Cerita Silat Online : Seruling Perak Sepasang Walet 3

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Sabtu, 17 Desember 2011

Bukan main gusarnya Ciok Giok Yin! Dia menggeram sambil
menerjang ke arah Sangkoan Yun San. Terkesiap hati
Sangkoan Yun San. Apabila dia turun tangan jahat terhadap
gadis itu, nyawanya pun pasti melayang di tangan Ciok Giok
Yin. Oleh karena itu, dia terpaksa berkelit ke samping.
Sedangkan Ciok Giok Yin cepat-cepat menyambar gadis baju
hijau itu. Kini dia tidak berani melepaskan gadis itu lagi, tapi
justru membuatnya tidak leluasa bergerak. Menyaksikan itu, Bu
Lim Sam Siu tertawa terkekeh, lalu mendadak melakukan
serangan serentak lagi ke arah Ciok Giok Yin dari tiga arah.
Kali ini Ciok Giok Yin betul-betul tidak bisa berkelit. Dalam
keadaan kritis itu, tiba-tiba Ciok Giok Yin mencelat ke atas
setinggi dua depa. Tiga rangkum angin pukulan yang amat
dahsyat itu, melewati di bawah kaki Ciok Giok Yin. Ciok Giok
Yin tidak bisa berhenti di udara, sebab badannya sudah mulai
merosot. Bu Lim Sam Siu tidak menyia-nyiakan kesempatan
itu. Mereka langsung melancarkan pukulan lagi ke
arahnya. Ciok Giok Yin betul-betul dalam keadaan bahaya,
sebab dia tidak bisa berkelit mau pun menangkis, lantaran
menggendong gadis baju hijau. Kelihatannya Ciok Giok Yin
akan.... Mendadak terdengar suara siulan panjang yang amat
nyaring, bergema menembus angkasa.
Menyusul tampak sesosok bayangan kuning berkelebat
laksana kilat ke tempat itu, sekaligus menangkis pukulan yang
dilancarkan Bu Lim Sam Siu sambil membentak.
"Kalian sungguh tak tahu malu, tiga lawan satu! Ayo, cepat
enyah!"
Orang yang baru muncul itu memakai kain penutup muka.
Seusai membentak, dia melancarkan pukulan ke arah Bu Lim
Sam Siu, bukan main dahsyatnya! Seketika terdengar suara
jeritan Bu Lim Sam Siu, lalu kabur terbirit-birit tanpa menoleh
lagi. Sedangkan Ciok Giok Yin sudah melayang turun. Karena
agak jauh, maka tidak melihat orang itu melancarkan pukulan
apa. Yang jelas pukulan itu membuat Bu Lim Sam Siu terluka

dan kabur lintang pukang tidak karuan. Orang berbaju kuning
memakai kain penutup muka itu menatap Ciok Giok Yin dengan
tajam. Ciok Giok Yin tidak tahu siapa orang itu. Kemudian
orang itu pun menatap gadis berbaju hijau dengan dingin.
"Siapa gadis ini?" katanya.
Ciok Giok Yin tertegun. Sebab dia memang tidak tahu siapa
gadis tersebut. Walau berikut kali ini dia sudah dua kali
menyelamatkannya, namun belum tahu namanya. Sesaat
kemudian dia baru menjawab,
"Aku masih belum tahu namanya," Dia menatap orang itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu."
"Siapa kau?" tanya orang berbaju kuning dan memakai kain
pemutup muka itu.
"Ciok Giok Yin."
Mendadak sepasang mata orang itu menyorot tajam sekali,
membuat Ciok Giok Yin merinding dan tanpa terasa mundur
dua langkah. Namun berselang sesaat, sikap orang itu kembali
seperti semula. Hening sejenak. Kemudian orang berbaju
kuning dan memakai kain penutup muka itu bertanya lagi,
"Siapa suhumu?"
"Suhuku adalah Sang Ting It Koay."
"Sang Ting It Koay?"
"Ng"
Orang itu tertawa terkekeh-kekeh. Suara tawanya amat
menusuk telinga. Terbelalak Ciok Giok Yin.
"Mengapa Anda tertawa? Apa yang lucu?" katanya.
Orang berbaju kuning dan memakai kain penutup muka itu
berhenti tertawa lalu berkata dengan perlahan-lahan.

"Aku memang pernah bertemu dengan suhumu. Tahukah kau
bahwa karena kau murid Sang Ting It Koay, maka sulit bagimu
menaruh kaki di dunia persilatan, baik golongan putih maupun
golongan hitam?"
"Maksudmu?"
"Perlahan-lahan kau akan mengetahuinya."
"Aku minta penjelasan!"
Ternyata Ciok Giok Yin mulai gusar. Namun orang-orang itu
bersikap seperti biasa.
"Tidak perlu kujelaskan. Aku tahu kau melatih ilmu pukulan
Soang Hong Ciang. Pukulan itu bisa menakuti kaum rimba
persilatan lain, namun terhadapku...."
Perkataan orang itu berhenti mendadak, lalu sepasang
matanya menyorot tajam, menatap wajah Ciok Giok Yin dan
gadis baju hijau silih berganti. Karena wajahnya tertutup
dengan kain, maka tidak tampak bagaimana air
mukanya. Perkataan orang itu bernada menghina Sang Ting It
Koay, maka membuat Ciok Giok Yin menjadi gusar. Dia
menatap orang itu sambil membentak sengit.
"Bagaimana terhadapmu?"
Orang itu menyahut dingin,
"Kelak kau akan mengetahuinya."
"Siapa kau?"
"Kelak kau pun tidak akan jelas."
"Bolehkah aku tahu nama perguruanmu?"
"Itu tidak perlu, tapi...."

Orang itu menghentikan ucapannya. Tapi ketika Ciok Giok Yin
baru mau bertanya, dia sudah berkata lagi.
"Adik Kecil, kalau kau sudah merasa tiada tempat di dunia
persilatan untukmu, maka kau boleh mencariku, aku pasti
berupaya mencarikanmu jalan yang terbaik."
"Kalau begitu, di mana tempat tinggal Anda?"
"Tidak dapat kuberitahukan."
Ciok Giok Yin mengerutkan kening.
"Kalau begitu bagaimana cara aku mencarimu?"
"Kau tidak perlu mencemaskan itu. Apabila sudah waktunya,
aku pasti akan mencarimu."
Usai berkata, orang itu menatap Ciok Giok Yin dan gadis
berbaju hijau lagi, lalu melesat pergi. Ciok Giok Yin terkesima
menyaksikan ginkang orang itu, sebab amat tinggi sekali. Ciok
Giok Yin tidak memikirkan orang itu. Dia menundukkan kepala
melihat gadis berbaju hijau. Ternyata nafas gadis itu semakin
lemah.
Karena itu, Ciok Giok Yin cepat-cepat menggendongnya ke
bawah sebuah pohon besar. Sungguh di luar dugaan, di
samping pohon besar itu terdapat sebuah goa. Bukan main
girangnya Ciok Giok Yin! Dia langsung membawa gadis berbaju
hijau ke dalam goa. Sampai di dalam goa, dibaringkannya
gadis itu, kemudian dia mengambil sebutir pil Giok Jun dan
langsung dimasukkan ke dalam mulut gadis itu. Berselang
beberapa saat, wajah gadis itu mulai tampak kemerahmerahan
dan nafasnya pun tidak begitu lemah lagi.
Ketika Ciok Giok Yin duduk di samping gadis itu mendadak
tampak sesosok bayangan melesat ke dalam goa. Ciok Giok Yin
langsung meloncat ke hadapan gadis baju hijau.

Jilid 11
Setelah berada di hadapan gadis baju hijau, barulah Ciok Giok
Yin memandang ke depan. Ternyata yang melesat ke dalam
goa itu adalah seorang nenek tua. Dia berdiri sambil menatap
gadis baju hijau dengan mata berbinar-binar. Akan tetapi
nenek tua itu tidak memperdulikan keberadaan Ciok Giok Yin,
seakan tidak melihatnya. Berselang sesaat, nenek tua
melangkah maju. Ciok Giok Yin tidak tahu siapa nenek itu. Dia
langsung menghadang di depannya seraya membentak.
"Berhenti!"
Namun nenek tua itu seperti tidak mendengar, tetap
melangkah maju. Ciok Giok Yin melotot.
"Kalau kau masih maju, jangan menyalahkanku kalau aku
berlaku tidak sungkan padamu!" bentaknya lagi.
Nenek tua itu mendengus, kemudian bertanya.
"Siapa dia?"
"Mau apa kau bertanya?"
"Aku cuma ingin tahu!"
"Kau tidak perlu tahu!"
"Kau tidak mau memberitahukan?"
"Tepat dugaanmu!"
"Kalau begitu, tentunya aku boleh bertanya padamu!"
Sepasang mata nenek tua menyorot tajam. Ketika dia mau
melangkah maju lagi, bukan main gugupnya Ciok Giok Yin. Dia

langsung menyerangnya dengan totokan, ke arah jalan darah
Sian Kie Hiat, Hwa Kay Hiat dan Ling Sim Hiat nenek
tua. Apabila nenek tua tidak cepat-cepat mencelat ke belakang
pasti tertotok. Karena itu, si nenek tua terpaksa meloncat ke
belakang. Setelah itu, dia tertawa terkekeh-kekeh. Justru
sungguh mengherankan, suara tawa si nenek tua amat sedap
di dengar, mirip suara tawa seorang gadis berusia tujuh belas,
lagi pula tampak dua deret giginya yang amat putih
bersih. Akan tetapi wajahnya sudah keriput, membuat orang
merasa muak menyaksikannya. Ciok Giok Yin tertegun.
"Mengapa kau tertawa?" tanyanya.
Si Nenek tua berhenti tertawa, lalu menyahut.
"Hubungan kalian berdua tentu sudah akrab sekali."
Ciok Giok Yin mengerutkan kening.
"Omong kosong!"
"Nyatanya memang begitu!"
"Mana buktinya? Harap dijelaskan!"
Si Nenek tua menyahut dengan wajah tak berperasaan.
"Sederhana sekali! Kalau hubungan kalian tidak akrab,
bagaimana mungkin kau mati-matian membela dan
melindunginya?"
"Itu karena dia terluka?" kata Ciok Giok Yin dengan sengit.
"Dia terluka apa?"
Ciok Giok Yin tertegun. Gadis baju hijau memang terluka di
dalam Goa Sesat, namun siapa yang melukainya, Ciok Giok Yin
sama sekali tidak tahu. Karena itu, dia menyahut dengan
tersendat-sendat. "Ini... ini...."
"Bagaimana? Cepat katakan!"

Ciok Giok Yin melototi nenek tua, kemudian menyahut,.
"Tanpa sengaja aku bertemu dia di Goa Sesat! Aku merasa
heran ketika melihat dia masuk ke dalam goa itu, maka
kemudian aku menyusul masuk! Tak kusangka aku
menemukan nona ini di dalam goa dalam keadaan terluka!"
"Begitu sederhana?"
"Memang begitu!"
"Setahuku, Goa Sesat itu tidak sedemikian sederhana!
Sayang sekali aku belum menyelidikinya, sebetulnya siapa
yang membuat Goa Sesat itu!"
"Apakah di dalam Goa Sesat itu terdapat suatu racun jahat?"
"Sulit dikatakan! Kau sudah masuk ke dalam, sudah pasti
jelas mengenai keadaan di dalamnya!"
"Tidak salah, aku memang sudah masuk ke dalam!"
"Bagaimana keadaan di dalam Goa Sesat itu?"
Ciok Giok Yin melihat si nenek tua tidak berniat jahat, maka
segera menutur tentang apa yang dialaminya di dalam goa
tersebut, kemudian menambahkan.
"Ketika aku ke luar, di dalam goa itu masih ada Thian It Ceng
dan seorang tosu tua."
"Mereka berdua sudah keluar!"
"Sudah keluar?"
"Tidak salah!"
"Kau yang menyelamatkan mereka berdua?"
"Bukan aku."

"Siapa?"
"Aku tidak melihatnya."
Usai berkata, nenek tua itu duduk bersila. Ciok Giok Yin
berharap dia cepat-cepat pergi, agar tidak banyak bertanya ini
dan itu. Tidak tahunya si nenek tua malah duduk di situ,
kelihatannya tidak ingin cepat-cepat pergi. Nenek tua diam,
maka Ciok Giok Yin memandang gadis baju hijau. Wajah gadis
itu sudah seperti biasa, begitu pula nafasnya dan kelihatan
tidur pulas. Nenek tua menatap gadis baju hijau sambil
bergumam perlahan-lahan.
"Sungguh cantik gadis ini!" Dia manggut-manggut. "Gadis
yang sedemikian cantik, siapa yang tidak menyukainya?"
Nenek tua itu melanjutkan lagi. "Aku nenek tua pun amat
gembira melihatnya."
Tiba-tiba nenek tua itu menghela nafas panjang sambil
menggeleng-geleng kepala dan berkata.
"Namun sayang sekali, sepasang mata gadis ini tidak bisa
melihat lebih jauh. Kalau tidak dapat melihat jelas lelaki, kelak
pasti menderita. Contohnya diriku."
Ciok Giok Yin yang berada di sampingnya nyaris tertawa geli
mendengarnya. Hatinya tergerak dan membatin, 'Mungkinkah
ketika masih muda, nenek tua ini salah memilih lelaki sehingga
saat ini bergumam demikian?' Karena itu, Ciok Giok Yin merasa
simpati padanya dan tanpa sadar berkata dengan suara
rendah.
"Apakah lo cianpwee menderita dalam hal perjodohan?"
Nenek tua itu mengangguk.
"Tidak salah."
"Kini lo cianpwee sudah tua, mengapa tidak hidup tenang di
rumah, malah berkeliaran di dunia persilatan?"

"Tentunya aku punya alasan."
"Alasan apa?"
"Mencari orang."
"Lo cianpwee mencari siapa?"
"Hu Sim Jin (Orang Yang Tak Setia)."
"Hu Sim Jin?"
"Tidak salah."
"Siapa dia?"
"Dia adalah orang yang kuanggap sebagai jantung hatiku."
Ciok Giok Yin tertawa dalam hati, sebab si nenek tua
kelihatan sudah berusia di atas tujuh puluh, namun masih
berkeliaran di dunia persilatan mencari kakek tua.
"Lo cianpwee sudah menderita lantaran perjodohan, mengapa
masih tidak bisa melupakan Hu Sim Jin? Bukankah akan
membuat lo cianpwee bertambah menderita?"
Nenek tua itu melototinya.
"Hm! Sungguh sederhana omonganmu!"
"Apakah aku salah omong?"
"Tentu tidak benar."
"Maaf, lo cianpwee, aku tidak pahan akan maksud lo
cianpwee."
Nenek tua melototinya lagi, kemudian menyahut.
"Kalian orang muda, semuanya ingin mencari yang cantik

jelita, agar bisa tetap bersama. Apakah kami orang yang sudah
tua harus terus hidup merana?"
Mendengar itu, Ciok Giok Yin sudah tak tertahan, langsung
tertawa gelak.
"Ha ha ha...!"
Sepasang maata nenek tua itu mendelik.
"Kau tertawa apa?" bentaknya guar.
Ciok Giok Yin berhenti tertawa, lalu menyahut, "Menurutku,
lebih baik lo cianpwee tidak usah pergi mencarinya."
"Mengapa?"
"Dia meninggalkanmu, pertanda dia sengaja menjauhimu,
jadi tidak usah...."
"Tapi, aku justru terus-menerus mengikuti di belakangnya,"
sergah nenek tua.
"Kalau begitu, mengapa lo cianpwee tidak menghentikannya?"
"Suatu hari nanti, aku pasti mematahkan sepasang kakinya!"
Ciok Giok Yin terbelalak.
"Hah? Lo cianpwee begitu sadis terhadapnya?"
"Tentu! Tapi hingga saat ini aku belum melihatnya melakukan
suatu kejahatan, maka aku diam saja."
"Apakah orang itu adalah iblis seks?" tanya Ciok Giok Yin.
Nenek tua itu melotot lalu membentak keras.
"Tidak boleh memfitnahnya sembarangan! Namun... memang
ada beberapa gadis amat menyukainya, bahkan terus-menerus
mencarinya!"

Ciok Giok Yin terperangah matanya terbeliak.
"Beberapa gadis?"
"Apakah aku membohongimu?"
"Kalau begitu, berapa usia Hu Sim Jin itu?"
Nenek tua tertegun, lalu mendadak bangkit berdiri sambil
menyahut dengan dingin sekali.
"Sudah pasti usianya tidak begitu besar, maka begitu banyak
gadis berusia tujuh belasan jatuh cinta padanya! Bukankah
pertanyaanmu itu agak berlebihan?"
Semula Ciok Giok Yin melongo, namun ketika tertawa
terbahak-bahak.
"Ha ha ha! Kalau begitu, bukankah usia lo cianpwee terpaut
jauh dengan orang itu? lalu bagaimana saling memanggil?"
"Dasar kentut bau! Bagaimana kau tahu berapa usiaku?"
bentak nenek tua.
Ciok Giok Yin menggeleng-gelengkan kepala, lalu berkata
dalam hati, 'Saking memikirkan lelaki, nenek tua ini jadi pikun'
Dia diam, setelah itu memandang gadis berbaju
hijau. Mendadak nenek tua itu bergumam,
"Hu Sim Jin, setelah kau berhasil mempelajari ilmu silat
tinggi, jangan lupa akan gadis di dalam Goa Toan Teng Tong
itu! Aku sudah tidak mau...."
Air matanya bercucuran, suaranya juga berubah terisak-isak.
Usai bergumam, dia langsung melesat pergi. Begitu
mendengar Goa Toan Teng Tong, hati Ciok Giok Yin tergerak.
'Apakah nenek tua itu adalah ibunya kakak Siu?'
Setelah berpikir demikian, dia pun melesat ke luar seraya
berseru,

"Lo cianpwee, harap tunggu sebentar!"
Akan tetapi, Nenek tua itu sudah tidak kelihatan. Ciok Giok Yin
terus berseru hingga tenggorokannya terasa kering, namun
tetap tiada sahutan.
"Lo cianpwee! Harap tunggu! Lo cianpwee...!" Tetap tiada
sahutan.
Akhirnya Ciok Giok Yin kembali ke dalam goa. Namun tak
disangka di dalam goa itu telah kosong, tidak tampak
bayangan gadis baju hijau. Bukan main terkejutnya Ciok Giok
Yin. Dia segera melesat ke luar dan mencari ke mana-mana,
tapi sama sekali tidak menemukan jejak gadis itu. Dia
membanting kaki seraya menghela nafas panjang dan
bergumam.
"Lukanya belum pulih, apakah...."
Mendadak terdengar suara yang amat dingin.
"Temanmu itu, dibawa pergi oleh seorang nona."
Suara itu amat dikenal Ciok Giok Yin, membuat sekujur
badannya menjadi merinding.
"Bok Tiong Jin (Orang Dalam Kuburan)!" serunya tak
tertahan.
Ciok Giok Yin tidak berani menoleh, sebab takut melihat
wajah hantu wanita yang amat menyeramkan itu.
"Ciok Giok Yin, tahukah kau siapa gadis berbaju hijau itu?"
tanya Bok Tiong Jin.
"Tidak tahu."
"Dia adalah putri ketua perkumpulan Sang Yen Hwee,
namanya Hui Hui."
Ciok Giok Yin terentak kaget.

"Hui Hui?"
"Ng!"
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Hantu pasti tahu segalanya."
Hening sejenak, kemudian terdengar suara Bok Tiong Jin lagi.
"Kau harus hati-hati, karena orang-orang perkumpulan Sang
Yen Hwee ingin menangkapmu."
"Menangkapku?"
"Kelihatannya kau amat penting bagi mereka." Ciok Giok Yin
yang bersifat angkuh itu, langsung menyahut.
"Aku tidak takut."
"Musuh di tempat gelap, kau di tempat terang. Yang rugi
tentu dirimu."
Ciok Giok Yin mengerutkan kening, memang tidak salah amat
banyak anggota perkumpulan Sang Yen Hwee. Walau
kepandaiannya tinggi, namun tetap cuma seorang diri.
"Aku cuma mengingatkanmu saja," kata Bok Tiong Jin lagi.
"Mengapa kau mengingkatkanku?" tanya Ciok Giok Yin.
Hening sejenak. Ciok Giok Yin mengira bahwa Bok Tiong Jin
telah pergi. Ketika dia mau menolehkan kepalanya ke
belakang, mendadak terdengar suara Bok Tiong Jin lagi.
"Karena hatimu sudah menjadi milikku."
"Aku tahu."
"Bagus! Justru karena itu, maka aku terus mengikutimu.

Apabila kau tertangkap oleh mereka dan dicincang, bukankah
harapanku akan jadi kosong?"
Ciok Giok Yin tidak menyahut.
"Namun hatimu sudah tidak utuh lagi."
"Maksudmu?"
"Kau mengerti dalam hati."
"Aku sama sekali tidak tahu di mana ketidak utuhan hatiku."
"Sekarang kita tak usah berbicara soal ini."
"Kalau begitu, apa yang harus kita bicarakan sekarang?"
"Aku dengar kau sedang mencari sebatang Seruling Perak.
Benarkah?"
"Tidak salah, aku harus memperolehnya."
Bok Tiong Jin tidak bersuara.
"Tahukah kau di mana adanya benda pusaka itu?" tanya Ciok
Giok Yin.
"Beberapa bulan yang lalu, aku dengar kau pernah ke Goa
Toan Teng Tong. Ya, kan?"
"Ya. Aku menemukan tulisan di dinding goa...."
"Tulisan apa?"
"Yang tertulis di situ ialah Seruling Perak Lak Hap Kun."
"Berdasarkan tulisan itu, sepertinya orang bernama Lak Hap
Kun telah mengambil Seruling Perak itu. Ya, kan?"
"Dugaanku juga begitu."

"Tapi belum lama ini aku memperoleh suatu informasi, bahwa
benda itu tersimpan di Ling Cuang. Kau boleh ke sana melihatlihat."
"Di mana letak Ling Cuang?"
"Di luar kota Lokyang."
"Terimakasih atas petunjukmu."
"Tidak usah berterimakasih."
Mendadak Ciok Giok Yin bertanya,
"Mohon tanya sesunggahnya kau membutuhkan bantuan apa
dariku?"
Bok Tiong Jin sepertinya tertegun, tidak menyangka Ciok Giok
Yin akan bertanya demikian padanya.
Beberapa saat kemudian dia baru menyahut, "Aku tidak butuh
bantuanmu, hanya menginginkan hatimu."
Coba bayangkan, kalau hati seseorang dikorek ke luar,
apakah mungkin orang itu masih bisa hidup? Namun setiap kali
Bok Tiong Jin berbicara dengan Ciok Giok Yin, pasti
menyinggung soal hatinya. Itu membuktikan bahwa hati Ciok
Giok Yin amat penting bagi Bok Tiong Jin. Ciok Giok Yin
merinding mendengarnya.
"Aku memang tidak mau berhutang budi pada siapa pun. Tapi
kalau hatiku dikorek ke luar, nyawaku pasti melayang.
Mengenai semua urusanku tentu terbengkalai."
"Sudah kukatakan dari tempo hari, sekarang aku belum
mau."
"Setelah semua urusanku beres?"
"Tentu."

"Janji ya?"
"Siapa akan membohongimu?"
Ketika berkata demikian, suara Bok Tiong Jin amat merdu,
sungguh sedap di dengar! Tiba-tiba Bok Tiong Jin berkata,
"Ada orang kemari, sampai jumpa!"
Suasana di tempat itu berubah menjadi hening. Namun
kemudian mendadak terdengar suara seruan kaget.
"Ih, Saudara Ciok, kau sedang berbicara dengan siapa?"
Ciok Giok Yin segera membalikkan badannya. Ternyata
seorang gadis berdiri di situ, yang tidak lain adalah Yap Ti Hui.
Wajah gadis itu pucat pias, tanpa sedikit perasaan pun.
Ciok Giok Yin langsung memanggilnya.
"Nona Yap...."
Yap Ti Hui bertanya cepat.
"Barusan kau berbicara dengan siapa?"
Sebetulnya Ciok Giok Yin ingin memberitahukan, bahwa tadi
dia berbicara dengan hantu wanita. Tapi belum tentu Yap Ti Hui
akan mempercayainya. Karena itu dia tersenyum getir lalu
berkata,
"Tadi aku tidak bicara dengan siapa-siapa, harap Nona jangan
banyak bercuriga!"
Sepasang mata Yap Ti Hui yang bening itu menatap dengan
tidak berkedip. Kemudian sepasang bola matanya berputar
sejenak dan dia berkata, "Kalau begitu, aku yang banyak
curiga."
Ciok Giok Yin pernah menerima budi pertolongannya, namun

wajahnya yang dingin tak berperasaan itu membuat Ciok Giok
Yin merasa tidak enak.
Karena itu dia menjura seraya berkata, "Nona Yap, sampai
jumpa!"
Namun ketika Ciok Giok Yin mau meninggalkan tempat itu
mendadak Yap Ti Hui membentak nyaring.
"Berhenti!"
Ciok Giok Yin terpaksa menolehkan kepalanya memandang
gadis itu.
"Nona ada petunjuk apa?" tanyanya.
"Kau tidak sopan!" sahut Yap Ti Hui ketus.
"Ucapanmu, aku tidak mengerti!"
Yap Ti Hui menatapnya dingin sambil berkata, "Di hadapan
seorang gadis, kau bilang mau pergi lantas pergi, apakah itu
sopan?"
Mendengar itu Ciok Giok Yin menjadi melongo, sehingga
mulutnya ternganga lebar.
"Ciok Giok Yin, apakah aku tidak pernah berbudi padamu?"
kata Yap Ti Hui.
"Memang ada."
"Kalau begitu, kau harus bagaimana membalas budiku?"
Ciok Giok Yin tertegun. Dia sama sekali tidak menyangka
kalau kaum gadis rimba persilatan sungguh macam-macam. Di
hadapan orang yang pernah ditolongnya justru bertanya
bagaimana cara membalas budi pertolongannya. Maka tidak
mengherankan kalau pertanyaan itu membuat Ciok Giok Yin
tertegun beberapa saat.

"Nona menghendakiku harus bagaimana membalasnya?"
"Cobalah kau katakan, bisa memberikan balasan apa padaku?"
"Aku seorang pengembara miskin, tidak memiliki benda
berharga untuk dihadiahkan pada Nona. Namun kalau Nona
membutuhkan diriku, walau harus menerjang lautan api, aku
pun tidak akan menolak."
"Tapi sementara ini, masih belum terpikirkan...."
"Kalau begitu, kalau pun boleh. Pokoknya aku akan membalas
budi pertolonganmu."
Yap Ti Hui diam kelihatannya sedang memikirkan sesuatu.
Beberapa saat kemudian dia baru berkata.
"Aku ingin minta sesuatu darimu."
"Kau mau minta apa dariku?"
"Hati."
"Hati?"
Muncul lagi seorang yang menginginkan hatinya. Bok Tiong
Jin baru pergi, lalu muncul Yap Ti Hui yang juga minta hatinya.
Itu sungguh membingungkan Ciok Giok Yin! Apa gunanya
mereka minta hatinya? Kalau untuk dimakan, tentunya tidak
masuk akal. Kalau begitu, apa gunanya 'hati' bagi mereka?
Ciok Giok Yin tertawa gelak, kemudian berkata.
"Sayang sekali kau terlambat!"
Sepasang bola mata Yap Ti Hui tampak berputar, setelah itu
dia bertanya.
"Maksudmu?"
"Sudah kuberikan pada orang lain."

"Siapa?"
"Bok Tiong Jin."
"Omong kosong!"
"Sungguh!"
Yap Ti Hui tertawa cekikikan lalu berkata.
"Bukankah Bok Tiong Jin itu hantu? Mau apa dia
menginginkan hatimu?"
"Aku tidak membohongimu."
"Aku tidak perduli, pokoknya sautu hari nanti, kau harus
menyerahkan hatimu padaku. Kalau tidak, aku pasti tidak akan
mengampunimu."
Ciok Giok Yin terbelalak mendengar ucapan gadis itu.
"Itu... itu...," katanya terputus-putus.
"Tidak perlu ini itu, sekarang aku mau pergi!"
Yap Ti Hui langsung melesat pergi, namun sayup-sayup masih
terdengar suaranya.
"Ciok Giok Yin, kelak kau akan mengerti!"
Bukan main kesalnya Ciok Giok Yin! Dia membanting kaki
seraya mengomel.
"Dasar sial, ketemu hantu!"
Mendadak suara desiran di belakangnya, menyusul terdengar
pula suara yang amat merdu.
"Di mana ada hantu?"

Ciok Giok Yin cepat-cepat membalikkan badannya. Tampak
dua gadis amat cantik berbaju hijau berdiri di
belakangnya. Hati Ciok Giok Yin tersentak, karena ginkang ke
dua gadis berbaju hijau itu sunggung tinggi! Mereka berdua
sudah berdiri di belakang Ciok Giok Yin, namun Ciok Giok Yin
tidak tahu sama sekali. Sudah barang tentu membuat air muka
Ciok Giok Yin berubah.
"Mau apa Nona ke mari?" tanyanya.
"Kau adalah Ciok Giok Yin?"
"Tidak salah."
"Suhuku mengundangmu ke sana."
"Siapa suhumu?"
"Sampai di sana kau akan mengetahuinya."
"Kau tidak mau bilang?"
"Maaf! Sementara ini aku memang tidak bisa bilang."
"Aku tidak kenal suhu kalian, maaf aku tidak bisa ikut kalian
ke sana," kata Ciok Giok Yin dengan dingin.
Kedua gadis baju hijau saling memandang.
"Maaf, aku masih ada urusan lain, harus segera pergi," kata
Ciok Giok Yin.
Ciok Giok Yin membalikkan badannya. Namun ketika dia mau
melesat pergi tiba-tiba kedua gadis baju hijau tertawa dingin
seraya membentak dengan serentak.
"Kau tidak bisa pergi!"
Tampak badan mereka berdua berkelebat, tahu-tahu sudah
berada di samping kanan kiri Ciok Giok Yin, bahkan sekaligus
mencengkeram lengannya. Ciok Giok Yin tidak berhasil berkelit,

sehingga kedua lengannya tercengkram oleh kedua gadis itu
dan seketika sekujur badannya terasa tak bertenaga. Bukan
main gusarnya Ciok Giok Yin!
"Sebetulnya siapa kalian berdua?" bentaknya sengit.
"Sampai di sana kau akan mengatahuinya."
Usai menyahut, kedua gadis itu turun tangan serentak
menotok jalan darah Ciok Giok Yin. Setelah jalan darah Cian
Mo Hiatnya tertotok, sekujur badan Ciok Giok Yin menjadi
lemas tak bertenaga, boleh dikatakan seperti orang biasa.
Namun kepandaiannya tidak musnah. Kalau totokan itu
dibebaskan, maka akan pulih seperti biasa. Kedua gadis baju
hijau tertawa cekikikan, kemudian berkata.
"Jalan!"
Dapat dibayangkan, betapa gusarnya Ciok Giok Yin, tapi tidak
dapat dilampiaskannya. Kini dirinya telah dikendalikan orang,
terpaksa harus menurut. Dia menatap kedua gadis baju hijau
dengan penuh kebencian, lalu berjalan dengan kepala
tertunduk. Sedangkan kedua gadis baju hijau mengikutinya
dari belakang, kelihatan ketat sekali. Ciok Giok Yin berjalan
seperti orang biasa, sudah tentu lamban sekali. Maka tidak
mengherankan, walau hari sudah sore, namun mereka baru
berjalan empat puluhan mil. Berselang beberapa saat, Ciok
Giok Yin menoleh ke belakang seraya bertanya,
"Sebetulnya kalian ingin membawaku ke mana?"
"Kau akan tahu nanti."
Tak seberapa lama kemudian mereka sudah tiba di sebuah
kota kecil. Mereka bertiga langsung memasuki sebuah
penginapan. Seusai makan malam, kedua gadis baju hijau
membawa Ciok Giok Yin ke dalam kamar. Ciok Giok Yin duduk,
sambil menatap kedua gadis itu dengan dingin.
"Kalian keluar saja!" katanya.

"Tidak apa-apa. Kau boleh tidur sekarang."
Kedua gadis itu duduk, kelihatannya mereka berdua tidak
mau meninggalkan kamar itu. Ciok Giok Yin naik ke tempat
tidur lalu duduk bersila dengan mata terpejam. Ternyata dia
ingin mencuri pembicaraan mereka, agar tahu identitas
mereka. Akan tetapi kedua gadis itu justru tidak bersuara sama
sekali, mereka berdua duduk seperti orang bisu. Akhirnya Ciok
Giok Yin yang membuka mulut.
"Nona, kini aku sudah kalian kendalikan, pasti tidak bisa
meloloskan diri. Aku amat lelah, maka ingin beristirahat
sejenak. Harap kalian berdua meninggalkan kamar ini!"
Kedua gadis baju hijau saling memandang, kemudian salah
seorang yang berwajah bulat berkata,
"Kau memang tidak bisa meloloskan diri."
Kedua gadis baju hijau berjalan ke luar, sekaligus menutup
daun pintu kamar, lalu duduk di depan pintu itu. Ciok Giok Yin
tidak memperdulikan kedua gadis itu. Dia langsung
membaringkan dirinya di atas ranjang. Namun dia juga tidak
habis pikir, sebetulnya siapa kedua gadis itu? Lagi pula,
kepandaian mereka amat tinggi sekali. Kelihatannya
kepandaiannya masih jauh dibandingkan dengan
mereka. Mungkin kelelahan dalam perjalanan membuatnya
cepat tertidur pulas. Akan tetapi mendadak samar-samar dia
mendengar suara orang.
"Kau memang makan kenyang dan tidur pulas."
Ciok Giok Yin tersentak, sehingga terjaga dari tidurnya. Dia
membuka matanya lebar-lebar. Tampak di depan ranjang
berdiri seorang tua bongokok, sebuah guci arak besar
bergantung di punggungnya. Ciok Giok Yin segera bangun.
"Lo cianpwee, jalan darah Cian Mo Hiatku ditotok kedua gadis
baju hijau itu," katanya.
Orang tua bongkok itu tidak menyahut, cuma menjulurkan

tangannya membebaskan totokan itu. Ciok Giok Yin cepatcepat
menghimpun hawa murninya, dan seketika tenaganya
pulih kembali.
"Cepat pergi, sebentar lagi kedua gadis itu akan sadar!" kata
orang tua bongkok dengan saura rendah.
Kemudian dia melesat ke luar melalui jendela. Ciok Giok Yin
tidak tahu bagaimana keadaan kedua gadis baju hijau. Dia
segera melesat ke luar melalui jendela mengikuti orang tua
bongkok. Dalam sekejap mereka berdua sudah tiba di luar
kota. Orang tua bongkok melesat ke dalam rimba. Ciok Giok
Yin terus mengikutinya dari belakang. Pemuda ini merasa
heran, sebab orang tua bongkok itu sering menyelamatkannya.
Oleh karena itu, tanpa curiga dia terus mengikuti orang tua
bongkok itu dari belakang. Berselang sesaat, orang tua
bongkok itu berhenti lalu membalikkan badannya menatap Ciok
Giok Yin dengan tajam. Tatapan tajamnya membuat Ciok Giok
Yin merinding dan tanpa sadar kakinya menyurut mundur
selangkah. Kemudian dia memberi hormat seraya berkata,
"Terimakasih atas pertolongan lo cianpwee. Bolehkah aku
tahu gelar lo cianpwee?"
Orang tua bongkok tidak menyahut, melainkan berkata
seperti bergumam.
"Aku selalu merasa kau mirip seseorang."
"Aku mirip siapa?" tanya Ciok Giok Yin.
"Mirip...,"
Orang tua bongkok tidak melanjutkan ucapannya.
Ciok Giok Yin segera bertanya.
"Mirip siapa?"
"Kalau benar kau adalah keturunannya. Namun lebih baik
sementara ini jangan dibicarakan."

"Mengapa?"
"Tiada manfaatnya bagimu, sebaliknya malah akan
mencelakaimu."
Orang tua bongkok menatapnya, lalu bertanya.
"Bagaimana kau ditangkap oleh kedua gadis itu?"
Ciok Giok Yin menutur tentang kejadian itu, kemudian
bertanya.
"Pengetahuan lo cianpwee amat luas, apakah tahu asal-usul
kedua gadis berbaju hijau itu?"
Orang tua bongkok tidak langsung menjawab, melainkan
memutar guci araknya ke depan, setelah meneguk beberapa
kali, barulah menyahut,
"Menurut dugaanku, kedua gadis itu mungkin dari Goa Ban
Hoa Tong."
"Goa Ban Hoa Tong?"
"Ng!"
"Aku pernah ke Goa Ban Hoa Tong, tidak mungkin mereka
berdua dari goa tersebut," kata Ciok Giok Yin.
"Kau kenal semua penghuni Goa Ban Hoa Tong?"
Ciok Giok Yin menggelengkan kepala,
"Tidak, setahuku di dalam Goa Ban Hoa Tong hanya terdapat
Ban Hoa Tongcu dan kaum pemuda ganteng."
Orang tua bongkok meneguk araknya lagi, lalu berkata, "Kau
keliru."
"Bagaimana keliru?"

"Kaum wanita penghuni Goa Hoa Tong, semuanya menyamar
sebagai pemuda."
Ciok Giok Yin terbelalak.
"Hah? Mereka menyamar sebagai pemuda?"
Orang tua bongkok manggut-manggut.
Tiba-tiba Ciok Giok Yin teringat akan Fang Jauw Cang. Apakah
dia juga menyamar sebagai pemuda? Kalau dia menyamar,
tentunya Ciok Giok Yin tahu akan hal itu, sebab entah sudah
berapa kali Ciok Giok Yin memeluknya. Hanya saja... di saat
berbicara, Fang Jauw Cang kelihatan malu-malu dan wajahnya
sering memerah.
"Itu tidak akan salah," kata orang tua bongkok.
Ciok Giok Yin segera memberitahukan, "Aku kenal seseorang
dari Goa Ban Hoa Tong."
"Lelaki atau wanita?"
Ciok Giok Yin tidak menyahut, melainkan menutur tentang
itu. Orang tua bongkok manggut-manggut ketika mendengar
penuturan Ciok Giok Yin, setelah itu berkata,
"Kalau kau tidak percaya, kapan bertemu kau boleh bertanya
padanya."
Ciok Giok Yin mengangguk.
"Aku pasti tanya."
Mendadak Ciok Giok Yin teringat sesuatu dan segera berkata.
"Lo cianpwee, aku ingin menanyakan suatu tempat."
"Tempat apa?"

"Di mana letak Liok Bun (Pintu Hijau)?"
Ternyata Ciok Giok Yin merasa kepandaiannya masih rendah,
kalau begitu terus, tentunya tidak dapat memenuhi harapan
gurunya untuk membasmi murid murtad itu, juga tidak bisa
menuntut balas dendam Bun It Coan, kakak agkatnya. Oleh
karena itu dia harus pergi ke Liok Bun, bermohon pada ayah
Bun It Coan agar menurunkan padanya beberapa macam ilmu
silat. Orang tua bongkok terbeliak.
"Liok Bun?"
"Ng!"
"Mau apa kau menanyakan Liok Bun?"
"Aku ingin pergi ke sana."
Orang tua bongkok terbeliak.
"Nyalimu sungguh tidak kecil!"
"Maksud lo cianpwee?"
"Setahuku siapa yang datang di Liok Bun tidak pernah
kembali lagi. Mengapa kau harus pergi menempuh bahaya?"
"Biar bagaimanapun aku harus ke sana."
"Penting sekali?"
"Mendapat titipan pesan dari seseorang, maka aku harus
melaksanakannya."
"Siapa yang menitip pesan itu?"
Pertanyaan tersebut membuat Ciok Giok Yin menjadi merasa
serba salah, sebab sebelum menghembuskan nafas
penghabisan, Bun It Coan pernah berpesan padanya, jangan
sampai membocorkan tentang kematiannya pada ayahnya.
Karena itu, Ciok Giok Yin berkata,

"Mohon maaf lo cianpwee, aku tidak boleh menceritakannya."
"Kalau begitu, kau tidak punya hubungan apa-apa dengan
Liok Bun?"
"Memang tidak ada hubungan apa-apa."
"Aku boleh memberitahukan padamu, dari mereka yang
pernah ke Liok Bun, cuma satu orang yang berhasil ke luar
dengan selamat."
"Siapa orang itu?" tanya Ciok Giok Yin.
Orang tua bongkok menunjuk hidungnya sendiri sambil
menyahut,
"Aku!"
Bukan main terkejutnya Ciok Giok Yin! Dia menatap orang tua
bongkok dengan mata terbelalak. Padahal orang tua bongkok
itu tampak tidak karuan, namun justru pernah ke Liok Bun
yang amat misterius itu. Kalau begitu, sudah pasti
kepandaiannya setingkat dengan majikan Liok Bun tersebut.
"Mohon lo cianpwee sudi memberi petunjuk agar aku bisa
sampai di sana!"
Orang tua bongkok meliriknya beberapa kali, kemudian
berkata.
"Liok Bun berada di Lembah Sia Hui Kok Gunung Lu Liang
San."
"Lembah Sia Hui Kok?"
"Tidak salah, namun sulit sekali mencari lembah itu."
"Lo cianpwee, aku mohon petunjuk tentang itu."

Orang tua bongkok manggut-manggut.
"Kau harus ke puncak Mo Sia Hong, di sana kau akan melihat
kabut berwarna-warni, yang berasal dari Lembah Sia Kok. Kau
harus menuju ke sana. Di tempat itu terdapat sebuah batu
besar. Asal kau dapat menggeserkan batu besar itu, maka kau
bisa masuk ke dalam."
"Terima kasih atas petunjuk lo cianpwee," kata Ciok Giok Yin.
"Tentang gelar lo cianpwee, bolehkah diberitahukan padaku?"
Orang tua bongkok berpikir sejenak, kemudian menyahut.
"Kau boleh panggil aku si Bongkok Arak."
Orang tua bongkok tetap tak memberitahukan namanya.
Sudah barang tentu membuat Ciok Giok Yin menjadi serba
salah. Karena orangtua itu merupakan penolongnya,
bagaimana mungkin dia memanggilnya si Bongkok Arak?
Namun Ciok Giok Yin yakin bahwa dengan julukan itu dia tentu
akan tahu namanya kelak.
Dia memberi hormat dan berkata, "Entah sudah berapa kali lo
cianpwee menyelamatkan diriku. Aku tidak akan melupakan
budi pertolongan to cianpwee selama-lamanya."
"Tidak perlu. Karena kau mirip seseorang. Kalau benar kau
adalah keturunannya, maka aku memang harus
menyelamatkanmu, bahkan juga harus melin- dungi."
"Lo cianpwee tidak bisa menjelaskan?"
"Sementara ini tidak bisa, namun cepat atau lambat kau akan
tahu sendiri." Orang tua bongkok menatapnya.
"Baiklah, kau boleh pergi sekarang. Aku pun masih ada
urusan lain, sampai jumpa!"
Orang tua bongkok melesat pergi dan sekejap sudah hilang
dari pandangan Ciok Giok Yin.

Sesungguhnya Ciok Giok Yin ingin langsung berangkat ke
Lembah Sia Hui Kok menemui ayah Bun It Coan, untuk
bermohon diajarkan beberapa macam ilmu silat tinggi agar
dapat menuntut balas kematian Bu It Coan. Namun disaat
bersamaan justru muncul bayangan Fang Jauw Cang di pelupuk
matanya. Karena dia telah berjanji pada Fang Jauw Cang, dua
bulan kemudian akan bertemu kembali di kuil Thay San Si.
Kini racun yang mengidap di tubuhnya telah punah, maka dia
harus memberitahukan padanya. Dan juga kali ini dia harus
menyelidiki secara seksama, apakah benar Fang Jauw Cang
adalah seorang gadis yang menyamar sebagai pemuda. Dia
harus menasehatinya agar pulang ke rumah, jangan
berkecimpung di dunia persilatan yang penuh marabahaya.
Lagi pula dirinya tidak seperti orang biasa. Seandainya dia
tidak dapat mengendalikan diri, tentu akan mencelakakannya.
Walau dia memiliki kitab Im Yang Cin Koy, namun kitab itu
khusus untuk dibaca istrinya, agar tahu harus bagaimana
melayaninya di saat berhubungan intim, tidak boleh
dikeluarkan sembarangan. Dan juga nyawa Tiat Yu Kie Su telah
melayang lantaran mencuri kitab itu, dan budi kebaikan itu
belum dibalasnya....
Selanjutnya dia teringat pula akan calon istrinya, yaitu Ie Ling
Ling, yang belum pernah ditemuinya. Berada di mana Ie Ling
Ling? Cak Hun Cian mati demi dirinya. Karena itu dia harus
membalas budi tersebut dengan memperistri Ie Ling Ling,
maka harus berhasil mencari gadis itu. Ciok Giok Yin menarik
nafas panjang, setelah itu barulah melesat pergi. Tujuannya,
yakni Kuil Thay San Si. Sementara itu hari sudah mulai terang,
sudah tampak beberapa orang berlalu lalang di jalan. Agar
tidak menimbulkan kecurigaan orang, Ciok Giok Yin terpaksa
harus berjalan lamban seperti orang biasa. Ciok Giok Yin sudah
menghitung, kira-kira satu hari lagi baru tiba di tempat
tujuan. Dia mengambil keputusan untuk menempuh perjalanan
malam. Sebab kalau tidak tiba tepat pada waktunya, khawatir
Fang Jauw Cang akan mencemaskannya.
Lagi pula dia ingin tahu, sebetulnya Fang Jauw Cang lelaki
atau wanita. Sore harinya, dia mengisi perutnya di sebuah
rumah makan. Setelah itu dia melanjutkan perjalanan

lagi. Pada hari kedua, disaat hari mulai gelap, dia sudah tiba di
Kuil Thay San Si. Begitu memasuki kuil tersebut, dia langsung
berseru.
"Adik Cang! Adik Cang...!"
Mendadak terdengar suara sahutan nyaring, "Siapa Adik
Cangmu?"
Di saat bersamaan, dari tempat gelap muncul seorang wanita.
Usianya sekitar dua puluh sembilan, sepasang matanya amat
indah, namun kelihatan genit sekali. Ketika berjalan, badannya
meliuk-liuk dan sepasang payudaranya bergoyang-goyang
menantang. Begitu melihat, Ciok Giok Yin sudah tahu bahwa
wanita itu bukan dari golongan lurus. Wajahnya langsung
berubah dingin dan dia membentak sengit.
"Siapa kau?"
Wanita genit itu berdiri satu depa di hadapan Ciok Giok Yin.
Sepasang matanya terus menatap wajah Ciok Giok Yin yang
tampan itu dan bibirnya menyunggingkan senyuman
genit. Bahkan kadang-kadang dia mengeluarkan air liur,
kelihatannya ingin menelan Ciok Giok Yin bulat-bulat. Beberapa
saat kemudian wanita itu berkata dengan nafas mendesah,
"Adik Kecil, sikapmu amat galak sekali. Sungguh
menakutkan!"
"Sebetulnya siapa kau? Mengapa berada di sini?" tanya Ciok
Giok Yin sengit.
"Bicaralah baik-baik, tidak usah begitu galak! Boleh kan?"
Wanita itu mulai maju, sehingga jaraknya dengan Ciok Giok
Yin semakin dekat. Sepasang mata wanita itu terus
menatapnya, membuat hati Ciok Giok Yin terasa tergetar.
Karena itu, Ciok Giok Yin cepat-cepat mengerahkan lwee
kangnya dan kemudian membentak dengan keras.
"Kalau kau berani maju lagi, aku pasti melancarkan pukulan!"

Wanita genit itu segera berhenti, lalu tertawa cekikikan dan
berkata,
"Kau amat tampan, tapi kok begitu galak dan bengis. Kau
ingin melancarkan pukulan, padahal diantara kita tidak ada
permusuhan apa-apa."
Memang benar antara Ciok Giok Yin dengan wanita genit itu
tiada permusuhan apa-apa. Ciok Giok Yin datang di tempat itu
lantaran sudah berjanji pada Fang Jauw Cang. Lagi pula setelah
Mo Hwe Hud kabur, kuil itu menjadi kosong dan siapa pun
boleh datang ke sana. Setelah berpikir demikian, kegusaran
Ciok Giok Yin pun menjadi reda. Namun dia tetap waspada
terhadap wanita genit itu, sebab wanita genit itu berani tinggal
di kuil itu seorang diri, otomatis membuatnya merasa agak
seram. Berselang sesaat, Ciok Giok Yin bertanya dengan nada
ramah.
"Apakah kau melihat seorang pemuda ke mari?"
"Itu sih tidak," sahut wanita genit itu dengan merdu.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
Wanita genit itu terbeliak.
"Eh? Kau boleh ke mari, apakah aku tidak?"
Ciok Giok Yin terdiam. Sesungguhnya dia mau pergi, tapi
khawatir Fang Jauw Cang akan muncul. Oleh karena itu, dia
menjadi seba salah. Wanita genit itu tertawa terkekeh lalu
berkata.
"Adik Kecil, siapa namamu?"
"Perduli apa kau siapa namaku!"
"Tanpa sengaja kita bertemu di sini, boleh dikatakan
berjodoh. Nah, apakah aku tidak boleh tahu namamu?
Beritahukanlah agar kita tidak terlampau canggung!" wanita

genit itu tersenym manis. "Biar kuperkenalkan diri, namaku
Teng Kun Hiang."
Wanita genit itu langsung maju tiga langkah, kini dia sudah
berdiri di hadapan Ciok Giok Yin.
Sepasang mata Ciok GiOk Yin menyorot dingin.
"Beritahukan perguruanmu!" bentaknya.
Wanita genit itu mengerlingnya dengan mata berbinar-binar,
lalu menyahut dengan perlahan-lahan.
"Perguruanku...."
Mendadak jari tangannya bergerak cepat, ternyata menotok
jalan darah Khi Bun Hiat di pinggang Ciok Giok Yin. Akan tetapi
Ciok Giok Yin sudah siap sebelumnya. Dia cepat-cepat berkelit
sekaligus melancarkan sebuah pukulan seraya membentak.
"Dasar tak tahu malu, aku...."
Ternyata Ciok Giok Yin melancarkan jurus pertama ilmu
pukulan Hong Lui Sam Clang. Dia curiga kemungkinan Fang
Jauw Cang sudah jatuh ke tangan wanita genit itu. Kalau tidak,
bagaimana wanita genit itu turun tangan mendadak
terhadapnya. Perlu diketahui, ilmu pukulan Hong Lui Sam
Ciang itu amat lihay dan dahsyat.
Setelah Ciok Giok Yin melancarkan jurus pertama itu, seketika
juga terdengar suara jeritan. Tampak sosok bayangan terpental
beberapa depa, namun kemudian masih dapat mencelat ke
atas atap kuil dan terdengar pula suaranya.
"Meskipun kau tidak beritahukan namamu, aku sudah tahu
siapa kau! Lihat saja nanti, perkumpulan Sang Yen Hwee tidak
akan mengampunimu!"
Tampak wanita genit itu melesat pergi dan tak lama
kemudian menghilang di kegelapan malam. Sedangkan Ciok
Giok Yin sama sekali tidak menduga, bahwa dengan jurus itu

berhasil membuat wanita genit itu terpental. Karena merasa
tiada dendam apa pun dengan wanita genit itu, maka dia tidak
mengejarnya. Setelah mendengar suara seruannya barulah
Ciok Giok Yin tahu akan asal-usul wanita genit itu.
"Mau kabur ke mana?" bentaknya.
Dia melesat ke atap kuil, namun terlambat, sebab wanita
genit itu sudah tidak kelihatan bayangannya. Ciok Giok Yin
tidak mau mengejarnya, melainkan meloncat turun, kembali ke
dalam kuil. Dia mencari ke sana ke mari, tapi tidak
menemukan Fang Jauw Cang. Namun tak disangka dia malah
melihat seorang pengemis tua sedang duduk di ruang dalam:..
Pengemis tua itu tidak lain adalah Te Hang Kay, yang pernah
menyelamatkan Ciok Giok Yin dari kejaran orang-orang
keluarga Tong Keh Cuang. Namun Ciok Giok Yin juga pernah
memberikan sebutir pil Ciak Tan pada pengemis itu, untuk
mengobati lukanya. Setelah itu mereka pun pernah bertemu
kembali di luar Goa Toan Teng Tong. Ketika itu Te hang Kay
bertanya pada Ciok Giok Yin, ada hubungan apa dirinya dengan
Heng Thian Ceng. Justru tak terduga sama sekali, kini mereka
bertemu di dalam kuil ini.
Maka mereka berdua sama-sama mengeluarkan suara 'Ih!'
Ciok Giok Yin segera maju, lalu memberi hormat seraya
berkata.
"Lo cianpwee pernah menyelamatkan nyawaku, maka aku
amat berterima-kasih. Entah bagaimana lo cianpwee berada di
tempat ini?"
Sepasang bola mata Te Hang Kay berputar sejenak, kemudian
balik bertanya sambil menatapnya.
"Bocah, bagaimana kau ke mari?"
"Aku telah berjanji dengan seorang teman," sahut Ciok Giok
Yin jujur.

"Siapa?"
"Adik angkatku."
Te Hang Kay manggut-manggut, lalu menatap Ciok Giok Yin
dengan tajam seraya berkata.
"Bocah, bolehkah aku mengajukan satu pertanyaan padamu?"
"Tentu boleh, silakan!"
"Kau harus jawab dengan jujur lho!"
Ciok Giok Yin tertegun, sebab wajah Te Hang Kay tampak
amat serius, sehingga bertanya dalam hati, 'Apakah dia ingin
menanyakan tentang Seruling Perak itu?'
Kemudian dia menyahut, "Asal aku tahu, pasti kujawab
dengan jujur."
"Apakah di bagian dadamu terdapat sebuah tahi lalat merah
berbentuk bulat?" tanya Te Hang Kay.
Mendengar pertanyaan itu sekujur badan Ciok Giok Yin
menjadi gemetar, dan dia langsung balik bertanya.
"Bagaimana lo cianpwee tahu itu?"
"Aku bertanya, kau harus jawab."
"Tidak salah."
Seketika sepasang mata Te Hang Kay menyorot tajam dan
jenggotnya tampak bergerak-gerak, pertanda hatinya amat
tergetar.
"Kalau begitu, ternyata benar kau adalah...." katanya
terhenti.
"Lo cianpwee, harap lanjutkan," kata Ciok Giok Yin.

Te Hang Kay menghela nafas panjang, lalu menggelenggelengkan
kepala seraya berkata, "Sementara ini tidak dapat
kukatakan, kelak kau akan tahu sendiri."
"Lo cianpwee kok tidak mau berlaku jujur?"
"Bukan tidak mau berlaku jujur...."
"Kalau begitu, lantaran apa?"
"Apabila kukatakan sekarang, jelas tiada manfaatnya bagimu,
sebaliknya malah akan mencelakai dirimu sendiri."
Ciok Giok Yin mengerutkan kening.
"Mengenai asal-usulku, bolehkah lo cianpwee menceritakan
sesingkatnya?"
Te Hang Kay tertawa gelak,
"Justru karena asal-usulmu. Namun, kalau belum waktunya,
kau tahu juga tiada gunanya."
Ciok Giok Yin ingin mendesaknya, tapi Te Hang Kay sudah
bertanya.
"Kau pernah ke Gunung Cong Lam San?" Tertegun Ciok Giok
Yin.
"Bagaimana lo cianpwee tahu itu?"
"Aku pengemis tua pernah pergi mencari Can Hai It Kiam."
"Mencari Can Hai It Kiam?"
"Ng!"
"Tapi dia sudah mati."
"Bukankah kau yang membunuhnya? Ciok Giok Yin tersentak.

"Aku sama sekali belum pernah melihat wajahnya.
"Mereka yang mengatakan demikian."
"Lo cianpwee percaya?"
"Ini cuma merupakan suatu kesalah pahaman. Kini di dunia
persilatan memang ada seseorang merias seperti wajahmu.
Orang itu melakukan kejahatan di mana-mana, termasuk
membunuh Can Hai It Kiam."
"Lo cianpwee tahu siapa orang itu?"
"Gerak-gerik orang itu amat misterius, kini belum berhasil
kuselidiki."
Usai menyahut, Te Hang Kay terus memadang wajah Ciok
Giok Yin. Berselang sesaat dia bertanya.
"Sebetulnya kau punya hubungan apa dengan Heng Thian
Ceng?"
"Tiada hubungan apa-apa."
"Kau harus menjauhinya."
"Mengapa?"
"Pokoknya kau harus menjauhinya."
"Bolehkah lo cianpwee menjelaskan sebab musababnya?"
Ternyata Ciok Giok Yin teringat akan budi pertolongan wanita
iblis itu, maka terkesan baik padanya.
"Tidak bisa," sahutnya.
Mendadak Ciok Giok Yin tertawa gelak, kemudian berkata.
"Lo cianpwee, di kolong langit tiada suatu urusan yang tidak
bisa diberitahukan pada orang lain. Lo cianpwee menyimpan

urusan itu dalam hati, maka kukatakan tegas, aku tidak mau
menjauhinya."
Sekujur badan Te Hang Kay tergetar.
"Kau dan dia...."
"Dia penolongku, bagaimana aku menjauhinya?"
Te Hang Kay menatap Ciok Giok Yin dalam-dalam, kemudian
bertanya dengan serius.
"Kau sungguh-sungguh mau tahu?"
Ciok Giok Yin mengangguk.
"Ya."
"Heng Thian Ceng...."
Sekonyong-konyong terdengar suara yang amat dingin
menyela.
"Bagaimana Heng Thian Ceng?"
Menyusul tampak sosok bayangan merah melayang turun di
tempat itu. Tidak lain adalah Heng Thian Ceng. Begitu melihat
kemunculannya, sepasang mata Te Hang Kay langsung
menyorot dingin.
"Heng Thian Ceng, mau apa kau ke mari?" bentaknya.
"Apakah Kuil Khay San Si ini sudah menjadi tempat
tinggalmu, pengemis bau?" sahut Heng Thian Ceng dingin.
"Jaga sedikit mulutmu!"
"Kau mau apa?"
"Kau harus segera enyah dari sini!"

"Ini bukan tempat tinggalmu! Kau boleh ke mari, kenapa aku
tidak?"
Heng Thian Ceng lalu memandang Ciok Giok Yin seraya
bertanya.
"Adik kecil, kau sudah bertemu adik angkatmu?"
Wajah Heng Thian Ceng yang buruk itu, membuat Ciok Giok
Yin merasa muak, namun mengingat sudah beberapa kali
menerima budi pertolongannya, maka Ciok Giok Yin menyahut
dengan ramah.
"Belum, aku berjanji padanya bertemu di sini!"
"Kau mau menunggunya?" tanya Heng Thian Ceng.
"Tentu."
"Baik, aku masih ada sedikit urusan. Sebelum hari terang,
aku akan balik ke mari menemanimu."
Usai berkata, tanpa mempedulikan Te Hang Kay, Heng Thian
Ceng langsung melesat pergi. Ketika melihat Heng Thian Ceng
melesat pergi, Te Hang Kay juga tidak mau ketinggalan,
langsung mengikutinya dari belakang. Sedangkan Ciok Giok Yin
tetap berdiri di tempat. Dia termangu-mangu memikirkan apa
yang Te Hang Kay katakan tadi, sepertinya tahu jelas akan
asal- usulnya. Kalau tidak, bagaimana pengemis tua itu tahu di
bagian dadanya terdapat sebuah tahi lalat merah? Berdasarkan
ini, sudah dapat membuktikannya.
Akan kenapa Ciok Giok Yin justru tidak mengerti, mengapa Te
Hang Kay tidak mau memberitahukannya, malah bersikap
misterius? Dan juga, mengapa Te Hang Kay melarangnya
berhubungan dengan Heng Thian Ceng? Wajahnya yang amat
buruk itu, apakah.... Ciok Giok Yin tidak mau berpikir lagi,
hanya menggeleng-gelengkan kepala seraya bergumam.
"Urusan di dunia persilatan, memang sungguh amat misterius
dan tidak bisa diduga!"

Sang waktu terus berlalu tanpa terasa malam sudah larut.
Sedangkan Fang Jauw Cang, tetap tidak tampak bayangannya.
Semakin menunggu, hati Ciok Giok Yin semakin gelisah,
namun dia tidak berani pergi. Tak terasa hari sudah subuh.
Mendadak Ciok Giok Yin teringat akan Heng Thian Ceng.
Wanita buruk rupa itu pernah bersamanya pergi mencari Pek
Jau Lojin, namun di atas tebing itu, dia terpukul jatuh ke
bawah. Lalu bagaimana dia bisa selamat? Mengenai kejadian
itu Ciok Giok Yin malah lupa bertanya pada Heng Thian Ceng.
Sebab dia terpukul jatuh ke bawah, justru ingin menolong Ciok
Giok Yin.
Nanti bertemu, harus baik-baik berterimakasih padanya. Ciok
Giok Yin berjanji dalam hati. Disaat bersamaan, tiba-tiba
terdengar beberapa kali suara siulan bergema di angkasa.
Ciok Giok Yin langsung melesat ke luar, menuju arah suara
siulan itu. Mendadak tampak empat sosok bayangan
menghadang di depannya, maka dia lang- sung berhenti.
Setelah melihat tegas siapa keempat orang itu, sekujur
badannya terasa menggigil kemudian dia menyurut mundur
beberapa langkah. Ternyata ke empat orang itu adalah Si Peng
Khek, Si Tay Hu Hoat (Empat Pelindung Besar) Perkumpulan
Sang Yeng Hwee, yaitu Hiang Peng Khek, Tan Peng Khek, Liak
Peng Khek dan Hui Peng Khek.
Bagaimana tingginya kepandaian keempat orang itu, Ciok
Giok Yin sudah merasakannya. Karena itu, dia sudah bersiap
untuk bertarung mati-matian. Hiang Peng Khek tertawa dingin
lalu berkata.
"Ciok Giok Yin, tak disangka kita bertemu di sini."
"Bagaimana?"
"Ingin mengundangmu ke markas perkumpulan Sang Yen
Hwee."
"Di mana markas kalian? Kelak kalau aku sempat pasti
berkunjung ke sana."

"Pokoknya hari ini kau harus ikut kami ke sana." sahut Hian
Peng Khek dengan dingin.
"Kalau aku bilang tidak?"
"Lebih baik kau ikut saja agar kami tidak susah."
Ciok Giok Yin tertawa gelak lalu berkata, "Gampang sekali kau
mengatakannya. Aku masih ada urusan lain, maaf!"
Ciok Giok Yin ingin melesat pergi, namun mendadak tangan Si
Peng Khek bergerak melancarkan pukulan yang mengandung
hawa dingin ke arah Ciok Giok Yin, sehingga membuatnya tak
mampu melesat pergi. Dia merasa sekujur badannya amat
dingin, bahkan merinding pula. Namun sifat angkuhnya tetap
menunjang dirinya.
"Si Peng Khek, aku tidak akan mengampuni kalian!"
bentaknya sengit.
Ciok Giok Yin langsung melancarkan jurus pertama ilmu
pukulan Hong Lui San Ciang, ke arah dada Hian Peng Khek.
Melihat pukulan itu, Hian Peng Khek tidak berkelit, melainkan
malah menyambutnya. Sedangkan Tam Peng Khek, Liak Peng
Khek dan Hui Peng Khek, juga melancarkan pukulan berhawa
dingin ke arah Ciok Giok Yin. Walau Ciok Giok Yin memiliki lwee
kang tinggi, namun tetap tidak dapat menahan hawa dingin itu.
Maka sekujur badannya menggigil, sehingga terpaksa berkelit
ke arah samping. Akan tetapi gerakan Hian Peng Khek jauh
lebih cepat dari gerakannya.
Di saat Ciok Giok Yin berkelit, Hian Peng Khek juga
melancarkan pukulan secepat kilat ke arahnya. Seketika Ciok
Giok Yin merasa sepasang kakinya kesemutan, kemudian roboh
gedebuk di tanah. Liak Peng Khek segera menotok jalan
darahnya. Setelah itu Si Peng Khek tertawa gelak, dan
kemudian Hiang Peng Khek berkata,
"Ciok Giok Yin, mulai sekarang dan selanjutnya, namamu
akan dicoret dari rimba persilatan!" Usai berkata, dia segera
bersiul panjang.

Tak lama kemudian, terdengarlah suara kereta kuda menuju
tempat itu. Setelah kereta kuda itu tiba, Hui Peng Khek
menyambar Ciok Giok Yin dan langsung dilemparkan ke dalam
kereta kuda itu, yang kemudian meluncur pergi. Di saat
bersamaan, tampak sosok bayangan berkelebat laksana kilat,
sekaligus mengitari Si Peng Khek. Setelah itu, dia berdiri di
tempat yang agak tinggi, lalu membentak keras,
"Cepat suruh kereta kuda itu berhenti!"
"Siapa kau?" tanya Hian Peng Khek.
"Bu Tok Sianseng!"
"Bu Tok Siangseng?"
"Tidak salah! Cepat suruh kereta kuda itu berhenti!"
"Apa maksudmu?"
"Terus terang! Kalau kereta kuda itu tidak segera berhenti,
kalian tidak akan bisa berjalan ke luar dalam jarak satu mill!"
Mendengar itu, bukan main terkejutnya Hian Peng Khek. Dia
langsung bersiul panjang menyuruh kereta kuda itu berhenti,
kemudian berkata.
"Bu Tok Sianseng, julukanmu adalah Bu Tok (Tiada Racun),
mengapa turun tangan justru menggunakan racun? Sungguh
tidak sesuai dengan julukanmu!"
Bu Tok Sianseng menyahut dengan wajah tidak berekspresi
apapun.
"Kau tidak perlu bertanya, sekarang cepat suruh kusir itu
membawa Ciok Giok Yin ke luar!"
"Jangan bermimpi! Ternyata kau ingin menyelamatkannya!"
"Tidak salah dugaanmu!"

Hui Peng Khek menggeram.
"Termasuk kau juga harus...."
Hui Peng Khek mau melancarkan serangan, namun tidak
dapat mengerahkan lwee kangnya. Bukan main terkejutnya.
Sedangkan Bu Tok Sianseng tetap berdiri di tempat, seakan
tiada urusan apa-apa.
"Bagaimana? Bukankah ada sedikit ketidakberesan?" katanya
sambil tersenyum.
Hui Peng Khiak diam, tidak menyahut. Bu Tok Sianseng
memandang yang lain, seraya melanjutkan ucapannya.
"Badan kalian sudah terkena racun! Dalam waktu setengah
jam, badan kalian akan berubah menjadi cairan darah!
Seandainya kalian tidak mau melepaskan Ciok Giok Yin, kalian
berempat pasti mati!"
Ketika mendengar itu, Hian Peng Khek, Tam Peng Khek dan
Liak Peng Khek segera menghimpun hawa murni. Mereka
merasa ada suatu yang tidak beres di dalam tubuh masing
masing.
"Sebetulnya kau mau apa?" tanya Hian Peng Khek pada Bu
Tok Sianseng.
"Lepaskan Ciok Giok Yin!"
"Tidak!"
"Kalau begitu, tunggu kematian kalian! Aku punya cara
menyelamatkan Ciok Giok Yin!"
Sepasang bola mata Hian Leng Khek berputar sejenak,
setelah itu dia menyuruh kusir membawa Ciok Giok Yin ke luar,
lalu ditaruh di atas tanah. Bu Tok Sianseng langsung melesat
ke samping Ciok Giok Yin, sekaligus membebaskan jalan
darahnya. Kemudian dia menoleh memandang Si Peng Khek

seraya berkata,
"Obat pemunah racun, ambil!"
Bu Tok Sianseng mengibaskan tangannya. Tampak empat
butir pil melayang ke arah Si Peng Khek. Si Peng Khek segera
menyambut pil tersebut dan langsung dimasukkan ke dalam
mulut, kemudian duduk bersila menghimpun hawa
murni. Sedangkan Bu Tok Sianseng menarik tangan Ciok Giok
Yin, lalu melesat ke dalam rimba. Berselang beberapa saat,
barulah Bu Tok Sianseng berhenti.
"Terimakasih atas pertolongan Anda," ucap Ciok Giok Yin
sambil menjura.
"Tidak usah berterimakasih."
Mendadak Ciok Giok Yin teringat akan sesuatu. "Bukankah
Anda yang memperoleh kitab Cu Cian?" tanyanya.
Bu Tok Sianseng mengangguk.
"Ya."
"Bolehkah aku membacanya sejenak?"
"Boleh, tapi kitab itu tidak kubawa." Bu Tok Sianseng
menatapnya. "Mau membaca kitab Cu Cian, harus menemukan
Seruling Perak. Kalau tidak, sama juga seperti benda tak
berguna."
"Anda tahu seruling perak itu berada di mana?"
Bu Tok Sianseng tidak menjawab pertanyaan itu.
"Aku bersedia pinjamkan kitab Cu Cian padamu, namun kau
harus berhasil mencari Seruling Perak," katanya.
Ini sungguh di luar dugaan Ciok Giok Yin, sehingga
membuatnya tertegun.

"Kau tidak usah curiga. Aku berkata sesungguhnya. Yang
penting sekarang kau harus berusaha mencari Seruling perak
itu. Kapan saja aku pasti menghadiahkan kitab Cu Cian
padamu."
Bagaimana di kolong langit ada urusan begini, setelah
memperoleh benda pusaka rimba persilatan, lalu akan
dihadiahkan kepada orang? Bukankah merupakan urusan yang
amat aneh sekali?
"Apa syaratnya?"
"Tidak ada."
Ciok Giok Yin terbelalak,
"Kalau begitu, mengapa Anda menempuh bahaya merebut
kitab Cu Cian itu?"
"Kau tidak usah bertanya, sudah pasti ada sebabnya." Bu Tok
Sianseng kelihatan berpikir. "Sekarang tujuanmu mau ke
mana?"
"Aku punya janji dengan seorang adik angkat di kuil Thay San
Si, aku harus menunggunya disana." Bu Tok Sianseng
manggut-manggut.
"Baik, sampai jumpa!"
Dia menjura pada Ciok Giok Yin, kemudian melesat
pergi. Ciok Giok Yin terus memandang ke tempat Bu Tok
Sianseng hilang dari pandangannya. Dia sama sekali tidak
mengerti maksud tujuan Bu Tok Sianseng, mengapa akan
menghadiahkan kitab Cu Cian padanya tanpa syarat apa pun?
Akan tetapi Ciok Giok Yin dan Bu Tok Sianseng tidak saling
kenal sebelumnya, tentunya tiada permusuhan apa pun, maka
tidak mungkin dia punya suatu rencana jahat untuk mencelakai
Ciok Giok Yin. Walau Ciok Giok Yin berpikir bolak-balik dan
cukup lama, namun tetap tidak menemukan jawabannya.
Oleh karena itu, akhirnya dia tidak mau memikirkan tentang

itu, dan langsung melesat kembali ke Kuil Thay San Si.
Sementara Thay San Si tetap sunyi senyap, sehingga Ciok
Giok Yin yakin pada waktu mau berpisah, mereka berdua sudah
berjanji, dua bulan kemudian akan berjumpa lagi di tempat
tersebut. Kini Fang Jauw Cang tidak menepati janji, pertanda
telah terjadi sesuatu atas dirinya. Meskipun Ciok Giok Yin
berpikir demikian, tapi tetap menunggu. Akan tetapi berselang
beberapa saat, dia langsung melesat pergi memasuki sebuah
rimba. Ketika dia memasuki rimba itu, tiba-tiba terdengar
suara percakapan. Hati Ciok Giok Yin tergerak, dan dia segera
melesat ke belakang sebuah pohon besar. Sementara
percakapan itu semakin jelas, justru membuat sekujur
badannya menjadi dingin. Ternyata dia mengenali suara itu,
yang tidak lain adalah suara Si Peng Khek.
"... asal ketemu lagi!" kata Tam Peng Khek sengit.
"Tidak gampang," sahut Hian Peng Khek.
Ciok Giok Yin yang berbunyi di balik pohon, langsung pasang
kuping mendengarkan dengan penuh perhatian. Beberapa sat
kemudian terdengar suara Hui Peng Khek.
"Apakah kita menyudahi begini saja?"
"Bagaimana kalau kita pulang dengan tangan kosong? Lagi
pula nama kita bukankah akan tercoreng?" sahut Liak Peng
Khek.
Ciok Giok Yin tidak mendengar percakapan mereka, namun
dia tetap pasang kuping mendengarkan dengan penuh
perhatian. Berselang beberapa saat, terdengar suara Hian Peng
Khek.
"Nama memang penting, tapi nyawa tidak boleh dibuat mainmain."
Liak Peng Khek bertanya.
"Toako punya ide apa?" tanya Liak Peng Khek.

"Kalau ada, lebih baik katakan agar kita bisa berunding
bersama!" sambung Tam Peng Khek.
Hian Peng Khek manggut-manggut, lalu berkata,
"Dia punya deking Bu Tok Sianseng. Walau kepandaian kita
amat tinggi, tapi tidak dapat melawan racunnya, maka
maksudku...."
Tam Peng Khek, Lian Peng Khek dan Hi Peng Khek segera
bertanya dengan serentak, "Bagaimana?"
Hian Peng Khek menjawab dengan meninggikan suaranya.
"Kita pulang menemui ketua, katakan kita akan berusaha
menangkapnya kelak. Mungkin ketua tidak akan menyalahkan
kita."
Setelah itu, suasana kembali hening lagi. Namun hati Ciok
Giok Yin tersentak kaget, karena ternyata Si Peng Khek masih
terus mencarinya. Kemudian dia berkata dalam hati, 'Saat ini
kepandaianku masih jauh di bawah mereka. Kalau tidak Bu Tok
Sianseng campur tangan, pasti diriku dibawa pergi oleh Si Peng
Khek.' Karena itu, meskipun saat ini hatinya amat gusar,
namun dia tidak berani muncul dari tempat persembunyiannya.
Biar bagaimana dia harus bersabar menahan kegusarannya.
Mendadak terdengar Hiang Peng Khek berkata, "Mari kita
pulang!"
Kemudian terdengar suara desiran, ternyata Si Peng Khek
melesat pergi. Di saat bersamaan, timbullah suatu ide dalam
hati Ciok Giok Yin. 'Keempat iblis itu akan pulang ke markas
mereka, mengapa aku tidak mengungkit secara diam-diam?
Kalau sudah tahu markas mereka, bukankah boleh ke sana
kelak?" Setelah timbul ide tersebut, maka dia pun melesat
pergi. Ciok Giok Yin melihat bayangan Si Peng Khek
berkelebatan jauh di depan. Dia terus mengikuti mereka, tapi
tidak berani terlampau dekat karena khawatir akan diketahui Si
Peng Khek, sehingga sulit meloloskan diri. Karena itu dia

menguntit mereka berempat dari jarak seratus
depa. Sementara Si Peng Khek terus melesat sama sekali tidak
tahu ada orang menguntitnya. Walau tempat yang dilalui
terdapat banyak batu racun, tapi mereka memiliki ilmu ginkang
tinggi, maka seperti melesat di jalan datar. Tak seberapa lama
kemudian mereka tiba di sebuah lembah.
Tampak badan Si Peng Khek berkelebat, langsung melesat ke
dalam mulut lembah itu. Ciok Giok Yin berhenti di depan mulut
lembah, lalu mendongakkan kepala. Tampak dinding tebing
terdapat beberapa huruf 'Siapa Yang Masuk Pasti Mati'. Di
samping tulisan itu terdapat lukisan sepasang burung
walet. Tidak salah lagi, markas perkumpulan Sang Yen Hwee
pasti berada di dalam lembah ini. Seketika dia lupa akan
bahaya dan terbangkit kegagahannya. Di saat bersamaan, dia
pun teringat akan semua dendamnya, baik dendam lama
maupun dendam baru. Oleh karena itu badannya langsung
bergerak. Dia ingin membasmi kejahatan demi dunia
persilatan.
Pokoknya perkumpulan Sang Yen Hwee harus dibasmi. Kalau
tidak, dunia persilatan tidak akan tenang dan damai. Ciok Giok
Yin segera melesat ke dalam lembah. Setelah dia berada di
dalam lembah, tampak sebuah sungai kecil melintang di
hadapannya. Air sungai itu amat jernih dan mengalir perlahanlahan.
Di seberang sana tampak pohon-pohon Yang Liu yang
rantingnya bergoyang-goyang lemas terhembus
angin. Sungguh merupakan tempat yang amat tenang dan
damai. Pandangan Ciok Giok Yin terhalang oleh pohon-pohon
Yang Liu, sehingga tidak melihat yang lain di belakang pohonpohon
Yang Liu tersebut. Ternyata di belakang pohon-pohon itu
terdapat pegunungan yang tidak begitu tinggi dan
pemandangannya amat indah. Begitu melihat, Ciok Giok Yin
tertarik akan tempat itu.
Sejak dia memasuki lembah tersebut, sama sekali tidak
bertemu seorang pun. Berdasarkan ini dapat diketahui bahwa
perkumpulan Sang Yen Hwee tidak memandang kaum rimba
persilatan ke dalam matanya. Sebab tiada seorang penjaga pun
berada di sana seakan tempat tersebut tidak perlu dijaga.
Mendadak Ciok Giok Yin melihat sebuah panji besar berwarna

merah berkibar-kibar di balik rimba pohon Yang Liu. Panji itu
bertulisan 'Menyatukan Rimba Persilatan'. Melihat tulisan itu
Ciok Giok Yin mendengus dingin.
"Hmmm! Sungguh bermulut besar, tidak takut gigi akan
rontok diterpa angin!"
Ciok Giok Yin mengeras hati melangkah ke tepi
sungai. Sungai itu tidak begitu lebar, cuma satu depa lebih.
Orang biasa yang tidak mengerti ilmu silat pun pasti dapat
meloncat ke seberang. Apalagi Ciok Giok Yin yang
berkepandaian tinggi. Dia langsung meloncat ke
seberang. Akan tetapi tak disangka ketika sepasang kakinya
mau menginjak tanah, Ciok Giok Yin terkejut bukan
kepalang! Ternyata dia melihat sungai kecil itu berubah
menjadi tak terbatas dan tiada daratannya. Rimba Yang Liu
yang ada di hadapannya juga telah lenyap entah ke mana.
Maka terdengar suara 'Plum'.
Ciok Giok Yin terjatuh ke dalam sungai, bahkan mulutnya
kemasukan beberapa teguk air sungai itu. Walau air sungai itu
cuma sebatas leher, namun dinginnya sungguh tak
tertahan. Dia segera menoleh ke belakang. Sungguh tak
disangka, ternyata lebar sungai itu mencapai belasan
depa. Tapi amat mengherankan, di depan justru tidak tampak
tepian sungai itu. Ketika Ciok Giok Yin ingin kembali ke tempat
semula, mendadak terjadi hujan deras, seperti dicurahkan dari
langit.
Angin pun berhembus kencang, membuat air sungai itu
bergelombang-gelombang menerjang ke arah Ciok Giok
Yin. Sudah barang tentu menyebabkannya meneguk air sungai
itu lagi, karena dia tidak begitu bisa berenang. Dia berkertak
gigi, berusaha berenang ke tepi yang di belakangnya. Akan
tetapi hujan badai masih berlangsung, membuatnya tak dapat
melawan gelombang sungai yang amat dahsyat itu. Sebab itu,
matanya menjadi berkunang-kunang dan dia kehilangan arah
tujuan.
Sekonyong-konyong Ciok Giok Yin merasa dirinya terperosok

ke dalam sebuah formasi yang amat aneh. Mengenai ilmu
formasi, dia memang tidak mengerti sama sekali, maka pasrah
saja. Pada waktu bersamaan, hujan badai semakin menghebat,
bahkan gelombang sungai pun semakin tinggi, menindih Ciok
Giok Yin, sehingga nyaris tenggelam ke dasar sungai. Justru di
saat itulah sayup-sayup dia mendengar suara tawa dingin.
"He he! Bocah, kau sendiri yang cari mati di sini...."
Sedangkan Ciok Giok Yin sudah mulai tak sadarkan diri, sebab
terlampau banyak meneguk air, dan juga terterjang oleh
gelombang sungai. Memang malang nasibnya. Lantaran timbul
kegagahannya ingin membasmi perkumpulan Sang Yen Hwee,
akhirnya malah dirinya yang diintai maut. Kini dia telah jatuh
ke tangan perkumpulan Sang Yen Hwee. Bagaimana nyawanya
bisa selamat? Akan tetapi seandainya nyawa Ciok Giok Yin
melayang di perkumpulan Sang Yen Hwee, berarti sudah tiada
orang yang dapat menyelamatkan dunia persilatan.
Sebaliknya bagi Ciok Giok Yin, meloloskan diri dari maut juga
bukan merupakan hal yang gampang.
Jilid 12
Entah berapa lama kemudian barulah Ciok Giok Yin siuman
perlahan-lahan. Sepasang matanya masih terpejam rapat,
namun dapat merasakan bahwa dirinya terikat pada sebuah
balok kayu. Tanpa melihat keadaan sekelilingnya, dia langsung
mengerahkan lwee kang untuk memutuskan tali yang mengikat
dirinya. Namun tak disangka tali itu sama sekali tidak mau
putus. Di saat bersamaan, terdengar suara yang amat dingin.
"Ciok Giok Yin, kau cuma membuang-buang tenaga!"
Ciok Giok Yin memandang ke arah datangnya suara.
Dilihatnya seorang berpakaian hitam dan memakai kain
penutup muka duduk di ruangan itu. Bentuk badan dan
suaranya sepertinya pernah dikenal Ciok Giok Yin, namun tidak

ingat di mana.
Di samping orang berpakaian hitam memakai kain penutup
muka itu duduk seorang lelaki berusia tiga puluhan. Lelaki itu
tampan, tapi sepasang matanya menyiratkan kelicikan hatinya.
Di dalam ruangan itu tampak pula puluhan orang berdiri,
termasuk Si Peng Khek. Kira-kira lima langkah di hadapan Ciok
Giok Yin, berdiri seorang sastrawan berusia empat puluhan,
sepasang matanya menyorot tajam, terus memandang Ciok
Giok Yin dengan penuh perhatian. Setelah mata menyapu
semua orang yang berada di ruangan itu, barulah Ciok Giok Yin
membentak sengit.
"Si Peng Khek! Suatu hari nanti aku pasti akan membeset
kulit kalian!"
"Ciok Giok Yin, kau sudah tiada kesempatan lagi!" sahut Hian
Peng Khek. "Kuberitahukan, aku menggunakan siasat di dalam
rimba itu, sehingga kau terpancing ke mari! Kini kau sudah
tahu kan? He he he!"
Suara tawanya, sungguh menusuk telinga! Saat ini Ciok Giok
Yin baru mengerti, ternyata ketika dia mencuri pembicaraan di
dalam rimba, sudah diketahui oleh Si Peng Khek, maka mereka
berempat sengaja memancing Ciok Giok Yin ke markas
perkumpulan Sang Yen Hwee. Bukan main gusarnya Ciok Giok
Yin sehingga mukanya tampak merah padam.
"Si Peng Khek, aku jadi hantu pun tidak akan mengampuni
kalian!" bentaknya sambil berkertak gigi.
Hian Peng Khek tertawa dingin lalu menyahut, "Itu
urusanmu!"
Orang berpakaian hitam dan memakai kain penutup muka
menatap Ciok Giok Yin seraya berkata, "Ciok Giok Yin, aku mau
bertanya padamu."

"Siapa kau?" tanya Ciok Giok Yin ketus.
"Kau akan tahu perlahan-lahan."
"Kau adalah ketua perkumpulan Sang Yeng Hwee?"
Orang berpakaian hitam memakai kain penutup muka tertawa
dingin, lalu menyahut sepatah demi sepatah.
"Ingat baik-baik, ketua berada di sini!"
Dengan mata berapi-api Ciok Giok Yin membentak sengit,
"Aku tidak akan mengampunimu...!"
Orang berpakaian hitam dan memakai kain penutup muka
memutuskan perkataan Ciok Giok Yin.
"Itu adalah urusanmu kelak, sementara ini kau tidak usah
bersikap bengis! Sekarang aku mau bertanya, kau harus
menjawab dengan jujur!" sergahnya.
Sepasang mata orang itu menyorot tajam ke arah Ciok Giok
Yin, yang juga sedang menatapnya. Ketika beradu pandang
dengan orang itu, Ciok Giok Yin merasa sekujur badannya jadi
merinding. Bukan main tingginya lwee kang orang itu, boleh
dikatakan telah mencapai tingkat kesempurnaan. Yang jelas
kalau bukan keberuntungan, pasti adalah musibah. Seandainya
musibah, tentu tidak dapat dihindari. Oleh karena itu Ciok Giok
Yin menyahut sengit.
"Orang gagah boleh dibunuh, tapi jangan dihina!"
Orang berpakaian hitam memakai kain penutup muka itu
berkata.
"Aku mau membunuh atau menghinamu, itu urusanku! Tapi
aku perlu bertanya jelas dulu padamu, setelah itu barulah aku
mengambil tindakan!" dia menatap Ciok Giok Yin dengan
dingin.
"Kalau kau bersedia menjawab dengan jujur, mungkin

perkumpulan kami akan memakai tenagamu! Karena itu kau
jangan berkeras kepala! Kini kau sudah jatuh ke tangan kami,
sulit bagimu untuk meloloskan diri!"
Sepasang mata Ciok Giok Yin membara, kemudian dia
menggigit bibirnya hingga mengeluarkan darah. Orang
berpakaian hitam memakai kain penutup muka itu bertanya.
"Betulkah suhumu adalah Sang Ting It Koay?"
"Tidak salah!" sahut Ciok Giok Yin sengit.
"Dia belum mati?"
Ciok Giok Yin menyahut dengan dingin.
"Kalau dia sudah mati, bagaimana mungkin masih bisa
menerimaku sebagai muridnya?"
"Kalau begitu, dimana dia sekarang?"
"Tidak dapat diberitahukan!"
"Lebih baik kau beritahukan secara jujur!"
"Tidak perlu kuberitahukan secara jujur!"
"Sungguhkah kau tidak mau beritahukan?"
Ciok Giok Yin menggelengkan kepala, kelihatannya betul-betul
berkeras kepala.
"Tidak!"
Sepasang mata orang berpakaian hitam memakai kain
penutup muka itu menyorot lebih tajam dan dingin.
"Ciok Giok Yin, kalau begini caramu, akan menyusahkan
dirimu sendiri!"
Ciok Giok Yin berkertak gigi hingga berbunyi gemertukan. Dia

teringat akan Phing Phiauw Phek dan Cak Hun Ciu. Ciok Giok
Yin berhutang budi pada kedua orang itu. Mereka berdua justru
dibunuh oleh orang orang perkumpulan Sang Yen Hwee, maka
dendam mereka berdua di bahunya. Dan juga masih ada Bun It
Coan. Ketika kakak angkatnya itu dalam keadaan sekarat,
berpesan padanya harus belajar ilmu silat tinggi agar dapat
membunuh Lan Lan, putri ketua perkumpulan Sang Yen Hwee,
Pesan itu selama ini tidak pernah dilupakannya. Akan tetapi
kini dirinya malah tertangkap oleh mereka. Saking gusarnya
Ciok Giok Yin mendengus dingin.
"Hmmm!"
Setelah itu dia membentak sengit, "Aku boleh dibunuh,
namun jangan harap aku akan menurutimu!"
Orang berpakaian hitam memakai kain penutup muka itu
tertawa terkekeh-kekeh.
"He he he! Kau jangan menyesal!"
"Kau mau bertindak apa pun terhadap diriku, silakan!"
Orang berpakaian hitam memakai kain penutup muka itu
berkata dingin,
"Ouw Suya (Penasihat Ouw)!"
Lelaki yang berdiri di hadapan Ciok Giok Yin, langsung
menghadap orang berpakaian hitam memakai kain penutup
muka, lalu memberi hormat seraya berkata, "Di sini Ouw Cih
menerima perintah."
Orang berpakaian hitam memakai kain penutup muka
berkata, "Suruh dia merasakan Cak Sim Coh Kut Kang (Ilmu
pembusuk Hati Dan Tulang)!"
Ouw Cih segera membalikkan badannya. Sepasang matanya
menyorot aneh, kemudian dia menyambar pergelangan lengan
Ciok Giok Yin. Seketika Ciok Giok Yin merasa ada aliran yang

amat panas menerjang ke hati dan seluruh tulangtulangnya.
Dia merasa hatinya dan seluruh tulangnya seperti
tertusuk ribuan jarum. Tak lama kemudian sekujur badan Ciok
Giok Yin mulai mengucurkan keringat, sehingga membasahi
pakaiannya. Dia menjerit menyayat hati, lalu pingsan seketika.
Orang berpakaian haitam memakai kain penutup muka
berseru dingin, "Berhenti!"
Ouw Cih melepaskan tangannya, lalu mundur beberapa
langkah. Tersirat berbagai macam perasaan pada wajahnya,
menatap Ciok Giok Yin yang telah pingsan.
Orang berpakaian hitam memakai kain penutup muka
berkata, "Bikin dia siuman kembali!"
Salah seorang anggota perkumpulan Sang Yen Hwee segera
mengambil secangkir teh lalu disiramkan ke wajah Ciok Giok
Yin, kemudian dia kembali ke tempatnya. Ciok Giok Yin siuman
perlahan-lahan. Dia menatap semua orang-orang itu dengan
dingin, lalu tertawa gelak dan bertanya, "Apakah ini merupakan
tindakan kalian?"
"Kau tidak mau bilang?" tanya orang berbaju hitam memakai
kain penutup muka.
"Tidak!"
"Ouw Suya, siksa lagi dia!"
Ouw Cih mendekati Ciok Giok Yin. Kali ini dia turun tangan
jauh lebih hebat. Seketika Ciok Giok Yin merasa hati dan
tulang-tulangnya seperti digigit ribuan semut. Ciok Giok Yin
menjerit menyayat hati lagi, lalu kembali pingsan. Salah
seorang anggota perkumpulan Sang Yen Hwee mengambil
secangkir teh, lalu menyiram ke wajahnya. Ciok Giok Yin
siuman, Mendadak terlintas suatu hal dalam benaknya. Dia
langsung mendongakkan kepala, lalu bertanya dengan lemah.
"Kau mau bertanya padaku, justru terlebih dahulu aku mau
bertanya padamu."

Orang berpakaian hitam memakai kain penutup muka
tertegun.
"Kau mau bertanya apa?"
"Sebetulnya siapa kau?"
Orang berpakaian hitam memakai kain penutup muka
menyahut dingin,
"Kelak kau akan tahu."
"Kau takut menyebut namamu?"
Orang berpakaian hitam memakai kain penutup muka tertawa
terkekeh,
"Ciok Giok Yin, aku tidak pernah takut terhadap siapapun!
Lebih baik kau bilang saja!"
"Tiada yang harus kubilang!"
Mendadak orang berpakaian hitam memakai kain penutup
muka itu bangkit berdiri. Entah bagaimana cara dia bergerak,
tahu-tahu sudah berada di hadapan Ciok Giok Yin.
Dia menatap Ciok Giok Yin dalam-dalam lalu membentak,
"Kau sungguh ingin mati?"
Ciok Giok Yin tertawa dingin lalu menyahut.
"Kalau aku takut mati, pasti tidak akan datang kemari!"
Tiba-tiba orang berpakaian hitam memakai kain penutut
muka itu menggerakkan jari tangannya. Ternyata dia sudah
turun tangan menotok jalan darah kematian Ciok Giok Yin.
Justru disaat bersamaan, mendadak Ouw Cih berseru cepat.
"Tunggu!"

Orang berpakaian hitam memakai kain penutup muka jadi
batal menotok jalan darah kematian Ciok Giok Yin dan segera
berpaling memandang Ouw Cih. Bibir Ouw Cih bergerak,
namun tidak mengeluarkan suara. Kelihatannya dia
menggunakan ilmu Penyampaian Suara kepada orang
berpakaian hitam memakai kain penutup muka itu. Orang
berpakaian hitam memakai kain penutup muka itu manggutmanggut,
lalu berkata, "Musnahkan kepandaiannya, lalu
masukkan ke penjara!"
Tubuh orang berpakaian hitam memakai kain penutup muka
berkelebat, langsung masuk ke dalam pintu
samping. Sedangkan jari tangan Ouw Cih bergerak-gerak,
menotok jalan darah Tung Hu bagian dada Ciok Giok Yin.
Seketika Ciok Giok Yin merasa sekujur badannya lemas tak
bertenaga dan dia tahu kepandaiannya telah musnah. Coba
bayangkan, seorang yang berkepandaian tinggi, mendadak
kehilangan kepandaiannya. Bukankah lebih menderita dari
pada dibunuh?" Dia menghela nafas panjang, dan air matanya
bercucuran. Ouw Cih melepaskan tali yang mengikatnya, lalu
membawanya ke belakang. Ketika sedang berjalan ke dalam,
telinga Ciok Giok Yin menangkap suara yang amat lirih.
"Adik kecil, harap jangan bersuara dan juga jangan menoleh,
aku ingin bicara denganmu."
Hati Ciok Giok Yin tergerak. Dia sama sekali tidak menoleh
dan terus membiarkan Ouw Cih membawa dirinya ke belakang.
Sedangkan Ouw Cih melanjutkan bicaranya.
"Tidak peduli kau keturunan teman baikku itu atau bukan,
yang jelas aku akan berusaha menyelamatkanmu.
Sesungguhnya ilmu silatmu tidak musnah, namun saat ini, aku
tidak boleh membebaskan totokanmu, sebab akan
menimbulkan kecurigaan mereka. Maka sementara ini kau
harus bersabar. Sebelum kau yakin dapat meloloskan diri
janganlah coba-coba menempuh bahaya, karena kepandaian
orang itu sudah mencapai tingkat yang amat tinggi."

Sebetulnya Ciok Giok Yin ingin bertanya siapa orang itu. Akan
tetapi Ouw Cih telah berpesan tadi, jangan bersuara. Oleh
karena itu, dia tidak berani membuka mulut. Tak seberapa
lama kemudian Ciok Giok Yin sudah dibawa sampai di depan
kamar batu, yang ternyata kamar tahanan. Tampak dua
penjaga di sana. Begitu melihat kedatangannya Ouw Cih,
kedua penjaga itu segera memberi hormat.
"Menyambut kedatangan Suya (Bapak Penasehat)!" ucapnya.
"Buka pintu!" perintah Ouw Cih.
Kedua penjaga itu mengangguk.
"Ya."
Tak lama kemudian terdengarlah suara 'Serr Serrrrr!' Pintu
kamar tahanan itu terbuka.
Ouw Cih mendorong Ciok Giok Yin ke dalam seraya berkata.
"Ciok Giok Yin, baik-baiklah beristirahat di situ!"
Setelah itu terdengar suara 'Bum!' Pintu kamar tahanan itu
sudah tertutup kembali. Ciok Giok Yin yang terdorong ke dalam
kamar tahanan itu langsung roboh dan matanya berkunangkunang.
Berselang beberapa saat barulah dia dapat bangkit
berdiri, namun tidak dapat melihat apapun, sebab di jalan
kamar tahanan itu amat gelap. Ciok Giok Yin berkata dalam
hati, 'Siapa Ouw Suya itu? Dan sebetulnya aku ini keturunan
siapa? Dia berniat menyelamatkanku, tapi mengapa tidak mau
segera membebaskan jalan darahku?' Kemudian dia berpikir.
Ternyata yang dipikirkannya adalah orang berpakaian hitam
memakai kain penutup muka. Kelihatannya kepandaian orang
itu tinggi sekali. Kalau tidak, bagaimana mungkin Si Peng Khek
tiada tempat duduk di ruang itu?
Ciok Giok Yin terus berpikir, namun tidak menemukan
jawabannya. Yang jelas dia merasa kepandaiannya masih
rendah. Melawan Si Peng Khek saja sudah terjungkal,

bagaimana mungkin melawan orang berpakaian hitam
memakai kain penutup muka itu? Kecuali... berhasil
menemukan Seruling Perak dan kitab Cu Cian. Kesimpulannya
harus berhasil mencari Seruling Perak dan kitab Cu Cian,
barulah bisa membalas dendam. Akan tetapi, apabila berhasil
mencari Seruling Perak, harus pula diserahkan kepada
keturunan Ciok. Walau dirinya juga bermarga Ciok, tapi bukan
keturunan Hai Thian Tayhiap-Ciok Khie Goan. Kalau begitu dia
keturunan siapa? Banyak orang mengatakan, bahwa dirinya
mirip seseorang. Mungkin dirinya keturunan Ciok Khie Goan.
Kalau benar, maka....
Dia tidak mau berpikir lagi. Sebab dirinya tidak mungkin
begitu tinggi. Akan tetapi berdasarkan semua itu, kelihatannya
dirinya bukan keturunan orang biasa. Dia masih ingat akan apa
yang dikatakan si Bongkok Arak, pengemis tua Te Hang Kay
dan Ouw Suya dari perkumpulan Sang Yen Hwee, itu telah
membuktikan sesuatu. Wajah seseorang memang bisa mirip
orang lain, tapi tidak mungkin ada tiga orang mengatakan
bahwa dirinya mirip seorang kawan baik mereka. Memang
sayang sekali, Can Hai It Kiam telah dibunuh oleh orang yang
menyamar sebagai Ciok Giok Yin. Kalau tidak, berdasarkan
surat itu pasti telah terungkap asal-usulnya.
Mendadak dia berkertak gigi sambil mengambil keputusan.
Apabila dia berhasil meloloskan diri, dia pasti akan
memusnahkan perkumpulan Sang Yen Hwee. Namun kini
kepandaiannya telah musnah, maka ketajaman matanya pun
berkurang, tidak dapat melihat apa pun yang ada di dalam
kamar tahanan itu. Dia menjulurkan tangannya meraba ke
sana ke mari, hanya dinding batu. Kalau ingin meloloskan diri,
harus memiliki pedang pusaka untuk membelah dinding batu
itu. Tentunya tidak mungkin, sebab kini dirinya sudah
terkurung di dalam kamar batu, juga telah kehilangan
kepandaian. Kini dia cuma berharap Ouw Cih menepati
janjinya, memunculkan diri untuk menyelamatkannya. Kalau
tidak, tentunya sulit baginya untuk meloloskan diri dari kamar
tahanan tersebut. Ini membuat Ciok Giok Yin berduka sekali.
"Aku tidak boleh mati, karena masih banyak beban dendam
yang harus kubalas. Seandainya aku mati sekarang, aku pasti

merasa penasaran sekali," gumamnya.
Tanpa terasa air matanya pun bercucuran, namun dia tidak
mengeluarkan suara sedikit pun. Sedangkan di luar kamar
tahanan juga tidak terdengar suara apapun. Ciok Giok Yin
duduk kembali. Setelah itu dia merogoh ke dalam bajunya,
ternyata tiada sesuatu yang hilang. Itu membuatnya berlega
hati, karena di dalam bajunya terdapat kitab Im Yang Cin Koy,
yang diperoleh Tiat Yu Kie Su dengan pengorbanan nyawanya,
lagi pula menyangkut kebahagiaan hidupnya. Juga mengenai
cincin giok pemberian Bun It Coan, itu pun tidak boleh hilang,
karena cincin itu merupakan benda kepercayaan Liok Bun.
Benda lain adalah berupa beberapa macam obat peninggalan
Tiong Ciu Ie, yang harus dipergunakannya saat berkelana di
dunia persilatan. Semua obat itupun tidak boleh hilang. Semua
kenangan masa lampau mulai terbayang di depan matanya.
Begitu juga orang-orang yang dikenalnya, satu persatu mulai
muncul di lepas matanya pula. Mendadak terdengar suara
helaan nafas lirih. Ciok Giok Yin tertegun, dan segera
mendengarkan dengan penuh perhatian.
Terdengar lagi suara helaan nafas lirih. Ciok Giok Yin berpikir.
Apakah di dalam kamar tahanan ini terdapat orang lain? Dia
cepat-cepat bangkit berdiri, lalu meraba kian kemari. Namun
sungguh di luar dugaan, tiada seorangpun berada di dalam
kamar itu. Sekonyong-konyong terdengar suara 'Krek!' Sebuah
pintu kecil terbuka dan terdengar pula suara orang di luar
kamar.
"Nasimu, ambillah!"
Ciok Giok Yin cuma mendengus dingin, "Hmm!" Dia sama
sakali tidak mempedulikannya.
"Hei! Kau dengar tidak?" bentak orang yang di luar kamar.
Sesungguhnya Ciok Giok Yin tidak mau mengambil nasi itu.
Tapi karena perutnya memang sudah lapar, maka terpaksa nasi
itu diambilnya. Ternyata nasi itu berada di sebuah nampan
dilengkapi dengan dua macam hidangan. Di saat bersamaan,

terdengar lagi suara. 'Krak!' Pintu kecil itu tertutup kembali,
dan kamar tahanan itu berubah menjadi gelap lagi.
Ciok Giok Yin duduk, lalu mulai makan. Seusai makan, ketika
dia mau beristirahat, sekonyong-konyong terdengar lagi suara
helaan nafas panjang. Kali ini suara helaan nafas itu
kedengarannya agak dekat. Ciok Giok Yin mendengarkan
dengan penuh perhatian, agar tahu arah suara helaan nafas
itu.
Beberapa saat kemudian terdengar ucapan yang amat lirih,
"Lagi-lagi seorang yang bernasib sama."
Hati Ciok Giok Yin, tergerak dan dia cepat-cepat mendekati
dinding batu. Kemudian dia menjulurkan tangannya mengetuk
dinding batu tersebut.
"Siapa kau?" terdengar suara dari luar.
Ciok Giok Yin menyahut dengan suara rendah, karena kuatir
terdengar oleh penjaga.
"Namaku Ciok Giok Yin."
"Ciok Giok Yin?"
"Ng!"
Hening sejenak. Tiba-tiba terdengar lagi suara orang tersebut.
"Bagaimana kau jatuh ke tangan mereka?"
"Aku menguntit Si Peng Khek, terjebak ke dalam suatu
formasi aneh sehingga tertangkap oleh mereka," jawab Ciok
Giok Yin dengan jujur.
"Kalau begitu mereka telah memusnahkan kepandaianmu?"
"Ya. Mohon tanya siapa Anda?"
"Aku adalah...."

Orang itu tidak melanjutkan jawabannya.
"Aku ingin mengundangmu."
"Kamar tahanan ini terbuat dari dinding batu, bagaimana
mungkin aku akan ke tempatmu?" sahut Ciok Giok Yin.
"Aku punya akal."
Kemudian suasana menjadi hening. Ciok Giok Yin tidak habis
pikir, orang yang ada di kamar sebelah itu punya akal apa?
Bukankah itu cuma bermimpi? Jangan-jangan orang itu sudah
lama terkurung di sini sehingga menyebabkan pikirannya
menjadi kurang waras. Di saat bersamaan mendadak terdengar
suara 'krek!' Dinding batu itu terbuka dan muncul sebuah
lubang. Terdengar lagi suara orang itu.
"Kau boleh ke mari."
Ciok Giok Yin terperangah, kemudian merangkak ke kamar
batu sebelahnya. Karena terlampau gelap, Ciok Giok Yin tidak
dapat melihat wajah? orang tersebut. Orang itu memegang
lengan Ciok Giok Yin sambil bertanya.
"Mereka menotok jalan darah apa di tubuhmu?"
Ternyata orang itu masih bertenaga. Pertanda kepandaiannya
belum musnah. Maka tidak mengherankan kalau lengan Ciok
Giok Yin yang dipegangnya terasa sakit sekali.
"Aduuuuh!" jeritnya kesakitan.
Orang itu segera melepaskan tangannya. "Maaf, aku lupa
bahwa kepandaianmu telah musnah," katanya.
"Tidak apa-apa," sahut Ciok Giok Yin lemah.
"Jalan darah apa yang mereka totok? Mungkin aku dapat
memulihkan kepandaianmu, tanya orang itu lagi.

"Jalan darah Tung Hu Hiat."
"Tung Hu Hiat?"
"Ya."
Hening sejenak. Setelah itu barulah terdengar suara orang
tersebut.
"Heran? Mengapa mereka tidak menotok jalan darah Khie Hai
Hiatmu?"
"Entahlah. Akupun tidak jelas."
Apabila orang yang berkepandaian tinggi, jalan darah Khie Hai
Hiatnya tertotok, sudah sulit untuk memulihkan
kepandaiannya. Ciok Giok Yin juga paham akan hal tersebut.
"Siapa yang menotok jalan darahmu?" tanya orang itu.
"Ouw Suya perkumpulan Sang Yen Hwee."
"Sungguh mengherankan! Orang itu berhati kejam.
Bagaimana dia berbelas kasihan padamu? Sungguh membuat
orang tidak mengerti!"
"Anda kenal orang itu?" tanya Ciok Giok Yin.
"Tidak kenal."
"Kalau begitu, bagaimana Anda tahu dia berhati kejam?"
"Ketika aku tertangkap oleh mereka, melihatnya turun tangan
terhadap bawahannya tanpa memberi ampun. Boleh dikatakan
dia tak berperasaan sama sekali."
Ciok Giok Yin merasa dingin sekujur badannya. Tidak
disangka Ouw Cih itu berhati begitu kejam! Namun terhadap
dirinya orang itu justru tidak berniat jahat, cuma menotok jalan
darah Tung Hu Hiatnya. Kalau dia menotok jalan darah Khie
Hai Hiat, habislah Ciok Giok Yin, jangan harap dapat menuntut

balas semua dendam itu.
Berselang sesaat, Ciok Giok Yin berkata, "Maaf, ketajaman
mataku berkurang, sehingga tidak dapat melihat jelas...."
Orang itu langsung memutuskan perkataan Ciok Giok Yin.
"Sekarang aku akan membantumu membebaskan totokan itu
agar pulih kepandaianmu, barulah kita bercakap-cakap." Dia
mulai menotok beberapa jalan darah Ciok Giok Yin. "Ikuti hawa
murniku untuk menerjang ke jalan darah Tung Hu Hiat!"
Ciok Giok Yin mengangguk, lalu menghimpun hawa murninya
untuk disatukan dengan hawa murni orang itu menerjang ke
arah jalan darah Tung Hu Hiat. Berselang beberapa saat kedua
hawa murni itu berhasil menembus jalan darah Ciok Giok Yin
tersebut. Maka kepandaian Ciok Giok Yin pun pulih seketika.
Kini dia sudah dapat melihat jelas wajah orang itu, sehingga
mengeluarkan suara.
"Ih!"
Setelah itu berkata, "Lo cianpwee, rasanya kita pernah
bertemu, tapi entah dimana."
Ternyata orang itu berdandan seperti sastrawan, berusia lima
puluhan.
"Tidak salah, kita memang pernah bertemu satu kali,"
sahutnya sambil tersenyum.
Mendadak Ciok Giok Yin teringat.
"Kita pernah bertemu di sebuah rumah makan. Ketika itu lo
cianpwee bersama seorang gadis berpakaian ungu ya, kan?"
Sastrawan tua itu manggut-manggut.
"Tidak salah."
"Bagaimana lo cianpwee ditangkap oleh mereka?"

"Panjang sekali ceritanya."
"Bolehkah aku tahu bagaimana ceritanya?"
Sepasang mata sastrawan tua menyorot tajam. Namun
badannya agak gemetar, pertanda hatinya tidak tenang.
Menyaksikan itu, Ciok Giok Yin segera berkata, "Kalau lo
cianpwee merasa tidak leluasa, lebih baik tidak usah
diceritakan."
Sastrawan tua menggeleng-gelengkan kepala lalu berkata,
"Kau jangan salah paham." Dia menatap Ciok Giok Yin.
"Saudara kecil, tahukah kau siapa aku?"
"Mohon lo cianpwee sudi memberitahukan!"
Sastrawan tua menghela nafas panjang.
"Aku adalah Seng Ciu Suseng (Sastrawan Bertangan
Mujizat)," katanya dengan suara rendah.
Mendengar itu, Ciok Giok Yin langsung meloncat bangun dan
manatap sastrawan tua dengan penuh dendam.
"Seng Ciu Suseng-Seh Ing?" bentaknya.
"Tidak salah, aku adalah orang yang sedang kau cari."
Saat ini Ciok Giok Yin menjadi serba salah. Sebab orang
tersebut adalah musuh besar suhunya, tapi juga merupakan
penolongnya. Karena itu dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia
berdiri termangu-mangu dan menatap Seng Ciu Suseng dengan
penuh kebencian. Mendadak muncul bayangan Sang Ting It
Koay di depan matanya. Keadaan Sang Ting It Koay amat
mengenaskan, hidup menderita dan tersiksa belasan tahun di
lembah ular. Oleh karena itu Ciok Giok Yin berkata dengan
dingin sekali,

"Seh Ing, tentunya kau tidak melupakan kejadian lampau itu!
Ya, kan?"
Seng Ciu Suseng mengangguk.
"Tentunya aku masih ingat dengan jelas."
Sepasang mata Ciok Giok Yin menyorot tajam.
"Bagus! Kau telah memulihkan kepandaianku. Namun
dendam suhuku denganmu tidak dapat dikaitkan dengan
urusan ini! Maka kuharap kau sudi memaafkan!"
"Aku boleh...."
Ciok Giok Yin langsung memutuskan perkataannya.
"Suatu hari nanti, setelah semua urusanku beres, aku akan
bunuh diri di makammu untuk membalas budi pertolonganmu
yang telah memulihkan kepandaian!"
Ciok Giok Yin mulai mengangkat sebelah tangannya, siap
menghantam Seng Ciu Suseng. Sedangkan Seng Ciu Suseng
sama sekali tidak bergerak. Dia mendongakkan kepala
memandangnya sambil berkata perlahan-lahan.
"Saudara kecil, bolehkah aku bicara sebentar?"
Ciok Giok Yin segera menurunkan tangannya dan menyahut,
"Bicaralah!"
"Saudara kecil, duduklah dulu!" kata Seng Ciu Suseng.
Ciok Giok Yin mengerutkan kening, kemudian duduk di
hadapan sastrawan tua itu. Seng Ciu Suseng berpikir sejenak,
setelah itu barulah berkata.
"Urusan Kang Ouw Pat Kiat dengan suhumu merupakan suatu
kesalahan pahaman...."
Ciok Giok Yin mengeluarkan suara 'Oh' Lalu bertanya, "Chiu

Tiong Thau?"
Seng Ciu Suseng mengangguk.
"Tidak salah, dialah yang menghasut kami."
"Tiat Yu Kie Su pernah memberitahukan padaku," katanya
Ciok Giok Yin.
"Setelah kejadian itu, barulah kami tahu telah dihasut
olehnya, tapi sudah terlambat."
Kini Ciok Giok Yin lebih mengerti, bahwa semua penderitaan
Sang Ting It Koay itu, dikarenakan hasutan Chiu Tiong Thau.
Sebab itu, sepasang matanya tampak berapi-api, "Aku
bersumpah harus membunuhnya!" katanya dengan sengit.
Ciok Giok Yin memandang Seng Ciu Suseng.
"Lo cianpwee tahu Chiu Tiong Thau berada di mana?"
tanyanya.
"Semula aku mencurigai ketua perkumpulan Sang Yen Hwee
adalah dia," sahut Seng Ciu Suseng Sei Ing.
"Bukan dia?"
"Aku tetap bercuriga dia berada di dalam perkumpulan Sang
Yen Hwee."
"Mengapa lo cianpwee bercuriga begitu."
"Justru karena aku bercuriga, maka aku ke mari," sahut Seng
Ciu Suseng Seh' Ing.
Hati Ciok Giok Yin tersentak.
"Lo cianpwee sengaja ke mari?" tanyanya.
"Ya."

"Mohon petunjuk lo cianpwee!"
"Saudara kecil, pernahkah kau bertemu seorang yang
memakai kain penutup muka?" tanya Sing Ciu Suseng Seh Ing
sambil menatapnya.
"Orang yang memakai kain penutup muka?"
"Dia adalah orang misterius berpakaian hitam memakai kain
penutup muka di dalam perkumpulan Sang Yen Hwee."
"Pernah bertemu, memangnya kenapa?"
"Kepandaian orang itu amat tinggi. Aku curiga dia adalah Chiu
Tiong Thau. Tapi aku tidak dapat membuktikannya. Ketika aku
tertangkap oleh mereka, aku pernah memancingnya dengan
perkataan, namun dia tidak memperlihatkan reaksi apa pun."
"Ada urusan apa lo cianpwee mencarinya?" Tanya Ciok Giok
Yin.
"Sederhana sekali. Aku ingin mengumpulkan kaum persilatan
yang sehaluan menangkapnya, agar dapat menuntut balas
dendam suhumu, juga membersihkan nama baik kami Kang
Ouw Pat Kiat."
Bukan main terharunya Ciok Giok Yin!
"Lo cianpwee, itu telah menyusahkanmu," katanya.
"Kalau tidak begitu, hatiku tak dapat tenang selamanya."
Ciok Giok Yin menghela nafas panjang sambil berkata, "Lo
cianpwee, dulu aku amat mendendam pada Kang Ouw Pat Kiat.
Tapi setelah mendengar penuturan Tiat Yu Kie Su lo cianpwee,
aku sudah percaya delapan bagian."
"Bagaimana sekarang?"
Ciok Giok Yin menjawab dengan jujur,

"Sekarang aku sudah percaya seluruhnya. Mulai saat ini aku
tidak akan mendendam terhadap Kang Ouw Pat Kiat lagi. Aku
pun percaya bahwa almarhum suhuku pasti memakluminya di
alam baka."
Sepasang mata Seng Ciu Suseng berbinar.
"Terimakasih atas pengertian Saudara Kecil," ucapnya.
"Jangan berkata demikian, itu memang merupakan suatu
kesalahpahaman. Tadi aku terlampau emosi, mohon lo
cianpwee sudi memaafkanku."
Seng Ciu Suseng-Seh Ing tersenyum.
"Kau tidak bersalah. Namun terhadap Chiu Tiong Thau.
Saudara Kecil harus menaruh perhatian khusus. Sebab
kemungkinan besar orang berpakaian hitam memakai kain
penutup muka adalah Chiu Tiong Thau."
Ciok Giok Yin mengangguk.
"Ya "
Seng Ciu Suseng-Seh Ing menatap wajah Ciok Giok Yin lekatlekat,
kemudian bertanya,
"Siapa nama ayahmu?"
Mendengar pertanyaan Sastrawan tua itu, air muka Ciok Giok
Yin agak berubah.
"Lo cianpwee jangan mentertawakanku. Terus terang hingga
saat ini aku belum tahu akan asal-usulku," jawahnya dengan
jujur.
Seng Ciu Suseng-Seh Ing manggut-manggut.
"Tapi aku lihat kau mirip seseorang."
Hati Ciok Giok Yin, tergetar dan dia langsung bertanya.

"Mirip siapa?"
"Apakah tiada seorang pun memberitahukan padamu?"
Ciok Giok Yin menghela nafas panjang,
"Beberapa lo cianpwee pernah bilang, tapi cuma setengahsetengah.
Maka aku mohon petunjuk lo cianpwee."
Seng Ciu Suseng-Seh Ing berpikir sejenak.
"Aku percaya pasti benar. Mereka tidak mau bilang pasti ada
sebabnya. Karena itu, aku pun merasa tidak leluasa
memberitahukan padamu. Tapi, ada satu hal perlu
kuberitahukan padamu."
"Hal apa?"
"Dulu aku dan ayahmu pernah ada janji, yakni putriku
bernama Yang Yong Yong dijodohkan padamu.
"Lo cianpwee...."
Seng Ciu Suseng menggoyangkan tangannya agar Ciok Giok
Yin diam. Kemudian dia melanjutkan penuturannya.
"Justru karena ini, maka aku menempuh bahaya ke mari,
agar dapat menjernihkan kesalahpahaman antara Kang Ouw
Pat Kiat dengan Sang Ting It Koay padamu. Kini
kesalahpahaman itu telah jernih, aku...."
Ucapan sastrawan tua itu terhenti mendadak. Tampak
keringat sebesar-besar kacang hijau merembes keluar dari
keningnya.
"Lo cianpwee... kenapa?" tanya Ciok Giok Yin.
"Orang memakai kain penutup muka itu menotok jalan darah
Ciau Bwe Hiatku, maka setiap enam jam, pasti kambuh satu
kali."

Seng Ciu Suseng Seh Ing menghela nafas panjang, lalu
melanjutkan penuturannya.
"Tiada seorang pun yang dapat membebaskan totokan itu.
Kalaupun aku keluar, nyawaku tetap tidak dapat bertahan
lama. Lagi pula... akan menambah penderitaan Yong Yong,
maka aku mengambil keputusan tinggal di sini untuk
menyelidiki, setelah itu barulah aku pergi mencarimu."
Seng Ciu Seseng berhenti sejenak, kemudian melanjutkan
lagi.
"Kini kau sudah ke mari, ini merupakan kesempatanku untuk
menjelaskan padamu. Baik-baiklah terhadap Yong Yong,
barulah hatiku bisa tenang."
"Urusan ini, aku... tidak bisa mengabulkannya," sahut Ciok
Giok Yin.
Seng Ciu Suseng mengerutkan kening, kelihatannya amat
menderita sekali.
"Kau tidak setuju?" tanyanya.
"Bukan, melainkan karena dua hal."
"Katakanlah!"
"Pertama, aku belum tahu jelas apakah diriku keturunan
orang itu atau bukan, maka aku tidak bisa sembarangan
memperisteri seorang gadis."
Seng Ciu Suseng-Seh Ing manggut-manggut. Mendadak
wajahnya tampak berseri.
"Ada."
Ciok Giok Yin tercengang.
"Ada apa?"

"Apakah di bagian dadamu terdapat sebuah tahi lalat merah?"
Hati Ciok Giok Yin tersentak.
Dia sama sekali tidak menyangka bahwa sastrawan tua itu
pun akan bertanya demikian padanya.
"Tahi lalat marah?"
"Ya. Apakah ada tahi lalat merah di bagian dadamu?"
"Ada."
"Kalau begitu, tidak akan salah lagi, kau calon menantuku!"
Wajah Seng Ciu Suseng-Seh Ing berubah amat lembut. "Nak,
katakan hal kedua itu!"
Wajah Ciok Giok Yin langsung memerah.
"Hal kedua, secara tanpa sengaja aku makan Pil Api Ribuan
Tahun, sehingga badanku berubah menjadi tidak seperti orang
biasa," katanya dengan suara rendah.
"Pil Api Ribuan Tahun?"
"Ya."
Seng ciu Suseng-Seh Ing menggeleng-gelengkan kepala
seraya berkata, "Ini memang merupakan hal yang sulit
diputuskan."
Ciok Giok Yin cepat-cepat memberitahukan.
"Lo cianpwee, aku punya kitab Im Yang Cin Koy."
"Kitab Im Yang Cin Koy?"
"Ya."
"Kitab itu diperebutkan oleh golongan hitam. Bagaimana kau

memperolehnya?"
Ciok Giok Yin segera menutur tentang Lu Jin memasuki Goa
Ban Hoa Tong mencuri kitab tersebut. Setelah itu
menambahkan,
"Mok lo cianpwee yang menghadiahkan kitab itu padaku."
"Lalu bagaimana dia?"
Air mata Ciok Giok Yin mulai meleleh.
"Apa yang terjadi atas dirinya?" tanya Seng Ciu Suseng-Seh
Ing.
"Dia sudah mati," sahut Ciok Giok Yin sambil menghapus air
matanya.
"Mati?"
Ciok Giok Yin mengangguk.
Justru di saat bersamaan, mendadak terdengar suara langkah
di luar kamar.
"Nak, cepat kembali ke tempatmu, aku akan cari akal untuk
menyelamatkanmu!" kata sastrawan berusia lima puluhan itu
dengan suara rendah.
Ciok Giok Yin mengangguk, lalu cepat-cepat merangkak ke
dalam kamar tahanannya. Sedangkan Seng Ciu Suseng juga
bergerak cepat menutup kembali dinding batu itu, kemudian
pasang kuping mendengarkan dengan penuh perhatian. Ciok
Giok Yin sudah kembali ke kamar tahanannya. Dia duduk
sambil memperhatikan pintu kamar. Pintu kamar itu terbuka
perlahan-lahan, menyusul tampak sosok bayangan berkelebat
ke dalam.
"Eh? Kau!" seru Ciok Giok Yin.
Ternyata yang berkelebat ke dalam itu adalah gadis berbaju

hijau, yang pernah dua kali ditolongnya. Wajah gadis itu
kelihatan tegang sekali, memberi isyarat pada Ciok Giok Yin
agar tidak bersuara. Dia mendekati Ciok Giok Yin, lalu berkata
dengan suara rendah.
"Cepat pergi, jangan membuang waktu!" desak gadis berbaju
hijau.
"Mohon tanya, sebetulnya siapa Nona?" tanya Ciok Giok Yin.
"Sekarang tiada waktu untuk menjelaskan, namaku Hui Hui."
"Hui Hui."
Seketika Ciok Giok Yin teringat akan Lan Lan. Dia adalah
musuh besar Bung It Coan, kakak angkatnya, juga merupakan
mantan istri kakak angkatnya itu maka Ciok Giok Yin harus
membunuhnya demi membalaskan dendamnya. Namun Hui Hui
adalah gadis yang lemah lembut. Tak diduga dia akan
menempuh bahaya menolong Ciok Giok Yin. Tentu, sebab
sudah dua kali Ciok Giok Yin menyelamatkannya. Maka gadis
berbaju hijau tersebut ingin membalas budinya.
"Berhubung Nona berniat menolongku, bolehkah sekaligus
menolong seorang lagi?" tanya Ciok Giok Yin.
"Siapa?" tanya gadis berbaju hijau.
"Seorang lo cianpwee yang ditahan di kamar sebelah."
Justru di saat bersamaan, dinding batu terbuka sedikit, lalu
tampak Seng Ciu Suseng-Seh Ing merangkak ke kamar
tahanan Ciok Giok Yin.
"Nak, kau sudah boleh pergi," katanya.
"Bapak mertua, mari kita pergi bersama!" sahut Ciok Giok
Yin.
Hui Hui tertegun, karena tidak menyangka mereka berdua
adalah menantu dan mertua.

Seng Ciu Suseng-Seh Ing berkata,
"Bukankah aku telah memberitahukanmu, diriku telah
tertotok oleh semacam ilmu totokan beracun sehingga
nyawaku sulit dipertahankan lagi? Lagi pula Tiat Yu Kie Su
telah mati, berarti Kang Ouw Pat Kiat sudah tiada. Untuk apa
aku masih hidup? Yang penting kau harus baik-baik
memperlakukan Yong Yong, mati pun aku tidak akan
penasaran."
Dia menatap Ciok Giok Yin.
"Melihat tubuhmu, tentu Yong Yong tidak mampu
melayanimu. Maka, kau harus punya isteri lebih dari dua, dan
juga harus menyuruh mereka memahami kitab Im Yang Cin
Koy."
Ciok Giok Yin mengangguk.
"Ya."
"Baik, cepatlah pergi!"
Mendadak jari tangan Seng Ciu Suseng-Seh Ing bergerak,
Cess!
Ternyata Seng Ciu Suseng bunuh diri dengan cara menotok
jalan darah Thay Yang Hiatnya sendiri, roboh dan binasa
seketika. Ciok Giok Yin langsung menangis. Namun gadis baju
hijau segera menutup mulutnya seraya berkata,
"Jangan menangis, cepat pergi! Mengenai mayat ini, aku akan
berusaha menguburnya."
Setelah itu dia berbisik sejenak di telinga Ciok Giok Yin, lalu
membawa ke luar. Ketika mereka berdua melalui sebuah
lorong, tampak beberapa mayat tergeletak di lorong itu, jelas
adalah perbuatan Hui Hui. Mereka berdua berjalan tergesagesa,
tak lama kemudian tiba di mulut lembah.

"Saudara Ciok, aku cuma bisa mengantarmu sampai di sini.
Cepatlah pergi," kata Hui Hui.
Usai berkata, gadis berbaju hijau itu segera melesat
pergi. Ciok Giok Yin juga tidak berani berlaku ayal, langsung
melesat melalui mulut lembah itu. Di saat sedang melesat
pergi, justru Ciok Giok Yin tidak habis pikir dan terheran-heran,
karena tidak menyangka Seng Ciu Suseng-Seh Ing adalah
calon mertuanya. Bahkan tentang perjodohan itu, malah kedua
orang tuanya yang menjodohkannya. Kalau begitu, sebetulnya
siapa kedua orang tuanya? Mengapa calon mertuanya itu tidak
mau memberitahukannya? Apakah setelah
memberitahukannya, akan terjadi sesuatu yang fatal?
Kelihatannya kedua orang tuanya merupakan tokoh persilatan
yang amat terkenal. Lalu dia masih ingat akan perkataan Seng
Ciu Suseng Seh Ing, bahwa dia mencurigai orang memakai
kain penutup muka dari perkumpulan Sang Yen Hwee itu
adalah Chiu Tiong Thau. Maka mulai sekarang dan selanjutnya
dia harus menyelidiki orang itu.
"Aku pasti akan kemari lagi," gumamnya.
Sementara Ciok Giok Yin terus melesat, ternyata dia telah
meninggalkan lembah itu. Mendadak dia merasa ada angin
pukulan dari empat penjuru mengarahnya. Di saat bersamaan
terdengar pula suara yang amat dingin,
"Bocah, sungguh tidak kecil kepandaianmu!" Ciok Giok Yin
segera memandang ke sekelilingnya.
Tampak empat orang aneh berdiri mengepungnya. Masingmasing
bertubuh tinggi, pendek, gemuk dan kurus. Tampang
orang yang bertubuh tinggi itu amat menyeramkan. Sepasang
bahunya naik dan sepasang biji matanya melotot ke luar,
persis seperti setan gantung diri. Yang bertubuh pendek
hidungnya kecil, begitu pula mulutnya. Kelihatannya seperti
anak kecil berusia dua belasan namun keningnya sudah
keriput. Sedangkan yang gemuk perutnya gendut, wajahnya
memerah dan sepasang matanya memancarkan sinar tajam.
Tangannya gendut, wajahnya merah dan sepasang matanya

memancarkan sinar tajam. Tangannya membawa sebuah
Suipoa (Alat Hitung Cina) yang gemerlapan dan terus berbunyi
'Praaaak!'
Yang kurus bagaikan sosok Jailangkung. Tulang-tulangnya
menonjol boleh dikatakan tiada dagingnya sama
sekali. Keempat orang aneh itu berkedudukan apa di
perkumpulan Sang Yeng Hwee, Ciok Giok Yin tidak tahu sama
sekali.
"Siapa kalian cepat beritahukan!" bentaknya. Orang yang
bertubuh tinggi balik bertanya dengan dingin,
"Bocah, pernahkah kau dengar Si Sing Kui (Empat Bentuk
Setan)?"
"Si Sing Kui?"
"Tidak salah!"
Ciok Giok Yin melengos, "Hmm! Kalian berempat memang
berbentuk seperti setan, aku akan menghabiskan kalian!"
Ciok Giok Yin belum pernah mendengar tentang Si Sing Kui,
tentunya tidak tahu bagaimana kepandaian mereka. Oleh
karena itu, dia langsung menyerang Si Sing Kui, dengan jurus
pertama ilmu pukulan Hong Lui Sam Ciang. Si Sing Kui tidak
tahu Ciok Giok Yin berkepandaian begitu tinggi, maka mereka
berempat tidak berkelit, sedangkan serangan Ciok Giok Yin
ditujukan kepada si Pendek. Seketika terdengar suara jeritan
dan tampak badan si Pendek terpental beberapa depa. Akan
tetapi, mendadak Si Pendek bersalto di udara, kemudian
meluncur ke arah Ciok Giok Yin disertai dengan serangan
dahsyat.
"Bocah, hari ini kau tidak bisa lolos!" bentaknya.
Ternyata si Pendek telah mengeluarkan sebuah cambuk
panjang, menyerang Ciok Giok Yin. Ciok Giok Yin mencelat ke
samping. Akan tetapi ujung cambuk itu tetap mengikutinya.
Bukan main terkejutnya Ciok Giok Yin! Dia tidak menyangka si
Pendek yang bertampang tidak karuan itu memiliki kepandaian

begitu tinggi. Lagi pula si Pendek berhasil mengelak ilmu
pukulan Hong Lui Sam Ciang yang dilancarkannya.
Kelihatannya di dalam perkumpulan Sang Yen Hwee, memang
terdapat banyak pesilat tangguh. Di saat bersamaan ujung
cambuk itu sudah menyambar kepala Ciok Giok Yin. Meskipun
Ciok Giok Yin berkepandaian tinggi tapi juga sulit baginya
untuk mengelak serangan itu. Sekonyong-konyong terdengar
suara bentakan nyaring.
"Setan pendek, jangan berlagak di sini!"
Tampak sosok bayangan meluncur ke tempat itu sekaligus
menjulurkan tangannya menangkap cambuk si Pendek dan
membentak sengit.
"Pergi kau!"
Tahu-tahu si Pendek telah terpental beberapa depa. Di saat
bersamaan Ciok Giok Yin memandang ke arah orang yang baru
muncul. Ternyata seorang wanita bercadar. Ciok Giok Yin
merasa kenal akan bentuk tubuh wanita bercadar itu namun
lupa pernah bertemu di mana. Sementara si Pendek yang
terpental itu sudah bangkit berdiri sambil melototi wanita
bercadar.
Sedangkan ketiga setan lain bertanya serentak, "Siapa kau?"
"Te Cang Ong Pousat. Aku kemari khusus untuk menangkap
kalian berempat setan kelaparan!" sahut wanita bercadar.
Setan Gemuk tertawa gelak.
"Ha ha ha! Bagus sekali kedatanganmu, karena kebetulan
kami sedang kehabisan uang, maka harus menangkapmu
untuk dijual ke tempat pelesiran! Ha ha ha...!"
Suara tawanya melengking-lengking seperti suara burung
gagak malam, amat menusuk telinga dan membuat darah
bergolak.
"Setan Gemuk, ilmu Sian Im Kang (llmu Suara Tawa) mu

tidak dapat mempengaruhiku!" bentak wanita bercadar.
Mendadak dia bergerak cepat menerjang ke arah Si Sing Kui
dan seketika tampak sepasang telapak tangannya berkelebat.
Kelihatannya Si Sing Kui tahu akan kelihaian wanita itu, maka
mereka berempat segera berkelit ke arah samping. Sementara
Ciok Giok Yin yang menyaksikan pertarungan itu merasa
khawatir pada wanita bercadar.
"Si Sing Kui, serahkan nyawa kalian!" bentaknya mengguntur.
Akan tetapi pada waktu bersamaan wanita itu sudah
menerobos ke luar seraya berkata nyaring.
"Siapa butuh bantuanmu?"
Ciok Giok Yin tertegun lalu berdiri termangu-mangu. Namun
wanita bercadar tidak diam. Dia membentak nyaring sambil
menerjang Si Sing Kui. Bukan main cepatnya gerakan wanita
itu! Mata Ciok Giok Yin menjadi kabur dibuatnya. Dia justru
tidak ingat sebetulnya siapa wanita itu. Berdasarkan sorotan
matanya, wanita itu kelihatan seperti mempunyai dendam
kebencian padanya. Sesungguhnya Ciok Giok Yin bisa
meninggalkan tempat itu, namun dia ingin tahu bagaimana
akhir pertarungan mereka dan juga ingin tahu siapa wanita
bercadar tersebut. Mendadak terdengar suara jeritan Si Sing
Kui. Ternyata mereka berempat telah terluka. Seketika Si Sing
Kui lari terbirit-birit ke dalam lembah, rupanya mereka
berempat ingin minta bantuan.
"Hmmm!" dengus wanita bercadar.
Dia membalikkan badannya berjalan mendekati Ciok Giok Yin,
lalu berdiri di hadapannya.
Ketika Ciok Giok Yin beradu pandang dengan wanita itu,
tersentaklah hatinya Kemudian dia berkata dalam hati,
'Sungguh tinggi lwee kangnya!'
"Ciok Giok Yin, tak disangka kita akan bertemu di sini!" kata
wanita itu dengan dingin. Ciok Giok Yin tertegun, sebab wanita
itu tahu namanya. Sebaiknya dia tidak tahu siapa wanita itu.

