan
hina ini.”
Muka Khong Bun-thong jadi merah padam karena sindiran
ini, di samping itu hatinya pun kaget bukan kepalang, baru
sekarang ia insyaf bahwa lawannya bukan sembarang tokoh,
karena dapat menerima pukulan tangannya, padahal jarang
ada musuh yang mampu menerima genjotan lima bagian
tenaganya, sungguh ia tidak mau percaya bahwa di dunia ini
ada manusia sekebal ini.
Bahwasanya nama Loh-hun-kok baru tiga tahun ini
menonjol di kalangan Kangouw tapi sebenarnya jauh pada dua
puluh tahun yang lalu, mereka punya angan-angan untuk
merajai dunia persilatan, setiap tokoh kosen persilatan sudah
mereka selidiki dengan sempurna, hasilnya mereka
menganggap bahwa itu tidak lebih cuma kelas kambing
belaka, meski diantaranya membekal kepandaian asli yang
murni dari perguruan masing-masing, tapi masih jauh bila
dibandingkan Kungfunya, maka ia merasa puas akan bekal
sendiri dan bersiap melakukan suatu tindakan yang
menggemparkan. Tak nyana mendadak muncullah Bing tholing-
cu Tokko Bing dalam suatu partandingan yang tidak
menyenangkan, sehingga ia kena dikalahkan habis-habisan
terpaksa ia harus pendam dulu angan-angan besarnya,
menyemhunyikan diri giat memperdalam ilmu. Tunggu punya
tunggu ternyata sampai dua puluh tahun.
Pertemuan dipariang pasir itu dulu sebetulnya iapun ikut
hadir, tapi karena takut terjungkal lagi dan malu di hadapan
sekian banyak orang, terpaksa ia menyamar dan menyuruh
adiknya yang menjadi wakilnya.
Sebuah berita yang membuat semangatnya terbangkit
adalah bahwa Tokko Bing sudah meninggal, tapi murid
tunggalnya Koan San-gwat ternyata juga bukan main
hebatnya dalam segala hal agaknya tidak kalah dibandingkan
dengan Tokko Bing dua puluh tahun yang lalu. Tapi
betapapun pemuda ini masih berusia muda cetek pengalaman
dan pengetahuan. maka akhirnya ia terjungkal dalam tipu
daya dengan menenggak habis arak yang dicampuri racun
jahat, sejak saat itu kemenangan yang tidak tersangka-sangka
itu sekaligus telah menjunjung tinggi gengsi dan membuat
nama Loh-hun-kok menjulang tiada bandingannya.
Dengan segala daya upaya Khong Bun-thong juga selama
tiga tahun ini menghimpun diri memupuk kekuatan, kebetulan
meminjam hari ulang tahunnya yang keenam puluh,
kesempatan ini hendak ia gunakan untuk mengangkat diri dan
mengumumkan kepada dunia, demi mencapai cita-cita dan
ambisinya yang luar biasa.
Sungguh di luar tahunya pula bahwa di tengah jalan
usahanya ini kena dijegal pula dengan munculnya Thio Hun-cu
yang kurang dikenal namanya.
Beberapa patah kata Thio Hun-cu hakikatnya telah
menggerakkan akal dan perbuatan liciknya. Sekaligus telah
merusak nama baiknya pula, banyak diantara hadirin yang
merasa kurang senang dengan segala sepak terjangnya tadi,
kalau hari ini tidak melenyapkan keparat ini, selanjutnya tidak
ada muka baginya bercokol lagi…. ….
Sesaat lamanya termenung, lalu akhirnya Khong Bun-thong
berkata sinis, “Kepandaian saudara sungguh membuat hatiku
takluk. Dengan kepandaianmu tidak sulit angkat nama di
Bulim, tapi kenapa kau sengaja mengacau dalam perayaan
hari ulang tahunku ini….?”
Thio Hun-cu tertawa dingin jengeknya, “Meski pun aku
punya kepandaian silat tapi cuma untuk menyehatkan badan
saja, tiada pikiran untuk angkat nama atau junjung gengsi
segala. Hari ini karena terpaksa baru aku mencari perkara
kepada kau. Sebetulnya aku tak ingin terjadi bahwa hari ulang
tahunmu menjadi hawa kematian sekian banyak tokoh-tokoh
Bulim yang hadir dalam pertemuanmu ini.”
Berubah air muka Khong Bun-thong hardiknya dengan
bengis, “Kau membual apa lagi?”
“Hatimu sendiri kan paham,” jengek Thio Hun-cu.
“Permainan menyuguh arak yang sudah kau campuri Ui-heciu-
ce-sa masakah dapat menundukkan sekian banyak orang
supaya mendengar perintahmu, seumpama racunmu dapat
membikin dua tiga orang mampus, semangat juang dan jiwa
kesatria golongan persilatan tidak akan begitu mudah kau
ancam dan kau kuasai.”
Seketika seluruh hadirin menjadi ribut mendengar kata-kata
Thio Hun-cu ini, mimpi juga mereka tak menduga bahwa
Khong Bun-thong telah mencampuri racun di dalam araknya.
Ciong-lam Ciangbunjin Lu Bu-wi yang sejak semula sudah
sirik terhadapnya, sekarang tak kuasa menahan amarahnya
lagi, segera ia melompat menuding Khong Bun-thong,
teriaknya, “Khong Bun-thong! Bangsat kurcaci macammu ini
berani melakukan perbuatan keji yang memalukan….”
Melihat Thio Hun-cu sudah membongkar rencana kejinya,
lebih kaget Khong Bun-thong dibuatnya, cuma ia berlaku
tenang, terpaksa ia bertindak nekad, jengeknya, “Lu-heng
jangan mengumbar nafsu, racun itu tidak bakal mencabut
nyawamu dalam waktu dekat dekat, nanti tentu dapat kuberi
obat pemunahnya. Tapi bila kau marah-marah dan
mengumbar adatmu, bila kadar racunnya bekerja, itu menjadi
resikomu sendiri.”
Secara tidak langsung ucapannya terus mengakui bahwa
araknya memang dicampur racun, karuan hadirin berjingkrak
gusar, yang beradat kadar malah membalikkan meja dan
memukul hancur semua perabotnya, berbondong-bondong
mereka merubung maju mengurung Khong Bun-thong, ingin
rasanya mereka membuat perhitungan dan adu jiwa.
Tapi Khong Bun-thong tidak terpengaruh akan keadaan,
sikapnya tetap tenang, sementara Khong Bun-ki sambil
menahan sakit berdiri di belakangnya siap dan waspada, di
samping itu banyak pula orang-orang Kangouw yang punya
haluan suka menjilat. Meski dirinya terkena racun tapi masih
rela berdiri di pihak Loh-hun-kok. Mereka jadi sama
berhadapan saling pelotot dan ancam seperti ayam aduan.
Thio Hun-cu yang menjadi gara-gara semua keributan ini
malah terhimpit ke samping tapi dengan sikap acuh tak acuh
dia berkata kepada Lu Bu-wi, “Lu Ciangbunjin! Memang lebih
baik kau jangan mengumbar adat, kalau tidak kau akan terima
akibatmu sendiri….”
Bahna gusarnya Lu Bu-wi jadi tidak pandang bulu lagi,
semprotnya dengan gusar, “Kaupun bukan manusia baik-baik,
kalau kau sudah tahu dalam arak dicampuri racun, kenapa
tidak sejak tadi kau bongkar kelicikannya, kau mandah saja
melihat kita ditipu mentah-mentah!”
Thio Hun-cu cengar-cengir, lalu katanya, “Kurasa tidak
perlu, karena kalian tidak terancam jiwanya.Sebetulnya Khong
Bun-thong tidak punya maksud mencelakai jiwa kalian, cuma
bertidak mengekang dan mengancam supaya kalian suka
dengar perintah dan rela jadi kaki tangannya. Dia sendiri
sudah menyiapkan obat pemunahnya, tapi obat itu cuma
dapat menekan kadar racun supaya tidak kumat dalam tubuh
kalian, setiap setengah tahun harus minum obat pemunahnya
sekali. Jikalau kalian masih ingin hidup, harus tunduk dan
patuh akan semua kehendaknya….”
“Kentut!!!!” maki Lu Bu-wi. “Meski harus mengadu jiwa
sampai mati, masa kami mandah kena digencet dan bertekuk
lutut padanya!”
“Ciangbunjin terlalu mengecil artikan nyawamu sendiri,”
ujar Thio Hun-cu tersenyum sinis. “Kalian adalah kesatria
gagah dan tunas harapan Bulim pada masa kini, masa begitu
gampang harus mengorbankan jiwa, celaka kalau situasi dunia
selanjutnya bakal terjatuh ke dalam kekuasaan keluarga
Khong yang lalim ini….”
“Kau sendiri sebenarnya termasuk aliran yang mana?”
semprot Lu Bu-wi lebih gusar.
“Kenapa bicara plintat-plintut tak punya pendirian, apa kau
ingin kami tunduk dan bertekuk lutut padanya?!”
“Bicara mengenai hati nurani aku berdiri di pihak kalian,
sebab aku mengutamakan hati yang lapang dan jujur
bijaksana, tapi dalam sepak terjang…. aku berdiri di pihaknya,
kaum persilatan malang melintang di Kangouw kecuali ilmu
silat harus pula menggunakan otak dan pikiran, mana boleh
seperti kalian begini tidak becus, begitu mudah dikerjai
orang.”
“Bohong! apakah kau sendiri tidak minum arak tadi?” teriak
Lu Bu-wi pula lebih murka.
“Lain aku lain kalian,” sahut Thio Hun-cu kalem. “Aku sudah
tahu ada racun tapi sengaja aku minum juga arak itu.”
Lu Bu-wi jadi melengak heran, tanyanya, “Kau sengaja
minum arak yang dicampuri racun!?”
“Tidak salah! Aku memang sengaja meminumnya, ingin
kulihat kecuali mati atau bertekuk lutut apakah masih ada
jalan ketiga untuk kupilih.”
Berputar biji mata Khong Bun-thong, selanya dingin,
“Terhadap kau! Cuma satu jalan saja, yaitu kematian! Orang
macammu ini kalau hidup terlalu lama tentu sangat
berbahaya, umpama kau mau tundukpun aku tidak akan
mengampuni kau!”
Mendadak Thio Hun-cu bergelak tawa, ujarnya, “Jangan
kau mimpi! Tiga tahun yang lalu aku pernah menelan Ui-hociu-
ce-sa, kenyataannya aku tidak mati keracunan, kalau hari
ini kau hendak membunuhku, gunakan dengan cara yang
gemilang, selesaikan dengan kepandaian silatmu.”
“Tiga tahun yang lalu….” seru Khong Bun-thong terkejut,
“Lalu kau ini adalah….”
Di tengah gelak tawa Thio Hun-cu yang berkumandang
nyaring, tiba-tiba ia copot topi kepalanya, telapak tangannya
mengusap raut mukanya beberapa kali, mencabut jenggot
palsu di tengah dagunya sekejap saja kini ia sudah berubah
jadi seorang pemuda yang bersikap gagah dengan semangat
menyala-nyala.
Seketika terdengar seruan kaget dari berbagai penjuru,
tanpa berjanji mereka sama berteriak, “Koan San-gwat!”
Masih segar da1am ingatan mereka, pemuda di hadapan ini
bukan lain adalah pemuda yang menunggang unta sakti di
padang pasir dulu dan mengaku sebagai murid tunggal Bingtho-
ling-cu tiga tahun yang lalu itu.
Waktu itu dia terkena racun lalu melarikan diri ditelan tabir
malam di tengah gurun, semua orang anggap jiwanya pasti
sudah melayang, ada sementara orang merasa kasihan dan
sayang akan kematiannya itu.
Sungguh tidak dinyana, kini pemuda muncul pula di
hadapan mereka secara aneh dan mengejutkan.
Koan San-gwat tertawa lantang, jarinya menuding ke arah
pigura yang telah ia ganti huruf-hurufnya, serunya, “Thian-hete-
it-bing-tho-keh! Harap kalian sama ingat, asal suatu hari
mampus, keempat huruf Thian-he-te-it-keh itu, jangan harap
bakal terjatuh di atas kepala orang lain!”
Laksana naga sakti saja Koan San-gwat mendadak muncul
dalam keadaan yang sangat kritis ini, mengeluarkan
pernyataan yang takabur dan gagah lagi, kontan semua
hadirin sama terpengaruh oleh perbawanya, seluruh hadirin
jadi bungkam dan sunyi merayap, tidak seorangpun berani
mengeluarkan suara.
Memang dia setimpal menerima anugerah ini, jangan kata
Tokko Bing pernah menundukkan dunia. kepandaian silat yang
diunjukkan di pertemuan di padang pasir itupun tiada
tandingannya.
Malam itu jikalau Khong Bun-ki tidak menggunakan akal
liciknya sehingga keracunan, siapapun tidak berani
membayangkau betapa akibatnya. Tapi kenyataan bocah ini
memang panjang umur, setelah terkena racun sedemikian
jahatnya, ternyata masih hidup sehat walafiat malah kini
muncul kembali.
Setelah terlongong sekian lamanya, akhirnya Khong Bunthong
tersentak sadar dari lamunannya, tanyanya dengan
suara yang hampir tidak mau percaya, “Koan San-gwat! Cara
bagaimana kau bisa tetap hidup setelah terkena racun Ui-ho
ciu-ce-sa?”
“Seluruh benda yang ada di mayapada ini tiada satupun
mutlak, ada racun pasti ada obat pemunahnya, kalau tokh aku
bisa selamat dan bisa hidup kembali setelah terkena racun
jahatmu itu sudah tentu aku sudah mendapatkan obat
pemunahnya.”
“Memang harus diakui bahwasanya Tokko Bing berbakat
dan berkepandaian, luas pengetahuan lagi, cuma d
aalam ilmu pengobatan sedikitpun ia tidak paham, maka
betapapun aku tidak percaya bahwa kau bisa memunahkan
racunku itu!”
Koan San-gwat manggut-manggut, ujarnya, “Memang tidak
salah ucapanmu, guruku tidak mahir ilmu pengobatan,
sehingga aku kau kelabui mentah-mentah, tapi di saat jiwaku
cuma tergantung pada seutas benang, aku ketemu orang
kosen yang mengasingkan diri, bukan saja beliau telah
menolong jiwaku, beliaupun berhasil menyelidiki cara
memunahkan racun jahatmu itu!”
“Siapa orang itu?!” desak Khong Bun-thong.
Koan San-gwat menuding seseorang di sampingnya,
katanya, “Orang kosen ini sangat terkesan dan kagum kepada
kau yang bisa meramu obat beracun macam Ui-ho-ciu-ce-sa
itu, kali ini ia ikut kemari untuk berkenalan dan cari
pengalaman, tadi aku menggunakan nama beliau. Sekarang
marilah kuperkenalkan, beliau adalah seorang tabib sakti yang
sejak lama menyembunyikan diri di puncak Thian-san, Thio
Hun-cu Cianpwee adanya.”
Pandangan semua orang beralih ke arah yang ditunjuk,
tampak seorang laki-laki pertengahan umur mengenakan
pakaian gembala bermuka kuning seperti penyakitan, di
sebelahnya berdiri pula seorang nona remaja, pakaiannya
seperti gembala di padang rumput, hidungnya mancung
matanya bening. Parasnya yang cantik itu membayangkan
wataknya yang keras dan sikapnya yang gagah, raut wajahnya
hampir mirip dengan laki-laki pertengahan umur itu, sekali
pandang dapat diketahui bahwa mereka ialah ayah beranak.
Sebetulnya Thio Hun-cu berdiri agak jauh, begitu Koan
San-gwat menuding ke arah dirinya, cepat ia maju
menghampiri sambil tersenyum lebar, orang-orang di
sekelilingnya menyingkir ke samping memberi jalan
kepadanya, akhirnya dia berdiri berendeng dengan Koan Sangwat.
Gadis remaja itu berada di belakangnya, ujung mulutnya
menyungging senyum manis, agaknya ia jadi
tertarik akan keadaan yang bergolak ini.
Khong Bun-thong menatap ke arah Thio Hun-cu sampai
orang berada di hadapannya, baru dia batuk- batuk, kulit
mukanya kelihatan rada gemetar jelas bahwa hatinya sudah
mulai tegang, dengan tertawa dibuat-buat ia berkata setenang
mungkin, “Tak nyana di puncak Thian-san masih ada tokoh
yang sembunyi di sana, kami menyambut kurang hormat,
sungguh keterlaluan!”
Thio Hun-cu tertawa ewa, katanya, “Ah, kenapa Kokcu
begitu sungkan, orang liar dari perbatasan seperti kami bisa
mendapat tempat duduk dalam meja perjamuan Kokcu sudah
merupakan suatu kehormatan bagi kami. Maklum dari tempat
yang jauh kami tak bisa menyediakan kado yang berarti, kami
hanya bawa beberapa butir buah Tho yang kutanam sendiri
sebagai kado, tapi karena Kokcu sangat repot, tiada
kesempatan kupersembahkan sekarang. Mohon Kokcu suka
terima dengan senang hati!”
Lalu ia berpaling kepada gadis remaja itu, “Ah-ceng!
Persembahkan buah Tho kepada Kokcu yang berulang tahun.
“
Dengan lemah gemulai gadis itu menurunkan buntalan
yang diikat di punggungnya, setelah dibuka ternyata berisi
lima enam buah Tho sebesar mangkok. Warnanya merah
bersemu kuning, dengan kedua tangannya si gadis
mengangsurkan sebuah di antaranya ke hadapan Khong Bunthong.
Katanya tertawa manis, “Harap tuan rumah suka
terima dan mencicipinya!”
Di hadapan sekian banyak tamunya terpaksa Khong Bunthong
mengulurkan tangannya mengambil buah itu, dengan
terpaksa ia menyengir tawa, sahutnya, “Terima kasih!”
Thio Hun-cu juga tertawa, ujarnya, “Buah Tho ini hasil dari
puncak Thian-san, meski tidak berharga bila dinilai dengan
uang, tapi rasanya manis dan sedap. Kalau Kokcu sudi,
silahkan cicipi bagaimana rasanya.”
Khong Bun-thong mengamat-amati buah Tho itu sekian
lamanya, tidak terlihat adanya sesuatu yang mencurigakan.
tapi ia tahu bahwa buah Tho ini pasti bukan buah Tho seperti
buah-buahan umumnya,
maka sesaat lamanya ia jadi ragu dan tak berani segera
memakannya.
“Apakah Kokcu merasa sumbanganku ini terlalu tidak
berharga?”
Khong Bun-thong jadi serba runyam, sahutnya dengan
kikuk, “Mana, mana! Sebetulnya aku orang she Khong sangat
senng daen terpesona akan buah Tho sebesar ini, entah
bagaimana aku harus membalas pemberian ini. Aku yakin
buah macam ini tentu sulit didapat. Biarlah kusimpan saja
pelan-pelan kunikmati lain kesempatan saja.”
“Terserah pada kehendak Kokcu, cuma sudah lama aku
mendengar ketenaran nama Kokcu, katanya mampu meramu
Ui-ho-ciu-ce-sa pula, maka sengaja kupetikkan buah Tho itu
sebagai permainan. Mohon petunjuk kepada Kokcu, kalau
Kokcu tidak sudi memberi muka, anggap saja sia-sialah segala
jerih payahku.”
Kedengarannya ia mengobrol seenaknya saja, tapi bagi
pendengaran Khong Bun-thong sangat menusuk perasaannya
dan menjatuhkan gengsi, sebetulnya ia memang kuatir bila
buah Tho itu ada rahasia apa-apa, tapi setelah ditantang
dengan sindiran tajam Thio Hun-cu, ia jadi lwbih tak enak
kalau tak makan buah itu, tapi dengan pura-pura sungkan ia
berkata, “Kalau begitu terpaksa aku terima pemberian ini.”
“Orang she Khong,” jengek Koan San-gwat. “Jangan
terlalu cepat kau melulusi permintaannya, buah Tho itu
tumbuh di puncak Thian-san, dinamakan Thinn-toh (buah
langit). Sesuai dengan namanya, bila kau berani makan,
jiwamu segera bakal melayang ke sorga, apakah kau benarbenar
berani memakannya?”
Berubah air muka Khong Bun-thong, teriaknya gusar,
“Meski obat yang bisa menghancurkan isi perut, orang she
Khong juga tidak gentar!” segera ia angkat buah itu ke
mulutnya.
Dengan gugup Khong Bun-ki merintangi, “Toako! buat apa
kau menuruti perasaan hati!”
Tak terasa tangan Khong Bun-thong jadi merandek. Cepat
Thio Hun-cu tertawa ujarnya, “Kokcu kan seorang ahli dalam
menggunakan racun, tentu kau paham bahwa buah itu
sedikitpun tidak beracun, kalau Khong-jie Sianseng tidak
percaya, coba silahkan kau cicipi lebih dulu.”
Khong Bun-thong terloroh-loroh, serunya, “Umpama
mengandung racun aku orang she Khong juga tidak takut!”
Lalu dengan dua jarinya ia pijat sampai buah di tangannya
pecah dan mengalirkan sari buahnya yang bening, cepat ia
menyedot dengan mulutnya, setelah ia kunyah habis daging
buahnya, ia lemparkan kulitnya, lalu bergelak tertawa,
serunya, “Wah, enak sekali, ternyata memang wangi dan
segar buah ini….”
-oo0dw0ooTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Jilid 3
SELAMA itu Khong Bun-ki terus mengawasinya dengan
perasaan tegang dan was-was, melihat engkohnya menyedot
sari buahnya tidak kurang suatu apa, ia jadi berlega hati.
Sementara Khong Bun-thong sudah berkata pula,
“Menerima tidak balas memberi rasanya kurang hormat, Jiete!
Silahkan ambil dulu cangkir Loh-hun-lok buatanku itu untuk
menyambut kedatangan Thio-heng dan nona Thio ini.”
Khong Bun-ki mengiyakan, bergegas dia lari ke belakang.
Tak lama kemudian berlari keluar sambil menenteng sebuah
botol dengan dua buah cangkir terus diletakkan di atas papan
warna merah, Khong Bun-thong menuangkan sampai penuh
ke dalam cangkir itu, lalu katanya sambil memegangi kedua
cangkir arak, “Sebenarnya Loh-hun-lok tidak ternama karena
racunnya, tapi Loh-hun-lok ini hasil ramuanku, sahabat Thio
ini merupakan seorang kosen dalam kalangan kedokteran,
tentu kau paham berbagai ramuan yang ada dalam arak ini.”
“Ha ha ha, istilah menerima harus balas memberi memang
tepat, kenapa Khong Kokcu begini sungkan, ramuan apayang
terdapat dalam arak ini tidak perlu kuselidiki lagi, hakikatnya
setetes dapat menghancurkan usus, satu cangkir bisa
menghilangkan sukma, seumpama harus menyeralikan jiwa
pun aku suka menerima penghargaan Kokcu.”
Habis berkata ia sambuti secangkir diantaranya terus
ditenggak sampai habis. Khong Bun-thong lalu angsurkan
cangkir yang lain kepada si gadis, katanya, “Apakah nona Thio
suka memberi muka padaku?”
Si gadis melengak dan ragu-ragu, sesaat ia bimbang dan
tak berani menyambuti cangkir arak itu, Thio Hun-cu ikut
keripuhan, selanya, “Apakah tidak cukup aku saja yang
mengiringi kehendak Kokcu?”
“Di bawah pimpinan seorang jendral ternama tentu tiada
tentara yang lemah, nona Thio ini kan anak gadismu,
secangkir arak beracun ini pasti tidak ambil dalam hati
bukan?”
Thio Hun-cu menggeleng kepada si gadis katanya rawan,
“Ah-ceng! Kau minum saja. Mungkin memang ayahmu terlalu
banyak urusan, sudah sekian tahun aku menyembunyikan diri,
ternyata hanya karena ingin menang sendiri, akhirnya
mendapat kesukaran begini.”
Si gadis menerima cangkir arak itu, tangannya gemetar
keras. Tak tertahan Koan San-gwat berkata, “Thio-lopek!
Bagaimana perasaanmu setelah kau minum arak itu?”
“Loh-hun-lok ternyata memang lihai. Setiap hari aku
berkecimpung dalam ratusan jenis racun, lidahku inipun sudah
saling mencicipi ribuan rasa, tetapi ramuan obat dalam arak
beracun ini masih belum dapat kuselami kadar racun sudah
mulai bekerja, aku sedang mengadakan percobaan dengan
hawa murniku paling tidak harus makan waktu satu jam leibh,
aku kuatir pada saat mana meski aku berhasil menyelami sifat
racun ini, temponya sudah tidak keburu lagi….”
Khong Bun-thong bergelak tawa kesenangan, ujarnya,
“Tidak malu sandara Thio sebagai ahli pengobatan, buatanku
ini memang kucampur beberapa jenis racuo yang paling jahat
dan sulit didapat dalam dunia ini. Pengalaman dan
pengetahuan Thio-heng agaknya cukup luas, mungkin dalam
setengah jam cukup mengetahui secara pasti, tapi aku berani
tanggung setelah lewat setengah jam, tenaga untuk bicara
lagipun Thio-heng tidak akan mampu lagi….”
Mendadak tergerak hati Koan San-gwat serunya, “Waktu
setengah jam jauh berkelebihan bagi kami menyelesaikan
urusan dinas.”
“Apa maksud ucapanmu?” tanya Khong Bun-thong.
Koan San-gwat tidak hiraukan pertanyaan orang, sekali raih
ia rebut cangkir di tangan si gadis terus ditenggak kering,
langsung ia banting bancur cangkir itu ke lantai, lalu katanya
sambil membusungkan dada kepada Khong Bun-thong, “Arak
bagian nona sudah kuwakili, apakah urusan sudah beres?”
“Isi arak dalam botol memang cuma dua cangkir, cangkir
kedua ini memang sebenarnya kusediakan untuk kau, tapi
pura-pura kupersembahkan kepada nona Thio, kalau tidak
masa kau sudi minum arak ini sedemikian gampang. Bocah
keparat! Gunakanlah waktu setengah jam ini untuk
menyambung nyawamu….”
Dengan tenang tanpa berubah sedikitpun air mukanya
Koan San-gwat bertanya, “Bagaimana kau bisa tahu bila aku
akan mewakili nona Thio minum arakmu itu?”
“Di saat aku tahu bahwa kau masih hidup dalam dunia ini,
diam-diam aku lantas memikirkan daya upaya untuk
menghadapi kau, pikir punya pikir cuma Loh-hun lok ini yang
cocok. Kebetulan saudara Thio itu ingin mencoba aku, secara
demonstrasi ia paksa aku memakan Kiu coan-tho itu, racun
yang terkandung di dalam buah itu dapat membikin kaki
tangan orang membeku, tapi toh belum tentu dapat
menundukkan aku, maka seagaja aku pura-pura sungkan dan
akhirnya menghabiskan buah itu. Tapi kugunakan pula alasan
ini untuk mendesak mereka minum Loh-hun-lok buatanku ini,
sejak tadi sudah aku perhitungkan bahwa kau pasti akan
unjuk gigi mewakili Ilona ini, karena mereka datang demi
kepentinganmu, kalau kau tidak berbuat demikian apakah ada
harganya kau mengagulkan diri sebagai akhli waris Bing-tholing-
cu….”
“Bagus. Perhitungan sangat tepat! Tapi kau melupakan
satu hal, tadi sudah aku katakan, kau pernah memukul aku
satu kali, kuberitahukan bahwa secara terang-terangan akan
kubalas pukulanmu itu meskipun kini waktunya tinggal
setengah jam lagi, namun sebelum ajal aku masih punya
banyak waktu untuk menyelesaikan urusan ini.”
“Bedebah!” maki Khong Bun-thong terloroh. “Sungguh
muluk jalan pikiranmu, seumpama Tokko Bing belum mati,
diapun tidak akan mampu dalam jangka setengah jam
mengalahkan aku, apalegi kau paling lama cuma kuat
bertahan setengah jam, sebentar saja kadar racun dalam
tubuhmu akan kumat, terpaksa kau harus rebah di tanah
menanti aja1 saja. Tatkala itu mungkin kau bakal mengerang
dan bertobat minta kematianmu supaya dipercepat agar tidak
menderita lebih lanjut.”
Sikap Koan San-gwat sangat tenang, perlahan-lahan ia
angkat tangan serta katanya, “Urusan tidak akan terjadi begitu
gampang seperti jalan pikiranmu, kau bersabarlah! Aku
hendak turun tangan!”
Dengan sikap acuh tak acuh Khong Bun-thong berdiri di
tempatnya seperti tidak terjadi sesuatu apa-apa, di kala
telapak tangan Koan San-gwat sudah terdorong di depan dan
hampir mengenai kulitnya baru dia angkat telapak tangannya
memotong pergelangan tangan lawan.
Tapi sedikitpun Koan San-gwat tak gentar dan menjadi
gugup karenanya, dorongan telapak tangannya diteruskan,
dan kontan telapak tangan Khong Bun-thong dengan telak
mengenai tangannya. tetapi ia merasa seperti membentur
tongkat besi, sehingga telapak tangan sendiri terpental ke
samping, maka dadanya kena pukulan telapak tangan musuh
dengan telak sekali.
Pukulan yang mengandung tenaga penuh ini seketika
mengeluarkan suara keras seperti tambur pecah, seiring
dengan itu terlihat badan Khong Bun-thong seperti sepotong
batu dilemparkan terbang melesat ke belakang sampai
beberapa tombak dan jatuh di atas singgasana upacara,
karuan meja sembahyang di sana ditumbuk hancur dan
ambruk.
Dengan terkesiap banyak orang memburu ke sana untuk
membangunkan Khong Bun-thong, tampak dadanya melekuk
dalam bertapak tangan berwarna merah semu biru, dalamnya
sampai satu setengah centi, jantung dan paru-parunya hancur
lebur.
Pelan-pelan Koan San-gwat menurunkan telapak tangannya
yang berlepotan darah, katanya kepada Khong Bun-thong
yang bernapas empas-empis, “Kau tidak menyangka begini
akhirnya bukan?”
Darah tersembur deras dari mulut Khong Bun-thong. kedua
biji matanya mendelik keluar seperti jengko1, tapi tenaga
untuk bicara sudah tidak mampu lagi, napasnya memburu
tersengal-sengal.
Dari samping Thio Hun-cu ikut memberi komentar, “Khong
Bun-thong. Sungguh hebat kau, ternyata kau kenal asal-usul
Kiu coan-tho itu, tapi kau tak akan menduga bahwa di dalam
sari buahnya sebelumnya sudah kumasuki getah An-si-lan,
getah An-si-lan merupakan obat untuk menguatkan badan
sedikitpun tidak mengandung racun, rasanya mirip dengan sari
buah Tho, maka kau tidak akan dapat membedakannya, tapi
An-si-lan itu sendiri dapat menyebabkan ilmu silatmu
sementara punah, sehingga kau tidak akan mampu menangkis
serangan Koan-hiantit. Dalam permainan Loh-hun-lok,
memang kau lebih unggul, tapi dalam perang kecerdikan kau
asor, di tengab jalan menuju ke akhirat, masih ada
kesempatan kita nanti melanjutkan pertandingan ini!”
Khong Bun-thong menggembor keras, darah menyembur
makin keras dari mulutnya, setelah berkelejetan beberapa kali,
kakinya jadi tersendal-sendal, napas terus berhenti.
Melayanglah jiwanya.
Mata Khong Bun-ki memancarkan bunga api, pelan-pelan ia
letakkan jenazah engkohnya. hendak adu jiwa dengan Koan
San-gwat, tapi segera Koan San-gwat mengacungkan
kepalannya serta mengancam, “Berani kau bergerak, akan
kubuat kau seperti kakakmu. Kadar racun Loh-hun-lok
sebentar lagi baru akan kumat, dalam tempo yang pendek aku
mampu mengambil jiwamu seperti membalikkan telapak
tangan mudahnya!”
Terbayang pada gebrak pertama tadi, sejurus saja lengan
kanannya sudah terluka, hatinya jadi jeri dan tidak berani
banyak bergerak lagi.
Cepat Thio Hun-cu berkata kepada Koan San-gwat, “Koanhiantit,
lekas kau selesaikan urusanmu, temponya sudah tidak
keburu lagi.”
Koan San-gwat manggut-manggut, cepat ia membalik
menghadapi Lu Bu-wi lalu katanya, “Lu-cianpwee! Sebetulnya
ada sedikit omongan hendak kusampaikan kepada para
sahabat yang hadir disini, tapi mungkin sekarang tidak keburu
lagi, untunglah sebelumnya sudah kusiapkan apa yang hendak
kuucapkan sudah kutulis dalam sampul surat ini, di samping
itu ada pula kucantumkan cara memunahkan kadar racun Uiho
ciu-ce-sa. Terima kasih akan bantuan yang kusampaikan di
dalam buntalan ini!”
Setelah Lu Bu-wi menerima sampul surat itu, cepat Koan
San-gwat bersama Thio Hun-cu dan putrinya menerobos lewat
dari kerumunan orang banyak terus tinggal pergi dengan
langkah lebar.
Loh-hun-kok (Lembah jatuh sukma) menjadi sesuai dangan
nama dan keadaannya, hari ulang tahun Khong Bun-thong
yang keenam puluh jadi pula hari kematiannya, hari lahir sama
dengan hari kematian, kejadian ini mimpipun ia tidak akan
menduga sebelumnya.
Dalam pada itu Lu Bu-wi sudah membuka sampul surat
yang ditinggalkan Koan San-gwat, di hadapan sekian banyak
orang ia membaca dengan lantang, “Disampaikan oleh Bingtho-
ling-cu II Koan San-gwat kepada seluruh tokoh Bulim di
kolong langit. Tempo guruku almarhum meluruk ke tempat
kalian, merebut Ling-hu atau tanda kebesaran setelah
mengasingkan diri di tengah gurun pasir, beliau amat
menyesal akan sepak terjangnya itu, maka seterusnya
memperdalam ilmu membina diri dalam jalan ke Tuhan-an
sesuai dengan ajaran agama. Beliau melihat semangat kalian
terbangkit untuk memperdalam ilmu dan mempertinggi mutu
pelajaran silat masing-masing, menutup diri giat belajar,
sebetulnyalah memang demikian tujuan guruku semula, untuk
kesalahan itu harap para sahabat suka memaafkan beliau di
alam baka.”
“Pertemuan tiga tahun yang lalu, sesuai pesan peninggalan
guru almarhum. San-gwat ditugaskan menguji sampai di mana
tingkat kepandaian para sahabat setelah memperdalam ilmu
selama tahun lamanya, menang atau kalah sama saja akan
kami kembalikan barang-barang kalian.”
“Namun apa daya urusan berkembang tidak sesuai dengan
rencana semula, San-gwat hampir melayang jiwanya karena
ditipu dan dijebak oleh perbuatan rendah, sehingga tidak
sempat menyampaikan pesan guruku almarhum kepada kalian
sungguh harus disesalkan.”
“Semula San-gwat sudah pasrah nasib dan yakin pasti
mampus, untunglah di tengah jalan bertemu dengan Thio
Hun-cu Cianpwee yang pandai pengobatan, akhirnya jiwaku
dapat diselamatkan beliau, sebetulnya sudah lama kami
hendak datang untuk menjelaskan maksud semula. Tapi
akhirnya kuketahui bahwa keluarga Khong di Loh-hun-kok
adalah tokoh yang pandai mempergunakan racun, punya citacita
merajai jagat, terpaksa kami bertindak secara diam-diam
sambil menunggu perubahan yang bakal terjadi.”
“Ui- ho-ciu-ce-sa adalah racun yang paling jahat di dunia
ini, demi keselamatan jiwa sekian banyak tokoh-tokoh Bulim,
maka kami mohon Thio Cianpwe menyertakan resep obat
pemunahnya, supaya obat racun itu tidak meninggalkan
bencana lebih besar. San-gwat tahu selain ahli racun keluarga
Khong pun lihay dalam berbagai kepandaian silat tinggi, maka
dengan tulisan ini kami ingin memperlihatkan semua siap
waspada dan berjaga-jaga. Perlu juga diketahui bahwasanya
Khong Bun-thong mempunyai seorang putri yang kini sedang
belajar ilmu di bawah bimbingan seorang aneh yang lihay
sekali, kepandaian silat orang aneh ini mungkin jauh lebih
tinggi dari kemampuan guruku almarhum, tapi karena
terhalang oleh sumpahnya sendiri ia tak akan mengunjukkan
diri dalam percaturan dunia persilatan. Hal ini kami tahu jelas.
Tapi gadis itu kalau pelajaran ilmunya sudah tamat kelak,
pasti akan mengobarkan kelaliman Loh-hun-kok, dunia
persilatan kelak bakal tak aman dan tidak tentram lagi, melalui
sepucuk surat ini kami harap para saudara sekalian unjuk
beritahu supaya siap waspada dan hati-hati….”
Setelah Lu Bu-wi selesai membaca surat itu, keadaan
seluruh barak itu sunyi senyap.
Dalam pada itu Khong Bun-ki sudah mengusung jenazah
Khong Bun-thong ke belakang, demikian juga kaki tangan dan
kambrat-kambratnya juga ikut ke sana. Maka persoalan yang
ditulis dalam surat Koan San-gwat ini jadi sulit untuk
membuktikannya, tapi semua hadirin percaya bahwa surat itu
tentu tidak akan salah.
Maka beramai-ramai mereka bubar meninggalkan Loh-hunkok
(lembah jatuh sukma) sanubari masing-masing dibekali
rasa was-was dan ketakutan yang akan selalu menghantui
benaknya sepanjang masa ….
Di tengah kegelapan itu tampak tiga bayangan orang
sedang melangkah cepat tergesa-gesa, sebetulnya cuma boleh
dihitung dua bayangan saja, karena saat mana Koan San-gwat
telah jatuh pingsan dan tengkurap di atas punggung Thio
Hun-cu. Sambil berjalan Thio Ceng Ceng menggerutu., “Ayah!
Kau memang suka cari gara-gara, sekarang Koan-toako yang
menerima aklbatnya. Kalau dia sampai meninggal, kau suruh
aku bagaimana bersikap terhadapnya….”
“Mana aku tahu dia bakal bertindak begitu nekad! Salahnya
sendiri terburu nafsu, kalau aku tidak bekerja secara
sempurna, masa begitu bodoh mau menghabisi arak beracun
itu, siapa tahu dia ….”
Kata Thio Ceng Ceng dengan suara hampir menangis,
“Maksud Koan-toako kan baik dia takut aku kena celaka. Ayah,
apakah racun dalam arak ini tiada obat pemunahnya….?”
Thio Hun-cu menggeleng kepala, sahutnya, “Aku sendiri
belum jelas. Nanti setelah sampai di rumah, harus kuselidiki
dulu baru bisa kuobati.”
Thio Ceng Ceng membanting kaki, omelnya, “Apakah dia
kuat bertahan sampai sekian lamanya?”
“Aduh bingung,” keluh Thio Hun-Cu tertawa getir. ”Agaknya
kau semakin tidak percaya akan kemampuanku, bagaimana
khasiat obat Pin-sip-coan-bing-san ku itu kan kau tahu, jangan
kata baru sekeras pohon, seumpama hampir mati asal dia
masih empas-empis, kutanggung dia masih akan kuat
bertahan selama empat puluh hari!”
Tidak tertahan lagi air mata Thio Ceng Ceng mengucur
deras, katanya sesenggukan, “Lalu selanjutnya? Bila kau tidak
berhasil menyembuhkannya, sama saja dia bakal mati.”
“Kalau demikian kejadiannya apa boleh buat, toh jiwanya
semula kita yang menolong, jikalau dia tidak ketemu kita, tiga
tahun yang lalu dia sudah mati tanpa kubur di gurun pasir!”
“Persoalan tidak bisa disama-ratakan!” sela Thio Ceng Ceng
uring-uringan. “Mati hidupnya waktu itu tiada sangkut paut
dengan kita, tapi sekarang dia mati karena kita…. Kaulah yang
harus disalahkan, kalau tidak main umpak-umpakan mau adu
kepandaian segala, mana bisa terjadi peristiwa ini, kalau
sebelumnya kaupun berikan segala persiapanmu kepadanya
bukankah tidak terjadi seperti ini.”
“Bicaramu sendiri melantur dan tak pakai aturan, ketahuilah
aku seorag tabib yang suka memperdalam ilmu pengobatan.
Begitu mendengar ada seorang semacam Khong Bun-thong itu
kalau tidak coba-coba jajal rasanya gatal dan sayang sekali,
apalagi sebelumnya sudah kuperhitungkan bahwa dia pasti
akan bertanding cara menggunakan racun, maka sebelumnya
sudah kutelan beberapa macam obat-obatan sehingga perutku
kebal terhadap racun, siapa tahu bocah goblok ini bisa maju
menalangi juga.”
“Aku tak peduli,” omel Thio Ceng Ceng sambil
sesenggukkan. “Meski aku harus mengorbankan jiwa sendiri,
betapapun harus menolong jiwa Koan-toako ….”
Thio Hun-cu jadi melengak, kakinya pun berhenti
melangkah, pelan ia turunkan Koan San-gwat lalu
direbahkannya katanya, “Ceng-ji. Kau tidak punya pikiran
hendak mencari dan minta tolong kepada orang itu bukan
….?”
Terpaksa Thio Ceng Ceng ikut berhenti, katanya, “Kalau
kau sendiri sudah tidak mampu menolongnya, terpaksa aku
harus mencari dia. ….”
Berubah air muka Thio Hun-cu, katanyanya tegas, “Ceng-ji!
Kau dengar, aku akan berdaya upaya sekuat tenagaku untuk
menolong jiwanya, tapi kalau kau sendiri tak punya keyakinan
terhadap pengobatanku, ingin mencari orang ini, lebih baik
aku rela kau membenciku seumur hidup, bocah ini akan
kubikin mampus saja!”
“Ayah! kenapa kau begitu benci dan dendam terhadap
orang itu? Bukankah kau sendiri mengaku bahwa di kolong
langit ini, hanya dia seorang paling lihay tiada tandingannya
ilmu pengobatannya?”
“Benar! Aku boleh mengakui bahwa ilmu pengobatanku
masih kalah dibanding dengan dia, tapi aku bersumpah
seumur hidup ini aku tak mau takluk padanya. Ceng-ji, kita
harus bicara lebih dulu. Sekali-kali jangan kau punya pikiran
seperti maksudmu ini!”
Thio Ceng Ceng merandek, katanya sambil berlinang air
mata, “Baiklah ayah. Kudengar nasehatmu, tapi kau harus
tolong jiwa Koan-toako.”
Thio Hun-cu manggut-manggut, pelan-pelan ia meraba
dahi Koan San-gwat, mendadak ia berseru, “Celaka! Suhu
badannya semakin panas, dalam arak itu memang dicampur
nyali kelabang merah dan jambul merah burung bangau dua
macam obat-obatan yang berlawanan.”
Thio Ceng Ceng semakin gugup, serunya, “Ayah tak usah
banyak omong lagi, lekaslah sediakan obat pemunahnya!”
“Obat pemunahnya sih aku tahu, cuma sulit
mendapatkannya, karena dia memerlukan darah panas ular
hijau!”
“Malam hari kebetulan adalah saatnya binatang ular keluar
sarang, lekaslah kau pergi mencarinya!”
Thio Hun-cu berpikir sebentar, latu dari dalam kantongnya
mengeluarkan botol kecil lalu menuang dua butir terus
menjejalkan ke mulut Koan San-gwat, pesannya kepada Thio
Ceng Ceng, “Sudah kucekoki Ping-sip-coan-bing-san untuk
mengekang menjalarnya kadar racun, sementara racun tidak
akan bekerja, kau tunggu dia disini, aku pergi mencari ular
hijau, segera aku akan kembali!”
Thio Ceng Ceng manggut-manggut, bergegas Thio Hun-cu
berlari pergi.
Dalam hutan belantara sedemikian luasnya memang
banyak terdapat ular, tapi macam dan jenis ular terlalu
banyak, di dalam waktu yang begitu kritis untuk menangkap
ular hijau hidup-hidup bukanlah pekerjaan yang mudah!
Mengandal sinar bintang-bintang di langit ia berjalan
munduk-munduk, membongkar baru membetot akar pohon,
bekerja berat setengah malaman dengan susah payah
akhirnya berhasil ditangkapnya seekor, tersipu -sipu ia jalan
kembali ke tempat semula, tapi bayangan Thio Ceng Ceng
berdua sudah tiada lagi.
Di samping dimana tadi Koan San- gwat berbaring
dilihatnya ada secarik kain sutera. Itulah kain sobekan dari
baju dalam Thio Ceng Ceng, di atas sobekan kain sutera ini
ada beberapa baris tulisan yang masih basah, itulah hurufhuruf
yang ditulis dengan tinta darah!
“Ayah! setelah kau pergi, karena keadaannya semakin
memburuk, terpaksa aku mengeluarkan banyak darah untuk
mengurangi kadar racun dalam tubuhnya, tapi keadaannya
yang payah tak dapat lagi aku menunggu kau, jiwa Koantoako
jauh lebih penting dari aku, bukan karena dia menalangi
aku minum arak beracun ini! Di dalam hidup berdampingan
selama tiga tahun berselang sudah menyerahkan perasaan
dan hati nuraniku kepadanya.”
“Bukan aku tidak punya keyakinan terhadap ilmu
pengobatanmu, tapi aku tahu betapapan kau tak akan mampu
mengobatinya! Demi jiwanya terpaksa aku harus mencari
seseorang yang dapat menolong jiwanya, meski orang itu
sejak semula sudah kau larang dan kau tentang keinginanku
untuk mencarinya, tapi dalam keadaan yang terpaksa ini aku
tidak punya pilihan lain.”
“Aku gunakan darah Koan-toako untuk meninggalkan
suratku ini, darahnya mengalir begini banyak, hatiku sungguh
sangat menderita seperti diiris-iris maka kumohon kepada kau
dalam sisa-sisa kesadaran angkara murkamu, cobalah kau
berpikir lebih lanjut secara tenang dengan kepala dingin,
jikalau bukan karena sikapmu yang mau menang sendiri,
darah Koan-toako rasanya tidak perlu dikorbankan!”
“Aku tahu orang itu berada di Kun-lun-san, jarak Kun Lun
ribuan Li jauhnya semoga Tuhan melindungi hambanya,
sampai aku dapat menemukan orang itu, semoga pula Koantoako
kuat bertahan sampai waktu itu!”
“Kalau kau masih sudi mengingat hubungan ayah beranak,
kuharap kau jangan mengejer jejakku. Kalau tidak kau hanya
menemukan putrimu yang sudah ajal. Jiwa Koan-toako telah
bersatu padu dengan jiwa ragaku!”
“Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada kau,
cuma mengharapkan pengampunanmu, bila Koan-toako tidak
mati, setelah aku memberitahukan perasaan hatiku, segera
aku akan kembali ke haribaanmu, untuk selanjutnya aku ingin
menjadi seorang putri yang berbakti terhadap orang tuanya,
atau sebaliknyalah aku mendahului kau menunggu di alam
baka. Sebab sampai detik ini aku belum ada kesempatan
untuk menyuarakan isi hatiku, ingin kusampaikan bahwa aku
cinta kepadanya….”
Dengan kesima Thio Hun-cu membaca habis surat itu,
sekonyong-konyong ia buang jauh-jauh ular di tangannya
dengan menghela napas ia menjublek sekian lamanya tanpa
suara.
oooo)0(oooo
PUNGGUNG Thio Ceng Ceng memanggul badan Koan Sangwat
yang jauh lebih tinggi dan besar, perbandingan badan
mereka menjadikan tubuhnya kecil mungil, tetapi badan yang
kecil mungil itu tersembunyi sesuatu kekuatan dan keteguhan
hati yang luar biasa dan mengejutkan.
Kekuatan dan keyakinan inilah yang menyanggah badannya
sehingga sampai di puncak Kun lun-san dengan memanggul
Koan San-gwat. Puncak Kun lun san yang dilapisi salju dan
sunyi serta berhawa dingin tidak menjadikan semangatnya
luluh, meski cuma setitik harapan namun harapan itulah yang
membuat ia kuasa bertahan sekian lama dan jauh, akhirnya ia
berhasil menanjak ke puncak yang tertinggi seolah-olah
menembus langit, setibanya di-Ciat-tian-hong, baru dia mulai
patah semangat.
Sebab dia tahu Peng-sip-coan-bing-san buatan ayahnya itu
paling lama cuma kuar bertahan selama lima puluh hari,
sepanjang jalansudah menggunakan waktu empat puluh hari,
keadaan badan Koan San-gwat sudah semakin buruk,
meskipun begitu, di atas pegunungan yang diliputi salju yang
berhawa dingin tapi suhu badannya masih memuncak tinggi
seperti dibakar, badannya yang kekar dan kuat itu kini tinggal
kulit pembungkus tulang dan lemas tidak bertenaga
sedikitpun, jangankan berdiri, berpeganganpun sudah tidak
kuasa lagi, untung Thio Ceng Ceng mengikat erat di belakang
punggungnya sehingga tidak terjatuh!
Akan tetapi orang yang ingin dicarinya itu tak karuan arah
dan tidak diketahui di mana jejaknya.
Di puncak gunung yang berhawa dingin itu, dirangsang
perut lapar dan letih lagi, yang paling sukar dan ia tanggulangi
adalah rasa ke putus-asaan sanubarinya. Waktu ia meraba
dahi Koan San-gwat yang digendong di belakangnya terasa
masih panas dan tinggi suhu badannya tanpa terasa ia jadi
menangis dengan rawan, keluhnya, “Koan-toako! Meski kau
kena racun karena aku, tapi kugendong kau sampai di tempat
ini, berarti aku sudah berdaya upaya sekuat tenagaku,
seandainya aka tidak berhasil menemukan orang itu, biarlah
kutemani kau terkubur di puncak gunung yang sepi dan dingin
ini. Hanya sayang kepandaian silatmu yang begitu tinggi dan
lihay harus ikut lenyap ditelan masa, sungguh aku merasa
penasaran bagi kau ….”
Terdengar suara “Tak” tiba-tiba di bawah kakinya, itulah air
matanya yang menetes membeku jadi butiran es, terjatuh
mengeluarkan suara membentur tanah bersalju yang keras.
“Koan-toako,” ujar Thio Ceng Ceng seorang diri dengan
perasaan pilu, “Agaknya kau tidak punya harapan lagi,
mumpung masih ada waktu beberapa hari lagi, akan
kugunakan beberapa waktu mendatang ini, kutangisi kau
sepuas hatiku, biarlah kukubur jenazahmudengan air mataku
yang membeku. Tapi beberapa kejap kemudian baru dia
menyadari bahwa air matanya sudah kering, butiran air
matanya yang membeku berwarna merah, tanda bahwa air
mata yang dia kucurkan adalah air darah.
Akhirnya ia mengeluh sendiri, “Oh, ternyata air mataku
sudah kering diganti darah mengucur keluar, untuk mengubur
jenazah Koan-toako yang sedemikian besar. Aku memelihara
badan dengan mengisi perut supaya badan kuat dan air
matapun bisa kuperas keluar. Tapi di atas pegunungan yang
gundul pelontos ini kemana harus kucari makanan, kecuali
binatang…. aih binatang….”
Teringat akan binatang mendadak hidungnya mengendus
semacam bau amis yang biasanya tersebar dari badan
binatang buas, karuan ia berjingkrak girang, cepat ia
menunduk mencium dahi Koan San-gwat terus menanggalkan
baju luarnya merebahkan badan Koan San-gwat di atas baju
luarnya yang dibeber di tanah bersalju.
Waktu dia berdiri dan memutar badan, ia merasa bau amis
binatang itu keluar dari sebelah belakang, seketika ia berdiri
kesima tak bergerak.
Seekor binatang sebesar kerbau sedang bercokol di atas
batu di belakangnya sana, kepalanya bundar, kupingnya kecil,
matanya besar bentuknya persis seperti kucing. Sekilas saja
otaknya sudah dapat menyimpulkan, “Itulah seekor macan
kumbang, macan salju berbulu putih, binatang buas macam ini
cuma terdapat di atas pegunungan yang tinggi. “
Mau tak mau ia jadi was-was dan mulai takut, macan sallu
merupakan salah satu binatang buas yang paling ganas,
tenaganya besar cakarnya tajam dan runcing, demikian juga
gigi dan taringnya teramat berbahaya, macan salju merupakan
binatang, yang merajai pegunungan bersalju.
Tapi rasa cintanya yang murni dan agung dan tekadnya
yang teguh menambah nyalinya menjadi besar, hilanglah rasa
takutnya. “Demi Koan-toako, aku harus bunuh dia, makan
daging dan minum darahnya, supaya aku punya air mata
untuk mengubur Koan-toako! Mengubur nyawaku, cintaku….”
Dia tidak membekal senjata tajam, cuma selendang sutera
sutera buat menggendong Koan San-gwat, itulah satu-satunya
barang yang dia bawa. Untung waktu hidup di gurun pasir ia
sudah belajar menggunakan tali laso dari para gembala,
seutas tali dapat meringkus seekor kuda binal.
Cepat-cepat ia bikin bundelan selendangnya, lalu meraup
segenggam salju dan diremas -remas jadi bola bundar.
Soalnya selendang suteranya masih terasa nada pendek maka
terlebih dulu ia harus goda binatang buas itu menjadi gusar
supaya menubruk maju, kalau tidak ia tak kuasa
mengembangkan kepandaian permainan tali lassonya dengan
selendang suteranya itu.
Macan salju itu diam saja mendekam di atas salju, kedua
kaki depannya mencakar-cakar salju di depannya, perut dan
ekornya menempel tanah, inilah gaya hendak menerkam
mangsanya.
Sewaktu masih berada di gurun pasir dia pernah berburu
serigala dan harimau, terhadap kebiasaan dan sifat bermacam
binatang dia sudah rada paham, maka sebelum lawan
bergerak bola salju di tangannya sudah terbang melesat
mengarah batok kepala macan salju.
Dengan membawa larinya sinar putih bola salju itu melesat
laksana anak panah, tapi reaksi macan salju itu sungguhsungguh
di luar dugaan!
Bukan saja tidak menghindar diapun tidak menerkam maju,
sebelah kaki depannya diangkat menyampok jatuh bola salju
itu menjadi berkeping-keping, mendadak ia mengaum keras
sekali, berbareng di atas keempat kakinya, badannya meliuk
meninggi bagian perutnya.
Thio Ceng Ceng jadi gentar, tapi juga aseran, bentaknya,
“Binatang masih berani bertingkah!” segera ia membungkuk
tubuh meraup segenggam salju pula, begitu tangan terangkat
ia sambitkan lagi salju itu dengan cara melempar senjata
rahasia. Bola salju itu terbang melengkung terus menukik ke
bawah menyerang ke hidung macan salju.
Tak nyana macan itu angkat kepala sambil pentang mulut
menggigit bola salju, tapi kali ini ia terjebak oleh tipu Thio
Ceng Ceng.
Ternyata cara sambitan senjata rahasianya mempunyai
variasi yang luar biasa, jelas sekali bola salju itu sudah hampir
kena tergigit, tetapi mendadak secara reflek menikung ke
samping dan melesat lewat tepat sekali mengenai mata
kirinya. Bentuk bola salju itu cukup besar jadi tidak bisa
membikin buta matanya, tapi tenaga sambitannya cukup
keras, sudah tentu rasanya sakit bukan main. karuan si macan
salju menggerung marah, bagai anak panah lepas dari
busurnya, tubuh yang melengkung itu tiba- tiba melesat
lempeng menerkam dengan ganasnya.
Memang begitulah tujuan Thio Ceng Ceng, cepat
pergelangan tangannya di ujung menggentak, selendang
suteranya kontan terbang menyabet ke depan, bundelan di
ujung selendang itu tepat sekali berhasil mengalung ke leher
si macan salju, gayanya indah tenaganya besar daya
luncurannya cepat sekali.
Itulah salah satu kepandaian suku bangsa di padang pasir
waktu menangkap kuda liar, begitu tali lasso berhasil menjirat
leher, betapapun kau berontak, asal kau menarik kencang dan
tidak sampai terlepas jiratan tali itu semakin ditarik semakin
kencang, sampai sang kuda kelelahan dan takluk.
Sejak Thio Ceng Ceng dibesarkan di ladang gembala,
ditambah dasar kepandaian silatnya cukup tinggi, maka
serangan selanjutnya itu seratus persen pasti tidak akan
gagal, tetapi menghadapi macan salju ini ternyata
kepandaiannya itu tidak berguna sama sekali.
Harimau dengan badan yang besar dan gesit gerakgeriknya
itu mendadak jumpalitan di tengah udara, dengan
cukup lincah berhasil meluputkan diri dari libatan selendang
sutera itu, dan langsung menubruk ke arah Koan San-gwat.
Karuan Thio Ceng Ceng kaget dan gusar, apalagi ia paling
menguatirkan keselamatan Koan San-gwat, ia rela dirinya
yang mati dari pada harimau salju itu melukai seujung rambut
Koan San-gwat, maka sambil menghardik keras, selendangnya
terayun dan melecut menggeletar, ia gunakan selendangnya
sebagai pecut.
Biasanya orang bila gusar tenaganya berlipat ganda,
demikianlah pecutannya yang keras itu tepat mengenai pantat
macan salju itu, malah ujung selendangnyapun berhasil
membelit salah sebuah kaki belakangnya, lalu dengan
mengerahkan seluruh kekuatannya ia gentakkan ke atas.
Secara mentah-mentah macan salju yang menubruk ke
depan itu kena tarik balik serta terpental bergelinding di atas
tanah, tapi begitu bangkit dia menubruk pula ke arah Koan
San-gwat.
Agaknya macan itu cukup cerdik, ia tahu Koan San-gwat
yang tidak sadar itu jauh lebih sukar dilayani, maka ia selalu
merangsak ke sasaran yang lemah ini. Sudah tentu tindakan
ini membuat Thio Ceng Ceng menjadi keripuhan dan gelisah,
mati-matian ia memburu maju terus angkat kaki menendang
ke pinggang si harimau.
Saat mana kaki depan macan salju itu sudah menginjak
dada Koan San-gwat. Tapi karena tendangan yang keras itu
seketika ia mengaung kesakitan, kontan badannya tergulingguling
beberapa kaki, di kala ia berdiri lagi sepasang matanya
memancarkan sorotan buas, lidahnya yang merah darah
menjulur keluar sambil memperlihatkan taring-taringnya yang
besar dan tajam, kini sasaran yang pertama ia alihkan kepada
Thio Ceng Ceng.
Dua pihak sama berhadapan tanpa bergerak, tiba-tiba ekor
macan salju itu membelit bundar berbareng kaki depannya
terangkat ke atas berdiri dengan kaki belakang terus melejit
maju menubruk dengan kekuatan yang dahsyat, kesempatan
datang pula, cepat Thio Ceng Ceng menyabetkan selendang
suteranya pula.
Agaknya macan salju ini sudah rada lengah, telak sekali
ujung selendangnya berhasil membelit lehernya, ia menyendal
dan menarik dengan kekuatan yang besar sekali, tapi macan
ini cukup cerdik, tarnyata kaki belakangnya tidak tinggal diam,
menutul keras juga luncuran tubuhnya bertambah kencang,
karena jaraknya terlalu dekat berat badan macan inipun ada
ratusan kati, tarikan Thio Ceng Ceng jadi meleset dengan
perhitungan, si macan yang menubruk tiba repot sekali kedua
kakinya menginjak kedua pundaknya, dalam keadaan yang
panik, mengendur hawa pernapasannya yang amis
memualkan. Lagi, saking gugupnya kontan ia dorongkan
kepalan tangannya masuk ke dalam mulut si macan salju.
Betapa berbahaya tangannya yang putih halus itu
diangsurkan masuk ke dalam mulut binatang itu, tapi karena
sudah tiada jalan lain ia jejalkan kepalannya semakin keras.
Sudah tentu si macan sendiri jadi gelagapan juga, kepalanya
digoyang-goyangkan berusaha melepaskan barang yang
menyumpal mulut menyesakkan napasnya, di samping itu
cakar kaki belakangnya dengan sendirinya melorot turun dan
tepat sekali berhasil mencakar tubuh Thio Ceng Ceng dari
batas dada ke perutnya sehingga kain bajunya dedel dowe1,
dengan sendirinya kulit dagingnya pun tergores luka panjang
yang mengeluarkan darah segar.
Darahnyapun berceceran di tanah salju, tapi sedikitpun ia
tidak merasa sakit, demikian juga lengannya sudah terluka
oleh gigitan taring si macan salju itu, tapi dengan mati-matian
ia merintangi di depan Koan San-gwat.
Sungguh aneh macan salju itu sebetulnya dapat menggigit
putus pergelangan tangannya tapi tidak berbuat demikian, kini
malah mundur rada jauh sambil mendengus-denguskan
rendah.
Thio Ceng Ceng berdiri mematung, matanya mendelong
mengawasi macan salju itu, berbagai pikiran bergejolak di
dalam benaknya. Sementara itu darah yang mengalir dari
luka-luka di dadanya sudah membeku, tapi rasa pening mulai
merangsang kepalanya.
Betapa pun dia seorang perempuan, setelah perjalanan
demikian jauh dengan kondisi badan yang semakin buruk lagi,
kini harus kehilangan darah bukan mustahil akhirnya dia bakal
roboh kehabisan tenaga.
Dalam pada itu, macan itu sudah mendekam pula, pelanpelan
tubuhnya menggeremet maju munduk-munduk siap
untuk melancarkan serangannya lagi, sasarannya kepada Koan
San-gwat pula.
Thio Ceng Ceng siap waspada sambil menahan napas,
dengan gelisah ia menunggu perkembangan selanjutnya,
diam-diam ia menerawang jarak dan cara mengatasi nanti.
“Dalam jarak lima enam-kaki aku bisa mulai menggasaknya.
Bagaimana pun juga kali ini aku pantang dikalahkan!”
Demikian ia bertekad dalam hati. Dalam pada itu macan
salju sudah menggeram maju pula tiga empat kaki, tiba-tiba
laksana angin badai badannya menerkam sambil menggerung
laksana geledek mengguntur melampaui atas kepalanya dan
tepat sekali cakar kaki depannya jatuh di dada Koan San-gwat.
Gerak-gerik si macan ini sungguh teramat cepat dan
mendadak lagi, hingga Thio Ceng Ceng tidak sempat
merintangi dengan berbagai akalpun, begitu ia membalik
tubuh macan salju itu sudah menggigit kain baju di depan
Koan San-gwat terus diseret dengan cepat berlari ke dalam
hutan.
Karuan gugup Thio Ceng Ceng bukan kepalang. Di dalam
gugupnya entah dari mana datang tenaganya yang luar biasa,
mendadak ia menjejakkan kakinya maju mengejar, sekali
tepat ia berhasil menangkap ekor si macan terus dibetot ke
belakang sekuat tenaganya.
Macan salju itu mengeluarkan suara auman yang
menggetarkan alam pegunungan, mulutnya melepas Koan
San-gwat terus membalik badan hendak menggigit Thio Ceng
Ceng.
Tapi mati-matian Thio Ceng Ceng memegangi ekornya dan
tak mau dilepas sehingga cakar kakinya itu tidak bisa sampai
melukainya, begitulah binatang lawan manusia ini jadi saling
berputar-putar di tanah bersalju.
Memang badan sudah lemas kini harus diajak berputar,
karuan kepala Ceng Ceng terasa pening, luka-luka di dadanya
jadi pecah dan mengeluarkan darah pula, sakitnya sampai
menusuk tulang, namun sedikitpun ia tidak mau
mengendorkan pegangannya, karena ia insyaf sekali kalau ia
lepas tangan maka Koan-toakonya pasti akan celaka.
Setelah berputar sekian kali dilihat di dirinya tidak mampu
membebaskan diri atau menyerang lawan, macan salju itu jadi
buas dan marah, tiba-tiba ia mengerang panjang seraya
melejit tinggi menerjang ke depan, karuan Thio Ceng Ceng
jadi terseret setombak tingginya dan di lain saat meluncur
turun dan “Blang!” ia terbanting kesakitan di atas tanah
bersalju, sementara macan itu sudah siap melompat pula
untuk kedua kalinya.
Thio Ceng Ceng insyaf dirinya tak akan kuat bertahan dari
sekali bantingan lagi, untuk mengadu jiwa sekaranglah
kesempatan yang terakhir. Setelah bertekad tapi belum lagi ia
sempat melaksanakan niatnya, tiba-tiba didengarnya dari
kejauhan sana ada bentakan suara manusia lalu disusul
meluncurlah sebatang tombak bercabang langsung mengarah
punggung si macan salju secepat anak panah.
Agaknya macan salju ini tahu akan kelihaian tombak
bercabang ini, sebat sekali ia menggelundungkan badannya ke
samping, maka terlihatlah sesosok tubuh orang berkelebat
mengejar datang serta mengeluarkan hardikan keras,
“Binatang! Kau berani mengganas sekali lagi!”
Setelah mendengar suara manusia pertahanan Thio Ceng
Ceng menjadi kendor seolah-olah ia sudah mendapat bantuan
yang diandalkan, maka luluhlah semua pertahanan dan
keberaniannya, serta merta kedua tangannya terlepas, macan
salju itu laksana sebatang panah terus berlari seperti kucing.
Thio Ceng Ceng hanya melihat orang yang menolongnya itu
adalah seorang perempuan pertengahan umur, lalu ia tak tahu
apa-apa lagi selanjutnya.
Di kala ia siuman kembali, dirasakan rasa sakit dan letih
tubuhnya sudah lenyap sama sekali, demikian juga
semangatnya sudah banyak pulih, bergegas ia bangkit duduk.
Sambil mengamati sekelilingnya, didapati ia terbaring di dalam
sebuah gua, dinding sekelilingnya adalah batu cadas
pegunungan yang keras, di atas dinding banyak tergantung
binatang yang sudah dikeringkan.
Tapi ia tidak perduli akan keadaan sekelilingnya, yang
paling diperhatikan adalah Koan San-gwat. “Dimanakah Koantoako?
Bagaimanakah keadaannya sekarang?”
Luas gua ini cuma beberapa tombak, kecuali perabotan
yang sederhana tak kelihatan bayangan seorang manusia pun,
segera ia melorot turun dari balai-balai batu, pikirnya hendak
mencari keluar gua.
Tapi begitu telapak kakinya menyentuh lantai, seketika rasa
dingin menembus ke ulu hati, di samping itu hawa
pegunungan yang menghembus masuk seketika membuat
seluruh badannya bergidik kedinginan. Waktu menunduk baru
ia sadar bahwa seluruh tubuhnya ternyata telanjang bulat
tanpa mengenakan secuil pakaian pun, meski dalam ruang
goa ini tiada orang lain, tak urung ia jadi malu dan merah
jengah selebar mukanya, cepat ia menarik selimut dari atas
dipan terus membungkus tubuh sendiri seenaknya.
“Tempat apakah ini? Siapakah yang melucuti pakaianku?”
inilah pertanyaan berlarut yang berkecamuk dalam benaknya.
Tetapi semua pikiran itu tidak lebih besar dari rasa
perhatiannya kepada Koan San-gwat, maka cepat-cepat ia
berlari ke arah luar.
Bagian luar ini juga merupakan sebuah ruangan baru, cuma
jauh lebih luas, disini ada bertumpuk bermacam barang
danbenda, di pojok sana terlihatlah pakaiannya yang sudah
dedel dowel tak karuan, baru sekarang teringat akan kejadian
yang lalu, lapat-lapat ia masih ingat seorang perempuan
pertengahan umur keburu tiba menolong jiwanya, jadi kamar
batu ini pasti tempat tinggal orang. Cuma dimanakah Koantoako?
Demikian ia bertanya-tanya.
Di saat ia berdiri menjublek itulah di luar terlihat sebuah
bayangan berkelebat masuk, ternyata perempuan
pertengahan umur itu sudah kembali sambil memanggul
seekor kijang. Begitu melihat Ceng-Ceng sudah bisa turun dan
berjalan serta berdiri, raut wajahnya lantas mengunjukkan seri
tawa yang penuh perasaan welas asih, katanya, “Nona cilik!
Kau sudah bisa bangun! Sungguh hebat kau, selama sepuluh
hari ini aku selalu berkuatir bagi keselamatanmu, tenagamu
habis terkuras, darahpun mengalir terlalu banyak, sungguh
aku tidak habis mengerti cara b\agaimana kau kuat
bertahan.!”
Sudah tentu Thio Ceng Ceng berjingkrak kaget, teriaknya,
“Apa? jadi aku jatuh pingsan setelah sepuluh hari?”
Perempuan itu mengunjuk senyum, sahutnya, “Masa aku
menggoda kau! Selama sepuluh hari ini tidurmu seperti orang
yang sudah mati, menurut perhitunganku, paling tidak kau
harus beristirahat dua tiga bulan baru bisa pulih seperti sedia
kala. Tak nyana kondisi badanmu jauh lebih kuat dan sebat
dari orang lain….”
Dengan gelisah Thio Ceng Ceng bertanya, “Lalu dimanakah
Koan-toako?”
“Maksudmu bocah laki-laki itu? Keadaannya memang rada
aneh, seluruh tubuhnya tidak kelihatan kena luka tapi dia tidak
dapat bergerak, aku sendiri tidak tahu terserang penyakit apa,
terpaksa kuantar ke tempat Soat-lo Thay-thay!”
Thio Ceng Ceng tercengang, tanyanya, “Siapakah Soat-lo
Thay-thay. Kenapa Koan-toako harus diantar ke tempatnya?”
“Ilmu pengobatan Soat-lo Thay-thay sangat tinggi, bocah
itu amat aneh lagi, kini cuma beliau yang mampu mengobati,
luka-luka di tubuhmu juga kuobati dari rumah obat
pemberiannya! Lihatlah betapa manjur obatnya itu, sedikitpun
tidak meninggalkan bekas-bekas di kulit badanmu ….”
Kejut dan heran pula rasa Thio Ceng-Ceng, dari penuturan
orang ia dapat menyimpulkan bahwa Soat-lo Thay-thay yang
dimaksud itu tentu adalah orang yang ditentang ayahnya itu,
orang ini pula yang hendak dicarinya. Cuma tidak habis
terpikir olehnya kenapa ayah merasa sirik dan benci terhadap
seorang perempuan tua, maka setelah merenung ia berkata
kepada perempuan pertengahan umur itu. “Dimana tempat
tinggal Soat-lo Thay-thay, aku ingin menengok keadaanKoantoako
….”
Cepat perempuan itu menggoyangkan tangan, katanya,
“Jangan kau kesana! Soat-lo Thay-thay pernah kemari melihat
keadaanmu, ia ada pesan wanti-wanti. Bagaimana juga
melarang kau pergi kesana. Kalau tidak, masa aku menahan
kau di sini merawat lukamu. Tempatku ini memang kecil cuma
tinggal seorang lagi, jadi kekurangan tenaga untuk merawat
keadaanmu, tapi Soat-lo Thay-thay sendiri sudah berpesan
sebelumnya, aku pun tidak dapat berbuat apa-apa.”
Thio Ceng Ceng jadi melengak, timbul berbagai pertanyaan
dalam benaknya, tanyanya, “Kenapa Soat-lo Thay-thay tidak
mengijinkan aku ke sana?”
“Akupun tidak tahu, macan salju itu adalah binatang
peliharaan Soat-lo Thay-thay. Sebenarnya dia tidak bisa
melukai orang, entah kenapa bisa bertengkar dengan kau. Aku
lebih tidak mengerti kenapa Soat-lo Thay-thay bisa merasa
sirik terhadap kau. Saat aku tidak meminta-minta kepada
beliau, luka-lukamu ini beliau pun tidak mau mengobati! Nona
apakah kau punya permusuhan dengan Soat-lo Thay-thay?”
“Tidak! selamanya aku belum pernah melihat dia!”
“Memang. Soat-lo Thay-thay sudah menetap dua puluh
tahun disini, selamanya beliau belum pernah keluar, usiamu
paling banyak baru dua puluh tahun, bagaimana pun tidak
mungkin mengikat permusuhan dengan maka aku heran
kenapa beliau tidak suka kepada kau.”
Namun dalam benak Thio Ceng Ceng sudah menyimpulkan
sesuatu, wajahnya mirip dengan bentuk wajah ayahnya tentu.
Cuma ia tidak habis mengerti antara ayahnya dengan Soat-lo
Thay-thay ini ada ganjalan sakit hati apa….?”
Melihat orang termangu-mangu, perempuan pertengahan
umur itu bertanya, “Nona cilik! Untuk apa kau bawa bocah itu
jauh-jauh ke Kun-Lun-san sini….? Oh, ya! Tentu kau kenal
Soat-lo Thay-thay, maka kau bawa bocah itu kemari minta
pengobatannya?”
“Selama hidupku belum pernah aku melihat Soat-lo Thaythay,
soalnya Koan-toako terkena racun jahat, kudengar di
puncak Kun-lun-san ada seorang kosen yang mengasingkan
diri, pandai ilmu pengobatan, maka kubawa dia kemari mohon
diobati. Apakah Soat-lo Thay-thay orang kosen yang hendak
kucari itu aku sendiri tidak tahu.”
“Ya, tidak salah lagi, orang yang menetap di puncak Kunlun-
san sini cuma beberapa orang saja, apalagi yang pandai
ilmu pengobatan cuma Soat-lo Thay-thay seorang, jauh-jauh
kau datang justru membawa seorang pasien, tidak heran
beliau tidak senang terhadap kau!”
“Kenapa?” tanya Thio Ceng Ceng heran.
“Watak Soat-lo Thay-thay sangat aneh, dia pernah beritahu
kepadaku, kecuali musuh dalam dunia ini dia sudah tidak
punya sanak kadang lagi. Sudah tentu kau bukan musuh yang
dimaksud itu, tapi kenalan beliaupun tak banyak, orang yang
memberi petunjuk supaya kau kemari itu tentu punya
permusuhan dengan beliau maka ia jadi salah paham pula
kepada kau!”
Thio Ceng Ceng jadi rada tenang akan duduk perkaranya,
cuma dia tidak menjelaskan persoalan antara ayahnya dengan
Soat-lo Thay-thay sebab seluk-beluk peristiwa itu ia sendiri
tidak jelas, setelah berpikir sejenak, sengaja ia alihkan pokok
pembicaraan, tanyanya, “Toanio! Kau she apa, bagaimana
bisa hidup sebatangkara di atas pegunungan yang sunyi ini?”
“Menyinggung namaku, dahulu memang pernah tenar dan
…. aih, kenapa aku ngelantur. Aku she Peng, kau boleh
panggil aku Peng Toanio saja! Dua puluh lima tahun yang lalu,
aku pernah terluka parah dan dikejar-kejar musuh sampai ke
puncak Kun-lun-san ini, untung Soat-lo Thay-thay keburu
datang dan menggebah lari musuhku itu, aku terus tinggal
disini, berkat pertolongan beliau luka-lukaku sembuh
seluruhnya. Maka sejak saat itu, aku terus tinggal disini,
meskipun hawanya dingin, tapi keadaan yang sepi ini cukup
nyaman dan tentram, maka aku tidak berniat berkecimpung
lagi di dunia Kangouw.”
Thio Ceng Crag termenung sebentar lalu berkata dengan
tekad yang besar, “Meskipun Soat-to Thay-thay tidak suka
akan kedatanganku, akupun akan meluruk ke tempatnya, apa
pun yang terjadi nanti aku harus tahu keadaan Koan-toako.
Racun yang mengeram di dalam badannya sukar
disembuhkan, apakah Soat-lo Thay-thay mampu
menyembuhkannya?”
“Untuk itu akupun kurang jelas, setelah kuantar bocah itu
masuk ke dalam Sincoat-kok, Soat-lo Thay-thay cuma datang
menjenguk kau sekali saja, selanjutnya bila aku kesana selalu
dirintangi oleh Khong Ling-ling.”
“Siapa pula itu?”
“Ling-ling adalah murid Soat-lo thay-thay,” Peng-toanio
menjelaskan sambil menjengek. “Budak kecil itu jauh lebih
galak dari Soat-lo Thay-thay, kalau bicara dengan aku selalu
bersikap acuh tak acuh dan menyebalkan. Bapaknya saja tidak
berani bersikap demikian terhadapku. Di kala Kui-thian-ya-se
(kuntilanak terbang ke langit) malang melintang di Kang-ouw,
Loh-hun kok sama sekali belum apa-apa pada masa itu.”
“Apa?” teriak Thio Ceng Ceng. “Jadi putri Khong Bun-thong
berada disini?”
Peng- toanio melirik, jengeknya, “Apa kau juga kenal Khong
Bun-thong si keparat itu?”
Nada perkataannya penuh rasa gusar dan tidak senang,
seolah-olah merasa disepelekan, dan nama Khong Bun-thong
malah banyak mempengaruhi hatinya.
Thio Ceng Ceng makin gelisah, cepat ia berseru, “Toanio!
Bagaimana juga aku harus segera menemui Koan-toako, kalau
tidak pasti celaka!”
“Kenapa?” tanya Peng-toanio tercengang. “Kenapa kau
begini gugup?”
“Sudah, jangan terlalu banyak tanya, pendek kata bila Kong
Ling-ling tahu asal-usul Koan-toako pasti urusan lebih
payah….”
“Kenapa bisa begitu? Masa kau tahu Khong Ling-ling si
budak busuk itu bakal melalap kekasihmu itu. Meski budak liar
itu telah mendapat didikan Soat-lo Thay-thay tapi aku tidak
gentar terhadapnya, soalnya kupandang muka beliau. Kalau
tidak, sejak dulu aku sudah labrak dia habis-habisan. Kau tak
usah takut, jelaskan dulu perkaranya, mungkin aku dapat
memberikan bantuan, kalau tidak seorang diri kau menerjang
kesana, seumur hidupmu ini jangan harap dapat keluar dari
Sin-Soat-kok!”
Thio Ceng Ceng tahu orang tidak menggertak atau hendak
menakut-nakuti dirinya, untung orang benci terhadap Khong
Ling-ling maka tidak berhalangan dia menjelaskan kejadian
yang sebenarnya, maka tuturnya, “Nama Koan-toako adalah
Koan San-gwat. dia adalah murid tunggal atau pewaris dari
Bing-tho-ling-cu Tokko Bing….”
“Apa? Bocah itu adalah pewaris Tokko Bing? Bagaimana
keadaan Tokko Bing, selamanya ia tidak pernah menerima
murid….”
“Toanio jangan ribut, Tokko-cianpwe sudah meninggal,
seluruh kepandaian silatnya sudah diturunkan kepada Koantoako….”
Berubah pucat air muka Peng-toanio, ujarnya lirih, “Sudah
meninggal? Orang seperti dia bisa mati begitu cepat? Cara
bagaimana dia mati?”
“Aku tidak tahu, kelak silahkan kau tanya Koan-toako
sendiri. Dia….”
“Ya! Aku harus tanya kepadanya, bagaimana dengan dia!”
“Koan-toako terkena racun jahat Loh-hun-lok Khong Bunthong,
tapi diapun berhasil mengganyang Khong Bun-thong
itu. Kalau peristiwa ini sampai diketahui Khong Ling-ling,
kejadian bakal….”
Peng-toanio ikut terkejut, serunya, “Sungguh sangat
kebetulan, tapi tidak usah gelisah, sejak kecil Khong Linglingbelajar
silat kepada Soat-lo Thay-thay, ayah
kandungnyapun tidak tahu dia berada disini, maka berita itu
tidak akan dapat didengarnya!”
“Tapi kalau Koan-toako sendiri yang mengatakan,
bagaimana?”
“Aku justru tidak berpikir ke arah situ, agaknya kita
memang harus menyusulnya ke sana, kau tunggu sebentar,
kucarikan pakaian untuk kau, segera kita ke sana….”
Thio Ceng Ceng mengenakan pakaian dari kulit menjangan,
ia mengintil di belakang Peng-toanio, berjalan cepat. Hawa
sangat dingin tapi perasaan hatinya justru panas membara.
Dia tidak tahu bagaimana keadaan Koan San-gwat sekarang.
Apakah racunnya sudah punah? sudah sembuh? Atau sudah
mati? Kalau sudah sembuh, apakah dia bercerita tentang asalusul
sendiri? Pikiran dan kekuatiran ini berkecamuk dalam
benaknya, sehingga kedua alisnya bertaut ke dalam.
Sepanjang jalan Peng-toanio mengoceh sendiri, “Sudah
mati…. bagaimana kau bisa mati….?”
Thio Ceng Ceng tahu orang terkenang kepada Tokko Bing,
entah ada hubungan apa antara orang tua ini dengan Tokko
Bing, soalnya hatinya sendiri sedang kalut, segan ia bertanya.
Begitulah sekian lama mereka berputar-putar di puncak
gunung bersalju akhirnya tiba di sebuah lembah yang sangat
tersembunyi. Salju sudah mengeras dan merintangi jalan,
cuma sebuah jalan sempit yang menembus ke dalam sana,
macan salju itu tampak mendekam di tengah jalan, agaknya
berjaga di mulut lembah, begitu melihat Thio Ceng Ceng,
mulutnya lantas mengeluarkan suara gerungan marah.
Peng-toanio lantas menghardiknya, “Binatang! Hayo
minggir, berani kau menghalangi aku masuk!?”
Macan salju itu melirik sekilas ke arahnya, sinar matanya
menatap ke arah Thio Ceng Ceng maksudnya tidak diijinkan
masuk ke dalam.
Kontan Peng-toanio menggablok pantatnya serta
membentak gusar, “Kurang ajar. Akulah yang membawanya
kemari dan akulah yang bertanggung jawab!”
Setelah dipukul, apa boleh buat! Macan salju itu menyingkir
ke pinggir. Lekas Peng-toanio menarik Thio Ceng Ceng masuk
ke dalam lembah. Setelah menyusuri sebuah jalan sempit
yang diapit batu pegunungan, keadaan mata tiba-tiba terbuka
luas, hawa disini pun terasa segar, pohon hidup ditaburi
bunga salju, dimana-mana tampak kembang mekar, pohon
Siong menghijau, bunga Bwe berkembang pohon bambu pun
tumbuh subur di mana-mana.
Meski hati Thio Ceng Ceng dirundung kerisauan, setelah
melihat keadaan yang luar biasa ini, serta merta ia menghela
napas, ujarnya, “Tak nyana di tempat ini ada dunia luar yang
mempesonakan.”
Peng-toanio tersenyum, ujarnya, “Maju lebih lanjut kau
akan melihat banyak pandangan yang tidak atau belum
pernah kau lihat. Bukan saja ilmu silat Soat-lo Thay-thay
teramat hebat, ilmu pengetahuan lainnya pun sama tinggi dan
luas sekali….”
Perhatian Thio Ceng Ceng tertarik pada sebuah penglihatan
yang ada di bawah sebuah pohon Siong tua dan besar, jadi ia
tak perhatikan ucapan Peng-toanio. Rada jauh di depan sana
dilihatnya seorang gadis remaja mengenakan pakaian serba
merah sedang menuntun seorang berjubah hijau berjalan
lambat-lambat, laki-laki itu bukan lain adalah Koan San-gwat
yang selalu dirindukan itu.
-oo0dw0ooTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Jilid 4
“KOAN- TOAKO!” TAK tahan lagi Thio Ceng Ceng berteriak
terus memburu kesana. Tapi begitu tiba di tempat itu,
seketika ia berdiri terlongong. Sebab kedua biji mata Koan
San-gwat memandang lurus ke depan seakan-akan tidak kenal
dirinya, seperti tidak mendengar teriakannya pula.
Thio Ceng Ceng menjadi pilu, memburu dua langkah ia
tarik dan genggam erat-erat tangan Koan San-gwat, teriaknya
sambil menangis, “Koan-toako! Apakah kau sudah sembuh!
Kenapa kau diam saja….”
Koan San-gwat menarik tangannya, tidak menjawab juga
tidak hiraukan dirinya, Thio Ceng Ceng melengak dan
menjublek, jauh-jauh dari tempat puluhan ribu Li dia bawa
Koan San-gwat kemari mau minta pengobatan, setelah lolos
dari lobang maut, kini di luar dugaan bersikap begitu dingin
terhadap dirinya.
Peng-toanio yang berpikiran jernih segera memperingatkan,
“Nona cilik, jangan kau sentuh dia, apa kau tidak perhatikan
biji matanya, hakikatnya dia tidak melihat apa-apa.”
Baru sekarang Thio Ceng Ceng menyadari hal ini, rona
muka dan sikap Koan San-gwat seperti orang linglung,
pendengarannya pun sudah tuli, maka sikapnya kaku.
“Peng Kiok-jin!” terdengarlah gadis baju merah itu
menjengek dingin kepada Peng-toanio, “Besar ya nyalimu,
bukankah Suhu sudah memberitahu kepadamu kau dilarang
bawa gadis ini ke dalam lembah, berani kau semena-mena.”
Peng-toanio mendengus, “Apa yang kuperbuat aku yang
bertanggung jawab, tak perlu kau banyak bacot!”
Ceng Ceng tahu gadis baju merah ini tentu Khong Ling-ling
adanya, cepat ia menimbrung, “Khong-cici bagaimanakah
keadaan Koan-toako?”
“Bukankah matamu bisa lihat sendiri, kenapa harus tanya
kepadaku?” sindir Khong Ling-ling.
Mendapat jawaban kasar, Thio Ceng Ceng menahan emoai,
katanya pula, “Maksudku apakah dia bisa sembuh seperti
sedia kala….?”
“Kau ini apanya? Begitu besar perhatianmu kepadanya!”
ejek Khong Ling-ling.
Ceng Ceng melengak, tak tahu bagaimana harus
menjawab. Untung Peng-toanio sagera menimbrung, “Dia
adalah calon istrinya, sudah sepatutnya ia
memperhatikannya!”
Berubah air muka Khong Ling-ling, tanyanya dangan
bengis, “Apa betul?”
Merah jengah muka Ceng Ceng, serba salah dan runyam
untuk menjawab, maklum belum pernah ia mencurahkan isi
hatinya kepada Koan San-gwat. Ingin berterus terang tapi
malu, kalau menyangkal, jelas bikin malu Peng-toanio.
Terdengar Peng toanio tertawa dingin, jengeknya, “Urusan
ini tiada sangkut pautnya dengan kau, tak usah kau
mencampuri urusannya.”
Khong Ling-ling naik pitam, amarahnya tertuju kepada
Peng-toanio, teriaknya beringas, “Peng Kiokjin! Berani kau
bicara padaku dengan nada kurang ajar begitu!?”
“Kentut!” Peng-toanio juga berang, “Kau ini barang apa,
karena memandang muka Soat-lo Thay-thay, selalu aku
mengalah terhadap kau, bicara tentang tingkatan di kalangan
Kangouw, bapakmu pun harus membungkuk hormat
kepadaku, berani kau gembar-gembor memanggil namaku
secara langsung?”
Saking marah muka Khong Ling-ling menjadi kelabu,
teriaknya pula sambil menuding, “Hwi-thian-ya-ce, jangan kau
mengudal aturan Kangouw, kau tidak lebih cuma budak
guruku, segalanya harus dengar perintahku. Ssekarang
kuperintahkan keluar dari sini.”
Peng-toanio menarik muka, katanya berat, “Kecuali Soat-lo
Thay-thay, siapapun tiada hak main perintah kepada aku!”
“Suhu sedang menutup pintu dan semadi, aku mewakili
beliau, kau mau pergi tidak.?”
“Soat-lo Thay-thay sendiri juga sungkan mengusir aku
dengan kata-kata kasar, kau budak busuk ini rasanya perlu
dihajar!”
Khong Ling-ling mendengus, tiba-tiba badannya berkelebat,
tangannya menampar ke muka Peng-toanio, gerak geriknya
bagaikan setan. Peng-toanio tidak siaga. “Plak” pipinya kena
digampar keras
Sambil bertolak pinggang, Khong Ling-ling tertawa dingin,
“Hwi-thian-ya-ce! Kalau kau tidak tahu diri, awas aku tidak
berlaku sungkan lagi terhadap kau!”
Lima jari yang berwarna merah yang menyolok membekas
di pipi Peng-toanio. Biji-matanya mendelik gusar, sambil
menggerakkan kedua telapak tangannya sudah merangsang
ke dada Khong Ling-ling. Khong Ling-ling berhasil
mematahkan serangannya, malah dia berhasil mencengkeram
urat nadinya, desisnya dengan bengis, “Peng Kiok-jin, kalau
tidak memandang muka Suhu, segera kucabut nyawamu,
menggelindinglah!”
Begitu tenaqa dikerahkan, sekali sendal badan Peng-toanio
mencelat tinggi jatuh terduduk di atas tanah tak bergerak,
kedua matanya menjublek tanpa berkesip.
Sekian lama ia terduduk diam, akhirnya seperti sadar dari
mimpi buruk, sekonyong-konyong ia menggembor keras,
mulutnya menyemburkan darah segar, badannya pun
berguling rubuh ke belakang. Meski berkumpul cuma beberapa
hari, tapi kesan Thio Ceng Ceng terhadap perempuan ini
sangat baik, cepat ia memburu maju serta memaapahnya,
teriaknya, “Toanio, toanio. Kenapa kau?” sembari berteriak
tangannya mengurut dada orang, sejak kecil ia hidup
berdampingan dengan Thio Hun-cu sedikit banyak paham soal
pengobatan, ia tahu Peng-toanio jatuh pingsan karena sesak
napas, maklum terlalu mengandung malu dan gusar, kalau
darah yang menyumbat dada tidak dikeluarkan dan sampai
membeku, kelak bisa menjadi bibit penyakit.
Khong Ling Ling menghampiri seraya menjengek dingin,
“Dia sedang pura-pura mati! Lekas kau bawa dia keluar!”
Thio Ceng Ceng memohon, “Khong-siocia. Tolong usahakan
supaya aku bertemu dengan Soat-lo Thay-thay, aku ingin
tanya keadaan penyakit Koan-toako!”
Khong Ling-ling membeku, sahutnya menggeleng, “Tidak
bisa, Suhu melarang kau kemari, beliau sudah pesan bila kau
berani melangkah setapak ke dalam lembah ini, kau harus
dibunuh tanpa perkara, kini kuberi kesempatan keluar dari
sini, itu berarti sudah melanggar pesan Suhu.”
“Kenapa Soat-lo Thay-thay sedemikian benci kepadaku?”
“Tidak tahu!” teriak Khong Ling-ling aseran. “Hayo
mengelinding pergi, jangan memancing amarahku. Aku tidak
segan turun tangan!”
Thio Ceng Ceng insyaf bila berkelahi dirinya jelas bukan
tandingan orang, terpaksa dengan duka dan rawan ia jinjing
tubuh Peng-toanio. katanya sambil sesenggukan, “Khong
siocia, Koan-toako….”
Khong Ling-ling sudah tidak sabar, dengusnya, “Legakan
saja hatimu, di bawah pengobatan guruku, tanggung dia tidak
akan mampus!”
Thio Ceng Ceng masih ingin bicara, tapi mendadak Pengtoanio
yang berada dalam pelukannya meronta dan melompat
seperti banteng ketaton melabrak ke arah Khong Ling ling,
karena gerakannya terlalu cepat dan mendadak lagi, Thio
Ceng Ceng tidak menduga, sehingga ia terpental jatuh
terduduk di tanah.
Agaknya Khong Ling-ling juga tidak waspada, tersipu-sipu
ia angkat lengannya menangkis, berbareng tangan yang lain
menyengkelit dengan keras, kemudian badan Peng-toanio
terangkat , terus dilempar jumpalitan, tapi pipi Khong Ling-ling
masih kena tampar dengan cukup keras dan berbunyi nyaring.
Peng-toanio gentayangan beberapa langkah baru ia dapat
berdiri tegak, sambil mendongak ia terloroh-loroh, serunya,
“Budak, akhirnya aku berhasil membalas tempilinganmu tadi!”
Pipi kanan Khong Ling-ling merah dan bertapak lima jari,
pipi kiri menjadi pucat saking marahnya, secepat anak panah
badannya terbang melesat, beruntun jari tangannya menusuk
dan memuntir, gerak-geriknya lihay, sekaligus beberapa jalan
darah Peng-toanio tertutuk dan roboh terkapar di tanah.
Sebelah kaki Khong Ling-ling menginjak dadanya, katanya
dengan beringas, “Peng Kiok-jin! Hari ini akan kubuat kau mati
tanpa tempat kubur.”
Beberapa jalan darah penting di tubuh Peng-toanio
tertutuk, tak mampu bergerak dan balas memaki, tapi sorot
matanya menunjukkan kekerasan hatinya. Sorot matanya
membuat Khong Ling-ling seperti api disiram minyak, sekali
tendang badan Peng-toanio terguling-guling seperti bola.
Thio Ceng Ceng tidak tega, lekas ia menubruk terus
memeluk Peng-toanio serta berteriak ke arah Khong Ling-ling.
“Khong siocia, Peng-toanio seorang tokoh Bulim yang cukup
tenar namanya, kau boleh membunuhnya tapi jangan kau
menghina dia sedemikian rupa!”
Khong Ling-ling menyeringai dingin, jengeknya, “Kau
minggir! Bukan saja akan kubunuh dia sampai badannya
hancur lebur, sebelum mampus akan kubikin dia merasakan
penderitaan Hun-kin-joh-kut perguruanku!”
“Kong Ling ling!” teriak Thio Ceng Ceng.
“Minggir kau!” damprat Khong Ling-ling, sekali raih dan
jambret ia rebut badan Peng-toanio dari pelukan Thio Ceng
Ceng, sudah tentu Ceng Ceng berusaha merebutnya pula, tapi
baru saja ia mendekat, tiba-tiba Khong Ling-ling membalik
sebelah tangannya, dengan cara yang lihay dan menakjupkan
ia tekan dan dorong pundaknya, sehingga Thio Ceng Ceng
tergentak mundur sempoyongan, beruntun Ling ling tutuk
beberapa Hiat-to di badan Peng-toanio.
Muka Peng-toanio menjadi pucat dan mengalirkan keringat
dingin sebesar kacang, mukanya berkerut menahan sakit,
demikian juga biji matanya jelalatan sangat menderita.
Tapi Khong Ling-ling terlalu keji, dengan gemas ia banting
tubuh orang ke tanah, mulutnya menyungging senyum,
mukanya diliputi napsu yang sadis, menikmati keadaan Pengtoanio
yang menderita itu sambil tertawa-tawa dingin.
Sementara itu, Thio Ceng Ceng sudah menubruk maju pula,
teriaknya, “Kau tidak boleh berbuat begini keji seperti ini,
lekas bebaskan hiat-tonya.”
“Sekali kau cerewet lagi, biar kaupun merasakan juga
siksaanku.”
Entah darimana keberanian Thio Ceng Ceng, mendadak ia
layangkan pukulannya serta membentak, “Boleh kau bunuh
aku sekali!”
Khong Ling-ling angkat tangan membelit dan menarik
mencengkeram urat nadi pergelangan tangan Ceng Ceng,
katanya dingin, “Sejak tadi, kutunggu ucapanmu ini, akupun
menunggu kau turun tangan lebih dulu. Karena guruku
melarang aku tidak boleh turun tangan lebih dulu. Sekarang
aku mendapat alasan untuk membunuh kau!”
Seiring dengau ucapannya ia angkat sebelah tangan yang
lain terus menepuk ke jidat Thio Ceng Ceng. SekonyongTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
konyong terdengar tawa aneh yang mendirikan bulu roma di
belakang mereka, disusul berkelebatnya sesosok tubuh dan
“blarrrr” pukulan Khong Ling-ling yang mematikan itu
tertangkis sehingga tersurut mundur empat langkah.
Di lain saat Thio Ceng Ceng sudah pindah tangan, terasa
tangan orang dingin seperti es, cepat ia angkat kepala,
seketika ia menjerit kaget, suaranya mengandung rasa takut
dan ngeri yang tak terperikan!
Karena teriakan ini, orang itupun lekas melepas cekalannya,
tapi sepasang matanya menatap wajah Thio Ceng Ceng, sorot
matanya sangat welas asih dan penuh rasa cinta kasih.
Setelah bebas baru Thio Ceng Ceng sadar bahwa jiwanya
baru saja direnggut kembali dari jurang elmaut oleh orang ini,
meski kejadian sangat mendadak, tapi sikap dirinya tadi terasa
kurang hormat. Maka segera ia merubah sikap dan
mengangguk serta unjuk senyum manis tanda rasa terima
kasihnya yang tak terhingga.
Tak sangka senyumannya membuat orang itu kesima,
mulutnya komat-komit mengeluarken suara yang tidak jelas.
Thio Ceng Ceng lantas menduga orang ini gagu, tapi selintas
pandang bentuk tubulnya memang sangat menakutkan.
Rambut di atas kepalanya awut-awutan, selapis mukanya
tumbuh codet bekas luka-luka yang malang melintang besar
kecil tidak karuan, sorot matanya bersinar tajam, rambut yang
awut-awutan itu sudah banyak uban, maka dapatlah diduga
bila usianya sudah tidak muda lagi, dari bentuk mukanya
dapat dinilai bahwa kalau wajahnya tidak penuh codet, di
waktu mudanya beliau pasti cantik rupawan.
Baju yang dipakaipun sudah buruk dan kumal, seperti
pelayan atau budak di pedalaman, tapi ilmu silatnya ternyata
sangat mengejutkan, Khong Ling-ling tergentak mundur oleh
tenaga pukulannya.
Khong Ling-ling sudah tenang kemhali, teriaknya kepada
perempuan jelek yang mendadak muncul. “Si gila! Kenapa kau
keluar kalau diketahui oleh Suhu, tentu beliau akan membetot
uratmu.”
Agaknya ancaman itu membuat perempuan jelek itu jadi
takut, cepat ia menyurut mundur ke samping.
Thio Ceng Ceng terkejut, bukan saja jelek, perempuan ini
ternyata gila, sungguh sangat kasihan, tapi Khong Ling-ling
bersikap keras dan kasar terhadapnya, pelan-pelan mendekat,
serunya, “Jangan kau kira orang gila ini bakal menolongmu,
diapun tidak berani menentang aku….”
Telapak tangannya sudah terangkat hendak melancarkan
serangan lagi, Thio Ceng Ceng tahu bahwa dirinya bukan
lawan orang, cepat ia berpaling ke arah si gila dengan
pandangan mohon dikasihani.
Ternyata perempuan gila itu terpengaruh oleh sorotan
matanya, dengan ahah uhuh beruntun ia berteriak dua kali
seraya maju menghadang di depan Thio Ceng Ceng.
Karuan Khong Ling-ling makin murka, bentaknya, “Si gila!
Minggir kau! Jangan kau campuri urusanku!”
Dengan kukuh perempuan gila itu menggeleng kepala,
menandakan bahwa dia tidak mau mundur.
“Agaknya kaupun ingin mampus!” hardik Khong Ling-ling
seraya melancarkan serangan mendadak. Ternyata reaksi
perempuan itu cukup cepat juga, kedua telapak tangannya
membalik keluar “plak!” sekali lagi Khong Ling-ling kena
dipukul mundur, keruan Khong Ling-ling melengak dibuatnya,
agaknya ia tidak mengira bila perempuan gila ini sedemikian
lihai, tapi sikapnya tetap dingin, ancamnya, “Si gila! Kau
berani membantu orang luar melawan aku, sebentar akan
kuadukan kepada Suhu!”
Habis berkata ia putar tubuh lantas tinggal pergi. Agaknya
si gila sangat takut akan akibat tindakkannya ini, cepat ia
memburu maju menarik tangan Ling-ling, mulutnyapun
mengoceh tak karuan, seperti ia minta ampun terhadap Khong
Ling-ling. Tak kira mendadak Khong Ling-ling membalikkan
tubuh jari kanannya menutuk jalan darah di bawah tetek
sebelah kiri.
Si gila tidak mengira dan tidak bersiaga, kontan ia berteriak
kesakitan sambil mendekap dada terus berjongkok menahan
sakit. Secepat kilat Khong Ling-ling melejit balik serta
melancarkan serangan kepada Thio Ceng Ceng pula.
Terpaksa Thio Ceng Ceng melawan sebisa mungkin, akan
tetapi Lwekang dan kepandaian silatnya terpaut jauh, “blang”
tiba-tiba tubuhnya mencelat terbang, belum lagi badannya
terbanting di tanah, Khong Ling-ling sudah memburu datang
seraya tertawa dingin, berbareng telapak tangannya
membacok lehernya.
Perempuan gila yang terjongkok tadi melompat bangun,
agaknya ia menahan sakit yang luar biasa untuk menolong
Ceng Ceng, tangannya menangkis bacokan tangan Khong
Ling-ling yang keras ini, tapi karena sudah terluka oleh
tutukan Khong Ling-ling tadi, Lwekangnya sudah susut
sebagian besar, kontan ia tertolak mundur dan terhuyung
roboh ke tanah.
Tapi kelihatannya ia kuatir Thio Ceng Ceng terbunuh, tibatiba
kedua kakinya menjejak tanah melejit bangun lagi, matimatian
ia berusaha merintangi perbuatan Khong Ling-ling.
“Gila!” teriak Khong Ling-ling, “Kau benar-benar
menggangguku, biar kubunuh juga!” Kedua telapak tangannya
merangsek dengan ganas dan keji, walaupun perempuan gila
itu dapat menangkis dan membela diri tak urung ia terdesak
mundur berulang-ulang, langkah kakinyapun sudah
sempoyongan hampir roboh.
Demi dirinya perempuan gila itu harus menghadapi bahaya
dan terluka, Thio Ceng Ceng jadi tidak tega, cepat ia
menariknya mundur serta katanya penuh haru, “Toama!
jangan kau bantu aku lagi, biar dia bunuh aku habis perkara!”
tahu bahwa ajal sudah menjelang maka dengan rawan ia
mengeluh, “Oh, ayah! Sungguh aku menyesal tidak dengan
nasehatmu …. ….aku nekad kemari dan kini kau takkan dapat
bertemu muka pula dengan Ceng-ji….”
Mendadak berubah air muka perempuan gila itu, dengan
suara serak iapun berteriak, “Ceng-ji…. Ceng-ji…. “
Mendengar perempuan gila ini dapat bicara agaknya Khong
Ling-ling juga merasa heran, namun hatinya sudah dirangsang
nafsu hendak membunuh Thio Ceng Ceng, maka tidak
menghiraukan perobahan perempuan gila itu, kembali ia
hendak menyerang kepada Thio Ceng Ceng
Agaknya penyakit gila perempuan itu memang kumat,
mulutnya sambung menyambung menggumam, “Ceng-ji….
Ceng-jii…. Ceng….ji….”
Sekarang tidak lagi bertahan ia malah balas menyerang
Khong Ling-ling dengan nekad dan beringas, rasa sakit
badannya sudah terlupakan sama sekali, tenaganyapun
berlimpah ruah, dengan serangan membadai ia desak mundur
Khong Ling-ling.
Sudah tentu Khong Ling-ling amat marah, mendadak ia
menghardik keras, permainan pukulannya juga berubah,
kedua telapak tangannya seperti kupu menari-nari, gerak tipu
silatnya sangat aneh dan lucu, puluhan jurus kemudian dada
perempuan gila itu kena digaploknya sekali.
Pukulan ini cukup berat seketika perempuan gila itu
terkapar roboh mulutnya menyemburkan darah segar dan
tidak mampu merangkak bangun lagi.
Agaknya Khong Ling-ling bekerja tidak kepalang tanggung,
ia memburu sambil angkat tangannya menepuk ke batok
kepala orang, di kejauhan didengarnya sebuah bentakan
keras, “Tahan! Mana boleh kau melukainya sedemikian rupa!?”
Khong Ling-ling segera urungkan niatnya, lalu melesat
datang sesosok bayangan secepat terbang, seorang nenek tua
beruban mendatang tiba, tangannya mencekal sebuah tongkat
hitam yang mengkilap, dengan keras ia ketukkan tongkatnya
ke tanah serta bentaknya, “Ling-ling? Sungguh besar nyalimu!
Berani kau melukai orang di dalam lembah ini?”
Khong Ling-ling kelihatan takut, tapi masih membandel,
katanya menuding Thio Ceng Ceng, “Suhu! Peng Kiok-jin
berani melanggar pantanganmu membawa perempuan ini ke
dalam lembah, Tecu ingat pesanmu, di saat hendak kubunuh
mereka….”
Tongkat di tangan nenek beruban diketukkan lagi,
semprotnya gusar, “Bukankah sudah kukatakan berulang kali,
bukan sebenarnya aku ingin kau benar-benar melaksanakan
perintahku, Soat-sin-kok kediamanku ini selamanya belum
pernah berlepotan darah, tapi ternyata kau berani mengumbar
adat di sini.”
Khong Ling-ling jadi melengak, cepat berkata, “Tecu tidak
tahu maksud Suhu yang sebenamya, maka aku bekerja secara
patuh, Untung Peng Kiok-jin tidak mati, cuma kututuk jalan
darahnya, sebenarnya Tecu tidak ingin membuatnya
susah….!”
“Tidak membuatnya susah, lalu kau gunakan Hun kin-Johkut
menghadapinya. Di kala aku menurunkan ilmu itu kepada
kau, apa yang telah kupesan kepada kau?”
Khong Ling-ling semakin gugup dan gelagapan, sahutnya,
“Soalnya ia kurang ajar dan bermulut koror, menyinggung
kau….”
“Kau bohong!” Thio Ceng Ceng berteriak, “Dia berlaku
sangat hormat kepada Lo thay-thay, soalnya kau merasa
dengki terhadap dia baru kau turun tangan sedemikian keji!”
Kali ini Khong Ling-ling cuma mengerling tajam ke arah
Thio Ceng Ceng tidak mengumbar adat di hadapan si nenek
tua, si nenek tuapun tidak memberi reaksi, lekas ia berjongkok
memeriksa luka-luka perempuan gila itu, berselang agak lama
baru dia membentak lagi dengan bengis, “Perkara lainnya sih
boleh dibikin habis, tapi kenapa kau berani gunakan Jong-jiehoat
untuk melukainya?”
“Waktu tecu hendak bunuh gadis itu, entah darimana si gila
ini mendadak menyerang aku….”
Belum habis Khong Ling-ling bicara, nenek tua itu cepat
angkat tongkatnya menghajar pantatnya, dengan keras,
kontan Khong Ling-ling tersungkur jatuh ke depan.
“Keparat!” teriak si nenek dengan amarah yang meluapluap,
“Berani kau memanggil “si gila” kepadanya….?”
Saking kesakitan Khong Ling-ling berguling di tanah, tapi ia
tidak berani merangkak bangun, dengan sesenggukan ia
menjawab, “Tecu tak tahu harus memanggil apa, terpaksa
mengikuti Suhu….”
“Aku boleh memanggil demikian, tapi kau tidak. Kau tahu
siapa dia?”
“Tecu tidak tahu, Suhu belum pernah menjelaskan….”
“Dia adalah putriku, putri tunggalku satu-satunya….”
Berubah hebat air muka Khong Ling-ling, sedemikian kaget
dan herannya, seketika tangisnya pun berhenti, katanya
tersekat, “Tecu betul-betul tidak tahu.”
“Sudah! Hayo pulang, menggelindinglah ke kamar obat,
tanpa ijinku kularang kau ke luar!”
Dengan terserot-serot Khong Ling-ling merangkak bangun
terus mengeluyur pergi tanpa berani bertingkah lagi.
Thio Ceng Ceng keheranan, ia tahu bahwa nenek tua ini
pasti Soat-lo Thay-thay adanya, hanya ia tidak menduga
perempuan gila itu adalah putrinya, baru saja ia hendak
bicara, nenek tua itu sudah membebaskan tutukan Pengtoanio,
dengan keripuhan Peng-toanio berkata gagap, “Lo
Thay-thay, aku….”
“Sudahlah! Aku tahu semuanya, aku tak salahkan kau! ”
ujar si nenek sambil mengulapkan tangan.
Peng-toanio kelihatan lega, cepat ia angkar tangan ke arah
Thio Ceng Ceng, maksudnya supaya dia maju memberi
hormat kepada Soat-lo Thay-thay, tak nyana si nenek sudah
memutar tubuh dan berjongkok pula di samping tubuh
perempuan gila itu, tangannya mengurut-ngurut dan menutuk
berkali-kali, mulutnya berkata halus, “Sin-ji, bagaimana
Perasaanmu? Kenapa kau ngeloyor keluar dari kamarmu?”
Setelah diurut pelan-pelan, perempuan itu siuman, masih
menggumam, “Ceng ji…. Ceng-ji….”
Si nenek jadi haru dan kegirangan pula, “Sin-ji! Kau sudah
bisa bicara lagi! Oh! sungguh menggirangkan….”
Pandangan perempuan gila itu mendelong, air mata mulai
berlinang di kelopak matanya, katanya dengan suara gemetar,
“Sin-ji Kau sudah bisa menangis! Tuhan sungguh maha
pengasih, ternyata penyakitmu bisa sembuh! Nak, sungguh
kasihan kau….”
Mulut perempuan gila itu gemetar, agaknya ingin bicara
apa, tapi si nenek cepat berseru, “Sin-ji! Panggil ibu, nak!
Sudah dua puluh tahun kau tidak pernah memanggil aku ….”
Air matanya semakin deras meleleh keluar, mulut
perempuan gila itupun semakin jelas mengeluarkan suara
yang lemah, “Bu…. aku…. Ceng-ji….”
Mendengar perempuan gila itu selalu memanggil namanya,
Thio Ceng Ceng heran dan tidak mengerti, tapi cepat-cepat si
nenek menutuk jalan darahnya hingga pingsan, pelan-pelan ia
bangkit berdiri, katanya kepada Thio Ceng Ceng, “Bopong
ibumu dan ikut aku!”
“Dia…. adalah ibuku….?”
Mandadak si nenek mengunjuk rasa marah teriaknya gusar,
“Kalian ayah beranak menganiayanya sedemikian rupa,
terutama bapakmu yang durhaka dan durjana itu, bila dia
berani datang kemari, pasti kugecek hancur leburkan
tubuhnya.”
Thio Ceng Ceng menjublek di tempatnya, ia jadi berdiri
kaku dengan mendelong sungguh perasaannya goncang oleh
berita ini. Menurut cerita ayahnya, bahwa sejak lama ibunya
sudah meningga1, kenapa sekarang muncul lagi seorang yang
katanya adalah ibu kandungnya?
Melihat dia terlongo, si nenek berteriak lagi dengan marahmarah,
“ Hayo lekas, apa kau jijik karena mukanya jelek atau
tidak setimpal menjadi ibumu….?”
Melihat muka si nenek membasmi kaku, Thio Ceng Ceng
tidak berani banyak bicara, lekas ia memayang tubuh
perempuan gila itu serta mengintil di belakang si nenek, Pengtoanio
juga mengekor di belakangnya.
Di kala bayangan mereka sudah menghilang di kejauhan
sana, Koan San-gwat masih berdiri mematung seperti orang
linglung, segala kejadian yang berada di sekitar dirinya seperti
tidak didengar dan dilihat. Tidak terpikir olehnya bahwa
peristiwa yang baru saja berlangsung ini justru bakal
menentukan jalan hidup dan terikat erat dengan jalan
hidupnya selanjutnya.
ooo000ooo
Sambil membopong perempuan gila itu, berbagai
pertanyaan dan kecurigaan berkecamuk dalam benak Thio
Ceng Ceng, begitulah tanpa bersuara ia mengikuti langkah
Soat-lo Thay-thay mendahului masuk ke rumah yang berada
di tengah, tangannya menuding sebuah dipan, katanya,
“Rebahkan ibumu, duduklah di samping menunggui, akan
kupersiapkan segala keperluan, sekarang juga mulai kuobati.
Inilah kesempatan terakhir untuk menyembuhkan kesehatan
ibumu, maka kau harus tabah dan tenang.” Habis berkata
tanpa menunggu reaksi atau jawaban terus tinggal pergi ke
balik kamar lain.
“Nona Thio!” Peng-toanio maju mendekat, serta bertanya
dengan penuh keheranan, “Apakah benar orang ini ibumu?
Kalau demikian jadi Soat-lo Thay-thay adalah nenekmu!”
Thio Ceng Ceng menggeleng kepala tanda tidak mengerti,
katanya, “Aku sendiri tidak tahu akan kebenarannya, sejak aku
berpikir belum pernah kulihat ibuku, menurut ayah katanya
ibu sudah mati sejak aku masih kecil, maka soal ini….”
“Tapi perkataan Soat-lo Thay-thay tidak akan meleset,
diantara kalian tentu ada latar belakangnya yang berselukbeluk
amat rumit. Sudah lama orang ini berada di atas
gunung. karena tidak bisa bicara dan ingatannya rada
terganggu, maka Soat-lo Thay-thay lantas mengurungnya
dalam sebuah kamar, baru tadi aku tahu bahwa dia adalah
putri tunggal Lo-Thay-thay.”
Mata Thio Ceng Ceng jadi merah dan berkedip-kedip
menahan air mata, katanya, “Aku jadi mengharap dia benarbenar
adalah ibuku, sejak kecil aku sudah kehilangan belaian
kasih sayang seorang ibu, melihat anak lain aleman di
haribaan ibundanya aku jadi mengiri sekali….”
Dalam pada itu Soat-lo Thay-thay sudah kembali sambil
membawa banyak barang-barang dan peralatan, mendengar
ucapan yang terakhir ini, biji matanya sekilas mengerling
kepadanya, tanyanya dengan suara dingin, “Apakah kau tidak
jijik melihat mukanya yang buruk dan sudah menjadi gila
lagi?”
Thio Ceng Ceng menahan air mata, ujarnya, “Cinta kasih
antara ibu beranak tidak mengenal akan buruk atau gila, bila
dia memang benar adalah ibu kandungku, dalam
pandanganku beliau akan jauh lebih cantik dari yang lain-lain,
segalanya kupandang wajar….”
Uraiannya ini agaknya mengetuk sanubarinya Soat-lo Thaythay,
sikap selanjutnya tidak sedingin dan sekasar tadi, sambil
menghela napas ia berkata, “Agaknya kau masih punya
Liangsim (hati nurani), dibanding ayahmu yang jahat dan
brutal itu jauh lebih baik. Dulu ibumupun secantik kau
sekarang, justru karena kau pula sehingga dia menjadi
berubah seperti sekarang.”
Thio Ceng Ceng heran, tanyanya, “Lolo…. Lolo! Apakah
yang telah terjadi pada masa silam?”
Soat-lo Thay-thay mendengus, sahutnya, “Kelak bicara
lebih lanjut! Sekarang yang terpenting mengobatinya, inilah
kesempatan terakhir yang sulit didapat dan bakal menentukan
mati hidupnya!”
Lalu dibukanya sebuah buntalan dan dikeluarkannya
segebung jarum-jarum perak halus panjang tiga inci, sikap
Soat-lo Thay-thay sangat prihatin. Setelah semua keperluan
dipersiapkan, ia mulai mempergunakan jarum-jarum perak itu
menusuk urat nadi, jalan darah dan sendi di atas badan
perempuan gila itu dengan cara yang sangat mahir dan
cekatan.
Jarum-jarum perak itu menusuk amblas sampai dua inci,
setiap kali tusukan jarumnya membuat perempuan gila itu
gemetar menahan sakit, jumlah seluruhnya ada hampir
seratus batang lebih, semua sudah ditusukan ke badan
perempuan gila, setelah selesai baru berkata kepada Thio
Ceng Ceng, “Genggamlah kedua tangannya, apapun yang
terjadi jangan kau lepaskan, aku akan mulai mengerahkan
hawa murn menutup Hiat-tonya!”
Thio Ceng Ceng turut segala petunjuk, dengan kencang ia
pegang kedua pergelangan tangan perempuan gila, sementara
Soat-lo Thay-thay dengan sikap tegang dan prihatin mulai
samadi mengerahkan tenaga, tak lama kemudian kedua
telapak tangannya berubah merah membara seperti besi yang
terbakar. Di kala suhu panas di telapak tangan Soat-lo Thaythay
sudah mencapai taraf yang paling tinggi, pelan-pelan ia
alihkan ke dekat badan perempuan gila, jari-jarinya lantas
bekembang, kesepuluh jarinya masing-masing menekan
dipangkal jarum dan mulailah ia salurkan suhu panas di
telapak tangannya ke dalam badan perempuan gila melalui
jarum-jarum yang tersebar luas di atas badannya.
Kontan Perempuan gila itu mengeluarkan pekik menggila
yang menggetarkan sukma, agaknya merasa kesakitan bukan
main, kedua tangannya meronta-ronta sekuat tenaga.
Teringat akan pesan Soat-lo Thay-thay, sedikitpun Thio Ceng
Ceng tidak berani lengah dan mengendorkan pegangannya.
Tapi melihat penderitaan sang ibu, mau tidak mau terketuk
pula sanubarinya, tanpa sadar air matanya meleleh
membasahi kedua pipinya.
Kesepuluh jari Soat-lo Thay-thay dari ke sepuluh pindah
kesepuluh jarum yang lain, setiap jarum yang tersentuh
tekanan jari-jarinya pasti mengepulkan uap hitam yang
mengandung bau amis terbakar, sangat menusuk hidung dan
memualkan.
Di kala mereka sedang bekerja dengan penuh ketegangan
dan keprihatinan, mendadak pintu kamar terbuka, tampak
Khong Ling-ling melangkah masuk berindap-indap dengan
muka yang penuh mengunjuk perasaan gusar dan penasaran.
Perhatian semua orang sedang tercurah kepada
pengobatan yang menegangkan ini, sehingga tiada yang
melihat akan kedatangannya.
Khong Ling-ling langsung menuju ke belakang Soat-lo
Thay-thay, rona wajahnya bengis penuh hawa membunuh
yang sudah menghantui sanubarinya, Telapak tangannya
mengenai punggung Soat-lo Thay-thay mengeluarkan suara
keras dan menusuk kuping. Kontan badan Soat-lo Thay-thay
tersuruk ke depan dan rebah tengkurap di atas perempuan
gila, tapi cepat pula sudah bangun duduk pula dan pelanpelan
berpaling muka, dengan tajam kedua biji matanya
mendelik dengan bengis menatap Khong Ling-ling.
Setelah menyerang dengan dahsyat, ternyata Suhunya
masih kuat bertahan dan seperti tidak terjadi apa-apa setelah
terkena pukulan yang telak, Khong Ling-ling jadi ketakutan
dan tersurut mundur, wajahnya pucat pias.
Khong Ling-ling mundur mepet ke pintu, terdengar Soat-lo
Thay-thay berkata dengan suara bengis, “Ling-ling! Saat ini
aku lebih penting mengerahkan tenaga untuk pengobatan ini,
sementara tidak akan bertindak kepadamu. Lebih baik lekaslekas
lari, lari yang jauh jangan sampai kulihat selamanya.”
Habis berkata kembali ia memutar tubuh melanjutkan
pengobatan, telapak tangannya masih tetap kelihatan merah
membara. Suhu panas telapak tangannya masih tetap tinggi
seperti tungku menyala besar seolah-olah pukulan Khong Ling
ling yang fatal itu sedikitpun tidak mempengaruhinya.
Khong Ling-ling menjerit sekali terus lari terbirit-bitit, baru
sekarang Peng-toanio tersentak kaget dari lamunannya.
Sembari menjerit keras ia bergerak hendak mengejar, tapi
Soat-lo Thay-thay keburu berteriak memanggilnya, “Kiok-jin!
Kembali!”
Peng-toanio menghentikan langkahnya mundur kembali ke
samping mereka, serunya gugup, “Lo-Thay-thay….” ketika
hendak bicara, mendadak rona wajahnya berubah hebat,
mulutnya terpentang menyemburkan darah segar, badan pun
tidak kuat lagi bertahan terus meloso roboh di atas ranjang,
karuan Peng-toanio dan Thio Ceng Ceng menjadi gugup,
teriaknya, “Lo-Thay-thay….kau kenapakah….?”
Soat-lo Thay-thay sedang berusaha menekan kembali
darah segar yang hendak berhamburan keluar, dengan suara
yang lirih berkata, “Tidak apa-apa! Kiok-jin! Lekas kau ke
kamar obat, di atas rak sebelah dinding timur terdapat sebuah
botol putih, lekas kau bawa kemari!”
Sambil mengiakan lekas-lekas Peng-toanio berlari pergi,
Soat-lo Thay-thay lantas pejamkan mata memulihkan
semangatnya, air mukanya sangat buruk. Hati Thio Ceng Ceng
jadi geliah dan kuatir, tapi ia tidak berani mengganggu.
Tak lama kemudian Peng-toanio berlari kembali dengan
tangan kosong, teriaknya gegetun, “Lo-thay-thay, kamar obat
sudah diobrak-abrik tidak karuan, beberapa macam obatobatan
penting semua hilang.”
Berubah pucat air muka Soat-lo Thay-thay hidungnya
mendengus, makinya, “Budak keparat itu! kerjanya terlalu
keji….”
Cepat Thio Ceng Ceng mengeluarkan sebuah botol tanah
liat, katanya, “Lolo! aku masih punya Peng-sip-coan-bing-san,
obat ini piranti untuk mengobati luka dalam….”
Dengan tangan Soat-lo Thay-thay mendorongnya ke
samping, teriaknya dengan gusar, “Lebih baik mati daripada
makan obat buatan ayahmu.”
Karena suaranya terlalu keras, kontan ia menyemburkan
darah segar lagi, kini benar-benar tidak kuat bertahan lagi,
dengan badannya terperosok jatuh.
Meski Peng-toanio keburu maju menolongnya, tapi toh dia
cuma bisa meringis tanpa mampu memberi pertolongan
seperlunya.
Tatkala itu meski masih ada beberapa jalan darah belum
sempat diurut dan tertekan serta ditusuk jarum, tapi keadaan
perempuan gila itu sudah semakin tenang, tidak lagi merontaronta.
Thio Ceng Ceng melepaskan kedua tangannya, terus
mengeluarkan botol obatnya menuang dua butir pil warna
putih lalu dijejalkan ke mulut Soat-lo Thay-thay, katanya
kepada Peng-toanio, “Toanio, mohon bantuanmu, carilah
sedikit arak kemari, obat itu akan lebih mujarab khasiatnya
dan bekerja lebih cepat bila ada arak.”
Peng-toanio mengunjuk rasa kuatir dan was-was, katanya,
“Nona Thio! Kurasa…. kurasa kurang tepat dan runyam nanti,
watak Lo-Thay-thay….”
Dengan penuh prihatin Thio Ceng Ceng berkata, “Tidak jadi
soal, bier aku yang tanggung jawab, betapapun aku tidak bisa
berpeluk tangan melihat jiwanya di ambang maut….”
Apa boleh buat terpaksa Peng-toanio pergi ke dapur
mencari sebotol arak lalu dituang ke dalam sebuah cawan
kecil serta dilelehkan ke mulut Soat-lo Thay-thay, pil obat itu
akhirnya tertelan hancur ke dalam perutnya.
Thio Ceng-Ceng jongkok di sebelah samping mengurut dan
melancarkan jalan darahnya, tak lama pelan-pelan Soat-lo
Thay-thay siuman dari pingsannya, melihat keadaan dirinya
segera ia paham apa yang telah terjadi, dengan amarah
meluap-luap ia ayun telapak tangannya serta berteriak
beringas, “Budak mampus! Berani kau mencelakai aku dengan
obat….”
Thio Ceng Ceng terjengkang jatuh, tapi mulutnya mengeluh
dan berteriak, “Lolo! Obat itu adalah kwalitet terbaik untuk
mengobati, mana bisa mencelakai kau?”
“Kentut!” teriak Soat-lo Thay-thay lebih murka,
“Kepandaian pasaran bapakmu masa mampu membuat obat
mujarab apa!”
Thio Ceng Ceng diam saja sambil mengusap air mata, tak
tertahan segera Peng-toanio ikut menimbrung, “Lo-Thay-thay,
maksud nona Thio baik.”
“Baik kentut!” bentak Soat-lo Thay-thay, “Dulu dia berlaku
kejam dan telengas terhadap Sin-ji, aku pernah bersumpah
akan menemukan dia dan membuat perhitungan lama
kepadanya. Sekarang sebaliknya aku menelan obatnya, cara
bagaimana aku punya muka untuk menemuinya?”
“I.olo” rengek Thio Ceng Ceng sesenggukan, “Aku tidak
tahu kau punya ganjalan hati apa terhadap ayah. Tapi hari ini
aku menolong kau bekerja demi Koan-toako dan ibu. Penyakit
mereka perlu perawatan dan pengobatan. Kalau kau tetap
ngambek dan marah-marah, bila terjadi sesuatu, tamatlah
mereka….”
Sekilas Soat-lo Thay-thay berpaling ke arah perempuan gila
yang terbaring di ranjang lalu menghela napas, “Ai, memang
takdir! Selama hidupku ini kenapa selalu ditimpa kemalangan
belaka….”
Pelan-pelan ia menggerakkan badan lalu merambat ke arah
ranjang, tangannya terulur meraba erat nadi perempuan gila,
lapat-lapat terunjuk rasa girang, serunya, “Bagus! Sin-ji
akhirnya bisa tertolong! Sayang budak hina itu tangannya
terlalu cepat, sehingga aku belum bekerja tuntas melancarkan
seluruh urat sarafnya terpaksa dia harus menderita beberapa
hari lagi….”
Lalu ia mulai bekerja pula, kini satu persatu ia cabuti jarumjarum
perak yang menancap tersebar di badan perempuan
gila, semua ia serahkan kepada Peng-toanio serta katanya,
“Kiok-jin! kau harus pendam jarum-jarum ini di dalam tanah,
semakin dalam lebih baik. Setelah itu gunakanlah arak obat
menggosok seluruh badannya. Cara kerjamu harus pelanpelan,
jangan sampai membuatnya bangun. Ceng Ceng, kau
ikut aku ke kamar obat, aku hendak periksa budak itu mencuri
apa saja!”
Peng-toanio mengiakan dan segera bekerja dengan apa
yang dipesan. Thio Ceng-Ceng tahu bahwa Soat-lo Thay-thay
nenek luarnya ini ada omongan apa-apa hendak dibicarakan
dengan dirinya, maka tanpa-sangsi segera ia ikut keluar.
Baru saja tiba di luar pintu, mendadak ia teringat apa-apa,
sambil berseru kaget bergegas ia berlari kencang menuju ke
mulut lembah. Soat-lo Thay-thay memburu sambil berteriak, “
Budak setan, kenapa kau lari?”
Sembari berlari Thio Ceng Ceng berseru, “Koan-toako
masih berada di dalam hutan, aku kuatir Khong Ling-ling
berlaku kasar terhadapnya….”
Soat-loThay-thay menjengek, “Bocah busuk itu, kalau
memang ditakdirkan mati, sejak lama dia sudah mampus, apa
adanya kau buat geger.”
Thio Ceng Ceng tidak hiraukan ocehannya, dengan cepat ia
sudah menerobos masuk ke dalam hutan, tampak Koan Sangwat
masih segar bugar berdiri di sana, hatinya jadi lega.
Tapi di atas sebatang pohon besar di sebelah Koan Sangwat,
berpeta sebuah telapak tangan, dalamnya sampai
beberapa senti.
Mungkin Khong Ling-ling sudah kemari, semula memang
hendak membunuh Koan San-gwat, entah karena apa,
seketika ia batalkan niatnya, tapi ia lampiaskan kedongkolan
hatinya di atas pohon.
Mengawasi bekas telapak tangan itu, diam-diam mencelos
hati Thio Ceng Ceng, dengan menghembuslsan napas ia
menggumam, “Khong Ling-ling, karena hari ini kau sudah
menaruh belas kasihan terhadap Koan-toako, kelak bila
ketemu, baiklah kuampuni sekali jiwamu!”
Soat-lo Thay-thay tertawa dingin, jengeknya, “Dengan
kepandaianmu sekarang masa membunuh dia? Kau sedang
mimpi agaknya?”
Dengan lekat Thio Ceng Ceng mengawasi, katanya, “Lolo!
walaupun sekarang aku masih kalah, tapi setelah mendapat
petunjuk dan bimbinganmu, tentu dapat membekuk dia.”
Rada berubah air muka Soat-lo Thay-thay semprotnya,
“Darimana kau bisa tahu kalau aku suka memberi petunjuk
dan bimbingan kepada kau?”
Dengan laku hormat dan bersikap wajar Thio Ceng Ceng
berkata, “Lolo! kecuali kau mau mengumbar murid murtadmu
itu!”
“Mengumbar dia,” dengus Soat-lo Thay-thay gusar, “ingin
rasanya mengelupas kulitnya. Budak hina itu memang
berwatak culas dan jahat, sejak lama memang sudah
kuketahui, cuma aku tidak menyangka dia berani turun tangan
keji terhadapku. Kelak aku akan mencarinya sendiri untuk
membuat perhitungan padanya.”
“Lolo!” kata Thio Ceng Ceng menggeleng kepala, “Kenapa
kau mempersulit dirimu sendiri? Setelah kau kena pukulannya,
urat nadi tubuhmu sudah tergetar putus atau sungsang
sumbel, meski kau bertahan sekuat tenaga dan berhasil
menggertak dia lari, tapi tidak dapat mengelabui sepasang
mataku. Kau sendiripun tidak akan mampu membekuk dan
membereskan dia!”
“Maksudmu aku sudah menjadi seorang cacat?”
“Cacat sih tidak, tapi ilmu silatmu sudah banyak menurun
dan tidak mungkin dipulihkan kembali. Maka untuk balas
dendam dan menghukum muridmu yang murtad itu, tugas ini
harus kau serahkan kepadaku!”
“Kenapa?”
“Sebab aku adalah keturunanmu, cucu perempuan yang
tunggal! Unruk sementara waktu Khong Ling-ling dapat kau
kelabui. Setengah atau satu tahun, melihat kau tidak mencari
dia, pasti dia dapat menyelami perihal itu. Tatkala itu,
mungkin dia yang akan mencari kau….”
“Memang aku harus takut terhadapnya?”
“Lolo! Jangan marah-marah lagi, kau tidak perlu takut
terhadapnya, tapi bukan mustahil jiwa ibuku bakal diancam
olehnya! Demi ibu, kau tidak pantas menolak diriku!”
Sikap keras Soat-to Thay-thay akhirnya lunak, katanya
sambil menghela napas, “Akhir akibatnya seperti yang
dialaminya sekarang…. Baiklah? Daku akan tuangkan ilmu silat
kepada kau, tapi dengan satu syarat!”
“Syarat apa?”
“Kalau kau hendak belajar silat kepadaku, selanjutnya tidak
boleh kau mengakui bapakmu yang durhaka itu!”
“Lolo, aku tidak akan setuju dengan syaratmu ini, sebab
sejak kecil aku diasuh beliau sampai besar.”
Berubah air muka Soat-lo Thay-thay, tapi dengan kalem
Thio Ceng Ceng melanjutkan, “Cuma sebaliknya ayah tidak
sudi lagi mengakui aku sebagai putrinya lagi….”
“O, kenapa begitu?”
“Ayah melarang aku datang kemari, katanya bila aku
kemari maka dia hendak memutuskan hubungan ayah beranak
Akan tetapi. …. demi Koan-toako aku nekad kemari, mungkin
selama hidup ini beliau tidak akan memaafkan aku lagi….”
Mendadak Soat-lo Thay-thay tertawa besar, serunya,
“Bagus! Thio Hun-cu! Dulu kau merebut putriku, sekarang kau
sendiripun kehilangan putrimu, satu lawan satu, inilah
pembalasan yang setimpal!”
“Lolo! Kenapa kau begitu benci kepada ayah?”
Soat-lo Thay-thay menghela napas, pelan pelan ia
menceriterakan kisah lama, sebuah tragedi yang
menyedihkan.
Dua pulub tahun yang lalu, Soat-sin-kok tidak sepi seperti
sekarang ini. Tabib sakti Ih-bing meninggal pada saat usianya
sedang menanjak, tapi seluruh kepandaian dan ajaran ilmu
pengobatan ia wariskan kepada istrinya yang tercinta
LimKeng-hong.
Di waktu kecil Lim Keng-hong pernah diangkat murid oleh
seorang tokoh aneh dan diajari ilmu silat yang lihay dan aneh
pula, setelah menikah dan menjadi warga keluarga Soat,
mereka menetap di dalam Soat-sin kok di Kun-lun-san
menikmati kehidupan suci seperti dewa.
Ilmu pengobatan Soat Ih-bing memang bukan olah-olah
hebatnya, tapi dia tidak mampu menolong jiwa sendiri. Karena
keluarga Soat mempunyai semacam penyakit turunan yang
jahat. Berbagai cara pengobatan tidak membawa hasil, Soat
Ih-bing sendiri setelah berjerih payah sekian tahun
memperoleh sedikit endusan dalam mengatasi penyakit yang
berbahaya itu, apa lacur manusia punya usaha, Tuhan punya
kuasa, terpaksa dia meninggalkan tugas penyelidikannya ini
kepada istrinya yang janda, semoga dia dapat lebih giat dan
rajin memperdalam ilmunya.
Karena adanya penyakit turunan ini maka warga keluarga
Soat Ih-bing hanya mempunyai seorang putri tunggal yang
diberi nama Soat Ci-sin. Di waktu dia mangkat, usia Soat Cisin
ini sedang menanjak dewasa, otaknya cerdik dan pintar,
wajahnya rupawan dan bentuk tubuhnya pun elok
menggiurkan, sayang terlalu diumbar sehingga bermain
kurang tekun dalam pelajaran, sangat besar harapan Lim
Keng-hong kepada putri tunggalnya ini, ia berusaha
menurunkan seluruh ilmu pengobatannya kepada putrinya ini.
Sayang terhadap kedua ajaran ilmu yang membuang-buang
waktu dan melelahkan badan itu, sedikitpun putrinya tidak
tertarik, karena sejak kecil sudah biasa diumbar dan disayang.
Lim Keng-hong tidak tega terlalu memaksa, terserah berapa
banyak dia mampu menguasai ajaran-ajarannya itu, lambat
laun tentu akan berkembang sendiri.
Waktu Ci-sin berusia sembilan belas tahun, terjadi suatu
perubahan di Soat-sin-kok. Datanglah seorang pemuda ke
dalam lembah itu.
Pemuda itu She Thio, bernama Hun-cu, sikapnya sopan
santun, terpelajar dan berkepandaian silat cukup lumayan,
yang lebih menyenangkan bahwa diapun pandai ilmu
pengobatan. Hari itu karena mendaki Kun-lun-san hendak
mencari Soat-lin, dia kesasar masuk ke Soat-sin-kok.
Karena hidup terasing dan tidak pernah bergaul sesama
manusia, begitu bertemu dengan pemuda asing ini, Soat Ci-sin
lantas hatinya tertambat pada Thio-Hun-cu ini. Lim Keng-hong
pun sangat setuju, beberapa kali kesempatan ia langsung
menguji ilmu pengobatan yang pernah diajarkan kepadanya,
meski kalah jauh bila dibanding dirinya, tapi di dalam alas
pegunungan yang sepi ini memperoleh mantu yang cukup
setimpal ini, Ia harus bersyukur dan berdoa akan kemurahan
hati Tuhan.
Oleh karena ini bukan saja dia tidak melarang hubungan
intim kedua muda-mudi ini, malah secara sengaja ia merestui
dan seperti menganjurkan hubungan yang lebih erat, sering ia
beri kesempatan mereka mengadakan pertemuan empat
mata, untuk menyuburkan dan mempercepat pertumbuhan
hubungan mesra mereka.
Tibalah pada suatu hari, sambil tertawa riang, Thio Hun-cu
menggandeng tangan Ci-sin datang meenghadap kepadanya.
Lim Keng-hong tahu bahwa waktunya sudah tiba, dengan
wajah berseri ia menunggu mereka membuka kata. Dengan
muka jengah, Thio Hun-cu unjuk hormat kepadanya serta
katanya, “Pekbo! Siautit ada sebuah permintaan kepada kau
orang tua, sengaja ku kemari mohon persetujuanmu.”
“Soal mengenai Ci-sin bukan?”
Thio Hun-cu merasa malu, dia tunduk kepala.
Lim Keng-hong menjadi geli, ujarnya, “Sejak lama aku
sudah tahu, memang aku sudah tahu, memang aku sudah
menunggu kau buka suara kepadaku.”
“Kalau begitu Pek-bo merestui perjodohan kami ini!?”
Saking girang Lim Keng-hong tertawa besar, ujarnya,
“Jikalau aku tidak setuju, masa kuijinkan anak Sin
berhubungan begitu intim dengan kau. Semula memang aku
hendak mengajukan persoalan ini dengan kau, cuma kuharap
kalian bisa jauh lebih intim, masing-masing bisa lebih paham
dan pengertian.”
Tersipu-sipu Thio Hun-cu berlutut unjuk hormat besar,
serunya girang, “Terima kasih Pekbo, aku bersumpah kepada
kau, selama hidupku ini pasti kuperlakukan Gi-sin baik-baik,
betapapun aku tidak akan meninggalkan dia….”
Dengan tersenyum Lim Keng-hong memapahnya bangun,
katanya, “Kau punya tekad yang luhur dan bajik pula, aku
sudah cukup puas. Selama ini secara diam-diam segalanya
sudah kupersiapkan, besok juga kalian bisa segera
melangsungkan upacara, selanjutnya Soat sin-kok ini bakal
menjadi dunia kalian.”
Thio Hun-cu rada tercengang, katanya, “Maksud Pekbo,
setelah kami menikah, kita harus menetap di sini?”
Lim Keng-hong tertegun, katanya, “Kalau tidak tinggal di
sini, lalu menetap dimana?”
Segera Thio Hun-cu berkata, “Di puncak antara utara
Thian-san, Siautit punya sedikit peninggalan, disana hawanya
sejuk, selamanya hangat dan kehidupan subur….”
Lim Keng-hong merasa di luar dugaan. Mendengar
ucapannya ini, cepat ia bertanya, “Sebelum kau mengajukan
lamaranmu, apakah kau sudah mendapat persetujuan dari
Sin-ji?”
“Sudah,” sahut Thio Hun-cu manggut, “berkat kemurahan
hati Gi-sin, dia rela menikah dengan aku.”
“Nikah apa?” teriak Lim Keng-hong melonjak bangun.
“Siapa yang berkata demikian?”
Kata Thio Hun-cu heran, “Pekbo sudah merestui pernikahan
kami, kenapa tidak mengijinkan dia ikut kepadaku?”
Dengan muka serius Lim keng-hong berkata, “Memang!
Tapi dalam hal ini ada seluk beluknya yang perlu dijelaskan
dulu. Sin-ji, apakah kau tidak memberitahukan pesan terakhir
ayahmu kepadanya?”
Dengan takut-takut Soat Gi-sin menyahut, “Sudah pernah
kujelaskan! Hun-cu, dia tidak merasa jijik meski aku punya
penyakit, malah pun percaya bahwa aku mempunyai penyakit
turunan yang jahat, dan yang terpenting bahwa dia punya
keyakinan dapat mengobati penyakitku….”
Lim Keng-hong tertawa dingin, jengeknya, “Ayahmu sendiri
seorang tabib sakti yang tiada bandingnya, sedikitpun dia tak
mampu mengatasi penyakit jahat itu, dengan kemampuannya
yang tak seberapa itu, berani dia membuka mulut besar?
Jangan kau meninggalkan tempat ini, kau tidak akan hidup
lebih lama dari tiga tahun. “
Baru sekarang Thio Hun-cu paham duduk perkara
sebenarnya, cepat ia menyela; “Pekbo ternyata kau
menguatirkan kesehatan Gi-sin. Untuk hal ini legakan saja
hatimu. Sekarang ini Siautit ada menyelami beberapa
peninggalan dari paman Soat, sedikit banyak aku memperoleh
sedikit gambaran terhadap penyakit jahat yang biasa kumat
dalam jangka waktu tertentu. Kalau Gi-sin bisa pindah ke
tempat yang lebih hangat dan dalam suasana yang riang
gembira, mungkin bisa membawa manfaat bagi dirinya….”
Lim Keng-hong tertawa dingin, “Kalau begitu ilmu
pengobatanmu jauh lebih tinggi dan lihay dari ayahnya….?”
“Soal pengobatan Siautit tidak berani mengagulkan diri.
Ilmu pengobatan paman Soat memang teramat dalam dan
luas sekali, betapapun Siautit tak mampu menandingi beliau.
Cuma mengenai penyakit turunan yang jahat itu, agaknya
paman Soat belum pernah mengadakan eksperimen lainnya
yang berguna, maka berdasarkan kemungkinan yang tertera
di atas ajaran teorinya….”
Tiba-tiba Lim Keng-hong menggebrak meja dan berseru
gusar, “Jangan kau bicarakan teori dengan aku, di dalam hal
ini aku jauh lebih jelas dan paham dari kau, selama beberapa
keturunan keluarga Soat sengaja menetap di tempat tinggi di
atas alam pegunungan memangnya kau anggap tiada
sebabnya, anggap saja teorimu itu memang masuk di akal,
bagaimana pun juga Gi-sin tidak boleh ikut kau keluar dari
tempat ini, apakah kau tahu bahwa keluarga Soat masih
punya perundang-undangan lainnya?”
Cepat Soat Gi-sin menyela, “Bu, aku pernah jelaskan
kepadanya, menurut pandangannya sedikitpun aku tidak akan
melanggar larangan kakek moyang kita.”
“O, cara bagaimana kau beri penjelasan, coba kau
katakan!”
Thio Hun-cu segera menjawab, “Menurut undang-undang
leluhur, keluarga Soat tidak melarang keturunannya
meninggalkan lembah ini, tapi Gi-sin justru tidak terkekang
oleh larangan ini….”
“Anggapanmu dia bukan keturunan keluarga Soat?” seru
Lim Keng-hong marah.
Thio Hun-cu tertawa ewa, sahutnya, “Tentu sekarang,
benar, tapi setelah dia menikah dan ikut aku, dia bukan she
Soat lagi….”
Semakin beringas wajah Lim Keng-hong, tanyanya kepada
Soat Gi-sin, “Apakah kaupun berpikir demikian?”
Dengan menekan suara Soat Gi-sin menyahut pelan-pelan,
“Peraturan leluhur tidak melarang anak putrinya dengan orang
luar, bukankah dulu sudah ada contohnya?”
“Lain dulu lain sekarang, kini keluarga Soat hanya punya
kau seorang keturunan, setelah kau menikah dengan orang
luar, apakah untuk selanjutnya keluarga she Soat harus putus
turunan? Di waktu kau menyetujui lamarannya, apakah kau
pernah pikirkan hal ini?”
Soat Gi-sin menunduk dan tidak bersuara lagi. Tak tahan
Thio Hun-cu berkata, “Kalau begitu, selamanya Gi-sin tidak
bisa menikah dengan orang! Selamanya akan hidup
menyendiri dan menyepi di dalam lembah yang dingin dan
sebatangkara….”
“Benar! Selamanya tidak boleh menikah dengan orang
luar,” bentak Lim Keng-hong. “Tapi dia tidak akan
sebatangkara untuk selamanya, kalau tidak masa aku mau
merestui pernikahan kalian, apakah kalian tahu makna dari
pernikahan itu?”
Thio Hun-cu berpikir sebentar lalu menjawab, “Siau-tit
paham, maksud Pekbo adalah ingin Siau-tit menjadi menantu
keluarga Soat dan menetap di sini!”
Lim Keng-hong manggut-manggut, ujarnya, “Benar! Itulah
cara satu-satunya untuk menyambung keturunan keluarga
Soat. Kalau kau benar-benar mencintai Gi-sin, maka sudah
sepatutnya berani berkorban bagi dia….”
Thio Hun-cu termenung sebentar lalu menyahut dengan
tegas, “Untuk hal ini mungkin Siau-tit tidak bisa menurut.
Siau-tit hidup sebatangkara tanpa sanak kadang, kalau aku
harus memenuhi peraturan dan menyambung keturunan
keluarga Soat, apakah aku tidak boleh menyambung
keturunan keluarga Thio kita? Bagaimana aku harus
bertanggung jawab kepada leluhurku?”
“Hun-cu!” saking gugup Gi-sin menangis sesenggukan.
“Apa kau tidak sudi berkorban demi kepentinganku?”
Thio Hun-cu tertawa getir, katanya, “Gi-sin, kenapa kaupun
bisa berpikir demikian?”
Soat-lo Thay-thay terlongong sebentar, mendadak ia
menangis sesambatan sambil menutupi mukanya. Thio Hun-cu
membanting kaki dan menghela napas panjang.
Lim Keng-hong tidak tega melihat putrinya menangis
sedemikian sedihnya, akhirnya ia berkata kepada Thio Hun-cu,
“Kenapa kau begitu kukuh! Aku bukan orang yang egois untuk
memaksa kau meninggalkan marga leluhurmu, tapi Gi-sin
punya kesukaran yang lebih berat dari kau, dia terkekang oleh
larangan leluhur. Asal kalian dapat melahirkan dua anak, satu
orang satu keluarga bukankah kedua belah pihak sama-sama
memperoleh keuntungan?”
Tapi dengan keras kepala Thio Hun-cu menggeleng,
katanya, “Tidak mungkin! Kalau Gi-sin tetap tinggal di tempat
ini, penyakitnya selamanya tidak akan bisa sembuh, keturunan
keluarga Soat kalian akan selalu tunggal, seolah-olah sudah
menjadi tradisi, dia tidak akan mungkin memperoleh anak
lebih banyak, kecuali dia meninggalkan tempat ini.”
“Kalau dia meninggalkan lembah ini berarti melanggar
pantangan leluhur, maka selamanya tidak terhitung keturunan
keluarga Soat kita, meski kalian dapat beranak selusin juga
tidak diperbolehkan masuk menjadi keluarga Soat….”
Karena adanya alasan-alasan kuat dari kedua belah pihak
yang sama dikukuhi, sebuah perkawinan yang semestinya
membawa kebahagiaan nampaknya bakal gagal total. Dengan
penasaran dan hampa, Thio Hun-cu meninggalkan Kun Lunsan,
tapi dua hari kemudian Soat-sin-kok menjadi geger
karena Soat Gi-sin ternyata minggat.
-oo0dw0oo-
Jilid 5
GADIS PINGITAN yang sejak kecil biasa hidup di alam
pegunungan bersalju, tak kuasa menahan gejolak asmara lalu
mengejar kekasih yang didambakannya setiap hari, lupa akan
ajaran leluhur, tanpa menghiraukan kesedihan ibunya, jauh
ribuan li ia menyusul ke Thian-san utara, mereka
melangsungkan pernikahan dan selanjutnya hidup sebagai
suami istri dan sering berkelana di padang rumput.
Semula Lim Keng-hong sangat murka, secara diam-diam
iapun menyusul ke padang rumput, menurut rencana semula
ia hendak bunuh kedua muda mudi yang dianggapnya terlalu
kurang ajar ini. Tapi begitu ia melihat wajah Soat Gi-sin yang
bercahaya dan penuh diliputi rasa bahagia yang berlimpahlimpah,
niatnya jadi luluh. Maklum adanya ikatan cinta kasih
seorang ibunda terhadap putrinya, terpaksa ia memaafkan
mereka, secara diam-diam pula ia kembali ke Kun-lun-san.
Sang waktu berjalan cepat bagai aliran air takkan kembali
lagi, tanpa terasa dua tahun sudah berselang, hawa padang
rumput yang panas memang banyak memberikan perubahan
terhadap penyakit Gi-sin, selama itu ia tetap hidup dengan
sehat walafiat, malah sudah mengandung.
Lahirnya kelihatan Lim Keng-hong itu telah melupakan
mereka, namun secara diam-diam sering datang menjenguk
mereka, terutama di saat Gi-sin hendak melahirkan oroknya
hampir tiba, setiap hari beberapa kali dengan sembunyisembunyi
ia tengok keadaan putrinya. Karena ilmu silatnya
lihay, pergi datang tidak meninggalkan bekas, sepasang suami
istri yang dilingkupi rasa bahagia itu sedikit pun tidak tahu
menahu.
Gi-sin melahirkan seorang putri, kehidupan sehari-hari
bertambah bahagia semanis gula, penuh diliputi kasih mesra.
Semua kehidupan manusia dalam dunia ini memang tiada
yang abadi, tiada sesuatu yang tidak pernah berubah, di kala
putrinya itu Ceng Ceng menanjak satu tahun, bibit penyakit
dalam tubuh Soat Gi-sin mulai kambuh, memang itulah
penyakit khusus dari turunan keluarga Soat, suhu badannya
berubah sedemikian tinggi, setiap hari mulutnya mengigau,
seolah-olah jiwa raganya sedang digembleng dalam keadaan
kepanasan yang luar biasa.
Thio Hun-cu menggunakan kepandaian ilmu
pengobatannya berusaha menyembuhkan istri tercinta, segala
obat mujarab sudah dia gunakan, betapapun sulit usahanya ia
tetap tidak putus asa, akhirnya jerih payahnya ternyata
berhasil dengan menggembirakan.
Jiwa Soat Gi-sin dapat direnggut kembali dari elmaut. tapi
suhu badannya terlalu tinggi hingga ingatannya menjadi
kabur, dan celakanya selebar mukanya yang semula cantik
molek itu timbul bisul-bisul yang membusuk dan berubah
sangat menakutkan.
Suatu ketika ingatannya agak jernih, teringat kepada
putrinya, Ceng Ceng yang sudah berusia setahun, bocah cilik
itu ternyata punya perasaan tajam, melihat wajah ibunya yang
semenakutkan itu ia menjerit keras terus jatuh pingsan, jeritan
keras ini memukul batin Gi-sin, kesadarannya menjadi semakin
kabur, Gi-sin akhirnya sinting ia mendadak maju hendak
mencekik putrinya yang pingsan, untung Thio Hun-cu keburu
mencegah perbuatan gilanya tapi Gi-sin sudah gila betul-betul
suami sendiri pun tidak kenal lagi. Mereka berkelahi
kekuatannya luar biasa sampai Thio Hun-cu terdesak tidak
kuat lagi melawan, suatu ketika pinggangnya dipeluk kencangkencang
hingga susah bernapas, dalam seribu kerepotannya
cepat ia tutuk jalan darah penting di bawah tenggorokan Soat
Gi-sin, syukur peristiwa yang menegangkan urat syaraf ini
dapat dihentikan.
Thio Hun cu tahu bahwa penyakit gila tidak dapat
disembuhkan, demi keselamatan putrinya, terpaksa dia harus
dibunuh, supaya bebas dari penderitaan hidup yang tidak
wajar ini.
Di saat ia hendak turun tangan itulah, Lim Keng-hong yang
sembunyi itu menerobos ke luar merintangi tindakannya.
Timbul perdebatan dan adu mulut yang seru, akhirnya ia
semaput oleh pukulan Lim Keng-hong, selanjutnya Gi-sin
dibawa pulang ke puncak Kun-lun-san.
Tutukan Thio Hun-cu sangat berat, meskipun Soat Gi-gin
tidak mati tapi sekarat, kecuali berteriak-teriak sekejappun
tidak mampu bicara lagi.
Karena perobahan hebat ini, perangai Lim Keng-hong
menjali nyentrik, timbul perasaan dendam yang tidak
terlampias selama hidupnya terhadap Thio Hun-cu. Kehidupan
di atas pegunungan memang sunyi sepi, akhirnya dia
menerima seorang murid perempuan kecil, dia bukan lain
adalah Khong Ling-ling.
Di bawah perawatannya yang tekun dan hati-hati, penyakit
gila Gi-sin kadang-kadang kumat kadang-kadang baik, dengan
segala daya upaya Lim Keng-hong tetap tidak berhasil
menyembuhkan penyakit gila itu, tidak mampu pula
membuatnya bicara.
Waktu berjalan cepat, tahu-tahu dua puluh tahun sudah
berlalu. Lim Keng-hong berubah jadi nenek tua, ilmu
pengobatan dan kepandaian silatnya jauh lebih maju,
tabiatnya juga semakin jelek, kecuali Hwi-thian-ya-ce,
siapapun dilarang memasuki Soat-sin-kok.
Di saat Thio Ceng Ceng membawa Koan San-gwat datang,
pemuda yang terkena racun aneh itu menarik perhatian, ia
mau mengobatinya tapi setelah melihat wajah Thio Ceng Ceng
yang mirip ayahnya itu, membuat dia ingat akan dendam
lama, maka dia melarang Ceng Ceng ikut masuk ke dalam
lembah kediamannya.
Siapa tahu Thio Ceog Ceng diselundupkan ke dalam Soatsin-
kok oleh Peng-toanio, maka jadilah bentrokan dengan
Khong Ling-ling, dalam saat-saat berbahaya itu, mungkin
karena ada hubungan batin serta cinta ibu ter hadap anak,
keributan itu menarik perhatian Gi-sin yang disekap dalam
sebuah kamar tersendiri.
Saking kejut dan kegirangan karena Gi-sin yang terluka dan
dapat bicara, Soat-lo Thay-thay lupa diri, dia hajar Khong
Ling-ling yang sebelumnya ini tidak pernah terjadi.
Maka terjadilah peristiwa yang telah dituturkan di atas.
ooooo00000000oooooo
Thio Ceng Ceng mendengar cerita ini dengan terlongong
dan kesima, tanpa merasa air mata meleleh di kedua pipinya,
katanya sambil sesenggukan, “Lolo! Kalau begini apakah
tindakanmu tidak terlalu kejam terhadap ayah….?”
Bertaut alis Soat-lo Thay-thay, agaknya hampir marah lagi,
tapi ia urung mengumbar adat. Katanya sambil menghela
napas, “Untuk urusan lain aku boleh memaafkan dia, cuma
tidak pantas ia berlaku kejam terhadap Gi-sin, semalam
menjadi suami istri seratus tahun akan selalu terkenang,
ikatan batin suami istri laksana lautan dalamnya, mana boleh
berlaku culas terhadap isteri sendiri.”
Thio Ceng Ceng terbungkam seribu bahasa, selang agak
lama baru dia berkata pula, “Kejadian sudah berselang
demikian lama, kau orang sudah tua, tiba saatnya memaafkan
kesalahannya, mungkin karena terpaksa sehingga ayah
bertindak begitu, kalau ular beracun mengigit pergelangan
tangan, seluruh lengan harus cepat dipotong, kau sebagai
orang yang memperdalam ilmu pengobatan, seharusnya lebih
paham akan rasa penderitaan dan harus bertindak tegas
meski terpaksa.”
“Sudah tentu aku paham, kalau aku tidak mengerti hal ini,
hari itu sudah kupukul mampus dia, masa dia bisa hidup
sampai sekarang. Ai, sudahlah tiba saatnya kutanya kepada
bocah itu ada sangkut paut apa dengan kau! Apa yang telah
kalian alami?”
Thio Ceng Ceng menunduk jengah. Melihat kelakuan Thio
Ceng Ceng yang malu-malu ini terbayang oleh Soat-lo Thaythay
pada waktu Thio Hun-cu menggandeng tangan Gi-sin
menghadapnya dulu, waktu itu pun bersikap demikian.
Kenangan lama kembali terbayang dalam kelopak matanya,
hanya generasi mendatang yang akan mengulang kejadian
pahit yang sudah berselang itu.
ooooo0000ooooo
Kembang mekar untuk rontok pula, setahun sudah
berselang.
Satu-satunya jalan pegunungan untuk keluar dari Soat-sinkok
sudah tertutup salju, Soat-lo Thay-thay Lim Keng-hong
menyatakan akan menemani putrinya yang sudah sembuh
yaitu Soat Gi-sin menetap selamanya di dalam Soat-sin kok,
selama hidup ini mereka tidak akan berkecimpung di dunia
ramai.
Ilmu silat dan ilmu pengobatan yang dia miliki dengan
tekun dan teliti ia ajarkan kepada Thio Ceng Ceng, tapi
dengan satu syarat, yaitu harus membawa pulang batok
kepala Khong Ling-ling.
Kepandaian Khong Ling-ling adalah buah didiknya,
perbuatan Khong Ling-ling yang berani membokong guru
sendiri secara durhaka ini, sudah gamblang, bahwa gadis itu
berhawa culas dan kejam. Kalau manusia jahat seperti dia
tetap hidup di dunia ini tentu akan membawa bencana bagi
kehidupan manusia.
Tiada alasan bagi Hwi-thian-ya-ce Peng Kiok-jin untuk tetap
tinggal di atas gunung, terpaksa ia ikut turun gunung
berkecimpung pula di kalangan Kangouw. Sungguh haru dan
rawan pula hatinya, dalam sanubarinya masih menyimpan
rahasia, rahasia hubungan dirinya dengan Bing-tho-ling-cu
Tokko Bing, sudah berulang kali ia menyirap asal usul
kematian Tokko Bing kepada Koan San-gwat, tapi jawaban
Koan San-gwat sukar dipercaya.
Agaknya mengemban perasaan berat juga. Dua kali ia
muncul kedua-duanya menggetarkan dunia persilatan, padahal
ia hanya muncul seperti bintang di langit yang kelap kelip.
Di kala menatap mata Thio Ceng-Ceng yang cemerlang dan
lembut itulah baru rona wajahnya mengunjuk tawa yang
lebar, itulah tawa persahabatan, tawa yang mengandung rasa
terima kasih, haru dan mesra.
Sudah dua kali ia hampir menemui ajal tapi dua kali
ditolong oleh Thio Ceng-Ceng, adalah jamak kalau dia sangat
berterima kasih dan merasa berhutang budi pula.
Hidupnya memang sebatangkara, tiada kakak tiada adik,
hanya Thio Ceng Ceng saja sahabat terdekat, maka timbullah
dua perasaan bertentangan di dalam sanubarinya. Pemuda ini
bersikap dingin, tiada perasaan mesra terhadap hubungan
muda-mudi, kalau hanya hubungan kental antar
persaudaraan, dapatkah memuaskan nurani Thio Ceng Ceng?
Persoalan ini sulit dijawab. Sikap Thio Ceng Ceng terhadap
Koan San-gwat tetap mesra, lincah, jenaka, penuh gairah dan
cinta kasih pula, senang sama diresapi, duka sama dirasakan.
Cuma dalam batin ia mencurahkan perasaan hatinya, belum
pernah secara lahiriah memohon sesuatu kepadanya! Mungkin
dia bersikap menunggu, menunggu rona wajah yang kaku dan
dingin itu suatu ketika akan cerah dan penuh semangat.
Begitulah, dari barat mereka menuju ke timur langsung
memasuki Tionggoan, selama perjalanan itu sedikitpun tidak
menarik perhatian kaum persilatan.
Maklum Hwi-thian-ya-ce sudah lama menyembunyikan diri,
kaum persilatan sudah lama melupakan dia. Thio Ceng Ceng
hanya seorang gadis yang kelihatan hijau, hanya Koan Sangwat
pernah menggemparkan Bulim setahun yang lalu,
apakah kaum persilatan sudah lama melupakan dia juga?
Kiranya tidak mungkin atau mungkin kaum persilatan mengira
dia sudah mati.
Dalam rumah makan pada sebuah perkampungan, agar
mendengar percakapan kaum perdagangan atau para Busu
dari perusahaan Piawkiok, sungguh tidak nyana bahwa
setahun ini kehidupan di kalangan Kangouw ternyata tenteram
sentosa.
Sejak Khong Bun thong mati, Khong Bun-ki pun mati
menghilangkan, mengundurkan diri percaturan dunia
persilatan, agaknya Khong Ling Ling pun belum pernah pulang
ke kampung halamannya, kalau tidak masa sedikitpun tidak
terdengar kabar beritanya.
Hari ini mereka tiba di luar kota Ciu-coan. Sebagai kota
penting yang menjadi pusat perdagangan antar kota utara dan
selatan, kota ini lebih ramai, tempat singgah bagi para
pedagang dan kelana Kangouw.
Koan San-gwat bertiga duduk di barak ujung utara, mereka
makan gulai dan sate kambing, gegares hidangan mereka
pasang kuping dan diam-diam memperhatikan gerak-gerik
para tamu yang hilir mudik di sekitarnya, jelas tentang situasi
kalangan Kangouw selama setahun belakangan ini.
Tapi mereka agak kecewa, karena orang-orang yang
singgah di sini dari kaum persilatan tingkat rendah melul.
Kata-katanya kasar, suka jual lagak lagi.
Syukur sejak kecil Thio Ceng Ceng sudah biasa bercampur
baur dengan para gembala di padang pasir, sehingga ia tidak
merasa rikuh akan kelakuan kasar dan perkataan kotor itu.
Demikian juga usia Peng-toanio sudah cukup lanjut, tidak
jadi soal mendengar ucapan yang menusuk perasaan orang
lain.
Koan San-gwat risi dan kikuk merasa dongkol pula, tapi
orang bebas bersenda gurau atau mengumpat caci orang lain
tanpa menyinggung dirinya.
Di saat ia merasa sebal dan tidak sabar lagi, dari arah timur
didengarnya derap langkah kuda ramai, puluhan laki-laki yang
datang itu berlumuran darah, ternyata kuping kiri mereka
terpotong hilang diiris orang.
Kedatangan puluhan laki-laki yang ini membuat orangorang
barak itu kesima, hening sesaat lamanya. Mereka
mengawasi para laki-laki yang kehilangan sebelah kupingnya
itu.
Seorang laki-laki yang kelihatannya pemimpin mereka
berteriak, “Tiam-keh! lekas bawa air panas kemari, suruh
pelayanmu memanggil tabib kemari!”
Tersipu-sipu pemilik warung makan membawakan
beberapa baskom air panas serta berkata tersendat-sendat, “
Tuan-tuan apakah yang terjadi, di daerah sini tiada tabib yang
pintar, terpaksa harus panggil dari kota!”
Laki-laki itu uring-uringan, bentaknya, “Sewa kereta dan
panggil dia kemari, kalau kita bisa masuk kota memangnya
kita sudi berhenti di sini, keadaan kita seperti ini masuk kota
hanya menjatuhkan pamor Siang-ing Piaukiok saja.”
Keadaan menjadi ramai oleh suara heran dan bisik-bisik,
agaknya nama Siang-ing Piaukiok cukup tenar, bahwa kuping
mereka teriris semua adalah jamak kalau membuat orang lain
heran. Namun siapa yang berani bertanya kepada mereka?
Tergerak hati Koan San-gwat, segera ulurkan tangannya ke
arah Peng-toanio, maksudnya minta buntalan obat luka-luka
yang mereka bawa dari Kun-lun-san, jumlahnya tidak banyak,
sebetulnya mereka membekal obat untuk keperluan sendiri,
maka Peng-toanio ragu-ragu untuk memberinya.
Tapi tanpa pikir segera Thii Ceng Ceng membuka buntalan
itu dan mengangsurkan obat yang diminta, terpaksa Pengtoanio
diam saja.
Begitu menerima obat itu, bergegas Koan San-gwat berdiri
terus mendekati laki-laki itu serta bersoja, katanya, “Saudara
ini, aku yang rendah kebetulan membawa obat luka mujarab
dari peninggalan leluhurku, kalau saudara sudi mari silahkan
pakai saja obat ini….”
Melihat orang berpakaian pelajar, sudah tentu laki-laki itu
tidak mengenal bahwa yang dihadapi adalah Bing-tho-ling-cu
yang kenamaan itu, maka sikapnya rada dingin dan
menyangsikan kasiar obatnya itu, namun orang membantu
dengan tulus tidak enak menampik kebaikan orang, maka ia
berkata, “Terima kasih, Siangkong!”
Segera Koan San-gwat membuka buntalan obatnya lalu
mengobati luka-luka di kupingnya, kasiat obatnya ternyata
luar biasa, kontan laki-laki itu merasa luka-lukanya tidak sakit
dan terasa nyaman, malah darahpun berhenti mengalir, tanpa
terasa mulutnya menyeringai lebar mengalir dan memuji,
“Obat Siangkong sunggub mujarab, masih ada beberapa
saudaraku yang terluka, harap Siangkong suka memberi
pertolongan juga pada mereka, nanti akan kami beri imbalan
yang cukup berarti.”
Koan San-gwat tersenyum lebar, katanya, empat penjuru
lautan adalah saudara, kenapa saudara berlaku sungkan!!”
satu persatu ia bubuhi obat pada luka-luka mereka. Melihat
tindak tanduk Koan San-gwat yang gagah dan berwajah cakap
lagi keruan pemimpin itu segera mengunjuk hormat serta
berkata, “Harap tanya nama besar Singkong yang mulia,
Supaya kelak kita bisa membalas kebaikan ini. Aku She Sun
bernama Cit, gelaranku Hek-ing (elang hitam), sebagai
pimpinan Siang-ing piaukiok. Jalan-jalan raya antara Kam-siok
menuju ke Siamsay bila Siangkong punya keperluan silahkan
sebut namaku, tentu para kawan Bulim banyak yang suka
memberi bantuan.”
Koan San-gwat tersenyum, sahutnya, “Saudara Sun Cit
kenamaan di daerah Siam-say dan Kam-siok, sungguh
beruntung aku yang rendah bisa berkenalan ….”
Sun Cit tertawa getir, katanya, “Ah, Siang kong menggoda
saja, karena kehilangan kuping kiri ini, kebesaran Hek-ing
boleh dikata sudah runtuh sama sekali ….”
“Apakah yang telah terjadi?”
“Kalau dibicarakan memang memalukan, sudah dua puluh
tahun Siang-ing piaukiok mondar mandir di jalan raya ini,
belum pernah gagal, namun hari ini kita terjungkal secara
total. Kereta barang dirampas, dua orang piau-thau tertabas
kutung kepalanya, empat orang kami dibuntungi sebelah
kupingnya, kalau diceritakan sulit dipercaya, pihak lawan
hanya seorang saja, dia menunggang unta, tapi dengan
mudah ia gondol kereta yang memuat dua laksa tail perak.”
Berubah air muka Koan San-gwat, serunya, “Apa?
Perampok itu menunggang unta? Unta macam apa?”
Sun Cit mendengus, sahutnya, “Binatang seperti itu
memang jarang terlihat, seluruh tubuhnya berbulu mulus
tanpa terlibat rambutnya yang berwarna lain, tapi berat uang
perak sebanyak dua laksa tail itu, namun ia dapat
membawanya lari bagai terbang.”
“Jadi unta sakti itu….” teriak Koan San-gwat tak tertahan.
Sun Cit melirik sekali, tanyanya, “Unta sakti yang mana
maksud Siangkong?”
“Aku pernah dengar unta yang ditunggangi Bing-tho-ling-cu
adalah seekor unta sakti dan pintar sekali….”
“Salah!” tukas Sun Cit, “Unta Bing-tho-ling-cu berbulu
putih, tapi tunggangan Hwi-lo-tho (Unta terbang) itu adalah
seekor unta hitam, tapi kekuatan larinya agaknya masih kalah
dibanding dengan Bing-tho!”
“O, sungguh tidak nyana di atas dunia ini, masih ada unta
lain yang dapat menandingi unta sakti berbulu putih itu.”
Sun Cit mengunjuk rasa curiga, ia merasa ucapan Koan
San-gwat seperti kelepasan omong, tapi Koan San-gwat
segera memperbaiki sikapnya, ujarnya, “Aku pernah dengar,
katanya unta sakti milik Bing-tho-ling-cu itu adalah seekor
binatang cerdik pandai berbulu putih mulus, sungguh tidak
kita masih ada unta hitam yang setanding dengan dia…. Sunheng
tadi mengatakan orang itu bergelar Hwi-lo-tho?”
“Begitulah! Kecuali ketiga huruf itu, keparat itu tidak
pernah mengeluarkan sepatah kata juga.”
“Orang macam apakah dia.?”
Tidak tahu. Seluruh badan orang itu di kerudung pakaian
hitam, gerak geriknya laksana angin, ilmu silatnya tinggi,
sekali turun tangan ia bunuh dua pembantuku, tahu-tahu kita
merasa angin berkesiur ternyata kuping kirinya sudah putus
dari tempatnya dengan mendelong terpaksa kami awasi saja
dia menggondol pergi barang kawalan kita ke atas untanya
terus menghilang, dia laki atau perempuan kitapun tidak
tahu!”
“Bagaimana perawakannya? Tinggi, rendah, gemuk atau
kurus tentunya bisa diketahui bukan?”
“Tidak tinggi juga tidak rendah, sedang, saja, tidak gemuk
dau tidak kurus tiada sesuatu yang menarik perhatian kita!”
Berubah air muka Koan San-gwat katanya, “Dua laksa tail
perak bukan jumlah kecil, bagaimana saudara memberi
pertanggungan jawab?”
Sun Cit menghela napas, katanya, “Kehilangan harta masih
mampu diganti, jiwa beberapa kawan itu yang mati
penasaran, bukan saja nama baik perusahaan kami jatuh,
nama besar Ciong-lam-pay pun ikut tersapu bersih!”
“Ada hubungan apa antara Siang-ing Piaukiok dengan
Ciong-lam-pay?”
“Majikan kami Doh-he-siang-ing adalah murid Ciong-lampay.”
Koan San-gwat manggut-manggut, katanya, “Orang yang
menamakan dirinya unta terbang itu mungkin bukan
sembarangan begal atau rampok picisan di kalangan
Kangouw. Atau mungkin memang sengaja hendak mencari
perkara terhadap Ciangbunjin.”
“Akupun berpikir demikian. Eh, Siangkong seperti orang
sekolah, tapi agaknya cukup tahu seluk beluk dunia
persilatan!”
Koan San-gwat hanya tertawa tanpa menjawab pertanyaan
ini tanyanya mengalihkan pembicaraan. “Kejadian ini
kedengarannya sangat ganjil dan sulit dipercaya, setelah
Saudara Sun bertemu dengan majikan, mungkin kaupun sulit
memberi penjelasan kepadanya!”
Sun Cit cemberut, ujarnya, “Ya, unta terbang itu memang
meninggalkan tanda mata tapi dengan bukti-bukti yang ringan
ini, sulit memberi uraian, tetapi betapa pun dua jiwa dan
empat belas kuping menjadi kenyataan, tidak percayapun
majikan harus menerima kenyataan ini.”
Koan San-gwat yang tertarik, tanyanya, “Jadi orang itu
masih meninggalkan bukti lain, apakah saudara Sun bisa
memperlihatkan kepadaku?”
Sun Cit rada sangsi sebentar, tapi karena rikuh akhirnya ia
mengeluarkan sekeping tembaga sebesar telapak tangan. Di
atas tembaga tipis itu terukir seekor unta hitam yang
bersayap, di bawah ada tertulis “Hwi-tho-ling” (lencana unta
terbang). Dan di baliknya ada tertulis pula hurup yang
berbunyi, “Unta terbang tiba orangnya datang, Lencana
terbang jiwapun melayang.”
Tanpa merasa ragu wajah Koan San-gwat menunjukkan
amarah hatinya, jari-jarinya lantas meremas, sontak tembaga
itu diremas hancur menjadi bubuk dan berhamburan dari selasela
jarinya.
Mencelos hati Sun Cit, sesaat ia kesima dan mematung
tidak tahu apa yang harus dia perbuat.
Pertama ia tidak menduga pemuda pelajar yang lemah
lembut ini memiliki tenaga besar, kedua tembaga itu diremas
hancur lalu bagaimana ia harus memberi pertanggungan
jawab bila kembali nanti.
Dengan suara berat berkatalah Koan San-gwat, “Dalam tiga
hari, kutanggung barang-barangmu yang hilang akan kuminta
kembali!”
“Siangkong. kau….” Sun Cit tergagap tak kuasa
mencetuskan kata-katanya.
“Sehari aku masih hidup, tidak kubiarkan orang lain berani
menggunakan unta sebagai lambang kebesarannya!”
Sun Cit adalah kawakan Kangouw, melihat tindak tanduk
orang, dalam hati ia sudah meraba-raba cuma ia tidak berani
mengutarakan.
Terangkat alis Koan San-gwat, katanya dengan bengis,
“Jadi kau tidak percaya aku dapat merampas kembali barangbarangmu
itu?”
“Cayhe tidak punya pikiran begini, cuma dapatkah kami
tahu nama Siangkong yang mulia….supaya Cayhe dapat
memberi pertanggungan jawab!”
Dengan sikap tawar Koan San-gwat merogoh keluar
sekeping tembaga diserahkan, katanya, “Cukup kau serahkan
milikku ini kepadanya!”
Begitu Sun Cit menerima tembaga dan melihat gambarnya,
seketika tangannya gemetar. Karena dia kenal bahwa lencana
tembaga itu adalah Bing-Tho-ling-cu yang sangat tenar di
seluruh kolong langit, tanpa ditanya ia sudah tahu bahwa
pemuda di hadapannya ini adalah Bing-Tho-ling-cu.
Melihat orang takut dan keheranan, Koan San-gwat tertawa
geli, katanya, “Boleh kau beritahu majikanmu, bahwa Koan
San-gwat masih belum mati.”
Kini Sun cit sangat hormat dan merendah sahutnya sambil
berdiri tegak meluruskan ke dua tangan, “Baiklah, Ling-cu!”
Suasana dalam dan luar warung makan itu menjadi hening,
semua orang memandang heran kagum kepada pemuda yang
lemah lembut ini.
Memang mereka belum pernah melihat atau berjumpa
dengan tokoh yang hebat ini, tapi nama kebesaran Bing tho
ling-cu laksana geledek berkumandang di kuping mereka.
Mereka sudah sering mendengar berbagai kisah
kepahlawanan pemuda ini.
Siapa akan nyana tokoh yang diagungkan seperti dalam
dongeng itu kini berdiri di hadapan mereka.
Sikap Koan San-gwat tetap lemah lembut katanya, “Di
tempat mana terjadinya peristiwa itu?’
“Dua puluh li di depan sana daerah tandus yang dinamakan
Eng-ciu-kang!”
“Gelarmu Hek-ing, setiba di Eng-ciu-kang (bukit elang
murung), seolah-olah memang sudah ditakdirkan kau bakal
terjungkal di sana!”
“Ling-cu menggoda saja, harap tanya malam ini Ling-cu
menetap dimana? Sebentar Siau-jin akan mengutus orang
untuk memberi laporan, sementara Siau-jin akan memberi
penjelasan kepada Ling-cu.”
“Tidak usahlah! Aku belum mendapat tempat tetap!”
“Silahkan Ling-cu singgah di penginapan Kip-ing di dalam
kota, pemilik penginapan yang bernama Lau sam-thay juga
seorang persilatan, berhubungan sangat akrab dengan
majikan kami, tentu beliaupun sangat senang kedatangan
Ling-cu.”
“Begitupun baik,” ujar Koan San-gwat sesudah berpikir
sebentar, “Sebetulnya tiada keinginanku untuk mendapat
pelayanan, justru diapun seorang persilatan, seandainya di
dalam penginapannya nanti terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan, tidak nanti menimbulkan keributan yang berarti.
Menurut dugaanku unta terbang itu pasti akan mencari
perkara kepadaku nanti.”
Mendapat persetujuan Koan San-gwat, kelihatannya Sun Cit
sangat gembira, tersipu-sipu ia mengutus bawahannya
memberitahukan kepada Lau Sam-thay lalu menyiapkan tiga
ekor kuda untuk Koan San-gwat. Di waktu naik ke atas kuda
sambil tersenyum lebar Peng-toanio berkata kepada Koan
San-gwat, “Sepak terjangmu jauh berlainan dengan gurumu.
Gurumu selalu secara mendadak dan tidak terduga-duga
laksana ular naga yang kelihatan buntutnya tidak kelihatan
kepalanya, jarang bergaul dengan khalayak ramai. Orang—
orang rendah macam kita ini jangan harap berkenalan dengan
beliau!”
“Pandangan guruku memang teramat tinggi sepak
terjangnya, juga misterius, sehingga menimbulkan salah
paham para sahabat Kang-ouw. Beliaupun merasa sangat
menyesal akan kejadian ini, berulang-ulang beliau berpesan
kepadaku untuk merubah tindak tanduknya dulu, lebih banyak
bergaul dengan para sahabat Kangouw.”
Peng-toanio tertawa, katanya, “Mencari sahabat harus cari
orang-orang yang bernilai. Orang macam apa elang hitam Sun
Cit, Cit-sing-to Lau Sam-thay itu? Bila kau keluarkan
maklumat, para Ciangbunjin berbagai aliran pasti datang ingin
berkenalan dengan kau….”
Koan San-gwat geleng kepala, “Aku lebih suka bergaul
dengan orang-orang rendah macam mereka ini, hanya
orangorang seper-ti seperti mereka mau bersahabat secara
tulus dan bakti, mereka tidak akan berani main tipu daya atau
mengatur jebakan mencelakai diriku, paling dalam saat-saat
yang diperlukan, mereka tentu dapat dikerahkan untuk
melaksanakan tugas-tugas tanpa pamrih, sekarang yang
belum kumiliki adalah para sahabat seperti mereka ini!”
Peng-toanio melongo dan tertegun, agak lama kemudian
baru ia berkata, “Belum pernah aku berpikir begitu, agaknya
kau lebih bajik dari gurumu.”
Tergerak hati Koan San-gwat, tanyanya, “Toanio,
hubungan dengan guruku apakah anda sangat intim?”
“Intim sih tidak, cuma pernah bertemu beberapa kali!”
Melihat air muka orang waktu bicara seperti tertekan
perasaannya, diam-diam tergerak sanubarinya Koan San-gwat,
tapi segera ia menyangkal pula akan rabaan hatinya, karena
gurunya adalah seorang sebatangkara, hidupnya selalu dalam
suasana hening dan sepi, tidak mungkin ia terikat dalam
persoalan asmara.
Waktu mereka tiba di ambang pintu kota, Lau Sam-thay
sudah menunggu jauh-jauh sudah menjura, serunya, “Cayhe
tidak tahu kedatangan Ling-cu, harap dimaafkan sambutan
yang terlambat ini. Hari ini, betapa besar hati kami mendapat
kunjungan Ling-cu ke penginapan kami, sehingga menambah
ramai dan semarak….”
“Lau-heng!” ujar Koan San-gwat tertawa sambil membalas
hormat, “meski kita baru pertama kali ini bertemu tapi LauTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
heng berderma bakti kepada sesamanya sudah lama aku
dengar, sebagai orang persilatan, tidak perlu banyak adat
istiadat, apalagi kedatangan kami ini bakal membikin repot
kau saja.”
Melihat sikap Koan San-gwat terbuka dan supel lagi, Lau
Sam-thay menjadi getol, ingin rasanya ia mengorek jantung
sendiri untuk membalas kebaikan orang, dengan seri tawa
cepat-cepat ia berkata, “Ling-cu terlalu menjunjung kami!
Jangan kata nama besar Ling-cu sudah menggetarkan empat
lautan, aku yang rendah masa ada harganya berkenalan, pula
persoalan sahabatku ini, seumpama harus mengorbankan
harta benda juga tidak jadi soal. Ling-cu mari silahkan!”.
Begitulah Lau Sam-thay menjadi petunjuk jalan, tak lama
kemudian mereka sudah tiba di depan penginapan Kip-ing,
Karena Cit-sing-to Lau Sam-thay merupakan tokoh yang
mempunyai nama dan kedudukan di daerah Liang-cu, maka
banyak orang-orang yang datang berkerumun di sepanjang
jalan menyambut kedatangan mereka.
Koan San-gwat bertiga turun dari atas kuda terus
dipersilahkan masuk, dilihatnya banyak tamu sedang berbenah
barang-barangnya siap meninggalkan penginapan itu. Koan
San-gwat melengak, tanyanya, “Lau-Leng! Kenapakah mereka
itu?”
“Ling-cu adalah tamu agung yang sulit datang kemari, asal
Ling-cu sudi menginap semalam saja di penginapan kami ini,
maka penginapan kami tidak akan memberi pelayanan kepada
tamu-tamu yang lain! Sebagai tanda hormat kami kepada
Ling-cu!”
Koan San-gwat rikuh, katanya, “Kedatanganku ini sudah
cukup merepotkan, mana boleh mengganggu orang lain dan
merugikan usaha Lau-heng?”
“Hidup kami tidak tergantung oleh penginapan ini saja,
tempat ini hanya untuk mencari persahahatan dengan kaum
persilatan, banyak di antara mereka tidak kutarik ongkos.
Bukankah Ling-cu malam ini hendak menghadapi unta terbang
itu disini, dari pada konyol lebih baik mereka disingkirkan saja.
Soalnya si unta terbang ini baru pertama kali terjun ke dunia
persilatan, tapi sepak terjangnya terhadap Siang-ing piaukiok
dapatlah dibuktikan bahwa adalah seorang yang culas dan
kejam, kalau mereka tinggal disini bukankah menambah
kesulitan saja!?”
Karena alasan yang cukup, Koan San-gwat tidak enak
banyak bicara lagi.
Di samping menyiapkan hidangan, Lau Sam-thay
menyediakan tiga kamar mewah untuk mereka istirahat. Untuk
perjamuan Lau Sam-thay menyiapkan tiga meja. Lau Samthay
sendiri yang melayani dan menyiapkan semua perjamuan
itu. Tidak ketingggalan Peng-toanio dan Thio Ceng Ceng hadir
makan minum itu.
Selama itu Lau Sam-thay belum tahu asal usul dan
kedudukan Peng-toanio dan Thio Ceng Ceng, belum lagi ia
sempat bertanya, tiba-tiba Koan San-gwat menjengek dingin,
dengan muka masam, serunya lantang ke arah jendela,
“Kawan di luar itu, silahkan masuk untuk bicara, kenapa
berdiri di luar mencuri dengar pembicaraan orang?”
Terdengar tawa dingin di luar jendela, ke depan daun
jendela tiba-tiba menjeplak, sesosok bayangan orang hitam
berkerudung melompat masuk, kontan Sun Cit menjerit keras,
“Unta terbang….”
Mendengar pendatang ini adalah unta terbang, sikap Koan
San-gwat berubah tenang dan dingin, katanya tawar, “Sudah
kuduga kau pasti datang, cuma tidak kusangka datangmu
sedemikian cepat.”
Suara orang berkedok sangat menghina, katanya, “Koan
San-gwat! Sebetulnya beberapa hari lagi baru aku akan
mencari kau tapi dari kau berani menghancurkan Unta
terbang….”
Koan San-gwat menukasnya dengan suara bengis, “Selama
Bing Tho Ling Cu masih hidup, siapapun kularang
menggunakan lambang unta sebagai lambang kebesarannya.”
Orang berkedok tertawa dingin, katanya, “Kentut! Justru
aku tidak senang melihat Bing tho-ling cu yang sok menang di
Kang-ouw maka sengaja kupilih unta sebagai lembang
kebesaranku, apakah kau masih ingat peringatan yang kuukir
di atas lencanaku? Unta tiba orangnya datang, lencana
terbang jiwapun melayang.”
Koan San-gwat berteriak menambah gusarnya, “Baik! ingin
aku melihat buktinya, berani kau bicara besar dan pongah!”
“Nanti dulu! Aku ingin berunding dengan kau, tapi lambang
kebesaran Bing-tho-ling-cu, yaitu Tok-kak-cinjin (patung emas
kaki-tunggal) serta unta putihmu sekarang tidak kau bawa,
kalau aku dapat mengalahkan kau rasanya kurang dapat
dibanggakan!”
Koan San-gwat berpikir sejenak lalu berkata, “Patung emas
dan unta putih ditinggalkan di suatu tempat, untuk
membawanya kemari pulang pergi memerlukan dua tiga hari
lamanya….”
“Tidak perlu!” tukas si orang berkedok sambil
menggoyangkan tangan, “Aku tahu, kedua pusakamu berada
di puncak Thian-san utara, maka sudah kuutus orangku untuk
membawanya kemari. Satu bulan kemudian, kami bertemu di
Thay-san-koan, unta lawan unta, manusia lawan manusia!
Marilah kita berduel untuk memegang kebesaran nama
masing-masing.”
Disamping melengak berkobar semangat Koan San-gwat,
serunya, “Baiklah. Tapi persoalan dengan Siang-ing Piaukiok,
aku berjanji dalam waktu tiga hari merampas balik barangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
barang mereka sekarang kau memberi pertanggungan
jawabmu.”
Orang berkedok bergelak tawa, ujarnya, “Sebetulnya aku
punya sedikit perselisihan dengan anak murid Ciong-lam-pay,
baiklah kupandang mukamu, sementara aku kesampingkan
urusan ini, uang perak ini tetap dalam bentuk semula belum
tersentuh, kini kutinggalkan di luar pekarangan. Anggaplah
aku memberi muka dan kemurahan atas nama Bing-tho-ling.”
Setelah bicara badannya barkelebat menghilang, waktu
Koan San-gwat memburu ke depan jendela, bayangannya
sudah tidak kelihatan. Tampak di pekarangan sana
menggeletak dua susun peti besar, di sebelahnya berdiri
seorang pelayan membawa nampan sayur mayur yang masih
mengepulkan asap, ternyata Hiat-tonya tertutuk hingga berdiri
kaku.
Segera Koan San-gwat melompat keluar, sekali tepuk ia
hendak bebaskan tutukan pelayan itu, kontan pelayan itu
menjerit keras, bukan saja tidak bebas tutukannya malah
orangnya roboh terkapar.
Peng-toanio ikut memburu keluar, melihat keadaan ini
berubah air mukanya saat mana Koan San-gwat sudah
berjongkok dan hendak meneruskan pertolongannya. Maka
cepat ia mencegah, “Jangan! Itulah Cit-tok-jiu-hoat!”
Koan San-gwat melengak, tanyanya tidak mengerti,
“Apakah Cit-tok-jiu-hoat ini?’
Peng-toanio tidak sempat memberi penjelasan, cepat ia
menoleh ke arah Thio Ceng Ceng, katanya, “Nona! Peng-sipcoan-
san buatan ayahmu masih ada?”
Dari dalam bajunya Thio Ceng Ceng mengeluarkan sebuah
botol kecil menuang sebutir pil diserahkan kepadanya. Begitu
menerima pil langsung Peng-toanio jejalkan ke mulut si
pelayan, lalu ia ulur tangan mengurut dan menepuk ke arah
yang berlawanan, tidak lama kemudian pelayan itu sudah
mulai bergerak.
Baru sekarang Peng-toanio sempat menarik napas lega.
Katanya kepada Lau Sam-thay, “Dia harus istirahat setengah
bulan baru bisa sehat seperti sedia kala, dalam setengah bulan
jangan ia diberi makan udang atau ikan laut dan makanan
yang amis….”
Lau Sam-thay mengiakan sambil mengucapkan terima
kasih, segera ia menyuruh pembantunya menggotong masuk
pelayan itu. Lalu ia persilahkan Koan San-gwat bertiga
meneruskan makan minum. Sementara Sun Cit sedang repot
menghitung dan memeriksa barang-barangnya.
Setelah duduk Koan San-gwat bertanya, “Cit-tok-jiu-hoat
itu sungguh amat lihay!”
“Kejadian ini merobah terkaanku semula,” ujar Peng-toanio
tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan.
“Terkaan apa maksudmu?” tanya Koan San-gwat.
“Terkaan mengenai Unta terbang itu, semula kukira Unta
terbang ini adalah ….”
“Khong Ling-ling maksudmu?” tanya Koan San-gwat.
“Jadi kaupun memikir kesitu?”
“Tokoh-tokoh kosen dalam Bulim sekarang tidak terlalu
banyak jumlahnya apalagi keji dan telengas, kecuali
perempuan laknat itu kiranya tidak ada orang lain, tapi setelah
melihat Unta terbang tadi dugaanku kuhapus sendiri. Unta
terbang tentu orang lain, jelas-jelas ilmu silat orang ini
teramat tinggi, mungkin jauh di atas kepandaian Khong Lingling
sendiri.”
Peng-toanio manggut-manggut, katanya, “Benar! Orang ini
bisa menggunakan Cit-tok- jiu-hoat, kalau dia benar anak
murid orang itu, mungkin dia bakal menjadi musuhmu yang
paling tangguh!”
“Toanio!” ujar Koan San-gwat dengan penuh curiga,
“sebetulnya apakah yang kau maksud?”
Berubah air muka Peng-toanio, tanyanya dengan suara
berubah, “Sekarang jawab pertanyaanku secara terus terang,
sebetulnya Tokko Bing benar sudah meninggal?”
“Guru memang sudah ajal, kenapa Toanio ajukan
pertanyaan ini?”
“Koancu! Terhadapmu boleh dikata aku membantu sekuat
tenaga dengan seluruh jiwa ragaku, usiaku sudah lanjut, harus
berkecimpung dengan kau di Bulim, kenapa kau tidak suka
bicara terus terang kepadaku?”
“Toanio,” ujar Koan San-gwat dengan gelisah dan hampa,
“Ucapanmu tidak berani aku menerimanya.”
Peng-toanio kelihatan gusar, “kalau Tokko Bing benar
benar sudah ajal, Cit-tok-jiu hoat itu tidak mungkin muncul di
kalangan Kangouw!”
Koan San-gwat rada sangsi sebentar lalu berkata perlahanlahan,
“Guruku memang belum meninggal, tapi keadaannya
hampir sama dengan orang mati!”
“Apakah jadi ilmu silatnya sudah punah semua?” bergegas
Peng-toanio bertanya.
“Bukan begitu! Tapi guruku tidak akan terjun kembali di
dunia ramai. Di waktu beliau menyerahkan Bing-tho-ling-cu
kepada aku, beliau ada berpesan, katanya beliau hendak
menghadiri sebuah pertemuan, selanjutnya hendak
mengasingkan diri, maka beliau baru memaklumkan berita
kematiannya, malah beliau juga memperingatkan kepadaku
supaya tidak membocorkan rahasia ini, jikalau tidak terdesak
oleh ucapan Toanio tadi, aku….”
“Kemana dia hendak menghadiri pertemuan itu?” tanya
Peng-toanio lebih lanjut.
“Hal itu aku sendiri tidak tahu,” sahut Koan San-gwat
sambil angkat pundak, “Segala apapun biasanya guru tidak
pernah mengelabui aku, cuma soal pertemuan itulah
sedikitpun aku tidak pernah mendengar kabar sebelumnya,
pernah berulang kali aku mengajukan pertanyaan sedikitpun
beliau tidak mau memberi keterangan kepadaku.”
Terunjuk mimik aneh yang selama ini belum pernah terlihat
pada wajah Peng-toanio, tanyanya, “Kalau begitu tentu benar
adanya! Anehnya Tokko Bing akan mendapatkan tempatnya
menetap, aku harus memuji dan mengumpaknya, akhirnya dia
dapat mengambil keputusan setelah mengalami gelombang
badai dan tekanan batin selama sekian tahun lamanya….”
“Toanio,” ujar Koan San-gwat ketarik, tanyanya, “Apakah
kau tahu kemana tujuan guruku itu?”
“Ya!” sahut Peng-toanio manggut-manggut. “Dalam dunia
ini mungkin cuma aku seorang yang tahu di mana tempat
tinggalnya.”
“Dimana?” kini giliran Koan San-gwat yang terharu dan
gelisah.
Perasaan hampa terbayang pada sorot mata Peng-toanio,
katanya. “Tidak bisa kukatakan, aku cuma tahu dia menghadiri
pertemuan dengan siapa, dan salah sebuah tempat yang
disebut Siau-se-thian. Tapi sudah sekian tahun aku kelana di
Kang-ouw selamanya belum pernah kudengar dan tidak tahu
dimana letak Siau-se-thian itu….”
Koan San-gwat rada kecewa, tapi dengan sabar ia
bertanya, “Lalu dengan siapakah guruku mengadakan
pertemuan? Dalam kejadian ini tentu ada latar belakang yang
tersembunyi!”
“Kalau Tokko Bing sendiri tak mau memberitahukan kepada
kau, maka akupun tidak bisa menjelaskan kepadamu.”
Melihat air muka Koan San-gwat mengunjuk rasa kurang
senang, sementara Thio Ceng Ceng juga hendak bicara,
terpaksa ia menyambung sambil menghela napas, “Bukan aku
sengaja jual mahal, soalnya dulu kita pernah melakukan
sumpah yang sangat berat, seandainya aku mengorbankan
jiwaku untuk menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya,
tapi tidak berani aku pertanggungjawabkan akan akibatnya.
Padahal Tokko Bing tidak kenal takut pada langit dan dumi,
kenapa sampai sekian lamanya baru berani menghadiri
pertemuan itu.”
Mendengar uraian ini Koan San-gwat semakin bingung,
ucapan Peng-toanio tidak mengenai juntrungan yang
diharapkan, malah satu sama lain kata-katanya rada kontras.
“Kongcu!” Peng-toanio menambahkan, “Baiklah kuberi
bisikan kepada kau tentang jejak Tokko Bing ada hubungan
erat dengan Unta terbang itu. Kalau dalam pertemuan yang
akan datang kau dapat mengalahkan dia, urusan selanjutnya
akan beres, tapi bila kau ingin menjumpai gurumu, lebih baik
kau jangan sampai mengalahkan dia….”
“Kenapa bisa begitu?”
“Aku hanya bisa bicara demikian saja, kau boleh main terka
sendiri.”
Koan San-gwat tahu bahwa Peng Kiok-jin tidak akan
banyak bicara lagi, maka dari unta terbang itu. “Tapi aku
harus mengalahkan dia atau harus kalah olehnya?” Sementara
sorot mata Peng-toanio masih menatap dirinya, akhirnya
berketetapan, katanya tegas, “Kalau benar ilmu silatku tidak
becus, apa pula yang harus kukatakan, kalau tidak betapapun
aku harus berdaya upaya dengan segala kemampuan dan
kekuatanku demi menjaga kebesaran tradisi Bing-tho-ling-cu
yang sangat disegani. Bing-tho-ling-cu memang pernah kalah
oleh tipu daya yang licik tapi tidak boleh terkalahkan dalam
pertandingan silat.”
Peng-toanio menarik napas katanya, “Begini keputusan
Kongcu, apakah kau hendak menemui gurumu pula?”
“Tidak salah! Guru pandang Bing-tho-ling-cu lebih berharga
dari jiwanya sendiri, beliau orang tua mengajarkan ilmu silat
kepadaku, bukan karena aku harus menjadi muridnya adalah
ingin supaya aku dapat meneruskan kebesaran Bing-tho-Lingcu
yang diagungkan. Maka aku harus meletakkan dasar
persoalan ini di tempat yang utama, baru bolehlah aku
mempertimbangkan persoalan yang lain!”
“Begitupun baik,” ujar Peng-toanio manggut-manggut,
“Keputusanmu ini memang benar!”
Keputusan sudah diambil mereka jadi kehabisan bahan
untuk meneruskan percakapan ini, maka Thio Ceng Ceng
membuka suara sesaat kemudian, “Koan-toako, berapa jauh
letak Tay-san-koan itu dari sini?”
“Tidak jauh, menunggang kuda cepat, kira-kira sepuluh hari
bisa sampai.”
“Unta terbang menjanjikan satu bulan yang akan datang,
jangka waktu masih panjang,apa yang harus kita lakukan?”
Berkerut alis Koan San-gwat, sahutnya, “Ya, benar-benar
serba runyam, sebetulnya aku hendak menyelidiki keadaan
Loh-hun-kok, tapi waktu tidak keburu….”
“Ling-cu tidak usah kesana,” segera Lau Sam-thay bicara,
“Loh-hun-kok sudah kosong melompong tanpa dihuni
seorangpun juga. Sejak Khong Bun-thong mampus, Khong
Bun-ki pun menghilang, berita itu kudengar dari para sahabat
Kangouw yang memberi tahu kepadaku, kuduga hal ini tidak
usah disangsikan!”
Koan San-gwat manggut-manggut. Thio Ceng Ceng
bertanya lagi, “Lau-toako, apa kau pernah dengar berita
tentang ayahku, dia bernama Thio Hun-cu….”
Lau Sam-thay segera mengunjuk rasa kejut dan gugup,
katanya, “Kiranya ayah nona adalah Thio tayhiap, sungguh
aku berlaku kurang hormat…. sejak muncul sekali di Loh-hunkok,
sampai sekarang belum pernah muncul lagi, banyak
orang sedang mencari beliau.”
“Siapa saja yang mencari beliau? Untuk apa mereka
mencari ayahku?”
Lau Sam-thay garuk-garuk kepala, sahutnya, “Mereka
adalah murid-murid dari berbagai aliran dan golongan besar,
sedemikian besar tenaga yang mereka kerahkan untuk
menemukan naga-naganya ada sesuatu urusan penting untuk
segera diselesaikan, cuma duduk perkaranya aku tidak jelas,
apakah nona sendiri tidak berada bersama ayahmu?”
Thio Ceng Ceng geleng-geleng kepala, katanya sambil
mengerut kening, “Rasanya mereka belum pernah ada
hubungan dengan ayahku, kecuali mereka terkena racun
berbisa, mau minta tolong hasilican ayahku.”
Lau Sam-thay manggut-manggut, ujarnya, “Ya, mungkin
demikian, apakah nona dapat memperkirakan dimana
sekarang ayahmu berada?”
“Tidak tahu! Rumah tinggal kita di puncak utara Thian-san,
beliau mungkin menetap disana, kalau tidak senjata Koantoako
berada disana kalau tidak mana bisa suruhan Unta
terbang mengambilnya….”
Mendadak Koan San-gwat menimbrung, “Lau-heng, apakah
kau tahu beberapa kelompok orang yang sedang mencari
paman Thio apakah rombongan yang berada paling dekat
dengan tempat ini?”
Lau Sam-thay berpikir sejenak lalu menjawab, “Yang
terakhir adalah Bu-khek-kiam-pay dari Im-san, putri
Ciangbunjin Im Siok kun yang bernama Im Tiang-hoa bulan
yang lewat di tempat ini dan menetap di penginapan ini, dia
pernah mencari tahu jejak Thio-tayhiap, lima hari yang lalu dia
datang pula, mungkin tidak membawa hasil apa-apa.”
Koan San-gwat tertawa senang, katanya, “Kalau begitu kita
tidak usah nganggur, kebetulan kita bisa menyelidiki persoalan
ini!”
Thio Ceng Ceng pun ingin tahu untuk keperluan apa
beberapa rombongan orang itu hendak mencari ayahnya,
segera ia mendukung niatnya, apa boleh buat terpaksa Pengtoanio
menurut saja. Lau Sam-thay bersemangat dan
kegirangan, perjamuan segera dilanjutkan lebih meriah sampai
tengah malam baru mereka masuk kamar untuk istirahat.
Hari kedua pagi-pagi benar Lau Sam-thay sudah
menyiapkan empat ekor kuda, segera ia persilahkan mereka
berangkat, melihat kuda yang dipersiapkan itu segera Koan
San-gwat berkata sambil tertawa lebar, “Agaknya Lau-heng
ingin ikut mencari keributan juga?”
Lau Sam-thay rikuh sahutnya menyengir, “Hobbyku
memang suka menyelidiki urusan Bulim, aku buka penginapan
dengan mengorbankan ongkos makan minum dan memberi
gratis, tujuannya adalah mengorek keterangan orang-orang
Kangouw itu, kapan dapat kesempatan sebaik ini, untuk
meluaskan pengalaman harap Ling-cu sudi mengijinkan aku
ikut serta.”
“Lau-heng sangat apal segala kejadian di Kangouw, tidak
enak aku menolak maksud baikmu ini, kelak bila aku ingin
mendirikan partai atau perguruan, orang-orang macam Lauheng
justru tenaga yang kubutuhkan!”
“Kalau Ling-cu punya cita-cita seluhur ini, meski badan
hancurpun aku akan mengabdi dengan suka rela.”
Begitulah sambil bercakap-cakap mereka berangkat,
sebagai orang setempat yang apal jalanan Lau Sam-thay
menjadi penunjuk jalan. Dari Lian-cu ke Im-san dengan
kecepatan lari kuda membutuhkan tempo dua hari, mereka
sudah menempuh perjalanan satu hari, Lau Sam-thay mencari
penginapan untuk bermalam, nama Cit-sing-to memang cukup
tenar di bilangan situ maka mereka memdapat pelayanan
yang luar biasa.
Belum lama mereka istirahat, tampak Lau Sam-thay
menggandeng Sun-cit masuk, mukanya pucat badan lemah
lunglai, begitu melihat Koan San-gwat, Sun Cit lantas berlutut
menangis gerung-gerung, katanya, “Ling-cu, harap kau suka
membalas dendam kedua majikanku.”
Kata-kata yang tiada juntrungan ini benar-benar membuat
Koan San -gwat melengak heran, tanyanya, “Sun Cit apa yang
telah terjadi? Bagaimana dengan majikan kalian?”
Sambil menangis Sun cit mengangsurkan sebuah
bungkusan, waktu Koan San-gwat membukanya, isinya
ternyata dua keping lencana tembaga Unta terbang, lencana
unta terbang itu berlepotan darah. Dengan heran, ia bertanya,
“Apakah Loh-he-siang ing mengalami bencana?”
“Benar, kedua majikan dibunuh oleh Unta Terbang di Buwi-
kun, mereka dibunuh dengan kedua lencana tembaga
ini….”
“Di Bu-wi-kun!” ujar Koan San-gwat mengerut alis, “mana
mungkin, mereka kan berada di Lokyang. orang yang kau urus
memberi kabar meski tumbuh sayap belum tentu dapat
terbang sejauh itu, cara bagaimana mereka bisa berada di Buwi-
kun?”
Sambil sesenggukan Sun Cit menjelaskan, “Dua hari
kemudian setelah rombongan kami berangkat. majikan lantas
mendapat kiriman surat yang dilepas dengan golok terbang,
surat itu memberitahukan bahwa mereka hendak merampas
barang kawalan kami karena kuatir kedua majikan cepat-cepat
menyusul datang, tak duga sampai di Bu-wi-kun mereka
terbunuh orang, utusanku kebetulan dapat mengurusi jenasah
beliau. Ling-cu harap kau bantu membalas dendam majikan!”
“Urusan balas dendam semestinya aku tidak bisa menolak,
tapi mereka adalah murid Ciong-lam-pay, menurut aturan
Bulim, jamak kalau Ciangbunjin kalian Lu Bu-wi yang
membereskan kejadian ini.”
Sun Cit meratap katanya, “Sebelum mati majikan ada
berkata…. ilmu silat pembunuh itu sangat tinggi, belum tentu
Lu-ciangbun kuat melawannya, hanya Ling-cu saja yang ada
harapan….apalagi secara tidak langsung majikan menjadi
korban karena kau juga….”
“Apa maksudmu?” tanya Koan San-gwat mengerut alis.
“Pembunuh itu…. waktu Unta terbang membunuh majikan,
dia pernah berkata, bahwa lencana Unta terbang tidak boleh
pulang dengan tangan hampa, kau menuntut kembali barang
rampasan itu, karena dia sudah memberi muka kepada kau,
maka dia harus menebusnya pula dengan jiwa majikan kami.”
“Jahanam, orang keparat macam apa sebenarnya Unta
terbang itu, tidak berani mencari perkara dengan aku, tapi
melakukan kejahatan yang hina dan memalukan….”
Peng-toanio tersenyum, katanya, “Bukan lagi di Tay-sankoan
nanti, aku bersumpah untuk menghancur-leburkan orang
laknat ini.”
“Kukira tidak semudah seperti ucapanmu,” olok Peng-toanio
tertawa.
Koan San-gwat meliriknya cepat Peng-toanio
menambahkan, “Ucapanku mendorong kau untuk berlaku
lebih waspada kalau Unta Terbang sudah berani menantang
kau secara terang-terangan, tentu dia punya persiapan yang
dapat diandalkan, tidak berani aku mengatakan Kongcu bakal
kalah, tapi untuk menang, kukira bukan soal yang sepele!”
Koan San-gwat termenung sejenak lalu berkata kepada Sun
Cit, “Kau boleh istirahat! Sebulan lagi aku akan bekerja sekuat
kemampuanku, supaya Loh-he-siang-ing meram di alam
baka!”
Berulang-ulang Sun Cit menyembah mengucapkan terima
kasih, lalu mengundurkan diri dengan hati lega.
Adalah Lau Sam-thay jadi kebingungan, katanya, “Ling-cu,
apakah kita melanjutkan ke Im-san?”
Koan San-gwat melotot sahutnya, “Sudah tentu ke sana. ini
kan dua persoalan yang berlainan.”
Maka dengan tergagap Lau Sam-thay memberi tahu, “Tidak
aku mendapat sebuah berita, katanya Im Siok-kun sudah
mengumpulkan seluruh jago-jago kelas tinggi, seperti
menghadapi musuh besar berbondong-bondong mereka turun
gunung, malah kelihatannya menyongsong kedatangan
kita….”
“Apa tujuan mereka?” jengek Koan San-gwat.
“Duduk perkara yang jelas aku tidak tahu, yang terang
mereka meluruk kemari karena adanya nona Thio di sini!”
Segera Thio Ceng Ceng menimbrung, “Yang mereka cari
adalah ayahku, ada sangkut paut apa dengan diriku?”
“Tidak tahu! Tapi mereka mengerahkan seluruh
kekuatannya, jelas tujuannya tentu tidak mengandung maksud
baik….”
“Hm!” dengus Koan san-gwat, “banyak benar kejadiankejadian
aneh, sekarang mereka sudah sampai dimana?”
Lau Sam-thay menghitung-hitung lalu menjawab, “Mereka
terdiri dari kaum perempuan, menunggang joli jalannya rada
lambat, mungkin besok malam baru bisa sampai di sini.”
“Apa? Anggota Im-san-pay terdiri dari kaum perempuan?”
seru Koan San-gwat heran, “belum pernah kudengar adanya
golongan mereka ini, dulu guru mengembara ke seluruh jagat
bertanding (bertandang) pada semua aliran besar kecil kok
tidak pernah menyinggung adanya mereka…. ” .
“Im San-pay kira-kira sepuluh tahun yang lalu baru
dihimpun dan didirikan, waktu itu Tokko-cianpwe keburu
mengasingkan diri, sebetulnya golongan mereka tidak
termasuk se Pay atau pang. seluruh anak murid Im San-pay,
tapi belum pernah mengadakan kontak dengan kaum
persilatan umumnya, maka jarang orang tahu seluk beluk
mereka. Soalnya pos yang kubangun di kota itu merupakan
pemberhentian para kelana yang sering membawa pergi
berita, maka sering kudengar hal-hal yang jarang dikatakan
orang lain. Im Siok-kun ada kalanya datang minta beberapa
petunjuk kepadaku….”
“Sudahlah, kitapun tidak perlu tidur, lebih baik malam ini
melanjutkan perjalanan, mari kita papak mereka di tengah
jalan, ingin aku tahu apa urusan mereka meluruk kemari.”
Lau Sam-thay kelihatannya rada rikuh dan serba salah,
katanya, “Apakah Ling-cu boleh tidak bentrok dengan mereka,
umpama ada salah, mengingat perkenalanku dengan Im-
Tiang-hau mungkin aku bisa melerainya, kalau terjadi
keributan, sulit aku melawan mereka….”
“Lau-heng tidak usah kuatir,aku bukan orang yang suka
mencari perkara, asal mereka tidak mencari urusan dengan
aku. tidak akan membuat keributan, apalagi apa sih artinya
melawan kaum hawa….”
Belum habis kata-katanya, tiba-tiba daun pintunya
ditendang terbuka, seorang gadis berdiri di ambang pintu
tangannya menyekal gagang pedang, dengan muka bersungut
ia membentak, “Laki-laki busuk! berani memandang rendah
kaum wanita. Keluar, biar nonamu yang menghajar mulut
kurang ajarmu itu!”
Lau Sam-thay tersipu-sipu maju seraya berkata, “Nona ini
sungguh tepat kedatanganmu, kita baru saja….”
“Lau Sam-thay!” perempuan itu mengayunkan pedangnya,
“Jangan bersilat lidah dengan aku, tempo hari pernah kutanya
orang she Thio itu, katamu kau tidak tahu tapi sekarang
membawa puteri orang she Thio hendak mencari perkara ke
Im-san. Ketahuilah, memang sengaja aku menyuruh orang
memberi kabar bohong, sebetulnya sejak tadi kami sudah
tiba….”
-oo0dw0oo-
Jilid 6
LAU SAM THAY kebingungan terlongong kebingungan,
entah apa yang harus dilakukan.
Thio Ceng Ceng tampil ke depan: “Kalian mencari ayahku
untuk keperluan apa?”
“Jangan pura-pura pikun, perkara Thio Hun Cu si
bangkotan tua ini, masa kau tidak tahu?” jengek perempuan
itu.
Sekali buka mulut orang memaki ayahnya, sudah tentu
Thio Ceng Ceng gusar, sebat sekali tiba-tiba ia merangsak ke
depan, jari telunjuknya menutuk ke pundak kiri orang, tapi
tidak kalah sebatnya perempuan itu memutar pedangnya
balas menusuk ke ulu hatinya.
Selama setahun mendapat gemblengan Soat-lo Thay-thay,
ilmu silat Thio Ceng Ceng bukan main lihaynya, cepat ia
membalikkan pergelangan tangannya, dari tutukan jarinya
ditekuk untuk menyenggol batang pedang lawan, Tang,
pedang lawan disampok ke samping, sebat sekali tangannya
sudah menyelonong maju pula mengarah jalan darah di tubuh
musuh.
Agaknya kepandaian perempuan itupun cukup tinggi, dalam
keadaan terdesak sigap sekali ia menurunkan pundak, lalu
dengan suara gusar ia menyemprot : “Perempuan laknat kalau
kau punya kepandaian, mari ikut aku!” berbareng kedua
kakinya menutul tanah, badannya melejit terbang lewat
jendela.
Tidak kalah gesitnya Thio Ceng Ceng mengejar keluar.
Koan Sang-gwat, Peng-toanio cepat memburu keluar.
Lau Sam-thay tidak mau ketinggalan, gerak geriknya jauh
lebih lambat.
Waktu tiba di sebuah lapangan, tampak Thio Ceng Ceng
bertiga sudah dikelilingi beberapa perempuan yang
mengenakan seragam hitam, menyoren pedang, empat
perempuan di antaranya yang berusia agak lanjut berdiri
paling depan berhadapan langsung dengan mereka.
Melihat urusan menjadi besar, cepat Lau Sam-thay
memburu datang sambil menggoyang-goyangkan kedua
tangannya, teriaknya: “Jangan! Kalian salah paham, ada
perkara apa lebih baik dibicarakan dulu ……..”
Pihak Koan San-gwat diam-diam, salah satu dari
perempuan seragam hitam yang berusia agak lanjut berseru :
“Tiang-hoa! Siapakah orang ini ?”
Perempuan yang sudah bergebrak dengan Thio Ceng Ceng
tadi adalah gadis yang dipanggil Tiang-hoa oleh Lau Sam-thay
tadi, segera ia melirik dengan perasaan hina ke arah Lau Samthay,
sahutnya tertawa : “Dia bernama Cit-singto Lau Samthay,
ular tanah yang berkuasa di dalam kota Liang-ciu!”
Merah muka Lau Sam-thay, dengan gusar ia berkata :
“Nona Im…….. Meski aku orang she Lau bukan tokoh yang
kenamaan, tapi aku bukan macam orang yang kau sebutkan
tadi……”
Im Tiang-hoa memalingkan kepala tidak pedulikan dia lagi,
adalah perempuan pertengahan umur itu segera menjengek
dengan hina: “Minggir! Keparat kau, di sini tidak ada hak kau
bicara.”
Bukan saja menghina nada ucapannyapun sangat takabur,
betapa pun Lau Sam-thay berlaku sabar akhirnya naik pitam,
“sreng!” segera ia melolos Cit Sing-to dari punggungnya,
sambil membolang-balingkan senjata, ia berteriak : “Apa
kedudukanmu di dalam Bu-khek-kiam-pau kalian?”
Perempuan pertengahan umur itu angkat kepala tidak
perduli lagi padanya, Im Tiang-hoa segera menanggapi: “Lau
Sam-thay, sungguh memalukan, kau mengagulkan diri sebagai
pentolan tikus di jalan raya besar, masa kau tidak kenal
ibuku!”
Mimpipun tidak Lau Sam-thay menduga bahwa perempuan
tua ini adalah Ciangbunjin Bu-khek-pay Im Siok-kun, meski
pengalaman sangat luas, soalnya ia sendiri belum pernah
melihat Im Siok-kun, maka sekian saat ia menjublek di
tempatnya, sedapat mungkin ia menahan perasaan gusarnya
dengan tertawa dibuat-buat segera ia bersoja dan berkata :
‘Ternyata Im-ciangbunjin adanya, meski Cayhe seorang Siaucit
yang tidak ternama, tapi aku tidak punya kesalahan apa-apa
dengan kalian, putrimu nona Tiang-hoa dua kali pernah
mampir ke rumahku, dengan hormat kulayani dia. Apakah
pantas Ciangbunjin sekarang bersikap kasar kepadaku?”
“Cara bagaimana aku harus bersikap terhadap kau?’ jengek
Im Siok-kun menegak alis. Suaranya nyaring tajam, tanpa
terasa Lau Sam-thay bergidik tanpa kedinginan.
Katanya tergagap: “Paling tidak Ciangbunjin harus bersikap
rendah ……”
“Aku belum pernah kelana di Bulim, segala aturan Kangouw
aku tidak tahu. Jika aku berlaku salah terhadap Lau-toaenghiong,
entah bagaimana aku mohon maafku..”
Nadanya lebih congkak dan pongah, umpama Lau Samthay
dibuat dari lempung juga tidak tahan dihina begitu rupa,
maka sambil mengajukan Cit-sing-to ia berteriak: ” Bu-khekkiam-
pay kalian bukan aliran yang ternama, aku orang she
Lau memanggilmu Ciangbunjin sudah termasuk
menghormatimu, kau tidak tahu kebaikan, terpaksa aku orang
she-Lau minta pengajaran!”
“Lau-heng”. tiba-tiba Koan San-gwat menyela sambil
tertawa enteng, “Tadi kau membujuk aku supaya jangan
mengumbar adat kenapa sekarang kau marah-marah?”
Agaknya marah Lau Sam-thay sudah memuncak, dengan
bengis ia berteriak: “Meski ilmu silatku tidak becus, jelek jelek
aku seorang laki-laki, masa harus dihina kaum kaum lemah?”
Im Siok-kun menarik muka, katanya dengan suara
tertekan: “Jimoy? keparat ini berani mengagulkan diri sebagai
laki-laki sejati, coba kau iris sedikit badannya!”
Seorang perempuan yang berdiri di sampingnya segera
mengiakan dan tampil ke depan, gerak-geriknya secerat
angin, begitu melejlt pedang lantas terayun memapas kaki Lau
Sam-thay.
Cit-sing-to di tangan Lau-Sam-thay agaknya memang
kepandaian tulen, golok tunggal itu menyampok ke bawah
“Trang!” berhasil menangkis tebasan pedang lawan, tapi tidak
urung tergentak mundur dua tindak.
Karena serangan pertamanya gagal, ia mendengus hidung,
badannya mendesak maju mendekat. Tapi Lau Sam-thay tidak
tinggal diam, Cit-sing-to di tangannya berputar laksana kitiran
menghalau seriap serangan lawan.
Beruntun perempuan itu menyerang empat lima jurus
dengan pedangnya, semua tertangkis atau kesampok miring
oleh golok Lau Sam-thay, maka terdengar Im Siok-kun berseru
lantang: “Jimoy, kalau keparat ini bisa bertahan sepuluh jurus
selanjutnya, jangan kau jadi orang she Im.”
Mendengar peringatan tersebut, perempuan itu pergencar
serangannya, ia berlaku nekat, dengan kekerasan ia berusaha
menjebol pertahanan sinar golok yang rapat, sekali tempo
pedangnya menahan rangsakan golok lawan, sementara
kedua jari tangannya laksana pisau menusuk ke lutut Lau
Sam-thay.
Kontan Lau Sam-thay rasakan lututnya lemas, tanpa kuasa
ia jatuh bertekuk lutut, perempuan itu menjengek dingin lalu
melejit mundur kembali ke samping Im Siok-kun. Terdengar
gelak tawa Im Siok-kun yang bangga. “Lau-lo-enghiong, kau
adalah laki-laki sejati, kenapa kau bertekuk lutut?”
Malu dan gusar gejolak darah di dada Lau Sam-thay, cepat
ia ayunkan golok sendiri hendak menggorok leher, namun
baru goloknya terangkat, tiba-tiba tangannya kesemutan
disambar gelombang tenaga, tahu-tahu goloknya sudah
terampas orang, disusul baju punggungnya ditarik orang
didengarnya dua kali suara tepukan keras, kontan ia dapat
bergerak lagi seperti semula. Waktu ia berpaling, orang yang
menolong dirinya adalah perempuan tua yang selalu
mengiringi perjalanan Koan San-gwat.
Dia hanya tahu orang dipanggil Peng-toanio, tapi tidak tahu
bahwa orangpun pandai silat. Setelah mengembalikan Citsing-
to kepadanya, dengan muka sungguh-sungguh
berkatalah Peng-toanio: “Kalau kepandaian sendiri memang
tidak becus kenapa harus mati, orang yang gampang
menggorok leher karena malu apakah boleh disebut laki-laki
sejati?!”
Lau Sam-thay menjadi malu sekali, setelah terima goloknya
ia menunduk kepala tanpa bersuara.
Sementara Peng-toanio membalik tubuh dan menjengek ke
arah perempuan pertengahan umur ini: “Kaum persilatan
boleh dibunuh tidak boleh dihina, kalau kau membuntungi
kedua kakinya, nenek tua seperti aku ini tidak akan banyak
cingcong, tapi kau menghina dan mempermainkan dia, aku
nenek tua ikut merasa terhina! Siau we! sebutkan namamu!!”
Melihat Peng-toanio dapat membebaskan ilmu tutukan
tunggal perguruannya dengan itu dan perempuan itu merasa
kaget, ia berdiri menenggang penuh kecurigaan, hingga lupa
menjawab, lekas Im Siok-kun menjengek dengan suara berat:
“Jimoy! orang sedang bertanya kepada kau! Apa kau tidak
dengar?”
Perempuan itu tersentak sadar sahutnya lantang: “Musid
Bu-khek-bun Im Tiat-kun!”
Peng Kiok-jin terloroh-loroh, ujarnya : “Sudah sekian tahun
nenek tua ini tidak berkecimpung di Kangouw, badut dan
panca longok berani malang melintang, maka kaupun harus
berlutut seperti dia!”
Mendengar ancaman yang lantang ini seketika Im Tiat-kun
melongo, tapi Peng Kiok-jin tidak memberi kesempatan ia
berpikir, se enteng asap tiba-tiba tubuhnya meluruk ke depan,
jari tangannya tertekuk terus menjentik meluncurkan sejalur
angin keras. Belum lagi Im Tiat-kun sempat bersiap dan
melawan, tiba—tiba terasa lututnya lantas tak bertenaga,
badannya sudah bergoyang hampir berlutut, berobah air muka
Im Siok-kun, lekas sebelah tangannya mendorong ke samping.
Pukulan telapak tangannya bukan menyerang Pek Kiok-jin
yang menyergap tiba, tapi mendorong Im Tiat-kun sambil
berteriak: “Murid Bu-khek-pay adalah perempuan perkasa
yang rela mati menjadi mayat daripada dihina!”
Melihat Im Tiat-kun mampus dengan tujuh lobang
inderanya mengalirkan darah, Peng kiok-jin menjadi gusar:
“Terhadap saudara Sepupu sedemikian kejam ….”
“Memang ini sudah menjadi perundang-undangan keluarga
kita!” kata Im Siok-kun ketus. “Tak perlu kau bersedih bagi
kita, meski dia mampus di tanganku, tapi kami harus mencari
perhitungan kepada kau…..”
“Kau sendiri yang bunuh kerabatmu, tapi orang lain yang
harus bertanggung jawab hidup semua ini, baru sekarang aku
nenek tahu ada peraturannya si kentut busuk ini, tapi cara
bagaimana kau hendak mencari perhitungan denganku?”
“Gampang saja! Hutang darah bayar darah, hutang jiwa
harus bayar jiwa!”
Im Siok-kun mengulapkan tangan, dua perempuan lain
yang berada di samping Im Siok-kun segera melolos pedang
hendak turun tangan, cepat Thio Ceng Ceng tampil ke depan,
serunya: “Tunggu sebentar, mari kita bicara dulu.”
“Mengobrol apa lagi?” teriak Peng Kiok-jin gusar, “Kalau
mereka mampu, silahkan bawa nenek tua ini untuk menebus
jiwanya. Ka lau tidak aku akan bikin mereka berlutut minta
ampun kepadaku, ingin kulihat apakah Bu khek-pay kalian ada
orang yang suka berlutut dan mandah dihina.”
“Toanio” bujuk Thio Ceng Ceng, “kuharap kau bersabar
sebentar, mereka mengatakan ayahku berbuat apa, aku harus
tanya duduk persoalannya.”
Terpaksa Peng Kiok-jin mengalah mundur ke samping. Baru
sekarang Thio Ceng Ceng berkesempatan bicara kepada dua
perempuan itu. “Kuharap kalian suka menunggu sebentar,
setelah aku bicara dengan Ciang-bunjin kalian, belum
terlambat kita teruskan pertarungan ini.”
Kedua perempuan itu berpaling ke arah Im Siok-kun,
agaknya menanti perintah lanjut, maka Im siok-kun berseru
gusar: “Tiada yang perlu dijelaskan lagi! Kalau kau adalah
putri Thio hun-cu, maka kaulah orang kita cari, perbuatan
bapakmu yang bangkotan itu terpaksa kau yang menerima
hukumannya!”
Gusar dan gugup Thio Ceng Ceng dibuatnya, teriaknya:
“Sebetulnya apa yang dilakukan ayahku?”
“Kau kan putrinya masa tidak tahu?”
“Setahun yang lalu aku sudah berpisah dengan ayahku,
sampai sekarang belum pernah berjumpa kembali. ….”
“Apa benar ucapanmu? tanya Im Siok-kun tidak percaya.
“Buat apa aku membual? Waktu Koan-toako terkena racun,
akulah yang membawanya mencari obat, selama ini belum
pernah berpisah sedikit pun, kau tidak percaya, silahkan kau
tanya dia!”
Im Siok-kun berpaling ke arah Koan San-gwat, katanya:
“Kau adalah Bing-to Ling-cu, ucapanmu boleh dipercaya, kau
berani tanggung bahwa ucapannya benar?”
“Aku yang rendah berani mempertaruhkan batok kepalaku
ini, bahwa ucapan tetua Thio memang benar, selama setahun
ini dia selalu ikut aku, belum pernah jumpa dengan paman
Thio.”
“Aneh!” seru Im Siok-kun tertegun, “dua hari yang lalu ada
orang melihat Thio-Hun-cu berada di Ciu-cwan bersama
seorang gadis, maka kami menyusul kemari.”
Koan San-gwat melengak, katanya: “Dua hari yang lalu
kami masih ada di Ciu-cwan, kami juga mencari paman Thio,
kenapa kami tidak melihatnya? Apakah orangmu itu tidak
salah lihat?”
“Tidak mungkin salah, Thio Hun-cu sekarang menjadi
incaran orang banyak, orang tidak dapat dikelabui olehnya.”
“Ya, memang kemungkinan, tapi gadis itu sudah pasti
bukan nona Thio!”
Im Siok-kun merenung sebentar lalu berkata pula dengan
gusar: “Seumpama benar mereka sudah lama tidak hidup
bersama, tapi hari ini kami sudah menemukan putrinya, kita
harus menuntut pertanggungan jawab ayahnya kepada
anaknya, kau adalah putri Thio Hun-cu maka kau harus berani
menanggung akibat ini.”
“Sebenarnya apakah yang telah dilakukan ayahku? Begitu
benci kalian terhadap beliau!”
Kata Im Siok-kun gemas: “Kalau diceritakan, kau sebagai
putrinya mungkin bangga akan perbuatan ayahmu, sejak Thio
Hun-cu lolos dari Loh hun-kok setahun yang lalu, karena dia
paham cara memunahkan racun Ui-ho-ciu-oe-sa itu semua
hadirin menaruh hormat dan segan kepadanya…. ……?
“Sebagai tabib yang memperdalam ilmu pengobatan,
adalah tanggung jawab beliau menolong sesama manusia!”
ujar Thio Ceng Ceng tertawa.
Im Siok-kun menyeringai dingin, sambungnya: “Kau
dengarkan saja nanti kan tahu betapa bagus perbuatannya.
Sejak peristiwa di Loh-hun-kok itu mendadak dia menghilang.
Kira-kira sebulan yang lalu, mendadak muncul. Dia bertandang
ke markas berbagai golongan dan aliran besar kecil. Karena
perbuatan suhunya dulu sudah tentu semua pihak suka
bersahabat dengan dia. Siapa tahu manusia berhati binatang
itu, ternyata melakukan perbuatan hina dina yang
memalukan.”
“Kau bohong!” maki Thio Ceng Ceng, “Ayahku bukan
macam itu!”
“Apa yang dilakukan ayahmu, kini seluruh manusia di
kolong langit pasti ingin merajangnya untuk melampiaskan
kedongkolan hatinya. Di Siau-Lim-sie ia mencuri buku rahasia
Ih-kin-keng karya Tatmo Cousu, dengan keji meracun
Ciangbunjin Siau-lim-pay Thong Sian Taysu hingga bisu dan
tuli, badannya lumpuh lagi. Di Bu-tong ia melarikan buku
pelajaran pedang dan meracuni Bu-tong Ciangbun Thian-ki
Totiang hingga mati. Soalnya partai dan golongan lain, aku
sendiri belum mendapat kabar yang pasti, entah perbuatan
laknat apa lagi yang sudah dilakukan, tapi mereka mengejar
Thio Hun-cu begitu ketat, tentu terjadi perkara besar…..”
Thio Ceng Ceng terpukul hatinya, sambil menutupi
mukanya ia berteriak: “Kau bohong! Mana mungkin ayah
melakukan perbuatan semacam itu…..”
“Kenapa kau tak mau meluruk ke Siau-lim-si untuk mencari
bukti?”
“Sudah tentu aku akan ke sana!”
“Nanti dulu!” Koan San-gwat menimbrung pembicaraan
dengan sungguh-sungguh, “Aku bergaul cukup lama dengan
paman Thio. Aku tahu watak dan perangainya, ia tidak
mungkin melakukan perbuatan yang hina dan memalukan itu,
apalagi persoalan ini banyak lobang kelemahannya. Seperti
apa yang kau katakan, kukira golongan atau aliran yang
mengalami nasib jelek tidak mungkin sebanyak itu, cukup dua
golongan saja pasti akan menyiarkan berita jelek itu, golongan
yang lain cepat akan berlaku waspada, mana mungkin bisa
satu persatu kena ditipunya mentah-mentah?”
“Justru di sinilah kelihaiannya Thio Hun-cu,” Im Siok-kun
menyeringai, “Dia bekerja dari timur ke barat, secara beruntun
dan teratur, berita yang tersebar di luar kalah cepat dengan
gerak-geriknya. Di kala golongan di sebelah barat memperoleh
berita, dia sudah datang dan bekerja beberapa lamanya ….. ”
Koan San-gwat geleng -geleng kepala: “Kenapa sepanjang
jalan kita kemari, sedikit pun tak tahu menahu persoalan ini?”
“Perbuatan jahat yang dilakukan Thio Hun-cu kebanyakan
menyangkut rahasia berbagai golongan besar kecil atau
beberapa tokoh atau orang-orang penting itu, tiada yang
berani membeber borok yang memalukan ini, sudah tentu
kalian tidak bisa mendengar berita penting ini.”
Dengan tenang dan dingin bertanyalah Koan san-gwat:
“Lalu pihak Bu khek-kiam-pay kalian mengalami musibah
apa?”
Sesaat Im Siok-kun bimbang, akhirnya Ia berkata sambil
kertak giginya: “Apa yang menimpa golongan kita jauh lebih
memalukan dari golongan lain!”
“Apakah buku pelajaran Bu khek-kiam-pay kalian
dicurinya?” Koan San-gwat menegas.
“Bu khek-kiam-hoat terbagi dua jilid, jilid kedua adalah
pelajaran umum bagi seluruh anggota Bu-khek-kiam-pay kami,
jilid pertama berisi delapan gerak pelajaran ilmu pedang,
khusus diajarkan untuk Ciangbunjin, siapapun tidak mungkin
bisa mempelajarinya, sudah tentu jilid pertama ini dia tidak
berhasil membawanya lari.”
“Lalu apa kerugian kalian?”
Wajah Im Siok-kun beringas, serunya berapia-api:
“Tujuannya yang terakhir adalah Im-san kami, aku belum
pernah ketemu dengan dia, cuma kudengar namanya cukup
tenar sebagai pendekar kelana, maka dengan tangan terbuka
kusambut kedatangannya. Siapa tahu….” bicara sampai di sini
ia tidak kuasa meneruskan saking gusarnya.
“Bagaimana ayahku?” Thio Ceng Ceng bertanya.
Im Siok-kun kertak gigi serunya bengis: “Dia….
memperkosa putriku yang terkecil Im Le-hoa dan meracunnya
hingga pikun.”
Koan San-gwat tersentak kaget, sesaat ia melongo, lalu
katanya: “Ini…. agaknya tidak mungkin! Mana mungkin paman
Thio melakukan……”
“Anggota Bu khek-kiam-pay kita terdiri dari kaum hawa.
Kalau bukan dia siapa yang berbuat… ….?” semula Aku tidak
Percaya, tapi setelah aku bertemu murid Siau-lim-pay dan Butong-
pay maka dapatlah dipastikan tentu perbuatannya.”
Thio Ceng Ceng seperti kehilangan akal pikirannya yang
jernih, tiba-tiba ia berteriak sambil menangis : “Kau bohong….
katu bohong…….”
Di bawah sinar bulan tampak air muka Im Siok-kun pucat,
dengan suara berat ia berkata “Tiang-hoa! Bawa adikmu
kemari!”
Dengan muka sedih itu Tiang-hoa menuntun keluar
seorang gadis berpakaian hitam, wajahnya cantik molek,
usianya tujuh belasan, kedua matanya mendelong terus tidak
bergerak, gerak-geriknya serba linglung.
Im Siok-kun mendelik kepada Thio Ceng Ceng, serunya
gusar: “Tentu kau pun mahir ilmu pengobatannya, silahkan
kau periksa buah karya bapakmu.”
Thio Ceng Ceng mengusap air mata maju ke depan si
gadis, dia membalik kelopak matanya serta memeriksa dengan
cermat, meraba urat nadinya pula, terakhir ia berikan kepada
Peng Kiok-jin: “Toanio! Harap beri sebutir Peng-sip-coat-pengsan!”
Dengan serius Peng kiok-jin membuka buntalan menuang
sebutir pil dan diberikan kepada Thio Ceng Ceng, Ceng Ceng
jejalkan pil itu ke mulut si gadis. Cepat Im Siok-kun
membentak: “Obat apa yang kau berikan kepadanya?”
Peng Kiok-jin segera menjawab: “Kau tidak usah kuatir,
kami tidak akan memberinya racun!”
Dengan perasaan tegang dan was-was Thio Ceng Ceng
memeriksa denyut nadi si gadis lalu mengurut-urut, setelah itu
ia mundur dua tindak menanti reaksinya, kulit mukanya
berkerut-kerut gemetar. Koan San-gwat maju mendekat serta
bertanya: “Nona Thio! Kenapa kau?”
Sahut Thio Ceng Ceng prihatin : “Kalau obatku itu dapat
menolongnya sadar………. ?” tidak berani dia meneruskan
ucapannya, beberapa saat Koan San-gwat seolah-olah ikut
tenggelam, ia berdiri diam tak bergerak di sampingnya.
Entah berapa lama kemudian, biji mata itu mulai bergerakgerak,
bibirnya bergerak menggumam beberapa patah kata.
Thio Ceng Ceng menjerit terus menangis keras menutup
muka dengan kedua telapak tangannya, teriaknya: “Koantoako
tiada muka aku hidup…..
Jantung Koan San-gwat berdebar keras, hampir ia tidak
percaya dengan kenyataan di depan matanya. Urusan menjadi
jelas dan terbukti akan perbuatan Thio Hun-cu, apakah
mungkin?
Setelah menangis sekian saat, tiba-tiba Thio Ceng Ceng
angkat kepala, katanya: “Tidak! Betapapun aku tidak percaya
akan perbuatan ayahku!”
Koan San-gwat juga tidak putus asa, bujuknya: “Benar!
Akupun tidak percaya …… oh ya, kalau gadis ini sudah pulih
kesadarannya, marilah kita tanya kepadanya!”
Segera Thio Ceng Ceng memburu ke depan gadis itu: “Adik
cilik! Seseorang telah mengganggu kau, siapakah dia?”
Im Lee-hoa membuka lebar kedua biji matanya, dia tetap
mendelong, sesaat baru menggumam: “Tidak! Dia bukan
orang jahat, dia suka kepadaku, akupun suka kepadanya, dia
hendak menikah dengan aku, akupun menjadi istrinya….”
Im siok-kun merasa di luar dugaan, ia pun memburu maju,
teriaknya: “Lee-hoa kau sudah gila………”
Thio Ceng-Ceng makin panik, serunya: “Adik cilik, siapakah
dia ?”
“Aku tidak tahu, dia tidak memberi tahu kepadaku?” sahut
Im Lee-hoa hampa.
Segera Koan San-gwat berkata pada Im Siok-kun: “kalau
paman Thio mendapat pelayanan istimewa kalian, kenapa
putrimu tidak kenal dia?”
“Selamanya dia tidak pernah kenal dengan orang luar,
sudah terus tidak tahu!”
Kemba Thio Ceng Ceng menarik tangan Im Lee-hoa,
tanyanya lagi: “Bagaimana bentuk wajah orang itu?”
Im Lee-hoa diam sekian lamanya akhirnya menjawab
dengan rasa sedih. “Entahlah, aku sudah lupa! Mungkin kalau
ketemu sama dia aku bisa mengenalnya, waktu dia datang
menemukanku, keadaan sangat gelap aku hanya mengenal
suaranya.”
Mungkin bukan ayahnya, Thio Ceng Ceng agak lega.
Mendadak kedua mata Im Lee hoe bercahaya terang,
suaranya lembut mesra: “Aku masih ingat jenggotnya,
jenggotnya itu sangat bagus, lemas lembut seperti rambutku,
waktu mengusap wajahku rasanya begitu hangat dan
mengasikkan……”
Tiba-tiba Thio Ceng Ceng menjerit sekeras-kerasnya
melepas tangan Im Lee-hoa terus putar tubuh dan lari.
cepat Im Siok-kun melintangkan pedang mencegatnya,
bentaknya: “Duduk perkaranya sudah jelas, mau kemana
kau?”
Hati Thio Ceng Ceng seperti disayar-sayat sembilu,
teriaknya sambil menangis gerung-gerung; “Jangan rintangi
aku, aku hendak mencari ayah……”
Cepat Koan San-gwat menarik tangannya, bujuknya: “Nona
Thio, kalau ayahmu benar seorang yang hina dina, kau tidak
perlu mencari lagi!”
“Tidak!” sahut Thio Ceng Ceng keras, “aku harus
menemukan dia. Aku akan bunuh dia lalu akupun bunuh diri.
Aku tidak mau membiarkan dia hidup, akupun tidak mau hidup
lagi ……”
“Apa-apaan ucapanmu? Paman Thio, meski Thio Hun-cu
layak dibunuh, bukan kewajibanmu untuk membunuhnya……”
“Tidak, aku sendiri yang harus bunuh dia! Dia bukan lagi
ayahku, aku bukan putrinya……”
“Sudah, kalian main sandiwara di hadapanku, kau kira aku
bisa melepas kau pergi?” tukas Im Siok-kun menyeringai
sadis.
Mandadak Thio Ceng Ceng beringas, hardiknya murka:
“Minggir! Sekarang siapa pun aku tidak perduli lagi, jangan
kau merintangi jalanku.”
Im Siok-kun semakin berang, teriaknya: “Kalau kita tidak
menemukan Thio Hun-cu, maka kau dulu yang harus menebus
dosanya.”
Thio Ceng Ceng menjerit panjang, dengan gusar ia melolos
pedang panjang dari punggungnya, hardiknya : “Berani kau
merintangi aku, kubunuh kau, sekarang hasratku cuma
membunuh orang…,”
Sebelum orang habis bicara, pedang Im Siok-kun sudah
menukik laksana ular menyambar dari samping, lekas Thio
Ceng Ceng angkat pedang menangkis dan balas menyerang,
maka terjadilah pertempuran seru.
Karena bertangan kosong, Koan San-gwat kerepotan untuk
melerainya, terpaksa ia minta bantuan Peng Kiok-jin: “Toanio!
Lekas kau cari akal untuk menghentikan amukannya !”
“Kepadamu dia tidak tunduk aku punya akal apa?” sahut
Peng Kiok-jin menyengir, “Aku maklum peristiwa ini menjadi
pukulan berat bagi bathinnya hingga pikirannya kacau
balau…..”
Koan San-gwat semakin gopoh dan gelisah, sementara Thio
Ceng Ceng sudah melabrak Im Siok-kun puluhan jurus.
Permainan Be-khek-kiam-hoat Im Siok-kun aneh
menakjubkan, jurus-jurusnya serba berlawanan dari
permainan pedang umumnya, setiap tipu serangannyapun
sangat ganas dan keji. Dalam keadaan marah, inti sari ilmu
pedangnya sukar dikembangkan.
Setelah mendapat petunjuk dan gemblengan Soat-lo Thay
thay, kepandaian Thio Ceng Ceng sudah berlipat ganda,
permainan pedangnya sangat hebat dan gerak perubahannya
laksana setan kelelap malaikat muncul, setiap jurus
serangannya menempatkan dirinya dalam posisi yang lebih
menguntungkam sehingga Im Siok-kun terdesak mencakmencak,
saking gugupnya ia berkaok-kaok: “Hayo! maju
semua, cacah hancur tubuh perempuan laknat ini!”
Anak murid Bu-khek-kiam-pay serempak melolos pedang
terus menyerbu dari berbagai penjuru, hawa pedang
berkilauan memberondong ke arah Tnio Ceng Ceng dengan
rapi. Koan San-gwat hendak maju membantu, lekas Peng
kiok-jin menariknya, katanya: “Tidak perlu kau harus turun
tangan! Nona Ceng sudah cukup berkelebihan!”
Memang tindak tanduk Thio Ceng Ceng lebih kejam dan
nekat, meski ia hanya menggunakan sebilah pedang, tapi
permainannya sedemikian cepat, umpama hujan badai juga
tidak akan menembus pertahanannya yang rapat, para
pengepungnya saling terdesak mundur dan terpental pontangpanting
oleh perbawa ilmu pedangnya. Keruan Im Siok-kun
semakin murka bentaknya beringas : “Hayo maju semua, adu
jiwa dengan dia. Meski seluruh warga Im habis tertumpas,
jangan kita lepaskan perempuan laknat ini!”
Thio Ceng Ceng juga semakin murka, teriaknya; “Terpaksa
aku harus membunuh, kalian yang memaksa aku berbuat
demikian………..”
“Bunuhlah! Kau sama dengan bapakmu. keparat yang patut
dihancur leburkan.”
Caci maki urang lebih menggelorakan darah Thio Ceng
Ceng, dimana pedangnya berkelebat bagai kilat menyambar
beruntun terdengarlah suara jerit dan pekik kesakitan, kecuali
Im Siok-kun dan beberapa orang yang berkepandaian tinggi,
banyak diantara mereka roboh terluka.
Banyak senjata putus, lengan tergores atau pergelangan
tangan kutung dan ada pula yang tubuhnya cacat. Mata Im
Siok-kun merah padam dan membara, teriaknya beringas:
“Keparat, biar aku adu jiwa dengan kau!”
Cepat sekali ujung pedang menusuk ulu hati, serangan ini
cukup ganas dan lihai, pedang Thio Ceng Ceng, yang
menyambar kuping kirinya pun tidak dihiraukan, ia agaknya
bertekad gugur bersama. Sebat sekali Thio Ceng Ceng
miringkan tubuh meluputkan diri, sementara gaya serangan
pedangnya masih meluncur tanpa berubah.
Sekarang Koan San-gwat tidak bisa berpeluk tangan, sigap
sekali ia jemput sebilah pedang di tanah terus melejit :
“Trang” pada waktunya ia berhasil menangkis pedang Ceng
Ceng, menolong jiwa Im Siok-kun.
Sejenak Thio Ceng Ceng tertegun, serunya keren, “Koan
San-gwat, kau pun hendak membunuhku?”
“Tidak” sahut Koan San-gwat dengan keren. “Aku tidak
membunuh kau, tapi kau pun jangan membunuh orang!”
Deras air mata Thio Ceng Ceng, tanpa banyak kata, Ia
menerjang keluar kepungan.
Im Siok-kun terus lari sekencang-kencangnya. Koan Sangwat
bergerak hendak mengejar, cepat Peng Kiok-jin
menahan dari belakang, katanya: “Biarkan dia pergi. Sekarang
perlu memberi ketenangan padanya. Untuk sementara waktu
kau jangan temui dia, aku akan mengawasi dirinya.”
Koan San-gwat hendak menolak, cepat Peng Kiok-jin
menggoyangkan tangan, katanya: “Urusan ayahnya, akupun
belum percaya. Lebih baik carilah Thio Hun-cu, gunakan waktu
luangmu untuk membuat penyelidikan dalam persoalan ini.”
Selesai berkata lantas memburu ke arah Thio Ceng Ceng
menghilang.
Sesaat Koan San-gwat menjublek di tempatnya dengan
muka merah padam, Im Siok-kun meluruk kehadapannya,
jengeknya: “Orang she Koan, sejak hari ini Bu khek-kiam-pay
kami tidak akan berjajar dengan kau……”
Koan San-gwat melengak, ujarnya: “Aku tidak bermusuhan
dengan kalian, barusan jiwamu sudah kutolong, kenapa air
susu kau balas dengan air tuba?”
“Memang! Tapi kaupun menolong jiwanya pula, aku masih
ada jurus pedang lihai yang belum kulancarKan, aku berani
pastikan, ilmu pedangku itu akan menembus tenggorokannya.
Kau menolong jiwanya, sekarang aku tidak bisa membalas
dendam kepada kau, biarlah pertarungan ini kita bereskan lain
kesempatan.”
Dengan bingung Koan San-gwat membujuk : “Seumpama
kau tadi gugur, Yang berbuat kejahatan adalah ayahnya, ada
sangkut paut apa dengan dia? Untuk membalas dendam kau
harus mencari sasaran yang tepat!”
“Orang she Thio itu sudah merusak putriku, maka akupun
harus merusak putrinya, itu baru setimpal. Bicara terus terang,
aku lebih suka membebaskan Thio Hun-cu, tapi putrinya itu
harus menerima ganjaran yang setimpal.”
“Kecuali kau sudah gila,” seru Koan San-gwat naik pitam,
“Orang gila baru punya angan-angan yang gila pula!”
Im Siok-kun tidak menghiraukan dia lagi, ia pimpin seluruh
anak buahnya tinggal pergi tanpa banyak omong lagi.
Koan San-gwat termenung-menung sekian lamanya,
setelah Lau Sam-thav menarik bajunyas baru ia sadar. Dengan
lesu ia meninggalkan tempat itu.
Tatkala itu cuaca sudah terang berderang. Ufuk timur
sudah dihiasi cahaya kuning emas. Hawa pagi nan sejuk dan
nyaman, semangat Koan San-gwat pulih kembali, ia menarik
napas panjang. Malam ini masa amat panjang.
—-ooo000ooo—–
Seorang diri Koan san-gwat menelusuri pinggir sungai
kuning, sementara Lau Sam-thay mencari perahu untuk
menyeberang. Seorang diri ia menengadah mengamati
bintang kerlap kerlip yang masih bercokol di cakrawala, pelanpelan
kudanya naik ke atas tanggul.
Keadaan yang sunyi dan pemandangan gelap sebelum fajar
ini membuat perasaannya hambar dan haru, sejak ia
mengembara empat tahun yang lalu, lebih banyak waktu
dihabiskan dengan merawat luka-luka yang dideritanya. Tapi
begitu ia terjun ke dunia persilatan, tentu menimbulkan
kegemparan yang teramat besar …….sehingga ia lebih dapat
meresapi betapa besar arti kehidupan ini.
Lambat laun bangkit jiwa kesatrianya, menghadapi bulan
sabit, desah air sungai, serta hembusan angin pagi nan sepoisepoi
ini ingin rasanya melampiaskan kekesalan hati dengan
menggembor sekeras-kerasnya. Begitu mengerahkan hawa
murni ke pusarnya, sekali mulut terpentang, suara keras
menjulang tinggi menembus angkasa laksana jeritan naga,
berkumandang di alam semesta di pagi hari dan cerah itu.
Tanggul di bawah kakinya terasa bergetar oleh kedahsyatan
gemborannya. Demikian juga kuda tunggangannya berjingkrak
berdiri, hampir saja ia terlempar dari punggung kudanya,
syukur ia cukup cekatan, tali kekang ditarik, sehingga
badannya terkendali. Tepat pada saat itu juga, kupingnya
yang tajam mendengar jerit kesakitan Lau Sam-thay di
kejauhan sana, disusul derap langkah kuda yang mendatangi
dengan kencang.
Koan San-gwat kaget, ia mengira Lau Sam-thay mengalami
sesuatu. Sejak dibikin malu pihak Bu-khek-kiam-pay malam
itu, dia mengintil dirinya, alasannya cukup tepat, takut para
kerabat Im-san mencari perkara padanya, ia tahu dirinya
bukan tandingan mereka, apalagi perkara terjadi gara-gara
dirinya dengan Thio Ceng Ceng, Koan San-gwat langsung
menolak permintaan orang.
Apalagi sepanjang jalan ia selalu memberi pelayanan yang
baik pada dirinya, sehingga ia terhindar dari banyak kesulitan,
lambat laun Koan San-gwat merasa tidak bisa kehilangan
pembantu yang sangat diperlukan ini, maka begitu mendengar
jeritannya, segera ia keprak kudanya menyusul ke sana.
Belum berapa jauh, dilihatnya seekor kuda tanpa
penunggang sedang mencongklang pesat ke arah sini, kuda
itu adalah tunggangan Lau Sam-thay, melihat binatang itu
tidak ditunggangi majikannya, Koan San-gwat semakin kuatir,
lekas ia cegat dan tarik kuda itu lalu dibawa lari pula ke
depan.
Beberapa kejap kemudian, jauh di depan sana dilihatnya
Lau Sam-thay sedang memukul dan menubruk serabutan
melawan seorang gadis yang bercokol di atas kuda. Gadis itu
menggunakan pakaian serba merah, tangannya memegang
pecut panjang, berulang-ulang ia melecutkan pecutannya ke
arah Lau Sam-thay.
Berkali-kali Lau Sam-thay urut tangannya mencengkeram
ujung pecut lawan, tapi selalu gagal, malah kepala dan
mukanya dipecut beberapa kali, badan babak belur, bajunya
sudah sobek-sobek berdarah.
Sudah tentu Koan San-gwat tidak berpeluk tangan, cepat ia
keprak kudanya memburu kesana, bentaknya, “Berhenti!”
Bentakannya keras menggeledek menggelegar, gadis itu
segera menghentikan aksinya! Lau Sam-thay lantas berteriak:
“Liang-cu! Jangan kau turut campur, biar aku adu jiwa dengan
budak busuk ini…….”
Belum habis bicara tahu-tahu mukanya kepecut lagi,
terdengar gadis itu membentak: “Coba kau maki sekali lagi,
kubikin hancur mulutmu.”
Agaknya pecutan terakhir ini jauh lebih berat, muka Lau
Sam-thay bertambah jalur berdarah, sudah tentu marahnya
bukan kepalang, hardiknya kalap: “Tuan besarmu justru ingin
maki kau, kalau berani coba kau bunuh aku saja, perempuan
busuk ……….!
Berubah air muka gadis itu, teriaknya melengking : “Kau
memang harus dihajar !”
Pecut sudah terayun dan hendak menghajar lagi,
sementara Koan San-gwat sudah tiba mencegat di antara
mereka, begitu melihat kedatangan Koan San-gwat, gadis itu
batalkan serangannya, teriaknya: “Kau minggir, akan kuhajar
dia supaya tidak memaki orang lagi!”
Kata Koan San-gwat dengan kalem : “Memaki orang
memang salah, tapi kau sudah menghajarnya begitu rupa, apa
tidak terlalu?”
Gadis itu mendelik serunya : “Kusuruh kau minggir dengar
tidak? Kalau kau tidak mau minggir, kau pun akan kuhajar
sekalian.”
Lau Sam-thay berjngkrak gusar, teriaknya sambil bertolak
pinggang : “Perempuan busuk, kalau kau mampu memecut
Ling-cu, baru aku tunduk kepadamu!”
Gadis itu menjengek hidung, tiba-tiba pecutnya terayun
melingkar-lingkar terus menukik hendak membelit leher Koan
San-gwat.
Koan San-gwat bersikap tenang sambil mengulum senyum,
tanpa berkelit ia mengulur tangannya mencengkeram ujung
pecut si gadis ini, yang dia gunakan adalah hun-kong poh-in,
membagi silat menerkam bayangan. Ia menyangka dengan
gerak tangan yang amat lihay itu, pecut lawan dapat
dipegang. Tak kira baru saja jarinya menggenggam ujung
pecut orang, gadis itu menggentak pergelangan tangannya,
ujung pecutnya itu seperti ular sakti yang licin memberesot
lolos dari telapak tangannya.
Hanya satu gebrak, kedua pihak menjadi tercengang, rasa
heran dan kaget gadis itu jauh lebih besar dari Koan Sangwat,
terdengar hidungnya mendengus lirih, lalu katanya:
“Hai, siapa namamu ?”
Belum sempat Koan San-gwat membuka mulut, Lau Samthay
sudah menjawab: “Perempuan busuk, Bing-to-ling-cu
yang namanya menggetarkan seluruh kolong langit masa tidak
pernah dengar? buat apa kau kenali kangouw.”
“Siapa bilang aku orang Kangouw?” sentak gadis itu sambil
melotot.
Agaknya luka-luka Lau Sam-thay masih sakit, dengan
marah ia memaki pula: “Perempuan busuk, dandananmu
menunjukkan kau adalan anggota rombongan akrobatik,
berani kau tidak mengaku!?”
Lau Sam-thay hendak memaki dan menghinanya, tak kira
gadis itu melotot heran, tanyanya: “Apa yang dinamakan
akrobatik!?”
Lau Sam-thay menelan air liur, sungguh hatinya gemas,
entah pura-pura atau tidak tahu atau memang bodoh, sesaat
baru ia menjawab: “Kalau kau sudah tahu istilah Kangouw,
masa tidak tahu artinya?”
“Aku memang tidak tahu,” sahut gadis itu tertawa, “Orang
Kangouw, nama ini kudengar dari ibuku, menurut kata ibu
orang kangouw tiada yang baik. Apakah kalian pun orang
Kangouw?”
Lau Sam-thay uring-uringan, makinya: “Justru ibumu yang
bukan orang baik, berdasarkan apa dia berani mengatakan
orang Kangouw tiada yang baik!”
Gadis itu menarik muka, pecut terayun lalu menghajar pula
ke arah Lau Sam-thay, teriaknya gusar, “Berani kau memaki
ibuku? Sudah bosan hidup ya!?”
Sambil menghardik Koan San-gwat mengayun telapak
tangannya memotong pecut lawan di samping menolong Lau
Sam-thay, tujuannya merampas pecut orang. Akan tetapi
permainan pecut gadis itu sangat lincah dan licin sekali,
badannya meliuk dan bergoyang di punggung kuda. Di
samping menghindari pukulan Koan San-gwat, geraKan
tangannya tetap tidak berubah, pecutnya masih melingkar ke
atas Lau Sam-thay. “Plak” tanpa diberi kesempatan, pinggang
Lau Sam-thay kena sabet, serangan ini melecut sambil
menutuk jalan darah, kontan ia tergulung serta terseret ke
tanah tidak bergerak lagi, jalan darah di bawah ketiaknya
tertutuk.
Koan San-gwat marah dibuatnya, segera ia melompat
turun, “Kau turun, akan kuberi hajaran kepadamu.”
Sambil mendelik gadis itu berkata lantang: “Bukan aku
takut kepadamu tapi aku ingat pesan ibu, tanpa sebab
dilarang bentrok dengan orang lain. Kalau kau berani
memakiku segera akan kulabrak kau.”
Koan San-gwat melengak, ia rasa gadis ini aneh, katanya
tertawa : “Jadi kawanku ini memakimu terlebih dulu baru kau
hajar?”
“Sudah tentu! Aku tidak pernah turun tangan lebih dulu
tanpa sebab.”
Sambil tersenyum Koan San-gwat menghampiri Lau Samthay
lalu menjinjing bangun, beruntun ia gunakan lima enam
cara ilmu tutuk tidak berhasil membebaskan Hiat-to Lau Samthay.
“Aku menggunakan tutukan tunggal ciptaan ibuku, kau
tidak mampu membebaskan tutukanku, kalau dia tidak
memaki aku akan kubebaskan tutukan jalan darahnya. Kalau
tidak bisa lumpuh selamanya.”
Saking kewalahan Koan San-gwat manggut-manggut,
ujarnya : “Baiklah, kutanggung dia tidak akan memaki kau
lagi!”
-oo0dw0oo-
Jilid 7
Tukang perahu cengar-cengir, ujarnya : “Wah, malam ini
agaknya aku ketiban rejeki nomplok, tulang-tulangku ini
agaknya menjadi berharga, ada gadis ayu ingin mengelus-elus
dan membayar kepadaku……”
“Sudah jangan cerewet,” sentak Lok Siau-hong marah,
“berapa yang kau minta?”
Tukang perahu bergelak tertawa, serunya: “Jari-jarimu
yang manis halus itu, andainya harus mampus juga tidak
menyesal. maka aku tidak menuntut bayaran, silahkan saja,
kau boleh gratis!”
Rasa gusar Lok Siau-hong mendadak sirna, cepat ia
tersenyum manis, katanya : “Kalau begitu banyak terima
kasih!”
Nadanya lemah lembut, tapi ia turun tangan tidak kasihan:
“wut!” cambuk panjang bergulung-gulung ke tengah udara
membawa kisaran angin yang menderu, melesat ke
pergelangan tangan orang dengan kecepatan yang susah
diukur.
Berubah air muka tukang perahu, tersipu-sipu ia menarik
tangannya, tapi sudah terlambat, ujung cambuk laksana ular
hidup sudah membelit pergelangan tangannya, lekas
tangannya digen rak dan tan k kesam ping mak sudnya
hendak membebaskan tangannya dari lilitan cambuk itu.
Agaknya Lok Siau-hong sudah memperhitungkan reaksi lawan,
memperingatkan dan tarikan orang, sekali lagi cambuknya
disendal untuk memunahkan tenaga gentakan orang yang
besar, sehingga ujung cambuknya tetap membelit
pergelangan tangan orang.
Terdengar tukang perahu menjerit sekeras-kerasnya, tibatiba
ia dorong telapak tangannya ke depan.
Selama ini Koan San-gwat mengawasi kejadian ini dengan
waspada, cepat-cepat iapun dorong telapak tangannya
menyambut hantaman lawan.
Koan San-gwat kira lwekang tukang perahu ini luar biasa,
umpama Ia kerahkan seluruh tenaga juga belum tentu kuat
menahan pukulan orang, maka begitu melancarkan pukulan
tukang perahu rendah dan biasa saja, keruan badannya
kepukul terbang ke udara meluncur ke tengah sungai yang
airnya sedang bergolak itu.
Cambuk Lok Siau-hong yang membelit, tangan orang
belum terlepas keruan terseret beberapa langkah hampir
tersuruk masuk ke air. Cepat Koan San-gwat memburu maju
dan menarik pinggangnya serta lompat mundur.
Sementara itu, tukang perahu sudah lenyap, ditelan ombak
yang bergolak. Untunglah Koan San-gwat bertindak sehingga
Lok Siau-hong tidak terseret jatuh ke dalam sungai.
Karena tanpa kendali perahu oleng dan berputar di tengah
sungai, kuda yang tidak terikat berjingkrak kaget jatuh ke
dalam sungai, kuda milikc Koan San-gwat dan Lau Sam-thay
sementara kuda merah Lok Siau-hong masih tenang-tenang
berdiri di sana.
Koan San-gwat tertawa tawar, “Usiaku toh lebih tua.”
Setelah perahu tenang, Koan San-gwat melepas
pelukannya, Lok Siau-hong jadi malu jengah, katanya tersekat
: “Terima kasih Koan…..”
Koan San-gwat tertawa tawar, katanya : “Usiaku lebih tua,
kau boleh panggil aku Koan-toako saja.”
Lok Siau-hong kikuk, suaranya lirih: “Terima kasih Koantoako!”
Koan San-gwat manggut-manggut, belum ia buka suara,
mendadak dilihatnya air bergolak lalu muncullah kepala tukang
perahu. Ia naik salah seekor kuda, teriaknya: “Hai! Nona cilik,
pernah apa kau dengan Lok Heng kun ?”
“Beliau ibuku, untuk apa kau tanya dia?”
“Bagus!” teriak tukang perahu bengis, “akhirnya aku
berhasil menemukan dia. Kalian tinggal dimana?”
Tanpa pikir Lok Siau-hong berseru lantang: “Kami tinggal di
Si-yang-ceng, lima li di depan seberang sana.”
Tukang perahu itu berteriak beringas : “Lekas pulang
beritahu kepadanya, besok siang setelah lohor aku akan
datang mencarinya!”
“Ouw-hay-ik-siu!” Lok Siau-hong berteriak lantang, “lebih
baik lusa kau datang, bukan saja ibu, bibiku juga menunggu
kedatanganmu, datanglah pada waktunya, kedua belah pihak
bisa menyelesaikan persoalan lama sekaligus.”
Tukang perahu tertegun sejenak, lalu sahutnya: “Baiklah
lusa tengah hari aku pasti datang, suruh mereka siap! ” habis
berkata ia biarkan kuda itu hanyut terbawa air.
Koan San-gwat bingung, tanyanya: “Nona! Kau kenal orang
ini?”
“Tidak!” tapi setelah dia menyebut nama ibuku lantas aku
tahu siapa dia. Menurut ibu, orang itu sangat jahat, musuh
besar keluargaku, ibu, bibi, dan paman menanti
kedatangannya!”
Koan San-gwat ketarik tanyanya: “Ada permusuhan apa
dengan keluarga kalian?”
“Aku tidak tahu, ibu mengajar ilmu cambuk yang khusus
mengalahkan dia.”
“Jurus yang nona lancarkan tadi?”
Lok Siau-hong manggut-manggut dengan bangga.
“Ilmu silat orang tua itu sangat aneh dan agak sesat, urat
nadinya sudah kugencet dengan seluruh tenagaku, tapi
sedikitpun tidak terluka tapi kena pukulannya bisa saja…… ”
Lok Siau-hong tertawa: “Kalau sebelumnya dia tidak kena
cambukku, tentu kau tidak akan merasa pukulannya biasa
saja.”
Koan San-gwat melengak heran, tanyanya: “Apakah
maksud ucapan nona?”
Lok Siau-hong acungkan cambuk di tangannya, sedikit ia
mengerahkan tenaga, ujung cambuk mendadak tegang berdiri
seperti kepala ular muncullah dua jarum kecil warna hitam.
Sekali muncul, lantas masuk kembali, kalau tidak diperhalikan
kau tidak akan menyadari kalau kau tertusuk jarum.
Beruntun Lok Siau-hong mendemontrasikan beberapa kali,
setelah Koan san-gwat dan Lau Sam-thay melihat jelas baru
dia tertawa dengan bangga, ujarnya. “Menurut ibu, tua
bangka itu punya ilmu sian-than-gun goan-hun-sip kang,
tubuhnya dapat dirobah menjadi empuk dan lemas seperti
benang kapuk, tenaga besar juga tidak akan bisa melukai dia.
Kuatir suatu ketika aku kepergok dia dan kecundang, maka ibu
menciptakan ilmu cambuk ini kepadaku. Dua puluh tahun yang
lalu dia pernah kecundang oleh tusukan jarum ini, hari ini
sekali lagi roboh di tanganku, sejauh ini dia belum tau duduk
perkara yang sebenarnya.”
“Apakah jarum di dalam cambuk nona mengandung
racun?”
“Liag coa-pian-hoatku tidak mengandung racun. Kalau
beracun menjadi Tok-coa-pian-hoat dong.”
“Kalau mengandung racun, kenapa orang tidak mampu
mengerahkan tenaga setelah kena tusukan jarummu?”
“Jarum dalam cambuk ini panjangnya sato inci, begitu
menusuk urat nadi menembus ke khi-hiat, sudah tentu seluruh
pertahanannya bobol dan tenaga tak mampu dikerahkan lagi.”
“Khi-hiat masa berada di urat nadi pergelangan tangan ?”
“Justru disitulah tempat keanebannya, kalau orang lain….”
“Terhadap orang lain tusukan itu tak berguna,” demikian
Lau Sam-thay menyela.
Lok Siau-hong melirik sekejap, katanya, “kalau orang lain
jiwanya sudah melayang, dan jalan darah penting siapa yang
kuat ditusuk jarum, dalam keadaan yang tidak siap siaga lagi.
Maka ibu berpesan supaya menggunakan terhadap dia saja!”
“Menilai pesan ibumu itu, jelas bahwa ibumu yang baik hati
dan bijaksana,” ujar Koan San-gwat tersenyum.
“Ya, aku sendiri tidak tahu kenapa ibu menggunakan
julukan Hiat-lo-sat (kuntilanak berdarah), demikian pula bibiku
julukannya Pek-kut sin-mo.”
Koan San-gwat melengak, seorang aneh pula, dengan
pikirannya nama-nama Hiat-lo-sat, Pek-kut-sin-mo dan Ouwhay-
ih-siu belum pernah dengar selama ini, bagaimana sepak
terjang dan asal usul mereka? Ilmu silat mereka tinggi, kenapa
menyembunyikan diri melarang putrinya terjun ke percaturan
Kangouw…
“Aku harus menyelidiki seluk beluk mereka hingga terang,
siapa tahu di belakang ini ada tersembunyi suatu rahasia
besar yang biasa menggemparkan Kangouw,” hati berpikir tapi
akhirnya ia bersikap tawar, tanyanya: “Kalau ibumu tidak
pernah Kelana di Kangouw, untuk apa pula dia memiliki
gelar?”
“Entahlah! ibu, bibi, dan paman memanggil julukan masingmasing
tidak pernah memanggil nama aslinya .. oh, ya,
pamanku bergelar Coh-san-sin (malaikat gunung yang buruk)
sebetulnya ia tidak kelihatan buruk malah cakap dan
ganteng!”
Koan San-gwat berpikir dalam hati, setelah termenung
sekian saat mendadak teringat olehnya sebuah persoalan,
tanyanya: “Aku masih belum tahu nama kebesaran ayah nona,
tentu beliau seorang tokoh kosen yang menyembunyikan diri!”
Seketika berubah air muka Lok Siau-hong, sahutnya. “Aku
tidak punya ayah!”
“Setiap orang tentu punya ayah dan ibu ..”
“Justru aku tidak punya, begitulah kata ibu, aku pun harus
percaya saja, setiap kali kutanya hal ini, selalu aku dihajar dan
dimakinya, maka kalau ketemu ibuku jangan kau singgung
soal ini.”
Dalam pada itu perahu mereka sudah laju ke depan dan
terhanyut semakin jauh, untung Lau Sam-thay bisa
mengendalikan perahu. Setelah sekian lama bekerja keras
perahu akhirnya bisa mendarat. Waktu itu hari sudah terang
tanah.
Setelah berada di atas darat, kelihatan Lau Sam-thay lebih
gelisah dari Koan San-gwat tanyanya: “Nona Lok, dimanakah
rumahmu ?”
Lok Siau-hong celingukan mencari arah lalu berkata :
“Tempat ini sudah jauh dari rumahku, kuda kalian hilang lagi,
bagaimana melanjutkan perjalanan?”
“Tidak jadi soal, kau naik kuda saja, kami berlari menguntit
di belakangmu.”
Lok Siau-hong menepuk kudanya, katanya : “Kukira kau
salah perhitungan bila hendak lomba lari dengan
tungganganku ini, bila dia sudah lari, anginpun dapat dikejar
olehnya. Kata ibu kuda ini kelahiran Tay-hoan yang pilihan
dalam dunia cuma ada beberapa ekor saja….”
Sebagai orang yang dibesarkan di padang pasir sudah tentu
Koan San-gwat kenal kwalitet kuda. Kalau bukan kuda
jempolan masa berlaku tenang dan tidak bergeming di kala
perahu oleng dan hampir terbalik.
Lau Sam-thay angkat pundak, katanya “Bagaimana
baiknya, apa tiga orang menunggang satu kuda ?”
“Ya, terpaksa, begitulah, asal bisa duduk sepuluh orang
pun dia kuat …”
Karena tiada pilihan lain terpaksa Koan San-gwat setuju,
Koan San-gwat pegang kendali, Lau Sam-thay duduk di
tengah sementara Lok Siau-hong duduk di pantat kuda, kuda
merah besar itu bisa berlari bagaikan angin, tidak lama
kemudian mereka sudah jauh meninggalkan orang-orang yang
berdiri keheranan di pinggir jalan, setelah membelok ke
sebuah jalan datar berdebu kuning, hutan menghijau rimbun
di depan sana sudah kelihatan, di depan pohon itulah tampak
beberapa petak bangunan.
Sambil menuding ke depan Lok Siau-hong berteriak girang
: “Lihatlah ! Itulah rumah Si-yang-ceng !”
Begitu sampai di luar perkampungan, si merah segera
menghentikan larinya. Seorang perempuan pertengahan umur
tampak berdiri di ambang pintu dengan muka dingin dan
masam. Begitu turun Lok Siau-hong lari ke hadapan
perempuan tua itu seraya berseru: “Bu! Aku membawa
seorang teman, dia bernama Koan San-gwat!”
Bergegas Koan San-gwat melompat turun, sapanya sambil
bersoja: “Apakah aku berhadapan dengan Hiat-lo-sat Lok
Heng-kun Locianpwe ?”
Perempuan tua itu mengipat tangan Lok Siau-hong serta
berkata dengan bengis: “Siau-hong masuk, kenapa kau
membawa pulang mereka, orang-orang Kangouw lagi…..”
Lok Siau-hong tertegun melihat sikap ibunya, segera ia
merengek : “Ma, Koan-toako bukan orang biasa,
kepandaiannya hebat, dia… dia mampu menandingi Ling-coapianku.”
Berubah air muka perempuan itu, mulutnya bersuara lirih,
dengan pandangan tajam mengawasi Koan San-gwat sesaat
baru berkata dengan dingin: “Bagus sekali! Kau mampu
melawan Ling-coa-pian Siau-hong, mungkin kau ingin menjajal
kepandaianku juga, bukan!”
Cepat Koan San-gwat berkata: “Aku yang rendah tidak
punya maksud demikian, cuma dari cerita puterimu, kudapat
tahu adanya seorang Bulim Cianpwe yang semayam di tempat
ini, maka sengaja kami kemari, sebagai Wanpwe kami mohon
petunjuk belaka!”
“Mana kami berani terima, kami menetap disini dengan
tenang dan aman, selamanya tidak pernah berhubungan
dengan orang Kang-ouw, kalau saudara tidak punya urusan
lain, harap maaf, aku tidak bisa melayani lebih lanjut!”
Sikap dingin dan keras ini membuat Koan San-gwat serba
runyam dan kikuk, habis berkata perempuan tua itu putar
tubuh masuk kampung, segera Lok Siau-hong berteriak: “Ma!
Mana boleh kau bersikap begitu pada mereka, akulah yang
mengundang mereka!”
“Siau-hong!” damprat perempuan tua itu. “Kau memang
semberono, sudah wanti-wanti aku berpesan padamu, jangan
bergaul dengan orang Kang-ouw, kau justru mengundang
mereka kemari, agaknya kau harus diberi sedikit hajaran!”
“Ma! Koan-toako bukan orang Kang-ouw sembarangan,
namanya besar kepandaiannya tinggi, dia adalah Bing-tho
Ling-cu!”
Bahwasanya Lok Siau-hung tidak tahu sampai dimana
pengaruh dan kebesaran nama Bing-tho- ling-cu, karena
gugup ia berteriak mencari-cari alasan, tak kira ibunya
tertegun oleh keempat nama yang disebut itu, tiba-tiba ia
membalik serta bertanya: “Bukankah Bing-tho-ling-cu adalah
Tokko Bing? Bagaimana bisa ganti bocah muda seperti dia…?”
Tergerak hati Koan San-gwat, diam-diam ia membatin:
“Suhu tidak pernah menyebut nama orang ini, tapi dia kenal
nama guru,” sejenak berpikir ia lantas menjawab: “Insu (guru
berbudi) sudah wafat, wanpwe mendapat pesan untuk
meneruskan jabatan Bing-tho-ling.”
“Tokko Bing sudah mati?”tukas perempuan itu sambil
tertawa dingin, “Anak muda, jangan membual terhadapku.”
Mencelos hati Koan San-gwat, pikirnya: “Perihal kematian
guru, Peng Kiok-jin juga menyatakan tidak percaya, Hiat-lo-sat
juga berpendapat demikian, besar kemungkinan mereka dulu
kenal dengan Unsu….. Sesaat bimbang lalu jawabnye dengan
sungguh-sungguh: “Darimana Cianpwe tahu bila Unsu belum
wafat?”
Perempuan ini tertawa dingin, ujarnya: “Tahu yang tahu,
kenapa harus kujelaskan? Kalau dia benar-benar sudah ajal,
pasti aku sudah memperoleh berita dukanya itu, kalau tokh
dia sudah menyerahkan Bing-tho-ling-cu pada kau, tentu dia
sudah berangkat ke tempat itu!”
Mendengar keterangannya sama dan persis dengan apa
yang dikatakan Peng Kiok-jin seolah-olah sangat jelas segala
seluk-beluk Tokko Bing, cepat Koan San-gwat bertanya: “Ke
tempat mana?”
“Dia tidak beritahu kepada kau?”
“Sebenarnya wanpwe tidak tahu menahu….”
Perempuan tua itu manggut-manggut, ujarnya: “Ya… kau
tidak tahu, Tokko bing tidak akan berani memberitahukan
kepada kau…. Apa boleh buat, kalau kau memang ahli waris
Tokko Bing, aku harus melanggar kebiasaan menerima
kedatanganmu, silahkan masuk!”
Lok Siau-hong tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi
melihat ibunya sudah mau menerima Koan San-gwat, ia jadi
senang, katanya tertawa: “Ma! Kali ini sungguh
menyenangkan, bukan saja bertemu dengan Koan-toako, tadi
akupun bentrok dengan orang yang paling kau kuatirkan itu.
Di atas sungai kuning tadi dia kupersen sekali pecutan, Koantoako
menambahkan sebuah pukulan pula, kontan ia
terjungkaL ke dalam air!”
Berubah hebat air muka perempuan tua itu, tanyanya:
“Apa, semalam kau ketemu Ouw hay -ih-siu, bagaimana
dia…..”
“Ibu dan bibi biasanya mengagulkan dia tapi menurut
pandanganku tidak lebih dia itu sebuah gentong nasi belaka,”
demikian ujar Lok Siau-hong tertawa geli.
“Jangan membual, cepat ceritakan pengalamanmu, tak
mungkin ia mati kelelep karena serangan kalian itu.”
“Ya, dia muncul di permukaan air, ketika dia menyebut
namamu, baru aku tahu siapa dia. Maka sesuai dengan
pesanmu kutantang dia. Semula dia berkata hari ini sebelum
lohor….”
Perempuan itu makin gugup, katanya : “Wah celaka. Pekkut
kebetulan tiada, aku seorang diri mana kuat menandingi
dia…..”
“Aku tahu, maka kutantang dia besok lohor, waktu masih
keburu untuk mengundang bibi an paman kemari. Sebetulnya
ini pun sudah berkelebihan, ada aku dan Koan-toako kukira
sudah lebih cukup….”
“Kau tahu apa?” semprot perempuan itu, “Lekas berangkat
naik si merah, undang Pek-kut dan Coh-san-sin kemari!”
“Baru saja aku pulang sudah disuruh pergi, bukankah
banyak tenaga dalam rumah, kenapa tidak suruh orang lain
saja?” demikian omel Siau-hong.
Belum perempuan itu menjawab, tiba-tiba didengarnya di
tengah angkasa suara kelintingan burung dara, puluhan
burung dara sedang terbang berputar di atas angkasa.
Kontan Lok Siau-hong berjingkrak girang, serunya sambil
bertepuk tangan. “Tidak usah pergi, paman dan bibi sudah
datang sendiri…..”
Setelah berputar-putar sekian lamanya di tengah udara,
salah satu di antara burung dara itu menukik turun dengan
cepat. Lok Siau-hong ulur cambuknya yang panjang, seraya
berteriak: “Pek-ih! Mari kemari!”
Agaknya burung dara itu pandai mendengar ucapan
manusia, dengan patuh ia meluncur dan hinggap di atas
gagang cambuk Lok Siau-hong, dari kakinya Lok Siau-hong
mengambil sebuah bumbung kecil dan mengeluarkan secarik
kertas, lalu dibacanya keras: “Jejak musuh sudah muncul, adik
berdua segera tiba…” Setelah membaca ia ulurkan secarik
kertas itu kepada ibunya, katanya : “Bibi berdua ternyata
sudah tahu.”
Lok Heng-kun menerima kertas itu serta memeriksanya
sekian lamanya, lalu berkata kepada Koan San-gwat:
“Hubungan kami dengan gurumu dulu sangat intim,
seharusnya kami menjamu sekedarnya, tapi musuh tangguh
kebetulan meluruk tiba, terpaksa berlaku kurang hormat
kepada kau……”
Koan San-gwat tahu watak dan perangai tokoh Bulim
memang aneh dan berbeda, biasanya mereka tidak
mengijinkan orang lain turutcampur tangan dalam pertikaian
mereka sendiri. Jejak gurunya sangat mencurigakan.
kebetulan sumber yang dapat memberi penjelasan nyata,
kesempatan tak disia-siakan, maka ia berkata tegas: “Kiranya
Cianpwe adalah sababat lama Unsu, kalau Cianpwe kena
perkara, adalah menjadi kewajiban Wanpwe untuk ikut
menyumbangkan tenaga kami!”
“Agaknya sikapmu sama dengan Tokko Bing di waktu
mudanya, suka turut campur tangan urusan orang lain, tapi
untuk urusan ini kau tidak akan dapat membantu!”
“Bukankah Cianpwe hendak menghadapi Ouw-hay–ih-siu si
kakek tua itu?”
“Tidak salah!” kata Lok Heng-kun memberi keterangan,
“Maka Kukatakan kau tidak akan bisa membantu, Kakek
bangkotan itu sulit dilayani, kepandaian silatnya aneh sekali,
jauh berlainan dengan ilmu silat umumnya…?”
Agaknya Lok Siau-hong merasa berat bila ditinggal Koan
San-gwat, cepat ia bicara : “Mama, kepandaian Koan Sangwat
hebat sekali, tua bangka itu tadi dipukul terjungkal ke
dalam sungai.”
Lok Heng-kun tersenyum : “Hal itu terjadi setelah dia
tertusuk jarum di ujung cambukmu itu bukan?”
Merah muka Koan San-gwat, dia gunakan cara menangkap
dan menggenjot urat nadi hendak membekuk kakek tua itu,
tapi sedikit pun tidak membawa hasil, akhirnya meski berhasil
memukulnya masuk air sebabnya memang lawan sudah
tertusuk jarum di ujung cambuk Lok Siau-hong itu, maka ia
berkata dengan sebetulnya: “Ilmu silat Wanpwe masih terlalu
cetek. Memang tidak akan banyak membantu mengatasi
kesulitan Cianpwe, tapi kesempatan untuk melihat
pertarungan tingkat tinggi seperti Cianpwe sulit didapat. Harap
Cianpwe suka memberi ijin supaya Wanpwe ikut menambah
pengalaman!”
“Begitupun baiklah,” ujar Lok Heng-kun sekian lamanya
setelah mempertimbangkan masak -masak. “Kupandang muka
gurumu, tiada alasan aku melarang kehadiranmu disini, tapi
perlu kuperingatkan jangan kau membuat kesulitan bagi
dirimu sendiri!”
Koan San-gwat manggut-manggut dengan girang,
sahutnya: “Wanpwe hanya menonton saja dari luar
gelanggang!”
Sebaliknya Lok Heng-kun menambahkan dengan sikap
serius; : “Jangan kau bicara seenakmu, soal ini harus kau
patuhi benar-benar, kau harus dapat menahan sabar yang luar
biasa. Soalnya tua bangka itu orang gila, melihat orang lantas
menggigit, maka kau harus bisa mengendalikan diri supaya
tidak memperdulikan dia yang hendak mencari kesulitan
kepada kami! ”
Koan San-gwat tertegun : “Jangan-jangan dia selalu
mencari perkara kepada orang lain?” tanyanya heran.
“Kalau dia tahu kau ahli wails Tokko Bing, kutanggung dia
akan mencari gara-gara kepada kau, pertikaiaanya dengan
gurumu justru lebih dalam dan besar dibanding persoalan
kami!”
“Kenapa guru tidak pernah menyinggung soal itu………….”
“Sudah tentu Tokko Bing tidak bilang, kalau tidak…………..”
bicara sampai disini seolah-olah Lok Heng-kun menyadari
sesuatu,segera ia tutup mulut dan mengalihkan ke pembicaran
lain: “Apapun yang terjadi, jangan kau hiraukan tingkah
polanya. Tua bangka itu punya suatu penyakit, asal kau tidak
mencari gara-gara kepadanya maka tiada alasan dia turun
tangan terhadapmu!”
Koan San-gwat jadi uring-uringan, jengeknya takabur:
“Kalau Wanpwe tidak kuasa menerima ejekan dan
tantangannya bagaimana?”
“Maka dia akan menjadi bayanganmu, setiap hari setiap
saat melihat dirimu, begitu hebat gangguan yang dia lakukan
sehingga kau merasa tiada satu hari kau dapat hidup tentram,
kecuali kau dapat membunuh dia……. tapi itu tidak mungkin
terjadi!”
“Kenapa?” tanya Koan San-gwat tidak habis mengerti,
“apakah dia manusia yang tidak bisa dibunuh?”
“Benar! ilmu yang dia pelajari jauh berlainan dengan
kepandaian yang kita pelajari, dengan kepandaian silat yang
kita pelajari tidak akan mampu membunuhnya !”
“Benar! Wanpwe pernah menggunakan tenaga dalam untuk
menggetar putus urat nadinya, tapi kelihatannya tidak ada
pengaruhnya sedikit pun.
“Kau tidak perlu kuatir, karena kepandaian yang dipelajari
itupun tidak bisa untuk membunuh kau, ilmunya ini hanya bisa
dirimu sampai kau kewalahan dan menyerah kepadanya. Maka
waktu mencantumkan nama di atas Hong-sin-pang dulu, kita
cokolkan dia di urutan paling atas sebagai tokoh aneh yang
sering memusingkan kepala…..”
“Apakah Hong-sin-pang itu? Koan San-gwat bertanya.
Rada berobah rona wajah Lok-Heng-kun cepat ia
menambahkan: “Jangan tanya hal ini, aku tidak bisa
menerangkan, kini aku sudah bicara terlalu banyak, sejujurnya
siapa pun jangan menyinggung soal Hong sin-pang lagi?
Timbul berbagai pertanyaan dalam benak Koan San-gwat,
terutama mengenai Hong-sin pang, yang menyangkut sebuah
rahasia besar kaum persilatan terhadap gurunya, Peng-Kiokjin
dan Hiat-lo-sat atau perempuan yang dihadapinya ini,
demikian juga Pek-kut-sin-mo dan Coh san-sin yang belum
muncul ini serta Ouw-hay-ih-siu pun sangkut paut yang
teramat erat sekali.
Mendadak hatinya seperti memperoleh sesuatu ilham,
tanpa merasa mulutnya bersenandung :”Bangau kuning
terbang di atas sungai, di pinggir telaga para dewa (San-sin)
berkumpul.”
Berubah air muka Lok Heng-kun, serunya: “Apa? Jadi
Tokko Bing sudah bicara padamu bahwa dia adalah Ui-ho sansian?”
Dengan haru penuh semangat, Koan San-gwat
menegaskan: “Jadi Ui-ho-san-sian adalah Insu?”
Lok Heng-kun melengak, baru sekarang dia sadar telah
kelepasan omong, padahal Koan San-gwat tidak tahu soal ini,
maka ia berdiri menjublek, tanyanya kemudian, “Beberapa
kata tadi kau dengar dari mana?”
“Itulah sepasang syair yang digantung dalam kamar tidur
guru, selama ini wanpwe tidak tahu makna sebenarnya,
setelah Cianpwe menyinggung soal Hong sin-pang baru
wanpwe paham sedikit…”
Kontan Lok Heng-kun menukas dengan gusar, “Sudah
kukatakan jangan menyinggung Hong sin-pang lagi !”
“Oh, ya, selanjutnya wanpwe tidak akan menyinngung
lagi,” sahut Koan San-gwat menunduk.
Sambil menghela napas Lok Heng-kun menambahkan,
ketiga huruf itu punya sangkut paut yang teramat besar,
karena kelalaianku tadi sehingga aku menyinggung rahasia ini,
kalau sampai diketahui orang lain, kita akan ketimpa bencana
besar, maka wanti-wanti aku berpesan sama kau…..”
Koan San-gwat memang keheranan tapi melihat orang
serius ia mempertangguhkan janjinya, “Selanjutnya Wanpwe
anggap saja tidak dengar ketiga huruf tadi.”
Lambat laun perasaan Lok Heng-kun tenang kembali,
katanya: “Dari ketiga hurup itu bagaimana lantas terpikir
olehmu tentang julukan gurumu?”
“Dari julukan aneh tersimpul sesuatu pikiran dalam
benakku, padahal kalian adalah sahabat kental Suhu sejak
lama, namun guruku tidak pernah menyinggung hal ini.”
“Kurasa hal itu tidak punya sangkut pautnya dengan aku.”
“Akan tetapi dari julukan kalian sangkut pautnya amat
besar. Cianpwe bernama Hiat lo-sat, dan Cianpwe yang
bernama Pek-kut-sin-mo dan Coh-san-sin, Wanpwe juga kenal
seorang Cianpwe yang bernama Hwi-thin-ya-ce, Peng Kiokjin.”
“O, Peng Kiok-jin belum mati ?”
“Belum, semula Peng-cianpwe bersama Wanpwe, karena
sesuatu keperluan beberapa hari yang lalu dia berpisah.”
“Jangan urus dia, lanjutkan saja penjelasanmu.”
“Bahwa para Cianpwe tidak percaya bahwa guru sudah
mati, maka aku ragu dalam persoalan ini pasti ada hubungan
yang amat rahasia satu sama lain. Dinilai dari julukan kalian
ada Dewa, malaikat, iblis dan setan, ditambah yang
dinamakan Hong sin-pang, agaknya…… Maaf Cianpwe,
Wanpwe kelupaan? tapi terpaksa harus menyebut ketiga
hurup itu.”
“Tidak menjadi soal, selanjutnya harus kau ingat betulbetul
saja. Sejauhmana kau tahu tentang ketiga huruf itu….”
“Menurut pikiran Wanpwe, mungkin itu merupakan sebuah
pertemuan besar, atau suatu organisasi rahasia, mungkin pula
suatu perserikatan, Suhu dan kalian tercantum dalamdaftar
anggota.”
Berubah air muka Lok Heng-kun, sekuatnya ia menahan
gelora hatinya, katanya :”Darimana kau bisa berpikir bila
gurumu juga ada ikatan dalam ketiga huruf itu?”
“Wanpwe teringat sepasang syair di dalam kamar beliau,
Ui-ho-san-sian empat huruf itu yang serasi, maka besar
dugaan Wanpwe bila gurupun ada tercantum di dalam daftar
itu!”
“Engkau memang cermat dan teliti, maka yang kau ketahui
cukup banyak. Dengan setulus hati kuperingatkan kepada kau,
persoalan ini cukup sampai di sini saja, jangan kau main
selidik lebih lanjut.”
“Kenapa? Apakah…..” tanya Koan San-gwat, heran dan
tidak mengerti.
Tapi Lok Heng-kun segera menjawab dengan bengis :
“Sekali lagi kau menyinggung hal itu, aku tidak akan memberi
ampun padamu.”
Terpaksa Koan San-gwat tidak banyak bicara lagi. Sayupsayup
di kejauhan terdengar derap kaki kuda dan
menggelindingnya roda sedang mendatangi, Lok Heng-kun
menahan sabar, karanya ; “Adikku dan adik iparku sudah tiba,
ingat jangan kau menyinggung persoalan itu lagi.”
Koan San-gwat mengiakan. Tak lama kemudian dari
kejauhan debu mengepul tinggi, dua ekor kuda kekar menarik
sebuah kereta bercat indah berlari bagai terbang, yang
pegang kendali adalah seorang Laki-Laki berwajah cakap,
parasnya halus pakaiannya perlente. Begitu kereta berhenti,
kerai tersingkap dan muncullah wajah perempuan
pertengahan umur seraya berteriak : “Cici! Kau sudah terima
surat ?”
“Sudah! Malah aku sudah tahu. Sebelumnya Siau-hong
sudah bentrok dengan tua bangka itu di atas sungai kuning.”
Terkejut perempuan pertengahan umur itu, sekilas
matanya melirik ke arah Koan San-gwat dan Lau Sam-thay.
Lok Heng-kun lantas men jelaskan sambil tertawa; “Dia adalah
ahli waris Tokko Bing, seorang yang lain adalah kenalannya!”
“Ui ho ….” seru perempuan pertengahan umur itu dengan
tertegun.
“Ui- ho sudah berangkat ke Liong-han, tinggal Bing-tho ada
di alam fana,” demikian Lok Heng-kun melanjutkan.
Perempuan pertengahan umur kelihatan ragu-ragu, Koan
San-gwat juga kikuk ingin menyapa tidak tahu bagaimana ia
harus mengundang orang. Adalah Lok Siau-hong yang melihat
keadaan runyam ini dapat memperkenalkan: “Inilah pamanku
Liu ju-yang, itu bibi bernama Lok Siang-kun.”
Lekas Koan San-gwat merangkap tangan seraya menjura,
katanya: “Wanpwe Koan San-gwat harap ji-wi cianpwe terima
hormatku!”
Tersipu-sipu Lau Sam-thay ikut menjura hormat tanpa
berani memperkenalkan namanya.
Lok Siang-kun manggut-manggut, Liu Ju-yang memuji: “Siheng
gagah dan perkasa sungguh orang she Liu bersyukur
bahwa sahabat lamaku mempunyai murid yang hebat macam
kau!”
Belum sempat Koan San-gwat merendah, keburu Lok Hengkun
berkata: “Hayolah, jangan bicara di luar pintu, mari
silahkan masuk.”
Liu Ju-yang manggut-manggut sambil menghampiri kereta,
katanya: “Siang-kun, mari kugendong masuk!”
Sambil mengabitkan kerai, Lok Siang-kun berseru: “Hus di
hadapan wanpwe, apa-apaan kelakuan kami?”
“Kenapa sungkan, murid Tokko Bing bukankah sebagai
keponakan kita?”
“Kau kira kulit mukaku setebal kulit kerbau?” jengek Lok
Siang-kun, begitu kerai tersingkap, badannya melesat laksana
kupu-kupu kembang tanpa menyentuh tanah badannya
melesat ke depan hanya sekejap hilang masuk ke dalam
rumah.
Koan San-gwat melihat jelas kedua kakinya sebatas
dengkul ternyata sudah buntung, baru sekarang ia paham
kenapa Liu Ju-yang yang hendak menggendong istrinya, tapi
tak urung ia merasa takjub dan kagum akan ginkangnya yang
betul-betul telah sempurna, katanya, “Ginkang Lok cianpwe
benar-benar hebat dan mencapai tarap tinggi yang tiada
lawannya lagi!”
“Ilmu lain aku tidak berani bicara, soal ginkang mau
percaya orang yang memiliki ginkang tanpa tandingan di
seluruh jagat adalah seorang yang cacat kedua kakinya.”
“Setan buruk,” Lok Heng-kun menimbrung, “Di belakang
memakinya sebagai orang cacat lagi, kalau terdengar olehnya
kan bakal dapat persen yang lumayan nanti. Nama julukan
yang jelek itu, sebab dia sendiri sudah membuktikan bahwa
mesti cacat masih berguna.”
Lok Heng-kun tertawa, ujarnya: “Tekad dan keyakinan
kalian suami istri memang harus dipuji, siapa mau percaya bila
dulu kau bermuka bopeng julukan Coh-san-sin kurasa sudah
harus diganti….”
“Jangan! Jangan diganti. Seorang Kuncu tidak melupakan
asalnya, Ayah ibu menganugerahi aku muka demikian, kalau
sembarangan ganti berarti aku tidak berbakti pada orang tua,
biarlah aku tetap menggunakan julukan lama untuk selalu
peringatan bagi diriku!” sembari bicara ia bergelak tertawa.
Koan San-gwat keheranan. Sambil menunjuk punggung
orang Lok Heng-kun menjelaskan tertawa: “Kau tidak akan
percaya waktu mudamukanya buruk sekali bekas penyakit
kudis.”
“Memang sulit untuk Wanpwe percaya, apakah Liu-cianpwe
sudah memperoleh obat mujarab untuk mengubah kulit
mukanya?” tanya Koan San-gwat, sambil geleng kepala.
Lok Heng-kun menggeleng, sahutnya: “Menggunakan
khasiat obat bukan terhitung aneh, secara kekerasan ia
melatih semacam Hian-kan-gu sehingga kulit-kulit mukanya
yang rusak bisa pulih dan berubah keadaannya seperti
sekarang, dulu waktu mereka menikah, yang satu cacat yang
lain buruk sejelek setan hingga menimbulkan bahan tertawaan
orang banyak. Ada orang menyumbang pigura perak dimana
ada tertulis Cu-lian-pi-hap (perjodohan mutiara), kata-kata ini
menusuk perasaan namun dengan harapan supaya mereka
berlomba untuk meyakini hidup ini sambil menambal
kekurangan dirinya masing-masing.”
Haru dan kagum Koan San-gwat dibuatnya, katanya: “Hasil
yang dicapai kedua Cianpwe memang harus dipuji dan
membuat orang kagum! tapi orang yang memberikan Pigura
Perak tu agak terlalu …….”
“Tulisan di atas pigura itu adalah hasil karya Ui-ho-sansian!”
“Guruku! jadi……..” Koan San-gwat berjingkrak kaget.
“Tak usah kuatir! Sedikitpun mereka tidak merasa sirik
terhadap gurumu, sebaliknya merasa sangat berterima kasih.
maka mereka pasang pigura itu di atas tempat tidur.”
“Kejadian ini tentu sudah lama berselang.”
“Benar! sudah tiga puluh tahun yang lalu, kala itu kami
masih muda belia dan gagah bersemangat, entah bila Lionghoa-
hwe dibuka kembali, apakah masih seramah dulu.
Mungkin beberapa orang diantaranya sudah tidak bisa hadir
dalam pembukaan besar itu. Begitu pula ayah Siau-hong
sudah………”
Bergerak hati Koan San-gwat, meski mulut tidak bersuara,
namun dalam hati membatin “Liong-hoa-hwe… Hong Sinpang………….”
Melihat bibirnya bergerak, Lok Heng-kun seperti tersadar,
cepat ia berseru : “Anak jadah! Jangan kau menyinggung
urusan lama pula dengan aku!” – lalu ia mendahului masuk ke
dalam rumah. Koan San-gwat, Lau Sam-thay dan Lok Siauhong
mengintil di belakangnya. Tak lama kemudian mereka
sudah di ruangan tamu.
Begitu menyingkap kerai, tampak Lok Siang-kun dan Liu Juyang
sudah duduk di sana, dengan kikuk Lok Siau-hong lalu
menceritakan pengalamannya semalam. Tanpa sungkansungkan
Koan San-gwat mencari tempat duduk di pinggir
dengan perasaan kurang tentram, Lau Sam-thay duduk di
sebelahnya.
Agaknya cerita Lok Heng-kun sangat menarik perhatian
ketiga orang itu, setelah Lok Siau-hong selesai, baru Lok
Heng-kun bertanya: “Dik ! cara bagaimana pula kalian
mengetahui jejak tua bangka itu?”
Liu Ju-yang tersenyum, ia mewakili menjawab.”Kemaren
hari ulang tahunku, setelah mengantar tamu pulang
kutemukan dalam kamar sebuah kado yang lain dari pada
yang lain.”
“Kado apakah itu?” tanya Lok Siau-hong.
“Sebuah lukisan persembahan panjang umur!” jawab Liu
Ju-yang tertawa.
“Wah, tentu gambar genduk burikan mempersembahkan
buah tho!” habis berkata baru sadar sudah kelepasan omong,
cepat-cepat ialeletkan lidah sambil bermuka setan.
“Bukan genduk burikan tapi adalah kakek burik
persembahkan buah tho!”
Lok Heng-kun tertarik, tanyanya: “Apa-apaan maksudnya
itu?”
“Mungkin dia masih dendam pada peristiwa lama dulu,
orang yang digambar dalam lukisan adalah muka burukku
yang lalu, sepasang tangan memapah sebuah gundukan
kotoran kerbau di atasnya tertancap sebuah bunga mekar!”
Lok Heng-kan tertawa geli, Lok Siau-hong belum mengerti,
tanyanya: “Apakah maksud gambar itu ?”
Baru saja Liu Ju-yang mau membuka mulut, Lok Siang-kun
sudah menyentak dari samping : “Berani Kau katakan!”
Liu Ju-yang mengkeret, katanya berkelakar :”Perintah
junjungan hamba tak berani membangkang. Keponakanku
yang baik, terpaksa pamanmu tidak bisa memberi penjelesan
kepadamu.”
Dengan uring-uringan Lok Siang-kun memaki: “Selama tua
bangka itu belum mampus, makan tidur kita tidak akan
tentram, besok bila ketemu dia aku harus membuat
perhitungan padanya, sudah sekian lama kita
menyembunyikan diri, mungkin dia anggap jeri kepadanya.”
“Jangan terlalu keburu napsu adikku, tua bangka itu
memang sulit dilayani, mungkin sekarang juga sulit
diatasi……”
“Takut apa?” jengek Lok siang-kun marah-marah, “Masa
beberapa tahun ini kita hidup nganggur belaka, besok bila
tidak mampu mengganyangnya paling tidak membetot urat
atau mematahkan beberapa tulangnya.”
“Tua bangka itu sih tidak perlu ditakuti yang dikuatirkan
orang kepercayaannya itu ikut muncul. Cit-tok-jiu-hoat orang
itu lihay dan sulit dijaga-jaga…”
Mendengar Cit-tok-jiu-hoat tergerak hati Koan San-gwat,
Lau-Sam-thay segera menimbrung teriaknya : “Cit-tok-jiuhoat!
Bukankah itu kepandaian yang dilancarkan oleh Hwi-lotho
(Unta terbang)?”
Liu Ju-yang; bertiga tersentak kaget, tanyanya: “Dari mana
kau tahu Cit-tok-jiu-hoat, siapa pula itu Hwi-lo-tho ?”
Segera Koan San-gwat mengisahkan pengalamannya,
setelah itu ia menambahkan Cit-tok-jiu-hoat itu Peng Kiok-jin
sendiri bisa memunahkannya, agaknya bukan merupakan
kepandaian yang terlalu menakutkan!”
Namun dengan nada berat Lok Heng-kun menjelaskan:
“Cit-tok-jiu-hoat mempunyai ratusan perubahan yang sulit
diraba. Hwi-thian-ya-ce hanya mempu membebaskan salah
satu tutukan yang paling gampang, tapi kalau toh ilmu macam
ini sudah secara terang-terangan muncul di kalangan
kangouw, malah orang itu menggunakan lencana unta terbang
kurasa urusan ini tidak gampang diselesaikan.”
“Lok-cianpwe,” Koan San-gwat bicara lagi, “Dari Cit-tok-jiuhoat
kau menyinggung soal unta terbang, kini ada hubungan
apa pula dengan peristiwa Ouw-hay-ih-siu dengan pertikaian
kalian?”
Lok Heng-kun menggeleng katanya: “Urusan ini tiada
sangkut paut dengan kau.”
“Tidak! Justru wanpwe merasa berhubungan erat, unta
terbang secara terang-terangan hendak mengungguli unta
saktiku itu. Menurut dugaan wanpwe urusan jelas punya
hubungan erat dengan guruku !”
“Berdasar apa kau menganalisa sedemikian rupa?” tanya
Lok Heng-kun.
“Soalnya setelah Unta terbang muncul dia menantang
Wanpwe, untuk mengadakan pertemuan di Tay-san-koan.
Tatkala itu, Peng-cianpwemasih bersama Wanpwe, sedikit
banyak bellau ada memberi kisikan kepadaku, bila ingin
bertemu dengan guru, lebih baik jangan sampai mengalahkan
orang itu…….”
“Tidak mudah! Hwi-thian-ya-ce berani memberitahu
sedemikian banyak kepada kau,” demikian ujar Lok-Heng-kun
sambil manggut-manggut.
“Apakah cianpwe tidak sudi memberi petunjuk lebih
lanjut?” pinta Koan San-gwat, dengan rasa tegang.
Lok Heng-kun tertawa genit, sahutnya sambil menggeleng :
“Tidak bisa! kita mempunyai kesukaran kita sendiri!”
Koan San-gwat uring-uringan, dengusnya :”Hwi Siau-suthian,
Liong-ho-hwe, Hong-sin-pang, ada segelap apa, akan
datang suatu ketika aku akan bikin jelas semua urusan yang
penuh misterius ini, akan kubeberkan ke seluruh Bulim.
Seketika berubah air muka Liu Ju-yang bertiga, sebat sekali
Lok Heng kun dan Liu Ju-yang melejit maju ke kanan kirinya,
sementara kedua tangan Lok-Siang-kun sudah menekan kursi
siap menubruk maju pula.
Keruan tercekat Koan San-gwat, serunya: “Apa yang para
cianpwe hendak lakukan kepada saya?”
Sesaat lamanya baru Lok Heng-kun menghela napas,
katanya, “Koan-hiantit! aku memberanikan diri memanggilmu
demikian, sebagai sahabat kental dari gurumu, pula memberi
peringatan kepada kau, kuharapkan kau dapat menerima….”
Koan San-gwat menghela napas, katanya: “Apakah
Cianpwe juga ingin supaya aku sengaja mengalah kepada
Unta terbang?”
“Tidak! Meski demikian mungkin membawa manfaat bagi
Tokko Bing, tapi seluk-beluk Tokko Bing kami jelaskan sekali,
kalau toh dia sudah menyerahkan lencana sakti kepada kau,
tentu menaruh harapan besar kepadamu, betapapun dia tidak
akan senang bila kau bertindak lemah …….”
“Bila hal itu membawa manfaat bagi Suhu, menang atau
kalah bagi aku seorang tidak menjadi soal!”
“Tidak perlu!” tiba tiba sikap Lok Heng-kun menjadi kasar
dan beringas, “Peng Kiok-jin berkata demikian karena
pengertiannya terhadap Tokko Bing masih kurang mendalam,
pertemuan di Tay-san-koan, engkau harus menang, sekarang
cuma ada satu jalan untuk kau membalas budi kebaikan
gurumu!”
“Cara bagaimana?” tanya Koan San-gwat.
“Yaitu semua persoalan yang kau kemukakan tadi, lebih
baik kau lupakan sama sekali!”
Baru saja bibir Koan San-gwat bergerak, Liu-Ju-yang pun
sudah angkat bicara: “Karena hubungan kita dengan gurumu
luar biasa, maka Kami mau menasehati kau. Kalau tidak sesuai
dengan apa yang pernah kau katakan tadi, seharusnya kita
sudah …….”
Koan San-gwat melengak, tanyanya : “Seharusnya sudah
apa?”
Dari tempat duduknya Lok Siang-kun menjengek :
“Seharusnya kau dibunuh, supaya soal ini tidak bocor!”
Berubah kelam air muka Koan San-gwat. Liu Ju-yang masih
tertawa, ujarnya: “Sudahlah! Siang-kun, dia terhitung
angkatan muda, jangan kau gertak dia!”
Lok Siang-kun masih marah-marah, serunya: “Bocah
keparat macam dia masih suka ugal-ugalan, cepat atau lambat
akan menimbulkan bencana……”
“Adikku! cepat Lok Heng-kun menukas sambil tertawa.
“Kata-katamu terlalu berat, menurut pandanganku, dibanding
Tokko Bing di waktu masih muda dia jauh lebih pintar dan
cerdik, mungkin situasi yang akan datang bakal tergenggam di
tangan generasi yang akan datang, siapa tahu bakal terjadi
perubahan besar-besaran….?”
“Maka dia harus tahu diri dan menjaga keselamatannya…”
ujar Lok Siang-kun dengan nada yang sudah sabar.
“Hong-ji, kalian sudah setengah malaman tidak tidur, sudah
tiba saatnya istirahat, lekas kau ke belakang, suruh mereka
menyiapkan makanan sekedarnya lalu pergilah tidur, aku
masih ada urusan dengan paman dan bibimu, tak bisa
melayani tamu,” kata-katanya ditujukan kepada putrinya,
namun secara tidak langsung juga menyuruh Koan San-gwat
dan Lau Sam-thay mengundurkan diri juga.
Sebagai seorang cerdik sudah tentu Koan San-gwat
maklum kemana juntrungan kata-kata itu, tanpa diminta
segera ia berdiri, ujarnya berkata tertawa : “Kalau Cianpwe
tak memberi ingat, wanpwe sampai lupa makan tidak merasa
lelah!”
Lok Siau-hong percaya, lekas ia berkata :”Koan-toako.
Karena sejak tadi tidak kau katakan? Biar segera kusuruh Ongtoama
menyiapkan pangsit mie untuk kalian!” tersipu-sipu ia
bawa Koan San-gwat berdua mengundurkan diri.
Setelah Koan San-gwat bertiga tidak kelihatan, Liu Ju-yang
bertiga berkumpul dan bicara bisik-bisik, entah apa yang
mereka rundingkan.
Tengah hari dalam pendopo Si-yang-san ceng diadakan
perjamuan, tampak dua laki-laki dan tiga perempuan. Mereka
menduga pertemuan nanti bakal terjadi sesuatu perkelahian
yang cukup sengit, Lan Sam-thay yang tahu kepandaiannya
sendiri teramat rendah, mungkin melindungi jiwa sendiri pun
tidak akan mampu, terpaksa harus menyembunyikan diri di
tempat yang agak jauh.
Kelima orang yang hadir dalam perjamuan itu, hanya Lok
Siau-hong yang merasa tenang, tapi bukan takut atau jeri,
dalam kehidupannya yang serba cukup dan tentrem. belum
pernah mengalami pertikaian yang menegangkan urat
syarafnya. Apalagi dia seorang gadis remaja yang mulai
tumbuh gaireh hidupnya. Maka dialah yang paling ribut, tanya
ini tanya itu, mulutnya mengomel panjang pendek, kenapa tua
bangka itu tidak lekas datang.
Sikap Liu Ju-yang justru sangat tenang dan dingin, cangkir
demi cangkir, beberapa cangkir arak telah dihabiskan,
mukanya sudah merah.
Lok Siau-hong lantas membujuk : “Kau jangan terlalu
banyak minum, kalau sampa mabuk, urusan bakal
terbengkalai karenanya.”
Sambil memicingkan mata Liu Ju-yang berkata tertawa :
“Meminum arak aku melampiaskan rasa sebalku! Sekali mabuk
segala suka duka bakal amblas tak terasa!”
“Cianpwe juga kesal hati?” tanya Koan San-gwat.
“Ya,” sahut Liu Ju-yang pura-pura bersedih, “Aku sedang
kangen akan mukaku yang buruk dulu!”
Baru sekarang Koan San-gwat tahu orang sengaja
bersenda gurau dengan riang gembira itulah, sayup sayup
didengarnya beberapa kali suara tang ting, jelas dan nyata itu
suara keleningan.
Mereka berhenti tertawa, dengan lirih Liu Ju-yang berkata :
“In-pa-liok-ting! Naga-naganya Mo-kun ketiga yang datang,
bagaimana?”
Dengan suara tegang Lok Heng-kun berkata : “Pasti tua
bangka itulah yang mengundangnya kemari. Peduli apa, yang
jelas keadaan sekarang berbeda dengan kebiasaan dan tata
tertib, kalau perlu kita layani saja menurut aturan yang ada.”
Belum lenyap suaranya, dari luar pendopo berjalan masuk
dua orang, yang berjalan di depan adalah pemuda
berperawakan tinggi kekar, raut mukanya cakap terselubung
hawa dingin, sikapnya gagah dan wajar. Ia mengenakan jubah
panjang warna abu-abu. Yang mengintil di belakangnya bukan
lain adalah tukang perahu yang dinamakan Ouw-hay-ih-siu.
Begitu melihat pemuda itu, Lok Siang-kun bertiga tertegun,
agaknya mereka tidak kenal pemuda ini, pemuda ini dengan
pongahnya bersoja lalu menarik kursi dan duduk tanpa
berbicara sekecap pun.
Ouw-hay-ih-siu juga memilih tetapi tempat duduknya di
sebelah bawah pemuda itu.
Karuan Liu Ju-yang yang murka, serunya: “Pok Thian-cun,
apa-apaan maksudmu ini? Perjanjian pribadi di antara kita,
kenapa kau bawa orang luar kemari, berani kau membunyikan
kelinting…..”
Pemuda itu segera menyeringai dingin, jengeknya
sombong: “Masa aku terhitung pihak luar? Lo-Pok
mengundangku kemari sebagai saksi, kalian sudah berkelahi
selama puluhan tahun tanpa berkesudahan, soalnya karena
tidak memilih seorang wasit. Kukira pertikaian hari ini bakal
bisa dibereskan, soal suara kelinting tadi, akulah yang suruh
dia membunyikannya.”
Lok Heng-kun terkejut, tanyanya: “Saudara ini adalah…
…….?”
“Bukankah asal-usulku sudah kujelaskan dalam suara
kelinting tadi?”
Mereka bertiga melengak lagi, tanya Liu Ju-yang ragu-ragu:
“Suara kelinting enam kali adalah pertanda dari Thian-ki-kokun…”
Pemuda itu tertawa ringan, ujarnya: “Ayah sudah wafat
beberapa lamanya, kedudukan inikuperoleh secara tradisi…..”
“Apa?” teriak Liu Ju-yang berubah pucat, “Mo-kun sudah
ajal…?”
“Benar!” sahut pemuda itu manggut-manggut, hal itu
terjadi enam tahun yang lalu, menurut perintah ayah, akulah
yang diwarisi jabatan, soalnya kejadian terlalu mendadak,
maka belum sempat memberitakan kepada sahabat di seluruh
kolong langit. Kalau kalian percaya…..”
“Tidak! sikap dan wajah saudara memang mirip dengan
Mo-kun, hal ini tidak perlu disangsikan lagi, cuma ingin kami
tahu gelaran saudara?”
“Aku Ki Hou adanya!” sahut pemuda itu dengan angkat
dada.
Liu Ju-yang batuk-batuk kecil lalu berkata: “Ka…. si-heng,
harap maaf akan kekurangajaran orang she Liu, saat ini
terpaksa harus demikianlah kusebut namamu.”
“Benar! Dalam keadaan sekarang di tempat ini pula,
kenapa harus terikat akan segala peraturan lama. Hei Lo-Pok,
sekarang tibalah saatnya kalian membuat perhitungan, ada
urusan yang perlu kau selesaikan?”
Ouw-hay-ih-siu Pok Thian-cun melirik ke arah Koan Sangwat,
lalu katanya : “Kalian sendiri yang tidak menepati janji,
menyeret seorang luar ikut hadir dalam pertemuan ini!”
Belum lagi pihak Liu Ju-yang menjawab. Ki-Hou sudah
tertawa keras, ujarnya: “Lo-Pok, kiranya matamu sudah
kurang awas, orang yang kau anggap orang luar ini adalah
murid Tokko Bing, Bing-tho-ling-cu II yang menggetarkan
Kang-ouw!”
Tak terasa tercekat hati Koan San-gwat, katanya heran,
“Cara bagaimana saudara bisa mengenal diriku?”
“Itulah urusan jabatan, sudah seharusnya aku mengenal
kau.”
Dengan pandangan berapi-api Ouw-hay-ih-siu mendesis
geram : “Kalau sebelumnya kutahu siapa kau adanya, waktu
berada di sungai kuning tempo hari seharusnya kuberi hajaran
setimpal kepadamu.”
Koan San-gwat tidak mau kalah garang.
Liu Ju-yang terbakar amarahnya, serunya gusar: “Bangsat
anjing jangan ngelantur terlalu panjang.”
Pok Thian-cun angkat pundak, ujarnya: “Baiklah lohu tutupi
saja borok ini, tapi Lohu tidak akan mundur menghadapi nona
manis itu, inilah peraturan orang she Pok, perhitungan baru
diselesaikan lebih dulu…. Haha….” agaknya hatinya semakin
kesenangan, nada tawanya makin tinggi dan mengeras.
Lok Heng-kun dan Liu Ju-yang mengunjuk rasa gusar dan
putus asa, apa boleh buat akhirnya Lok Heng-kun berkata
kepada Ki Hou dengan nada memohon: “Sebagai putra Mokun
dan kini memperoleh warisan jabatannya, tentu kongcu
dengan pertikaian kami terhadap tua bangka ini….”
“Ya pernah kudengar kulitnya saja!” sahut Ki Hou manggutmanggut.
Merah muka Lok Heng-kun, ujarnya: “Harap Kongcu
memberi muka karena kami sesama kerabat sesama anggota
bicara secara adil, harap suka batalkan tantangan kepada
putriku yang masih kecil ini, urusan yang belum pernah
dipahami olehnya.”
Ki Hou tertawa dingin, sahutnya: “Untuk hal ini aku yang
rendah tidak akan turut campur, soalnya aku hadir sebagai
saksi, kecuali memberi keputusan kalah dan menang, aku
tidak bisa mencampuri urusan lain, memang kita sejajar dalam
satu pang, Lo Pok setingkat lebih tinggi, masa aku pilih kasih
kepada sesama kerabat satu tingkat ?”
Lok Heng-kun menjadi murka, sindirnya: “Sungguh kita
harus bangga punya pentolan kerabat dalam satu tingkat.”
“Hiat-lo-sat?” tiba-tiba suara Ki Hou berubah dingin kaku,
“Tiga kali kau datang, laporan setiap sepuluh tahun sekali,
kalau aku menggunakan kekuasaanku sebagai pentolan
sesama kerabat, bila kejatuhan hukuman karena kesalahanmu
ini, kalian pasti bertobat kepadaku, sekarang kau berani
bertingkah kepadaku, apakah dalam pandangan kalian masih
ada mendiang ayahku sebagai pentolan dalam satu kerabat?”
Lok Heng-kun tertegun mematung, nyalinya muncul,
karena ditekan dan diancam dengan lemas ia duduk kembali
ke tempatnya.
Saat mana Ouw-hay-ih-siu menantang kepadaLok Siauhong
seumpama domba yang tidak takut menghadapi
harimau, sambil menenteng cambuknya Lok Siau-hong hendak
menerjang keluar, lekas Lok Heng-kun menarik serta berkata
dengan tertekan: “Nak, salahmu sendiri kau banyak urusan,
semoga kau nanti dapat pengajaran.”
Lok Siau-hong keheranan katanya: “Ma, jangan kuatir, akan
kuhajar habis-habisan tua bangka keparat ini …”
Kiranya secara diam-diam Koan San-gwat dan Lok Siauhong
sudah berjanji, begitu bertemu dengan Ouw-hay-ih-siu
mereka akan turun tangan lebih dulu untuk melabraknya,
soalnya Ouw-hay-ih-siu tak pernah membunuh orang, tentu
tiada ancaman bahaya terhadap jiwa sendiri. Kalau urusan
lama dibikin geger semakin besar, mungkin dalam peristiwa
besar ini ia dapat mengorek sedikit rahasia yang diharapharapkan.
“Gampang kau memutar lidahmu yang tidak bertulang itu!”
Berubah air muka Pok Thian-cun. Cepat Liu Ju-yang
menimbrung : “Pok Thian-cun, jangan kau mencari keributan
lain, lebih baik selesaikan dulu perhitungan kita, soal siapa
benar mana yang salah tidak perlu diperdebatkan lagi.”
“Sudah tentu!” senggak Ki Houw, “para kerabat Mo-pang
selamanya tidak meributkan soal tetek bengek!”
Liu Ju-yang melirik ke arahnya serta berkata: “Ki-siheng,
ahli waris Unta sakti tidak termasuk dalam pertikaian ini!”
“Aku tahu !” sahut Ki How, tertawa besar, “Kalian jangan
kuatir, sampai dimana aku harus berbicara aku bisa
membatasi diriku sendiri.”
Bergegas Pok Thian-cun berdiri, serunya “Caranya
bagaimana kita harus menyelesaikan perhitungan ini. Lok
Heng-kun, kau jangan bertingkah lagi dengan cambuk
panjangmu, meski malam kemaren putri mestikamu, membuat
aku rugi, tapi permainannya betapapun masih terpaut lauh
dari kepandaianmu, sekarang aku sudah dapat menyelami
seluk beluk dari permainanmu yang serba rahasia itu.”
Sebelum Lok Heng-kun membuka suara, lekas Koan Sangwat
mengedipkan mata kepada Lok Siau-hong, kontan ia
berteriak: “Bangkotan tua yang harus mampus! Kau membual
apa? Kalau berani, silakan rasakan lagi cambuk nonamu yang
lihay ini!”
Lok Heng-kun terkejut, cepat ia membentak : “Tutup
mulut! Budak setan, tiada bagian kau bicara di sini!”
“Bagus! Hiat-lo-sat!” seru Pok Thian-cun menyeringai
dingin, “Agaknya Lohu memang berjodoh dengan keluarga Lok
kalian, urusan angkatan tua belum lagi selesai, urusan
angkatan muda bakal dimulai lagi…..”
“Tua bangka keparat yang tidak tahu malu. Dia masih
bocah ingusan.”
“Sudah berusia tujuh belas masa terhitung bocah ingusan.
Menurut kebiasaan Lohu pertama kali bertemu di atas perahu
kemarin, seharusnya tidak kulepas mangsa yang empuk
ini,apalagi dia berani bertingkah kepada lohu tapi tidak tahu
berdosa, maka Lohu tiada alasan mencari perkara kepadanya.
Hari ini dia sudah tahu tapi sengaja berani mainmain
dengan aku, maka jangan salahkan aku berbuat……..”
“Kau berani!” teriak Lok Heng-kun dengan beringas gusar.
“Berani kau menyentuh seujung rambutnya saja…..”
Pok Thian-cun tertawa besar, serunya : “Selama hidup
Lohu tiada kenal rasa takut dalam menunaikan hasratku
sendiri…. Terutama terhadap kalian kakak beradik, sungguh
aku menyesal rasanya belum mendapat rejeki… Kepada Koan-
Siheng, maksudnya kelak pun akan mendapat warisan
kedudukannya, bicara soal kedudukan dan jabatan, boleh
dikata dia sejajar dengan kau, malah mungkin setingkat lebih
tinggi, meski dia bersikap kasar terhadap Ki-siheng, kurasa
tidak termasuk bersikap kurang ajar!”
Saking marah muka Ki Houw sampai pucat, jengeknya:
“Agaknya kau tahu banyak mengenai segala peraturan itu.”
-oo0dw0oo-
Jilid 8
Kini Lok Siau hong memang bekerja menurut rencananya,
tapi sikap Lok Heng kun bertiga, rasa urusan agak berbeda,
hal ini di luar dugaannya karuan ia tertegun dan kebat kebit,
terpaksa ia tanya kepada Liu ju yang yang duduk
disebelahnya: “Cianpwe, kenapa kalian tidak mengijinkan nona
Lok melawan bangkotan tua itu, umpama kalah jiwanya kan
tidak bakal terancam!”
“Sulit dijelaskan” sahut Liu ju yang “Siau hong memang
sembrono, akibatnya akan jauh lebih berat dari pada ia segera
mati, istri ku dan Lok toaci justru sudah merasakan
penderitaan ini, sehingga meraka membekal dendam dan
kebencian selama hidup ini….”
Koan San gwat tidak berhasil menggerek keterangan yang
diinginkan, tapi ia menyadari urusan sangat penting, diam
diam hatinya jadi menyesal Siau hong seorang gadis yang
polos yang tidak mengenal seluk beluk keculasan manusia,
aku yang membujuk dia untuk melakukan perbuatan bodoh ini
bila terjadi sesuatu yang marugikan dirinya, aku akan
menyesal selama hidup ini.
Karena tekanan Pok Thian cun terpaksa Pok Siau hong
harus turun gelanggang, sambil menenteng cambuk dengan
sikap gagah ia sudah siap berhadap dengan musuh, adalah
Pok Thian cun menyeringai lebar.
Sekonyong konyong Koan San gwat, berkelebat
meninggalkan tempat duduknya melesat kehadapan Pok
Thian, tangan terayun koatan ia persen dua kali tamparan
dikanan kiri pipi Pok Thian cun, tenaga yang digunakan besar
sekali, suaranyapun nyaring.
Karena tidak bersiaga meski Pok Thian cun kena digampar,
sedikitpun ia tidak cedera, cuma dengan gusar ia berteriak:
“Bocah keparat apa apaan perbuatanmu ini?”
“Tua bangka yang harus mampus!” ujar Koan San gwat
tersenyum, “Kalau kau suka menyelesaikan urusan baru,
babak pertama ini kau harus menghadapi aku dulu!”
Kejadian diluar dugaan semua hadirin, Lok Heng kun
bertiga berjingkrak berdiri, demikian juga Ki Hauw gusar, Lok
Siau hong merasa heran, tak tahu kenapa Koan San gwat
melanggar janjinya sendiri.
SeSant lamanya suasana hening tegang, akhirnya Ki Houw
membuka suara dengan amarahnya yang meluap “Koan San
gwat! Berani kau bertingkah dihadapan Pun coh.”
Sambil bertolak pinggang Koan San gwat balas bertanya
tidak kalah garangnya: “Tuan ini orang macam apa?”
Baru saja Ki Houw hampir mengumbar amarahnya. Liu ju
yang keburu menyela bicara,
“Kedudukan Siheng hari ini hanya sebagai saksi lebih baik
jangan tersesat kedalam pertikaian ini apa pun yang terjadi
hari ini kelak masih bisa diselesaikan, dan lagi akhli waris unta
sakti belum terhitung kalangan dalam.”
Ki Houw tidak menduga alasan yang di kemukakan tadi
malah mengikat dirinya pula terpaksa dengan mendengus
dingin ia berkata: “Orang dari kalangan luar ternyata berani
kurang ajar terhadapku, maka dosanya lebih tidak berampun!”
Liu Ju yang berpikir sebentar lalu menjawab: “Kedudukan
Siheng diperoleh secara tradisi, sebaliknya Tokko Bing seara
langsung menyerahkan lencana unta sakti kepada Koan
Siheng, maksud kelak pun akan mendapat warisan
kedudukannya, bicara soal kedudukan dan jabatan, boleh
dikata dia sejajar dengan kau, malah mangkin setingkat lebih
tinggi, meski dia bersikap kasar terhadap Ki siheng, kurasa
tidak termasuk bersikap kurang ajar!”
Saking marah muka Ki Houw sampai pucat jengeknya:
“Agaknya kau tahu banyak mengenal segala peraturan itu!”
“Benar” sahut Liu Ju yang tersenyum, “Dalam rapat
anggota waktu menegaskan perundang undang ini aku
dipercayakan sebagai notulis, maka aku sangat jelas segala
seluk beluk peraturan ini, jauh lebih jelas dan mengerti dari
orang lain. Meski Siheng berkedudukan diantara ketiga Sam
kun, dalam peraturan yang berbelit belit ini, aka percaya
belum tentu kau tahu jelas soal peraturan itu dari aku orang
she Liu!?”
Sejenak Ki Houw kebingungan, mendadak ia angkat jari
kelingking tangan kirinya diatas diatas kelingking itu, ia
mengenakan sebuah cincin batu jade warna putih, dia
memutar cincin itu dari sebelah sama tampak ukiran kepala
setan yang sangat hidup, kata nya bengis “Apakah kalian
kenal benda ini?”
Liu Ju yang dan Lok Heng kun berdua seketika berubah air
mukanya, mereka berdiri tegap menurunkan kedua
tangannya.
Ki Houw terkekeh kekeh dingin, katanya : “Secara resmi
sekarang aku keluarkan perintah Sam mo ling, kuberi wakru
tiga bulan dalam jangka waktu itu kalian harus datang
kemarkas melaporkan diri!”
“Menurut perintah!” serempak mereka bertiga menyahut
dengan hormat.
Sikap Ki Houw berubah kalem dan tertawa tawa lagi
katanya: “Sampai jangka waktunya, aku masih belum melihat
kalian, jangan salahkan aku berlaku telengas!”
Dengan suara bergetar Lok heng kun berkata: “Seumpama
dalam tiga bulan ini kami tidak keburu mampus, pasti kami
akan mengutus orang mengirim tulang belulang kami ke
markas untuk menerima hukuman!”
“UntuKitu kalian tidak perlu kuatir. Cara kerjaku jauh lebih
cermat dari mendiang ayah, dalam tiga bulan ini aku tanggung
tidak ada orang yang berani menyentuh seujung rambut
kalian, tapi kalian masih berani menyembunyikan diri, sampai
keujung langit pun aku bisa menemukan kalian, Silahkan
duduk!”
Liu ju yang bertiga mengiakan lalu duduk, jelas hati mereka
semakin tidak tentram. Maka terdengarlah Ki Houw berkata
kepada Pok Thian cun: “Lok Pok! kau tunggu apa lagi, ayolah
mulai!”
Segera Pok Thun cun menggerung kepada Koan San gwat,
makinya: “Keparat majulah! perhitungan lama Tokko Bing hari
ini kau bayar seluruhnya!”
Tanpa gentar sedikitpun Koan San gwat menyahut.
“Guruku punya pertikaian apa de ngan bangkotan tua kau
ini?”
Seringai Pok Thian cun makin sadis, katanya menggerung :
Yang terang kau masih hidup dapat menemui Tokko Bing dan
langsung tanya kepadanya. Seumpama jiwamu pendek
kaupun bisa bertanya kepadanya.”
Koan San gwat tidak sabar, kontan ia ayun telapak
tangannya memukul dada orang seraya memaki bangsat,
anjing geladak, jangan cerewet!
Kekuatan pukulan telapak tangannya bagai damparan
ombak menyapa kedepan, namun pok Thian cun mandah
tersenyum lebar, tidak berkelit juga tidak menangkis, ia
biarkan pukulan dasyst itu mengenai tubuh nya tapi sedikit
pun tidak menimbulkan reaksi apa malah membarengi dengan
jengek hidungnya, jari tangannya kedepan mengetuk sendi
tulang lengan Koan San gwat.
Sedikit banyak Koan San gwat sudah tahu seluk beluk
orang, maka pukulannya dia lancar dengan kekuatan penuh
dan tidak akan ditarik kembali, kenyataan tenaga pukukan nya
memang tidak menimbulkan reaksi apa apa atas musuhnya,
maka begitu melihat ketukan jari Pok Thian cun tergerak
hatinya sengaja memapak maju ingin dia menjajal sampai di
mana kehebatan kepandaian lawan.
Liu Ju yang terperanjat serunya cepat:
“Awas Koan San gwat, jangan menyetuh dia…” Belum
lenyap suaranya pukulan kedua pihak saling bentur.
Koan San gwat tidak merasai benturan ini meski tenaga
ketukan jari itu cukup kuat namun ia masih kuat bertahan dan
tidak terluka tapi timbul semacam perasaan aneh yang timbul
dalam badannya seperti gatal dan hangat tidak bisa dikatakan
bagaimana perasaannya, ternyata Koan San gwat tidak ambil
perhatian sebat sekali kakinya menggelincir mundur,
sementara otaknya mencari akal untuk mengatasi musuh.
Wajah Liu Ju yang menunjuk rasa watir yang berlebihan,
baru saja ia mau buka suara, Ki Houw sudah menarik muka
membentak dingin “Sebagai saksi aku larang penonton banyak
mulut mengganggu pertandingan!”
Terpaksa Liu Ju yang bungkam sambil melirik kepada
istrinya, agak nya ia mengharap bantuan isterinya. Tapi Lok
Siang kun dingin dan laku seperti tidak peduli sikap suaminya
dengan mendelong ia mengawasi gelanggang pertempuran.
Sementara itu, setelah Koan San gwat berputar puluhan
langkah sekonyong konyong ia kirim sebuah jotosan. Agaknya
Pok Thian cun punya persiapan yang cukup matang, sikapnya
tetap tenang, acuh tak acuh menghadapi serangan hebat ini.
Namun sebelum pukulan Koan San gwat nengenai sasarannya
tiba tiba ia merasakan adanya gejala gajul, cepat ia
mengerahkan tenaganya hendak merubah haluan, namun
sedikit terlambat. Secara mendada Koan San gwat menarik
tenaga pukulanrya , tanpa tertahan Pok Thian Cu terseret
maju sehingga badannya sebelah atas doyong kedepan Koan
San gwat tersenyum lebar, kontan ia persen dengan sebuah
tamparan membalik kesebelah belakang dan tepat
menggaplok punggung orang.
Seperti bola tertendang badan Pok Thian cun jatuh
terjerembab dan mengelundung beberapa tombak jauhnya
baru berdiri lagi.
Serta merta Lok Heng kun menghela napas dan berkata
tertegun: “Bocah ini benar benar jenius, bergebrak baru satu
jurus ia sudah meraba, kondisi lawan dan memperoleh akal
untuk menguasainya sayang akalnya tidak akan maju gebrak
selanjutnya …”
Tergerak hati Kaon San gwat mendengar kata kata Lok Hen
kun, untuk mencapai hasil tadi, Koan San gwat sudah
menghabiskan jerih payah yang cukup berat. Setelah tahu
bahwa kepandaian Pok Thian cun aneh dari luar biasa, tapi ia
tidak percaya didalam dunia ini ada manusia yang tidak bisa
terluka karena dipukul dan dihajar, pertarungan dengan
kepandaian silat adalah pertarungan adu tenaga dan
kekuatan, jelas Pok Thian cun memandang ringan pukulannya
tentu ada sesuatu aturan tersendiri yang melandasi
kepandaian nya. Maka serangannya yang partama kali tadi
hanyalah pancingan belaka untuk menjagai di mana
sebenarnya sebab musabab dari keanehan itu.
Dengan bekal ilmu silat dan bakatnya, akhirnya ia
menemukan letak keanehan itu. Ternyata Pok Thian cun
memang memiliki semacam ilmu aneh yang luar biasa, badan
nya secara reflek timbul suatu tenaga terpendam yang
melawan tekanan atau pukulan dari luar semakin besar
tekanan atau tenaga itu, semakin besar pula daya
perlawanannya kekuatan perlawanan ini tidak kentara dan
sulit diketahui orang luar , maka setelah dia kena pukulan
kedua kekuatan itu saling bentrok dan sirna tanpa bekas,
maka selintas pandang seolah olah sedikitpun ia tidak
terpengaruh oleh pukulan yang keras itu.
Otaknya bekerja kilat, akhirnya terpikir olehnya suatu teori
dalam ilmu silat yang berbunyi : “Bagi seorang cerdik cendikia,
dia harus dapat merobah tenaga perlawanan itu menjadi
tenaga bantuan untuk mendorong….” menurut teori, pada
waktu melancarkan pukulan kedua, tenaga yang dikerahkan
bukan tenaga dorongan tapi tenaga sedot yang hebat. Kali ini
Pok Thian cun tidak sadar, maka ia melawan tetap
menggunakan caranya yang terdahulu.
Daya perlawanan terhadap tekanan luar kini malah
memperkeras daya sedot yang kuat itu sehingga tanpa kuasa
badanya tersuruk maju, untung latihannya cukup sempurna,
maka reaksinya pun cepat, lekas ia merubah tenaga
perlawanannya, namun demikian ia sudah terlambat dan
kecundang.
Lok Heng kun dapat meraba seluk beluk ini, dengan
gumamnya ia memberi peringatan kepada Koan San gwat,
bahwa cara itu sekali berhasil tidak akan berguna untuk kedua
kalinya.
Keruan Pok Thian cun naik pitam, seru nya bengis sambil
berpaling: “Lok Heng kun, tak usah kau memberi peringatan
kalau bocah keparat ini mampu membanting aku lagi, aku
menyerah dengan suka rela.”
Koan Sana gwat terseyun sahutnya: “Untuk membantingmu
sekali lagi tedak sulit usia dan kedudukanku cukup tua dan
tinggi, setelah kalah sejurus pantas kau tak malu dan
mengaku kalah saja!”
“Benar!” Liu Ju yang ikut menimbrung, “Pok Thian cun, kau
seangkatan dengan Tokko Bing, gurunya, kalah yang sudah
sepantasnya mengaku kalah!”
“Tidak!” sahut Ki Houw menggeleng.
“Terhitung juri apa kau ini? Kenapa kau bantu tua bangka
ini memungkiri kekalahannya!” demikian maki Koan San gwat
gusar, Ki Houw menarik muka, sikapnya ketus ujarnya:
“Dalam hal apa aku berlaku kurang adil?”
Kata Koan San gwat menuding Pok Thiam cun: : “Dia
sudah terbanting jatuh, apakah tidak terhitung kalah?”
Ki Houw manggut manggut, sahutnya “’Sudah tentu, tapi
kau tadipun kena tutukan Cun yang ci, satu sama lain saling
impas, malah kau rada mengambil sedikit keuntungan!”
Koan San gwat melengak dibuatnya tanyanya “Bagaimana
setelah kena tutukan Cun yang ci tadi?”
“Silahkan kau tanya kepada mereka taci adik, nanti kau
tahu bagaimana akibatnya!?” demikian jengek pok Thian cun
sambil menuding Lok Heng kun berdua.
Gejulak amarah membuat selebar muka Lok Heng kun dan
Lok Siang kun merah padam namun mereka malu membuka
mulut. Mendengar nama tutukan itu serta melihat sikap Lok
Heng kun berdua ditambah perasaan hatinya, lambat laun
Koan San gwat dapat meraba sasaranya, maka sambil tertawa
ia bertanya: “Berapa lama Cun yang ci mu itu akan
menunjukan kasiatnya?”
Pertanyaan ini merubah air muka pok Thian cun, Liu Ju
yang dan Lok Heng kun berduapun sama mengunjuk rasa
heran dan curiga.
Kaca Lok Heng kun kepada adiknya “Aneh, mungkin
lwekang bangsat tua ini sudah loyo dan tak berguna lagi?”
“Bohong!” teriak Pok Thian cun, “Apakah kalian berani
mencoba sekali lagi, kutanggung kalian bakal menikmati pula
sorga dunia…”
“Bangsat keparat! Lok Siang kun yang berangasan segera
mengumpat, “Tidak malu kau membuka mulut demikian, ingin
rasanya kubeset kulit mu secara hidup hidup!” kedua
tangannya menekan kursi, badannya segera melayang
kedepan, ditengah udara lengan bajunya dikebutkan kedepan
menggulung muka Pok Thian cun, lekas Pok Thian cun
menekuk leher berkelit, tapi gerak gerik Lok Siang kun tidak
berhenti sampai disitu saja, lengan bajunya lagi lagi
dikebaskan keluar.
Sebelum rangsakkan hebat ini mengenai sasarannya tiba
tiba ditengah udara berkelebat pula sesosok bayangan,
tangannya miring ke bawah, cras. lengan baju Lok Siang kun
ditabasnya sobek separo. Karena kehilangm keseimbangan
badan, terpaksa badan Lok Siang kun meluncur kesamping
duduk ditanah.
Karuan Lok Heng kun dan Liu Ju yang terkejut, serempak
mereka menubruk maju hendak membantu.
Bayangan yang menabas kutung lengan baju itu ternyara Ki
Houw adanya, kontan ia membentak bengis : “Apakah kalian
sudah bosan hidup, berani bertingkah dihadapan Pun coh!”
Suaranya keras bagai geledek mengguntur Lok Heng kun
berdua jadi kuncap nyalinya cepat mereka berdua
menghentikan aksinya dan berdiri tegak, sejenak kemudian
dengan rasa was was baru Liu Ju yang angkat bicara: “Siheng
sebagai juri kenapa kaupun turun tangan mencampuri urusan
ini?”
“Kau harus tanya istrimu yang cacad itu.”
Liu ju yang terbungkam, sambil menahan gusar terpaksa ia
payang istrinya kembali ketempat duduknya. Dibawah
pandangan Ki Houw yang dingin dan tajam terpaksa Lok Heng
kun mundur ketempat duduknya.
Maka berkatalah Ki Houw sambil berpaling kepada Koan
San gwat: “Lo pok, agaknya memang kau sudah kalah.”
“Aku tidak percaya?” teriak Pok Thian cun. ”Harap juri suka
menanti sebentar lagi.”
“Tidak usah menunggu tutukanmu tadi memang terasa
juga, tapi sekarang sedikitpun tidak menimbulkan gejala apa
apa.”
Dengan nanar Pok Thian cu mengamati Koan San gwat,
dilihatnya sikap orang masih gagah penuh semangat,
gairahnya melimpah limpah, sedikitpun tidak menujukan
perubahan apa apa, terpaksa ia tutup mulut.
Tergerak hati Ki Houw ia manggut kearah Koan San gwat
seraya berkata: Saudara memang luar biasa, entah dapatkah
kami mengjukan sebuah pertanyaan?”
“Saudara sebagai juri sudah tentu punya hak mengajukan
pertanyaan?”
“Tidak” kata Ki Houw menggeleng. Juri hanya memutuskan
kalah dan menang, mencegah orang main keroyok, soal
mengajukan pertanyaan, belum tentu dia punya hak main
selidik terhadap seseorang, maka saudara boleh menolak
pertanyaan yang kuajukan!”
“Aku tidak merasa simpatik terhadap kau, namun sebagai
juri agaknya kau dapat bertindak secara adil, maka bolehkah
aku menjawab pertanyaanmu.”
Berubah air muka Ki Houw, tapi ia menahan sabar,
katanya: “Tutukan Cun yang ci Lo pok tidak pernah gagal,
dengan apa saudara menghindar dari tutukan jarinya?”
Koan Sangwt berpikir sebentar lalu menjawab: “Sebelum
menjawab pertanyaan, inginku tahu lebih dulu sifat sifat dari
Cun yang ci itu!”
“Masa kau tidak merasakan? tanya Pok Thian cun sebal.
“Perasaan sih ada cuma waktunya terlalu pendek, seolah
olah punggung kena sinar msatahari pagi, panas hangat
seperti ada ulat merambat didalam badan.”
“Selanjutnya bagaimana?” tanya Pok Thian cua pula.
Selanjutnya sepeti tidur dalam impian, musim semi, maka
kuusulkan lebih baik nama tutukan itu diginti dengan Cun
bang ci saja.
Saking murka Pok Thian cun hendak mengumpat caci, tapi
kuncup oleh pandangan tajam mata Ki Houw.
Itulah semacam ilmu sesat yang jahat dan memalukan Liu
Ju yang meninbrung coba menjelaskan
“Goh San sin,” tukas Ki Houw dengan mendelik, sebagai
seorang kerabat Mo pang tidak pantas kau menimbulkan
ilmunya seburuKitu!”
Terpaksa Liu Ju yang tutup mulut Koan San gwat tahu
mereka takut sama Ki Houw segera berkata: “Kini ku rada
paham, Cun yang ci itu mungkin semacam ilmu yang dapat
membangkitkan nafsu yang berkobar kobar sehingga manusia
hilang kesadarannya.”
“Tepat sekali. Itulah ilmu tunggal Lo pok yang tiada
duanya,” ujar Ki Houw tertawa lebar.
Koan San gwat mencemoh dengan hina “Tak heran ku tidak
terpengaruh oleh kesesatan ku. Karena beberapa Waktu yang
alu aku pernah diracun oleh manusia licik dan diobati sebutir
pil Ping sip cian bing san dari seorang tabib kenamaan, kasiat
obat itu dapat memunahkan segala racun, dapat pula
membersihkan hati menghilangkan hawa nafsu”
“Kiranya begitu, sekarang aku paham!” ujar Ki Houw
manggut mangut lalu berpaling kearah Pok Thian cun dan
berkata dengan kereng: “Lo pok sekarang kau terima kalah
tidak?”
Pok Thian cun tunduk tak bersuara. Ki Houw berkata pula,
“menurut adat kebiaSannmu setelah kalah harus segera
menggelinding pergi, untuk apa kau tinggal disini?”
Baru saja Lok Heng kun hendak membuka suara, Ki Houw
sudah mengepalkan tangan katanya “Sudah jangan banyak
kata lagi! Aku tahu maksud kalian, pertikaian kalian dengan Lo
pok memang sulit dibereskan. Maka biar aku yang menugar,
tiga bulan yang akan datang, kalian datang lapor kemarkas
besar di sana nanti kalian bisa menyelesaikan urusan ini, baru
selanjutnya membicarakan urusan lain.”
“Terima kasih Mo kun!” ujar Lok heng kum lirih. Sebaliknya
Lok Siang kun diam saja “Tidak perlu sungkan sesama kerabat
dalam satu Pang. sudah sepantasnya aku sedikit memberi
kelonggaran kepada kalian.” Lalu ia mengulap tangan, pok
Thian cun segara mau ngeloyor pergi. Ki Houw menjura
kepada Koan San gwat serta berkata: “Selamat bertemu,
Selamat bertemu! Naga naganya kita harus berkenalan lebih
intim.”
Koan San gwat membalas hormat, katanya: “Tuan tadi
cuma mengunjuk sejurus kepandaian, tapi sudah kelihatan
membekal kepandain yang hebat, aku orang ske Koan jadi
gatal dan ingin mohon pengajaran.”
Lok Heng kun dan Liu ju yang berdua jadi gelisah, berulang
mereka memberi isyarat dengan kedipan mata Tapi Koan San
gwat anggap tidak melihat, Ki Houw bersikap kalem ujarnya
“Kasempatan masih banyak, kenapa mesti hari ini!”
Sebaliknya Koan San gwat mendesak katanya, “Aku
memikul banyak tugas berat, mati hidup sulit diduga, kuharap
saudara bisa menentukan waktunya.”
Ki Houw tersenyum ujarnya: “Bukankah kira sudah
mengajukan waktu, kuharap tiba pada waktunya, saudara
tidak ingkar janji dan tiba di Tay San koan tepat pada
waktunya.”
Koan San gwat terkejut, teriaknya “O, jadi kau adalah unta
terbang.”
Seiring gelak tawa Ki Houw bcrkelebet mengejar dibelakang
Pok Thian cun dan sebentar saja menghilang, di udara
berkumandang suara jawabannya. “Aku memang Hwi te ling
cu!”
Semua orang dalam pendopo sekian lama nya menjublek
tak bersuara dan tidak bergerak akhirnya Koan San gwat yang
membuka kesunyian. “Tak terduga unta terbang kita adalah
dia.”
“Koan siapa,” ujar Lok Heng kun dengan wajah kaku “Ada
persoalan aku mohon bantuanmu.”
“Cianpwe ada pesan silakan karakan saja!”
“Aku hanya punya anak tunggal Siau hong, biasanya terlalu
kuumbar jadi sifatnya suka aleman dan bugal untuk
selanjutnya kuharap Siau hiap luka memberi petunjuk dan
bimbingan, supaya dia tidak menjurus kejalan sesat…”
‘“Kenapa Cianpwe berkata demikian….”
“Bukankah Siauhiap saksikan sendiri, tiga bulan ini kami
harus melaporkan diri sekali pergi entah mati atau hidup sulit
diduga apakah bisa kembali lagi, sukar di ramal kami harap
adanya hubungan kental kami denga gurumu, kau pandang
patriku…..”
Hembusan angin musim ronrok yang deras
menghamburkan daun pohon yang beterbangan, sinar surya
redup menyinari Tay san koan, benteng pertempuran kuno
yang sunyi sepi.
Bertengger diatas kuda, cahaya matahari menarik panjang
bayangan badannya kesebelah samping. Hatinya sedang
gundah dan, gelisah, waktu yang telah dijanjikan oleh Unta
Terbang.
Hari yang sudah dinanti nantikan sekian lamanya untuk
mendapat jawaban berbagai pertanyaan yang selalu
mencekan dalam sanubarinya.
Tapi dari pagi ia menunggu sempai magrib bayangan Unta
terbang tak kunjung tiba. “Apakah dia ingkar janji?” Tidak jauh
di sebelah sana Lok Siem hong dan Lam Sam thay sedang
duduk di atas tunggangannya, menunggu dengan tenang.
Biasanya Lok Siau hong paling lincah, namun kini ia
berusaha pendiam, dalam waktu yang pendek ini, banyak
pengalaman dan perubahan yang dialami. Hari ketiga setelah
kedatangan Cu hay ih siu, ibu, dan pamannya sama
menghilang, ia tahu bahwa mereka menuju, ke suatu tempat
untuk melaporkan diri, namun semua kejadian ini justru
meninggalkan teka teki baginya. Kini dalam dunia ini ia tidak
punya sanak kadang lagi, terpaksa ia ikut Koan San gwat.
Sang surya sudah tenggelam, hari sudah mulai gelap, Koan
San gwat jadi tidak sabar lagi, sambil keprak kudanya
menghampiri kearah Lok Siauw hong berdua mulutnya
mengomel : “Mungkin dia tidak datang!”
Tiba tiba dari kejauhan didengarnya derap langkah kuda
yang ramai mendatangi, seketika terbangkit semangat Koan
San gwat gumamnya: “Sudah datang! Kenapa terlambat
selama ini!”
Setelah dekat tampak dua kuda berlari mendatangi, kedua
penunggangnya jelas adalah dua laki laki, perasaan Koan San
gwat kembali tenggelam, ia tahu bahwa yang mendatangi
terang bukan unta terbang, alias Ki thian mo kun Ki Houw.
Setelah tiba di hadapan lebih jelas lagi ke dua penunggang
kuda itu ternyata adalah Sun Cit dari Siang ing Piaukiok,
seorang yang lain adalah Ciong lam Ciangbun Lu bu wi.
Kedatangan Lu bu wi ini jelas hendak menuntut balas bagi
kematian kedua muridnya yaitu Loh he siang ing, tapi kenapa
datang sendiri tanpa membawa pengiring. Tapi bergegas ia
bersoja: “Cianbujin apa khabar, apakah anda hendak mencari
unta terbang? Dia ingkar janji!”
Diluar dugaan Lu bu wi malah menjawab “Tidak! Sebentar
lagi Unta terbang akan tiba!”
Koan San gwat melengak, katanya: “Dari mana Ciangbunjin
tahu?”
“Waktu datang sebenarnya Losiu membawa enam murid
yang paling kuat ditengah jalan tadi kena dibunuh orang
semuanya menurut laporan Sun Cit bahwa perempuan adalah
unta terbang!”
“Apa! unta terbang seorang perempuan?” Sambil
melelehkana air mata Lu bu wi berkata menarik napas “Benar!
perempuan memiliki kepandaian silat yang aneh, dalam empat
lima juru saja enam muridku yang terkuat itu dirobohkan
mandi darah. Kalau dia tidak menaruh belas kasihan, Losiu
juga tidak luput dari kematian!”
Koan San gwat tertunduk, ia menerawang unta terbang
mana yang tulen. Terdengarlah Lu Bu wi melanjutkan:
“Setelah membunuh keenam muridku seru Unta terbang ada
titip kabar supaya disampaikan kepada Lingcu katanya karena
Unta sakti dan patung emas Ling cu terlambat tiba, maka
diapun baru akan tiba setelah bulan bercokol dicakrawala!”
“Aku jadi bingung,” kata Koan San gwat sebenarnya yang
mana yang tulen.
“Maksud Lingcu Unta terbang ada yang tulen dan ada yang
palsu?”
“Ya, beberapa waktu yang lalu aku pernah berhadapan
langsung dengan Unta terbang, dia adalah laki laki tulen
bernama Ki Houw……..”
“Salah!” ujar Lu Bu wi menggeleng kepala, “Unta terbang
yang Losiu hadapi jelas adalah seorang perempuan!”
Koan San gwat menerawang sebentar lalu katanya tegas:
“Peduli apa laki atau perempuau yang jelas sepak terjang unta
terbang terlalu culas dan kejam, nanti aku harus menumpas
nya supaya tidak meninggalkan bibit bencana pada
masyarakat ramai!”
Ditengah malam nan sunyj jauh dibawah sana sayup sayup
terdengar suara kelentingan unta yang nyaring nan jelas.
Seketika bergerak Koan San gwat, serta merta seperti akan
dirinya ia berteriak sekeras keras, “Sahabatku! Aku disini!”
Tak lama kemudian seekor unta tingi besar berbulu putih
berlari cepat bagai terbang, menghampiri kearah dirinya,
kelenting dibawah lehernya berbunyi semakin nyaring. Lekas
Koan San gwat melompat terbang maju memapak dan
memeluk lehernya dengan perasaan haru ia berteriak :
“Sahabatku, akhirnya kita bertemu lagi, sungguh aku sangat
kangen kepadamu!”
Unta putih itu juga mengusupkan kepalanya dalam pelukan
Koan San gwat, lidahnya menjilat punggung tangannya,
manusia dan binatang saling berpelukan sedemikian akrab dan
mesra.
Dibawah cahaya rembulan yang redup dari balik semak
semak pohon muncul pula sebuah bayangan hitam yang tinggi
besar. Itulah seekor Unta hitam mulus di punggung nya
bercokol seorang gadis yang memakai baju serba hitam pula,
terdengarlah ia mejengek dingin, Koan San gwat bertanding
kita boleh dimulai sekarang.
Waktu Koan San gwat angkat kepala dalam keadaan yang
masih diliputi keharuan seketika ia terperanjat. Raut wajah
sigadis yang dingin dan kaku ini lapat lapat masih berkesan
dalam sanubarinya sejenak ia berpikir, baru ingat gadis ini
ternyata bukan lain adalah Khong Ling ling adanya.
Kontan menjerit kaget : “Bagaimana bisa kau!”
Khong Ling ling tertawa tawar, sahutnya. “Kenapa tidak
boleh aku, kau bisa jadi Bing tho ling cu, akupun boleh saja
menjadi Hwi tho ling cu.”
“Aku pernah ketemu dengan orang yang bernama Ki Hauw,
diapun mengatakan dirinya sebagai Hwi tho ling cu…”
“Itupun tidak salah, Hwi tho ling cu tidak terbatas cuma
satu orang saja, boleh dia boleh juga aku. Aku adalah dia, dia
adalah aku..”
Sudah tentu Koan San gwat menjadi bingung dan tak
mengerti, sekian lama ia menjublek mengawasi gadis
dihadapannya ini, bukan saja ia tidak mengerti maksud kata
katanya, iapun tidak percaya bahwa dia adalah Hwi tho ling cu
itu.
Melihat orang berdiri rnenjublek, Khong Ling ling jadi
berang teriaknya “Koan San gwat jangan kau pura pura pikun,
masa kau tidak kenal aku…”
“Sudah tentu aku kenal kau, waktu di Kun lun san…”
“Jangan kau singgung tempat itu?” tukas Khong Ling ling
dengan sikap kasar dan uring uringan.
“Sudah tentu kau tidak berani menyebut pula nama tempat
itu karena disana kau melakukan perbuatan durhaka, dan
berusaha membunuh guru sendiri…”
“Kejadian itu bukan apa apa bagiku nenek tua renta tidak
setimpal menjadi guruku. Meskipun selama sepuluh tahun dia
mengajar ilmu silat kepadaku tapi diapun telah nenyia nyiakan
waktuku 10 tahun permainan cakar ayamnya itu dalam
pandanganku sekarang, tidak berharga sepeserpun…”
”Kentut, jangan mengudal mulutmu yang busuk. Nada
bicaramu ini masa terhitung seorang manusia…”
“Orang she koan, kaupun jangan memaki orang. Kau tahu
kenapa aku tidak suka kau menyinggung urusan lama di Kun
lun san itu. Aku cuma benci pada diriku kenapa aku
menyiakan kesempatan untuk membunuh musuh besar
ayahku. Waktu itu bila aku tahu kau adalah pembunuh
ayahku, tentu…”
“Khong Ling Iing! kedengarannya mulutmu manis,
sedangkan terhadap guru yang berbudi sedalam lautan kau
berani membangkang, aku tidak percaya kau begitu simpatik
akan kematian ayahmu.”
“Orang she Koan!” desis Khong Ling ling dengan marah
yang meluap luap, serunya sambil melolos pedang : “Jangan
cerewet lagi, patung emasmu ada diatas untamu, ayo keluar
kan dan kita tentukan siapa menang siapa kalah. Hari ini
adalah pertempuran mati atau hidup jangan berhenti bila satu
pihak belum roboh binasa.”
“Hari ini aku berjanji dan hanya bertanding melawan Unta
terbang yang tulen!”
“Akulah Unta terbang adanya!”
“Tapi yang mengikat perjanjian bukan aku, dia bernama Ki
Houw seorang laki laki.”
“Dia adalah suamiku, kami menggunakan julukan yang
sama, kau paham!”
“Suamimu? Kapan kalian menikah?”
“Hal ini tidak ada sangkut paut dengan kau, yang benar aku
tidak menipukau.”
“Tidak, aku harus tahu duduk perkaranya. Pertikaian
dengan Unta terbang bukan meliputi perebutan nama julukan
saja, masih banyak urusan yang lain..?”
“Baiklah, masih ada urusan apa yang kau tanyakan?”
“Pertama tama aku ingin tahu, siapakah yang membegal
dan membunuh orang di Ling ciu?”
“Aku! Karena Ciong lam pay berlaku kurangajar terhadap
ayahku,”
“Yang menggunakan perintah Unta terbang dan sengaja
mencari aku untuk beritanding juga kau?”
“Bukan! Suamiku, karena dia punya alasan khusus untuk
berbuat demikian!”
“Alasan apa?”
“Tidak tahu! Dia tidak memberitahu kepadaku.”
“Lebih baik kau undang dia kemari, masih ada sebuah
urusan besar diantara kita harus diselesaikan, urusan Unta
sakti dan Unta terbang, hal ini kau tidak akan bisa mewakili
dia dan lagi akupun tidak sudi main tangan dengan kaum
hawa seperti kau.”
“Orang seh Koan, kalau kau tidak berani lekas berlutut
minta ampun saja!”
“Keparat, matipun aku tidak takut, masa gentar
menghadapi kau, cuma pertikaian antara Unta sakti melawan
Unta terbang teramat besar sangkut pautnya, aku
beranggapan kau tidak setimpal menggunakan nama julukan
itu untuk menantang aku.”
Rona wajah Khong Ling ling menjadi pucat pias, kentara
bahwa amarahnya sudah menghantui sanubarinya namun
sikap Koan San gwat yang memandang hina dan dingin
terhadap dirinya membuat ia tidak kuasa melampiaskan
amarahnya, sejenak ia berdiam diri sambil bernapas ngos
ngosan, lalu kata nya dengan suara berat. “Kalau begitu aku
menuntut balas bagi kematian ayahku, alasan ini cukup
setimpal bukan!”
Sejenak Koan San gwat ragu ragu, sahutnya : “Untuk ini
aku orang she Koan serba sulit menampik!”
Khong Ling ling keprak untanya berlari puluhan langkah
berpaling dan berteriak :
“Pegang kencang patung masmu, kita boleh mulai…!”
Koan San gwat tidak hiraukan seman orang, ia berbalik
kepada Lu bu wi dan berkata: “Ciangbunjin harap pinjam
pedang sebentar !”
Lekas Lu bu wi melolos pedang dan di serahkan kepadanya,
sambil menenteng pedang Koan San gwat melompat naik
kepung gung untanya, patung emas berkaki atu yang berada
di punggung untanya ia lemparkan kc atas tanah.
Terdengar Khoni Ltng Iing berteriak di kejauhan: “Koan San
gwat, kenapa kau tidak pakai patung emas saktimu?”
Koan San gwat tertawa lantang serunya: “Kim sin (patung
emas sakti) adalah perlambang Bing tho ling cu, hanya
menghadapi Hwi tho ling cu yang tulen baru akan kugunakan!
Aku punya alasan menghadapi kau dengan Pedang ini adalah
milik Ciong lam pay dengan pedang ini aku hendak menuntut
hutang darah dari puluhan jiwa para murid Ciong lam Pay
yang kau bunuh,”
Kong Ling ling berjingkrak gusar seraya berteriak ia keprak
untanya maju menerjang begitu dekat pedang terangkat terus
membacok. Koan San gwat bercokol tenang dan angker diatas
puuggung unta pedangnya terangkat mengkis “tring” lelatu
api berpercik suaranya berkumandaog dan berguma diudara.
Koan San gwat masih tidak bergeming sebaliknya Khong
Ling ling tergentak mundur dua tiga tindak, tapi bukan karena
tenga pergelangan tangannya yang kalah kuat adalah unta
hitamnya yang tidak kuasa menahan dari tenaga benturan
yang dahsyat dari kekuatan raksasa yang saling hantam itu,
Koan San gwat terbahak bahak serunya. “Waktu di Liang cu
kau menantang, orang bertanding, unta lawan unta, kini
tunggangan siapa lebih unggul sudah dapat dipastikan, lebih
baik kau lekas beri tahu kepada suamimu, kalau benar benar
ingin mengadu kekuatan dengan aku, harap dia mencari
tunggangan lain dan aku, harap dia mencari tunggangan lain
yang lebih hebat!”
Saking gusar mendadak Khong Ling Ling mengayun
pedangnya kebawah dan “cres” kepala Unta hitam tunggaaga
nya itu mencelat terbang tertabas kutung dari badannya,
sebelum badannya roboh Khong Ling Ling sudah melompat
turun di tanah.
“Apa apaan perbuatanmu ini?” seru Koan San gwat
tertegun.
“Binatang tidak berguna sudah tentu harus di mampuskan
saja!”
“Aku hanya omong sambil lalu, sebetulnya unta hitam, ini
binatang pilihan juga, kau begitu kejam membunuhnya.”
“Barangku sendiri aku punya hak untuk memutuskannya,
tak perlu kau banyak, urusan turunlah kita lajutkan diatas
tanah!”
Koan San gwat melompat turun seraya berteriak gusar:
“Kau tiada hak berbuat seudelmu sendiri terhadap suatu jiwa!”
Kong Ling ling menjadi sengit teriaknya pula : “Orang she
Koan, jangan takabur, unta putihmu belum tentu seekor
binatang tiada tandingan dikolong langit ini, yang kubunuh ini
tiada lain barang apkiran belaka, nanti kalau tunggangan
suamiku datang, tanggung dia tidak kalah oleh tunggangan
milikmu.”
“Kenapa suamimu hari ini tidak datang?”
“Bila kau dapat mengalahkan dia, sudah tentu dia akan
muncul, sekarang kau tidak perlu banyak tanya.” Seiring
dengan ucapannya pedangnya terayun menyerang kepada
Koan San gwat, terpaksa Koan San gwat angkat pedang
menangkis dan melayani rangsakan lawan.
Karena berada ditanah datar, gerak gerik tidak terhalang,
maka tidak perlu setiap gebrak harus mencari peluang
mengendalikan tunggangan maka serang menyerang kedua
belah pihak berlangsung teramat cepat, dalam sekejap saja
puluhan jurus sudah berselang.
Setiap jurus masing masing mengerahkan tenaga dalam
yang kuat dan keras setiap dua senjata saling bentur pasti
mengiluarkan suara keras dan kercikan letusan api, semakin
lama semakin seru dan hebat, diam diam Koan San gwat
mencelos hatinya.
Bagi dia yang tenaga raksasa pembawaan sejak kecil,
meski senjata yang digunakan hanya sebatang pedang, tapi
setiap gerak serangan nya mengandung tenaga ratusan kati
beratnya, Khong Ling ling mampu bertahan setanding
melawan dirinya, apalagi seorang perempuan bisa memiliki
kekuatan yang sedemikian dahsyatnya sungguhnya patut
dipuji.
Dan lagi sejurus ilmu pedang yang dia lancarkan memang
sangat aneh dan menakjubkan, gerak geriknya lucu dan sulit
diraba. Seperti diketahui Khong Ling ling memperoleh didikan
sejak kecil di Kun lun san di bawah asuhan Soat lo Thay Thay,
tapi kepandaian silat keluarga Soat itu sudah diturunkan ke
pada Thio Ceng Ceng dia sendiri menonton dari pinggir,
sedikit banyak ia kenal ilmu silat ajaran keluarga Soat itu.
Tapi ilmu pedang yang dimainkan Khong Liag ling sekarang
selamanya belum pernah dilihatnya, setiap jurus serangannya,
sulit diraba dan menyelonong tiba dari jurusan yang tidak
mungkin diraba sebelumnya, dan lagi serangan itu adalah
sedemikian ganas dan keji sekali kena jiwa pasti melayang,
maka tidaklah heran beberapa murid Siong lam pay itu hanya
beberapa gebrak saja sudah dibunuh olehnya dengan cara
yang begitu mudah, jikalau dirinya tidak dibekali ajaran Tokko
Bing yang digjaya dan murni itu, sejak tadi mungkin iapun
sudah melayang jiwanya oleh keculasan lawannya.
Pertempuran sudah berjalan tiga puluh jurus, tapi Koan San
gwat cuma balas menyerang dua jurus, setiap jurus serangan
harus ia layani atau tangkis dengan memakai tenaga dalam
yang cukup besar pula, sehingga selalu pihak lawan dapat
menempatkan diri dalam posisi yang menguntungkan, meraba
dingin serangan yang membadai, terpaksa ia hanya membela
diri saja.
Rangsakan pedang Khong Ling ling justru semakn gencar
dan telengas, sikapnyapun semakin beringas, terdengar ia
mengejek dingin: “Koan San gwat kudengar betapa tinggi
namamu di kalangan Kangouw, kiranya cuma nama kosong
belaka, Bing tho ling cu menggetarkan dunia, agaknya tidak
lebih cuma gentong nasi belaka.”
Dengan tenang mantap Koan San gwat melayani
rangsangan lawan, sedikitpun tidak terpengaruh oleh lawan,
namun Khong Ling ling mangkin mandapat angin tedengar ia
menccemooh lagi: “Dilihat dari permainan pedang yang
menyerupai cakar ayam ini, dapatlah dinilaibetapa sebenarnya
Tokko Bing, hanya tokoh dungu tidak becus belaka, kalau aku
dilahirkan beberapa tahun lebih pagi tanggung didunia ini
tidak akan ada Bing tho sebutan yang menyebalkan ini…”
Pedang Koan San gwat diputar kencang melindungi seluruh
badannya, tak tahan ia balas menjengek dingin. “Mungkin kau
mendapatkan tambahan ilmu dari Ki Houw, berani kau
membual mulutmu yang busuk. Kenapa kau tidak gunakan
otakmu, dulu pusaka Lo hun kok dari keluarga Kiong besar
kalian yaitu Bi seng cu kenapa bisa tearampas dan berada
ditangan guruku selama 20 tahun lamanya demikian ayahmu
mampus di tangan gentong nasi kalau dibandingkan justru kau
ini lebih celaka dari aku yang kau anggap gentong nasi ini.”
Dimulut Khong Ling ling mencemoh dan menghina tapi
dalam hatipun terkejut dan was was sebab meski setiap
permainann pedang Koan San gwat selalu dapat dipatahkan,
tapi gerak geriknya sangat mantap dan dapat maju mundur
sesuka hatinya tanpa terpengaruh sedikitpun berulang kali ia
sudah memancing dengan berbagai tipu yang cukup
meyakinkan tapi pertahanan pedang lawan memang tidak
tertembuskan, maka sengaja mencemooh dan menghina,
tujuannya membakar kemarahan orang sehingga ia
berkesempatan menjebol pertahanan orang yang kokoh.
Tak nyana latihan Koan San gwat memang sudah sangat
matang, ejekan balasannya sangat tajam ini menusuk
perasaan, bukan saja tidak terpancing malah diri sendiri
kepermainkan karuan ia naik pitam.
Sambil melancarkan rangsakan membadai mulutnya
berteriak beringas: “Koan San gwat kau memang harus
mampus!”
Pedang nya berputar memetakan puluhan kuntum
kembang cahaya pedang yang bertaburan keatas dan menukik
kebawah, sulit di tentukan yang mana yang kosong dan yang
mana yang berisi, sebelah atas lebih dulu atau sebelah bawah
lebih cepat menggasak tiba?
Menunjak ketiga lobang didada Koan San gwat tawa Khong
Ling ling semakin menjadi jadi serunya “Boleh kau tambahi
sebuah huruf Bing tho ling menatap lobang didepan dada
orang itu. Karena itulah yang harua dibanggakan oleh Bing tho
ling cu yang katanya pernah menundukan dunia.”
“Bertanding silat sudah pantas kalau ada yang menang dan
kalah, tidak perlu mengudal lidahmu dengan sikap tengikmu
itu.”
Jelas bahwa dirinya sudah menang dengan pukulan tiga
lobang kecil di depan dada orang tapi serta melihat sikap Koan
San gwat masih begitu tenang dan seperti acuh tak acuh mau
tak mau Khong Ling ling mejengak marah akhinya tidak
tertahan ia berjingkrak gusar, serunya: “Kalau tau begitu,
lebih baik ku tusuk dadamu saja!”
“Salahmu sendiri! kenapa kau tidak berbuat demikian?”
“Karena suamiku melarang, dia sendiri yang akan
membunuh kau!”
“Pendapat suamimu memang, untuk melawan aku memang
dia sendiri yang harus maju!”
“Melawan aku saja kau bukan tandingan, masih ingin
bertanding dengan suamiku jangan kau bermain api, lekas
serahkan lencana unta saktimu, selanjurnya carilah suatu
tempat dan menyembunyikan diri!”
“Kalau kelak suamimu benar benar dapat mengalahkan
aku, baru aku akan pikirkan lagi.”
“Koan San gwat apa kau ini laki laki. Kenapa tidak tahu
malu kau masih tidak mengaku kalah!”
Mendadak Koan San gwat menarik muka serunya lantang,
“Orang she Koan laki laki sejati Bing tho ling cu pun sudah
menggetarkan Kangouw, soal menang kalah mesti didebatkan
kalau kau angggap dirimu sudah menang, coba ketuklah
hatimu dan tangannya meraba kedepan dadanya, seketika
berubah air mukanya sekian lamanya ia tidak mampu
bersuara.
Ternyata baju depan dadanya dari kiri, tapi tergores sebuah
garis yang lurus, hanya baju luarnya saja yang tergores maka
ia tidak merasakan. Tapi ia tidak tahu kapan baju luarnya ini
tergores ujung pedang lawan.
Terbayang olehnya adegan pertempuran selami tiga puluh
jurus tadi, Koan San gwat cuma membalas serangan tiga
jurus, dua jurus yang terdahulu ditarik ditengah jalan, hanya
jurus terakhir dilancarkan dengaa nekad dengan tujuan gugur
bersama, tapi serangan itupun berhasil ia hindari.
Pikirannya hanya jurus ini yang terakhir inilah yang besar.
Maka dengar menempelkan muka ia bertanya dengan kereng:
“Tipu yang bagus! Apa nama jurus seranganmu itu?”
“Meski ada namanya, tapi kedengannya tidak enak yaitu si
li kiu seng (mencari hidup dalam kematian).”
Khong Ling ling berpikir sebentar lalu berkata dingin :
“Mesti dengan ini nama kedengarannya
“Untuk bisa gagur bersama suatu kejadian yang sulit, itu
diperlukan permainan tipu serangan kedua belah pihak
seimbang pula kehebatannya, sehingga pihak yang lain
berkesempatan membunuh lawannya lebih dulu, tapi ilmu
pedang sudah terlatih setaraf kau sekarang, mungkin sulit
dicari waktu yang kebetulan itu, maka kita perlu sama sama
mengejar waktu yang pendek itu, mungkin kau masih ingat,
tadi siapa yang bergerak lebih dulu?”
Berubah pula muka Khong Ling ling mulutnya, terbungkam,
menang dan kalah sudah jelas duduk perkaranya, memang
gerakan serangan pedang Koan San gwat lebih cepat dari
tutulan tiga kali ujung pedangnya, kalau tabasannya itu betul
betul dia laksanakan maka ketiga tutulan ujung pedangnya itu
tidak mungkin mengenai sasarannya.
Setelah terpaku sekian lamanya, dengan muka menghijau
ia berkata : “Koan San gwat hari ini kepandaianmu lebih
tinggi, tapi jangan kau takabur, cepat atau lambat aku pasti
menebus kekalahan ini!”
“Sekarang tibalah giliran suamimu, mengunjukkan diri!”
jengek Koan San gwat.
“Hari ini tidak lain yang lebih penting maka akulah yang
mewakili dia kemarin!”
Dengan suara kereng Koan San gwat. “Urusan apapun
tidak sepenting pertemuan ini, seorang manusia tidak punya
kepercayaan tiada berharga hidup kalau dia seorang yang
tidak dapat dipercaya, aku menyusul mengadakan janji
pertemuan disini!”
Berapi api biji mata Khong Ling ling teriaknya “Orang she
Khoan, kau sudah bertemu dengan suamiku, kau harus tahu
bahwa dia tidak takut terhadap kau, dan lagi kau pasti tahu
bila sekarang dia tidak kemari itu menandakan bahwa urusan
itu tentu jauh lebih penting.”
Koan San gwat berpikir sebentar lalu manggut manggut,
sahutnya “Baik aku percaya sekali obrolanmu ini, tapi
dapatkah kau beritahu kapan dan dimana perjanjian yang
akan datang?
“Aku pun tidak tahu,” sahut Khong Ling ling menggeleng.
“Tapi aku percaya dia pasti memberi khabar kepada kau!”
“Baik, selalu ku tunggu kabarnya.”
Sambil mendengus Khong Ling ling putar tubuh terus
tinggal pergi, tapi beberapa langkah ia dihentikan oleh Koan
San gwat, sambil membanting kaki Khong Ling ling berseru
gusar: “Ada apa lagi! Apa kau tidak mau melepas aku pergi?”
“Bukan! Kalau aku ingin menahan kau tabasan pedangku
tadi tidak melukai cuma menggores baju luarmu saja,
kalau hari ini kau terima kalah, maka harus mematuhi satu
syaratku!”
“Syarat apa? Jangan kau ajukan persoalan berabe dan
serba runyam, aku tidak bisa memberi kepastian kepada kau,”
tanya Khong Ling ling curiga.
“Sebelum pertemuan kedua dan sebelum adanya adu
kepandaian yang akan datang dengan suamimu, aku larang
Lencana Unta terbang kalian muncul didunia persilatan.”
Khong Ling ling bimbang, Koan San gwat segera
menandaskan: “Kalau tadi kau mewakili Hwi tho ling cu, kau
sudah menyerah kalah, maka Hwi tho ling cu tidak boleh di
pakai lagi, kalau kau tidak berani mengambil keputusan,
suamimu ingkar janji, maka diapun terikat oleh syarat yang
kuajukan ini!”
Mendengar alasan ini Khong Lia ling malah tertawa dan
perasaan menjadi longgar katanya: “Boleh karena alasan ini
pasti suamiku tiada alasan menolak maka baiklah aku akan
meyetujui usulmu ini!”
“Silankan pergi!” ujar Koan San gwat mengulapkan tangan.
“Beritahu pada suami mu semakin cepat lebih baik!”
Kini Khong Ling ling pergi tanpa menoleh lagi.
Koan San gwat mendekati Unta saktinya dia berbisik bisik di
pinggir telinganya, entah apa yang diucapkan, tapi sang unta
selalu manggut manggut atau menggeleng sebagai
menjawabnya.
Dengan lesu Lu Bu Wi menuntun kudanya, menghampiri
Koan San gwat, katanya “Lingcu Losiu mohon diri lebih dulu!”
“Ciangbunjin hendak kemana?” tanya Koan San gwat.
“Ai, pihak Ciong lam pay sudah runtuh total, tiada muka
Losiu menduduki jabatan yang memalukan ini, tiada harapan
menuntut balas, masa depanmu suram, Losiu ingin membawa
jenasah murid pulang gunung, akan ku umumkan penutupan
dan pembubaran golongan kami.”
“Losiu akan mengasingkan diri saja !”
Koan San gwat membujuk katanya, “Ciong lam pay sudah
ternama puluhan tahun lamanya di Bulim, menderita rugi
adalah jamak dalam percaturan dunia persilatan, Ciangbun jin
tidak perlu putus asa.”
Lu Bu wi menghela napas panjang ujarnya. “Perguruan
mengalami bencana yang menengenaskan, kepandaian sendiri
tidak becus lagi, hagaimaa Losiu tidak kecewa!”
Koan Sangwa berpikir sejenak lalu berkata: “Bagaimaua
Kalau Ciangbunjin sementara ini melakukan perjaiananaa
dengan Cayhe, siapa tahu dalam waktu yang dekat bisa
membalas dendam secara langsung, sekaligus dapat
memulihkan muka dan mengangkat nama pula.”
Tergerak hati Lu Bu wi Katanianya, “Ling cu ada petunjuk
apa?”
“Beri petunjuk sih tidak berani, mendadak Cayhe teringat
suatu persoalan, kalau Ciangbunjin ikut melakukah perjalanan
ke barat, mungkin disana bisa memperofeh suatu
ketuntungan.”
“Untuk apa Lingcu pergi ke barat daya?”
Koan San gwat tertawa sambil menunjuk suaranya,
katanya: “Sahabat tuaku inilah yang memberi tahu kepadaku.”
Semua orang melengak tidak mengerti, kata Koan San
gwat: “Untaku ini adalah binatang sakti yang cerdik dari
daerah barat, setelah mendapat didikan dan bimbingan dari
guru selama beberapa tahun, ia punya banyak kemampuan
yang luar biasa, bukan saja dapat menempuh perjalanan
ribuan li sehari naik gunung terjun keair dan segala tugas
berat apa pun dilakukannya ada pula suara kepandaian khas
yang dimilikinya yaitu daya penciuman nya teramat tajam,
sippapun bila terendus hidungnya, meski kau sembunyi
keujung langit pun dapat dikejar dan menemukan tempat
persembunyianmu.”
Lu Bu wi kagum dan manggut manggut katanya : “Unta
memang merupakan kapal padang pasir, biasa menjelajah
seluruh dunia, untuk ini Losiu tidak akan sangat sedikit pun,
entah siapa yang hendak Ling cu kuntit?”
“Sudah tentu Khong Ling ling adanya, dengan menguntit
dia dapatlah aku secepat nya berhadapan dengan Unta
terbang!”
Lu Bu wi termenung tak bersuara, Lok Siau hong
berjingkrak kegirangan. Cuma Lau Sam thay yang mengunjuk
rasa kuatir, katanya: “Apaka tujuan Ling cu tidak akan
berbahaya?”
Koan San gwat berkata” Ki Houw mengingkari janjinya,
tentu urusannya ini ada sangkut pautnya dengan perkara yang
kubayangkan teka teki ini sudah lama tersekap dalam
sanubariku, maka aku harus berdaya upaya untuk
menbongkar rahasia, dan sekarang tibalah saatnya.. ..
kalau Lau heng merasa tidak leluasa boleh tidak usah ikut
soalnya memang Lau heng tiada hubungannya, dengan
persoalan ini….”
“Kenapa Lingcu bicara demikian!” seru Lau Sam thay sambil
menggoyangkan tangan. “Aku orang she Lau hanya kaum
keroco di kalangan Kang ouw, namun sejak ikut Ling cu kini
akan menyelidiki suatu, rahasia besar kaum Bulim, terhitung
hidup ini tidak sia sia, meski harus berkorban jiwa aku orang
she Lau tidak perlu menyesal, cuma aku kuatirkan
keselamatan Ling cu sendiri.”
“Tiada sesuatu yang perlu dikuatirkan bagi diriku.”
“Belum tentu, dalam pandangan kaum Bulim sedang
terancam malapetaka yang masih terpendam dan bakal
meletus dalam waktu tidak lama lagi, keselamatan kaum
persilatan hanya tergantung pada usaha Ling cu seorang
untuk mengatasinya, kalau tidak sulit lah dibayangkan apa
yang bakal terjadi kelak.”
“Betapa tinggi penilaian Lau heng terhadap diriku,
hakikatnya memang aku sudah terlibat dalam pusaran yang
rumit ini, seumpama hendak menyingkir juga tidak mungkin
lagi, bukan aku saja nona Lok dan Lau heng sendiri pun sudah
tidak bisa berpeluk tangan. Kalianpun pernah bertemu dengan
Ki Houw kalian pun sudah tahu sedikit seluk beluk mengenai
persoalan ini …”
Lau Sam thay tidak bicara lagi, sebalik Lok Siau hong
membelalakan matanya serunya: “Koan toako ditempat tujuan
kita apakah dapat betemu dengan bibi?”
“Aku tidak berani pastikan.” sahut Koan San gwat setelah
termenung sebentar, “Tapi aku percaya sedikit banyak kita
bakal memperperoleh bahan bahan sebagai pemikiran kita
selanjutnya….”
“Tiba tiba Lu Bu wi menyeletuk tanya dengan heran : “Soal
rahasia apa yang sedang kalian perbincangkan?”
“Sekarang belum pasti dapat aku jelaskan Ciangbunjin
perlu memastikan mau ikut tidak menempuh bahaya sudah
pasti dapat terhindar
“Losiu mencari hidup seorang diri, jiwaku sih tak perlu
dipikirkan cuma dengan tenaga ku yang tidak becus ini, aku
kuatir bukan saja tidak membantu Ling cu malah jadi beban
belaka!”
“Cianghunjin jangan merendah, sulit dikatakan sekarang,
mungkin banyak urusan yang nanti harus mohon bantuan, dan
lagi entah beberapa banyak anggota dari perguruan kalian?”
Lu Bu wi berpikir sebentar lalu katanya: “Enam diantara
sembilan saudara seperguruan kami sudah ajal tinggal tiga
orang lagi dimarkas, para murid dari generasi kedua kira kira
masih tiga puluhan orang yang tersebar luas dimana mana,
dengan sebuah tanda rahasia, Losiu dapat mengumpulkan
mereka untuk mendengar perintah seluruhnya!”
“Tidak prlu banyak harap Ciagbunjin mengundang tiga
Enghiong yang berada dimarkas itu serta, lima, enam murid
yang terdekat saja. Tugas ini lebih baik diserahkan kepada
Sun Cit sebagai kurir atau penghubung, suruh mereka
menyalin rupa. Tidak usah bertemu muka secara langsung
dengan kami, asal memperhatikan tanda rahasia penghubung
dari perguruan kalian, harus ketat pula mengikuti jejak kita
disaat tenaga mereka benar benar diperlukan, biarlah nanti
Ciangbunjin sendiri yang memberi tugas yang perlu
dilakukannya.”
Lu Bu wi tidak tahu persiapan apa yang sedang dilakukan
oleh Koan San gwat namun ia menurut perintah saja,
sahutnya: “Khong ling ling membunuh beberapa saudara
perguruan kita, kini berkesempatan ikut Ling cu untuk
menuntut balas, tugas mulia yang memang sangat kita
harapkan!” lalu ia memberikan aba aba kepada Sun Cit, serta
menyuruh membereskan jenasah para saudara
seperguruannya dan dikirim kembali ke Ciong lam pay untnk
dikebumikan.”
Setelah segalanya diatur dengan rapi, Koan San gwat
mencemplak kepunggung unta saktinya, katanya: “Mari
berangkat! Mungkin perjalananan kita masih bakal
menimbulkan gelombang besar yang mendapat seluruh kaum
persilatan, mungkin pula seperti mega yang mengembang di
angkasa, terhembus lenyap tanpa bekas oleh angin lalu! Tapi
apapun yang akan terjadi, inilah jalan satu satunya yang harus
kita tempuh!”
-o0dw0o-
Jilid 9
HILANG SUARANYA IA LANTAS keprak tunggangannya dan
berlari cepat dikeremangan malam menuju kearah depan
sana, maka terdengarlah derap kaki kuda yang ramai
dibelakangnya mengejar dengan cepat. Lu Bu wi seketika
keprak kudanya mengejar dibelakangnya. Derab kuda dan
langkah unta yang tegap dan berat itu seolah olah menjadi
perpaduan musik yang gagah mengiringi mereka maju
kemedan laga.
Kira kira setengah bulan kemudian, mereka berempat
sudah tiba disungai Pe long kang yang terletak di perbatasan
Su cwan dan Kam siok, setelah menyebrang sungai mereka
memasuki wilayah Su cwan yang terkenal sulit dan penuh
bahaya. Setelah tiba di daerah sulit perasaan Koan San gwat
malah lebih longgar, mereka menginap disebuah rumah
penginapan kecil, setiap hari kerjanya cuma makan minum
dan pelesir dipinggir sungai besar, melihat pemandangan,
sedikit waktu bertemu muka dengan Lu Bu wi, waktunya
sebagian besar berada d luar.
Beberapa hari sudah berselang Lok Siau dan Lau Sam thay
tidak sadar kalau Lau Sam thay tidak berani banyak bicara,
Lok Siau hong sudah tidak tahan lagi, maka pada suatu pagi
dikala Koan San gwat sudah siap berangkat, cepat ia
memburu serta bertanya : “Koan toako, kau hendak kemana
lagi?”
“Hari ini aku akan tamasya ke Mo thian ling (bukit pencakar
langit) konon puncak gunung itu sangat tinggi menembus
awan, pemandangan disana lain dari pada yang lain!”
“Koan toako,” ujar Lok Siau hong kedatangan kita kesini
bukan untuk bertamasya bukan?”
“Aku tahu, hidup ini sangat terbatas, mumpung ada waktu
baiklah menikmati tempat tempat indah yang menyenangkan,
kelak mungkin tiada kesempatan lagi!”
Lok Siau hong melengak, tanyanya: “Koan toako apa
maksudmu?”
“Tiada maksud apa apa, mungkin kau terlalu iseng karena
senggang, baiklah hari ini kau boleh ikut!”
Lok Siau hong paham dimulut kedengarannya Koan San
gwat bicara enteng, tapi urusan tentu tidak sepele, serta
mendengar Koan San gwat hendak mengajak kesuatu tempat,
karuan ia berjingkrak kegirangan.
Mereka menunggang unta dan kuda yang dibedal kencang,
tidak lama kemudian sudah menempuh perjalanan
pegunungan yang berliku liku menjurus kearah puncak
gunung, Mo thian ling termasuk dalam wilayah Bing san,
susun bersusun sepanjang ribuan li ke barat memasuki
wilayah Ceng hay ketimur menjorok kepropinsi Ouw pak,
merupkan pegunungan terpanjang.
Waktu hampir tiba dipuncak bukit, hembusan angin
pegunungan sedemikian kerasnya awan menggembung
dibawab kaki, seolah olah karena susah berpisah dengan
dunia fana ini pohon siong dan Pek menjulang dan berdiri
kekar, tumbuh subur dimana mana tersebar luas, burung
bangau berterbangan, kera berloncatan dipucuk pohon,
ternyata pemandangan di sini memang mempersonakan.
Selama hidup belum pernah Lok Sian hong melihat
pemandangan seperti yang disaksikan sekarang, tak tertahan
ia tuding sana tnnjuk sini seperti menari saja ia diatas
punggung tunggangannya.
“Hati hati, jalananan disini tumbuh lumut dan licin sekali,
kendalikan kudamu baik baik, jangan sampai terpeleset, kalau
sampai jatuh kau bisa lenyap tanpa bekas!”
“Jangan kuatir, meski kudaku tak sehebat untamu, dia
merupakan tunggangan yang lumayan juga, jalan pegunungan
begini tidak bakal mempersukar dia….”
Tengah bicara tiba tiba kaki depan tunggangannya
mendadak tertekuk kedepan entah tersandung apa, hampir
saja ia terjengkang ke depan, untung gerak geriknya cekatan
gesit sekali ia melesat kedepan, untunglah unya tunggangan
Koan San gwat lekas menyusul tiba, leher panjangnya terulur
menahan tubuh k da itu sehingga tidak tergelincir jatuh
kebawah gunung.
Begitu menginjak tanah Lok Siau hong lantas mengayun
cambuknya memecut pantat kudanya seraya memaki “Celaka,
baru saja memuji kau, secepat itu pula kau bikin aku sakit”
cepat menyampok cambuknya. Terdengar Koan San gwat
berseru: “Jangan kau ribut dan main pukul ditempat ini, kalau
dia kesak itan dan mergumbar adatnya, sekali loncat tamatlah
riwayatnya!”
Lok Siau hong memonyongkan mulutnya katanya
bersungut: “Tamat ya sudah, paling aku turun gunung jalan
kaki.”
“Enak berkata, dua hari lagi kita harus melanjutkan
pejalanan, masa kau hendak menjadi buntut mengejar jalan
kaki.”
“Jadi harus berangkat lagi?” tanya Siau hong tertegun.
“Sudah tentu, kan belum sampat ketempat tujuan, aku
sedang menanti bala bantuan dari pihak Ciong lam pay!”
“Tidak heran setiap hati kau bicara dengan Lu bu wi toako,
sungguh aku kurang paham untuk apa kau memerlukan
sedemikian banyak orang, kalau berkelahi masa mereka
bantuan kau?”
“Aku tidak perlu bantuan mereka untuk berkelahi, yang
jelas ada tugas lain yang lebih penting perlu bantuan mereka
untuk mengerjakan!”
Lok Siau hong hendak bicara lagi tapi Khoan San gwat
menggeleng kepala, katanya: “Kau bukan anak kecil lagi, tapi
sifatmu masih suka merengek masa nona besar masih suka
merengek!” demikiin goda Koan San gwat.
Merah muka Lok Siau hong, selanjutnya ia banyak berdiam
diri. Sementara itu Koan San gwatpun sudah turun dari
tunggangannya matanya menjelajah sekelilingnya akhinya ia
menghela napas serta berkata mangut manggut: “Tempat ini
sungguh segar dan menyenangkan, semoga kelak akupun
dapat memperoleh tanah subur nan sunyi begini, selama
hidup terpisah dari keramaian dunia….”
“Apakah baiknya tempat ini, “sela lok Siau hong, “Kecuali
mega pohon dan gunung serta burung dan binatang liar,
kalau seng gang dan iseng untuk mencari orang ajak
bicarapun tiada, kadang kala bermain man sih boleh, kalau
selama hidup tinggal di tempat yang sepi begini, kalau tidak
mati kebal sudah untung!”
“Nanti setelah usia mu dewasa kau akan tahu
menikmati kehidupan bersih dan sunyi paling nikmat, akan
datang saatnya kaupun bisa menyenangi tempat semacam
ini!”
Mata Lok Siau hong berkedip kedip mendadak ia tertawa
cekikikan, ujarnya “Koan Toako katamu tempat ini tiada jejak
manusia?”
“Ya, pohon siong dan burung bangau yang diselimuti awan
putih mengembang, seolah tempat kediaman para dewata
saja tempat ini.”
Mata Lok Siau hong berputar katanya: “Dewa yang
kau maksud tentu adalah Lu Tong pin dan Thi koay dari
dongeng delapan dewa menyebrangi lautan itu bukan!”
“Kenapa kau bicara begitu?” tanya Koan San gwat
melengak.
Lok siau hong berjingkrak sambil bertepuk tangan sahutnya
“Karena Lu Tong pin paling suka minum arak, sedang Li Thi
koay paling suka gegares (suka makan) sayup sayup sepeti
terendus olehku bau arak dan daging panggang!”
Lekas Koan San gwat angkat kepala mengendus endus ia
membenarkan ucapan orang katanya keheranan. “Puncak
gunung sedemikian tingginya ada siapa makan minum
ditempat ini?”
“Sudah tentu para dewata! Manusia umum nya suka
kehiduapan dewata yang sunyi dan suci, Sebaliknya para
dewa menyukai arak dan daging buatan manusia, dapat
disimpulkan bahwa konatradiksi di dunia fana ini memang
terlalu banyak !”
Tergerak hati Kon San gwat dengan sikap serius ia berkata:
“Jangan kelakar, mari kira tinjau kesana!”
Lok Siau hong berloncatan cepat, ia berlari mendahului
kedepan, terpakai Koan San gwat menguntit dibelakangnya,
mereka menerjang kabut tebal dan langsung mamanjat lebih
atas, tak lama kemudian bau arak dan panggang daging
semak in keras, tak lama kemudian dia lantas batu besar yang
menonjol keluar di kejauhan sana tampak bayangan dua
orang sedang duduk berhadapan. Seorang sedang angkat guci
arak menenggak dengan lahapnya, seorang yang lain sedang
gegares daging panggang dengan nikmatnya.
Koan San gwat mendekat maju, setelah jarak dekat dengan
jelas ia sudah melihat kedua orang itu berusia lanjut
pakaiannya biasa seolah olah mereka adalah tukang tebang
kayu atau pemburu diatas gunung ini, maka perasaan dan
waa was tadi menjadi kendor.
Lok Siou hong sangat terkejut sambil ia berkata kiranya tua
bangka…. suaranya keras cepat Koan San gwat
menggoyangkan tangan kepadanya maksudnya supaya bicraa
perlahan supaya tidak didengar oleh mereka dan menimbulkan
perkara, karena dandanan kedua orang ini, Koan San gwat
menduga mereka pasti bukan orang sembarangan, bila terjadi
pertengkaran, watak Lok siau hong berangasan itu tentu
urusan bakal berpanjang.
Tak nyana Lok Siou hong tidak pedulikan isaratnya, dengan
suara lantang ia berteriak lagi kukira dewata, ternyata dua
kakek rencana hampir mampus, sungguh menyebalkan!
Koan San gwat kurang senang, baru saja ia menegor
keberandalannya kedua orang tua diatas batu itu sudah
bersuara: Engli heng, ternyata ada manusia yang kita anggap
bangsa dewata.
Orang yang bicara ini bermuka gemuk, seorang tua lain
masih menenggak araknya, dengan sikap acuh tak acuh
bermalas malasan ia menjawab: “Seumpama kita anggap diri
sebagai dewa kan tidak berkelebihan!”
Tergerak hari Koan San gwat, Lok Siau hong menjebirkan
bibir dan mencemoh , “Masa dewa seperti tampang
kalian ini?”
Simuka gendut membanting tulans ditangannya, seraya
berpaling dia tertawa, katanya : “Nona cilik, coba katakan
seperti apa sebetulnya dewa itu?”
Pertanyaan ini menyegal mulut Lok Siau hong, memang ia
tidak bisa menggambarkan seperti apakah sebenarnya bentuk
dewa itu.
Sikurus menurunkan guci araknya tertawa gelak gelak,
sarunya “Aku Tong pin menengok arak sampai mabuk di Gak
yang lau, padahal dia seorang gelandangan yang rudin, Thi
koay sian adalah peminta sedekah nasi yang gelandangan
sepintas pandang jauh lebih celaka dari kami berdua, masa
kita berdua tidak menyerupai dewa malah.”
Berdetak jantung Koan San gwat, Lok Siau hong malah
bertepak senang, serunya, “Mendengar percakapan kalian,
jadi kalian adalah dewa asli?”
Sambil membersihkan kedua tangannya yang berlepotan
minyak kebaju depan dadanya si gendut tertawa ujarnya:
“Kita hidup harus menikmati kesenangan, jiwa adalah yang
paling berharga dalam dunia ini, dengan hidup senang dan
bebas baru boleh dinamakan dewa”
Tergarak pula hati Koan San gwat, cepat ia bertanya:
“Siapakah gelarmu dewa kalian…”
“Sudah menjadi dewa masa perlu gelar lagi, nama sudah
cukup dan lebih diagungkan!” si kurus cepat menjawab.
“Kalau begitu mohon nama dewa kalian?” Koan San gwat
menambahkan.
Si muka gendut terbahak bahak sahutnya: “Aku bernama It
lun bing gwat, dia bernama Ban li bu in”
Dengan tenang dan penuh keyak inan Koan San gwat
berkata : “Kiranya kalian tokoh yang tercantum dalam daftar
Sian pang ?”
Kelihatan kedua orang melengak, tapi tidak
memperlihatkan reaksi yang berarti akhirnya sikurus bergelak
tertawa, ujarnya : “Siang pang (golongan dewa) atau Kui pang
(golongan setan) apa segala! Kami tidak paham!”
Ucapan Kan San gwat memang sengaja hendak memancing
belaka, dari sikap mereka terlihat delapan puluh persen ia yak
in dugaannya tidak meleset, tapi lahirnya ia tetap tertawa
tawa katanya: “Karena ku dengar kalian menamakan diri
sebagai Sian sian (dewa sakti) menyebut nama yang begituan
lagi, maka kuurutkan nama kalian kedalam golongan dewa
itulah.”
“Kalau begitu kau salah terka” ujar si muka gemuk, “Secara
serampangan kita menarik sebuah nama untuk apusi kau. Hai,
bocah, kau bernama apa?”
Koan San gwat berpikir pula lalu berkata “Banli koan san bu
im (berlaksa li sepanjang gunung gunung tiada awan), It lun
bing gwat tok bing (bulan sabit memancarkan cahaya
tunggal)”
Si muka gendut tersentak kaget air muka nya berubah
hampir saja ia hendak berteriak, keburu simuka kurus melorot
kepadanya, cepat si muka gendut sadar dan mengubah kata:
“Bagus! It lun gwat tok bing, ucapanmu sungguh agung
mengandung arti yang sesungguhnya, agaknya kau bocah ini
pernah bangku sekolah, marilah silakan naik ikut merasakan
daging panggang!” sembari berkata tangannya segera meraih
kedepan mencomot segempal daging panggang terus
dilempar dari jarak jauh, lekas Koan San gwat angkat tangan
menyambuti terasa lemparan siorang tua cukup kuat sampai
telapk tangannya tergetar sak it, hatinya jadi lebih mantap,
Diwaktu ia menjelaskan makna namanya dia menyinggung
nama Tokko Bing gurunya sengaja ia sisipkan nama gurunya
ini didalam penjelasan itu, lantas tampak sigemuk terkejut dari
mulutnya yang bergerak itu jelas ia hendak berseru: “Tok,”
namun karena delikan mata sikurus cepat ia mengubah
seruannya, dari sini ia lebih yak in bahwa kedua ini pasti
hubungan yang erat dengan Liong hoa hwe, Hong sin pang,
Siau se thian dan lain lain yang selalu menjadi pemikirannya.
Akan tetapi sikap orang sangat rahasia betapapun ia harus
mencari akal untuk mengorek keterangan mereka, maka
sekian lama ia menjublek di tempatnya.
Kelihatannya Lok Siau hong ketarik oleh tingkah lucu kedua
orang ini, apalagi setelah perjalanan jauh sejak pagi perutnya
memang mulai lapar, dan daging pangang itu merangsang
hidungnya lagi, maka air liurnya selalu ditelannya kembali,
teriaknya: “Ai, orang tua kenapa kau begitu kikir, ada daging
panggang kenapa tidak bagi bagi kepadaku.
Tingkah si gendut yang bernma It lun bing gwat itu lebih
jenaka, katanya cengar cengir: “Nona cilik, kau ingin makan
daging panggang tapi ada syaratnya yaitu kau harus
menjawab dua pertanyaanku dulu!”
Lok Siau hong jengkel, jengeknya “Kedua pertanyaan itu
sangat gampang, aku cuma ingin menjajak kecerdikanmu!”
Penjelasan ini menarik Lok siau hong yang masih kekanak
kanakan, tanyanya cepat “soal apa yang kau tanyakan?”
sambil menuding hidung sendiri it lun bing gwat berkata :
“Pertama, kau harus menjelaskan kenapa aku dipanggil it lun
bing gwat!”
Lok Siau hong cekikikan sahutnya: “Wah gampang sekali
kulihat mukamu yang gendut banyak dagingnya itu bukan,
bukankah seperti bentuk rembulan yang bundar?”
It lun bing gwat tercengang, sebaliknya yang bernama Ban
li bu in terloroh loroh, serunya. “Gendut julukan mu memang
cocok keadaanmu, sekali tebak tepat kena sasaran.”
It lun bing gwat berpikir sebentar lalu berkata pula
“Pertanyaan kedua harus menebak secara jitu pula, daging
apa yang kupanggang ini.”
Waktu Lok Siau hong pandang daging ditangan Koan San
gwat, bentuknya selonjor paha ayam.
Diam diam ia membatin “Bila daging ayam sekali pandang
pasti ketahuan, masa aku menebak… tapi dari bentuknya ini
pasti sebangsa daging burung …. burung yang boleh
dimakan sangat banyak, pasti besar kecilnya paha panggang
itu dapat diperkirakan bentuk burung itu pasti cukup besar,
sesast ia bingung dan sulit ambil kepastian, ia diam berpikir
sekian lamanya.
Sebaliknya It lun bing gwat gelisah malah kuatir tidak
tertebak sengaja ia menambahkan, daging ini setiap sast
dapat didapatkan diatas gunung ini, coba kau memikirkan dari
sumber yang dekat saja.
Lok Siou hong masih memeras otak, karena burung
digunung bermacam macam, untuk menunjuk salah satu
memang sulit, terpaksa It lun bing gwat memberi tambahan
pula “Mahluk itu bisa terbang menjulang tinggi di atas awan!”
Cepat Lok Siou hong berteriak daging burung elang.!
It lun bing gwat jadi lesu dan murung, katanya kesal:
“Betapa gagah nama julukanku masa gegares daging binatang
yang menyebalkan itu!”
“Kalau begitu sulit ditebak,” sahut Lok Siou hong sambil
merengut, “Apa mungkin daging bangau?”
“Siapa bilang daging bangau,” teriak it lun bing gwat sambil
menepuk paha.
“Tebakanmu jitu, mari silahkan mencicipi sekerat daging
ini!” lalu ia mencomot sekerat daging lalu dilemparkan kepada
Lok Siau hong. Meski Lok Siou hong mengulur tangan
menerima tapi secepat itu pula ia lempar ketanah hatinya
mual karena tadi ia melihat sang bangau bertengger di pucuk
pohon, sikapnya yang bebas dan tentram seperti seorang
dewa yang mengasingkan di mana terpikir olehnya dagingnya
bakal dipanggang dan digares oleh manusia.
Bergegas Ii lun bing gwat melopat turun dari atas batu
besar menjemput daging panggang itu seraya menggerutu:
“Nona cilik tidak tahu kebaikan secara baik hati kuberikan
panggang daging bangau ini kepada kau, agaknya kau tidak
sudi menikmati kehidupan yang serba bebas menyenangkan
ini, dibuang buang begini saja sungguh sayang!” dengan lapar
ia masukan daging panggang kedalam mulutnya lalu dikunyah
seperti orang kelaparan air liur membasahi pakaiannya.
Lok Siau hong semak in mual, serunya gusar:
“Mengagulkan diri sebagai dewa, sedikitpun tidak punya rasa
pengasih, sungguh menyebalkan!”
“Anak perempuan kenapa bicara begitu kasar,” ujar It lun
bing gwat, “kau tidak percaya betapa enak dan lezat daging
panggang ini, tuh diatas masih ada, mari kau keatas, nanti
kau cicipi sendiri!” sambil berkata ia ulur tangan hendak
menarik lengannya, kontan Lok Siau hong menghardik keras,
cambuk ditangannya melecut kepunggung orang, It lun bing
gwat masih tersenyum simpul, membalik pergelangan ia
mencengkram gagang cambuk orang.
Takkira permainan Ling coa piang hoat Lok Siau hong
memang sangat hebat, sedikit pergelangan memelintir, gerak
cambuknya berubah menggulung balik mengetuk punggung
tangan orang karena perubahannya cepat serangan jitu lagi
“plak” telak sekali punggung tangannya kena dilecut sekali.
Agaknya It lun bin gwat tidak mengira bila permainan
cambuk cewek ini sangat menakjubkan, maka tangan tidak
terasa sak it tapi merasa malu, bentaknya gusar: “Nona cilik!
Kenapa kau tidak tahu aturan.”
Lok Siau hong pun berjingkrak gusar, teriaknya: “Tua
bangka menyebalkan, siapa yang tidak tahu aturan, siapa
yang main tangan lebih dahulu?”
“Dengan baik hati Lohu ingin mengajak kau mencicipi
daging panggang”
“Aku tidak sudi makan panggang bangau mu!” hati Lok
Siau hong tidak kalah gasarnya.
It lun bing gwat gusar menggerung “Selama hidup belum
pernah keinginan Lohu ditolak orang secara mentah, kau
harus makan sekerat dagingku ini!” sembari berkata jarinya
berkembang hendak meraih lengan, lekas Lok Siau hong
mengayun cambuknya seperti daun daun pohon berguguran
melecut dari berbagai arah keatas kepala dan muka orang.
Adanya pelajaran pertama It Iun bing gwat kali ini berlaku
lebih hati hati, meski perawakannya tambun namun gerak
geriknya amar gesit dan lincah, kelit kiri menghindar kekanan
selalu dapat berputar putar diantara sambaran bayangan
cambuk.
Meski Lok Siau hong tidak berhasil menyerang sasarannya,
namun permainan cambuk nya yang hebat itu dapat
merintangi rangsakan lawan beginilah pergi datang mereka
saling menyerang dengan serunya sampai puluhan jurus.
S i kurus Ban li bu in masih ungkang ungkang di atas batu
sambil menghirup araknya, terdengar ia menggoda : “Gendut!
Semakin lama kau mak in tidak berguna, di Siau se thian kau
diusil orang, untuk ini alasan cukup setimpal, hati ini kau kau
dipermainkan gadis cilik serunyam ini, benar benar
memalukan, menurut hematku lebih baik kepalamu ditumbuk
keatas batu gunung saja biar mampus!”
Karuan It lun bing gwat berkaok kaok teriaknya “Ban li!
Jangan kau ngoceh belaka, soalnya Lohu tidak melukai gadis
cilik ini, kalau tidak cukup sejurus saja sudah kutamatkan
riwayatnya….”
Setelah menenggak araknya Ban li bu in , berseru
tertawa : “Menghadapi seorang nona cilik, tidak malu kau
bicara demikian, memangnya kau ingin menggunakan Thay im
ciang yang jahat. Kini sudah sembilan belas jurus, masih
sejurus lagi, bila kau tidak berhasil akan kulihat cara
bagaimana kau akan tampil dihadapan orang banyak!”
Mendengar seruan ini cepat It lun bing gwat menerobos
keluar dan melompat mundur ujarnya menghela nafas: “Nona
cilik! Kau membuat Lohu celaka, sengaja kau menggunakan
akal mempermainkan aku, Lohu sudah terdesak sehingga
tidak nyangka hari ini jiwaku bakal melayang ditanganmu!”
Lok Sian hong tercengang, serunya : “Aku tidak bermaksud
membunuhmu.”
“Selama bertanding dengan orang, Lohu pantang dari dua
puluh jurus sebaliknya aku harus bubuh diri saja, sekarang
kita sudah mencapai jurus kesembilan belas masih sejurus
belum tentu aku mampu meringkasnya kau… ai sudahlah,
Lohu tidak ingin dikalahkan gadis cilik lebih baik kuturuti
nasihat setan kurus menumbuk kan gunung saja!”
Habis berkata ia putar tubuh terus menerjang kearah batu
besar di belakangnya. Kaget Lok Siau hong bukan kepalang,
tak terduga olehnya jiwa orang tua ini demikian keras dan
ketus, cepat ayun cambuk hendak menggulungnya kembali, di
luar perhitungan gerakan si orang tua terama, “Blang” telak
sekali kepalanya sudah menumbuk batu.
Sungguh aneh bin ajaib benturan keras itu ternyata tidak
membuat kepalanya pecah malah badannya terpental balik
dan sekali raih ia pegang ujung cambuk Lok Siou hong,
sementara tangan yang lain menekan pundaknya, serunya
sambil bergelak tawa: “Nona cilik, kali ini berhasil kutangkap
kau, mari keatas makan daging panggang.”
Seperti bola yang tertendang badannya mencelat naik
keatas batu besar yang tinggi itu meski membawa Lok Siau
hong gerak geriknya masih sedemikian enteng dan gasiran,
tapi baru saja ujung kakinya menginjak ujung batu, tiba tiba ia
menjerit keras lekas ia lepaskan Lok Siau hong yang
dikempitnya.
Dengan tenang dan cermat Koan San gwat mengikuti
pertarungan mereka, ia tahu ilmu Silat kedua orang tua ini
sudah mencapai tingkat tinggi, dan lagi dari mulut Ban li bu in
tadi ia mendengar disebutnya Siau se thian, lebih meyak inkan
pula dan dugaannya bahwa mereka adalah tokoh tokoh yang
terdaftar diatas Hong sin pang dari sekian banyak anggota
Liong hwa hwe yang serba misterius.
Lok Siau hong jelas bukan tandingan orang, cuma dalam
pertarungan ini It hin bing gwat tidak mengerahkan tenaga
dalamnya, ia tahu permainan cambuk Lok Siau hong pasti
dapat melayani dengan baik maka ia tidak bersedia membantu
orang.
Meski akhirnya Lok Siau hong teringkus, ia masih berlaku
tenang karena ia tahu jiwa cewek itu tidak bakal terancam tapi
dikala Lok Siau hong terbanting jatuh di atas batu besar,
badannya terjerumus masuk jurang yang dalam, baru
sekarang ia kaget, tepat ia melompat kedepan menangkap
gagang cambuk serta menarik sekuatnya, untung jiwanya
dapat di selamatkan.
Sambil memegangi sebelah tangan It hun bing gwat berdiri
menjublek diatas batu, sebaliknya Koan San gwat gusar,
bentaknya. “Tua bang, kau tidak tahu malu terhadap gadis
cilik kau bertindak secara keji.”
Dengan bingung It hun bing gwat turun dari aras batu,
katanya dengan lesu : “Terserah apa yang hendak kau
katakan! kau ingin berbuat apa kepadaku! Lakukan saja!”
Ban li bu in kelihatan sangat heran, dengan suara penuh
prihatin ia bertanya “Bing gwat, kenapa kau, jelas kau sudah
berhasil, kenapa kau lepas dia pula ditengah jalan.”
It hun bing gwat menunduk murung tanpa bersuara,
sebaliknya Lok Siau hong tidak menyadari betapa berbahaya
dirinya tadi, dengan riang ia berseru tertawa: “Koan toako.
Aku menggunaka duri Ling coa diujung cambuk
menusuknya….”
Konta Ban li bu in berjingkrak sambil meletakan guci
araknya terus melompat turun teriaknya gusar : “Walaupun
sikap gendut terhadapmu kurang sopan, maksudnya tidak
jahat terhadap kau kenapa kau gunakan akal licik, apa kau
ingin membunuhnya?”
Lok Siau hong melengak gusar, semprotnya
“Siapa ingin membunuhnya.”
Ban li bu in menggerung serunya : “Bila gendut berkelahi
dengan orang, batasnya dua puluh jurus bila melampaui
batas, dia rela menempuh jalan kematian, sejurus saja
sebetulnya kau tidak mampu melawan dia. Tapi dia suka
kelekar, maka sengaja dia memberi hati kepada kau, tepat
pada jurus kedua puluh baru menundukkan kau, paling dia
paksa kau makan daging panggang itu, sebaliknya kau pakai
akal licik sehinga melampaui batasnya…”
“Kan dia yang membuat undang undang busuk itu, ada
sangkut paut apa dengan aku,” demikian jengek Lok Siau
hong, “Kau menuduh aku menggunakan akal licik, cara dia
meringkus aku tadi apakah tidak menggunakan akal licik.”
Mulut Ban li bu in seperti disumbat, terdengar It hun bing
gwat menghela napas, ujar nya: “Sudahlah Kurus! terlanjur
banyak bicara tak berguna, aku sendiri yang harus disalahkan
kenapa guyon, akhirnya jiwa sendirilah yang harus
kupertaruhkan!”
“Bing gwat!” ujar Ban li bu in dengan haru dan sedih!
“Kematianmu sia sia aku ikut penasaran …”
“Takdir sudah menentukan begini, apa gunanya penasaran,
bila Sian pang dihidupkan pula masa jayanya,
tergantung kepada mu saja … ai. Sungguh tidak punya nyana
setelah kita rancang bersama sekian lama, dikala tujuan
hampir tercapai, aku harus menerima nasibku yang malang
ini…..”
Mendengar orang menyinggung, Siau pang, Koan San gwat
menyeletuk: “Tadi kutanya apakah kalian tokoh tokoh yang
terdaftar dalam Siang pang kalian pura pura tidak tahu,
kenapa sekarang mengelu malah apa sebetulnya yang
terjadi?”
It lun bing gwat melirik kepadanya, ujar nya: “Bocah! kau
sudah tahu tidak perlu kau banyak tanya!”
“Aku tidak tahu, aku cuma pernah dengar kedua nama itu,
maka aku ingin bertanya supaya paham seluk beluknya,”
demikian sahut Koan San gwat.
“Tapi kami bisa menjelaskan kepada kau memang mulanya
kami orang orang yang bercokol disana, karena suatu
peristiwa nama kami sudah tercoret dalam daftar itu, sebelum
nama kami direhabiliir ( dipulihkan ) tiada hak kamu
mempersoalkan hal ini.”
Koan San gwat tercengang tanyanya sesaat kemudian:
“Apakah kau betul betul membunuh diri?”
“Apakah urusanku ini boleh dianggap kelakar belaka?”
semprot It hun bing gwat.
Setelah berpikir Koan San gwat bertanya “Apakah tiada
jalan untuk menambal kesalahan ini ?”
“Meski ada, apa kau kira lohu sudi memerimanya.”
“Kalau begitu coba kau jelaskan.”
“Kalau lohu tidak ingin mati maka selama hidup ini lohu
harus patuh terhadap setiap petunjuk dan perintah nona culik
ini, coba kau piker apakah aku harus menjadi kacungnya ?”
“Aku tidak perlu kau patuh dan tunduk padaku, urusan
batal saja!”
“Tidak bisa Lohu harus tunduk pada sumpah, hal ini tiada
sangkut pautnya dengan kau
“Kalau begitu jadi tiada jalan keluar untuk menolong
jiwamu…”
It lun bing gwat dan Ban ii bu in saling pandang dengan
mendelu dan murung, sekian lama mereka bungkam seribu
basa. Maka berkata Lok Siau hong: “Kalau kau harus mampus
kenapa menjublek saja?”
Sahut It lun bing gwat dengan suara lirih, “Lohu sedang
menunggu saat untuk melaksanakan suatu urusan demi
kepentingan, inipun salah satu dari aturan yang menjadi
sumpahku! Bila orang mampu bertahan dua puluh jurus, Lohu
tidak bisa mematuhi perintahnya selama hidup, maka aku
harus mewak ili dia melakukan suatu pekerjaannya, baru aku
bunuh diri !”
“Kau memang aneh, untuk mati saja toh menggunakan
cara yang berbelit belit”
It hun bin gwat marah serunya. “Kau kira urusan ini
gampang dilaksanakan? Padahal dalam jagat ini jarang ada
orang yang mampu bertahan dua puluh jurus melawan
kepandaian silatku, kalau kau tidak becus Lohu mana bisa
tipu?”
“Jadi ilmu silatmu sudah mencapai taraf yang tiada
tandingan di seluruh dunia ya!”
“Tidak, tapi kalau gebrak benar benar dengan
mengerahkan seluruh kekuatan yak in dalam dua puluh jurus
Lohu dapat menang, kalau menang tak perlu diributkan kalau
tentu jiwaku tak akan selamat. Maka sengaja aku main main
dengan sumpahku itu sungguh tidak nyana hari ini perahu
terjungkal didalam selokan…”
Tiba tiba tergerak hati Koan San gwat, cepat ia berbisik
dipinggir telinga Lok Siau hong, Lok Siau hong tersenyum
girang lalu manggut manggut, katanya kepada It lun bing
gwat: “Katamu kau hendak melakukan sesuatu untukku,
apakah urusan itu ada batasnya?”
“Tidak ada batasnya, apapun akan ku laksanakan sekuat
tenagaku, bila benar benar tidak mampu akan kutebus dengan
kematian…”
“Kurasa tidak perlu, urusan yang kuajukan ini sangat
gampang, maka kau harus dengar baik baik.”
It lun bing gwat menunggu dengan sikap sungguh sungguh
dan perihatin, Ban li bu in pun mendengar dengan tegang,
maka sepatah demi sepatah Lok Siau hong berseru : “Aku
minta kau menghargai jiwa ragamu sendiri, kalau tidak
terpaksa kularang kau sembarangan mencari kematian…”
It lun bing gwat, melongo sekian lama, lalu memburu maju
dan berseru gugup: “Tidak boleh begitu, hal ini bertentangan
dengan kehendak hatiku sendiri, aku tidak bisa menerima
permintaanmu ini.”
“Jangan kau lupa, kau sendiri yang membuat aturan itu,
tugasmu hanya menerima perintah dan tiada hak menolak
atau membangkang, untuk selanjutnya, kau harus makan
minum dan hidup seperti biasa sampai hari tua.”
It lun bing gwat terlongong, akhir nya berkata lesu :
“Budak kecil kau memang lihay, terpaksa aku harus
menghamba kepadamu selama hidup dan mendengar
perintahmu…”
“Apakah kusuruh kau melakukan apapun kau tidak boleh
membangkang?”
“Benar,” sahut It lun bing gwat manggut manggut, “Ini
berarti aku mengikat diriku dengan ludahku sendiri, selama
hdup aku tidak akan bebas dari belenggu ini.”
“Baik! Kalau begitu aku ingin kau menjelaskan seluk beluk
Liong hwa hwe dan Hong sing pang itu.”
Berubah air muka It lun bing gwat, mulutnya ternganga tak
bisa bicara.
“Perintah pertama sudah akan kau bangkang ya!” dengus
Lo Siau hong kereng.
It lun menghela napas panjang, baru ia hendak membuka
mulut, Ban li bu in segera berteriak: “Gendut! Bila kau buka
mulut, maka aku akan melabrakan, karena itulah kewajiban,
aku tidak hiraukan persahabatan kita selama puluhan tahun
lagi.”
It lun bing gwat rertawa getir, katanya. “Ban li heng, lebih
baik kau bunuh aku saja, supaya aku tidak menderita dalam
melanjutkan hidup ini!”
Ban li bu in angkat telapak tangan nya yang berwarna
kuning emas, It lun bing gwat pejamkan mata dengan tenang
ia menunggu kematian. Lok Siou hong cepat berseru: “Hai
kenapa kau tidak melawan!”
”Kalau Kim hud ciang si kurus dilancarkan aku tidak akan
bisa hidup lagi, perlu apa aku melawan?”
Lok Siou hong tidak percaya, tanyanya “Apakah dia lebih
lihay dari kau?”
“Tidak!” Ban li malah yang menjawab, “Thay im ciang
sigendut dapat juga membunuh ku dalam satu gebrak hingga
mampus bersama, tapi aku yak in ia tidak akan berbuat
demikian, karena aku berkewajiban membunuh dia, sebaliknya
dia tiada hak buat membunuh aku.”
Lok Siou hong jadi serba salah, cepat Koan San gwat
memberi tanda kepadanya, cepat iapun berkata: “Anggap
batal, aku tarik kembali perintahku tadi, kini kuminta kau ikut
kami meninggalkan tempat ini.”
It lun angkat pundak dan menurut saja tanpa bersuara lagi.
Sebaliknya Ban li naenjengek dingin: “Jangan kau kira
dengan membawa sigendut ke lain tempat lantas bisa
mengompres keterangannya. Aku tidak akan melepas dia,
kemana dia pergi kesitu aku datang, setiap waktu ku awasi
gerak geriknya!”
“Kalau aku perintahkan mengusir kalian pergi bagaimana?”
ejek Lok Siau hong, “Kalau benar benar harus berkelahi
kekuatan kedua belah pihak berimbang, akhirnya gugur
bersama!”
Lok Siau hong kewalahan, terpaksa ia minta bantuan Koan
San gwat untuk menentukan langkah selanjutnya.
Agaknya Koan San gwat juga kehabisan akal, setelah
termenung sesaat baru ia berkata: “Baiklah, sementara waktu
biar ikut kita, kelak kita bicarakan lebih lanjut.”
Karena ribut ribut ini mereka sudah menghabiskan banyak
waktu, terpaksa mereka putar balik turun gunung, meski
kedua orang tua gendut gering (kurus) ini berjalan kaki,
namun langkah mereka ternyata, tidak kalah cepat dengan lari
kuda dan unta.
Waktu mereka sampai dipenginapan Lu Bu wi sudah gelisah
menunggu mereka cepat ia memburu datang terus menyeret
Koan San gwat kesamping tanyanya: “Orang macam apakah
kedua orang itu?”
“Harap jangan tanya, apakah bantuan kalian sudah tiba.”
“Sudah tiba empat orang, Losiu sudah perintankan mereka
bekerja sesuai dengan pesan Ling cu!”
Koan San gwat merenung sejenak, lalu berkata: “Bagus!
Hari ini kita lanjutkan wilayah Su cwan, kupercaya kalian tentu
sudah tidak sabar menunggu bukan!”
Selama perjalanan Lok Siau hong, Lau Sam thay dan Lu Bu
wi bungkam, dengan penuh perhatian mereka mencongklang
kuda mengintil dibelakang Koan San gwat yang menunggang
unta, sementara It lun dan Ban li berlari dipaling belakang.
Rombongan mereka hari itu tiba dibawah Kiam bun san,
unta sakti yang menuntun jalan tiba tiba mengebaskan
ekornya membelok kesebuah jalan kecil yang menembus ke
atas gunung. Ban li kelihatan gelisah, cepat ia memburu
kedepan menghadang jalan seraya berseru : “Kau tahu tempat
apa yang hendak kau tuju?”
“Aku tidak tahu tempat apa di sana, tapi aku tahu di sana
ada orang yang sedang kucari!” demikian jawab Koan San
gwat tersenyum.
Ban li tercengang, serunya serak : “Kau hendak mencari
siapa?”
“Seorang yang menggelari dirinya Thian ki mo kun!”
Pucat air muka Ban li bu in, suaranya tersendat “Kau punya
hubungan kental dengan dia ?”
“Mesti pernah bertemu sekali, hubungan kental sih tidak.
Aku kemari hendak menyelesaikan perhitungan kita yang
belum selesai, dan lagi akupun ingin memecahkan beberapa
persoalan yang sangat mencurigakan…”
“Tidak! Bocah bagus! Beberapa nama yang kau sebut
tempo hari tidak akan dapat kau temukan di sana!”
Sejenak Koan San gwat tertegun, dilain saat ia berkata
sambil tersenyum : “Aku tahu tapi hanya Thian ki mo kun
seoranglah yang mampu memberikan penjelasan dan jawaban
kepadaku.”
Ban li manggut manggut, katanya : “Memang benar, tapi
kau masuk pintu besar sarang iblis itu, jangan harap kau bisa
keluar pula!”
“Untuk ini tidak perlu kau pusing bagi diriku, aku tidak
minta kau ikut dalam perjalanan ini, boleh silahkan tinggal
pergi.”
Ban li bersungut duka, sesaat ia menyingkir lalu
berpandangan dengan It lun. Urusan sudah ketelanjur
terpaksa harus menurut saja.
Di bawah petunjuk sang unta Koan San gwat memanjat
kepuncak gunung, perjalanan nanjak ini rada sempit tapi
banyak juga banyak cabang, begitu rumit simpang siur seperti
sarang laba laba saja, tapi unta sakti itu seperti sudah kenal
jalan, dengan enak saja ia berlenggang maju, setelah belak
belok akhirnya mereka tiba didepan sebuah hutan gelap.
Entah kapan tahu tahu seorang paderi gundul bertubuh kurus
kering tinggal kulit pembungkus tulang berkulit hitam dengan
kedua biji mata berkilat kilat menghadang didepan jalan
masuk sambil merangkap kedua tangan.
Dari atas tunggangannya Koan San gwat menjura serta
menyapa “Toa suhu, harap memberi jalan!”
“Omitohud!” sabda sipadri tua sambil pejamkan mata,
“derita tiada ujung pangkal, kembalilah mencapai tepian, Siau
sekalian harap sampai disini saja.”
Koan San gwat tidak hiraukan ucapannya, katanya tertawa
: “Apakah Toa suhu sekomplotan dengan pemilik hutan ini?”
“Pinceng orang beribadah, mana boleh sekomplotan
dengan mereka,” sahut padri tua itu sambil menghela napas.
“Lalu untuk apa Toa suhu mencegat jalan kami?”
Padri tua menuding It lun dan Ban li katanya : “Karena
kedua sahabat lama inilah maka Pinceng membujuk kalian
supaya kembali saja….”
“Kepala gundul!” sela Ban li sambil tertawa dingin, “Jangan
kau pura pura saleh peristiwa dulu karena gara garamu, walau
kejadian sudah berselang sepuluh tahun, tapi kami masih
ingat akan kebaikanmu itu, kini kau masih pura pura berhati
baik seperti kucing menangisi tikus belaka!”
Berubah sikap paderi tua katanya pelan : “Terhadap
kejadian pencoretan nama dulu agaknya kalian masih dendam
sampai sekarang?”
It lun yang selama ini pendiam tak tahan lagi, dengan
marah marah ia menyemprot : “Sudah tentu! Beberapa tahun
ini kau berusaha tekun maksudnya untuk memainkan nama
baik kami diatas daftar Hong sio pang baru setelah itu kami
akan membuat perhitungan dengan kau kepala gundul.”
“Merindukan hidup kembali, nama terkekang terlibat
keuntungan adalah belenggu kehidupan dengan susah payah
Lolap mengeluarkan kalian dari lautan derita, kehidupan yang
bebas betapa menyenangkan, kenapa kalian tidak insaf dan
sesat pikiran malah.”
“Cis! Enak benar bicaramu,” damprat Ban li bu in, “Kenapa
kau sendiri tidak mengundurkan diri?”
Perasaan si padri kembali tenang, sahutnya : “Lolap
berjanji dan pernah bercita cita hendak memberi keinsafan
kepada seratus delapan anggota, bila sehari tugas ini belum
selesai seharipun Lolap tidak akan merasa tentram…”
“Sudahlah !” ujar Ban li uring uringan, “Sebal bicara deagan
kau, lekas menyingkir saja !”
Paderi tua tertegun serunya : “Andikata kalian tidak sudi
mendengar nasehat Lolap, juga tidak perlu ikut masuk kesana,
bila sampai terjeblos lagi di dalam maka selamanya kau akan
tenggelam dan tidak akan mampu menitis kembali.”
“Kepala gandul!” damprat Ban li berjingkrak gusar, “Urusan
kami tidak usah kau turut campur kau mau menyingkir tidak?”
“Ai, nasehat baikku sudah habis kuucapkan kalau kalian
tetap tidak mau dengar Lolappun tidak bisa apa apa demi
menanam kebaikan dengan sahabat lama baiklah Lolap
mengantar perjalanan kalian selintas,”
Habis berkata ia membalik tubuh terus melangkah lebar
kedalam hutan, jubah kasar nya yang longgar dan kedodoran
melambai tertiup angin, bersamaan dengan itu seluruh
seketika memancarkan cahaya kuning mas, sehingga hutan
lebar yang gelap pekat itu menjadi terang benderang seperti
di siang hari bolong, tampak sepajang jalan masuk kini tulang
belulang manusia berserakan dimana mana.
Ban li memandang kepada It lun dengan berubah mukanya,
serunya kejut: “Tidak nyana kepala gundul ini sempurna
melatih Kong bing hoat su.”
Koan San gwat kaget dan heran, tanya nya: “Siapakah
Hweaio tua ini, begitu hebat lwekangnya…”
“Dia bernama Co hay ci hang (mengarungi lautan derita)
soal yang lain tidak usah kau banyak tanya lagi.”
Koan San gwat memang tidak banyak tanya lagi, unta
dikeprak lekas lekas mengejar kearah sipadri tua yang lain
lainpun membuntut dibelakangnya.
Hutan lebat ini ternyata tidak dalam, tak lama kemudan
mereka sudah menembus keluar, cuma dikala berada dihutan
tadi, mereka merasa hawa dingin menjalar keseluruh tubuh,
bila mereka telah tiba di ujung hutan padri tua tadipun sudah
tidak kelihatan bayangannya.
Dengan keheranan Ban li berkata: “Untung kepala gundul
itu menunjuk jalan, kalau tidak mana kita bisa selamat lewat
Hek sa mo lim ini, sungguh tidak nyana Thian ki si iblis tua itu
makin lama semakin lihai!”
“Iblis tua? Maksudmu Thian ki mo kun seorang iblis tua?”
tanya Koan San gwat heran.
“Bukankah kau pernah ketemu dia?” balik tanya Ban li
heran.
“Tidak salah, tetapi Thian ki mo kun yang kutemui adalah
seorang pemuda, nama nya Ki Houw !”
Berubah air muka It lun dan Ban li lama mereka
terbungkam, Koan San gwat tidak tahu kenapa mereka
membisu diri, tapi didepan sudah dilihatnya sebarisan
bangunan rumah yang tegak menjulang ditaburi kabut tebal,
ia segan banyak tanya, unta dikeprak lalu membedal menuju
kearah itu.
Waktu mereka tiba didepan deretan rumah itu mereka
dihadang sebuah pigura besar tiggi, diatas pigura terukir
empat huruf “Thian ki piat hu” yang berwarna kuning emas
menyala. Dikedua pinggirannya terdapat dua deret syair
panjang, Koan San gwat mendengus mengejek membaca
kedua bait syair yang takabur dan ugal ugalan maknanya.
Tepat pada saat itu pintu gapura terbuka dari dalam pintu
beruntun keluar sebarisan anak anak kecil seragam hijau,
usianya diantara dua tiga belasan, laki dan perempuan terbagi
rata, seorang bocah yang memimpin segera bertanya dengan
sikap pongah “Kalian setan gentayangan dari mana berani
masuk kemari?”
Walau usia bocah ini masih kecil, tapi cara bicara terlalu
kurangajar, kalau Koan San gwat tidak ambil peduli, Lok Siau
hong naik pitam, kontan ia ayun cambuknya dan melecut
keras mengenai pipi bocah laki laki itu.
Dihajar pecut seketika berubah air muka sibocah,
bentaknya bengis: “Perempuan busuk, berani kau pukul aku!”
Sebat sekali tiba tiba tubuhnya berkelebat seperti bayangan
setan menerjang tiba, sudah tentu Lok Siau hong tidak
nenduga, sehingga orang berhasil melesat tiba didepan
badannya, pecut tidak sempat ditarik kembali pula, terpaksa ia
gunakan kepalan tangan yang lain menggenjot kepala
sebocah. Maka terdengarlah bocah itu membentak keras:
“Menggelindinglah turun!”
Tiba tiba tubuhnya mengkeret kebawah menghindar
jotosan Lok Siau hong berbareng ia julurkan sebuah kakinya
menendang kaki kudanya, “Krak krak” beruntun dua kali suara
patah kaki belakang kuda tunggangan Lok Siau hong disapu
patah, karena kesakitan kuda itu berbenger panjang, Lok Siau
hong terjengkang jatuh.
Tatkala itu Li lun sudah mendesak maju, sekali ulur telapak
tangannya telak sekali menggaplok kepunggung sibocah,
mulut pun membentak: “Iblis kecil kurang ajar berani kau
mengumbar adat dihadapanku.”
Pukulan telapak tangannya ini teramat lihay dan ganas
sekali, kontan bocah laki laki itu membuka mulut
menyemburkan darah segar badannyapun mencelat terbang
setombak lebih, “bluk” terbanting keras den jiwanya pun
melayang.
Barisan bocah bocah kecil itu seketika gempar semua
berlari mulur rada jauh.
Saat mana kebetulan Lok Siau hong baru melompat
bangun, melihat bocah laki laki itu dipukul mampus oleh Ban li
bu in, ia jadi gusar, sentaknya: “Kau tua bangka ini, kenapa
kau melukai orang…”
“Nona cilik,” ujar It lun menghela napas, “Karena
selanjutnya Lohu terkekang olehmu, terpaksa harus selalu
melindungi keselamatan, kalau tadi Lohu tidak cepat turun
tangan, mungkin jiwamu sudah melayang karena keganasan
iblis kecil itu…”
Belum lagi Lok Siau hong sempat bicara, dari dalam pintu
muncul pula sebaris orang yang keluar adalah laki dan
perempuan yang cukup dewasa, mereka mengunjuk rasa
gusar. Jumlah barisan itu hanya sembilan orang laki
perempuan bercampur aduk, mereka punya pertanda khusus
yaitu selebar muka mereka diselubungi hawa kebengisan, jelas
bahwa mereka bukan orang baik.
Terutama laki laki yang menjadi pemimpin mereka paling
jelek dan culas, jidatnya gundul tumbuh uci uci sebesar kepel
tangan, dengan gerungan gusar ia membentak it lun dan Ban
li: “Kiranya kalian dua mestika yang di keluarkan dari daftar
nama, sungguh besar nyali, berani membuat keributan di Phiat
hu, agaknya sudah bosan hidup ya!”
It lun angkat kepala menegadah kelangit, sedikitpun ia
tidak hiraukan ocehan orang. Ban li pun hanya mendengus
hidung tanpa bersuara, mukanya mengunjuk senyum ejek
menghina.
Laki laki itu berteriak pula: “Kenapa kalian tidak bicara?”
It lun lantas berdaling kepada Koan San gwat, serunya:
“Bocah, kaulah yang ingin meluruk kemari, kini saatnya kau
bicara…”
Belum lagi Koan San gwat memberi reaksinya, laki laki itu
sudah berteriak lagi: “Aku sedang bertanya kepada kau
berdua!”
Tiba tiba It lun mengunjuk rasa gusar, jengeknya “Meski
nama kami sudah tercoret dari daftar, kami tidak sudi bicara
dengan hamba iblis yang rendah!”
“Keparat” maki laki laki itu berjingkrak. “Kau pongah apa?
Apakak kita tidak termasuk tokoh tokoh dalam daftar nama
itu?”
It lun tersenyum ujarnya : “Enak benar kedengarannya
sayang kalian sepuluh orang baru memperoleh satu
kedudukan, bilamana hendak angkat bicara dengan kami,
maka pentolan kalian yang harus bicara dengan kami.”
Semakin berkobar amarah laki laki itu, teriaknya : “Lotoa
sedang ada urusan didalam!”
“Kalau begitu kami tidak sudi melayani kau !” jengek It lun
sambil menjebirkan bibir.
Baru saja laki laki itu buka mulut hendak berkaok kaok lagi,
Ban li segera menyela sambil menarik muka, katanya “
Diantara Sip toa cu hun (sepuluh sukma gentayangan), aku
hanya kenal rasul baju ungu, jangan kau kira karena kami
sudah tercoret namanya lantas berani main tingkah terhadap
kami, kalau sampai terjadi keributan, kalian sendiri yang
menanggung akibatnya !”
Ancaman ini membawa reaksi diluar dugaan, meski laki laki
itu memperhatikan rasa gusar yang meluap luap tapi tidak
berani bersahut lagi, demikian juga lainnya, cuma mata
mereka melotot semakin besar dan berapi api.
Ban li malah tertawa dan berkata kepada Koan san gwat :
“Bocah! Nama asli keparat itu adalah Tok kak se (badak
tanduk tunggal), kau tahu sebabnya?”
Koan San gwat tidak bersuara, malah Lok Siau hong balas
bertanya : “Kenapa?”
“Karena jidatnya tumbuh sebutir uci uci besar, keras dan
runcing lagi, persis dengan tanduk badak itu, maka ia
memperoleh julukan yang membanggakan itu.”
“Tapi kenapa sekarang tinggal tembong nya saja?” tanya
Lok Siou hong, sambil melirik kemuka orang.
Sambil tersenyum geli agaknya Ban li memang sedang
menunggu pertanyaan ini lintas menjawab : “Itulah kisah
yang sangat lucu, dalam perjamuan besar besaran, diantara
hadirin ada sepuluh orang mengadakan lomba membunuh
kerbau, akibatnya tanduk tunggal diatas jidatnya itu dicabut
sampai copot dari tempatnya. Tahukah kau siapakah
pemberani yang mencopot tanduK itu…”
“Tentu kau adanya!” Lok Siau hong sambil membelalakan
mata.
Ban li terbahak bahak, serunya: “Nona cilik, kau pintar
benar, sekali tebak kena dengan jitu…”
Saking gusar laki laki itu pucat pias, bekas tembong diatas
mukanya itu malah berwarna merah membara, sekian lama ia
menahan sabar kini tidak tahan lagi, dengan bengis ia
berteriak “Ling Sam kui! kau terlalu menghina orang!”
Ban li juga balas berteriak dengan beringas: “Berani kau
menyebut nama asli Lohu, kau tahu, apa dosamu?”
Bermula laki laki itu tertegun, akhirnya ia nekad, serunya:
“Kau orang yang sudah di usir, memang nama aslimu kiranya
tidak menjadi soal…”
Ban li terkekeh kekeh dingin jengeknya “Bagus! Sekian
lama Lohu maninggalkan Perserikatan ini, kiranya aturan boleh
dirubah sesuka hati, untunglah Thian ki Piat hu justru tempat
perundang undang, nanti Lohu akan cari orang untuk
menanyakan hal ini secara jelas!”
Berubah hebat air muka laki laki itu, dengan kalap ia melejit
sambil ayun kepalan menonjok muka Ban li bu in, Ban li bu in
diam saja ditempatnya, tidak berkelit dan tidak balas
menyerang, mandah dirinya dihantam.
Begitu kepalan lawan mengenai dadanya terdengarlah
suara keras, kontan laki laki itu tergentar mundur beberapa
tindak malah, terdian temannya yang lainnya pun segera siap
siaga.
“Wah, kalian handak berontak ya!” It lun segera
membentak maju.
Bentaknya ini laksana geledak mengguntur semua orang
melengak dan kuncup nyalinya, semua menghentikan langkah.
Laki laki pertengahan umur itu berteriak : “Para kerabat,
kedua tua bangka ini berani terobos masuk kesini membawa
orang luar pula, dia sudah melanggar pantangan kita, mari
kita menghajarnya, pasti tidak melanggar aturan.”
Mendengar anjuran ini teman temannya bergerak lagi
Sekonyong konyong dari dalam pintu berkelebat keluar
sesosok bayangan, yang muncul ini berpakaian sastrawan
berusia pertengahan umur juga, jubahnya ungu, berhidung
betet bermata bundar, wajah nya mengunjuk kekerasan
hatinya.
Karena munculnya sastrawan ini, orang yang mulai
bergerak itu menghentikan aksi nya, laki laki pertengahan
umur, cepat maju memapak seraya berkata : “Toako,
kebetulan kau tiba, dua tua bangka ini datang membikin onar
dia membunuh salah seorang Tong cu penjaga pintu,…”
Muka Ban li mendengus, serunya : “Rasul ungu, kau masih
kenal kami?”
Sastrawan itu unjuk senyum lebar, katanya : “Kalian adalah
pahlawan dalam serikat kita, meski karena sedikit pertikaian
sampai rercoret namanya, tapi para kerabat masih segan
terhadap kalian, kedudukan kalian masih kosong dan
menunggu untuk dijabat kembali, kita semua percaya
adakalanya kalian akan memulihkan kedudakan dan jabatan
ini…”
Ban li mengunjuk tawa lebar, katanya :
“Kalau begitu, agaknya kami dua dua tua bangka belum
menemui jalan buntu sehingga tiada tempat untuk
menempatkan diri kami!”
Rasul ungu tersenyum, katanya: “Anggapan yang tidak
benar, siapapun bila sudah tercantum dalam daftar Hong sio
pang selama hidup menjadi tokoh diagungkan didalam Liong
hwa hwe, kalian sudah memendam diri dan memperdalam
ilmu sekian tahun, kuduga tentu sudah punya persiapan untuk
kembali bukan?”
“Ah, kau terlalu mengumpat saja” ujar Ban li, “Walau kami
ada sedikit kemajuan, kami belum kuat menyambut Lui Sam ki
itu!”
“Kalian sangat merendah diri, untunglah pertemuan besar
sudah menjelang percaya kalian akan memberi pertunjukan
yang mengejutkan.” demikian umpat si rasul ungu.
Mendadak it tun menyela, jengeknya: “Tapi Tok kak se
berani menyebut nama asliku kalau begitu sip toa yu bun
kalian lebih sukses dari Sian pang kami, sejajar dengan para
Hwe cu. Kurasa kalian agak tergess gesa, bagaimanapun
kalian baru boleh mengumumkan berita girang ini pada
pertemuan yang akan datang!”
Rasul ungu kelihatan terkejut, tanyanya “Lohu, apa benar
demikian?”
Laki laki pertengahan umur gelagapan, sahutnya “Mereka
menghina orang diluar batas sengaja mengorek boroku buat
olok olok …”
Rasul ungu menarik muka, desisnya: “Lo kau memang
ceroboh! Dulu Hu lo maksudnya Ban li membunuh sapi
mencopot tanduk tidak lah permainan yang diijinkan oleh Hwe
cu, meski hatimu tidak senang, mana boleh kau salahkan Hun
lo, karena itulah permohonan langsung…”
Pucat pias wajah laki laki pertengahan. Sambil unjuk seri
tawa segera rasul ungu menjura kepada Ban li, katanya:
“Sudilah kiranya Hun lo memberi ampun kali ini?”
Ban li tertawa dingin ujarnya: “Waktu nama kita dicoret,
siapa yang memberi maaf kepada kami? Apalagi disini adalah
Thian ki hiat hu, konon Mo kun sudah ajal.”
“Benar! Mo kun sudah berangkat ke alam baka, kini
putranya yang melanjutkan jabatan beliau.” Demikian rasul
menjelaskan Ban li menghela napas, ujarnya: “Bila Liong hwa
hwe dibuka lagi, mungkin banyak diganggu oleh muka muka
baru !”
“Cuma tujuh belas orang sudah ajal, mereka sudah
mencalonkan penggantinya kebanyakan adalah anak murid
perguruan mereka, yang jelas kepandaian dan kemampuan
mereka lebih asor, maka dapatlah diduga pertemuan
mendatang akan jauh lebih ramai.”
Tanya Bangli : “Bagaimana calon Mo kun yang baru ini bila
dibandingkan Ki loji? bisakah dia melompat keurutan Sian
pang dan ikut merebut jabatan Hwe cu?”
Rasul ungu menjelaskan dengan bangga: “Mo kun yang
baru ini lebih gagah dalam segala bidang kiranya tidak lebih
asor dari Mo kun yang sudah ajal, untuk jabatan Su tay hwe
cu pasti beliau bisa memperolehnya.”
“Maka nya kalian berani mengagulkan diri saat mana
kedudukan jadi sederajar, tak heran To kak se bersikap
pongah memanggil nama asli Lohu, kiranya kalian memang
sudah mempersiapkan diri!”
Berubah air muka Rasul ungu, katanya : “Apakah Hun lo
benar benar tidak sudi memberi ampun?”
“Lohu tidak kuasa untuk memberi keputusan, silahkan
tanyakan langsung kepada Mo kun kalian”
-oo0dw0oo-
Jilid 10
Rasul ungu menghela napas, apa boleh buat ia berpaling
sambil angkat pundak, katanya “Losu ! silahkan kau
mengambil keputusan sendiri!”
Pucat muka laki laki pertengahan umur ratapnya:”Toako,
hanya karena urusan sekecil ini, tega kau memaksa adikmu
mati?”
Rasul ungu menghela napas, katanya: “Kakakmu yang
bodoh ini sudah tiada tenaga membelamu lagi, kau yang
mencari penyakit sendiri…..”
“Kenapa kau tidak tanya Mo kun,” teriak laki bertenghan
umur: “Mungkin dia…”
“Tiada guna,” tukas Rasul ungu, “Belum lama Mo kun
menjabat kedudukan ini, saat nya dia menegakan
kewibawaan, mana boleh karena kesalahanmu ia melanggar
undang undang dan merubah haluan, kalau kejadian diketahui
olehnya, dosamu lebih berat, lebih baik kau mencari putusan
yang lebih ringan saja !”
Laki laki pertengahan umur membanting kaki, teriaknya
“Tidak jadi soal aku mati, tapi putusan hak ini mengutamakan
keadilan. Kedua tua bangka ini meluruk kemari sambil
membawa orang luar, bukankah dia melanggar hukum yang
lebih besar, aku akan menunggu setelah melihat mereka
dihukum baru aku mati dengan meram.”
Rasul ungu berpaling kearah It lun dan Ban li,
pandangannya mengunjuk tanda tanya.
Kata Ban li tersenyum “Rasul sedang menunggu apa?”
“Menunggu penjelasan kalian!”
“Rasul! kau pernah menghadiri dua kali pertemuan besar,
kenapa soal aturan kau semakin bingung, meski ada persoalan
perlu kami lapor kepadamu?”
Berubah air muka Rasul ungu, katanya berpaling “Losu!
Kau sudah dengar nama dan kedudukan, kakakmu tidak
membelamu lagi…. cuma kau tidak usah kuatir, mengingat
hubungan kita selama beberapa tahun ini, aku pasti
memperjuangkan keadilan ini.”
Laki laki pertengahan umur bungkam tak bersuara, setelah
Rasul ungu mendesaknya, tiba tiba ia jejak kedua kakinya
badan nya melejit jauh kedepan sana berusaha melarikan diri.
Sekali lompat tiga empat tombak tubuhnya melesat lewat atas
kepala Koan San gwat dan lari bagai burung yang ketakutan
daya terbangnya amat pesat sekali, tapi begitu kedua kakinya
hinggap ditanah mendadak langkahnya terhuyung huyung
kedepan terus roboh terkapar dan tidak bernyawa lagi.
Waktu Rasul ungu memburu kesana dilihatnya tujuh lobang
indranya sama mengeluarkan darah segar, punggungnya
tertancap tiga duri hitam, seketika berubah air mukanya
sesaat ia berdiri terlongong.
Sebuah suara berseru dingin dari dalam pintu : “Siau It
ping! Bagus benar didikan mu terhadap para saudaramu!”
Koan San gwat kenal suara Ki Houw, baru saja ia hendak
bersuara, dilihatnya Ban li memberi pelirikan mencegah ia
bersuara.
Siau It pang adalah nama dari Rasul ungu itu, dengan
tergopoh gopoh ia balik dan berdiri tegak di pinggir pintu,
sedunya lirih: “Hamba menunggu putusan Mo kun!”
Terdengar tawa dingin dari dalam pintu, katanya :
“Sekarang aku tidak ada waktu buat cerewet dengan kalian,
selanjutnya kau harus memberi gemblengan dan ujian berat
terhadap sisa temanmu itu, kalau masih ada keparat yang
takut mati, kaulah yang harus bertanggungjawab seluruhnya!
Bawa para tamu!”
Rasul ungu mengiakan, teman temannya yang lain
mengunjuk rasa takut yang berlebihan.
Hati Koan San gwat teegerak lagi, dari percakapan yang
singkat ini, selapis ia lebih paham tentang berbagai persoalan
Liong hwa hwe tapi timbul pula pertanyaan pertanyaan lain
yang lebih penting lagi.
Terutama pemuda yang bernama Ki houw itu, agaknya
memegang satu kekuasaan besar sehingga bawahannya yang
terkenal kejam dan bengis bengis itu tunduk dan takut
kepadanya.
Demikian juga Lok heng kun, Lok siang kun dan Liu ju yang
patuh pula akan perintahnya, sebetulnya apakah yang terjadi?
Kalau Liong hwa hwe merupakan organisasi jahat yang
memupuk banyak dosa. Maka gurunya yang berbudi , serta
Hwe thian ya ce Peng kiok jin dan kedua kakek tua ini It lun
dan Ban li mereka bukan orang jahat, tapi kenyataan pun
terdaftar sebagai anggota.
Kalau merupakan perserikatan dari kaum cendikia dan
pendekar, sepak terjang Ki houw yang serba menyeleweng ini
jelas adalah seorang durjana yang harus ditumpas, mana bisa
dia menempati kedudukan yang begitu penting…..
Dalam pada itu Rasul ungu sudah membalik serta berkata
sambil menjura : “Mo kun mempersilah kan para tamu masuk
kedalam!”
Baru saja Ban li angkat langkah, tiba tiba Koan San gwat
membentak : ”Nanti dulu! suruh Ki Houw keluar menyambut.”
Berubah air muka Rasul ungu, serunya mendelik: “Siapa
kau? Berani kau kurang ajar…”
“Kau tanya kepada Ki Houw, dia tahu siapa aku.” Kata Koan
San gwat sambil merogoh Bing tho ling, sekali ayun, “Tang”
sekeping lencana kebesarannya itu melesak kedalam daun
pintu besar di dalam sana, lalu dengan suara yang lebih
lantang ia berseru ke arah dalam. “Ki Houw aku tidak perduli
apa kedudukanmu disini, hari ini aku kemari sebagai Bing tho
ling cu untuk menyelesaikan perjanjianmu di Tay san koan
tempo hari kau ingkar janji sudah sepantasnya kau keluar
mohon maaf kepadaku!”
Suasana dalam pintu sunyi senyap Koan San gwat makin
gusar, teriaknya : “Unta terbang! Kau hendak pamer apa
sebagai Bang tho ling cu yang besar dan agung memangnya
aku harus menghadap kedalam .”
Rasul Ungu menunjuk rasa gusar, baru saja ia mengulur
tangan hendak mengeluarkan Bing tho ling dari dalam pintu
mendadak terdengar perintah Ki Houw: “Jangan disentuh!”
perintahkan mengatur barisan kebesaran, Pun coh hendak
keluar.
Seketika Rasul ungu mengunuk rasa heran dan tidak
mengerti, sekilas ia pandang Koan San gwat, agaknya ia
kurang paham akan asal usul pemuda yang garang ini tapi ia
tidak berani ayal, lekas ia mengeluarkan dua papan baru jadi
“plak, plak, plak!” beruntun ia membunyikan enam kali tiada
ketukan.
Koan San gwat dan Lok Siau hong sudah pernah dengar
apa apa yang dinamakan Hun Pan liuk con yaitu pertanda
kedatangan Thian ki mo kun.
Sementara sip tau su hun semua berdiri dengan
meluraskan kedua tangan. Hanya Koan San gwat yang masih
tertawa, dengusnya “Pertunjukan tengik dan bermuka muka
belaka!” Rasul ungu melirik kearahnya, tapi tidak berani
bersuara.
Dari dalam pintu kembali muncull barisan bocah bocah kecil
tadi, karena kurang satu, pembagian laki perempuan ganjil
dan kurang rajin kelihatannya.
Tapi keadaan dalam pintu masih hening lelap, Ki Hau tidak
kunjung keluar.
Setelah menunggu sebentar Koan San gwat menjadi hilang
sabar, teriaknya: “Unta terbang! Kau masih hendak pamer
kekuatan apa lagi?”
“Koan San gwat!” terdengar Ki Hou menyahut dingin
“Bersabarlah, tempat ini jangan kau banding Sip yang san
ceng, segala gerak gerik disini harus mementingkan jabatan
dan aturan!”
“Adanya barisan tetek bengek ini menunjuk jabatanmu
sudah cukup besar, masih main ulur waktu apa lagi?”
Ki Houw tidak hiraukan dia lagi, tiba tiba ia berteriak lebih
keras: “Siau It ping, kihitung dari satu sampai sepuluh, bila
kau belum bisa menyelesaikan tugasmu, terpaksa kepalamu
lah yang harus menebus dosamu!”
Rasul ungu mengunjuk rasa bingung dan gelisah kepalanya
celingukan kian kemari, tidak tahu dimana letak kesalahan,
sementara hitungan dari dalam sudah dimulai, setiap hitungan
laksana pentung besi mengetuk ulu hatinya. Dikala hitungan
sampai angka enam keringat dingin sudah membasah kuyup
seluruh badannya, para Yu hun yang lainnyapun ikut menjadi
tegang dan menanti perkembangan selanjutnya.
Dari dalam pintu terdengarlah hitungan angka “Sembilan”
tiba tiba tergerak hati Rasul ungu, sebat sekali ia melesat
terbang kesaping seorang bocah perempuan, telapak
tangannya mengeprak kebatok kepalanya. Disaat jazat
perempuan itu terkapar roboh, kebetulan terdengar hitungan
angka “Sepuluh” dari dalam pintu.
Koan San gwat dan Lok Siau hong beramai melongo, dari
dalam pintu kelihatan bayangan Ki Houw sedang melangkah
keluar, ia mengenakan pakaian kebesaran sutra bersulam
indah, sikapnya jauh berlainan dengan tingkah laku waktu
berada di Si yang san ceng tempo hari.
Tiba di tengah barisan itu tersenyum sembari kerkata:
“Untung kau bertindak cekatan kalau tidak mayat ditanah ini
mungkin kau sendiri adanya!” sambil bicara tangannya
menuding mayat perempuan cilik yang hancur batok
kepalanya, sikapnya wajar seperti tidak terjadi apa apa.
Koan San gwat tidak kuasa mengendalikan amarah lagi,
teriaknya keras : “Ki Houw! Kau … bukan manusia….”
“Saudara terlalu mengumbar napsu, kejadian ini tidak bisa
salahkan aku, aku sudah merendahkan permintaanku….”
Saking marah Koan San gwat tidak kunjung mengeluarkan
suara, telunjuknya masih menuding orang, sementara bibirnya
bergerak gerak.
Ki Houw acuh tak acuh, ujarnya: “Sesuai jabatanku
sekarang, seharusnya perlu delapan pasang barisan anak
kecil, tapi satu sudah terbunuh sehingga Propesi seharusnya
lengkap menjadi ganjil aku menurunkan perintah membunuh
satu diantaranya supaya klob, hal ini sudah merendahkan
derajat, jadi kalau diusut kalian yang harus berranggung
jawab.”
It lun bin gwat garuk garuk lalu bersuara: “Soalnya
terpaksa Lohu membunuh salah seorang barisan Mo kun,
karena dia melancarkan Thian mo ci (jari iblis langit) terhadap
Nona Lok….”
“Memang setimpal kematiannya itu, tapi apa Bing gwat
tidak terlalu mencampuri tetek bengek ini.” sindir Ki Houw.
It Iun batuk batuk lagi, lalu katanya:” Mati hidup nona Lok
secara langsung menyangkut kepentingan Lohu, tindakan
Lohu tadipun demi urusan besar dibelakang hari sebab sampai
sekarang Lohu belum memperoleh ahli waris, jikalau sampai
ajal, mungkin jabatan di Sian Pang menjadi kosong.”
“Cara bagaimana Bing gwat yang bisa mengikat hubungan
mati hidup dengan nona cilik ini?”
“Kau jangan ngaco belo!” semprot Lok Siau hong gusar,
“Dalam suatu pertandingan dia kukalahkan maka harus patuh
dan mendengar perintahku!”
Ki Houw bersuara heran, “Ada kejadian begitu? Mungkin
usia Bing gwat yang sudah terlalu lanjut, lwekangnya sudah
susut, tidak seperti dulu….”
Kata Bing gwat sambil menahan gelora harunya “Kekalahan
Lohu tiada hubungan dengan lwekang semua ini sudah
ditakdirkan oleh Thian! Mo kun tidak usah membakar
amarahku, dalam Liong hwa hwe kelak, Lohu akan beri
kesempatan mohon petunjuk pada Mo kun, tapi sekarang
Lohu tidak akan terjebak dalam tipu daya Mo kun!”
“Memang Bing gwt yang tidak malu sebagaai lombok tua
yang pedas, maksud baik ku menjadi sia sia belaka, dalam
Liong hwa hwe yang akan datang semestinya Pui cun akan
mencalonkan dua sahabat baikku!”
It tun melengos tidak meladeninya lagi. Terpaksa Ki Houw
berpaling kepada Koan San gwat serta berkata : “Sungguh aku
harus minta maaf karena tidak hadir dalam perjanjian di Tay
San Koan, tapi istriku sudah mewakili aku, sedikit banyak
sudah menberi pertanggungan jawabku, ilmu sakti saudara
memang tiada bandingan, sungguh harus dipuji hari ini
saudara meluruk kemari, entah ada petunjuk apa?”
“AKU TUNTUT pertanggungan jawabmu tentang lencana
Unta terbangmu.”
“Bukankah aku suduh patuh akan permintaan mu, sebelun
kami menentukan menang dan kalah aku tidak akan
menggunakan Lencana Unta terbangku.”
“Bagaimana pula perhitungan Puluhan jiwa murid Cong lam
pay?”
“Itu adalah urusan istriku dengan pihak Ciong lam pay tiada
sangkut pautnya dengan aku dan kau !”
“Siapa bilang tiada sangkut pautnya. Aku sudah menerima
permintaan pihak Ciong lam pay untuk menuntut balas bagi
anak murid mereka.”
“Saudara memang suka campur urusan orang lain. Kalau
begitu kau harus membuat perhitungan dengan istriku,
sekarang istriku sedang menunaikan tugasnya tidak bisa
melayani kau, apakah saudara sudi menunggu beberapa hari?”
Koan san gwat melengak, sikap Ki Houw tenang dan dingin
“Tidak lama, dalam waktu yang pendek tentu kami akan
memberi keputusan kepada saudara, dan lagi persoalan
lencana kami beduapun perlu dibereskan sekalian.”
Koan San gwat menerawang bagaimana ia lantas
menghadapi keadaan selanjutnya. Terdengar Ki Houw sudah
mengajukan pertanyaannya lebih dulu : “Dari jauh saudara
meluruk kemari, bukankah kau hendak mencari jawabanku ?”
“Benar,” sahut Koan San gwat manggut. “Apa itu Siau se
thian, Liong hwa hwe dan Hing sin peng segala, bisakah kau
member penjelasan selengkapnya kepadaku ?”
“Sudah tentu boleh! Tapikau harus member tugas umumku
lebih dulu !”
“Tugas apa?”
Kata Ki Houw sambil menuding tangannya. “Orang orang
yang tiada sangkut pautnya dengan urusan ini harus disapu
bersih. Saudara sendiri yang membereskan atau aku yang
mewakili kau!” orang yang di tunjuk adalah Lu Bu wi dan Lau
Sam thay, biji matanya memacarkan napsu membunuh.
Karuan kaget Koan San gwat bukan main, cepat mundur
beberapa langkah menghadang didepan mereka.
Rasul ungu pimpin delapan saudaranya meluruk maju
mengurung mereka. “Sret!” Siau It ping mengeluarkan
sebatang kipas sempit dari lengan bajunya, sambil merangkap
tangan ia member hormat kepada Koan San gwat katanya :
“Harap tuan menyingkir saja !”
Koan San gwat mendengus, dari punggung unta ia
turunkan patung mas nya, sambil melintangkan di depan dada
ia berkata : “Mereka adalah sahabatku, kalau saudara hendak
menghadapi mereka, terlebih dahulu harus menghadapi aku…”
Dari samping Ki Houw tidak memperlihatkan reaksi apa
apa, beberapa kali Rasul ungu berpaling kearahnya, namun ia
tetap diam saja terpaksa ia ambil keputusan sendiri ” “Kalau
tuan berkata begitu, terpaksa aku yang rendah mohon maaf
terlebih dulu !”
Koan San gwat acungkan paturg masnya sambil tertawa,
katanya “Silahkan orang she Koan berani meluruk kemari
memang sudah bertekad untuk mati, cuma aku tidak nyana
apa yang dinamakan Hwi tho ling cu kira nya seorang
pengecut yang suka menyembunyikan diri dan penakut …”
Berubah air muka Ki Houw, tapi ia tidak bersuara. Rasul
ungu tiba tiba menggerakkan kipas merangsak maju, kipasnya
mengetuk dada Koan San gwat, lekas Koan San gwat dorong
patung emasnya kedepan “Trang” kipas tersampok balik.
Tersentak Rasul ungu dibuatnya, teriaknya. “Sungguh
hebat kekuatan saudara.”
Belum lenyap suranya kipasnya bekembang dan mendadak
tertutup pula, sekonyol konyong menutuk, tiba tiba memapas,
tahu tahu memotong mendadak menusuk pula, kipasnya
mempertunjukan tipu permainan empat macam senjata tajam
yang berlainan, yaitu pedang golok, potlot dan gantolan,
banyak perubahan dan sulit diraba seluk beluknya.
Dengan patung naasnya yang berat Koan San gwat
menghadapi serbuan lawan dengar tenang dan mantap,
patung emas berkaki satu yang berat dapat diputar dan di
mainkan seperti sebatang dahan pohon ringan, tiga puluh
jurus sudah berselang, keadaaa masih seru dan belum ada
salah satu pihak yang menunjuk kelemahan.
Agaknya Rasul ungu menjadi tidak sabar tiba tiba ia
berpaling dan memberi aba aba “Kalian jangan nganggur saja”
Dari barisan temannya segera melompat keluar dua
perempuan pertengahan umur, seorang bersenjata tongkat
gaman, seorang yang lain adalah sebilah pedang. Kedua dua
nya melompat ketengah gelanggang siap mengeroyok.
“Goblok” tiba tiba Rasul ungu berteriak gusar. “Siapa suruh
kalian bantu aku!”
Semula kedua perempuan itu melongo, tapi sekilas berpikir
mereka lantas paham, orang yang menggunakan tongkat
lantas menerjang ke sana mengemplang batok kepala Lau
Sam thay dengan tongkatnya, daya serangannya sungguh
hebat, sementara seorang yang lain menusuk kearah Lu Bu
wi.
Sejak tadi Lau Sam thay sudah siap tempur, merasakan
situasi amar serius, maka begitu tongkat lawan mengemplang
tiba kontan ia membarengi dengan bacokan goloknya.
Terdengar suara gamerentang dari gelang tembaga diatas
goloknya itu. “Trang!” sejalur kekuatan yang maha dahsyat
menerjang dirinya, meski goloknya tembaga tidak kutung, tapi
tidak kuasa memeganginya lagi, gaman nya terbang dari
cekatannya.
Dipihak lain, keadaan Lu Bu wi justri lebih mending, meski
ia bertangan kosong jelek jelek seorang Ciangbunjin suatu
aliran pedang pengalaman tempurnya cukup luas, dari gaya
permainan pedang lawan, ia dapat mengukur bahwa ilmu
pedang Perempuan pertengahan umur ini belum mencapai
taraf yang sempurna. Maka dia tidak menghindar dari daya
serangan lawan, lekas ia doyongkan atas tubuhnya
kebelakang menghindari pedang lawan, berbareng tangannya
berputar balik, dengan kedua jari tangannya menutuk sendiri
tulang penyerangnya itu.
Perempuan itu tidak kira bila permainan lawan begitu
lincah, cepat ia merubah tusukkan menjadi tabasan
maksudnya hendak memapas jari musuh, akan tetapi gerakan
Lu Bu wi lebih cepat setindak, Kedua jarinya menyelonong
lebih cepat, telah menjuwil urat nadinya. Perempuan itu
merasa seluruh badan kesemutan, pedang yang dipegangnya
mencelat dan berpindah ketangan Lu Bu wi.
Dua yu hun ( sukma gentayangan ) yang menyergap satu
menang dan yang lain roboh sudah ada hubungan erat
dengan kedua lawan mereka, tapi bagaimana juga situasi
banyak mempengaruhi keadaan. Kalau perempuan,
bertongkat mau melukai musuh, tapi niatnya tidak terlaksana
Lu Bu wi mampu melukai lawan tapi tidak dilaksanakan.
Berubah air mula Ki Houw, bentaknya beringas: “Gentong
nasi semua!”
Beberpa patah kata itu menbuat anak buahnya mengkerut,
Rasul ungu lantas terus menempur Koan San gwat segera
berhenti mundur kebelakang tak bergerak lagi Ki Houw
tertawa dingin, jengeknya: “Siau it ping! Dengan kepandaian
cakar ayam kalian, entah bagaimana Sip tay yu hun bisa
terpilih dalam kedudukan sekarang.”
Membuka muka rasul ungu, sahutnya tersekat, “Lapor Mo
kun! kami bersepuluh tamat dari satu perguruan, masing
masing mempelajari ilmu tunggal, Tok kak se rada kuat…
delapan yang lain ….”
“Kau masih mending, yang boleh dikata gentong nasi
melulu!” dengus Ki Houw.
Rasul ungu bersikap takut takut sahut nya: “Suhu
almarhum meninggal terlalu pagi sembilan sute dan sumoay
terpaksa aku yang menghajar mereka, hamba sendiri yang
tidak becus mendidik mereka.”
“Aku tidak peduli urusanmu, maka aku jadi curiga
bagaimana dulu kalian bisa terpilih dan bercokol dalam
kedudukan sekarang!”
“Kami Suheng sumoay meyakinkan barisan yang harus
dilancarkan bersama pada waktu itu kami lulus ujian yang
dilakukan oleh para Hwe cu, karena itulah secara beruntung..”
“O, jadi begita duduk perkaranya. Coba sekarang kalian
pertontonkan kepadaku.”
Rasul ungu serba sulit, sahutnya : “Tok kak se dihukum
mati oleh Mo kun, sepuluh kurang satu, barisan ini jadi
goncang dan tidak bisa dikembangkan dengan sempurna!”
Ki Houw diam sebentar lalu berkata Sambil manggut
manggut: “Ya batalkan sudah, biar kucari orang menempel
kekuranganmu itu.”
Baru sekarang perasaan Sip tay yu hun tadi longgar dan
lega pula.
Sekarang Ki Houw bicara dengan Koan San gwat, “agaknya
kau menyaksikan bahwa aku tidak berani menempar kau..”
“Berani atau tidak, hatimu sendiri dapat menjawab!”
Wajah Ki Houw berselubung hawa kelabu desinya sinis :
“Hari ini aku tidak akan menantang berkelahi! Tapi bukan
karena takut pada kau, sebab apa aku tidak bisa menjelaskan,
tapi boleh silahkan kau tanya mereka berdua.” dengan
telunjuk ia tuding Ban li dan It lun.
It lun segera memberi kesaksian: “Benar Mo kun punya
kesulitan sehingga ia tidak leluasa.bertading ini.”
“Mungkin kalian tahu trik kelemahan ku ini, maka berani
menerobos kemari membawa orang luar menbuat keributan
lagi.”
Cepat It lun menjelaskan, “Mo kun jangan sembarangn
menuduh, bukan Lohu berdua yang membawa orang luar
kemari, sebaliknya kami diseret orang kemari!”
“Membual belaka! keculi kalian siapa dapat menemukan
tempat ini!” damprat Ki Houw.
“Aku!” sahut Koan San gwat lantang, “Akulah yang
menemukan tempat ini, dan aku yang membawa mereka
kesini!”
Ki Houw tidak percaya, terpaksa Koan San gwat
menjelaskan, katanya menunjuk untanya : “Mau percaya tdak
terserah! Aku dibawa kemari olehnya, dia dibawa Khong Ling
ling. Ketahuilah untaku ini mempunyai kemampuan yang luar
biasa, yaitu pandai menguntit jejak orang, meski kau berada
jauh ribuan li, bila pernah mencium bau badan orang itu. Pasti
dapat ditemukan jejak orang itu….”
Ki Houw tersenyum ejek:” Memangnya dia dapat
membedakan alat alat rahasia dan seluk beluknya, sehingga
mampu melewati hutan gelap dan tiba disini dengan selamat?”
Untuk pertanyaan ini Koan San gwat tertegun dan sedang
berpikir apakah perlu menjelaskan, Ban li sudah mewakili dia,
serunya “Bukan begitu kejadian sesuguhnya Go hay ci heng
menggunakan Kong ting hoa sin, menuntun kami melewati
hutan pekat itu.”
“Hwesio keparat itu, begitu besar nyali nya!” maki Ki houw
mengeretak gigi.
“Kalau Mo kun penasaran silahkan mencari perhitungan
padanya!” demikian sindir Ban li.
“Cepat atau lambat pasti akan datang hari yang kunanti ini
“ desis Ki houw.
Karena Hwesio tua itu pernah membantu dirinya secara
diam diam, dalam hati ia berterima kasih, masa ia segan
menjelaskan kepada Ki Houw kini setelah mendengar Ban li
menjelaskan dengan nada mengadu domba Koan San gwat
jadi merasa jijik dan memandang rendah martabat siorang tua
ini, rasa simpatiknya semua tersapu bersih, maka dengan
amarah meluap ia berteriak: “Ki Houw! Urusan Liong hwa
hwe, sebenarnya kau mau menjalankan tidak?”
“Sudah tentu ingin kujelaskan! Soalnya apakah kau suka
mendengarkan?”
“Dari tempat ribuan li aku meluruk kemari, tujuanku
hendak membongkar teka teki ini kenapa tidak suka dengar?”
Sambil menuding Lu Bu wi dan Lau Sam thay, Ki Houw
berseru: “Kalau begitu kau harus melenyapkan mereka lebih
dulu!”
“Tidak mungkin!”
“Kalau begitu aku tidak bisa menjelaskan!” ujar Ki Houw
angkat pundak. “Menurut aturan orang luar yang mengetahui
seluk beluk ini harus dibunuh!”
“Pembual! Aku bukan orang Liong hwa hwe, kenapa kau
sudi memberitahukan aku?”
“Kau lain! kau ahli waris Tokko Bing, cepat atau lambat kau
pasti tercantum didalam Pang…”
“Kau salah!” tukas Koan San gwat. “Aku tidak akan menjadi
anggota namakupun tidak akan tecantum disana. Kalau aku
perihatin akan seluk beluk hal ini adalah karena guruku. Meski
aku tidak tahu menahu tentang Liong hwa hwe, tapi sepak
terjang yang misterius dan aturan aturan yang kejam dapat di
pastikan, bahwa Liong hwa hwe adalah kumpulan setan….”
Ki Houw tertawa tebar, ujarnya : “Lebih baik jangan kau
berpandangan cupat, masuk atau tidak kedalam daftar bukan
kau yang putuskan. Banyak anggota Liong hwa hwe yang
tidak ingin tercantum namanya namun mereka tidak berani
menolak, malah yang namanya tercoretpun akan berusaha
memulihkan nama baiknya, umpamanya mereka berdua…”
Koan San gwat bertanya, “Benarkah begitu?”
“Benar.” It lun menyahut lirih : “Lohu memang tidak rela,
namun terpaksa harus jadi anggota. Setelah nama kami
tercoret kami masih giat berlatih dan memperdalam ilmu,
tujuan untuk kembali memperoleh kedudukkan diatas Pang,”
“Kenapa begitu?” tanya Koan San gwat heran.
Mulut It lun sudah terbuka sekian saat akhirnya ia
menyahut perlahan : “Lohu ingin menjawab pertanyaan ini
tapi Lohu tidak tahu kenapa?”
Kata Koan San gwat kurang percaya : “Mana ada aturan
demikian didunia ini…..”
“Kalau kau terjun didalam, kau akan paham sendiri !”
Koan San gwat hendak mengajukan pertanyaan lagi, Ki
Houw sudah menyela dengan tidak sabar, “Sebetulnya
bagaimana keputusanmu?”
Maka Koan San gwat ambil putusan tegas, sahut : “Aku
ingin mendengar seluk beluknya, kedua arang ini akulah yang
bertanggung jawab! Mereka pasti tidak akan membocorkan
rahasia….”
“Warga Liong Hwa hwe hanya boleh bertanggung jawab
kepada dirinya sendiri.”
Tapi dengan congkak Koan San gwat berkata “Segala
urusan pasti ada asal mula nya menurut angapanku aturan
aturan tengik itu perlu diganti saja.”
“Bagus” puji Ki Houw. “Tekadmu patut dipuji, agaknya aku
harus memberi kelonggaran kepada kau, mari silakan, kita
bicara didalam saja.”
Rasul ungu tiba tiba berkata: “Mo kun kedudukan dan batas
batas aturan tidak memberi peluang untuk kau memutuskan
hal ini.”
Mendelik mata Ki Houw dampratnya: “Sian it ping! Apakah
kau sedang bicara dengan aku ?”
Rasul ungu gemetar dan tergagap tak mampu menjawab
cepat Ki Houw angkat tangan menyilahkan tamunya, sinar
matanya memancarkan hawa membunuh. Koan San gwat
hanya tersenyum saja katanya: “Jangan main licik, anggapmu
aku tidak tahu maksud hatimu?”
“Syukur bila kau paham! silahkan” lalu ia mendahului
melangkah masuk kedalam pintu, kedua baris bocah bocah
kecil itu menguntit dibelakangnya, terakhir tinggal si Rasul
ungu itu yang masih menunggu diambang pintu.
Lu bi wi berkata: “Ling cu! Losiu kuatir didalam diatur tipu
daya untuk menjebak kita!”
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru Cerita Silat Seru Antik : Unta Sakti 1, cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin Cerita Silat Seru Antik : Unta Sakti 1,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru Cerita Silat Seru Antik : Unta Sakti 1, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru Cerita Silat Seru Antik : Unta Sakti 1
{ 7 komentar... read them below or add one }
bagus sekali saya suka
terima kasih artikelnya yang luar biasa ini ..
sering-sering mas kasih artikel untuk kebaikan situsnya juga...
luar biasa sekali gan infonya .. artikel demi artikel penuh dengan makna dan motivasi
terima kasih telah berbagi berita nasional yang telah anda berikan.
salam sejahtera Indonesia
http://goo.gl/Cmo6cj
terimakasih ,, info ini sangat berguna bagi saya,,
http://goo.gl/UJBVbT
ajip kk,,
http://goo.gl/KYrIJO
ajip gan,, Saya tunggu info baRunya kk,,
Posting Komentar