Cerita Silat ABG Seru : Neraka Hitam 1 [Lanjutan Rahasia Hiolo Kumala]

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Senin, 26 Desember 2011

Cerita Silat ABG Seru : Neraka Hitam 1 [Lanjutan Rahasia Hiolo Kumala]

NERAKA HITAM
SERI BARA MAHARANI
Lanjutan Rahasia Hiolo Kumala
Karya : Khu Lung
Diceritakan oleh Tjan ID
Jilid 1
DALAM cerita yang berjudul Rahasia hiolo kumala,
dikisahkan bahwa Hoa In-liong sedang bercakap cakap
dengan Si Leng jin membicarakan rahasia yang meliputi
perkumpulan Hian-beng kau, sebuah batu kecil disambit ke
dalam jendela oleh seseorang.
Setelah dilakukan pengejaran yang amat ketat, akhirnya
dapat diketahui bahwa orang itu adalah seorang kakek
berbaju hijau.
Dalam suatu perdebatan sengit yang kemudian
berlangsung, Hoa In-liong bersikeras untuk menantang kakek
itu berduel.
Karena mendongkol dan jengkel setelah di desak terus
menerus, akhirnya kakek berbaju hijau itu berkata sambil
tertawa keras. “Bocah cilik! Tampaknya sebelum kau di beri
penjelasan yang setimpal, kelatahanmu kini hari akan kian
bertambah, baiklah! Akan kuterima tantanganmu itu.”

2
Sinar keemasan emas tampak berkilauan di udara, tahutahu
di dalam pergelanggan tangan si kakek berbaju hijau itu
telah bertambah dengan dua buah gelang emas yang
besarnya seperti mangkuk dengan permukaan luarnya rata,
sedang permukaan dalamnya bergerigi.
Gelang itu tidak mirip gelang baja Liong hau kang-huan,
juga tidak mirip dengan gelang pelindung tangan lu jiu huan,
tapi yang jelas bentuk senjata tersebut merupakan suatu
bentuk senjata yang aneh dan istimewa sekali.
Diam-diam Hoa In-liong berpikir setelah menyaksikan
bentuk aneh senjata musuhnya
“Bila dilihat dari bentuk senjata itu tam pak gerigi dibalik
gelang khusus dipergunakan untuk mengunci pedang musuh,
Hmm… cuma kalau kau anggap ilmu pedang keluarga Hoa
kami dapat diatasi dengan cara semacam itu, maka keliru
besarlah penghitunganmu itu…..”
Terdengar si kakek berjubah hijau berkata lagi, “Jurus
seranganku dalam mempergunakan senjata Jit gwat siang
huan (sepasang gelang mata hari dan rembulan) ku ini
mempunyai keistimewaan yang berbeda jauh dengan ke
adaan pada umumnya kau musti lebih berhati-hati……”
“Tak usah kuatir, cuma akupun berharap agar kau lebih
waspada pula sewaktu menghadapi ancaman pedangku.”
Sekalipun nafsu membunuhnya sudah jauh berkurang anak
muda itu masih tidak sudi untuk melepaskan si kakek
musuhnya dengan begitu saja, maka setelah berpikir sebentar,
tubuhnya segera menubruk ke muka, pedang antiknya
langsung membabat ke pinggang lawan.

3
Jangan dianggap serangan itu amat sederhana dan biasa,
hakekatnya dibalik kesederhanaan tersebut justru tersimpan
suatu da ya kekuatan yang amat dahsyat.
Kakek berbaju hijau itu terperanjat, pikirnya, “Hebat betul
tenaga dalam yang dimiliki orang ini, tak malu kalau menjadi
putranya Thian cu kiam.”
Sementara otaknya berputar, dengan cekatan ia berkelit ke
samping.
“Huuh…..semula kuanggap ilmu silatmu sudah lihay benar,
tak tahunya cuma manusia yang pandai berkelit” ejek Hoa Inliong
kemudian sambil tertawa.
Betapa gusarnya kakek berbaju hijau itu mendengar ejekan
tersebut, diam-diam ia menyumpah, “Sialan betul kau si bocah
latah, tampaknya aku harus memberi pelajaran yang setimpal
kepadamu.”
Dalam hati ia berpikir demikian, diluar katanya, “Bagus
sekali! Bukankah kau akan menjadi pemimpin umat persilatan?
Ketahuilah jago-jago dalam Hian-beng-kau yang lebih li hay
dari diriku banyaknya tak terhitung, jika tak mampu
menangkan aku lebih baik enyah dari sini dan pulang saja ke
perkampungan Liok-soat sanceng.”
Sambil berkata sinar emas berkilauan diangkasa, bagaikan
sebuah bukit emas, kedua buah senjata itu langsung
menghantam ke atas batok kepala si anak muda itu.
Terkejut juga Hoa In-liong menghadapi keganasan
serangan itu, tapi bukan berarti dia takut, pedangnya segera
diputar untuk menyongsong datangnya ancaman tersebut.

4
“Traang……! Traang….!” benturan-benturan nyaring
menggelegar di udara menyebabkan percikan bunga api,
secara beruntun Hoa In-liong mundur tiga langkah ke
belakang, tangan kirinya menjadi kaku dan kesemutan, ini
semua membuat hatinya tergetar.
Ketika ia coba menengadah, tampaklah kakek berjubah
hijau itu sudah mundur beberapa tombak dengan wajah
terkejut pula, dia lantas berpikir, “Hmm……rupanya diapun
tidak berhasil mendapatkan apa-apa……
Sementara itu si kakek berjubah hijau ini sudah membentak
nyaring dengan perasaan terkejut.
Beradunya gelang emas menimbulkan suara tajam yang
memekikkan telinga, tiba-tiba maju lagi melancarkan
tubrukan, dengan sepasang gelang emasnya yang satu
digunakan untuk menyerang jalan darah Pen-hwe-hia
sementara yang lain dipakai untuk menyerang lambung.
Hoa In-liong tetap tegak sekokoh batu karang, “Sreet…..!”
secepat kilat dia tusuk dada musuh.
Kehebatan dari serangan ini justru terletak pada soal
“kecepatan” sekalipun menyerang belakangan tapi tiba duluan
sebelum ancaman dari kakek berjubah hijau itu mencapai
sasarannya, pedang itu sudah tiba lebih dulu di depan
dadanya.
Sungguh amat terperanjat kakek berjubah hijau itu
pikirnya.
“Tak kusangka kalau ilmu pedang dari bocah ini sudah
mencapai taraf setinggi ini.”

5
Cepat dia tarik kembali serangannya dan bergeser ke
sebelah kiri Hoa In-liong.
In-liong bergerak mengikuti arah pedang, sambil memantek
gerak maju kakek itu dengan pedangnya kembali, ia berpikir,
“Meskipun kemunculan kakek ini tidak mengandung maksudmaksud
tertentu, tapi belum pernah kudengar kalau diantara
rekan sealiran terdapat seorang jago yang menggunakan Jitgwat-
siang-huan sebagai senjatanya, daripada kehujanan
lebih baik aku sedia payung sebelum hujan. Bila fajar telah
menyingsing dan Limpek Ngo serta saudara Cong gi sekalian
mengetahui aku telah hilang, pencarian secara besar besaran
pasti akan dilakukan, aku musti menyelesaikan pertarungan ini
secepat cepatnya.”
Sesudah mengambil keputusan, ia membentak keras
lalu…….
“Sreet…..! sreet,…!” secara beruntun dia lancarkan dua
buah serangan berantai yang amat dahsyat.
Kakek berjubah hijau itu memberi perlawanan yang gigih,
sambil bertarung ia berpikir, “Bila dilihat dari sikapnya itu,
jelas ia telah menganggapku sebagai musuh besar, perlu tidak
kujelaskan asal usulku yang sebenarnya?”
Karena sangsi, posisinya segera didesak oleh Hoa In-liong
sehingga kalang kabut.
Terdengar Hoa In-liong tertawa nyaring, secara beruntun ia
lancarkan belasan buah serangan berantai, serangan itu amat
dahsyat bagaikan gulungan air sungai yang susul menyusul.
Tenaga dalam yang di miliki kakek berjubah hijau ini cukup
sempurna, terutama permainan sepasang gelang emasnya
cukup menggetarkan sungai telaga, meski demikian untuk

6
sesaat ia kerepotan juga untuk menangkis semua serangan
yang tertuju ke arahnya, dalam keadaan begini tak mungkin
lagi baginya untuk memecahkan perhatian soal lain kecuali
pusatkan segenap kemampuannya untuk melawan musuh.
Keadaan si kakek berjubah hijau ibaratnya orang yang
terjerumus dalam kubangan lumpur, gerak kaki dan
tangannya menjadi terbatas dan tak dapat berbuat leluasa.
Beberapa kali dia mencoba untuk memperbaiki posisinya,
tapi setiap kali selalu terdesak kembali ke tempatnya semula.
Sebagai orang yang beradat tinggi, ia lebih-lebih segan
untuk memberitahukan asal usulnya yang sesungguhnya
setelah menghadapi keadaan semacam ini.
Akhirnya setelah pikir punya pikir dia putuskan untuk
menyerempet bahaya dengan membuka sebuah titik
kelemahan dalam pertahanannya………
Untuk pertarungan antar jago-jago lihay, suatu tindakan
yang kurang berhati hati dapat mengakibatkan keadaan yang
lebih fatal, hakekatnya perbuatan dari kakek berjubah hijau itu
tak lain hanya menuruti emosi, padahal manfaat yang
sesungguhnya kurang bisa dipertanggung jawabkan.
Tujuan Hoa In-liong dalam melakukan serangan itu tak lain
adalah berusaha mengalahkan musuhnya, serta-merta dia
keluarkan jurus Tay ho seng-sam (Bintang buyar di sungai
besar) untuk menerobos ke dalam.
Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benaknya, “Andaikan
kulakukan serangan dengan jurus ini kalau bukan mampus
paling sedikit dia bakal terluka.

7
Pemuda itu menjadi sangsi untuk melanjutkan
serangannya, tanpa sadar gerak seranganpun ikut terhenti di
tengah jalan.
Justru keadaan inilah yang sedang ditunggu tunggu kakek
berjubah hijau itu, sambil tertawa nyaring gelang emasnya
disodok ke depan dan menyerang secara bertubi-tubi, seketika
itu juga Hoa In-liong kehilangan posisi baiknya.
Dibawah timpaan sinar sang surya, terlihat sekilas cahaya
hijau bergerak kian kemari di tengah gulungan cahaya emas,
sinar itu tajam menyilaukan sementara deruan angin tajam
dari sapuan gelang emas dan bacokan pedang antik sangat
memekikkan telinga.
Terkesiap juga Hoa In-liong menghadapi keadaan tersebut,
pikirnya, “Tidak salah kalau orang mengatakan bahwa orang
pintar di dunia ini lebih banyak dari pada ikan mujair di
sungai, kakek ini belum pernah ku kenal namanya, tapi
kepanduan yang dimilikinya sangat luar biasa.”
Tiba-tiba kedengaran kakek berjubah hijau itu menegur
dengan suara dalam, “Hoa Yang, masih belum mau
menyerah?”
“Huuuh … terlampau pagi perkataanmu itu!” jengek sang
pemuda ketus.
“Traaang…….!” dalam pembicaraan tersebut pedang dan
gelang emas saling membentur dengan nyaringnya, apalagi
dalam senjata masing-masing disertai juga dengan tenaga
yang tangguh, kontan saja kedua belah pihak sama-sama
merasakan tangannya kesemutan.
Akibatnya pedang dalam genggaman Hoa In-liong
tersampok ke samping hingga pertahanan bagian mukanya

8
terbuka, sebaliknya gelang di tangan kakek berjubah hijau itu
kena dipukul pula sampai mencelat.
Cahaya emas membumbung tinggi ke angkasa, kemudian
sekilas pandangan lenyap tak berbekas.
Kakek berjubah hijau itu tak sempat untuk mencari kembali
gelang emasnya, sambil tertawa terbahak-bahak, gelang emas
di tangan kanannya ditancapkan ke depan menghantam
lengan kiri pemuda itu.
Serangan itu dilancarkan dengan kecepatan bagaikan
sambaran kilat, Hoa In-liong sadar bahwa tak mungkin bisa
menghindarkan diri lagi.
Maka tanpa menghindar ataupun berkelit, pedang antiknya
bergerak dari kiri menuju ke kanan langsung menusuk ke
pinggang kakek berjubah hijau itu dengan jurus Liong cian yu
ya (Naga bertarung di tempat alas).
Tidak menunggu gelang emasnya menempel di ujung baju
pemuda itu, si kakek berjubah hijau menarik kembali
serangannya, keberhasilan ini boleh dianggap sebagai suatu
kemenangan kecil baginya.
Meskipun begini, serangan musuh telah mencapai pula
dihadapannya, kakek itu segera sadar bila ia tidak menarik
diri, niscaya akan terjadi pertarungan adu jiwa, maka dalam
keadaan apa boleh buat dia menarik kembali serangannya dan
mundur dua kaki dari tengah arena.
Terdengar Hoa In-liong membentak keras, bagaikan
bayangan ia menyusul dari belakang dengan ketat pedangnya
mendadak ditusuk ke muka, begitu menempel pakaian,
senjatanya ditarik kembali pula dan dimasukkan ke dalam
sarung.

9
“Maaf bila boanpwe bertindak lancang!” katanya kemudian
sambil memberi hormat.
Dengan geram kakek berjubah hijau itu berkata, “Bocah
nakal, bila serangan gelangku tadi dilanjutkan dengan gerakan
yang sesungguhnya, sekarang kemungkinan besar kau sudah
merintih di atas tanah…….”
Hoa In-liong tertawa.
“Buanpwe telah menduga kalau cianpwe adalah seorang
angkatan tua yang terhormat, tentu saja serangan itu tak
akan dilanjutkan untuk merobohkan aku.”
Kakek berjubah hijau itu tertegun “Kalau hendak mungkir?”
serunya.
Kembali Hoa In-liong tersenyum. “Apalagi aku tahu
kedatangan cianpwe hanya ingin mencoba kepandaian silat
serta kecerdasan boanpwe dalam menghadapi musuh
tangguh, bila aku yang muda terlalu bertindak ceroboh dan
begitu saja, bukankah tindakanku ini justru malah akan
membuat cianpwe tidak senang hati?”
“Sungguh pintar bocah ini!” pikir kakek berbaju hijau itu.
Sekalipun dalam hatinya memuji, diluar katanya dengan
ketus, “Sebagai seorang pemuda yang diutamakan adalah
kejujuran aku lihat bukan saja kau binal dan banyak tipu
muslihatnya, jadi orang tak bisa dipercaya, manusia semacam
kau mana bisa diberi pertanggungjawaban untuk memikul
beban berat?
Sekarang Hoa In-liong semakin yakin kalau kakek berbaju
hijau itu adalah seorang angkatan tuanya, cepat ia berkata,

10
“Nasehat dari kau orang tua akan boanpwe camkan dengan
sebaik baiknya, terima kasih banyak atas kematian cianpwe!”
Sambil berkata, ia benar-benar menjatuhkan diri berlutut.
Dengan cekatan kakek berbaju hijau itu berkelit ke
samping.
“Aku pun tak berani menerima hormatmu!” katanya.
“Locianpwe, boleh aku tahu siapa namamu……?”
Hoa In-liong bertanya dengan wajah serius.
“Kau masih ingin menyayat kulit wajahku?” tukas si kakek
berjubah hijau itu cepat.
Hoa In-liong segera tertawa hambar.
“Aaah, tidak, aku yang muda kuatir kehilangan hormat!”
“Hmmm……semenjak tadi kau sudah kehilangan hormat”
kakek itu mendengus dingin.
“Tiba-tiba ucapannya terhenti dan sorot matanya dialihkan
ke dalam hutan lebat di sebelah kanan sana.
“Yang datang sahabat sendiri,” bisik Hoa In-liong.
Kakek itu tertawa dingin.
“Kaum wanita?” ia mengejek.
Hoa In-liong mengangguk.

11
“Sungguh amat sempurna tenaga dalam locianpwe masih
sejauh itu pun sudah kau tangkap suara mereka!”
Paras muka kakek itu mendadak berubah membesi,
katanya lagi, “Bagus sekali, dimana-mana sudah ada teman,
mmmm…hmmm…..aku tidak percaya kalau kau adalah
putranya Thian-cu-kian.”
Hoa In-liong merasakan hatinya bergetar keras tapi dengan
cepat ia tertawa.
“Locianpwe……”
Tiba-tiba kakek berbaju hijau itu menggerakkan tubuhnya
menerjang kemuka, setelah memungut kembali gelang
emasnya yang mencuat, tanpa berhenti dia melanjutkan
perjalanannya menuju ke timur.
“Ehh….. locianpwe, kau hendak kemana?” Hoa In-liong
segera berteriak keras.
“Aku hendak berkunjung ke perkampungan Liok-soat
sanceng,” jawab kakek berbaju hijau itu dari tempat kejauhan,
“akan kusuruh ayahmu menyiapkan kayu yang paling besar
untuk menghajar pantatmu!”
Berbareng dengan selesainya ucapan tadi, kakak itupun
lenyap tak berbekas dari pandangan mata, Hoa In-liong
lantas berpikir, “Kalau dikatakan mau ke rumahku, seharusnya
dia berangkat ke arah barat……ah, sudah pasti ucapan itu
cuma gertak sambal belaka……”
Tiba-tiba seseorang menyapa dengan suara yang merdu,
“Hoa Kongcu!”

12
Hoa In-liong segera memutar tubuhnya, dari balik hutan
sebelah kiri pelan-pelan muncul tiga orang gadis muda yang
cantik jelita, sebagai pemimpinnya tak lain adalah murid kedua
dari Pui Chi giok yang bernama Cia Sau-yan.
Sejak semula ia sudah mengetahui akan kedatangan ketiga
orang itu, maka pemuda itu tidak nampak kaget ataupun
tercengang, hanya katanya dengan hambar, “Apakah gurumu
dan Ku locianpwe juga ikut datang?”
Cia Sau-yan tertawa cekikikan.
“Wah……..tampak tampaknya Hoa kongcu tidak pandang
sebelah mata kepada kami? Masa melihat kedatangan kami,
menyapapun tidak?”
Ucapan tersebut sungguh membuat Hoa In-liong tertawa
tak bisa menangis pun sungkan, terpaksa ia memberi hormat.
“Aaah…..aku memang kehilangan adat, apakah nona-nona
sekalian sehat semua?”
Dengan wajah yang serius Cia Sau-yan bertiga membalas
hormat, kemudian sambil tertawa cekikikan mereka ikut
bertanya, “Apakah Hoa kongcu juga baik baik?”
“Aaa…….budak budak ini semuanya binal dan nakal, terlalu
membuang waktu untuk bertanya secara langsung kepada
mereka…. …” pikir Hoa In-liong dihati kecilnya.
Karena berpendapat demikian, sambil tersenyum dia pun
bertanya, “Berapa orang dari perkumpulan kalian yang telah
datang?”
Cia Sau-yan tertawa cekikikan.

13
“Coba kau terka!”
Dengan sorot mata yang tajan Hoa In-liong memperhatikan
sekejap beberapa orang gadis itu, lalu sambil tertawa katanya,
“Aku terka cuma ada dua orang yang kabur di luar pergerakan
orang……. betul bukan?”
“Ngaco belo! Semuanya telah datang……” seru Cia San yan
dengan wajah cemberut.
“Semua telah datang?” Hoa In-liong membelalakkan
matanya lebar lebar.
“Bukan begitu……bukan begitu maksudku, yang ku aturkan
adalah semua kekuatan inti dari perkumpulan kami telah
berkumpul semua di kota Si ciu.”
“Cia Yu cong bukan orang mampus, masa gerombolan
orang-orang yang begini menyolok mata tidak diketahui
olehnya?” gumam Hoa In-liong kemudian.
Tiba-tiba si nona berbaju kuning itu tertawa cekikikan.
“Hoa kongcu, kau jangan percaya dengan obrolan ji suci
kami, sekalipun segenap kekuatan inti dari perkumpulan kami
telah berangkat ke utara, namun baru kami berdua yang tiba
paling dulu di kota Si-ciu ini.”
Cia Sau-yan kontan saja mengerutkan alis matanya, lalu
sambil berpaling makinya, “Budak sialan, besar amat nyalimu,
begitu berani bermusuhan denganku?”
Hoa In-liong mendongakkan kepalanya dan tertawa
terbahak-bahak.

14
“Haaah…..haaahhh…..haaahhh…….” kalau begitu, aku
mohon diri lebih dahulu,” katanya sambil menjura.
“Hoa kongcu! Harap tunggu sebentar……” tiba-tiba nona
berbaju merah itu berseru.
Terpaksa Hoa In-liong menghentikan langkahnya,
“Apakah nona masih ada petunjuk lain?” tegurnya sambil
tertawa.
“Hoa kongcu, kau begitu terburu-buru hendak pergi
meninggalkan tempat ini apakah tidak sudi menggubris diri
kami lagi?” omel nona berbaju merah itu manja.
Hoa In-liong tertawa getir.
“Aaaah…. siapa bilang begitu? Aku toh tak pernah
memandang rendah siapa pun juga!” katanya.
“Hoa kongcu, sekalipun kau berkata demikian, tapi kami
rasa tentunya kongcu belum tahu bukan siapa nama
kami……..”
Hoa In-liong tertawa merdu.
“Daya ingatku memang sangat jelek dan memalukan sekali,
seringkali apa yang telah kualami akan terlupakan kembali
dengan begitu saja.”
“Nah, betul bukan perkataanku?” langsung saja si nona
berbaju merah itu berseru sambil tertawa.
“Tapi hanya nama nama bunga kenamaan di dunia ini yang
tak pernah kulupakan,” lanjut Hoa In-liong dengan cepat,
“seperti bunga anggrek, bunga botan, bunga sedap

15
malam……semua nama-nama itu, asal sudah masuk
ketelingaku maka selama hidup jangan harap bisa terlupakan
lagi.”
Tiba-tiba nona berbaju kuning itu tertawa cekikikan.
“Kalau didengar dari ucapanmu itu, tampak-tampaknya kau
seperti tahu dengan pasti, coba katakan, siapa namaku?”
Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak,
“Haahaehh…….haaahh…..haaahh,…..tak bisa diragukan lagi
kalau nona semua sama-sama memakai nama marga Cia.”
Sambil menunjuk ke arah nona berbaju kuning itu serunya,
“Nona mempunyai sebuah nama yang tunggal di belakang
huruf Cin yakni Wan jadi lengkapnya nama Cin Wan!”
Kemudian Sambil menuding si nona berbaju merah
tambahnya, “Sedang nona ini bernama Cin Lam-yan, tidak
salah bukan?”
Tiga orang nona itu segera tertawa cekikikan dengan
gembiranya, Hoa In-liong ikut tertawa pula.
Selang sesaat kemudian, Cia Sau-yan baru berkata,
“Sumoay berdua jangan bergurau, kita harus menyelesaikan
dulu masalah yang sesungguhnya.”
Tertawa geli Hoa In-liong mendengar perkataan itu,
pikirnya, “Huuuhhh…tak disangka kalau kalian juga tahu kalau
urusan penting harus didahulukan. Hmm bergurau dulu
dengan kalian baru membicarakan masalah yang
sesungguhnya. Perbuatan ini pada hakikatnya tak tahu
membedakan mana yang benar dan mana yang enteng….

16
Sementara itu Cia Sau-yan telah berkata, “Hoa kongcu,
tahukah kau, apa sebabnya kekuatan inti dari perkumpulan
kami berangkat semua ke utara?”
“Apa lagi yang muski ditanyakan?” pikir Hoa In-liong, “bibi
Ku mempunyai hubungan persahabatan yang erat sekali
dengan keluarga Hoa kami, sudah barang tentu
kedatangannya adalah untuk membantu diriku.”
Tentu saja apa yang dipikirkan tak sampai diutarakan
keluar, katanya sambil tertawa, “Rencana bagus dari
perkumpulan kalian tentu diatur secara cermat dan rajin, dari
mana kau bisa tahu?”
“Hmm…….akupun sudah tahu, bila kau sanggup untuk
menebaknya kata Cia Sau-yan sambil tertawa merdu.
Setelah berhenti sebentar terusnya, “Ketika guruku
mendapat kabar bahwa kau sedang mencatut nama ayah mu
untuk berbuat onar di kota Si cin……
“Eeehh…..aku bukan lagi menerbitkan keonaran, aku
sedang melaksanakan tugas yang sungguh-sungguh amat
serius” tukas Hoa In-liong sambil tertawa lebar.
Cia Sau-yan mencibirkan bibirnya dan ikut tertawa.
“Guru pun segera mengumpulkan kami semua sambil
berkata, ,Bocah keparat yang binal dan nakal itu sedang
menerbitkan kekacauan dalam masyarakat, coba menurut
pendapat kalian apa yang musti kita lakukan?’ Maka akupun
menjawab, ‘Apa sukarnya? Biar dia mau mampus atau mau
hidup, apa sangkut pautnya dengan kita?’”
“Ohooh…..betapa kejinya hati nona!” pekik Hoa In-liong
sambil tertawa lebar.

17
Cia Wan atau si nona berbaju kuning itu tertawa cekikikan.
“Jangan keburu mendamprat dulu, ada yang lebih keji lagi!”
serunya.
“Siapakah dia?” tanya Hoa In-liong melebar sepasang
matanya dan tertawa.
“Siapa lagi? Tentu saja aku!”
“Bagaimana pula dengan kau?”
Cia Sau-yan ikut tertawa cekikikan, katanya pula, “Kau
tanya tentang dia? Dia berkata begini caranya terlalu
keenakan dia, kalau dia memang ingin memancing terjadinya
badai pertarungan dalam dunia persilatan, lebih baik kita
bantu dia untuk menuntun keluar semua gembong gembong
iblis yang ada di empat penjuru dunia, agar dia membereskan
mereka satu per satu dan mengangkat dirinya menjadi
tersohor”
“Suatu ide yang sangat bagus!” seru Hoa In-liong sambil
tertawa, “cuma kuatirnya, sekalipup nama besar bisa didapat,
apa mau dibilang umurnya malah pendek”
“Huuuh………malah mengucapkan kata-kata yang bernada
tak baik,” omel Cia Sau-yan.
Tiba-tiba wajahnya berubah amat serius, katanya lebih
jauh, “Meskipun perkataan dari ji sumoay bernada gurauan,
tapi memang demikianlah kenyataannya Hoa kongcu, suhuku
benar-benar mengandung maksud untuk membantumu.”

18
“Apakah tidak kalian pikirkan, sanggupkah kau untuk
menerima semua percobaan ini?” kata Hoa In-liong dengan
dahi berkerut.
“Hoa kongcu toh bakal mendapat bantuan dari banyak
orang, apa lagi yang musti dirisaukan? Bukankah di kota Si ciu
sudah berkumpul sangat banyak kawan sealiran yaug siap
membantumu?”
“Sekalipun kawan sealiran yang berkumpul disini tak sedikit
jumlahnya tapi sebagian besar merupakan mereka-mereka
yang berilmu silat amat rendah”
Setelah berhenti sebentar katanya lagi sambil tertawa,
“Mungkin saja sobat sobat karib ayahku menganggap aku
terlampau tak becus sehingga enggan untuk memberikan
bantuannya.”
Cia Sau-yan tertawa cekikikan.
“Ilmu silat yang kami miliki juga termasuk golongan kaum
lemah, mungkin kurang mendapat sambutan dihati Hoa
kongcu?”
“Aaaa…..siapa bilang, aku akan menyambut kalian dengan
senang hati….” sahut Hoa In-liong dengan wajah berseri,
“boleh aku tahu saat ini nona sekalian tinggal di mana?”
Tiba-tiba Cia Lam yan menimbrung sambil tertawa,
“Pokoknya dari tempat kami menginap masih sempat
menyaksikan kasak-kusuk antara Hoa kongcu dengan si nona
berbaju hitam itu.”
Mendengar jawaban tersebut Hoa In-liong tertegun, segera
pikirnya, “Bicara menurut tenaga dalam yang mereka miliki tak

19
mungkin aku tak merasakan jejak mereka bila mendekati
diriku ……”
Anak muda itu lantas termenung dan berpikir sejenak,
akhirnya ia menduga bahwa gadis-gadis tersebut tentunya
menginap dimuka rumah penginapan Oug-keh, mungkin
karena ia terlampau teledor waktu itu sehingga lupa untuk
memperhatikan keadaan disana.
Dengan sepasang biji matanya yang jeli dan penuh dengan
daya pikat itu Cia Sau-yan mengawasi Hoa In-liong beberapa
saat lamanya, kemudian sambil ketawa genit ia berkata, “Hoa
kongcu, aku pengen tahu tempo hari apa yang kau lakukan di
dalam kamar gelap bersama gadis itu?”
“Sungguh besar nyali budak ini,” batin Hoa In-liong,
sampai-sampai perkataan semacam inipun berani dikatakan.
Ia lantas tersenyum dan menjawab, “Dalam kamar aku
memegang sebuah lentera, masa nona tidak melihatnya…?”
Tapi itu kan terjadi setelah kamar berada dalam keadaan
gelap cukup lamaa kata Cia Sau-yan sam-bil tertawa,
Hoa In-liong tidak berminat berdebat terus dengan mereka,
maka ujarnya kemudian, “Aku hendak pulang ke rumah
penginapan, soal ini kita bicarakan nanti bila aku berkunjung
ke penginapan kalian, setuju?”
“Kitapun mau pulang ke kota, bagaimana kalau kita jalan
bersama? Hoa kongcu tentunya tidak keberatan bukan?” pinta
Cia Wan sambil tertawa lebar.
“Haaahh.. .haaahh…..haaahh….” Hoa In-liong tertawa
terbahak-bahak, “aku paling suka kalau ditemani cewek cewek
cantik, kenapa muski keberatan?”

20
Begituah, merekapun pulang berempat ke kota secara
bersama-sama.
Dalam perjalanan pulang, Hoa In-liong menggunakan ilmu
meringankan tubuhnya sebesar tiga empat bagian, rupanya
itupun su dah cukup membuat Cia Sau-yan bertiga kepayahan,
makin lama mereka tertinggal makin jauh.
Akhirnya Cia Wan tidak tahan, ia berteriak dengan suara
lantang, “Hei, kalau kau kabur terus macam dikejar anjing
gila, jangan salahkan kalau aku mulai mencaci maki.”
Sesudah didamprat, Hoa In-liong baru berpaling, sekarang
ia baru tahu kalau ketiga orang nona itu sudah ketinggalan
sejauh tujuh delapan tombak lebih, terpaksa dia
memperlambat larinya sedemikian rupa sehingga tiga orang
itu berhasil menyusulnya.
Dengan susah payah perjalanan dilanjutkan.
Akhirnya kota Si-ciu muncul di depan mata, serentak
mereka memperlambat larinya dan masuk kota lewat pintu
utara.
Tiga orang nona cantik melakukan perjalanan bersamasama
seorang pemuda ganteng, inilah suatu pemandangan
yang sangat menyolok, apalagi yang pria begitu ganteng dan
gagah, sedang yang perempuan bak bidadari dari kahyangan,
siapakah yang tidak melayangkan pandangan ke arah mereka?
Suasana dalam kota ketika itu ramai banyak orang yang
berlalu lalang disitu, mereka berjalan sambil berdesak desak,
akan tetapi dikala ke empat orang muda itu munculkan diri,
serentak semua orang menyingkir ke samping memberi jalan,

21
tentu saja hal ini disebabkan karena Hoa In-liong sudah
menjadi orang yang termashur dalam kota Si- ciu.
Tiba di depan penginapan yang memakai merek “Ong keh”
Cia Sau-yan menyapu sekejap sekeliling tempat itu dengan
sepasang biji matanya yang jeli, kemudian katanya sambil
tertawa, “Waaah……..bisa melakukan perjalanan bersamasama
Hoa-ya, nilai dari siau-li sekalian benar-benar mengalami
kenaikan beratus-ratus kali lipat……….”
Hoa In Hong melirik sekejap gedung bangunan itu, ia lihat
pepohonan yang rimbun tumbuh di sekeliling bangunan, suatu
tempat penginapan yang tenang dan segar.
Dia lantas berpaling, lalu katanya sambil tertawa, “Benarbenar
tenang dan nyaman tempat tinggal kalian, aku jadi
kepingin untuk pindah pula kemari!”
“Silahkan!” seru Cia Lam-yan, “suatu kejutan bila Hoa-ya
sudi pindah kemari.”
Hoa In-liong tersenyum.
“Hanya kalian bertigakah dari perkumpulan kalian yang
datang kemari?” tiba-tiba ia bertanya.
Cia Sau-yan tahu bahwa pemuda itu menguatirkan
kekuatan mereka yang terlalu minin, maka cepat katanya,
“Kau tak usah kuatir, sebelum pihak Hian-beng-kau, Kiu im
kau dan Mo kau membereskan dirimu, aku rasa tak mungkin
mereka sudi mengganggu kami manusia-manusia kecil yang
tak ada artinya.”
Hoa In-liong segera berpikir sesudah mendengar perkataan
itu, “Bila didengar dari nada ucapannya, seakan-akan keluarga

22
Hoa kena dirobohkan, niscaya dari pihak golongan lurus tak
ada manusia lain yang bisa diandalkan lagi.
Sementara dia masih termenung, sambil tertawa, Cia Wan
telah berkata lagi, “Agaknya dari pihak perkumpulan kami
tiada jago-jago tangguh yang bisa diandalkan, rata-rata
kepandaian silat mereka cetek dan tak becus seperti juga
kami-kami ini.”
Hoa In-liong tidak bicara lagi, sambil tertawa dia memberi
hormat dan berlalu. Baru beberapa langkah dia berjalan, tibatiba
terdengar suara langkah berkumandang dari arah
belakang, ketika ia berpaling maka tampaklah Cia Sau-yan
sedang menyusul dirinya.
“Hoa Kongcu!” terdengar nona itu berseru.
“Ada urusan apa nona yan?” Hoa In-liong berpaling sambil
bertanya.
Cia Sau-yan menggetarkan bibirnya seperti hendak
mengucapkan sesuatu, tapi niat itu kemudian diurungkan.
Tindak tanduknya yang sangat aneh ini sangat
mencengangkan Hoa In-liong, pikirnya kemudian,
“Mungkinkah mereka masih ada persoalan yang sulit untuk
diutarakan keluar?”
Sementara itu Cia Sau-yan beberapa saat kemudian dengan
wajah serius katanya, “Hoa kongcu toa Suci kami titip pesan
dan menyuruh aku untuk menyampaikan kepadamu.”
“Oooya? Apa pesannya?” “tanya pemuda itu sambil
tersenyum.

23
Ketika ia mendongakkan kepalanya, kebetulan pemuda itu
lihat seorang laki-laki setengah umur sedang
menyembunyikan diri ke belakang kerumunan orang banyak
dengan sikap yang mencurigakan.
Hoa In-liong mempunyai daya ingatan yang cukup baik
hanya sebentar ia merenung, segera teringat olehnya bahwa
orang itu mirip sekali seperti dengan salah seorang anggota
Hian-beng-kau…..
Kontan saja ia bergerak cepat dengan menerjang ke
arahnya lalu sekali tangannya berkelebat tahu-tahu bahu lakilaki
setengah umur itu sudah kena cengkeram olehnya.
Laki-laki setengah umur itu hanya merasakan pandangan
matanya menjadi kabur, tahu-tahu tubuhnya sudah kena
tangkap.
Dalam kejut dan takutnya, ia meronta dengan sekuat
tenaga untuk melepaskan diri dari cengkeraman orang………..
Sayang, kemampuan Hoa In-liong dalam mencengkeram
bahunya memiliki kelebihan dari siapapun, semakin keras ia
meronta, semakin kencang cengkeraman tersebut, ia merasa
bahunya seperti dicengkeram dengan jepitan besi yang amat
kuat, sakitnya sampai merasuk ke tulang sumsum.
“Hayo jawab!” bentak Hoa In-liong kemudian, “siapa saja
dari perkumpulan kalian yang telah datang?”
Peluh sebesar kacang kedelai sudah membasahi seluruh
jidat laki-laki setengah umur itu, saking kesakitannya ia cuma
bisa menggertak gigi menahan diri, tentu saja sepatah
katapun tak mampu diucapkan.

24
Terpaksa Hoa In-liong melepaskan cengkeramannya, lalu
berkata lagi, “Hayo bicara dulu, kau pasti akan kulepas!”
Laki-laki setengah umur itu tetap membungkam diam
seribu bahasa, mendadak telapak tangannya disodok ke depan
menghantam dada Hoa In-liong………..
Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak, dengan cekatan ia
cengkeram urat nadi pada pergetangan tangan laki-laki itu,
kemudian sambil menggencetnya keras-keras, ia membentak,
“Hayo cepat jawab!”
Mungkin saking kerasnya tenaga gencetan tersebut, lakilaki
setengah umur itu tak kuat menahan diri, aliran darahnya
menjadi tersumbat dan ia menjerit melengking karena
kesakitan, tak ampun pingsanlah orang itu,…….
“Tak kusangka kalau orang ini macam gentong nasi, tak
ada gunanya!” keluh Hoa In-liong sambil menggelengkan
kepalanya berulang kali.
Terpaksa ia melepaskan cengkeramannya, kemudian sambil
menyapu sekejap sekeliling tempat itu, katanya pula, “Masih
adakah sahabat-sahabat dari Hian-beng-kau yang berada di
sekitar tempat ini? Silahkan menggotong pergi sobat ini, aku
menjamin tak akan membikin susah”
Tapi orang-orang yang berada di sekitarnya cuma saling
berpandang pandangan, tak seorang manusiapun yang
tampilkan diri, dan tak ada pula yang pergi meninggalkan
tempatnya, rupanya mereka kuatir kalau dicurigai sebagai
anggota Hian-beng-kau.
Tunggu punya tunggu tak seorangpun yang munculkan diri,
akhirnya Hoa In-liong mengejek dengan sinis, “Huuuh……..tak

25
kusangka kalau anggota Hian-beng-kau adalah manusiamanusia
yang tak punya kesetiaan kawan…..”
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, “Baiklah aku orang she
Hoa menjamin tak akan mengirim orang untuk melakukan
pengejaran, tentunya sudah berani bukan untuk tampilkan
diri…….?”
Setelah mendapat jaminan, maka muncullah seorang lakilaki
dari kerumunan orang banyak, tanpa mengucapkan
sepatah katapun ia membungkukkan badan membopong lakilaki
setengah umur yang pingsan itu kemudian siap
meninggalkan tempat itu.
“Tunggu sebentar! tiba-tiba Hoa In-liong membentak.
Dengan perasaan tercekat laki- laki itu menghentikan
langkahnya, kemudian memutar badan dan memandang ke
arah Hoa In-liong dengan sinar mata terperanjat.
“Beritahu kepada majikan kalian,” demikian Hoa In-liong
berkata dengan suara dalam. “lebih baik lain kali jangan
mengirim orang yang begini tak becus untuk memata-mataiku,
bukan saja bikin malu, akupun ikut merasa malu baginya.”
Sewaktu mengucapkan kata-kata tersebut, gayanya amat
sok dan seakan akan sedang memberi perintah pada anak
buahnya sendiri, bahkan begitu selesai mengucapkan kata
tersebut, dia mengulapkan tangan.
“Nah, sekarang pergilah!” ia berseru Laki-laki itu tak berani
banyak berbicara lagi, bagaikan mendapat ampunan, cepatcepat
ia kabur dari situ.
Tiba-tiba Cia Sau-yan memberi tanda kepada dua orang
sumoaynya, Cia wan manggut-manggut seperti memahami

26
maksudnya. Sementara itu Hoa In-liong tanpa berpaling telah
berkata sambil tertawa lebar.
“Nona Yan, lebih baik tak usah membuang tenaga dengan
percuma!”
Masa kau sudah mengutus orang untuk membuntutinya?
bisiknya.
Hoa In-liong kembali tertawa, dia putar badan berlalu dari
sana seraya berkata, “Bila air ludah sudah disemburkan keluar
tak nanti akan kujilat kembali ludahku itu, masa aku akan
mengutus orang untuk mengikuti jejaknya?
Cuma…….sekalipun aku tidak berbicara, pasti ada orang yang
melakukan tugas itu buat kita.
Kontan saja Cia Sau-yan tertawa cekikikan. Kau betul-betul
seorang manusia yang licik, kalau begitu lain hari aku musti
berhati-hati daripada kena jebak…..
“Apa pesan Moa suci kalian?” tanya Hoa In-liong.
Cia Sau-yan melirik sekejap sekeliling tempat itu, lalu
dengan alis berkenyit ia menjawab, “Aku rasa kita bicarakan
dilain hari saja!”
Hoa In-liong tidak terlampau bernafsu untuk mengetahui
pesan apa yang hendak disampaikan kepadanya, maka
merekapun lantas berpisah.
Ketika Cia Sau-yan bertiga sudah masuk ke dalam gedung,
diapun berkunjung ke rumah penginapan Ong-keh, tapi disitu
tak ada yang dijumpainya, Si Leng-jin dan Si Nio telah, pergi
tanpa meninggalkan pesan. Kenyataan ini membuat anak
muda itu merasa amat menyesal, disamping perasaan gelisah,

27
tapi apa boleh buat, nasi telah menjadi, bubur, terpaksa ia
pulang lebih dulu ke rumah penginapan.
Baru melangkah masuk, dari pintu gerbang, Coa Cong gi
yang sedang berjalan mondar-mandir di ruang depan segera
menyerbu kehadapannya sambil berseru nyaring, “Hei,
kemana saja kau semalam? Tahukah kau kalau Hian-beng
kaucu telah meninggalkan surat untukmu?”
Sungguh terkejut Hoa In-liong sesudah mendengar
perkataan itu. serunya tanpa terasa, “Apa?”
Dengan dahi berkerut kata Coa Cong gi, “Pagi-pagi tadi,
baru saja fajar menyingsing, telah datang seorang tua bangka
She Beng yang mengganggu nyenyaknya orang tidur, ia
membawa sepucuk surat dari hian-beng kaucu yang
mengundangmu untuk melakukan suatu pertemuan, katanya
pertemuan tersebut tanpa diembel-embeli dengan maksud
jahat. Lantaran kau tidak ditemukan, maka untuk sementara
waktu diterima oleh Ngo locianpwe, sekarang mereka sedang
berkumpul di ruang muka sambil merundingkan persoalan ini,
aku segan ikut dalam rapat, ini maka seorang diri kunantikan
kedatanganmu.
“Tanpa menimbulkan gerak-gerik yang mencurigakan,
Hian-beng kaucu telah melakukan persiapan di kota Si-ciu ini,
cukup ditinjau dari hal ini sudah dapat diketahui bahwa dia
memang manusia yang luar biasa,” pikir Hoa In-liong dalam
hati.
Undangan dari Hian-beng-kaucu ini sangat di luar dugaan
siapapun termasuk pula pemuda itu sendiri, untuk sesaat dia
jadi kebingungan dan tak tahu apa yang musti dilakukan
untuk menghadapi kejadian tersebut.

28
Dengan gelisah Coa Cong-gi segara berkata: “Hayo kita
cepat masuk, mungkin keadaan mereka sudah ibaratnya
semut-semut di atas kuali panas.”
Dengan langkah cepat mereka berdua kembali ke ruang
belakang, waktu itu Hoa Keh-sian, Yu Siaw lam dan kawan
jago lainnya sedang duduk mengelilingi meja, ketika melihat
anak muda itu munculkan diri, serentak mereka bangkit dan
menyambut.
Hoa In-liong tak ada waktu untuk bersungkan-sungkan,
langsung lagi di sambarnya surat di atas meja dan membaca
dengan seksama.
Surat itu berbunyi begini,
“Ditujukan untuk Ji-kongcu dari keluarga Hoa.
Magrib nanti kunantikan kedatangan anda untuk
membicarakan situasi dalam dunia persilatan dewasa ini,
memandang atas kegagahan kongcu, jangan kuatir kalau kami
bernit jelek kepadamu, tertanda:
Hiang beng kaucu.”
Selesai membaca isi surat itu, Hoa In-liong segera
mendongakkan kepalanya sambil berkata, “Apa pendapat
saudara sekalian tentang persoalan ini?”
Kata Ho Keh-sian dengan dahi berkerut, “Nada surat itu
mengandung siasat memanaskan hatimu, sama sekali tiada
kata-kata jaminan yang menyebutkan bahwa jiwa mu sama
sekali tidak akan diganggu.”

29
“Tapi bukankah orang she Beng itu mengatakan bahwa
mereka tidak mengandung maksud jahat?” sela Ko Siongpeng.
Ho Keh-sian segera tertawa.
“Orang she Beg itu bukan seorang pentolan, masa
perkataannya dapat dipercayai?
“Perduli amat apa yang hendak mereka lakukan seru Coa
Cong gi dengan luapan emosi, mari kita pergi bersama, mau
minum arak kita minum sepuasnya, mau berkelahi………hmm,
siapa yang takut kepada mereka?”
Hoa In-liong tersenyum.
“Sampai di dimanakah kekuatan yang dimiliki Hian-bengkau,
hingga kini masih merupakan suatu tanda tanya besar,
yang bisa kita ketahui bahwa Hian-beng-kau dapat menjadi
pemimpin kaum iblis, hal ini berarti kepandaian silat yang
mereka miliki lihay sekali, ditambah lagi dengan anak buahnya
yang amat banyak, kendatipun jago- jago tua sekalipun ikut
terjun dalam pertarungan ini, aku kuatir kilau kerugian masih
tetap berada dipihak kita.”
Kecuali Ho Keh-sian, sudah ada tiga orang jago bekas
anggota Sin-ki-pang tempo hari yang hadir disitu, mereka
semua membungkam diri dalam seribu bahasa.
Di tengah keheningan inilah, tiba-tiba seorang kakek
bertampang buruk buka suara, katanya, “Siapakah Hian-bengkaucu
itu? Kenapa Liong Siuya memandang begitu tinggi akan
dirinya?”
Orang ini bernama Si Jin kiu, dengan ilmu pek kut cui sim
ciang (pukulan tulang putih penembus hati)nya ia pernah

30
mengalahkan si malaikat pertama dari Liong bun siang sat
yang tersohor akan keganasannya dulu, dia merupakan salah
seorang diantara jago-jago andalan perkumpulan Sio ki-pang.
“Aku sendiripun kurang begitu jelas siapa gerangan nama
sesungguhnya dari gembong iblis itu,” kata Hoa In-liong.
Kemudian setelah berpikir sebentar, apa yang diketahui
tentang Hian-beng-kaucu pun segera dibeberkan secara
terperinci, secara sambil lalu diapun mengungkapkan soal
yang menimpa Si Leng jin serta nona berbaju putih”
Selesai mendengarkan penuturan itu, tiba-tiba Ho Keh-sian
bertanya, “Liong siauya, kau pernah mengatakan Si Leng jin
memiliki sebilah pedang pendek yang tajamnya luar biasa,
apakah dapat kau lukiskan bentuk senjata tersebut dengan
lebih terperinci?”
Hoa In-liong lantas berpikir, “Mungkin dari senjata tersebut
dapat diduga asal usul Si Leng jin……
Maka sesudah termenung dan berpikir sebentar, diapun
menerangkan: “Pedang pendek itu panjangnya dua depa,
bentuknya istimewa, pada gagangnya terdapat sebuah
pelindung tangan, sedang dipegangannya seperti tampak
ukiran dua huruf……”
Setelah berhenti sejenak untuk berpikir sebentar, dia
melanjutkan sambil tertawa, “Tampaknya tulisan itu adalah
huruf ‘Hong-im’, cuma benar atau tidak aku tak berani terlalu
memastikan.”
Hoa Keh-sian mengernyitkan sepasang alis matanya.
“Liong sau ya, sungguhkah dia she Si?” desaknya.

31
Hoa In-liong jadi tertegun. “Apakah ada sesuatu yang tak
beres? Aku rasa tak bakal salah lagi nama itu,” katanya.
Dengan suara dalam Hoa Keh-sian lantas berkata, “Dua
puluh tahun yang lalu, pentolan dari Hong im-hwe yang
bernama Jin Hian pernah juga menggunakan pedang pendek
itu.”
Ia lantas berpaling dan memandang sekejap ke arah rekanrekannya.
Si Jin kui bertiga segera manggut-manggut tanda
membenarkan.
Hoa Keh-sian berpaling kembali ke arah Hoa In-liong sambil
berkata lebih lanjut, “Gadis itu mengandung maksud-maksud
yang sukar ditebak, harap liong sau-ya suka bertindak lebih
waspada lagi terhadap dirinya.”
Hoa In-liong merasa tidak senang dengan perkataan itu,
namun ia tak mau banyak membantah, pokok pembicaraan
pun segera dialihkan ke persoalan lain.
“Bagaimana pendapat kalian tentang undangan dari Hianbeng
kaucu ini……?” katanya.
Ho Keh-sian mengira Hoa In-liong merasa kasian dan tak
tega terhadap gadis itu, diam-diam ia lantas berpikir, “Jika
watak romantis dari Liong sauya tidak mengalami perubahan,
di kemudian hari ia bisa menderita kerugian di tengah kaum
wanita…..”
Hal ini membuat jago lihay dari Sin-ki pang tersebut makin
lama semakin merasa kuatir.
“Bagaimana pula pendapat adik In-liong sendiri?” tanya Yu
Siau-lam.

32
“Undangan tersebut tentu saja harus dipenuhi, bahkan aku
punya rencana untuk memenuhi undangan tersebut seorang
diri.”
Li poh-seng termenung sebentar, lalu katanya pula, “Yaa,
dari pada dianggap orang penakut, undanngan ini memang
harus dipenuhi!”
“Apakah kita harus mementangkan mata untuk menderita
kerugian di tangan si cucu kura kura?” teriak Coa Cong-gi.
Hoa In-liong segera tertawa. “Tentu saja tidak, meskipun
Han-beng kaucu yang menjuluki diri sebagai Kiu-ci Sinkun
tersebut mempunyai dendam kusumat yang amat dalam
dengan keluargaku, hakekatnya tujuan yang sesungguhnya
tak lain adalah ambisinya untuk merajai seluruh jagad, untuk
mencapai cita cita tersebut, mau tak mau dia mesti menjaga
martabat dan gengsinya, maka menurut pendapat siau-te,
kesempatan untuk berkelahi amat kecil.
Tiba-tiba dari luar pintu menongol sebuah kepala kecil yang
memanggil dengan lirih, “Hoa…..toako…..!”
Melihat orang itu adalah Siau-gou-ji, Hoa In-liong
menghampirinya sambil tertawa. “Ada urusan apa
saudaraku??”
00000O00000
Bab 40
ADA seorang nona…..ehmm, cantik dan baik sekali,
mengenakan sebuah gaun berwarna putih mulus sedang
menantimu di rumah makan seberang jalan sana.

33
“Masa dia yang datang?” Hoa In-liong segera berpikir, “kita
berhadapan sebagai musuh, mau apa dia datang kemari?”
Sambil tertawa segera tanyanya, “Siapa namanya??”
Siau gou ji menjadi terbelalak gugup.
“Aku….aku tidak tahu……..” katanya. Tapi sesudah berhenti
sebentar tambahnya, “Dia bilang toako pasti tahu seolah
melihat potongan tubuhnya!”
“Ehmm, aku sudah tahu!” Hoa In-liong manggut-manggut.
Kemudian sambil tersenyum katanya lagi, “Lain kali kau
musti bertindak lebih cekatan dan pintar, jangan disebabkan
menerima kebaikan dari orang maka kau memuji orang
sebagai orang baik, coba lihat matamu sampai keblinger
hingga siapa kawan siapa lawanpun tak bisa dibedakan.”
Merah padam wajah Siau gou ji menerima dampratan itu,
katanya agak jengah, “Sudah terlampau banyak orang baik
dan jahat yang pernah kujumpai, siapapun jangan harap bisa
membodohi sepasang mataku.”
Lalu sambil memutar sepasang biji matanya yang jeli ia
bertanya pula, “Masakah dia adalah musuh?”
Kembali Hoa In-liong tertawa. “Secara pribadi dia adalah
sahabatku, tapi secara umum dia adalah musuhku!”
Secerdik cerdiknya Siau gou ji, usianya masih terlampau
muda, ia masih kurang begitu memahami persolan tentang
budi dendam, musuh dan sahabat, apalagi sejak kecil ia
dibesarkan dalam lingkungan yang berbeda, soal dendam dan
budi boleh dikata merupakan suatu hal yang masih asing.

34
Maka setelah mendengar perkataan itu, dengan keheranan
dan tidak habis mengerti, kembali tanyanya, “Sesungguhnya
dia adalah sahabat kita atau musuh kita??”
Tiba-tiba Coa Cong gi berteriak keras, “Hei, ngomong terus
tak ada habisnya, sesungguhnya kalian bisa berhenti berbicara
atau tidak?”
Hoa In-liong lantas berkata, “Pokoknya, kalau kau anggap
dia sebagai seorang sahabat, maka perbuatanmu ini tak bakal
salah lagi……”
Berbicara sampai disitu dia lantas putar badan dan berjalan
balik keruang tengah, katanya lagi, “Empek berempat,
saudara berempat aku hendak keluar sebentar, ada seorang
teman mengundangku untuk berjumpa di rumah makan
seberang jalan sana.”
“Kenapa tidak undang dia kemari saja?” tanya Coa Cong-gi
dengan wajah tercengang.
Hoa In-liong tertawa.
Dia adalah seorang nona, lagipula berasal dari pihak
musuh, rasanya kurang leluasa untuk mengundangnya kemari.
“Apakah kau tidak beristirahat dulu?” tanya Yu Siau-lam,
“bagaimana pula dengan undangan dari Hiang-beng kaucu?”
Ho In-liong termenung sebentar, kemudian sahutnya
sambil tertawa.
“Bagai manapun juga undangan tersebut harus dipenuhi,
aku pikir semakin persoalan ini dipikirkan semakin merisaukan
hati kita, lebih baik tak usah dibicarakan lagi, setelah

35
beristirahat sebentar, aku rasa tenagaku dapat pulih kembali
seperti sedia kala.”
Ketika Ho Keh-sian berempat orang tua mengetahui bahwa
nona itu berasal dari pihak lawan, kontan saja mereka
mengerutkan dahinya, apalagi setelah menyaksikan sikapnya
yang begitu santai meskipun musuh telah berada di ambang
pintu, hati mereka lebih-lebih murung lagi.
Tapi mereka cukup mengenali tabiat dari Hoa In-liong,
mereka tahu sekalipun dinasehati juga tak ada gunanya, maka
mereka cuma berpesan beberapa patah kata saja.
Tentu saja Hoa In-liong cuma mengiakan belaka semua
pesan itu, cepat-cepat dia memberi hormat lalu keluar dari
penginapan itu.
Baru masuk ke pintu gerbang rumah makan, seorang
pelayan telah menyambut kedatangannya sambil berkata,
“Hoa-ya, silahkan naik ke atas loteng.”
Hoa In-liong manggut-manggut dan naik ke loteng dengan
langkah lebar, sinar matanya yang tajam menyapu kesana
kemari.
Baru saja dia hendak menanyakan kepada sang pelayan,
dalam ruang manakah nona berbaju putih itu menunggunya
tiba-tiba dari sebuah bilik dekat jendela sana berkumandang
suara dari si nona berbaju putih itu, “Aku ada disini!”
Hoa In-liong segera membatin.
“Kalau didengar suaramu, seakan akan hendak ajak
berkelahi,…uuuh, kasar benar…”

36
Dengan langkah lebar ia lantas menuju ke ruangan
tersebut, buru-buru pelayan tadi menyingkapkan kain gorden.
Terlihatlah nona berbaju putih itu berdiri dekat jendela, ia
sedang bergendong tangan sambil menatap ke arah jalan raya
dengan termangu, meskipun tahu kalau pemuda itu telah
datang, ternyata ber paling pun tidak.
“Ambil semua hidangan di meja dan ganti yang baru!”
perintahnya kemudian dengan suara datar.
“Nona, arak dan hidangan masih hangat!” kata sang
pelayan keheranan.
Tiba-tiba nona berbaju putih itu berpaling seraya berseru
dengan penuh kemarahan, “Cerewet amat kau? Disuruh ganti
cepat ganti, kau anggap aku tak mampu membayarnya?”
Hoa In-liong melirik sekejap ke arah hidangan di meja,
benar juga masih kelihatan asap putih dari hidangan itu,
segera pikirnya, “Jelas ia lagi mendongkol kepadaku lantaran
harus menunggu terlalu lama, maka dicarinya alasan lain
untuk melampiaskan rasa marahnya.”
Berpikir sampai disitu sambil tertawa nyaring dia lantas
ulapkan tangannya untuk mengundurkan pelayan itu,
kemudian sambil memberi hormat, katanya, “Terima kasih
banyak atas perhatian nona, maafkanlah aku jika…….
“Kau adalah seorang toa enghiong, aku pikir tak mungkin
bukan lantaran ingin mencari tahu kea-daan Hian-kongbeng
yang sebenarnya maka kau gunakan kesempatan ini untuk
mendesak seorang gadis seperti aku?”
Mula mula Hoa In-liong menggeleng kemudian
mengangguk pula.

37
“Hei, apa maksudmu?” seru gadis berbaju putih itu
keheranan.
Hoa In-liong tertawa.
“Aku bukan seorang toa-enghiong, aku hanya kuatir bila
sampai menyinggung perasaan nona sekarang, maka banyak
kesulitan yang akan kuhadapi dalam perjamuan malam nanti.”
Nona berbaju putih itu menutup bibirnya dan tertawa
cekikikan, tiba-tiba ia menundukkan kepalanya dan menghela
napas sedih.
Dalam sekilas pandangan, Hoa In-liong dapat menyaksikan
bahwa sikapnya sekarang jauh berbeda dengan sikap tempo
hari, dalam hati dia lantas berpikir, “Besar amat nyali gadis ini
untuk melanggar perintah gurunya dan bersahabat dengan
orang-orang dari keluarga Hoa.”
Setelah mereka ambil tempat duduk, Hoa In-liong baru
mengangkat cawan araknya seraya berkata, “Aku dengar
antara gurumu dengan keluarga Hoa terikat dendam kematian
gurunya?”
“Bukan itu saja, bahkan terhitung suatu dendam kesumat
yang sangat mendalam!” sahut gadis itu dengan wajah
murung.
Hoa In-liong tertawa.
“Boleh aku tahu nama gurumu……..”
Dengan cepat gadis itu gelengkan kepalanya.

38
“Dalam perjamuan malam nanti, guruku pasti akan
memberitahukan hal tersebut kepadamu, apa gunanya kau
bertanya kepadaku?”
Hoa In-liong termenung dan berpikir sebentar, tiba-tiba
katanya, “Apakah gurumu bernama Si Biau?”
Ketika mengucapkan kata “Si Biau”, sengaja ia
membacanya dengan nada sengau….
Kontan saja si gadis berbaju putih itu membelalakkan
sepasang matanya.
“Dari mana kau bisa tahu?” serunya.
Hoa In-liong tidak langsung menjawab, kembali pikirnya,
“Hian-beng kaucu yang menyebut dirinya Kiu-ci siukun
bernama Si Biau, padahal dalam dunia persilatan belum
pernah ada orang yang bernama itu………ah betul……..sudah
tentu namanya mempunyai bunyi yang hampir sama dengan
huruf Si Biau tersebut………”
Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benaknya, dengan
cepat ia menyadari akan sesuatu, sambil menengadah
pemuda itu tertawa terbahak-bahak.
“Haaahhh…….haahhhhaaa……..nona Kok, rupanya gurumu
She Kok………!”
Kok Gi pek atau si nona berbaju putih itu mula-mula agak
tertegun, selanjutnya dia baru tahu kalau pemuda itu
sesungguhnya belumn tahu nama gurunya.
Merasa dirinya kena dijebak, gadis itu merasa jengkel
bercampur mangkel, serunya, “Hmm! Kau tak usah berbangga

39
hati, terus terang kuberitahukan kepadamu, semakin cepat
Kau mengetahui soal ini semakin cepat pula ajalmu akan tiba.”
Hoa In-liong tersenyum, sekarang ia sudah tahu Hian-bengkaucu
yang menamakan dirinya Koa ci Sinkun itu tidak lain
adalah bekas muridnya Bu liang Sinkun dimasa lalu yang
bernama Kok See pian.
Tentang persoalan yang menyangkut diri Kok See-piau,
selain ia pernah mendapat keterangan dari ibunya, Pek Kun gi,
pemuda ini pun pernah mendapat keterangan yang lebih
terperinci dari ayahnya Hoa Thian-hong.
Tepo dulu ketika Kok See-piau mendapat perintah dari
gurunya, Bu liang Sinkun untuk membuat perhitungan dengan
keluarga Chin si hijin, di kota Cin ciu, Hoa Thian-hong
mendapat perintah dari ibunya untuk membalas budi kepada
keluaran Chin.
Pertemuan kedua orang ini menyebabkan terjadinya
pertarungan antara Kok See-piau melawan Hoa Thi hong
Ketika itu Hoa Thian-hong masih bernama Hong-po Seng,
ilmu silatnya amat cetek dan masih bukan tadingan Kok Seepiau,
sebuah pukulan Kiu pit sin ciang dari Kok See-piau nyaris
merenggut selembar jiwanya .. .
Kemudian dikala Hoa Thian-hong melakukan jari racun di
kota Cho-ciu, Pek Kun ci melepaskan rasa permusuhannya dan
berubah menjadi sahabat, tindikan tersebut menyebababkan
Kok See-piau menjadi cemburu, ia datang mencari Hoa Thianhong
untuk mengajarnya, siapa tahu dia dikalahkan hingga
terpaksa harus pulang kebukit Bu liang san.
Dalam pertemuan besar Kian ciau Tay hwte di lembah Cu
bu kok, Bu Liang Sinkun berhasil di bunuh oleh Bun Tay kun,

40
dengan menahan rasa dendamnya, Kok See-piau melarikan
diri kemudian ia menggabungkan diri dengan perguruan Seng
sut-pay dengan mengangkat Tang kwik Sia sebagai gurunya.
Tapi kemudian dalam penggalian harta karun dibukit Kiu ci
san, komplotan dari Tang kwik Siu kena dihajar kocar kacir
sehingga musti melarikan diri terbirit-birit, semenjak itulah
jejak tentang Kok See-piau lenyap tak berbekas….
(Untuk mengetahui kisah cinta segitiga antara Kok Seepiau,
Hoa Thian-hong dan Pek Kun-gi, silahkan membaca
BARA MAHARANI.)
Diam-diam Hoa In-liong lantas berpikir, “Sungguh tak
kusangka Kok See-piau telah menjadi Kiu-ci Sinkun, lebih-lebih
tak kusangka kalau dia akan menerbitkan kembali badai darah
dalam dunia persilatan, untung keluarga Hoa kami masih
berdiri tegak, jangan harap kau bisa berbuat onar seenaknya
dengan begitu saja!”
Sementara itu si nona baju putih atau Kok Gi-pek menjadi
sedih lantaran pemuda itu lama sekali tidak berbicara, dia
mengira anak muda itu menjadi tak senang hati karena
ucapannya tadi.
“Malam ini, lebih baik kau jangan pergi memenuhi
undangan tersebut……!”
“Perjamuan itu diselenggarakan oleh guru mu, kenapa
nona melarang aku pergi memenuhinya?” kata Hoa In-liong
dengan kening berkerut.
Dengan dingin Kok Gi pek berkata, “Sekarang kau telah
mengetahui siapakah guruku, apakah tidak kau ketahui
dengan jelas bahwa guruku mempunyai dendam sedalam
lautan dengan keluarga Hoa kalian? Bila kau berani memenuhi

41
undangannya, maka jangan harap kau bisa pulang dengan
selamat”
Hoa In-liong tersenyum, diangkatnya cawan arak itu dan
dicicipinya setegukan, tiba-tiba ia merasa lidahnya sakit
seperti ditusuk tusuk jarum tajam, pemuda itu segera
mengetahui bahwa dalam arak telah dicampuri dengan racun
jahat yang mematikan.
Kejadian itu amat menggusarkan hatinya, ia berpikir,
“Bagus sekali! Tak kusangka kaudapat menggunakan cara
serendah ini untuk mencelakaiku.”
Sekalipun dalam hati kecilnya ia berpikir demikian, air
mukanya sama sekali tidak menunjukkan perubahan apapun.
Cawan itu segera diangsurkan ke hadapan Kok-Gi pek,
kemudian sambil tersenyum katanya, “Nona, bagaimana kalau
kaupun mencicipi arak ini barang setegukan………….?”
Paras muka Kok Gi-pek kontan berubah menjadi merah
padam, ia melompat bangun dan berseru dengan gusar, “Kau
menganggap aku sebagai manusia macam apa?”
Tapi sebentar kemudian ia telah menghela napas sedih,
katanya lebih jauh, “Baiklah, kalau toh kau menyuruh aku
minum arak ini, baiklah akan kuminum setegukan untukmu!”
Dia lantas ulurkan tangannya untuk menerima cawan
tersebut dan mendekatkannya ke tepi bibir.
Hoa In-liong dapat menyaksikan bahwa rasa sedih dan
murung yang tercermin di wajah gadis itu bukan seperti
berpura-pura, rasa sangsi segera menyelimuti benaknya, ia
berpikir, “Tampaknya bukan dia yang mencampurkan racun itu

42
dalam arak minumanku, tapi tempat ini tak ada orang
lain…………”
Ketika dilihatnya gadis itu sudah siap minum arak tersebut,
dengan cepat cawan itu direbut kembali, kemudian katanya
sambil tertawa tawa.
“Ternyata rumah makan ini dibuka oleh orang-orang dari
perkumpulan kalian, jadi akulah yang bertindak kurang hati
hati!”
Cawan tadi diletakkan kembali ke atas meja. Kok Gi-pek
bukan seorang yang bodoh, sebagai gadis cerdik ia lantas
menduga kalau dalam arak tentu ada sesuatu yang tak beres.
Kontan saja alis matanya berkenyit.
“Siau Kui!” tiba-tiba teriaknya dengan suara lantang.
Dalam marahnya teriakan-teriakan tersebut disertai tenaga
dalam yang amat sempurna, bukan saja seluruh ruangan
mendengung nyaring, bahkan setiap orang yang berada
dibawah loteng dapat mendengar teriakan tersebut dengan
amat jelasnya.
Hoa In-liong berpura-pura tidak melihat, dengan sikap yang
santai seperti tak pernah terjadi sesuatu apapun pikirnya,
“Tenaga dalam yang dimilikinya sungguh amat sempurna,
tampaknya jauh lebih hebat bila dibandingkan dengan
beberapa orang suhengnya!”
Beberapa saat kemudian terdengar suara langkah manusia
yang ramai berkumandang memecahkan kesunyian, menyusul
kemudian tirai disingkap orang dan muncullah seorang laki-laki
berusia lima puluh tahunan yang berdandan sebagai seorang
pedagang.

43
Begitu masuk ke dalam ruangan, dengan ketakutan ia
lantas memberi hormat, katanya ragu-ragu, “Persoalan apakah
yang membuat nona menjadi marah?”
Kok Gi pek tertawa dingin.
“Haahaa…..haahhhh……… kau juga tahu kalau akupun bisa
marah?”
“Hamba….hamba…..”Laki-laki tua yang bernama Siau Kui
itu menjadi gelagapan.
Hoa In-liong yang menyaksikan kejadian tersebut diamdiam
berpikir kembali.
“Tak kusangka gadis yang tampaknya lemah lembut
terutama ketika ia harus menahan rasa penasarannya tadi,
ternyata setiap jago dari Hian-beng-kau begitu takut
kepadanya.”
Sementara itu Kok Gi pek sambi mengernyitkan alis
matanya, telah berkata dengan suara dingin, “Huu…..aku
tahu tak nanti kau begitu bernyali berani melakukan
perbuatan tersebut, hayo katakan siapa yang telah
menitahkan kau berbuat demikian?”
Untuk sesaat Siau Kui menjadi gelagapan ia tak tahu
bagaimana musti menjawab pertanyaan tersebut.
Kok Gi pek semakin marah, teriaknya dengan gemas,
“Baik,”
Secepat sambaran kilat ia sambar cawan berisi arak racun
itu lalu tangannya diayun ke depan menyiramkan isi cawan
tersebut ke arah Siau Kui.

44
Hoa In-liong yang selama ini hanya berdiam diri, tiba-tiba
mengayunkan telapak tangan kanannya, segulung angin
pukulan yang lembut segera menghantam isi cawan tersebut
dan membuat hujan arak memuncrat ke atas lantai serta
membasahi permukaan seluas tiga empat depa persegi.
Sungguh lihay racun dalam arak itu, begitu menempel di
atas permukaan tanah…..”Ceesss…..!, seketika itu juga
separuh bagian lantai itu menjadi terbakar dan hangus.
Sungguh tak terkirakan rasa kaget dan ngeri perasaan Siau
Kui setelah menyaksikan kejadian itu, peluh dingin membasahi
hampir sekujur badannya…..
Hoa In-liong mengerutkan dahinya menyaksikan kejadian
itu, sedang Kok Gi pek rupanya tak pernah menyangka kalau
racun tersebut sejahat itu, setelah tertegun sesaat hawa
amarahnya makin memuncak, ia tertawa seram……..
Baru saja dia hendak mendamprat, tiba-tiba dari luar
ruangan berkumandang suara teguran seseorang dengan
nada yang serak tapi lantang, “Harap nona jangan marah,
peristiwa ini tiada sangkut pautnya dengan Siau kui, akulah
yang bertanggungjawab atas kejadian ini!”
Menyusul perkataan itu, muncullah seorang kakek bermuka
merah bertubuh tinggi kekar dari luar pintu.
Begitu menjumpai kakek tersebut, Kok Gi pek segera
mengernyitkan sepasang alis matanya, kemudian berkata
dengan dingin, “Kalau toh empek Tang yang memerintahkan
Siau Kui melakukan perbuatan ini, gengsi seorang yang
berkekuasaan tinggi tentu saja keponakan tak dapat berkatakata
lagi.”

45
Rupanya kakek She Tang itu tidak mengira kalau Kok Gi
pek bakal mendampratnya di depan orang, ia tertawa
terbahak-bahak untuk menutupi rasa malunya. Kemudian
sambil memberi hormat kepada Hoa In-liong katanya, “Aku
rasa saudara ini tentulah Ji kongcu dari Hoa tayhiap, aku Tang
Bong liang menyampaikan hormat.
Ketika tangannya menjura itulah segunung tenaga pukulan
berhawa dingin tetapi menimbulkan sedikit suara, langsung
menyergap ke atas dada Hoa In-liong.
Diam-diam anak muda itu mendengus, dengan cepat dia
pun merangkap tangannya membalas hormat.
“Ah, aku orang she Hoa masih muda, mana berani untuk
menerima salam hormatmu itu.”
Menggunakan gerakan itulah diapun melepaskan segulung
angin pukulan untuk menyongsong datangnya ancaman
tersebut.
Mereka berdua berdiri dihalangi oleh sebuah meja, dengan
cepatnya dua gulung tenaga pukulan itu bertemu tepat di atas
meja perjamuan.
Dalam perkiraan Kok Gi-pek semula, adu tenaga antara
kedua orang itu pasi akan mengakibatkan mangkuk cawan
beterbangan di udara, siapa tahu tiada sesuatu yang istimewa
terjadi, tiada pula angin badai yang memancar kemana-mana,
yang ada cuma segulung angin lirih yang menggoyangkan
kain tirai belaka.
Menyaksikan kejadian ini, gadis itupun berpikir,
“Tampaknya tenaga dalam yang dimilik1 kedua orang ini
sudah mencapai taraf sempurna yang bisa dikendalikan oleh
perasaan. Sorot matanya segera dialihkan ke tengah arena, ia

46
saksikan sepasang bahu Hoa In-liong sedikit bergetar,
sebaliknya tubuh Tang Bong liang tergetar sampai mundur
tiga langkah, papan lantai yang diinjak sampai berbunyi
gemerincingan saking beratnya menahan tekanan.”
Ia cukup menyadari sampai dimanakah taraf tenaga dalam
yang dimiliki Tang Bong liang, tapi dia tak mengira kalau
tenaga dalam dari Hoa In-liong telah mencapai taraf yang
sedemikian rupa, kembali pikirnya, “Kalau toh tenaga
dalamnya telah mencapai taraf sedemikian tingginya, suhu
lebih lebih tak mungkin akan membiarkan dia tetap hidup di
dunia ini….”
Makin dipikir gadis itu semakin sedih, sehingga wajahnya
jauh lebih murung.
Tang Bong liang sendiripun amat terperanjat menghadapi
Kenyataan tersebut, sambil tertawa segera katanya, “Sudah
lama aku dengar orang berkata bahwa Hoa kongcu bukan saja
memiliki tenaga Iwekang yang sangat sempurna, kaupun
memiliki kepandaian istimewa untuk menolak racun, sebab
kurang percaya maka sengaja aku telah mencobanya dengan
mencampurkan racun di dalam arak, sebagai seorang pemuda
yang berjiwa besar, tentunya Hoa kongcu tidak akan marah
kepadaku bukan??”
“Aaah..! Belum tentu….” jawab Hoa In-liong sambil
tertawa, “apabila ada orang berniat mencelakai jiwaku,
terpaksa aku harus bertindak kejam pula kepadanya.
Kok Gi-pek yang berada di sampingnya tiba-tiba berkata,
“Empek Tang, begitukah perbuatanmu? Apakah kau tak sudi
memberi muka kepada keponakanmu?”

47
“Kalau nona berkata demikian, aku menjadi tak tahu apa
yang musti dilakukan,” jawab Tang Bong-liang dengan dahi
berkerut.
“Hmm……….! Sepantasnya keponakanlah yang tak tahu apa
yang musti dilakukan.”
Ucapan tersebut bukan saja bernada ketus bahkan sangat
menyudutkan posisi orang itu, tentu saja hal ini membuat
Tang Bong liang menjadi serba salah.
Siau Kui yang berada disampingnya lebih lebih tak berani
berkutik, ia menyurut mundur ke sudut ruangan dan
membungkam diri dalam seribu basa disana.
Jilid 2
Tiba-tiba Hoa In-liong tertawa lantang, lalu selanya, “Nona
Kok, silahkan duduk! Urusan sekecil ini buat apa musti
diributkan terus?”
Mendengar ucapan tersebut Kok Gi-pek tertawa dingin, tapi
ia menurut, tidak banyak bicara lagi.
Ambil contoh Kok Gi pek ini, sesungguhnya bersama Tang
Bong-liang mereka adalah sesama anggota Hian-beng-kau,
bahkan Hoa In-liong merupakan musuh besar perkumpulan
mereka, tapi kenyataannya dia ribut dan bahkan hampir
bergebrak dengan rekannya sendiri, sebaliknya dengan Hoa
In-liong bukan saja bersikap bersahabat, bahkan kelihatan
begitu tunduk dan penurut.
Tang Bong liang yang menyaksikan kejadian ini segera
berpikir, “Sudah jamak kalau hati perempuan condong keluar,

48
semenjak dulu sudah kuanjurkan kepada Sinkun agar jangan
menerima murid perempuan, buktinya sekarang……”
Berpikir sampai disitu, sambil tertawa dia lantas berkata,
“Hoa kongcu, kau betul-betul seorang pendekar muda yang
berjiwa besar dan bijaksana.”
Hoa In-liong tertawa hambar. “Tahukah kau kalau kaucumu
telah mengirim surat undangan kepadaku?” katanya.
Tang Bong liang manggut-manggut.
“Mana mungkin aku tidak tahu…….”
Sebetulnya Hoa In-liong ingin menyindir musuhnya dengan
beberapa patah kata pedas tapi setelah berpikir sebentar ia
membatalkan niatnya itu, katanya kemudian, “Kalau memang
begitu, akan kumohon petunjukmu setelah sampai pada
waktunya nanti.”
Sesudah menjura dan memberi hormat, kembali katanya
kepada Kok Gi pek, “Aku ingin mohon diri lebih dahulu.”
“Tapi….tapi……secawan arak pun belum aku minum masa
kau….. kau akan pergi dengan begitu saja….,” kata Kok Gi pek
dengan perasaan gelisah.
“Maksud baik nona biar kuterima di hati saja,” tukas Hoa
In-liong sambil tertawa lebar.
Betapa gelisahnya Kok Gi pek menghadapi kejadian
tersebut apa mau dikata ia teringat kembali kedudukan
mereka yang saling bermusuhan, sudah barang tentu tak
mungkin baginya untuk meraba pemuda itu secara lembut.

49
Dalam keadaan begini ia cuma bisa melotot ke arah Tang
Bong liang serta Siau Kui dengan sinar mata penuh kebencian.
Buat Tong Bong liang yang berkedudukan tinggi delikan
mata itu masih tidak mendatangkan perasaan apa-apa,
berbeda dengan Siau Kui yang kedudukannya memang rendah
bergidik sekujur tubuhnya karena ngeri, cepat cepat ia
tundukkan kepalanya rendah-rendah.
Bagaimanapun juga soal cinta memang nomor satu di
dunia, hal itu paling aneh, paling sensitip dan sukar diduga,
kadangkala dari musuh mereka bisa berteman, kadangkala
pula dari teman bisa menjadi musuh bahkan orang hidup-pun
bisa menjadi orang mati.
Perjumpaan Kok Gi-pek dengan Hoa In-liong secara diamdiam
tentu saja bukan cuma satu kali, tapi pertemuannya
secara resmi termasuk baru ini boleh dibilang baru kedua
kalinya, jadi kalau dibilang ia sudah jatuh cinta, ditinjau dari
wataknya yang tinggi hati serta cara berpandangannya yang
sempit, hal ini tak mungkin terjadi.
Tapi justru karena kebiasaan memandang rendah orang
lain dan kecuali suhunya, ia selalu menganggap orang lain di
dunia ini sebagai sampah yang tak berguna maka sejak
kekalahan demi kekalahan yang dideritanya di tangan Hoa Inliong,
hal ini membuat watak tinggi hatinya terpukul keras.
Mula-mula kejadian itu sangat menjengkelkan hatinya
malah mendendam lagi, sepulangnya ke rumah ia berlatih
lebih tekun dan berencana pada suatu ketika ilmu silatnya
harus melampaui kemampuan Hoa In-liong. Tapi beberapa
hari kemudian, rasa bencinya makin menawar, meskipun hati
kecilnya masih kangen pada Hoa In-liong, namun jauh
berbeda seperti beberapa hari berselang yang kalau bisa ingin
sekali ia mencincang tubuh si anak muda itu.

50
Apa yang terbayang dalam benaknya ketika itu adalah
ketampanan serta kegagahan anak muda itu, terutama dibalik
kekocakannya terselip kegagahan yang tak terbantahkan.
Gadis itu sadar bahwa perintah gurunya tak mungkin bisa
dilanggar, tak mungkin ia bisa bersahabat dengan pemuda itu,
tapi entah mengapa secara diam-diam ternyata ia telah
mengundang kehadiran pemuda itu.
Sesudah bertemu tadi, ia tak tahu bagaimana harus
membuka pembicaraan tersebut, kemudian dikacau pula oleh
Tang Bong liang serta Siau Kui yang menyebabkan pemuda itu
segera mohon diri, kejengkelan demi kejengkelan yang
diterimanya ini akhirnya menimbulkan kemarahan yang
meluap, hanya saja ia tak tahu bagaimana cara
pelampiasannya
Tiba-tiba air mata mengembang dalam kelopak matanya,
dengan jengkel ia berseru, “Pergilah, pergilah, aku tak akan
menahan mu!”
Sambil menjejakkan sepasang kakinya ke tanah, ia
menerobos keluar lewat jendela, lalu tanpa memperdulikan
kecengangan orang di sekitar jalan raya, ia kabur, secepatcepatnya
meninggalkan tempat itu.
Hoa In-liong sendiri meskipun tahu bahwa urusan itu tak
ada sangkut paut dengannya, tapi sebagai seorang pemuda
romantis, ia paling pantang kalau melihat ada perempuan
menangis.
Baginya tangisan seorang gadis akan membuat
perasaannya tidak tenteram, maka ketika dilihatnya Kok Gi
pek kabur sambil menangis, tiba-tiba ia ikut mengejarnya
sambil berteriak!

51
“Nona Kok……..!”
Tanpa memperdulikan pandangan kaget dari para
pedagang dan rakyat yang berada di sekitar jalan raya, dua
orang itu berlarian sambil mengerahkan ilmu meringankan
tubuhnya, untung kejadian tersebut tidak menimbulkan
kepanikan sebab belakangan ini kota Si ciu memang sudah
mulai terbiasa dengan adegan-adegan semacam itu.
Sebagaimana diketahui, ilmu silat yang dimiliki Hoa In-liong
jelas lebih tangguh daripada kepandaian Kok Gi Pek, dalam
dua tiga kali lompatan saja ia berhasil menyusul gadis itu.
Tiba-tiba Kok Gi pek berpaling sambil mendengus, “Mau
apa kau susul diriku?” Sekalipun nada suaranya masih uringuringan
dan tak senang hati, toh langkah kakinya mulai
mengendor.
“Ehmm…hawa amarahmu itu datang tanpa alasan,” batin
Hoa In-liong dalam hati. Ia lantas berkata dengan lembut,
“Nona, aku bermaksud untuk mengundang nona pindah ke
rumah makan yang lain saja!”
Kok Gi pek segera berhenti, tegurnya dengan ketus,
“Bukankah kau bermaksud untuk mohon diri?
Hoa In-liong ikut menghentikan tubuhnya ia menjawab
sambil tertawa, “Aku kuatir nona tak mau memberi muka
kepadaku, maka terpaksa kugunakan siasat ini agar berhasil.”
Dalam pada itu, Hoa In-liong berdua sedang berdiri di atas
atap sebuah rumah, meskipun tempat itu letaknya jauh sekali
dari jalan raya barat yang teramai, toh banyak juga manusia
yang berlalu lalang disitu, tentu saja dengan pandangan

52
tercengang mereka perhatikan sepasang muda-mudi yang
berada di atas atap rumah itu.
Setelah rasa sedih dan kesalnya berkurang, Kok Gi pek
baru merasakan bahwa tindakannya ini kurang baik, cepat ia
melayang turun ke dalam kolong yang sepi diikuti Hoa In-liong
dari belakang.
“Aku ingin mencari suatu tempat yang sepi dan terpencil”
kata Kok Gi pek kemudian.
“Baik!” Hoa In-liong menyetujuinya sambil mengangguk,
mau tempat yang terpencil tidak sulit, yang susah justru
tempat yang sepi dan terlepas dari gangguan sebab biasanya
makin terpencil tempat itu kemungkinan semakin gaduh
suasananya…!”
“Tidak menjadi soal, bagiku asal jauh dari gangguan
manusia-manusia yang menjemukan itu.”
Yang dimaksudkan sang gadis sebagai “manusia manusia
yang menjemukan” itu jelas tak lain adalah para jago dari
perkumpulan Hian-beng-kau.
Hoa In-liong segera tersenyum,
“Kalau begitu mari kita berjalan menelusuri jalan ini!”
ajaknya.
Baru saja pemuda itu akan beranjak, tiba-tiba Kok Gi pek
menarik ujung bajunya sambil berbisik.
“Eeeh…..jangan menuju ke arah sana!”
“Kenapa?” tanya Hoa In-liong sambil berpaling setelah
tertegun sesaat lamanya.

53
“Seingatku baru saja kita datang dari arah selatan, kalau
sekarang kita menuju ke sana lagi bukankah sama artinya
dengan berjalan balik ke tempat semula? Seharusnya kita
menuju kemari.”
“Huuu… urusan sepele pun dibicarakan terus tidak ada
hentinya,” pikir pemuda itu dalam hati. Maka sambil
tersenyum katanya, “Baiklah, akan kuturuti kemauanmu…..”
Ia lantas putar badan dan menuju ke arah yang ditunjuk.
Sekulum senyuman secerah bunga yang baru mekar
menghiasi wajah Kok Gi-pek, dengan wajah berseri-seri
karena gembira gadis itu mengikuti dari sampingnya.
Lorong itu walaupun sempit tapi panjang dan lurus, kurang
lebih setengah li sudah dilewati namun ujung jalan belum juga
kelihatan.
Ko Gi pek mulai celingukan kesana kemari, akhirnya ia
temukan sebuah warung mie ditepi jalan, segera ditariknya
ujung baju Hoa In-liong sambil berbisik, “Bagaimana kalau di
tempat ini saja?”
Hoa In-liong berpaling ke arah yang ditunjuk, ia saksikan
warung mie itu gelap kotor dan sempit dengan alis berkernyit
katanya.
“Buat aku sih tak menjadi soal…..”
“Kalau begitu kita bersantap disini saja!” tukas Kok Gi pek
dengan cepat.

54
Selincah burung walet yang terbang di angkasa, gadis itu
melompat masuk ke dalam warung dan mencari tempat
duduk.
Sudah barang tentu dalam keadaan begini tak ada pilihan
bagi Hoa In-liong daripada mengikuti kehendak si nona dan
masuk dalam warung.
Pemilik warung mie itu adalah seorang kakek yang
wajahnya penuh keriput, ketika secara tiba-tiba ia saksikan
dalam warungnya kehadiran sepasang muda-mudi yang cakep
masuk, sesaat kemudian tertegun dan mengucak-ucek
matanya berulang kali.
Semenjak kecil sampai tua belum pernah ia jumpai pemuda
yang tampan dan gagah seperti ini belum juga menjumpai
gadis yang cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, tak heran
kalau kakek itu melongo dan tak tahu apa yang meski
dilakukan.
Setelah berada di dalam warung, Hoa In-liong jumpai
warung tersebut gelap kotor, kecuali tiga buah meja kasar,
hanya terdapat delapan buah bangku bambu, waktu itu tak
seorang manusia pun bersantap disana.
Tapi Kok Gi pek tidak ambil perduli terhadap keadaan
tersebut, ia mengambil dua buah bangku dan lantas duduk.
“Hayo duduklah!” ia berkata manja.
Hoa In-liong ikut duduk, kemudian katanya sambil tertawa,
“Agaknya kau sudah jemu bersantap di rumah makan
terkenal? Sehingga warung mie macam beginipun kau
datangi.”
Kok Gi-pek tertawa.

55
“Kau sendiri juga bukan untuk pertama kali bersantap di
tempat semacam ini bukan?” katanya.
Hoa In-liong gelengkan kepalanya berulang kali.
“Tidak. Sewaktu masih kecil dulu aku sering turun gunung,
warung-warung kecil semacam ini banyak tersebar di sekitar
bukit Im-tiong-san, bukan cuma satu kali saja aku bersantap
di warung kecil semacam ini.”
“Tapi aku dengar perkampungan Liok-soat sanceng kalian
kaya raya dan hartanya menandingi sebuah negeri, masa
dirumah tak ada makanan sampai kau musti jajan di warung
kecil?” kata Kok Gi pek sambil membelalakkan sepasang
matanya.
Mendengar perkataan itu, Hoa In-liong segera tertawa
terbahak-bahak.
“Haaaah….. haaah… haaah…… bandit-bandit kecil,
gelandangan-gelandangan kecil yang hidup di sekitar bukit Im
tiong san merupakan anak buahku semua, setiap hari kami
selalu berkumpul dan main bersama, tentu saja komplotan
manusia semacam kami tak pantas untuk jajan di sebuah
rumah makan besar yang mentereng.”
Ketika mendengar cerita tersebut Kok Gi-pek seolah-olah
membayangkan pula kebinalannya dikala masih kecil dulu,
sekulum senyuman segera tersungging di ujung bibirnya.
Tiba-tiba ia merasa kakek pemilik warung itu sama sekali
tidak menyapa mereka, sambil berpaling segera bentaknya!
“Hei, tauke! Ada tamu yang datang bersantap kenapa tidak
kau perdulikan sama sekali.”

56
Mungkin lantaran baru pertama kali ini warungnya
dikunjungi sepasang muda-mudi secakep itu, si kakek pemilik
warung menjadi takut untuk menyapa, apalagi maju
mendekatinya.
Setelah ditegur oleh si nona yang cantik jelita bak bidadari
dari kahyangan itu, dengan gelagapan baru katanya, “Siau
loji…………”
“Soal yang lain tak usah dibicarakan lagi,” tukas Kok Gi pek
sambil ulapkan tangannya, “disini ada makanan apa yang
dijual?”
“Nona suka makan apa?” kakek itu balik bertanya setelah
tertegun beberapa saat lamanya. Kok Gi pek kembali tertawa
merdu.
“Makanan yang kusukai tak mungkin ada disini!” katanya.
“Coba nona sebutkan, mungkin aku si tua bisa
mengusahakannya………”
Kok Gi pek segera memutar biji matanya yang jeli, lalu
jawabnya satu persatu, “Aku gemar makan Telapak tangan
beruang, tonjolan daging punggung unta, bibir gorilla, ikan
mujair bersirip empat dan masih beraneka macam masakan
lainnya, apakah disini tersedia hidangan semacam itu?”
Diam-diam geli juga Hoa In Hong mendengar perkataan itu
pikirnya, “Kalau dalam perjumpaan yang lalu ia tampak seperti
searang gadis yang matang dengan segala tipu daya yang
sempurna, maka sikapnya sekarang tak lebih dari seorang
gadis remaja yang masih polos lucu dan binal lagi….”

57
Tentu saja kakek itu terbelalak lebar matanya setelah
mendengar nama nama hidangan yang termasuk mewah itu ia
menjadi gelagapan sendiri, “Kalau ini…. kalau ini…”
“Makanya tak usah membicarakan yang muluk muluk”
tukas Kok Gi pek sambil tertawa, “sebutkan saja nama-nama
bakmi yang kau jual disini!”
Seperti baru saja mendapat pengumuman dari hukuman
mati, buru-buru kakek itu menyebutkan semua nama bakmi
yang dijual dalam warung itu.
Kok Gi pek termenung dan berpikir sebentar, kemudian
sambil berpaling ke arah Hoa In-liong katanya, “Nama dari
masakan bakmi lainnya tidak kupahami, cuma nama Yang cun
mie saja…”
Tersenyum juga Hoa In-liong menyaksikan tingkah laku
gadis itu, pikirnya.
Beginilah kalau di hari-hari biasa sebagai murid dari Hianbeng
kaucu harus makan aneka macam hidangan yang lezat
dan mewah, sehingga terhadap makanan yang sederhana dan
umum tidak dipahami.” Maka katanya kemudian sambil
tersenyum.
“Kalau Yang cun-pek-soat tentunya kau tahu bukan?”
Kok Gi-pek tertawa geli.
“Oooh…………jadi yang dimaksudkan Yangcun-mie adalah
bakmi putih? Baiklah, mari kita cicipi mie putih!” katanya.
Kemudian sambil menatap wajah Hoa In-liong dengan biji
matanya yang jeli, gadis itu bertanya lagi lembut, “Kau sendiri
suka makan apa?” Hoa In-liong tertawa.

58
“Apa yang kau sukai akupun suka, mari kita bersama-sama
mencicipi Yang cun-mie!”
Kok Gi-pek tertawa manis, ia lantas memberi tanda kepada
kakek itu untuk membuatkan pesanannya.
Waktu itu tengah hari sudah menjelang tiba, tapi belum
ada tamu yang bersantap disana, Hoa In-liong mencoba untuk
menengok ke depan, ia temui belasan orang yang berada
diluar warung sedang menengok ke-arah mereka berdua.
Perlu diterangkan disini, tungku tempat masak dari warung
mie ini letaknya ada di dekat pintu masuk, waktu itu si kakek
sambil menyiapkan mie sering kali harus menyapa pula rekanrekannya.
Tiba-tiba muncul seorang laki-laki kekar yang menghampiri
kakek itu, lalu membisik kan sesuatu disisi telinga.
Sebagai seorang jagoan yang berilmu tinggi, Hoa In-liong
sempat mendengar orang itu sedang menyebutkan nama
sendiri.
Benar juga, dengan terperanjat kakek itu menengok
kembali ke arah tamunya, tanpa ia sadari perasaan kagum
dan hormat segera muncul menghiasi wajahnya, sedang lakilaki
tadi setelah membisikkan sesuatu segera mengundurkan
diri kembali dari warung itu.
Hoa In-liong mengerti bahwa laki-laki yang berkerumun di
muka warung mungkin adalah sekawanan rakyat kecil yang
hidup melarat.

59
Lantaran mereka menjumpai Hoa Ji kongcu berada disana,
maka tak seorangpun yang berani masuk ke warung untuk
makan bersama.
Sesungguhnya pemuda itu bermaksud untuk memanggil
mereka masuk dan dan makan bersama, sehingga dagangan
warung mie ini tidak terganggu tapi menyaksikan kegembiraan
Kok Gi pek waktu itu ia menjadi tak tega. Pikirnya,
“Persahabatan diantara kami mungkin hanya berlangsung kali
ini saja…..”
Ai, kalau toh ia mengharapkan suasana yang tenang, lebih
baik kubiarkan dia makan dengan tenang dan tenteram, asal
kubayar lebih banyak untuk kakek ini urusan toh akan beres
dengan sendirinya.”
Tak lama kemudian kakek itu sudah datang
menghidangkan dua mangkuk mie sambil berdiri disamping,
katanya agak tergagap, “Hoa ya, bakmi ini….bakmi ini…..”
“Soal ini tak usah kau urusi pergilah mengundurkan diri!”
kata Hoa In-liong sambil ulapkan tangannya.
Kakek itu mengira sedang muda-mudi itu adalah sepasang
kekasih yang sedang bercinta-cintaan dan tak ingin diganggu
orang, cepat-cepat mengundurkan diri dari sana.
Kok Gi pek bersantap dengan nikmatnya, sedang Hoa Inliong
ikut menyupit bakmi itu dan melalapnya beberapa kali,
pikirnya kemudian, “Heran apa enaknya dengan bakmi ini…..”
Hubungan antara pria dan wanita memang sangat aneh
dan ajaib, dikala tiada kecocokan meski hidangan lezat yang
mahal harganya sukar rasanya ditelan, sebaliknya bila muncul
bibit cinta, maka sekalipun makanan yang paling tak enakpun,
kalau dimakan rasanya juga nikmat.

60
Terdengar Kok Gi pek berkata dengan lembut, “Bagaimana
rasanya?” “Ehm,…. lumayan juga!” jawab Hoa In-liong sambil
tertawa.
Kok Gi pek seperti ingin mengucapkan sesuatu, tapi niat itu
kemudian dibatalkan. Selang beberapa saat kemudian baru
katanya lagi, “Apakah malam nanti kau bertekad untuk
menghadirinya?”
Hoa In-liong tahu, yang dia maksudkan adalah undangan
dari Kok See pian, katanya sambil tertawa, “Apa lagi yang
musti kukatakan?”
“Aaaai….tahukah kau bahwa beberapa orang suteku, Beng
Wi-cian serta Toan-bok See-liang mereka semua mendesak
terus kepada guruku guna melenyapkan kau dalam perjamuan
tersebut?” kata Kok Gi pek sambil tertawa.
“Lantas bagaimana pendapat gurumu?” tanyanya.
Guruku cuma tertawa tanpa menjawab, aku rasa
keadaannya sangat gawat dan sangat membahayakan jiwamu,
lebih baik kau jangan pergi kesana.
Hoa In-liong termenung sejenak, lalu katanya, Walaupun
aku belum pernah bersua dengan gurumu, tapi dapat kuduga
dalam perjamuan tersebut gurumu pasti akan menyambut ke
datanganku dengan hormat dan sungkan.
Kok Gi pek menghela nafas panjang setelah mendengar
perkataan itu, ujarnya kemudian.
“Kalau memang begitu kau harus berhati-hati!”

61
Setelah berpikir sebentar, tiba-tiba katanya lagi, “Guruku
berhasil meyakinkan sejenis tenaga pukulan yang mampu
menyalurkan hawa beracun ke dalam isi perut lawan tanpa
disadari oleh sang korban sendiri, daya kerja racun itu keras
dan kuat. Dewasa ini belum ada tandingannya di dalam
dunia…..”
“Aku tidak mempan terhadap segala jenis racun, jadi tak
usah kuatir….” tukas Hoa In-liong sambil tertawa.
“Terhadap racun kau boleh tidak takut, tapi tenaga pukulan
itu bisa menembusi lapisan pelindung badan yang bagaimana
kuatnya, orang akan terluka isi perutnya tanpa ia sendiri
menyadarinya.”
Setelah berhenti sejenak ia menambahkan sambil tertawa
sedih, “Aaaai… padahal sesungguhnya tak boleh
kuberitahukan segala sesuatunya kepadamu.”
“Nona tak usah kuatir, tidak akan memanfaatkan
pemberitahuan nona itu bagi kepentingan ku!”
“Kau…!” seru Kok Gi-pek dengan kesal. Kepalanya segera
ditundukan rendah-rendah dan mulutnya membungkam dalam
seribu bahasa.
“Bagaimana kalau kita pergi?” kata Hoa In-liong kemudian
sambil bangkit berdiri. Tanpa, mengucapkan sesuatu apapun
Kok Gi-pek bangkit berdiri dan mengikuti pemuda itu keluar
dari warung.
Sebelum pergi, Hoa In-liong meninggalkan sekeping uang
perak ke atas meja sambil katanya, “Sobat-sobat diluar,
kujamu kalian semua.”

62
Hoa-ya, uangmu kebanyakan…………..paling-paling cuma
beberapa rence yang tembaga……..” seru kakek itu gugup.
Tapi sebelum ia menyelesaikan kata-katanya, Hoa In-liong
sudah bertegur sapa dengan sekalian orang diluar warung,
kemudian bersama Kok Gi-pek pergi meninggalkan tempat itu,
sekejap kemudian bayangan tubuh mereka sudah lenyap di
ujung lorong.
Beberapa saat kemudian, mereka berdua sudah keluar dari
pintu kota selatan. Hoa In-liong segera berhenti sambil
katanya.
“Selamat jalan nona, aku tidak menghantar lebih jauh!”
Kok Gi-pek menghela napas panjang.
Aaaai……..apakah kita masih boleh berkawan?” tanyanya.
“Sekarang bukankah kita sedang bersahabat?”
“Tapi bagaimana selanjutnya?” tanya Kok Gi pek sambil
mendongakkan kepalanya.
Diam-diam Hoa In-liong berpikir dalam hati, “Kalau gurumu
bersikeras ingin membalaskan dendam bagi kematian
gurunya, sudah barang tentu keluarga kami tidak akan
membiarkan kau bertingkah sekehendak hatinya dimuka
umum, dalam keadaan begini hubungan kita ibaratnya api dan
air mana mungkin persahabatan ini bisa terjalin lebih
jauh…….?”
Ketika berpikir sampai disini, ia sudah akan membuka suara
untuk memberi jawaban akan tetapi ketika dilihatnya Kok Gi
pek dengan sepasang biji matanya yang bening dan jeli
sedang menatapnya tajam-tajam bahkan tubuhnya yang

63
ramping kelihatan agak gemetar, pemuda itu menjadi ragu
untuk melanjutkan kata-katanya.
Karena itu setelah termenung dan berpikir sejenak,
sahutnya sambil tertawa, “Asal kau tak ingin membunuhku,
tentu saja kita boleh bersahabat terus untuk selama-lamanya.”
Sungguh lega perasaan Kok Gi pek ia tertawa manis.
Jago-jago lihay dari perkumpulan kami sebagian besar
berkumpul dalam sebuah gedung besar lebih kurang belasan li
di kota bagian selatan,” bisiknya lirih, “sedangkan jago yang
berada dalam tingkatan kedua berkumpul dalam sebuah
gedung dekat kota, jika dalam surat undangan tidak
dicantumkan alamatnya itu berarti perjamuan akan
diselenggarakan dalam gedung yang agak jauh letaknya dari
kota, cuma…..yaa dalam perjamuan itu mungkin aku tidak ikut
munculkan diri.”
Hoa In-liong tersenyum.
“Aku sendiripun tak ingin berjumpa dengan kau dalam
suasana dan keadaan seperti itu,” katanya pula.
Sambil putar badan ia maju beberapa langkah, tapi ia
berpaling kembali, dan dilihatnya Kok Gi pek masih berdiri di
tempat semula sambil memandang bayangan punggungnya
dengan termangu-mangu.
Hoa In-liong ulapkan tangannya bermaksud agar nona itu
cepat pergi, siapa tahu bagaikan burung walet yang kembali
ke sarangnya, Kok Gi-pek malahan menerjang kehadapannya
sambil memanggil. “In-liong…”
Setelah berhenti sejenak, ia menambahkan, “Bolehkah aku
memanggil namamu dengan sebutan tersebut?”

64
Hoa liong manggut-manggut.
“Ada apa?” ia bertanya.
Kok Gi-pek tertawa jengah, agak tergagap ia menjawab,
“Oooh…tidak apa-apa…”
Hoa In-liong tertawa lebar, dan segera putar badan
meninggalkan tempat itu, pikirnya Kalau begini terus-terusan
pasti tiada akhirnya.
Rasa cintanya terhadap Kok Gi-pek boleh dibilang
tersendat-sendat dan tidak berani berlangsung secara bebas,
bukan saja ia teringat kembali akan diri Coa Wi-wi, pemuda
itupun menyadari bahwa permusuhan antara keluarga Kok
dan keluarga Hoa cepat atau lambat pasti akan berakhir,
sekalipun menu-rut anggapannya cinta adalah cinta, dendam
adalah dendam dan satu sama lainnya tak bisa dipersatukan,
namun dia cukup mengerti pandangannya belum tentu bisa
sama dengan pandangan orang.
Baginya untuk melukai hati seorang gadis secantik itu
bukan menjadi wataknya, maka sebelum segalanya terlanjur
dia harus bertindak lebih berhati hati lagi.
Sementara masih berpikir, tahu-tahu ia sudah tiba dimuka
rumah penginapan, waktu itu Coa Cong-gi dan Yu Siau-Lam
sekalian telah keluar rumah, sedangkan Ho Keh-sian, Kok
Hiong-seng dan beberapa orang kakek tetap tinggal disana.
Dengan suara lantang Hoa In-liong segera berteriak,
“Empek Ho, saudara Siau-lam sekalian telah pergi kemana?”

65
Dengan kening berkerut, kata Ho Keh-sian, “Karena sampai
tengah hari kau belum pulang juga, mereka merasa tak
tenang dan segera keluar rumah untuk mencarimu.”
Hoa In-liong tertawa.
Kesetiaan kawan mereka sangat terpuji, cuma mereka lupa,
bahwasanya aku bukan seorang manusia yang gampang
dipecundangi orang.
Setelah berhenti sejenak, kembali tanyanya, “Apakah
orangnya Cia Yu-cong sudah datang?”
Ho Keh-sian manggut-manggut.
“Menurut orang itu, setelah dua orang anggota Hian-bengkau
diikuti secara diam-diam, dapat diketahui bahwa mereka
masuk ke dalam sebuah gedung kurang lebih beberapa li
diluar kota sebelah timur”
Sambil tertawa Hoa In-liong gelengkan kepalanya berulang
kali.
“Tempat itu bukan gedung yang dihuni Kok See-piau,
sebab mereka berada sepuluh li di selatan kota.”
“Hei, mengapa kau singgung pula soal Kok See-piau si
bajingan tengik itu?” tegur Ho Keh-sian keheranan.
“Kini Kok See-piau telah menjadi seorang gembong iblis
yang mengerikan, ia menyebut dirinya sebagai Kiu ci Sinkun,
setelah mendirikan Perkumpulan Hian-beng-kau, ia dipanggil
orang sebagai kaucu!”

66
“Aaaah… mana si bajingan tengik itu sudah berhasil
mencapai kelihaian yang sedemikian hebatnya?” seru Ho Kehsian
dengan perasaan amat terkejut.
Sebagaimana diketahui, sewaktu jaman jaya-jayanya
perkumpulan Sin ki-pang, pek Siau thian mempunyai
hubungan persahabatan yang akrab sekali dengan Bu-liang
sinku.
Dalam masa-masa tersebut Kok See-piau sering kali
berkunjung ke bukit Tay-pa-san sebagai tamu agung, tidak
heran kalau semua anggota Sin-ki Pang kesal dengannya.
Diantara sekian banyak orang, cuma Kok Liong seng
seorang yang tidak menunjukkan reaksi apa apa, karena dia
yang jarang terjun dalam dunia persilatan tidak mengenali
siapakah Kok See-piau itu.
Kedengaran Si Jin-kiu berkata dengan dingin, “Semua
saudara-saudara kami telah dikumpulkan untuk berjaga
diluar perkampungan, bila gelagat tidak menguntungkan nanti,
kami siap untuk menyerbu ke dalam guna memberi bantuan.”
“Perkataan dari Si lote betul juga…..”
Ho Keh-sian manggut-manggut. “Dendam kesumat Kok
See-piau terhadap keluarga Ji kongya memang menumpuk
bagaikan sebuah bukit, dari pada Liong sauya pergi seorang
diri, memang ada baiknya kalau mempersiapkan bala bantuan
diluar gedung, siapa tahu kalau waktu itu tenaga kami sangat
dibutuhkan?”
Hoa In-liong tertawa.
“Empek sekalian jangan terlalu pandang rendah dirinya.
Kok See-piau yang sekarang berbeda de-ngan Kok See-piau

67
dulu, cukup dilihat dari ambisinya yang setinggi langit dapat
diketahui bahwa manusia ini tak bisa diangap enteng.”
Kok Hong seng tertawa terbahak-bahak, dia ikut
menimbrung, “Haaah…..haaah…..haaahh…… sungguh tak
kusangka Han beng kaucu berasal satu marga denganku.
Wah…. kalau begitu aku musti berkenalan lebih akrab lagi
dengannya.”
Tentu saja yang dimaksudkan sebagai “perkenalan yang
lebih akrab” adalah suatu tantangan untuk berduel dengan
Kok See-piau.
Sementara semua orang masih berseloroh tiba-tiba
terdengar suara langkah manusia berkumandang dari luar
ruangan, manusianya belum muncul suara dari Coa Cong gi
sudah berkumandang dengan lantang.
“Hai permainan setan apa yang sesunggunya sedang kau
lakukan? Bukankah sudah dibilang hanya pergi ke rumah
makan sebentar? Kemana lagi kau pergi?”
Dengan langkah lebar ia masuk dulu ke dalam ruangan
dikuti Yu Siau Lim, Li Poh seng dan Kok Siong-peng.
“Dalam kepergianku kali ini berhasil kuketahui asal usul dari
Hian-beng kaucu, dan kalian?” kata Hoa In-liong.
Coa Cong-gi tertegun mendengar perkataan itu, segera
serunya, “Siapakah bajingan keparat itu? Cepat beritahukan
kepada kami!”
Dengan ogah-ogahan Hoa In-liong menggeliat, lalu
katanya, “Lebih baik tanyakan sendiri kepada congkoanmu,
karena dia adalah sanak keluarganya Kok congkoan!”

68
Dengan mata melotot besar Coa Cong-gi segera berpaling,
kepada Kok Hong-seng segera teriaknya, “Bagus sekali! Hei
Kok congkoan! Tak ku sangka kalau kau adalah anak
keluarganya gembong iblis itu.”
Tentu saja keadaan ini menggelisahkan Kok Hiong-seng, ia
benar-benar di bikin runyam mau tertawa tak bisa mau
menangis pun sungkan.
“Eeeh………eeeh….nanti dulu, nanti dulu, walaupun
gembong iblis itu berasal dari marga Kok tapi bukan sanak
keluargaku. Ji-kong cu cuma bergurau saja.”
Hoa In-liong tetap tenang-tenang saja walaupun melihat
kepanikan orang, seakan akan tak pernah terjadi sesuatu ia
lantas memberi hormat sambil berkata, “Untuk menghadapi
pertemuan magrib nanti, aku membutuhkan tenaga dan
kondisi badan yang baik, maaf kalau aku muski pergi
beristirahat lebih dulu…….”
Selesai berkata dia lantas meninggalkan ruangan itu
kembali ke kamarnya sendiri, dimana ia duduk bersemedi
sambil mengatur pernapasan, ia cukup tahu betapa seriusnya
pertemuan magrib nanti, maka persiapan yang dilaksanakan
tak berani dilakukan secara gegabah.
Rekan-rekan lainnya tak ada yang berani mengganggu
ketenangan pemuda itu, mereka semua berkumpul di ruang
depan untuk merundingkan cara yang terbaik dalam
melindungi keselamatan pemuda tersebut.
Ketika Hoa In-liong membuka matanya kembali, sore telah
menjelang tiba, ia mendengar suara dari Beng Wi thancu dari
ruang Thian ki di dalam perkumpulan Hian-beng-kau sedang
berkumandang diluar, maka bergegas ia keluar dari kamarnya.

69
Ketika Beng Wi-thancu menjumpai kemunculan anak muda
itu, ia segera memberi hormat sambil berkata, Waktu sudah
tidak pagi lagi, bagaimana kalau sekarang juga kita melakukan
perjalanan?”
“seharusnya memang demikian!” jawab anak muda itu.
Dengan sorot matanya yang tajam Beng Wi-cian menyapu
sekejap kawanan jago yang berada di sekeliling tempat itu,
lalu kembali berkata, “Begini banyak sahabat Hoa kongcu yang
berkumpul disini, mau berangkat bersama ataukah kau
hendak penuhi undangan tersebut seorang diri?” Coa Cong gi
segera membuka mulutnya seperti hendak mengucapkan
sesuatu, tapi niat itu kemudian dibatalkan.
Hoa In-liong lantas menduga bahwa mereka sudah
mempunyai rencana tertentu, sebab kalau tidak demikian,
dengan waktu Coa Cong gi yang berangasan mana mungkin ia
bisa menahan diri?
“Tentu saja aku berangkat seorang diri!” katanya
kemudian.
“Kalau begitu, silahkan!” kata Beng Wi cian sambil
mengelus jenggotnya dan tertawa, ia melangkah lebih duluan
meninggalkan ruang tersebut.
sebelum berangkat tiba-tiba Hoa In-liong berpaling dan
katanya dengan wajah bersungguh sungguh, “Empek Ho, aku
harap kalian jangan berjaga jaga diluar gedung, sebab kalau
sampai ketahuan mereka, tentu mereka akan mentertawakan
orang-orang keluarga Hoa kami yang dinilainya sebagai
penakut semua.”

70
Ho Kek sian yang mendengar perkataan itu menjadi
tertegun, baru saja ia hendak mengucapkan sesuatu, Hoa Inliong
sudah pergi jauh.
Setelah keluar dari rumah penginapan, ia jumpai ada
beberapa orang anggota Hian-beng-kau sedang menuntun
kuda, salah seekor diantaranya berbulu hitam pekat dan sama
sekali tak ada campuran warna lain, dari kepala sampai keekor
panjangnya satu koma dua tombak, tinggi besar dan kekar
sekali, jelas seekor kuda jempolan.
“Kuda bagus!” puji Hoa In-liong tanpa sadar.
Wu-im-kay soat (awan hitam menyelimuti salju) ini adalah
kuda mustika kesayangan kaucu kami,” demikian Beng Wi cian
menerangkan, “oleh karena Hoa kongcu adalah seorang yang
terhormat, sengaja kami jemput kedatangan kongcu dengan
kuda ini. Dari sini bisa diketahui bahwa kaucu kami sangat
menaruh perhatian terhadap diri Hoa kongcu.”
Hoa In-liong coba memperhatikan kuda itu dengan
seksama, betul juga keempat buah kakinya putih mulus
bagaikan salju, maka ia cuma tersenyum belaka tanpa
mengambil komentar, dengan enteng tubuhnya melompat ke
atas punggung kuda itu.
Pada umumnya kuda mustika semacam ini hanya kenal
dengan majikannya, barang siapa berani mendekatinya dia
selalu berontak dan berusaha melemparkan orang asing itu
dari punggungnya.
Begitu juga halnya dengan kuda ini, baru saja Hoa In-liong
melompat ke atas punggungnya, kuda itu segera meringkik
panjang, sepasang kaki depannya diangkat ke atas,
punggungnya disentakkan ke belakang dan berusaha
melemparkan tubuh Hoa In-liong ke udara.

71
Ringkikan panjang itu cukup nyaring dan menggetarkan
selaput telinga, kontan saja para penjalan kaki yang berada di
sekitar tempat itu mengundurkan diri ke belakang, rupanya
mereka kuatir jika kuda tersebut mengumbar sifat liarnya.
Wu-im-kay-soat atau awan hitam menutupi salju adalah
sejenis kuda jempolan yang langka di dunia ini, biasanya jika
ia sedang marah maka kuda kuda lainnya akan menjadi
ketakutan dan pada kabur dengan badan bergemetaran.
Diam-diam Beng Wi cian tertawa sinis, pikirnya, “Akan
kulihat dengan cara apa kau hendak menaklukan kuda ini…..”
Haruslah diketahui, bagi orang-orang yang berilmu silat
tinggi bukan menjadi masalah Untuk menundukkan kuda
macam “Wu im kay soat” ini kendatipun kuda itu lebih hebat
beberapa kali lipat, cuma untuk menaklukan secara manis
bukanlah suatu perbuatan yang gampang, apalagi di tengah
kota yang ramai, apalagi kuda itu sampai melukai orang sudah
pasti Hoa In-liong akan merasa kehilangan muka.
Siapa tahu Hoa In-liong memang sudah menduga maksud
busuk orang-orang itu, menaklukan kuda bukan sesuatu yang
aneh bagi pemuda ini, apalagi dirumahnya terdapat pula
“Liong ji” sejenis kuda berkeringat darah yang lebih susah
ditaklukkan maka menaklukkan kuda liar bagi Hoa In-liong
adalah suatu pekerjaan yang bisa dengan pengalaman yang
matang.
Maka begitu badannya melayang turun di atas pelana,
sepasang kakinya segera menjepit perut kuda itu keras-keras,
hawa murnipun disalurkan untuk memberatkan bobot
tubuhnya.

72
Dengan berbuat demikian, maka kuda “Wu im-kay soat”
tersebut segera merasakan punggungnya seperti ditindih
dengan bukit karang yang berat sekali, sekalipun ia sudah
berusaha untuk meronta kesana kemari dan mencoba untuk
melemparkan penumpangnya ke udara, usahanya itu selalu
gagal total.
Lama kelamaan rupanya kuda itu mulai sadar bahwa orang
yang dihadapinya cukup tangguh, sambil meringkik panjang ia
lantas berusaha menerjang maju ke depan.
Apabila kuda “Wu im kay soat” tersebut sempat menerjang
ke muka secara kalap, tak bisa dihindari lagi tentu banyak
orang yang akan terluka terlanggar kakinya, suasana seketika
menjadi gempar dan semua orang melarikan diri tercerai
berai.
Disaat saat yang paling kritis itulah, Hoa In-liong melompat
turun ke atas tanah, dengan sepasang tangan-nya yang kuat
ia memeluk tengkuk kuda itu lalu ditekannya ke bawah.
Dengan marah kuda Wu im kay soat memberontak, kakinya
dijejakkan kesana kemari sambil meronta dengan sepenuh
tenaga, pasir dan debu sampai beterbangan memenuhi
angkasa tapi tubuhnya tak bisa berkutik.
Selang beberapa saat kemudian suara ringkikan kuda “Wu
im kay soat” makin melemah, Hoa In-liong segera membentak
keras, “Binatang! Kau belum juga mau takluk?”
Diam-diam hawa murninya diperbesar dua bagian kuda Wu
im kay soat itu meringkik panjang lalu tak berkutik lagi dengan
kepala yang digoyang goyangkan dan ekor yang dikebaskan
kesana kemari binatang itu menunjukkan sikap mohon belas
kasihan.

73
Setelah berada dalam keadaan begini tempik sorak mulai
menggelegar dari empat penjuru semua orang pada bertepuk
tangan sambil memuji tiada hentinya.
Diam-diam Beng Wi cian pun merasa sangat kagum, sambil
mengelus jenggotnya dan tertawa ia berkata, “Tenaga dalam
yang dimiliki Hoa kongcu benar-benar mengagumkan, kecuali
kaucu kami belum pernah ada orang kedua yang sanggup
menaklukkan kuda jempolan ini semudah sekarang ini.”
Dengan muka yang tidak merah, nafas tidak tersengkal
kata Hoa In-liong dengan hambar, “Kepandaian macam begitu
bukan terhitung kepandaian jempolan, harap jangan kau
tertawakan.”
Beng Wi cian tidak banyak berbicara lagi ia lantas naik ke
atas kudanya diikuti beberapa orang anggota Hian-beng-kau
yang lain kemudian mereka bersama-sama berangkat ke luar
dari kota selatan.
Hoa In-liong jalan bersanding dengan Beng Wi cian, sesaat
kemudian sampailah mereka di depan sebuah gedung.
Gedung itu besar sekali dan berdiri di tengah hutan yang
lebat, meskipun luas bangunannya tidak mentereng, jauh
berbeda dengan gedung-gedung yang biasa dihuni oleh kaum
hartawan.
Waktu itu pintu gerbang terbuka lebar, sepanjang jalan dari
pintu gerbang sampai di luar ruang tengah, kedua sisi
jalannya penuh berdiri dengan laki-laki berbaju ungu yang
menyandang golok, jumlah mereka mencapai tiga puluh orang
lebih.
Kawanan jago itu berbaris sangat rapi, masing-masing
membawa sebuah obor yang diangkat tinggi tinggi sehingga

74
suasana dalam gedung terang benderang bagaikan di tengah
hari.
Sekalipun demikian, suasana tetap tenang dan tak
kedengaran sedikit suarapun, dibalik kehening-an lamat-lamat
terselip pula hawa pembunuhan yang mengerikan.
Ketika Hoa In-liong melompat turun dan kudanya, seorang
anggota Hian-beng-kau segera maju menyambut tali les
kudanya.
00000O00000
Bab 41
Silahkan masuk Hoa kongcu kata Beng Wi-cian kemudian
sambil memberi hormat, “kaucu Kami sudah menunggu
semenjak tadi.”
Sambil tersenyum Hoa In-liong melangkah masuk ke dalam
ruangan.
Laki-laki kekar yang berdiri dikedua belah sisi jalan itu
segera teriak bersama, “Hoa kongcu tiba……”
Tenaga dalam yang dimiliki lima enam puluh orang ini ratarata
cukup sempurna, apalagi berteriak secara serempak,
hebatnya melebihi guntur yang membelah bumi di siang hari
bolong sungguh memekikkan telinga.
Tapi Hoa In-liong tetap tenang, terpengaruh barang
sedikitpun tidak dia malah bersikap seakan-akan tak pernah
menyaksikan sesuatu apapun, sementara dalam hati kecilnya
ia berpikir, “Hian-beng-kau merupakan suatu organisasi yang
lain dari pada yang lain dengan perkumpulan lainnya dalam
dunia persilatan, tak mungkin rasanya mereka akan mencoba

75
musuhnya dengan menggunakan barisan golok atau
sebangsanya….”
Sementara masih melamun, ia sudah tiba di depan ruangan
besar, tampaklah seorang laki-laki berjubah panjang warna
merah memelihara jenggot bercabang tiga, bermuka putih tapi
keren berdiri dibarisan terdepan.
Meskipun ia cuma berdiri biasa, namun sorot matanya yang
melebihi ketajaman burung elang itu cukup membuat orang
melihatnya menjadi ngeri dan bergidik.
Hoa In-liong segera mengerti, kecuali Kok See-piau sedang
mengamati wajah Hoa In-liong dari ujung rambut sampai
ujung kakinya, sinar mata itu buas dan mengandung nada
kebencian, sampai Hoa In Hong yang tersohor karena
keberaniannya ikut bergidik juga jadinya.
“Sungguh tak kusangka rasa bencinya terhadap keluargaku
sudah mencapai tingkatan sedemikian hebatnya…..” demikian
ia berpikir.
Cepat cepat ia pusatkan kembali seluruh perhatiannya, lalu
setelah memberi hormat katanya, “Aku yang muda Hoa Inliong
khusus datang untuk menyambangi siokun.”
Ia menyebutkan dengan kata “siukun” bukan kaucu, hal ini
dikarenakan dibalik ucapan itu masih terkandung maksud lain
yakni ia sudah mengetahui asal usul dari Kok See-piau.
Tiba-tiba Kok See-piau tertawa terbahak-bahak lalu
katanya,
“Haaah…haaahh,…haaahh…,betul juga, kalau ayahnya
harimau anaknya tentu ikut harimau, sungguh gembira aku

76
orang she Kok menyaksikan sobat lamaku bisa mempunyai
keturunan sehebat ini
Dengan hormat ia mempersilahkan masuk.
Dengan tenang Hoa In-liong mengikuti dibelakangnya
masuk ke dalam ruangan, sementara dihati kecilnya merasa
terkejut sekali atas ketenangan serta kelicinan Kok See-piau.
Kalau suasana diluar ruangan tadi jelek, tua dan tak sedap
dilihat maka suasana dalam ruangan itu berputar 180 derajat,
bukan saja tiang-tiangnya terdiri dari tiang besar dengan
ukiran yang indah, lampu keraton merah darah yang halus
melapisi permukaan lantai, bukan begitu saja, alat-alat makan
dan minum yang tersedia di meja perjamuan rata-rata indah
dan mahal harganya, mungkin suasana itu lebih mewah dari
keraton kaisar.
Setelah Hoa In-liong dan Kok See-piau masing-masing
mengambil tempat duduk, kawanan jago lainpun ikut
menempati kursinya masing-masing, diantara sekian banyak
orang hanya delapan orang pemuda yang berdiri dibelakang
Kok See-piau, empat diantaranya adalah para Ciu Hoa yang
pernah dijumpai Hoa In-liong, jadi jelas mereka semua adalah
murid-muridnya Kok See-piau.
Seperti apa yang pernah dikatakan Kok Gi pek, ternyata
dalam perjamuan ini dia benar-benar tidak menampakkan diri
tapi Toan-bok See-liang, Beng Wi-cian serta Tang Bong-liang
ikut hadir dalam ruangan.
Terdengar Kok See-piau berkata, “Hoa kongcu, kau cerdas
hebat dan luar biasa, sekalipun aku orang she Kok berusaha
untuk merahasiakan jejaknya, rupanya hal ini tak mungkin
bisa mengelabui dirimu……”

77
Ketika berbicara sampai disitu, ucapannya terhenti sejenak
dan ditatapnya wajah anak itu tajam-tajam.
“Hebat benar orang ini pikir Hoa In-liong dihati kecilnya.
Sambil tertawa dia lantas berkata, “Jejak Sinkun amat
rahasia dan susah dicari, akupun musti melacaki sedikit demi
sedikit, setelah melakukan penyelidikan sekian lama cuma
garis besarnya saja yang bisa ku ketahui.”
“Kalau begitu, permusuhan antara aku Orang she Kok
dengan pihak ayahmu pasti sudah Hoa kongcu ketahui dengan
jelas bukan?” kata Kok See-piau lagi pelan-pelan.
Hoa In-liong segera mengerutkan dahinya, “Apakah Sinkun
hendak menggunakan kesempatan ini untuk melakukan
penyelesaian atas hutang-hutang lama kita?”
“Hmm…….jangan kau pandang begini rendah karakter aku
orang she Kok………”
Hoa In-liong tidak berbicara lagi, sinar matanya segera
dialihkan mengamati sekejap orang-orang yang berada di
sekelilingnya.
Ia menyaksikan orang pertama yang duduk di sebelah kiri
Kok See-piau adalah seorang kakek tinggi besar berjubah
panjang, disampingnya adalah kakek berambut keperakperakan
dan berwajah merah seperti bayi, sebaliknya Toan
bok See liang sebagai Cong thamcu dan Beng Wi cian dari
Thian ki thamcu rupanya bukan termasuk manusia manusia
penting, ini terbukti dari tingkat kedudukan mereka yang
rendah.
Diam-diam terkejut juga anak muda itu, segera pikirnya,
“Kalau dilihat dari pancaran sinar mata mereka, jelas orangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
78
orang itu adalah kawanan jago yang berilmu tinggi, padahal
yang datang sekarang cuma segelintir manusia belaka..,…”
Berpikir sampai disitu, sambil tersenyum ia lantas berkata,
“Aku yakin semua orang yang hadir di tempat ini sekarang
adalah kawanan jago yang berilmu tinggi, sayang yang bodoh
dan tidak mengenali mereka satu persatu, dapatkah Sinkun
memperkenalkan mereka kepada ku…….?”
“Seharusnya memang demikian!” sahut Kok See-piau
sambil mengangguk berulang kali.
Tiba-tiba kakek nomor satu di sebelah Kok See-piau itu
menyela dari samping, “Sinkun, maafkanlah daku, harap nama
hamba jangan disebutkan dihadapan orang lain.”
Kok See-piau segera mengangguk.
“Pun Sinkun dapat memahami maksud hati dari Hu-kaucu!”
Ia lantas berpaling sambil berkata lebih lanjut, “Setelah Hu
kaucu kami memberi pertanyaan yang keberatan jika namanya
disebutkan, Pun Sinkun tak bisa memaksa lebih jauh, harap
Hoa kongcu bisa memakluminya.”
Tiba-tiba Hoa In-liong bangkit berdiri dan menjura kepada
kakek itu, katanya, “Ga bu kaucu, masa cuma nama pun mesti
di rahasiakan? Apakah aku Hoa Yang memang belum pantas
untuk mendengar nama mu?”
Setelah mengucapkan kata-kata tadi, si kakek yang
dipanggil sebagai “Wakil ketua” tadi pejamkan kembali
matanya dan duduk tak berkutik.
Tapi sekarang tiba-tiba saja matanya melotot besar dan
memancarkan sinar mata setajam sembilu, ditatapnya Hoa InTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
79
liong sekejap, kemudian katanya, “Nama besar Hoa kongcu
memang bukan cuma kosong belaka, untuk mengetahui nama
margaku saja tidak banyak anggota perkumpulanku yang
mengetahuinya……”
Setelah berhenti sejenak, ia menambahkan, “Aku bernama
Go Tang-cwan!”
Selesai berkata kelopak matanya terpejam, kembali dan
sinar tajampun seketika lenyap tak berbekas.
Hoa In-liong segera berpikir, “Manusia yang bernama Go
Tang-cwan ini pastilah suaminya Thia Siok-bi kemungkinan
besar lantaran ia menggabungkan diri dengan perkumpulan
Hian-beng-kau, dalam jengkelnya I hia losianpwe lantas
mengasingkan diri menjadi pendeta.”
Dalam pada itu Kok See-piau telah menuding kakek
bermuka merah seperti bayi itu sambil memperkenalkan, “Dia
adalah Lau-san-in-siu (pertapa sakti dari bukit Lau-san)!”
Mendengar nama itu, Hoa In-liong seperti merasakan
hatinya bergetar keras dengan cepat ia memberi hormat
seraya berseru, “Ooooh………. rupanya Ui Shia-ling Locianpwe,
sudah lama kudengar akan nama besarmu.”
Lau san in sia Ui Sin Ling sambil tersenyum segera balas
memberi hormat..
“Hoa kongcu masih muda belia tapi sangat lihay dan
tersohor sampai dimana mana, sudah lama aku pun
mengagumi nama besarmu!”
Hoa In-liong tersenyum.

80
“Aku lihat rupanya ketenangan Ui locianpwe dalam
pertapaan sudah mulai terganggu?” sindirnya.
Pertapa sakti dari bukit Lau san Ui Shia ling cuma tertawa
tawa dan tidak memberi komentar apa-apa.
Ketika Hoa In-liong menyaksikan sindirannya tidak
mendapatkan reaksi apa apa, segera sadarlah anak muda itu
bahwa Lau san in sia Ui Shia ling adalah seorang manusia
yang sukar dihadapi.
Menyusul kemudian secara beruntun Kok See piku
memperkenalkan pula tiga orang jagoan tangguhnya, yakni
seorang iman tua berjilbab kuning yang bernama “Ci Siau cu”,
dan dua orang iman tua berjubah hitam yang tampaknya
seperti bersaudara sebagai Im san siang koay (sepasang
manusia aneh dari bukit Im san), jelas mereka adalah o-rang
orang yang berasal dari luar perbatasan.
Empat orang sisanya adalah Cong thamcu dari Hian-bengkau,
Thamcu dari Ruang langit serta bumi, lalu Toan bok See
liang dan akhirnya adalah Beng Wi ciau.
Hoa In-liong sudah mengetahui bahwa Tang Bong liang
adalah Thumcu dari ruang Jin tham, sedang yang seorang lagi
seorang kakek kurus kering adalah Thamcu dari ruang Tee
tham yang bernama Cui Heng.
Diam-diam Hoa In-liong berpikir, “Kalau ditinjau dari segala
sesuatu yang tertera di depan mata sekarang, tampaknya
kekuatan yang dimiliki Hian-beng-kau jauh di atas kekuatan
dari Kia im kau maupun Mo kau, aku tak boleh gegabah dan
musti bertindak sangat hati hati………….”
Setelah ucapan perkenalan selesai, dengan lantang Hoa Inliong
berkata, “Malam ini, aku Hoa Yang bisa berkenalan

81
dengan sekian banyak jago tangguh dari perkumpulan
saudara, hal ini sungguh merupakan suatu kebanggaan bagi
diriku, cuma kalau boleh aku ingin tahu ada maksud apa
Sinkun mengundang kehadiranku ini?”
“Sesungguhnya tak ada urusan lain, cuma kalau toh Hoa
kongcu telah berkata demikian, Pun Sinkun ingin
mengungkapkan tentang suatu persoalan kecil.”
“Harap Sinkun terangkan!”
Kok See-piau tertawa berat.
“Tahukah Hoa kongcu, julukan Sinkun yang kugunakan
sekarang ini berasal dari siapa?”
Hoa In-liong segera tertawa ringan.
“Sejak dulu sampai sekarang hanya ada Kiu-ci Sinkun
seorang dalam dunia persilatan. Tentu saja aku tahu,”
jawabnya.
Kembali Kok See-piau tertawa dingin.
Heeehh……heeehh…..heeehh………kalau aku orang she-Kok
bisa mewarisi ilmu silat mendiang guruku, apakah hasil karya
dari mendiang guruku boleh juga Pun Sinkun teruskan?
Sebagai muridnya, tentu saja hasil karya dari mendiang
gurunya boleh dipergunakan.
Diluar ia berkata demikian, sementara dalam hati kecilnya
diam-diam tertawa dingin.
Heeeh…heeehh….heeeh ….padahal semua orang tahu, obat
mustika maupun kitab pusaka yang dimiliki Kiu ci Sinkun

82
didapatkan dari hasil merampok sungguh tak kusangka kau
Kok See-piau begitu tebal muka dan mengaku barang barang
itu sebagai hasil karya gurunya…..Huuh, sungguh tak tahu
malu.
Sementara ia masih termenung, Kok See-piau telah berkata
lagi, “Kalau memang kau telah berkata demikian, maka aku
ingin bertanya kepadamu, konon sebuah tempat alas duduk
guruku yang terbuat dari kemala kini berada di rumahmu,
dapatkah Sinkun men dapatkannya kembali,
Hoa In-liong bukan orang bodoh, tentu saja ia dapat
menangkap nada sindiran yang terkandung di balik perkataan
itu, dimana seolah olah Kok See-piau mencemooh keluarga
Hoa yang dikatakan telah mencuri barang milik orang,
“Haaah…,haaahh…..haaahh„..Tentu saja setiap waktu
Sinkun dapat memperolehnya kembali, cuma aku kuatir kalau
terlampau berat!”
Ciu Hoi lotoa yang berdiri dibelakang Kok See-piau tiba-tiba
menyela dengan ketus”
“Hmmm… sebuah alas duduk kemala sekecil itu masih lebih
berat dari sebuah bukit Thay san? Hakekatnya kau sedang
mengaco belo tak karuan…
Hoa In-liong tidak menjawab, dia hanya memandang ke
arah Kok See-piau sambil tersenyum.
Dengan suara yang menggeledek Kok See-piau Segera
membentak, “Disini tak ada kesempatan bagimu untuk ikut
menimbrung tahu? Tutup bacotmu!”

83
Ketika menyaksikan gurunya naik darah, Ciau Hoa lotoa
segera menutup mulutnya dan tak berani berbicara lagi, dia
hanya melotot ke arah Hoa In-liong dengan gemasnya.
Paras muka Kok See-piau kembali berubah menjadi tenang
kembali, ia tertawa tawa.
“Aku tahu, jago tangguh yang berkumpul dalam gedung
rumahmu sangat banyak tak terhitung jumlahnya, apalagi ilmu
silat ayah mu memang tidak tandingannya dikolong langit,
tentu saja alas duduk kursi itu tak mungkin bisa diangkut oleh
siapapun juga.”
Dengan pengakuannya yang berterus terang bahwasanya
ia tak mampu mengangkut alas duduk kumala sebagai “Yang
dipertuan dalam dunia persilatan” itu, sama pula artinya
bahwa di dunia persilatan dewasa ini tak ada yang mampu
menandingi kelihayan keluarga Hoa, kontan saja ke delapan
orang menunjukan rasa tidak puas, cuma mereka tak berani
ikut ambil bicara
Hoa In-liong mulai menyadari bahwa bekas murid Bu Liang
siokun dan Kini menjadi Kui ci sin-kuo ini hakekatnya memang
seorang pemimpin yang hebat dalam dunia persilatan, jauh
berbeda dengan bayangannya semula sebagai seorang siaujin
yang sok bergaya dan sombongnya luar biasa.
Kewaspadaan semakin dipertingkatkan dalam benaknya
sambil tertawa ia lantas berkata,
“Yang Kumaksudkan bukanlah demikian!”
“Oooh…..Lantas bagaimanakah yang kau maksudkan? Pun
Sinkun merasa tidak habis mengerti,” kata Kok See-piau
sambil tertawa.

84
Hoa In-liong mengerutkan dahinya, lalu setelah termenung
sebentar katanya dengan lantang, “Tahukah Sinkun bahwa
hati manusia di dunia ini lebih berat dari jagad….?”
Paras muka Kok See-piau agak membesi sesudah
mendengar perkataan itu, lama sekali ia cuma membungkam
diri tanpa mengucapkan sepatah katapun…..
Tiba-tiba Ciu Hoa kedelapan yang berada dibelakang Kok
See-piau tertawa katanya, “Heehh……. heeeh……..
heeeh…….. kalian orang-orang dari keluarga Hoa tidak lebih
cuma segerombolan manusia munafik yang pura-pura berhati
mulia, dengan kebijaksanaan dan kegagahan yang palsu
kalian membohongi rekan persilatan dalam dunia agar
memihak kalian, apanya yang patut dibangga-kan dengan
perbuatan semacam itu?”
Hoa In-liong berpaling, ia lihat Ciu Hoa yang berbicara itu
agaknya adalah Ciu Hoa lo pat, tampangnya ganteng dan
perawakan tubuhnya gagah, bahkan sorot matanya
memancarkan sinar berkilat, dalam sekilas pandangan saja ia
sudah mengetahui bahwa tenaga dalam yang dimiliki orang ini
jauh lebih sempurna dari pada rekan-rekan lainnya. Dengan
suara lantang Kok See-piau segera menegur, “Hei, Lo pat!
Sampai dimana sih kepandaian silat yang kau miliki? Berani
betul memberi pandangan dan kesimpulan yang menuruti
suara hatimu sendiri? Hayo cepat minta maaf kepada Hoa
kongcu!”
Diam-diam Hoa In-liong berpikir lagi, “Kalau didengar dari
nada pembicaraan Kok See-piau, rupanya ia menaruh rasa
sayang dan manja kepada muridnya yang paling kecil ini,
jangan-jangan dia memang me nirukan sejarah lama yang
menimpa diri Kiu ci Sinkun?”

85
Sambil menahan rasa mendongkol dan marahnya yang
meluap-luap, Ciu Hoa lo-pat menjura sambil berkata, “Aku
masih muda dan tak punya pengalaman, harap Hoa kongcu
sudi memaafkan kesalahanku tadi.”
Sambil tertawa Hoa In-liong balas memberi hormat.
“Orang yang kelewat banyak memang susah dikontrol,
ucapan dari Pat kongcu pasti akan kami perhatikan sebaikbaiknya
dan keluarga Hoa kami pasti akan semakin ketat
mengontrol diri, terima kasih banyak atas perhatianmu.”
Betapa gemas dan jengkelnya Ciu Hoa lo-pat, sinar mata
kebencian yang disertai hawa nafsu membunuh memancar
keluar dari balik matanya, sambil menggertak gigi ia tertawa
dingin tiada hentinya.
Sikap permusuhan yang luar biasa ini segera
mencengangkan Hoa In-liong, dia lantas, berpikir,
“Tampaknya ia sangat benci kepadaku, kalau dibilang lantaran
sakit hati perguruan, rasanya tidak mirip………”
Pikir punya pikir tiba-tiba bayangan tubuh dari Kok Gi-pek
melintas dalam benaknya,ia lantas menyadari akan sesuatu,
kembali pikirnya, “Kalau dilihat dari potongan mukanya serta
kepandaian silatnya, jelas ia paling punya harapan untuk
mempersunting sumoaynya, yaa dia pasti sudah mengetahui
tentang sikap Kok Gi-pek kepadaku, maka timbul rasa dendam
dalam hatinya……….kalau begitu orang yang meracuni arakku
tentu dia pula biang keladinya, yaa sekarang aku baru tahu,
rencana untuk mengundangku ke sinipun pasti muncul dari
idenya.”
Ternyata apa yang diduga Hoa In-liong sembilan puluh
persen memang benar, dalam anggapan Ciu Hoa lo pat,
dengan tampangnya yang ganteng dan ilmu silat yang paling

86
menonjol diantara sesama saudara seperguruan, ia mengira
dialah yang pasti akan menarik perhatian sumoaynya Kok Gi
pek, malah dia menganggap untuk mempersunting
sumoaynya, hal ini lebih gampang dari membalikkan telapak
sendiri.
Siapa tahu kebiasaan bergurau dan bercanda yang setiap
hari mereka lakukan tiba-tiba berubah sama sekali
sekembalinya dari bepergian beberapa hari terselang.
Bahkan sepulangnya dari bepergian ia mohon kepada
gurunya agar mewariskan ilmu silat yang le-bih hebat
kepadanya, kemudian mengasingkan diri dan tak mau
berjumpa dengan siapapun.
Mula-mula ia menaruh curiga, tapi setelah mengetahui
bahwa somoaynya amat membenci kepada Hoa In-liong dan
bermaksud untuk membalas dendam, kewaspadaan dan
kecurigaannya jauh berkurang.
Siapa tahu belum sampai beberapa hari menutup diri, tibatiba
Kok Gi Pek pergi lagi tanpa pamit, hasil penyelidikannya
kemudian menunjukkan bahwa adik seperguruannya sedang
mengadakan janji dengan Hoa In-liong seorang musuh besar
perguruan mereka, betapa cemburu dan marahnya pemuda
itu.
Ia lantas menitahkan kepada Tang Bong liang untuk
mencelakai Hoa In-liong dengan mencampurkan racun Hwe
cian tin dan Im leng dalam minumannya, sekalipun sebelum
kejadian itu ia su-dah mendengar bahwa Hoa In-liong kebal
terhadap segala macam racun, tapi ia tidak terlampau
percaya.
Malam ini setelah ia berjumpa sendiri dengan Hoa In-liong,
biasanya kalau ia menganggap dirinya sebagai seorang lakiTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
87
laki tampan maka setelah menyaksikan kegantengan Hoa Inliong
yang ber lipat lipat kali melebihi ketampanannya, timbul
rasa rendah diri di hati kecilnya, secara otomatis rasa
dengkinya pun semakin menebal.
Dengan sorot mata yang dingin Kok See-piau memandang
sekejap wajah Hoa In-liong dan muridnya, diam-diam ia
mengeluh sebab bila dibandingkan ji kongcu dari keluarga Hoa
ini, maka muridnya ketinggalan jauh sekali……
Sementara ia masih termenung, Hoa In-liong telah menjura
sambil berkata, “Ada suatu hal ingin kutanyakan kepada
Sinkun, aku harap kau bersedia untuk menerangkan.”
“Katakan puo Sinkun siap mendengarkan pertanyaanmu!”
“Aku ingin tahu tentang peristiwa sekitar pembunuhan
berdarah atas keluarga Suma siek ya ku.”
Kok See-piau segera tertawa hambar.
“Istri Suma siok ya mu yang bernama Kwa Gi hun adalah
bekas anggota Kiu im kau, tahukah Hoa kongcu tentang hal
ini?” katanya.
Hoa In-liong mengangguk.
Yaa, aku pernah mendengar tentang hal ini.
“Kalau memang begitu, kenapa tidak Hoa kongcu tanyakan
langsung kepada Kiu-im kau Ci? Tindakanmu menuntut
kepada pun-sikun bukan suatu tindakan yang tepat!”
Hoa In-liong segera berpikir, “Kalau ditinjau dari caranya
berbicara, persoalan ini tampaknya terdapat banyak hal yang
mencurigakan.”

88
Berpikir sampai disitu, ia lantas berkata, “Sudah kutanyakan
persoalan ini kepada Kiu im kaucu….”
“Kalau memang begitu, semua duduk persoalan kan sudah
menjadi jelas, kenapa engkau musti menuntut lagi kepadaku?”
tukasnya.
“Ia bilang perkumpulan Hian-beng-kau terlibat juga dalam
peristiwa pembunuhan ini, lagipula apa yang diterangkan
kurang jelas, maka terpaksa aku musti bertanya pula kepada
Sinkun.”
“Ia benar-benar berkata demikian?” seru Kok See-piau
dengan wajah agak gusar.
“Kalau Sinkun tidak percaya, kenapa tidak mengutus orang
untuk menyelidikinya?”
Hawa amarah masih menghiasi di atas wajah Kok See-piau,
ia termenung sejenak lalu katanya kemudian.
“Kalau begitu jika Hoa kongcu hendak menuntut balas atas
peristiwa tersebut, tak ada salahnya.
Diam-diam Hoa In-liong menaruh curiga katanya lagi,
“Sinkun aku dengar dibalik perkataanmu masih terkandung
maksud lain, dapatkah kau terangkan.”
“Dibicarakan memang bukan menjadi persoalan, tapi belum
tentu Hoa kongcu mau mempercayainya, maka apa pula
gunanya untuk banyak bicara yang tak berguna?”
“Mungkinkah dibalik peristiwa ini terdapat latar belakang la
innya?” pikir Hoa In-liong kemudian.

89
Ia lantas berkata, “Dengan kedudukan Sinkun yang
terhormat masa kau akan membohongi diriku? Tentu saja aku
percaya.”
Kok See-piau segera tertawa.
“Ucapan Hoa kongcu terlalu berlebihan, sudah menjadi
rahasia umum kalau seseorang menggunakan kata-kata
bohong untuk menutupi perbuatannya, bukan cuma aku,
siapapun juga bisa melakukan hal ini.”
Setelah berhenti sejenak, dengan wajah serius, dia lantas
berkata lebih jauh, “Percayalah Hoa koasen bila Pun Sinkun
katakan bahwa dalam peristiwa kematian Suma Tiang-sing,
pihak perkumpulan kami sama sekali tidak terlibat? Sekalipun
muridku pernah menyebarkan bubuk racun di dalam peti mati,
hal itu kami lakukan sesudah peristiwa pembunuhan itu
berlangsung?”
Diam-diam Hoa In-liong berpikir lagi setelah mendengar
jawaban tersebut, “Ahh…. kalau kata-kata macam begitu sih
tak bisa dipercayai, jelas ia sudah disisipkan pengakuan
bohong dalam kata-katanya itu. sebab menurut data yang
berhasil dikumpulkan, justru pihak Hian-beng-kau yang paling
mencurigakan dalam peristiwa ini.”
Berpikir sampai disitu, dia lantas berkata, “Masa aku tak
percaya dengan ucapan dari seorang ketua perkumpulan yang
terhormat? Cuma kalau berbicara dan ucapan Sinkun barusan,
jadi dalam peristiwa itu hanya orang-orang dari Kiu-im kau
yang terlibat….?”
Kembali Kok See-piau tertawa.
“Menurut pendapatku, peristiwa berdarah itu bukan hasil
pekerjaan dari Kiu-im kau, juga bukan perbuatan dari Mo-kau”

90
Hoa In-lioag menjadi tertegun, serunya tercengang,
“Masakah kecuali Hian-beng-kau, Kiu im kau dan Mo-kau
masih ada perkumpulan keempat? Aku rasa Sinkun pasti
mempunyai data tentang peristiwa tersebut, dapatkah Sinkun
memberi sedikit petunjuk kepadaku agar apa yang
membingungkan diriku selama ini bisa terbuka?”
Kok See-piau mengangkat cawan araknya, lalu tersenyum.
“Dendam sakit hati antara keluarga Hoa dengan diriku telah
diketahui setiap orang dalam dunia persilatan, cepat atau
lambat pertarungan tak bisa dihindari lagi, maka akupun
rasanya tak usah berbicara bohong. Meskipun sudah lama
kupersiapkan segala sesuatunya untuk bertarung dengan
keluarga Hoa, tapi sebelum aku yakin bisa memenangkan
pertarungan itu, hubungan tak ingin ku bikin retak sendiri
mungkin, karena itu antara perkumpulan kami dengan pihak
Kiu-im-kau dan Mo-kau sudah terjalin kesepakatan untuk tidak
bertindak secara gegabah. Sebab itu tak mungkin kubunuh
Suma Siok ya mu sehingga rencanaku terbengkalai? Nah,
kalau dugaanku tidak salah, pasti ada orang yang sengaja
hendak mengadu domba kita, agar ia bisa menjadi nelayan
yang beruntung dan tinggal memetik hasilnya.”
Perkataan dari Kok See-piau ini diucapkan cukup gamblang
sekalipun Hoa In-liong tidak mempercayainya seratus persen,
toh timbul juga kecurigaan dalam hatinya.
Ia tak menyangka kalau sebelum duduknya persoalan
menjadi jelas, pembunuhnya belum berhasil dilacaki, kini,
timbul kembali perubahan yang sama sekali tak terduga.
Jilid ke 3

91
Tapi ia tidak menjadi gelisah atau panik karenanya, sebab
dengan dasar hiolo kumala yang diperoleh disisi mayat Suma
Tiang cing, ia bisa minta keterangan dari Giok teng hujin yang
kini sudah merubah nama menjadi Tiang heng Tokeh,
sekalipun belum tentu pembunuhnya bisa ditemukan, paling
sedikit ia bisa mengorek keterangan tentang nyonya Yu dan Si
Leng jin…..
Berpikir sampai disitu, sadarlah pemuda kita bahwa Kok
See-piau memang sengaja berkata demikian karena
mengandung maksud-maksud tertentu, cuma apa maksudnya
tidak berhasil ditebak olehnya. Setelah termenung sebentar,
katanya kemudian sambil tertawa, “Dalam dunia persilatan
dewasa ini hanya ada tiga perkumpulan besar yang menjadi
motornya, bila ada orang ingin beradu akal dengan Kui im
kaucu, hakekatnya perbuatan orang itu adalah perbuatan dari
seorang manusia goblok”
Lau san in siu Ui Shia leng yang selama ini cuma
membungkam, tiba-tiba ikut menimbrung, “Pada umumnya
orang lebih suka mengbaikan fakta atau bukti yang telah
berada di depan mata dengan mencari fakta yang jauh
darinya, mungkin orang itu memahami akan hal tersebut
sehingga secara berani melakukan tindakan diluar peri
kemanusiaan itu.”
“Haaahh…haaah…haaahhh.. Kaucu kalian adalah seorang
manusia berbakat yang sangat cerdik, mana boleh
menyamakan dia dengan orang-orang biasa.”
“Jadi Hoa kongcu menaruh kecurigaan dan sangsi terhadap
apa yang diucapkan oleh Sinkun barusan?” tanya Ci Siucu.
Hoa In-liong segera berpaling, kemudian katanya dengan
wajah bersungguh sungguh, “Kaucu kalian adalah seorang

92
manusia yang jempolan, tokoh yang terhormat, mana
mungkin orang terhormat semacam dia sengaja menciptakan
kabar bohong untuk menipu orang? Tentu saja aku sangat
mempercayai perkataannya itu dan sekarang justru aku
sedang siap menantikan penjelasan berikut-nya dari Sinkun.
Selama ini Kok See-piau hanya mengamati mimik wajah
Hoa In-liong dari samping ternyata ia gagal menemukan
perubahan wajah anak muda itu, sehingga dia sendiripun tak
tahu apa yang sedang diper-timbangkannya sekarang, tak
kuasa lagi dampratnya di dalam hati.
“Huuh….licik amat bajingan cilik ini!”
Sementara itu terdengar Hoa In-liong berkata kembali,
“Ketika Suma siok-ya suami istri terbunuh, mayat mereka
telah kuperiksa dengan seksama, kalau ditinjau dari bekas
gigitan yang begitu rata pada tenggorokannya, jelas mereka
tewas karena gigitan sejenis makhluk buas, kemudian akupun
telah berjumpa dengan seorang perempuan she-Yu yang
membopong seekor kucing hitam, orang itu jelas adalah anak
buah dari Kiu-im kau….”
“Yu-si memang amat mencurigakan, cuma ia bukan
pembunuh yang sesungguhnya,” kata Kok See-piau.
“Aneh benar orang ini……” Hoa In-liong lantas berpikir,
“kenapa ia berusaha keras membersihkan Kiu im kau dari
keterlibatan peristiwa ini? Entah apa maksud dan tujuannya?”
“Hoa kongcu!” Ci Soat-cu lantas berkata “sepanjang
perjalanan pinto pulang kedaratan Tionggoan dari luar
samudra, telah kujumpai beberapa orang manusia baju hitam
berkerudung yang mencurigakan sekali gerak geriknya, ilmu
silat mereka sangat tinggi, jelas merupakan jago-jago tangguh
berilmu tangguh!”

93
“Ah….masa benar?” tegur Hoa In-liong.
“Benar, aku berbicara apa adanya!” Ci Soat-cu menegaskan
kembali dengan wajah serius.
Dapatkah tootiang memberi penjelasan lebih lanjut?
Ci Soat cu termenung dan berpikir sebentar, kemudian
katanya, “Tahun berselang ketika pinto sedang berada di luar
kota Ciok kun, tiba-tiba kusaksikan ada sesosok bayangan
manusia bergerak lewat, aku merasa tertarik sekali dan segera
menyusulnya…….”
Tootiang, sebagai murid Sim-cing koang masih besar amat
rasa ingin tahumu!” sindir Hoa In-liong sambil tertawa.
Hmm…! Keturunan orang kaya ternyata kebanyakan
memang tak tahu sopan santun, damprat Toa-koay dari Imsiang
kay dengan nada ketus”.
Tapi Hoa In-liong pura pura berlagak tidak mendengar,
sorot matanya masih tetap tertuju ke arah toosu tadi.
Ci Soat-cu sendiri juga tidak terlalu memperhatikan sindiran
tadi, sambil tertawa tergelak katanya, “Bukan berarti pinto
sangat besar rasa ingin tahunya, adalah karena Sinkun
berpesan agar sepanjang perjalanan bertindak lebih berhatihati
maka dari itu setelah menjumpai kejadian tersebut, tentu
saja pinto tak dapat melepaskannya dengan begitu saja.”
Setelah berhenti sebentar, kembali lanjutnya, “Setelah
pengejaran dilakukan sekian lama akhirnya sampailah di
depan sebuah rumah gubuk di dalam hutan, bayangan hitam
itu berkelebat masuk ke dalam rumah dan pintopun segera
menyusul ke situ, ternyata di dalam rumah telah berkumpul

94
lima orang manusia berbaju hitam, cuma kain cadar mereka
telah dilepaskan, sayang pinto terlalu jarang berkelana dalam
dunia persilatan, jadi orang-orang itu tidak kukenali pula siapa
nama-nama mereka, meski demikian raut wajahnya sempat
kuinngat selalu, beberapa orang itu berusia sekitar lima puluh
tahunan, mukanya sangat biasa cuma salah seorang
diantaranya bercodet pada pipi kirinya mungkin pernah
tersambar tusukan pedang hingga mata kiripun ikut lenyap, ia
berjenggot dan ru panya merupakan pemimpin rombongan.”
Hoa In-liong sendiripun tidak dapat menduga, apakah jago
persilatan dengan raut wajah semacam itu, maka pikirnya,
“Hmmm…….? Siapa tahu kalau kau cuma mengarang saja
yang bukan bukan…………?”
“Setelah berbicara beberapa patah kata masalah ringan,
mereka mulai berunding.”
Ci Soat-ca melanjutkan, “Pinto yang berhasil menyadap
pembicaran mereka merasa amat terkejut, ternyata dalam
pembicaraan itu mereka berencana hendak memusuhi tiga
perkumpulan besar serta keluarga Hoa kongcu, bahkan bila
perlu mereka hendak mengajak beradu jiwa sehingga musuhmusuhnya
dapat dilenyapkan satu persatu……….”
“Dapatkah tootiang menjelaskan pembicaraan diantara
kelima orang itu secara lebih terperinci?” sela Hoa In-liong
tiba-tiba.
CiSoat-cu tertegun, kemudian katanya, “Pinto sudah tidak
terlalu ingat lagi!”
“Aaah……….! Masa terhadap masalah penting seperti itu,
dengan kecerdasan totiang-pun bisa terlupakan?”

95
Ci Soat-cu tahu kalau Hoa In-liong menaruh curiga
terhadap pembicaraannya dan ingin menemukan titik
kelemahan dari balik perkataannya, maka ia cuma tersenyum
dan tidak menanggapi.
Ji-koay dari Im san siang-koay tidak terima dengan cepat
katanya, “Lupa adalah suatu kejadian yang umum dijumpai
dalam kehidupan manusia, apa yang musti diherankan?”
Hoa In-liong segera tertawa nyaring.
“Haaahh…….haaahhh……….haaahh……..maklumlah,
lantaran urusan ini sangat luar biasa, jadi jangan salahkan
kalau terpaksa aku orang She Hoa musti berhati-hati.”
Setelah berhenti sebentar, katanya lagi dengan suara
dalam.
“Dengan kepandaian silat yang dimiliki tootiang, kenapa
tidak kau tangkap seorang diantara mereka untuk diperiksa?”
Ci Soat cu tertawa getir.
“Apa yang musti kulakukan? Pinto merasa menyesal karena
dihari-hari biasa telah melantarkan pelajaran silatku, aaai…….!
Ketika Pinto telah menginjak patah ranting pohon, dengan
cepat jejakku diketahui oleh kelima orang tersebut. Sungguh
amat hebat ilmu silat mereka, dibawah kerubutan mereka
berlima, Pinto harus berjuang mati matian untuk
menyelamatkan diri, bisa kabur dari kepunganpun sudah
termasuk untung, apa lagi berbicara soal menangkap salah
seorang diantara mereka untuk diperiksa?”
Hoa In-liong tertawa.

96
“Sejak rahasia mereka tertahan, orang-orang itu tentu
semakin menghilangkan jejak mereka dalam dunia persilatan,”
katanya.
Lau-san in siu Ui Shia ling segera terbahak-bahak.
“Haa-h…..haah…..haaahh…..sejak dulu sampai sekarang
orang-orang yang menganggap dirinya cukup tangguh dan
berilmu, selamanya tak suka mengasingkan diri hidup
menyendiri, bagi mereka berlaku prinsip lebih baik mampus
daripada tidak melakukan sesuatu pekerjaan yang besar dan
cemerlang.”
Hoa In-liong manggut-manggut.
“Betul, kemungkinan besar mereka malah melaksanakan
perbuatan tersebut secara terbuka!”
Tiba-tiba Kok See-piau menyesal dengan hambar. “Kalau
toh Hoa kongcu tetap menaruh curiga, banyak bicara juga tak
ada gunanya, untung saja kata-kata tersebut bukan sengaja
dibuat buat dengan dasar kecerdasan Hoa kongcu asal mau
menaruh perhatian secara khusus, rasanya tidak sulit untuk
menemukan gejala gejala tersebut.”
Ci Soat cu mengebalkan senjata Hud timnya dan menyahut.
“Ucapan Sinkun ada benarnya juga, baiklah pinto akan
mengakhiri ceritaku sampai disini saja.”
Hoa In-liong yang menyaksikan kejadian tersebut, diamdiam
berpikir dalam hati, “Kebanyakan perbuatan mereka itu
cuma sandiwara yang telah diatur terlebih dulu, hmm…….!
Memang kalian anggap aku orang she Hoa adalah orang
bodoh yang gampang dikelabuhi? Jangan bermimpi disiang
hari bolong … ….!”

97
Berpikir sampai disitu, katanya sambil tersenyum,
“Sesungguhnya aku ingin mohon petunjuk, cuma tidak
kuketahui bagaimana caranya untuk buka suara!”
Sambil mengelus jenggotnya Ci Soat cu tertawa.
“Waaah….pinto sama saja, dibuat harus mengingkari katakata
sendiri, silahkan Hoa kongcu bertanya,”
Hoa In-liong berpikir sebentar, tiba-tiba katanya sambil
tertawa, “Dari pembicaraan orang-orang itu , tootiang berhasil
menemukan soal apa yang dirasakan penting?”
Ci soat cu berpikir sebentar, kemudian sahutnya,
“Sesungguhnya tidak terlalu banyak yang berhasil pinto
dengar, aku hanya sempat mendengar sebutan Cong tongkeh
sebanyak beberapa kali.”
Mendengar itu, Hoa In-liong manjadi sangat terkejut.
“Oooh…jadi Hong im hwe hendak munculkana diri kembali
dalam dunia persilatan.”
“Pinto sendiripun pernah menduga sampai ke situ!”
Hoa In-liong kembali berpikir, “Kemungkinan besar Hong im
hwa hendak munculkan diri kembali ke dalam dunia persilatan
dan mungkin saja Hian-beng-kau diminta untuk menyelidiki
gejala gejala dalam dunia persilatan pada umumnya…”
Berpikir sampai disini, dia lantas mengalihkan pokok
pembicaraan ke soal lain, katanya, “Dalam surat undangan
sie-kun mengatakan hen dak Cu ciu lun kiam (minum arak
sambil membicarakan ilmu pedang), entah dengan cara
apakah kalian hendak membicarakan soal ilmu pedang?”

98
“Ilmu silat Hoa kongcu sangat lihay, aku rasa pasti sudah
memperoleh seluruh kepandaian warisan ayahnya bukan?”
kata Kok See-piau dengan kening berkerut.
Ilmu silat Sinkun merajai seluruh dunia, aku mengaku
masih bukan tandingannmu, entah pertandingan ini akan
dilakukan secara lisan saja ataukah……..
“Sebenarnya hendak diselenggarakan secara lisan saja,”
tukas Kok See-piau sambil tertawa, “sayangnya ilmu silat
aliran Kiu ci ki Ong sangat aneh dan asing bagi pendengaran
orang, aku kuatir sekalipun jurus-jurus serangan kusebutkan,
belum tentu orang luar mengetahuinya.”
“Kalau begitu pertandingan akan diselenggarakan dimana?
Silahkan Sinkun memberi petunjuk.”
Kok See-piau ikut bangkit lalu katanya sambil tertawa,
“Umum kalau pemuda itu berdarah panas, jadi kalau ingin
cepat-cepat angkat nama bukan lagi suatu kejadian aneh.”
Sesudah ketuanya bangkit Ui-san-in-siu, Lau-san-siangkoay
dan jago-jago lainnya ikut bangkit berdiri, dipimpin oleh
Kok See-piau yang jalan bersanding dengan Hoa In-liong,
berangkatlah mereka tinggalkan ruangan tersebut.
Turun dari ruang tengah mereka melalui sebuah jalan
sempit dan tiba disebuah tanah datar yang beralaskan batubatu
hijau, luasnya cuma sepuluh kaki, dan suasananya terang
benderang karena kawanan jago Hian-beng-kau telah
mengelilingi sekitar sana sambil mengangkat tinggi oborobornya.
Jika Hoa In-liong ingin menjajal kepandaian Kok See-piau,
maka Kok See-piau ingin mengetahui taraf kepandaian silat

99
Hoa Thian-hong dari kepandaian yang dimiliki Hoa In-liong
sekarang, dengan demikian kedua belah pihak sama-sama
berhasrat untuk menyelidiki taraf kemampuan masing-masing
pihak.
Setelah berada di tengah lapangan batu, dua orang itu
berdiri saling berhadapan, kemudian berkatalah Hoa In-liong,
“Apakah Sinkun sendiri yang hendak memberi petunjuk
kepadaku??”
Sebenarnya lohu ingin turun tangan sendiri tapi akupun
kuatir kalau orang mengatakan aku si-tua menganiayai simuda.
Sementara itu Go Tang cuan, Ci Soat cu, Ui Shia-ling
dan sekalian jago telah berdiri pula di sekitar gelanggang,
tiba-tiba Ciu-hoa lompat tampil kedepan, setelah memberi
hormat kepada Kok See-piau katanya, “Suhu, kenapa kau
musti turun tangan sendiri? Tecu bersedia mewakili dirimu.”
“Tapi kau masih bukan tandingan Hoa kongcu…” kata Kok
See-piau dengan kening berkerut.
Hoa In-liong putar otak dengan cepat, tiba-tiba ia
menengadah dan tertawa terbahak-bahak.
“Haaahh……,haaahhh,….haaahhh……..maaf kalau aku
orang she Hoa terpaksa omong besar, pada hakekatnya ke
delapan orang murid Sinkun tak akan mampu menahan tiga
puluh gebrakan seranganku, tapi jika kalian tidak percaya
dengan pendapatku orang she Hoa, tentu saja tidak ada
halangannya jika muridmu dipersilahkan turun kearena.”
Ciu Hoa sekalian menjadi gusar sekali setelah mendengar
perkataan itu, ditatapnya Hoa In-liong dengan sepasang mata
melo tot besar, kalau bisa mungkin mereka ingin menelan si
anak muda itu bulat-bulat.

100
Kok Shee piau juga bukan orang bodoh diam-diam ia lantas
berpikir pula, “Aneh, kenapa secara tiba-tiba bajingan cilik ini
menjadi takabur? Sudah pasti ada sebab musababnya!”
Berpikir sampai disitu dia lantas siapkan tangannya sambil
berkata, “Kalau begitu terimalah ketiga puluh jarus
serangannya, kalau sudah kalah cepat mundur, jangan
dipaksakan terus”
Ciu Hoa lo pat memberi hormat sambil menerima perintah.
kemudian ia memutar badan sambil maju dua langkah katanya
dengan suara menyeramkan, “Hoa kongcu, maaf!”
“Silahkan!” kata Hoa In-liong sambil megulapkan
tangannya, sikapnya sangat santai seakan akan musuhnya tak
dipandang sebelah mata pun.
Semenjak tadi Ciu Hoa lo pat sudah menahan rasa cemburu
dan irinya yang meluap-luap, tentu saja ia tidak sungkan
sungkan lagi, telapak tangannya segera dikepalkan dan
langsung menghantam ke dada lawan.
Hoa In-liong miringkan badannya ke samping menghindari
ancaman itu, kemudian telapak tangan kanannya disodok ke
depan menangkis datangnya ancaman musuh itu.
Sejak gerakan yang pertama Kok See-piau sekalipun sudah
mengetahui bahwa ilmu silat yang di miliki Hoa In-liong jauh
melebihi kepandaian Ciu Hoa lo pat, dalam tiga puluh
gebrakan kemungkinan Ciu Hoa lo pat memang bisa
dikalahkan, bergetar juga perasaan batinya.
“Jika seorang bocah muda dari keluarga Hoa pun memiliki
ilmu silat setangguh ini, apalagi Hoa Thian bong pribadi?”
demikian pikirnya.

101
Ciu Hoa lo-pat sendiripun merasakan juga betapa
tangguhnya ilmu silat lawan, akan tetapi ia enggan
mengundurkan diri dengan begitu saja, sambil membentak
keras ia keluarkan ilmu Kiu-ci-sin ciang (pukulan sakti dari
istana Kiu ci) yang maha sakti itu, jurus demi jurus semuanya
dilancarkan dengan gerakan aneh.
Hoa In-liong masih tetap bersikap santai dengan entengnya
ia sambut semua serangan demi serangan, pikirnya,
“Kelihatanrya ilmu pedang mereka diciptakan berasal dari ilmu
pukulan, wah, kalau begitu ilmu kepandaian tersebut bisa juga
di bandingkan dengan ilmu Su-siu-heng huan ciang dari
keluarga Coa.”
Tapi si anak muda itu sama sekali tidak mengeluarkan ilmu
pukulan Su-siu-huan heng ciang, dia hanya melayani
serangan-serangan musuh dengan ilmu Sian kici lip dan Mie
tiong toa jiueng yang, tercatat dalam kitab Thian-bua-cha-ki,
rupanya selama beberapa hari belakangan ini, sebagai
persiapan untuk menghadapi Mo Kau ia khusus melatih ilmu
silat tersebut sebagai bekal.
Dalam waktu singkat dua puluh gerakan sudah lewat, Hoa
In-liong yang teringat bahwa ia telah sesumbar dengan
mengatakan akan mengalahkan muridnya Kok See-piau dalam
tiga puluh gebrakan, segera membentak keras, ilmu
pukulannya lantas berubah dengan jurus Kuo sia ci tau
(perlawanan binatang terkurung) ia menghantam tubuh
lawan.
Dari deruan angin pukulan yang begitu dahsyat Ciu Hoa lo
pat sudah tahu bahwa sulit baginya untuk menahan ancaman
tersebut, padahal kepandaian silatnya merupakan yang
tertinggi diantara ketujuh orang saudara seperguruannya,
jelas bukan kepandaian sembarangan.

102
Maka dengan jurus Moay im kiu-huan (bayangan iblis
berubah sembilan) telapak tangannya menyambar dari
samping mengancam iga kiri Hoa In-liong, sementara
tubuhnya berkelabat lewat meng-hindari serangan dahsyat
musuh itu.
Secara beruntna Hoa In-liong menyerang musuhnya
dengan tiga jurus Kun siu ci tau.
kemudian secara tiba-tiba gerakkannya berubah menjadi
jurus It yong bu wi (satu kegunaan tak berkedudukan),
tubuhnya menerjang ke muka dan jari tangannya menekan di
atas jalan darah Hiat bun siang ki ditubuh Ciu Hoa Lo pat,
setelah itu sambil tertawa ringan ia menarik kembali
serangannya sambil mundur ke belakang.
Jurus jurus serangan itu semuanya dilancarkan secara
bersambungan antara yang satu dengan lainnya, sedikitpun
tidak ditemukan tanda-tanda yang bisa ditunggangi oleh
lawan, sekalipun Goau cing taysu yang menyaksikan sendiri,
tak urung akan memuji juga, apalagi Kok See-piau sekalian,
mereka lebih lebih tertarik lagi.
“Apakah sudah melampaui jurus ketiga puluh?” tanya Hoa
In-liong sambil putar badan dan tertawa.
“Baru jurus yang ke dua puluh sembilan jawab Kok Seepiau
hambar.
Merah padam selembar wajah Ciu Hoa lo pat, tiba-tiba ia
membentak keras lalu menerjang ke depan, dengan sekuat
tenaga ia lancarkan sebuah pukulan ke tubuh lawan dengan
jurus Hun yu-kiu yu (sukma bergentayangan ke neraka tingkat
sembilan) sebuah jurus tangguh dari ilmu pukulan Kiu ci sin
ciang.

103
“Hmmm….. manusia yang tak tahu diri!” hardik Kok Seepiau
gusar.
Secepat sambaran kilat ia cengkeram bahu kiri Ciu Hoa lo
pat, lalu….
“Plok! Plok!” ia tempeleng wajah muridnya keras-keras, lalu
sambil melemparkun tubuhnya ke luar gelanggang hardiknya,
“Enyah kau dari sini!”
Ciu Hoi Lo pat terlempar jatuh diluar lapangan berbatu,
secara beruntun ia harus mundur beberapa langkah sebelum
akhirnya berhasil berdiri tegak secara paksa, ia berpaling dan
melotot sekejap ke arah Hoa In-liong dengan penuh kebencian
kemudian putar badan dan kabur ke halaman belakang….
Air muka Kok See-piau tetap tenang dan tidak menunjukan
perubahan apa apa katanya malah, “Muridku tidak tahu kalau
Hoa kongcu telah mengampuni selembar jiwanya, maka untuk
kelancangan serta ketidak tahuanya itu itu lohu mohon maaf
pula untuk diri Hoa koagcu.”
“Apakah Siukun telah bersedia untuk memberi petunjuk
sendiri kepadaku…..?
Kok See-piau tersenyum, dengan mata memancarkan sinar
tajam jawabnya, “Lohu akan mohon petunjuk lima puluh
jurus dari kongcu.”
Arti dari kata-kata tersebut adalah dalam lima puluh jurus
pasti ia akan berbasil mengalahkan Hoa In-liong.
Terkesiap pula si anak itu, pikirnya!
Dalam pertempuran barusan, aku belum mempergunakan
segenap kekuatanku, tapi Kok See-piau berani mengatakan

104
bahwa dalam lima puluh gebrakan ia bisa mengalahkan diriku,
bila tiada kenyakinan sebesar tujuh delapan puluh persen tak
nanti ia berani bicara sesumbar, apalagi sebagai ketua dari
suatu perguruan besar, tentu saja dia tak mau kalau
perkataannya sampai dibuat bahan tertawa orang lain…”
Karena berpikir, ia segera memusatkan segenap pikiranya
untuk menghadapi lawan, katanya sambil memberi hormat,
“Silahkan.”
“Lohu sudah siap menantikan petunjukku?”
Kok See-piau memberi hormat pula.
Tiba-tiba Lau san in sin Ui Shia ling berteriak, “Hoa
kongcu!! Siokun! Harap tunggu sebentar!”
Sambil berkata ia lantas memburu maju ke depan dan
menghadang di tengah antara Kok See-piau dengan Hoa Inliong,
kemudian sambil memberi hormat kepada ketuanya dia
berkata, “Tiba-tiba saja hamba merasa gatal tangan, bolehkah
aku beradu kepandaian dengan Hoa kongcu?”
Kok See-piau mengerutkan dahinya.
“Selayaknya Ui lo boleh saja melayani dia jika kalau benar
merasa gatal tangan, akan tetapi dengan demikian bukankah
sama artinya bahwa pun sin-kuo telah melayani Hoa kongcu
dengan cara ber gilir?”
“menurut pendapat bodoh hamba, lebih baik pertarungan,
antara Siakun melawan Hoa kongcu ditunda sampai lain
waktu saja.
Hoa In-liong yang menyaksikan kejadian tersebut, kembali
berpikir dalam hatinya, “Agaknya Ui Shia-ling dan Ci Soat-cu

105
sekalipun tidak yakin jika Kok See-piau sanggup mengalahkan
diriku dalam lima puluh gebrakan, maka sengaja mereka
tampilkan diri untuk menggantikan kedudukkannya.”
Sorot matanya segera dialihkan kembali ke tengah
gelanggang, dia ingin tahu apakah Kok See-piau mengijinkan
permintaan tersebut atau tidak.
Tampak Kok See-piau termenung dan berpikir sebentar,
kemudian seraya berpaling katanya sambil tertawa.
“Bagaimana pula dengan pendapat Hoa kongcu?”
Hoa In-liong tertawa, “Buat aku sih sama saja……”
Diluar berkata begitu, dalam hati pikirnya, “Sudah pasti Kok
See-piau tidak mempunyai keyakinan untuk menangkan aku
dalam lima puluh gebrakan, sedang kata-kata sumbarnya
hanya di pakai untuk mencari kembali mukanya yang hilang,
coba kalau berganti Ting Kwik siu dan Kiu im kaucu, sekalipun
bisa menangkap diriku juga bukan urusan gampang, masa dia
sehebat itu?”
Berpikir sampai disitu, lagi ia merasa bahwa Kok See-piau
yang dihadapinya sekarang mempunyai jalan pikiran yang
lebih dalam dari samudra, jelas manusia semacam ini tak
boleh dihadapi secara gegabah.
Sementara itu Ui Shia ling telah berkata lagi sambil
memberi hormat, “Hoa kongcu dengan tak tahu diri, lolap
ingin memohon petunjuk ilmu silat dari Liok-soat sanceng,
semoga kau bersedia mengampuni selembar jiwa tuaku dalam
setangan seranganmu nanti.”

106
“Aaah……kepandaian silatku amat terbatas, justru Ui locian
pwelah yang harus mengampuni jiwaku……………” kata Hoa
In-liong dengan cepat sambil tertawa lebar.
Sesungguhnya ucapan ucapan dari Ui Shia ling tadi hanya
merupakan kata-kata untuk sopan san-tun, siapa tahu Hoa Inliong
sebagai anak muda yang belum lama terjun ke dalam
dunia persilatan telah menganggapnya sungguhan, ini
membuatnya menjadi tertegun.
“Lantas menurut anggapan Hoa kongcu…….” katanya.
Hoa In-liong tertawa nyaring.
“Haahhh…. haahhh… haahh… dalam suatu pertempuran
sang anak tak akan mengenali sang ayah, aku rasa segala
macam kata-kata sopan santun lebih baik jangan dibicarakan.”
Sungguh amat gusar Ui Shia ling mendengar perkataan itu,
makinya di dalam hati, “Sombong amat bocah keparat ini!”
Tapi diluar wajahnya ia tetap tersenyum ramah, katanya
kemudian sambil mengelus jenggotnya, “Kalau begitu, biarlah
kuturuti saja kehendak Hoa kongcu.”
Kok See-piau sendiri telah mengnndurkan! diri ketepi arena,
pikirnya, “Konon meski bocah ini binal dihari biasa, tak pernah
sikapnya sombong atau tinggi hati sewaktu berhadap dengan
musuh, kenapa secara tiba-tiba sikapnya berubah sesombong
itu? Dia maksudnya ingin memancing amarah pun sinku agar
kau mendapat kesempatan untuk mencuri lihat tinggi
rendahnya ilmu silatku, maka anggap saja keinginanmu itu
cuma sia-sia belaka.”
Sementara ia berpikir sampai kesitu, Hoa In-liong sudah
berkata, “maaf” lalu menyerbu kemuka dan sebuah pukulan

107
langsung di lontarkan ke depan tapi sebelum mencapai pada
sasarannya serangan itu telah berubah menjadi serangan jari.”
Hoa In-liong tahu bahwa Ui shia- ling pastilah salah
seorang diantara lima orang jago paling tangguh dalam
perkumpulan Hian-beng-kau, ia tak berani bertindak gegabah,
begitu maju melancarkan serangan, ia langsung
mempergunakan “Menyerang sampai mati bagian pertama”
dari ilmu Ci yu-jit-ciat (tujuh kupasan jari Ci yu)
Ui Shia ling adalah seorang jago tangguh yang bermata
tajam, dalam sekilas pandangan saja ia sudah tahu kalau
serangan pertama adalah serangan kosong sedang ancaman
yang mematikan berada di belakang, maka ketika
menyaksikan datangnya serangan jari yang begitu dahsyat, ia
segera membentak nyaring, “Bagus!”
Telapak tangan kirinya menyambar ke depan mengancam
pergelangan tangan lawan, kelima jari tangannya menyentil
bersama dan desingan angin tajam pun menderu-deru
menembusi angkasa langsung menyambar ketubuh lawan,
sedemikian hebatnya ancaman tersebut, sungguh tak malu
disebut sebagai seorang jago tangguh.
Jurus serangan Hoa In-liong kembali berubah, ibu jarinya
direntangkan kaku, desingan angin tajam langsung menerobos
kedepan mengancam jalan darah Tay-ik-hiat di tubuh Ui Shialing.
Sebelum melepaskan serangan tadi, Ui Shia-ling telah
menyiapkan jalan mundur bagi diri sendiri, ia segera tertawa
terbahak-bahak, disaat yang kritis tiba-tiba badannya bergeser
setengah depa ke samping menghindari ancaran desingan jari
tangan musuh, kemudian pikirnya, “Rangkaian ilmu jari ini
benar-benar merupakan serangkaian ilmu silat yang amat
hebat!”

108
Dalam waktu singkat kedua orang itu sudah terlibat dalam
suatu pertarungan sengit yang betul-betul amat seru.
Tenaga dalam yang dimiliki kedua orang itu boleh dibilang
sudah mencapai puncak kesempurnaan, Kok See-piau sebagai
seorang tokoh persilatan yang maha sakti segera dapat
mengetahui bahwa pertarungan tersebut merupakan sebuah
pertarungan menarik, seluruh perhatiannya segera di tujukan
untuk memperhatikan gerakan serangan dari Hoa In-liong.
Siapa tahu empat puluh gerakan kemudian Hoa In-liong
masih tetap berada dibawah angin meskipun dengan
mengandalkan satu dua macam gerakan aneh ia berhasil
mempertahankan diri, namun wajahnya tampak begitu cemas
dan gelisah.
Setelah mengikuti jalannya pertarungan sekian lama Go
Tang cuan lantas berbisik kepada Kok See-piau dengan ilmu
menyampaikan suara, “Jelas si bocah cilik dari keluarga Hoa
sengaja sedang menyembunyikan ilmu silatnya.”
Kok See-piau manggut-manggut, lalu menggunakan ilmu
menyampaikan suara katanya pula, “Menurut pendapatmu,
berapa hebatnya ilmu silat bocah itu?”
Go lang cuan mengalihkan kembali sinar matanya ke
tengah gelanggang dan memperhatikan sekejap gerakan
tangan Hoa In-liong, lalu seraya berpaling sahutnya, “Aku rasa
tidak berada dibawah kepandaiaan Ui Kim.”
“Kalau begitu pandanganmu…….” Kok See-piau manggutmanggut.

109
Setelah berhenti sebentar, katanya lagi, “Kalau begitu,
tenaga dalam yang dimiliki Hoa Thian-hong tentu berkembang
jauh lebih hebat lagi.”
“Bagaimana kalau Siakun lukai secara diam-diam si bocah
tersebut dengan ilmu Kiu ci im jiu (Tangan pembunuh dari
Kiu ci), dari pada meninggalkan bibit bencana dikemudian
hari?”
“Kurang cocok!” Kok See-piau menggeleng “orang pandai
dari keluarga Hoa sangat banyak, bocah itu sendiri, juga
bukan manusia sembarangan, sulit rasanya untuk bertindak
tanpa meninggalkan jejak, padahal persiapan kita sekarang
belum sempurna, tidak baik jika menimbulkan perpecahan
dengan pihak keluarga Hoa terlalu awal”
“Lantas bagaimana dengan kejadian hari ini? Apakah
hendak dilaksanakan seperti apa yang kita rencanakan
semula?”
Sementara Kok See-piau sedang termenung untuk
mengambil keputusan, tiba-tiba muncul seorang anggauta
perkumpulan yang menghampiri Toan bok See-liang secara
tergesa-gesa, kemudian katanya, “Lapor kaucu, diluar
perkampungan ditemukan segerombolan besar jago persilatan
yang menyembunyikan diri dibalik hutan, sudah enam tujuh
buah pos penjagaan kita yang kena dibereskan oleh mereka.”
“Kawanan manusia macam apakah yang telah datang?”
tanya Toan-bok See-liang dengan kening berkerut.
“Hamba belum melakukan pemeriksaan yang seksama!”
“Berapa besar jumlah kekuatan mereka?” sela Heng Wi-cian
tiba-tiba.

110
“Paling sedikit juga mencapai dua sampai tiga puluh
orang!”
Beng Wi-cian lantas berpaling ke arah Toan-bok See liang
seraya berkata pula, “Kemungkinan besar mereka adalah
sahabat sahabat dari si bocah dari keluarga Hoa, padahal letak
perkampungan kita cukup rahasia, selama kita bawa bocah itu
menuju kemari, sepanjang perjalananpun su-dah dilakukan
pengawasan serta pengamatan yang amat teliti serta rahasia,
kenapa begitu cepat pihak lawan bisa mengetahui tempat kita
ini? Tong-boa Heng, lebih baik kita laporkan saja kepada
siakun…
Padahal Kok See-piau sudah mendengar pembicaraan
mereka, seraya berpaling dan tertawa tawa katanya, “Orangorang
pandai dipihak mereka sangat banyak, kejadian ini tak
perlu diherankan.”
“Berbicara atas dasar kekuatan kita sekarang,
sesungguhnya tidak sulit untuk melenyapkan semua musuh
yang menyerang datang Sinkun….”
“Jika ingin menggunakan kekerasan, kenapa kita mesti
menunggu sampai sekarang?” tukas Kok See-piau, “sama
sekali tak boleh kita lakukan segala tindakan secara gegabah.”
Setelah berhenti sejenak, kepada Tang Bong liang katanya
pula, “Tang bong liang, cepat turunkan perintah, jangan
sampai bentrok secara langsung dengan para pendatang.”
Tang Bong liang membungkukkan badan menerima
perintah, kemudian mengundurkan diri dari situ.
Toan bok See liang dan Beng Wi cian meski merasa
tindakan tersebut terlampau melemahkan semangat sendiri,

111
akan tetapi setelah Kok See-piau memutuskan demikian tentu
saja mereka tak berani banyak berbicara lagi.
Berbeda hanya dengan Lau san siang koay (sepasang
manusia aneh dari Lui san) ini, sebagai tamu agung dalam
perkumpulan Hian-beng-kau, mereka lebih bebas bergerak
dan tak perlu menguatirkan apa apa, ketika menyaksikan
kejadian itu langsung saja Toa koy berteriak, “Sebagai orang
utara aku adalah manusia yang punya sepatah kata
mengucapkan sepatah kata ha-rap Sinkun jangan menjadi
gusar. Sesungguhnya sampai dimanakah kelihayan Hoa Thianhong?
Kenapa Sinkun musti jeri kepadanya?”
Kok See-piau segera tersenyum.
“Meskipun Hoa Thian-hong itu sangat lihay Pun Sinkun tak
sampai jeri kepadanya. Cuma selama dua puluh tahun terakhir
ini daya pengaruh serta kekuasaan keluarga Hoa sudah mulai
berakar dalam du nia persilatan, segala yang telah berakar
biasanya sukar dihilangkan, maka tanpa rencana serta
perhitungan yang matang lebih baik jangan bertindak
sekehendak hati sendiri.”
Tiba-tiba dari tengah arena berkumandang suara bentakan
Ui Shia ling yang amat nyaring, Lohu tidak percaya kalau tak
sanggup memaksamu untuk menggunakan segenap kekuatan
tubuh yang kau miliki.
Kata terakhir belum diucapkan, tiba-tiba ia mengeluarkan
ilmu simpanan dari aliran Lau-san yang disebut ilmu pukulan
Hay-eng kun-hoat, setiap jurus pukulan yang dilancarkan
selalu disertai dengan tenaga dalam yang cukup sempurna,
ibaratnya gulungan ombak di tengah samudra, segulung demi
segulung datang menerjang tiada hentinya.

112
Dalam waktu singkat, Hoa In-liong sudah terjebak dalam
posisi yang sangat membahayakan jiwanya, suasana menjadi
gawat…
Hoa In-liong mengernyitkan sepasang alis matanya, tibatiba
diapun mengembangkan ilmu pukulan saktinya secara
beruntun ia per gunakan jurus-jurus Pian-tong-put-ki (berubah
tidak menetap), Jit gwat-siang-tui (matahari dan saling
mendorong) dan To-yau-siu jut (pompa angin keluar masuk).
Dalam waktu singkat semua pukulan dari Ui Shia ling
terbendung dan tidak mampu dikembangkan kembali, dari
posisi di atas angin seketika itu juga ia malah berbalik ada
dibawah angin.
Semenjak semula Kok See-piau sudah mendapat laporan
dari Beng Wi cian tentang kehebatan ilmu pukulan tersebut,
maka ketika dilihatnya si anak muda itu mengembangkan
permainannya dengan mempergunakan kehebatan ilmu
pukulan itu, dengan sinar mata yang tajam dan perhatian
yang terpusatkan menjadi satu, ia memperhatikan perubahan
gerak dari kepandaian tersebut maksudnya ia berusaha
menemukan bagian-bagian dari ilmu pukulan tadi.
Hoa In-liong meski berada dalam keadaan yang gawat,
akan tetapi setiap detik dan setiap saat ia selalu
memperhatikan gerak-gerik Kok See-piau, menyaksikan
keadaan itu segera pikirnya, “Hmm…..! Kau anggap ilmu silat
maha sakti peninggalan dari malaikat ilmu silat bisa kau tebak
dengan begitu saja? Jangan bermimpi disiang hari bolong.
Cuma……akupun tak boleh terlalu menyolok!”
Berpikir sampai disini ia lantas menyerang dengan jurus
kuo siu ci tau, kemudian dengan ilmu langkah Gi beng huan wi
(mengeser badan berganti tempat) dia berkelebat mundur
beberapa kaki jauhnya.

113
Aku orang she Hoa mengaku kalah!” serunya.
Ui Shi ling sebagai seorang jago lihay dari angkatan tua,
hampir boleh dibilang telah mempergunakan segenap
kekuatan tubuhnya untuk menggencet lawan, tapi ia selalu
gagal untuk mengalahkan si anak muda itu, terutama setelah
di desak mundur pada beberapa jurus serangan yang terakhir,
batinya semakin tak puas.
Mendengar perkataan itu ia lantas tertawa dingin, lalu
katanya, Hoa kongkcu, membuat apa kau menyindir diri ku?
Sudah terang aku yang tak sanggup menandingimu, cuma… Ui
Shi ling tak tahu diri, aku ingin mohon beberapa petunjuk lagi.
Tiba-tiba Kok See-piau berteriak, “Kalau memang Hoa
kongcu enggan memberi petunjuk lagi kepadamu, Ui-lo!
Silahkan kembali saja!”
Padahal Ui Shia-Iing sendiripun tahu bahwa kesempatannya
untuk merebut kemenangan tipis cuma dia tak mau mundur
dengan begini saja karena kuatir kehilangan muka, dan kini
setelah memperoleh kesempatan baik, cepat katanya, “Setelah
kaucu berkata demikian, baiklah akupun mengaku kalah!”
OO000O000OO
Bab 42
Hoa In-liong tertawa ewa.
“Aaah………… mana mungkin aku bisa menandingi
kelihayan Ui lo?” katanya merendah. Sementara itu Kok Seepiau
telah berkata, “Diluar perkampungan telah kedatangan
sejumlah jago lihay tampaknya mereka adalah sahabatsahabat
Hoa kongcu, untuk menghindari segala

114
kesalahpahaman, bagaimana kalau Hoa kongcu
mempersilahkan mereka masuk ke dalam perkampungan?”
Hoa In-liong tahu bahwa gerombolan jago yang muncul
diluar perkampungan itu sudah pasti adalah Ho Kee siau, Coa
Cong gi dan kawan-kawannya yang kuatir Hian-beng-kau
bersikap tidak menguntungkan baginya maka bersiap-siap
diluar perkampungan untuk menghadapi segala kemungkinan.
Lantaran diapun kuatir kalau mereka sampai menyerbu ke
dalam perkampungan Karena lama tidak melihatnya keluar
dari perkampungan sehingga keadaan waktu itu tak
terlainkan, segera katanya pula, “Yaa, aku memang harus
menjumpai mereka apakah Sinkun juga ingin bertemu dengan
kawan kawan persilatan?”
Kok See-piau termenung sejenak, lalu katanya sambil
tertawa, “Salah satu tujuan dari kemunculanku kembali di
dalam dunia persilatan adalah menjumpai kawan kawan lama,
tentu saja setiap ke sempatan baik seperti ini tak akan
kulepaskan dengan begitu saja.”
“Yaa, jejak dari empok Hoo sekalian sudah tentu tak bisa
mengelabui Kok See-piau,” pikir Hoa In-liong.
Dengan tenang diapun melangkah pergi dari tanah lapang
tersebut.
Kok See-piau miringkan tubuhnya ke samping memberi
jalan lewat, lalu dia ulapkan tangannya, tiba-tiba saja Ci Sooat
cu, Ui Shian ling dan Ciu Hoa sekalian membungkukan
badannya memberi hormat dan membubarkan diri ke serambi
samping, para jago Hian-beng-kau yang membawa obornya
tanpa menimbulkan sedikit suarapun membubarkan diri.

115
Sejak awal sampai akhir kecuali Ciu Hoa lo pat seorang
yang kena dampratan Kok See-piau hampir boleh dikata sama
sekali tidak menunjukkan perubahan aneh atau gerak-gerik
yang mencurigakan, jelas semua orang-orang itu sudah
pernah memperoleh pendidikan disiplin yang ketat.
Dalam sekejap mata lapangan berbatu itu sudah pulih
kembali dalam kegelapan, hanya sebuah lampu kecil dibawah
serambi sana yang memancarkan sedikit sinar yang redup.
Hu kaucu dari Han beng kau, Go Tang cuan masih tetap
berdiri kaku dibawah ruang tengah sana.
Ketika kedua orang itu masuk ke dalam ruangan, Go Tang
cuan baru mundur setengah langkah.
Kok See-piau melirik sekejap meja perjamuan dalam
ruangan, lalu katanya sambil tertawa, “Sebenarnya aku ingin
mengaajak Hoa kongcu minum arak sambil
membicarakan soal para eng-hiong dalam dunia
persilatan…..
Hoa In-liong tertawa nyaring.
“Haaahh……haaahh……haaahh……. entah manusia macam
apakah yang dapat disebut sebagai enghiong dalam hati
Sinkun?”
Waktu itu dari bawah ruangan sampai ke-pintu gerbang
gedung telah berjajar barisan laki-laki berbaja ungu, di tangan
kiri membawa obor di tangan kanan mereka membawa golok,
suasananya jauh berbeda dengan sewaktu masuk ke dalam
gedung tadi, cahaya golok menyiarkan suasana yang
menggidikkan hati.

116
Menyaksikan adegan tersebut, diam-diam ia lantas berpikir,
“Situasi yang diatur Kok See-piau sekali ini sungguh
menggelikan sekali.”
Terdengar Kok See-piau telah berkata, “Menurut
pandanganku yang bodoh, yang di maksudkan sebagai
enghiong adalah orang yang berjiwa besar, berlapang dada,
berotak cerdas berilmu silat tinggi dan mempunyai bakat,
kebijaksanaan serta pengetahuan yang amat luas.”
“Waah…..jika harus mengikuti apa yang diucapkan Sinkun,
dewasa ini sulit sekali untuk menemukan seorang enghiong
semacam itu.”
Tiba-tiba Kok See-piau menghentikan langkahnya, Hoa Inliong
tertegun dan segera ikut berhenti pula, terlihatlah Kok
See-piau dengan sinar mata yang amat tajam, sepatah demi
sepatah sedang berkata.
“Selama beratus tahun belakangan ini hanya ayahmu yang
dapat disebut sebagai engbiong sungguhan, seorang manusia
yang jantan betul-betul hebat…..”
“Ayahku pernah berkata bahwa pujian orang luar
terhadapnya pada hakekatnya terlalu berlebihan kata Hoa Inliong
dengan nada serius, “padahal beliau sendiri merasa
bahwa ia tidak memiliki ke ampuhan apa apa yang bisa
disebut sebagai seorang enghiong oleh karena itulah seringkali
ia memberi nasehat agar anak cucunya bisa berbuat apa yang
bisa dilakukan sebagai manusia.”
Kok See-piau menarik kembali sinar matanya sambil
melanjutkan perjalanan ke depan, katanya sambil tertawa
hambar.

117
“Sifat ketidak puasan pada diri sendiri yang di miliki
ayahmu juga sudah menjadi rahasia umum dalam dunia
persilatan.”
Hoa In-liong ikut beranjak mengikuti disampingnya, diamiam
ia berpikir, “Sekalipun ia membenci ayahnya hingga
merasuk ke tulang sumsum tapi dimulutnya selalu memuji
ayah setinggi langit, mungkin inilah yang disebut sebagai
imbauan hati nurani, tapi jelas dia bukan termasuk seorang
manusia yang berjiwa besar…….”
Sekalipun dia mengikutii terus disisi tubuhnya kemanapun
ia pergi, namun tubuhnya selalu ketinggalan setengah langkah
di belakang, hal ini sebagai persiapan untuk menghindari
sergapan maut dari Kok See-piau.
Kok See-piau sendiri berpura-pura tidak menyadari, kembali
katanya, “Ayah harimau anaknya tentu harimau juga,
enghiong yang akan datang sudah pasti akan menjadi milik
Hoa kongcu.”
“Sinkun terlalu memuji!” Kok See-piau tertawa berat
katanya, “Apalagi berbicara dari ulah Hoa kongcu sewaktu ada
di kota Si-kiu, dari kegagahanmu itu terbuktilah sudah bahwa
perkataanku ada benarnya juga…….”
Tiba-tiba Hoa In-liong merasakan nada aneh dibalik
perkataan Kok See-piau, terkesiap hatinya, segera ia berpikir,
“Rupa rupanya ia sudah berniat untuk membinasakan diriku.
Kok See-piau memang sudah dipengaruhi oleh hawa nafsu
membunuh, cuma ia masih ragu untuk mengambil keputusan,
sekalipun tujuan dari kemunculannya kali ini adalah untuk
mengadu kepandaian dengan Hoa Thian-hong, tapi entah
mengapa dari dasar hatinya tiba-tiba muncul suatu perasaan
takut yang sangat aneh, bukan lantaran kuatir akan kehebatan

118
ilmu silat Hoa Thian-hong saja, tapi termasuk juga oleh
kegagahan Hoa Thian-hong.
Sebab itu, sekalipun berhadapan dengan Hoa In-liong ia
merasa seakan-akan bertemu dengan Hoa Thian-hong waktu
itu, hingga hawa nafsu membunuhnya segera berkobar.
Seandainya bangsat ini benar-benar adalah seorang
manusia hidung belang yang lebih suka bermain perempuan
daripada menghadapi masalah besar, apalagi malam ini
kewaspadaannya mengendor, jelas merupakan kesempatan
baik bagiku untuk turun tangan cuma………
Baru berpikir sampai disjtu, mereka sudah tiba di depan
pintu, maka iapun mengambil keputusan, apabila Hoa In-liong
secara kebe tulan berjalan lewat dari sebelah sisi tubuhnya
nanti, dia hendak melukai si anak muda itu dengan ilmu Kiuki-
im-satnya yang maha sakti.
Kiu-ki-im-sat atau hawa pukulan dingin dari istana Kiu-ci
termuat dalam kitab pusaka Kiu-ci-cin-keng, pukulan itu bisa
melukai isi perut orang tanpa disadari oleh sang korban
sendiri, biasanya kendatipun pihak musuh memiliki tenaga
sim-hoat yang sangat sempurna, pukulan tersebut sulit juga
diatasi dan masa kerja dari luka itu biasanya menuruti
kehendak hati si pelancar serangan, bila belum bekerja
keadaan masih biasa tapi begitu mulai bereaksi maka
dahsyatlah akibatnya.
Sesungguhnya ilmu itu merupakan suatu llmu pukulan yang
jahat sekali, apalagi setelah dicampur dengan ilmu pukulan
beracun yang memang dimiliki Kok See-piau sebelumnya, hal
ini semakin menambah ke dahsyatan pukulan itu.

119
Akan tetapi Hoa In-liong selalu dua langkah berada
dibelakangnya, saat itu dia sedang bertanya, “Sobat-sobatku
kini berada dimana?”
Kok See-piau berpikir, “Seandainya bocah keparat ini
benar-benar dapat menebak maksud hatiku sehingga sedia
payung sebelum hujan, ia lebih-lebih tidak boleh diampuni
lagi.”
Dalam hati ia berpikir demikian, diluaran katanya,
“Sahabatmu sudah banyak sekali menangkapi anggota
perkumpulan kami, mungkin mereka sedang bersembunyi
dibalik hutan.”
Kemudian sambil memperkeras suaranya ia berkata lagi
diiringi gelak tertawa nyaring,
“Haahh…..haahh……haahh……Hoa kongcu sudah keluar dari
gedung dengan selamat, silahkan kalianpun munculkan diri
pula.”
Gelak tertawa nyaring menggema pula dari balik hutan
sana, dipimpin oleh Ho Kee-si an serentak kawanan jago itu
munculkan diri dan berhenti kurang lebih lima kaki dihadapan
kedua orang itu, dengan sorot mata tajam ia menyapu sekejap
ke arah Hoa In-liong ketika dilihatnya si anak muda itu tetap
sehat tidak kekurangan sesuatu apapun, legalah hatinya,
menyusul kemudian setelah memandang sekejap ke arah Kok
See-piau ia menghela nafas panjang.
“Adik In-liong, kau tidak apa-apa bukan?”
“Hey, siapakah orang yang berada disampingmu itu?”
Sambil berkata ia melompat lebih maju ke depan disusul
kemudian oleh Si Jin-kiu, Yu Siau-lam dan lain lainnya, mereka

120
berdiri dibelakang Ho Kee-sian sambil melotot ke-arah Kok
See-piau.
Hoa In-liong tersenyum, katanya, “Dia bukan lain adalah
Hian-beng-kaucu kiu ci Sinkun!”
Sebenarnya Kok See-piau dengan orang-orang penting
dalam tubuh Sin-ki-pang adalah kenalan lama, hubungan
mereka tidak terlalu jelek, cuma kemudian hubungan itu kian
lama kian bertambah renggang dan asing hingga pada
pertemuan dua puluh tahun kemudian mereka harus
berhadapan sebagai musuh bebuyutan.
Meskipun Kok See-piau berhati licik dan keji, tapi bayangan
tubuh Pek Kun-gi dimasa muda dulu masih terbayang selalu
dalam benaknya, sedikit banyak tertegun, juga untuk sesaat
lamanya setelah bertemu dengan rekan-rekan lamanya ini.
Tapi hanya sejenak kemudian ia sudah sadar kembali dari
lamunannya, ditatapnya sekejap sekeliling hutan itu dengan
tatapan tajam, kemudian katanya lantang.
“Kawan-kawan yang bersembunyi di dalam hutan, kenapa
tidak sekalian munculkan diri?”
Gelak tertawa nyaring menggelegar memecahkan
kesunyian, bayangan manusia berkelebat lewat daun dan
ranting bergoyangan, dalam sekejap mata Hoan TSong, Bu
tim tootiang Cia Yu cong, Kongsun peng dan sekalian jago
bermunculan dari mana-mana dan segera memenuhi sekeliling
gedung tersebut, jumlah mereka diantara enam tujuh puluhan
orang lebih.
Kiranya Hoo Kee sian dan Yu Siau-lam sekalian merasa
tidak tega untuk membiarkan ia pergi penuhi janji sendirian,
maka bukan saja rekan-rekan bekas seperkumpulannya

121
dikumpulkan semua bahkan juga memberi kabar kepada Huan
Thong Bu tim tootiang, Cia Yu cong dan Kongsun Peng
sekalian agar segera berkumpul, tanpa perundingan lebih jauh
semua jago itu diboyongnya menuju ke situ.
Diam-diam Hoa In-liong merasa amat berterima kasih atas
kesetia kawanan rekan-rekan lainnya, dengan suara lantang
dia lantas berseru, “Urusan sekecil itupun harus merepotkan
saudara sekalian untuk memburu kemari, sungguh membuat
hatiku tak enak”
“Sebagai sesama umat persilatan sudah sepantasnya kalau
saling bantu membantu, apa lagi urusan Hoa kongcu ini
menyangkut masalah yang amat penting sekali artinya!”
Kongsun Peng segera menanggapi dengan lantang.
Bagi Kok See-piau sendiri walaupun gerombolan manusiamanusia
tersebut masih belum dipan-dang sebelah mata pun
olehnya, namun diam-diam ia merasa tercengang juga
menyaksikan kesemuanya itu.
Tiba-tiba Ci Soat cu, Im sansiang koay dan sekalian jago
muncul kembali dibelakang Kok See-piau, menyusul kemudian
kawanan jago dari Hian-beng-kau lainnya ikut pula muncul
dibelakang barisan Kok See-piau, seakan akan dua pasukan
besar yang telah berhadapan muka siap bertempur.
Hoa In-liong berpikir sebentar untuk menghadapi keadaan
tersebut, ia merasa inilah kesempatan yang terbaik baginya
untuk meninggalkan tempat itu, maka sambil menjura kepada
Kok See-piau katanya, “Pertemuan pada hari ini biarlah kita
akhiri sampai disini saja, aku tak mau mengganggu lebih
lanjut”
Kok See-piau termenung sejenak, akhirnya dia pun
mengangguk.