"Mohon tanya siapa Nona?" tanyanya.
"Kau ingin tahu?"
"Tidak salah."
"Sebelum kau tahu siapa diriku, lebih dahulu kau harus tahu
akan satu hal!"
"Hal apa?"
"Jangan kau kira pertarunganku dengan Si Sing Kui tadi demi
menyelamatkanmu
Ciok Giok Yin tercengang.
"Bukan menyelamatkanku?"
"Tentu."
"Bolehkah kau menjelaskan padaku"
"Hmmm!" Dengus wanita bercadar.
"Aku tidak menghendaki kau mati di tangan mereka!"
"Maksudmu?"
"Kau harus mati di tanganku!"
Ciok Giok Yin mengerutkan kening.
"Aku dan kau tiada dendam apa-apa."
"Tidak ada? Enak saja kau bicara!"
Air muka Ciok Giok Yin langsung berubah menjadi dingin.
"Sebetulnya siapa kau? Lebih baik buka saja cadarmu agar
aku tahu siapa kau. Aku ingat selalu akan budi dan dendam.

Apabila diantara kita terdapat dendam, aku bersedia kau
tindak," katanya dengan suara dalam.
"Tentunya ada dendam!" sahut wanita bercadar.
Ciok Giok Yin tertawa dingin.
"Ada dendam?"
"Tidak akan salah!"
"Kalau begitu, bukalah cadarmu!"
Wanita itu mengangkat sebelah tangannya perlahan-lahan,
kemudian melepaskan cadarnya. Begitu melihat wajah wanita
itu Ciok Giok Yin terbelalak dan matanya mulai berkaca-kaca.
"Adik Ing Ing!" serunya tak tertahan.
Ternyata wanita itu adalah Cou Ing Ing, putri almarhum Cou
Yung Liong. Mereka berdua itu baru berpisah beberapa bulan,
namun Cou Ing Ing telah memiliki kepandaian tinggi, berhasil
mengalahkan Si Sing Kui dari perkumpulan Sang Yen Hwee. Itu
membuat Ciok Giok Yin, entah harus bergirang atau cemas? Di
saat Ciok Giok Yin ingin melangkah maju, mendadak Cou Ing
Ing membentak sengit.
"Ciok Giok Yin, kalau kau masih berani maju selangkah lagi,
aku pasti membunuhmu!"
Hati Ciok Giok Yin langsung menjadi dingin, dan dia segera
menghentikan langkahnya.
"Adik Ing Ing, kau..." katanya dengan suara gemetar.
"Siapa adik Ing Ingmu?"
"Adik Ing Ing, apakah kau sudah lupa ketika aku tinggal di
rumah melewati hari-hari yang penuh penderitaan?"
Sepasang mata Cou Ing Ing membara.

"Aku tidak akan lupa, bahkan terus ingat selalu!" katanya
sengit. "Ciok Giok Yin, mengenai kematian ayahku, tentunya
kau belum lupa!"
Sekujur badan Ciok Giok Yin gemetar, kemudian dan
menghela nafas panjang seraya berkata,
"Adik Ing Ing. Paman Cou bunuh diri, aku...."
"Kau yang mendesak ayahku hingga bunuh diri! Sekarang aku
bertanya, harus atau tidak aku menuntut balas dendam
ayahku?" sergah Cau Ing lug.
Ciok Giok Yin menghela nafas panjang.
"Memang harus," sahutnya sedih.
Namun kemudian dia memanggil gadis itu.
"Adik Ing Ing...."
Sebelum Ciok Giok Yin usai berkata, Cou Ing Ing sudah
membentak.
"Aku bukan adik Ing Ingmu, harap tahu diri!"
Wajah gadis itu tampak bengis sekali, kelihatannya dia
memang ingin mencabut nyawa Ciok Giok Yin.
"Kalau kau merasa akan lega apabila membunuhku, silakan
turun tangan, tapi...."
Ciok Giok Yin tidak melanjutkan ucapannya.
"Tapi kenapa?" tanya Cou Ing Ing.
"Aku sama sekali tidak berniat mencelakai ayahmu,
melainkan ayahmu yang mengambil jalan pendek. Lagi pula
waktu itu, Tui Beng Thian Cun berada di sana, sehingga
membuatku teringat akan dendam Tiong Ciu Sin Ie, maka

perkataanku menjadi agak kasar terhadap ayahmu."
"Inikah alasanmu?"
"Dan juga...." Ciok Giok Yin menghela nafas panjang.
"Semua kenangan masa kecil kita, sepertinya muncul di
depan mataku."
Ternyata Ciok Giok Yin ingin mengingatkannya mengenai
kenangan masa kecil mereka, agar rasa bencinya berkurang.
Akan tetapi, Cou Ing Ing malah tertawa dingin lalu
membentak,
"Ciok Giok Yin, serahkan nyawamu!"
Sekonyong-konyong dia menyerang Ciok Giok Yin dengan
dahsyat sekali. Terdengar suara jeritan. Ciok Giok Yin terpental
beberapa depa, kemudian roboh dan mulutnya menyemburkan
darah segar. Namun kemudian dia bangkit berdiri perlahanlahan.
Wajahnya pucat pias dan tampak menderita sekali. Dia
melangkah perlahan-lahan ke hadapan Cou Ing Ing seraya
berkata dengan lemah.
"Demi menebus dosaku, silakan turun tangan!"
Cou Ing Ing tidak menyangka bahwa Ciok Giok Yin tidak
menangkis dan tidak berkelit. Itu membuatnya amat berduka,
namun kematian ayahnya muncul kembali di pelupuk matanya.
Cou Ing Ing mulai mengangkat sebelah tangannya,
kelihatannya ingin menyerang Ciok Giok Yin lagi. Namun
mendadak sesosok bayangan putih melayang turun di tempat
itu. Cou Ing Ing dan Ciok Giok Yin menoleh ke arah orang yang
baru muncul itu, ternyata seorang pemuda tampan. Cou Ing
Ing tidak menghiraukannya, langsung menyerang Ciok Giok
Yin.
Blum!
Ciok Giok Yin terpental lagi beberapa depa. Pemuda baju

putih itu melirik Cou Ing Ing sejenak, kemudian melesat ke
arah Ciok Giok Yin. Ketika pemuda itu memapahnya bangun,
Ciok Giok Yin sudah bangkit berdiri, tapi masih sempoyongan.
"Saudara, di antara kalian berdua ada urusan apa?" tanya
pemuda berbaju putih.
Ciok Giok Yin tersenyum getir lalu menyahut, "Harap Anda
mundur! Di antara kami terdapat sedikit kesalahpahaman." Dia
mendekati Cou Ing Ing. "Nona Cou, silakan turun tangan lagi!"
Bagimana bengisnya Cou Ing Ing, jelas saat ini sudah tidak
mampu turun tangan lagi terhadap Ciok Giok Yin. Ketika
melancarkan kedua pukulan tadi Cou Ing Ing tidak
menggunakan tenaga sepenuhnya. Apabila dia menggunakan
tenaga sepenuhnya, niscaya saat ini Ciok Giok Yin sudah
tergeletak menjadi mayat. Akan tetapi kebencian Cou Ing Ing
belum sirna. Ketika Ciok Giok Yin berkata begitu, dia langsung
melancarkan sebuah pukulan lagi.
Bum!
Kali ini Ciok Giok Yin terpental lebih jauh. Pemuda berbaju
putih cepat-cepat mendekatinya, lalu membungkukkan
badannya mengobati luka Ciok Giok Yin. Cou Ing Ing tidak
menghalanginya, cuma berdiri termangu-mangu di tempat. Di
saat bersamaan mendadak terdengar beberapa kali suara
siulan yang menembus angkasa dan tak lama kemudian
tampak beberapa sosok bayangan melesat ke luar dari mulut
lembah. Cou Ing Ing segera memandang ke sana, terlihat Si
Sing Kui kembali ke tempat itu. Tampak seorang menyertai
mereka. Dia berdandan seperti sastrawan, tidak lain adalah
Ouw Suya-Ouw Cih dari perkumpulan Sang Yen Hwee.
Saat ini luka yang diderita Ciok Giok Yin telah sembuh. Dia
langsung menanyakan nama pemuda baju putih itu. Pemuda
baju putih mengaku bernama 'Ku Tian'. Ciok Giok Yin menoleh
dan kegusarannya langsung memuncak ketika melihat Si Sing
Kui. Ketika dia baru mau.... Ouw Cih justru mendekatinya
seraya membentak.

"Ciok Giok Yin, tak disangka kau berhasil meloloskan diri!
Masih berani cari gara-gara di sini, mungkin kau sudah tidak
mau hidup lagi!"
Maksud Ouw Cih, Ciok Giok Yin sudah berhasil meloloskan
diri, tapi tidak segera pergi, malah mencari gara-gara di tempat
ini. Ciok Giok Yin amat cerdas, tentunya tahu akan maksud
Ouw Cih. Akan tetapi dia justru terdesak oleh keadaan,
sehingga tidak bisa pergi selekasnya. Oleh karena itu dia
menyahut dingin.
"Bagaimana? Apakah di sini adalah daerah kekuasaan
perkumpulan Sang Yen Hwee?"
Ouw Cing tertawa gelak.
"Betul, dalam jarak lima puluh mil, merupakan daerah
kekuasaan perkumpulan Sang Yen Hwee. Siapa pun dilarang
menuntut balas maupun mencari gara-gara di tempat ini! Ciok
Giok Yin, kelihatannya aku harus membawamu kembali!"
Terhadap Ouw Cih, Ciok Giok Yin memang tidak mendendam.
Walau Ouw Cih tidak langsung melepaskannya, namun pernah
memberi isyarat padanya, itu merupakan budi besar bagi Ciok
Giok Yin. Akan tetapi apabila dia tidak menyahut dingin, tentu
akan menimbulkan kecurigaan Si Sing Kui. Karena itu, dia
terpaksa harus menyahut dingin.
"Tidak begitu gampang!"
Ouw Cih mengerutkan kening. Sepasang bola matanya
berputar sejenak, kemudian dia berkata, "Kau tidak percaya,
lihat saja sendiri!"
Usai berkata, Ouw Cih langsung menyerangnya. Ciok Giok Yin
belum tahu bagaimana kepandaian Ouw Cih. Maka dia ingin
menjajalnya, langsung berkelebat ke arah tubuh Ouw
Cih. Sejak Ciok Giok Yin berhasil menguasai ketiga jurus ilmu
pukulan tersebut, boleh dikatakan jarang ada orang yang dapat
mengelak. Namun Ouw Cih justru dengan gampang sekali
mengelak jurus pukulan itu. Dapat diketahui betapa tingginya

kepandaian yang dimiliki Ouw Cih. Oleh karena itu Ciok Giok
Yin langsung menyerangnya dengan jurus kedua.
Sungguh di luar dugaan, Ouw Cih tetap berhasil berkelit
dengan gampang sekali. Ketika Ciok Giok Yin baru mau
melancarkan jurus ketiga, mendadak jari tangan Ouw Cih
bergerak cepat laksana kilat, menyambar bagian dadanya.
Bukan main terkejutnya Ciok Giok Yin, sehingga keringat
dinginnya langsung mengucur karena biar bagaimanapun Ciok
Giok Yin tidak akan berhasil berkelit. Kelihatannya Ciok Giok
Yin akan tercengkeram dadanya. Namun di saat bersamaan
tampak sosok bayangan meluncur ke tempat itu bagaikan
meteor. Tercium pula bau arak yang amat keras. Sebelum
badannya melayang turun, sudah terdengar suara bentakan.
"Kau berani menyentuhnya!"
Tampak gerakan yang amat aneh menerjang ke arah Ouw
Cih, membuat Ouw Cih terdesak mundur beberapa langkah.
"Kau...!" serunya tertegun.
Pendatang itu langsung memutuskan perkataan Ouw Cih,
"Jangan banyak bicara, akan kuhabisi kau!" sergah pendatang
itu. Kemudian dia mulai menyerang Ouw Cih.
Ciok Giok Yin sudah melihat jelas siapa oang itu, ternyata Si
Bongkok Arak.
"Lo cianpwee...!" serunya.
"Kau cepat pergi, di sini tiada urusanmu!" sahut Si Bongkok
Arak sambil terus menyerang Ouw Cih.
Mendadak Ouw Cih berseru kaget, "Sungguh hebat ilmu Liak
Ci Ciang (Ilmu Pukulan Penyobek Daging)mu ini!"
Si Bongkok Arak tertawa dingin.
"Hebat juga ilmu Ban Hwi Ie Yong Sut (Ilmu Merias
Wajah)mu!"

Ouw Cih segera berkelit, sekaligus melirik ke arah Si Sing Kui.
Melihat Si Sing Kui sedang bertarung dengan Cou Ing Ing,
barulah dia berlega hati. Justru di saat bersamaan, mendadak
tampak sebuah tandu kecil digotong dua wanita meluncur ke
tempat itu, diikuti empat pemuda tampan di belakangnya. Tak
seberapa lama kemudian sudah sampai di tempat itu. Ciok Giok
Yin tidak tahu siapa pendatang itu. Dia memandang dengan
penuh perhatian. Tiba-tiba Ciok Giok Yin melihat seorang gadis
rambutnya panjang terurai, badannya terikat tali, berjalan
terseret-seret di belakang mereka. Ketika melihat gadis itu,
hati Ciok Giok Yin terasa remuk.
"Adik Cang...!" serunya tak tertahan.
Ternyata gadis itu adalah Fang Jauw Cang, yang pernah
berjanji akan bertemu di kuil Thay San Si. Justru tak disangka,
dia malah ditangkap mereka. Tidak salah lagi yang muncul itu
adalah orang-orang Goa Hoa Tong. Kalau begitu orang yang
duduk di dalam tandu pasti Ban Hoa Tong Cu (Majikan Goa
Selaksa Bunga). Ciok Giok Yin langsung melesat ke arah Fang
Jauw Cang, sekaligus memutuskan tali yang mengikatnya, lalu
memeluknya erat-erat. Setelah itu, dia mencelat beberapa
depa. Empat pemuda yang di belakang tandu langsung
membentak dengan serantak.
"Lepaskan dia!"
Mereka berempat langsung menerima ke arah Ciok Giok Yin.
Sementara pemuda berbaju putih bernama Ku Tian yang
berdiri diam dari tadi langsung melesat ke hadapan Ciok Giok
Yin, menghadang empat pemuda itu. Di saat bersamaan,
seorang wanita berusia empat puluhan melengok ke luar dari
dalam tandu, sepasang matanya menyorotkan sinar aneh.
"Tugas kalian harus membekuk bocah itu!" bentaknya.
Maksudnya menyuruh keempat pemuda itu menangkap Ciok
Giok Yin. Akan tetapi ketika melihat keempat pemuda itu
dihalangi oleh seorang pemuda tampan dia segera turun dan
langsung berjalan ke arah Ciok Giok Yin. Langkahnya kelihatan

lamban, namun ternyata amat cepat. Si Bongkok Arak telah
menyaksikan Bah Hoa Tong Cu mendekati Ciok Giok Yin, maka
segera mengeluarkan beberapa pukulan aneh mendesak Ouw
Cih, lalu melesat ke arah wanita itu. Sambil berseru pada Ciok
Giok Yin.
"Ciok Giok Yin, cepatlah kau pergi!"
Sembari berseru dia mulai bertarung dengan Ban Hoa Tong
Cu.
Mendadak Ouw Cih membentak lantang, "Kau mau lari
kemana?"
Dia menerjang ke arah Ciok Giok Yin. Sedangkan Ciok Giok
Yin menggendong Fang Jauw Cang, maka tidak leluasa
bergerak. Kelihatannya Ouw Cih akan berhasil.... Tiba-tiba
terdengar suara bentakan nyaring bergema menembus
angkasa. Setelah itu tampak sosok bayangan merah meluncur
ke tempat itu teryata adalah Heng Thian Ceng.
"Adik kecil, kau pergi saja!" serunya sambil menangkis
serangan Ouw Cih.
Sementara Ciok Giok Yin menundukkan kepala memandang
Fang Jauw Cang. Wajah Fang Jauw Cang tampak pucat pias
dan nafasnya amat lemah. Demi menyelamatkan Fang Jauw
Cang, maka Ciok Giok Yin segera membawanya dengan
mengerahkan ginkangnya. Tak seberapa lama kemudian dia
sudah melesat belasan mil. Karena khawatir diikuti musuh,
Ciok Giok Yin cepat-cepat melesat ke rumput alang-alang yang
lebat dan tinggi. Dia menaruh Fang Jauw Cang, kemudian
memanggilnya dengan suara gemetar.
"Adik Cang! Adik Cang...."
Fang Jauw Cang membuka matanya perlahan-lahan,
memandang Ciok Giok Yin seraya tersenyum,
"Seharusnya kau memanggilku 'Moi Moi' (Adik Perempuan),"
katanya.

Ciok Giok Yin mengangguk dan segera memanggilnya.
"Moi Moi!"
Fang Jauw Cang tampak puas sekali.
"Kakak Yin, akhirnya aku melihatmu," katanya sambil
tersenyum. "Kakak Yin, kau terkena Mo Hwe Tok Kang, apakah
sudah sembuh? Aku... aku selalu ingat padamu."
Usai berkata, air matanya langsung meleleh. Ciok Giok Yin
cepat-cepat menyeka air matanya.
"Moi Moi, setelah aku berpisah denganmu, aku bertemu Heng
Thiang Ceng lo cianpwee. Dia yang membawaku pergi
menemui Pak Jau Lojin yang telah minta buah Toan Teng Ko."
"Buah Toan Teng Ko?"
"Ya."
"Apakah buah Toan Teng Ko dapat memusnahkan racun Mo
Hwe Tok?"
"Tidak cuma itu, bahkan selanjutnya diriku tidak mempan
berbagai macam racun lagi."
"Syukurlah!"
Sepasang mata Fang Jauw Cang berbinar-binar, kelihatannya
girang sekali. Mendadak Ciok Giok Yin teringat, bagaimana
Fang Jauw Cang bisa jatuh ke tangan Ban Hoa Tong Cu.
"Moi Moi, bagaimana kau jatuh ke tangan mereka?"
Fang Jauw Cang tidak segera menutur, melainkan air
matanya saja yang mengucur deras. Kelihatannya, dia amat
berduka sekali.
"Moi Moi, sebetulnya apa yang terjadi?" desak Ciok Giok Yin.

"Kakak Yin...."
Fang Jauw Cang terisak-isak kemudian mendekap di dada
Ciok Giok Yin. Ciok Giok Yin membelainya sambil berkata
dengan suara ringan.
"Moi Moi, beritahukanlah agar hatimu jadi lega!"
Akan tetapi Fang Jauw Cang tetap menangis.
"Baiklah. Kau boleh terus menangis agar hatimu merasa
lega," kata Ciok Giok Yin lembut.
Beberapa saat kemudian Fang Jauw Cang berhenti menangis.
Ciok Giok Yin segera menyeka air matanya. Sedangkan Fang
Jauw Cang memandang wajahnya, berselang sesaat barulah
berkata terisak-isak.
"Kakak Yin, setelah kita berpisah...."
Gadis itu tidak melanjutkan ucapannya. Rupanya dia sedang
berpikir dari mana mulai menutur.
"Bagaimana?" tanya Ciok Giok Yin.
Air mata Fang Jauw Cang meleleh lagi.
"Aku terus mencari Seng Ciu Suseng, namun tiada seorang
pun tahu jejaknya."
"Moi Moi, aku sudah bertemu Seng Ciu Suseng."
"Oh? Kau sudah bertemu dia?"
"Ya."
Ciok Giok Yin menutur bagaimana bertemu Seng Ciu Suseng,
setelah itu menambahkan,
"Moi Moi, lanjutkan penuturanmu!"

Fang Jauw Cang melanjutkan.
"Karena tidak berhasil mencari jejak Seng Ciu Suseng, maka
aku ke tempat ayahku, sebab ayahku sudah lama berkelana
dalam rimba persilatan, mungkin tahu jejak Seng Ciu Suseng."
Menutur sampai disitu, Fang Jauw Cang menangis lagi,
bahkan sekujur badannya tampak gemetar.
"Lalu bagaimana?" tanya Ciok Giok Yin lembut.
"Ayahku dan lainnya... terbunuh semua oleh Ban Tong Cu."
sahut Fang Jauw Cang.
Gadis itu mulai menangis sedih dengan air mata berderaiderai.
Sepasang mata Ciok Giok Yin langsung membara.
"Aku bersumpah akan membasmi Ban Hoa Tong Cu dan para
anak buahnya!" katanya sambil berkertak gigi.
Fang Jauw Cang mendongakkan kepala memandangnya,
sambil berkata dengan perlahan-lahan.
"Kakak Yin, kepandaian Ban Hoa Tong Cu amat lihay, aneh
dan tinggi! Kau jangan bertindak ceroboh, aku... aku mungkin
tidak dapat bertahan lama lagi."
"Kenapa kau?"
"Setelah aku tertangkap oleh Hoa Tong Cu, aku dipaksa
minum racun Ban Hoa Tok Hun (Racun Bubuk Selaksa Bunga)."
"Ban Hoa Tok Hun?"
"Ya."
"Aku akan berusaha memusnahkan racun itu."
Fang Jauw Cang menggelengkan kepala.

"Racun Ban Hoa Tok Hun merupakan racun rahasia Ban Hoa
Ton Cu, tiada obat pemusnahnya. Para anggota yang
berkhianat, apabila tertangkap, pasti tidak akan lolos dari
kematian."
Mendadak Ciok Giok Yin teringat akan suatu hal, maka segera
bertanya.
"Di dalam Goa Ban Hoa Tong, bagaimana semuanya kaum
pemuda?"
"Itu cuma penyamaran saja."
"Kau pun dirias sebagai pemuda?"
Fang Jauw Cang mengangguk.
"Dengan cara demikian, maka lebih gampang mendekati
kaum pemuda, dan tidak sulit menangkap mereka untuk Ban
Hoa Tong Cu melatih ilmu sesatnya. Karena itu, kelak kalau
kau bertemu pemuda tampan, harus berhati-hati!"
Ciok Giok Yin manggut-manggut,
"Moi Moi, aku akan membantumu melancarkan
pernafasanmu."
Usai berkata dan ketika Ciok Giok Yin mau....
Mendadak terdengar suara desiran. Ciok Giok Yin segera
mengerahkan lwee kangnya, siap melancarkan pukulan pada
orang yang baru datang itu. Tampak sosok bayangan hitam
melesat ke rumput alang-alang itu. Ciok Giok Yin belum
melihat jelas siapa orang itu, namun yakin bukan orang baik.
Oleh karena itu, dia langsung melancarkan sebuah pukulan ke
arah orang tersebut.
Bum!
Ciok Giok Yin merasa matanya gelap, lalu roboh seketika.

Jilid 13
Ciok Giok Yin tergoncang melihat tangkisan orang yang baru
muncul itu, sehingga darahnya bergolak. Maka pandangannya
menjadi gelap dia roboh. Di saat bersamaan orang itu bergerak
cepat, segera memapah Ciok Giok Yin agar tidak roboh,
kemudian memanggilnya dengan suara gemetar.
"Adik Yin! Adik Yin...!"
Ciok Giok Yin belum pingsan, maka mendengar suara orang
yang amat dikenalnya. Barulah dia tahu bahwa orang itu bukan
musuhnya. Dia membuka matanya perlahan-lahan, ternyata
dirinya berada dalam pelukan Heng Thian Ceng. Timbul rasa
duka dalam hatinya, sebab saat ini dia belum mampu menahan
tangkisan Heng Thiang Ceng, membuktikan bahwa
kepandaiannya masih rendah. Lalu bagaimana menuntut balas
semua dendam itu? Karena itu tidak mengherankan Ciok Giok
Yin merasa berduka sekali. Akhirnya bercucuranlah air
matanya. Yang membuatnya berduka tidak lain adalah
kepandaiannya yang belum dapat menyamai orang
lain. Keadaan Ciok Giok Yin itu membuat Heng Thiang Ceng
cemas sekali.
"Bagaimana... kau?"
Ciok Giok Yin berdiri lalu menghapus air matanya seraya
menyahut, "Tidak apa-apa."
Heng Thian Ceng juga berdiri.
"Tadi aku dengar ada suara tangisan wanita, maka kukira ada
penjahat sedang berbuat yang bukan-bukan, maka aku
melesat ke mari. Tidak tahunya...."
Mendadak Ciok Giok Yin membalikkan badannya menengok
Fang Jauw Cang. Ternyata mata gadis itu telah terpejam
dengan wajah pucat pias seperti kertas tiada warna darah
sama sekali. Hati Ciok Giok Yin tersentak dan dia segera

memeriksa nadi gadis itu, ternyata... gadis itu telah mati.
Seketika juga Ciok Giok Yin menangis meratap.
"Moi Moi! Moi Moi...."
Air matanya berderai-derai membasahi pipinya. Heng Thian
Ceng yang berdiri di sampingnya, berkata dengan suara ringan.
"Adik Yin, dia sudah mati. Tiada gunanya kau terus menangis.
Lebih baik kau segera menguburnya, dan berupaya
membalaskan dendamnya."
Ciok Giok Yin merasa masuk akal apa yang dikatakan Heng
Thian Ceng. Dia langsung berhenti menangis dan cepat-cepat
mengubur mayat Fang Jauw Cang. Setelah itu dia berdiri diam
di hadapan makam itu. Dia sama sekali tidak menangis, tapi
justru lebih parah dari pada menangis.
Beberapa saat kemudian barulah dia berkata, "Moi Moi, aku
pasti membalaskan dendam. Suatu hari nanti, aku akan
membunuh Ban Hoa Tong Cu dan mengorek hatinya untuk
menyembayangimu." Usai berkata, dia berkertak gigi hingga
berbunyi gemertuk.
Heng Thiang Ceng menepuk bahunya seraya berkata lembut.
"Jangan terlampau berduka agar tidak merusak kondisi
tubuhmu."
Ciok Giok Yin membalikkan badannya, menatap Heng Thian
Ceng, namun tidak bersuara sama sekali.
"Orang mati tidak bisa hidup kembali. Dia sudah tidak bisa
menghiburmu, namun aku bersedia selalu berada di sisimu."
Ciok Giok Yin dalam keadaan duka, maka apa yang dikatakan
Heng Thiang Ceng itu tidak masuk ke dalam telinganya sama
sekali.
"Lo cianpwee, kau...."

Heng Thian Ceng memutuskan perkataannya, berkata dengan
lembut sekali.
"Jangan panggil aku lo cianpwee."
"Lalu aku harus memanggil apa?"
"Panggil aku kakak saja."
"Itu...."
"Kau tidak sudi?"
"Lo cianpwee, tingkat kedudukan di dunia persilatan tidak
boleh dilanggar."
"Jangan mempermasalahkan itu, selanjutnya kita memanggil
kakak dan adik saja."
Ciok Giok Yin mengangguk. Mendadak dia teringat akan budi
pertolongan Heng Thian Ceng, maka dia tetap tidak berani
memanggilnya kakak, sebab merasa tidak sopan.
Oleh karena itu, dia berkata, "Tempo hari lo cianpwee
terpukul jatuh ke bawah tebing oleh ketua perkumpulan Sang
Yen Hwee, aku ke bawah mencari lo cianpwee, namun tidak
menemukan jejak lo cianpwee...."
Heng Thiang Ceng langsung melotot seraya menegur, "Kok
masih panggil lo cianpwee? Sungguh tak sedap didengar lho!"
Setelah menegurnya, Heng Thian Ceng melanjutkan.
"Ketika aku terpukul jatuh, untung ditolong seorang pandai,
sehingga nyawaku dapat diselamatkan. Adik Yin, mari kita
pergi!"
Heng Thian Ceng menarik tangannya, lalu melesat pergi.
Agar lebih leluasa, maka Ciok Giok Yin diam, membiarkan

Heng Thiang Ceng menarik tangannya, terus melesat pergi
mengikuti Heng Thiang Ceng.
Akan tetapi tiba-tiba muncul tiga orang menghadang di depan
mereka, masing-masing adalah si Bongkok Arak, Ku Tian dan
Cou Ing Ing. Cou Ing Ing menatap mereka berdua dengan
penuh kebencian. Sedangkan Ku Tian terus menatap Heng
Thiang Ceng. Si Bongkok Arak justru terus meneguk arak,
setelah itu barulah menatap Heng Thian Ceng dengan dingin
seraya menegurnya dengan lantang.
"Khui Fang Fang, kau memikatnya!"
Ternyata Heng Thian Ceng bernama Khui Fang Fang.
Bukan main gusar Heng Thian Ceng!
"Omong kosong!" bentaknya.
"Kalau kau tidak berniat memikatnya, mengapa kau terus
bersamanya?"
"Peduli amat denganmu!"
"Urusan ini aku memang harus mempedulikannya!"
"Kau pantas?"
Sepasang mata si Bongkok Arak menyorot dingin.
"Kau lihat saja aku pantas atau tidak?" katanya dengan suara
dalam.
Mendadak dia menggerakkan tangannya ke arah sebuah
pohon.
"Kreeek!"
Pohon itu roboh seperti terpotong senjata tajam. Bukan main
terkejutnya Heng Thian Ceng!

"Kau harus segera meninggalkannya!" kata si Bongkok Arak.
Heng Thian Ceng mengerutkan kening. Dia sama sekali tidak
kenal orang tua bongkok itu, namun kepandaiannya amat
tinggi. Sudah jelas dirinya bukan tandingannya. Tapi dia juga
sudah terkenal di rimba persilatan. Bagaimana mungkin dia
akan meninggalkan orang yang amat disukainya? Karena itu
dia pun menatap si Bongkok Arak dengan tajam.
"Berdasarkan apa, kau menyuruhku meninggalkannya?"
sahutnya dengan dingin.
"Kau pasti mengerti!"
"Aku justru tidak mengerti!"
"Kau menginginkanku menjelaskannya?"
Si Bongkok Arak melirik Ciok Giok Yin beberapa kali. Dia ingin
membuka mulut namun dibatalkannya, akhirnya membanting
kaki seraya berkata,
"Akan kuberitahukan kelak, sekarang kau boleh pergi!"
"Tidak!"
"Sungguhkah kau tidak mau pergi?"
"Apakah aku bohong?"
"Kalau begitu kau betul-betul menyukainya?"
"Tentu!"
Mendadak Cou Ing Ing mendengus dingin, "Hmm! Dasar tidak
tahu diri!"
Heng Thian Ceng langsung maju tiga langkah dengan
sepasang mata menyorot bengis.
"Kau mencaci siapa?" tanyanya gusar.

"Mencacimu!"
"Kau masih berbau susu, berani bertingkah di hadapanku?"
Heng Thian Ceng mengangkat sebelah tangannya,
kelihatannya ingin menyerang Cou Ing Ing. Namun Si Bongkok
Arak segera menggerakkan tangannya.
"Berhenti!" bentaknya.
Heng Thian Ceng merasa ada serangkum angin pukulan yang
amat dahsyat menerjang ke arah dadanya, membuatnya harus
mundur beberapa langkah.
Di saat bersamaan Cou Ing Ing ingin.... Namun si Bongkok
Arak cepat-cepat mencegahnya.
"Nona Cou, tunggu!"
Mendadak dia melesat ke hadapan Heng Thiang Ceng seraya
membentak sengit.
"Kalau kau masih belum mau pergi, jangan menyalahkan
kalau aku turun tangan terhadapmu!"
Kelihatannya si Bongkok Arak sudah siap menyerang Heng
Thiang Ceng.
Ciok Giok Yin yang menyaksikan situasi tegang itu segera
berkata, "Sabar lo cianpwee, ada apa-apa bicara baik-baik
saja!"
Kedua orang itu penolongnya, maka Ciok Giok Yin tidak boleh
memihak siapa pun. Dia segera berdiri di tengah-tengah
mereka berdua.
"Saudara kecil, kau tidak boleh bersamanya!" kata si Bongkok
Arak.
Ciok Giok Yin merasa heran.

"Mengapa?"
"Tidak mengapa, hanya kelak kau akan menyesal."
"Bolehkah kau memberikan penjelasan padaku?"
"Penjelasan dan alasan memang ada, kau akan tahu
perlahan-lahan."
Mendadak Heng Thian Ceng tertawa terkekeh-kekeh, setelah
itu berkata, "Adik Yin, kau tidak usah banyak bicara
dengannya, dia punya alasan dan penjelasan apa? Cuma
omong kosong belaka. Lebih baik sementara ini kita berpisah,
kelak aku akan mencarimu."
Usai berkata, Heng Thian Ceng langsung melesat pergi dan
dalam sekejap sudah hilang dari pandangan mereka. Ciok Giok
Yin merasa si Bongkok Arak terlampau mencampuri urusan.
Padahal Heng Thian Ceng tidak berniat jahat terhadap Ciok
Giok Yin melainkan seperti seorang tingkatan tua
memperhatikan sekaligus menyayangi tingkatan muda.
Sedangkan Heng Thian Ceng masih bersedia memanggilnya
adik dan menyuruhnya memanggil kakak, sesungguhnya itu
tiada masalah apa-apa. Oleh karena itu wajah Ciok Giok Yin
berubah menjadi agak tak sedap dipandang. Si Bongkok Arak
adalah orang tua yang telah berpengalaman. Dulu dia kelihatan
seperti linglung dan pikun, itu cuma berpura-pura saja. Saat ini
begitu melihat sikap Ciok Giok Yin, bagaimana mungkin dia
tidak mengerti? Sebab itu dia berkata,
"Adik Kecil, kita tidak usah membicarakan yang lain, cukup
membicarakan usianya, lebih tua separuh dari usiamu. Apakah
kau akan menyukainya."
"Aku tidak bilang menyukainya."
"Syukurlah kalau begitu!"
Mendadak Cou Ing Ing mendengus dingin, "Hm!"

Setelah itu dia berkata pada si Bongkok Arak.
"Lo cianpwee, mari kita pergi!"
Kelihatannya dia masih amat mendendam pada Ciok Giok Yin.
Sedangkan Ciok Giok Yin terhadapnya memang merasa
berdosa. Karena itu dia cuma memandang Cou Ing Ing, tidak
bersuara sama sekali. Sesungguhnya Cou Ing Ing berharap
Ciok Giok Yin menyatakan maaf dan berkata lembut padanya,
otomatis rasa dendamnya akan sirna. Justru tak terduga, Ciok
Giok Yin malah diam saja, sehingga membangkitkan
kegusarannya.
"Ciok Giok Yin, urusan kita belum selesai!" katanya sengit.
Mendengar itu Ciok Giok Yin berkata dalam hati. 'Aku telah
menerima tiga pukulanmu, maka boleh dikatakan aku sudah
tiada hutang padamu.'
Namun kemudian dia justru berkata demikian, "Ing... itu
terserah kau."
Si Bongkok Arak khawatir mereka akan ribut lagi, maka
segera menyela, "Adik Kecil, apa rencanamu sekarang?"
Tiba-tiba Ciok Giok Yin teringat akan wanita berbaju hitam
yang di depan makam palsu Tiat Yu Kie Su. Wanita berbaju
hitam pernah berjanji padanya akan bertemu di Tebing
Memandang Suami, di gunung Cong Lam San. Walau Tiat Yu
Kie Su telah mati, lagi pula dendam antara Sang Ting It Koay
dengan Kang Ouw Pat Kiat telah jernih, namun Ciok Giok Yin
tetap harus ke sana, karena tidak boleh ingkar janji. Kalau
dihitung memang telah beberapa hari, tapi dia tetap harus ke
sana untuk menepati janji. Oleh karena itu Ciok Giok Yin
berkata,
"Aku ada janji dengan seorang wanita, harus pergi ke gunung
Cong Lam San."
Si Bongkok Arak tercengang.

"Kau mau ke Cong Lam Pay?"
"Bukan."
"Kalau begitu untuk apa kau ke sana?"
"Menepati janji dengan seorang wanita."
Sementara Ku Tian yang berdiri diam dari tadi mendadak
menyela,
"Maaf, aku masih ada urusan lain. Kalian mengobrollah aku
mau mohon diri."
Dia memberi hormat lalu melesat pergi. Setelah Ku Tian pergi
Ciok Giok Yin pun memberi hormat kepada si Bongkok Arak.
"Terimakasih atas campur tangan lo cianpwee. Budi kebaikan
lo cianpwee tidak akan kulupakan selamanya. Sampai jumpa"
Usai berkata Ciok Giok Yin menatap Cou Ing Ing sejenak lalu
melesat pergi. Si Bongkok Arak memandang punggung Ciok
Giok Yin seraya berkata,
"Sifatnya itu... persis seperti ayahnya." Kemudian dia
menoleh memandang Cou Ing Ing. "Biar bagaimanapun kita
harus membantunya mencari informasi tentang Seruling
Perak."
Cou Ing Ing mengangguk kemudian pergi bersama si Bongkok
Arak. Sementara Ciok Giok Yin terus melesat pergi menuju
Gunung Cong Lam San. Dua hari kemudian dia sudah sampai di
gunung tersebut. Akan tetapi gunung Cong Lam San amat luas,
sedangkan Ciok Giok Yin tidak tahu di mana letak Tebing
Memandang Suami. Tidak gampang mencari tebing tersebut.
Lagi pula tiada seorang pun di sana. Maka Ciok Giok Yin tidak
bisa menanyakan tentang tebing tersebut. Sebab itu, Ciok Giok
Yin berdiri termenung di sebuah puncak gunung. Namun
kemudian dia menyadari bahwa dirinya tidak boleh putus asa.
Maka dia segera mencari ke sana ke mari. Tentu saja secara

membabi buta. Mendadak samar-samar dia melihat sosok
bayangan orang berdiri di atas sebuah batu besar.
Hatinya tergerak dan berkata, 'Jangan-jangan itu adalah
tebing Memandang Suami!'
Tanpa membuang waktu lagi dia langsung melesat ke sana.
Begitu sampai di tempat tersebut, dia yakin bahwa tempat itu
adalah Tebing Memandang Suami, namun bayangan orang itu
sudah tidak kelihatan lagi. Di saat dia menengok ke sana ke
mari, mendadak terdengar suara helaan nafas panjang dan
ucapan.
"Dia tidak akan datang lagi."
Itu adalah suara seorang wanita. Maka Ciok Giok Yin segera
bertanya dengan suara lantang,
"Mohon tanya apakah tempat ini adalah Tebing Memandang
Suami?"
Hening tak terdengar suara apa pun.
Ciok Giok Yin mengerutkan kening dan bertanya dalam hati.
'Di sana hutan belantara. Apakah yang bersuara tadi siluman
wanita?'
Tiba-tiba terdengar suara yang amat dingin.
"Siapa kau?"
"Aku bernama Ciok Giok Yin."
"Ciok Giok Yin?"
"Ya."
"Mau apa kau datang di Tebing Memandang Suami ini?"
"Tiga bulan yang lalu aku berjanji dengan seorang
cianpwee...."

Sebelum Ciok Giok Yin usai berkata, muncul sosok bayangan
bagaikan arwah dari balik sebuah batu besar. Setelah saling
memandang, justru sama-sama mengeluarkan suara.
"Ih!"
Ternyata seorang wanita berbaju hitam, wanita itu menatap
Ciok Giok Yin dengan dingin seraya bertanya,
"Kau baru datang?"
Ciok Giok Yin mengangguk.
"Ya. Karena terjadi sedikit halangan di tengah jalan, maka
aku datang terlambat. Mohon cianpwee sudi memaafkanku."
Wanita berbaju hitam menatapnya lagi sambil bertanya,
"Ada urusan apa kau mencari Tiat Yu Kie Su?"
"Karena ada sedikit kesalahpahaman."
"Kini kesalahpahaman itu telah jernih."
Air muka wanita berbaju hitam berubah, kelihatannya dia
agak emosi.
"Kalau begitu, kau sudah berhasil mencarinya?"
"Terus terang aku memang sudah bertemu dengannya," sahut
Ciok Giok Yin dengan jujur.
Wanita berbaju hitam segera melangkah maju.
"Berada di mana dia sekarang?"
Ciok Giok Yin tidak tahu ada dendam kebencian apa antara
wanita itu dengan Tiat Yu Kie Su, maka segera mundur
selangkah mengerahkan lwee kangnya, siap menghadapi
segala kemungkinan, kemudian menyahut.

"Bolehkah aku tahu siapa cianpwee?"
"Katakan di mana dia sekarang?"
"Aku akan mengatakan, namun terlebih dahulu kau harus
menyebutkan namamu."
Wanita berbaju hitam menatapnya tajam, setelah itu barulah
memberitahukan.
"Cu Sian Ling!"
Ciok Giok Yin terbelalak.
"Hah? Cu Sian Ling?"
Wanita berbaju hitam mengangguk.
"Tidak salah. Sekarang kau harus beritahukan tentang
jejaknya!"
Mata Ciok Giok Yin mulai bersimbah air.
"Dia sudah mati."
Seketika Cu Sian Ling menyambar baju Ciok Giok
Yin. Gerakan wanita itu cepat sekali, laksana kilat menyambar.
Maka Ciok Giok Yin tidak mampu berkelit.
Bahkan setelah itu Cu Sian Ling pun menotok jalan darah Hu
Keng Hiat di bagian dada Ciok Giok Yin sambil membentak
sengit, "Kau yang mencelakainya?"
Begitu jalan darahnya itu tertotok, Ciok Giok Yin merasa
sekujur badannya menjadi lemas, juga terasa seperti tertusuk
ribuan jarum. Bukan main sakitnya, sehingga sekujur
badannya mengucurkan keringat dingin. Ciok Giok Yin memang
bersifat angkuh dan keras hati. Dia berkertak gigi menahan
sakit, tidak merintih sama sekali. Akan tetapi sepasang
matanya berapi-api, terus menatap Cu Sian Ling.

Sedangkan wajah Cu Sian Ling yang bengis itu saat ini
bertambah bengis menyeramkan, "Kalau kau tidak mau
mengatakan akan kucabut nyawamu!"
Mendadak sekilas timbul suatu pikiran dalam benak Ciok Giok
Yin, apakah Tia Yu Kie Su-Mok Ho menggunakan siasat
meminjam tangan membunuh orang? Kalau tidak, bagaimana
mungkin Cu Sian Ling bersikap sedemikian bengisnya
terhadapnya?
"Apabila benar demikian, dapat dibayangkan betapa
kejamnya hati Tiat Yu Kie Su-Mok Ho itu.
Kelihatannya dendam antara gurunya dengan Kang Ouw Pat
Kiat bukan karena....
Berpikir sampai di situ Ciok Giok Yin menahan sakit seraya
berkata, "Kau dan dia...."
"Kalau kau yang mencelakainya, maka kau harus ganti
nyawanya!" sergah Cu Sian Ling.
Mendengar itu Ciok Giok Yin merasa agak lega, "Harap
cianpwee lepaskan tangan dulu! Aku tidak akan kabur dan akan
memberitahukan."
Cu Sing Ling mengerutkan kening, sepertinya sedang
mempertimbangkan sesuatu. Kemudian dia mengendurkan
cengkeramannya dan membentak.
"Cepat katakan!"
Ciok Giok Yin cepat-cepat menghimpun hawa murninya.
Setelah itu dia menarik nafas lega karena tubuhnya tidak
terasa ada kelainan sedikit pun.
"Dia mati di tangan Ban Hoa Tong Cu." katanya.
"Ban Hoa Tong Cu?"

"Ya."
Cu Sian Ling mengerutkan kening lalu menatap Ciok Giok Yin
dengan tajam.
"Bagaimana kau tahu itu?"
Ciok Giok Yin segera menutur tentang perkenalannya dengan
Lu Jin, setelah itu dia menambahkan,
"Dia mati demi diriku, maka aku pasti akan menuntut balas
dendamnya." Dia menarik nafas panjang. "Sebelum
menghembuskan nafas penghabisan, dia berpesan padaku agar
mencari cianpwee."
Cu Sian Ling mendongakkan kepala memandang langit, lalu
tertawa pilu.
Setelah itu, wanita berbaju hitam itu pun bergumam, "Kanda
Mok...."
Dia tidak mampu melanjutkan ucapannya. Ternyata air
matanya telah meleleh deras membasahi pipinya. Ketika
menyaksikan sikap Cu Sian Ling, Ciok Giok Yin dapat menduga
akan hubungan mereka berdua. Namun dia tidak berani
membuka mulut menghiburnya, hanya berdiri termangumangu
di tempat. Sementara air mata Cu Sian Ling terus
mengucur dan dia tetap memandang langit. Beberapa saat
kemudian barulah Cu Sian Ling bergumam terisak-isak dengan
air mata tetap terus berderai-derai.
"Kanda Mok, aku menunggu dua puluh tahun lebih tapi tidak
disangka kau sudah tiada. Aku... masih punya harapan apa?
Kanda Mok, kau...." Sekonyong- konyong dia menoleh
memandang Ciok Giok Yin seraya bertanya dengan serius.
"Kau bersedia menuntut balas dendam Kanda Mok?"
Ciok Giok Yin mengangguk.
"Ya. Aku tidak akan melepaskan semua orang-orang Goa Ban

Hoa Tong."
Ternyata Ciok Giok Yin juga teringat akan kematian Fang
Jauw Cang, yang mati juga karena demi dirinya. Ini sungguh
merupakan dendam kesumat! Cu Sian Ling sudah berhenti
menangis. Justru sungguh mengherankan, wajahnya tampak
tenang sekali. Akan tetapi saat ini dia pun tampak jauh lebih
tua, mungkin lebih tua sepuluh tahun.
Berselang beberapa saat dia berkata lembut, "Mengenai
urusan kami kau tidak usah tahu. Terlebih dahulu aku
mengucapkan terimakasih padamu atas kesediaanmu
menuntut balas dendam." Tiba-tiba dia menunjuk ke arah kiri.
"Lihat ada orang ke mari!"
Ciok Giok Yin langsung menengok ke arah yang ditunjuk
wanita berbaju hitam, tapi tidak melihat seorang pun di sana.
Di saat bersamaan terdengar suara seruan pilu, "Ibu! Maafkan
ananda yang tidak berbakti, ananda mau ikut...."
Sekonyong-konyong terdengar suara 'Plak!'
Ciok Giok Yin cepat-cepat menoleh. Tampak kening Cu Sian
Ling telah pecah dan wanita itu terkulai dengan darah
berlumuran di wajahnya. Ternyata wanita berbaju hitam telah
membunuh diri dengan cara memukul kepalanya sendiri, tepat
di jalan darah Thian Ling Kay. Terbelalak Ciok Giok Yin
memandang mayat wanita berbaju hitam itu, namun amat
berduka sekali. Dia tidak dapat menduga, mengapa Cu Sian
Ling dan Tiat Yu Kie So-Mok Ho tidak bisa hidup bersama?
Mereka saling mencinta, tapi mengapa harus berpisah? Mereka
saling merindukan dan akhirnya Tiat Yu Kie Su-Mok Ho mati,
Cu Sian Ling pun membunuh diri menyusulnya.
Mendadak Ciok Giok Yin merasa ada serangkum angin
menerjang ke jalan darah Cian Mo Hiatnya, membuat sekujur
badannya menjadi ngilu. Betapa terkejutnya Ciok Giok Yin!
Siapa penyerang itu? Ilmu kepandaiannya amat tinggi sekali!
Karena orang itu sudah berada di belakangnya, tapi Ciok Giok
Yin sama sekali tidak mengetahuinya. Setelah jalan darah Cian

Mo Hiatnya tertotok, Ciok Giok Yin menjadi seperti orang biasa.
Dia menengok ke sana ke mari, namun tidak tampak seorang
pun berada di sekelilingnya, membuatnya bertambah
terkejut. Di sekelilingnya cuma tampak hutan rimba. Ciok Giok
Yin terperangah. Ternyata tempat di sekelilingnya telah
berubah, tidak seperti tempat semula yang didatanginya.
Dia cepat-cepat memandang ke samping. Sepasang matanya
bertambah terbelalak karena mayat Cu Sian Ling telah
hilang. Apa gerangan yang terjadi? Sekujur badannya menjadi
merinding! Mendadak terdengar suara yang amat dingin dan
menusuk telinga.
"Bagaimana putriku mati?"
Ciok Giok Yin tersentak, "Siapa kau?" tanyanya.
"Aku adalah ibunya!"
"Bolehkah kau memperlihatkan diri untuk bercakap-cakap
sebentar?"
"Jawab! Apakah kau yang membunuhnya?"
"Bukan."
"Kalau begitu, siapa?"
"Dia bunuh diri."
"Mengapa tiada sebab musabab dia bunuh diri? Dua puluh
tahun lebih batinnya menderita, tak disangka akhirnya menjadi
begini."
"Dia mendengar berita dariku, bahwa Tiat Yu Kie Su sudah
mati...."
Terdengar seruan kaget memutuskan perkataan Ciok Giok
Yin.
"Tiat Yu Kie Su sudah mati?"

"Ya."
Suasana berubah menjadi kening.
Ciok Giok Yin cepat-cepat berkata, "Lo cianpwee, aku
bermaksud baik. Jauh-jauh aku kemari menyampaikan berita
itu. Kini lo cianpwee menotok jalan darahku, sesungguhnya apa
maksud lo cianpwee?"
"Aku akan membebaskan jalan darahmu, namun sementara
ini kau tidak boleh pergi!"
Mendadak Ciok Giok Yin merasa sekujur badan menjadi
nyaman. Ternyata jalan darahnya yang tertotok itu telah
bebas. Tapi pemandangan di sekelilingnya masih tetap seperti
tadi. Saat ini tenaganya telah pulih. Dia langsung mencelat ke
atas ingin mencari tempat persembunyian orang itu.
Akan tetapi tiba-tiba Ibu Cu Sian Ling berkata dingin, "Kau
tidak usah membuang-buang tenaga! Sebab kau berada di
dalam Khun Goan Tin (Formasi Yang Menyesatkan)! Dengar
baik-baik beberapa pertanyaanku, barulah pergi tidak akan
terlambat!"
Ciok Giok Yin tidak percaya. Dia melesat ke sana ke mari.
Ketika berhenti dia melihat ke sekelilingnya, ternyata dirinya
masih berada di tempat semula. Itu membuatnya amat gusar
dan timbul pula sifat angkuhnya.
"Lo cianpwee, aku tidak tahu di mana kesalahanku!"
bentaknya.
"Kuberitahukan Tebing Memandang Suami ini belum pernah
dijamah kaum lelaki! Kau adalah yang pertama, bahkan juga
telah membawa pergi nyawa putriku!"
Ciok Giok Yin tidak menyahut.
"Berhubung aku amat membenci kaum lelaki, maka kubentuk
formasi Khun Goan Tin di tempat ini! Ketika kau di sini, formasi

itu masih belum bergerak, tapi kini telah berfungsi! Walau kau
punya sayap, tidak akan dapat meninggalkan tempat ini!"
"Kalau begitu, lo cianpwee bermaksud mengurungku di sini?"
"Aku ingin tahu asal-usulmu!"
"Kalau aku tidak mau beritahukan?"
"Kau akan berada di tempat ini selamanya!"
Mendengar ucapan wanita itu, kegusaran Ciok Giok Yin
menjadi memuncak. Dia cukup lama tinggal bersama Sang Ting
It Koay, sehingga ketularan sifat anehnya. Sekonyong-konyong
dia melancarkan sebuah pukulan ke arah suara itu, yaitu
pukulan Soan Hong Ciang yang menggunakan lwee kang Sam
Yang Hui Kang. Bukan main dahsyatnya pukulan itu, menderuderu
dan mengeluarkan hawa panas.
"Soan Hong Ciang!" seru wanita itu tak tertahan.
"Tidak salah!" sahut Ciok Giok Yin dingin.
"Siapa kau?"
"Ciok Giok Yin!"
"Ada hubungan apa kau dengan Sang Ting It Koay?"
Mendengar pertanyaan itu, tergerak hati Ciok Giok Yin.
"Suhuku!" sahutnya.
Wanita itu tertawa sedih, lalu berkata, "Baiklah! Selamanya
kau akan tinggal di dalam formasi itu!"
"Siapa kau? Ada dendam apa dengan suhuku? Perlihatkan
dirimu! Mari kita membuat perhitungan!" bentak Ciok Giok Yin.
Akan tetapi tiada sahutan. Tentunya Ciok Giok Yin tidak rela
dikurung di dalam formasi itu selamanya. Maka dia

menggunakan ginkang melesat pergi. Berselang beberapa saat
barulah dia berhenti. Dia menengok ke sana ke mari, ternyata
dirinya masih tetap berada di dalam rimba. Ketika
menundukkan kepala dia terbelalak karena dirinya masih tetap
berada di tempat semula. Ternyata tadi dia cuma melesat
beberapa depa, dan juga hanya berputar-putar di tempat itu.
"Lo cianpwee, apa maksudmu mengurungku di sini? Kalau kau
punya dendam dengan suhuku, aku pasti memikul tanggung
jawab itu," katanya memelas.
Tapi tetap tiada sahutan. Ciok Giok Yin gusar bukan kepalang.
Saking gusarnya dia merasa lelah, akhirnya duduk bersila di
tanah dan menghimpun hawa murninya. Entah berapa lama
kemudian mendadak dia merasa ada orang menarik lengan
bajunya. Dia langsung bangkit sekaligus mengikuti orang yang
menarik lengan bajunya. Tak seberapa lama pemandangan di
tempat itu berubah semua. Ternyata dia masih tetap berdiri di
Tebing Memandang Suami. Setelah itu dia mendongakkan
kepala. Tampak di hadapannya berdiri seorang wanita anggun
berpakaian indah. Ciok Giok Yin segera memberi hormat seraya
berkata.
"Terima kasih atas pertolongan cianpwee. Bolehkah aku tahu
nama cianpwee?"
"Kelak kau akan mengetahuinya," sahut wanita anggun.
Usai menyahut, sepasang mata wanita itu menyorot tajam,
menatap Ciok Giok Yin dalam-dalam. Ketika beradu pandang
dengan mata wanita anggun itu, Ciok Giok Yin langsung
merasa merinding.
"Tahukah kau siapa Cu Sian Ling yang bunuh diri itu?" tanya
wanita anggun.
Ciok Giok Yin tertegun lalu menggelengkan kepala.
"Mohon cianpwee memberitahukan!" sahutnya.
Wanita anggun tidak menjawab, melainkan balik bertanya,

"Suhumu adalah Sang Ting It Koay?"
"Ya."
"Tahukah kau namanya?"
Ciok Giok Yin tertegun lagi. Sejak belajar ilmu kungfu pada
Sang Ting It Koay, Ciok Giok Yin cuma tahu julukannya tidak
tahu namanya. Entah sudah berapa kali Ciok Giok Yin bertanya,
tapi Sang Ting It Koay sama sekali tidak mau memberitahukan.
Kini wanita itu bertanya, membuat Ciok Giok Yin merasa serba
salah sehingga wajahnya berubah menjadi kemerah-merahan.
"Aku... aku tidak tahu," jawabnya terputus-putus.
"Itu bukan kesalahanmu, sebab seharusnya dia yang
memberitahukan."
"Bolehkah cianpwee memberitahukan padaku?" tanya Ciok
Giok Yin.
"Dia bernama Cu Hek," sahut wanita anggun.
"Cu Hek?"
"Tidak salah."
Ciok Giok Yin mengerutkan kening.
"Apa maksud cianpwee menyinggung nama suhuku?"
tanyanya.
"Kau harus tahu, Cu Sian Ling adalah putrinya."
Bukan mari terkejutnya Ciok Giok Yin.
"Haaah? Dia... dia adalah suci (Kakak Perempuan
Seperguruan)?" serunya tak tertahan.
"Kau memang harus memanggilnya demikian."

Kening Ciok Giok Yin berkerut-kerut. Dia memandang wanita
itu seraya bertanya, "Bolehkah cianpwee menjelaskan
padaku?"
Wanita anggun manggut-manggut.
"Mengenai suhumu itu, sebetulnya aku tidak kenal, cuma
mendengar saja." Dengar-dengar ketika masih muda, dia amat
tampan, sehingga banyak gadis tertarik padanya. Untung dia
bukan pemuda mata keranjang. Pada suatu hari dia terkena
racun musuhnya, menyebabkannya kehilangan kesadaran...."
Wanita anggun berhenti sejenak, kemudian menatap wajah
Ciok Giok Yin, seraya melanjutkan.
"Waktu itu dia bersama seorang gadis persilatan. Lantaran
kehilangan kesadarannya, maka terjadi hubungan intim dengan
gadis tersebut. Oleh karena itu dia merasa menyesal dan malu,
tiada muka menemui gadis persilatan itu lagi! Akhirnya... dia
pergi secara diam-diam."
Ciok Giok Yin mendengarkan dengan penuh perhatian. Seusai
wanita itu menutur, barulah dia bertanya.
"Siapa gadis persilatan itu?"
"Dia adalah ibu Cu Sian Ling, yaitu orang yang mengurungmu
di sini."
"Haaah...?" seru Ciok Giok Yin tak tertahan.
Wanita anggun melanjutkan penuturannya.
"Yang satu pergi lantaran merasa malu dan menyesal,
sedangkan yang satu lagi justru hamil. Akhirnya gadis itu hidup
menyendiri di tempat ini menunggu kelahiran anaknya."
"Anak itu adalah suciku?"
"Ng!"

"Lalu bagaimana urusan suciku dengan Tiat Yu Kie Su-Mok
Ho?"
"Setelah subo (Isteri Guru)mu tinggal di sini, setiap hari dia
berharap suhumu kemari mencarinya. Akan tetapi suhumu
sama sekali tidak muncul. Apabila suhumu datang, dia akan
mengurung suhumu di dalam formasi ini."
Wanita anggung menghela nafas panjang, setelah itu
melanjutkan.
"Subomu juga melarang putrinya berkelana di dunia
persilatan. Mereka berdua tinggal di Tebing Memandang Suami
ini. Sudah pasti subomu yang menamai tebing ini. Akan tetapi
segala urusan di kolong langit memang sulit diduga. Pada suatu
hari, Cu Sian Ling bermohon pada ibunya agar
memperbolehkannya ke dunia persilatan untuk melihatlihat.
Mula-mula ibunya melarangnya, namun karena Cu Sian
Ling terus mendesak, akhirnya ibunya memberi izin. Tapi
ibunya berpesan, dilarang mendekati kaum lelaki."
Wanita anggun menghela nafas panjang lagi, kemudian
melanjutkan.
"Beberapa hari setelah Cu Sian Ling berkelana di dunia
persilatan, justru berkenalan dengan Tiat Yu Kie Su, kemudian
mereka berdua saling jatuh cinta. Namun diketahui oleh
ibunya, maka Cu Sian Ling dipaksa pulang ke Tebing
Memandang Suami ini!"
Seusai wanita itu menutur, Ciok Giok Yin menghela nafas
panjang seraya berkata, "Tidak seharusnya aku menyampaikan
berita duka itu, menyebabkan suci bunuh diri."
Wanita anggun itu tersenyum lembut.
"Soal itu kau tidak dapat disalahkan. Kau menerima titipan
pesan dari orang, sudah pasti harus menyampaikannya secara
jujur."
Ciok Giok Yin menggeleng-gelengkan kepala.

"Tapi... hatiku merasa tidak tenang."
"Urusan sudah jadi begini, mau bilang apa?"
Mendadak Ciok Giok Yin bertanya, "Oh ya! Bolehkah aku
menemui subo?"
Wanita anggun itu menggelengkan kepala.
"Dia tidak mau menemuimu, kau boleh pergi."
"Tapi... aku harus memberitahukan pada subo, bahwa suhu
telah meninggal."
"Aku sudah memberitahukan padanya."
Tiba-tiba terlintas sesuatu dalam hati Ciok Giok Yin, maka dia
segera bertanya, "Bagaimana cianpwee sedemikian jelas
tentang urusan ini?"
Ternyata Ciok Giok Yin bercuriga, mungkin wanita anggun
yang berdiri di hadapannya justru adalah subonya.
Wanita anggun tersenyum, seakan tahu apa yang dipikirkan
Ciok Giok Yin. Kemudian dia berkata lembut, "Tadi aku
bertemu subomu, dia yang memberitahukan padaku,"
Ciok Giok Yin manggut-manggut.
"Ooooh! Entah sudah berapa kali cianpwee
menyelamatkanku. Aku tidak akan lupa selama-lamanya.
Sampai jumpa!"
Ciok Giok Yin memberi hormat, lalu melesat pergi
meninggalkan Tebing Memandang Suami itu. Saat ini sudah
larut malam. Tampak ribuan bintang bertaburan di langit,
bergemerlapan memancarkan cahaya. Angin gunung terus
berhembus mengeluarkan suara.
Huuuuuh! Huuuuuu...!

