Cerita Silat Seru Lucah : Bara Maharani 4

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Senin, 26 Desember 2011

Cerita Silat Seru Lucah : Bara Maharani 4

“Hati manusia sukar diduga, andaikata Giok Teng
Hujien ada maksud hendak mencelakai Siau Koan-jin,
bukankah kedatangan kita kali ini hanya akan
menghantarkan kematian sendiri dengan sia-sia belaka??
Kau tidak merasa terlalu penasaran?”
“Giok Teng Hujien tak mungkin bakal mencelakai
jiwaku!”
“Kenapa??” tanya Hoa In dengan pikiran tak habis
mengerti.
Tertegun hati si anak muda itu, setelah termenung
beberapa saat lamanya ia menjawab, “Aku sendiripun tak
bisa mengatakan apa sebabnya hanya aku merasa yakin
bahwa Giok Teng Hujien tak mungkin akan mencelakai
jiwaku”
Hoa In adalah seorang pelayan tua yang amat setia
terhadap majikannya, dia pandang keselamatan pemuda
itu jauh lebih penting daripada keselamatan diri sendiri,
Sedangkan Giok Teng Hujien adalah seorang perempuan

yang sudah tersohor namanya dalam dunia persilatan dia
merupakan pula seorang perempuan misterius yang tidak
diketahui asal usulnya oleh siapapun, Setelah Hoa Thianhong
tak sanggup menemukan asalnya, tentu saja
pelayan tua itu merasa semakin kuatir.
Tetapi waktu Hoa Thian-hong yang gagah,
bersemangat tidak jeri menghadapi ancaman bahaya
membuat dia tak sanggup untuk memberi nasehat lagi,
terpaksa dengan hati penuh curiga dia tetap
membungkam da1am seribu bahasa.
Kurang lebih setelah melakukan perjalanan satu jam
lamanya, sampailah mereka ditepi samudra bebas.
ombak besar yang menggulung di tengah lautan
memecah ditepian
Hoa Thian-hong alihkan sorot matanya menyapu
sekejap ke sekeliling tempat itu, dia lihat di atas sebuah
bukit kecil berdirilah sebuah gedung megah yang terbuat
dari batu putih. tembok pekarangan terbuat dari batu
putih pula dengan pintu besar berwarna merah, dibalik
tembok
taman bunga terbentang luas dengan bunga yang
beraneka ragam membuat pemandangan di sekitar situ
nampak indah dan serasi.
Tiba-tiba Pui Che-giok bersuit nyaring, Soat-jie rase
salju itu segera berteriak kegirangan bagaikan segulung
asap dia melayang ke arah depan dan dalam sekejap
mata lenyap di balik gedung megah tersebut.

“Sungguh cepat larinya makhluk itu!” puji Hoa In
dengan sepasang alis berkerut.
Hoa Thian-hong tertawa, “Kau belum pernah
menjumpai kepandaiannya dalam bertempur melawan
jago lihay asal ilmu silatnya rada cetek niscaya orang
orang itu tak mampu bisa menandingi dirinya”
JILID 21 : Cinta kasih Giok Teng Hujin
AKU dengar makhluk aneh ini berasal dari wilayah See
Ih, entah bagaimana caranya dia menyesuaikan diri
dengan iklim di wilayah Kanglam yang hangat ini?”
“Di wilayah See Ih toh terdapat pula musim semi dan
musim panas, disitu kan bukan sepanjang tahun tertutup
salju melulu….”
Sementara pembicaraan masih berlangsung Pui Chegiok
telah membawa kedua orang itu mendaki ke atas
bukit dan tiba di depan gedung megah terbuat dari batu
putih itu.
Tampaklah dua orang dayang kecil membuka pintu
segera muncullah Giok Teng Hujien yang nampak agung
dan cantik di balik dandanannya yang mewah.
Pui Che-giok lari masuk lebih dahulu, serunya dengan
suara riang, “Hujien, Siau-ong-ya telah tiba!”

Giok Teng Hujien berdiri disisi pintu, biji matanya yang
jeli berputar dan menatap wajah Hoa Thian-hong dengan
penuh senyuman.
Hoa Thian-hong segera melangkah masuk ke dalam
ruangan, serunya kembali memberi hormat, “Kedatangan
siaute gegabah dan kasar sekali, bila mengganggu
ketenangan cici harap suka dimaafkan!”
Giok Teng Hujien tertawa, dia pandang sekejap wajah
orang dari atas sampai ke bawah, kemudian tegurnya,
“Kau telah bertempur dengan siapa?”
Sebelum Hoa Thian-hong sempat menjawab, Pui Chegiok
telah berseru lebih dahulu, “Dengan Yan-san It-koay
dari perkumpulan Hong-im-hwie, dia telah bertempur
semalamam suntuk, hampir saja selembar jiwanya ikut
melayang.
Giok Teng Hujien tertunduk sedih, bagaikan sedang
menegur pemuda itu dia berkata.
“Apa gunanya sih bertarung melawan orang dengan
taruhan nyawa….”
“Makhluk tua itu adalah pembunuh yang telah
mencabut jiwa ayahku!, aku harus membinasakan dirinya
untuk membalaskan dendam ayahku”
Ia menuding ke arah Hoa In dan memperkenalkan.
“Dia adalah pembantu yang mendampingi mendiang
ayahku, dan bernama Hoa In.

“Oooh…! Kiranya Lo Koan-kee, maaf… maaf…”
sambung Giok Teng Hujien dengan cepat.
Dari sikap mesranya terhadap sang majikan muda,
diam-diam Hoa In menggerutu di dalam hati. Tetapi
menghadapi sapaan yang begitu hangat, dia merasa
tidak sepantasnya kalau dia tunjukan sikap kurang sedap
apalagi dari nada suaranya sama sekali tidak
memandang dirinya sebagai orang bawahan.
Sambil memberi hormat sahutnya, “Tidak berani…..
maaf bila aku telah mengganggu ketenangan Hujien”
Giok Teng Hujien tersenyum, dia gandeng tangan Hoa
Thian-hong dan segera diajak masuk ke dalam, ujarnya,
“Bukankah pasukan besar dari pihak Hong-im-hwie serta
Sin-kie-pang belum tinggalkan kota Ceng kang? Apakah
kau menyusul kemari secara diam-diam…..?” Hoa Thianhong
mengangguk.
“Aku sengaja datang kemari untuk menjumpai diri
cici!” sahutnya.
“Apakah ada urusan penting?”
Hoa Thian-hong tidak langsung menjawab, dia merasa
tidak leluasa untuk bicara terus terang karena dalam
ruangan itu di samping terdapat Pui Che-giok serta dua
orang dayang kecil tadi, dari dalam ruangan muncul pula
dua orang gadis muda berusia tujuh enam belas
tahunan.

“Tiga kekuatan besar dalam dunia persilatan sedang
terjadi pertikaian dan tanpa sadar siau te ikut terseret di
dalam kancah kekalutan ini,” katanya cepat, “karena itu
aku merasa kesal sekali, sengaja aku datang kemari
untuk mengunjungi cici sampai menghilangkan semua
kemurungan yang memenuhi dalam benak “
Giok Teng Hujien tertawa, sinar matanya berkilat dan
mengerling sekejap ke arah pemuda itu dengan
pandangan mesrah.
“Dimanakah Pek Kun-gie? Bagaimana tanggung
jawabmu terhadap Pek Siau-thian?” ia menggoda.
Merah jengah selembar wajah Hoa Thian-hong.
“Apa yang musti aku pertanggungjawabkan?”
sahutnya sambil tertawa.
“Apa yang menjadi kesulitan siaute rasanya cici tentu
memahami juga bukan?”
“Cisss…….! Kau ini makin berbicara semakin tidak
genah, kenapa ngomongnya tidak karuan?”
Sementara itu semua orang sudah memasuki sebuah
ruangan besar yang sama sekali tertutup, setelah
menghidangkan air teh Giok Teng Hujien segera
memerintahkan dayangnya untuk menyiapkan hidangan.
Beberapa saat kemudian meja perjamuan telah diatur,
Hoa Thian-hong duduk di kursi utama didampingi oleh

Giok Teng Hujien di sisinya, sedang Hoa In duduk di
kursi sebelah bawah.
Sepanjang perjamuan berlangsung, Giok Teng Hujien
turun tangan sendiri melayani kedua orang itu bersantap
dan minum arak, sikap yang begitu hangat membuat
suasana berjalan dengan meriah.
Setelah meneguk secawan arak, Hoa Thian-hong
berkata sambil tertawa, “Gedung ini sungguh megah dan
indah sekali, kecuali cici dan beberapa orang nona,
apakah masih ada orang lainnya lagi?”
“Masih ada beberapa orang nenek tua!” Ia berhenti
sebentar, sambil tertawa tambahnya, “Tua muda yang
tinggal dalam gedung ini semuanya terdiri dari kaum
wanita, tak seorangpun pria yang tinggal disini”
“Tempat ini jauh letaknya dari markas besar, apakah
kau tidak merasa kerepotan kalau musti pergi datang
melakukan perjalanan sejauh ini?…..”
Giok Teng Hujien tertawa.
“Meskipun aku tergabung di dalam perkumpulan
Thong-thian-kauw, namun gerak-gerikku sama sekali
tidak terikat oleh siapapun juga, mau dinas atau tidak
siapapun tidak pernah mencampuri urusanku, kecuali
menghadapi urusan yang maha penting aku baru pergi
ke markas besar”
“Apakah kaucu dari perkumpulan Thong-thian-kauw
juga berdiam di dalam kuil It-goan-koan?”

“Apakah kedatanganmu ke selatan kali ini tujuannya
adalah mencari Thong-thian-kauwcu?” tegur Giok Teng
Hujien dengan alis berkerut.
Sambil tertawa Hoa Thian-hong menggeleng.
“Aku sama sekali tidak kenal dengan dirinya, buat apa
musti pergi mencari dirinya?”
Rupanya Giok Teng Hujien tidak ingin menyaksikan
pemuda itu bentrok langsung dengan ketua dari
perkumpulan Thong-thian-kauw itu, mendengar ucapan
tersebut dengan wajahnya serius dia menjawab, “Kalau
memang tujuanmu bukan mencari kaucu dari
perkumpulan Thong-thian-kauw, buat apa kau musti
urusi dimanakah ia berdiam”
Setelah termenung kembali beberapa saat lamanya,
dia berkata lagi, “Nama besar Yan-san It-koay telah
menggetarkan seluruh dunia persilatan, darimana
mungkin kau bisa menandinginya?”
“Kita telah maju bersama!” sahut Hoa Thian-hong
sambil, menuding ke arah Hoa In.
Pui Che-giok yang ketika itu berdiri di samping meja
perjamuan segera menyela pula sambil tertawa,
“Kongcu-ya galak sekali, barusan dia hendak mencabut
selembar jiwaku….”
Giok Teng Hujien tertawa, dan tidak menggubris
ucapan pelayannya itu, sambi1 memenuhi cawan emas

Hoa Thian-hong dengan arak wangi katanya lagi, “Sudah
hampir mendekati tengah hari, minumlah secawan arak
lagi dan segera bersantap.
Selesai bersantap pelayan muncul menghidangkan teh
wangi. Hoa Thian-hong yang melihat di sekitar sana
terdapat banyak orang, mulutnya selalu bungkam
terhadap tujuan yang sebenarnya, sedang Giok Teng
Hujien pun tidak bertanya lagi tentang persoalan itu.
Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan tengah hari
lewat.
“Adik Hong!”
Giok Teng Hujien segera bangkit berdiri sambil
berseru, “Mari kutemani dirimu berlarian sebentar ditepi
pantai, pemandangan disana indah sekali.”
Diri sikap perempuan itu, Hoa Thian-hong tahu bahwa
dia tidak ingin Hoa In ikut serta dalam perjalanan itu,
maka kepada pelayan tua itu segera pesannya, “Aku
akan pergi sebentar ditemani oleh Hujien, kau tak usah
menemani aku lagi…..setelah melakukan perjalanan
selama beberapa hari, ini hari kau boleh beristirahat.”
Meskipun Hoa In tak mau tapi ia tak berani
membantah perintah majikan mudanya, bibirnya
bergetar seperti mau bicara namun tak sepatah katapun
yang meluncur keluar.

“Che-giok, siapkan tempat tinggal!” perintah Giok
Teng Hujien pula, “baik-baiklah layani pengurus tua,
jangan sampai bertindak ayal hingga kurang pelayanan!
“Budak terima perintah!”
Dengan membawa serta makhluk anehnya Soat-jie,
berangkatlah Giok Teng Hujien serta Hoa Thian-hong
tinggalkan gedung megah itu dan turun dari bukit, sambil
bergandengan tangan mereka lari menuju ke tepi laut.
Beberapa saat kemudian racun teratai yang mengeram
di dalam tubuh Hoa Thian-hong mulai bekerja, semakin
lari semakin kencang, Giok Teng Hujien segera
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk
mengiringi disisinya, sedang Soat-jie sambil menjerit
kegirangan menyusul dari belakang, rupanya dia ikut
bergirang hati atas kesenangan majikannya.
Setelah berlarian beberapa waktu, ditepi pantai laut
muncullah pantai berpasir yang amat luas, dua manusia,
seekor binatang segera berlari kencang di atas pantai
berpasir itu.
Ketika Hoa Thian-hong menyaksikan di atas jidat Giok
Teng Hujien telah basah bermandikan keringat, ia jadi
tak tega buru-buru serunya, “Cici, beristirahatlah lebih
dulu, biar siaute berlarian seorang diri!…..”
“Aaah! tak apa, merasa senang sekali untuk berlari-lari
disisimu, dengan begini otot-otot tubuhku ikut jadi
lemas” jawab Giok Teng Hujien sambil tertawa keras.

Karena perempuan itu tetap ngotot untuk ikut lari,
terpaksa Hoa Thian-hong membiarkan dia untuk tetap
berlari di sisinya.
Tengah hari di musim panas yang menyengat badan,
benar-benar merupakan penderitaan yang berat untuk
berlari di udara terbuka, Hoa Thian-hong yang bertujuan
untuk menyebarkan kadar racun di badan dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.
Belum jauh dia berlari sekujur badannya sudah basah
kuyup oleh keringat. Giok Teng Hujien sendiri sekalipun
telah lari dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh,
namun satu jam kemudian seluruh tubuhnya telah basah
pula oleh air keringat.
Beberapa Waktu kemudian kadar racun di tubuh Hoa
Thian-hong telah tenggelam kembali ke dasar Tam thian
(Pusar), setelah rasa sakit di tubuh berkurang, iapun
menghentikan larinya sembari berkata, “Aaaah…….!
Sekarang sudah baikan, ayoh kita beristirahat!”
Sambil mengerut dada, Giok Teng Hujien
menghembuskan napas panjang, tiba-tiba serunya sambil
tertawa, “Ayoh kita terjun kelaut dan mandi!” Ia tarik
tangan pemuda itu dan lari menuju kelautan.
“Eei…..jangan……” teriak Hoa Thian-hong sambil
menghentikan langkah kakinya.
“Jangan kuatir, toh di sisi ada aku, kau tak bakal mati
tenggelam……. ayolah……”

“Bukan begitu, dalam sakuku terdapat beberapa
lembar kertas yang berisi catatan ilmu silat, kalau kena
air kertas itu bisa hancur”
Giok Teng Hujien tertawa, ia berjongkok melepaskan
sepatu dan kaos kaki pemuda itu kemudian melepaskan
pula ikat pinggang serta jubah luarnya……
Merah jengah selembar wajah Hoa Thian-hong, dia
ambil keluar catatan ilmu Ci yu ciat tersebut, ketika
melihat catatan itu tidak rusak, segera dimasukkan
kembali ke dalam sakunya.
“Adik Hong, aku punya kaki yang besar, engkau tak
jemu bukan?” seru Giok Teng Hujien tiba-tiba sambil
tertawa ringan.
Perlu diketahui pada jaman dahulu kala, di daratan
Tionggoan berlaku kebiasaan dimana kaum waniia sejak
kecil kakinya diikat dengan kain sehingga sewaktu
menginjak dewasa, kaki mereka rata-rata kecil dan tidak
normal. Air muka Hoa Thian-hong berubah semakin
merah padam.
“Cici, kau pandai sekali bergurau, siaute tidak kuat
menahan diri………” serunya.
Giok Teng Hujien tertawa terbahak-bahak, ia lepaskan
ikat pinggangnya dan mencopot gaun panjang, Hoa
Thian-hong tersipu-sipu, dengan cepat ia loncat kemuka
dan terjun ke dalam air.

“Adik Hong…..” tiba-tiba Giok Teng Hujien berseru
dengan suara manja. Hoa Thian-hong segera berpaling,
ia lihat sesosok tubuh yang putih bersih meluncur dari
tengah udara dan menerjang ke arahnya, dalam gugup
dan gelagapannya ia rentangkan tangan dan memeluk
bayangan itu erat-erat.
Terasalah segumpal tubuh yang lunak dan halus
menempel di tubuhnya, ia semakin gugup, buru-buru
tubuh perempuan itu dipeluk dan dilepaskan di dalam air.
Sebagai pemuda yang dibesarkan di atas gunung, ia
tak tahu ilmu dalam air, berada di air yang dangkal si
anak muda itu tak tahu menyembunyikan Giok Teng
Hujien disana.
Perempuan itu tertawa cekikikan, sepasang lengannya
yang putih halus dan telanjang memeluk tubuh pemuda
itu erat-erat, sampai matipun tak dilepaskan, memaksa
Hoa Thian-hong terpaksa pejamkan mata dan buru-buru
maju ke depan hingga ke dalam air yang lebih tinggi.
Ketika sampai di dasar laut yang tingginya mencapai
seleher, ia baru berani membuka matanya kembali.
“Ayoh maju lagi ke depan!” seru Giok Teng Hujien
sambil tertawa cekikikan, “terus maju sampai di istana
Liong kiong….”
“Cici, berdirilah yang tegak, hati-hati kalau sampai
digulung ombak dan tenggelam ke dasar laut!”

Giok Teng Hujien tertawa semakin keras, dia gesekkan
pipinya di atas wajah pemuda itu dan serunya, “Biarlah
kita mati bersama agar pada penitisan yang akan datang
dapat hidup sebagai suami istri, bukankah keadaan itu
lebih baik?”
Hoa Thian-hong gelengkan kepalanya berulang kali.
“Banyak urusan yang belum siaute selesaikan, aku tak
ingin putus nyawa diusia muda!”
“Seandainya persoalanmu telah beres semua?” Giok
Teng Hujien balik bertanya sambil menatap wajahnya
tajam-tajam.
Hoa Thian-hong menghela napas panjang.
“Cici, engkau pasti tahu bukan penyakit dari
siaute……!” serunya.
Tidak menunggu pemuda itu menyelesaikan katakatanya,
Giok Teng Hujien segera menukas, “Aku tahu
darahmu mengandung racun, selama hidup tak bisa
punya bini…… bukankah begitu?”
Dia menghela napas panjang, setelah berhenti
sebentar terusnya, “Aku tahu tak punya rejeki sebesar itu
untuk menjadi binimu, yang kuharapkan hanya hatimu
bukan badanmu!”
“Hati siaute telah kupersembahkan bagi kesejahteraan
umat Bulim” bisik sang pemuda dengan kepala
tertunduk.

“Itu tak jadi soal” desak Giok Teng Hujien lebih jauh,
“hati pendekar sudah sewajarnya dipersembahkan untuk
kesejahteraan umat persilatan, yang kutanya adalah
hatimu dalam soal cinta, hendak kau persembahkan
kepada siapa? Chin Wan-hong? Atau Pek Kun-gie?”
Tertegun hati Hoa Thian-hong mendengar teguran itu,
pikirnya di dalam hati, “Seandainya ditanya cintaku yang
sejati, maka harus kujawab hatiku telah kupersembahkan
untuk enci Wan-hong……”
Sudah tentu perkataan semacam ini tidak sampai ia
utarakan keluar.
Berbicara tentang kecantikan, raut wajah Chin Wanhong
kalah jika dibandingkan dengan Pek Kun-gie apalagi
kalau dibandingkan dengan Giok Teng Hujien, dalam hal
hubungan sehari-hari, daya tarik dan keluwesan, di
dalam hubungan baik Chin Wan-hong mau pun Pek Kungie
kalah kalau dibandingkan dengan Giok Teng Hujien.
Kadangkala soal cinta muda-mudi memang aneh
sekali, seperti Hoa Thian-hong yang dikerumuni gadisgadis
cantik, ternyata ia lebih memandang berat diri Chin
Wan-hong dari pada perempuan yang lain kendati gadis
yang lain jauh lebih cantik dan menarik.
Begitulah, ketika Giok Teng Hujien melihat pemuda itu
termenung dan lama sekali tidak bicara, ia segera
mengguncangkan tubuhnya sambil berseru manja,
“Cepat katakan, hatimu akan kau berikan kepada siapa?

Kenapa sih membungkam? Apa susahnya untuk
menjawab?”
Hoa Thian-hong dibikin apa boleh buat, terpaksa
sambil tertawa jawabnya, “Hatiku tak akan diberikan
kepada siapa pun, biar kutahan untuk diriku sendiri!”
“Ciiss……”
Segulung ombak menggulung datang
menenggelamkan kedua orang itu ke dasar lautan, tubuh
Hoa Thian-hong keterjang hebat sampai terseret mundur
beberapa tombak jauhnya dari tempat semula, buru-buru
ia keluarkan ilmu bobot seribu untuk menahan badannya.
Giok Teng Hujien amat bangga dan senang melihat
pemuda itu gugup dan gelagapan sendiri, teriaknya.
“Ayoh cepatlah mundur kalau tidak kau akan benarbenar
tenggelam di laut dan mati!”
Walaupun Hoa Thian-hong memiliki serangkai ilmu
silat yang mengejutkan, namun saat itu hatinya dibikin
jeri juga oleh air laut yang menggulung hebat, terutama
sekali karena ia tak kenal ilmu berenang dan baru
pertama kali terjun ke laut, tanpa memperdulikan tubuh
telanjang yang berada di dalam pelukannya lagi ia
berseru keras dan buru-buru mengundurkan diri ke atas
daratan.
Setelah tiba di pantai berpasir, dengan setengah
merengek Hoa Thian-hong memohon.

“Oooh…! cici yang baik, cepatlah berpakaian, kalau
sampai terlihat orang kita bakal malu”
“Haaah…haaah…” Giok Teng Hujien tertawa cekikikan,
”Soat-jie berjaga-jaga di sekitar tempat ini, siapa yang
mampu menerobos kemari…?”
Sepasang kakinya mengait, bersama tubuh Hoa Thianhong
mereka roboh terjengkang ke atas tanah.
Mereka bertindihan satu sama lainnya dan berbaring di
atas pantai berpasir, ketika Hoa Thian-hong menjumpai
perempuan itu tidak menunjukkan gejala untuk maju
setindak lebih maju, diapun lantas membungkam dan
membiarkan lawannya bertingkah sesuka hatinya.
Giok Teng Hujien memeluk tubuh Hoa Thian-hong
kencang-kencang, tubuhnya yang putih, montok dan
padat berisi menindih di atas tubuhnya, pipi bergeser pipi
dada bergeser dada, kaki bergesek kaki menimbulkan
suatu perasaan yang aneh sekali……
Lama kelamaan Hoa Thian-hong terpengaruh juga
oleh nafsu birahi, jantungnya berdebar keras tapi
kesadaran masih ada, cepat-cepat ia pusatkan pikiran
dan membentak dengan suara lirih, “Cici, apakah kau
sudah bosan hidup? ingat racun dalam tubuhku……”
“Huuh…….. siapa yang sungguhan? Aku toh cuma
main-main saja!” seru Giok Teng Hujien sambil
meliukkan pinggangnya makin menjadi.

“Cici……aku tidak tahan……..kalau aku sampai berbuat
nekad….kau jangan salahkan aku loo…… apalagi kalau
jiwamu sampai melayang……..”
“Mati yaah biar… daripada musti menderita akibat
patah cinta, hidup di kolong langit malah sengsara,” bisik
Giok Teng Hujien sambil membenamkan kepalanya
dalam pelukan pemuda itu.
“Bodoh…bila kau mati dalam keadaan seperti itu,
orang pasti akan mentertawakan dirimu”
Setelah berhenti sebentar dia belai rambut Giok Teng
Hujien yang basah kuyup lalu berbisik lagi dengan suara
lirih, “Cici, kau she apa? Bolehkah aku tahu si apakah
namamu?”
“Aku she Siang bernama Hoa,” jawab perempuan itu
sambil tertawa cekikikan.
“Cici suka amat bergurau, atau engkau memang tak
suka nama aslimu diketahui orang?”
“Kau apa tidak percaya?” seru Giok Teng Hujien sambil
angkat kepala, “itulah nama asliku, Siang Hoa artinya
hatiku tertuju kepadamu (Hoa atau Hoa Thian-hong)….!”
Hoa Thian-hong tahu kalau perempuan itu sengaja
bergurau dan menciptakan nama palsu untuk
membohongi dirinya, melihat ia bersandar di tubuhnya
dengan begitu mesra dan nikmat, ia jadi serba salah.

“Baik…..baiklah….kalau memang bernama Siang Hoa
kuakan sebut dirimu sebagai Siang Hoa, pokoknya
hatimu senang itu sudah cukup!”
“Kalau begitu panggillah aku enci Siang Hoa……” pinta
perempuan itu manja.
Hoa Thian-hong tersenyum.
“Enci Siang Hoa, berapa usiamu tahun ini?” tanyanya.
“Lebih besar satu tahun darimu!”
“Lebih baik kita jangan membicarakan soal tetek
bengek lagi, siaute ada satu urusan penting hendak
dibicarakan dengan cici, apabila cici tahu maukah engkau
memberi tahu dengan jujur?”
Giok Teng Hujien mengangguk.
“Nyawapun aku rela berikan kepadamu, masa
menjawab saja tak mau……. cepat utarakan
pertanyaanmu itu”
Jawaban itu diutarakan dengan bebas dan leluasa,
membuat orang sama sekali tidak curiga.
Dengan terus terang Hoa Thian-hong berkata, “Siaute
ingin mencari tahu duduk perkara yang sebenarnya
tentang latar belakang pembunuh terhadap Jin Bong,
siapakah pembunuhnya? Apa tujuannya? Apakah pedang
emas milik Jin Hian telah hilang dan siapakah otak yang
merencanakan pembunuhan tersebut?”

Sepasang alis Giok Teng Hujien kontan berkerut,
serunya, “Mau apa kau tanyakan masalah tentang
peristiwa itu? Ketahuilah semakin banyak yang kau tahu
semakin bahaya jiwamu!”
“Perkumpulan Sin-kie-pang, Hong-im-hwie dan Teng
Thian Kau tak mengijinkan siaute hidup di kolong langit,
siaute sendiripun tak senang mereka tetap berdiri tegak
di dalam Bulim, suatu hari mereka pasti akan bekerja
sama untuk menghadapi sekelompok kekuatan pihak
kami, karena itu siaute ingin menyelidiki latar belakang
dari peristiwa pembunuhan itu, serta berusaha untuk
mencari apakah ada kesempatan baik yang dapat
kupergunakan!….”
Giok Teng Hujien segera gelengkan kepalanya, dengan
suara lembut dia berkata, Lebih baik jangan mencari
kerepotan buat diri sendiri, semua persoalan serahkan
saja pada cici, kau hidup cicipun hidup, kau mati …”
“Cici tak akan mampu melindungi siaute” tukas Hoa
Thian-hong sambil gelengkan kepalanya.
Giok Teng Hujien tertegun, lama sekali ia baru berkata
dengan suara lirih, “Kejadian itu merupakan peristiwa
yang paling membuat hatiku menyesal, karena persoalan
itu kendati sekarang kucongkel keluar hatiku dan
mempersembahkannya kepadamu, belum tentu engkau
akan mengampuni jiwaku, belum tentu aku bisa
menggembirakan hatimu.”

“Cici, apa yang kau bicarakan? Siaute sama sekali
tidak mengerti …” seru sang pemuda kebingungan.
“Aaaai……aku maksudkan peristiwa yang terjadi
sewaktu di dermaga penyeberangan sungai Huang-ho,
tidak sepantasnya kalau aku berpeluk tangan belaka
melihat kau bunuh diri!”
Wajahnya kelihatan berubah jadi amat sedih dan
murung sehingga membikin hati orang yang melihat jadi
iba dan kasihan.
“Aaaai……lain dulu lain sekarang” ujar Hoa Thian-hong
sambil menghela napas, “tempo dulu kita baru bertemu
untuk pertama kalinya, kita berdua belum pernah kenal
dan punya hubungan persahabatan, lagipula disitu hadir
pula Cukat racun Yau Sut serta malaikat berlengan
delapan Cia Kim, sekali pun cici bermaksud menolong
aku, belum tentu situasi mengijinkan engkau berbuat
begitu”
Giok Teng Hujien gelengkan kepalanya berulang kali.
“Aaai…….! tidak benar……aku bernama Siang Hoa,
sudah sepantasnya kalau kutolong dirimu kendati harus
korban selembar jiwaku, bukankah aku bernama Siang
Hoa (condong ke Hoa)? Aaai….! waktu itu aku telah salah
berpikir, kini mau menyesalpun sudah terlambat …”
Perkataannya begitu menarik dan menawan hati
seakan-akan perempuan itu benar-benar menyesal
sekali, membuat Hoa Thian-hong jadi melongo dan
termangu-mangu.

“Kau marah kepadaku?” bisik Giok Teng Hujien lagi.
“Sejak pertama kali sampai sekarang aku tak pernah
marah kepadamu, kenapa aku harus marah?”
Giok Teng Hujien tertegun, kemudian serunya
kembali, “Hmm! Kau tentu marah… kau bilang sejak
pertama kali itu berarti kau pernah marah kepadaku.”
“Biar orang menganiaya diriku, aku tak akan
menganiaya orang lain, cici! jangan kau ucapkan katakata
yang tak ada artinya lagi, cepat ceritakan latar
belakang dari peristiwa tersebut, seru Hoa Thian-hong
dengan alis berkerut, “Kau ingin tahu?”
“Tentu saja, sedari dulu aku sudah tahu kau tentu
terlihat dalam peristiwa ini.
Giok Teng Hujien tertawa cekikikan.
“Boleh saja kalau suruh aku bicara, tapi kita musti
bermesraan dulu kalau tidak jangan harap aku mau
bicara”
Hoa Thian-hong merasa amat jengah, tapi apa boleh
buat? terpaksa ia peluk tubuh perempuan itu kencangkencang
kemudian mencium dan menggerayangi
tubuhnya, beberapa saat kemudian pemuda baru bicara
sambil tertawa, “Cici, kau terlalu romantis, sekarang tak
boleh bercanda lagi…. cepat ceritakan latar belakang dari
peristiwa berdarah itu”

“Peristiwa berdarah apa sih? Aku sama sekali tidak
mengerti!”
“Sebenarnya kau ingin bicara tidak?”
“Bicara soal apa?” bisik Giok Teng Hujien tertawa
cekikikan, perempuan itu tetap tak bicara.
“Siapakah yang membinasakan Jin Bong tersebut?”
Giok Teng Hujien yang selamanya binal dan tak dapat
disuruh tenang, saat ini berubah jadi jinak dan halus
sekali, sambil bersandar di tubuh Hoa Thian-hong
jawabnya dengan suara lembut, “Pui Che-giok yang
melakukan pembunuhan itu!”
“Pui Che-giok yang mana?”
“Itu tuh….. budak yang ada di rumah!”
“Kau ngaco belo!” teriak Hoa Thian-hong dengan
suara terperanjat.
Hubungan muda-mudi kadang kala memang aneh
sekali, tiba-tiba Hoa Thian-hong bersikap seolah-olah
dialah sang tuan rumah, sedang Giok Teng Hujien lebih
rendah dari seorang dayang, setelah gugup sebentar
ujarnya kembali dengan suara lirih, “Aku bicara
sungguhan kau tidak percaya, siapa sih yang berani
membohongi dirimu?”
“Ketika itu aku hadir pula di tempat tujuan, aku lihat
raut wajah sang pembunuh mirip sekali dengan Pek KunTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
gie kalau dibandingkan dayangmu itu wajahnya jauh
lebih cantik”
“Aku toh bisa merubah-rubah wajahnya menurut
kehendak hatimu, kalau tidak percaya entar malam akan
kusuruh dia merubah wajah!”
Jadi orang yang mengatur semua rencana besar ini
kecuali engkau apakah masih ada orang lain?” tanya
sang pemuda dengan pikiran bingung bercampur ragu.
“Oooh…. kalau soal ini sih rahasia yang amat besar,
tak boleh membiarkan pihak ke tiga ikut mengetahui”
“Oooh…jadi engkau seoranglah yang merencanakan
permainan setan ini? Apa tujuanmu?”
Giok Teng Hujien tertawa bangga, sahutnya,
“Tujuanku tentu saja pedang emas! Jin Hian telah
menyembunyikan pedang emasnya di dalam
perkampungan Liok Soat Sanceng dan menyimpannya di
bawah tempat pembaringan dari putranya, perbuatannya
itu begitu rahasia sekali sehingga Jin Bong si setan yang
sudah modar itupun tak tahu”
Hoa Thian-hong gelengkan kepalanya berulang kali.
“Sebenarnya apa sih kegunaan dari pedang emas itu?
Sampai dimana toh nilainya sehingga perlu engkau susun
rencana besar untuk merampasnya dari tangan orang
lain?”

Mendengar pertanyaan tersebut Giok Teng Hujien
segera tersenyum, jawabnya lembut, “Aku sendiripun tak
tahu apa kegunaan dari pedang emas itu, tetapi aku
memang punya kegunaannya yang lain”
“Apakah kegunaan itu?” tanya Hoa Thian-hong purapura
gusar, hatinya agak tercelos.
“Hiiiih…. hiiih… hiiih…” kembali perempuan itu tertawa
cekikikan, “Aaah, sekarang aku tak akan
memberitahukan kepadamu, lain kali saja….. kalau
waktunya sudah tiba baru kuberitahukan kepadamu!”
“Huuu….! cengar-cengir terus… ketahuilah urusan itu
mempunyai hubungan yang erat sekali dengan situasi
dalam dunia persilatan, ayoh cepat beritahu kepadaku
dengan sejelas jelasnya!”
“Ayo kita bermesraan lagi toh, nanti kuberitahukan
kepadamu!”
“Huuuh….kamu ini… benar-benar masih seperti anak
kecil….”
Karena terpaksa maka pemuda itupun mulai bercanda
dan bergurau kembali dengan perempuan tersebut,
sesaat kemudian Giok Teng Hujien menengadah ke atas
dan berbisik .
“Aku memerintahkan Che-giok mencuri pedang emas
tersebut, tujuannya tentu saja untuk meretakkan
hubungan antara perkumpulan Hong-im-hwie dengan
pihak Sin-kie-pang, tetapi kalau berbicara tentang tujuan

ku yang sebenarnya maka tindakanku ini bukanlah demi
kebaikan serta keberuntungan bagi pihak Thong-thiankauw!”
“Lalu demi apa kau berbuat demikian itut” tanya Hoa
Thian-hong dengan alis berkerut.
“Tentu saja demi engkau!”
“Sungguh membingungkan ceritamu itu,” omel sang
pemuda sambil tertawa keras, “waktu itu kita toh belum
pernah kenal, darimana kau bisa tahu akan diriku?”
Giok Teng Hujien tertawa cekikikan.
“Siapa yang bohong tentu dibasmi oleh Thian!……”
bisiknya.
“Sudahlah, jangan bergurau terus, sekarang
dimanakah pedang emas itu…..”
“Di rumah, entar kutunjukkan kepadamu sahut Giok
Teng Hujien serius, setelah tertawa misterius lanjutnya,
“benda itu berada pula di dalam pedang mustika milik
Thong-thian-kauwcu, jika kau dapat menggetar putus
pedang mustika pelindung badan milik Thong-thiankauwcu
dihadapan Jin Hian, maka pedang emas yang
tersembunyi di dalam pedang itu segera akan terjatuh
dan ketahuan rahasianya, waktu itu Jin Hian tentu akan
mata gelap dan menyerang Thian Ik Loo-to dengan
nekad!”

Hoa Thian-hong semakin kebingungan dibikinnya,
kembali ia bertanya, “Apa sih artinya? Masa sebilah
pedang emas dapat disimpan di dua tempat yang
berbeda? Kau tentu ngaco belo tak keruan…..cepat
katakan yang sebenarnya atau aku tak akan berlaku
sungkan-sungkan lagi terhadap dirimu!”
“Hiiih…hiiih…siapa yang suruh kau berlaku sungkansungkan?
Mau pukul mau maki itu hak dari sang suami,
aku sang istri sih tak bisa berbuat apa-apa selain
menerima….”
Ia berhenti sebentar, kemudian dengan suara lembut
katanya, “Pedang emas semuanya terdiri dari dua bilah,
satu pedang jantan dan yang lain pedang betina, pedang
jantan terjatuh ke dalam dunia persilatan dan baru saja
terjatuh kembali ke tanganku, sedang pedang betina di
sembunyikan di dalam pedang mustika pelindung badan
milik Thong-thian-kauwcu, persoalan ini rahasia sekali,
sampai Thian Ik Lo-too sendiripun tak tahu akan rahasia
ini.
“Pedang emas toh berada di dalam pedang mustika
milik Thian Ik-cu, masa dia sendiri pun tak tahu?”
0000O0000
29
Giok Teng Hujien tertawa bangga, ujarnya, “Delapan
tahun berselang, ketika secara kebetulan Thian Ik-cu
menemukan sebilah pedang yang bernama Boan liong
Poo kiam, pedang emas yang kecil itu sudah berada di

dalamnya, oleh karena sejak permulaan dia sudah tak
tahu, darimana ia bisa menduga kalau dibalik pedang
terdapat pula pedang lain?”
“Delapan tahun berselang?” tanya Hoa Thian-hong
dengan hati agak bergerak.
“Benar peristiwa ini terjadi pada delapan tahun
berselang” jawab Giok Teng Hujien sambil tertawa
manis.
“Aaai . .! Ketika itu aku masih muda sekali, usiaku
waktu itu mungkin sebaya dengan Chin Wan-hong serta
Pek Kun-gie pada saat ini”
“Apakah engkau yang menghadiahkan pedang Boan
liong Poo kiam tersebut kepada Thian Ik-cu?” sela sang
pemuda.
Giok Teng Hujien menggelengkan kepalanya berulang
kali.
“Siapa yang kesudian untuk menghadiahkan sendiri
benda itu kepadanya, aku sih suruh orang lain
menyampaikannya kepada dia, waktu itu dunia persilatan
masih tenang dan pelbagai partai sering kali mengirim
upeti baginya, maka Thian Ik-cu tak pernah memikirkan
hal-hal yang jelek….”
Hoa Thian-hong putar badannya dan membalik ke
atas, sekarang dia menindih tubuh Giok Teng Hujien
yang putih halus dan telanjang bulat itu di bawah
tubuhnya, dengan suara halus gertaknya.

“Ayo jawab dengan jujur, siapakah engkau? Apa
menyusup ke dalam tubuh partai Thong-thian-kauw?”
“Aku benar-benar bernama Siang Hoa. siapa sih yang
membohongi dirimu?” omel perempuan itu sambil
memeluk leher Hoa Thian-hong kencang-kencang.
“Aku tidak percaya! Siapa orang tuamu? dan siapa
pula suhumu!”
“Kecuali kau memang bersungguh hati kepadaku,
kalau tidak jangan harap bisa kau selidiki asal usulku!”
“Aku memang bersungguh hati kepadamu kalau aku
punya sedikit rasa cinta yang palsu maka aku akan….”
Belum habis ia berkata pemuda itu membungkam dan
tidak meneruskan kata-katanya lagi.
Giok Teng Hujien mengempit sepasang kaki Hoa
Thian-hong erat-erat, serunya manja, “Kau akan kenapa?
Kenapa tidak kau teruskan sumpahmu?”
“Aku bersungguh hati kepadamu, apakah kau tak tahu
apa yang hendak kulakukan jika aku bersungguh hati
kepadamu?”
“Kalau kau bersungguh hati kepadaku, maka selama
hidup kita harus seia sekata, sampai rambut putih tak
akan berpisah lagi..”

Tertegun hati Hoa Thian-hong mendengar perkataan
itu, dengan gelagapan serunya, “Tetapi diriku sudah
bukan menjadi milikku sendiri…..
Tiba-tiba terdengar seseorang mendengus dingin,
disusul suara teriakan gusar dari Soat-jie si rase salju itu
berkumandang di angkasa.
“Giok Teng Hujien berdua amat terperanjat mereka
angkat kepala dan memandang ke arah mana berasalnya
suara dengusan tadi, tampaklah sesosok bayangan tubuh
dengan kecepatan bagaikan kilat meluncur datang dan
segera menyambar pakaian milik Hoa Thian-hong.
Soat-jie si rase Salju dengan kecepatan bagaikan
sambaran kilat menerjang datang, namun tubrukannya
mengenai sasaran kosong.
Hoa Thian-hong jadi gelisah bercampur malu, bukan
saja malu karena perbuatannya yang tak senonoh
ketahuan orang, yang paling menggelisahkan adalah
kitab catatan Ci yu jit kiat tersebut berada di dalam saku
bajunya yang disambar orang.
Dalam gugup dan cemasnya ia membentak keras,
tubuhnya meloncat empat tombak ke depan dan segera
menerjang ke arah bayangan manusia itu.
“Binatang…. sungguh besar nyalimu!” maki seorang
perempuan tua yang serak dengan suara lantang.
Ploook….! Sebuah gaplokan nyaring bersarang telak di
atas pipi Hoa Thian-hong, membuat tubuhnya terlempar

sejauh delapan depa ke belakang dan jatuh berguling di
atas pantai berpasir, pipi kirinya terasa panas gatal dan
sakitnya bukan kepalang.
“Adik Hong…..” seru Giok Teng Hujien dengan nada
kuatir.
“Cici, cepat berpakaian!” teriak Hoa Thian-hong,
Ketika ia berpaling lagi, tampaklah bayangan manusia
di depan, Soat-jie di belakang dua sosok bayangan sudah
berlari sejauh puluhan tombak dari tempat semula, di
bawah sorot cahaya sang surya tampaklah dua sosok
bayangan saling berkejaran dengan kecepatan bagaikan
sambaran kilat.
Dalam pada itu Hoa Thian-hong sempat melihat orang
yang memberi pesan sebuah gaplokan kepadanya adalah
seorang nenek tua berbaju abu-abu yang membawa
sebuah tongkat di tangan dan rambutnya telah beruban
semua, tanpa berpikir panjang dia kenakan sepatunya
dan segera mengejar dari belakang.
“Adik Hong, tunggu sebentar!” teriak Giok Teng
Hujien.
“Aku hendak menangkap penjahat itu…..” jawab Hoa
Thian-hong keras-keras.
Walaupun Giok Teng Hujien tidak ingin nenek tua itu
berhasil meloloskan diri, namun diapun merasa tak
leluasa untuk mengejar musuhnya dalam keadaan
telanjang bulat, setelah pakaian dikenakan bayangan

tubuh dua orang manusia dan seekor binatang itu sudah
berada jauh sekali.
Dengan sekuat tenaga Hoa Thian-hong mengejar dari
belakang, akan tetapi bukan saja ia gagal untuk
menyusul orang itu bahkan jaraknya kian lama kian
tertinggal makin jauh, ia jadi malu bercampur gusar
dengan sekuat tenaga tubuhnya berlari makin kencang.
Pantai di sekitar propinsi Ci-tang lebih banyak pantai
berkarang dari pada pantai berpasir, setelah berlarian
beberapa saat lamanya tiba-tiba mereka berlari menuju
ke balik punggung bukit yang ada di dekat pantai, pada
saat itulah nenek tua itu telah menghentikan larinya dan
sedang melangsungkan pertarungan sengit melawan rase
salju tersebut.
“Aaah… Soat-jie benar-benar luar biasa,” pikir Hoa
Thian-hong di dalam hati.
Laksana kilat tubuhnya segera menerjang ke depan,
teriaknya, “Soat-jie, perketat seranganmu!”
“Huuuh……. sana, perketat seranganmu di dalam
laut!” bentak nenek tua itu dengan nyaring.
“Bersamaan dengan selesainya ucapan itu terdengar
Soat-jie menjerit kesakitan, tubuhnya berjumpalitan di
udara dan badannya segera terlempar dari atas tebing
langsung tercebur ke dalam laut.

Saking terperanjat, Hoa Thian-hong sampai menjerit
kaget, dengan cepat dia mengerem tubuhnya dan
menghentikan gerakan badannya.
Dia tahu sampai dimanakah lihainya Soat-jie makhluk
aneh tersebut, kecuali menghadapi ilmu silat seperti yang
dimiliki Yan-san It-koay, terhadap orang-orang yang
punya kepandaian lebih cetek tentu tak akan berhasil
merubuhkan binatang itu dengan gampang.
Sorot matanya segera dialihkan ke arah depan, kurang
lebih dua tombak dihadapannya berdirilah satu orang, dia
bukan lain adalah seorang nenek tua berambut putih dan
memegang tongkat berkepala hong di tangannya.
Sambil mengetuk toyanya ke atas tanah, nenek tua
berbaju abu-abu itu membentak gusar, “Telur busuk cilik,
ayoh cepat menggelinding kemari!”
“Mau apa menggelinding disitu?” Hoa Thian-hong balik
bertanya dengan hati mendongkol.
Sambil menjawab biji matanya berputar terus
memandang sekeliling tempat itu, dia lihat Soat-jie telah
berenang ke pantai dan ketika itu sedang mencari jalan
untuk mendaki tebing tersebut.
Tampaklah sang nenek tua sambil mengibarkan
pakaian dari Hoa Thian-hong berseru kembali, “Kenapa?
Kalau tak bisa kalahkah aku, pakaian ini jangan harap
bisa kau minta kembali!”

Hoa Thian-hong merasa amat jengah sekali, dia sadar
bahwa ilmu silatnya masih bukan tandingan lawan,
pikirnya di dalam hati, “Lebih baik aku mengulur waktui
beberapa saat lagi, asal cici dan Soat-jie sudah tiba
semua disini rasanya waktu itu kekuatan kami cukup
untuk merampas kembali pakaian tersebut, cuma…entah
kitab catatan Ci yu jit ciat masih utuh atau tidak?”
Dalam hati ia berpikir, sedang diluaran pemuda itu
sengaja berjongkok dan pura-pura membetulkan
sepatunya, menggunakan kesempatan itu dia melirik ke
belakang, serunya lantang, “Usiamu sudah amat besar,
aku tak sudi berkelahi dengan dirimu”
Wajah nenek tua berbaju abu-abu itu sudah penuh
berkerut, giginya telah ompong dan usianya sekitar
sembilan puluh tahun lebih, namun semangatnya masih
menyala dan sifat berangasannya masih berkobar.
Ia segera mendengus dingin, sambil mengetuk
toyanya ke atas tanah bentaknya, “Hmm! Kalau begitu,
Nih, ambillah pakaianmu di dalam lautan…” tangannya
diayun dan jubah luar tersebut segera dilempar ke
bawah tebing karang.
Hoa Thian-hong terkejut, dia takut kitab catatan Ci Yu
jiat yang berada di sakunya basah dan hancur, tidak
perduli diri lagi ia ikut meloncat dan berusaha
menghalangi perbuatan nenek tua itu, teriaknya keraskeras,
“Di dalam saku ada…”’

“Heeeh….heeeh…telur busuk ci1ik, aku harus baik-baik
mendidik dirimu!” seru nenek baju abu-abu sambil
tertawa seram.
Tanpa kelihatan gerakan apakah yang telah
dipergunakan, sekali sambar ia sudah tangkap pinggang
Hoa Thian-hong Kemudian sambil mengempit di bawah
ketiak ia kabur dari situ.
Hoa Thian-hong yang gagal menyambar pakaiannya
seketika merasakan pinggangnya jadi kaku dan seluruh
tenaganya musnah dan tak mampu dipergunakan lagi,
dari tempat kejauhan ia masih sempat mendengar
teriakan dari Giok Teng Hujien, namun pemandangan di
sekelilingnya sudah tidak nampak jelas lagi sebab
gerakan tubuh nenek itu cepatnya bukan kepalang.
Pemuda itu bermaksud mengerahkan hawa murninya
dan coba membebaskan jalan darah yang tertotok, akan
tetapi setiap saat hawa murninya gagal untuk dihimpun
kembali.
Sungguh cepat perakan tubuh nenek tua itu, dia lari
menuju ke arah Barat dengan kecepatan bagaikan kilat,
ada jalan atau tidak, tanah berbukit atau mendatar ia
melakukan perjalanannya tanpa berhenti atau lambat
barang sedikitpun jua.
Kurang lebih dua jam kemudian nenek tua baju abuabu
itu baru menghentikan langkah kakinya, ia lempar
tubuh Hoa Thian-hong ke atas sudut batu besar dan ia
sendiripun duduk disisinya.

Hoa Thian-hong merasakan kepalanya pusing tujuh
keliling, matanya berkunang-kunang dan dadanya sesak
sekali. Setelah beristirahat sebentar ia baru mampu
menenangkan diri.
Ketika tangan dan kakinya digerakkan, ternyata jalan
darah yang tertotok telah bebas dengan cepat pemuda
itu loncat bangun dan memandang keadaan di sekeliling
tempat itu.
“Ayoh berlutut!” bentak si nenek tua dengan suara
keras, kau pingin digebuk?”
Hoa Thian-hong gugup sekali, lututnya jadi lemas dan
hampir saja ia jatuhkan diri berlutut, tapi semangat dan
keberaniannya muncul kembali, sambil busungkan dada
ia menjura, katanya sambil tertawa paksa, “Siapakah
nenek? Selamanya aku tak pernah berlutut dihadapan
orang jahat!”
“Setan bangor cilik!” bentak nenek tua itu dengan
mata melotot dan mengetukkan tongkatnya ke atas
tanah, “kau bukan orang baik-baik, kalau kau tak mau
berlutut lagi jangan salahkan kalau akan kuberi persen
sebuah tempelengan lagi!”
“Sekalipun Yan-san It-koay, dia tak akan memukul
diriku dengan begitu saja, sungguh kukoay nenek tua
itu,” batin Hoa Thian-hong di dalam hati kecilnya.
Karena keder tanpa terasa pemuda itu jatuhkan diri
berlutut, serunya, “Nenek sudah lanjut usia, asal engkau
bukan orang jahat hamba suka berlutut dihadapanmu!”

“Huuuh…..! bermulut manis dan pandai cari muka…..
kau memang hidung bangor cilik!”
Nenek itu melengos dan segera berpaling ke arah lain.
Ketika menyaksikan nenek tua itu seakan-akan sedang
memikirkan sesuatu, diam-diam Hoa Thian-hong
merangkak bangun, tapi belum sempat pemuda itu
berdiri tegak, nenek tua itu sudah berpaling sambil
membentak gusar, “Hidung bangor, kau benar-benar
ingin digebuk?”
“Heeh….heeeh…heeeh …orang tua….”
Bayangan manusia berkelebat lewat, nenek tua itu
sudah menyambar datang sambil menghadiahkan pula
sebuah tempelengan.
Buru-buru Hoa Thian-hong tarik pinggang mengegos
ke samping, dengan suatu gerakan yang manis ia
meloloskan diri dari ancaman tersebut.
Rupanya si nenek tua itu telah memperhitungkan jalan
mundur Hoa Thian-hong, telapak tangannya kembali
bergerak dan tepat persis bersarang di atas pipi kanan si
anak muda itu!
Ploook…..! Hoa Thian-hong merasa pandangan
matanya berkunang-kunang, kepalanya pusing tujuh
keliling dan mundur empat langkah ke belakang dengan
sempoyongan.

Sungguh cepat gerakan tubuh nenek tua itu, setelah
menggaplok pemuda itu dengan cepatnya pula ia telah
duduk kembali di tempat semula, sambil tertawa dingin
serunya, “Telur busuk cilik, bapakmu pun akan tunduk
kepala seratus persen kalau bertemu dengan aku,
seberapa besar sih usiamu? Berani benar berlagak sok
dihadapanku…. Hmm hayo cepat berlutut, kalau tidak
jangan salahkan kalau kugebuk dirimu sampai modar”
Hoa Thian-hong tertegun, kemudian jatuhkan diri
berlutut ke atas tanah, dengan wajah merengek serunya,
“Sejak tadi aku sudah tahu kalau nenek adalah seorang
angkatan tua yang terhormat kalau tidak jiwamu tentu
sudah melayang sejak tadi!”
Dia meraba pipinya yang kena digaplok, terasa panas
menyengat badan tapi untung tidak sampai
membengkak.
Nenek tua baju abu-abu itu mendengus dingin.
“Hmmmmm..! Hidung bangor kecil…” makinya, setelah
berhenti sebentar dengan mata melotot kembali ia
berseru, “ayoh, mengaku sendiri, lain kali berani tidak
main perempuan dan mencari iseng di tempat luaran
lagi….?”
“Aku penasaran…..teriak Hoa Thian-hong dengan
wajah merah padam karena jengah.
“Kurang ajar!” bentak nenek baju abu-abu sambil
mengetukkan toyanya ke tanah, “tanpa angin tak akan
timbul gelombang, kalau engkau bersikap jujur dan

gagah, mana orang lain akan tebalkan muka untuk
menggoda dirimu lebih dulu?”
Mendengar perkataan itu Hoa Thian-hong tertegun,
lalu pikirnya, “Masuk diakal juga perkataan itu, benda
pasti akan membusuk lebih dulu sebelum keluar ulatnya,
jika aku sopan dan pakai aturan maka sekalipun orang
lain ada maksud juga tak akan berani diutarakan
keluar……”
Berpikir demikian ia jadi terkesiap, dengan wajah
serius ujarnya, “Hamba tahu salah, lain kali aku tidak
berani bermain kotor lagi dengan kaum wanita….”
“Tahu salah harus dirubah, dengan begitu kebenaran
baru bisa dicapai, untuk kali ini aku ampuni kesalahanmu
itu!” seru sang nenek dengan air muka yang jauh lebih
lunak. “lain kali kalau kau berani melanggar lagi akan
kusuruh ibumu untuk mendidik sendiri, akan kulihat apa
yang akan dilakukan olehnya terhadap dirimu?”
“Oooooh……! Nenek kenal dengan ibuku? Seru Hoa
Thian-hong dengan mata melotot.
“Hmmm! omong kosong….”
Ketika pertama kali kebentur batunya Hoa Thian-hong
merasa mendongkol dan jengkel seka1i, tetapi sekarang
setelah dia tahu kalau nenek itu adalah sahabat ibunya,
ia langsung tersudut dan tak berani berkutik lagi,
terpaksa dengan wajah cengar-cengir ia maju beberapa
langkah ke depan berkata sambil tertawa, “Orang tua

bagaimanakah sebutanmu? Beberapa waktu mendekati
ini apakah engkau telah berjumpa dengan ibuku?”
Rupanya nenek tua ini lunak tak doyan keraspun tak
suka, mendengar perkataan itu dengan gusar segera
bentaknya, “Kau tak usah banyak cerewet, otakmu
penuh dengan permainan busuk dan pikiran yang
nyeleweng, kapan kau pernah ingat ibumu lagi?”
Dia angkat kepala memandang sang surya yang telah
condong ke barat, tambahnya, “Ayoh cepat mencari
makanan, kalau sampai terlambat hati-hati dengan
kakimu, kugebuk sampai kutung!”
Sejak terjun ke dalam dunia persilatan Hoa Thianhong
selalu punya hubungan luas dengan para jago
Bulim terutama beberapa saat belakangan dia selalu
dianggap sebagai pemimpin dari golongan kekuatan
baru, ini hari setelah digampar orang tanpa sebab
hatinya panas dan mendongkol sekali, tapi pemuda itu
cerdik dan tahu gelagat, dia sadar bahwa nenek tua ini
punya asal usul yang besar, meskipun lagaknya sok
sekali akan tetapi sama sekali tiada maksud jahat
terhadap dirinya.
Karena itu setelah termenung sebentar akhirnya ia
menahan sabar dan segera berlalu dari situ.
Diarah sebelah Barat laut terdapat serentetan rumah
penduduk, rupanya seperti sebuah dusun kecil, cepat
Hoa Thian-hong lari menuju ke dusun tersebut, belum
jauh dia lari tiba-tiba pemuda itu merasa dandanan
sendiri lucu sekali, bukan saja pakaian luarnya tak ada

sepatu yang dipakai cuma sebelah, maka dilepaskan
sepatu yang tinggal satu satunya itu kemudian
meneruskan perjalanan dengan kaki telanjang.
Setelah hampir masuk dusun, Hoa Thian-hong baru
teringat kalau dalam sakunya tak ada uang sebab
bajunya telah dibuang ke laut, pikirnya, “Sekarang aku
tak punya uang untuk membeli makanan, apa daya?
Apakah aku musti mencuri? Atau menodong?”
Sambil berkata tanpa terasa ia telah mengelilingi
dusun itu satu kali, dusun yang terdiri dari sebuah jalan
raya belaka itu hanya mempunyai sebuah rumah makan
saja di ujung jalan, pemuda itu segera berpikir, “Para
hweesio saja dapat mencari makan dimana-mana,
kenapa aku tidak berusaha mencobanya? Bagaimanapun
toh aku tak boleh mati kelaparan, Yaah……. rupanya aku
terpaksa tebalkan muka untuk makan gratis….”
Setelah ambil keputusan, ia segera melangkah masuk
ke rumah makan itu.
Pelayan di pintu nampak tertegun dan berdiri melongo
ketika menyaksikan Hoa Thian-hong dengan dandanan
seperti pengemis masuk ke dalam rumah makannya,
dengan suara ragu-ragu ia berseru, “Saudara
adalah…….”
Orang-orang dusun seperti itu adalah orang yang
menghargai pakaian tidak menghargai orangnya, melihat
dandanan Hoa Thian-hong yang tidak karuan itu
timbullah rasa sangsi dan curiga di dalam hatinya.

“Bocah bagus… rupanya kau barusan mencari
perempuan dan pulang kesiangan… haaah haaah…lain
kali kau musti tahu diri,” tiba-tiba terdengar seseorang
berteriak dengan suara lantang.
Bersamaan dengan selesainya ucapan itu, gelak
tertawa segera meledak memenuhi seluruh ruangan.
Hoa Thian-hong sangat gusar, dia berpaling ke arah
mana berasalnya suara tertawa itu, tampaklah pada meja
makan sebelah kanan duduk tiga orang toojin berusia
pertengahan yang menyoren pedang di punggung, orang
yang barusan bicara adalah toojin yang duduk ditengah,
gelak tertawa mereka bertiga pula yang kedengaran
paling keras.
Terdengar toojin yang berada di sebelah kirinya ikut
menimbrung sambil tertawa.
“Ngo Seng memang hebat sekali, rupanya tebakanmu
tepat, coba lihat di atas pipinya terdapat lima buah bekas
cakar yang nampak jelas sekali!….”
Gelak tertawa yang amat nyaring kembali
berkumandang memecahkan kesunyian.
Hoa Thian-hong merasa gelak tertawa yang muncul
dari samping kiri nyaring dan amat memekikkan telinga,
jelas suara tertawa itu dipancarkan oleh seseorang yang
memiliki tenaga dalam sangat lihay, tampak di meja
makan sebelah kiri dekat pintu, duduklah empat orang
pria, dua orang kakek berjubah warna hitam dan dua

orang lainnya pria kekar berpakaian ketat, keempat
orang itu sama-sama menggembol senjata.
Ketika itu Sang surya telah condong ke barat dan
merupakan waktu orang mencari penginapan, ruangan
rumah makan boleh dibilang penuh dan sebagian besar
telah terisi oleh tamu.
Kecuali dua rombongan tersebut, para tamu lainnya
rata-rata berdandan pedagang atau pekerja kasar, Hoa
Thian-hong dengan sorot mata yang tajam segera
menyapu sekejap seluruh ruangan itu, mendadak ia
tertegun dan hampir saja berseru tertahan.
Kiranya di sudut ruangan duduklah seorang dara baju
kasar yang memiliki kecantikan wajah yang luar biasa,
Hoa Thian-hong bukan hidung bangor tapi setelah
menemui gadis cantik itu dia nampak begitu terkejut dan
kaget hal ini menunjukkan bahwa gadis itu luar biasa
sekali.
Tidak Salah, dari raut wajah dan potongan badannya
gadis itu ternyata mirip sekali dengan Pek Kun-gie, hanya
saja gadis ini jauh lebih tenang kalem, halus dan
sederhana.
Waktu itu dengan kepala tertunduk dara itu sedang
menikmati bakmi dihadapannya, terhadap gelak tertawa
yang memenuhi seluruh ruangan bukan saja tidak ambil
perduli bahkan bersikap seolah-olah tidak melihatnya.

Mula-mula Hoa Thian-hong tertegun, kemudian satu
ingatan berkelebat dalam benaknya, ia segera dapat
menduga siapakah dara itu.
Entah apa sebabnya tiba-tiba pemuda itu merasa
tersipu-sipu dan menyesal sekali mengapa masuk ke
rumah makan dengan potongan badan yang tidak
karuan.
Tiba-tiba terdengar toojin berusia pertengahan yang
duduk di tengah itu berseru kembali, “Keparat, melihat
Wanita cantik sepasang matanya langsung terbelalak
lebar, rupanya dia memang benar-benar seorang
manusia hidung bangor!”
Hoa Thian-hong teramat gusar sekali ketika dilihatnya
orang-orang itu sebentar memandang ke arahnya
sebentar lagi melirik ke arah dara cantik itu dengan
wajah penuh ejekan, diam-diam dia menyumpah, “Tosu
bajingan, kalian memang punya mata tak berbiji……”
Teringat akan gamparan yang diterimanya hari ini,
rasa mendongkol yang selama itu masih berkecamuk di
dadanya segera disalurkan ke arah toojin berusia
pertengahan itu, dalam hati timbullah rencana untuk
memberi ganjaran kepada tosu tadi.
Tepat di depan pintu masih ada meja kosong, setelah
melirik sebentar pemuda itu segera maju ke depan dan
duduk dengan membelakangi pintu.
Rupanya sang pelayan juga tak tahu diri, dengan
wajah cengar-cengir penuh ejekan dia menghampiri

pemuda itu sambil bertanya, Tuan, apakah engkau juga
akan minum arak?”
“Bawa dulu secawan air teh!” jawab Hoa Thian-hong
sambil menahan hawa marahnya.
Melihat si anak muda itu adalah sasaran bahan
tertawa bagi semua orang, mendengar pula logatnya
berasal dari luar daerah, timbul pula niat pelayan itu
untuk menggoda, dengan suara keras sengaja ia
berteriak, “Ambilkan secawan air teh, air teh itu untuk
kongcu yang sedang ketimpa kesusahan, kalau bisa cari
yang dingin….”
“Budak tak tahu diri!” sumpah Hoa Thian-hong di
dalam hati, “kau juga berani menggoda diriku,
Hmmm….tunggu saja nanti, akan kubereskan pula
dirimu!”
Beberapa saat kemudian pelayan telah muncul dengan
membawa sepoci air teh dingin, sambil siapkan cawan
dan sumpit sambil tertawa cengar-cengir ujarnya lagi,
“Kongcu ya, rupanya kau baru saja mengalami
perampokan, kau hendak pesan apa?”
Sambil berkata, biji matanya dengan tajam menyapu
seluruh tubuh Hoa Thian-hong, rupanya dia sedang
memperingatkan kepada pemuda itu kalau di sakunya
tak ada uang.
Hoa Thian-hong mendengus dingin, ia letakkan poci
air teh itu di tengah meja, cawan didekatkan dengan
mulut poci lalu mengambil sebatang sumpit dan

ditancapkan di dalam cawan tersebut. Sungguh aneh
sekali, sumpit itu seakan-akan menancap di dalam hiolo
saja ternyata berdiri tegak dan sama sekali tidak goyang.
Dalam sekejap mata ketiga orang toojin berusia
pertengahan maupun dua orang kakek baju hitam dan
dua orang pria berpakaian ketat itu berubah air muka,
suasana jadi hening dan sunyi hingga tak kedengaran
sedikit suarapun.
Haruslah diketahui demonstrasi mengerahkan tenaga
dalam ke tubuh sumpit itu sehingga dapat berdiri tegak
di dasar cawan tak bisa dilakukan oleh setiap orang
dengan mudah, namun Hoa Thian-hong bisa
melakukannya dengan gampang dan tak berbekas,
kejadian ini benar-benar luar biasa sekali.
Tetapi yang terutama adalah kode rahasia yang
diperlihatkan si anak muda itu, membuat orang merasa
tercengang dan sama sekali diluar dugaan.
Para pelancong dan pedagang yang hadir pula dalam
rumah makan itu meskipun bingung dan tak habis
mengerti, tetapi merekapun tahu kalau Hoa Thian-hong
adalah se orang jago kangouw, untuk sesaat suasana ia
di hening tak kedengaran sedikit suarapun, berpuluhpuluh
pasang mata sama-sama dicurahkan ke arah
pemuda itu.
Tampak Hoa Thian-hong membuka penutup poci air
teh tadi kemudian mengetuk tubuh poci itu perlahan.

Traaang…traang…traaang…! bunyi nyaring yang
bening dan merdu berkumandang keluar dari balik poci
porslen yang kecil, ketika tersebar di udara suara
tersebut kedengaran bagaikan bunyi lonceng kuil tosu
yang berdentang nyaring.
Semua hadirin terkesiap dan duduk dengan mata
terbelalak mulut melongo, perhatian mereka semua
terhisap oleh demonstrasi permainan yang aneh itu,
bahkan dara cantik itupun menghentikan sumpitnya dan
alihkan sepasang matanya yang bulat besar ke arah poci
air teh tadi.
Hoa Thian-hong berlagak bodoh, seolah-olah tak
pernah terjadi sesuatu apapun, ia berpaling ke arah sang
pelayan yang telah pucat pias bagaikan mayat itu sambil
berseru, “Tong thian It cuhiang, kau mengerti?”
“Hamba mengerti…. hamba mengerti… Kongcu ya
mau apa?” tanya pelayan dengan gemetar.
“Hmm! Siapkan empat macam sayur yang paling lezat,
nasi, arak wangi dan siapkan di atas nampan”
Pelayan itu mengiyakan berulang kali, dengan badan
masih gemetar buru-buru dia ngeloyor ke dapur.
Tiba-tiba ketiga orang toojin berusia pertengahan itu
saling bertukar pandangan sekejap kemudian bangkit
berdiri dan maju menghampiri Hoa Thian-hong.
Setelah tiba dihadapan pemuda itu, mereka berdiri
berjejer dengan toojin yang disebut Ngo suheng berada

ditengah, sambil silangkan telapak di dada memberi kode
rahasia ia berkata, “Siapakah nama sahabat? Apakah
baru saja masuk menjadi anggota perkumpulan?”
“Aku tak boleh berbuat bodoh, kalau tidak tingkah
lakuku pasti akan jadi bahan tertawaan di dalam Bulim”
pikir Hoa Thian-hong di dalam hati.
Bukan menjawab dia segera balik bertanya,
“Bagaimana sebutan kalian dengan Thian Seng
Tootiang?”
“Dia adalah susiok pinto bertiga!”
Dengan wajah serius Hoa Thian-hong mengangguk.
“Ehmm……. jadi kalian adalah anak murid dari kaucu?”
Toojin itu membenarkan, ia menyahut, “Pinto bertiga
adalah anak murid dari kaucu, sahabat, engkau
mendapat penghormatan di sektor mana?”
“Tak usah banyak bertanya,” tukas pemuda itu sambil
goyangkan tangannya, “Thian Seng tootiang menyebut
saudara dengan aku, bila kalian tahu salah, ayoh cepat
bayar rekening kalian dan cepat pergi!”
“Ngo suheng, dia tentu orang gadungan yang
mengaku-ngaku saja!” teriak Toojin di sebelah kiri
mendadak.
Toojin yang ada di tengah mendengus dingin, ia
memandang sekejap ke arah Hoa Thian-hong lalu

berkata, “Sahabat, kalau engkau tak mau menerangkan
asal usulmu lagi, jangan salahkan kalau pinto akan
kurang sopan terhadap dirimu!”
“Huuuuh,..! Sejak tadi kau sudah tak tahu sopan, dosa
kalian musti dihukum….. ayoh jalankan hukuman sendiri
daripada aku musti repot!”
Criiiiing….! Ketiga orang toojin itu mencabut keluar
pedangnya dan segera menyebarkan diri, dengan
membentuk posisi segitiga mereka tutup jalan mundur si
anak muda itu.
Suara hiruk-pikuk memecahkan kesunyian, para tamu
yang sekeliling tempat itu sama-sama bangkit dari
tempat duduknya dan mundur ke belakang, hanya empat
pria baju hitam serta gadis cantik itu saja yang masih
tetap duduk tak berkutik di tempat semula.
Sikap Hoa Thian-hong tenang sekali, ia duduk tak
berkutik di tempat semula dan sama sekali tidak
berpaling ke sekeliling tempat itu, ujarnya, “Aku pernah
menyaksikan suatu barisan yang disebut Sam Seng Bukek-
tin, apakah kalian juga bisa menggunakannya?”
Barisan Sam Seng Bu-kek-tin adalah barisan yang
diwariskan Kiu-tok Sianci kepada tiga harimau dari
keluarga Tiong, ilmu simpanan dari wilayah Biau itu
jarang ditemui dalam Bulim, tiga orang toojin tersebut
segera mengira kalau mereka sedang diejek, hawa
amarah kontan berkobar dan nafsu membunuh tak
terkendalikan lagi,

Toojin yang berdiri di depan pintu tiba-tiba
membentak keras, pedangnya digetarkan ke udara
menciptakan berpuluh-puluh buah titik cahaya bintang
yang mana langsung menusuk tulang punggung si anak
muda itu.
Hoa Thian-hong menjengek sinis, tubuhnya sama
sekali tidak goyah dari tempat semula, menanti ujung
pedang hampir menyentuh tulang punggungnya ia
gerakkan lengan dan tiba-tiba mengirim satu pukulan ke
belakang.
Selama setahun dua tahun ke belakangan ini, dia
selalu tekun memperdalam jurus pukulan ‘Kun-siu-citauw’
nya, terhadap penggunaan jurus pukulan tersebut
boleh dibilang sudah hapal dan matang sekali, serangan
yang dilancarkan barusan bukan saja hebat bahkan tepat
mengarah kedada musuh.
Tatkala Toojin itu menyaksikan ujung pedangnya
sudah hampir menyentuh tubuh lawan namun pihak
musuh tidak menunjukkan reaksi apapun, ia merasa
terkejut bercampur girang, hawa murninya segera
disalurkan keluar dan sekuat tenaga dia dorong
pedangnya menusuk ke depan.
Tiba-tiba segulung angin pukulan yang maha dahsyat
bagaikan gulungan ombak disamudra meluncur ke muka,
pedang dalam genggamannya segera bergetar keras,
bukan saja tusukannya menceng setengah depa ke
samping bahkan kuda-kudanya gempur dan badan Toya
terjerumus ke depan langsung menumbuk bahu kanan
pemuda lawannya.

Ketika pertama kali Hoa Thian-hong berjumpa dengan
Ciu It-bong, kakek telaga dingin pernah menyapu salju
membentuk tiang salju yang berpusing di udara sehingga
mengejutkan hatinya, jurus yang pernah dipergunakan
oleh Ciu It-bong itu sekarang dipergunakan olehnya,
semua inti kebagusan dan kehebatan dikeluarkan
membuat pukulan itu bukan saja nampak aneh dan
membingungkan bahkan bila seseorang tak punya
kepandaian yang lihay, tentu tak akan tahu dimana letak
kelihayan dari serangan tersebut.
Bentakan keras bergema memecahkan kesunyian,
cahaya kilat menyambar lewat, dua bilah pedang
bersama-sama meluncur datang, satu dari kiri yang lain
dari kanan.
Semangat Hoa Thian-hong berkobar, tangannya
berputar mencengkeram pergelangan tangan toojin yang
ada di belakang tubuhnya, sekali ayun pedang tersebut
segera menangkis ancaman dari sebelah kanan, tangan
kiri diayun mengirim pula satu pukulan ke depan.
Traaang…! bentrokan keras terjadi menimbulkan suara
dentingan yang nyaring, percikan bunga api muncrat
keempat penjuru dan kedua bilah pedang itu sama-sama
tergetar patah.
Semua peristiwa terjadi dalam sekejap mata, serangan
Hoa Thian-hong mencekal pergelangan musuh, dengan
pedang lawan memukul kutung pedang lawan semuanya
dilakukan dalam sekali gerakan, dibalik serangan
membawa pula pertahanan yang kuat dan rapat, tahuTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tahu telapak kirinya telah menyampok miring pedang
toojin yang lain kemudian merampas gagang pedangnya
dengan jitu.
Bagaikan sukmanya melayang tinggalkan, segera
dengan ketakutan ketiga orang toojin itu loncat mundur
ke belakang, andaikata di belakang bukan membentur
dinding tembok mungkin mereka akan mundur lebih jauh
lagi ke belakang….
Hoa Thian-hong tertawa dingin, cengkeramannya pada
seorang toojin yang kena ditangkap makin dipererat,
telapak kirinya diayun siap menampeleng orang itu, tapi
ingatan lain segera berkelebat dalam benaknya, ia
berpikir, “Ketiga orang ini tidak lebih cuma anak murid
dari Thian Ik si tosu tua itu. ilmu silat mereka tak bisa
menangkan diriku, kenapa aku musti gaplok mereka?”
Sambil lepaskan celananya dia lantas membentak,
“Bayar rekening kalian dan cepat enyah dari sini, lain kali
kalau berani bicara sembarangan lagi…. Hmmm! lihat
saja, akan kucabut jiwa kalian semua!”
Dengan wajah pucat pias bagaikan mayat, ketiga
orang toojin itu saling berpandangan sekejap, tiba-tiba
tooin di tengah melemparkan sekeping uang perak ke
atas meja kemudian putar badan dan kabur dari situ.
“Hay, masih ada uang arakku!” bentak Hoa Thianhong.
Toojin yang mencekal pedang itu berjalan paling
belakang, belum sempat tubuhnya melangkah keluar dari

pintu telinganya terasa mendengung keras, dengan
ketakutan dia melemparkan sekeping uang kemeja dan
buru-buru ikut kabur dari situ.
Jilid 22: Pek Soh Gie, saudara kembar Pek Kun Gie
Hoa Thian-hong memandang hingga bayangan tubuh
ketiga orang toojin itu lenyap dari pandangan, ketika
menjumpai para tetamu tak berani kembali ke tempat
duduknya masing-masing, ia tertawa geli dan segera
serunya, “Mau apa kalian berdiri saja disitu? Masingmasing
makan punya sendiri, apa yang musti ditakuti?”
Mendengar perkataan itu para tamupun segera duduk
kembali ke tempat semula, suara ramai dan hiruk pikuk
semua orang berebut untuk duduk lebih dahulu
ditempatnya semula, seolah-olah mereka takut kalau
sampai terlambat sehingga menggusarkan Hoa Thianhong.
Pada saat itulah dua orang kakek baju hitam serta dua
orang pria berbaju ringkas itu membuang sekeping perak
kemeja, kemudian diam-diam berjalan keluar dari pintu.
Dalam hati Hoa Thian-hong berpikir, “Pek Soh-gie
benar-benar seorang nona yang lembut, dan kalem
sekali, aku dengar ia tak pernah melakukan perjalanan di
dalam dunia persilatan, kenapa bisa sampai disini?”
Berpikir sampai disitu timbullah rasa pendekar dalam
hatinya, kepada seorang kakek baju hitam yang

kebetulan lewat disisinya dia menegur, “Eeei…. .apakah
kalian berempat anggota perkumpulan Sin-kie-pang?”
“Benar,” kakek baju hitam itu mengangguk dan
memberi hormat, “kongcu ada urusan apa?”
“Jin Hian ada maksud mencelakai jiwa kalian,
berangkatlah dari sini ke arah timur dan lebih baik
jangan sampai berjumpa dengan orang-orang dari pihak
Hong-im-hwie”
Air muka kakek baju hitam itu berubah hebat setelah
mendengar perkataan itu, tetapi dalam sekejap mata
telah pulih kembali seperti sedia kala, segera sahutnya,
“Terima kasih atas petunjukmu…. setelah memberi
hormat iapun berlalu dari situ.
Dalam sekejap mata keempat orang tadi sudah keluar
dari pintu dan lenyap dari pandangan, sebaliknya dara
ayu tadi masih tetap duduk di tempat semula sambil
menikmati bakmi di mangkoknya.
“Kenapa Pek Soh-gie kalau makan begitu lambat?”
pikir Hoa Thian-hong di dalam hati, “rupanya dia sengaja
hendak mengulur waktu, entah apa maksudnya?”
Dengan pakaiannya yang tidak genah, pemuda itu
merasa rendah diri, tanpa terasa ia putar badan dan
menanti sayur dan arak sendiri.
Beberapa saat kemudian pelayan telah muncul dengan
membawa sebuah nampan, di atas nampan terdapat

empat macam sayur, sepoci arak wangi, satu tong kecil
nasi putih dan empat perangkat cawan serta sumpit.
Pemilik rumah makan berjalan mengikuti di belakang
pelayannya, setelah memberi hormat katanya tergagap,
“Dua macam sayur ini merupakan makanan paling baik
dari rumah makan kami, kami tak sanggup membuatkan
yang lebih bagus lagi…. dan arak…. araknya adalah….”
Hoa Thian-hong geli melihat sikap orang itu, wajahnya
berubah jadi hijau pucat, rupanya ia sudah ketakutan
setengah mati sehingga berbicarapun terlalu dipaksakan,
ia segera goyangkan tangannya sambil berseru,
“Cukup…. cukup…. bukankah uangnya sudah dibayar?”
“Oh…. sudah…. sudah…. masih ada sisa!” buru-buru
pemilik rumah makan itu lari ke lacinya.
Hoa Thian-hong tersenyum, sambil membawa nampan
itu dia berjalan keluar dari pintu ruangan, dengan
pandangan yang sengaja dia melirik sekejap ke arah
gadis itu.
Ketika tiba di jalanan ia tak bisa menahan diri lagi dan
segera berpaling kembali ke arah rumah makan tadi.
Sesosok bayangan manusia nampak berjalan pada
jarak tiga empat tombak di belakang tubuhnya, orang itu
bukan lain adalah gadis ayu tadi. sikap maupun
langkahnya tenang seolah-olah seorang gadis yang
mengerti ilmu silat, siapapun tak menyangka kalau dia
adalah putri sulung dari ketua perkumpulan Sin-kie-pang.

Ketika gadis ayu itu melihat Hoa Thian-hong berhasil
menemukan jejaknya, pipi yang putih segera bersemu
merah, biji matanya yang jeli berputar disekeliling tempat
itu seakan-akan sedang mencari tempat persembunyian.
Hoa Thian-hong sendiripun merasa pipinya jadi panas
dan jengah sekali, setelah tertegun beberapa saat dia
lantas bertanya, “Nona Pek apakah engkau ada urusan
yang hendak disampaikan kepadaku….?”
Perlahan-lahan dara ayu itu maju ke depan, lalu
menjawab dengan suara ringan, “Koko, keempat orang
yang kau jumpai tadi bukan anggota perkumpulan Sinkie-
pang”
“Oooh…. jadi mereka orang-orang dari perkumpulan
Hong-im-hwie” tanya sang pemuda setelah tertegun
sebentar.
Gadis itu mengangguk.
“Mereka sudah sembilan hari lamanya membuntuti
diriku, dari Keng oh sampai tempat ini, orang-orang
tersebut selalu mengun til di belakang atau denganku”
“Sudah terjadi bentrokan?” tanya Hoa Thin Hong
dengan alis berkerut.
Gadis ayu itu menggeleng.
“Belum!”

Hoa Thian-hong termenung dan berpikir sebentar,
tiba-tiba sambil tertawa ujarnya, “Aku dan seorang
angkatan tua yang sedang menantikan arak dan sayur,
bagaimana kalau nona juga ikut kesitu?”
Gadis cantik itu mengangguk, sambil mengikuti di
belakang Hoa Thian-hong, berangkatlah mereka
tinggalkan dusun tersebut menuju ke tempat dimana
nenek baju abu-abu menunggu.
Nenek itu masih tetap menanti di tempat semula,
tongkat di tangannya masih tergenggam tapi ia sedang
mengantuk, dalam hati. Hoa Thian-hong segera berpikir,
“Waah…. untung dia tertidur, kalau tidak aku tentu
dimarahi lagi….”
Rupanya nenek tua itu mendengar suara langkah
manusia, mendadak sambil menengadah dia membuka
matanya.
Buru-buru Hoa Thian-hong maju ke depan, serunya
sambil tertawa paksa, “Nenek, arak dan sayur telah
datang!”
Dengan mata melotot nenek tua itu menyapu sekejap
sayur dan arak di atas nampan, la lu tegurnya, “Huuh….
hasil mencuri?”
“Oooh…. tidak, tidak…. toojin dari Thong-thian-kauw
yang telah membayarkan rekeningku, lain kali kalau
bertemu lagi pas ti akan kubayar hutang tersebut”

Nenek tua itu mencibirkan bibirnya, sorot mata segera
dialihkan ke arah gadis cantik yang berada di belakang
pemuda itu.
“Nona ini bernama Pek Soh-gie” buru-buru Hoa Thianhong
memperkenalkan, “dia ada lah putri sulung dari
ketua perkumpulan Sin-kie-pang!”
Mendengar ucapan itu dari, balik mata nenek tua itu
segera memancarkan cahaya yang amat tajam, dengan
cepat dia menyapu sekejap wajah gadis she Pek itu.
Pek Soh-gie buru-buru maju ke depan dan memberi
hormat, katanya, “Soh-gie menyampaikan salam buat
nenek”
Kalau gadis itu bersikap wajar maka Hoa Thian-hong
gelisah sekali, pikirnya dengan hati cemas, “Nona ini
adalah seorang gadis baik, wah…. berabe kalau nenek ini
naik pitam dan mengumbar nafsunya….”
“Nona tak usah banyak adat!” terdengar nenek itu
menyahut.
Pek Soh-gie mengucapkan terima kasih sambil
berpaling segera tanyanya, “Toako ini siapa namanya?
Siaute baru pertama kali melakukan perjalanan,
darimana toako bisa tahu asal usulku?”
“Aku bernama Hoa Thian-hong….” pemuda itu
memperkenalkan diri sambil tertawa.

“Telur busuk cilik!” tiba-tiba suara nenek tua itu
berkumandang disisi telinganya bagaikan bisikan
nyamuk, baru saja aku peringatkan dirimu, Huuh…. baru
berapa menit kau sudah mencari perempuan lagi!”
Merah padam selembar wajah Hoa Thian-hong, dia
tahu nenek tua itu memberi peringatan dengan ilmu
menyampaikan suara, dengan wajah serius buru-buru
sambungnya kembali, “Aku pernah mendengar nama
nona dari ayahmu, maka setelah berjumpa aku segera
mengenali kembali.”
Pek Soh-gie mengangguk, biji matanya yang jeli
melirik sekejap ke arah nampan di tangan Hoa Thianhong
lalu melirik pula ke arah nenek tua itu, mulutnya
membungkam sedang otaknya berputar mencari penyakit
diantara sikap yang tak wajar dari kedua orang itu.
Hoa Thian-hong maju kembali ke depan, sambil
tertawa paksa ujarnya kepada nenek tua itu, “Nenek kau
tentu lapar bukan? tempat ini tak ada meja, bagaimana?”
“Hmm! Kau tanya aku, lalu aku harus tanya siapa?”
bentak sang nenek dengan mata melotot.
Hoa Thian-hong jadi gelagapan, melihat dia tak mau
duduk di lantai terpaksa sambil berlutut dia angkat
nampan itu ke atas, katanya lagi, “Nenek, silahkan
minum arak. kalau sayurnya sudah dingin tentu tidak
enak.”

Rupanya Pek Soh-gie tidak tega, ia maju ke depan dan
segera siapkan cawan dan sumpit untuk nenek tua itu
bahkan penuhi pula cawannya dengan arak wangi.
Melihat ada arak wajah nenek itu menunjukkan rasa
girang yang tak terhingga, dia angkat cawan dan
menghabiskan arak terse but beberapa kali.
Pek Soh-gie penuhi kembali cawan itu de ngan arak,
sang nenek segera menggerakkan sumpit menikmati
sayur dimangkok, Hoa Thian-hong yang menyungging
nampan seketika merasa perutnya jadi keroncongan
setelah mencium bau harum yang membuat perut jadi
lapar itu.
“Nona, kau sudah bersantap?” terdengar nenek tua itu
menegur.
Terima kasih nenek, Pek Soh-gie baru saja bersantap!”
“Mau makan sedikit lagi?”
“Soh-gie ikut ibuku bermakah pantang, aku tak berani
mendekati barang-barang berjiwa!”
Sekali teguk nenek tua itu menghabiskan isi
cawannya, tiba-tiba ia menghela napas panjang dan
berkata, “Kho Hong-bwee kawin dengan Pek Siau-thian,
kejadian itu benar-benar patut disesalkan. kasihan Kho
Hong-bwee yang matanya buta tak bisa milih suami yang
genah, Bun Siau-ih kawin dengan Hoa Goan-siu, orang
bilang mereka adalah pasangan yang setimpal dan
bahagia, siapa tahu burung terbang berpisah toh hidup

mereka lebih banyak sengsaranya daripada bahagia,
aaai…. gadis cantik kebanyakan bernasib jelek!”
“Nenek kenal dengan ibuku?” tanya Pek Soh-gie
dengan wajah sedih.
“Aku si nenek tua telah seratus tahun hidup di kolong
langit, sudah banyak kejadian tragis yang kusaksikan,
siapa bilang tidak kenal dengan dua wanita tercantik di
dalam dunia persilatan?”
“Siapa nenek?” tiba-tiba Hos Thian-hong bertanya.
“Aku adalah aku, apa itu siapa-siapa?” bentak sang
nenek dengan mata melotot.
Hoa Thian-hong yang kebentur pada batunya cuma
bisa meringis tersipu-sipu, pikirnya, “Waaah…. rupanya
nenek tua ini lebih suka anak perempuan daripada anak
laki, tiap kali aku yang tanya tentu disemprot dengan
kata tajam…. Huuh…. Sialan benar….”
Rupanya Pek Soh-gie tak menyangka kalau pemuda
itupun tak kenal dengan asal usul nenek tua ini, seielab
tertegun sebentar katanya, “Hoa toako, apakah kau
adalah keturunan dari Hoa Tayhiap dari perkampungan
Liok Soat Sanceng?”
Hoa Thian-hong mengangguk, teringat akan ayahnya
yang sudah meninggal dan jejak ibunya yang tak
menentu, hatinya jadi sedih dan sikappun menjadi uringuringan.

Melihat pemuda itu murung, setelah termenung
sebentar Pek Soh-gie berkata lagi, “Seringkali ibu
membicarakan tentang ibu mu, katanya selama hidup
dialah yang paling dikagumi, apakah dia orang tua terada
dalam keadaan sehat walafiat?”
Pemuda itu menggeleng.
“Kesehatan ibuku buruk sekali, karena hendak
mencari, aku sekarang telah berkelana di dalam Bulim,
entah kini ia berada di mana? dan bagaimana Dasibnya?”
Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba ujarnya kembali,
“Urusan ini rahasia sekali, harap nona jangan
membocorkan di tempat luaran….”
Soh-gie mengerti, tak usah toako peringatkan
lagi”gadis itu menghela napas pan jang, sambungnya,
akhir tahun berselang adikku telah datang dan
berkumpu1 dengan kami, dia bilang sewaktu berada di
tepi sungai Huang-ho telah memaksa Hoa toako sampai
mati, setelah mendengar berita itu ibu amat sedih hingga
muntah darah tak hen tinya, sejak itu hari kesehatan
ibuku jadi melorot sampai akhirnya adikku mengirim
surat lagi yang mengabarkan Hoa toako muncul kembali
di kota Cho ciu, saat itulah hati ibuku jadi lega dan
sakitpun berangsur-angsur pulih kembali seperti sedia
kala”
“Ibumu terhitung ibu yang bijaksana, sungguh
membuat aku kagum, bila di kemudian hari ada jodoh
tentu akan kusambangi sendiri dia orang tua,” kata sang

pemuda lirih. “Pek Soh-gie segera menyatakan rasa
terima kasih.
“Setelah adikku mendapat peringatan dan teguran dari
ibuku, dia mulai menyesal terhadap perbuatan yang
pernah dilakukan dan bersumpah akan merubah
sikapnya yang jelek, dalam surat berikutnya dia telah
memuji-muji sikap Hoa toako yang gagah dan berjiwa
ksatria, tulisannya penuh mengandung pujian dan rasa
hormat….”
“Budak yang masih muda harus berwatak pendiam”
sela nenek baju abu-abu itu dari samping” kalau binal
memang sudah sewajarnya mendapat pendidikan yang
ketat!”
Ucapan nenek memang benar!” kepada Hoa Thianhong
ia melanjutkan.” adikku adalah sebangsa kaum
wanita, sedang Hoa toako adalah seorang lelaki sejati
yang berjiwa besar, kau pasti tak akan mendendam
terhadap dirinya bukan?”
“Kejadian toh sudah lewat, kenapa aku musti
mendendam?”
Nenek tua baju abu-abu itu menghabiskan kembali isi
cawannya, tiba-tiba ia bertanya, “Pek Soh-gie, seorang
diri engkau datang ke Timur, entah ada urusan apa?”
“Ibu mengetahui bahwa badai pembunuhan bakal
melanda dunia persilatan, karena kejadian itu hati beliau
merasa murung dan sela lu tak tenang, beliau telah
menulis sepucuk surat untuk ayahku dengan harapan

ayah bisa menyadari usia tuanya serta mengundurkan
diri dari masalah dunia, Soh-gie mendapat perintah untuk
menyampaikannya”
Nenek tua itu segera tertawa dingin.
“Heeh…. heeh…. kau anggap Pek Siau-thian mau
mendengarkan nasehat orang? ibumu memang berhati
mulia, sayang dia te lah salah mencari orang!”
“Menurut apa yang kuketahui,” ujar Hoa Thian-hong
pula, “Pek lo pangcu amat sayang dan menghormati
istrinya, bahkan sayang sekali terhadap nona Soh-gie,
cuma….”
“Cuma kenapa?” bentak nenek itu.
“Aaai….! Situasi dalam dunia persilatan dewasa ini
amat kalut dan rumit sekali, sekalipun Pek Lo pangcu
tidak ingin mencampuri urusan dunia persilatan pun
tindakannya tak akan bisa menyelamatkan badai
pembunuhan ini….”
Ia berhenti sebentar kemudian dengan wajah serius
terusnya, “Walaupun urusan sudah tak bisa ditolong lagi,
tapi cita-cita dan tujuan Pek Hujien serta nona Soh-gie
memang patut dihormati dan dipuji setinggi langit”
“Hmm….! rupanya tidak sedikit rahasia yang kau
ketahui!” seru nenek tua baju abu-abu itu dengan suara
dingin, “siang tadi aku lihat kau bicara lama sekali
dengan Giok Teng Hujin, ditinjau dari sikapmu yang

serius dan sungguh-sungguh rupanya banyak urusan
penting yang telah kalian bicarakan?”
Teringat pemandangan ketika ia sedang bercakapcakap
dengan Giok Teng Hujin di tepi pantai ombak
menggulung kencang, angin berhembus menderu-deru,
lagipula ada Soat-jie berjaga di pantai, sekalipun nenek
tua itu punya ketajaman telinga yang luar biasa rasanya
juga tak mungkin bisa mendengar pembicaraannya,
maka sambil tersenyum ia berkata, “Giok Teng Hujin
membicarakan tentang asal usulnya. Aaai…. perempuan
berwajah cantik seringkali bernasib jelek!”
Dari sikap pemuda itu, sang nenek tahu bahwa ia
tidak bicara jujur, dengan wajah gusar segera hardiknya,
“Kau berani bicara bohong?”
Hoa Thian-hong tidak langsung menjawab, pikirnya di
dalam hati, “Teka teki yang menyelimuti asal usul Giok
Teng Hujin, persoalan mengenai pedang emas jantan
dan betina serta Pui Che-giok asli dan gadungan
semuanya merupakan persoalan yang menyangkut
masalah besar dalam dunia persi1atan, lagi pula diba1ik
persoalan itu terdapat hal-hal yang bisa dipsrcaya dan
hal-hal yang pasti dicurigai, perduli siapakah nenek tua
ini rahasia besar tersebut tak boleh kubocorkan dengan
begitu saja.”
Berpikir demikian, iapun lantas tertawa berhaha hihi
sambil berseru, “Hiiih…. hiiih…. nenek, maaf yaah,
berhubung soal ini menyangkut masalah besar dalam
dunia persilatan, maka terpaksa aku tak dapat
memberitahukan kepadamu”

“Kau sungguh-sungguh tak mau bicara?” hardik sang
nenek baju abu-abu dengan suara dingin matanya
memancarkan cahaya tajam dan menatap wajah pemuda
itu tak berkedip sementara tangannya diayun siap
menggaplok pipinya.
Hoa Thian-hong tersenyum.
“Nenek…. kalau mau pukul silahkan pukul, karena
urusan ini menyangkut rahasia dunia persilatan…. maka
apa boleh buat, aku tak berani banyak bicara”
Baik sang nenek baju abu-abu maupun Pek Soh-gie
jadi tertegun, kalau dilihat dari sikapnya yang penurut
terutama sewaktu diperintahkan untuk berlutut sambil
memegang nampan, tak sangka kalau pemuda itu jadi
berandal dan keras kepala sesudah berhadapan dengan
urusan yang serius.
Setelah tertegun beberapa waktu, nenek baju abu-abu
itu jadi marah, tegurnya, “Engkau tahu siapa aku?”
“Sekalipun aku sudah tahu siapakah nenek dalam
persoalan ini akupun tak berani bicara sembarangan”
Rupanya hawa gusar yang berkobar dalam dada
nenek tua itu sudah tak terbendung lagi, ia berteriak
kembali.
“Kurang ajar…. dihadapan siapapun engkau sama saja
tak akan bicara….?”

“Benar, kecuali terhadap ibuku kepada si apapun aku
tak akan menjawab….”
Dengan gusar nenek baju abu abu itu segera bangkit
berdiri, ia mengetukkan toyanya ke tanah dan
membanting cawan sampai hancur kemudian
gembornya, “Bun Sian Ih sekarang ada dimana?”
Hoa Thian-hong jadi takut sekali, ia takut pipinya
digaplok lagi oleh nenek itu, buru-buru jawabnya, “Aku
sudah lama berpisah dengan ibuku sekarang aku benarbenar
tak tahu beliau berada dimana?”
“Hmm! telur busuk kecil, aku akan pergi mencari
ibumu, akan kulihat engkau mau bicara atau tidak?”
Sekali enjotkan badan tubuhnya sudah berada
puluhan tombak jauhnya dari tempat semula.
Hoa Thian-hong jadi amat gelisah, segera teriaknya,
“Eeei…. orang tua, kitab catatan Ci yu jit ciatku….”
“Nenekmu, apa itu Jit jiat pat ciat…. aku sama sekali
tak tahu maki sang nenek.
Dalam sekejap mata bayangan tubuhnya sudah lenyap
dari pandangan.
Hoa Thian-hong jadi melongo dan tak tahu apa yang
maa dilakukan, sambil memandang ke arah tenggara
pikirnya, “Kalau dia tak tahu dimanakah ibuku berada,
kenapa larinya menuju ke arah sana?”

Lewat beberapa saat kemudian, tiba-tiba terdengar
Pek Soh-gie berbisik dengan suara lirih, “Hoa toako, hari
sudah hampir gelap, kau sudah makan belum?”
Hoa Thian-hong segera mendusin kembali dari
lamunannya, ia lihat udara benar-benar sudah gelap
gulita dan malam telah menjelang tiba, sedang ia sendiri
sambil memegang nampan masih tetap berlutut di atas
tanah, buru-buru si anak muda itu bangkit berdiri,
katanya, “Nona, silahkan duduk di atas batu!”
Pek Soh-gie menurut dan segera duduk, Hoa Thianhong
yang sudah lapar sekali tanpa sungkan-sungkan
segera menyambar semangkuk nasi dan menyikatnya
dengan lahap.
Takaran perutnya tidak kecil lagi pula makannya cepat
sekali, dalam waktu singkat ia sudah menyikat habis
semua makanan yang ada. Setelah kenyang ia baru
letakkan nampan di samping sambil ujarnya, “Nona,
dewasa ini wilayah Kanglam sedang banyak persoalan,
tempat itu tidak aman dan berbahaya sekali, lebih baik
kau tak usah pergi kesana….!”
“Tapi aku harus bertemu dengan ayahku untuk
menyampaikan surat dari ibuku!”
“Aku pernah bertemu dan berkenalan dengan ayahmu,
titipkan saja surat itu kepadaku agar aku yang
menyampaikan kepadanya, dengan begitu bukankah
nona tak usah pergi kesitu sendiri!”

“Hoa toako, dibalik perkataanmu aku dengar ada
maksud tertentu, bolehkah aku tahu lebih jelas lagi?”
tanya Pek Soh-gie tercengang.
Hoa Thian-hong menghela napas panjang, ia
menjawab, Ketua dari perkumpulan Hong-im-hwie
bernama Jin Hian, dia mempunyai seorang putra yang
bernama Jin Hiong mati di tangan seorang perempuan,
apakah nona tahu akan peristiwa ini?”
“Aku pernah dengar tentang peristiwa ini dari adikku,
apakah teka teki yang menyelubungi peristiwa
pembunuhan itu sudah berhasil dipecahkan….?”
“Peiistiwa itu sampai sekarang masih tertangguh dan
belum berhasil dipecahkan, Jin Hian menaruh curiga
bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh nona, tetapi
berhubung kekuatan dan perkumpulan Sin-kie-pang dan
Hong-im-hwie adalah seimbang ditambah pula masih ada
perkumpulan Thong-thian-kauw di samping maka
pertarungan untuk sementara waktu masih bisa
dihindari. Kendati begitu situasi dalam dunia persilatan
dewasa ini amat keritis dan berbahaya sekali pertarungan
setiap saat bisa berlangsung. Kepergian nona menuju ke
wilayah Kanglam boleh dibilang berbahaya sekali….”
000O0000
30
AKU keluar rumah baru pertama kali ini, aku tak
pernah melakukan kesalahan apa pun juga!” seru Pek
Soh-gie, “aku akan mengajak Jin Hian untuk

membicarakan persoalan ini sebaik-baiknya sehingga
urusan jadi jernih dan duduk perkara pun bisa dibikin
terang, aku tak ingin kesalahpahaman ini berlarut-larut
terus”
Hoa Thian-hong menengadah dan menghela napas
panjang.
“Aaaaai dalam menghadapi persoalan dalam dunia
persilatan, siapa kuat dia menang, sepatah dua patah
kata tidak cocok, mayat akan bergelimpangan dimanamana
dan darah akan mengalir memenuhi sungai,
menanti ceng li bisa dibikin terang saat itu semuanya
sudah terlambat”
“Perkataan dari Hoa toako memang tidak salah” ujar
Pek Soh-gie kemudian setelah berpikir sebentar. “Tetapi
sebelum berjumpa dengan ayahku, aku tetap merasa tak
lega hati, ditambah pula aku sudah rirdu sekali dengan
adikku, aku ingin sekali berjumpa muka dengan dirinya.
Mendengar ucapan itu, Hoa Thian-hong berpikir di
dalam hatinya, “Nona ini cuma tahu soal cengli dan
peraturan, tidak tahu bagaimana licik dan berbahayanya
manusia di kolong langit, kalau ku biarkan ia berkelana
seorang diri dalam dunia persilatan maka jiwanya setiap
saat tentu akan terancam oleh mara bahaya”
Tiba-tiba terdengar Pek Soh-gie berkata kembali.
“Apa rencana Hoa toako selanjutnya? Kau adalah
keturunan dari keluarga pendekar, ilmu silat yang dimiliki

sangat tinggi dan aku rasa musuh besarmu tentu tidak
sedikit bukan jumlahnya?”
“Benar, musuhku terbesar dimana-mana….” ia
menghela napas panjang dan melanjutkan,” aku
bermaksud mengunjungi gunung Toa pa-san dan pergi
ke markas besar perkumpulan Sin-kie-pang!”
“Ayah dan adikku berada di wilayah Kanglam semua,
ada urusan apa Hoa toako hendak berkunjung ke gunung
Toa pa san?” tanya Pek Soh-gie dengan mata terbelalak.
“Aku punya sebilah pedang baja yang tertinggal di
dalam markas besar perkumpulan Sin-kie-pang, sekarang
senjata itu hendak kugunakan karena itu terpaksa harus
kucari kembali.”
“Perjalanan teramat jauh, menuju kesana pun
membutuhkan banyak waktu, apakah tak bisa carikan
gantinya dengan senjata lain?”
Hoa Thian-hong menggeleng,
“Thong-thian Kaucu menggunakan sebilah pedang
‘Boan liong poo kiam’ yang teramat tajam, aku harus
menggunakan pedang baja yang berat untuk
menandinginya, sebab kalau tidak maka pedangku tentu
akan tergetar patah oleh pedang mustikanya!”
“Aaaah….! Thong-thian Kaucu adalah seorang tokoh
silat yang amat tersohor di kolong langit, apakah Hoa
toaku harus bertempur melawan dia….?”

“Ehmm, meskipun tenaga dalamnya sempurna dan
ilmu silatnya tinggi, seandainya senjata andalanku bisa
kutemukan kembali, maka aku mampu untuk bertarung
melawan dirinya”
Sambil loncat bangun sambungnya kembali,
“Persoalan sudah ada di depan mata, aku tak berani
membuang waktu dengan percuma lagi…. Nah selamat
tinggal….”
“Eeeei…. tunggu sebentar!” seru Pek Soh-gie setelah
tertegun beberapa saat lamanya, gerakan tubuh yang
dimiliki nenek tadi cepat sekali, sayang toako telah
menyalahi dirinya….”
“Percuma orang tua itu terlalu sombong dan tinggi
hati, ia tak mampu membantu apa-apa terhadap diriku,
apakah nona sudah pasti akan berangkat ke Timur?”
“Benar, aku rasa tidak baik kalau urungkan maksud di
tengah jalan,” setelah berpikir sebentar, ia
menambahkan, “Perjalananku lambat sekali, sekalipun
ingin balik juga tak mungkin bisa mendampingi Hoa
toako…. bila urusan memang sudah kritis sekali, salahkan
toako berangkat lebih dahulu!”
“Keempat orang jago dari perkumpulan) Hong-im-hwie
tadi tentu sudah menantikan kedatanganmu disebe1ah
depan sana, nona lebih baik menyingkir saja daripada
harus berjumpa dengan orang-orang itu”
“Siau li akan menuruti perkataan dari toako!”

Untuk sesaat dua pasang mata saling bertemu dan
memancarkan rasa berat hati untuk berpisah kemudian
menunduk dan sama-sama membungkam.
Lama sekali suasana jadi hening, tiba-tiba Hoa Thianhong
menengadahkan dan berkata, “Nona, baik-baiklah
jaga diri, aku mohon diri lebih dahulu”
Dalam waktu singkat bayangan tubuhnya telah lenyap
dibalik kegelapan malam yang mencekam seluruh jagad,
angin berhembus sepoi-sepoi mengibarkan ujung baju
Pek Soh-gie yang berdiri seorang diri…. ia begitu polos
dan sama sekali tak nampak genit, begitu tenang dan
kalem seakan-akan tak tahu betapa licik dan
berbahayanya kehidupan manusia di kolong langit….
Entah berapa saat sudah lewat, akhirnya ia putar
badan dan berangkat menuju ke arah timur laut
meskipun perjalanan dilanjutkan dengan ilmu
meringankan tubuh namun sikapnya masih tetap tenang
dan sama sekali tidak menunjukkan tergesa-gesa atau
gelisah.
Tiba-tiba dari balik kegelapan malam yang mencekam
seluruh jagad, muncul empat sosok bayangan manusia
yang menghadang jalan perginya.
Buru-buru Pek Soh-gie menghentikan langkahnya dan
memandang ke depan, setelah mengetahui bahwa
keempat orang itu bukan lain adalah empat orang yang
selama ini membuntuti perjalanannya, ia segera memberi
hormat dan menyapa, “Saudara-saudara sekalian ada

urusan apa menghalangi jalan pergiku? Kalau ada
persoalan harap segera diutarakan keluar”
“Kami rasa nona sudah tahu tentang asal usul kami
semua bukan?” ujar kakek baju hitam yang ada disebelah
kiri.
“Jika kutinjau dari pembicaraan kalian yang seringkali
mengungkap tentang Tang-kee kalian, aku juga saudara
berempat tentulah para enghiong dari perkumpulan
Hong-im-hwie, bukan begitu?”
Rupanya kakek baju hitam itu adalah pemimpin
rombongan diantara keempat orang itu, ia segera
menjawab, “Tebakan nona sedikitpun tidak salah, kami
berempat memang saudara-saudara dari perkumpulan
Hong-im-hwie, lalu tahukah nona apa maksud kami
datang kemari?”
“Itulah yang tidak kuketahui! Sedari wilayah Kanglam
sampai ke tempat ini, saudara berempat selalu mengikuti
di belakang siaute, bolehkah aku tahu apa maksud kalian
semua?”
“Cong Tang-keeh kami ada sedikit urusan hendak
ditanyakan Kepada nona, maka dari itu kami berempat
sengaja ditugaskan untuk datang mengundang kehadiran
nona, tetapi berhubung nona adalah kaum wanita yang
patut dihormati maka selama ini kami tak berani
mengganggu secara gegabah!”
“Kalau begitu, siaute ucapkan banyak terima kasih
atas kebaikan hati saudara berumpat”

“Nona tak usah mengucapkan terima kasih kepadaku,
kini situasinya agak berbeda dan terpaksa kami harus
menyalahi diri nona.
“Jadi apa maksud kalian semua?” seru Pek Soh-gie
dengan mata terbelalak.
Kakek baju hitam itu tertawa kering.
“Haaah…. haaah…. haaah…. dari sini menuju ke timur
kita akan bertemu dengan para enghiong dari peibagai
aliran, kami tahu bahwa kedudukan nona sangat
terhormat, asal telah bertemu dengan anak buah dari
perkumpulan Sin-kie-pang, maka dengan andalkan muka
, kami tak mungkin undangan kami bisa dipenuhi oleb
nona”
“Kalau tidak kupenuhi bagaimana?”
Kakek baju hitam itu tertawa terbahak-bahak.
“Haaah…. haaah…. haaaah…. kalau kami gagal untuk
mengundang kehadiran nona, terpaksa kita musti
menanggung dosa dan harus menerima pancung kepala”
Tertegun hati Pek Soh-gie mendengar ucapan itu.
“Kalau memang begitu, aku akan mengikuti saudara
sekalian untuk berjumpa dengan Jin Loo enghiong!”
katanya.

“Oooh…. nona sungguh berbesar hati, kami ucapkan
banyak terima kasih lebih dahulu”
Bicara sampai disini kakek baju hitam itu segera
berpaling, dan memberi tanda kepada salah seorang pria
berpakaian ringkas yang ada disisinya….
Pria baju ringkas itu Segera mengangguk dan
menggerakkan tubuhnya, sekali lompat ia sudah berada
di samping tubuh Pek Soh-gie, jari tangannya bagaikan
sebatang tombak langsung menotok jalan darah cian ji
hiat di tubuh gadis itu.
Pek Soh-gie terperanjat, tubuhnya laksana kilat
menyingkir ke samping, lima jari di pentang dan baru
balas menyambar urat nadi dipergelangan pria baju
ringkas tadi.
Kebutan lima jarinya ini sepintas lalu nampak enteng
dan lambat, tetapi penggunaan waktu dan ketelitian
arahnya ternyata luar biasa sekali, andaikata pria baju
ringkas itu tidak segera batalkan ancaman-nya maka dia
tentu akan tersambar oleh ujung jari Pek Soh-gie.
“Oooh…. kepandaian itu adalah ilmu andalan dari Kho
Hong Kui tempo hari!” terdengar kakek baju hitam yang
lain berseru, “ilmu silat keluarga kenamaan memang luar
biasa sekali!”
Sementara itu pertarungan di tengah kalangan sudah
berlangsung lima jurus banyaknya, seharusnya ilmu silat
yang dimiliki pria baju ringkas itu masih bukan tandingan
dari Pek Soh-gie, sayang sekali dalam setiap

serangannya gadis itu hanya berusaha untuk
memunahkan ancaman lawan sambil melakukan
pertahnan diri belaka, tak satu jurus seranganpun yang
ditujukan untuk merobohkan musuh, dalam keadaan
begini walaupun pria baju ringkas tadi tak mampu
merebut kemenangan namun keadaannya tetap
seimbang dan siapapun tak bisa merubuhkan lawannya.
Setelah menyaksikan jalannya pertarungan beberapa
saat, kakek baju hitam yang memegang komando itu
mengerutkan alisnya, ia memberi tanda kepada pria baju
ringkas lainnya.
Pria tersebut tanpa mengucapkan sepatah katapun
segera menerjang masuk ke dalam gelanggang.
Dalam waktu singkat dua orang pria kekar itu segera
mengerubuti seorang gadis yang cantik jelita dengan
ketat. Pek Soh-gie yang baru pertama kali bergebrak
melawan orang melayani serangan-serangan musuhnya
dengan serius dan penuh ketegangan, semua serangan
yang dilancarkan hanya ditujukan untuk memunahkan
ancaman serta melakukan pertahanan diri, rupanya ia
memang tak mampu melakukan serangan balasan.
Tiba-tiba terdengar kakek baju hitam yang lain
berkata, “Ang Jit ko, tadi setelah bajingan cilik itu
meringkus tiga orang toojin dari perkumpulan Thongthian-
kauw, ketiga orang hidung kerbau itu pasti tak mau
sudahi persoalan itu sampai disitu saja, urusan dinas kita
penting sekali, lebih baik cepat-cepat kita ringkus orang
itu dan melaporkan kepada Tang-kee kita!”

Benar, ayoh kita turun tangan!” jawab kakek baju
hitam yang satu sambil mengangguk.
Tubuhnya segera menerjang ke depan, telapak
tangannya menyambar dan membacok tubuh gadis itu.
Pek Soh-gie yang sedang bertempur dengan serunya
melawan dua orang musuh, jadi amat terperanjat ketika
munculnya segulung desiran angin tajam yang
mengancam punggungnya.
Ia segera tekuk pinggang, bungkukkan badan lalu
loncat maju ke depan, sepasang telapak disilangkan ke
samping membendung datangnya ancaman itu.
Kakek baju hitam kedua selama ini hanya berdiri di sisi
lapangan segera ikut menerjang pula ke depan setelah
menyaksikan kelincahan dan kegesitan gerak tubuh
musuhnya, telapak tangan bagaikan golok langsung
membacok kemuka.
Dalam waktu singkat empat orang pria kekar bersamasama
turun tangan mengerubuti seorang gadis cantik,
hal ini membuat dara ayu itu jadi kerepotan dan musti
loncat ke kanan berkelit ke kiri untuk meloloskan diri dari
ancaman.
Diam-diam Pek Soh-gie jadi gelisah melihat keadaan
itu, cepat teriaknya dengan suara lantang, “Saudarasaudara
Sekalian adalah orang gagah dari dunia
persilatan, masa kalau ingin bertarung musti main
kerubut? Hey…. kalian tahu akan peraturan Bulim atau
tidak?”

Kakek baju hitam yang memberi komando itu segera
tertawa dingin.
“Ayahmu sendiri juga suka berbuat demikian, apa
salahnya kalau kami pun meniru cara ayahmu itu? Kalau
nona ingin bicara tentang cengli, lebih baik bicarakan
saja persoalan ini dengan ayahmu di kemudian hari!”
“Hmm! Sedari tadi aku sudah tahu kalau kalian adalah
manusia-manusia yang menggemaskan dan tak tahu
dirif” tiba-tiba terdengar seseorang membentak dengan
penuh kegusaran.
Di tengah kegelapan meloncatlah keluar sesosok
bayangan manusia, dia bukan lain adalah Hoa Thianhong,
dengan serangan jari di tangan kanan serangan
telapak di tangan kiri serentak dia lancarkan serangan
secara berbareng.
Plooook….! telapak kirinya dengan telak bersarang di
atas bahu pria baju ringkas yang berada di hadapannya
membuat tulang bahu pria itu terpukul hancur dan
menjerit kesakitan, tubuhnya terlempar sejauh beberapa
tombak dari tempat semula.
Sebaliknya totokan tangan kanannya segera
mengakibatkan jeritan ngeri yang menyayatkan hati
bergema di angkasa, kakek baju hitam yang turun
tangan belakangan tiba-tiba mundur sempoyongan ke
belakang dengan tubuh gemetar keras, kemudian
badannya roboh terjengkang ke atas tanah dan binasalah
seketika itu juga.

Hoa Thian-hong jadi sangat terperanjat, tiga jurus
ilmu totokan ‘menyerang sampai mati’ yang dipelajari
dari kitab Ci yu jit ciat itu sebenarnya hendak diturunkan
kepada Bong Pay tempo hari, sewaktu bergebrak
melawan Yan-san It-koay ia pernah menggunakannya
satu kali, tapi karena kepandaian silat yang dimiliki Yansan
It-koay jauh lebih tinggi daripada dirinya, maka
keampuhan dari tiga jurus totokan itu tidak terlihat.
Siapa tahu serangan yang dilancarkan saat ini tanpa
maksud apa-apa telah mengakibatkan kematian dari
musuhnya, hal ini membuat dia jadi melongo dan berdiri
tertegun.
Semua kejadian berlangsung dalam sekejap mata,
ketika jeritan ngeri itu berkumandang di angkasa kedua
belah pihak sama-sama terperanjat dan pertempuranpun
terhenti untuk sementara waktu.
Dalam hati Hoa Thian-hong segera berpikir, “Jin Hian
adalah seorang manusia yang licik dan berbahaya,
dengan pembunuhan yang kulakukan sekarang berarti
antara kita berdua sudah terikat oleh dendam, kenapa
aku tidak bunuh sekalian keempat orang ini sehingga
persoalan untuk sementara waktu bisa ditutup….”
Setelah ambil keputusan di dalam hati, nafsu
membunuh seketika menyelimuti seluruh wajahnya,
dengan ganas ia terjang kakek baju hitam yang memberi
komando itu.

“Hoa toako, jangan turun tangan keji!” teriak Pek Sohgie
secara tiba-tiba.
“Eeei…. aneh benar nona ini,” batin pemuda itu dalam
hati, “aku bantu dirinya untuk mengusir musuh, dia
malah mintakan ampun bagi musuh-musuhnya”
Tangan kanan bagaikan pagutan ular berbisa, laksana
kilat segera menyeruduk ke depan.
Melihat datangnya ancaman totokan jari yang begitu
aneh, kakek biju hitam itu jadi terkesiap karena dia tak
tahu bagaimana caranya untuk memunahkan ancaman
tersebut, dalam gugupnya pinggang segera dite-kuk dan
ia jatuhkan diri berguling di atas tanah, dengan suatu
gerakan yang manis kakek itu melepaskan diri dari
ancaman dan menggulung sampat sejauh satu dua
tombak dari tempat semula.
Tentu saja Hoa Thian-hong tidak mengijinkan
lawannya kabur dengan begitu saja, kakinya segera
melangkah ke depan dan dalam waktu singkat ia sudah
berada di depan tubuhnya, dua jari ditekuk dan langsung
menotok tubuh lawannya.
“Hoa toako….” tiba-tiba Pek Soh-gie berteriak.
Bentakan keras bergema di angkasa, pria baju ringkas
yang masih segar tiba-tiba maju menyerang dari
belakang.
Hoa Thian-hong sama sekali tak pandang sebelah
matapun terhadap datangnya ancaman itu, telapak kiri

diayun kemuka dan dengan jurus Kun-siu-ci-tauw, ia
sambut datangnya serangan itu.
Tenaga pukulan yang dipancarkan dari telapak kirinya
jauh lebih sempurna jika dibandingkan dengan kekuatan
serangan ketiga jari tangan kanannya, serangan yang
dilancarkan laksana kilat itu dengan telak bersarang di
atas tengkuk pria baju ringkas itu.
“Aduuuh….!” jerit kesakitan berkumandang di
angkasa, tubuh pria itu terpental ke udara dan segera
roboh terjengkang di atas tanah,
Karena harus dibaginya kekuatan serangan ini,
datangnya serangan jari di tangan kanannya jadi lebih
terlambat dari gerakan semula, menggunakan
kesempatan itulah kakek baju hitam tersebut mendorong
telapak nya ke depan lalu mengundurkan diri dari sana.
“Hmmm…. mau lari kemana?” jengek Hoa Thian-hong
sambil tertawa dingin, “kau tak bisa diampuni….!”
Bagaikan bayangan tubuhnya segera mengejar ke
depan.
Tenaga dalam yang dimiliki si anak muda ini telah
mendapat kemajuan yang amat pesat, serangan yang
dilancarkan pada saat ini sukar ditandingi oleh manusia
biasa.
Kakek baju hitam itu tahu bahwa dirinya bukan
tandingan lawan, melihat pemuda itu mengejar terus

sadarlah dia bahwa sulit bagi dirinya untuk melepaskan
diri.
Dalam nekadnya ia segera membentak keras, telapak
tangan didorong berbareng dan sambil mengerahkan
segenap kekuatan yang dimilikinya ia hajar si anak muda
itu.
Hoa Thian-hong mendengus dingin, telapak kiranya
diayun menerima datangnya serangan tersebut dengan
keras lawan keras. Blaam di tengah bentrokan nyaring
kakek baju hitam itu mundur dua langkah ke belakang
dengan sempoyongan, sepasang kakinya jadi lemas dan
robohlah ia ke atas tanah.
Tenaga dalam yang dimiliki Hoa Thian-hong sekarang
amat sempurna sekali, pukulan itu menggetarkan sekujur
tubuh kakek baju hitam tadi sehingga isi perutnya
bergeser semua dari tempat semula, pandangan
matanya jadi gelap dan tak tahan lagi ia muntah segar,
jelas luka dalam yang dideritanya teramat parah.
Hoa Thian-hong maju ke depan sambil ayun
tangannya, tapi tangan itu diturunkan lagi, pikirnya.
“Seharusnya aku tak boleh melepaskan mereka
berempat barang seorangpun, tetap membunuh orang
yang sudah tak punya kekuatan untuk melawan adalah
suatu perbuatan yang melanggar semangat jantan
seorang pendekar sejati….
“Hmm! apa yang musti kulakukan?”

Tiba-tiba terdengar Pek Soh-gie berkata dengan nada
lembut, “Hoa toako, apakah beberapa orang ini hendak
kau bunuh?”
“Siaute masih muda dan tak tahu urusan harap nona
tak usah sungkan-sungkan kalau ingin bicara”
Pek Soh-gie mengerutkan dahinya lalu maju selangkah
ke depan, ujarnya, “Diantara keempat orang itu ada satu
sudah mati terbunuh sedang sisanya terluka parah, Hoa
toako! bagaimana kalau engkau bermurah hati serta
mengampuni jiwa mereka untuk kali ini saja?”
“Mereka sudah kenal siapa aku, bila kulepaskan
mereka pergi maka Jin Hian pasti tak akan menyudahi
persoalan ini….”
Pek Soh-gie tundukkan kepalanya setelah mendengar
ucapan itu, kepada kakek baju hitam itu segera tegurnya,
“Kau kenal dengan kongcu ini?”
“Kakek baju hitam itu meronta bangun, sorot mata
penuh kebencian memancar keluar dari balik matanya,
sambil menggigit bibir dia menjawab, “Hmm! telapak kiri
Hoa Thian-hong…. sampai matipun aku tetap ingat.”
Pek Soh Oie jadi tertegun mendengar perkataan itu,
meskipun ia berhati Welas dan tak suka membunuh
orang, tetapi diapun merasa tak leluasa untuk memaksa
Hoa Thian-hong melepaskan harimau pulang gunung,
apalagi kalau sampat menanam permusuhan dengan
orang.

Tiba-tiba terdengar Hoa Thian-hong berkata dengan
suara hambar, “Mengingat kau tidak takut mati dari
masih terhitung sebagai seorang pria sejati, ini hari aku
orang she Hoa mengampuni selembar jiwamu, setelah
pulang katakan kepada Jin Hian bahwa dibalik peristiwa
pembunuhan itu masih terdapat hal-hal yang lain.
pembunuhnya adalah orang lain yang jauh diluar
dugaannya, bila kami berjumpa lagi di kemudian hari
akan kujelaskan sendiri persoalan itu kepadanya”
Sementara itu dua pria baju ringkas yang terkejar oleh
Hoa Thian-hong tadi, yang satu menderita patah tulang
kaki sedang yang lain menderita patah tulang tangan,
berhubung pemimpin mereka belum mati maka
merekapun tak berani kabur lebih dahulu, kini setelah
mendengar ucapan tersebut, mereka baru maju ke
depan membopong tubuh kakek tadi kemudian kabur
dari situ.
Menanti ketiga orang itu sudah pergi jauh, Pek Soh-gie
baru maju ke depan sambil berkata, “Hoa toako, kenapa
kau balik lagi setelah pergi?”
“Sejak tadi aku sudah melihat kalau keempat orang itu
sedang berjaga-jaga di sekitar tempat ini, karena itu aku
tidak pergi terlalu jauh”
Perlahan-lahan mereka lanjutkan perjalanan ke depan,
sambil tundukan kepalanya Pek Soh-gie berkata, “Terima
kasih atas pertolongan dari toako….”
Hoa Thian menghela napas panjang.

“Aaaai….! Urusan sepele kenapa musti dipikirkan
terus?”
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan, “Bertempur
adalah suatu kejadian yang tak kenal akan belas kasihan,
dalam menghadapi serangan musuh kita harus berusaha
membuat posisi di atas angin, jangan hanya bertahan
melulu tanpa melakukan serangan, sebab jika kau
bertindak begitu maka menang tak mungkin bisa diraih,
bila kau kehabisan tenaga maka saat itulah kematian
akan membayangi dirimu.
“Aku hanya bisa bertahan, tak bisa melancarkan
serangan balasan” sahut Pek Soh-gie dengan kepala
tertunduk,
“Ilmu silat macam apapun bisa digunakan untuk
bertahan maupun menyerang, asal kau punya niat untuk
memukul orang maka serangan bisa kau lancarkan
dengan segera”
“Tapi aku tak ingin pukul orang”
“Aaai….! Kau tak ingin pukul orang, sebaliknya orang
lain ingin memukul dirimu, selama manusia masih hidup
di kolong langit maka dia harus berusaha untuk
mempertahankan diri, manusia itu berhati dengki dan
penuh kebusukan, bila kau mudah dianiaya maka yang
rugi akhirnya adalah engkau, sendiri, apakah kau ingin
mati dengan penasaran?”

“Aku bisa mempertahankan diri dengan sepenuh
tenaga!” bisik gadis itu.
“Nona ini punya watak suka damai…. lumrahnya tabiat
itu sukar dirubah….” pikir pemuda itu.
Dalam pada itu Pek Soh-gie sudah menengadah ke
atas dan memandang wajah si anak muda itu dengan
sepasang biji matanya yang bening, kemudian ujarnya,
“Hoa toako, ada permusuhan apa antara engkau dengan
Thong-thian Kaucu….?”
“Thian Ik-cu sitosu tua itu adalah salah satu diantara
pembunuh ayahku….!”
Pek Soh-gie membungkam sejenak, selelah berpikir ia
berkata kembali, “Daerah kekuasaan perkumpulan
Thong-thian-kauw amat luas dan pengikutnya banyak
sekali, dengan kekuatan Hoa toako seorang, mana kau
mampu menandingi dirinya? Aku lihat lebih baik engkau
cari ayahku saja serta merundingkan suatu siasat yang
bagus untuk menyelesaikan persoalan ini….”
Hoa Thian-hong tertawa nyaring dan segera
gelengkan kepalanya.
“Persoalan yang terjadi dalam dunia persilatan
seringkali didasarkan pada budi dan dendam,
bagaimanakah keadaannya sukar ditebak secara jitu,
sekalipun memandang di atas wajah nona mungkin
ayahmu suka menolong aku, tapi aku rasa ayahmu tak
akan sudi bentrok secara langsung dengan orang-orang
dari perkumpulan Thong-thian-kauw”

Merah padam selembar wajah Pek Soh-gie setelah
mendengar perkataan itu, bisiknya kemudian, “Adikku
sangat mengagumi diri pribadi Hoa toako, dia pasti akan
membantu diri toako untuk mewujudkan cita-cita
tersebut, aku rasa ayah yang amat mencintai adikku
pasti akan mengabulkan permintaannya…. tentang soal
ini aku rasa toako tak perlu pusing kepala”
“Huuh…. mana kau tahu tentang peristiwa yang baru
saja lewat, berhubung pinangan ayahmu yang kutolak,
mungkin karena cinta bisa berubah jadi dendam,” pikir
Hoa Thian-hong, “hal ini semakin tak mungkin terjadi
lagi….”
Tiba-tiba terdengarlah suara irama musik dan
tetabuhan berkumandang datang dari kejauhan, dari
ujung jalan raya sebelah tenggara muncullah beberapa
titik cahaya lampu.
Pek Seh Gie angkat kepala memandang sekejap ke
arah pemuda itu, lalu katanya, “Toako, kalau kau ada
urusan lebih baik berangkatlah lebih dahulu…. jangan
karena aku urusanmu jadi berabe….”
“Hehmm…. aku akan menghantar nona beberapa jauh
lagi.
“Bagaimana kalau kita bersama menemui ayah? Aku
akan suruh dia orang tua untuk mengutus seseorang
pulang ke markas besar serta ambilkan pedang baja milik
toako?”

Hoa Thian-hong tertawa.
“Pedang baja itu terjatuh ke tangan seorang manusia
aneh yang bernama Ciu It-bong, orang itu ada
permusuhan dengan ayahmu, aku rasa tidak gampang
untuk merampas kembali pedang bajaku itu….”
Mendadak dia angkat kepala dengan wajah tertegun,
kiranya dari arah depan muncullah delapan orang tosu
cilik berusia dua belas tahunan yang memakai jubah
warna putih, di tangan mereka masing-masing
memegang sebuah lampu lentera, dibelakangnya
mengikuti pula delapan orang tosu cilik berjubah kuning,
di tangan mereka memegang alat musik dan sambil
memainkan alat tetabuhan itu selangkah demi selangkah
mereka berjalan mendekat.
Di belakang keenam belas orang tosu cilik tadi
mengikuti pula delapan orang tosu berjubah merah yang
pada bahunya tergantung sebilah pedang pendek, usia
mereka rata-rata diantara empat lima belas tahunan, dan
pada barisan paling belakang mengikuti pada sebuah
tandu kecil yang digotong oleh empat orang tosu cilik
berjubah kuning.
Di atas tandu duduklah seorang tosu tua yang
rambutnya berwarna keperak-perakan, dua orang tosu
baju merah yang berusia tanggung mengikuti di kedua
belah samping tandu tersebut, di tangan mereka yang
seorang memegang sebilah senjata Ji gi berwarna hijau
kumala sedang yang lain membawa sebilah pedang
mustika.

Beberapa saat kemudian kedua bilah pihak sudah
semakin mendekat, terlihatlah tosu tua yang duduk di
atas tandu kecil itu punya muka yang merah segar
bagaikan bayi, sepasang alisnya yang putih bergoyang
dan matanya memandang ke depan dengan sorot cahaya
tajam
Sekejap mata kedelapan buah lampu lentera itu telah
menyebarkan diri ke kedua belah samping, permainan
musikpun tiba-tiba berhenti.
Pek Soh-gie segera menggeserkan badannya
mendekati Hoa Thian-hong, bisiknya lirih, “Toako,
rupanya ada urusan lagi?”
“Benar!” jawab Hoa Thian-hong sambil tersenyum,
“rupanya mereka sengaja datang untuk mencari garagara
dengan kita….”
Sementara itu tanda telah berhenti, tosu tua itu
menekuk pinggangnya dan bangkit berdiri, tosu cilik yang
membawa senjata Ji gi serta Poo kiam tadi segera berdiri
di kedua belah sisinya.
Tosu tua itu membuka matanya, sambil memandang
ke arah Hoa Thian-hong dengan sorot mata tajam ia
menegur, “Ooh, jadi kau adalah Hoa Thian-hong putra
dari Hoa Goan-siu? Kenapa wajahmu kotor kakimu
telanjang dan pakaianmu tidak genah?”
Hoa Thian-hong tersenyum.

“Dan kau sendiri? Apakah Thian Ik tosu tua dari
perkumpulan Thong-thian-kauw? Kenapa lagakmu seperti
pembesar korup begitu?”
“Kurangajar!” bentak tosu cilik yang membawa senjata
Ji gi di belakang tosu tua itu. “Berhadapan dengan
Kaucu, kau berani kurangajar…. ayoh berlutut!”
“Oooh…. rupanya benar-benar tosu Siluman ini,” pikir
Hoa Thian-hong di dalam hati, “aku harus tetap bersikap
tenang dan jangan menyebut dulu soal dendam
ayahku….”
Berpikir sampai disitu dia pun tertawa, katanya,
“Pangcu dari perkumpulan Sin-kie-pang serta Cong Tangkee
dari perkumpulan Hong-im-hwie sudah kutemui
beberapa kali, mereka semua tak seorangpun yang
bersikap lucu dan membadut seperti ketua dari
perkumpulan Thong-thian-kauw ini”
“Haaah…. haaaah…. haaaah….” kaucu dari
perkumpulan Thong-thian-kauw itu segera tertawa
terbahak-bahak, tukasnya, “perkumpulan kami adalah
perhimpunan suatu agama, jauh berbeda kalau
dibandingkan dengan Sin-kie-pang ataupun Hong-imhwie,
kami sengaja berbuat demikian demi laki
perempuan penganut agama kami, tiupan terompet dan
pukulan genderang adalah demi mengundang perhatian
dari para penganut agama kami…. tentu saja
keadaannya berbeda jauh sekali”
“Oooh, kiranya begitu,” ujar Hoa Thian-hong sambil
tersenyum. “Kaucu tidak bersemayan dalan kuil It-goanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
koan untuk menyucikan diri, mau apa engkau berkunjung
kesini?”
Kaucu dari perkumpulan Thong-thian-kauw itu
mengelus jenggotnya dan menjawab.
“Tempat bersemayanku tidak jauh letaknya dari
tempat ini, kuil It-goan-koan hanya kugunakan sebagai
tempat penyebaran agama kami, tempat itu bukan
tempat kediamanku….
“Kaucu,” tukas Hoa Thian-hong sebelum iman tua itu
menyelesaikan kata-katanya. “pasukan musuh telah
masuk ke wilayah kekuasaanmu, engkau bukannya
pusing kepala menyusun siasat dan rencana untuk
menghadapi serangan total itu, enaknya saja hidup
senang di dalam rumah, apakah kan hendak menunggu
sampai pasukan musuh telah tiba diambang pintu, kau
baru buka pintu benteng untuk menyerah?”
Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak.
“Haaaah…. haaah. .haaaah…. bulan tujuh tanggal lima
belas nanti, pinto akan membuka suatu pertemuan besar
Kian ciau tay bwee di See thian, pada waktu itu aku
mengharapkan pelbagai orang gagah dari segala lapisan
masyarakat bisa ikut menghadiri pertemuan tersebut.
Undangan buat saudara kecil telah kami sampaikan dan
sekarang disimpan oleh Ciong Lian-khek….!”
Ia berhenti sebentar, lalu sambil tertawa tergelak
lanjutnya, “Saat ini pelbagai orang gagah di kolong langit
sedang siapkan kuda melatih tentara agar bisa

memperlihatkan kelihaiannya dalam pertemuan besar itu,
saudara cilik, kenapa kau masih berlarian di tempat
luaran? Kalau sampai jiwamu melayang, pertemuan
besar Kian ciau tay hwee pasti akan keku-rangan kau
seorang…. waaah! Kalau sampai begitu suasana tentu
kurang meriah”
“Bulan tujuh tanggal lima belas?” tanya Hoa Thianhong
dengan alis berkerut.” bukankah berarti tinggal
delapan hari lagi?”
Sambil tertawa Thong-thian Kaucu mengangguk.
“Betul, selama beberapa hari ini sebagai besar para
orang gagah dari kolong langit telah berdatangan semua
kemari”
“Senja tadi, aku telah menyalahi tiga orang muridmu,”
ujar sang pemuda sambil tersenyum.
“Aaai…. itu bukan soal besar” tukas sang kaucu sambil
tertawa. “Mereka berani mencari gara-gara dengan
dirimu, itu berarti bahwa mereka tak tahu diri. Manusia
yang tak tahu dari memang sudah sepantasnya kalau
diberi hukuman”
Setelah tertawa tergelak, lanjutnya, “Kalau
dibandingkan terhadap beberapa orang dari Hong-imhwie,
saudara cilik sudah bersiap lebih murah hati
terhadap mereka, disini pinto ucapkan banyak terima
kasih terlebih dahulu”
Selesai berkata ia segera memberi hormat.

Hoa Thian-hong balas memberi hormat, mereka
berdua bicara dan bergurau dengan bebasnya seakanakan
dua sahabat lama yang saling bertemu lagi setelah
lama berpisah.
Thong-thian Kaucu alihkan sorot matanya ke samping,
sambil memandang wajah Pek Soh-gie dengan muka
berseri-seri serunya. “Siapa nona ini? wajahnya cantik
jelita bagaikan bidadari sedang pakaiannya sederhana
sekali, sampai pinto sendiripun tak bisa menebak asal
usulnya”
Menyaksikan tingkah laku iman tua itu sedikit kurang
beres, Pek Soh-gie tak sudi menjawab. Ia segera
melengos dan memandang ke arah Hoa Thian-hong yang
berada di sisinya.
Hoa Thian-hong dapat menangkap maksud hati gadis
itu, dengan wajah dingin jawabnya, “Dia adalah putri
kesayangan dari Pek loo pangcu dari perkumpulan Sinkie-
pang, lebih baik pangcu tak usah banyak bertanya”
Kaucu dari perkumpulan Thong-thian-kauw ini benarbenar
bermuka tebal, bukan gusar malah dia tertawa.
“Sudah lama aku dengar katanya Pek Siau-thian
mempunyai sepasang putri kembar yang memiliki raut
wajah cantik jelita, raut wajah nona ini mirip sekali
dengan wajah Pek Kun-gie yang seringkali berkelana di
dalam dunia persilatan, apakah dia adalah siputri sulung
nona Soh-gie?”

“Hmmm…. sungguh banyak utusan yang diketahui
kaucu, tidak salah nona ini memang nona Pek Soh-gie”
“Kalau memang begitu sungguh aneh sekali,” kata
Thong-thian Kaucu dengan alis berkerut, “sudah lama
aku dengar berita yang tersiar dalam Bulim mengatakan
bahwa antara saudara cilik dengan Pek Kun-gie dari
bermusuhan akhirnya berubah jadi sahabat dan
kemudian jadi sahabat kental, kenapa sekarang malah
melakukan perjalanan bersama dengan si sulung?”
Hawa amarah kontan membakar dalam dada Hoa
Thian-hong sesudah mendengar perkataan itu, pikirnya
di dalam hati, “Thian Ik si hidung kerbau ini adalah salah
seseorang diantara pembunuh ayahku, cepat atau lambat
aku akan mencabut pula selembar wajahnya, kenapa aku
musti memburu napas pada saat ini….?”
Ia tahu gelagat serta enteng beratnyan urusan,
setelah berpikir begitu hawa amarah pun segera ditekan
kembali, ujarnya dengan suara ketus.
“Urusan pribadi dari aku orang she Hoa lebih baik tak
usah dicampuri oleh Kaucu, saat pertemuan pada bulan
tujuh tanggal lima belas sebentar lagi sudah tiba, bila
perkataan dari kaucu belum selesai maka silahkan
dilanjutkan pada pertemuan Kiam ciau tay hwee nanti!”
Kepada Pek Soh-gie serunya.
“Nona mari kita pergi”

Gadis itu mengangguk, mereka berdua segera putar
badan dan berlalu dari situ.
Tiba-tiba Thong-thian-kauw mengerdipkan matanya ke
kiri dan kanan, seketika itu juga terdengarlah desiran
angin tajam menderu-deru, delapan orang tosu cilik
berbaju merah segera menyebarkan diri di tengah jalan
dan menghadang jalan pergi kedua orang itu dengan
pedang pendek terhunus ditangan.
Di bawah sorot cahaya bintang tampaklah sinar tajam
yang mengilaukan mata memancar keudara, rupanya
pedang pendek yang berada di dalam genggaman
kedelapan orang tosu cilik jubah merah itu merupakan
senjata mustika yang tajam sekali.
0000O0000
31
TERDENGARLAH Thong-thian Kaucu angkat kepala
dan tertawa terbahak-bahak, suaranya keras hingga
menggetarkan seluruh jagad, ia berkata, “Hoa Thianhong,
kau jangan gegabah dan bertindak seenaknya
sendiri, ketahuilah bahwa ilmu silat yang kau miliki
sekarang masih belum mampu digunakan untuk
menerobos pertahanan ilmu barisan Kan lee kiam tin dari
pun kaucu ini!”
“Ilmu barisan Kan lee kiam-tin?” tanya sang pemuda
dengan alis berkerut, “belum pernah kudengar nama
barisan itu!”

“Kalau engkau tak puas, silahkan untuk mencobanya
sendiri!”
Hoa Thian-hong mendengus dingin, sorot matanya
menyapu sekejap sekeliling tempat itu, rupanya dalam
waktu yang amat singkat itulah kedelapan orang tosu
cilik berjubah merah itu telah menyebarkan diri ke
sekeliling kalangan, setiap orang menyilangkan
pedangnya di depan dada dan berdiri tegak bagaikan
batu karang, dilihat dari wajah mereka yang begitu serius
tampaklah bahwa barisan itu benar-benar luar biasa
sekali.
Setelah seringkali mengalami bencana, pengalaman
yang dimiliki Hoa Thian-hong luas sekali. Setelah
mengamati sebentar situasi yang terbentang di depan
mata saat ini, sadarlah pemudaitu bahwa musuh tangguh
sedang dirinya lemah, kalau pertarungan dilangsungkan
maka dialah yang bakal kalah atau bahkan terancam
jiwanya.
Oleh sebab itu sambil menahan hawa amarah yang
berkobar dalam dadanya, ia berkata kepada Pek Soh-gie,
“Aku masih ada urusan yang harus diselesaikan dengan
kaucu ini, silahkan nona berangkat lebih dahulu”
Melangak hati Pek Soh-gie mendengar perkataan itu,
setelah termenung sebentar katanya lirih, “Aku tidak
terburu-buru ingin pergi, lebih baik kutunggu saja dirimu
di tempat ini!”
Hoa Thian-hong segera mengerutkan dahinya, ia
berpikir, “Aaaai….! Nona ini benar-benar terlalu jujur,

musuh berada di depan mata ia masih tak sadar,
bukannya berusaha untuk mencari akal guna meloloskan
diri, ia malah bersikeras untuk tinggal disini…. aaai, apa
dayaku sekarang?”
Sementara itu Thong-thian Kaucu dengan sorot mata
yang tajam sedang mengawasi kedua orang itu, dia
merasa yang pria tinggi kekar dan berwajah tampan
sedang perempuan lemah lembut berwajah cantik, bila
mereka berdua berdiri berdampingan nampaklah begitu
serasi dan mempersonakan hati orang.
Lama kelamaan hatinya jadi panas, dari rasa kagum ia
jadi dengki dan iri, sambil mendengus berat segera
ujarnya, “Hoa Thian-hong, ayah dan ibumu adalah jagojago
lihay dari kalangan lurus, sebaliknya kau rela
menggabungkan diri ke dalam tubuh perkumpulan Sinkie-
pang, apakah tindakanmu ini tidak takut memalukan
nama keluarga serta menurunkan derajat nenek
moyangmu?”
“Hmm! Selamanya aku orang she Hoa berkelana
kesana kemari seorang diri, perbuatan suci bersih dan
yakin tak pernah ternoda!, sampai sekarang aku sama
sekali tidak bergabung dengan pihak Sin-kie-pang
maupun Hong-im-hwie….”
Tidak menanti sampai pemuda itu menyelesaikan
kata-katanya, kaucu dari perkumpula Thong-thian-kauw
itu sudah menukas, Pengaruh perkumpulan Sin-kie-pang
meliputi tujuh propinsi, jago lihay yang tergabung dalam
perkumpulan itu banyak sekal sukar dihitung dengan jari,
bilamana engkau memang bukan anak buah dari

perkumpula Sin-kie-pang, lebih baik janganlah
mencampuri urusan kami, tinggalkan Pek Soh Gi di
tempat ini dan berlalulah seorang diri”
“Eeei…. ada apa? jadi engkau hendak menahan nona
Pek Soh-gie di tempat ini?” seru Hoa Thian-hong dengan
alis berkerut.
Dia adalah enghiong sejati, dalam pemikirannya Pek
Soh-gie yang mulia dan halus berbudi tak pernah
bermusuhan dengan orang, tak pernah bermusuhan
dengan umat Bulim, siapapun tak punya alasan untuk
bermusuhan dengan dirinya, tindakan Thong-thian Kaucu
yang hendak menahan dirinya benar-benar merupakan
satu kejadian yang sama sekali berada diluar dugaannya.
Terdengar kaucu dari perkumpulan Thong-thian-kauw
itu tertawa dingin, lalu berkata, “Kau tak mau banyak
bicara lagi, sekarang pun kaucu akan membuka sebuah
jalan hidup bagimu, asal engkau suka berpeluk tangan
dalam soal ini maka kau akan kubiarkan berlalu dari sini
dalam keadaan sela-mat, sebaliknya kalau engkau
membangkang maka kemungkinan besar dalam
pertemuan Kiam ciau Tay hwee pada bulan tujuh tanggal
lima belas nanti akan kekurangan engkau seorang”
Hoa Thian benar-benar jadi naik pitam, bentaknya,
“Sungguh memalukan sekali, tak kusangka engkau
sebagai ketua dari suatu perkumpulan besar ternyata
bermoral sebejad itu, aku orang she Hoa….”
Tiba-tiba ia marasa bahwa sikap Thong-thian Kaucu
sama sekali berdiam.

ketika datang tadi ia bersikap bebas dan wajah penuh
senyuman, sebaliknya sekarang nampak begitu licik dan
memuakkan sekali.
Tiba-tiba Pek Soh-gie berkata, “Kaucu! aku masih ada
urusan dibadan sehingga tak dapat berdiam terlalu lama
di sini, bila kaucu ada urusan harap segera diutarakan
sekarang juga!”
“Eeei…. bukankah barusan kau mengatakan sendiri
bahwa kau tak ada urusan dan tidak ingin cepat-cepat
berlalu dari sini?” seru sang kaucu dengan mata berkilat.
Merah padam selembar wajah Pek Soh-gie karena
jengah, bibirnya bergerak seperti mau mengatakan
sesuatu tapi akhirnya maksud itu dibatalkan, dengan
wajah berubah ia bungkam dalam seribu bahasa.
Thong-thian Kaucu tertawa dingin, sorot matanya
dengan pandangan tengik menyapu terus raut wajahnya
yang cantik itu, ujarnya kembali, “Dewasa ini para jago
sedang saling bermusuhan satu sama lainnya, masingmasing
pihak berusaha agar rencana besarnya bisa
dicapai dengan sukses, Jin Hian serta ayahmu juga
sedang bentrok dan kini malah bermusuhan satu sama
lainnya, jika mereka tahu akan jejakmu dan engkau
lanjutkan kembali perjalanannya ke depan, maka orangorang
dari pihak Hong-im-hwie pasti akan berusaha
menangkap dirimu”

“Terima kasih atas petunjuk dari kaucu, asal aku
bersiap lebih hati-hati, rasanya itu sudah lebih dari
cukup”
“Pihak Hong-im-hwie sangat berhasrat menangkap
dirimu, sekalipun engkau bersikap hati-hati juga tak ada
gunanya, apakah kau mampu menahan serangan
mereka?”
Jilid 23. Bertemu Kakek Telaga Dingin lagi
KINI aku sedang menjalankan titah dari ibuku untuk
segera berangkat ke kota Ceng kang guna menjumpai
ayahku, sekalipun harus menempuh mara bahaya, tugas
ini tak bisa kutunda dengan begitu saja”
“Haaah…. haaaah…. haaaah….” Thong-thian Kaucu
segera tertawa terbahak bahak” Meskipun kau memiliki
keberanian untuk melanjutkan perjalanan dengan
menempuh bahaya, tetapi pun-kaucu merasa tidak lega
membiarkan engkau lanjutkan perjalanan seorang diri”
Dari pembicaraan yang selama ini berlangsung, Hoa
Thian-hong dapat menarik kesimpulan bahwa Thongthian
Kaucu mempunyai maksud jelek terhadap dara ayu
itu, dengan gusar ia mendengus lalu serunya, “Hmmm!
Musuh tangguh sedang berada diambang pintu, kau
sebagai kaucu dari perkumpulan Thong-thian-kauw
bukanya memikirkan perkumpulannya yang berada
dipintu gerbang kehancuran, sebaliknya malah
mencampuri urusan orang lain…. apakah engkau tak
takut kalau perbuatanmu itu akan ditertawakan orang?”

Dengan wajah berubah dan mata melotot besar
Thong-thian Kaucu berpaling, kemudian serunya ketus,
“Kau sibocah cilik, tahu apa? Saat ini situasi amat kritis
dan masing-masing pihak sekarang berusaha merebut
posisi yang lebih menguntungkan dengan menggunakan
kecerdikan-nya masing-masing, andaikata Jin Hian
berhasil menawan putri sulung dari Pek Siau-thian ini,
dengan adanya sandera di tangan maka apa yang dia
minta pasti akan dikabulkan oleh orang she Pek itu….
coba bayangkan apakah urusan ini tidak menyangkut
soal keamanan dari pihak Thong-thian-kauw? Apakah
pun kaucu tidak pantas untuk mengurusinya?”
“Benar juga perkataan itu,” pikir Hoa Thian-hong di
dalam hati, “Seandainya pihak Hong-im-hwie berhasil
menguasai Sin-kie-pang, maka dengan kekuatan
gabungan dua perkumpulan yang maha besar, pihak
Thong-thian-kauw pasti akan mengalami kehancuran
total.”
Sementara itu Pek Soh-gie telah berkata, “Kecerdasan
kaucu benar-benar mengagumkan hati siau li, tolong
tanya apakah maksud kaucu dan apa pula yang musti
siau li lakukan sekarang….”
“Turutilah anjuran dari kaucu dan jadilah tamu dari
perkumpulan Thong-thian-kauw untuk sementara waktu,
dengan cepat aku akan mengirim orang untuk memberi
kabar kepada ayahmu agar dia datang menjemput
sendiri dirimu….”

Setelah mendengar perkataan itu, adalah Hoa Thianhong
tentang apa yang sedang terjadi, bukannya gusar
dia malah tertawa, katanya, “Haaah…. haaah…. suatu
rencana yang amat bagus, suatu siasat yang benar-benar
licik, rupanya bicara pulang pergi selama ini tujuannya
tidak lain adalah engkau sedang menjalankan rencana
besarmu…. agaknya kau hendak menganggap nona ini
sebagai saudara agar pangcu dari Sin-kie-pang menuruti
kemauanmu….”
“Hmmm! bukan begitu, saja,” tukas kaucu dari
perkumpulan Thong-thian-kauw dengan alis berkerut,
“engkaupun akan sekalian kuringkus, agar orang tuamu
serta komplotanmu bisa kupergunakan pula tenaganya”
“Seandainya Sin-kie-pangcu serta sahabat dan kerabat
keluarga Hoa kami tak mau menuruti kemauanmu, apa
yang hendak kaulakukan?”
“Hmmm! gampang sekali, kalau memang demikian
keadaannya maka jiwa kalian berdua tak bisa
diselamatkan lagi!”
Hoa Thian-hong segera tertawa terbahak-bahak.
“Haaah…. haaaah…. haaaaah…. cara kerjamu benarbenar
terkutuk dan memalukan sekali, aku rasa Jin Hian
pribadi belum tentu mempunyai jalan pikiran serendah
itu, ditinjau dari hal ini bisa ditarik kesimpulan bahwa
kaucu dari perkumpulan Thong-thian-kauw ada lah
manusia yang paling tak tahu malu diantara tiga
kekuatan besar”

“Hmmm! Siapa yang berhasil dia jadi raja, siapa yang
gagal dia jadi buronan, siapa tinggi siapa rendah tak bisa
ditetapkan dengan perkataan semacam itu!”
“Haah…. haah…. haaah…. pendapat yang tinggi,
pendapat yang tinggi…. meskipun aku orang she Hoa
tidak becus, namun aku tak sudi menyerah kalah dengan
begitu saja, silahkan kaucu turun tangan, aku ingin sekali
minta beberapa petunjuk darimu!”
“Hmm! aku sebagai ketua dari suatu kekuatan besar
tak sudi turun tangan melayani kurcaci macam engkau!”
Sambil berkata dia segera angkat senjata hudtimnya
dan dikebutkan ke arah kawanan tosu cilik berjubah
merah itu.
Hoa Thian-hong mengerutkan alisnya.
“Kau anggap sebuah barisan pedang yang begini kecil
benar-benar mampu mengurung kami….” teriaknya.
Bentakan keras berkumandang di angkasa, cahaya
tajam berkelebat menyilaukan mata, tiba-tiba selapis
hawa pedang yang amat tajam mengurung datang
dengan hebatnya.
Hoa Thian-hong melototkan matanya, ia lihat kabut
pedang yang menyelimuti tempat itu rapat sekali seolaholah
dari enpat penjuru memancar masuk sinar perak
yang amat tajam, begitu cepat datangnya serangan itu
hingga tahu-tahu sudah tiba di depan mata.

Dalam keadaan dan apa boleh buat, terpaksa dia
enjotkan badan dan berkeling ke samping.
Belum sempat tubuhnya berdiri tegak, tiba-tiba terasa
beberapa desiran angin tajam kembali membokong
tubuhnya dan mengancam jalan darah penting di
belakang pinggang.
Buru-buru ia tekuk pinggang ke depan, menyalurkan
hawa pukulan dan putar badan mengirim satu serangan
dengan jurus Kun Siu Ci sau untuk membendung
datangnya ancaman angin dingin dari belakang itu.
Sementara itu Pek Soh-gie yang masih tetap berdiri di
sisi lapangan, tiba-tiba diserang oleh seorang tosu cilik
baju merah dengan sebuah totokan kilat, ia jadi kaget
dan buru-buru loncat ke belakang untuk menghindar,
dalam waktu singkat kedua orang itu segera terjerumus
di dalam kepungan delapan orang tosu cilik dengan
barisan pedangnya yang lihay itu.
Hoa Thian-hong yang harus menerima kekalahan
dalam satu jurus belaka, diam-diam merasa amat
terkejut, ia segera pertingkat kewaspadaannya untuk
menjaga segala kemungkinan yang tidak diinginkan.
Dengan telapak kiri mainkan jurus Kun siu ci sau untuk
melak ukan pertahanan, tangan kanannya diam-diam
disaluri dan siap melancarkan serangan dengan jurus
‘menyerang sampai mati’ yang diketahui amat ampuh
dan mengerikan itu.

Sebagai pemuda yang, berpengalaman dan tenaga
dalamnya cukup sempurna, setelah bertempur beberapa
jurus dia mulai bisa menangkap gerak-gerik kedelapan
orang tosu cilik baju merah itu, ia tahu bahwa mereka
memiliki serangkaian ilmu pedang yang amat sakti
dengan kematangan yang luar biasa, bila harus
bertempur satu lawan satu mungkin mereka masih bukan
tandingannya, tetapi setelah bergabung di dalam barisan
pedang Kan Lee kiam tin ini maka kehebatan-nya
sungguh luar biasa.
Di tengah pertempuran, bayangan tubuh kedelapan
orang tosu cilik baju merah itu mendadak lenyap tak
berbekas, yang terrlihat hanyalah cahaya pedang yang
berkelebat silih berganti, kian lama pertempuran itu
berlangsung barisan pedang itupun bergerak semakin
cepat, dengan sendirinya daya tekanan pun semakin
hebat sehingga jauh diluar dugaan Hoa Thian-hong….
Hoa Thian-hong serta Pek Soh-gie yang terjebak
dalam barisan itu lama kelamaan jadi gugup dan
gelagapan, mereka merasa keteter hebat dan tak mampu
bergerak lebih banyak.
Untung tujuan lawan ingin menangkap mereka dalam
keadaan hidup, sehingga setiap saat terancam bahaya
mereka selalu berhasil meloloskan diri dalam keadaan
selamat kendati begitu keadaan mereka cukup
mengcemaskan.
Tiba-tiba terdengar Thong-thian Kaucu berteriak
dengan suara keras, “Pek Soh-gie, pedang dan golok tak
bermata kalau kau mau menyerah dan mengaku kalah

maka jiwamu bisa selamat, tetapi kalau tetap
membandel, jangan salahkan kalau sampai jiwamu
terancam”
Pek Soh-gie tetap berlagak pilon dan seolah-olah tidak
mendengar sesuatu di tengah pertarungan ia tetap
bekerja keras menangkis serta membendung datangnya
ancaman ancaman pedang yang muncul dari empat
penjuru….
Pada dasarnya kepandaian silat yang dia kuasahi
hanya ilmu mempertahankan diri, justru karena itulah
kepandaian tersebut se gera menunjukkan manfaatnya
dalam kerubutan barisan pedang itu.
Lain keadaannya dengan Hoa Thian-hong, ilmu
pukulan tangan kirinya hanya khusus digunakan untuk
menyerang belaka, di bawah perubahan barisan Kan Lee
Kiam tin yang serba rumit dan membingungkan ia jadi
kewalahan sendiri, sebaliknya ilmu totokan Ci yu jit ciat
di tangan kanannya tak mampu mengimbangi permainan
telapak kirinya yang begitu cepat dan gencar itu….
Dalam waktu singkat pertempuran sudah berlangsung
ratusan jurus banyaknya, tampak cahaya tajam
memancar keempat penjuru, hawa pedang
membumbung ke angkasa, cahaya tajam yang
menyilaukan mata memancar keluar dari barisan Kan Lee
kiam tin itu dan menelan tubuh Hoa Thian-hong
berdua….
Kaucu dari perkumpulan Thong-thian-kauw yang
menonton jalan-nya pertempuran itu dari sisi lapangan

diam-diam merasa senang hati setelah menyaksikan
kemenangan berada di pihaknya, setelah menyaksikan
pula kecantikan wajah Pek Soh-gie yang begitu menawan
hati, tiba-tiba satu ingatan berkelebat dalam benaknya.
“Gadis itu begitu cantik dan menawan hati, dalam
seratus tahun sulit untuk menemui perempuan semacam
ini, sedang Hoa Thian-hong adalah pemuda berbakat
yang bisa di pakai tenaganya, aku tak boleh bertindak
gegabah sehingga melukai kedua orang itu….”
Berpikir sampai disitu ia segera enjotkan bidan dan
menerjang masuk ke dalam barisan, jari tangannya
bekerja cepat melancarkan sebuah totokan ke arah tubuh
Pek Soh-gie.
Sementara itu putri sulung dari Pek Siau-thian ini
sudah tak kuasa menahan diri, ketika Thong-thian Kaucu
melancarkan serangannya ia tak mampu melakukan
perlawanan lagi. Tampak bayangan manusia berkelebat
lewat, tahu-tahu jalan darah Gi sim nya jadi kaku dan
sambil menjerit tertahan robohlah tubuhnya terkulai ke
atas tanah.
Thong-thian-kauw bekerja cepat, ia segera
menyambar pinggangnya dan mengepit di bawah ketiak,
senjata hud-timnya berkelebat kemuka langsung
menyapu tubuh Hoa Thian-hong.
Pemuda itu sangat gusar, tubuhnya dengan cepat
menyingkir ke samping menghindarkan diri dari kebutan
tersebut, telapaknya lang sung membabat ke depan.

Serangan yang dilancarkan dalam keadaan marah ini
sungguh luar biasa sekali, sulit bagi Thong-thian Kaucu
untuk melayani dengan begitu saja, suara bentakan
segera berkumandang diangkat, cahaya pedang yang
menyilaukan mata meluncur datang dari depan belakang
kiri maupun kanan, begitu gencar serangan itu memaksa
Hoa Thian-hong harus menarik kembali serangannya
sambil loncat ke samping.
Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak, dia putar
senjata hud-timnya, kemudian laksana kilat berkelebat
kemuka.
Sebelum Hoa Thian-hong sempat melakukan suatu
tindakan, dua buah jalan darahnya tahu-tahu sudah
ditotok oleh kebutan tersebut, kakinya jadi lemas dan tak
tahan lagi ia roboh terjengkang ke atas tanah.
Semua kejadian itu berlangsung dalam sekejap mata,
angin malam masih berhembus sepoi-sepoi. cahaya
bintang bertaburan di angkasa, fajar sama sekali belum
menyingsing.
Air muka Thong-thian Kaucu berseri-seri, ia
memandang sekejap ke arah Pek Soh-gie yang berada
dalam kepitannya, dari balik mata memancarkan sorot
cahaya yang mengandung birahi.
Setelah jalan darah kakunya tertotok, Pek Soh-gie
kehilangan semua tenaganya dan tak bisa berkutik,
ketika ia sadar dan menyaksi kan dirinya berada dalam
pelukan orang, wajahnya berubah jadi merah karena

jengah, rasa malu dan marah bercampur aduk membuat
gadis itu hampir saja menangis.
Dalam keadaan begini ia tak bisa berbuat lain kecuali
pejamkan mata rapat-rapat dengan wajah hijau kepucatpucatan,
diam-diam ia merasa menyesal sekali….
Hoa Thian-hong sendiri berbaring di atas tanah
dengan mata melotot bulat, ia memandang ke arah
Thong-thian Kaucu dengan sorot mata dingin penuh
kegusaran, ingin sekali dia loncat bangun dan
melancarkan serangan dengan sepenuh tenaga, tapi
sayang, jalan darahnya tertotok dan ia tak mampu
melakukan apa yang diinginkannya itu.
Dalam keadaan begini pemuda tersebut hanya bisa
mengatur napas sambil berusaha untuk membebaskan
diri dari pengaruh totokan.
“Hoa Thian-hong!” terdengar kaucu dari perkumpulan
Thong-thian-kauw itu berseru, “menurut laporan anak
buahku, katanya kau malang melintang di dalam dunia
persilatan tanpa tandingan, menurut penglihatanku berita
yang tersiar dalam dunia persilatan tak bisa dipercaya
sama sekali”
“Tak usah banyak bacot” tukas Hoa Thian-hong
dengan mata melotot, “mau cincang mau bunuh, cepat
lakukan!”
“Haah…. haaah…. haah….” Thong-thian Kaucu tertawa
terbahak-bahak sambil mengelus jenggotnya, “hanya
beberapa orang bocah cilik saja tak mampu menangkan,

buat apa engkau melakukan penjalanan di dunia
persilatan serta mencari nama di kolong langit?”
Hoa Thian-hong mengerutkan alisnya, dengan gusar ia
berseru, “Seorang lelaki boleh dibunuh tak sudi di hina,
engkau sebagai ketua dari suatu perkumpulan besar
apakah tidak malu merosotkan derajat sendiri dengan
sikap seperti itu?”
Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak, ia duduk
kembali di atas tandunya dan meletakkan tubuh Pek Sohgie
disampingnya, kemudian kepada tosu cilik yang
membawa senjata Ji gi titahnya, “Totok jalan darah Sam
yang nya!”
Toosu cilik itu mengiakan dengan hormat lalu berjalan
menghampiri si anak muda itu, dia ambil keluar tiga
batang jarum perak yang panjangnya dua cun kemudian
di tancapkan di atas jalan darah Gi cung, Gi ji serta Jit
kan tiga buah jalan darah penting.
Setelah jarum itu ditusuk ke dalam tubuhnya, dengan
gerakan yang cekatan sekali dia tepuk bebas jalan darah
sang pemuda yang tertotok.
Setelah tiga urat pentingnya terkunci maka hawa
murni tak dapat disalurkan lagi, dalam keadaan begini
sekalipun seorang jago lihay yang memiliki tenaga dalam
amat sempurnapun akan berubah menjadi seorang
manusia lemah yang sama sekali tidak bertenaga. Cara
ini aneh sekali dan hanya Thong-thian Kaucu seorang
yang memahami.

Hoa Thian-hong berusaha mencoba beberapa kali tapi
setiap kali hawa murninya tak mampu dikerahkan keluar,
akhirnya dia menghela napas panjang dan tanpa
mengatakan sepatah katapun menantikan hukuman yang
akan dijatuhkan kepadanya.
Thong-thian Kaucu tertawa, dia ketuk gagang hudtimnya
di atas tandu, empat tosu cilik baju kuning itu
segera menggotong tandu tadi dan diiringi bunyi musik
aneh, berangkatlah rombongan itu balik melalui jalan
semula….
Hoa Thian-hong dengan digotong oleh dua orang tosu
cilik baju merah berjalan di belakang tandu itu,
sepanjang perjalanan otaknya berputar terus memikirkan
semua ke jadian yang dialaminya selama sehari ini….
Pagi tadi ia masih menjadi tamu terhormat dari Giok
Teng Hujin. waktu itu keadaannya begitu agung dan
penuh wibawa.
Kemudian tengah hari…. terbayang kembali kejadian
ditepi laut, dimana Giok Teng Hujin munculkan diri di
depannya dalam keadaan telanjang ia gelengkan kepala
berulang kali, rasa malu dan menyesal muncul dalam hati
kecilnya.
Terbayang akan diri Giok Teng Hujin, tanpa terasa dia
angkat kepala dan menengok ke arah Pek Soh-gie yang
berbaring di atas tandu, ia temukan ketika itu Thongthian
Kaucu yang berada disisinya dengan mengamati
tubuh gadis itu dengan sorot mata aneh, ia segera
teringat akan soal pedang emas, pikirnya, “Menurut

petunjuk dari Giok Teng Hujin, katanya pedang itu
semuanya terdiri dari dua batang yakni pedang jantan
dan pedang betina, menurut dia pedang yang betina
sekarang tersimpan di dalam pedang pusaka milik
Thong-thian Kaucu….”
Berpikir sampai disini tanpa terasa sinar matanya
segera dialihkan ke arah kanan di mana tosu cilik baju
merah itu memegang sebilah senjata pedang pusaka,
ditinjau dari warna sarung pedangnya yang coklat dan
antik bisa dibayangkan bahwa pedang itu tentulah
sebilah pedang mustika….
Tapi…. benarkah pedang emas berada di dalam
pedang pusaka itu? dan Thong-thian Kaucu sendiri
tahukah tentang persoalan ini?
Kemudian ia teringat kembali akan nenek baju abuabu
yang munculkan diri secara mendadak, ia teringat
kembali ketika pipinya di tampar dengan keras….
Pikirnya di dalam hati, “Aaaai….! Seharusnya dari dulu
aku mesti tahu diri, berbicara tentang adat istiadat aku
tidak terlalu terikat oleh adat yang tetek bengek tak
karuan itu, sebaliknya tentang ilmu pedang aku hanya
mengandalkan sejurus ilmu pukulan belaka, bukan saja
ilmu pedang sudah kulupakan, tiga jurus ilmu totokan
dari Ci yu jit ciat pun tak berhasil kuyakini….”
Makin kupikir ia semakin menyesal hingga tanpa
terasa keringat mengucur keluar membasahi tubuhnya,
kini ia sudah tertawan dan mati hidupnya sukar

diramalkan, kemungkinan bagi dirinya untuk merubah
semua kesalahan itu kian menipis.
Sementara ia sedang menyesal dan kecewa sambil
berusaha mencari akal untuk meloloskan diri, tiba-tiba
suara musik berhenti dan suasana berubah jadi sunyi
senyap.
Ia segera menengadahkan ke atas, tampaklah sebuah
kuil yang megah dengan atap hijau tembok merah
muncul di depan mata.
Beberapa saat kemudian rombongan imam itu sudah
berada diruang dalam, sambil bangkit dari tandunya
Thong-thian Kaucu segera, memerintahkan, “Bawa nona
itu masuk istana Yang sim tian dan jebloskan Hoa Thianhong
ke dalam penjara bawah tanah!”
Mendengar perintah itu Hoa Thian-hong serta Pek
Soh-gie tanpa sadar saling bertukar pandangan, sorot
mata mereka berdua sama-sama memancarkan
kecemasan, bibir bergerak seperti mau mengucapkan
sesuatu namun tak sepatah katapun yang diutarakan
keluar.
Tampaklah empat orang tosu cilik itu segera
menggotong tandu itu dan membawa Pek Soh-gie berlalu
dari sana, sebaliknya dua orang tosu yang lain segera
menggusur tubuh Hoa Thian-hong menuju ke arah bela
kang istana….
Di belakang bangunan kuil itu didirikan sebuah rumah
yang terbuat dari batu, disanalah biasanya Thong-thian

Kaucu memenjarakan buronannya, setelah tiba disana
kedua orang tosu baju merah itu segera serahkan Hoa
Thian-hong kepada petugas penjara, oleh sang petugas
pemuda itu dijebloskan ke dalam sebuah ruang batu
yang kecil dan bertirai besi.
Ruangan itu luasnya hanya delapan depa, ampat
penjuru tiada jendela kecuali sebuah lubang hawa
sebesar mangkuk di atas pintu baja, karena itu meskipun
di tengah hari namun suasana dalam ruangan itu tetap
gelap gulita dan terasa lembab sekali.
Terdengar bunyi suara gemerincingan yang
menggema memecahkan kesunyian, pintu ruangan
ditutup dari depan. Hoa Thian-hong melihat ruangan itu
kosong melompong, kecuali ia sendiri tak nampak ada
benda lain lagi yang berada disitu.
Diam-diam segera pikirnya, “Asal ketiga batang jarum
perak yang menancap di atas dadaku bisa kucabut
keluar, niscaya penjara batu yang kecil ini tak mampu
mengurung diriku, cuma….” dia lepaskan pakaiannya dan
meraba ketiga batang jarum perak itu, terasalah bendabenda
itu menancap ke dalam tubuhnya hingga lenyap,
bila dihari biasa asal dia mengerah kan tenaga dalam di
atas jarinya maka jarum itu akan segera tercabut keluar,
tapi sekarang hawa murninya tak mampu disalurkan
maka tindakan semaeam itupun tak mungkin bisa
dilakukan.
Dengan putus asa pemuda itu hanya bergumam
seorang diri, “Waaah…. kalau aku mati di tempat ini, hal
itu benar-benar tak ada harganya….”

Setelah termenung sebentar, ia berpikir lebih jauh,
Bulan tujuh tanggal lima belas pihak perkumpulan
Thong-thian-kauw akan mengadakan pertemuan Kian
ciau tay-hwee…. Hmmm! pertemuan Kian ciau tay
hwee…. hanya akan berlangsung tujuh delapan hari lagi,
waktu itu pelbagai aliran akan saling berjumpa, pelbagai
keluarga yang bermusuhan akan bertemu satu sama
lainnya pada waktu itu pembicaraan yang tidak cocok
akan mengakibatkan banjir darah…. mayat akan
bertumpuk bagaikan bukit…. dalam menghadapi
pertemuan yang begini pentingnya, apa ibu akan hadir
atau tidak….
Terbayang akan ibunya, ia merasa rindu bercampur
sedih, rasa ingin hidup semakin menjadi…. dia ingin
cepat-cepat lolos dari tempat itu dan bertemu kembali
dengan ibunya.
Mendadak suara gemerincingan berkumandang dari
luar ruangan.
Satu ingatan berkelebat dalam benaknya, seolah-olah
dia melihat Giok Teng Hujin dengan sanggulnya yang
tinggi serta gaunnya yang panjang sedang munculkan
diri diternpat itu.
Suara gemerincingan sekali demi sekali berkumandang
terus tiada hentinya, jantung terasa berdebar semakin
keras, lama kelamaan ia mulai tak kuasa menahan diri….

Beberapa saat kemudian suara langkah kaki yang
santai berhenti tepat di depan pintu ruangannya, diikuti
pintu besi itupun dibuka orang….
Hoa Thian-hong mengintip keluar lewat celah pintu
yang terbuka, namun tidak nampak seorang manusiapun
berada disana, tanpa terasa ia bertanya dengan suara
lirih, “Siapa?”
Gelak tertawa yang rendah dan berat bergema
diseluruh ruangan, suara tertawa itu begitu dingin dan
menyeramkan seakan-akan muncul dari liang salju yang
amat dalam, Hoa Thian-hong jadi merinding dan bulu
kuduknya tanpa terasa pada bangun berdiri.
Tiba-tiba pintu besi dibuka orang, seorang imam
perawakan tinggi dengan sebilah pedang tersoren pada
punggungnya bagaikan sukma gentayangan murcul di
depan pintu.
Hoa Thian-hong dengan tajam menatap imam itu
beberapa saat lamanya, tiba-tiba ia teringat kembali
siapakah orang itu, tanpa te rasa sambil tertawa nyaring
serunya, “Oooh…. aku kira siapa yang datang, tak
tahunya adalah Ang Yap tootiang…. selamat datang,
selamat datang….”
Ang Yap toojin mendengus dingin, sambil menyeringai
seram serunya, Hoa Thian-hong, kau tak mengira bukan,
bakal menjumpai hari seperti ini….?”

Hoa Thian-hong mengerutkan alisnya lalu tertawa,
katanya, “Kenapa musti ini hari? Kalau engkau hendak
membalas dendam silahkan saja untuk turun tangan….”
“Huuuh….! dalam keadaan begini kau masih bisa
bicara keras? Kalau sucoumu sudah turun tangan….
Hmmm! Mungkin kau tak kuat menahan diri”
Sembari berkata perlahan-lahan imam itu maju ke
depan.
Dari sikap lawannya dingin menyeramkan, diam-diam
Hoa Thian-hong terkejut juga, pikirnya, “Kedatangannya
pasti mengandung maksud maksud tertentu, tosu tua ini
tentu akan menyiksa dan membunuh aku untuk
melampiaskan rasa dendamnya….”
Setelah tiga buah jalan darahnya disumbat oleh
tusukan jarum perak, segenap kepandaian silatnya tak
mampu digunakan lagi, sekalipun mara bahaya
mengancam di depan mata namun ia tak mempunyai
kemampuan untuk melarikan diri.
Kiranya Ang Yap toojin secara diam-diam menaruh
hati kepada Giok Teng Hujin, siapa tahu pihak
perempuan sama sekali tidak punya minat terhadap
dirinya, membuat hasrat yang terbenam itu selalu gagal
un tuk mencapai apa yang dikehendakinya.
Setelah melihat kemesraan yang di perlihatkan Giok
Teng Hujin terhadap Hoa Thian-hong, rasa dengki dan
cemburunya kontan berkobar dalam benak imam itu,
rasa marah dan iri tadi berkecambuk terus kian lama kian

bertambah tebal sehingga akhirnya hawa amarahnya tadi
dilampiaskan pada si anak muda she Hoa.
Suatu ketika pukulan Sau yang ceng kie yang
dilancarkan Hoa In telah mengakibatkan ia menderita
luka parah dan sampai saat itu belum juga sembuh,
kejadian ini semakin membuat imam itu mendendam Hoa
Thian-hong hingga merasuk ketulang sumsum, ia
bersumpah dalam hatinya hendak membinasakan musuh
cintanya itu dalam keadaan apapun jua.
Criiing….! Suara gemerincingan bergema memenuhi
angkasa, perlahan-lahan Ang Yap Toojin meloloskan
pedangnya, dengan sorot mata memancarkan hawa
nafsu membunuh dan muka menyeringai menyeram-kan,
serunya, “Manusia she Hoa, kau pingin mati atau pingin
hidup?”
“Eeei…. aneh sekali pertanyaanmu itu!” kata sang
pemuda dengan alis berkerut, “bukankah engkau
bermaksud menghabisi jiwaku? Apa gunanya
mengajukan penawaran tersebut?”
Ang Yap Toojin tertawa dingin.
“Heeeh…. heeeh…. jika engkau ingin hidup, tentu saja
Too-ya dapat memberikan sebuah jalan kehidupan
bagimu, cuma jalan itu sempit dan kecil sekali, aku takut
engkau tak punya keberanian untuk melewatinya!”
“Aku orang she Hoa tidak memiliki kemampuan apaapa,
tapi aku rasa masih memiliki sedikit keberangan
untuk menghadapi segala kejadian yang bakal menimpa

diriku, coba katakanlah bagaimana sempit dan ke-cilnya
jalan tersebut? Seandainya aku merasa sanggup untuk
melewatinya, aku orang she Hoa pasti akan
mencobanya”
Ang Yap Toojin menggetarkan ujung pedangnya di
atas raut wajah Hoa Thian-hong, ujarnya sambil tertawa
menyeringai.
“Jika dibicarakan sebenarnya tidak begitu
menakutkan, bilamana engkau ingin hidup maka Too-ya
akan merobek raut wajahmu yang tampan itu, agar
Ciong Lian-khek mendapat kawan berwajah busuk
macam diri mu itu!”
mendengar perkataan tersebut, dalam benak Hoa
Thian-hong segera terbayang kembali raut wajah Ciong
Lian-khek yang penuh bercodet dan bekas bacokan
senjata itu, wajah yang menyeramkan membuat hati pe
muda itu jadi bergidik, pikirnya di dalam hati, “Sungguh
aneh sekali peristiwa ini, apa sih sangkut pautnya antara
wajahku dengan rasa dendamnya?”
Tiba-tiba satu ingatan berkelebat dalam benaknya,
tanpa sadar ia berteriak.
“Oooh….! Sekarang aku mengerti”
“Hmm! engkau belum tentu mengerti,” jengek Ang
Yap toojin dengan suara dingin.
Hoa Thian-hong tersenyum.

“Kedatanganmu kesini adalah masuk secara pribadi
dan tanpa sepengetahuan ataupun seijin kaucu kalian,
karena kau takut tidak mendapat persetujuan dari sang
kaucu untuk mencabut jiwaku, maka muncullah ingatan
dalam benakmu untuk merusak raut wajahku ini agar
rasa dendam yang berkecamuk dalam dadamu bisa
dilampiaskan, bukankah begitu?”
“Heeeeh…. heeeh…. heeeh…. tebakanmu memang
sama sekali tidak salah,” jawab Ang Yap Toojin sambil
tertawa seram, ”tapi tahukah engkau bahwa Too-ya pun
sudah mengambil keputusan Untuk ber buat nekad? Asal
engkau ingin mati maka Too-ya akan segera memenggal
batok kepala ku kemudian kabur jauh-jauh dari tempat
ini, perduli amat dengan kaucu atau bukan!”
“Oooh….! rupanya rasa benci orang ini terhadap diriku
sudah terlalu mendalam” pikir Hoa Thian-hong di dalam
hati, “waah…. berabe juga ini, apa yang musti
kulakukan?”
Setelah berpikir sebentar, dia alihkan kembali sorot
matanya menatap tajam raut wajah imam tersebut, ia
temukan bahwa ketika itu sepasang matanya telah
berubah jadi merah membara, bibirnya bergetar keras
sekali dengan air mukanya berubah jadi begitu
mengerikan macam malaikat pembunuh dari neraka,
sadarlah pemuda itu bahwa apa yang diucapkan
lawannya mungkin sekali dapat dilakukan benar-benar.
Maka diapun lantas mengangguk sambil ujarnya
sungguh-sungguh, “Kalau begitu…. baiklah, akan
kupikirkan sebentar….”

“Too-ya malas untuk menunggu terlalu lama!” bentak
Ang Yap Toojin sambil menggerakkan senjata
pedangnya.
Hoa Thian-hong berlagak pilon dan seolah-olah tidak
mendengar perkataan itu pikirnya, “Meskipun raut wajah
Ciong Lian-khek cianpwee sudah rusak dan menjadi
buruk, akan tetapi ia tetap merupakan seorang lelaki
sejati, ia tetap merupakan seorang pendekar besar yang
berjiwa pahlawan…. urusanku belum sempat
kuselesaikan semua, aku tak boleh mati dengan begitu
saja…. aku harus berusaha untuk mempertahankan
hidupku agar semua pekerjaan yang tertunde bisa
kuselesaikan….”
Berpikir sampai disitu, ia terbayang kembali akan
pinangan dari Pek Siau-thian untuk putri bungurnya, lalu
teringat pula akan perbuatan Giok Teng Hujin dirinya….
setelah berpikir sebentar akhirnya dia mengambil
keputusan, dengan terus terang ujarnya.
“Ang Yap, akan menyerah kalah…. anggap saja ini hari
engkau lebih lihay dariku, si1ahkan merusak raut
wajahku ini dengan ujung pedangmu itu…. aku orang
she Hoa sudah ambil keputusan untuk memilih jalan
kehidupan saja….
Rupanya Ang Yap Toojin merasa tercengang dan
diluar dugaan mendengar keputusan dari lawannya,
setelah tertegun sejenak ia segera menengadahkan ke
atas dan tertawa seram.

“Haahh…. haahh…. bagus sekali! rupanya kau si
bangsat cilikpun merupakan manusia kurcaci yang takut
mati!”
Tubuhnya menerjang maju ke depan, pedangnya
dikebaskan dan…. Sreeet! langsung membacok wajah
pemuda itu.
Keputusan Hoa Thian-hong untuk mengorbankan raut
wajahnya dan mempertahankan kehidupan diambil
karena keadaan yang terpaksa dan mendesak sekali,
melihat datangnya sambaran cahaya pedang yang
menyilaukan mata, hati terasa tercekat, tak mungkin bagi
dirinya untuk menghindarkan diri lagi dari bacokan
tersebut, terpaksa ia pejamkan matanya rapat-rapat.
Criiing….! terdengar bunyi gemerincingan yang amat
nyaring berkumandang memenuhi seluruh angkasa, pintu
besi di depan penjara seolah-olah didorong oleh suatu
kekuatan yang maha besar, tiba-tiba terbentang lebar
dengan sendirinya.
Begitu keras bunyi gemerincing tersebut sehingga
membuat Ang Yap Toojin maupun Hoa Thian-hong
merasakan telinganya jadi amat sakit sekali, imam
setengah baya itu segera menghentikan gerakan
pedangnya di tengah udara sedang Hoa Thian-hong pun
membuka matanya kembali, tubuh mereka berdua samasama
tergetar keras, pada saat yang ber samaan pula
mereka sadar bahva diluar pintu ada orang, hanya tak
tahu jago lihay darimanakah yang telah muncul disitu?

Sementara itu pantulan suara yang amat nyaring tadi
masih mendengung tiada hentinya diseluruh penjuru
ruang penjara itu, dari kedahsyatan suara pantulan
tersebut Ang Yap Toojin semakin yakin kalau orang yang
bersembunyi di balik pintu adalah seorang jago lihay
berkepandaian tinggi, dalam kejutnya dan kedernya
timbul pikiran dalam benak imam tersebut untuk
mengundurkan diri dari tempat itu.
Tetapi ia merasa amat membenci terhadap Hoa Thianhong,
rasa dendamnya sudah merasuk ketulang
sumsum, meskipun berada dalam keadaan gugup dan
kacau pikiran, namun imam tersebut tak rela melepaskan
Hoa Thian-hong dengan begitu saja, pedangnya segera
digetarkan kembali dan langsung menusuk ke arah ulu
hati si anak muda itu.
Hoa Thian-hong sangat terperanjat, dalam keadaan
yang kritis dan sargat berbahaya itu dia himpun sisa
tenaga yang dimilikinya dan segera lompat ke arah
samping.
“Binatang, sungguh besar nyalimu!” mendadak
serentetan suara bentakan keras yang amat nyaring
berkumandang memenuhi angkasa.
Weeesss….! diiringi suara benturan keras, tiba-tiba
pintu baja itu terpentang lebar.
Semua peristiwa itu berlangsung hampir pada saat
yang bersamaan, ketika mendengar suara bentakan, Ang
Yap Toojin merasa hatinya tercekat, tanpa sadar
tangannya jadi lemas dan tusukan pedangnya pun jadi

miring ke samping hingga menyambar dada sebelah kiri
lawannya.
Selesai melancarkan tusukan tersebut, tanpa
memandang sekejappun ia segera putar badan dan
kabur keluar dari ruangan itu.
Mendadak…. dihadapannya muncul seorang manusia
aneh berperawakan tinggi basar, berambut panjang
bagaikan akar dan berlengan tunggal menghadang tepat
di depan pintu.
Keempat anggota badan manusia aneh itu! ada tiga
yang cacad, tinggi badannya mencapai empat depa dan
persis menyumbat seluruh pintu masuk itu, mulutnya
besar dengan sepasang mata memancarkan Cahaya biru,
satu-satunya anggota badan yang masih utuh hanyalah
tangan kirinya, waktu itu dalam genggaman tangan
kirinya mencekal sebilah pedang baja yang besar dan
berat sekali.
Ang Yap Toojin amat terperanjat, tanpa berpikir
panjang dia segera enjotkan badan dan melayang ke
tengah udara, laksana anak panah yang terlepas dari
busnrnya ia menerjang keluar dari ruangan itn lewat atas
kepala manusia aneh tadi.
Terdengar manusia aneh itu tertawa seram.
“Heeeh…. heeeh…. kau anggap bisa berlalu dari sini
dengan begitu saja?”

Pedang baja ditangannya disodok lalu di tebas ke
bawah, di tengah jeritan kesakitan sepasang kaki Ang
Yap Toojin seketika kutung jadi dua, darah dan daging
berhamburan ke atas tanah, tubuh iman tersebut dengan
sepasang kaki yang kutung langsung muluncur keluar
dari ruangan dan terhempas ke atas tanah.
Pada dasarnya luka dalam yang diderita iman tersebut
belum sembuh, sekarang setelah mendapat luka baru
lagi, ia jatuh tak sadarkan diri.
Hoa Thian-hong sendiri merasa sangat terkejut setelah
menyaksikan peristiwa itu, dia lupa akan luka pedang
yang dideritanya…. lewat beberapa saat kemudian
pikirannya baru bisa ditenangkan, sambil tertawa paksa
serunya engkau, telah berhasil mengelesaikan masa
penderitaanmu selama sepuluh tahun”
Kiranya manusia aneh itu bukan lain adalah kakek
telaga dingin Giu It Bong yang selama ini dikurung dalam
markas besar perkumpulan Sin-kie-pang, saat itu dia
mengenakan sebuah jubah pendek berwarna biru,
pinggangnya terikat seuntai tali serat yang kecil sedang
raut wajahnya menunjukkan kegembiraan yang amat
tebal.
Kakek telaga dingin Ciu It-bong mengerutkan alisnya
lalu tertawa terbahak-bahak, tidak melihat ia
menggerakkan tubuhnya, tahu-tahu manusia aneh itu
sudah berada dihadapan Hoa Thian-hong, sambil ayun
pedang bajanya ia menegur dengan suara lantang,
“Bocah keparat! Sekarang kau masih bernama Hong-po
Seng ataukah bernama Hoa Thian-hong?”

Pemuda itu tersenyum.
“Aku telah pulihkan kembali raut wajah asliku, tentu
saja bernama Hoa Thian-hong”
Setelah berhenti sebentar, dengan wajah serius ia
melanjutkan, “Terima kasih atas bantuan dari
Loocianpwe, berkat pertolongan itu boanpwee telah telah
berhasil menyelamatkan raut wajahku ini!”
Kakek telaga dingin Ciu It-bong mendengus dingin.
“Hmmm….! Selamanya aku tak sudi menolong orang
tanpa mengharapkan imbalan siapa tahu kalau justru
karena pertolonganku ini maka engkau akan ketimpa
bencana?” Hoa Thian-hong tertawa. “Sudah banyak
gelombang dahsyat dan angin topan yang kuhadapi,
terhadap keselamatan pribadiku aku sudah memandang
terlalu tawar…. kau tak usah menakut-nakuti diriku lagi,
aku bukan orang yang jeri menghadapi bencana….”
serunya.
Tiba-tiba dadanya terasa sakit, ia segera tundukkan
kepalanya, tampaklah luka bacokan didadanya mencapai
lima cun dalamnya, meskipun tidak sampai melukai
tulang tetapi darah segera mengalir keluar tiada
hentinya, sebentar saja separuh bagian bajunya telah
basah kuyup dengan darah.
Dengan wajah mengejek kakek telaga dingin Ciu Itbong
tertawa seram, akhirnya dia angkat jari tangannya
menotok beberapa buah jalan darah di atas dada

pemuda itu, darah yang mengalir keluar dari mulut
lukapun segera jauh berkurang.
“Waah…. merepotkan loocianpwee….” seru Hoa Thianhong
sambil tertawa.
Kakek telaga dingin Ciu It-bong melototkan sepasang
matanya bulat-bulat, dari sikapnya seakan-akan
menunjukkan bahwa ia segan untuk turun tangan
menolong pemuda itu, tapi sebentar kemudian ia
berubah pikiran, tidak menunggu pemuda itu
menyelesaikan kata-katanya, ia telah membuka pakaian
pemuda tadi lalu mencabutkan pula jarum jarum perak
yang mengunci jalan darahnya.
Meskipun jarum itu menancap di dalam daging, tapi
bagi Ciu It-bong seorang jago lihay yang punya tenaga
besar, tindakan itu dilakukan gampang sekali, dalam
waktu singkat ketiga batang jarum perak yang mengunci
jalan darahnya itu sudah dicabut semua.
Buru-buru Hoa Thian-hong duduk bersila di atas tanah
kemudian mengatur pernapasan dan pulihkan kembali
tenaga dalamnya.
“Bajingan cilik!” terdengar kakek telaga dingin Ciu Itbong
menegur dengan suara kasar, “apakah Pek Kun-gie
sudah kau bunuh?”
“Loocianpwee, kau tidak merasa pertanyaanmu itu kau
ajukan dengan percuma….”

Kakek telaga dingin Ciu It Beng mendengus dingin, ia
ulurkan tangannya ke depan dan serunya kembali, “Mana
pedang emas itu? Berikan kepadaku!”
Hoa Thian-hong tertawa.
“Pedang emas itu belum berhasil kudapatkan, tapi
sudah kudengar kabar berita mengenai senjata mustika
itu, kemungkinan besar pada bulan tujuh tanggal lima
belas nanti dikala pertemuan besar Kian ciau Tay hwee
diselenggarakan, pedang emas itu akan muncul kembali
di depan umum!”
Kakek telaga dingin Ciu It-bong mendengus, dia
cengkeram bahu si anak muda itu dan bentaknya dengan
suara dalam, “Ayoh mengaku terus terang! pedang emas
itu sudah terjatuh di tangan siapa?”
“Aku sendiripun tak tahu begitu pasti,” jawab Hoa
Thian-hong sambil menggertak gigi menahan rasa sakit
dibahunya, “sebelum saatnya tiba, aku tak berani bicara
secara Sembarangan”
“Kau berani mempermainkan aku?” teriak Ciu It-bong
teramat gusar, kelima jarinya mencengkeram semakin
kencang.
Hoa Thian-hong yang tulang bahunya dicengkeram
keras-keras-keras merasa sekujur badannya jadi sakit
hingga keringat dingin mengucur keluar tiada hentinya,
darah segar yang menyembur keluar dari mulut, luka
didadapun memancar semakin deras. Buru-buru
bentaknya keras, “Lepas tangan.”

Kakek telaga dingin Ciu It-bong mengendorkan
cengkeramannya, kemudian berseru, “Ayoh cepat jawab,
pedang emas itu terjatuh di tangan siapa?”
ooooOoooo
PEDANG emas itu berada di tangan Thian Ik tosu tua
itu, kau punya kemampuan untuk merampasnya
kembali?” teriak Hoa Thian-hong dengan gusar.
“Dari mana kau bisa tahu?” seru Ciu It-bong dengan
sepasang mata melotot bulat.
“Hmmm mau percaya atau tidak terserah kepadamu,
kalau engkau merasa tidak percaya pergilah menghadap
Thian Ik tosu tua itu dan tanyakan sendiri kepadanya,
coba lihat apa yang dia jawab!”
Ciu It-bong tersenyum.
“Thian Ik sihidung kerbau itu sedang repot karena
ingin mengawasi putri sulungnya Pek looji, sekarang dia
tak ada waktu luang, mau bertanya nanti saja kita baru
menghadapi”
Air muka Hoa Thian-hong berubah hebat, dia loncat
bangun dari atas tanah dan teriaknya .
“Loocianpwee, mari cepat kita kesana!”
“Hmmm! budi kebaikan apa sih yang telah diberikan
Pek Siau-thian kepadamu?” jengek Ciu It Boog dengan

suara dingin, “toh yang ketimpa urusan adalah putrinya
Pek Loji? Kenapa kau musti gelisah macam begitu?”
“Pek Soh-gie adalah seorang gadis yang halus, berbudi
dan baik hati, kita tak boleh berpeluk tangan belaka
membiarkan dia ketimpa malang….!”
Ciu It-bong kontan tertawa dingin sualah mendengar
parkataan itu.
“Heehh…. heeehhh…. heehhh…. Pek Siau-thian tidak
setia kawan, setelah melihat barang pusaka,
memenjarakan diriku selama se puluh tahun lamanya,
untuk membalas dendampun tak sempat, kenapa aku
musti menolong putrinya? haaah…. haaaah…. haaah
justru aku malah gembira sekali melihat dia akan
menerima pembalasan…. Hmm! aku bu kan anak jadah
yang tak punya otak, segan aku untuk menolong gadis
itu!”
“Hmmm! akupun terlalu goblok” seru Hoa Thian-hong
dengan gusar, “sepantasnya kalau aku menyadari bahwa
engkau bukan manusia budiman yang bisa diajak
kompromi…. bicara dengan engkau sama halnya
memetik khiem di depan kerbau!”
Sebagai penutup kata, tangannya langsung
menyambar pedang baja di tangan orang.
Ciu It-bong tarik kembali pedang bajanya ke belakang
dan berseru, Eeei, perkataanmu tak bisa dipercaya,
enghiong hoohan macam apakah dirimu itu?”

“Sejak kapan aku mengingkari perkataan ku sendiri?”
teriak Hoa Thian-hong dengan penuh kegusaran, hatinya
gelisah sekali karena ingin menolong kesucian dari Pek
Soh-gie.
Rupanya Ciu It-bong sengaja henkak mengulur waktu,
setelah tertawa mengejek, jawabnya perlahan-lahan,
“Bukankah kau telah menyanggupi untuk membunuh Pek
Kun-gie….”
“Aku punya keinginan tapi tenaga tak memadahi, apa
yang musti kulakukan?”
“Dan kaupun pernah berjanji akan carikan pedang
emas untuk menolong aku lepas dari kurungan….”
Hoa Thian-hong semakin gelisah, serunya, “Pedang
emas itu belum berbasil kudapatkan!”
“Setahun demi setahun dilewatkan dengan begitu
saja, seharusnya kau pergi kesitu dan menjenguk mati
hidupku!”
“Aku tidak sebebas seperti apa yang kau bayangkan!”
bentak sang pemuda itu sambil meraung gusar, habis
berkata dia loncat ke depan siap menerjang keluar dari
pintu.
Ciu It-bong putar pedang bajanya menciptakan sekilas
cahaya tajam yang menyilaukan mata, begitu dahsyat
setangan itu memaksa Hoa Thian-hong harus
membatalkan maksudnya dan menghentikan gerakan
tubuhnya secara paksa.

Kegusaran yang berkobar dalam dada Hoa Thian-hong
sukar dibendung lagi, dengan wajah mendongkol
teriaknya, “Kalau engkau tak mau tolong orang, akupun
tidak memaksa, tapi tidak sepantasnya kalau engkau
menghalangi jalan pergiku….”
“Haaah…. haaah….” Ciu It-bong tertawa terbahakbahak,
“inilah hukuman yang ditimpahkan Thian kepada
Pek Siau-thian, kau harus tahu bahwa ilmu silatmu masih
terlalu cetek, kau masih bukan tandingan dari Thian Ik si
hidung kerbau itu…. percuma saja engkau pergi kesitu,
sebab paling banter jiwamu ikut melayang….
Hmmm….Hmmm…. apa kau anggap puterinya Pek Siauthian
bisa ditolong?”
Hoa Thian-hong merasa darah panas dalam rongga
dadanya bergolak keras setelah membayangkan bahwa
Pek Soh-gie seorang gadis yang berhati mulia sebentar
lagi bakal dinodai oleh seorang tosu siluman secara
brutal, ia tak dapat menahan diri lagi, sambil membentak
keras telapak kirinya diayun kemuka nelancarkan sebuah
pukulan dengan jurus Kun-siu-ci-tauw.
Kakek telaga dingin Ciu It-bong jadi bergirang hati
melihat pemuda lawannya menyerang dengan
menggunakan jurus ajarannya, ia berseru sambil
tertawa, “Bagus sekali!”
Sambil melepaskan pedang bajanya, ia sambut
datangnya serangan itu dengan jurus Kun-siu-ci-tauw
pula.

Sepasang telapak saling membentur satu sama lainnya
menimbul-kan suatu ledakan yang amat keras, Ciu Itbong
segera mengepos tenaga dan hawa pukulannya
yang sebesar tujuh bagian kontan menggulung keluar
dengan hebatnya.
Dalam keadaan begini Hoa Thian-hong tidak punya
minat untuk bertarung melawan, dirinya, ketika suasana
jadi tegang mendadak ia menggetarkan pergelangannya
dan memunahkan daya tekanan seberat beberapa ribu
kati itu hingga lenyap tak berbekas, meminjam
kesempatan itu tubuhnya melesat ke tengah udara
membentuk gerakan busur kemudian meluncur keluar
dari balik ruangan itu.
“Keparat licik!” teriak kakek telaga dingin Ciu It-bong
setengah menjerit, ia sambar pedang bajanya lalu
mengejar dari belakang.
Hoa Thian-hong mengenjotkan badannya di atas
tanah, setelah melirik sekejap ke arah Ang Yap Toojin
yang kakinya telah kutung dan baru saja mendusin dari
pingsannya itu, bagaikan anak panah yang terlepas dari
busurnya dia lari keluar dari tempat itu.
Para imam penjaga penjara telah roboh tertotok jalan
darahnya oleh Ciu lt Bong, pintu terali besi terbentang
lebar dan seakan-akan sama sekali tak ada penjaganya,
Hoa Thian-hong segan memeriksa tempat itu dengan
teliti, bagaikan hembusan angin dalam sekejap mata ia
sudah menerjang keluar dari rumah penjara.

Sementara itu fajar telah menyingsing dan seluruh
jagad terang benderang oleh sinar sang surya yang
berwarna keemas-emasan, Hoa Thian-hong
menghembuskan napas panjang lalu menengadah dan
bersuit nyaring, dengan tangan kanan ia tekan mulut
luka didadanya, kemudian setelah menentukan arah dia
meluncur ke arah sebuah bangunan loteng yang megah.
Kakek telaga dingin Ciu It-bong menggunakan pedang
baja itu sebagai pengganti tongkat, tubuhnya bergerak
bagaikan hembusan angin dan menguntit terus di
belakang Hoa Thian-hong dengan ketat.
Sewaktu mendengar suitan nyaring itu, ia tertawa dan
segera menegur, “Hey bocah cilik, tenaga dalammu telah
mendapat kemajuan yang amat pesat, apakah hasil dari
teratai beracun itu?”
“Benar! hasil dari teratai racun empedu, tapi….”
Ia berpaling sekejap ke belakang, lalu berpikir,
“Rupanya pedang bajaku dipergunakan sebagai
pengganti tongkat, tidak aneh kalau ia tak mau
mengembalikan kepadaku”
Sementara itu Ciu It-bong sudah berkata lagi sambil
tertawa keras, “Hey bocah cilik, aku dengar katanya
Teng Hujtn telah berhasil kau gaet sehingga tergila-gila
kepadamu, kenapa sekarang menaruh perhatian pula
terhadap Pek Soh-gie?”
Merah jengah selembar wajah Hoa Thian-hong,
dengan gusar bentaknya, “Kentut busukmu!”

Meskipun sudah tua, Ciu It-bong selamanya tak tahu
adat, maka ucapan yang diutarakan Hoa Thian-hong
terhadap dirinyapun kian lama kian bertambah kasar dan
tak sopan.
“Hoa Thian-hong, berhenti!” tiba-tiba terdengar suara
bentakan keras berkumandang.
Bersamaan dengan bentakan tersebut, dari arah
depan muncullah seorang tosu cilik berbaju merah,
rupanya tosu cilik itu tahu akan kelihayan lawannya,
sebelum tiba dihadapan pemuda itu pedangnya telah
dicabut keluar dari sarungnya.
Hoa Thian-hong menatap tajam raut wajah orang itu,
dengan cepat dia dikenali kembal iimam cilik itu sebagai
salah satu diantara delapan imam cilik baju merah yang
memainkan barisan Kan Lee Kian tin.
Dalam hati segera pikirnya, “Thian Ik tosu tua itu
merupakan salah satu diantara pembunuh ayahku, cepat
atau lambat aku pasti akan melangsungkan petarungan
secara terbuka dengan dirinya, barisan pedang Kan Lee
Kian tin tersebut luar biasa hebatnya, aku harus
mematahkan lebih dahulu sebuah kaki dari barisan itu….”
Setelah ingatan tersebut berkelebat dalam benaknya,
ia segera keraskan hati dan ayunkan telapak kirinya siap
melancarkan serangan.
Gerakan tubuh imam kecil baju merah itu cepat
bagaikan hembusan angin, dalam sekejap mata telah tiba

di depan mata. ketika dilihatnya Hoa Thian-hong tidak
menghentikan langkah kakinya, ia segera membentak
gusar, pedangnya laksana kilat ditusuk ke arah ulu
hatinya.
Setelah kemarin malam jatuh kecundang di tangan
orang, sampai ini hari rasa mendongkol dalam hati Hoa
Thian-hong masih belum tersalur keluar, ia segera
mendengus dingin, sepasang kakinya merendah ke
bawah dan tubuhnya bergeser dua depa ke samping
pinggang digoyang-kan dan telapaknya langsung
menggaplok punggung lawan.
Baru saja imam cilik baju merah itu merasakan
tusukan pedangnya mengenai sasaran kosong, tiba-tiba
ia merasa munculnya segulung daya tekanan yang maha
berat menumbuk punggungnya, hal ini membuat ia jadi
terperanjat.
Dalam gugup dan gelisahnya, cepat-cepat ia gulingkan
badannya ke atas tanah dan meloloskan diri dari
hantaman telapak pemuda itu.
Kakek telaga dingin Ciu It-bong tertawa dingin,
ejeknya, “Huuh….! Kepandaian mu masih belum
sempurna.
Sambil berkata dengan seenaknya saja dia lancarkan
sebuah pukulan menghantam punggung imam cilik baju
merah itu
Blaaam….! di tengah benturan keras, punggung si
iman cilik baju merah itu terhajar telak oleh serangan

tersebut, seketika itu juga jantungnya tergetar putus dan
berhenti berdetak, sambil menjerit ngeri, binasalah iman
itu seketika itu juga.
Kedua orang itu menggunakan gerakan serangan yang
sama, bedanya bukan terletak pada enteng atau
beratnya tenaga pukulan juga bukan tercepat atau
lambatnya serangan, melainkan terletak pada
kesempurnaan tenaga dalamnya serta ketepatan dalam
melakukan serangan.
Ketika melancarkan pukulan tadi, bukan saja Ciu Itbong
bisa mengatur waktunya dengan tepat bahkan arah
yang dituju serta saat mengirim pukulan bisa diatur
sedemikian rupa sehingga waktu serangan tersebut
dilancarkan maka sulit bagi lawannya untuk
menghindarkan diri atau melarikan diri dari sana.
Hoa Thian-hong kagum sekali terhadap ilmu silat yang
dimiliki Ciu It-bong, ketika menyaksikan kakek itu
melayang di udara dengan begitu enteng, segera
serunya, “Heh, jangan keburu bangga dulu, hati-hati
kalau sampai ditertawakan orang….”
selesai berkata, ia lanjutkan kembali gerakan tubuhnya
meluncur ke arah depan.
Beberapa saat kemudian sampailah pemuda itu di
depan sebuah bangunan loteng yang tinggi, di depan
loteng itu terpancang sebuah papan nama yang
bertulisan: Yang sim tiam, tiga huruf besar terbuat dari
emas, ke tempat inilah Pek Soh-gie dibawa oleh kawanan
iman baju merah kemarin malam.

Sementara ia masih celingukan, dari balik ruang loteng
tiba-tiba muncul kembali serombongan iman cilik baju
merah, dengan senjata terhunus mereka lari keluar dari
ruangan dan langsung mengepung si anak muda itu….
Hoa Thian-hong tidak memberi waktu bagi iman-imam
cilik tersebut untuk menyusun barisan pedangnya lagi,
dia ikut menerjang ke depan dan langsung melancarkan
sebuah pukulan ke arah seorang iman kecil yang berada
dipaling depan, bentaknya, “Thian Ik-cu, cepat gelinding
keluar dari sarangmu! Ciu It-bong telah datang untuk
menagih pedang emas!”
“Bajingan yang tak tahu diri!” bentak iman cilik baju
merah yang lari mendekat lebih dahulu itu dengan suara
gusar, “tahukah engkau tempat apakah ini? Siapa suruhn
kamu berteriak seenaknya sendiri?”
Sementara pembicaraan masih berlangsung kedua
belah pihak telah melakukan pertempuran sebanyak dua
puluh jurus lebih, Hoa Thian-hong menyumbat pintu
keluar istana itu dan tidak membiarkan pihak lawannya
sempat mengatur barisan pedang.
Tujuh orang imam cilik baju merah itu segera
mengepung Hoa Thian-hong rapat-rapat, namun setelah
kehilangan daya tekanan dari barisan Kan Lee Kiam tin
maka untuk beberapa saat lamanya mereka tak mampu
berbuat apa-apa terhadap si anak muda itu.
Hoa Thian-hong yang harus bertempur melawan tujuh
bilah pedang mustika, terpaksa musti mengerahkan

segenap tenaganya untuk mempertahankan diri, darah
segar yang mengucur keluar dari mulut luka didadanya
menyembur semakin deras, dalam keadaan begitu ia
harus menutup mulut lukanya dengan tangan kanan,
sedang telapak kiri diputar sedemikian rupa menahan
serangan dari musuhny.
Ciu It-bong yang menonton jalannya pertarungan itu
dari sisi lapangan, segera berteriak keras dengan wajah
berseri-seri, “Hey, keparat cilik, bagaimana dengan ilmu
silat hasil ciptaanku ini….?”
Setelah bertempur beberapa saat lamanya hawa
amarah yang berkobar dalam dada Hoa Thian-hong
makin memuncak, mendengar ucapan itu dia segera
meraung keras, “Huuuh…. . cuma menghadapi beberapa
orang imam cilikpun tak bisa digunakan dengan baik, kau
masih bisa merasa bangga…. tak tahu malu!”
Ciu It-bong jadi amat gusar, dia lemparkan pedang
baja ditangannya ke arah pemuda itu dan bentaknya,
“Hmmm! aku ingin lihat ilmu pedang ajaran bapakmu
mempunyai kelihayan sampai di mana!….”
Pedang baja yang di sambit ke depan itu laksana anak
panah yang terlepas dari busur, diiringi sekilas cahaya
hitam langsung meluncur ke arah Hoa Thian-hong.
Seorang imam cilik baju merah menghadang di tengah
jalan, ketika mendengar datangnya desiran tajam, buruburu
ia menyingkir ke samping, tatkala menyaksikan ada
sebilah pedang baja sedang meluncur dari sisi tubuhnya

tanpa berpikir panjang dia segera lancarkan sebuah
babatan.
Traaaang….! di tengah suara bentrokan nyaring yang
bergema di angkasa, imam cilik baju merah itu merasa
lenganya tergetar kaku, cekallan-nya jadi enteng dan
tahu-tahu pedang pusaka dalam genggamannya telah
patah jadi beberapa bagian, kutungan pedang itu segera
tersebar di atas tanah….
Tenaga dalam yang dimiliki Ciu It-bong benar-benar
luar biasa sekali, walaupun pedang itu terkena sebuah
tangkisan akan tetapi gerakannya sama sekali tidak
berubah, seperti sedia kala senjata itu langsung
meluncur ke arah Hoa Thian-hong.
Dengan cekatan pemuda itu menyingkir ke samping
lalu mencekal gagang pedangnya, mengikuti gerakan tadi
ia bacok batok kepala seorang imam cilik baju merah
yang berada dihadapannya.
Serangan yang dilancarkan dengan meminjam sisa
tenaga sambitan dari Ciu It-bong ini benar-benar luar
biasa sekali, serangan itu meluncur datang dengan
kecepatan bagaikan sambaran kilat.
Tak sempat lagi bagi imam cilik baju merah itu untuk
menghindarkan diri, dalam keadaan begitu terpaksa ia
harus angkat pedangnya sambi1 balas membabat
pergelangan tangan lawannya.
Walaupun Sin-kie-pang, Hong-im-hwie serta Thongthian-
kauw sama-sama merupakan perkumpulan

kalangan hitam dalam dunia persilatan namun
berhubung anggota perkumpulan Thong-thian-kauw
seringkali mengganggu anak gadis orang dan melakukan
perbuatan-perbuatan yang amoral, maka rasa benci Hoa
Thian-hong terhadap mereka jauh lebih tebal daripada
terhadap perkumpulan lain, sekarang melihat pihak
lawannya balas melancarkan satu sabatan, ia tidak
berubah jurus malah mengerahkan tenaga dalamnya
makin hebat, pergelangan tangannya ditekan ke bawah
dan langsung membacok tubuh iman-imam tersebut.
Satu pihak melancarkan satu bacokan ke arah batok
kepala lawannya sedang dipihak lain mengebaskan
pedang mustikanya membabat pergelangan orang,
nampaknya kedua belah pihak akan sama-sama
menderita luka, pada saat yang kritis itulah tiba-tiba Hoa
Thian-hong menekan pedang bajanya ke bawah dengan
kecepatan yang luar biasa ia mendahu1ui musuhnya.
“Aduuuh….!” jeritan ngeri yang menyayatkan hati
berkumandang memenuhi angkasa, tubuh imam cilik
baju merah itu terbelah jadi dua bagian dan roboh binasa
ke atas tanah, darah segar berhamburan di lantai
membuat pemandangan terasa memuaskan sekali.
Menerima pedang, membinasakan musuh semua
gerakan dilakukan dalam sekejap mata dan siapapun tak
menyangka kalau dalam detik yang amat singkat pemuda
itu mampu membereskan jiwa seorang imam cilik yang
lihay.
Pedang baja yang berat itu sudah dua tahun lamanya
berada di tangan Ciu It-bong, setelah pedang itu terjatuh

kembali ke tangan nya tanpa sadar semangat bertempur
dari pemuda itu bangkit kembali.
Dengan langkah yang lebar ia segera menerjang maju
ke depan, pedang baja berputar keempat penjuru….
jurus demi jurus dilancarkan secara gencar mendesak
lawan-nya, begitu bersemangat pemuda itu melancarkan
serangan hingga tidak sadar kalau darah yang
mengucur keluar dari dadanya bertambah deras.
Dalam Waktu singkat keenam Orang iman cilik baju
merah itu sudah didesak hingga kalang kabut dan tak
mampu mempertahankan diri lagi, jangan dibilang untuk
mengatur barisan pedang Kan Lee kiam tin, tena-ga
untuk melancarkan serangan balasanpun sudah tak
dipunyai lagi.
Tiba-tiba terdengar Ciu It-bong tertawa dingin, lalu
berkata, “Huuuuh….! aku mengira ilmu pedang dari Hoa
Goan-siu sampai dimana lihaynya…. ternyata cuma
begitu saja!”
Sambil menggertak gigi Hoa Thian-hong
membungkam dalam seribu bahasa, dengan penuh
semangat dia melayani serangan-serangan musuhnya.
Ketidak munculan Thong-thian Kaucu selama ini
membuat Hoa Thian-hong semakin gelisah, dia kuatir Pek
Soh-gie sudah keburu diperkosa oleh iman tua cabul itu,
dalam keadaan begini dia cuma berharap bisa cepatcepat
bereskan beberapa orang iman cilik itu serta
mener-jang masuk ke dalam ruang istana.

Tetapi rombongan iman cilik baju merah itu
merupakan anak murid yang dididik langsung oleh
Thong-thian Kaucu , ilmu silat mereka luar biasa sekali,
walaupun dengan adanya pedang ditangan, keadaan
dirinya laksana harimau tumbuh sayap, namun untuk
membereskan iman- iman cilik itu bukanlah suatu
pekerjaan yang gampang.
Dalam pada itu empat penjuru disekeliling tempat itu
telah dipenuhi dengan para iman yang bersenjata
lengkap, mereka bersiap sedia melakukan pertarungan,
ada pula yang melihat gelagat kurang baik segera masuk
keruang istana untuk memberi laporan.
Mulut luka di atas dada Hoa Thian-hong merekah
makin besar, darah mengalir terus tiada hentinya, namun
ia tetap tidak merasa, hal ini membuat Ciu It-bong yang
menyaksikan jalannya pertarungan dari sisi lapangan
diam-diam mengerutkan dahinya.
Ketika itulah dari balik pintu istana Yau sim tian
berjalan keluar seorang imam cilik baju merah, sambil
mengangkat tinggi-tinggi sebilah senjata Ji gi yang
terbuat dari batu kumala hijau serunya dengan suara
lantang, “Atas titah dari kaucu, diperintahkan semua
murid perkumpulan untuk menghentikan pertempuran,
dan mempersilahkan Ciu Loo-cianpwee masuk ke dalam
ruangan istana!”
Enam orang imam cilik baju merah yang sedang
bertempur segera menghentikan serangannya dan loncat
mundur ke belakang.

Imam cilik yang memegang senjata Ji gi tadi perlahanlahan
turun dari undakan batu, setelah memberi hormat
kepada Ciu It-bong, ujarnya penuh kesopanan, “Tecu
Cing Lian memberi hormat untuk Ciu Locianpwee!”
“Kenapa?” teriak Ciu It-bong dengan mata melotot,
“sepasang kakiku telah kutung apakah sepasang kaki dari
Thian Ik sihidung kerbau itupun juga ikut kutung?”
“Tiga orang cosu ya dari perkumpulan kami yang
sudah lama mengasingkan diri baru saja berkunjung tiba,
saat ini kaucu sedang mendampingi beliau bertiga,
karena itu ia tidak bisa menyambut sendiri kedatangan
locianpwee, atas kekurangan adat ini harap locianpwee
suka memberi maaf!”
Ciu It-bong tertawa seram.
“Heeehhh…. heeehhh…. heeehhh…. akupun sudah
lama mengasingkan diri dan belum lama berselang baru
tinggalkan tempat pertapaan, ketiga orang cou su ya
kalian itu tak akan membuat diriku jadi gentar”
Setelah berhenti sebentar, ia lantas menegur, “Apakah
engkau adalah murid didikan langsung dari Thian Ik-cu?”
Semua murid baju merah dalam perkumpulan kami
adalah murid didikan langsung dari Kaucu”
“Hmm! bagus sekali!” seru Ciu It-bong ketus, “aku
adalah kenalan lama dari suhu kalian, ayoh cepat carikan
sebuah kursi dan perintahkan empat orang imam cilik

baju merah untuk menggotong aku masuk ke dalam
istana!”
Imam cilik yang bernama Cing Lian itu berpikir
sebentar, kemudian kepada para imam cilik baju merah
yang berada di bawah tangga serunya, Ciu Loocianpwee
adalah sahabat karib dari kaucu kita, berhubung gerakgerik
dia orang tua leluasa…. harap kalian segera
mencari sebuah kursi dan menggotong Loocianpwee ini
masuk istana!”
“Keparat cilik” teriak Ciu It-bong dengan mata melotot
dan wajah menyeringai seram, tajam amat selembar
mulutmu itu…. Hmmm! Suatu ketika aku akan suruh
engkau menyaksikan sendiri apakah gerak-gerikku cukup
leluasa atau tidak”
Cing Lian pura-pura tidak mendengar, beberapa saat
kemudian sebuah kursi telah disiapkan dan digotong oleh
empat orang imam ci lik baju merah, serunya, “Ciu
loocianpwee, silahkan duduk!”
Ciu It-bong mendengus, ia loncat keudara dan
melayang di atas kursi lalu duduk tak berkutik disana.
Cing Lian buru-buru membawa jalan dan di bawah
gotongan keempat orang imam cilik tersebut
berangkatlah mereka masuk keruang istana.
Istana Yang sim tian adalah tempat kediaman dari
Thong-thian Kaucu , lotengnya bertingkat tiga dan penuh
dihiasi aneka lukisan yang indah, bangunan itu begitu
megah dan mewah seakan-akan keraton tempat
kediaman kaisar, pada setiap pintu masuk serta tikungan

strategis, seorang imam berbaju kuning dengan senjata
tersoren melakukan penjagaan.
Hoa Thian-hong sambil mencekal pedang bajanya
mengikuti di belakang orang-orang itu, sebentar saja
mereka sudah tiba diloteng tingkat ketiga dan mendekati
sebuah ruangan dengan sinar yang redup.
Dipintu depan berdirilah dua orang iman cilik baju
kuning, ketika melihat munculnya orang-orang itu
mereka segera menyingkap horden dan membuka tabir
di depan pintu.
Cing Lian melangkah masuk ke dalam ruangan,
serunya sambil memberi hormat”
“Lapor kaucu, Ciu Locianpwee telah tiba!”
Thong-thian Kaucu segera munculkan diri di depan
pintu, setelah memberi hormat, ujarnya sambil tertawa,
“Ciu heng, selama bertemu muka…. maapkanlah pinto
kalau aku tak bisa menyabut dirimu dari depan”
Ciu It-bong tertawa dingin.
“Hidung kerbau tua, besar amat lagakmu!”
Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak, dengan
sorot mata yang tajam ia menatap sekejap wajah kakek
telaga dingin, lalu sambil tertawa serunya, “Ciu neng,
panjang amat usiamu…. sungguh mengagumkan!
Sungguh mengagumkan!”

Ia menyingkir ke samping dan mempersilahkan
tamunya masuk,
Ciu It-bong mendengus dingin, ujung bajunya berkibar
terhembus angin, tubuhnya segera meloncat turun dari
atas kursi dan melayang masuk ke dalam ruangan.
Hoa Thian-hong diam-diam merasa kagum juga
melihat kegesitan kakek aneh itu walaupun anggota
badannya tinggal satu yang utuh, tanpa terasa
semangatnya berkobar kembali, dengan langkah lebar
dia ikut masuk ke dalam ruangan.
Jilid 24 : Nenek dewa bermata buta
KETIKA sorot matanya membentur dengan sorot mata
Thong-thian Kaucu disisi pintu, senyuman dingin segera
tersungging di ujung bibir mereka.
Suasana dalam ruangan itu sunyi senyap, kecuali
Thong-thian Kaucu serta Cing Lian, hanya seorang tosu
cilik pemegang pedang saja yang masih ada disana.
Ciu It-bong segera duduk di atas sebuah bantal
semedi, sambil menatap tajam wajah kaucu itu serunya,
Thian Ik-cu, aku dengar di tempat ini sudah kedatangan
beberapa orang tua bangka dari Thong-thian-kauw,
mengapa tidak kau undang mereka untuk unjukkan diri?”
“Hmm…. tidak ada manfaatnya bila kau berjumpa
dengan mereka,” sahut Thong-thian Kaucu sambil
tersenyum.

“Hmm! aku si Ciu tua merasa berumur panjang….
kalau engkau tak tahu diri jangan salahkan kalau sahabat
lama tak kenal adat.
Thong-thian Kaucu tertawa, ia tidak menggubris
ocehan manusia aneh itu, sambil berpaling tiba-tiba
tegurnya, “Hoa Thian-hong kau celingukan sedari tadi….
apa sih yang sedang kau cari?”
“Kau bawa kemana Pek Soh-gie?” bentak pemuda itu
sambil melirik sekejap ke arah kedua belah sisi pintu.
Thong-thian Kaucu mengerutkan dahinya.
“Huuu…. Pek Siau-thian memandang tinggi dirimu,
tapi dalam pandangan pun-kaucu, engkau bukanlah
seorang manusia yang luar biasa,” jengeknya ketus.
“Kalau memang begitu, aku menantikan petunjuk
darimu!”
“Oooh….! jadi kau belum takluk?”
“Tentu saja!”
Suatu perasaan memandang hina pada lawannya
terlintas di atas wajah Thong-thian Kaucu ,ia berkata,
“Pek Soh-gie adalah putri sulung dari Pek Siau-thian, aku
hendak membunuh atau memperkosa dirinya itu bukan
urusanmu dan sama sekali tak ada sangkut pautnya
dengan dirimu, Pek Siau-thian bisa datang untuk bikin
perhitungan sendiri dengan diriku. Perkumpulan Sin-kieTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
pang toh tiada bubungan dengan engkau, sedang Pek
Soh-gie pun bukan sanak keluargamu…. kenapa kau
musti mencampuri urusan ini?”
“Tepat sekali ucapan itu!” teriak Ciu It-bong dengan
suara keras, Hoa Thian-hong, budi kebaikan apa sih yang
telah diberikan Pek Lo ji kepadamu? Kenapa kau musti
kuatirkan bagi keselamatan putrinya? Bila perkumpulan
Sin-kie-pang sampai bentrok dengan Thong-thian-kauw
bukanlah yang bakal mengeruk keuntungan adalah
dirimu sendiri?”
Air muka Hoa Thian-hong berubah jadi merah darah
bagaikan babi panggang, pikirnya, Mencampuri urusan
orang serta memberantas ketidakadilan adalah tugas
utama kaum pendekar, meskipun Pek Soh-gie adalah
orang gadis yang baik hati akan tetapi ayahnya Pek Siauthian
adalah seorang gembong iblis dari kalangan hitam,
tidak aneh kalau orang akan salah paham terhadap
tindak tandukku…. .apalagi kalau bisa memancing
terjadinya bentrokan kekerasan antara pihak Sin-kiepang
dengan Thong-thian-kauw, hal itu merupakan suatu
perbuatan yang luar biasa sekali…. jika kutolong putri
dari Pek Siau-thian ini, bukankah berarti merusak
suasana yang menguntungkan bagi pihakku?”
Berpikir sampai disini ia jadi ragu-ragu dan untuk
beberapa saat lamanya ia tak mampu mengucapkan
sepatah katapun.
Melihat keraguan pemuda itu, Thong-thian Kaucu jadi
amat bangga, ia segera berpaling ke arah Ciu It-bong
dan berseru, “Ciu heng, kau telah melukai Ang Yap toojin

dari perkumpulan kami kemudian membinasakan pula
seorang muridku, bagaimana pertanggungan jawabmu
atas hutang ini?”
Ciu It-bong menengadah memandang seangkasa, lalu
dengan sombong menjawab, “Kapan sih Thian Ik-cu
pernah menangkan Ciu It-bong?”
“Diantara kita berdua belum pernah saling bertempur
satu sama lainnya, sudah tentu menang kalah sukar
untuk dikatakan”
“Hmmm! aku rasa sekarang bertarungpun belum
terlambat!” habis berkata dia ayun telapaknya
melancarkan sebuah pukulan dahsyat ke arah imam tua
itu.
Hoa Thian-hong memahami sampai dimanakah
kelihaiannya dari jurus pukulan Kun-siu-ci-tauw tersebut,
melihat Ciu It-bong telah turun tangan ia segera
pusatkan perhatiannya untuk melihat bagaimana caranya
Thong-thian Kaucu menangis datangnya serangan
tersebut.
Rupanya Thong-thian Kaucu tidak menyangka kalau
Ciu It-bong segera melancarkan serangannya setelah
habis bicara, melihat datangnya ancaman tersebut buruburu
ia letakkan senjata kebutannya ke atas tanah, lalu
mendorong sepasang telapaknya ke depan untuk
membendung datangnya ancaman tersebut.
“Ciu Loji, jangan bertindak gegabah!” teriaknya.

Blaaaam….! di tengah benturan keras, sepasang
telapak kedua orang itu telah bertemu satu sama lainnya.
Dalam perkiraan Hoa Thian-hong kedua orang tokoh
sakti itu tentu akan beradu tenaga dalam setelah terjadi
bentrokan kekerasan itu, dan akibatnya seluruh ruangan
itu tentu akan bergoncang keras atau bahkan roboh
sama sekali.
Siapa tahu kecuali terjadi bentrokan yang begitu
dahsyat, tidak nampak sesuatu yang luar biasa lagi.
Terdengar Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak
dan berseru, “Ciu heng, selama sepuluh tahun terakhir ini
ternyata engkau tidak buang waktu dengan percuma,
sungguh luar biasa…. sungguh luar biasa….!”
“Hmm! engkau Thian Ik-cu pantas lebih hebat dari aku
si Lo Ciu….” seru Ciu It-bong ketus.
Hoa Thian-hong menyaksikan jalannya bentrokan itu
dari samping, diam-diam merasa terperanjat, pikirnya,
“Thian Ik-cu saja sudah begitu hebatnya apalagi ketiga
orang cou sunya, tentu semakin luar biasa. Aaaaai….!
rupanya untuk menumpas kaum iblis dan manusiamanusia
laknat itu dari muka bumi, aku harus berusaha
untuk memancing bentrokan serta pertikaian diantara
mereka sehingga saling bunuh membunuh”
Karena pikiran yang kusut tanpa terasa semangat
bertempuran-nyapun semakin berkurang, dia merasa
kepalanya pusing tujuh keliling dan dadanya yang terluka

terasa panas menyengat badan, sakitnya bukan
kepalang.
“Thian Ik-cu!” tiba-tiba terdengar Ciu It-bong
membentak keras” ayoh cepat kembalikan pedang emas
itu kepadaku”
“Ciu-heng, engkau benar-benar tak tahu aturan!”
tegur Thong-thian Kaucu dengan alis berkerut, “hutang
ada pemiliknya kalau mau tagih pergilah cari orangnya
yang benar…. orang yang merampas pedang emas itu
toh Jin Hian, kenapa kau menagihnya kepada pinto?
Apakah tidak salah cari orang….?”
“Hmm….Hmm….!kau tahu bahwa pedang emas itu
berada ditanganmu, maka aku datang menagihnya
kepadamu, ayoh cepat kembalikan pedang emas itu
kepadaku dan akupun akan memetikkan batok kepala Jin
Hian untukmu, tukar menukar ini tidak merugikan kedua
belah pihak…. kau suka mengerjakannya atau tidak?”
“Apa gunanya batok kepala Jin Hian bagi ku?”
Ciu It-bong tertawa dingin.
“Heeeh…. heehh…. heehh…. hidung kerbau tua, buat
apa engkau berlagak pilon? jengeknya, sekarang Sin-kiepang
telah bekerja sama dengan Hong-im-hwie untuk
menghantam perkumpulanmu, sebentar lagi
perkumpulan Thong-thian-kauw bakal mengalami
kehancuran total dan musnah dari muka bumi….
haaahh…. haaahh…. haaahh…. jangan dibilang ketiga
orang Cou su ya mu, sekalipun locou yang mendirikan

perkumpulanmu diundang turun ke atas bumi pun tak
bisa kau selamat kan perkumpulanku ini dari lembah
kehancuran.
“Setelah Jin Hian dibunuh, apakah situasinya bisa
dirubah dan perkumpulanku tertolong?” tukas Thongthian
Kaucu sambil tertawa.
Ciu It-bong melototkan sepasang matanya bulat-bulat.
“Apa yang musti dikatakan lagi?” sahutnya, setelah Jin
Lo-ji mati konyol maka perkumpulan Hong-im-hwie akan
buyar bagaikan buyarnya mega terhembus angin,
sekalipun Cong Tang-kee lain bisa segera dipilih tapi
apakah orang lain sudi menuruti perintahnya? dan anak
buah dari Jin Hian apakah mudah diperintah orang
dengan begitu saja? Asal Hong-im-hwie batalkan
perjanjiannya untuk bersekutu dengan Sin-kie-pang,
maka apa yang ditakuti lagi oleh perkumpulan Thongthian-
kauw?”
“Ehmmm! pendapat yang tinggi…. pendapat yang
tinggi….” puji Thong-thian Kaucu sambil mengelus
jenggotnya, “cuma…. ilmu silat yang dimiliki Jin Hian
tidak berada di bawah kita berdua, siasat bagus apa yang
dimiliki Ciu beng untuk memenggal batok kepalanya?”
“Tentang soal itu kau tak usah tahu dan tak perlu
kuatir. kembalikan pedang emas itu kepadaku maka
kutanggung batok kepalanya berhasil kupetik untukmu!”
Thong-thian Kaucu tersenyum.

“Kalau memang begitu, silahkan Ciu heng pergi
memenggal batok kepalanya Jin Hian lebih dahulu,
setelah kau berhasil maka pinto akan kembalikan pedang
emasmu itu kepadamu!”
Hoa Thian-hong yang mendengar perkataan itu, dalam
hati jadi curiga bercampur ragu, pikirnya, “Menurut Giok
Teng Hujin, pedang emas itu semuanya terbagi jadi dua
yakni pedang jantan dan pedang betina, pedang jantan
berada ditangannya sedang pedang betina tersimpan di
dalam pedang mustika milik Thong-thian Kaucu ,
menurut Thong-thian Kaucu sama sekali tidak tahu akan
persoalan ini”
Mendadak satu ingatan berkelebat dalam benaknya, ia
berpikir lebih jauh, “Ia mengaku dirinya bernama Siang
Hoa apakah dia punya hubungan yang erat dengan
pemilik pedang emas itu? Aaah….! benar, jangan-jangan
dia memang punya hubungan yang istimewa dengan ‘It
kiam kay-tionggoan’ pedang sakti penyapu daratan
Tionggoan, Sang Tay Lay!”
Berpikir sampai disini jantungnya terasa berdebar
keras ia ingin bertemu segera Giok Teng Hujin serta
menanyakan persoalan ini kepadanya.
Sementara itu Ciu It-bong telah berkata kembali.
“Sebenarnya boleh saja kalau suruh aku bunuh Jin
Hian lebih dahulu baru minta kembali pedang emas itu,
tetapi bila aku kekurangan sebilah senjata tajam yang
akan kugunakan untuk memenggal batok kepala Jin Hian

itu, keberhasilanku dalam usaha ini jadi agak
meragukan!”
“Haaah-haaah…. siasat disusun oleh manusia dan
keberhasilan ditentukan Thian, bila cara yang satu tak
bisa digunakan apa salah nya kalau mencoba dengan
cara yang lain”
“Jin Hian bukan manusia sembarangan, bila
seranganku gagal maka sulitlah bagiku untuk mengulangi
kembali pembunuhan itu”
“Jika sampai begitu keadaannya, maka Ciu heng harus
menunggu sampai bulan tujuh tanggal lima belas nanti,
dalam pertemuan besar Kian ciau Tay hwee itu kau boleh
berduel melawan Jin Hian disaksikan oleh para enghiong
dari seluruh kolong langit, asal Ciu heng berhasil
membinasakan Jin Hian maka pintopun akan serahkan
kembali pedang emas itu kepadamu”
“Hidung kerbua tua, apakah kau bersikap keras tak
akan serahkan pedang emas itu kepadaku sebelum
kubunuh Jin Hian?”
Thong-thian Kaucu tertawa.
“Kalau pedang emas itu kukembalikan ke padamu
lebih dulu. kemudian Ciu heng tak mau membunuh Jin
Hian, apa yang bisa pinto lakukan?”
“Hihi! Sebaliknya kalau kubunuh Jin Hian lebih dahulu
kemudian kau mengingkari janji dan tak mau serahkan
pedang emas itu ke padaku, apa yang bisa aku lakukan?”

“Haaaah…. haaaahh…. haah….” Thong-thian Kaucu
tertawa terbahak bahak, bila pinto berani mengingkari
janji, maka dipersilahkan Ciu heng sekalian untuk
memenggal batok kepalaku ini!”
“Hmm, kau anggap aku tak berani melakukannya?”
teriak Ciu It-bong penuh kegusaran.
Tubuhnya mendadak mencelat keudara dan langsung
menerjang ke arah Tnian Ik-cu.
Thong-thian Kaucu tak berani bertindak gegabah,
sepasang kakinya menjejak tanah lalu loncat bangun dari
atas kasur, sepasang telapaknya disilangkan di depan
dada siap menghadapi segala kemungkinan,
Terdengar Ciu It-bong mendengus dingin dengan
gunakan jurus Kun-siu-ci-tauw ia kirim satu pukulan yang
maha dahsyat bagaikan tindihan gunung Thay san ke
atas batok kepala Thian Ik-cu.
Serangan yang dilancarkan oleh Ciu It-bong sendiri ini
benar-benar luar biasa sekali, melihat datangnya
ancaman itu Thong-thian Kaucu tahu bahwa tak mungkin
bagi dirinya untuk memunahkan serangan tadi, sepasang
bahunya segera bergerak, tubuhnya merandek setengah
depa ke belakang dan dalam sekejap mata dia
meloloskan diri dari kepungan angin pukulan lawan.
Sreeet! Senjata hud-timnya yang langsung dibahat
kemuka.

Ciu It-bong putar badannya di tengah udara untuk
meloloskan diri dari babatan senjata hud-tim tersebut,
kemudian rentangkan lengannya dan melakukan
terjangan untuk kedua kalinya.
Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak, tubuhnya
melayang keudara dan hinggap di atas tempat duduk
dimana Ciu It-bong berada tadi, katanya sambil tertawa,
“Tidak aneh kalau ketiga orang Cousu perkumpulan kami
selalu memuji akan kehebatan Ciu heng, jurus
pukulanmu ini memang betul-betul luar biasa dan cukup
untuk menjagoi kolong langit”
Ciu It-bong yang bergebrak satu jurus melawan kaucu
dari Thong-thian-kauw dengan hasil kedua belah pihak
saling bertukar tempat belaka kontan melototkan
matanya sesudah mendengar perkataan itu, serunya
sambil tertawa dingin, “Heehhh…. heeehhh…. heeehhh
dari perkumpulan Thong-thian-kauw masih ada berapa
orang tua bangka yang berani mengejek kemampuan
dari aku orang she Ciu? Kalau engkau tidak undang
mereka untuk tampil ke depan lagi, jangan salahkan
kalau aku akan mulai memaki!”
“Dimaki juga tak ada gunanya,” jawab Thong-thian
Kaucu sinis, ketika engkau berada di dalam penjara batu
tadi, ketiga orang Cou-su kami berada tepat di belakang
tubuhmu, tapi sekarang mereka telah berlalu semua dari
tempat ini.”
Ciu It-bong berkaok-kaok aneh, mendadak ia tutup
mulut dan gelengkan kepalanya berulang kali.

“Hidung kerbau tua, kau ngaco belo dan bicara tak
karuan, aku percaya di kolong langit belum ada orang
yang mampu mengutil di belakang punggungku tanpa
diketahui!”
Thong-thian Kaucu tersenyum, dia alihkan
pembicaraan ke soal lain dan bertanya, “Engkau dengar
dari siapa kalau pedang emas itu berada di tanganku….?”
“Bocah itu yang bilang!” jawab Ciu It-bong sambil
menuding ke arah Hoa Thian-hong.
“Hey, bocah keparat, kau dengar dari siapa kalau
pedang emas itu berada disini?” tegur kaucu itu
kemudian sambil berpaling.
Sejak dadanya tertusuk oleh ujung pedang Ang Yap
toojin, mulut luka didada Hoa Thian-hong telah melebar
sampai dua cun panjangnya, meskipun tidak sampai
melukai otot dan tulangnya namun karena tidak dibalut
maka darah mengalir keluar tiada hentinya, hal ini sangat
merugikan kesehatan tubuhnya.
Ditambah lagi pikirannya sedang kusut dan hatinya
terasa berat, maka wajah pemuda itu kelihatan lesu dau
kacau sekali.
Ketika Thong-thian Kaucu ajukan pertanyaan tadi, ia
gerakan bibirnya hendak menjawab, tapi secara tiba-tiba
timbul keseganan untuk buka suara, maka akhirnya tetap
ia membungkam dalam seribu bahasa.

Melihat pemuda itu tetap membungkam dan tidak
menggubris pertanyaan, air muka Thong-thian Kaucu
berubah hebat, sambil mengebaskan senjata Hudtimnya
kemuiian dia membentak, Bocah keparat. Engkau
melongo dan duduk termangu-mangu seperti orang
bodoh, apa sedang bermimpi?”
Sejak ia bertukar tempat dengan Ciu It-bong, jaraknya
dengan Hoa Thian-hong jadi lebih dekat lagi, kebasan
senjata hudtim nya itu kelihatan akan segera mengenai
tubuhnya…. buru-buru ia angkat pedang untuk
menangkis.
Thong-thian Kaucu amat benci dan mendendam
karena murid didikannya dibunuh orang, dia ingin sekali
membinasakan Ciu It-bong dan Hoa Thian-hong pada
saat itu juga, namun karena situasinya tidak mengijinkan
maka niat tersebut untuk sementara tak dapat
dilaksanakan.
Sekarang melihat pemuda itu menangkis serangannya
dengan angkat pedang, pergelangan segera digetarkan
dan senjata Hudtim menggulung ke arah depan, tiba-tiba
pedang lawan dijangkau dan di tengah sentakan iman
tua itu membentak keras.
“Enyah kau dari sini!”
Hoa Thian-hong merasa telapaknya jadi kaku, pedang
bajanya seketika terlepas dari cekalan dan meluncur ke
arah Ciu It-bong.

Hoa Thian-hong menjadi gusar bercampur malu, ia
takut Ciu It-bong tak mau mengembalikan ketangannya,
sambil menahan sakit tubuhnya segera meluncur
keudara dan menubruk ke arah pedang bajanya.
Thong-thian Kaucu menyeringai seram, hud tim nya
kembali dikebut kemuka….Weess! dengan telak
bersarang di atas lutut pemuda itu.
Sambil menggertak gigi Hoa Thian-hong mendengus
berat, celananya robek dan kakinya berdarah, sementara
tubuhnya segera terbanting jatuh di atas tanah.
Dua orang iman cilik baju merah yang berdiri disisi
arena segera tertawa cekikikan karena geli ketika melihat
Hoa Thian-hong roboh dalam keadaan yang
mengenaskan.
Si anak muda itu sendiri walaupun badannya
terbanting ke tanah, namun pedang bajanya berhasil
dirampas kembali, dia loncat bangun ke atas dan
menyilangkan pedangnya di depan dada dengan mulut
membungkam.
Sepasang matanya berubah jadi merah berdarah, rasa
benci dan dendam berkecambuk dalam dadanya, ia sadar
bahwa kepandaian silatnya masih jauh ketinggalan kalau
dibandingkan dengan Thian Ik-cu, karena itu untuk
beberapa saat lamanya ia tak berani bergerak secara
sembarangan.
Ciu It-bong jadi iba dan kasihan melihat pemuda itu
terluka di ujung senjata Thong-thian Kaucu , apalagi

setelah dilihatnya darah masih mengucur keluar dari
dada dan kakinya, bagaimanapun ia pernah mewaris-kan
ilmu silatnya kepada pemuda itu, maka dengan suara
dalam ia berseru, “Hidung kerbau tua, kalau engkau
teruskan perbuatanmu yang brutal dan tak tahu malu itu,
maka kesulitan akan kau hadapi dengan segera…. ayoh
cepat ambil keluar obat luka luar untukku, akan
kubalutkan luka bocah itu. Apalagi sekarang tengah hari
sudah lewat, perutku sudah harus diisi….”
“Oohoo…. kau tak usah kuatir, selamanya keparat ini
tak pernah mendendam kepada orang, aku dengar orang
berkata tempo hari Pek Siau-thian ayah dan anak pernah
menghina dan menyiksa dirinya habis-habisanan,
ternyata di kemudian hari bukan saja ia tidak
mendendam terhadap mereka malah rela tenaga buat
keluarga Pek, karena itulah walaupun sekarang pinto
sudah kasih pelajaran yang berat kepadanya, lewat
beberapa waktu toh dia akan melupakannya kembali!”
Tertegun Hoa Thian-hong mendengar perkataan itu,
kemudian pikirnya lebih jauh, “Aku mengira jika
menghadapi manusia dengan kebajikan maka dunia akan
jadi aman, tak tahunya justru perbuatanku ini maka
sampai pihak musuh pun memandang rendah diriku!”
Berpikir sampai disitu ia jadi kecewa dara menyesal
sekali…. tiba-tiba ia teringat akan sesuatu, wajahnya
seketika berubah jadi pucat pias bagaikan mayat, sekujur
tubuhnya gemetar keras.
Ciu It-bong yang melihat keadaanya itu segera
mengira kalau pemuda itu telah naik pitam dan siap

beradu jiwa dengan Thian Ik-cu, buru-buru teriaknya
dengan suara lantang, “Hoa Thian-hong, hidung kerbau
itu ini sudah duapuluh tahun lamanya memegang pucuk
pimpinan perkumpulan Thong-thian-kauw, bapakmu
sendiri pun tak berani pandang enteng dirinya, kalau
engkau tak tahu diri maka itu berarti mencari penyakit
buat diri sendiri”
Hoa Thian-hong menggelengkan kepalanya, ia tetap
membungkam.
“Ciu heng!” terdengar Thong-thian Kaucu mengejek.”
rupanya kesanmu terhadap bocah keparat itu tidak
terlalu jelek!”
“Hmm! Kalau tidak terlalu jelek lantas kenapa?” teriak
Ciu It Boug dengan nada ketus, “kalau engkau tidak
puas, silahkan cari aku orang she Ciu untuk bikin
perhitungan”
00000O00000
33
Thong-thian Kaucu tertawa, katanya, “Kau repot benar
untuk melakukan pembalasan dendam sedang pinto
repot untuk pukul mundur musuh tangguh, boleh
dibilang kita punya persoalan yang sama-sama repotnya….
kalau ingin bertempur aku rasa lebih baik
ditunda saja sampai diselenggarakannya pertemuan
besar Kian ciau Tay hwee!”
“Hmm! Siapa yang takut terhadap dirimu?”

“Locianpwee, aku ingin mohon diri terllebih dahulu,”
tiba-tiba Hoa Thian-hong berseru sambil memberi
hormat, kemudian dengan langkah lebar ia berlalu dari
sana.
Cing Lian siauto jadi naik pitam menyaksikan pemuda
itu hendak berlalu dengan seenaknya, ia melesat ke
depan dan menghadang di depan pintu, hardiknya, “Hoa
Thian-hong, siapa yang suruh engkau pergi?”
Dia adalah murid tertua dari Thong-thian Kaucu , sejak
Hoa Thian-hong membinasakan seorang imam cilik baju
merah serta Ciu It-bong membunuh pula seorang imam
cilik dan menguntungi kaki Ang Yap toojin, ia catat
semua hutang tersebut atas nama si anak muda itu,
maka setelah menyaksikan Hoa Thian-hong hendak
berlalu, ia bersikeras menghalanginya.
Hoa Thian-hong segera membentuk keras, pedang
bajanya diayun kemuka melancarkan sebuah bacokan.
Sreeet. .! desiran angin tajam menyapu ke muka,
sebelum pedang itu tiba, segulung hembusan hawa
pedang yang dahsyat telah mennyambar datang lebih
dahulu.
Cing Lian siauto amat terperanjat, buru-buru ia jejak
kakinya ke atas tanah dan menyingkir kesamping
Thong-thian Kaucu merasa terkejut bercampur gusar,
dia putar badan dan berseru sambil menyeringai seram,
“Keparat cilik, lihat dulu dimanakah saat ini engkau

berada…. berani benar main kasar disini…. Hmm….!
Nyalimu benar-benar tidak kecil….!”
Senjata Hud-timnya diputar ke depan, tiba-tiba ia
totok jalan darah Gi cung hiat di tubuh Hoa Thian-hong.
Mendengar muncilnya desiran angin tajam dari arah
belakang, pemuda itu segera putar badan, tanpa
memandang barang sekejappun pedangnya dibacok ke
belakang.
Serangan itu tajam dan cepat sekali, kendati Thongthian
Kaucu mempunyai ilmu silat yang maha tinggipun
tak berani menangkis dengan keras lawan keras, buruburu
ia mengepos tenaga dan tarik lambungnya ke
belakang.
Weeees….! Ujung pedang itu diiringi desiran angin
tajam menyambar lewat di atas dadanya dan hampir saja
merobek jubah pertapaan yang dia kenakan.
“Hidung kerbau tua!” teriak Ciu It-bong dengan cepat,
dia hendak pergi ‘lari racun’ mau apa kau tahan dirinya?”
“Keparat itu merupakan satu-satunya saksi hidup yang
mengetahui peristiwa pembunuhan atas diri Jin Bong aku
ada persoalan yang hendak ditanyakan kepadanya”
Sambil menerjang kemuka, lengannya di rentangkan,
dengan gagang Hudtimdnya sodok perut pemuda itu.
Hoa Thian Hone membentak keras, pedang bajanya
ditekan ke bawah dan langsung membacok musuhnya.

Setelah hawa amarah menyelimuti wajahnya, keadaan
pemuda itu boleh dibilang sudah berubah sama sekali,
matanya melotot alisnya berkerut seolah-olah malaikat
bengis yang sedang mencari mangsa.
Ruangan itu merupakan tempat Thian Ik-cu berlatih
tenaga dalam, setelah Hoa Thian-hong menghadang di
depan pintu sambil mengirim bacokan-bacokan mautnya,
sulit bagi imam tua itu untuk menerjang ke depan,
beberapa kali ia terdesak mundur kembali ke belakang.
Melihat serangannya berulang kali digagalkan oleh
pemuda itu, Thong-thian Kaucu jad i gusar dan marah
sekali, senjata hud-timnya dipindahkan ke tangan kiri lalu
dengan telapak disilangkan di depan dada perlahan-lahan
ia maju ke depan.
Ciu It-bong takut si anak muda itu tak tahu lihay,
buru-buru bentaknya keras, Hoa Thian-hong, cepat
mundur ke belakang!”
Bersama itu pula terdengar teriakan seoang
perempuan dengan suara yang gelisah, “Kaucu…. jangan
turun tangan keji!”
Bersamaan dengan selesainya ucapan itu, Giok Teng
Hujin diiringi Hoa In telah muncul di atas loteng.
Semua peristiwa itu berlangsung pada waktu yang
hampir bersamaan begitu menyaksikan keadaan dari
majikan kecilnya, Hoa In jadi amat terperanjat, bagaikan

hembusan angin puyuh dia meloncat ke muka dan
membentak keras, “Siau Koan-jin, cepat menyingkir!”
Setelah dada dan kakinya terluka sehingga darah
banyak yang hilang, Hoa Thian-hong sadar bahwa ia tak
mampu membendung datangnya angin pukulan dari
Thong-thian Kaucu , mendengar Hoa In sudah datang
cepat-cepat ia menyingkir ke samping.
Thong-thian Kaucu bermata tajam, sekilas
memandang dia sudah mengenali orang itu sebagai Hoa
In, ditambah pula dari laporan Ang Yap toojin ia sudih
tahu kalau ilmu pukulan Sau yang ceng ki nya lihay
sekali, maka dalam keadaan itu terpaksa ia manambahi
tenaganya menjadi sepuluh bagian dan mengirim satu
pukulan gencar.
Setelah mengetahui majikan mudanya terluka parah,
Hoa In sudah diliputi oleh hawa gusar yang memuncak,
ketika menerjang ke depan pintu hawa sakti Sau yang
ceng ki nya telah dihimpun sampai sepuluh bagian,
dengan cepat dia lancarkan satu pukulan untuk
menyambut datangnya ancaman tersebut.
Blaaam….! Ketika sepasang telapak saling beradu satu
sama lainnya, terjadilah ledakkan dahsyat yang
menggetarkan seluruh ru angan, gulungan angin tajam
memancar keempat penjuru, pintu depan ruangan itu
seketika ambruk dari tempatnya, lukisan di atas dinding
terlempar jauh ke belakang dan separuh bagian
diantaranya tersayat robek.

Tong Thiao Kaucu berdiri saling berhadapan dengan
Hoa In pada jarak kurang dari lima langkah, dada
mereka bergelombang dan empat mata bertemu jadi
satu memandangkan rasa gusar, kaget dan tercengang.
“Loo koankee, harap tahan dulu….” teriak Giok Teng
Hujin dengan alis berkerut.
Sejak lenyap Hoa Thian-hong ketika keluar rumah
bersama perempuan itu, Hoa In sudah merasa amat
tidak puas terhadap Giok Teng Hujin, bila ia tidak
membuka suara mungkin masih mendingan, ucapan itu
seolah-olah api bertemu dengan bensin, kegusaran Hoa
In semakin memuncak.
Dengan mata melotot besar, Hoa In berteriak keras,
“Thian Ik-cu, dengarkan baik-baik…. barang siapa berani
melukai majikan muda dari perkumpulan Liok Soat
Sanceng, maka Hoa In akan mempertaruhkan selembar
jiwanya untuk melukukan membalasan!”
Bersamaan dengan selesainya ucapan itu, sepasang
telapak diayun berbareng ke depan dengan gunakan
tenaga sebesar duabelas bagian.
Thong Thian Kjucu merasa terkejut bercampur gusar,
makinya, “Tua hangka sialan….!”
Kakinya melangkah ikuti gerak pat kwi, sepasang
telapak didorong kemuka dan menyambut datangnya
ancaman itu dengan keras lawan keras.

Blaaam….! Suara yang menggelegar kembali bergema
di angkasa, kali ini masing-masing pihak mundur
beberapa langkah ke belakang dengan sempoyong, di
atas lantai lonteng tertera bekas-bekas telapak kaki yang
dalam.
Adu kekuatan yang berlangsung saat itu betul-betul
mengerikan sekali, seluruh ruangan dalam bangunan
loteng itu bergoncang keras, keadaan mengerikan sekali.
Sau yang ceng ki adalah kepandaian ampuh yang
diandalkan Hoa Goan-siu sewaktu berkelana di dalam
dunia persilatan tempo dulu, meskipun Thong-thian
Kaucu memiliki tenaga dalam sebesar enam puluh tahun
hasil latihan, akan tetapi setelah bertanding dengan Hoa
In keadaan ternyata seimbang.
Setelah dua kali bentrokan kekerasan itu lewat, diamdiam
Thong-thian Kaucu merasakan isi perutnya
tergoncang dan darah dalam tubuhnya tergolak keras,
hal itu menunjukkan hawa isi perutnya sudah terluka,
sebaliknya Hoa In sendiri walaupun merasakan pula
golakan darah dalam tubuhnya, namun isi perutnya tidak
sampai terluka.
Suasana hening untuk beberapa saat lama nya, tibatiba
Giok Teng Hujin menggoyang bahu Hoa Thian-hong
sambil serunya, “Adik Hong kalau ada persoalan kita
bicarakan secara baik-baik, cepat perintahkan pengurus
tuamu untuk mengundurkan diri”
“Thian Ik-cu adalah salah seorang pembunuh ayahku,”
pikir Hoa Thian-hong di dalam hati, “sudah sepantasnya

kalau kubereskan jiwanya, apalagi ia mentertawakan aku
lupa akan dendam….Hmm! Sekarang juga aku akan
menuntut balas….”
Berpikir demikian selangkah demi selangkah ia segera
maju menuju ke tengah gelanggang.
Hoa In yang menyaksikan tingkah laku majikannya
jadi gelisah, buru-buru teriaknya, “Siau Koan-jin, jangan
ikut campur! engkau berdiri disisi arena saja….”
Ia takut kalau Hoa Thian-hong turut campur dalam
pertarungan itu, belum habis perkataannya diucapkan ia
sudah menghimpun segenap kekuatan yung dimilikinya
dan langsung disodokan ke tubuh Thian Ik-cu.
Thong-thian Kaucu jadi terkejut bercampur gusar,
bentaknya dengan hati mendongkol, “Tua bangka sialan,
kau benar-benar cari mati?”
Dari perubahan wajah iman tua itu, rupanya Ciu Itbong
sudah tahu kalau ia tak mampu melanjutkan
pertarungan itu dengan adu kekerasan, tanpa terasa
sambil tertawa terbahak-bahak jengeknya, “Haaah….
haaah…. haaah…. hidung kerbau tua gunakan
pedangmu, kalau tidak maka pertemuan Kiau ciau tay
hwee yang akan diseleng garakan pada bulan tujuh
tanggal lima belas bakal gagal dilang-sungkan!”
Iman cilik pembawa pedang yang berdiri disisi
kalangan buru-buru loncat maju ke depan setelah
mendengar perkataan itu, pedang pusaka
digenggamannya langsung diangsurkan ke depan.

Thong-thian Kaucu jadi bergirang hati, dia pegang
gagang pedangnya dan pencet tombol
disana….Crriing….! cahaya tajam berkilauan di angkasa
dan muncullah sebilah pedang pusaka di depan mata.
“Pedang bagus!” puji Ciu It-bong dengan suara keras.
Thong-thian Kaucu tidak mengubris seruan orang,
dengan wajah hambar katanya, “Hoa In, tempat ini tidak
cocok untuk digunakan sebagai gelanggang
pertempuran, ayoh kita cari tempat yang lebih lebar
untuk menentukan siapa menang siapa kalah diantara
kita berdua!”
Sebelum Hoa In sempat menjawab, Ciu It-bong telah
berteriak kembali, “Hidung kerbau sialan, kalau kau
pingin mati, serahkan dulu pedang emas itu kepada ku”
Hoa Thian-hong yang melihat hal itu segera berpikir di
dalam hati, “Ciu It-bong gembar gembor sedari tadi,
rupanya ia memang sengaja mengacau terus agar
pertarungan tak bisa dilangsungkan. Aa ai….! bagaimana
baiknya….”
Sementara itu Giok Teng Hujin sudah maju ke depan,
katanya, “Pengurus tua, racun teratai dalam tubuh
majikan mudaku sebentar lagi bakal kambuh, sekalipun
kau tangguh dan hebat tidak seharusnya kalau berkeras
kepala terus…. aaah!”

Mendadak dengan air muka berubah, teriaknya, “Adik
Hong cepat balut mulut lukamu itu! jangan biarkan darah
mengalir tiada hentinya!”
Teringat akan luka yang diderita majikan mudanya,
Hoa In jadi amat terperanjat, buru-buru ia dekati Hoa
Thian-hong sambil tegurnya, “Siau Koan-jin, apakah
racun teratai yang mengeram dalam tubuhmu sudah
mulai bekerja?”
Hoa Thian-hong sudah tahu bahwa racun teratai itu
bila kambuh maka darah yang mengalir dalam tubuhnya
akan bergolak keras, mulut luka akan merekah semakin
besar mengakibatkan darah mengalir makin deras.
Dengan mempertahankan ketegangannya ia
menjawab sambil tertawa, “Racun teratai baru saja
kambuh, untuk beberapa waktu sih tak menjadi soal,
perhatikan sekeliling tempat ini baik-baik, hati-hati
terhadap serangan bokongan orang!”
Hoa In mengangguk tanda mengerti, setelah
menyambut pedang baja itu dia belalakan matanya
bulat-bulat, sambil melotot ke arah Thong-thian Kaucu
tanpa berkedip ia berjaga-jaga atas serangan yang
mungkin dilakukan oleh lawan.
Dari dalam sakunya Giok Teng Hujin ambil keluar
sebuah botol porselen, setelah membubuhkan obat luka
luar dimulut luka Hoa Thian-hong, dirobeknya pakaian
sendiri untuk membungkus dada orang, sikapnya yang
gugup dan cemas menunjukkan betapa kuatirnya hati
perempuan ini.

Thong-thian Kaucu jadi sangsi dan ragu-ragu melihat
tingkah laku perempuan itu, beberapa kali dia hendak
bicara namun niat itu selalu dibatalkan, sepasang alisnya
berkerut kencang…. kalau ditinjau dari keadaan itu, jelas
sekali menunjukkan bahwa ia sangat gusar.
Setelah merawat mulut luka Hoa Thian-hong di atas
dada, Giok Teng Hujin berjongkok kembali untuk
merawat luka disepasang kakinya, waktu itu tengah hari
sudah tiba, kadar racun teratai dalam tubuh si anak
muda itu mulai membubung naik dari atas pusar dan
bercampur dengan darah dalam nadinya, dalam waktu
singkat darah yang mengucur keluar dari mulut lukanya
berubah jadi hitam pekat bagaikan tinta.
Terdengar Ciu It Boag menghela napas panjang dan
berkata, “Aaai….! Keajaiban alam, sungguh tak nyana
luar biasa sekali….” setelah berhenti sebentar, teriaknya
kembali, “Hoa Thian-hong, totoklah jalan darah
pingsanmu…. bagaimana kalau beristirahat sejenak?”
Hoa Thian-hong segera menggeleng.
“Setelah racun teratai itu kambuh, cara apapun tak
bisa menolong diriku, apa lagi menotok jalan darah….”
Mendadak pemuda itu merasa bahwa banyak bicara
akan merugikan diri sendri, buru-buru ia tutup mulut dan
tidak membocorkan rahasia itu lagi….
Tindak tanduk Giok Teng Hujin sungguh cekatan,
dalam waktu singkat ia telah membalut luka yang

diderita pemuda itu pada sepasang kakinya, hanya darah
masih belum berhenti maka sebentar saja kain
pembungkus luka itu telah berubah jadi hitam karena
darah mengandung racun, terutama sekali luka
didadanya membuat orang yang memandang jadi ngeri
dan bergidik sekali.
Hoa Thian-hong merasakan sekujur badannya gatal
seperti dirambat oleh berjuta-juta ekor semut, rasanya
amat tersiksa, menanti lukanya telah dibalut ia segera
berkata, “Terima kasih atas bantuan dari cici, siaute ingin
mohon diri terlebih dahulu”
“Kau hendak pergi kemana?” tanya perempuan itu
sedih.
“Aku sudah tidak tahu dan ingin berlari-lari
sebentar….”
Sambil berpaling teriaknya, “Ciu Locianpwse….! Thian
Ik su….! Sampai jumpa lain waktu….” tanpa menanti
jawaban dia lari lebih dahulu tinggalkan tempat tersebut.
Giok Teng Hujin segera menyusul dari belakangnya, ia
berteriak, “Adik Hong, jangan terlalu cepat…. tunggu aku
sebentar, ada urusan penting hendak kusampaikan
kepadamu!”
Thong-thian Kaucu amat gusar melihat perbuatan
perempuan itu, bentaknya nyaring, “Hujien…. berhenti!”
Tapi Giok Teng Hujin tidak menggubris teriakan
tersebut, sambil mendampingi Hoa Thian-hong dia lari

turun dari loteng, Hoa In berjalan dipaling belakang dan
bersama-sama tinggalkan istana Yang sim tian.
Sepanjang jalan walaupun ada orang yang melakukan
penjagaan, tapi berhubung Giok Teng Hujin berada
bersama mereka, maka siapapun tak berani menghalangi
kepergian beberapa orang itu.
Dalam waktu singkat mereka bertiga sudah berada
diluar kuil.
Setelah racun teratainya kambuh, rasa sakit didada
dan kaki pemuda itu sudah tidak terasa lagi, tetapi
setelah menyaksikan darah yang mengucur keluar dari
dadanya tidak berhenti, ia jadi gugup sekali.
Sambil lari ia tutup mulut lukanya dengan sepasang
tangan, teriaknya, “Cici…. benarkah engkau she Siang?”
Giok Teng Hujin tertegun lalu mengangguk, “Benar
aku bernama Siang Hoa, tetapi kecuali engkau seorang
tak ada yang tahu tentang namaku ini”
“Apa hubunganmu dengan Pedang sakti yang
menyapu daratan Tionggoan, Siang Tang Lay?”
Air muka Giok Teng Hujin berubah hebat setelah
memandang sekejap sekeliling tempat itu ia menjawab
sambil tertawa….
“Si Tolol…. akhirnya engkau berhasil menebaknya juga
dengan jitu,” setelah berhenti sebentar, dengan wajah
sedih lanjutnya, “Pedang sakti yang menyapu daratan

Tiong goan Siang Tang Lay bukan lain adalah ayah enci,
sekarang kau tentu sudah mengerti bukan?”
Meskipun Hoa Thian-hong telah menebaknya sejak
semula, namun setelah mendengar pengakuan dari
perempuan itu tak urung hatinya merasa terperanjat
juga, teringat bahwa dia adalah putri dari Siang Tang Lay
maka bisa diduga maksudnya perempuan itu jadi
anggota perkumpulan Thong-thian-kauw tentu
mengandung rencana tertentu.
Terdengar Giok Teng Hujin berkata lagi, “Adik Hong,
persoalan yang paling menyedihkan hati cici selama ini
adalah peristiwa ditepi sungai Huang-ho tempo hari, aku
menyesal mengapa tidak tampilkan diri untuk
menyelamatkan jiwamu….”
“Ketika itu kita tak pernah saling kenal mengenal, mau
menolong atau tidak bukanlah suatu masalah yang
penting, toh sekarang aku masih hidup segar bugar?
Buat apa kau ungkap kembali peristiwa yang sudah lewat
itu….?”
Giok Teng Hujin meagbela napas panjang.
“Engkau adalah pendekar sejati yang berhati bajik,
kau hanyalah tahu menyalahkan diri sendiri tak tahu
menyalahkan orang. Aaaaai….! ayahmu pernah
melepaskan budi pertolongan kepada ayahku, aku hanya
ingin membalas dendam dan tak tahu membalas budi….
sekarang keadaan berubah jadi begini inilah dosa yang
harus kupikul”

“Bagaimana sih keadaan cici pada saat ini?” tanya Hoa
Thian-hong tidak habis mengerti, “apakah Thian Ik-cu
sudah menaruh curiga terhadap dirimu?”
“Huuuh….! Siapa sih yang ajak engkau bicarakan
tentang persoalan itu?” tukas Giok Teng Hujin sambil
tertawa, “Coba pikir lah, seandainya pada tempo hari
akulah yang menolong dirimu, maka sekarang orang
yang selalu kau ingat dan kau bayangkan adalah diriku,
dan bukan Chin Wan-hong”
Hoa Thian Hang tersenyum mendengar perkataan itu.
“Cici, pikiranmu terlalu picik” serunya, tiba-tiba ia
menghela napas dan melanjutkan, “Pek Soh-gie yang
melakukan perjalanan bersama aku kini ditawan oleh
Thian Ik-cu, bagaimanakah nasibnya hingga kini belum
diketahui, bila berbicara tentang soal setia kawan, sudah
sepantasnya kalau aku harus berusaha menolong dirinya
lebih dahulu, tetapi….”
Mula-mula Giok Teng Hujin tertegun, kemudian
serunya dengan nada agak mendongkol, “Pek Siau-thian
adalah pangcu dari perkumpulan Sin-kie-pang, siapa
suruh engkau mencampuri urusannya?”
“Kita sebagai manusia harus berbuat kebajikan dan
kebaikan tanpa memandang bulu dan memilih orang.
Aaai….! Mungkin saja aku adalah orang yang terlalu
memandang penting persoalan yang remeh….”

Buru-buru Giok Teng Hujin tertawa ketika melihat
pemuda itu mengeluh dan tiba-tiba tidak senang hati,
ujarnya, “Kau tak usah berpikir yang bukan-bukan….
ketahuilah jago lihay yang dimiliki perkumpulan Thongthian-
kauw banyak sekali, sekali pun engkau pertaruhkan
selembar jiwamu belum tentu gadis itu berhasil kau
selamatkan”
Bicara sampai disitu kembali ia berpaling memandang
sekejap sekeliling tempat itu, melihat disitu tak ada
orang, lanjutnya, “Adik Hong, bersabarlah sedikit…. coba
berhentilah sebentar, akan kuperiksakan lukamu itu”
Hoa Thian-hong berhenti berlari, ketika melihat darah
racun telah membasahi seluruh dadanya, ia menghela
napas panjang.
“Waaah…. kalau begitu terus keadaannya darahku
akan mengalir sampai habis dan akhirnya aku tentu akan
mati kekeringan,” keluhnya.
Hoa In sudah cemas sekali sedari tadi, keringat dingin
mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya,
mendengar perkataan itu ia berseru, “Siau Koan-jin, mari
kita menuju keutara kita coba minta pertolongan dari
Dewa suka pelancongan Cu tayhiap”
Namun Hoa Thian-hong segera gelengkan kepalanya.
“Cu locianpwee suka berpesiar kemana-mana,
sekarang dia entah berada dimana? Sekalipun kita
berhasil temukan dirinya juga belum tertu ada gunanya”

“Kalau begitu kita cari Cu Im taysu saja.”
“Penyakitku adalah penyakit yang sangat aneh,
percuma…. mereka tak mungkin bisa mengobatinya,”
jawab pemuda itu sambil tertawa.
Sementara pembicaraan itu masih berlangsung, Giok
Teng Hujin telah putar badan melepaskan jubah luarnya,
dari saku dia ambil keluar sebuah kotak kumala yang
panjangnya empit cun dengan tebal delapan dim, ujarnya
sambil tertawa, “Adik Hong, coba tebak api isi kotak ini.
“Coba kulihat dulu….!” seru Hoa Thian-hong dengan
wajah tercengang.
Giok Teng Hujin tertawa, dengan sangat hati-hati ia
membuka kotak kumala itu, sambil diangsurkan
kehadapan pemuda itu serunya manja, “Coba
lihatlah….Leng-ci berusia seribu tahun ini sudah disimpan
ayahku selama sebelas tahun lamanya, kemudian aku
pun menyimpan kembali selama belasan tahun…. obat ini
merupakan obat mujarab yang bisa digunakan untuk
menolong orang yang hampir mati, perduli obat ini bisa
memunahkan racun dari Teratai empedu api atau tidak,
makanlah lebih dahulu!”
Hoa Thian-hong jadi sangat kegirangan, ketika ia
periksa isi kotak itu maka tampaklah dalam kotak
berisikan sebatang rumput aneh yang bentuknya luar
biasa, separuh bagian kotak itu berisikan tanah berwarna
hitam, rumput mujarab itu tertanam di atas tanah yang
lembab dan seolah-olah baru saja digali dari atas tanah,
bau harum semerbak yang menyegarkan badan segera

tersiar ke luar. Hoa Thian-hong yang mencium bau
harum itu merasakan badannya nyaman dan segar
sekali.
Melihat pemuda itu menunjukkan rasa kejut
bercampur girang, Giok Teng Hujin jadi amat senang,
katanya, “Aku sendiripun tak tahu bagaimanakah cara
menggunakan obat Leng-ci ini, telan saja seakarakarnya….
aku rasa tak mungkin bisa terlalu salah….!”
Melihat perempuan itu hendak mencabut obat, buruburu
Hoa Thian-hong mencegahnya, sambil berseru,
“Cici…. jaa…. jangan kau sentuh….”
“Kenapa? tumbuhan yang ada di kolong langit adalah
diberikan kepada umat manusia kalau manusia tak mau
memakainya maka semuanya akan jadi barang yang tak
berguna”
“Siaute hendak….”
“Kau hendak berbuat apa?” tanya Giok Teng Hujin
dengan halus bercampur sayang, “berada dihadapan cici,
utarakan saja semua perkataanmu itu….!”
Titik air mata tiba-tiba jatuh berlinang di atas wajah
Hoa Thian-hong, ujarnya, Sejak termakan oleh sebuah
pukulan dahsyat waktu menghadiri perempuan besar Pek
Beng Tay hwee, ibuku menderita luka dalam yang amat
parah…. hingga kini keadaannya belum sembuh benar….
selama belasan tahun selalu menderita dan tersiksa….!”

pemuda itu berhenti sebentar, dengan wajah
menyesal, serunya, “Bila cici suka menghadiahkan Lengci
ini kepadaku maka penyakit yang diderita ibuku tentu
akan sembuh…. budi dari cici ini.”
“Apa itu budi?” tukas Giok Teng Hujin cepat, “Lengci
berusia seribu tahun ini toh sudah kuhadiahkan
kepadamu, benda itu hendak kau pergunakan untuk apa
adalah urusanmu sendiri….”
Berbicara sampai akhirnya, suara perempuan itu
berubah jadi ketus dan keras.
“Persoalan ini menyangkut tentang kesehatan ibuku,
terpaksa aku harus tebalkan muka.” pikir Hoa Thian-hong
di dalam hati.
Berpikir demikan ia segera menerima kotak kumala itu
dari tangan Giok Teng Hujin kemudian dengan sangat
hati-hati menyimpannya ke dalam saku.
“Terima kasih cici!” serunya dengan hati kegirangan.
Giok Teng Hujin jadi serba salah dan tak bisa berbuat
apa-apa kecuali berdiri melongo, walaupun hatinya
merasa kecewa namun perasaan tersebut tak berani
diutarakan ke luar.
Hoa In tak bisa menahan diri, ia segera melangkah
maju ke depan dan berseru, “Siau Koan-jin, Teratai racun
empedu api adalah racun yang tak bisa dipunahkan….
sedangkan Leng-ci berusia seribu tahun merupakan obat
mujarab di kolong langit, inilah berkat perlindungan dari

sukma toa ya serta, cinta kasih nona Siang, engkau
harus….”
Hoa Thian-hong amat cemas, tidak menunggu
perkataannya selesai diucapkan, dengan lagak tuan
mudanya ia membentak dengan suara gusar, “Teratai
racun empedu api tak akan meracuni diriku sampai mati.
kau tak usah berpikir yang bukan-bukan lagi, kalau
berani mem-bangkang maka aku tak sudi melakukan
perjalanan bersama dirimu!”
Tertegun hati Hoa In mendengar perkataan itu, tanpa
terasa air matanya jatuh berlinang membasahi pipinya, ia
mengeluh, “Siau Koan-jin, dari keluarga Hoa tinggal sau
ya seorang yang masih hidup….”
“Apa ibuku bukan orang? Apa engkau bukan orang?
Bentak Hoa Thian-hong dengan gusar, sehabis berkata ia
putar badan dan segera berlalu dari sana.
Tertegun hati Giok Teng Hujin menyaksikan
kesemuanya itu, setelah berpikir sebentar, tiba-tiba ia
tertawa lalu membisikan sesuatu kesisi telinga Hoa In.
Pelayan tua itu segera mengangguk berulang kali dan
buru-buru menyusul majikan mudanya.
Setelah berlarian beberapa saat lamanya Hoa Thianhong
berpaling, ketika dilihatnya hanya Hoa In seorang
yang menyusul dirinya ia jadi tak tenang, segera
tegurnya, “Dimanakah enci Siang?”
“Nona Siang telah kembali ke kuil It-goan-koan!”

“Thian Ik-cu adalah seorang manusia yang cabul dan
berhati kejam” pikir Hoa Thian-hong di dalam hati, “lain
kali kalau bertemu lagi, aku akan menasehati dirinya
untuk cepat-cepat lepaskan diri dari perkumpulan Thongthian-
kauw!”
Tiba-tiba terdengar Hoa In berseru, “Siau Koan-jin,
darah di atas dadamu masih mengalir terus, bagaimana
baiknya?”
“Tidak menjadi soal, perlahan-lahan toh akan sembuh
dengan sendirinya….!”
“Sekarang kita akan pergi kemana?”
Hoa Thian-hong berpikir sebentar, lalu menjawab,
“Aku hendak mencari sesuatu tempat yang tersembunyi
letaknya di sekitar sini, di samping merawat luka aku
hendak berlatih ilmu pedang, sedang engkau boleh
berangkat ke kota Ceng kang dan beri tahu kepada Pek
Siau-thian kalau putri sulungnya Pek Soh-gie telah diculik
oleh Thian Ik-cu, setelah itu pergilah mencari Cu Im
taysu serta Ciong Lian-khek cianpwee, kalau bisa
berangkatlah secara berombongan menuju ke gunung
See thian pada tanggal limabelas nanti, aku sendiri akan
langsung pergi menghadiri pertemuan Kian ciau Tay
hwee tersebut!”
Dengan tenang Hoa In mendengarkan perkataannya
itu hingga selesai, kemudian menggeleng dan menjawab,
“Siau Koan-jin boleh menyusun rencana lain, sekalipun

budak akan dibunuh tak nanti akan kutinggalkan diri Siau
Koan-jin lagi”
Perkataannya begitu tegas dan keras membuat Hoa
Thian-hong jadi tertegun.
“Tapi urusan ini penting sekali….” serunya.
“Perduli urusan ini penting atau tidak, sekalipun budak
dibunuh juga tak akan kutinggalkan Siau Koan-jin barang
selangkah pun”
Hoa Thian-hong jadi amat terharu mendengar
keputusan pelayan tuanya, ia tidak ingin mengecewakan
hati orang itu lagi, setelah tertegun sebentar, katanya,
“Kalau begitu mari kita pergi mencari Chin Locianpwee
lebih dahulu, ooh yaa…. masih ada si pahlawan tua
berkerudung itu, kitapun harus saling berkenalan”
Yang dipikirkan Hoa In adalah jangan sampai berpisah
dari sisi majikan mudanya, tentang soal lain dia tidak
menaruh perhatian.
Begitulah setelah mengambil keputusan maka
berangkatlah kedua orang itu dengan kecepatan
bagaikan hembusan angin, ketika tengah hari sudah
lewat racun teratai dalam tubuh Hoa Thian-hong pun
tenggelam kembali ke dasar pusar, tetapi karena terlalu
banyak darah yang mengalir keluar, wajahnya kelihatan
lesu dan layu.
Beberapa waktu kemudian, sampailah kedua orang itu
diluar sebuah kota.

Hoa Thian-hong menghentikan langkah kakinya,
sambil menghembuskan napas panjang katanya, “Aku
sudah lelah sekali, mari kita bersantap sambil beristirahat
sebentar!”
“Leng-ci berusia seribu tahun itu adalah satu benda
yang mujarab sekali, cuma dicium saja sudah
mendatangkan manfaat yang besar…. Siau Koan-jin!
Kalau badanmu merasa kurang enak, ciumlah beberapa
kali agar kesehatanmu segar kembali!!”
Hoa Thian-hong menggeleng.
“Benda mustika akan memancing keserakahan orang,
benda itu mempunyai hubungan yang erat sekali dengan
diriku, mulai hari iui janganlah sekali-kali kau sebut lagi
tentang obat itu, kalau sampai kabar ini bocor di tempat
luaran…. waah! bakal banyak kerepotan yang akan kita
jumpai”
Hoa In menyanggupinya tanpa membantah maka
masuklah kedua orang itu ke dalam sebuah rumah
makan dan bersantap sampai kenyang.
Baru saja mereka selesai bersantap, tiba-tiba dari luar
rumah makan berkumandang datang suara seseorang
yang serak dan tak aneh didengar sedang berkata, “Seng
sam ko, kita harus mencari satu akal untuk
menyingkirkan nenek tua itu, kita musti lihat macam apa
sih goa malaikat yang dia katakan hebat itu….”

Hoa Thian-hong merasa suara itu sangat dikenal
olehnya, ia segera menengadah ke atas dan memandang
ke depan…. tapi sebentar saja ia telah berdiri tertegun.
Rupanya dari luar rumah makan telah muncul tiga
orang jago. ketika mereka bertiga menjumpai Hoa Thianhong
pun berada disitu orang-orang itu nampak
melengak dan ragu-ragu untuk masuk ke dalam ruangan.
Kiranya tiga orang yang baru saja munculkan diri itu
bukan lain adalah jago-jago lihay dari perkumpulan
Hongg In Hwee, salah satu diantaranya berpotongan
hwesio dengan badan yang gemuk bulat, dia bukan lain
adalah Seng Sam Hau, orang yang barusan bicara adalah
seorang pria berbadan pendek, sedang orang ketiga
berbadan tinggi kurus dengan muka hijau menyeramkan,
dia bukan lain adalah Siang Kiat.
Orang ini mempunyai saudara bernama Siang Hau,
ketika melancarkan serangan bokongan dengan ilmu
cakar walangnya sewaktu berada di rumah makan Kie ing
loo di kota Cho ciu tempo hari, telah menemui ajal nya di
tangan Hoa Thian-hong.
Dalam pada itu si anak muda tersebut pun diam-diam
berpikir setelah menyaksikan kehadiran ketiga orang itu,
“Ketiga orang itu masih bukan tandingan dari Hoa In,
aku benar- benar sudah teramat payah…. aaai….! Segala
macam kurcaci macam dia, lebih baik dilepaskan saja!”
Berpikir demikian ia segera memberi tanda kepada
Hoa In kemudian bangkit tinggalkan tempat duduknya.

Pemuda itu segan mencari gara-gara, pada dasarnya
ia sudah bersantap kenyang dan hendak berlalu maka
tanpa banyak bicara pemuda itu berjalan menuju keluar.
Hoa In tak tahu maksud hati majikannya melihat ia
bangkit dan berlalu pelayan tua ini segera menyambar
pedang bajanya dan mengikuti dengan langkah lebar.
Waktu itu Seng Sam Hau bertiga masih berdiri di
depan pintu, ketika menyaksikan kemunculan Hoa In
mereka jadi terperanjat tanpa banyak bicara ketiga orang
itu segera loncat mundur ke belakang dan berdiri di
tengah jalan raya.
Hoa In tertegun, dengan langkah lebar ia berjalan
keluar dari ruang rumah makan, setelah menyorenkan
pedang bajanya di atas punggung, ia menegur dengan
suara dingin, “Hmm! Mau turun tangan? Majulah
bertiga…. daripada aku musti buang waktu dan tenaga
dengan percuma”
Dengan Cepat ketiga orang itu saling bertukar
pandangan sekejap, tiba-tiba Seng Sam Hau tertawa
terbahak-bahak.
“Haaah haaah….Hoa In, kau benar-benar ingin
bertarung….?” serunya.
Hoa In tidak menjawab, sebaliknya malah bertanya,
“Ciong Lian-khek toako apakah masih berada di dalam
perkumpulanmu?”

“Ciong Lian-khek telah dibunuh oleh sam ko kami,”
jawab Seng Sam H&u, ketika dilihatnya dada dan kaki si
anak muda itu penuh dengan darah berwarna hijau, ia
jadi curiga, tegurnya lebih jauh, “Hoa Thian-hong, siapa
yang melukai dirimu hingga menjadi begitu rupa….?”
Hoa Thian-hong mendengus dingin pikirnya,
“Perkataan orang ini ngawur dan tidak katuan, kalau
dilihat keadaannya yang tidak tenang rupanya ada satu
kejadian sedang ber langsung….”
Dalam hati ia herpikir demikian, sedang diluaran ia
segera bertanya, “Dimana Cia Kim? dan Jien Tang-kee
kalian kini berada dimana?”
Jejak dari Cong-Tang-kee kami tidak jelas sebaliknya
Cia Samko berada di sekitar tempat ini, kalau kau punya
nyali, ayoh ikut kami pergi kesitu….” teriak Seng Sam
Hau dengan mata melotot.
Hoa Thian-hong tertawa, ia ulapkano tangannya dan
berseru, “Bawa jalan, kalau Cia Kim tidak berhasil
ditemukan….Hmm! akan kusuruh engkau rasakan
kelihayanku!”
Seng Sam Hau mendengus dingin, dia ulapkan
tangannya dan segera berangkat lebih dahulu.
Siang Kiat serta pria pendek itu buru-buru menyusul di
belakang rekannya, Hoa Thian-hong pun menggape ke
arah Hoa In kemudian mengikuti di belakang ketiga
orang itu.

Sebentar saja mereka sudah keluar dari kota itu dan
berlarian menuju ke arah selatan.
“Siau Koan-jin, permainan setan apa yang sedang
dilakukan bajingan itu….?” tanya Hoa In dengan wajah
bingung.
Hoa Thian-hong tertawa.
“Seng Sam Hau adalah seorang hweesio yang tidak
pantaDg arak dan daging, sudah terlalu banyak
perbuatan jahat yang dia lakukan, tadi ia ketakutan
karena mengira kau hendak turun tangan…. dalam
keadaan begini tak mungkin dia bisa bermain setan….”
“Tadi mereka membicarakan tentang gua malaikat dan
nenek tua…. permainan apa pula yang sedang
berlangsung?”
“Ikuti saja jejak mereka! Sekarang adalah saatnya
banyak urusan, mereka bisa berkeliaran di tempat luaran
itu berarti bahwa orang-orang itu sedang melakukan
tugas!”
Sementara itu Seng San Hau sekalian yang
menyaksikan Hoa Thian-hong berdua menguntil terus di
belakang mereka, buru-buru mem percepat larinya dan
berbelok ke tempat yang terpencil kemudian menuju
kederetan bukit disebelah Barat daya.
Setengah jam sudah lewat, namun mereka masih juga
berlarian di tempat yang sunyi itu…. lama sekali belum
sampai juga di tempat tujuan, baru saja Hoa Thian-hong

merasa curiga, tiba-tiba Hoa In menuding ke depan
sambil berteriak, “Siau Koan-jin, coba lihat! disana ada
orang sedang bertempur….!”
Hoa Thian-hong segera alihkan sorot matanya
kemuka, tampaklah dihadapan mereka terbentang dua
buah bukit yang dipisahkan oleh sebuah jurang, di atas
jurang terbentang sebuah jembatan batu yang luasnya
beberapa depa tapi terpatah-patah, dua orang nenek tua
berambut putih duduk berhadapan muka di tengah
jembatan batu itu. pukulan demi pukulan dilancarkan
tiada hentinya satu sama lain…. pertarungan sedang
mencapai pada keadaan yang amat seru.
Sementara itu Seng Sam Hau bertiga telah tiba di
ujung jalan, dikedua belah sisi jurang, tampaklah
serombongan jago sedang menyaksikan jalannya
pertarungan itu.
Orang pertama yang kelihatan paling menonjol adalah
seorang kakek tua berwajah persegi dengah mata yang
gede dan alis yang tebal, dia adalah Tang-kee kedua dari
perkumpulan Hong-im-hwie yakni Cu Goan-khek, di
samping itu nampak delapan sembilan orang jago
mengerubungi di sekitarnya, kebanyakan terdiri, dari
jago-jago lihay perkumpulan Hong In Im Hwee.
Diantara mereka bukan saja tidak nampak Jin Hian,
bahkan malaikat berlengan delapan Cia Kim pun tidak
kelihatan batang hi dungnya.
Setibanya ditepi jurang, Hoa Thian-hong saling
menyapa sekejap dengan Cu Goan-khek kemudian

seluruh perhatiannya terhisap oleh jalannya pertarungan
yang sedang berlangsung di atas jembatan batu itu.
Kiranya telapak kiri kedua orang nenek tua itu telah
saling menempel satu sama lainnya beradu tenaga
dalam, sementara tangan kanannya yang bebas secara
beruntun melancarkan serangan-serangan dahsyat
dengan tujuan untuk merobohkan, pelbagai jurus ampuh
yang lihay dan aneh dilancairkan tiada hentinya kedua
belah pihak berusaha untuk merebut posisi yang lebih
menguntungkan.
“Nenek tua yang duduk disebelah sana adalah seorang
nenek buta, “tiba-tiba Hoa In berbisik dengan suara
lirih,” semua orang menyebut dirinya sebagai nenek
dewa bermata buta, ia merupakan salah seorang tulang
punggung dari perkumpulan Hong-im-hwie, bukan saja
nenek ini berhati kejam dan telengas sekali bahkan
hatinya sangat licik dan banyak akal, bila Siau Koan-jin
bertemu dengan orang itu di kemudian hari, engkau
harus berhati-hati sekali”
Hoa Thian-hong mengangguk.
“Nenek tua baju abu-abu yang duduk dihadapannya
pernah kutemui,” katanya, separuh bagian kitab catatan
Ci yu jit ciat milIk-cu locianpwee telah dirampas olehnya.
“Oooh….! dia bernama Tio Tiang Geng” ujar Hoa In
dengan nada tercengang hubungannya dengan ibu
majikan tidak jelek, sepantasnya ia tidak mungkin akan
merampas kitab pusaka ilmu silat milikku!”

Teringat akan gaplokan yang pernah diterima olehnya,
Hoa Thian-hong berseru gelagapan, “Oooh…. mungkin
saja ia hanya bergurau!”
Tiba-tiba dari dinding bukit sebelah depan
berkumandang datang suara rentakan seorang
perempuan dengan nada yang rendah tapi berat, “Tio
Sam kau, tak usah bertempur lagi, biarkan dia datang
kemari!”
Perkataan itu seolah mendengung keluar dari balik
awan membuat orang tak bisa menebak dengan tepat
berasal dari manakah suara tadi, Hoa Thian-hong jadi
tercengang dan keheranan, sepasang matanya dipentang
lebar-lebar dan mengawasi dinding tebing disebelah
depan sana tanpa berkedip.
Terdengar nenek baju abu-abu Tio Tiang Geng
berseru, “Nenek buta sudah dengar belum?”
Sambil berkata tangan kanannya melancarkan
beberapa serangan, telapak kirinya tiba-tiba digetarkan
dan tubuhnya laksana kilat meloncat pergi dari atas
jembatan batu itu.
Nenek dewa bermata buta ikut bangkit berdiri, sambil
memegang sebuah bambu ramping berwarna hijau yang
panjangnya empat depa dengan besar sepertiga jari
kelingking, perlahan-lahan ia maju ke depan, katanya,
“Tio Tiang Geng sekalipun ada malaikat yang bertindak
sebagai tulang punggungmu, ini kali aku si nenek buta
tetap akan mencabut selembar jiwamu.”

“llmu silat yang dimiliki kedua orang ini boleh dibilang
sudah mencapai taraf yang luar biasa sekali pikir Hoa
Thian-hong di dalam hati, sekalipun ada orang yang
memiiiki kepandaian silat lebih lihaypun aku rasa tak
akan lebih lihay berapa banyak!”
Sementara ia masih termenung, nenek buta itu sudah
melewati jembatan batu dan tiba ditepi seberang saja,
Cu Goan-khek sekalian buru-buru loncat naik pula ke
atas jembatan batu itu.
“Cepat ikut menyeberang kesitu!” serunya kemudian
kepada Hoa In, “ayoh kita tengok apa yang telah terjadi
di tempat itu!”
Sambil berkata ia loncat lebih dahulu ke atas jembatan
dan buru-buru lari ke depan.
Dengan perasaan ingin tahu, Hoa Thian-hong
bagaikan sambaran kilat cepatnya menerjang lebih
dahulu ke atas jembatan batu itu.
Hoa In dengan kencang menyusul di belakang majikan
mudanya, dengan demikian maka Seng Sam Hau
sekalian yang menyeberang lebih dahulu telah tiba ditepi
seberang jauh lebih lambat daripada pemuda itu berdua.
Sementara itu dengan bambu kecil ditangannya
sebagai pencari jalan, dengan gerakan yang amat gesit
nenek buta itu sudah berada dua tiga tombak tingginya
dari permukaan tanah, tubuhnya bergerak terus naik ke
atas puncak bukit itu tanpa berhenti barang sekejappun.

0000O0000
34
Hoa Thian-hong amat terperanjat melihat kegesitan
orang itu, pikirnya dalam hati, Nenek buta itu bisa
mendaki ke atas gunung yang licin bagaikan berjalan
ditanah datar belaka, ia betul-betul luar biasa sekali, ka
lau orang tidak tahu tentu tak akan percaya kalau dia
adalah seorang nenek buta….”
Bukit itu tingginya mencapai seratus tombak, kurang
lebih belasan tombak dari puncak bukit tersebut terdapat
sebuah gua karang, perkataan yang berkumandang di
angkasa barusan bukan lain berasal dari balik gua itu,
rupanya nenek buta itu mengandalkan ketajaman
pendengarannya untuk menentukan arah yang benar.
Jilid 25 : Oh Ibu..akhirnya bertemu lagi
TAMPAKLAH bambu kecil ditangan-nya bergetar tiada
hentinya, dalam waktu singkat ia sudah berada di depan
mulut gua.
“Nenek tua!” tiba-tiba Tio Sam-koh membentak keras,
“cepat hentikan langkahmu, daripada mencari penyakit
buat diri sendiri!”
Agaknya ilmu meringankan tubuh yang di miliki nenek
baju abu-abu ini jauh di atas nenek buta, sebelum orang
lain menyadari apa yang telah terjadi tahu-tahu ia sudah
berada di hadapan lawannya.

Nenek buta itu tidak menggubris bentakan orang,
sambil bersuit nyaring, ia jejakkan kakinya ke atas tanah
dan menerjang masuk ke dalam gua karang itu….
Tio Sam-koh sendiri meskipun buka suara memberi
peringatan, akan tetapi tubuhnya tetap berdiri ditepi gua
dan sama sekali tidak menghalangi perbuatan orang itu.
Hoa Thian-hong yang berdiri kurang lebih puluhan
tombak dari mulut gua itu segera pusatkan perhatian ke
arah depan setelah melihat kejadian itu, dia ingin tahu
manusia macam apakah yang bersembunyi di dalam gua
itu.
Baru saja nenek dewa bermata buta menerjang masuk
kemulut gua, mendadak suitan tajamnya itu terhenti
sampai di tengah jalan, te lapak kirinya diayun dan
mengirim satu pukulan ke arah dalam gua.
Jeritan kesakitan berkumandang memecahkan
kesunyian, tiba-tiba bambu kecil yang dipegang di tangan
kanannya terlepas dari cekalan, sementara tubuhnya
terlempar ke belakang dan jatuh terguling dari atas bukit
curam itu.
Peristiwa tersebut benar-benar merupakan suatu
kejadian aneh yang sukar dipercayai orang, dengan
tenaga lweekang yang dimiliki nenek dewa bermata buta
dari peikumpulan Hong-im-hwie ternyata tak sanggup
mempertahankan diri terhadap sebuah pukulan dahsyat
dari orang lain, dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa

jago lihay yang berada di dalam gua merupakan seorang
tokoh silat yang maha dahsyat.
Semua orang saling pandang dengan mata terbelalak,
sementara nenek buta itu dengan baju yang koyak dan
kulit robek tersayat batu tajam, menggelinding terus
sampai di bawah bukit, keadaannya mengenaskan sekali
dan nenek itu ketika jatuh tak sadarkan diri.
Hoa Thian-hong berdiri dipaling depan, sebagai
seorang jago Bulim yang berhati mulia, meskipun tahu
bahwa nenek buta adalah musuh tadi ia merasa tak tega
membiarkan badannya tersayat hancur, buru-buru
telapaknya diayun ke depan melancarkan sebuah
pukulan angin lunak, dengan demikian tertahanlah tubuh
nenek buta itu sehingga tidak sampai terbanting di
bawah jurang.
Sreeet….!sreeet….! Cu Goan-khek serta seorang kakek
baju hijau bersama-sama loncat maju ke depan, mereka
segera membangunkan tubuh nenek buta itu dari atas
tanah.
Kakek baju hijau itu memeriksa sebentar denyutan
nada si nenek buta, lalu ujarnya, “Jiko, Sian poo terpukul
oleh segulung hawa pukulan yang maha dahsyat
sehingga napasnya tersumbat….”
Dengan air muka hijau membesi, Cu Goan-khek
mengangguk, buru-buru ia gerakkan tangannya
menguruti seluruh jalan darah dan nadi penting di tubuh
nenek buta itu.

Tio Sam-koh yang selama ini hanya berdiri saja di
depan gua, tiba-tiba menyambar bambu kecil berwarna
hijau milik nenek buta itu, sambil diayun kemuka,
bentaknya, “Cu Goan-khek! ayoh cepat enyah dari
tempat ini…. kalau sampai menggunakan hati aku si
nenek tua….Hmm! akan kuusir kalian kawanan bajingan
tengiK dari tempat ini!”
Cu Goan-khek menengadah ke atas dan memandang
sekejap ke arah Tio Sam-koh dengan pandangan dingin,
sementara dalam hati sumpahnya, “Setan tua…. Hmmm!
Sekarang engkau bisa berlagak, suatu hari kalau terjatuh
ketanganku…. Heeeh heeeh heeeh…. lihatlah sampai di
manakah kelihaian ji-ya mu….”
Walaupun makian itu cukup tajam dan pedas namun
tak sampai diutarakan keluar.
Lain halnya dengan Seng Sam Hau yang berwatak
berangasan, dengan mata melotot dan wajah penuh
hawa pembunuhan teriaknya, “Nenek edan, kau musti
tahu bahwa saudara dari Hong-im-hwie bukanlah
manusia yang gampang dihina, Hmm…. hati-hati dengan
mulutmu itu, kalau sampai nanti salah bicara.
Tio Sam Kau adalah jago tua yang berwatak
berangasan pula, ibaratnya jahe, semakin tua semakin
pedas, mendengar ucapan itu ia naik pitam, teriaknya
pula, “Bajingan tengik kenapa kalau sampai salah
bicara?”
Bambu hijau dalam genggaman tangannya langsung
dibabat ke arah depan.

Bambu kecil itu tersohor sebagai bambu mustika dari
negeri Thiam tok (India), dan merupakan senjata
andalan dari nenek dewa bermata buta selama berkelana
dalam dunia persilatan, walaupun sepintas lalu
kelihatannya kecil dan lunak namun dalam kenyataannya
kuat dan keras sekali, bambu itu merupakan sejenis
senjata yang sangat lihay.
Babatan yang dilancarkan Tio Sam-koh ini membawa
desiran angin tajam yang amat membisingkan
pendengaran, bayangan hijau berlapis-lapis dan dengan
cepat menyelimuti daerah seluas beberapa depa
disekeling tempat itu.
Seng Sam Hau tidak menyangka kalau dirinya bakal
diserang secara begitu hebat, menyaksikan datangnya
ancaman yang begitu dahsyat ia menjadi keder dan
buru-buru melompat mundur ke belakang.
Bluuuk….! dengan telak bambu mustika dari negeri
Thiam tok itu bersarang di atas punggUng Seng Sam Hau
yang lebar, hwesio gede itu menjerit kesakitan dan
segera roboh terjengkang ke atas tanah.
Untung Thio Sam-koh tidak menguasai sifat-sifat dari
bambu mustika itu, sehingga tenaganya tidak sampai
dipergunakan tepat pada waktunya, kalau tidak tulang
punggung hwesio, gede she Seng ini tentu akan patah
jadi beberapa bagian.
Para jago dari perkumpulan Hong-im-hwie jadi amat
gusar menyaksikan peristiwa itu, bentakan keras

berkumandang memecahkan kesunyian, masing-masing
orang mencabut senjatanya dan terjun ke dalam
gelanggang pertarungan,
Dalam sekejap mata lima orang pria telah mengepung
Tio Sam-koh rapat-rapat, pertempuran sengitpun dengan
cepat berlangsung di atas bukit yang tidak rata itu,
deruan angin tajam bentakan nyaring berkumandang
silih berganti.
Hoa Thian-hong mengikuti jalannya pertarungan itu,
diam-diam merasa kagum, ia tak menyangka kalau Tio
Sam-koh begitu ampuh meskipun harus menghadapi
kerubutan lima orang jago lihay, pikirnya, “Nenek tua ini
benar-benar merupakan seorang panglima angkatan
perang yang tangguh, seandainya ilmu silat yang dimiliki
dewa pelancongan Cu Tong serta Cu Im taysu sekalian
serta beberapa orang sederajat dengan ilmu silatnya,
maka pihak kami tak usah jeri untuk menghadapi tiga
besar dari dunia persilatan….”
Berpikir sampai disitu, tanpa terasa timbullah kesan
yang baik dan mendalam terhadap nenek baju abu-abu
yang pernah menghadiahkan sebuah gaplokan
kepadanya itu, kepada Hoa In segera pesannya,
“Berjaga-jagalah di samping arena dengan waspada,
andaikata nenek tua itu menunjukkan tanda kewalahan,
segera terjun ke dalam gelangang dan bantulah dirinya”
“Siau Koan-jin akan pergi kemana?”
“Aku hendak menengok sebentar ke atas” sambil
berjalan ia menuju ke arah gua.

“Hoa Thian-hong!” tiba-tiba Tio Sam-koh membentak
dengan suara keras, “kau sudah bosan hidup?”
Pemuda itu tersenyum.
“Nenek gagah dan tangguh sekali, boanpwee merasa
amat kagum!” serunya.
Tio Sam-koh semakin naik pitam, teriaknya, “Siapa
suruh kau sanjung diriku? Bila kau berani masuk ke
dalam gua itu, maka nenek buta adalah contoh yang
paling tepat!”
Rupanya nenek itu gelisah sekali, karena harus
pecahkan perhatian untuk berbicara maka seketika itu
juga ia terjepit dan menjumpai bahaya
Hoa In sendiripun tahu bahwa dalam goa tersebut
bersemayam seorang tokoh sakti yang berkepandaian
tinggi, sebelum teman atau musuh bisa ditetapkan, ia tak
ingin membiarkan Hoa Thian-hong menempuh bahaya,
buru-buru serunya, “Tio Lo thay adalah angkatan tua
yang harus kita hormati, Siau Koan-jin kau harus turuti
perkataannya”
Hoa Thian-hong tertawa.
“Hati-hatilah berjaga-jaga disitu, tak usah banyak urusi
persoalanku….”
Ia loncat kemuka dan melayang turun di luar gua.

Walaupun nyalinya besar, tetapi setelah menyaksikan
keadaan dari nenek buta yang terlempar keluar dari gua
dalam keadaan luka parah sebelum melangkah masuk ke
tempat itu, Hoa Thian-hong sadar bahwa orang di dalam
goa itu lihay sekali.
Dengan pandangan tajam ditatapnya lebih dahulu
suasana dalam gua karang itu.
Mulut gua luasnya hanya enam depa, suasana gelap
gulita ibaratnya sumur yang tak nampak dasarnya, lama
sekali pemuda itu melongok ke dalam namun tak suatu
apapun yang terlihat.
Dalam keadaan begini timbullah rasa ingin tahu dalam
hatinya, ia semakin bernafsu untuk menyelidikinya.
“Hoa Thian-hong!” kembali Thio Sam-koh membentak
dengan keras, “cepat mundur ke belakang, kalau tidak
akan kuberitahukan kepada ibumu kalau engkau tak mau
dengarkan nasehat angkatan yang lebih tua…. Hmm!
waktu itu sepasang kakimu tentu akan digebuk sampai
kutung!”
Diam-diam Hoa Thian-hong merasa geli, pikirnya,
“Asal aku bisa bertemu dengan ibu, sekalipun bakal
digebuk juga tak menjadi soal”
Berpikir demikian dengan wajah serius ia segera
memberi hormat ke arah gua yang gelap gulita itu,
serunya dengan lantang, “Cianpwee darimanakah yang
berada di dalam gua? Aku yang rendah Hoa Thian-hong
mohon bertemu”

Ditunggunya beberapa saat tapi suasana dalam gua
tetap sunyi senyap tak kedengaran sedikit suarapun.
Hoa Thian-hong jadi sangsi, pikirnya, “Kalau dilihat
dari keadaan ini, semestinya berarti orang itu tak mau
berjumpa dengan aku!”
Kendati ia berpengalaman namun usianya yang masih
muda membuat pemuda itu tak terima kalau sudah
persoalan itu sampai di situ saja, dengan memberanikan
diri ia maju beberapa langkah lagi ke depan, lalu menjura
dan berseru, “Cianpwee yang berada dalam gua,
maafkanlah diriku bila hamba terpaksa harus masuk
sendiri kedalam”
Selesai berkata ia langsung berjalan menuju ke dalam
gua.
Tiba-tiba terdengar Tio Sam-koh membentak gusar,
begitu keras suaranya sampai mengejutkan hati Hoa
Thian-hong, ia menghentikan langkahnya dan segera
berpaling ke belakang.
Tampaklah Tio Sam-koh sambil meraung gusar,
bambu mustika dari negeri Thiam tok itu diputar dan
dibabat secara ngawur, serangan yang dilancarkan tanpa
memakai aturan ini seketika menggusarkan jago Hongim-
hwie yang berada disekeliling itu, mereka sama-sama
mencabut senjata dan segera meluruk ke depan.
Hoa In jadi gelisah menyaksikan permainan bambu
dari nenek tua itu bertambah kalut, teriaknya, “Tio Loo

thay, tenangkan hatimu dan bertempurlah dengan
pikiran yang mantap….”
Simbil tertawa telapaknya segera disodok kemuka
melancarkan satu pukulan dahsyat.
“Tua bangka!” tiba-tiba Tio Sam-koh berteriak,
“selama aku hidup si nenek tua paling segan bertempur
secara tenang, bajingan-bajingan tengik ini kuserahkan
semua kepadamu!”
Bambu mustikanya digetarkan kemuka menangkis
beberapa buah senjata yang mengancam tubuhnya,
kemudian ia enjotkan badan ke angkasa dan meluncur ke
arah mulut gua.
Hoa Thian-hong jadi tertegun, pikirnya,
“Oooh….!rupanya nenek ini menggunakan akal licik….”
Belum habis ingatan tersebut berkelebat dalam
benaknya, Tio Sam-koh sudah menyambar lewat dari
atas kepalanya…. Sreeet! Sebuah babatan bambu
mengencam ke arahnya.
Hoa Thian-hong tahu bahwa nenek tua ini tidak pakai
aturan, serangan yang dilancarkan pasti berat sekali,
buru-buru badannya loncat ke samping dan berkelit dari
ancaman tersebut.
Tio Sam-koh segera melayang ke atas tanah dan
menghadang dimulut gua, sambil mengawasi tubuh Hoa
Thian-hong dengan pandangan tajam, tegurnya cepat,

“Telur busuk cilik, siapa yang telah turun tangan melukai
dirimu hingga separah ini?”
Tiba-tiba seperti teringat akan sesuatu, ia melirik
sekejap ke arah balik gua dan segera membungkam
kembali.
Hoa Thian-hong ikut melirik ke arah gua, tetapi ketika
dilihatnya suasana disitu gelap gulita tak nampak sesuatu
apapun, tanpa terasa sambil tertawa nyaring tegurnya,
“Hey orang tua, kenapa kalau bicara tersendat-sendat?”
Tio Sam-koh mendelik besar, makinya, “Bocah
keparat, kau tak tahu sopan!”
Sambil ayun bambu mustika itu bentaknya keraskeras.
“Ayoh cepat enyah yang jauh dari sini!”
“Hiiih…. hiiih…. orang tua, katanya kau hendak
mencari ibuku, apakah sudah ketemu?”
“Hmm, ibumu benci karena kau tidak berbakti, ia
sudah mati menggantung diri”
“Hey orang tua, kalau kau berani menyumpahi ibuku,
jangan salahkan kalau aku akan kurang adat pula
kepadamu!” teriak Hoa Thian-hong pura-pura gusar.
“Heeeh-heeeh-heeeh…. kau mau apa?” jengek Tio
Sam-koh sambil tertawa dingin, “akan kugaplok dirimu

dua kali lagi, ingin ku lihat kau berani memberontak atau
tidak?”
Mendengar ancaman itu Hoa Thian-hong jadi
terkesiap, ia takut dirinya benar-benar digaplok orang,
buru-buru telapak tangannya disilangkan di depan dada
siap menghadapi segala kemungkinan yang tidak
diinginkan.
Tiba-tiba terdengar nenek dewa bermata buta
membentak dengan suara berat, “Tio Sam-koh, ayoh
cepat menggelinding turun ke bawah, apakah engkau
hendak menunggu sampai aku naik ke atas untuk
menangkap dirimu?”
Ketika Hoa Thian-hong berpaling ke bawah, terlihatlah
Cu Goan-khek dengan tubuh basah kuyup oleh keringat
sedang duduk beristirahat disamping, sedangkan nenek
dewa bermata buta sudah bangkit berdiri, telinganya
dipasang baik-baik dan rupanya sedang mencari letak
berdiri dari nenek baju abu-abu itu.
Tio Sam-koh segera mendengus dingin, dia meloncat
turun ke bawah sambil serunya, “Nenek buta, Tio Samkoh
berada disini, apa yang hendak kau ucapkan
kepadaku?”
Sebetulnya ketika itu Hoa In sedang bertempur sengit,
ketika melihat si nenek buta sudah sadar pingsannya, ia
segera menghentikan pertarungan dan mengundurkan
diri ke samping, sedang Hoa Thian-hong pun batalkan
niatnya untuk masuk ke dalam goa.

Sungguh lihay pendengaran nenek buta itu, ia segera
alihkan pandangannya ke arah Hoa In sambil tegurnya,
“Orang ini memiliki ilmu silat yang sangat bagus, jago
lihay dari manakah dia?”
“Aku Hoa In dari perkampungan Liok Soat Sanceng!”
Nenek dewa bermata buta agak tertegun, setelah
hening beberapa saat lamanya dia mengangguk.
“Oooooooh….! Kiranya Loo koankee dari
perkampungan Liok Soat Sanceng!”
Setelah berhenti sebentar, ia berpaling ke arah Hoa
Thian-hong lalu bertanya, “Dan siapakah dia?”
“Aku bernama Hoa Thian-hong!”
Cu Goan-khek maju selangkah ke depan sambil
menambahkan, “Dia adalah putra tunggal dari Hoa Goansiu,
merupakan orang penting dalam pergolakan kali ini”
Air muka nenek dewa bermata buta agak berubah lalu
mengangguk, tiba-tiba sambil berpaling ke arah gua
bentaknya sambl menyeringai seram.
“Tio Sam-koh, sebenarnya jago dari manakah yang
ada di dalam gua? Selamanya aku si nenek buta tak akan
membiarkan orang lain mengambil keuntungan dariku,
benarkah engkau hendak menanggung hutang ini?”
Tio Sam-koh tertawa dingin.

“Oooh…. jadi kau sibuta ingin membatas dendam atas
kekalahanmu barusan? Huuh…. terus terang
kuberitahukan kepadamu, bahwa orang yang ada dalam
gua itu adalah seorang jago yang maha besar, kau tak
mungkin bisa menuntut balas terhadap dirinya, lebih baik
catat saja hutang hari ini atas namaku!”
“Oooh…. kiranya dia sendiripun tak tahu siapakah jago
yang berada di dalam gua itu,” pikir Hoa Thian-hong
dengan hati tercengang, “orang itupun aneh sekali,
kepandaian silatnya begitu lihay tapi apa sebab-nya ia
tak mau unjukkan diri untuk bertemu dengan orang?”
Dalam pada itu, secara diam-diam Cu Goan-khek telah
menilai situasi yang sedang dihadapinya waktu itu, dia
merasa ilmu silat yang dimiliki nenek buta seimbang
dengan ilmu silat dari Tio Sam-koh, sedang kekuatan
Hoa Thian-hong berdua tidak berada di bawah
kepandaian para jago-jagonya, andaikata terjadi
pertarungan maka kedua belah pihak tentu akan samasama
menderita kerugian.
Berpikir sampai disana, tanpa terasa alisnya berkerut
kencang, pikirnya lebih jauh, “Bangsat cilik she Hoa itu
terluka dan keadaannya payah, sebetulnya suatu
kesempatan yang bagus bagi kami untuk menghajar
harimau sakit itu…. sayang di dalam gua masih ada
penyakit lain, lagipula Hoa In kalau sampai nekad tentu
sukar dihadapi….”
Sebagai orang yang licik, setelah mengetahui bahwa
tiada keuntungan bagi pihaknya segera timbullah niat
untuk mengundurkan diri dari tempat itu.

Dalam pada itu, nenek dewa bermata buta sudah
berpekik keras, tubuhnya laksana kilat menerjang ke
arah Tio Sam-koh.
Rupanya nenek baju abu-abu itu sudah mengenali
watak nenek buta yang selamanya menyerang tanpa
memberi tahu lebih dahulu itu, bambu mustikanya
digetarkan lalu menyongsong ditangnya terjangan itu,
sambil tertawa terbahak-bahak, serunya, “Hey nenek
buta, asal engkau bersedia angkat sumpah berat dan
berjanji mulai hari ini tak akan melakukan pembunuhan
lagi memandang di atas wajah itu aku suka
mengembalikan bambu ini kepadamu”
Dalam waktu singkat kedua belah pihak telah
melangsungkan pertarungan sebanyak dua puluh jurus
lebih, dalam keadaan nekad nenek buta itu menyerang
sekenanya, baik serangan telapak, serangan jari,
rendangan maupun kepalan dipergunakan semua secara
kombinasi, nekad bagaikan harimau gila yang sudah
teluka hal ini membuat keadaannya benar-benar
mengerikan sekali.
Tio Sam-koh sendiri berhubungan harus menggunakan
senjata milik musuh yang enteng dan lunak, di mana
senjata itu tidak sesuai dengan gerak ilmu silatnya, baru
bertarung dua puluh jurus ia sudah keteter hebat dan
beberapa kali terancam jiwanya….
Pertarungan tersebut benar-benar suatu pertarungan
yang mencengangkan hati, para hadirin cuma bisa saling
berpandangan sambil berdiri melongo.

Hoa Thian-hong mengerutkan alisnya melihat keadaan
itu, diam-diam pikirnya.
“Kenapa sih sifat kekanak-kanakan pada nenek tua itu
belum juga hilang….? Urusan menyangkut tentang mati
hidupnya, kenapa dia malahan memandangnya sebagai
permainan anak-anak?”
Seringkali dia merasa bahwa akhir dari pertemuan
besar Pok beng Tay hwee merupakan pelajaran berdarah
yang ditinggalkan generasi yang lalu kepada mereka
semua, ia merasa seandainya suatu saat antara golongan
hitam dan golongan putih terjadi kembali pertarungan
yang menentukan, maka bila golongan putih menderita
kekalahan total maka semua jago dalam dunia persilatan
akan musnah dengan begitu saja.
Maka dari itu dia mempunyai suatu perasaan sayang
terhadap setiap umat Bulim yang berpihak kepadanya,
ketika menyaksikan Tio Sam-koh memandang
keselamatan jiwanya seperti barang mainan, timbul rasa
gelisah dan kuatir dalam hati pemuda itu.
Sedikitpun tidak salah, belum sampai empat puluh
jurus, tiba-tiba nenek buta itu mengumbar hawa
amarahnya, ia berpekik nyaring tangan kirinya menggaet
menyambar bambu mustika di tangan Tio Sam-koh
sedang tangan kanannya mendadak kirim satu pukulan
dahsyat ke depan.
Keadaan nenek buta itu benar-benar mengerikan
sekali, wajahnya menyeringai seram sedang giginya

terkatup kencang, pukulan yang dilancarkan itu benarbenar
mengerikan sekali.
Melihat keadaan tidak menguntungkan bagi dirinya,
Tio Sam-koh segera melepaskan bambu mustika itu dan
buru-buru loncat mundur ke belakang.
Setelah berhasil merampas kembali senjatanya,
keadaan nenek buta itu bagaikan harimau tumbuh sayap,
ia tertawa seram dan berseru, “Tio Sam-koh, saat
kematianmu sudah tiba, “
Bambu mustika dari negeri Thiam tok itu menyerang
bagaikan kitiran hujan badai, sekujur badan Thio Samkoh
terbungkus dalam kepungan musuh.
Satu kali salah bertindak, posisi baik kena direbut
orang dan nenek baju abu-abu itupun terdesak di bawah
angin, hal ini membuat ia jadi gelagapan dan tak berdaya
mempertahankan diri.
Dalam Waktu singkat, selapis bayangan cahaya warna
hijau mendesak Tio Sam-koh ha us mundur ke belakang
berulang kali, gelak tertawa nyaring, raung gusar serta
teriakan keras bercampur aduk menjadi satu.
Para kerabat dari kedua belah pihak sama-sama
gerakkan tubuhnya mendekat ke depan, Cu Goan-khek
yang menyaksikan kemenangan berada dipihaknya jadi
girang sekali, semangatnya berkobar-kobar kembali dan
wajahnya berseri-seri.

Sebaliknya Hoa Thian-hong serta Hoa In jadi gelisah
bercampur gelagapan, melihat jiwa Tio Sam-koh
terancam, mereka ingin maju membantu, tetapi kedua
orang itu merasa sungkan untuk main kerubut
berhubung ke dua belah pihak yang bertempur samasama
udah tua.
Walaupun sepasang mata nenek buta itu tak bisa
melihat apa-apa, namun perasaannya tajam sekali, baru
saja mendekati gua itu seketika ia sudah merasa, Sambil
menggertak gigi dan menyeringai seram, bentaknya, “Tio
Sam-koh, kalau bukan engkau tentulah aku yang mati!”
Tubuhnya menerjang ke angkasa, bambu mustika
menciptakan selapis bayangan hijau seluas beberapa
tombak, diiringi suara desiran tajam memekikkan telinga
langsung menerjang kemuka.
Jurus awan hitam menutupi sang surya ini merupakan
salah satu jurus membunuh yang diandalkan nenek buta,
Tio Sam-koh yang sudah memahami keadaan lawannya
bukan cuma sehari saja itu segera mengetahui akan
bahaya, melihat datangnya tekanan bayangan hijau dari
atas kepala, buru-buru ia tekuk pinggangnya dan
menyusup ke samping.
Siapa tahu baru saja Tio Sam-koh menekuk
pinggangnya sampai separuh jalan, nenek buta itu sudah
merasakan akan gerakan tersebut, ia mendengus dingin,
bambu mustikanya menyapu keluar dan tibatiba
membabat ke arah punggungnya.

Tio Sam-koh terkesiap dalam bahaya, ia buang
tubuhnya sekeras- kerasnya ke samping ketika ujung
bambu hampir mengenai tubuhnya ia sudah keburu
berguling ke tanah dan melarikan diri ke samping.
Semua kejadian ini berlangsung dalam sekejap mata,
setelah bergelinding ke samping Tio Sam-koh segera
loncat bangun dan tanpa mengucapkan sepatah katapun
mendadak menyusup masuk ke dalam gua.
Nenek dewa bermata buta pasang telinga lalu siapkan
tubrukan, tetapi setelah teringat akan kelihayan orang
yang berada dalam gua itu, dengan cepat dia urungkan
kembali niatnya itu.
Pertarungan sengit yang berlangsung selama ini
mendebarkan jantung setiap jago yang mengikuti
jalannya pertarungan itu, se telah pertempuran mereda
merekapun diam-diam hembuskan napas panjang.
Setelah menenangkan diri, Cu Goan-khek segera
berkata, “Sian poo, musuh yang kabur tak usah di
kejar…. mari kita beristirahat ditepi seberang sana!”
Nenek dewa bermata buta tertegun, tiba-tiba
teriaknya dengan gusar.
“Tio Sam-koh, benarkah engkau tak berani munculkan
diri serta menjadi kura-kura yang ketakutan?”
Baru saja perkataan itu selesai diteriakan tiba-tiba Tio
Sam-koh munculkan diri kembali dari balik gua yang
gelap itu sambil membawa sebuah toya berkepala naga.

Dari ketukan tongkat di atas tanah nenek buta itu tahu
kalau Tio Sam-koh telah munculkan diri, ia mendengus
lalu tarik napas dan mundur beberapa tombak ke
belakang.
Setelah keluar dari gua, Tio Sam-koh tancapkan
toyanya ke atas tanah, sambil menatap wajah nenek
buta itu tegurnya dingin, “Nenek buta, akupun akan
gunakan senjata! Kau adalah seorang perempuan yang
cacad, kalau kau merasa aku mencari untung dari
kecacadanmu itu, lebih baik pertarungan ini tak jadi
dilanjutkan”
Nenek buta paling benci kalau ada orang
menyinggung tentang cacadnya itu, meledaklah hawa
amarah dalam dadanya sesudah mendengar ejekan
tersebut, giginya saling beradu hingga menimbulkan
gemertakan nyaring.
Lama sekali…. ia baru bicara dengan suara dingin,
“Anjing tua, ada keuntungan boleh kau cicipi sendiri, bila
aku gagal menghancur lumatkan tubuh bangkotanmu itu,
biarlah dalam penitisan yang akan datang aku tetap
hidup sebagai orang cacad”
“Hmmmm! Kalau begitu cicipi1ah bagaimana rasanya
kemplangan toya bajaku ini.”
Weeessss….! dengan penuh kegusaran Tio Sam-koh
mengirim satu sapuan tajam ke depan.

Nenek buta tertawa dingin, ia menyingkir ke samping
untuk lepaskan diri dari ancaman, bambu mustika
digetarkan dan langsung membabat pergelangan musuh.
Dalam sekejap mata pertempuran sengit berkobar
kembali di tengah gelanggang, kedua belah pihak saling
menyerang dengan kerahkan segenap kemampuan yang
dimilikinya.
Pertempuran yang berlangsung pada saat ini jauh
berbeda dengan keadaan semula, setelah menderita
kekalahan rasa gusar dan mendongkol dalam dada Tio
Sam-koh belum reda, saat itu toyanya diputar sedemikan
rupa melancarkan serangan berantai dengan ilmu toya
Ciat cing ci ang hoatnya.
Jurus bertemu jurus gerakan bertemu gerakan, satu
gebrakan demi gebrakan berlangsung dengan teratur
dan pakai aturan, kedua belah pihak sama-sama
menyerang sambil bertahan, siapapun tak mau kasih
peluang bagi musuhnya untuk rebut posisi baik.
Di tengah pertarungan sengit, tiba-tiba Tio Sam-koh
berteriak dengan nada dingin, “Nenek buta, tiga jurus
lama akan kuperkenalkan kembali padamu, aku harap
engkau suka memberi petunjuk”
Toya bajanya diputar kencang, diiringi suara
dengungan nyaring segera mengirim serangan tajam ke
arah depan.
Mendengar desiran tajam yang menderu-deru itu,
nenek dewa bermata buta merasa hatinya tercekat,

pikirnya, “Ilmu toya yang dimiliki anjing tua ini benarbenar
jauh berbeda dari keadaan dulu, rupanya waktu
selama sepuluh tahun tidak dibuang dengan percuma….”
Bambu mustika Thiam toknya segera diputar dan
menyongsong datangnya ancaman tersebut.
Toya baja berat dan bambu mustika enteng,
seharusnya benda itu tak bisa digunakan untuk
menangkis secara keras lawan keras, tetapi dibalik jurus
serangan yang digunakan pada senjata bambu itu
mengandung inti sari dari ilmu toya, ilmu pedang serta
ilmu Golok, seandainya toya baja Tio Sam-koh benarbenar
sampai terbentur dengan senjatanya, itu berarti
nenek baju abu-abu mencari penyakit bagi diri sendiri,
asal bambu itu disayat ke bawah maka jika Tio Sam-koh
tidak lepas tangan, telapaknya pasti tersayat robek.
“Bagus!” bentak Tio Sam-koh,
Dikala toya bajanya hampir membentur dengan
bambu lawan, mendadak ujung toya berputar
membentuk gerakan setengah lingkar busur lalu diiringi
desiran angin tajam tiba-tiba menyapu ke arah pinggang
musuh.
Nenek buta mengerutkan dahinya, tidak sempat lagi
baginya untuk putar badan melakukan tangkisan, pada
saat yang sangat kritis ia keluarkan simpanan tenaganya
yang dilatih selama puluhan tahun lamanya tanpa
menggerakkan anggota badan tiba-tiba tubuhnya
mundur dua depa ke belakang.

Serangan dari Tio Sam-koh itu justru bertujuan untuk
memaksa mundur musuhnya ke belakang, melihat nenek
buta mundur, ia segera menerjang kemuka sambil
membentak, “Kena!”
Ujung toyanya tiba-tiba meluncur ke depan dan
membacok batok kepala lawannya.
Tiga jurus ilmu toya berantai itu merupakan suatu
serangan yang maha dahsyat pada saat pihak musuh
memperlihatkan titik kelemahan karena desakan dua
jurus yang pertama itulah, jurus ketiga air Huang-ho
turun dari langit segera meluncur kemuka.
Bagi Tio Sam-koh, gerakan tersebut merupakan suatu
gerakan lanjutan yang enak dan leluasa sekali,
sebaliknya bagi musuh hal itu merupakan suatu ledakan
yang diluar dugaan, sekalipun musuh lihay di bawah
ancaman serangan berantai ini niscaya akan roboh atau
terluka.
Nenek dewa bermata buta yang diteter terus secara
hebat, baru saja berhasil meloloskan diri dari serangan
kedua musuhnya, tiba-tiba ia merasa munculnya
segulung desiran angin tajam menghajar batok
kepalanya, hal ini membuat ia jadi terperanjat, buru-buru
kakinya menjejak tanah loncat mundur ke belakang,
sedang senjatanya sebisa mungkin melancarkan satu
pukulan untuk membendung datangnya ancaman
tersebut.
Keadaannya ketika itu sangat berbahaya, toya baja
dari Tio Som koh bagaikan kilatan petir segera meluncur

ke depan mendesak disisi tubuh nenek buta, asal miring
beberapa dim lagi kesebelah kiri niscaya nenek tersebut
akan menemui ajalnya atau paling sedikit terluka parah
oleh hantaman toya lawan.
Air muka para hadirin yang mengikuti jalannya
pertempuran itu dari sisi arena berubah hebat, kemudian
meledaklah tempik sorak yang gegap gempita memenuhi
seluruh angkasa….
Tapi kesemuanya itu hanya berlangsung sebentar
saja, sebab suasana tiba-tiba berubah sunyi kembali….
Rupanya Tio Sam-koh sendiripun tak mengira kalau
nenek buta sanggup meloloskan diri dari serangan
mautnya, dalam kejut dan gusarnya tiba-tiba ia melihat
bambu pusaka lawan bagaikan ular berbisa sedang
menyerang lambungnya.
Dari gusar ia jadi gembira, toya bajanya digetarkan
lalu menyapu ke atas senjata lawan.
“Aduuuuh….!”
Di tengah dengusan berat, bambu mustika tergesek
oleh toya bambu itu sehingga membuat pergelangan
sang nenek buta jadi tergetar keras, senjatanya hampir
saja terlepas dari cekalan.
Dalam gugup dan gelagapanya buru-buru ia
perkencang cekatannya, sementara sang badan
termakan oleh tenaga dorongan lawan seketika
terpelanting dan roboh terjengkang ke atas tanah.

Tio Sam-koh cepat memburu ke depan, tapi para jago
dari perkumpulan Hong-im-hwie keburu bertindak, di
tengah bentakan keras masing-masing orang mendorong
telapaknya ke depan melancarkan satu pukulan dahsyat.
Pada dasarnya tenaga dalam yang dimiliki Cu Coan
Kek cukup ampuh, ditambah pula bantuan dari jago-jago
lainnya, angin pukulan yang maha dahsyat segera
menyapu ke depan menerbangkan batu dan pasir.
Tio Sam-koh tak berani pandang enteng kelihayan
lawannya, buru-buru ia loncat ke belakang dan mundur
sejauh beberapa tombak dari tempat semula….
Menggunakan kesempatan itu nenek buta segera
meloncat bangun, kepada Tio Sam-koh serunya ketus,
“Ayo maju! Kita tak usah menunggu pertemuan Kian ciau
tay hwee lagi…. ini hari juga harus kita tentukan siapa
yang lebih tangguh diantara kita berdua, kalau bukan
kau yang mati akulah yang modar!”
Tio Sam-koh tertawa terbahak-bahak.
“Haaah…. haaah…. haaah…. sungguh beruntung
sekali, ini hari aku harus kalah dalam keadaan keledai
malas berguling, dan kau pun harus menelan kekalahan
dalam keadaan anjing rakus menyikat kotoran, keadaan
kita setali tiga uang…. rupanya kita memang berdua
punya jodoh!”

Toyanya diputar dan sekali lagi menerjang ke depan,
tapi…. mendadak ia hentikan gerakan tubuhnya dan
berpaling ke arah seberang.
Melihat kejadian itu semua orang ikut berpaling,
terlihatlah belasan sosok bayangan manusia dengan
cepatnya sedang bergerak menuju ke tempat kejadian.
Nenek buta tak tahu duduk perkara yang sebenarnya,
melihat musuhnya tidak jadi menyerang, dengan gusar ia
berteriak, “Nenek she Tio, kalau engkau segan untuk
mulai, akulah yang akan turun tangan lebih dahulu!”
“Sian poo tunggu sebentar” terdengar Cu Goan-khek
berteriak dengan nada kegirangan. “Cong-Tang-kee kita
telah datang”
Dalam pada itu belasan sosok bayangan manusia tadi
telah loncat naik di atas jembatan batu dan meluncur
datang.
Hoa Thian-hong sekalian segera dapat melihat bahwa
orang yang berjalan dipaling depan bukan lain adalah Jin
Hian ketua dari perkumpulan Hong-im-hwie,
dibelakangnya mengikuti Co Ban Kui serta sepuluh orang
pengawal golok emas.
Sungguh cepat gerakan tubuh Jin Hian, setelah tiba
digelanggang ia sapu sekejap sekeliling tempat itu
dengan pandangan tajam lalu setelah melirik pula ke
arah gua karang, ujarnya kepada nenek dewa bermata
buta sambil tertawa, “Sian poo, sejak kapan engkau
datang? terimalah salam dari aku orang she Jin!”

Nenek buta membalas hormat dan menjawab, “Pagi
tadi aku baru tiba, sudah lama pertarungan berlangsung
namun tiada hasil apa pun…. aaai! hanya merusak pamor
Hong-im-hwie saja”
“Haaah…. haaah…. haaah….” Jin Hian tertawa
nyaring, “Tio Lo thay terkenal sebagai jago lihay dalam
dunia peralatan yang sudah tersohor sejak enam pulun
tahun berselang, bila Sian poo ingin rebut kemenangan
tentu saja harus bertempur tiga sampai lima ratus jurus
banyaknya”
Tio Sam-koh mendengar perkataan itu, dengan alis
berkerut segera menyindir, “Haah…. haah…. haaah….Jin
Hian, aku lihat engkau baru termasuk manusia tak
berguna, sungguh tak nyana seorang ketua dari
perkumpulan Hong-im-hwie pandainya cuma jilat pantat
orang belaka…. Huuuuh! rupanya aku sudah salah
melihat”
Air muka Jin Hian berubah hebat, tapi sebentar
kemudian telah pulih seperti sedia kala, katanya sambil
tertawa hambar, “Tio Lo thay, engkau terlalu tinggi
memandang diriku”
“Siapa yang memandang tinggi dirimu? Hmm! engkau
berkata bahwa namaku sudah tersohor di kolong langit
sejak enam puluh tahun berselang, bukankah itu berarti
bahwa kau sedang menjilat pantatku? Kemudian kau
mengatakan kepada nenek buta itu bahwa untuk
mengalahkan aku maka paling sedikit harus bergebrak
tiga sampai lima ratus jurus, lalu bagaimana kalau tujuh

sampai sembilan ratus jurus? Cukup bukan? Haaah….
haaah…. bukankah engkau sedang menjilat pantatnya si
nenek buta?”
Jin Hian sama sekali tidak memberi komentar, dengan
tenang ia dengarkan perkataan orang hingga selesai,
kemudian sambil tersenyum memberi hormat kepada
Hoa Thian-hong sambil tegurnya, “Hoa Loo te, kau
terluka di tangan siapa?”
Hoa Thian-hong balas memberi hormat dan
menjawab, “Oooob…. aku terluka di tangan iman tua dari
Thong-thian-kauw, hanya luka luar saja dan kau tak usah
kuatir”
Jin Hian tertawa, setelah menyapu sekejap sekeliling
tempat itu ujarnya, “Loo-ji, di tempat ini kecuali hadir
beberapa orang sahabat, apakah masih ada orang lain?”
“Tuuh…. dalam gua masih ada seorang jago lihay”
jawab Cu Goan-khek sambil menuding ke arah gua
karang di atas bukit, “siapakah jago lihay itu, siaute
sendiripun kurang tahu”
Jin Hian mengerutkan dahinya, dengan sorot mata
yang tajam bagaikan pisau belati ia tatap wajah Hoa
Thian-hong, lalu tegurnya dengan suara berat, “Hoa loo
tee, ada satu pertanyaan hendak kuajukan kepadamu,
apakah putri Pek Siau-thian yaitu Pek Soh-gie
bersembunyi di dalam gua karang itu….?”
Hoa Thian-hong tertegun, pikirnya, “Pek Soh-gie
terperangkap dalam istananya Thong-thian-kauw, aku

harus tutup rahasia ini ataukah menyiarkannya secara
luas?”
Sebelum dia sempat menjawab, dengan nada dingin
Jin Hian telah berkata kembali, Hoa loo tee, putraku Jin
Bong mati secara mengenaskan di tangan Pek Soh-gie,
budak terkutuk itu, orang lain tak tahu, engkau toh
menyaksikan dengan mata kepala sendiri!”
“Jien Tang-kee, jangan berkata begitu!” teriak sang
pemuda dengan alis berkerut, meskipun aku saksikan
dengan mata kepala sendiri, tetapi setelah aku berjumpa
dengan Pek Soh-gie maka terasalah olehku, bahwa raut
wajah mereka meskipun mirip akan tetapi sifatnya jauh
berbeda, kita tak boleh mencampur baurkan antara soal
yang satu dengan soal yang lain”
Jin Hian tertawa dingin.
“Hmmm…. rupanya Hoa loote memang membela Pek
Soh-gie mati matian tidak aneh kalau loote begitu tega
menggunakan cara yang keji untuk menghukum mati
beberapa orang saudara kami”
“Aku bukan seorang manusia yang suka pipi licin,
semua perkataan dan perbuatan berani dibuka secara
umum, sedang mengenai ketiga orang saudara itu….”
Ia berhenti sebentar lalu menghela napas panjang,
sambungnya, “Mereka memang musnah di tanganku, bila
Cong Tang-kee tak rela aku pun tak dapat berbuat apaapa”

“Hmm!” Jin Hian tertawa dingin, “bagaimanapun Hoa
loote toh pernah bergaul selama beberapa hari dengan
para saudara dari Hong-im-hwie, sekalipun tidak
memandang muka Buddha seharumnya kalau Loo te
memberi muka kepadaku”
Hoa In jadi jengkel ketika dilihatnya orang itu
menegur majikan mudanya terus menerus, dengan hati
gusar selanya, “Bertempur digelanggang tak bisa
dihindari terluka atau mati….”
Buru-buru Hoa Thian-hong ulapkan tangannya
mencegah Hoa In bicara lebih jauh, katanya sambil
tertawa, “Cong Tang-kee, engkau tahu bukan bahwa aku
bukan seorang manusia yang suka membunuh, tetapi
bila anak panah sudah di atas busur, bagaimanapun juga
terpaksa harus dilepaskan, karena itu harap Tang-kee
suka memakluminya!”
“Hmmm….Pek Soh-gie saat ini berada dimana?
Apakah Hoa loote suka memberitahukan kepadaku?”
oooooOooooo
35
PEK SOH-GIE hanya seorang gadis mada yang tak
tahu urusan, sedang Tang-kee bermaksud jelek
terhadapnya, kalau kuberitahukan jejaknya kepadamu
bukankah kawan Bulim akan mentertawakan diriku?”
Setelah berhenti sebentar, tambahnya dengan
lantang, “Cuma aku berani menegaskan bahwa

pembunuh putramu bukanlah Pek Soh-gie, karena itu
aku setuju untuk mempertemukan cong Tang-kee
dengan gadis itu”
Tertegun hati Jin Hian mendengar perkataan itu,
serunya, “Aku orang she Jin merasa kagum dengan
pendapatmu yang tinggi, tolong tanya sekarang Pek Sohgie
ada dimana?”
“Pek Soh-gie telah ditawan Thian Ik-cu dan sekarang
dikurung dalam istana Yang sim tian, bila Cong Tang-kee
ingin menjumpai dirinya aku rasa lebih baik rundingkan
saja dengan Thian Ik-cu”
“Hoa loote, aku tidak percaya dengan perkataanmu
itu!” seru Jin Hian sambil menggeleng.
“Semua perkataanku diucapkan sejujurnya kalau Cong
Tang-kee tidak percaya akupun tak bisa berbuat apaapa”
Jin Hian tertawa seram.
“Hoa loote, sewaktu pihak Hong-im-hwie hendak
menangkap Pek Soh-gie kau selalu menghalangi bahkan
membunuh orang, sebaliknya waktu Thong-thian-kauw
menangkap gadis itu, mengapa kau lepas tangan?”
Pertanyaan ini seketika membungkam Hoa Thianhong,
matanya terbelalak dan mulutnya melongo, untuk
beberapa saat lamanya ia tak tahu apa yang musti
dijawab.

Melihat majikan mudanya malu, Hoa In tidak terima,
dengan gusar serunya, “Kami memang suka mencampuri
urusan orang, kalau siapa merasa tidak puas boleh cari
aku orang she Hoa untuk bikin perhitungan”
Jin Hian mendengus dingin, ia tidak perduli ucapan
orang, sorot matanya yang tajam tetap menatap wajah
Hoa Thian-hong tanpa berkedip.
Tiba-tiba Hoa Thian-hong tertawa nyaring, ujarnya,
“Ketua Jin, engkau tak usah terlalu mendesak orang,
sewaktu Thian Ik-cu menangkap Pek Soh Gi, aku telah
berusaha sekuat tenaga untuk melindungi dirinya,
sayang kepandaian silatku tak becus sehingga aku
sendiripun malah kena tangkap”
Sebagai orang yang jujur, ia tak Ingin membohongi
musuhnya, dan untuk memberikan keterangan yang
sebenarnya, kejadian yang memalukan tentang diripun
diucapkan keluar.
Sorot mata Jin Hian berkilat, ia melirik sekejap luka
pada dada dan kakinya, lalu berpikir, “Ditinjau dari
badannya yang berpelepotan darah serta mukanya yang
lesu, jelas baru saja ia langsungkan pertarungan
berdarah rupanya apa yang dia katakan bukan kata-kata
yang bohong….!”
Ia jadi setengah percaya setengah tidak, dengan nada
dingin ujarnya kembali, “Kalau benar Hoa lote ditangkap
bersama-sama Pek Soh-gie, dan sekarang Loote berhasil
lolos dari bahaya sedang Pek Soh-gie masih berada di

dalam sarang harimau, apakah engkau tidak merasa
kuatir?”
“Kami toh berkenalan hanya secara tidak disengaja
dan menolong karena kebetulan kutemui kejadian
tersebut, sekarang dalam ke nyataan kau tak mampu
memberi penolongan kalau tidak ditinggal masa disuruh
urus terus, perduli amat aku kuatir atau tidak”
Jin Hian tertawa hambar, tiba-tiba sambil melirik ke
arah goa karang ujarnya kembali, “Loote menurut
anggapanmu mungkinkah Pek Soh-gie mendapat
pertolongan dari seseorang seperti halnya dengan loote
dan kemudian disembunyikan di dalam gua karang ini?”
Mula mula Hoa Thian-hong tertegun, kemudian
pikirnya lebih jauh, “Tua bangka ini memang banyak
menaruh curiga….!”
Berpikir demikian lantas tertawa, jawabnya, “Akupun
mempunyai kecurigaan tersebut, sayang tak mampu
memasuki gua tersebut untuk melakukan pemeriksaan”
“Hmmm! bangsat cilik…. terdengar Tio Sam-koh
memaki dengan nada ketus”
Jin Hian angkat kepala dan laksana kilat memandang
sekejap ke arahnya, kemudian berjalan menuju ke mulut
gua.
Melihat ketuanya mendekati mulut gua tersebut,
dengan cepat Cu Goan-khek loncat maju ke depan
menghalangi jalan perginya, peristiwa pingsannya nenek

bermata buta terhantam oleh pukulan dari gua pun
segera di laporkan kepada ketuanya.
Air muka Jin Hian berubah hebat setelah mendengar
laporan itu, serunya, “Oooh…. ternyata disini ada
seorang jago lihay sedang bersembunyi…. kita tak boleh
bertindak kurangajar!”
Biji matanya berputar menyapu sekejap para jago
yang hadir di tempat itu, kemudian kepada Co Bun Kui
yang berada disampingnya ia berkata, Engkau pergilah
kesana dan mohonlah bertamu, coba kita lihat jago lihay
dari manakah yang berdiam disini, kalau dia adalah
seorang Bu Iim cianpwee maka katakanlah nenek dewa
bermata buta serta Jin Him dari perkumpulan Hong-imhwie
mohon bertemu.
Co Bun Kui memberi hormat, setelah memberi tanda
kepada pengawal pribadi, golok emas yang berada
disisnya, dua orang segera tampil ke depan, mereka
bertigapun segera berjalan mendekati gua karang
tersebut,
Bayangan manusia berkelebat lewat, tiba-tiba Tio
Sam-koh menghadang di depan mulut gua tongkat
disiapkan di tangan sedang mulutnya tetap
membungkam dalam seribu bahasa.
Sepasang alis Ca Bun Kui langsung berkerut, sambil
memberi hormat, tegurnya, “Tio lo thay, mohon tanya
engkau ada petunjuk apa?”

“Gua ini jauh lebih seram dari pada sarang naga
harimau, apakah engkan tidak takut mati?” teguf Tio
Sam-koh dengan dingin.
“Terima kasih atas petunjukmu, atas perintah
atasanku, aku disuruh datang kemari untuk mohon
bertemu dengan cianpwee dalam gua, sekalipun badan
harus hancur aku tak akan ambil perduli….!”
Habis berkata segera ia melanjutkan, kembali
langkahnya menuju ke depan.
“Kembali! tiba-tiba Tio Sam-koh membentak keras
sambi1 ayunkan telapak tangannya.
Segulung angin pukulan yang maha dahsyat segera
memancar keluar diiringi deruan angin yang tajam dan
dahsyat.
Co Bun Kui serta dua orang pengawal pribadi golok
emas yang berada di belakang segera mundur sejauh
tujuh delapan depa dari tempat semula, senjata tajam
segera diloloskan keluar dan untuk kedua kalinya mereka
menerjang maju ke depan.
“Hey, sebenarnya apa yang hendak kalian lakukan?
Bentak Tio Sam-koh dengan gusar.
Co Bun Kui tertegun dan segera menghentikan
langkahnya kurang lebih empat lima depa dihadapan
perempuan itu, ia menjawab, “Aku mendapat perintah
dari atasanku untuk mohon bertemu dengan pemilik gua

itu, jika Tio lo thay tidak menyingkir lagi, jangan salahkan
kalau aku tidak akan berlaku sungkan-sungkan lagi”
Tio Sam-koh melotot besar, sambil anggurkan
tangannya ia berseru, “Kalau memang kalian bendak
berkunjung secara hormat, bawa kemari kartu nama
kalian!”
Co Bun Kui tahu bahwa ia hanya mempersulit dirinya,
tapi diapun tabu bahwa nenek itu tidak mudah dilayani,
maka sambil tetap menyabarkan diri jawabnya, “Karena
di dalam melakukan perjalanan maka kami tidak
membawa serta kartu nama setelah bertemu dengan
pemilik gua ini, aku pasti mohon maaf….”
Haaah…. haaahh…. itu sih tak perlu aku, si nenek tua
adalah pemilik gua ini, ada urusan apa engkau mencari
aku?”
Diam-diam Co Bun Kui merasa amat gusar,
sumpahnya di dalam hati, “Nenek busuk…. modarlah
secepatnya, berani benar engkau permainkan diriku!”
Pergelangan digetarkan, dari punggung golok segera
memancar keluar suara dentingan yang amat nyaring,
Inilah kode rahasia dari para pengawa1 pribadi golok
emas, perbedaan suaranya amat banyak dan masingmasing
mengandung maksud yang saling berbeda, orang
lain tidak merasa tapi para pengawal pribadi golok emas
hapal diluar kepala, maju mundurnya semua mengikuti
tanda tersebut.

Tampaklah dua orang pengawal yang berada di
belakang segera maju ke depan dan berdiri sejajar
dengan Co Bun Kui, tiga golok besar bersama-sama
digetarkan dan membacok kemuka.
Angin desiran tajam menderu deru, dalam waktu
singkat tubuh mereka dilindungi oleh cahaya golok
langsung menerjang masuk ke dalam gua.
Tio Sam-koh sebagai seorang jago yang sangat lihay,
tentu saja tidak pandang sebelah matapun terhadap
ketiga orang itu, menanti golok emas sudah hampir
mendekati tubuhnya dia baru mendengus dingin, toyanya
diputar dan menyongsong datangnya ancaman tersebut.
Traaaaaang….!traaaang….!di tengah dentingan
nyaring, ketiga bacokan golok emas itu bersarang di atas
toya baja semua, begitu kerasnya bentrokan tersebut
membuat lengan Co Buo Kui bertiga jadi sakit, linu dan
kaku sekali, himpir saja goloknya terlepas dari tangan.
Dengan tak bisa dibendung lagi, dua orang pengawal
itu tergetar mundur beberapa langkah ke belakang,
sedangkan Co Bun Kui yang tenaga dalamnya jauh lebih
sempurna dari dua orang anak buahnya hanya
merasakan tubuhnya bergetar keras, di atas permukaan
tanah di mana ia terpijak muncullah sebuah telapak kaki
yang tajam dan nyata sekali.
Co Bun Km adalah pemimpin dari empat puluh
pengawal pribadi golok emas, sebagai seorang jago yang
berpengalaman dan bertanggung jawab atas
keselamatan segenap anak buahnya tentu saja bukan

manusia sembarangan, setelah berhasil menegakkan
tubuhnya sambil putar golok, ia menerjang kembali ke
arah depan.
Dentingan nyaring menggema di angkasa, delapan
orang pengawal pribadi golok emas yang selama ini
berdiri di belakang Jin Hian mendadak menerjang ke
arah Tio Sam-koh dengan gencarnya.
Tio Sam-koh teramat gusar, sebenarnya ia tak sudi
bertempur melawan beberapa orang itu, tetapi setelah
dilihatnya empat bilah golok besar dengan memancarkan
cahaya yang menyilaukan mata menerjang datang
terpaksa dia angkat toyanya untuk menangkis.
Sreeet….! Sreeet….! Sreet….! empat bilah golok
memisahkan diri, dua orang loncat ke samping kiri dua
lainnya ke kanan, sementara empat orang yang
menerjang datang dari belakang dengan cepat mengisi
kekosongan tersebut, cahaya golok berkilauan dan
mereka menyerang pinggang perempuan tersebut.
Kegusaran Tio Sam ko memuncak, toya bajanya
ditekan ke bawah lalu menyapu ke belakang.
Kawanan pengawal pribadi golok emas adalah jagojago
yang terlatih, bukan saja ilmu golok mereka amat
sempurna, kepandaian dalam bekerja samapun amat
tinggi.
Baru saja Tio Sam-koh putar toyanya menyapu ke
belakang, empat orang yang menyerang dari belakang
telah mengundurkan diri kembali ke arah belakang,

sementara empat orang dikiri kanannya bersama-sama
membentak keras, cahaya golok memancar keempat
penjuru dan laksana Kilat mereka menerjang kembali ke
depan.
Kali ini tempat yang diarah keempat bilah golok emas
itu berbeda satu sama lainnya, andaikata Tio Sam-koh
tidak berusaha mundur ke belakang maka satu-satunya
jalan adalah maju ke depan sambil balas melancarkan
serangan atau dengan keras lawan keras ia tangkis
semua serangan tadi.
Tio Sam-koh adalah seorang jago kawakan, ibaratnya
jauh makin tua makin pedas, berada di depan mata
prajurit-prajurit tak bernama tentu saja ia tak sudi
mengundurkan diri ke dalam gua, ia mendengus dingin.
Toya bajanya bagaikan amukan ombak dahsyat segera
berputar kencang.
Dalam sekejap mata tujuh delapan jurus sudah lewat,
kedelapan orang pengawal pribadi golok emas itu maju
mundur melancarkan serangan secara bergilir, sedang
Tio Sam-koh dengan gagah beraninya memutar toya
kesana kemari disertai deruan angin yang tajam, tanpa
sadar ia semakin jauh tinggalkan mulut gua dan
terjerumus ke dalam kepungan delapan orang jago.
Walaupun Tio Sam-koh adalah salah seorang jago
lihay dalam dunia persilatan, tetapi kawanan pengawal
pribadi golok emas itupun merupakan jago-jago lihay
apalagi kerja sama mereka boleh dibilang luar biasa
sekali, jika dia ingin menumpas mereka dalam tiga empat
jurus tentu saja merupakan suatu hal yang sulit.

Dengan tenang Co Bun Kui berdiri di samping arena,
menanti Tio Sam-koh sudah jauh tinggalkan gua dan tak
mungkin balik lagi dalam waktu singkat, ia segera
memanggil dua orang anak buahnya dan bersama-sama
masuk ke dalam gua karang.
Walaupun Tio Sam-koh tak mampu menangkan
musuh-musuhnya, tapi ia masih punya sisa tenaga untuk
memperhatikan situasi di sekeliling tempat itu, tatkala
dilihatnya Co Bun Kui akan masuk ke dalam gua, dengan
penuh kegusaran ia segera membentak, “Budak cilik,
jaga mulut gua itu baik-baik!”
“Dia sedang panggil aku?” pikir Hoa Thian-hong
tertegun, tanpa pikir panjang segera ia menghadang
dimulut gua.
Co Bun Kui jadi amat gusar, bentaknya, “Hoa kongcu,
apakah engkau sudah ambil keputusan untuk bentrok
dengan perkumpulan Hong-im-hwie kami?”
Sebelum pemuda itu sempat menjawab, Tio Sam-koh
telah berteriak kembali dengan suara lantang.
“Budak cilik kalau mereka sampai berhasil masuk ke
dalam gua, lebih baik engkau gorok leher bunuh diri di
depan mulut gua”
Hoa Thian-hong tak perrah menyangka kalau urusan
begitu serius, tetapi setelah teringat bahwa orang yang
memberi perintah adalah angkatan yang lebih tua dari
pada dirinya, ia tak berani menampik.

Dalam pada itu terdengar Co Bun Kui sambil tertawa
telah berkata lagi, “Hoa kongcu, bagaimana
keputusanmu? Mau menyingkirkan dari sini atau
tidak….?”
“Antara aku dengan ketua kalian pernah terjalin
hubungan sahabat, pernah terjadi pula suatu kesalahan
pahaman, mau bentrok atau tidak terserah pada
penilaihan ketua Jin sendiri, bila Bo heng masih teringat
dengan hubungan kita maka aku harap kau tak usah
masuk ke dalam gua ini lagi”
“Perintah atasan tak dapat dibantah, terpaksa aku
harus nenyalahi dirimu….” seru Co Bun Kui kemudian,
goloknya diputar dan segera membacok ke depan.
Saat ini Hoa Thian-hong hanya memakai pakaian
dalam, dadanya sudah dibalut oleh kain, darah yang
merah dan racun yang hitam ditambah keringat yang
kuning menodai seluruh badan, air mukanya pucat
karena kehabisan darah dan kehabisan tenaga,
rambutnya kusut hingga keadaannya nampak
mengenaskan sekali.
Meskipun Co Bun Kui tahu bahwa Hoa Thian-hong
sangat lihay, tetapi setelah menyaksikan keadaannya
yang begitu mengenaskan dan kegagahannya tempo hari
sudah tak terlihat lagi, timbullah perasaan pandang
rendah musuhnya.
Begitu turun tangan, goloknya segera diputar
melancarkan serangan berantai yang bertubi-tubi, hawa

pembunuhan menyelimuti seluruh angkasa, sedang dua
orang rekannya pun segera mengikuti jejak pemimpinnya
dan menyerang pula dengan sepenuh tenaga.
Menyaksikan datangnya serangan yang begitu
dahsyat, diam-diam Hoa Thian-hong merasa amat
terperanjat, buru-buru ia mengeigos ke-samping dan
mundur setengah langkah ke dalam gua, tangan kirinya
diputar melancarkan sebuah serangan dahsyat ke depan.
serangan ini ditujukan ke arah jago yang ada
disebelah kanan, maksudnya adalah untuk melindungi
diri di samping menghalangi musuhnya menerjang masuk
ke dalam gua, tapi sayang tenaga dalamnya sudah lemah
dan serangan Kun-siu-ci-tauw tersebut tak dapat
mewujudkan kehebatan seperti dahulu lagi,
Co Bun Kui yang melihat keadaannya, jadi sangat
girang, dia menerjang maju ke depan goloknya
dipatahkan di tengah jalan dan segera berganti jurus,
secara tiba-tiba ia menyerang kembali ke depan.
“Hati-hati dibelakang, tiba-tiba Jin Hian membentak
keras.
Belum habis ia berkata, Hoa In bagaikan sukma
gentayangan telah menerjang ke depan, tanpa
mengucapkan sepatah katapun sepasang telapaknya
diputar berbareng menyerang Co Bun Kui serta orang
yang berada disebelah kiri itu.
Sejak Hoa Thian-hong menderita luka parah, Hoa In
selalu uring-uringan dan merasa tak senang hati, ketika

melihat Co Bun Kui berniat membinasakan majikan
mudanya, nafsu membunuh dalam hati Hoa In pun ikut
bergelora, serangan yang kemudian dilancarkan bukan
saja cepat bahkan dahsyat sekali, boleh dibilang baru
pertama kali ini dia melancarkan serangan dengan nafsu
membunuh yang amat hebat”
Pada saat yang bersamaan Jin Hian siap memberi
pertolongan, tapi nenek dewa bermata buta sudah
meluncur ke depan sambil membentak gusar, Serahkan
orang ini kepadaku!”
Semua peristiwa itu berlangsung pada saat yang
bersamaan, hanya saja Hoa In bertindak lebih dahulu,
sedang nenek buta berhadang jalan perginya oleh Tio
Sam-koh sekalian, maka ketika ia tiba digelanggang
keadaan sudah terlambat.
Dengan serangan dahsyat yang dilancarkan Hoa In
dalam keadaan gusar bisa dibayangkan sampai
dimanakah kehebatannya, apalagi yang diserang adalah
manusia sebangsa Co Bun Kui sekalian….
Dengusan berat bergema memecahkan kesunyian, Co
Bun Kui serta orang yang ada di sebelah kiri segera
terpukul mental sejauh beberapa tombak dari tempat
semula, ketika jatuh ke tanah mereka tak berkutik lagi.
Pria yang ada disebelah kanan jadi bergidik hatinya
ketika merasa datangnya desiran tajam dari arah
belakang, karena terperanjat gerakan serangan yang
dilancarkan pun agak terlambat. Dengan jitu sekali
pukulan telapak kiri dari Hoa Thian-hong segera

bersarang di atas bahunya membuat ia jatuh terjengkang
di atas tanah.
Menunggu suasana disini telah tenang kembali, nenek
dewa mata buta baru tiba di tempat tujuan, bambu
mustikanya langsung berkelebat memancarkan bayangan
hijau dan langsung mengurung tubuh Hoa In.
“Siau Koan-jin mundur….!” seru Hoa In dengan
gelisah.
Setelah mendesak mundur Hoa Thian-hong ke dalam
gua, pelayan tua itu baru mendorong telapaknya ke
depan mengirim sebuah pukulan dengan ilmu Sau yang
ceng ki.
Blaaam….! ledakan dahsyat bergeletar di angkasa,
ketika bawa pukulan Sau yang ceng ki bentrok dengan
hawa pukulan yang dipan carkan lewat bambu mustika
nenek buta, tubuh Hoa In segera terdorong mundur ke
belakang dengan badan tergoncang keras, sedangkan
nenek buta itu sendiripun terhajar rontok ke atas tanah.
Suasana hening untuk beberapa saat lama nya, tibatiba
nenek buta menengadah ke atas dan tertawa
terbahak-bahak, suaranya melengking bagaikan jeritan
kuntilanak, teriaknya, “Oooh…. hoohooh…. rupanya Sau
yang ceng ki! Kepandaian andalan dari Hoa Goan-siu pun
masih tertinggal di kolong langit….”
“Kalau engkau kenal Sau yang ceng ki, tentu tahu
bukan sampai dimanakah kelihayan dari toa-yamu!”

“Hmmm! Kepandaian silat dari Hoa Goan-siu segera
akan lenyap dari atas permukaan bumi!”
Sambil putar bambu pusaka dari negeri Thian tok-nya,
ia menerjang kembali ke depan.
Hoa In menjengek sinis, sepasang telapaknya berputar
menyongsong kedatangan lawan dalam waktu singkat
suatu pertarungan sengitpun segera berlangsung.
Tio Sam-koh yang melihat rekannya sudah terlibat
dalam pertarungan yang amat sengit, tanpa terasa
semangat tempurnya berkobar, daya tekanan yang
dipancarkan dari toya baja pun berlipat ganda, memaksa
delapan orang pengawal pribadi golok emas yang
mengepung dirinya jadi kacau balau dan terdesak hebat.
Diam-diam Jin Hian meninjau sebentar pertarungan
yang berlangsung didua sektor, mendadak ia membisikan
sesuatu kepada Cu Goan-khek disusul orang she Cu itu
dengan membawa belasan orang segera berjaga-jaga
diluar kepungan terhadap Tio Sam-koh, sementara Jin
Hian sendiri melayang kesisi gua dan dari situ dia
membayangi nenek buta yang sedang bertempur.
Hoa In berdiri gagah di depan gua, sepasang
telapaknya menarik kesana kemari melayani serangan
serangan gencar dari bambu mustika milik nenek buta,
ketika dilihatnya Jin Hian membayangi disana, penjagaan
semakin ketat dan ia sama sekali tak bergeser dari
tempat semula.

Tindakannya membuat mulut gua ini benar-benar
hebat sekali akibatnya, bukan saja nenek buta tak
mampu mendesak mundur dirinya, Jin Hian tak dapat
turut campur bahwa Hoa Thian-hong pun tak mampu
keluar dari gua itu.
Beberapa saat kemudian pertarungan yang
berlangsung dikedua sektor itu berubah makin sengit dan
bahaya. Tio Sam-koh bertambah gusar ketika dilihatnya
ada serombongan musuh membayangi pula dirinya dari
luar kepungan, serangan yang dilancarkan semakin
gencar dan ancaman ancamanpun makin
berbahaya….Hoa Thin Hong yang menonton jalannya
pertarungan itu dari dalam gua, diam-diam merasakan
pula situasi yang makin berbahaya, pikirnya, “Pihak
lawan berjumlah banyak sedang pihak kami hanya ada
dua orang yang mampu melangsungkan pertarungan,
jika pertempuran ini dilanjutkan lebih jauh maka keadaan
tidak menguntungkan pasti akan terjatuh pada pihakku,
jika Hoa In sampai kalah maka Jin Hian pasti akan
menerjang masuk ke dalam gua ini…. bukankah dalam
gua ada jago lihay? Kenapa ia tak mau unjukkan diri
sebaliknya malah takut ada musuh masuk ke dalam gua?
Sungguh aneh….”
Ingin sekali pemuda itu masuk ke dalam gua untuk
melakukan penyelidikan, tapi dia takut Hoa In tak
mampu mempertahankan diri, untuk beberapa saat
lamanya ia jadi bingung dan tak tahu apa yang musti
dilakukan olehnya….
Hoa In adalah seorang jago kawakan yang banyak
pengalaman, ia tahu situasi tidak menguntungkan bagi

pihaknya, setelah berpikir sebentar ujarnya dengan nada
serius, “Siau Koan-jin, masuklah ke dalam dan lihatlah
keadaan dalam gua itu, tapi kau harus berhati-hati dan
jangan terlalu memaksa diri”
Hoa Thian-hong termenung dan berpikir sebentar, ia
merasa bahwa pertarungan ini jelas tidak
menguntungkan bagi pihaknya, kalau tidak melihat lihat
dalam gua memang tiada jalan lain, maka ia segera
ambil keputusan dan putar badan masuk ke dalam gua.
Suasana dalam gua itu gelap sekali, Hoa Thian-hong
yang sedang bingung sama sekali tidak berniat
memikirkan persoalan ini, dengan mata melotot besar ia
masuk kedalam.
Beberapa saat kemudian ia merasa suasana gelap
menyelimuti tempat itu bertambah tebal sehingga lima
jari sendiripun tak dapat dilihat, bahkan secara lapatlapat
hidungnya mencium bau belerang dan gas yang
amat menusuk penciuman.
Pada saat itulah, mendadak dari dalam ruangan gua
berkumandang datang suara pembicaraan dari seorang
perempuan.
“Seng ji, majulah empat lima langkah lagi kemudian
loncatlah ke depan, tapi kau harus melompat sejauh dua
tombak….”
Seng ji adalah nama kecil Hoa Thian-hong, hanya
ibunya yang manggil dia dengan sebutan tersebut, maka
setelah mendengar panggilan itu dia berdiri tertegun,

saat itulah bau gas yang tebal menyerang ke dalam
hidung membuat dadanya sesak dan hampir saja ia jatuh
tak sadarkan diri.
Buru-buru ia tutup semua pernapasan dan
menenangkan hatinya lalu maju lima langkah ke depan,
ia merasa jalan yang dilalui semakin menjorok ke bawah,
maka sambil menutup mulut luka didadanya dengan
tangan ia melompat ke arah depan.
Menanti ia menginjak kembali di atas permukaan
tanah, terasa olehnya suasana di tempat itu meskipin
masih gelap tapi jauh lebih terang dari keadaan semula,
menanti ia menengok ke belakang maka tampaklah
segumpal asap hitam mengepul dari atas tanah dan
membubung kelangit langit gua, suara pertarungan diluar
gua masih kedengaran jelas, pemuda itu pusatkan semua
perhatian-nya dan meneruskan perjalanan ke depan.
Kurang lebih dua puluh tombak kemudian, terlihatlah
seseorang sedang duduk bersila disebelah depan.
Ia berdiri terbelalak dengan mulut melongo sekuat
tenaga ia berusaha memandang kedalam, tapi karena
suasana yang gelap maka tak ada yang terlihat olehnya.
Sesaat kemudian ia maju kembali ke depan tegurnya,
“Siapakah engkau? Apakah engkau masih duduk
bersemedi?”
Orang itu tetap duduk bersila di atas tanah tanpa
bergerak barang sedikit pun, juga tidak menjawab
pertanyaannya.

Hoa Thian-hong berjalan maju makin ke depan, tibatiba
dia merasa potongan badan orang itu seperti dikenal
olehnya, ketika diperhatikan lebih seksama mendadak
hatinya bergetar keras dan hampir saja jatuhnya terlepas
dari tempatnya.
“Siapakah Kau? Apakah ibu?”
Orang itu tetap duduk tak berkutik, di tempat semula,
mulutnya tetap membungkam dan keadaannya tidak
jauh berbeda dengan patung arca.
Pemuda itu membelalakkan matanya dan
memperhatikan orang itu dengan lebih seksama lagi, ia
melihat orang itu mempunyai rambut yang panjang dan
digulung menjadi sanggul, mukanya persegi dan raut
wajahnya mirip sekali dengan muka ibunya.
Tiba-tiba perempuan itu membuka matanya dan
memandang ke arah pemuda itu dengan mata melotot,
kemudian berkata, “Aku adalah ibumu, aku tak bisa
banyak bicara dan jangan ribut!”
Hoa Thian-hong seketika merasakan darah panah
dalam dadanya bergolak keras, dengan gelagapan ia
berseru.
“Ibu, apa yang sedang kan lakukan? Sedang melatih
ilmu? Kenapa suaramu berubah….?”
Kiranya perempuan ini adalah ibu kandung Hoa Thianhong,
isteri dari Hoa Goan-siu yang tersohor sebagai Hoa

Hujien, sekarang ia sedang duduk bersila di atas tanah
dengan tubuh sama sekali tak berkutik, Setelah
membuka matanya tadi sekarang ia meram kembali.
Jilid 26. Hek sat Ciang sang Maharani
HOA THIAN-HONG jadi keheranan dan tak habis
mengerti, setelah berdiri tertegun beberapa saat lamanya
ia lantas meraba tubuh ibunya, terasa badan ibunya
panas menyengat badan membuat rabaannya terpental
kembali.
Ia jadi terkejut bercampur girang, guman-nya seorang
diri, “Tenaga dalam yang dimiliki ibu telah pulih kembali,
apakah luka dalam yang ia derita telah sembuh?”
Buru-buru dari sakunya dia ambil keluar sebuah kotak
kumala, selelah membuka kotak kumala itu lantas
diangsurkan kehadapan ibunya sambil berkata.
“Ibu, aku mempunyai sebatang Leng-ci berusia seribu
tahun, cepatlah kau makan!”
Hoa Hujien membuka matanya kembali, dari bau
harum yang tersiar keluar dari dalam kotak tersebut
membuktikan bahwa benda itu adalah Leng-ci yang
sangat berharga, buru-buru serunya kembali, “Aku tidak
mau, aku dengar engkau terkena racun teratai!”
“Teratai racun empedu api telah kutelan, tapi
keadaanku sudah tidak menguatirkan lagi!”

Tiba-tiba dari luar ruangan secara lapat-lapat
berkumandang datang suara bentakan nyaring diikuti
keadaan jadi sunyi dan hening.
Dalam hati Hoa Thian-hong segera berpikir, “Ibuku
pasti sedang melatih sejenak ilmu silat yang sangat aneh
dan pada saat ini tak boleh mendapat gangguan, kalau
latihannya dihentikan di tengah jalan niscaya usahanya
selama ini akan menemui kegagalan total, bahkan
jiwanya akan terancam bahaya, oleh karena itulah Tio
Sam-koh segera berjaga-jaga di depan gua dan
mencegah pihak musuh masuk kedalam”
Berpikir sampai disini, hatinya jadi kuatir dan tidak
tenang. Setelah meletakkan kotak kumala itu di atas
tanah ujarnya, “Diluar gua masih ada musuh tangguh,
aku akan keluar dan menengok keadaan disitu”
Selesai berkata buru-buru ia berlalu dari sana.
Dia merasakan hawa murni di tubuhnya bergolak
kencang dan ingin sekali mengerahkan tangan serta
kakinya, setelah tiba di depan kabut hitam ia meloncat ke
depan dan berjalan keluar dengan langkah lebar.
Menanti ia tiba diluar gua maka terlihatlah Hoa In
serta nenek buta sedang duduk bersila saling
berhadapan, sepasang telapak kanan mereka saling
menempel satu sama lainnya, rupanya dengan andalkan
tenaga dalam hasil latihan selama puluhan tahun mereka
sedang melangsungkan pertarungan adu tenaga yang
menentukan mati hidup mereka.

Keadaan dipihak lain jauh lebih mengerikan lagi, para
jago perkumpulan Hong-im-hwie mulai dari Cu Goankhek
ke bawah telah maju mengerubut Tio Sam toh
seorang, ancaman-ancaman maut saling dilancarkan
dengan harapan bisa merobohkan musuhnya secepat
mungkin.
Ilmu silat yang dimiliki kelima orang jago lihay itu
semuanya berada di atas kepandaian Seng Sam Hau
serta Siang Kiat, Tio Sam-koh yang harus bertarung
melawan nenek buta lebih dahulu kemudian harus
menghadapi delapan orang pengawal pribadi golok emas,
saat ini tenaga dalamnya sudah hilang separuh bagian,
dalam keadaan begini harus bertarung lagi melawan lima
orang jago lihay, tentu saja keadaannya payah sekali.
Terlihatlah serangan yang dilancarkan sudah mulai
mengendor dan posisinya terdesak hebat, dalam keadaan
begini jika dia ingin menerjang dari kepungan dan kabur
dari situ mungkin masih bisa dilakukan, tetapi nenek tua
itu tentu saja tidak mau berbuat begitu, ia melakukan
perlawanan dengan gigihnya kendatipun jiwanya kian
lama kian terancam.
Sementara itu Jin Hian dengan memmipin delapan
orang pengawal pribadi golok emas sedang melewati
nenek buta serta Hoa In sedang beradu tenaga dalam
dan siap menerjang masuk ke dalam gua.
Pada saat itulah tiba-tiba mereka saksikan Hoa Thianhong
muncul kembali dari dalam gua, hal ini membuat
orang-orang itu segera menghentikan langkahnya.

Setelah mengetahui situasi yang terbentang di depan
mata, Hoa Thian-hong merasakan darah panas dalam
dadanya bergolak keras, hampir saja dari sepasang
matanya memancarkan sinar berapi-api, tiba-tiba ia
melihat pedang bajanya yang tersoren di pinggang Hoa
In, sambil mencabut keluar bentaknya dengan gusar.
“Tahan!”
Dalam pada itu pertarungan tenaga dalam antara
nenek buta dengan Hoa In sedang mencapai puncak
ketegangan, tak mungkin mereka sudahi pertarungan
tersebut sampai disitu saja, sedangkan Cu Goan-khek
sekalian yang mengururg Tio Sam-koh sudah merasakan
bahwa kemenangan hampir berhasil diraih oleh mereka,
seorang musuh besar mereka yang amat tangguh sudah
hampir berhasil dilenyapkan, tentu saja tak seorangpun
yang sudi menuruti perkataan Hoa Thian-hong
kendatipun suara bentakannya dapat didengar dengan
jelas, bukan saja tidak menggubris bahkan serangannya
dilancarkan semakin gencar.
Hoa Thian-hong semakin naik pitam, tiba-tiba
bentaknya keras.
“Jin Hian! apakah engkau sudah tak ingin membalas
dendam bagi kematian puteramu lagi?”
Mendengar seman itu Jin Hian tertegun, setelah
merandek sejenak akhirnya ia membentak, “Tahan!”
Meskipun bentakan itu tiada yang aneh namun Cu
Goan-khek sekalian tak bisa tidak terpaksa harus

menuruti, dengan cepat serangan ditarik kembali dan
meloncat mundur ke belakang.
Tio Sam-koh sendiri, walaupun dia gagah dan
pemberani tetapi setelah bertarung sampai keadaan
begitu segenap tenaganya boleh dibilang terkuras habis.
Keadaan pada saat itu payah sekali, semua orang
sudah merasakan kehabisan tenaga dan lelah sekali,
napas terasa tersengal-sengal sedang keringat telah
membasahi sesuruh tubuhnya, begitu pertarungan
berhenti masing-masing orang segera mengatur
pernapasan dan beristirahat.
Lain halnya dengan nenek buta serta Hoa In yang
sedang beradu tenaga, dalam keadaan begitu kedua
belah pihak tak dapat menyudahi pertarungan tersebut,
mereka masih tetap menyalurkan hawa murninya untuk
berusaha merobohkan lawannya.
Hoa Thian-hong merasa amat gelisah, pikirnya, “Ibuku
tak boleh dapat gangguan macam apapun juga,
dipihakku hanya ada dua orang jago yang bisa bertarung
sedang pertarungan beradu tenaga paling merugikan
kekuatan tubuh, jika Hoa In sampai terluka bukankah
keadaanku semakin terjepit?”
Ketika dilihatnya Jin Hian maju menghampiri dirinya,
dengan cepat ia membentak keras, “Cong Tang-kee,
harap berhenti!”
“Ada apa?” tanya Jin Hian sambil berhenti,”apakah
Loote takut aku membokong Hoa In?”

Hoa Thian-hong tertawa dingin.
“Cong Tang-kee kau seorang ketua dari suatu
perkumpulan besar, tentu saja aku tak berani menaruh
banyak curiga,” jawabnya.
Jin Hian tertawa hambar, pikirnya di dalam hati.
“Tenaga Sau yang ceng ki yang dimiliki tua bangka ini
sudah berhasil mencapai tujuh bagian kesempurnaan,
jika pertarungan dilanjutkan maka nenek dewa tentu
akan menderita kalah….”
Berpikir demikian sambil tersenyum ia la tas berkata,
“Seandainya aku hendak mencelakai Hoa In, sejak tadi
kesempatan baik sudah kudapatkan, Loo te tak usah
kuatir…. aku tak mungkin mencelakai dirimu, sekarang
lebih baik kita pisahkan dahulu mereka berdua”
Sambil berkata ia melangkah maju kembali ke depan.
“Lain dulu lain sekarang, siapa yang tak tahu apa yang
sedang kau pikirkan di dalam hati?” pikir Hoa Thian-hong
di dalam hati.
Pedang bajanya segera diayun kemuka dan
ditempelkan di atas batok kepala nenek buta,
ancamannya dengan suara dingin, “Cong Tang-kee,
kalau engkau berani maju selangkah lagi, maka
pedangku ini segera akan kubacok ke bawah!”

Jin Hian kaget dan segera menghentikan langkahnya,
dengan alis berkerut dia menegur.
“Hoa loo te, tadi engkau suruh semua orang
menghentikan pertarungan, sebenarnya apa
maksudmu?”
“Hmmm! tentu saja aku ada persoalan penting yang
hendak disampaikan kepada kalian, cuma cara
perkumpulan kalian melakukan pertarungan secara
mengerubut benar-benar merupakan suatu tindakan
yang terkutuk”
“Jamannya bertanding ilmu dan satu lawan satu sudah
lewat, sekarang sudah tidak ada lagi cara semacam itu,”
sahut Jin Hian tetap tenang.
Setelah berhenti sebentar, ia melirik sekejap ke arah
nenek buta serta Hoa In yang sedang beradu tenaga
kemudian melanjutkan, “Menurut Hoa loo te, apakah
kedua orang itu harus bertarung sampai salah seorang di
antaranya menderita kalah?”
“Aku tak mampu memisahkan mereka, apa kata Cong
Tang-kee mempunyai cara untuk memisahkan kedua
orang itu?”
Jin Hian segera terbungkam, tenaga dalam yang
dimiliki kedua orang ini jauh berada diatasnya, jika dia
harus memisahkan mereka berdua secara adil dan tidak
berat sebelah tentu saja hal itu tidak mungkin bisa ia
lakukan.

Tiba-tiba Tio Sam-koh sambil memegang toya bajanya
maju mendekat, dengan alis berkerut Jin Hian segera
menegur, “Bagaimanakah? Apakah Tio Lo thay
mempunyai kemampuan untuk memisahkan mereka
berdua?”
“Sekalipun aku si nenek tua tidak mempunyai
kemampuan tersebut, rasanya hal ini pun bukan
merupakan suatu kejadian yang memalukan”
Jin Hian segera menghadang di tengah jalan.
“Kalau memang engkau tak punya kemampuan itu,
harap Tio Lo-thay hentikan langkahmu disana saja, untuk
sementara waktu engkau tak usah mendekat kemari!”
“Hmmm! aku si nenek tua manusia macam apa? Masa
aku bisa kau bandingkan dengan manusia sebangsa
kalian yang semuanya tak tahu malu?”
Meskipun berkata begitu, tapi ia hentikan juga
langkahnya.
Pertarungan antara nenek buta dengan Hoa In telah
mencapai pada puncaknya, keringat telah membasahi
seluruh tubuh mereka, rambutnya pada berdiri bagaikan
landak sedang otot hijau di atas wajahnya pada menonjol
keluar, asap putih mengepul keluar dari atas ubun- ubun,
agaknya pertarungan ini sudah mencapai pada
puncaknya yang menentukan mati hidup mereka berdua.

Dalam pertarungan adu tenaga ini siapapun tak bisa
mencuri dengan gunakan kelicikan, apabila salah seorang
menderita kalah maka keadaannya pasti akan runyam.
Dihari hari biasa Hoa Thian-hong selalu mengumbar
menurut kemauannya sendiri dan jarang sekali menuruti
perkataan Hoa In, na mun dalam hati kecilnya ia amat
menyayangi dan menghormati pelayan tuanya ini, ia
merasa tak tega membiarkan pelayan tuanya itu
menderita karena pertarungan adu tenaga yang
melelahkan itu.
Makin dipikir Hoa Thian-hong merasa hatinya semakin
murung, dalam gugupnya tak tahan lagi ia berseru,
“Cong Tang-kee, apa salahnya kalau engkau serta Tio lo
thay bekerja sama Untuk melerai mereka berdua, kalau
tidak maka jiwa nenek dewa pasti akan terancam mara
bahaya!”
Jin Hian berpikir sebentar, lalu menjawab, “Tentang
soal ini, hmm! tak ada salahnya….”
Pada saat itulah tiba-tiba dari tempat kejauhan muncul
tiga sosok bayangan manusia, gerak tubuh ketiga orang
itu cepat sekali dan di dalam sekejap mata sudah
menyeberangi jembatan batu itu.
Hoa Thiau Hong segera berpaling, ia temukan salah
seorang diantara ketiga orang pendatang itu ternyata
bukan lain adalah Pek Siau-thian, kedua dari
perkumpulan Sin-kie-pang.

Dalam waktu singkat ketiga orang itu sudah tiba
dihadapan mereka, Pek Siau-thian menyapu sekejap
sekeliling tempat itu, sete lah memberi hormat kepada
Jin Hian, ia berpaling ke arah Hoa Thian-hong dan
bertanya, “Putri sulungku telah tiba di wilayah Kanglam,
tapi sampai sekarang jejaknya tidak terang, apakah Hoa
Loo-tee tahu kemana perginya?”
“Putri kesayanganmu sudah ditangkap oleh Thian Ikcu,
pagi tadi masih disekap di dalam kuil It-goan-koan
tempat kediaman tosu tua itu”
Air muka Pek Siau-thian berubah bebat, sesudah
tertegun sebentar sahutnya, “Terima kasih atas
petunjukmu!” Kepada rekannya ia membentak, “Ayoh
berangkat!”
Dalam sekejap mata ketiga orang itu sudah
menerobos lewat jembatan batu dan lenyap di tempat
kejauhan.
Kedatangan ketiga orang itu cepat sekali pergipun
cepat pula, tiba-tiba sikap Jin Hian berubah hebat, sorot
matanya segera dialihkan ke arah mulut gua.
Dari tingkah lakunyva itu Hoa Thian-hong tahu bahwa
ia sudah mempunyai niat jahat, buru-buru sambil
menyilangkan pedang bajanya ia membentak, “Jien
Tang-kee, jangan bertindak gegabah!”
Rupanya Tio Sam-koh pun mengetahui bahwa Jin Hian
ada maksud mencelakai Hoa In serta menolong nenek
buta, dalam kejut dan gusarnya ia segera membentak

keras, toyanya langsung diputar dan menghantam
punggungnya.
Jaraknya antara dia dengan Jin Hian tidak begitu jauh,
sedang panjang toya mencapai tujuh depa, dalam sekali
ayunan ujung senjata tersebut sudah mengancam
punggung orang she Jin itu.
Dari desiran angin tajam yang mengancam tubuhnya,
Jin Hian sadar bahwa serangan ini bukan kepalang
lihaynya, terpaksa ia putar badan menghindarkan diri
dari babatan toya tersebut, kemudian sambil putar
telapak balas melancarkan sebuah serangan.
Mendadak…. dari dalam goa berkumandang keluar
suara seruan dari Hoa Hujien.
“Seng ji, secepatnya membacok nenek buta sampai
mati!”
Mendengar perintah itu Hoa Thian-hong tertegun, ia
rasa tindakan tersebut melanggar azas kependekaran,
tetapi diapun merasa bahwa ibunya bisa memberi
perintah demikian oleh alasan-alasan tertentu, maka
tanpa berpikir panjang pedangnya diputar dan disertai
desiran angin tajam langsung dibacokkan di atas batok
kepala nenek buta.
Ketiga orang itu sama-sama menggerakkan tubuhnya
pada saat yang hampir bersamaan, baru saja sekalian Cu
Goan-khek merasa terkejut, pedang baja Hoa Thian-hong
laksana kilat telah membacok ke atas kepala nenek buta
tersebut.

Tetapi pada saat itu juga, nenek buta telah
mengerahkan segenap kekuatan tubuhnya untuk
menggetarkan telapak Hoa In, sedang tubuhnya dengan
meminjam kesempatan itu pun segera mencelat mundur
ke arah belakang.
Bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya,
nenek buta itu mencepat sejauh tiga tombak dari tempat
semula, kemudian menutul sepasang kakinya di atas
tanah dan badannya berputar kembali beberapa
lingkaran di angkasa, darah tak bisa dibendung lagi dan
muntah dari mulutnya membentuk garis lingkaran di atas
tanah.
Perubahan ini terjadi sangat mendadak sekali
membuat semua orang berdiri tertegun, Jin Hian
bagaimanapun merupakan seorang ketua suatu
perkumpulan yang tangguh, melihat kejadian itu ia
segera tinggalkan Tio Sam-koh dan dengan cepat
menyongsong tubuh nenek buta serta memayang badannya
sehingga tidak sampai roboh ke atas tanah.
Saat ini isi perut nenek buta sudah terluka parah,
kepalanya terkulai dan mukanya pucat pias bagaikan
mayat, tapi pikirannya masih sadar sebali, tangannya
segera memberi tanda kepada Jin Hian agar mereka
segera tinggalkan tempat itu.
Ketua dari perkumpulan Hong Im hwee ini dengan
cepat ulapkan tangannya, Cu Goan-khek sekalian
memburu maju ke depan, satu dikiri yang lain dikanan

dengan cepat melayang tubuh nenek buta dan segera
tinggalkan tempat kejadian.
Dalam Waktu singkat, Semua jago dari perkumpulan
Hong-im-hwie telah berlalu semua dari sana, bahkan
mayat dari salah seorang pengawal pribadi golok emas
yang terkapar ditanahpun mereka bawa kabur.
Sang surya condong disebelah barat, senja pun
menjelang tiba…. ketika Hoa Thian-hong berpaling
sekeliling tempat itu ia temukan bukit yang terjal
bersusun menjulang ke angkasa, sekarang dia baru sadar
bahwa mereka berada dibalik lingkaran bukit.
Beberapa waktu kemudian ia menggeleng dan berbisik
kepada Hoa In yang masih duduk bersila di atas tanah.
“Ibu ada disini!”
Setelah itu dia lari masuk ke dalam gua.
Setibanya disisi Hoa Hujien, ia ikut duduk bersila di
sampingnya sambil berkala dangan jengah, “Ibu, nenek
buta itu berhasil kabur….
Hoa Hujien tetap membungkam, beberapa-waktu
kemudian dia baru buka matanya dan tarik napas tiga
kali, setelah itu berkata, “Perempuan tua itu gemar sekali
membunuh manusia dia harus secepatnya dilenyapkan
dari permukaan bumi, karena pertama dia adalah salah
seorang musuh besar pembunuh ayahmu, kedua bulan
tujuh tanggal lima belas sebentar lagi akan tiba, musuh
berkekuatan besar sedang kekuatan dipihak kita lemah

sekali, daripada lebih banyak se orang toh lebih baik kita
kurangi seorang musuh yang harus dihadapi. Memang
benar tindakanmu membokong dikala orang sedang tidak
siap merupakan perbuatan yang kurang cemerlang, tapi
justru karena perbuatan mu itulah jiwa seorang pendekar
dari kalangan lurus berhasil kau selamatkan, sekalipun
tidak cemerlang toh tindakanmu bukan tindakan yang
terkutuk. Lain kali kalau bekerja engkau harus tegas dan
cepat ambil tindakan, sebagai seorang lelaki sejati jangan
sangsi berpikir dan ambil keputusan, karena sedikit
lambat saja keadaan akan segera berubah”
Dengan wajahb merah padam karena jengah, Hoa
Thian-hong mengangguk tiada hentinya, ia berkata,
“Luka dalam yang ia derita tidak ringan, mungkin bulan
tujuh tanggal lima belas nanti dia masih belum mampu
untuk turun tangan”
“Bagaimana dengan keadaan lukämu sendiri? tempo
hari aku dengar tindak tandukmu masih rada mendingan,
kenapa sekarang jadi begitu tak becus….?”
“Luka didadaku adalah hadiah dari seorang toojin
perkumpulan Thong-thian-kauw, sebenarnya tidak
mengapa tapi terhubung setiap tengah hari racun teratai
dalam tubuhku pasti kambuh maka mulut luka ini
mungkin sukar untuk merapat kembali”
Setelah berhenti sebentar, sambil tertawa
sambungnya kembali.
“Dua hari belakangan ini aku selalu tertimpa sial dan
malang terus menerus, setelah ananda pikir…. andaikata

keadaan berlangsung begitu terus maka lama kelamaan
titik kelemahanku bakal ketahuan semua”
“Yang dibutuhkan seorang lelaki sejati adalah
keselamatan jiwa, sekalipun kepandaian tak becus asal
tidak kehilangan jiwa jantan nya itu sudah lebih dari
cukup”
“Perkataan ibu memang benar, anandapun sudah
menemukan banyak penyakit pada diriku”
Hoa Hujien mengangguk, sambil melirik sekejap ke
arah kotak kumala yang berada di atas tanah, ujarnya
kembali, “Aku mengetahui dengan jelas sifat-sifat dari
racun teratai tersebut, sebenarnya racun itu tak dapat
diobati dengan obat mujarab apa pun, tapi lain halnya
dengan Leng-ci berusia seribu tahun ini, aku rasa lebih
baik cepatlah kau makan obat mujarab itu!”
“Apakah luka dalam yang ibu derita sudah sembuh?”
“Aku sama sekali tidak membutuhkan Leng-ci berusia
seribu tahun ini”
“Luka dalam yang ibu derita belum tentu sudah
sembuh seratus persen,” pikir Hoa Thian-hong di dalam
hati, “apalagi obat mujarab ini sudah didapat, lebih baik
aku simpan saja lebih dahulu”
Berpikir demikian, iapun berkata, “Leng-ci berusia
seribu tahun adalah obat yang bisa membangkitkan
kembali mereka yang hampir mati, sekarang ananda be
lum terancam jiwanya, untuk sementata lebih baik

disimpan dulu, siapa tahu dalam pertarungan yang
menentukan antara mati dan hidup, ada orang-orang kita
yang terluka parah dan membutuhkan benda ini untuk
menyelamatkan jiwanya”
Perkataan ini benar dan menitik besarkan kepentingan
umum, Hoa Hujien sebagai seorang pendekar wanita
tentu saja tak dapat memaksa lebih jauh, sekalipun
dalam hati kecilnya ia merasa sedih.
Suasana hening untuK beberapa saat lamanya, tibatiba
Hoa Hujien berkata kembali, “Sam-koh bilang
engkau cabul dan romantis sekali, engkau suka
mengganggu dan menggaet perempuan orang lain,
benarkah perkataan ini?”
Merah jengah selembar wajah Hoa Thian-hong, sambil
tertawa dia bertanya, “Yang disebut Sam-koh apakah Tio
Lothay?”
“Aku menghormati dia sebagai seorang angkatan yang
lebih tua, engkau harus panggil Sam poo (nenek ketiga)
kepadanya”
Hoa Thian-hong mengangguk, lalu menggeleng pula,
ujarnya, “Ananda tidak pernah menggaet atau
mempermainkan perempuan, Sam poo yang sengaja
mempermainkan diriku”
“Hmmm! tiada angin tak akan ada ombak berapa
banyak perempuan yang kau kenali selama ini?”

“Chin Wan-hong, Pek Kun-gie, Giok Teng Hujin, Pek
Soh-gie, Biau-nia Sam-sian serta….”
Ketajaman Hoa Hujien melebihi puteranya, kalau
pemuda itu tak dapat melihat jelas wajah ibunya maka
Hoa Hujien dapat melihat jelas gerak bibirnya itu.
Dengan alis berkerut ia segera menegur, “Engkau
turun gunung belum lama, kenapa jumlah perempuan
yang kau kenal begitu banyak sehingga tak terhitung?”
Hoa Thian-hong tertegun, dengan kikuk sahutnya, “Di
wilayah Biau terdapat seorang jago yang bernama Kiu
toksian-cui, dia mempunyai tiga belas orang murid dan
ananda kenal semua….”
“Apa-apaan kau ini?” seru Hoa Hujien ambil geleng
kepala, sekarang mumpung aku masih dapat bercakapcakap,
coba kau katakanlah pengalamanmu selama dua
tahun belakangan ini….”
Hoa Thian-hong mengangguk, tiba-tiba ia lihat
sepasang telapak ibunya menekan terus di atas tanahnya
dan tak pernah diangkat kembali, hal ini membuat
hatinya tercengang dan tidak habis mengerti, tanyanya,
“Ibu,kenapa sepasang telapakmu menekan terus di atas
tanah? Apakah engkau sedang melatih suatu ilmu?”
“Di atas tanah terdapat sebuah lobang dan lubang itu
menembus sampai dasar tanah, dari dalam bumi
mengumpul keluar asap beracun yang amat dahsyat, asal
telapak ku diangkat maka gua ini segera akan tertutup
oleh hawa racun!”

“Kepandaian apa sih yang sedang ibu latih?” tanya
Hoa Thian-hong keheranan.
“Aku sedang melatih sejenis ilmu yang bernama Hek
sat ciang, pada saat ini aku harus menggunakan
kekuatan telapakku untuk menyumbat lubang gua agar
hawa racun dari dasar tanah tak dapat mengepul keluar,
di samping itu beberapa jam kemudian akupun harus
mengerahkan tenaga dalam untuk memaksa hawa racun
tersebut memancar keluar lewat lubang gua yang ada
disebelah depan sana.
“Berapa lama yang dibutuhkan untuk melatih
kepandaian ini? Masa ibu harus duduk terus dan
selamanya tak boleh bangkit berdiri?”
“Bangun sih tak bisa, tetapi dengan telapak
sebelahpun aku masih bisa berlatih ilmu
“Bagaimana dengan makan dan minum? Berapa lama
ibu harus berlatih lagi disini?”
“Makan minumku disiapkan oleh Tio Sam-koh
sehingga di tempat ini aku tak perlu kuatir kelaparan
ataupun kehausan, paling sedikit aku harus berlatih
empat lima hari lagi baru bisa dianggap kepandaianku
berhasil”
“Ibu sudah hampir setengah tahun lamanya turun
gunung apakah selama ini engkau berlatih ilmu terus di
tempat ini?”

Hoa Hujien tersenyum.
“Boleh dibilang begitulah”
Setelah berhenti sebentar, sambil tertawa tambahnya,
“Nah, sekarang engkau boleh berbicara!”
Pengalaman yang didapat Hoa Thian-hong selama dua
tahun ini boleh dibilang rumit sekali, dari seorang
pemuda yang sama sekali tak berpengalaman berubah
jadi seorang jago lihay yang menjadi incaran orang
banyak, seluruh pengalamannya tak dapat diucapkan
hanya sepatah dua patah kata belaka, tanpa terasa ia
menghela napas panjang.
Dari gua yang sunyipun segera terdengar suara
pembicaraannya seorang, sejak bertarung dengan Kok
See-piauw di kota Keng ciu sampai mendapat
penghinaan dari Pek Kun-gie, belajar silat dari kakek
telaga dingin, menerima Tiong-sisam hau, mencuri
teratai di perkampungan Liok Soat Sanceng,
menyaksikan pembunuhan atas diri Jin Bong, menelan
racun ditepi sungai Huang-ho, mendapat pertolongan di
tebing Biau-nia, lari racun di kota Cha ciu, sampai terlibat
dalam pertikaian tiga besar dan Pek Siau-thian mengajukan
pinangan….
Semua pengalamannya diutarakan dengan cermat dan
tak ada yang ketinggalan termasuK pula pengalamannya
di kuil It-goan-koan serta hadiah Leng-ci berusia seribu
tahun dari Giok Teng Hujin.

Menanti ia menyelesaikan ceritanya, entah berapa
lama sudah dihabiskan tanpa terasa.
Tiba-tiba terdengar Tio Sam-koh menimbrung dari
samping, “Oooh….! Kiranya dayang itu adalah puterinya
pedang sakti yang menggetarkan daratan Tionggoan,
Siang Tang Lay, kalau begitu tujuannya menyusup ke
tubuh perkumpulan Thong-thian-kauw adalah ingin
membalaskan bagi ayahnya”
“Sam poo, sejak kapan kau masuk kedalam? Kenapa
aku sama sekali tidak merasa?” seru Hoa Thian-hong
tercengang.
Diam-diam Tio Sam-koh menyeka air mata yang
membasahi pipinya, kemudian menjawab, “Budak sialan,
sebenarnya hubunganmu dengan yang mana yang boleh
dibilang paling akrab?”
“Hubungan apa?”
“Kurang ajar! engkau tak usah berlagak pilon!” bentak
Tio Sam-koh dengan gusar.
“Apakah engkau ada maksud mempunyai tiga orang
bini empat orang selir?”
Tiba-tiba Hoa Hujien menghela napas panjang.
“Aaaai…. nona she Siang itu adalah seorang gadis
yang berwatak terbuka, sedang Seng ji sama sekali tidak
mengindahkan adat istiadat, setelah ia mendapat budi

dari orang, rasanya persoalan ini sulit untuk
diselesaikan….” katanya.
000000000
36
IBU, harap perkataanmu itu dijelaskan lebih jauh,
ananda kurang begitu mengerti,” kata Hoa Thian-hong.
“Engkau bukannya tidak mengerti, hanya jalan
pikiranmu keliru. Bukankah menurut pandanganmu nona
Siang adalah seorang gadis yang liar dan cinta kasihnya
belum tentu bersungguh-sungguh hati?”
Hoa Thian-hong mengangguk.
“Ananda lihat orang itu tidak serius dan bukan tipe
orang yang akan sengsara oleh putus cinta, maka
akupun malas untuk menguatirkan persoalan tersebut”
“Padahal bukan begitu kenyataannya, justeru karena
nona ini pandai membawa diri maka hal ini menunjukkah
bahwa sebenarnya cinta kasihnya adalah bersungguhsungguh
dan sangat berkobar dalam hatinya”
Tertegun hati Hoa Thian-hong mendengar ucapan itu,
gumamnya, “Waaah….! Kalau memang begitu, dugaanku
sama sekali meleset….”
Setelah berhenti sebentar, ia menambahkan, “Thian
Ik-cu pernah mengatakan bahwa anda bukan seorang

manusia yang terlalu mengingat akan dendam, apakah
akupun tidak terlalu mengingat tentang cinta?”
Hoa Hujien tersenyum, “Bukan…. bukan begitu
artinya, Buddha pernah nasehati umat manusia untuk
berbuat kebaikan dan welas asih terhadap orang lain, itu
artinya janganlah terlalu mengingat tentang soal
dendam. Tetapi toh tak ada orang yang menganjurkan
orang untuk lupa budi dan tidak mengingat tentang
cinta….
“Telur busuk cilik!” terdengar Tio Sam-koh berseru,
“kalau ingin membenci maka rasa bencinya harus
meresap sampai dihati, dengan begitu dendam sakit hati
baru dapat dibalas, kalau mau, maka harus cinta yang
sungguh-sungguh dan tulus hati, dengan begitu cinta itu
baru akan terwujud menjadi kebahagiaan, Chin Wanhong
adalah seorang nona baik yang tak ada cacadnya
lagi, diantara kedua orang ini sebenarnya kau hendak
memilih yang mana?”
Hoa Thian-hong tertawa getir, sahutnya, “Ibu,
seandainya engkau akan mencarikan bini untukku, maka
yang mana akan kau pilih?”
“Kedua duanya tak akan kupilih!” jawab Hoa Hujien
setelah termenung sebentar.
Mendengar jawaban tersebut, Hoa Thian-hong jadi
amat terperanjat dan buru-buru berseru, “Hong ji pernah
melepaskan budi pertolongan kepada ananda, dia jujur
sekali….”

Mendadak pemuda itu merasa ia telah salah bicara,
dengan muka merah jengah karena malu, buru-buru ia
tutup mulut kembali.
“Haaah…. haaa…. haaa…. bagus, bagus sekali!” seru
Tio Sam-koh sambil tertawa tergelak, akhirnya monyet
cilik mengaku juga rupanya kau lebih suka terhadap
Hong ji!”
Hoa Thian-hong tertawa kikuk.
“Aku…. aku cuma merasa bahwa seorang manusia
sudah sepantasnya kalau menyukai orang yang
dikenalnya paling dulu”
“Benar!” seru Tio Sam-koh kembali sambil bertepuk
tangan, “siapa datang lebih dahulu dia adalah raja, siapa
datang belakangan dia adalah patih. Menyukai yang baru
bosan terhadap yang lama adalah penyakit paling parah
bagi umat manusia”
Tiba-tiba dari luar gua berkumandang datang suara
seruan dari Hoa In, “Lapor Cu bo, makanan dan
minuman sudah disiapkan, apakah Siau Koan-jin sudah
lapar?”
“Aaai….! Selama ini engkau tentu sudah cukup
sengsara, mulai hari ini urusan tetek bengek tak usah
kau urusi lagi!”
Tidak menanti perintah dari ibunya, Hoa Thian-hong
telah lari keluar dari gua, kemudian sambil membawa

sekeranjang makanan dan minuman serta sebungkus
pakaian dia muncul kembali didalam.
“Hoa In!” kembali Hoa Hujien berkata, “engkau jangan
terlalu jauh tinggalkan mulut gua, tempat ini sudah
diketahui musuh dan mungkin kesulitan lain akan segera
menyusul datang”
“Hamba mengerti!”
Hoa Thian-hong menyiapkan makanan di atas tanah,
kemudian ujarnya, “Ibu, engkau akan bersantap sendiri
atau ananda yang menyuapi dirimu….?”
“Aku dapat menggunakan sebuah tanganku untuk
bersantap, lebih baik aku turun tangan sendiri!”
Persiapan yang dilakukan Hoa In benar-benar komplit
sekali, bukan saja ada nasi ada sayur bahkan disiapkan
pula sepoci arak wa ngi.
Tapi berhubung Hoa Hujien Sedang berlatih ilmu,
sedang Hoa Thian-hong sedang terluka maka hanya Tio
Sam-koh seorang yang meneguk arak.
Hoa Hujien yang sudah lama berpisah dengan
putranya ingin sekali cepat dapat berbicara lagi, maka
santapan itu dilakukan dengan cepat dan terburu-buru….
Setelah menangsal perut dengar, muka yang
ditebalkan Hoa Thian-hong berkata kembali, “Ibu,
kenapa engkau tidak setuju dengan nona Siang yang tak
suka pada Hong ji?”

Hoa Hujien tertawa.
“Persoalan di dalam dunia persilatan toh belum
selesai, apakah engkau sudah lupa dengan pesan ibu
sebelum engkau turun gunung?”
“Ananda tak berani melupakannya, sekarang memang
saatnya bagi kita untuk menyapu kaum iblis dari muka
bumi, memang tidak sepantasnya kalau sekarang kita
bicarakan soal perkawinan”
Setelah berhenti sebentar, ia berkata kembali,
“Ananda cuma bermain-main saja, toh racun teratai
masih mengeram di dalam tubuhku, aku memang tak
dapat mempunyai bini!”
Hoa Hujien menghela napas panjang.
“Aaaai…. di dalam pertemuan besar Kian siau Tay
hwee yang akan diselenggarakan pada bulan tujuh
tanggal enam belas nanti, andaikata pihak Sin-kie-pang,
Heng Im Hwe serta Thong-thian-kauw bekerja sama
untuk kedua kalinya, maka pihak kita tak akan mampu
meenahan serangan-serangan gabungan dari mereka,
untuk menghindarkan diri dari bencana kematianpun
masih merupakan suatu tanda tanya besar, apalagi
untukmembicarakan tentang soal lain….”
“Engkau tak boleh putus asa lebih dahulu, kalau tidak
demikian lebih baik kita semua tak usah menghadiri
pertemuan digunung Thian bok san lagi,” sela Tio Samkoh.

Hoa Hujien tersenyum.
“Sudah tahu kalau tak dapat dilakukan tapi dilakukan
juga, tak bisa dibilang kita putus asa atau tidak….
Tio Sam-koh membungkam dalam seribu bahasa….
tiba-tiba ia tertawa dan berkata kembali, “Aku rasa
bagaimana kalau engkau bersedia mengorbankan diri?
Andaikata Seng ji kita kawinkan dengan Pek Kun-gie
sehingga keluarga Hoa berbesan dengan keluarga Pek,
aku rasa posisi yang kita hadapi dalam pertemuan besar
ini tentu akan berubah, sebab pihak Sin-kie-pang tak
mungkin akan memusuhi keluarga menantunya sendiri!”
Mendengar perkataan itu Hoa Hujien segera
tersenyum.
“Benar-benar membingungkan!” serunya, Pek Siauthian
berbuat demikian toh karena ia pertimbangkan
Seng ji akan membantu pihaknya, engkau anggap dia
bersungguh-sungguh akan mengawinkan puterinya?”
Sambil berpaling ke arah Hoa Thian-hong, ia
menambahkan, “Diantara sepuluh orang perempuan ada
sembilan orang adalah bodoh, mengingat Pek Kun-gie
adalah seorang gadis perawan maka kita harus
menggunakan kebesaran jiwa kita sebagai keluarga Hoa
untuk tidak mempersoalkan dendam atau permusuhan
pribadi lagi, tetapi engkaupun tak usah berhubungan
terlalu dekat lagi dengan dirinya, dari pada tenagamu
dipakai orang untuk maksud-maksud pribadi”

Hoa Thian-hong mengangguk.
“Sejak dahulu aku memang selalu berusaha untuk
menghindarkan diri dari dirinya,” ia menyahut.
“Sekalipun dengan Pek Soh Gi, engkaupun harus
bersikap sama. Sebab kalaupun dia adalah seorang gadis
yang berbudi luhur dan ibunya patut kita hormati, namun
terlalu rapat berhubungan dengan mereka tetap tidak
menguntungkan bagi kita semua, oleh karena itu lebih
baik kita jangan berhubungan terlalu dekat”
“tentang persoalan ini, ananda sudah mengetahui
jelas, bila kami bertemu lagi dilain waktu, aku pasti dapat
menyadari keadaan diriku dan tidak bertindak secara
gegabah lagi….”
Hoa Hujien mengangguk
“Malam segera akan tiba dan aku harus berlatih
ilmuku kembali, sebelum pertempuran sengit
berlangsung, lebih baik engkaupun pergi beristirahat
lebih dahulu”
Hoa Thian-hong mengiakan berulang kali, lewat
beberapa saat kemudian Hoa Hujien serta Tio Sam-koh
telah pejamkan mata duduk bersemedi, Hoa Thian-hong
segera mengambil pakaian yang dibeli oleh Hoa In dan
tukar pakaian di sudut gua, kemudian kembali lagi kesisi
ibunya dan duduk bersemedi disitu.

Ketika kentongan keempat, kelima menjelang datang,
mendadak di dalam gua berkumandang datang suara
bisikan Hoa In yang amat lirih.
“Lapor Cu bo, ada jago lihay mendekati tempat ini,
maksud kedatangannya belum diketahui!”
Tio Sam-koh membuka matanya, melihat Hoa Hujien
sedang bersemedi mencapai puncak yang paling penting,
buru-buru dengan ilmu menyampaikan suara ia
memerintahkan, “Sembunyi lebih dahulu, bila keadaan
tidak terlalu paksa, jangan munculkan diri!”
Baru saja perkataan itu selesai diucapkan, dari luar
gua tiba-tiba berkumandang datang suara gelak tertawa
yang amat nyaring.
Mendengar gelak tertawa itu Hoa Thian-hong
tertegun, lalu bisiknya, “Ooooooh….! rupanya yang
datang adalah Ciu It-bong!”
Terdengar Ciu It-bong setelah tertawa tergelak
beberapa saat lamanya, tiba-tiba berkata, “Pek Soh Gi,
kenalkah engkau dengan diriku?”
Beberapa saat kemudian, dari luar gua berkumandang
suara sahutan dari Pek Soh Gi.
“Siapakah locianpwee? Siautit baru pertama kali
melakukan perjalanan di tempat luaran sehingga tak ada
jago lihay yang kukenal, harap locianpwee memaafkan”

“Haaah…. haaah….! haaaah…. aku adalah Ciu Itbong!”
“Ooh! Kiranya Ciu locianpwee, aku mengunjuk hormat
bagimu!”
“Tak usah memberi hormat….! tak usah memberi
hormat aku mencari engkau datang kemari, tujuannya
bukan lain adalah ingin membinasakan dirimu, apa
gunanya engkau memberi hormat kepadaku?”
Rupanya Pek Soh-gie dibikin tertegun oleh perkataan
itu, lewat beberapa saat kemudian ia baru berkata,
“Thong-thian-kauweu memang bermaksud
membinasakan diriku, apa sebab locianpwee bersusah
payah membawa aku datang kemari? toh kalau aku tetap
ditinggal di sana akhirnya jiwakupun akan melayang?”
Secara diam-diam Hoa Hujien pun mengikuti jalannya
pembicaraan itu, hatinya jadi kagum selelah didengarnya
nada suara Pek Soh Gi tetap tenang seperti sedia kala
walaupun membicarakan tentang keselamatan jiwanya,
tanpa terasa ia berpikir, “Pek Soh Gi benar-benar
seorang nona yang suci polos dan jujur…. . ia
mengagumkan”
Terdengar Ciu It-bong berkata kembali, “Hidung
kerbau tua itu belum tentu membunuh diriku, tetapi aku
sudah memastikan diri untuk mencabut nyawamu,
sekarang kau mengerti bukan?”
“Kalau memang hendak bunuh aku, sewaktu masih
ada di dalam kuil bukankah engkau dapat mengirim satu

pukulan ke tubuhku? Kenapa musti membawa aku
datang kemari?”
“Haaah…. haaah…. haaah…. setelah membunuh orang
dan mayatnya tidak dimusnahkan maka dari luka yang
tertera di atas jenazah orang akan tahu siapakah
pembunuhnya, mengertikah kau?” seru Ciu It-bong
sambil tertawa terbahak-bahak, “sekarang aku akan
turun tangan, karena aku harus cepat pergi dari sini!”
“Jadi lociampwee hendak melenyapkan mayat untuk
menghilangkan jejak….?” tanya Pek Soh-gie kembali.
“Tentu saja, dengan demikian maka bapakmu pasti
akan minta orang dengan para tosu hidung kerbau itu
dan satu pertarungan tentu tak akan terhindar, dalam
keadaan demikian asal aku tambahi dengan satu dua
pukulan maka urusan akan berubah semakin besar.
Mengertikah kau?”
“Aku mengerti”
“Kalau mengerti itu lebih baik lagi, Nah sekarang aku
akan turun tangan!”
Tiba-tiba terdengar Pek Soh Gi berseru kembali,
“Locianpwce, mengapa tidak kau gunakan telapakmu
melainkan malah mencengkeram tubuhmu? Apa yang
hendak kau lakukan?”
“Tiba-tiba aku melihat bahwa di dalam gua terdapat
sebuah liang besar yang dalamnya tak terlihat dasarnya,

sepanjang tahun dari dalam liang tersebut mengepul
keluar hawa beracun yang menyebar kelangit-langit gua
dan menyusup keempat penjuru, jika kubuang tu buhmu
ke dalam liang tersebut maka sekalipun bapakmu
membalik seluruh jagadpun tak nanti akan temukan
mayatmu lagi!”
Hoa Thian-hong merasakan badannya jadi merinding
dan bulu kuduknya pada bangun berdiri setelah
mendengar perkataan itu, pikirnya, “Benar-benar keji
pikiran orang ini, rupanya rasa benci Ciu It-bong
terhadap Pek Siau-thian telah merasuk ketulang
sumsum!”
Sementara itu Pek Soh-gie telah menjawab, “Aku
sudah mengerti, silahkan locianpwee melemparkan
tubuhku ke dalam liang tersebut!”
“Baik!” bentak Ciu It-bong, tiba-tiba ia bertanya lagi.
“Apakah engkau tak punya inginan untuk melanjutkan
hidupmu?”
“Kedatanganku kedunia toh bukan saja permintaan
dari diriku sendiri, kenapa sewaktu mati harus ajukan
permohonan?”
Rupanya Ciu It-bong dibikin tertegun oleh ucapan
tersebut, sesudah hening sesaat ia baru berkata lagi,
Caramu berpikir benar-benar aneh dan istimewa sekali,
tahukah engkau apa sebabnya aku hendak membunuh
dirimu? dan tahukah kau permusuhan apakah yang
terkait antara aku dengan ayahmu?”

“Sudah belasan tahun lamanya aku tinggalkan bukit
Ton pa san, dan sudah puluhan tahun lamanya belum
pernah kutemui ayahku, sudah tentu persoalannya tak
ada yang kuketahui”
“Kalau begitu aku akan memberitahukan kepadamu!”
teriak Ciu It-bong dengan suara keras, “Bapakmu hendak
mendapatkan sebuah barang mustika milikku, dengan
segala daya-upaya ia menipu diriku, sehingga akhirnya
aku dijebak di dalam sebuah telaga yang sangat dingin,
setiap hari kedinginan terhembus angin, basah kuyup
tertimpa air hujan. Selama sebelas tahun aku harus
hidup bagaikan binatang, akhirnya aku berhasil
mendapatkan sebilah pedang baja dengan senjata itulah
aku kutungi le-ngan kananku sendiri dan berhasil
meloloskan diri dari kepungan, coba katakan pantaskah
aku membalas dendam….?”
“Sudah sepantasnya kalau locianpwee melakukan
pembalasan!” jawab Pek Soh Gi dengan suara serak.
“Engkau adalah korban yang harus menebus dosadosa
itu!” teriak Ciu It-bong dengan suara keras, “bila
engkau penasaran maka tuntutlah kepada bapakmu
sendiri”
“Aku sama sekali penasaran, ibuku selalu berharap
bisa mengorbankan diri untuk meringankan dosa yang
pernah dilakukan ayah ku, akupun bersedia menebus
dosa-dosa yang pernah dilakukan ayahku”

“Aaaai….!” diam-diam Hoa Thian-hong menghela
napas panjang dalam hati kecilnya berbuat kejahatan di
kolong langit hanya akan mendatangkan bencana bagi
anak keturunannya…. gadis itu benar-benar patut
dikasihani!”
Tiba-tiba terdengar Ciu It-bong menengadah dan
tertawa keras, lalu berteriak, “Pek loji, lihatlah aku akan
melemparkan putrimu ke dalam neraka!”
Jetitan itu tinggi melengking bagaikan teriakan setan,
membuat Hoa Thian-hong bergidik dan ngeri sekali,
gumamnya di dalam hati, “Kenapa sih dengan Hoa In?
Kenapa ia tidak turun tangan menolong jiwa gadis itu?”
Baru saja ingatan tersebut berkelebat lewat dalam
benaknya, terdengar kembali seseorang membentak
nyaring, “Setan tua yang tak tahu malu, cepat lepaskan
gadis itu!”
Tertegun hati Hoa Thian-hong mendengar suara itu,
pikirnya di dalam hati, “Siapakah orang ini? Kenapa
suaranya begitu kukenal?”
Sementara itu Ciu It-bong telah tertawa keras dengan
nada yang sangat aneh.
“Ha ha ha ha ha…. bocah cilik, siapa namamu?”
“Siau yamu she Bong bernama Pay, apa yang hendak
kau lakukan?”

Begitu mengetahui bahwa orang itu adalah Bong Pay,
Hoa Thian-hong jadi amat terperanjat sehingga loncat
bangun dari atas tanah kemudian menerjang keluar dari
gua.
Tetapi sewaktu ia mencapai diluar liang dalam yang
mengepulkan asap hitam itu, tiba-tiba Hoa In unjukkan
diri dari samping dan menarik lengannya.
Sementara itu Ciu It-bong sudah berseru kembali
sambil tertawa seram, Bangsat cilik yang tak tahu diri,
apakah engkau berasal dari perkumpulan Sin-kie-pang?”
“Hmm! Bong Pay mendengus gusar, Siau ya mu suci
bersih, dari mana kau bisa mencium bau bajingan di atas
tubuhku?”
“Eeei…. kalau begitu sungguh aneh sekali, kau si
bajingan cilik toh sudah sedari tadi bersembunyi di dalam
gua, sepantasnya engkau tahu apa sebabnya aku hendak
membinasakan puteri Pek Siau-thian, kenapa? Apakah
aku tidak pantas membalas dendam?”
“Membalas dendam sih harus membalas, cuma sayang
caramu membalas dendam benar-benar amat rendah
dan memalukan. Seseorang berani berbuat berani
tangung jawab kalau punya kepandaian kenapa tidak
langsung mencari Pek Siau-thian untuk bikin
perhitungan? Menganiaya kaum gadis yang lemah….”
“Huuu! Siau ya merasa paling muak melihat perbuatan
semacam ini”

Ciu It-bong kembali tertawa seram.
“Setan cilik, sampai di mana sih kemampuan yang kau
miliki? perduli amat dengan urusanku, siapa suruh
engkau turut campur? Rupanya kau sudah bosan hidup
dan pingin modar?”
Sementara pembicaraan masih berlangsung, tiba-tiba
ia mendengar Bong Pay mendengus berat.
Hoa Thian-hong tahu bahwa Ciu It-bong adalah
seorang manusia yang berhati ganas dan keji, ia takut
jiwa Bong Pay terancam ditangannya, mendengar
dengusan berat itu dia segera menjejakkan kakinya di
atas tanah siap menerjang ke depan.
Tapi lengannya kembali tergenggam orang kali ini
yang mencekal lengannya adalah Hoa In serta Tio Samkoh.
Tiba-tiba terdengar Pek Soh-gie berkata, “Ciu
Locianpwee, engkau toh seorang Bulim cianpwee yang
punya nama besar dalam dunia persilatan, kenapa
engkau layani seorang pemuda yang tak bernama?”
“Hmm! Siapa suruh dia berani mengganggu aku? Akan
kusuruh dia rasakan sampai di manakah kelihayanku,
perduli amat dia masih bayi, masih muda atau sudah tua
bangkotan.
Dengusan napas Bong Pay yang keras dan terengahengah
kedengaran amat nyata, diikuti ia menggembor
penuh kegusaran.

“Setan tua! Pek Siau-thian tak berani kau usik, Jin
Hian tak berani kau ganggu, kecuali mencari gara-gara
dengan kaum perempuan apapun tak berani kau
lakukan…. Huuh! Manusia terkutuk macam apakah dirimu
itu?”
“Bajingan yang tak tahu diri, aku lempar dirimu ke
dalam neraka!”
“Locianpwee…. terdengar Pek Soh Gi menjerit dengan
hati gelisah.
Hoa Thian-hong sekalian bertiga mengetahui bahwa
Ciu It-bong hendak melemparkan tubuh Bong Pay ke
dalam liang berhawa racun, mereka jadi tegang dan
gelisah sekali, perhatiannya segera dipusatkan diluar dan
semua orang bersiap-siap melakukan perto longan.
Mendadak dari luar gua berkumandang kembali suara
seseorang yang tinggi, lengking dan serak sekali.
“Ciu tua, jangan lemparkan kedalam…. lemparkan saja
kemari, kami membutuhkan bocah itu!”
Mendengar seruan tersebut Hoa Thian-hong kembali
berdiri tertegun, pikirnya”
“Sungguh aneh, kenapa bari ini di tempat yang
terpencil dan gersang seperti ini secara beruntun telah
kedatangan banyak orang”

“Bagus sekali!” terdengar Ciu It-bong berteriak sambil
tertawa tergelak.” rupanya Liong bun siang satpun sudah
ikut datang kemari, ada apa? Mau laki mau perempuan
semuanya tersedia, kalau kalian butuh silahkan datang
sendiri kemari!”
Suara yang tinggi melengking dan serak tadi kembali
berkata sambit tertawa keras, “Ciu tua, tabiatmu yang
dulu ternyata sampai sekarang belum berubah juga,
rupanya ilmu silatmu sudah bertambah maju dan pen
deritaan belum cukup kau rasakan”
“Hmm! ilmu silat sih masih seperti sediakala, cuma….
aku memang ingin mencicipi penderitaan lagi!”
Suara ujung baju tersampok angin bergema
memecahkan kesunyian disusul desiran angin pukulan
meledak di angkasa….
Dengan andalkan ketajaman pendengarannya, Hoa
Thian-hong dapat membedakan desiran angin manakah
yang merupakan serangan dari Ciu It-bong, bahkan
diapun tahu gerakan manakah dari jurus Kun-siu-ci-tauw
yang sedang dipergunakan olehnya, timbul keinginan di
dalam hati pemuda itu untuk mengintip keluar.
Ketika orang itu hanya bertarung beberapa jurus saja
untuk kemudian saling menarik kembali serangannya.
Tiba-tiba terdengar Ciu It-bong tertawa dingin dan
berkata, “Aku mengira kepandaian silat yang dimiliki dua
bersaudara dari keluarga Sim sudah mendapat kemajuan

pesat…. Hmmm! tak tahunya cuma begitu saja….
sungguh mengecewakan”
Sang loo-toa, Sim Kian tertawa seram.
“Heeehh…. heeehh…. heehh…. sedari dulu kami dua
bersaudara she Sim memang begini-begini saja, tentu
saja jauh berbeda dengan Ciu heng, meskipun lengan
tinggal satu tapi masih bisa malang melintang dalam
dunia persilatan tanpa seorangpun bisa menandinginya”
Ciu It-bong jadi teramat gusar, ia dapat menangkap
maksud rangkap dari ucapan tersebut, sindiran yang
tajam tadi dengan cepat mengobarkan nafsu ganasnya.
Ia tertawa seram dan segera berteriak, “Sim Loo-toa,
pertemuan besar Kian ciau tay hwee yang akan
diselenggarakan pihak perkumpulan Thong-thian-kauw
akan dilang sungkan tujuh hari kemudian…. kalian
berdua bukannya memperdalam latihanmu sebaliknya di
tengah malam buta datang kemari, apa yang hendak
kalian lakukan?”
Sembari berkata hawa murninya diam-diam di himpun
ke dalam telapak kiri dan siap melancarkan serangan.
Sim Kiam menengadah dan tertawa terbahak-bahak.
“Haaah…. haaah…. aku dengar di dalam gua sini ada
tersembunyi seorang jago yang amat lihay, kami berdua
merasa tidak puas dan sengaja datang kemari untuk
minta petunjuk”

Mula-mula Ciu It-bong tertegun kemudian tertawa
keras.
“Kalian…. berdua belum bisa terhitung sebagai
seorang jago lihay…. haaaah…. haaaah…. kalau dibilang
ingin mohon petunjuk, lebih baik tak usah saja”
Sim Kian tertawa terbahak-bahak.
“Haaa…. haaah…. Ciu heng terlalu memandang
rendah kami…. bagaimana? Kami hendak minta kembali
dua orang bocah itu, apakah engkau bersedia berikan
kepadaku?”
“Kalian minta yang hidup ataukah yang mati?”
Tabiat Liong bun siang sat sungguh sabar, bukan
gusar mereka malah tertawa.
“Kalau mati apa gunanya? tentu saja kami butuh yang
hidup”
“Kalau tidak kuberi?”
“Kalau memang begitu, kami dua bersaudara terpaksa
harus minta kepada Ciu heng secara kekerasan!”
“Coba saja kalau mampu!”
Blaaam….! ledakan dahsyat bergeletar di udara,
rupanya kedua belah pihak telah saling beradu tenaga
satu kali.

Setelah saling berpisah suasana di tengah kalangan
berubah jadi hening dan sepi sekali,rupanya kedua belah
pihak sedang mengatur pernapasan untuk
mempersiapkan serangan berikutnya.
Pada saat itulah dari tempat kejauhan tiba-tiba
berkumandang datang suara panggilan yang amat
nyaring, “Hoa kongcu…. Hoa sauya…. Hoa kongcu….
Agaknya orang itu sambil berlari sambil berteriak
sehingga suaranya terpatah-patah.
Mendengar suara itu berkumandang dari satu tempat
tidak jauh dari tempat itu, Ciu It-bong serta Liong bun
siang sat yang telah bersiap-siap melancarkan serangan
kembali itu segera membatalkan niatnya.
Hoa Thian-hong yang berada di dalam gua pun
pasang telinga baik-baik, akhirnya ia kenali suara orang
itu sebagai suara dari salah seoang dari tiga harimau
keluarga Tiong yakni si Harimau bisu Tiong Long.
Cepat sekati gerakan tubuh Tiong Long, talam waktu
singkat ia telah tiba di depan mulut gua.
Gua karang itu terletak di atas jembatan batu dan
gampang sekali di temukan, tetapi berhubung suasana di
dalam gua yang luar biasa gelapnya maka apa bila
seseorang tidak memiliki ketajaman mata yang luarbiasa,
sulit untuk melihat sesuatu di dalam gua itu.

Sambil berdiri dimulut gua, Harimau bisu Tiong Long
segera berteriak lantang, “Adakah seseorang di dalam
gua?”
“Siapakah saudara? tiba-tiba Bong Pay menegur, ada
urusan apa mencari Hoa kongcu?”
Begitu mendengar Bong Pay bisa bicara, legalah hati
Hoa Thian-hong, dia tahu kendatipun ia sudah terhajar
oleh Ciu It-bong namun keselamatan jiwanya tidak
sampat terancam, diam-diam ia menghembuskan napas
panjang.
“Aku bernama Tiong Long, siapakah kau? terdengar
harimau bisu menjawab.
“Aku adalah Bong Pay, dan merupakan sahabat karib
dari Hoa kongcu”
“Oooh…. rupanya Bong ya, tolong tanya apakah Bong
ya mengetahui tentang jejak dari Hoa kongcu?”
“Aku sendiripun sedang mencari Hoa kongcu….” jawab
Bong Pay.
Karena ia memandang dari dalam ke arah luar maka
apa yang terlihat jauh lebih jelas daripada Harimau bisu
Tiong Long yang memandang dari arah luar ke arah
dalam, maka sewaktu melihat orang itu hendak berjalan
masuk ke dalam gua, buru-buru ia berseru, “Gua ini
berbau busuk sekali, Tiong heng tak usah masuk
kedalam!”

Tiong Long tak tahu kalau ia sedang memaki Ciu Itbong
sekalian, mendengar perkataan itu ia segera ikut
mencium keras, ketika dirasakan gua itu memang berbau
agak busuk, ia segera memberi hormat sambil berseru,
“Maaf kalau aku telah mengganggu Bong ya, aku harus
pergi mencari jejak Hoa kongcu, maaf kalau tak bisa
berdiam terlalu lama.”
Habis berkata ia putar badan dan siap berlalu dari
sana.
Tiba-tiba Pek Soh-gie berkata, “Saudara, aku tahu
jejak dari Hoa kongcu!”
Mendengar perkataan itu Harimau bisu Tiong Long
segera putar badan dan bertanya, “Tolong tanya nona,
sekarang Hoa kongcu berada di mana?”
“Hoa kongcu telah ditangkap oleh Thong-thian Kaucu ,
sekarang ia disegap di dalam penjara batu dalam kuil Itgoan-
koan”
“Siapa yang mengatakannya kepadamu?” teriak Bong
Pay, “apakah engkau menyaksikan dengan mata kepala
sendiri?”
Karena cemas dan gelisahnya kelima jari tangannya
bagaikan kuku garuda mencengkeram lengan gadis itu
kencang-kencang membuat Pek Soh Gi jadi kesakitan
dan hampir saja mengucurkan air mata.
Ketika Harimau bisu Tiong Long tidak mendengar
jawaban, dengan cepat serunya kembali, “Nona, tentang

berita tertangkapnya Hoa kongcu oleh Thong-thian
Kaucu , kau berhasil mendengarnya dari seseorang?
Ataukah menyaksikan dengan mata kepala sendiri?”
“Aku serta Hoa kongcu ditangkap bersama-sama,
peristiwa ini terjadi pagi tadi, setelah berada di kuil Itgoan-
koan aku disekap di dalam ruangan loteng
sedangkan Hoa kongCukatanya dijeblos ke dalam penjara
batu”
Harimau bisu Tiong Long jadi amat gelisah, setelah
mengucapkan terima kasih, ia putar badan dan berlalu
dari situ, tetapi sampai di tengah jalan ia berpaling
kembali sambil bertanya, “Bolehkah aku tahu siapakah
nama nona?”
“Aku bernama Pek Soh-gie!”
“Dia adalah putri kesayangan dari Pek Siau-thian,
pangcu perkumpulan Sin-kie-pang” sambung Bong Pay
dengan cepat.
“Oooh….! Kalau begitu perkataannya tak bisa
dipercaya,” guman Tiong Long dengan cepat.
Hoa Thian-hong yang saat ini sedang berada di dalam
gua jadi geli sekali dibuatnya oleh tingkah laku orangorang
itu, teringat betapa kasarnya Bong Pay, betapa
polosnya Tiong Long serta betapa jujurnya Pek Soh-gie,
ternyata setelah terlibat dalam pembicaraan sampaisampai
tiga orang gembong iblis yang berada disisi
merekapun dilupakan sama sekali.

Ingin sekali pemuda itu loncat keluar, apa daya
keselamatan ibunya merupakan ancaman yang sangat
berat baginya, maka ia tak berani bertindak secara
gegabah.
Tiba-tiba terdengar Harimau bisu Tiong Long berseru
lagi, “Selamat tinggal saudara berdua, aku harus segera
melaporkan kejadian ini kepada nona”
Ia putar badan dan lari dari situ…. Kembali!” bentak
Ciu It-bong dengan suara keras.
Ketika didengar di dalam gua masih ada orang lain,
Harimau bisu Tiong Long kelihatan agak tercengang, lalu
sambil berpaling segera tegurnya dengan lantang,
“Saipakah engkau?”
“Perduli amat siapakah aku, aku ingin tahu siapakah
nona kalian?”
“Perduli amat siapakah nona kami?”
Ciu It-bong mendengus gusar, ingin sekali telapaknya
melancarkan sebuah pukulan, tetapi ia merasa malu
untuk berbuat demikian dihadapan umum karena
tindakan tersebut akan menurunkan derajatnya, maka ia
hanya berkata.
“Heehh…. heehh…. laporkan kepada nona kalian,
suruh dia pergi mencari Thian Ik-cu untuk minta orang,
akan kulihat apa yang akan dia berikan kepada kalian”
“Ada apa?”

“Hoa Thian-hong sudah tidak berada di kuil It-goankoan
lagi, engkau suruh Thian Ik-cu memberikan apa
kepadamu?”
“Hoa kongcu berada dimana?”
“Dia sudah modar!” teriak Ciu It-bong dengan keras.
“Kentut busuk!” teriak Tiong Long dengan cepat.
“Kentut busuk!” teriak Bong Pay pula dengan segera.
Ciu It-bong sangat murka, sorot matanya menyapu
sekejap ke arah dua orang itu dengan tajam, akhirnya
dia ambil keputusan untuk menghukum harimau bisu
Tiong Long lebih dahulu.
Ilmu silat yang dimilikinya sangat lihay, lengannya
digetarkan ke depan, tahu-tahu separuh badannya sudah
muncul dari mulut gua, ia segera mencengkeram ke
tubuh orang she Tiong itu.
Ketika Harimau bisu Tiong Long merasa ada seseorang
melancarkan serangan ke arah tubuhnya, tanpa berpikir
panjang lagi tangan kirinya segera berputar setengah
lingkaran dan melancarkan sebuah pukulan dahsyat ke
depan.
“Eeei….” Ciu It-bong berseru tertahan, dengan cepat
ia cengkeram urat nadi dipergelangan Tiong Long dan
menyeretnya kehada pan tubuhnya, kemudian dengan
suara keras tegurnya.

“Ayoh jawab, mengapa Hoa Thian-hong mewariskan
ilmu pukulan ini kepadamu….?”
Harimau bisu Tiong Long merasa tulang
pergelangannya sakit sekali seperti mau retak, keringat
sebesar kacang kedelai mengucur keluar membasahi
seluruh tubuhnya dan hawa murni sama sekali tak dapat
dikerahkan kembali, siksaan seperti ini benar-benar luar
biasa sekali.
Tetapi nenek moyang Tiong Long pada dasarnya
adalah manusia-manusia berwatak keras kepala, semakin
ganas siksa Ciu It-bong semakin nekad ia
mempertahankan diri, sambil menggertak gigi tak
sepatah katapun yang diucapkan olehnya.
Meminjam sorot cahaya yang lemah diluar gua, Bong
Pay dapat menyaksikan semua kejadian itu dengan amat
nyata, sebagai seorang pemuda berdarah panas yang
paling benci dengan kejahatan, setelah menyaksikan
harimau bisu terjatuh ke tangan Ciu It-bong, tanpa
berpikir panjang lagi menerjang maju ke depan,
sepasang telapaknya serentak didorong ke depan
melancarkan sebuah serangan yang dahsyat.
Ciu It-bong sangat gusar, hardiknya.
“Bajingan rupanya engkau sudah bosan hidup!”
Dengan tubuh yang gemilang ia bersiap sedia
menyambut datangnya ancaman tersebut dengan keras

lawan keras, ia bermaksud menghantam mati Bong Pay
dalam serangan itu.
Terdengar Sim Kian Loe toa dari Liong bun siang sat
berseru sambil tertawa keras, “Bocah, engkau memang
cerdik!”
Tubuhnya berkelebat ke depan, lengan kiri digetarkan
dan segera melemparkan tubuh Bong ya keluar gua,
telapak kanan diayun menghantam tubuh Orang she Ciu
itu.
“Sim to ji, engkaupun harus diberi giliran!” bentak Ciu
It-bong pula dengan suara keras,
Setelah melepaskan Tiong Long, ia putar telapak
melancarkan pula sebuah pukulan ke arah depan.
Bong Pay Serta harimau bisu Tiong Long secara
beruntun terlempar dari mulut gua, mereka saling
berpandangan tanpa mengucapkan sepatah katapun,
rupanya kejadian yang berlangsung barusan telah
membuat hati mereka jadi dingin separuh.
Beberapa saat kemudian Harimau bisu Tiong Long
berkata, “Bong ya, aku harus mohon pamit lebih tiahulu”
“Mari kita melakukan perjalanan bersama-sama,
mencari jejak Hoa kongcu adalah urusan yang sangat
penting, pertarungan antara setan-setan ganas ini tak
perlu kita lihat lagi.”

Diam-diam dua orang itu mengeloyor pergi dari situ
sementara pertarungan yang berlangsung di dalam gua
sudah mencapai puncak yang amat seru, kiranya setelah
Ciu It-bong melangsungkan pertarungan dengan Sim
Kian, loji dari Liong bun siang sat segera melancarkan
sebuah totokan yang merobohkan Pek Soh Gi dan
melemparkan tubuhnya kesudut gua, kemudian sambil
putar telapak dia ikut terjun pula ke dalam gelanggang
pertarungan mengerubut Ciu It-bong seorang.
Anggota badan Ciu It-bong sudah ada yang cacad,
tubuhnya tidak mencapai empat depa dengan potongan
badan yang sangat aneh, kendatipun begitu ilmu silat
yang dia miliki luar biasa sekali, di tengah pertarungan
sengit nafsu membunuh menyelimuti seluruh ruangan.
Sepasang malaikat dari perguruan naga adalah
manusia-manusia pelindung perkumpulan Hong-im-hwie,
kedua orang ini kecuali mempunyai ilmu silat yang tinggi,
hati mereka pun keji dan telengas sekali maka orang
sebut mereka sebagai sepasang malikat.
Tiga orang jago lihay harus bertempur di dalam ruang
gua yang sempit, bisa dibayangkan betapa serunya
pertarungan tersebut.
Di tengah pertarungan, tiba-tiba terdengar malaikat
tua Sim Kian berseru lantang, “Ciu It-bong, pedang emas
milik Siang Tay Lay toh sudah tidak berada ditanganmu
lagi, apa salahnya kalau engkau mengaku terus terang
benda itu sekarang berada dimana?”

Haaah…. haaah…. haaah…. aku bilang ada ya ada,
bilang tak ada ya tak ada, kenapa musti ribut terus?”
Haruslah diketahui bahwa gua itu telah terbagi
menjadi dua oleh lapisan lapisan kabut hitam yang
mengepul keluar dari bawah tanah, Hoa Thian-hong yang
bersembunyi di dalam gua dapat melihat jelas jalannya
pertarungan diluar gua, sebaliknya orang diluar tak dapat
melihat kedalam.
Ciu It-bong sendiri sejak terkurung didasar telaga
dingin, sudah puluhan tahun lamanya ia bertarung
melawan Pek Siau-thian, pada waktu itu lengan
kanannya diikat di atas dinding karang dengan serat liur
naga yang membuat badannya sama sekali tak dapat
bergerak dan ilmu silat lama tak dapat digunakan lagi,
dalam keadaan begitu terciptalah jurus Kun-siu-ci-tauw
yang sangat lihay.
Kini setelah ia bebas, meskipun anggota badannya
kurang tiga namun ilmu silat lama masih dapat
digunakan kembali, bisa di bayangkan menggunakan
jurus Kun-siu-ci-tauw tersebut tentu saja bertambah
ampuh.
Liong bun siang sat adalah saudara sekandung, dan
keluaran dari satu perguruan yang sama, dengan begitu
permainan ilmu silat merekapun berasal dari satu aliran
yang sama dalam melakukan pertarungan ini sekalipun
mereka berdua melancarkan serangan dengan gencar
namun ilmu Tay im sin jiau andalan mereka tidak
dikeluarkan, karena itulah meskipun Ciu It-bong harus

satu lawan dua namun ia masih tetap sanggup
mempertahankan diri.
Di tengah pertempuran, tiba-tiba terdengar Sim Kian
berseru dengan suara dingin, “Loo ji, bocah she Bong itu
sudah kabur”
“Tak mungkin lolos dari sini,” jawab Sim Cin loo-ji dari
Liong bun siang sat sambil tertawa, setelah menganggur
belasan tahun baru kali ini kita temukan musuh
tandingan semacam Loo Ciu, hari ini kita harus baik-baik
melepaskan otot kita yang telah kaku”
“Cari makmu saja kalau ingin melepaskah otot!” maki
Ciu It-bong dengan marah.
Jilid 27
TUBUHNYA meluncur ke depan dan telapaknya segera
diayun melancarkan sebuah pukulan.
Malaikat kedua Sim Ciu mengegos ke samping,
telapaknya membacok pergelangan mu suh, kemudian
mengirim satu tendangan kilat ke arah depan, Ciu Itbong
berjungkir balik di udara melepaskan diri dari
ancaman itu, telapaknya diayun dan manghantam ke
arah malaikat pertama.
Suasana dalam gua gelap gulita, ketiga orang itu
bertarung dengan andalkan desiran angin tajam,
serangan telapak yang aneh da ri Ciu It-bong ini

meluncur datang dengan kecepatan satu kali lipat dari
keadaan biasa, merasa dirinya tak mampu untuk
memunahkan datangnya ancaman tersebut, buru-buru
malaikat pertama menjejakkan kakinya ke atas tanah dan
meloncat mundur ke belakang.
Rupanya Ciu It-bong sudah tahu kalau serangan ini
tak akan mampu melalui musuhnya, dan diapun telah
menduga bahwa musuhnya pasti akan melompat mundur
ke belakang menuju ke arah dalam gua, maka tubuhnya
segera meluncur ke depan menghindari serangan dari
malaikat kedua, dan untuk kedua kalinya dia
menghantam malaikat pertama, Ketika malaikat pertama
Sim Kim melihat bahwa Ciu It-bong hendak mendesak
dirinya terjebur ke dalam liang beracun, diam-diam ia
tertawa dingin, tubuhnya miring ke samping kemudian
melancarkan sebuah pukulan dahsyat ke arah depan.
Ploook….! Sepasang telapak saling membentur satu
sama lainnya, kedua orang itu sama-sama terdesak
mundur ke belakang.
Malaikat pertama Sim Kian yang melancarkan
serangan secara tergesa-gesa segera terlempar ke
belakang oleh bentrokan tersebut hingga punggungnya
menumbuk di atas dinding gua, sedangkan Ciu It-bong
sendiri pun terdesak sampai membentur dinding gua
namun benturan itu sama sekali tidak menimbulkan
suara, hal ini menunjukkan bahwa ia sudah bikin
persiapan dan Sim Kian telah terpancing oleh siasatnya.

Semua peristiwa ini berlangsung dalam sekejap mata,
tahu-tahu angin pukulan yang dilancarkan malaikat
kedua Sim Ciu sudah mener jang datang dari sayap kiri.
Pada waktu itu punggung Ciu It-bong telah menempel
di atas dinding gua, dalam keadaan begitu ia segera
mengeluarkan kebiasa annya seperti waktu berada
ditelaga dingin tempo hari, tangannya diputar dan segera
menerjang dengan jurus Kun-siu-ci-tauw.
Menyaksikan datangnya serangan yang sangat aneh
dan tak tahu bagaimana dari tubuhnya yang bakal
diserang, buru-buru malaikat kedua Sim Ciu tarik kembali
serangannya dan loncat mundur ke belakang.
Sim Ciu malaikat kedua dari Liong-bun Siang-sat ini
berwatak berangasan sekali, melihat Ciu It-bong berhasil
menduduki posisi di atas angin, dari malu dia jadi gusar,
segera bentaknya.
“Lo toa, urusan dinas lebih penting, lebih baik kita
cepat-cepat lenyapkan manusia cacad ini dari muka
bumi!”
Sim Kiam jauh lebih licik dari saudaranya, mendengar
ucapan tersebut ia segera menggeleng dan menyabut
dengan suara dingin, “Engkau tak usah keburu nafsu….”
Demikianlah, masing-masing pihak segera
menghimpun tenaga dalamnya dengan maksud semakin
mempertajam penglihatannya untuk mengawasi gerakgerik
pihak lawan. Tiba-tiba malaikat pertama Sim Kiaa
sambil menyeringai seram berseru, “Ciu tua, masih ingat

bukan dirimu dengan ilmu cakar Tay im sin jiau dari kami
berdua?”
Ciu It Hong tertawa dingin.
“Sudah terlalu banyak ilmu silat yang kuingat, ilmu
Tay im sin jiaumu itu cuma terhitung sebagai suatu ilmu
cakar anjing bela ka….”
Sim Kian bukannya gusar malah tertawa, kembali dia
berkata, “Ciu loji, ini hari engkau sedang bernasib sial,
sehingga tak kau sadari harus berjumpa dengan kami
Liong bun siang sat, bila engkau tahu diri ayoh cepat
serahkan pedang emas dari Siang Tang Lay itu
kepadaku, kami dua bersaudara berjanji akan
melepaskan dirimu dalam keadaan hidup dan ikatan
persahabatan diantara kitapun tak usah terancam punah”
“Heeehhh…. heeh…. heeehh…. pedang emas pedang
perak semuanya berada dalam sakuku kalau engkau
punya keberanian silahkan mengambil sendiri!”
Sim Ciu tidak sabaran lagi ia berseru keras.
“Lo-toa apa sih gunanya membuang banyak waktu?
Bukankah pedang emas sudah beberapa kali berpindah
tangan, engkau suruh manusia cacad ini bagai mana
caranya untuk menyerahkan kepadamu?”
Mendengar dirinya berulang kali dipanggil sebagai
manusia cacad, Ciu It-bong jad1 amat gusar dan
mendendam malaikat kedua itu hingga merasuk ke
dalam tulang sumsumnya, meskipun perasaan tersebut

tidak sampai diperlihatkan di atas wajahnya, tapi diamdiam
ia telah bersumpah untuk membasmi manusia usil
tersebut dari muka bumi.
Sebenarnya tujuan Sim Kian mengungkap kembali
persoalan pedang emas, tujuannya bukan lain adalah
membuktikan apakah benda mustika itu masih berada
disakunya atau tidak, sekarang setelah penyelidikannya
tidak mendatangkan hasil ia segera mendengus, mereka
berdua selangkah demi selangkah berjalan maju ke
depan mendekati musuhnya.
Ilmu cakar maut Tay im sin jiau atau kepandaian yang
paling diandalkan Liong bun siang sat selama ini, setelah
menghimpun segenap kekuatan yang dimilikinya dan
sang badan baru saja maju dua langkah ke depan, jari
tangan mereka berdua tiba-tiba memanjang beberapa
cun dari keadaan semula dan besarnyapun berlipat
ganda, warnanya berubah jadi putih pusat sedikitpun
tidak berwarna darah.
Sudah lama Ciu It-bong tahu akan kelihayan
musuhnya, karena jiwanya terancam bahaya maka
segenap tenaga dalam yang dimilikinya segera dihimpun
di dalam telapak tunggalnya dan memandang gerak-gerik
kedua orang itu dengan sorot mata berwarna biru.
Hoa Thian-hong yang bersembunyi di dalam gua,
walau tak mampu menyaksikan sesuatu apapun, tapi ia
dapat menduga bahwa situasi yang terbentang pada saat
itu pasti tegang sekali, teringat akan hubungannya
dengan Ciu It-bong dimasa silam, tanpa sadar

jantungnya berdebar keras dan ia merasa kuatir bagi
keselamatan kakak cacad tersebut.
0000O0000
37
MENDADAK Ciu It-bong bersuit nyaring, sebelum Liong
bun siang sat sempat mendekati tubuhnya ia telah
melancarkan serangan lebih dahulu, tubuhnya dengan
ganas menerjang ke arah malaikat kedua Sim Ciu.
Orang itu jadi amat terperanjat, sebelum serangan
Tay im sin jiau nya sempat di lancarkan, segulung angin
pukulan yang maha dahsyat ibaratnya gulungan ombak
di tengah amukan badai dengan cepat menyelimuti
tubuhnya dan menyeret badannya ke dalam amukan
angin tajam itu.
“Loo-ji! cepat menyingkir kesamping!” teriak Sim Kian
malaikat pertama keras-keras.
Sepasang telapaknya didorong ke depan, dengan
menggunakan kekuatan sebesar duabelas bagian dia
cengkeram punggung Ciu It-bong.
Begitu melihat serangan yang dilancarkan pihak
musuh amat dahsyat, Sim Ciu tak berani menghadapi
secara sembarangan, terpaksa ia menyingkir ke arah
samping, kesepuluh jarinya dipentang dan menyergap
bagian bawah iga Ciu It-bong.

Sementara itu desiran angin tajam yang memekikkan
telinga memancar keluar dari ujung jari Liong bun siang
sat, Hoa Thian-hong yang bersembunyi di dalam gua
segera merasakan dadanya gemetar dan jantungnya
berdebar keras karena ikut merasa tegang.
Dengan berat Ciu It-bong dengan cepat menggema
memecahkan kesunyian, suara bentakan gusar dari Sim
Ciu bergabung dalam benturan angin pukulan yang amat
dahsyat menggeletar di dalam gua kuno yang gelap
gulita.
Lewat beberapa saat kemudian, suasana di dalam gua
perlahan-lahan pulih kembali dalam ketenangan,
bayangan tubuh Ciu It-bong sudah lenyap entah kemana
perginya, malaikat kedua Sim Ciu duduk bersila di atas
tanah dengan mata terpejam dan dada berombak, sorot
matanya memandang ke tempat ke jauhan.
Lama…. lama sekali, malaikat kedua Sim Ciu baru
membuka matanya kembali sambil menghembuskan
napas panjang, serunya dengan nada benci.
“Terlalu enak kita lepaskan manusia cacad itu, bila kita
sampai bertemu lagi dilain waktu paling sedikit jiwa
anjingnya musti kita cabut….!”
“Hmm! engkau terlalu pandang enteng Ciu loo ji,”
sahut Sim Kian dengan suara dingin, dengan andalkan
sebuah lenganpun dia bisa hidup sampai ini hari, hal
tersebut membuktikan bukan manusia sembarangan”

Malaikat kedua Sim Ciu mendengus, ia segera
mendekati Pek Soh Gi dan ayunkan telapaknya untuk
membebaskan jalan darahnya yang tertotok.
“Tunggu sebentar!” tiba-tiba Sim Kian berseru, “Malam
yang panjang akan mendatangkan impian yang banyak,
apa yang musti kita tunggu lagi?”
“Apa yang telah dikatakan Jin Hian?” seru Sim Kian
sambil tertawa dingin….
Mula mula Sim Ciu tertegun, kemudian sambil
berpaling ke dalam gua teriaknya keras-keras.
“Tio Sam-koh, ayoh keluar memberi jawaban!”
Hoa Thian-hong yang bersembunyi dibalik kabut hitam
merasa tertegun sesudah mendengar bentakan itu, ia
merasa jarak antara mereka berdua dengan dirinya
bertiga terpaut sejauh beberapa tombak, tak mungkin
mereka bisa tahu dengusan napas mereka apalagi kabut
hitam itu tebal sekali dan amat beracun sehingga sejak
tadi mereka semua telah menutup pernapasan, tentu
saja dalam keadaan begini tak mungkin mereka bisa tahu
jejak mereka yang ada di dalam gua lewat pernapasan.
Begitulah, seruan dari Sim Ciu dengan cepat membuat
semua orang tertegun dan merasa sedikit diluar dugaan.
Tio Sam-koh tertegun lalu menyinggung lengan Hoa
Thian-hong memberi tanda kepadanya agar tidak
menggubris.

Tiba-tiba terdengar Sim Kian berkata pula dengan
nada dingin.
“Tio Sam-koh, kalau engkau tak mau unjukkan diri
lagi, jangan salahkan kalau aku orang she Sim akan
segera memasang api”
Terkejut hati Hoa Thian-hong mendengar ancaman
tersebut, pikirnya, “Aku rasa sepasang malaikat itupun
tahu kalau gua ini tak boleh bertemu dengan api apa
daya sekarang?”
Sementara itu Sim Ciu telah berkala pula.
“Loo-toa, perduli amat di dalam gua ada manusia atau
setan, kita lepaskan api saja untuk membakarnya,
bukankah dengan cepat kita akan tahu disana ada
setannya atau tidak”
Mendengar sampai disitu, Tio Sam-koh segera menarik
tangan Hoa Thian-hong serta Hoa In dan meloncat
mundur ke belakang. Hoa Thian-hong merasa terkejut
bercampur curiga, buru-buru ia berkelebat kesisi ibunya.
Sepasang telapak Hoa Hujien masih menempel di atas
tanah dan tubuhpun masih tetap duduk tak berkutik di
tempat semula, pada saat itu ia membuka matanya dan
berbisik.
“Kalian semua mundur ke belakang punggungku
begitu melihat cahaya api segera lancarkan angin
pukulan ke arah luar”

Gua tersebut gelap gulita sulit melihat kelima jari
tangan sendiri ketika Hoa Hujien membuka sepasang
matanya maka terlihatlah cahaya tajam yang amat
menyilaukan mata seakan-akan bintang yang gemerlapan
di udara gelap memancar keluar dari balik matanya.
Hoa Thian-hong amat terperanjas, ia tak mengira
kalau tenaga dalam yang dimiliki ibunya telah mencapai
taraf yang begitu sempurnanya, untuk beberapa saat
lamanya kerena pengaruh emosi ia tak mampu
mengucapkan separah katapun.
Hoa In sendiri, dia diam-diam merasa terperanjat,
mereka bertiga segera berdiri di belakang Hoa Hujien,
hawa murni disalurkan ke dalam telapak dan setiap saat
menantikan perubahan.
Jarak antara gua bagian dalam dan gua bagian luar
terpaut belasan tombak jauhnya bila melancarkan
serangan dari dasar gua maka tenaga pukulannya sukar
untuk mencapai mulut gua, keistimewaan di dalam hal ini
tidak diketahui oleh Hoa Thian-hong serta Hoa In,
merekapun tak berani banyak bertanya karena musuh
tangguh sedang berada di depan mata, terpaksa sambil
salurkan hawa murni dengan tenang mereka nantikan
munculnya cahaya api dari luar gua.
Rupanya Jin Hian telah menduga bahwa orang yang
bersembunyi di dalam gua itu pastilah Hoa Hujien, hanya
saja karena ia gentar atas kecemerlangan nama besar
Hoa Hujien di masa lampau, ditambah pula nenek buta
sudah menderita kekalahan maka akhirnya dia ambil

keputusan untuk menyelesaikan semua persengketaan ini
dalam pertemuan besar Kian ciau tay hwee.
Sungguh kebetulan ketika mereka kembali ke markas,
Liong bun Siang sat baru tiba, mendengar kisah tersebut
mereka merasa tidak puas dan bersikeras akan datang
menyelidiki duduk perkara yang sebenarnya, walau pun
begitu merekapun mengetahui akan kelihayan dari Hoa
Hujien, maka kewaspadaan merekapun dipertingkat.
Sebagian besar orang persilatan mengetahui bahwa
dalam gua kuno itu mengandung udara gas yang amat
beracun dan tak bisa didiami oleh manusia, kini dengan
suatu gerakan yang manis Hoa Hujien berhasil memaksa
pancaran gas beracun itu langsung membumbung
kedinding bukit sehingga membuat gua kuno itu terbagi
jadi dua bagian kejadian tersebut boleh dibilang
merupakan suatu hal yang sama sekali tak terduga.
Liong bun siang sat sendiripun menduga bahwa Hoa
Hujien masih bersembunyi di dalam gua, tapi karena
mereka tak tabu keadaan yang sebenarnya dari gua kuno
itu, untuk beberapa waktu kedua orang itu tak berani
bertindak secara gegabah.
Setelah menunggu beberapa saat lamanya dan baik
gua masih belum juga nampak adanya suatu gejala, rasa
was-was dalam hati dua bersaudara itu makin berkurang.
Malaikat kedua Sim Ciu segera membentak nyaring.
“Nenek bangkotan she Tio, kalau engkau
menyembunyikan diri terus menerus seperti kura-kura

ketakutan, jangan salahkan kalau aku orang she Sim
akan menyumpal delapan keturunanmu!”
Kedudukan serta nama besar Hoa Hujien di dalam
dunia persilatan amat tinggi dan di hormati semua orang,
rupanya mereka segan untuk secara langsung mencari
gara-gara dengan dirinya, maka yang dicari adalah Tio
Sam-koh.
Bisa dibayangkan betapa gusarnya Tio Sam-koh
mendengar teriakan tersebut dengan cepat ia gerakkan
tubuhnya siap menerjang keluar dari gua itu, mendadak
ia teringat bahwa Hoa Hujien pada saat ini sedang
mencapai keadaan yang paling kritis, ia takut jika
keadaan bertambah seru maka mereka terpaksa harus
tinggalkan tempat itu, andai kata hawa murni sampai
buyar, bukan saja susah payahnya selama ini akan
menemui kegagalan bahkan kemungkinan besar akan
mengalami jalan api menuju neraka.
Mengingat betapa besarnya akibat yang bakal
ditimbulkan, terpaksa Tio Sam-koh menahan amarahnya
dan menghentikan gerakan tubuh yang sudah mencapai
tepi gua itu.
Hoa Thian-hong mengetahui bahwa nenek itu
berwatak berangasan, melihat ia berhasil menguasai diri
dalam hati kecilnya pemuda ini merasa amat berterima
kasih, segera bisiknya, “Sam po, bersabarlah sebentar!
cepat atau lambat Seng ji pasti akan bereskan manusiamanusia
jahanam tersebut agar rasa dongkol sam po
bisa terlampiaskan”

Bluuum….! tiba-tiba kabut warna hitam yang amat
tebal itu seakan-akan terhantam oleh segulung angin
pukulan yang amat dahsyat dengan cepatnya
menggulung ke dasar gua hingga jaraknya dengan dasar
gua dimana mereka berada dekat sekali.
Hoa In dengan cepat bertindak, dia lancarkan sebuah
pukulan dengan ilmu Sau yang ceng ki untuk memaksa
kabut hitam itu meluncur kembali ke tempat semula.
Sementara itu Sim Ciu jadi semakin berani setelah
dilihatnya angin pukulan yang dia lancarkan sama sekali
tidak menunjukkan perubahan apapun juga, katanya,
“Mungkin saja mereka telah berlalu dari tempat ini!”
Dengan langkah lebar ia berjalan maju ke depan
hingga tiba di depan gumpalan asap warna hitam itu,
telapaknya diayun dan kembali dia lancarkan sebuah
pukulan dahsyat kemuka.
Blaaam…. segulung angin pukulan yang amat dahsyat
dengan cepatnya menerobos masuk melewati kabut
hitam dan langsung menerjang ke dalam gua.
Tapi dari balik gua sama sekali tidak memperlihatkan
reaksi apapun juga, tanpa terasa Sim Ciu mengerutkan
dahinya.
“Loo toa!” ia berseru, “rupanya gua ini kosong tak
berpenghuni, biar aku masuk ke dalam untuk memeriksa
keadaan disitu!”

“Tak usah diperiksa lagi,” tukas malaikat pertama Sim
Kian dengan nada dingin, “sudah lama kudengar bahwa
kabut hitam itu segera akan terbakar bila terkena api,
kita coba saja melepaskan api kedalam”
Habis berkata dia mengempit tubuh Pek Soh Gi yang
masih tertotok jalan darahnya dan mengundurkan diri
keluar gua.
Malaikat kedua Sim Ciu termenung sebentar, akhirnya
dia mengundurkan diri sejauh dua tombak lebih dari
tempat semula lalu mengambil api untuk kemudian
dilemparkan kedalam.
“Blamm…. ketika cahaya api bertemu dengan udara
gas berwarna hitam itu terjadilah ledakan keras yang
disertai percikan cahaya api yang menerangi seluruh gua
tersebut.
Hoa Thian-hong yang bersembunyi di dalam gua,
segera merasakan sengatan hawa panas yang luar biasa
dahsyatnya, dalam keadaan demikian masing-masing
orang segera melancarkan sebuah pukulan ke arah
depan.
Ilmu Sau yang ceng ki dari Hoa In merupakan
kepandaian tenaga dalam yang sangat ampuh, tenaga
dalam Tio Sam-koh yang mencapai enam puluh tahun
hasil latihan serta tenaga dalam Hoa Thian-hong berkat
kerja teratai racun empedu api bisa di bayangkan betapa
mengerikannya tenaga gabungan dari ketiga orang tokoh
sakti terse but.

Baru saja cahaya api meletus di angkasa, angin
pukulan yang amat dahsyat itu sudah menerjang keluar
membawa percikan api yang menyengat badan keluar
dari mulut gua.
Malaikat kedua Sim Ciu amat terperanjat, dengan
ketakutan ia loncat keluar dari gua tersebut.
Dalam waktu singkat cahaya api segera padam dan
suasana disekeliling tempat itupun putih kembali dalam
kegelapan, bau gas yang amat tebal dan menusuk
penciuman tersebar disekeliling tempat itu.
Sepasang malaikat dari perguruan naga adalah
gembong iblis yang berpengalaman luas, tentu saja
mereka pun tahu bahwa pancaran api yang muncul
keluar gua adalah berkat hasil pukulan dari Hoa Thianhong
sekalian yang bersembunyi dalam gua.
Sekarang dua orang bersaudara itu baru mengetahui
bahwa di dalam gua masih terdapat sebuah ruang lain
yang aman, dan Tio Sam-koh sekalian menyembunyikan
diri disitu.
Sepasang malaikat dari perguruan naga saling
bertukar pandangan sekejap, sorot mata mereka berdua
sama-sama memancarkan sikap ke ragu-raguan.
Haruslah diketahui baik Tio Sam-koh mau pun Hoa In
sama-sama merupakan jago lihay yang berkepandaian
tinggi, sekalipun sepasang malaikat dari perguruan naga
merasa yakin dapat menangkan mereka berdua, namun
selisih kepandaian diantara mereka boleh dibilang tipis

sekali, kendatipun kemenangan masih berada
dipihaknya, itupun harus diperjuangkan secara matimatian.
Andaikata Hoa Hujien benar-benar berada di dalam
goa, dengan dua lawan tiga maka keadaan mereka dua
bersaudara akan runyam.
Keadaan mereka pada saat ini boleh dibilang ibaratnya
menunggang di atas punggung harimau, mau turun tak
berani mau tetap duduk disitupun sungkan…. sementara
mereka masih berdiri dengan wajah kebingungan, tibatiba
dari jembatan seberang berkumandang datang suara
langkah manusia yang amat lirih.
Liong bun siang sat sama-sama tertegun dan segera
berpaling ke belakang, tampaklah belasan sosok
bayangan manusia dengan kece patan bagaikan
sambaran kilat sedang bergerak mendekat.
Dalam waktu singkat seorang kekek berbadan tinggi
kurus telah tiba lebih dahulu di tempat itu, dia bukan lain
adalah Jin Hian ketua dari perkumpulan Hong-im-hwie, di
sampingnya mengikuti seorang jago pula dan dia adalah
salah seorang tulang punggung perkumpulan Hong-imhwie
yang bukan lain adalah Yan-san It-koay.
Diam-diam Liong bun siang sat merasa kegirangan
melihat kehadiran jago-jago lihay tersebut, Sim Kian
segera melemparkan tu buh Pek Soh Gi ke depan sambil
serunya diiringi gelak tertawa berat, “Sungguh kebetulan
sekali kedatangan Cong Tang-kee di tempat ini, dialah
putri sulung dari Pek Siau-thian, coba periksalah

benarkah dia adalah pembunuh yang telah
membinasakan Bong ji?”
Ketika tubuh gadis itu dilontarkan ke depan, jalan
darahnya telah ditotok bebas, Jin Hian segera
menangkapnya dan membentak dengan wajah
menyeringai seram, “Pasang obor!”
Dalam waktu sekejap, delapan orang pengawal golok
emas yang dibawa serta oleh Jin Hian telah memasang
obor dan menggangkat tinggi-tinggi, suasana disekeliling
gua kuno pun menjadi terang benderangbagaikan berada
disiang hari.
Dengan sorot mata yang tajam bagaikan sambaran
kilat, Jin Hian menatap wajah Pek Soh-gie tanpa
berkedip, di dalam ketajaman matanya terpancar keluar
cahaya seram yang menggidikan hati, seakan-akan ia
hendak menembusi isi hati gadis itu.
Pek Soh-gie tetap tenang dan air mukanya sedikitpun
tidak beruba, mukanya yang cantik dengan biji matanya
yang bening dan jeli memandang wajah Jin Hian penuh
kehalusan dan ketenangan, begitu halus dan tenang
keadaannya sehingga mengherankan semua orang yang
hadir disitu.
Beberapa waktu kemudian, tangan Jin Hian yang
mencengkeram bahu Pek Soh-gie nampak gemetar
keras, cahaya matanya yang bengis bagaikan iblis kian
lama kian bertambah kalut dan kacau tak karuan,
mukanya berkerut kencang…. akhirnya dia menundukan

kepala, menghela napas dan berdiri termangu-mangu,
lama sekali tak mengucapkan sepatah katapun jua.
Tiba-tiba terdengar Yan sat It koay berseru, “Pek Sohgie
masih gadis psrawan, sedang Bong ji dengan
pembunuh itu pernah melakukan hubungan badan…. aku
rasa urusan ini agak sedikit tidak beres….”
Walaupun Pek Soh-gie berwajah cantik jelita bagaikan
bidadari yang baru turun dari kahyangan, namun
dandanannya sederhana dan biasa sekali, dari tubuhnya
terpancar pula kehalusan budi serta keramah tamahan
yang begitu meyakinkan, membuat barang siapa pun
yang melihat tentu tak akan percaya kalau dia adalah
seorang pembunuh.
Jin Hian berpengalaman luas dan berpandangan luas,
tentu diapun mengetahui bahwa Pek Soh-gie masih
perawan suci, atau dengan perkataan lain tak mungkin
dia adalah pembunuh yang membunuh putranya serta
mencuri barang berharga.
Dengan sepasang alis berkerut Sim kian segera
berseru, “Aku lihat di dalam persoalan ini tentu ada
orang yang sengaja membolak balikkan duduk
perkara….”
Tiba-tiba terdengar Pek Soh Gi berkata, “Apakah
engkau adalah Jin locianpwee?”
Jin Hian melototkan matanya bulat-bulat, setelah
menenangkan hatinya dia mengangguk.

“Sedikirpun tidak salah, akulah Jin Hian engkau ada
perkataan apa yang hendak disampaikan?”
“Boanpwee belum pernah menyeberangi sungai
Huang-ho menuju keutara, dan akupun belum pernah
membunuh orang….”
Jin Hian menggertak giginya kencang-kencang
sehingga berbunyi gemerutukan, tiba-tiba ia berpaling ke
arah gua kuno itu sambil bentaknya keras-keras, “Hoa
Thian-hong! Kalau engkau tak menunjukkan diri lagi,
janganlah salahkan kalau aku akan bertindak kasar
kepadamu!”
Rupanya pikiran jago tua ini sedang kacau sekali,
selesai mengucapkan kata-kata tersebut dia segera
ulapkan tangannya kepada seorang pengawal golok
emas yang berada disisinya sambil membentak.
“Lepaskan anak panah!”
Kiranya kawanan pengawal golok emas itu kecuali
menyoren sebilah golok bergagang emas yang besar,
pada pinggang masing-masing menyandang pula
gendewa serta anak panah yang berujung bulat telur,
sekilas memandang siapapun tahu kalau anak panah
yang mereka siapkan adalah panah-panah berapi.
Setelah mendapat perintah dari Jin Hian, buru-buru
pengawal golok emas itu menyiapkan gendewa dan
mengambil anak panah, setelah membakar ujungnya
panah tersebut segera dibidikkan ke dalam gua,

Sreeet….! Serentetan cahaya api dengan cepat meluncur
masuk ke dalam gua yang gelap itu.
Gelak tertawa berkumandang memecahkan kesunyian,
sambil menjepit batang anak panah itu dengan ketiga jari
tangannya, perlahan-lahan Hoa Thian-hong munculkan
diri dari dalam gua diiringi Tio Sam-koh serta Hoa In
dibelakangnya.
Pepatah mengatakan: Budha harus memakai emas
dan manusia harus memakai pakaian, kemarin baju yang
dikenakan Hoa Thian-hong tidak komplit dan keadaannya
mengenaskan sekali, sebaliknya hari ini dengan pakaian
yang baru serta pedang baja tersoren di atas pinggang,
keadaannya nampak begitu gagah dan mengagumkan.
Liong bun siang sat baru pertama kali ini bertemu
dengan Hoa Thian-hong, menyaksikan sikapnya yang
gagah tanpa terasa mereka mendengus dingin.
Pek Soh Gi segera mementang matanya yang jeli
ketika menyaksikan kemunculan Hoa Thian-hong dari
dalam gua, dengan hati kejut bercampur girang serunya,
“Oooh….! ternyata Hoa toako benar-benar terlepas dari
mara bahaya, ketika Ciu locianpwee mengatakan hal itu
kepadaku, aku masih tidak berani untuk
mempercayainya!”
Hoa Thian-hong tertawa dengan wajah minta maaf,
ujarnya, “Aku tak mampu menyelamatkan jiwa nona,
kalau diingat benar-benar menyesal sekali!”
“Hoa toako tak usah sungkan-sungkan”

Hoa Thian-hong segera memberi hormat kepada Jin
Hian, lalu bertanya.
“Ketua Jin, kau memanggil diriku keluar entah ada
urusan apa?”
Jin Hian tertawa seram.
“Heeeh…. heeeh…. heeeh…. harap Hoa Lo te suka
menyampaikan kepada ibumu, katakanlah kalau aku ada
urusan hendak bertemu dengan dirinya”
“Ketua Jin sebagai pemimpin dari suatu perkumpulan
besar, sudah sepantasnya kalau ibuku menemui dirimu
dengan segala kehormatan,” kata Hoa Thian-hong
dengan wajah serius…. sayang sekali dia orang tua
sedang berlatih suatu ilmu dan tak mungkin untuk keluar
dari gua, karena itu aku mohon ketua Jin bisa
memakluminya dan boanpwee mewakili ibuku minta
maaf yang sebesar-besarnya”
Mendengar perkataan itu, Jin Hian segera berpikir di
dalam hati, “Jadi kalau begitu, orang yang bersembunyi
di dalam gua benar-benar adalah bininya Hoa Goan
Sin….!”
Berpikir sampai disini, sorot matanya segera menyapu
sekejap ke arah Pek Soh Gi dan berkata kembali, “Nasib
aku orang she Jin memang benar-benar buruk, sudah
begini tua harus kehilangan satu-satunya putera
tunggalku…. aaai! Sampai sekarangpun aku masih belum
mengetahui macam apakah pembunuhnya, apakah dia

laki atau perempuan, cantik atau jelek…. kecuali Hoa loo
te, tak ada orang lain yang, mengetahui lagi”
Hoa Thian-hong termenung dan membayangkan
kembali keadaan pada saat terjadinya peristiwa itu,
kemudian ia menjawab, “Aku rasa pembunuh itu sudah
mempunyai susunan rencana yang amat masak, pergi
datangnya bukan saja menutupi raut wajah dengan kain
hitam bahkan diapun minta kepada putramu untuk
melarang semua orang melakukan pengintaian, dari sini
memang bisa ditarik kesimpulan bahwa cuma aku
seorang yang pernah mengetahui raut wajah aslinya”
Ia berhenti sebentar, sesudah termenung,
sambungnya lebih jauh, “Aaaai….! Meskipun aku pernah
bertemu dengan raut wajah sang pembunuh, tapi kalau
dipikir lebih seksama maka aku rasa belum tentu yang
kusaksikan adalah raut wajahnya yang sebenarnya”
“Hmmm! apakah engkau punya mata tak berbiji?”
sindir Sim Gui malaikat kedua dari Liong bun siang sat
dengan nada dingin.
Air muka Hoa Thian-hong berubah membesi,
tegurnya, “Aku rasa engkau tentulah malaikat kedua dari
Liong-bun bukan? Huuh….! Sebagai seorang angkatan
tua dari dunia persilatan, kalau bicara mengapa tak tahu
adat dan sopan santun? Munekinkah engkau tak pernah
mendapat pendidikan?”
“Hmmm! Kalau engkau menganggap aku tak tahu
adat, panggil saja ibumu suruh dia yang menuntut
kepadaku….”

Hoa Thian-hong tertawa dingin.
“Engkau anggap aku tak mampu untuk menuntut
dirimu?” ejeknya.
Baik Liong bun siang sat maupun Yan-san It-koay
semuanya merupakan jago-jago lihay yang mengerubuti
Hoa Goan Sin ketika dilangsungkan pertemuan besar Pak
beng Hwee, atau dengan perkataan lain mereka adalah
musuh besar pembunuh ayahnya dari Hoa Thian-hong.
Walaupun pemuda itu tetap memegang teguh pesan
ibunya yang mengharuskan dia mengesampingkan
masalah pribadi lebih dahulu, akan tetapi setelah
berjumpa dengan musuh besarnya tak urung hawa
kegusaran bergelora juga di dalam dadanya.
Malaikat kedua Sim Kian sebagai seorang jago yang
amat lihay tentu saja tidak pandang sebelah matapun
terhadap diri Hoa Thian-hong, dengan sorot mata
berkilat serunya sambil tertawa seram.
“Bajingan cilik yang tak tahu diri, akan kutangkap
dirimu lebih dahulu…. akan kulihat ibumu akan unjukkan
diri atau tidak?”
Sambil berkata ia menerjang maju ke depan, kelima
jari tangannya bagaikan cakar garu dan segera
mencengkeram dadanya.

Hoa In yang berada dibelakang, pemuda ini segera
mendengus dingin, sambil ayun telapaknya melancarkan
serangan ia segera menerjang maju ke depan.
“Hey, tua bangka! apakah engkau adalah Hoa In?”
bentak Sim Ciu dengan alis berkerut.
Tubuhnya menerjang maju ke depan, dan diapun
mengirim satu pukulan pula kemuka.
“Hmm! Kalau benar, ada apa?”
Sementara pembicaraan masih berlangsung kedua
orang itu sudah saling membentur satu sama lainnya
untuk kemudian berpisah kembali, dalam benturan itu
tubuh Sim Ciu terdesak mundur kembali ke belakang,
sedangkan Hoa In tetap menghadang dimulut gua,
sepasang kakinya terpantek di atas tanah dan sedikitpun
tak bergeser.
Dalam pada itu, Jin Hian telah berpikir di dalam hati.
“Pek Soh Gi tidak mirip pembunuh yang melakukan
pembunuhan berdarah tersebut, dan Bong ji sudah pasti
bukan mati ditangannya…. kalau tidak urusan tentu tak
akan beres-beres….”
Berpikir sampai disini, kepada Yan-san It-koay serta
Sim Kian segera ujarnya, “Aku harap lo koko berdua suka
membayangi diriku dari samping arena, aku hendak
bertempur beberapa gebrakan melawan Hoa loo-te
tersebut”

“Cong Tang-kee, mengapa kau harus turun tangan
sendiri?” seru Sim Kian dengan cepat…. biarlah aku
orang she Sim yang mewakili dirimu!”
Habis berkata ia segera berjalan menuju kemulut gua.
Pada saat itu Hoa Thian-hong sekalian masih berdiri
berjejer di depan mulut gua, meskipun pertarungan
antara Hoa In melawan Sim Ciu berlangsung dengan
serunya, namun tak seorangpun yang bersedia
tinggalkan tempat kedudukan mereka, kalau ditinjau
keadaan tersebut jelas membuktikan bahwa beberapa
orang itu hendak mempertahankan mulut gua itu matimatian
dan tidak memberi kesempatan pada musuhnya
untuk masuk ke dalam gua.
Ketika menyaksikan Sim Kian berjalan menghampiri
Hoa Thian-hong, tiba-tiba Tio Sam-koh menyikut si anak
muda itu sambil membentak keras, “Seng ji, mundur
selangkah ke belakang!”
Luka yang diderita Hoa Thian-hong belum sembuh, ia
tak berani secara gegabah menggunakan tenaga murni,
lagipula pemuda itupun menyadari bahwa kekuatannya
masih belum mampu menandingi Sim Kian, maka tanpa
banyak bicara lagi ia mundur selangkah ke belakang dan
bersembunyi di belakang Hoa In serta Tio Sam-koh.
Sementara itu perempuan she Tio yang berangasan ini
tidak menunggu Sim Kian turun tangan lebih dahulu, ia
segera putar sen jata toyanya dan disapu ke arah depan.

Permainan toyanya benar-benar dahsyat, ibarat
harimau yang gila, desiran angin tajam menderu-deru
memenuhi angkasa, ujung toya de ngan cepatnya
meluncur keuepan dan menghantam dada Sim Kian.
Menyaksikan datangnya serangan yang begitu
dahsyat, buru-buru orang she Sim itu meluncur ke
samping dengan ilmu Tay im sin jiau ia balas
melancarkan sebuah serangan.
Dalam waktu singkat Liong bun siang sat, Tio Sam-koh
serta Hoa In terlibat dalam dua pertarungan yang amat
seru, masing-masing pihak berusaha merebut posisi di
atas angin dan merobohkan musuhnya dengan cepat,
angin pukulan menderu-deru bayangan telapak berlapislapis,
ilmu Tay im sin jiau dari Liong bun Siang sat
menimbulkan desiran tajam yang memekikkan telinga,
masing-masing pihak mengeluarkan kepandaiannya yang
terampuh untuk merobohkan lawannya.
Hoa Thian-hong yang berdiri dimuka gua hanya
terpaut tiga lima langkah dari keempat orang itu,
sementara pandangan matanya terasa kabur dan
memusingkan kepala…. tiba-tiba terdengar desiran angin
tajam meluncur datang ke arahnya, tahu-tahu sebatang
anak panah berapi telah melurcur di depan mata….Anak
panah berapi itu meluncur datang dengan kecepatan
bagaikan sambaran kilat, Hoa Thian-hong merasa amat
terkejut dan buru-buru menyingkir setengah depa ke
samping, tangannya dengan cekatan berkelebat kemuka
menangkap gagang panah tersebut.

Sreeet….! Sreeet….! desingan tajam kembali
berkumandang memecahkan kesunyian, puluhan batang
anak panah berapi pada saat yang bersamaan meluncur
datang, sekilas memandang terlihatlah panah-panah itu
bagaikan bintang api yang meletus di udara membuat
sekeliling tempat itu segera berubah jadi merah.
Hoa Thian-hong segera menggerakkan panah yang
berada di dalam genggamannya untuk memukul rontok
anak panah berapi yang berhamburan bagaikan hujan
gerimis itu.
Ketika ia menengok ke arah depan, tampaklah para
pengawal golok emas telah menancapkan obornya ke
atas tanah, saat itu mereka semua sedang mementang
gendewa dan membidikkan anak panah ke arahnya.
Haruslah diketahui para pengawal golok emas itu
adalah jago-jago lihay yang sempurna di dalam hal
tenaga dalam, dalam melepaskan bidikan anak panahnya
itu mereka telah sertakan pula hawa murni yang amat
besar.
Hoa Thian-hong berjaga dimulut gua dan sama sekali
tak berani bergeser dari tempat semula, dengan
sendirinya ia harus berusaha menyampok rontok setiap
anak panah yang melurcur ke arahnya, pekerjaan
semacam ini boleh dikata payah dan banyak memakan
tenaga.
Jin Hian memberikan perintahnya dari samping, ketika
menyaksikan semua panah yang dibidikan ke arah gua

berhasil dipukul rontok semua, tiba-tiba ia meminta
gendewa itu dari seorang anak buahnya dan langsung
membidikkan sebatang anak panah ke arah si anak muda
itu.
Sreeet….! cahaya api berkilat diiringi desiran angin
tajam, kepala panah dengan cepat menyambarnya lewat
dari depan dada Hoa Thian-hong tidak lebih satu dua cun
di atas tubuhnya.
Si anak muda itu berseru kaget, panah di tangannya
segera digetarkan kemuka dan sekuat tenaga menangkis
datangnya ancaman tersebut.
Kraaak….! di tengah benturan keras, dua batang anak
panah itu segera tergetar patah jadi puluhan bagian yang
kecil dan berceceran di atas tanah.
Sreet! Sreet! di tengah berhamburannya hujan panah,
Jin Hian kembali melepaskan pula dua bidikan ke dalam
gua.
Cukup didengar dari desiran angin yang jauh lebih
tajam dari panah-panah lain, Hoa Thian-hong
mengetahui bahwa dua batang anak panah tersebut
dibidikkan sendiri oleh Jin Hian, dalam gugupnya ia
segera menyambar dua batang panah musuh yang
sedang meluncur datang dan sekuat tenaga disambitkan
ke arah panah-panah yang dilancarkan Jin Hian itu.
Traaang….! empat batang anak panah kembali patah
jadi beberapa bagian yang kecil.

Tiba-tiba…. sreet! Sepasang panah berapi yang amat
tajam meluncur datang melewati atas kepala Hoa Thianhong
dan langsung meluncur masuk ke dalam gua….
Anak panah tersebut dibidik sendiri oleh Jin Hian, Hoa
Thian-hong yang sedang ayun sepasang telapaknya
untuk menyampok datangnya hujan panah sama sekali
tak mampu menghadang datangnya desiian panah berapi
yang sedang meluncur ke dalam gua itu.
“Blaaam….!” ledakan keras menggetarkan seluruh
bumi, ketika hawa yang mengandung gas racun itu
bertemu dengan jilatan api, se ketika terciptalah
serentetan cahaya api yang menyelimuti seluruh
angkasa.
Hoa Thian-hong terkejut bercampur gelisah, ketika ia
sedang menguatirkan keselamatan dari ibunya, tiba-tiba
dari dalam gua berkumandang keluar suara dari Hoa
Hujien yang dingin dan berat, “Minggir semua!”
Hoa Hujien adalah orang yang paling dihormati oleh
Tio Sam-koh, Hoa Thian-hong serta Hoa In tentu saja tak
usah dikatakan lagi, mendengar perkataan itu tanpa
berpikir panjang lagi ketiga orang itu segera tinggalkan
musuh-musuhnya dan meloncat ke samping.
Blaaaam…. ledakan dahsyat bagaikan meletusnya
gunung api menggeletar di angkasa, hembusan udara
panas yang bercampur dengan jilatan api segera
meluncur keluar dari balik gua.

Liong bun siang sat sendiri meskipun mendengar
seruan dari Hoa Hujien, namun ia tak pernah menyangka
kalau dari balik gua bakal menyembur keluar cahaya api
yang begitu panas dan dahsyat, dalam kejutnya, sekuat
tenaga ia loncat mundur ke belakang.

ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru Cerita Silat Seru Lucah : Bara Maharani 4, cersil terbaru Cerita Silat Seru Lucah : Bara Maharani 4, Cerita Dewasa Cerita Silat Seru Lucah : Bara Maharani 4, cerita mandarin Cerita Silat Seru Lucah : Bara Maharani 4,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru Cerita Silat Seru Lucah : Bara Maharani 4, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru Cerita Silat Seru Lucah : Bara Maharani 4
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Silat Seru Lucah : Bara Maharani 4 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Silat Seru Lucah : Bara Maharani 4 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cerita-silat-seru-lucah-bara-maharani-4.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Silat Seru Lucah : Bara Maharani 4 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Silat Seru Lucah : Bara Maharani 4 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Silat Seru Lucah : Bara Maharani 4 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cerita-silat-seru-lucah-bara-maharani-4.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 1 komentar... read them below or add one }

poker mengatakan...

poker online terpercaya
poker online
Agen Domino
Agen Poker
Kumpulan Poker
bandar poker
Judi Poker
Judi online terpercaya

Posting Komentar