122
“Baiklah kalau dilihat situasinya sekarang, jelas pertemuan
memang tak dapat dilanjutkan.”
Sementara di hati kecilnya ia berpikir,
“Sayang……..sayang,…………aku telah membuang suatu
kesempatan baik untuk turun tangan.”
Dalam penggalian harta karun di bukit Kiu-ci-san tempo
hari, Huan Tong sempat turut serta dalam peristiwa besar itu,
ia pernah berjumpa dengan Kok See-piau dan mengetahui
pula sampai dimana dalamnya permusuhan antar Kok Seepiau
dengan keluarga Hoa, ketika dilihatnya jarak antara Hoa
In-liong dengan Kok See-piau cuma dua depa tak sampai, dia
kuatir si anak muda itu kena dilukai, maka segera teriaknya,
“Hoa Kongcu, cepat kemari kau!”
Hoa In-liong tersenyum, pelan-pelan dia maju menghampiri
ke arahnya.
Sorot mata semua orang segera ditujukan ke arah Kok Seepiau,
meskipun berulang kali Kok See-piau hendak nekad
untuk membinasakan Hoa In-liong, tapi akhirnya ia menghela
napas dan membuyarkan kembali hawa sakti Im-sat sinkangnya.
Ketika semua orang menyaksikan Hoa In-liong telah
kembali dengan selamat, merekapun dapat menghembuskan
napas lega.
Cia Cu cong segera tertawa terbahak-bahak.
“Haahh…hhaah…..hhhaaah….. rupanya saudara adalah
Hian-beng-kaucu.

123
Kok See-piau hanya mendengus sinis, ia berlagak seolaholah
tidak mendengar teguran itu.
Toa koay dari Im san siang koay segera mendengus dingin,
katanya
“Kau itu manusia apa? Belum berhak untuk berbicara
dengan kaucu kami!”
Paras muka Cia Yu conG berubah hebat, lalu setelah
tertawa dingin katanya, “Dalam dunia persilatan dewasa ini
belum ada seorang manusiapun yang bisa menandingi
kemashuran Hoa tay hiap, tapi belum pernah didengar bahwa
Hoa tayhiap bersikap sesombong itu seperti lagakmu ini.”
Selama hidup Kok See-piau paling benci kalau mendengar
ada orang mengatakan bahwa ia tak bisa menandingi Hoa
Thian-hong mendengar ucapan tersebut, dengan sinar mata
setajam sembilu ditatapnya wajah Cia Yu cong lekat-lekat.
Terkesiap pula Ci Yu cOng melihat ketajaman mata orang,
dengan perasaan tercekat dia mundur selangkah.
Toa koay dari Im san siang koay menyeringai dan tertawa
seram, kemudian katanya, “Bajingan cilik, mulutmu kotor dan
tak bisa diampuni, lebih baik lohu hantar kau pulang ke langit
berat untuk menjumpai Ji-lay hud saja….”
Seraya berkata selangkah demi selangkah ia maju
menghampirinya.
Hoa In-liong cukup mengetahui bahwa kepandaian Ci Yu
cong masih selisih jauh bila dibandingkan dengan Im san
siang koay, tentu saja ia tak akan membiarkan mereka sampai
terlibat dalam pertarungan, tiba-tiba serunya, “Sinkun, apakah
kau menginginkan pertarungan mati-matian antara pihakmu

124
melawan pihakku agar orang lain yang mendapat keuntungan
dalam peristiwa ini?”
Kok See-piau mengernyitkan alis matanya, lalu memanggil,
“Sim lo, kembali!”
Toa koay tak berani membantah, terpaksa dengan uringuringan
dia berjalan balik. Hoa In-liong kembali berpikir, ““Jika
keadaan semacam ini dibiarkan berlarut-larut terus, suatu
pertarungan massal sudah pasti akan berkobar, lebih baik
cepat cepat pergi saja…
Berpikir demikian ia lantas berkata, “Terima kasih banyak
atas petunjuk Sinkun tentang masalah pembunuhan tersebut,
bila duduknya persoalan telah beres, lain waktu aku pasti akan
berkunjung lagi kemari.”
Kok See-piau memang berharap demikian, maka diapun
berkata, “Silahkan, silahkan!”
Dari pihak para pendekar, Hoa In-liong merupakan
pemimpinnya karena dia hendak pergi maka orang lainpun
tidak memberi komentar apa apa, mereka menelusuri jalan
kecil dan mundur dari hutan tersebut.
Hoa In-liong kuatir Kok See-piau bertindak sesuatu yang
tidak menguntungkan orang-orangnya maka bersama Coa
Cong gi, Ho Kee siao dan lain-lainnya mereka berjaga
dibelakang..
Sepintas lalu pertemuan antara Hoa In-liong dan Kok Seepiau
cuma begitu saja padahal kedua belah pihak sama-sama
menggunakan akal dan tipu muslihat yang disusun melalui
pemikiran yang seksama, siapakah yang berhasil meraih
keuntungan besar dari pertemuan itu, ini harus dilihat dalam
perkembangan dihari-hari kemudian.

125
Dengan gencar Coa Cong gi mendesak Hoa In-liong agar
menceriterakan keadaan yang telah terjadi, ini semua dijawab
oleh si anak muda itu dengan senyuman dikulum.
Baru keluar dari hutan, tiba-tiba Hoa In-liong mendengar
ada suara lembut seperti bisikan nyamuk berkumandang disisi
telinganya.
“Liong ji, setelah menghantar pergi semua, secepatnya
datang menjumpai diriku.”
Dari suara orang itu Hoa In-liong segera mengetahui siapa
dia diam-diam pikirnya, “Paman dari See-ih berbicara melalui
ilmu menyampaikan suara, rupanya ia enggan bertemu
dengan semua orang, entah apa sebabnya?”
Ketika Coa Cong gi menyaksikan secara tiba-tiba pemuda
itu menghentikan langkahnya dengan keheranan dia lantas
bertanya, “Ada urusan apa kau?”
Hoa In-liong tertawa.
“Ooh,… ada seorang cianpwe memanggilku harap kalian
berangkat duluan……..
“Cianpwe dari manakah itu? Kenapa tidak munculkan diri
untuk menjumpai kami?” tanya Coa Cong gi keheranan.
Ho Kee sian juga kuatir kalau Hoa In-liong cuma
menggunakan hal tersebut sebagai alasan agar bisa
meninggalkan rombongan serta menyusup kembali ke dalam
gedung Kok See-piau, dengan cepat selanya pula, “Liong
saunya! kenapa tidak kau undang cianpwe itu untuk berjumpa
dirumah penginapan saja?”

126
Hoa In-liong tertawa lebar, cepat katanya, “Empek Ho tak
usah kuatir, dewasa ini tiada kepentingan bagiku untuk
mencari kabar tentang Hian beng kau dengan menempuh
bahaya, sebenarnya benar-benar memang ada seorang
cianpwe memanggilku kesana.”
“Kalau begitu aku ikut tetap tinggal disini,” kata Hoa Kee
sian setelah merenung sejenak.
Ketika dilihatnya ia bersikeras ingin tetap tinggal disini, Hoa
In-liong pun tidak banyak berbicara lagi, buru-buru disusulnya
Huan-Thong sekalian yang sudah beberapa kaki jauhnya itu
meninggalkan beberapa pesan.
Setelah itu bersama Ho Kee sian menembusi hutan dan
menuju ke arah tenggara sejauh beberapa puluh kaki.
Benar juga, disana duduk bersila seorang laki-laki setengah
umur yang berwajah gagah, orang itu bukan lain adalah
pamannya dari wilayah See ih, siapa lagi kalau bukan
Haputule.
Haputule adalah seorang jago yang berasal dari suku Fabuo
diwilayah see ih, tiga puluh tahun berselang ia merupakan
murid ter kecil dari seorang pendekar aneh yang pernah
mengobrak-abrik dunia persilatan lantaran sebilah pedang
emas kecil, yakni It ki-Lim kay tionggoan (pedang sakti yang
meliputi daerah Tionggoan) Siang Tang lay.
Meskipun ilmu silat milik Siang Tang lay sangat tinggi, akan
tetapi setelah dikeroyok dan disergap oleh pek Siau thian, Jin-
Hian, Thian Ik-cu, Bu liang Sinkun dan Ciu It beng
mengakibatkan ia menderita cacat seumur hidup, untung
jiwanya ditolong oleh kakek Hoa In-liong yang bernama Hoa
Goan liu dan di bawa pulang ke See ih.

127
Belasan tahun kemudian, ia muncul kembali didaratan
tionggoan, sekalipun sakit hatinya berhasil dibalas, namun
akhirnya ia sendiri tewas di tangan Pia Leng cu dari Thong
thian-kau, keenam orang muridnya secara beruntun juga
tewas dibunuh orang hingga akhirnya tinggal Haputule
seorang yang masih hidup.
Semenjak itulah Haputule ikut Bun Tay-kun belajar silat
selama lima tahun sebelum pulang ke See-ih, karena itu
hubungan keluarga mereka boleh dibilang intim sekali.
Disamping Haputule duduk seorang kakek berjubah kuning,
dalam sekilas pandangan saja Hoa In-liong segera
mengenalinya sebagai kakek yang telah bertarung
melawannya dengan mengandalkan senjata Jit-gwat-bu-hu an
tersebut, tentu saja ia menjadi tertegun.
Sambil tersenyum Haputule segera menegur.
“Dia adalah Ting Ji-san cianpwe, Liong-ji! Cepat maju dan
memberi hormat kepadanya.”
Hoa In-liong buru-buru maju kedepan dan memberi
hormat, katanya, “Kenapa kau orang tua tak mau menjelaskan
asal usulmu? Kalau bukan demikian, tentu akupun tak sampai
bersikap kurang hormat kepadamu.”
“Oooh….rupanya kalian sudah pernah saling bertemu!” kata
Haputule tercengang.
Hoa In-liong tertawa.
“Ting locianpwe malah sudah memberi pelajaran pula
kepada keponakan!” katanya.
Ting Ji-san segera mendengus.

128
“Hmm! Aku segan memberi pelajaran kepadamu.”
Tiba-tiba ucapannya terhenti di tengah jalan dan tangannya
diulapkan berulang kali.
“Liong-ji, kesalahan apa yang telah kau perbuat kepada
cianpwee ini?” tegur Haputule.
Dengan cepat Ting in san gelengkan kepalanya berulang
kali.
“Ia tidak berbuat salah apa-apa akulah yang telah menjajal
kepandaian silatnya.”
“Yaa, mana Liong-ji berani melakukan perbuatan kurangajar
kepada Ting locianpwe?” sambung Hoa In-liong cepatcepat.
Haputule kembali tersenyum, ia lantas berpaling ke arah Ho
Kee-sian seraya berkata, “Ho Thongcu, selama Liong ji
berbuat onar di kota Si-ciu, terima kasih banyak atas
bantuanmu.”
Buru-buru Ho Kee-sian goyangkan tangannya berulang kali,
katanya sambil tertawa, “Ilmu silat dan kecerdasan Liong
sauya boleh dibilang amat luar biasa, bantuan apa lagi yang
bisa kuberikan kepadanya?”
Setelah berhenti sebentar, katanya lagi sambil tertawa,
“Sejak dulu aku sudah bukan menjadi Thian-leng thongcu dari
perkumpulan Sin-ki-pang, panggilan semacam itu lebih baik
dihapuskan saja.”
“Ooohho…kalau begitu maafkanlah aku bila sudah salah,
berbicara!” Haputule segera menjura sambil tertawa.

129
Ting Ji san dulunya juga pernah berjumpa dengan Hoa Kee
siao, sekali pun antara mereka terlihat sedikit perselisihan
karena urusan sudah lewat, maka merekapun tidak
mempersoalkannya kembali, sambil saling menjura mereka
hanya tertawa.
“Ada urusan apa paman mengundang keponakan kemari?”
“Soal ini nanti saja, sekarang ada baiknya kau jelaskan dulu
apa arti dari ‘orang lain yang mendapat keuntungan’!”
“Yang kau katakan kepada Kok See-piau si gembong iblis
itu? Apakah dibalik tewasnya Suma tayhap masih terdapat
kejadian-kejadian lain yang mencurigakan?”
“Kejadian yang menyimpang sih tidak ada, cuma memang
rada mencurigakan sekali.”
Setelah berpikir sebentar, si anak muda itupun
menceritakan apa yang dituturkan Kok See-piau dan Ci-soat
cu tanpa mengurangi sepatah katapun.
Haputule naengangguk tidak hentinya, ia berkata, “Yaa,
memang tak bisa dipercaya, memang tak bisa dipercaya.”
Sedang Ting Ji-san tertawa dingin.
“Heehhh..heeehh….heeehh.. pada hakekatnya cuma
memutar balikan duduknya persoalan, anak kecilpun tak akan
kena ditipu.”
Sementara Po Kee-sian berkata, “Ucapan tersebut jelas
merupakan kata-kata yang sengaja dicari cari, Kok See-piau
kuatir ji kohnya turun tangan, maka diaturlah siasat
tersebut…..

130
“Boanpwe mempunyai pendapat lain,” kata Hoa In-liong.
Dengan kening berkerut Haputule lantas berkata, “Sejak
kecil kau memang banyak tipu muslihatnya, dalam bidang ini
rasanya sudah cukup berpengalaman, coba katakan
bagaimana menurut pendapatanmu?”
Hoa In-liong berpikir sebentar, lalu katanya, “Menurut
pendapat keponakan, Kok See-piau yang sekarang adalah
seorang manusia dengan jalan pikiran yang lebih dalam dari
samudra..”
Haputule mendengus dingin.
“Hmmm! Aku tidak percaya orang she Kok itu bisa
memperoleh kemajuan sedemikian pesat, huuuuh….. paling
banter juga tak lebih dari pada seorang bajingan tengik”
“Paman, kau jangan menganggap enteng orang itu,” kata
Hoa In-liong sambil tertawa, “cukup ditinjau dari
kemampuannya untuk mengum pulkan jago lihay sebanyak
itu, bisa diketahui bahwa orang itu bukan manusia
sembarangan, semenjak tadi paman telah bersembunyi
disamping arena, tentunya semua kejadian sudah diikuti
dengan jelas, entah bagaimana pendapat paman tentang ilmu
silat Kok See-piau?”
“Sebelum pertandingan dilakukan, dari mana aku bisa
tahu?”
“Maaf kalau keponakan bicara kurangajar, tapi keponakan
yakin bahwa paman masih bukan tandinggannya Kok Seepiau.”

131
Haputule mengerutkan dahinya seperti tidak puas dengan
perbandingan itu, tapi ujarnya juga sambil tertawa, “Lebih
baik urusan ini ditunda untuk sementara waktu, coba akan
kudengarkan dulu pendapatmu.”
Dengan otak Kok See-piau yang tajam, mana mungkin ia
tidak tahu kalau dibalik kesemuanya itu masih terdapat
banyak titik kelemahan? Untuk menciptakan suatu
pembicaraan yang sempurna sesungguhnya bukan pekerjaan
yang menyulitkan untuk mereka, maka menurut dugaanku
pastilah ucapan itu merupakan kenyataan, tentu saja ia
selipkan juga rencana busuknya disana sini secara
lembut…………..”
Haputule tertawa terbahak-bahak memotong
pembicaraannya yang belum selesai, katanya, “Aku lihat kau
adalah orang pinter yang menjadi keblinger, darimana
datangnya tetek bengek semacam itu? Hanya ada sepatah
kata untukmu, kau sudah ditipu Kok See-piau.”
Hoa In-liong tertawa pula.
“Bagaimanapun juga tujuannya adalah menunda
pertarungan yang bakal berlangsung, hal ini jelas sangat
cocok dengan jalan pikiranku, jadi siapa yang sesungguhnya
tertipu, hanya thianlah yang tahu.”
Haputule menjadi tertegun.
Baginya mungkin saja menunda pertarungan yang bakal
terjadi, tapi bagaimana pula dengan dirimu?
“Keengganan ayah turun gunung merupakan sebuah
masalah bagiku dan mau tak mau memaksa aku untuk
melakukan perlawanan, keponakan percaya bahwa tenaga
dalamku masih kalah setingkat jika dibandingkan dengan milik

132
Kok See-piau tapi kesempatan untuk maju jauh lebih
menguntungkan bagiku dan rugi bagi Kok See-piau, kalau
memang begitu kenapa kita tidak mengulur waktu terus
terusan?”
Haputule gelengkan kepalanya berulang kali sambil
mengeluh.
“Payah! Payah! Urusan sebesar inipun telah kau anggap
sebagai permainan kawan kawan.”
Tiba-tiba ia mengulurkan tangannya sambil membentak,
“Ulurkan tanganmu, aku ingin tahu sampai dimanakah
kemajuan yang berhasil kau capai sehingga berani bicara
sesombong itu!”
Sambil tersenyum Hoa In-liong segera menjulurkan
tangannya, dan kedua orang itupun saling berjabatan tangan
sebentar lalu masing masing menarik kembali tangannya.
“Aaah…….!” Haputule menjerit tertahan.
“Sungguh tak kusangka tenaga dalammu telah peroleh
kemajuan sedemikian pesatnya sungguh berada diluar
dugaanku.”
Ternyata dari biji mata orang dia sudah tahu kalau tenaga
dalam Hoa In-liong telah memperoleh kemajuan, cuma ia
tidak percaya kalau dalam waktu sesingkat itu ia bisa
memperoleh kemajuan sedemikian pesatnya.
Ting Ji-san segera tertawa terbahak-bahak.
“Haahh…….,.haahn………haahh………aku yang terlibat
dalam pertarungan sengit pun tidak berhasil mendapat
keuntungan apa apa, lote, lebih baik jangan buang tenaga

133
dengan percuma, kini ilmu silatnya sudah cukup bisa
diandalkan asal mau berhati-hati rasanya bukan persoalan
baginya untuk menembusi seluruh kolong langit.”
Jilid 4
Tapi Haputule kembali mendengus. “Hmm ….! Kebanyakan
orang muda menjadi sombong karena menganggap ilmu silat
kucing kaki tiganya sudah cukup untuk membuat keonaran
dalam dunia persilatan, Ting lo! Kau tak usah membesar
kesombongannya!”
Setelah termenung sejenak, ia lantas berkata,
“Sesungguhnya aku sangat tidak setuju dengan perbuatanmu
yang berani menantang tiga perkumpalan besar untuk
berduel, adapun kedatanganku kemari adalah untuk
menghalangi niatmu itu, tapi sekarang, terserahlah apa yang
hendak kau lakukan!”
“Bagaimana dengan hasil latihan dari kedua orang sute?
Kenapa paman tidak mengajaknya serta untuk menambah
pengalaman serta pengetahuan mereka?”
“Ilmu silat mereka masih terlampau rendah, aku kuatir
mereka akan dibuat bingung oleh keme-gahan dan
kemewahan dalam dunia persilatan, biarkan mereka berlatih
tekun selama banyak tahun lagi di atas bukit yang terpencil”
“Untuk kebijaksanaan paman yang suka memandang tinggi
segala persoalan keponakan merasa kagum sekali.”
Haputule mendengus dingin, kemudian dengan wajah
serius katanya, “Aku ingin bertanya kepadamu, sepanjang hari

134
kau menerbitkan keonaran saja dalam dunia persilatan, sudah
lupakah kau dengan masalah pokok yang sebenarnya?”
Hoa In-liong agak tertegun, tanyanya dengan nada
tercengang, “Bukankah sekarang keponakan sedang
menyelesaikan masalah pokok yang serius?”
“Hmm…….! Bagaimana penyelesaianmu tentang persoalan
yang menyangkut Giok-teng Hujin?”
Hoa In-liong agak tertegun, lalu katanya sambil tertawa
getir, “Keponakan telah bertemu dengan bibi Ku, tapi…”
“Hmm………!” tukas Haputule sambil tertawa dingin, “dihari
hari biasa aku pandai bermanis mulut, tentunya Giok teng
hujin telah berhasil kau nasehati sehingga berbalik hati
bukan?”
Hoa In-liong segera tertawa lebar, “Paman, bukankah
pertanyaanmu ini sama artinya sudah tahu tapi pura-pura
bertanya lagi!”
Ho Kee siao yang selama ini cuma membungkam, tiba-tiba
menyela, “Bila seorang telah bertekad dalam suatu persoalan
selama puluhan tahun, maka mungkinkah sepatah kata saja
sudah dapat menggerakkan hatinya?
Dalam masalah ini Liong sauya tak dapat disalahkan.
Ting Jit san manggut-manggut.
“Betul sekali ucapan tersebut” katanya pula, “Lo te, kau
jangan terlalu menyalahkan dia.”
Haputule menghela napas panjang.

135
“Aaiai…….. kalian berdua terlalu melidunginya, jika begini
terus keadaannya, entah sampai dimanakah sifat
kebinalannya itu?”
Kemudian setelah mengawasi wajah Hoa In-liong dan
termenung sebentar, ia bangkit seraya berkata lagi.
“Tak ada gunanya membicarakan soal-soal seperti itu
dalam keadaan sekarang, lebih baik kau bicarakan dulu
masalah Giok teng hujin itu denganku.
Lantaran masalahnya menyangkut masalah urusan pribadi
keluarga Hoa, sebagai orang luar, Ting Ji-san serta Ho Keesian
merasa kurang enak untuk mencampurinya, maka
merekapun mohon diri lebih dulu.
Sedangkan Hoa In-liong mengikuti Haputule ke luar dari
hutan berangkat menuju ke kota.
Di tengah jalan Hoa In-liong bertanya, “Apakah bibi Ku juga
sudah tiba di kota di ciu?”
Haputule menggelengkan kepalanya berulang kali.
“Yang akan kita jumpai sekarang adalah Pui Che-giok,
kaucu dari perkumupulan Cian li kau, sampai kini aku belum
pernah bertemu dengan Giok teng hujin.”
“Oooh…..rupanya dia! Aku sudah pernah bertemu dengan
cianpwe itu,” kata sang pemuda sambil tertawa.
Tiba-tiba Haputule berseru dengan nada mendongkol,
“Semalam, ketika aku tiba di kota Si ciu sesungguhnya akan
segera menemuimu, tapi secara kebetulan aku telah berjumpa
dengan Pui Che-giok di tengah jalan. Waktu pertarungan di
lembah cu bu kok, aku pernah bertemu sekali dengannya,

136
meski sudah lewat banyak tahun, ternyata raut wajannya tidak
mengalami banyak perubahan, maka sekilas pandangan saja
aku dapat segera mengenalinya kembali, selesai memberi
hormat aku segera mohon kepadanya agar bisa berjumpa
dengan Ku Ing-ing, siapa tahu ia telah menampik permohonan
ku itu, hmm…..hmm…..! Mungkin dia melihat aku adalah
orang dari suhu Fibulo, maka dianggapnya bisa di permainkan
kehendak hatinya.”
Diam-diam Hoa In-liong tertawa geli, pikirnya, “Dihari-hari
biasa paman selalu tinggi hati dan permohonannya tak pernah
ditampik orang, tak aneh kalau ia menjadi marah-marah, yaa,
pasti baru pertama kali ini ia ketanggor batunya.”
Cepat nian gerakan tubuh kedua orang itu, sementara
pembicaraan masih berlangsung mereka sudah masuk ke
dalam kota.
Haputule tidak menghentikan gerakan tubuhnya, dia
langsung lari menuju ke kota sebelah barat, dalam waktu
singkat sampailah mereka di depan sebuah gedung bangunan
dengan loteng yang bertingkat, bangunan tersebut indah,
megah dan kokoh, dalam sekilas pandangan saja Hoa In-liong
segera mengenali sebagai bangunan yang dihuni oleh Cia Sauyan.
Haputule tidak langsung menuju ke pintu gerbangnya
untuk mengetuk pintu, melainkan melompati pagar
pekarangan dan langsung menuju ke depan sebuah ruangan
mungil yang terang benderang bermandikan cahaya lampu
lentera.
Hoa In-liong segera mengikuti pula dari belakang.

137
“Sahabat dari manakah yang telah berkunjung kemari?”
bentakan nyaring segera menggelegar memecahkan
kesunyian.
“Haputule beserta keponakanku Hoa yang datang untuk
menjumpai pui kaucu!” jawab Haputule nyaring.
Dari dalam bangunan mungil itu kembali berkumandang
suara tertawa yang amat merdu.
“Oooh…….” rupanya See-ih tayhiap, serta Hoa ji kongcu
yang menggetarkan dunia persilatan telah berkunjung kemari,
sungguh kami memperoleh kunjungan tamu yang langka!”
Bersamaan dengan ucapan tersebut, dari balik pintu
ruangan muncul seorang nyonya cantik berbaju ungu yang
bergaun panjang sekali, begitu munculkan dirinya lantas
memberi hormat.
Haputule tertawa getir.
“Aku telah mengganggu ketenanganmu berulang kali, tidak
pantas dikatakan sebagai tamu yang langka,” katanya, “nona
Pui…….”
“Terlepas apakah See ih Tayhiap menaruh perasaan tak
puas terhadap diriku, silahkan masuk ke dalam untuk minum
teh lebih dulu sebelum melanjutkan pembicaraan ini,” tukas
Pui Che giok sambil tertawa.
Kemudian sepasang biji matanya yang jeli dialihkan
kewajah Hoa In-liong yang berada dihadapannya.
“Buru-buru Hoa In-liong maju memberi hormat seraya
panggilnya dengan mesra, “Bibi Pui!”

138
Pui Che-giok segera menyingkir ke samping menghindari
penghormatan tersebut.
“Aku tak berani menyambut penghormatan besarmu ini!”
katanya.
“Aku rasa sambutan itupun tidak pantas untukku!”
Hoa In-liong berkerut kening, bibirnya segera bergerak
seperti hendak mengucapkan sesuatu.
Tapi sebelum ia sempat mengutarakan sesuatu, dari dalam
ruangan telah kedengaran suara dari Cia sau-yan menyela,
“Suhu, kau juga kebangatan, masa beginikah cara Cian-li-kau
menyambut tamu kehormatannya? Mana kita boleh
membiarkan mereka berdiri diluar pintu sambil minum angin.
Pui Che giok tertawa geli.
Oya, betul juga perkataan budak ini, saudara berdua
silahkan masuk!” dengan wajah serius ia lantas
mempersilahkan tamunya untuk masuk ke dalam ruangan.
Hoa In Hong dan Haputule saling berpandangan sekejap
sambil tertawa, lalu mereka bersama-sama melangkah masuk
ke dalam ruangan.
Indah dan megah ruangan tersebut, semua peralatan dan
perabot diatur sangat arsistik dengan permadani berwarna
merah menutupi lantai, tirai sutera melambai-lambai, semua
alat perabot terbuat dari kayu esadana nomor satu, selain dari
pada itu benda antik pun bertengger disana sini.
Belasan orang gadis sedang duduk dalam ruangan itu,
ketika melihat kemunculan mereka berdua, serentak gadis
gadis itu bangkit berdiri sambil memberi hormat.

139
Sambil tertawa Pui Che-giok lantas berkata, “Murid muridku
tidak kenal adat kesopanan, harap kalian berdua sudi
memaafkan!”
Hipatule hidup membujang paling pusing kalau musti
berhubungan dengan kaum perempuan, ma-ka begitu
dilihatnya begitu banyak gadis yang berada dalam ruangan
itu, dengan kening berkerut ia lantas berpaling ke arah Hoa
In-liong, artinya ia minta si anak muda itu yang pegang
peranan sebagai juru bicara.
Diam-diam Hoa In-liong tertawa geli, katanya kemudian,
“Paman dan keponakan bukan orang luar, harap bibi pui tak
usah menggunakan segala macam tata cara, kita bersikap
bebas saja.”
Pui Che-giok manggut-manggut.
“Kalau memang ji-kongcu tidak keberatan, sudah barang
tentu aku Pui Che-giok lebih senang lagi,” katanya.
Lantaran Cia In tidak berada disitu, maka diantara muridmurid
Pui-Che-giok boleh dibilang Cia Sau-yan merupakan
orang tertua, cepat cepat ia menitahkan adik adik
seperguruannya agar memindahkan bangku-bangku kecil,
menghidangkan air teh, dan mempersilahkan tamunya untuk
duduk.
Setelah ketiga orang itu duduk, Cia Sau-yan sekalipun
sama-sama berdiri di belakang Hui Che giok.
Hoa In-liong memandang sekejap gadis-gadis itu, lalu
ujarnya kepada Pui Che-giok, Waaah………kalau musti
membiarkan cici sekalian berdiri, siaw tit jadi tidak tenteram
hatinya.”

140
Pui Che-giok tersenyum manis.
“Kalau begitu biar kuturuti kehendak-mu kongcu, hey
budak sekalian, duduklah semua!”
Jelas hubungan diantara Hui Che-giok dengan muridmuridnya
memang tidak dibatasi segala macam peraturan,
apalagi mereka memang tidak menganggap Hoa In-liong dan
Haputule sebagai orang luar, begi tu Pui Che giok
mengutarakan maksudnya, serentak mereka mengiakan dan
mencari tempat duduk masing-masing.
Setelah suasana hening, Haputule baru menggerakan
bibirnya seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi niat
tersebut akhirnya dibatalkan sambil menghela napas berpaling
ke arah Hoa In-liong seraya katanya, “Aaaai…. aku tidak tahu
bagaimana musti mulai dengan pembicaraan ini, lebih baik
kau saja yang pegang peranan!”
Hoa In-liong tidak langsung menjawab, hanya pikirnya
dalam hati, “Persoalan ini mana boleh disampaikan secara
terburu-buru. Demi…. paman memang….
Tiba-tiba Pui Che giok berkata, “Sebelum pembicaraan
dimulai, terlebih dulu hendak ku singgungkan bahwa masalah
apapun yang hendak kalian bicarakan, pasti akan kulayani
dengan sebaik-baiknya, hanya soal yang menyangkut tentang
nona kami, maaf kalau aku tak dapat menurutinya.”
Cerdik amat perempuan itu untuk menjaga segala
kemungkinan yang tidak diinginkan, ia telah menutup mulut
kedua orang itu lebih dahulu.
Haputule menjadi amat gelisah, ia hendak membuka suara
untuk mengucapkan sesuatu, tapi dengan cepat dicegah oleh

141
Hoa In-liong dengan bisikan melalui ilmu menyampaikan
suara, “Harap paman legakan hati, biar keponakan yang
hadapi mereka!”
“Apakah kau yakin pasti berhasil?” tanya Haputule cepat
dengan ilmu menyampaikan suara pula.
“Persoalan ini harus dibicarakan pelan-pelan, keponakan
percaya cepat atau lambat pasti akan berhasil”
“Kalau terlambat jelas tak mungkin, kira kira beberapa lama
yang kau butuhkan?”
Hoa In-liong berpikir sebentar, kemudian jawabnya,
“Paman jangan gelisah, keponakan pasti akan
mengusahakan secepat mungkin……”
Sekalipun Pui Che giok tidak dapat mendengarkan
pembicaraan mereka berdua yang dilakukan dengan ilmu
menyampaikan suara, tapi ia dapat menebak enam sampai
tujuh bagian, segera pikirnya, “Hmmm…. Asal kututup mulut
rapat-rapat, akan kulihat dengan akal apa kalian hendak
memancingku untuk berbicara?”
Sementara itu Hoa In-liong telah berpaling ke arahnya
sambil tersenyum, lalu katanya, “Bibi Pui, kau selalu menyebut
Siau tit sebagai ji-kongcu, apakah kau bermaksud
memperolok-olok keponakan?”
Haputule yang mendengar perkataan ini segera berpikir
dalam hati kecilnya, “Aku suruh kau menanyakan masalah
tentang Giok teng hujin, kau malah mempersoalkan masalah
lain…bagaimana sih bocah ini?”
Ia menggerakkan bibirnya seperti hendak mengucapkan
sesuatu, tapi niat tersebut akhirnya dibatalkan.

142
Pai Che giok sendiri pun agak tertegun, lalu sambil tertawa,
jawabnya, “Berbicara menurut kedudukanku, sebutan jikongcu
adalah sebutan paling tepat dan cocok”
Hoa In-liong segera berpura-pura tercengang.
“Eeh… bukankah bibi Pui adalah adik angkat bibi Ku,
lagipula kau adalah Cian-li kauci, siau-tit jadi merasa tak habis
mengerti, dimanakah letak kecocokan tersebut?”
Pui Che-giok hendak menjawab, tapi niat itu segera di
batalkan, setelah termenung dan berpikir sebentar katanya
dengan ketus, “Bibi Ku mu sesungguhnya adalah nona aku Pui
Che Giok, mana berani menyebutnya sebagai kakak angkatku?
Dengan sendirinyaa akupun tidak pantas untuk menerima
sebutan “Bibi” dari ji-kongcu. Aku Pu Che-giok berasal dari
tingkatan rendah aku tidak berani melupakan asalku dan tak
berani pula bersikap sok, sekarang tentunya ji-kongcu sudah
memahami bukan?”
Di balik ucapan tersebut jelas terkandung nada mendongkol
dan marah, bahkan menyindir pula ketidak bertanggung
jawaban Hoa Thian-hong, sebagai orang-orang pintar, sudah
barang tentu Haputule serta Hoa In-liong dapat menangkap
arti dari ucapan tersebut.
Tapi Hoa In-liong berlagak tidak mengerti, sambil
mengernyitkan alis matanya dia berkata, “Bibi Pui, kau
demikian merendahkan dirimu, apakah sudah memikirkan juga
bagi kepentingan para cici sekalian?”
Pui Che-giok tidak menyangka kalau secara tiba-tiba dia
mengajukan pertanyaan tersebut, sambil berpaling diliriknya
Cia Sau-yan sekalian sekejap kemudian katanya dengan

143
hambar, “Tentu saja akupun suruh mereka selalu teringat
dengan tingkat kedudukan sendiri.”
Setelah berhenti sebentar, katanya lebih lanjut, “Sedangkan
mengenai bagaimana sikap ji-kongcu terhadap mereka, soal
ini aku tak mau turut campur”
Ucapan itu diutarakan secara tegas dan tandas, sedikitpun
tidak memberi kesempatan kepada Hoa In-hong untuk bersilat
lidah lebih lanjut, sementara dalam hatinya berpikir, “Nona
mengatakan kau cerdas dan berotak tajam, aku tidak percaya
permainan busuk apa yang bisa kau lakukan dihadapanku.”
Siapa tahu Hoa In-liong yang licik ternyata bertindak
“mengembangkan layar mengikuti angin”, katanya sambil
tertawa, “Waah, tidak bisa jadi, siau tit membahasai anak
muridmu sebagai kakak atau adik, sudah sepantasnya kalau
kusebut kau sebagai bibi sebab hal ini berturutan dan tak bisa
dibiarkan dengan begitu saja…..”
Pai Che giok tertegun, lalu gelengkan kepalanya berulang
kali.
“Keinginan yang terlalu dipaksakan tanpa persetujuan
kedua belah pihak dianggap tidak sah, aku tak dapat
menerima konsepmu itu!”
“Nah…..naah.. ..sekarang kata-katanya mulai terpojok dan
posisinya mulai terdesak” pikir Hoa In-liong, “aku tak boleh
memaksanya keterlaluan bagaimanapun juga sekali gagal lain
waktu masih ada kesempatan, lama kelamaan pasti akan
berhasil juga rencanaku ini.
Haputule sendiripun merasa, kecuali berbuat demikian
rasanya tiada jalan lain yang lebih baik, karena merasa

144
kehadirannya disitu tak berguna maka ia memutuskan untuk
berlalu lebih dulu.
Sambil bangkit katanya kemudian, “Anak Liong, kau
tinggallah disini untuk berbicara pelan-pelan aku akan pergi
dahulu.”
Sekarang hari sudah larut malam, rasanya tidak baik kalau
kita mengganggu Bibi Pui lebih jauh, siau tit rasa lebih baik
ikut pergi,” kata Hoa In-liong sambil iku bangkit berdiri.
Dengan paras muka membesi Haputula segera berkata,
“Tinggallah disini dengan tenang, rekan-rekan sealiran situ
biar kuwakilimu untuk memberitahu-kannya!”
“Jelas paman bermaksud agar aku bisa pusatkan segenap
kemampuanku untuk menasehati bibi Ku agar berubah
pikiran,” pikir Hoa In-liong, tapi usaha untuk menumpas tiga
perkumpulan besar adalah suatu usaha yang maha penting……
Berpikir sampai disitu ia menjadi ragu ragu, katanya
kemudian, “Sekarang Kiu im kau, Mo kau dan Hian-beng-kau
telah bersatu padu, jumlah kekuatan mereka bertambah
besar..,…….
“Tak usah kuatir” tukas Haputule, “aku datang kemari
karena mengikuti jejak dari si iblis tua Seng sut hay, jadi
duduknya persoalan lebih jelas dari padamu, dalam waktu
singkat mereka masih belum berani melakukan suatu tindakan
yang tidak menguntungkan buat kita.”
Hoa In-liong kembali berpikir, “Kalau semua pihak memang
telah berkumpul di kota Si-ciu, hal ini jelas bukan suatu
hadangan besar untuk pihak kita.”

145
Karena berpikir demikian, diapun mengangguk, katanya,
“Kalau begitu aku musti merepotkan paman?”
Tiba-tiba Pui Che-giok menyela sambil tertawa, “Hey, kalian
berdua masih belum bertanya kepadaku, bersediakah
menyambut kedatanganmu atau tidak!”
Haputule tertegun setelah mendengar perkataan itu,
sedangkan Hoa In-liong segera tertawa.
“Haaahh…haahh…haaahh…..bibi Pui, bagaimanapun juga
kau harus menahan aku si tamu yang datang tanpa
diundang!”
“Kalau aku menolak, mau apa kau?” katanya.
Kembali Hoa In-liong tersenyum.
“Keponakan akan bersikeras tetap mengendon disini, akan
kulihat bagaimana caramu untuk mengusir diriku. Tentunya
kau tidak enak hati bukan untuk tidak menyiapkan hidangan
bagi ku?”
Pui Che giok tertegun juga dibuatnya, dia sendiripun kuatir
kalau Hoa In-liong menasehati dan mendesaknya setiap hari.
Tentu dia menginginkan si anak muda itu cepat-cepat pergi,
siapa tahu pemuda itu malah bersikeras untuk mengendon
disitu, pusing juga jadinya.
Sebagai anak gadis, yang masih berusia sangat muda, geli
juga Cia Sau-yan dan Cia Wan sekalian setelah menyaksikan
adegen ter sebut, kontak saja semua orang tertawa cekikikan.
Haputule sendiripun tersenyum, ia lantas memberi hormat
kepada Pui Che giok untuk mohon diri, Hoa In-liong
menghantarnya sampai keluar rumah.

146
Ketika Haputule melihat Pui Che-giok tetap tinggal dalam
ruangan, dia termenung sejenak, kemudian katanya,
“Persoalan mengenai Giok teng hujin adalah masalah penting,
mungkin kau masih kurang jelas”
Tiba-tiba ia menghela napas panjang, kemudian katanya
lebih jauh, “Aku sendiripun agak segan untuk membicarakan
persoalan itu, pokoknya ringkasnya saja Giok teng hujin telah
melepaskan budi kebaikkan yang amat besar untuk keluarga
Hoa, kalian kau jangan lupa untuk menyanyangi Giok teng
hujin berikut segenap anak buahnya, maka kau harus
berusaha keras untuk mmbantu perkumpulan Cian li kau
dalam segala bidang….”
“Liong ji akan mengingatnya selalu dalam hati,” kata Hoa
In-liong dengan wajah serius.
Haputule manggut-manggut, dia lantas menggerakkan
sepasang bahunya untuk melompat keudara, dalam beberapa
kali lompatan saja tubuhnya sudah lenyap dibalik kegelapan
malam.
Ketika Hoa In-liong balik ke dalam ruangan, ia temui Pui
Che giok masih duduk termangu-mangu disana, ia kuatir
perempuan itu tak senang hati maka dengan suara lembut
katanya
“Bibi Pui, apakah kau sedang mencari akal untuk
mengusirku pergi?”
Pui Che giok tertawa geli, “Kau si bocah binal kalau bisa
ingin kugebuk dirimu setengah mati, tapi hatiku tak tega
berbuat demikian.”

147
“Aku tahu bibi pui dan bibi Ku memang selamanya
menyayangi aku,” kata Hoa In-liong sambil tertawa.
Tiba-tiba Pui Che giok waspada, kembali pikirnya, “Bocah
ini terlalu licik dan cerdik kalau terlalu banyak bicara, bisa jadi
aku bakal tertipu.”
Berpikir sampai disitu dengan wajah serius ia lantas
barkata, “Ji kongcu, meskipun kau berada disini bukan berarti
setiap kali bisa berjumpa denganku, makanya aku berkata
duluan agar ji kongcu jangan menuduh aku tidak menemani
tamunya.”
Ketika dilihatnya perempuan itu kembali menyebut Ji
kongcu kepadanya, Hoa In-liong lantas berpikir, “Ulet juga
perempuan ini, tampaknya aku musti menguji kesabaran serta
kecerdasanku!”
Sambil tertawa ia lantas berkata, “Bagus sekali! Berkumpul
dengan para cianpwe memang kurang leluasa, mana musti
tunduk mana tak bisa berkutik, aku memang ingin bermain
dengan cici sekalian!”
Pui Che giok tersenyum, ia lantas berpaling ke arah Cia
Sau-yan sembari katanya, “Perintahkan orang untuk
membereskan ruangan sebelah barat, siapkan kelambu dan
selimut, sementara waktu biar Hoa kongcu menginap di
tempat itu……..”
Cia Sau-yan segera membungkukkan badannya sambil
mengiakan, Hoa In-liong pun tidak banyak bicara lagi, karena
waktu sudah menunjukkan kentongan ke empat, mengikuti
Cia Sau-yan ia melewati jalan beralas batu dihalaman tengah
dan menuju ke halaman lain.

148
Tiba-tiba Hoa In-liong teringat dengan pesan Cia In yang
hendak disampaikan oleh Cia Sau-yan kepadanya, ia lantas
bertanya, “Enci Yan, pesan apakah yang hendak kau
sampaikan kepadaku dari sucimu itu?”
Sambil tersenyum Cia Sau-yan melirik sekejap ke arahnya
kemudian berkata dengan murung, “Kemarin pagi kau masih
memanggil kepada kami, dan sekarang panggilanmu sudah
semesrah itu, rupa rupanya kau hendak menggunakan kami
untuk mencapai tujuanmu?”
“Waduuh…………..enci Yan memdang pandai membikin
orang menjadi penasaran, masa kau anggap siau-te adalah
manusia semacam itu?” kata Hoa In-liong sambil tersenyum.
Cia Sau-yan ikut tertawa. “Sekalipun benar juga tidak
mengapa, kenapa musti mungkir………” katanya lembut.
Hoa In-liong cuma tertawa-tawa dan tidak berbicara lagi.
Waktu itu mereka sedang menyeberangi sebuah jembatan
kecil, tiba-tiba Hoa In-liong berhenti sambil mengawasi gardu
di ujung jembatan sana dengan sinar mata tajam.
“Kenapa?” Cia Sau-yan segera menegur dengan kening
berkerut, “masa cuma kata-kata gurauan semacam itu juga
membuatmu menjadi marah?”
Hoa In-liong gelengkan kepalanya berulang kali sambil
menatap terus ke muka dengan wajah serius tiba-tiba ia
membentak dengan suara dalam dan berat, “Mau apa kau
datang kemari?” Cia Sau-yan sangat terkejut, dengan cepat
dia mengalihkan sorot matanya kea-rah yang dituju,
ternyata dalam gardu tersebut entah sejak kapan telah duduk
seorang kakek berlengan sepanjang lutut, bermuka kering dan
berwajah menyeramkan.

149
“Oooh…..!” dengaa terkesiap gadis itu menjerit kaget, tapi
setelah menyaksikan ikat pinggangnya yang bersimbol naga
perak dan mengetahui bahwa orang itu adalah Seng To-cu,
kakak seperguruan dari Tang Kwik siu, barulah hatinya
menjadi lega.
Sementara itu Seng To cu sambil membentangkan
sepasang matanya yang kecil berkata dengan suara
menyeramkan, “Kau tak usah takut, lohu tak akan
melancarkan serangan terhadap seorang siau pwee (angkatan
muda) seperti kau!”
“Aku orang she Hoa juga bukan manusia munafik yang jeri
terhadap orang lain, silahkan turun tangan kalau ingin turun
tangan, orang lain tidak akan menuduhmu menganiaya kaum
siau pwe!”
Seng So-cu segera mendengus dingin.
“Hmm..! Kau masih belum pantas, dimana hwesio tua itu?”
jengeknya sinis.
“Oooh.. rupanya ia sedang mencari Kongkong, jelas ingin
menggunakan kesempatan dikala orang sedang lemah untuk
mencari keuntungan bagi diri sendiri,” pikir Hoa In-liong.
Agaknya Seng To cu dapat menebak suara hati Hoa Inliong,
kembali katanya, “Hey Siau pwe! Kau tak usah menduga
yang bukan-bukan, toh tak nanti akan turun tangan terhadap
seseorang yang belum pulih kembali tenaga dalamnya.”
“Dia Orang tua tidak berada di kota Si-ciu tampaknya bakal
membuat kekecewaanmu,” kata si anak muda itu ketus.

150
“Aku tidak percaya, hwesio tua itu telah menganggapmu
sebagai calon menantunya keluarga Coa, masa ia tidak akan
memperdulikan keselamatan jiwamu?”
Hoa In-liong segera tertawa.
“Lucu amat perkataanmu aku orang she Hoa juga bukan
bocah yang berusia tiga tahun, masa aku tak dapat mengurusi
diriku sendiri.”
Setelah berhenti sejenak, katanya lagi sambil tertawa,
“Ayahku berada diperkampungan Liok-soat sanceng, bila kau
ingin beradu kepandaian apa salahnya kalau langsung
mencarinya dibukit Im tiong san,……!”
Jelas dibalik ucapan tersebut dia maksudkan bahwa Seng
To cu jeri terhadap Hoa-Thian-hong.
Di atas wajah Seng To cu yang kaku dan tanpa emosi itu
terlintas sedikit perubahan, sepasang matanya yang kecil
segera dipentangkan lebar lebar, cahaya hijau yang
menyeramkan segera memancar keluar, jelas ia sudah dibuat
naik darah.
Hoa In-liong segera mangerahkan tenaga dalamnya bersiap
sedia, pikirnya dalam hati, “Sorot matanya mencurigakan,
entah kepandaian iblis apa yang dia yakinkan?”
Timbul kewaspadaan dalam hatinya, dengan pancaran sinar
tajam ia balas menatap wajah Seng To cu, sedikitpun tidak
terlintas rasa takut dalam hatinya.
Beberapa kali Cia Sau-yan main memanggil rekan
rekannya, tapi ia takut tindakan tersebut menimbulkan nafsu
membunuh dalam hati Seng To-ca, hatinya menjadi masgul
dan tak tahu apa yang musti dilakukan.

151
Setelah saling bertatapan sekian lama akhirnya Seng To cu
menarik kembali sorot matanya, wajahnya pulih kembali
menjadi kaku, tanpa emosi setelah membebaskan ujung
bajunya, bayangan hitam berkelebat lewat dan tahu-tahu ia
sudah lenyap tak berbekas.
Ia datang secara mendadak, pergi secara Tiba-tiba, pada
hakekatnya para penjaga dari Cian li kau tidak mengetahui
atas kehadiran maupun kepergiannya.
Kesal juga perasaan Hoa In-liong pikirnya, “ilmu silat yang
dimiliki gembong iblis ini sungguh amat lihay, wah kalau Mo
kau sam pai ditunjang oleh jago selihay ini, bahaya juga pihak
mereka itu!”
Cia Sau-yan menghembuskan napas lega, katanya, “Pergi
datangnya gembong iblis ini sangat tiba-tiba dan
mengherankan,aaii……. perkumpulan kami benar-benar telah
dipecundangi olehnya………”
Hoa In-liong tersenyum.
“Berbicara dari tingkat kepandaian silat yang dimiliki
gembong iblis itu, sudah barang tentu para peronda biasa tak
akan me-ngetahui jejaknya, untungnya para gembong
gembong iblis tersebut tidak suka menganiaya siaupwee.”
“Segera kulaporkan kejadian ini kepada suhu!”
Tidak usah, kini sudah kentongsn kelima lebih, besok saja
baru dilaporkan.”
Cia Sau-yan berpikir sebentar kemudian mengangguk, dia
pun mengajak Hoa In-liong menuju ke ruangan sebelah barat,

152
menanti para dayang selesai membereskan ruangan tersebut,
hari pun mulai terang tanah.
Ketika dilihatnya gadis itu tidak menyinggung kembali
pesan dari Cia In, Hoa In-liong pun tidak banyak bertanya lagi,
meski diam-diam ia merasa agak keheranan.
Menunggu Cia Sau-yan telah mengundurkan diri, Hoa Inliong
mendengar ayam jantan telah berkokok pertanda fajar
telah menyingsing, diapun tidak tidur melainkan hanya duduk
bersemedi sambil mengatur pernapasan. Tanpa terasa sang
surya sudah jauh diawang-awang
Tiba-tiba dari jalan setapak terdengar suara langkah
manusia, disusul suara dari Cia Lam ciau sedang bertanya
dengan suara keras, “Apakah siu sauya telah bangun?”
Hoa In-liong segera turun dari pembaringannya dan
berjalan menuju ke pintu.
Di depan ruang kamar adalah sebuah kebun dengan aneka
warna bunga yang amat indah, dibawah terpaan cahaya sang
surya, tampak segerom bolan gadis cantik dengan baju yang
beraneka ragam sedang memetik bunga dengan senyum
manis dikulum, mereka muncul dari jalan-jalan kecil menuju
keruang tengah.
Menyaksikan pemandangan yang sangat indah itu, tanpa
terasa Hoa In-liong bersorak sambil bertepuk tangan.
Murid murid Pui Che giok yang menyaksikan sikap riang
dari pemuda itu segera ikut tertawa cekikikan hingga
menambah semaraknya suara waktu itu.

153
“Sauya!” kata Cia Wan, “sarapan pagi telah disiapkan,
cepat cuci muka dan cuci mulut, budak sekalian siap menanti
perintahmu!”
Tak terasa Hoa In-liong maju menghampiri mereka,
katanya, “Enci Wan, sekalipun kau sedang bergurau tapi
siaute tak kuasa untuk menerimanya.”
Cia Wan tersenyum.
“Siapa yaag sedang bergurau? Semalam suhu minta kami
semua agar ingat selalu dengan kedudukan sendiri, bukankah
sauya juga ikut mendengarkan….
Hoa In-liong segera tertawa terbahak-bahak.
“Haaah….haaahh…..haaah……sekarang bibi Pui berada
dimana? Sudah sempatnya kalau kuberi hormat dulu
kepadanya.”
Cia Lam ciau tertawa cekikikan.
“Berhubung ada tamu jahat yang berkunjung tanpa
permisi, terpaksa suhu harus menghindarkan diri.”
“Enci Ciau, harap jangan bergurau…..” seru Hoa In-liong
dengan alis mata berkenyit.
“Suhu benar-benar sedang pergi,” tukas Cia Lam ciau
cepat, “sebelum berangkat ia pesan bahwa pemilik rumah ini
sekarang adalah ji-kongcu, beliau suruh kami baik baik
melayani dirimu.”
oooooooOooooooo

154
Mendengar jawaban tersebut, diam-diam Hoa In-liong
lantas berpikir, “Tampaknya bibi Pui memang sengaja
menghindar…..”
Sementara ia masih termenung, dua orang dayang yang
melayaninya telah muncul sambil membawa baskom untuk
cuci muka, handuk, alat untuk membersihkan mulut dan lain
sebagainya, sementara murid-murid Pui Che giok telah masuk
ke ruang depan.
Dalam ruangan tengah telah tersedia sarapan pagi,
hidangannya amat mewah dan lezat.
Baru saja Hoa In-liong duduk, Cia Sau-yan telah
mengambilkan semangkuk bubur sambil menghidangkan
dihadapannya.
“Silahkan sauya!” katanya.
Sambil tertawa Hoa In-liong gelengkan kepalanya berulang
kali.
“Enci Yan, kenapa tidak menyuruh para dayang saja?”
Dengan cepat Cia Sau-yan tersenyum.
“Perintah dari suhu tak berani kuingkari sudah menjadi
kewajibanku untuk melaksanakan apa yang telah dipesan
suhu.”
Secara lamat-lamat Hoa In-liong dapat merasakan meski
mereka cuma main main tapi sesungguhnya mengandung
maksud tertentu, dan rupanya Pui Che-giok ingin benar-benar
membuktikan apa yang telah diucapkan semalam, kebulatan
tekad mereka jelas susah dirubah lagi.

155
Diam-diam ia lantas berpikir, “Aku tidak percaya bibi Ku
dan kau bisa bersembunyi sepanjang masa, asal bertemu aku
pasti punya akal untuk menaklukan kalian!”
Tiba-tiba ia teringat kembali akan diri Coa wiwi dan Wan
Hong-giok, segera pikirnya, “Keadaan adik Wi masih rada
mendingan tapi Hong giok…….hidup sunyi seorang diri,
kasihan benar nasibnya…………”
Ia teringat betapa Wan Hong giok hanya mempunyai
seorang guru, dengan punahnya tenaga dalam yang dimiliki,
penderitaan tersebut tentu akan luar biasa beratnya, lain
dengan keluarganya yang tiga generasi mengembara dalam
dunia persilatan, dimana-mana selalu ada teman akrab yang
membantu…
Makin dipikir ia merasa hatinya semakin tidak tenteram.
Ketika Cia Sau-yan menyaksikan wajah anak muda itu
diliputi kesedihan, dengan heran ia lantas bertanya, “Ada apa?
Apakah merasa pelayanan kami Kurang memuaskan?”
Hoa In-liong tertawa paksa.
“Aaah.. apa…? Siapa yang bilang? Siaute malah merasa
telah menodai nama baik cici sekalian.”
“Oooh.. itu sih tidak terdengar,” seorang gadis yang berada
di sisinya menyelah, “asal kau bersedia tidak menyulitkan suhu
dan su-pek kami, hal ini sudah lebih dari cukup untuk kami
semua.”
Hoa In-liong segera berpaling ke arah orang itu, ternyata
dia adalah murid kesebelas dari Pui Che giok, melihat itu
sambil menghela napas ia lantas berkata, “Cici sekalian sudah

156
sepantasnya kalau membantu aku untuk menasehati bib ku
serta gurumu.”
Tapi para gadis itu cuma menutup bibir sendiri sambil
tertawa cekikikan, mereka tidak berbicara apa-apa.
Sekalipun sarapan pagi itu dihidangkan makanan yang
serba lezat, akan tetapi lantaran takaran makan Hoa In-liong
tidak terlalu besar, lagi pula ia hanya memikirkan bagaimana
caranya untuk menjumpai Tiong heng To koh, maka hanya
sedikit yang dia habiskan hidangan-hidangan tersebut.
Selesai bersantap, tiba-tiba muncul Ho lo cia yang pernah
ditemui sebagai kusir keretanya Cia Im, sambil memberi
hormat, katanya, “Ruang depan dan ruang timur serta barat
telah selesai dibersihkan silahkan ji kongcu melakukan
pemeriksaan.”
“Hei, mau membersihkan ruangan atau tidak toh urusan
kalian, apa sangkut pautnya dengan aku?!” seru Hoa In-liong
keheranan.
“Maksud guru kami,” kata Cia Sau-yan, “untuk
menyelenggarakan pertemuan besar para jago di kota Si ciu
ini, daripada menginap te rus dirumah penginapan lebih baik
gunakan saja ruangan depan dan ruang tenggara gedung ini
untuk menampung mereka, sebab itulah gedung ini oleh
guruku telah dihadiahkan untukmu, bila mereka telah
berkumpul semua disini untuk berunding dan berkumpul pasti
lebih leluasa, dan untuk itu kau harus pergi untuk
memeriksanya sendiri, Siau ongya, kau pahami sudah
bukan….”
Hoa In-liong yang mendengar perkataan itu segera berpikir,
“Walaupun bibi Ku dan bibi Pui tidak bersedia menjumpaiku,

157
tapi mereka selalu memikirkan kepentingan, tentu saja
kesemuanya ini lantaran ayahku…….”
Berpikir sampai disini, ia segera meraba bahwa untuk
menasehati Tiang beng To koh agar berubah pikiran
sesungguhnya tidak lebih sulit dari apa yang dihadapinya kini,
tanpa terasa semangatnya kembali berkobar diiringi para gadis
merekapun berputar mengelilingi ruangan untuk mengadakan
kontrol.
Menurut anggapan Hoa In-liong, bangunan itu cukup kokoh
dan megah, peralatannya komplit dan sangat berlebihan untuk
menampung para kawanan jago.
Akan tetapi anak muridnya Pui Che giok merasa sangat
tidak puas, yang satu mengatakan kurang ini, yang lain
mengatakan kurang itu, bahkan ada pula yang mengatakan
peralatan semacam ini hanya akan ditertawakan orang
persilatan saja.
Hoa In-liong pura-pura tidak mendengar, ia mengundang
Cia Sau-yan menuju ketengah kebun lalu ujarnya, “Enci Yan,
sebenarnya apa yang hendak dikatakan oleh sucimu?
Sekalipun bernada mendamprat, tolong katakanlah
sejujurnya.”
Cia Sau-yan tertegun, setelah termenung sejenak, katanya
kemudian, “Toa suci telah berpesan, katanya bila aku merasa
tidak perlu untuk mengatakannya, maka aku tak usah
mengatakannya.”
Hoa In-liong menjadi keheranan, pikirnya, “Kenapa ia raguragu
untuk berbicara denganku? Aneh, pasti ada sesuatu yang
tidak beres.”

158
Semakin perempuan itu tak mau berbicara ia semakin
mendesak berulang kali.
Cia Sau-yan termenung sejenak, tiba-tiba ia memetik
setangkai bunga anggrek merah lalu dilumatnya dengan
kedua belah tangan, setelah itu ditebarkan keudara, ada yang
jatuh ditepi kolam, ada yang jatuh dalam kolam….
Sambil menunjuk bunga-bunga lumatan yang tersebar
keempat penjuru katanya, “Sudah kaulihat?”
“Sudah!” jawab Hoa In-liong.
Cia Sau-yan menghela nafas sedih.
“Sudah tahu?” kembali ia berkata.
“Teka-teki ini tidak kupahami!”
Cia Sau-yan menghela nafas sedih, katanya, “Bunga yang
jatuh dari tangkainya akan mengalir mengikuti arus air, atau
hancur menjadi tanah, kehidupan manusia tidak selalu kekal
seperti berakar!”
Lamat-lamat Hoa In-liong dapat merasakan maksud dari
perkataan itu.
Terdengar Cia Sau-yan berkata lebih jauh, “Aku rasa apa
yang kuterangkan sudah cukup jelas, masakah kau tidak
mengerti?”
Hoa In-liong semakin memahami lagi maksud ucapannya
itu, sambil tertawa berat katanya, “Bagaimanapun juga
kehidupan manusia jauh berbeda dengan bunga sejak dulu
sampai sekarang, Thian menciptakan manusia bukan bernasib

159
seperti sekuntum bunga, nasib manusia tetap sebagai
manusia.”
“Aaah……perkataanmu terlampau kosong dan hampa,”
kata Cia Siau-yan sambil menggelengkan kepalanya, mundur
selangkah, seperti juga kalian jago-jago kenamaan, mana bila
dibandingkan dengan kami perempuan-perempuan lemah?”
Setelah berhenti sejenak katanya lebih jauh dengan sedih,
“Coba bayangkan saja seperti adikmu, seperti adik dari
keluarga Coa, semenjak dilahirkan mereka sudah ditakdirkan
bernama dan terhormat, baik ilmu silat maupun ilmu sastra
bisa diperoleh dengan gampang, mereka merupakan gadisgadis
yang menjadi impian setiap pria di dunia ini, sebaliknya
kami bersaudara.,…aai untuk disebut sebagai keturunan
perguruan kenamaan saja tidak pantas”
Hoa In-liong gelengkan kepalanya berulang kali.
“Enci Yan, perkataanmu keterlaluan, selama orang lain
tidak membicarakan masalah itu, keluarga Hoa kami tak
sampai bisa me miliki jalan pemikiran seperti itu.”
“Aah……..kami ini betul-betul seorang teIur busuk cilik,
berapa banyak keluarga Hoa yang ada di dunia ini? Tahukah
kau apakah orang lain suka berpikir demikian?” Hoa In-liong
segera tertawa.
“Di dalam sepuluh langkah pasti ada rumput baru…..”
“Aku tidak ingin mendengarkan perkataan semacam itu”
tukas Cia Siau yan dengan cepat, “aku hanya ingin bertanya
kepadamu, apakah kau bermaksud memungut bunga? Apakah
kau tidak keberatan untuk memungut bunga dalam jamban
yang telah ternoda?”

160
Hoa In-liong menjadi tertegun, ia ragu-ragu untuk sesaat,
lalu katanya, “Dunia bukan selebar daun kelor, pasti akan
ditemukan orang yang bersedia memungut bunga……..”
Cia yau yan tertawa dingin, ia putar badan dan tanpa
mengucapkan sepatah katapun segera berlalu dari situ.
“Enci Yan, harap tunggu sebentar!” buru-buru Hoa In-liong
berseru dengan cemas.
Cia Sau-yan menjejakkan kakinya ditanah dan berlalu tanpa
berpaling lagi, sambil berjalan pergi, katanya, “Toa suci suruh
aku memberi tahukan kepada mu bahwa dia adalah seorang
banyi buangan, shenya mengikuti gurunya she Pui dan
bernama In-ang.”
Habis berkata ia lantas melangkah pergi dari situ. Dengan
termangu-mangu Hoa In-liong mengawasi bayangan
punggungnya hingga lenyap dari pandangan, kemudian
menghela napas panjang.
Sekalipun perkataan dari Cia Sau-yan diutarakan secara
lamat lamat, tapi sebagai orang yang cerdik tentu saja ia
memahami maksudnya, timbul perasaan sedih dihati kecilnya,
sambil berjongkok tangannya diceburkan ke dalam kolam dan
membuyarkan rontokan bunga anggrek di atas permukaan.
Lama lama sekali, ia baru menghela napas panjang, bangkit
dan berlalu dari situ.
Beberapa hari lewat dengan cepatnya, pihak-pihak Hianbeng-
kau, Kiu im kau, Mo kau serta kawanan jago yang
berada di kota si-cin sama-sama tidak melakukan gerakan
apa-apa, kedua belah pihak sama-sa ma seperti lagi
menantikan sesuatu, sehingga meski kendor suasana diluar,
padahal diam-diam amat tegang.

161
Terutama sekali kawanan jago dari Kiu-im-kau yang
dipimpin oleh bwe Su-yok, sejak masuk kota dan menetap
dirumah keluarga Cho di selatan kota, hampir selama delapansembilan
hari tak pernah keluar rumah, pintu gerbang mereka
selalu berada dalam keadaan tertutup.
Setiap kali bila Hoa In-liong ingin melakukan pengintaian
terhadap gerak-gerik Kiu im kau, bila terbayang kembali
bagaimana jadinya bila bertemu dengan Bwe Su-yok nanti,
akhirnya rencana tersebut tentu dibatalkan di tengah jalan.
Diatara mereka, kelompok pemuda yang dipimpin Kongsun
Peng paling tak betah, berulang kali mereka mengusulkan
agar me langsungkan pertarungan terbuka melawan Mo-kau
tapi sambil tersenyum Hoa In-liong selalu menghalangi niat
tersebut.
Peristiwa ini merupakan peristiwa yang paling
mengemparkan dalam dunia perilatan.
sejak suasana tenang dua puluh tahun belakangan, bukan
saja semua kelompok manusia berkumpul di kota Si ciu, malah
para jago aneh yang sudah lama mengasingkan diri
dipegunungan terpencilpun berdatangan semua kesitu.
Yang paling tenang diantara mereka sudah tentu keluarga
Hoa sendiri, jangankan kelompok mereka melakukan sesuatu
gerakan, berita mengenahi Hoa Thian-hong pun tidak
kedengaran.
oooooOocooo
Diluar pintu selatan kota Si-ciu terdapat sebuah warung teh
kecil.

162
Biasanya hanya para pedagang kecil, pekerja kasar dan
kuli-kuli kasaran yang mampir di tempat itu, biasanya setelah
pagi sekali bekerja di kota maka tengah hari mereka
beristirahat disitu sekalian mengisi perut dengan beberapa biji
bakpao.
Tengah hari itu, ada dua penunggang kuda sedang
melakukan perjalanan menuju ke kota pintu selatan.
Karena paginya telah turun hujan deras, air menggenangi
jalan berbatu itu sehingga becek, ketika kuda-kuda itu berlari
lewat, air lumpur segera memancarkan ke-empat penjuru dan
mengenai tubuh beberapa orang lelaki yang kebetulan sedang
berdiri di depan pintu warung.
Salah seorang diantara mereka malah tersiram wajahnya
hingga kotor, ketika orang itu mengetahui bahwa penumpang
kuda tersebut berbadan kecil seperti seorang perempuan,
kontan saja ia mencaci maki, “Perempuan peliaran anjing
lonte busuk…..
Tajam benar pendengaran perempuan di atas kuda itu,
muski sudah berada beberapa kaki jauhnya, ternyata makian
itu masih sempat terdengar olehnya.
Mendadak tali les kuda ditarik, diiringi ringkikan panjang,
kuda itu segera mengangkat sepasang kakinya ke atas,
sementara perempuan itu sendiri dengan enteng dan cekatan
lompat turun dari kudanya. Sekilas pandangan, dapat
diketahui bahwa orang itu berilmu tinggi
Penunggang kuda di depannya yang menyaksikan kejadian
itu segera memutar balik kudanya sambil menghampirinya,
dengan suara keras ia bertanya.
“Ji moay, kenapa, kau?”

163
Dua orang gadis itu berbaju ungu. kedua-duanya
menggambol pedang dan berpakaian ringkas. Usianya belum
melewati angka dua puluh.
Gadis berbaju hijau yang dipanggil “ji moay” itu segera
berkata, “Tunggu sebentar toaci!”
Lalu dengan wajah dingin membesi, ia menatap ke arah
warung teh itu sambil menegur dengan ke-tus, “Siapa yang
barusan memaki? Hayo keluar!”
Tampaknya laki-laki yang memaki tadi masih belum merasa
kalau gelagat tidak menguntungkan, dengan angkuh dia
menjawab, “Mau apa kalau toayamu…”
Belum habis ucapan tersebut…… “Plok!” sebuah tamparan
keras telah bersarang di pipi kirinya, lima buah bekas jari
tangan membekas jelas di atas wajahnya.
Kontan saja para lelaki lainnya tertawa tergelak setelah
menyaksikan kejadian tersebut.
Laki-laki merasa ya malu ya marah, setelah celingukan
sekejap kembali makinya, “Lonte busuk, toaya akan beradu
jiwa denganmu!”
Mendengar perkataan itu, si nona berbaju hijau semakin
naik pitam, dengan kening berkerut dan wajah diliputi nafsu
membunuh.
……… “Criing!” ia meloloskan pedangnya dari sarung
kemudian diacungkan ke hadapan lelaki tersebut.
Ketika laki-laki itu menyaksikan cahaya putih berkelebat
dihadapan matanya, ia menjadi ketakutan dan pecah nyali,

164
hawa amarahnya seketika lenyap tak berbekas, dan ia mundur
berulang kali ke belakang.
Suasana dalam warung teh menjadi gempar, jeritan kaget
berkumandang dari sana-sini.
Gadis berbaju ringkas warna ungu itu masih duduk di atas
pelananya tanpa berkutik, agaknya ia merasa kalau adiknya
telah mem besarkan persoalan kecil, baru saja ia berseru
dengan kening berkerut, “Ji moay…..”
Tiba-tiba dari arah tembok kota sana berkumandang
nyaring bentakan seseorang, “Sahabat dari manakah yang
hendak pamer kekuatan di kota Si-ciu? Aku Kong-sun Peng
ingin menjumpainya.”
Seorang pemuda berbaju ringkas dengan menggembol
pedang tiba-tiba melayang turun dari atas dinding kota
dengan kecepatan luar biasa.
Sebenarnya gadis berbaju hijau itu meloloskan pedangnya
hanya bermaksud untuk menakut nakuti orang, tidak terlintas
sama sekali niat untuk menyusahkan orang itu, akan tetapi
setelah ada orang yang mencampuri urusan tersebut, ia
menjadi naik darah, pedangnya malah sungguh-sungguh
dibacokkan ketubuh orang itu.
“Ampuni selembar jiwanya nona!” bentakan serak basah
kembali menggelegar.
“Traaang………..!” bunyi benturan nyaring berkumandang
memecahkan kesunyian, tahu-tahu pedang di tangan gadis
berbaju hijau itu terpukul miring ke samping.
Laki-laki yang diancam itu menjerit kaget kemudian roboh
tak sadarkan diri.

165
Gadis berbaju hijau itu berpaling, ternyata pedangnya telah
disampok miring oleh sebiji batu kecil oleh seorang kakek
berjenggot panjang dan bermata jeli kurang lebih empat kaki
dihadapannya sana, kenyataan ini membuat hatinya sangat
terperanjat, segera pikirnya, “Orang bilang kota Si ciu pada
saat ini penuh tersembunyi orang pintar, dulu aku tidak
percaya tapi sekarang……..yaa, belum saja masuk kota, aku
telah berjumpa dengan jago setangguh ini.”
Berpikir sampai disitu, ia mulai menyesal kenapa dirinya
terlalu banyak urusan.
Kong-sun Peng sebenarnya sedang cemas karena tak
sempat menghalangi bacokan si gadis berbaju hijau itu, ia
baru lega setelah kakek itu turun ringan mengatasi persoalan
tersebut.
sambil memberi hormat kepada kakek itu segera ujarnya,
“Terima kasih banyak atas bantuan Ho cian-pwe!”
“Kongsun hiante tak usah banyak adat, sudah sepantasnya
kalau kucampuri urusan ini, cegah kakek tersebut.
Kongsun Peng lantas berpaling ke arah gadis berbaju hijau
itu lalu ujarnya dengan marah, “Sungguh keji hatimu budak,
orang itu toh tidak lebih cuma seorang rakyat kecil,
kendatipun kurang sopan dalam pembicaraan tidak
seharusnya kau turun tangan sekejam itu.”
Gadis berbaju hijau itu tertawa dingin, ia menggerakkan
bibirnya seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi sebelum ia
sempat berbicara, kakek she Ho itu sudah berkata sambil
tersenyum

166
“Kongsun hiante, kau telah salah menuduh nona itu, jurus
Giok li si hian (gadis cantik memintal sutera) yang digunakan
nona itu meski tertuju kejalan darah To long hiat namun ia
sudah menghentikan gerakannya setengah mili dari sasaran,
timpukan batu dari lolap tadipun hakekatnya cuma suatu
tindakan yang berlebihan.”
Lalu kepada gadis berbaju hijau itu katanya, “Jurus pedang
yang nona pergunakan adalah jurus tangguh dari aliran Hoa
san, entah apa hubungan nona dengan Kiong tayhiap dari
partai Hoa san?”
Gadis berbaju hijau itu tidak menyangka kalau jurus
serangannya berhasil diketahui orang sebelum tusukan itu
sendiri mengenai sasaran, iapun sadar bahwa kakek itu tentu
seorang jago lihay.
Ia tak berani berayal, setelah mamberi hormat katanya,
“Dia adalah kakek kami!”
Dalam pada itu, nona berbaju ungu yang berada di atas
kuda telah melompat turun sambil memberi hormat, katanya,
“Boanpwe bernama Kiong Gwat-hui, boleh aku tahu siapa
nama besar locianpwe?”
Kakek itu tertawa tergelak.
“Haahh….haahh….haaahh…..aku adalah Ho Kee-sian,
pernahkah nona sekalian mendengar namaku?”
“Ooooh.,..rupanya Hoan-thian-jiu (telapak sakti pembalik
langit) Ho locianpwe sudah lama boanpwe mendengar nama
besarmu,” sahut kedua orang gadis itu berbareng.
Waktu itu Kiong Thian-yu dan Pek Siau-thian mempunyai
hubungan yang erat, setelah Pek Siau-thian mendirikan sia-cipang
hubungan itu putus untuk sementara waktu tapi sejak

167
penggalian harta di Kiu-ci-san, hubungan itu kembali
berlangsung malah akhirnya semakin akrab. Sudah barang
tentu mereka pernah mendengar nama besar dari Ho Keesian.
Kembali Ho Kee-sian tertawa terbahak-bahak, katanya,
“Nona adalah…..”
“Boanpwee bernama Kiong Gwat-lan!” sahut gadis berbaju
hijau itu cepat-cepat.
Setelah mengetahui Kalau kedua orang gadis itu adalah
kawan sendiri, Kongsun Peng mulai merasa tidak tentram atas
perbuatannya tadi, buru-buru ia menjura kepada Kiong Gwatlan
sambil katanya, “Nona Kiong, bila barusan aku telah
berbuat gegabah dan ceroboh, harap kau sudi memaafkan.”
Kiong Gwat-lan segera tertawa dingin.
“Apa hubunganmu dengan Kongsun Kia locianpwee dari
kota Kay-hong?”
“Dia adalah ayahku,” jawab Kongsun Peng sambil tertawa
paksa, “aku…aku…”
“Bagus sekali,” tukas Kiong Gwat-lan, “Sudah lama sekali
mendengar akan kehebatan dari It ci-hui-kim (pedang mulia
satu harum), sayang selama ini tidak tersedia kesempatan
baik, nah saudara ongsun, silahkan cabut keluar pedangmu!”
Kongcu Peng menjadi tertegun setelah mendengar
perkataan itu, untuk sesaat dia tak tahu apa yang meski
dikatakan.
“Adikku, jangan ngaco belo!” seru Kiong Gwat hui tiba-tiba.

168
Kiong Gwat-lan segera tertawa dingin.
“Cici, kau bisa berkata begitu soalnya kau tidak melihat
tampangnya yang sok tadi. Bagaimana juga, hari ini aku pasti
akan menjajal sampai dimanakah taraf kepandaian It ci huikiamnya
sehingga begitu berani berlagak sok dihadapan
orang.
“Aaah…..aku masa berani bersikap sok kata Kongsun Peng
terbata bata, “berhubung Hoa kongcu kuatir banyak orang
persilatan mencari gara-gara di kota Si-ciu ini berhubung
pelbagai macam manusia berkumpul semua disini, maka di
minta kepada semua enghiong di pelbagai tempat untuk ikut
memperhatikan suasana di sekitar kota ini serta melerai segala
kepincangan yang bakal terjadi.”
Hmm, kau tak usah banyak bicara lagi.” kata Kiong Gwatlan
ketus, “aku adalah seorang penganiaya rakyat kecil,
kenapa Kongsun harap tidak cepat cepat turun tangan untuk
menghukum diriku?”
Kongsun Peng semakin tersipu-sipu dibuatnya ia tak tahu
bagaimana menjawab.
Kiong Gwat bui yang menyaksikana adiknya mendesak
orang lain terus menerus, padahal keadaan sesungguhnya
tidak serius itu, ia bermaksud maju melerainya.
Tapi sebelum ia tampil kedepan, tiba-tiba muncul seorang
lelaki kekar yang segera menjura seraya berkata, “Nona Kiong,
bersediakah engkau mendengarkan beberapa patah kata
ku…..?”
“Siapa namamu?” tanya Kiong Gwat-lan sambil menatap
lelaki itu tajam tajam.

169
“Aku adalah Song Yan dari Huan yangi.”
Ooeh..,. rupanya Son tokeng, maaf kalau aku tidak dapat
mengenali dirimu.
Merah jengah selembar Wajah Song Yan ketika mendengar
di balik ucapan tersebut bernada sindiran, katanya dengan
gusar, “Nona kiong, sekalipun aku Song yan berasal dari kaum
perampok yang rendah kedudukannya, tapi aku percaya
ucapanku masih bisa dipercaya, aku masih dapat memegang
peraturan kaum Liek lim dengan ketat, jangankan merugikan
kaum rakyat kecil, memeraspun tidak….”
“Aku toh tidak menuduh dirimu yang bukan-bukan, kenapa
Song tangkeh musti merasa sampai disitu?” tukas Kiong Hwatlan
lagi
Song yan benar-benar menjadi naik darah saking
mendongkolnya untuk sesaat dia hampir tak mampu berkatakata.
Sebenarnya dia hendak melerai karena melihat ucapan
Kiong Gwat-lan tidak pakai aturan, siapa tahu belumm sampai
kata-kata tersebut disampaikan, beberapa patah kata dari
gadis she Kiong itu sudah cukup membuat hatinya
mendongkol setengah mati,
Akan tetapi bagaimanapun juga dia adalah seorang jagoan
dari Liok Lim yang sudah berpengalaman luas, dengan sekuat
tenaga ia berusana mengendalikan hawa amarah yang
berkobar dalam hatinya, kemudian sambil menjura ia berseru,
“Kalau begitu maaf jika aku orang she-Song terlalu banyak
urusan!”
Selesai berkata ia lantas putar badan dan berlalu dari situ.

170
Kiong Gwat-lan cuma tertawa dingin tanpa mengucapkan
sepatah katapun Kiong Gwat hui merasa tidak berkenan
dengan kejadian tersebut, dengan cepat ia melompat
kehadapan Song Yan, kemudian setelah memberi hormat
katanya, “Song tangke, adikku masih muda dan tak tahu
urusan seandainya ia telah menyinggung perasaanmu,
bersama ini siauli minta maaf. Buru-buru Song-Yan balas
memberi hormat, “Kiong toa-kohnio tak usah sungkansungkan,
memang akulah yang terlalu lancang mencampuri
urusan orang lain….”
Diluar ia berkata demikian, sementara dalam hatinya
berpikir lain, “Heran, sama-sama dilahirkan oleh seorang ibu,
kenapa wataknya bisa jauh berbeda bagaikan langit dan
bumi? Kalau sang enci lembut dan tahu sopan, dan adiknya
angkuh, binal dan susah diatur……”
Dipihak lain, Kongsun Peng juga sedang berkata, “Nona,
masa terhadap urusan sekecil ini pun kau mempersoalkan
terus, tindakan nona sungguh membuat aku menjadi tidak
habis mengerti……”
Sambil tertawa dingin Kiong Gwat-lan segera menukas,
“Aku adalah seorang nona yang berpikiran picik dan berdada
sempit, mengerti?”
“Kalau nona telah berkata demikian, aku-pun tak bisa
berbuat apa apa lagi, entah apa yang musti kulakukan
sehingga dapat meredakan rasa marah nona?” tanya Kongsun
Peng kemudian dengan kening berkerut.
Kiong Gwat-lan menggetarkan pedangnya kedepan tibatiba
ujarnya kepada Kongsun Peng.
“Sejak tadi aku toh sudah berkata kepada mu, aku hendak
minta petunjuk ilmu pedang mu!”

171
Tindakannya ini sangat menantang, sebagai anak muda
yang berdarah panas tentu saja Kongsun Peng tidak tahan,
hawa amarahnya kontan meledak, pikirnya, “Budak ini benarbenar
tidak tahu aturan, kalau tidak kuberi sedikit pelajaran
kepadanya, dia pasti akan mengira aku, orang she Kongsun
jeri kepadanya………”
Berpikir sampai disitu, dengan wajah serius, ia lantas
berkata.
“Aku hanya tahu bahwa diriku bukan tandingan nona…..”
“Aaah.. tak usah banyak cerewet cabut pedangmu!” seru
Kiong Gwat-lan tampaknya tidak sabar lagi.
Ia sudah dipaksa terus menerus akhirnya tentu saja
Kongsun Peng tidak tabu, pedangnya segera diloloskan dari
sarungnya,
Ho Kee sian hanya bisa gelengkan kepalanya berulang kali
melihat mereka beribut bahkan hendak beradu senjata Cuma
disebabkan soal kecil, segera selanya, “Nona Kiong, dapatkah
memandang diriku…..
Kong Gwat-lan tahu bahwa ucapan selanjutnya pastilah:
“Dapatkah memandang di atas wajah saya untuk mengakhiri
persoalan ini…?”
Andaikata Ho Kee sian biarkan menjatuhkan kata-katanya
sudah pasti untuk menghormati atas Ho Kee sian dengan
kakeknya, mau tak mau harus mengakhiri rencananya.
Sebagai gadis yang cerdik dapat cepat ia menukas
pembicaraan orang sebelum perkataan itu berakhir, katanya,
“Ho locianpwe, jika kauingin mempergunakan kedudukanmu

172
sebagai cianpwe untuk mencegah keinginan boanpwe,
terpaksa boanpwe akan menuruti perintahmu itu.”
Ho Kee sian tertegun, akhirnya ia berkata, “Ooooh… aku
hanya ingin bertindak sebagai penengah saja!”
“Bagaimana cara cianpwe bertindak sebagai penengah?”
Ho Kee-jian berpikir sebentar, ialu katanya, “Sesungguhnya
persoalan ini hanya suatu persoalan kecil yang sama sekali
tidak berarti, menurut pendapatku lebih baik kita singkap
masalahnya secara terbuka saja.”
Kiong Gwat-lan tertawa merdu.
“Aku rasa pendapat locianpwe pasti tak akan salah pada
boanpwe, merasa bahwa apa yang telah kulakukan tadi
memang tidak pantas, sebagai seorang jago lihay sudah
seharusnya Kongsun sauhiap memberi pelajaran yang
setimpal kepadaku.”
Diam-diam Kongsun Peng mendengus setelah mendengar
perkataan itu, pikirnya, “Hmm…..rupanya kau juga tahu diri.”
Terdengar Ho Kee-sian berkata, “Nona sama sekali tidak
salah.”
“Bila Boanpwe tidak bersalah, itu berarti Kongsun sauhiap
yang bersalah, meskipun boanpwe tahu bukan tandingan
Kongsun sauhiap, tapi…….”
Berkobar hawa amarah dalam dada Kongsun Peng, ia
segera tertawa terbahak-bahak.

173
“Haah…..haahh……haaahh….-ona tak usah banyak
berbicara lagi, anggap saja akulah yang bersalah, silahkan
turun tangan!”
Sejak tadi Kiong Gwat-lan memang sedang menantikan
perkataannya itu, sambil tertawa merdu ia berseru, “Bagus
sekali, sambutlah seranganku ini!”
Tidak menanti Ho Kee-sian berbicara lagi, pedangnya
langsung disapu kedepan, cahaya tajam berkilauan dan segera
menyelimuti jalan darah penting didada Kongsun Peng.
“Sebuah jurus Hong-pa-jian-ho (angin semilir
menggugurkan teratai) yang sangat bagus!” bentak Kongsun
Peng.
Badannya berputar kencang, dari posisi menyerang segera
berubah menjadi posisi bertahan, pedangnya dikembangkan
dan digetarkan berulang kali melancarkan bacokan-bacokan
maut.
Kiong Gwat-lan tidak mau tunjukkan kelemahan, iapun
membentak dengan suara nyaring, “It thio it si (sekali
mengencang sekali mengendor) yang indah, ilmu pedang It cihui-
kiam memang bukan nama kosong belaka!”
Ia semakin tak berani berayal lagi, dengan cepat jurus
jurus maut dalam ilmu pedang Giok li kiam hoat
dikembangkan sedemikian rupa.
Kendatipun tenaga dalamnya masih jauh dari ke
sempurnaan, namun sungguh hebat ancaman tersebut, titik
cahaya tajam serasa menyelimuti seluruh angkasa, bayangan
pedang berlapis-lapis, keadaannya sungguh mengejutkan
orang.

174
Kongsun Peng tidak menyangka kalau pihak lawan akan
menyerang dengan sepenuh tenaga, seketika itu juga ia
terdesak hebat sehingga harus mundur berulang kali ke
belakang, dalam waktu singkat ia terdesak, berada dibawah
angin.
Begitu berhasil dengan serangannya, Kiong Gwat-lan
semakin bersemangat lagi, ia tak sudi melepaskan musuhnya
dengan begitu saja, sambil tertawa terkekeh ejeknya, “Hmm,
locianpwe, kau harus tahu bahwa bukan aku yang minta tapi
Kongsun suahiap yang mengajak aku beradu tenaga.
Ho Kee sian merasa kurang enak untuk mencegah
pertarungan tersebut, mendengar perkataan itu ia lantas
bepikir, “Budak ingusan, kau benar-benar sangat binal, tapi
lucu dan menjengkelkan, baiklah akan kuperhatikan dirimu
dari sisi gelanggang daripada pertarungan harus diakhirkan
dengan luka dikedua pihak”
Berpikir sampai disitu sambil tertawa katanya, “Kau jangan
keburu bersenang hati lebih dulu, jangan dianggap
kepandaian orang berada di bawah mu.”
Kiong Gwat-lan tertawa merdu katanya, “Aku lihat Kongsun
sauhiap sudah tidak berkekuatan untuk melancarkan serangan
balasan lagi, aku rasa kau telah salah berbicara!”
Pintu selatan merupakan tempat penting dari perhubungan
lalu lintas, manusia melimpah manusia dengan terjadinya
peristiwa tersebut maka semakin melimpah manusia yang
menonton keramaian disi tu, tentua saja sebagian besar
adalah kawanan jago yang menggembol senjata.
Kawanan manusia tersebut tidak ada yang mempersoalkan
apa sebab pertarungan itu sampai terjadi, mereka hanya ingin
menonton keramaian, semakin besar keramaian tersebut

175
semakin baik apalagi Kiong Gwat-lan adalah seorang gadis
cantik, sorak sorai ber kumandang dari mana-mana.
Kiong Gwat-lan merasa semakin bangga, sambil tertawa
cekikikan ejeknya lebih jauh.
“Kongsun suhiap, masih ada kepandaian simpanan apa
lagi? Hayo cepat dikeluarkan.”
Tiba-tiba Kongsun peng membentak keras pedangnya,
langsung menusuk kedepan dengan kecepatan luar biasa,
begitu serangan pedang Kiong Gwat-lan tertangkis, tiba-tiba
sepasang kakinya menjejak tanah dan melompat beberapa kali
jauhnya, begitu lolos dari kepungan Kioang Gwat-lan, ia
berdiri dengan wajah hijau membesi, pedangnya pelan-pelan
diungkitkan ke atas.
“Kongsun sauhiap… buru-buru Ho Hee sian berseru.
“Harap Ho locianpwe jangan mencegah diriku lagi, tukas
Kongsun Peng dengan suara dalam, terpaksa …. dilain waktu
boanpwe minta maaf kepada kongcu suami istri.”
Jelas perkataan itu dimaksudkan bahwa dia akan
melancarkan serangan dengan sepenuh tenaga, sebelum
Kiong Gwat-lan berhasil dilukai maka dia tak akan berhenti
sampai disana saja.
“Hmm……….pantaskah kau berbuat demikian?” kembali
Kiong Gwat-lan mengejek dengan sinis.
“Pantas atau tidak, nona segera akan mengetahuinya,
harap kau perhatikan baik-baik”
Sekalipun di atas wajahnya Kiong Gwat-lan bersikap seolaholah
tak pandang sebelah matapun terhadap lawannya,

176
padahal ia tahu bahwa Kongsun Peng telah diliputi hawa
kegusaran, dan serangan yang dilancarkan pasti pula luar
biasa sekali.
Jilid 5
MAKA ia menarik kembali senyumannya dan pusatkan
segenap perhatiannya untuk bersiap sedia menghadapi segala
Kemungkinan yang tidak diinginkan.
Ho Kee sian hanya bisa gelengkan kepalanya berulang kali,
dia tahu Kongsun Peng sudah dibikin marah oleh perbuatan
gadis tersebut, pertarungan sudah pasti tak akan terhenti
sampai disitu saja, terpaksa diapun harus memperhatikan
jalannya pertarungan dengan lebih berhati-hati, sebab jika
Kiong Gwat-lan sampai terluka maka akibatnya pasti akan
memusingkan semua pihak.
Kiong Gwat hui juga berpikir dengan kening berkerut.
“Adik bukan seorang yang tak pakai aturan, sekalipun ia
suka bergurau bukan berarti ia mau mencari menangnya
sendiri, tapi kenapa hari ini ia bersikap demikian?”
Tiba-tiba terdengar Kongsun Peng membentak keras,
“Berhati-hatilah!”
Pedangnya segera diputar dan langsung menyerbu kedepan
dengan cepat.
Pertarungan itu tak bisa dibandingkan dengan pertarungan
sebelumnya, barusan Kong sun Peng masih mengalah tiga
bagian kepada musuhnya, tapi setelah berulang kali disindir
dan dicemooh, ia tidak sungkan sungkan lagi, begitu tiga jurus

177
yang pertama sudah lewat, pedangnya diputar sedemikian
rupa melancarkan serangkaian serangan maut yang benarbenar
hebat.
Sekalipun Kiong Gwat-lan telah berusaha menangkis
dengan sepenuh tenaga akan tetapi jelas terlihat bahwa ia
sudah dipaksa dalam posisi yang kalah.
Sementara itu kawanan jago lihay yang ikut menonton
jalannya pertarungan antara kedua orang itu, diam-diam
manggutkan kepalanya, mereka merasa dengan usia mereka
yang masih begitu muda, dapat memiliki kepandaian selihay
itu sudah bukan terhitung suatu yang gampang.
Ratusan gerakan kemudian, bagaimanapun juga tenaga
dalam yang dimiliki Kongsun Peng jauh lebih tinggi dari
musuhnya, secara beruntun Kiong Gwat-lan sudah dua kali
terancam bahaya maut, cuma untungnya meskipun Kongsun
peng sedang diliputi kemarahan yang meluap, tapi
perangainya makin lama semakin kendor, ia pun tidak
menggunakan kesempatan yang ada untuk melukai lawannya.
Sebagai jago yang lihay, tentu saja Ho Kee sian dapat
mengetahui juga kejadian tersebut, hatinya menjadi lega
karena ia tahu bahwa tragedi tak akan sampai terjadi.
Tiba-tiba dari antara kerumunan manusia muncul empat
orang pemuda yang ganteng dan gagah perkasa, mereka
adalah Tan Kiat san, li Po-seng, Oh Keng bun serta Oh Keng
bu.
Dengan suara lantang Tan Kiat kan segera berteriak,
“Saudara Kongsun, Hoa kongcu berpesan kepada kita agar
melerai semua pertikaian yang terjadi, mengapa kau malah
bertarung sendiri melawan seorang gadis?”

178
“Apa daya, siau-te-pun terpaksa harus berbuat demikian!”
Sementara berbicara demikian, permainan pedangnya juga
ikut mengendor, rupanya dia bermaksud mengakhiri pertikaian
tersebut.
Siapa tahu justru Kiong Gwat-lan telah manfaatkan
kesempatan itu sebaik-baiknya
……Sreet! Sreet! Sreet! secara beruntun ia melancarkan
tiga buah serangan berantai.
Tindakannya itu sangat tidak menyenangkan Kongsun
Peng, otomatis permainan pedangnya ikut mengencang.
Mendadak terdengar gelak tertawa panjang bergema
memecahkan kesunyian, sesosok bayangan manusia dengan
kecepatan tinggi ber kelebat menerjang lewat diantara kedua
orang itu.
Para penonton hanya merasakan pandangan matanya
menjadi kabur, dan tahu-tahu Kiong Gwat-lan serta Kongsun
Peng sudah berpisah dan masing masing mundur ke elakang
sedangkan seorang pemuda tanpan berusia lima enam belas
tahun telah berdiri diantara mereka.
Kemunculan pemuda tersebut sangat mengejutkan semua
orang, siapapun tidak, kalau mengajak pemuda sekecil itu
sudah memiliki ilmu ulet yang amat lihay.
Pemuda itu segera menjura ke arah mereka berdua,
katanya, “Ilmu silat yang kalian berdua miliki sama-sama
lihaynya, keadaanpun sama kuat, menurut pendapatku
daripada pertarungan dilanjutkan lebih baik diselesaikan
secara damai saja sampai disini, mau bukan?”

179
Tentu saja Kongsun Peng ingin mengakhiri pertarungan
sampai disitu saja…..
Berbeda dengan Kiong Gwat-lan, sambil mencibirkan
bibirnya ia berseru, “Hey siapa yang suruh kau campuri
urusanku? Kau masih belum berhak untuk mencampuri
persoalanku tahu?”
Sebenarnya pemuda itu mencampuri kejadian tersebut
lantaran tidak tega membiarkan Kiong Gwat-lan terdesak
dibawah angin, siapa tahu Kiong Gwat-lan tak sudi menerima
kebaikan hatinya, ini membuat dia menjadi tertegun dan tak
tahu musti maju atau mundur.
Tiba-tiba dari tepi gelanggang muncul seorang sastrawan
berusia pertengahan yang berjubah biru, sambil
menggoyangkan kipasnya ia berkata dengan Santai, “Lo te,
kau tak usah banyak urusan lagi, kalau memang orang lain
tidak suka kau mencampuri persoalannya lebih baik kembali
saja kemari.”
Pemuda itu tertawa jengah, ia lantas putar badan dan
berjalan kembali keluar kerumunan orang.
Pemuda tersebut rupanya baru pertama kali terjun ke
dalam dunia persilatan, sehingga tindak tanduknya agak
gegabah dan sama sekali tidak memakai perhitungan.
“Berhenti!” tiba-tiba Kiong Gwat-lan membentak.
Pemuda itu agak tertegun, lalu sambil memutar badannya
ia bertanya, “Apakah dia adalah sahabatmu?” tanya Kiong
Gwat-lan dengan wajah sedingin es sambil menuding
sastrawan berusia setengah umur yang berdiri diluar arena.
“Betul!” pemuda itu manggut-manggut.

180
Kontan saja Kiong Gwat-lan tertawa dingin.
“Heeehhh…..heeehh….heeehh…… sahabatnya Si-lu-kimnong
(kumbang emas bermain di putik) Ou See tiong sudah
pasti bukan manusia baik-baik…… hei, rupanya kau juga
merupakan komplotnya.”
Paras muka si anak muda itu berubah menjadi hijau
membesi, rupanya ia masih belum paham apa yang
dimaksukan.
Berbeda dengan sastrawan berusia setengah umur itu,
paras mukanya agak berubah, lalu sambil berusaha
menenangkan hatinya, ia menggoyangkan kipasnya dan
berkata sambil tertawa, “Nona, jangan sembarangan
memfitnah orang baik-baik, aku bukan manusia yang kau
maksudkan, aku she yang dan bukan Ou See-tiong seperti apa
yang kau katakan tadi!”
Berbicara sampai disitu, biji matanya lantas berputar kian
kemari, agaknya ia sedang mengatur rencana untuk melarikan
diri.
Tan Kiat kan, Li Po seng serta dua bersaudara On saling
berpandangan sekejap, lalu mereka melompat ke depan dan
secara ti ba-tiba mengurung sastrawan berusia setengah
umur.
Suasana menjadi gempar, semua orang sama-sama
menyingkir ke samping untuk memberi tempat.
Dengan berlangsungnya peristiwa tersebut, maka perhatian
semua orang lantas di alihkan ke wajah sastrawan setengah
umur berbaju biru itu. Secara otomatis pertarungan antara
Kiong Gwat-lan melawan Kong sun ikut pula terhenti.

181
Perlu diterangkan disini, bahwa Siau-lui-kim-hong
(kumbang emas bermain di putik) Ou See-tiong adalah
seorang penjahat cabul yang ulung dan dikutuk semua orang.
Orang ini bukan cuma jay-hoa (pemetik bunga artinya
pemerkosa) saja, seringkali setelah korbannya digagahi dan
dibunuh barangnya ikut dirampok habis-habisan, sedikitpun
tidak memperdulikan peraturan yang berlaku dalam dunia
persilatan.
Orang ini bukan cuma dibenci oleh setiap orang, bahkan
orang-orang dari kalangan Liok-lim sendiripun mengincar
jiwanya.
Akan tetapi ilmu silat yang dimiliki Orang ini cukup lihay,
ilmu meringankan tubuhnya tinggi, selama melakukan
perbuatan terkutuknya ia selalu mengerjakan dengan rapi, dan
jejak yang amat rahasia, ditambah lagi orangnya pandai
menyaru, hal ini membuat jarang sekali ada orang yang
mengenali dirinya.
Itulah sebabnya dengan begitu berani dia telah munculkan
diri di kota Si ciu. Sayang akhirnya toh kedok tersebut berhasil
dibongkar oleh Kiong Gwat-lan.
Ho Kee-sian sudah lama mengasingkan diri, ia kurang
begitu tahu tentang manusia tersebut tapi ditinjau dari
julukannya bisa diduga manusia macam apakah orang itu.
Song Yan segera melompat kemuka, lalu bentaknya,
“Sobat, lebih baik terangkan asal-usulmu kalau tidak jika
sampai mati penasaran jangan menyalahkan kami semua!”

182
“Song tangkeh buat apa membentak-bentak aku dengan
nada kasar dan keras seperti itu? Siapa tahu kalau nnona
Kiong lagi-lagi sedang mengajak kalian untuk bergurau
Song Yan agak tertegun, dia lantas mengalihkan
perhatiannya ke wajah Kiong Gwat hui, jelas meski tiada rasa
marah atau tersinggung atas diri Kiong Gwat-lan, tak urung
dia merasa ragu juga atas ulah si nona yang gemar mengacau
itu.
Oleh sebab itu sorot matanya lantas dialihkan ke wajah
Kiong Gwat hui, sebab ia merasa bahwa nona ini jauh lebih
dapat dipercaya,
Kiong Gwat hui termenung sebentar, kemudian katanya,
“Aku sendiripun kurang begitu jelas!”
Setelah berhenti sejenak, dengan nada minta maaf ia
melanjutkan, “Adikku seringkah keluar rumah, banyak diantara
persoalannya yang tidak kuketahui, agaknya aku akan
membuat kecewanya Song tangkeh”
“Aaah…….! Nona terlalu sungkan,” kata Song Yan sambil
tertawa.
Diam-diam ia berpikir dihati, “Agaknya Kiong Gwat-lan lagilagi
sedang mengumbar ulahnya yang tidak karuan!”
Tiba-tiba kedengaran pemuda tadi berkata pula, “Sudah
lima hari aku melakukan perjalanan bersamanya, belum
pernah selama ini kusaksikan ia melakukan perbuatan yang
tidak genah, mungkin nona itu sudah salah menuduh orang.”
Mendengar perkataan itu, para jago yang hadir di sekitar
situ makin mengira kalau Kiong Gwat-lan lagi-lagi sedang
bergurau.

183
Lega juga hati Ou See-tiong setelah menyaksikan keadaan
tersebut, pikirnya cepat cepat, “Sekarang kalau tidak kabur,
mau menunggu sampai kapan lagi?”
Maka sambil tertawa terbahak-bahak ia menutup kembali
kipasnya dan memberi hormat, katanya, “Meskipun nona
Kiong hanya salah menuduh, siaute merasa tak punya muka
lagi untuk berdiam lebih lama disini.”
Selesai berkata ia lantas putar badan siap menanggalkan
tempat itu.
Tiba-tiba bayangan manusia berkelebat lewat, tahu-tahu
dengan pedang terhunus Kiong Gwat-lan telah menghadang
jalan perginya.
“Hei, mau kabur dari sini?” ejeknya.
“Sialan betul budak busuk ini,” pikir Ou See tiong, “baik,
ingat saja kau!
“Sekarang kau boleh mempermainkan aku tapi suatu saat
Ou-ya mu pasti akan menikmati pula kehangatan
tubuhmu………”
Dengan sikap sesopan mungkin ia lantas berkata, “Nona,
tidak cukupkah gurauanmu itu?”
Sekalipun Kiong Gwat-lan pernah bertemu dengan Ou See
tiong, tapi karena soal ini, orang tersebut telah bersalin rupa,
sulit baginya untuk membongkar kedok orang secara terang
terangan, meski begitu, dia yakin kalau penglihatannya tidak
keliru.

184
Pikirnya kemudian, “Jika aku mengaku terus terang atas
alasan tuduhanku, orang lain pasti tidak akan percaya.”
Setelah berpikir sebentar, ia lantas berseru dengan ketus,
“Beranikah kau membiarkan orang menggeledah sakumu? Aku
tahu dalam sakumu saat ini pasti membawa alat-alat pemabuk
yang biasanya kau bawa dalam melakukan setiap operasimu.”
Ou See tiong memang benar menggembol alat peraganya
dalam saku, sudah barang tentu ia tak berani membiarkan
orang lain menggeledah sakunya, dalam kejut dan paniknya ia
pura-pura jadi marah.
“Aku orang she Kang adalah seorang lelaki setia, aku tidak
akan menerima penghinaanmu ini dengan begini saja “
demikian teriakannya.
Semua orang merasa sependapat dengan alasan tersebut,
suara bisik-bisik dan pembicaraan pun berkumandang
memenuhi udara.
Kiong Gwat-lan menjadi Kehabisan daya pikirnya, “Jika aku
turun tangan secara paksa, jelas tak ada orang yang akan
membantuku, jika sergapanku meleset sehingga membiarkan
ia kabur dari sini…..Wah! Bahaya…….”
Makin berpikir ia merasa hatinya makin bingung.
Mendadak kedengaran seseorang berseru dengan suara
yang lembut dan bernada kekanak-kanakkan.
“Aku bisa membuktikan kalau dia adalah Ou See tiong.”
Bersama dengan berkumandangnya ucapan itu, tampak
seorang bocah cilik yang berbaju bersih tapi bertangan kotor

185
berlepotan lumpur menerobos keluar dari kerumunan orang
banyak.
Tercekat perasaan Ou See tiong, tapi begitu mengetahui
kalau orang itu adalah seorang bocah cilik, lega juga hatinya.
“Haahh…… haahh…….. haah….. bocah cilik, siapa yang
memerintahkan kau mengaco-belo tidak karuan disini?”
tegurnya sambil tertawa terbahak-bahak.
Satu ingatan segera melintas dalam benak Kiong Gwat-lan,
sambil menggapai bocah itu katanya, “Saudara cilik,
kemarilah! Darimana kau tahu kalau dia she Ou?”
Sambil tertawa cekikikan bocah itu menghampiri Kiong
Gwat-lan lalu sambil menepuk dada sendiri ia berkata, “Sebab
Si lui kim hong tersebut berada dalam sakuku, mana mungkin
aku tidak tahu? ‘
Mendengar perkataan itu tergelaklah semua orang karena
geli, mereka semua mengira bocah itu lagi ngaco-belo pula.
Kiong Gwat-lan sendiripun merasa agak kecewa, pikirnya,
“Waah……gelagat tidak menguntungkan bagiku, agaknya hari
ini si bajingan terkutuk itu kembali berhasil kabur dari
cengkeramanku.”
Tampak bocoh cilik itu mengeluarkan secarik handuk kecil
berwarna putih dari sakunya, lalu direntangkan lebar-lebar.
Sebagaian besar jago yang hadir di sekitar arena waktu itu
adalah jago-jago berkepandaian tinggi, ketajaman mata
mereka rata-rata cukup mengagumkan, begitu sapu tangan
tadi dibentangkan maka tampaklah pada sudut kanannya
tersulam sekuntum bunga botan, dimana pada putiknya
terbang seekor kumbang emas.

186
Sulaman itu sangat indah dan hidup, bukan saja diberi
warna yang indah bahkan amat menyolok, pada sisi sulaman
tadi terukirlah tiga huruf kecil yang mencantumkan kata-kata,
“Ou See-tiong.”
Itulah lambang dari Ou See-tiong dalam melakukan
operasinya, dan julukannya Si-lui kim-hong (kumbang emas
bermain di putik) justru diperoleh dari lambangnya itu.
Sambil menuding ke arah Ou Soe-tiong, bocah itu berkata
lagi, “Aku melihat sapu tangan itu jatuh dari sakunya, tulisan
di atas sapu tangan tidak aku Siau-gou-ji pahami, tapi
mendengar julukannya sebagai Si lui kim hong lalu
dihubungkan dengan kuntum bunga serta kumbangnya, aku
rasa ada hubungan juga dengan segala yang berbau
roman………..
Karena perkataan bernada kocak, kembali memancing
gelak tertawa geli dari orang banyak.
Paras maka Ou See-tiong berubah hebat tapi ia masih
berusaha keras untuk mengendalikan perasaan tenangnya,
katanya kemudian, “Hmm…! Rupanya ada orang sedang
memfitnah diriku, cara yang dipergunakan ini sungguh licik,
rendah dan tak tahu malu. …
Hmm…..mana ada orang yang akan mempercayainya.
Dalam kaget dan gugupnya Ou See tiong mencoba untuk
berkelit kesamping, sayang keadaan sudah terlambat.
“Breet …!” tahu-tahu sakunya sudah tersambar hingga
robek amat besar, benda-benda berupa emas perak serta
lainnya segera jatuh dan berhamburan dimana-mana.

187
Diantara sekian banyak barang yang berserakan ditanah,
tampak sebuah benda tersebut dari perak yang berbentuk
burung bangau sedang mementangkan sayapnya. Itulah alat
khusus yang biasanya dipergunakan untuk menghembuskan
obat pemabuk bila hendak melakukan suatu operasi.
Kontan saja semua orang menjadi gempar.
Rupanya dengan suatu gerakan Giok Ii to sob (gadis suci
memasukkan jarum) Kiong Gwat-lan melepaskan sebuah
babatan pedang ke siku lawan, begitu serangannya berhasil
dan, kedok Ou See tiong terbongkar, dengan perasaan lega
dan senang ia lantas tertawa mengejek.
“Hei orang she Ou, demi menyelamatkan diri, she dari
nenek moyangmu pun sampai kau tinggalkan, nah apa lagi
yang bisa kau katakan sekarang?”
Setelah barang bukti tertera di depan mata, Ou See tiong
tak bisa membantah lagi, pucat pias wajahnya, peluh dingin
membasahi sekujur badannya sambil memegang kipasnya
erat-erat dia mulai celingukan kesana-kemari berusaha
mencari jalan keluar, sayang jalan untuk kabur telah
tersumbat semua.
Kini semua orang sudah tidak ragu lagi, serentak mereka
membentak keras dan maju kembali untuk melakukan
pengepungan.
Rupanya Ou See tiong sadar bahwa ia tak akan sanggup
melarikan diri dari kepungan, dalam ke-adaan demikian
sebagai seorang penjahat ulung yang sudah kerap kali
melakukan kejahatan bukan rasa menyesal yang timbul dalam
putus asanya niat jahat malah timbul dalam hatinya.

188
“Maknya…….“ demikian ia berpikir, “sekalipun aku bakat
mampus, paling tidak modalku muski kuraih kembali, yang
paling menjengkelkan terutama perempuan anjing she Kiong
serta anak jadah kecil itu. Hmma….. Aku harus menyeret,
mereka untuk berangkat bersama menghadap raja akhirat.”
Berpikir sampai disitu, tanpa mengucapkan sepatah-kata,
tiba-tiba kipasnya disodokkan ke arah Kiong Gwat-lan dan Siau
Gou ji.
Segenggam jarum-jarum lembut yang beracun bagaikan
hujan gerimis segera menyambar ke muka membawa kilatan
cahaya biru ketika bertimpa sinar mentari, dalam dekejap
mata jerit kesakitan berkumandang dari sana-sini, ada tujuh
delapan orang segera roboh sebagai korban.
Rupanya di balik senjata kipasnya itu telah disiapkan lima
sampai enam puluh batang jarum jarum beracun yang
lembutnya seperti bulu kerbau, bila jarum jarum itu dibidikkan
dengan mengenakan semacam alat pegait maka wilayah
seputar dua kaki persegi akan tercakup dibawah ancaman
senjata rahasia itu.
Bukan cuma ganas dan mematikan, bahkan boleh dikata
sama sekali diluar dugaan orang.
Akan tetapi, baik Kiong Gwat-lan maupun Si Gou-ji yang
merupakan sasaran incarannya sama sekali tidak roboh terluka
seperti apa yang diduganya semula.
Kiong Gwat-lan memang seorang gadis yang cerdik dengan
otak yang encer, jauh sebelum serangan tu dilancarkan ia
telah menduga kalau musuhnya bakal melancarkan serangan
yang mematikan kepadanya.

189
Oleh sebab itu begitu dilihatnya kipas tersebut disodokan
ke arahnya, serta merta disambarnya tubuh Siau Gou ji dan
diajak kabur sejauh beberapa kaki dari tempat semula.
Tapi dengan begitu, kasihan orang-orang yang berdiri
dibelakang mereka, dalam suasana saling desak mendesak
begini Sulit bagi orang-orang itu untuk menghindarkan diri,
banyak diantara mereka yang terluka oleh serangan tersebut.
Bentakan bentakan nyaring menggelegar memecahkan
kesunyian, Song Yang, Oh Keng bun, Oh Keng bu, Kongsun
Peng serta Li Peng seng sekalian berlima serentak menubruk
maju sambil melancarkan serangan.
Dengan geramnya, Song Yan melepaskan sebuah pukulan
berat ke punggung Ou See tiong, sementara Kongsun Peng
melancarkan sebuah tusukan kilat ke dada penjahat pemetik
bunga ini.
Perasaan takut, ngeri dan gugup segera menyelimuti wajah
Ou See tiong, ia merasa sukmanya bagaikan sudah melayang
tinggalkan raganya, sudah barang tentu ancaman-ancaman itu
tak sanggup ditangkis olehnya, kelihatannya ia bakal mampus
di ujung pedang lawan…………
Sesosok bayangan manusia tiba-tiba berkelebat masuk ke
dalam gelanggang, dengan jurus Kim si cian wan (serat emas
membelenggu tangan) telapak tangan kanannya digunakan
untuk mencengkeram pergelangan tangan kanan Kongsun
Peng, sementara telapak tangan kirinya dilontarkan kemuka
menyambut serangan yang dilepaskan Song Yan.
Song Yan merasakan telapak tangan kanan-nya bergetar
keras, tanpa disadari tubuhnya sudah mundur selangkah.

190
Kongsun Peng mengernyitkan alis matanya merasa
datangnya ancaman, gerakan pedang itu lantas dirubah
dengan jurus It sia cian Ji (sekali meleset seribu li) dibabatnya
lengan kanan penyerang itu.
Orang itu tertawa angkuh, sepasang telapak tangan-nya di
bacok ke muka secara beruntun, dengan pukulan demi
pukulannya yang aneh tapi tangguh, seketika itu juga
Kongsun Peng terdesak mundur ke belakang.
Siapa pun tidak menduga kalau ada orang akan menolong
Ou See tiong, sebab penjahat pemetik bunga macam Ou See
tiong adalah bajingan terkutuk yang dibenci oleh orang-orang
golongan putih maupun orang-orang golongan hitam.
Setelah pertarungan berakhir, semua orang baru sempat
mengamati raut wajah orang itu dia adalah seorang pemuda
berbaju hijau yang mempunyai wajah tampan tapi diantara
kerutan dahinya terpancar sinar sesat yang amat tebal.
Song Yan agak tertegun sejenak kemudian dengan gusar
tegurnya, “Siapa kau? Tidakkah kau ketahui bahwa orang she
Ou itu adalah seorang penjabat cabul yang dosanya dikutuk
oleh semua orang?”
Pemuda berbaju hijau itu berdiri membelakangi Song Yan
tanpa berpaling, sambutnya, “Kongcu mu bernama Ciu Hoa
dae berurutan nomor delapan!”
Sesudah berhenti sejenak, dengan angkuh ia melanjutkan,
“Soal turut campur? Hmm…..aku merasa tidak leluasa
menyaksikan kalian manusia-manusia yang menganggap
dirinya sebagai kaum ksatria melakukan pengeroyokan dengan
mengandalkan jumlah banyak”

191
“Hmm! Rupanya bajingan dari Hian-beng-kau, tak heran
kalau tingkah lakunya sangat memuakkan!” teriak Kongsun
Peng marah.
Sementara itu, Ou See-tiong yang nyaris terbunuh
sekarang bisa berdiri sambil menghembuskan napas lega,
manusia semacam ini selalu pandai mengikuti arah hembusan
angin sambil memutar biji matanya dia lantas berpikir, “Waah,
rupanya asal kudapat menggaet orang she Ciu itu agar
berpihak kepadaku, niscaya jiwaku bisa selamat pada hari ini.”
Berpikir sampai kesitu, dia lantas memberi hormat kepada
Ciu Hoa Lo-pat seraya ujarnya.
“Betapa terima kasihku atas budi pertolongan yang telah
Ciu kongcu berikan kepadaku, selama hidup…,…….
Ciu Hoa lo-pat melirik sekejap ke arahnya dengan dingin,
kemudian tukasnya, “Kau tak perlu berterima kasih kepadaku,
akupun bukan bermaksud menolong jiwamu.”
Ou See-tiong tertegun, kemudian sahutnya, “Yaa, nyawa
siaujin memang nyawa semut sudah barang tentu sama sekali
tak ada harganya, sebaliknya kepandaian silat Ciu kong cu
sangat lihay dan tiada tandingannya dikolong langit.”
“Cukup, cukup, sungguh menjijikkan!” tukas Kiong Gwatlan
dengan sinis dan muak setelah mendengar kata-kata
umpakan tersebut, “huuuh! Betul-betul seekor anjing yang
pandai menjilat pantat, nama keluarga Ou-pun kena kau
cemarkan!”
Setebal-tebalnya wajah Ou See-tiong, merah padam juga
saat itu karena malu, tapi ia berpura-pura tidak mendengar.

192
Berbeda dengan Ciu Hoa lo-pat, dengan kurang sabar dia
ulapkan tangannya berulang kali.
“Pergi, pergi! Pergi diri sini, kongcumu masih harus
menjumpai manusia manusia tersebut”
Ou See tiong mengiakan dengan hormat buru-buru ia
mundur tiga langkah dari gelanggang.
Sementara itu, Ho Kee sian telah tampil pula kedepan,
tegurnya dengan suara menggeledek, “Ciu kongcu, apakah
Hian-beng-kau berniat melindungi nyawa seorang penjahat
cabul?”
Barang siapa berani melindungi bajingan cabul macam Ou
See-tiong, namanya pasti akan ikut tercemar dan dikutuk
setiap orang. Tentu saja menghadapi resiko yang begitu
besar, sekalipun Ciu-Hoa Lo pat angkuh dan jumawa, mau tak
mau dia musti berpikir dulu tiga kali sebelum menjawab.
Sesudah sangsi sejenak, akhirnya secara diplomatis ia
menjawab, “Kongcu mu turun tangan lantaran merasa tak
leluasa menyaksikan kalian mengandalkan jumlah yang
banyak mengerubuti seorang manusia soal lain aku tak mau
turut campur”
“Tepat sekali ucapan Pat te!” mendadak seseorang
menyambung dari luar arena dengan suara yang dingin
menyeramkan, “barang siapa merasa tidak puas, silahknn
mencari persoalan dengan kita bersaudara.”
Tampaklah serombongan pemuda dengan dandanan yang
mirip Ciu Hoa lo pat serta seorang kakek berwajah merah
melangkah masuk ke dalam arena.

193
Tidak diragukan lagi, rombongan pemuda itu tak lain
adalah Ciu Hoa sekalian, sedangkan kakek itu adalah Thamcu
dari ruang Tee-ham, Tang Bong liang.
ooooooOooooo
Bab 43
Tak terpikirkan rasa girang Ciu Hoa lo pat sesudah
mendengar perkataan itu, senyumnya, “Kebetulan sekali
kedatangan para suheng, kita bersaudara sudah sepantasnya
memberi sedikit pelajaran kepada manusia-manusia itu agar
mereka tahu sampai dimanakah lihaynya ilmu silat Kiu ci kiong
kita.”
“Huuuh…… menyombongkan diri dengan kata-kata yang
kosong, sungguh menggelikan ejek Kiong Gwat-lan.
Mendadak seseorang berseru pula dengan suaranya yang
merdu bagaikan burung nuri sedang berkicau, Ciu Hoa,
menurut pendapatku, lebih baik tak usahlah kalian
mencampuri persoalan ini.”
Mendengar perkataan tersebut, tanpa terasa semua orang
lantas berpaling ke arah mana berasal suara tadi.
Di atas dahan sebuah pohon waru berdiri seorang gadis
cantik yang berwajah sedingin es, ia membawa sebuah
tongkat berwarna hitam yang pada ujung toyanya berukirkan
sembilan buah kepala setan.
Gadis itu mengenakan baju berwarna putih salju, berdiri
dibawah hembusan sepoi-sepoi membuat ia tampak seperti
bidadari yang turun dari kahyangan.

194
Dibelakang gadis itu berdiri pula dua orang kakek berbaju
hitam yang berwajah menyeramkan.
Mendadak sontak suasana di sekitar gelanggang menjadi
sepi, semua orang dibikin kaget oleh kecantikan wajahnya.
Tapi setelah menyaksikan toya berkepala sembilan setan
itu, mereka semua pun lantas mengerti siapa gerangan yang
telah datang, karena dia tak laim adalah Bwe Su-Yok, kaucu
baru dari perkumpulan Kui im kau.
Ho Kee sian cukup mengetahui bobot toya berkepala
sembilan setan itu, apalagi setelah menyaksikan cara
berdirinya di atas dahan pohon itu, ia semakin menyadari
sampai dimanakah taraf tenaga dalam yang dimiliki gadis itu,
segera pikirnya, “Tak heran kalau Liong sauya selalu
memperingatkan agar jangan memandang enteng perempuan
ini, ehmmm! Dia memang berwajah amat
cantik……”
Dihari hari biasa Kiong Gwat-lan selalu membanggakan
kecantikan wajah sendiri, akan tetapi sekarang mau tak mau
ia merasa rendah diri juga, entah mengapa tiba-tiba timbul
rasa dengki dalam hatinya.
Berbeda dengan Kiong Gwat hui, ia hanya merasa sayang
kenapa gadis secantik itu menjadi kaucu dari Kau im kau.
Dalam pada itu Bwe Su yok telah memandang sekejap
sekeliling area, tiba-tiba tegurnya dengan suara dingin, “Entah
bagaimanakah pendapat hian te sekalian?”
Seperti baru sadar dari lamunan, Ciu Hoa lo pat segera
tertawa terbahak-bahak.

195
“Haaahhh……..hhaahh……haaahhh……..aku tidak mengerti
akan maksud kata kaucu!”
Berkibat tajam sepasang mata Bwe Su yok, di tatapnya
orang itu dengan pandangan dingin, namun ia tidak berkata
apa apa.
Kembali Ciau Hoa lo pat berkata, “Bukankah Kiu im kau
telah bersekutu dengan perkumpulan kami? Kini Bwe kaucu
bukannya datang membantu, sebaliknya malah menentang
usaha kami, entah apa maksudmu yang sebenarnya?”
Dihadapan umum bukan saja ia bicara tanpa tedeng alingaling
bahkan menyinggung pula soal persekutuan, kendatipun
semua orang sudah mengetahui hal ini dari Hoa In-liong, tak
urung toh kembali merasa terkejut.
Bwe Su yok hanya mendengus dan tidak menjawab, sorot
matanya lantas dialihkan ke wajah Tong Bong liang, katanya,
“Tang thamcu, anak murid Sinkun masih muda dan tak tahu
urusan, kau sebagai seorang thamcu kenapa hanya berpeluk
tangan belaka?”
Jangan melihat usianya masih muda, namun setiap
perkataan yang diucapkan sangat berwibawa dan bernada
teguran seorang kaucu terhadap anak buahnya.
Dalam keadaan demikian, walaupun Ciu Hoa sekalian
merasa tidak puas, mereka toh tak berani juga membantah.
Buru-buru Tang Bong-liong memberi hormat, katanya, “Apa
yang diucapkan kaucu memang benar, apa mau dikata,
persoalan telah terjadi, aku rasa tak mungkin bisa diselesaikan
dengan begitu saja……”

196
Suasana menjadi hening, semua orang ingin tahu dengan
cara apakah Bwee Su yok akan menyelesaikan masalah itu,
sebab sebagai seorang kaucu dari suatu perkumpulan besar,
apa yang diucapkan Bwe Su yok tentu akan di laksanakan.
Sebaliknya Tang Bong liang sekalian, jelas mempunyai
maksud memandang enteng gadis itu sean-dainya kejadian ini
sampai menggusarkan Bwe Su yok, sudah pasti persekutuan
antara Kiu im kau dan Hian-beng-kau akan berantakan di
tengah jalan, padahal memang itulah yang mereka harapkan
selama ini.
Sekilas hawa nafsu membunuh sempat memancar keluar
dari balik mata Bwe Su yok yang jeli, katanya dengan hambar,
“Kalau toh kalian berani berpendapat demikian Hmm! Akupun
tak akan ribut dengan kalian, urusan ini akan kubiarkan sendiri
dengan Siakun kalian.”
Berbicara sampai disitu, sepasang matanya yang jeli dan
tajam itu tiba-tiba dialihkan kewajah Ou See tiong.
Si lui kim hong (kumbang emas bermain di putik) Ou See
tiong merasakan sepasang matanya itu tajam melebihi anak
panah yang menembusi ulu hatinya, ia tercekat dan buru-buru
menundukkan kepalanya.
“Tampaknya terpaksa aku musti turun tangan sendiri untuk
mencabut nyawamu!” katanya.
Ou See tiong menjadi ketakutan, teriaknya “Kaucu…”
Dua orang kakek berbaju hitam yang berdiri dibelakang
Bwe Su-yok itu tak lain adalah Lei Kiu it serta Ke Thian tok.

197
Saat itu Lei Kiu it tiba-tiba berkata, “Untuk membereskan
manusia bangsa celurut kenapa musti kaucu turun tangan
sendiri, biar hamba yang melaksanakan tugas ini.
Bwe Su yok manggut-manggut, baru saja dia akan
menitahkan anak buahnya untuk turun tangan.
“Hoa kongcu telah datang!” tiba-tiba dari kejauhan sana
berkumandang teriakan keras.
Bwe Su yok merasa jantungnya berdenyut lebih cepat,
tanpa terasa dia alihkan pandangan matanya mengikuti para
jago lainnya berpaling ke arah pintu kota.
Sesosok bayangan manusia sedang bergerak menuju
ketempat itu, gerakan tubuhnya amat cepat, baru saja ia
berada dimulut kota, tahu-tahu dalam waktu singkat sudah
berada di depan mata.
Sungguh mengagumkan sekali ilmu meringankan tubuh
yang dimiliki pemuda itu, mungkin saking cepatnya dia
bergerak, sampai ada sebagaian manusia yang cetek tenaga
dalamnya tak sempat melihat jelas raut wajahnya……….
Mereka hanya merasakan bayangan manusia berkelebat
lewat, tahu-tahu seorang pemuda tampan yang membawa
kipas emas telah melayang turun dihadapan mereka.
Sebelum berjumpa dengan Hoa In-liong tadi, Bwe Su yok
telah mengambil keputusan untuk memandangnya sebagai
musuh besar, setelah saling berjumpa, kembali ia merasakan
pikirannya amat kalut.
Begitu munculkan diri, dengan nada gembira Kiong Cian lan
segera menyapa, “Hoa jiko!”

198
Hoa In-liong berpaling kearannya sambil tertawa.
“Kiong ji-moay, rupanya kau sudah datang, oya, Kiong toamoay
juga datang, harap kalian tunggu sebentar, akan
kuselesaikau dulu masalah disini.”
Tiba-tiba Bwe Su yok merasa hatinya sakit, hawa murninya
buyar dan nyaris ia terjatuh dari atas dahan, buru-buru hawa
murninya dihimpun kembali dan sekuat tenaga berusaha
mempertahankan ke-seimbangan tubuhnya.
“Kenapa? Kenapa ia tidak memperdulikan aku?” demikian
pikirnya.
Lei Kiu it maupun Ke Thian tot kedua-duanya berdiri
dibelakang kaucunya, tentu saja mereka pun dapat
menyaksikan perubahan yang sedang dialami gadis itu, meski
demikian mereka hanya bisa saling berpandangan sekejap
tanpa bisa berbuat apa apa.
Padahal begitu masuk ke dalam arena tadi, pertama-tama
Hoa In-liong sudah melirik ke arahnya, kendatipun matanya
tidak tertuju kepada Bwe Su yok, sekarang perhatiannya
masih tertuju ke arahnya, maka waktu hawa murnii Bwe Su
yok membuyar dan nyaris terjatuh dari atas dahan, iapun
dapat mengetahui dengan jelasnya.
“Aaaai… .kau jangan menyalahkan aku,” pikirnya dihati,
“setelah kau menerima jabatan Ku im kaucu, kedudukan kita
ibaratnya musuh yang saling berhadapan tak urung kau musti
teringat juga akan budi kebaikan gurumu bila bertemu entah
bagaimana jadinya…….
Berpikir sampai disitu, dia lantas tertawa nyaring serta
berkata, “Para enghiong yang terhormat, apa yang telah
terjadi disini? Perlukah bantuan dari aku orang she Hoa?”

199
“Soal lain tak perlu dibicarakan yang penting Si kui-kian
hong Ou See liong musti dibunuh lebih dulu!”
Sambil berkata gadis itu lantas menuding ke arah penjahat
cabul itu.
Song Yan ikut berseru pula dengan lantang, “Yaa, harap
Hoa kongcu menegakkan keahlian dan kebenaran untuk kita
semua. Pihak Hian-beng-kau telah berusaha melindungi nyawa
sampah tua penyakit itu!”
Sebetulnya Li Po seng hendak menuturkan kejadian yang
sesungguhnya, tapi cukup dalam sekali pandang, Hoa In-liong
telah memahami duduknya persoalan, iapun tidak menggubris
Ciu Hoa dan rombongan-nya lagi.
Dengan kening berkerut katanya kepada Ou See liong,
“Rupanya kau yang bernama Kumbang emas bermain diputik
Ou See tiong? Kalau begitu sembilan kasus perkosaan dan
pembunuhan yang terjadi di Yan im tahun berselang juga
merupakan hasil karyamu?”
“Soal ini…….” Ou See tiong menjadi gelagapan, peluh
dingin membasahi sekujur tubuhnya.
“Aku lihat ada baiknya kau bunuh diri saja,” sela Hoa Inliong
lebih lanjut, “tunjukkan kejantananmu sekarang, mati
nanti mati sekarang juga sama saja, aku orang she Hoa pasti
akan mengu-burkan jenasahmu secara baik baik dan akan ku
cegah pula orang-orang yang menjadi korbanmu menggali
kembali kuburanmu.”
“Hoa-ya,……” keluh Ou See tiong dengan suara gemetar.

200
Ciu Hoa lo pat tidak tahan lagi, dengan gusar, segera
bentaknya, “Hei manusia yang bernama Hoa Yang, jangan
mentang-mentang ilmu silatmu lihay lantas hendak paksa
orang untuk bunuh diri, ksatria macam apakah kau ini?”
Hoa ln-liong berlagak tidak mendengar perkataan itu,
kembali ujarnya dengan suara tajam, “Bila kau enggan turun
tangan sendiri, jangan salahkan jika aku orang she Hoa
terpaksa akan turun tangan untuk melenyapkan bibit bencana
bagi umat dunia.”
Betapa gusarnya Ciu Hoa Lo pat karena ucapannya tidak
digubris, tiba-tiba ia menyerbu ke depan sambil melancarkan
sebuah sergapan, disusul Ciu Hoa lo sam ikut terjun pula ke
arena untuk melakukan pukulan.
Hampir bersamaan waktunya, On See liong putar badan
dan mengambil langkah seribu.
Hoa In-liong berpekik nyaring, suaranya keras bagaikan
lengkingan naga, tubuhnya melijit ke udara dan secepat kilat
mener jang ke arah penjahat cabul itu.
Dengan melejit perginya sasaran, maka serangan dari Ciu
Hoa Lo-pat dan Ciu Hoa lo-sam pun mengenahi tempat
kosong.
Kebetulan Tang Bong liang dan Ciu Hoa lotoa berada
disamping Ou See tiong, meski mereka tiada maksud untuk
menolong penjahat cabul itu, niat untuk melukai Hoa In-liong
justru berkobar-kobar.
Ketika menyaksikan Hoa In-liong menerjang ke arah
mereka, tanpa mengucapkan sepatah katapun Tan Bong liang
menyiapkan jari tangannya dan Ciu Hoa lotoa

201
mempergunakan sepasang telapak tangannya untuk
menyerang ke arah pemuda itu dengan sepenuh tenaga.
Serangan itu dilancarkan bukan saja dengan cara yang licik,
lagipula dari jarak yang amat dekat.
Menyaksikan itu Lo Kee sian maupun Li Po seng sekalian
membentak gusar, tapi untuk menghalangi jelas tak sempat
lagi.
Sementara itu Hoa In-liong telah berada dua depa
dibelakang Ou See liong, telapak tangannya segera didorong
ke muka menghantam punggung penjahat cabul itu.
Ou See tiong menjerit kesakitan, darah kental muncrat
keluar dari mulutnya, bersama dengan terlemparnya kipas
keudara, tubuhnya segera roboh tak berkutik di tanah.
Semua orang tahu, pukulan tadi telah meremukkan isi
perutnya, jelas jiwa bajingan itu tak ketolongan lagi.
Dalam pada itu serangan -erangan maut dari Tang Bong
liang dan Ciu Hoa lotoa sudah mendapat punggung Hoa Inliong,
tampaknya sulit buat anak muda itu untuk
menghindarkan diri…..
Paras muka Bwe Su yok berubah hebat, hampir saja ia
tahan dan ingin melancarkan serangan.
Tang Bong liang maupun Ciu Hoa lotoa tak dapat
menyembunyikan rasa girangnya lagi-dalam perkiraan mereka
Hoa In-liong pasti akan mampus di tangan mereka.
Siapa tahu…..pada detik terakhir yang amat kritis,
mendadak Hoa In-liong menjejak-kan kaki kirinya ke tanah

202
lalu putar badan secepat gasingan, tangan kanannya selincah
ular berbisa langsung menerobos kedepan….
Dalam detik yang teramat singkat inilah, ketujuh gerakan
dari ilmu Ci yu jit ciat (tujuh kupasan dari Ci yu) telah ia
gunakan secara beruntun….
Sebagai mana diketahui, Ci yu jit ciat merupakan ilmu Sakti
yang oleh Siau-yau sian (dewa yang suka kelayapan) Cu
Thong diwariskan kepada Hoa Thian-hong.
waktu itu kepandaian tersebut sudah tidak seutuh
sekarang, apa yang di wariskan pun tak lebih hanya
“menyerang sampai mati” yang terdiri dari tiga jurus.
Akan tetapi oleh karena serangan tersebut terlampau ganas
dan keji, maka selama pindah di tangan Hoa Thian-hong
belum pernah kepadaian itu dipakai secara sempurna.
Kemudian setelah penggalian harta karun dibukit Kiu ci sau,
dimana Bong Pay berhasil mendapatkan separuh bagian “Ciyu-
jit-ciat” yang hilang, kepandaian sakti itupun nenjadi utuh
dan komplit kembali tentu saja ilmu sakti itupun selanjutnya
diwariskan kepada Hoa In-liong.
Seperti diketahui, sejak penggalian harta dibukit liu ci san,
suasana dalam dunia persilatan menjadi aman kembali, maka
selama ini juga baik Hoa Thian-hong maupun Bong Pay tidak
mendapat kesempatan untuk mencoba kehebatannya.
Tak tahunya ilmu sakti yang sudah lama lenyap itu akhirnya
hari ini muncul kembali di depan umum.
Ketujuh jurus ilmu jari itu memiliki perubahan gerakan yang
aneh tapi sakti dengan daya kekuatan yang luar biasa,
kepandaian tersebut merupakan kepandaian yang sukar

203
dicarikan tandingannya, apalagi kalau dipergunakan untuk
melangsungkan pertarungan jarak dekat.
Tang Bong liang maupun Ciu Hoa tidak menyangka akan
menghadapi ilmu silat yang maha sakti tersebut, dalam kejut
dan paniknya mereka mencoba untuk berkelit, sayang tak
sempat lagi, terpaksa mereka bulatkan tekadnya dan
meneruskan serangan itu dengan jurus yang tak berubah,
dengan harapan bisa sama-sama terluka.
Tiba-tiba Tang Bong liang mendengus tertahan, jari
telunjuk dan jari tengah tangan kanannya tahu-tahu sudah
patah menjadi dua bagian, sementara sepasang pergelangan
tangan Ciu Hoa lotoa masing masing termakan sebuah
totokan, di tengah jeritan kesakitan yang memilukan hati, ia
mundur sambil menggigit bibir, sepasang lengannya terkulai
lemas kebawah, jelas sudah cacad oleh pukulan itu.
Tdak sedikit jago berkepandaian tinggi yang menyaksikan
jalannya pertarungan, mereka semua merasakan pula betapa
gawatnya situasi ketika itu, akan tetapi setelah menyaksikan
hasil dari pertarungan tersebut, tak urung mereka menghela
napas juga karena kaget.
“Bocah keparat!” gumam Lei Kiu it, “tak disangka ilmu
silatnya secepat itu bisa memperoleh kemajuan, coba tahu
begini, sungguh menyesal nyawanya tak jadi direnggut
sewaktu terjatuh ke tangan kauucu tempo hari…….”
Mendengar perkataan itu Bwe Su yok melirik sekejap ke
arahnya dengan biji matanya yang jeli, tampaknya ia
bermaksud hendak menegur.
Sesungguunya perasaan sang gadis waktu itu sungguh
amat susah dilukiskan dengan kata-kata, jalan pikirannya
hampir boleh dibilang saling bertentangan.

204
Padahal semakin tinggi ilmu silat Hoa In-liong seharusnya
semakin besar niatnya untuk melenyapkan orang itu, tapi
kenyataannya sekarang ia malah agak sukar untuk
mengendalikan rasa gembiranya.
Sebagian besar jago yang hadir di kota Si ciu waktu itu
rata-rata tahu kalau Hoa In-liong adalah putranya Thian-cukiam
merekapun tahu kalau ilmu silatnya sangat tinggi, tapi
siapapun tidak mengira kalau kesempurnaan ilmu silatnya
Sudah mencapai taraf demikian tingginya.
Dengan hambar Hoa In-liong memandang sekejap ke arah
Ciu Hoa sekalian, lalu kepada Li Po-seng katanya, “Saudara
Po-seng, tolong belikan sebuah peti mati dan kawallah
jenazah Ou See ti ong untuk dikubur di tempat kuburan,
jangan sampai mengganggu ketenteraman rakyat di sekitar
sini.
Li Po-seng mengiakan, dia lantas berlalu dari situ.
Kiong Gwat-lan tampak kurang senang hati, sambil
mencibirkan bibirnya ia berseru, “Kenapa musti repot repot?
Beli saja sebuah tikar bobrok untuk membuang bangkai anjing
itu, aku rasa tikar pun sudah lebih dari cukup baginya!
Dipihak lain, Tang Beng liong sedang berdiri dengan wajah
hijau membesi, diam-diam pikirnya.
“Pesat benar kemajuan yang dicapai bangsat ini dalam hal
ilmu silat, kalau dibiarkan hidup terus menerus, sepuluh tahun
lagi pasti akan sulit ditemukan orang yang bisa
menaklukannya, aku musti akan melaporkan kejadian ini
kepada Sinkun agar ia cepat-cepat disingkir kan dari muka
bumi….,”

205
Berpikir sampai disitu dengan suara keras ia lantas
membentak.
“Hoa Yang, meskipun aku tidak puas, lain kali aku pasti
akan minta petunjuk lagi. Sekarang kalau tak ada urusan lain,
aku hendak pergi duluan.”
Hoa In-liong mendengus dingin.
“Berbicara dari tenaga dalam, sesungguhnya dalam seratus
jurus belum tentu aku bisa melukaimu maka jika kau tidak
puas akupun telah menduganya, cuma kaupun musti tahu
setiap serangan yang dilancarkan dengan Ci yu jit ciat akan
menyebabkan korbannya pasti mati, oleh sebab ayahku
menganggap ilmu itu terlalu keji, disana-sini telah mengalami
perubahan, coba kalau kugunakan jurus aslinya…..Hmm, aku
pikir kau tak dapat pergi dari sini dengan selamat”
“Baik! aku telah mengetahuinya, masih ada pesan lain?”
seru Tang Bong-liang sambilt mengigit bibir.
Dengar serius Hoa In-liong berkata, “Tolong sampaikan
kepada sindun, jika dia masih tak ingin melangsungkan
pertarungan terbuka, tolong awasi baik-baik anak buahnya.”
“Aku akan mengingatnya, sahut Tang Bang Iiang.
Kemudian ia memberi tanda dan bersama Ciu Hoi sekalian
berlalu meninggalkan tempat itu.
Sebenarnya semua orang Bong liang serta Ciu Hoa sekalian
disana, tapi ketika Hoa In-liong membiarkan mereka pergi
dengan begitu saja, maka merekapun tidak banyak berbicara
lagi.

206
Setelah Tang Bong liang dan Ciu Hoa sekalian pergi, sinar
mata semua orangpun kini sama-sama dialihkan ke arah Bwe
Su yok yang berada di atas dahan pohon waru.
Pelan-pelan Kiong Gwat-lan mendekati Hoa In-liong,
kemudian bisiknya lirih, “Hei jiko, coba lihatlah budak she Bwe
itu, sungguh cantik menawan, apakah kau pernah bermesraan
dengannya?”
“Ala…..kau cuma pura-pura sok serius!” katanya.
Hoa In-liong tersenyum, dia lantas memberi hormat kepada
Bwe Su yok sambil menyapa, “Bwe kaucu, baik-baikkah kau?”
Bwe Su yok menundukkan kepalanya, kembali ia berpikir,
“Gadis itu begitu akrab dengannya, jangan jangan dia adalah
gadis simpanannya.”
Setelah membungkam sesaat, Bwe Su yok kembal
mendongakan kepalanya memandang sekejap ke arah Hoa Inliong.
Waktu itu semua perhatian para jago tertuju kepadanya
seorang, semua orang segera dapat merasakan bahwa dibalik
tatapan matanya yang jeli sama sekali tidak terpancar lagi
sinar keketusan, sebaliknya malah lamat-lamat menunjukkan
sikap sedih dan murung, hal ini membuat semua orang
menjadi tercengang.
Tiba-tiba Bwe Su yok menghela nafas panjang, tanpa
mengucapkan sepatah-katapun ia berlalu dari situ.
Ke Thian-tok maupun Lei ciu it sama-sama tertegun,
kemudian setelah melotot sekejap ke arah Hoa In-liong
dengan gemas, mereka pun memutar badannya dan berlalu
dari situ.

207
Sekali lagi semua orang dibuat tertegun oleh kejadian
tersebut, siapapun tidak menyangka kalau Kiu im kaucu bakal
berlalu dari situ tanpa meninggalkan pesan sepatah kata pun.
Kecuali termenung, ada pula diantara mereka yang diamdiam
merasa kecewa karena Kiu im kaucu yang dikatakan
berwajah dingin dan tidak berperasaan itu ternyata malah
berbuat sebaliknya.
Tentu saja Hoa In-liong dapat meresapi maksud hatinya,
diam-diam ia menghela napas, kepada dua bersaudara Kiong
segera katanya, “Adik berdua baru saja tiba di kota Si ciu,
tentunya kalian belum ada tempat untuk menginap bukan?
Bagaimana kalau untuk sementara waktu tinggal digedung
kami?”
“Tentunya akan mengganggu Hoa jiko,” kata Kiong Gwatlan
Sambil tertawa dan manggut-manggut.
Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak. “Haaahh…………
aaahh………haaahh……… padahal aku sendiripun meminjam
gedung itu dari orang lain, mengangkangkan yang sewenangwenang
atas rumah itu, membuat akupun secara terpaksa
menjadi pula tuan rumah disitu.”
Tiba-tiba pemuda yang pernah melerai pertarungan antara
Kiong Gwat-lan melawan Kongsun Peng tadi maju
menghampiri Hoa In-liong, lalu sapanya dengan suara lirih,
“Hoa jiko!”
Hoa In-liong berpaling kemudian serunya dengan
tercengang, “Hei saudaraku, kaupun datang kemari? Dimana
sutemu?”
“Semalam kami sudah datang, kini sute masih menunggu di
rumah penginapan…………..”

208
Tiba-tiba Kiong Gwat-lan menyela sambil tertawa dingin,
“Hoa jiko, siapakah orang ini? Dia pasti bukan manusia baikbaik,
kau tahu, dia berjalan bersama Ou See tiong.”
Merah padam selembar wajah pemuda itu saking
cemasnya, buru-buru dia membantah, “Aku bernama Demor,
datang dari See-ih, ………aku………..aku bukan orang
jahat……….”
Dengan bahasa yang kurang lancar, dihari-hari bisa ia
masih dapat menggunakan secara baik, tetapi sekarang
lantaran cemas dan panik,ia menjadi gelagapan dan tak
mampu berbicara.
Hoa In-liong segera tertawa. “Kiong ji moay, kau jangan
salah paham,” katanya, “dia adalah muridnya suhuku yang
ada di wilayah see ih, adik seperguruannya bernama Tehan,
mungkin lantaran masih muda dan tak ada pengalaman,
mereka kena dibohongi orang.”
“Betul, cepat-cepat Demor menerangkan, “kami bertemu
dengan orang she Ou itu di kota koy-hong, karena sama-sama
mau ke si ciu maka kami melakukan perjalanan bersama,
siapa tahu kalau dia adalah seorang penjahat cabul”
Hoa In-liong termenung sebentar, kemudian tanyanya lagi,
“Jika kalian semua pergi, siapa, yang menjaga rumah?”
Dirumah masih ada beberapa orang pelayan, mereka
pernah dididik suhu dengan ilmu silat, kemampuan mereka
tidak selisih banyak dari aku serta sute, aku rasa mereka
masih sanggup untuk menjaga rumah baik-baik!”
Hoa In-liong lantas mendengus.

209
Setelah sampai di Si-ciu, kenapa kalian belum mencari aku
malah keluyuran sendiri? Kau anggap aku tak tahu maksud
kalian? Baiklah, akupun segan banyak bicara, nanti akan
kuselesaikan sendiri dengan paman.
Haputule amat ketat mengajari muridnya, kedatangan
Demor dan Tehan kedaratan Tionggoan kali inipun diluar
pengetahuan gurunya, tentu saja mereka tak berani
menjumpainya.
Sesudah tergagap sekian lama, akhirnya Demor berkata,
“Jiko, kau berangkatlah duluan, aku dan sute segera akan
menyusul kesitu!”
Paman memberitahukan kepadamu bahwa kalian ditinggal
dirumah agar berlatih silat lebih tekun,” kata Hoa In-liong
dengan wajah membesi, tak bisa diragukan lagi, kedatangan
kalian berdua ke kota Si ciu adalah diluar pengetahuan
gurumu.
“Kami cuma keluar untuk bermain-main sebentar, lalu
segera kembali ke See-ih” ujar Demor ketakutan.
Secara diam-diam bermain ke Tionggoan memang bukan
urusan besar, tapi berkumpul dengan manusia Ou See tiong
adalah suatu kejadian yang tak boleh diampuni, untung
ketahuan lebih awal, coba kalau sampai tercebur kelembah
kenistaan, mungkin waktu itu kalianpun masih berada dalam
impian. Hmm Kini kau berani pula menghindari perjumpaan
dengan gurumu, jangan harap kalian bisa kabur lagi, hayo
cepat ikut aku menghadap paman agar diberi hukuman yang
setimpal”
Dulu pernah Demor menyaksikan Hoa In-liong menegurnya
dengan wajah sekeren sekarang, sedikit banyak ia sudah rada
takut apalagi sekarang setelah mengetahui bahwa Hoa InTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
210
liong akan mengajaknya menjumupai gurunya, ia menjadi
ketakutan setengah mati.
Dalam pada itu para penontonpun sudah mulai bubaran
karena melihat Hoa In-liong sedang bercakap-cakap dengan
Demor serta dua bersaudara dari keluarga Kiong.
Dengan demikian, disitu hanya tinggal Tim kiat kian, Ho
See sian, dua bersaudara Oh dan Kongsun Peng, sedang Siau
Gou ji seorang berjongkok sambil bermain burung bangau
perak peninggalan Ou See tiong.
Mayat Ou Soe tiong tergeletak dipinggir jalan dalam
keadaan yang mengerikan, darah masih bercucuran dengan
derasnya, tapi setiap orang yang lewat disampingnya dengan
penuh rasa benci dan menghina sama-sama melukahi
tubuhnya.
Tiba-tiba kedengaran Kiong Gwat-lan berseru, “Jalan raya
bukan tempat untuk memberi pelajaran kepada seseorang,
lagi pula dengan kedudu-kanmu masih belum pantas
menasehati saudara cilik ini, hayo kita pergi saja!”
Gadis itu baru berusia tujuh delapan belas tahun usianya
dengan Demor pun cuma selisih sedikit tapi dengan gayanya
dia telah membasahi orang dengan saudara cilik, ini membuat
Lim kiat kau se kalian diam-diam merasa geli.
Demor tidak merasakan hal itu, karena kelihatannya Kiong
Gwat-lan membantunya berbicara, dengan penuh rasa terima
kasih ia melirik sekejap ke arahnya.
Kiong Gwat-lan merasa lebih bahagia lagi sambil tertawa
merdu ujarnya lebih jauh, “Saudara cilik, kau jangan gelisah,
meskipun aku belum berhak untuk ikut ambil bicara dihadapan
gurumu, tapi aku rasa beberapa orang cianpwe pasti bersedia

211
membantumu, tak pasti mereka akan membiarkan kau
didamprat gurumu.”
Kemudian sambil melirik ke arah Ho Kee sian dia berkata,
“Ho locianpwe, bersediakah kau?”
Ho Kee sian agak tertegun, lalu jawabnya, “Aku kuatir tak
punya muka sebesar itu!”
“Aku lihat kau orang tua sudah berusia setengah abad
lebih, masa tidak punya?” kata Kiong Gwat-lan sambil
cemberut, “yaa, aku tahu, kau pasti enggan memberi bantuan
makanya berkata demikian, pokoknya bagaimanapuu juga
kau musti mengabulkan permintaanku ini!”
Kiong Gwat hui yang menyaksikan kejadian itu segera
menarik ujung baju adiknya sambil berbisik, “Adiku, jangan
kelewat berandal”
Tapi Kiong Gwat-lan sama sekali tidak menggubris, malah
matanya memperhatikan Ho Kee sian tanpa berkedip.
Melihat itu Ho Kee sian lantas berpikir, “Agaknya dalam
menghadapi persoalan apapun nona ini merasa tak enak jika
belum ikut ambil bagian, bila aku menyanggupinya mungkin
dia akan mendesakku terus menerus…”
Berpikir demikian, sambil tertawa diapun berkata, “Kalau
cuma mengucapkan beberapa patah kata sih gampang, aku
cuma kuatir tak ada gunanya.”
Sementara itu Hoa In-liong juga sedang berpikir,
“Menghadapi setiap persoalan tampaknya budak ini cuma tahu
mengumbar nafsu, melihat aku mendamprat Demor lantas
dianggapnya hal ini tak adil, mana dia tahu kalau aku berbuat
demikian lantaran mempunyai maksud tertentu.”

212
Setelah berpikir sejenak, sambil tertawa nyaring segera
ujarnya, “Gara gara kau seorang nona binal, kota Si cui sudah
menjadi ramai setengah harian, Kiong ji moy! Dalam
perjalananmu masuk ke kota nanti jangan menimbulkan garagara
lagi lho!
Merah jengah selembar wajah Kiong Giok lan.
“Kau dibilang membuat gara-gara, perbuatanmu di kota Si
ciu ini baru cocok disebut suatu pengacauan secara besarbesaran,
membuat seluruh dunia persilatan menjadi kalut tak
karuan, hmm! Aku sih masih ketinggalan jauh”
Berbicara sampai di situ, sorot matanya lantas dialihkan ke
wajah Hoa In-liong yang cerdik segera dapat menduga
beberapa bagian atas duduknya persoalan, ia lantas tertawa
tergelak.
“Haaahhh…………haaahhh……haahhh……
Kiong ji-moay kau toh sudah menyalahi saudara Kongsun,
hayo cepat minta maaf!”
“Hoa kongcu, akulah yang telah mencari gara-gara dengan
nona Kiong!” cepat cepat kongsun Peng berbisik dengan nada
tersipu.
Hoa In-liong gelengkan kepalanya sambil tertawa, “Saudara
Kongsun tak usah banyak bicara lagi,” katanya, “sampai di
manakah tabiatnya sudah siau-te pahami benar-benar,
bagaimapun juga hari ini dia musti minta maaf kepada
saudara Kongsun.”
“Jangan mimpi!” sela Kiong Gwat-lan sambil berkerut
kening.

213
Hoa In-liong tersenyum kembali katanya, “Kalau sudah
menyalahi orang, punya kepandaian lagi, tidak minta maaf
bukan persoalan, tapi kalau sudah tak punya kepandaian lagi,
tidak minta maaf lagi, itu baru tak boleh”
“Lantas apa yang musti kulakukan baru bisa di katakan
punya kepandaian….?”
Hoi In-liong menutar biji matanya, lalu sahutnya sambil
tertawa, “Akan kubuat sebuah lingkaran di dalam dan sebuah
lingkaran di luar, lingkaran dalam luasnya dua depa lingkaran
luar luasnya empat kaki, aku akan berdiri dalam lingkaran
dalam dan kau boleh berkelit dilingkaran luar, jika dalam
seperempat jam kau bisa menghindari tangkapanku, maka kau
akan kuanggap punya kepandaian.”
Kongsun peng menggerakkan bibirnya seperti hendak
mengucapkan sesuatu tapi niat itu kemudian dibatalkan,
pikirnya, “Tampaknya kedua orang itu sudah terbiasa
bergurau, buat apa aku musti banyak bicara?”
Karena berpikir demikian, maka diapun membungkam
dalam seribu bahasa.
“Yaa, aku tahu ilmu meringankan tubuh dari keluarga Hoa
memang sangat lihay dan diketahui semua orang di dunia,
dengan mengandalkan tenaga dalam yang kau miliki tidak sulit
untuk berganti, tiga empat gerakan di tengah udara, aku tahu
bukan tandinganmu, aku tak sudi kau tipu kecuali kalau kau
tak boleh melewati garis lingkaran.”
Waktu itu Kongsun Peng, Ho Kee sian dan lainya
berpendapat demikian pula, sebab menurut jalan pemikiran
mereka kecuali berbuat demikian, tak mungkin Hoa In-liong
bisa menangkap Kiong Gwat-lan dari dalam lingkaran.

214
Lain halnya dengan Hoa In-liong, dia lantas berpikir.
“Nah, bagaimanapun juga kau memang sudah terjebak
dalam siasatku…….. tinggal sekarang pelaksanaannya!
Meskipun demikian, dia pura-pura menunjukkan wajah
keberatan, serunya, “Aku toh bukan dewa, kalau ilmu
meringankan tubuh pun tak boleh dipergunakan, jangankan
menangkapmu, untuk menjawil ujung bajumu pun bukan
suatu pekerjaan yang gampang.”
Dengan bangga Kiong Gwat-lan tertawa cekikikan.
“Huuuh…….begitupun masih mengakunya seorang
enghiong, heran kau pingin ribut dengan aku seorang gadis,
lebih baik lain kali tak usah berlagak sok”
Hoa In-liong segera tertawa terbahak-bahak.
“Haaahh….haaahh…haaahh……baiklah, akan kuturuti
perkata-anmu itu, mari kita buat garis lingkarannya.”
“Biar aku saja yang membuatnya!” cepat Kiong Gwat-lan
menyela.
Tanpa menanti persetujuan orang, dia lantas bungkukkan
badan dan membuat dua buah lingkaran dengan pedang.
Bagi para jago yang terbiasa belajar silat pada umumnya
bisa mengukur jarak dengan pas, siapapun mengetahui bahwa
secara curang gadis itu telah menambah luas lingkaran luar
dengan dua tiga depa, sebaliknya lingkaran dalam hanya satu
depa lebih lima enam.

215
Cuma saja lantaran Hoa In-liong tidak berbicara apa-apa,
maka semua orang pun tidak berbicara apa-apa.
Untung daerah di sekitar situ memang merupakan tempat
yang sepi dan jarang dilewati orang, kendatipun demikian
berkenyit juga sepasang alis mata Kiong Gwat hui, ia merasa
adiknya sebagai seorang gadis perawan tidak sepantasnya
melakukan perbuatan semacam itu, tapi karena dilihatnya
gadis itu amat gembira, ia merasa kurang enak untuk
mencegahnya, maka dengan sorot mata mengandung teguran
ia melirik sekejap ke arah Hoa In-liong.
Setelan berdiri tegap dalam lingkarannya yang kecil, sambil
putar badan Hoa In-liong berkata, “Kiong ji moay, ayo cepetan
dikit!”
Ketika dilihatnya pemuda itu begitu mantap dan
menyakinkan, Kiong Gwat-lan sedikit banyak merasa agak
ragu juga, pikirnya, “Jangan-jangan aku sudah terperangkap
dalam siasatnya? Aku musti lebih berhati-hati….”
Tapi pikiran lain segera melintas dalam benaknya, ia
merasa selihay-lihaynya pemuda itu, tak nanti ia bisa
ditangkap dengan mudah.
“Hati-hati kata Hoa In-liong kemudian sambil tertawa, “aku
hendak mempergunakan tiga macam kepandaianku untuk
menangkapmu dalam keadaann hidup-hidup”
Kipasnya lantas dialihkan ketangan lain, kemudian telapak
tangan kanannya diayun kedepan dan dua titik hitam segera
meluncur ke arah tubuh gadis tersebut.
Daya luncur kedua titik hitam itu tidak begitu cepat, Kiong
Gwat-lan dapat memperhatikan arah datangnya ancaman dan
berkelit secara jitu, serunya, “Satu macam kepandaian!”

216
Tapi baru selesai perkataan itu, mendadak desingan angin
tajam menyambar lewat dari belakang, tanpa berpikir panjang
lagi ia ber kelit tiga depa kesamping, meski demikian jaraknya
dengan Hoa In Hong masih cukup jauh.
Tapi belum lagi kakinya berdiri tegak, kembali terasa ada
semacam benda menyergap tubuhnya, dengan perasaan apa
boleh buat terpaksa ia melompat maju delapan depa lagi,
pikirnya, “Jarakku denganmu masih terpaut satu kaki sampai
dimanapun lihaynya ilmu Hwee hong jiu-hoat (cengkeraman
angin berpusing), sia-sialah akhirnya jerih payahmu.”
Tapi pikiran itu baru habis melintas lewat, Hoa In-liong
telah tertawa terbahak-bahak.
Seketika itu juga Kiong Gwat-lan merasa munculnya
segulung tenaga hisapan yang menyedot tubuhnya ke
belakang.
Berada di tengah udara, gadis itu masih berusaha menahan
badannya dengan ilmu bobot seribu, sayang tersambit, di
tengah jeritan lengkingannya tahu-tahu ia sudah terhisap
kekuatan itu dan melayang ke arah Hoa ln Hong berdiri.
Pukulan itu bernama Hu Im sin ciang, dulu nama aslinya
adalah Kun siu-ci-tau (perlawanan bi-natang terkurung) yang
merupakan ciptaan dari Ciu it bong.
Kemudian setelah kepandaian tersebut terjatuh ke tangan
Hoa Thian-hong, apalagi setelah ia berhasil mempelajari ilmu
Kiam keng boh kui yang merupakan peninggalan dari Kiam
seng (malaikat pedang) Gi Ko, semua sifat asli ilmu pukulan
tersebut baik dalam hal keras lembutnya, cepat lambatnya dan
tipuan atau aslinya telah mengalami perubahan besar.

217
Jangankan Kiong Gwat-lan sekarang yang bertenaga masih
lemah, kendatipun Pia Leng cu, se-orang tokoh Thong thian
kau yang pernah tersohor dimasa lalupun tak sanggnp
berkutik apa-apa di tangan Hoa Thian-hong waktu terjadi
peristiwa di sungai Huang ho dulu.
Padahal tenaga dalam yang dimiliki Hoa In-liong sekarang
belum tentu dibawah tenaga dalam ayahnya di waktu itu
namun semenjak ia berhasil memperoleh warisan Khi khek
teng heng sim boat dari Goa cing taysu yang kemudian
digabungkan dengan sim boat keluarga Hoa-nya, hawa murni
ditubuhnya malah mengalir lurus dan terbalik secara tidak
beraturan, ini menyebabkan tenaga pukulan yang dilancarkan
pun bisa dilontarkan bisa pula dihisap kembali.
Padahal waktu itu dia hanya bermaksud mencoba-coba,
tapi hasil yang kemudian tercapai ternyata diluar dugaannya,
sudah barang tentu orang lain lebih terperanjat lagi dibuatnya.
Hoa In-liong menjulurkan tangan kanannya dan segera
merangkul pinggang Kiong Gwot lan, katanya sambil tertawa
terbahak-bahak, “Haaahh….haaah…….haaah…..bagaimana?
Kau cuma menggunakan dua macam kepandaian!”
Dirangkul oleh seorang pemuda dihadapan orang banyak,
sedikit banyak malu juga Kiong Gwat-lan dibuatnya, pipinya
kontan saja menjadi merah padam, sambil meronta serunya
manja, “Lepaskan aku!”
Sambil tersenyum Hoa In-liong melepaskan gadis itu,
katanya kemudian, “Sekalipun permainan ini cuma termasuk
guruan belaka, toh bagaimanapun jua kau sudah kalah, hayo
cepat minta maaf kepada saudara Kongsun!”

218
Tiba-tiba Kiong Gwat-lan melompat ke Luar dari lingkaran
tersebut. Seraya serunya sambil tertawa, “Sekarang aku masih
berada dilingkaran luar, kau kan tidak berhasil menangkapku?”
Hoa In-liong tersenyum.
“Kalau kau tetap mungkir, yaa, apa boleh buat lagi?”
Dalam hati ia berpikir lagi, “Dengan tenaga dalamnya
sekarang, meskipun ia berada di atas permukaan dan jaraknya
mencapai satu kaki lebih lima depa, seandainya kucoba
kepandaianku lagi, rasanya dia tak akan mampu
mempertahankan diri
Tiba-tiba terdengar Kongsun Peng berseru,
Jilid 6
“Hoa Kong Cu, aku hanya mohon maaf kepada nona Kiong
atas gegabahanku tadi, dengan perbuatan Hoa kongcu,
bukankah hal ini akan membuatku semakin tak punya muka?”
Sebenarnya Hoa In-liong sudah bersiap sedia untuk
melakukan serangan kembali, tapi sesudah mendengar
perkataan itu, diapun mem batalkan niatnya.
Bunyi roda kereta yang berputar berkumandang dari pintu
kota, Li Po seng dengan membawa dua orang pegawai toko
penjual peti mati telah datang menghantarkan peti mati,
diapun lantas memerintahkan orang untuk membereskan
jenasah tersebut,

219
Setelah mayat Ou See tiong dimasukkan ke dalam peti, Hoa
In-liong menyerahkan uang kepada pegawai tersebut dan
menitahkannya untuk mengubur peti mati di luar kota.
Ia tahu kalau tidak memerintahkan orang untuk
melaksanakan tugas tersebut, sudah pasti tak ada orang lain
yang sudi mengurusi mayat Ou See tiong, akibatnya rakyat di
sekitar situlah yang menjadi korban……
Kurang lebih dua puluh kaki baru kereta itu berjalan, tibatiba
muncul beberapa orang jago per-silatan yang mengikuti
dibelakangnya.
Menyaksikan kejadian tersebut, Hoa In-liong lantas berpikir,
“Selama hidupnya mungkin terlampau banyak kejahatan yang
dilakukan Ou See tiong, sehingga setelah mati pun begitu
banyak orang yang tak terima dan ikut kekuburan untuk
membongkar peti matinya……”
Berpikir sampai disitu, diapun berseru dengan suara
lantang, “Saudara sekalian, setelah orangnya mati dendam
pun ikut berakhir, sekalipun ada sakit hati yang bagaimanapun
besarnya, lebih baik disudahi sampai disini saja, apa gunanya
kalian mengikuti peti mati itu serta melakukan perbuatan
tercela?”
Setelah mendengar itu, beberapa orang tersebut segera
berhenti, mereka ragu-ragu sejenak, kemudian tiga orang
diantaranya pergi meninggalkan tempat itu, sedangkan empat
orang lainnya setelah menjura kepada Hoa In-liong mereka
lanjutkan pengejarannya ke arah kereta pembawa peti mati
tadi.
Sekali lagi Hoa In-liong berpikir, “Kejahatan yang dilakukan
orang she Ou selama hidupnya memang kelewatan, rasanya

220
sebelum jenasah itu dicincang menjadi berkeping keping, tak
lega perasaan beberapa orang itu, beginilah akhir dari seorang
penjahat kalau melakukan perbuatan yang kelewat batas.”
Sebagaimana diketahui, Kumbang emas bermain diputik Ou
See tiong bukan hanya memperkosa anak gagis dan istri orang
saja, biasanya setelah menikmati kehangatan tubuh
perempuan-perempuan itu, korbannya lantas dibunuh dan
harta kekayaannya dirampok habis habisan.
Tidak heran kalau keluarga korban menjadi dendam bukan
kepalang terhadapnya, itulah sebabnya meski sudah mati
orang-orang itu masih tak rela melepaskan musuhnya dengan
begitu saja.
Semula Hoa In-liong mencegah perbuatan orang-orang itu
atas dasar kasihan dan welasnya, tapi melihat ketenangan
orang-orang itu diapun merasa tak enak untuk mencegah
perbuatannya.
Begitulah, sambil menghela napas diapun mengajak dua
bersaudara Kiong dan Demor kembali ke gedung hadiah Pui
Che-giok, sedangkan Coa Cong gi, Kongsun Peng, sebagai
besar bekas anggota Sin ci ping telah menetap semua disitu.
Walaupun dengan perasaan yang kurang tenteram terpaksa
Demor mengikuti pula dibelakang.
Sebelum masuk ke dalam ruangan, Hoa In-liong berpaling
sambil berkata, “Paman sudah tinggalkan tempat ini, dalam
tiga hari tak mungkin dia akan kembali disini, untuk sementara
waktu kau boleh tinggal disini dengan tenteram.”
Mendengar perkataan itu Demor benar-benar merasa
hatinya lega, diam-diam ia menghembuskan napas panjang.

221
Terdengar Hoa In-liong berkata lagi dengan serius,
“Undanglah Tehan untuk tinggal pula disini, kalau tidak bila ia
sampai bergaul dengan orang jahat, bukan namanya saja
yang hancur nama perguruan ikut ternoda, padahal perguruan
pedang pendek kalian sejak Sucoumu sampai kini sudah
memupuk nama besar, kalau sampai ternoda bukankah arwah
Siang locianpwe di alam baka akan menjadi tidak tenang……?”
Diantara tingkatan yang sederajat, Demor paling
mengagumi Hoa In-liong, maka ia mengiakan berulang kali.
Menunggu pemuda itu telah selesai berkata dengan tergagap
ia baru berseru, “Suhu sana…..”
Hoa In-liong segera tertawa.
“Soal paman, akan kubicarakan sedapat mungkin tapi
selama disini kalian musti mendengarkan semua perkataanku,
sebab kalau tidak paman pasti akan menegur kalian.”
Setelah berhenti sebentar sambil melirik ke arah Kiong
Gwat-lan katanya, “Bukankah kau sudah berkenalan dengan
seorang enci? Dia bisa membantumu dengan sepenuh tenaga
bila yang menjadi enci enggan membantu sekecil ampun, lebih
baik kau tak usah mengakuinya lagi.
Demor tertegun, lalu sambil menjura kepada KiOng Gwatlan
katanya, “Harap Kiong……cici banyak memberi petunjuk”
“Oooh…..hal ini tentu saja akan kubantu, tapi kau jangan
bingung dulu dengan soal itu, aku adalah ji-ci disitu masih ada
toaci, hayo beri hormat dulu,” kata Kiong Gwat-lan sambil
tertawa.
Demor benar-benar maju ke depan dan memberi hormat
kepada Kiong Gwat hui, katanya, “Siau te menjumpai toaci!”

222
Kiong Gwat hui segera balas memberi hormat, ia seperti
adiknya yang binal, dia suka bergurau, bagaimanapun juga
sifatnya yang pendiam dan halus membuatnya bertindak
menurut aturan.
Setelah itu Demor baru berkata, “Sekarang juga aku
hendak membatalkan kamar dan mengajak sute datang ke
mari….”
Ia putar badan dan berlalu dari situ.
Hoa In-liong hanya tersenyum, bersama rekan lainnya
mereka masuk ke dalam gedung.
Sesudah berada di ruang tengah, Li Po seng, dua
bersaudara Oh sekalian bertanya, “Apa masih ada ruangan
kosong?”
Dua orang pelayan itu berpikir sebentar kemudian
bayangan yang ada di sebelah kiri berkata, “Disisi sebelah
barat masih ada sebuah gedung kecil, bunga Botan sedang
mekar-mekarnya disana, budak pikir nona berdua pasti akan
senang dengan suasana disini.”
Hoa In-liong manggut-manggut sambil berpaling dia lantas
berkata, “Adik berdua, coba lihat dulu kamar tersebut, puas
atau tidak? Kalau dirasakan kurang cocok katakan saja
kepadaku, nanti kupikirkan tempat yang lain!”
Kiong Gwat hui cukup tahu kalau pemuda tersebut amat
sibuk, katanya dengan suara minta maaf, “Kami tentu sudah
mengganggu banyak diri ji-ko!”
Hoa In-liong segera tertawa, katanya.

223
“Memang lebih baik kalau Kioang toa moay kerasan tinggal
disini, sebagai sesama persaudaraan, lebih baik kata-kata
sungkan tak usah dibicarakan lagi.”
“Kiu mengatakan gedung ini sebagai sumbangan dari orang
lain, siapakah yang begitu baik hati dengan berbuat demikian
kepadamu?” tiba-tiba Kiong Gwat-lan bertanya.
Hoa In-liong termenung dan berpikir sejenak, lalu
jawabnya, “Pernahkah kau dengar tentang Cian li kaucu?”
Kiong Gwat-lan segera mencibirkan bibirnya sambil tertawa.
“Huuh…….! Untuk memberi jawaban atas pertanyaan
itupun musti melewati dulu suatu pemikiran yang serius”
katanya, “jangan Kuatir aku pasti tak akan mengemukakan
perasaanku.”
Ucapan itu jelas bernada lain, dan kesannya terhadap
perkumpulan Cian li kau juga kurang begitu bagus.
Perkataan itu diutarakan dengan cepat, Hoa In-liong mau
mencegah tapi tidak sempat lagi, dengan kening berkerut ia
lantas berpikir, “Waaah….. payah ini, kesulitan telah tiba!”
Betul juga, tiba-tiba kedengaran suara tertawa merdu
berkumandang dari belakang ruangan, me-nyusul munculnya
Cia Sau-yan, sambil mengawasi Kiong Gwat-lan dari atas
sampai ke bawah, kemudian dengan senyum tak senyum ia
berkata, “Entah bagaimanakah pandangan nona ini terhadap
perkumpulan Cian li kau?”
“Aaah…. cuma urusan kecil kenapa musti di tanyakan lebih
lanjut……?” tukas Hoa In-liong.

224
Dengan kening berkerut Cia Sau-yan segera berkata,
“Semenjak didirikan dalam dunia persilatan, perkumpulan
kami selalu mempunyai pandangan yang luas serta jiwa yang
besar untuk menilai seseorang, siau sauya tak usah kuatir,
memangnya orang-orang Cian li kau pikir sepicik dan sesempit
itu jalan pemikirannya?”
Dibalik ucapan tersebut lamat-lamat diapun menuduh Kiong
Gwat-lan sebagai seorang gadis berjiwa sempit.
Sebagai seorang gadis pintar, sudah barang tentu Kiong
Gwat-lan dapat menangkap arti dari ucapan tadi, segera ia
tertawa angkuh.
“Huuuh….. apa salahnya kalau kuucapkan keluar?”
Sesudah berhenti sebentar, ia melanjutkan, “Seluruh
anggota perkumpulan kalian sejak dari nona sekalian sampai
para dayangnya semua berparas cantik jelita, lagipula berdaya
tarik yang merangsang orang, Kiong Gwat-lan hanya kagum
akan kehebatan kalian itu, lain tidak”
Nada dibalik perkataan itu jelas mengatakan bahwa orangorang
Cian li-kau semuanya genit dan sesat, pandai merayu
orang lelaki dan terdiri dari perempuan-perempuan tidak baik.
Diam-diam Kiong Gwat hui mendepakkan kakinya berulang
kali ke atas tanah, tapi sebagai seorang gadis yang lemah
lembut, ia merasa kurang pantas untuk turut serta dalam
pembicaraan itu.
Betul juga, paras muka dua orang dayang yang berada
disisi ruangan segera berubah hebat, mereka segera
menunjukkan wajah gu sar dan tak senang hati.

225
Sedang Cia Sau-yan sedikitpun tidak marah, malahan
sambil tertawa manis katanya, “Perkumpulan Cian li-kau
memang khusus memikat orang dengan kecantikan
anggotanya, jual senyum menarik simpatik, padahal hal
tersebut tak perlu terlalu diherankan.”
Kiong Gwat-lan malah tertegun dibuatnya, diam-diam ia
berpikir, “Sikapnya begitu biasa dan seolah olah tak pernah
terjadi suatu kejadian apapun, tampaknya memang jiwanya
yang terlalu sempit dan tak bisa menahan diri…..”
Timbul rasa sesalnya di dalam hati, cuma dengan wataknya
yang keras kepala, ia merasa apa yang telah diucapkan tak
mungkin bisa dirubah kembali.
Tiba-tiba muncul He lotia dari luar dengan langkah tergesagesa,
kepada Hoa In-liong lapornya, “Ji kongcu, diluar pintu
datang seorang imam yang mengatakan hendak mencari
derma!”
“Langsung layani saja orang itu,” sela Cia Sau-yan,! “saat
ini Hoa kongcu sedang sibuk, mana ia punya waktu untuk
mengurusi segala urusan tetek bengek?”
Ho lotia segera gelengkan kepalanya berulang kali.
“Tidak akan segampang itu!” serunya, “sebab si imam
mengatakan hanya akan mencari derma dari ji kongcu
seorang…..”
Mendengar itu Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak.
“Haaahh….haaahhh……haaahhh… tidak kusangka ada
orang yang tertarik untuk menderma diriku, sungguh suatu
kejadian yang sulit ditemui, siapa tahu setelah mendengar aku
dia betul-betul akan pergi? Mari kita tengok keluar!”

226
lapun lantas beranjak dan keluar dari ruangan.
Dengan kejadian ini, tanpa terasa telah memecahkan pula
situasi kaku antara dua bersaudara Kiong dengan Cia Sau-yan.
Dengan perasaan ingin tahu, tiga orang gadis itu pun
mengikuti di belakang Hoa In-liong menuju keluar pintu.
seorang tosu tua berwajah merah bercahaya sedang berdiri
di depan pintu gerbang, wajah tosu itu amat istimewa, selain
wajahnya seperti bayi, rambutnya putih sepanjang pinggang,
alis matanya yang putih mencapai tiga inci panjangnya, ia
mengenakan sebuah jubah imam yang banyak tambalannya,
sebuah senjata hud-tim ada di tangan kanan, sedang sebilah
pedang antik, tersoren dipunggung.
Ketika Hoa In-liong munculkan diri, dengan sinar mata
tajam tosu itu memperhatikan si anak muda itu tajam-tajam,
tampaknya ia sangat menaruh perhatian kepadanya.
Hoa In-liong segera tersekut sambil menjula, sapanya,
“Bolehkah aku tahu nama tootiang?”
Bukan menjawab, tosu tua itu malah balik bertanya,
“Apakah kau adalah Hoa In-liong, putra dari Shian cu kiam
Hoa Thian-hong?”
“Betul, ada urusan apa tootiang datang ke mari?”
Diluar ia menjawab demikian, sementara dihati kecilnya
diam-diam pemuda itu berpikir, “Sudah jelas imam tua ini
memiliki serangkai ilmu silat yang sangat lihay, padahal
kudengar orang bilang banyak kaum iblis yang bermunculan
kembali belakangan ini, bagaimanapun jua aku musti lebih

227
waspada dan berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan yang
tidak diinginkan,…………”
Sementara itu tosu tua tadi telah berkata “Adapun maksud
kedatangan pinto adalah untuk menyelesaikan suatu
pekerjaan mulia.”
“Oooh……..! Pekerjaau mulia ini pastilah suatu usaha untuk
kesejahteraan umat manusia, aku bersedia untuk
mendengarkan penje lasannya lebih jauh” kata Hoa In-liong
tertawa.
“Huuh…. berlagak main kuasa, bergaya sebagai harimau,
padahal tak lebih hanya seperti sekumpulan lalat atau
sekumpulan semut yang berebut makanan, apakah masih
belum juga mau sadar?” tegur imam beralis putih itu
mendadak.
“Aku tidak mengerti apa yang di maksudkan dengan
tootiang?” tanyanya.
Imam itu semakin mengerutkan dahinya, mencorong sinar
tajam dari balik matanya, lalu berkata dengan suara keras,
“Pinto hanya ingin tahu, karena persoalan apa kau
menimbulkan gelombang besar di-kota Si ciu ini? Apakah
perbuatanmu itu tidak lebih hanya ingin menciptakan banjir
saja dalam dunia persilatan?”
Hoa In-liong tertawa tawa.
Sepantasnya jika perkataan tootiang ini di tujukan kepada
pihak Hian-beng-kau, Mo kau atau Kiu lin kau, seandainya
mereka bersedia melepaskan ambisinya untuk merajai dunia
persilatan, secara otomatis akupun akan lepas tangan.

228
Setiap persoalan pasti akan menjadi pertikaian seandainya
ada lawan yang sama tangguhnya, coba kalau keluarga Hoa
mengundurkan diri dari dunia persilatan, bukankah
pertarungan ini bisa terhindari? Setiap kejadian pasti ada
sebabnya, lagipula keluarga Hoa toh sudah hampir dua puluh
tahunan memimpin dunia persilatan?
Hoa In-liong tertawa terkekeh.
“Heeehh… .heeehh…..heeeehh…..perkataan totiang
memang ada benarnya, sayang aku hanya manusia yang tak
punya nama serta kedudukan, mungkin hanya akan menyianyiakan
pula pembicaraan dari tootiang.”
Tampaknya imam beralis putih itu dibuat gusar oleh ucapan
tersebut, tiba-tiba ujarnya dengan suara dalam.”
“Kalau kau terus menerus tak tahu diri, pinto pun tak ingin
banyak berbicara lagi, bagaimana kalau dengan pertarungan,
kita ten tukan menang kalahnya?”
Hoa In-liong kembali berpikir, “Sudah jelas maksud
kedatangan dari tosu tua ini adalah mencari gara-gara,
memang ada baiknya kalau kucoba dulu sampai dimanakah
taraf kepandaian silat yang dimilikinya.”
berpikir demikian, selangkah demi selangkah ia berjalan
menuju kepelataran rumah.
“Bocah muda sambutlah seranganku ini!” imam beralis
patih itu segera membentak nyaring, senjata hud-timnya
dikebut ke muka menyongsong datangnya tubuh Hoa Inliong.
“Tosu ini benar-benar tak tahu adat!” batin Hoa In-liong.

229
Tanpa meloloskan senjatanya lagi dia berkelit ke samping,
begitu lolos dari babatan hud-timnya itu, telapak tangannya
kembali dibacokkan kedepan………
Tosu beralis putih itu mendengus dingin, tiba-tiba hudtimnya
diputar balik menyerang jalan darah penting dibawah
ketiak si pemuda itu, sementara jari tangan kirinya seperti
tombak langsung menyodok ke lengan musuh, satu jurus
dengan dua serangan, suatu gerakan kombinasi yang amat
lihay.
Hoa In-liong sekali lagi miringkan dadanya kemudian
menerjang kemuka, dengan jurus Ji yong-bu-wi (dua
kegunaan tanpa kedudukan) ia lepaskan sebuah serangan
balasan.
Karena tak sempat untuk menghindarkan diri dari ancaman
tersebut, terpaksa secara beruntun tosu beralis putih itu
merebah dan jurus serangannya untuk membendung tibanya
ancaman.
“Hmm…… memang tak malu menjadi putra Thian cu kiam!”
pujinya dengan suara lantang.
Tiba-tiba ia mundur delapan sembilan depa dari posisi
semula, hud-timnya dibuang ke tanah, se-mentara Hoa Inliong
telah menghentikan serangannya, imam beralis putih itu
telah melololoskan pedangnya sambil berkata dengan tertawa,
“Ilmu pedang keluarga Hoa tiada tandingannya dikolong
langit, pinto dengan tak tahu diri ingin mencoba beberapa
jurus!” Hoa In-liong kembali berpikir “Tampaknya ia lebih
mengandalkan ilmu pedangnya, aku musti berhati-hati…..”
Pelan-pelan pedangnya pun diloloskan keluar.
“Silahkan tootiang!” serunya kemudian.

230
Tosu beralis putih itu tidak sungkan-sungkan lagi, ia segera
menerjang maju ke depan, terasa serentetan cahaya tajam
berkelebat lewat dan tahu-tahu ia sudah menyerang tubuh
Hoa In-liong.
Si anak muda itu mengeryitkan alis matanya lalu
membentak, “Ilmu pedang bagus!”
Pedangnya diputar sedemikian rupa, lalu melepaskan
serangan balasan ke depan.
“Traaang! Traaang! Traaang!” secara beruntun kedua
orang itu saling beradu senjata sampai tiga kali, sedemikian
kerasnya benturan itu menyebabkan timbulnya serangkaian
suara dentingan yang disertai dengan percikan bunga api.
Dalam waktu singkat, kedua orang itu sudah terlibat dalam
suatu pertarungan sengit, lima enam puluh jurus lewat tanpa
terasa.
Ilmu silat kedua orang itu sama-sama telah mencapai
puncak kesempurnaan, dibandingkan dua bersaudara Kiong
dan Cia Sau-yan sekalian boleh dibilang mereka masih terpaut
jauh sekali.
Terlihat dua orang itu bertarung dengan kecepatan luar
biasa, cahaya pedang yang menyilaukan mata, membuat mata
terasa amat ter tusuk, ini semua membuat para penonton
jalannya pertarungan menjadi kuatir dan merasakan hatinya
berdebar keras.
Pertarungan semacam ini boleh dibilang merupakan suatu
pertarungan yang luar biasa, dengan ce-pat kejadian ini
menarik perhatian orang banyak…

231
Sekarang Hoa In-liong telah mengetahui bahwa ilmu silat
yang dipergunakan imam beralis putih itu adalah kepandaian
silat aliran Tong thiao kau, satu ingatan lantas melintas dalam
benaknya.
“Waah……..jangan jangan dia?” pikirnya.
Berpikir sampai disitu, tenaga dalamnya semakin dihimpun
lagi terutama pada ketajaman pen-dengarannya, ia dapat
mendengar suara langkah kaki dari tosu tersebut, sekalipun
langkahnya enteng dan pelan seperti langkah dari seorang
lihay, tapi diantara benturan pedang yang memekikkan
telinga, ia toh sempat menangkap juga suara benturan kayu
dengan batu diantara langkah kakinya.
Hoa In-liong semakin yakin bahwa dugaannya tidak
meleset, tiba-tiba ia membentak keras, “Apakah tootiang
adalah Tong-thian kaucu?”
Mendengar teguran itu, tosu beralis putih itu segera
melepaskan sebuah serangan gencar lalu melompat mundur
ke belakang, gumamnya dengan amat sedih, “Aaai……sudah
tua, sudah tua, aku memang sudah tak berguna lagi……”
Kepalanya didongakkan, kemudian memberi hormat kepada
Hoa In-liong, katanya lebih jauh, “Enghiong memang selalu
muncul dikala masih muda, dengan usia Hoa kongcu sekarang
ternyata sanggup menandingi pinto dengan posisi seimbang,
pinto merasa bersyukur sekali atas keberhasilan Hoa tayhiap
mempunyai keturunan yang bisa diandalkan!”
Tiba-tiba Bu tim tojin melompat keluar dari kerumunan
orang banyak, lalu teriaknya keras-keras, “Suhu!”
la Segera menjatuhkan diri berlutut di depan tosu beralis
putih itu.

232
Menyusul kemudian muncul kembali dua orang imam
setengah umur yang menggembol pedang, kedua orang
itupun menjatuhkan diri berlutut di depan imam beralis putih
itu.
Menyaksikan kesemuanya itu, imam beralis putih itu
menghela napas panjang, sambil ulapkan tangannya, ia
berkata, “Bagaimana kalian semua?”
Setelah memberi hormat Bu-tim totiang sekalian bangkit
berdiri.
Sekarang Hoa In-liong sudah tidak sangsi lagi, dia tahu
imam beralis putih yang berada dihadapannya sekarang tidak
lain adalah salah satu diantara tiga besar yang pernah
menggetarkan dunia persilatan pada dua puluh tahun
berselang, yakti Thian Ik-cu, ketua dari perkumpulan Tong
thian-kau.
“Kemungkinan besar kedatangannya kali ini adalah
bersahabat bukan bermusuhan…. pikirnya.
Maka sambil menyarungkan kembali pedangnya, ia lantas
menjura seraya berkata, “Jalan raya tidak pantas sebagai
tempat bercakap-cakap, silahkan masuk totiang, ijinkanlah
boanpwe memberi hormat kepadamu!”
Thian Ik-cu manggut-manggut, bersama Hoa In-liong
lantas masuk keruang dalam, sementara Bu-tim tootiang
suheng-te beserta dua bersaudara kiong, He lotia dan Cia Sauyan
sekalian mengikuti dibelakangnya.
Setelah masuk ke dalam ruangan dan mengambil tempat
duduk, Thian Ik-cu ternyata menolak untuk menempati
kursinya sebagai seorang angkatan tua, dalam keadaan

233
demikian terpaksa Hoa In-liong harus menerimanya dengan
pembagian atas tuan rumah dan tamu.
Bu-tim tojin suheng-te berdiri mengikuti dibelakang Thian
Ik-cu.
Sesudah duduk, Thian Ik-cu mulai berkata, “Pinto pernah
berpesan kepada muridku bahwa aku tiada bermaksud untuk
turun gunung lagi, tapi sekarang aku melakukan apa yang
bertentangan dengan ucapanku itu, mungkin Hoa kongcu
akan menganggap pinto berbuat demikian karena ada rencana
untuk menerbitkan kembali keonaran dalam dunia
persilatan??”
Hoa In-liong segera tersenyum.
“Boanpwe tidak berani menggunakan hati seorang siaujin
untuk menuduh orang yang bukan-bukan!”
Mendadak terdengar seseorang tertawa tergelak sambil
berseru, “ Haaahh…..haaahh…..haaahh… hidung kerbau tua
itu berbicara lain diluar lain dihati, lohu tidak percaya kalau
kau betul-betul sudah bertobat dan tak ingin melanjutkan
kembali ambisimu untuk merajai dunia persilatan.”
Diantara berkumandangnya perkataan itu, dari balik
ruangan muncullah Ting Ji-san serta Ho-Keh-sian.
Thian Ik-cu segera bangkit sambil memberi hormat,
kemudian katanya sambit tertawa.
“Haaahhh….haahh.. .haaahh…. setelah berjumpa dengan
kenalan lama, sekalipun pinto bermaksud jahat, rasanya juga
sulit untuk dilaksanakan lagi.

234
Sebagaimana diketahui, Ting Ji sao serta Ho-Kee sian
adalah musuh bebuyutan dari Tong thian kau dimasa lampau,
kedua orang itu memang tidak percaya dengan niat Thian lk
cu, sebab itu buru-buru mereka menyusul datang setelah
mendapat laporan.
Menanti kedua orang itupun sudah ambil tempat duduk,
Thian Ik-cu baru berkata, “Dengan ular sakti menggigit hati,
pihak Mo kau berhasil menguasai sejumlah jago lihay, apakah
Hoa kongcu telah mengetahui persoalan ini?”
Hoa In-liong segera tersenyum. “Hoanpwe sendiri pun
pernah merasakan akibat dari ilmu ular sakti menggigit hati itu
katanya.
Mendengar jawaban tersebut, Thian Ik-cu agak tertegun,
dengan sepasang matanya yang tajam, diawasinya raut wajah
anak muda itu tajam-tajam, kemudian katanya lagi, “Hoa
kongcu sama sekali tidak menunjukkan gejala keracunan ular
beracun itu, apatah ibumu telah berhasil memunahkan
pengaruh racun ular sakti menggigit hati?”
“Ibuku sendiri juga kurang begitu yakin dengan
kemampuannya untuk memunahkan pengaruh racun itu,”
jawab Hoa In-liong secara gamblang dan terus terang,
“adapun boanpwe bisa memunahkannya lantaran secara tidak
sengaja aku berhasil mendesak racun itu ke dalam jalan darah
Keng gwa-khi-hiat, kemudian dari situ racun tadi pelan-pelan
di tempa sampai lenyap”
Ihian lk cu segera menunjukkan perasaan kecewa, katanya,
“Aaai… .padahal ibumu sudah menjadi ahli waris dari Kiu toksian
ci, kalau dia-pun tidak sanggup, rasanya di dunia ini tak
ada orang lain lagi yang sanggup memunahkan pengaruh
racun itu.”

235
“Tapi kejadian ini berlangsung kurang lebih tujuh delapan
bulan berselang,” sela Hoa In-liong cepat, “sedangkan ibuku
selalu ber usaha untuk menemukan obat untuk memusnahkan
pengaruh racun tadi, siapa tahu kalau sekarang ia telah
berhasil dengan usahanya? Boanpwe mempunyai obat mustika
yang bisa memunahkan pengaruh racun ular -sakti tersebut,”
“Kalau sudah tersedia obat mujarabnya, pinto pun tak usah
kuatir lagi…..”seru Thian Ik-cu kemudian dengan kegirangan.
Diam-diam Hoa In-liong berpikir, “Dengan hasil latihan
selama ini, sepantasnya kalau luapan emosi dapat
dikendalikan, tapi terhadap masalah ini ia tak bisa
menyembunyikan rasa murung dan gembiranya, ia
menunjukan betapa seriusnya masalah tersebut, jangan
jangan dikarenakan adanya sekelompok jago lihay yang
keracunan itu?”
ooooOooooo
Bab 44
Sementara itu Thian Ik-cu telah termenung beberapa saat
lamanya tiba-tiba ia berkata, “Hoa kongcu, apakah kau
bersedia mempercayai pinto?”
“Maksud tootiang?” Hoa In-liong balik bertanya sesudah
tertegun sejenak lamanya.
Dengan wajah serius Thian Ik-cu berkata, “Berbicara
sesungguhnya semua perbuatan dan tindak tanduk Tong hian
kau dimasa lalu adalah perbuatan yang menimbulkan
kebencian dan kutukan orang banyak, tiga puluh tahun
berselang dalam pertemuan Pak beng hwe pun pinto pernah
mengerubuti dan melukai leluhur Hoa kongcu, sekalipun atas
keberesan jiwa ayahmu ia memberi sebuah jalan kehidupan

236
untukku, aai….! Siang maupun malam pinto selalu merasa
bahwa perbuatanku ini sangat berdosa…..”
Perkataan itu diucapkan pelan-elan dan penuh dengan
perasaan menyesal, bahkan sama sekali tidak menunjukan
kalau ucapan itu hanya pura-pura atau alasan saja.
Andaikata tidak disaksikan dengan mata kepala sendiri,
siapa yang menduga kalau seorang gem-bong iblis yang
pernah di benci orang dulu, sekarang benar-benar telah
bertobat dan menyesali semua perbuatannya?
“Urusan yang sudah lewat biarkan lewat, kenapa tootiang
mesti mengungkapnya kembali?”
Sesudah berhenti sebentar, dengan nada seperti baru
memahami, ia berkata lebih jauh, “Oooh. ..tampaknya karena
boanpwe tidak menjawab langsung pertanyaan tootiang maka
kau berkata begitu, padahal siapa bilang kalau boanpwe tidak
mempercayai dirimu?”
“Kalau begitu, pinto lah yang sudah terlalu banyak curiga,”
kata Thiao Ik-cu tertawa lirih.
Kemudian dengan wajah serius katanya lebih lanjut, “Kalau
toh Hoa kongcu mempercayai pinto, baiklah pinto berbicara
secara terus terang, dapatkah Hoa kongcu membawa obat
obat mustika itu dan mengikuti pinto untuk menyelamatkan
kawan jago lihay yang keracunan itu…..?”
Ketika ucapan tersebut diutarakan keluar, dua bersaudara
Kiong dan Cia Sau-yan masih tidak merasa seberapa mereka
mengira kebusukan hati Tang thian kaucu sesungguhnya tidak
seperti apa yang disiarkan dalam dunia persilatan selama ini.

237
Berbeda dengan Ting Ji san dan Hoa Kee si-an yang
termasuk orang “Lama” mereka tertegun dan saling
berpandangan sekejap dengan wajah ragu-ragu.
Dalam anggapan mereka tak nanti, Thian Ik-cu akan
mempunyai pikiran untuk menolong orang, kedua orang itu
justru kuatir kalau tosu tua itu hanya mempergunakan katakata
manis untuk membohongi Hoa In-liong, kemudian di
tengah jalan membunuhnya serta merampas obat mustika
miliknya.
Tiba-tiba Tiang Ji san berkata, “Diantara kawanan jago
lihay kena dikendalikan musuh itu, sesungguhnya terdapat
jagoan macam apa saja, sehingga tootiang begitu
memandang serius pada urusan ini?”
Thian Ik-cu bukan orang kemarin sore, sudah barang tentu
diapun mengetahui akan kecurigaan Ho Kee sian serta Ting Ji
san, iapun tertawa hambar.
“Menurut apa yang pinto ketahui, diantaranya terdapat
ciangbunjin dari keluarga Wi di kota Wan ciu……. sam suan ni
(tiga singa sakti) Can Kian-liong dan sebagainya, sekalipun
secara dipaksakan masih bisa terhitung jagoan kelas satu,
pinto masih belum tergerak hatinya tapi pinto justru
menemukan bahwa salah seorang diantaranya justru memiliki
ilmu silat jauh di atas kepandaian pinto sendiri.”
Agak tergerak perasaan semua orang setelah mendengar
perkataan itu, sebagaimana diketahui kedudukan Thian Ik-cu
Pek Siau thian dari perkumpulan Sin-ki-pang, Jin Hian dari
Hong im hwee disebut tiga kekuatan besar dalam dunia
persilatan tempo dulu, ilmu silat mereka boleh dibilang sudah
mencapai tingkatan yang amat tinggi.

238
Dalam pemunculan untuk kedua kalinya muski kepandaian
mereka masih belum sanggup me-nandingi kehebatan dari
Tang Kwik siu maupun ketua dari Hian-beng-kau, namun
boleh dibilang juga cukup hebat.
Tapi kenyataanya sekarang, pihak Mo kau berhasil
menguasai begitu banyak jago lihay dari dunia pesilatan, boleh
dibilang kejadian ini sangat mengejutkan siapa pun.
Diam-diam Hoa In-liong berpikir.
“Jangan-jangan yang dimaksudkan adalah Coa? Hanya dia
seorang yang memiliki kepandaian se-dahsyat itu, apalagi
sebagai keturunan dari Bu seng (malaikat ilmu silat)……”
Berpikir sampai disitu, diapun lantas bertanya, “Tootiang,
macam apakah raut muka orang itu?”
Ketika kesana, pinto saksikan orang itu penuh bercambang
lebat, jelas tampaknya sudah terkurung lama sekali mukanya
kurang begitu jelas, tapi kalau dilihat dari rambutnya hitam
pekat serta nada suaranya, ia jelas ia masih muda.”
“Kalau dilihat dari usianya, memang rada mirip dengan
empek Cou…” pikir Hoa In-liong.
Sekalipun ia tidak tahu berapakah usia Coa Go-an hau
tahun ini, tapi atas dasar usia Kwan bun sian, ia tahu kalau
umurnya kira kira setengah baya……
Ketika Thian Ik-cu menyaksikan pemuda itu lama sekali
membungkam, sambil menghela napas lantas katanya,
“Apakah Hoa kongcu merasa penjelasan pinto kurang
lengkap…..”

239
“Oooh tidak, harap tootiang jangan salah paham,” buruburu
Hoa In-liong menukas, “sebenarnya Boanpwe bermaksud
menitipkan obat mustika itu kepada tootiang, tapi setelah
mendengar uraian tadi terpaksa aku harus mengunjunginya
sendiri, entah lang Kwik siu menyekap kawanan jago lihay itu
dimana?”
“Tempat itu terletak di sebelah kiri kota Thong-shia,
letaknya termasuk diwilayah Ci.
“Tidak heran kalau beberapa kali kuselidiki kebun keluarga
Can yang dihuni Tang Kwik-siu sama sekali tidak
menempatkan hasil apapun, rupanya Tang Kwik-siu telah
menyembunyikan kawanan jago itu di atas bukit Cian
sani…….”
“Lohu juga ingin ikut!” tiba-tiba Ho Kee-sian menimbrung.
Dengan kening berkerut Hoa In-liong berpaling ke arahnya,
lalu berkata, “Empek Ho, bekas anak buah Sin ki-pang berada
dibawah pimpinanmu, dalam menghadapi perserikatan tiga
perkumpulan aku sangat mengandalkan kekuatan kalian
semua, mana boleh bertindak secara sembarangan dan
gegabah?”
“Lohu seorang diri tanpa sanak tanpa keluarga, apapun
urusannya bukan menjadi tannggunganku, biar aku saja yang
menemanimu,” sela Ting Ji san pula dengan suara dingin.
Kembali Hoa In-liong gelengkan kepalanya berulang kali.
“Aku sangat membutuhkan bantuan cian-pwe untuk
mengadakan kontak dengan kawanan agar locianpwe tak
boleh sembarangan bertindak,” katanya dengan cepat.
Ting Ji san segera mendengus dingin.

240
“Kau…..! Kau sebagai komandan yang memegang tampuk
pimpinan, kenapa pula boleh sembarangan bertindak?”
Perlu diterangkan di sini, sekalipun Hoa In-liong adalah
seorang pemuda yang binal dan nampak aneh, kendatipun
para cian-pwe menatap keren dan tegas kepadanya, padahal
mereka semua amat menyayanginya, hakekatnya pemuda itu
merupakan naga diantara manusia, sudah barang tentu
mereka tak akan tega membiarkan, ia pergi seorang diri
mendampingi seorang jago lihay yang sudah tersohor karena
kelicikan serta kekejiannya.
Hoa In-liong tertawa, katanya, “Tiang locianpwe terlalu
menyanjung diriku, padahal sekalipun kehilangan boanpwe
seorang tapi begitu banyak jago lihay berhasil dilepaskan,
bukankah hal ini justru lebih menguntungkan?”
Diluar ia berkata begitu, sementara dengan ilmu
menyampaikan suara ia berbisik, “Thian Ik-cu benar-benar
ada maksud untuk bertobat, tidak seharusnya kita selalu
mencurigainya sehingga menggusarkan hatinya dan malah
membuatnya berpikiran jauh, kalau sampai begitu jadinya kita
menyesal sepanjang masa. Lagipula locianwee juga tak akan
bertindak sembarangan, bukan suatu pekerjaan, yang
gampang bagi Thian Ik-cu jika ingin mencelakai aku!”
Thiang jisan dan Ho Kee sian lalu terbungkam dalam seribu
basa, sebabnya mereka masih kuatir kalau Thian Ik-cu
menaruh maksud jahat terhadap pemuda itu, tapi bila
teringat akan kecerdasan serta, kemampuan ilmu silatnya,
hati merekapun menjadi lega.
Hoa In-liong segera bangkit berdiri, katanya, “Persoalan ini
tak bisa ditunda-tunda lagi, harap tootiang beristirahat
sejenak, bila hari sudah gelap nanti kita baru berangkat”

241
Lain kepada Cia Sau-yan dan dua bersaudara Kiong,
katanya pula, “Kepergianku ini harus dilakukan diluar dugaan,
jejakpun musti dirahasiakan, makin sedikit orang tahu semakin
baik, dengan de mikian dalam lima sampai tujuh hari, belum
tentu Tang Kwik-siau akan tahu kemanakah aku telah pergi.”
Cia Sau-yan berpikir sebentar, lalu ujarnya, “Kalau memang
begitu, lebih baik aku berangkat lebih dulu dan membawa
kuda tersebut keluar kota, kau boleh berganti kuda di kota
Siok sian, Luciu serta Hway-wan, di mana berada kantorkantor
cabang kami. Sekalipun menunggang kuda agak pelan
sedikit, jika dibedal secepat-cepatnya pun tidak akan sampai
lambat sekali, apalagi sepanjang jalan pasti ada orang yang
coba menyergapmu, menjaga keselamatan diri adalah penting
sekali.”
Hoa In-liong diam-diam merasa kagum sekali dengan
kecermatan jalan pemikirannya, ia manggut-manggut.
“Kalau begitu laksanakanlah!”
Thian ik cu melirik sekejap wajah Cia Sau-yan, tiba-tiba
dengan paras muka berubah, katanya dengan suara dalam,
“Nona cilik, apa hubunganmu dengan Ku Ing ing?”
Cia Sau-yan amat terkejut, pikirnya, “Tajam benar
sepasang mata orang ini, tidak malu ia disebut, salah seorang
pimpinan jago persilatan.”
Karena sadar bahwa tak mungkin persoalan itu
dirahasiakan lagi, dengan ketenangan hati ia memberi hormat
lalu jawabnya, “Guruku adalah Pui Che giok, boanpwe Cia
Sau-yan menjumpai cianpwe!”

242
“Kini Ku Ing ing ada dimana? Tentunya kau tahu bukan?”
kembali Thian Ik-cu bertanya.
Cia Sau-yan tertawa genit.
Dengan memberanikan diri boanpwe ingin berkata, bahwa
cianpwe meski sudah lama hidup mengasingkan diri, ternyata
jiwa keduni awianmu belum juga hilang, kalau memang
begitu, tak ada salahnya kalau kau membalas sakit hati itu di
atas diri cianpwe.
Tiba-tiba Thian Ik-cu menghela nafas panjang, kepada Hoa
In-liong, Ting Ji-san dan Ho Kee sian ia memberi hormat, lalu
katanya
“Bila pinto sudah bertindak kasar, harap saudara sekalian
jangan mentertawakannya.”
Aaah…… sudah sewajarnya kalau manusia bersikap
demikian,” kata Hoa In-liong sambil tertawa.
Thian Ik-cu gelengkan kepalanya berulang kali, ia lantas
berpaling ke arah Cia sau-yan sambil katanya, “Nona ciiik,
tajamm amat selembar mulutmu yaa, pinto memang masih
sangat terpengaruh oleh keduniawian tapi tak nanti aku akan
me nyulitkan seorang cianpwe seperti kau. Lagi pula Hoa tay
hiap telah memberi sebuah jalan hidup baru kepadaku, bila
pinto masih ingat terus dengan sakit hati lama, bukankah aku
betul-betul tak pantas menjadi manusia?”
Sesudah berhenti sejenak, ia menambahkan lebih jauh,
“Tolong sampaikan kepada Giok teng hu Jin, semua hutang
piutang dimasa lampau ku hapuskan sampai disini saja.”
Berbicara sampai disini, ia pun tidak berkata-kata lagi dan
duduk dikursi sambil memejamkan mata.

243
Ketika Ling Ji san dan Hoo kee sian mendengar ketulusan
hatinya dalam pembicaraan tersebut, kecurigaan mereka pun
jauh berkurang banyak.
Tempo dulu, Giok teng hujin Ku Ing ing mendapat perintah
dari Kiu im kaucu untuk menyusup ke dalam perkumpulan
Thong thian kau sebagai mata mata, kemudian ia pun
merintahkan Pui Che giok dengan jalan menyaru membunuh
putra Jin Hian serta mencuri pedang emas yang
mengakibatkan per-pecahan diantara tiga perkumpulan besar.
Kemudian dalam pertemuan, thian ciau tay hwee, Thian Ikcu
menanam obat peledak dalam lembah Cu bu kok dengan
maksud jika kemenangan gagal diraih, dia akan menyulut
sumbu bahan peledak dan meledakkan seluruh anggota
persilatan yang berkumpul disana.
Tapi kemudian, rencana besarnya itu berhasil digagalkan
oleh Giok teng hujin, sudah barang tentu dendam sakit hati ini
luar bi asa besarnya, jadi seandainya Thian Ik-cu dapat
melepaskan niatnya untuk membalas sakit hati ini, berarti pula
hatinya benar-benar sudah bertobat.
Menjelang malam, Hoa In-liong dan Thi an Ik-cu segera
menggunakan ilmu meringan kan tubuhnya berangkat ke kota
sebelah selatan dimana He lotia dan Cia Sau-yan telah
menyiapkan kuda, air minum serta rangsum kering…….
Setelah mengucapkan terima kasih, berangkatlah kedua
orang itu melakukan perjalanannya.
Sepanjang jalan menuju keselatan, mereka selain memilih
jalanan yang sepi dan terpencil, yang mereka lewati sebagian
besar adalah dusun kecil, tak seorang jago persilatan pun
yang dijumpai.

244
Malam ketiga, mereka telah tiba diluar kota Lu-ciu, setelah
berganti kuda di kantor cabang Ci li kau, mereka tidak masuk
kota melainkan menginap di sebuah rumah penginapan diluar
kota.
Penginapan itu mencakup pula rumah makan kecil,
ruangannya tidak terlampau luas dan terdiri dari empat lima
buah meja, dua orang itu memilih tempat yang jauh dari
keramaian dan memilih hidangan.
Sementara sedang bersantap, tiba-tiba Hoa In-liong
mendengar Thian Ik-cu sedang berbisik dengan ilmu
menyampaikan suara.
“Hoa tiongcu, sudah kau perhatikan dua orang yang baru
masuk ke warung itu?”
Hoa In-liong segera memperhatikan secara diam-diam, ia
dengar langkah kaki dua orang itu amat lirih jelas merupakan
seorang persilatan yang berilmu tinggi
karena ia duduk membelakangi pintu, maka pemuda itu
lantas berpalingg sekejap ke belakang, terlihat dua orang
kakek sedang melangkah masuk ke dalam warung.
Orang di sebelah kanan adalah seorang kakek bermuka
merah dengan jidat yang menonjol tinggi, pipinya sempit dan
rambutnya digulung menjadi satu di atas kepala, jubahnya
berwarna abu abu.
Sedang orang di sebelah kiri adalah seorang yang bercodet
dipipi kirinya, jidat maupun dagunya melengkung ke dalan,
matanya hitam kosong sehingga wajahinya tampak
mengerikan.

245
Setelah menyaksikan orang yang berada di sebelah kiri itu,
Hoa In-liong merasakan hatinya bergetar keras, pikirnya,
“Menurut cerita Ci Soat cu dari Hian-beng-kau dikatakan
bahwa salah satu jago yang ikut serta dalam pembunuhan
atas diri Suma siok ya terdapat manusia dengan bentuk wajah
semacam ini, jangan-jangan memang dialah orangnya,…..?”
Karena ingin tahu, tak tahan lagi ia bertanya dengan ilmu
menyampaikan suara, “Apakah kau tahu asal usul diri kedua
orang ini?”
Sambil tundukkan kepala pura-pura bersantap, jawab Thian
Ik-cu dengan ilmu menyampaikan suaranya, “Kalau
dibicarakan sebenarnya, kedua orang ini mempunyai
hubungan permusuhan yang sangat mendalam dengan
ayahmu, orang yang ada di sebelah kiri itu bernama Sui sim
jin (tangan sakti penghancur hati) Gui-Gi-hong, codet pada
pipi kirinya diperoleh dari bacokan pedang kakekmu ketika
berlangsungnya pertemuan Pak-beng-hwee.
kemudian setelah berhenti sejenak, terusnya, Walaupun
pukulan penghancur hati dari Gui Gi hong sangat lihay, pinto
masih sanggup menangkan dia, tapi orang yang ada di
sebelah kanan itu memiliki ilmu silat yang jauh berada di atas
kepandaian pinto.
Hoa In-liong merasa terkejut sekali, pikirnya,
“Waah……kalau gembong-gembong iblis itu sudah
bermunculan semua, bahaya sekali posisiku kini.”
“Orang itu bernama Kiong Hau, lantaran masa
kemunculannya dalam dunia persilatan amat singkat, maka
sekalipun ilmu silatnya sangat lihay, tidak banyak yang
mengetahuinya sejak tiga kali pertarungannya dengan
kakekmu, dengan kesudahan tiga kali menderita kekalahan

246
total, ia mengasingkan diri dari keramaian dunia persilatan
dan tidak diketahui jejaknya lagi.”
Sementara pembicaraan berlangsung, Kiong bun dan Sui
sim jiu (tangan sakti penghancur hati) Gui Gi Hong telah
duduk disamping sebuah meja dan memesan sebuah
hidangan.
Oleh karena Hoa In-liong dan Thiao Ik-cu duduk di tempat
kegelapan, lagi pula mereka bersantap dengan tertunduk,
senjata yang digembolkan tersembunyi dibalik pakaian, serta
susah ditemukan, maka Kiong Hao maupun Tangan sakti
penghancur hati Gui Gi bongg tidak menyangka kalau di dalam
warung yang, terpencil ini bakal menjumpai jago-jago lihay.
Sejak masuk ke dalam warung sampai ambil tempat duduk,
kedua orang itu sama sekali tidak memperhatikan keadaan di
sekelilingnya.
Ketika sang pelayan menyaksikan raut wajah Gui Gi bong
menyeramkan, ia meresa agak takut, tapi tak berani pula
bertindak lancang, terpaksa sambil tertawa paksa katanya,
“Yaya berdua, entah kalian ingin pesan apa?”
Kiong Hou dan tangan sakti penghancur hati Gui Gi-hong
adalah dua orang gembong iblis yang berilmu tinggi, tapi
terhadap rakyat kecil mereka tidak menunjukkan
kebengisanya.
Dengan hambar Gui Gi hong berkata, “Ada apa saja
hidangkan keluar tak usah banyak cerewet lagi!”
Pelayan itu menghembuskan napas lega, buru-buru
memberi hormat dan mengundurkan diri untuk menyiapkan
hidangan.

247
Lewat beberapa Saat kemudian tiba-tiba kedengaran
Tangan sakti penghancur hati Gui Gi hong berkata, “Menurut
pendapat saudara Kiong bagaimana anggapanmu dengan apa
yang dikatakan Jin Huan?”
“Rasa takut Jin loji terhadap Hoa Thian-hong sudah
terlampau mendalam, sikapnya yang ragu-ragu tak menentu
dan tiada tujuan, jelas bukan suatu tindakan yang tetap,
jawab Kiong Hou hambar.
Diam-diam Thian Ik-cu berbisik dengan ilmu
menyampaikan suaranya, “Ambisi Jin loji untuk merajai kolong
langit belum padam, tampaknya ia bermaksud membangun
kekuatan kembali untuk melanjutkan cita-citanya yang tempo
hari terbengkalailai di tengah jalan!!”
Hoa In-liong hanya teersenyum dan tidak menjawab.
Terdengar Gui Gi-hong berkata lebih jauh, “Jin Hian
memang sudah lemah dan tak bersemangat lagi, tapi
kekuasaan keluarga Hoa justru kian lama kian meluas
kendatipun Hian Kiu im kau dan Seng sut pay bekerja
samapun belum tentu sanggup menumbangkan
kekuasaannya, menurut penilaianku lebih baik biarkan saja
mereka saling bertarung sampai sama-sama terluka kemudian
kita baru mendobrak diri tengah, ini baru suatu tindakan yang
sangat bagus”
“Aaahh….aku rasa belum tentu demikian,” kata kiong Hau
dengan suara hambar, “tempo hari bukankah Kiu im kau juga
munculkan diri dari isolasi disaat kaum pendekar dengan
Tong-thian-kau Sio ki pang dan Hong im hwee sudah menjadi
lemah karena saling bertemu, kejadian ini sudah pernah
berlangsung satu kali tak boleh sampai berlangsung untuk
kedua kalinya, tidak mungkin mereka tanpa persiapan apalagi

248
bagaimanapun juga Kiu-im kau toh akhirnya kalah juga di
tangan Hoa Thian-hong.”
“Kalau memang begitu, lebih baik kita tak usah munculkan
diri kembali dalam dunia persilatan kata Sui im sim jiu Giu Gi
hong.
“Itupun tidak perlu,” jawab Kiong Hau dengan suara ketus,
“siasat adalah hasil pemikiran manusia, semua makhluk adalah
sama semua, kenapa kitapun tidak manfaatkan kelebihan kita
masing masing?”
“Hmm..tampaknya mereka adalah sekelompok manusia
yang enggan hidup tenang….” pikir Hoa In-liong.
Terdengar Tangan sakti penghancur hati Gui Gi hong telah
berkata kembali, “Aku rasa saudara Kiong tentu mempunyai
siasat bagus, dapatkah kudengarkan rencaramu itu?”
Tanpa terasa Thian Ik-cu dan Hoa In-liong sama-sama
pasang telinga untuk menyadap pembicaraan tersebut, sebab
jika rencana mereka sampai diketahui, maka sewaktu
melakukan pembersihan nanti merekapun tak usah
membuang tenaga terlalu banyak.
“Saudara Gui, kenapa kau demikian tololnya?” kata Kiong
Hiu segera, “Tempat apakah ini? Dinding bertelinga, kau kira
tempat semacam ini cocok untuk dipakai membicarakan
semacam itu?”
Di tengah pembicaraan tersebut, sinar matanya yang biru
dan tajam mendadak memandang sekejap ke arah Hoa Inliong
serta Thian ik cu.
Hoa In-liong tahu bahwa musuhnya sudah mulai waspada,
ia tersenyum sambil menahan pinggiran meja dan bangkit

249
berdiri, bisiknya kepada Thian Ik-cu, “Dalam berapa gebrakan
tootiang bisa membentak manusia she Gui itu?”
Mendengar perkataan itu, Thian Ik-cu segera tahu bahwa
Hoa In-liong ada niat untuk bertarung melawan Kiong Hiu,
sahut-nya, “Bukan pinto tiada keyakinan untuk membekuk
orang itu, tapi menolong orang lebih penting, lebih baik kau
berangkat duluan, biar pinto yang menghadang mereka
sebentar, segera kususul dirimu nanti.”
Ia mengibaskan ujung bajunya, lalu bangkit berdiri.
Agaknya Tangan sakti penghancur hati Gui Gi-hong
merasakan juga bahwa ke dua orang itu berilmu tinggi, ia
tertawa seram lalu mengangkat lengan kanannya.
Kiong Hou sendiri sama sekali tidak menunjukkan reaksi
apa-apa, seakan-akan tak pernah terjadi suatu kejadian
apapun, ditekannya lengan kanan Gui Gi hong, kemudian
ujarnya kepada Thian ik cu dan Hoa In-liong, “Sahabat
berdua, mengulur waktu tiada kegunaan untuk kalian berdua,
apa salahnya kalau berbicara secara terus terang saja? Hey
sobat yang memukai jubah pendeta, mengapa tidak kau
perlihatkan tam- pangmu?”
Buru-buru Thian Ik ci berseru dengan ilmu menyampaikan
suara, “Hoa kongcu harap merahasiakan dulu asal usulmu,
pinto akan mencoba untuk mengatasi masalah ini, seandainya
tidak dapat di rahasiakan lagi, belum terlambat rasanya untuk
bertarung lebih jauh”
Hoa In-liong pun diam-diam berpikir, “Kedua orang itu
bukan lawan enteng, bila sampai bentrok tak mungkin
pertarungan itu bisa

250
diakhiri dalam waktu singkat, kalau sampai kejadian ini
meng-akibatkan rencana ku untuk menolong orang menjadi
gagal, wah sudah pasti tindakanku ini bukaan suatu tindakan
yang cerdik”
Ia bukan termasuk seseorang yang terlampau keras
mempertahankan pendapatnya maka setelah berpikir sebentar
dia pun mengangguk. Thian ik cu tidak banyak berbicara lagi
sambil memutar tubuhnya ia tertawa terbahak-bahak.
“Haaahhh……..haaahh………haaahhh……. saudara Kiong,
saudara Gui, sudah lama kita tak berjumpa, masih ingat
dengan pinto?”
Sui sim jiu Gui Gi-hong melototkan sepasang matanya
lebar-lebar, lalu serunya, “Oooh……….rupanya kau adalah
Tong-thian kaucu, sungguh tak disangka kita dapat berjumpa
kembali di kedai ini. Haaahhh….. haaahhh………. haahhh,
selama dua puluh tahun terakhir ini to-heng telah tersembunyi
di mana……?’“
Diam-diam Thian Ik-cu agak girang, sahutnya, “Kejadian
yang sudah lewat tak akan berulang lagi, lebih baik tak usah
kau singgung kembali. Justru dari pembicaraan saudara Gui
dan saudara Kiong dapat kudengar bahwa kau ada niat untuk
membangun kembali kejayaan tempo hari, teringat sampai
kepersoalan tersebut hatiku gatal, aku jadi ingin pula
mengikuti jejak kalian. Cuma……….aku pikir tenaga yang
diandalkan saudara Kiong dan saudara Gui masih terlampau
minim.”
Kalau masa jayanya tiga perkumpulan bessar dulu,
sekalipun pekerja kasar juga mengetahui nama mereka tapi
setelah mengalami masa damai selama dua puluh tahunan,
nama besar mereka hampir boleh dibilang sudah dilupakan

251
orang, maka pembicaraan antara kedua orang itu sama sekali
tidak menarik perhatian para tamu lain-nya dalam warung.
“Bila to-heng bersedia membantu, masalah besar ini pasti
tak sulit untuk diselesaikan!”
Setelah berhenti sebentar, katanya lagi sambil tertawa,
“Terus terangnya saja to-heng, aku dan Kiong heng telah
bersekutu.”
“Tunggu sebentar saudara Gui!” tiba-tiba Kiong Hui
menukas.
Dengan wajah tertegun Gui Gi-hong menatap wajah
rekannya.
Sementara itu Kiong Hau telah alihkan sinar matanya
kewajah Hoa In-liong, lalu tegurnya dingin, “Siapakah orang
yang berjalan bersama-sama to-heng itu??”
Agak tercekat juga perasaan Hoa In-liong ketika dilihatnya
sampai saat itu Kiong Hau masih tetap duduk tak berkutik
dengan wajah tanpa emosi, pikirnya, “Orang ini benar-benar
luar biasa……”
Setelah berpikir sebentar, ia merasa jika dirinya
membungkam terus hal ini malah akan menimbulkan
kecurigaan orang, diapun tak ingin Thian Ik-cu mencari nama
palsu baginya maka sambil tertawa ujarnya, “Bila kau ingin
mengetahui siapakah aku, apa salahnya kalau dicari dari
kepandaian silat yang dimiliki?”
Maksud lain dari ucapan itu jelas adalah menantang Kiong
Hau untuk berduel.

252
Menyaksikan ulah pemuda itu, Thian Ik-cu lantas
mengerutkan dahinya dan berpikir, “Dasar anak muda, kau
anggap Kiong Hau adalah seorang manusia yang gampang
dilayani?”
Mencorong sinar tajam dari balik mata Ki ong Hau, katanya,
“Anak muda, semangatmu memang cukup boleh dipuji, tapi
biar lohu periksa dulu apakah kau pantas untuk berduel
denganku aku tidak?”
“Silahkan!” kata Hoa In-liong sambi! tersenyum.
Sepasang alis mata Kiong Hau yang tebal berkerut kencang
lalu sambil tertawa dingin sepasang tangannya disodok
kedepan.
Dua buah cawan arak dengan cepat melayang ke arah Hoa
In-liong seakan akan ada orang yang membawanya.
Ketika menyaksikan adegan tersebut, semua tamu dalam
warung hampir seluruhnya menjerit kaget kemudian suasana
menjadi hening dan sepi, sinar mata semua orang tertuju
pada dua buah cawan tadi bahkan ada pula yang berdiri
dengan mata terbelalak dan mulut melongo sehingga
keadaan-nya lucu sekali.
Sesaat kemudian kedua buah cawan arak itu sudah
melewati dua buah meja ketika tiba pada jarak lima enam
depa dari Hoa In-liong, mendadak cawan yang ada di sebelah
belakang mempercepat gerakannya meluncur ke depan dan
menyusul cawan yang berada di depan.
Seandainya kedua cawan arak itu sampai dibiarkan saling
membentur antara yang satu dengan lainnya, niscaya cawan
itu akan pecah dan akibatnya arak akan berhamburan
membasahi tubuh Hoa In-liong.

253
Sejak awal tadi Hoa In-liong sudah tahu kalau kepandaian
yang dipergunakan Kiong Hau adalah Yen yang siang bui
(sepasang burung meliwis terbang bersama) pada dasarnya
dia memang ada minat untuk unjukkan kehebatannya, maka
hawa murninya dihembuskan lewat tiupan……..
Cawan arak yang sedang melayang dibelakang itu segera
tersambar bagaikan termakan oleh segulung tenaga pukulan
yang dahsyat, mendadak berubah menjadi serentetan cahaya
putih dan meluncur keluar dari pintu kedai lalu lenyap tak
berbekas.
Sementara sisa cawan yang terakhir dikebut dengan ujung
bajunya, dengan suatu gerakan yang pelan dan tenang, tahutahu
sudah melayang turun di atas meja tanpa tumpah barang
setetespun.
Gui Gi hong menjerit kaget, sementara sinar mata Kiong
Hau semakin tajam, bahkan Thian Ik-cu sendiripun tidak
menyangka kalau Hoa In-liong memiliki tenaga dalam
sedemikian sempurnanya.
Terdengar Hoa In-liong berkata dengan wajah serius,
“Kalau toh engkau telah unjukkan kepandaian, dengan
menggunakan kesempatan ini aku yang tak becuspun ingin
pula menjajal kepandaian sakti saudara……”
Tidak menanti jawaban dari Kiong Hau, lagi ia menjepit
sebuah piring kosong lalu di lemparkan ke arah orang itu.
Dibalik piring kosong tersebut tersembunyilah tenaga murni
yang sangat kuat, secepat kilat dengan gerakan berputar
meluncur ke muka.

254
Menyaksikan hal tersebut, Kiong Hau segera menyentilkan
segulung desingan angin tatam ke depan, dengan cepat angin
tajam itu menghantam bagian tengah piring.
Karena penggunaan tenaganya dilakukan sangat cepat,
maka ia bermaksud mementalkan kembali piring tersebut,
kemudian sekalian diberi sedikit permainan busuk agar
pemuda tersebut kehilangan muka.
Siapa tahu, justru Hoa In-liong telah melakukan pula sedikit
permainan busuk pada piring tersebut, begitu termakan angin
pukulan dari luar …..
“Praaak…..!hancurlah piring itu menjadi hancur berkeping
keping, lalu seperti hujan gerimis langsung mengurung
sekujur badan kiong Hua malah Gui Gi hong yang berada di
sampingnya ikut pula terkena hancuran piring itu.
Tampaknya Kiong Hua sulit menghindarkan diri lagi, tibatiba
ia menggulung ujung bajunya ke depan, hancuran piring
itu menjadi berubah arah, seperti ikan paus menghisapp air,
selaksa kambing kembali kesarang, serentak semua hancuran
piring itu terhisap kebalik ujung baju kiri Kiong Hau.
Padahal d antara hancuran piring tersebut Hoa In-liong
telah menyertakan tenaga dalamnya yang amat sempurna,
tentu saja dalam keadaan tergesa-gesa tak mungkin bagi
kiong Hau untuk menghisap seluruh pecahan piring itu, salah
satu diantaranya dengan telak menghantam di atas bahu
kanannya.
Tenaga dalamnya cukup sempurna, sekali pun pecahan
piring itu menembusi jubahnya tapi tidak sampai menimbulkan
luka, tapi dengan kedudukannya yang tinggi ternyata kena
dipecundangi oleh seorang angkatan muda, sedikit banyak hal
ini sangat menurunkan martabatnya.

255
Tampak Kiong Hau bangkit berdiri, ujung bajunya
dikebaskan kemeja dan hancuran piringpun segera
berhamburan kemeja, matanya memancarkan sinar merah,
hawa nafsu membunuh menyelimuti wajahnya.
Thian Ik-cu dan Hoa In-liong kuatir dalam malunya ia
menjadi gusar dan melancarkan serangan mematikan,
serentak tenaga dalam yang mereka miliki di himpun menjadi
satu untuk bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan
yang tidak diinginkan.
Sementara itu Sui sim jiu Gui Gi hong berbuat pula
menghindarkan diri dari pecahan piring, serunya, “Toheng,
sungguh lihay ke pandaian silat yang kau miliki, aku orang she
Gui dengan tak tahu diri ingin memohon beberapa petunjuk
darimu.
Saudara Gui akulah yang telah salah tangan, sudah
sepantasnya aku pula yang menghadapi mereka harap
saudara Gui jangan mencampuri urusan ini, tiba-tiba Kiong
Hau berka.
Gui Gi hong tertegun, terpaksa ia menghentikkan langkah
kakinya sambil menjawab, “Kalau memang begitu, siau te
akan menjadi penonton yang baik saja…”
Sementara itu, para tamu yang ada dalam warung telah
merasakan pula hawa pembunuhan yang menyelimuti
sekeliling tempat itu, tapi karena Kiong Hui dan Gui Gi hong
duduk dekat pintu kedai, maka tak seorangpun diantara
mereka yang berani melewati dari sampingnya, terpaksa
sambil mengeluh mereka semua berkumpul disudut ruangan.
Hoa In-liong mengerling Ik-cu, kemudian sambil perpaling
katanya, “Kiong Hau, jika kau ingin beradu kepandaian

256
denganku lebih baik kita langsungkan pertarungan diluar
dusun, jangan karena ulah kita mengakibatkan orang lain
yang terluka.”
Jubah yang dikenakan Kiong Hau bergoncang keras meski
tidak berhembus angin, jelas Kemara-hannya sudah
memuncak tapi sejenak kemudian wajahnya telah putih
kembali menjadi tenang, ia berkata, “Hari ini lohu mengaku
kalah lain kali dimana kita berjumpa, distu kita bikin
perhitungan, nama saudara, kita persoalkan lain kali saja.”
Lalu sambil berpaling ia berseru, “Saudara Gui, hayo
berang kat!”
Ujung bajunya dikebaskan iapun putar badan dan berjalan
keluar dari ruangan kedai. Menyaksikan sikap rekannya itu Sui
sim jiu Gui Gi hong agak tertegun kemudian setelah melirik
sekejap ke arah In-liong dan Thian Ik-cu, ia tertawa dingin,
setelah melemparkan sekeping uang perak ke atas meja dan
menekannya pada permukaan, iapun putar badan dan
menyusul rekannya.
Sesungguhnya suatu pertarungan sengit tak akan
terhindarkan, tapi secara aneh telah batal dengan begitu saja,
sekarang para tamu dalam warung, baru bisa
menghembuskan napas lega.
Sebaliknya Hoa In-liong pun merasa amat kagum dengan
cara Kiong Hau yang berani mengaku kalah secara terus
terang tanpa berusaha bermain curang.
Cuma dengan terjadinya peristiwa ini, mereka berdua pun
tak berani menginap disitu lagi, selesai membereskan rekening
kedua orang itu segera menitahkan pelayan untuk menyiapkan
kuda.

257
Tampak ciangkwe kedai itu dengan wajah bermandi peluh
sedang berusaha mengorek keluar uang perak yang ditekan
masuk ke dalam permukaan meja oleh Gui Gi hong itu, tapi
sudah mengorek setengah harian pun tidak ada hasilnya.
Melihat itu Hoa In-liong segera tersenyum, di hampirinya
orang itu, kemudian tangannya menekan pinggiran meja dan
hawa murni disalurkan keluar, secara tiba-tiba saja uang perak
itu melompat keluar dengan sendirinya……
Kejadian ini malah mengakibatkan ciangkwe ketakutan
setengah mati, dengan sempoyongan dia mundur tiga langkah
dari posisi semula.
Keluar dari kedai, dua orang itu melompat naik ke atas
kuda dan membedalnya meninggal tempat itu.
Sesudah keluar dari wilayah kota Lu ciu, Thian Ik-cu baru
berkata sambil tertawa terbahak-bahak,
“Haaah…..haaahh…..haaahh….selama hidupnya Kiong loji
selalu latah dan tinggi hati tapi berulang kali pula dia musti
jatuh pecundang di tangan orang-orang keluarga Hoa, dulu
kakeknya kini cu cunya, kalau dia sampai mengetahui tentang
persoalan ini, entah bagaimanakah jalan pemikirannya waktu
itu?”
Hoa In-liong gelengkan kepalanya berulangkali.
“Kekalahan yang dialami Kiong Han barusan adalah akibat
dari kegegabahannya sendiri, coba kalau kita bicarakan dari
caranya melepaskan senjata rahasia tadi, bisa diketahui bahwa
ilmu silatnya betul-betul sudah mencapai setingkatan yang
luar biasa, andaikata sampai betul-betul terjadi pertarungan
mungkin bonnpwe masih bukan tandingan-nya.

258
Thian Ik-cu termenung sebentar, kemudian ujarnya, “Kalau
begitu sewaktu bertarung melawan pinto tempo hari, Hoa
kongcu belum menggunakan segenap kekuatan yang kau
miliki?”
Hoa In-liong tersenyum.
“Dan tootiang sendiri? Masa kau telah menggunakan
seluruh kekuatanmu…..?” ia balik bertanya.
Setelah berhenti sejenak, katanya lebih lanjut, “Kalau
diperhatikan paras muka Kiong Hau dan Gui-Gi hong ketika
pergi tadi, tampaknya bahkan tootiang pun ikut dibenci, bila
tootiong sampai berjumpa lagi dengan mereka dikemudian
hari, harap kau bersikap lebih hati-hati.”
“Aaah….. pinto tak akan sampai jeri kepada mereka,” jawab
Khian Ik-cu angkuh, “Untuk satu lawan satu, Kiong Hau tidak
berani kukatakan, tapi kalau orang she Gui sudah jelas tak
akan mampu menahan seratus jurus seranganku, sekalipun
mereka turun tangan bersama, pinto juga masih sanggup
untuk angkat kaki dari situ.”
“Tootiang, tahukah kau semasa masih hidupnya dulu
apakah Suma siok ya pernah terlibat dalam suatu pertikaian
atau hubungan dendam sakit hati dengan Kiong Hau atau Gui
Gi hong?” tiba-tiba Hoa In-liong bertanya secara serius.
Thian Ik-cu termenung sejenak, kemudian sambutnya,
“Sudah terlalu banyak jago kalangan hitam yang dibunuh
Suma tayhiap semasa masih hidupnya, ia boleh dibilang
merupakan sumber pembunuh nomor satu dari golongan para
hiap khek, sudah barang tentu permusuhan tak bisa dihindari,
mungkin saja mereka pernah terikat oleh suatu dendam…”

259
Setelah berhenti sebentar, terusnya, “Apakah Hoa kongcu
menaruh curiga bahwa Suma tayhap tewas di tangan Kiong
Hau dan Gui Gi hong sekalian?” Hoa In-liong mengangguk.
“Kok See-piau telah cuci tangan bersih-bersih dari
keterlibatannya dalam peristiwa pembunuhan Suma siok-ya,
sekalipun boanpwe tidak mempercayainya seratus persen,
persoalan inipun musti di selidiki sampai jelas, agar putri Suma
siok ya dapat secara langsung membalas sendiri sakit hatinya.
“Sebagai seorang anak yang berbakti, nona Suma memang
sepantasnya berbuat demikian, kalau tidak bagaimana
mungkin sukma Suma tayhiap suami-istri yang ada dialam
baka bisa beristirahat dengan tenang?”
“Yaa……tampaknya bila ada kesempatan berjumpa lagi
dengan Kiong Hau, aku musti menanyakan persoalan ini
secara langsung ke padanya, aku rasa mereka sebagai
seorang jago kelas satu dalam dunia persilatan pasti tidak
akan bohong, sebaliknya kalau menyangkal, salah seorang
diantara mereka tentu adalah pembunuhnya, asal diselidiki
secara seksama, rasanya tidak sulit untuk menemukannya.”
“Pada akhirnya persoalan ini, pasti akan menjadi beres
dengan sendirinya, waktu itu mungkin saja pinto masih hidup
mungkin juga telah berpulang ke alam baka, aku tak lain
hanya bisa mengucapkan sela-mat kepada nona Suma,
semoga saja ia berhasil menuntut balas bagi sakit hatinya….”
“Boanpwe mewakili Jin Kokoh mengucapkan banyak terima
kasih!”
Setelah memeriksa cuaca sejenak, ia lebih jauh, “Kiong Hau
dan Gui Gi-hong tampaknya tak ada hubungan dengan ketiga
buah perkumpulan besar, sekalipun belum mengenali asal usul
boanpwe, tapi kitapun harus sedia payung sebelum hujan,

260
lebih baik menggunakan keadaan gelap untuk melanjutkan
perjalanan, menolong orang lebih penting dari segala galanya,
entah bagaimana menurut pendapat tootiang?”
“Segala sesuatunya terserah pada keputusan Hoa kongcu,
pinto tidak mempunyai usul lain.”
Hoa In-liong tahu bahwa tosu tua ini selalu teringat dengan
budi kebaikan yang pernah diterima dari ayahnya, maka ia
selalu berusaha membalas budi kebaikan itu.
Maka tanpa banyak berbicara lagi dia mengempit perut
kuda dan melarikan binatang tunggangnya cepat-cepat ke
depan.
Malam itu mereka berdua sudah memasuki daerah
pegunungan, karena harus melakukan perjalanan ratusan li
jauhnya non stop, kuda-kuda itu sudah mulai berbuih putih,
napasnya ngos -gosan dan sukar untuk meneruskan
perjalanan lagi, dalam keadaan demikian terpaksa mereka
turun dari kuda dan melanjutkan perjalanan naik bukit dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.
Thian Ik-cu berjalan di paling depan diikuti Hoa In-liong
dari belakangnya, di tengah jalan ia sama sekali tidak
bertanya kepada Thian Ik-cu, dimanakah Tang Kwik siu
menyekap jago-jago lihay yang berhasil ditawannya itu, atas
kepercayaan pemuda itu kepadanya Thian Ik-cu merasa
sangat berterima kasih.
Setelah mendaki bukit melewati jeram, mendekati fajar
sampailah mereka di atas sebuah puncak gunung.
Sambil menunjuk ke lembah bukit di sebelah bawah sana
Thian ik cu lantas berkata, “Kawanan jago lihay itu mereka
sekap dalam lembah tersebut”

261
Hoa In-liong coba menengok ke bawah, ia saksikan lembah
dibawah bukit situ bentuknya seperti sebuah kupu-kupu,
tengah lebar dengan kedua buah mulut lembahnya sempit,
pada tiap mulut lembah berdirilah sebuah pagar kayu yang
tingginya mencapai lima kaki.
Dalam lembah, setiap jarak tertentu berdiri pula sebuah
pagar kayu yang banyaknya mencapai empat lapis, di atas
pagar kayu tadi ber dirilah kawanan jago Mo kau yang
berjubah kuning sedang melakukan perondaaan, sementara
bagian tengah lembah dekat tebing curam berdirilah
serangkaian bangunan rumah.
Setelah memandang sekejap dengan terburu-buru, sambil
berpaling katanya, “Tampaknya penjagaan disana ketat sekali,
tempo hari dengan cara apa tootiang berhasil masuk ke
dalam?”
“Tempo hari pinto berhasil masuk ke dalam karena
menguntit di belakang serombongan murid Mo kau yang
ditugaskan keluar gunung untuk membeli bahan makanan,
karena orang-orang itu tengah malam buta baru kembali ke
dalam lembah, maka pinto menyembunyikan diri dalam
sebuah kereta.
“Lantas kawanan jago lihay itu disekap dimana?” tanya Hoa
In Liong lebih lanjut.
Jilid 7
Sambil menunjuk ke arah rangkaian bangunan rumah
dibawah sana, jawab Thian Ik-cu, “Dibelakang bangunan
rumah itu terdapat sebuah gua yang tembus ke lambung

262
bukit, didalam gua itulah kawanan jago tersebut di sekap,
dalam gua terdapat dua buah pintu masuk”
Meminjam sinar fajar yang hampir menyingsing, Hoa Inliong
mencoba untuk memeriksa keadaan disana, sekalipun
ketajaman matanya melebihi orang lain, sayang gua itu tidak
tertampak karena tertutup oleh bangunan rumah, maka diamdiam
pikirnya, “Kalau dilihat dari penjaga yang berlapis-lapis,
rasanya bukan suatu pekerjaan yang gampang bila ingin
menolong orang dalam gua tanpa diketahui para penjaga”
Sementara ia masih termenung, Thian Ik-cu telah berkata
lagi, “Ketika tempo hari pinto berhasil menyusul ke dalam gua,
hal itu sesungguhnya lantaran nasibku yang sedang mujur dan
akhirnya pada pintu gerbang kedua jejakku ketahuan, setelah
berlangsungnya suatu pertarungan seru, akhirnya aku baru
berhasil kabur dengan selamat”
Hoa In-liong mengerutkan dahinya rapat-rapat, katanya
kemudian, “Kalau toh totiang berhasil mengetahui rahasia
mereka, mungkinkah Tang Kwik-siu masih akan
menyembunyikan tawanannya disini?”
Thian Ik-cu kembali termenung sejenak, lalu sahutnya,
“Menurut dugaan pinto, bangunan markas semacam ini bukan
bisa dibangun dalam sehari semalam, tidak mungkin Tang
Kwik-siu akan melepaskan bangunan tersebut dengan begitu
saja, karena pernah munculnya jejak musuh disitu, aaai……….
kalau Tang Kwik-siu benar-benar telah mengangkut pergi
semua orang orang itu, hingga kedatangan kita hanya sia-sia
belaka, pintolah yang akan menjadi orang berdosa”
“Tidak perlu totiang terlalu menyesali diri sendiri, bila
kedatangan kita hanya sia-sia belaka, anggap saja hal ini

263
sebagai nasib, maka kalau ingin menyalahkan, kita hanya bisa
menyalahkan akan kelicikan Tang Kwik-siu”
Lalu setelah memeriksa sekali lagi seluruh lembah tersebut,
ia berkata lebih jauh, “Entah jago-jago lihay darimana saja
yang berada dalam lembah ini……”
“Sekalipun ada jago lihay disitu, dengan andalkan kekuatan
kita berdua rasanya masih cukup untuk menghadapinya, yang
kutakuti justru adalah kelicikan orang-orang Mokau bila
mereka tahu bukan tandinganmu lalu menutup pintu gua dan
melawan secara nekad, kitalah yang bakal kesulitan bahkan
yang lebih ku kuatirkan lagi adalah seandainya mereka bunuh
jago-jago yang terkurung itu…..”
Ketika berbicara sampai disitu, mendadak ia membungkam.
Agaknya Hoa In-liong juga mendengar suara yang
mencurigakan, ia lantas berbisik, “Hayo kita menyingkir dulu”
Thian Ik-cu mengangguk, dengan posisi tak berubah
mereka melompat keatas dan mencari tempat persembunyian.
Hoa In-liong melompat naik ke atas sebuah batang pohon
yang lebar, sementara Thian Ik-cu bersembunyi diatas pohon
siong.
Tak selang beberapa saat kemudian, muncul dua orang
imam setengah umur yang mengenakan jubah kuning, mereka
langsung berjalan lewat sambil membicarakan sesuatu dengan
suara rendah.
Dari sorot mata mereka berdua yang tajam dan berkilat,
Hoa In-liong tahu bahwa tenaga dalam mereka tidak lemah,
diam-diam segera pikirnya dalam hati, “Yang meronda gunung
saja sudah merupakan jago-jago sehebat ini, apalagi yang

264
menjaga gua……..tampaknya urusan ini memang rada
gawat…….. aku musti lebih berhati-hati.”
Karena berpikir demikian maka diapun pasang telinga baikbaik
untuk menyadap pembicaraan kedua orang itu.
Terdengar anggota Mokau yang ada di sebelah kiri itu
sedang berkata dengan suara nyaring, “Ciu suheng, siaute
rasa cingnbun suhu terlalu bertindak hati-hati, padahal toasupek
sudah selesai dengan semedinya, dengan tiga
perkumpulan besarpun kita sudah bersekutu, menjagoi dunia
persilatan hanya soal gampang untuk kita dewasa ini, kenapa
musti jeri terhadap seorang manusia yang bernama Hoa
Thian-hong?”
Terdengar Ciu suheng menjawab dengan suara dalam.
“Wan sute, lantaran kau tidak turut serta dalam peristiwa
penggalian harta di bukit Kiu ci san, maka kau tidak tahu akan
kehe batan dari Hoa Thian-hong…….”
Tiba-tiba ia rasakan ucapannya terlalu menyanjung
kehebatan orang dengan merendahkan kedudukan sendiri,
maka cepat-cepat ujarnya lagi, “Selama dua puluh tahun
belakangan ini, pengaruh dan daya kekuasaan keluarga Hoa
sudah mengakar dan mendarah daging dalam dunia
persilatan, cukup dengan perbuatan putra Hoa Thian-hong di
kota Si-ciu pun segera berdatangan begitu banyak orang yang
bersedia menjual nyawa kepadanya, dari pada terjadi sesuatu
yang tidak dingin kan kita memang musti bersiap lebih hatihati”
Tampaknya Wan sute seperti dapat merasakan pula makna
dari ucapan itu, segera ujarnya pula.

265
“Hwesio tua yang kita jumpai sewaktu di kota Kim Leng
dulu juga hebat sekali, ilmu silatnya tiada tandingan bahkan
toa supek sendiripun dipaksa berada dibawah angin, apa mau
dibilang sampai ini hari Coa Goan hau belum juga mau
tunduk, kalau ia sampai bekerja sama dengan keluarga Hoa,
wah! Semakin silit untuk menghadapi mere ka”
Hoa In-liong semakin menaruh perhatian lagi setelah
mendengar orang orang itu membicarakan soal Coa Goan hau.
Terdengar Ciu suheng berkata dengan dingin, “Aaah……
belum tentu demikian, asal Tok liong wan (pil naga beracun)
berhasil dibuat, hemm…..hemm….. lihat saja hasilnya
nanti……!”
“Ciu suheng, benarkah Tok liong wan itu manjur sekali?”
Wan sute bertanya.
Co suheng tertawa angkuh.
“Resep yang diwariskan Cosu ya mana mungkin bisa salah,
asal orang-orang yang bandel itu sudah dicekoki, ditanggung
mereka akan tunduk seratus persen dibawah perintah Kita”
Mendengar ucapan tersebut, Hoa In-liong merasa amat
tercekat, hampir saja dia hendak turun tangan untuk
membekuk kedua orang itu, tapi niat tersebut kemudian
ditahan, ia merasa bukan kesempatan yang baik baginya
untuk melakukan segala tindakan yang diluar perhitungan.
Sementara itu, kedua orang anggota Mokau itu makin lama
sudah semakin jauh dari sana, akhirnya bayangan tubuh
mereka lenyap dibalik tikungan jalan sana.
Dengan seksama Hoa In-liong mengawasi kembali
sekeliling tempat itu, setelah ia yakin kalau sepuluh kaki

266
disekeliling tempat itu tiada seorangpun, ia baru memanggil
Thian Ik-cu untuk turun dari atas pohon.
Ketika Thian Ik-cu sudah berada disisi Hoa In-liong, dengan
perasaan tak sabar pemuda itu lantas bertanya, “Totiang,
tahukah kau benda apakah Tok liang wan itu?”
Dengan wajah serius Thian Ik-cu menggelengkan
kepalanya.
“Belum pernah kudengar tentang obat tersebut, tapi kalau
didengar dari nada pembicaraan mereka berdua, jelas obat itu
merupakan sejenis obot pemabuk yang membuat orang hilang
pikiran, aaai… kalau dibicarakan kembali sungguh memalukan,
tempo dulu perkumpulan kamipun pernah membuat orang
semacam itu……”
“Kalau begitu, bukan terhitung satu hal yang aneh” tukas
Hoa In-liong kemudian. Thian Ik-cu tertawa.
“Hoa kongcu, kau musti tahu bahwa obat penghilang
pikiran itu beraneka ragam banyaknya, obat pemabuk biasa
hanya bikin orang hilang ingatan tapi ilmu silat yang
dimikilinya bagaimanapun hebat dan tingginya tak bisa
dipergunakan lagi, para korban biasanya menjadi lambat
dalam gerak-gerik, sama sekali tak berpendirian dan pada
hakekatnya adalah seorang manusia yang tak berguna.
Hoa In-liong seperti menyadari akan sesuatu, segera
serunya, “Yaa, seandainya terdapat sejenis obat pemabuk
yang dapat menghilangkan pikiran orang, bisa memerintahnya
sekehendak hati dan ilmu silatnya tidak terpengaruh….”
“Itulah yang pinto takuti” sambung Thian Ik-cu agak kuatir,
Tok liong wan adalah obat pemabuk dari jenis ini”

267
Hoa In-liong menjadi sedih dan murung dengan perasaan
kuatir serunya, “Waaah…..kalau sampai mereka berhasil
membuat obat tersebut, umat persilatan pasti akan terancam
marah bahaya, kita harus berusaha untuk membasmi mereka
dari muka bumi”
“Tapi darimana kau tahu obat-obat tersebut di bikin
dimana?” kata Thian Ik-cu dengan wajah yang murung pula.
“kalau ingin tahu, terpaksa kita harus menangkap seseorang
untuk ditanyai!”
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, “Untungnya hari ini
kita akan menolong orang-orang itu. sekalipun Tang Kwik-siu
bermaksud tidak menguntungkan terhadap kawanan jago itu,
aku pikir dia bakal dibuat gelagapan juga”
Mendadak satu ingatan melintas dalam benak Hoa In-liong,
diam-diam pikirnya, “Kalau begitu ditangkapnya empek Yu
pasti di maksudkan untuk membuat obat tersebut tapi dengan
sifat empek Yu yang jujur dan gagah perkasa, mana ia sudi
membantu mereka untuk membuat obat racun seperti itu?
Cuma beberapa bulan berselang anggota Hian-beng-kau telah
mencuri sebuah botol porselen dari rumah empek Yu, kalau
bukan empek Yu yang memberitahukan tempat
penyimpannya, siapapun tak akan mendapatkannya, janganjangan
ia telah melakukan suatu persetujuan dengan
gembong-gembong iblis itu? Sewaktu dilembah bukit Siong
san, akupun sempat mendengar nama-nama seperti Su bok
thian wi sekalian, mungkin saja itulah bahan-bahan penting
untuk pembuatan bahan obat Tok liong wan……”
Sementara ia masih termenung, mendadak terdengar Thian
Ik-cu berkata, “Hoa kongcu, kini udara masih terang
benderang, suasana semacam ini tidak cocok untuk menolong
orang, mari kita atur napas dulu untuk pulihkan tenaga,
menanti hari sudah gelap nanti kita baru mulai bekerja?”

268
Hoa In-liong menarik kembali lamunan-nya dan
memandang sekeliling tempat itu, betul juga dalam cuaca
terang benderang be gini, seluruh benda yang berada dalam
lembah itu dapat terlihat dengan jelas, itu berarti bukan suatu
hal yang mungkin terjadi untuk menyusup kedalam lembah
tanpa di ketahui orang.
Sudah barang tentu, jangankan menolong orang dalam
gua, untuk berdiri disana tanpa ketahuan orang pun mustahil.
Karena itu dia lantas mengangguk. Bersama Thian Ik-cu,
kedua orang itu melampaui puncak bukit dan mencari sebuah
gua yang kering dan tinggi untuk atur pernapasan sambil
menanti tibanya malam hari.
Kurang lebih pukul lima sore, kedua orang itu
menyelesaikan semedinya, untuk mengisi waktu, Thian Ik-cu
mengisahkan kembali pengalaman tempo hari, lalu
merundingkan cara penyergapan nanti serta menentukan jalan
mundurnya.
Tebing-tebing karang dilembah itu kebanyakan menjulang
tinggi keangkasa, yang paling rendah mencapai empat lima
puluh kaki, malah dibagian tengah sana mencapai enam tujub
puluh kaki lebih.
Bagi jago-jago biasa, mungkin mereka akan keder dan
ketakutan, tapi tidak sampai menyusahkan Hoa In-liong,
muski demikian untuk menghindari segala sesuatu yang tak
diinginkant, mereka toh membuat juga seutas rotan yang
panjangnya mencapai enam puluh kaki lebih.
Dinding tebing karang itu curam dan amat terjal, ditambah
pula gersang tiada tumbuhan apapun, sungguh merupakan
suatu tempat yang berbahaya.

269
Untungnya malam itu udara berawan dan tiada cahaya
bintang serta rembulan, pelan-pelan kedua orang itu
merambati rotan dan meluncur turun ke bawah. Baru saja Hoa
In-liong hendak meloncat turun, mendadak dalam jarak dua
kaki dibagian bawah tubuhnya secara lamat-lamat kedengaran
suara lirih, ia menjadi teperanjat dan segera berpikir, Sungguh
berbahaya! Ternyata dibawah dinding tebing sanapun ada
orang yang menyembunyikan diri.
Dengan sinar mata tajam, diapun memeriksa letak tempat
persembunyian orang itu.
Kemudian ia memberi tanda kepada Thian Ik-cu yang
berada diatas, dan dengan suatu gerakan cepat, tubuhnya
melayang tiga kaki jauhnya ke depan, kebetulan tubuhnya tiba
disudut pojok dari antara tempat persembunyian orang.
Terdengar hembusan angin lirih berkumandang dari arah
belakang, ia tahu pasti Thian Ik-cu yang telah menyusul itu.
Penjagaan dalam lembah memang amat ketat dan keras,
Thian Ik-cu sendiripun merupakan bekas ketua dari suatu
perkumpulan besar sudah barang tentu pengetahuan serta
pengalamannya luar biasa tidak mengalami kesulitan, selang
sesaat kemudian sampailah mereka didepan gua yang
dimaksudkan.
Dibawah dinding tebing tersebut sebuah mulut gua yang
pintunya terturup rapat, disebelah kanan pintu batu itu
terbuka sebuah lubang kecil seluas setengah depa, di depan
gua berderet rumah-rumah batu, lampu lentera tergantung
disudut ruangan dan menerangi wilayah seluas beberapa kaki
disekitar tempat itu.

270
Beberapa orang anggota Mokau dengann senjata lengkap
mondar-mandir melakukan penjagaan, sedemikian ketatnya
penjagaan disitu membuat seekor burungpun sukar
melewitinya.
Sementara Hoa In-liong masih termenung sambil
memikirkan cara untuk menembusi penjagaan itu, tiba-tiba
kedengaran Thian Ik-cu berbisik dengan ilmu menyampaikan
suaranya, “Bila pinto melakukan sesuatu gerakan di sebelah
sana untuk menarik perhatian mereka, harap Hoa kongcu
segera mulai bertindak, bilamana perlu kita lukai mereka
tanpa ampun!”
Hoa In-liong manggut-manggut tanda mengerti, pikirnya,
“Satu-satunya cara untuk mengatasi keadaan ini memang
memancing harimau turun gunung…………”
Betul juga, tak lama kemudian dari jarak seratus langkah
disebelah kiri terdengar suara lirih, agaknya ada batu
disambit, pemuda itu segera bersiap sedia untuk menerjang
masuk ke dalam ru mah batu tersebut…..
Mendadak terdengarlah gelak tertawa nyaring, Tang Kwiksiu
berkata dengan suara langlang, “Hoa Yang, kau tidak
menyangka bukan, jauh-jauh datang kemari ternyata tak lebih
hanya mengantarkan dirimu sendiri? Haaahh….
haaaahh….haaah…..Thian Ik-cu, lohu musti mengucapkan
banyak terima kasih kepadamu atas jasamu membawa orang
she Hoa itu datang kemari”
Terkejut dan merah muka Hoa In-liong menghadapi
kejadian ini, segera pikirnya, “Heran, darimana Tang Kwik-siu
bisa tahu kalau malam ini aku bakal datang kemari?, Janganjangan
Thian Ik-cu sengaja menipuku?”

271
Berpikir sampai disitu, ia pun lantas berseru, Tang Kwik-siu,
kata-kata yang bersifat mengadu domba lebih baik jangan
dibicarakan, kalau toh aku orang she Hoa sudah terjatuh ke
tanganmu, kenapa kalian tidak segera menampakkan diri?”
“Pasang lampu!” bentaknya.
Suara mengiakan berkumandang dari sekeliling tempat itu,
mendadak cahaya api berkelebat lewat seluruh tempat,
sekeliling tempat itu menjadi terang benderang.
Hoa ln liong mencoba untuk memeriksa keadaan
disekeliling tempat itu, dia jumpai Thian Ik-cu sedang berdiri
kurang lebih tujuh delapan kaki disampingnya dengan wajah
gugup dan kaget, sementara sekeliling tempat itu sudah
dipenuhi oleh jago-jago Mokau yang mengangkat obornya
tinggi-tinggi.
Tang Kwik-siu yang berikat pinggang naga emas berdiri
ditengah arena, sementara Leng hoa ki dan Lenghou yu,
kakak beradik yang memakai ikat pinggang naga perak berada
di kedua belah sisinya, selain itu masih ada juga Huyan Kiong
serta Hong Liong.
Thian Ik-cu menghela nafas panjang, tiba-tiba ia
meloloskan pedangnya sambil berkata kepada Hoa In-liong,
“Hoa kongcu, pinto tak sanggup memberi penjelasan
kepadamu, tampaknya hanya ada satu jalan…..
“Haaahhh…….haahhh………haahh……..buat apa to-heng
mengelabuhi si bocah dari keluarga Hoa lagi?” tiba-tiba Tang
Kwik-siu berseru sambil tertawa tergelak, “siaute telah
mengambil keputusan untuk mengajak bocah itu bertarung
secara adil, kami tidak akan melakukan tindak penyergapan..”

272
Tak terlukiskan rasa gusar Thian Ik-cu menghadapi
kejadian tersebut, bentaknya penuh kegusaran.
“Tutup mulutmu!”
Tang Kwik-siu segera pura-pura tercengang, katanya,
“Sekarang siaute toh sudah terlanjur membongkar perasaan
to-heng, apa gunanya to-heng musti berlagak terus?”
Kemarahan Thian Ik-cu tak terbendungkan lagi, kalau bisa
dia ingin menerjang ke depan dan beradu jiwa dengannya.
Rasa sedih dan sesalnya kali ini boleh dibilang belum
pernah dialami sebelumnya, dia tak menyangka kalau cerita
tentang di sekapnya kawanan jago disana sesungguhnya
hanya suatu tipu muslihat belaka, apa lacur, dimasa lampau ia
memang bernama busuk, ditambah lagi dia pula yang
mengajak Hoa In-liong kesitu, dengan keadaan seperti ini
sekalipun ia hendak memberi penjelasan, belum tentu orang
akan mempercayainya.
Tiba-tiba Hoa In-liong berkata dengan suara dalam,
Boanpwe percaya kepada totiang, buat apa kita musti
menggubris taktik Tang Kwik-siu yang hendak memecah belah
kekuatan kita? Harap totiang pusatkan pikiran untuk
menghadapi musuh.
Tak nyana kalau keturunan keluarga Hoa pun sangat
bijaksana dan berjiwa besar, sekalipun harus mati pinto tak
akan menyesal.
Sesungguhnya dia hendak bunuh diri untuk membuktikan
kebersihan dirinya, tapi sekarang ia berubah pendapat, ia rela
beradu jiwa dengan musuh demi menyelamatkan jiwa Hoa Inliong.

273
Sementara itu Hoa In-liong sendiri masih tetap tenang dan
seakan-akan tak pernah terjadi suatu kejadianpun, ditatapnya
Tang Kwik-siu sekejap kemudian katanya, “Sekarang aku
orang she Hoa belum dibekuk, lebih baik kaucu jangan keburu
merasa senang!”
Setelah berhenti sejenak, kembali katanya, “Sampai kini
aku orang she Hoa cuma merasa keheranan, darimana kaucu
bisa tahu kalau aku bakal berkunjung kemari?”
Ketika dilihatnya pemuda itu masih tetap tenang dan
tertawa, sekalipun keadaannya sudah terkepung dan untuk
kabur sudah tak mungkin lagi, timbul juga perasaan sayang
dihati Tang Kwik-siu.
Wajahnya yang berseri segera berubah menjadi serius,
katanya sambil tertawa, “Hal ini kami musti berterima kasih
kepada Tong thian kaucu!”
Hoa In-liong tertawa dingin.
“Buat apa kaucu berusaha mengadu domba terus? Bocah
berumur tiga tahun pun tak akan percaya, apa kau tidak kuatir
kehilangan ke-wibawaanmu sebagai seorang ketua?”
Diam-diam Tang Kwik-siu menyumpah dalam hati,
“Bajingan terkutuk, akan kulihat sampai kapan kau dapat
bersilat lidah terus?”
Dia lintas memberi tanda, lalu bersama dua bersaudara
Lenghou, Huyan Kiong dan Hong Liong melompat turun ke
bawah.
Seluruh anggota Mokau lainnya tetap memperketat
pengepungan disekeliling tempat itu”

274
Setelah melompat turun dari atas atap rumah, Tang Kwiksiu
berpaling ke arah Thian Ik-cu, kemudian ujarnya sambil
tertawa, “Keadaan situasi yang terbentang didepan mata
sekarang sudah cukup jelas, jika To heng bersedia untuk
bekerja sama dengan kami, siaute akan menyambutnya
dengan senang hati, kalau enggan bekerja sama, kamipun
mengingikan to-heng untuk pergi jauh ke ujung dunia, buat
apa kau musti melakukan perjalanan bersama-sama bocah
dari keluarga Hoa ini……..?”
Dengan kukuh Thian Ik-cu menggelengkan kepalanya.
“Pinto sudah bersumpah akan mati atau hidup bersama
Hoa kongcu!” katanya serius.
“Hidung kerbau tua!” teriak Hong Liong dari samping
dengan wajah menyeramkan, “tak kusangka kalau kau dapat
begitu setia mengabdi untuk orang lain, Hmm! Rupanya cara
keluarga Hoa dalam membohongi orang memang cukup
hebat!”
Thian Ik-cu berpaling dan memandang sekejap kearah Hoa
Liong dengan pandangan dingin.
Menyaksikan sikapnya itu, Tang Kwik-siu segera tahu
bahwa dibujuk lebih jauh pun tak ada gunanya, maka sambil
berpaling lagi ke arah Hoa In-liong, ujarnya sambil tertawa,
“Dengan mengandalkan kepandaiannya Hoa Thian-hong
mengangkangi seluruh dunia, lohu merasa sangat tidak puas
kepadanya, tapi kau dengan usia yang begitu muda teryata
bisa menaklukan Tong thian kaucu yang tersohor namanya
sehingga bersedia menjual nyawa untukmu, untuk
keberhasilan ini lohu merasa kagum sekali”

275
Hoa In-liong segera menjura, katanya hambar, “Aku binal
dan bodoh, tingkah lakuku hanya menambah kerisauan orang
tuaku saja, Tang Kwik kaucu terlalu memuji”
Tang Kwik-siu tertawa angkuh, katanya, “Hoa Yang, kalau
meninjau situasi yang terbentang dihadapan matamu
sekarang, bagaimanakah penilaianmu?
Hoa In-liong tertawa hambar.
“Bila hari ini aku orang she Hoa ingin mundur dari sini
dengan selamat, rasanya memang teramat sulit, cuma
anggota kaucu pun pasti akan banyak yang jatuh korban,
mungkin juga diantara sutemu ada satu dua orang yang akan
mengiringi kepergianku menuju ke sorga atau neraka”
Huyan Liong teramat gusar melihat cara pemuda itu
berbicara, apalagi senyuman yang selalu menghiasi bibirnya,
kendatipun keadaan jiwanya sudah terancam.
Sambil tertawa dingin segera ujarnya.
“Bocah cilik dari keluarga Hoa, kali ini tak akan ada
bajingan baju putih yang akan menolongmu lagi, ada pesan
terakhir tidak? Kalau ada lekas diucapkan, memandang pada
wajahmu mungkin saja aku bersedia merawat mayatmu!”
Yang dimaksudkan sebagai bajingan baju putih adalah
sastrawan baju putih Swan Wi yakni hasil penyamaran dari
Coa Wi-wi.
Oleh serangan racun ular keji yang dilepaskan Huyan Kiong
tempo hari, tidak sedikit penderitaan yang telah di alami Hoa
In-liong selama ini, mendengar ia buka suara, amarahnya
segera berkobar. sambil marah serunya, “Huyan Kiong, keluar
kau! Dengan mengandalkan sepasang kepalanku ini, aku

276
orang she Hoa ingin melayanimu, jika dalam lima puluh
gebrakan tidak berhasil menangkapmu, aku rela kau jatuhi
hukuman”
Huyan Kiong tidak tahan menerima tantangan tersebut,
dengan langkah lebar ia segera maju ke depan.
Ketika mendengar perkataan itu, Tang Kwik-siu merasa
amat girang, pikirnya, “Untuk menangkap bocah diri keluarga
Hoa dalam keadaan hidup, jelas merupakan suatu pekerjaan
yang sulit, untuk membinasakannya merupakan suatu
perbuatan yang terpaksa, kalau aku bisa menawannya hiduphidup,
hemm…..hehhm……..waktu itu Thian Ik-cu pasti akan
menyerah juga, bukan suatu pekerjaan yang gampang untuk
menangkap dua orang jago lihay sekaligus…….”
Berpikir sampai disitu, karena kuatir Hoa In-liong menyesal,
ia lantas berseru lantang, “Hoa Yang, seandainya dalam lima
puluh gebrakan kau dapat menangkan sute ku, lohu ijinkan
kau keluar dari lembah ini”
oooooOooooo
46
Baik, kita berjanji dengan sepatah-kata ini, kalau aku gagal
menangkan sutemu dalam lima puluh gebrakan, aku akan
menyerahkan diri kepadamu!”
Huyan Kiong benar-benar amat gusar, sambil tertawa
dingin serunya, “Orang she Hoa, masuk hitungan tidak
perkataanmu itu?”
“Belum pernah keturunan keluarga Hoa bicara menclamencle,
apa yang pernah diucapkan tak pernah akan diingkari
lagi!”

277
Sambil tersenyum, Tang Kwik-siu segera menyela, “Janji
dari orang keluarga Hoa bisa diandalkan, Ngo sute tak perlu
sangsi lagi!”
Sebaliknya Thian Ik-cu merasa amat murung, sebab
ucapan seorang kuncu bagaikan sebuah cambukan diatas
tubuh kuda, sekali sudah lari sukar ditarik kembali, andaikata
Hoa In-liong gagal menangkan Huyan Kiong dalam lima puluh
gebrakan, untuk mempertahankan nama baik keluarganya
terpaksa ia harus memenuhi janji.
Kini urusan telah berkembang jadi begini sekalipun dia ada
maksud untuk beradu jiwa juga tak ada artinya.
Diam-diam ia merasa murung sekali, tapi dalam
pergaulannya selama beberapa hari, diapun tahu kalau Hoa
In-liong bukan seseorang yang bertindak gegabah, tanpa
keyakinan yang masak tak mungkin anak muda itu akan
mengambil tindakan tersebut.
Sementara itu para anggota dari Mokau rata-rata
menganggap Hoa In-liong pasti akan kalah dalam pertarungan
itu.
Sebagaimana diketahui, Huyan Kiong adalah adik
seperguruan dari Tang Kwik-siu, tentu saja ilmu silat yang
dimiliki olehnya sangat hebat sekali, jangankan orang lain,
Tang Kwik-siu sendiripun tidak berkeyakinan bisa meraih
kemenangan dalam lima puluh gebrakan.
Semua orang tahu bahwa keluarga Hoa mengandalkan ilmu
pedangnya yang tiada tandingan, tapi Hoa In-liong sekarang
melepaskan kesem-patannya untuk menggunakan pedang dan
malah memilih menggunakan ilmu pukulan, hal ini sangat
tidak menguntungkan posisinya.

278
Yang penting lagi dalam pertarungan dibukit Yan san
setengah tahun berselang, sekalipun dalam ratusan gebrakan
Hoa In-liong berhasil menangkan Huyan Kiong dengan sebuah
serangan jari, bicara soal tenaga dalam sesungguhnya mereka
seimbang, mustilah kalau Hoa In-liong dapat peroleh
kemajuan yang pesat hanya didalam tujuh delapan bulan.
Tang Kwik-siu adalah seorang manusia licik yang banyak
tipu muslihatnya, dari sikap Hoa In-liong yang tenang dan
mantap, diam diam ia lantas berpikir, “Sebodohnya bajingan
ini, tak mungkin ia memilih jalan kematian untuk diri sendiri,
jangan-jangan ia memang punya pegangan?”
Sekalipun demikian, ia toh cukup merasa bahwa Hoa In
Iiong telah melangkah diatas jalan kematiannya sendiri.
Semenjak tadi Huyan Kiong sudah tak tahan untuk
menghadapi sikap pandangan enteng musuhnya, sambil
tertawa seram segera teriaknya, “Hoa loji, lohu ingin tahu
kepandaian sakti apakah yang belakangan ini berhasil kau
latih?”
Sambil maju ke depan, sebuah pukulan dahsyat segera
dilontarkan ketubuh anak muda itu.
Hoa In-liong berkelit kesamping sambil membacok
pergelangan tangan musuh, sebuah tendangan dikirim
menghajar pusar Huyan Kiong sambil serunya dingin, “Ilmu
silat mah cuma seperti dulu, tapi ini sudah lebih dari cukup
untukmu!”
Diam-diam Huyan Kiong merasa amat gusar, badannya
berkelebat dan ganti menyerang sayap kiri anak muda itu,
tubuhnya bergerak maju mengikuti gerak pukulan, makin

279
menyerang semakin ganas, suatu pertarungan sengit pun
segera berkobar.
“Beruntun beberapa gebrakan kemudian, suatu bentrokan
tak dapat dihindari lagi, dua orang itu sama-sama saling
beradu sekali, a-kibatnya Hoa In-liong tetap berdiri ditempat
semula, tapi Huyan Kiong terdorong sejauh tiga langkah ke
belakang.
Kejadian ini cukup menggemparkan orang-orang Mokau,
paras muka semua orang hampir saja berubah hebat, lebihlebih
Huyan Kiong sendiri, saking kagetnya ia sampai tertegun,
ia tak habis mengerti mengapa tenaga dalam Hoa In-liong bisa
peroleh kemajuan sepesat itu.
Hoa In-liong mendengus dingin, sepasang bahunya
bergerak, sekali lagi ia menerjang ke muka.
Huyan Kiong merasa mendongkolnya bukan kepalang,
terpaksa sambil menggertak gigi ia layani serangan musuh.
Mendadak terdengar Tang Kwik-siu berseru, “Sute, perketat
posisi pertahanan layani serangan-serangan dengan hati yang
tenang”
“Mendengar seruan itu, Hoa In-liong berpikir pula dalam
hati.
Sebagai ketua dari Seng-sut pay yang merupakan aliran
sesat, Tang Kwik-siu termasuk seorang jago yang licik dan
banyak tipu mus lihatnya, sekalipun aku dapat ungguli Huyan
Kiong dalam lima puluh gebrakan, belum tentu ia bersedia
pegang janji.
Berpikir sampai disitu, timbullah niatnya untuk satu lawan
satu dan baik buruk menghancurkan dulu sebagian dari
tenaga inti pihak Mokau.

280
Berpikir sampai disitu, berkobarlah hawa nafsu
membunuhnya, dia memutuskan untuk menyelesaikan
pertarungan secepat mungkin, dengan wajah sedingin es, Hoa
In-liong segera merubah gerakan pukulannya dan meneter
Huyan Kiong habis-habisan.
Selama tinggal dikota Si ciu, boleh dibilang Hoa In-liong
telah mendalami ilmu Thian-hua cahi ki serta melatihnya
dengan tekun, karenanya setiap jurus serangan yang ia
pergunakan selalu berhasil mematahkan serangan dari Huyan
Kiong ditengah jalan.
setelah berulang kali menghadapi mara bahaya, Huyan
Kiong merasa terkejut bercampur takut, jurus serangannya
segera dirubah, dengan mengandalkan ilmu Ngo-kui-im
hongjiau (cakar angin dingin lima setan) dan Tong pit mo
ciang (ilmu pukulan iblis lengan panjang) dari perguruan, ia
berusaha memperbaiki posisinya.
Hoa In-liong tertawa tergelak, ilmu Ci-yu jit ciat (tujuh
kupasan dari Ci yu), Hu im ciang hoat (ilmu pukulan naga
tunggal) serta Su siu hua heng ciang (pukulan empat gajah
berubah bentuk) dari keluarga Coa di pergunakan silih
berganti, jurus-jurus aneh digunakan tiada habisnya dengan
perubahan perubahan yang tak terhitung banyaknya.
Dalam waktu singkat, napas Huyan Kiong sudah terengahengah
dibuatnya, ia semakin payah dan keteter hebat.
Tempo hari sewaktu Hoa Thian-hong berjumpa dengan
Tang Kwik-siu untuk pertama kalinya di kota Lok-yang,
dengan mengandalkan aneka macam ilmu pukulan dari Thianhua-
cha-ki itulah Tang Kwik-siu pernah diserang, mendadak
Hoa Thian-hong sehingga tak punya tenaga untuk

281
melancarkan serangan balasan dan kini sejarah terulang
kembali cuma posisinya justru kebalikan.
Menyaksikan hal tersebut, Tang Kwik-siu lantas jadi
teringat kembali dengan peristiwa lama dibukit Kiu ci san
tempo hari, ia teringat dengan dendam sakit hatinya ketika
dipaksa Hua Thian Hong untuk menyerahkan kitab Thian hua
coa ki kepadanya,
Sekalipun demikian, sebagai seorang jago yang berhati
licik, ia dapat menekan rasa dendamnya yang membara itu,
pikirnya, “Bila Huyan sute dapat menahan sepuluh gebrakan
lagi, lima puluh jurus akan segera tercapai, akan kulihat apa
yang bisa dikatakan lagi oleh bajingan dari keluarga Hoa!”
Sementara itu kedengaran Hoa In-liong sedang membentak
dengan suara berat, “Huyan Kiong, coba akan Kulihat kau bisa
bertahan beberapa gebrakan lagi?”
Diantara seruan tersebut tangan kirinya mendadak
melancarkan sebuah serangan dahsyat, jari tangannya
menotok jalan darah Ki bun hiat di tubuh Huyan Kiong,
sementara tangan kanannya dengan mengandung tenaga
penuh melepaskan sebuah pukulan dahsyat ke muka.
Waktu itu Huyan Kiong sudah bermandi keringat karena
kepayahan, ketika secara tiba-tiba ia jumpai titik kelemahan
diatas iga kiri lawan, tanpa berpikir panjang lagi, dengan jurus
Siau kui tui mo (setan cilik mendorong gilingan), ia menyergap
ke depan.
Tiba-tiba pandangan matanya terasa kabur, bayangan
tubuh Hoa In-liong lenyap tak berbekas, sebagai gantinya
segalung desingan angin tajam meluncur ke bawah ketiak
kirinya.

282
Huyan Kiong sadar bahwa ia tak sanggup menghindarkan
diri lagi, dengan mempertaruhkan keselamatan jiwanya ia
maju sambil menyodok, lalu telapak tangannya dibalik
menghantam bahu kanan lawan.
Dengan mengandalkan ilmu Gi hiat ki khi ceng han
(menggeser jalan darah menghimpun tenaga pantulan) yang
dimilikinya, dalam keadaan terpaksa ia dapat menggeserkan
letak jalan darahnya ke samping lain, selain daripada itu iapun
bisa memantulkan tenaga serangan musuh yang bersarang
ditubuhnya.
Semakin keras pukulan musuh semakin besar pula tenaga
pantulan yang akan dihasilkan, cuma kalau berjumpa dengan
jago yang memiliki kekuatan melebihi dirinya, sekalipun dapat
memukul balik serangan musuh, akibatnya ia sendiripun akan
terluka.
Oleh karena itulah sengaja dia menjajal kekuatan tenaga
dalam lawan, kemudian setelah mengetahui taraf kepandaian
yang di miliki musuhnya baru mengambil tindakan berikutnya.
Sekarang keadaan sudah mendesak sekali, diapun tahu
bahwa tenaga pukulan musuhnya sangat kuat, dengan
perasaan apa boleh buat ia bersiap sedia untuk beradu jiwa,
dalam pemikirannya asal kedua belah pihak terluka itu berarti
pertarungan seri.
Siapa tahu sejak pertarungan dibukit Yan san tempo hari,
Hoa In-liong telah menyelidiki secara khusus cara untuk
memecahkan ilmu Gi-hiat ki khi ceng itu, ia merasa
kepandaian tersebut ada miripnya dangan ilmu Hui sin kang
dari keluarga Hoa, maka dengan dasar kecerdasan otaknya
tak lama kemudian ditemukanlah cara penang-gulangannya.

283
Kedengaran Hoa In-liong tertawa dingin, lalu serunya,
“Akan kucoba kepandaian saktimu yang tidak mempan tenaga
pukulan itu….!”
Totokan yang hampir bersarang ditubuh lawan mendadak
berubah menjadi serangan kebasan, ia menyapu bahu kiri
Huyan Kiong.
Kontan saja Huyan Kiong merasakan desingan hawa murni
yang menyusup kedalam tubuhnya dan langsung menyerang
jalan darah Tay yang sam ciau, Yang beng tay cong serta Tay
yang sing cong, tiga buah nadi penting didalam tubuh.
Tidak ampun lagi ia mendengus tertahan dan roboh tak
sadarkan diri.
Dengan cepat Hoa In-liong menyambar tubuhnya dan
mengempit Huyan Kiong dibawah ketiak.
Bayangan manusia secara berkelebat lewat, dengan suatu
gerakan yang sangat cepat, Tang Kwik-siu menerjang ke
muka, kelima jari tangannya seperti cakar setan langsung
mencengkeram tubuh Hoa In-liong,
Thian Ik-cu membentak marah sambil mengeluarkan
pedangnya, ia ikut menerkam pula ke depan.
Lenghou Ki bersuit nyaring, sebuah pukulan dahsyat
dibacokkan ke tubuh Thian Ik-cu, sementara Lenghou Yu, dan
Huyan Liong menerjang ke arah Hoa In-liong.
Thian Ik-cu mendengus dingin, pedangnya digerakkan
keatas lansung merotok jalan darah Tay yang-hio ditubuh
Huyan Liong, ditengah jalan, mendadak serangan itu berubah
menyambar tubuh Leng Hoa ki, lalu serangannya ditarik dan
gantian membacok Lenghou Yu.

284
Lenghou Yu dan Hong Liong seperti didesak balik ke posisi
semula, sedangkan Lenghou Ki pun terpaksa buru-buru
menghindari serangan.
Thian Ik-cu sebagai bekas ketua Tong thian kau dimasa lalu
memang memiliki pengalaman yang cukup luas dalam
pertarungan, dalam satu gebrakan dengan tiga gerakan,
ternyata dalam waktu singkat ia berhasil memaksa tiga orang
jago lihay seng sut-pay sama sekali tak mampu berkutik.
Sementara Hoa In-liong sudah melompat tiga depa ke
samping untuk menghindarkan diri dari sergapan Tang Kwiksiu,
lalu dengan gusar ia membentak, “Tahan!”
Tang Kwik-siu pura-pura tidak mendengar, secepat kilat ia
menubruk ke depan sambil melepaskan sebuah pukulan.
Dengan ilmu Hu-im ciang hoat, Hoa In-liong menyambut
serangan dahsyat itu dengan tangan kanannya.
“Plaaak………..!” meminjam tenaga dorongan yang sangat
kuat itu badannya melompat, mundur sejauh beberapa kaki,
setelah berhasil menekan pergolakan hawa darah didalam
dada, bentaknya keras, “Tang Kwik-siu! Kau sudah tidak mau
nyawa sutemu lagi?”
Mendengar ancaman tersebut, terpaksa Tang Kwik-siu
harus menghentikan serangannya, sambil tertawa serak ia
berkata, “Hoa kongcu, kalau ada persoalan mari kita bicarakan
secara baik baik, tolong lepaskan dulu suteku!”
“Hoa In-liong melirik sekejap kearah Thian Ik-cu, ketika
dilihatnya tosu itu terdesak hebat dibawah kerubutan dua
bersaudara Lenghou dan Hong Liong, sambil tertawa dingin ia
lantas berkata, “Harap kaucu perintahkan dulu orang-orang

285
untuk menghentikan serangan, setelah itu kalau mau bicara
baru berbicara lagi!”
Tang Kwik-siu termenung sejenak, akhirnya ia berpaling
sambil membentak keras, “Berhenti!”
Sesungguhnya Hong liong dan dua orang bersaudara
Lenghou ada maksud untuk menyingkirkan Thian Ik-cu lebih
dulu, tapi sesudah mendengar bentakan itu terpaksa mereka
menarik kembali serangannya sambil mundur, menggunakan
kesempatan itu Thian Ik-cu segera melompat ke depan dan
berdiri berdampingan dengan Hoa In-liong.
Menanti Thian Ik-cu sudah berdiri disampingnya, Hoa Inliong
baru berkata dengan hambar, “Tang Kwik-siu apakah
perjanjian kita barusan sudah dibatalkan?”
Tang Kwik-siu segera tertawa hambar.
“Lohu bukan seorang manuusia yang mengingkari janji,
silahkan saja pergi dari sini!” katanya, Tapi setelah berhenti
sebentar, sambil tertawa licik ia menambahkan
“Cuma Thian Ik-cu terpaksa muski tinggal disini, sebab ia
tidak terhitung dalam perjanjian kita tadi”
Hoa In-liong berpikir sebentar, betul juga, apa yang
dikatakan memang tidak salah, diam-diam ia lantas
menyumpah dihati, “Tua bangka sialan, kau memang betulbetul
licik sekali!”
Tiba-tiba terdengar Thian Ik-cu berkata, “Hoa kangcu,
harap kau keluar dulu dari tempat ini, pinto segera akan
menyusulmu!”

286
Tentu saja Hoa lu liong tahu bahwa ia cuma menghibur
hatinya belaka, dengan jumlah anggota Mokau yang begitu
banyak sementara Thian Ik-cu hanya seorang diri, mana
mungkin ia dapat meloloskan diri?
Sementara itu Tang kwik Siau telah menegur, “Hoa Inliong,
bagaimana denganmu?”
“Seandainya aku bersikeras hendak melakukan perjalanan
bersamanya, bagaimana pendapat kaucu?” Hea In liong balik
bertanya dengan alis mata berkedip,
kontan saja Tang kwik Siau tertawa dingin.
Kalau begitu, berarti kau hendak mengingkari janji, tentu
saja lohu akan berusaha untuk menghalanginya!”
Menyaksikan keadaan yang terbentang di hadapan
mukanya, Thian Ik-cu segera menghela nafas panjang, Hoa
kongcu, silahkan kau pergi seorang diri, pinto merasa masih
sanggup untuk menjaga diri.
Hoa In-liong berpikir kembali, “Jika aku menggunakan
keselamatan Huyan Kiong sebagai sandera, takutnya Tang
Kwik-siu akan menyerangku tanpa memperdulikan
keselamatan sutenya, sekalipun aku hendak pergi seorang diri,
dengan keganasan wataknya, Hemm! Mungkin juga akan
turun tangan, saat ini paling juga ia sedang memancingku
masuk jebakan!”
Meskipun usianya masih muda, tapi otaknya encer dan ia
cukup memahami segala kelicikan serta kebusukan hati orang,
kalau tidak karena kelebihan tersebut, tak mungki Bu Tay-kun
berani mengutusnya turun gunung untuk menyelidiki sebab
sebab kematian Suma liang cing dan melimpahkan tanggung
jawab itu diatas bahunya.

287
Begitulah, setelah berpikir sejenak dia memutuskan untuk
coba menyerempet bahaya dengan mencobanya.
Dengan ilmu menyampaikan suara ia berbisik kepada Thian
Ik-cu, “Totiang. Ingat baik baik! Jika kau tidak berhasil
meloloskan diri, selembar jiwa boanpwe pun akan ikut
berkorban!”
Thian Ik-cu tertegun.
Sebelum ia sempat berbuat sesuatu, Hoa In-liong telah
berkata kepada Tang Kwik-siu.
“Boleh saja kulakukan seperti yang dijanjikan, cuma
sutemu itu baru akan kulepaskan setelah sampai dimulut
lembah nanti!”
Semua orang menjadi tertegun, siapapun tidak menyangka
kalau dia akan berkata demikian.
Dengan marah Lenghou Yu berkata.
“Huuh! anggota keluarga Hoa ngakunya saja seorang
pemimpin persilatan yang gagah perkasa, tak tahunya cuma
manusia-manusia yang takut mampus”
Tiba-tiba Hoa In-liong membentak keras, “Totiang, serbu!”
Badannya berkelebat lewat dan melompat naik keatas atap
rumah.
Thian Ik-cu tak berani bertindak gegabah, cepat-cepat dia
menyusul dari belakangnya.

288
Kawanan jago Mokau disekitar gelanggang yang
menyaksikan kejadian itu serentak menggerakkan senjata dan
pukulan mereka untuk menyerang Hoa In-liong, untuk sesaat
lamanya bentakan nyaring menggelegar diangkasa, hembusan
angin pukulan dan bayangan senjata tajam berkilauan
dimana-mana, keadaan sungguh mengerikan.
Hoa In-liong cukup mengerti, andaikata dia sedikit teledor
saja akibatnya Tang Kwik-siu pasti sudah menyusul kesitu,
waktu itu kesempatan untuk kabur tentu sulit sekali.
Sebab itulah tidak berayal lagi ia gunakan tubuh Huyan
untuk menghadapi serangan-serangan itu.
Akibat lantaran kuatir melukai tubuh Huyan Kiong, kawanan
jago dari Mokau itu tak berani sembarangan berkutik, buruburu
mereka buyarkan serangan dan melompat kebelakang.
Hoa In-liong dan Thian Ik-cu segera manfaatkan
kesempatan itu sebaik-baiknya, secepat kilat mereka
menerobos keluar dari kepungan.
Setelah berlangsungnya pertarungan, kedudukan Tang
Kwik-siu, dua bersaudara Lenghon dan Hong Liong berubah
jadi membelakangi rumah batu, waktu itu Tang Kwik-siu
mengira ikan yang masuk jaring tak akan terlepas lagi, maka
mereka kurang begitu merasakan kuatir.
Siapa tahu justru keadaan semacam itulah telah
dimanfaatkan Hoa In-liong dan Thian Ik-cu dengan sebaikbaiknya.
Kemarahan Tang Kwik-siu betul-betul memuncak, segera
bentaknya keras keras, “Hoa Yang, mau kemana?”

289
Ia berusaha melakukan pengejaran, tapi jalan perginya
justru terhalang oleh anak buahnya yang bersiap-siap diatas
atap rumah.
Lenghoa hengte dan Hong Liong ikut membentak keras
sambil melakukan pengejaran.
Tampaklah Hoa In-liong dan Thian Ik-cu dengan kecepatan
bagaikan sambaran kilat meluncur ke arah mulut lembah.
Anak murid Mokau yang berada disepanjang jalan buruburu
berusaha menghadang jalan pergi mereka, tapi
semuanya dapat di halau oleh Hoa In-liong yang berjalan
dipaling muka sambil memutar tubuh Huyan Kiong.
Jangankan melancarkan serangan secara langsung, senjata
rahasiapun tak berani di lepaskan secara sembarangan.
Kenyataan tersebut semakin mengobarkan kemarahan
Tang Kwik-siu, ia berteriak-teriak seperti orang kalap, “Orang
she Hoa kau punya muka tidak”
Dengan garangnya ia menerjang ke muka.
“Jangan ribut dulu!” seru Hoa In-liong sambil mencibirkan
bibirnya, “pokoknya setelah sampai dimulut lembah nanti, sute
mu pasti akan kulepaskan…..”
Dalam waktu singkat, suasana dalam lembah itu menjadi
kacau balau, kawanan jago dari Mokau bersama-sama
melakukan pengejaran dan penghadangan-penghadangan,
suara bentakan dan makian bersimpang siur, bayangan
manusia berkelebat, bayangan golok berkilauan…….
Apa lacur semua murid kepercayaan Tang Kwik-siu
ditugaskan menjaga gua, padahal ilmu silat mereka terhitung

290
lihay dan luar biasa, kini yang tergabung dalam penjaga
lembah hanya mereka yang berilmu kelas dua, sudah barang
tentu tiada kegunaan sama sekali kekuatan mereka ini.
Dalam waktu singkat kedua orang itu sudah melewati dua
buah pos penjagaan, asal melewati dua pos penjagaan lagi,
niscaya mereka sudah akan tiba diluar lembah.
Waktu itu naga telah kembali ke samudra, burung terlepas
dari sangkarnya, Tang Kwik-siu hanya bisa menggigit jari saja.
Untunglah ia tak malu disebut seorang pemimpin dari suatu
perguruan besar, dalam kejut dan marahnya ia berusaha
mengendalikan golakan emosi itu dengan suara lantang
segera teriaknya, “Semua anggota perkumpulan, dengan cara
apapun hadang jalan pergi bujingan licik dari keluarga Hoa
serta Thian Ik-cu si tosu bangsat, kalian tak usah
mamperdulikan lagi keselamatan jiwa Huyan susiok sekalian.
“Sreet……! Sreet……! Sreet…..!” berbareng dengan
turunnya perintah dari Tang Kwik-Siu, serentak orang orang
Seng sut-pay mulai turun tangan, senjata rahasia
berhamburan ke arah mereka berdua ibaratnya hujan badai
yang menderu-deru.
Dalam keadaan demikian, sekalipun Hoa In-liong
menyandera Huyan Kiong yang juga tak ada gunanya, maka
tubuh huyan Kiong yang lemas tak bertenaga itu dibuang
keatas tanah, setelah itu sambil tertawa terbahak-bahak
ejeknya, “Haaah….. haaah…… haaah….. Tang Kwik-siu
tampaknya hubungan persaudaraan kalian kurang akur? Maka
sudah tidak memper-dulikan keselamatan dari Huyan Kiong
lagi”
Setelah merontokkan senjata rahasia yang menuju
ketubuhnya, ia melayang kemuka melampaui pagar kayu

291
ketiga, bentaknya garang, “Siapa berani menghadang jalan
pergiku, mampus!”
Kawanan jago dari Mokau yang berdiri berderet diatas
pagar kayu tak berani kabur dari situ, kendatipun mereka tahu
kelihaiyan musuhnya, penghadangan toh tetap dilakukan.
Salah seorang diantaranya, sambil mengayunkan goloknya
dengan gaya Thay-san-ya-ting (gunung Thay san menindih
kepala) langsung membacok batok kepala anak muda itu
dengan buasnya.
Hoa In-liong segera memutar telapak tangan kanannya,
dengan jurus “menyerang sampai mati” ia melancarkan
sebuah serangan dari Ci yu jit ciat tersebut, dua orang itu
langsung termakan serangan dan mampus seketika itu juga.
Dipihak lain Thian Ik-cu telah bertindak pula dengan
garang, pedangnya kembali membacok mampus seorang
musuh.
Dalam repotnya Hoa In-liong sempat berpaling kebelakang,
ia saksikan Tang Kwik-siu sudah makin mendekat tiga kaki
dari jarak mereka karena penghadangan tersebut, matanya
mencorong sinar tajam, rupanya merasa gusar sekali.
Dua bersaudara Lenghou dan Hong Liong justru berada dua
kaki dibelakang ketuanya.
Hoa In-liong tidak berani berayal lagi, dia mengeluarkan
sekeping uang perak, memencetnya sampai remuk lalu
disebarkan ke be lakang, kemudian tubuhnya melompat turun
dari pagar kayu dan bersama sama Thian Ik-cu kabur menuju
ke mulut lembah.

292
Dalam beberapa kali lompatan saja mereka telah tiba di pos
penjagaan pertama, baru saja Hoa In-liong enjatkan badan
untuk melewati pagar kayu itu, mendadak terdengar suara
bentakan dari Tang Kwik-siu yang menyeramkan itu telah
berkumandang dari belakang, “orang she Hoa, mau kabur
kemana kau?”
Sambil berkata, Hoa In-liong merasakan tibanya segulung
angin pukulan yang sangat digin bagaikan es menyergap
punggungnya.
Sianak muda itu merasa sangat terkejut, berada ditengah
udara tanpa berpling lagi pedangnya diputar lalu ditusuk ke
belakang, ke tika ujung pedang mencapai jarak tiga empat
depa dari tubuh Tang Kwik-siu, segulung desingan angin
tajam menyerang alis matanya.
Sungguh bebat serangan hawa pedang dari Hoa In-liong
ini, serangan tersebut merupakan salah satu hasil ciptaan Hoa
Thian-hong selama dua puluh tahun belakangan ini.
Dalam kejut dan ngerinya Tang Kwik-siu tidak menjadi
gugup, buru-buru badannya menyingkir ke samping untuk
menghindarkan diri, tapi dengan demikian angin pukulan yang
ia lepaskan pun ikut miring ke samping dan menyambar lewat
dari atas bahu kanan Hoa In-liong.
Akan tetapi justru lantaran Hoa In Iiong harus
mempergunakan serangan hawa pedang yang belum berhasil
dikuasainya dengan sempurna itu untuk menghalau serangan
lawan, hawa murninya menjadi buyar, tubuhnya yang sudah
berada lima kaki dari ujung pagar kayupun gagal dilewati,
“Aduuh celaka!” pekik si anak muda itu dalam hatinya,

293
Padahal Thian Ik-cu melompat bersama-samanya, tapi oleh
karena Tang Kwik-siu amat membenci Hoa In-liong hingga
merasuk ketulang sum sumnya, hal ini malah justru
menguntungkan dirinya, dengan mudah ia berhasil melampaui
pagar kayu itu.
Tosu itu agak kaget juga melihat tubuh Hoa In-liong
merosot kebawah karena kehabisan tenaga, dengan suatu
gerakan cepat ujung bajunya segera dikebaskan kebawah kaki
Hoa In-liong, meminjam tenaga sapuan tersebut anak muda
itu segera melompati pagar kayu dan kabur menuju ke luar
lembah, Thian Ik-cu menghimpun tenaga murninya dan ikut
melompat turun, mendadak kaki kanan-nya terasa kaku
menyusul kemudian terdengar seseorang mengejek sambil
tertawa seram, “Heeehh…..heeehh…..heeehh….. Thian Ik-cu
tosu bajingan, kau sudah terkena jarum Ngo-tok-ci at mia
ciam (jarum lima racun pencabut nyawa) dari perguruan Kami,
nyawamu sudah tak akan berta han lebih lama lagi……!”
Sambil menggigit bibir, Thian Ik-cu melompat turun dan
siap memutar badannya untuk beradu jiwa, tapi tiba-tiba saja
ia teringat dengan pesan Hoa In-liong pikirnya, “Kalau aku
yang mampus masih mendingan tapi kalau gara-garaku
sampai menyeret pula dia…. wah, akulah yang akan menjadi
orang paling berdosa didunia ini!”
Karena berpikir demikian diam-diam dia mengerahkan
tenaga dalamnya untuk melawan daya kerja racun jahat itu,
kemudian buru-buru menyusul si anak muda itu kabur keluar
lembah.
Ketika Tang Kwik-siu sekalian menyaksikan rencana mereka
mengalami kegagalan total, tentu saja tak rela melepaskan
musuhnya dengan begitu saja, dengan sinar mata berapi-api,
ia memerintahkan Lenghou hengte dan Hong Liong sekalian
untuk melakukan pengejaran terus secara ketat.

294
Akan tetapi bukit itu penuh diliputi hutan yang lebat, ketika
Hoa In-liong dan Thian Ik-cu berhasil menyusup kedalam
hutan itu, jejak mereka seketika itu juga lenyap tak berbekas.
Makin dipikir Tang Kwik-siu semakin naik darah, sekalipun
ia tahu harapannya untuk mengejar ke dua orang itu tipis
sekali, tapi ia toh memerintahkan juga segenap anak murid
Seng sut-pay dengan lima orang membentuk satu kelompok
untuk melakukan penggeledahan secara besar-besarn di
sekitar lembah.
Sementara itu Hoa In-liong dan Thian Ik-cu sedang
menyusup ke dalam hutan lebat, mendadak tosu tua itu
mendengus tertahan dan roboh diatas tanah.
“Totiang, bagian mana dari tubuhmu yang kurang enak?”
Thian Ik-cu membuka matanya sambil tertawa getir.
“Sungguh hebat racun itu, tampaknya pinto sudah tak
dapat bertahan lebih lama lagi!”
“Dimanakah letak lukamu itu?” tegurnya Thian Ik-cu segera
menuding kearah kaki kanan-nya seraya tertawa.
“Tuh dikakiku! Pinto sudah termakan oleh permainan busuk
tua bangka tersebut!”
Dengan sangat hati-hati Hoa jubah pendeta Thian Ik-cu,
tampaklah bagian bawah lututnya telah disambung dengan
kayu, tapi pada pahanya tertancap sebatang jarum yang
setengah bagian diantaranya masih berada diluar.
Jarum itu berwarna kebiru-biruan, jelas mengandung
sejenis racun yang jahat sekali.

295
Diam-diam ia lantas berpikir”
“Sepasang kakinya sudah cacad, tapi gerak geriknya masih
tetap lincah dan gesit, bagi orang yang tidak mengetahui latar
belakangnya, mereka pasti tak akan percaya kalau dia itu
seorang yang cacad!”
berpikir sampai disitu, diapun Lantas bertanya, “Siang
locianpwe sudah tewas banyak tahun, sampai sekarang
apakah totiang masih mendendam kepadanya?”
Thian Ik-cu segera tertawa terbahak bahak.
“Haaahh……haaahh……..haah sayang sekali kaki yang
dilenyapkan Siang lo ji dimasa lampau adalah kaki kiriku dan
bukan kaki kanan, coba kalau kebalikannya, hari ini akupun
pasti akan terhindar pula dari bencana ini”
Hoa In-liong kembali berpikir, “Sekalipun nyawanya sudah
berada diujung tanduk, ia masih bisa bergurau secara wajar,
kebesaran jiwanya benar-benar amat mengagumkan,
siapapun tidak akan percaya kalau manusia semacam ini
sesungguhnya adalah bekas ketua Tong thian kau yang
tersohor itu!”
“Karena berpikir demikian, rasa hormatnya semakin
meningkat beberapa bagian, katanya sambil tertawa, “Aku
pikir kalau cuma racun dari Seng-sut-pay sih masih terhitung
luar biasa hebatnya”
Dari sakunya dia lantas mengeluarkan dua botol porselen
setelah jarum racun itu dicabut keluar, dengan cepat ia
taburkan bubuk Pah-tok-san disekitar mulut luka, lalu
menggeluarkan pula dua butir Cing-hiat wan dan menyuruh
Thian Ik-cu menelannya.

296
Begitu bubuk Pah-tok san ditaburkan di sekitar mulut luka,
Thian Ik-cu segera merasakan tubuhnya menjadi segar
kembali, buru-buru Cing-hiat Wan ditelan ke dalam perut,
kemudian ujarnya, “Obat ini betul-betul mujarab sekali, yaa
lagi-lagi selembar nyawaku berhasil direbut kembali”
Karena harus mengerahkan segenap tenaganya untuk
kabur, ia tak bisa menggunakan sepenuh kekuatannya untuk
melawan racun, ketika itu hawa racun ada sebagian yang
sudah menyusup ke dalam isi perut maka setelah menelan pil
mujarab buru-buru ia pejamkan matanya untuk mengatur
pernapasan.
Mendadak Hoa In-liong mendengar suara dedaunan yang
disingkap orang ditempat kejauhan sana, alis matanya kontan
berkeryit, bisiknya, “Sungguh tak kusangka Tang Kwik-siu
masih juga melakukan pengejaran tiada hentinya, mari
boanpwe menghantarmu untuk mencari sebuah tempat yang
sepi dan aman!”
Tidak menunggu jawaban dari Thian Ik-cu lagi, ia segera
membopong tosu tua itu dan kabur menuju ke tenggara.
Tak lama kemudian ia berhasil menemukan sebuah gua
yang tersembunyi letaknya, setelah meletakkan Thian Ik-cu
diatas tanah untuk mengatur pernapasan, si anak muda itu
sendiri segera duduk bersila pula di mulut gua itu.
pelbagai ingatan berkecamuk dalam benaknya, ketika
terbayang kembali petualanganya ketika kabur dari kepungan
tadi sekalipun ia bernyali besar tak urung hatinya merasa
terkejut juga.
Padahal ia tahu ilmu silat yang dimiliki Tang Kwik-siu jelas
berada diatas kepandaiannya, dua bersaudara Lenghou, Hong

297
Liong serta Huyan Kiong juga terhitung jago-jago silat yang
berilmu tinggi, coba kalau Huyan Kiong tidak terlalu
mengandalkan ilmu Gi-biat-ki-khi ceng-han tay-hoat tersebut,
mungkin agak sulit bagi Hoa In-liong untuk berhasil
membekuknya.
Selain itu, diapun tahu diantara kawanan jago Mokau masih
terdapat banyak sekali jago-jago kelas satu, maka kalau
dibilang ia bisa lolos dengan selamat dari kepungan mereka
kali ini, hal tersebut benar-benar merupakan suatu
keberuntungan.
Berpikir sampai disana, iapun mulai merenungkan kembali
kecurigaannya terhadap Tang Kwik-siu yang tahu akan
jejaknya sehingga sebelum itu mengadakan persiapan dahulu
untuk menjebaknya, ia berpikir, “Tidak mungkin kalau rahasia
kepergianku ini dibocorkan oleh Ting Ji-san, Ho Kee-sian, Cia
Sau yan atau dua bersaudara Kiong, yaa, dipikir pikir maka
kecurigaan terbesar berada pada murid-murid Thian Ik-cu
sendiri!”
“Ia pun berpikir juga bahwa kehadiran Thian Ik-cu tempo
dulu disarangnya telah mempertingkat ke waspadaan Tang
Kwik-siu, atau mungkin juga lantaran jejaknya sewaktu
melakukan perjalanan telah diketahui mereka, maka Tang
Kwik-siu lantas menduga arah kepergian mereka berdua.
Sementara ia masih terpikir tiba-tiba dari luar gua
berkumandang suara teguran seseorang dengan suara yang
menyeramkan, “Hoa yang, keluar kau!”
Hoa In-liong sangat terkejut, ia mencoba untuk berpaling
memandang keadaan thian Ik-cu, tampak asap putih dengan
mengepul dari atas batok kepalanya, itu menandakan
semedinya sedang mencapai pada keadaan yang paling kritis.

298
Terpaksa sambil menggigit bibir, ia meninggalkan beberapa
tulisan diatas dinding gua, kemudian baru melompat keluar
dari gua itu.
Dibawah cahaya bintang, tampak seorang kakek berjubah
kuning yang kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang,
dengan lengan yang panjang melewati lutut dan mengenakan
ikat pinggang naga perak telah berdiri dihadapannya bagaikan
sesosok sukma gentayangan.
Hoa In-liong berusaha keras untuk menenangkan hatinya
sambil berpikir.
“Ketika ada di lembah Yu, kok tadi aku tidak berjumpa
dengan kemunculan Seng Tocu. Tidak disangka kalau
gembong iblis inipun telah datang pula disini”
Kedengaran Seng Tocu dengan suaranya yang mengerikan
sedang berkata, “Hoa Yang, tahukah kau bahwa pada malam
ini lohu pun berada didalam lembah?”
Hoa In-liong tertegun lalu berseru dengan nada keheranan,
“Kalau remang begitu, kenapa kau tidak ikut turun tangan?
Asal kau munculkan diri, niscaya aku sulit untuk melepaskan
diri diri kepungan orang banyak”
“Mengembut dengan mengandalkan jumlah banyak bukan
perbuatan lohu!” kata Seng Tocu dingin
“Ooooh…! Kalau begitu kau menang lebih berjiwa ksatria
dari pada sute-sutemu itu!”
Setelah terhenti sejenak, ia melanjutkan, “Sekarang kau
telah datang seorang diri, apakah kau bermaksud hendak
mengajakku untuk berduel satu lawan satu?”

299
Seng Tocu mengangguk.
“Sebenarnya lohu belum sampai memandang sebelah mata
kepadamu, tapi sejak kemunculan di markas besar kami
didaratan Tionggoan malam ini, tiba-tiba saja aku merasa
bahwa membiarkan kau tetap hidup didunia ini sesungguhnya
merupakan suatu tindakan yang keliru”
Suara pembicaraannya sangat hambar, seakan-akan
baginya pekerjaan untuk membunuh Hoa In-liong adalah
suatu pekerjaan yang gampang sekali.
Hoa In-liong mengerutkan dahinya ia bermaksud untuk
balas mengejek lawannya, tapi setelah berpikir sebentar tibatiba
ia mengangguk.
“Berbicara dari dasar kepandaian yang kau miliki, ucapan
semacam itu memang pantas kau ucapkan cuma seandainya
aku tak mampu untuk menandingimu, toh aku masih dapat
melarikan diri!”
Seng Tocu menjadi tertegun sesudah mendengar perkataan
itu, sebab bagi kebiasaan orang persilatan, mereka lebih suka
mati dimedan pertarungan dari pada angkat kaki untuk
melarikan diri, tapi sekarang Hoa In-liong telah mengucapkan
kata-kata tersebut secara wajar, bahkan sama sekali tidak
merasa malu, tak heran kalau hal ini malah mencengangkan
jago lihay tersebut.
Setelah termenung sejenak, katanya kemudian dengan
hambar, “Jika akau ingin kabur dengan hutan belantara yang
terdapat disekitar tempat ini, tentu saja lohu tak akan bisa
berbuat apa-apa, tapi Thian Ik-cu belum selesai dengan
semedinya, aku pikir kau pasti tak akan kabur dengan
meninggalkan kawan bukan?”

300
Mendadak ia menyingsingkan ujung bajunya, lalu
melemparkan sebilah pedang pendek ke arah Hoa In-liong
seraya berkata, “Lohu telah berhasil juga menangkap seorang
majikan dan seorang pelayan dari keluarga Si, apakah kau
hendak menjumpai mereka?”
Dalam sekilas pandangan saja Hoa In Hong telah kenali
pedang pendek itu sebagai milik Si Leng-jin, cepat ia
menerima sambitan tersebut.
Tapi seketika itu juga ia merasakan telapak tangannya
menjadi panas, nyaris pedang tersebut terlepas kembali dari
tangan nya, diam-diam hatinya merasa terkejut sekali.
“Aku lihat, kau sebagai seorang cianpwe mempunyai
kedudukan yang tinggi sekali” katanya sambil tertawa dingin,
“masa seorang cianpwe sudi sudinya menghina kaum
perempuan?”
Seng Tocu mendengus dingin.
“Pokoknya asal kau bersedia bertarung seorang lawan
seorang denganku tanpa bermaksud melarikan diri, lohu siap
melepaskan mereka dari cengkeramanku!
Sekali lagi Hoa In-liong merasakan hatinya tercekat,
pikirnya, “Dengan segala daya upaya dia memaksaku untuk
bersedia melayani pertarungannya, jangan-jangan ia memang
bermaksud untuk membunuh aku?”
Sementara ia masih termenung, Seng Tocu telah berkata
lebih jauh, “Terus terang saja kukatakan kepadamu meskipun
tenaga dalam yang dimiliki Goan-cing hwesio jauh diatasku,
tapi sejak kehilangan banyak tenaganya, selama tiga sampai
lima tahun tidak mungkin baginya untuk memulihkan kembali
seluruh kekuatan tubuhnya seperti semula, kendatipun

301
berhasil, dengan usianya yang sudah begitu lanjut, masa
kematiannya pun semakin dekat, manusia semacam itu masih
bukan terhitung suatu ancaman bagi kami, sebaiknya ayahmu
Hoa Thian-hong meski berilmu tinggi dan berjiwa gagah,
itupun hanya terbatas pada ia seseorang”
Setelah berhenti sejenak, terusnya, “Tapi kau, bukan saja
otaknya cerdas, punya bakat, punya nyali dan punya rejeki,
temanmu juga banyak, maka lohu,……”
“Mau apa kau?” seru Hoa In-liong tanpa terasa.
Dengan hawa napsu membunuh menyelimuti seluruh
wajahnya, sepatah demi sepatah kata jawab Seng Tocu,
“Demi kejayaan serta kecemerlangan nama Seng Kut pay,
terpaksa lohu tak akan mengijinkan manusia berbakat seperti
kau untuk melanjutkan hidupnya didunia ini”
“Aku merasa bangga sekali bisa mendapat perhatian
khususmu!” Seru Hoa In-liong kemudian dengan kening
berkerut.
“Apa yang hendak kau lakukan sekarang” “Akan
kuusahakan untuk membantu terwujudnya cita-cita kalian itu!”
Mencorong sinar tajam dari balik mata Seng Tocu,
tampaknya ia merasa agak gusar tapi kemudian setelah
mendengus, tanpa mengucapkan sepatah katapun ia berlalu
dari sana.
Hoa In-liong juga sadar bahwa pertarungan yang bakal
berlangsung nanti lebih banyak bahayanya daripada
keberuntungannya tapi bagaimanapun juga ia tak tega
membiarkan Si Leng-jin terjatuh ke tangan orang-orang
Mokau, maka setelah menghela napas panjang ia segera
menyusulnya sambil berseru,

302
Jilid 8
“Seng Tocu! Kau tidak membawa serta orangnya? Tanpa
berpaling Seng Tocu menjawab, “Aku hendak menitahkan
segenap anggota Mokau agar kembali ke markas, masalah
tentang Thian Ik-cu juga tak perlu kau risaukan”
Mendengar perkataan itu, Hoa In-liong berpikir didalam
hati, “Gembong iblis ini tak sudi mengandalkan jumlah banyak
untuk meraih kemenang an, diapun enggan menunggangi
kesempatan dikala orang lagi kesulitan, jiwa gagah semacam
ini sungguh amat sulit dijumpai dalam kalangan kaum sesat
macam dia.”
Gerakan tubuh Seng Tocu benar benar amat cepat seperti
terbang, sekalipun Hoa In-liong telah mengerahkan segenap
kekuatan yang dimilikinya, itupun hanya bisa mengi kuti
secara paksa.
Dengan dasar ilmu meringankan tubuh yang dimiliki kedua
orang itu, tak selang beberapa saat kemudian mereka telah
melewati tebing itu dan tiba di sebuah hutan bambu, setelah
menerobosi hutan bambu sam pailah mereka disebuah tanah
kosong, diatas tanah kosong berdiri sebuah rumah gubuk.
Tiba tiba Seng Tocu menghentikan langkahnya, sambil
berpaling ia berkata, “Jalan darah mereka dalam keadaan
terto tok dan berada dalam rumah itu, lohu akan menanti
kedatangan dipuncak bukit sana!”
Selesai berkata, tanpa mengucapkan sepatah kata lagi ia
lantas berlalu dari situ.

303
Hoa In-liong termenung sejenak, akhirnya ia mendekati
rumah gubuk itu, mendorong pintunya dan…….
“Krek!” pintu rumah terbentang lebar.
Suasana dalam ruangan itu gelap gulita, tapi dengan
ketajaman mata, Hoa In-liong masih dapat melihatnya dengan
jelas.
Rumah itu terdiri dari sebuah ruangan tengah, diruangan
itu hanya terdapat sebuah meja dengan dua buah kursi, d
sudut dinding terletak sebuah pembaringan kayu, diatas
pembaringan berbaring dua sosok tubuh manusia…….
Orang yang berbaring di sebelah luar adalah Si Leng-jin,
bibirnya yang mungil, hidungnya yang man cung menambah
kecantikan raut wajahnya.
Meskipun ia dalam keadaan berbaring, sepasang biji
matanya yang bening dan jeli sedang meman dang kearah
luar dengan termangu-mangu, tampak nya dia pun sudah
mendengar suara napas manusia, biji matanya tampak
berputar putar.
Orang yang berbaring menghadap ke dalam adalah Si Nio
yang mukanya penuh dengan luka, ia berada dalam keadaan
pulas.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Hoa In-liong
berjalan mendekatinya, lalu tangannya ditepuk diatas jalan
darah Thian leng hiat ditubuh Si Leng-jin untuk membebaskan
jalan darahnya yang ter-totok.
Si Leng-jin segera merasakan segulung hawa panas
mengalir turun lewat jalan darah Pek-hwe hiat, dimanca aliran
hawa panas itu mengalir lewat, seluruh tubuhnya menjadi

304
segar dan semua jalan da rah yang tertotok secara otomatis
bebas dengan sendirinya.
Gadis itu segera melejit bangun dan duduk ditepi
pembaringan
Dengan terbiasanya berada diruang gelap, lamat-lamat
gadis itu dapat pula menyaksikan bentuk tubuh Hoa In-liong,
seketika itu juga perasaannya terasa tersumbat, seakan akan
ada beribu kata terkandung dalam hatinya namun tak sepatah
katapun sanggup diutarakan keluar, mukanya termangumangu
persis seperti seseorang yang baru sadar dari impian.
Menyaksikan keadaan dara itu Hoa In-liong segera
menghela napas panjang, katanya, “Nona apa yang kau
rasakan sekarang?”
Mendengar pertanyaan itu tiba-tiba butiran air mata jatuh
berlinang dari mata Si Leng-jin.
Hoa In Hong segera berpikir, “Sudah pasti kedua orang ini
mempunyai penga laman hidup yang amat getir, apalagi
setelah bertemu dengan gembong iblis macam Seng Tocu,
tentunya banyak sudah pengalaman seram yang di
rasakan……..”
Berpikir sampai disana, timbul perasaan iba dan kasihannya
dengan lembut ia berkata, “Pertolonganku datang agak lambat
tentunya nona sudah banyak mengalami kejadian yang
mengejutkan hati”
“Hoa kongcu……” bisiknya.
Untuk sesaat dia tak tahu apa yang musti diucapkan, air
mata bercucuran amat deras, kalau bisa ia ingin menangis
sepuasnya

305
Tapi dia adalah seorang gadis yang berhati sekeras baja,
air matanya segera dibesut dan ia berusaha keras untuk
menahan rasa pedih didalam hatinya.
Mendadak Hoa In-liong teringat kembali akan janjinya
dengan Seng Tocu, hatinya merasa amat terkejut, ia merasa
sudah membuang waktu terlalu lama, pikirnya, “Dalam
pertarunganku melawan Seng Tocu sembilan puluh persen
jiwaku tiada harapan bisa selamat, padahal obat Yau-ti-wan ini
menyangkut jiwa dari beribu-ribu orang jago du nia persilatan,
aku harus mengatur segala sesuatunya secara tepat.”
Berpikir sampai disitu, dengan wajah serius ia lantas
berkata, “Nona Si, aku ada satu persoalan ingin minta tolong
kepadamu, apakah kau bersedia membantu?”
“Kongcu ada pesan apa?” tanya Si Leng-jin dengan air
mata bercucuran.
“Sesungguhnya persoalan ini menyangkut mati hidupnya
seluruh dunia persilatan……”
Mendadak ia berhenti ditengah jalan, pikirnya kembali,
“Ilmu silat yang dimiliki Si Leng-jin tidak terlalu tinggi, kalau
suruh dia yang membawa pusaka ini rasanya terlampau
berbahaya……”
Rupanya Si Leng-jin dapat menduga jalan pemikiran
pemuda itu, segera ujarnya, “Kalau Kongcu dapat
mempercayai diriku apa yang kau pesankan pasti akan
kulakukan dengan sebaik-baiknya”
Setelah berhenti sejenak ia menyambung, “Cuma ilmu
silatku amat cetek, aku kuatir tak dapat melaksanakan tugas
itu dengan sebaik-baiknya”

306
Hoa In-liong segera tersenyum, ia telah mengambil
keputusan didalam hati, sambil mengeluarkan botol porselen
yang berisi pil Yan ti-wan itu dan menyerahkan kepada Si
Leng-jin, ia berpesan, “Isi botol porselen ini adalah obat
mustinya, dari sini harap nona menuju ke barat dan melewati
dua buah bukit, diujung sebuah lembah terdapat sebuah gua
yang tertutup oleh tumbuhan rotan, temuilah Thian Ikcu………”
“Thian Ik-cu?” seru Si Leng-jin dengan wajah terkejut.
“Harap nona jangan kaget, kini Thian Ik-cu sudah bertobat
dan kembali ke jalan yang benar!”
Mendengar jawaban tersebut, Si Leng-jin tertegun sejenak,
kemudian katanya pula, “Kalau toh cuma sedekat ini, kenapa
Hoa kongcu tidak menyerahkan sendiri kepada Thian Ik-cu?”
Hoa In-liong tertawa-tawa.
“Saat ini pihak Seng-sut-pay sedang melakukan
penggeledahan bukit secara besar-besaran, nona musti
bertindak hati-hati, andaikata Thian Ik-cu tidak berhasil
ditemukan, mintalah tolong kepada temanku untuk
mencarinya sampai ketemu!”
Selesai berkata dia letakan botol porselen itu ke tanah, lalu
pedang pendek Si Leng-jin ikut pula diletakkan disana, sehabis
menotok bebas jalan darah Si Nio, ia melompat keluar dari
rumah, menerobosi hutan bambu dan berangkat ke puncak
bukit.
Kendatipun tingkah laku pemuda itu tetap tenang dan
wajar, toh Si Leng-jin merasakan juga sesuatu yang tak beres,

307
dia segera memburu keluar rumah, kemudian teriaknya keraskeras,
“Hoa kongcu!”
“Harap nona baik-baik menjaga diri!” seru Hoa In-liong
kedengaran dari kejauhan.
Si Leng-jin merasa tertegun, dengan cepat ia memburu ke
dalam rumah, menyambar botol porselen itu dan masukkan ke
sakunya, lalu menyelipkan pedangnya ke pinggang dan siap
keluar lagi dari rumah itu.
Mendadak ia batalkan niatnya itu, sambil berpaling
diawasinya Si Nio sekejap, ketika dilihatnya perempuan itu
masih tertidur pulas, butiran air mata jatuh berlinang
membasahi pipi Si Leng-jin, gumamnya dengan suara lirih,
“Selama banyak waktu ini, aku betul-betul telah menyiksa
dirimu……”
Akhirnya sambil menggertak gigi, ia melompat keluar dari
rumah gubuk itu dan berangkat kearah dimana Hoa In-liong
berlalu.
Sementara itu Hoa In-liong telah berlarian menuju
kepuncak bukit dengan mengerahkan ilmu meringankan
tubuhnya yang sempurna, tak selang seperminuman teh
kemudian ia sudah tiba ditempat tujuan.
Dengan sikap yang mengerikan seperti sesosok sukma
gentayangan, Seng Tocu berdiri diatas puncak, sekalipun
disekelilingnya sangat indah, tapi dengan kehadirannya disana
membuat suasana puncak tersebut seakan-akan diliputi
selapis hawa setan, membuat siapapun merasa bergidik.
“Maaf kalau kau harus menunggu agak lama!” katanya.
Seng Tocu memicingkan matanya.

308
“Lohu sedang heran kenapa begitu cepat kau sudah datang
kemari. Sudah kau atur baik-baik kekasihmu itu?” katanya.
Hoa In-liong menjadi meringis ketika melihat orang itu
salah mengira Si Leng-jin sebagai kekasihnya, namun diapun
enggan memberi penjelasan, maka sambil ulapkan tangannya,
ia berkata, Lebih baik tak usah membicarakan hal yang bukanbukan,
bila kau ingin mencoba kelihaiyan dari ilmu silat Lioksoat-
san-ceng kami, sekarang sudah boleh dimulai.
Pedangnya lantas dicabut keluar dan dilintangkan didepan
dada, sekokoh batu karang ia berdiri disana, dalam waktu
singkat semua masalah tentang rejeki atau bencana, mati atau
hidup tersapu lenyap dari benaknya, apa yang dipikirkan
sekarang adalah bagaimana caranya mempertahankan diri
serta bagaimana caranya merobohkan musuh.
Seng Tocu tak berani memandang enteng musuhnya,
sepasang mata yang biasanya dipejamkan rapat-rapat kini
mencorong sinar yang tajam sekali.
Seketika itu juga kabut pertarungan menyelimuti seluruh
puncak bukit tersebut.
Mendadak Hoa In-liong membentak keras, pedangnya
digetarkan dan hawa pedang memancar melancarkan
serangannya yang pertama.
Serangan ini cukup dahsyat dan mematikan, andaikata
orang tak berilmu tinggi niscaya akan terluka diujung
senjatanya.
Bocah muda, belum terhitung hebat ilmu pedangmu itu!”

309
Sambil maju kemuka dia melepaskan sebuah serangan
hebat, seakan-akan ia sama sekali tak terpengaruh oleh
kehebatan ilmu pedang lawan.
Siapa tahu, ketika pedang itu sampai, ditengah jalan
mendadak hawa pedangnya sirap, kemudian tanpa
menimbulkan sedikit suara pun mengancam pinggang orang
itu.
Seng Tocu amat terkejut, buru-buru ia tarik nafas panjang
tanpa berkutik lain sambil bergeser tiga depa kesamping,
pujinya, “Bocah muda! Kau memang pantas melangsungkan
pertarungan melawan diriku”
“Kau terlampau menilai tinggi dirimu sendiri!” dengus Hoa
In-liong.
Sementara dihati kecilnya ia berpikir, “Tenaga dalam yang
dimiliki gembong iblis Ini memang betul-betul hebat sekali
hanya mengandalkan tarikan nafas saja tubuhnya dapat
bergeser tempat, bahkan sempat berbicara juga, aku tak
boleh menilai terlalu rendah musuhku yang ini.”
Setelah berlangsungnya pertarungan pertama, kedua belah
pihak sama-sama telah mengetahui kehebatan dari ilmu silat
masing-masing, hal ini menambah semangat bagi kedua belah
pihak untuk melangsungkan pertarungan lebih jauh.
Setelah dipaksa berada diposisi bawah angin, Seng Tocu
merasa penasaran sekali, timbul rasa ingin menang dihatinya,
sambil mendengus ia menerjang kemuka sambil melepaskan
pukulan.
Dalam sekejap mata, suatu pertarungan sengit yang jarang
terjadi dalam dunia persilatan pun berlangsung dengan
serunya. Setelah sepuluh jurus lewat, Hoa In-liong, mulai

310
terdesak dibawah angin, melihat posisinya ini, pemuda itu
segera mengambil pedang, dimainkan sedemikian rupa
sehingga menciptakan selapis dinding baja yang airpun tak
tembus, sementara tiap kali ada kesempatan ia melancarkan
serangan balasan.
Tujuh delapan puluh jurus serangan telah dilancarkan Seng
Tocu. akan tetapi dia belum berhasil juga mengalahkan Hoa
In-liong, hal ini menimbulkan perasaan malu dalam hatinya.
Ia merasa dengan usianya sekarang, andai kata dalam
seratus gebrakan tidak berhasil mengalahkan anaknya Hoa
Thian-hong, maka peristiwa ini akan sangat mempengaruhi
nama baiknya,
Berpikir demikian, tiba-tiba serunya, “Hoa Yang, dalam
sepuluh jurus lohu akan mengalahkan dirimu!”
Ditengah pembicaraan tiba-tiba serangan nya berubah, ia
bergerak mengitari disekeliling badan Hoa In-liong, sepasang
telapak ta ngannya diayunkan berulang kali menghantam
tempat-tempat kosong disekeliling tubuh si anak muda itu.
Hoa In-liong tidak habis mengerti dengan tindakan-nya itu,
namun ia tak berani bertindak gegabah, sebaliknya
pertahanan disekitar tubuhnya malahan diperketat.
Sungguh hebat tenaga dalam yang dimiliki Seng Tocu,
dalam waktu singkat ia sudah mengitari anak muda itu
sebanyak dua tiga puluh kali lingkaran, kemudian tubuhnya
menerobos keposisi tiong-kiong dan sebuah pukulan segera
dilontarkan ke depan.
Hoi In liong memutar pedang antiknya membacok
kebawah, tapi dengan cepat ia merasakan sekeliling tubuhnya

311
seakan-akan telah membeku, bacokan pedangnya yang
mengarah tubuh lawan pun segera meleset kesamping.
Pertarungan antara jago lihay mana boleh meleset
seincipun? Terdengar Seng Tocu tertawa terkekeh-kekeh,
sebuah pukulan dahsyat segera di lontarkan ke dada lawan.
Sesungguhnya serangan ini sulit sekali untuk di hindari,
untungnya Hoa In-liong cerdas dan ilmu silatnya sudah
mencapai kesempurnaan, apalagi pengalamannya yang cukup
selama berkelana dalam dunia persilatan, membuat ia tidak
panik dalam menghadapi bahaya maut.
Dalam keadaan kritis, telapak tangan kirinya diayun ke
depan menyongsong datangnya ancaman tersebut.
“Plaak…..!” sepasang telapak tanpanrya segera menempel
antara yang satu dengan lainnya.
Tujuan Seng Tocu yang sebenarnya memang demikian,
maka serentak hawa murninya disalurkan keluar dengan
dahsyatnya untuk menerjang tubuh Hoa In-liong.
Buru-buru si anak muda itu mengerahkan tenaga dalamnya
untuk melakukan perlawanan sementara pedang ditangan
kanannya langsung membacok ke bawah.
Seng Tocu bergerak cepat, tangan kirinya segera diayun ke
depan untuk mencengkeram urat nadi pada pergelangan
tangan Hoa In-liong.
Telapak tangan kiri Hoa In-liong yang digunakan untuk
melawan tekanan hawa murni dari Seng Tocu hampir telah
mempergunakan segenap kekuatannya, karena keadaan
terdesak terpaksa ia membuang pedangnya dan berganti

312
menotok jalan darah tay-ciu-hiat pada belakang telapak
tangan Seng Tocu.
Sebelum pedang yang terjatuh mencapai tanah, kedua
orang itu sudah melangsungkan pertarungan sebanyak empat
lima jurus dengan menggunakan segenap kekuatan yang
dimilikinya.
Harus diketahui bahwa tenaga dalam yang dimiliki Seng
Tocu jauh lebih hebat dibandingkan Hoa In-liong, hal ini sudah
merupakan kenyataan yang terbukti, sudah barang tentu Hoa
In-liong yang mengetahui kelemahannya berusaha keras
untuk menghindari suatu pertarungan beradu kekuatan,
sayang posisi Seng Tocu berada diatas angin, sehingga mau
tak mau mereka harus menempelkan kembali sepasang
telapak tangannya untuk beradu tenaga.
Betapa girangnya Seng Tocu karena niatnya tercapai,
segenap kekuatan tubuhnya segera dikerahkan keluar dengan
maksud untuk membinasakan anak muda itu dalam sekali
pukulan, siapa tahu tiba-ti ba ia merasakan hawa murninya
tergelincir kearah samping lain hilang lenyap tak berbekas.
Kejadian ini sangat mengejutkan hatinya, ia lantas berpikir,
“Tenaga dalam apaan ini?”
Haruslah diketahui bahwa pertarungan adu tenaga dalam
merupakan suatu pertarungan yang paling jujur, orang tak
mungkin bisa menggunakan akal muslihat untuk peroleh
kemenangan.
Tapi kenyataanya Hoa In-liong sanggup mengalihkan
kekuatan musuhnya kearah lain, kejadian aneh semacam ini
hakekatnya belum pernah terjadi dalam dunia persilatan, tak
heran kalau Seng Tocu dibikin terperanjat oleh kejadian itu.

313
Akan tetapi dia bukan manusia sembarangan, begitu hawa
murninya dihimpun, kembali Hoa In li ong segera merasakan
sepasang telapak tangannya seperti menahan bukit Tay san,
sukar baginya untuk melenyapkan Kembali daya kekuatan
tersebut
Kendatipun begitu, Seng Tocu sendiripun tidak berhasil
merobohkan Hoa In-liong, ia merasakan betapa anehnya
tenaga dalam yang dimiliki si anak muda itu, setiap kali kalah
sebagaian maka kekuatannya akan bertambah besar
sebagaian, makin sulit pula baginya untuk mendesak anak
muda tersebut.
Akan tetapi tenaga dalam memang merupakan urusan
terpenting dalam pertarungan ini, tak sampai seperminum teh
kemudian, peluh telah membasahi seluruh badan Hoa In-liong,
pakaian yang di kenakan telah basah kuyup dibuatnya.
Selama pertarungan berlangsung, secara diam-diam Seng
Tocu memperhatinkan terus paras muka Hoa In-liong, ia
saksikan sinar matanya memancarkan cahaya berkilat,
tampaknya makin bertarung semakin kuat, hal ini segera
mengingatkannya akan suatu peristiwa, tiba-tiba timbul
perasaan menyesal dalam hatinya.
“Rupanya si hwesia tua itu kehilangan hawa murninya
sewaktu ada di Yu hoa-tay karena mewariskan kekuatannya
kepada bocah ini, kalau pertarungan adu tenaga ini
dilanjutkan niscaya aku akan kehilangan banyak tenaga, dan
tindakanku ini sama artinya seperti membantu bocah ini
mencapai kesuksesan…..”
Keadaan sekarang ibarat menunggang dipunggung
harimau, mau berhenti ditengah jalanpun tak mungkin bisa,
maka kuputuskan mumpung Hoa In-liong belum berhasil
meresapi inti kekuatan yang diwariskan Goan-cing taysu

314
kepadanya, ia akan membunuhnya lebih dulu, sebab kalau
menunggu sampai inti kekuatannya telah menggabung
dengan kekuatannya, menang kalah akan semakin sulit untuk
ditentukan.
Karena berpikir demikian, dengan mengerahkan segenap
kekuatan yang dimilikinya ia segera menyerang dengan
hebatnya.
Hoa In-liong yang didesak terus menerus betul-betul
keteter hebat, akan tetapi ia tetap melawannya dengan gigih,
sedikitpun tiada tanda-tanda hendak menyerah kalah.
Dalam waktu singkat dua jam sudah lewat, kedua orang itu
masih juga saling menempel antara yang satu dengan lainnya,
air muka Hoa In-liong ketika itu sudah berubah menjadi merah
padam, peluh sebesar kacang membasahi sekujur tubuhnya
sedangkan Seng Tocu telah menarik pula wajahnya yang kaku
dan tanpa emosi itu.
Pada saat itulah dari bawah tebing sebelah barat
merangkak naik seorang gadis berbaju hitam, tubuhnya
ramping dan wajahnya cantik, sebilah pedang pendek
tergantung di pinggangnya, dia tak lain adalah Si Leng-jin……
Ternyata ia menyusul Hoa In-liong kesana, tapi berhubung
ilmu silatnya selisih jauh bila dibandingkan pemuda itu, maka
sampai sekarang ia baru sampai disana.
Dengan sepasang matanya yang jeli dia perhatikan
keadaan disekeliling tempat itu, akhirnya dibawah cahaya
bintang ia saksikan ada dua orang berdiri saling berhadapan
dengan sepasang telapak tangan saling menempel antara satu
dengan lainnya, kejadian itu membuatnya tertegun.

315
Apalagi setelah mengetahui Hoa In-liong berada di posisi
bawah angin, dalam kagetnya tanpa berpikir panjang ia cabut
keluar pedangnya dan menubruk ke depan, pedangnya
langsung ditusukkan ke punggung Seng Tocu.
Mendadak Hoa In-liong membentak keras, Seng Tocu
mendengus pula dengan dingin, bukan saja pedangnya itu tak
berhasil menusuk punggung Seng Tocu, bahkan muncul
segulung tenaga dahsyat yang menyusup lewat pedangnya
menghantam gadis itu.
Si Leng-jin menjerit tertahan, kulit tangannya pecah, dan
pedang pendeknya mencelat dari pegangan, kemudian dengan
sempoyongan badannya mundur sejauh lima enam langkah,
lengannya linu dan kaku, hampir saja tak sanggup digerakkan
lagi, ditambah telinganya mendengung keras dan rasanya
sakit sekali.
Belum habis rasa kaget dan takutnya, telapak tangan kedua
orang yang saling menempel itu sudah berpisah dan masingmasing
mundur dua langkah.
Seng Tocu hanya tergetar sedikit tubuhnya lalu berdiri
tegak kembali.
Sebaliknya Hoa In-liong dengan wajah pucat pias seperti
mayat melirik gadis itu sekejap, tiba-tiba ia muntah darah
segar, lalu roboh terjengkang ke atas tanah.
Si Leng-jin agak tertegun sejenak, kemudian sambil
menangis tersedu-sedu teriaknya, “Ooh, Hoa kongcu!”
Seperti dua buah sungai, air matanya bercucuran dengan
derasnya, ia maju menghampirinya lalu berlutut disisi Hoa Inliong
dan bermaksud membopong tubuhnya.

316
Waktu itu sebenarnya Seng Tocu sedang memejamkan
matanya sambil mengatur pernapasan, tiba-tiba ia membuka
matanya sambil membentak, “Jangan dibopong!”
Si Leng-jin agak tertegun, lalu sambil berpaling teriaknya,
“Menyingkir kau dari situ!”
Agaknya dia tak tahu kalau Seng Tocu adalah seorang
gembong iblis yang berilmu tinggi, setelah membentak
kembali, ia berpaling dan siap membopong anak muda itu lagi.
Kemarahan Seng Tocu langsung berkobar, lengan
kanannya segera diangkat siap dihantamkan keatas batok
kepala Si Leng-jin akan tetapi ketika dilihatnya wajah sinona
begitu mengenaskan ia menjadi tak tega.
Serangan bacokan dirubah menjadi tenaga lembut yang
membawa tubuh Si Leng-jin mencelat ke samping.
“Kau tahu isi perutnya sekarang telah bergeser dari tempat
kedudukannya semula?” demikian ia menegur ketus, “kini
hanya tinggal segulung hawa murni yang melindungi
jantungnya, bila kau gerak-kan tubuhnya maka ia akan tewas
seketika itu juga”
Si Leng-jin menjadi tertegun, tiba-tiba ia mendekam
ditanah sambil menangis tersedu-sedu.
“Budak ingusan, apa yang kau tangisi?” kata Seng Tocu
dengan hambar, “berbicara sesungguh nya bocah muda she
Hoa itu bisa menjadi begitu adalah gara-gara perbuatanmu”
Mendengar perkataan itu, Si Leng-jin segera menghentikan
tangisannya dan menengadah memandang ke arah Seng
Tocu, wajahnya menampilkan rasa kaget dan tidak habis
mengerti.

317
Melihat gadis itu sudah mengalihkan perhatian kepadanya,
Seng Tocu berkata kembali, “Perhatikan baik-baik, selama
hidup lohu paling tak ambil perduli terhadap segala kebaikan,
kejahatan ataupun segala kedengkian tapi terhadap segala
persoalan selamanya aku tak pernah merahasiakan keadaan
yang sebenarnya”
Ia memandang sekejap Hoa In-liong yang pucat pias dalam
keadaan sekarat itu, kemudian melanjutkan.
“Demikian terhadap keadaan sesungguhnya dari
pertarungan malam ini, akupun tak ingin merahasiakannya
kepada orang lain”
Si Leng-jin membelalakkan sepasang matanya sambil
berpikir, “Menang kalah dari pertarungan ini sudah jelas
tertera, kenyataan apa lagi yang hendak dia bicarakan?”
Tiba-tiba teringat kembali dengan perkataan dari Seng
Tocu yang mengatakan bahwa dialah yang telah mencelakai
Hoa In-liong, segera hatinya bergetar keras.
Terdengar Seng Tocu berkata kembali, “Mula-mula lohu
merasa yakin kalau tenaga dalamku amat sempurna dan jauh
diatas kekuatan bocah dari keluarga Hoa itu, mala sengaja
kupaksa dirinya untuk melangsungkan ada kekuatan tenaga
dalam, siapa tahu kenyataannya….
Tiba tiba wajahnya memancarkan sinar keraguan, tanyanya
kemudian, “Hei budak cilik, tahukah kau tenaga dalam yang
dipelajarinya itu berasal dari perguruan mana?”
“Tentu saja pelajaran dari keluarganya!” jawab Si Leng-jin.
Seng Tocu segera gelengkan kepalanya berulang kali.

318
Meskipun lohu tidak begitu memahami Gin hoat tenaga
dalam dari keluarga Hoa, tapi aku yakin tenaga dalam yang
dipelajarinya bukan berasal dari aliran keluarga Hoa, sebab
tenaga dalamnya sangat kuat bagaikan gelombang yang
berlapis-lapis, gelombang yang satu jauh lebih hebat dari
gelombang berikutnya, lagipula aliran hawa murninya itu
sebentar mengalir secara lurus sebentar mengalir kembali
secara terbalik, tenaga dalam aliran keluarga Hoa tidak
mempunyai gejala semacam ini.
“Soal ini boleh tak usah kita bicarakan, dengan
mengandalkan tenaga dalam yang sangat aneh ini Hoa Inliong
ternyata sanggup mempertahankan diri dari seranganku,
bahkan semakin lama pertarungan berlangsung ternyata
tenaga dalam yang dimilikinya semakin dahsyat dan
kuat……..”
“Aneh sekali!” seru Si Leng-jin tanpa terasa.
“Saat itulah lohu baru sadar bahwa ia telah mencapat
bimbingan dari seorang jago lihay” kata Seng Tocu lebih jauh,
“bila ditinjau dari keadaan itu, kemungkinan besar ilmu yang
sedang dipelajarinya adalah ilmu sebangsa Tin goan ing tok
(bimbingan tenaga dalam untuk menyeberang) yang justru
kesempatan semacam itu merupakan kesempatan yang
terbaik baginya untuk membaurkan tenaga murni yang
didapat dengan tenaga murni yang telah dimiliki dalam
tubuhnya……..”
“Apakah yang disebut Tin goan ing tok tersebut?” tanya Si
Leng-jin tiba-tiba.
Seng Tocu memandang sekejap kearahnya kemudian
menjawab, “Sebenarnya dalam soal ilmu tenaga dalam,
kemajuan hanya bisa dicapai bila seseorang tekun melatihnya,

319
tapi lain ceritanya jika dia mempunyai sebangsa obat yang
dapat mengganti tulang merubah otot, selain daripada itu jika
ada seorang tokoh sakti yang rela menghadiahkan tenaga
dalam hasil latihannya kepada orang lain tentu saja hal inipun
bisa terjadi, dan cara yang terakhir inilah yang dinamakan
sebagai Tin-goan-ing-tok tersebut.
“Apa susahnya ini?” pikirnya.
Tampaknya Seng Tocu dapat menebak suara hatinya,
dengan dingin ia berkata, Cara semacam ini tampaknya saja
gampang padahal jauh lebih sulit prosesnya daripada
mempergunakan obat mustika, sebab pertama sedikit
kesalahan saja akan berakibat fatal, kedua, tokoh sakti
semacam ini sukar ditemukan didunia ini, yang lebih penting
lagi orang-orang itu biasanya enggan memberikan hasil yang
luar biasa kepada muridnya tanpa si murid harus bersusah
payah.
Tampaknya Seng Tocu merasa bahwa pembicaraannya
sudah terlanjur terlampau jauh cepat-cepat katanya kembali,
Berbicara kembali kesoal kami tadi, waktu itu lohu merasa
menyesal sekali, aku tahu jika keadaan ini dibiarkan
berlangsung terus maka pada akhirnya bocah dari keluarga
Hoa itulah yang bakal peroleh kemenangan mutlak.
“Lantas dia…….kenapa dia….?”
Seng Tocu segera ulapkan tangannya, bukan menjawab dia
malah balik bertanya, “Kaukah yang menyergap diriku?”
Waktu itu Si Leng-jin sudah tidak terlampau merisaukan
kesel-amatan diri, mendengar pertanyaan itu dia lantas
mendengus dingin.

ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru Cerita Silat ABG Seru : Neraka Hitam 1 [Lanjutan Rahasia Hiolo Kumala], cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin Cerita Silat ABG Seru : Neraka Hitam 1 [Lanjutan Rahasia Hiolo Kumala],Cerita Dewasa terbaru Cerita Silat ABG Seru : Neraka Hitam 1 [Lanjutan Rahasia Hiolo Kumala],Cerita Dewasa Terbaru Cerita Silat ABG Seru : Neraka Hitam 1 [Lanjutan Rahasia Hiolo Kumala], Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru Cerita Silat ABG Seru : Neraka Hitam 1 [Lanjutan Rahasia Hiolo Kumala]
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Silat ABG Seru : Neraka Hitam 1 [Lanjutan Rahasia Hiolo Kumala] dan anda bisa menemukan artikel Cerita Silat ABG Seru : Neraka Hitam 1 [Lanjutan Rahasia Hiolo Kumala] ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cerita-silat-abg-seru-neraka-hitam-1.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Silat ABG Seru : Neraka Hitam 1 [Lanjutan Rahasia Hiolo Kumala] ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Silat ABG Seru : Neraka Hitam 1 [Lanjutan Rahasia Hiolo Kumala] sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Silat ABG Seru : Neraka Hitam 1 [Lanjutan Rahasia Hiolo Kumala] with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cerita-silat-abg-seru-neraka-hitam-1.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 3 komentar... read them below or add one }

Obat Maag Kronis Tradisional mengatakan...

keren ka

Obat Maag mengatakan...

ajip gan

Obat Tradisional Kolesterol mengatakan...

kereeen

Posting Komentar