Meskipun Ciok Giok Yin berkepandaian tinggi, namun dia
seorang diri melakukan perjalanan di hutan belantara yang
amat sepi itu membuatnya merasa agak merinding. Dalam
perjalanan dia pun mencari suatu tempat untuk berteduh. Esok
pagi dia baru melanjutkan perjalanan.
Mendadak samar-samar tampak sebuah bangunan tentunya
amat menggirangkan hatinya. Dia cepat-cepat melesat ke
sana. Setelah dekat, ternyata adalah sebuah kuil tua. Di atas
pintu kuil itu bergantung sebuah papan yang agak miring, yang
tulisannya hampir tak dapat dibaca 'Gak Ong Bio' (Kuil Raja
Gak). Sedangkan kedua daun pintunya sudah roboh ke
samping. Dapat diketahui, bahwa kuil itu tak pernah diurus.
Ciok Giok Yin berdiri di hadapan kuil itu. Berselang sesaat
barulah dia melangkah ke dalam. Ketika dia melangkah ke
dalam, hatinya agak berdebar-debar. Namun merasa lebih
enak di dalam kuil tua itu dari pada harus bermalam di hutan.
Ciok Giok Yin duduk di bawah sebuah meja bobrok. Di saat
dia baru mau memejamkan matanya untuk beristirahat,
mendadak terdengar suara nafas yang amat lirih, membuat
bulu kuduknya bangun. Dia cepat-cepat keluar dari kolong
meja, sekaligus bangkit berdiri, kemudian menyebarkan
pandangan ke sekelilingnya. Tampak sesosok bayangan hitam
di sudut dinding. Dia segera mengerahkan lwee kangnya, siap
menghadapi segala kemungkinan.
"Kau manusia atau hantu?" bentaknya.
Bayangan hitam itu bangkit berdiri.
Di saat bersamaan terdengar suara tawa yang amat nyaring
dan sahutan, "Terang di langit dan terang di bumi, bagaimana
mungkin ada hantu?"
Saat ini Ciok Giok Yin baru melihat jelas. Bayangan itu
ternyata seorang wanita berbaju hitam berusia duapuluh
limaan.

"Siapa kau, mengapa bermalam di sini?" tanya Ciok Giok Yin
sambil mengerutkan kening.
"Kuil tua di hutan belantara, apakah..." sahut wanita berbaju
hitam.
Ucapan wanita itu terhenti, karena tiba-tiba mulutnya
menyemburkan darah segar.
"Phuuuuh!"
Setelah itu badannya terhuyung ke belakang. Ciok Giok Yin
tertegun. Dia cepat-cepat menahan tubuh wanita itu agar tidak
roboh, kemudian menaruhnya ke bawah.
"Kau terluka?" tanyanya.
Mata wanita berbaju hitam sudah terpejam rapat-rapat.
"Memang benar aku terluka," sahutnya.
Ciok Giok Yin merasa iba padanya, lagi pula dia mengerti
pengobatan. Maka dia segera mengeluarkan dua butir Ciok Kim
Tan, lalu diberikan pada wanita itu.
"Telanlah pil ini, aku akan membantumu!"
Wanita berbaju hitam menatapnya sejenak, setelah itu
menjulurkan tangannya mengambil kedua pil Ciak Kim Tan itu,
lalu dimasukkan ke dalam mulutnya. Di saat bersamaan, Ciok
Giok Yin segera menempelkan telapak tangannya pada
punggung wanita itu seraya berkata.
"Himpun hawa murnimu aku akan membantumu"
Ciok Giok Yin juga menghimpun hawa murninya, untuk
membantu wanita berbaju hitam. Berselang beberapa saat luka
wanita berbaju hitam sudah pulih.
Dia menoleh memandang Ciok Giok Yin seraya bertanya,
"Apakah kau Ciok Giok Yin?"

Ciok Giok Yin terperangah, menatapnya seraya berkata
dengan heran.
"Tidak salah, mohon tanya...."
Wanita berbaju hitam memutuskan perkataan Ciok Giok Yin.
"Jangan bertanya, kelak kita masih punya kesempatan untuk
berjumpa, dan kau pun akan tahu. Mengenai budi
pertolonganmu, cepat atau lambat aku pasti membalaskan,
sampai jumpa!"
Badan wanita itu bergerak, ternyata dia sudah melesat pergi.
Sedangkan Ciok Giok Yin berdiri mematung. Dia tidak habis
pikir siapa wanita baju hitam itu? Bagaimana dia tahu
namanya? Dan siapa yang melukainya? Di dunia persilatan
memang terdapat banyak hal aneh, Ciok Giok Yin
membantunya dengan hawa murni agar dia segera pulih,
namun wanita baju itu malah tidak mau memberitahukan
namanya. Sungguh keterlaluan! Ciok Giok Yin terus berpikir.
Tak lama hari pun mulai terang. Saat ini Ciok Giok Yin tidak
mau memikirkan tentang wanita lagi, langsung melesat pergi.
Kini dia membulatkan hatinya untuk mencari Seruling Perak.
Mengenai kitab Cu Cian, Ciok Giok Yin yakin dan percaya
kepada Bu Tok Sianseng. Sudah satu hari satu malam, Ciok
Giok Yin sama sekali tidak makan dan tidak minum tentunya
merasa amat lapar. Untung tak seberapa lama lagi dia sudah
tiba di sebuah kota kecil. Dia melangkah perlahan di sebuah
jalan kecil sambil menengok ke sana ke mari. Ketika hampir
tiba di ujung jalan, dia melintas sebuah kedai makan. Saat ini
hari sudah siang. Kedai makan itu sudah penuh sesak oleh para
tamu sehingga boleh dikatakan tiada tempat duduk lagi.
Karena kedai makan itu penuh sesak maka Ciok Giok Yin pikir
cukup beli nasi bungkus saja.
Akan tetapi, pemilik kedai makan segera berkata, "Silakan
masuk, Tuan! Aku akan menyediakan tempat untuk Tuan."
Ciok Giok Yin manggut-manggut, kemudian memandang ke

dalam. Ternyata seorang tamu sudah usai makan, berdiri
sambil membayar rekening. Pemilik kedai makan langsung
membawa Ciok Giok Yin ke meja itu lalu mempersilakannya
duduk. Salah seorang pelayan cepat-cepat menghampirinya,
maka Ciok Giok Yin memesan beberapa macam hidangan.
Setelah itu Ciok Giok Yin memperhatikan para tamu. Beberapa
orang di antaranya seperti kaum rimba persilatan.
Mendadak terdengar pembicaraan beberapa tamu yang
kedengarannya agak serius. Maka Ciok Giok Yin mendengarkan
dengan penuh perhatian.
"Pah Ong Cuang Cuangcu (Majikan Perkampungan Raja
Jagoan) merayakan perkawinan putra kesayangannya,
mengundang kaum rimba persilatan, baik golongan putih
maupun golongan hitam, itu pasti ramai dan meriah sekali."
"Aku dengar perjodohan itu merupakan perjodohan paksaan."
"Jangan bicara sembarangan!"
Ketika berkata orang itu melirik semua tamu. Begitu melihat
Ciok Giok Yin, orang itu menatapnya sejenak, kemudian
berkata pada kedua temannya.
"Lebih baik kita minum arak saja. Peduli amat dengan urusan
itu. Perjodohan paksa atau tidak, bukan urusan kita. Yang
penting, malam ini kita pergi makan minum saja."
"Kau siap ke sana?"
"Tentu."
"Punya undangan?"
"Tidak punya, namun juga boleh ke sana karena aku ingin
melihat kaum rimba persilatan golongan putih dan golongan
hitam. Siapa tahu mereka akan memperlihatkan kepandaian
masing-masing. Bukankah asyik sekali?"
Kebetulan saat ini hidangan-hidangan yang dipesan Ciok Giok

Yin telah disajikan. Dia mulai makan sambil mendengarkan
pembicaraan mereka. Akan tetapi ketiga orang itu sudah
mengalihkan pembicaraan.
Ciok Giok Yin berkata dalam hati, 'Ini merupakan kesempatan
baik, mengapa aku tidak ke sana? Siapa tahu aku akan
memperoleh informasi tentang Seruling Perak itu!'
Usai makan dan membayar Ciok Giok Yin mengajukan
beberapa pertanyaan kepada pemilik kedai makan, lalu pergi
menuju pinggir kota. Ciok Giok Yin mengikuti petunjuk pemilik
kedai makan. Ketika sampai di jalan yang agak kecil, dia
melihat begitu banyak kaum rimba persilatan berjalan ke arah
yang sama. Dia tahu mereka pasti menuju perkampungan Pah
Ong Cuang, untuk minum arak kebahagiaan di sana. Ciok Giok
Yin mengikuti mereka dari belakang, ingin mencuri dengar
pembicaraan mereka. Hasilnya memang benar Pah Ong Cuang
Cuangcu menyelenggarakan pesta perkawinan putra
kesayangannya. Berdasarkan pembicaraan mereka, Ciok Giok
Yin baru tahu bahwa putra Cuangcu berbadan bongkok dan
hanya memiliki sebelah kaki.
Berselang beberapa saat, tampak sebuah rumah yang amat
besar dengan beberapa lentera merah dan begitu banyak orang
keluar masuk di sana. Terdengar pula suara petasan yang
memekakkan telinga, menambah semarak suasana di
perkampungan itu. Ciok Giok Yin mengikuti para tamu itu
melangkah memasuki perkampungan sambil menengok ke
sana ke man. Matanya agak terbelalak karena melihat halaman
yang amat luas. Itu membuktikan bahwa majikan
perkampungan Pah Ong Cuang tergolong orang yang kaya
raya.
Ruang depan pun amat luas, penuh dengan meja kursi dan
para tamu, sehingga kedengaran agak berbisik. Di tengahtengah
ruang itu terlihat seorang tua. Wajahnya berseri-seri
dan terus menjura kepada para tamu, sekaligus mempersilakan
mereka ke tempat duduk masing-masing. Karena Ciok Giok Yin
tidak begitu terkenal, maka dia memperoleh tempat duduk di
sudut ruangan. Tanpa sengaja dia melihat beberapa anggota
perkumpulan Sang Yen Hwee, karena bagian depan baju

mereka bersulam sepasang burung walet. Begitu melihat
anggota-anggota perkumpulan itu, rongga dadanya menjadi
penuh api kegusaran. Namun dia tidak berani bertindak
ceroboh, sebab hari ini adalah hari perkawinan putra
perkampungan Pah Ong Cuang. Bila ia bertindak ceroboh, akan
membangkitkan kemarahan para tamu. Mendadak dia
mendengar seorang tamu berkata,
"Mempelai perempuan bernama Ie Ling Ling."
Ciok Giok Yin tersentak mendengar itu. Kemudian dia
bertanya dalam hati, 'Apakah dia?'
Ternyata dia teringat akan pesan Cak Hun Ciu. Sebelum mati
Cak Hun Ciu menjodohkan putrinya yang bernama Ie Ling Ling
dengan Ciok Giok Yin. Apakah mempelai perempuan itu adalah
dia? Cak Hun Ciu memberitahukan padanya, bahwa Ie Ling
Ling kehilangan jejak, jangan-jangan gadis itu tertangkap
orang-orang perkampungan Pah Ong Cuang. Kehadiran
beberapa anggota perkumpulan Sang Yen Hwee itu
membuktikan bahwa majikan perkampungan Pah Ong Cuang
bukan tergolong orang baik-baik. Karena itu, Ciok Giok Yin
menoleh ke samping lalu bertanya pada seorang tamu berusia
pertengahan.
"Mempelai perempuan itu bernama Ie Ling Ling?"
Orang itu mengangguk.
"Dengar-dengar ya."
"Orang berasal dari mana?"
Orang itu menggelengkan kepala
"Tentang itu tidak begitu jelas."
Ciok Giok Yin merasa tidak enak untuk bertanya lagi. Namun
diam-diam dia mempertimbangkan dalam hati. Kalau benar
mempelai perempuan itu adalah Ie Ling Ling, lalu apa yang
harus dilakukannya? Apakah harus turun tangan merebutnya?

Ciok Giok Yin tidak dapat mengambil keputusan, sebab dia
belum pernah bertemu Ie Ling Ling calon istrinya itu. Apabila
salah rebut, pasti fatal akibatnya. Di saat Ciok Giok Yin sedang
bimbang mengambil keputusan, mendadak tercium bau arak
yang amat keras. Ciok Giok Yin segera menoleh ke samping.
Sungguh di luar dugaan si Bongkok Arak telah duduk di
sampingnya dan Ciok Giok Yin langsung memberi hormat
sambil bertanya.
"Lo cianpwee juga ke mari?"
Si Bongkok Arak menatapnya dengan mata dipicingkan lalu
balik bertanya.
"Apakah kau masih ingat akan pesan Cak Hun Ciu?"
Hati Ciok Giok Yin tergerak.
"Ingat."
"Kalau begitu kau terus bagaimana?"
"Justru masih dalam pertimbanganku."
Ciok Giok Yin mengerutkan kening.
"Lo cianpwee pernah dengar apa yang dikatakan Cak Hun Ciu
padaku?"
Si Bongkok Arak menggelengkan kepala.
"Aku sama sekali tidak pernah mendengarnya. Melainkan
orang lain yang memberitahukan padaku."
Di saat mereka berdua sedang bercakap-cakap, mendadak
salah seorang tamu yang duduk di dekat mereka menghela
nafas panjang seraya berkata,
"Sungguh kasihan gadis cantik jelita itu! Dia harus menikah
dengan seorang cacat yang menyerupai siluman. Sayang sekali
di dunia persilatan sudah tiada keadilan lagi, tiada seorang

pendekar pun yang mau mengulurkan tangan menolongnya."
Ciok Giok Yin memandang orang yang berkata itu. Ternyata
orang yang berdandan sastrawan berusia empat
puluhan. Sepasang mata Ciok Giok Yin langsung menyorot
dingin. Kemudian bangkit berdiri dan bertanya dengan suara
dalam.
"Apa maksud Anda?"
"Aku berkata seorang diri tidak ada urusan denganmu."
"Yang kau katakan tadi adalah Ie Ling Ling, mempelai
perempuan itu?"
Sastrawan itu tampak tertegun.
"Tentu."
"Dia adalah tunanganku, pasti aku akan menolongnya."
Sastrawan itu tertegun lagi. Sepasang bola matanya berputar
sejenak, kemudian dia bertanya dengan suara rendah,
"Saudara Kecil, sungguhkah kau punya nyali sebesar itu?"
Ciok Giok Yin mengangguk.
"Tentu."
Kini Ciok Giok Yin sudah yakin bahwa mempelai perempuan
itu pasti Ie Ling Ling.
"Baik, akan kupertaruhkan seribu tael perak, lihat kau punya
nyali sebesar itu apa tidak untuk menolong mempelai
perempuan itu," kata si Sastrawan. Usai berkata, dia lalu
membaurkan diri dengan para tamu.
Si Bongkok Arak segera berbisik.
"Kau jangan keliru lho! Nanti akan ditertawakan orang!"

"Tidak akan keliru, namanya memang Ie Ling Ling."
"Ingat! Banyak yang bernama sama di kolong langit!"
"Tidak peduli dia atau bukan, yang jelas itu adalah
perjodohan paksa, maka aku harus turut campur."
Di saat sedang berkata, Ciok Giok Yin melihat ada sepasang
mata memandangnya. Ternyata seorang gadis berpakaian
putih. Wajah gadis itu pucat pias tak berperasaan, namun
sepasang matanya amat indah dan jernih, sungguh memukau.
Ketika melihat Ciok Giok Yin memandangnya, gadis itu
langsung memandang ke tempat lain. Diam-diam Ciok Giok Yin
berkata dalam hati, 'Bentuk gadis itu sepertinya aku pernah
melihatnya, tapi tidak ingat di mana.' Mendadak terdengar
suara jeritan. Seorang tua yang duduk di meja di tengahtengah
ruangan itu mulutnya menyemburkan darah, lalu dia
roboh binasa. Seketika suasana di ruangan itu menjadi kacau
balau.
"Lu San Hu Siu (Orang tua Srigala Gunung Lu San)!" seru
seseorang.
Menyusul terdengar suara seruan lagi, yang bernada gusar.
"Kalau punya kepandaian silakan berdiri."
Sementara wajah Pah Ong Cuang Cuangcu tampak merah
padam saking gusarnya, kemudian berubah menjadi kehijauhijauan.
Dia bangkit berdiri, sepasang matanya menyorot
tajam dan dingin menyapu para tamu. Setelah itu dia berkata
dengan sengit.
"Hari ini adalah hari perkawinan putraku! Kalian para tamu
yang terhormat, jauh-jauh kalian ke mari justru masih
memandang mukaku! Tapi... tidak seharusnya cari gara-gara di
sini! Maka, kuharap orang yang turun tangan bersedia berdiri
untuk berbicara denganku!"
Suasana menjadi hening, namun tiada seorangpun yang

bangkit berdiri. Sedangkan Ciok Giok Yin dan si Bongkok Arak
juga merasa heran, sebetulnya siapa yang turun tangan? Pah
Ong Cuang Cuangcu kelihatan semakin gusar,
"Kalau tiada yang mau mengaku, seusai upacara perkawinan
putraku, aku akan melakukan penyelidikan!" bentaknya.
Di saat bersamaan salah seorang maju ke hadapan Pang Ong
Cuang Cuangcu seraya berkata.
"Cuangcu, sudah waktunya upacara!"
Pang Ong Cuang Cuangcu mengerutkan kening, kemudian
berseru.
"Upacara dimulai!"
Saat ini mayat Lu San Hu Siu sudah digotong ke
luar. Sedangkan Ciok Giok Yin ketika mendengar seruan
majikan perkampungan Pah Ong Cuang, sekujur badannya
menjadi gemetar. Dia bangkit berdiri lalu memandang ke
tengah ruangan. Tampak seorang pemuda berpakaian
pengantin berjalan ke tempat upacara. Dia memang bongkok,
mulutnya agak miring dan hanya memiliki sebelah kaki. Maka
tidak heran ketika berjalan dia harus memakai tongkat
penyanggah di bawah ketiaknya. Tangannya memegang sehelai
kain merah, diikuti mempelai wanita juga memegang ujung
kain merah itu. Wajahnya ditutupi kerudung merah dan tampak
dua pelayan mendampinginya.
Karena wajahnya tertutup kerudung merah, maka Ciok Giok
Yin tidak melihat wajahnya. Pandangan para tamu yang ada di
ruangan itu semuanya tertuju pada mempelai lelaki. Dalam hati
para tamu semuanya berkata, 'Sekunturn bunga indah justru
ditancapkan di atas tahi kerbau.' Memang tidak salah. Sebab
mempelai lelaki itu bertampang buruk, bongkok, mulutnya
miring, tidak mengerti ilmu silat dan kalau berbicara suaranya
sumbang. Akan tetapi majikan perkampungan Pah Ong Cuang
amat kaya dan berkuasa, maka dia berupaya menikahkan
putra kesayangannya itu. Saat ini kedua mempelai sudah
berdiri berhadapan di tengah-tengah ruangan. Terdengar

seruan lantang si pembawa acara.
"Mempelai lelaki dan mempelai perempuan...."
Seruan itu terputus karena mendadak terdengar suara
bentakan mengguntur.
"Tunggu!"
Tampak sosok bayangan berkelebat ke tempat upacara. Siapa
orang itu, tidak lain adalah Ciok Giok Yin. Dia tidak sabar lagi
ketika melihat tunangannya akan resmi menjadi isteri orang
lain maka langsung membentak sambil melesat ke tempat
upacara. Setelah sampai di sana dia langsung menyambar
mempelai wanita sekaligus membawanya pergi. Seketika
kacaulah suasana di tempat itu. Sedangkan majikan
perkampungan Pah Ong Cuang sama sekali tidak menduga ada
orang berani merebut mempelai wanita di hadapannya. Dapat
dibayangkan betapa gusarnya majikan perkampungan itu!
"Bocah, siapa kau?" bentaknya sengit.
Ciok Giok Yin berhenti, lalu berkata dalam hati, 'Aku harus
datang dengan bersih, pergi secara jelas."
"Dengar baik-baik, mempelai wanita ini adalah tunanganku,
namun kalian berani memaksanya menikah! Kalian sudah
jelas?"
Usai menyahut, Ciok Giok Yin mengempit mempelai wanita
lalu melesat pergi. Majikan perkampungan Pang Ong Cuang
segera membentak.
"Cepat halangi dia!"
Tampak beberapa bayangan orang berkelebat lalu melayang
turun menghadang di depan Ciok Giok Yin.
"Ciok Giok Yin, kau masih ingin kabur?" bentak salah seorang
dari mereka. Di saat bersamaan Ciok Giok Yin merasa ada dua
rangkum angin pukulan menerjang ke arahnya. Dia

mengerutkan kening sambil menoleh, ternyata dua anggota
perkumpulan Sang Yen Hwee. Seketika kegusaran Ciok Giok
Yin memuncak. Dia mengempit Ie Ling Ling erat-erat,
kemudian sebelah tangannya melancarkan pukulan menangkis.
Terdengar suara menderu-deru dan pukulan yang
dilancarkannya juga mengandung hawa panas. Kedua anggota
perkumpulan Sang Yen Hwee itu kelihatannya tahu akan
kelihayan pukulan itu, maka mereka segera berkelit ke arah
samping. Justru di saat bersamaan, Ie Ling Ling merontaronta,
memukul dan menggigit lengan Ciok Giok Yin. Apa boleh
buat Ciok Giok Yin terpaksa menotok jalan darahnya agar
diam. Bersamaan itu sudah muncul beberapa orang
menghadang di depan Ciok Giok Yin. Majikan perkampungan
Pah Ong Cuang juga sudah berdiri di situ dengan sepasang
matanya menyorot dingin.
"Bocah jahanam, cepat lepaskan dia!" bentaknya.
"Tidak! Sebab dia adalah tunanganku!"
Tindakan Ciok Giok Yin membuat para tamu merasa tidak
senang.
"Siapa kau?" tanya salah seorang tamu.
"Ciok Giok Yin!"
Begitu mendengar nama tersebut, majikan perkampungan
Pah Ong Cuang tertawa gelak.
"Ternyata kau! Belum lama ini kau membuat dunia persilatan
menjadi tidak tenang! Serahkan nyawamu!" bentaknya sambil
melancarkan pukulan.
Ciok Giok Yin sudah siap menangkis pukulan itu, akan tetapi
mendadak telinganya menangkap suara yang amat lirih.
"Kau cepat pergi, buat apa bertarung dengan mereka?"
Di saat bersamaan tampak sosok bayangan putih meluncur ke

tempat itu bagaikan kilat, kemudian menerjang ke sana ke
man membuat orang-orang menyingkir ke samping. Ciok Giok
Yin tidak berlaku ayal lagi. Dia memanfaatkan kesempatan itu
menerobos ke luar. Terdengar suara-suara seruan di
belakangnya.
"Kejar!"
"Jangan sampai bocah itu lobos!"
Makin lama suara seruan itu makin jauh, akhirnya tak
terdengar sama sekali. Namun Ciok Giok Yin masih terus
melesat. Tak lama tampak sebuah rimba di hadapannya. Dia
langsung melesat ke dalam rimba itu, kemudian menaruh Ie
Ling Ling ke bawah. Sedangkan Ie Ling Ling menatapnya
dengan mata tak berkedip, ternyata kerudung merah yang
menutupi mukanya telah terlepas, sehingga tampak wajahnya
yang amat cantik. Akan tetapi di balik wajah cantik itu tersirat
berbagai macam perasaan. Perasaan benci, gusar atau
gembira? Tiada seorang pun tahu.
Sedangkan hati Ciok Giok Yin juga berdebar-debar. Dia
berkata dalam hati, 'Benarkah dia adalah Ie Ling Ling? Kalau
benar, lalu harus bagaimana menjelaskan padanya?' Ciok Giok
Yin merasa serba salah! Tiba-tiba dia teringat sesuatu, maka
langsung menjulurkan tangannya membebaskan jalan darah Ie
Ling Ling, kemudian berkata terputus-putus.
"Ling... Ling...."
Dia tidak tahu harus bagaimana memanggil gadis itu. Maka
dia tidak melanjntkan ucapannya, melainkan berdiri tertegun di
tempat. Kini Ie Ling Ling sudah bisa bergerak. Justru
mendadak dia mengayunkan tangannya ketika bangkit berdiri.
Seketika terdengar suara 'Plak'. Pipi Ciok Giok Yin kena tampar
sehingga merah membengkak. Di saat bersamaan, gadis itu
pun membentak.
"Mau kau apakan diriku?"
Sepasang matanya yang indah jernih tampak berapiKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
api. Sedangkan Ciok Giok Yin yang kena tampar tanpa sadar
menyurut mundur dua langkah. Ie Ling Ling maju lagi
selangkah seraya membentak.
"Cepat katakan!"
Ciok Giok Yin terpaksa memberitahukan.
"Setahun yang lalu ayahmu menjodohkanmu pada...."
"Omong kosong!" sergah Ie Ling Ling.
"Aku berkata sungguh-sungguh," kata Ciok Giok Yin perlahanlahan.
Ie Ling Ling tertawa dingin,
"Selama belasan tahun ayahku terus berbaring di tempat
tidur, tidak pernah meninggalkan rumah! Bagaimana mungkin
ayahku menjodohkanku padamu? Kau adalah iblis seks! Aku
akan mengadu nyawa denganmu!"
Mendadak dia memukul Ciok Giok Yin. Ciok Giok Yin
bertambah tertegun mendengar itu. Dia segera menangkap Ie
Ling Ling.
"Sabar Nona, aku ingin bicara sebentar."
"Katakan!"
"Apakah ayahmu di dunia persilatan dijuluki Cak Hun Ciu?"
Sepasang mata Ie Ling Ling membara, "Kentut!"
Ciok Giok Yin terbelalak, sebab sikap Ie Ling Ling amat kasar,
dan tutur bahasanya juga tidak sopan. Itu membuatnya
menjadi bimbang.
"Apakah itu tidak benar?"
"Tentu."

"Harap Nona sudi menjelaskan!"
"Julukan ayahku di dunia persilatan adalah Tan Ciang Keng
Thian (Sebeiah Tangan Mengejutkan Langit) Yu Kang."
"Haah? Kalau begitu, margamu bukan Ie?" seru Ciok Giok Yin
tak tertahan.
"Siapa bilang aku bermarga Ie?" sahut gadis itu ketus.
"Kalau begitu...."
"Aku bermarga Yu."
Itu membuat Ciok Giok Yin terbelalak dan mulutnya
ternganga lebar, sebab nada Ie dan Yu memang hampir sama.
Kini Ciok Giok Yin telah melakukan kesalahan. Lalu harus
bagaimana mernperbaikinya? Ciok Giok Yin berdiri termangumangu,
tidak tahu harus berkata apa. Justru di saat
bersamaan, tampak sesosok bayangan berkelebat ke tempat
itu bukan main cepatnya. Begitu melihat kemunculan orang itu,
Nona Yu langsung mendekap di dadanya, dan isak tangisnya
pun meledak seketika. Ciok Giok Yin segera menoleh, ternyata
yang datang itu adalah sastrawan berusia empat puluhan, yang
pernah bertemu di perkampungan Pah Ong Cuang. Bahkan
sastrawan itu juga mempertaruhkan seribu tael perak, maka
tidak heran Ciok Giok Yin menjadi melongo. Sastrawan itu
menepuk bahu Nona Yu, seraya berkata lembut.
"Nak, jangan menangis! Untung Ciok siauhiap telah
menyelamatkanmu!"
"Paman, selanjutnya Anak Ling tidak punya muka bertemu
orang lagi."
"Itu tiada masalah."
Sastrawan itu tersenyum, kemudian menoleh memandang
Ciok Giok Yin seraya berkata.

"Terimakasih atas pertolongan siauhiap. Kegagahan turun
tangan menyelamatkan keponakan ini, tidak akan kami
lupakan selamanya."
Saat ini Ciok Giok Yin betul-betul naik darah.
"Ternyata semua ini adalah rencana Anda!" bentaknya sengit.
"Maksudmu?"
"Aku mengira Nona Yu ini bermarga Ie, karena Ie Ling Ling
adalah putri penolongku, bahkan juga menjodohkan putrinya
padaku! Tidak tahunya... jadi kacau balau sekarang!"
Sastrawan itu menghela nafas panjang.
"Siauhiap, walau aku mendengar jelas tentang urusan ini,
namun tidak memperhatikan pada suaramu. Akan tetapi aku
tetap menganggap tindakanmu itu justru benar."
"Aku tidak mengerti, harap dijelaskan!"
"Keponakanku ini bernama Yu Ling Ling, putri kakak
kandungku. Belasan tahun yang lalu, karena keliru melatih ilmu
kungfu, dia menjadi cacat, terus berbaring di tempat tidur. Tak
disangka beberapa bulan yang lalu, majikan perkampungan
Pah Ong Cuang mengutus orang pergi melamar keponakanku
ini. Siapa pun tahu bagaimana putra majikan perkampungan
Pah Ong Cuang. Tentunya kakakku menolak lamaran itu.
Bukan main gusarnya majikan perkampungan Pang Ong
Cuang! Beliau segera mengutus beberapa orang ke rumah
kakakku. Mereka mengatakan, kalau kakakku tetap tidak
setuju, maka akan memusnahkan rumah kakakku, termasuk
semua hewan piaraan. Karena ancaman itu, keponakanku
terpaksa mengorbankan dirinya, setuju menikah dengan putra
majikan perkampungan Pah Ong Cuang...." Sastrawan itu
berhenti sejenak, kemudian melanjutkan.
"Kini urusan sudah menjadi begini, harap siauhiap sudi
berkunjung ke rumah Yu untuk berunding harus bagaimana
selanjutnya."

Setelah mendengar penuturan itu barulah Ciok Giok Yin
paham, namun dia menolak.
"Maaf! Aku masih ada urusan lain, Kini Yu Ling Ling sudah
bersamamu. Selanjutnya harus bagaimana, terserah kalian
saja. Selamat tinggal!"
Usai berkata, Ciok Giok Yin langsung melesat pergi. Di saat
melesat pergi hatinya juga merasa kesal, sebab lantaran
kurang seksama akhirnya bertindak begitu ceroboh. Padahal
dia ingin mencari informasi tentang Seruling Perak di
perkampungan tersebut, namun sebaliknya malah bertindak
ceroboh, sehingga menambah seorang musuh tangguh. Ciok
Giok Yin terus melesat, mendadak jauh di depannya tampak
api dan asap membubung tinggi dan sayup-sayup terdengar
pula suara pertarungan. Ciok Giok Yin menggeleng-gelengkan
kepala. 'Lagi-lagi pertumpahan darah, karena dendam
kesumat,' gumamnya.
Semula Ciok Giok Yin tidak mau ke sana, namun rasa ingin
tahunya membuatnya melesat ke tempat tersebut. Tak
seberapa lama Ciok Giok Yin sudah mendekat tempat itu.
Rumah-rumah sedang dilalap api, terlihat pula begitu banyak
orang bertarung, juga mayat-mayat bergelimpangan di tanah.
Ciok Giok Yin memperhatikan orang-orang yang sedang
bertarung itu. Mendadak sepasang matanya membara. Dia
membentak lantang, kemudian melesat ke arena pertarungan.
"Kalian memang harus mampus!"
Ternyata dia melihat para anggota perkumpulan Sang Yen
Hwee sedang membantai para pesilat. Begitu sampai di arena
pertarungan, dia pun melancarkan jurus pertama ilmu pukulan
Hong Lui Sam Ciang. Seketika terdengar suara jeritan
menyayat hati. Dan tampak darah muncrat ke mana-mana.
Ciok Giok Yin terus menyerang para anggota perkumpulan
Sang Yen Hwee. Dia mengeluarkan jurus pertama dan jurus
kedua ilmu pukulan Hong Lui Sam Ciang, namun tidak dapat
mengeluarkan jurus ketiga karena merasa ada halangan di saat
mengerahkan lwee kangnya. Sekonyong-konyong terdengar

suara terompet di tempat jauh. Beberapa anggota
perkumpulan Sang Yen Hwee yang tersisa segera melarikan
diri. Di saat Ciok Giok Yin baru mau mengejar mereka,
mendadak terdengar seruan seseorang.
"Harap siauhiap jangan kejar mereka!"
Ciok Giok Yin menoleh, melihat seorang pesilat muda.
"Bagaimana kalian bergebrak dengan mereka?" tanyanya.
Pesilat muda itu menghela nafas lalu menyahut.
"Di sini adalah gunung Kee Jiau San (Gunung Cakar Ayam),
juga adalah markas partai Thay Kek Bun. Beberapa hari yang
lalu muncul utusan perkumpulan Sang Yen Hwee
menyampaikan sepucuk surat, yang isinya menyuruh ketua
kami bernama Lokko Siang tunduk pada perkumpulan Sang
Yen Hwee. Kalau tidak, darah pasti banjir di partai kami...."
Ucapan pesilat muda itu belum sesesai, tiba-tiba terdengar
suara seruan pilu.
"Ayah! Ayah...!"
Air muka pesilat muda itu langsung berubah dan dia segera
melesat ke arah suara seruan itu. Ciok Giok Yin tidak mau
ketinggalan. Dia pun ikut melesat ke sana. Di bawah cahaya
api yang masih berkobar-kobar, tampak seorang gadis
berjongkok di samping sesosok mayat. Saat ini orang-orang
yang bertarung tadi sudah berkumpul di situ.
"Bagaimana keadaan Bun Cu (Ketua)?" seru mereka tak
tertahan.
Rupanya sosok mayat itu adalah ketua partai Thay Kek Bun.
Sementara pesilat muda yang berbicara dengan Ciok Giok Yin
tadi, begitu melihat gadis itu pingsan, dia segera menjulurkan
tangannya. Akan tetapi Ciok Giok Yin cepat-cepat berseru.
"Tunggu!"

Pesilat muda itu manarik kembali tangan lalu memandang
Ciok Giok Yin seraya bertanya.
"Ada apa, siauhiap?"
Ciok Giok Yin menyahut.
"Aku mengerti ilmu pengobatan. Dia tidak apa-apa, hanya
terlampau sedih, sehingga darahnya bergolak di rongga
dadanya. Apabila kau menyentuhnya akan fatal akibatnya."
Ciok Giok Yin bergerak cepat menotok beberapa jalan darah
gadis itu kemudian bertanya.
"Siapa di antara kalian yang memiliki lwee kang tertinggi?"
Pesilat muda itu menengok ke sana ke mari, setelah itu
menggeleng-gelengkan kepala seraya menyahut.
"Selain Bun Cu kami, tiada seorang pun memiliki lwee kang
tertinggi. Kini ketua kami sudah mati, kami... harus
bagaimana?"
Ciok Giok Yin menatap gadis itu sejenak, setelah itu bertanya,
"Gadis ini adalah putri ketua kalian?"
Pesilat muda itu mengangguk.
"Ya."
Ciok Giok Yin mengerutkan kening sambil berpikir. Berselang
sesaat barulah dia duduk bersilat. Telapak tangannya
ditempelkan pada punggung gadis tersebut lalu mengerahkan
Sam Yang Hui Kang ke dalam tubuhnya. Tak seberapa lama
gadis itu mengeluarkan suara.
"Uaaaakh...!"
Ternyata mulutnya memuntahkan segumpal darah kental.
Namun kemudian dia mulai siuman perlahan-lahan. Setelah itu

dia mulai menangis lagi. Saat ini yang lain sudah pergi
memadamkan api. Ada juga yang mengobati luka masingmasing,
dan mayat-mayat yang bergelimpangan itupun
dibereskan. Ciok Giok Yin bangkit berdiri, sekaligus menarik
tangan gadis itu seraya berkata,
"Nona, jagalah kesehatanmu! Orang mati tidak akan bisa
hidup lagi...."
Mendadak Ciok Giok Yin terbelalak dan ucapannya terhenti.
Ternyata dia melihat jelas wajah gadis itu, yang tidak lain
adalah gadis yang bersama Thian Thay Sian Ceng, yang
dipanggil 'Anak Ceh'
"Nona adalah murid Thian Thay Sian Ceng?" tanyanya.
Gadis itu berhenti menangis lalu mendongakkan kepala,
Seketika matanya terbeliak lebar meskipun masih bersimbah
air.
"Kau...."
Dia langsung mendekap di dada Ciok Giok Yin dan isak
tangisnya pun meledak. Pesilat muda itu tidak menyangka
bahwa putri ketuanya kenal pada Ciok Giok Yin. Ciok Giok Yin
menepuk bahu gadis itu seraya berkata lembut.
"Nona Lok, ayahmu sudah meninggal, kini kau memikul beban
sebagai ketua partai Thay Kek Bun. Kalau kau terus menerus
menangis, ayahmu pasti tidak tenang di alam baka."
Walau Ciok Giok Yin berkata demikian, gadis itu tetap
menangis sedih. Itu memang wajar. Pesilat muda itu pun ikut
menghibur gadis itu, tapi isak tangis gadis tersebut tetap tidak
berhenti. Mendadak terdengar suara seruan mengguntur.
"Kami mendukung nona jadi ketua!"
"Kami bersumpah menuntut balas dendam ketua lama!"
Ternyata para murid partai Thay Kek Bun yang berseru.

Mereka kelihatan sedih tapi amat bersemangat. Lok Ceh
mendongakkan kepala memandang mereka, kemudian
menatap Ciok Giok Yin. Setelah itu dia memandang lagi para
murid Thay Kek Bun itu sambil berkata perlahan-lahan.
"Aku tidak pantas jadi ketua."
"Nona harus menerima beban itu, kau tidak boleh melihat
partai Thay Kek Bun jadi bubar! Setelah dendam ayahmu
terbalas kau masih bisa memilih ketua baru kan?"
"Kalau begitu kau bersedia tinggal di sini membantu kami?"
sahut Lok Ceng terisak-isak.
"Aku masih ada urusan lain, kalau ada kesempatan aku pasti
ke mari menengokmu." Ciok Giok Yin menjura. "Harap Nona
jaga diri baik-baik, selamat tinggal!" tambahnya lalu melesat
pergi.
"Tunggu!" seru Lok Ceh sambil melesat menyusul Ciok Giok
Yin.
Ciok Giok Yin segera berhenti lalu membalikkan badannya
seraya bertanya.
"Nona ada pesan apa?"
Loh Ceh manatapnya sejenak, kemudian menyahut.
"Antara suhuku dan kau kelihatannya seperti terdapat
dendam yang amat dalam. Apabila bertemu suhuku, harap kau
berhati-hati!"
"Bolehkah Nona menjelaskannya?"
Lok Ceh menggeleng kepala,
"Mengenai itu aku memang tidak begitu jelas, tapi suhuku
telah memberi perintah pada kami semua, harus bisa
menangkap hidup-hidup atau membunuhmu."

Ciok Giok Yin mengerutkan kening lalu menatap gadis itu
seraya bertanya!
"Betulkah begitu gawat?"
"Ya. Karena itu kau harus lebih berhati-hati."
Ciok Giok Yin menjura.
"Terimakasih atas petunjuk Nona, jaga dirimu baik-baik,
sampai jumpa!" katanya lalu melesat pergi. Lok Ceh terus
memandang punggungnya hingga lenyap dari pandangannya.
Beberapa saat dia berdiri termangu-mangu. Akhirnya dia
mengambil keputusan, harus meneruskan kedudukan
almarhum ayahnya sebagai ketua partai Thay Kek Bun, lalu
berupaya menuntut balas kematian ayahnya. Sementara itu
Ciok Giok Yin terus melesat dengan perasaan tercekam. Dia
tidak habis pikir, ada dendam apa antara dirinya dengan Thian
Thay Sian Ceng?
Mengapa Thian Thay Sian Ceng sedemikian membencinya?
Apakah Thian Sian Ceng punya dendam dengan suhunya?
Ataukah punya dendam dengan kedua orang tuanya? Akan
tetapi mengenai kedua orang tuanya, kecuali si Bongkok Arak
dan Te Hang Kay, kaum rimba persilatan lain tidak ada yang
tahu, bahkan dirinya sendiri pun tidak tahu jelas. Lalu mengapa
Thian Thay Sian Ceng sedemikian membencinya? Ciok Giok Yin
terus berpikir, tapi tidak menemukan jawabannya. Di saat dia
sedang berpikir, mendadak dua sosok bayangan meluncur
bagaikan kilat ke arahnya. Itu membuatnya terkejut sekali.
Jilid 14
Kedua sosok bayangan itu turun di hadapannya. Ternyata si
Bongkok Arak dan Cou Ing Ing.
"Lo cianpwee!" seru Ciok Giok Yin.
Dia menatap Cou Ing Ing sejenak, tapi ingin memanggil gadis

itu. Oleh karena itu dia pilih diam. Sedangkan si Bongkok Arak
malah meneguk arak sampai beberapa teguk, kemudian baru
membuka mulut.
"Kami telah salah melakukan satu hal."
Ciok Giok Yin tertegun.
"Hal apa?"
"Tentang kejadian di perkampungan Pah Ong Cuang."
Mendengar itu wajah Ciok Giok Yin langsung memerah,
kemudian dia menghela nafas panjang dan berkata.
"Sebab itu kini bertambah satu musuh tangguh."
Si Bongkok Arak melotot seraya bertanya, "Kau menyesal?"
"Menyesal pun telah terjadi."
"Hmm! Kau harus banyak istri agar bisa bersenang-senang
dan hidup bahagia. Itu merupakan cara terbaik, bukan?" kata
Cou Ing Ing seperti bergumam ditujukan kepada Ciok Giok Yin.
Dia berkata sungguh-sungguh atau menyindir, Ciok Giok Yin
sama sekali tidak tahu. Ciok Giok Yin menatapnya sejenak,
kemudian tersenyum getir. Namun dia tidak berani
mengucapkan apa pun sebab dia tahu bahwa Cou Ing Ing
masih dendam padanya lantaran tindakannya sehingga
ayahnya mati bunuh diri. Berselang sesaat si Bongkok Arak
berkata.
"Perbuatan itu tidak perlu disesalkan, karena merupakan
perbuatan seorang pendekar. Coba pikir, Nona Yu menikah
dengan lelaki semacam itu bagaimana mungkin akan rela?
Jangan-jangan dia akan membunuh diri. Kau merusak
pernikahan itu, justru telah menyelamatkan Nona Yu, juga
menyelamatkan putra majikan perkampungan Pah Ong Cuang.
Sebab kalau tidak, kemungkinan besar Nona Yu akan
membunuhnya."

Ciok Giok Yin berpikir sejenak kemudian manggut-manggut,
sebab apa yang dikatakan si Bongkok Arak itu memang masuk
di akalnya. Mendadak Cou Ing Ing memandang ke langit lalu
menambahkan beberapa patah kata.
"Kelak Nona Yu itu pasti membalas budi pertolongan tersebut,
tentunya merupakan pasangan yang serasi." Usai berkata,
mulut gadis itu tampak cemberut.
Ciok Giok Yin tersenyum getir.
"Adik Ing, aku bukan...."
"Siapa Adik Ingmu?" bentak Cou Ing Ing.
Sesungguhnya Cou Ing Ing ingin sekali akrab kembali dengan
Ciok Giok Yin. Namun ayahnya baru saja mati, bahkan secara
tidak langsung mati di tangan Ciok Giok Yin. Ditambah kali ini
Ciok Giok Yin tidak bicara baik-baik dan lembut padanya,
malah terus diam saja. Karena itu kemarahannya menjadi
bangkit kembali. Setelah itu Cou Ing Ing membentak, hati Ciok
Giok Yin menjadi panas, namun dia tetap sabar.
Menyaksikan itu, si Bongkok Arak segera berkata, "Nona Cou,
harap bersabar!"
Kemudian dia menoleh memandang Ciok Giok Yin seraya
berkata.
"Kau harus memperoleh Seruling Perak secepatnya, agar
dapat menguasai ilmu silat tertinggi di kolong langit."
"Seruling Perak?"
"Tidak salah."
"Lo cianpwee, apabila aku memperoleh Seruling Perak itu,
justru hanya diserahkan kepada keturunan Hai Thian Tayhiap.
Bagaimana mungkin aku bisa menguasai ilmu silat tertinggi di
kolong langit?"

"Setelah kau menguasai ilmu silat tertinggi di kolong langit,
barulah Seruling Perak itu kau serahkan kepadanya pun tidak
akan terlambat."
"Bukankah itu berarti secara tidak langsung aku menyerakahi
milik orang lain?"
Si Bongkok Arak tertawa gelak.
"Tidak jadi masalah. Pokoknya aku yang bertanggung jawab."
Sesungguhnya Ciok Giok Yin juga menginginkan demikian.
Apabila berhasil memperoleh Seruling Perak dan kitab Cu Cian,
maka dia akan melatih ilmu silat tertinggi di kolong langit agar
bisa menuntut balas dendam suhunya, kakak angkatnya
mertuanya dan membasmi perkumpulan Sang Yen Hwee.
Maka dia bertanya kepada si Bongkok Arak.
"Apakah lo cianpwee telah memperoleh kabar tentang
Seruling Perak itu?"
Si Bongkok Arak mengangguk.
"Tentu."
Hati Ciok Giok Yin tergerak.
"Di mana?"
"Sekarang kita harus ke kaki Gunung Cong Lam San."
Ciok Giok Yin terbelalak.
"Ke kaki Gunung Con Lam San?"
"Ng!"
"Seruling Perak berada di sana?"

"Kita ke sana menunggu seseorang!"
"Menunggu seseorang?"
Mendadak si Bongkok Arak menyela.
"Orang itu menerima pesan dari Can Hai It Kiam. Dia akan
menyerahkan sepucuk surat padamu, berhubungan dengan
Seruling Perak dan asal usulmu. Tapi orang itu tertangkap oleh
perkumpulan Sang Yen Hwee, lalu dipaksa harus
memberitahukan jejak Seruling Perak."
"Hah? Surat?" seru Ciok Giok Yin tertahan.
"Yang kita harapkan adalah surat itu," kata si Bongkok Arak.
Sekonyong-konyong sepasang mata Cou Ing Ing menyorot
dingin, kemudian dia membentak, "Cepat buka bajumu!"
Perubahan yang mendadak itu sungguh membuat Ciok Giok
Yin tertegun, namun di samping itu juga membangkitkan sifat
angkuhnya.
"Apa maksudmu?" tanyanya.
"Sudah pasti ada sebab tertentu," sahut Cou Ing Ing ketus.
"Aku tidak."
"Kau berani bilang tidak?"
"Aku sudah bilang tidak, lalu kenapa?"
"Mencabut nyawamu!"
Saking gusarnya, Ciok Giok Yin malah tertawa gelak.
"Apakah begitu gampang?"
Cou Ing Ing mengerutkan kening.

"Sungguhkah kau tidak bisa?"
"Tidak bisa."
Cou Ing Ing mulai mengangkat sebelah tangannya. Wajahnya
penuh diliputi hawa membunuh. Mendadak dia bergerak
secepat kilat, ternyata telah melancar sebuah pukulan. Biar
bagaimana pun Ciok Giok Yin tetap merasa bersalah terhadap
Cou Ing Ing, maka dia tidak mau menangkis maupun berkelit.
Kelihatannya Ciok Giok Yin akan terhantam oleh pukulan itu.
Namun di saat bersamaan si Bongkok Arak cepat-cepat
mendorong dan sebelah tangannya ke depan seraya berkata,
"Nona Cou, dia tidak akan palsu."
Cou Ing Ing segera menarik kembali pukulannya, sekaligus
mundur dua langkah, namun sepasang matanya masih tetap
menyorot dingin.
Justru itu membuat Ciok Giok Yin menjadi terperangah.
Si Bongkok Arak berkata,
"Saudara Kecil, tentunya kau juga tahu, kini di dunia
persilatan terdapat seseorang memalsukan dirimu dan selalu
melakukan kejahatan. Karena itu dia menghendakimu
membuka baju, ingin tahu apakah di dadamu terdapat sebuah
tahi lalat merah apa tidak."
Ciok Giok Yin betul-betul dibuat kewalahan.
"Lo cianpwee juga tidak percaya?" tanyanya kepada si
Bongkok Arak.
"Tidak bisa tidak kemudian."
Apa boleh buat Ciok Giok Yin terpaksa membalikkan
badannya menghadap si Bongkok Arak, kemudian membuka
bajunya, agar si Bongkok Arak dapat melihat bagian dadanya.

Si Bongkok Arak manggut-manggut.
"Kita cepat pergi!" katanya pada Cou Ing Ing lalu melesat
pergi. Cou Ing Ing melototi Ciok Giok Yin, kemudian melesat
pergi mengikuti si Bongkok Arak. Ciok Giok Yin menarik nafas
dalam-dalam, setelah itu dia pun melesat pergi mengikuti
mereka.
Ilmu ginkang yang paling rendah di antara mereka bertiga,
tentunya adalah Ciok Giok Yin, maka dia tertinggal belasan
depa. Sedangkan si Bongkok Arak kelihatannya belum
mengerahkan ginkangnya sepenuh tenaga, namun
kecepatannya sudah seperti sambaran kilat. Begitu pula ilmu
ginkang yang dimiliki Cou Ing Ing, maka membuat Ciok Giok
Yin amat terkejut dalam hati. Ciok Giok Yin tidak habis pikir,
bagaimana dalam beberapa bulan kepandaian Cou Ing Ing
menjadi begitu tinggi? Apakah dia menemukan suatu
kemujizatan sehingga kepandaiannya bertambah begitu cepat?
Dia merasa amat malu dalam hati, sebab nafasnya sudah
mulai tersengal-sengal. Tapi dia berkertak gigi, terus melesat
dengan sepenuh tenaga. Ketika hari mulai sore mereka bertiga
sudah tiba di kaki Gunung Cong Lam San. Si Bongkok Arak
yang berdiri di atas sebuah batu besar mendadak berseru,
"Celaka!"
Badannya mencelat ke belakang sambil melancarkan sebuah
pukulan ke belakang. Seketika terdengar suara jeritan dan
tampak seseorang terpental kemudian roboh binasa. Si
Bongkok Arak menoleh ke belakang,
"Cepat pergi!" katanya.
Kemudian dia melesat ke dalam lembah, si Bongkok Arak
terus melancarkan pukulan ke kiri dan ke kanan, bahkan
kadang-kadang ke depan. Terdengar suara jeritan di sana sini.
Ciok Giok Yin yang melesat di paling belakang melihat mayatmayat
bergelimpangan. Ternyata para anggota perkumpulan
Sang Yen Hwee yang mati terkena pukulan yang dilancarkan si

Bongkok Arak. Mendadak si Bongkok Arak melesat ke atas
sebuah batu besar dan tinggi. Dia melihat belasan anggota
perkumpulan Sang Yen Hwee terpencar menjaga di sana. Di
tengah-tengah pelataran batu itu berdiri seseorang. Dia adalah
Cong Hoat (Kepala Pelindung) Perkumpulan Sang Yen Hwee.
Julukannya adalah Siau Bin Sanjin (Orang Gunung Wajah
Tawa), bernama Li Mong Pai. Di sudut pelataran batu itu
tergeletak seorang berpakaian abu-abu. Dia adalah Tui Hong
Khek (Si Pengejar Angin) Cou Kiong dari partai Cong Lam Pai.
Ternyata tangan Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai menekan jalan
darah Pai Hwee Hiat Cou Kiong. Begitu melihat kemunculan si
Bongkok Arak, Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai langsung tertawa
dingin dan berkata.
"Sungguh cepat Anda memperoleh informasi ini!"
Si Bongkok Arak tertawa gelak lalu menyahut.
"Sepasang kakimu juga amat cepat."
Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai tertawa dingin lagi.
"Apakah Anda bisa memberitahukan nama asli?"
Si Bongkok Arak menyahut.
"Li Mong Pai, itu tidak perlu. Apabila kalian ingin
meninggalkan tempat ini dengan selamat, lebih baik
melepaskan orang itu!"
Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai tertawa kering dua kali lalu
berkata.
"Anda jangan bermimpi, sebab kami masih belum
memperoleh benda yang kami inginkan!"
Justru di saat bersamaan Cou Ing Ing melesat ke atas
pelataran batu itu. Ketika menyaksikan keadaan pamannya
yang mengenaskan, dia langsung berseru memanggilnya
dengan pilu.

"Paman! Paman...!"
Ketika dia baru mau menghampiri Cou Kiong, mendadak Siau
Bin Sanjin-Li Mong Pai tertawa licik dan berkata.
"Kalau kau berani maju melangkah lagi, lohu pasti segera
mencabut nyawanya!"
Usai berkata, Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai mengerahkan
sedikit lwee kangnya. Seketika juga Cou Kiong merintih dan
mulutnya menyemburkan darah segar. Setelah itu dia
memandang Cou Ing Ing dengan mata suram.
"Anak Ing...!" panggilnya lemah.
Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai mengerahkan sedikit tenaga lagi,
membuat Cou Kiong berkertak gigi menahan sakit.
"Lebih baik kau simpan sedikit semangatmu!" kata Siau Bin
Sanjin-Li Mong Pai sambil tertawa berkekeh-kekeh.
Cou Kiong mengeluarkan suara rintihan.
"Emmmh!"
Bukan main sakitnya hati Cou Ing Ing menyaksikan itu. Tapi
dia tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali mengucurkan air mata
dan berdiri termangu-mangu di tempat. Begitu pula si Bongkok
Arak, tak terpikirkan suatu cara untuk menolong Cou Kiong.
Tapi biar bagaimana pun dia harus menyelamatkannya. Sebab
kalau tidak, Seruling Perak pasti akan tiada yang tahu. Kalau
tidak berhasil memperoleh Seruling Perak itu, selamanya Ciok
Giok Yin tiada punya kesempatan untuk membalas dendam.
Mendadak terdengar suara siulan panjang dan tampak sosok
bayangan melesat ke pelataran batu. Siapa orang itu? Tidak
lain adalah Ciok Giok Yin. Begitu dia melihat para anggota
perkumpulan Sang Yen Hwee menjaga di situ, timbullah
kegusarannya dan langsung menyerang mereka. Yang
digunakan adalah ilmu pukulan Hong Lui Sam Ciang, jurus

pertama dan jurus kedua. Terdengar suara jeritan yang
menyayat hati. Ternyata telah terjadi pertarungan mati-matian.
Sementara Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai, ketika melihat
kemunculan Ciok Giok Yin, sepasang matanya langsung
memancarkan sinar tajam dan dingin, kemudian memandang
para anggota perkumpulan Sang Yen Hwee.
"Kalian harus menghalangi bocah keparat itu!" serunya
dengan lantang. Seruan itu merupakan perintah, maka para
anggota perkumpulan Sang Yen Hwee itu segera mengepung
Ciok Giok Yin.
Di saat Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai berseru, tanpa sadar
telapak tangannya yang menekan Cou Kiong mengendur. Itu
tidak terlepas dari mata si Bongkok Arak. Karena itu
kesempatan tersebut tidak disia-siakan. Dengan gerakan yang
amat cepat dia melesat ke arah Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai.
Perlu diketahui, Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai juga
berkepandaian amat tinggi dan bereaksi cepat. Namun pukulan
yang dilancarkan si Bongkok Arak sudah mendekati dadanya.
Maka dia harus menangkis kalau tidak, pasti akan terluka
parah, bahkan mungkin juga nyawanya akan melayang. Akan
tetapi dia tidak gugup sama sekali, sebaliknya malah tertawa
panjang sambil sebelah tangannya mendorong Cou Kiong.
Seketika terdengar suara jeritan dan badannya terpental
beberapa depa lalu roboh. Di saat bersamaan sebelah
tangannya ingin menangkis pukulan yang dilancarkan si
Bongkok Arak, tapi justru terlambat sedikit.
Plak!
Bahunya terkena pukulan. Sehingga tulangnya remuk. Dapat
dibayangkan betapa sakitnya.
Phuuuuh!
Seketika itu juga mulutnya menyemburkan darah segar.
Badannya terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang

dan kelihatan tak dapat berdiri tegak.
Betapa terkejutnya Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai, sebab dia
tidak tahu siapa orang tua bongkok itu. Dia tahu jelas bahwa
orang tua bongkok itu telah membuatnya terluka dalam
sehingga sulit baginya memberikan perlawanan. Dia juga tahu
bahwa nyawa Cou Kiong sudah sulit untuk diselamatkan.
Karena itu dia berkata dengan suara serak,
"Baik, kita sudah serah terima!" Dia segera mundur dari
tempat itu. "Mari kita pergi!"
Para anggota perkumpulan Sang Yen Hwee cepat-cepat
meninggalkan pelataran batu itu.
"Li Mong Pai, aku selalu menunggu pembalasanmu!" kata si
Bongkok Arak sambil tertawa terbahak-bahak lalu melesat ke
arah Cou Kiong.
Sedangkan Cou Ing Ing, ketika melihat Siau Bin Sanjin-Li
Mong Pai pergi, dia langsung mendekati Cou Kiong,
"Paman! Paman!" panggilnya sambil menangis.
Akan tetapi Cou Kiong sudah sekarat. Tangan dan kakinya
sedingin es. Untung Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai cuma
mendorongnya. Kalau memukulnya, nyawanya pasti sudah
melayang saat itu. Cou Ing Ing terus menangis hingga
suaranya menjadi serak. Gadis itu teringat masa kecilnya.
Setiap kali Cou Kiong pulang ke rumah, pasti mengajarnya ilmu
silat. Tak disangka.... Ciok Giok Yin juga kenal Cou Kiong. Maka
ketika melihat para anggota perkumpulan Sang Yen Hwee
melarikan diri, dia sama sekali tidak mengejar, melainkan
mendekati Cou Kiong.
"Paman Cou! Paman Cou!" panggilnya dengan air mata
berlinang.
Di saat inilah si Bongkok Arak melayang turun dan langsung
menegur mereka berdua.

"Apa gunanya kalian berdua menangis dan memanggilnya?
Biar kulihat sebentar!"
Dia memutar guci araknya yang tergantung di punggungnya
di depan lalau meneguk beberapa kali. Setelah itu barulah dia
menjongkokkan badannya.
"Lo cianpwee, tolong selamatkan pamanku!" kata Cou Ing Ing
terisak-isak.
Si Bongkok Arak mengangguk.
"Aku akan berusaha sekuat tenagaku."
Orang tua bongkok itu segera membangunkan Cou Kiong
untuk duduk, kemudian dia sendiri duduk di belakangnya dan
sepasang telapak tangannya ditempelkan pada punggungnya.
Ternyata si Bongkok Arak menyalurkan lwee kangnya ke dalam
tubuh Cou Kiong. Berselang beberapa saat ubun-ubun si
Bongkok Arak mulai mengeluarkan uap putih dan dari
keningnya merembes keluar keringat sebesar kacang hijau. Itu
membuktikan dia sedang menyalurkan lwee kang sepenuhnya.
Ciok Giok Yin dan Cou Ing Ing menyaksikannya dengan hati
cemas. Cou Ing Ing mencemaskan nyawa Cou Kiong. Gadis itu
berharap pamannya itu bisa selamat. Sedangkan Ciok Giok Yin
mencemaskan asal usul dirinya. Apabila Cou Kiong mati, sudah
barang tentu dia tidak akan tahu asal usul dirinya juga tidak
akan tahu tentang Seruling Perak, bahkan tidak bisa belajar
ilmu silat tertinggi di kolong lagit. Lalu bagaimana dapat
menuntut balas semua dendam itu?
Setelah Can Hai It Kiam mati, dia kira selamanya tidak akan
tahu asal usulnya. Siapa sangka justru muncul si Bongkok Arak
memberitahukan tentang Cou Kiong. Coba bayangkan
bagaimana dia tidak cemas dan panik menyaksikan keadaan
Cou Kiong yang sekarat itu? Lewat beberapa saat si Bongkok
Arak melepaskan sepasang telapak tangannya lalu menghela
nafas panjang sambil berkata, "Aku sudah berusaha sekuat
tenagaku." Dia menyeka keringat di keningnya, lalu
memandang Cou Ing Ing.

"Sebentar lagi dia akan siuman. Manfaatkan kesempatan itu
untuk menanyakan tentang Seruling Perak, jangan menyianyiakan
kesempatan itu!"
Berselang sesaat Cou Kiong mengeluarkan suara lemah.
"Emmmmh...."
Cou Ing Ing cepat-cepat memanggilnya.
"Paman! Anak Ing di sini."
Ciok Giok Yin juga ikut memanggilnya.
"Paman Kiong! Paman Kiong pasti masih ingat padaku."
Kelihatan Cou Kiong mendengar suara mereka. Sepasang
matanya terbuka perlahan-lahan, namun amat suram. Dia
memandang Cou Ing Ing dan bibirnya bergerak. Kemudian dia
pun memandang Ciok Giok Yin. Keningnya sedikit berkerut,
sepertinya dia tidak mengenali Ciok Giok Yin.
Ciok Giok Yin segera berkata.
"Belasan tahun yang lalu aku ikut Tioang Ciu Sin Ie pernah
tinggal di rumah keluarga Cou beberapa waktu. Paman Cou
coba ingat!"
Cou Ing Ing cepat-cepat menyambung, "Paman, dia adalah
Anak Yin."
Bibir Cou Kiong bergerak lagi, namun tidak mengeluarkan
suara. Cou Ing Ing tampak gugup.
"Paman tahu asal-usul Anak Yin dan tentang Seruling Perak
itu?"
Bibir Cou Kiong terus bergerak. Kelihatannya dia amat
menderita, tapi akhirnya berhasil mengeluarkan suara yang
amat lirih.

"Can... Hai... It... Kiam... dibunuh... oleh... Ciok... Giok...
Yin...."
Cou Ing Ing segera menyela.
"Bukan dia. Orang lain yang menyamar sebagai dirinya
membunuh Can Hai It Kiam. Anak Ing berani menjamin itu.
Paman, cepatlah beritahukan tentang Seruling Perak!"
Sebetulnya Ciok Giok Yin juga ingin menjelaskan, tapi si
Bongkok Arak langsung memberi isyarat padanya agar diam.
Berselang sesaat, bibir Cou Kiong bergerak lagi dan terdengar
suaranya yang amat lirih.
"Sebelum... mati... Can... Hai... It... Kiam... berpesan
padaku... mencari... Tiong... Ciu... Sin... Ie... menyerahkan...
sesuatu...."
"Menyerahkan apa?" tanya Cou Ing Ing.
Kelopak mata Cou Kiong mulai tertutup, namun mulutnya
masih mengeluarkan suara lirih.
"Di... dalam... baju...."
Bibirnya masih bergerak, namun tidak mengeluarkan suara
lagi. Sedangkan sepasang matanya sudah tertutup rapat.
Ternyata dia telah mati.
"Dia belum memberitahukan Seruling Perak berada di mana?"
tanya si Bongkok Arak sambil menghela nafas panjang.
Ciok Giok Yin yang cerdas itu tiba-tiba teringat akan
perkataan terakhir Cou Kiong 'Di dalam baju'.
Karena itu dia segera berkata, "Tadi Paman Kiong
mengatakan di dalam baju, jangan-jangan rahasia itu berada di
dalam bajunya, tentunya dijahit dari dalam."

Apa yang dikatakan Ciok Giok Yin, justru menyadarkan si
Bongkok Arak dan Cou Ing Ing.
"Tidak salah. Memang tidak terpikirkan ke situ?" kata mereka
serentak.
Cou Ing Ing segera membalikkan baju Cou Kiong, sekaligus
memeriksanya dengan seksama. Di balik baju itu memang
terdapat jahitan benang kuning, tapi tidak terdapat apa
pun. Mereka bertiga terus memperhatikan jahitan benang
kuning itu, tapi tetap tidak menemukan apa-apa. Akan tetapi si
Bongkok Arak yakin bahwa dalam jahitan benang kuning
tersebut pasti tersimpan suatu rahasia yang menyangkut
Seruling Perak. Seandainya Cou Kiong bisa hidup beberapa
saat, tentunya akan memberitahukan rahasia itu. Cou Kiong
pasti tahu sebab Can Hai It Kiam pasti telah memberitahukan
padanya. Si Bongkok Arak menyobek kain itu lalu diserahkan
kepada Ciok Giok Yin.
"Cari akal untuk mengungkap teka-teki ini!" katanya.
Ciok Giok Yin menerima kain itu dengan kening berkerut.
"Lo cianpwee, apakah masih ada orang di dunia persilatan
yang dapat mengungkap teka-teki ini?"
Si Bongkok Arak meneguk araknya, sehingga terdengar suara
'Kruk! Kruk!'
Setelah itu barulah dia menyahut,
"Biar kupikir sebentar!"
Keningnya tampak berkerut-kerut, kemudian kepalanya
dimiringkan ke kiri dan ke kanan, kelihatannya dia memang
sedang berpikir keras.
"Ada," katanya kemudian.
"Siapa?" tanya Ciok Giok Yin.

Si Bongkok Arak menyahut,
"Orang itu mahir dalam hal perbintangan, pengobatan,
lukisan, musik dan lain sebagainya. Lagi pula ilmu silatnya
sudah mencapai taraf kesempurnaan."
Walau si Bongkok Arak sudah berkata panjang lebar, tapi
belum menyebut nama orang tersebut. Karena itu Cou ing Ing
yang tidak sabaran dan langsung bertanya, "Siapa orang itu?"
"Thian Thong Lojin (Orang Tua Menembus Langit)," sahut si
Bongkok Arak.
"Thian Thong Lojin?" tanya Ciok Giok Yin tak tertahan.
Si Bongkok Arak mengangguk.
"Ya."
"Beliau tinggal di mana?"
"Gunung Liok Pan San, di dalam lembah Tiang Cing Kok."
Ciok Giok Yin segera memberi hormat pada si Bongkok Arak
seraya berkata,
"Terimakasih atas petunjuk lo cianpwee, sekarang aku akan
ke sana,"
Usai berkata, dia membalikkan badannya. Namun ketika baru
mau melesat pergi, si Bongkok Arak cepat-cepat berseru.
"Tunggu!"
"Lo cianpwee masih ada petunjuk lain?"
Si Bongkok Arak menyahut, "Orang tua itu bersifat amat
aneh, tidak pernah berhubungan dengan kaum rimba
persilatan! Kau harus ingat satu hal, berlakulah sedikit sungkan
terhadapnya!" Dia berhenti sejenak. "Kebetulan tiada urusan

lain, biar aku menemanimu...." Mendadak ucapannya terhenti
lagi.
"Kalian tunggu di sini sebentar!"
Si Bongkok Arak langsung melesat ke puncak seberang. Ciok
Giok Yin yakin si Bongkok Arak pasti melihat sesuatu, sebab
kalau tidak, bagaimana mungkin mendadak dia melesat pergi?
Kini di tempat itu tinggal Ciok Giok Yin dan Cou Kiong. Mereka
berdua adalah musuh, kawan atau...? Sementara ini sulit
dipastikan! Sesungguhnya Ciok Giok Yin ingin mendekatinya
untuk menghiburnya. Namun wajah gadis itu tampak dingin
sekali, sehingga membuat Ciok Giok Yin tidak berani
mendekatinya. Sedangkan Cou Ing Ing juga kelihatan tidak
mau berdiri bersamanya. Dia membungkukkan badannya
merangkul mayat Cou Kiong, kemudian tanpa bersuara
membawa mayat itu ke arah samping. Kelihatannya gadis itu
mencari suatu tempat untuk mengubur mayat Cou Kiong.
"Adik... biar aku bantu kau," kata Ciok Giok Yin.
"Siapa membutuhkan bantuanmu?" sahut Cou Ing Ing dengan
dingin.
Walau Cou Ing Ing menyahut ketus dan dingin, namun dalam
hatinya tetap berharap Ciok Giok Yin mengikutinya. Akan tetapi
Ciok Giok Yin justru tidak beranjak dari tempatnya. Karena dia
tidak punya keberanian itu, lagi pula dia pun bersifat angkuh,
maka dia tetap berdiri di tempat, tidak mengikuti Cou Ing Ing
ke dalam lembah. Beberapa saat kemudian dia
menghempaskan kakinya seraya berkata,
"Urusanku sendiri, mengapa harus ditemani dan campur
tangan orang lain?"
Usai berkata tanpa menunggu si Bongkok Arak kembali dia
langsung melesat pergi ke arah utara. Dia menuju Lembah
Tiang Ciang Kok di gunung Liok Pan San menemui Thian Thong
Lojin, untuk mengungkap teka-teki potongan kain itu. Tak lama
setelah dia melakukan perjalanan, hari pun sudah mulai gelap.
Sejauh mata memandang, yang tampak hanya pegunungan,

sama sekali tiada asap dan orang. Mendadak terdengar suara
bentakan dan jeritan beberapa kali, bergema menembus
angkasa. Hati Ciok Giok Yin tersentak, kemudian dia cepatcepat
melesat ke arah suara itu. Tak lama, dia melihat sebuah
kuil bertulisan 'Kuil Cing Hong Si'. Kuil tersebut justru adalah
biara Siauw Lim Pay.
Ciok Giok Yin mendorong daun pintu lalu melangkah ke
dalam. Betapa terkejutnya, karena dia. melihat tujuh delapan
sosok mayat biarawan tergeletak di dalam kuil. Sekujur badan
mayat-mayat itu kehitam-hitaman.
"Soan Hong Ciang!" serunya tak tertahan.
Biarawan-biarawan di kuil itu semuanya mati terpukul oleh
Ilmu pukulan Soan Hong Ciang. Tidak salah lagi orang yang
turun tangan jahat itu memiliki ilmu pukulan yang serupa
dengan ilmu pukulan miliknya. Berdasarkan keadaan mayatmayat
itu, dapat diketahui bahwa Sam Yang Hui Kang yang
dimiliki orang itu telah mencapai tingkat kesempurnaan.
Mendadak dalam benak Ciok Giok Yin terlintas seseorang,
tidak lain adalah murid murtad perguruannya yang bernama
Chiu Tiong Thau. Ketika berpikir sampai di situ, hatinya nyaris
meloncat ke luar. Setelah itu wajahnya berubah menjadi dingin
dan diliputi hawa membunuh. Ternyata dia teringat akan
penderitaan suhunya di dalam lembah, hidup tersiksa belasan
tahun. Semua penderitaan dan siksaan yang dialami suhunya
justru dikarenakan orang tersebut. Kalau orang itu tidak
dibasmi, bukan cuma suhunya tidak bisa tenang di alam baka,
bahkan juga dunia persilatan tidak akan tenang selamanya.
Berdasarkan hasutannya terhadap Kang Ouw Pat Kiat untuk
mengeroyok suhunya, membuktikan orang itu amat licik dan
banyak akal busuknya. Dari mayat-mayat biarawan Siauw Lim,
siapa yang melihat pasti tahu mereka terbunuh oleh ilmu
pukulan Soan Hong Ciang. Rimba persilatan masa kini, selain
Chiu Tiong Thau, sudah pasti dirinya yang memiliki ilmu
pukulan tersebut. Karena Sang Ting It Koay, suhunya pernah
memberitahukan bahwa ilmu Sam Yang Hui Kang itu, adalah
ilmu ciptaan Sam Yang Siu sucouwnya, berdasarkan sebuah

kitab suci aliran Budha.
Ilmu tersebut hanya diwariskan kepada Sang Ting It Koay,
tidak pernah diwariskan kepada orang lain. Akan tetapi apabila
menginginkan ilmu Sam Yang Hui Kang mencapai tingkat
tertinggi, harus makan obat peninggalan sucouw, yaitu obat
Peng Ting Tan. Ketika itu walau Sang Ting It Koay bersifat
aneh, namun amat membenci kejahatan. Padahal dia boleh
makan obat tersebut untuk menambah lwee kangnya. Tapi dia
justru tidak mau makan. Ternyata dia ingin mencari seorang
pewaris yang berbakat agar dapat mencemerlangkan
perguruannya sekaligus mengembangkan Sam Yang Hui Kang.
Akhirnya dia bertemu Chiu Tiong Thau, lalu menerimanya
menjadi murid. Namun tak disangka Chio Tiong Thau justru
berhati srigala. Pada suatu hari ketika Sang Ting It Koay pergi,
dia langsung mencuri makan obat Peng Ting Tan tersebut.
Lantaran khawatir Sang Ting It Koay mengetahui hal itu, maka
dia kabur secara diam-diam. Dia tidak diam sampai di situ,
melainkan menghasut Kang Ouw Pat Kiat, sehingga Sang Ting
It Koay dikeroyok oleh Kang Ouw Pat Kiat, menyebabkan Sang
Ting It Koay hidup menderita dan tersiksa di dalam lembah.
Chiu Tiong Thau mengira Sang Ting It Koay telah mati. Maka
dia pergi ke puncak Gunung Hwa San, untuk ikut serta dalam
pertemuan besar rimba persilatan. Karena itu dia berhasil
merebut gelar jago Nomor Wahid di kolong langit. Dia pun
pernah satu kali di puncak Gunung Muh San. Setelah itu tiada
kabar beritanya lagi. Mengenai perbuatan Chiu Tiong Thau di
puncak Gunung Muh San, Sang Ting It Koay tidak pernah
memberitahukan pada Ciok Giok Yin, maka dia tidak tahu sama
sekali. Apa yang dikatakan Sang Ting It Koay berputar sejenak
dalam benaknya. Kemudian dia memandang mayat-mayat itu
lagi.
Saat ini dia bertambah yakin, bahwa para biarawan itu mati
akibat perbuatan Chiu Tiong Thau. Namun apa maksudnya
tiada sebab musabab membunuh para biarawan Siauw
Lim? Dia pun tahu bahwa saat ini kepandaiannya dibandingkan
dengan Chiu Tiong Thau, boleh dikatakan bukit kecil bertemu
gunung besar. Kalau pun berlatih dua puluh tahun lagi, tetap

tidak akan bisa menyamai kepandaian orang itu. Berselang
beberapa saat, barulah Ciok Giok Yin melangkah ke ruang
dalam. Dia ingin mencari seseorang yang masih hidup untuk
menanyakan tentang peristiwa ini.
Di ruang dalam terdapat sebuah altar dan tampak sebuah
lampu minyak masih menyala, maka ruang itu tidak begitu
gelap. Di sana terdapat pula beberapa sosok mayat yang
semua mayatnya juga kehitam-hitaman terpukul oleh ilmu
pukulan Soan Hong Ciang. Di dalam ruangan itu agak remangremang,
membuat suasana cukup menyeramkan. Meskipun
Ciok Giok Yin bernyali besar, namun sekujur badannya tetap
merinding. Di saat dia merasa merinding justru mendadak
melihat dinding ruang dalam itu terdapat sebaris tulisan. Dia
segera mendekati dinding itu, sekaligus membaca tulisannya
'Pembunuhnya adalah Ciok Giok Yin' Huruf-huruf itu ditulis
dengan darah.
"Haah? Pembunuhnya adalah Ciok Giok Yin ?" serunya tak
tertahan.
Di saat bersamaan sekonyong-konyong terdengar suara
pujian mereka sang Buddha.
"Omitohud! Sian Cay Sian Cay!"
Ciok Giok Yin cepat-cepat membalikkan badannya. Tampak
berdiri belasan hweeshio, masing-masing menggenggam
sebuah toya, menatap Ciok Giok Yin dengan penuh kebencian.
Yang berdiri di paling depan adalah Tay Yap Hui Su. Tianglo
dari ruang Pengawas Siauw Lim Pay. Dengan wajah muram Tay
Yap Su memandang mayat-mayat yang tergeletak di lantai,
kemudian menatap Ciok Giok Yin dengan tajam dan dingin.
Beberapa saat kemudian barulah padri tua itu berkata, "Siau
sicu, sungguh sadis hatimu!" Berhenti sejenak, lalu
melanjutkan.
"Para murid biara ini dendam apa denganmu? Mengapa kau
membunuh mereka?"

Pada hal Ciok Giok Yin juga tidak tahu perbuatan siapa itu.
Maka tidak mengherankan kalau hatinya menjadi gugup. Dia
berjalan ke luar perlahan-lahan lalu berdiri di hadapan para
hweeshio tersebut.
"Taysu! Harap Taysu jangan salah paham, aku juga baru tiba
di sini..." katanya.
"Siau sicu, barusan aku dengar kau berkata, 'Pembunuhnya
adalah Ciok Giok Yin'. Apakah itu juga salah paham?" sergah
Tay Yap Hui Su.
Ketika Tay Yap Hui Su sedang berkata, ketujuh belas
hweeshio lainnya terus menatap Ciok Giok Yin dengan mata
berapi-api penuh dendam.
Serrrrt!
Mereka memutar toya masing-masing, kemudian membentuk
semacam formasi mengepung Ciok Giok Yin. Suasana di ruang
itu mendadak berubah menjadi tegang mencekam, membuat
orang akan merasa sesak nafas. Menyaksikan suasana itu,
diam-diam Ciok Giok Yin mengerahkan lwee kangnya.
Pada waktu bersamaan dia pun berkata dalam hati. 'Mana
boleh diriku dijadikan kambing hitam?' Oleh karena itu dia
segera berkata lantang, "Taysu, secara tidak sengaja aku
melihat tulisan di dinding, maka aku membaca tulisan itu.
Kalau tidak percaya, Taysu boleh membacanya!"
"Membunuh orang meninggalkan tulisan, tentunya adalah
perbuatanmu!" sahut Tay Yap Hui Su dingin.
Ciok Giok Yin tertegun.
"Bagaimana Taysu menganggap begitu?"
Tay Yap Hui Su menatapnya tajam.
"Siu sicu tahu jelas dalam hati, mengapa masih bertanya?"

"Aku memang tidak mengerti!"
"Belum lama ini, kau selalu berbuat demikian!"
"Belum lama ini?"
"Apakah masih keliru?"
Mendengar itu, wajah Ciok Giok Yin berubah menjadi dingin,
kemudian dia berkata dengan dingin pula.
"Taysu, orang yang telah menyucikan diri harus menjaga
mulut! Taysu terus menuduhku, lebih baik Taysu menjelaskan!"
Walau Tay Yap Hui Su sudah berusia lanjut dan cukup dalam
pertapaannya, namun menyaksikan para murid perguruannya
terbunuh, hatinya tidak terluput dari kegusaran. Wajahnya
yang welas asih itu tersirat pula hawa membunuh.
"Siau sicu, baru-baru ini kau melakukan perkosaan dan
pembunuhan! Setelah itu kau pun meninggalkan namamu di
dinding! Apakah itu palsu semua?"
Tay Yap Hui Su berhenti sejenak, kemudian melanjutkan,
"Perbuatanmu itu, tidak dapat diampuni!"
Hati Ciok Giok Yin tersentak mendengar ucapan itu.
"Betulkah ada kejadian itu?"
"Memang betul!"
"Apa yang disaksikan Taysu?"
"Itu!"
Tay Yap Hui Su menunjuk mayat-mayat di lantai, lalu
menunjuk ke arah dinding yang terdapat tulisan. Ciok Giok Yin
mengerutkan kening.

"Taysu menganggap itu adalah perbuatanku?"
Tay Yap Hui Su mengangguk.
"Berdasarkan bukti!"
"Maksud Taysu adalah tulisan di dinding itu?"
"Masih ada. Apakah aku harus mengatakannya?"
"Silakan!"
"Kau adalah murid Sang Ting It Koay! Ya, kan?"
"Tidak salah!"
"Seng Ting It Koay menguasai ilmu apa?"
"Sam Yang Hui Kang!"
"Ilmu pukulan apa?"
"Soan Hong Ciang!"
Tay Yap Hui Su manggut-manggut, sepasang matanya
menyorotkan hawa membunuh yang amat berat. Mendadak
jubahnya mengembung, pertanda kegusarannya telah
memuncak, sehingga mengeluarkan hawa membuat jubahnya
mengembung.
"Omitohud! Para murid perguruanku mati karena apa?"
"Mati karena terpukul oleh ilmu pukulan Soan Hong Ciang!"
sahut Ciok Giok Yin dengan jujur.
"Tidak keliru?"
"Tentu tidak!"
Tay Yap Hui Su maju tiga langkah sambil berkata, "Siau sicu
adalah murid Sang Ting It Koay, sudah pasti menguasai ilmu

Sam Yang Hui Kang dan ilmu pukulan Soan Hong Ciang. Lalu
apakah masih ada penjelasan lain?"
Ciok Giok Yin mengerutkan kening.
"Siau sicu, bagaimana pertanggungan jawabmu?" bentak Tay
Yap Hui Su.
Ketika mendengar suara bentakan itu, Ciok Giok Yin merasa
hatinya berdebar-debar tidak karuan. Telinganya juga merasa
ngung-ngungan tak henti-hentinya. Ciok Giok Yin sama sekali
tidak menyangka bahwa padri tua itu akan terus mendesaknya.
Memang benar para hweeshio Kuil Cing Hong Si itu terbunuh
oleh ilmu pukulan Soan Hong Ciang, sedangkan Ciok Giok Yin
justru menguasai ilmu pukulan tersebut, maka membuatnya
sulit untuk menjelaskan. Yang jelas, itu bukan perbuatannya.
Karena terdesak akhirnya Ciok Giok Yin berkata, "Kalau begitu,
Taysu pasti menganggap itu adalah perbuatanku?"
"Betul!"
"Aku memang memiliki ilmu pukulan Soan Hong Ciang, tapi
belum mencapai ke tingkat seperti ini! Kini aku punya satu
permintaan!"
"Permintaan apa?" tanya Tay Yap Hui Su.
"Apabila Taysu dapat mempercayaiku, beri aku waktu tiga
bulan! Agar aku bisa mencari orang yang melakukan
pembunuhan ini, lalu aku akan ke Kuil Siauw Lim Si untuk
menjernihkan kesalahpahaman ini!"
"Siau sicu, percuma kau menggunakan siasat licik ini!"
"Kalau begitu, Taysu mau bagaimana?"
"Saat ini juga kau harus ikut ke Kuil Siauw Lim Si!" sahut
padri tua itu dengan tegas.
Ciok Giok Yin mulai gusar.

"Kalau tidak?" tanyanya kasar.
"Kalau tidak, siau sicu mau...."
Ketika Tay Yap Hui Su berkata sampai di situ, ketujuh belas
hweeshio lainnya sudah memutar toya masing-masing,
langsung membentuk sebuah lingkaran mengurung Ciok Giok
Yin.
Melihat itu, kegusaran Ciok Giok Yin mulai memuncak.
Dia tertawa dingin lalu berkata, "Taysu adalah Tianglo (Tetua)
Siauw Lim Pay, namun tidak bisa membedakan yang benar dan
yang salah!"
Di saat Ciok Giok Yin sedang berkata, ketujuh belas hweeshio
ditambah Tay Yap Hui Su sudah mulai melangkah maju. Itu
membuat hati Ciok Giok Yin tersentak. Ternyata dia teringat
akan Cap Pwe Lo Han Tin (Formasi Delapan Belas Arahat)
Siauw Lim Si. Sejak Tatmo Cousu menciptakan formasi terebut,
hingga kini belum ada orang yang mampu memecahkannya.
Siapa yang terkurung di dalam Cap Pwe Lo Han Tin jangan
harap bisa meloloskan diri. Kini mereka justru mengurungnya
dengan formasi tersebut, membuktikan mereka berniat
membunuhnya. Yang jelas Tay Yap Hui Su yang mengepalai
formasi.
Mendadak padri tua itu berseru dan seketika juga ketujuh
belas hweeshio berikut dirinya mulai berputar. Makin lama
makin cepat, kemudian berubah agak lamban. Di saat
bersamaan Ciok Giok Yin membentak mengguntur.
"Aku memang ingin belajar kenal dengan Cap Pwe Lo Han Tin
yang amat tersohor itu!"
Mendadak dia melesat ke arah Tay Yan Hui Su. Ternyata dia
berpikir kalau berhasil mendesak padri tua itu ke luar, tentu
formasi itu akan menjadi kacau balau. Karena itu dia
menyerang Tay Yap Hui Su menggunakan delapan bagian
tenaganya.. Akan tetapi pada waktu bersamaan dia merasa
tenaga yang amat lunak menangkis balik tenaga pukulannya.

Bum!
Terdengar suara ledakan dahyat. Ciok Giok Yin terdorong
mundur ke tempat semula dan seketika merasa sepasang
lengannya kesemutan serta darah pun bergolak-golak tidak
karuan. Saat ini dia tidak melihat jelas bayangan orang,
sepertinya cuma terlihat tembok abu-abu. Selain itu juga
merasa tenaga lunak terus menerjangnya. Perlu diketahui, Cap
Pwee Lo Han Tin Siauw Lim Pay memang sudah amat terkenal.
Siapa pun yang berkepandaian bagaimana tingginya, juga sulit
menerobos ke luar dari formasi tersebut. Lagi pula kedelapan
belas hweeshio itu tergolong pesilat tinggi di dunia bersilatan.
Di saat mereka berputar, toya di tangan mereka juga ikut
berputar sehingga menimbulkan semacam tenaga lunak. Kalau
orang yang berkepandaian tinggi, masih bisa menangkis tenaga
lunak itu dengan pukulan. Namun harus menggunakan tenaga
lunak pula, baru bisa bertahan beberapa saat. Apabila tidak,
hanya menerjang ke sana ke mari secara tidak karuan dan
membabi buta, justru akan membuat dirinya terserang oleh
tenaga lunak tersebut. Seandainya terus terserang oleh tenaga
lunak itu, niscaya akan membuat tulang orang yang terserang
itu menjadi remuk dan dagingnya pun akan hancur. Akan tetapi
kalau mereka cuma ingin menangkap orang yang terkurung itu
hidup-hidup, tentunya tidak akan menyerangnya dengan
sepenuh tenaga, maka orang yang terkurung hanya akan
lemas tak bertenaga, lalu ditangkap. Namun Tay Yap Hui Su
sudah menganggap Ciok Giok Yin sebagai pembunuh. Lagi pula
tempo hari dia membunuh tiga tosu dari partai Gobi Pay, dan
urusan itu pun belum beres.
Ditambah lagi belum lama ini di dunia persilatan telah terjadi
kasus perkosaan dan pembunuhan, meninggalkan nama Ciok
Giok Yin di dinding. Sehingga padri tua itu mengambil
keputusan untuk membasminya. Sementara Ciok Giok Yin telah
melancarkan sebuah pukulan yang tiada artinya sama
sekali. Dia berkertak gigi dan sepasang matanya membara.
Kemudian melancarkan dua jurus ilmu pukulan Hong Lui Sam
Ciang yang menimbulkan suara menderu-deru dan
mengandung hawa panas. Terdengar suara ledakan dahsyat

memekakkan telinga.
Bum!
Ciok Giok Yin terpental kembali ke tempat semula. Sepasang
lengannya terasa ngilu, tidak kuat diangkat lagi. Di saat
bersamaan diapun merasa serangkum tenaga lunak menerjang
ke dadanya membuatnya terhuyung-huyung ke belakang.
Dapat dibayangkan betapa terkejutnya Ciok Giok Yin! Namun
dia tidak rela menunggu maut menjemputnya. Dia coba lagi
mengerahkan lwee kangnya. Namun ketika baru mau
melancarkan sebuah pukulan, mendadak terdengar suara
bentakan Tay Yap Hui Su,
"Kalau siau sicu mau mendengar nasihatku, lebih baik
menyerahkan diri!"
"Aku tidak bersalah, mengapa harus menyerahkan diri?"
sahut Ciok Giok Yin dengan dingin dan angkuh.
"Kalau begitu, kau tidak akan mengucurkan air mata sebelum
melihat peti mati?"
"Kalian Siauw Lim Pay, menganggap sebagai ketua rimba
persilatan lalu bertindak sewenang-wenang terhadap orang
lain!"
"Kau sudah terbukti bersalah, percuma berdebat!"
Kali ini kegusaran Ciok Giok Yin betul-betul telah memuncak.
"Kalian keledai gundul, silakan turun tangan!"
Tay Yap Hui Su menyebut nama Sang Buddha.
"Omitohud! Ini adalah kehendak sicu!"
Padri tua itu mulai menyerang Ciok Giok Yin dengan tenang
lunak. Begitu pula ketujuh belas hweeshio lainnya. Mereka
terus memutar toya masing-masing ke arah padanya. Saat ini
Ciok Giok Yin betul-betul terdesak! Tapi dia masih menghimpun

hawa murninya lalu menerjang ke luar. Kini dia sudah nekat,
tidak lagi memikirkan akibatnya lagi. Yang jelas dia ingin
membunuh para hweeshio itu. Namun mendadak terdengar
suara ledakan lagi.
Bum!
Pukulan yang dilancarkan Ciok Giok Yin, sepertinya
membentur dinding baja, membuat matanya berkunangkunang
dan darahnya terus bergolak. Dia menghela nafas
panjang, kemudian mundur ke tempat semula dan berdiri diam
di situ sambil memejamkan mata menunggu mati. Justru di
saat itu terbayang kembali semua dendamnya dan segala apa
yang dialaminya.
"Aku tidak boleh mati! Aku tidak rela mati penasaran!"
serunya mendadak dengan suara parau.
Terdengar suara sahutan Tay Yap Hui Su.
"Omitohud! Mereka yang kau perkosa dan kau bunuh,
termasuk para hweeshio di sini, apakah mereka memang harus
mati?"
Ucapannya berhenti sejenak, kemudian terdengar lagi, "Siau
sicu, kau harus menerima nasibmu!"
Kini Ciok Giok Yin semakin terdesak oleh tenaga lunak itu,
sehingga nyaris tidak bisa bernafas. Pandangannya mulai gelap
dan sekujur badannya terasa sakit, seakan tulang-tulangnya
mau remuk. Perlahan-lahan nafasnya menjadi lemah dan
sepasang bola matanya memerah serta mulutnya
mengeluarkan buih putih. Pada waktu bersamaan terdengar
pula gemelutuk pada seluruh tulangnya, akhirnya dia roboh
pingsan. Ada pepatah mengatakan. 'Orang tidak harus mati,
pasti selamat'.
Buktinya di saat bersamaan tampak sosok bayangan kuning
melesat ke sana, bukan main cepat dan ringannya. Bayangan
kuning itu langsung melancarkan pukulan ke arah Cap Pwe Lo
Han Tin itu! Sedangkan kedelapan belah hweeshio itu, sama

sekali tidak menduga bahwa akan ada orang menyerang dari
luar. Maka formasi itu menjadi kacau dan sudah barang tentu
tenaga lunak itu pun buyar dengan sendirinya. Seandainya
kedelapan belasa hweeshio itu bersiap, tentunya orang yang
baru muncul itu sulit menyerang mereka. Orang itu justru
menggunakan cara, menyerang selagi orang lengah. Oleh
karena itu Cap Pwe Lo Han Tin dapat dipecahkannya. Orang itu
tidak berlaku lamban. Dia langsung melesat ke arah Ciok Giok
Yin. Sekaligus menyambarnya dan membawanya pergi. Dalam
waktu sekejap dia sudah menghilang di kegelapan malam.
Sementara itu Tay Yap Hui Su berdiri termangu-mangu.
Padahal Cap Pwe Lo Han Tin sudah hampir berhasil membasmi
Ciok Giok Yin. Namun tak disangka tiba-tiba muncul orang itu
dan berhasil memecahkan Cap Pwe Lo Han Tin, bahkan
sekaligus membawa pergi Ciok Giok Yin. Sesaat kemudian
barulah Tay Yap Hui Su melesat pergi bersama tujuh belas
hweeshio lainnya. Tentunya bertambah pula kebencian mereka
terhadap Ciok Giok Yin. Karena itu bagaimana mungkin mereka
akan membiarkan kabur? Akan tetapi Tay Yap Hui Su juga
merasa amat malu, sebab kali ini Cap Pwe Lo Han Tin yang
amat tersohor itu justru telah dipecahkan oleh orang tak
dikenal, bahkan orang itu berhasil menyelamatkan Ciok Giok
Yin. Itu merupakan pukulan dahsyat bagi Siau Lim Pay.
Lagi pula, mereka pun tidak melihat jelas wajah orang itu.
Apabila tersiar ke rimba persilatan pasti akan membuat Siauw
Lim Pay kehilangan muka. Dan sudah barang tentu akan
mengurangi kewibawaan Siauw Lim Pay. Sementara Ciok Giok
Yin yang ditolong orang berbaju kuning memakai kain penutup
muka, entah berapa lama kemudian barulah siuman perlahanlahan.
Ciok Giok Yin membuka matanya. Dia menemukan
dirinya terbaring di atas sebuah batu besar. Dia coba
menghimpun hawa murninya, terasa baik-baik saja. Justru
membuatnya bercuriga, apakah dirinya masih berada di dunia?
"Apakah aku sudah mati?" gumamnya.
Mendadak terdengar suara sahutan di samping nya.
"Kau belum mati, aku yang membawamu ke mari."

Begitu mendengar suara sahutan itu, Ciok Giok Yin segera
bangun. Dilihatnya seorang berbaju kuning memakai kain
penutup muka berdiri di sampingnya sepasang matanya
menyorot tajam. Mendadak Ciok Giok Yin teringat akan orang
itu. Ternyata ketika dia terkurung oleh Bu Lim Sam Siu di
depan Goa Sesat, orang tersebut yang menyelamatkannya.
Seketika Ciok Giok Yin memberi hormat padanya seraya
berkata, "Terimakasih atas pertolongan cianpwee, aku tidak
akan lupa selama-lamanya."
"Itu cuma merupakan pertolongan yang tak berarti, tidak
usah diingat dalam hati."
"Maaf, bolehkah aku tahu nama cianpwee?"
"Kita bertemu secara kebetulan, untuk apa aku harus
meninggalkan nama dan marga?"
"Kita bertemu kedua kalinya," kata Ciok Giok Yin sambil
menatapnya.
"Tidak salah. Tempo hari aku pernah berkata, apabila
Saudara Kecil sudah amat terdesak hingga tidak bisa menaruh
kaki di dunia persilatan lagi, maka aku bersedia membawamu
ke suatu tempat yang dapat menjamin keselamatan
nyawamu."
Mendengar itu, Ciok Giok Yin merasa agak tidak
senang. Namun terhadap orang yang telah menyelamatkannya,
dia tidak berani mengutarakan ketidak senangan itu.
"Terimakasih atas perhatian Anda. Namun aku bukan orang
yang takut mati. Lagi pula aku merasa tidak melakukan
kejahatan di dunia persilatan. Karena itu aku tidak perlu
menyembunyikan diri."
Sepasang mata orang berbaju kuning itu menyorotkan sinar
yang penuh kelicikan. Lantaran mukanya tertutup kain,
tentunya tidak dapat diketahui bagaimana air mukanya.

"Saudara Kecil, mengapa kau bertarung dengan para keledai
Siauw Lim Pay itu?"
Ciok Giok Yin berkertak gigi lalu menyahut dengan sengit.
"Suhuku punya murid murtad, menyamar sebagai diriku,
membunuh para hweeshio di Kuil Cing Hong Si. Karena itu
mereka menganggap semua itu adalah perbuatanku."
Orang berbaju kuning memakai kain penutup muka manggutmanggut.
"Kalau begitu, dia adalah suhengmu?"
"Tidak salah."
"Kau tahu namanya?"
"Chiu Tiong Thau."
"Chiu Tiong Thau?"
"Ng!"
"Bagaimana kepandaiannya?"
"Suhuku pernah bilang, kepandaiannya sudah amat tinggi,
boleh dikatakan tiada tanding di dunia persilatan."
Sepasang bola mata orang berbaju kuning memakai kain
penutup muka tampak berputar sejenak, lalu dia berkata.
"Kau yakin kepandaianmu dapat menyamainya? Maka kau
ingin membasmi murid murtad suhumu itu?"
Ciok Giok Yin berkertak gigi.
"Kalau benar dia yang membunuh para hweeshio Kuil Cing
Hong Si, aku bukan tandingannya! Tapi... aku tetap berusaha
membasminya!" sahutnya dengan mata berapi-api.

Itu membuat badan orang berbaju kuning memakai kain
penutup muka agak tergetar, namun cepat sekali kembali
seperti biasa.
"Apa julukan suhumu?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.
"Julukan suhuku adalah Sang Ting It Koay."
"Aku pernah dengar bahwa dia sudah mati belasan tahun
yang lalu."
"Tidak."
"Kini suhumu masih hidup?"
"Sudah mati."
"Kapan suhumu mati?"
"Kira-kira setengah tahun yang lalu."
"Di mana makamnya?"
Ciok Giok Yin tertegun, 'Untuk apa orang ini menanyakan
makam suhuku?' tanyanya dalam hati.
Karena itu dia bertanya, "Apa maksud cianpwee menanyakan
makam suhuku?"
Sepasang bola mata orang berbaju kuning memakai kain
penutup muka berputar, kemudian dia menyahut.
"Aku cuma sekedar bertanya, sebab dulu kami pernah
bertemu. Maksudku, kalau sempat dan kebetulan melewati
makamnya, aku akan ziarah. Saudara Kecil tidak usah
bercuriga, aku tidak bermaksud apa-apa."
Mendengar itu, Ciok Giok Yin baru mau.... Mendadak teringat
semasa hidupnya, Sang Ting It Koay pasti banyak musuh.
Kalau tempat makam Sang Ting It Koay tersiar ke rimba

persilatan, mungkin akan ada musuh menggali tulang
belulangnya. Karena berpikir demikian, maka Ciok Giok Yin
berkata,
"Mohon maaf! Sebelum suhuku mati, pernah berpesan
padaku, jangan membocorkan tempat makamnya, sebelum
membasmi murid murtad itu. Sebab itu, sementara ini aku
tidak berani memberitahukan pada cianpwee."
Sepasang mata orang berbaju kuning memakai kain penutup
muka menyorot tajam sekali. Lengan kirinya tampak bergerak
sedikit. Namun cepat sekali sudah kembali seperti semula. Ciok
Giok Yin sama sekali tidak memperhatikannya cuma melihat
sorot matanya, sehingga membuat sekujur badannya
merinding. Dia berkata dalam hati, 'Sungguh tinggi lwee kang
orang ini!'
Beberapa saat kemudian orang berbaju kuning memakai kain
penutup muka berkata,
"Baik, aku tidak akan memaksamu!" Dia menatap Ciok Giok
Yin. "Saudara Kecil, aku masih tetap mengulangi perkataanku
tempo hari! Apabila kau terdesak hingga tidak bisa menaruh
kaki di dunia persilatan, aku pasti membantumu. Sampai
jumpa!"
Dia langsung melesat pergi tanpa menunggu Ciok Giok Yin
membuka mulut. Ciok Giok Yin berdiri diam di tempat. Tak
dapat diduga sama sekali kepandaian orang itu boleh dikatakan
amat tinggi. 'Sebetulnya siapa dia? Mengapa dia selalu
mengatakan kelak akan membantuku?'
Ciok Giok Yin terus berpikir, namun sama sekali tidak
menemukan jawabannya, sehingga membuatnya menggelenggelengkan
kepala. Para tokoh dunia persilatan memang
misterius dan sulit diduga. Seperti halnya orang itu, dua kali
bertemu justru pada di saat kritis. Dia tidak merasa takut akan
bersalah terhadap Siauw Lim Pay, turun tangan
menyelamatkannya. Sungguh dia gagah berani! Kelihatannya
orang tersebut adalah pendekar berhati bajik. Akan tetapi
mengapa mukanya harus ditutupi kain sehingga membuat

orang terkesan misterius terhadapnya? Akhirnya Ciok Giok Yin
teringat akan kejadian di Kuil Cing Hong Si. Tidak salah lagi
para hweeshio itu pasti dibunuh oleh Chiu Tiong Thau.
Berdasarkan itu, sudah pasti dia tahu tentang Ciok Giok Yin,
maka sengaja menyamar sebagai dirinya untuk melakukan
kejahatan di dunia persilatan. Berpikir sampai di situ, sepasang
mata Ciok Giok Yin berapi-api, rasa dendamnya terhadap Chiu
Tiong Thau semakin dalam. Namun kemudian teringat akan
kepandaiannya sendiri, yang masih jauh dibandingkan dengan
orang lain. Apabila dia ingin menuntut balas, harus berhasil
mencari Seruling Perak dan kitab Cu Cian. Setelah berpikir
begitu, barulah dia teringat akan tujuan utamanya. Oleh
karena itu dia langsung melesat pergi, tujuannya adalah
Gunung Liok Pan San. Akan tetapi mendadak terdengar suara
tertawa dingin di belakangnya.
"He he! Ciok Giok Yin, tak disangka kita berjumpa lagi!"
Begitu mendengar suara itu, Ciok Giok Yin cepat-cepat
membalikkan badannya. Tampak ketua perkumpulan Sang Yen
Hwee berdiri satu depa di hadapannya. Justru amat
mengherankan, kali ini dia tidak memakai kain penutup muka,
maka terlihat wajahnya penuh diliputi hawa membunuh.
Seketika Ciok Giok Yin membentak sengit.
"Siluman yang tak habis dibasmi, aku...."
Ketua perkumpulan Sang Yen Hwee segera memutuskan
perkataan Ciok Giok Yin.
"Bocah, tempo hari kau dapat meloloskan diri, tapi takdirmu
memang harus mati di tanganku, maka kita berjumpa di sini!
Hari ini kau tidak akan bisa lolos dari tanganku!"
Usai berkata, dia langsung menyerang Ciok Giok Yin. Namun
mendadak semacam bau aneh menerobos ke dalam hidung
ketua perkumpulan Sang Yen Hwee itu. Dia baru menerjang ke
depan, justru roboh gedebuk seketika! Keningnya berkerutkerut,
kelihatannya amat menderita sekali. Padahal Ciok Giok

Yin sudah siap menangkis serangannya. Tapi saat ini dia
menjadi melongo ketika menyaksikan keadaan orang itu.
Sesungguhnya Ciok Giok Yin melancarkan sebuah pukulan
untuk menghabisi nyawa ketua perkumpulan Sang Yen Hwee
itu. Namun dia berjiwa ksatria, tidak mau berbuat begitu
curang. Karena itu dia tetap berdiri di tempat.
"Ketua perkumpulan Sang Yen Hwee, silakan turun tangan!"
bentaknya sengit.
Namun bagaimana mungkin ketua perkumpulan Sang Yen
Hwee menghiraukannya? Dia berusaha bangun, kemudian
menengok ke sekeliing seraya membentak,
"Orang pandai dari mana, jangan cuma berani turun tangan
secara gelap! Cepat perlihatkan diri!"
Terdengar suara sahutan yang amat dingin, "Ketua
perkumpulan Sang Yen Hwee, barangku itu sudah harus kau
kembalikan padaku!"
"Barang apa?"
"Kitab Cu Cian!"
Ciok Giok Yin yang berdiri tak jauh tentunya mendengar jelas
perkataan itu.
"Kitab Cu Cian?" serunya lantang.
"Siapa kau?" tanya perkumpulan Sang Yen Hwee.
Terdengar sahutan dingin, "Kau ingin lihat?"
Ketua perkumpulan Sang Yen Hwee menyahut dengan gusar.
"Punya kepandaian boleh berhadapan, jangan bertindak
curang menyebarkan racun secara gelap! Itu terhitung orang
gagah apa? Aku memang ingin lihat siapa kau?"

Tampak sosok bayangan berkelebat bagaikan roh, tahu-tahu
di tempat itu sudah bertambah satu orang.
"Bu Tok Siangsang!" seru Ciok Giok Yin dan ketua
perkumpulan Sang Yen Hwee. Bu Tok Sianseng itu
mengangguk pada Ciok Giok Yin, kemudian memandang ketua
perkumpulan Sang Yen Hwee. Dia tertawa dingin seraya
berkata,
"Ketua, kau telah terkena racunku, yaitu racun Cit Pou San
(Racun Bubuk Tujuh Langkah)! Kalau kau ingin selamat, cepat
kembalikan kitab Cu Cianku itu!"
"Kitab Cu Cian memang berada padaku, tapi kau harus
berikan obat penawar racun dulu!" sahut ketua perkumpulan
Sang Yen Hwee licik.
Bu Tok Sianseng mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari
dalam bajunya seraya berkata.
"Obat penawar ada di sini!"
Sepasang mata ketua perkumpulan Sang Yen Hwee menyorot
aneh, terus menatap bungkusan kecil di tangan Bu Tok
Sianseng, kelihatannya ingin sekali merebutnya.
"Ketua perkumpulan Sang Yen Hwee, kau tidak usah
memikirkan yang tidak-tidak! Jarak di antara kita kira-kira
delapan langkah. Sebelum kau melangkah sampai di
hadapanku, kau sudah jadi mayat!"
Bagaimana ketua perkumpulan Sang Yen Hwee tidak akan
paham akan hal tersebut? Tapi dia telah memeras otaknya
hingga memperoleh kitab Cu Cian dari tangan Bu Tok
Sianseng. Kini harus dikembalikan padanya, tentunya dia
merasa tidak rela. Sebab asal berhasil menemukan Seruling
Perak, dia pasti dapat melatih ilmu silat tertinggi di kolong
langit. Setelah dipikir-pikir, dia berkesimpulan bahwa
nyawanya jauh lebih penting dari pada kitab Cu Cian itu. Maka
walau merasa tidak rela, tetap harus mengeluarkan kitab
tersebut dari dalam bajunya yang masih dibungkus rapi.

"Kita sudah boleh tukar menukar?" tanyanya.
Bu Tok Sianseng mengangguk.
"Boleh."
Di saat bersamaan ketua perkumpulan Sang Yen Hwee
berpikir, asal aku memperoleh obat penawar itu, dan segera
minum, pasti tidak takut lagi menghadapi Bu Tok Sianseng.
Karena itu dia berkata, "Kau lemparkan dulu obat penawar
itu!"
Namun tak disangka Bu Tok Sianseng juga amat cerdik,
tentunya tidak akan terjebak oleh akal busuk ketua
perkumpulan Sang Yen Hwee. Dia tertawa dingin, menatap
ketua perkumpulan Sang Yen Hwee seraya berkata perlahan,
"Perhitunganmu memang jitu! Setelah memperoleh obat
penawar ini, maka kau akan segera meneguknya, kemudian
kabur seenaknya. Tapi sayang sekali lho! Aku tidak akan
tertipu olehmu!"
Bukan main malunya ketua perkumpulan Sang Yen Hwee
mendengar itu! Dia tidak menyangka Bu Tok Sianseng
sedemikian cerdik.
"Bagaimana kalau kau macam-macam, tapi aku beritahukan
dulu! Apabila kau berani menggunakan siasat licik, kau tidak
akan bisa kabur sejauh sepuluh depa, sebab aku telah
menaburkan racun Pek Pou Tui Hun (Racun Seratus Langkah),
kau pasti sudah mendengar jelas!"
Bukan main terkejutnya ketua perkumpulan Sang Yen Hwee,
sehingga sekujur badannya menjadi dingin. Sebab itu,
bagaimana dia masih berani memikirkan akal busuk untuk
menjebak Bu Tok Sianseng?
"Baik, kita lemparkan bersama!" katanya.

"Tepati janji."
"Tentu!"
Akan tetapi ketua perkumpulan Sang Yen Hwee masih
khawatir Bu Tok Sianseng akan menggunakan cara licik. Maka
dia menambahkan,
"Apa yang kukatakan pasti kulaksanakan!"
Bu Tok Sianseng mengangguk.
"Begitu pula aku!"
Kemudian mereka berdua, melemparkan benda di tangan
masing-masing dalam waktu bersamaan. Cepat sekali Bu Tok
Sianseng melihat kitab Cu Cian itu, lalu segera dimasukkan ke
dalam bajunya. Setelah itu dia memberi isyarat kepada Ciok
Giok Yin, lalu badannya bergerak melesat pergi. Ciok Giok Yin
tidak berani berlaku ayal, langsung melesat mengikutinya dari
belakang. Dia ingat kitab Cu Cian sudah berada pada Bu Tok
Sianseng, maka tidak berani bergerak lamban, terus melesat
laksana kilat mengikutinya.. Belasan mil kemudian, barulah Bu
Tok Sianseng berhenti.
"Kau sudah tahu tentang jejak Seruling Perak itu?" tanyanya
sambil menatap Ciok Giok Yin.
"Tidak tahu," sahut Ciok Giok Yin sambil menggelengkan
kepala.
"Walau memiliki kitab Cu Cian, tanpa Seruling Perak tiada
gunanya," kata Bu Tok Sianseng. Dia merogohkan tangan ke
dalam bajunya untuk mengeluarkan kitab Cu Cian, lalu
diberikan kepada Ciok Giok Yin."Simpanlah baik-baik!"
Itu sungguh membuat Ciok Giok Yin tertegun! Dia sama sekali
tidak menjulurkan tangannya mengambil kitab itu, cuma
menatap Bu Tok Sianseng dengan mata terbelalak lebar.
"Apakah kau bercuriga?" tanya Bu Tok Sianseng. Dia

membuka bungkusan itu lalu memperlihatkan isinya, yang
berupa sebuah kitab tipis kepada Ciok Giok Yin. "Kitab Cu cian
tiada hurufnya, maka harus menemukan Seruling Perak."
Ciok Giok Yin tercengang.
"Apakah Anda punya suatu syarat? Lebih baik beritahukan
saja," tanyanya.
"Tiada syarat apapun."
"Kalau begitu, Anda berjuang mati-matian demi memperoleh
kitab Cu Cian itu, lalu secara cuma-cuma diberikan pada orang,
bukankah merupakan hal yang amat di luar dugaan?"
"Kau tidak usah bertanya tentang itu."
"Aku harus paham."
"Kau akan paham kelak."
Ciok Giok Yin tidak melihat kepura-puraannya, maka
menjulurkan tangannya menerima kitab Cu Cian tersebut.
Kemudian dibukanya kitab itu, namun tidak melihat sebuah
huruf pun.
Ciok Giok Yin mengerutkan kening lalu bertanya.
"Sungguhkah ini adalah kitab Cu Cian?"
Bu Tok Sianseng mengangguk.
"Sedikit pun tidak salah."
"Anda tahu akan rahasia kitab Cu Cian ini?"
"Bukankah aku sudah bilang, kau harus menemukan Seruling
Perak. Kalau tidak, kitab Cu Cian ini merupakan barang tak
berarti."
Ciok Giok Yin percaya Bu Tok Sianseng tidak berbohong.

Maka cepat-cepat disimpan kitab tersebut ke dalam bajunya,
setelah itu dia memberi hormat seraya berkata,
"Kalau Anda punya suatu syarat, kapan pun boleh
memberitahukan padaku, sampai jumpa!"
Badan Ciok Giok Yin bergerak melesat pergi. Dia tidak habis
pikir, mengapa Bu Tok Sianseng rela menyerahkan kitab Cu
Cian padanya, bahkan tiada syarat pula? Itu sungguh
membingungkannya! Berselang beberapa saat, mendadak
tercium bau anyir yang amat menusuk hidung. Dia
mengerutkan kening, berkata dalam hati. 'Mungkin ada orang
mati dan terluka!' Ciok Giok Yin mendekati tempat bau anyir
itu. Dilihatnya enam sosok mayat tergeletak di bawah sebuah
pohon, yang semuanya mengenakan jubah pendeta Taoisme.
Mayat-mayat itu tampak agak kehitam-hitaman, jelas terkena
pukulan Soan Hong Ciang. Yang amat mengejutkannya, di
pohon besar itu terdapat beberapa huruf yang ditulis dengan
Kim Kong Ci (Ilmu Jari Arahat). 'Yang membunuh para Tosu
Gobi adalah Ciok Giok Yin' Setelah membaca huruf-huruf itu,
dapat dibayangkan betapa gusarnya Ciok Giok Yin. Dia
berkertak gigi hingga terdengar bunyi gemeletuk.
"Kalau aku tidak mencincang Chiu Tiong Thau, hatiku tidak
akan puas!" gumamnya.
Mendadak terdengar suara orang berteriak minta tolong, yang
kedengarannya amat memilukan. Begitu mendengar suara itu
sepasang mata Ciok Giok Yin menjadi membara dan dia
langsung melesat ke arah suara itu. Dia yakin orang yang
berteriak minta tolong itu, pasti di bawah ancaman Chiu Tiong
Thau. Dia berani memastikan itu, karena berdasarkan mayatmayat
tosu Gobi Pay yang belum lama mati. Itu pun
membuktikan bahwa Chiu Tiong Thau belum pergi jauh.
Tak lama Ciok Giok Yin sudah mendekati tempat suara
teriakan minta tolong tadi. Dia cepat-cepat bersembunyi di
belakang sebuah batu besar, kemudian mengintip. Dilihatnya
seorang gadis tergeletak di tanah, sama sekali tidak
mengenakan sehelai pakaian pun, alias telanjang bulat. Bukan

main putih mulus dan indahnya tubuh gadis itu, terutama
sepasang payudaranya yang montok, ditambah.... Menyaksikan
itu sekujur badan Ciok Giok Yin terasa panas dingin. Di
hadapan gadis telanjang bulat itu berdiri seorang pemuda
berpakaian mewah. Karena dia berdiri membelakangi Ciok Giok
Yin, maka Ciok Giok Yin tidak dapat melihat wajahnya.
"Sampai aku jadi hantu pun tidak akan mengampunimu!"
bentak si gadis.
Pemuda berpakaian mewah tertawa terkekeh.
"Apakah aku Ciok Giok Yin tidak setimpal denganmu? Kalau
kau mengabulkan permintaanku, aku akan segera
membebaskan jalan darahmu yang tertotok itu! Kita...."
Sebelum pemuda berpakaian mewah itu usai berkata, gadis
telanjang bulat sudah berseru tak tertahan.
"Ciok Giok Yin?"
"Ya!"
"Sungguhkah kau adalah Ciok Giok Yin?"
"Apakah aku palsu?"
Sepasang mata si gadis berapi-api.
"Kau... kau adalah maling cabul, aku..." bentaknva sambil
menuding pemuda berpakaian mewah. Namun dia tidak
melanjutkan ucapannya. Sedangkan Ciok Giok Yin yang
bersembunyi di belakang pohon, sudah gusar sekali mendengar
itu, sehingga sekujur badannya gemetar. Saking tak tahan, dia
melesat ke luar seraya membentak bagaikan guntur.
"Jahanam! Kau berani menyamar diriku!"
Pemuda berpakaian mewah membalikkan badannya, ternyata
memang mirip Ciok Giok Yin.

"Bocah keparat! Kau justru berani menyamar sebagai diriku!"
katanya sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Dia langsung menyerang Ciok Giok Yin, mengarah pada jalan
darah penting. Saat ini kegusaran Ciok Giok Yin telah
memuncak. Tanpa menyahut dia segera menangkis dengan
jurus pertama ilmu pukulan Hong Lui Sam Ciang. Seketika
terdengar suara benturan dahsyat.
Blam!
Disusul dengan suara jeritan. Pemuda berpakaian mewah
terpental satu depa. Akan tetapi dia cepat-cepat bangkit berdiri
lalu membentak sengit.
"Ciok Giok Yin, aku akan membuatmu sulit melangkah kelak!"
Usai membentak, dia langsung melesat pergi, lalu menghilang
di sebuah tikungan. Di saat Ciok Giok Yin baru mau melesat
pergi mengejarnya, tiba-tiba teringat akan gadis telanjang
bulat. Dia khawatir akan muncul penjahat lain berbuat yang
bukan-bukan terhadap gadis itu maka dia tidak berani pergi
mengejar pemuda berpakaian mewah, melainkan segera
membuka baju luarnya, lalu dilempar ke arah gadis itu. Ciok
Giok Yin berdiri membelakanginya.
"Harap Nona cepat berpakaian!"
Lama sekali Ciok Giok Yin menunggu, namun tidak
mendengar suara apa pun. Itu membuatnya bercuriga, maka
perlahan-lahan dia membalikkan badannya. Dilihatnya si gadis
itu masih tergeletak di tanah. Ciok Giok Yin cepat-cepat
membaliknya badannya lagi seraya berkata,
"Nona harus segera berpakaian."
"Jalan darah Cian Mo Hiatku tertotok...," sahut si gadis.
Ciok Giok Yin tersentak sadar, teringat perkataan pemuda
yang menyamarkan dirinya, mengatakan akan membebaskan
jalan darah gadis itu.... Apa boleh buat! Ciok Giok Yin terpaksa

membalikkan badannya, sekaligus bergerak cepat
membebaskan jalan darah gadis itu. Setelah itu dia pun
menyambar baju luarnya, karena melihat pakaian gadis itu
berada di situ, lalu membalikkan badannya. Dilihatnya seorang
gadis berbaju ungu berdiri di situ. Ciok Giok Yin terbelalak
karena merasa mengenalnya.
"Hah? Kau..." serunya tak tertahan.
Gadis baju ungu menatap Ciok Giok Yin sambil mundur dua
langkah dan berseru pula.
"Kau adalah...."
"Aku adalah Ciok Giok Yin asli."
"Apa buktinya?"
"Adik Yong, mungkin ayahmu telah memberitahukan padamu
tentang perjodohan kita."
Ternyata gadis baju ungu itu adalah putri Seng Ciu Suseng-
Seh Ing, bernama Seh Yong Yong. Kening Seh Yong Yong
berkerut, kemudian dia tersenyum seraya bertanya,
"Ayah memang telah memberitahukan padaku. Tapi apakah di
badanmu terdapat suatu tanda istimewa?"
Ciok Giok Yin mengangguk.
"Ada, di dadaku terdapat sebuah tahi lalat merah...."
Mendengar itu, Seh Yong Yong langsung menangis, sekaligus
mendekap di dada Ciok Giok Yin. Mereka berdua berjumpa
secara kebetulan, membuat hati Ciok Giok Yin terasa pilu. Dia
pun tidak tahu, haruskah memberitahukan gadis itu bahwa
Seng Ciu Suseng telah mati? Ciok Giok Yin belum mengambil
keputusan, namun membelainya seraya berkata lembut,
"Adik Yong, beritahukan padaku apa gerangan yang terjadi?
Bagaimana kau berjumpa mating cabul yang menyamar diriku

itu?"
Sekujur badan Seh Yong Yong tampak gemetar, dia masih
menangis terisak-isak. Isak tangis gadis itu membuat Ciok Giok
Yin ikut mengucurkan air mata. Karena teringat akan kematian
Seng Ciu Suseng mertuanya itu, lagi pula dia pun teringat akan
Kang Ouw Pat Kiat yang terhasut oleh Chiu Tiong Thau,
akhirnya harus mengalami kematian yang mengenaskan. Kini
Kang Ouw Pat Kiat ada yang telah mati, ada pula yang
kehilangan jejak, membuat Ciok Giok Yin merasa berduka.
Sementara Seh Yong Yong masih terus menangis.
Menyaksikan itu hati Ciok Giok Yin seperti tertusuk-tusuk,
kemudian membelainya seraya berkata lembut,
"Adik Yong, ceritakanlah agar mengurangi kedukaan hatimu!"
Akan tetapi Seh Yong Yong masih terus menangis dengan air
mata berderai-derai.
"Adik Yong, apakah kau..." tanya Ciok Giok Yin dengan hati
kebat kebit.
Walau Ciok Giok Yin tidak melanjutkan ucapannya namun Seh
Yong Yong adalah gadis yang cerdas, maka dia tahu tujuan
pertanyaan yang terputus itu.
"Itu tidak, tapi kalau kau terlambat muncul selangkah saja...."
Usai menyahut Seh Yong Yong mulai menangis lagi.
"Adik Yong, seharusnya aku datang ke rumahmu
mengunjungi ibu mertua..." kata Ciok Giok Yin sambil menyeka
air mata gadis itu.
Tak disangka ucapan Ciok Giok Yin malah membuat tangis
Seh Yong Yong semakin menjadi.
Ciok Giok Yin tertegun dan segera bertanya, "Ada apa
sebetulnya?"

"Sebulan yang lalu, seorang pemuda tak dikenal mengantar
mayat ayahku ke rumah. Begitu melihat mayat ayahku, ibuku
pun meninggal seketika," sahut Yong Yong.
Terbelalak Ciok Giok Yin.
"Hah? Siapa pemuda itu?"
"Dia tidak memberitahukan namanya, cuma mengatakan
ayah telah mati, dan kau pun tahu itu."
Usai berkata, Seh Yong Yong mendongakkan kepala
memandangnya. Meskipun air mata masih meleleh, namun
gadis itu tetap cantik jelita. Ciok Giok Yin menggenggam
tangannya erat-erat, menghela nafas panjang lalu menutur
tentang kesalahpahaman suhunya dengan Kang Our Pat Kiat
dan lain sebagainya.
Setelah itu, diapun menambahkan, "Adik Yong, aku... aku
sungguh bersalah padamu!"
Seh Yong Yong menatapnya dengan air mata berlinang-linang
sambil berkata dengan lembut.
"Kau tidak bisa dipersalahkan dalam hal itu. Setelah aku
mengubur kedua mayat orang tuaku, kemudian aku
mencarimu. Namun tak disangka aku bertemu maling cabul itu
di tempat ini dan dia berhasil menotok jalan darahku...."
"Jadi kau kira dia adalah diriku?"
"Semula dia tidak memberitahukan namanya. Setelah dia
mengatakan namanya, barulah kukira kau, sehingga
membuatku nyaris pingsan seketika."
"Aku bersumpah pasti membunuhnya!" katanya sengit sambil
berkertak gigi.
Seh Yong Yong menghapus air matanya yang membasahi
pipinya, lalu bertanya, "Kakak Yin, kini kau mau pergi ke
mana?"

"Aku harus pergi ke Gunung Liok Pan San untuk menemui
Thian Thong Lojin," sahut Ciok Giok Yin dengan jujur.
"Thian Thong Lojin?"
"Ya. Karena ada sesuatu persoalan sulit, maka aku harus
mohon petunjuk beliau."
"Aku temani kau ke sana."
Ciok Giok Yin merasa serba salah. Bukan karena dia merasa
enggan berjalan bersama tunangannya itu, melainkan merasa
dirinya banyak musuh. Itu sulit baginya melindungi
tunangannya. Apabila terjadi sesuatu, tentunya akan menyesal
seumur hidup.
"Adik Yong, banyak bahaya dalam rimba persilatan, lebih baik
kau pulang saja. Setelah aku kembali dari Gunung Liok Pan
San, aku pasti menengok."
Ucapan Ciok Giok Yin membuat air mata gadis itu meleleh
lagi.
"Seorang diri berada di rumah, bukankah akan lebih
menderita?" katanya terisak.
Ciok Giok Yin berpikir sejenak. Benar juga apa yang dikatakan
Seh Yong Yong. Akan tetapi dia justru merasa tidak leluasa
membawanya serta. Ini menyebabkan menjadi bimbang, tidak
tahu apa yang harus dilakukan. Mendadak sesosok bayangan
putih melayang turun di samping mereka, Ciok Giok Yin segera
menoleh. Betapa girang hatinya ketika dia melihat orang itu!
Jilid 15
Siapa yang baru muncul itu? Ternyata Ku Tian yang pernah
bertemu Ciok Giok Yin di luar lembah markas perkumpulan
Sang Yen Hwee. Ciok Giok Yin segera menyapanya seraya
memberi hormat.

"Saudara Ku!"
Ku Tian menatap Seh Yong Yong sejenak, kemudian
menyahut sambil tersenyum.
"Saudara Ciok! Nona ini adalah...."
Setelah itu sepasang bola mata Ku Tian berputar lagi ke arah
Seh Yong Yong.
"Dia adalah..." kata Ciok Giok Yin dengan wajah agak
kemerah-merahan.
"Dia adalah isterimu?" selak Ku Tian.
"Kami sudah bertunangan sejak masih kecil."
Sekilas wajah Ku Tian tampah berubah aneh, namun cepat
sekali kembali seperti biasa! Kalau tidak memperhatikannya,
pasti tidak akan mengetahuinya. Dia tidak bertanya tentang itu
lagi, melainkan mengalihkan pertanyaan lagi.
"Saudara Ciok bertujuan ke mana?"
"Aku ingin pergi Gunung Liok Pan San."
"Ke Gunung Liok Pan San?"
"Ya."
"Ada urusan apa?"
"Mencari Thian Thong Lojin, untuk mohon penjelasan
mengenai suatu persoalan rumit."
Ku Tian menggeleng-gelengkan kepala.
"Dengar-dengar orang tua itu bersifat amat aneh. Tempat
tinggalnya juga dilengkapi dengan formasi aneh pula. Bagi
orang yang tidak paham akan formasi itu sulit untuk masuk ke

dalam."
"Biar bagaimana pun, aku harus ke sana," kata Ciok Giok Yin
tegas. "Karena persoalan itu hanya beliau yang dapat
memecahkannya."
Kening Ku Tian tampak berkerut.
"Aku akan menemanimu ke sana."
"Atas perhatian Saudara Ku aku amat berteri-makasih sekali.
Namun dari sini ke sana kira-kira ribuan mil, lagi pula penuh
bahaya, aku sungguh...."
Sebelum Ciok Giok Yin usai berkata, Ku Tian sudah tahu akan
maksudnya. Sengaja atau tidak dia melirik Seh Yong Yong
sejenak, kemudian berkata,
"Rupanya dengan keikutsertaanku, akan membuat Saudara
Ciok merasa kurang leluasa. Kalau begitu, Saudara Ciok harus
menjaga diri baik-baik, semoga kelian berdua selamat sampai
di tempat, sampai jumpa!"
Dia menjura pada Ciok Giok Yin, kemudian melesat
pergi. Ciok Giok Yin berdiri termangu-mangu memandang
punggung Ku Tian. Dia tidak menyangka Ku Tian begitu
menaruh perhatian padanya. Sesungguhnya Ciok Giok Yin amat
senang Ku Tian menyertainya, namun merasa tidak enak
merepotkannya, maka terpaksa menolak. Saat ini Seh Yong
Yong mendekatinya sambil berkata dengan lembut,
"Kakak Yin, lebih baik aku yang menemanimu ke sana."
"Adik Yong, di dunia persilatan penuh mara bahaya dan
kelicikan. Maksudku lebih baik kau pulang saja, setelah aku
pulang dari sana, pasti pergi menengokmu."
Air muka Seh Yong Yong tampak berubah. Dia melihat Ciok
Giok Yin terus menolak, mengira dia tidak suka padanya.
Karena itu air matanya langsung meleleh.

"Kau bisa pergi ke tempat itu mengapa aku tidak? Aku Seh
Yong Yong juga tidak takut mati," katanya terisak-isak.
Mendadak di dalam benak Ciok Giok Yin terlintas satu hal
penting. Yaitu dia telah makan Pil Api Ribuan Tahun, sehingga
membuat tubuhnya tidak seperti orang biasa. Apabila dia tidak
dapat mengendalikan diri, bukankah akan.... Ketika
memikirkan hal itu, wajahnya tampak kemerah-merahan,
kemudian dia berkata dengan terputus-putus,
"Adik Yong, aku... aku...."
Walau Seh Yong Yong adalah calon isterinya, namun Ciok
Giok Yin tetap merasa sulit untuk membuka mulut
memberitahukan hal itu. Justru membuat Seh Yong Yong salah
paham. Dia mengira Ciok Giok Yin sudah punya kekasih, dan
itu membuatnya merasa cemburu.
"Apakah kau sudah punya kekasih ?" tanyanya dengan dingin.
Ciok Giok Yin tertegun ketika mendengar pertanyaan Seh
Yong Yong itu. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa Seh
Yong Yong akan salah paham padanya. Karena itu dia tertawa
getir.
"Adik Yong, kau telah salah mengerti akan maksudku!"
Seh Yong Yong mendengus.
"Hm! Salah mengerti?"
Ciok Giok Yin mengangguk.
"Ya."
"Itu cuma alasan!"
Ciok Giok Yin menggenggam tangannya sambil berkata
dengan lembut.
"Adik Yong, perjodohan kita berdua justru ditentukan oleh

kedua orang tua kita. Sudah pasti aku setuju, hanya saja aku
tidak mau bepergian denganmu, karena... karena...."
Ciok Giok Yin tidak dapat melanjutkan ucapannya.
"Dikarenakan apa?" tanya Seh Yong Yong sambil menatapnya
dengan tajam.
"Aku... aku merasa sulit memberitahukan padamu."
"Kita adalah calon suami isteri, mengapa kau masih harus
merasa sulit memberitahukan padaku?"
Mendengar itu Ciok Giok Yin manggut-manggut. Memang
benar apa yang dikatakan Seh Yong Yong. Ciok Giok Yin
menggenggam tangannya erat-erat, setelah itu barulah berkata
dengan suara rendah,
"Adik Yong, tahukah kau ada bagian tubuhku yang tak
beres?"
Air muka Seh Yong Yong langsung berubah ketika mendengar
pertanyaan itu. Dalam benaknya terlintas suatu hal, 'Apakah
dia mengidap penyakit dalam? Kalau begitu, aku memang
bernasib malang!' Di saat bersamaan dia teringat akan pesan
ibunya sebelum mati. 'Nak, kau harus berusaha mencari anak
Yin! Setelah kalian berdua menikah, barulah ibu merasa tenang
di alam baka. Ingat, kau adalah anak satu-satunya keluarga
Seh, maka kau harus punya anak, agar keluarga Ciok dan
keluarga Seh tidak putus turunan!' Teringat akan pesan
tersebut, seketika air mata Seh Yong Yong mengucur deras.
Dia paham akan maksud perkataan Ciok Giok Yin, yaitu tidak
mampu melakukan hubungan intim antara suami isteri. Kalau
tidak, bagaimana mungkin perkataannya terputusputus?
Mereka berdua sudah dijodohkan sejak kecil, itu sudah
merupakan takdir yang tak dapat diubah. Oleh karena itu Seh
Yong Yong harus menerima nasibnya itu. Karena berpikir
kemudian, wajah Seh Yong Yong menjadi tampak serius.
"Kakak Yin, maksudmu kau tidak bisa melakukan hubungan

intim antara suami isteri?" tanyanya dengan suara rendah.
Ciok Giok Yin tersenyum getir sambil menggeleng-gelengkan
kepala.
"Adik Yong, kau salah paham lagi."
Seh Yong Yong tertegun. Gadis itu sama sekali tidak paham,
apanya yang tidak beres pada tubuh Ciok Giok Yin. Dia
menatap Ciok Giok Yin dengan mata terbelalak.
"Lalu kenapa?" tanyanya heran.
Ciok Giok Yin menghela nafas panjang.
"Adik Yong, aku keliru menelan Pil Api Ribuan Tahun."
Walau Seh Yong Yong tergolong gadis rimba persilatan,
pengetahuannya cukup luas, namun justru tidak tahu tentang
pil tersebut.
"Pil Api Ribuan Tahun?"
"Ya."
"Apa hubungan Pil Api Ribuan tahun dengan tubuhmu?"
"Apakah Adik Yong tidak pernah mendengar tentang pil itu?"
"Tidak pernah."
Ciok Giok Yin memandangnya.
"Mari kita duduk, aku akan memberitahukan padamu!"
Mereka berdua duduk di atas sebuah batu. Ciok Giok Yin
menarik nafas dalam, lalu menuturkan tanpa membaca tulisan
yang tercantum di kertas itu. Usai menutur dia pun
menambahkan,
"Adik Yong, aku cuma khawatir sewaktu-waktu tak dapat

mengendalikan diri, maka akan mencelakai dirimu."
Mendengar itu wajah Seh Yong Yong menjadi kemerahmerahan,
kemudian dia menundukkan wajahnya dalam-dalam.
Sedangkan hatinya terus berdebar-debar tidak karuan. Itu
memang merupakan persoalan yang amat penting. Tidak
mengherankan Ciok Giok Yin melarangnya berpergian bersama,
ternyata disebabkan persoalan tersebut. Dalam pandangan Seh
Yong Yong, terus berpikir, akhirnya menatap Ciok Giok Yin
seraya bertanya,
"Kakak Yin, apakah tiada suatu cara untuk memecahkan
persoalan itu?"
Ciok Giok Yin mengangguk.
"Ada."
Wajah Seh Yong Yong langsung berseri.
"Cara apa?"
Ciok Giok Yin memberitahukan tentang kitab Im Yang Cin
Koy, kemudian melanjutkan, "Adik Yong, aku sungguh sulit
membuka mulut memberitahukan padamu."
"Bukankah sudah kukatakan tadi, kita sudah merupakan calon
suami isteri, tiada sesuatu yang harus dirahasiakan di antara
kita berdua?"
Ciok Giok Yin memandangnya.
"Adik Yong, meskipun kau paham akan kitab Im Yang Cin
Koy, tapi tetap sulit melayani itu."
Seh Yong Yong mengerutkan kening.
"Lalu harus bagaimana?"
"Berdasarkan tulisan di kertas itu, aku harus punya beberapa
isteri. Tentunya aku tidak bermaksud begitu. Setelah

kubereskan semua urusanku, mungkin aku akan bunuh diri."
Mendengar itu bukan main terkejut Seh Yong Yong!
"Kakak Yin, aku bukanlah gadis yang berpikiran sempit. Kalau
ada gadis lain yang kurasa cocok, aku bersedia bersamanya
mendampingimu."
"Adik Yong, sungguh besar jiwa!"
"Nyatanya memang harus demikian."
Ketika pembicaraan mereka berdua sampai di situ, mendadak
Ciok Giok Yin teringat akan tujuannya ke gunung Liok Pan San,
"Adik Yong, kalau kau tidak mau pulang sekarang, aku pikir
lebih baik kau pergi ke Gunung Kee Jiau San, markas partai
Thay Kek Bun dan kau tinggal di sana untuk sementara waktu.
Bagaimana?"
Seh Yong Yong mengerutkan kening.
"Tapi aku tidak kenal mereka."
Sekonyong-konyong terdengar suara yang amat dingin di
belakang mereka,
"Aku bersedia mengantar dia ke sana."
Mendengar suara itu, seketika sekujur badan Ciok Giok Yin
menjadi merinding.
"Bok Tiong Jin!" serunya tak tertahan.
"Tidak salah, kalian jangan membalikkan badan!"
Padahal Seh Yong Yong ingin membalikkan badannya, namun
Ciok Giok Yin cepat mencegahnya. Seh Yong Yong tidak berani
membalikkan badannya, sebab mendengar seruan Ciok Giok
Yin 'Bok Tiong Jin'. Itu membuat sekujur badannya menjadi
dingin.

"Bok Tiong Jin?" tanyanya dengan suara rendah.
Ciok Giok Yin mengangguk.
"Manusia dan hantu tidak boleh bertatap muka, maka kau
jangan membalikkan badanmu."
Badan Seh Yong Yong menggigil ketika mendengar katakatanya
itu.
"Adik Yong, dia adalah penolongku. Kelak kalau ada waktu,
akan kuceritakan padamu."
Seh Yong Yong mengangguk. Di saat bersamaan terdengar
lagi suara Bok Tiong Jin.
"Kau tidak usah mencemaskan itu, aku akan memberitahukan
padanya. Kau mau berangkat ke Gunung Liok Pan San,
berangkatlah! Mengenai nona ini aku yang akan mengantarnya
ke sana, dan kujamin dia tidak akan kehilangan sehelai rambut
pun."
"Kalau begitu aku berhutang budi padamu lagi," kata Ciok
Giok Yin.
"Semakin banyak hutangmu padaku semakin baik, asal kau
ingat akan janjimu itu, sudah cukup bagiku."
Seh Yong Yong tercengang ketika mendengar ucapan Bok
Tiong Jin itu.
"Janji apa?" tanyanya kepada Ciok Giok Yin.
Ketika Ciok Giok Yin baru mau memberitahukan, Bok Tiong
Jin sudah mendahulinya.
"Nona tidak usah bertanya, mungkin akan kuberitahukan
padamu."
Hening sejenak, kemudian terdengar Bok Tiong Jin

melanjutkan ucapannya.
"Hai! Manusia! Aku dengar kau telah peroleh kitab Im Yang
Cin Koy! Benarkan itu?"
Ciok Giok Yin tertegun.
"Kau sudah tahu itu?"
"Bagi hantu, tiada sesuatu yang tak tahu. Kau harus berikan
pada tunanganmu itu, agar dia bisa membaca kitab tersebut.
Buat apa kau simpan dalam bajumu, bagaimana kalau hilang?"
Ciok Giok Yin berpikir sejenak, lalu mengeluarkan kitab itu.
"Aku mohon kau sudi melindunginya sampai di tempat!"
"Tentang itu kau boleh berlega hati."
Ciok Giok Yin menyerahkan kitab itu pada Seh Yong Yong
seraya berpesan.
"Adik Yong, kalau ada waktu kau boleh membacanya!"
Wajah Seh Yong Yong langsung memerah. Dia tahu kitab
tersebut amat penting bagi mereka, terutama dalam hal
berhubungan intim. Karena itu dia harus baik-baik
menyimpannya. Kalau tidak, sulit baginya berhubungan intim
dengan Ciok Giok Yin kelak.
Terdengar Bok Tiong Jin berkata lagi.
"Nona, silakan berjalan ke arah timur!"
Ciok Giok Yin langsung berkata,
"Adik Yong, baik-baik menjaga dirimu!"
"Kakak Yin, kau pun harus hati-hati!"
Mereka berdua saling menatap. Manusia merasa paling

berduka di saat berpisah, terutama berpisah dengan kekasih.
Tidak mengherankan mata mereka berdua berkaca-kaca,
kemudian meleleh. Berselang sesaat, barulah Ciok Giok Yin
melesat pergi, tujuannya adalah Gunung Liok Pan San.
Sedangkan Seh Yong Yong juga sudah berangkat ke Gunung
Kee Jiau San, dengan hati amat berduka lantaran berpisah
dengan Ciok Giok Yin. Sementara Ciok Giok Yin terus melesat
ke arah utara, hari pun sudah mulai gelap.
Sejauh mata memandang, yang tampak hanya gununggunung
yang menjulang tinggi ke langit. Saat itu adalah musim
semi, maka hembusan angin senja sungguh membuat hati
orang terasa nyaman. Panorama pun amat indah, namun Ciok
Giok Yin sama sekali tidak menikmati keindahan alam, sebab
dia ingin lekas-lekas tiba di Gunung Liok Pan San. Berselang
beberapa saat, perutnya mulai terasa lapar. Dia berhenti lalu
duduk di atas sebuah batu dan mengeluarkan sedikit makanan
kering yang dibawanya. Dia mulai makan sambil menikmati
keindahan panorama. Usai makan dia ingin melanjutkan
perjalanan agar bisa tiba di tempat tujuan selekasnya. Namun
ketika dia baru bangkit berdiri, mendadak terdengar suara
rintihan yang amat lemah.
Hati Ciok Giok Yin tersentak dan berpikir. 'Apakah ada orang
terluka?'
Karena merasa heran, membuat sepasang kakinya melangkah
ke tempat suara rintihan itu. Kira-kira lima puluh depa lebih,
tampak seorang pengemis berusia lanjut berguling-guling di
tanah, bahkan tangannya tak henti-hentinya menarik baju
bagian dadanya. Terlihat pula sebatang tongkat bambu hijau
tergeletak di sampingnya. Melihat keadaannya, dapat diketahui
bahwa pengemis itu amat menderita. Timbullah rasa iba dalam
hati Ciok, Giok Yin. Dia menghampiri pengemis itu, lalu
membungkukkan badannya sedikit seraya bertanya,
"Lo cianpwee sakit?"
Pengemis berusia lanjut tidak menyahut, hanya terus
menarik-narik bajunya yang telah sobek itu. Akhirnya tampak

dadanya yang bernoda darah bekas cakaran kukunya. Hati Ciok
Giok Yin tergetar. Dia yakin bahwa pengemis itu pasti tokoh
rimba persilatan. Kalau tidak, bagaimana mungkin dia
menderita sakit di tempat yang amat sepi ini? Lagi pula
kelihatannya pengemis itu mengindap penyakit aneh. Ciok Giok
Yin mengerti ilmu pengobatan, tentunya harus turun tangan
memeriksa penyakitnya, tanpa peduli pengemis itu orang baik
atau penjahat. Karena itu jari tangan Ciok Giok Yin bergerak
cepat menotok jalan darah bagian dada pengemis itu. Seketika
pengemis berusia lanjut tidak bergerak.
Perlahan-lahan sepasang matanya mengarah kepada Ciok
Giok Yin, kemudian menyorotkan sinar aneh. Berdasarkan sorot
matanya Ciok Giok Yin bertambah yakin bahwa pengemis itu
merupakan seorang tokoh rimba persilatan, bahkan memiliki
lwee kang yang amat tinggi. Namun Ciok Giok Yin justru tidak
tahu jelas pengemis itu mengidap penyakit atau terluka. Sebab
itu dia bertanya,
"Lo cianpwee merasa tidak enak di mana?"
Pengemis berusia lanjut menyahut dengan suara lemah.
"Akhirnya kau harus kembali ke asal."
Ciok Giok Yin tertegun mendengar sahutan itu.
"Maksud lo cianpwee?"
Pengemis berusia lanjut menatapnya sejenak kemudian
berkata perlahan-lahan.
"Ketika aku sedang duduk beristirahat, mendadak serangkum
angin pukulan menerjang dari belakang, terasa pula hawa yang
amat panas menyerang jantung."
"Selanjutnya bagaimana?"
"Terdengar suara siulan panjang, kemudian lenyap."
Ciok Giok Yin segera memeriksa nadi pengemis berusia lanjur,

lalu air mukanya tampak berubah.
"Lo cianpwee terkena racun pukulan Soan Hong Ciang."
"Soan Hong Ciang?"
"Ya."
Pengemis berusia lanjut mengeluarkan suara.
"Hah?"
Wajahnya yang keriput itu tampak tegang dan serius. Itu
pertanda dia tahu akan kelihayan ilmu pukulan Soan Hong
Ciang. Mendadak sepasang matanya menyorotkan sinar yang
penuh dendam.
"Ternyata adalah pewaris Sang Ting It Koay!" katanya sengit.
"Sang Ting It Koay memang punya seorang murid murtad,"
sahut Ciok Giok Yin.
"Namanya Chiu Tiong Thau. Aku pengemis tua pernah dengar,
dia adalah jago nomor wahid di dunia persilatan."
Ciok Giok Yin berpikir sejenak.
"Lo cianpwee, aku mengerti sedikit ilmu pengobatan. Untung
luka lo cianpwee tidak begitu parah, maka tidak sulit untuk
pulih."
Dia cepat-cepat mengeluarkan sebuah botol kecil berisi obat
cair Giok Ju. Kemudian dituangnya dua tetes obat itu ke dalam
mulut pengemis berusia lanjut seraya berkata,
"Lo cianpwee harus menahan derita. Aku akan menggunakan
lwee kang perguruanku untuk mendesak ke luar racun itu agar
lo cianpwee segera pulih."
Setelah berkata demikian, Ciok Giok Yin cepat-cepat
menempelkan telapak tangannya di punggung pengemis

berusia lanjut kemudian mengarahkan Sam Yang Hui Kang
untuk mendesak ke luar racun yang bersarang di dada
pengemis itu. Terdengar suara rintihan dari mulut pengemis
berusia lanjut. Berselang beberapa saat, sekujur badan
pengemis berusia lanjut telah basah oleh keringat. Wajahnya
meringis-ringis, tampaknya dia amat menderita.
Tak lama, kening Ciok Giok Yin juga mengucur keringat. Saat
ini mereka berdua dalam keadaan genting. Apabila terganggu,
pasti kedua-duanya akan cacat seumur hidup, bahkan mungkin
akan mati sekarang. Justru di saat genting itu sekonyongkonyong
muncul empat sosok bayangan orang mendekati
mereka berdua. Keempat orang itu adalah Setan Tinggi, Setan
Pendek, Setan Gemuk dan Setan Kurus dari perkumpulan Sang
Yen Hwee. Keempat setan itu saling memandang, kemudian
tersenyum licik. Setelah itu mereka berempat melangkah maju
perlahan-lahan mendekati Ciok Giok Yin yang sedang
mengobati pengemis berusia lanjut dengan menggunakan lwee
kangnya.
Keempat setan itu merupakan pesilat tinggi di dunia
persilatan, tentunya tahu keadaan Ciok Giok Yin dan pengemis
tersebut. Saat ini apabila mereka berdua terganggu, pasti akan
membuat mereka berdua menderita cacat seumur hidup,
bahkan kemungkinan besar kedua-duanya akan mati seketika.
Sementara Ciok Giok Yin sudah melihat kemunculan keempat
setan itu. Akan tetapi di saat genting seperti itu dia tidak bisa
menarik kembali lwee kangnya. Kalau dia menarik kembali
lwee kangnya, pasti akan membuat pengemis berusia lanjut
mati seketika dan dirinya sendiri juga akan menderita luka
parah. Pengemis berusia lanjut juga sudah tahu akan kehadiran
keempat setan tersebut, dan itu membuatnya berpikir. 'Yang
menolongku adalah pemuda berusia puluhan, sedangkan diriku
sudah berusia lanjut. Anak muda ini akan mati bersamaku.
Sungguh.... Pengemis berusia lanjut tidak pikir lagi. Namun dia
tidak berani bergerak sedikitpun, sebab kalau salah bertindak,
bukan cuma dia yang akan mati, bahkan juga akan mencelakai
pemuda tersebut. Dapat dibayangkan betapa dukanya hati
pengemis itu!

Sudah barang tentu menyebabkan badannya tergoncang
sedikit. Di saat bersamaan terdengar suara Ciok Giok Yin yang
amat perlahan.
"Lo cianpwee, saat ini hati lo cianpwee tidak boleh
tergoncang, kita pasrah saja!"
Ciok Giok Yin segera menambah lwee kangnya sehingga hawa
panas terus mengalir ke dalam tubuh pengemis berusia lanjut
melalui telapak tangannya. Sementara keempat setan itu
sudah semakin mendekat. Terdengar jelas pula senjata si
Setan Gemuk yang berupa Sui Poa terus berbunyi.
Plak! Plaak!
Wajahnya tampak berseri licik, menengok ke kiri dan ke
kanan seraya berkata dengan gembira.
"Kita empat bersaudara, hari ini akan memperoleh
keuntungan besar!"
"Memang seharusnya bocah itu jatuh ke tangan kita! He he
he..." sahut Setan Pendek.
Dia tertawa gelak sambil melangkah maju, begitu pula ketiga
setan lainnya. Kini jarak mereka berempat dengan Ciok Giok
Yin dan pengemis berusia lanjut cuma tiga depa. Ciok Giok Yin
dan pengemis berusia lanjut betul-betul berada di
ambang Akan tetapi saat ini Ciok Giok Yin sedang menyalurkan
lwee kangnya, maka tidak bisa berbuat apa-apa. Kalaupun usai
mengobati pengemis berusia lanjut, dia tetap tidak mampu
mengadakan perlawanan, sebab dia sudah kelelahan.
Perlahan-lahan si Setan Tinggi dan Si Setan Kurus
mengangkat tangannya, yang satu mengarah pada Ciok Giok
Yin dan yang satu lagi mengarah pada pengemis berusia lanjut.
elihatannya kedua setan itu sudah siap melancarkan pukulan
ke arah Ciok Giok Yin dan pengemis berusia lanjut. Mendadak
si Setan Gemuk tertawa terkekeh dan berkata.
"Bagaimana kalau kita menyiksa bocah itu dulu biar dia

merasakan...."
"Hati-hati dengan lidahmu itu!" sahut si Setan Pendek.
Si Setan Gemuk langsung diam. Sedangkan si Setan Tinggi
dan si Setan Kurus saling memandang, lalu menarik kembali
tangan masing-masing. Ternyata mereka berdua sudah
mendengar perkataan si Setan Gemuk, mau menyiksa Ciok
Giok Yin dulu. Karena itu si Setan Tinggi menjulurkan jari
tangannya, menotok jalan darah Siau Yan Hiat Ciok Giok Yin.
Di saat bersamaan mendadak dari arah samping menerjang
dua rangkum angin pukulan yang amat dahsyat. Boleh
dikatakan bagaikan tindihan gunung dan terjang ombak,
membuat Setan Tinggi cepat-cepat menarik kembali
tangannya, tidak berani melanjutkan serangannya terhadap
Ciok Giok Yin. Sebab apabila dia melanjutkan serangannya,
nyawanya pasti akan melayang. Dia langsung mencelat ke
belakang, diikuti ketiga setan lainnya.
"Ada apa?" tanya si Setan Gemuk.
"Ada hantu," sahut si Setan Tinggi.
Mendengar itu si Setan Gemuk tertawa gelak lalu berkata.
"Kita berempat adalah Si Sing Kui! Hantu yang mana pun
melihat kita pasti kabur terbirit-birit! Kau memang tak berguna
sama sekali!"
Si Setan Tinggi tidak menghiraukan perkataan si Setan
Gemuk. Sepasang matanya yang sipit menengok ke sana ke
mari. Sikap si Setan Tinggi itu membuat Si Setan Kurus
tertawa terkekeh-kekeh, kemudian dia berkata menyindir.
"Hai! Jangan-jangan kau belajar ilmu pada sunio (Istri
Guru)mu!"
"Suhunya adalah seorang penjual obat keliling!" sambung si
Setan Gemuk.

"Wah! Aku sama sekali tidak tahu itu, beritahukanlah!" sela si
Setan Pendek.
Si Setan Kurus tertawa terkekeh lagi lalu menyahut.
"Dia punya dua suhu, kedua-duanya adalah tukang obat
keliling dunia persilatan!"
"Dua suhu yang mana?" tanya si Setan Gemuk dan Setan
Pendek dengan seretak.
Setan Kurus melirik Ciok Giok Yin dan pengemis berusia lanjut
sejenak lalu menyahut.
"Salah satu suhunya adalah penjual obat kuat, maka dia
cuma bisa duduk bersemedi saja!"
"Suhunya yang satu lagi penjual obat apa?" tanya si Setan
Gemuk.
"Wah! Suhunya yang satu lagi adalah penjual obat istimewa!"
sahut si Setan Kurus dengan serius.
"Obat istimewa apa?" tanya si Setan Pendek.
"Obat anti senjata tajam...."
Di saat si Setan Kurus menyahut, si Setan Tinggi melancarkan
serangan lagi ke arah jalan darah Siau Yun Hiat Ciok Giok Yin
dan pengemis berusia lanjut. Apabila jalan darah tersebut
tertotok, maka Ciok Giok Yin dan pengemis berusia lanjut akan
tertawa terbahak-bahak hingga mati. Ketika jari tangan si
Setan Tinggi hampir berhasil menotok jalan darah Sian Yun
Hiat Ciok Giok Yin dan pengemis berusia lanjut, mendadak
terdengar suara bentakan nyaring.
"Kau berani!"
Tampak sosok bayangan melesat ke luar laksana kilat dari
balik sebuah batu besar, sekaligus melancarkan pukulan ke
arah si Setan Tinggi.

"Gadis sialan, ternyata kau lagi!" bentak ketiga setan lainnya.
Ketiga setan itu menerjang ke arah gadis yang baru muncul.
Siapa gadis itu? Tidak lain adalah Cou Ing Ing. Demi
menyelamatkan diri, si Setan Tinggi terpaksa mencelat ke
belakang. Setelah itu dia maju lagi untuk menotok jalan darah
Ciok Giok Yin dan pengemis berusia lanjut. Sesungguhnya
keempat setan itu berasal dari satu guru. Tadi ketiga setan itu
berbicara menyindir, tidak lain hanya untuk memecahkan
perhatian pendatang gelap itu, agar si Setan Tinggi dapat turun
tangan terhadap Ciok Giok Yin dan pengemis berusia lanjut. Di
saat mereka berhasil, karena Cou Ing Ing terpancing keluar,
maka ketiga Setan itu langsung menyerangnya.
Sedangkan si Setan Tinggi punya peluang untuk menyiksa
Ciok Giok Yin dan pengemis berusia lanjut. Akan tetapi di saat
si Setan Tinggi baru mau turun tangan, mendadak melayang
turun sesosok bayangan merah dan terdengar pula suara
bentakan.
"Setan Tinggi, kau berani melukai adikku?"
Tampak bayangan telapak tangan berkelebat ke arah si Setan
Tinggi, sehingga membuat si Setan Tinggi terdesak ke
belakang.
"Heng Thian Ceng!" serunya kaget.
Ternyata yang baru muncul itu adalah Heng Thian Ceng.
Wanita iblis itu terus menyerang si Setan Tinggi dengan
bertubi-tubi. Di saat bersamaan terdengar suara siulan yang
amat memekakkan telinga. Siapa yang mengeluarkan suara
siulan dahsyat itu? Tidak lain adalah Ciok Giok Yin dan
pengemis berusia lanjut. Seusai Ciok Giok Yin mengobati
pengemis berusia lanjut, mereka berdua beristirahat sejenak,
kemudian mengeluarkan suara siulan, sekaligus menerjang ke
arah ketiga setan yang mengeroyok Cou Ing Ing. Mendadak si
Setan Tinggi menjerit, kemudian lari terbirit-birit ke dalam
lembah. Ketiga Setan lainnya pun cepat-cepat melesat pergi.

Kini suasana di tempat itu berubah menjadi hening. Ciok Giok
Yin memandang Cou Ing Ing sambil berkata dengan penuh rasa
haru.
"Adik...." Sesungguhnya Ciok Giok Yin ingin memanggilnya
'Adik Ing', namun langsung berubah. "Terimakasih atas
bantuan Nona!"
"Kau merasa malu tidak? Aku ingin membunuhmu, bukan
menyelamatkanmu!" sahut Cou Ing Ing dingin sambil melotot.
Sekonyong konyong Heng Thian Ceng mendekatinya sambil
membentak sengit.
"Gadis tak tahu diri! Kalau kau berani mengganggu seujung
rambut adikku, aku pasti mencincangmu!"
Lantaran Heng Thian Ceng turut campur, justru membuat Cou
Ing Ing semakin gusar.
"Aku mau memukulnya hingga mati, lihat kau bisa berbuat
apa! Dasar tak tahu malu!" katanya.
Dia langsung melancarkan serangan menggunakan tujuh
bagian tenaganya ke arah dada Ciok Giok Yin. Pukulan yang
dilancarkannya sungguh cepat melebihi kilat, bahkan amat
dahsyat.
"Gadis sialan, nyalimu sungguh besar!" bentak Heng Thian
Ceng.
Dia pun langsung melancarkan sebuah pukulan ke arah Cou
Ing Ing. Sedangkan Ciok Giok Yin sama sekali tidak menduga
bahwa Cou Ing Ing akan menyerangnya sedemikian cepat dan
dahsyat. Sementara pukulan yang dilancarkan Heng Thian
Ceng juga amat cepat dan dahsyat, meluncur ke arah lengan
Cou lug Ing. Apabila lengan Cou Ing Ing terpukul, pasti akan
remuk dan cacat seumur hidup.
Cou Ing Ing merupakan teman Ciok Giok Yin dari kecil.

Kalaupun gadis itu memukul Ciok Giok Yin tetap akan
mengalah. Namun Heng Thian Ceng justru adalah
penolongnya. Mereka berdua punya hubungan erat dengan
Ciok Giok Yin. Sudah jelas Ciok Giok Yin tidak menghendaki
mereka berdua bertarung. Oleh karena itu Ciok Giok Yin pun
jadi nekad. Dia langsung melesat ke tengah-tengah mereka
agar mereka berdua menarik kembali pukulan masing-masing.
Namun tak disangka kedua pukulan itu menghantam Ciok
Giok Yin.
Plaaak!"
Pukulan yang dilancarkan Cou Ing Ing mengenai bahunya,
sedangkan pukulan yang dilancarkan Heng Thian Ceng
mengenai rusuk kirinya. Terdengar suara jeritan.
"Aaaakh...!"
Ciok Giok Yin terhuyung-huyung ke belakang lima langkah
lalu roboh.
"Uaaakh ! "
Dari mulutnya menyembur darah segar dan pandangannya
berkunang-kunang, pertanda lukanya cukup parah. Cou Ing Ing
tertegun kemudian melototi Heng Thian Ceng dengan mata
berapi-api. Setelah itu mendadak dia melesat pergi dan dalam
sekejap sudah tidak kelihatan bayangannya. Heng Thian Ceng
tidak menghiraukan kepergian Cou Ing Ing. Dia segera
mendekati Ciok Giok Yin dengan penuh perhatian.
"Adik, bagaimana keadaanmu?" tanyanya menepiskan tangan
Heng Thian Ceng. Dia bangkit berdiri sendiri dengan
sempoyongan.
Pengemis berusia lanjut juga mendekati Ciok Giok Yin.
"Saudara Kecil, bagaimana rasamu?" tanyanya dengan penuh
perhatian.

"Tidak apa-apa," sahut Ciok Giok Yin sambil tersenyum getir.
Dia mengeluarkan sebuah botol kecil berisi obat cair Giok Ju
kemudian dituangnya dua tetes obat itu ke dalam mulutnya.
Di saat bersamaan Heng Thian Ceng berkata sengit.
"Adik, suatu hari nanti aku pasti membunuhnya demi
membalas dendammu!"
Sedangkan pengemis berusia lanjut tampak terbengongbengong.
Ternyata dia tidak paham akan hubungan kedua
orang itu. 'Bagaimana kedua orang itu saling memanggil kakak
dan adik?' tanyanya dalam hati. Ciok Giok Yin memandang
Heng Thian Ceng, kemudian berkata.
"Cianpwee tidak usah mencemaskan urusanku dengan Nona
Cou. Di antara kami tidak terdapat dendam apa pun. Cuma
terdapat sedikit salah paham, bukan merupakan urusan besar."
Heng Thian Ceng mendengus.
"Hm! Adik, dia telah memukulmu, mengapa kau masih
membelanya?"
Ciok Giok Yin menghela nafas panjang.
"Aku berhutang banyak padanya." Keningnya tampak
berkerut. "Cianpwee, tidak baik bagi kita saling memanggil
kakak dan adik."
"Adik, apakah... kau merasa sebal, karena wajahku buruk?"
Pengemis berusia lanjut bertambah tercengang. Dia merasa
keberadaannya di tempat itu mungkin akan membuat mereka
kurang leluasa berbicara. Maka dari itu dia berkata pada Ciok
Giok Yin.
"Silakan kalian berdua bercakap-cakap! Saudara Kecil, aku
pengemis tua menunggumu di depan sana."

Dia menyambar tongkat bambu hijaunya yang tergeletak di
tanah, lalu melesat pergi dan tak lama sudah hilang dari
pandangan Ciok Giok Yin.
"Siapa dia?" tanya Heng Thian Ceng.
"Akupun tidak jelas."
"Kalau begitu, kalian berdua tidak bersama?"
"Memang tidak."
"Bagaimana dia akan menunggumu di depan?"
"Itu pun aku kurang jelas!"
"Kalian berdua bertemu di mana?"
"Di tempat ini."
Heng Thian Ceng mengerutkan kening lalu memandang Ciok
Giok Yin seraya bertanya lagi, "Di tempat ini?"
Ciok Giok Yin mengangguk.
"Ng!"
"Lalu bagaimana kau bertemu Si Sing Kui?"
Ciok Giok Yin segera menceritakan tentang dirinya mengobati
pengemis berusia lanjut. Setelah mendengar cerita itu, Heng
Thian Ceng manggut-rnanggut.
"Ooooh! Kalau begitu, kau telah diselamatkan oleh gadis itu."
Dia menggenggam tangan Ciok Giok Yin erat-erat. "Masih
beruntung kau selamat!" tambahnya.
Hati Ciok Giok Yin tersentak. Ternyata tangan Heng Thian
Ceng amat halus. Itu sungguh di luar dugaannya! Sehingga
tanpa segaja Ciok Giok Yin meliriknya. Dan di saat bersamaan,
secara reflek dia pun menggenggam tangan halus itu. Setiap

orang kalau suka pada suatu benda, pasti akan membuat
hatinya tergerak dan membelainya. Lantaran tangan Heng
Thian Ceng amat halus, boleh dikatakan lebih halus dari tangan
Cou Ing Ing atau tangan Seng Seh Yong Yong, menyebabkan
Ciok Giok Yin balas menggenggam tangannya tanpa sadar.
Bersamaan itu sepasang mata Ciok Giok Yin menatap
wajahnya, dan itu membuatnya cepat-cepat melepaskan
tangannya. Diam-diam Ciok Giok Yin menghela nafas panjang
dan berkata dalam hati. 'Wajahnya begitu buruk, namun
sepasang tangannya amat halus dan indah. Sungguh sayang
sekali!' Untuk menutupi sikapnya tadi, Ciok Giok Yin berkata,
"Kalau dia tidak muncul tepat pada waktunya, aku dan lo
cianpwee itu pasti sudah mati di tangan Si Sing Kui."
Apa yang dikatakan Ciok Giok Yin justru tidak masuk ke
dalam telinga Heng Thian Ceng. Ternyata ketika tadi Ciok Giok
Yin balas menggenggam tangannya, hati Heng Thian Ceng
terus berdebar-debar dan dia pun merasa nyaman sekali.
Seketika Heng Thian Ceng berkata dalam hati. 'Ternyata dia
suka padaku!'
Di saat dia berkata dalam hati, Ciok Giok Yin justru
melepaskan tangannya, bahkan tampak keningnya berkerut.
Mendadak Heng Thian Ceng menggenggam tangannya lagi
sambil berkata perlahan-lahan.
"Adik, apakah kau begitu keras tidak mau memanggilku
kakak?"
"Cianpwee, bukan aku tidak mau, melainkan tidak pantas.
Sebab usia kita terpaut jauh, maka aku tidak boleh memanggil
cianpwee kakak," sahut Ciok Giok Yin.
"Jadi kau mengikuti adat istiadat itu?"
"Ini bukan adat istiadat, melainkan tata krama."

"Di dunia persilatan, bagaimana ada tata krama ini?"
Ciok Giok Yin tetap berkeras.
"Cianpwee, maafkan aku! Biar bagaimana pun aku tidak bisa
memanggil Cianpwee kakak!"
Heng Thian Ceng tetap menggenggam tangannya.
"Adik, kau berkata apa pun, kakak tidak akan marah
padamu."
"Cianpwee, hidup tidak terlepas dari tata karma, orang yang
tidak tahu tata krama berarti orang itu tak berguna. Aku
percaya cianpwee mengerti, maka aku tidak bisa memanggil
cianpwee kakak."
Tak disangka Heng Thian Ceng malam tertawa cekikikan.
"Adik, memang benar katamu. Tapi agak berlebihan."
"Bagaimana agak berlebihan?"
"Memang agak berlebihan."
"Mohon petunjuk cianpwee."
"Apa yang kau katakan tadi memang benar dan masuk akal,
namun apabila disepakati kedua belah pihak, itu pun termasuk
tata krama." Heng Thian Ceng menatapnya. "Seandainya kita
saling memanggil kakak dan adik, orang lain pun tidak akan
mengatakan kita tidak benar."
Ciok Giok Yin tidak menyangka bahwa Heng Thian Ceng akan
mengemukakan begitu banyak alasan, membuatnya nyaris
tertawa geli. Sedangkan Heng Thian Ceng mengira Ciok Giok
Yin sudah setuju memanggilnya kakak.
"Adik, betul kan apa yang Kakak Katakan?"
"Cianpwee...."

Heng Thian Ceng langsung memutuskan perkataannya.
"Kok kau masih memanggilku cianpwee?"
"Biar bagaimana pun aku tidak berani memanggil cianpwee
kakak," sahut Ciok Giok Yin dengan tegas.
Heng Thian Ceng mengerutkan kening hingga wajahnya
tampak serius.
"Apakah kau anggap wajah kakak amat buruk?"
Ciok Giok Yin menggelengkan kepala.
"Cianpwee tidak usah banyak curiga. Pepatah mengatakan
'Menilai orang jangan berdasarkan wajahnya, haruslah
berdasarkan hatinya'. Karena itu, aku tidak
mempermasalahkan wajah cianpwee yang buruk."
Mendadak terdengar suara desiran angin di belakang mereka.
Ciok Giok Yin dan Heng Thian Ceng segera menoleh, sekaligus
mengerahkan lwee kang. Terdengar suara tawa gelak.
"Ha ha ha! Tak disangka Heng Thian Ceng juga berada di
sini!"
Orang yang baru muncul itu, ternyata Te Hang Kay.
"Lalu kenapa?" sahutnya.
Ciok Giok Yin khawatir mereka berdua akan bertarung, maka
segera menjura seraya berkata,
"Lo cianpwee, tadi aku bertemu beberapa musuh tangguh,
untung muncul Heng Thian Ceng cianpwee menyelamatkanku,
maka kami bercakap-cakap di sini."
Te Hang Key pengemis tua itu menatap Heng Thian Ceng
dengan sorot mata dingin.

"Khui Fang Fang, apakah kau sudah lupa katakata si Bongkok
Arak?"
"Apa katanya?"
"Melarangmu bersamanya."
"Kau perduli amat?"
"Aku pengemis tua memang memperdulikan ini."
"Apa alasanmu?"
"Berdasarkan usiamu, sudah tidak pantas kau bersamanya."
Sepasang mata Te Hang Kay menyorot dingin lagi. "Sekarang
kau harus meninggalkan tempat ini!"
"Kalau aku tidak mau meninggalkan tempat ini?"
"Kau akan kumampusi!"
Heng Thian Ceng mendengus dingin.
"Hm! Kau mampu itu?"
"Lihat saja aku mampu atau tidak?"
Ketika Te Hang Kay baru mau melancarkan serangan,
mendadak Ciok Giok Yin melangkah maju ke tengah-tengah
mereka berdua seraya berkata,
"Lo cianpwee, kalau ada persoalan harap bicara baik-baik
saja!"
Te Hang Kay yang sudah pasang kuda-kuda untuk menyerang
Heng Thian Ceng berkata dengan suara dalam.
"Khui Fang Fang, kau boleh jadi ibunya! Tapi malah
mendesaknya untuk memanggilmu kakak, sesungguhnya apa
maksudmu itu? Apakah dua puluh tahun lalu...."

Dia memandang Ciok Giok Yin sejenak, tidak melanjutkan
perkataannya.
"Siapa kau?"
"Aku pengemis tua Te Hang Kay!"
"Te Hang Kay?"
"Tidak salah! Mungkin kau belum mendengar! Tapi cepat atau
lambat kau akan jelas!"
"Kau menyembunyikan kepala dan ekor, tidak berani
menyebut nama aslimu, justru masih punya muka mencampuri
urusan orang!"
"Urusan ini aku pengemis tua pasti mencampurinya!"
Sepasang mata Heng Thian Ceng membelalak lebar kemudian
sepasang bola matanya berputar ke arah Ciok Giok Yin.
"Adik, katakanlah! Sebetulnya kau mengaku aku sebagai
kakakmu atau tidak?"
Ciok Giok Yin jadi serba salah. Di hadapan kedua orang itu,
yang satu melarang Heng Thian Ceng bergaul dengannya,
sedangkan yang satu lagi justru mendesaknya harus
memanggil kakak. Apa maksud kedua orang itu, sungguh
membuatnya tidak hasib berpikir.
"Adik, katakanlah!" desak Heng Thian Ceng.
Ciok Giok Yin tersenyum getir.
"Tentang urusan ini bagaimana kalau kita bicarakan kelak?"
Heng Thian Ceng manggut-manggut.
"Baik, kapan pun aku akan mencarimu."

Kemudian dia menatap Te Hang Kay dengan penuh
kebencian, setelah itu barulah melesat pergi. Sesudah Heng
Thian Ceng melesat pergi, Ciok Giok Yin bertanya pada Te
Hang Kay.
"Lo cianpwee, apa sebabnya aku tidak boleh bergaul dengan
Heng Thian Ceng? Bolehkah lo cianpwee menjelaskan?"
"Dia...."
Te Hang Kay cuma mengucapkan itu, lalu berhenti.
Itu membuat Ciok Giok Yin bercuriga.
"Sebetulnya dia kenapa?"
"Pokoknya kau tidak boleh bergaul dengannya."
"Apakah lo cianpwee punya alasan?"
Te Hang Kay mengangguk.
"Tentu. Bagaimana mungkin aku pengemis tua akan
membohongimu?" ucapannya. "Berdasarkan usianya, dia boleh
jadi ibumu. Kau bergaul dengannya, bukankah akan
ditertawakan orang?"
"Sesungguhnya itu tidak jadi masalah," sahut Ciok Giok Yin.
Te Hang Kay mengerutkan kening.
"Kau tahu siapa dia?"
"Bukankah lo cianpwee memanggilnya Khui Fang Fang?"
"Tidak salah, namanya memang Khui Fang Fang. Dua puluh
tahun yang lalu dia telah menggemparkan dunia persilatan,
entah berapa banyak pendekar muda tergila-gila padanya."
Ciok Giok Yin terbelalak.

"Berdasarkan wajahnya itu?" serunya tak tertahan.
"Kau anggap dia tak sedap dipandang?" sahut Te Hang Kay.
"Wajahnya memang tak sedap dipandang."
"Keliru."
"Bagaimana keliru?"
"Dia memakai semacam kedok kulit. Kau tidak tahu itu?"
Ciok Giok Yin tertegun, sehingga sepasang matanya terbeliak
lebar.
"Dia memakai semacam kedok kulit?"
"Tidak salah."
"Aku memang tidak tahu itu."
"Sesungguhnya dia amat cantik bagaikan bidadari. Mengenai
usianya memang sudah ada, tapi aku percaya kecantikannya
masih seperti berusia dua puluhan."
"Hah? Betulkah itu?" seru Ciok Giok Yin tak tertahan lagi.
"Tentunya tidak salah."
"Bagaimana dia merawat dirinya sampai bisa begitu?"
"Tidak bisa dikatakan merawat diri. Kemungkinan besar dia
pernah makan semacam buah langka, maka dia tetap awet
muda. Kalau tidak, bagaimana mungkin lwee kangnya begitu
tinggi dan wajahnya tetap begitu cantik?"
"Bagaimana lo cianpwee tahu begitu jelas?"
"Ini...."
Te Hang Kay diam, tidak melanjutkan ucapannya.

Ciok Giok Yin ingin agar teka-teki itu terungkap.
"Bagaimana?"
"Mengenai dirinya, kelak kau akan tahu perlahan-lahan."
Ciok Giok Yin tahu Te Hang Kay tidak bersedia menceritakan
tentang itu, maka tidak mau mendesaknya. Namun dia
mengambil keputusan dalam hati, apabila bertemu Heng Thian
Ceng lagi, dia akan berupaya membuka kedok yang
dipakainya, agar tahu bagaimana parasnya.
"Sekarang aku tidak boleh tahu?"
"Tidak boleh."
"Mengapa?"
"Kalau kuberitahukan, tiada manfaatnya bagimu, bahkan
sebaliknya malah akan mencelakaimu!"
Mendadak Ciok Giok Yin teringat akan satu hal, yaitu
mengenai sebuah tahi lalat merah di dadanya. Orang yang
pertama menanyakan tentang itu adalah Te Hang Kay. Karena
itu pengemis tua itu pasti tahu akan asal-usulnya, maka Ciok
Giok Yin bertanya.
"Lo cianpwee, sebetulnya siapa kedua orang tuaku? Bolehkah
lo cianpwee memberitahukan?"
Te Hang Kay menggeleng-gelengkan kepala.
"Tetap seperti yang kukatakan dulu, kini tidak bisa
diberitahukan."
"Mengapa tidak bisa diberitahukan?" wajah Ciok Giok Yin
tempak murung. "Tentunya lo cianpwee tahu jelas asal-usulku.
Coba pikir, seorang hidup di dunia tidak tahu asal-usulnya dan
tidak tahu kedua orang tuanya, bukankah amat menderita
sekali? Apakah lo cianpwee tidak merasa iba padaku?"

Te Hang Kay menghela nafas panjang.
"Aku memang tahu sedikit, namun masih belum waktunya
aku memberitahuan...." Mendadak sepasang matanya
menyorot aneh, lalu dia mengalihkan perkataannya. "Sekarang
kau mau ke mana?"
Ciok Giok Yin tahu percuma mendesaknya, maka dia
menyahut.
"Ke Gunung Liok Pan San!"
"Gunung Liok Pan San?"
"Ya."
"Mau apa kau ke sana?"
Ciok Giok Yin memberitahukan tentang sepotong kain baju
yang diperoleh dari Cou Kiong. Mendengar itu sepasang mata
Te Hang Kay berbinar, lalu dia bertanya,
"Betulkah ada urusan itu?"
"Tidak salah."
Ciok Giok Yin segera memperlihatkan kain potongan itu.
Cukup lama Te Hang Kay memperhatikan kain potongan
tersebut, namun sama sekali tidak menemukan rahasianya.
Akan tetapi Ciok Giok Yin yakin, kain potongan itu pasti ada
hubungannya dengan asal-usulanya, mungkin juga berkaitan
dengan jejak Seruling Perak. Mendadak Te Hang Kay berkata,
"Dengar-dengar Thian Thong Lojin bersifat amat aneh, maka
kau harus hati-hati dan berlaku sungkan padanya!"
Ciok Giok Yin mengangguk.
"Tentang itu aku sudah tahu."

Te Hang Kay mengembalikan potongan kain itu pada Ciok
Giok Yin, dan berpesan.
"Kau harus baik-baik menyimpan kain potongan ini."
Ciok Giok Yin mengangguk lagi dan bertanya.
"Lo cianpwee mau ke mana?"
"Aku juga ingin mencari seseorang, sampai jumpa!"
Te Hang Kay langsung melesat pergi. Sedangkan Ciok Giok
Yin masih berdiri termangu-mangu. Perasaannya agak
tercekam karena Te Hang Kay, Si Bongkok Arak dan juga Seng
Ciu Suseng, mertuanya itu, mengapa sikap mereka begitu
misterius? Padahal mereka bertiga tahu akan asal-usulnya,
namun mengapa tidak bersedia memberitahukan padanya?
Mendadak tampak beberapa sosok bayangan melayang turun
di hadapan Ciok Giok Yin, membuatnya langsung mengerahkan
lwee kangnya, siap menghadapi segala mungkinan. Ciok Giok
Yin menatap mereka, ternyata pernah bertemu mereka di luar
Goa Toan Teng Tong. Mereka adalah Sin Ciang Yo Sian, Kang
Sun Fang, ketua partai Heng San Pay dan tiga orang yang tidak
dikenalnya. Sin Ciang-Yo Sian adalah pemimpin mereka. Dia
maju selangkah seraya berkata dengan wajah dingin.
"Ciok Giok Yin, lohu ingin mengajukan satu pertanyaan."
"Silakan!"
Sin Ciang Yo Sian menegaskan.
"Kau harus menjawab sejujurnya."
Ciok Giok Yin tertegun. Dalam benaknya langsung teringat
pada Heng Thian Ceng dan Seruling Perak. Sebab setengah
tahun yang lalu mereka menghadang Ciok Giok Yin lantaran
Heng Thian Ceng berjalan bersamanya, sehingga mereka
bercuriga Seruling Perak telah berada di tangan Ciok Giok
Yin. Kini mereka muncul di hadapan Ciok Giok Yin, tentunya

adalah dikarenakan urusan tersebut. Namun Ciok Giok Yin
belum memperoleh Seruling Perak, juga tidak bersama Heng
Thian Ceng mencelakai dunia persilatan, maka dia menyahut
tanpa merasa takut sedikitpun.
"Namun harus mendengar dulu pertanyaannya apa yang
dilakukan itu!"
Sin Ciang-Yo Sian menatapnya tajam, kemudian bertanya.
"Apakah kau adalah keturunan Hai Thian Tayhiap-Ciok Khie
Goan?"
Ciok Giok Yin tertegun mendengar pertanyaan tersebut. Dia
sama sekali tidak menyangka Sin Ciang-Yo Sian akan
mengajukan pertanyaan seperti itu. Padahal tadi dia baru
membicarskan tentang asal-usulnya dengan pengemis tua Te
Hang Kay. Setengah tahun yang lalu, Sin Ciang-Yo Sian pernah
bersama Te Hang Kay, apakah pengemis tua itu tidak pernah
memberitahukan pada mereka? Kelihatannya mereka berlima
tidak begitu jelas akan asal-usul Ciok Giok Yin. Karena itu
setelah tertegun sejenak, barulah Ciok Giok Yin menyahut,
"Maaf! Urusan ini tidak dapat kujawab."
"Lohu menginginkan jawabanmu yang jujur. Kau mau
mengatakannya atau tidak, itu terserah," kata Sin Ciang-Yo
Sian.
"Aku mohon maaf, sebab aku sendiri pun kurang jelas."
"Kalau begitu, mengapa begitu banyak orang bilang kau
adalah keturunannya?"
"Aku sama sekali tidak bilang begitu. Sebelum aku jelas akan
asal-usulku, aku tidak mau omong sembarangan diriku
keturunan siapa, harap kalian maklum!"
Wajah Sin Ciang-Yo Sian tampak kemerah-merahan. Ternyata
dia tersindir oleh perkataan Ciok Giok Yin.

Mendadak Kang Sun Fang, ketua Heng San Pay menyela.
"Saudara Yo, aku pernah mendengar seorang misterius
menceritakan tentang Ciok Khie Goan setelah kawin. Suatu hari
ketika sedang berlatih silat, tanpa sengaja dia merusak badan
bawahnya sendiri, sehingga membuatnya tidak bisa
berhubungan intim dengan istrinya. Apakah benar kejadian
itu?"
"Itu memang benar, namun tidak begitu banyak orang tahu
tentang itu. Kau tahu dari siapa?"
"Orang itu tidak mau menyebut namanya," sahut Kang Sun
Fang.
Ciok Giok Yin yang berdiri di situ tentunya mendengar semua
percakapan mereka. Ternyata dalam hatinya sedikit percaya
dirinya adalah keturunan Hai Thian Tayhiap-Ciok Khie Goan.
Namun kini setelah mendengar percakapan mereka, timbullah
keraguan dalam hatinya. Mendadak Sin Ciang Yo Sian bertanya
pada Ciok Giok Yin.
"Sungguhkah kau tidak jelas?"
"Sungguh!"
"Ciok Giok Yin, kau adalah keturunannya atau bukan, itu tidak
jadi masalah bagiku. Tapi aku dengar kau telah memperoleh
sebatang Seruling Perak, bolehkah kami melihatnya?" kata
Kang Sun Fang.
Mendengar itu Ciok Giok Yin langsung tertawa dingin.
"Kalian Tayhiap berdua, dari tadi bicara panjang lebar cuma
karena Seruling Perak. Namun sayang sekali, sebab hingga
saat ini aku masih belum tahu Seruling Perak itu berada di
mana."
"Benarkah kau belum memperoleh Seruling Perak itu?"
"Percaya atau tidak terserah Anda."

"Kau tahu di mana jejak Heng Thian Ceng?"
Di saat bersamaan mendadak melayang turun sosok
bayangan merah dan terdengar pula suaranya.
"Bukankah Heng Thian Ceng sudah datang?"
Setelah itu terdengar lagi suara bentakan.
"Ada urusan apa kalian mencari Heng Thian Ceng?"
Kelima orang itu langsung menoleh. Sekujur badan mereka
langsung merinding.
"Heng Thian Ceng!" seru mereka serentak.
Mereka berlima melihat sepasang mata Heng Thian Ceng
menyorot tajam dan dingin.
Tiba-tiba Heng Thian Ceng menoleh memandang Ciok Giok
Yin, lalu bertanya dengan lembut sekali. "Adik, mereka
menghinamu?"
Sesunggunya Ciok Giok Yin memang merasa tidak puas
terhadap Sin Ciang-Yo Sian, Kang Sun Fang dan lainnya.
Namun setelah dipikirkan sejenak, dia pun menyadari bahwa
semua kaum rimba persilatan memang ingin memperoleh
Seruling Perak tersebut, lalu mengapa harus merasa tidak puas
terhadap mereka? Lagi pula dia tahu jelas, Heng Thian Ceng
merupakan wanita ibilis yang membunuh orang tanpa
mengedipkan mata. Apabila dia salah bicara, tentunya Heng
Thian Ceng akan membunuh kelima orang itu.
"Tidak, kami berada di sini cuma bercakap-cakap saja,"
sahutnya.
Heng Thian Ceng bertanya lagi.
"Mau diapakan mereka itu?" tanya Heng Thian Ceng lagi.

"Biarkanlah mereka pergi."
Heng Thian Ceng segera menoleh memandang kelima orang
itu.
"Aku masih memandang muka adikku, cepatlah kalian enyah
dari sini!" bentaknya.
Sin Ciang Yo Sian dan Kang Sun Fang adalah orang orang
rimba persilatan yang sudah terkenal. Bagaimana mereka
dapat merima perlakuan Heng Thian Ceng? Namun mereka
tidak berani melawannya, cuma melototinya, kemudian Sin
Ciang-Yo Sian menjura. Setelah itu mereka berlima segera
meninggalkan tempat itu. Heng Thian Ceng memutar badannya
mendekati Ciok Giok Yin.
"Adik, kakak tidak bisa meninggalkanmu!" katanya dengan
lembut sekali.
Seketika terlintas dalam benak Ciok Giok Yin, mengenai apa
yang dikatakan pengemis tua Te Hang Kay.
"Kau secantik bidadari...."
Ciok Giok Yin tidak melanjutkan ucapannya, melainkan
memperhatikan wajah Heng Thian Ceng yang amat buruk itu,
namun tidak melihat kedok yang dipakainya. Cuma kelihatan
wajah buruk itu sama sekali tidak ada perasaan apa pun.
Kemudian Ciok Giok Yin memandang lehernya yang amat putih
dan halus, sehalus dan seputih tangannya. Karena itu ingin
sekali rasanya Ciok Giok Yin menjulurkan tangannya
melepaskan kedok yang dipakai Heng Thian Ceng. Namun dia
berkata pula dalam hati, 'Kau tidak boleh berbuat begitu, sebab
orang semacam ini kalau sudah marah pasti tak berperasaan.
Mengapa harus melakukan kesalahan terhadapnya, yang
akhirnya akan menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan! Lebih
baik dia sendiri yang melepaskannya.' Kemudian dia bertanya.
"Cianpwee tadi sudah pergi jauh?"
"Tidak begitu jauh. Setelah aku melihat pengemis tua yang

menyebalkan itu pergi, barulah aku balik ke mari," sahut Heng
Thian Ceng. Dia menatap Ciok Giok Yin seperti ingin
menelannya bulat-bulat. "Adik maukah kau memanggilku
kakak?" tambahnya dengan membalas sambil menjulurkan
tangannya menggenggam tangan Ciok Giok Yin. Sudah barang
tentu jarak mereka menjadi bertambah dekat. Sepasang
daging menojol di dada wanita itu, sudah menekan dada Ciok
Giok Yin. Di saat bersamaan mulut Heng Thian Ceng juga
menyemburkan aroma yang amat harum sekali. Sedangkan
Ciok Giok Yin sudah bergejolak darahnya, ditambah aroma
harum dari mulut Heng Thian Ceng, membuat pikirannya
menerawang, sehingga tanpa sadar dia langsung memeluknya
erat-erat.
"Kakak! Kakak!" gumamnya.
Badan Heng Thian Ceng tampak gemetar. Dia tampak seperti
mabuk, sepasang mata merem melek dan mendesah.
"Adik! Adik!"
Setelah itu bibir mereka saling mendekat dan kemudian
melekat menjadi satu. Mereka melakukan ciuman mesra,
bahkan saling memeluk seerat-eratnya. Tentunya menimbulkan
hawa nafsu birahi Ciok Giok Yin. Barang yang ada di
selangkangannya sudah berontak ingin menerobos ke dalam
suatu tempat. Akan tetapi mendadak Ciok Giok Yin teringat
sesuatu dan langsung mendorong Heng Thian Ceng.
"Cianpwee, kita tidak boleh berbuat begini," katanya dengan
mata terbelalak.
Dorongan yang tak terduga itu membuat Heng Thian Ceng
terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah lalu berdiri
tertegun.
Sesaat kemudian barulah dia berkata, "Adik, mengapa tidak
boleh?"
Ciok Giok Yin tidak berani menatapnya.

"Cianpwee adalah penolongku, bagaimana aku boleh berlaku
kurang ajar terhadap cianpwee?" sahutnya dengan kepala
tertunduk.
Heng Thian Ceng maju dua langkah seraya berkata,
"Adik, jangan berkata demikian lagi. Sejak pertama kali
melihatmu di Goa Toan Teng Tong, aku sudah merasa suka
padamu. Asal Adik membutuhkan, Kakak pasti menyerahkan."
Pikiran Ciok Giok Yin mulai menerawang lagi, namun
jawabnya berlawanan.
"Tidak boleh."
"Mengapa? Kau kira aku akan membohongimu?"
"Tidak sih."
"Kalau begitu, apa alasanmu?"
Tercium lagi aroma yang amat harum dari mulut wanita
bertubuh sintal itu. Ciok Giok Yin segera menutup
pernafasannya, tidak berani mencium aroma harum tersebut,
khawatir tidak dapat mengendalikan hawa nafsu birahinya,
yang akhirnya akan mencelakai Heng Thian Ceng dan
mencelakai diri sendiri. Karena itu Ciok Giok Yin segera
mengarahkan pandangannya ke tempat lain, tidak berani
beradu pandang dengannya. Mendadak Heng Thian Ceng
menjulurkan tangannya lalu ditaruh di atas bahu Ciok Giok Yin.
"Adik, aku mengerti," katanya.
Tanpa sadar Ciok Giok Yin membalikkan kepalanya.
"Mengerti apa?" tanyanya sambil menatapnya.
"Apakah kau anggap paras Kakak amat buruk?"
Hati Ciok Giok Yin tergerak.

"Cianpwee...!" serunya tertahan.
Namun Heng Thian Ceng tidak membiarkan Ciok Giok Yin
melanjutkan ucapannya langsung memutuskannya.
"Berdasarkan wajah seseorang, tidak dapat menilai baik
buruk orangnya. Kalau buruk di luar indah di dalam, justru
tidak bisa dikatakan buruk. Apabila indah di luar, namun
hatinya bagaikan ular beracun, tidak dapat dikatakan indah.
Adik, aku akan menutur sebuah cerita."
"Sebuah cerita?"
"Ya."
"Cerita apa?"
Heng Thian Ceng menatap Ciok Giok Yin dengan mata
berbinar-binar.
"Adik, kau pernah membaca cerita tentang Cuang Cu?"
"Pernah."
"Dalam cerita Cuang Cu, terdapat seorang bernama Yo Cu
Sianseng yang amat kikir. Sampai di Negeri Song, dia tinggal di
sebuah penginapan. Majikan penginapan punya dua istri, yang
satu cantik dan satu lagi buruk....".
Heng Thian Ceng tersenyum.
"Justru amat mengherankan, karena majikan penginapan itu
amat menyayangi istri yang buruk rupa, sebaliknya malah tidak
memperdulikan istri yang cantik. Tentunya mencengangkan Yo
Cu Sianseng, maka dia bertanya pada majikan penginapan apa
sebabnya? Majikan penginapan menjawab, yang cantik itu
amat angkuh dan bertingkah, maka dia tidak tahu di mana
letak kecantikannya. Sedangkan yang berparas buruk, amat
tahu diri dan penurut. Karena itu majikan penginapan itu jadi
lupa parasnya yang buruk itu. Setelah mendengar jawaban
majikan penginapan, Yo Cu Sianseng manggut-manggut.

Sesudah itu Yo Cu Sianseng berkata. 'Aku kikir lantaran ingin
hemat untuk diri sendiri, bukan berarti tidak mau membantu
orang lain. Kelakuan yang baik dan berhati bijak, justru tidak
dapat dinilai dari wajah!' Nah, Adik! Kau bilang betul tidak?"
Ciok. Giok Yin tertegun. Dia tidak menyangka Heng Thian
Ceng yang kedua tangannya penuh noda darah, malah tahu
akan cerita tersebut. Sebab itu Ciok Giok Yin manggutmanggut.
"Memang benar, tapi...."
Ciok Giok Yin tidak melanjutkan ucapannya. Sepasang
matanya turus menatap wajah Heng Thian Ceng.
Heng Thian Ceng tercengang dan segera bertanya.
"Kenapa? Katakanlah! Kakak tidak akan marah."
"Cianpwee selalu membantuku, aku amat berterimakasih...."
Belum juga Ciok Giok Yin usai berkata, Heng Thian Ceng
sudah memutuskannya.
"Panggil Kakak, aku tidak mau dengar kamu memanggilku
cianpwee lagi! Ayo! Panggil, panggil...."
Ciok Giok Yin betul-betul terdesak, akhirnya terpaksa
memanggilnya.
"Kakak!"
Heng Thian Ceng tertawa gembira. Suara tawanya amat
merdu bagikan kicau burung di pagi hari.
"Ini baru adikku yang baik," katanya.
"Tapi Kakak tidak jujur padaku."
Ucapan ini membuat Heng Thian Ceng tertegun.

"Bagaimana Kakak tidak jujur padamu?" tanyanya heran.
Ciok Giok Yin menuding wajah wanita itu seraya menyahut,
"Kau memakai kedok kulit, maka aku tidak bisa melihat wajah
aslimu."
Heng Thian Ceng mundur selangkah, kemudian bertanya
dengan suara bergetar,
"Adik, kau dengar dari siapa?"
"Aku bisa melihat."
Heng Thian Ceng menggelengkan kepala.
"Tidak benar. Kau pasti tidak dapat melihat. Sebetulnya siapa
yang memberitahu?"
"Sudah kukatakan, aku yang melihat sendiri."
Sepasang bola mata Heng Thian Ceng berputar.
"Aku tidak percaya. Mungkin pengemis bau itu. Sebetulnya
siapa pengemis bau itu?"
Hati Ciok Giok Yin tergerak dan membatin. 'Te Hang Kay tahu
masa lalunya, tentunya Heng Thian Ceng juga tahu tentang Te
Hang Kay. Tentang siapa kedua orang tuaku, tidak sulit
kupancing dari mulutnya."
Karena itu, dia menyahut,
"Te Hang Kay."
"Te Hang Kay?"
Ciok Giok Yin mengangguk.
"Ya."

"Siapa nama aslinya?"
"Apakah kau tidak tahu siapa dia?"
Heng Thian Ceng menggelengkan kepala.
"Aku tidak pernah dengar. Apakah kau juga tidak jelas?"
"Ya."
"Aku percaya dia memakai nama palsu," kata Heng Thian
Ceng setelah berpikir sejenak. Kemudian dia menatap Ciok
Giok Yin. "Adik, karena urusan inikah tadi kau menolakku?"
"Setengah memang ya."
"Setengah? Maksudmu?"
"Karena tubuhku tidak seperti orang biasa."
"Adik, jangan membuatku bingung. Jelaskanlah!"
"Tentunya kau masih ingat akan kejadian perebutan benda
pusaka di dalam Coa Cian Hud Tong, bukan?"
"Tidak salah. Ketika itu kakak tahu kau berada di dalam,
maka kakak menghalangi orang-orang yang ingin menerobos
ke dalam. Kemudian kau ke luar, dan diselamatkan oleh orang
tua bongkok."
"Coba terka aku memperoleh benda pusaka apa?"
"Katakanlah!"
"Sebutir Pil Api Ribuan Tahun."
Ciok Giok Yin tidak memberitahukan tentang kertas yang
berisi ilmu Jari Darah itu. Heng Thian Ceng sudah lama
berkecimpung di duna persilatan, tentunya pengetahuannya
amat luas dan tahu pula mengenai Pil Api Ribuan Tahun. Maka
dia tertegun tak bersuara sama sekali. Namun hatinya terus

berdebar-debar tidak karuan. Ciok Giok Yin nyaris tertawa
menyaksikan sikap Heng Thian Ceng.
Mendadak wanita itu berseru,
"Hah? Pil Api Ribuan Tahun?"
Ciok Giok Yin mengangguk.
"Ya."
Heng Thian Ceng termangu-mangu, beberapa saat kemudian
barulah bertanya.
"Adik, apakah kau tidak akan kawin seumur hidup?"
Ciok Giok Yin menghela nafas panjang.
"Terpaksa harus begitu."
Ciok Giok Yin khawatir Heng Thian Ceng akan mendesak
dengan pertanyaan lain, maka cepat-cepat mengalihkan
pembicaraan.
"Bolehkah Kakak melepaskan kedok itu?"
Heng Thian Ceng mengangkat sebelah tangannya. Namun
ketika baru mau melepas kedoknya, tiba-tiba dia menurunkan
tangannya lagi, lalu bertanya kepada Ciok Giok Yin.
"Adik, betulkah kau menilai orang berdasarkan wajah?"
"Yang jelas, aku harus melihat wajahmu."
Heng Thian Ceng manggut-manggut.
"Adik, Kakak mengabulkan permintaanmu."
Usai berkata, Heng Thian Ceng langsung melepaskan kedok
kulit yang pakainya. Seketika sepasang mata Ciok Giok Yin
bersinar terang, namun sekujur badannya tergetar. Ternyata di

hadapannya muncul seorang wanita muda berusia dua
puluhan, parasnya sungguh amat cantik sekali, boleh dikatakan
bagaikan bidadari yang baru turun dari khayangan. Lelaki
mana yang melihatnya, pasti terpukul dengan pikiran
menerawang. Begitu pula Ciok Giok Yin. Dia menatap Heng
Thian Ceng dengan mata terbelalak dan mulut ternganga lebar.
Berselang sesaat, dia berseru memanggilnya.
"Kakak!"
Dia langsung memeluk Heng Thian Ceng erat-erat. Di saat
bersamaan, Heng Thian Ceng mengenakan kedoknya lagi,
sehingga wajahnya tampak buruk kembali. Heng Thian Ceng
bagaikan seekor domba, mendekap di dada Ciok Giok Yin,
kelihatan lembut sekali. Dia seorang wanita iblis yang sering
membunuh orang, namun saat ini justru berubah menjadi amat
lembut dan jinak. Sepasang matanya terpejam merasakan
kenikmatan ini. Hatinya juga merasa amat nyaman. Dia telah
kehilangan gairah untuk berkecimpung di dunia persilatan lagi,
ingin bersama 'Adik Yin' ini, hidup di suatu tempat sepi untuk
melewati hari-hari yang indah hingga tua.
Puluhan tahun dia berkecimpung di dunia persilatan, tidak
pernah bersungguh-sungguh menyukai lelaki. Namun kini dia
justru rela menyerahkan dirinya pada Ciok Giok Yin. Sedangkan
Ciok Giok Yin memang telah tergiur oleh kecantikannya. Dia
sama sekali tidak menyangka bahwa di balik wajah yang buruk
itu, terpadat paras yang amat cantik bagaikan bidadari. Dia
terus memeluk Heng Thian Ceng erat-erat, seakan ingin
menyatukan diri. Dia telah melupakan usia Heng Thian Ceng,
yang boleh dikata seusia ibunya. Dan juga lupa akan pesan Te
Hang Kay dan Si Bongok Arak, melarangnya bergaul dengan
Heng Thian Ceng. Dia lupa pula akan tunangannya, Seh Yong
Yong dan pesan terakhir Cak Hun Ciu, yang telah menjodohkan
putrinya padanya.
Bahkan dia juga melupakan janjinya pada Bok Tiong Jin,
bahwa hatinya harus diserahkan padanya. Pokoknya di saat ini
dia telah lupa segala-galanya, termasuk dendam yang harus
dibalasnya. Papatah mengatakan bahwa Kecantikan Tidak
Memikat Orang, Justru Orang Terpikat Sendiri Oleh Kecantikan.

Ciok Giok Yin terpikat oleh kecantikan Heng Thian Ceng,
hingga lupa diri, lupa daratan dan lupa segala-galanya. Dalam
hatinya cuma terdapat satu bayangan, yaitu Heng Thian Ceng.
Kini walau pun Heng Thian Ceng telah memakai kedok kulit
yang amat buruk, namun di depan mata Ciok Giok Yin tetap
muncul wajah yang amat cantik.
Mendadak terdengar suara lirih yang tergetar-getar.
"Adik, sungguhkah kau menyukaiku?"
"Kakak, aku rela jadi budakmu, rela demi dirimu...."
Heng Thian Ceng sudah tahu apa yang akan dikatakan Ciok
Giok Yin, maka dia segera menutup mulutnya dengan jari
tangan yang amat halus dan indah itu, kemudian berkata
dengan lembut.
"Adik, untuk apa kau harus bersumpah?"
Setelah itu dia melanjutkan,
"Dunia persilatan penuh bahaya dan kelicikan. Alangkah
baiknya kita pergi ke suatu tempat yang sepi, hidup bersama
selamanya di sana. Bagaimana?"
Bukan main girangnya Ciok Giok Yin!
"Sungguhkah itu, Kakak?" tanyanya dengan mesra.
"Tentu sungguh! Bahkan aku pun akan melahirkan beberapa
anak untukmu."
Saat ini Heng Thian Ceng telah lupa akan tubuh Ciok Giok Yin
yang tidak seperti orang biasa. Sebab di dalam tubuhnya
terdapat daya hisap yang amat kuat apabila berhubungan intim
dengan kaum wanita. Karena itu, wanita yang berhubungan
intim dengannya harus mengerti Im Yang Cin Koy, barulah
dapat melayaninya. Namun itu pun tidak cukup satu wanita,
harus beberapa wanita barulah mampu melayani Ciok Giok Yin
dalam hal hubungan intim. Di saat ini Ciok Giok Yin telah

menudukkan kepalanya. Dengan mesra diciumnya bibir Heng
Thian Ceng. Sedangkan bibir Heng Thian Ceng juga
menyambut bibir Ciok Giok Yin dengan penuh kemesraan dan
kehangatan, sehingga mengeluarkan suara.
Cup! Cuuup!
Ciuman itu membuat sekujur badan mereka tergetar,
kemudian perlahan-lahan api nafsu birahi mulai berkobar-kobar
pada diri mereka, sehingga membuat mereka merasa tidak
tahan. Di saat Ciok Giok Yin ingin melepaskan pakaiannya,
mendadak terdengar suara desiran baju di belakang mereka.
Meskipun mereka telah terbakar oleh kobaran api birahi,
namun pendengaran mereka tetap tajam. Mereka segera
memisahkan diri, sekaligus menoleh ke belakang. Seketika,
wajah Ciok Giok Yin berubah menjadi merah ke telinganya,
saking merasa malu.
Jilid 16
"Lo cianpwee...!" serunya tak tertahan.
Orang yang baru datang itu tertawa terbahak-bahak lalu
berkata,
"Maaf, siauhiap! Aku pengemis tua renta muncul tidak tepat
pada waktunya, maaf!"
Ternyata orang itu adalah pengemis berusia lanjut yang
diselamatkan Ciok Giok Yin. Tadi dia pergi, tapi kemudian
kembali lagi. Untung Heng Thian Ceng memakai kedok kulit,
maka orang lain tidak dapat melihat bagaimana perubahan
wajahnya.
Dengan rasa jengah Ciok Giok Yin bertanya, "Lo cianpwee kok
belum pergi?"
Pengemis berusia lanjut melirik Heng Thian Ceng sejenak,

kemudian menyahut.
"Aku telah menerima budi pertolongan siauhiap, bagaimana
mungkin pergi begitu saja? Aku menunggumu di depan, tapi
tidak melihat kau muncul. Aku khawatir kau bertemu musuh,
maka aku segera ke mari. Siapa sangka.... Ha ha ha!"
Suara tertawanya menyebabkan mereka berdua merasa tidak
enak.
Mendadak Heng Thian Ceng berkata,
"Adik, aku tunggu kau di jalan depan itu."
Badannya bergerak, langsung melesat pergi. Begitu dia pergi,
Ciok Giok Yin merasa kehilangan. Diam-diam Ciok Giok Yin
mencaci pengemis berusia lanjut dalam hati. 'Dasar tua pikun,
tidak tahu urusan sama sekali!' Akan tetapi wajahya tidak
memperlihatkan reaksi apa pun. Berselang sesaat, dia berkata
kepada pengemis berusia lanjut dengan nada halus.
"Terimakasih lo cianpwee."
Pengemis berusia lanjut tersenyum lalu menyahut, "Aku telah
menerima budi pertolongan siauhiap, namun masih belum tahu
nama siauhiap."
"Namaku Ciok Giok Yin. Siapa sebutan lo cianpwee?"
"Sudah lama aku melupakan namaku, namun teman-teman
rimba persilatan memberikan julukan Tek Cang Sin Kay
(Pengemis Sakti Tongkat Hijau)."
Ciok Giok Yin tidak pernah mendengar tentang para tokoh
rimba persilatan yang terkenal, maka terhadap julukan Tek
Cang Sin Kay ini, terasa asing baginya.
Namun dia tetap berkata, "Sudah lama kudengar nama besar
lo cianpwee."
Tak disangka Tek Cang Sin Kay malah menghela nafas

panjang, sambil berkata,
"Aku menyendiri 'di tempat sepi selama dua puluh tahun
lebih. Lantaran urusan kecil aku terpaksa muncul lagi di dunia
persilatan. Justru terkena serangan gelap, bahkan sama sekali
tidak tampak bayangan penyerang gelap itu. Sungguh...
memalukan sekali!"
Usai berkata, dia menggeleng-gelengkan kepala sambil
menghela nafas panjang lagi.
"Itu adalah perbuatan orang rendahan lo cianpwee tidak usah
berduka karena itu," kata Ciok Giok Yin menghiburnya.
Tek Cang Sin Kay menggelengkan kepala lalu menyahut,
"Itu pertanda aku pengemis tua renta sudah tak berguna
lagi." Sepasang matanya memancarkan sinar. "Saudara Kecil!"
serunya perlahan.
"Ada urusan apa, katakan saja lo cianpwee!"
"Kalau Saudara Kecil tidak merasa keberatan, harap panggil
aku saudara tua saja."
"Itu mana boleh!" sahut Ciok Giok Yin dengan terbelalak.
"Kalau Saudara Kecil terus-menerus memanggilku lo
cianpwee, akan membuatku tiada tempat berpijak lagi," kata
pengemis itu sambil tersenyum.
Ciok Giok Yin tahu, apabila berkeras menolak, pasti akan
membuat pengemis itu serba salah, bahkan juga perasaannya
akan tersinggung. Oleh karena itu, dia berkata.
"Baik, siaute (Adik) menurut pada lo koko (Saudara Tua) saja.
Lo koko ingin mengatakan sesuatu, katakan saja!"
Wajah Tek Cang Sin Kay berseri-seri.
"Saudara Kecil, yang kau lihat itu adalah Sam Yang Hui

Kang?"
Ciok Giok Yin mengangguk.
"Ya."
"Suhumu adalah...."
"Suhuku bernama Cu Wei To."
"Julukannya adalah Sang Ting It Koay?"
"Ya."
"Aku pernah mendengar nama besar suhumu, namun sayang
tidak pernah berjumpa. Entah sekarang tinggal di mana
suhumu?"
Wajah Ciok Giok Yin berubah menjadi murung.
"Suhuku telah meninggal."
"Sudah meninggal."
"Ya."
"Walau aku tidak pernah berjumpa suhumu, tapi aku tahu
jelas dia berjiwa satria. Tak disangka dia telah meninggal.
Rupanya aku tidak harus muncul di dunia persilatan lagi."
"Mengapa lo koko menjadi tak bersemangat?"
Tek Cang Sin Kay menghela nafas panjang lalu berkata,
"Saudara Kecil, gelombang belakang mendorong gelombang
depan. Karena itu, sudah waktunya aku mengundurkan diri,
tidak boleh berkecimpung di dunia persilatan lagi." Dia
menatap Ciok Giok Yin. "Kau berbakat luar biasa, maka harus
bisa menjaga diri. Mengenai murid murtad suhumu itu, harus
dibasmi agar suhumu bisa tenang di alam baka."

Usai berkata, dia merogohkan sebelah tangannya ke dalam
bajunya.
Sedangkan sepasang mata Ciok Giok Yin menyorot dingin,
kemudian berkata,
"Aku tidak akan melepaskan murid murtad suhuku itu!"
Tek Cang Sin Kay tidak menyahut apa-apa. Dia mengeluarkan
sepotong belahan bambu berukuran sejengkal lalu berkata,
"Saudara Kecil, ini adalah tanda perintah Tianglo (Tetua) Kay
Pang. Melihat tanda perintah ini seperti melihat orangnya. Kau
berkelana di dunia persilatan, amat membutuhkan benda ini,
Lo koko menghadiahkan padamu. Apabila kau membutuhkan
bantuan Kay Pang, perlihatkan saja tanda perintah ini, para
anggota Kay Pang pasti menuruti perintahmu."
Ciok Giok Yin menggelengkan kepala.
"Lo koko, mana berani siaute menerima?"
"Saudara Kecil, terimalah dulu dengarkan perkataanku!
Mungkin Kay Pang juga akan minta bantuanmu. Saat itu, harap
kau bersedia memberi bantuan pada Kay Pang!"
Ciok Giok Yin melihat wajah Tek Cang Sin Kay amat serius,
maka diterimanya tanpa perintah itu seraya berkata,
"Seandainya Kay Pang membutuhkan bantuanku, walau harus
menerjang lautan api, pasti kulakukan!"
Usai berkata, Ciok Giok Yin memperhatikan tanda perintah itu
yang merupakan sepotong belahan bambu. Ternyata tanda
perintah itu berukura seekor naga dan di bagian dalamnya
terukir beberapa huruf yang menyerupai huruf-huruf bervariasi.
Maka Ciok Giok Yin tidak mengenal huruf-huruf tersebut.
"Terimakasih, Saudara Kecil," kata Tek Cang Sin Kay.
Pengemis berusia lanjut tahu bahwa Ciok Giok Yin sedang

memperhatikan tanda perintah itu, maka dia segera berkata
lagi,
"Tanda perintah itu berukiran huruf-huruf Chu. Turuntemurun
tiada seorang pun tahu apa arti huruf-huruf itu. Kalau
Saudara kecil punya kesempatan mengenal huruf-huruf itu
kelak, boleh diterjemahkan untuk mengungkap teka tekinya."
Ciok Giok Yin manggut-manggut.
"Siaute akan berusaha."
Tek Cang Sin Kay tersenyum, lalu merogoh kedalam bajunya
mengeluarkan dua botol kecil.
"Saudara Kecil berkelana dalam rimba persilatan, pasti punya
musuh dari golongan hitam. Kebetulan dulu lo koko
memperoleh dua botol obar rias wajah, lo koko hadiahkan
padamu."
Tek Cang Sin Kay juga memberitahukan cara
menggunakannya. Bukan main girangnya Ciok Giok Yin, karena
obat rias wajah tersebut memang amat berguna bagi dirinya.
Maka, disimpannya baik-baik tanda perintah dan dua botol
obat rias wajah itu ke dalam bajunya. Setelah itu dia berkata,
"Lo koko sedemikian menyayangi siaute, entah harus
bagaimana siaute membalasnya?"
"Saudara kecil berkata demikian, lo koko merasa berat
sekali."
"Memangnya kenapa?"
"Mengenai urusan lo koko dengan Saudara Kecil tentunya
akan lo koko memberitahukan pada ketua Kay Pang. Setelah
itu, lo koko akan hidup tenang di tempat sepi dan selamanya
tidak akan muncul lagi. Saudara Kecil, jaga dirimu baik-baik!
Sampai jumpa!"

Usai berkata Tek Cang Sin Kay melesat pergi dan tak lama
sudah tidak tampak bayangannya. Ciok Giok Yin berdiri
termangu-mangu di tempat. Berselang sesaat barulah dia
melesat pergi menuju Gunung Liok Pan San. Kini Ciok Giok Yin
harus cepat-cepat menemui Thian Thong Lojin untuk
mengungkap rahasia potongan kain tersebut, sebab potongan
kain itu menyangkut asal-usulnya dan jejak Seruling Perak.
Oleh karena itu, dia melesat bagaikan kilat. Sementara saat
waktu terus berlalu, senja berganti malam dan malam berganti
pagi. Sedangkan jalan yang dilalui Ciok Giok Yin penuh batu
curam yang amat berbahaya. Setelah seharian dia menempuh
perjalanan itu, badannya terasa agak lelah. Ingin rasanya
mencari suatu tempat untuk beristirahat sejenak, kemudian
melanjutkan perjalanan lagi.
Akan tetapi mendadak sesosok bayangan melesat bagaikan
meteor lewat di sampingnya. Tentunya membuat Ciok Giok Yin
tersentak, Berdasakan gerakannya dapat dibayangkan betapa
tingginya kepandaian orang itu. Sudah pasti membuat Ciok
Giok Yin tercengang karena kagum. Maka dia pun
mengerahkan ginkangnya, melesat di belakang orang itu. Dia
ingin melihat, sebetulnya siapa orang itu. Oleh karena itu, dia
pun berusaha mengejarnya. Orang itu, sepertinya tidak tahu
kalau dirinya diikuti orang. Berselang beberapa saat, sudah tiba
di sebuah bukit yang penuh tanah kuning. Orang itu masih
terus melesat. Sesaat kemudian, mendadak dia berhenti di tepi
dinding tebing tanah kuning, lalu menengok ke sana ke mari,
seakan ingin tahu apakah ada orang lain berada di sana. Ciok
Giok Yin khawatir kalau-kalau orang itu akan melihatnya, maka
buru-buru bersembunyi.
Orang itu mendongakkan kepala, memandang ke arah dinding
tebing tanah kuning itu. Ciok Giok Yin yang bersembunyi juga
ikut memandang ke sana. Dia nyaris berseru tak
tertahan. Ternyata pada dinding tebing tanah kuning itu,
terukir tiga huruf warna putih 'Wang Tou Po' (Bukit Tanah
Kuning)! Karena huruf-huruf itu amat besar, lagi pula berwana
putih, maka tampak jelas walau di malam hari. Mengapa Ciok
Giok Yin tampak terkejut? Tidak lain karena teringat akan
ucapan Bok Tiong Jin, bahwa dengar-dengar kemungkinan
besar Seruling Perak berada di luar Kota Lok Yang di Wang Tou

Po.... Justru tak terduga sama sekali, dia sampai di tempat
tersebut.
Seandainya dia berhasil memperoleh Seruling Perak dan
disatukan dengan kitab Cu Cian, pasti bisa mempelajari ilmu
silat yang tertinggi dan terhebat di kolong langit, tentunya bisa
pula menuntut balas semua dendam itu. Di saat dia berpikir
sementara, mendadak orang itu bertepuk tangan tiga kali.
Pok! Pok! Pok!
Menyusul terdengar pula suara tepukan tangan tiga kali di
tempat jauh. Suara tepukan tangan itu berasal dari tebing
tanah kuning yang melekuk ke dalam. Orang itu segera
mencelat ke atas dan bertanya dengan suara ringan,
"Apakah bisa buka malam ini?"
Orang yang bersembunyi di tempat lekukan tebing itu
menyahut,
"Mungkin belum bisa, namun... ketua utama dan kedua akan
kemari."
Hati Ciok Giok Yin tersentak mendengar percakapan mereka.
'Apakah mereka adalah para anggota perkumpulan Sang Yen
Hwee? Siapa ketua utama itu?' Tanyanya dalam hati. Kemudian
dia merayap ke atas dari tempat persembunyiannya. Sungguh
di luar dugaan, dia melihat sebuah pintu batu di bawah tebing
tanah kuning itu, sehingga membuatnya melangkah perlahanlahan
ke tempat tersebut. Ketika berjarak lima enam depa dari
tempat itu, sekonyong-konyong Ciok Giok Yin merasa ada
angin pukulan yang amat dahsyat menerjang ke arahnya. Pada
saat bersamaan terdengar pula suara bentakan,
"Berhenti!"
Ciok Giok Yin hendak kembali bersembunyi, namun sudah
terlambat.
"Hm! Mengapa aku harus berhenti?" dengusnya sambil

berkelit.
Kemudian dia segera mengerahkan lwee kangnya, siap
menghadapi pertarungan. Terdengar suara desiran angin.
Seer! Seer! Seer!
Muncul tiga sosok bayangan orang, yang kemudian
mengepung Ciok Giok Yin.
"Eh! Ternyata kau bocah keparat!" bentak mereka.
Ciok Giok Yin memandang mereka bertiga, ternyata orangorang
perkumputan Sang Yen Hwee. Seketika api kebenciannya
berkobar.
"Aku memang sedang mencari kalian!" sahutnya dengan
dingin.
"Kau mencari kami untuk mengantar kematian?" kata salah
seorang dari mereka.
Menyusul seorang lagi membentak sengit.
"Bocah keparat, malam ini kau harus mampus!"
Mereka bertiga mulai melangkah maju.
Lantaran Ciok Giok Yin belum tahu asal-usul dirinya, begitu
mendengar mereka mencacinya 'Bocah keparat', otomatis
membut kegusarannya memuncak.
"Aku akan membunuh kalian semua!" bentaknya mengguntur.
Dia langsung mengeluarkan jurus pertama dari kedua ilmu
pukulan Hong Lui Sam Ciang. Tampak badannya bergerak
laksana kilat, dan telapak tangannya berkelebatan
menimbulkan suara menderu-deru yang mengandung hawa
panas. Terdengar suara jeritan.
"Aaaakh!"

Salah seorang dari mereka tersambar pukulan. Tentunya
membuat terkejut kedua temannya. Mereka langsung
menghunus golok sekaligus menyerang Ciok Giok Yin dari arah
kiri dan kanan. Terdengar lagi suara jeritan.
"Aaaakh!"
Seorang lagi terpental. Mendadak terdengar suara tawa
terkekeh-kekeh, yang disusul oleh seruan.
"He he he! Kami akan membuat perhitungan!"
Tampak empat sosok bayangan orang melesat ke tempat itu,
lalu terdengar suara seruan lagi.
"Berhenti! Berhenti!"
Tinggal seorang itu, segera meloncat mundur dan memberi
hormat kepada mereka berempat.
"Hamba menyambut kedatangan Empat Pelindung," katanya.
Keempat orang yang baru muncul itu, ternyata Si Sing Kui.
Si Setan Gemuk tertawa gelak lalu berkata,
"Ini adalah urusan besar, kalian mundur saja!" Dia menoleh
memandang Ciok Giok Yin. "Bocah, urusan kita belum selesai.
Namun malam ini akan kami bereskan di depan Bukit Tanah
Kuning!"
Senjata Sui Poa yang di tangannya terus berbunyi.
Plak! Plak! Praaak!
Ciok Giok Yin mengerutkan kening, karena tahu jelas dirinya
bukan lawan mereka berempat, tapi juga tidak bisa tidak
bersuara. Karena itu, dia menatap Si Sing Kui seraya
membentak.

"Suatu hari nanti, aku pasti membeset kulit kalian! Malam ini
aku punya urusan lain, kita akan berjumpa lagi kelak!"
Ketika Ciok Giok Yin baru mau melesat pergi. Sekonyongkonyong
si Setan Tinggi membentak.
"Berhenti!"
Dia langsung menyerang Ciok Giok Yin dengan dahsyat. Angin
pukulannya menerjang ke arah Ciok Giok Yin. Si Setan Gemuk
tertawa gelak lalu berkata,
"Hei, Pendek! Kau lihat dia mau pergi, kok belum ke sana
bercakap-cakap dengannya?"
Tanpa menyahut, si Setan Pendek segera mencelat ke atas
tiga depa. Setelah badannya berada di angkasa, dia bersalto
hingga kepalanya ke bawah, meluncur ke arah Ciok Giok Yin
dengan terkaman. Ketika Ciok Giok Yin berada di luar markas
perkumpulan Sang Yen Hwee, pernah menyaksikan jurus yang
dikeluarkan si Setan Pendek ini. Sebab itu, Ciok Giok Yin
bergerak cepat mencelat ke belakang. Justru tanpa sengaja
menuju pintu batu. Sedangkan si Setan Pendek bergerak cepat
pula mengikutinya.
Saat ini agar tidak diserang secara gelap si Setan Pendek Ciok
Giok Yin langsung melindungi dirinya dengan ilmu pukulan
Hong Lui Sam Ciang, yaitu jurus pertama dan jurus kedua. Si
Setan Pendek tahu akan kehebatan ilmu pukulan itu, maka
segera meloncat ke belakang. Medadak si Setan Gemuk
tertawa gelak.
"Dasar pendek tak berguna! Jurus Ie Tiong Sung Ca (Dalam
Hujan Mengantar Payung)mu itu sudah tiada artinya!"
Bukan main marahnya si Setan Pendek mendengar sindiran
itu.
"Dasar babi gemuk, lihatlah!" bentaknya keras sambil melesat
ke depan.

"Cepat maju! Jangan membiarkan bocah haram itu mendekati
pintu batu!" seru ketiga setan lainnya dengan serentak.
Di saat bersamaan mereka bertiga pun melancarkan
serangan ke arah Ciok Giok Yin. Bukan main dahsyatnya
serangan mereka! Terdengar suara menderu-deru bagaikan
gelombang mengarah sekujur badan Ciok Giok Yin. Apa boleh
buat, Ciok Giok Yin terpaksa mengerahkan tenaga sepenuhnya
untuk menangkis, mengeluarkan jurus pertama dan jurus
kedua ilmu pukulan Hong Lui Sam Ciang. Terdengar suara
ledakan dahsyat yang memekakkan telinga.
Bum! Bum!
Tampak badan Ciok Giok Yin tergoncang keras, sedangkan
keempat setan itu mulai maju lagi. Kelihatanya Ciok Giok Yin
akan... Sekonyong-konyong dia merasa sebelah kakinya
menginjak tempat kosong, sehingga membuat dirinya
terjengkang. Tapi dia bergerak cepat meloncat ke depan,
barulah bisa berdiri tegak. Justru di saat bersamaan, tampak
sesosok bayangan berkelebat bagaikan arwah, lewat di
sampingnya memasuki pintu batu. Pada saat bersamaan
terdengar suara deruan angin pukulan menerjang ke luar dari
dalam pintu batu itu.Ciok Giok Yin sama sekali tidak bersiapsiap,
maka dadanya terserang angin pukulan itu. Sementara
menyembur darah segar dari mulutnya, dan pandangannya
menjadi gelap lalu pingsan.
Di saat dia roboh si Setan Gemuk menerobos ke dalam pintu
batu. Namun pintu batu itu amat sempit, sedangkan badannya
begitu gemuk, maka dia tidak bisa masuk, malah terjepit, maju
tidak bisa mundur tidak bisa. Dia mencoba mengerahkan
tenaganya, tapi tak di sangka malah terdengar suara gemuruh.
Ternyata pintu batu itu tiba-tiba menutup. Seketika terdengar
suara jeritan yang menyayat hati. Tampak darah muncrat ke
mana-mana. Sungguh mengerikan! Si Setan Gemuk terhimpit
sehingga semua tulangnya remuk dan dagingnya pun hancur
tidak karuan. Memang merupakan suatu kejadian kebetulan.
Ketika Ciok Giok Yin roboh, justru tersambar oleh angin yang
ditimbulkan si Setan Gemuk ketika menerobos ke dalam pintu
batu itu.

Ciok Giok Yin tersambar angin itu hingga melayang ke dalam
pintu batu. Sebaliknya si Setan Gemuk malah terhimpit di pintu
batu itu. Setelah pintu batu itu tertutup rapat, Ciok Giok Yin
dan bayangan orang yang masuk ke dalam itu menjadi
terkurung di dalam pintu batu. Entah berapa lama kemudian,
Ciok Giok Yin mulai siuman perlahan-lahan. Dia merasa dirinya
dipapah seseorang ke dalam. Justru dia mengira dirinya telah
ditangkap oleh Si Sing Kui. Maka, tanpa banyak berpikir lagi,
dia langsung mengarahkan sisa lwee kangnya menyerang
orang yang memapahnya. Serangan itu amat dahsyat,
sehingga terdengar suara rintihan orang tersebut. Tampak
orang itu terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah,
kemudian roboh. Kelihatannya luka yang diderita orang itu
cukup parah. Ciok Giok Yin segera maju. Ketika baru mau
melancarkan serangan lagi, mendadak dia berseru tak
tertahan.
"Hah? Ternyata kau!"
Ternyata orang itu adalah seorang wanita, yang tidak lain
Teng Hiang Kun, wanita berkedudukan sebagai Pelindung di
perkumpulan Sang Yen Hwee. Teng Hiang Kun duduk bersila di
tanah dengar kening berkerut-kerut. Kelihatannya dia sedang
menghimpun hawa murninya untuk mengobati lukanya. Begitu
melihat wanita tersebut, hawa amarah Ciok Giok Yin lansung
memuncak. Dia mengangkat sebelah tangannya ingin
melancarkan pukulan ke arah wanita itu. Namun mendadak
perutnya terasa mual.
Uaakh!
Dia memuntahkan darah segar dan merasa matanya gelap,
akhirnya roboh. Ternyata Ciok Giok Yin juga menderita luka
parah. Kini dirinya berhadapan dengan Teng Hiang Kun yang
cabul itu. Entah harus bagaimana cara meloloskan diri? Oleh
karena itu, setelah roboh, dia segera duduk seraya berpikir.
Akan tetapi, sama sekali tidak menemukan akal untuk
meloloskan diri. Dia menegok ke sekelilingnya. Seketika dia
terbelalak, karena dirinya berada di sebuah goa. Dapat diterka,
untuk apa Teng Hiang Kun membawanya ke dalam goa

tersebut? Di saat bersamaan terbayang kembali apa yang
terjadi di dalam kuil Thay San Si. Teng Hiang Kun yang cabul
itu bermaksud berbuat yang bukan-bukan atas dirinya. Kalau
dia terlambat meloloskan diri, kemungkinan besar hari itu....
Terbayang sampai kesitu, hati Ciok. Giok Yin langsung
berdebar-debar. Akan tetapi dirinya terluka parah, bagaimana
mungkin dapat meloloskan diri dari cengkeraman wanita cabul
itu? Pikirannya sungguh panik. Tanpa sadar dia menoleh ke
arah Teng Hiang Kun yang sedang menghimpun hawa
murninya untuk mengobati lukanya. Ingin rasanya mendekati
Teng Hiang Kun untuk membunuhnya, namun sepasang
kakinya tak kuat berdiri. Akhirnya dia memejamkan mata,
mulai menghimpun hawa murninya untuk mengobati lukanya.
Berselang beberapa saat, Teng Hiang Kun sudah pulih. Dia
bangkit berdiri sambil tertawa cekikikan lalu berkata,
"Ciok Giok Yin, saat ini kau tak ubahnya seekor ikan yang
telah terjaring. Hari ini kau tidak akan bisa meloloskan diri!"
Ciok Giok Yin membuka matanya, menatap Teng Hiang Kun
dengan penuh kebencian.
"Kau mau apa?" bentaknya.
"Tidak mau apa-apa, cuma ingin menangkapmu!" sahut Teng
Hiang Kun.
"Kini aku sudah jatuh ke tanganmu. Kau mau membunuhku,
silakan! Jangan harap kau bisa menghina diriku!"
Teng Hiang Kun tertawa terkekeh-kekeh.
"Wah! Bagaimana mungkin aku akan membunuhmu? Aku
merasa tidak sampai hati lho!"
Wanita itu mendekatinya, kemudian mengecup keningnya dan
bertanya.
"Kau sudah tidak galak lagi 'kan?"

"Wanita cabul tak tabu malu! Suatu hari nanti aku pasti
membunuhmu!"
Teng Hiang Kun tersenyum.
"Aku memang berharap pada hari itu, bisa mati di tangan
pujaan hatiku, tentunya amat menyenangkan."
Teng Hiang Kun lalu duduk di samping Ciok Giok Yin, dan
menaruh kepalanya di bahu pemuda itu, kelihatannya bagaikan
sepasang suami istri saling mengasihi. Wajah .wanita itu
tampak kemerah-merahan. Bukan main gusarnya Ciok Giok
Yin, tapi sekujur badannya sudah tak bertenaga, sama sekali
tidak bisa melancarkan pukulan. Mendadak Teng Hiang Kun
berkata dengan lembut sekali.
"Ciok Giok Yin, cobalah kau terka tempat apa ini?"
"Tempat apa ini?"
"Kita berada di dalam Goa Ku Ciau Cung."
"Di dalann Goa Ku Ciau Cung?"
"Tidak salah."
Ciok Giok Yin mengerutkan kening, kemudian mencacinya dan
bertanya.
"Dasar wanita cabul, tak tahu malu! Kau yang membawaku ke
mari?"
Teng Hiang Kun mengangguk.
"Sedikit pun tidak salah." Dia menatap Ciok Giok Yin.
"Ciok Giok Yin, kuberitahukan! Ketika kau tersambar masuk,
pintu batu tersebut. Kini pintu batu telah tertutup. Kalau kau
tidak mendengar perkataanku, kau akan terkurung di sini
selamanya. Namun apabila kau mau mendengar perkataanku,

tentu aku bersedia membawamu meninggalkan tempat ini."
"Kentut! Aku pasti punya akal keluar dari tempat ini!"
Wanita itu tersenyum.
"Kau jangan berkeras kepala. Kalau percaya silakan coba! Di
luar aku memang bukan lawanmu, namun di sini kau justru
bukan tandinganku!" Dia mengecup kening Ciok Giok Yin lagi,
kemudian bangkit berdiri. "Aku pergi sebentar dan segera
kembali menemanimu. Baik-baiklah beristirahat, sebab kita
akan melakukan hal yang cukup melelahkan, tapi terasa
nikmat sekali!"
Badan Teng Hiang Kun bergerak menuju sebuah terowongan.
Tentunya dia pergi mencari Seruling Perak. Sedangkan Ciok
Giok Yin tahu jelas bahwa kini dirinya berada di dalam Goa Ku
Ciau Cuang, tempat penyimpanan Seruling Perak. Karena itu,
dia segera memejamkan matanya sekaligus menghimpun hawa
murninya. Di saat bersamaan, mendadak terdengar suara
bernada tua.
"Goa Ku Ciau Cuang ini penuh perangkap dimana-mana, tapi
telah kututup semua. Bocah, aku percaya kau juga mendengar
desas-desus, bahwa di tempat ini tersimpan Seruling Perak."
Ciok Giok Yin membuka matanya lebar-lebar, namun tidak
melihat seorang pun di situ.
"Siapa kau?" tanyanya.
"Kita boleh dikatakan kenalan lama, sebab pernah bertemu
dua kali."
"Bolehkah Anda memperlihatkan diri?"
"Tidak usah."
"Bagaimana Anda masuk ke mari?"
"Tentunya aku punya akal. Tentang ini kau tidak perlu

bertanya."
Ciok Giok Yin mengerutkan kening.
"Anda menutup semua terowongan di sini, sebetulnya
mengandung maksud apa?"
"Aku tidak menghendaki orang lain masuk." Berhenti sejenak,
setelah itu melanjutkan. "Kelihatannya kau terluka?"
"Betul."
"Baik, aku akan mengobatimu."
Ketika Ciok Giok Yin membuka mulutnya ingin berkata, justru
di saat bersamaan, sebuah benda kecil meluncur ke dalam
mulutnya. Dia ingin memuntahkan benda kecil itu, tapi sudah
masuk ke dalam tenggorokannya. Terasa amat harum, bahkan
juga terasa amat nyaman. Terdengar lagi orang itu berkata,
"Kau baik-baik beristirahat, tidak akan ada orang ke mari
mengganggumu lagi. Namun, kau harus ingat! Kalau kau
berhasil keluar dari goa ini, akan ada seorang gadis mencarimu
untuk bertanding."
Usai orang itu berkata, suasana di tempat itu berubah
menjadi hening. Ciok Giok Yin segera bertanya,
"Mohon tanya siapa gadis itu'?"
Tiada sahutan. Ciok Giok Yin bertanya lagi berulang kali, tapi
tetap tiada sahutan. Dia tahu bahwa orang itu telah pergi, tidak
akan menyahut lagi, barulah dia mulai memejamkan matanya
menghimpun hawa murninya. Sembari menghimpun hawa
murninya, dia pun berpikir sesungguhnya siapa orang itu?
Katanya pernah bertemu dua kali, bertemu di mana? Walau
Ciok Giok Yin terus berpikir, tapi tetap tidak ingat siapa orang
tersebut. Karena itu dia tidak mau berpikir lagi, melainkan
memusatkan perhatiannya untuk menghimpun hawa murninya.
Berselang beberapa saat kemudian, luka dalamnya telah

sembuh. Dia bangkit berdiri sambil menengok ke sana ke mari.
Tampak beberapa terowongan di situ. Terowongan yang mana
yang dilaluinya tadi? Dia sama sekali tidak ingat lagi. Dia
berdiri termangu-mangu. Apabila terus berdiri di situ, sudah
pasti tiada gunanya. Karena itu dia beranjak menuju sebuah
terowongan yang berada di sebelah kiri. Dia pikir kalau tiada
jalan keluarnya, masih bisa kembali ke tempat semula. Siapa
sangka setelah dia berjalan sejenak dan ketika menoleh ke
belakang, justru sudah tidak menemukan jalan yang semula
itu. Apa boleh buat, dia terpaksa menerobos ke sana ke mari
tanpa arah tujuan sama sekali.
Entah berapa lama kemudian, barulah dia berhenti. Tiba-tiba
dia merasa agak tidak beres. Sebab sepertinya tadi dia pernah
melalui terowongan ini. Karena itu, dia segera memikirkan
suatu cara untuk mengatasi hal ini. Timbul suatu ide, dia mulai
melangkah, beberapa langkah dia pasti memberi tanda pada
dinding. Justru sungguh mengherankan, hampir setengah
harian berputar, tetap kembali ke tempat semula. Kini barulah
Ciok Giok Yin mengerti, ternyata dirinya terjebak di dalam
sebuah formasi. Dia menyesal sekali, sebab sama sekali tidak
paham tentang formasi. Saat ini Teng Hiang Kun juga entah ke
mana. Dia masih ingat akan ucapan wanita cabul itu, kalau
tidak mendengar perkataannya, maka akan terkurung di
tempat ini selamanya. Kelihatannya wanita cabul itu mengerti
akan formasi tersebut. Tapi ke mana dia? Kini tenaga Ciok Giok
Yin telah pulih. Otomatis tidak takut padanya. Kalau tidak
berhasil mencarinya, apakah dirinya akan terkubur hidup-hidup
di sini?
Menyusul dia teringat pada suara orang tua itu yang bersedia
menyembuhkannya, namun mengapa tidak membantunya
meninggalkan tempat ini? Karena berpikir begitu, Ciok Giok Yin
segera berseru-seru.
"Lo cianpwee! Lo cianpwee!"
Suaranya bergema di tempat itu. Akan tetapi tiada sahutan
sama sekali. Ciok Giok Yin berdiri termangu-mangu tidak tahu
harus berbuat apa. Tiba-tiba dalam benaknya terlintas sesosok
bayangan hitam, yang memancingnya hingga sampai di bukit

Tanah Kuning ini. Kejadian ini apakah merupakan rencana
perkumpulan Sang Yen Hwee? Kalau tidak, bagaimana begitu
kebetulan orang-orang perkumpulan Sang Yen Hwee
bersembunyi di sana? Semakin dipikirkan membuat Ciok Giok
Yin semakin yakin, dan itu membuatnya amat gusar, sehingga
sekujur badannya menjadi gemetar. Dendamnya terhadap
perkumpulan Sang Yen Hwee otomatis semakin menjadi.
Kalau tiada suatu kemukjizatan, dia pasti akan mati kelaparan
di dalam goa tersebut. Ini sungguh merupakan goa misteri!
Entah siapa yang membuat goa ini? Mengapa harus dilengkapi
dengan formasi aneh? Apakah di dalam goa ini terdapat
makam raja jaman dulu, maka khawatir makam itu akan digali
orang? Kalau benar, raja yang telah mati itu, tentunya seorang
raja lalim. Seandainya tidak, bagaimana mungkin
meninggalkan formasi ini untuk mencelakai orang lain? Manusia
di saat merasa putus asa, tentu akan teringat masa lalunya.
Begitu pula Ciok Giok Yin. Semua kejadian yang dialaminya
mulai muncul di dalam benaknya. Beberapa saat kemudian
terdengar suara helaan nafas panjang. Setelah itu Ciok Giok
Yin bergumam,
"Nasibku memang demikian, apa yang harus di katakan?"
Akhirnya Ciok Giok Yin duduk, kelihatannya ingin menunggu
ajal datang menjemputnya. Kini hatinya malah menjadi tenang.
Sepasang matanya dipejamkan, tidak mau memikirkan urusan
apa-apa lagi. Dia berharap bisa segera mati, agar rohnya dapat
pergi ke dunia persilatan, setelah itu barulah menuju ke alam
baka. Ternyata Ciok Giok Yin teringat akan kata-kata yang
terdapat di dalam kitab suci. 'Sebelum lahir siapa aku? Setelah
lahir aku siapa? Setelah tumbuh dewasa adalah diriku, mata
dipejamkan justru siapa....' Walau Ciok Giok Yin tahu namanya,
tapi justru tidak jelas dirinya keturunan siapa? Berdasarkan
apa yang dikatakan Sin Ciang-Yo Sian, tak ragu lagi dirinya
pasti bukan keturunan Hai Thian Tayhiap-Ciok Khie Goan.
Karena alat kelaminnya terluka ketika berlatih silat, maka tidak
dapat melakukan hubungan intim dengan istrinya. Sudah pasti
istrinya tidak bisa hamil.
Kalau begitu, sesungguhnya Ciok Giok Yin keturunan siapa?

Cuma beberapa orang yang mengetahuinya. Sebab itu Ciok
Giok Yin duduk seakan telah tiada dirinya. Akan tetapi tak
disangka, tiba-tiba aliran tenaga yang amat kuat di dalam
Tantiannya menerjang ke seluruh jalan darahnya. Secara reflek
dan tanpa banyak dia berpikir, dia langsung menghimpun hawa
murninya. Berselang beberapa saat, dia merasa badannya
terapung ke atas. Dia tetap memejamkan matanya, berkata
seorang diri, "Apa gunanya lagi?" Dia tidak bangkit berdiri,
cuma menggeserkan badannya menyandar pada dinding batu
dan matanya tetap terpejam rapat. Akan tetapi dalam
benaknya timbul berbagai macam kejadian yang pernah
dialaminya. Dendam, kebencian dan budi, semuanya terlintas
dalam benaknya. Mulutnya mulai bergumam.
"Adik Yong, tahukah kau bahwa aku akan mati kelaparan di
tempat ini? Aaah! Kitab Im Yang Cin Koy itu tak perlu kau baca
lagi, lebih baik kau bakar agar tidak jatuh ke tangan orang
jahat, sehingga akan mencelakai orang lain."
Seketika dia pun teringat pada Heng Thian Ceng dan
pikirannya pun menerawang. Sejak dia tahu urusan, otomatis
banyak melihat kaum wanita pula. Namun yang paling cantik
adalah Heng Thian Ceng. Kecantikannya dapat membuat orang
terpukau dan mabuk kepayang. Oleh karena itu, tanpa sadar
Ciok Giok Yin berseru-seru.
"Kakak! Kakak! Aku amat menyukaimu!"
Sepasang tangannya merangkul ke depan, tapi cuma
merangkul tempat kosong. Dia membuka sepasang matanya,
lalu tersenyum sedih seraya berkata,
"Ini bukan dalam mimpi?"
Di saat bersamaan mendadak terdengar suara alunan
harpa. Ciok Giok Yin. langsung mendengarkan dengan penuh
perhatian. Kedengarannya suara itu tidak seberapa jauh dari
tempatnya. Alunan suara harpa itu bernada sedih, siapa yang
mendengarnya pasti mengucurkan air mata. Saat ini Ciok Giok
Yin dalam keadaan putus asa, bahkan juga belum jelas tentang
asal-usulnya. Sudah barang tentu gampang terpengaruh oleh

suara harpa itu, menyebabkan air matanya meleleh dan
menangis terisak-isak. Berselang beberapa saat, sekonyongkonyong
nada suara harpa itu meninggi, kedengarannya
seperti suara pembunuhan, juga bagaikan derap ribuan kuda
yang gemuruh.
Ciok Giok Yin langsung bangkit berdiri. Sepasang matanya
menyorot tajam dan sekujur badannya dipenuhi tenaga. Dia
mengangkat sebelah tangannya. Tanpa sadar dia melancarkan
jurus ketiga ilmu pukulan Hong Lui Sam Ciang.
Bum!
Terdengar suara ledakan dahsyat. Tampak debu dan
hancuran batu beterbangan, bahkan goa itu goncang.
Bersekang sesaat, barulah suara gemuruh di dalam goa itu
berhenti dan suara harpa pun tak terdengar lagi. Ciok Giok Yin
berdiri tertegun. Dia sama sekali tidak menyangka, bahwa
dirinya telah mampu melancarkan jurus ketiga ilmu pukulan
Hong Lui Sam Ciang, tidak membuat darahnya bergolak lagi
seperti tempo hari. Padahal sesungguhnya dia harus
kegirangan hingga meloncat-loncat. Akan tetapi dia malah
menghela nafas panjang.
"Kepandaian bertambah tinggi, tapi apa gunanya?"
Dia memandang ke arah dinding batu, ternyata dinding batu
itu telah hancur oleh pukulannya tadi, bahkan muncul sebuah
terowongan. Ciok Giok Yin terbelalak lalu berjalan ke dalam
terowongan itu. Setelah berjalan beberapa langkah, dia melihat
lagi beberapa terowongan. Dia tidak berani berjalan lagi, cuma
berdiri termangu-mangu di situ. Justru di saat bersamaan
terdengar lagi suara harpa itu dan nadanya bertambah sedih.
Ciok Giok Yin segera pasang kuping mendengarkan dengan
seksama. Setelah itu dia berani memastikan bahwa suara
harpa itu berada di dalam goa. Hatinya tergerak, dan dia
segera berjalan ke arah suara harpa itu. Asal berhasil
menemukan pemain harpa itu, tentu akan membantu Ciok Giok
Yin meninggalkan goa kecuali pemain harpa itu seorang
musuhnya. . Karena kini sudah timbul harapan baru, maka Ciok

Giok Yin melangkah cepat dan pasti. Namun siapa sangka,
meskipun dia telah melewati beberapa terowongan, tapi tetap
belum menemukan jejak pemain harpa itu. Otomatis membuat
langkahnya terhenti.
Begitu dia terhenti, hatinya tersentak. Karena suara harpa itu
justru terdengar di belakangnya, bukan di hadapannya
lagi. Sebab itu, dia segera membalikkan badan sekaligus
mengayunkan kaki. Sungguh diluar dugaan, suara harpa itu
sepertinya sengaja mempermainkannya karena kedengarannya
berada di belakangnya. Ciok Giok Yin betul-betul kewalahan,
namun rasa penasaran. Dia cepat-cepat membalikkan
badannya lagi, melangkah ke arah suara harpa itu. Begitulah
berkali-kali, suara harpa itu kedengaran di depan, di belakang,
di kiri dan di kanan. Itu membuat Ciok Giok Yin sungguh tak
mengerti, gugup dan panik, tidak tahu harus berbuat apa.
Ciok Giok Yin terus berpikir. Akhirnya dia berkesimpulan,
bahwa pemain harpa itu bukan sengaja mempermainkan
dirinya, melainkan dirinya masih terkurung di dalam formasi
aneh. Dia percaya, telinganya dapat mendengar suara harpa
itu, membuktikan bahwa pemain harpa itu tidak terpisah jauh
dari dirinya. Mungkin juga formasi aneh ini, justru pemain
harpa yang membentuknya.
Tak diragukan lagi pemain harpa itu pasti orang aneh yang
hidup menyendiri. Dan dia memiliki lwee kang yang amat tinggi
sekali. Sebab kalau tidak, bagaimana mungkin suara harpa itu
menggetarkan hati dan mempengaruhi orang yang
mendengarnya? Namun berdasarkan nada suaranya yang sedih
dan memilukan itu, pemainnya pasti seorang wanita. Otomatis
membuat Ciok Giok Yin merasa simpati padanya dan berharap
dapat bertemu, agar dapat mencurahkan semua kedukaannya.
Ciok Giok Yin berdiri tercenung. Dia tahu, apabila tiada
seorang pun membawanya keluar, pasti terkurung selamanya
di tempat ini. Pepatah mengatakan 'Orang tidak harus mati,
pasti selamat'. Seketika Ciok Giok Yin berseru sekeraskerasnya,
"Lo cianpwee mana yang hidup tenang di sini, mohon
bertemu!" Suara harpa itu berhenti, dan suasana berubah
menjadi hening. Beberapa saat kemudian mendadak terdengar

suara yang amat nyaring.
"Siapa kau?"
Tak terduga sama sekali, ternyata seorang
wanita. Berdasarkan suaranya, membuktikannya masih muda,
mungkin masih merupakan seorang gadis. Ciok Giok Yin segera
menyahut dengan lantang.
"Aku bernama Ciok Giok Yin!"
"Kau lelaki atau wanita?"
Ciok Giok Yin tertegun, sebab pertanyaan tersebut merupakan
pertanyaan anak kecil. Suara lelaki dan suara wanita berbeda,
mengapa dia tidak dapat membedakannya? Apakah dia adalah
orang dungu? Seandainya dia orang dungu, kalau pun bertemu
juga tidak ada gunanya. Itu menyebabkan Ciok Giok Yin
kembali putus harapan. Lantaran berpikir demikian, maka dia
lupa menyahut. Mendadak wanita pemain harpa bertanya lagi.
"Kau lelaki atau wanita? Beritahukanlah padaku!"
Kedengarannya dia tidak sabar lagi. Ciok Giok Yin
menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku adalah lelaki!"
Terdengar suara seruan tak tertahan.
"Hah? Kau sungguh lelaki?"
"Ya!" Kemudian Ciok Giok Yin balik bertanya.
"Kau tidak dapat membedakan suara lelaki dan suara
wanita?"
"Aku tidak pernah bertemu lelaki, juga tidak pernah
mendengar suara lelaki, maka aku tidak dapat
membedakannya."

Ciok Giok Yin terperangah mendengar ucapan itu. Di kolong
langit ini memang terdapat banyak hal aneh. Justru ada wanita
yang tak pernah bertemu lelaki. Bukankah itu aneh sekali?
Pikirnya. Kemudian dia bertanya,
"Apakah kau tidak pernah berkelana di dunia persilatan?"
"Tidak pernah!"
"Kau tidak pernah meninggalkan goa ini?"
"Ya."
"Kalau begitu, bagaimana kau datang di tempat ini dan hidup
bersama orang mati?"
"Di sini sama sekali tiada orang mati!"
"Tiada orang mati?" seru Ciok Giok Yin kaget.
"Aku tidak pernah bohong, karena juga tidak pernah ada
orang bercakap-cakap denganku. Kini kau ke mari, pertama
kali aku bicara sama orang!"
Ciok Giok Yin berpikir, mungkin usia wanita itu sudah tua.
"Lo cianpwee...."
"Aku bukan lo cianpwee, sebab aku masih kecil!"
Ciok Giok Yin tertegun.
"Hah? Apa?"
"Tahun ini usiaku baru tujuh belas, jadi aku bukan lo
cianpwee."
"Usiamu baru tujuh belas?"
"Ya."

Ini sungguh membingungkan Ciok Giok Yin, bahkan juga tidak
habis berpikir. Bagaimana seorang gadis berusia tujuh belasan
hidup seorang diri di dalam goa? Karena itu sekujur badan Ciok
Giok Yin menjadi merinding. Apakah dia hantu? Dia teringat
pula pada Bok Tiong Jin, yang ingin memperoleh hatinya. Kini
jangan-jangan... telah bertemu seorang hantu lagi? Saking
terkejut dia menjadi lupa bersuara. Berselang sesaat, gadis
berusia tujuh belas itu bertanya,
"Kak? Mengapa kau tidak bicara?"
Ciok Giok Yin balik bertanya dengan suara agak bergemetar.
"Nona adalah orang atau hantu?"
"Tentunya aku orang. Berapa usiamu sekarang?"
"Usiaku delapan belas."
"Delapan belas tahun?"
"Ya."
"Usiamu lebih besar satu tahun dariku. Aku amat gembira
sekali dapat bertemu kau. Kalau ibuku bertemu kau, aku yakin
ibuku juga amat gembira."
Ciok Giok Yin tercengang.
"Kau punya ibu?"
"Setiap orang pasti punya ibu. Aku dilahirkan ibu, tentunya
punya ibu."
Mendengar ucapan itu, barulah Ciok Giok Yin berlega hati.
Mungkin ibunya yang membawa gadis tersebut kemari, lalu
tidak pernah membawanya keluar, maka tidak pernah bertemu
lelaki.
"Aku punya kesempatan melihat matahari," kata gadis itu.

"Apa maksudmku Nona?"
"Ibu pernah berpesan padaku, kalau kelak aku punya
kesempatan bertemu lelaki di sini, dia harus membawaku
pergi. Nah, bukankah aku bisa melihat matahari? Aku... aku
sungguh gembira sekali!"
Hati Ciok Giok Yin tergerak.
"Ibumu juga berada di dalam?"
"Ibuku sudah terbang jauh."
Mendengar ucapan itu Ciok Giok Yin menjadi melongo.
"Ibumu sudah terbang jauh?"
"Ya. Ibuku memperoleh sebuah kitab pusaka. Setelah berhasil
menguasai semua ilmu yang ada di dalam kitab pusaka itu,
ibuku menjadi dewa, terbang pergi meninggalkanku seorang
diri."
Seketika timbullah rasa simpati dalam hati Ciok Giok Yin.
Gadis ini sungguh patut dikasihani! Dia dan dirinya sama-sama
bernasib malang dan hidup merana. Mendadak Ciok Giok Yin
teringat sesuatu,
"Ayahmu?"
"Ibu tak pernah memberitahukan padaku."
Ciok Giok Yin menjadi termangu. Ternyata nasib gadis itu
lebih beruntung. Walau dia tidak tahu siapa ayahnya, namun
masih punya ibu. Sebaliknya Ciok Giok Yin sama sekali tidak
tahu siapa kedua orang tuanya. Meskipun ada orang yang tahu,
tapi tidak bersedia memberitahukannya. Karena itu, apabila
kembali berkecimpung di dunia persilatan, selain menuntut
balas dendam, juga harus menyelidiki asal-usul dirinya. Akan
tetapi dalam setengah tahun lebih ini Ciok Giok Yin hanya
menerima berbagai macam penderitaan, belum berhasil
membasmi murid murtad suhunya, bahkan juga belum berhasil

mengungkap asal usul dirinya. Ciok Giok Yin terus berpikir,
sehingga lupa akan dirinya masih berada di dalam formasi
aneh.
Terdengar gadis itu berkata,
"Maukah kau datang ke tempatku ini?"
Bukan main girangnya Ciok Giok Yin mendengar pertanyaan
gadis itu.
"Nona, aku terkurung di dalam formasi, tidak dapat keluar."
"Terkurung di dalam formasi?"
"Ya."
"Kau boleh ke luar 'kan?"
"Tidak bisa, karena aku tidak mengerti tentang formasi."
"Mengapa kau tidak bilang dari tadi?"
"Nona mengerti?"
"Itu adalah Ngo Heng Tin (Formasi Lima Elemen)."
"Nona, tolong keluarkan aku dari formasi ini! Aku tidak akan
melupakan budiman selama-lamanya."
"Karena kau akan membawaku melihat matahari, tentunya
aku harus menolongmu ke luar dari formasi itu. Beritahukan
padaku, saat ini kau berdiri di mana?"
Ciok Giok Yin mengerutkan kening.
"Nona, aku tidak paham formasi ini, bagaimana aku
memberitahukanmu di mana aku berdiri?"
"Asal kau memberitahukan keadaan di sekitarmu, itu sudah
cukup."

Ciok Giok Yin menengok ke sekelilingnya, lalu
memberitahukan.
"Kau tunggu sebentar!" kata gadis itu. Beberapa saat
kemudian barulah gadis itu berkata lagi,
"Saat ini kau berada di sebelah kiri dalam formasi itu."
"Apakah aku bisa keluar?"
"Bisa. Sekarang kau dengar petunjukku!" Berhenti sejenak,
kemudian melanjutkan, "Berjalanlah kau menuju terowongan
sebelah kiri itu terus sampai ke ujung!"
Ciok Giok Yin berjalan menuju terowongan kiri, terus sampai
ke ujung.
"Nona, aku harus ke mana lagi?"
"Ke terowongan sebelah kiri."
Ciok Giok Yin berjalan menuju terowongan sebelah kiri, terus
ke dalam. Berselang sesat di depan matanya tampak sebuah
terowongan yang amat luas, tapi tiada ujungnya.
"Kau sudah keluar dari formasi," kata gadis itu.
Ciok Giok Yin tertegun.
"Nona, sekarang aku harus melangkah ke mana?"
Gadis itu balik bertanya.
"Kau mengerti ilmu silat?"
"Mengerti."
"Bagus. Sekarang kau harus mengerahkan lwee kangmu
menghantam dinding batu yang di hadapanmu. Setelah itu kau
akan melihat diriku."

Ciok Giok Yin justru berpikir, gadis itu berada di batik dinding
batu itu. Apakah dia mengerti ilmu silat? Kalau dinding itu
hancur, apakah tidak akan melukainya? Karena itu dia berkata,
"Harap Nona mundur dua tiga langkah!"
"Mengapa?" tanya gadis itu.
"Aku akan menghancurkan dinding batu ini, khawatir
hancuran batu akan melukaimu...."
"Jangan khawatir. Dinding batu ini tak dapat dihancurkan,
cuma akan terbuka kalau terhantam pukulanmu."
"Kalau begitu, Nona harus hati-hati!"
"Baik, aku menurut perkataanmu."
Suara gadis itu amat lembut. Ciok Giok Yin mulai
mengerahkan lwee kangnya pada kedua lengannya, lalu
menghantam ke arah dinding batu itu. Terdengar suara
ledakan dahsyat disertai hancuran batu dan debu beterbangan.
Namun sungguh diluar dugaan dinding batu itu cuma
berlubang tapi lubang itu tidak menembus ke
dalam. Kelihatannya dinding batu itu amat tebal. Ciok Giok Yin
mulai mengerahkan lwee kangnya lagi. Tapi ketika baru mau
menghantam lubang-lubang yang tak tembus ke dalam itu,
mendadak terdengar suara gemuruh yang memekakkan
telinga. Ternyata dinding batu itu merosot ke bawah. Seketika
tampak cahaya menyorot ke luar, akan tetapi mendadak
dinding batu itu terhenti.
\
Jadi tinggi dinding batu itu masih mencapai satu depa lebih.
Ciok Giok Yin tidak dapat melihat ke dalam karena terhalang
oleh dinding batu itu. Terdengar suara gadis itu,
"Kau bisa meloncat tinggi?"

"Bisa."
"Kalau begitu, cepatlah kau lompati dinding batu itu! Karena
sebentar lagi dinding batu itu akan naik lagi."
Mendengar itu, Ciok Giok Yin tidak berani menunggu. Dia
langsung mencelat ke dalam melalui dinding batu itu. Ketika
sepasang kakinya menginjak tanah, terdengar suara gemuruh
di belakangnya dan terdengar pula suara yang amat dahsyat.
Bummm!
Tempat Ciok Giok Yin berpijak terasa tergoncang. Dia segera
menoleh ke belakang, ternyata dinding batu itu sudah tertutup
seperti semula. Bukan main terkejutnya! Di saat bersamaan,
mendadak terdengar suara yang amat merdu.
"Beginikah lelaki?"
Ciok Giok Yin menolehkan kepalanya. Di depannya tampak
seorang gadis yang cantik jelita. Namun wajah gadis itu pucat
pias. Mungkin selama ini dia tidak pernah kena sinar
matahari. Sepasang mata gadis itu terbeliak lebar, terus
menatap Ciok Giok Yin. Rupanya dia merasa heran karena
dandanan Ciok Giok Yin berbeda dengan gadis itu. Ciok Giok
Yin memakai topi kain, dan berjubah panjang. Sepasang
matanya bersinar terang, menimbulkan rasa suka pada orang
yang melihatnya. Karena gadis itu tidak pernah melihat kaum
lelaki, maka tanpa sadar menundukkan kepala melihat dirinya
sendiri.
Dia merasa dadanya lebih menonjol, daripada dada Ciok Giok
Yin. Maka dirabanya dadanya sendiri. Dia terheran-heran
karena merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Itu
merupakan hal alami, karena timbul rasa suka dalam hatinya
terhadap lelaki yang tidak seperti dirinya. Dia tersenyum
simpul, sebab merasa terhibur. Sedangkan Ciok Giok Yin sudah
melihat jelas gadis itu, berikut keadaan di sekitarnya. Ternyata
dirinya berdiri di sebuah ruang batu. Sepasang matanya
terbelalak, karena semua perkakas yang ada di tempat itu
terbuat dari emas yang bergemerlapan, begitu pula cangkir

dari emas dan teko dari giok hijau. Sejak lahir hingga kini, baru
saat ini Ciok Giok Yin menyaksikan semua itu. Maka tidak
mengherankan kalau sepasang matanya terbeliak
lebar. Tampak sebuah pedupaan di atas meja. Pedupaan itu
mengepulkan asap harum dan di samping kirinya terdapat
sebuah harpa. Tak diragukan lagi, yang memainkan harpa tadi
pasti gadis tersebut. Sungguh tak terduga, usia gadis itu masih
begitu muda, namun sudah mahir memainkan harpa. Berselang
sesaat, barulah Ciok Giok Yin bertanya, sebab dari tadi gadis
itu terus menatapnya dengan mata tak berkedip.
"Sungguhkah Nona tidak pernah melihat kaum lelaki?"
Pertanyaan tersebut membuat gadis itu tampak tertegun.
Namun kemudian wajahnya berubah menjadi berseri.
"Memang pertama kali aku melihatnya," sahutnya.
Ciok Giok Yin mengerutkan kening. Kelihatannya dia agak
curiga sehingga bertanya tak tertahan.
"Nona...?"
"Namaku Soat Cak, bukan Nona," sahut gadis itu.
Ciok Giok Yin terperangah oleh sahutan gadis itu, kemudian
tertawa geli.
"Nona Soat, selama kau berada di sini, biasanya makan apa?"
Soat Cak tertawa cekikikan.
"Ibuku meninggalkan banyak makanan kering untukku. Lagi
pula ibuku sudah memperhitungkan akan ada lelaki ke mari
membawaku pergi, maka aku tidak mencemaskan soal
makanan."
"Tapi aku justru tidak mampu membawamu pergi," kata Ciok
Giok Yin.
"Mengapa?"

"Sebab aku seorang pengembara, tiada tempat tinggal yang
tetap, lalu harus membawamu ke mana?"
"Kemana kau pergi aku akan mengikutimu," kata Soat Cak
setelah berpikir sejenak.
Ciok Giok Yin menggelengkan kepala.
"Ini mana boleh?"
Wajah Soat Cak berubah menjadi murung.
"Kau tidak bersedia?"
Ciok Giok Yin menghela nafas panjang,
"Musuhku ada di mana-mana, kalau aku terhalang tidak dapat
melindungimu, bagaimana tanggung jawabku?"
Wajah Soat Cek tampak ceria,
"Itu tidak jadi masalah. Kalau ada orang jahat, aku akan
membantumu memukulnya," katanya sungguh-sungguh.
Ketika Ciok Giok Yin baru membuka mulut, Soat Cak sudah
mendahuluinya melanjutkan.
"Ibuku berpesan, kalau yang datang adalah lelaki tua, aku
harus mengangkatnya sebagai ayah. Setelah itu, membawaku
pergi berkelana di dunia persilatan."
"Bagaimana kalau lelaki yang masih berusia muda?" tanya
Ciok Giok Yin.
Ternyata Ciok Giok Yin khawatir kalau Soat Cak
mengemukakan permintaan yang tak sanggup dilakukannya.
Soat Cak memandang sejenak Ciok Giok Yin, kemudian
menyahut,
"Ibuku bilang, diriku akan menjadi miliknya."

Ciok Giok Yin tersentak mendengar ucapan itu.
"Bagaimana mungkin?"
"Aku sudah menjadi milikmu, seumur hidup tidak akan
berubah."
Ciok Giok Yin termundur dua langkah.
"Tidak bisa begini," katanya.
Soat Cak melotot, kelihatannya kesal sekali.
"Ibuku yang berpesan begitu. Lagi pula setelah aku
melihatmu, aku telah bersungguh-sungguh menyukaimu.
Kanda Ciok, kau harus membawaku ke luar melihat-lihat. Aku
tidak mau seumur hidup di tempat ini."
Usai berkata, dia tampak penuh harapan. Gadis yang polos ini
tanpa sadar telah menaburkan benih cintanya. Sebab pemuda
yang berdiri di hadapannya, telah menyusup ke dalam hatinya.
Lagi pula ibunya telah berpesan demikian padanya. Gadis yang
polos tentunya cintanya juga polos dan suci murni. Namun Ciok
Giok Yin justru tidak bisa memenuhi hasrat hatinya. Sebab Ciok
Giok Yin sudah punya tunangan. Kalau membawa gadis itu di
sampingnya merupakan hal yang amat bahaya. Karena itu, biar
bagaimana pun dia harus melepaskan diri dari gadis tersebut.
Berpikir sampai di situ lalu timbul ide dalam hatinya.
"Nona Soat, maksudku kau tetap tinggal di sini," katanya.
Soat Cak mengerutkan kening sambil menggelengkan kepala.
"Kanda Ciok, di sini aku amat kesepian," sahutnya.
"Banyak orang jahat di dunia persilatan. Di sini kau lebih
aman, tenang dan damai. Bahkan tidak akan bermusuhan
dengan siapa pun. Bukankah lebih baik kau tinggal di sini?
Untuk apa berkelana di luar?"

"Aku suka bersama Kanda Ciok, aku tidak takut."
Ciok Giok Yin betul-betul serba salah. Bersamaan itu Soat Cak
terus memanggilnya 'Kanda Ciok', membuat Ciok Giok Yin
merasa tidak enak. Sebutan itu memang tidak pantas untuk
mereka berdua. Mendadak Ciok Giok Yin menemukan suatu
cara untuk melepaskan diri dari gadis tersebut.
"Nona Soat, biar bagaimana pun aku tidak bisa membawamu
pergi," katanya lembut.
Mendengar kata-kata itu sepasang mata Soat Cak yang indah
mulai berkaca-kaca.
"Memangnya kenapa Kanda Ciok?" tanyanya dengan suara
gemetar.
"Sebab aku sudah punya tunangan."
"Sudah punya tunangan? Maksud Kanda Ciok?"
"Maksudku...."
"Jelaskanlah! Sebab ibuku tidak pernah memberitahukan
padaku."
Ciok Giok Yin tidak menyangka bahwa Soak Cak tidak
mengerti tentang pertunangan, maka dia menjelaskan.
"Maksudku sudah ada seorang wanita yang kelak akan
menjadi istriku."
Namun siapa sangka setelah mendengar penjelasan itu,
wajah Soat Cak malah berseri,
"Itu bagus sekali! Aku dan dia akan terus mendampingimu.
Jadi kau tidak akan kesepian lagi." Dia melangkah maju
mendekati Ciok Giok Yin, kemudian menggengam tangannya
seraya berkata lagi, "Kanda Ciok, kau harus segera

membawaku pergi."
Mimpi pun Ciok Giok Yin tidak menduga bahwa gadis itu
malah girang setelah mendengar penjelasannya. Oleh karena
itu, Ciok Giok Yin sudah tidak punya alasan untuk menolaknya
lagi. Dia berdiri termangu-mangu. Mendadak Soat Cak berkata,
"Kanda Ciok, kau duduk di sini dulu!"
Dia menarik Ciok Giok Yin ke sebuah kursi, kemudian
mengambil secangkir teh untuk disuguhkan ke hadapan Ciok
Giok Yin.
"Kanda Ciok, minumlah! Aku pergi sebentar, segera balik ke
mari."
Usai berkata, tampak badannya bergerak, melesat ke arah
sebuah pintu di sudut ruangan. Setelah gadis itu pergi, Ciok
Giok Yin menikmati keindahan semua perabotan di ruangan itu.
Dia berkata dalam hati, 'Dari mana ibu Soat Cak memperoleh
semua perabotan ini? Benarkah apa yang dikatakan Soat Cak?
Sungguhkah dia seorang diri tinggal di tempat ini? Ciok Giok
Yin terus berpikir, tapi sama sekali tidak menemukan
jawabnya. Namun, dia tahu jelas satu hal, yaitu Soat Cak
berkepandaian tinggi, bahkan juga paham akan berbagai
macam formasi. Berpikir sampai di situ, tiba-tiba dia teringat
akan formasi yang ada di luar markas perkumpulan Sang Yen
Hwee. Tentunya dia harus mohon petunjuk pada Soat Cak,
agar bila kelak datang di markas tersebut tidak akan terkurung
lagi.
Namun dia pun teringat akan tubuhnya. Kalau dia melakukan
perjalanan bersama Soat Cak, sewaktu-waktu tak dapat
mengendalikan diri, bukankah akan mencelakai gadis itu?
Masalah tersebut sungguh membuatnya serba salah, tidak
menemukan suatu cara yang cocok. Di saat bersamaan
terlintas suatu ide dalam benaknya. Kemudian dia berkata
dalam hati. 'Kalau dia terus berkeras mau pergi bersamaku,
setelah kembali dari Gunung Liok Pan San, jalan satu-satunya
aku harus mengantarnya ke Gunung Kee Jiau San, markas
partai Thay Kek Bun, kemudian...." Mendadak sayup-sayup

terdengar suara percakapan, namun amat lirih. Timbullah
kecurigaan Ciok Giok Yin. Dia bangkit berdiri lalu berjalan ke
pintu kecil itu.
Tampak sebuah terowongan yang amat panjang. Pada dinding
terowongan itu terdapat entah berapa banyak mutiara yang
memancarkan cahaya menerangi terowongan tersebut. Ciok
Giok Yin melangkah memasuki terowongan itu. Setelah
melangkah hampir sepuluh depa, suara percakaan itu semakin
terdengar jelas. Dia tidak berani melangkah lagi, berhenti di
situ sambil memusatkan pendengarannya ke arah suara itu.
Terdengar suara seorang wanita.
"... dengar, kau harus ikut dia pergi!"
Terdengar suara Soat Cak yang terisak-isak.
"Ibu, aku pasti ingat pada Ibu."
Ciok Giok Yin tertegun. Ternyata apa yang dikatakan Soat
Cak, semuanya bohong belaka. Ibunya masih hidup, namun dia
mengatakan sudah terbang jauh alias sudah mati. Seketika
hawa amarah bergejolak di rongga dadanya, karena merasa
dirinya tertipu. Dia ingin membuka suara, tapi mendadak ibu
Soat Cak berkata.
"Nak, kau harus baik-baik mendengar perkataannya. Seorang
wanita harus menuruti kemauan suami, agar dia gembira,
barulah merupakan seorang istri yang baik, juga harus
membantunya mewujudkan cita-citanya. Pergilah Anakku!"
"Ibu, perbolehkan anak Cak menemuimu satu kali lagi!"
"Tidak usah, ibu sudah menutup ruangan batu ini, tidak mau
bertemu siapa pun."
"Ibu...."
Soat Cak terisak-isak, sehingga tidak mampu melanjutkan
ucapannya.

"Nak, pergilah!"
Terdengar suara langkah yang amat ringan, pertanda Soat
Cak sedang berjalan ke luar. Namun Ciok Giok Yin sama sekali
tidak bergeming, tetap berdiri tegak di tempatnya. Dalam
hatinya entah gusar, simpati atau..., pokoknya orang lain tidak
mengetahuinya. Soat Cak sudah berjalan di terowongan itu.
"Hah! Kanda Ciok, kau sudah mendengar semua itu?" serunya
kaget. Karena Soat Cak telah membohonginya, sehingga
menyebabkan hatinya amat gusar, maka Ciok Giok Yin
menyahut dengan dingin.
"Tidak salah, aku sudah mendengar semuanya." Dia berhenti
sejenak. "Ibumu telah terbang pergi, namun Nona masih bisa
bercakap-cakap dengan ibumu itu. Sungguh mengagumkan!"
lanjutnya menyindir. Wajah Soat Cak tampak kemerahmerahan,
berkata dengan perasaan malu.
"Kanda Ciok, mengenai ini... aku memang telah
membohongimu. Tapi ini atas kemauan ibuku, mohon kau sudi
memaafkanku. Ibuku berharap aku bisa cepat-cepat
meninggalkan tempat ini, maka berpesan begitu padaku."
Seusai Soat Cak berkata, mendadak terdengar suara ibu Soat
Cak berseru,
"Nak, kalian berdua boleh kemari! Aku ingin bicara!"
Soat Cak ingin menarik tangan Ciok Giok Yin, tapi Ciok Giok
Yin langsung menepiskannya, kemudian berjalan ke ruang batu
itu. Soat Cak tidak marah, bahkan mengikutinya dari belakang.
Begitu memasuki ruang batu itu, Ciok Giok Yin terbelalak,
karena di sana tidak terdapat seorang pun.
"Ibu, Kanda Ciok sudah datang," kata Soat Cak.
Terdengar suara sahutan yang jelas sekali dari balik dinding
batu.
"Nak, kau jangan menyalahkan Anak Cak. Itu memang

kemauanku dia berbicara begitu. Sebetulnya aku boleh lebih
awal meninggalkan dunia ini, namun hatiku tidak bisa lega
terhadap anakku ini. Kini kau sudah datang, maka kuserahkan
padamu. Biar bagaimana pun, harap kau membawanya pergi
dari sini, agar dia tidak hidup merana seumur hidup di sini."
Ciok Giok Yin mengerutkan kening. Ternyata dia mencurigai
suatu hal.
"Bagaimana lo cianpwee dan Soat Cak bisa tinggal di tempat
ini?"
Ibu Soat Cak menghela nafas panjang.
"Aku akan menutur sesingkatnya...."
Berselang sesaat barulah melanjutkan,
"Aku bernama Khouw Pei Ing. Sejak kecil aku bersama ibuku
tinggal di Gunung Tiang Pek San. Ibuku adalah Coat Ceng Hujin
(Nyonya Tanpa Cinta)...."
Mendadak Ciok Giok Yin memutuskan penuturannya.
"Coat Ceng Hujin?"
"Kau pernah mendengar nama itu?"
"Tidak pernah."
"Kalau begitu, kau jangan memutuskan penuturanku,
dengarkan saja."
Ternyata ibu Khouw Pei Ing, walau julukannya adalah Coat
Ceng Hujin, namun orang-orang yang dibunuhnya semuanya
merupakan para penjahat rimba persilatan. Ayahnya adalah
Thian Lui Sianseng (Tuan Geledek Langit). Lantaran melihat
istrinya berhati keji sering membunuh orang, dia
menasehatinya, namun malah menimbulkan salah paham,
sehingga terjadi keributan besar, akhirnya Thian Lui Sianseng
pergi tanpa pesan.

Sedangkan Coat Ceng Hujin, melihat sang suami tidak tahu
jelas persoalannya, langsung menuduh sembarangan dia amat
gusar. Kemudian dia meninggalkan Gunung Tiang Pek San
tanpa membawa Khouw Pei Ing. Setelah itu, terjadilah
pembunuhan besar-besaran di dunia persilatan. Siapa yang
melakukan itu? Tidak lain adalah Coat Ceng Hujin. Maka baik
golongan putih maupun golongan hitam, begitu mendengar
nama Coat Ceng Hujin, mereka langsung lari terbirit-birit.
Terakhir kali Coat Ceng Hujin muncul di Gunung Thian San
dekat sebuah telaga. Wanita itu dikeroyok oleh tiga tokoh
persilatan tangguh, sehingga terdesak jatuh ke dalam telaga
itu, namun mayatnya tidak pernah timbul. Sejak saat itu, Coat
Ceng Hujin menghilang dari rimba persilatan. Ketika itu, begitu
mendengar tentang kematian Coat Ceng Hujin, Khouw Pei Ing
amat sedih. Dia membawa kitab peninggalan ibunya, yaitu
Hong Lui Ngo Im Keng (Kitab Lima Suara Angin Dan Geledek),
menuju Gunung Thian San mencari mayat ibunya. Akan tetapi
air telaga itu amat dingin, maka Khouw Pei Ing tidak bisa
masuk ke dalam telaga itu. Sudah barang tentu hati Khouw Pei
Ing menjadi bertambah sedih. Wanita itu berdiri termangumangu
beberapa hari di tepi telaga, namun tetap tidak
menemukan jalan untuk turun ke dalam telaga itu. Akhirnya
dia membatalkan niatnya mencari mayat ibunya di dalam
telaga tersebut.
Tapi justru timbul niat lain, yaitu membalaskan dendam
ibunya. Namun dunia persilatan begitu luas, bagaimana
mencari orang yang tak tahu namanya? Tentunya amat sulit
sekali! Namun Khouw Pei Ing sama sekali tidak putus asa. Dia
terus menyelidik. Tapi tetap tidak berhasil memperoleh
informasi tentang nama musuh itu. Begitu beberapa tahun,
akhirnya dia menjadi putus asa dan tidak berniat lagi mencari
musuh itu. Sebab itu, dia mencari suatu tempat untuk hidup
menyendiri. Justru pada sutu hari, ketika tengah malam, tanpa
sengaja dia menerobos ke dalam istana. Banyak pesilat
tangguh rimba persilatan berada di dalam istana itu maka dia
ditangkap. Kebetulan malam itu kaisar belum tidur. Karena
tidak menyangka akan muncul pembunuh, maka sang kaisar
amat gusar sehingga turun tangan sendiri untuk mengadili

Khouw Pei Ing.
Sedangkan Khouw Pei Ing yakin bahwa dirinya akan dijatuhi
hukuman penggal kepala. Tapi tak disangka, ketika melihat
Khouw Pei Ing, sang kaisar malah tertegun. Ternyata sang
kaisar sering menyamar sebagai orang biasa untuk mengetahui
kehidupan rakyat, sekaligus menyelidiki apakah ada pembesar
yang korupsi. Pada suatu hari ketika sang kaisar tiba di sebuah
rimba, mendadak muncul beberapa perampok, yang kemudian
mengikatnya dan memukulnya, bahkan juga merampok semua
uang emas yang dibawanya. Kebetulan Khouw Pei Ing melewati
rimba itu dan langsung menghajar para perampok hingga
mereka kabur terbirit-birit. Kemudian Khouw Pei Ing
mengantar sang kaisar yang menyamar itu ke kota, setelah itu
dia pergi tanpa pamit.
Khouw Pei Ing merupakan wanita yang amat cantik. Ketika
tiba di kota tersebut, sang kaisar baru ingin memberitahukan
tentang identitasnya, tapi Khouw Pei Ing sudah tidak kelihatan
bayangannya. Oleh karena itu, sang kaisar amat rindu pada
wanita penolongnya itu. Tapi sang kaisar tidak berani
mengutus orang mencarinya, hanya mengutus beberapa Thay
Kam kepercayaannya, mencari Khouw Pei Ing di sekitar kota
itu. Akhirnya sang kaisar menjadi putus asa, sebab beberapa
Thay Kam itu, sama sekali tidak menemukan jejak Khouw Pei
Ing. Akan tetapi sang kaisar masih merasa penasaran. Secara
diam-diam dia mengutus beberapa pengawal kepercayaannya
pergi mencari Khouw Pei Ing. Dia pun selalu tidur sampai larut
malam, menunggu beberapa pengawal kepercayaannya pulang
untuk melapor.
Begitulah setiap malam, namun sang kaisar tetap kecewa dan
putus asa, karena tiada jejak wanita penolongnya. Memang
sungguh kebetulan! Tanpa sengaja Khouw Pei Ing menerobos
memasuki istana lalu tertangkap dan dihadapkan pada sang
kaisar. Benarkah Khouw Pei Ing tanpa sengaja menerobos ke
dalam istana? Ternyata tidak. Melainkan dia melihat seseorang
berpakaian malam, sehingga menguntitnya sampai di dalam
istana. Tidak mengherankan, begitu melihat Khouw Pei Ing,
sang kaisar menjadi tertegun. Sebab wanita yang ada di
hadapannya, justru wanita cantik yang amat dirindukannya.

Namun sang kaisar tetap mengadilinya dengan cara
membentak. Khouw Pei Ing menjawab sejujurnya, bahwa dia
tidak bermaksud membunuh kaisar.
Setelah itu sang kaisar mendongakkan kepala, agar wanita itu
mengenalinya. Mata Khouw Pei Ing memang tajam. Begitu
melihat sang kaisar, dia langsung mengenali bahwa kaisar itu
adalah orang yang pernah diselamatkannya. Seketika sang
kaisar pun menjelaskan dan mencurahkan isi hatinya pada
Khouw Pei Ing. Semula wanita cantik itu menolak, namun
setelah melihat sang kaisar bersungguh hati, maka Khouw Pei
Ing mau tinggal di istana. Setelah melewati hari-hari yang
indah, Khouw Pei Ing pun hamil. Ketika itu permaisuri dan para
selir merasa iri terhadap Khouw Pei Ing, karena sang kaisar
amat menyayanginya. Justru karena itu permaisuri dan para
selir berupaya mencelakainya. Akhirnya Khouw Pei Ing tahu
akan hal itu, maka lalu memberitahukan pada sang kaisar
sambil menangis. Oleh karena itu, sang kaisar bersedia
mengangkat Khouw Pei Ing menjadi selir.
Namun Khouw Pei Ing malah menolak dan mengusulkan pada
sang kaisar, bahwa dia ingin hidup di suatu tempat yang sepi,
yang tidak diketahui siapa pun. Sang kaisar berpikir, setelah itu
menyuruh Khouw Pei Ing tinggal di istana belakang. Akan
tetapi walau dia sudah tinggal di istana belakang, permaisuri
dan para selir masih tetap berupaya
mencelakainya. Sesungguhnya Khouw Pei Ing tidak takut
terhadap mereka. Namun kalau dia tidak waspada, suatu hari
nanti pasti akan dicelakai. Oleh karena itu, sesudah berpikir dia
mengambil keputusan untuk meninggalkan istana. Sang kaisar
terus menahannya, tapi Khouw Pei Ing tetap berkeras mau
pergi. Sang kaisar tidak bisa berbuat apa-apa, tapi justru
terpikirkan suatu ide yang amat bagus.
Secara diam-diam sang kaisar menyuruh beberapa pengawal
kepercayaannya untuk membangun sebuah tempat tinggal
yang menyerupai istana di Bukit Tanah Kuning. Seusai tempat
itu dibangun, Khouw Pei Ing pun tinggal di sana.
Sesungguhnya tujuan sang kaisar, akan mengunjungi Khouw
Pei Ing, tetapi setelah Khouw Pei Ing pergi, sang kaisar jatuh
sakit dan akhirnya meninggal. Tentang ini Khouw Pei Ing pun

datang di istana untuk menyelidiki. Memang benar sang kaisar
meninggal karena sakit, dan itu membuat Khouw Pei Ing amat
berduka. Kemudian dia kembali ke tempat tinggalnya di Bukit
Tanah Kuning. Sembilan bulan kemudian Khouw Pei Ing
melahirkan seorang bayi perempuan, yang tidak lain adalah
Soat Cak.
Sebetulnya Soat Cak adalah putri almarhum kaisar, namun
hasil dari hubungan gelap. Maka Khouw Pei Ing tidak mau
mengantar Soat Cak ke istana, melainkan menggemblengnya
dengan ilmu silat di Bukit Tanah Kuning. Selama tinggal di
dalam goa itu, tanpa sengaja Khouw Pei Ing berhasil
menciptakan suatu ilmu, namun masih harus diperdalam.
Berhubung dia tidak bisa berlega hati terhadap Soat Cak, maka
hingga saat ini, dia belum memperdalam ilmu ciptaannya itu.
Khouw Pei Ing juga mengerti ilmu meramal. Karena itu dia
pergi menyebarkan isyu, bahwa Seruling Perak tersimpan di
dalam goa Bukit Tanah Kuning. Seusai menutur semua itu,
Khouw Pei Ing juga menambahkan,
"Nak, kau harus membawa anak Cak pergi. Kini aku
menjodohkannya padamu, agar lebih leluasa kalian melakukan
perjalanan."
"Lo cianpwee, aku sudah punya tunangan, maka tidak
berani...."
Ucapan Ciok Giok Yin terputus karena mendadak terdengar
suara yang amat dahsyat dari bawah.
Bum! Bum!
Jilid 17
Soat Cak yang berdiri di samping Ciok Giok Yin, segera
menariknya seraya berkata,
"Kanda Ciok, kita harus cepat-cepat ke luar!"

Dia tidak menunggu sahutan Ciok Giok Yin, langsung
menariknya ke luar. Setelah ke luar dari ruang batu itu,
terdengar lagi suara yang amat dahsyat memekakkan telinga.
"Blammm!
Ciok Giok Yin terbelalak, karena ruang batu itu telah tertutup
sebuah batu besar. Kini Khouw Pei Ing telah menutup diri,
sedangkan Ciok Giok Yin berdiri termangu-mangu. Akan tetapi,
berselang sesaat wajah Ciok Giok Yin berubah menjadi merah
padam. Ternyata hawa kegusarannya mulai bergejolak lagi,
karena merasa dirinya tertipu. Ketika melihat wajah Ciok Giok
Yin hati Soat Cak menjadi berdebar-debar.
"Kanda Ciok, kenapa kau?" tanyanya dengan lembut.
Ciok Giok Yin mengibaskan tangannya, kemudian menyahut
dengan gusar.
"Kalian ibu dan anak sungguh pandai membohongi orang!"
Usai menyahut, dia langsung berjalan pergi. Soat Cak cepatcepat
mengikutinya dari belakang dan berseru.
"Kanda Ciok, aku mohon maaf! ibuku berbuat begitu karena
demi diriku, memancingmu ke mari. Tapi... aku pasti
membantumu mencari Seruling Perak itu."
Kegusaran Ciok Giok Yin belum reda.
"Aku tidak membutuhkan bantuanmu, aku akan mencarinya
sendiri!" bentaknya.
Sepasang mata Soat Cak yang indah itu mulai mengucurkan
air mata.
"Kanda Ciok, diriku sudah jadi milikmu. Kalaupun kau tidak
membutuhkan bantuanku, aku tetap harus berlaku sebagai
seorang istri, berbagi rasa dan lainnya denganmu," katanya
terisak-isak.

"Siapa mau berbagi rasa dan lainnya darimu?" sahut Ciok
Giok Yin ketus. Sesungguhnya dia bukan tidak bersimpati pada
Soat Cak, melainkan teringat akan isyu yang disebarkan ibu
Soat Cak, sehingga dia terpancing sampai ke tempat itu dan
nyaris terbunuh oleh Si Sing Kui dari perkumpulan Sang Yen
Hwee. Karena itu hawa kegusarannya masih tetap berkobar
dalam rongga hatinya. Bahkan juga telah menyita waktunya
yang seharusnya tiba di gunung Liok Pan San selekasnya,
akhirnya menjadi tertunda! Meskipun sikap Ciok Giok Yin amat
kasar dan perkataannya juga ketus, namun Soat Cak tetap
berkata dengan lembut.
"Kanda Ciok, beristirahatlah sejenak, agar hawa kegusaranmu
reda!" Dia mengambil secangkir the untuk Ciok Giok Yin,
"Kanda Ciok, minumlah! Aku akan berkemas sebentar, setelah
itu kita berangkat."
Ciok Giok Yin tidak mengambil minuman itu.
"Terimakasih!" sahutnya dingin.
Soat Cak, menaruh minuman itu ke atas meja.
"Kanda Ciok, duduklah sebentar!" katanya dengan lembut.
Soat Cak mendekati dinding batu lalu menekan sebuah
tombol kecil. Tak lama muncullah sebuah pintu kecil dan
seketika tampak pula cahaya menyorot ke luar. Ciok Giok Yin
menolah memandang ke dalam ruangan itu. Ternyata di
dalamnya terdapat tempat tidur dan perabotan lainnya, yang
juga terbuat dari emas. Dia yakin kamar itu adalah kamar Soat
Cak. Usai berkemas, Soat Cak juga membawa perhiasanperhiasan
yang amat berharga untuk bekal di perjalanan. Dia
tidak pernah pergi ke mana-mana, namun bisa berpikir
panjang seperti itu. Sungguh luar biasa!
Tak seberapa lama kemudian Soat Cak sudah keluar. Dia
menekan tombol kecil itu lagi dan pintu itu pun tertutup
kembali seperti semula. Soat Cak menatap Ciok Giok Yin,
kemudian tersenyum lembut dan berkata,

"Kanda Ciok, ibu memberiku kitab Hong Lui Ngo Im Keng,
kalau sempat, kau boleh melatihnya agar kepandaianmu
bertambah tinggi."
"Aku tidak perlu itu, tolong antar aku keluar!" sahut Ciok Giok
Yin dingin.
Wajah Soat Cak yang semula berseri, seketika berubah
menjadi murung dan sedih. Namun itu pun hanya sekilas. Kini
wajah gadis itu telah berubah menjadi berseri kembali.
"Kanda Ciok, kusimpan juga sama. Kalau kau berniat berlatih,
aku pasti serahkan padamu..." katanya lembut. Dia menatap
Ciok Giok Yin.
"Kita boleh ke luar sekarang."
Gadis itu tersenyum lembut, lalu berjalan mendekati dinding
batu yang di sebelah kanannya. Dia menekan sebuah tombol
kecil dan seketika muncul sebuah terowongan.
Soat Cak menoleh memandang Ciok Giok Yin.
"Ikut aku!" ajaknya.
Gadis itu langsung mengayunkan kakinya. Ciok Giok Yin
mengikutinya dari belakang, tanpa mengeluarkan suara.
Ternyata Ciok Giok Yin sedang berpikir, setelah keluar dari
tempat ini, biar bagaimanapun tidak boleh membiarkan Soat
Cak tetap berada di sisinya, sebab amat
merepotkan. Sebetulnya Ciok Giok Yin juga merasa simpati
pada Soat Cak, hanya karena mereka berdua ibu dan anak
telah berbohong, maka membuat Ciok Giok Yin amat kesal dan
jengkel. Di saat berjalan, Soat Cak melihat Ciok Giok Yin diam
saja, membuat hatinya berduka sekali.
"Kanda Ciok, ada urusan apa yang terganjal di hatimu?
Utarakanlah! Kalau tidak, kau akan sakit," katanya dengan
suara rendah.

"Tidak ada," sahut Ciok Giok Yin dingin.
"Kanda Ciok, aku dapat melihat itu."
"Aku bilang tidak ada ya tidak ada. Mengapa kau begitu
cerewet?"
"Syukurlah kalau tidak ada."
Di saat bersamaan, mereka berdua sudah melewati beberapa
terowongan. Berselang sesaat, sudah tiba di ujung terowongan.
Soat Cak memandang Ciok Giok Yin, kemudian
memberitahukan.
"Kanda Ciok, sebentar lagi kita akan melihat matahari. Aku...
aku sungguh gembira sekali!"
Wajah gadis itu tampak cerah ceria. Namun sebaliknya Ciok
Giok Yin mendengus dalam hati dan berkata, 'Tidak lama lagi
adalah waktunya kau menangis.'
Mendadak Soat Cak mengajak Ciok Giok Yin ke dinding batu
yang ada di sebelah kiri, lalu menekan sebuah tombol kecil.
Kreeek!
Dinding batu itu terbuka dan seketika cahaya matahari
menyorot ke dalam. Soat Cak dan Ciok Giok Yin segera melesat
ke luar. Begitu sampai di luar, dinding batu itu tertutup
kembali. Ciok Giok Yin menengok ke sekelilingnya, ternyata
dirinya berada di sebelah lain bukit Tanah Kuning. Sedangkan
Soat Cak menengadahkan kepala memandang ke langit.
Wajahnya berseri dan bersorak penuh kegirangan.
"Horeee! Sugguh indah sekali! Aku... aku amat gembira
sekali!"
Saking gembira, dia bersandar di dada Ciok Giok Yin.
"Kanda Ciok, sekarang kita mau ke mana?" tanyanya
perlahan-lahan.

"Terserah kau saja," sahut Ciok Giok Yin.
Soat Cak tertegun dan air mukanya langsung berubah
menjadi murung.
"Kanda Ciok, kau mau ke mana, aku pasti mengikutimu."
"Aku mau pergi mati! Apakah kau juga mau ikut?" kata Ciok
Giok Yin sengit.
Padahal dalam hati Soat Cak merasa bahagia sekali, sebab
bertemu Ciok Giok Yin, yang kemudian menjadi pujaan hatinya.
Lagi pula kini dirinya sudah berada di luar Goa Tanah Kuning,
sehingga hatinya bertambah bahagia dan gembira. Akan tetapi
ketika Ciok Giok Yin berkata begitu, membuat semuanya sirna
seketika. Namun Soat Cak tetap bersabar, karena tahu Ciok
Giok Yin masih kesal.
"Kanda Ciok, kalau memang ada hari yang begitu naas, aku
tidak akan membiarkanmu pergi seorang diri, karena seorang
diri amat merana. Lagi pula aku harus melayanimu, maka aku
harus ikut," katanya lembut.
Mendengar perkataan itu, timbullah rasa haru dalam hati Ciok
Giok Yin. Akan tetapi dia tetap berkata dengan dingin.
"Mengapa kau harus terus-menerus ikut aku?"
Soat Cak meliriknya mesra.
"Karena aku adalah orangmu."
"Aku tidak bisa mengakuinya."
"Tapi ibuku bilang, aku justru harus melayanimu."
"Itu adalah urusanmu, tiada hubungannya dengan diriku.
Sebab perjodohan harus disetujui kedua belah pihak, karena
itu, lebih baik kau kembali pada ibumu."

"Ibuku telah menutup diri, tidak akan menerimaku lagi, kini
cuma ada kau."
"Tapi, aku pun tidak bisa menerimamu."
Usai berkata, Ciok Giok Yin langsung melesat pergi.
Betapa gugupnya hati Soat Cak. Gadis itu segera melesat
pergi mengikutinya.
"Kanda Ciok, kau tidak boleh tinggalkan aku!" serunya
memilukan. Gadis itu melesat cepat menyusul Ciok Giok Yin.
Sedangkan Ciok Giok Yin telah mengerahkan ginkangnya
sepenuh tenaga, tapi tetap tidak dapat meninggalkan Soat Cak.
Jarak mereka cuma selisih dua tiga depa. Sebaliknya Soat Cak
kelihatan belum mengerahkan tenaga sepenuhnya. Di saat
melesat, tanpa sengaja Ciok Giok Yin justru menuju ke depan
Bukit Tanah Kuning. Tampak empat puluh orang lebih berdiri
serius di sana. Mereka adalah para anggota perkumpulan Sang
Yen Hwee. Mengenai si Setan Gemuk yang terjepit mati di
pintu goa, Ciok Giok Yin sama sekali tidak tahu.
Yang duduk di tengah-tengah adalah Siau Bin Sanjin-li Mong
Pai, kepala pelindung perkumpulan Sang Yen Hwee. Masih
terdapat beberapa orang yang tidak dikenal Ciok Giok Yin. Saat
ini Soat Cak sudah berada di samping Ciok Giok Yin.
"Kanda Ciok, orang-orang itu sedang berbuat apa?" tanyanya
dengan suara rendah.
Ketika Ciok Giok Yin melihat Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai dan
Si Peng Khek, timbullah rasa dendam dalam hatinya. Maka dia
menyahut ketus.
"Tanya saja pada mereka!"
Tentunya dia juga tidak tahu apa yang sedang mereka
lakukan. Dia berkertak gigi, sepasang matanya membara,
kemudian menggeram mengguntur.
"Kalian para iblis, serahkan nyawa kalian!"

Ciok Giok Yin amat mendendam pada Si Peng Khek, maka
tidak mengherankan kalau dia langsung menerjang ke arah
empat orang itu. Akan tetapi Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai dan Si
Peng Khek, sama sekali tidak bangkit. Mereka cuma menatap
Ciok Giok Yin sambil tersenyum dingin. Sedangkan sepasang
telapak tangan Ciok Giok Yin mengarah pada Tam Peng Khek.
Namun siapa sangka di saat bersamaan terasa hawa yang
amat dingin menghadang badan Ciok Giok Yin. Sekujur badan
Ciok Giok Yin menjadi tak bertenaga dan sepasang telapak
tangannya pun tak mampu diturunkan. Tam Peng Khek tertawa
dingin lalu berkata.
"Bocah haram, kau boleh turun tangan!"
Ciok Giok Yin sama sekali tidak menduga bahwa Si Peng Khek
mampu mengerahkan hawa dingin menghadangnya. Pada saat
bersamaan terdengar suara Hian Peng Khek, berkata lantang.
"Mohon petunjuk Tay Hu Hoat (Kepala Pelindung), apakah
nyawa bocah haram ini harus dihabisi?"
Terdengar suara sahutan nyaring, namun tidak tampak
orangnya.
"Ketua utama belum ada perintah, tidak boleh bertindak
sembarangan!"
Saat ini Soat Cak sudah berada di samping Ciok Giok Yin.
"Kanda Ciok, apakah mereka orang-orang jahat?" tanyanya
dengan lembut.
"Tidak salah."
"Perlukah aku turun tangan terhadap mereka?"
"Terserah kau."
Soat Cak menduga, orang-orang itu pasti musuh Ciok Giok

Yin, maka secara tidak langsung mereka juga musuhnya.
Karena itu dia langsung melancarkan serangan terhadap para
anggota perkumpulan Sang Yen Hwee itu. Terdengar suara
jeritan. Tampak beberapa anggota perkumpulan Sang Yen
Hwee telah terluka oleh serangan Soat Cak. Setelah itu Soat
Cak malah berdiri tertegun di tempat, sebab selama ini dia
tidak pernah bertarung. Ketika melihat beberapa orang yang
terluka itu merintih-rintih, hatinya yang masih polos itu justru
merasa tidak tega. Maka dia tidak berani melancarkan
serangan lagi. Mendadak terdengar suara jeritan di
belakangnya.
Soat Cak segera menolah ke belakang, ternyata Ciok Giok Yin
terpental oleh serangan salah seorang Si Peng Khek. Di saat
Soat Cak menyerang para anggota perkumpulan Sang Yen
Hwee, Ciok Giok Yin juga melancarkan serangan ke arah Si
Peng Khek, namun malah terpental oleh tangkisan Si Peng
Khek.
Phuuuh!
Mulut Ciok Giok Yin menyemburkan darah segar.
Betapa terkejutnya Soat Cak! Dia cepat-cepat mendekatinya.
Namun ketika dia baru mau memapahnya bangun, Ciok Giok
Yin sudah bangkit berdiri lalu menerjang lagi.
Justru di saat bersamaan terdengar suara, "Hussh! Husssh...."
Ternyata suara itu keluar dari mulut Si Peng Khek. Tampak
badan Ciok Giok Yin menggigil dan mulutnya menyemburkan
darah segar lagi.
"Kanda Ciok, bagaimana kau?" tanya Soat Cak dengan rasa
cemas.
Pada waktu bersamaan dia mendengar suara seperti tadi,
membuat sekujur tubuhnya menggigil seketika. Namun lwee
kang Soat Cak amat tinggi. Dia segera mengerahkan hawa
murninya untuk melawan. Sementara wajah Ciok Giok Yin
tampak kekuning-kuningan dan badannya sempoyongan mau

roboh. Itu membuktikan bahwa dia telah menderita luka dalam
yang amat parah. Soat Cak ingin memapahnya, tapi mendadak
Ciok Giok Yin mengeluarkan siulan pilu dan kemudian
badannya melesat pergi. Soat Cak berotak cerdas, maka tahu
bahwa Ciok Giok Yin dilukai oleh keempat orang itu. Wajahnya
langsung berubah dingin dan dia segera menerjang ke arah Si
Peng Khek. Sedangkan Si Peng Khek masih tetap duduk di
tempat sambil tersenyum dingin. Setelah berdiri tegak, barulah
Soat Cak tahu bahwa Ciok Giok Yin sudah tidak berada di situ.
Gadis itu gugup dan langsung melesat pergi menyusulnya.
"Kanda Ciok! Kanda Ciok!" serunya.
Namun tiada sahutan.
"Kanda Ciok! Jangan tinggalkan aku, kau pergi ke mana?"
serunya lagi.
Dia terus berseru-seru memanggil 'Kanda Ciok'. Suara
seruannya, amat memilukan. Saat ini Soat Cak seperti bayi
kehilangan ibu, sedang lapar ingin menyusu. Suara seruan Soat
Cak serak, akhirnya dia menangis dengan air mata bercucuran.
Namun dia masih berseru,
"Kanda Ciok, kau telah terluka! Jangan lari sembarangan,
lukamu akan bertambah parah !"
Seruannya itu amat lembut, bahkan juga penuh perhatian.
Dia adalah gadis baik hati dan masih polos. Tapi justru tidak
tepat waktunya bertemu Ciok Giok Yin. Apabila tepat
waktunya, tentunya Ciok Giok Yin akan memberikannya suatu
kelembutan. Sementara Ciok Giok Yin terus melesat. Dia
merasa darahnya terus bergolak tidak karuan.
Phuuuh!
Mulutnya menyemburkan darah segar lagi, akhirnya dia roboh
di tanah. Namun telinganya masih mendengar suara seruan
Soat Cak yang memilukan. Dia ingin menyahut agar gadis itu

menghampirinya, namun mulutnya tidak mampu mengeluarkan
suara, sedangkan suara seruan Soat Cak makin lama makin
jauh. Ciok Giok Yin bangkit perlahan-lahan, lalu melanjutkan
perjalanan. Kini dia tahu jelas akan kepandaiannya sendiri.
Melawan Si Peng Khek saja dia tidak mampu, apa lagi melawan
Chin Tiong Thau untuk membasmi murid murtad suhunya itu?
Mendadak terdengar suara tawa terkekeh-kekeh, dan
perkataan seseorang,
"Adik kecil, tak disangka kita bertemu di sini lagi!"
Ciok Giok Yin langsung berhenti. Ternyata yang berkata itu
adalah Teng Hiang Kun, salah seorang pelindung perkumpulan
Sang Yen Hwee, yang juga merupakan wanita cabul.
"Wanita jalang, aku tidak akan melepaskanmu!" bentak Ciok
Giok Yin.
Dia langsung menyerang dengan jurus pertama ilmu pukulan
Hong Lui Sam Ciang. Badannya mencelat ke atas. Namun
karena dia dalam keadaan terluka parah, maka tidak dapat
mengerahkan lwee kangnya. Ketika badannya berada di udara,
pandangannya justru berkunang-kunang dan akhirnya jatuh
gedebuk di tanah. Pada waktu bersamaan Teng Hiang Kun
segera mengeluarkan seutas tali lalu cepat-cepat mengikatnya.
Setelah itu dia tertawa terkekeh dan berkata,
"Apakah kau masih bisa kabur?"
Bukan main gusarnya Ciok Giok Yin! Dia coba mengerahkan
lwee kangnya untuk memutuskan tali itu, tapi sedikit pun tidak
mampu.
"Mari pergi, kita cari tempat sepi untuk bercakap-cakap!" kata
Teng Hiang Kun. Tali itu ditariknya, sehingga Ciok Giok Yin
terpaksa mengikutinya seperti seekor hewan yang
terikat. Mendadak tampak sosok bayangan melayang turun.
Ternyata adalah Ouw Cih, penasihat perkumpulan Sang Yen
Hwee. Sepasang matanya menyorot dingin, terus menatap
Teng Hiang Kun, kemudian dia berkata.

"Teng Hiang Kun, ada perintah dari ketua utama, sementara
ini harus melepaskannya."
Kelihatannya Teng Hiang Kun amat takut pada Ouw suya itu.
Dia langsung melepaskan tali yang mengikat Ciok Giok Yin,
namun masih mengerlingnya, lalu melesat pergi. Begitu
melihat Teng Hiang Kun telah pergi, Ouw Cih segera berkata
pada Ciok Giok Yin dengan suara rendah.
"Kau harus berusaha meninggalkan tempat ini secepatnya,
jangan lama-lama di sini."
Usai berkata, dia pun segera melesat pergi. Ciok Giok Yin
tidak habis pikir, mengapa Ouw ih sering membantunya? Apa
maksud tujuan sebenarnya? Namun dia tahu, orang itu tidak
berniat jahat terhadap dirinya. Oleh karena itu dia tidak berani
membuang waktu lagi, langsung melesat pergi. Tak berapa
lama kemudian, mendadak terdengar suara tua di dalam rimba
di hadapannya.
"Ciok Giok Yin, sudah lama ada orang menunggumu."
Ciok Giok Yin tersentak, sebab dia pernah mendengar suara
itu di dalam Goa Bukit Tanah Kuning.
"Anda siapa?" tanyanya.
"Sementara ini kau tidak perlu tahu namaku. Kau terluka ya?"
"Tidak salah."
"Kau harus segera beristirahat. Aku pernah berkata padamu,
setelah kau keluar dari goa itu, akan ada seorang gadis
mencarimu untuk mengajak bertanding. Sekarang aku akan
menghadiahkan sebutir obat untukmu, sambutlah!"
Tampak sebuah benda kecil meluncur ke arah Ciok Giok Yin.
Dia segera menjulurkan tangannya menyambut obat tersebut.
Namun kemudian dia merasa ragu menelannya.

"Aku tidak akan mencelakaimu, kau harus cepat-cepat pulih,"
kata orang itu.
"Sebetulnya Anda punya maksud apa?"
"Karena ada seorang gadis ingin bergebrak denganmu."
"Siapa dia?"
"Cepat atau lambat kau akan tahu, namun...."
Orang itu sepertinya sedang mempertimbangkan sesuatu,
harus dikatakan atau tidak?
"Tapi kenapa?"
"Sulit dikatakan. Apabila kau masih bisa hidup, kelak kau
pasti tahu."
"Dia punya dendam denganku?"
"Tentang itu, kau pun tidak perlu takut."
Ciok Giok Yin mengeraskan hatinya dan bergumam,
"Musibah atau bukan kalau musibah pasti tak terhindarkan."
Dia menelan obat itu lalu duduk bersila menghimpun hawa
murninya. Berselang beberapa saat kemudian, luka dalamnya
telah sembuh. Bukan main mujarabnya obat itu. Dia membuka
matanya lalu bangkit berdiri. Dia melihat seorang berpakaian
serba hitam, memakai kain penutup muka. Dari bentuk
tubuhnya, dapat diketahui bahwa dia seorang gadis. Sepasang
matanya menyorot tajam.
"Ciok Giok Yin, kau sudah boleh turun tangan!" katanya
dingin.
Jarak antara Ciok Giok Yin dengan gadis itu cuma kira-kira
enam depa. Memang banyak kejadian aneh dalam rimba
persilatan, tiada alasan apapun menyuruh orang turun tangan.

Karena itu, siapa pun tidak akan turun tangan. Akan tetapi
gadis berbaju hitam memakai kain penutup muka itu begitu
membuka mulut menyuruh Ciok Giok Yin turun tangan. Itu
membuat Ciok Giok Yin tertegun, tak bergerak sama sekali.
Dia tidak dapat melihat jelas wajah gadis itu, juga tidak tahu
dia sedang gusar atau amat membencinya. Ciok Giok Yin terus
berpikir, sebetulnya siapa gadis yang berada di hadapannya
ini? Namun dia yakin, berdasarkan bentuk tubuhnya, dulu tidak
pernah bertemu dengannya.
"Bolehkah aku tahu identitas Nona?" tanyanya.
"Tidak perlu," sahut gadis itu.
Ciok Giok Yin mengerutkan kening.
"Apakah Nona punya dendam denganku?"
"Tidak."
"Punya kebencian terhadapku?"
"Tidak."
Ciok Giok Yin jadi curiga,
"Kalau begitu, mengapa Nona ingin mencariku untuk
bertanding?"
"Tentu ada sebabnya."
"Aku harap Nona sudi menjelaskan sebabnya. Karena kalau
sudah terjadi pertandingan, sehingga terjadi sesuatu,
bukankah akan menyesal seumur hidup?"
"Hm! Apakah kau yakin akan menang?" dengus gadis itu.
"Aku tidak bermaksud demikian. Tapi di antara kita tiada
permusuhan apa-apa, lalu mengapa harus bertanding?"
"Kalau kau takut mati, berlututlah di hadapanku dan

memanggilku nona besar, aku pasti mengampunimu," bentak
gadis itu.
Dapat dibayangkan, betapa murkanya Ciok Giok Yin
mendengar itu! Semula dia masih bersabar dan berusaha
menekan hawa amarahnya. Namun kini timbullah sifat
anehnya.
"Bukannya aku takut mati, melainkan ingin penjelasan!"
bentaknya.
"Setelah kau berada di alam baka, baru akan memperoleh
penjelasan!"
"Kau terlampau mendesakku!" bentaknya sengit.
Namun dia tetap tidak bergerak, sebab yang dihadapinya
adalah seorang gadis. Seandainya yang di hadapannya bukan
seorang gadis, dari tadi dia sudah turun tangan menyerangnya.
"Aku memang sengaja mendesakmu. Kau boleh turun tangan
sekarang!" kata gadis itu.
"Aku tidak pernah turun tangan duluan!" sahut Ciok Giok Yin.
"Hm! Sombong juga kau! Sambut seranganku!"
Gadis baju hitam memakai kain penutup muka langsung
menyerang Ciok Giok Yin. Bukan main cepatnya gerakan gadis
itu tampak telapak tangannya berkelebat, tahu-tahu enam
jurus sudah dilancarkannya. Setiap jurus mengarah pada jalan
darah Ciok Giok Yin yang mematikan, ganas, lihay dan
dahsyat. Setengah mati Ciok Giok Yin berkelit ke sana ke mari.
Terlambat sedikit pun pasti terluka oleh serangan-serangan itu.
Ciok Giok Yin mengucurkan keringat dingin. Setelah berhasil
berkelit, dia mulai menyerang dengan Soan Hong Ciang.
Terdengar suara menderu-deru dan angin pukulannya
mengandung hawa yang amat panas.
Akan tetapi Ciok Giok Yin tahu bahwa kepandaian gadis
berbaju hitam memakai kain penutup muka itu lebih tinggi

setingkat darinya. Maka dia segera mencelat ke belakang
beberapa langkah.
Kini Ciok Giok Yin ingin mengeluarkan ilmu pukulan Hong Lui
Sam Ciang. Namun serangan gadis berbaju hitam memakai
kain penutup muka yang bertubi-tubi itu membuatnya tiada
berkesempatan untuk mengeluarkan ilmu pukulan tersebut.
Lagi pula dia pun pikir, dirinya tiada permusuhan apa-apa
dengan gadis itu lalu mengapa harus turun tangan jahat
terhadapnya? Mungkin gadis berbaju hitam memakai kain
penutup muka itu hanya ingin menguji kepandaiannya. Oleh
karena itu Ciok Giok Yin sama sekali tidak mengeluarkan ilmu
pukulan Hong Lui Sam Ciang. Sesungguhnya, seandainya Ciok
Giok Yin ingin mengeluarkan ilmu pukulan tersebut, itu pun
sudah tidak memungkinkan lagi. Sebab gadis berbaju hitam
memakai kain penutup muka terus-menerus menyerangnya,
sehingga membuat Ciok Giok Yin tak mampu balas menyerang,
cuma berkelit ke sana ke mari saja. Mendadak gadis berbaju
hitam memakai kain penutup muka itu berseru,
"Roboh!"
Seketika terdengar suara jeritan. Tampak sosok tubuh
terpental dua tiga langkah kemudian jatuh di atas tanah.
Bum!
Gadis berbaju hitam memakai kain penutup muka, melesat
maju sambil melancarkan sebuah pukulan.
Plak!
Pukulan itu mendarat telak di dada Ciok Giok Yin. Gadis itu
tertawa puas lalu berkata,
"Kini tentunya kau sudah tahu siapa aku bukan?"
Kemudian ditendangnya Ciok Giok Yin hingga terpental
beberapa depa. Saat ini terdengar suara tua di dalam rimba,
"Nak, pergilah, dia tidak akan hidup lagi."

Akan tetapi, gadis berbaju hitam memakai kain penutup
muka, malah mencelat ke atas, kelihatannya ingin menghatam
kepala Ciok Giok Yin
Di saat bersamaan dari dalam rimba melesat sosok bayangan
hitam, yang langsung menahannya seraya berkata,
"Biar utuh mayatnya!"
Bukan main cepatnya gerakan bayangan hitam itu! Dalam
sekejap mata dia pergi ke dalam rimba sambil menarik gadis
berbaju hitam memakai kain penutup muka itu lalu
menghilang. Tak seberapa lama kemudian tampak beberapa
ekor burung elang terbang berputar-putar di angkasa, yang
kemudian meluncur ke bawah dengan perlahan-lahan. Ternyata
burung-burung elang itu melihat sosok mayat di tanah. Namun
burung-burung elang itu tampaknya merasa takut, tidak berani
meluncur terlampau ke bawah. Sedangkan Ciok Giok Yin yang
tergeletak di tanah tak bergerak sama sekali, kelihatannya
sudah mati. Walau dia memiliki lwee kang tinggi, namun tidak
akan tahan. Karena dia terpukul beberapa kali oleh gadis
berbaju hitam memakai kain penutup muka itu, bahkan setelah
itu, sebuah tendangan lagi membuatnya terpental beberapa
depa.
Semua itu memang kesalahan Ciok Giok Yin. Sebab dalam
bertanding dia terlalu memikirkan banyak hal. Lantaran ingin
tahu mengapa gadis berbaju hitam memakai kain penutup
muka itu berkeras ingin bertanding dengannya, maka dia tidak
berani mengeluarkan ilmu pukulan Hong Lui Sam Ciang.
Karena itu, dirinya malah yang terpukul. Lagi pula begitu mulai
bergebrak, gadis berbaju hitam memakai kain penutup muka
itu langsung menyerangnya bertubi-tubi, sehingga membuat
Ciok Giok Yin terdesak. Oleh karena itu dia terkena beberapa
pukulan yang dilancarkan gadis baju hitam memakai kain
penutup muka, ditambah sebuah tendangan keras.
Ciok Giok Yin terpental beberapa depa, kemudian tergeletak
tak bergerak sama sekali. Akan tetapi benarkah dia telah mati?
Dia sendiri tidak tahu. Tentunya para pembaca yang budiman

juga tidak tahu. Namun burung-burung elang yang terbang
berputar-putar di angkasa pasti dapat melihat. Kalau tidak,
burung-burung elang itu pasti sudah dari tadi berebut
mematuk daging Ciok Giok Yin, bahkan kini mereka malah
terbang lebih tinggi. Saat ini suasana di sekitar tempat itu
berubah menjadi amat sunyi. Ternyata hari sudah mulai senja.
Sementara Ciok Giok Yin tetap tidak bergerak sama sekali.
Wajahnya pucat pias bagaikan kertas, dari mulutnya masih
mengalir darah segar, yang perlahan-lahan berubah menjadi
hitam. Sungguh kasihan Ciok Giok Yin! Semua budi, dendam
dan kebenciannya belum terbalaskan, tapi sudah menjadi
mayat. Dia tidak bisa mati dengan mata terpejam. Dia tidak
bisa mati begitu saja. Seandainya dia benar mati begitu saja,
murid murtad suhunya semua dendam, orang-orang yang
menyayanginya, pasti tidak terbalas. Dan juga beberapa gadis
yang mencintainya, bukankah akan hidup hampa dan merana
selama- lamanya? Yang jelas Ciok Giok Yin memang sudah
tidak bergerak lagi. Sementara itu Soat Cak masih terus
berseru-seru memanggil Ciok Giok Yin. Suara seruannya amat
memilukan.
"Kanda Ciok, kau tidak boleh meninggalkanku, kau pergi ke
mana?"
Soat Cak terus melesat pergi sambil berseru-seru. Suara
seruannya membuat orang yang berhati baja pun akan merasa
iba padanya. Soat Cak adalah gadis yang suci murni dan polos,
sama sekali tidak pernah berkelana di dunia persilatan. Kini
begitu Ciok Giok Yin pergi, dia tidak tahu harus ke mana
mencarinya. Sedangkan di dunia persilatan penuh bahaya dan
berbagai kelicikan serta kejahatan. Bagaimana dia bisa hidup
dikelilingi semua itu? Tentunya membuatnya amat gugup dan
panik. Dia cuma tahu mengerahkan ginkangnya untuk
mengejar Ciok Giok Yin. Dia pun tahu jelas bahwa Ciok Giok Yin
dalam keadaan terluka, tidak akan pergi jauh. Oleh karena itu
dia terus-menerus berseru-seru memanggil Ciok Giok Yin.
Soat Cak yakin dan percaya bahwa Ciok Giok Yin tidak akan
meninggalkannya, sebab dia sudah menjadi milik Ciok Giok Yin.
Bagaimana mungkin Ciok Giok Yin tega meninggalkan istrinya

sendiri? Akan tetapi sementara ini Ciok Giok Yin memang
merasa kurang senang. Itu disebabkan ibunya telah
berbohong. Namun kebohongan itu tidak akan mencelakai Ciok
Giok Yin. Asal berlalu beberapa waktu, Ciok Giok Yin pasti akan
memaafkannya. Sesungguhnya Soat Cak juga terluka oleh Si
Peng Khek. Namun dia terus melesat pergi mencari Ciok Giok
Yin, karena nyawa Ciok Giok Yin lebih penting dari pada
nyawanya sendiri. Berhubung berpikir demikian, maka dia tidak
mempedulikan lukanya yang dideritanya.
Akan tetapi walau dia berseru hingga suaranya berubah
serak, tidak mendengar suara sahutan Ciok Giok Yin. Kini
nafasnya sudah tersengal-sengal dan keringatnya pun
mengucur deras. Akhirnya dia duduk di atas sebuah batu dan
kemudian menangis terisakisak. Suara isak tangisnya amat
memilukan. Sesungguhnya ada hubungan apa Soat Cak dengan
Ciok Giok Yin? Mereka boleh dikatakan sebagai suami istri! Kini
Ciok Giok Yin hilang entah ke mana, bagaimana hati Soat Cak
tidak berduka? Dia sama sekali tidak tahu bahwa Ciok Giok Yin
sedang menghadapi maut. Kalau dia tahu, mungkin akan
bunuh diri demi mendampingi Ciok Giok Yin.
Soat Cak terus menangis, tapi mulutnya masih terus
memanggil Ciok Giok Yin. Oleh karena itu pendengarannya
menjadi tidak begitu tajam. Di saat bersamaan tampak sosok
bayangan melayang turun di belakangnya. Yang muncul itu
justru adalah Teng Hiang Kun, salah seorang pelindung
perkumpulan Sang Yen Hwee. Wanita jalang itu tersenyum licik
dan wajahnya tampak bengis sekali. Dia langsung menotok
jalan darah Soat Cak, yakni jalan darah Hong Bwee Hiat.
Soat Cak mengeluarkan suara rintihan, lalu roboh dan tidak
bergerak lagi. Suara isak tangisnya pun berhenti seketika. Dia
memandang ke samping melihat seorang wanita berdiri di situ,
memperlihatkan senyuman licik dan bengis. Soat Cak tidak
kenal wanita itu, cuma memandangnya dengan mata terbelalak
lebar. Walau jalan darah Hong Bwee Hiatnya sudah tertotok,
namun dia masih bisa berbicara.
"Kakak, mengapa kau berbuat begitu?" tanyanya.

"Aku masih ingin membunuhmu!" sahut Teng Hiang Kun
sengit.
Hati Soat Cak tersentak ketika mendengar jawaban itu.
"Kakak, aku dan kau tiada dendam apa pun, mengapa Kakak
ingin membunuhku?"
Teng Hiang Kun tertawa sinis lalu menyahut.
"Karena aku merasa tidak senang padamu!"
"Apakah di dunia persilatan, kalau seorang tidak senang
terhadap orang lain lalu harus membunuhnya?"
"Kira-kira begitulah!"
Hati Soat Cak bertambah berduka. Dengan air mata meleleh
deras dia bergumam perlahan-lahan.
"Ibu, mengapa kau menghendakiku berkelana di dunia
persilatan? Kalau aku tahu dunia persilatan begini macam, biar
bagaimana pun aku tidak akan keluar." Dia memandang Teng
Hiang Kun. "Kakak, kalau kau memang ingin membunuhku,
silakan turun tangan!" katanya.
Gadis itu memejamkan mata, namun air matanya masih
berderai-derai membasahi kedua pipinya.
"Aku ingin membunuhmu karena ada suatu sebab!"
Soat Cak membuka matanya hingga terbeliak lebar.
"Apa sebabnya?"
Teng Hiang Kun menatapnya dingin
"Dalam hatimu kau pasti mengerti!"
Soat Cak tertegun.

"Aku mengerti?"
"Ng!"
"Maukah Kakak menjelaskannya?"
"Menjelaskannya?"
"Ya. Agar aku tidak mati penasaran."
"Sungguhkah kau ingin tahu?"
Soat Cak mengangguk.
"Ya."
"Siluman kecil, kau telah memikat seseorang. Maka begitu dia
melihatku, menganggapku sebagai musuhnya!"
"Kakak, aku memikat siapa?"
"Siluman kecil, kau tahu tapi sengaja bertanya! Aku akan
membunuhmu agar kalian tidak dapat bertemu lagi!"
Teng Hiang Kun mengangkat sebelah tangannya,
kelihatannya sudah siap turun tangan membunuh Soat Cak.
Mendadak Soat Cak berseru.
"Tunggu, Kakak!"
Teng Hiang Kun menurunkan tangannya, lalu bertanya
dengan dingin sekali.
"Kau masih ingin pesan apa?"
Saat ini Soat Cak justru tidak menangis lagi, sebab tahu
dirinya akan dibunuh.
"Kakak, sebelum aku mati, aku ingin mengajukan sebuah
permintaan."

"Sebuah permintaan?"
"Ya."
"Permintaan apa? Katakanlah!"
"Aku mohon Kakak sudi mencari seseorang!"
"Siapa?"
"Dia adalah tunanganku."
"Untuk apa mencari tunanganmu?" tanya Teng Hiang Kun.
Tiba-tiba dia tertawa. "Aku mengerti. Kau ingin suruh dia
mengubur mayatmu?"
Soat Cak menggelengkan kepala.
"Bukan."
"Lalu mengapa?"
"Aku menginginkan Kakak menyerahkan sebuah kitab
padanya."
"Sebuah kitab?"
"Ya."
Terlintas suatu pikiran dalam benak Teng Hiang Kun. Dia
yakin bahwa kitab itu merupakan kitab pusaka. Maka, dia
segera bertanya.
"Di mana?"
Soat Cak memberitahukan.
"Di dalam bajuku!"
Tanpa menunggu lagi Teng Hiang Kun segera menarik baju

bagian dada Soat Cak sehingga robek. Kemudian diambilnya
sebuah kitab dari dalam baju gadis itu, yang tidak lain adalah
kitab Hong Lui Ngo Im Keng. Begitu meliat kitab tersebut,
seketika mata Teng Hiang Kun terbelalak lebar. Ternyata
pengetahuannya cukup luas, tahu bahwa itu merupakan ilmu
andalan Coat Ceng Hujin, tentunya membuatnya girang bukan
kepalang. Dia menengok ke sana ke mari, lalu dimasukkan ke
dalam bajunya.
"Kakak harus menyerahkan padanya," kata Soat Cak dengan
rasa duka.
Teng Hiang Kun manggut-manggut.
"Tentu, aku pasti serahkan padanya."
Di kolong langit ini terdapat begitu banyak lelaki, yang mana
tunangan Soat Cak? Teng Hiang Kun tidak bertanya,
sedangkan Soat Cak juga tidak memberitahukan. Seandainya
Soat Cak punya sedikit pengetahuan mengenai dunia
persilatan, pasti bisa melihat, bahwa Teng Hiang Kun
sesungguhnya cuma membohonginya. Akan tetapi dia tidak
berpengalaman dalam dunia persilatan, maka tidak tahu Teng
Hiang Kun membohonginya. Oleh karena itu dia telah
menghilangkan kitab pusaka keluarganya itu. Berselang sesaat
Soat Cak berkata lagi,
"Kakak, kau boleh turun tangan!"
Teng Hiang Kun mengangkat sebelah tangannya,
kelihatannya sudah mau turun tangan membunuhnya. Namun
tiba-tiba dia menarik kembali tangannya, dan berkata,
"Pikiranku berubah!"
Soat Cak menatapnya heran,
"Kakak tidak jadi membunuhku?"
"Tidak begitu gampang."

"Maksud Kakak?"
"Aku telah menotok jalan darah Hong Bwee Hiatmu."
"Aku tahu itu."
Perlu diketahui, siapa yang tertotok jalan darahnya itu maka
enam jam kemudian, darah di dalam tubuhnya akan membeku
hingga mati. Teng Hiang Kun yang berhati keji itu justru ingin
menyiksa Soat Cak perlahan-lahan. Sebab dia amat membenci
Soat Cak, yang telah merebut jantung merebut jantung
hatinya. Siapa jantung hati itu? Dia tidak memberitahukan.
Sedangkan Soat Cak juga tidak bertanya. Kemudian Teng
Hiang Kun tertawa terkekeh-kekeh dan berkata,
"Syukurlah kau jelas..." Dia tertawa lagi. "Kini aku masih
memandang kitab ini maka membiarkanmu hidup beberapa
jam. Kau mengerti maksudku?"
Soat Cak tampak girang sekali. Tapi gadis itu malah berpurapura
sedih, karena khawatir pikiran Teng Hiang Kun akan
berubah lagi.
"Kakak yang baik, bunuhlah aku agar aku tidak menderita!"
katanya lagi.
"Kau memang harus bertahan!" sahut Teng Hiang Kun.
Wanita jalang itu membalikkan badannya, langsung melesat
pergi. Dalam sekejap mata sudah tidak kelihatan bayangannya.
Saat ini Soat Cak mulai tersadar akan kedustaan Teng Hiang
Kun. Dia amat menyesal karena telah kehilangan kitab pusaka
keluarganya. Akan tetapi dia pun merasa bersyukur sebab
secara tidak langsung kitab pusaka tersebut telah
menyelamatkan nyawanya. Dia masih merasa khawatir Teng
Hiang Kun akan kembali membunuhnya. Maka, dia segera
menghimpun hawa murninya untuk menembus jalan darah
Hong Bwee Hiatnya. Ternyata dia pernah belajar pada ibunya
mengenai cara membebaskan totokan, tak disangka sangat
bermanfaat baginya saat ini. Di saat mengerahkan hawa

murninya, dia pun memikirkan Ciok Giok Yin.
Berada dimana sekarang 'Kanda Ciok'nya itu? Biar bagaimana
pun harus pergi mencari Ciok Giok Yin sebab Ciok Giok Yin
dalam keadaan terluka. Namun bagaimana kalau bertemu
musuh? Bukankah dirinya akan celaka Semakin dipikirkan,
hatinya menjadi semakin gugup. Soat Cak ingin cepat-cepat
membebaskan jalan darahnya yang tertotok. Oleh karena itu
dia segera mengosongkan pikirannya, menghimpun hawa
murninya untuk menembus jalan darah yang tertotok tersebut.
Sementara sang waktu terus berlalu. Entah berapa lama
kemudian akhirnya Soat Cak berhasil membebaskan totokan
pada jalan darahnya. Namun sekujur badannya telah basah
oleh keringat. Padahal dia masih harus beristirahat sejenak,
namun sudah tidak memungkinkan, sebab hatinya sudah
terbang ke arah Ciok Giok Yin. Karena itu, dia langsung
melesat ke arah semula. Dia pikir Ciok Giok Yin tidak akan
pergi jauh, sebab terluka parah, mungkin bersembunyi di suatu
tempat untuk mengobati lukanya. Maka ketika dia berseru-seru
memanggilnya tiada sahutan sama sekali.
"Kanda Ciok, kau berada di mana?" Dia mulai berseru-seru
lagi.
Sepasang matanya yang indah menengok ke sana ke mari
mencari Ciok Giok Yin. Terutama di tempat yang agak gelap,
dia memandang dengan penuh perhatian. Semak belukar dan
di balik batu besar, tidak terlepas dari sorotan matanya. Kini
suara seruannya berubah menjadi rendah. Ternyata dia
khawatir suara seruannya akan memancing kedatangan
musuh, itu pasti akan mencelakai Ciok Giok Yin. Tak seberapa
lama kemudian dia sampai di depan sebuah rimba. Di saat
itulah dia memusatkan pendengarannya. Mendadak dia
mendengar suara pekikan burung elang di tempat yang tak
begitu jauh. Sebenarnya dia tidak begitu mempedulikan suara
pekikan burung-burung elang itu. Akan tetapi... setelah berpikir
sejenak, dia segera melesat ke tempat suara burung-burung
elang tersebut.
Tampak beberapa ekor burung elang menukik ke bawah.

Karena itu Soat Cak memandang ke sana, dan dilihatnya
sesosok mayat tergeletak di sana. Hatinya tersentak dan dia
langsung melesat ke arah mayat tersebut. Seketika juga dia
menangis meraung-raung.
"Kanda Ciok! Kanda Ciok! Siapa yang mencelakaimu?"
Soat Cak terus menangis meratap.
"Kanda Ciok, kau akan kesepian, aku harus mendampingimu,"
gumamnya.
Soat Cak masih terus menangis hingga suaranya menjadi
serak. Dari sepasang matanya yang indah juga telah mengalir
air mata bercampur darah. Berselang sesaat dia berhenti
menangis, duduk termangu-mangu di samping mayat Ciok Giok
Yin. Dalam hati dia telah mengambil keputusan untuk ikut mati
bersama Ciok Giok Yin. Dia menghapus air matanya, kemudian
mengeluarkan sehelai sapu tangan untuk menghapus noda
darah yang di badan Ciok Giok Yin.
"Kanda Ciok, tunggulah sebentar, istrimu ini pasti menyusul!"
gumamnya lagi.
Usai bergumam, dia memandang jauh ke depan sambil
berkata,
"Ibu pernah berkata, jadi istri harus setia selamanya. Suami
ke mana, istri harus ikut. Kini Kanda Ciok telah pergi, anak Cak
harus ikut dia...."
Setelah berkata begitu, air matanya mulai meleleh lagi.
Kemudian dia mengangkat tangannya perlahan-lahan, siap
menghantam kepalanya sendiri. Namun mendadak tangannya
yang telah terangkat itu diam, tak dapat menghantam
kepalanya.
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Silat Online : Seruling Perak Sepasang Walet 3 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Silat Online : Seruling Perak Sepasang Walet 3 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cerita-silat-online-seruling-perak_3227.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Silat Online : Seruling Perak Sepasang Walet 3 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Silat Online : Seruling Perak Sepasang Walet 3 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Silat Online : Seruling Perak Sepasang Walet 3 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cerita-silat-online-seruling-perak_3227.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar