Cerita Silat Populer : BuTong It Kiam 2

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Kamis, 22 Desember 2011

Cerita Silat Populer : BuTong It Kiam 1

"Justru sebaliknya, Pa-san-kiam-kek merasa gelarnya sebagai
dewa pedang sudah sepantasnya diserahkan untuk orang itu, sebab
dewa selalu berada diatas malaikat.”
"Jadi Dewa pedang pun beranggapan bahwa kemampuannya
masih jauh di bawah kehebatannya?" seru Put-po terperanjat,
"padahal selama ini Dewa pedang selalu tinggi hati, betulkah dia
sampai berkata begitu?"
"Sama sekali tidak bohong, dia benar-benar berkata begitu.
Malah ucapan tersebut diutarakan Pa-san-kiam-kek kepada
Ciangbunjin Ceng-sia-pay. Selama ini hubungan ketua Ceng-sia-pay
dengan Put-coat sangat akrab, dialah yang mengatakan sendiri
kepada Put-coat. Jadi aku rasa tidak bakal keliru lagi.”
Menyinggung kembali soal muridnya yang telah meninggal,
sedikit banyak muncul juga perasaan sedih dihati kecil Bu-siang
Cinjin.
"Aku bukannya menaruh curiga kalau Put-coat Suheng
menyampaikan berita salah, aku.... aku.... aku hanya....”
Siapa pun dapat menangkap maksud hatinya, jelas Put-po dibuat
sangat terkejut hingga 'tidak berani' percaya kalau semuanya itu
merupakan kenyataan.
"Peristiwa ini berlangsung tiga tahun berselang, usia orang itu


sepuluh tahun lebih muda daripada usia Pa-san-kiam-kek, setelah
lewat tiga tahun, aku rasa kemampuan ilmu pedangnya saat ini
mungkin sudah jauh lebih hebat daripada kemampuan Pa-san-kiamkek.”
"Jadi orang ini adalah murid cilik Hian Tin-cu waktu itu?"
"Sebelum ini aku masih agak ragu, tapi sekarang aku sudah
sangat yakin. Betul, tokoh yang bergelar Malaikat pedang ini tidak
lain adalah murid Hian Tin-cu waktu itu, Siang Thian-beng!"
Begitu nama murid Hian Tin-cu disebutkan Bu-siang Cinjin, Putpay
yang sudah sering berkelana dalam dunia persilatan langsung
berteriak kaget, "Aaaah, tidak heran kalau begitu!"
Waktu itu semua orang sedang mendengarkan cerita dengan
asyik, ketika mendengar dia memotong perkataan Ciangbunjin,
sebagian orang segera mendesis, sebagian lagi memandang dengan
penuh amarah.
Sambil tersenyum Bu-siang Cinjin berkata, "Kebetulan sekali aku
memang ingin beristirahat sejenak, Put-pay, coba kau saja yang
bercerita, dimana letak keanehannya.”
Sambil berkata dia segera duduk kembali, tosu cilik yang
melayaninya buru-buru menyiapkan air teh.
Kelihatannya setelah berbicara sekian lama, dia benar-benar
mulai merasa lelah.
Put-pay pun menyambung perkataannya, "Musim semi tahun ini,
kebetulan aku sedang lewat di kota Ci-lam di wilayah Soa-tang,
waktu itu kudengar satu berita baru yang menggemparkan dunia
persilatan. Tentunya kalian semua tahu bukan siapa busu paling
tersohor di wilayah Soa-tang?"
Put-po mendengus dingin.
"Hmm, siapa lagi kalau bukan orang yang menganggap ilmu
pedangnya jauh lebih tinggi dan hebat ketimbang ilmu pedang
Thay-kek-kiam-hoat dari Bu-tong-pay, Ciangbunjin dari Bu-kek-pay


Cong Liu-tong.”
"Benar, dia namakan ilmu pedang hasil ciptaannya sebagai ilmu
pedang Bu-kek-kiam-hoat (ilmu pedang tanpa batas), adapun nama
ini diambil berdasarkan teori bahwa. Bu-kek menciptakan Thaykhek,
Thay-kek menciptakan Ji-gi (positip dan negatip), Ji-gi
menghasilkan Su-siang (dalam positip ada negatip, dalam negatip
ada positip) dan Su-siang menghasilkan Pat-kwa.
"Ciangbunjin serta dua orang tianglo memang tidak sudi ribut
dengannya, tapi aku sangat tidak puas dengan kecongkakan dan
kejumawaannya, terus terang, ketika kebetulan lewat di kota Ci-lam
tempo hari, pernah terlintas dalam ingatanku untuk menjajal
kemampuannya, siapa tahu dua hari sebelum kulakukan
keinginanku itu, ternyata ada orang lain yang telah mewakiliku
untuk melakukan hal tersebut.”
"Meskipun Cong Liu-tong memang jumawa dan takabur, namun
ilmu pedang ciptaannya memang sangat mirip dengan ilmu pedang
Thay-kek-kiam-hoat kita, menggunakan kelembutan untuk
mengalahkan kekerasan. Kau tidak boleh kelewat pandang enteng
dia. Siapa yang berhasil mengalahkan dia?" kata Bu-si Tojin.
"Seorang dusun yang sangat asing dan aneh, konon waktu itu
Cong Liu-tong sedang melatih anak muridnya bermain pedang di
halaman dalam, entah siapa yang mempersilahkan tamu aneh itu
masuk, tiba tiba saja dia sudah muncul persis dihadapannya. Saat
itu seorang putra Cong Liu-tong yang baru berusia tujuh tahun
sedang bermain dengan sebilah pedang kayu.
"Ketika Cong Liu-tong menegur apa maksud kedatangan orang
itu, orang dusun itupun menjawab, "Tidak bermaksud apa-apa, aku
hanya ingin ikut bermain denganmu, mumpung kelihatannya kau
sedang gembira. Adik cilik, boleh aku pinjam pedang kayu mu
sebentar, biar aku bermain dengan ayahmu.”
"Mendengar orang itu mau bermain dengan ayahnya, dengan
senang hati bocah itupun meminjam pedang kayunya.
"Cong Liu-tong menyangka orang itu setengah gila, diapun


segera menghardik, "Siapa bilang aku mau bermain denganmu?
Cepat pergi, cepat pergi, kalau tidak akan kulempar tubuhmu keluar
dari sini!"
Orang desa itu kembali berkata, "Biar kau tidak ingin bermain
denganku pun kau tetap harus menemani! Adik cilik, lihat baik-baik,
jangan sampai kelewatan!"
Setelah menarik napas, kembali Put-pay melanjutkan, "Waktu itu
Cong Liu-tong sedang melatih murid muridnya ilmu pedang
sehingga dalam tangannya masih menggenggam sebilah pedang
yang belum sempat diloloskan dari sarungnya. Sebagai seorang
ketua satu perguruan besar, tentu saja dia tidak ingin bertarung
melawan seseorang yang hanya memegang pedang kayu dengan
sebilah pedang mestika. Tapi mau berkelit dari pertarungan pun
sulit baginya, karena sambil berbicara orang dusun itu sudah
menggunakan pedang kayu nya untuk menusuk tenggorokannya.
Dua orang muridnya buru-buru mendorong tubuh orang dusun itu,
tapi sayang tidak nampak bagaimana dia bergerak, tahu-tahu ke
dua orang murid Cong Liu-tong itu sudah terlempar sejauh tiga
depa lebih dari posisi semula!"
Mendengar sampai disitu, Put-po tidak dapat menahan rasa
kagetnya lagi, dia segera menjerit keras, "Haaah? Bukankah itu
adalah ilmu Can-ih-cap-pwe-tiap (menempel baju tersungkur
delapan belas kali) yang sangat lihay!"
"Betul, itulah sebabnya mau tidak mau Cong Liu-tong harus
menangkis datangnya tusukan itu, dia sambut datangnya serangan
dengan menggunakan pedangnya, dalam perkiraannya tangkisan itu
pasti dapat mematahkan pedang kayu itu, siapa sangka....
hehehehe.... coba kalian tebak apa jadinya?"
"Bagaimana pun juga Cong Liu-tong adalah seorang ketua partai,
tentunya dia tidak sampai dikalahkan pihak lawan dengan pedang
kayunya dalam satu jurus saja bukan? Orang dusun itu
membutuhkan beberapa gebrakan untuk bisa mengalahkan
dirinya?"


"Jangankan kau salah menduga, mungkin Cong Liu-tong sendiri
mimpipun tidak pernah menduga akan hal ini. Konon sebelum
beberapa orang murid Cong Liu-tong sempat melihat jelas apa yang
terjadi, diantara percikan bunga api yang menyebar ke empat
penjuru, tahu-tahu pedang dalam genggaman Cong Liu-tong sudah
mencelat dari genggamannya. Jumlah jurus yang digunakan tidak
sampai tiga gebrakan! Itupun dikatakan sendiri oleh Cong Liu-tong
sesudah kejadian.”
Semua orang terbelalak kaget sehabis mendengar kisah cerita
itu. Tidak tahan Put-po bertanya, "Bagaimana dengan pedang
kayunya?"
"Kebetulan pedang baja milik Cong Liu-tong terjatuh di sisi tubuh
putranya, orang dusun itu berjalan menghampiri sambil
menyerahkan kembali pedang kayu itu ke tangan putranya,
kemudian ujarnya, "Adik cilik, coba lihat, bukankah pedang kayu mu
masih utuh? Coba perhatikan lagi pedang baja milik ayahmu itu,
bukankah ada gumpilan besar di mata pedangnya?"
"Bukan hanya putra Cong Liu-tong yang dapat menyaksikan
dengan jelas, seluruh murid Cong Liu-tong yang berada di seputar
arena pun dapat menyaksikan dengan jelas sekali. Dalam keadaan
begini, siapa lagi yang berani tampil ke depan untuk
menghalanginya?
"Dalam keheningan, orang dusun itu berkata lagi, “Pedang kayu
tetap utuh, pedang baja justru gumpil. Adik cilik, bagus tidak
permainanku dengan ayahmu ini?"
"Dasar anak kecil yang tidak tahu apa-apa, bocah itu malah
bertepuk tangan sambil memuji, "Bagus sekali, bagus sekali,
maukah kau ajarkan kepandaian itu kepadaku?"
"Sambil tertawa orang dusun itu menyahut, "Adik cilik, tidak
sepatutnya aku membohongimu, aku bukan sedang bermain sulap,
kepandaian ini namanya kungfu. Maaf, biar saat ini kuajarkan
kepadamu pun belum tentu kau mampu mempelajarinya,” selesai
berkata dia pun beranjak pergi dari situ.


"Pucat pias selembar wajah Cong Liu-tong, katanya dengan nada
sedih, "Kepandaian pedangmu memang luar biasa, aku orang she
Cong mengaku kalah. Boleh tahu siapa namamu?"
"Aku hanya seorang Bu-beng-siau-cut,” jawab orang dusun itu
kemudian, "buat apa musti meninggalkan nama? Aku sendiripun
tidak berniat mencari gara gara denganmu.”
"Sambil memungut pedangnya dari tanah ujar Cong Liu-tong lagi,
"Bila meninggalkan nama pun kau tidak sudi, buat apa aku orang
she Cong hidup terus dikolong langit.”
"Melihat lawannya berniat bunuh diri, terpaksa orang dusun itu
berkata lagi, "Sebenarnya aku hanya bermaksud main-main
denganmu, baiklah kalau memang ingin mengetahui namaku, aku
bernama....”
Tiba-tiba dia mengayunkan segenggam mata uang ke atas tiang
bangunan, mata uang itupun berjajar diatas kayu membentuk tiga
huruf "Siang Thian-beng".
"Selesai meninggalkan namanya, orang dusun itu pun pergi
tanpa bicara lagi. Sementara Cong Liu-tong serta anak muridnya
hanya bisa saling berpandangan tanpa mengucapkan sepatah kata
pun!"
Begitu Put-pay selesai menyampaikan 'berita terbaru’ itu, seluruh
anak murid Bu-tong-pay saling berpandangan tanpa mengucapkan
sepatah kata pun.
Ada diantara mereka yang berpikir begini, "Jikalau Siang Thianbeng
bertarung melawanku, mungkinkah akupun masih sanggup
menahan tiga jurus serangannya?"
Tapi ada juga yang berpikir lebih mendalam, "Usia Ciangbunjin
sudah uzur, meskipun dari kedua orang tianglo yang ada, satu amat
menguasai ilmu tenaga dalam (Bu-liang) dan yang lain hebat ilmu
pedangnya (Bu-si), tapi rasanya masih sulit untuk menandingi
kesempurnaan tenaga dalam maupun ilmu pedang yang dimiliki
Siang thian-beng. Andaikata dia muncul di Bu-tong secara tiba-tiba


dan menantang berduel, siapa yang sanggup mewakili perguruan
untuk mempertahankan nama baik?"
Setelah termenung beberapa saat lamanya, Put-po pun
bergumam, "Sungguh tidak kusangka Ciangbunjin dari Bu-kek-pay
keok ditangan Siang Thian-beng hanya dalam tiga gebrakan saja,
kali ini Cong Liu-tong benar-benar sudah ketimpa nasib sial.”
"Benar, ujar Put-pay kembali, "ketika aku sedang lewat di kota
Ci-lam musim semi ini, peristiwa itu belum lama terjadi, saat itu
masih banyak umat persilatan yang sedang merundingkan masalah
ini, tidak ada yang tahu asal usul Siang Thian-beng, dan satu hal
yang membuat semua orang tidak habis mengerti adalah antara
Cong Liu-tong dengan Siang Thian-beng ternyata tidak saling
mengenal, lalu atas dasar apa Siang Thian-beng sengaja
mendatangi tempat tinggal Cong Liu-tong dan meninggalkan aib
yang begitu besar baginya?" Tiba tiba Put-po berkata, "Hal ini
dikarenakan mereka hanya tahu kalau Siang Thian-beng bukanlah
seorang Bubeng Siau-cut seperti apa yang dia katakan, namun sama
sekali tidak menyangka kalau dialah si Malaikat pedang yang sudah
menghebohkan seluruh dunia persilatan.”
"Apakah lantaran dia adalah Malaikat pedang lantas boleh
berbuat semena-mena? Cong Liu-tong toh tidak pernah mengusik
atau menyalahi dirinya.”
"Pada mulanya aku sendiripun tidak habis mengerti, tapi
sekarang aku sudah paham,” perlahan-lahan Put-po berkata, "betul,
Cong Liu-tong memang tidak pernah menyalahi Malaikat pedang,
tapi tujuan sebenarnya dari Siang Thian-beng yang ternyata adalah
muridnya Hian Tin-cu itu sesungguhnya adalah ingin mencari garagara
dengan Bu-tong-pay kita!"
Biarpun Put-pay sedikit lamban pikirannya, namun begitu
dijelaskan dia pun segera menjadi paham kembali, katanya, "Ooh,
mengerti aku sekarang. Ilmu pedang Bu-kek-pay sangat mirip
dengan Thay-kek-kiam-hoat dari Bu-tong-pay kita, oleh sebab itulah
dia sengaja menjajal ilmunya melawan Cong Liu-tong.”


"Betul,” Put-po mengangguk, "lebih tegasnya, tujuan dia
menantang Cong Liu-tong hanyalah satu pertunjukkan pamer
kekuatan sebelum secara resmi dia tantang perguruan kita untuk
berduel! Krnm, hrnmm, Cong Liu-tong tidak sanggup menghadapi
tiga jurus serangannya bukan berarti tidak ada jago Bu-tong-pay
yang tidak mampu merobohkan dia!"
Kawanan anggota Bu-tong-pay lainnya tidak berani begitu yakin
dan percaya diri seperti apa yang diperlihatkan Put-po, tanpa sadar
sorot mata semua orang dialihkan ke wajah Ciangbunjin.
Setelah meneguk secawan air teh bercampur jinsom, semangat
Bu-siang Cinjin pulih kembali jadi segar, duduk diatas panggung
katanya kemudian lembut, "Tahukah kalian apa sebabnya mendiang
guruku memerintahkan aku untuk menerima tantangan yang tidak
terikat jangka waktunya?"
"Bukankah mereka berdua akan bunuh diri bila kalian tidak
mengabulkan permintaannya?" tanya Put-pay.
"Jawabanmu hanya betul separuh.”
"Lantas apa separuh yang lain?”
“Waktu itu mendiang guruku bertanya, orang kuno berkata 'Bila
satu negara tidak ada gangguan dari luar, perlahan dia akan runtuh
sendiri. Mengapa satu negara yang tidak ada gangguan dari luar
malah runtuh dengan sendirinya? Kau mengerti maksudnya? Akupun
menjawab, jika suatu negara seringkali diancam dan diserang
musuh dari luar, maka negara itu pasti akan selalu waspada,
memperkuat angkatan perangnya dan membangkitkan semangat
juang rakyatnya. Sebaliknya bila tiada ancaman yang datang dari
luar, mereka akan mengendorkan kewaspadaan, hidup senang dan
santai, lama-kelamaan hal ini justru akan memperlemah mereka
sendiri. Bila kelemahan semakin berlarut, bila suatu saat benarbenar
ada musuh yang menyerang datang. Maka negara itu akan
runtuh dan musnah dengan sendirinya'.
"Kembali mendiang guruku berkata, "Betul, teori ini bisa
diterapkan juga dalam satu perguruan ilmu silat. Selama ini ilmu


pukulan maupun ilmu pedang Bu-tong-pay selalu disanjung dan
disegani orang, hal ini menyebabkan anggota perguruan kita selama
ini sombong dan jumawa, bahkan seolah-olah menganggap
kemampuan sendiri sudah menjadi nomor satu di kolong langit.
Hian tin-cu berdua memang tidak bisa dikatakan sebagai musuh,
tapi tujuan mereka jelas adalah ingin mengalahkan ilmu pedang
Thay-kek-kiam-hoat dengan ilmu pedang Hui-eng-kiam-hoat nya,
kalau diartikan lebih luas, kedatangan mereka bisa diibaratkan
"serangan musuh dari luar". Tidak lama kemudian aku akan
serahkan posisi Ciangbunjin kepadamu, dengan adanya perjanjian
untuk beradu pedang melawannya, hal ini sama halnya dengan
sebuah cambuk yang selalu akan mengingatkan dirimu agar di
samping selalu berlatih ilmu pedang peninggalan Couwsu, kaupun
harus selalu membina orang orang berbakat agar sampai waktunya
tidak kewalahan untuk mencari calon yang tepat untuk menghadapi
tantangan ini.”
Berbicara sampai disini diapun telah selesai menjelaskan separuh
alasan yang lain, sesudah berhenti sejenak dan menghela napas
panjang kembali Bu-siang Cinjin berkata, "Aku sudah tiga puluh lima
tahun memangku jabatan sebagai Ciangbunjin, tapi harapan
mendiang guruku belum pernah kulakukan, kalau dipikir kembali
sungguh membuat hatiku menyesal....”
"Suheng, perkataanmu kelewat merendahkan diri sendiri,” sela
Bu-liang Totiang cepat, "Put-coat sutit memang sudah mati, tapi
menurut aku ilmu pedang yang dimiliki Put-ji sutit juga tidak kalah
hebatnya, siapa tahu dia sanggup menghadapi murid Hian Tin-cu!"
"Sayang masih belum cukup,” Bu-siang Cinjin menggeleng
dengan wajah serius, "aku sebagai seorang Ciangbunjin wajib bicara
sejujurnya dengan kalian semua, jangan lagi kemampuan yang
dimiliki Put-ji masih selisih jauh dibandingkan murid Hian Tin-cu itu,
bahkan Bu-si sute sendiri pun belum tentu mampu menandingi dia.
"Sebab bila suaru hari nanti dia benar-benar berani datang ke
Bu-tong-san untuk menantang berduel, ke tiga celah yang terdapat
dalam ilmu pedang Hui-eng-kiam- hoat nya pasti sudah dibenahi


hingga sempurna. Itu berarti ilmu pedang Hui-eng-kiam-hoat nya
sudah mampu untuk menandingi ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat.
Memang benar belum tentu ilmu pedang yang Bu-si sute miliki bisa
kalah di tangannya, tapi.... tapi....”
"Suheng tidak perlu ragu untuk bicara terus terang,” sela Bu-si
Tojin sambil tertawa, "akupun sadar kalau tenaga dalamku sangat
cetek, dalam bidang ini, jangan lagi dengan musuh tangguh, bahkan
melawan Put-ji saja tidak cukup mampu.”
"Oleh sebab itulah begitu mendapat tahu kalau Siang thian-beng
telah muncul di daratan Tionggoan, aku pun harus segera
mempersiapkan diri untuk menghadapi serbuan musuh,” lanjut Busiang
Cinjin lebih jauh, "setelah berpikir sekian lama, akhirnya aku
pun merasa, satu-satunya jalan hanyalah mengundang Tiong-ciu
Tayhiap Bouw-sute datang ke gunung untuk memimpin perguruan
kita.”
"Tidak berani,” buru-buru Bu-beng bangkit berdiri seraya
menjura.
Paras muka Bu-liang Totiang berubah menjadi sangat tidak sedap
di pandang, katanya, "Suheng telah serahkan posisi Ciangbunjin
kepada mu, kenapa kau masih mengatakan tidak berani.”
Dengan sikap yang tetap tenang dan kalem Bu-siang Cinjin
segera memberi penjelasan, "Sebetulnya masalah pengangkatan
Ciangbunjin baru merupakan masalah besar yang harus
dirundingkan dulu dengan sute berdua, namun berhubung
masalahnya sangat mendesak, akhirnya aku ambil keputusan secara
sepihak, untuk itu aku berharap sute berdua jangan berkecilhati.”
Karena kakak seperguruannya telah berkata begitu, terpaksa Buliang
Totiang dan Bu-si Tojin sama sama berkata, "Perkataan
Suheng terlalu serius, kami percaya pilihan Suheng tidak bakal
salah, untuk bergembira bagi keberuntungan perguruan saja tidak
sempat, masa kami akan berkecil hati?"
Biarpun mengucapkan perkataan yang sama, namun siapa pun
dapat membedakan bahwa Bu-si Tojin bicara dengan tulus,


sementara Bu-liang Totiang masih terbelenggu oleh kesulitan yang
susah diucapkan dengan kata kata.
Selang beberapa saat kemudian kembali Bu-liang Totiang
bertanya, "Suheng, kau mengatakan bahwa masalah ini sudah
sangat mendesak, apakah kau telah memperoleh berita baru?"
"Betul, aku telah menerima kartu nama dari Siang Thian-beng!"
"Hah, kapan menerimanya?" seru Bu-liang Totiang terkejut.
"Pagi tadi!"
Bu-liang Totiang segera teringat kalau pagi tadi muridnya yang
mendapat tugas untuk berpatroli di depan gunung, seandainya
Siang Thian-beng telah mengutus orang untuk menghantar kartu
namanya, tidak mungkin Put-pay tidak mengetahui akan hal ini, tapi
mengapa tidak melapor kepadanya?
Begitu timbul perasaan curiga, tanpa terasa dia pun melotot ke
arah muridnya.
Waktu itu Put-pay sedang merasa sangat mendongkol,
menggunakan kesempatan itu segera teriaknya, "Suhu, jangan
salahkan aku karena tidak melapor, waktu itu aku terluka lagipula
tidak tahu kedatangan kedua orang itu untuk menghantar kartu
nama siapa. Saat itu kebetulan Bu-beng susiok baru tiba di gunung,
dialah yang telah mewakili Ciangbunjin untuk mene-rima kartu
tersebut.”
"Sebenarnya apa yang telah terjadi?" tanya Bu-liang Totiang
dengan kening berkerut.
Put-pay mengalihkan sorot matanya ke wajah Ciangbunjin, Busiang
Cinjin pun berujar, "Put-pay, coba kau ceritakan kembali kisah
pengalaman mu pagi tadi kepada semua orang.”
Sementara Bu-liang Totiang berpikir dalam hati, "Kenapa kartu
nama itu disampaikan oleh Bu-beng? Bisa jadi dibalik kesemuanya
ini masih terdapat hal lain yang tidak beres.”
Berpikir begitu diapun berkata, "Jadi kalau begitu kedua orang


utusan yang dikirim Siang Thian-beng benar-benar kelewat kurangajar.”
"Sebetulnya tidak bisa salahkan orang lain sebab waktu itu Putpay
turun tangan lebih dulu, peristiwa ini hanya boleh dibilang satu
kesalahan paham saja, tapi ke dua orang itupun telah memperoleh
hukuman sewajarnya dari Bu-beng sute. Jadi kalau dihitung
kembali, sebetulnya Bu-tong-pay kita tidak sampai kehilangan
muda. Hanya saja yang aku khawatirkan sekarang adalah
kemampuan Siang Thian-beng, kalau dua orang pembantunya saja
sudah begitu hebat kungfunya, apalagi kemampuan Siang Thianbeng
sendiri.”
Bu-liang Totiang mendongakkan kepalanya meme riksa keadaan
cuaca sebentar, lalu ujarnya, "Menurut kebiasaan yang berlaku
dalam dunia persilatan, setelah kartu nama dipersembahkan, yang
bersangkutan pasti akan munculkan diri. Kini tengah hari sudah
lewat, kenapa masih belum nampak orang itu munculkan diri?"
"Asal tidak melewati hari yang sama, hal ini tidak terhitung
melanggar kebiasaan,” sahut Bu-si Tojin.
"Lantas bagaimana kalau dia baru datang malam nanti? Masa kita
semua harus menunggunya terus di tempat ini? Kemudian masalah
pemilihan Ciangbunjin baru bukankah sebaiknya ditunda sampai
persoalan ini selesai dulu kemudian baru ditentukan? Atau mungkin
mau diputuskan sekarang juga? Suheng, kau jangan salah mengira
aku keberatan atas pengangkatan Bu-beng sute menjadi penerus
Ciangbunjin, tapi aku toh tidak bisa mewakili seluruh anggota
perguruan untuk memberikan pendapat. Mengikuti kebiasaan yang
berlaku dalam dunia persilatan, mau tidak mau aku harus
mengajukan pertanyaan ini.”
Sebagaimana kebiasaan yang berlaku dalam dunia persilatan,
andaikata timbul perbedaan pendapat tentang calon terpilih sebagai
Ciangbunjin baru, maka di samping harus memperoleh persetujuan
dari para tianglo, harus didengar pula pendapat dari sebagian besar
anggota perguruan lainnya.


Tadi, Put-po sudah mengemukakan pendapatnya bahwa dia baru
akan mengambil keputusan mendukung Bu-beng sebagai ketua baru
atau tidak setelah dia menyaksikan kemampuan ilmu silatnya,
kendatipun pendapatnya bukan merupakan pendapat sebagian
besar anggota perguruan, paling tidak ada sebagian orang yang
berpendapat sama.
Sementara Bu-siang Cinjin sengaja menyisipkan kisah ceritanya
tentang "peristiwa pada tiga puluh enam tahun berselang" pun tidak
lebih karena dia berharap bisa mencegah keinginan Put-po yang
bersikeras ingin beradu kepandaian melawan ketua baru.
Kendati pun hingga kini dia belum sampai mengungkap secara
jelas, semua orang juga tahu kalau ketua mereka memang sengaja
hendak memberikan kesempatan bertarung melawan Siang Thianbeng
ini kepada Bu-beng.
Andaikata Bu-beng berhasil memenangkan pertarungan ini, maka
peristiwa itu akan semakin membuktikan kalau kepandaian silat
yang dimilikinya memang jauh melebihi orang lain.
Oleh karena hingga kini perundingan masih belum menemui
kesimpulan akhir, maka sekali pun di mulut mereka sudah
memberikan persetujuannya, bukan berarti dikemudian hari tidak
boleh berubah pikiran. Atau dengan perkataan lain siapa calon
Ciangbunjin baru masih belum ada kepastian.
Sesudah termenung beberapa saat akhirnya Bu-siang Cinjin
berkata, "Begini saja, mari kita menunggu satu jam lagi, jika Siang
Thian-beng belum muncul juga, kita boleh membubarkan diri.”
"Baiklah, kalau begitu ijinkanlah aku untuk mengundurkan diri
lebih dulu,” kata Bu-liang Totiang "aku akan memeriksa dulu
bagaimana keadaan luka yang diderita Put-pay.”
Waktu itu Put-pay sedang berdiri di samping Put-ji, begitu turun
dari mimbar, Bu-liang Totiang langsung berjalan ke sisi mereka
berdua, dengan lagak seakan mengkhawatirkan keadaan luka
muridnya, dia periksa sejenak tubuh Put-pay sambil berbasa basi,
sementara secara diam-diam dia menghimpun tenaga dalamnya dan


mengirim suara ke telinga Put-ji.
Tenaga dalam yang dimiliki Put-ji saat itu selisih tidak jauh dari
kemampuannya, apalagi dalam jarak sedekat ini mereka berbicara
dengan menggunakan ilmu Coan-im-jip-pit, bukan saja Bu-siang
Cinjin dan Bu-si Tojin sekalian yang berada diatas mimbar tidak
dapat mendengar suara pembicaraan itu, bahkan Put-pay yang
berdiri di samping Put-ji pun tidak dapat mendengarnya.
"Put-ji,” bisiknya, "kau jangan sampai tertipu oleh Bouw Cionglong!
Siapa tahu mereka sudah bersekongkel dengan si Malaikat
pedang Siang Thian-beng, kau memahami maksudku bukan?"
Padahal Put-ji adalah seseorang yang licik dan banyak akal, tidak
perlu diingatkan orang lain pun dia sudah berpikir sampai ke situ.
Waktu itu pikirnya, "Aku tidak boleh mengendorkan kewaspadaanku
dengan tidak menaruh curiga terhadap mereka, sekali pun Malaikat
pedang benar-benar adalah murid Hian Tin-cu di masa lalu, tidak
menjamin antara dia dengan Bouw Ciong-long sama sekali tidak ada
hubungan.”
Kembali Put-ji berpikir, 'Pertarungan antara jago tangguh,
menang kalah hanya ditentukan satu garis tipis. Antara menang dan
kalah pun ibarat orang minum air, dingin atau hangat segera akan
ketahuan. Andai kata mereka sudah bersekongkel lebih dulu, belum
tentu Ciangbun Suhu bakal mengetahuinya. Bagi Siang Thian-beng,
jelas tujuannya adalah ingin tersohor di seantero jagad, namun dia
nampaknya tidak yakin bisa mencapai tujuan tersebut. Andaikata
Bouw Ciong-long bersedia memberikan keuntungan besar baginya,
apa salahnya kalau dia pun mengalah dalam pertarungan. Bu-tongpay
jelas merupakan satu partai besar dalam dunia persilatan, bila
Iantarannya mengalah dalam perta-rungan sehingga Bouw Cionglong
dengan mulus menjadi Ciangbunjin, mungkin saja keuntungan
yang diperolehnya di kemudian hari akan jauh lebih banyak.”
Melihat dia manggut-manggut, sambil tersenyum Bu-liang
Totiang berkata lagi, "Baguslah bila kau sudah mengerti maksudku,
aku percaya kau adalah orang pintar, bila Siang Thianbeng benarbenar
datang memenuhi janji nanti, tentunya kau juga sudah


mengerti bukan apa yang musti dilakukan.”
Semua pembicaraannya dengan Put-ji dilakukan dengan
menggunakan ilmu menyampaikan suara, selain mereka berdua,
orang lain tidak ada yang mendengar pembicaraan tersebut.
Pada saat itulah mendadak dari tempat kejauhan berkumandang
suara gelak tertawa yang amat nyaring, begitu nyaring suaranya
bagaikan pekikan bangau sakti yang baru turun dari langit.
"Siapa yang datang, berani amat bersikap kurang ajar!" bentak
Bu-liang Totiang nyaring.
Begitu keras suara bentakan tersebut, membuat ratusan anggota
Bu-tong-pay yang hadir disana merasakan telinganya mendengung
keras.
Padahal dia sudah dapat menduga siapa yang telah datang, tapi
dia memang berniat pamer kekuatan untuk menggertak lawan, di
samping itu juga ingin menunjukkan kebolehannya di hadapan Bubeng.
Baru selesai dia bertanya, orang itu sudah menyahut dengan
nada dingin, "Tentunya kau adalah ketua tianglo dari Bu-tong-pay,
Bu-liang Totiang bukan? Hehehehe.... konon dalam Bu-tong-pay,
selain Bu-siang Cinjin, tenaga dalammu terhitung paling hebat,
ternyata nama besarmu bukan nama kosong saja. Sayangnya aku
tahu siapa kau sementara kau tidak tahu siapa aku, jika kau sudah
tahu siapa aku, tidak nanti berani menuduhku bersikap kurang
ajar!"
Sewaktu dia mulai berbicara, bayangan tubuhnya sama sekali
belum menampakkan diri. Suara itu memang tidak terlampau keras,
tapi herannya, setiap orang yang berada dalam arena dapat
merasakan, seolah orang itu sedang berbicara di samping telinga.
Di antara sekian banyak anggota Bu-tong-pay, ilmu silat mereka
memang ada yang lihay ada pula yang cetek, namun rata-rata
memiliki pengetahuan yang sangat luas, dari demonstrasi yang
dilakukan orang tersebut, mereka dapat menyimpulkan bahwa


kemam-puan orang itu nampaknya jauh lebih lihay setingkat
ketimbang ketua tianglo mereka.
Belum habis pikiran melintas, tahu-tahu bayangan tubuh orang
itu sudah muncul dihadapan mereka semua.
Ketika sorot mata semua orang dialihkan ke wajah nya, maka
terlihatlah wajah seorang lelaki yang pucat pasi tanpa warna darah,
bahkan kaku tanpa perasaan seolah-olah sesosok mayat hidup yang
baru bangkit dari kuburan.
Kembali semua orang tertegun dibuatnya. Kalau ditinjau dari
gelak tertawa yang nyaring dan lantang tadi, semua orang mengira
orang tersebut tentulah seseorang yang jumawa dan sombong,
siapa sangka orang yang muncul justru mayat hidup yang
membawa bau kematian.
Dengan suara nyaring Put-po segera membentak, "Aku tidak
perduli siapakah dirimu, segera lepaskan pedangmu!"
Sembari menghardik, dengan jurus 'merampas pedang’ dia bacok
pergelangan tangan orang itu.
"Huuuh, peraturan bau dari mana itu?" jengek orang itu sambil
tertawa dingin, dia sama sekali tidak meloloskan pedangnya
malahan dengan sarung pedang balas menyodok jari tangan Put-po.
Berbarengan itu ada dua orang sama-sama membentak nyaring,
"Kau berani melanggar peraturan yang dibuat pihak Kerajaan?"
"Jangan menodai pesan para leluhur, setiap orang musti
mentaati peraturan yang berlaku disini!"
Perkataan pertama berasal dari Put-pay sementara perkataan ke
dua berasal dari Put-po. Sementara berbicara, jari tangannya
dengan bertindak sebagai pedang menghindari serangan lawan
kemudian melancarkan serangan balasan, kali ini dia tusuk jalan
darah Leng-ciu-hiat di punggung tangan lawan.
"Sebenarnya peraturan mana yang hendak kalian bicarakan?"
jengek orang itu sambil tertawa dingin, pedang berikut sarung yang


berada didalam genggaman nya segera menghadang ke depan lalu
dengan jurus Heng-im-toan-hong (Awan melintang memotong
bukit) melancarkan serangan balasan.
Semua anggota Bu-tong-pay bersama-sama memperhatikan
gerakan pedangnya, benar saja, gaya serangannya ibarat gulungan
ombak di tengah samudra menyebar luas ke depan.
Put-po segera menggeser posisinya melangkah maju ke depan,
dengan satu gerakan Pau-ciang (mengepal tangan), dia ciptakan
satu gerakan melingkar untuk memunahkan datangnya ancaman
tersebut, kemudian katanya dingin, "Ciangbunjin partai Bu-tong
hadir disini, berbicara dari usia maupun kedudukan, tentunya kau
tidak bisa melampui ketua kami bukan! Jadi kalau ingin berbicara
soal peraturan yang mana pun, lebih baik lepaskan dulu pedangmu
sebelum berbicara lebih jauh.”
Di dalam dunia persilatan memang berlaku peraturan semacam
ini, apabila jagoan dari partai lain ingin menjumpai ketua perguruan
lain untuk pertama kalinya, sekalipun mereka boleh berhadapan
dengan status yang setara, namun sebagai pihak tetamu, mereka
wajib meninggalkan senjatanya sebagai tanda penghormatan
terhadap tuan rumah.
Terlebih lagi jika pihak lawan jauh lebih muda usia dan posisinya
jauh dibawahnya, hal ini semakin berlaku bagi mereka.
Bu-siang Cinjin adalah seorang pendeta yang saleh dan bernama
besar, diantara sekian banyak Ciangbunjin perbagai perguruan,
boleh dibilang usianya terhitung paling tinggi. Jadi orang yang
benar-benar pantas dan berhak untuk duduk sejajar dengannya
tidak lebih hanya beberapa gelintir orang saja.
Tapi yang membuat seluruh anggota perguruan merasa kagum
dan memuji bukanlah pokok pembicaraannya, melainkan
kesempurnaan dia di dalam menggunakan jurus serangan.
Walaupun dia tidak menggunakan pedang, namun jurus pedang
Thay-kek-kiam-hoat telah berhasil dilebur dalam permainan jari
tangannya. Yang lebih hebat lagi adalah gerak serangannya seolah


hanya bermaksud untuk membendung gerak maju lawan.
Entah sejak kapan tahu tahu Bouw It-yu sudah berada di
samping Put-ji sembari berbisik, "Ternyata Put-po Suheng memang
jagoan lihay yang sengaja menyembunyikan kemampuannya, coba
lihat jurus yang barusan digunakan, kelihatannya dia benar-benar
sudah menguasai inti sari dari ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat.”
"Benar,” sahut Put-ji mengangguk, "betul betul sebuah
pertarungan pedang yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Memang kungfu Put-po Suheng sangat ampuh, namun kepandaian
lawan pun tidak lemah!"
Sementara dihati kecilnya dia berpikir, "Biarpun ilmu pedang
yang dimiliki Siang Thian-beng boleh dibilang tangguh, ternyata
kehebatannya tidak seperti yang di gembor-gemborkan selama ini!"
Baru berpikir sampai disitu, terdengar orang itu berkata lagi,
"Bagi orang lain, membawa pedang sambil menghadap Ciangbunjin
perguruanmu bisa jadi di anggap kurangajar, namun terkecuali
bagiku seorang!"
Bicara sampai disitu dia pun membalikkan tubuh dan berteriak ke
arah Bu-siang Cinjin, "Anak murid Hian Tin-cu khusus datang
memenuhi janji!"
"Ooh, rupanya saudara Siang telah tiba,” kata Bu-siang Cinjin,
"Put-po, tahan....”
Belum selesai dia berkata, mendadak terdengar suara benda
yang terbelah pecah, tahu-tahu tokoan yang dikenakan Put-po di
kepalanya sudah terbelah jadi dua oleh bacokan sarung pedang itu,
menyusul kemudian terdengar Siang Thian-beng bertanya sinis,
"Sekarang aku boleh lewat bukan?"
"Hmm, kepandaianmu memang setingkat lebih tinggi ketimbang
aku, tapi kekalahanku kali ini belum membuat diriku menyerah.”
Perlu diketahui, di saat Bu-siang Cinjin sedang berbicara tadi,
walaupun Put-po belum sampai turun tangan, namun dihati kecilnya
dia sudah punya rencana untuk segera melancarkan serangan


begitu Ciangbunjin nya selesai bicara, karena perencanaan ini,
secara tidak sadar hawa kekuatan yang tersalur diujung jarinya
yang dipakai untuk menggantikan pedang pun menjadi melemah
beberapa bagian.
Padahal pertarungan antar dua jago tangguh paling pantang
menjumpai keadaan seperti ini, begitu kekuatannya melemah, tidak
heran kalau pihak lawan segera manfaatkan kesempatan itu untuk
menerobos masuk.
Di dalam kenyataan, tanpa harus meloloskan pedang dari
sarungnya ternyata Siang Thian-beng sanggup membelah tokoan
yang dikenakan Put-po tanpa merontokkan rambut dikepalanya,
kelincahan dari ilmu pedangnya dan kesempurnaan tenaga
dalamnya seketika membuat seluruh anggota perguruan Bu-tongpay,
termasuk Put-po sendiri merasa terkejut bercampur kagum.
Satu hal yang membuat Put-po tidak puas hanya-lah karena
kemenangan ini diperoleh dengan taktik.
"Benarkah begitu?" jengek Siang Thian-beng sambil tertawa,
"tidak menjadi masalah, kalau belum puas sebentar kita boleh
bertanding lagi.”
"Aku sudah mengakui kalau kemampuanmu satu tingkat
diatasku, kalah, dalam sepuluh jurus atau kalah dalam seratus jurus,
sama saja hasilnya, jadi buat apa musti bertanding lagi? Dalam Butong-
pay, aku tidak lebih hanya seorang murid yang tidak berguna,
masih banyak sekali saudara seperguruanku yang kemampuan nya
satu, dua tingkat lebih tinggi dariku, lebih baik simpan dulu
tenagamu.”
Maksud dari perkataan inipun sangat jelas, artinya coba kalau
Siang Thian-beng tidak menggunakan akal, niscaya dia sanggup
bertarung seratus jurus lagi melawannya.
"Hmm, moga-moga saja perkataanmu benar,” kata Siang Thianbeng
dengan wajah kaku tanpa emosi, "dengan begitu aku punya
kesempatan untuk merasakan sampai dimana kehebatan jago-jago
Bu-tong yang katamu dua tiga tingkat lebih hebat.”


Sementara pembicaraan masih berlangsung, dia telah berjalan ke
bawah mimbar dan berkata sambil memberi hormat, "Bu-siang
Cinjin, sejak berpisah tanpa terasa tiga puluh enam tahun sudah
lewat, tidak sangka kau telah diangkat menjadi seorang
Ciangbunjin, maaf bila aku tidak berkesempatan mengucapkan
selamat kepadamu.”
Bu-siang Cinjin balas memberi hormat, sahutnya, "Siang-heng,
dari pada memilih waktu lebih baik datang setiap saat,
kedatanganmu hari ini sungguh tepat waktu.”
"Tentunya Cinjin telah menerima kartu namaku bukan? Acara
penyambutan dari Ciangbunjin yang begitu megah benar-benar
membuat aku si Bu-beng-siau-cut merasa tersanjung.”
Dibalik perkataan itu dia selipkan nada sindiran yang pedas.
Bu-siang Cinjin tersenyum.
"Nama besar Malaikat pedang sudah tersohor di se antero jagad,
saudara Siang tidak perlu merendah. Cuma.... dari kata-katamu
barusan, rupanya telah terjadi sedikit kesalah pahaman.”
"Dimana letak kesalah pahaman itu? Silahkan Ciangbunjin
memberi petunjuk!" seru Siang Thian-beng setelah tertegun
sejenak.
"Kini aku sudah bukan seorang Ciangbunjin lagi, Ciangbunjin
baru telah dijabat suteku ini. Berkumpulnya seluruh anggota
perguruan ini pun bukan lantaran menyambut kedatanganmu.”
"Ooh, ternyata kedatanganku hanya kebetulan bersamaan
dengan upacara kebesaran tersebut. Itu lebih bagus lagi, aku bisa
menjadi tamu pertama yang akan memberi selamat kepada
Ciangbunjin baru.”
Perkataan inipun lamat-lamat mengandung nada tantangan
untuk mengajak Ciangbunjin baru berduel.
"Tidak berani,” sahut Bu-beng yang mengikuti di belakang
Suhengnya dengan hormat, "lebih baik simpan dulu ucapan


selamatmu sampai kita selesaikan urusan ini.”
Menurut peraturan yang berlaku dalam dunia persilatan, begitu
Ciangbunjin baru selesai ditetapkan, maka diperlukan sebuah
upacara lagi untuk mengumum kan pengangkatan itu secara resmi,
dalam upcara ini selain diundang seluruh ketua pelbagai partai juga
tokoh tokoh kenamaan dunia persilatan.
Oleh karena itu perkataan dari Bu-beng barusan tidak lain adalah
sebuah pernyataan bahwa sampai sekarang dia belum resmi
menjabat sehingga tidak berani menerima ucapan selamat dari
orang lain.
Tapi semua anggota perguruan Bu-tong-pay tahu bahwa Bubeng
hanya mau menduduki jabatannya sebagai Ciangbunjin bila
dia telah berhasil mengalahkan Siang Thian-beng, sebab kalau tidak,
walaupun semua anggota perguruan mau mengakuinya sebagai
ketua demi menghormati keputusan Ciangbunjin lama, namun
baginya, hal semacam ini bukanlah satu kejadian yang patut
dibanggakan.
Dengan pandangan dingin Siang Thian-beng mengawasi Bu-beng
beberapa saat, tiba-tiba tegurnya, "Bukankah kau adalah Tiong-ciu
Tayhiap Bouw Ciong-long?"
"Itu namaku dulu, sekarang sudah menjadi pendeta, gelarku
adalah Bu-beng.”
"Kalau tidak salah melihat, pagi tadi kau masih seorang preman?"
"Betul, pagi tadi sewaktu kau mengutus orang untuk
menyampaikan kartu nama, akulah yang telah mewakili Suheng
menerimanya.”
"Saat itu mustinya kau sudah ditetapkan sebagai calon
Ciangbunjin baru bukan, jadi memang sewajarnya kalau kau yang
mewakili Bu-siang Cinjin untuk menerima kartu namaku, bahkan aku
harus mengucapkan terima kasih karena kau telah memberi
pelajaran yang berharga untuk kedua erang bawahanku.”
"Anggota perguruan kami Put-pay juga menyatakan banyak


terima kasih atas hadiah pemberian urusanmu. Kuharap perselisihan
kecil ini tidak usah kelewat dimasukkan ke dalam hati.”
Maksud dari perkataan itu sangat jelas, berhubung ke dua belah
pihak sama-sama menderita luka, berarti kejadian inipun sudah
impas hingga tidak perlu dipersoalkan lagi.
"Perselisihan kecil semacam itu sih tidak ada harganya untuk
disinggung kembali. Ada baiknya kita balik ke persoalan pokok, tiga
puluh enam tahun berselang aku pernah membuat perjanjian
dengan Suheng mu, pernah dia menyinggung soal ini?"
"Sudah sejak awal aku mengetahui masalah ini.”
"Bagus, kalau toh sekarang kau sudah menjabat ketua Bu-tongpay,
lalu janji pertarungan pedangku dengan Bu-siang Cinjin akan
kau wakili atau tetap akan dia lakukan sendiri?"
Bu-siang Cinjin tertawa getir.
"Coba kau lihat,” sahutnya, "keadaanku sudah mirip seseorang
yang hampir masuk peti mati, mana mungkin bisa bertanding
pedang melawanmu?"
"Hmm, aku sendiri juga hanya manis-manis bibir mengatakan
begitu, padahal terus terangan saja, biar kau ingin beradu
melawanku pun belum tentu aku bakal melayani, aku tidak sudi
ditertawakan orang, mengatakan aku hanya beraninya menganiaya
yang tua. Bagus, kalau begitu biar aku tantang Ciangbunjin barumu
saja.”
"Aku rasa perjanjian yang dibuat tiga puluh enam tahun
berselang lebih baik dibatalkan saja.”
"Dibatalkan?" jengek Siang Thian-beng sambil tertawa dingin,
"aku tidak ingin arwah mendiang guru-ku tidak beristirahat dengan
mata meram di alam baka!"
"Tujuan mulia orang belajar silat adalah menghindari saling luka
melukai, tapi kalau kudengar omongan Siang sianseng, nampaknya
kedatanganmu kali ini adalah untuk menuntut balas.”


"Betul, aku memang datang untuk membalaskan dendam sakit
hati mendiang guruku, terus kenapa?"
"Alangkah baiknya kalau semua masalah diselesai kan secara
damai, kenapa Siang sianseng musti kelewat serius?"
"Masalah ini menyangkut nama baik perguruan, jadi harus
diselesaikan secara serius! Hmmm.... hmm....
boleh saja kalau ingin menyelesaikan masalah sampai disini, tapi
kau harus mengaku kalah dulu di depan umum!"
"Siang sianseng tersohor sebagai Malaikat pedang, jelas ilmu
pedang yang pinto yakinkan masih belum dapat menandingi
kehebatan Malaikat pedang.”
"Kau keliru besar, yang kuinginkan adalah mengundang
kedatangan semua jago persilatan, kemudian dengan jabatanmu
sebagai Ciangbunjin Bu-tong-pay, mengumumkan secara resmi
kalau ilmu pedang Bu-tong-pay tidak mampu menandingi ilmu
pedang Kun-lun-pay kami!"
Begitu ucapan tersebut diutarakan, terjadilah kehebohan di
antara seluruh anggota perguruan Bu-tong-pay yang hadir disitu,
malah ada banyak diantaranya yang mulai berteriak, "Bu-si tianglo,
cepat hajar orang ini, kasi pelajaran yang setimpal!"
"Bu-beng Suheng,” ujar Bu-si Tojin pula seraya menggeleng,
"aku rasa tidak mungkin kau bisa menyelesaikan masalah ini tanpa
bertarung melawan Siang sianseng, tolong kau tidak usah merendah
lagi!"
"Soal ini....”
"Hey, sudah selesaikah perundingan kalian?" bentak Siang Thianbeng
keras.
Tiba tiba Put-ji melompat keluar dari kerumunan orang banyak,
serunya lantang, "Guruku tidak dapat bertarung melawanmu, biar
aku yang bertanding melawan dirimu!"
"Ooh, jadi kau adalah murid Bu-siang Cinjin?"


"Benar, kau boleh mewakili mendiang gurumu untuk menantang
berduel, aku pun berhak mewakili guruku untuk melayani
tantanganmu.”
Siang Thian-beng melirik sekejap dengan nada sinis, sesaat
kemudian katanya, "Sewaktu membuat perjanjian dengan gurumu
tiga puluh enam tahun berselang, aku sempat berkata, jika sampai
saatnya lantaran kelewat tua kau tidak sanggup bertarung
melawanku, kau boleh memilih salah satu orang dari perguruanmu
yang berilmu paling hebat untuk bertarung melawanku. Kini
Suhumu sama sekali tidak menunjuk kau untuk bertarung,
kelihatannya dalam pandangan gurumu kau masih belum terhitung
jagoan nomor wahid dari Bu-tong-pay.”
"Hmm, waktu itupun kau hanya berkata untuk dirimu sendiri,
Suhuku sebagai seorang yang saleh tentu saja sungkan untuk
melukiskan dirinya sebagai orang yang terhormat. Betul,
perkataanmu tepat sekali, tentu saja aku bukan jago nomor satu
dari Bu-tong-pay, aku cukup tahu diri. Hanya saja, menurut
pandanganku mungkin kaupun belum pantas untuk bertarung
melawanku!"
Siang Thian-beng sama sekali tidak nampak gusar, dengan wajah
hambar tanpa perasaan sahutnya, "Perkataanmu memang benar,
dalam hal ini kau memang punya hak untuk melayani tantanganku
ini. Cuma saja, berhubung kau bukan ditunjuk langsung gurumu,
dan lagi juga bukan orang yang terpilih untuk menghadapi
tantanganku, maka meski aku bisa saja melayani tantanganmu itu
namun pertarungan itu hanya sebatas pertarungan pribadi.
Tegasnya lagi, lantaran memberi muka kepada gurumu maka aku
bersedia bermain beberapa jurus melawanmu, jadi jangan kau
anggap kau bertarung karena mewakili Bu-tong-pay! Paham?"
Put-ji tertawa dingin.
"Saat ini aku ogah berdebat denganmu, terserah mau kau
anggap apa diriku ini, yang penting kau berani melayani
tantanganku ini. Cepat lancarkan seranganmu!"


"Hahahaha.... aku mau melayani tantanganmu pun sudah lebih
dari cukup,” Siang Thian-beng tergerak keras, 'baiklah, aku akan
mengalah tiga jurus kepadamu! Bu-beng Totiang, sebentar aku akan
minta lagi petunjuk darimu!"
Arti dari perkataan ini sangat jelas, seolah baginya mengalahkan
Put-ji adalah masalah kecil, segampang dia membalikkan telapak
tangan, oleh sebab itu dia hanya minta Bu-beng Totiang untuk
"menunggu sebentar saja".
"Kau tidak perlu mengalah,” tampik Put-ji cepat, "kedudukanku
setengah tingkat lebih rendah darimu, jadi biarlah aku yang
melancarkan serangan lebih dahulu!"
Begitu selesai bicara, ujung pedangnya langsung ditutul ke arah
bawah, gerak serangan ini disebut Tiau-thian-it-co-hio (menyembah
langit dengan sebatang hio), pertanda sikap menghormatnya untuk
jagoan yang berkedudukan hampir berimbang.
Bu-beng yang berdiri persis di samping Bu-siang Cinjin manggut
manggut sambil berbisik, "Ternyata Put-ji sangat mampu menahan
diri!"
Gerakan Tiau-thian-it-co-hio bukanlah sebuah jurus untuk
menyerang musuh, kembali Siang Thian-beng berseru, "Kau tidak
perlu sungkan, aku tidak akan menghitung gerakan ini.”
Siapa tahu baru selesai dia bicara, mendadak Put-ji merangsek
maju ke muka, diiringi percikan bunga pedang, tahu-tahu dia
lepaskan sebuah tusukan kilat ke depan.
"Kalau jurus ini terhitung tidak?" bentaknya.
Siang Thian-beng belum juga meloloskan pedangnya, sambil
memutar tubuh dia sambut datangnya tusukan pedang dari Put-ji
dengan sarung pedangnya.
Sungguh cepat datangnya serangan itu, mata pedang langsung
menggulung ke atas menyusul gerakan itu, kali ini membabat jari
tangan yang sedang menggenggam senjata.


"Triiing!" dimana ujung pedang melejit, tusukan itu persis
mengarah jalan darah Leng-ciu-hiat di punggung tangan lawan.
Cepat Siang Thian-beng merendahkan tubuh sambil menarik
tangannya untuk berkelit, saat itulah jurus serangan ke tiga dari
Put-ji kembali menyapu tiba dengan kecepatan bagaikan sambaran
petir.
Serangan yang dilancarkan kali ini benar-benar ganas lagi cepat,
ketika mata pedang membabat miring ke bawah, kali ini dia ancam
lutut lawan.
Bukan saja jurus serangannya cepat bagai sambaran kilat,
bahkan ganas dan tepat, tampaknya sulit bagi Siang Thian-beng
untuk berkelit dari ancaman itu.
Tiba-tiba terlihat sekilas cahaya tajam melesat lewat di tengah
udara, menyusul kemudian terdengar Siang Thian-beng membentak
nyaring, "Tiga jurus sudah lewat, lihat serangan balasan!"
"Traaang....!" diiringi dentingan nyaring, pedang Put-ji sudah
ditangkis hingga mencelat ke samping.
Saat itulah semua hadirin dapat melihat dengan jelas kalau
sarung pedang milik Siang Thian-beng sudah tergeletak jatuh ke
tanah, terbelah menjadi dua bagian.
Dia sama sekali tidak menggunakan gerakan mencabut pedang
seperti biasanya untuk meloloskan senjata itu, sarung pedang itu
retak dan pecah jadi dua bagian lantaran getaran tenaga dalamnya,
itulah sebabnya disaat yang paling kritis dia masih dapat
melancarkan serangan balasan dengan kecepatan tinggi, dengan
pedang menghadapi pedang dia punahkan ancaman lawan.
Karena pedang itu muncul dari sarung yang pecah, bukan saja
berhasil menangkis serangan maut dari Put-ji, malah masih punya
kekuatan untuk langsung menusuk perut lawannya itu.
Reaksi Put-ji tidak kalah cepatnya, dengan gerakan angsa liar
menembus awan dia melejit ke tengah udara, mata pedang Siang
Thian-beng persis menyambar lewat dari bawah kakinya, coba kalau


terlambat sedikit saja, niscaya kakinya bakal kutung.
Berada di tengah udara, dengan gaya burung belibis
membalikkan tubuh, dengan kepala di bawah kaki diatas, dia
melancarkan tusukan ke bawah dengan jurus Bong-po-kiu-siau
(rajawali menyusup dari awan).
Cepat Siang Thian-beng melintangkan pedangnya untuk
menangkis, terdengar....”Traaang!" di tengah benturan benda keras,
dua sosok bayangan manusia saling berpisah satu dengan lainnya,
dua bilah senjata itu menyambar lewat persis menempel di atas
tulang Pie-pa-kut di bahu masing-masing.
Beberapa gerakan pertarungan itu dilakukan begitu cepat bagai
sambaran kilat, membuat semua orang yang menonton jadi silau
dan terkagum-kagum, sampai saat itulah suara tepuk tangan dan
tempik sorak baru bergema gegap gempita.
Sesudah tertegun beberapa saat, Put-po baru mulai berpikir,
"Setelah sekian lama menekuni kitab pusaka peninggalan Couwsu,
aku sangka seluruh rahasia ilmu pedang perguruan telah kupahami
dan kukuasahi, siapa tahu kehebatan dari perubahan ilmu pedang
yang dimiliki Put-ji sute jauh berada diluar dugaanku!
"Dalam hal tenaga dalam, dia memang belum sanggup
melampaui kemampuanku, tapi kehebatan ilmu pedangnya jelas
masih satu tingkat diatasku, hanya anehnya kenapa jurus pedang
yang sebenarnya berasal dari aliran lurus, kini berubah penuh tipu
dan muslihat? Kalau begitu cara berlatihnya, mana mungkin bisa
mencapai tingkat yang paling sempurna?"
Biarpun dalam hati kecilnya dia berpikir begitu, namun diluaran
dia justru bersorak memberi semangat, "Put-ji sute, baru
melancarkan tiga jurus serangan, kau telah berhasil membuat
sarung pedang Malaikat pedang pecah jadi dua bagian, terbukti kau
sudah menang satu jurus darinya!"
Kelihatannya dia sengaja tidak menyinggung tentang Siang
Thian-beng yang telah mengalah tiga jurus untuk lawannya, jadi
sesungguhnya posisi kedua orang itu masih seimbang.


Pertarungan pedang pun berlangsung makin lama semakin
bertambah sengit, dalam keadaan begini semua orang tidak punya
waktu lagi untuk berpikir banyak, bahkan tidak sempat lagi
mengkhawatirkan keselamatan rekan sendiri. Perhatian setiap orang
nyaris tersedot oleh permainan ke dua belah pedang itu.
Tampak permainan pedang Put-ji yang berkembang terus
menciptakan lingkaran demi lingkaran cahaya pedang yang
menggulung saling menyusul, sebaliknya gerakan pedang Siang
Thian-beng bagai pukulan ombak, mengembang ke empat penjuru,
tatkala hawa serangan mencapai pada puncaknya, kekuatan yang
dihasilkan bagaikan gulungan ombak di tengah badai dahsyat,
nyaris menenggelamkan seluruh tubuh Put-ji.
Anak murid Bu-tong-pay yang mengerti ilmu pedang Bu-tong-pay
hampir semuanya dibuat kesem-sem dan mabuk kepayang
menyaksikan pertarungan yang sedang berlangsung, pikir mereka,
"Ternyata ilmu pedang Thay-kek-kiam bisa juga digunakan
sedemikian cepat!"
Bagi anggota perguruan yang belum pernah belajar ilmu pedang
Thay-kek-kiam, pertarungan ini membuat mereka semakin
terbelalak dengan mulut melongo, apa yang bisa mereka saksikan
sekarang hanya lah dua kilas cahaya pedang yang saling
menyambar, tidak seorang pun tahu sudah beberapa gebrakan
pertarungan itu berlangsung.
Brbeda dengan Bu-siang Cinjin, dia mengikuti jalannya
pertarungan itu dengan seksama, ketika Siang Thian-beng
menyelesaikan ke tiga puluh enam jurus serangannya, diam diam
bisiknya kepada Bu-si Tojin, "Ternyata ke tiga celah yang terdapat
dalam ilmu pedang Hui-eng-kiam-hoat milik Hian Tin-cu telah
ditambal, kini sama sekali tidak nampak ada kelemahan lagi.”
Walaupun ilmu pedang Hui-eng-kiam-hoat terdiri dari enam puluh
empat jurus, namun Siang Thian-beng tidak menggunakannya
secara berurutan, ke tiga celah tersebut yang pertama ada pada
jurus ke tiga puluh enam, kedua ada di jurus ke empat puluh
delapan dan ke tiga ada di jurus ke lima puluh sembilan. Sementara


dalam permainan kali ini biarpun Siang Thian-beng baru
menggunakan tiga puluh enam jurus, namun ke tiga jurus yang ada
celahnya telah selesai digunakan semua.
"Put-ji dapat bertahan sampai sekarang, hal ini sudah terhitung
luar biasa baginya,” sahut Bu-si Tojin, "terus terang saja dalam hal
belajar ilmu pedang, bakatnya memang jauh diatas kemampuanku,
hanya sayang dia lebih memilih jalan taktik dari pada jalan lurus....“
"Taktik dan lurus saling menumbuhkan, tidak salah kalau dipakai
untuk saling menunjang dan menutup kelemahan yang ada,” sela
Bu-beng, "sudah terhitung hebat kalau dia bisa berpikiran ke situ.
Sute, ilmu pedangnya bukankah merupakan hasil gemblengan mu?
Kalau dia bisa mencapai taraf sehebat ini, bukan saja kau patut
merasa gembira, kamipun wajib memberi selamat kepadamu.”
"Tidak benar, tidak benar!" tiba tiba Bu-siang Cinjin berseru
tertahan.
"Jurus mana dari ilmu pedangnya yang tidak benar?" tanya Bu-si
Tojin tertegun.
"Bukan ilmu pedangnya yang kumaksud.”
"Maksudmu ilmu pedang dari Siang Thian-beng? Sungguh
mengecewakan, aku tidak berhasil menemukan apa-apa.”
"Ilmu pedang yang dimiliki Siang Thian-beng nyaris tanpa celah,
mana mungkin tidak benar?"
"Lantas apa yang dimaksud Suheng sebagai tidak benar?" tanya
Bu-si Tojin tak habis mengerti.
"Masalah ini tidak mungkin bisa dijelaskan dengan sepatah dua
patah kata, lebih baik dibicarakan lagi besok. Siapa tahu dugaanku
yang salah.”
Kata "tidak benar" biasanya digunakan untuk menunjuk sesuatu
kenyataan, kalau memang begitu, kenapa pula dia masih
mengatakan kalau hal tersebut masih "dugaan"?
Dalam pada itu pertarungan pedang yang berlangsung di tengah


arena makin lama makin bertambah tegang dan seru, karena Busiang
Cinjin enggan bicara maka diapun merasa rikuh untuk
mendesak lebih lanjut, apalagi Bu-siang Cinjin sudah berkata akan
dibicarakan lagi dikemudian hari, terpaksa dia hanya menyimpan
kecurigaan tersebut di dalam hati.
Ternyata yang membuat Bu-siang Cinjin merasa "tidak benar"
adalah masalah tenaga dalam yang di miliki Siang Thian-beng.
Sejak awal dia sudah menduga kalau Siang Thian-beng pasti
sudah memperbaiki permainan ilmu pedangnya, namun dalam hal
tenaga dalam, walaupun ter-masuk tidak lemah juga namun jauh
dari apa yang diduganya semula.
Sebagaimana diketahui Put-ji baru menjadi pendeta setelah dia
berusia dua puluh enam tahun, saat itulah dia baru secara resmi
belajar di bawah bimbingan Bu-siang Cinjin.
Sebaliknya Siang Thian-beng selama ini berlatih terus ilmu
pedang Hui-eng-kiam-hoat nya di bawah bimbingan Hian Tin-cu,
berlatih tekun selama tiga puluh enam tahun sudah pasti akan
menghasilkan kemampuan yang luar biasa, jadi berbicara soal
tenaga dalam, tidak seharusnya kemampuannya tidak dapat
mengungguli Put-ji.
Di samping itu, berbicara soal ilmu pedang, meski dalam
permainan pedang Siang Thian-beng tidak dijumpai celah, namun
dalam pandangan Bu-siang Cinjin sekalian sebagai para ahli,
permainan orang itu terkesan kelewat "kanak-kanak" dan kesan
'kanak-kanak" itu tentu saja dikarenakan kekuatan tenaga dalamnya
belum mencapai puncak kesempurnaan.
Tanpa terasa Bu-siang Cinjin membayangkan kembali kejadian
pada tiga puluh enam tahun berselang, sewaktu bertemu murid dari
Hian Tin-cu itu, pikirnya, "Benar, tinggi rendahnya tenaga dalam
sangat mempengaruhi kwalitas dari suatu permainan pedang, itupun
tergantung seberapa bagus bakat yang dimiliki, bukan berarti
karena waktu berlatih yang panjang, pasti menghabiskan tenaga
dalam yang sempurna. Tapi kalau dilihat murid kecil dari Hian TinTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/

cu, seharusnya dia terhitung orang yang berbakat bagus, tidak
semestinya kemampuan yang berhasil dia yakini berada di bawah
kemampuan Put-ji. Namun kenyataannya sekarang, sekalipun dia
berhasil mengungguli Put-ji, kelebihan yang dimiliki pun tidak terlalu
banyak selisihnya, kenapa bisa begitu?"
Pada saat yang bersamaan, dari tengah ratusan murid Bu-tongpay
yang menonton dari bawah mimbar mendadak terdengar pula
seseorang berteriak keras, "Tidak benar, tidak benar!"
Orang itu tidak lebih hanya seorang gadis berusia enam belas
tahunan, dia tidak lain adalah 'cici' Lan Giok-keng, Lan Sui-leng.
Waktu itu Lan Sui-leng sedang berdiri berjajar dengan gurunya
Put-hui Tokouw.
Agak tertegun Put-hui mendengar teriakan itu, buru-buru
bisiknya, "Anak kecil tahu apa? Jangan berteriak-teriak.”
"Aku tidak mengerti ilmu pedang yang mereka miliki, yang
kumaksud bukan ilmu pedang mereka.”
"Lantas masalah apa yang kau katakan tidak benar?" tanya Puthui
dengan perasaan ingin tahu.
""Suhu, kau jangan marah, aku hanya merasa kalau perkataan
yang pernah kau ucapkan dulu sedikit tidak benar.”
"Perkataan apa?"
"Suhu, masih ingatkah kau ketika suatu hari tanpa sengaja kau
melihat Put-ji Totiang sedang mewariskan ilmu pedang kepada
adikku, sekembalinya ke rumah kau pernah berkata, walaupun ilmu
pedang dari Put-ji Totiang memiliki banyak rancangan dan gerakan
baru namun sayang semua gerakannya hanya kembangan dan
sama sekali tidak berguna, kemudian ketika aku bertarung melawan
adik, benar saja, aku berhasil mengungguli dirinya. Aku merasa
perkataanmu waktu itu sama sekali tidak betul.
"Coba kau lihat kemampuannya sekarang, bukan saja Put-ji
Totiang sanggup bertarung menghadapi orang yang disebut


Malaikat Pedang ini bahkan sanggup bertarung seimbang, bukankah
hal ini membuktikan kalau perkataanmu dulu tidak benar? Dari
pembicaraan Ciangbunjin tadi, jelas kedengaran kalau beliau sangat
menyanjung kehebatan si Malaikat Pedang, masa nama besar
Malaikat pedang hanya nama kosong belaka?"
"Tentu saja Malaikat Pedang bukan jagoan bernama kosong,
hanya saja....”
"Hanya saja kenapa?"
Put-hui Tokouw termenung tanpa bicara, kelihatannya dia sedang
tercekam dalam masalah yang pelik.
Tiba tiba Lan Sui-leng berseru lagi sesudah memandang sekejap
sekeliling tempat itu, "Hei, ke mana perginya adikku?"
Sebagaimana diketahui, Put-ji adalah guru Lan Giok-keng, di saat
gurunya sedang bertarung melawan musuh tangguh, sudah
seharusnya dia tampil di depan untuk mengikuti jalannya
pertarungan itu.
Sewaktu semua murid berkumpul di bawah mimbar tadi, Lan Suileng
telah berusaha mencari adiknya namun gagal. Sekarang dia
hanya berharap adiknya berada diantara kerumunan orang banyak
dan berdiri dibarisan terdepan. Sayang harapan inipun sia-sia.
Tiba tiba Put-hui Tokouw berseru tertahan, "Aaah, betul, betul!"
"Apanya yang betul?" buru-buru Lan Sui-leng bertanya.
Put-hui Tokouw tidak langsung menjawab, dia memandang
sekejap sekeliling tempat itu, ketika melihat semua orang sedang
mencurahkan seluruh perhatiannya ke tengah arena dan yakin tidak
akan ada yang memperhatikan mereka berdua, dia baru berbisik ke
sisi telinga Lan Sui-leng, "Ilmu pedang Put-ji memang sangat
berkembang, bahkan dia berhasil menciptakan banyak gerakan baru
dalam ilmu pedangnya, tapi jurus serangan yang dia gunakan
sekarang, jauh berbeda dengan jurus pedang yang diajarkan
kepada adikmu tempo hari. Malah dapat kulihat kalau perbedaannya
bagaikan langit dan bumi.”


"Jadi Put-ji Totiang sengaja mengajarkan ilmu pedang
kembangan kepada adikku? Tapi kenapa begitu?"
Put-hui Tokouw semakin merendahkan suaranya, setengah
berbisik katanya, "Aku khawatir Put-ji mempunyai maksud jahat
terhadap adikmu!"
"Haah, kenapa bisa begitu?" jerit Lan Sui-leng terkesiap.
Saking kerasnya teriakan ini membuat banyak orang segera
berpaling ke arah nya, bahkan ada beberapa diantaranya yang
menegur agar mereka jangan berisik.
Buru-buru Put-hui Tokouw menarik Lan Sui-leng untuk
menyingkir ke pojokan arena.
Dalam pada itu pertarungan antara Siang Thian-beng melawan
Put-ji sudah mencapai pada puncak ketegangan, tiba-tiba tampak
tubuh Put-ji mundur beberapa langkah ke belakang, sementara
permainan pedang dari Siang Thian-beng mengembang makin
melebar, pada hakekatnya dia sudah mengurung seluruh tubuh
lawan di bawah ancamannya.
Beruntun Put-ji melancarkan tujuh lingkaran pedang, setiap
lingkaran pedang yang diciptakan segera memunahkan setengah
bagian tenaga serangan lawan, dengan susah payah akhirnya dia
berhasil juga memperkokoh kembali posisinya.
Tapi kini kendali berpihak pada Siang Thian-beng, enam puluh
persen serangan yang dilancarkan nyaris berasal dari pedangnya.
Justru karena situasi pertarungan telah mencapai puncak
ketegangan, tiada orang lagi yang menaruh perhatian terhadap
mereka berdua.
Melihat itu dengan perasaan lega Put-hui Tokouw baru berbisik
lagi, "Aku sendiripun tidak mengerti apa maksud tujuannya, tapi bila
adikmu mempelajari ilmu pedang yang tidak ada gunanya itu, bila
suatu ketika benar-benar bertarung melawan musuh tangguh, jelas
keselamatan jiwanya bakal terancam bahaya maut! Aku tidak
paham apa maksud tujuannya, yang pasti dia mempunyai maksud


jahat! Tapi kau jangan bicara sembarangan di luaran, apalagi
sampai mengatakan hal ini kepada orang lain!"
Lan Sui-leng semakin bimbang dan kebingungan, sebelum ini, dia
selalu menaruh perasaan dengki dan iri terhadap adiknya karena
dianggap Put-ji Totiang kelewat sayang dan memanjakan dirinya,
bagaimana mungkin dia bisa menduga kalau Put-ji ternyata
mempunyai maksud jahat terhadap adiknya?
Sadar kalau masalah ini amat serius, buru-buru bisiknya lagi,
"Lalu apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kuperbuat?"
Put-hui Tokouw tidak menjawab tapi menarik tangannya dan
menulis diatas telapak tangannya, "Beritahu adikmu!"
Kembali Lan Sui-leng berpikir, "Apa gunanya kalau hanya
beritahu adikku, mestinya laporkan langsung ke Ciangbun Sucouw.”
Tampaknya Put-hui Tokouw dapat membaca suara hatinya, lagilagi
dia menulis di telapak tangannya, "Adikmu pintar sekali, aku
yakin dia pasti tahu apa yang harus dilakukan.”
Kendatipun diwaktu biasa dia sering dengki dan iri terhadap
adiknya, tidak urung hatinya girang juga setelah mendengar pujian
dari Put-hui Tokouw. Bukan hanya gembira bahkan serasa baru
terlepas dari beban berat.
"Benar,” sahutnya, "adik memang jauh lebih cerdas ketimbang
diriku, asal kuceritakan kejadian yang sesungguhnya, aku pun tidak
usah putar otak lagi memikirkan persoalan ini.”
Untuk menyampaikan kejadian ini kepada adiknya, pertama-tama
dia harus menemukan adiknya lebih dahulu, tapi ke mana adiknya
telah pergi?
Sementara dia masih termenung, mendadak dirasakan ada
'suasana aneh' sedang mencekam arena pertarungan, begitu hening
dan sepinya suasana saat itu hingga terasa sangat menakutkan.
Ternyata pertarungan pedang di tengah arena sudah mencapai
saat penentuan siapa menang siapa kalah.


Siang Thian-beng melambung ke udara, sepintas orang
menyangka dia akan mengulang kembali jurus Bong-po-kiu-siau
(Rajawali menyusup dari awan), padahal jurus serangan yang
digunakan adalah Eng-ki-tiang-gong (Elang sakti menggempur
langit) yang memiliki gerakan mirip dengan jurus semula.
Jika hawa serangan yang dipancarkan dari jurus Bong-po-kiu-siau
melebar ke empat penjuru maka hawa serangan yang dihasilkan
jurus Eng-ki-tiang-gong justru berpusing menusuk ke bawah.
Sekalipun ke dua serangan ini masing-masing memiliki kelebihan,
namun jurus serangan yang belakangan justru jauh lebih ganas dan
mengerikan, ibarat elang yang menerkam kelinci, sulit bagi
musuhnya untuk menghindarkan diri.
Ternyata jurus ini adalah jurus ke tiga belas dari ilmu pedang
Hui-eng-kiam-hoat dan merupakan juga jurus serangan paling
ganas, bila digunakan berurutan maka seharusnya jurus ini sudah
digunakan sejak pertama kali tadi.
Namun Siang Thian-beng sengaja menyimpannya hingga pada
saat penting, begitu tahu kalau jurus serangan Put-ji telah
digunakan hingga tua dan mustahil ditarik kembali, dia baru
menggunakan jurus tersebut untuk menghabisi lawannya.
Sayang diapun tidak menyangka kalau Put-ji pun secara diam
diam menyimpan juga satu jurus pamung-kas untuk
menghadapinya.
Betul dalam hal tenaga dalam, Put-ji masih setingkat di bawah
kemampuannya, namun gejala terakhir yang terjadi justru
merupakan satu kesengajaan darinya untuk menipu lawan.
Disaat yang kritis itulah tiba-tiba tubuh Put-ji melejit ke udara,
dengan melayang ke samping dia balas serangan lawan dengan
jurus Pek-hok-liang-ji (Bangau putih pentangkan sayap) (Gb 5).
Inilah jurus Pek-hok-liang-ji yang tidak mungkin bisa dilupakan
Lan Sui-leng karena pernah digunakan untuk mengalahkan adiknya.
Waktu itu adiknya menggunakan pedang kayu untuk


menghadapinya, bahkan sebelum menyerang masih sempat
memperingatkan cicinya agar lebih berhati-hati, namun alhasil dia
sendiri yang justru nyaris terluka oleh pedang cicinya.
Karena itu Lan Sui-leng memperhatikan dengan lebih seksama,
benar saja, ternyata jurus yang digunakan Put-ji saat ini sama sekali
berbeda dengan jurus yang digunakan adiknya.
Mereka berdua sama-sama menggunakan jurus Pek-hok-tian-ji,
radius bentangan yang dihasilkan pun sama-sama melebar sesuai
dengan ajaran ilmu Thay-kek-kiam-hoat, hanya bedanya, bentangan
yang dihasilkan Put-ji membentuk setengah lingkaran busur yang
serong ke samping sementara bentangan yang dihasilkan adiknya
justru membentuk satu lingkaran yang membujur ke tengah.
Meskipun perbedaan itu kecil sekali, ternyata manfaat yang
dihasilkan dalam pertempuran justru sangat besar.
Tubuh Siang Thian-beng menerkam ke bawah dari tengah udara,
sedang Put-ji melambut sambil menyambut datangnya ancaman,
kedua orang itu bukan saja telah beradu kecerdikan, pun beradu
kekuatan.
"Traaaang....!" di tengah benturan nyaring yang disertai percikan
bunga api, ke dua bilah pedang itu saling membentur satu dengan
lainnya.
Tubuh ke dua orang itu seakan saling menempel, begitu
sepasang pedang saling membentur, tubuh mereka pun ikut tidak
bergerak.
Oleh karena Siang Thian-beng menyergap dari udara, saat itu
hanya ujung kakinya yang menempel tanah sementara kekuatan
seluruh tubuhnya bertumpu pada pedangnya, seolah sebuah bukit
Thay-san yang menindih tubuh Put-ji kuat-kuat.
Sebaliknya sepasang kaki Put-ji seolah terpaku di atas
permukaan tanah, dia melakukan perlawanan dengan sekuat
tenaga.
Berdebar keras jantung Lan Sui-leng menyaksikan adegan itu,


bisiknya kemudian kepada Put-hui Tokouw, "Kalau pertarungan
dilanjutkan dengan cara begini, bukankah pihak musuh yang justru
akan memperoleh keuntungan? Kenapa dia tidak lepas tangan saja?
Kalau lepas tangan secara tiba-tiba, siapa tahu pihak musuh malah
jatuh terjerembab.”
"Aaah, kau ini kurang paham, sekarang mereka sedang beradu
tenaga dalam, siapa yang lepas tangan lebih dulu, dialah yang bakal
dirugikan.”
Saking tegangnya dia menonton, tanpa terasa peluh dingin
membasahi seluruh telapak tangannya.
Perlu diketahui, walaupun Put-hui Tokouw menaruh curiga kalau
Put-ji bukan orang baik, namun bagaimana pun juga pertarungan ini
merupakan pertarungan demi Ciangbunjin mereka Bu-siang Cinjin ,
tentu saja dia tidak berharap pihak lawan yang menangkan
pertarungan.
Begitu juga jalan pikiran Lan Sui-leng saat itu.
Sayang situasi di tengah arena justru bertolak belakang dengan
pengharapan mereka berdua.
Kabut putih mulai mengepul dari batok kepala Put-ji, pedangnya
pun sudah tertekan oleh senjata lawan hingga melengkung dan
membentuk garis busur.
Sebagaimana diketahui, tenaga dalam yang dimiliki Siang Thianbeng
memang setingkat di atas Put-ji, apalagi posisinya berada dari
atas menekan ke bawah, daya tekanannya otomatis jauh lebih besar
dan kuat. Hal ini memaksa Put-ji mulai tidak sanggup menahan diri.
Sayang pertarungan saat ini merupakan pertarungan beradu
tenaga dalam, seluruh hawa murni yang dimiliki mereka berdua
telah dihimpun ke dalam pedang masing-masing, jika Put-ji
melepaskan atau mengendorkan pedangnya maka kecuali dia
menarik lebih dulu tenaga dalamnya, kalau tidak tubuhnya pasti
akan terjerembab ke muka.
Di samping itu mana dia berani melepaskan pertahanannya yang


terakhir, andaikata musuh mengirim lagi dengan sebuah tusukan
maut, bukankah jiwanya akan terancam bahaya maut?
Bila kondisi seperti ini dibiarkan berlangsung lebih lama,
tampaknya selembar nyawa Put-ji akan terancam bahaya maut.
Di saat yang kritis itulah mendadak terlihat sesosok bayangan
manusia meluncur ke tengah udara dan bagaikan sambaran burung
rajawali, langsung menyela di tengah mereka berdua.
Orang itu tidak lain adalah Tiong-ciu Tayhiap Bouw Ciong-long
yang sejak hari ini sudah berubah menjadi Bu-beng, pejabat
Ciangbunjin yang baru.
Begitu menyusup masuk diantara ke dua orang itu, Bu-beng
segera mengebaskan ujung bajunya ke samping, tampak cahaya
pedang berkelebat lewat, tahu tahu ujung bajunya telah terkoyakkoyak
dan beterbangan di angkasa bagai sekumpulan kupu-kupu.
Saking terkejutnya semua orang hanya bisa berdiri melongo
dengan mata terbelalak, kedua bilah pedang itu sudah dipenuhi
pancaran tenaga dalam, bila tidak hati-hati dalam penanganan, bisa
jadi akan melukai tubuh sendiri dan bila sampai terjadi begitu, biar
tubuhnya terbuat dari lapisan baja pun tidak urung akan muncul
juga beberapa lubang ditubuhnya.
Namun sama sekali diluar dugaan, begitu termakan kebasan
ujung baju itu tubuh Put-ji justru mundur sempoyongan sampai
beberapa kaki jauhnya sebelum berhasil berdiri tegak.
Siang Thian-beng ikut tergoncang juga tubuhnya walau sepasang
kakinya masih menjejak di tanah, sekalipun tusukan pedangnya
tetap berlanjut, namun karena goncangan itu otomatis sasarannya
jadi meleset.
Dengan berpisahnya ke dua orang jago ini maka menang kalah
pun segera ketahuan, Siang Thian-beng memang menggunakan
tehnik dan akal dalam serangan kali ini, namun dalam pertarungan
kemenangan tetap berada dipihaknya.
Selesai memisahkan kedua orang itu, dengan lantang Bu-beng


berseru, "Kalau hanya ingin menjajal kepandaian, berhentilah pada
saling menutul, buat apa musti bertarung habis-habisan!"
Perkataan itu Cengli dan masuk diakal, namun dalam
pendengaran Siang Thian-beng justru mendatangkan perasaan yang
tidak sedap.
Sementara kawanan jago lainnya pun berdiri semakin termangu,
sekarang mereka baru tahu bahwa ilmu meminjam tenaga ternyata
memang luar biasa hebatnya.
Kalau dibahas dari saling menutul, tentu saja dalam hal ini dia
berhasil mengungguli Put-ji satu gebrakan, namun dia dikalahkan
pula oleh Bu-beng.
Padahal tujuan kedatangan Siang Thian-beng adalah hendak
mengalahkan Bu-tong-pay, mana mungkin dia mau menyudahi
persoalan sampai disitu saja?
Dari malu dia jadi gusar, mendadak sambil melepaskan satu
tusukan ke tubuh Bu-beng, bentaknya, "Bagus, aku memang ingin
minta petunjukmu!"
Tubuhnya sempoyongan sementara kakinya terhuyung-huyung
keadaannya persis seperti orang mabuk. Tapi caranya
memanfaatkan kesempatan sungguh luar biasa, tampaknya ujung
pedang itu segera akan menembusi tenggorokan Bu-beng.
Mendadak dia hentikan serangannya seraya membentak,
"Kenapa belum meloloskan pedangmu? Mau menunggu sampai
kapan?" Bu-beng tersenyum.
"Tahu diri dan tidak sampai membuat malu, Kau berhasil
menangkan satu gebrakan dari sutitku, aku rasa anggap saja kaulah
pemenangnya.”
Sepintas perkataan ini seakan mengalah, padahal yang benar
gebrakan itu justru merupakan jurus mundur untuk maju.
Sebagaimana diketahui, ketika melawan Siang Thian-beng, Put-ji
bertarung dengan posisi sebagai satu satunya murid Bu-siang Cinjin,


bila Siang Thian-beng benar-benar 'menarik diri setelah berhasil',
tentu saja anggota perguruan Bu-tong-pay lainnya tidak dapat
berbuat apa apa terhadapnya.
Tapi masalah ini justru hebatnya terletak pada ucapan "tahu diri
dan tidak sampai membuat malu", jangan lagi Siang Thian-beng
memang pada dasarnya tidak ingin menyudahi persoalan itu, bila
dia bersedia berdamai pun, tindakannya ini bakal membuat dia
kehilangan muka.
Berubah hebat paras muka Siang Thian-beng, hardiknya, "Apa
maksudmu dengan perkataan tahu diri tidak sampai malu? Kau
anggap aku benar-benar bukan tandinganmu?"
"Tentu saja Pinto tidak punya maksud begitu, Pinto hanya
merasa bahwa ilmu pedang kedua partai kita masing-masing
mempunyai kelebihan sendiri, kalau benar-benar harus ditentukan
menang kalah, aku khawatir justru akan merusak suasana.”
"Sejak awal aku sudah bilang!" teriak Siang Thian-beng semakin
gusar, "kemenanganku atas keponakan murid itu tidak masuk
hitungan, bagaimana pun aku tetap akan berduel melawanmu.”
"Buat apa musti begitu?" Bu-beng tetap ter-senyum.
"Jadi kau bersikeras enggan memberi petunjuk?" bentak Siang
Thian-beng gusar, sambil menghardik dia lancarkan sebuah
tusukan.
Serangan ini selain cepas, ganas pun berbahaya, tahu-tahu ujung
pedangnya telah mengancam di ujung hidung Bu-beng.
"Ooh, jadi Siang-heng tetap ingin paksa aku untuk pamer
kejelekan?" tanya Bu-beng kemudian sambil tersenyum.
"Betul, aku tidak akan mengulang perkataan yang sama, jika kau
enggan membalas, itu berarti sedang mencari penyakit buat diri
sendiri!"
Serangan yang dilancarkan ke tiga kalinya ini jauh lebih ganas
ketimbang serangan ke dua, kali ini sasaran yang diarah adalah


sepasang mata Bu-beng.
"Kejadian yang sama tidak akan diulang tiga kali!" teriak Put-po
tiba-tiba, "Ciangbun susiok, kau telah mengalah tiga jurus!"
Pada saat itulah terlihat cahaya pedang bagai sebuah rantai
membentuk satu lingkaran besar yang mengelilingi arena, kemudian
diiringi suara benturan keras, dua sosok bayangan manusia saling
berpisah satu dengan lainnya.
Hampir delapan-sembilan puluh persen anggota Bu-tong-pay
tidak sempat melihat dengan jelas peristiwa apa yang telah terjadi,
ada diantara mereka yang khawatir, ada pula yang merasa ngeri,
mereka takut Bu-beng telah dilukai oleh serangan maut itu, bahkan
ada pula yang langsung mengumpat, "Tidak punya muka!
Ciangbunjin kami telah mengalah kepadamu, kau justru....”
Tiba-tiba semua orang tertegun dan tidak mampu melanjutkan
umpatannya lagi. Tapi saat itulah ada seseorang yang melanjutkan
makian tersebut, "Hahahaha.... tepat sekali, dia memang benar
benar tidak punya muka!"
Apa yang disebut "dia memang benar-benar tidak punya muka?"
Ucapan itu kedengarannya memang agak susah untuk dicerna,
tapi setiap murid Bu-tong-pay yang hadir saat itu dapat
menyaksikan kejadian dihadapan mereka dengan jelas sekali,
hingga tidak perlu dijelaskan pun mereka sudah paham sendiri.
Apa yang telah mereka saksikan? Ternyata mereka telah
menyaksian "Siang Thian-beng" yang lain, tidak tepat kalau
dikatakan orang yang lain, lebih tepatnya kalau dibilang mereka
telah menyaksian Siang Thian-beng tapi dengan wajah yang
berbeda.
Kalau Siang Thian-beng yang tadi adalah seorang lelaki setengah
umur yang berwajah kaku, dingin dan tanpa emosi, bahkan lebih
tepat dibilang mirip sesosok mayat hidup, maka Siang Thian-beng
yang tampil dihadapan mereka sekarang adalah seorang pemuda
tanpa kerutan sedikitpun di wajahnya, waktu itu dia sedang berdiri


dengan wajah kaget, gugup dan melongo.
Tidak sedikit anggota perguruan Bu-tong-pay yang kaya
pengalaman dunia persilatan, setelah diawasi lebih seksama, banyak
diantara mereka yang sadar akan kejadian yang telah berlangsung.
Ternyata Siang Thian-beng yang tampil dari tadi adalah
seseorang yang mengenakan topeng kulit manusia, dan Siang
Thian-beng yang tampil sekarang inilah baru benar-benar tampil
dengan wajah aslinya.
Setelah termangu sesaat tiba-tiba Put-po berteriak keras,
"Sebuah jurus Hian-nio-hua-sah (Burung hitam mengayuh pasir)
yang sangat hebat!" Menyusul teriak itu, Put-hu, Put-hui, Put-lam,
Put-tin sekalian anggota murid yang berdiri di belakangnya seakan
baru mendusin dari impian, serentak mereka ikut berteriak, "Ilmu
pedang yang digunakan Ciangbun susiok benar-benar sangat hebat!
Siang Thian-beng, kali ini kau bisa menyerah dengan hati puas
bukan?"
Ternyata walaupun Bu-beng tidak sampai mencabut pedangnya,
namun jurus yang digunakan untuk memunahkan tusukan Siang
Thian-beng ke arah matanya benar-benar adalah jurus ilmu pedang
Thay-kek-kiam-hoat tingkat tinggi.
Dengan tangan sebagai pengganti pedang, mula mula dia
gunakan jurus Sam-coan-hoat-lun (tiga kali memutar roda hakim)
untuk mengunci serangan lawan dalam lingkaran hawa pedangnya,
kemudian dengan tehnik menggiring dan membetot dia paksa
pedang lawan mau tidak mau berputar mengikuti kemauan sendiri
lalu memutar balik ke arah yang berlawanan, dalam gerakan itu
pedangnya justru senjata makan tuan dengan merobek topeng kulit
manusia yang dikenakan.
Oleh sebab itu pujian Put-po tentang "Sebuah jurus Hian-niohua-
sah (Burung hitam mengayuh pasir) yang sangat hebat!"
sesungguhnya merupakan jurus serangan yang digunakan Siang
Thian-beng saat itu. Hanya sayang gerak tangannya sudah tidak
mentaati perintahnya lagi melainkan di bawah pengaruh Bu-beng.


Dengan meminjam pedangnya, meminjam tangannya dan
meminjam jurus serangannya, Bu-beng telah memaksa dia untuk
membongkar kedok penyaruannya sendiri.
Bila diuraikan peristiwa itu rasanya begitu pelik dan kalut,
padahal gerakan yang dilakukan Bu-beng saat itu jauh lebih cepat
daripada sambaran petir.
Bisa meminjam jurus serangan lawan untuk melukai pihak lawan
pun sebenarnya sudah terhitung satu tindakan yang luar biasa,
apalagi Bu-beng masih bisa menggunakan ujung pedang lawan
untuk merobek topeng kulit manusia yang dikenakan diwajahnya
tanpa melukai kulit muka itu sendiri, hal ini benar-benar diluar
dugaan siapa pun.
Perlu diketahui, topeng kulit manusia yang dikena kan Siang
Thian-beng saat itu begitu halus dan tipis, melebihi tipisnya
selembar kertas.
Kejutan lain masih ada di belakang! Kejadian yang membuat para
anggota Bu-tong-pay terperangah bukan hanya lantaran
kedahsyatan ilmu pedang itu saja.
Mula-mula konsentrasi mereka hanya tertumpu pada kehebatan
ilmu pedang itu, namun setelah termangu beberapa saat, mereka
baru merasakan hal lain yang tidak beres.
Paras muka Siang Thian-beng yang muncul di depan mata saat
ini adalah wajah seorang pemuda yang berusia paling dua puluh
tahunan, padahal murid Hian Tin-cu yang mengadakan perjanjian
dengan Bu-siang Cinjin terjadi pada tiga puluh enam tahun
berselang.
"Kau bukan Siang Thian-beng!" kata Bu-beng dingin.
"Hmm, aku hanya mengatakan kalau aku dari perguruan Hian
Tin-cu- sahut pemuda itu ketus, "tentang kalian telah
menganggapku sebagai orang lain, itu sih urusan kalian sendiri.”
Sejujurnya dia memang tidak pernah mengakui kalau dirinya
adalah Siang Thian-beng. Sekalipun menurut keadaan pada


umumnya, istilah dari 'perguruan' sama artinya adalah "murid" dari
seseorang, namun kata dari perguruan tidak mengharuskan kalau
dia adalah murid langsung, boleh jadi dia hanya seorang cucu
murid.
Kembali Put-po mendengus dingin.
"Hmm, paling tidak kau punya hubungan dengan Siang Thianbeng
bukan?" sindirnya.
"Tentu saja! Kalau tidak, buat apa aku kemari. Aku adalah murid
Siang Thian-beng, dengan nama Tonghong Liang.”
"Apa sebab gurumu tidak datang sendiri?" tanya Bu-siang Cinjin.
"Dulu, kau boleh mewakili gurumu untuk bertanding, mengapa
pula aku tidak boleh mewakili guruku untuk memenuhi janji?"
"Kalau begitu perjanjianku dengan gurumu tempo hari sudah
dapat dianggap selesai bukan?"
"Seharusnya pertanyaan itu kau langsung tanyakan kepada
pejabat Ciangbunjin barumu!"
Beberapa orang anggota Bu-tong-pay yang temperamen kontan
saja mencaci maki kalang kabut, tapi Bu-beng tetap tenang bahkan
emosi pun tidak, tanyanya dengan suara lembut, "Maaf aku tidak
mengerti apa maksud perkataanmu?"
"Jika kau anggap dengan berhasil mengungguli diriku maka
reputasi Bu-tong-pay bisa terjaga, maka sesuai peraturan dunia
persilatan, lantaran aku datang mewakili guruku, kau boleh saja
menganggap masalah ini telah selesai.”
Bicara dari tingkat kesenioran, posisi Tonghong Liang hanya
sejajar dengan murid angkatan "Put" dalam partai Bu-tong,
sebaliknya Ciangbunjin baru Bu-beng berasal dari tingkatan yang
sejajar dengan Ciangbunjin lama Bu-siang Cinjin, jadi kekalahan
Tonghong Liang di tangan Bu-beng tidak bisa dianggap kehilangan
muka.
Tapi bila lantaran kemenangan tersebut kemudian pihak Bu-tongTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/

pay menganggap masalah terselesaikan, maka tindakan tersebut
paling tidak akan menjadi bahan pembicaraan orang banyak, karena
mereka "rela turun pangkat" kalau sampai terjadi begitu, bagaimana
mungkin mereka dapat menjaga reputasi dan nama baik partai?
Sekarang semua orang baru sadar, rupanya sejak awal dia
memang sengaja berusaha mengaburkan suasana dengan mengaku
dirinya dari perguruan Hian Tin-cu, rupanya dia berniat mencari
tahu kehebatan ilmu pedang Bu-tong-pay demi gurunya.
Hanya saja, walaupun pihak Bu-tong-pay sadar kalau dia sedang
main siasat untuk mencari keuntungan, akan tetapi sulit bagi
mereka untuk tidak menerima tantangan tersebut.
Dalam pada itu Tonghong Liang telah menyarungkan kembali
pedangnya dan berkata kepada Bu-beng seraya menjura, "Harus
kuakui bahwa aku takluk kepadamu karena ilmu pedangmu
memang jauh lebih hebat ketimbang kemampuanku. Cuma sayang,
belum tentu kau dapat memenangkan guruku f4'
Dalam situasi begini, betapa bagusnya kesabaran Bu-beng, tidak
urung dia tidak ingin menunjukkan kelemahan sendiri dihadapan
orang, segera sahutnya dengan suara dalam, "Jadi kau berniat
membuatkan janji untuk gurumu?"
"Aku tidak bisa mewakili gumku untuk memberi jawaban, tapi
aku bersedia menyampaikan niatmu untuk bertanding pedang
kepada beliau.”
Sebagaimana diketahui, dia datang karena sedang mewakili
gurunya untuk memenuhi janji, dengan sendiri nya tata cara dan
pembicaraan semuanya harus mengikuti 'aturan'. Itulah sebabnya
dia hanya bisa mengatakan begitu.
"Bagus,” jawab Bu-beng perlahan, "tolong sampaikan kepada
gurumu, bila dia masih berniat untuk menjajal ilmu silatku, setiap
saat pinto bersedia memenuhi undangannya.”
"Pesan dari Totiang pasti akan kusampaikan. Bila kau tidak ada
pesan lain, aku mohon pamit.”


Begitu selesai bicara, dia langsung menerobos dari antara
kerumunan murid Bu-tong-pay dan turun gunung.
Berbicara dari tingkat kesenioran, posisinya paling hanya sejajar
dengan murid Bu-tong-pay dari angkatan "Put", meskipun sekarang
pihak Bu-tong-pay berhasil menangkan pertarungan ini, namun dua
orang murid angkatan "Put" yang paling tinggi kepandaiannya, Putpo
dan Put-ji telah keok ditangan orang itu, boleh dibilang
kekalahan yang diderita pemuda itu bukanlah kekalahan yang
memalukan.
Menyaksikan kepergian orang itu, para anggota Bu-tong-pay
merasa amat masgul, semua orang merasa sangat kehilangan
muka.
Di tengah rasa malu, kecewa dan menyesal, dengan sendirinya
kesan para anggota Bu-tong-pay terhadap Bu-beng pun berubah
menjadi baik-baik, rasa kagum dan rasa berterima kasih terpancar
keluar dari wajah semua orang.
Coba kalau bukan Bu-beng tampil ke depan, bahkan berhasil
menangkan pertarungan itu secara cantik, mau ditaruh kemana
nama baik dan reputasi partai Bu-tong?
Jalan pemikiran semua anggota perguruan segera diutarakan
oleh Put-po dengan tampil ke depan dan sekali lagi memberi
penghormatan kepada Bu-beng, ujarnya, "Hari ini aku baru sadar,
ternyata aku tidak lebih hanya katak dalam sumur, tidak tahu
tingginya langit dan tebalnya bumi, harap susiok mau memaafkan
ketidak sopananku tadi.”
Put-pay adalah murid pertama Bu-liang Totiang, walaupun dia
menaruh kesan jelek terhadap Bu-beng, namun saat ini mau tidak
mau harus mengikuti juga di belakang Put-po dan menyampaikan
perasaan kagumnya itu.
"Ilmu pedang susiok betul-betul membuat pandangan mata tecu
semakin terbuka, Tonghong Liang bajingan cilik itu benar-benar
kelewat latah dan jumawa, tapi kenyataannya susiok hanya butuh
tiga jurus telah berhasil membuatnya kehilangan muka. Kalau


muridnya saja hanya begitu, tidak mungkin gurunya bisa kelewat
hebat. Menurut pendapat tecu, biarpun bajingan itu omong besar
untuk gurunya, mungkin perbuatannya itu hanya gertak sambal
belaka.”
"Bisa jadi ilmu pedang yang dimiliki guru bermurid itu tidak
selisih banyak, namun bila disertai dengan kesempurnaan tenaga
dalam, jelas hasilnya akan jauh berbeda. Gurunya tersohor sebagai
Malaikat pedang, jadi menurut pendapatku, kita tidak boleh
pandang enteng kemampuan mereka berdua.”
Put-ji yang terakhir kali tampil ke depan menyampaikan selamat,
diapun mengucapkan terima kasih karena Bu-beng telah
membantunya melepaskan diri dari kesulitan.
Sambil tersenyum ujar Bu-beng, "Ilmu pedangmu cukup bagus,
bila di kemudian hari kau berhasil melatih ilmumu hingga sanggup
menggabungkan gerakan lurus dan gerakan sesat, sudah pasti
kehebatanmu bisa membantu menaikan pamor perguruan.”
Melihat Ciangbunjin baru mereka begitu rendah hati, para murid
semakin merasa kagum.
Sementara itu Bu-si Tojin yang berada diatas mimbar sedang
minta petunjuk dari Suhengnya, dia berkata, "Ilmu pedang Hui-eng
kiam-hoat memang tidak ditemukan celah apa pun, bila Siang
Thian-beng sendiri yang menggunakan ilmu pedang tersebut,
menurut pendapat mu apakah Bu-beng Suheng berpeluang untuk
menangkan pertarungan?"
Bu-siang Cinjin termenung sejenak, kemudian sahutnya, "Ilmu
pedang itu mati, perubahan itulah yang hidup. Jika kita dapat
menggunakan ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat sesuai dengan
kehendak hati sendiri, biar ilmu pedang Hui-eng-kiam-hoat tanpa
celah pun kita tetap bisa menciptakan celah baginya. Menurut
pandang anku, ilmu pedang Bu-beng sudah hampir mendekati
puncak kesempurnaan. Aku tidak berani mengatakan dia pasti bisa
menang, yang bisa kukatakan hanyalah dia lebih banyak berpeluang
untuk menang.”


Berbicara sampai disitu, tiba-tiba Bu-siang Cinjin menghela napas
panjang.
Melihat itu Bu-si Tojin jadi tertegun, tanyanya, “Kalau memang
Bu-beng Suheng berpeluang besar untuk menang, mengapa
Ciangbunjin masih menghela napas?"
Sekali lagi Bu-siang Cinjin menghela napas panjang, katanya,
"Bila satu perguruan besar hanya mengandalkan kehebatan dari
satu, dua orang jagoan saja, jelas kemampuannya belum sanggup
untuk menunjang seluruh partai, yang penting justru ada generasi
penerusnya. Dulu, walaupun Hian Tin-cu menderita kekalahan,
namun ahli warisnya justru generasi yang lebih hebat daripada
generasi sebelumnya. Kini kemam-puan Siang Thian-beng sudah
jauh melampui kehebatan gurunya Hian Tin-cu, sementara
Tonghong Liang yang barusan datang, walau usianya masih muda
namun kemampuannya sudah sangat hebat, entah bagaimana
jadinya setelah usia pertengahan nanti, menurut pandanganku, bisa
jadi dia akan jauh lebih hebat daripada gurunya sekarang, Siang
Thian-beng.”
"Tapi kemampuan Put-ji sutit juga terhitung hebat!" seru Bu-si
Tojin.
"Dia memang hebat, hanya saja....”
"Hanya saja kenapa?”
“Aku khawatir dia tidak menempuh jalan yang lurus, apalagi dia
baru menjadi pendeta setelah setengah jalan, sulit rasanya untuk
mencapai puncak kesempurnaan. Memang betul bakatnya termasuk
orang pilihan dalam perguruan kita, namun bila dibandingkan
Tonghong Liang, aku rasa.... dia masih ketinggalan sedikit.”
Kelihatannya kesehatan tubuh Bu-siang Cinjin semakin mundur,
baru selesai mengucapkan perkataan itu dia sudah terbatuk
berulang kali, bahkan suaranya pun semakin lemah dan lirih, begitu
lemah hingga murid yang berdiri di dekat mimbar pun tidak sempat
mendengar.


Saat itu para anggota Bu-tong-pay sedang berkasak-kusuk
sendiri membicarakan peristiwa yang barusan berlangsung, otomatis
tidak ada diantara mereka yang berniat mencuri dengar
pembicaraan Ciangbunjin mereka.
Namun ada satu orang yang terkecuali, dia tidak lain adalah Putji,
satu-satunya murid Bu-siang Cinjin.
Tenaga dalam yang dimiliki Put-ji termasuk cukup sempurna dan
jauh melampaui kemampuan rekan-rekan se angkatannya, bahkan
dibandingkan Bu-liang Totiang pun hanya selisih sedikit, begitu dia
mendengar Bu-si Tojin menyinggung namanya, dengan cepat dia
pun pasang telinga untuk mencuri dengar pembicaraan itu.
Ketika gurunya bilang kalau dia bukan tandingan Tonghong
Liang, mau tidak mau dia harus mengakui akan kenyataan tersebut,
tapi dengan cepat dia pun merancang sebuah rencana baru bagi diri
sendiri, pikirnya, "Benar, sekarang aku memang belum sanggup
mengalahkan Tonghong Liang si bajingan muda itu, tapi sepuluh
tahun kemudian, ketika aku telah berhasil menguasai seluruh ilmu
silat perguruan, lihat saja bagaimana hasilnya nanti. Yang aku
khawatirkan justru sampai waktunya, kau hanya bisa mendengar
laporanku dari dalam kuburanmu.”
Tapi ada satu hal yang membuatnya girang dan lega, pikirnya,
"Untung saja Suhu hanya menyesal karena aku tidak sanggup
mengungguli kehebatan murid orang, dia hanya terbatas menyesali
soal kemampuan ilmu pedangku dan bukan membicarakan soal
tabiat serta tingkah lakuku.”
Bu-si Tojin sendiripun diliputi perasaan bingung dan rasa tidak
paham, dia tidak habis mengerti dengan perkataan Ciangbun
Suhengnya tentang "tidak menempuh jalan yang lurus".
Yang dimaksudkan Suhengnya adalah soal ilmu pedangnya yang
tidak lurus? Ataukah tingkah lakunya yang tidak lurus? Sebab secara
diam-diam diapun dapat merasakan bahwa tingkah laku Put-ji
belakangan semakin aneh dan mencurigakan.
Tentu saja semua kecurigaan tersebut hanya bisa disimpan di


dalam hati, dia segan untuk menanyakan masalah ini kepada
Ciangbun Suhengnya hingga jelas.
Agaknya Bu-siang Cinjin sendiripun merasakan ganjalan yang
sama, kembali dia menghela napas panjang.
Ooo)*(ooO
BAB V.
Put-ji tidak mentaati pesan terakhir.
"Suheng, mengapa kau menghela napas lagi?" Bu-si Tojin segera
bertanya.
"Sebenarnya dalam perguruan kita bukannya tidak ada muridmurid
berbakat bagus, seperti misalnya Lan Giok-keng, cukup
berbicara dari bakatnya saja, menurut pandanganku dia tidak kalah
dari Tonghong Liang! Hanya sayang....”
"Hanya sayang kenapa?"
Bu-siang Cinjin hanya terengah-engah tanpa menjawab.
Bu-si Tojin segera perintahkan orang untuk menyuguhkan
secawan kuah jinsom, selesai meneguk satu tegukan dan mengatur
pernapasan, Bu-siang Cinjin baru berkata lagi, "Sayang usianya
masih kelewat kecil, mungkin sulit bagiku untuk melihatnya tumbuh
hingga dewasa, Sute, tolong kau yang merawatnya di kemudian
hari.”
Tentu saja Bu-si Tojin mengiakan berulang kali, namun muncul
perasaan "istimewa" di hati kecilnya, dia seperti merasa Suhengnya
punya sesuatu rahasia yang sulit diutarakan kepadanya saat itu.
"Sute,” kembali Bu-siang Cinjin berkata sambil tertawa getir, "aku
sudah tidak punya waktu untuk berbicara panjang lebar lagi,
sekarang aku harus menyerahkan pekerjaan besar terakhir
kepadamu.”


Bu-si Tojin mengerti tugas terakhir apa yang akan diserahkan
kepadanya, cepat dia bertepuk tangan dua kali, para anggota
perguruan yang sedang ramai berbincang pun menjadi tenang
seketika.
Setelah menarik napas panjang, dengan suara yang lebih lantang
ujarnya lagi, "Ilmu pedang yang dimiliki Bu-beng telah kalian
saksikan, sekarang, apakah masih ada orang yang keberatan untuk
mengangkat dia sebagai Ciangbunjin baru?"
Tentu saja tidak ada orang yang berani membantah.
Maka Bu-siang Cinjin pun berseru, "Bu-beng sute, silahkan naik
ke atas mimbar.”
Baru saja Bu-beng naik ke atas mimbar, Bu-siang Cinjin telah
mengambil sebuah kotak bersulam dan dipegangnya dalam
genggaman sambil berkata, "Kotak ini berisikan sejilid kitab ilmu
pukulan Thay-kek-kun yang ditulis sendiri oleh Thio Cinjin, Couwsu
pendiri partai serta sebuah cap batu kemala hadiah Kaisar Thaycouw,
mulai sekarang kuserahkan benda ini kepadamu dan kaulah
Ciangbunjin angkatan ke sembilan belas partai Bu-tong kita!"
"Suheng, lebih baik ke dua benda mustika ini kau serahkan
kepadamu setelah kau berusia seratus tahun!” seru Bu-beng
terperanjat.
Bu-siang Cinjin menggeleng, katanya lagi dengan sungguh
sungguh, "Kini perguruan kita sedang terancam bahaya, ada banyak
pekerjaan besar yang menantimu untuk dilakukan. Sementara aku
telah berusia delapan puluh tahun lebih, masa kau tidak rela
membiarkan aku melepaskan diri dari beban berat ini?"
Nada pembicaraan itu disertai dengan wibawa yang sulit dilawan,
terpaksa sambil menjatuhkan diri berlutut Bu-beng menerima
pemberian kotak tersebut.
Kini Bu-siang Cinjin baru tertawa terbahak-bahak, katanya, "Sute,
kepandaian silatmu sepuluh kali lipat lebih hebat dari
kemampuanku, setelah tiga puluh tahun lebih memangku jabatan


sebagai Ciangbunjin tanpa berhasil menumbuhkan bibit baru, baru
hari ini aku merasa bahwa apa yang kulakukan sangat tepat.
Dengan kau memangku jabatan sebagai Ciangbunjin, pikiran dan
perasaan ku pun jadi sangat lega tanpa beban lagi.”
Begitu selesai mengucapkan perkataan terakhir, dia pun
pejamkan matanya sambil menundukkan kepala.
Bu-si Tojin cepat memburu maju sambil memeriksa, kemudian
jeritnya, "Ciangbun Suheng telah berangkat ke alam baka!"
Dengan berdiri tegak sambil merangkap tangannya di depan
dada, Bu-beng pun berseru, "Tiada wujud sumber dari tiada
halangan, tiada halangan mencerahkan kebebasan, apalah arti
tubuh kasar dibandingkan berpesiar ke empat samudra. Apalagi
Suheng sudah berusia diatas delapan puluh tahun dan pergi dengan
senyuman dikulum....”
Dengan kedudukan Bu-siang Cinjin dalam dunia persilatan, tentu
saja upacara penguburannya harus dilakukan secara besar besaran.
Hasil perundingan Bu-beng dan kedua orang tianglo, mereka
putuskan untuk mengabarkan kepada semua Ciangbunjin dari
pelbagai partai untuk ikut menghadiri upacara penguburan itu, dan
atas usul dari Bu-liang Totiang, mereka putuskan untuk menyelenggarakan
dua kejadian besar sekaligus.
Dua hari sesudah upacara penguburan, mereka berniat
mengadakan upacara pelantikan atas diangkatnya ketua baru.
Dengan begitu para tamu undangan tidak perlu melakukan
perjalanan dua kali.
Berhubung partai Bu-tong semenjak di dirikan Thio Sam-hong
selalu mendapat 'perlindungan' dari pihak kerajaan, semua
Ciangbunjin baru pun selalu mendapat anugerah gelar "Cinjin" dari
Kaisar. Maka dua kejadian besar yang menimpa Bu-tong-pay pun
harus secepatnya dilaporkan ke pihak Kerajaan.
Saat itu para murid belum membubarkan diri, Put-po dengan
mewakili angkatan "Put" segera minta petunjuk kepada Ciangbunjin


baru.
Kata Bu-beng kemudian, "Petunjuk tidak berani, hanya ada satu
masalah perlu kuumumkan kepada kalian semua.”
Put-ji yang mendengar itu diam-diam tidak suka hati, pikirnya,
'Hmmm, baru sehari memegang kekuasaan, kini sudah mau main
perintah. Belum lagi diangkat jadi ketua secara resmi, ada urusan
apa pula yang hendak diumumkan?'
Tidak disangka persoalan yang diumumkan Bu-beng ternyata
jauh di luar dugaannya.
Ternyata Bu-beng dengan posisinya sebagai Ciangbunjin,
mengumumkan kalau Put-po dan Put-ji secara resmi diangkat
menjadi tianglo.
Sebetulnya kedudukan tianglo itu sangat tinggi, biasanya seorang
Ciangbunjin harus menjalankan upacara pelantikan lebih dahulu
kemudian baru mengumumkan pengangkatan. Tapi berhubung Putpo
dan Put-ji adalah murid dari angkatan lebih muda, apalagi saat
itu Bu-tong-pay sedang dilanda pelbagai masalah, maka
pengangkatan yang tidak sesuai dengan prosedur masih bisa
diterima semua orang.
Semenjak Bu-kek tianglo tertimpa musibah enam belas tahun
berselang, hingga kini perguruan belum pernah mengangkat tianglo
baru, Bu-tong-pay sebagai partai besar, tentu saja sangat kurang
bila hanya memiliki dua orang tianglo saja.
Dalam hal ini, banyak anggota perguruan yang dapat
merasakannya. Hanya saja mereka sangka Bu-siang Cinjin sudah
mempunyai pengaturan lain sehingga siapa pun tidak ada yang
berani berkomentar.
Sama sekali diluar dugaan ternyata Bu-siang Cinjin tak pernah
menyinggung kembali masalah itu, tak heran kalau persoalannya
tertunda hingga kini.
Put-po adalah ahli waris Bu-kek tianglo, sementara Put-ji adalah
satu-satunya murid almarhun Ciangbunjin. Biarpun usia mereka


relatif masih muda (Put-po berusia empat puluh delapan tahun, Putji
berusia empat puluh tiga tahun), tapi tradisi tianglo usia muda
sudah pernah terjadi sebelumnya, ketika Bu-si Tojin diangkat
menjadi tianglo, usianya baru empat puluh satu tahun. Maka tidak
seorang anggota Bu-tong-pay pun yang mengajukan protes.
Biarpun Put-ji telah diangkat menjadi seorang tianglo, namun
dalam hati kecilnya dia berkeluh kesah dan merasa sangat tidak
puas, biarpun posisi tianglo cukup tinggi, bagaimana pun masih
kalah dibandingkan kedudukan seorang Ciangbunjin.
Kemarin, dia masih mengira posisi Ciangbunjin pasti akan
terjatuh ke tangannya, siapa sangka hanya dalam seharian, ada
begitu banyak perubahan yang telah terjadi.
"Hubungan seorang guru dan murid ibarat hubungan ayah
dengan anak, di waktu biasa kusangka Suhu menaruh perhatian
kepadaku, siapa sangka di saat paling kritis, dia justru tidak
menganggap diriku. Melarang aku menjenguknya waktu sakit,
dalam pertemuan besar para sesepuh pun aku disingkirkan begitu
saja. Bahkan menjelang ajalnya pun dia tidak meninggalkan pesan
apa-apa. Benar-benar tidak kusangka kalau dia lebih menaruh
perhatian terhadap orang luar ketimbang terhadapku!"
Sebagai seseorang yang licik dan banyak akal, tentu saja dia pun
mengerti maksud Bu-beng mengangkat dirinya menjadi seorang
tianglo, semuanya itu tidak lain hanya ingin merangkul dirinya. Tapi
terlepas apapun niatnya, dia wajib memberi muka juga kepadanya.
Dalam kekecewaan dan keculasannya, tanpa terasa timbul
perasaan geramnya terhadap sang guru yang telah tiada.
Tapi bagaimana pun juga dia adalah satu-satunya murid Bu-siang
Cinjin, lagipula baru saja diangkat menjadi tianglo, sekalipun tidak
suka hati, paling tidak dia musti tunjukkan mimik kalau ikut bersedih
atas kematian gurunya.
Oleh karena itu dari angkatan "put" boleh dibilang dia nyaris
meninggalkan arena paling belakang.


Waktu itu hari sudah semakin gelap. Seorang diri dia berjalan
menuju ke Tokoan tempat tinggalnya. Ketika segulung angin dingin
berhembus lewat dan menyegarkan otaknya yang sedang sumpek,
tiba-tiba dia seperti teringat akan sesuatu, rasanya ada yang tidak
beres?
Apa yang tidak beres? Aah, benar. Kenapa tidak nampak Lan
Giok-keng?
Dia adalah ayah angkat Lan Giok-keng, merang-kap sebagai
gurunya juga. Selama ini bocah itu selaki menurut dan rapat dengan
dirinya, tapi berhubung kali ini banyak masalah diluar dugaan yang
menimpa perguruan, dia jadi tidak sempat mencari Lan Giok-keng.
Sekalipun begitu, seharusnya bocah itulah yang datang mencarinya,
mengapa hingga sekarang tidak nampak batang hidungnya?
Biarpun Lan Giok-keng masih kecil dan berasal dari angkatan
muda, namun dia adalah cucu murid kesayangan Bu-siang Cinjin,
hal ini boleh dibilang siapa pun tahu.
Ketika Bu-siang Cinjin meninggal dunia di tengah arena, meski
dia belum berhak untuk ikut merundingkan masalah penguburan
dan bisa dimaklumi bila tidak ada orang yang pergi mencarinya,
namun secara pribadi seharusnya dia tampil sendiri ke sana, karena
bagaimana pun yang meninggal adalah Sucouw kesayangannya.
Sungguh aneh, kenapa sampai kini belum nampak juga batang
hidungnya? Padahal dia sudah tidak termasuk bocah yang tidak tahu
urusan.
"Jangan-jangan dia sudah balik ke Tokoan dan menunggu aku
disana?" siapa sangka sampai di Tokoan pun bayangan tubuh Lan
Giok-keng belum terlihat juga.
Sebenarnya dia ingin mendatangi rumah Lan Kay-san untuk
menanyakan hal itu, tapi berhubung hari sudah malam, lagipula
gurunya baru meninggal, sebagai satu-satunya murid Ciangbunjin,
statusnya sekarang adalah anak berbakti. Kurang leluasa baginya
untuk tinggalkan kuil dalam suasana begini.


Hingga keesokan harinya Lan Giok-keng belum kelihatan juga,
kini dia tidak tahan lagi untuk segera melakukan pencarian.
Baru keluar dari kuil Gi-tin-kiong, tiba-tiba dilihatnya Bouw It-yu
sedang berjalan mendekat, tidak tahan dia pun bertanya, "Saudara
Bouw, sepagi ini mau ke mana?"
"Ayah minta aku pulang ke rumah.”
"Ciangbunjin baru segera akan diangkat, kenapa kau malah
tinggal pulang?" tanya Put-ji tertegun.
"Upacara penguburan Bu-siang Cinjin paling cepat pun baru akan
diselenggarakan setengah tahun lagi, bukankah disini sudah ada
Suheng yang bakal membantu ayahku, jadi rasanya tidak perlu
kehadiranku.”
"Aaah, mana-mana. Bicara soal bertugas, mana mungkin aku
bisa menandingi kehebatan saudara Bouw.”
Dalam pembicaraan kedua orang ini, masing-masing menyelipkan
nada menyindir yang amat tajam.
Tiba tiba Bouw It-yu tertawa tergelak.
"Hahahaha.... jadi maksud Suheng, biarpun ingin pulang, tidak
seharusnya aku pulang begitu cepat. Apalagi kita sudah merasa
cocok sejak perkenalan pertama. Terus terang saja, kali ini aku
sedang menjalani tugas yang diperintahkan ayah. Setelah pulang ke
rumah sejenak, aku harus segera berangkat ke wilayah Liauw-tong.”
"Mau apa ke Liauw-tong?" saking melengaknya tanpa sadar Put-ji
berseru.
Begitu sadar kalau salah bicara, buru-buru dia menambahkan,
"Padahal aku bertanya lantaran ingin tahu saja, tugas yang
dibebankan Ciangbunjin kepadamu tidak pantas kalau kutanyakan.”
"Aaah, kau kan tianglo partai, bila tidak bertanya malah kesannya
seperti dengan orang luar,” Bouw It-yu tertawa, "terus terang,
kepergianku ke Liauw-tong adalah untuk mencari tahu jejak Jitseng-
kiam-kek Kwik Tang-lay!"


"Kwik Tang-lay?" biarpun dihari biasa Put-ji pandai membawa
diri, tidak urung dia menjerit juga saking kagetnya setelah
mendengar nama itu.
Sebagaimana diketahui, ketika dia mendatangi desa nelayan
tempat tinggal Keng King-si di Liauw-tong tempo hari, dia pernah
berjumpa dengan Kwik Tang-lay bahkan pernah terluka diujung
pedangnya.
Dengan senyum tidak senyum ujar Bouw It-yu, "Sebetulnya
urusan ini lebih cocok kalau dilaksana kan Suheng, sayang urusan
disini kelewat banyak, lagipula Suheng harus membantu ayah,
karena itu terpaksa ayah menyuruh aku yang berangkat.”
Sudah sejak tiga puluh tahun berselang si jago pedang tujuh
bintang Kwik Tang-lay lenyap di wilayah Liauw-tong, Bu-siang Cinjin
pernah mengemukakan kecurigaannya kalau Kwik Tang-lay bisa jadi
adalah ayah Huo Bu-tuo, sahabat karib Keng King-si sewaktu hidup
di wilayah itu.
Hingga kini mati hidup Huo Bu-tuo masih merupakan tanda tanya
besar, namun andaikata dia masih hidup maka orang itulah satu
satunya saksi yang mengetahui duduk perkaran Keng King-si yang
sebenarnya.
Tercekat perasaan Put-ji setelah mendengar perkataan itu,
segera pikirnya, "Jangan jangan begitu ayahnya diangkat jadi
Ciangbunjin, kasus salah bunuhku terhadap Keng King-si segera
akan diusut dan diselidiki hingga tuntas?"
Kasus ini bisa menyangkut dua kasus lain yang jauh lebih besar
dan gawat. Sekalipun Put-ji yakin dapat menyangkal, tak urung
perasaan hatinya tercekat juga.
"Kalau dihitung dari usianya, tahun ini mungkin Kwik Tang-lay
sudah mencapai usia enam puluh tahunan,” kata Bouw It-yu lagi,
"aku dengar Suheng pernah bertarung melawannya saat bertemu di
Liauw-tong?"
"Benar,” mau tidak mau terpaksa Put-ji mengaku, 'biarpun


usianya sudah tua, namun aku tidak sanggup mengalahkan dia.”
"Aku dengar dalam setiap jurus ilmu pedang tujuh bintang milik
Kwin Tang-lay terdapat tujuh buah titik pedang yang sukar dihadapi.
Tapi hal ini bukan berarti tidak ada cara untuk mematahkannya.
"Ayah pernah berdiskusi denganku mengenai ilmu pedang ini.
Menurut ayah, asal kita dapat melatih ilmu pedang Thay-kek-kiamhoat
hingga mencapai puncak kesempurnaan, dengan tenang
mengatasi gerak. Maka tidak sulit untuk mematahkan ancaman dari
Jit-seng-kiam-hoat ini.”
Put-ji tertawa getir. "Mana gampang untuk melatih ilmu pedang
Thay-kek kiam-hoat hingga mencapai puncak kesempurnaan? Aku
rasa di dunia saat ini mungkin hanya ayahmu seorang yang dapat
mencapainya. Selama ini saudara Bouw banyak mendapat petunjuk
ayahmu, meski belum mencapai puncak kesempurnaan, rasanya
kemampuanmu masih lebih dari cukup untuk mengungguli Kwik
Tang-lay.”
"Masalahnya tidak segampang apa yang kau katakan. Apalagi
bicara soal kemampuan ilmu pedang, aku masih jauh bila
dibandingkan Suheng. Hanya saja, tugasku kali ini memang bukan
bertarung melawan Kwik Tang-lay, tapi hanya menyelidiki jejaknya
saja.”
Berbicara sampai disitu dengan senyum tidak senyum dia
memandang Put-ji, tiba-tiba nyelutuknya, "Suheng tidak perlu
khawatir!"
Tanpa terasa berubah hebat paras muka Put-ji, sekuat tenaga dia
berusaha menenangkan diri, balik bertanya, "Apa yang perlu aku
khawatirkan?"
"Perselisihan yang terjadi antara Suheng dengan Kwik Tang-lay
akan dibantu penyelesaiannya oleh ayah.”
"Ooh, soal ini.... soal ini.... aku tidak berani merepotkan
ayahmu,” jawab Put-ji kemudian agak tergagap.
"Aaah, kita semua kan orang sendiri, tidak perlu sungkanTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/

sungkan. Ayahku bilang, kalau bukan lantaran desakan dan pesan
Bu-siang Cinjin, sebetulnya dia segan menerima jabatan sebagai
Ciangbunjin, untuk itu dikemudian hari masih butuh bantuan
Suheng. Sebab itulah bila urusan disini telah diselesaikan, beliau
akan datang sendiri mencari Kwik Tang-lay, sampai waktunya
dendam sakit hati Suheng pasti akan terbalaskan juga.”
"Ooh, rupanya tujuan ayahmu mencari tahu jejak Kwik Tang-lay
adalah untuk maksud ini,” kata Put-ji sambil tertawa getir.
"Tepat sekali, baguslah bila kau mengerti,” sahut Bouw It-yu,
selesai berkata diapun menjura sambil berpamitan.
Put-ji bukan orang bodoh, tentu saja dia mema-hami maksud
dibalik perkataan itu, pikirnya, 'Rupanya mereka berdua berniat
menggunakan peristiwa ini untuk memaksa aku menuruti kemauan
mereka. Bila aku enggan membantu dan berbakti kepada mereka,
pastilah mereka berdua akan mengungkap peristiwa ini ke depan
umum.'
"Hmm, kelihatannya mereka ayah beranak sudah tahu tentang
peristiwa 'salah membunuh’ yang kulakukan terhadap Sute. Itulah
sebabnya mereka sengaja mencari Kwik Tang-lay untuk menyeliki
kasus ini hingga tuntas!"
Dalam keadaan tidak tenang, hampir saja dia bertubrukan
dengan seorang tosu tua yang tahu-tahu sudah muncul
dihadapannya.
Sebagaimana diketahui, di atas gunung Bu-tong terdapat ratusan
orang tosu tua, seandainya tosu tua ini adalah orang lain, mungkin
dia tidak terlalu menaruh perhatian, tapi tosu yang nyaris
ditubruknya adalah seorang tosu istimewa, dia tidak lain adalah tosu
bisu tuli yang sebagian besar hidupnya dilewatkan untuk merawat
Bu-siang Cinjin.
Melihat mimik muka tosu bisu tuli yang aneh, Put-ji segera
menegur, "Apakah kau datang mencari aku?"
Sebetulnya tosu bisu tuli bukan bisu dan tuli sejak lahir, oleh


karena itu walaupun tidak dapat mendengar suara pembicaraan
orang, namun dia dapat menebak maksud ucapan orang lain dari
gerakan mulutnya. Tentu saja bila orang lain berbicara dengan
lambat, sebab kalau terlalu cepat sulitlah baginya untuk menangkap
gerakan bibir orang.
Kini, dengan cara itulah Put-ji mengajak dia berbicara.
Tosu bisu tuli manggut-manggut seraya membuat gerakan
tangan, artinya, "Betul, aku sedang mencarimu.”
Walau begitu, diujung bibirnya tersungging tertawa dingin, Put-ji
tidak paham apa maksudnya.
"Tahukah kau anak Keng pergi ke mana?" tanyanya lagi dengan
perasaan was was.
Tosu bisu tuli manggut-manggut lalu menggeleng, kemudian
diikuti melakukan beberapa gerakan tangan yang rumit. Put-ji hanya
bisa menebak beberapa bagian, maka dia sengaja menebak secara
ngawur yang membuat tosu itu makin gelisah.
Akhirnya tampak tosu bisu tuli berjongkok dan menggunakan
ujung jari telunjuknya mengukir beberapa huruf diatas batu jalan.
Terdengar desingan tajam diiringi percikan batu berhamburan di
angkasa, tidak selang beberapa saat kemudian muncul sebaris
tulisan diatas batu cadas yang keras itu.
Biarpun Put-ji tahu juga kalau tosu itu mengerti ilmu silat, namun
setelah menyaksikan sendiri kehebat-an tenaga dalamnya, tidak
urung dia terkesiap juga, pikirnya, "Sungguh tidak kusangka tenaga
dalamnya jauh lebih hebat ketimbang kemampuanku!"
Namun yang paling membuatnya terperanjat adalah tulisan yang
tertera diatas batu, "Dia mendapat perintah dari Cinjin untuk turun
gunung!"
"Jadi Cinjin memerintahkan dia turun gunung?" tanya Put-ji
kemudian.
Kembali tosu bisu tuli menulis, "Kau tidak mampu mendidik


muridmu dengan baik!"
Put-ji sangat terperanjat, "Benarkah Suhuku berkata begitu?"
Dari tenggorokan tosu bisu tuli segera berkumandang suara
tertawa dingin yang aneh, dia mematahkan sebatang ranting pohon
dan memainkan beberapa jurus ilmu pedang, semua yang
dimainkan adalah jurus ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat yang
sengaja diubah gerakannya oleh Put-ji dan sengaja diwariskan
kepada LanGiok-keng.
Selesai memainkan gerakan jurus itu, dengan wajah aneh tosu
itu menatap wajah Put-ji, seolah sedang berkata begini, "Aku tidak
salah menuduh bukan?"
Cepat Put-ji berusaha menenangkan hatinya, kemudian
sahutnya, "Tidak mungkin guruku berkata begitu, pasti semuanya
ini hasil dugaanmu!"
Tosu bisu tuli tidak terbiasa berbohong, cepat cepat dia
menjawab dengan gerakan tangan, "Tidak perlu Cinjin mengatakan
juga aku tahu kalau dia bermaksud begitu.”
Diam-diam Put-ji merasa agak lega, namun tidak dapat
menghilangkan rasa kaget dan curiganya.
"Kenapa anak Keng pergi tanpa memberitahu kepadaku?
Bukankah kemarin anak Keng cukup lama mendampingi Suhu?
Jangan-jangan Suhu sempat membicarakan sesuatu dengannya dan
dia sengaja membohongi aku?"
Semakin dipikir dia merasa semakin khawatir dan tidak tenang.
Sepeninggal tosu bisu tuli, menggunakan kesempatan disana
tidak ada orang lain, dia menggunakan kakinya untuk menghapus
dua baris tulisan yang ditinggalkan tosu tadi.
Tenaga dalam yang dimiliki tidak kalah dengan tosu bisu tuli,
meski setingkat lebih bawah, siapa sangka biarpun sudah dihapus
berulang kali, ternyata permukaan batu itu gagal juga diratakan
kembali.


Dengan hati terkejut bercampur bimbang akhirnya sambil gigit
bibir dia mengambil keputusan, "Biarlah, mau membekas atau tidak
terserah, toh tidak banyak waktu aku mengurusinya.”
Begitu selesai mengambil keputusan, diapun segera berangkat
menuju ke rumah Lan Kau-san.
Dalam pikirannya meski Lan Giok-keng tidak berpamitan
kepadanya, tidak mungkin diapun tidak berpamitan dengan 'ayah
ibu'nya. Dia berniat mencari tahu berita dari mulut Lan Kau-san
suami istri, siapa tahu dari mulut mereka berhasil dikorek sesuatu
berita.
Lan Kau-san bisa sampai dibukit Bu-tong adalah berkat usaha Buliang
Totiang yang menitahkan muridnya Put-pay dengan mencatut
nama Put-ji mengundang mereka naik gunung, berkat Bu-liang
Totiang pula mereka mendapat sebidang tanah untuk ditanami
sayuran.
Rumah yang disediakan untuk mereka berada di belakang bukit,
suatu daerah yang jarang ada penduduk nya, hal ini untuk
mempermudah Put-ji bila ingin menjenguknya.
Justru karena semuanya itu, Put-ji dapat mengangkat Lan Giokkeng
sebagai putra angkatnya tanpa menimbulkan jejak yang
mencurigakan. Dalam hal ini Put-ji merasa sangat berterima kasih
kepada Bu-liang Totiang.
Berkat semuanya itulah, dalam perjalanannya kali ini menuju ke
belakang bukit, semuanya berjalan lancar dan sepanjang jalan dia
tidak perlu bertemu dengan rekan seperguruan lainnya.
Namun ketika dia sudah hampir tiba di rumah keluarga Lan,
mendadak dia temukan ada seseorang diseberang bukit sedang
berjalan pula menuju ke rumah keluarga Lan.
Orang itu adalah seorang Tokouw setengah umur, meski hanya
terlihat dari samping namun dia merasa sangat mengenal dengan
orang itu.
Sementara dia masih terkejut, Tokouw itu sudah munculkan diri


dari balik perbukitan. Begitu dilihat, tidak terlukiskan rasa kaget
yang mencekam hatinya.
Ternyata Tokouw setengah umur itu tidak lain adalah si lebah
hijau Siang Ngo-nio yang pernah tidur semalam bersamanya,
siluman rase yang nama busuknya telah tersohor di seantero jagad
(Gb6).
Kematian Put-coat pada enam belas tahun berselang pun tidak
lain karena terkena racun lebah hijau yang tidak terobati.
Siang Ngo-nio adalah kekasih gelap Tong Ji-kongcu dari keluarga
Tong diwilayah Suchuan, keluarga yang amat tersohor karena
kelihayan senjata rahasianya. Enam belas tahun berselang Ko Cengkim
tidak sanggup menghadapi perempuan itu dan kini, Put-ji pun
merasa belum sanggup untuk mencari gara-gara dengannya.
Ketika Ko Ceng-kim memutuskan menjadi pendeta di gunung Butong
waktu itu, tujuan utamanya adalah untuk meredam kecurigaan
orang atas pem-bunuhan yang pernah dilakukan, bahkan banyak
keuntungan yang bisa diraih setelah menjadi murid Bu-siang Cinjin.
Walau begitu, paling tidak salah satu alasannya berbuat
begitupun karena ingin melepaskan diri dari Siang Ngo-nio. Dalam
perkiraannya, tidak mungkin perempuan cabul itu bakal berani
datang ke bukit Bu-tong untuk mencarinya.
Siapa tahu dia telah muncul sekarang!
Jantung Put-ji nyaris melompat keluar dari rongga dada saking
kagetnya.
"Kenapa dia muncul disini? Apakah tidak khawa-tir diketahui
Tong ji-kongcu? Apakah tidak khawatir dihadang anggota Bu-tongpay?
Biarpun dia sudah menyamar jadi seorang Tokouw, apa
jadinya bila ketangkap basah anggota Bu-tong? Hmmm, waktu itu
biar dia menggertak dengan nama keluarga Tong pun belum tentu
nyawanya bisa terlindungi. Huuhhh.... mau apa dia kemari?
Memangnya untuk mencari aku? Masih mending kalau dia seorang
yang mampus, bisa jadi gara gara dia, akupun ikut tersangkut.”


Begitu memikirkan untung ruginya, timbul niat jahatnya untuk
menyingkirkan perempuan itu dari muka bumi.
Tapi berhubung ke satu dia tidak yakin dapat menghadapi jarum
lebah hijau milik Siang Ngo-nio, jarum beracun yang sangat
mematikan bila terkena. Kedua ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki perempuan itu amat tersohor di kolong langit, meski saat ini
kungfunya sudah jauh diatas Siang Ngo-nio, namun dalam hal ilmu
meringankan tubuh belum tentu dapat mengunggulinya, bila sampai
perempuan itu lolos dari pengejaran, bisa dibayangkan bagaimana
akibatnya nanti. Dan ketiga jika Siang Ngo-nio sampai mampus di
gunung Bu-tong, cepat atau lambat pasti ada orang yang bakal tahu
bila dialah pembunuhnya, sekalipun Tong ji-kongcu belum tentu
berani naik ke gunung Bu-tong untuk mencari balas terhadapnya,
lagi pula mustahil sepanjang hidup dia tidak pergi meninggalkan
gunung.
Put-ji bukan orang yang gegabah, setelah berpikir sejenak
akhirnya dia putuskan untuk tidak mengambil resiko ini, terpaksa
segera dia menyembunyikan diri.
Siang Ngo-nio tidak melanjutkan dakiannya, setiba didepan
rumah Lan Kau-san diapun menghentikan perjalanannya.
"Aneh, mau apa dia mendatangi rumah keluarga Lan? Janganjangan
dia sudah menduga kalau aku bakal kemari?"
Put-ji khawatir jejaknya ketahuan, sambil bersembunyi di sekitar
rumah keluarga Lan, dia berusaha menahan napas agar tidak
berisik.
Lan Ku-san sendiripun keheranan, selama enam belas tahun
berdiam di gunung Bu-tong, belum pernah dia berjumpa dengan
seorang Tokouw seperti ini.
Selama inipun tidak pernah ada Tokouw yang datang bertandang
ke rumahnya.
Biarpun dia tidak berani mengatakan hampir semua anggota


pendeta yang ada di gunung Bu-tong telah dikenalnya, namun boleh
dibilang sebagian besar pasti dia ketahui.
Tapi Tokouw ini? Atau mungkin dia jarang melakukan perjalanan
diluar kuil hingga belum pernah bersua dengannya?
Agaknya Siang Ngo-nio tahu kalau tuan rumah menaruh curiga,
buru-buru ujarnya, "Berhubung Put-ji Suheng tidak punya waktu,
dia minta aku mewakilinya mencari putranya, mana putramu?"
Begitu mendengar nama Put-ji, kecurigaan Lan Kau-san hilang
setengah, sahutnya, "Bocah ini telah turun gunung, masa gurunya
belum tahu?"
"Turun gunung?" Siang Ngo-nio tertegun, "mau apa turun
gunung? Tapi segera akan balik bukan?"
"Aku sendiripun tidak paham,” kata bini Lan Kau-san yang
muncul menyuguhkan air teh, "padahal dia jarang turun gunung,
tapi hari ini dia justru pergi....”
Lan Kau-san jauh lebih berpengalaman dari istrinya, buru-buru
dia memberi kerdipan mata pada bininya sambil menukas, "Boleh
tahu, apa urusan apa Suthay datang mencari Keng-ji?"
"Oooh, masa kalian belum tahu kalau Ciangbun Cinjin sedang
sakit keras? Kelihatannya sulit untuk lewati hari ini. Karena putramu
adalah cucu murid kesayangan Ciangbun Cinjin, maka kami ingin
mengajaknya untuk bertemu Ciangbun Sucouw untuk terakhir
kalinya. Kewajiban ini sebenarnya berada dipundak Put-ji Suheng
sebagai ayah angkatnya, tapi berhubung dia adalah satu-satunya
murid Ciangbun Cinjin, tidak mungkin baginya untuk meninggalkan
gurunya dalam keadaan seperti ini.”
Ternyata sewaktu tiba di bawah gunung Bu-tong, Siang Ngo-nio
telah berjumpa dengan Tonghong Liang, dari dialah dia mendapat
tahu kalau Bu-siang Cinjin sedang sakit keras. Sedang mengenai
hubungan Put-ji dengan Lan Giok-keng, jauh hari sebelumnya dia
telah berhasil melacaknya.
Dalam banyak hal dia berhasil menyelidikinya hingga jelas, tapi


sayang ada satu hal yang dia tidak tanggapi dengan serius,
kesalahan kecil yang fatal membuat ekor rase nya malah ketahuan
semua.
Bu-siang Cinjin meninggal dunia sesaat setelah Tonghong Liang
pergi, ketika dia bersua Bu-siang Cinjin waktu itu, dari mimik wajah
sang ketua, dia sudah tahu kalau dirinya sedang sakit, tapi sama
sekali tidak disangka kalau begitu cepat telah meninggal dunia.
Memang tidak sulit untuk menilai seseorang yang pernah belajar
silat sedang sakit atau tidak, asal nada bicara Bu-siang Cinjin kurang
bertenaga sedikit saja, Tonghong Liang segera dapat menyimpulkan
kalau dia sedang sakit.
Siang Ngo-nio sangat yakin dengan kemampuan Tonghong Liang,
sementara dia sendiripun seorang jago silat sehingga tidak aneh bila
dia sangat mempercayai kesimpulan dari rekannya itu.
Itulah sebabnya dia jadi berani untuk mendatangi bukit Bu-tong
dan melaksanakan rencananya, dia berencana hendak menangkap
Put-ji lalu memaksa Put-ji untuk menuruti semua kemauan dan
perintahnya.
Tapi berhubung kabar beritanya diperoleh dari mulut Tonghong
Liang, maka diapun melakukan satu kesalahan yang sama dengan
rekannya.... yakni tidak menyangka kalau Bu-siang Cinjin telah
meninggal dunia.
Adapun alasan yang dia pakai untuk disampaikan kepada Lan
Kau-san adalah bila Bu-siang Cinjin tidak dapat melewati hari ini.
Dalam dugaannya, Lan Kau-san pasti akan mengijinkan Lan Giokkeng
untuk bertemu Ciangbun Sucouw nya untuk terakhir kali.
Dia mana tahu kalau 'kemarin' saja Bu-siang Cinjin tidak dapat
melewati, apalagi 'hari ini'?
Jalan pikiran bini Lan Kau-san jauh lebih sederhana, begitu
mendengar ucapan tersebut kontan saja dia nampak tertegun
kemudian serunya, "Suthay benarkah kau Tokouw dari Bu-tongpay?"


"Mengapa kau berkata begitu?" jawab Siang Ngo-nio cepat,
"kalau bukan Tokouw Bu-tong-pay, darimana aku bisa mengetahui
begitu banyak kejadian disini?"
Lan Kau-san sendiri meski hanya seorang polos yang jujur,
bagaimanapun dia jauh lebih 'mengerti urusan' ketimbang bininya,
dia sadar bila kebohongan Tokouw ini dibongkar, bisa jadi nyawa
mereka akan terancam bahaya maut.
Karena itu buru-buru serunya, "Mohon maaf Suthay, dia memang
tidak pandai bicara, jangan salahkan dirinya!"
Kemudian sambil menarik tangan istrinya, dia menghardik, "Kalau
tidak tahu masalah, jangan banyak bicara, cepat minggir sana,
menanak nasi saja!"
Istrinya kebingungan setengah mati, tapi dia memang sudah
terbiasa menuruti perintah suaminya, meski dalam hati tidak puas
namun dia pun tidak membantah.
Terdengar Lan Kau-san berkata lagi, "Suthay, perlu kau ketahui,
putraku justru sedang turun gunung karena perintah Bu-siang
Cinjin. ibunya Keng-ji mengira semua Totiang dan Suthay yang
berada di bukit Bu-tong pasti mengetahui urusan ini sehingga timbul
prasangka lain terhadap dirimu. Aaai, padahal dia juga tidak
berpikir, Keng-ji toh masih kecil dan tidak banyak dikenal orang lain,
mana mungkin semua orang menaruh perhatian atas urusan tetek
bengek seperti ini?"
Siang Ngo-nio setengah percaya setengah tidak, katanya
kemudian, "Ooh, rupanya begitu. Hari ini aku memang belum
bertemu Ciangbun Supek, tidak aneh kalau aku belum tahu akan
persoalan ini. Tapi boleh ada urusan apa Ciangbunjin
memerintahkan putramu turun gunung?"
"Sayang putraku tidak mengatakan apa-apa, jadi aku sendiripun
tidak tahu.”
Kini Lan Kau-san semakin yakin kalau Tokouw dihadapannya
adalah penyaruan seseorang, seorang Tokouw gadungan. Tanpa


sadar perasaan takut bercampur ngeri yang mencekam dihati kecil
pun segera tercermin diwajahnya.
Dalam pada itu Siang Ngo-nio sendiripun masih dicekam
keraguan, pikirnya, "Kelihatannya dia sedang berbohong, tapi aneh,
kenapa tampaknya orang ini takut kepadaku? Pasti ada alasan
dibalik semuanya!"
Berpikir begitu, diapun berkata lagi, "Aaah benar, kelihatannya
enso Lan seperti kebingungan juga dengan perkataan putranya
menje-lang turun gunung, sayang dia belum menyelesaikan
perkataannya. Tentunya waktu itu kaupun berada ditempat bukan?
Boleh tahu apa saja yang dikatakan putramu?"
Karena terdesak, terpaksa Lan Kau-san mengakui terus terang,
"Sewaktu akan turun gunung, akupun sempat bertanya kapan baru
kembali, dia jawab mungkin tiga, lima tahun lagi, mungkin juga
delapan, sepuluh tahun kemudian. Bahkan katanya bisa jadi
selamanya tidak bakal balik lagi.”
"Apa maksud perkataan itu?"
"Kau tidak paham, begitu juga aku!"
Bagaimana mungkin Siang Ngo-nio mau percaya begitu saja,
sesudah mendengus katanya lagi, "Jadi kau curiga karena belum
pernah bertemu aku? Baiklah, asal kusebut sebuah nama lagi, kau
pasti tidak bakal menaruh curiga lagi kepadaku. Bukankah putrimu
menjadi muridnya Put-hui Suthay? Nah, aku adalah adik
seperguruan Put-hui. Mungkin lantaran jarang keluar karena lebih
suka berlatih silat maka kau tidak pernah bertemu aku. Mana anak
perempuanmu? Suruh dia keluar, dia pasti kenal aku.”
Rupanya dia ingin menangkap Lan Sui-leng sebagai ganti Lan
Giok-keng yang gagal disandera. "Soal ini, soal ini....”
"Apa ini itu, masa putrimu juga ikut turun gunung dan baru balik
delapan, sepuluh tahun lagi?" sela Siang Ngo-nio gusar.
Dia sangka Lan kau-san tidak berani menjawab pertanyaannya,
padahal sejak semalam Lan Sui-leng memang belum pulang.


Tidak pulangnya Lan Sui-leng sebetulnya tak sampai
membuatnya khawatir, sebab sebelum berangkat semalam, Lan Suileng
sempat beritahu kepada orang tuanya kalau dia akan menginap
semalam di kuil gurunya.
Belakangan latihan pedangnya sudah mencapai saat yang paling
penting, untuk memperdalam ilmunya, dalam sepuluh hari paling
tidak ada tujuh delapan hari dia menginap di kuil kediaman gurunya.
Jika Tokouw ini mengaku sebagai adik seperguruan Put-hui,
kenapa dia sama sekali tidak tahu kalau putrinya menginap di kuil
kakak seperguruannya?
Makin dipikir dia merasa gelagat semakin tidak beres, perasaan
takutnya pun semakin kentara di raut mukanya.
"Suthay, tidak sedikit persoalan yang kau ketahui. Tentunya
kaupun tahu kalau aku adalah orang jujur, tidak pandai bicara
bohong. Putriku benar benar tidak ada di rumah, sejak pagi tadi
sudah keluar rumah. Akupun tidak tahu sampai kapan dia baru
kembali. Suthay, bukankah kau datang untuk mencari anak Keng,
bukan mencari dia bukan? Kalau begitu tidak perlu menunggu dia
lagi.”
Kembali Siang Ngo-nio berpikir, "Heran, kenapa dia begitu takut
dengan diriku? Ehmmm, betul. Ko Ceng-kim bisa menyerahkan
putra Ho Giok-yan kepadanya, sudah pasti lantaran mereka adalah
sahabat karibnya. Ehmm, jangan-jangan Ko Ceng-kim pernah
menyinggung tentang diriku dan suruh dia waspada menghadapi
aku? Biar kita belum pernah bersua, toh dia bisa tahu raut mukaku
dari penuturan Ko Ceng-kim?"
Dia berlagak sok pintar, diam-diam pikirnya lagi, "Rasanya kalau
aku tidak main gertak, mereka tidak bakalan mau bicara apa apa.”
Berpikir begitu, dengan nada dingin menyeramkan segera
katanya, "Betul, urusan yang kuketahui memang cukup banyak. Ada
satu hal belum sempat kusampaikan kepadamu. Aku ingin tanya,
sudahkah kau beritahu asal usul bocah itu kepada yang
bersangkutan?"


Lan Kau-san makin terkesiap, bisiknya gemetar, "Suthay, apa kau
bilang? Keng-ji, dia.... dia....”
"Kenapa dia?" Siang Ngo-nio tertawa dingin, "kau masih berani
menyaru sebagai orang tua kandungnya? Hmmm, lebih baik tidak
usah berbohong di depanku....”
Tiba-tiba dia meninggikan suaranya dan separah demi sepatah
serunya, "Aku hanya bilang, Lan Giok-keng bukan anak
kandungmu!"
Lan Kau-san berdiri tertegun seketika, tertegun saking kagetnya.
Sementara itu diatas sebuah bukit di belakang rumah Lan Kausan
muncul dua sosok bayangan manusia, yang satu adalah seorang
Tokouw berusia setengah umur, yang lain adalah seorang gadis
muda belia.
Rupanya Lan Sui-leng sudah pulang ke rumahnya, tapi dia bukan
datang seorang diri, yang menemaninya masih ada gurunya, Put-hui
Tokouw.
Ketika dia gagal menjumpai adiknya setelah bubaran pertemuan
akbar semalam, perasaan hatinya makin lama makin ketakutan.
"Kenapa Put-ji Supek sengaja mewariskan ilmu pedang yang
salah kepada adik?" demikian dia berpikir, "sebenarnya apa maksud
tujuannya? Kenapa dia berbuat begitu?"
Put-hui sendiripun tidak paham alasan dibalik kejadian itu, dia
hanya bisa menduga sebagian saja, Sudah pasti Put-ji mempunyai
maksud dan tujuan yang tidak benar!
Tapi berhubung baru saja Put-ji diangkat menjadi tianglo, tentu
saja ia tak berani menyampaikan kata kata itu kepada orang lain
kecuali kepada muridnya sendiri Lan Sui-leng.
Lan Sui-leng merasa ketakutan sementara dia pun merasa
gelisah tidak tenang, justru karena itu dia tidak tega membiarkan
muridnya pulang seorang diri.
Pagi buta Lan Sui-leng sudah ribut ingin pulang, dia ingin


secepatnya dapat bertemu adiknya dirumah. Lantaran
mengkhawatirkan keselamatan muridnya Put-hui pun memutuskan
untuk menemaninya dia pulang ke rumah.
Sepanjang jalan dia masih sempat berpesan padanya, "Kau
hanya boleh memberitahukan persoalan ini kepada adikmu, jangan
sekali-kali membiarkan orang tua mu cemas.”
"Aku mengerti. Jelas aku tidak boleh membiarkan orang tuaku
ikut khawatir. Tapi Ciangbun Sucouw telah meninggal dunia,
sekalipun adik tahu kalau dia ditipu ayah angkatnya, dia mau
mengadu kepada siapa?"
"Kejadian ini memang sedikit agak aneh, setahuku selama ini
Put-ji Suheng selalu sayang adikmu, siapa yang mengira kalau dia
mengajarkan ilmu pedang yang salah kepadanya? Tapi menurut
pendapatku, paling tidak sementara waktu ini dia tidak bakal
mencelakai adikmu, asal kau beritahu adikmu agar dia tahu kalau
jurus pedang yang dipelajarinya keliru dan minta dia berlatih lagi
dengan ilmu pedang yang asli. Itu sudah lebih dari cukup. Yang
penting jangan sampai membiarkan gurunya tahu.”
Ketika berbicara sampai disitu, rumah keluarga Lan sudah berada
di depan mata.
Baru saja Lan Sui-leng hendak berteriak memang-gil adiknya,
tiba tiba Put-hui membekap mulutnya sambil menarik tubuhnya agar
bertiarap di tanah.
"Di rumahmu ada orang asing!" cepat bisiknya lirih.
Dengan menempelkan telinganya diatas tanah, lamat-lamat Lan
Sui-leng mendengar ada suara seorang asing sedang berbincang
dengan orang tuanya.
Biarpun suaranya samar tidak jelas namun secara garis besar dia
dapat menangkap maksudnya.
Semakin di dengar dia merasa semakin keheranan, pikirnya,
"Siapakah perempuan ini? tampaknya dia sedang melacak jejak
adikku. Eeei.... rupanya dia menanyakan diriku juga. Aneh, kenapa


aku tidak bisa kenal suara siapakah dia?"
Tampaknya Put-hui bisa membaca jalan pikirannya, cepat dia
menulis diatas tanah, "Gadungan!"
Lan Sui-leng tidak mampu mendengar secara jelas, diam-diam
dia melirik gurunya, tampak wajah Put-hui beerkerut kening dan
tampil serius. Kalau dilihat dari lagaknya bisa jadi dia sudah
mengetahui asal-usul perempuan itu.
Baru saja akan menulis untuk bertanya kepada gurunya,
mendadak terdengar suara perempuan asing itu telah berseru lagi
sepatah demi sepatah kata, "Aku hanya bilang, Lan Giok-keng
bukan anak kandungmu!"
Ucapan itu diutarakan sangat jelas.
Seketika Lan Sui-leng tertegun bercampur kaget, pikirnya,
"Benarkah apa yang dikatakan perempuan itu? Darimana dia bisa
tahu? Darimana dia bisa tahu?"
Tampak Put-hui menggoyangkan tangannya berulang kali,
menyusul kemudian dengan menempelkan mulutnya nyaris diatas
telinga Lan Sui-leng, bisiknya, "Perempuan siluman itu menyaru jadi
Tokouw partai kita untuk membohongi orang tuamu, kau harus
bertindak mengikuti perintahku.”
Dalam pada itu terdengar Siang Ngo-nio sedang berkata lagi
sambil tertawa dingin, "Bagaimana? Ketakutan? Padahal tidak perlu
takut, aku dengan ibu kandung bocah itu adalah sahabat karib,
tidak mungkin akan kucelakai. Asal kau mau bicara terus terang,
aku pun akan ikut merahasiakan kejadian ini.”
"Kau.... kau minta aku bicara jujur apa?" kata Lan Kau-san.
"Lan Giok-keng saat ini berada dimana?"
"Aku tidak berbohong, dia benar-benar sedang turun gunung.”
"Hmm, kau sangka aku bocah umur tiga tahun yang gampang
percaya dengan perkataanmu?" dengus Siang Ngo-nio ketus,
"kecuali dia sudah mengetahui asal usul sendiri, kalau tidak mana


mungkin dia akan meninggalkan orang tuanya bahkan tanpa
berpesan? Kuanjurkan lebih baik bersikaplah lebih jujur, panggil dia
suruh balik, kalau tidak....”
Sebetulnya dia ingin menggunakan istri Lan Kau-san sebagai
sandera dan memaksa Lan Kau-san untuk menuruti perintahnya.
Perkataan terakhir semestinya dia ingin berkata begini, "Kalau tidak
akan kubunuh binimu!"
Baru dua patah kata dia ucapkan, mendadak terdengar suara
seorang gadis sedang berteriak diluar rumah, "Adikku, kenapa kau
bersembunyi di belakang rumah? Kenapa tidak langsung masuk?"
Tidak terlukiskan rasa kaget Lan Kau-san, cepat teriaknya,
"Kalian.... kalian jangan pulang....”
Tapi sebelum perkataannya selesai diucapkan, jalan darahnya
sudah keburu ditotok Siang Ngo-nio.
Siang Ngo-nio menyangka orang yang sedang mencuri dengar
diluar rumah benar-benar adalah Lan Giok-keng, terhadap seorang
bocah kecil tentu saja tidak sampai dimasukkan ke dalam hati, maka
dia hanya menotok jalan darah Lan Kau-san, tujuannya tidak lain
agar dia tidak berteriak-teriak tidak karuan dan bilamana perlu bisa
digunakan sebagai sandera.
Begitu keluar dari rumah, tidak dijumpai seorang pun disana,
yang tampak hanya Lan Sui-leng yang sedang berdiri diatas bukit.
Sambil tertawa diapun menyongsong ke depan seraya bertanya,
"Adik kecil, dimana adikmu?"
"Eeei, kau sedang mengajakku berbicara? Tapi aku tidak kenal
dengan dirimu!" habis berkata dia segera kabur dari situ.
"Adik kecil, jangan gugup, aku adalah....”
Baru saja Siang Ngo-nio sedang mempertimbangkan untuk
mengaku sebagai seseorang dengan kedudukan yang lebih baik,
tiba-tiba terasa desingan angin tajam menyambar tiba, tahu-tahu
Put-hui sudah menerkam dari ketinggian dan bagaikan seekor


burung rajawali, langsung menerkam ke tubuhnya.
Perubahan ini terjadi sangat mendadak dan diluar dugaan, dalam
terkejutnya Siang Ngo-nio segera berkelit kesamping.
Cepat Put-hui Tokouw menerkam maju dengan kebasan senjata
kebutannya, dengan ujung tongkat dia totok jalan darah Tay-wi-hiat
di belakang leher lawan.
Reaksi yang dilakukan Siang Ngo-nio tidak kalah cepatnya, sambil
menjatuhkan diri dia berguling cepat ke samping.
Put-hui Tokouw segera membalikkan pergelangan tangannya,
kebutannya dibiarkan menyebar lalu mengurung seluruh tubuh
lawan yang sedang berguling.
Belum lagi bulu kebutan mengenai tubuhnya, Siang Ngo-nio
sudah merasakan tengkuknya sangat gatal, sadar kalau gelagat
tidak menguntungkan, cepat ujung kakinya menjejak tanah lalu
melejit lagi ke udara.
Yang satu menyerang secara cepat sementara yang lain berkelit
dengan cekatan, dalam beberapa kali lompatan, Siang Ngo-nio
berhasil lolos dari kurungan senjata hudtim Put-hui.
Serangan balasan yang kemudian dilakukan tidak kalah
garangnya, sambil melesat kesamping dengan tubuh nyaris
menempel di permukaan tanah, belum lagi berdiri tegak,
segenggam Bwee-hoa-ciam telah disambit bagaikan ceceran air
hujan.
Sejak awal Put-hui sudah mempersiapkan diri, senjata
kebutannya segera diputar kencang membentuk satu lingkaran
busur.
"Tringg.... triiingg.... triiingg....” diiringi dentingan nyaring yang
memekik telinga, dia kerahkan tenaga dalamnya membiarkan setiap
bulu senjata kebutannya berdiri tegak, dengan mengubah hudtim
tersebut menjadi sebuah jaring baja, dalam waktu singkat
segenggam jarum Bwee-hoa-ciam yang disambit Siang Ngo-nio pun
tersapu bersih.


Karena terhadang oleh ancaman Am-gi, menanti Put-hui
menyusul ke depan, Siang Ngo-nio sudah keburu bangkit berdiri.
Jangan dilihat Siang Ngo-nio saat ini berdandan sebagai seorang
Tokouw, namun kegenitan, kejalangan dan kecantikannya sama
sekali tidak tersembunyi di balik jubah kependetaannya.
Yakin dengan dugaannya, Put-hui Tokouw segera membentak
nyaring, "Kau tidak usah bersembunyi lagi, aku tahu siapa dirimu,
kau adalah si lebah hijau Siang Ngo-nio!"
"Hey, orang beribadah pun suka mencampuri urusan orang, siapa
kau?"
Put-hui Tokouw tertawa dingin.
"Bukankah kau mengaku sebagai Sumoyku? Masa tidak kenal
dengan suci sendiri?"
Sekali lagi mereka berdua terlibat dalam pertarung an sengit, kali
ini Siang Ngo-nio telah meloloskan senjata andalannya, sepasang
golok Wan-yo-to yang ukurannya berbeda. Golok yang pendek
digunakan untuk menyerang musuh sementara golok yang panjang
dipakai melindungi tubuh, semua jurus serangan yang digunakan
ganas dan telengas.
Put-hui Tokouw menggetarkan senjata kebutannya, dari arah kiri
ke kanan dia ciptakan lingkaran demi lingkaran serangan, diikuti dari
kanan menuju ke kiri membentuk pula lingkaran-lingkaran
perlindungan.
Lingkaran yang satu seolah menempel pada lingkaran berikut,
bagaikan sebuah sarang laba-laba yang kuat dia belenggu ruang
gerak sepasang golok Siang Ngo-nio.
Tidak sampai tiga puluh gebrakan kemudian, permainan golok
perempuan siluman itu semakin terbelenggu dan makin susah
dikembangkan.
Sementara itu Put-ji mengikuti jalannya pertarungan dari tempat
persembunyian, hatinya dag dig dug tidak karuan, dia tidak tahu


harus berharap pihak mana yang memenangkan pertarungan ini,
pikirnya, "Jika Siang Ngo-nio sampai berhasil dibekuk Put-hui, sudah
pasti dia akan menyerahkannya kepada Ciangbunjin baru untuk
diinterogasi, kalau sampai begitu, tidak ada jaminan dia tidak akan
mengakui hubungan khususnya denganku, tapi bila Put-hui yang
dikalahkan, mungkin selanjutnya sulit lagi bagiku untuk melepaskan
diri dari pengejaran dan pencariannya.”
Tapi rasa khawatir kalau dosa sendiri terungkap jauh
mengalahkan alasan lainnya, secara jujur harus diakui, dia lebih
berharap Siang Ngo-nio yang berhasil menaklukkan lawannya.
Tiba-tiba terdengar Put-hui Tokouw menghardik nyaring, "Masih
ingin kabur?"
Terlihat cahaya putih berkelebat, golok panjang ditangan Siang
Ngo-nio sudah terlempar ke udara, menyusul kemudian segenggam
jarum lebah hijau disambit ke arah lawan.
Golok panjang yang dilontarkan membawa deruan angin tajam,
sebaliknya jarum lebah hijau sama sekali tidak menimbulkan sedikit
suara pun. Kelihatannya dia ingin menggunakan lontaran golok
panjang itu untuk menyembunyikan bokongannya dengan jarum
beracun.
Berada dalam keadaan seperti ini, biar seorang jagoan kelas satu
pun rasanya sulit untuk menghindarkan diri.
Untung saja sejak awal Put-hui Tokouw sudah tahu kalau
lawannya adalah Siang Ngo-nio, hampir setiap saat setiap detik dia
selalu mewaspadai bokongan jarum beracunnya.
Begitu melihat dia melontarkan golok panjangnya, dia segera
tahu kalau jarum beracunnya bakal segera menyusul.
Dalam keadaan kritis Put-hui Tokouw segera mengeluarkan ilmu
simpanannya, dengan memegang bagian tengah senjata
kebutannya, dalam satu jurus dua kegunaan, dengan ujung tongkat
menangkis golok panjang sedang dengan bulu kebutan mengguling
jarum beracun yang menyambar tiba. Dalam waktu singkat seluruh


jarum hilang lenyap tidak berbekas.
Bulu kebutan itu sangat tebal dan rapat, begitu digulung dengan
senjata itu, hampir semua jarum yang menyerang tiba langsung
terhisap oleh tenaga putaran dan hilang begitu saja.
Put-ji yang diam-diam mencuri lihat dari tempat persembunyian
jadi amat terkejut, pikirnya, "Jurus serangan yang dia gunakan
merupakan inti sari dari ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat! Mungkin
saja dalam hal tenaga dalam serta keganasan dia tidak bisa
mengungguli aku, tapi semisal aku yang harus menggunakan jurus
itu, belum tentu kehebatannya bisa melampaui dirinya.”
Rupanya walaupun senjata andalan yang digunakan Put-hui
Tokouw adalah senjata kebutan, namun sejak awal hingga akhir,
semua jurus serangan yang digunakan untuk bertarung melawan
Siang Ngo-nio adalah jurus pedang Thay-kek-kiam-hoat.
"Aaai, rasanya sulit bagi Siang Ngo-nio untuk lolos dari sergapan
Put-hui!" belum habis ingatan itu melintas, tiba-tiba situasi kembali
terjadi perubahan.
"Kraak....” mendadak golok panjang milik Siang Ngo-nio
membelah diri jadi dua bagian, ketika batang golok terjatuh ke
tanah, gagang golok masih tertinggal di udara.
Padahal waktu itu konsentrasi Put-hui Tokouw justru dipusatkan
untuk memukul jatuh golok sambil mematahkan sergapan jarum
beracun, dia hanya berharap bisa membendung datangnya
sergapan lawan, mimpi pun tidak disangka golok panjang lawan bisa
patah jadi dua bagian.
Baru saja ia merasa tertegun, tiba-tiba iga kirinya terasa gatal
dan kesemutan, tahu-tahu jalan darah Ih-khi-hiat di bawah
ketiaknya sudah terhajar sebatang jarum lebah hijau.
Rupanya dibalik golok panjang itu sudah ter-pasang alat rahasia,
ketika dilontarkan ke udara tadi, kendatipun tidak terhantam
pukulan tenaga dalam pun secara otomatis senjata itu akan
membelah sendiri jadi dua bagian. Di dalam gagang golok itulah


disimpan jarum beracun, ketika terpisah dengan batang golok,
jarum beracun segera akan menyembur keluar.
Put-hui Tokouw menjerit kesakitan kemudian tubuhnya roboh
terjungkal ke tanah.
Sambil tertawa dingin Siang Ngo-nio mendengus, "Inilah yang
dinamakan: jalan surga tidak dipilih, jalan ke neraka diterjang. Siapa
suruh kau banyak urusan. Hmmm.... kalau kau nekad mencampuri
urusan-ku, jangan salahkan kalau hatiku keji. Hehehe.... seka-rang
menyusullah ke tempat tinggal Put-coat Suheng-mu!"
Waktu itu dia masih menggenggam golok pendek, dengan
garang tubuhnya menerjang ke muka siap menghadiahkan sebuah
tikaman.
Siapa sangka saat itulah mendadak Put-hui Tokouw melompat
bangun bagai ikan lehi yang meletik, bentaknya, "Kurang sopan
kalau tidak kubalas hadiahmu, coba rasakan juga kehebatan senjata
rahasiaku!"
Sambil berkata dia kebutkan senjata hudtim nya ke depan.
Sama sekali tidak terlihat ada senjata rahasia yang melesat
keluar, tapi Siang Ngo-nio seketika merasakan jalan darah Ih-khihiat
di bawah ketiaknya sakit seperti ditusukjarum.
Tidak terlukiskan rasa kaget Siang Ngo-nio, tergopoh-gopoh dia
membalikkan tubuh, melarikan diri.
Sebetulnya Put-hui Tokouw benar-benar sudah terluka, namun
dengan mengerahkan Sim-hoat tenaga dalam perguruannya, untuk
sementara waktu dia berhasil menahan racun ditubuhnya tidak
sampai bekerja.
Adapun senjata rahasia yang menusuk jalan darah Siang Ngo-nio
sesungguhnya hanya selembar bulu kebutan. Tapi berhubung bulu
itu lebih lembut ketimbang jarum lebah hijau, maka tidak gampang
terlihat dengan mata telanjang.
"Hutang nyawa bayar nyawa, hutang duit bayar duit, kau masih


ingin kabur?" bentak Put-hui Tokouw sambil mengejar ketat dari
belakang.
Padahal sebab kematian Put-coat bukan Cuma lantaran terhajar
jarum beracun saja, setelah dia terkena jarum beracun, tubuhnya
dihajar pula oleh manusia berkerudung, dimana tenaga pukulan itu
memaksa jarum beracun semakin dalam menembusi isi perutnya,
keadaan inilah yang menyebabkan nyawanya tidak tertolong.
Sekalipun begitu, sejak terkena jarum beracun dia masih bisa
bertahan selama tujuh hari lamanya.
Tenaga dalam yang dimiliki Put-hui Tokouw memang jauh
tertinggal bila dibandingkan Suhengnya, namun dia hanya terhajar
sebatang jarum beracun, baginya tidak sulit untuk bertahan satu
dua jam lagi.
Berbicara soal tenaga dalam, kemampuan Siang Ngo-nio masih
setingkat di bawah kemampuan lawannya, apalagi timpukan bulu
hudtim tidak beracun, biarpun menghajar letak dijalan darah Ih-khihiat,
yang terjadi hanya mengurangi kekuatan tenaga dalam saja,
sama sekali tidak berpengaruh pada ilmu meringankan tubuh.
Dengan gerakan cepat Put-hui Tokouw mengejar dari belakang,
kalau pada mulanya jarak mereka masih menempel ketat namun
lambat laun jarak mereka semakin melebar.
Put-ji yang mencuri lihat dari tempat persembunyian kini baru
bisa menghembuskan napas lega. Terhadap kemampuan yang
dimiliki Put-hui Tokouw dan Siang Ngo-nio pun dia menjadi semakin
jelas. Pikirnya, "Put-hui sudah terkena racun jarum lebah hijau,
bagaimana pun mustahil dia bisa mengejar Siang Ngo-nio. Setelah
terkena jarum lebah hijau, bila tiada obat pemunah dari Siang Ngonio
berarti dibutuhkan orang dengan tenaga dalam sempurna untuk
membantunya mengobati luka itu. Hehehe.... sampai waktunya
nanti, kenapa tidak kubantu dia untuk mengobati racun itu? Setelah
menerima kebaikanku, masa dia masih memusuhi aku? Lagipula dia
gagal membekuk Siang Ngo-nio, mana mungkin bisa menduga
hubunganku dengan perempuan busuk itu?"


Saat itu Put-hui Tokouw sudah mengejar hingga ke bawah
gunung, Lan Sui-leng juga telah masuk ke rumahnya. Sambil
membesut keringat dingin diam-diam Put-ji balik kembali ke kuil
Cing-siu-kiong.
"Ayah, kenapa kau?" teriak Lan Sui-leng.
Lan Kau-san hanya bisa mengeluarkan suara aneh dari
tenggorokannya, sama sekali tidak terdengar perkataan apapun.
Ibunya menangis tersedu, serunya, "Ooh anakku, entah ilmu
siluman apa yang digunakan perempuan jahat itu, coba lihat,
ayahmu jadi begini rupa!"
Setelah berhasil menenangkan hatinya, Lan Sui-leng memeriksa
sejenak sekujur tubuh ayahnya, kemudian berkata, "Ibu, ini sih
bukan ilmu siluman.”
Ilmu senjata rahasia dari Siang Ngo-nio sering kali dijumpai
dalam dunia persilatan, berbeda dengan ilmu menotok jalan darah
yang jarang digunakan. Masih untung belum lama berselang Lan
Sui-leng telah belajar menotok dan membebaskan totokan jalan
darah, ketika dicoba, betul saja, jalan darah bisu ayahnya segera
terbebaskan.
"Perempuan siluman itu datang untuk mencari gara-gara dengan
adikmu,” ujar Lan Kau-san kemudian, "dia ingin menipuku, masih
beruntung aku tidak sampai tertipu.”
"Aku tahu ayah, semua pembicaraanmu dengan perempuan
siluman itu sempat kudengar.”
"Apa? Apa.... apa yang kau dengar?" tanya Lan Kau-san
terperanjat.
"Perempuan siluman itu mengatakan kalau adik bukan....
bukan.... benarkah apa yang dia katakan?"
Lan Kau-san tertunduk lesu, sesaat kemudian ia baru menjawab,
"Karena urusan telah menjadi begini, rasanya tidak perlu
kurahasiakan lagi. Betul, semua yang dia katakan memang benar!"


"Lantas siapakah orang tua kandungnya?"
"Aku sendiripun tak tahu.”
"Lantas darimana dia berasal?"
"Enam belas tahun berselang, ayah angkatnya yang
menyerahkan kepadaku, waktu itu kau baru lahir, belum genap
sebulan. Karena itulah kepada orang lain aku selalu mengakui kalian
sebagai sepasang saudara kembar.”
"Menurut pendapatku,” tiba tiba ibunya menyela, "bisa jadi anak
Keng adalah putra kandung ayah angkatnya.”
Lan Kau-san segera tertawa.
"Selama hidup Put-ji Totiang belum pernah menikah,” katanya.
"Biar belum pernah kawin pun bukan berarti tidak punya anak
haram! Kalau tidak, mengapa dia begitu menyayangi anak Keng?"
"Pasti bukan!" tiba tiba Lan Sui-leng menyela.
"Darimana kau bisa tahu?" tanya ibunya.
Lan Sui-leng jadi kelabakan karena tidak mampu menjawab,
akhirnya dia berkata, "Pokoknya aku tahu kalau bukan dia!"
Rupanya dia teringat dengan perkataan gurunya, hanya saja hal
itu tidak berani diucapkan secara terus terang kepada orang tuanya.
Terdengar Lan Kau-san berkata pula, "Aku pun sependapat
dengan perkataan budak Leng. Aku sudah kenal Put-ji Totiang sejak
kecil dan tahu kalau dia saleh, sopan dan bermoral tinggi, darimana
munculnya anak haram? Kalau dibilang kenapa menyayangi anak
Keng, bukankah kita pun amat menyayangi anak Keng, bahkan tidak
kalah dengan dia?"
Lan Sui-leng menghela napas panjang.
"Tidak heran kalau adik jadi curiga, ini disebabnya rasa sayang
kalian terhadapnya sedikit kelewat isti-mewa,” katanya.
"Ooh, dia bilang begitu? Terus apa lagi yang dia katakan?"


Lan Sui-leng manggut-manggut, ujarnya, "Semula aku masih
membujuki dia agar jangan berpikir sembarangan, eeh siapa sangka
ternyata beneran! Untung saja dia belum banyak tahu apa-apa,
baru timbul rasa curiganya saja.”
Lan Kau-san tidak bicara lagi, sampai lama kemudian dia baru
menghela napas.
"Ayah, kenapa menghela napas?" tanya Lan Sui-leng.
"Sekarang aku baru paham, sudah pasti lantaran anak Keng tahu
kalau kami bukan orang tua kandungnya, maka tanpa mengatakan
alasan apapun dia telah pergi meninggalkan kita.”
"Bukan begitu!" sela Lan Sui-leng cepat.
"Kalau bukan lantaran alasan ini, lalu dikarenakan apa?"
"Apa alasannya aku sendiri juga kurang tahu. Tapi yang
kuketahui kalian amat menyayangi adik dan adik pun amat
menyayangi kalian. Sekalipun sudah timbul rasa curiganya, dia tetap
masih menganggap kalian sebagai ayah bundanya.”
"Apa yang kau katakan memang betul, anak Keng memang
seorang bocah yang penurut dan berbakti. Tapi mengapa dia bilang
kepergiannya bisa tidak balik lagi? Benar dia mengatakan kalau hal
ini karena pesan Sucouwnya, tapi masa kepada orang tua sendiri
pun harus dirahasiakan?"
"Bila adik sudah berkata begitu, sudah pasti dia mempunyai
alasan yang mendesak. Ayah, ibu, aku pun ingin memohon satu hal
kepada kalian, harap kalian mau mengabulkan.”
"Apa permintaanmu?"
"Akupun ingin turun gunung untuk mencari adik.”
"Baru saja dia pergi, sekarang kaupun akan pergi?" keluh ibunya.
"Aku tidak tega membiarkan dia berkelana seorang diri dalam
dunia persilatan, andai Sucouw memang sedang menitahkan dia
untuk melaksanakan suatu tugas, dengan bantuanku siapa tahu dia


bisa pulang lebih cepat.”
Lan Kau-san menghela napas panjang.
"Aaai, baik terhadapmu maupun terhadap anak Keng aku sayang
semuanya, mana tega kubiarkan kau pergi seorang diri? Tapi.... ada
baiknya juga kalau kau menyusulnya, hanya saja....”
"Hanya saja kenapa?"
"Kalau dia hanya sebatas curiga, lebih baik jangan kau katakan
hal yang sebenarnya.”
"Ayah tidak perlu pesan, aku mengerti,” tiba tiba Lan Sui-leng
teringat dengan status sendiri, dari saudara kandung berubah jadi
orang lain, tidak urung hatinya merasa sedih juga. Sejujurnya
diapun berharap rahasia ini selamanya tidak disampaikan kepada
adiknya.
"Budak Leng, apa lagi yang sedang kau pikirkan?" tiba tiba
ibunya bertanya.
Lan Sui-leng mendongakkan kepalanya, dengan mata memerah
keluhnya, "Ayah, ibu, aku.... aku pun merasa tidak tega.”
"Apa yang membuatmu tidak tega?"
Tiba-tiba terdengar seseorang berseru dari luar pintu, "Anak
Leng, pergi saja dengan hati tenang, biar aku yang menjaga orang
tuamu.”
Ternyata Put-hui Tokouw telah kembali.
"Hahaha.... budak Leng, ternyata masalah ini yang kau
khawatirkan!" seru Lan Kau-san kemudian sambil tertawa, "aku dan
ibumu masih sehat dan bugar, masih dapat menjaga diriku sendiri.”
Darimana dia tahu kalau apa yang dimaksud Put-hui Tokouw
sebenarnya mempunyai arti lain.
Lan Sui-leng jadi kegirangan setengah mati, segera serunya,
"Terima kasih Suhu. Eei.... Suhu, wajahmu kurang beres.”


"Kurang sehat bukan?" sela Put-hui Tokouw sambil tertawa.
Lan Sui-leng rikuh untuk memberi tanggapan, maka sambil
tertawa dia bertanya, "Mana perempuan siluman itu?"
"Sayang Suhu mu kurang mampu, dia berhasil melarikan diri.
Namun.... biarpun gagal menangkapnya, aku pun telah
menghadiahkan sebuah kado kecil untuknya.”
"Kado apa Suhu?"
"Telah kuhadiahkan selembar bulu hudtim ku menembusi jalan
darah Ih-khi-hiatnya. Kalau Bwe-hoa-ciam masih bisa dihisap keluar
dengan besi sembrani, mau kulihat pakai apa dia mau sedot keluar
bulu lembut itu. Kecuali menggunakan tenaga dalam, jangan harap
dia bisa terlepas dari siksaan ini.”
Untuk menghindari muridnya khawatir, dia sengaja hanya
menyinggung keberhasilannya tanpa memberitahukan juga kalau
diapun sudah terhajar sebatang jarum beracun dari Siang Ngo-nio.
Lan Sui-leng menyangka wajah gurunya kurang sedap dipandang
lantaran dia gagal membekuk Siang Ngo-nio, buru-buru serunya
kemudian, "Biarpun kadonya kecil, kelihatannya sudah cukup untuk
menyiksa tubuhnya. Suhu, kalau dia tidak mampu memaksa keluar
bulu itu dengan tenaga dalamnya, lantas bagaimana?"
"Kalau sampai begitu, berarti selama hidup jangan harap dia bisa
terlepas dari siksaan karena sakit di ulu hati dan perutnya, bahkan
rasa sakit itu bisa kambuh setiap saat. Namun menurut
pengamatanku, dia masih mampu untuk menghancurkan bulu
dalam tubuhnya dengan tenaga dalam, hanya saja harus dia
lakukan cukup lama, paling tidak dalam setengah tahun mendatang
dia tidak bakal mencelakai umat persilatan lagi. Itulah sebabnya aku
tidak khawatir kau turun gunung untuk mencari adikmu. Sudahlah,
urusan jangan ditunda lagi, kau segera berangkat turun gunung
sementara akupun harus balik ke partai untuk melaporkan kejadian
ini kepada Ciangbunjin.”
Belum jauh Put-hui Tokouw meninggalkan rumah keluarga Lan,


bahkan belum lagi melampaui bukit kecil, dia merasa kepalanya
makin lama terasa makin berat.
Perlu diketahui, walaupun luka yang dideritanya tidak separah
luka yang diderita Put-coat ketika berada digunung Boan-liong-san
tempo hari, tapi setelah terkena jarum lebah hijau, dia masih harus
bertarung melawan Siang Ngo-nio, bahkan mengejarnya beberapa
saat. Hal ini mengakibatkan hawa racunnya segera menyebar ke
bagian atas tubuhnya kendatipun dia sudah mengerahkan tenaga
dalam untuk membendung.
Di saat matanya mulai berkunang dan matanya terasa makin
berat, ingin terpejam terus, mendadak terasa ada seseorang
memayang tubuhnya sambil menegur, "Put-hui, mengapa kau
terluka separah ini?"
Put-hui berusaha membuka matanya, tampak dihadapannya
telah berdiri Bu-beng susiok, ketua yang baru saja diangkat serta
Bu-si tianglo. Saat ini Ciangbunjin baru yang sedang memayang
tubuhnya.
"Aku terkena jarum lebah hijau dari Siang Ngo-nio!" jawab Puthui
lirih.
Bu-beng terperanjat, cepat dia tempelkan telapak tangannya
keatas punggung dan menyalurkan hawa murninya.
"Jadi perempuan siluman itu lelah datang kemari?" tanyanya.
"Benar, kami bertemunya di rumah keluarga Lan,” Put-hui Suthay
manggut manggut.
Bu-beng tidak ada waktu lagi untuk bertanya mengapa dia
datang ke rumah keluarga Lan, segera perintahnya, "Bu-si sute,
tolong lakukan perjalanan turun gunung untuk membekuk
perempuan siluman itu. Kalau bukan keadaan memaksa, lebih baik
jangan kau lukai nyawanya.”
"Aku tahu. Dia adalah istri kedua Tong ji-kongcu, jelek-jelek kita
harus memberi muka untuk keluarga Tong.”


"Bukan hanya masalah memberi muka untuk keluarga Tong, bisa
jadi beberapa kasus peristiwa yang menimpa perguruan kita
mungkin harus dilacak dari tubuh perempuan itu. Aku lihat ilmu
meringankan tubuhnya sangat bagus, bila kau gagal mengejarnya,
datang saja ke keluarga Tong dan mencari Tong toa-sianseng,
jelaskan saja terus terang tentang tingkah lakunya di bukit Bu-tong.
Tong toa-sianseng orangnya jujur dan lurus, dia punya hubungan
baik denganku, aku yakin dia tidak bakalan membelai adiknya jika
kesalahan ada dipihaknya.”
Bu-si Tojin mengiakan berulang kali, kemudian tanyanya,
"Apakah Ciangbun Suheng masih ada perintah lain?"
Bu-beng berpikir sejenak, kemudian sahutnya, “Sebelum bulan
lima tahun depan, kau tidak usah terburu-buru pulang gunung.
Sekalian carilah berita tentang anak Keng.”
Waktu itu kesadaran Put-hui Tokouw sudah hampir hilang, ketika
lamat lamat mendengar kata 'anak Keng', kontan dia berteriak,
"Benar, benar sekali, ilmu pedang yang dipelajari anak Keng keliru
semua. Dia.... dia mengembara seorang diri dalam dunia
persilatan....”
Cepat Bu-beng menotok jalan tidurnya sembari menghibur,
"Urusan anak Keng tidak perlu kau khawatirkan lagi, sekarang
beristirahatlah dulu.”
Caranya menotok jalan darah tidur berbeda dengan ilmu
menotok pada umumnya, bukan saja tidak merugikan tubuh,
bahkan mempunyai khasiat untuk pengobatan.
OoOoO
Perasaan Put-ji amat tidak tenang, sewaktu bersembunyi
dibelakang batu tadi, lantaran khawatir jejaknya ketahuan Siang
Ngo-nio dan Put-hui Tokouw, maka sengaja dia berbaring di tanah,
hal ini bukan saja membuat tubuhnya berpelepotan lumpur, bahkan
ada sebagian bajunya yang robek karena tersangkut batu tajam.
Dengan kondisi semacam ini, tentu saja dia tidak berani


mendatangi kuil Cing^siu-kiong untuk menjaga layon gurunya,
terpaksa dia mengambil keputusan untuk pulang dulu ke kamarnya.
Untuk menghindari kecurigaan orang dan bertemu dengan orang
yang dikenal, sengaja dia berputar satu lingkaran lebih dulu
sebelum akhirnya mengambil jalan yang sepi untuk kembali ke
kamarnya.
Siapa tahu baru masuk ke kamar tidurnya, dia jumpai ada
seseorang sedang menunggunya disana.
Orang itu bukan lain adalah Bu-beng Cinjin, Ciangbunjin baru
mereka.
Tidak terlukiskan rasa kaget Put-ji, namun sambil tertawa paksa
segera sapanya, "Ciangbun Cinjin, tumben ada waktu berkunjung ke
kamarku?"
"Aaah, kebetulan saja lewat disini, karena sudah berada di
seputar tempat tinggalmu, aku pikir sekalian menjengukmu.”
Lalu dengan senyum tidak senyum dipandangnya Put-ji sekejap,
kemudian tegurnya lagi, "Tampaknya kau baru selesai berlatih
silat?"
Waktu itu Put-ji belum keburu berganti pakaian, jubahnya masih
kelihatan dekil dan robek dibanyak tempat, melihat Ciangbunjin
sedang menatapnya, dia jadi tersipu-sipu karena malu.
Namun pertanyaan yang diajukan sang ketua cukup membuatnya
tercengang dan sedikit diluar dugaan.
Terlepas gurunya baru meninggal semalam sehingga sebagai
murid tidak masuk diakal untuk berlatih diri dalam situasi begini,
dengan kemampuan silat yang dimilikinya sekarang, rasanya tidak
masuk di akal juga kalau sampai pakaiannya ikut terobek.
Dengan cepat otaknya berputar, tapi segera dia paham kalau
ucapan itu merupakan bantuan sang ketua untuk mencarikan alasan
baginya, jelas tujuannya untuk menutupi rahasia yang tidak ingin
diketahui orang.


Perlu diketahui, dalam situasi seperti ini meski alasan itu banyak
kelemahannya, namun dia memang tidak punya alasan lain yang
jauh lebih baik.
Setelah berhasil menenangkan diri, diapun mulai menyusun cerita
bohongnya, "Ilmu pedang ajaran mendiang Suhu tidak pernah tecu
latih secara baik, hal ini menyebabkan tecu menderita kekalahan
ditangan Tonghong Liang kemarin. Karena malu bercampur kecewa
maka pagi tadi tecu sengaja mendatangi telaga Giok-keng di bawah
Cian-ki-hong untuk melatih diri. Siapa tahu karena kurang
konsentrasi, pakaian tecu terkait onak hingga robek....”
"Usia mendiang Ciangbunjin sudah melampaui delapan puluh
tahun, apa yang menjadi keinginannya pun sudah terkabulkan, aku
rasa kau tidak perlu kelewat bersedih hati. Tapi aku rasa ketidak
tenangan hatimu tentu disebabkan alasan lain bukan.”
"Perlu Ciangbunjin ketahui, murid tecu yang bernama Lan Giokkeng
adalah cucu murid kesayangan mendiang guruku, entah
kenapa, sejak bubaran pertemuan semalam dia belum kelihatan
juga. Setiap hari dia punya kebiasaan untuk berlatih silat ditepi
Giok-keng-ouw, karena aku tidak punya waktu menjenguk ke
rumahnya maka sejak pagi tadi kudatangi telaga Giok-keng dengan
harapan bisa bertemu dengannya. Si apa tahu disana pun aku tidak
menemukan jejaknya, entah sudah ke mana bocah itu. Inilah yang
menyebabkan tecu jadi risau dan tidak tenang.”
"Aaah benar,” kata Bu-beng kemudian, "kebetulan akupun
hendak memberitahukan soal itu kepadamu, Giok-keng si bocah ini
sudah diperintahkan gurumu untuk turun gunung.”
"Ooh, rupanya begitu,” Put-ji segera berlagak seolah diluar
dugaan.
"Mungkin saja karena kemarin mendiang gurumu kelewat sibuk
menghadapi serangan musuh, maka dia lupa memberitahukan hal
ini kepadamu.”
"Boleh tahu karena urusan apa mendiang Suhu memerintahkan
bocah ini turun gunung?"


"Tahun ini Giok-keng sudah genap berusia enam belas tahun, dia
adalah orang yang secara khusus diijinkan mendiang Ciangbunjin
untuk kau ajari ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat. Bisa jadi tujuan
mendiang Ciangbunjin adalah agar dia mencari pengalaman di
dalam dunia persilatan, untuk itu kau tidak perlu banyak curiga.”
Tentu saja Put-ji tidak berani mengakui kalau dia memang
sedang curiga, sahutnya sambil tertawa paksa, "Bukannya tecu
banyak curiga, mungkin karena kebodohan tecu sehingga tidak
memahami maksud tujuan mendiang Suhu, itulah sebabnya tecu
sedikit tercengang karena merasa diluar dugaan.”
"Masih ada satu kejadian aneh lagi, bagaimana kalau kita
membahasnya bersama?" tiba-tiba Bu-beng berkata.
"Persoalan aneh apa?" tanya Put-ji terperanjat. "Baru saja si
lebah hijau Siang Ngo-nio berkunjung kemari!"
Put-ji segera berlagak terkejut, serunya, “Perempuan siluman ini
adalah salah satu pembunuh Put-coat Suheng, tidak disangka berani
amat dia mendatangi gunung Bu-tong!"
"Nyalinya memang cukup besar, bukan saja berani naik gunung
bahkan berani pula melakukan tindak kejahatan disini bahkan telah
melukai seorang anggota perguruan Bu-tong.”
"Suheng mana yang terluka?" tanya Put-ji segera dengan lagak
kaget bercampur cemas.
"Dia adalah Put-hui, murid wanita dari Giok-tin-koan, walaupun
perempuan siluman itu berhasil terusir dari atas gunung, namun
Put-hui terkena juga sebatang jarum lebah hijau nya.”
"Bagaimana ceritanya sehingga Put-hui suci bisa berjumpa
dengan wanita siluman itu? Bagaimana keadaan lupanya? Apakah
sudah kembali ke kuil Giok-tin-koan? Aaaai, tentunya keselamatan
jiwanya tidak terancam bukan?"
Dia menggunakan serentetan pertanyaan untuk mengungkap
perasaan khawatirnya, padahal persoalan yang benar-benar ingin
dia ketahui belum juga disampai kan, yakni darimana Bu-beng Cinjin


bisa mengetahui persoalan itu sedemikian cepatnya?
Menurut perkiraannya, setelah Put-hui terhajar jarum lembah
hijau, meski tidak sampai tewas, namun mustahil pendeta wanita itu
bisa balik ke gunung dengan menggunakan ilmu meringankan
tubuhnya. Biarpun ditengah jalan telah bertemu rekan seperguruan,
tidak mungkin berita tersebut bisa secepat itu dilaporkan kepada
Ciangbunjin.
"Jangan-jangan secara ^kebetulan Ciangbunjin sedang berada
disekitar tempat ini dan menyaksikan sendiri semua peristiwa itu?"
Karena berbuat salah, perasaan hatinya jadi amat tidak tenang.
"Kau tidak perlu gelisah,” Bu-beng Cinjin segera berkata,
"keselamatan jiwa Put-hui tidak perlu dikhawatirkan, apalagi sudah
menelan sebutir pil Teng-sim-wan. Tapi omong-omong, kali ini Puthui
bisa mendapat pertolongan cepat pun berkat dirimu juga.”
Put-ji tidak habis mengerti, dia curiga perkataan Ciangbunjin
bermaksud sebaliknya, maka sambil ter-tawa paksa ujarnya, "Tecu
sendiripun baru sekarang mengetahui kejadian ini.”
"Bukankah beberapa hari berselang kau telah mendirikan sebuah
pos penjagaan baru di punggung bukit di bawah pintu Hian-gakbun?"
tanya Bu-beng Cinjin.
Peristiwa itu terjadi pada hari ke dua setelah Put-coat dibawa
balik keatas gunung, Put-ji dengan posisi sebagai wakil Ciangbunjin
memerintahkan pekerjaan itu.
"Tujuan tecu waktu itu adalah untuk memperkuat penjagaan
diatas gunung,” kata Put-ji segera, "bila Ciangbunjin merasa kurang
berkenan, biar nanti tecu bubarkan.”
"Untung saja belum dibubarkan, begitu penjaga pos menemukan
perempuan siluman itu melarikan diri ke bawah gunung, mereka
segera mengirim merpati pos untuk melaporkan peristiwa ini. Aku
dan Bu-si sute pun segera turun gunung untuk melakukan
pemeriksaan, saat itulah kebetulan berjumpa Put-hui yang sedang
pulang dengan membawa luka. Waktu itu racunnya sedang mulai


bekerja.”
Lega juga perasan hati Put-ji setelah mendengar penuturan itu,
pikirnya, "Untung saja dia tidak hadir disaat peristiwa itu
berlangsung.”
Berpikir begitu, diapun berkata, "Asal Ciangbunjin telah
mengobati lukanya, tecu yakin jiwanya pasti bakal selamat.”
"Mungkin masih dibutuhkan beberapa hari untuk memunahkan
seluruh sisa racun jarum lebah hijau yang mengeram ditubuhnya,
tapi aku rasa urusan penting yang kita hadapi sekarang bukanlah
mengobati luka Put-hui, melainkan menyelidiki maksud kedatangan
Siang Ngo-nio. Keberaniannya kali ini sungguh diluar dugaan
siapapun!"
Sekali lagi Put-ji merasa terperanjat.
"Apakah Put-hui suci sempat mengorek sedikit keterangan dari
perempuan siluman itu?" tanyanya.
"Kurasa tidak, jika berhasil mendapatkan sesuatu, begitu
bertemu aku tadi seharusnya sudah disampaikan. Biarpun saat itu
racunnya mulai bekerja, tapi tidak masalah untuk berbicara satu dua
patah kata lagi.”
Put-ji merasa perkataan itu ada benarnya juga, diam diam diapun
merasa agak lega.
Tapi perkataan Bu-beng berikut segera membuat perasaan
hatinya kembali tercekat.
Ujar Bu-beng, "Ada satu hal yang membuat aku tidak habis
mengerti, coba tebak, di tempat mana Put-hui berjumpa dengan
perempuan siluman itu?"
"Mana aku bisa menebaknya?" sahut Put-ji sambil tertawa paksa.
"Aku tahu kaupun tidak bakal bisa menebaknya, Put-hui justru
bertemu siluman itu di rumah muridmu.”
"Mau apa dia mendatangi rumah keluarga Lan?" Put-ji berlagak


kaget.
"Masalah ini telah kutanyakan langsung kepada Lan Kau-san,
kelihatannya kedatangan siluman perempuan itu khusus untuk
mencari Giok-keng! Tampaknya semula dia ingin berbohong, ketika
gagal berbohong diapun menggunakan kekerasan.”
Put-ji pun berlagak kebingungan, sambil menggaruk kulit
kepalanya dia bergumam, "Sungguh aneh kejadian ini, tidak
mungkin Giok-keng si bocah ini mempunyai masalah dendam atau
sakit hati dengannya.”
"Kau pernah berkenalan dengan Siang Ngo-nio?" tiba-tiba Bubeng
Cinjin betanya.
"Belum pernah bersua,” jawab Put-ji cepat, "Ciangbunjin, kau....
mengapa kau bertanya begitu?"
"Aku dengar kau sudah cukup lama berkelana dalam dunia
persilatan, waktu itu kau masih menjadi murid tertua dari Ji-ouw
Tayhiap Ho Ki-bu, sering mewakili gurumu berhubungan dengan
tokoh persilat-an. Siapa tahu secara tidak sengaja kau telah
menyalahi perempuan siluman itu, atau menyalahi orang yang
berhubungan dengan dirinya? Coba dipikirkan dulu dengan cermat.”
"Waktu itu aku hanya berhubungan dengan para pendekar dan
ksatria dari dunia persilatan, jadi rasanya tidak mungkin bersalah
dengan orang orang yang menyangkut perempuan siluman itu.”
"Kalau begitu aneh sekali, kenapa dia harus mendatangi bukit
Bu-tong hanya dikarenakan seorang murid perguruan yang belum
menginjak dewasa?"
Put-ji berlagak ikut berpikir, sesaat lalu berkata, "Menurut dugaan
tecu, bisa jadi dia ingin menangkap Giok-keng untuk jimat pelindung
nyawanya.”
"Untuk pelindung?"
"Mungkin dia sudah mendapat tahu kalau Giok-keng adalah cucu
murid kesayangan mendiang Suhu, tapi tidak tahu kalau mendiang


Suhu telah meninggal, bisa jadi dianggapnya asal dia tangkap bocah
itu maka kita pun tidak akan berani menuntut balas karena
kematian Put-coat Suheng.”
"Ehmm, perkataanmu masuk diakal juga. Betul, meski Bu-siang
Cinjin Suheng telah meninggal, namun bila Giok-keng sungguh
terjatuh ke tangan siluman itu, kita pun tidak mungkin berani
bertindak gegabah, paling tidak harus berpikir juga keselamatan
jiwanya.”
"Sungguh tidak disangka bakal terjadi peristiwa semacam ini,
posisi tecu sekarang jadi serba salah, tidak tahu apa yang harus
dilakukan. Mohon petunjuk dari Ciangbunjin.”
"Kesulitan apa yang sedang kau hadapi? Katakan saja.”
"Sebenarnya aku harus menjaga layon mendiang Suhu, tapi
akupun tidak tega membiarkan Giok-keng mengembara seorang diri
dalam dunia persilatan, apa jadinya kalau dia sampai bertemu Siang
Ngo-nio?"
"Jalan darah Siang Ngo-nio pun sudah tertembus bulu hudtim
milik Put-hui, dalam dua tiga bulan mendatang tidak nanti dia
sanggup melakukan kejahatan lagi. Sekarang aku telah mengirim
Bu-si sute untuk melacak kabar beritanya. Begitu ada kabar, dia
akan beritahu kepadaku. Bu-si sute sering berkelana dalam dunia
persilatan, kenalannya cukup banyak, aku percaya dia pasti dapat
mengutus orang untuk melin-dungi bocah itu secara diam-diam.”
Sementara Put-ji masih termenung tanpa bicara, kembali Bubeng
Cinjin berkata, "Kau masih merasa khawatir?"
"Memang tidak salah mendiang Suhu memerintahkan dia
berkelana dalam dunia persilatan, tapi sebetulnya paling baik jika
dia berada di sampingku selama dua tahun lagi.”
Perkataan itu benar-benar muncul dari hati tulusnya, bukan
lantaran dia takut Siang Ngo-nio bakal mencelakai Lan Giok-keng,
melainkan karena dia sadar ilmu pedang yang dia ajarkan kepada


bocah itu sesungguhnya tidak mampu dipakai untuk melawan
musuh tangguh.
"Begini saja,” ujar Bu-beng Cinjin kemudian, "begitu ada berita
tentang bocah itu, aku segera akan mengirim kau untuk
mencarinya, bila selewat tiga bulan kemudian belum juga ada kabar
beritanya, akupun akan memberi masa libur sebulan kepadamu,
agar kau bisa pergi mencarinya. Cuma kau harus balik ke Bu-tong
sebelum upacara penguburan mendiang Ciangbunjin.... sekarang,
ada satu hal aku ingin minta bantuanmu.”
"Silahkan Ciangbunjin katakan.”
"Sisa racun Put-hui belum bersih dari tubuhnya, aku minta dalam
dua hari ini kau membantunya membersihkan racun-racun itu.”
Pucuk dicinta ulam tiba, memang inilah yang diharapkan Put-ji.
Dia ingin menggunakan kesempatan itu untuk merebut simpatik
Put-hui. Tentu saja permintaan itu segera diiyakan.
Malam itu Put-ji tidak dapat tidur nyenyak, sebentar dia seperti
melihat bayangan dari sutenya Keng King-si, sebentar lagi melihat
bayangan Sumoynya Ho Giok-yan, sebentar melihat pula bayangan
Lan Giok-keng, bayangan mereka bermunculan saling menyusul di
depan mata. Dan terakhir dia sekan melihat sepasang mata Put-hui
yang dingin sedang mengawasinya dari balik kegelapan.
"Aku tidak tahu apa sebabnya perempuan siluman itu berbohong
dirumah keluarga Lan, tapi bila ada yang ingin membunuh karena
hendak melenyapkan saksi, aku pasti tidak akan melepaskan
dirinya!" inilah ucapan Put-hui ketika ia berusaha memancing
keterangan dari mulutnya.
"Aaai, sungguh tidak kusangka diriku dalam pandangan orang
telah berubah menjadi seorang siaujin laknat yang begitu jahat!"
Sekali lagi peristiwa yang terjadi pada enam belas tahun
berselang melintas kembali dalam benaknya, dia seolah mengendus
bau anyir darah yang berlepotan di tangannya.
Pesan terakhir Sumoynya menjelang saat ajal pun seakan


bergema lagi disisi telinganya, "Suko, selama hidup aku tidak pernah
memohon kepadamu, tapi hari ini aku hanya memohon, tolong jaga
baik-baik bocah ini!"
Cahaya kilat berkelebat di luar jendela diikuti suara gemuruh
guntur yang membelah bumi, tiba-tiba saja turun hujan yang amat
deras.
Sambaran kilat gemuruh petir seketika menggetarkan perasaan
hatinya, bagai orang kalap dia melompat bangun, jeritnya, "Sumoy,
kau jangan memandangku seperti ini. Betul, aku memang bersalah
kepadamu, tapi aku sama sekali tidak berniat mencelakai anak
Keng!"
Betul, walaupun dengan sengaja dia mengajarkan ilmu pedang
yang salah kepada Lan Giok-keng, namun hal ini timbul demi
melindungi keselamatan jiwa sendiri. Dia khawatir suatu saat nanti
bila Lan Giok-keng mengetahui asal usulnya, dia bakal datang
mencarinya untuk menuntut balas.... bagaimanapun ayah kandung
Lan Giok-keng memang tewas ditangannya dan ibu Lan Giok-keng
pun tewas lantaran dirinya!
Dia sengaja mengajarkan ilmu pedang yang salah kepada Lan
Giok-keng, agar bocah itu biar berlatih lebih hebat pun tidak nanti
mampu membunuhnya. Bahkan menurut rencananya semula, dia
pun ingin menahan Lan Giok-keng agar selalu berada di
sampingnya, sampai dia meninggal baru mengijinkannya turun
gunung. Dengan hubungannya yang begitu akrab melebihi
hubungan ayah dan anak, d'a yakin Lan Giok-keng pasti akan
menuruti perkataannya.
Siapa tahu baru saja Lan Giok-keng mencapai usia enam belas
tahun, belum lagi kungfunya berhasil diyakinkan, Ciangbun Sucouw
telah memerintahkan dia turun gunung.
Bahkan ketika sang Sucouw menitahkan dia turun gunung, hal ini
sama sekali tidak diberitahukan kepadanya, tidak heran kalau
kejadian ini membuat perasaan hatinya makin khawatir dan tidak
tenang.


"Entah anak Keng sudah tahu tidak kalau ilmu pedang yang
kuajarkan kepadanya sama sekali tidak berguna? Aaaai, andai dia
sudah mengetahui perbuatan kejiku ini, apakah dia pun akan sangat
membenciku?"
Dia sangat khawatir bila Lan Giok-keng tahu rahasianya, tapi
sekarang yang lebih dia takuti adalah bocah itu tewas dalam dunia
persilatan hanya gara-gara menggunakan jurus pedang yang dia
ajarkan padanya.
Cahaya kilat berkelebat lalu lenyap, bayangan Sumoynya ikut
lenyap pula dari hadapannya. Tapi perasaan menyesal yang timbul
dalam hatinya ter-simpan secara utuh dan abadi.
"Aaaai, sudah kelewat banyak kesalahan yang kulakukan, kali ini
mungkin aku telah melakukan kesalahan yang terbesar!"
Selama enam belas tahun hidup bersama, dialah yang
menyaksikan Lan Giok-keng tumbuh jadi dewasa, sedikit banyak
antara dia dengan bocah itu telah tumbuh perasaan sayangnya
sebagai seorang ayah terhadap anaknya, kendatipun selama ini
diapun berusaha dengan segala cara untuk mewaspadai bocah itu.
Bagaimana dia harus menebus semua dosa ini? Memukul dada
sendiri sambil menyesali semua perbuatannya?
Ketika kehabisan akal, diapun ingin segera turun gunung, tapi dia
khawatir tindakan ini justru menimbulkan kecurigaan Ciangbunjin,
dalam keadaan begini terpaksa diapun harus menuruti perkataan
Bu-beng Cinjin, menunggu sekembalinya Bu-si tianglo.
Ooo)*(ooO
Lan Giok-keng telah turun dari bukit Bu-tong perasaan hatinya
gundah bercampur gelisah.
Dalam sakunya tersimpan segulung benda, pemberian dari
Ciangbun Sucouw.
Waktu itu, ketika dia menjenguk Sucouwnya yang sedang sakit,
Bu-siang Cinjin segera menyerahkan sepucuk surat dan sebuah


gulungan benda kepadanya sambil berpesan, "Sekarang juga segera
pulang ke rumah, setibanya di rumah buka dan baca surat itu.”
Sekembali ke rumah, diapun membuka surat itu dan membaca
isinya, "Segera berpamitan kepada orang tuamu dan turun gunung.
Dilarang memberitahukan hal ini kepada siapa pun. Setibanya di
bawah bukit, periksa benda gulungan yang kuberikan padamu itu.”
Dengan hati ragu penuh curiga Lan Giok-keng pun berpikir,
"Sungguh aneh, kenapa Sucouw melarang aku memberitahu kepada
guruku kalau aku hendak turun gunung?"
Namun berhubung perintah itu berasal dari Ciangbunjin, perintah
yang tidak mungkin bisa di langgar, walaupun tidak habis mengerti,
Lan Giok-keng tetap melaksanakan perintah itu.
Sesuai dengan pesan, setelah tiba di bawah bukit Bu-tong, ia
baru membuka gulungan tersebut. Ternyata benda itu adalah
sebuah gulungan kertas yang penuh berisi tulisan sebesar kepala
lalat.
Gulungan pertama berisi Sim-hoat tenaga dalam, gulungan kedua
berisi Kiam-koat (teori) ilmu Thay-kek-kiam. Selain itu tersedia pula
setumpuk uang kertas yang nilai nominalnya tidak terlalu banyak,
jelas untuk ongkos perjalanan.
Di samping itu terdapat lagi secarik surat.
Cepat Lan Giok-keng membuka sampul surat itu dan membaca
isinya, "Pelajari baik-baik Sim-hoat dan Kiam-koat itu, setelah hapal
kau harus memusnahkannya. Kemudian pergilah ke Ho-lam, bukit
Siong-san dan mohon bertemu Hwee-ko Thaysu dari Siau-lim-si,
mohon petunjuknya untuk mencari Jit-seng-kiam-kek. Sebelum
berhasil bertemu dengan Jit-seng-kiam-hek, apa pun yang terjadi di
bukit Bu-tong, kau tidak boleh sekali-kali balik ke gunung. Jaga baik
rahasia ini.
Tertanda: Sucouw.”
"Siapakah Jit-seng-kiam-kek si jago pedang tujuh bintang ini,”
pikir Lan Giok-keng dalam hati, "di gunung Bu-tong bakal terjadi


peristiwa apa?"
Mendadak dia teringat kalau Sucouw sedang menderita sakit
parah.
"Seandainya Sucouw meninggal dunia karena sakit, apakah
akupun tidak boleh balik ke gunung untuk melayat?"
Bocah ini memang sangat cerdas, dari pesan wanti wanti Sucouw
nya secara lamat-lamat dia sudah merasakan firasat tidak baik.
Dalam suratnya Sucouw telah berpesan, “Apapun yang terjadi di Butong-
san", bukankah kejadian paling penting adalah tentang
kematian Sucouwnya?
Perintah Ciangbunjin pantang dilanggar, maka setelah berhasil
menenangkan diri diapun berpikir, "Tenaga dalam yang dimiliki
Sucouw amat sempurna, bisa jadi perkataan itu hanya bermaksud
berjaga-jaga. Bukankah Thio Cinjin Couwsu pendiri perguruan
mampu hidup hingga seratus tahun lebih? Siapa tahu Sucouw pun
bisa hidup diatas seratus tahun?"
Selain itu masih ada sebuah teka teki lain yang lebih besar
mencekam pikirannya, "Kenapa Sucouw tidak mengajarkan Simhoat
tenaga dalam dan teori ilmu pedang Thay-kek-kiamhoat di atas
gunung Bu-tong? Kenapa dia minta aku memusnahkan catatan ini
setelah aku menghapalkannya? Apakah dia khawatir terjatuh ke
tangan orang luar? Benarkah susiok, Supek bahkan termasuk
Suhuku dianggap orang luar?"
Biarpun dia keheranan dan tidak habis mengerti, tapi dalam surat
itu Sucouwnya dengan jelas memerintahkan kalau hanya dia
seorang yang boleh mempelajarinya. Maka selesai membaca surat
dan menyimpan kembali gulungan kertas itu, diapun melanjutkan
perjalanan menuju ke sebuah dusun dikaki gunung.
Dengan uang sepuluh tahil dia membeli ransum dan kebutuhan
lain untuk keperluannya selama tiga hari, kemudian menjelang
magrib berangkatlah bocah ini meninggalkan kota.
Sesudah menempuh perjalanan hampir seratusan li dari gunung


Bu-tong, sampailah dia disebuah perbukitan yang tidak diketahui
namanya.
Bukit itu dikelilingi rumah penduduk, tapi datas bukit terdapat
sebuah kuil raja obat, biarpun sudah lama terbengkalai namun
masih layak untuk dipakai berteduh.
Lan Giok-keng mengumpulkan setumpuk kayu kering dan
membuat api unggun. Dia merasa kuil itu cukup cocok sebagai
tempat berteduh sementara waktu.
Maka di bawah cahaya api, diapun mulai membuka gulungan
kertas itu dan membacanya dengan seksama.
Ooo)*(ooO
BAB VI
Mempelajari ilmu rahasia
Menciptakan jurus baru.
Mula-mula yang dibaca lebih dulu adalah Sim-hoat tenaga dalam,
semenjak pertama kali belajar tenaga dalam, dia memang seringkali
mendapat petunjuk dari Sucouw, hingga saat membaca Sim-hoat itu
tidak banyak kesulitan yang dijumpai.
Ada beberapa bagian rahasia meski tidak dapat dipecahkan untuk
sesaat, namun secara lamat-lamat dia merasa ada titik terang
berhasil ditemukan, dia yakin asal dipelajari beberapa saat niscaya
rahasia itu akan dipahaminya.
Tapi ketika mulai membaca teori ilmu pedang, perasaan hatinya
mulai ragu dan bimbang, ternyata apa yang dipelajarinya sekarang
sama sekali berbeda dengan kiam-hoat yang diajarkan gurunya.
Yang lebih membuatnya kesulitan adalah Sucouw-nya hanya
mengajarkan teori pedang, sama sekali tidak ditulis jurus pedangnya
dan bagaimana cara menggunakan jurus serangan itu.


Namun dibelakang kiam-koat dia menjumpai sederet tulisan kecil
yang berbunyi demikian, "Kunci dari ilmu silat perguruan kita ada
pada pemahaman. Dulu Thio Cinjin menciptakan ilmu pedang Thaykek-
kiam-hoat lantaran menyaksikan ular bertarung melawan kura
kura. Kau harus pegang prinsip ini, tidak perlu pakai aturan, biarkan
berkembang sesuai alam, bersatulah dengan alam semesta. Thaykek
itu berputar melingkar, bergerak tanpa putus, pusatkan niat
pada pedang, bermain sambung menyambung. Bila memegang
prinsip ini, jurus apapun dapat kau ciptakan, dengan kecerdasan
dan bakat alammu, aku yakin pasti kau bisa pahami kunci ini.
Lupakan semua jurus yang pernah kau pelajari, suatu saat pasti
datang hari kejayaan."
Selain itu tercantum pula dua baris huruf kecil yang berbunyi,
"Ada berasal dari tiada, karena tiada tumbuh ada.”
Dia mencoba memecahkan arti dari perkataan itu, namun sampai
kepala hampir pecah pun tidak berhasil memahami arti dari tulisan
itu.
Ketika segulung angin segar berhembus lewat, menyadarkan Lan
Giok-keng dari lamunan, pikirnya sambil tertawa geli, "Dulu, Couwsu
saja butuh waktu yang cukup lama untuk memahami teori ini,
itupun harus melewati banyak rintangan dan kesulitan. Masa hari ini
baru saja aku membaca sekali sudah ingin memahaminya,
memangnya segampang itu untuk memahami dan menguasai ilmu
silat tingkat tinggi? Kalau segampang itu, bukankah semua orang
pun bisa menjadi guru besar ilmu silat?"
Untuk sementara waktu dia singkirkan pikiran itu dan mengambil
keputusan untuk menghapalkannya lebih dulu(Gb7).
Baru pertama kali ini dia pergi meninggalkan rumah, begitu
konsentrasinya terpecah tidak berlatih pedang, rasa kangen
terhadap orang di rumah pun segera muncul.
Dia mulai kangen dengan orangtuanya, rindu dengan cicinya.
Otomatis diapun teringat dengan pertarungannya di bawah puncak
Thian-ki-hong, ditepi telaga Giok-keng-ou melawan cicinya.


"Aneh, kenapa sewaktu kugunakan jurus kebanggaan ajaran
Suhu untuk melawan ciri, aku justru dikalah kan olehnya?"
Kemudian pikirnya lebih lanjut, "Kalau memang dari tiada baru
muncul ada, berarti kata "ada" disini menunjukkan kalau aku sudah
mengerti akan ilmu silat. Pepatah bilang semakin matang semakin
menguasai, mungkin apa yang pernah kupelajari harus kuulang
kembali agar lebih hapal dan menguasai. Bila sudah betul-betul
matang hingga mampu menciptakan jurus baru, bukankah hal ini
sudah merupakan satu perputaran, dari tiada muncul ada? Ehmm,
bisa jadi inilah yang diartikan Sucouw.”
Maka diapun melatih kembali semua jurus thay-kek-kiam-hoat
yang pernah diajarkan gurunya, sewaktu melatih kembali jurus Pekhok-
liang-ci dimana saat itu dia dikalahkan cicinya, benar saja, dia
segera merasakan sesuatu yang tidak beres. Hanya saja perasaan
itu sangat kabur, dia tidak bisa menjelaskan dimana letak ketidak
beneran itu.
Keesokan harinya sesuai dengan kebiasaan sehari hari, begitu
bangun tidur dia pun mulai bersemedi, selesai melatih tenaga dalam
dia pun mulai berlatih ilmu pedang.
Ketika sampai pada jurus Pek-hek-liang-ci tiba tiba....”
Kraaaak!" pedangnya membabat kutung sebatang dahan pohon.
Serangan itu kelewat cepat, ranting pohon yang terbabat pun
kelewat panjang, ketika kutungan dahan itu meluncur ke bawah, dia
tidak sempat lagi menghindar, bahunya langsung terhajar telak.
Meski tidak sampai terluka, tidak urung terasa sakit juga.
Mula mula dia tertegun, kemudian pikirnya, “Bila ranting pohon
ini manusia hidup, dia bisa berkelit, bisa pula menyerang balik.
Kalau sampai kejadian seperti tadi, bukankah sebelum aku berhasil
mengutungi lengannya, tusukan pedangnya berhasil menembusi
tulang Pi-pa-kut ku terlebih dulu?"
Dengan memperlambat gerakan dia mengulang sekali lagi,
akhirnya ditemukan juga letak ketidak beresan itu. Ternyata radius


babatan pedang itu kelewat melebar, setengah jurus pertama dan
setengah jurus kedua terbagi dalam dua lingkaran, dua gerakan
melingkar yang sama sekali tidak bersambungan. Biarpun 'terputus'
nya hanya sekejap namun jelas sudah melanggar teori yang
dikatakan Sucouw sebagai "berputar melingkar tanpa terputus".
Dia tidak tahu apakah teori yang dipahami itu benar atau tidak,
tapi berhubung tidak ada petunjuk dari orang lain, maka dia pun
melakukan perubahan gerak jurus itu sesuai dengan pemikiran
sendiri.
Sesudah dilatih beberapa kali, lambat laun dia merasa gerakan
jurus itu mulai lancar, ranting pohon yang terbabat pun tidak
sampai membentur tubuh sendiri.
Dia mulai menguasai seluk beluk gerakan pedang itu, maka
mengikuti jalan pemikiran sendiri dia mulai berlatih semua jurus
Thay-kek-kiam-hoat hingga selesai.
Ketika selesai berlatih jurus terakhir, lamat-lamat dia mulai
merasa kalau paling tidak ada belasan jurus diantaranya tidak sesuai
dengan teori pedang yang dimaksud Sucouwnya. Setiap kali
menemukan sebuah titik kelemahan, hatinya semakin curiga
bercampur sangsi, pikirnya, "Bukankah ilmu pedang gihu berasal
dari Bu-si tianglo, padahal Bu-si tianglo tersohor sebagai jago
pedang nomor wahid, kenapa mereka tidak mengetahui adanya titik
kelemahan ini?"
Karena ada begitu banyak kelemahan yang dijumpai, kelemahan
yang mustahil bisa dibenahi dalam waktu singkat. Akhirnya dia
putuskan untuk berkonsentrasi dulu pada jurus Bangau putih
pentangkan sayap.
Perubahan dilakukan terus menerus hingga dia merasa puas
sekali dengan hasilnya.
Sampai hari ketiga dia masih berlatih terus ilmu pedangnya
berdasarkan pemahaman yang berhasil diserap dari kitab cacatan
itu, tiba-tiba dia menjumpai jurus yang semalam dirasakan sangat
memuaskan mendadak pada hari ini muncul lagi banyak titik


kelemahan yang harus dibenahi.
Akhirnya sambil menghela napas keluhnya, "Ternyata ilmu
pedang hasil ciptaan Sucouw betul betul luas tidak terhingga,
sampai kapan aku baru berhasil menguasainya?"
Dia hanya menyiapkan ransum untuk tiga hari, berarti hari esok
harus meninggalkan tempat itu. Meski sepanjang jalan dia dapat
mencari-tempat yang sepi untuk melatih diri, namun tidak akan
seleluasa di tengah bukit seperti sekarang, oleh karena itu dia harus
melakukan persiapan dengan sebaik-baiknya.
Waktu itu Sim-hoat tenaga dalam dan teori ilmu pedang Thaykek-
kiam-boh peninggalan Sucouw nya telah selesai dihapalkan,
kuatir ada kesalahan dia berusaha mengulang kembali beberapa
kali, hingga seluruh isinya nyaris hapal diluar kepala, dia baru
membakarnya hingga ludas.
Mula-mula dia merobek dulu kertas itu hingga hancur berkeping
lalu membakarnya di dalam hiolo di luar kuil. Kuil itu tidak
berjendela, hiolo pun tanpa penutup, tiba-tiba segulung angin
berhembus lewat menerbangkan hancuran kertas yang belum
sempat terbakar.
Buru-buru dia mengumpulkan kembali robekan itu dan sekali lagi
membakarnya. Biar begitu, apakah ada bagian yang tercecer? Dia
sama sekali tidak tahu.
"Hari ini adalah hari terakhir aku disini, latihanku harus lebih
dipergiat.”
Dia berharap pada hari yang terakhir ini paling tidak dia harus
bisa melatih jurus Pek-hok-liang-ci itu minimal sampai dirinya
merasa sangat puas.
Diapun berlatih sekali demi sekali, tatkala merasa jurus pek-hokliang-
ci ini sudah tidak ditemukan titik kelemahannya, menyusul
diapun menemukan kelemah- an pada jurus ke dua, ke tiga....
Sementara dia sedang berlatih dengan penuh konsentrasi,
mendadak terdengar seseorang berseru memuji, "Bagus, bagus


sekali! Aaah, salah, salah besar!"
Teriakan itu persis sama dengan permainan pedangnya, ketika
teriakan bergema, gerak jurusnya selalu persis berada di saat
terputus.
Tapi anehnya, kalau saja barusan masih memuji, kenapa
kemudian dikatakan juga kalau salah?
Untuk sesaat Lan Giok-keng tertegun, menanti dia dapat
mengendalikan diri terlihatlah seseorang telah berjalan keluar dari
dalam hutan, dia adalah seorang pemuda berusia dua puluh
tahunan, wajahnya putih pucat tapi memiliki sepasang mata yang
bersinar tajam.
"Di bagian mana ilmu pedangku menunjukkan kesalahan?" tanya
Lan Giok-keng kemudian.
"Apakah kau adalah murid Bu-tong-pay?"
"Aku tidak mengenalimu, kenapa harus memberitahukan
identitasku? Siapa kau?"
Bocah ini benar benar sudah 'matang tanpa guru', tahu kalau
lawan adalah orang asing, serta merta dia tingkatkan kewaspadaan
sendiri.
Biar begitu, bocah ini masih tetap kurang pengalaman, sebab
dengan jawaban tersebut sama artinya kalau dia telah mengakui
pertanyaan itu.
"Aku hanya ingin bertransaksi secara adil denganmu, masa belum
apa-apa kau sudah ingin mencari keuntungan dariku!" ujar pemuda
itu dingin.
"Sejak kapan aku mencari keuntungan darimu?" tanya Lan Giokkeng
agak tertegun.
"Bukankah aku bertanya siapa kau, sudah kau jawab?"
Sekarang Lan Giok-keng baru sadar, kalau dirinya enggan
mengaku, jadi bagaimana mungkin orang lain pun bersedia


mengatakan identitasnya?
"Baiklah kalau begitu, akupun tidak ingin tahu siapa dirimu,
pergilah!" kata Lan Giok-keng kemudian.
"Memangnya tempat ini rumah pribadimu? Kenapa aku harus
pergi?"
"Baiklah, kalau kau tidak mau pergi, biar aku yang pergi!" seru
Lan Giok-keng jengkel.
"Tunggu sebentar!"
"Mau apa lagi?"
"Mungkin saja kau tidak ingin tahu siapakah aku, tapi aku
percaya kau pasti ingin tahu dimana letak kesalahan pada ilmu
pedangmu bukan?"
Terbongkar suara hatinya kontan membuat Lan Giok-keng
menghentikan langkahnya.
"Toh sudah kutanyakan padamu, kalau kau enggan menjawab,
kenapa aku musti memohon lagi.”
"Apa gunanya kalau Cuma bicara omong kosong? Ayoh, mari kita
bertanding!"
Dengan ujung kakinya dia mencukil sebatang ranting pohon yang
baru saja terpapas kutung oleh pedang Lan Giok-keng, lalu katanya
lagi, "Saudara cilik, ayoh mulai menyerang!"
Sewaktu bertanding melawan cicinya di bawah bukit Thian-kiehong
tempo hari, diapun menggunakan pedang kayu, namun
pedang itu masih berbentuk sebilah pedang, sementara ranting
pohon yang berada ditangan orang ini justru masih tumbuh
beberapa helai daun.
Sebagai pemuda yang rasa ingin menangnya besar, Lan Giokkeng
segera berpikir, "Kurangajar, ternyata kau pandang enteng
diriku? Bagus, kalau tidak kuberi sedikit kelihayan, kau pasti akan
pandang enteng juga Bu-tong-pay kami.”


Berpikir begitu segera serunya, "Biarpun usiamu jauh lebih tua
dariku, tapi ingat, yang kugunakan sekarang adalah pedang
mestika. Aku tidak ingin mencari keuntungan darimu, ayoh maju
dan seranglah dulu. Terus akupun harus bicara dulu dimuka,
mencoba ilmu memang terbatas saling menutul, tapi senjata yang
kau gunakan adalah ranting pohon, aku kuatir.... aku kuatir....”
"Kenapa? Kau takut ranting ini tidak mampu menahan pedang
mestikamu hingga aku terluka oleh ketajaman senjatamu?"
"Betul, apa perlu berganti senjata dulu?"
Pemuda itu hanya tersenyum tanpa menjawab.
Melihat itu kembali Lan Giok-keng berkata, "Baguslah, kalau toh
kau yakin mampu menahan senjata mestikaku, jangan marah atau
salahkan aku bila sampai terluka nanti.”
Kontan pemuda itu tertawa terbahak bahak, "Hahahaha....
saudara cilik,” katanya, "jangankan baru melukai, kalau punya
kemampuan, biar sampai terbunuh pun aku tidak bakal menggerutu
atau menyalahkan dirimu.”
"Hmm, kau sendiri yang berkata begitu, kalau sampai terjadi
sesuatu jangan salahkan aku!" kata Lan Giok-keng sambil
mendengus, "silahkan melancarkan serangan!"
"Hahahaha.... aku tidak ingin mencari keuntungan darimu, tapi
bila tetap mengalah, rasanya kurang cukup menghormatimu.
Baiklah, hati-hati! Lihat serangan!"
Begitu selesai bicara diapun segera melepaskan sebuah
serangan, tidak jelas jurus serangan dari aliran perguruan mana
yang digunakan, terlihat rantingnya bergetar, tahu-tahu dari empat
arah delapan penjuru telah dipenuhi bayangan hijau dari dedaunan.
Seketika itu juga Lan Giok-keng merasa dia bukan sedang
berhadapan dengan sebatang ranting, melainkan seakan sudah
terjebak dalam sebuah hutan belantara yang amat luas dan lebat.
Dalam terkejutnya Lan Giok-keng segera berpegang pada prinsip
teori ilmu pedang yang baru dipelajarinya, "berputar melingkar


tanpa berputus". Biar datang himpitan seberat bukit thay-san,
hadapilah bagai hembusan angin sejuk.
Dengan menggunakan jurus pembuka dari Thay-kek-kiam-hoat,
dia bergerak membentuk lingkaran cahaya yang bersambungan,
belum lagi ujung senjatanya menyentuh ranting musuh, tahu-tahu
bayangan hijau yang mengelilinginya telah membuyar ke empat
penjuru.
Setelah bertarung beberapa gebrakan, posisi Lan Giok-keng
mulai keteter, dia dipaksa untuk mundur berulang kali, permainan
pedangnya pun semakin tidak mampu berkembang, kenyataan ini
kontan saja membuat hatinya gelisah bercampur panik.
"Dalam sepuluh gebrakan kemudian, bila membabat rantingnya
pun tidak sanggup, biar menang pun rasanya kemenanganku tidak
gagah!"
Lan Giok-keng pun nekad, sambil melejit ke udara dia segera
menggunakan jurus Pek-hok-liang-ci yang telah dirubah dan
diperbaiki kesalahannya itu.
Masih mending bila dia tidak gunakan gerakan tadi, begitu jurus
serangan itu digunakan, belum lagi melihat jelas gerak serangan
apa yang digunakan lawannya, tahu- tahu jalan darah Ci-ti-hiat nya
terasa kaku....”Traaang!"
pedang mustikanya sudah terjatuh ke tanah.
"Dalam jurus serangan ini kau berhasil membabat lepas beberapa
lembar daun dari rantingku, hal ini sudah terhitung lumayan bagus.
Sekarang beristirahat-lah dulu, sebentar kita bertanding lagi.”
Diam-diam Lan Giok-keng menarik napas dingin, sekarang dia
baru tahu kalau orang itu bukan membual, jurus pedang yang
dalam anggapannya telah sempurna ternyata dimata orang lain
penuh dengan titik kelemahan.
Tampaknya pemuda itu dapat membaca suara hatinya, setelah
tersenyum ujarnya, "Hahahaha.... titik kelemahanmu tidak sampai
mencapai ratusan tempat, dalam permainan jurus mu barusan


hanya kutemukan ada tiga buah titik kelemahan.”
Dalam sebuah gerak serangan ternyata terdapat tiga buah titik
kelemahan, suatu kejadian yang sangat memalukan.
Cepat dia duduk bersila, memejamkan mata seraya berpikir,
lewat beberapa saat kemudian sekulum senyuman mulai menghiasi
ujung bibirnya.
Tiba-tiba dia membuka kembali matanya seraya berseru,
"Baiklah, mari kita bertarung lagi!"
Dia sangka dirinya telah berhasil memahami letak kelemahan itu
dan memperbaikinya, siapa sangka hasilnya tetap tidak memuaskan,
ketika menggunakan jurus Pek-hok-liang-ci, gerakan pedang yang
jelas telah berhasil mengurung seluruh tubuh lawan, namun langkah
kaki lawan ternyata masih mampu bergerak maju ke depan, ranting
ditangan pemuda itupun sama sekali tidak menghindari mata
pedang, sebaliknya malah menerobos masuk ke tengah lingkaran
senjatanya.
Langkah aneh yang dilakukan pemuda itu sama sekali diluar
dugaannya, akibat dari desakan itu dia sendiri yang justru dipaksa
untuk menghindari sergapan lawan, bahkan jalan darah Kwan-goanhiat
pada pergelangan tangannya terasa linu dan kaku. Sekalipun
pedangnya tidak sampai terlepas dari genggaman, namun jelas dia
telah menderita kekalahan dalam pertarungan ini.
"Kenapa belum juga berhasil?" sekali lagi Lan Giokk-keng duduk
sembari berpikir.
"Jangan putus asa, kini dalam permainan jurusmu tinggal tersisa
dua buah titik kelemahan,” hibur pemuda itu.
Lan Giok-keng segera membayangkan kembali ke dua gerakan
yang barusan dia gunakan kemudian mencoba mencari tahu dimana
titik kelemahan yang masih tersisa. Tidak lama kemudian akhirnya
dia seakan melihat secerca cahaya, namun ketika cahaya itu dicoba
untuk dikuak lebih dalam, dia merasa seakan terhadang oleh
sumbatan yang makin luas dan melebar.


"Tidak usah kelewat dipikirkan,” lagi-lagi pemuda itu menghibur,
"kalau tidak terpikirkan hari ini, pikirkan kembali besok.”
Dalam hati Lan Giok-keng berpikir, "Besok aku akan pergi dari
sini, mana mungkin masih ada hari esok?"
Waktu seakan aliran sungai yang bergerak dari hulu hingga ke
hilir, selamanya tidak bakal terhenti di tengah jalan.
Di dalam keluhan tersebut mendadak terlintas satu cahaya
terang, pikirnya lebih jauh, "Aaah benar, dari tulisan yang
ditinggalkan Sucouw, hingga sekarang aku hanya bisa melakukan
perputaran Thay-kek dalam wujud bulat tanpa ada bagian yang
terputus ditengah jalan. Tapi bagaimana pula dengan gerakan
pedang yang beriring tiada henti?"
Begitu dia memahami akan teori tersebut, ibarat ruang gelap
yang tiba-tiba terbuka lebar, segala sesuatu yang terpampang
didepan mata pun jadi terang kembali.
Dengan penuh semangat dia melompat bangun sembari berseru,
"Bagus, mari, mari kita mulai lagi!"
Sama seperti pertarungan pertama, dia mulai menyerang dengan
menggunakan jurus pembukaan dilanjutkan beberapa jurus berikut.
Sekilas perasaan heran sempat muncul diwajah pemuda itu, dia
seakan ingin mengucapkan sesuatu namun akhirnya diurungkan.
Begitu Lan Giok-keng menggunakan gerakan Pek-hok-liang-ci
(Bangau putih pentangkan sayap), sekali lagi pemuda itu berseru
tertahan, ternyata kali ini dia dipaksa untuk berkelit.
"Bagaimana dengan gerakan jurusku ini?" tanya Lan Giok-keng
kemudian sambil menarik kembali pedangnya.
Pemuda itu tampak jauh lebih gembira daripada dirinya, dengan
wajah berseri sahutnya, "Sungguh cepat kemajuan yang berhasil
kau raih, dalam satu kali pemikiran bisa menambal sebuah titik
kelemahanpun sudah terhitung luar biasa, tapi kali ini ternyata kau
mampu menambal dua titik kelemahan sekaligus, hebat, sungguh


hebat! Kini jurus Pek-hok-liang-ci mu boleh dibilang sudah tanpa
titik kelemahan lagi. Cuma, kau harus perhatikan. Kata 'kini' adalah
perkataanku sekarang, selewat beberapa waktu bisa jadi aku akan
berkata lain. Mengertikah kau dengan maksudku?"
"Aku mengerti. Kini aku mengalami kemajuan tapi kau pun akan
mengalami kemajuan. Hari ini kau belum berhasil menemukan titik
kelemahan lain dalam gerak jurusku bukan berarti besok kau tidak
berhasil menemukannya.”
Pemuda itu segera tersenyum.
"Kau memang berotak encer, daya tangkapmu luar biasa, cuma
harus diingat, dalam permainan jurus pedangmu itu, bukan hanya
gerakan Pek-hok-liang-ci saja yang terdapat titik kelemahan.”
"Kau bersedia memberi petunjuk?" tanya Lan Giok-keng dengan
tulus.
"Aku tidak pandai mengajari murid, hanya pandai bertanding
pedang melawan orang lain.”
"Bagus, kalau begitu mari kita bertanding lagi.”
Dalam permainan jurus Hian-nio-hua-sah (Burung hitam
mengayuh pasir) kali ini, lagi-lagi dia menjumpai banyak titik
kelemahan, sama seperti waktu menggunakan gerakan Pek-hokliang-
ci, dia harus memperbaikinya berulang kali sebelum akhirnya
sanggup membendung serangan dari pemuda itu.
Kini langit sudah gelap, mendadak Lan Giok-keng teringat akan
sesuatu, segera tegurnya, "Kau tidak melanjutkan perjalananmu?"
"Memang akupun pernah bertanya begitu kepadamu?" pemuda
itu balik bertanya.
Sejujurnya, Lan Giok-keng sendiripun merasa agak berat hati
untuk berpisah dengan pemuda itu, segera jawabnya, "Betul, kau
tidak usah mengurusi aku, akupun tidak usah mengurusi dirimu.”
Setelah lewat sesaat kembali tambahnya sambil menghela napas,
"Sayang baru hari ini kita bersua.”


"Biarpun baru hari ini bertemu, rasanya juga belum terlambat.”
"Aaai, kau tidak tahu. Besok aku....”
"Besok kau mau apa?"
Lan Giok-keng tiba-tiba teringat dengan nasehat gurunya,
"berbicaralah seperlunya", maka sahutnya, “Aku toh bukan tinggal
di kuil bobrok ini.”
“Aku tahu.”
"Oleh sebab itu aku sendiripun tidak tahu apakah besok masih
berada disini, sebab....”
Sebetulnya dia ingin mengarang sebuah 'alasan', tapi sebelum dia
lakukan pemuda itu sudah berkata duluan, "Kalau kau suka tinggal
disini, tinggallah, kalau suka pergi, pergilah. Aku toh tidak pernah
bertanya kepadamu, buat apa kau beritahu apa sebabnya harus
berbuat begitu. Padahal, siapa sih yang bisa menduga apa yang
bakal terjadi esok?"
Tiba tiba Lan Giok-keng merasa orang ini makin lama semakin
mencocoki selera hatinya, sambil tertawa ujarnya kemudian, "Kau
jadi orang memang rada-rada aneh, tapi sangat cocok dengan
selera hatiku!'
"Eeeh, aku tidak pernah menuduhmu aneh, sekarang kau malah
menuduhku duluan.”
Lan Giok-keng tertawa dan tidak bicara lagi, sekembali ke dalam
ruang kuil bobrok dia habiskan ransumnya yang terakhir kemudian
berangkat tidur.
Pemuda itu tidak ikut masuk ke dalam kuil, Lan Giok-keng tidak
tahu orang itu menginap dalam hutan ataukah sudah turun gunung,
atau bisa jadi selanjutnya todak akan bersua lagi dengan orang itu,
berpikir demikian dia merasa seolah-olah seperti kehilangan
sesuatu.
Tapi lantaran kelewat lelah, pikir punya pikir, tanpa terasa dia
pun terlelap tidur.


Keesokan harinya ketika mendusin dari tidur, cahaya matahari
sudah menyorot masuk ke dalam ruang kuil, begitu buka mata,
pandangan mata pertama yang terlihat adalah bertumpuknya aneka
buah buahan liar serta sebungkus ransum kering diatas meja.
Baru saja dia berseru keheranan, terlihat pemuda itu sudah
muncul kembali ke dalam ruangan, di tangannya terlihat dua ekor
ayam alas yang sudah dibersihkan bulunya.
"Untuk sarapan, makanlah dahulu sedikit buah buahan, untuk
makan siang nanti kita bakar ayam-ayam hutan ini,” kata pemuda
itu.
Lan Giok-keng merasa sangat kegirangan, serunya, “Aaah,
rupanya kau belum pergi, malahan datang menghantar makanan
untukku, hahaha.... bikin aku jadi rikuh saja.”
"Kalau merasa rikuh, besok kau saja yang pergi berburu!"
"Besok?" gumam Lan Giok-keng melengak, "aku....”
"Betul, kita semua memang tidak bakal tahu apa yang bakal
terjadi di hari esok, lebih baik kita bicarakan masalah hari ini saja.
Sudah kenyang?"
"Ehmm, kenyang.”
"Bagus, kalau sudah kenyang mari kita mulai lagi.”
“Mulai apa?"
Pemuda itu segera mematahkan sebatang ranting pohon, sambil
mengayunkan ranting itu sahutnya, "Tentu saja bertanding
pedang!"
Tantangan ini sontak membuat perasaan Lan Giok-keng jadi gatal
sekali, pikirnya, 'Datang ke Siau-lim-si sehari lebih lambat pun
rasanya tidak masalah.'
Berpikir begitu maka diapun berkata, “Untuk bertanding ilmu
pedang jelas aku masih belum mampu mengalahkan dirimu, semoga
saja dalam pertandingan hari ini aku berhasil menemukan semakin


banyak titik kelemahan dalam ilmu pedangku!"
"Kenapa kau berharap makin banyak semakin baik?"
"Semakin banyak titik kelemahan yang berhasil ditemukan berarti
semakin cepat aku memperoleh kemajuan. Bila suatu saat kau gagal
menemukan titik kelemahan lagi dalam permainan pedangku,
bukankah hal ini berarti ilmu pedangku telah berhasil kulatih dengan
sempurna?"
"Mengharapkan petunjuk dari tingkat atas, kau akan mendapat
menengah, mengharapkan petunjuk dari tingkat menengah, yang
kau beroleh hanya tingkatan bawah,” ujar pemuda itu dingin,
llpadahal ilmu pedangku hanya termasuk tingkatan sedang,
sekalipun kau berhasil menyempurnakan ilmumu hingga sejajar
dengan kemampuanku, jarak dari keberhasilannya masih jauh.
"Apalagi tiada titik kelemahan yang bisa terlihat seratus persen,
bila tidak menginginkan titik kelemahan, kecuali tidak ada yang
bernama jurus gerakan.”
Lan Giok-keng tertegun, pikirnya, "Kalau tidak menginginkan titik
kelemahan, kecuali tidak ada gerakan jurus? Bukankah perkataan ini
sama artinya dengan pesan Sucouw yang mengatakan: dari ada
menjadi tiada, dari tiada tumbuh ada?"
Belum habis dia berpikir, terdengar pemuda itu berkata lagi
sambil menghela napas, "Aaaai.... ilmu tingkat tinggi semacam ini
memang gampang waktu dibicarakan namun susah untuk dicapai,
ayohkita mulai!"
Hari ini, Lan Giok-keng berhasil melatih dengan baik dua jurus
pedang yang sejak semula sudah diketahui terdapat titik kelemahan.
Yang dimaksud "terlatih dengan baik" tentu saja hanya terbatas
pada ketidak mampuan pemuda itu urttuk menembus serangannya.
Semakin dilatih semangat Lan Giok-keng semakin berkobar,
mencapai hari ke tiga, tanpa ditahan pemuda itu pun dia sendiri
sudah enggan meninggalkan tempat itu.
Tanpa terasa tujuh hari sudah lewat. Belum sampai Lan GiokTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/

keng berhasil membenahi titik kelemah an yang terdapat dalam ke
tiga belas jurus ilmu pedangnya, jurus jurus pedang yang semula
tanpa kelemahan pun kini bermunculan titik titik kelemahan.
Menjumpai hal ini tanpa terasa Lan Giok-keng menghela napas
panjang, "Kenapa titik kelemahan yang bermunculan makin lama
semakin bertambah banyak?"
Perasaan curiga yang semula sudah muncul dihatinya pun kini
berkembang makin melebar, pikirnya, "Menurut Suhu, Thay-kekkiam-
hoat yang dia ajarkan kepadaku berasal dari warisan seorang
jago pedang nomor wahid dalam perguruan, mana mungkin
permainan pedang tingkat tinggi bisa muncul begitu banyak titik
kelemahan?"
Tampaknya pemuda itu dapat membaca jalan pikirannya, dia
segera berkata, "Kau ingin tahu alasannya bukan, kenapa titik
kelemahanmu makin lama semakin banyak?"
"Aku tidak tahu, mohon petunjukmu.”
"Karena aku pun menemukan masih ada titik kelemahan pada
permainan ilmu pedangku.”
"Begitu bagus dan sempurna ilmu pedangmu, masa masih ada
titik kelemahan?"
"Masa kau tidak merasa kalau ilmu pedang yang kugunakan
selama dua hari belakangan sedikit berbeda dengan ilmu pedang
yang kugunakan beberapa hari berselang?"
Lan Giok-keng berpikir sejenak, kemudian sambil manggutmanggut
sahutnya, "Yaa, rasanya memang agak beda.”
"Hal ini disebabkan setelah aku berhasil menemukan titik
kelemahan pada ilmu pedangku, sama seperti kau, aku pun telah
melakukan perbaikan disana sini.”
"Aku tetap tidak paham. Apa hubungannya antara kau berhasil
menemukan titik kelemahan pada ilmu pedangmu dengan semakin
banyaknya titik kelemahan yang muncul dalam jurus pedangku?"


Pemuda itu segera tersenyum.
"Padahal menggunakan kata 'terdapat titik kelemahan' dalam
masalah ini kurang cocok. Dalam jurus pedangmu ada sebagian
memang terdapat titik kelemahan, ada sebagian lagi sebenarnya
tidak ada titik kelemahan. Namun tidak ada titik kelemahan toh
bukan berarti jurus pedangmu sudah bagus dan sempurna.”
"Aku paham teori ini, mungkin inilah yang disebut: Mencari lebih
dari kelebihan!"
"Tepat sekali, inilah yang disebut mencari lebih dari kelebihan.
Kemajuan yang kau capai amat pesat, sampai dua hari terakhir ini,
jurus jurus pedang yang semula tidak ada titik kelemahan pun telah
berhasil kau latih hingga bagus dan kuat, bahkan ada beberapa
jurus ciptaan baru yang berhasil kau lontarkan. Justru karena
penyempurnaan ilmu pedangmu maka hal ini membuat munculnya
titik kelemahan pada permainan pedangku, maka aku pun mencari
lebih dari kelebihan dengan membawa permainan pedangku
mencapai suatu tingkatan lebih baru. Bagaimana pun juga, tentu
saja aku selangkah lebih maju ketimbang kau, maka begitu aku bisa
mencapai tingkatan baru, akupun berhasil menemukan lagi titik
kelemahan pada permainan pedangmu. Itulah alasan kenapa kau
merasa jurus pedang mu makin lama semakin banyak terdapat titik
kelemahan.”
Kini Lan Giok-keng baru mengerti arti sebenarnya dari kata
'memoles diri', ujarnya sambil menghela napas, "Aaaai.... sekarang
aku baru paham pentingnya memoles diri. Kau tidak keberatan
bukan bila kugunakan istilah memoles diri? Padahal kau adalah guru
dan aku adalah murid.”
"Padahal kaupun guruku. Bila menggunakan istilah yang lebih
sopan, sesungguhnya ungkapan: saling mengajar saling belajar jauh
lebih tepat untuk melukiskan keadaan kita berdua.”
Lan Giok-keng kembali menghela napas panjang.
"Belajar membuat orang tidak pernah puas. Ungkapan Nabi
tentang hal ini memang sangat tepat. Terlepas apakah memoles diri


atau saling mengajar saling belajar, hal semacam ini sesungguhnya
tidak pernah ada batasannya. Sama halnya dengan titik kelemahan
yang begitu banyak, rasanya tidak pernah bisa ditambal selamanya
hingga sempurna.”
"Perkataanmu hanya betul setengah. Disaat tidak ada jurus tidak
ada gerakan itulah titik kelemahan pun tidak ada. Disaat kau dapat
menggunakan sesuai dengan pikiran dan kehendak, disaat itu pun
kau masih dapat menciptakan banyak gerakan baru. Inilah yang
dikatakan pelajaran ilmu silat tidak pernah ada ujung dan batasan!"
Lan Giok-keng termangu mangu, pikirnya, "Sayang aku harus
berangkat ke kuil Siau-lim-si, kendatipun Sucouw tidak memberi
batasan waktu, namun mustahil juga untuk ditunda begitu lama.
Eeeh....
sekarang sudah memasuki hari ke sepuluh.”
Begitu pikirannya gundah, perasaan itupun tampil di raut
mukanya.
Terdengar pemuda itu menegur, "Saudara cilik, kenapa kau?"
"Tiada perjamuan yang tidak berakhir, aku.... aku pikir, sudah
saatnya aku harus pergi.”
"Kalau ingin pergi, pergilah. Aku tidak bakal menghalangimu.”
"Selama tujuh hari ini, kau telah banyak membantuku berlatih
ilmu pedang, banyak manfaat berhasil kupetik....”
Tampaknya pemuda itu seperti dapat menebak apa yang hendak
dikatakan, buru-buru tukasnya, "Bukankah sudah kukatakan,
diantara kita berdua sebenarnya hanya saling memoles diri? Kau
tidak perlu berterima kasih kepadaku, akupun tidak akan berterima
kasih kepadamu.”
Lan Giok-keng sangat berterima kasih atas budi kebaikannya,
kembali ia berpikir, "Kelewatan sekali kalau sampai namanya pun
tidak kuketahui.”
Berpikir begitu segera ujarnya, "Kau boleh saja tidak menjadi


guruku, tapi....”
"Kenapa?"
"Kita sudah bergaul hampir tujuh hari, hubungan semacam ini
boleh disebut suatu persahabatan bukan?"
Nada bicaranya kembali terbawa gaya anak anak, hal ini
membuat pemuda tersebut ikut tertawa.
"Persahabatan memang sudah terjalin. Hanya saja apakah kau
anggap dia sebagai temanmu atau bukan, kau sendirilah yang harus
memutuskan. Kalau kau anggap yaa, berarti sahabat. Kalau anggap
bukan, berarti bukan.”
"Aku dari marga Lan bernama Giok-keng.”
Pada mulanya dia sebenarnya tidak ingin memberitahukan nama
dan identitasnya kepada pihak lawan, tapi kini justru dia lah yang
ingin mengetahui nama orang itu. Bila ingin tahu nama lawan, tentu
saja dia harus memperkenalkan diri terlebih dulu.
Ketika mendengar nama tersebut, mimik muka pemuda itu
nampak sedikit agak aneh, sahutnya, “Bagus, bagus sekali!”
“Apanya yang bagus?"
Seakan sadar akan kekeliruan sendiri, buru-buru pemuda itu
menyahut sambil tertawa, "Aku hanya merasa namamu bagus
sekali."
Lan Giok-keng tidak lebih hanya seorang murid Bu-tong-pay yang
belum menanjak dewasa, selama ini belum pernah turun gunung,
tentu saja dia tidak bakal menyangka kalau orang luar bisa
mengetahui namanya. Karena itulah meski menangkap mimik aneh
diwajah pemuda itu, namun dia sama sekali tidak memasukkan ke
dalam hati.
Melihat pemuda itu tiada tanggapan meski dirinya telah
memperkenalkan diri, cepat Lan Giok-keng berkata lagi, "Aku sudah
memperkenalkan namaku.”


"Toh bukan aku yang minta kau memperkenalkan diri. Sudah
disebut pun lantas kenapa?" ucap pemuda itu.
"Jadi kau tidak ingin bersahabat denganku?" desak Lan Giokkeng.
Kini pemuda itu baru tertawa, sahutnya, "Oooh, rupanya kau
ingin tahu namaku. Cuma.... namaku sedikit agak istimewa.”
"Aaah, nama tetap nama, mana bisa istimewa?" pikir Lan Giokkeng
dalam hati.
Belum habis dia berpikir, pemuda itu sudah memperkenalkan
dirinya, "Aku mempunyai nama marga ganda, Tonghong dan
bernama tunggal Liang.”
Bicara sampai disitu dengan wajah agak tegang dia awasi wajah
Lan Giok-keng, seolah sedang menanti reaksinya.
Tidak tahan Lan Giok-keng tertawa geli, meski nama marga
ganda memang sangat sedikit, namun bukan termasuk hal yang
istimewa.
"Kau tidak merasa namaku istimewa?" desak Tonghong Liang.
"Aku memang baru pertama kali ini mendengar orang bermarga
Tonghong, tapi jauh hari sebelumnya aku sudah tahu akan hal ini.”
"Lantas apa yang kau tertawakan? Tertawa karena aku
istimewa?"
"Namamu sangat bagus,” Lan Giok-keng tidak ingin membuat
temannya tidak suka hati, maka dia memuji sebagai sopan santun.
"Dimana letak kebagusannya?" desak Tonghong Liang.
Lan Giok-keng tidak mengira kalau rekannya mendesak dia lebih
jauh, untung otaknya encer dan reaksinya cepat, tanpa pikir
panjang sahutnya, "Begitu ufuk timur timbul cahaya (Tonghong
Liang), akupun tidak perlu merangkak lagi dalam kegelapan. Sama
seperti pertemuanku dengan dirimu, ada banyak bagian ilmu
pedangku yang tidak ku-pahami, kini sudah menjadi jelas semua.”


"Hahahaha.... manis betul mulutmu itu,” Tonghong Liang
tersenyum.
Begitu seriusnya dia memandang nama dirinya membuat Lan
Giok-keng tidak habis mengerti, karena tidak mengerti maka
timbullah rasa keheranan dihati kecilnya.
"Sungguh tidak kusangka hanya soal nama pun dia mendesak
aku begitu jauh, apakah tidak merasa kurang kerjaan?"
Mana dia bisa tahu kalau persoalan ini sama sekali bukan 'kurang
kerjaan', dia menganggap 'kurang kerjaan' karena hingga sekarang
belum tahu perbuatan apa yang pernah dilakukan Tonghong Liang.
Coba dia tahu kalau Tonghong Liang adalah orang yang pernah
menantang Sucouw nya untuk berduel, entah betapa terkejut dan
terkesiapnya bocah ini.
Tonghong Liang merasa lega sekali, pikirnya, "Kelihatannya dia
memang tidak tahu siapa aku!"
Lan Giok-keng sendiri meski merasa berat hati untuk berpisah
dengan rekannya, namun melihat matahari sudah terbit diufuk
timur, sudah saatnya untuk berangkat, maka dengan menirukan
lagak seorang dewasa katanya, "Tonghong Toako, siaute harus
berangkat, semoga gunung tetap hijau air tetap jernih, sampai
jumpa lain waktu.”
"Hahahaha.... gunung tetap hijau, air tetap jernih.
Itu mah dimana pun ada!" sahut Tonghong Liang sambil tertawa
tergelak.
Karena Lan Giok-keng hendak pergi, dia pun ikut pergi.
"Ooh, kau ikutan turun gunung?" tanya bocah itu.
"Kalau tidak turun gunung, mau apa seorang diri aku berdiam
diatas gunung ini?"
Lan Giok-keng jadi tertawa geli sendiri, menter-tawakan ketololan
sendiri, tampaknya ucapan "selamat berpisah" memang kelewat
awal diucapkan.


Bukit itu tidak terlampau tinggi, tidak selang beberapa saat
kemudian mereka telah tiba di kaki gunung.
Di dalam anggapan Lan Giok-keng, setibanya dikaki bukit
Tonghong Liang bakal berpisah dengannya, siapa tahu ternyata
pemuda itu masih melanjutkan perjalanan bersamanya.
Lan Giok-keng tidak berani ceroboh seperti tadi, pikirnya,
"Mungkin saja tujuan perjalanannya memang searah denganku,
tidak aneh bila dia menempuh perjalanan yang sama.”
Di hati kecilnya dia memang berharap bisa meneruskan
perjalanan bersama Tonghong Liang.
Sepanjang perjalanan tentu saja mereka lalui dengan berbicang,
oleh karena Lan Giok-keng merasa berhutang budi dengan pemuda
ini, maka diapun merasa kurang enak untuk mengelabuhi atau
berbohong, karena itu ujarnya, "Keluargaku berdiam di bawah bukit
Bu-tong sebagai penanam sayur, oleh karena sudah terbiasa melihat
para tosu berlatih silat, maka sedikit banyak aku pun mengerti
tentang ilmu silat aliran Bu-tong-pay.”
Tentu saja penjelasan ini tidak sejujurnya, namun bocah ini
merasa apa yang bisa dikatakan hanya sebatas itu.
Tonghong Liang segera tertawa, sahutnya, “Keberuntunganmu
memang luar biasa, ilmu pedang yang kau pelajari berasal dari
aliran Bu-si Tianglo bukan?"
"Aaah, jadi kaupun tahu tentang Bu-si Tianglo?" tanya Lan Giokkeng
terperanjat.
Kembali Tonghong Liang tertawa tergelak.
"Bukan saja aku tahu tentang Bu-si tianglo, bahkan akupun tahu
kalau ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat dari Bu-tong-pay terbagi
menjadi dua aliran, Thay-kek-kiam-hoat yang diciptakan Bu-si
tianglo berdiri sebagai saru aliran dan Thay-kek-kiam-hoat asli yang
diwakili Bu-siang Cinjin berdiri sebagai aliran lain. Berbicara tentang
kesempurnaan kungfu, tentu saja Bu-siang Cinjin jauh lebih hebat,
walau begitu aliran baru yang dibentuk Bu-si tianglo terhitung luar


biasa juga. Bila dikemudian hari kedua aliran ini bisa bergabung jadi
satu, kedahsyatannya pasti luar biasa.”
Lan Giok-keng merasa terkejut bercampur tercengang, serunya
tanpa terasa, "Tidak aneh kalau waktu itu, begitu melihat aku
berlatih ilmu pedang, kau segera mengenaliku berasal dari Bu-tongpay.
Tapi rasanya kau bukan murid Bu-tong-pay bukan? Kenapa
bisa mengetahui begitu jelas tentang ilmu pedang Bu-tong-pay?"
"Aku adalah seorang pengembara yang sering berkelana dalam
dunia persilatan, tidak sedikit aliran ilmu pedang pelbagai perguruan
yang kulihat, karena itu muncullah keinginanku untuk
menggabungkan kehebatan ilmu pedang pelbagai aliran dan
menciptakan sebuah ilrnu pedang baru.”
"Waah.... kalau begitu kau benar-benar sangat cerdas,” puji Lan
Giok-keng sambil menghela napas.
Tentu saja dia tidak tahu kalau Tonghong Liang pernah naik ke
Bu-tong-pay dan menantang untuk berduel, diapun tidak
menyangka kalau dia pernah bertarung melawan Supeknya Put-po
sekalian hingga sangat memahami tentang perbedaan dua aliran
Thay-kek-kiam-hoat tersebut.
Harus diakui, Tonghong Liang memang sangat cerdas, namun
berbicara soal tingkat kecerdasan, sebetul nya dia masih setingkat
diatas kepintaran Tonghong Liang.
Kemampuannya untuk mengingat sesuatu dalam sekali pandang
boleh dibilang sangat hebat, ditambah bakat alamnya memang
sangat mendukung, hanya saja Lan Giok-keng sendiri tidak
mengetahui akan hal ini.
Begitulah mereka berdua pun melakukan perjalanan bersama.
Tanpa terasa tibalah mereka disebuah simpang tiga, ketika Lan
Giok-keng memilih untuk melanjutkan perjalanan dengan
mengambil jalan yang lurus, ternyata Tonghong Liang tetap
mengintilnya.
Kembali perjalanan dilanjutkan, tapi lama kelamaan Lan GiokTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/

keng tidak tahan lagi, segera tanyanya, "Tonghong Toako, kau
hendak ke mana?"
"Kau sendiri?"
Lan Giok-keng segera berpikir, "Kalau tidak menjawab
pertanyaan itu rasanya aku tidak menunjukkan sikap seorang
sahabat, lagipula aku yang mengajukan pertanyaan lebih dahulu.”
Maka sahutnya kemudian, "Terus terang, aku ingin mendatangi
kuil Siau-lim-si di bukit Siong-san!”
“Bagus sekali!”
“Apanya yang bagus?”
“Aku pun hendak pergi ke Siong-san.”
"Hah.... begitu kebetulan?" Lan Giok-keng melengak, "boleh tahu
Toako kenal dengan siansu yang mana di kuil Siau-lim-si?"
"Bukit Siong-san toh bukan milik Siau-lim-pay, masa berpesiar ke
sana pun tidak boleh?"
"Aku sendiripun tidak kenal dengan para hwesio yang menghuni
di kuil Siau-lim-si, hanya saja karena ada seorang Totiang titip aku
untuk menyelesaikan urusan pribadinya....”
Sementara dia sedang mempertimbangkan perlu tidak berterus
terang kepada sobat barunya ini, Tonghong Liang sudah menukas
lebih dulu sambil tertawa terbahak bahak, "Hahahaha.... aku mah
tidak punya waktu untuk ikut mencampuri urusan pribadimu, masa
kau sudah lupa, semenjak berjumpa hari pertama, bukankah sudah
kukatakan, kau tidak mencampuri urusanku, akupun tidak
mencampuri urusanmu? Karena itu dalam hal apa pun kalau kau
suka mengatakan, katakan saja, kalau tidak suka mengatakan, tak
perlu dikatakan. Tentu saja terkecuali sewaktu kutemukan titik
kelemahan sewaktu bertanding pedang, biar kau tidak ingin
kukatakan pun, aku tetap akan menyampaikan.”
"Aaaah, memang lebih baik begitu!" seru Lan Giok-keng
kegirangan.


Sepanjang perjalanan mereka berdua berbincang bincang dengan
penuh keriangan, dalam kesempatan ini Tonghong Liang
menceritakan pula pengetahuan umum tentang dunia persilatan
serta kebiasaan dan peraturan yang harus diketahui, tentu saja Lan
Giok-keng menerimanya dengan suka cita, banyak manfaat yang
berhasil diraihnya selama ini.
Seusai makan siang di sebuah kota kecil, kembali mereka
meneruskan perjalanan, kali ini mereka memasuki jalan pegunungan
yang berliku liku, mendaki serta curam.
Kecuali mereka berdua, nyaris sepanjang perjalanan tidak
dijumpai orang lain, tapi mereka tidak ambil perduli, sembari
meneruskan perjalanan mereka kembali membicarakan masalah
ilmu pedang.
Tanpa terasa matahari kembali sudah condong ke langit barat,
angin berhembus sepoi-sepoi, dedaunan kering berguguran ke atas
tanah.
Mendadak Tonghong Liang menghentikan pembicaraan, dia
seperti sedang mendengarkan sesuatu.
Waktu itu Lan Giok-keng hanya mendengar suara angin serta
suara daun kering yang berguguran, dia sangat keheranan: apa
anehnya dengan suara angin dan guguran daun?
Tiba tiba Tonghong Liang berkata, "Saudara cilik, aku pernah
bilang kalau kita tidak usah saling mencampuri urusan pribadi, tapi
dalam masalah yang akan kita hadapi sekarang, terpaksa aku harus
mencampurinya.”
"Masalah apa?"
"Sebentar bila kita bertemu dengan seseorang, apapun yang
orang itu bicarakan denganmu lebih baik tidak usah digubris, biar
segala sesuatunya aku yang mewakilimu menjawab.”
"Siapakah orang itu?"
"Aku rasa kau tidak bakal kenal dengan orang ini.”


“Berarti urusan sama sekali tidak menyangkut aku, bila ingin kau
urus, akupun tidak akan ambil perduli.”
Biarpun dia menjawab santai, padahal di hati kecilnya merasa
sangat keheranan. Dia tahu kungfu yang dimiliki Tonghong Liang
sangat tangguh, masa dia pun masih takut dengan seseorang?
Mengapa dia berpesan wanti-wanti dengan wajah serius, seolah
kalau dia salah bicara bisa mengakibatkan datangnya bencana dan
musibah?
Belum habis ingatan itu melintas, terdengar suara cekikikan yang
merdu bergema memecahkan keheningan, disusul munculnya orang
itu. Ternyata dia adalah seorang wanita.
"Ngo-nio, urusan apa yang membuatmu nampak begitu
gembira?" sapa Tonghong Liang.
"Tentu saja gembira, karena dapat bertemu kau lagi! Tonghong
Liang, kenapa sampai hari ini kau masih berada disini?"
Ternyata perempuan ini tidak lain adalah si lebah hijau Siang
Ngo-nio yang baru kabur dari gunung Bu-tong.
Tonghong Liang tidak menanggapi pertanyaan itu, sebaliknya
malah bertanya, "Kenapa pula kau pun masih berada disini?"
Siang Ngo-nio tidak langsung menjawab, dia melirik Lan Giokkeng
sekejap dan tegurnya, "Saudara cilik ini adalah....”
"Ucapanmu tepat sekali!" tukas Tonghong Liang sambil tertawa,
"dia memang saudara cilikku.”
"Omong kosong, dari mana datangnya saudara?"
"Dia sute ku. Bukankah sute pun sama seperti saudara?"
"Waah, aneh jadinya. Selama ini belum pernah kudengar kalau
Siang Thian-beng masih mempunyai seorang murid lagi.”
Dengan menirukan gaya perempuan itu, ujar Tonghong Liang
pula, "Aneh jadinya, sepertinya aku pun belum pernah mendengar
kalau antara kau dengan guruku adalah....


adalah....”
"Adalah apa?"
"Hiiihhihihi.... adalah pacar gelapnya?"
"Kurangajar, kau berani mempermainkan lo-nio?" umpat Siang
Ngo-nio gusar.
"Kalau bukan pacar gelap guruku, memang guru-ku harus lapor
kepadamu bila menerima murid lainnya?"
"Kurangajar, aku sedang bicara serius....”
"Aku pun tidak sedang bergurau denganmu!" balas Tonghong
Liang.
Siang Ngo-nio jadi naik pitam, bentaknya, "Tampaknya kalau
tidak kuberi sedikit kelihayan, kau tidak akan....”
Sekonyong-konyong dia memutar tubuh dan langsung menerkam
ke arah Lan Giok-keng.
Padahal sewaktu mengucapkan perkataan itu, nada suaranya
jelas tertuju kepada Tonghong Liang, siapa sangka sasaran yang
diserang justru adalah Lan Giok-keng.
Namun Tonghong Liang sudah menduga ke situ. "Ji-hong-si-pit
(bagai ditutup seperti merapat), Liong-yu-sin-ciu (naga melompati
jeram dalam)!!"
Baru saja Siang Ngo-nio menggerakkan tubuhnya, Tonghong
Liang telah meneriakkan nama ke dua jurus itu terlebih dulu.
Dia sedang mengingatkan Lan Giok-keng agar menggunakan
kedua jurus itu untuk menghadapi Siang Ngo-nio.
Reaksi yang dilakukan Lan Giok-keng cukup cepat, tapi
seandainya tidak diingatkan orang lain dan secara tiba-tiba harus
menghadapi datangnya ancaman, belum tentu dia sanggup
melakukan tindak pencegahan dengan menggunakan gerakan yang
paling baik.


Sudah tujuh hari Lan Giok-keng berlatih silat dengan pemuda itu,
begitu mendengar nama jurus yang disebutkan, tanpa ragu dia
segera menggunakannya.
Suara benturan nyaring berkumandang berulang kali, begitu
cepat datangnya serangan, begitu cepat pula serangan itu berlalu,
tatkala ujung kaki Lan Giok-keng menginjak kembali ke atas tanah,
Siang Ngo-nio sudah balik kembali ke posisinya semula, bukan saja
senjata golok panjang dan golok pendeknya sudah disarungkan
kembali, bahkan sedang mengawasinya sambil tertawa.
Kehebatan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki perempuan itu
sungguh luar biasa, selama ini boleh dibilang Lan Giok-keng belum
pernah menjumpainya, begitu cepat dia mencabut senjata,
menyerang kemudian menyarungkan kembali goloknya hingga
susah dilukiskan dengan kata-kata.
Dalam waktu singkat senjata kedua belah pihak telah saling
membentur hampir tujuh, delapan kali, atau lebih tegasnya. Di saat
yang amat singkat inilah waktu Lan Giok-keng mengeluarkan jurus
pertamanya, Ji-hong-si-pit.
Ketika melancarkan jurus kedua, naga melompati jeram dalam,
tubuhnya sudah melompat sejajar ke tengah udara kemudian
melancarkan tusukan kilat.
Namun begitu cepatnya Siang Ngo-nio bergerak, di saat
pedangnya mulai melepaskan tusukan ke bawah, tubuh lawan
sudah keburu bergerak lewat, jangan lagi melukainya, menyentuh
ujung baju lawan pun tidak sempat.
Bahkan bersamaan waktu ketika tubuhnya melambung ke udara,
dia seolah merasakan golok pendek milik Siang Ngo-nio sempat
menyambar lewat persis melalui dasar telapak sepatunya.
Cepat dia lepas sepatunya untuk diperiksa, benar saja, dijumpai
lumpur yang melekat di dasar sepatunya kini sudah tersayat mata
golok hingga bersih.
Dengan perasaan terperanjat bocah itu segera berpikir, "Coba


kalau aku tidak menggunakan jurus naga melompati jeram dalam,
niscaya separuh kakiku sudah terbabat kutung oleh sabetan
goloknya!"
Tampaknya Siang Ngo-nio dapat menebak suara hatinya, sambil
tertawa cekikikan serunya, "Kau tidak perlu kuatir, kalau sampai
sepatumu rusak gara gara seranganku tadi, pasti akan kuganti
dengan sepasang yang lebih baru. Eeei adik kecil, berapa usiamu
tahun ini? Lima belas atau enam belas? Usiamu masih kelewat
ingusan, biar sudah mendapat petunjuk Suhengmu, ke dua jurus
serangan tadi tentu sempat menyusahkan dirimu bukan!"
Pujian itu kontan saja membuat paras muka Lan Giok-keng
berubah jadi merah jengah. Dia masih ingat pesan dari Tonghong
Liang, apa pun yang dikatakan Siang Ngo-nio tidak satu pun yang
diladeni.
Kembali Siang Ngo-nio bertanya, "Kalau kau adalah adik
seperguruan Tonghong Liang, kenapa dalam permainan pedangmu
terselip jurus serangan dari Bu-tong-pay?"
Lan Giok-keng semakin keheranan, pikirnya, "Ternyata tindakan
yang dia lakukan tadi hanya bermaksud mencari tahu aliran silatku,
tapi heran, kenapa dia pun mengerti tentang ilmu pedang Bu-tongpay?"
Sementara dia masih berpikir, Siang Ngo-nio telah menegur,
"Hey, apakah sute mu bisu?"
"Tentu saja dia tidak bisu, hanya kurang senang berbicara,”
sahut Tonghong Liang.
Bicara sampai disitu, mendadak dia mencabut pedangnya sambil
berkata kepada Lan Giok-keng, "Kedua jurus serangan yang kau
gunakan tadi cukup bagus, tapi kurang begitu sempurna, perhatikan
baik-baik!"
Dengan cepat dia gunakan dua jurus Ji-hong-si-pit serta jurus
naga melompati jeram dalam.
Begitu indah kedua gerakan itu dimainkan Tonghong Liang,


membuat Lan Giok-keng mau tidak mau harus mengaguminya.
"Coba kalau aku pun bisa menggunakan kedua jurus itu sebagus
ini, dengan gerakan Ji-hong-si-pit aku pasti dapat merebut sepasang
goloknya, kemudian dengan gerakan naga melompati jeram dalam,
tusukan-ku dari tengah udara tidak bakalan bisa membuatnya
sempat berkelit,” demikian dia berpikir.
Tiba tiba terdengar Siang Ngo-nio tertawa terkekeh kekeh.
"Hahahaha.... Siau-liang, kau sedang menggertakku?"
"Tidak berani, aku hanya membantu sute ku memberi
penjelasan, sekarang kau tentu mengerti bukan? Jangan salah
menuduh ilmu pedangku sebagai aliran Bu-tong-pay.”
"Aaah, benar, memang aku yang pelupa,” kata Siang Ngo-nio
sambil tertawa, "aku lupa kalau Sucouw mu pernah bertarung
melawan Ciangbunjin Bu-tong-pay pada tiga puluh enam tahun
berselang. Tapi dengan kecerdasanmu sekarang, rasanya
kemampuanmu masih jauh diatas kemampuan Sucouwmu.”
"Terima kasih kau telah menempelkan emas diwajahku," kata
Tonghong Liang hambar, "berhubung Sucouw kami pernah bertukar
pikiran dengan Bu-siang Cinjin tentang ilmu pedang, maka dalam
jurus pedang ciptaannya kemudian, dia telah melebur dan
menyisipkan juga inti sari dari ilmu pedang Bu-tong-pay. Dengan
kecerdasan dan kehebatan dia orang tua, bukan intisari Bu-tong-pay
saja yang terserap, intisari kekuatan partai lain pun tercakup di
dalamnya.”
"Tapi ada satu hal aku merasa kurang jelas, tolong kau
menjelaskannya kepadaku.”
"Katakan!" sahut Tonghong Liang dengan kening berkerut. Katakata
itu jelas kalau diutarakan dengan sangat terpaksa.
"Menurut apa yang kuketahui, biarpun Suhumu sudah berhasil
mencapai puncak kesempurnaan, namun permainan ilmu
pedangnya belum mencapai taraf yang diharapan Sucouwmu.
bahkan bicara soal tingkat kesempurnaan, kau masih jauh diatas


kemampuan gurumu. Sebagai contoh dua gerakan yang barusan
kau gunakan, belum tentu gurumu sendiri bisa melakukan sebagus
itu, boleh tahu apa sebabnya begitu?"
"Aku tidak berani mengatakan kalau diriku telah mencapai
puncak kesempurnaan, tapi kalau soal perubahan jurus pedang,
mungkin saja aku lebih tahu sedikit. Mengapa bisa begitu, aku rasa
tanpa dijelaskan pun seharusnya kau mengerti sendiri.”
Dari nada pembicaraan itu, jelas dia mengisyaratkan kalau dirinya
merasa berat hati untuk menjelaskan masalah itu.
Tapi entah Siang Ngo-nio benar-benar tidak mengerti atau
berlagak bodoh, perempuan itu tetap mendesak lebih jauh, "Kalau
tidak kau katakan, darimana aku bisa tahu?"
"Sederhana sekali. Karena aku memperoleh kesempatan yang
lebih banyak ketimbang Sucouw untuk bertarung melawan jago jago
Bu-tong-pay dan memoles diri.”
Dalam pendengaran Siang Ngo-nio, kata "jago jago" Bu-tong-pay
bukanlah Bu-siang Cinjin atau Bu-si Tojin, dalam bayangannya
paling banter jagoan yang pernah dijumpai hanya berasal dari
angkatan "put" seperti Put-ji atau Put-po. Maka pikirnya, "Dia sama
sekali tidak kuat, pemuda ini tahu kalau dia pernah menantang duel
jagoan Bu-tong-pay, meski bocah itu bukan adik seperguruannya,
aku rasa diapun bukanlah orang yang sedang kucari-cari sekarang.”
Ternyata tujuannya mengorek keterangan hingga sejelasjelasnya
tidak lain ingin menyelidiki asal usul Lan Giok-keng.
Namun perkataan itu dalam pendengaran Lan Giok-keng justru
bermaksa lain lagi. Pikirnya pula, "Perkataan Tonghong Toako
kelewatan, masa aku pun dianggapnya sebagai jagoan dari Bu-tongpay?"
Kemudian pikirnya lebih jauh, "Ternyata perguruannya masih
punya sedikit hubungan dengan perguruanku, tapi kenapa selama
ini tidak pernah menjelaskan? Mengapa dia bersikap begitu? Atau
mungkin hingga kini dia masih belum menganggapku sebagai


sahabatnya?"
Dia hanya merasa Tonghong Liang adalah seorang tokoh yang
penuh diselimuti teka teki, sementara perempuan yang bernama
Siang Ngo-nio ini justru diliputi keanehan.
Walaupun Siang Ngo-nio belum berani memastikan identitas Lan
Giok-keng, namun terhadap ucapan Tonghong Liang dia justru
setengah percaya setengah tidak, ujarnya kemudian sambil
tersenyum, "Kalau begitu bukan saja kau lebih cerdas dari-pada
Sucouwmu, bahkan jauh lebih beruntung.”
Tonghong Liang hanya mendengus tanpa menjawab.
Kembali Siang Ngo-nio mendesak, "Sewaktu melihat kau turun
gunung waktu itu rasanya kau hanya seorang diri, sejak kapan dan
dimana kau bertemu dengan sute mu ini?"
Habis sudah kesabaran Tonghong Liang, sambil menarik muka
tegurnya, "Ngo-nio, bagaimanapun kau adalah seorang jago silat
kawakan, akupun ingin mengajukan satu pertanyaan kepadamu.”
"Bagus, katakan saja?"
"Persoalan yang tidak seharusnya diketahui, lebih baik jangan
mencari tahu dari orang lain. Bukankah dalam dunia persilatan
berlaku pantangan ini?"
"Betul!"
"Bagus, kalau begitu silahkan!"
Berubah paras muka Siang Ngo-nio, sambil tertawa paksa
tegurnya, "Siau-liang-ji, apa-apaan kau ini? Mau mengusirku?
Hmmm, jangan lagi kau, gurumu sendiripun tidak berani bersikap
begitu kurangajar kepadaku!"
"Kalau Suhu punya hubungan denganmu, itu mah urusan Suhu.
Kalau aku jadi orang, tidak bakal sudi memberi muka kepada siapa
pun dan aku pun tidak bakal melakukan perbuatan yang tidak ingin
kulakukan. Kalau kau tersinggung dan marah atas kekurangajaranku,
silahkan saja adukan kejadian ini kepada guruku.”


"Bila kau enggan bicara, tentu saja aku tidak akan memaksamu,
Cuma....”
"Cuma kenapa?" tukas Tonghong Liang, "sekarang sudah tidak
ada lagi Cuma, pembicaraan telah berakhir sampai disini!"
"Boleh saja pembicaraanmu berakhir sampai di sini, sayang
pembicaraanku belum berakhir,” kata Siang Ngo-nio sambil tertawa.
"Kalau begitu carilah orang yang suka berbicara denganmu!"
"Hahahaha.... tepat sekali, memang perkataan ini yang hendak
kau bicarakan denganku!"
"Apa yang hendak kubicarakan denganmu?" tanya Tonghong
Liang melengak.
"Masa secepat itu kau telah melupakannya? Begitu aku datang
tadi, kaupun bertanya kepadaku, mengapa sampai sekarang masih
berada disini, nah sekarang aku hendak memberitahukan hal ini
kepadamu.”
"Sekarang aku sudah tidak ingin tahu lagi.”
"Mau mendengarkan atau tidak, itu urusanmu, sementara mau
kusampaikan atau tidak, itu urusanku. Memandang pada
hubunganku dengan gurumu yang cukup akrab, karena toh sudah
kau tanyakan, maka sudah sepantasnya kalau kujawab.”
"Baiklah, kau lebih banyak tahu tentang apa yang tabu dalam
dunia persilatan, bila kau senang untuk mengatakannya, katakan
saja.”
Maksud dari perkataan itu, bila kau sampai mengucapkan
perkataan yang tidak menguntungkan, jangan salahkan kalau aku
bertindak tanpa sungkan sungkan.
"Kau tidak usah kuatir, aku hanya membicarakan urusan yang
menyangkut diriku. Aaaai, kali ini aku benar-benar sial, sewaktu
bertarung melawan seorang Tokouw di bukit Bu-tong, dia
menggunakan selembar bulu hudtimnya menyerang jalan darahku
tepat di saat dia terhajar sebatang jarum lebah hijauku. Sudah


berhari hari aku mengobati luka itu, namun hingga kini belum
berhasil menghancurkannya. Inilah penyebab kenapa hingga hari ini
aku masih berada disini. Hey, Siau-liang-ji, kau begitu menguasai
ilmu pedang Bu-tong-pay, tahukah kau siapakah Tokouw yang
sanggup memainkan ilmu pedangnya dengan menggunakan senjata
hudtim?"
"Darimana aku bisa tahu para Tokouw yang hidup di gunung Butong?"
Kali ini dia bicara sejujurnya, di saat naik ke gunung Bu-tong
untuk menantang duel, walaupun Put-hui Suthay ikut hadir di arena
namun sama sekali tidak tampilkan diri, lagipula diapun tidak pernah
bertarung melawannya, bagaimana mungkin dia bisa mengenali
satu per satu anggota Bu-tong-pay yang jumlahnya mencapai
ratusan orang itu?
Namun dia tidak tahu, berbeda dengan Lan Giok-keng, dia
mengetahui hal ini dengan jelas sekali.
Semakin didengar Lan Giok-keng merasa semakin terperanjat,
pikirnya, "Bukankah Tokouw yang dia katakan adalah guru ciriku?"
Dia memang tidak tahu permainan seperti apa jarum yang
disebut lebah hijau itu, namun dia cukup tahu kalau tenaga dalam
yang dimiliki Put-hui Tokouw sudah mencapai tingkatan yang hebat,
dengan dasar tenaga dalam sehebat itu semestinya tidak sampai
terjadi sesuatu dengan dirinya.
"Hmmm, entah apa maksud dan tujuan perem-puan itu
mendatangi gunung Bu-tong bahkan mengajak Put-hui Suthay
bertarung? Tapi sudah jelas dia bukan manusia baik-baik, tidak
heran kalau Tonghong Toako tidak sudi meladeni pertanyaannya,”
begitu dia berpikir.
Darimana bocah ini bisa tahu kalau kejadian yang lebih
mengejutkan masih berada di belakang.
Terdengar Siang Ngo-nio melanjutkan kembali perkataannya,
"Mungkin saja kau tidak kenali Tokouw itu, tapi pasti mengenali


orang yang bernama Lan Kau-san bukan?"
"Heran, kenapa perempuan inipun kenal dengan ayahku?"
dengan perasaan terperanjat Lan Giok-keng berpikir.
"Siapakah Lan kau-san itu?" tanya Tonghong Liang.
Terhadap semua rahasia Siang Ngo-nio dia memang mengetahui
cukup banyak, namun pengetahu-annya tidak terlalu mendetil.
Apalagi masalah ayah angkat Lan Giok-keng yang bernama Lan
Kau-san, dia benar benar tidak tahu.
Meski di hati kecilnya dia muak dengan ulah Siang Ngo-nio yang
bertanya terus menerus, tapi melihat sikap perempuan itu, yang
sama sekali tidak menying-gung urusan tantangan duelnya di bukit
Bu-tong, dia tahu kalau perempuan itu sudah tahu akan apa yang
'tabu' dibicarakan, oleh sebab itulah mau tidak mau dia pun
memberi muka kepadanya.
"Lan Kau-san adalah seorang petani sayur di gunung Bu-tong,”
Siang Ngo-nio menjelaskan.
"Ngo-nio, rupanya kau sedang iseng sekali,” tukas Tonghong
Liang mendongkol, "kusangka orang yang kau tanyakan adalah
seorang tokoh kenamaan?"
"Walaupun Lan Kau-san bukan seorang tokoh silat yang punya
nama besar, tapi dia mempunyai seorang sahabat yang mempunyai
asal usul terkenal, tentunya kau tahu bukan dengan murid terakhir
Bu-siang Cinjin, bakal Ciangbunjin Bu-tong-pay yang akan datang?"
Bouw Ciong-long yang memangku jabatan sebagai Ciangbunjin
Bu-tong-pay, terjadi setelah Tonghong Liang turun gunung, oleh
sebab itu baik Tonghong Liang maupun Lan Giok-keng sama sekali
tidak mengetahui akan kejadian itu.
Namun setelah Siang Ngo-nio menyinggung tentang orang ini,
tentu saja Tonghong Liang tidak bisa mengelak dengan mengatakan
tidak kenal, maka ujarnya kemudian, "Oooh, kau maksudkan Put-ji
Totiang? Kalau toh dia sahabat orang she-Lan itu, lantas kenapa?"


"Lan Kau-san mempunyai seorang anak, padahal anak itu bukan
putra kandungnya, Put-ji yang minta tolong dia untuk
memeliharanya,” ujar Siang Ngo-nio lebih lanjut.
Lan Giok-keng sangat terkejut, pikirnya, "Waah, kali ini dia mulai
menyinggung tentang diriku. Hmmm, mungkirtkahkah rumor yang
beredar selama ini benar?"
Sementara dia masih berpikir, Tonghong Liang telah bertanya,
"Kalau memang benar, lantas kenapa?"
"Tidak apa-apa. Sebab Put-ji kuatir dikemudian hari bocah itu
tahu tentang asal usulnya sendiri, dia telah membunuh Lan Kau-san
suami istri untuk membungkam mulutnya. Justru karena hari itu
secara kebetulan aku melihat kejadian ini, maka....”
Belum selesai ia bicara, «Lan Giok-keng telah berteriak duluan,
"Kau omong kosong!"
Terbongkar sudah identitasnya!
Secepat sambaran petir Siang Ngo-nio mencengkeram
pergelangan tangannya, sambil tertawa dingin ejeknya, "Darimana
kau tahu kalau aku sedang omong kosong?"
Serangannya kelewat cepat, ketika Tonghong Liang ingin
memberi pertolongan, keadaan sudah terlambat.
"Lepaskan dia!" bentak Tonghong Liang.
"Dia toh bukan sute mu, kenapa harus membantunya?"
"Tidak perduli siapakah dia, aku minta lepaskan dia!"
"Mungkin kau belum tahu siapakah dia, tapi aku tahu dengan
jelas, dia adalah Keng Giok-keng!"
"Omong kosong, aku tidak bermarga Keng!" teriak Lan Giok-keng
nyaring, meski tubuhnya tidak mampu bergerak namun suaranya
tetap keras.
Siang Ngo-nio tertawa tergelak.


"Hahahahaha.... ternyata begitu minim sekali pengetahuanmu
tentang dirimu sendiri. Bila kau ingin mengetahui lebih banyak, ikuti
saja denganku. Kau boleh memanggilku ibu angkat.”
Sejak awal Lan Giok-keng memang sudah merasa kalau asal
usulnya penuh kecurigaan. Cicinya minta dia jangan percaya semua
rumor. Tapi isu yang beredar justru menempel dan mengusik
ketenangan hidupnya bagai hantu gentayangan. Bila ada seseorang
yang bisa dipercaya, mau menceritakan keadaan sesungguhnya,
betapa bahagianya dia!
Tapi perempuan ini? Dapatkah dia dipercaya? Sampai mati pun
dia tidak sudi mengaku perempuan ini sebagai ibu angkatnya.
"Omong kosong, aku tidak bakal percaya dengan omongan
setanmu! Siluman perempuan macam kau juga ingin jadi ibu
angkatku? Huuh, jangan bermimpi di siang hari bolong! Cepat
lepaskan aku, lepaskan, lepaskan aku!" jerit Lan Giok-keng.
Siang Ngo-nio tertawa terkekeh kekeh.
"Andai setan dapat bicara, bagimu mungkin hanya omongan
setan baru perkataan yang sebenarnya. Orang yang masih hidup
tidak bakalan mau bicara jujur denganmu, tentu saja kecuali aku.
Huuuh, kau berani maki aku sebagai perempuan siluman?
Makianmu agak kelewatan, tapi tidak bakalan membuatku marah.
Sebab pada dasarnya aku memang bukan perempuan baik-baik.
Tapi akupun perlu beritahu kepadamu, bapak angkatmu pun bukan
orang baik-baik, dibandingkan kebusukanku, dia tidak kalah jauh.
Jadi kalau aku tidak pantas jadi ibu angkatmu, dia lebih lebih tidak
pantas jadi bapak angkatmu!"
"Kalau mau lepaskan, lekaskan segera, kalau ingin bunuh aku,
bunuh segera, aku melarangmu menfitnah orang semaunya sendiri!"
teriak Lan Giok-keng gusar.
"Sudah kau dengar, aku minta kau bebaskan dia!" bentak
Tonghong Liang pula, "aku sudah meminta untuk ketiga kalinya,
kalau kau tetap membangkang, jangan salahkan kalau aku tidak
sungkan-sungkan lagi!"


Siang Ngo-nio segera mencabut keluar sebatang jarum beracun,
ujung jarum membiaskan sinar kebiruan yang menggidikkan, sambil
diarahkan jalan darah Toa-hui-hiat di tulang punggung Lan Giokkeng,
ancamnya, "Kalau kau berani bergerak, akan kuhujamkan
jarum lebah hijau ini ke jalan darahnya!"
"Baguslah, kalau kau sampai mencelakai dia, aku segera akan
membunuhmu! Percayakah kau aku mempunyai kemampuan untuk
membunuhmu?"
"Aku percaya. Tapi aku harap kau pun percaya dengan
perkataanku!”
“Perkataan apa?"
"Kau sangka aku ingin mencelakainya? Kalau begitu kau keliru
besar!"
"Kalau bukan ingin mencelakainya, lantas buat apa kau
menangkapnya?"
"Aku sama sekali tidak ingin mencelakainya, bagiku, dia sangat
berguna. Oleh karena itu kau tidak perlu kuatir, jangan lagi
mencelakai, mau melindungi keselamatan jiwanya pun aku bakal
kerepotan.”
"Apa kegunaannya?"
"Makin sedikit mengetahui rahasia orang lain semakin baik,
inipun salah satu pantangan yang berlaku dalam dunia persilatan!"
"Bagus, sudahlah kalau kau enggan bicara. Tapi aku pun
mempunyai satu kebaikan untukmu, mau barter denganku?"
"Kebaikan apa?"
"Aku dapat melumat bulu hudtim yang mengeram dalam
tubuhmu, agar kau tidak usah tersiksa sepanjang masa.”
"Huuuh, kalau kebaikan semacam itu mah kurang menarik, toh
orang lain pun bisa membantuku.”
"Betul, Tong Ji-sianseng pun dapat membantumu, tapi aku kuatir


kau tidak akan berani memberitahukan kepadanya sebab musabab
terlukanya dirimu?"
"Mungkin saja berani, mungkin juga tidak. Aku sendiripun tidak
tahu. Pokoknya aku lebih suka tersiksa daripada menyerahkan
bocah ini ke tanganmu.”
"Kebaikan apa yang kau inginkan?"
"Aku menginginkan seorang suami yang cakep, kau bisa
mencarikan buat aku?"
"Aku tidak bisa memberi, tapi aku sanggup mencabut nyawamu!"
"Kau bisa saja mencabut nyawaku, orang lainpun dapat
mencabut nyawamu. Lagipula, kau harus kehilang an dulu selembar
nyawa bocah ini!"
"Benar, mungkin saja Tong Ji-sianseng memiliki kemampuan
untuk membunuhku. Tapi bila kulaporkan semua pembicaraanmu
tadi kepadanya, belum tentu dia akan membunuhku.”
"Hmnm, aku tidak sudi kau ancam, itu berarti aku sudah siap
menghadapi segala resiko, sekalipun kau tetap akan beritahu
kepadanya,” habis berkata diapun beranjak pergi.
"Hey, masih ada peluang untuk dirundingkan lagi?"
"Kalau transaksi sudah menemui jalan buntu, buat apa aku tetap
tinggal disini?" sahut Siang Ngo-nio sambil tertawa.
"Toako,” tiba tiba Lan Giok-keng berteriak, "kau tidak perlu
memikirkan aku lagi. Biar harus kehilangan nyawapun aku tidak
bakal sudi terjatuh ke tangan wanita siluman ini.”
"Baiklah,” kata Tonghong Liang kemudian, "aku akan ijinkan kau
untuk membawanya pergi, tapi sebelum itu aku ingin bicara sepatah
dua. patah kata lebih dulu dengannya.”
"Kalau ingin berkentut, cepat lepaskan!" Tiba-tiba Tonghong
Liang melancarkan sebuah pukulan menghantam tubuh Lan Giokkeng,
yang digunakan adalah ilmu pukulan Li-gu-coan-kang,


rupanya dia hendak menggunakan jalan pintas dengan melancarkan
serangan kilat untuk meloloskan diri dari cengkeraman Siang Ngonio.
Dia sudah tidak dapat berpikir lain sehingga terpaksa harus
menempuh bahaya ini.
Sayang pertaruhan yang dia lakukan hanya berhasil setengah.
Walaupun tubuh Siang Ngo-nio berhasil digetarkan hingga
cengkeramannya atas tubuh Lan Giok-keng terlepas, namun jarum
lebah hijau nya sudah keburu menancap masuk ke dalam jalan
darah Toa-wi-hiat di punggungnya.
Sambil melompat mundur sejauh tiga depa lebih jengek Siang
Ngo-nio sambil tertawa dingin, "Bila kau memang tidak merasa
sayang dengan nyawa Lan Giok-keng, ayoh bunuhlah aku!"
Tonghong Liang sama sekali tidak bicara, cepat dia memukul
punggung Lan Giok-keng, jarum lebah hijau itu segera melejit keluar
dari dalam tubuhnya.
Jarum lebah hijau adalah senjata rahasia yang amat beracun,
siapa pun akan tewas begitu menyentuhnya, namun Tonghong
Liang tidak takut dengan racun tersebut, malah dipegangnya jarum
beracun itu dengan tangan telanjang.
Melihat itu Siang Ngo-nio tertawa terkekeh-kekeh, ejeknya,
"Jarum lebah hijau memang telah kau cabut keluar, sayangnya
hanya aku seorang yang memiliki obat pemunah racun jarum lebah
hijau.”
"Serahkan obat pemunah itu kepadaku!" bentak Tonghong Liang
nyaring.
"Kecuali kau serahkan kembali bocah itu kepada-ku, kalau tidak
gunakanlah nyawaku sebagai ganti nyawanya!"
"Kau sangka aku benar-benar tidak mampu mendapatkan obat
pemunahmu?"
"Menurut pendapatku, biar kau membunuh mati diriku pun tetap


tak akan berhasil,” sahut Siang Ngo-nio lagi sambil tertawa, "karena
disaku ku paling tidak terdapat puluhan jenis obat racun dan
pemunahnya, bila sampai salah mengambil, nyawa bocah itu pasti
akan lenyap. Kau berani menyerempet bahaya ini?"
"Lihat saja nanti!"
Sementara pembicaraan berlangsung, telapak tangan kanannya
telah ditempelkan di punggung Lan Giok-keng, kemudian ujarnya
lagi, "Saudara cilik, cepat kumpulkan tenaga murnimu untuk
melindungi detak jantung. Berapa lama kau bisa bertahan,
berusahalah untuk bertahan terus. Jika kau sampai mati, aku akan
balaskan dendam atas kematian-mu itu!"
Telapak tangannya yang menempel dipunggung Lan Giok-keng
sama sekali tak berhenti sedetikpun untuk menyalurkan tenaga
murninya.
"Kau benar benar ingin bertarung melawanku?" seru Siang Ngonio
sambil tertawa, walaupun lagaknya seolah sama sekali tidak
kuatir,. padahal hati kecilnya mulai gugup dan ketakutan.
"Hmm, kau tidak memberi muka kepadaku, kenapa aku harus
bersikap sungkan terhadap dirimu?"
Baru selesai dia bicara, tubuhnya sudah melambung ke udara
dan mengejar Siang Ngo-nio.
Sebetulnya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Siang Ngo-nio
tidak kalah dari lawannya. Semisal dia ingin melarikan diri,
seharusnya sejak tadi sudah lolos dari tempat itu. Sayang dia masih
ragu untuk melakukannya, gara-gara keraguan ini akhirnya seluruh
tubuhnya malah terkurung di bawah kepungan cahaya pedang
Tonghong Liang.
Dengan gerakan cepat Siang Ngo-nio meloloskan sepasang
goloknya, "Criiing.... criiiing....!" terdengar dua kali dentingan
nyaring, tahu-tahu sepasang goloknya sudah tinggal gagangnya.
Dalam keadaan begini, Siang Ngo-nio jadi nekad, bentaknya,
"Baiklah, kalau ingin bunuh aku, bunuhlah!"


Tonghong Liang sama sekali tidak bicara, namun jurus serangan
yang dilancarkan sama sekali tidak melambat, cahaya pedang yang
berlapis seolah berkembang mengelilingi sekujur tubuh perempuan
itu.
Siang Ngo-nio merasakan sekujur tubuhnya seolah disayat hawa
dingin, begitu ngeri dan seramnya sampai bulu kuduk pada bangun
berdiri, hingga dia belum tahu apa yang hendak dilakukan
Tonghong Liang terhadap dirinya.
Tapi dia benar-benar kuatir dengan ulah lawannya, andaikata
wajahnya diberi tambahan beberapa sayatan pedang saja hingga
membuat tampangnya berubah jelek, hal ini pasti akan lebih
menyiksa hatinya dari pada dibunuh mati.
Dia memang tidak takut mati, namun sangat kuatir bila
Tonghong Liang mempermainkan dirinya.
Kini hawa pedang dari Tonghong Liang telah menyelimuti seluruh
tubuhnya, keadaan dirinya saat ini tidak ubahnya seperti lalat
kehilangan kepala, menumbuk secara ngawur kesana kemari.
Siang Ngo-nio terkejut bercampur tercengang. Sebagaimana
diketahui, dia pernah bertarung melawan Put-hui Tokouw, sebagai
seorang jagoan yang luar biasa dari Bu-tong-pay pun Put-hui
Tokouw hanya bisa memaksakan hasil seri ketika melawan dirinya,
hal ini menunjukkan kalau kungfu mereka berdua hampir seimbang.
Justru karena itu, dalam anggapannya kendatipun dia bukan
lawan tanding Tonghong Liang, paling tidak dengan kemampuannya
masih sanggup bertarung dua, tiga ratus jurus melawan pemuda
itu.
Siapa sangka baru beberapa gebrakan, dia sudah terjebak dalam
posisi yang begitu mengenaskan, dengan perasaan terkejut
bercampur keheranan dia pun berpikir, "Kenapa ilmu pedang yang
dimiliki bajingan ini sedemikian hebatnya? Rasanya keampuhan dia
sudah jauh melampuai gurunya? Gurunya bergelar Rasul pedang,
seharusnya kemampuan silatnya tidak kalah dengan jagoan nomor
wahid dari Bu-tong-pay, kalau benar bajingan ini lebih tangguh dari


gurunya, kenapa saat berada di Bu-tong-san dia justru menderita
kekalahan?"
Mana dia tahu kalau ilmu pedang Tonghong Liang justru
mengalami kemajuan pesat dalam beberapa hari belakangan.
Kini dia benar-benar keteter hebat, jangankan melancarkan
serangan balasan, ingin melepaskan diri dari kurungan cahaya
pedang Tonghong Liang pun dia tidak mampu, bahkan seandainya
mampu pun dia tidak berani melakukannya. Sebab dia sadar kalau
tenaga dalamnya masih bukan tandingan lawan, andai serangan
bokongannya gagal, besar kemungkinan hal ini bisa menyebabkan
senjata makan tuan, mencelakai diri sendiri.
Siapa tahu walaupun dia tidak berani melepaskan senjata rahasia
beracunnya untuk menyergap Tonghong Liang namun dia sendiri
sulit untuk lolos dari sergapan jarum beracun tersebut.
Sementara cahaya pedang milik Tonghong Liang mengepung
seluruh tubuhnya, pemuda itu menyentilkan pula jarum beracun
yang berhasil dicabut keluar dari tubuh Lan Giok-keng itu, begitu
dihembus, jarum beracun pun seakan jadi 'hidup', bagaikan
bayangan setan saja mengikuti dan menempel terus di sisi tubuh
Siang Ngo-nio.
Kaget bercampur panik Siang Ngo-nio berusaha menghindarkan
diri, sayang dia kalah cepat, tahu-tahu....”Craaat!" jarum beracun
yang mengejar tubuhnya itu sudah menghajar tubuhnya dan
menghujam di atas dadanya.
Lan Giok-keng walaupun terkena racun, tapi berhubung dia
mengatur napas sambil duduk bersila, maka daya kerja racunnya
sangat lambat, berbeda dengan Siang Ngo-nio yang harus bertarung
terus kendati pun sudah terhajar jarum beracun.
Dalam waktu singkat dia merasakan rasa gatal sudah menjalar
disekujur tubuh, bukan saja amat tersiksa bahkan hawa racun mulai
menyerang jantungnya, lambat laun pandangan matanya mulai
gelap dan kabur.


Sekonyong-konyong dia merasakan kulit tubuhnya tersambar
oleh angin dingin, diikuti suara pakaian yang dikoyak koyak babatan
ujung pedang....”Triiing!"
sebuah botol porselen terjatuh ke tanah, menyusul
kemudian....”Blukkk!" sebuah kotak ikut jatuh pula ke tanah.
Rupanya Tonghong Liang dengan menggunakan ilmu pedangnya
yang maha cepat telah mengoyak pakaian perempuan itu hingga
robek beberapa puluh bagian, membuat botol, kotak, bambu kecil
dan semua benda yang tersimpan dalam sakunya berserakan diatas
tanah.
Sambil tertawa dingin Tonghong Liang segera berseru, "Cepat
ambilkan obat pemunah, kalau berani berbohong, hal ini sama
artinya mencelakai dirimu sendiri!"
Setelah keadaan berkembang jadi begini, tentu saja Siang Ngonio
tidak berani banyak bicara lagi, terpaksa dia melakukan sesuai
dengan apa yang diperintahkan.
Diambilnya obat pemunah dari atas tanah kemudian diangsurkan
dengan hormat.
Tonghong Liang segera menyambar obat pemunah itu lalu
menginjak sisa barang yang berserakan di tanah hingga hancur
berantakan dan terbenam dalam lumpur.
Menyaksikan hal ini diam-diam, Siang Ngo-nio merasa
terperanjat, dia bersyukur karena tidak mengambil obat palsu untuk
membohongi lawannya.
Obat pemunah itu terdiri dari dua bungkus, tanpa ditanya Siang
Ngo-nio segera memberi penjelasan, "Yang merah itu obat di
makan, sementara yang putih dibubuhkan diseputar luka.”
Tonghong Liang membagi setengah untuk perempuan itu dan
menyaksikan hingga dia menelannya, kemudian baru memberikan
sisa yang lain untuk Lan Giok-keng. Kemudian dia melepaskan jubah
yang dikenakan dan dilemparkan ke arah Siang Ngo-nio sembari
mengulapkan tangannya berulang kali.


Waktu itu, pakaian yang dikenakan Siang Ngo-nio sudah robekrobek
oleh bacokan pedang lawan, bukan saja terdapat tujuh,
delapan belas tempat yang robek bahkan kulit tubuhnya yang putih
halus pun sudah terpampang di depan mata, sekalipun dia adalah
wanita jalang, tidak urung merasa malu juga waktu itu, begitu
mengenakan jubah milik Tonghong Liang, dia langsung kabur
terbirit birit.
Lan Giok-keng kontan tertawa geli hingga mengeluarkan air
mata, serunya, "Toako, perbuatanmu kali ini benar-benar hebat
sekali!"
Karena baru saja menelan obat pemunah dan obat tersebut
belum mulai bekerja, begitu tertawa kontan hawa murninya
membuyar, dadanya yang terluka pun langsung terasa sakit lagi.
Mendadak terdengar suara tertawa Siang Ngo-nio berkumandang
datang dari kejauhan, diikuti kemudian terdengar dia berseru, "Lan
Giok-keng, dasar bocah tolol, kau sangka Tonghong Liang benarbenar
orang baik? Dia membantumu lantaran dia ingin mencuri ilmu
pedangmu.
Hehehehe.... inginkah kau mengetahui identitasnya yang
sebenarnya? Sejak dari Sucouwnya, mereka dengan pihak Bu-tongpay
sudah terjalin dendam kesumat selama tiga generasi!"
Jarum lebah hijau adalah senjata rahasia andalan Siang Ngo-nio,
dia pula yang membuat sendiri obat pemunahnya, cara pengobatan
yang dilakukan boleh dibilang tidak ada yang mampu
mengunggulinya, oleh sebab itu sehabis menelan obat pemunah
dan mengatur pernapasan, tidak lama kemudian obat pemunah itu
sudah mulai bekerja dan menyebar ke seluruh tubuh, kemampuan
ilmu meringankan tubuhnya pun segera pulih kembali seperti sedia
kala.
Dia sudah menduga, Tonghong Liang pasti akan berjaga-jaga di
samping Lan Giok-keng hingga tak mungkin ada waktu untuk
melakukan pengejaran, lagi pula ilmu meringankan tubuhnya sudah
pulih kini, biar dikejar pun dia yakin tidak bakalan sanggup


menyusulnya.
Karena itulah selesai berteriak, dia baru melanjutkan kembali
perjalanannya.
Tentu saja Lan Giok-keng tidak bakal percaya dengan
perkataannya, kembali dia berpikir, "Selama tukar pikiran dengan
Tonghong Toako, banyak manfaat yang berhasil kuraih, keadaan
seperti ini tidak bisa dikatakan membohongi aku. Tapi.... apa pula
yang dimaksud dendam kesumat tiga generasi? Hmm, aku tidak
boleh percaya dengan perkataan perempuan siluman itu.”
Kelihatannya Tonghong Liang dapat menebak suara hatinya,
sambil tersenyum ujarnya, "Saudara cilik, percayakah kau dengan
perkataan permpuan siluman itu?"
"Toako, kau sangka aku adalah bocah berusia tiga tahun? Apalagi
baru saja aku tertusuk sebatang jarum beracunnya, mana munkin
aku bisa percaya dengan omongan setannya!"
"Bagus, kalau tidak percaya, tidak usah berpikir yang bukanbukan.
Sekarang duduk bersila, atur napas dan usir semua sisa
racun dari tubuh. Setelah sembuh nanti, akan kuceritakan semua
hal yang ingin kau ketahui.”
Lan Giok-keng segera menuruti nasehat saudaranya dan duduk
bersemedi, dengan Sim-hoat tenaga dalam ajaran langsung dari Busiang
Cinjin, begitu pikiran lain dibuang, tanpa terasa diapun masuk
dalam kondisi lupa akan segalanya.
Sambil berjaga disisinya, pikiran Tonghong Liang merasa sangat
kalut, pikirnya, "Apa yang dikatakan Siang Ngo-nio memang benar,
aku memang sedang membohongi bocah polos ini. Ehmmm, dia
begitu menaruh kepercayaan kepada-ku, sebaliknya aku justru
membohonginya, apakah tindakan ku ini bukan sangat
memalukan?"
"Tapi.... bukankah aku pun telah membantunya?"
"Hmmm, kau tidak lebih hanya mencari alasan untuk


membohonginya, dengan bakat serta kecerdasan otaknya, biar tidak
kau bantu pun cepat atau lambat dia bakal memahami dengan
sendirinya.”
Perasaan Tonghong Liang bergelombang tidak menentu, pikirnya
lebih jauh, "Aku bukan hanya membohongi ilmu pedangnya, juga
menipu persahabatannya. Tapi bila aku menceritakan keadaan yang
sesungguhnya, bagaimana mungkin cita-cita Sucouw bisa terpenuhi
dan pengharapan Suhu tidak sia-sia?"
Perlu diketahui, Sucouwnya adalah Hian Tin-cu yang tempo hari
menderita kekalahan di tangan Bu-siang Cinjin, pengharapan Hian
Tin-cu adalah keturunan nya di kemudian hari sanggup
mengalahkan Bu-tong-pay di bidang ilmu pedang.
Murid Hian ti-cu, Siang Thian-beng walaupun berhasil tampil
sebagai seorang jago pedang yang hebat, bahkan berhasil meraih
julukan sebagai Rasul pedang dalam dunia persilatan, namun dia
sadar kalau kemungkinan menang baginya masih tipis, itulah
sebabnya dia perintahkan muridnya, Tonghong Liang untuk
mewakili dirinya naik ke bukit Bu-tong sambil melakukan
penyelidikan.
Sebelum berangkat, Tonghong Liang minta wejangan dari
gurunya, waktu itu Siang Thian-beng pun berkata, "Bila ilmu pedang
Hui-eng-kiam-hoat yang telah kubenahi semua titik kelemahannya,
masih tetap tidak mampu menandingi kehebatan ilmu pedang aliran
Bu-tong, terpaksa semua pengharapanku tertumpu diatas
pundakmu. Usiamu jauh lebih muda ketimbang aku, bakatmu pun
jauh lebih baik, biar kalah bukan masalah, asal kau dapat
memahami keadaan sendiri maupun keadaan lawan, coba
berlatihlah delapan sampai sepuluh tahun lagi, bila perlu berlatihlah
dua puluh tahun, tiga puluh tahun lagi. Aku yakin suatu hari kau
pasti dapat mewujudkan pengharapan Sucouw mu itu!"
Terbayang kembali wejangan dari gurunya, lalu menyaksikan
pula Lan Giok-keng yang sedang duduk bersemedi, dalam hati
kecilnya dia menghela napas panjang, pikirnya, "Sekalipun bakatku
jauh lebih bagus ketimbang bakat guru, hal ini tidak ada gunanya,


bakat yang dimiliki Lan Giok-keng jauh melebihi diriku, kecuali aku
membunuhnya sekarang juga, kalau tidak sepanjang masa rasanya
aku tetap bukan tandingannya!"
Tentu saja dia bukan bersungguh hati ingin membunuh Lan Giokkeng,
namun ingatan yang melintas lewat dalam benaknya cukup
membuat perasaan hatinya bergidik.
"Perbuatanku membohongi ilmu pedangnya pun sudah
kelewatan, masa masih mempunyai ingatan seperti ini? Aaai,
padahal aku tidak berniat mengalahkan Lan Giok-keng, yang
kuharapkan justru bisa mengalahkan Bouw Ciong-long, agar
perasaan hatiku amat puas. Sekarang dia sudah menjadi
Ciangbunjin Bu-tong-pay dengan gelar Bu-beng, asal aku mampu
membalas dendam atas hadiah sebuah tusukan pedangnya, paling
tidak rasa sakit hati Sucouw dimasa lalu pun dapat terlampiaskan.”
Sementara pikirannya sedang terombang-ambing oleh kekalutan,
mendadak terdengar seseorang membentak dengan suara dingin
dan tajam, 'Tonghong Liang, besar amat nyalimu! Berani benar kau
larikan murid Bu-tong-pay kami!"
Bersamaan dengan menggemanya suara bentakan, tahu-tahu
dihadapannya telah muncul salah satu dari tianglo Bu-tong-pay, Busi
Tojin!
Ketika melihat Lan Giok-keng sedang duduk bersila tanpa
bergerak, Bu-si Tojin segera menyangka bocah itu kalau bukan
sudah terkena obat pemabuk, jalan darahnya tentu sudah ditotok
Tonghong Liang.
"Kau salah paham!" buru-buru Tonghong Liang menyangkal.
Sayangnya Bu-si Tojin hanya percaya dengan apa yang terlihat di
depan mata dan tidak sabar mendengarkan pembelaannya, sambil
tertawa dingin dia loloskan pedangnya dan membentak, "Salah
paham? Apakah Lan Giok-keng secara rela dan iklas bersedia
menjadi tawananmu?"
"Dia bukan tertotok jalan darahnya, melainkan sudah terkena


racun....”
Belum selesai perkataan itu diucapkan, sebuah tusukan maut
telah dilancarkan Bu-si Tojin, bentaknya, "Sudah kuduga, Siang
Ngo-nio pasti satu komplotan denganmu, hmmm, percuma kau
berdalih macam-macam, hari ini aku tidak bakalan melepaskan
dirimu!"
Sebagai seorang pemuda tinggi hari, Tonghong Liang segera
menyambut tantangan itu, sahutnya, "Baiklah, ketika berada di
gunung Bu-tong tempo hari, kita belum sempat bertarung.
Mumpung hari ini ada kesempatan, mari kita selesaikan pertarungan
di antara kita berdua.”
Sambil menjawab secara beruntun dia membalas dengan tiga
jurus serangan, semua serangannya dilancarkan dengan keras
melawan keras, sama sekali tidak ada kesan mengalah.
Diam diam Bu-si Tojin terkesiap, pikirnya, "Sungguh tidak nyana
baru saja berpisah sepuluh hari, kelihatannya ilmu pedang yang
dimiliki bocah ini telah mengalami kemajuan pesat!"
Langsung dia mengeluarkan jurus pamungkas, dengan jurus
Thian-sin-to-kwa (Jagad raya berjungkir balik) secara beruntun
melepaskan dua bacokan kilat.
Cepat Tonghong Liang memutar tubuh menggeser satu lingkaran
busur, lalu dengan gerakan setengah menyerang setengah
bertahan, bagai terkaman elang dia punahkan ke tujuh jurus
serangan berantai dari Bu-si Tojin itu.
Menyaksikan permainan jurus lawannya, Bu-si Tojin semakin
tercengang, pikirnya, "Aneh, mengapa dibalik permainan jurus
pedang elang terbangnya bisa mengandung inti sari ilmu pedang
Thay-kek-kiam-hoat?"
Waktu itu Lan Giok-keng masih duduk bersemedi sambil
mengobati luka, dalam keadaan lupa segala tiba tiba dia dikejutkan
oleh suara beradunya senjata di sisi tubuhnya.
Baru membuka mata, dia menyaksikan batu pasir beterbangan,


hawa pedang bayangan manusia saling menyambar kian kemari,
setelah diamati beberapa saat dia baru dapat melihat dengan jelas
kalau Tonghong Liang sedang bertarung melawan Bu-si Tojin.
Dengan perasaan terperanjat bocah itu segera menjerit, "Susiokcouw....”
Di saat dia memanggil nama kakek gurunya, Bu-si Tojin telah
melancarkan tiga belas jurus serangan, sedemikian cepatnya gerak
serangan inti hingga sukar dilukiskan dengan perkataan. Coba kalau
dalam sepuluh hari terakhir Lan Giok-keng tidak peroleh kemajuan
pesat, jangan lagi memahami rahasia jurus dibalik pertarungan itu,
mungkin untuk melihat jelas wajah lawan pun tidak sanggup.
Serangan yang dilancarkan Bu-si Tojin benar-benar cepat bagai
sambaran petir, namun Tonghong Liang pun tidak lemah,
menghadapi ke tiga belas jurus serangan dari tosu itu, dia hanya
mundur sejauh tujuh langkah, setiap mundur selangkah dia berhasil
memusnahkan satu bagian kekuatan serangan Bu-si Tojin.
Bukan begitu saja, dia bahkan sama sekali tidak mengambil sikap
bertahan, dibalik bertahan dia sisipkan jurus serangan, perputaran
pedangnya meski sekilas tidak nampak mengandung gerakan jurus
apapun, namun dibalik kesemuanya itu justru tersembunyi
perubahan yang tidak terhingga.
Lan Giok-keng sendiri meski sudah tujuh hari berlatih dengannya,
saat ini dia hanya bisa melihat tiga bagian saja.
Begitu kesemsemnya Lan Giok-keng mengikuti jalannya
pertarungan hingga tanpa terasa dia lupa untuk melanjutkan katakatanya.
Secara beruntun Tonghong Liang mundur sejauh tujuh langkah,
ketika mundur langkah yang terakhir, sisa kekuatan yang dimiliki
Bu-si Tojin tinggal tiga bagian. Saat itulah sambil menghembuskan
napas teriak Tonghong Liang, "Saudara cilik, kau tidak usah
mengurusi aku, Susiok-couw mu tidak bakalan mampu
membunuhku!"


Dari nada suara Lan Giok-keng sewaktu berbicara, Bu-si Tojin
tahu kalau bocah itu meski belum pulih kembali namun keselamatan
jiwanya tidak terancam.
Dengan perasaan lega diapun berkata, "Anak Keng, lanjutkan
pengobatanmu, biar aku yang mengusir bajingan ini!"
Nada pembicaraannya tidak jauh berbeda seperti apa yang
dikatakan Tonghong Liang barusan. Dari pembicaraan itu bisa
disimpulkan bahwa dia tidak yakin mampu menghabisi nyawa
Tonghong Liang, karena itu digunakan istilah "mengusir".
"Ingin mengusirku? Heheheh.... tidak segampang kalau
berbicara!" jengek Tonghong Liang sambil tertawa dingin.
Bu-si Tojin mendengus, tubuhnya mendadak melambung ke
udara, cahaya pedang menyebar makin luas dan membabat miring
ke samping, inilah jurus andalannya Pek-hok-liang-ci (Bangau putih
pentangkan sayap).
Lan Giok-keng yang ikut menyaksikan jadi gembira bercampur
terkejut, pikirnya, "Ternyata apa yang kupelajari dulu keliru besar.
Tapi sama sekali tidak kusangka perubahan yang kulakukan atas
jurus pek-hong-liang-ci itu ada kemirip-an dan kesamaan dengan
gerakan yang digunakan Susiok-couw sekarang. Hanya bedanya dia
lebih cepat gerakannya dan lebih ganas, entah butuh berapa tahun
lagi bila aku ingin mencapai tingkatan seperti itu?"
Yang membuatnya terkejut adalah, "Jurus serangan dari Susiokcouw
begitu hebat, mungkinkah Tonghong Toako berhasil
menghindarkan diri?"
Baru saja ingatan itu melintas, jawaban telah muncul di depan
mata. "Breeet!" terdengar suara robekan bergema, pakaian yang
dikenakan Tonghong Liang telah tersayat hingga robek, namun
bagaimanapun juga dia berhasil meloloskan diri dari maut.
Dengan perasaan terkesiap Tonghong Liang berpekik dalam hati,
"Syukur berhasil, coba kalau aku tidak hapal lebih dulu dengan
perubahan jurus pedang ini dari permainan Lan Giok-keng, mungkin


sekarang aku sudah terluka parah.”
Bu-si Tojin sendiripun tidak menyangka kalau pihak lawan
berhasil menghindari serangannya tanpa terluka. Berhasil diatas
angin, dia meneter lebih lanjut, serangkaian serangan kembali
dilancarkan.
Tonghong Liang mundur berulang kali, katanya tiba-tiba sambil
tertawa, "Kau harus saksikan juga kehebatanku!"
Mendadak tubuhnya melambung ke udara, dengan gerakan Yancu-
hoan-sin (Burung belibis membalikkan tubuh) dia lancarkan
serangan balasan, lalu gerakannya disambung dengan jurus Pekhok-
liang-ci pula.
Hanya saja gerakan Bangau putih pentangkan sayap yang dia
mainkan sedikit berbeda dengan jurus Bangau putih pentangkan
sayap yang dimainkan Bu-si Tojin, dia telah meleburkan jurus
pedang elang terbangnya ke dalam jurus serangan itu.
Kalau Lan Giok-keng segera dapat melihat dengan jelas, berbeda
dengan Bu-si Tojin, dia nampak ragu bercampur sangsi.
Namun keadaan yang dihadapi sekarang tidak memberi waktu
kepadanya untuk berpikir panjang, dalam kagetnya dia lancarkan
lagi sebuahserangan dengan jurus Twie-cong-kan-gwat (Mendorong
jendela memandang rembulan).
"Traaanggg....!" di tengah benturan nyaring, Bu-si Tojin mundur
dua langkah, pedangnya gumpil sebagian. Ternyata gempuran
Tonghong Liang yang dilancarkan dari tengah udara ini memiliki
kekuatan yang jauh lebih besar dari serangannya.
Dengan perasaan terperanjat Lan Giok-keng menjerit keras,
"Tonghong Toako....”
Belum selesai dia berkata, terdengar Bu-si Tojin telah
membentak nyaring, "Rasakan juga kehebatanku!"
Sambil merangsek maju, pedangnya ditarik lalu membabat cepat
ke depan, babatan itu selain ganas pun amat telengas!


Kedahsyatannya bagai halilintar yang membelah kegelapan malam!
Tonghong Liang menjerit keras, dengan kepala di bawah kaki
diatas dia melompat sejauh tiga depa lebih, ketika hampir
mendekati permukaan dia baru berjumpalitan untuk berdiri.
Sekalipun tidak sampai terluka, tidak urung peluh sebesar kacang
kedelai sempat bercucuran membasahi jidatnya.
Rupanya kendatipun jurus Pek-hok-liang-ci yang dirubah olehnya
sangat garang dan dahsyat, namun jurus berikut yang dilontarkan
justru tidak dapat mempertahankan kesinambungan yang menjadi
inti dari ilmu pedang tersebut, otomatis dia telah melanggar
pantangan terbesar dari ajaran Thay-kek-kiam-hoat.
Bagaimana pun juga Bu-si Tojin adalah jago pedang nomor
wahid dari partai Bu-tong, dia segera menangkap peluang emas ini
dengan sebaik-baiknya.
Walau begitu, dia pun sama sekali tidak menyangka kalau ilmu
pedang elang terbang milik Tonghong Liang bisa memutar balik
tubuh di tengah udara.
Lan Giok-keng benar-benar tercekat hatinya, buru-buru dia
berteriak keras, "Susiok-couw, tahan, dia adalah sahabatku!"
"Apa? Dia adalah sahabatmu?" tanya Bu-si Tojin melengak.
Waktu itu paras muka Tonghong Liang tampak pucat pias bagai
mayat, mendadak ujarnya, "Saudara cilik, kau keliru besar, aku
bukan sahabat mu, akupun tidak pantas menjadi sahabatmu!"
"Toako, kau....” jerit Lan Giok-keng.
Tonghong Liang tidak menggubris, kepada Bu-si Tojin kembali
ujarnya, "Bu-si Totiang, ilmu pedangmu jauh lebih hebat daripada
kepandaianku, tidak perlu kau repot-repot mengusirku, biarlah aku
pergi sendiri!"
Dalam waktu singkat bayangan tubuhnya sudah lenyap dari
pandangan mata.


Menanti Tonghong Liang telah berlalu, Bu-si Tojin baru berpaling,
bertanya dengan wajah kebingungan, "Keng-ji, sebenarnya apa
yang telah terjadi?"
"Aku bicara sejujurnya, bukan saja dia adalah sahabatku, bahkan
masih terhitung tuan penolongku.”
Bu-si Tojin semakin tercengang, "Bukankah kau terluka oleh
jarum beracun milik Siang Ngo-nio?"
"Benar, perempuan silumanitu bernama Siang Ngo-nio, aku
terkena sebatang jarum beracunnya, konon jarum itu bernama
jarum lebah hijau.”
"Kalau begitu mereka justru telah bersekongkel untuk
mencelakaimu, bagaimana mungkin bisa kau katakan sebagai tuan
penolong?"
"Tonghong Toako lah yang mengusir perempuan siluman itu,
malah obat pemunah untuk jarum lebah hijau diperolehnya setelah
dirampas dengan paksa.”
Bu-si Tojin menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya,
"Anak Keng, kau sudah terjerumus ke dalam perangkap mereka.
Padahal kedua orang itu memang satu komplotan. Yang satu jadi
orang baik, yang lain jadi orang jahat. Kau yang minim pengalaman
sudah tertipu mentah mentah.”
"Tidak mungkin, sewaktu melakukan perjalanan bersama
Tonghong Toako, akulah yang memilih jalan ini. Bagaimana
mungkin perempuan siluman itu bisa meramal kejadian
sebelumnya? Lagipula untuk mendapatkan obat pemunah itu,
Tonghong Toako telah mengerahkan segenap kemampuan yang
dimilikinya. Perempuan siluman itu dihajar habis-habisan olehnya
bahkan mengenaskan sekali keadaannya, aku rasa, tidak mungkin
mereka bersekongkol hanya untuk bermain sandiwara
dihadapanku.”
"Apakah jarum beracun itu sudah dicabut keluar?" tanya Bu-si
Tojin kemudian agak ragu.


"Tonghong Toako telah membantuku untuk mencabutnya
keluar.”
"Baiklah, kalau begitu sementara waktu jangan bicara dulu, kita
bicarakan setelah sisa racun bersih dari tubuhmu.”
Tenaga dalam yang dimilikinya meski bukan terhitung nomor
satu dalam partai Bu-tong, namun kesempurnaannya cukup bisa
diandalkan. Sesudah menelan obat pemunah itu, sebenarnya racun
yang mengeram ditubuh Lan Giok-keng sudah punah tujuh, delapan
bagian. Begitu Bu-si Tojin menempelkan tangannya menyalurkan
tenaga murni ke dalam tubuh nya, tidak selang beberapa saat
kemudian seluruh racun yang masih tersisa telah terpunahkan.
"Sejak kapan kau bergabung bersamanya?" tanya Bu-si Tojin
kemudian.
"Sudah tujuh hari.”
"Selama tujuh hari, apa yang kalian lakukan?"
"Berlatih pedang bersamanya.”
"Baiklah, kalau begitu coba mainkan sekali lagi ilmu pedang yang
berhasil kau latih.”
Tanpa banyak bicara Lan Giok-keng segera memainkan seluruh
ilmu pedang yang berhasil dilatihnya selama beberapa hari ini.
Semakin menonton, Bu-si Tojin kelihatan makin terperanjat
bercampur keheranan.
"Harap Susiok-couw sudi memberi petunjuk,” kata Lan Giok-keng
kemudian seusai memainkan Thay-kek-kiam-hoat.
Bu-si Tojin tertawa getir.
"Aku sendiripun tidak tahu bagaimana harus memberi petunjuk
kepadamu,” katanya.
"Apakah cara berlatihku salah besar?" tanya Lan Giok-keng
terkesiap.
"Bukan salah, tapi terlalu baik.”


"Susiok-couw, kau sedang bergurau denganku?”
“Diwaktu biasa aku memang suka bergurau dengan angkatan
muda, tapi kali ini sedikitpun tidak berniat bergurau,” kata Bu-si
Tojin dengan wajah serius, "terus terang saja kukatakan, walaupun
permainan pedangmu belum bisa dikatakan sempurna dan mulus,
bahkan ada beberapa jurus masih terdapat titik kelemahan namun
sudah mengandung makna sebenarnya dari aliran pedang partai
kita. Malah kehebatan dalam beberapa jurus justru sudah jauh
diatas kemampuan ilmu pedangku!"
Terkejut bercampur gembira Lan Giok-keng segera berseru,
"Terima kasih banyak atas pujian Susiok-couw, bersediakah Susiokcouw
memberi petunjuk dan pembetulan atas beberapa titik
kelemahan yang kumiliki?"
Bu-si Tojin menggelengkan kepalanya berulang kali, sahutnya,
"Bukannya aku enggan memberi petunjuk kepadamu, adalah
dikarenakan ilmu pedangmu berhasil kau kuasai dengan
pemahaman sendiri, asal kau ikuti terus jalan pemikiran semula
untuk menemukan titik kelemah an itu dan tiada hentinya
melakukan pembetulan, dapat dipastikan ilmu pedangmu
dikemudian hari pasti dapat mencapai tingkatan yang paling tinggi,
bahkan keberhasilanmu pasti akan jauh di atas kemampuanku
sekarang. Bila kini kuberi petunjuk, hal ini malah sebaliknya akan
membelenggu kebebasanmu, siapa tahu dikemudian hari malah
akan mengurangi dan memperlemah keberhasilanmu.”
Lan Giok-keng termangu-mangu beberapa saat lamanya,
kemudian dia berpikir, "Ternyata nada pembicaraan Susiok-couw
tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan Tonghong Toako.
Biarpun penggunaan katanya berbeda namun maksudnya setali tiga
uang.”
Tampaknya Bu-si Tojin sendiri pun dicekam perasaan kaget
bercampur ragu, tanyanya, "Baru sepuluh hari turun gunung, kau
telah berhasil memperoleh pemahaman sebanyak itu?"
Lan Giok-keng tidak berani berbohong, jawabnya terus terang,


"Bila cucu murid bisa peroleh kemajuan, menurut pandanganku
pertama karena cucu murid memperoleh kiam-koat dan Sim-hoat
tenaga dalam warisan Ciangbun Sucouw, kedua karena Tonghong
Toako selalu mengajak aku bertanding pedang.”
Mendengar sampai disini Bu-si Tojin menghela napas panjang,
katanya, "Ternyata dugaanku tidak keliru, kau sudah ditipu pemuda
itu habis-habisan!"
"Sekali pun dalam bertanding pedang melawanku, dia berhasil
juga mempelajari ilmu pedang aliran kita, tapi.... bukankah akupun
berhasil meraih lebih banyak manfaat? Aku rasa.... aku rasa
kejadian seperti ini tidak bisa dibilang menipu bukan?"
"Tahukah kau siapakah Tonghong Liang itu?"
Mendengar nada ucapan Susiok-couw nya makin lama semakin
keras, teringat pula perkataan yang diucapkan sejak bertemu
Tonghong Liang pertama kali tadi, Lan Giok-keng segera merasakan
hatinya bergetar keras. Serunya cepat, "Jangan-jangan dia adalah
musuh besar perguruan kita?"
"Aku sendiripun tidak tahu bagaimana harus menjelaskan.
Mungkin dia belum tergolong musuh besar, tapi keinginannya yang
paling utama adalah mengalahkan ilmu pedang perguruan kita, jadi
kalau dibilang dia adalah musuh besar kita, rasanya tuduhan inipun
tidak berlebihan.”
"Susiok-couw, darimana kau bisa tahu akan hal ini?"
"Hari ke dua setelah kau turun gunung, dia telah mendatangi Butong-
san dan menantang berduel. Gurumu serta Put-po Supek
semuanya kalah di tangannya.”
"Tapi Suhu dan Supek tidak sampai terluka bukan?" tanya Lan
Giok-keng terperanjat.
"Terluka mah tidak. Kelihatannya tujuan dia yang utama adalah
mengalahkan jago-jago Bu-tong-pay saja.”
Diam-diam Lan Giok-keng menghembuskan napas lega, katanya,


"Cucu murid mempunyai satu pemikiran, hanya tidak tahu
pemikiranku ini benar atau tidak....”
"Coba katakan.”
"Selama beberapa hari ini bertanding pedang melawan Tonghong
Toako, walaupun setiap kali kalah darinya, tapi setiap setelah
kekalahan aku justru peroleh manfaat....”
"Hmm, mungkin manfaat yang dia peroleh justru jauh lebih
banyak ketimbang dirimu,” dengus Bu-si Tojin memotong
pembicaraannya.
"Terlepas siapa yang berhasil mendapat manfaat lebih banyak,
yang jelas semua orang memperoleh manfaat dan keuntungan. Oleh
sebab itu menurut pandanganku, untuk menempuh jalur ilmu silat,
masih diperlukan banyak kerja sama dan saling membantu....
jika orang dari lain perguruan saling bertanding, kelebihan dan
kekurangan masing-masing pihak akan segera terlihat, aku merasa
justru manfaat yang bisa diraih pun jauh lebih banyak ketimbang
bertanding dengan orang sendiri.”
Bu-si Tojin menghela napas panjang.
"Ketika Tonghong Liang naik gunung waktu itu, Ciangbunjin pun
pernah berkata begitu kepada kami semua. Dia bilang bila suatu
negara tidak berhadapan dengan musuh dari luar, lama-kelamaan
dia akan jadi lemah dan tumbang sendiri. Ucapan ini cocok juga bila
kita terapkan dalam kancah dunia persilatan. Justru ketika ada
jagoan tangguh menantang perang kepada kita, maka kejadian ini
justru merupakan pecut yang memaksa kita untuk berlatih lebih
tekun.”
"Aaah, perkataan dari Ciangbun Sucouw jauh lebih gamblang
daripada perkataanku tadi!"
"Sebagian besar umat persilatan punya pandangan untuk
membatasi diskusi diantara kalangan sendiri dan melarang orang
untuk melangkah keluar. Hal semacam ini harus diakui sebagai
penyakit yang sudah menahun. Anak Keng, tidak kusangka dengan


usia semuda dirimu ternyata pandanganmu jauh lebih luas.”
"Kalau begitu kau tidak menyalahkan Tonghong Toako bukan?"
seru Lan Giok-keng kegirangan.
Sekilas perasaan bimbang melintas di wajah Bu-si Tojin, selang
beberapa saat kemudian dia baru berkata, "Bila muncul karena niat
baik, mengajak kami berdiskusi dan saling memoles diri, tentu saja
keinginannya akan kami terima dengan senang hati. Tapi dia
mempunyai maksud lain, dia berniat menjatuhkan perguruan Butong-
pay. Masalah ini sudah menyangkut nama baik serta harga diri
perguruan, tentu saja kami tidak akan membiarkan dia berbuat
begitu.”
"Kenapa dia ingin menjatuhkan perguruan kita?" tanya Lan Giokkeng
tercengang.
"Tentu saja ada penyebabnya, jauh pada tiga puluh enam tahun
berselang, Sucouw nya pernah menderita kekalahan di tangan Busiang
Cinjin.”
Peristiwa ini sudah pernah didengar Lan Giok-keng dari mulut
Siang Ngo-nio, kini setelah mendapat ketegasan dari Susiok-couw
nya, dia merasa sedih sekali.
Yang membuatnya sedih bukan karena masalah ini, melainkan
karena sikap Tonghong Liang yang telah mengelabuhi dirinya.
Pikir Lan Giok-keng, "Untung saja hari itu Tonghong Toako tidak
sampai melukai orang, coba kalau dia sampai melukai gihu, di saat
kami bersua muka lagi nanti mungkin aku akan menganggapnya
sebagai musuh bebuyutan.”
Berpikir sampai disitu, diapun berkata, "Kalau Suhu dan Supek
hanya menderita kekalahan saja mah tidak jadi masalah, asal ada
orang bisa menangkan dia, itu sudah cukup. Susiok-couw, bukankah
barusan kaupun berhasil mengungguli dirinya.”
"Tapi kemenanganku nyaris sekali!" sahut Bu-si Tojin sambil
tertawa getir.


Mendadak seperti teringat akan sesuatu, Lan Giok-keng kembali
berkata, "Kalau didengar dari pembicaraan Tonghong Toako tadi,
dia bilang saat mendaki gunung Bu-tong tempo hari, dia tidak
sampai bertarung melawan Bu-si tianglo, sementara Ciangbun
Sucouw pun sedang sakit, lantas siapa yang berhasil mengalahkan
dia?"
"Aaai, kalau dibicarakan benar-benar nyaris, untung hari itu Bouw
Ciong-long kebetulan datang berkunjung sehingga nama baik
perguruan tidak sampai ternoda. Coba kalau bukan begitu, biar aku
bisa mengungguli dirinya pun paling tidak harus bertarung ratusan
gebrakan. Padahal dia adalah seorang Boanpwee, kalau aku sebagai
seorang tianglo harus menangkan dia setelah bertarung ratusan
jurus, kemenangan ini jelas bukan kemenangan yang gemilang.”
"Siapa itu Bouw Ciong-long?"
"Bukankah kau pernah bertemu Bouw It-yu? Bouw Ciong-long
adalah ayah Bouw It-yu, sebenarnya diapun termasuk pemimpin
dari murid-murid preman, orang menyebutnya Tiong-ciu Tayhiap.
Dia hanya membutuhkan tiga gebrakan sebelum berhasil merobek
kulit muka Tonghong Liang!"
"Merobek kulit mukanya?" tanya Lan Giok-keng tertegun.
"Tentu saja bukan kulit muka beneran,” jelas Bu-si Tojin sambil
tertawa, "yang dirobek adalah topeng kulit manusia yang dia
kenakan.”
Sekarang Lan Giok-keng baru mengerti, pikirnya, “Ternyata
jagoan lihay Bu-tong-pay yang disebut Tonghong Toako dan Siang
Ngo-nio adalah Bouw-tayhiap itu.”
"Bouw-tayhiap sekarang telah menjadi pendeta,” kata Bu-si Tojin
lagi, "kini dia mempunyai gelar sebagai Bu-beng Cinjin.”
"Cinjin? Seingatku hanya Ciangbunjin seorang yang boleh
menggunakan gelar Cinjin?" seru Lan Giok-keng tercengang.
"Benar, Bu-beng Cinjin adalah Ciangbunjin baru perguruan kita.”


"Jadi Ciangbun Sucouw telah menyerahkan kedudukannya
kepada dia?" tanya Lan Giok-keng lagi terperanjat.
"Aku memang ingin memberitahukan persoalan ini kepadamu,
kau tidak usah sedih, hari itu Sucouw mu sudah berpulang ke langit
barat.”
Mendengar berita duka ini Lan Giok-keng tidak kuasa menahan
rasa sedihnya lagi, dengan air mata meleleh katanya, "Padahal
sewaktu Sucouw memerintahkan aku turun gunung, beliau masih
kelihatan baik-baik. Sungguh tidak disangka hanya selang sehari....”
"Ciangbun Cinjin berangkat ke langit barat sesaat sesudah
pengganti Ciangbun Cinjin berhasil meraih kemenangan. Usianya
telah melampaui delapan puluh tahun, diapun gembira karena
sudah peroleh penerusnya, jadi tidak heran kalau kepergiannya
diiringi senyuman. Anak Keng, aku ingin bertanya lagi kepadamu,
apa rencanamu selanjutnya? Apakah mau balik ke gunung atau
tidak?"
"Pikiranku saat ini sangat kalut, semestinya aku harus pulang
gunung....”
"Pikiranmu kalut? Kenapa?"
"Rasanya tidak ada salahnya kalau kujelaskan pesan Sucouw
kepada Susiok-couw,” pikir Lan Giok-keng dalam hati. Maka diapun
berkata, "Sewaktu akan turun gunung, Ciangbun Sucouw pernah
berpesan, apa pun yang bakal terjadi diatas gunung, beliau minta
aku tidak usah mengurusinya.”
Mendengar itu Bu-si Tojin pun berpikir, "Waktu itu Ciangbun
Suheng sudah tahu kalau saat ajalnya hampir tiba, dia telah
menitahkan anak Keng untuk turun gunung, bahkan merahasiakan
hal ini kepada Put-ji, jelas dibalik kesemuanya itu pasti ada alasan
lain.”
Berpikir begitu maka ujarnya, "Sebagai seorang yang berbakti,
kau harus patuh pada ajaran dan perkataan orang tua, begitu pula
terhadap Suhu maupun Sucouw mu. Kalau memang Sucouw sudah


berpesan begitu, lebih baik untuk sementara waktu jangan kembali
ke gunung. Lalu kau hendak ke mana sekarang?"
"Sucouw suruh aku pergi ke Siau-lim-si dan menjumpai seorang
hwesio. Hanya saja, urusan ini....”
Dari mimik mukanya Bu-si Tojin tahu kalau dia ada kesulitan
yang susah diutarakan, maka katanya sambil tertawa, "Apakah
Sucouw suruh kau jangan menceritakan kejadian ini kepada siapa
pun?"
Melihat Lan Giok-keng manggut-manggut, diapun berkata lagi,
"Kalau begitu tidak terkecuali terhadap diriku. Sebagai seorang
pesilat, kau memang pantas berkelana dalam dunia persilatan untuk
melatih diri, dengan kepandaianmu sekarang, aku jadi lebih lega bila
kau akan berkunjung ke Siau-lim-si. Kalau begitu berangkat-lah.”
"Terima kasih banyak atas petunjuk Susiok-couw,” Lan Giok-keng
menjura memberi hormat.
Baru saja akan berpamitan, tiba-tiba Bu-si Tojin berseru lagi,
"Tunggu sebentar anak Keng!"
"Susiok-couw ada perintah apa lagi?"
Setelah berpikir beberapa saat, ujar Bu-si Tojin, "Tahun ini kau
telah menginjak usia enam belas tahun, aku rasa ada beberapa
persoalan yang sudah sepantasnya kau ketahui.”
"Apakah masalah yang menyangkut diriku?" tanya Lan Giok-keng
dengan perasaan tercekat.
"Masalah besar yang manyangkut perguruan kita. Walaupun Butong-
pay dan Siau-lim-pay dipandang orang sebagai tonggak ilmu
silat di dunia persilatan, namun selama belasan tahun terakhir ada
begitu banyak tokoh penting dalam perguruan yang dibunuh orang
secara aneh dan membingungkan, hingga kini belum ada satu kasus
pembunuhan pun yang berhasil dibongkar.”
"Haaah, ada kejadian seperti ini?"
"Pernah mendengar seseorang yang bernama Ho Ki-bu?"


Lan Giok-keng menggeleng. "Siapakah dia?" tanyanya.
"Dia adalah murid preman dari perguruan kita, dua puluh tahun
berselang bersama Bouw Ciong-long mereka berdua disebut
pendekar-pendekar Bu-tong-pay. Kalau Bouw Ciong-long disebut
orang sebagai Tiong-ciu Tayhiap maka Ho Ki-bu disebut orang
sebagai Ji-ouw Tayhiap. Orang itu bukan lain adalah guru preman
ayah angkatmu.”
"Aneh, kenapa gihu belum pernah menyinggung masalah ini
denganku?"
"Ho Ki-bu merupakan orang pertama yang mati terbunuh pada
enam belas tahun berselang, karena peristiwa ini menyangkut
urusan besar partai maka selama enam belas tahun hanya dilakukan
pelacakan secara diam-diam, tidak pernah diumumkan secara luas.
Mungkin saja gihu mu tidak menceritakan hal ini lantaran usiamu
masih kecil, mungkin dia baru akan bercerita setelah kau menginjak
dewasa nanti.”
Ternyata walaupun Bu-si Tojin belum mengetahui asal-usul Lan
Giok-keng yang sebenarnya, namun dari perintah Bu-siang Cinjin
yang menyuruhnya turun gunung secara rahasia, kemudian dari
peristiwa Siang Ngo-nio yang berusaha menculiknya, dia tahu kalau
dibalik kesemuanya itu pasti terdapat hal yang penuh kemisteriusan.
Oleh sebab itulah dia putuskan untuk memberitahukan rahasia ini
kepadanya.
Dalam terkejut bercampur herannya kembali Lan Giok-keng
berpikir, "Ternyata aku masih memiliki seorang Sucouw dari
golongan preman, dia tewas pada enam belas tahun berselang?
Bukankah akupun lahir pada tahun itu?"
Cepat tanyanya, "Kalau dibilang Ho Tayhiap adalah orang
pertama yang dibunuh, lalu sepanjang masa ini apakah ada orang
lain yang mati terbunuh juga? Siapa yang terbunuh lagi?"
Bu-si Tojin menghela napas panjang.
"Putri tunggal Ho Ki-bu serta seorang muridnya juga tewas


dibunuh orang!"
Sebagaimana diketahui, Keng King-si "salah terbunuh" ditangan
Put-ji, sedang Ho Giok-yan tewas karena bunuh diri. Sebetulnya Busi
Tojin mengetahui akan hal ini, tapi berhubung masalahnya belum
jelas (apakah Keng King-si seorang penghianat? Atau karena mati
dibunuh pengkhianat? Atau Put-ji yang terjebak siasat musuh?)
terpaksa untuk sementara waktu Bu-si Tojin tetap
merahasiakannya.
Kembali Lan Giok-keng tertegun.
"Murid Ho Tayhiap? Bukankah dia adalah saudara seperguruan
ayah angkatku? Kenapa gihu tidak pernah menyinggung masalah
ini?"
"Peristiwa ini merupakan kejadian yang amat memilukan hati
ayah angkatmu, selama enam belas tahun terakhir dia memang
selalu berusaha menghindari pembicaraan tentang masalah ini.”
"Lantas Supek yang terbunuh itu....”
"Dia bukan Supekmu melainkan susiokmu. Ho Tayhiap
mempunyai dua orang murid, gihu mu adalah murid pertama
sedang murid kedua yang terbunuh bernama Keng King-si.”
"Dia dari marga Keng?" seru Lan Giok-keng terperanjat.
"Kau pernah mendengar nama orang ini? Apa yang tidak beres?"
"Ooh tidak. Aku hanya kurang jelas mendengarnya tadi, jadi
bertanya kembali. Oya. Apakah Keng Susiok meninggal dalam usia
yang sangat muda?"
"Benar, sewaktu meninggal dia baru berusia dua puluhan tahun
dan belum menikah.”
Perlu diketahui, walaupun dia pernah mendengar juga tentang
kaburnya Keng King-si bersama Ho Giok-yan, namun berhubung
masalah ini menyangkut masalah "moral", maka dia segan untuk
menceritakan kepada kaum Boanpwee.


Diam-diam Lan Giok-keng menghembuskan napas lega, pikirnya,
"Tampaknya aku kelewat banyak curiga, tapi mengapa tanpa hujan
tanpa angin perempuan siluman itu memanggilku sebagai Keng
Giok-keng?"
Terdengar Bu-si Tojin berkata lebih jauh, "Masih ada seorang
tokoh penting lagi yang tewas pada hari itu, dia adalah ketua para
tianglo perguruan kita, Bu-kek Totiang.”
Secara ringkas dia pun menceritakan semua kejadian dimulai dari
Bu-kek tianglo mati terbunuh sampai murid pertama Bu-siang Cinjin,
Put-coat yang dicelakai orang. Kisah ini justru dia bercerita lebih
banyak ketimbang urusan yang menyangkut Keng King-si dan Ho
Giok-yan.
Tapi bagi Lan Giok-keng, entah mengapa dia justru berharap
dapat mendengar lebih banyak kejadian yang menyangkut "Keng
susiok"nya.
Tapi Bu-si Tojin sama sekali tidak memenuhi harapannya,
terakhir dia hanya berkata, "Aku sengaja menceritakan semua
rahasia ini dengan harapan agar kau lebih waspada dan hati-hati,
karena perguruan kita sedang berhadapan dengan seorang musuh
yang sangat lihay, orang itu bagaikan manusia tanpa wujud yang
tidak diketahui sedang bersembunyi dimana?"
Berbicara sampai disitu, diapun berpisah dengan Lan Giok-keng.
Mengawasi bayangan punggung Susiok-couwnya yang menjauh,
tiba-tiba sekilas perasaan bimbang melintas dalam benaknya.
Ooo)*(ooO
BAB VII
Tali perjodohan yang susah terurai.
Lan Giok-keng bimbang dan murung karena teka teki yang


menyelubungi asal usulnya, dia pun murung karena baru saja
kehilangan seorang "sahabat" seperti Tonghong Liang.
Dengan perasaan duka pikirnya, "Pasti tanpa sebab Sucouw
suruh aku mendatangi kuil Siau-lim-si dan bertemu dengan seorang
hwesio yang bernama Hwee-ko, jangan-jangan hwesio itu
mengetahui asal usulku?"
Berpikir begitu, untuk sementara waktu dia pun buang jauh jauh
semua kemurungan dan berangkat seorang diri menuju ke kuil Siaulim.
Tentu saja dia tidak bakal tahu kalau masih ada seseorang lain
yang perasaan hatinya jauh lebih sedih ketimbang dirinya.
Orang itu tidak lain adalah Siang Ngo-nio yang baru saja diusir
oleh Tonghong Liang. Terhadap penghinaan yang diterima dari
Tonghong Liang, bukan saja dia merasa amat sedih bahkan merasa
malu bercampur menyesal.
Setelah melalui sebuah tanah perbukitan dan baru saja akan
bertukar pakaian dalam di sebuah hutan yang lebat, mendadak
terdengar seseorang mengumpat dengan penuh amarah,
"Perempuan busuk, bagus sekali perbuatanmu!"
Dengan perasaan terkesiap Siang Ngo-nio mendongakkan kepala,
tahu-tahu orang itu sudah muncul persis dihadapannya.
Cepat cepat Siang Ngo-nio memperlihatkan wajah sedih, dengan
air mata bercucuran isaknya, "Ji-ya, tahukah kau aku sangat
berharap kau bisa membalaskan sakit hatiku? Kenapa sebelum tahu
masalah, datang datang kau sudah mengumpatku?"
Ternyata orang itu tidak lain adalah kekasih gelapnya, orang
kedua dari keluarga Tong yang tersohor sebagai jagoan senjata
rahasia nomor wahid di kolong langit, orang persilatan
memanggilnya "Tong ji-sian-seng" sementara nama aslinya adalah
Tong Tiong-san.
Tong Tiong-san segera mendengus.


"Hmmm, balas dendam? Ulahmu selama ini sudah cukup
membuat aku kehilangan muka.”
Pakaian yang digunakan untuk menutup bagian tubuhnya
sekarang masih merupakan baju luar milik Tonghong Liang,
walaupun bagian atas tubuhnya sudah terlindung, namun tidak bisa
menutupi pakaian bagian bawahnya yang terkoyak-koyak.
Sambil menangis sedih kembali Siang Ngo-nio berseru, "Aku
sudah dihina orang habis habisan, bukannya kau membelai diriku,
sekarang malah memakiku.... tahukah kau siapa yang telah
mempermalukan aku? Dia bukan lain adalah murid sahabatmu Siang
Thian-beng, si cecunguk muda Tonghong Liang!"
"Hmm, jangan lagi aku tidak sanggup menghadapi gurunya,
sekalipun mampu pun aku tidak bakalan mencari gara-gara karena
persoalanmu.”
Kontan Siang Ngo-nio tertawa dingin.
"Sungguh tidak disangka kau sebagai jago senjata rahasia nomor
wahid di kolong langit juga takut dengan nama besar gurunya, si
Rasul pedang!"
"Takut Rasul pedang atau tidak, itu urusanku sendiri!" Tong
Tiong-san balas tertawa dingin, "aku ingin bertanya, mengapa
Tonghong Liang mempermalukan dirimu? Pasti ada penyebabnya
bukan!"
"Soal ini.... soal ini.... panjang untuk diceritakan....”
"Panjang untuk diceritakan? Kalau begitu aku ingin bertanya satu
hal lebih dulu, mau apa kau datang ke bukit Bu-tong?"
"Ji-ya, kau jangan percaya omongan iseng orang lain!" seru
Siang Ngo-nio terkesiap, "aku hanya secara kebetulan lewat di
gunung Bu-tong dan iseng ingin berpesiar.”
"Hmmm, kalau tidak pernah berbuat sesuatu yang merugikan
aku, darimana kau bisa tahu kalau aku mendengar dari cerita
orang? Toh aku belum bertanya apa-apa kepadamu?"


"Karena.... karena aku tidak pernah melihat kau semarah ini,
kau.... kau pasti....”
"Tidak usah ambil perduli apa yang kupikirkan, ceritakan saja
semua yang telah kau lakukan!"
"Aku benar-benar tidak melakukan apa-apa!" suara Siang Ngonio
kedengaran mulai gemetar.
"Jadi kau tidak mau bicara? Baiklah, kalau begitu aku akan
mewakilimu untuk menjawab, kau naik ke bukit Bu-tong karena
ingin menjumpai kekasih gelap-mu!"
"Darimana datangnya kekasih gelap?" jerit Siang Ngo-nio keras
keras, 'bukankah selama banyak tahun aku selalu mengikutimu,
jangan percaya....”
"Hmm, orang ini sudah menjalin hubungan gelap denganmu
sejak delapan belas tahun berselang, kau sangka aku tidak tahu
apa-apa? Hmm, masih ingin mengelabuhiku?"
"Darimana kau mendengar fitnahan seperti itu? Aku malah tidak
tahu siapa yang kau maksud?"
"Kau tidak tahu? Kau paksa aku untuk menyebut namanya? Baik,
kalau begitu akan kukatakan! Dia adalah murid pertama Ji-ouw-
Tayhiap Ho Ki-bu yang bernama Ko Ceng-kim, enam belas tahun
berselang dia sudah menjadi murid penutup Bu-siang Cinjin dengan
gelar Put-ji. Dengan segala akal muslihat kau merampas bocah itu,
bukankah karena dia adalah anak jadahmu bersamanya?"
Semakin bicara hatinya semakin jengkel, akhirnya tidak tahan
lagi dia tampar wajah Siang Ngo-nio keras keras.
Siang Ngo-nio bergulingan diatas tanah, dengan rambut terurai
kalut dia bangun terduduk sambil menjerit, "Tong Tiong-san, aku ini
apamu?"
"Perempuan rendah yang tidak tahu malu, kau benar-benar tidak
punya malu, apa maksudmu bertanya begitu?" hardik Tong Tiongsan.


Tiba-tiba Siang Ngo-nio mendongakkan kepala dan tertawa
kalap, teriaknya, "Aku tidak tamu malu? Aku hina? Lantas aku mau
tanya, apakah aku adalah istri, resmimu? Aku pernah memohon
kepadamu untuk menerimaku sebagai budak atau gundik, tapi kau
tidak pernah membiarkan aku masuk ke lingkungan keluargamu!
Aku tidak lebih hanya mainanmu! Kenapa aku harus menjaga
kesucian demi dirimu? Jangan lagi aku tidak punya kekasih, biar ada
pun kau tidak berhak mengurusi diriku! Bukankah kau sendiri pun
sering main perempuan diluaran?"
"Tutup mulut, perempuan rendah! Makin bicara semakin ngawur,
kau sangka aku tidak berani membunuhmu?"
"Bunuh saja diriku! Sudah sekian tahun aku mengikutimu, kalau
senang kau datang menjengukku, kalau tidak senang aku
disingkirkan begitu saja. Status belum didapat, tersiksa batin setiap
saat! Sungguh mengenaskan diriku ini, bukan saja harus menuruti
semua kemauanmu, masih kuatir tidak bisa menyenangkan hatimu.
Aku sudah bosan, sudah cukup menderita. Baiklah, cepat bunuh
aku! Ayoh.... ayoh cepat, kenapa tidak kau bunuh diriku!"
Menghadapi ulah perempuan itu, lama kelamaan Tong Tiong-san
dibuat kelabakan sendiri, sekalipun timbul penyesalan di hati namun
dia enggan kehilangan gengsi, segera bentaknya, "Kau sudah gila?
Siapa suruh kau membuat ulah?"
"Betul, aku memang sudah gila! Biar kau tidak membunuhku pun
aku sendiri sudah tidak ingin hidup!"
Tiba-tiba perempuan itu mencabut keluar sebatang jarum lebah
hijau dan langsung dihujamkan kearah tenggorokan sendiri.
Secepat kilat Tong Tiong-san menyentilkan jari tengahnya,
segulung angin tajam meluncur lewat, tahu-tahu jarum lebah hijau
itu sudah mencelat dari genggam annya.
"Aku melarangmu bunuh diri!" hardiknya.
Menggunakan kesempatan itu Siang Ngo-nio segera menubruk ke
dalam pelukannya dan berseru sambil menangis, "Ji-ya, kenapa kau


tidak membayangkan kebaikan yang selama ini kuberikan
kepadamu, waktu diserahkan ke tanganmu aku masih seorang gadis
perawan, sudah dua puluh tahun lebih aku melayani dirimu. Masa
sekarang hanya gara-gara mendengarkan hasutan orang, kau lantas
memaki dan memukulku, kalau begini caranya buat apa aku hidup
terus di dunia ini?"
"Baik, aku tidak akan memukulmu, tidak akan memakimu, tapi
kau harus bicara jujur!"
"Mati pun tidak takut, kenapa aku musti takut bicara
sesungguhnya. Betul, aku memang pernah berkenalan dengan Ko
Ceng-kim, dia pun nampaknya menaruh hati kepadaku, tapi kami
hanya sekedar berkenalan kemudian berpisah, diantara kami berdua
tidak pernah terjalin hubungan asmara ataupun hubungan gelap.
Coba bayangkan, seandainya dia benar benar kekasih gelapku,
mengapa selama enam belas tahun bermukim di gunung Bu-tong,
aku tidak pernah pergi menjenguknya? Kedatanganku kali ini di
gunung Bu-tong pun sama sekali tidak pergi menjumpainya. Aku
tahu di gunung Bu-tong kau pun punya teman, kalau tidak percaya,
tanyakan saja kepada mereka.”
Tentu saja Tong Tiong-san tidak akan percaya kalau semua yang
dikatakan adalah ucapan sejujurnya, tapi diapun tahu kalau
perempuan tersebut untuk baru kali ini naik ke gunung Bu-tong.
Lagipula sudah banyak tahun Tong Tiong-san memeliharanya
sebagai kekasih gelap, sejujurnya diapun tidak tega untuk
membunuhnya. Tapi demi menjaga muka, apa salahnya kalau
menganggap perkataan bohongnya sebagai kata yang jujur?
Melihat dia hanya termenung tanpa bicara, kembali Siang Ngonio
berkata, "Sedangkan mengenai bocah itu.... betul, bocah itu
memang anak jadah, tapi bukan anak jadahku melainkan anak hasil
hubungan gelap Sumoy dari Ko Ceng-kim. Bila kau tidak percaya,
tanyakan saja kepada Bouw Ciong-long.”
"Dari mana kau tahu kalau Bouw Ciong-long mengetahui akan
urusan ini?"


"Kalau putranya saja sudah tahu, masa bapaknya tidak tahu.
Hanya saja, menurut apa yang kuketahui, rasanya kaupun hanya
pernah kenal dengan Bouw Ciong-long, mungkin dengan putranya
hanya pernah bersua di saat dia masih kecil bukan?"
"Bouw Ciong-long hanya berputra satu, dia bernama It-yu.
Perkataanmu memang tidak salah, aku pernah bertemunya satu kali
pada saat dua puluh tahun berselang, waktu itu dia masih seorang
bocah yang sering enggan memakai celana. Tapi darimana kau tahu
kalau Bouw It-yu pun mengetahui kejadian ini?"
"Di saat aku mendaki gunung Bu-tong hari itu, kebetulan Bouw
It-yu sedang turun gunung, ada seorang tosu menghantarnya
sampai dipunggung bukit. Begitu melihat mereka, aku pun segera
menyembunyikan diri. Mereka tidak melihat kehadiranku. Persoalan
inipun secara tidak sengaja berhasil kucuri dengar dari pembicaraan
mereka berdua.”
Apa yang dikatakan kali ini memang kejadian yang
sesungguhnya, hari itu tosu yang menghantar Bouw It-yu turun
gunung adalah Put-pay, murid pertama Bu-liang Tojin. Hanya saja
dia keliru besar kalau mengatakan Bouw It-yu tidak mengetahui
kehadirannya.
Mendengar semua penuturannya disertai bukti, tanpa terasa
Tong Tiong-san mulai percaya beberapa bagian.
Siang Ngo-nio memang cerdas dan cekatan, dia pandai melihat
perubahan wajah orang. Sadar kalau kekasihnya telah berubah
pikiran, memanfaatkan peluang itu segera ujarnya manja, "Siapa
yang telah menciptakan isu tidak benar ini, kau harus beritahu
kepadaku....”
"Sebetulnya tidak bisa dibilang isu tanpa dasar, orang itupun
mengaku sudah lama berkenalan dengan Ko Ceng-kim.”
"Tapi isu busuk itu mengatakan kalau aku telah melahirkan anak
dengannya, kalau tidak kau tuntut pembenaran atas berita ini,
bagaimana mungkin aku punya muka untuk berkelana lagi?"


Pikiran Tong Tiong-san sangat kalut, ujarnya kemudian dengan
nada hambar, "Yaa sudahlah kalau kau tidak berbuat, kenapa musti
diselidiki lagi?"
"Ooh, jadi kau masih menaruh curiga kepadaku? Hmm, tidak, aku
tetap menuntut kau untuk menyelidiki persoalan ini hingga tuntas.”
"Sudah, sudahlah, aku percaya kepadamu, jangan ribut lagi!"
"Sudah jelas kau sedang mengintrogasi diriku, hmmm! Kalau
tidak diselidiki hingga tuntas, sampai nanti pun kau tetap akan
menaruh curiga kepadaku.”
"Kepada siapa aku musti selidiki?"
"Aduh, coba lihat, dasar tidak punya perasaan!" seru Siang Ngonio
makin manja, "masa baru saja aku katakan, kau sudah
melupakannya. Tanya saja dengan sobat lamamu, Bouw Ciong-long.
Kalau putranya saja tahu asal usul bocah itu, siapa tahu dia tahu
lebih banyak lagi!"
Diam-diam Tong Tiong-san keheranan juga, pikirnya,
"Seharusnya menggunakan kesempatan ini dia menyelesaikan
urusan sampai disini, kenapa masih mencari kesulitan buat diri
sendiri?"
Setelah tertawa getir, ujarnya, "Tahukah kau, Tiong-ciu Tayhiap
Bouw Ciong-long sekarang telah berubah jadi Ciangbunjin baru
partai Bu-tong dengan gelar Bu-beng Cinjin!"
"Bukankah semakin kebetulan? Sekali tepuk dua lalat, anggap
saja kedatanganmu untuk menyampaikan selamat kepada sobat
lama.”
"Sekarang pihak Bu-tong-pay sedang mengincar nyawamu, untuk
menghindari mereka pun sudah kerepotan, masa kau malah
menyuruh aku menemui Ciangbunjin Bu-tong-pay!"
"Justru karena aku telah mendatangi bukit Bu-tong, maka kau
semakin wajid bantu aku untuk berkunjung ke sana, paling tidak
untuk mengurai kesalah pahaman ini.”


"Salah paham? Aku sendiripun tidak tahu apa yang sudah kau
lakukan, bagaimana memberi penjelasan? Sudahlah, kau tidak usah
mencari masalah, terus terang kusampaikan satu kabar untukmu,
Bu-si Tojin dari Bu-tong-pay sedang mencarimu untuk membikin
perhitungan! Lagipula aku dengar, andai gagal bertemu kau, dia
akan datang mencariku, semisal sudah berada disisiku maka dia
akan minta aku serahkan dirimu!"
"Jadi kau takut dengan Bu-si si tosu hidung kerbau itu?"
"Bukannya takut, tapi dalam kenyataan keluarga Tong memang
tidak sanggup mengungguli kekuatan Bu-tong-pay!"
"Hmm, kalau kudengar dari nada pembicaraanmu, semoga kau
tidak beranggapan kalau kesemuanya ini hanya salah paham,
bagaimana pun kau tetap percaya dengan semua perkataan dan
omongan setan mereka!"
"Aku masih belum mendengar tuduhan apapun dari mereka, pun
tidak tahu apakah perkataan mereka omongan setan atau bukan.
Paling tidak seharusnya kau sendiri tahu bukan apa yang telah kau
lakukan selama ini!"
"Aku sama sekali tidak tahu dalam hal apa aku telah menyalahi
pihak Bu-tong-pay, mendengar dari pembicaraanmu, meski belum
menerima tuntutan apapun dari mereka, paling tidak sudah
mendengar isu atau rumor tentang soal ini bukan?"
"Soal ini....”
Biarpun dia tidak tahu secara jelas perselisihan apa yang terjalin
antara Siang Ngo-nio dengan pihak Bu-tong-pay, namun kabar
angin memang telah didengarnya.
"Ji-ya, kau masih mencurigai aku? Kenapa tidak kau lanjutkan?"
desak Siang Ngo-nio.
Mendadak Tong Tiong-san membentak keras, “Aku bukan saja
menaruh curiga kepadamu, dasar perempuan sundal, berani benar
kau catut namaku untuk berbuat onar, aku tidak dapat mengampuni
jiwamu lagi!"


Siang Ngo-nio nyaris tidak percaya dengan pendengaran sendiri,
sebenarnya dia mengira bujuk rayuannya berhasil meluluhkan hati
Tong Tiong-san, siapa sangka secara tiba-tiba dia berubah pikiran.
Baru saja dia menemukan mimik muka Tong Tiong-san sedikit
agak aneh, tahu-tahu sebuah pukulan dahsyat telah menghantam
tubuhnya.
Pada saat itulah terdengar seseorang berteriak keras, "Tong jisianseng,
tahan!"
Sayang pada saat itulah Siang Ngo-nio sudah menjerit keras dan
roboh terjungkal ke tanah.
Ternyata orang yang barusan muncul tidak lain adalah Bu-si
Tojin, orang kedua dalam deretan tianglo partai Bu-tong.
Menyaksikan keadaan perempuan itu, Bu-si Tojin berseru kaget,
"Aaah, sayang, sayang!"
Sambil menarik wajah kata Tong Tiong-san, "Bu-si toheng, aku
sudah membunuh perempuan siluman ini, kenapa kau berteriak
sayang? Apakah kau pun ada hubungan dengannya?"
"Tong ji-sianseng, masa kau mengajak pinto bergurau tentang
soal begini, siapa pun tahu kalau dia adalah kekasih simpananmu.”
Tong Tiong-san menghela napas. "Kita adalah sobat lama,
rasanya tidak perlu merahasiakan masalah ini denganmu. Dua puluh
tahun berselang, aku telah terpikat oleh siluman perempuan ini,
betul, aku pernah hidup bareng dia selama jangka waktu tertentu.
Sungguh tidak nyana hingga sekarang dia masih berani berulah
dengan mencatut namaku. Aku dengar secara diam-diam dia telah
mendaki Bu-tong-pay bahkan melukai Put-hui Suthay dengan jarum
lebah hijaunya, apa benar ada kejadian seperti ini?"
"Memang benar. Tapi.... hanya saja....”
"Coba lihat, dia begitu berani melakukan kesemuanya ini, masa
aku harus mengampuninya?" tukas Tong Tiong-san cepat, "itulah
sebabnya aku khusus datang mencarinya dan menghajar mampus


perempuan ini! Tapi aku tidak habis mengerti, kenapa kau masih
mohonkan pengampunan baginya?"
Bu-si Tojin gelengkan kepalanya berulang kali, katanya, "Tong jisianseng,
kau kelewat gegabah. Mengapa tidak menghukumnya
setelah menunggu kedatanganku?"
"Ooh, jadi kau menyalahkan aku lantara aku telah membunuh
musuh kalian?" teriak Tong Tiong-san sambil mendelik, "kau
seharusnya memahami tabiatku, jelek-jelek begitu paling tidak dia
pernah menjadi orangku, andai mau dihukum mati pun sepantasnya
aku yang melakukan, aku tidak ingin dia dihukum orang lain.”
Memang kejadian ini sama seperti "membersihkan perguruan"
dimana orang luar dilarang mencampuri, setiap orang persilatan
pasti mengetahui akan peraturan ini.
"Pinto tidak berniat mencampuri urusan pribadimu, hanya
saja....”
"Hanya saja kenapa, cepat katakan!"
"Terus terang kedatanganku mencari Siang Ngo-nio bukanlah
dikarenakan masalah dia melukai Put-hui Tokou dengan jarum lebah
hijaunya!"
"Lalu karena masalah apa?"
"Selama belasan tahun terakhir, secara beruntun partai kami
telah dilanda kasus pembunuhan yang misterius, kami curiga
peristiwa berdarah ini mempunyai keterkaitan dengan Siang Ngonio.”
"Peristiwa pembunuhan yang mana?"
"Ketua tianglo partai kami Bu-kek Totiang, Ji-ouw Tayhiap Ho Kibu
dari kaum preman, Suhengku Ting Hun-hok, keponakan muridku
Put-coat, hampir semuanya tewas secara misterius.”
Bu-si Tojin hanya menyebutkan beberapa nama tokoh kenamaan
saja. Sementara yang lain seperti Keng King-si, Ho Giok-yan,
pelayan tua dari keluarga Ho, hampir tidak disinggungnya sama


sekali.
Diam diam Tong Tiong-san merasa terperanjat, pikirnya,
"Ternyata kabar berita yang tersiar selama ini memang benar
adanya.”
Maka diapun berkata, "Apa yang kau ceritakan benar-benar
susah dipercaya siapa pun, semua nama yang kau sebut boleh
dibilang merupakan jago jago andalan partaimu, sehebat apapun
kepandaian yang dimiliki Siang Ngo-nio, rasanya tidak mungkin dia
mampu mencelakai mereka.”
"Yang kumaksudkan adalah masalah ini ada "hubungan" dengan
dirinya, bukan menuduh semua kasus pembunuhan itu merupakan
hasil karyanya seorang, tapi dalam kasus kematian keponakan
muridku Put-coat, dengan jelas terbukti bahwa dia terkena sebatang
jarum lebah hijau setelah terluka lebih dulu oleh tenaga pukulan.
Oleh karena itu kami berharap dari pengakuannya bisa diketahui
siapa dalang pembunuhan itu dan siapa pula yang terlibat.”
Berlagak seolah baru memahami maksudnya, Tong Tiong-san
berseru, "Oooh, rupanya kau minta aku mengampuni jiwanya
karena ingin melacak kejadian ini, apa mau dikata akupun tidak tahu
kalau dia terlibat dalam begitu banyak kasus pembunuhan.”
"Aaaai, mungkin saja diantara sekian banyak kasus pembunuhan,
ada yang menyangkut dirinya, ada pula yang tidak tersangkut, tapi
dari mulutnya siapa tahu bisa dilacak sedikit petunjuk atau
keterangan yang bermanfaat.”
"Sayang kedatanganmu terlambat selangkah, dalam gusarnya
tadi aku telah menghajarnya hingga mampus.”
Tiba-tiba Bu-si Tojin berjalan menghampiri tubuh Siang Ngo-nio
yang terkapar ditanah.
"Mau apa kau?" tegur Tong Tiong-san.
"Aku ingin memeriksanya apakah masih ter-tolong? Tun-yangwan
milik partai kami tidak kalah kemanjurannya dibandingkan Siauhuan-
wan dari Siau-lim-pay, siapa tahu aku bisa memperpanjang


umurnya.”
"Hmm, jadi kau tidak percaya kalau aku telah membunuhnya?"
jengek Tong Tiong-san dingin.
"Pinto tidak bermaksud begitu, aku hanya ingin berusaha
semaksimal mungkin.”
"Hmm, kalau kuhalangi niatmu ini, pasti akan kau anggap akupun
ikut terlibat. Baiklah, periksa saja dengan seksama.”
Bu-si Tojin tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... perkataan Tong ji-sianseng kelewat serius, kalau
begitu maafkan kecerobohanku.”
Dengan julukannya sebagai Bu-si (tiada napsu), tentu saja dalam
pikirannya sudah tidak dipengaruhi oleh napsu birahi, dalam
pandangan matanya laki atau perempuan tidak ada bedanya.
Dia menghampiri Siang Ngo-nio dan membopong tubuhnya,
terasa tubuh perempuan itu sudah mulai kaku, ketika diperiksa
dengus napasnya terasa napas telah berhenti (Gb 8).
Tapi anehnya secara lamat lamat dia mengendus selapis bau
harum yang amat tipis.
Biarpun dalam partai Bu-tong dia bukan tersohor karena
kehebatan tenaga dalamnya, namun sebagai seorang tianglo,
kehebatan tenaga dalamnya boleh dibilang tidak lemah. Tapi begitu
mengendus bau harum itu, tiba tiba napasnya terasa sesak, kepala
terasa pusing dan matanya sedikit berkunang.
Terdengar Tong Tiong-san berkata dengan nada dingin, "Mau
Siau-huan-wan atau Tun-yang-wan, aku rasa tidak nanti
kemanjurannya mampu memunahkan penga ruh bubuk Toan-hunleng-
hiang-san (bubuk harum pemutus sukma) bikinan keluarga
Tong ku bukan?"
Bubuk harum Toan-hun-leng-hiang-san merupakan salah satu
diantara tujuh racun andalan keluarga Tong, barang siapa terendus
bau bubuk pemutus sukma ini, dia bakal keracunan dan tidak ada


obat pemunahnya.
Tentu saja kecuali terhadap orang yang memiliki tenaga dalam
sempurna dan sebelumnya sudah tahan napas untuk menghindar,
kalau tidak, biar memiliki tenaga dalam hebat pun, asal bubuk itu
sampai masuk ke dalam mulut, niscaya tubuh seseorang tidak akan
kuasa menahan diri.
Dengan terkesiap seru Bu-si Tojin, "Jadi kau paksa dia untuk
menelan racun?"
"Jelek-jelek begitu dia pernah menjadi kekasihku, aku harus
memberi keutuhan bagi mayatnya,” kata Tong Ji-sianseng sambil
menarik muka, "bila kugunakan serangan berat untuk
membunuhnya, paling tidak isi otaknya bakal berhamburan.
Tentunya kau tidak berharap aku menggunakan cara sekeji ini
terhadap dirinya bukan?"
"Bukankah tadi kau bilang kalu dia mati karena terkena
pukulanmu?" pikir Bu-si Tojin dalam hati.
Rupanya Tong Tiong-san dapat membaca suara hatinya, cepat
dia berkata lagi, "Pukulan yang tadi kugunakan untuk memusnahkan
tenaga dalamnya, dengan begitu dia dapat mati lebih cepat. Bu-si
Toheng, sayang sewaktu berteriak tadi keadaan sudah terlambat,
kalau tidak mungkin aku masih bisa membiarkan dia hidup setengah
jam lagi.”
Biarpun Bu-si Tojin masih agak curiga, namun kenyataan sudah
terpampang di depan mata, Siang Ngo-nio memang sudah putus
nyawa. Sebagai seorang jago kawakan dari dunia persilatan,
matinya seseorang atau hanya pura-pura mati tidak bakal bisa
membohongi sepasang matanya.
"Sekarang kau sudah percaya bukan kalau dia telah mati?" tanya
Tong Tiong-san dingin.
Terpaksa Bu-si Tojin manggut-manggut.
Sambil mendengus kembali ujar Tong Tiong-san, "Kau memiliki
kemampuan untuk menghidupkannya kembali?"


"Tentu saja tidak punya,” Bu-si Tojin tertawa getir.
"Lalu kenapa tubuhnya masih kau gendong?"
Bu-si Tojin segera tersadar kembali akan kekhilafannya, tanpa
terasa dia jadi tersipu sipu, terpaksa tubuh Siang Ngo-nio buru-buru
diletakkan kembali.
Dengan wajah dingin membeku Tong Tiong-san menyambut
tubuh Siang Ngo-nio, kemudian ujarnya ketus, "Bu-si Totiang,
dipersilahkan!"
Setelah membopong tubuh Siang Ngo-nio, paras muka Tong
Tiong-san kelihatan sangat berduka, sambil memandang kejauhan
gumamnya, "Ngo-nio, kau jangan salahkan aku berhati keji, tapi aku
berjanji akan memberikan pemakaman yang terbaik untukmu.”
Selama ini Siang Ngo-nio adalah kekasih gelapnya, tentu saja dia
tidak ingin membiarkan tubuh perempuan itu terlantar di tengah
hutan.
Dalam keadaan begini Bu-si Tojin tidak berani menyakiti hatinya
lagi, pikirnya, "Walaupun titik terang ini terputus sampai disini, toh
Siang Ngo-nio telah mati, paling tidak dendam sakit hati Put-coat
sutit pun sudah terbalaskan. Lebih baik aku segera kembali ke bukit
untuk melaporkan kejadian ini kepada Ciangbun Suheng.”
Tong Tiong-san telah berlalu dari situ, di tengah hutan yang lebat
dia baringkan kembali tubuh Siang Ngo-nio di atas tanah, sekilas
perasaan bangga dan puas terlintas di wajahnya.
Tiba-tiba gumamnya sambil tertawa tergelak, "Hahahaha....
sungguh tidak disangka Tianglo dari Bu-tong-pay, Bu-si Tojin pun
berhasil kukelabuhi!"
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seseorang berkata pula
sambil tertawa, "Tong locianpwee, siautit khusus datang
mengucapkan selamat kepadamu, siasatmu kali ini benar benar luar
biasa!"
"Setan cilik, ternyata sejak tadi kau sudah menungguku disini,


apakah datang untuk minta uang jasa?"
Orang yang muncul dihadapannya adalah seorang pemuda
berusia dua puluh tahunan, dia bukan lain adalah Bouw It-yu, putra
Bu-beng Cinjin yang baru menjabat sebagai Ciangbunjin Bu-tongpay.
"Tidak berani, tidak berani,” ucap Bouw It-yu sambil tertawa,
"justru dikemudian hari boanpwee masih butuh banyak dukungan
dari locianpwee.”
"Ternyata perkataanmu tidak salah,” ujar Tong Tiong-san dengan
kening berkerut, "Bu-si Tojin benar benar datang meminta orang,
tapi kedatangannya begitu cepat, mungkin atas petunjuk darimu
bukan?"
Bouw It-yu tertawa lebar.
"Daripada urusan ini terlambat diselesaikan, kan lebih baik diurai
lebih cepat? Aku memang berharap Bu-si susiok menyaksikan
dengan mata kepala sendiri atas 'kematian' Siang Ngo-nio, dengan
begitu dia baru mau kembali dengan perasaan lega.”
"Mengapa kau harus membantuku?"
"Terus terang, semuanya ini atas perintah dari ayahku.”
"Kini ayahmu sudah menjadi Ciangbunjin Bu-tong-pay, sementara
Ngo-nio sudah dianggap musuh bebuyut an Bu-tong-pay, kenapa
pula dia perintahkan kau untuk berbuat begini?"
"Ayahku bilang, biar tidak memandang wajah pendeta, kita harus
menghormati wajah sang Budha, bagaimanapun Siang Ngo-nio
sudah terhitung setengah anggota keluarga Tong, jadi apakah dia
tersangkut atau tidak dalam beberapa kasus pembunuhan itu,
ayahku memutuskan untuk tidak menuntutnya lagi.”
Sesungguhnya Tong Tiong-san termasuk orang yang tinggi hati,
perkataan dari Bouw It-yu itu justru telah memuaskan perasaan
gengsi dan harga dirinya, segera pikirnya, "Ternyata dia pun takut
mengikat tali permusuhan dengan aku.”


Berpikir begitu, maka segera ujarnya, "Wah, kalau begitu
pemberian dari ayahmu terhitung besar sekali, aku kuatir tidak
dapat membalasnya. Namun akupun mempunyai watak yang aneh,
bila merasa berhutang kepada seseorang, aku pasti akan berusaha
keras untuk membayarnya. Bantuan apa yang kau butuhkan dariku?
Cepat katakan!"
"Aaah, mana berani boanpwee menuntut balasan, hanya ada
satu masalah kecil rasanya perlu cianpwee ketahui.”
"Soal apa? Cepat katakan!"
"Dalam partai kami terdapat seorang murid kecil yang bernama
Lan Giok-keng, apakah cianpwee mengetahui jejaknya?"
Rupanya setelah bertemu Tong Tiong-san pertama kali tadi, tidak
lama kemudian dia bertemu Bu-si Tojin. Setelah bertemu Bu-si
Tojin, dia pun memutar jalan dan balik bersua lagi dengan Tong
Tiong-san. Karena itulah dia belum tahu kalau Bu-si Tojin secara
kebetulan telah bertemu dengan Lan Giok-keng.
Agak tertegun Tong Tiong-san sesudah mendengar ucapan itu,
katanya, "Sebagian besar murid partai anda dari angkatan "Put" saja
tidak banyak yang kukenal, kenapa kau anggap aku pasti
mengetahui jejak seorang murid kecil kalian?"
"Karena murid kecil ini sedikit agak berbeda.”
"Bagaimana bedanya?"
"Karena dialah orang yang sedang dicari-cari kekasih
kesayanganmu,” sahut Bouw It-yu dengan senyum tidak senyum.
Seolah baru sadar Tong Tiong-san segera berseru, "Oooh,
rupanya kau minta aku menanyakan persoalan ini darinya. Cuma....”
"Aku yakin kau tidak perlu memakai tenaga besar, untuk
menghidupkan kembali dirinya, bukan?" sela Bouw It-yu sambil
tertawa.
Sesungguhnya Tong Tiong-san tIDak ingin Siang Ngo-nio secepat
itu 'hidup' kembali, tapi karena sudah berjanji duluan, mau tidak


mau dia harus membantu 'permintaan kecil' dari Bouw It-yuitu.
Ujarnya kemudian, "Baik, boleh saja aku segera menyadarkan dia
kembali. Tapi sebelum itu, kau harus menjawab dulu sebuah
pertanyaanku.”
"Katakan cianpwee.”
"Siapakah orang tua keponakan muridmu itu?"
"Ayahnya bernama Lan kau-san, dia adalah seorang penanam
sayur di bukit Bu-tong. Tentang siapa ibunya, aku sendiripun kurang
begitu jelas.”
"Yang kutanyakan adalah siapa orang tua kandungnya?"
Bouw It-yu agak tertegun.
"Cianpwee,” serunya, "darimana kau bisa tahu akan persoalan
ini?"
"Kau tidak usah tahu. Yang ingin kuketahui adalah setengah
persoalan yang lain.”
Sambil merendahkan suaranya Bouw It-yu pun berbisik, "Aku
dengar dia adalah putra dari putri kesayangan Ji-ouw Tayhiap Ho Kibu!”
“Lantas siapa ayahnya?"
"Wah kalau masalah ini aku kurang begitu jelas. Mungkin harus
kita tanyakan secara langsung kepada nona Ho.”
Padahal dia mempunyai alasan lain dan enggan menyebutkan
nama Keng King-si.
Diam-diam Tong Tiong-san menghembuskan napas lega,
pikirnya, "Baguslah asal bukan anak gelap dari Siang Ngo-nio."
Kembali tanyanya, "Karena masalah apa murid kecilmu itu kabur
turun gunung?"
"Bukan kabur atas kemauan sendiri, tapi Bu-siang Cinjin sebelum
meninggal dunia memerintahkan dia turun gunung.”


"Kenapa?"
"Aku kurang begitu jelas. Tapi ada satu hal yang pasti, bocah itu
adalah kesayangan Sucouw semasa hidupnya.”
"Oooh, rupanya begitu,” sementara di hati kecilnya Tong Tiongsan
berpikir, "Walaupun cara ini tidak terhitung cara yang hebat,
namun dalam situasi yang dia hadapi, cara yang dilakukan memang
terhitung sebuah cara untuk melindungi diri sendiri.”
Rupanya dia mengira Siang Ngo-nio ingin menangkap murid kecil
itu sebagai sandera karena perselisihannya dengan Bu-tong-pay
hingga bocah itu digunakan untuk melindungi keselamatan sendiri.
Karena berpikir begitu, rasa curiganya terhadap Siang Ngo-nio
pun kembali berkurang banyak.
"Baik, akan kubantu menanyakan persoalan ini. Tapi jangan
beritahu kepadanya kalau kita pernah bertemu.”
Sambil berkata Tong Tiong-san mengambil keluar sebatang
jarum perak yang lembut dan panjang lalu ditusukkan ke jalan
darah Tay-yang-hiat di kening Siang Ngo-nio.
Tidak selang beberapa saat kemudian terdengar Siang Ngo-nio
mulai bernapas kembali.
Kembali Tong Tiong-san menyentilkan semacam bubuk dari balik
kukunya ke dalam lubang hidung Siang Ngo-nio. Diiringi suara
bersin yang berulang kali, perempuan itupun tersadar kembali.
Ternyata bubuk yang digunakan Tong Tiong-san tadi bukanlah
bubuk pemabok Toan-hun-leng-hiang-san, melainkan sejenis obat
pemabuk yang mempunyai bau hampir mirip dengan bubuk racun
itu, khasiatnya dapat menghentikan detak jantung orang dan
selama dua belas jam dapat membuat orang itu berada dalam
kondisi mati.
Ketika membuka kembali matanya, Siang Ngo-nio sama sekali
tidak menggubris Bouw It-yu yang berdiri dihadapannya, kepada
Tong Tiong-san serunya manja, "Ji-ya, kau benar-benar berhati keji,


apa kesalahanku terhadapmu, kenapa kau ingin membunuh diriku?"
"Dasar, ditolong malah tidak kenal terima kasih, kau benar-benar
menuduh orang semaunya. Tahukah kau, tindakan yang kulakukan
justru demi menyelamatkan nyawamu. Baru saja Bu-si Tojin datang
kemari, coba kalau bukan lantaran dia melihat dirimu sudah mati,
mungkin saat ini kau sudah ditangkap dan dibawa balik ke Bu-tongsan.”
"Lantas bagaimana selanjutnya?"
"Sejak kini, dalam dunia persilatan sudah tidak ada lagi yang
bernama Lebah hijau Siang Ngo-nio,” ucap Tong Tiong-san sambil
tertawa, "yang ada sekarang adalah Ngo-nio milik Tong Tiong-san.
Akan ku-sembunyikan dirimu di suatu tempat rahasia, asal kau tidak
muncul dan berkelana lagi dalam dunia persilatan, orang-orang Butong-
pay pasti percaya kalau kau sudah mati.”
"Bagus, jadi kau minta separuh hidupku dilewatkan di tempat
yang tidak ada cahayanya!" teriak Siang Ngo-nio cemberut.
"Biarpun sedikit menyiksa dirimu, tapi kaupun tidak usah kuatir
ada orang mencari gara-gara lagi, justru ini menguntungkan
bagimu!"
Kini Siang Ngo-nio baru mengalihkan pandangannya ke wajah
Bouw It-yu, ujarnya kemudian, "Kalau aku tidak salah ingat,
bukankah kau adalah kongcu dari ketua baru Bu-tong-pay?"
"Biarpun dia murid Bu-tong-pay, namun justru merupakan tuan
penolongmu,” sela Tong Tiong-san sambil tertawa.
"Apa maksud perkataan ini?"
"Dialah yang secara diam-diam beritahu kepadaku kalau Bu-si
Tojin datang mencarimu. Siasat pura-pura mati tidak lain adalah
siasat yang kurancang bersamanya.”
"Ooh, kalau begitu perencanaan kalian atas keselamatanku
benar-benar amat sempurna.”
"Aaah, boanpwee hanya melaksanakan perintah ayahku,” kata


Bouw It-yu.
"Ooh, rupanya atas kemauan ayahmu. Kalau begitu aku tidak
perlu berterima kasih kepadamu.”
"Ngo-nio!" bentak Tong Tiong-san tiba tiba, "kenapa kau berkata
begitu?"
"Memangnya aku salah bicara? Kalau aku mau menuruti
rencananya, biarpun nyawaku dapat diselamat kan, namun Bouw
Ciong-long pun dapat terlepas dari kerepotan!"
Ketika mengucapkan kata 'kerepotan' sinar matanya
memancarkan keanehan.
"Ngo-nio, makin bicara kau semakin tidak karuan!" kembali Tong
Tiong-san membentak gusar.
"Apa yang dikatakan Ngo-nio memang kenyataan,” sela Bouw Ityu
cepat sambil tersenyum rikuh, "ayahku memang tidak ingin
menambah kerepotan lagi.”
Darimana dia tahu kalau 'kerepotan' yang dimaksud Siang Ngonio
sesungguhnya tidak sama dengan 'kerepotan' yang terlintas
dalam benaknya.
"Bouw kongcu,” kata Siang Ngo-nio kemudian, "silahkan kembali
dan beritahu ayahmu, katakan kalau aku meski enggan menerima
kebaikan hatinya, namun bersedia melakukan transaksi secara adil.
Apa yang diinginkan ayahmu? Katakan saja!" Bouw It-yu tertawa.
"Ngo-nio memang tidak malu menjadi seorang jago kawakan.
Betul, ayahku memang ada permintaan, mohon Ngo-nio bersedia
melepaskan keponakan murid-ku Lan Giok-keng.”
"Sejak hari ini aku sudah dalam status 'mati', orang yang sudah
'mati' mana mungkin bisa menyulitkan anggota partai Bu-tong lagi?
Aku yakin ayahmu pasti mempunyai permintaan lain bukan, sebab
kalau tidak, dalam transaksi ini dialah yang berada dipihak
dirugikan.”
"Dugaan Ngo-nio memang hebat. Benar, ayahku ingin tahu kabar


berita tentang Lan Giok-keng. Bila Ngo-nio mengetahui jejaknya....”
"Sebetulnya aku tidak tahu,” sela Siang Ngo-nio, "tapi secara
tidak sengaja aku sempat mencuri dengar pembicaraan antara Lan
Giok-keng dengan Tonghong Liang. Kelihatannya transaksi kita kali
ini akan berjalan sukses.”
Setelah berhenti sebentar, tambahnya, “Kalau didengar dari
pembicaraan mereka, kelihatannya keponakan muridmu hendak
menuju ke kuil Siau-lim-si.”
"Terima kasih Ngo-nio. Terima kasih Tong locianpwee.”
"Ucapan ini seharusnya terbalik,” kata Tong Tiong-san,
"sepantasnya akulah yang harus berterima kasih kepada kalian
berdua. Sampaikan salamku kepada ayahmu.”
Sepeninggal Bouw It-yu, Tong Tiong-san baru menggerutu,
"Ngo-nio, tampaknya aku kelewat memanjakan dirimu hingga
ulahmu semakin menjadi. Kali ini nyaris kau kehilangan nyawamu,
kenapa sampai sekarang masih begitu temperamen dan menuruti
watak sendiri?"
Siang Ngo-nio tertawa manja.
"Aku ikut gembira karena Bouw Ciong-long ternyata takut juga
denganmu! Tapi terus terang saja, kalau kau merasa salah kelewat
manjakan aku, sekarang bunuhlah diriku....”
"Aaai, kalau sekarang mana aku tega untuk membunuhmu?"
biarpun dia sempat dibuat uring-uringan, namun akhirnya ganjalan
dihatinya dapat terurai juga, hal ini membuat Tong Tiong-san
merasa sangat lega. .
Ooo)*(ooO
Saat itu Bouw It-yu seorang diri sedang melakukan perjalanan
menuju ke kuil Siau-lim-si.
Perasaan hatinya justru kebalikan dengan Tong Tiong-san, kalau
Tong Tiong-san merasa sangat lega, justru Bouw It-yu merasa
kecurigaannya semakin bertambah.


Sikap angkuh Siang Ngo-nio, mimik mukanya yang menunjukkan
perasaan tidak kuatir atau takut, kembali muncul dalam benaknya.
Tanpa terasa dia berpikir, "Aneh, mengapa ayah bersikap begitu
longgar terhadap perempuan siluman ini, apa benar dia takut atau
jeri terhadap Tong ji-sianseng? Sikap semacam ini berbeda sekali
dengan sikap ayah di waktu biasa!"
"Mungkinkah hanya demi transaksi itu? Sekalipun nasib Giokkeng
sudah menyangkut kejayaan dan lemahnya perguruan, kalau
hanya ingin mencari tahu kabar beritanya toh ayah tidak perlu
sampai bersikap begitu longgar dengan melepaskan pembunuh Putcoat
Suheng....?"
Peristiwa ini benar-benar membuatnya bingung dan tidak habis
mengerti.
Walau begitu, dia cukup tahu alasan ayahnya mengapa begitu
'menaruh perhatian' terhadap nasib Lan Giok-keng.
Hari kedua setelah Lan Giok-keng turun gunung, yaitu pada
malam setelah Bu-siang Cinjin meninggal dunia, ayahnya telah
memberitahukan alasan tersebut kepadanya.
"Menurut apa yang kuketahui, Bu-siang Suheng pernah membuat
sebuah catatan atas semua penelitian dan hasil latihannya selama
puluhan tahun, dalam kitab catatan itu bukan saja mencakup Simhoat
tenaga dalam tingkat atas, bahkan berisikan juga ilmu rahasia
yang diwariskan Couwsu Thio Cinjin dimasa lampau yang kemudian
dirapikan dan diurai olehnya dalam sebuah teori pedang. Sekarang
aku telah mewarisi semua benda miliknya, namun hanya kitab
pusaka itu yang tidak nampak.”
"Hah? Mungkinkah kitab pusaka itu disembunyikan Tojin bisu
tuli?" tanya Bouw It-yu terperanjat.
"Tojin bisu tuli sudah puluhan tahun mengabdi dan melayani Busiang
Suheng, dia setia dan dapat diandalkan, aku percaya akan
kejujuran hatinya.”
"Lantas kenapa bisa hilang?"


"Menurut 'penuturan' Tojin bisu tuli, kelihatannya Bu-siang Cinjin
pernah menyerahkan sebuah gulungan kertas kepada Lan Giokkeng,
bila aku tidak salah mengartikan 'bahasa isyarat' nya,
kemungkinan besar gulungan kertas itu berisikan Sim-hoat dan teori
pedang yang ditulis Bu-siang Suheng.
"Aku tidak habis mengerti mengapa Bu-siang Suheng begitu
buru-buru menitahkan Giok-keng segera turun gunung, apalagi
menyerahkan semua hasil penelitian yang dibuatnya selama puluhan
tahun ke tangan seorang bocah yang belum dewasa, kalau
sampai.... kalau sampai benda ini terjatuh ke tangan orang luar,
bukankah kondisi kita jadi sangat berbahaya!"
Karena alasan inilah ayahnya menyerahkan sebuah tugas rahasia
kepadanya untuk menemukan Lan Giok-keng dan menanyakan hal
tersebut hingga jelas. Bila ternyata sim-hoat dan teori pedang
benar-benar dibawa Lan Giok-keng, maka benda-benda tersebut
harus segera diminta kembali dan dibawa pulang ke gunung Butong.
Tentu saja dia tidak menyangka kalau Lan Giok-keng telah
mendapat perintah dari Sucouwnya untuk memusnahkan kitab
catatan itu.
Kendatipun alasannya sudah jelas, pelbagai keraguan dan
kecurigaan belum juga lenyap dari benaknya.
Betul, kitab pusaka milik Bu-siang Cinjin memang sangat penting
dan merupakan masalah serius, tapi cepat atau lebih lambat
memperolehnya kembali paling hanya selisih pada resiko yang harus
dihadapi.
Berbicara soal untung rugi, apakah berharga pihak Bu-tong-pay
membebaskan Siang Ngo-nio dari segala tuntutan hanya
dikarenakan ingin memperoleh sebuah berita? Tidakkah transaksi
semacam ini kelewat menguntungkan perempuan itu?
Bukan saja Siang Ngo-nio dicurigai terlibat dalam pembunuhan
atas Put-coat, bahkan besar kemungkinan titik terang tentang kasus
pembunuhan atas Bu-kek tianglo maupun Ho Ki-bu sekeluarga bisa


dilacak dan diperoleh dari mulut perempuan ini.
Bila transaksi tidak seimbang semacam ini sampai ketahuan
anggota perguruan lainnya, apakah hal ini tidak bakal menimbulkan
gelombang masalah baru? Apakah ayahnya tidak kuatir posisinya
sebagai ciang-bunjin bakal digoyang orang?
Memang betul, kemungkinan besar para anggota partai bisa
memaklumi "kesulitan" yang dihadapi ketuanya, namun kewibawaan
serta kepercayaan mereka terhadap Ciangbunjin apakah tidak akan
tercoreng gara-gara kasus tersebut? Mengapa ayahnya harus
mengambil resiko dengan menyerempet bahaya yang begitu besar?
Sekalipun terjadi kemungkinan yang terburuk....
kitab pusaka itu benar berada di tangan Lan Giok-keng, garagara
tidak memperoleh petunjuk Siang Ngo-nio, dia gagal
menemukan bocah itu hingga kitab pusaka berhasil dirampas orang.
Apakah hanya dikarenakan persoalan ini lantas kekuatan Bu-tongpay
jadi bertambah lemah?
Bukankah ilmu silat yang dimiliki ayahnya masih setingkat diatas
kehebatan Bu-siang Cinjin? sekalipun orang lain berhasil merampas
kitab pusaka itu, paling banter orang itu hanya bisa melatih diri
hingga setaraf kemampuan Bu-siang Cinjin.
Tentu saja kesemuanya itu hanya berdasarkan pemikiran Bouw
It-yu, namun pemikiran tersebut justru telah menambah kecurigaan
serta keragu-raguannya.
Dia tidak berani mencurigai ayahnya mempunyai tujuan pribadi,
tapi diapun tahu kalau ayahnya bukan termasuk orang kolot yang
susah berubah pikiran, terkadang diapun menggunakan sedikit akal
dan siasat untuk mencapai tujuan, namun hal semacam ini tidak
mengurangi kepercayaannya bahwa sang ayah adalah seorang lelaki
sejati.
Selama ini dia menjadikan ayahnya sebagai idola, sebagai
panutan, kalau berbicara soal "melakukan langkah sesuai keadaan"
dia yakin kemampuan sendiri bahkan jauh melampaui orang tuanya.


Atau mungkin karena alasan lain? Namun sebagai seorang anak,
tidak mungkin dia mengintrogasi ayahnya, tentu saja kecuali
ayahnya mau bercerita sendiri.
Dalam kebingungan dan kemurungannya, entah mengapa, tibatiba
dia teringat kembali ibunya yang telah meninggal dunia,
teringat perkataan ibunya sesaat menjelang ajalnya tiba.
Ibunya sudah meninggal pada delapan tahun berselang, waktu
itu dia sudah berusia tujuh belas tahun, kalau dibilang sudah
dewasa memang telah dewasa, kalau dibilang masih kecil pun dia
memang masih kecil. Namun paling tidak dia sudah mengerti urusan
dan paham pelbagai masalah.
Ayah dan ibunya selalu saling mencinta dan menyayang, mereka
tersohor dalam dunia persilatan sebagai sepasang suami istri yang
harmonis.
Orang lain mungkin tidak tahu tapi dia dapat merasakan bahwa
pada dua tiga tahun terakhir sikap serta hubungan kedua orang
tuanya sedikit mengalami perubahan.
Mula-mula dia menjumpai kalau senyuman yang biasanya
menghiasi wajah ibunya lambat laun semakin jarang dijumpai,
kemudian ibunya semakin jarang berbicara. Bahkan terkadang tanpa
sengaja dia jumpai wajah ibunya seolah dilapisi oleh salju yang
tebal, setiap kali ayahnya tertawa dihadapannya, ibunya baru
menunjukkan secerca senyuman.
Ayahnya adalah Tiong-ciu Tayhiap, pergaulannya sangat luas,
tidak dapat disangkal dia harus sering melakukan perjalanan dalam
dunia persilatan.
Kalau dulunya, meski sang ayah sering keluar rumah, namun hari
hari berada dirumah jauh lebih banyak, maka sejak dua, tiga tahun
menjelang kematian ibunya, keadaan justru kebalikan, hari-hari
ayahnya berada dirumah dalam setahun terkadang hanya tiga,
empat bulan saja. Malah pernah dalam setahun dia seolah lupa
untuk merayakan tahun baru di rumah.


Pada saat ibunya wafat, dia sedang duduk menemaninya di
pinggir ranjang, waktu itu ayahnya sedang memasak obat diluar.
Tiba-tiba ibunya mengucapkan kata-kata yang sangat
membingungkan, "Sebenarnya ayahmu tidak terlalu jahat, kau harus
percaya kalau dia adalah orang baik!"
Padahal sejak tahu urusan, ayah adalah idolanya, belum pernah
dia mencurigai ayahnya sebagai orang jahat.
Ketika ibunya selesai menyampaikan perkataan itu, tidak lama
kemudian dia lalu putus nyawa. Yang tersisa pun hanya sebuah
teka-teki yang tidak terjawabkan.
Segulung angin gunung berhembus lewat menyadarkan dia dari
lamunan, pikirnya, "Ehh.... kenapa aku jadi teringat urusan itu?"
Mendadak satu ingatan yang sangat mengejutkan melintas lewat
dalam benaknya, lamat-lamat dia dapat merasakan bahwa apa yang
diucapkan ibunya menje-lang mati, seolah ada sangkut pautnya
dengan tindakan ayahnya 'membebaskan' Siang Ngo-nio kali ini.
"Aaaai, mengapa aku punya pikiran begitu? Tentu saja demi
kepentingan umum ayah baru membebaskan perempuan siluman
itu, kenapa pikiranku jadi melan-tur!"
Sementara dia masih murung bercampur bimbang, mendadak
terdengar ada orang sedang memanggil namanya.
"Bouw-susiok, Bouw-susiok!" tahu-tahu orang itu sudah muncul
dihadapannya.
Dia adalah seorang pemuda kurus ceking yang berwajah bersih,
sepasang mata yang hitam jeli sangat menarik perhatiannya.
Dia seakan merasa kalau pemuda itu pernah dijumpai di suatu
tempat, namun untuk sesaat tidak teringat siapakah dia. Maklum,
anggota perguruan seusia pemuda ini memang ratusan orang
jumlahnya di gunung Bu-tong.
"Kau murid dari Suheng yang mana?" sapa Bouw It-yu.
"Aku pun tidak tahu apakah memanggil susiok kepadamu


kelewatan atau tidak, aku hanya seorang murid tidak resmi dari Puthui
Suthay.”
"Gurumu adalah Put-hui Suthay?" tanya Bouw It-yu melengak.
Tiba tiba pemuda itu tertawa cekikikan, serunya, “Benar, aku
bernama Lan Sui-leng, encinya Lan Giok-keng.”
Seketika Bouw It-yu teringat kembali dengan gadis itu, katanya
kemudian, "Tidak heran kalau terasa sangat dikenal, ternyata kau
adalah nona Lan!"
Lan Sui-leng memang polos dan nakal, dia merasa sangat girang
melihat susiok kecilnya tidak bisa membedakan kalau dia adalah
gadis yang menyamar jadi lelaki, ujarnya lagi, "Untuk menghindari
ketidak leluasan sewaktu berkelana seorang diri di dunia persilatan,
maka aku sengaja menyaru sebagai seorang pria. Bouw-susiok,
menurutmu mirip tidak penyamaranku ini?"
"Mirip, mirip sekali,” tak tahan Bouw It-yu ikut tertawa geli,
"kalau semisal suaramu sedikit lebih kasar, mungkin penyaruanmu
jauh lebih sempurna.”
"Terima kasih atas petunjuk susiok!" seru Lan Sui-leng, kemudian
ujarnya lagi dengan suara parau, "Bouw-susiok, tahukah kau
mengapa aku harus menyaru sebagai seorang pria dan turun
gunung?"
Sebetulnya Bouw It-yu sudah dapat menduga beberapa bagian,
tapi sengaja tanyanya, "Aku justru ingin bertanya kepadamu.”
"Aku turun gunung karena hendak mencari adikku, entah apa
sebabnya tiba-tiba adikku pergi meninggalkan rumah, aku jadi
sangat kuatir. Bouw-susiok, tahukah kau....”
"Aku tahu tentang kepergian adikmu itu, hanya saja tidak
mengetahui apa sebabnya.”
Berhubung pemuda itu adalah putra Ciangbunjin baru, Lan Suileng
boleh dibilang menaruh kepercayaan penuh kepadanya,
karenanya meski ada kecurigaan dan keraguan, dia tidak berani


mengungkapnya keluar.
Diam diam pikirnya, "Heran, bukankah Bu-siang Cinjin telah
menyerahkan kedudukan Ciangbunjin kepada ayahnya, masa diapun
tidak tahu penyebab kepergian adikku? Rasanya kalau ingin tahu
kejadian yang sebenarnya, aku harus bertemu dulu dengan adikku.”
Sesudah berpikir sejenak, kembali tanyanya, "Bouw-susiok,
kenalanmu pasti banyak, apakah kau berhasil mendapat kabar
tentang dirinya?"
"Terus terang, aku sendiripun sedang menjalankan perintah
ayahku untuk melacak jejak adikmu, tapi hingga kini masih belum
berhasil menemukan kabar beritanya.”
Karena telah berbohong, dalam hati kecilnya segera muncul
perasaan menyesal, tapi pikiran lain segera melintas, bagaimana
pun kaum wanita tidak boleh memasuki kuil Siau-lim, daripada gadis
itu mencari masalah, bukankah lebih baik dipaksa pulang dulu ke
gunung.
Berpikir begitu, diapun kembali berkata, “Nona Lan, biarpun
hingga sekarang belum ada kabar berita tentang adikmu, tapi
kaupun tidak usah kuatir. Dalam dunia persilatan dia tidak punya
musuh, lagipula dasar kungfunya sudah terhitung bagus, aku yakin
dia tidak akan menjumpai mara bahaya. Kini sudah ada Bu-si tianglo
dan aku yang pergi mencarinya, kurang leluasa bila kau berkelana
seorang diri dalam dunia persilatan, menurutku, lebih baik baliklah
dulu ke gunung sambil menunggu kabar berita kami.”
"Siapa bilang tidak ada? Dia punya musuh besar. Pada hari kedua
setelah dia turun gunung, rumah kami kedatangan seorang
perempuan siluman yang bernama Siang Ngo-nio, perempuan itu
sedang mencari jejaknya pula.”
"Darimana kau bisa tahu kalau perempuan siluman itu bernama
Siang Ngo-nio?"
"Suhuku yang bilang, malah beliau sempat bertarung melawan
perempuan siluman itu.”


Agar bisa memaksa gadis itu pulang ke gunung, Bouw It-yu pun
berpikir, "Ada baiknya aku beritahu kejadian yang sebenarnya, biar
hatinya lebih tenteram.”
Maka ujarnya, "Kau tidak usah kuatir, Siang Ngo-nio sudah tidak
bakal mencari adikmu lagi.”
“Kenapa?"
"Dia adalah istri simpanan Tong Ji-sianseng, kau tahu bukan
siapakah Tong Ji-sianseng itu? Dia adalah jago senjata rahasia yang
paling lihay di seantero jagad, ketika mengetahui Siang Ngo-nio
melakukan keonaran di gunung Bu-tong, dalam gusarnya dia telah
menghajar nya hingga mati.”
"Aku pernah mendengar Suhu bercerita tentang Tong ji-sianseng,
apa yang dimaksud istri simpanan?" Bouw It-yu tertawa lebar.
"Kau tidak perlu tahu apa arti istri simpanan, pokoknya Siang
Ngo-nio sudah mati,” katanya.
"Aaah, kalau benar demikian, aku pun merasa sangat lega!" seru
Lan Sui-leng kegirangan.
"Tentu saja benar, Bu-si tianglo menyaksikan dengan mata
kepala sendiri.”
"Bukannya aku tidak percaya, tapi akupun berharap bisa
menemukan adikku.”
"Kami pasti dapat mencarinya kembali, lebih baik kau pulanglah
lebih dulu.”
Diam-diam Lan Sui-leng berpikir, "Ayah angkat adik Keng
menaruh niat jahat terhadapnya, Suhu pernah berpesan agar tidak
semba-rangan menyinggung masalah ini. Aku lihat meski Bouwsusiok
baik orangnya, mungkin akupun tidak boleh memberitahukan
hal ini kepadanya.”
Menyaksikan gadis itu termangu-mangu, apalagi melihat
wajahnya yang lucu dan menggemaskan, tidak tahan Bouw It-yu
berkata lagi sambil tertawa, "Hey, apa lagi yang kau pikirkan dalam


otak kecilmu itu?"
"Tidak apa apa. Aku hanya berpikir, dengan susah payah
akhirnya bisa keluar rumah, paling tidak aku harus bermain satudua
hari dulu sebelum pulang.”
"Baiklah, kelihatannya aku susah membujuki orang binal macam
kau, bermainlah barang satu dua hari lagi, tapi jangan sampai lupa
pulang ke gunung.”
"Bouw-susiok, aku lihat kau mirip sekali dengan adikku,” seru Lan
Sui-leng sambil tertawa.
"Mirip adikmu?" tanya Bouw It-yu tercengang.
"Tahukah kau, biarpun dia adalah adikku, tapi jauh lebih cerdas
dan sering mengurusi aku.”
Bouw It-yu tidak kuasa menahan rasa gelinya, dia tertawa
terbahak-bahak.
"Hahahaha.... bukannya aku ingin mengurusi dirimu, takutnya
orang tuamu jadi kuatir. Aku mengerti, yang kau sebut dua hari
pasti bohong, tapi aku tidak berharap kau kelayapan di luar melebihi
dua puluh hari.”
"Sudah tahu susiok cilik!" seru Lan Sui-leng, mendadak tanyanya
lagi, "susiok cilik, kau sendiri hendak ke mana?"
Tentu saja Bouw It-yu tidak dapat memberitahukan tujuannya ke
kuil Siau-lim-si, cepat katanya, "Aku hendak melaksanakan sebuah
tugas penting, maaf kalau tidak bisa membawa serta dirimu.”
"Aku tidak pernah mengatakan akan ikut denganmu, hanya ingin
tahu saja, mungkin kalau kita searah.”
"Aku hendak menuju ke utara, kebetulan bertolak belakang
dengan arah menuju gunung Bu-tong.”
Tiba tiba terdengar seseorang berkata dingin, "Sungguh tidak
nyana putra seorang Ciangbunjin Bu-tong-pay berani membohongi
seorang boanpwee, tidak tahu malu!"


Bersama dengan selesainya perkataan itu, seseorang telah
muncul dihadapan mereka, dia bukan lain adalah Tonghong Liang
yang pernah naik bukit Bu-tong untuk menantang berduel.
Sambil tertawa dingin Bouw It-yu segera berkata, "Lebih baik kau
tidak usah mencampuri urusan partai Bu-tong kami. Tentu kau tahu
dengan jelas bukan bahwa keberhasilanmu pergi meninggalkan
bukit Bu-tong dengan selamat bukan lantaran mengandalkan
kemampuanmu! Bukannya kami mengharapkan rasa terima
kasihmu, harapannya adalah jangan kau recoki terus murid-murid
perguruan kami!"
Di balik perkataan tersisip perkataan lain, dengan gamblang dia
menunjukkan kalau diapun tahu bila Tonghong Liang telah
'merecoki' Lan Giok-keng.
Tonghong Liang segera tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... maaf sekali, kebetulan aku termasuk orang yang
tidak tahu diri. Aku paling tidak tahan menyaksikan ada orang
berani membohongi seorang nona yang masih polos, lagipula yang
mengalahkan aku di gunung Bu-tong waktu itupun bukan dirimu!"
Dari malu Bouw It-yu jadi naik pitam, bentaknya, "Baiklah, kalau
begitu aku harus menjajal sehebat apa kepandaian silatmu!"
"Sangat kebetulan! Tapi bagaimana kalau kau kalah?" ejek
Tonghong Liang sambil tertawa.
"Kita bicara lagi setelah kalah nanti!" bentak Bouw It-yu semakin
gusar.
"Hahahaha.... lebih baik ditetapkan sekarang saja. Aku hanya
berharap kau bicara sejujurnya dengan nona cilik ini!"
"Ngaco belo, nona Lan, kau jangan termakan hasutannya!"
bentak Bouw It-yu cepat.
"Hahahaha.... ketahuan bohongnya!"
"Tentu saja aku tidak akan mempercayainya!" seru Lan Sui-leng
tiba-tiba, "Bouw-susiok, lebih baik cepat usir orang ini! Jangan


biarkan dia bicara sembarangan lagi disini!"
"Sudah dengar belum perkataannya!" hardik Bouw It-yu, "jangan
banyak bicara lagi, ayoh menyerang!"
Dalam pada itu dia sudah meloloskan pedangnya.
Tonghong Liang sama sekali tidak mencabut pedangnya, sambil
mengayunkan sarung pedang di hadapan Bouw It-yu, katanya,
"Tidak kusangka kau begitu bandel dan mau menang sendiri,
hmmm, setelah menderita kekalahan nanti, jangan salahkan kalau
aku bakal menuntut lebih banyak.”
"Kurangajar, kau kelewat menghina aku!" seru Bouw It-yu sangat
gusar, "terserah apa pun yang akan kau perbuat, aku tetap akan
melayaninya!"
Karena sadar kalau lawannya sangat lihay, begitu turun tangan
dia langsung menggunakan jurus jurus pamungkas dari ilmu pedang
Lian-huan-toh-mia-kiam-hoat.
Tonghong Liang sama sekali tidak menarik tangannya walaupun
menyaksikan mata pedang lawan menusuk ke arah pergelangan
tangan kanannya, sarung pedangnya dibabat ke bawah
menciptakan bunga pedang, langsung menusuk kaki musuh.
Jangan dilihat pedangnya masih dalam sarung, seandainya
sampai tertusuk, niscaya kaki itu bakal cacat seumur hidup dan
menjadi pincang.
Sebetulnya ilmu pedang Lian-huan-toh-beng-kiam-hoat
mengandalkan gerakan cepat, tidak disangka jurus serangan yang
digunakan Tonghong Liang jauh lebih cepat, biarpun menyerang
belakangan ternyata ancamannya tiba duluan.
Pertarungan antara dua jago tangguh, selisihnya terkadang
memang amat minim. Serangan Tonghong Liang ini merupakan
ancaman serius yang memaksa musuh harus menyelamatkan diri,
terpaksa Bouw It-yu menarik kakinya, permainan pedangnya pun
tiba-tiba berubah, dengan membentuk lingkaran busur dia berbalik
menggulung kaki lawan. Dari ilmu pedang Lian-huan-toh-beng-kiam,


kini dia menyerang dengan jurus Thay-kek-kiam-hoat.
Kalau ilmu pedang Lian-huan-toh-beng-kiam-hoat mengandalkan
kecepatan maka ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat justru
mengandalkan ketenangan untuk mengatasi gerak, dengan lembut
mengatasi keras, teori serta sifatnya sama sekali bertolak belakang.
Perubahan yang dilakukan secara mendadak ini ibarat seekor
kuda yang sedang berlarian kencang tiba-tiba saja memperlambat
gerak langkahnya, dapat dibayangkan tingkat kesulitan yang
dihadapi.
Dengan mata terbelalak lantaran kagum Lan Sui-leng berseru,
"Hebat, hebat, sungguh luar biasa, inilah yang benar-benar disebut
perubahan tidak terduga!"
Belum habis ingatan itu melintas lewat, tampak Tonghong Liang
nyaris menyatu dengan pedangnya, bagai sebuah bianglala tahutahu
sudah menerobos masuk ke balik lingkaran. Bukan saja gerak
jurusnya sangat berbahaya, kegarangannya tidak terkirakan.
Bila kedua belah pihak sama-sama tidak merubah gerakan
serangannya, bagi Tonghong Liang paling-paling lengan kanannya
akan menderita luka, tapi jurus serangan Pek-hong-koan-jit
(Bianglala putih menembus matahari) yang dia lancarkan segera
akan menembusi tenggorokan Bouw It-yu.
Tidak terkirakan rasa kaget Lan Sui-leng menyaksi kan kejadian
ini, sakit ngerinya dia sampai tidak mampu berkata-kata.
"Tiap-cui-hu-kim (Tumpukan lembayung hijau mengapung)!"
tiba-tiba terdengar Tonghong Liang membentak nyaring.
Sambil memutar tubuh dan melangkah melingkar, mata pedang
Bouw It-yu berkelebat miring ke samping, ujung senjatanya
bergetar keras menciptakan berkuntum kuntum bunga pedang,
seketika cahaya hijau menyelimuti angkasa. Benar saja, dia
menggunakan jurus Tiap-cui-hu-kim (Tumpukan lembayung hijau
mengapung).
Padahal Bouw It-yu memang berniat menggunakan jurus


serangan ini, sebab hanya jurus itu yang bisa memunahkan
ancaman serangan musuh yang dahsyat.
Tapi sebelum dilakukan ternyata Tonghong Liang telah berteriak
duluan, bagi orang awam kejadian ini malah memberi kesan seakan
dia sedang mendapat petunjuk.
Selain terperanjat Bouw It-yu merasa mendongkol sekali. Dia
terperanjat karena tidak menyangka kalau pihak lawan begitu
menguasai ilmu pedangnya, mendongkol karena sikap lawan
memberi kesan seolah seorang guru sedang memberi petunjuk
kepada muridnya. Sudah jelas pihak lawan menggunakan akal licik
itu untuk membuatnya jengkel, apa daya biar punya mulutpun saat
ini dia tidak sanggup berkata apa-apa.
Sementara itu Tonghong Liang kembali melancarkan serangkaian
serangan sambil berseru berulang kali, "Hian-nio-hua-sah (Burung
hitam mengayuh pasir), Kua-hau-teng-san (Menunggang harimau
mendaki bukit), So-chin-pi-kiam (So Chin memikul pedang)....”
Hampir setiap gerak serangan yang akan digunakan Bouw It-yu
telah dia teriakkan terlebih dulu.
"Aku sengaja tidak mau ikuti teriakanmu!" pikir Bouw It-yu
dengan perasaan jengkel.
Serangan yang seharusnya menggunakan jurus So-chin-pi-kiam
tiba-tiba saja dirubah menjadi jurus Thio-siong-sian-toh (Thio Siong
mempersembahkan peta), kalau jurus yang pertama harus
membalikkan pedangnya maka jurus yang kedua justru merupakan
serangan lurus, biarpun hampir mirip gerakannya, berbeda sekali
manfaat serta kegunaannya.
"Breeet....!" tidak sampai Tonghong Liang meloloskan
pedangnya, ujung baju Bouw It-yu tahu-tahu sudah tersayat
sebagian.
"Nah itu dia akibat kalau tidak menurut!" bentaknya, "mencari
penyakit buat diri sendiri!"
Bouw It-yu mendengus.


"Hmm, katak dalam tempurung tapi lagaknya sok luar biasa,
akan kusuruh kau rasakan kelihayan ilmu silat Bu-tong-pay kami!"
serunya.
Tanpa memperdulikan lagi teriakan Tonghong Liang yang
menyebutkan nama jurus serangannya, dalam waktu singkat dia
telah melancarkan tujuh lingkaran cahaya.
Inilah jurus serangan hasil ciptaan Bouw Ciong-long, ayahnya,
yang disebut Ciong-biau-ci-bun (Pintu dari semua kecerdasan). Dia
telah menyatukan teori pedang yang diwariskan Thio Sam-hong
dengan semua inti kehebatan Tay-kek-kiam ke dalam jurus tersebut.
Ke tujuh lingkaran cahaya itu ada yang besar ada yang kecil, ada
yang mulus ada pula yang melengkung, dibalik lingkaran terdapat
lingkaran lain, perubahannya tidak terhingga.
"Wah, ternyata kemampuan yang dimiliki putra Bouw Ciong-long
hebat juga!" seru Tonghong Liang memuji.
Lan Sui-leng ikut gembira menyaksikan kejadian itu, sambil
bertepuk tangan dan tertawa serunya, "Sekarang sudah tahu
lihaynya bukan, hmm, mau kulihat obrolan apa lagi yang hendak
kau sampaikan?"
Biarpun sedang bertarung sengit, Tonghong Liang sama sekali
tidak kelewatan setiap ucapan Lan Sui-leng, jawabnya sambil
tersenyum, "Hmm, tidak seberapa hebat!"
Tiba-tiba permainan pedangnya kembali berubah, sama seperti
musuhnya, dia pun menciptakan enam buah lingkaran. Hanya
bedanya serangan yang dia gunakan merupakan kebalikan sehingga
lingkaran pedang yang muncul pun bergerak terbalik, otomatis
kekuatannya pun bergerak ke arah yang berlawanan.
Sebetulnya ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat yang dipelajari Lan
Sui-leng baru permulaan, pengetahuannya soal ilmu pedang ini
masih sangat minim, biar begitu dia dapat melihat dengan jelas
kalau jurus pedang yang digunakan kedua orang itu mesti satu
dengan yang lain berbalik, namun semuanya tidak terlepas dari arti


pedang yang termakna dalam Thay-kek-kiam-hoat.
Malah secara lamat-lamat diapun dapat merasakan: meski satu
berputar searah jarum jam dan yang lain kebalikannya, namun
masing-masing memiliki kehebatan sendiri-sendiri. Hanya saja kalau
ditanya dimana letak kehebatannya, dia tidak mampu menjawabnya
dengan pasti.
Satu perasaan aneh segera terlintas dalam benaknya, pikirnya,
"Aneh, kenapa jurus yang mereka gunakan begitu mirip, ibarat dua
saudara kembar saja? Lelaki yang bernama Tonghong Liang ini
benar benar-amat cerdas, tampaknya dia bukan sekedar menirukan
gerakan lawan dengan begitu saja, begitu Bouw-susiok
mengeluarkan jurusnya, dengan cepat dia sudah dapat meraba
makna pedang yang terkandung.”
Belum selesai ingatan tersebut melintas, menang kalah sudah
ketahuan hasilnya.
Sebetulnya kedua sistim ilmu pedang itu masing-masing memiliki
keistimewaan sendiri, namun mimpi pun Bouw It-yu tidak
menyangka kalau pihak lawan pun pandai menggunakan jurus
tersebut, dalam posisi tenaga dalamnya yang masih kalah jauh dari
Tonghong Liang, hatinya jadi terkesiap.
"Traaang....!" tahu-tahu pedangnya sudah terlepas dari
genggamannya.
Terdengar Tonghong Liang tertawa terbahak-bahak,
"Hahahaha.... sebetulnya jurus ciptaan ayahmu terhitung hebat
juga, sayang kemampuan dan kcma-tanganmu masih jauh
ketinggalan bila dibandingkan ayahmu!"
Menurut peraturan yang berlaku, senjata yang terlepas dari
genggaman sudah dianggap sebagai pihak yang asor. Siapa tahu
tiba-tiba Bouw It-yu melambung ke udara, sebelum pedangnya
terjatuh ke tanah dia telah menyambarnya kembali, kemudian baru
tubuhnya melayang turun ke bawah.
"Aaaah!" jerit Lan Sui-leng kaget, dia seolah baru tersadar


kembali dari lamunannya.
Ternyata jurus serangan yang digunakan Bouw It-yu tidak lain
adalah Pek-hok-liang-ci. Ketika bertarung melawan adiknya di
gunung Bu-tong tempo hari, selagi menggunakan jurus Pek-hokliang-
ci inilah nyaris adiknya terluka ditangannya.
Tapi sekarang, ketika jurus itu digunakan Bouw It-yu ternyata
menghasilkan daya serangan yang luar biasa, tidak tahan didalam
hatinya berpekik, "Oooh, ternyata beginilah cara menggunakan
jurus Pek-hok-liang-ci!"
Gerakan yang dilakukan kedua belah pihak amat cepat,
sementara nona itu masih memuji akan kehebatan jurus Pek-hokliang-
ci yang digunakan Bouw It-yu, Tonghong Liang telah
melancarkan serangan balasan, jurus yang digunakan pemuda itu
seketika membuatnya terbelalak dan tidak mampu berbicara.
Ternyata jurus serangan yang digunakan Tonghong Liang pun
jurus Pek-hok-liang-ci! Bahkan gaya dan gerakannya mirip sekali
dengan gerakan yang digunakan adiknya waktu itu.
"Traaanngg....!" diiringi dentingan nyaring, terlihat percikan
bunga api berhamburan kemana-mana.
Kali ini, pedang milik Bouw It-yu berhasil dipatahkan oleh senjata
Tonghong Liang yang belum sampai diloloskan dari sarungnya. Dan
Lan Sui-leng segera dapat merasakan kalau jurus itu agaknya telah
dilakukan sedikit perubahan oleh Tonghong Liang.
Sayang waktu berlangsung amat singkat, belum lagi dia dapat
memastikan apa yang diduga, tiba-tiba dari balik kegelapan malam
terlihat cahaya kilat berkelebat lewat, belum sempat melihat dengan
pasti benda apakah itu, tahu-tahu bayangan yang buram itu sudah
lenyap dari depan mata.
Perubahan itu muncul sangat mendadak dan perubahan yang
terjadi di depan mata tidak memberi kesempatan baginya untuk
kesemsem oleh kehebatan ilmu pedang. Pada hakekatnya tiada
peluang lagi baginya untuk mengasah diri.


Bagaikan sebuah layang-layang yang putus benang tubuh Bouw
It-yu terpental sejauh beberapa kaki lebih. Meskipun tidak sampai
menjadi bule-bule yang menggelinding di tanah namun sewaktu
ujung kakinya menyentuh tanah, dia sudah tidak sanggup
mengendalikan tubuhnya lagi yang gontai dan sempoyongan persis
seperti api lilin yang dipermainkan angin.
"Kau pasti bisa membayangkan bukan apa akibatnya bila aku
tidak menahan diri dalam permainan jurus ini,” ujar Tonghong Liang
dingin, "hmm! Mengapa belum juga kau bicara jujur dengan nona
cilik itu?"
"Bagi seorang lelaki sejati lebih baik mati daripada dihina,” kata
Bouw It-yu dengan suara parau, "lebih baik bunuhlah aku!"
Tonghong Liang tertawa dingin.
"Seorang lelaki sejati? Hmm, seorang lelaki sejati pun berbohong
terhadap nona cilik?" ejeknya.
"Kau tidak usah memaksa susiokku, aku tidak bakal percaya
dengan omongan setanmu!" jerit Lan Sui-leng.
"Nona cilik, kelewat dini kau mengucapkan perkataan semacam
itu. Masalahnya saja belum jelas, dari mana bisa kau pastikan kalau
ucapanku bohong semua? Tapi aku pun tidak akan memaksamu
sekarang, mau percaya boleh, tidak percaya pun terserah.”
Bicara sampai disitu diapun berpaling kembali, katanya lebih
lanjut setelah mendengus, "Seorang lelaki sejati tahu membedakan
mana budi mana dendam, akupun tidak akan menyangkal akan
semua kenyataan. Benar, disaat aku berada di gunung Bu-tong
tempo hari, ayahmu telah memberi kesempatan hidup kepadaku.
Mengingat budi ayahmu itu, tentu saja akupun harus membiarkan
kau pergi dengan selamat.”
Hijau membesi paras muka Bouw It-yu, tiba-tiba dia
memuntahkan darah segar.
Dengan perasaan terkejut buru-buru Lan Sui-leng berlari
mendekat, tanyanya cemas, "Susiok, kenapa kau?"


Bouw It-yu sama sekali tidak ambil perduli, dia membalikkan
tubuh dan beranjak pergi dari situ.
Kini tinggal Lan Sui-leng seorang masih berdiri termangu dengan
perasaan rikuh, serba salah dan bimbang.
"Nona Lan,” ujar Tonghong Liang kemudian, "kau mau percaya
boleh, tidak mau percaya pun tidak mengapa, sebenarnya aku
adalah sahabat karib adikmu. Bila ingin mengetahui kabar berita
tentang adikmu, mari kita melakukan perjalanan bersama.”
"Cisss, tidak tahu malu!" umpat Lan Sui-leng, "yang kuketahui
kau adalah telur busuk, apapun yang kau ucapkan tidak bakalan
kupercaya. Siapa sudi melakukan perjalanan bersama telur busuk
macam kau?"
Kemudian teriaknya keras keras, "Bouw-susiok, tunggu aku!"
Sayang Bouw It-yu sudah pergi jauh.
Tonghong Liang tertawa terbahak-bahak, katanya, "Perkataanmu
ada benarnya juga, aku memang telur busuk, tapi Bouw-susiok mu
itu jauh lebih busuk ketimbang aku! Hahahaha....”
Bicara sampai disini mendadak dia meninggikan nada suaranya
seraya membentak, "Bouw It-yu, dengarkan baik-baik! Aku jamin
kau bisa pulang dengan selamat, tapi hanya mengijinkan kau
kembali ke gunung Bu-tong dan melarang mu menuju kuil Siau-limsi!
Bila kau tidak menuruti perkataanku, hmm, kalau sampai
bertemu lagi di kemudian hari, jangan salahkan kalau aku tidak
menjamin keselamatan-mu!"
Tiada jawaban dari kejauhan, entah Bouw It-yu sempat
mendengar teriakan itu atau tidak?
Tapi Lan Sui-leng dapat mendengar semua teriak-an itu dengan
jelas, pikirnya, "Aneh, mengapa dia menyinggung soal kuil Siau-limsi?"
"Nona Lan,” kembali Tonghong Liang berkata, "perkataanku
sudah kusampaikan dengan jelas, harap kau pikirkan sekali lagi....”


"Tidak usah dipikirkan lagi, cepat menggelinding dari harapanku!"
Kembali Tonghong Liang menghela napas panjang.
"Aaaai, baik-baik diberi petunjuk, kau malah tidak percaya. Yaa
sudahlah, kalau enggan mengikuti aku, biar aku pergi sendiri.”
"Cepatlah pergi mampus!"
Setelah mengumpat Tonghong Liang, timbul perasaan takut di
hati kecilnya, dia kuatir Tonghong Liang secara tiba-tiba
menangkapnya, maka tergopoh-gopoh kabur meninggalkan tempat
itu.
Biarpun di mulut dia berkata "tidak akan memikirkannya" namun
dalam hati kecilnya nona itu tetap memikirkan apa yang barusan
didengar.
"Mengapa dia menyinggung soal kuil Siau-lim-si? Jangan-jangan
adikku memang berada di Siau-lim-si? Tapi mau apa adik pergi ke
sana? Dia adalah cucu murid kesayangan Ciangbunjin, seharusnya
dia lebih memahami urusan perguruan ketimbang aku, kenapa
malah tidak memikirkan soal pantangan dan tabu?"
Berpikir sampai disitu diam-diam dia mengumpat kebodohan
sendiri, pikirnya lebih jauh, "Ahh, dasar budak busuk, kau tolol
amat. Sudah jelas tahu kalau perkataan itu merupakan omongan
setan Tonghong Liang, buat apa kau harus peras otak untuk
memikirkannya?"
Dia berlarian tanpa tujuan, lari dengan pikiran bingung, namun
tanpa disadari arah yang dituju sama dengan arah yang diambil
Bouw It-yu, bagaimana pun dia tetap menguatirkan keselamatan
susiok kecilnya ini.
Sekalipun dia tahu kalau kepandaian silat yang dimiliki Bouw Ityu
jauh lebih tinggi dari kemampuannya, diapun tidak terlalu
berharap dapat menyusul Siau-susioknya. Namun berhubung
pikirannya terbebani banyak masalah hingga tanpa terasa diapun
berjalan menuju ke arah yang sama.


Tidak disangka setelah berlarian beberapa saat, dia menjumpai
Bouw It-yu berada persis di depannya.
Begitu melihat Bouw It-yu berjalan sempoyongan seolah
menderita luka parah, buru-buru Lan Sui-leng berlari
menghampirinya dan menegur dengan perasaan terkejut, "Siaususiok,
kenapa kau?"
"Tidak apa apa, mau apa balik kemari?"
"Siau-susiok!" seru Lan Sui-leng cemberut, "pertanyaanmu lucu
sekali, kalau bukan balik bersamamu, memangnya harus pergi
bersama orang itu? Siau-susiok, kau tidak berbohong bukan, kau
benar-benar tidak terluka?"
Bouw It-yu tertawa paksa.
"Orang itu menuduhku tukang bohong, apakah kau anggap aku
benar-benar suka berbohong?"
"Siau-susiok, aku sama sekali tidak bermaksud begitu!" buru-buru
Lan Sui-leng berseru.
"Akupun tahu kalau kau tidak bermaksud begitu. Berarti kau
seharusnya percaya juga bahwa aku sama sekali tidak terluka,
hanya saja.... hanya saja....”
"Hanya saja kenapa?" kembali Lan Sui-leng merasa panik.
"Tampaknya dia menggunakan semacam ilmu sesat, gara-gara
kurang berhati-hati sekarang aku kena dipecundangi. Luka mah
tidak, hanya untuk sementara waktu aku tidak dapat menggunakan
ilmu meringankan tubuhku.”
"Hah? Masa ada kepandaian sesat seaneh itu?"
"Tidak ada gunanya kujelaskan tentang kehebatan ilmu silat
tersebut karena kau tidak bakal mengerti. Tapi kaupun tidak perlu
kuatir, setelah beberapa saat kemudian kemampuanku akan- pulih
kembali seperti sediakala.”
Ternyata pada bentrokan yang terakhir tadi, tiga buah jalan


darahnya berhasil ditusuk Tonghong Liang.
Penggunaan tenaga dalam yang dilakukan Tonghong Liang
ternyata sangat pas, bukan saja dia tidak menyumbat jalan darah
lawan, namun cukup membuat jalan darah lawannya menjadi kaku
dan kesemutan, hal ini berakibat selama tiga hari dia tidak mampu
lagi mengerahkan tenaga dalamnya.
Karena tenaga dalam tidak dapat digunakan, dengan sendirinya
ilmu meringankan tubuh pun tidak dapat digunakan.
Lan Sui-leng merasa amat tidak tenang, pikirnya, "Kelihatannya
dia agak kesulitan untuk berjalan, dalam keadaan begini perlu ada
seseorang untuk merawat dirinya.”
Berpikir begitu, diapun berkata, "Siau-susiok, kesemuanya ini
gara-gara aku....”
"Tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu, kau pergilah.”
"Aku tidak ingin pergi ke mana-mana, Siau-susiok, mari kuhantar
kau pulang gunung.”
"Bukankah kau hendak mencari adikmu, dan orang itupun sudah
memberitahukan kepadamu, kenapa kau tidak menanggapi?"
"Orang itu adalah musuh besar perguruan kita, kenapa aku harus
percaya dengan perkataannya? Lagipula dia pun tidak
memberitahukan apa-apa kepadaku, dia hanya mengajakku untuk
pergi bersama. Huuh, aku toh bukan bocah berusia tiga tahun,
memangnya aku mau ditipu dengan begitu saja?"
"Bukankah di dalam ucapannya secara diam-diam dia sudah
memberitahu kalau adikmu berada di kuil Siau-lim-si? Kau tidak
ingin pergi sendiri ke Siau-lim-si untuk melakukan pelacakan?"
"Tidak mungkin, pasti tidak mungkin!"
"Kenapa?"
"Suhu pernah bercerita, Sucouw perguruan kita Thio Sam-hong
dulunya pernah menjadi kacung kecil di kuil Siau-lim-si, kemudian


dia meninggalkan kuil dan mendirikan partai sendiri. Dalam kuil
Siau-lim-si terdapat sekelompok hwesio yang cupat pikirannya dan
berjiwa sempit, selama ini mereka menganggap Couwsu sebagai
murid murtad yang berhianat. Sekalipun mereka tidak berani
menuntut Bu-tong-pay secara terang terangan, namun semenjak
Thio Cinjin mendirikan perguruan hingga kini, antara murid Siau-lim
dengan murid Bu-tong selalu terjangkit ganjalan besar. Anak murid
Siau-lim-pay tidak pernah menginjakkan kakinya di bukit Bu-tong,
tentu saja murid Bu-tong pun tidak bakalan menginjakkan kakinya
di kuil Siau-lim-si.”
"Sebetulnya masalah tersebut hanya timbul dari ganjalan yang
kemudian berubah jadi semacam tradisi, padahal kedua belah pihak
belum pernah membuat peraturan yang melarang anggota masingmasing
perguruan saling berkunjung atau menyambangi, menurut
apa yang kuketaui, Ciangbunjin generasi ke tiga perguruan kita
pernah berkunjung satu kali ke kuil Siau-lim-si, tentu saja kejadian
ini sudah berlangsung pada seratusan tahun berselang.”
Ciangbunjin generasi ke tiga dari Bu-tong-pay tidak lain adalah
leluhurnya yang bernama Bouw Tok-it, satu-satunya Ciangbunjin
yang berasal dari murid preman.
Lan Sui-leng segera berkata, "Adikku tidak lebih hanya seorang
murid tidak ternama dari Bu-tong-pay, mana mungkin bisa
dibandingkan peran seorang Ciangbunjin. Apalagi mau apa dia
datang ke kuil Siau-lim?"
"Oleh karena itu kau tidak percaya dengan perkataan Tonghong
Liang?"
"Tentu saja tidak percaya!"
Seakan memikirkan sesuatu, beberapa saat kemudian Bouw It-yu
baru berkata lagi, "Tapi siapa tahu apa yang dia katakan memang
benar!"
Lan Sui-leng membelalakkan matanya lebar-lebar, diawasinya
Bouw It-yu dengan wajah tercengang dan bingung.


Buru-buru Bouw It-yu berkata lagi, "Bukannya aku sudah
mengetahui sesuatu, aku hanya berpikir, Tonghong Liang toh sudah
tahu kalau antara Bu-tong-pay dan Siau-lim-pay terdapat ganjalan
hati, kalau memang dia sedang berbohong, mengapa bukan tempat
lain yang dipilih sebaliknya justru menunjuk kuil Siau-lim-si? Banyak
kejadian di dunia ini seringkali berkembang menuju ke arah yang
diluar nalar, oleh sebab itu meski pada mulanya aku kurang
percaya, tapi sekarang perasaan hatiku jadi bimbang dan mulai
curiga.”
"Sekalipun adikku benar-benar sedang berada di kuil Siau-lim-si,
tidak nanti aku akan ke situ.”
“Kenapa?"
"Pertama aku takut termakan rencana busuk Tonghong Liang,
kedua dalam kuil Siau-lim-si penghuni nya rata-rata hwesio semua,
aku dengar peraturan yang berlaku di sana amat ketat, mereka
tidak akan mengijinkan seorang wanita memasuki kuil.”
"Betul, dalam kuil Siau-lim memang berlaku peraturan tersebut.”
"Dan ketiga, aku pikir, meskipun antara Bu-tong dan Siau-lim
terganjal masalah, aku percaya kawanan hwesio itu tidak nanti akan
mencelakai adikku, jadi akupun tidak perlu kuatir lagi.”
Biarpun gadis ini polos dan tidak banyak tahu urusan dunia,
namun ke tiga alasan yang dikemukan sangat cengli dan masuk
akal.
"Siau-susiok,” kembali Lan Sui-leng berkata, "akupun tidak ingin
bermain ke tempat lain lagi, mari kutemani pulang ke gunung.”
"Kau takut aku tidak mampu melanjutkan perjalanan hingga
memutuskan untuk tetap tinggal merawat-ku?" tanya Bouw It-yu
sambil tertawa.
Merah jengah selembar wajah Lan Sui-leng.
"Biarpun aku tidak punya kemampuan untuk merawatmu, paling
tidak toh lebih baik bila ada seseorang menemanimu sepanjang


jalan,” katanya.
Padahal sejak awal dia memang berniat begitu.
Dia merasa kekalahan yang dialami Bouw It-yu kali ini semuanya
gara-gara ulah dirinya, sekalipun Bouw It-yu mengatakan tidak
terluka, namun bukankah dalam dua tiga hari mendatang tenaga
dalamnya belum dapat pulih kembali?
Itulah sebabnya dia merasa mempunyai kewajiban untuk
'merawat' paman guru kecilnya ini.
Apalagi "kekalahan yang-diderita Siau-susiok kali ini pasti akan
mendatangkan rasa duka yang mendalam, bila menemaninya
sepanjang perjalananm, bukankah aku bisa menghibur hatinya?"
Bouw It-yu merasa sangat senang, sambil tersenyum kemudian
katanya, "Nona Lan, ternyata kau memang sangat baik, betapa
bahagia hatiku bila mempunyai seorang adik macam kau.”
"Akupun berharap mempunyai seorang kakak,” sela Lan Sui-leng
sambil tertawa pula, "tapi kalau sampai begitu, kaulah yang berada
dipihak yang dirugikan, dari dulunya seorang paman guru berubah
jadi sederajat dengan aku.”
"Padahal usiaku hanya beberapa tahun lebih tua darimu,
bukankah selama ini kaupun memanggilku Siau-susiok?"
"Mau susiok kecil atau bukan, kau tetap paman guruku. Baiklah,
kalau kau tidak suka dengan panggilan ku itu, biar kubuang kata
siau di depannya.”
Kembali Bouw It-yu tertawa.
"Sekarang kau hanya murid tidak resmi dari Put-hui suci, bila
kumohon ayahku menerimamu sebagai murid, bukankah kaupun
akan berubah menjadi Sumoy ku.”
"Mana boleh begitu, bukankah urutan tingkatannya jadi kacau?"
"Peraturan adalah buatan Ciangbunjin, apalagi kau belum pernah
secara resmi mengangkat Put-hui suci sebagai gurumu. Asal kau


membuat jasa untuk perguruan, apalagi kalau ayahku bersedia
menerimamu sebagai muridnya, bukankah kedudukan kita pun jadi
seimbang?"
"Aaah, ucapanmu makin lama semakin....” sambil tertawa Lan
Sui-leng tidak melanjutkan kembali kata-katanya.
"Semakin apa?" tanya Bouw It-yu.
Tentu saja Lan Sui-leng tidak berani mengatakan dia kelewat
"ngawur", karena itu ucapan yang sudah berada di bibir segera
ditelan kembali dan diganti dengan kata lain.
"Semakin memikirkan yang bukan-bukan! Aku tidak lebih hanya
seorang murid tidak resmi, hampir semua Suheng suci memiliki
kungfu yang jauh lebih hebat daripada diriku, dengan kemampuan
apa aku bisa membuat jasa untuk perguruan? Susiok, kau tidak
usah meledek aku lagi, mari kita segera pulang.”
"Aku tidak ingin kau temani aku pulang gunung,” ujar Bouw It-yu
dengan wajah serius, "kini, aku hanya memohon kepadamu untuk
melaksanakan satu hal.”
Dengan perasaan terkejut buru-buru Lan Sui-leng menyahut,
"Apa pun yang dapat kulakukan pasti akan kulaksanakan, Siaususiok,
perintahkan saja.”
"Mungkin hanya kau seorang yang dapat melak- sanakan tugas
ini. Aaai.... bagaimana aku harus menerangkannya kepadamu....?"
Dengan tenang Lan Sui-leng menunggu paman gurunya memberi
penjelasan.
Selang beberapa saat kemudian Bouw It-yu baru berkata lagi,
"Sebelum kita menyinggung pokok persoalan, terlebih dulu aku ingin
bertanya satu hal kepadamu, tidakkah kau merasa bahwa ilmu
pedang yang dimiliki Tonghong Liang sangat aneh?"
"Benar, memang sedikit agak aneh, sewaktu dia membuat onar
di gunung Bu-tong tempo hari, akupun pernah ikut menyaksikan
permainan ilmu pedangnya, tapi sepertinya jauh berbeda dengan


ilmu pedang yang dia gunakan tadi?"
"Dimana letak perbedaannya?"
"Jurus serangan terakhir yang dia gunakan rasanya mirip sekali
dengan jurus pedang yang kau gunakan.”
"Bukan hanya jurus itu saja, ilmu pedangnya telah menyerap
seluruh inti sari ilmu pedang perguruan kita!"
Dalam terperanjatnya Lan Sui-leng berseru tanpa terasa, "Tidak
heran kalau dia mampu mengalahkan dirimu. Tapi, bagaimana
mungkin hal ini bisa terjadi?"
"Inti sari ilmu pedang perguruan kita tidak mungkin bisa kau
pahami tanpa petunjuk dari guru, menurut pendapatku, pasti ada
orang yang secara diam diam mengajarkan rahasia itu kepadanya.”
"Tapi, bukankah dia musuh besar perguruan? Saudara
seperguruan mana yang telah mengajarkan ilmu pedang tersebut
kepadanya?"
"Aku curiga orang itu adalah adikmu.”
Lan Sui-leng semakin terperanjat.
"Tapi.... mana mungkin adikku dapat mengajarkan ilmu pedang
perguruan kepada orang lain? Adikku jauh lebih tahu urusan
ketimbang aku yang menjadi cicinya, kalau aku saja tidak mau
percaya perkataan bohong orang itu, mana mungkin dia bertindak
begitu tolol?"
"Mungkin kau telah melupakan sebuah kenyataan yang sangat
penting, adikmu turun gunung sehari sebelum Tonghong Liang
datang menantang berduel, berarti dia sama sekali tidak tahu kalau
Tonghong Liang adalah musuh bebuyutan perguruan kita.”
"Sekalipun begitu bukan berarti pelakunya pasti dia! Atas dasar
bukti apa kau menuduh dialah pelakunya?"
"Ada orang pernah melihat mereka jalan bersama.”
"Aku tetap tidak percaya kalau adikku telah melakukan perbuatan


setolol itu!" gumam Lan Sui-leng.
Sekalipun dimulut mengatakan tidak percaya, namun perasaan
hatinya sudah mulai goyah.
"Tentu saja paling baik kalau tidak sampai terjadi peristiwa
semacam itu,” kata Bouw It-yu lagi, "tapi apa salahnya kalau kita
berjaga-jaga.”
Karena kehabisan daya Lan Sui-leng pun bertanya lagi, "Menurut
kau, apa yang harus kita lakukan?"
"Tonghong Liang adalah seorang yang cerdas. Menurut
dugaanku, eeeh.... Cuma kau jangan marah dulu yaa. Seandainya
adikmu benar-benar telah melakukan perbuatan tolol, dengan
kecerdasan yang dimiliki Tonghong Liang, sudah pasti dia berhasil
memperoleh rahasia ilmu pedang kita, tapi aku yakin tidak banyak
yang berhasil dia peroleh. Karena itulah dia ingin berusaha
menipumu.”
"Tapi apa sangkut pautnya dengan aku?" tanya Lan Sui-leng
tertegun.
"Dia ingin memperalat dirimu untuk mencari adikmu.”
"Berarti kau percaya dengan perkataannya, adikku telah menuju
kuil Siau-lim-si?"
"Sudah kukatakan sejak awal, seringkali masalah bisa terjadi di
luar kebiasaan, oleh sebab itu bukan tiada kemungkinan tersebut.”
"Sekalipun ada kemungkinan ke sana, bukankah peraturan Siaulim-
si melarang kaum wanita memasukinya? Masa dia tidak tahu
akan hal ini?"
"Sekalipun tidak boleh masuk, bukan berarti tidak bisa titip
perkataan lewat orang lain. Bila seorang cici mencari adiknya, jelas
orang lain tidak bakalan curiga.”
"Mengapa bukan dia sendiri yang masuk dan mencarinya?"
"Biarpun antara Siau-lim dan Bu-tong terganjal masalah, namun


mereka sama-sama merupakan perguruan besar kaum lurus. Dalam
masalah masalah serius, kedua partai tetap akan bekerja sama
untuk menanggulanginya. Peristiwa Tonghong Liang mengacau di
bukit Bu-tong terjadi pada sepuluh hari berselang, mana mungkin
pihak Siau-lim tidak mengetahuinya? Jadi menurut pendapatku,
sebesar apa pun nyali Tonghong Liang, tidak nanti dia berani
mengacau di kuil Siau-lim-si hanya untuk mencari seorang murid
Bu-tong-pay.”
"Jadi maksudmu, kau menyuruh aku pergi memberitahukan
masalah ini kepada adikku....”
"Bila ingin mencegah dia jangan sampai tertipu lagi, rasanya
inilah cara pencegahan yang terpaksa harus kita lakukan!"
"Bagaimana cara mencegahnya?"
"Bunuh dia!" ucap Bouw It-yu sepatah demi sepatah kata!"
Lan Sui-leng terkesiap, setelah termangu beberapa saat dia baru
bergumam, “Membunuhnya?"
Sementara dihati kecilnya dia berpikir, “Sekalipun dia telah
menipu adikku, rasanya dosa semacam ini tidak perlu sampai
dihukum mati!"
"Kau tidak berani?" terdengar Bouw It-yu bertanya lagi.
"Selama hidup aku belum pernah membunuh orang, aku.... aku
tidak tahu apakah sampai waktunya tega melakukan tugas ini.
Benarkah kita harus menghabisi nyawanya?"
"Setiap anggota partai wajib melindungi perguruannya, menjaga
wibawa serta nama baik perguruan. Karena hal itu jauh melebihi
apapun. Mengerti kau?"
"Aku mengerti,” sahut Lan Sui-leng bimbang.
"Tahukah kau kalau Tonghong Liang sedang menjalankan
perintah dari Sucouw dan Suhunya untuk mengalahkan partai Butong
kami?"


"Aku tahu.”
"Kalau sampai ilmu pedang perguruan kita terjatuh ke
tangannya, menurut kau berbahaya tidak kejadian ini?"
"Tapi hingga sekarang dia belum pernah mencelakai atau
membunuh anggota perguruan kita, betul dia telah mencuri belajar
ilmu pedang kita, toh hal tersebut tidak menjamin dia pasti sanggup
mengalahkan jago-jago andalan kita.”
"Kalau harus menunggu sampai ada anggota perguruan kita yang
dicelakai atau terbunuh, mungkin keadaan sudah terlambat.
Sekarang, baru saja dia berhasil mencuri belajar sedikit ilmu pedang
perguruan kita dan sudah membuat aku tidak sanggup
mengalahkan dirinya. Bila keadaan dibiarkan berlarut sampai tiga,
lima tahun lagi, atau bahkan berlarut sampai delapan, sepuluh
tahun lagi, waktu itu dia pasti sudah sangat menguasai rahasia ilmu
pedang perguruan kita, padahal pihak kita sendiri sama sekali tidak
tahu menahu tentang ilmu pedang perguruannya.
"Saat itu dia bukan saja menguasai kepandaian sendiri bahkan
menguasai pula kepandaian kita, jangan lagi kita semua, mungkin
ayahku pun belum tentu mampu mengalahkan dirinya. Apalagi usia
dia tiga puluh tahun lebih muda daripada usia ayahku, andaikata....”
Biarpun dia tidak melanjutkan kata-katanya, namun Lan Sui-leng
mengerti apa yang dimaksud, pikirnya, "Betul juga, bila Bu-beng
Ciangbun sampai meninggal, siapa lagi yang mampu menghadapi
serbuan agresor?"
Terdengar Bouw It-yu berkata lebih lanjut, "Apalagi orang ini
tidak jujur pikirannya, di kemudian hari bisa menjadi seorang
bajingan laknat. Sekalipun dia tidak sampai mencelakai anggota
perguruan kita, namun kalau sampai mencelakai orang lain dengan
menggunakan ilmu pedang perguruan kita, bukankah hal ini sama
seperti perguruan kita yang menciptakan musibah?"
Dia sama sekali tidak menjelaskan apa alasannya menuduh
Tonghong Liang punya pikiran tidak jujur, dia pun tidak


menerangkan mengapa bisa menyimpulkan kalau di kemudian hari
orang itu bakal jadi bajingan laknat, biarpun begitu, karena sejak
awal dihati kecil Lan Sui-leng sudah tertanam kesan bahwa
Tonghong Liang adalah musuh bebuyutan perguruannya, maka
secara tidak sadar dia pun mempercayai semua perkataan Bouw Ityu
dengan begitu saja.
Kembali Bouw It-yu berkata, "Selain itu, seperti telah kukatakan
tadi, kemungkinan besar ilmu pedang Bu-tong-pay yang
dipelajarinya berasal dari adikmu, bila kita tidak menggunakan
kesempatan ini untuk melenyapkannya, bila sampai di usut di
kemudian hari, bukankah adikmu akan menjadi seorang
pengkhianat partai? Memangnya kau ingin melihat nama baik
adikmu hancur berantakan gara-gara urusan ini?"
Begitu menyinggung soal adiknya, mau tidak mau Lan Sui-leng
terkesiap juga, segera pikirnya, "Benar juga. Boleh saja aku tidak
usah mencam-puri urusan kejayaan perguruan, toh ada begitu
banyak Supek, susiok, suci dan Suheng yang berjuang keras
membelanya, lagipula akupun hanya seorang murid yang masih
berilmu cetek. Tapi nama baik adikku.... bagaimana pun aku harus
berusaha membelanya, aku tidak boleh membiarkan namanya
hancur dan busuk. Apalagi Tonghong Liang memang orang jahat,
apa salahnya kalau aku berusaha pergi membunuhnya?"
Melihat nona itu mulai tergerak hatinya, cepat Bouw It-yu
berkata lagi, "Bagaimana? Sudah memahaminya?"
"Siau-susiok, aku bersedia melaksanakan tugas ini demi
perguruan. Tapi kepandaianku masih selisih jauh bila dibandingkan
kemampuan Tonghong Liang, mana mungkin aku bisa
membunuhnya?"
"Pepatah kuno mengatakan: serangan tombak yang datang
terang-terangan gampang dihadapi, bokongan panah gelap justru
susah dihindari. Selama melakukan perjalanan bersama dia, kau
harus berlagak amat mempercayainya, membuat dia gembira,
lambat laun kewaspadaannya terhadapmu akan semakin kendor,
begitu dia percaya kepadamu maka akan muncul banyak


kesempatan bagimu untuk turun tangan.”
"Jadi kau suruh aku membokongnya?"
"Sebenarnya membokong bukan perbuatan yang pantas bagi
seorang murid perguruan kenamaan, tapi kita harus membedakan
mana urusan serius dan mana bukan, demi kejayaan nama
perguruan, demi nama baik adikmu, kau tidak usah gubris urusan
tetek bengek seperti itu. Asal dapat membunuhnya, terserah cara
apapun yang akan kau gunakan. Asal kau telah berjasa bagi
perguruan, tidak bakalan ada orang yang berani bicara banyak lagi.”
Seakan bani tersadar dari mimpi, Lan Sui-leng manggutmanggut.
"Aku mengerti sekarang,” katanya.
Padahal dia belum benar-benar mengerti.
Bouw It-yu merasa puas sekali, katanya kemudian, "Baiklah,
sekarang kau boleh pergi. Bila pulang dengan keberhasilan, aku
pasti akan wujudkan janjiku, minta ayahku menerima kau sebagai
murid terakhir.”
"Aku harus tegaskan dulu, kulakukan tugas ini bukan karena
kemaruk sesuatu tapi demi adikku.”
"Aku tahu kau adalah seorang nona yang baik!" seru Bouw It-yu
sambil tersenyum, "tapi tampaknya kau tidak begitu suka menjadi
siau Sumoyku? Bila kau sudah menjadi Sumoyku, bukankah diantara
kita sudah tidak ada batasan lagi.”
Dasar watak kanak-kanak Lan Sui-leng memang belum hilang,
begitu mendengar perkataan itu, segera pikirnya, "Ternyata watak
Siau-susiok cukup mengesankan, kalau sudah tidak terhalang
tingkat kesenioran, bukankah aku bisa bersahabat dengannya?"
Berpikir begitu, diapun berkata, "Terlalu awal untuk berkata
begitu, apalagi dalam perjalanan nanti belum tentu aku bertemu
Tonghong Liang.”
"Asal kau berjalan menuju ke arah Siau-lim-si, kujamin pasti akan


bertemu dengannya.”
Setelah memberitahukan arah yang benar kepada Lan Sui-leng,
mereka berdua pun berpisah.
Melanjutkan perjalanan seorang diri, Lan Sui-leng merasakan
pikirannya amat kalut. Sebentar dia berpikir manusia jahat macam
Tonghong Liang memang pantas dibunuh, tapi begitu terbayang
seorang manusia hidup bakal mati terbunuh di tangannya, dia
seolah-plah sudah melihat seseorang yang berpelepotan darah
roboh terkapar di hadapannya, timbul perasaan takut yang luar
biasa.
Sesudah bersin berulang kali, pikirnya, “Siau-susiok toh bukan
dewa, darimana dia bisa tahu kalau aku pasti bertemu dengan
Tonghong Liang? Aah, paling juga pengharapan dia saja. Gerakan
tubuh Tonghong Liang jauh lebih cepat ketimbang aku, lagipula dia
sudah berjalan duluan, belum tentu aku bisa bertemu dengannya....
yaa, belum tentu bisa ketemu.”
Bayangan yang timbul dalam benaknya mendadak berubah,
sekarang bukan bayangan tubuh Tonghong Liang yang bermandikan
darah melainkan wajah Siau-susiok yang sedang memandangnya
dengan senyum tidak senyum.
Dia merasa Siau-susiok seolah sedang berkata demikian
kepadanya, "Tentu saja kau berpikir begitu karena memang tidak
ingin membunuhnya, tidak heran bila kau berharap jangan sampai
bertemu lagi dengannya! Tapi kenapa kau tidak berpikir untuk
adikmu, bila orang ini tidak mati, kemungkinan besar adikmu akan
musnah di tangannya!"
Senyuman Siau-susiok seolah-olah berubah jadi tekanan yang
menindih dadanya, kini dia sendiripun tidak tahu dikarenakan ingin
"melindungi" adiknya atau karena tekanan yang semakin
menghimpit dadanya, tanpa terasa dia berjalan lebih cepat lagi.
Cahaya matahari kian condong ke barat, kini dia sudah melewati
tempat dimana tadi berjumpa dengan Tonghong Liang. Pikirnya,
"Entah masih butuh berapa hari lagi perjalanan dari sini menuju ke


kuil Siau-lim-si? Kalau hingga tiba di depan pintu gerbang kuil aku
belum juga menjumpai dirinya, bukankah aku bisa segera pulang
untuk memberikan pertanggungan jawab kepada Siau-susiok?"
Kemudian ia berpikir kembali, “Hey, aneh, kenapa aku bisa
menggunakan kata pertanggungan jawab?"
Padahal berbicara sejujurnya, dia benar-benar tidak ingin bersua
dengan Tonghong Liang.
Sayangnya, seringkali kenyataan belum tentu sesuai dengan
pengharapan, di saat dia sedang berjalan dengan pikiran kalut itulah
tiba-tiba terdengar seseorang menyapa, "Nona Lan, sudah kuduga
kau pasti akan balik kemari!"
Ternyata orang yang muncul di hadapannya tidak lain adalah
Tonghong Liang.
"Aku berjalan sesuai keinginan hatiku, apa urusannya dengan
kau? Kenapa kau menghadang jalan pergiku?" seru Lan Sui-leng.
"Apakah kau hendak pergi ke kuil Siau-lim?"
Tiba-tiba Lan Sui-leng teringat kembali dengan pesan paman
guru kecilnya, maka dengan nada yang lebih lembut sahu tnya,
"Kalau betul kenapa? Kalau tidak betul kenapa?"
"Bila kau hendak menuju kuil Siau-lim-si, berarti ada sedikit
hubungan denganku.”
"Kenapa?"
"Pertama, karena akulah yang menyinggung masalah kuil Siaulim-
si, maka timbul ingatanmu untuk pergi ke sana. Kedua karena
adikmu adalah sahabatku, maka aku merasa tidak tega membiarkan
kau pergi ke Siau-lim-si seorang diri dalam keadaan seperti ini.”
"Apa yang kau maksud dalam keadaan seperti ini?"
"Maksudku dalam keadaan lelaki bukan, perempuan pun tidak!"
sahut Tonghong Liang lagi.
Kemudian setelah tertawa, lanjutnya, "Kelihatannya baru


pertama kali ini kau menyaru sebagai pria. Coba bayangkan, kalau
aku saja dapat membongkar penyaruanmu dalam sekali pandang,
mana mungkin kau bisa mengelabuhi para hwesio yang sudah
banyak pengalaman? Menurut peraturan yang berlaku di kuil Siaulim-
si, kaum wanita dilarang memasuki kuil mereka. Jadi kau hanya
ada dua jalan yang bisa dipilih, ke satu pulih dalam dandanan
aslimu sebagai perempuan dan menyambangi kuil mereka secara
resmi, atau kau hanya bersembunyi diatas gunung sambil
menunggu adikmu keluar. Hehehe.... tentunya kau tidak ingin
menimbulkan lelucon yang tidak lucu bukan?"
"Mau lelucon atau bukan, itu urusanku.”
"Kuil Siau-lim-si seringkali disambangi tokoh-tokoh dunia
persilatan, padahal kebanyakan orang persilatan suka mencampuri
urusan orang lain, kalau sampai ketahuan mereka, huuuh, gurauan
ini bisa berkembang jadi tidak sederhana, khawatirku justru
kesulitan lebih besar yang bakal kau jumpai!"
"Mau ada kesulitan atau tidak, itu kan urusanku!" kembali Lan
Sui-leng berseru jengkel.
"Kesulitan itu ada yang besar, ada pula yang kecil, jika mereka
menganggap kau hanya makhluk aneh, urusan mah gampang
diselesaikan, kuatirnya yang kau jumpai adalah manusia macam
Siang Ngo-nio, kalau sampai kau dibekuk lantas bagaimana? Apalagi
kalau orang yang kau jumpai itu adalah pria yang sifatnya seperti
Siang Ngo-nio, hmmm, hmmm, bukankah bakal lebih celaka lagi?"
Mula-mula Lan Sui-leng agak tertegun, namun dia bukan orang
bodoh, setelah berpikir sejenak langsung saja dia mengerti apa yang
dimaksud pria seperti Siang Ngo-nio.
Tidak kuasa lagi merah jengah selembar wajahnya, perasaan
gugup dan panik pun mencekam hatinya. Tapi dia tetap keras
kepala, serunya ngotot, “Lebih baik kau lewati jalanan Yang-kwan-to
mu sementara aku menyeberangi jembatan Tok-bok-kiau ku.
Mau mati, mau hidup, sama sekali tidak ada sangkut pautnya
denganmu!"


"Salah besar kalau kau sampai berkata begitu, bukankah garagara
mempercayai ucapanku, kau baru mendatangi kuil Siau-lim?
Kenapa mengatakan tidak ada sangkut pautnya dengan aku?"
"Huuh, tidak usah sok gaya, siapa yang percaya dengan dirimu?"
"Kalau bukan aku yang mengungkit soal kuil Siau-lim,
memangnya kau bakalan ke sana? Sudah terbukti jelas kalau kau
percaya bahwa adikmu berada disana.”
Lan Sui-leng mendengus dingin, tanpa bicara lagi ia membalikkan
tubuh dan beranjak pergi.
Dengan gerakan cepat Tonghong Liang menghadang di
hadapannya.
"Nona Lan, mau apamu?" tegurnya.
"Seharusnya akulah yang bertanya kepadamu, mau apamu?
Masa batal ke kuil Siau-lim-si pun tidak boleh?"
Tonghong Liang sama sekali tidak berbicara, tiba-tiba dia
mencabut keluar pedangnya kemudian memainkan jurus Pek-hokliang-
ci (Bangau putih pentangkan sayap), setelah itu disusul jurus
Ji-hong-si-pit, lalu berubah jadi jurus Thi-suo-heng-kang (Baja
merantai bentangan sungai).
Begitu cepatnya jurus serangan itu dimainkan membuat Lan Suileng
seketika dibuat berdiri bod oh.
"Tempo hari, kalian kakak beradik pernah bertarung di tepi telaga
Giok-keng-ou di bawah bukit Thian-ki-hong, akhirnya adikmu
berhasil kau kalahkan ketika menggunakan jurus Pek-hok-liang-ci,
bukankah begitu?" tanya Tonghong Liang.
Tentu saja dia tidak dapat mengatakan "tidak benar", sebab
bukan saja pihak lawan dapat menyebutkan urutan jurus yang
mereka gunakan waktu itu secara tepat, bahkan jurus Pek-hokliang-
si yang digunakan Tonghong Liang saat inipun masih disertai
titik kelemahan seperti semula. Menyusul kemudian dua jurus
berikut seperti Ji-hong-si-pit dan Thi-suo-heng-kang, semuanya


merupakan jurus serangan yang dia gunakan untuk mematahkan
serangan Pek-hok-liang-ci dari adiknya.
"Apa maksudmu memperlihatkan ke tiga jurus serangan itu
dihadapanku?" tegur Lan Sui-leng.
"Tidak bermaksud apa-apa, hanya ingin membukti kan kepadamu
bahwa aku tidak berbohong.”
Sesudah berhenti sejenak, sambil tersenyum kembali Tonghong
Liang melanjutkan, "Setelah menyaksikan ke tiga jurus serangan itu,
tentunya kau sudah percaya bukan kalau aku adalah sahabat karib
adikmu?"
Untuk beberapa saat lamanya Lan Sui-leng termangu mangu,
tapi dia segera teringat kembali dengan pesan Bouw It-yu, "Kau
harus berlagak seolah-olah percaya dengannya, menyukai dia.”
Tapi sekarang dia tidak perlu berpura-pura lagi, paling tidak
dalam satu hal ini, dia dapat mempercayai semua perkataan dari
Tonghong Liang sebagai perkataan yang sesungguhnya.
Bila adiknya tidak menganggap dia sebagai sahabat karib,
mengapa secara jelas dan terperinci adiknya bisa menceritakan
semua jurus serangan yang dipakai sewaktu kakak beradik sedang
bertanding?
Tapi dengan adanya kejadian ini, bukankah semakin
membuktikan kalau adiknya pernah mengajarkan ilmu silat
perguruannya kepada orang lain?
Dari perubahan mimik mukanya, Tonghong Liang segera tahu
kalau gadis itu mulai percaya dengan perkataannya, sambil tertawa
kembali ia melanjutkan, "Aku tahu, meskipun terkadang kau iri
terhadap adikmu, iri kenapa adikmu lebih disayang ayah ibumu,
padahal kau pun sama seperti orang tuamu, sangat menyayangi
adikmu. Bukan begitu?"
"Jadi adikku telah menceritakan semua masalah pribadi itu
kepadamu?" tanya Lan Sui-leng sambil membelalakkan matanya
lebar lebar.


"Hahahaha, kan adikmu memanggil aku Toako,” sahut Tonghong
Liang sambil tertawa tergelak.
"Ciss, kau sangka akupun akan memanggil Toako kepadamu?"
jengek Lan Sui-leng sambil membuang muka, "mungkin saja kau
bisa menipu adikku sehingga begitu percaya kepadamu, tapi suruh
aku memanggilmu Toako? Jangan mimpi!"
Kembali Tonghong Liang tertawa tergelak.
"Tidak masalah jika kau enggan memanggil aku Toako. Tapi
tentunya kau masih menghendaki adikmu bukan? Kini kau sudah
tahu kalau aku tidak membohongi mu, buat apa kau masih ingin
balik ke gunung Bu-tong?"
"Baik, aku akan mengikutimu pergi ke kuil Siau-lim, hanya
saja....” sambil berkata gadis itu menundukkan kepala
memperhatikan sekejap pakaian lelaki yang dikenakan.
"Selama menempuh perjalanan, lebih leluasa bila kau menyamar
sebagai seorang pria, mari ikuti aku lewat jalan pegunungan, di
sana banyak pepohonan dan jarang bertemu orang lain.”
"Tapi bagaimana setelah tiba di kuil Siau-lim? Katamu
penyaruanku tidak sempurna?"
Tonghong Liang tertawa.
"Aku pasti akan mengajarkan bagaimana cara menyamar yang
baik. Setibanya di kuil Siau-lim nanti, biar aku yang melakukan
kontak bicara dengan kawanan hwesio itu. Apakah masih ada
pertanyaan lain?"
"Tidak ada.”
"Baiklah, kalau begitu mari kita berangkat!"
Baru maju selangkah, sambil tertawa kembali Tonghong Liang
berkata, "Oh yaa, langkah kaki kaum lelaki seharusnya lebih lebar.
Ehmm, bagus, benar begitu, tapi harus lebih kasar dan berat. Aah,
dalam beberapa gerakan kecil, kau harus memperhatikan dengan
seksama.”


Begitulah, sambil melakukan perjalanan bersama, Tonghong
Liang mulai mengajarkan bagaimana cara berjalan, cara bertingkah
bahkan cara bersikap yang benar.
Sambil tertawa Lan Sui-leng pun berkata, "Sungguh tidak nyana
kau ternyata sangat penyabar bahkan ramah sekali.”
"Kau sangka aku adalah siluman aneh berwajah hijau, bertaring
panjang yang pandai menggigit manusia?"
"Ketika berkunjung ke Bu-tong tempo hari, kulit manusia yang
kau kenakan sungguh menyebalkan, selain kaku dan dingin, bahkan
mau tertawa pun seolah susah.”
"Hal ini disebabkan pada saat itu aku mengenakan topeng kulit
manusia, jadi mau tertawa pun sulit. Tapi sayang pada akhirnya
topeng kulit manusia itu berhasil dirobek Ciangbunjin
perguruanmu.”
"Kau masih memiliki topeng kulit manusia semacam itu?"
"Kau menginginkan selembar?"
"Setelah mengenakan topeng kulit manusia, kita seolah sudah
berganti menjadi orang lain, sungguh menyenangkan. Kalau kau
mempunyai lebih, berikan selembar untukku.”
"Kalau aku yang mengenakan topeng macam itu mah mungkin
kalian merasa menarik, tapi kalau kau yang mengenakan, hmm,
belum tentu jadi menarik.”
"Kenapa?"
"Kalau seorang nona cilik cantik jelita mendadak berubah jadi
sesosok mayat hidup, memangnya bisa menarik?"
"Hey, aku sedang bicara serius, kau malah anggap
pembicaraanku sebagai gurauan....” tegur Lan Sui-leng cepat.
Namun setelah mendengar pujiannya yang mengatakan dia cantik,
tidak urung nona itu merasa senang sekali.
Terdengar Tonghong Liang berkata lagi, "Bicara sejujurnya,


benar-benar terasa tidak nyaman ketika kita mengenakan topeng,
kulit manusia. Apalagi bahan kulit manusia susah diperoleh, terlebih
menemukan tukang yang ahli membuat topeng kulit manusia, jadi
biarpun kau bisa menahan siksaan pun jangan harap bisa
mendapatkan topeng semacam ini.”
Kemudian sambil tertawa lanjutnya, "Padahal sebagai seorang
manusia, paling baik bila kita bisa tampil dengan wajah sebenarnya,
kalau sudah mengenakan topeng kulit manusia, aku rasa
penampilan kita jadi sama sekali tidak berarti.”
Lan Sui-leng dapat merasa kalau perkataan itu mendalam sekali
artinya, tak tahan iapun tertegun.
"Memangnya dia sedang menyinggung aku?" demikian dia
berpikir, tapi segera tertawa dan berujar, "Lalu mengapa kau
mengenakannya?"
"Aku terpaksa harus berbuat begitu. Bayangkan saja, seandainya
hari itu aku tidak menyaru sebagai guruku, memangnya Ciangbunjin
perguruanmu sudi memberi petunjuk kepadaku?"
"Jadi maksudmu hanya ingin menjajal ilmu pedang dari Bu-tongpay?"
"Tentu saja akupun menyimpan niat untuk mencari kemenangan.
Cuma, kalau tiada persaingan, darimana bisa diperoleh kemajuan?
Bukan begitu?"
Tanpa terasa Lan Sui-leng manggut manggut.
"Tampaknya perkataanmu sangat masuk diakal, hanya saja....”
"Hanya saja kenapa?"
Sebetulnya Lan Sui-leng ingin berkata, "Hanya saja caramu
mencuri belajar ilmu pedang aliran lain jelas merupakan tindakan
yang keliru.”
Tapi dia segera teringat kembali dengan pesan Siau-susioknya,
"Kau harus bersikap lembut, agar lambat laun dia semakin
mempercayaimu, semakin menyukaimu.”


Teringat akan hal itu, maka diapun berkata, “Saling menjajal ilmu
memang akan memberikan manfaat dan keuntungan bagi kedua
belah pihak, tapi kalau lantaran kejadian ini lantas kedua belah
pihak jadi saling bermusuhan, aku rasa hal ini sangat tidak patut
dan salah besar.”
"Kalau masalah ini mah tergantung kebesaran jiwa masingmasing
pihak. Kalau bagiku mah berharap bisa mendapat lebih
banyak sahabat dari perguruanmu.”
Setelah mengucapkan perkataan itu, timbul juga perasaan
menyesal dihati kecilnya, "Padahal mana mungkin aku punya jiwa
sebesar itu?"
Hanya saja apa yang dikatakan pun bukan seratus persen
bertentangan dengan jalan pikirannya, paling tidak, terhadap dua
bersaudara keluarga Lan dia memang sangat berharap bisa
mengikat tali persahabatan.
Jalan yang mereka lalui adalah sebuah jalan pegunungan yang
naik turun tidak rata, namun baru berjalan satu jam lebih, Lan Suileng
sudah dipaksa bermandikan keringat walaupun ilmu
meringankan tubuh merupakan ilmu andalannya selama ini.
"Hey, bagaimana kalau kau perlambat sedikit langkahmu?" teriak
Lan Sui-leng kemudian.
"Kau ingin tidak bisa lebih menghemat tenaga namun bisa
mengikuti kecepatan langkahku?" tanya Tonghong Liang sambil
tertawa.
"Wah, lebih bagus lagi kalau bisa begitu. Tapi apakah aku bisa
berhasil mempelajarinya dalam waktu singkat?"
"Kita coba saja. Kau pernah belajar ilmu menotok jalan darah?"
"Belakangan ini baru mulai belajar dari guruku, sering kugunakan
adikku sebagai kelinci percobaan, terkadang manjur terkadang tidak
manjur. Cara menotokpun belum terlalu hapal, jadi jauh dari
keberhasilan.”


"Tapi kau tahu bukan letak ke tiga puluh enam buah jalan darah
penting di tubuh manusia?”
“Tahu!"
"Itu sudah lebih dari cukup. Akan kuajarkan sebuah cara
mengerahkan tenaga dalam, cara ini tidak perlu dilatih dengan cara
duduk bersila seperti pada lazimnya. Asal selama menggunakan ilmu
meringankan tubuh kau salurkan hawa murni dalam tubuh sesuai
dengan cara yang kuajarkan, membagi ke tiga puluh enam buah
jalan darah penting jadi tiga bagian dan dialiri hawa murni dengan
caraku, dijamin sewaktu berlarian selain lebih cepat, tenaga mu pun
semakin hemat.”
Dengan perasaan setengah percaya setengah tidak kata Lan Suileng,
"Suhuku pernah berkata, hawa murni baru bisa terhimpun bila
tenaga dalam kita sudah terlatih hingga mencapai kesempurnaan.
Padahal saat ini aku sendiri-pun tidak tahu apakah hawa murniku
sudah timbul atau belum.”
"Itulah sebabnya aku hanya suruh kau membayangkan seolaholah
dalam tubuhmu terdapat segumpal hawa murni, jangan kau
perdulikan apakah hawa murnimu sudah timbul atau belum.”
Lan Sui-leng pun segera berpikir apa salahnya untuk dicoba,
maka sesuai dengan ajarannya dia pun mencoba, begitu dijajal
seketika itu juga dia merasakan tubuhnya menjadi segar kembali,
semua rasa letih dan lelah hilang lenyap tidak berbekas.
Setelah dicoba berulang kali, secara lamat-lamat dia dapat
merasakan kalau hawa murni di tubuhnya seolah muncul seolah
lenyap.
Ternyata dari cara nona itu menggunakan ilmu meringankan
tubuh, Tonghong Liang sudah dapat menilai sampai tingkatan
manakah tenaga dalam yang dimiliki nona itu, meski hawa murninya
saat ini masih sangat cetak, namun asal tahu cara menyalurkan
maka tenaga murni tersebut masih dapat ditonjolkan keluar.
Sebaliknya gadis itupun sudah memiliki dasar sim-hoat tenaga


dalam dari perguruan Bu-tong-pay, begitu diberi petunjuk, hasil
yang dicapaipun segera kelihatan.
Setelah dicoba belasan kali, Lan Sui-leng segera merasakan ada
begitu banyak ular kecil tanpa wujud yang sedang bergerak dalam
jalan darahnya. Di saat mencapai suatu taraf tertentu, betul saja,
bukan saja dia tidak perlu mengerahkan tenaga lebih banyak
bahkan kecepatannya jauh lebih meningkat.
Karena baru mempelajari sejenis ilmu baru, nona itu jadi sangat
bersemangat, sepanjang perjalanan dia berlarian terus tanpa
berhenti, tanpa terasa tengah malam pun sudah menjelang tiba.
"Kini malam sudah larut,” tegur Tonghong Liang tiba-tiba sambil
trtawa, "kalau sudah merasa lelah, mari kita beristirahat dulu.”
Seolah baru tersadar kembali, tanya Lan Sui-leng, "Malam ini kita
akan menginap di mana?"
"Sekarang kita sudah melewati rumah peng-inapan, padahal
tempat ini jauh dari dusun maupun rumah penduduk, rasanya kita
harus menginap semalam dalam hutan.”
Menyaksikan hutan belantara yang begitu gelap, Lan Sui-leng
merasa agak takut. Tapi dia pun sadar, bila harus berjalan sendirian,
hatinya pasti akan semakin takut. Terpaksa diapun mengintil di
belakangnya memasuki dalam hutan.
Setelah tiba dibalik pepohonan lebat, Tonghong Liang membantu
gadis itu mengumpulkan kayu kering dan dibuatnya sebuah api
unggun, lalu ujarnya, "Hewan liar paling takut melihat api, asal kita
membuat api unggun, mereka tidak bakal berani mendekat. Kau
tidak usah takut, aku pergi sebentar saja dan segera kembali.”
"Kau hendak ke mana?"
"Kau adalah tamuku, masa aku membiarkan tamuku kelaparan?"
Berhubung selama melakukan perjalanan konsentrasi Lan Suileng
tertuju mempraktekkan ilmu meringankan tubuhnya, maka
untuk sementara dia seakan melupakan urusan lain. Tapi kini


setelah beristirahat, apalagi mendengar ucapan itu, kontan saja dia
mulai merasakan perutnya kelaparan hebat.
"Kau tidak perlu sungkan-sungkan, aku bisa menangsal perut
dengan ransum kering,” ucap nona itu.
"Hahahaha.... aku saja sudah bosan makan ransum kering, masa
kau si nona kecil cantik terbiasa dengan makanan seperti itu?"
"Hmmm, aku bukan nona bangsawan yang terbiasa manja, aku
adalah putri petani, sudah biasa hidup sederhana.”
"Kalau tahu kau gadis bangsawan, tidak nanti akan kuundang
kau untuk makan,” sahut Tonghong Liang sambil beranjak pergi.
Cahaya api bergoyang tiada hentinya ketika terhembus angin
malam, biarpun tidak ada hewan liar yang berani mendekati cahaya
api, namun dari kejauhan dapat terdengar suara teriakan monyet
dan raungan hewan liar yang terasa menyeramkan.
Diam-diam Lan Sui-leng merasa amat tidak tenang, apalagi
teringat kalau malam ini harus menginap bersama seorang lelaki
asing.
Sekalipun begitu, entah mengapa diapun berharap pemuda itu
dapat segera kembali.
Benar saja, tidak lama kemudian Tonghong Liang sudah muncul
kembali sambil membawa dua ekor ayam alas, ujarnya sambil
tertawa, "Ternyata rejekimu terhitung bagus juga, malam ini aku
akan mengundangmu untuk mencicipi sejenis hidangan langka....
hidangan ini bernama ayam pengemis.”
"Ayam pengemis pun terhitung hidangan langka?"
"Tentu saja, cara memanggang ayam ini diwarisi dari kaum
pengemis, meski namanya kurang sedap namun rasanya ditanggung
luar biasa. Malah di rumah makan Thian-hiang-lo dikota Hang-ciu,
ayam pengemis merupakan menu utama yang paling mahal
harganya. Jangan kau sangka aku sedang membual.”
Mula-mula dia bungkus ayam alas itu dengan selapis lumpur


kemudian dipanggangnya hingga kering, setelah lapisan lumpur
yang kering itu dikupas, ternyata semua bulunya ikut terkelupas
juga. Betul saja rasa dagingnya selain manis juga sangat gurih.
"Tidak kusangka cara memasaknya amat sederhana tapi rasanya
hebat,” puji Lan Sui-leng kemudian sambil tertawa, "tidak nyana kau
mempunyai ilmu sehebat ini.”
"Aku mempelajainya dari seorang pengemis, kau tahu, aku
adalah seorang pengembara, jadi mereka anggap aku satu golongan
dengan mereka.”
Mendengar gurauannya yang lucu, tidak tahan Lan Sui-leng
tertawa cekikikan, pikirnya, "Ternyata orang ini tidak seburuk dan
sejahat apa yang dibayangkan Siau-susiok!"
"Hey apa yang kau tertawakan?" tegur Tonghong Liang.
"Ternyata ayam pengemismu sangat lezat, akupun ingin belajar
darimu.”
"Tahukah kau, ayam pengemis baru lezat rasanya bila diperoleh
dengan cara mencuri. Kau mengerti cara mencuri ayam?"
"Aku belum pernah mencoba, tapi kau boleh ajarkan kepadaku
bukan?"
"Tidak bisa,” sahut Tonghong Liang serius, "aku khawatir Siaususiokmu
akan menuduh aku mengajarkan yang tidak benar
kepadamu.”
Tidak tahan kembali Lan Sui-leng tertawa cekikikan.
"Siau-susiok ku memang menganggap kau orang jahat. Tapi
kalau aku hanya berhasil mempelajari ilmu mencuri ayam darimu,
mungkin orang lain malahan memuji kau sebagai orang baik.”
"Aduh mak, rupanya dalam pandangan Siau-susiokmu, aku
adalah manusia yang begitu jahat? Terima kasih banyak kau
bersedia ikut aku naik ke kuil Siau-lim.”
Tanpa terasa Lan Sui-leng teringat kembali dengan pesan SiauTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/

susioknya, perintah membunuh Tonghong Liang dengan cara apa
pun, tanpa terasa diapun terbungkam, perasaan hatinya seolah
tertindih dengan batu karang yang berat.
Tonghong Liang bersantap sangat cepat, dalam waktu singkat dia
telah menghabiskan seekor ayam alas. Katanya kemudian, "Kau
bersantaplah pelan pelan.”
Diambilnya sebatang ranting pohon dan disulutnya sebagai
sebuah obor.
"Kau hendak ke mana lagi?" buru-buru Lan Sui-leng menegur.
"Mencarikan tempat tinggal untukmu."
Tidak lama kemudian dia sudah kembali sambil berkata,
"Rejekimu memang bagus, aku telah menemukan sebuah gua kecil
yang cukup untuk memuat tubuhmu. Lantai gua telah kusapu
hingga bersih.”
"Buat apa kau repot-repot begitu?" seru Lan Sui-leng dengan
perasaan sungkan.
Tonghong Liang tertawa lebar.
"Perubahan cuaca sukar diramalkan, jangan kau sangka saat ini
rembulan bersinar terang, bintang bertaburan di angkasa,
seandainya tiba-tiba turun hujan, bisa repot keadaannya. Kalau ada
gua, paling tidak kau punya tempat untuk berteduh.”
Yang dimaksud sebagai gua ternyata hanyalah sebuah celah
yang berada di tengah dua batu besar yang saling berdempetan,
namun bentuknya memang mirip sekali dengan sebuah gua.
Walaupun kecil bentuknya namun masih cukup untuk memuat
dua tiga orang.
"Bagaimana dengan kau sendiri?" tanya Lan Sui-leng. Tapi begitu
ucapan tersebut diutarakan, dia segera merasa kurang pas.
Memangnya dia akan mengundangnya untuk bermalam bersama
dalam gua sekecil ini?


Untung Tonghong Liang adalah seorang lelaki yang cukup
sensitif, sahutnya sambil tertawa, "Aku sudah terbiasa tidur di udara
terbuka, lagipula ogah untuk mencari gua yang lain. Kau boleh tidur
dengan tenteram, aku akan berjaga-jaga diluar sana.”
Menanti Lan Sui-leng sudah masuk ke dalam gua, diapun
memasang sebuah api unggun dimulut gua sebelum pergi
meninggalkan tempat itu.
Ooo)*(ooO
JILID KE TIGA
BAB VIII
Dalam lembah menerima putri angkat
Cuci tangan di baskom emas
Cahaya api yang memancar dari tumpukan api unggun itu sudah
mulai mengecil, tampaknya sebentar lagi akan padam, Tonghong
Liang tidak menambah dengan kayu bakar baru, dia membiarkan
cahaya yang lirih menyinari kegelapan malam yang semakin pekat.
Tonghong Liang berdiri menghadap api unggun, bayangan
punggungnya secara lamat-lamat dapat terlihat dari kejauhan.
Lan Sui-leng menyaksikan dia berdiri disitu cukup lama, lama
sekali tanpa bergerak, seakan sebuah patung arca terbuat dari batu.
Kerlipan cahaya api di tengah hutan gelap menimbulkan
perasaan 'misterius' di hati Lan Sui-leng, namun terhadap tokoh
yang satu ini, dia merasakan jauh lebih misterius ketimbang
kegelapan yang mencekam.
Di samping perasaan misterius, diapun merasakan pula sebuah
perasaan lain.
Semacam perasaan aman tenteram, semacam perasaan hangat.


Kehangatan dan ketenteraman yang membaur jadi satu.
Api yang menyala dimulut gua membara dengan kuatnya dan
mendatangkan kehangatan di dalam gua. Tapi gadis itu bukan
tubuhnya saja yang merasa hangat, perasaan hati pun ikut terasa
hangat, perasaan yang selama hidup baru kali pertama muncul saat
ini.
Perasaan yang muncul dalam hatinya merupakan perasaan yang
nyata. Siang tadi, sewaktu berpisah dengan Siau-susioknya, saat itu
sinar matahari menyinari seluruh jagad, namun perasaan hatinya
saat itu justru terasa begitu dingin dan menggidikkan hati.
Entah mengapa, secara tidak sadar ternyata dia telah
membandingkan Tonghong Liang dengan Siau-susioknya.
Betul, Bouw It-yu memang perintahkan dia untuk membunuh
Tonghong Liang, tapi apa yang terpikir olehnya sekarang bukanlah
bagaimana cara melaksanakan pembunuhan itu, atau dengan kata
lain, bukan dikarenakan urusan ini dia membandingkan kedua orang
tersebut.
Dia hanya membuat satu perumpamaan yang sederhana atas
kedua orang ini.
Usia Bouw It-yu serta Tonghong Liang tidak terpaut jauh,
berbicara soal ketampanan, jelas Bouw It-yu jauh lebih tampan.
Bouw It-yu adalah angkatan tuanya, namun selama berjalan
bersamanya, dia tidak pernah memandang Bouw It-yu sebagai
angkatan tuanya. Keakraban Bouw It-yu terhadap dirinya hanya
sebatas menganggap dia sebagai adik kecilnya, diapun senang
kumpul bersama Siau-susioknya.
Namun selama berkumpul dengan Siau-susiok, di balik
kegembiraan diapun merasakan sedikit rasa takut dan ngeri.
Baginya Bouw It-yu mendatangkan semacam daya tarik, tapi
memberikan pula suatu kekuatan tekanan yang membuatnya
gelagapan dan merasa tidak tenang.
Bila dibandingkan maka ketika kumpul bersama Tonghong Liang,


dia justru merasakan hatinya lebih ringan dan lega. Biarpun baru
bergaul satu hari namun perasaan was-was, perasaan ngeri dan
takut yang pada mulanya masih menyelimuti hatinya, tanpa sadar
kini sudah hilang lenyap bagaikan asap yang menguap di udara.
Mengapa bisa timbul perasaan seperti ini....?
Segulung angin dingin berhembus lewat, menggoyangkan lidah
api diatas api unggun. Tiba-tiba dia bergidik, umpatnya dalam hati,
"Mana boleh kubandingkan dia dengan Siau-susiok? Siau-susiok
berasal dari perguruan kaum lurus, dia berbuat begitu karena demi
kebaikan adikku. Sebaliknya dia adalah musuh besar perguruan, dia
berniat mencelakai adikku!"
Lan Sui-leng mencoba melongok keluar dari lubang gua yang
sempit, Tonghong Liang masih berdiri bagai patung, apa yang
sedang dia pikirkan?
Tentu saja dia tidak akan tahu jalan pikiran pemuda itu, jangan
lagi pikiran orang lain, terhadap jalan pikiran sendiri pun dia merasa
bimbang dan tidak menentu.
Sepanjang hidup belum pernah pikirannya sekalut ini, sebentar
dia berpikir begini, "Kelihatannya dia tidak mirip orang jahat,
mungkinkah dia akan mencelakai adikku? Jangan jangan tuduhan ini
muncul karena pikiran Siau-susiok yang kelewat sensitip?"
Tapi sebentar kemudian dia berpikir lain, "Lebih baik percaya ada
daripada percaya tidak ada. Pengetahuan Siau-susiok jauh lebih
tinggi daripada kemampuanku. Darimana aku bisa tahu kalau
kecurigaannya tanpa dasar?"
Dari sisi telinganya dia seolah mendengar lagi peringatan Siaususioknya
yang dingin, "Bencana besar memang belum terjadi, tapi
dia terbukti sudah mencuri belajar ilmu pedang perguruan kita dari
adikmu, apakah kau berani menjamin dia tidak akan
menggunakannya untuk melakukan kejahatan? Kalau harus
menunggu sampai nama baik adikmu hancur berantakan, hmmm,
mau menyesal pun sudah terlambat!"


Tiba-tiba suara guntur menggelegar memecahkan keheningan,
membuat gadis itu tersadar kembali dari lamunannya.
Ketika halilintar berkilat, tiba-tiba diapun teringat kembali dengan
Put-ji Totiang, ayah angkat adiknya.
Dari cerita adiknya, konon Put-ji paling takut melihat kilatan
halilintar, setiap musim hujan tiba, dia sering marah marah tanpa
alasan dan penyebab yang jelas.
"Aneh, ilmu silat yang dimiliki Put-ji Totiang sangat hebat,
latihannya pun amat bagus, kenapa orang semacam dia bisa takut
dengan kilatan halilintar?"
Yang lebih mengherankan lagi adalah, "Put-ji Totiang begitu
menyayangi adikku, mengapa dia justru mengajarkan ilmu pedang
yang salah? Apakah dia berniat ingin mencelakainya?"
Membayangkan kalau kemungkinan besar Put-ji Totiang berniat
mencelakai adiknya, apakah dia harus percaya dengan Tonghong
Liang, orang yang baru saja dikenalnya?
"Tapi.... bila ilmu pedang yang dipelajari adikku keliru, kenapa
dia bisa mengajarkan ilmu pedang tingkat tinggi kepada Tonghong
Liang?"
Berpikir sampai disini, dia pun mulai mencurigai ucapan Bouw Ityu,
benarkah ilmu pedang tingkat tinggi yang dimiliki Tonghong
Liang adalah hasil ajaran adiknya?
"Jangan-jangan dia mempelajari dari orang lain?" demikian gadis
itu berpikir, "ehmm, toh aku sedang dalam perjalanan menuju kuil
Siau-lim, setelah berjumpa adikku, bukankah semuanya akan jadi
jelas?"
Di antara halilintar yang menyambar, pikirannya ikut bergolak
tidak tenang bahkan berubah ubah secepat sambaran petir.
Sayang sekali, walaupun gadis itu sudah berpikir kian kemari
namun hasil yang diperoleh hanya kegelapan yang makin pekat.
Suara guntur kembali menggelegar diikuti hujan pun turun


dengan derasnya. Api unggun di depan gua pun ikut padam.
Di antara kilat yang menyambar, lamat lamat dia dapat melihat
bayangan punggung Tonghong Liang, ternyata dia masih berdiri di
tengah hujan tanpa bergerak.
Tidak tahan lagi Lan Sui-leng berteriak keras, "Tonghong Toako,
hujan turun sangat deras....”
Setelah teriakan itu muncul, dia baru tersadar kembali, ternyata
panggilan 'Toako' yang ditujukan kepada Tonghong Liang
diutarakan dengan begitu wajar.
Tapi setelah "hujan turun sangat deras", apa yang akan dia
lakukan? Gadis itu tertegun, kata selanjutnya pun tak tahu
bagaimana harus dilanjutkan.
"Betul, hujan turun sangat deras,” terdengar Tonghong Liang
menyahut, "hati-hati jangan sampai basah.”
Sekali lagi Lan Sui-leng tertegun, biarpun berdiri di tengah hujan
badai, ternyata dia masih mengkhawaatirkan kesehatan tubuh
sendiri.
"Tonghong Toako, kau....” kembali Lan Sui-leng tak sanggup
melanjutkan perkataannya.
Agaknya Tonghong Liang dapat menebak suara hatinya, sambil
tertawa dia menyahut, "Aku sudah terbiasa berdiri di bawah terik
matahari atau basah oleh hujan badai. Biar hujan turun selama tiga
hari tiga malam pun kau tidak usah kuatir aku jadi sakit gara-gara
ini.”
Lan Sui-leng benar benar merasa amat rikuh, tapi kalau ingin
suruh dia berteduh dari hujan, sebetulnya gua dimana dia beradalah
merupakan tempat yang paling sesuai, tapi.... walaupun gua ini bisa
menampung dua orang sekaligus, dia pun merasa rikuh untuk
berdiri saling berdempetan dengan pemuda itu.
Karenanya setelah mendengar sahutan tadi, diapun tidak
berbicara lebih jauh.


Kini pikirannya semakin kalut, dari kilat yang menyambar dia
terbayang akan Put-ji Totiang, dari Put-ji Totiang diapun
membayangkan Siau-susiok, kemudian dari Siau-susiok diapun
membayangkan Tonghong Liang yang kini berdiri dihadapannya,
membayangkan panggilan "Toako" yang tanpa sadar ditujukan
untuk Tonghong Liang.
"Seandainya kuceritakan kisah pengalamanku malam ini kepada
Siau-susiok, mungkinkah Siau-susiok akan berubah jalan pemikiran
sendiri dan mengakuinya sebagai orang baik? Ehmm, aku tidak
boleh menuruti dugaan Siau-susiok dan membinasakan seorang
baik....”
Dia bahkan membayangkan pula kawanan tosu kecil yang setiap
hari sering menggodanya, dia merasa bayangan punggung
Tonghong Liang tampak jauh lebih tinggi dan besar.
"Bila dibandingkan kawanan tosu bau yang kotor mulutnya, pada
hakekatnya dia jauh lebih gagah, jauh lebih mirip lelaki sejati. Tapi,
btikankah Put-ji Totiang pun tinggi besar dan gagah? Aaai.... tidak
seharusnya Tonghong Toako menjadi seorang lelaki sejati gadungan
macam Put-ji Totiang....”
Hujan masih turun dengan derasnya, tiba-tiba hawa dingin
serasa berkecamuk dan menyelimuti tubuhnya. Biarpun hujan tidak
membasahi tubuhnya, namun perasaan hatinya seolah dibasahi air
hujan, makin lama dia merasa semakin kedinginan dan akhirnya gigi
pun mulai saling gemerutukan.
Tiba-tiba cahaya kilat berkelebat, dia melihat tubuh Tonghong
Liang mulai bergerak, menembusi hujan yang deras dia sedang
berjalan mendekati mulut gua.
Ketika kilat menyambar lewat, kegelapan kembali mencekam
seluruh jagad, perasaan hatinya serasa ikut tenggelam ke dalam
jeram yang dalamnya tak terhingga.
"Mau apa dia berjalan mendekat?"
Sesaat sebelumnya dia masih mengkhawatirkan dia tidak ada


tempat berteduh, tapi sekarang muncul perasaan takut yang luar
biasa, dia kuatir pemuda itu berniat jahat terhadapnya.
Tonghong Liang berhenti setibanya didepan gua, ujarnya, "Aku
tahu kau sangat kedinginan, sayang dalam keadaan begini tidak
bisa membuat api unggun, sementara akupun tidak membawa
pakaian yang terlalu banyak.”
Lan Sui-leng jadi semakin gugup.
"Aku tidak dingin, aku tidak kedinginan!" buru-buru serunya.
"Bagaimana pun kau toh tidak bisa tidur, mari kita berbincang
bincang saja. Tentunya kau tahu tentang delapan nadi utama dalam
tubuh kita bukan?"
Sungguh aneh, dalam suasana seperti ini ternyata dia masih
begitu berminat untuk membicarakan ilmu silat?
"Pernah mendengar nama itu,” jawab Lan Sui-leng.
Keng-luo atau jaringan nadi merupakan sebuah keistimewaan
dalam ilmu pertabiban China, sebetulnya ilmu ini tidak termasuk
rahasia, penjelasannya amat sederhana.
Jaringan nadi atau Keng-luo adalah jalan raya dimana peredaran
darah manusia berlangsung, jaringan utama disebut "Keng"
sementara jaringan cabang disebut "Luo". Pertemuan antara Keng
dan Luo membentuk jaringan bebas hambatan yang
menghubungkan seluruh jaringan yang berada dalam tubuh
manusia.
Jaringan Keng-luo terbagi lagi menjadi Ceng-keng (nadi lurus)
dan Khi-keng (jaringan samping). Cengkeng terdiri dari dua belas
jaringan yang terbagi kiri dan kanan yakni Jiu-ka-sam-yang-keng
(tiga nadi positip tangan dan kaki) yakni Tay-yang, Ce-yang dan
Sau-yang. Serta Jiu-ka-sam-im-keng (tiga nadi negatip tangan dan
kaki) yakni Im-beng, Sau-im dan Tay-im yang bilamana digabung
menjadi dua belas buah nadi.
Sementara itu Khi-keng atau jaringan samping terdiri dari


delapan nadi yaitu Tok-meh, Jin-meh, Jiong-meh, Tay-meh, Im-wimeh,
Yang-wi-meh, Im-kiau-meh serta Yang-kiau-meh. Masingmasing
nadi mempunyai kegunaan yang berbeda.
Ilmu pengetahuan ini bukan saja mempunyai nilai yang tinggi di
bidang pengobatan, termasuk juga dasar utama yang harus
dikuasahi untuk melatih tenaga dalam.
Lan Sui-leng ibarat seorang pelajar yang sedang menghadapi
ujian disekolah, dia harus menghapalkan semua nadi penting itu di
luar kepala.
Kembali Tonghong Liang bertanya, "Tahukah kau jalan darah apa
saja yang dilalui setiap nadi itu dan dimana saja letak jalan darah
penting di tubuh manusia?"
Sambil menjulurkan lidahnya dan tertawa sahut Lan Sui-leng,
"Suhu pernah menjelaskan satu per satu, tapi mana mungkin aku
bisa menghapalkan sebanyak itu?"
"Di antara delapan nadi yang masuk dalam kelompok Khi-keng,
Tok-meh disebut orang sebagai jalan bebas hambatan dari Yangkeng
dan merupakan kunci yang vital, tahukah kau apa sebabnya?"
"Tok-meh bisa disebut nadi pengawas karena dia mempunyai
kemampuan mengawasi seluruh nadi yang ada dalam jaringan
Yang-meh. Jangan kau sangka aku sama sekali tidak kenal masalah
Keng-meh!" seru Lan Sui-leng sedikit kurang senang, "mungkin
secara keseluruhan aku tidak hapal, namun kalau hanya jalur yang
satu itu, rasanya aku tidak bakalan lupa. Bukankah jalur nadi ini
dimulai dari jalan darah Tiang-jiang-hiat yang berada diujung paling
bawah tulang ekor hingga jalan darah Yin-ciau-hiat di luar gusi
gigi?"
"Tepat sekali. Mari kuajarkan sebuah cara untuk melawan hawa
dingin, gunakanlah cara mengatur napas yang kuajarkan siang tadi
dengan menembusi jalan darah Keng-ciang-bun, Tiong-wan, Thamtiong,
Li-ih, Yang-leng, Toa-su, Suan-tiong, Yay-ciu kemudian
terhimpun di Tan-tian, dari sana giring hawa murni mengelilingi
Tok-meh satu lingkaran. Begitulah kau ulangi latihan beberapa kali,


kujamin pasti ada hasilnya.”
Selesai berkata dia beranjak pergi dan kembali ke tempat
semula.
Sepeninggal pemuda itu, Lan Sui-leng segera melatihnya
berulang kali, benar saja segera timbul hawa hangat yang mengusir
semua rasa dingin ditubuhnya.
Dengan perasaan girang pikirnya, "Ternyata Tonghong Toako
memang seorang guru yang baik, bukan saja ajarannya bagus
bahkan sangat bermanfaat. Dengan mempelajari ilmu tersebut
akupun tidak usah kuatir dinginnya salju lagi.”
Padahal darimana dia tahu kalau Tonghong Liang memberi
petunjuk karena sudah mengetahui tingkatan tenaga dalam yang
dimiliki. Bukan saja dia telah mengajarkan cara mengusir hawa
dingin, bahkan merupakan semacam Sim-hoat tenaga dalam tingkat
atas.
Begitu merasakan tubuhnya hangat, tanpa terasa Lan Sui-leng
pun terlelap tidur.
Ketika mendusin dari tidurnya, mendadak dia mendengar ada
orang seperti sedang ribut dengan Tonghong Liang, terdengar suara
seorang perempuan sedang berteriak, "Hmm, diam-diam kabur
keluar, kau tidak menyangka aku bakal menemukan dirimu bukan?"
"Aku sedang menjalankan perintah dari Suhu untuk mengunjungi
gunung Bu-tong!" Tonghong Liang menyahut.
"Tapi jalanan ini bukan menuju gunung Bu-tong!”
“Aku telah berkunjung ke gunung Bu-tong.”
“Lantas kenapa tidak langsung pulang?" bentak perempuan itu
nyaring, suaranya makin lama semakin keras.
"Karena masih ada sedikit urusan yang harus diselesaikan.”
"Urusan apa? Tidak dapat kau jelaskan kepada-ku?"
Kelihatannya Tonghong Liang takut sekali terhadap perempuan


itu, dengan perasaan apa boleh buat terpaksa dia menjawab, "Aku
mau berkunjung ke kuil Siau-lim, mencari seorang teman.”
Perempuan itu kembali tertawa dingin.
"Mana mungkin kau punya teman di kuil Siau-lim? Aku pun belum
pernah dengar kalau gurumu punya hubungan dengan seseorang di
kuil Siau-lim, memangnya kau sangka para hwesio bau yang sok
memimpin dunia persilatan bakal memandang sebelah mata
kepadamu?"
"Sahabatku bukan anak murid Siau-lim-pay, dia hanya bertamu di
kuil itu.”
"Siapakah temanmu itu? Mengapa bertamu di kuil Siau-lim!"
"Maaf, urusan pribadi sahabatku bukan urusanku, jadi aku tidak
pernah banyak bertanya.”
Maksud dari perkataan itu jelas, dia tidak suka perempuan itu
terlalu banyak mencampuri urusannya.
Kelihatannya perempuan itu tidak menyangka kalau dia bakal
balas menyindir, setelah membungkam sesaat kembali tanyanya
sambil tertawa dingin, "Apakah semalam kau menginap dalam hutan
seorang diri?"
"Bisa dibilang begitu, bisa juga tidak.”
"Apa maksudmu?"
"Aku mempunyai seorang teman lain, semalam diapun berada
dalam hutan ini. Hanya saja berada di tempat yang berbeda, hutan
ini toh sanga t luas.”
Sebenarnya perempuan itu tidak tahu apakah "sahabat" nya itu
pria atau wanita, tapi begitu mendengar di balik jabawannya terselip
sesuatu yang seolah dirahasiakan, kontan saja timbul perasaan
curiga.
Sambil memutar biji matanya, sengaja dia berteriak dengan
suara lebih keras, "Ooh, jadi sahabatmu itu tidak berani bertemu


orang? Suruh dia keluar, ingin kulihat sahabat babi teman anjing
macam apa yang telah berkenalan dengan-mu.”
Lan Sui-leng yang mendengar ucapan itu jadi sangat
mendongkol, tidak tahan dia berjalan keluar dari dalam gua sambil
menyahut, "Akulah sahabatnya, aku bukan babi, juga bukan anjing,
justru aku lihat kaulah yang mirip seekor macan betina!"
"Kurangajar, kau berani mengatakan aku macan betina?" teriak
perempuan itu gusar, "baiklah, akan kusuruh kau rasakan kelihayan
dari si macan betina!"
Tiba-tiba tubuhnya melambung bagaikan seekor burung, dalam
sekejap mata dia sudah tiba dihadapan Lan Sui-leng dan langsung
menghadiahkan sebuah tempelengan.
"Piau-moy, jangan ngawur!" bentak Tonghong Liang.
Secara reflek Lan Sui-leng menggunakan kungfu Bu-tong-pay
untuk menghadapi datangnya ancaman, dengan jurus Sam-huan-togwee
(tiga lingkaran mencekal rembulan) dia berbalik
mencengkeram pergelang-an tangan lawan.
Siapa tahu mendadak tangan perempuan itu sedikit miring ke
samping, perubahan itu dilakukan cepat bagaikan sambaran kilat,
Lan Sui-leng hanya merasakan kulit kepalanya tersambar angin
dingin, bukan saja topinya sudah tersambar lepas, saputangan
pengikat rambut pun sudah terbabat hingga robek.
"Hahahaha.... ternyata seorang bocah perempuan!" seru
perempuan itu, "Tonghong Liang, mau bilang apa kau sekarang?"
"Piau-moy, jangan salah paham....”
Belum selesai bicara, perempuan itu kembali menukas, "Salah
paham? Hmm! Setelah rase kecil ketahuan ekornya, kau baru
mengatakan salah paham!"
"Perempuan busuk!" umpat Lan Sui-leng gusar, "senang amat
memaki orang lain. Aku suka menyaru laki atau perempuan, apa
urusannya dengan dirimu?"


"Tutup mulut!" bentak perempuan itu gusar. Dengan sekali
sodokan, dia totok jalan darah Lan Sui-leng.
"Piau-moy,” buru-buru Tonghong Liang berkata, "sejak kecil
hingga dewasa kita kumpul bersama, masa kau masih belum paham
dengan watakku? Bila kau menuduh dan mencurigai aku semaunya,
sama artinya kau sedang menghinaku!"
Sembari berkata sengaja dia mengibaskan ujung bajunya.
Sebagaimana di ketahui, semalam pakaiannya basah kuyup oleh
air hujan, nyaris air telah merembas hingga ke dalam tubuhnya,
dengan mengibaskan ujung baju, butiran air pun segera
berhamburan ke mana mana.
Begitu perempuan itu menyaksikan pakaian Lan Sui-leng yang
masih kering dan bersih, seketika itu juga dia mengerti penjelasan
dari kakak misannya itu.
Kendatipun begitu, dia tidak rela mengaku salah, selain itupun
merasa tidak lega membiarkan kakak misannya melakukan
perjalanan bersama perempuan lain, tanpa bicara lagi dia segera
menarik tangan Lan Sui-leng dan diajak pergi meninggalkan tempat
itu.
"Piau-moy, jangan ngawur, apa yang hendak kau lakukan?" tegur
Tonghong Liang.
Perempuan itu kembali mendengus.
"Hmm, coba lihat kepanikanmu itu, memangnya dalam
pandanganmu dia jauh lebih penting daripada aku?"
"Bukan begitu maksudku, dia adalah sahabatku, aku tidak ingin
kau mencelakai dia!"
"Hmmm!" perempuan itu tertawa dingin, "aku belum lagi
menyentuh seujung rambutnya, kau sudah menuduhku yang bukanbukan.
Aku justru mau lihat....”
Kelihatannya Tonghong Liang cukup mengerti akan tabiat
saudara misannya itu, buru-buru ancamnya, "Kalau kau sampai


melukainya, aku....”
"Mau apa kau?"
"Selama hidup aku tidak akan bertemu kau lagi!"
Begitu selesai mengucapkan ancamannya, dalam hati dia
menghela napas panjang, untuk menghadapi adik misannya yang
temperamen, mau tidak mau dia harus mengeluarkan "gertakan"
yang paling besar untuk meredam ulahnya.
"Huuuh, aku pun tidak butuh kau!" sahut perempuan itu cepat,
tapi kemudian sambil tertawa cekikikan tambahnya, "Kau tidak usah
takut, aku pasti akan melayaninya sebagai seorang sahabat. Aku
akan mengajaknya pulang ke rumah, memperlakukan dia sebagai
tamu agung. Puas bukan?"
Kali ini Tonghong Liang benar-benar dibuat menangis tidak bisa,
tertawa pun sungkan, katanya, "Darimana kau tahu kalau dia
bersedia menjadi tamumu?"
"Dia tidak bersedia pun harus bersedia! Kenapa kau ngotot ingin
melakukan perjalanan bersamanya?"
"Karena aku ada urusan ingin bersamanya mengunjungi kuil
Siau-lim-si.”
Sambil mendengarkan penjelasan itu, perempuan tadi tertawa
dingin tiada hentinya.
Melihat itu, Tonghong Liang jadi tidak suka hati, tegurnya,
"Semua yang kukatakan adalah perkataan yang sejujurnya, apa
yang kau tertawakan?"
"Aku pernah mendengar orang bercerita, katanya dalam kuil
Siau-lim berlaku peraturan bau, melarang kaum wanita masuk ke
dalam, apakah berita itu benar?"
"Benar sekali. Cuma....”
Tapi berhubung alasan yang sebenarnya tidak mungkin bisa
dijelaskan dalam waktu singkat, lagipula dia enggan mengemukakan


di hadapan adik misannya, maka sesudah berbicara sampai separuh
jalan, dia pun berhenti berbicara.
Tidak menunggu pemuda itu berpikir lebih jauh, kembali
perempuan itu berkata sambil tertawa dingin, "Hmm, akupun tahu
kalau budak cilik ini tidak bakal membantu apa-apa terhadapmu,
kalau ingin ke kuil Siau-lim, pergilah sendiri.”
Selesai bicara ia segera menarik Lan Sui-leng dan berlalu dari
situ.
"Piau-moy, kau jangan tidak tahu aturan!" teriak Tonghong
Liang.
Perempuan itu tertawa dingin.
"Terhadapmu aku sudah kelewat sungkan, ternyata kau masih
juga tidak tahu diri. Kalau aku benar-benar sudah tidak pakai
aturan, hehehe....”
"Baiklah,” akhirnya Tonghong Liang menghela napas, "anggap
saja aku memang takut kepadamu. Kalau ingin kau ajak dia pergi,
bawalah sana. Tapi jangan lupa, apa yang telah kukatakan
selamanya tidak bakal kupungkiri lagi!"
"Aku masih ingat,” perempuan itu tertawa, "tidak usah kuatir. Di
saat kau pulang ke rumah, saat itu juga kubebaskan dirinya, tidak
nanti akan kulukai seujung rambutpun!"
Lan Sui-leng yang dikempit di bawah ketiaknya sama sekali tidak
mampu bergerak, dia hanya merasa deruan angin serta bayangan
pohon bergerak cepat disisinya, saat ini dia seakan sedang terbang
melayang ditengah awan tebal.
Tidak tahan diam-diam dia merasa kagum sekali dengan
kehebatan perempuan itu, pikirnya, "Sambil mengempit tubuhku
pun dia masih bisa berlarian secepat ini. Padahal Suhu pernah
memuji kehebatan ilmu meringankan tubuhku, namun bila
dibandingkan kehebatannya, ternyata aku masih ketinggalan jauh!"
Tidak selang beberapa saat kemudian, perempuan itu sudah tiba


di bawah bukit. Di kaki gunung sudah menunggu sebuah kereta
yang dihela seekor keledai, kusirnya adalah seorang kakek tua.
Ketika berjumpa dengan perempuan itu, si kakek hanya
membungkukkan badan memberi hormat, tidak sepatah kata pun
diucapkan.
Sambil membopong tubuh Lan Sui-leng, perempuan itu berjalan
masuk ke dalam kereta, menurunkan tirai kemudian menotok bebas
jalan darahnya.
"Orang tua itu bisu lagi tuli,” perempuan itu menerangkan, "jadi
apa pun yang kau katakan, dia tidak bakalan tahu. Hey, aku ingin
bertanya, siapa namamu?"
Lan Sui-leng merasa sangat mendongkol, dia tidak menjawab.
"Ooh, masih marah kepadaku yaa?" ejek perempuan itu.
Diambilnya sehelai handuk sutera, lalu disekanya wajah Lan Sui-leng
hingga bersih, kemudian serunya lagi sambil tertawa, "Waaah, nona
kecil yang amat cantik!"
Lan Sui-leng sadar, mau berkelahi, dia bukan tandingan lawan,
mau mengajaknya ribut mulut pun belum tentu dia bisa berbuat
apa-apa, maka dia putuskan untuk membungkam tanpa bergerak,
pikirnya, "Perduli amat, mau meledek aku dengan cara apa pun, aku
akan menganggap kau seperti orang mampus.”
Kembali gadis itu berkata dengan nada lebih lembut, "Aku
bermarga Seebun bernama Yan. Tonghong Liang adalah kakak
misanku, aku memang punya tabiat jelek, sejak kecil tidak senang
melihat kakak misanku bergaul dengan perempuan lain. Bila tadi
telah menyalahimu, harap kau jangan marah.”
Tiba tiba saja sikap gadis itu berubah lebih lembut dan hangat,
seolah dua orang yang berbeda dibandingkan saat tadi.
Sesungguhnya Lan Sui-leng pun seorang bocah yang berhati
luhur dan lembut, melihat gadis itu sudah bicara terus terang,
bahkan sudah minta maaf pula, rasa mendongkol dihatipun jauh
berkurang.


"Bukankah dimatamu aku hanya seekor babi, seekor anjing?
Mana berani kuterima permintaan maaf-mu?" sindir Lan Sui-leng.
Seebun Yan segera tertawa.
"Aku telah memakimu dan kaupun telah memaki aku, malah
akupun sudah minta maaf, masa cara ini masih belum cukup? Bila
hatimu masih mendongkol, apa salahnya untuk mengumpat aku lagi
sebagai macan betina? Padahal dalam kenyataan aku tidak segalak
apa yang kau bayangkan, setelah kumpul bersamaku, di kemudian
hari kau pasti akan tahu sendiri. Sekarang bersediakah kau
memberitahukan namamu?"
"Kau telah menyebutkan namamu, kalau aku tidak
memberitahukan namaku, tentu akan kau anggap aku mencari
untungnya sendiri. Baiklah, aku beritahu namaku, aku she-Lan
bernama Sui-leng.”
"Lan Sui-leng? Ehmm, sebuah nama yang indah!"
"Apanya yang indah?"
"Sepasang biji matamu bening menawan, sungguh indah dan
menarik hati. Nama Lan Sui-leng memang sesuai dengan orangnya.”
Bagaimana pun, kaum wanita memang paling suka mendengar
orang lain memujinya cantik, begitu juga dengan Lan Sui-leng,
kesannya terhadap Seebun Yan pun otomatis menjadi lebih lunak.
"Padahal kau sendiripun amat cantik,” katanya, "masa kakak
misanmu tidak pernah mengatakan hal ini kepadamu?"
"Kakak misanku memang pernah memujiku, tapi aku selalu
menganggap dia hanya berniat menyanjung, karena itu tidak pernah
percaya kalau dia bicara jujur.”
"Tapi sekarang akulah yang mengatakannya, tentu kau sudah
percaya bukan? Hanya saja....”
"Hanya saja kenapa?"
"Sewaktu sewot dan marah-marah, rasanya kau tidak secantik


sekarang. Aku bicara sejujurnya.”
"Terima kasih atas kejujuranmu.”
"Padahal namamu juga indah!" kembali Lan Sui-leng
menambahkan.
"Dimana letak keindahannya?"
"Kau bermarga Seebun (pintu barat) sementara dia bermarga
Tonghong (arah timur), satu timur yang lain barat, bukankah kalian
sepasang yang serasi?"
Tidak kuasa Seebun Yan tertawa cekikikan.
"Kalau yang satu menuju timur yang lain menuju barat,
bukankah semakin lama jaraknya semakin jauh?"
"Tempat tidak bisa bergeser, manusianya yang bisa bergerak.
Biarpun kau berada di barat, dia toh bisa berangkat dari timur untuk
menjumpai dirimu.”
"Waah, ternyata mulutmu yang kecil pandai sekali berbicara!"
seru Seebun Yan sambil tertawa.
"Ciri, bagaimana kalau kau bebaskan aku?"
"Kau masih ingin pergi ke kuil Siau-lim?"
"Benar, tapi aku tidak akan pergi bersama-sama kakak
misanmu.”
"Kenapa kau bersikeras ingin ke sana?"
"Karena adikku berada disana.”
"Ooh, jadi adikmu hwesio kuil Siau-lim-si?"
"Bukan, dia murid Bu-tong-pay.”
"Siapa gurunya?"
"Put-ji tootiang.”
"Put-ji Totiang?" tampaknya Seebun Yan merasa agak
tercengang, "bukankah dia adalah murid penutup dari Bu-siang


Cinjin, ketua bu-tong-pay yang lalu? Aku dengar baru saja dia
diangkat menjadi tianglo dari partai Bu-tong?"
"Tepat sekali perkataanmu.”
"Menurut apa yang kuketahui, rasanya Bu-siang Cinjin
mempunyai dua orang murid, murid pertama bernama Put-coat tapi
belum pernah menerima murid.”
"Betul, dan Put-ji tootiang pun hanya menerima adikku sebagai
muridnya.”
"Kalau begitu, adikmu adalah saru satunya cucu murid Bu-siang
Cinjin?'
"Benar, dia memang paling disayang oleh Sucouw,” Lan Sui-leng
membenarkan dengan perasaan bangga.
"Kalau begitu urusan jadi lebih aneh, aku pernah dengar orang
bercerita bahwa antara Bu-tong-pay dengan Siau-lim-pay rasanya
sama-sama diganjal oleh penyakit hati, adikmu sebagai ahli waris
Ciangbunjin Bu-tong-pay sebelumnya, mengapa bisa mendatangi
kuil Siau-lim-si?"
"Aku sendiripun tidak tahu. Kakak misanmu yang
memberitahukan hal ini kepadaku. Konon dia dengan adikku pun
belum lama berkenalan.”
"Bagaimana dengan kau sendiri? Sejak kapan kau berkenalan
dengan dia?"
"Aku? Baru berkenalan kemarin.”
"Kalau begitu kau kelewat percaya dengan perkata annya!" sindir
Seebun Yan dengan senyum tidak senyum.
Lan Sui-leng enggan banyak bicara dengannya, tukasny, "Sudah
selesai pertanyaanmu? Sekarang aku boleh pergi dari sini bukan?"
"Jadi kau enggan menjadi tamuku?"
"Bukannya tidak mau, tapi aku ingin menemukan adikku lebih
dulu.”


"Baiklah, kalau merasa punya kepandaian, pergi-lah sana!"
Lan Sui-leng tidak tahu kalau dibalik perkataan itu masih
tersimpan perkataan lain, segera pikirnya, "Aku toh bukan berniat
mencari hwesio-hwesio Siau-lim-si untuk diajak berkelahi,
memangnya aku tidak sanggup berjalan sendiri?"
Tanpa pikir panjang dia segera menyingkap tirai kereta dan siap
melompat keluar.
Siapa tahu belum sempat kakinya menempel tanah, mendadak
terasa desingan angin berhembus lewat, tahu-tahu pinggangnya
terasa mengencang, rupanya Seebun Yan telah melepaskan sebuah
ikat pinggangnya dan dilontarkan ke depan untuk menggulungnya
kembali.
Kini Lan Sui-leng terjatuh kembali di posisinya semula, biarpun
lantai kereta beralaskan permadani tebal hingga pantatnya tidak
terasa sakit, namun tindakan ini cukup membuat hatinya sangat
mendongkol.
"Nona Lan, kau tidak usah marah, aku mengundangmu dengan
hati tulus untuk menjadi tamu ku.”
Lan Sui-leng mendengus.
"Belum pernah kujumpai ada orang menggunakan cara begini
untuk mengundang tamunya, kau hanya tahu asal diri sendiri
senang, kenapa tidak ditanyakan dulu apakah orang lain bersedia
atau tidak.”
Seebun Yan tertawa cekikikan. "Perkataanmu tepat sekali,
memang beginilah watak jelekku, dari dulu hingga sekarang belum
juga bisa dirubah, oleh sebab itu kecuali kau punya kemampuan
untuk mengalahkan diriku, kalau tidak kau tetap harus menjadi
tamuku.”
"Sudah, sudahlah, biar aku terima nasib, bertemu orang macam
kau anggap saja memang sedang sial.”
"Tahukah kau, sikapku terhadapmu boleh dibilang sudah luar


biasa baiknya, coba kalau berganti orang lain, kecuali terhadap
kakak misanku, bila ada orang enggan menuruti perkataanku,
mungkin aku sudah mematahkan sepasang kakinya.”
"Terima kasih atas kebaikanmu!" seru Lan Sui-leng.
Sengaja kata "kebaikanmu" ditandasnya dengan nada berat,
sudah jelas kata itu mempunyai arti yang berlawanan.
"Padahal tidak ada salahnya kau menjadi tamuku, ke satu aku
tidak bakal membuat kau terlantar, kedua, tempat tinggal ku
termasuk tempat yang indah, banyak orang yang ingin ke sana pun
belum tentu harapannya bisa kesampaian.”
"Huuh, biar rumahmu lebih indah dari istana pun aku sama sekali
tidak perduli.”
"Ooh.... ternyata kau begitu benci denganku?"
"Bukan benci, hanya tidak suka berada bersama kau.”
Mendadak Seebun Yan berkerut kening, ujarnya ketus, "Jadi kau
hanya suka berjalan bersama kakak misan ku?"
Karena memang berniat membuat jengkel gadis itu, Lan Sui-leng
sengaja berkata begini, "Sikap kakak misanmu terhadapku jauh
lebih baik ketimbang kau, tentu saja aku lebih suka jalan
bersamanya daripada berjalan bersamamu.”
"Oooh, bagaimana baiknya terhadapmu?”
“Sikapnya terhadapku begitu lembut, begitu perhatian, tidak
galak seperti kau. Seperti misalnya semalam, waktu turun hujan
begitu deras, dia tidak segan berdiri basah kuyuk di tengah curahan
hujan deras, hanya untuk menjaga diriku.”
Sebenarnya Seebun Yan masih menaruh sedikit kecurigaan, tapi
setelah mendengar perkataan itu, semua kecurigaannya hilang
lenyap tidak berbekas, katanya sambil tertawa, "Betul, betul, sikap
kakak misanku terhadapmu memang sangat baik, tapi sayang
sikapmu terhadapnya justru kurang baik.”


"Darimana kau bisa tahu kalau sikapku terhadapnya kurang
baik?" tanya Lan Sui-leng terperanjat.
"Dipandang dari luar, kau seolah-olah percaya penuh kepadanya,
padahal dalam hati kecilmu penuh dengan kecurigaan dan praduga
tidak benar.”
“Atas dasar apa kau berkata begitu?”
“Karena aku lihat kau terburu-buru ingin pergi ke kuil Siau-limsi!"
sahut Seebun Yan.
Sesudah berhenti sejenak, sambungnya, “Walaupun antara Butong-
pay dan Siau-lim-pay terganjal penyakit hati, namun kawanan
hwesio dari kuil Siau-lim-si tidak bakalan mencelakai adikmu, dalam
hal ini apakah kau tidak menaruh curiga?"
"Siau-susiok ku juga bilang begitu,” Lan Sui-leng manggut
manggut.
"Lantas bagaimana menurut pendapatmu sendiri?"
"Baik Siau-lim-pay maupun Bu-tong-pay sama sama merupakan
perguruan lurus yang punya reputasi tinggi, tentu saja aku percaya
penuh terhadap mereka.”
"Lantas kenapa kau terburu-buru ingin pergi kuil Siau-lim-si?
Bukankah lantaran mengkhawatirkan keselamatan adikmu? Kalau
bukan, lalu karena apa?"
Tanpa menunggu jawaban kembali dia berkata, "Aku rasa hanya
ada satu penjelasannya, karena dalam hati kecilmu kau tetap
beranggapan bahwa manusia yang bernama Tonghong Liang perlu
di waspadai, kau kuatir adikmu tertipu dan masuk perangkap dia!"
Jawaban tersebut ibarat sebuah tusukan jarum yang menghujam
di ulu hati Lan Sui-leng membuatnya berdarah-darah dan
terbungkam dalam seribu bahasa. Diam-diam pikirnya dengan
perasaan menyesal, "Padahal bukan hanya menaruh curiga saja
terhadap Tonghong Liang, aku bahkan masih ingin membunuhnya.”
Tiba tiba Seebun Yan berkata sambil tertawa, "Aku lihat kau


sepertinya tidak punya pendirian, tidak dapat mengambil keputusan
untuk diri sendiri, lebih gampang mempercayai perkataan orang
daripada suara hati sendiri, entah perkataan ku ini benar tidak?"
"Adikku pun pernah berkata begitu kepadaku, mungkin memang
itulah penyakitku. Eeei, tapi bukan-kah kita baru berkenalan?
Kenapa kau pun bisa menge-tahui kelemahanku?"
"Karena kau selalu suka menyebut perkataan orang lain, eei,
omong omong, siapa sih Siau-susiokmu?"
"Bouwlt-yu!"
"Oooh, aku tahu Bouw It-yu, ayahnya adalah Tiong-ciu Tayhiap
Bouw Ciong-long, usianya belum terlalu tua tapi nama besarnya
dalam dunia persilatan sudah amat tersohor, bagaimana menurut
pandanganmu tentang orang ini?"
"Aku tidak terlalu dekat dengan dia.”
"Tapi mustinya ada perbandingannya bukan, umpamanya kau
merasa dia lebih baik atau Tonghong Liang lebih baik?"
"Aku tidak tahu.”
"Kau bukannya tidak tahu tapi tidak berani mengatakannya,
kuduga dalam hati kecilmu kau merasa Tonghong Liang jauh lebih
baik kendatipun terhadapnya kau masih menaruh perasaaan waswas
dan curiga. Cuma, kau pun merasa kalau Siau-susiok mu
berasal dari perguruan kenamaan kaum lurus, jadi 'seharusnya" dia
lebih bisa dipercaya.”
Merasa "rahasia hati" nya berhasil dibongkar orang, selain kagum
Lan Sui-leng pun merasa terkejut, pikirnya, "Orang ini nampaknya
seperti susah bergaul dan judas, siapa tahu sepasang matanya
begitu lihay, sampai rahasia hatiku pun bisa terbaca olehnya.”
Terdengar Seebun Yan berkata lagi sambil tertawa, "Nona Lan,
kelihatannya aku punya jodoh dengan mu, jadi tidak tahan aku ingin
memperingatkan satu hal untukmu, walaupun aku tidak terlalu
hapal dengan tabiat Bouw It-yu, tapi kau musti hati-hati


menghadapinya, jangan sampai masuk perangkap!"
"Terima kasih atas perhatianmu. Aku toh bukan bocah berusia
tiga tahun, sekalipun pengetahuanku tidak sehebat dirimu, bukan
berarti aku begitu gampang ditipu orang.”
"Kalau begitu anggap saja aku banyak mulut. Tapi kaupun
jangan menyangka aku berniat mengadu domba kalian berdua.
Sesuai dengan tabiatku, kalau aku mulai suka dengan seseorang,
seringkali tidak tahan untuk menyampaikan suara hatiku.”
"Watakku pun sama seperti kau, mana mungkin bisa
menyalahkan dirimu,” sahut Lan Sui-leng sambil tertawa.
"Terima kasih banyak, aku amat senang kalau kau tidak marah
kepadaku.”
Lan Sui-leng memandang sekejap kearahnya, tiba-tiba dia
tertawa cekikikan.
"Hey, apa yang kau tertawakan?" tegur Seebun Yan.
"Mentertawakan dirimu.”
"Memangnya aku lucu?"
"Kau persis seperti udara dibulan ke tiga.”
"Udara di bulan ke tiga?"
"Di bukit Bu-tong kami, udara di bulan ke tiga paling susah
diraba, sebentar terang sebentar hujan, bahkan terkadang matahari
muncul di langit timur, di langit barat hujan deras. Bahkan cuaca di
kedua puncaknya seringkali berbeda.”
"Apa anehnya? Cuaca di tempat kami pun tidak jauh berbeda.
Ooh, mengerti aku sekarang, kau sedang mengatakan kalau
watakku tidak menentu bagai perubahan cuaca, sebentar marah
sebentar gembira, bukan begitu? Ehmm, perumpamaanmu sangat
segar dan menarik, kakak misanku hanya bisa menegur secara
langsung, belum pernah dia dapat berbicara sesegar dan menarik
seperti ini.”


Sambil berbicara, tidak tahan lagi ia tertawa cekikikan.
Lan Sui-leng sebagai gadis yang belum punya pendirian, begitu
orang lain bersikap baik kepadanya, dengan cepat diapun
melupakan semua kejadian sebelumnya.
Tidak selang beberapa saat kemudian dia sudah mulai banyak
bicara dan bergurau dengan Seebun Yan, bahkan hubungan mereka
makin lama semakin akrab.
Malam itu tibalah mereka di sebuah kota kecil, sang pelayan bisu
tuli itu membawa mereka menuju sebuah rumah penginapan.
Tampaknya pemilik losmen kenal sangat baik dengan Seebun
Yan, sikap dan pelayanannya amat menghormat, tanpa bertanya
apakah akan memesan kamar, dia langsung menyiapkan sebuah
kamar paling baik dan mempersilahkannya masuk.
Setelah menutup pintu kamar Lan Sui-leng baru berbisik, "Hey,
aneh sekali, tanpa bertanya apa pun kenapa dia sudah menyiapkan
sebuah kamar untukmu?"
"Kami sudah memesannya sejak awal, aku minta dia hanya
menyiapkan sebuah kamar paling bagus, tentu saja dia tidak bakal
menyiapkan kamar lebih.”
"Bukan begitu maksudku, aku hanya tanya.... dari mana dia tahu
kalau aku pasti bersedia menginap satu kamar denganmu? Apakah
tidak merasa kurang leluasa?"
Seebun Yan tertawa cekikikan.
"Kau sangka dia tolol dan pikun? Hihihihi....
justru orang itu pintar dan teliti, kau sangka dandanan-mu bisa
mengelabuhi sepasang matanya? Sejak awal dia sudah tahu kalau
kau adalah seorang nona yang sedang menyaru.”
Lan Sui-leng tertawa jengah.
"Kusangka penyamaranku sudah amat sempurna, apalagi
kemarin pun seharian penuh sudah belajar cara lelaki berbicara


serta bertindak....”
"Menjadi manusia lebih baik yang wajar wajar saja, buat apa
memaksakan diri menderita? Nih, kau cobalah pakaian itu, kalau
memang cocok dengan potongan tubuhmu, aku rasa lebih baik kau
tampil dengan wajah aslimu saja.”
Seusai berganti pakaian, Lan Sui-leng merasakan tubuhnya
semakin nyaman, katanya kemudian sambil tertawa, "Benar juga
perkataanmu, saat berperan sebagai pria aku merasa seakan
sedang memakai baju untuk bermain opera, walaupun terkadang
terasa menarik dan lucu, tapi gerak-gerikku selalu terasa bagai
terbelenggu, sama sekali tidak bebas. Aaaai, coba tahu kalau tidak
bakalan pergi ke kuil Siau-lim, tidak bakalan sejak awal aku
menyiksa diri dengan menyaru sebagai orang laki laki.”
"Kini kau gagal pergi ke kuil Siau-lim, apakah dalam hati masih
jengkel dan mendongkol kepadaku?"
"Terus terang, sepanjang perjalanan tadi aku memang masih
mendongkol dan jengkel, tapi sekarang.... semuanya sudah lenyap
bagai awan tebal yang buyar di angkasa.”
"Kenapa begitu?"
"Karena sikapmu terhadapku makin lama semakin baik.”
"Kalau tiba-tiba sikapku berubah, jadi jahat terhadapmu?"
Lan Sui-leng tertawa cekikikan.
"Aku tidak bakalan marah atau menyalahkan kau, karena aku
sudah tahu, tabiatmu mirip sekali dengan perubahan cuaca di bulan
ke tiga.”
Hubungan kedua orang gadis ini makin lama semakin cocok,
seusai bersantap malam tanpa terasa kentongan ke dua telah
berlalu.
"Pergilah tidur lebih dahulu,” kata Seebun Yan kemudian.
"Aku belum merasa mengantuk.”


"Aku sendiripun belum mengantuk dan tidak ingin tidur, Cuma
setiap malam aku harus berlatih diri sebanyak dua kali, kini sudah
saatku untuk berlatih kembali.”
"Kalau begitu silahkan saja, kau tidak perlu peduli kan aku.”
"Inginkah kau membunuh aku secara diam-diam?"
tiba-tiba Seebun Yan bertanya.
Lan Sui-leng amat terperanjat, segera pikirnya, “Jangan-jangan
diapun tahu kalau aku pernah berniat membunuh kakak misannya
hingga sekarang khusus menggunakan kata kata itu untuk
menyelidiki aku?"
"Hey, kenapa kau? Dibuat bodoh saking kagetnya?" tegur Seebun
Yan lagi.
"Kenapa kau ajukan pertanyaan seperti itu kepadaku?"
"Tidak karena apa apa. Bila aku pernah menderita kerugian di
tangan orang lain, sampai kapanpun aku tetap akan menuntut
balas. Oleh karena itu bila kau ingin membalas dendam kepadaku,
malam ini adalah kesempatan terbaik bagimu.”
Lan Sui-leng jadi marah sehabis mendengar perkataan itu,
teriaknya, "Kalau memang tidak percaya kepadaku, lebih baik aku
pindah ke kamar lain saja.”
Kembali Seebun Yan tertawa.
"Kalau aku tidak percaya kepadamu, tidak nanti akan kuucapkan
perkataan seperti itu!"
Sementara rasa mendongkol Lan Sui-leng belum mereda, Seebun
Yan sudah duduk bersila di atas ranjang dan memejamkan matanya.
Beberapa kali Lan Sui-leng memanggil namanya namun gadis itu
sama sekali tidak menyahut. Sebenarnya dia masih ingin mengajak
gadis itu cekcok mulut, karena tidak digubrik maka diapun tidak
mengganggunya lagi.
Tanpa berganti pakaian dia membaringkan diri di atas ranjang,


sementara pikirannya melayang ke sana kemari, membayangkan
kembali pengalaman yang dialaminya selama dua hari terakhir,
makin dipikir dia makin termenung, akhirnya biar sudah bolak balik
pun tidak juga bisa terlelap nyenyak.
Cahaya lentera di dalam kamar belum dipadamkan, tiba-tiba
secara lamat-lamat dia melihat ada dua gulung asap putih
menyembur keluar dari lubang hidung Seebun Yan.
Timbul perasaan ingin tahu dihati kecil Lan Sui-leng, pikirnya, ?
"Lucu dan menarik sekali kepandaian yang sedang dia latih,
kenapa dari lubang hidungnya bisa menyem-bur keluar dua gulung
asap putih? Asap itu mirip sekali dengan dua ekor ular putih yang
sedang bermain.”
Sebetulnya ingin sekali diraba, namun dia tidak berani
melakukannya.
Mendadak diapun menjumpai dari ujung hidung sendiri seolah
ada asap putih yang sedang bergerak, pikirnya keheranan, "Kenapa
dari lubang hidungku bisa muncul asap putih juga?"
Perlu diketahui, asap putih yang timbul dari lubang hidung
Seebun Yan bergerak mengikuti tarikan napasnya, selama
pernapasan berlangsung, asap putih itu selalu menggumpal tanpa
buyar ke mana-mana, jadi mustahil kalau ada segumpal asap yang
bisa terhembus ke hadapan mukanya.
Sementara dia masih bimbang dan tidak habis mengerti, tiba-tiba
dadanya terasa sesak diikuti kepalanya menjadi pening dan matanya
sedikit berkunang kunang.
Masih untung kemarin dia sudah belajar mengatur pernapasan
dari Tonghong Liang, ilmu pernapasan itu dapat dilatihnya setiap
waktu setiap saat tanpa harus duduk bersila, begitu latihan
dilakukan, hawa murni ditubuhnya secara otomatis bereaksi dan
mengalir mengelilingi seluruh tubuh, tidak selang beberapa saat
kemudian semua rasa sesak telah hilang tidak berbekas.
Sesudah diperiksa dengan lebih seksama, dia baru dapat melihat


dengan jelas, ternyata asap tipis yang melayang dalam ruangan itu
berasal dari celah-celah di luar jendela. Sayang waktu itu daun
jendela sudah tertutup rapat hingga tidak dapat menyaksikan
keadaan di luar.
Biarpun Lan Sui-leng kurang berpengalaman, namun dia sadar,
saat ini mereka telah berjumpa dengan kaum penyakit yang sedang
meniupkan bubuk pemabok.
Dia mencoba melirik ke arah Seebun Yan, tapi gadis itu masih
duduk bersila bagaikan seorang pendeta tua, bukan saja sama
sekali tidak bergerak, dua gulung asap putih yang semula muncul
dari balik lubang hidung pun kini telah lenyap.
Ingatan pertama yang melintas dalam benaknya adalah
membangunkan Seebun Yan, namun gadis itu bukannya sedang
tidur melainkan sedang berlatih ilmu, dia pun kuatir bila
mengganggu berlangsungnya latihan Seebun Yan, hal ini dapat
menyebabkan kerugian bagi kesehatan tubuhnya. Tanpa terasa
pikirnya, "Aku yang hanya memiliki tenaga dalam tingkat dasar pun
tidak sampai terpengaruh oleh bubuk pemabok itu. Dia dengan
tenaga dalam yang jauh lebih sempurna seharusnya tidak bakalan
terpengaruh juga.”
Kemudian dia pun membayangkan kembali pembicaraan para
Suhengnya mengenai pengalaman mereka menghadapi kaum
begundal dalam dunia persilatan.
"Kaum begal yang bekerja dengan mengandalkan bubuk
pemabok biasanya hanya kaum begundal kecil kecilan yang
kebanyakan tidak berilmu tinggi.”
Berpikir begitu, rasa takutnya hilang seketika, pikirnya lebih jauh,
"Bisa jadi Seebun Yan sama sekali tidak pandang sebelah mata pun
terhadap kaum begundal kecil itu, kenapa aku tidak berpeluk tangan
lebih dulu, lihat saja apa yang hendak mereka lakukan?"
Berpikir begitu, secara diam diam dia pun bersembunyi di kolong
ranjang. Sifat kekanak-kanakannya timbul kembali, dia ingin tahu
dengan cara apa Seebun Yan akan mempercundang kawanan begal


itu.
Selang beberapa saat kemudian tiba-tiba terdengar daun jendela
di buka orang, ketika sudah terbuka sebuah celah yang agak lebar,
kembali sebutir batu kerikil dilempar masuk melalui celah itu.
"Aaah, mungkin inilah yang dimaksud 'melempar batu bertanya
jalan'....” pikir Lan Sui-leng.
Oleh karena sang begal tidak tahu apakah penghuni kamar sudah
terlelap tidur atau belum, biasanya mereka akan melemparkan dulu
sebutir batu untuk memancing reaksi.
Ke semuanya ini sudah pernah didengar Lan Sui-leng dari
penuturan orang lain, baru malam ini dia membuktikan dengan
mata kepala sendiri.
Ternyata Seebun Yan seolah-olah sama sekali tidak merasa,
bukan saja tiada reaksi bahkan sepasang mata pun sama sekali
tidak dibuka.
Tidak lama kemudian dari luar jendela terdengar seseorang
berbisik, "Sekarang sudah boleh masuk?"
"Kita coba sekali lagi!"
Kali ini yang dilempar masuk adalah sebiji mata uang tembaga,
"Duuuk!" sambitan itu tepat mengenai kening Seebun Yan.
Gadis itu tetap memejamkan matanya tanpa bergerak,
kelihatannya dia sudah terlelap tidur amat nyenyak.
Sekarang Lan Sui-leng baru terperanjat, pikirnya, "Berbicara dari
tabiatnya yang pemberang, bila dia masih dapat merasakan, mana
sudi dirinya dihina dan dipermainkan orang semaunya? Ehmm....
jangan-jangan dia sudah terpengaruh bubuk pemabok?"
Dalam pada itu dari luar jendela kembali ter-dengar seseorang
berkata, "Sudah kalian dengar? Mata uang tepat mengenai jidatnya,
tapi dia sama sekali tidak bergerak, berteriak pun tidak. Masa kalian
belum bernyali untuk masuk ke dalam?"


"Untuk menghindari siasat busuk, menurut aku ada baiknya kita
tunggu sampai kedatangan lotoa sebelum bertindak,” ujar orang ke
dua.
"Siasat busuk apa? Budak itu sudah terbiasa di manja, mana mau
dia telan kerugian dengan begitu saja?"
"Aku masih tetap meras tidak tenang, bayangkan saja putri siapa
gadis itu? Mana mungkin dia termakan bubuk pemabok kita
segampang itu?"
"Hmm, kau hanya tahu satu, tidak tahu dua.”
"Apa maksudmu?"
"Setiap malam, setelah tiba saat seperti sekarang, dia harus
melatih sejenis ilmu.”
“Ilmu apa?"
"Aku sendiri pun tidak tahu ilmu apa yang sedang dilatih,
pokoknya di saat sia sedang berlatih ilmu tersebut, budak itu bakal
berada dalam keadaan tidak sadar, tidak bisa melihat, tidak bisa
mendengar, bergerak sedikitpun tidak bisa.”
"Kalau begitu dia bukan terpengaruh oleh bubuk pemabok yang
kita lepas?"
"Kita tidak bisa bilang begitu, tapi lebih berhati-hati toh tidak ada
salahnya.”
"Menurut aku, bila ingin bertindak lebih hati-hati, ada baiknya
menunggu sampai kedatangan lotoa, bukankah keselamatan kita
lebih terjamin?"
"Kalau sedikit bahaya semacam inipun tak berani kau hadapi,
tidak kuatir lotoa mengumpat kita sebagai sampah busuk yang tidak
berguna? Lotoa memang bilang mau menyusul kemari, tapi siapa
tahu sampai kapan dia baru muncul.”
"Dia sepertinya telah berkata, sebelum fajar menyingsing dia
pasti sudah menyusul kemari.”


"Sebelum?" orang itu tertawa dingin, "waktu yang dia maksud
bisa lama bisa sebentar. Kalau dia baru muncul selewat kentongan
ke lima, memangnya kau akan menunggu sampai kentongan ke
lima? Masa kau lupa dengan perkataan yang mengatakan: semakin
panjang tidurmu, semakin banyak mimpi mu?"
Kelihatannya perkataan itu membuat rekannya takluk, katanya
kemudian, "Baik, baiklah, kalau begitu mari kita bongkar daun
jendelanya!"
Setelah mendengar tanya jawab antara kedua orang itu, Lan Suileng
baru tersadar kembali, pikirnya, "Tidak heran kalau dia berkata,
bila ingin menghabisi nyawanya, inilah kesempatan yang terbaik.
Rupanya dia benar-benar sudah kehilangan kesadaran dan bukan
hanya bergurau saja. Kalau didengar dari nada pembicaraan kedua
orang itu, rasanya mereka sudah sangat mengenal dirinya, tapi
mengapa ingin mencelakai gadis itu?"
Sayang tidak ada waktu lagi baginya untuk berpikir panjang
karena orang di luar telah menjebol daun jendela dengan sepenuh
tenaga.
Biarpun kasar ternyata Lan Sui-leng cukup cekatan, dia sadar
pihak lawan masih punya bala bantuan, sementara kekuatannya
seorang belum tentu mampu mengalahkan kedua orang itu, maka
disaat daun jendela itu sedang dibongkar, cepat-cepat dia
bersembunyi di kolong ranjang.
Tidak lama kemudian, kedua orang itu sudah membuka jendela
dan melompat masuk ke dalam ruang kamar.
"Cctt, cctt, cctt.... cewek ini sungguh cantik, dia benar-benar
seperti pohon yang tertidur di musim dingin, bikin hatiku berdebar
saja,” ujar lelaki yang jangkung itu sambil berdecak.
Lelaki yang berperawakan kurus pendek segera tertawa
terkekeh, sahutnya, "Hahahaha.... sungguh tidak nyana kau pun
bisa bergaya seorang seniman.”
"Memang kau sangka aku hanya bisa main kasar? Hmmm, jelek


jelek begini aku masih tahu bagaimana menyayangi kaum wanita.”
"Ehh, ehhh.... kau jangan sembarangan! Bocah perempuan ini
kita tangkap karena akan dipersembahkan kepada cengcu!"
"Masa hanya mencium pun tidak boleh? Asal kau tidak bilang,
memangnya cengcu bisa tahu kalau aku telah mencium dan
menggerayangi tubuhnya?" Lan Sui-leng yang bersembunyi di
kolong ranjang segera melihat ada sepasang kaki berjalan
mendekati ke sisi ranjang, kemudian tampak kakinya setengah
menekuk, kelihatannya orang itu sedang membungkukkan tubuh
siap menciumi wajah Seebun Yan.
Menyaksikan hal ini, Lan Sui-leng segera berpikir, "Aku tidak
boleh membiarkan kaum begal itu mempermalukan enci Seebun.”
Waktu itu pedangnya di letakkan diatas ranjang, namun dalam
sakunya masih menggembol sebilah pisau pendek, cepat dia
mencabut pisau itu dan dibacokkan keatas kaki orang tadi.
Selama hidup belum pernah dia membacok orang, sedikit banyak
timbul juga perasaan takut dihati kecilnya, tapi pikiran lain segera
melintas, "Kalau sampai kupotong kaki sebelahnya, pasti keadaan
orang itu sangat mengerikan, lagipula dia hanya berpikiran jahat,
rasanya tidak pantas memperoleh hukuman seberat ini.”
Lelaki jangkung itu sudah membungkukkan badan dan siap
memeluk tubuh Seebun Yan, mimpi pun dia tidak menyangka kalau
di bawah kolong ranjang ada seseorang sedang menyergapnya.
Belum habis hitungan kedua lewat, Lan Sui-leng dengan
menggunakan gagang pisaunya telah menghajar lutut orang itu
keras-keras.
Biarpun orang itu terhindar dari bencana kehilangan kaki sebelah,
tidak urung hantaman keras itu membuat tulang tempurung kakinya
patah dan retak.
Saking sakitnya orang itu menjerit ngeri sambil melompat
mundur, jeritnya, “Ada setan'"


Dengan sigap Lan Sui-leng bergulingan di atas lantai kemudian
menerobos keluar dari kolong ranjang.
Tampaknya lelaki bertubuh pendek itu jauh lebih pandai
mengendalikan diri, katanya sambil tertawa, "Loji, tidak usah gugup,
yang mengacau hanya seorang budak kecil!"
Begitu Lan Sui-leng menerobos keluar dari kolong ranjang, dia
segera menangkapnya dengan ilmu Ki-na-jiu-hoat.
Sebetulnya kalau bicara soal ilmu silat, kedua orang itu tidak
lebih hanya jagoan silat kelas teri, kemampuan yang dimiliki Lan
Sui-leng tidak nanti bisa kalah dari mereka.
Tapi sayang gadis ini belum punya pengalaman dalam
menghadapi musuh, dia jadi gugup begitu melihat tangan besar
orang itu datang menangkapnya.
Dalam paniknya, baru bergebrak beberapa jurus tahu-tahu pisau
pendek itu sudah berhasil direbut lelaki pendek itu.
Cepat-cepat Lan Sui-leng menyelinap ke samping, dari bawah
bantal dia cabut keluar pedang andalannya, lalu bentaknya, "Cepat
enyah dari sini, kalau tidak segera menggelinding, jangan salahkan
kalau aku tidak sungkan sungkan lagi!"
Lelaki pendek itu tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... bagus sekali, kalau ingin bergulingan, ayoh kita
guling bersama!"
"Aku suruh kau yang menggelinding pergi!" seru Lan Sui-leng
agak melengak.
"Hahahaha.... masa kau tidak mengerti maksudku? Biarpun
umurmu masih rada kecil, pertumbuhan tubuhmu cukup matang
dan sempurna.... hehehe.... aku rada sayang untuk kelewat awal
mencicipimu!"
Sekarang Lan Sui-leng baru tahu kalau lelaki itu sedang
mempermainkan dirinya, kontan dia mengumpat, "Kurangajar,
secara baik-baik kusuruh kau menggelinding pergi, sebaliknya kau


malah berani bicara kotor dihadapanku, lihat pedang!"
Setelah berhasil merebut pisau pendeknya dalam beberapa
gebrakan, lelaki pendek itu sama sekali tidak pandang sebelah
matapun terhadap gadis ini, malah ejeknya sambil tertawa, "Bagus,
bagus sekali, mau kulihat apa yang akan kau lakukan terhadap
diriku!"
Lan Sui-leng benar-benar naik pitam, kali ini dia melancarkan
serangan tanpa kenal ampun lagi.
Di dalam ruang kamar itu terdapat sebuah ranjang besar, meja
kursi serta benda lain hingga sisa tempat yang luang sangat
terbatas.
Untungnya gerakan tubuh Lan Sui-leng jauh lebih ringan dan
lincah ketimbang lawannya, lagipula ilmu pedang Bu-tong yang
dipelajarinya dapat digunakan sesuai dengan ruangan yang tersedia,
baik di lapangan luas ataupun dalam ruangan sempit, semua jurus
serangan dapat menghasilkan daya kekuatan yang sama.
Lelaki pendek itu sama sekali tidak menyangka kalau si nona
secara tiba-tiba bisa memiliki kepandaian yang amat hebat, kali ini
giliran dia yang termakan sebuah babatan pedang Lan Sui-leng,
padahal perta-rungan baru berlangsung beberapa gebrakan.
Sementara itu lelaki jangkung tadi sudah berkurang rasa sakitnya
setelah seputar luka dibubuhi obat luar, dengan penuh amarah
teriaknya, "Serahkan budak cilik itu kepadaku!"
Siapa tahu baru saja selesai bicara, dia sudah melihat rekannya
melompat keluar, dengan perasaan kaget tanyanya, "Kenapa kau?"
Sebuah mulut luka memanjang muncul di lengan kiri lelaki
pendek itu, masih untung hanya luka luar yang tidak terlalu parah,
biar begitu, kejadian ini cukup membuatnya amat terperanjat,
sahutnya, "Hati-hati, budak cilik itu memiliki kungfu yang cukup
hebat, tidak boleh dipandang enteng!"
Lelaki janggung itu tertawa dingin.


"Huuh, hanya seorang budak ingusan yang masih bau kencur,
mau sehebat apa dirinya?"
Biarpun di mulut dia berkata begitu, namun sikapnya berubah
sama sekali, kini dia tidak berani pandang enteng lawannya lagi,
sambil mencabut keluar sebatang tombak kecil, orang itu berdiri di
luar pintu kamar lalu dengan senjatanya dia lancarkan tusukan
berulang kali ke tubuh Lan Sui-leng.
Dibandingkan pedang milik Lan Sui-leng, tombak pendek itu
ukurannya jauh lebih panjang, baru menangkis dua kali, nona itu
sudah merasakan pergelangan tangannya kesemutan, hampir saja
pedangnya tidak mampu digenggam kencang.
Dengan perasaan menyesal dia segera berpikir, "Tahu begini,
seharusnya kukutungi kaki anjingnya sejak tadi.”
Tentu saja lelaki jangkung itu tidak bakalan teringat akan
kebaikan hatinya itu, tombak pendeknya bagaikan curahan hujan
badai, melancarkan tusukan bertubi tubi, jengeknya sambil tertawa
dingin.
"Budak cilik, berani amat kau membokong aku? Hmmm, biarpun
hari ini aku tidak maui nyawamu, paling tidak akan kubetot putus
semua urat kakimu!"
Mendadak satu ingatan melintas lewat dalam benak Lan Sui-leng,
pikirnya, "Suhu sering berkata, kunci dari ilmu pedang perguruan
kita adalah menggunakan lembek untuk mengatasi keras, kenapa
kulupakan hal ini?"
Biarpun ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat yang dipelajari belum
dikuasai dengan baik, namun dia telah mempelajari serangkai ilmu
pedang ajaran gurunya, rupanya dengan mengambil makna dari
Thay-kek-kiam-hoat secara khusus Put-hui Suthay telah
menciptakan serangkai ilmu pedang Ji-hun-kiam-hoat (ilmu pedang
awan lembut) untuk diwariskan kepada muridnya ini.
Dia melakukan hal ini karena pertama, dalam perguruan Bu-tong
berlaku peraturan yang melarang ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat


diajarkan secara sembarangan kepada murid preman, kedua karena
ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat mengandung arti yang kelewat
mendalam hingga orang dengan dasar yang kurang baik sulit untuk
mempelajarinya.
Sekalipun ilmu pedang Ji-hun-kiam-hoat tidak sehebat Thay-kekkiam-
hoat, namun kemampuannya sama saja yakni menggunakan
kelembutan untuk mengatasi kekerasan.
Tampaknya napsu membunuh telah menyelimuti pikiran lelaki
jangkung itu, kembali tombaknya ditusuk ke depan bertubi-tubi,
semuanya dilakukan dengan garang dan telengas.
Melihat datangnya serangan yang begitu garang, Lan Sui-leng
segera melintangkan pedangnya dan menghantam pelan diatas
batang tombak lawan.
Tiba-tiba lelaki jangkung itu kehilangan keseimbangannya, tubuh
yang sedang merangsek maju otomatis terperosok makin ke depan,
"bruukkk!" tahu tahu dia sudah roboh terjungkal di hadapan Lan
Sui-leng.
"Hey, jangan menyembah dihadapanku,” ejek Lan Sui-leng
sambil tertawa.
Saat tubuh lelaki jangkung itu roboh terjungkal, kebetulan
tangkai tombaknya menindih di atas tulang lututnya yang terluka,
menggunakan kesempatan itu Lan Sui-leng segera menginjaknya
kuat-kuat.
Akibat injakan ini, tidak ampun tulang lutut lelaki jangkung itu
hancur berantakan, saking kesakitannya dia menjerit-jerit bagaikan
babi yang mau disembelih.
Lama-kelamaan Lan Sui-leng jadi tidak tega sendiri, sambil
menendangnya hingga menggelinding keluar dari pintu, dia tertawa
dingin tiada hentinya.
"Dari tadi sudah kusuruh menggelinding, siapa suruh kau mencari
penyakit buat diri sendiri?"


Kondisi lelaki pendek itu jauh lebih baik dari pada rekannya, dia
hanya terluka di lengan kirinya, luka yang tidak mengganggu gerakgeriknya.
Cepat dia menanggapi, katanya, "Sayang aku justru ingin
mencari penyakit lagi.”
Sikapnya jauh lebih tenang bila dibandingkan lelaki jangkung itu,
biarpun sudah kalah satu kali, namun dari situ diapun berhasil
meraba sampai dimana taraf kemampuan yang dimiliki gadis itu.
Kali ini dia bukan menghadapi musuhnya dengan tangan kosong,
melainkan pada saat yang bersamaan menggunakan dua jenis
senjata yang berbeda.
Di tangan kanannya dia mainkan sebuah martil berantai
sementara tangan kirinya yang terluka memegang sebuah tameng
baja.
Martil berantai itu bisa mengancam sasaran sejauh satu depa
lebih, jauh lebih panjang bila dibandingkan senjata tombak.
Begitu dia mainkan rantai tersebut, tidak ampun semua benda
yang berada dalam ruang kamar hancur berantakan, hanya ranjang
besar saja yang tidak sampai tersentuh.
Rantai bermartil itu termasuk senjata berat, sedang ilmu pedang
Ji-hun-kiam-hoat yang dilatih Lan Sui-leng belum mencapai tingkat
kesempurnaan, dalam keadaan begini tidak mungkin lagi baginya
untuk menghadapi lawan seperti waktu dia menghadapi lelaki
jangkung itu, menghadapi lawan dengan meminjam tenaga musuh.
Serangan gencar dari lelaki pendek itu memaksa Lan Sui-leng
tidak sanggup lagi mempertahankan pintu depan, selangkah demi
selangkah dia terdesak mundur hingga nyaris menempel di atas
dinding, begitu bermaksud meluruk maju, dia baru mengangkat
tamengnya dan merangsek maju lebih ke depan.
Selama pertarungan berlangsung, beberapa kali Lan Sui-leng
berusaha menyergap musuhnya dengan menggunakan ilmu pedang
Jit-cap-ji-jiu-lian-huan-toh-beng-kiam-hoat yang terkenal akan
kecepatannya, namun setiap kali berhasil dibendung oleh tameng


lawan.
Karena melihat usahanya tidak membuahkan hasil, terpaksa dia
membiarkan pihak lawan merangsek masuk.
Dalam gugup dan paniknya, tiba-tiba satu akal cerdik melintas
lewat, cepat dia memadamkan lampu penerangan di dalam kamar,
kemudian ejeknya dingin, "Ayoh, masuklah!"
Betul saja, kali ini lelaki pendek itu tidak berani menerjang masuk
ke dalam ruangan, dia tahu gerakan tubuh Lan Sui-leng jauh lebih
cepat ketimbang dia, ilmu pedang pun cepat bagaikan sambaran
kilat, bila berada dalam gelap kemungkinan terluka baginya jauh
lebih besar.
Sebaliknya bila dia memutar rantai martilnya secara ngawur,
kemungkinan besar tindakannya ini akan melukai Seebun Yan yang
sedang bersemedi diatas ranjang. Padahal perintah yang diperoleh
dari majikannya adalah menangkap hidup Seebun Yan.
Untuk sesaat suasana disana jadi kaku dan sepi karena lelaki
pendek itu tidak berani maju ke depan, sedang Lan Sui-leng yang
bersembunyi di sudut ruangan pun tidak berani sembarangan
bergerak karena kuatir terkena sabetan senjata martil lawan.
Di tengah keheningan yang mencekam, tiba tiba terdengar lagi
suara manusia. Suara itu muncul dari luar kamar.
Begitu mendengar suara orang itu, lelaki pendek itu dengan
perasaan girang bercampur malu segera berseru, "Han Toako, kami
sedang mengharap kedatanganmu. Baguslah setelah kau datang
sekarang.”
Orang yang dipanggil 'Han Toako’ itu segera mendengus dingin.
"Hmm, aku sangka kalian telah berhasil, kenapa masih berdiri
dimuka pintu? Apa yang telah terjadi?"
"Musuh agak tangguh, malah loji sudah terluka.”
"Tidak mungkin orang itu membohongi kita,” ujar Han Toako,
"mana mungkin Seebun Yan mampu melukai loji? Dimana dia


sekarang? Apakah sudah melarikan diri?"
"Dia masih berada dalam kamar. Tapi yang melukai loji bukan dia
melainkan si bocah perempuan yang tinggal sekamar dengannya.”
"Aku juga tahu kalau ada seorang bocah perempuan
menemaninya, tapi kungfu yang dimiliki bocah itu sangat biasa,
masa kalian tidak mampu menghadapi seorang budak ingusan yang
Cuma mengerti beberapa jurus ilmu kucing kaki tiga?"
Lan Sui-leng yang mendengarkan pembicaraan itu jadi
keheranan, pikirnya, "Orang itu baru saja tiba, darimana dia bisa
tahu kalau kungfu yang kumiliki hanya kungfu kucing kaki tiga?
"Hmm, kungfu yang dimiliki kedua orang saudara pun tidak
seberapa bagus, aku yakin kemampuanmu pun tidak seberapa
hebat. Kepandaianku memang kucing kaki tiga, tapi mending
daripada adikmu si kucing kaki tunggal. Lagipula belum tentu
kungfu yang kau miliki adalah kungci kucing berkaki empat!"
Manusia memang selalu lebih suka mendengarkan kata-kata yang
bagus ketimbang mendengarkan kata jelek, demikian pula dengan
Lan Sui-leng. Untung saja dia segera mendengar ada sepatah kata
yang enak didengar bergema ditelinganya.
"Toako, ilmu pedang yang dimiliki bocah perempuan itu cukup
tangguh, kelihatannya berasal dari partai Bu-tong.”
"Aku tahu,” Han Toako menyahut, "budak cilik itu tidak lebih
hanya murid Bu-tong-pay yang belum diangkat secara resmi, karena
bukan murid resmi, ilmu pedangnya pun tidak bakalan hebat!"
Baru saja mendengar kata kata yang 'sedap', lagi lagi Lan Suileng
harus mendengar perkataan Han Toako yang menganggap dia
tidak masuk hitungan, perasaan hatinya jadi amat tidak senang,
namun diapun merasa keheranan.
"Kenapa dia seperti tahu segalanya?" demikian pikirnya.
Kedua orang itupun merasa tidak suka hati, kalau benar Lan Suileng
seorang jagoan yang tidak masuk hitungan, padahal mereka
sudah dikalahkan bocah perempuan itu, bukankah hal ini sama


artinya kalau mereka adalah gentong nasi yang tidak berguna?
Melihat kedua orang itu tidak berbicara, Han Toako segera
mendengus dingin, katanya lagi, "Hmm! Lihat saja kehebatanku!"
Sambil berkata dia menyulut korek api dari sakunya dan
menambahkan, "Sebelum korek api ini padam, akan kuseret budak
kecil itu keluar dari kamarnya! Bila aku sampai tidak sanggup,
selanjutnya kalian tidak usah memanggil Toako lagi kepadaku!"
Begitulah dengan tangan sebelah membawa korek api sementara
tangan lain kosong, selangkah demi selangkah dia berjalan masuk
ke dalam ruangan.
Waktu itu Lan Sui-leng berdiri di sudut dinding di belakang pintu
ruangan, hati kecilnya merasa mendongkol sekali karena dipandang
enteng lawan, maka begitu Han Toako melangkah masuk, dia
langsung melancarkan tusukan kilat.
Kali ini dia menyerang dengan menggunakan ilmu pedang Lianhuan-
toh-beng-kiam-hoat, kecepatannya betul-betul luar biasa.
Entah mengapa ternyata semua serangannya gagal total, bukan
saja tidak mampu melukai lawan bahkan menyentuh tubuh
lawannta pun tidak mampu.
Han Toako segera mengibaskan korek apinya, dengan tangan
kosong dia merebut pedang di tangan bocah perempuan itu.
Ki-na-jiu-hoat yang digunakan benar-benar lihay, Lan Sui-leng
merasakan desingan angin tajam menyergap tiba, bukan saja ilmu
pedangnya tidak sanggup dikembangkan, bahkan nyaris
pergelangan tangannya kena dicengkeram lawan.
Cepat Lan Sui-leng bergeser ke samping sambil mengubah
posisinya, mata pedang sedikit miring ke samping, "Sreeeet!" dia
babat sebagian kecil korek api itu, namun gagal melukai lawan,
cahaya api pun tidak sampai padam.
Dalam pada itu Han Toako tercengang juga ketika menyaksikan
ke tiga jurus serangan ki-na-jiu-hoat nya bukan saja gagal


menangkap lawan, sebaliknya korek apinya malah terbabat
sebagian, pikirnya cepat, "Tidak heran kalau mereka menderita
kerugian besar di tangan budak kecil ini.”
Sambil tertawa dingin segera ejeknya, “Ternyata dugaanku tidak
keliru, beberapa jurus ilmu pedangmu benar-benar jelek dan tidak
becus. Hati-hati, dalam jurus berikutnya aku tidak bakal mengalah
lagi.”
Padahal perkataan itu sengaja dia ucapkkan hanya untuk
menutupi kegagalannya membekuk si nona dalam serangannya,
sama sekali bukan ditujukan khusus untuk Lan Sui-leng.
Sebaliknya Lan Sui-leng sendiripun mulai ketakutan, terutama
setelah melihat serangan tangan sebelah yang dilakukan pihak
lawan nyaris membuat permainan pedangnya tidak sanggup
berkembang.
Namun diapun enggan mengaku kalah, terpaksa sambil keraskan
kepala umpatnya, "Tidak tahu malu, kapan kau telah mengalah
kepadaku? Lebih baik kau sendiri yang berhati-hati, bacokan
pedangku tadi hanya memangkas sedikit obor apimu.”
Dasar gadis pintar, begitu cepat dia berhasil mempelajari cara
mengibul orang lain, walaupun serangannya gagal memadamkan api
lawan, tapi dia berlagak seolah memang sengaja berbuat begitu.
Han Toako tidak berani mengibul lagi, kalau tadi dia masih
sesumbar dengan mengatakan akan berhasil membekuk lawannya
sebelum obor dia padam, tapi setelah mencoba beberapa gebrakan,
sadarlah lelaki itu bahwa bukan pekerjaan gampang untuk
membekuk gadis itu, kalau pun berhasil menawannya, paling tidak
dia harus bertarung puluhan jurus lagi, berarti tak ada jaminan
obornya sudah padam lebih dulu.
Dalam keadaan begini dan demi menjaga nama baiknya,
terpaksa dia buang sisa obornya ke tanah.
Sangat kebetulan lemparannya itu persis terjatuh disisi lentera
yang terletak dekat ranjang, begitu lentera itu menyala, sisa obor


pun mulai terbakar diatas meja.
Tapi berhubung sumber api berasal dari minyak dalam lentera,
kobaran api pada obor itupun melambat. Ini berarti dia memiliki
kesempatan yang cukup untuk membekuk Lan Sui-leng sebelum
obornya benar benar padam.
Lan Sui-leng jadi nekad, dalam keadaan begini buru-buru dia
keluarkan jurus Pek-hok-liang-ci yang belum lama berhasil
dipelajarinya untuk menyerang pihak lawan.
Sewaktu berada di gunung Bu-tong tempo hari, dia sudah pernah
bertarung melawan adiknya yang menggunakan jurus Pek-hokliang-
ci, kemudian setelah beberapa hari berselang, sewaktu
Tonghong Liang bertarung melawan Bouw It-yu, lagi-lagi dia telah
menyaksikan kehebatan dari jurus serangan itu, baginya
pengalaman yang berulang kali mendatangkan pemahaman yang
lebih mendalam baginya atas penggunaan jurus tadi.
Ketika Lan Sui-leng melambung sambil melancarkan bacokan,
Han Toako segera mengancam sepasang matanya dengan ke dua
jari tangan, sementara lengan kanan melingkar, lima jarinya sedikit
ditekuk bagai cakar burung elang dan mencengkeram urat nadinya.
Jurus serangan yang pertama hanya jurus tipuan, tujuannya
untuk mengacau perhatian musuh, sedang jurus serangan yang
dilepas belakangan barulah jurus yang sesungguhnya, tujuannya
hendak memaksa gadis itu melepaskan senjatanya.
Adapun jurus serangan yang digunakan adalah ilmu Ki-na-jiuhoat
andalannya, begitu hebat ilmu cengkeramannya ini, jangan lagi
musuh dengan kungfu yang lebih rendah, menghadapi orang
dengan kemampuan yang seimbang pun belum tentu mereka
sanggup menangkalnya.
Dan sekarang dia telah mengeluarkan jurus andalannya untuk
menghadapi seorang 'budak cilik' yang kungfunya jauh lebih lemah
ketimbang kemam-puannya, di dalam anggapannya serangan itu
pasti akan berhasil melumpuhkan lawannya.


Kedua belah pihak sama-sama menggunakan gerakan tercepat
untuk saling menjatuhkan.
"Traaangg....!" diiringi suara dentingan nyaring, betul saja,
pedang dalam genggaman Lan Sui-leng terlepas dari
genggamannya, namun bukan berpindah ke tangan Han Toako
melainkan terbang melenceng ke samping dan menancap di atas
ranjang.
Sebagaimana diketahui, Seebun Yan sedang duduk bersila diatas
ranjang, pedang itu kebetulan persis menancap tepat di
hadapannya. Dari mata pedang malah masih terlihat butiran darah
segar yang menetes ke bawah.
Rupanya niat Han Toako semula adalah ingin merampas pedang
itu dari tangan lawannya, siapa sangka daya serangan yang
terpancar dari jurus Pek-hok-liang-ci ini jauh di luar dugaannya,
meski pada akhirnya dia berhasil memaksa Lan Sui-leng untuk
melepaskan senjatanya, namun tidak urung dua jari tangannya kena
tersayat hingga putus.
Waktu itu Lan Sui-leng masih belum tahu kalau sayatan
pedangnya berhasil memapas kutung dua jari tangan lawan, dia
sangka orang itu berhasil merebut pedangnya dan kini berniat
mencelakai Seebun Yan, dalam paniknya cepat ia berteriak, "Hey,
aku sedang berkelahi denganmu, buat apa kau melukai orang lain!"
Siapa sangka justru teriakan itu malah mengingatkan Han Toako.
Sebagaimana diketahui, lelaki she Han itu sudah kehilangan ke
dua jari tangannya, bila dia harus bertarung lagi melawan Lan Suileng,
belum tentu kemenangan bisa dia raih dengan gampang.
Apalagi jika waktu semakin berlarut, bisa jadi setiap saat Seebun
Yan akan mendusin kembali dari semedinya.
Begitu tersadar akan hal itu, Han Toako segera mengambil
langkah nyata. Rencananya sekarang: Di samping merebut pedang
musuh, dia harus secepatnya merebut pula sasarannya.
Dengan kecepatan paling tinggi dia harus merampas dulu pedang


milik Lan Sui-leng, kemudian menggunakan kesempatan di saat
Seebun Yan belum mendusin, dia akan menangkapnya sebagai
sandera.
Dalam keadaan begini, dia sudah tidak perlu merasa takut lagi
menghadapi serangan balasan dari si budak kecil.
"Apalagi budak itu sudah kehilangan senjata, rasanya tidak perlu
aku turun tangan sendiripun, kemampuan lo-sam sudah cukup
untuk menghadapinya.”
Perhitungan rencananya boleh dibilang bagus dan sempurna,
sayang sekali ternyata telah terjadi suatu kejadian diluar dugaan,
kejadian kecil yang membuat seluruh rencananya gagal total.
Kalau dibilang kejadian 'diluar dugaan', seharusnya dia dapat
berpikir pula sampai kesitu, yakni waktu yang dibutuhkan Seebun
Yan untuk berlatih diri.
Di saat dia hendak mencabut pedang yang menancap di hadapan
Seebun Yan, saat itulah gadis itu telah menyelesaikan latihannya
dan membuka mata.
Begitu membuka mata dan menyaksikan ada seorang lelaki
berdiri di depan ranjang, Seebun Yan jadi amat terperanjat, watak
nona nya langsung kambuh....
"Ploook, plook, ploook!" secara beruntun dia melayangkan
tempelengan berulang kali, membuat sepasang pipi Han Toako
kontan merah membengkak. Hardiknya, "Lelaki bau dari mana yang
berani kemari? Hmm, enyah kau dari sini!"
Kalau tadi lelaki she-Han itu sanggup menghadapi serangan
pedang Lan Sui-leng dengan tangan sebelah, maka sekarang dia
seolah gagu dan bodoh, jangankan kabur, menghindari ke empat
buah tempelengan itupun tidak sanggup, hal ini membuat Lan Suileng
yang menyaksikan dari tepi ruangan jadi berdiri melongo.
Ke empat kali tempelengan itu benar benar amat keras dan
berat, separuh wajah lelaki she-Han itu kontan merah membengkak,
giginya copot dan darah segar meleleh keluar dari mulutnya.


Begitu diperintahkan untuk menggelinding pergi, mana berani dia
tidak segera menggelinding?
Waktu itu lelaki jangkung yang tulang lututnya hancur baru saja
bangkit berdiri dengan bantuan senjata tombaknya yang digunakan
sebagai tongkat, ketika melihat 'Toako' nya kabur dengan
sempoyongan, tidak terlukis rasa terkejutnya, buru-buru dia
bertanya, "Toako, kenapa kau?"
Dalam keadaan begini, mana berani Han Toako banyak bicara,
apalagi menuturkan pengalaman yang baru saja dialami, namun
tidak urung dia berteriak juga memperingatkan saudara saudaranya.
"Waktu sudah lewat, cepat kabur, cepat kabur!"
Apa maksud 'waktu sudah lewat'? Lan Sui-leng tidak mengerti
tapi Seebun Yan tahu dengan jelas sekali.
Setelah menarik napas dalam dalam, Seebun Yan pun bertanya
kepada Lan Sui-leng, "Dalam ruang kamar ini terendus bau dupa
pemabok, apakah bajingan tengik itu yang melepaskan?"
"Benar, dua orang anteknya yang melakukan.”
"Mau apa mereka datang kemari?"
"Mendengar dari perkataan mereka, kelihatannya hendak
menangkap dirimu!"
Sebetulnya Seebun Yan sudah menduga beberapa bagian, tapi
begitu mendapat bukti dari mulut Lan Sui-leng, kontan hawa
amarahnya memuncak. Sambil mencabut pedang yang menancap di
hadapannya dia membentak nyaring, "Bajingan tengik, kalian masih
ingin kabur!"
Di tengah bentakan keras, pedangnya dengan dilapisi cahaya
pelangi telah meluncur ke depan.
Lelaki yang bernama Han Toako itu lari paling depan menyusul di
belakangnya adalah lelaki bertubuh pendek.


Terdengar jeritan ngeri yang memilukan hati bergema
memecahkan keheningan, tahu-tahu pedang itu sudah menghujam
dari belakang punggung lelaki pendek itu hingga tembus dari depan
dadanya, bukan hanya begitu bahkan pedang tersebut masih
meluncur ke depan dengan kekuatan yang sama sekali tidak
berkurang.
Saat itu Han Toako sudah kabur hingga mencapai ujung
halaman, baru saja dia melompat ke atas dan kaki sebelah baru
menginjak di atas pagar, tahu-tahu pedang yang meluncur tiba itu
sudah menancap dari belakang punggungnya dan memantek
tubuhnya di atas dinding.
Dalam pada itu si lelaki jangkung yang tulang lututnya telah
dihancurkan oleh Lan Sui-leng itu sedang kabur dengan bantuan
senjata tombaknya sebagai pengganti tongkat, melihat lo-toa dan
lo-sam mati terbantai, dia jadi ketakutan setengah mati.
Sadar kalau tidak mungkin lagi baginya untuk kabur, terpaksa dia
membalikkan tubuhnya, menjatuhkan diri berlutut dan merengek
dengan penuh belas kasihan, "Nona, maafkan hamba.... maafkan
hamba....
memang hamba sudah buta matanya.... ampunilah nyawaku!"
Waktu itu Seebun Yan sudah melompat turun dari ranjang, ketika
ujung kakinya menyentuh pisau pendek yang berhasil dipukul jatuh
oleh lelaki pendek itu dari tangan Lan Sui-leng, dia segera mencukil
dengan ujung kakinya.
Begitu berhasil memegang pisau pendek, dengan suara dingin
ujarnya, "Kalau matamu buta, dosamu bisa diampuni, tapi kalau
hatimu yang buta, jangan harap dosa itu bisa diampuni. Kau ingin
minta ampun dariku? Baiklah, akan kupenuhi harapanmu itu!"
Begitu pisau pendek itu meluncur ke depan, percikan darah pun
berhamburan kemana-mana, tahu tahu senjata itu sudah menancap
persis diatas tenggorokan lelaki jangkung itu.
Lan Sui-leng yang menyaksikan semua kejadian itu hanya bisa


berdiri termangu-mangu, pikirnya, "Bukankah lelaki jangkung itu
sudah berlutut minta ampun? Biar tidak kau bunuhpun dia bakalan
cacat seumur hidup, buat apa musti berbuat kejam terhadapnya?"
Kelihatannya Seebun Yan dapat membaca suara hatinya, cepat
dia berkata, "Kelihatannya kau sedang menyalahkan aku kenapa
bertindak keji terhadapnya? Padahal kenapa tidak kau bayangkan,
seandainya aku tidak sadar tepat pada waktunya, apa pula yang
bakal mereka lakukan terhadap kita berdua? Betul, mungkin saja
mereka tidak bakal membunuhmu, tapi kalau sampai diperkosa atau
dipermalukan orang-orang itu, bukankah jauh lebih tersiksa dan
mengerikan ketimbang mati terbunuh?"
Tanpa terasa Lan Sui-leng membayangkan kem-bali sepasang
mata lelaki jangkung yang cabul dan menjijikkan itu, tubuhnya
kontan bergidik. Sekalipun di hati kecilnya dia tetap tidak setuju
dengan cara keji Seebun Yan, namun kini dia tidak berani lagi
membantah.
"Tampaknya mereka adalah orang orang yang kau kenal,
mengapa tidak di interogasi lebih dulu sebelum dijatuhi hukuman
mati?" tanya Lan Sui-leng.
"Dari mana kau tahu kalau mereka adalah orang orang yang
kukenal?" tanya Seebun Yan.
"Aku menduganya dari nada pembicaraan mereka, bukan saja
orang-orang itu mengetahui namamu, mereka pun tahu kalau setiap
malam pada saat seperti sekarang kau harus berlatih tenaga dalam,
mereka juga tahu setiap kali sedang berlatih maka keadaanmu tidak
bedanya dengan pendeta yang sedang bersemedi, sama sekali tidak
dapat merasakan kejadian di sekelilingmu.”
"Dalam hal ini akupun merasa keheranan, tapi rasanya belum
pernah kujumpai orang orang itu sebelumnya, coba nanti kuperiksa
lagi dengan seksama, sekarang gantilah dulu pakaianmu.”
Secara beruntun Lan Sui-leng telah bertempur melawan tiga
orang, kini keadaannya amat kusut, bukan saja rambutnya awutawutan,
pakaian yang dikenakan pun dipenuhi noda darah. Seebun


Yan segera memberikan satu stel pakaian baru dan memintanya
untuk tukar pakaian.
Sambil menunggu rekannya tukar pakaian, kembali Seebun Yan
berkata, "Biarpun bubuk pemabok yang mereka gunakan tidak
terlalu istimewa, namun dibandingkan dengan pelbagai bubuk
pemabok yang seringkali digunakan dalam dunia persilatan, bubuk
jenis itu terhitung jenis yang cukup lihay. Benar-benar tidak
kunyana kalau kaupun tidak sampai mabok dibuatnya.”
"Seandainya peristiwa ini kujumpai dua hari berselang, dapat
dipastikan aku sudah mabok sejak dulu dulu.”
"Kenapa?"
"Kalau dibicarakan sebenarnya merupakan satu keberuntungan
bagiku, kemarin malam, baru saja Tonghong Toako mengajarkan
sedikit ilmu mengatur pernapasan kepadaku, dia ajarkan ilmu itu
agar aku bisa melawan hawa dingin yang menggigilkan di malam
hujan badai. Tadi, dengan cara itu pula aku melawan pengaruh
dupa pemabok.”
"Tidak heran kalau kau selalu memujinya, ternyata dia memang
baik sekali kepadamu. Hanya saja ilmu yang dia ajarkan kepadamu
tidak lebih hanya ilmu tenaga dalam tingkat rendahan.”
Lan Sui-leng sangat terkejut, serunya tidak tahan, "Baru ilmu
tenaga dalam tingkat rendah saja sudah mendatangkan manfaat
sebesar ini, apa jadinya kalau berhasil mempelajari tenaga dalam
tingkat tinggi? Enci Seebun, apakah tenaga dalam yang kau latih
sama seperti yang dilatih Tonghong Toako?"
"Persis sama.”
"Waaah, bukankah ilmu tenaga dalam kalian jauh lebih hebat
daripada Bu-tong-pay kami?”
“Aku tidak mengerti tentang tenaga dalam aliran Bu-tong-pay,
tapi aku tahu tenaga dalam dari Bu-tong-pay dipandang umat
persilatan sebagai ilmu kaum lurus. Apa yang kau katakan belum
tentu benar. Menurut dugaanku, Tonghong Toako memang seorang


guru yang pandai, tapi dia bisa mengajarkan murid yang hebat
seperti kau, hal ini dikarenakan dia sudah memahami lebih dulu
rahasia dan kunci dari ilmu tenaga dalam aliran Bu-tong-pay.”
Setengah mengerti setengah tidak Lan Sui-leng manggutmanggut.
Kembali Seebun Yan berkata, "Untung sekali ada kau kali ini, aku
pasti akan bayar hutang budi ini. Bila ada waktu senggang, kau
boleh membeberkan semua kungfu yang pernah kau pelajari di
gunung Bu-tong serta ilmu tenaga dalam yang diajarkan Tonghong
Toako di hadapanku, nanti akan kuajarkan juga ilmu ilmu silat
tingkat tinggi agar kemampuan silatmu meningkat lebih hebat.”
"Berbicara dari keadaan situasi tadi, sebetulnya kita adalah
senasib sependeritaan, jadi bukan aku berniat membantumu untuk
menghadapi kawanan begal itu, jadi kau tid ak perlu membalas budi
kepadaku.”
"Aku sendiripun berbuat begitu bukan karena ingin membalas
budi, kau toh sudah tahu, setiap kali sedang berlatih ilmu maka aku
akan kehilangan kesadaran, bisa jadi dikemudian hari kita bakal
menghadapi lagi kejadian kejadian semacam ini. Bila kaupun bisa
memiliki kungfu hebat, bukankah dengan kemam-puanmu, kau bisa
melindungi keselamatan jiwaku?"
Mendengar penuturan itu, timbul perasaan ingin tahu di hati kecil
Lan Sui-leng, segera tanyanya, "Aku yang berlatih ilmu pernapasan
tingkat rendahan saja dapat melawan pengaruh dupa pemabok,
sementara kau yang melatih ilmu tingkat tinggi mengapa justru
kehilangan ingatan? Lantas apa keguna-an ilmu tenaga dalam
tingkat tinggi itu?"
"Kondisi kehilangan kesadaran yang kualami hanya sementara
sifatnya, di kemudian hari tentu saja banyak sekali manfaatkan,”
kata Seebun Yan sambil tertawa, "misalkan saja diriku tadi, justru
karena aku telah mempelajari ilmu tenaga dalam ini, maka kekuatan
hawa murniku jadi amat dahsyat, aku bisa menggunakan sebilah
pedang untuk sekaligus menghabisi nyawa dua orang.”


"Aku hanya ingin mempelajari ilmu kepandaian yang bisa
menaklukan musuh, bukan ingin membunuh orang.”
"Budak bodoh, bila berhasil mempelajari ilmu sakti, mau
membunuh atau tidak, itu masalahmu sendiri yang bisa diatur
sesuai keinginan. Tapi bila ilmu yang kau pelajari kelewat cetek,
bukan saja kau tidak mampu membunuh lawan, malahan pihak
lawanlah yang akan membunuhmu, coba bagaimana kalau sampai
terjadi begitu?"
Lan Sui-leng segera manggut-manggut.
"Masuk diakal juga perkataanmu,” katanya.
"Jadi kau bersedia belajar ilmu dariku?"
Lan Sui-leng tidak langsung menjawab, dia berpikir sebentar
kemudian baru berkata, "Kalau kau ajari aku, akupun belajar. Cuma,
aku tidak mau memanggil suhu kepadamu, karena....”
Kontak Seebun Yan tertawa cekikikan, tukasnya, "Hey, siapa
yang ingin mengambil murid? Aku pun tahu kalau kau sudah
mempunyai guru lain.”
"Belum pernah diangkat secara resmi, dia hanya mau mengakui
diriku sebagai murid tidak resmi.”
"Usiaku hanya beberapa tahun lebih tua darimu, bila bersedia,
bagaimana kalau kita saling menyebut sebagai kakak beradik?"
Lan Sui-leng kegirangan setengah mati.
"Asal kau tidak keberatan, tentu saja aku bersedia,” sahutnya.
Berbicara sampai disitu, dia seperti ada yang dipikirkan, sepasang
matanya memandang Seebun Yan tanpa berkedip.
"Ada lagi yang ingin kau tanyakan?" ujar Seebun Yan kemudian.
"Apakah semua orang yang sedang berlatih ilmu pernapasan
tingkat tinggi, dia bakal kehilangan kesadaran? Aku pun pernah
melihat guruku sedang berlatih ilmu pernapasan, biarpun dia tidak
suka diganggu orang lain, tapi apa pun yang orang lain bicarakan,


dia masih dapat mendengarnya dengan jelas. Usianya jauh lebih tua
ketimbang dirimu, apakah tenaga dalam yang dilatihnya masih kalah
jauh bila dibandingkan dengan ilmu pernapasan tingkat tinggi mu?"
"Kehebatan dari ilmu silat terletak pada pemahaman, tinggi
rendahnya tenaga dalam pun tidak berpengaruh pada besar kecilnya
usia. Cuma kau jangan salah paham, aku bukan mengatakan kalau
tenaga dalam gurumu masih kalah dibandingkan aku, semua aliran
tenaga dalam memiliki ciri masing-masing, ada sementara tenaga
dalam meski sudah dilatih hingga mencapai tingkat yang paling
sempurna pun dia masih bisa merasakan keadaan di sekelilingnya.”
"Lantas tenaga dalam jenis yang mana terhitung paling tangguh
dan hebat?"
"Setiap perguruan mempunyai cara yang berbeda, karena itu sulit
untuk membandingkan aliran mana yang lebih hebat.”
Sebetulnya Lan Sui-leng masih belum begitu mengerti, tapi dia
merasa kurang leluasa untuk bertanya lebihjauh.
Darimana dia tahu kalau penjelasan dari Seebun Yan meski
bukanlah penjelasan yang ngawur, namun segala sesuatunya belum
tentu dia berbicara menurut fakta dan kenyataan.
Hal ini disebabkan Seebun Yan sama seperti Tonghong Liang,
menyimpan rencana pribadi yang tidak ingin diketahui orang.
Ternyata tenaga dalam yang sedang dia latih saat ini merupakan
perpaduan antara tenaga dalam aliran lurus dan aliran sesat,
walaupun cepat sekali hasilnya namun menyimpan bibit bencana
yang amat berbahaya, ketika dilatih hingga mencapai tingkatan
paling puncak, kalau sedikit saja kurang berhati-hati, niscaya akan
muncul gejala Cau-hwee-jip-mo (jalan api menuju neraka).
Dia minta Lan Sui-leng untuk menerangkan pelajaran kungfu
yang dipelajarinya dari Bu-tong-pay, tujuannya pun sama seperti
tujuan Tonghong Liang, ingin memahami seluk beluk ilmu silat aliran
Bu-tong-pay, biarpun gadis itu baru pemula, namun baginya akan
mendatangkan manfaat yang luar biasa.


Sementara pembicaraan masih berlangsung, Lan Sui-leng telah
berganti pakaian, maka Seebun Yan pun berkata, "Mari kita tengok
keluar.”
Mayat pertama yang tergeletak diatas lantai adalah mayat lelaki
jangkung itu, dia terkapar dengan wajah menghadap ke atas, pisau
pendek milik Lan Sui-leng tampak tertancap pada tenggorokannya.
Di luar halaman ada cahaya rembulan, walaupun tidak terlampau
terang namun terlihat dengan jelas lubang luka berdarah yang
menganga diatas teng-gorokan orang itu.
Lan Sui-leng merasakan jantungnya berdebar keras, dia tidak
berani menyaksikan adegan seram yang ada dihadapannya, buruburu
kepalanya berpaling ke arah lain.
Dengan seksama Seebun Yan memeriksa wajah orang itu,
kemudian setelah mencabut pisau pendek itu dan membersihkan
noda darahnya, dia serahkan kembali kepada Lan Sui-leng sambil
berkata, "Aku tidak kenal dengan orang ini.”
Mayat kedua adalah jenasah lelaki pendek itu, pedang telah
menembusi punggung hingga jebol dari dadanya, dia roboh
tertelungkup di atas tanah.
Di atas punggungnya muncul sebuah lubang luka yang
menganga lebar, darah segar masih mengalir keluar dengan
derasnya.
Kali ini Lan Sui-leng menutup wajahnya rapat rapat, dia makin
tidak berani menyaksikan adegan itu.
Kembali Seebun Yan membalikkan mayat itu, setelah diperiksa
sebentar, lagi lagi dia menggeleng, "Aku pun tidak kenal dengan
orang ini.”
Mayat ke tiga adalah jenasah Han Toako, dia terpantek diatas
dinding pekarangan.
Lan Sui-leng betul-betul merasa mual dan ingin tumpah,
pintanya, "Tolong jangan kau turunkan jenasah itu, aku takut!"


"Aku tidak perlu lagi meneliti wajah orang ini,” kata Seebun Yan,
"sewaktu berada di kamar tadi aku telah melihatnya dengan jelas.”
Sambil berkata dia melepaskan ikat pinggangnya, lalu dengan
gerakan Ui-hu-jiong-siau (angsa kuning menembus langit) tubuhnya
melambung ke udara, ikat pinggangnya digetarkan ke muka
menggulung pedang yang menancap ditubuh mayat itu, begitu
disentak, pedang tersebut langsung tergulung lepas.
Sambil menyerahkan kembali pedang itu ke tangan Lan Sui-leng,
katanya, "Sungguh tidak enak, aku telah menodai senjata
andalanmu.”
"Aku sudah hampir muntah, ayoh kita cepat tinggalkan tempat
berdarah ini.”
"Sewaktu untuk pertama kalinya membunuh orang dulu, hatiku
pun merasa amat takut. Tapi lama kelamaan jadi biasa juga. Budak
bodoh, tampang macam kau juga ingin belajar berkelana dalam
dunia persilatan, mana bisa kau menghadapi orang mati.”
"Bagiku, lebih baik tidak ada kebiasaan seperti ini!" seru Lan Suileng
sambil buru-buru keluar dari halaman, kemudian serunya lagi,
"Aneh! Tidak seorangpun diantara mereka yang kau kenal, kenapa
mereka justru seolah kenal sekali dengan dirimu?"
"Aaah benar!"
“Ada apa?
"Masih ada satu kejadian lagi yang lebih aneh, sudahkah kau
berpikir sampai disitu?"
"Cepat beritahu kepadaku, aku malas untuk berpikir.”
Seebun Yan gelengkan kepalanya berulang kali, katanya, "Jika
dikemudian hari kau masih ingin berkelana dalam dunia persilatan,
lebih baik cobalah untuk sering menggunakan otakmu, apa jadinya
kalau segala sesuatu malas berpikir!"
Lan Sui-leng termenung dan berpikir bentar, ujarnya kemudian,
"Beberapa orang bandit itu sudah membuat keonaran besar di


tempat ini, heran, kenapa pemilik penginapan belum juga
menampakkan diri hingga sekarang?"
"Iya, benar juga, bukankah kejadian ini malah bertambah aneh?"
"Mungkinkah dia sudah dibunuh bandit-bandit itu?"
"Aku rasa tidak mungkin, sebab walaupun kungfu yang dia miliki
tidak terhitung tinggi, namun masih jauh lebih hebat bila
dibandingkan ke tiga bandit busuk itu.”
"Kalau memang begitu, mengapa hingga kau berhasil membunuh
kawanan bandit itupun belum nampak dia munculkan diri?
Bukankah kau sudah kenal lama dengan dirinya?"
"Benar juga, itulah sebabnya akupun merasa bertambah heran,
selain itu, tamu yang menginap di rumah penginapan ini kan bukan
hanya kita berdua, ke mana perginya tamu tamu yang lain? Ehmm,
daripada menduga yang bukan-bukan, lebih baik kita segera pergi
menengok.”
Dengan membawa penerangan dia mulai mendobrak kamar tidur
pemilik losmen, ternyata selimut diatas ranjang masih terasa
hangat, namun sang pemilik losmen sudah tidak nampak lagi batang
hidungnya.
Dalam losmen itu terdapat enam, tujuh buah kamar, namun
ketika semua kamar didobrak, tidak nampak seorang tamu pun
disitu.
Akhirnya tibalah gadis itu di kamar tidur yang di tempati
pembantu bisu tuli, kata Seebun Yan kemudian, "Bila dugaanku
tidak keliru, semestinya pelayan tua itupun sudah ikut kabur.”
Siapa sangka begitu pintu dibuka, di luar dugaan, pelayan tua itu
masih terlihat berada dalam kamar.
Hanya sayangnya dia sudah bukan seorang yang hidup, tapi
orang mati! Tubuh pelayan tua itu terkapar dengan seluruh tubuh
berpelepotan darah, bahkan lantai pun penuh dengan noda darah.
Tapi di samping mayat terlihat ada dua huruf besar yang ditulis


dengan darah, “Lu Juan". Huruf itu ditulis miring tidak beraturan.
Kalau huruf "Lu" ditulis sangat besar maka huruf "Juan" hanya
terdiri dari tiga guratan memanjang, selain kurus garisnya pun amat
kecil, bahkan hanya setengah dari huruf "Lu" itu sendiri.
Sambil menghembuskan napas panjang gumam Seebun Yan,
"Akhirnya berhasil juga ditemukan titik terang.”
"Dimana?"
"Ada dihadapanmu. Makanya aku bilang apa, kalau ingin
berkelana dalam dunia persilatan, nyali kecil mah tidak bakalan
sanggup. Misalkan saja titik terang ini, kalau kau tidak berani
melihatnya, mana mungkin tulisan itu bisa kau temukan?"
"Maksudmu tulisan Lu Juan itu?"
"Bukan Lu Juan, tapi Lu Sun. Mungkin karena huruf Lu terdiri dari
banyak guratan maka sewaktu selesai menulis huruf Lu, dia sudah
kehabisan tenaga hingga tidak mampu merampungkan huruf Sun.
Ketika tertulis setengah, dia sudah keburu menghembuskan napas
terakhir.”
"Darimana kau bisa tahu kalau itu huruf Sun?"
"Lu Sun adalah pemilik losmen ini. Sesaat sebelum meninggal,
dia sengaja menulis nama ini, tujuannya tidak lain adalah ingin
memberitahukan kepadaku kalau pembunuh yang
ingi)$
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru Cerita Silat Populer : BuTong It Kiam 1, cersil terbaru Cerita Silat Populer : BuTong It Kiam 1, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru Cerita Silat Populer : BuTong It Kiam 1, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru Cerita Silat Populer : BuTong It Kiam 1
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Silat Populer : BuTong It Kiam 2 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Silat Populer : BuTong It Kiam 2 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cerita-silat-populer-butong-it-kiam-2.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Silat Populer : BuTong It Kiam 2 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Silat Populer : BuTong It Kiam 2 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Silat Populer : BuTong It Kiam 2 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cerita-silat-populer-butong-it-kiam-2.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar