Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali 5

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Sabtu, 10 Desember 2011

Dua saudara Wanyen itu lantas memerintah serdadu-serdadunya berhenti berkelahi. Mereka ini bilang: “Kami tengah berdiam disini, orang ini tidak ada matanya, dia terjang kami!”
Pengiringnya Wang Khan itu mendongkol dan tidak mau mengerti. Ia pun tidak karu-karuan dipegat dan dikeroyok. Ia kata dengan sengit: “Aku toh ada di sebelah depan kamu dan kamu di belakang aku…!”
Dua saudara Wanyen itu tidak inginkan mereka adu mulut. “Berangkat!” mereka menitah.
Jamukha lihat itu semua, ia menduga peristiwa itu terjadi karena bisanya dua Wanyen ini, karena ia jadi waspada.
Tidak lama tibalah mereka di depan rombongannya Tusaga beramai. Dua ekor macan tutul sudah lepas dari ikatan pada lehernya, keempat kakinya tengah menoker-noker dan mulutnya meraung-raung tidak hentinya. Di depan mereka berdiri dua bocah ialah Tuli dan Kwee Ceng.
Temuchin dan keempat pahlawannya segera siapkan panah mereka, diarahkan kepada dua binatang liar itu. Temuchin ketahui baik, binatang adalah binatang kesayangan Sangum, yang ditangkap sedari masih kecil dan dipelihara dan dididik dengan banyak sukar hingga jadi b esar dan dapat mengerti, dari itu asal putranya tidakterancam tidak mau ia memanah macan itu.
Tusaga lihat datangnya banyak orang dan kakek beserta ayahnya juga berada bersama, ia jadi semakin temberang, berulang-ulang ia anjuri macannya lekas menyerang.
Wang Khan murka melihat kelakuan cucunya itu, disaat ia hendak mencegah, lalu terdengar suara kuda berlari-lari mendatangi di arah belakang mereka. Sebentar saja kuda itu, seekor kuda merah, tiba diantara mereka. Penunggangnya seorang wanita usia pertengahan yang memakai mantel kulit indah dan mengempo satu anak perempuan yang elok romannya, adalah istrinya Temuchin atau ibunya Tuli. Ia lantas lomat turun dari kudanya.
Nyonya Temuchin tengah pasang omong dengan istrinya Sangum di tenda mereka, tempo ia dengar perkara putranya, ia khawatirkan keselamatan putranya itu, maka ia lantas menyusul. Anak perempuan yang ia bawa-bawa itu adalah putrinya, Gochin Baki.
“Lepas panah!” Yulun Eke segera memerintah. Ia sangat khawatir melihat putranya terancam macan tutul itu. Gochin sebaliknya segera hampirkan kakaknya. Ia baharu berusia empat tahun, romannya cantik dan manis, ia belum tahu bahaya. ia tertawa haha-hihi. Kemudian ia ulurkan tangannya, berniat mengusap-usap kepalanya seekor macan tutul.
Macan itu lagi bersiap-siap, melihat orang datang dekat, segera ia berlompat menubruk.
Semua orang kaget, sedang Temuchin tidak berani melepaskan anak panahnya, khawatir kena putrinya. Keempat pahlawannya lempar panah mereka dan menghunus golok untuk maju menyerang.
Dalam saat mengancam itu, Kwee Ceng berlompat, ia tubruk Gochin, yang ia peluk, untuk menjatuhkan diri, meski demikian, kuku macan telah mampir dipundaknya.
Di antara empat pahlawan, Boroul yang bertubuh kate dan kecil adalah yang paling gesit, ialah yang maju di muka sekali, tetapi justru ia maju, kupingnya mendengar beberapa kali suara angin menyambar, menyusul mana kedua macan itu rubuh berbareng, rubuh celentang lalu tidak berkutik lagi. Ia menjadi heran, apapula ia dapatkan, kedua binatang itu berlubang masing-masing di kedua pelipisnya, yang darimana darah mengucur keluar. Terang itu adalah kerjaan orang yang lihay. Kapan ia berpaling ke arah darimana suara angin itu datang menyambar, tampak enam orang Han, pria dan wanita, lagi mengawasi dengan sikapnya yang tenang sekali. Ia lantas menduga kepada mereka itu.
Yulun Eke lantas saja peluki putrinya, yang ia ambil dari rangkulannya Kwee ceng. Anak itu menangis karena kagetnya, maka ia dihiburi ibunya, yang pun terus tarik Tuli, untuk dirangkul dengan tangannya yang lain.
Sangum sangat murka. “Siapa yang membunuh macanku?!” ia tanya dengan bengis.
Semua orang berdiam. Walaupun kejadian berlaku di depan mata mereka, tidak ada seorang jua yang ketahui siapa si penyerang gelap itu. Boroul sendiri tutup mulut.
“Sudahlah saudara Sangum!” berkata Temuchin sambil tertawa. “Nanti aku gantikan kau empat macan tutul yang paling jempolan ditambah sama delapan pasang burung elang.”
Sangum masih mendongkol, ia membungkam.
Wang Khan gusar, ia mendamprat Tusaga. Cucu ini didamprat di depan orang banyak, ia penasaran, keluarlah alemannya, ia terus menangis sambil bergulingan di tanah, ia tidak pedulikan walaupun kakeknya menitahkan ia berhenti menangis.
Diam-diam Jamukha kisiki Temuchin apa yang tadi terjadi di tengah jalan antara pengiringnya Wang Khan dan serdadu-serdadu Kim.
Panas hatinya Temuchin. Ia menginsyafi peranan kedua saudara Wanyen itu. Di dalam hatinya, ia kata: “Kamu hendak bikin kita bercedera, kita justru hendak berserikat untuk menghadapi kamu!” Maka ia hampiri Tusaga, untuk dikasih bangun dengan dipeluk. Anak itu mencoba meronta tetapi tidak berhasil.
Sambil tertawa, Temuchin hampiri Wang Khan dan kata: “Ayah inilah permainan anak-anak, tak usah ditarik panjang. Aku lihat anak ini berbakat baik, aku berniat menjodohkan dia dengan anakku, bagaimana pikirmu?”
Wang Khan girang, ia lihat, meskipun masih kecil, Gochin sudah cantik, setelah dewasa, mesti dia jadi elok sekali. Ia tertawa dan menyahuti: “Mustahil aku tidak setuju? Marilah kita tambah erat persaudaraan kita. Cucuku yang perempuan hendak aku jodohkan dengan Juji, putramu yang sulung, Kau akurkah?”
Dengan girang, Temuchin kata sama Sangum. “Saudara, sekarang kita menjadi besan!”
Sangum itu angkuh, ia sangat bangga untuk keturunannya, terhadap Temuchin ia berdengki dan memandang enteng, tak senang ia berbesan dengannya, tak senang ia berbesan, akan tetapi disitu ada putusannya ayahnya, terpaksa ia menyambut dengan sambil tertawa.
Wanyen Lieh menjadi sangat tidak puas. Gagallah tipu dayanya. Selagi ia berpaling, ia lihat rombongannya Kwa Tin Ok, dan Cu Cong rebah di atas unta. Ia terperanjat dan heran sekali. “Eh, kenapa ini beberapa Manusia Aneh berada disini?” katanya dalam hatinya.
Tin Ok beramai tidak mau menarik perhatian orang, mereka berdiri jauh-jauh. Mereka tidak lihat Wanyen Lieh, itulah kebetulan bagi pangeran ini yang lantas ngeloyor pergi duluan.
Temuchin lantas dapat tahu enam itu ialah yang tolongi putranya, ia suruh Boroul memberi hadiah bulu dan emas, sedang Kwee Ceng, yang ia usap-usap kepalanya, ia puji untuk keberaniannya.
Tuli tunggu sampai Wang Khan semuanya sudah berlalu, ia tutur kepada ayahnya sebabnya ia berkelahi sama Tusaga, ia pun bicara hal Kanglam Cit Koay ( yang sekarang menjadi Kanglam Liok Koay sebab jumlah mereka telah berkurang satu).
Temuchin berpikir sebentar, terus ia kata pada Coan Kim Hoat, “Baik kamu berdiam di sini mengajari ilmu silat kepada putraku. Berapa kamu menghendaki gaji kamu?”
Coan Kim Hoat senang dengan tawaran itu. Mereka memang lagi pikirkan tenpat untuk bisa mendidik Kwee Ceng. Ia lantas menyahuti: “Khan yang besar sudi terima kami, itu pun sudah bagus, mana kami berani minta gaji besar? Terserah kepada Khan sendiri berapa sudi membayarnya.”
Temuchin girang, ia suruh Boroul layani enam orang itu, untuk diberi tempat, habis itu ia larikan kudanya, untuk susul kedua saudara Wanyen, guna mengadakan perjamuan perpisahan untuk mereka itu.
Kanglam Liok Koay jalan perlahan-lahan, untuk merundingkan urusan mereka.
“Mayatnya Tan Hian Hong dipotong dada dan perutnya, entah itu perbuatan kawan atau lawan…” kata Han Po Kie.
“Itulah aneh, aku tak dapat menerkanya,” bilan Tin Ok. “Yang paling perlu ialah mencari tahu dimana beradanya Tiat Sie.”
“Memang selama ia belum disingkirkan, kita selalu terancam bahaya,” menyatakan Cu Cong.
“Sakit hatinya ngoko memang mesti dibalas!” kata Siauw Eng.
Karena ini kemudian Po Kie bersama Siauw Eng dan Kim Hota lantas pergi mencari. Mereka mencari bukan hanya disekitar tempat itu, malah diteruskan hingga beberapa hari, mereka tidak peroleh hasil.
“Wanita itu rusak matanya terkena tok-leng toako, mestinya racunnya senjata itu bekerja, maka mungkin ia mampus di dalam selat!” kata Po Kie kemudian sepulangnya mereka.
Dugaan ini masuk di akal. tapi Tin Ok tetap berkhawatir. ia baharu merasa hatinya tentram kalau sudah dengan tangannya sendiri ia bisa raba mayatnya Tiat Sie si Mayat Besi itu. Ia menginsyafi lihaynya Bwee Tiauw ong. Tentang perasaannya ini ia tidak utarakan, ia khawatir saudara-saudaranya bersusah hati.
Sejak itu Kanglam Liok Koay menetap di gurun pasir, akan ajari ilmu silat kepada Kwee Ceng dan Tuli yang juga diajari ilmu perang. Dan Jebe bersama boroul turut memberi petunujk juga. Hanya kalau malam, Kwee Ceng dipanggil belajar sendirian untuk diajari ilmu pedang, senjata rahasia dan entengi tubuh. Sebab diwaktu siang mereka diajari menunggang kuda, main panah dan ilmu tombak.
Kwee Ceng bebal, di sebelah itu ada sifatnya yang baik. Ia tahu ia mesti membalas sakit hati ayahnya, untuk itu ilmu silat penting, dari itu, ia belajar dengan rajin sekali. Untuk itu ia dapatlah disebut, pisau tumpul kalau digosok terus bisa menjadi tajam.
Cu Cong bersama Coan Kim Hoat dan Han Siauw Eng mengajarakan ilmu kegesitan, kemajuannya sedikit, tapi ajarannya Han Po Kie dan Lam Hie Jin tentang pokok dasar silat, ia mengerti dengan cepat, malah ia segera dapatkan maknanya itu.
Sang tempo berjalan dengan pesat, sepuluh tahun sudah lewat. Sekarang Kwee Ceng telah menjadi satu anak tanggung berumur enam belas tahun. Lagi dua tahun akan tiba saatnya janji pibu itu, adu kepandaian. Maka Kanglam Liok Koay perhebat pengajarannya, hingga untuk sementara muridnya dilarang belajar naik kuda dan memanah, dan siang dan malam terus ia belajar silat tangan kosong dan pedang.

Bab 10. Malam Yang Hebat
Cu Cong ambil sikapnya ini untuk bersedia membokong musuh. Ia percaya Tong Sie terlebih lihay daripada Tiat Sie, dari itu, ia terpaksa menggunai akal ini.
Itu waktu Siauw Eng telah kasih dengar suara kaget. Ia tanmpak sekarang, di depan bayangan yang berpekikan tak hentinya itu, ada satu bayangan lain, yang kecil dan kate. Karena tubuhnya kecil, bayangan ini tadi tidak kelihatan. Ia lantas lari turun ke arah orang orang bertubuh kecil dan kate itu, sebab ia segera menduga kepada Kwee Ceng. Ia berkhawatir berbareng girang. Ia khawatirkan keselamatannya bocah itu, ia girang yang orang telah menepati janji. Dan ia kemudia berlari, untuk memapaki, guna menyambut bocah itu.
Selagi dua orang ini mendatangi dekat satu dengan lain, Tong Sie si Mayat Perunggu pun telah mendatangi semakin dekat kepada Kwee ceng. Ia dapat berlari dengan cepat luar biasa.
“Inilah hebat…” pikir Siauw Eng. “Aku bukan tandingannya Tong Sie….tapi mana dapat aku tidak menolong bocah itu?” Maka terpaksa ia cepatkan tindakannya, terpaksa ia berteriak: “Bocah, lekas lari, lekas lari!”
Kwee Ceng dengar suara itu, ia lihat si nona, ia menjadi kegirangan hingga ie berseru. ia tidak tahu, di belakangnya dia tangan maut lagi menghampiri.
Siauw Mie To Thio A Seng telah menaruh hati kepada Han Siauw Eng sejak beberapa tahun, sampai sebegitu jauh belum pernah ia berani mengutarakan rasa hatinya itu, sekarang ia lihat si nona Han terancam bahaya, ia kaget dan berkhawatir, dengan melupakan bahaya, ia lari turun, niatnya mendahului nona itu, untuk memberi tahu supaya, habis menolongi orang, si nona terus menyingkir.
Lam Hie Jin semua memasang mata ke bawah bukit, mereka bersedia dengan senjata rahasia masing-masing, untuk menolongi Siauw Eng dan A Seng.
Segera juga Siauw Eng sampai kepada Kwee Ceng, tanpa bilang suatu apa, ia sambar bocah itu, terus ia memutar tubuh, guna lari balik, mendaki bukit. Tiba-tiba ia rasai tangannya enteng, berbareng dengan itu, Kwee Ceng pun menjerit kaget! Bocah itu telah dirampas Tan Hian Hong, demikian bayangan yang mengejar itu.
Dengan kegesitannya, Siauw Eng lompat ke samping, dari situ ia menyerang dengan pedangnya ke iga kiri si Mayat Perunggu, tetapi ia gagal, maka ia susuli dengan tikaman ke arah mata. Dengan beruntun ia mainkan jurus “Hong Hong tiam tauw” – Burung Hong menggoyang kepala, dan “Wat Lie Kiam-hoat”- ilmu pedangnya gadis Wat.
Tan Hian Hong mengempit Kwee Ceng di dengan lengan kirinya, ia kasih lewat ujung pedang, lalu dengan sikut kanannya, ia menyampok, setelah pedang itu berpindah arah, ia meneruskan menyambar si nona dengan jurusnya “Sun swi twi couw” – Menolak Perahu Mengikuti Air. Sia-sia Siauw Eng tarik pedangnya, untuk diteruskan dipakai membabat, tanganya Hian Hong mendahulukan menepuk pundaknya, hingga seketika ia roboh ke tanah.
Tan Hian Hong tidak berhenti sampai disitu, ia memburu dan ulur tangannya yang terbuka ke ubun-ubunnya nona Han. Ia bergerak dalam jurus Kiu Im Pek-kut Jiauw yang lihay yang untuk meremukkan batok kepala orang.
Thio A Seng sudah maju tinggal beberapa tindak lagi, ia melihat ancaman bahaya terhadap si nona yang ia sayangi, ia lompat kepada si nona itu, untuk mengahalangi serangan, tetapi justru karena ini, bebokongnya mewakilkan Siauw Eng kena dijambret, hingga lima jarinya si Mayat Perunggu masuk ke dalam dagingnya. Ia menjerit keras tetapi pedangnya dikerjakan untuk dipakai menikam ke dadanya lawan! Hanya, kapan Hian Hong mengempos semangatnya, pedang itu meleset di dadanya itu. Berbareng dengan itu, si Mayat Perunggu lemparkan tubuh musuhnya.
Cu Cong bersama Coan Kim Hoat, Lam Hie Jin dan Han Po Kie lantas lari menyusul tubuh saudaranya itu.
“Hai, perempuan bangsat, bagaimana kau?!” terdengar teriakannya Hian Hong.
Tiauw Hong tengah memegangi pohon besar, ia menyahut dengan keras: “Lelaki bangsat,sepasang mataku dirusak oleh mereka itu! ikalau kau kasih lolos satu saja diantara tiga ekor anjing itu, sebentar akan aku adu jiwa denganmu!”
“Bangsat perempuan, legakan hatimu!” sahut Tan Hian Hong. “Satu juga tidak bakal lolos!” sambil mengucap begitu, ia serang Han Siauw Eng dengan dua-dua tangannya.
Dengan gerakannya “Lay louw ta Kun” atau “Keledai malas bergulingan”, Siauw Eng buang diri dengan bergulingan, dengan begitu ia bisa menyingkir beberapa tindak, hingga ia bebas dari bahaya.
“Kau masih memikir untuk menyingkir?” tanya Hian Hong.
Thio A Seng rebah di tanah dengan terluka parah, menampak nona Han dalam bahaya, ia menahan sakit, ia kerahkan semua tenaganya, ia menerjang kepada musuh itu.
Hian Hong lihay sekali, batal meneruskan serangannya kepada Siauw Eng, ia papaki kakinya Thio A Seng itu, lima jarinya masuk ke dalam daging betis, maka itu, tak dapat Siauw Mie To bertahan lagi, setelah satu jeritan keras, ia jatuh pingsan.
Justru itu, Siauw Eng lepas dari marabahaya, sambil lompat bangun, ia menyerang musuhnya. Tapi sekarang ia menginsyafi lihaynya musuh, ia tak mau berkelahi secara rapat, saban kali si Mayat Perunggu hendak menjambak, ia jauhkan diri, ia berputaran.
Di waktu itu, Lam Hie Jin dan yang lainnya telah tiba, malah Cu Cong bersama Coan Kim Hoat mendahulukan menyerang denagn senjata rahasia mereka.
Tan Hian Hong kaget dan heran akan menyaksikan semua musuhnya demikian lihay, ia menduga-duga siapa mereka dan kenapa mereka itu muncul di gurun pasir ini. Akhirnya ia berteriak: “Eh, perempuan bangsat, makhluk-makhluk ini orang-orang macam apakah?!”
Bwe Tiauw Hong sahuti suaminya itu: “Mereka itu adalah saudaranya Hui-thian Sin Liong dan konconya Hui Thian Phian-hok!”
“Oh!” berseru Hian Hong. Lantas ia mendamprat: “Bagus betul, bangsat anjing, kiranya kau belum mampus! Jadinya kamu datang kemari untuk mengantarkan nyawa kamu!”
Tapi ia juga khawatirkan keselamatan istrinya, ia lalu menanya: “Eh, perempuan bangsat, bagaimana dengan lukamu? Apakah luka itu menghendaki jiwa kecilmu yang busuk itu?!”
Bwee Tiauw Hong menyahuti suaminya dengan mendongkol: “Lekas bunuh mereka! Nyonya besarmu tidak bakalan mampus!”
Hian Hong tahu luka istrinya itu berat, kalau tidak, tidak nanti ia pegang pohon saja dan tiak datang membantu. Istri itu sengaja pentang mulut besar. Ia berkhawatir tetapi ia dapat menghampiri istrinya itu. Cu Cong berlima telah kurung padanya, sedang yang satunya lagi, yaitu Kwa Tin Ok, berdiri diam sambil menanti ketikanya. Ia lantas lepaskan Kwee Ceng, yang ia lempar ke tanah, meneruskan gerakan tangan kirinya itu, ia serang Coan Kim Hoat.
Kim Hoat kaget melihat Kwee Ceng dilempar. Bocah itu dalam bahaya. Karena itu, sambil berkelit, ai terus lompat kepada Kwee Ceng, tubuh siapa ia sambar, dengan lompat berjumpalit, ia menyingkir setombak lebih. Gerakannya itu ialah yang dinamakan “Leng miauw pok cie” atau “Kucing gesit menerkam tikus”, untuk menolongi diri berbareng menolongi orang.
Hian Hong kagum hingga ia memuji di dalam hatinya. tapi ia telengas, makin lihay musuh, makin keras niatnya untuk membinasakan mereka, apalagi sekarang ini latihannya ilmu yang baru, Kiu Im Pek-kut Jiauw, sudah selesai delapan atau sembilan bagian. Tiba-tiba ia berpekik, kedua tangannya bekerja, meninju dan menyambar.
Kelima Manusia Aneh dari Kanglam itu menginsyafi bahaya, karenanya mereka berkelahi dengan waspada, tak sudi mereka merapatkan diri. Maka itu kurungan mereka menjadi semakin lebar.
Setelah berselang begitu lama, Han Po Kie tunujk keberaniannya. Ia menyerang dengan Teetong Pian-hoat, yaitu ilmu bergulingan di tanah, guna menggempur kaki lawan.
Dengan caranya ini, ia membikin perhatiannya tan Hian Hong menjadi terbagi. Karena ini, satu kali ia kena dihajar kayu pikulan Lam Hie Jin, hingga bebokongnya berbunyi bergedebuk. Walaupun merasakan sakit, tapinya ia tidak terluka, dia hanya terteriak menjerit-jerit, berbareng dengan itu, tangannya menyambar penyerangnya itu.
Belum lagi Hie Jin menarik pulang senjatanya, sambaran itu sudah sampai kepadanya, terpaksa ia melenggakkan tubuhnya.
Lihay tangannya Hian Hong itu. Diwaktu dipakai menyambar, buku-buku tulangnya memperdengarkan suara berkeretekan, lalu tangannya itu seperti terulur menjadi lebih panjang dari biasanya. berbareng dengan itu juga da tercium bau bacin.
Hie Jin kaget sekali. Selagi ia dapat mencium bau itu, tangan musuh yang berwarna biru sudah mendekati alisnya, atau sekarang tangan itu – atau lebih benar lima jarinya – sudah mendekati ubun-ubunnya! Dalam keadaan sangat berbahya itu, ia gunai Kim-na-hoat, ilmu menangkap tangan, guna membnagkol lengan musuh itu, untuk diputar ke kiri.
Berbareng dengan itu, Cu Cong pun merangsak ke belakang Tong Sie, si Mayat Perunggu itu, tangan kanannya yang keras seperti besi, diulur, guna mencekik leher musuh itu. Karena tangan kanannya itu terangkat, dengan sendirinya dadanya menjadi terbuka. Ia tidak menghiraukan lagi hal ini karena adiknya terancam dan adiknya itu perlu ditolongi.
Sekonyong-konyong saja guntur berbunyi sangat nyaring, lalu dengan tiba-tiba juga, mega hitam menutup sang putri malam, hingga semua orang tidak dapat melihat sekalipun lima jari tangannya di depan matanya!
Di dalam gelap gulita itu, orang dengar suara merekek dua kali dan suara “Duk!” satu kali, tanda tenaga diadu. Itulah Tan Hian Hong, yang telah pertunjuki tenaganya yang menyebabkan Hie in patah bahu kirinya, sedang sikutnya yang kiri menghajar dadanya Cu Cong.
Rasa sakit tiba-tiba membuat Cu Cong meringis dan tangannya yang dipakai mencekik leher musuh terlepas sendirinya, sebab tubuhnya terpental rubuh saking kerasnya serangan sikut itu.
Hian Hong sendiri bukannya tidak menderita karenanya, sebab tadi hampir-hampir ia tak dapat bernapas, setelah bebas, ia lompat ke samping, untuk lekas-lekas menjalankan napasnya.
“Semua renggang!” teriak Han Po Kie dalam gelap gulita itu.
“Citmoay, kau bagaimana…”
“Jangan bersuara!” menjawab Siauw Eng, si adik yang ketujuh itu. Dan ia lari ke samping beberapa tindak.
Kwa Tin Ok dengari segala gerak-gerik, ia menjadi heran sekali. “Jitee, kau bagaimana?” ia terpaksa bertanya.
“Sekarang ini langit gelap sekali, siapa pun tidak dapat melihat siapa,” Coan Kim Hoat memberitahu.
Mendengar itu, Hui Thian Pian-hok si Kelelawar Terbangkan Langit itu menjadi girang luar biasa. “Thian membantu aku!” ia memuji dalam hatinya.
Diantara tujuh Manusia Aneh, tiga sudah terluka parah, itu artinya Kanglam Cit Koay telah kalah besar, maka syukur untuknya, sang guntur menyebabkan langit menjadi gelap gulita, habis mana, sang hujan pun turun menyusul. Semua orang berhenti bertempur karenanya, tidak ada satu pun yang berani mendahului bergerak pula.
Kwa Tin Ok berdiam, dengan lihaynya pendengarannya itu, walaupun ada suara hujan, samar-samar ia masih mendengar suara napas orang. Dengan waspada ia pasang terus kupingnya. Ia dengar suara napas di sebelah kiri ia, terpisahnya delapan atau sembilan tindak daripadanya. Ia merasa pasti, itu bukan napas saudara angkatnya, dengan lantas ia ayunkan kedua tangannya, akan terbangkan enam batang tok-leng, diarahkan ke tiga penjuru.
Tan Hian Hong adalah orang yang diserang. Si Mayat Perunggu lihay sekali. Ia dengar sambaran angin, ia segera menunduk. Dua batang tok-leng lewat di atas kepalanya. Empat yang lain tepat mengenai tubuhnya, tetapi ia kebal seperti istrinya, ia tidak terluka, ia melainkan merasa sangat sakit. Karena serangan tok-leng ini, ia menjadi tahu di mana adanya si penyerang, musuhnya itu. Ia lompat ke arah musuh itu, kedua tangannya dipakai untuk menyambar. Ia tidak kasih dengar suara apa-apa.
Tin ok dengar suara angin, ia lantas berkelit, sambil berkelit, ia menghajar dengan tongkatnya.
Dengan begitu, di tempat gelap gulita itu, dua orang ini bertempur. Satu dengan yang lain tidak dapat melihat, mereka dari itu Cuma andalkan kuping mereka, mereka melainkan mendengari suara sambarannya angin.
Han Po Kie bersama Han Siauw Eng dan Coan Kim Hoat, yang ketahui kakaknya tengah bertenpur, sudah lantas kasih dengar seruan mereka berulang-ulang, untuk menganjurkan kakak itu, guna mencoba mengacaukan pikiran musuh. Disamping itu dengan meraba-raba, mereka pun menolongi tiga saudara mereka yang tealh terluka.
Pertempuran Hian Hong dengan Tin Ok hebat dengan cepat telah berlalu dua sampai tigapuluh jurus. Untuk Han Po Kie beramai, rasanya pertempuran itu berjalan sudah lama, disebabkan ketegangan dan kecemasan hati mereka. Ingin mereka membantui saudara mereka itu tetapi mereka tidak dapat melihat.
Tiba-tiba Hian Hong menjerit aneh. Dua kali ia terhajar tongkat, suara terhajarnya terdengar nyata. Mendengar itu, Po Kie semua bergirang. Itulah tandanya kakak mereka mulai berhasil.
Selagi orang kegirangan, mendadak kilat menyambar, memperlihatkan sinar terang.
Coan Kim Hoat terkejut, ia berseru: “Toako, awas!”
Hian Hong sangat lihay dan gesit, selagi Kim Hoat bersuara, tubuhnya sudah mencelat maju, untuk mendesak Kwa Tin Ok. Ia tidak hiraukan tongkat lawan, yang kembali mampir di tubuhnya yang kebal itu. Tongkat itu ia papaki denagn pundaknya yang kiri, tangannya sendiri diputar ke atas, guna menangkap tongkat musuh itu. Berbareng dengan gerakan tangan kiri ini, tangan kanannya menjambak ke depan. Sinar kilat sudah lenyap tetapi sambaran itu telah mengenai sasarannya.
Tin Ok kaget tidak kepalang, ia melompat mundur. Gerakannya itu terhalang, karena bajunya kena terjambak dan robek karenanya. Karena ini, Hian Hong lanjuti serangannya tanpa berlengah sedetikpun, dengan mengepal lima jari tangannya, ia lanjuti serangannya, lengannya itu terulur panjang.
Telak serangan itu, tubuh Tin Ok terhuyung. tapi ia belum bebas bahaya. Tongkatnya yang terampas Hian Hong, oleh Hian Hong dipakai menyerang ia dalam rupa timpukan!
Bukan main girangnya si Mayat Perunggu, ia tertawa sambil berlenggak, ia berpekik secara aneh.
Justru itu, kilat berkelebat pula, maka juga Han Po Kie menjadi kaget sekali. ia melihat bagaimana tongkat kakaknya itu, yang digunai Hian Hong, tengah menyambar ke kakaknya itu, yang tubuhnya terhuyung. Syukur dalam kagetnya itu, ia masih ingat untuk segera menyerang denagn cambuknya, guna mencegah dan melibat tongkat itu.
“Sekarang hendak aku mengambil nyawa anjingmu, manusia cebol terokmok!” berseru Hian Hong, yang lihat aksinya si orang she Han, yang menolongi kakanya itu. Ia lantas berlompat, guna hampirkan si cebol. Tapi kakiknya terserimpat, seperti ada tangan yang menyambar merangkul. Orang itu bertubuh kecil.
Ia menduga tak keliru, orang itu ialah Kwee Ceng! Segera ia menunduk, untuk sambar bocah itu.
“Lepaskan aku!” menjerit Kwee Ceng.
“Hm!” Hian Hong ksaih dengar suaranya yang seram.
Tetapi tiba-tiba Tan Hian Hong perdengarkan jeritan yang hebat sekali, tubuhnya terus roboh terjengkang. Ia terkena justru bagian tubuhnya yang terpenting, ialah kelemahannya. Ia melatih diri dengan sempurnya, ia menjadi tidak mempan barang tajam, kecuali pusarnya itu. Lebih celaka lagi, ia terkena pisaunya Khu Cie Kee, yang tajamnya bahkan sanggup mengutungi emas dan batu kemala. Diwaktu bertempur ia selalu melindungi perutnya, tetapi sekarang selagi mencekuk satu bocah, ia lupa. Ini dia yang dibilang “Orang yang pandai berenang mati kelelap, di tanah rata kereta rubuh ringsak”. Sebagai jago is terbinasa di tangannya satu bocah yang tidak mengerti ilmu silat.
Bwee Tiauw Hong si Mayat Besi dapat dengar jeritan suaminya itu, dari atas bukit ia lari untuk menghampirkan. Satu kali ia kena injak tempat kosong, ia terjeblos dan roboh terguling-guling. Tetapi ia bertubuh kuat, berurat tembaga bertulang besi, ia tidak terluka. Segera ia tiba di samping suaminya.
“Lelaki bangsat, kau kenapa?” ia tanya. Tak pernah ia lupai kebiasaannya membawa-bawa “bangsat”, sebagaimana juga kebiasaan suaminya.
“Celaka, perempuan bangsat….” sahut Hian Hong lemah. “Lekas kau lari…!”
Kwee Ceng dengar pembicaraan itu. Setelah menikam dan terlepas dari cekukan, ia bersembunyi di pinggiran. Ia takut bukan main.
Sang istri kertak giginya. “Akan aku balaskan sakit hatimu!” ia berseru.
“Kitab itu telah aku bakar…” kata Hian Hong, suaranya terputus-putus. “Rahasianya…di dadaku…” Ia tak dapat bernapas terus, tulang-tulangnya lantas meretak berulang-ulang.
Tiauw Hong tahu, disaat hendak menghembuskan napas terakhir, suaminya itu telah membuyarkan tenaga dalamnya. Itulah siksaan hebat. ia tak dapat mengawasi suaminya itu tersiksa begitu rupa. Maka juga, ia kuatkan hatinya lalu dengan tiba-tiba, ia hajar batok kepala suaminya. Maka sejenak itu, habislah nyawa jago itu.
Istri ini lantas meraba ke dada orang, untuk mengambil kitab yang dikatakan suaminya itu, ialah kitab Kiu Im Cin Keng bagian rahasianya.
Tan Hian Hong dan Bwee Tiauw Hong ini asalnya adalah saudara satu perguruan, mereka adalah murid-muridnya Tocu Oey Yok Su, pemilik dari pulau Tho Hoa To di Tang Hay, Laut Timur.
Oey Yok Su adalah pendiri dari suatu kaum persilatan sendiri, kepandaiannya itu ia ciptakan dan yakinkan di pulau Tho Hoa To itu. Sejak ia berhasil menyempurnakan ilmu kepandaiannya, tidak pernah ia pergi meninggalkan pulaunya itu. Karena ini, untuk di daratan Tionggoan, sedikit orang yang ketahui kelihayannya, maka juga ia kalah terkenal dari kaum Coan Cin Kauw yang kenamaan di Kwantong dan Kwansee dan Toan Sie yang kesohor di Selatan (Thian Lam).
Dua saudara seperguruan itu terlibat api asmara sebelum mereka lulus. Mereka insyaf, kalau rahasia mereka ketahuan, mereka bakal dihukum mati dengan disiksa. Maka itu pada suatu malam gelap buta, mereka naik sebuah perahu kecil, kabur ke pulau Heng To di sebelah selatan, dari mana mereka menyingkir lebih jauh ke Lengpo di propinsi Ciatkang.
Tan Hian Hong tahu, ilmu silatnya cukup untuk membela diri tetapi tak dapat digunai untuk menjagoi, sekalian buron, maka ia tak berbuat kepalang tanggung, ia curi sekalian kitab Kiu Im Cin Keng dari gurunya, untuk mana ia nyelusup masuk ke kamar gurunya itu.
Kapan Oey Yok Su ketahui perbuatannya kedua murid itu, ia murka bukan main. Tapi ia telah bersumpah tidak akan meninggalkan Thoa Hoa To, terpaksa ia membiarkan saja, hanya saking murkanya, lain-lain muridnya menjadi korbannya. Semua muridnya itu ia putuskan urat-uratnya, hingga mereka menjadi manusia-manusia bercacad seumur hidupnya, lalu ia usir mereka dari pulaunya.
Hian Hong dan Tiauw Hong menyembunyikan diri untuk menyakinkan Kiu Im Cin Keng itu. Dengan begini mereka bikin diri mereka menjadi jago. Belum pernah ada orang yang sanggup robohkan mereka. Sebaliknya, mereka telah minta bnayak korban, apapula makin lama mereka jadi makin telangas.
Pada waktu suami istri kejam ini dikeroyok orang-orang gagah dari pelbagai partai persilatan di utara Sungai Besar. Medan pertempuran ada di atas gunung Heng San. Dua kali mereka mendapat kemenangan, baru ketiga kalinya, mereka kena dilukakan, hingga mereka kabur untuk sembunyikan diri. Kekalahan ini disebabkan terlalu banyak pengepungnya. Mereka sembunyikan diri sampai belasan tahun, tidak ada kabar ceritanya, hingga orang percaya mereka sudah mati karena luka-lukanya. Tidak tahunya, mereka terus menyakinkan Kiu Im Cin Keng bagian “Kiu Im Pek Kut Jiauw” atau “Cengkeraman Tulang Putih” dan “Cui Sim Ciang” atau “ Tangan Peremuk Hati”.
Aneh tabiat Hian Hong, walaupun pada istrinya, ia tidak hendak beri lihat kitab Kiu Im Cin Keng itu, biar bagaimana Tiauw Hong memohonnya, ia tidak ambil peduli, adalah setelah ia sendiri berhasil mempelajarinya, baru ia turunkan kepandaian itu kepadanya istrinya. Ketika istrinya desak, Hian Hong menjawab: “Sebenarnya kitab ini terdiri dari dua bagian. Saking tergesa-gesa, aku dapat curi cuma sebagian, sebagian bawah. Justru di bagian atas adalah pelajaran pokok dasarnya. Adalah berbahaya menyakinkan bagian bawah tanpa bagian atas. dari itu, biar aku yakinkan sendiri dulu. Kalau tidak, atau kalau kau termaha, kau bisa celaka. Kau tahu, kepandaian yang kita sudah dapati dari suhu masih belum cukup untuk pelajari bagian bawah ini. Maka itu, aku mesti memilih dengan teliti.”
Tiauw Hong percaya pada suaminya, ia tidak memaksa lebih jauh. Adalah sekarangm, disaat dia hendak menutup mata, Hian Hong suka serahkan kitabnya itu pada istrinya. Tapi bukan kitabnya sendiri yang dia telah bakar, hanya singkatannya atau rahasia pokoknya.
Tiauw Hong lantas raba dada suaminya, ia tidak dapatkan apa-apa. Ia heran hingga ia diam menjublak. Tentu saja, ia menjadi penasaran, maka ia hendak memeriksa, untuk mencari terlebih jauh. Sayang untuknya, ia tidak sempat mewujudkan niatnya itu. Sebab Han Po kie bersama Siauw Eng dan Coan Kim Hoat, membarengi berkelebatnya kilat, hingga mereka bisa melihat musuh, sudah lantas maju menyerang.
Repot juga Tiauw Hong, yang kedua matanya sudah buta. Ia sekarang hanya mengandal pada kejelian kupingnya, kepada gerak-gerik angin. Ia tahu ada orang serang padanya, ai melawan dengan mainkan tipu-tipu Kim-na-hoat, ilmu Menyambar dan Menangkap. Adalah keinginannya ilmu ini agar musuh berkelahi rapat.
Ketiga Manusia Aneh ini menjadi cemas, bukan saja mereka tidak dapat mendesak, mereka sendiri saban-saban menghadapi ancaman. Di dalam hatinya, Po Kie berkata: “Celaka betul! Bertiga kita lawan satu wanita buta, kita tidak berhasil, runtuhlah nama nama Kanglam Cit Koay…” Maka itu, ia berpikir keras. Setelah itu mendadak ia menyerang hebat kepada bebokong lawannya. Ia ambil kedudukan di belakang musuhnya itu.
Terdesak juga Tiauw Hong diserang hebat dari belakang. Ketika ini digunai Siauw Eng akan menikam dengan pedangnya dan Kim Hoat dengan dacinnya. Hebat pengepungan ini.
Sekonyong-konyong datang angin besar, membawa mega hitam dan tebal, membuat langit menjadi gelap-gulita pula. Saking hebatnya, pasir dan batu pada beterbangan.
Kim Hoat bertiga terpaksa lompat mundur, untuk terus mendekam. Bisa celaka mereka dirabu pasir dan batu itu. Syukur, angin tidak mengganas terlalu lama. Hujan pun turut berhenti perlahan-lahan. Malah dilain saat, dengan terbangnya sang mega, si putri malam pun mulai mengintai pula dan muncul lagi.
Han Po Kie yang paling dulu lompat bangun, tetapi segera ia menjerit heran.
Bwee Tiauw Hong lenyap, lenyap juga mayatnya Tan Hian Hong. Masih rebah tengkurap adalah Kwa Tin Ok, Cu Cong, lam Hie Jin dan Thio A Seng, empat saudaranya itu. Kwee Ceng mulai muncul dari belakang batu dimana ia tadi bersembunyi.
Semua orang basah kuyup pakaiannya.
Dibantu oleh Siauw Eng dan Po Kie, Coan Kim Hoat lantas tolongi saudara-saudaranya yang terluka itu. Lam Hie Jin patah lengannya, syukur ia tidak terluka dalam. Syukur Tin Ok dan Cu Cong telah lihay ilmu dalamnya, walaupun mereka terhajar Tong Sie, si Mayat Perunggu, luka mereka tidak parah. Adalah Thio A Seng, yang tercengkeram Kiu Im Pek-kut Jiauw, lukanya berbahaya, jiwanya terancam. Ia membikin enam saudaranya sangat berduka, karena sangat eratnya pergaulan mereka, lebih-lebih Han Siauw Eng, yang tahu kakak angkatnya yang kelima ini ada menaruh cinta kepadanya, sedang ia pun ada menaruh hati. Ia lantas peluki A Seng dengan ia menangis tersedu sedan.
Thio A Seng adalah Siauw Mie To, si Buddha Tertawa, walaupun lagi menghadapi bahaya maut, ia masih dapat tersenyum. Ia ulur tangannya, untuk mengusap-usap rambut adik angkatnya itu. “Jangan menangis, jangan menangis, aku baik-baik aja…” ia menghibur.
“Ngoko, akan aku menikah denganmu, untuk menjadi istrimu! Kau setuju, bukan?” kata nona Han itu tanpa malu-malu.
A Seng tertawa, tapi lukanya sangat mendatangkan rasa sakit, terus ia berjengit, hampir ia tak sadarkan diri.
“Ngoko, legakan hatimu,” kata pula si nona. “Aku telah jadi orangnya keluarga Thio, seumurku, aku tidak nanti menikah dengan lain orang….kalau nanti aku mati, aku akan selalu bersama kamu…”
A Seng masih dengar suara tu, ia tersenyum pula, hingga dua kali. “Citmoay, biasanya aku perlakukan kau tidak manis…” katanya. Masih dapat ia mengatakan demikian.
Siauw Eng menangis. “Kau justru perlakukan aku baik, baik sekali, inilah aku ketahui,” katanya.
Tin Ok terharu sekali, begitupun dengan yang lainnya. Merek aitu pada melinangkan air mata.
“Kau datang kemari, kau tentu hendak berguru pada kami?” Cu Cong tanya Kwee Ceng, ynag telah hampirkan mereka.
Bocah itu menyahuti, “Ya!”
“Kalau begitu, selanjutnya kau mesti dengar perkataan kami,” kata Cu Cong pula.
Kwee Ceng mengangguk.
“Kami tujuh saudara adalah gurumu semua,” kata Cu Cong. “Ini gurumu yang kelima bakal pulang ke langit, mari kau hunjuk hormatmu padanya.”
Meski masih kecil, Kwee Ceng sudah mengerti banyak, maka itu, ia jatuhkan diri di depan tubuh A Seng, untuk bersujud sambil mengangguk berulangkali.
Thio A Seng tersenyum meringis. “Cukup…” katanya. Ia menahan sakit. “Anak yang baik, sayang aku tidak dapat memberi pelajaran kepadmu…. Sebenarnya sia-sia saja kau berguru padaku. Aku sangat bodoh, aku pun malas kecuali tenagaku yang besar…. Coba dulu aku rajin belajar, tidak nanti aku antarkan jiwa disini…..” Tiba-tiba kedua matanya berbalik, ia menarik napas, tapi masih meneruskan kata-katanya: “Bakatmu tidak bagus, perlu kau belajar rajin dan ulet, jikalau kau alpa dan malas, kau lihat contohnya gurumu ini….”
Masih A Seng hendak berkata pula, tenaganya sudah habis, maka Siauw Eng pasang kupingnya, di mulutnya kakak angkatnya itu. Si nona masih dengar: “Ajarilah ini anak dengan baik-baik, jaga supaya ia jangan kalah dengan itu…imam…”
“Jangan khawatir,” Siauw Eng menjawab. “Legakan hatimu, kau pergilah dengan tenang…Kita Kanglam Cit Koay, tidak nanti kita kalah…!”
A Seng tertawa, perlahan sekali, habis itu berhentilah ia bernapas…..
Enam saudara itu memangis menggerung-gerung, kesedihan mereka bukan main. Walaupun semuanya bertabiat aneh, mereka tetap manusia biasa, mereka juga saling menyinta. Dengan masih menangis, mereka menggali liang, untuk mengubur jenazah saudaranya itu ditempat itu. Sebagai nisan, mereka mendirikan satu batu besar.
Itu waktu, cuaca sudah menjadi terang, maka Coan Kim Hoat dan Han PO Kie lantas turun gunung untuk cari mayatnya si MayatPerunggu serta Bwee Tiauw Hong, si Mayat Besi. Mereka mencari denagn sia-sia. Habis hujan lebat, di tanah berpasir mesti ada tapak kaki tetapi ini tidak. Entah kemana perginya Tiauw Hong beserta mayat suaminya itu.
“Di tempat begini, tidak nanti wanita itu kabur jauh,” kata Cu Cng sekembalinya kedua saudara itu. “Sekarang mari kita antar anak ini dan kita pun merawat diri, kemudian kau, shatee, lioktee dan citmoay, coba kau pergi mencari pula.”
Pikiran ini disetujui, maka habis mengucurkan airmata di depan kuburan A Seng, mereka pun turun dari gunung. Mereka jalan belum jauh tempo mereka dengar menderunya binatang liar, yang terus terdengar berulang-ulang.
Po Kie keprak kudanya, maka itu kuda berlompat ke depan. Lari serintasan, binatang itu berhenti dengan tiba-tiba, tak mau ia maju walaupun dipaksa majikannya. Po Kie menjadi heran, ia memasang mata ke depan.
Di sana tertampak serombongan orang serta dua ekor macam tutul menoker-noker pada tanah. Itulah sebabnya kenapa kuda si kate tidak berani maju terus. Tidak ayal lagi, Po Kie lompat turun dari kudanya, dengan cekal Kim-kiong-pian, ia maju ke arah mereka. Segera ia dapat tahu perbuatannya itu macan tutul.
Dua ekor macan tutul itu telah dapat mengorek satu mayat, malah jago Kanglam ini kenali itu mayatnya Tan Hian Hong, yang terluka dari leher sampai di perutnya, seluruhnya berlumuran darah, seperti ada dagingnya yang orang telah potong.
Heran Po Kie. Ia berpikir: “Dia mati di atas gunung, kenapa mayatnya ada di sini? Siapakah orang-orang itu? Apakah maksudnya maka itu mayat diganggu?”
Itu waktu Coan Kim Hoat semua telah datang menyusul, maka mereka pun saksikan myatnya Hian Hong itu. Mereka menjadi heran sekali. Diam-diam mereka bergedik menyaksikan itu musuh tangguh. Coba tidak ada Kwee Ceng, setahu bagaimana jadinya dengan mereka.
Kedua macan tutul itu sudah mulai gerogoti mayatnya Hian Hong.
“Tarik macan itu!” kata satu anak kecil yang menunggang kuda, yang berada di antara rombongan orang tadi. Ia menitahkan orangnya, yang menjadi tukang pelihara macan tutul itu. Tempo ia lihat Kwee Ceng, dia membentak: “Hai, kau sembunyi di sini! Kenapa kau tidak berani membantui Tuli bertarung? Makhluk tidak punya guna!”
Bocah itu ialah Tusaga, putranya Sangum.
“Eh, kamu mengepung pula Tuli?” tanya Kwee Ceng, yang agaknya kaget. “Di mana dia?”
Tusaga perlihatkan roman tembereng dan puas. “Aku tuntun macan tutulku menyuruhnya geharesi dia!” sahutnya. “Kau lekas menyerah! Kalau tidak, kau pun bakal digegaren macanku!” ia mengancam tetapi ia tak berani dekati musuhnya, jerih ia menampak Kanglam Cit Koay. Kalau tidak, tentulah Kwee Ceng telah dihajarnya.
Kwee ceng terkejut, “Mana Tuli?!” ia tanya.
“Macan tutulku telah gegares Tuli!” sahut Tusaga berteriak. Ia lantas ajak pemelihara macan tutul itu untuk berlalu.
“Tuan muda, dialah putranya Khan besar Temuchin!” berkata itu tukang rawat macan tutul, maksudnya memberitahu.
Tusaga ayun cambuknya, menhajar kepalanya orang itu. “Takut apa!” teriaknya. “Kenapa tadi ia serang aku! Lekas!”
Dengan terpaksa, tukang rawat macan tutul itu turut perintah. Satu tukang rawat macan tutul yang lainnya ketakutan, ia berkata, “Akan aku laporkan kepada Khan besar!”
Tusaga hendak mencegah tapi sudah kasep. Dengan mendongkol ia berkata: “Biarlah! Mari kita hajar Tuli dulu! Hendak aku lihat, apa nanti paman Temuchin bisa bikin!”
Kwee ceng jeri kepada macan tutul tetapi ia ingat keselamatannya Tuli. “Suhu, dia hendak suruh macan itu makan kakak angkatku, hendak aku menyuruh kakak angkatku lari,” ia kata kepada Siauw Eng.
“Jikalau kau pergi, kau sendiri bakalan digegares macan itu,” kata itu guru. “Tak takutkah kau?”
“Aku takut…” sahut murid ini.
“Jadi kau batal pergi?” tanya gurunya lagi.
Kwee Ceng bersangsi sebentar, ia menyahuti: “Aku mau pergi!” Benar-benar ia lantas lari.
Cu Cong rebah di bebokongnya unta karena lukanya, ia kagumi bocah itu. Ia berkata kepada saudara-saudaranya: “Bocah ini bebal tetapi dialah orang segolongan dengan kita!”
“Matamutajam, jieko,” kata Siauw Eng. “Mari kita bantu dia!”
Coan Kim Hoat lantas memesan: “Bocah galak itu memelihara macan tutul, ia mungkin putranya satu pangeran atau raja muda, kita harus berhati-hati. Kita tak boleh terbitkan onar, ingat, tiga dari kita terluka…”
Po Kie manggut, ia lantas saja lari menyusul Kwee Ceng, setelah menyandak, ia ulur tangannya, akan cekuk bocah itu, untuk terus dipanggul!
Tetap tubuh Kwee Ceng di atas pundak orang, ia seperti lagi menunggang kuda, yang larinya sangat pesat, sebentar kemudian tibalah di satu tempat, dimana tampak Tuli sedang dikurung oleh belasan orang. Dia orang ini turut perintahnya Tusaga, dari ini putranya Temuchin Cuma dikurung, tidak lantas dikeroyok.
Sebenarnya Tuli rajin melatih diri menuruti ajarannya Cu Cong, ia pun sangat berani, ketika besoknya pagi ia tidak dapat cari Kwee Ceng, tanpa minta bantuan Ogotai, kakaknya, seorang diri ia pergi memenuhi janji kepada Tusaga untuk bertempur.
Tusaga datang dalam jumlah belasan, heran dia melihat Tuli sendirian. Tapi ia tidak peduli suatu apa, pertempuran sudah lantas dimulai. Hebat Tuli itu, ia gunai jurus ajarannya Cu Cong, ia bikin musuh-musuhnya rubuh satu demi satu. Ia tentu tidak tahu, jurusnya itu adalah jurus pojok dari “Khong Khong Kun”, ilmu silat tangan kosong.
Tusaga penasaran, sebab dua kali ia rubuh mencium tanah dan hidungnya kena diberi bogem mentah dua kali juga, saking murkanya, ia lantas lari pulang untuk menagmbil macan tutul ayahnya. Tuli yang sedang kegirangan tidak menyangka musuhnya itu bakalan minta bantuan binatang liar.
“Tuli! Tuli! Lekas lari, lekas!” Kwee Ceng berteriak-teriak sebelum ia datang mendekat. “Tusaga bawa-bawa macan tutul!”
Tuli kaget, hendak ia lari, tapi ia lagi dikurung. Sementara itu Han Po Kie dapat candak Tusaga dan melombainya.
Kanglam Cit Koay dapat lantas mencegah Tusaga apabila mereka kehendaki itu, tetapi mereka tidak mau menerbitkan onar, sekalian mereka ingin saksikan sepak terjangnya Tuli dan Kwee Ceng.
Itu waktu ada beberapa kuda dilarikan keras ke arah mereka, salah satu penunggangnya berteriak-teriak. “Jangan lepaskan macan tutul! Jangan lepaskan macan tutul!”
Segera terlihat ternyata mereka itu adalah Mukhali berempat, yang dengan laporannya si tukang pelihara macan tutul, tanpa perkenanan dari Temuchin lagi, mereka lantas datang menyusul.
Itu wkatu Temuchin bersama Wang Khan, Jamukha, dan Sangum tengah menemani dua saudara Wanyen di tenda mereka, mereka terkejut mendengar laporan si tukang pelihara macan, semua lantas lari keluar tenda untuk naiki kuda mereka. Wang Khan mendahului perintah satu pengiringnya: “Lekas sampaikan titahku, cegah cucuku main gila!“
Pengiring itu segera kabur dengan kudanya.
Wanyen Yung Chi kecewa gagal menyaksikan orang diadu dengan binatang, ia masgul, sekarang ia dengar berita ini, kegembiraannya terbangun secara tiba-tiba, “Mari kita lihat!“ katanya.
Wanyen Lieh pun gembira tetapi ia tidak perlihatkan itu pada wajahnya. Ia pikir: “Jikalau anaknya Sangum membinasakan anaknya Temuchin, kedua mereka bakal jadi bentrok, dan inilah untungnya negaraku, negara Kim yang besar!” Ia terus kisiki pengiringnya, yang pun lantas berlalu dengan cepat.
Wang Khan semua iringi kedua saudara Wanyen itu. Mereka jalan baharu satu lie lebih, di depan mereka tertampak beberapa serdadu Kim tengah berkelahi sama pengiring Khan ini yang tadi diberikan titah. Sebabnya adalah serdadu-serdadu Kim itu menghalang-halangi orang menjalankan tugas, sedang si petugas tidak berani abaikan kewajibannya.
Dua saudara Wanyen itu lantas memerintah serdadu-serdadunya berhenti berkelahi. Mereka ini bilang: “Kami tengah berdiam disini, orang ini tidak ada matanya, dia terjang kami!”
Pengiringnya Wang Khan itu mendongkol dan tidak mau mengerti. Ia pun tidak karu-karuan dipegat dan dikeroyok. Ia kata dengan sengit: “Aku toh ada di sebelah depan kamu dan kamu di belakang aku…!”
Dua saudara Wanyen itu tidak inginkan mereka adu mulut. “Berangkat!” mereka menitah.
Jamukha lihat itu semua, ia menduga peristiwa itu terjadi karena bisanya dua Wanyen ini, karena ia jadi waspada.
Tidak lama tibalah mereka di depan rombongannya Tusaga beramai. Dua ekor macan tutul sudah lepas dari ikatan pada lehernya, keempat kakinya tengah menoker-noker dan mulutnya meraung-raung tidak hentinya. Di depan mereka berdiri dua bocah ialah Tuli dan Kwee Ceng.
Temuchin dan keempat pahlawannya segera siapkan panah mereka, diarahkan kepada dua binatang liar itu. Temuchin ketahui baik, binatang adalah binatang kesayangan Sangum, yang ditangkap sedari masih kecil dan dipelihara dan dididik dengan banyak sukar hingga jadi b esar dan dapat mengerti, dari itu asal putranya tidakterancam tidak mau ia memanah macan itu.
Tusaga lihat datangnya banyak orang dan kakek beserta ayahnya juga berada bersama, ia jadi semakin temberang, berulang-ulang ia anjuri macannya lekas menyerang.
Wang Khan murka melihat kelakuan cucunya itu, disaat ia hendak mencegah, lalu terdengar suara kuda berlari-lari mendatangi di arah belakang mereka. Sebentar saja kuda itu, seekor kuda merah, tiba diantara mereka. Penunggangnya seorang wanita usia pertengahan yang memakai mantel kulit indah dan mengempo satu anak perempuan yang elok romannya, adalah istrinya Temuchin atau ibunya Tuli. Ia lantas lomat turun dari kudanya.
Nyonya Temuchin tengah pasang omong dengan istrinya Sangum di tenda mereka, tempo ia dengar perkara putranya, ia khawatirkan keselamatan putranya itu, maka ia lantas menyusul. Anak perempuan yang ia bawa-bawa itu adalah putrinya, Gochin Baki.
“Lepas panah!” Yulun Eke segera memerintah. Ia sangat khawatir melihat putranya terancam macan tutul itu. Gochin sebaliknya segera hampirkan kakaknya. Ia baharu berusia empat tahun, romannya cantik dan manis, ia belum tahu bahaya. ia tertawa haha-hihi. Kemudian ia ulurkan tangannya, berniat mengusap-usap kepalanya seekor macan tutul.
Macan itu lagi bersiap-siap, melihat orang datang dekat, segera ia berlompat menubruk.
Semua orang kaget, sedang Temuchin tidak berani melepaskan anak panahnya, khawatir kena putrinya. Keempat pahlawannya lempar panah mereka dan menghunus golok untuk maju menyerang.
Dalam saat mengancam itu, Kwee Ceng berlompat, ia tubruk Gochin, yang ia peluk, untuk menjatuhkan diri, meski demikian, kuku macan telah mampir dipundaknya.
Di antara empat pahlawan, Boroul yang bertubuh kate dan kecil adalah yang paling gesit, ialah yang maju di muka sekali, tetapi justru ia maju, kupingnya mendengar beberapa kali suara angin menyambar, menyusul mana kedua macan itu rubuh berbareng, rubuh celentang lalu tidak berkutik lagi. Ia menjadi heran, apapula ia dapatkan, kedua binatang itu berlubang masing-masing di kedua pelipisnya, yang darimana darah mengucur keluar. Terang itu adalah kerjaan orang yang lihay. Kapan ia berpaling ke arah darimana suara angin itu datang menyambar, tampak enam orang Han, pria dan wanita, lagi mengawasi dengan sikapnya yang tenang sekali. Ia lantas menduga kepada mereka itu.
Yulun Eke lantas saja peluki putrinya, yang ia ambil dari rangkulannya Kwee ceng. Anak itu menangis karena kagetnya, maka ia dihiburi ibunya, yang pun terus tarik Tuli, untuk dirangkul dengan tangannya yang lain.
Sangum sangat murka. “Siapa yang membunuh macanku?!” ia tanya dengan bengis.
Semua orang berdiam. Walaupun kejadian berlaku di depan mata mereka, tidak ada seorang jua yang ketahui siapa si penyerang gelap itu. Boroul sendiri tutup mulut.
“Sudahlah saudara Sangum!” berkata Temuchin sambil tertawa. “Nanti aku gantikan kau empat macan tutul yang paling jempolan ditambah sama delapan pasang burung elang.”
Sangum masih mendongkol, ia membungkam.
Wang Khan gusar, ia mendamprat Tusaga. Cucu ini didamprat di depan orang banyak, ia penasaran, keluarlah alemannya, ia terus menangis sambil bergulingan di tanah, ia tidak pedulikan walaupun kakeknya menitahkan ia berhenti menangis.
Diam-diam Jamukha kisiki Temuchin apa yang tadi terjadi di tengah jalan antara pengiringnya Wang Khan dan serdadu-serdadu Kim.
Panas hatinya Temuchin. Ia menginsyafi peranan kedua saudara Wanyen itu. Di dalam hatinya, ia kata: “Kamu hendak bikin kita bercedera, kita justru hendak berserikat untuk menghadapi kamu!” Maka ia hampiri Tusaga, untuk dikasih bangun dengan dipeluk. Anak itu mencoba meronta tetapi tidak berhasil.
Sambil tertawa, Temuchin hampiri Wang Khan dan kata: “Ayah inilah permainan anak-anak, tak usah ditarik panjang. Aku lihat anak ini berbakat baik, aku berniat menjodohkan dia dengan anakku, bagaimana pikirmu?”
Wang Khan girang, ia lihat, meskipun masih kecil, Gochin sudah cantik, setelah dewasa, mesti dia jadi elok sekali. Ia tertawa dan menyahuti: “Mustahil aku tidak setuju? Marilah kita tambah erat persaudaraan kita. Cucuku yang perempuan hendak aku jodohkan dengan Juji, putramu yang sulung, Kau akurkah?”
Dengan girang, Temuchin kata sama Sangum. “Saudara, sekarang kita menjadi besan!”
Sangum itu angkuh, ia sangat bangga untuk keturunannya, terhadap Temuchin ia berdengki dan memandang enteng, tak senang ia berbesan dengannya, tak senang ia berbesan, akan tetapi disitu ada putusannya ayahnya, terpaksa ia menyambut dengan sambil tertawa.
Wanyen Lieh menjadi sangat tidak puas. Gagallah tipu dayanya. Selagi ia berpaling, ia lihat rombongannya Kwa Tin Ok, dan Cu Cong rebah di atas unta. Ia terperanjat dan heran sekali. “Eh, kenapa ini beberapa Manusia Aneh berada disini?” katanya dalam hatinya.
Tin Ok beramai tidak mau menarik perhatian orang, mereka berdiri jauh-jauh. Mereka tidak lihat Wanyen Lieh, itulah kebetulan bagi pangeran ini yang lantas ngeloyor pergi duluan.
Temuchin lantas dapat tahu enam itu ialah yang tolongi putranya, ia suruh Boroul memberi hadiah bulu dan emas, sedang Kwee Ceng, yang ia usap-usap kepalanya, ia puji untuk keberaniannya.
Tuli tunggu sampai Wang Khan semuanya sudah berlalu, ia tutur kepada ayahnya sebabnya ia berkelahi sama Tusaga, ia pun bicara hal Kanglam Cit Koay ( yang sekarang menjadi Kanglam Liok Koay sebab jumlah mereka telah berkurang satu).
Temuchin berpikir sebentar, terus ia kata pada Coan Kim Hoat, “Baik kamu berdiam di sini mengajari ilmu silat kepada putraku. Berapa kamu menghendaki gaji kamu?”
Coan Kim Hoat senang dengan tawaran itu. Mereka memang lagi pikirkan tenpat untuk bisa mendidik Kwee Ceng. Ia lantas menyahuti: “Khan yang besar sudi terima kami, itu pun sudah bagus, mana kami berani minta gaji besar? Terserah kepada Khan sendiri berapa sudi membayarnya.”
Temuchin girang, ia suruh Boroul layani enam orang itu, untuk diberi tempat, habis itu ia larikan kudanya, untuk susul kedua saudara Wanyen, guna mengadakan perjamuan perpisahan untuk mereka itu.
Kanglam Liok Koay jalan perlahan-lahan, untuk merundingkan urusan mereka.
“Mayatnya Tan Hian Hong dipotong dada dan perutnya, entah itu perbuatan kawan atau lawan…” kata Han Po Kie.
“Itulah aneh, aku tak dapat menerkanya,” bilan Tin Ok. “Yang paling perlu ialah mencari tahu dimana beradanya Tiat Sie.”
“Memang selama ia belum disingkirkan, kita selalu terancam bahaya,” menyatakan Cu Cong.
“Sakit hatinya ngoko memang mesti dibalas!” kata Siauw Eng.
Karena ini kemudian Po Kie bersama Siauw Eng dan Kim Hota lantas pergi mencari. Mereka mencari bukan hanya disekitar tempat itu, malah diteruskan hingga beberapa hari, mereka tidak peroleh hasil.
“Wanita itu rusak matanya terkena tok-leng toako, mestinya racunnya senjata itu bekerja, maka mungkin ia mampus di dalam selat!” kata Po Kie kemudian sepulangnya mereka.
Dugaan ini masuk di akal. tapi Tin Ok tetap berkhawatir. ia baharu merasa hatinya tentram kalau sudah dengan tangannya sendiri ia bisa raba mayatnya Tiat Sie si Mayat Besi itu. Ia menginsyafi lihaynya Bwee Tiauw ong. Tentang perasaannya ini ia tidak utarakan, ia khawatir saudara-saudaranya bersusah hati.
Sejak itu Kanglam Liok Koay menetap di gurun pasir, akan ajari ilmu silat kepada Kwee Ceng dan Tuli yang juga diajari ilmu perang. Dan Jebe bersama boroul turut memberi petunujk juga. Hanya kalau malam, Kwee Ceng dipanggil belajar sendirian untuk diajari ilmu pedang, senjata rahasia dan entengi tubuh. Sebab diwaktu siang mereka diajari menunggang kuda, main panah dan ilmu tombak.
Kwee Ceng bebal, di sebelah itu ada sifatnya yang baik. Ia tahu ia mesti membalas sakit hati ayahnya, untuk itu ilmu silat penting, dari itu, ia belajar dengan rajin sekali. Untuk itu ia dapatlah disebut, pisau tumpul kalau digosok terus bisa menjadi tajam.
Cu Cong bersama Coan Kim Hoat dan Han Siauw Eng mengajarakan ilmu kegesitan, kemajuannya sedikit, tapi ajarannya Han Po Kie dan Lam Hie Jin tentang pokok dasar silat, ia mengerti dengan cepat, malah ia segera dapatkan maknanya itu.
Sang tempo berjalan dengan pesat, sepuluh tahun sudah lewat. Sekarang Kwee Ceng telah menjadi satu anak tanggung berumur enam belas tahun. Lagi dua tahun akan tiba saatnya janji pibu itu, adu kepandaian. Maka Kanglam Liok Koay perhebat pengajarannya, hingga untuk sementara muridnya dilarang belajar naik kuda dan memanah, dan siang dan malam terus ia belajar silat tangan kosong dan pedang.


Bab 11. Memanah Burung Rajawali

Angin mulai reda, salju yang turun secara besar-besaran baru berhenti, walaupun demikian untuk daerah di gurun pasir utara, hawa udara masih dingin. Dalam iklim demikian, pada harian Ceng Beng, Kanglam Liok Koay membawa barang-barang sembahyangan ke kuburannya Thio A Seng, untuk sembahyangi saudara yang sudah beristirahat untuk selamanya di alam baka itu. Kwee Ceng juga diajak bersama.
Tempat kediaman bangsa Mongol tidak berketentuan, maka itu untuk pergi ke kuburan, rombongan ini mesti melarikan kuda mereka setengah harian, baru mereka tiba. Mereka itu atur barang sembahyangan, mereka pasang hio, lalu pai-kui. Malah Siauw Eng berkata dalam hatinya: “Ngo-ko, belasan tahu kami didik anak ini, sayang di bebal, dia tidak dapat teriam semua pengajaran kita, maka itu aku mohon bantuan kau, untuk lindungi padanya, biarlah tahun lusa, dalam pertandingan di Kee-hin, dia tidak sampai memalukan nam akita Kanglam Cit Koay!”
Sepuluh tahun enam saudara itu tinggal di utara, rambu dan kumis jenggot
mereka sudah mulai berwarna abu-abu, tapi Siauw Eng, walaupun ia tidak secantik
dulu, masih ada sisa keelokannya, ia tetpa menarik hati.
Di situ ada tulang-tulang yang berserakan, Cu Cong jadi seperti melamun. Ia ingat pada Bwee Tiauw Hong, yang sia-sia saja dicari, orangnya tidak ketemu, mayatnya juga tidak kedapat. Kalau tidak mati, si Mayat Besi mestinya tak bisa bersembunyi terus-menerus. Kemana perginya wanita seperti siluman itu?
Dalam sepuluh tahun itu, kepandaiannya Liok Koay juga turut bertambah. Umpamnya Tin Ok, ia utamakan “Hok Mo Thung-hoat”, ilmu tongkatnya, “Tongkat Menakluk Iblis”. Ia bersiap sedia menyambut Tiauw Hong.
Lam Hie Jin paling menyanyangi Kwee Ceng, si bebal tapi rajin. Ia ingat, dulu ia pun ulet seprti bocah ini. Kali ini, ia tampak kemajuan Kwee Ceng, yang mebuat ia girang. Habis pai-kui, Kwee Ceng berbangkit, apa mau ia kena injak sebuah batu kecil, ia terpeleset, tapi cepat sekali, ia dapat imbangi tubuhnya, dia tak jadi jatuh. Ia tersenyum kepada Kim Hoat, yang pun melihatnya.
“Mari!” katanya seraya ia lompat dengan tangan kiri melindungi diri, dengan tangan kanan ia sampok pundak muridnya itu.
Kwee Ceng terkejut tapi ia dapat menangkis, hanya ketika ia geraki tangannya itu, lekas ia kasih turun pula!
Menampak itu, Hie Jin tersenyum. Sekarang ia meninju ke dada.
“Coba kau kasih lihat kebiasaanmu, kau layani sie-suhu berlatih,” Saiuw Eng menganjurkan. “Kau kaih ngo-suhu lihat padamu!”
“Sie-suhu” yaitu guru keempat dan “ngo-suhu” guru ke lima.
Baru sekarang Kwee Ceng mengerti, sedang serangannya Hie Jin pun dibatalkan ditengah jalan, untuk tukar itu dengan sambaran tangan kiri ke pinggang. kali ini si murid melompat mundur. Ia berlaku cepat, tapi Hie Jin lebih cepat pula, dengan satu enjotan tubuh, guru yang keempat ini sudah menyusul dan tangan kanannya kembali menjambak pundak. dengan mendak, Kwee Ceng luputkan dirinya.
“Balas menyerang, anak tolo!” Po Kie berseru. “Kenapa manda diserang selalu?”
Anjuran ini diturut, setelah itu, Kwee Ceng membalas. Ia gunai ajaran Lo Han Kun, ilmu silat “Tangan Arhat” dari guru she Han itu, yaitu bagian Kay San Ciang-hoat. Membuka Gunung. Ia pun dapat menempur dengan seru.
Selang beberapa jurus, dengan satu tolakan, Kwee Ceng dibikin terpental dan jatuh, tapi begitu jatuh, ia lompat bangun pula, cuma mukanya yang merah.
Hie Jin segera kasih mengerti bagian kelemahannya.
Selagi guru itu berbicara, tiba-tiba terdengar dua kali suara tertawa, ynag datangnya dari pepohonan lebat disamping mereka. Cu Cong dan Kim Hoat terperanjat. “Siapa?!” mereka tanya. Mereka pun lompat untuk cegah jalanan orang buat lari turun.
Orang yang tertawa itu tidak lari, ia justru muncul dari tempatnya bersembunyi, hingga tampak nyata ialah satu nona elok dengan muka putih potongan telur dan kedua pipinya bersemu merah. Masih ia tersenyum.
“Engko Ceng, apakah kau kena dihajar suhu?” ia tanya.
Mukanya Kwee Ceng menjadi merah. “Siapa suruh kau datang ke mari?” ia menegur.
Nona itu tertawa. “Aku senang melihat kau dihajar!” sahutnya.
Kalau Kwee Ceng likat, si nona polos dan jenaka. ia pun bukan lain daripada Gochin Baki, putrinya Temuchin, yang bersama Tuli dan pemuda she Kwee ini, usianya tak berjauhan serta biasa mereka bergaul, main bersama-sama. Ia sangat disayangi ayah ibunya, ia rada manja, sedang Kwee Ceng jujur dan rada tolol. Sering Kwee Ceng digoda, sampai mereka bentrok, tapi tak lama mereka akur pula, selamanya si nona mengaku yang salah dan rela minta maaf. Demikian mereka hidup rukun seperti saudara saja, sedang ibunya Gochin, yang ingat budi Kwee Ceng telah menolongi putrinya, perlakukan ia dengan baik, dia dan ibunya sering diantarkan pakaian dan binatang ternak, pergaualan kedua anak muda itu juga tidak dilarang.
Hari itu Gochin tahu Kwee Ceng hendak pergi pai-bong (sembahyang kuburan), ia pergi dulu dengan menunggang kuda, ia sembunyi di antara pepohonan lebat, hingga ia saksikan segalanya. Sengaja sampai Kwee Ceng rubuh, baru ia muncul untuk menggodai anak muda itu.
Kwee Ceng malu, kurang senang dan berbareng girang.
“Apakah kau tidak senang aku datang?” tanya si nona dengan tertawa. “Baiklah, nanti aku pulang…!” Ia bicara dengan merdeka, meskipun disana ada enam orang lainnya.
“Oh, tidak, tidak!” kata Kwee Ceng lekas. “Kita pulang bersama sebentar.”
Gochin tertawa, tak jadi ia pergi.
Senang Cu Cong semua menyaksikan eratnya hubungan anak-anak ini, mereka tersenyum.
“Mana orang yang ikut padamu?” kemudian tiba-tiba Tin Ok tanya si putri.
Gochin melengak. “Siapa?” ia tanya. “Aku datang sendirian.“
“Bukannkah kakakmu pun datang, dia dibelakangmu, untuk bergurau?”
“Kakak tidak datang! Benar aku datang sendirian.”
“Liok-tee, coba lihat!” Tin Ok minta. Dengan tongkatnya ia menunjuk ke pepohonan lebat di belakang kuburan.
Coan Kim Hoat pergi memeriksa. “Disini tidak ada orang,” katanya.
“Terang sekali aku dengar suaranya dua orang!” Tin Ok berkukuh. Tadi dengar tertawanya Gochin, menyusul suaranya seorang lain. Ia sangka orang itu adalah kawannya si nona, ia tidak perhatikan. Sekarang benar tidak ada orang disitu, ia menjadi heran. Ia lantas berpikir.
“He, tengkorak hilang satu!” tiba-tiba Kim Hoat berseru.
Dengan berlari-lari, semua orang hampirkan saudara she Coan itu. Memang telah lenyap sebuah tengkorak, masih ada bekasnya di salju. Mesti baru saja orang curi itu. Kembali orang heran, kaget dan curiga. Kim Hoat menjelaskan semuanya kepada Tin Ok.
“Cegat di empat penjuru!” seru toako ini, kakak tertua. Ia sendiri mendahului lari turun gunung, saudara-saudaranya menyusul, sembari lari, ia apsang kupingnya.
“Disana ada tindakan kaki kuda, lekas susul!” toako ini menitah, tongkatnya menuju ke selatan. Maka saudara-saudara yang lain pun pada mengejar ke arah selatan itu.
“Apakah aku yang salah?” tanya Gochin pada si anak muda, perlahan bicaranya.
“Ini bukan urusanmu,”sahut Kwee Ceng. “Rupanya telah datang musuh yang lihay”.
Si nona ulur lidahnya.
Tidak lama dari itu muncul beberapa puluh penunggnag kuda, semuanya orang Mongolia, yang dikepalai oleh satu pekhu-thio, pemimpin satu eskadron. Melihat tuan putrinya, dia itu lompat turun dari kudanya, untuk memberi hormat.
“Tuan putri, Kha Khan titahkan aku menyambut,” katanya.
“Untuk apakah?” tanya si putri, keningnya mengerut.
“Ada datang utusannya Wang Khan.” sahut perwira itu.
Tidak senang si nona mendengar itu, ia lantas menjadi gusar. “Aku tak mau pulang!” katanya sengit.
Pekhu-thio itu menjadi serba salah. Ia memberi hormat pula dan katanya: ”Kalau tuan putri tidak pulang, Kha Khan bakal hukum hambamu ini…”
Gochin dijodohkan dengan Tusaga, cucu Wang Khan, tapi ia erat bergaul dengan Kwee Ceng, meski tidak ada soal asmara, ia toh berat nanti akan berpisah sama ini anak muda. Sebaliknya, tak senang ia menikah sama Tusaga, yang sombong dan galak itu. Maka tak mau ia pulang.
Siauw Eng tidak turut saudara-saudaranya pergi. Ia lihat itu semua. Ia kata pada Kwee Ceng: “Anak Ceng, pergi kau temani tuan putri pulang.” Tanpa tunggu jawaban, ia larikan kudanya pergi menyusul saudara-saudaranya.
Gochin masih bersangsi sesaat, akhirnya ia pulang juga. Tak mau ia menentangi ayahnya.
Wang Khan itu mengantar panjar, Temuchin ingin putrinya temui si utusan.
Kwee Ceng tidak mengantar terus sampai di tenda Temuchin, ia terus balik ke tendanya sendiri, di mana ia tinggal bersama ibunya. Ia berduka, maka ia duudk diam saja. Ketika Lie Peng, ibunya, bertanya, ia tetap membungkam.
Itu waktu terdengar suara tetabuan, itulah tanda penyambutan pada utusan Wang Khan. Baru sekarang Lie Peng dapat mendugai hal putranya ini. Ia lantas menghibur: “Tuan putri benar baik sama kau, tetapi kita tetap orang Han, maka itu tepat kalau ia dijodohkan sama cucunya Wang Khan…”
“Ibu, aku bukan pikiran itu,” Kwee Ceng akhirnya mau juga buka mulutnya. “Hanya Tusaga itu kasar dan kejam, denagn menikah sama dia, tuan putri bakal bersengsara…”
Lie Peng tahu baik hati anakanya itu, ia menghela napas. “Habis apa daya kita sekarang?” katanya.
Kwee Ceng berdiam terus sampai habis bersantap malam, setelah mana ia pergi ke tenda gurunya, yang semuanya sudah pulang. Mereka itu sia-sia belaka menyusul penunggang kuda atau pencuri tengkorak itu. Kim Hoat lantas ajari muridnya jurus-jurus dari Tiang Kun, habis berlatih, muridnya pulang, untuk naik pembaringan tanpa salin pakaian lagi.
Lapat-lapat Kwee Ceng dengar tetabuan, ia tidur terus sampai pulas. Adalah kira-kira tengah malam, ia mendusin dengan terperanjat. Ia dengar tanda tiga kali tepuk tangan. Ia lantas bangun, ia bertindak ke tendanya akan menyingkap dengan hati-hati. Untuk kagetnya, di antara sinar rembulan, ia tampak satu tengkorak tepat di jalanan di muka kemahnya. Ia pun dapat lihat tegas lima liang pada tengkorak itu.
“Musuh datang cari musuh…” pikirnya. “Suhu tidak ada di sini, seorang diri mana aku sanggup melawan? Bagaimana kalau musuh menerjang ke dalam tenda untuk melukai ibuku?”
Ia ambil keputusan dengan cepat. Ia lebih dulu ambil goloknya. lalu ia sinngkap tenda dengan tiba-tiba, untuk lompat keluar, untuk segera dupak tengkorak itu hingga mental jauh beberapa tembok. Untuk lindungi diri, ia putar goloknya. Setelah itu, dengan sipa sedia, ia memandang ke sekitarnya. Di sebelah kiri di bawah pohon ia tampak seorang berdiri diam, mukanya tidak kelihatan. Dia cuma kata: “Kalau kau berani, mari turut aku?!”. Dia bicara dalam bahasa Tionghoa, bajunya gerombongan, tangan bajunya lebar. Itu bukan dandanan orang Mongolia.
“Siapa kau?” tanya Kwee Ceng. “Mau apa kau cari aku?”
“Kau toh Kwee Ceng?!” orang itu tegasi.
“Habis kau mau apa?!” tanya Kwee Ceng.
“Mana pisau belatimu yang tajam mempan besi? Mari kasih aku lihat!”
Tiba-tiba ia melompat mencelat, sampai di sisi anak si muda, kakinya menendang jatuh golok orang, menyusul mana sebelah tangannya menekan ke dada orang.
Sebat gerakan orang itu, sampai Kwee Ceng tidak bisa lindungi goloknya. Tapi ia sempat berkelit, tangan kanannya menyambar lengan orang itu, tangan kirinya menyerang sikut. Inilah jurus “Orang-orang patah bahunya” salah satu dari jurus ilmu silat, “Membagi urat memisah Tulang”. Kalau orang itu kena diserang, tanpa ampun lagi, bahu kanannya mesti patah, terlepas sambungan sikutnya.
Ilmu silat ini Kwee Ceng dapatkan dari Cu Cong dan Cu Cong mengutamakan ini karena ia pikir, cuma dengan ilmu ini ia nanti sanggup layani Kiu Im Pek-kut Ciauw dari Bwee Tiauw Hong yang setiap waktu lambat atau cepat, bakal cari padanya. Ilmu ini pun baru ia ciptakan sendiri, sebab tadinya ia tidak pikirkan untuk pelajarai itu. Ia melatih bersama Coan Kim Hoat. Sebagai Biauw Ciu Si-seng, si Mahasiswa Tangan Lihay, ia bisa asah otaknya menciptakan ilmu silat itu. dan sekarang Kwee Ceng menggunai itu untuk melawan musuhnya.
Orang itu terperanjat, untuk membebaskan diri, ia lekas serang mukanya Kwee Ceng. Ia bukannya meloloskan diri hanya menyerang. Maka kagetlah Kwee Ceng, yang lain hendak membikin patah lengan musuh; terpaksa ia lepaskan kedua tangannya dan mencelat mundur. Meski begitu, dia masih merasa sakit terkena sambaran anginnya serangan lawan itu.
Setelah itu Kwee Ceng lihat orang adalah satu imam muda yang mukanya bersih dan tampan, yang usianya delapan atau sembilanbelas tahun. Ia pun dengar si imam atau tosu, mengatakannya dengan perlahan: “Tak kecewa pelajarannya, tidak sia-sia pengajarannya Kanglam Liok Koay selama sepuluh tahun…”
“Kau siapa?!” tegur Kwee Ceng, yang masih berjaga-jaga. “Untuk apakah kau mencari aku?”
“Mari kita berlatih pula!” kata si imam, yang tidak gubris perkataan orang. Ia pun terus menyerang tanpa tunda kata-katanya itu.
Kwee Ceng menanti tidak bergeming, kapan tangan imam itu sudah hampir sampai pada dadanya, ia mengegos ke kiri, tangan kirinya menyambar lengan si imam dan tangan kanannya menyambar ke batang leher. Kalau ia berhasil, akan copotlah batang leher si imam itu. Jurus ini oleh Cu Cong dengan lucu dinamakan “Sembari tertawa dan berbicara melepaskan rahang”.
Imam itu kenali serangan berbahaya itu, ia bebaskan diri pula.
Setelah belasan jurus, melihat keringan tubuh orang, yang dapat bergerak-gerak dengan pesat sekali, Kwee Ceng segera mengerti bahwa imam ini ada terlebih pandai daripadanya. Keinsyafan ini, ditambah sama kekhawatirannya akan munculnya Bwee Tiauw Hong, membuat hatinya gentar, maka juga, tempo kakinya lawan melayang, kempolan kanannya kena didupak. Syukur kuda-kudanya kuat dan tendangan tak hebat, ia cuma terhuyung, tidak terluka. Karena ini, ia lantas kurung diri dengan rapat, hingga ia menjadi terdesak. Disaat kewalahan, tiba-tiba ia dengar seruan dari belakangnya: “Serang bagian bawahannya!”
Dengan tiba-tiba bangkitlah semangatnya Kwee Ceng. Ia kenali suaranya sam-suhu, gurunya yang ketiga yaitu Han Po Kie. Ia lantas menggeser ke kanan untuk terus menoleh. Untuk kegirangannya, ia tampak keenam suhunya itu telah hadir semua. Saking memusatkan perhatian pada lawan, ia sampai tidak ketahui munculnya keenam gurunya itu. Segera, menuruti petunjuknya Po Kie, ia mulai menyerang di bawah.
Imam itu licah gerakannya, tetapi lemah bagian bawahnya, dan ini terlihat tegas oleh Kanglam Liok Koay, maka itu Po Kie sadarkan muridnya. Karena ini, lantas saja si imam berbalik terdesak, hingga terpaksa ia main mundur.
Kwee Ceng merangsak maju, sampai ia lihat lawannya terhuyung, tidak tempo lagi, kedua kakinya saling sambar dengan tipunya Lian-hoan Wan-yoh-twie – kaki Burung Wanyoh Berantai. Ia sampai tidak menyangka bahwa musuhnya bakal menggunai akal.
“Awas!” teriak po Kie dan Siauw Eng yang terkejut.
Kwee Ceng kurang pengalaman, meskipun ia telah diperingatkan, sudah terlambat, kaki kanannya kena dicekal lawan, terus disempar, maka itu tak ampun lagi, tubuhnya melayang, dengan suara keras, tubuhnya itu jatuh celentang, hingga ia merasakan sakit sekali. Saking gesitnya, ia dapat lantas berlompat bangun dengan gerakannya “Ikan Tambra Meletik”. Ia hendak maju pula tetapi ke enam gurunya sudah mulai kurung si imam muda.
Tosu itu tidak bersiap untuk memberikan perlawanan, ia juga tidak menunjukkan tanda hendak menerobos keluar dari kurungan, sebaliknya dengan rangkap kedua tangannya, ia memberi hormat kepada Kanglam Liok Koay. Ia kata: “Teecu In Cie Peng, atas titah guruku Tiang Cun Cu Khu Totiang, teecu datang untuk memujikan suhu semua sehat-sehat!” Lantas ia berlutut untuk mengangguk-angguk.
Sia Tiauw Enghiong - 5
By admin • Sep 1st, 2008 • Category: 2. Silat China, CY - Sia Tiauw Enghiong
Cu Cong berenam bersangsi, mereka tidak mengulurkan tangan untuk mengasih bangun, maka itu si imam bangkit snediri untuk terus merogoh ke dalam sakunya guna menarik keluar sesampul surat, yang mana dengan kedua tangannya, ia angsurkan kepada enam manusia aneh itu – tegasnya kepada Cu Cong.“Mari kita bicara di dalam,” kata Kwa Tin Ok, yang dengar suara tindakan kaki mendatangi, hingga ia menduga kepada serdadu peronda bangsa Monglia.
Tanpa sangsi, In Cie Peng turut masuk.
Coan Kim Hoat menyulut lilin.
Tenda itu berperabot buruk. Di situ Cu Cong tinggal berlima, karena Siauw Eng tidur di kemahnya seorang wanita Mongolia. Melihat itu, Cie Peng mengerti orang hidup bukan main sederhananya. ia menjura ketika ia mulai berkata: “Suhu berlima banyak cape! Guruku sangat bersyukur, dia titahkan teecu datang kemari untuk menghanturkan banyak-banyak terima kasih”.
“Hm!” Tin Ok perdengarkan suara tawar, karena ia pikir: “Kalau kau datang dengan maksud baik, mengapa kau robohkan anak Ceng? Bukankah kau sengaja datang untuk pertunjuki pengaruh sebelum tiba saatnya bertanding?”
Itu waktu Cu Cong telah membuka sampul dan membaca suratny. Khu Cie Kee memperingatkan bahwa sepuluh tahun sudah berlalu sejak perpisahan mereka di Kanglam dan dia turut berduka cita atas meninggalnya Thio A Seng. Ia memberitahu bahwa pada sembilan tahun yang lalu ia telah berhasil mencari turunan Yo Tiat Sim.
Mengetahui ini, Tin Ok semua terperanjat. Coan Cin Kauw banyak pengikutnya, yang tersebar luas di seluruh negara, tetapi buat cari satu nyonya yang lenyap, benar-benar sulit. Tidak diayana, Cie Kee begitu cepat menemui nyonya itu serta anaknya. Mereka sendiri menemui Kwee Ceng secara kebetulan.
Surat itu diakhir dengan pemberitahuan bahwa lagi dua tahun, mereka berdua pihak bakal bertemu pula di Cui Sian lauw di Kee-hin, disaat bunga-bunga mekar.
“Memang ini tulisannya Khu Totiang,” kata Cu Cong akhirnya.
“Anak turunan she Yo itu bernama Yo Kang?” Tin Ok bertanya.
“Benar,” sahut Cie Peng.
“Dia toh adik seperguruanmu?” Tin Ok menegaskan.
“Dialah kakak seperguruanku,” sahut pula tosu she In itu. “Walaupun usiaku lebih tua, diwaktu memasuki perguruan, kakakku itu mendahului dua tahun.”
Dingin hatinya Kanglam Cit Koay mendengar keterangan itu. Kwee Ceng kalah oleh In Cie Peng, satu sutee, bagaimana pula ia dapat melayani Yo Kang, sang suheng? Pula heran, Khu Cie Kee ketahui jelas tentang mereka, hal mereka dapatkan Kwee Ceng, hal kematiannya Thio A Seng, dan hal sekarang mereka berdiam di padang gurun ini…. Sebaliknya, mereka sendiri tidak tahu suatu apa perihal imam itu! Inilah tanda mereka sudah berada di bawah angin.
“Apakah barusan kau layani dia untuk mencoba-coba?” Tin Ok tanya pula, suaranya dingin.
“Teecu tidak berani,” jawab Cie Peng, yang berkhawatir oleh sikap orang.
“Sekarang kau sampaikanlah kepada gurumu itu,” bilang Tin Ok, “Walaupun Kanglam Liok Koay tidak punya guna, perjanjian di Cui Sian Lauw tidak bakal digagalkan, jadi dia tidak usah khawatir suatu apa pun. Bilang bahwa kami tidak usah membalas dengan surat.”
Cie Peng likat, hingga ia berdiam saja.
“Ach ya, apa perlunya kau ambil itu tengkorak manusia!” Tin Ok tanya pula.
Cie Peng berdiam. Tak sangka ia bakal ditanyakan tentang tengkorak itu. Ia diperintah gurunya pergi ke utara untuk menyampaikan surat, ia dipesan untuk sekalian selidiki Kwee Ceng, tentang sifatnya dan ilmu silatnya. Khu Cie Kee memperhatikan putra sahabatnya, ia bermaksud baik, tetapi muridnya ini menyeleweng sedikit, walaupun ia tidak bermaksud jahat. Setibanya di Mongolia, di tepi sungai Onon, Cie Peng tidak segera menemui Kanglam Liok Koay, hanya ia mencuri lihat Kwee Ceng berlatih, malah ia menguntit juga orang pay-bong terhadap Thio A Seng hingga ia saksikan semuanya, tetapi ia diperogoki oleh Tin Ok dan kabur. Coba ia lari tanpa sebat tengkorak, yang ia lihat aneh, tidak nanti ia menerbitkan kecurigaan.
“Apakah kau ada punya hubungan sama Hek Hong Siang Sat?” tanya Tin Ok sebab orang diam saja. “Atau kau tertawakan Kanglam Cit Koay yang satu diantaranya terbinasa di bawah cengkeraman Kiu Im Pek-kut Jiauw?”
Baharu Cie Peng menjawab: “Teecu ambil tengkorak itu untuk dibuat main, tak ada maksud lainnya. Tentang Hek Hong Siang Sat dan Kiu Im Pek-ku Jiauw, teecu tidak tahu-menahu…”
“Hm!” bersuara Tin Ok yang terus berdiam.
Cie Peng jadi jengah. “Teecu memohon diri,” katanya kemudian.
Tin Ok antar orang sampai di muka tenda. Cie Peng memberi hormat lagi sekali. Mendadak orang she Kwa ini berseru: “Kau pun jumpalitan!” dan tangan kirinya menyambar ujung baju orang di betulan dada.
Saking kaget, Cie Peng geraki kedua tangannya, untuk membebaskan diri. Inilah hebatnya, coba dia diam saja, dia Cuma akan jungkir balik. Kali ini ia membangkitkan amarahnya tetuanya Liok Koay. Tin Ok angkat tubuh orang dan membanting. maka jatuhlah ia dengan hebat, bebokongnya sakit, sampai sekian lama, baharu ia bisa merayap bangun, untuk dengan terpincang-pincang ngeloyor pergi…..
“Imam cilik itu tak tahu adat, tepat toako ajaradat padanya,” kata Po Kie.
Tin Ok berdiam, selang sesaat ia menghela napas. Semua saudaranya mengerti kedukaan toako ini, mereka turut masgul pula.
“Ya, apa boleh buat….” kata Hie Jin kemudian.
“Benar, sieko,” Siauw Eng bilang. “Kita bertujuh saudara sudah puas berkelana, banyak pengalaman kita, baik pun yang berbahaya, kita belum pernah mengkerat atau mundur!”
Tin Ok mengangguk. “Sekarang pergilah kau pulang dan tidur,” katanya pada Kwee Ceng. “Besok akan aku ajarkan kau senjata rahasia.”
Cu Cong semua gegutan. Hebat senjata rahasia tok-leng dari kakaknya ini. Senjata itu adalah senjata rahasia istimewa penjaga diri sejak si kakak tak dapat melihat matahari, tak pernah dipakai kecuali disaat genting, pula tak pernah diwariskan kepada lain orang, tapi sekarang hendak siturunkan kepada murid ini.
“Anak Ceng, lekas menghanturkan terima kasih kepada toa-suhu,” Siauw Eng ajari muridnya itu.
Kwee Ceng mengucap terima kasih sambil berlutut dan mengangguk, habis itu baharu ia mengundurkan diri.
Tin Ok menghela napas pula perlahan. Ia sangsi apa Kwee Ceng dapat wariskan kepandaiannya itu dengan sempurna.
Semenjak itu, semakin rajin guru ini mengajari muridnya. Adalah kehendak mereka agar si murid maju cepat. Mereka khawatir kalah berlomba dengan Khu Cie Kee menampak kemajuannya In Cie Peng itu. Akan tetapi sulit bagi mereka untuk mewujudkan kehendak itu. Sekalipun seorang yang berotak cemerlang ada sulit untuk dibikin maju dalam tempo yang pendek, apa pula Kwee Ceng yang bebal itu, yang lambat kesadarannya, malah makin didesak, ia membuatnya semakin banyak kesalahan.
Itu pagi Siauw Eng ajari Kwee Ceng ilmu pedang Wat Lie Kiam dijurus keempat yang bernama “Di cabang pohong menyerang lutung putih”. Untuk itu perlu orang berlompat tinggi dan jumpalitan. Murid ini mencoba berlompat, selama tujuh atau delapan kali, ia gagal senantiasa, percuma gurunya ajari ia mesti begini mesti begitu. Siauw Eng menjadi sangat berduka, hingga ia berlinang air mata, dengan lemparkan pedangnya, ia tinggalkan muridnya.
Kwee Ceng terperanjat, ia menyusul, ia memanggil-manggil, tapi gurunya berjalan terus. Ia menjadi masgul sekali, hingga ia berdiri menjublak. Ia tahu semua gurunya ingin ia maju, maka itu, ia mejadi sangat menyesal. ia menjadi gelisah menampak guru-gurunya mulai perlihat roman tidak puas. ia masih berdiam tatkala dari belakang, ia dengar teriakannya putri Gochin: “Engko Ceng, mari lekas, mari lekas!”
Kapan ini bocah menoleh, ia tampak putri itu yang duduk di atas seekor kuda, mengasih lihat roma cemas bernareng gembira. “Ada apa?” ia tanya.
“Mari lekas lihat!” sahut putri Temuchin itu. “Banyak burung rajawali lagi bertarung!”
“Aku lagi berlatih,” Kwee Ceng beritahu.
Putri itu tertawa. “Apakah kau tidak dapat melatih dengan baik dan kembali dimarahin gurumu?” dia tanya.
Kwee Ceng jujur, ia mengangguk.
Putri itu masih tertawa. “Hebat pertarungan itu!” ia kata pula mendesak. “Mari lekas lihat!”.
“Aku tidak mau,” sahut Kwee Ceng. Ia ingat perlakuannya Siauw Eng barusan, ia berduka sekali, ia lenyap kegembiraannya.
Akhirnya si putri menjadi tidak sabaran. “Aku sendiri sampai tidak melihat, karena aku datang untuk mengajak kau!” katanya. “Kalau tetap kau tidak hendak pergi melihat, selanjutnya kau jangan pedulikan aku lagi!”
“Pergi kau kembali dan melihatnya sendiri,” Kwee Ceng bilang. “Bukankah sama kalau sebentar kau menceritakannya kepadaku?”
Gochin lompat turun dari kudanya, ia kasih moyong mulutnya. “Sudahlah, kau tidak mau pergi, aku juga tidak mau pergi…” bilangnya sambil cemberut. “Aku todak tahu, rajawalai yang hitam yang menang atau yang putih…”
“Apakah itu sepasang rajawali putih yang besar yang berkelahi?” Kwee Ceng tanya.
“Benar! Kawanan si hitam banyak tapi si putih lihay, sudah enam atau tujuh ekor si hitam yang mampus…”
Mendengar itu, hati Kwee Ceng tertarik juga. “Mari!” katanya, dan ia tarik tangan si tuan putri, buat diajak naik bersama ke atas kudanya itu, guna kabur ke kaki lembah di mana terlihat belasan ekor rajawali hitam tengah mengurung dan menyerang rajawali putih, hingga sayap mereka pada rontok berhamburan. Rajawali putih lebih besar dan patuknya terlebih kuat, hebat setiap patukan dan cengkeramannya. Demikian seekor musuhnya yang terlambat berkelit, kena disambarnya, lalu bangkainya jatuh di depan Gochin.
Sebentar saja sudah bnayak penduduk yang datang melihat pertempuran rajawali itu, malah Temuchin yang mendengar kabar itu juga turut muncul. Ia datang dengan mengajak Ogotai dan Tuli.
Sering Kwee Ceng, Gochin dan Tuli main-main bersama di lembah itu, hampir setiap hari mereka tampak sepasang burung rajawali putih itu, terhadap burung itu mereka mendapat kesan yang baik, maka itu tidak heran kalau sekrang mereka mengharapi kemenangannya si putih hingga mereka berteriak-teriak menganjuri si putih itu. Kata mereka itu saling ganti: “Hayo putih, patuk padanya! Awas di kiri, ada musuh, lekas berbalik! Bagus! Bagus! Kejar padanya! Kejar!”
Lagi dua ekor rajawali hitam jatuh mati, tetapi sepasang rajawali putih juga telah mendapat luka, bulunya yang putih ternodai dengan darahnya yang merah.
Seekor rajawali hitam yang tubuhnya lebih besar daripada yang lainnya, lantas berbunyi berulang-ulang, lalu kira-kira sepuluh kawannya terbang pergi, tinggal lagi tiga, yang masih bertempur dengan seru. Menampak itu, semua penonton bersorak-sorai. Habis itu, tiga ekor si hitam lantas kabur, satu si putih mengejar.
Habis pertarungan itu, orang banyak hendak bubaran, justru itu, di udara terdengar riuh suara burung tadi, lalu tertampak belasan si hitam terbang kembali, ke jurang, menerjang si putih yang lagi berdiri sambil merapikan bulunya.
“Bagus!” berseru Temuchin, yang menyaksikan siasat perang si hitam.
Hebat si putih, dia melawan sebisanya, dia matikan satu musuhnya, tetapi akhirnya ia jatuh karena luka-lukanya. Sudah begitu, kira-kira sepuluh ekor musuhnya itu masih menyerbu terus.
Kwee Ceng bertiga, Tuli dan Gochin menjadi kaget dan cemas, malah Gochin lantas menangis. “Ayah, lekas panah!” ia teriaki ayahnya.
Temuchin sebaliknya berkata kepada Ogotai dan Tuli: “Si rajawali hitam menang perang, mereka itu menggunai siasat, maka ingatlah kamu!”
Dua putra itu mengangguk
Habis membunuh si putih, kawanan si hitam terbang ke arah sebelah liang di atas jurang, dai liang itu tertampak munculnya dua kepala anak rajawali putih yang mencoba membuat perlawanan.
“Ayah, masih kau tidak mau memanah?” tanya Gochin sambil menangis.
Temuchin tertawa, segera ia siapkan panahnya, terus ia menarik, lalu anak panahnya nancap di badannya seekor rajawali hitam itu, yang rubuh terbinasa dengan segera.
Riuh tempik sorak memuji Khan yang besar itu.
“Coba kau memanah!” kata Temuchin seraya menyerahkan panahnya kepada Ogotai.
Putra itu menurut, ia memanah, ia merubuhkan seekor rajawali hitam itu.
Tuli pun mencoba, dan ia juga berhasil merubuhkan seekor. Setelah itu, semua sisa burung rajawali hitam itu terbang kabur.
Panglima-panglima Teuchin lantas turut memanah, tetapi burung-burung hitam itu sudah terbang tinggi, sulit untuk mengenai mereka. Pun burung itu dapat menyampok anak panah.
“Siapa yang dapat memanah burung itu, ia akan mendapat hadiah!” Temuchin berseru.
Jebe si Jago Panah berdiri di samping Temuchin, ia berniat pertontonkan ilmu panahnya Kwee Ceng, ia turunkan panahnya, ia dekati Kwee Ceng untuk menyerahkan panahnya itu. “Kau berlutut! Kau panah lehernya burung itu!” ia menyuruh dengan suara perlahan.
Kwee Ceng sambuti panah itu, ia tekuk sebelah kakinya, dengan tangan kiri memegang busur dan tangan kanan mencekal anak panah berikut talinya, ia lantas menarik hingga busur itu, atau tangannya menjadi melengkung. Busur itu beratnya dua ratus kati tapi ia dapat menariknya, karena setelah sepuluh tahun berguru kepada Kanglam Liok Koay, tenaganya menjadi besar sekali.
Justru itu dua ekor burung rajawali hitam terbang beredeng, datangnya dari arah kiri. Tidak tempo lagi, Kwee Ceng menarik tangan kanannya, menarik habis hingga busur itu melengkung sepenuhnya, semabri menarik, ia mengincar.
“Ser!” demikian anak panah menyambar, dan seekor rajawali rubuh, sia-sia ia mencoba berkelit. Tepat ia terpanah batang lehernya. Tapi anak panah itu tembus, terus menyambar perutnya rajawali yang kedua, yang jadi rubuh bersama di sampingnya si tukang panah.
Menampak itu, orang banyak bersorak dengan pujiannya. Itulah yang dibilang, sekali memanah dua ekor burung. Dan karena ini, sisa burung yang lainnya terbang kabur, tidak lagi berputaran di atas jurang.
“Serahkan burung itu kepada ayahku!” Gochin berbisik di kupingnya Kwee Ceng.
Si anak muda menurut, ia memungut dua bangkai burung itu, ia lari kepada Temuchin, di depan siapa ia etkuk sebuah lututnya, kedua tangannya diangkat tinggi, untuk persembahkan burung itu.
Seumurnya Temuchin paling menyukai panglima yang gagah perkasa dan orang kosen, sekarang ia saksikan Kwee Ceng serta sikapnya itu, ia menjadi girang sekali.
Harus diketahui, untuk di utara ini, burung rajawali ada besar luar biasa, kalau sepasang sayapnya direntangkan, lebar panjangnya sampai setombak lebih, bulu sayapnya pun kuat seumpama besi, kapan ia menyambar ke bawah, ia dapat cekuk seekor kuda kecil atau kambing besar, malah adakalanya harimau atau macan tutul pun mesti lari dari burung ini. Sekarang bocah ini bisa memanah sekaligus dua ekor, itulah hebat!
Temuchin suruh pengiringnya ambil burung itu. “Anak yang baik, kau hebat!” ia kata pada si bocah.
“Inilah guruku yang mengajari,“ sahut Kwee Ceng yang tidak hendak mensia-siakan Jebe, gurunya itu.
Temuchin tertawa pula. “Gurunya Jebe, muridnya juga Jebe!” pujinya. Di dalam bahasa Mongol, “Jebe” itu berarti “ahli panah yang lihay atau dewa panah”
Tuli hendak bantu adik angkatnya itu, ia kata kepada ayahnya, “Ayah tadi bilang, siapa yang berhasil memanah, dia bakal dihadiahkan sesuatu, sekarang saudaraku ini memanah sekaligus dua ekor, ayah hendak menghadiahkan dia apakah?”
“Apa pun boleh!” sahut ayahnya itu, yang terus tanya Kwee Ceng, “Kau menghendaki apa?”
Tuli girang sekali. “Benarkah barang apa pun boleh?” ia tegaskan ayahnya.
“Apakah aku dapat mendustai anak-anak?” ayahnya itu tertawa.
Semua orang mengawasi Kwee Ceng, sebab heran mereka atas sikapnya Khan mereka itu. Ingin mereka mengetahui apa yang si bocah bakal minta.
“Khan yang agung telah perlakukan aku begini baik, ibuku pun telah punyakan segala apa, karena itu tidak usahlah aku diberikan apa-apa lagi,” berkata Kwee Ceng dengan jawabannya.
Temuchin tertawa lebar. “Kau anak yang berbakti, dalam segala hal kau lebih dulu ingat ibumu!” katanya. “Kau sendiri, apakah yang kau kehendaki? Kau sebutkan saja, jangan takut!”
Kwee Ceng perdengarkan suara perlahan, dengan kedua kakinya ia berlutut di depan kudanya khan yang besar itu. Ia berkata: “Aku sendiri tidak menghendaki apa-apa, aku hendak mewakilkan seseorang mohon suatu hal…”
“Apakah itu?” tanya Temuchin.
“Tusaga, cucunya Wang Khan itu busuk dan jahat,” ia berkata. “Kalau Putri Gochin dinikahkan dengannya, dibelakang hari mestinya tuan putri menderita, maka itu aku mohon denagn sangat supaya janganlah tuan putri dijodohkan dengan dia itu” sambungnya kemudian.
Melengak Temuchin mendengar permintaan itu, lalu akhirnya ia tertawa terbahak.
“Sungguh ucapan kanak-kanak!” katanya. “Mana dapat. Baiklah, hendak aku menghadiahkan kau serupa mustika!” Ia loloskan golok pendek di pinggangnya, ia sodorkan itu pada si bocah.
Semua panglima menjadi kagum dan memuji, agaknya mereka sangat ketarik hati. Golok pendek itu adalah goloknya khan mereka sendiri, golok mustika yang pernah dipakai membinasakan bnayak musuh. Coba tidak khan itu telah melepas kata, tidak nanti ia serahkan goloknya itu.
Kwee Ceng menhanturkan terima kasih, ia sambuti golok itu, yang sarungnya terbuat dari emas dan gagang golok berukirkan emas berkepala harimau, ditabur sepotong batu kumala hitam, dimana ada terukir pula kata-kata: “Golok pribadi dari Khan Temuchin”. Di sebelah itu masih ada ukiran dua baris kata-kata, bunyinya: “Membunuh musuh dan memusnahkan musuh bagai menyembelih harimau dan kambing”.
Temuchin berkata, “Musuh-musuhku tak usahlah aku sendiri yang membunuhnya, kau anak kecil, kaulah yang mewakilkan aku membunuh mereka!”
Belum lagi Kwee Ceng sahuti si khan itu, mendadak Gochin menangis, terus ia lompat naik atas kudanya yang lantsa kasih kabur!
Temuchin keras bagaikan berhati besi akan tetapi menyaksikan putrinya yang paling ia sayangi itu begitu bersusah hati, hatinya menjadi lemah, maka juga ie menghela napas. Terus ia putar kudanya, untuk pulang ke kemahnya.
Semua panglima dan pangeran mengikuti dari jauh-jauh.
Kwee Ceng tunggu sampai orang sudah pergi semua, ia hunus golok pendek itu dan melihat sinarnya yang tajam, yangs seperti mendatangkan hawa dingin adem. Pada golok itu berpeta tanda darah, yang menyatakan entah berapa banyak korban yang telah dimakan. habis membuat main itu golok, ia masuki ke dalam sarungnya. Kemudian ia cabut pedangnya sendiri, untuk melatih Wat Lie Kiam-hoat. Ia masih tidak berhasil menyempurnakan jurus “Di cabang pohon menyerang lutung putih”. Kalau ia tidak melompat terlalu rendah ia tentu tak keburu menggerakkan pedangnya. Ia menahan sabar, ai mencoba pula, ia malah makin gagal, hingga ia bermandikan keringat. Tengah ia berlatih, ia dengar suara berkelengannya kuda, lalu ia tampak Gochin lari mendatangi dengan kudanya.
Putri itu tiba untuk terus lompat turun dari kudanya, buat terus rebahkan diri di atas rumput, sebelah tangannya dipakai untuk menunjang kepalanya. Ia tidak ganggu Kwee Ceng, yang lagi berlatih, hanya ia menontoni. Hanya ketika ia saksikan kawan itu sangat mengeluarkan tenaga, ia berkata: “Sudah, engko Ceng, jangan berlatih terus, mari beristirahat!”
“Kau jangan ganggu aku, aku tidak punya waktu untuk temani kau berbicara,” kata Kwee Ceng.
Gochin berdiam, lalu ia tertawa mengawasi kawannya itu. Ia menanti sekian lama, lalu ia mengeluarkan sapu tangannya, yang kedua ujungnya ia gumpal masing-masing sesudah mana, ia timpuki itu kepada si anak muda. “Kau sustlah peluhmu!” katanya.
Kwee Ceng bersuara perlahan, agaknya ia terkejut, tetapi ia antap sapu tangan jatuh di sampingnya, ia sendiri terus berlatih.
Gochin terus mengawasi, sampai satu kali ia angkat kepalanya, ia dengar suara berisik dari kedua anak burung rajawali putih di atas tebing, menyusul mana segera terdengar suara yang keras tetapi agak hebat dari si rajawali putih besar yang terbang datnag. Dialah burung tadi, yang mengejar kawanan burung hitam itu, yang rupanya baharu kembali. Dia rupanya bermata tajam, ia sudah lantas ketahui kebinasaan pasangannya. Ia lantas terbang berputaran, suaranya sedih.
Kwee Ceng berhenti berlatih, ia mengawasi burung itu.
“Engko Ceng, lihat bagaimana harus dikasihani burung itu…” berkata Gochin.
“Pasti ia sangat berduka,” sahut si engko Ceng itu.
Lagi sekali burung besar itu perdengarkan suara nyaring, terus ia terbang ke atas seprti memasuki mega.
“Mau apa ia terbang ke atas?” tanya tuan putri itu.
Belum berhenti suaranya Gochin, burung itu sudah terbang turun pula, sangat cepat, tujuannya ke jurang, atau tahu-tahu ia telah serbu batu gunung yang besar, maka di detik lain, ia sudah roboh dengan tidak bernyawa lagi!
Dua-dua Kwee Ceng dan Gochin terkejut sekali. Mereka menjerit dan sama-sama mencelat. Untuk sejenak itu, keduanya kadi terdiam.
“Sungguh harus dihormati! Sungguh harus dihormati!” tiba-tiba mereka dengar satu suara nyaring di belakang mereka, hingga mereka menjadi heran, lekas-lekas keduanya berpaling. Mereka melihat satu tosu atau imam, yang berkumis abu-abu tetapi mukanya merah dadu, yang tangannya mencekal hudtim atau kebutan pertapa, yang aneh dandannya, sebab ia telah mebuat tiga konde kecil di atas kepalanya, beroman sebagai huruf “pin”, sedang jubahnya bersih sekali, tidak ada abunya sedikit juga, tidak biasanya untuk orang yang berada di gurun pasir. Dan ia pun berbicara dalam bahasa Tionghoa.
Gochin tidak mengerti bahasa itu. Ia pun sudah lantas menoleh pula, memandang ke atas tebing, dan segera ia berkata: “Bagaimana dengan kedua anak burung itu? Bapak dan ibunya telah mati…”
Sarang di liang di atas tebing itu sukar dipanjat orang, kedua burung itu masih kecil, belum bisa terbang, cara bagaimana mereka bisa mencari makan? Bukankah mereka itu bakal mati kelaparan….?

Bab 12. Imam Berkonde Tiga

Kwee Ceng menjublak sekian lama, baru ia buka suara. “Kecuali orang bersayap dan dapat terbang naik ke atas sana, baru anak-anak burung itu dapat di tolongi…” katanya. Ia pegang pula pedangnya dan mulai lagi denagn latihannya. Ia masih saja tidak berhasil melatih jurus keempat yang bau diajari gurunya itu.Tiba-tiba terdengar suara dingin di belakangnya, “Dengan belajar secara demikian, lagi seratus tahun juga tidak bakal berhasil!”
Kwee Ceng berhenti bersilat, ia menoleh. Ia awasi imam berkonde tiga itu. Ia menjadi tidak senang. “Apa katamu?” ia tanya.
Si imam tersenyum, ia tidak menyahuti, hanya mendadak ia maju mendekati, lalu Kwee Ceng merasai bahunya kaku, lalu dengan satu kelebatan, pedangnya telah pindah tangan kepada si imam itu.
Pernah Kwee Ceng diajari gurunya yang kedua, Cu Cong, ilmu dengna tangan kosong merampas senjata musuh, akan tetapi ia belum dapat menyakinkan itu dengan sempurnya, belum ia menginsyafi gayanya, maka itu, kagum ia untuk lihaynya ini imam, gerakan siapa ia sepertinya tidak melihatnya. Mana bisa ia membela diri atau berkelit? Berbareng dengan itu, ia berkhawatir untuk Gochin. Maka segera ia melompat ke depan tuan putri itu, ia hunus golok hadiahnya Temuchin, untuk bersiap melindungi putri ini.
“Liaht biar tegas!” bersuara si imam itu, yang tidak pedulikan sikpa orang, hanya ia mencelat ke atas, hingga tahu-tahu ia sudah jalankan jurus yang Kwee Ceng tak sanggup pelajari itu, sedang turunnya si imam adalah sangat cepat tetapi tenang. Bocah ini berdiri melengak, mulutnya terbuka lebar.
Si imam lempar pedangnya ke tanah, ia tertawa.
“Burung rajawali putih itu harus dihormati, turunannya pun tak boleh tak ditolongi!” ia berkata, setelah mana, ia lompat untuk lari ke jurang, untuk mendaki dengan cepat, gerakannya bagai lutung atau kera. Ia berlari dengan kaki, menjambret dan merembet dengan tangan, sebentar kemudian, ia sudah mencapai hingga di atas jurang, di dekat liang yang merupakan sarang burung rajawali putih itu.
Hati Kwee Ceng dan Gochin berdenyut keras tak hentinya. Mereka kagum, heran dan berkhawatir untuk keselamatan si imam. Jurang itu tinggi, tebing dan semua batunya licin. Hancur-luluhlah kalau orang jatuh dari atasnya. Di atas tebing itu si imam tampak menjadi kecil tubuhnya.
“Bagaimana?” tanya Gochin yang memeramkan matanya.
“Hampir tiba!” sahut Kwee Ceng. “Bagus! Bagus..!“
Gochin kasih turun kedua tangannya, justru ia melihat si imam lompat ke liang, tubuhnya seperti terpelanting jatuh, hingga ia menjerit kaget. Akan tetapi si imam tiba dengan selamat, dan dengan ulur kedua tangannya, ia mulai menangkap dua anak rajawali itu, untuk kemudian dimasukkan ke dalam sakunya, karena mana, dilain saat, ia sudah mulai turun pula. Dia Tiba di bawah dengan tak kalah cepatnya sewaktu ia mendaki.
Kwee Ceng dan Gochin lari menghampirkan pertapa itu, yang merogoh keluar kedua anak burung itu, untuk mengangsurkan, seraya ia tanya Gochin, “Bisakah kamu merawat anak-anak burung ini?”
“Bisa, bisa, bisa!” sahut si putri dengan cepat seraya menyambuti.
“Hati-hati, jangan sampai tanganmu kena dipatuk!” memperingati si imam. “Burung ini kecil akan tetapi patokannya sakit sekali.”
Gochin loloskan benang ikatan rambutnya, dengan itu ia ikat kakinya kedua burung itu. Ia girang bukan main. “Aku nanti ambilkan daging untuk memelihara padanya!”
“Eh, tunggu dulu!” kata si imam. “Kau mesti berjanji padaku satu hal, baru suka aku serahkan burung ini padamu!”
“Apakah itu?” si putri tanya.
“Aku ingin kau tidak beritahu siapa juga yang aku telah mendaki jurang itu dan mengambil anak burung ini,” kata si imam.
“Baik,” sahut si nona. “Hal itu sebenarnya sulit juga, tapi biarlah aku tidak menyebutkannya.”
Si imam ini tertawa, ia berkata: “Kalau nanti sepasang anak burung ini menjadi besar, mereka bakal menjadi sangat kuat dan galak, maka itu diwaktu mengasih makannya kau mesti hati-hati.”
“Aku tahu,” sahut Gochin, yang girangnya bukan main. Ia kata klepada Kwee Ceng: “Engko Ceng, burung ini kita punyakan seorang seekor, akan tetapi sekarang akulah yang bawa dulu, untuk aku memeliharanya. Akur?”
Kwee Ceng mengangguk. Gochin lantas lompat naik ke atas kudanya dan kabur pergi.
Kwee Ceng bengong mengawasiu tuan putri itu, lalu di lain pihak ia kagumi si imam ini yang demikian lihay, yang pun pandai mainkan jurusnya yang sulit itu. Ia menjadi seperti kehilangan semangatnya.
Si imam konde tiga itu pungut pedangnya untuk dikembalikan kepada pemiliknya, habis itu ia memutar tubuhnya sembari tertawa, untuk berlalu.
“To…totiang, jangan pergi dulu…!” Kwee Ceng berkata, agaknya ia baru sadar, hingga susah ia membuka mulutnya.
“Kenapa?” si imam tanya. Ia tertawa pula.
Bocah ini menggaruk-garuk kepalanya, rupanya sulit ia berbicara. tapi Cuma sejenak, lantas ia jatuhkan diri berlutut di depan si imam dan manggut-manggut, entah sampai berapa puluh kali.
“Eh, untuk apa kau pay-kui terhadapku?” si imam tanya, tertawa.
Mendadak Kwee Ceng mengucurkan air mata. Ia lihat si imam demikian sabar dan ramah, ia seperti menghadapi satu sanaknya yang terdekat.
“Totiang, aku ada sangat bebal…” ia kata kemudian. “Aku belajar rajin dan ulet akan tetapi tetap aku tidak dapat belajar dengan sempurna hingga karenanya aku membuat keenam guruku menjadi tidak senang…”
“Habis, apakah yang kau kehendaki?” tanya si imam, tetap tertawa.
“Siang dan malam aku berlatih, tetap aku gagal…” Kwee Ceng kata pula.
“Apakah kau ingin petunjukku?” imam itu tanya lagi.
“Benar!” Dan Kwee Ceng mendekam pula, mengangguk-angguk lagi.
“Aku lihat kau jujur dan bersungguh hati, begini saja,” kata si imam. “Lagi tiga hari ada bulan pertengahan, nanti selagi rembulan terang menderang, aku nantikan kau di atas puncak. Tapi kau tidak boleh beritahukan hal ini kepada siapa juga!” Ia menunjuk ke puncak yang ia sebutkan.
Kwee Ceng menjadi bingung. “Aku…aku…tidak dapat mendaki…!” katanya.
Si imam sudah lantas berjalan, ia tidak memperdulikannya lagi, ia jalan terus.
“Kalau begini, sengaja totiang hendak menyulitkan aku,” pikir Kwee Ceng, “Terang dia tidak ingin mengajari aku…” Cuma sesaat ia berpikir pula: “Aku toh bukannya tidak punyakan guru yang pandai? Di depan mataku toh ada enam guru yang bersungguh-sungguh mengajari aku? Dasar aku yang tolol! Apa daya sekarang? Meski totiang lihay sekali, mana dapat aku mewariskan kapandaiannya itu? Percuma aku belajar dengannya…”
Bocah ini menjadi tawar hatinya. Tapi matanya masih mengawasi ke pundak. Lalu ia ingat pula pelajarannya, maka terus ia berlatih lagi. Ia baru pulang sesudah matahari turun dari gunung dan ia rasai perutnya lapar.
Tiga hari telah lewat. Hari itu Han Po Kie ajarkan muridnya ilmu cambuk Kim-liong-pian. Senjata lemas itu beda darpada golok atau lainnya senjata tajam, kalau tenaga latihannya kurang orang tak akan terlukai kerenanya, sebaliknya, dia sendiri yang bisa bercelaka. Demikian sudah terjadi, satu kali Kwee Ceng salah menggeraki tangannya dan cambuknya mengenai kepalanya sendiri!
Po Kie menjadi mendongkol, ia sentil kupingnya si murid itu, yang kepalanya telah menjelut!
Kwee Ceng tutup mulut, ia belajar terus.
Melihat orang bersungguh hati, lenyap rasa dongkolnya Po Kie. Ia membiarkan saja walaupun si murid lagi-lagi membuat beberapa kesalahan.
Po Kie mengajari lima jurus, setelah pesan si murid belajar terus dengan sungguh-sungguh, ia meninggalkan pergi dengan menunggang kudanya.
Benar-benar sukar ilmu cambuk itu, Kwee Ceng menjadi korban, hingga ia menjadi babak-belur. Kepalanya dan jidatnya benjut, lengan dan kakinya matang biru. Saban salah menarik, ujung cambuk mengenai diri sendiri. Maka itu akhirnya, dengan merasa sakit dan letih, ia rebahkan diri di rumput dan kepulasan. Ia mendusin sesudah rembulan muncul. Ia merasakan sakit pada tubuhnya, tapi ia memandang ke atas bukit. Ia ingat janjinya si imam.
“Dia bisa mendaki, mustahil aku tidak!” akhirnya ia kata dengan penasaran. Dan ia lari ke kaki jurang, untuk mulai mendaki. Ia jambret setiap oyot rotan, ia naik seperti merayap. Ia bisa naik setinggi enam atau tujuh belas tombak, lalu ia berdiam. Jalan naik lebih jauh batu melulu, seperti tembok yang licin.
“Mesti dapat!” ia keraskan hatinya. Dan ia mencoba. Ia cari lubang atau sela batu, untuk dipegang, untuk ia menindak. Satu kali ia terpeleset, hampir cekalannya terlepas, hampir ia terjatuh! Kapan ia memandang ke bawah, ia merasa ngeri bukan main. Sekarang, naik tak dapat, turun pun sukar!
Kwee Ceng menghela napas bahna sukarnya. Tiba-tiba ia ingat perkataan gurunya yang keempat: “Di kolong langit ini tidak ada urusan yang sukar, asal hati orang kuat!”. Maka ia kertak gigi. ia sekarang dapat akal, ialah ia pakai golok pendeknya, untuk mencokel batu, guna menancap itu untuk dipakai sabagai alat pegangan, buat dijadikan tempat injakan. ia merayap tetapi ia dapat maju setindak dengan setindak, sangat ayal. Ia telah mesti menggunai tenaga terlalu besar, baru manjat dua tombak, kepalanya sudah pusing, kakinya tangannya lemas. Maka ia diam mendekam, ia bernapas denagn perlahan-lahan.
Setahu berapa banyak liang lagi harus dibikin untuk dapat naik ke atas. Kwee Ceng tidak memperdulikannya. Setelah cukup beristirahat, ia mulai pula mencongkel batu. Baru ia mulai, atau mendadak ia dengar suara orang tertawa diatasnya. Ia heran, ia pun tidak berani dongak, untuk melihatnya. Untuk heranya, tiba-tiba ada sehelai dadung meroyot turun, ujungnya berdiam tepat di depannya!
“Ikat pinggangmu, nanti aku tarik kau naik!” begitu suara terdengar. Ia kenali suaranya si imam konde tiga. Tiba-tiba ia menjadi girang sekali, hingga semangatnya terbangun pula. Tanpa banyak pikir, ia simpan goloknya, sambil sebelah tangan terus pegangi liang batu, dengan tangan kanannya ia libat pinggangnya, mengikat keras.
“Apakah kau telah selesai mengikat?” tanya si imam dari atas.
“Sudah!” sahut si bocah.
“Sudah atau belum?” tanya lagi suara di atas. Rupanya ia tidak dengar jawabannya si bocah. Tiba-tiba ia tertawa, lalu menambahkan: “Ah, aku lupa! Suaramu tidak cukup keras, tak sampai ke atas sini. Kalau kau sudah mengikat rapi, kau tariklah dadung ini, tarik tiga kali!”
Kwee Ceng menurut, ia membetot tiga kali. Habis itu mendadakan ikatan pada pinggangnya menjadi keras, segera tubuhnya terangkat, hingga terlepaslah pegangannya pada batu dan injakan kakinya juga. Ia terkejut juga, tetapi sebab tahu ia lagi diangkat naik, ia tidak terlalu berkhawatir. Hanya untuk herannya, baru ia terangkat naik, tiba-tiba ia sudah sampai di atas, berdiri tepat di depannya si imam!
Bukan main ia girang dan bersyukur, tak tempo lagi ia tekuk lututnya, untuk pay-kui, guna menghanturkan terima kasihnya, akan tetapi si imam cekal tangannya, untuk ditarik, sambil tertawa, imam itu berkata: “Kemarin kau telah pay-kui padaku seratus kali, sudah cukup, sudah cukup! Bagus, anak bagus, kau ada punya semangat!”
Puncak gunung itu boleh dibilang datar, di situ ada sebuah batu besar yang rata, yang penuh dengan salju.
“Duduklah di sana!” kata si imam.
“Biar teecu nerdiri saja menemani suhu,” Kwee Ceng bilang.
“Kau bukannya orang kaumku, aku bukannya gurumu,” kata si imam. “Kau juga bukan muridku. Kau duduklah!”
Dengan hati bingung, Kwee Ceng berduduk.
“Keenam gurumu itu semua orang-orang Rimba Persilatan kenamaan,” kata si imam, “Walaupun kita tidak kenal satu sama lain akan tetapi kita saling menghormati. Untuk kau, asal kau dapat pelajarakn kepandaian satu saja dari enam gurumu itu, kau sudah bisa tonjolkan diri di muka umum. Kau bukannya tidak rajin belajar, kenaapa selama sepuluh tahun ini kemajuanmu tidak banyak? Tahukah kau sebabnya?”
“Itulah karena dasarku yang bebal, biar suhu semua bersungguh-sungguh mengajarainya, aku tidak bisa peroleh kemajuan,” Kwee Ceng menjawab.
“Itulah tidak benar seluruhnya!” jawab si imam dengan tertawa. “Inilah dia yang dibilang, yang mengajar tak jelas caranya dan yang belajar tak menginsyafi jalannya…”
“Kalau begitu, aku mohon su…su…eh totiang, sudi mengajarinya,” Kwee Ceng memohon.
“Bicaranya tentang umumnya ilmu silat, sebenarnya sudah jarang orang Rimba Persilatan yang sepandai kau,” menerangkan si imam pula, “Kau baru belajar silat, lantas kau dijatuhkan si imam muda, ini pun satu pukulan untukmu, kau lantas merasa pelajaranmu tak ada faedahnya. Hahaha, kau ternyata keliru!”
Kwee Ceng heran. Kenapa imam ini ketahui urusan kekelahannya itu?
“Imam itu memang daripada kau, ia sebenarnya telah menggunai akal,” berkata si imam, “Coba kamu bertempur secara biasa, belum tentu ia dapat menangkan kau. Disamping itu kepandaian keenam gurumu tak ada dibawahan aku, dari itu tidak dapat aku ajarkan kau ilmu silat!”
Kwee Ceng heran berbareng putus asa.
“Ketujuh gurumu telah bertaruh sama orang,” kembali si imam berkata, “Kalau aku ajarkan kau ilmu silat dan kemudian gurumu memdapat tahu, mereka pasti menjadi tidak senang. Mereka adalah orang-orang terhormat, dalam hal pertaruhan, mana mereka mau berlaku curang?”
“Pertaruhan apakah itu totiang?” tanya Kwee Ceng.
“Rupanya gurumu belum memberi keterangan padamu, karena itu, sekarang baiklah kau tidak usah menanyakan. Nanti dua tahun lagi, mereka akan memberitahukannya padamu. Sekarang begini saja. Kesungguhan hatimu rupanya membuatnya kita berjodoh. Akan aku ajarkan kau ilmu mengendalikan napas, duduk, jalan dan tidur…”
Kwee Ceng heran bukan main. “Ilmu bernapas, duduk, jalan dan tidur..?” pikirnya. “Begitu aku terlahir, aku hampir bisa semua itu sendirinya. Perlu apa kau mengajarinya pula…?” Ia tapinya tutup mulut.
“Kau singkirkan salju di atas batu itu,” kata si imam. “Kau tidur di situ,” lantjutnya kemudian.
Kwee Ceng menjadi semakin heran, tetapi ia menurut, denagn kedua tangannya, ia singkirkan salju itu, habis itu ia terus rebahkan dirinya di atasnya.
Si imam mengawasi. “Untuk tidur caramu ini, buat apa akukah mengajarinya?” katanya. “Aku ada punya empat perkataan, kau ingat baik-baik. Inilah dia: Sue teng cek ceng bong, Tee hie cek kie oen, Sim soe cek cin hoat, Yang seng cek im siauw.”
Kwee Ceng menurut, ia ingat itu dan mengulanginya sampai beberapa kali. Ia ingati terus, tetapi ia tak tahu apa artinya yang sebenarnya. Ia melainkan tahu itu berarti: “Pikiran tenang, perasaan terlupa, tubuh kosong, hawa berjalan, hati mati, semangat hidup, yang bangun, im hapus.
Imam itu berkata pula, menerangkan: “Sebelumnya tidur, orang mesti kosongkan otaknya, jangan pikir suatu apa juga, barulah naik pembaringan dan rebah miring, napas kasih jalan perlahan-lahan, semangat jangan goncang, jangan ngawur. Nah, begini, kau mesti bernapas.”
Lantas si imam mengajari caranya napas disedot masuk dan keluar sambil bersemadhi. “Sekarang duduklah dan mulai!” katanya pula.
Kwee Ceng menurutm ia mencoba. Mulanya, pikirannya goncang, ada saja yang ia ingat, tetapi ia lawan itu, ia coba lupai segala apa. Lama-lama ia menjadi tenang juga. Hanya, selang satu jam, ia rasai kaki dan tangannya kaku dan kesmutan.
Si imam bersila di depan orang, buka matanya. “Sekarang kau rebahlah,” katanya.
Kwee Ceng menurut pula. Ia rebah hingga ia tidur kepulasan tanpa merasa, tempo akhirnya ia sadar, fajar sudah menyingsing.
“Sekarang kau pulang, sebentar malam datang pula.” kata si imam, da ia kerek turun tubuh bocah itu.
Kwee Ceng menurut, maka seterusnya setiap malam ia datang pada si imam, yang kerek ia naik, untuk ia belajar napas, duduk, tidur dan jalan. Lekas ia merasakan suatu keanehan. Si imam tidak ajari ia ilmu lainnya, toh kapan di waktu siang ia berlatih silat, ia rasai tubuhnya jadi ringan sekali dan gesit. Selang setengah tahun, ia lantas dapat lakukan apa-apa yang tadinya ia tidak sanggup lakukan.
Kanglam Liok Koay lihat itu kemajuan, mereka girang sekali. Mereka menyangka kemajuan muridnya ini berkat kerajinan dan keuletannya.
Lain keanehan yang nyata, Kwee Ceng rasai ia dapat mendaki jurang lebih tinggi dan lebih gampang, baru di bagian yang licin, si imam kerek padanya.
Satu tahun telah berlalu dengan cepat, maka lagi beberapa bulan akan tibalah saat pibu. Kanglam Liok Koay merasa gembira. Mereka percaya muridnya bakal menang. Mereka juga girang akan lekas kembali ke Kanglam. Maka itu, setiap hari mereka omongkan hal pibu dan bakal pulang itu.
Pada suatu pagi, Hie Jin kata pada muridnya: “Anak Ceng, selama ini kau belajar mainkan senjata saja, mungkin kau kurang leluasa dengan tangan kosongmu, dari itu mari kau coba-coba.”
Kwee Ceng mengangguk. Ia lantas turut pergi ke tempat berlatih. Hie in sedang hendak mulai berlatih sama muridnya itu tempo kelihatan debu mengepul jauh di sebelah depan dan terdengar berisik suara kuda dan orang. Itulah segerombolan kuda, yang lari larat, dan si penggembala, orang-orang Mongol, repot mengendalikan. Baru semua kuda dapat dibikin tenang dan berkumpul, mendadak dari arah barat datang seekor kuda kecil merah marong, kuda itu menyerbu ke rombongan kuda banyak itu, menggigit dan menyentil, hingga kuda ini menjadi kacau pula. Setelah itu, kuda itu lari pula ke utara dan lenyap. Tapi dia tidak pergi lama, kembali terlihat ia mendatangi, kembali ia mengacau rombongan kuda tadi.
Kawanan penggembala itu menjadi dongkol, tapi mereka tidak bisa suatu apa. Mereka hendak tangkap kuda merah itu, tetapi tak dapat karena kuda itu lari kabur, lalu berdiri diam di tempat jauh seraya perdengarkan meringkiknya berulang-ulang, rupanya ia puas sudah mengacau itu….
Liok Koay dan Kwee Ceng heran. Mereka pun kagumi kuda merah itu. Malah Han Po Kie segera hampirkan rombongan penggembala itu, akan tanya kuda itu kepunyaan siapa. Ia penggemar kuda, kudanya sendiri jempolan, tetapi masih kalah jauh dengan kuda merah itu.
“Setahu darimana keluarganya kuda kecil ini,” sahut seorang penggembala. “Baharu beberapa hari yang lalu kami lihat dia, kami mencoba menangkap padanya tetapi gagal, dia menjadi penasaran terhadap kami, lau terus-terusan ia mengacau. Dia ada sangat cerdik dan gesit.”
“Itulah bukannya kuda,” kata satu penggembala.
“Habis apakah itu?” tanya Po Kie.
“Inalah kuda turunan naga dari langit, dia tidak dapat diganggu!” jawab penggembala itu kemudian.
Seorang penggembala lain tertawa. “Siapa bilang naga bisa menjdai kuda?” katanya. “Ngaco belo!”
“Kau tahu apa, anak kecil? Sudah puluhan tahun aku menggembvala kuda, tidak pernah aku lihat kuda semacam ini!” Ia belum tutup mulutnya, kapan kuda merah itu sudah datang menyerbu pula.
Han Po Kie segera bertindak. ia memang seorang ahli kuda, tahu ia sifat atau kebiasaannya hewan itu. Orang Mongol sendiri kagum padanya. Begitulah ia lari ke tempat dimana kuda itu bakal mundur. Tepat dugaannya. Kuda itu lari ke arahnya. Ia kate, ia seperti berada di bawahnya perut hewan itu. tapi ia tak kasih dirinya dilompati, sebaliknya ialah yang melompat ke bebokong kuda itu. Ia kate tapi ia dapat melompat tinggi. Segera ia berada di atas punggung kuda. Ia sudah pandai, ia percaya bakal berhasil, siapa tahu, belum ia sempat mendudukinya, kuda itu sudah lewati dia, hingga ia jatuh ke tanah, cuma tak sampai terguling, ia jatuh sambil berdiri. Ia menjadi dongkol. lantas ia lari mengejar.
Hebat larinya kuda itu, dia tak tercandak, hanya disaat ia lari lewat, tiba-tiba dari smaping ada satu orang yang lompat menyambar kepadanya, memegang surinya. Dia kaget, dia lompat dan lari, karena mana, dia kena bawa orang yang menyambarnya itu, sebab orang itu tidak mau melepas cekalannya.
Semua penggembala menjadi terkejut, mereka berteriak. kanglam Liok Koay pun terkejut, karena itulah Kwee Ceng yang menyambar kuda itu. Disamping itu mereka heran kapannya bocah ini pelajarkan sifatnya hewan, dan kapannya ia mempelajari keng-sin-sut, ilmu enteng tubuh.
“Selama satu tahun ini, pesat majunya anak Ceng,” kata Siauw Eng. “Mungkinkah ia dipayungi ayahnya almarhum? Mungkinkah ngo-ko…?
Nona ini tidak tahu, kepandaian Kwee Ceng itu adalah hasilnya ajaran si imam konde tiga, karena ketekunan Kwee Ceng sendiri yang bebal tapi rajin dan ulet. Setiap malam ia naik turun jurang, tanpa ia merasa, ia tengah menyakinkan ilmu ringan tubuh yang sangat lihay, yaitu “Kim-gan-kang” atau ilmu “Burung Welilis Emas.” Dia cuma tahu si imam konde tiga itu sangat baik hati suka memberi pengajaran kepadanya hingga ia dapat bersemadhi…
Selagi Liok Koay bicarakan hal murid ini, tahu-tahu si murid sudah kembali bersama kuda merah itu, yang terus angkat kedua kaki depannya, untuk berdiri, kemudian ia meyentil dengan kedua kaki belakangnya. Kwee Ceng tidak rubuh karenanya, ia memegangi dengan keras, kedua kakinya menjepit. Po Kie pun segera ajar dia bagaimana harus membikin jinak kuda. Masih saja kuda itu berjingkrakan, dai seperti ingin menjungkirkan penunggangnya.
Si penggembala, yang percaya kuda itu adalah turunan naga, sudah lantas berlutut dan memuji supaya janganlah Tuhanbergusar karena kudanya itu dipermainkan…
Siauw Eng pun lantas berteriak, “Anak Ceng, lekas turun. Kasih sam-suhu gantikan kau!”
“Jangan!” teriak Po Kie, yang mencegah. “Kalau digantikan, dia bakal gagal!” Ia tahu, kalau seorang dapat menakluki kuda binal, kuda itu bakal tunduk untuk selama-lamanya kepada penakluk itu.
Kuda itu masih berjingkrakan, rupanya ingin dia membikin penunggangnya jungkir balik, tetapi Kwee Ceng terus memegangi erat-erat, malah kemudian, bocah ini memeluk ke leher, tenaganya dikerahkan, makin lama makin keras pelukan itu. Diakhirnya, kuda itu sukar bernapas, lalu ia berhenti meronta-ronta, dia berdiri diam!
“Bagus! Bagus!” seru Po Kie. “Dia berhasil”
Kwee Ceng khawatir kuda itu bakal lari atau kabur, ia tidak mau lantas turun.
“Cukup sudah!” Po Kie bilang pada muridnya. “Kau turun! Dia sudah tunduk kepadamu, walaupun kau usir, dia tidak nanti lari!”
Mendengar itu barulah Kwee Ceng lompat turun. Kuda itu benar tidak lari, sebaliknya, dia jilati belakang telapakan tangan si bocah, dia jadi jinak sekali.
Menampak itu, dari kaget dan heran, orang menjadi tertawa!
Satu penggembala dekati kuda itu, ia dipersen jentilan hingga ia terjungkal!
Kwee Ceng lantas tuntun kuda itu ke sisi instal, untuk gosoki keringatnya, untuk membersihkan badannya.
Liok Koay tidak suruh muridnya itu berlatih lebih jauh, dengan masing-masing mereka merasa heran, mereka masuk ke kemah mereka.
Tengah hari, habis bersantap, Kwee Ceng pergi ke kemah gurunya.
“Anak Ceng, ingin aku lihat seberapa jauh kau punya ilmu Kay-san-ciang,” berkata Coan Kim Hoat pada muridnya itu.
“Disini?” sang murid tegaskan.
“Ya. Di mana saja orang bisa menghadapi musuh, maka orang mesti siap akan bertempur di kamar yang kecil.” Kata-kata itu disusul sama ancaman tangan kiri dan tinjuan kepalan kanan.
Kwee Ceng mennagkis dan berkelit, malah terus sampai tiga kali, setelah diserang untuk keempat kalinya, ia membalas. Kim Hoat menyerang dengan hebat, malah ia terus gunai jurusnya “Masuk ke dalam guna harimau”. Ia mengarah ke dada. Ini bukan jurus latihan, tapi serangan benar-benar yang berbahaya.
Kwee Ceng mundur, hingga bebokongnya nempel sama tenda. Ia kaget seklai. Tentu saja, hendak ia membela diri. Ia putar tangan kirinya, guna menyingkirkan dua tangan gurunya itu. Akan tetapi hebat serangan si guru, Cuma tempo ia menggenai dada muridnya, ia rasai dada muridnya itu lembek seperti kapuk, lalu tangannya kena dihalau!
Untuk sejenak Kwee Ceng tercengang, tapi segera ia berlutut di depan gurunya itu.” Teecu salah, silakan liok-suhu menghukum,” ia menyerah. Ia takut sekali, tak tahu ia bersalah apa maka gurunya serang ia secara demikian telengas.
Tin Ok semua berbangkit, semua mereka menunjuk roman bengis.
“Secara diam-diam kau turut orang lain belajar silat, kenapa kau tidak beritahu itu pada kita?!” tehur Cu Cong. “Coba tidak liok-suhu mencoba padamu, kau tentu tetap hendak menyembunyikannya, bukan?!”
“Cuma guru Jebe mengajarakan teecu main panah dan tombak,” Kwee Ceng menjawab. Ia omong dengan sebenarnya. Si imam konde tiga tidak ajarkan ia ilmu silat, cuma ilmu semadhi, sedang ilmu enteng tubuh, ia diajarkan diluar tahunya.
“Masih kau berdusta?!” Cu Cong bentak pula.
Kwee Ceng menangis, air matanya mengucur keluar. “Suhu semua memperlakukan teecu sebagai anak, mana berabi teecu berdusta?” sahutnya.
“Habis darimana kau dapat kepandaianmu tenaga dalam?!” Cu Cong masih bertanya. “Apakah kau hendak andalakn gurumu yang lihay itu maka kau jadi tidak pandang lagi kami berenam?! Hm!”
“Tenaga dalam?” Kwee Ceng melengak. “Sedikit pun teecu tidak mengerti itu.”
“Fui!” seru Cu Cong sambil ia ulurkan tangannya ke jalan darah hian-kee-hiat di bawahan tulang iga. Siapa terkena itu, ia mesti pingsan.
Kwee Ceng tidak berkelit atau menangkis, ketika totokannya Cu Cong mengenai, dagingnya bergerak sendirinya, membikin totokan itu kena dikemsampingkan. Si bocah Cuma merasakan sakit, ia tak kurang suatu apa.
Cu Cong tidak menggunai tenaganya sepenuhnya, tapi ia terkejut dan heran.
“Nah, apakah ini bukannya tenaga dalam!” serunya.
Kwee Ceng terkejut. “Adakah ini hasil latihannya totiang?” ia tanya pada dirinya sendiri. Lalu ia mengasih keterangan: “Selama dua tahun ini, ada orang yang setiap malam mengajari teecu bagaimana harus menyedot napas, duduk bersila dan tidur, teecu anggap ajaran itu menarik hati, teecu ikuti ia belajar terus. Sama sekali ia tidak ajarakan ilmu silat pada teecu. Cuma ia pesan supaya teecu jangan memberitahukan hal itu pada siapa pun. Teecu anggap hal ini bukan perbuatan busuk, teecu juga tidak mensia-siakan pelajaranku, dari itu teecu tidak memberitahukan kepada suhu semua.” Ia lantas mengangguk-angguk dan menambahkan: “Teecu tahu teecu bersalah, lain kali teecu tidak berani pergi bermain pula…”
Enam guru itu saling pandang. Terang murid ini tidak berdusta.
“Apakah kau tidak tahu, pelajaranmu itu bukan tenaga dalam?” tanya Siauw Eng yang menegaskan. Tenaga dalam itu adalah Iweekang (laykang).
“Benar-benar teecu tidak tahu kalau itu adalah pelajaran tenaga dalam,” Kwee Ceng menyahuti. “Dia suruh teecu duduk, untuk menarik dan mengeluarkan napas dengan perlahan-lahan, selama itu, tidak boleh teecu pikirkan apa juga. Mulanya sulit, tetapi kemudian teecu merasakan hawa panas keluar masuk, dan ini menarik hati…”
Liok Koay heran berbareng girang di dalam hati. Tidak mereka sangka, muridnya ini telah dapatkan Iweekang sedemikian rupa.
Kwee Ceng jujur, hatinya bersih, dari itu, ia dapat menyakinkan Iweekang lebih cepat dari siapa juga.
“Siapa yang ajarkan kau ilmu itu?” Cu Cong tanya. “Di mana dia mengajarkannya?”
“Dia tidak mau beritahu she dan nama atau gelarannya pada teecu, dia juga larang teecu memanggil suhu padanya,” Kwee Ceng jawab. “Malah dia suruh teecu bersumpah untuk tidak menjelaskan roman tubuh dan wajahnya.”
Liok Koay semakin heran, mereka menjadi curiga. Mulanya mereka menyangka Kwee Ceng cuma bertemu orang pandai, tapi kalau begini, mesti ada sebab lainnya lagi. Sebab apakah itu?
“Nah, pergilah kau!” kata Cu Cong kemudian.
“Selanjutnya teecu tidak berani pergi bermain-main pula dengan dia itu,” kata Kwee Ceng.
“Tidak apa-apa, kau boleh pergi memain seperti biasa,” kata Cu Cong. “Kami tidak persalahkan padamu, asal kau tidak beritahukan dia bahwa kami telah ketahui urusan ini.”
“Baik, suhu,” kata Kwee Ceng, yang terus undurkan diri. Ia girang gurunya tidak marah. Setibanya di kemah, di sana Gochin sudah menantikan dia, di sampingnya ada dua ekor rajawali putih. Kedua burung itu telah membesar denagn cepat, berdiri di tanah, keduanya melebihkan tingginya tuan putri itu.
“Lekas, telah setengah harian aku menunggui kau!” kata putri itu.
Seekor rajawali angkat kakinya dan pentang sayapnya, terus ia terbang mencablok di pundaknya Kwee Ceng.
Dengan berpegangan tangan, dua kawan ini lari ke tegalan, untuk bermain dengan burung mereka.
Di dalam kemah, Liok Koay berbicara. “Dia ajarkan ilmu kepada anak Ceng, dia tentu tidak bermaksud buruk,” Siauw Eng mengutarakan pikirannya.
“Hanya kenapa dia tidak menghendaki kita mendapat tahu?” tanya Kim Hoat. “Kenapa pada anak Ceng juga ia tidak menjelaskan hal Iweekang itu?”
“Mungkin dia adalah kenalan kita,” Cu Cong bilang.
“Kenalan?” ulangi Siauw Eng, “Kalau dia bukan sahabat, tentulah ia itu musuh…”
Kim Hoat berpikir. “Di antara kenalan kita, rasanya tak ada yang berkepandaian seperti dia….” katanya.
“Kalau dia musuh, nah untuk apakah ia mengajari anak Ceng?” Siauw Eng tanya pula.
“Siapa tahu kalau dia tidak tengah mengatur daya upaya busuk?” kata Tin Ok dingin.
Semua saudara itu terkejut.
“Kalau begitu, baiklah sebentar malam aku dan liok-tee pergi ikuti anak Ceng untuk lihat orang itu,” kata Cu Cong kemudian.
Tin Ok berlima mengangguk.
Malam itu Cu Cong dan Kim Hoat menanti di luar kemah ibunya Kwee Ceng.
“Ibu, aku hendak pergi!” begitu terdengar suaranya sang murid, lalu ia lari keluar, cepat larinya. Kedua guru itu segera menguntit dari kejauhan. Syukur di tanah datar itu tak ada sesuatu rintangan, maka itu, mereka dapat terus memasang mata. Mereka sendiri tidak khawatir nanti terlihat si murid, yang larinya benar pesat sekali. Sampai di lembah, masih si murid lari terus.
Ketika itu, dengan ilmunya maju pesat, Kwee Ceng dapat mendaki jurang tanpa bantuan lagi. tentu saja, Cu Cong dan Kim Hoat heran bukan main. Mereka menantikan, sampai Tin Ok berempat datang menyusul. Mereka ini berbekal senjata, khawatir nanti ketemu musuh lihay. Cu Cong ceritakan halnya Kwee Ceng naik ke atas jurang.
Siauw Eng dongak, ia lihat mega hitam, ia gegetun.
“Mari kita sembunyi disini, tunggu sampai mereka turun,” Tin Ok mengatur.
Mereka lantas ambil tempatnya masing-masing. Siauw Eng berpikir keras. Suasana malam ini mengingati ia malam itu tempo mereka mengepung Hek Hong Siang Sat dengan kesudahannya Thio A Seng menutup mata untuk selamanya. Ia menjadi sangat berduka.
Sang waktu lewat detik demi detik, di atas jurang tidak terdengar gerak apa juga. Tanpa terasa, sang fajar telah menyingsing, sang matahari sudah keluar, puncak jurang tetap sunyi senyp, malah Kwee Ceng tak tampak turun. Tak tampak juga orang yang dikatan gurunya itu.
Lagi satu jam mereka menanti dengan sia-sia, akhirnya Cu Cong mengusulkan naik ke atas guna melihat.
“Bisakah kita naik?” Kim Hoat tanya.
“Belum tentu, kita coba saja,” sahut kakak yang kedua itu.
Cu Cong terus lari pulang ke kemah untuk ambil dadung, dua buah kampak serta beberapa puluh potong paku besar. Tempo mereka mulai menanjak, mereka gunai paku itu, mereka saling menarik. Setelah bermandikan keringat, keduanya tiba juga di atas. Segera juga mereka berserua karena kagetnya.
Di samping batu besar ada teratur sembilan buah tengkorak putih, di bawah lima, di tengah tiga di atas satu, tepat dengan pengaturannya Hek Hong Siang Sat dahulu hari. Semua tengkorak itu pun ada lubangnya, bekas totokan jari tangan, seperti terkorak pisau tajam. Di pinggiran lubang itu ada tanda hitam, yang mana dikhawatirkan ada sisa racun.
Keduanya kebat-kebit hatinya. Yang aneh, di situ tak ada orang, entah kemana perginya Kwee Ceng serta orang yang dikatakan gurunya itu. Maka lekas-lekas mereka turun pula, hati mereka tegang dan cemas.
Po Kie semua heran, mereka lantas tanya ada apa dan kenapa dengan kedua saudara itu.
“Bwee Tiauw Hong!” sahut Cu Cong, masih tegang hatinya.
Empat saudara itu terperanjat.
“Anak Ceng?” tanya Siauw Eng.
“Entahlah,” sahut Kim Hoat, “Mungkin mereka turun dari sebelah…” Ia lalu menjelaskan apa yang mereka lihat di atas sana.
“Belasan tahun cape lelah kita, siapa tahu, kita memelihara harimau untuk meninggalkan bahaya untuk di kemudian hari,” kata Tin Ok masgul.
“Anak Ceng jujur dan polos, dia bukannya satu manusia yang tak berbudi,” kata Siauw Eng, sangsi.
“Habis kenapa ia ikuti si siluman itu selama dua tahun dan ia menutup mulut terus?” tanya Tin Ok.
“Apakah toako mau artikan si perempuan siluman buta itu hendak pinjam tangan anak ceng untuk celakai kita?” tanya Po Kie.
“Mestinya begitu,” sahut Cu Cong, yang akur sama kakaknya.
“Taruh kata anak Ceng mengandung maksud tidak baik, tidak nanti dia dapat berpura-rupa sedemikian rupa,” Siauw Eng tetap bersangsi.
“Mungkin siluman perempuan itu anggap waktunya belum tiba dan dia belum menjelaskan sesuatu kenapa anak ceng…” Kim Hoat pun mengutarakan dugaannya.
“Tubuhnya anak Ceng sudah cukup enteng, Iweekangnya sudah punya dasar, tetapi ilmu silatnya masih kalah jauh denagn kita, kenapa si perempuan siluman itu tidak ajarkan dia ilmu silat?” tanya Po Kie. ia pun heran.
“Perempuan siluman itu hendak pakai tangannya si Ceng, mana dia begitu baik hati hendak menurunkan kepandaiannya?” kata Tin Ok. “Bukankah suaminya terbinasa di tangannya si Ceng?”
Semua orang berdiam, mereka menggigil snedirinya. Hebat ancaman bahaya yang mereka khawatirkan itu.
Tin Ok menghajar tanah dengan tongkatnya.
“Sekarang mari kita pulang!” ia mengajak. “Kita berpura-pura tidak tahu, kita tunggu si Ceng datang pada kita, lalu tiba-tiba kita hajar dia hingga bercacat. Biar pun ia lihay, mustahil kita berenam kalah padanya…”
Siauw Eng kaget, “Anak Ceng hendak dibikin bercacat?!” serunya. “Habis bagaimana dengan janji pibu?”
“Lebih penting nyawa kita atau pibu itu?” tanya Tin Ok.
Si nona berdiam begitupun yang lainnya.
“Tidak bisa!” seru Hie Jin kemudian.
“Tidak bisa apa?” tanya Po Kie.
“Dia tak dapat dibikin bercacat!” jawab Hie Jin.
“Tidak dapat?” Po Kie tegaskan pula.
Hie Jin mengangguk.
“Aku setuju sama sie-ko,” bilang Siauw Eng. “Lebih dulu kita mesti mencari kepastian, baru kita pikir pula.”
“Tapi urusan ada sangat penting. “ Cu Cong peringati, “Kalau kita salah tindak karena kita merasa kasihan terhadapnya, tak dapat diduga bagaimana hebatnya bencana yang bakalan terjadi. Bagaimana kalau tindakan kita bocor?”
“Memang inilah berbahaya,” kata Kim Hoat.
“Samtee, bagaimana kau?” tanya Tin Ok.
Po Kie bersangsi, akan tetapi kapan ia saksikan air mata adiknya, ia lantas tetapkan hatinya. “Aku di pihak sietee,” jawabnya.
Dari enam bersaudara itu, tiga setuju Kwee Ceng dibikin cacad dan tiga tidak, maka akhirnya, Cu Cong menghela napas. “Coba ngotee ada di sini, kita pasti akan memperoleh putusan, salah satu pihak tentulah lebih satu suara.”
Mendengar disebut-sebutnya A Seng, berhneti mengucur air mata Siauw Eng. Ia kata: “Sakit hati ngoko mana dapat tidak dibalaskan! Toako, kami dengar titahmu!”
“Baiklah!” kata toako itu. “Mari kita pulang dulu!”
Di dalam kemah mereka, mereka masih tetap ragu-ragu, hati mereka tidak tenang. Maka Tin Ok bilang: “Kalau benar, ia datang, jietee sama lioktee, kamu halangi mereka, nanti aku yang turun tangan!”
Demikian mereka bersiap sedia.
Tin Ok bersama Cu Cong dan Coan Kim hoat bukan bangsa sembrono akan tetapi menyaksikan keanehan Kwee Ceng dan di atas jurang kedapatan itu sembilan tengkorak dari Bwee Tiauw Hong, kaut kepercayaan mereka bahwa Bwee Tiauw Hong adalah orang yang mengajari Iweekang kepada murid mereka.
Nyatanya, tidaklah demikian duduknya hal.
Kapan tadi malam Kwee Ceng tiba di atas jurang, si imam sudah menantikan dia, hanya si imam ini segera menunjuk seraya berkata: “Kau lihat, apakah itu?”
Di bawah sinar rembulan guram, Kwee Ceng lihat sembialn tengkorak. Tentu saja ia menjadi kaget. “Adakah ini diatur oleh Hek Hong Saing Sat?” ia tanya.
“Eh, kau pun kenal Hek Hong Siang Sat?” si imam tanya, heran.
Kwee Ceng mengangguk. Ia tuturkan hal pertempuran gurunya semua dengan Hek Hong Siang Sat itu dengan kesudahan gurunya yang kelima terbinasa. ia pun kasih tahu bagaimana dengan cara kebetulan ia dapat menikam mati pada Tan Hian Hong.
Si imam itu tertawa. “Kiranya si Mayat Perunggu yang lihay itu terbinasa di tanganmu!” katanya.
“Tetapi totiang, adakah si Mayat Besi itu datang? Apakah totiang dapat lihat padanya?” tanya Kwee Ceng.
“Aku belum lama sampai disini,” sahut si imam. “Tempo aku sampai, tumpukan ini sudah ada. Tadinya aku menyangka ini permainan gila dari muridnya Oey Yok Su dari Tho Hoa To. Tanghay. Kalau begitu, tentulah si Mayat Besi datang untuk mencari guru-gurumu itu.”
“Dia telah buta kedua matanya kena dihajar toasuhu, kami tidak takut,” kata Kwee ceng.
Si imam jumput satu tengkorak, ia periksa itu, lalu ia menggeleng-geleng kepala. “Orang ini hebat ilmu silatnya,” katanya kemudian. “Aku khawatir gurumu itu bukan tandingannya. Umpama kata aku pun membantu pihakmu, masih belum tentu kita menang.”
Si imam bicara dengan sungguh-sungguh, Kwee Ceng kaget dan heran.
“Pada belasan tahun dulu dia masih belum buta, dia masih tidak dapat lawan tujuh guruku,” ia bilang. “Dan sekarang kita ada berdelapan….”
“Sebelum kau datang, aku pun telah memikirkannya,” berkata si imam. “Tidak dapat aku menduga sampai dimana lihaynya jeriji-jeriji tangannya itu, maka sekarang kita harus mengerti, setelah toh dia datang untuk mencari, dia mestinya ada punya andalannya”.
“Sebenarnya mau apa dia menyusun tengkorak-tengkorak di sini?” Kwee Ceng tanya. “Apakah bukan sengaja dia hendak membikin kita mendapat tahu dan bersiap sedia?”
“Aku pikir tidak demikian. Tengkorak ini ada hubungannya sama Kiu Im Pek-ku iauw, maka itu aku percaya, dia rupanya menyangka orang tak bakal datang ke tempat ini, siapa tahu, kita justru biasa datang kemari hingga kita mempergokinya.”
Hati Kwee ceng menjadi tidak tenang. “Kalau begitu baiklah aku nlekas pulang untuk memberitahukan guru-guruku,” katanya.
“Baiklah,” sahut si imam. “Sekalian kau bilangi bahwa ada satu sahabatnya memesan dengan perantaraan kau bahwa lebih baik mereka menyingkir dari dia itu, untuk mereka memikirkan daya perlawanannya. Tak dapat dia dilawan keras.”
Kwee ceng terima pesan itu, lantas ia hendak berlalu, atau tiba-tiba si imam sambar pinggangnya, untuk dipondong, buat segera diajak berlompat ke belakang batu besar, untuk keduanya berjongkok. kaget ini bocah, hendak ia menanyakan sebabnya, atau mulutnya didului dibekap, buat diajak mendekam.
“Jangan bersuara,” berbisik si imam itu yang terus mengintai.
Dalam herannya, Kwee Ceng berdiam dan turut mengintai juga.
Orang tidak usah menanti terlalu lama akan lantas terlihat berkelebatnya satu bayangan, disusul sama munculnya satu tubuh, yang dibawah sinar rembulan tampak nyata. Itulah Tiat-sie Bwee Tiauw Hong si Mayat Besi denagn rambutnya yang panjang dan riap-riapan. Setahu bagaimana dia naiknya, sedang disebelah belakang jurang itu ada terlebih terjal tebingnya daripada bagian depan.
Kwee Ceng terkejut ketika Bwee Tiauw Hong memutar tubuh, matanya memandang ke tempat sembunyi mereka. Tapi si Mayat Besi tidak lihat siapa juga, dari itu dia terus dududk bersila di atas batu di mana biasa si anak muda bersemadhi. Di situ ia lantas menyakinkan ilmu dalamnya. Menampak ini insyaflah Kwee Ceng akan pentingnya ilmu yang si imam ajari padanya, karenanya ia jadi sangat bersyukur kepada si imam konde tiga ini yang tidak dikenal.

Bab 13. Tipu Lawan Tipu

Berselang sesaat, tubuhnya Bwee Tiauw Hong kasih dengar suara meretek, mulanya perlahan, lalu menjadi nyaring seperti meletusnya suara kacang goreng yang digoreng terlalu matang. Cuma suara yang terdengar, tubuhnya sendiri tidak bergerak, Kwee Ceng heran walaupun ia tidak mengerti latihan orang yang luar biasa itu.Tak lama, dari keras dan nyaring, suara mereteknya Tiauw Hong menjadi kendor, lalu berhenti.
Habis itu, dia bangkit berdiri, tangan kirinya menarik sesuatu dari pinggangnya. Kwee Ceng hanya lihat berkelebatnya sinar putih perak dari suatu benda seperti ular panjang. Ia terkejut pula. Sekarang ia melihat nyata itulah joan pian, cambuk lemas putih yang mengkilap. Kim-liong-pian dari Han Po Kie panjang Cuma enam kaki, cambuk ini berlipat sepuluh kali. Mungkin enam tombak. Cambuk ini terus dicekal di tengahnya kedua tangan, sambil tertawa, Tiauw Hong lantas bersilat. Hebat bergeraknya cambuk lemas itu, cepatnya luar biasa. Yang hebat adalah tempo cambuk dipegang ujungnya dengan sebelah tangan kanan, ujungnya yang lain menghajar batu besar!Habis itu Kwee Ceng dibikin kaget sama ujung cambuk yang emnyambar ke arahnya. Ia lihat tegas, ujung itu ada punya belasan gaetan yang tajam. Ia tidak takut, untuk bela diri, ia cabut pisaunya yang tajam, untuk dipakai menangkis. Belum lagi kedua senjatanya beradu, ia rasakan lengannya sakit sekali, lengan itu orang kasih paksa turun sedang bebokongnya ditekan supaya ia mendekam pula. Ia bergerak tanpa ia merasa.
Sekejap saja, ujung cambuk lewat di atasan kepalanya!
Anak tanggung ini mengeluarkan peluh dingin. “Kalau totiang tidak tolong aku, habis hancur kepalaku…” pikirnya.
Setelah matanya buta, Bwee Tiauw Hong sengaja menyakinkan cambuk lemas. Kupingnya menjadi terang sekali, sedikit saja suara berkelisik, ia dapat dengar. Dalam jarak enam tombak, sukar orang lolos dari cambuknya yang panjang itu, yang ia telah latih dengan sempurna..
Dengan ketakutan, Kwee Ceng mendekam, napasnya ia tahan.
Habis berlatih, Tiauw Hong simpan cambuknya itu. Sekarang ia keluarkan suatu apa dari sakunya, ia letaki itu ditanah, lalu tangannya meraba-raba. Ia berdiam, seperti lagi memikirkan sesuatu. Ketika ia berbangkit, ia bikin gerakan seperti berlatih silat.
Ia kembali meraba barangnya itu , lagi ia berpikir. Beberapa kali ia berbuat begitu, baru ia simpan pula barangnya itu. Diakhirnya ia ankat kaki, berlalu dari belakang jurang darimana ia datang tadi.Kwee Ceng menghela napas lega. Ia berbangkit.
“Mari kita ikuti dia, entah ia bakal kasih pertunjukkan apalagi,” berkata si imam, yang pun lantas bangun. Malah ia sambar pinggang bocah itu, untzk bawa ia turun dari belakang jurang itu. Kwee Ceng dapat kenyataan, dibagian belakang ini, orang pun bisa naik dengan melapati di oyot rotan. Cara ini telah digunai oleh si Mayat Besi.
Setibanya mereka di bawah, terlihat Tiauw Hong berada jauh di arah utara. Si imam kempit Kwee Ceng, ia lari menyeusul. Dan Kwee Ceng merasakan dirinya seperti dibawa terbang. Lama mereka berlari-lari, di waktu langit mulai terang, Tiauw Hong tiba di satu tempat di mana ada banyak kemah, di sana ia menghilang. Si imam mengcoba mengikuti terus, untuk ini, mereka mesti menyingkir dari serdadu-serdadu penjaga.
Di tengah-tengah ada sebuah kemah terbesar, tendanya berwarna kuning. Di belakang ini si imam mendekam, lalu ia dan Kwee Ceng menyingkap tenda, untuk melihat ke dalam.
Justru itu terlihat satu orang, dengan goloknya membacok satu orang lain, yang rubuh dengan segera dan terbinasa, rubuhnya ke dekat tenda di mana dua orang itu tengah mengintai.
Kwee Ceng kenali, si terbunuh itu adalah pengiringnya Temuchin, ia menjadi heran. Ia singkap lebih tinggi tenda, untuk melihat tegas si pembunuh, yang ekbetulan menoleh, maka ia lantas kenali sebagai Sangum, putranya Wang Khan. Dia itu sudah lantas susuti goloknya pada sepatu.
“Sekarang kau tidak akan sangsi pula, bukan?” berkata Sangum itu.
Di situ ada satu orang lain, ia ini kata,” Saudara angkatku Temuchin pintar dan gagah, belum tentu kau akan berhasil.”
Sangum tertawa dingin, dia kata: “Jikalau kau menyayangi kakak angkatmu, nah, pergilah kau melaporkannya!”
Orang itu menyahuti: “Kau adalah adik angkatku, ayahmu juga perlakukan aku baik sekali, sudah tentu aku tidak bakal sia-siakan padamu!”
Kwee Ceng kenali orang itu adalah saudara angkat sehidup semati dari Temuchin, yaitu Jamukha, ia menjadi heran sekali. Pikirnya: “Mustahilkah mereka bersekutu untuk mencelakai Khan yang agung? Bagaimana ini bisa terjadi?”
Lalu terdengar seorang lain: “Setelah kita berhasil, maka semua ternak, orang perempuan dan hartanya Temuchin terjatuh kepada Sangum, semua sebawahannya untuk Jamukha, dan dari pihak kami negara Kim yang besar, Jamukha bakal diangkat menjadi Tin Pak Ciauw-touw-su.”
Pangkat itu adalah pangkat tertinggi untuk wilayah utara dengan tugas memanggil menakluk dan menghukum pemberontak.
Kwee Ceng tidak melihat tegas muka orang itu, karena orang itu berdiri membelakangi dia, maka ia menggeser, ketika ia melihat dari samping, ia seperti mengenalinya. Orang ada memakai jubah bulu ynag mahal, dandannya mewah. Ia tak usah mengingat-ingat lama, akan kata dalam hatinya: “Ah, ialah pangeran keenam dari negara Kim!”
Jamukha tertarik dengan janji itu, ia berkata: “Asal saja ayah angkatku Wang Khan memberikan titahnya, aku tentu menurut.”
Sangum menjadi girang sekali, ia bilang: “Berapa susahnya untuk ayahku memberi titahnya? Sebentar akan aku minta titahnya itu, tidak nanti ia tidak memberikannya!”
Wanyen Lieh, si putra Raja Kim yang keenam itu, berkata: “Negeriku yang besar bakal lantas berangkat ke Selatan untuk menumpas kerajaan Song, itu waktu kamu berdua masing-masing boleh memimpin duapuluh ribu serdadu untuk membantu, setelah usahanya berhasil, kamu bakal dapat hadiah lainnya lagi!”
Sangum girang sekali, ia berkata: “Kabarnya negara di Selatan itu adalah negara yang indah permai, di seluruh tanahnya penuh denagn emas dan orang-orang perempuannya ada bagaikan bunga-bunga, jika Tuan Pangeran mengajak kita bersaudara pergi ke sana, sungguh bagus sekali!”
Wanyen Lieh tersenyum. “Sekarang tolong kedua tuan bilangi aku, cara bagaimana kamu hendak menghadapi Temuchin?” dia tanya.
Selagi Kwee Ceng memasang kuping, ia rasai si imam menarik ujung bajunya, kapan ia menoleh, ia dapatkan imam itu menunjuk ke belakang. Ia lantas berbalik. Maka ia lihat Bwee Tiauw Hong sedang membekuk satu orang, rupanya ditanyakan sesuatu.
“Biar apa dia lakukan, buat sesaat ini guru-guruku tidak bakal menghadapi bahaya,” Kwee Ceng berpikir. “Biar aku dengari persekutuannya mereka ini yang hendak mencelakai Khan yang agung.” Maka itu ia mendekam terus seraya memasang kupingnya.
Terdengar Sangum berkata: “Temuchin itu telah jodohkan putrinya kepada putraku, baru saja ia kirim utusan untuk membicarakan hari pernikahan.” Dia menunjuk orangnya Temuchin yang telah ia binasakan itu. Dan melanjuti kemudian: “Aku sudah lantas kirim orang untuk memberi balasan, aku minta ia besok datang sendiri untuk berembuk bersama ayahku. Aku percaya ia bakal datang dan tentunya tanpa membawa banyak pengiring, maka itu baiklah kita sembunyikan orang disepanjang jalan. Temuchin boleh mepunyai tiga kepala dan enam tangan, tidak nanti ia lolos dari jaring perangkapku ini! Ha-ha-haha!”
Kwee Ceng kaget dengan berang gusar. Ia tidak sangka ada orang sedemikian jahat, yang hendak membinasakan saudara angkatnya sendiri. ia masih hendak mendengari lebih jauh etika ia rasakan si imam sambar ia untuk ditekan, menyusul mana Tiauw Hong berkelebat lewat, di tangannya ada orang yang dikempitnya. Sekejap saja, si Mayat Besi sudah lewat jauh.
Si imam tarik tangan si bocah, akan pergi meninggalkan kemah beberapa puluh tindak, lalu ia berbisik: “Tiauw Hong lagi cari orang untuk menanyakan tempat kediaman gurumu. Mari lekas, kalau terlambat bisa gagal!”
Kwee Ceng terpaksa menurut, maka bersama-sama mereka lari pesat, menuju kemahnya Kanglam Liok Koay. Ketika itu hari telah siang. Di sini si imam berkata: “Sebenarnya tidak hendak aku perlihatkan diriku, akan tetapi urusan ada begini penting, bahaya tengah mengancam, tidak dapat aku berkukuh lebih lama lagi. Pergilah kau masuk ke dalam, bilang pada gurumu bahwaTan-yang-cu Ma Goik mohon bertemu sama Kanglam Liok Koay.”
Dua tahun Kwee Ceng ikuti imam ini, baru sekarang ia ketahui nama orang. Cuma ia tetap belum tahu, siapa imam ini yang semestinya lihay. Ia mengangguk, tanpa ayal, ia lari ke dalam kemah. “Suhu!” ia berseru begitu ia menyingkap tenda. Baharu saja ia memanggil itu, mendadak ia merasakan dua tangannya sakit, tangannya itu kena orang sambar, disusul mana sakit di kakinya yang kena ditendang, maka terus ia rubuh, akan setelah itu, sebatang tongkat melayang ke kepalanya! Bukan main kagetnya ia, apapula kapan ia kenali, penyerangnya itu adalah Kwa Tin Ok, gurunya yang nomor satu. Ia lantas meramkan mata, untuk menantikan kebinasaannya.
Segera itu menyusul terdengar suara senjata bentrok, habis mana satu orang lompat kepada anak tanggung itu.
Kwee Ceng segera kenali gurunya yang ketujuh, ialah Han Siauw Eng, siapa terus berseru: “Toako, tahan!”. Pedang guru itu telah terpental.
Tin Ok menghela napas, ia tancap tongkapnya. “Citmoay, hatimu lemah sekali!” katanya perlahan.
Sekarang Kwee Ceng melihat, orang yang menyambar tangannya adalah Cu Cong dan Coan Kim Hoat. Ia menjadi sangat bingung.
“Mana dia gurumu yang mengajarkan kau ilmu dalam?!” tanya Tin Ok kemudian dengan dingin.
“Dia ada di luar, dia mohon bertemu sama suhu semua,” sahut Kwee Ceng.
Bukan main kagetnya Tin Ok berenam! Bagaimana mungkin Bwee Tiauw Hong datang diwaktu siang hari bolong? Maka bersama-sama mereka lompat keluar tenda. Tapi di bawah terangnya sinar matahari, di sana mereka tampak seorang imam tua, Bwee Tiauw Hong sendiri tidak ada bayangannya sekalipun.
“Mana itu siluman perempuan” Cu Cong bentak muridnya.
“Teecu telah lihat dia tadi, mungkin sebentar dia bakal datang kemari,” sahut itu murid.

Anda sedang membaca artikel tentang Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali 5 dan anda bisa menemukan artikel Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali 5 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cersil-online-pendekar-pemanah-rajawali_2965.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali 5 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali 5 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali 5 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cersil-online-pendekar-pemanah-rajawali_2965.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar