Cerita Silat Terbaik : Pendekar Cacat 1

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Rabu, 07 Desember 2011

Cerita Silat Terbaik : Pendekar Cacat


Pendekar Cacad
Karya : Gu Long
Saduran : Tjan ID
Jilid 1.

2
Matahari telah tenggelam di langit barat, sinar keemasemasan
membias di angkasa dan menyinari suasana senja
yang amat indah.
Di tengah sebuah jalan raya yang lebar, mendadak
terdengar suara ringkik kuda yang amat keras, bergema
memecah keheningan.
Di bawah sinar keemas-emasan yang membias di angkasa,
dari kejauhan di sebelah barat terlihat seekor kuda berbulu
kuning berlari dengan kencang.
Anehnya, kuda jempolan yang sedang berlari kencang
sambil meringkik tiada hentinya itu tanpa penunggang di atas
pelananya.
Kuda tanpa penunggang itu berlari kencang menuju ke
arah timur dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.
Akhirnya sampailah kuda jempolan tadi di muka sebuah
gedung megah yang dikelilingi tembok pekarangan berwarna
merah.
Empat orang pria berbaju hitam yang membawa tombak
berdiri berjaga di kedua sisi pintu gerbang gedung itu, ketika
menyaksikan kehadiran kuda itu, paras muka mereka berubah
hebat.
Mendadak kuda jempolan itu meringkik panjang, suaranya
keras dan sangat memilukan hati.
Belum habis suara ringkiknya, keempat kaki kuda sudah
menjejak tanah, lalu seperti anak panah terlepas dari
busurnya, ia menubruk ke patung singa yang berada di
sebelah kanan pintu.
Terdengar suara benturan diikuti bunyi remuknya tulang,
darah dan hancuran daging beterbangan, ternyata kuda itu
melakukan bunuh diri dan mati seketika itu juga.

3
Tindakan yang amat mendadak dan sama sekali tidak
terduga ini berlangsung dalam sekejap, mimpi pun keempat
orang pengawal itu tidak menyangka kuda jempolan itu akan
melakukan bunuh diri di hadapan mereka, sesaat mereka
terbelalak lebar dengan mulut melongo.
Tampaknya kuda itu adalah kuda jempolan yang
berperasaan, karena majikannya tewas, maka ia pun bunuh
diri menyusul tewasnya sang majikan.
0oo0
Gedung nomor satu di kota Kay-hong, gedung yang
ditinggali Bu-lim Bengcu, disebut pula Bu-lim Bengcu-hu.
Gedung itu tinggi dan amat megah dengan pintu gerbang
besar serta bangunan yang beratus-ratus banyaknya.
Tengah hari baru menjelang, matahari bersinar dengan
teriknya, tiang lentera yang tingginya enam-tujuh kaki di
tengah halaman gedung Bu-lim Bengcu ini tampak bendera
putih berkibar dengan megahnya, di antara kain putih tertera
huruf-huruf yang mengartikan duka-cita.
Pada halaman depan gedung megah itu tampak banyak
kereta diparkir di situ, banyak pula orang yang berlalu-lalang
melalui pintu gerbang itu.
Tapi mereka harus melalui pemeriksaan dan pengawasan
seksama oleh dua puluh empat Busu berbaju hitam sebelum
masuk ke dalam.
Semua Busu berbaju hitam itu membawa senjata lengkap,
pada lengannya dibalut kain hitam yang menandakan
berduka-cita, wajah mereka rata-rata serius, dengan sorot
mata tajam mengawasi setiap orang yang keluar masuk di
dalam gedung.
Mendadak di sudut lapangan di luar gedung muncul
seorang sastrawan berbaju hitam berwajah tampan, bertubuh
kekar, tapi kalau berjalan, kaki kirinya pincang.

4
Paras mukanya pucat kekuning-kuningan, seperti wajah
seorang berpenyakitan, kesepian dan kehilangan semangat.
Lama sekali pemuda berbaju hitam itu berdiri termenung di
situ, akhirnya selangkah demi selangkah secara terpincangpincang
menaiki anak tangga batu dan mengikuti kerumunan
orang banyak bersama-sama memasuki pintu gerbang.
Tiba-tiba dari sisi jalan melompat keluar dua orang Busu
berbaju hitam yang menghadang jalan perginya, kemudian
terdengar Busu yang di sebelah kanan menegur, "Saudara,
harap berhenti dulu!"
Agak tertegun sastrawan berbaju hitam itu mendengar
teguran itu, ia berhenti dan segera menjura dalam-dalam.
"Aku datang hanya untuk menyampaikan duka-citaku
terhadap kematian Bengcu," buru-buru ia menerangkan.
"Harap saudara sudi memperlihatkan surat duka-citanya."
"Surat duka-cita?" pemuda itu tertegun, "Ah, benar,
lantaran tergesa-gesa melakukan perjalanan, aku lupa
membawanya."
Busu itu segera menggeleng, "Jauh-jauh saudara datang ke
kota Kay-hong untuk melawat, arwah Bengcu di alam baka
pasti mengetahui dan berterima kasih sekali, sayang aku tak
mengizinkan kau memasuki gedung Bengcu ini."
"Ai ...." pemuda itu menghela napas, "Sudah lama
kukagumi Oh-bengcu yang gagah perkasa, apakah aku tidak
boleh masuk sebentar untuk menyampaikan hormatku di
depan layonnya?"
Agak tercengang juga Busu itu ketika dilihatnya sepasang
mata pemuda berpenyakitan itu berkaca-kaca waktu bicara,
namun ia tetap menggeleng kepala.
"Aku pun berterima kasih atas kehadiranmu yang tulus
untuk turut berduka-cita atas kematian Oh-bengcu, sayang

5
panitia pemakaman telah memerintahkan, siapa yang tak
diketahui identitasnya dilarang menghadiri upacara ini. Jadi
terpaksa kehadiranmu kami tolak!"
Pemuda berbaju hitam itu nampak semakin sedih sesudah
mendengar perkataan itu, dia menghela napas sedih, rasa
kesepian dan kehilangan semangat makin kentara.
Ia membalikkan tubuh, lalu dengan terpincang-pincang
menuruni anak tangga batu.
Dalam hati ia bergumam dengan penuh kesedihan,
"Sepuluh tahun dipelihara dan dididik, budi kebaikan ini lebih
dalam dari samudra, aku harus menyembah di muka layon
guruku, meski aku Bong Thian-gak adalah murid yang sudah
dikeluarkan dari perguruan. Tapi budi Suhu tak akan
kulupakan. Oh! Suhu, maafkanlah aku! Bong Thian-gak akan
mengingkari larangan kau orang tua dan melangkah masuk ke
dalam gedung Bu-lim Bengcu!"
Malam sudah kelam, langit sangat gelap, tiada rembulan,
tiada bintang, yang ada hanya awan gelap yang menyelimuti
seluruh angkasa.
Dari balik hutan di sebelah timur laut gedung Bu-lim
Bengcu, mendadak muncul sesosok bayangan.
Dengan sepasang matanya yang tajam, dia memandang
sekejap halaman gedung Bu-lim Bengcu yang terang
benderang bermandikan cahaya, kemudian dengan menyeret
kakinya yang pincang, pelan-pelan dia berjalan menuju ke
sudut dinding.
Tampak pemuda itu tanpa bertekuk lutut atau
menggerakkan pinggang, dengan enteng melompat naik ke
atas tembok pekarangan.
Ilmu meringankan tubuh yang sempurna, betul-betul amat
hebat orang tidak akan menyangka seorang pemuda pincang
dapat memiliki kepandaian sedemikian hebatnya.

6
Perlu diketahui, untuk bisa melompat naik tanpa menekuk
lutut dan menggerakkan pinggang, orang harus
menggantungkan tenaga pantulan kedua belah lengannya,
padahal ia harus melampaui tembok pekarangan setinggi satu
tombak lebih, hal itu tak mungkin bisa dilakukan seandainya
dia tidak memiliki tenaga dalam yang sempurna.
Bong Thian-gak tidak berhenti lama di atas tembok
pekarangan, secepat kilat dia meluncur turun dan
menyembunyikan diri.
Saat itulah bergema suara langkah orang, dari depan sana
muncul tiga orang pengawal berbaju hitam sedang melakukan
perondaan.
Dengan amat teratur dan berdisiplin tinggi, mereka
melakukan pemeriksaan seksama ke sekeliling halaman,
sementara sebilah pedang pendek tergantung di pinggang
masing-masing.
Ketika tahu hal ini, lagi-lagi ia terperanjat. "Heran!" ia
berpikir, "Mengapa gedung Bu-lim Bengcu harus dijaga
sedemikian ketat, bahkan beberapa kali lebih ketat daripada
dulu?"
Mendadak ia teringat kejadian siang tadi, sewaktu ia
dilarang penjaga pintu memasuki gedung.
Berbagai kecurigaan segera berkecamuk dalam benak
pemuda itu. Kembali ia berpikir, "Semasa masih hidupnya
dulu, Suhu adalah seorang Bengcu persilatan angkatan kedua
puluh sembilan yang namanya menggetarkan seluruh sungai
telaga, kini dia orang tua telah tiada, sepantasnya kalau setiap
umat persilatan diberi kesempatan
menyampaikan penghormatan yang terakhir, mengapa
hanya orang yang menerima surat duka-cita saja yang
diizinkan hadir?"

7
Belum habis dia berpikir, mendadak terdengar salah
seorang di antara tiga pengawal itu berkata, "Ah Jiang, sejak
kematian Oh-bengcu, selama empat puluh sembilan hari ini
gedung Bengcu dijaga sedemikian ketatnya sehingga burung
pun tidak bisa lewat, tindakan ini benar-benar tidak habis
kumengerti."
"Hm, selama empat puluh sembilan hari ini kita benarbenar
tersiksa," rekannya mendengus, "Coba kalau sikap Ohbengcu
semasa hidup dulu tidak baik terhadap kita, maknya,
aku benar-benar akan mencaci-maki kawanan telur busuk itu
sampai tujuh turunan."
Pengawal yang bernama Ah Jiang tampaknya merupakan
ketua regu, dengan cepat membentak, "Kalian berdua jangan
sembarangan bicara, kalian tahu apa? Konon sejak kuda
tunggangan Bengcu kembali ke Kay-hong dengan membawa
warta kematian Bengcu dan bunuh diri di depan patung singa,
lima jago lihai yang secara kebetulan bertamu dalam gedung
Bu-lim Bengcu pun secara beruntun menemui ajal secara
aneh."
Mengikuti suara langkah mereka yang makin menjauh,
suara pembicaraan itu pun tak terdengar lagi.
Tetapi serangkaian pembicaraan itu cukup membuat Bong
Thian-gak terperanjat.
Sekarang ia sudah tahu apa sebabnya suasana dalam
gedung Bu-lim Bengcu sedemikian tegang dan pengawasan
dilakukan seketat itu, sebenarnya ia mengira Bengcu mati
karena sakit, tapi kini ia mulai menduga kematian gurunya
merupakan kematian yang tidak wajar.
Kalau begitu, besar kemungkinan gurunya mati dibunuh
orang.
Thi-ciang-kan-kun-hoan (Pukulan baja gelang jagad) Oh
Ciong-hu merupakan jagoan bernama besar dalam Bu-lim,

8
kesempurnaan ilmu silatnya meskipun belum dapat dikatakan
nomor wahid, namun orang persilatan pun belum tentu dapat
menangkan ilmu Thi-ciang-kan-kun-hoannya yang maha
dahsyat.
Bong Thian-gak, si pemuda pincang itu tidak sanggup
menahan diri, dengan enteng dia melompat bangun, lalu
dengan mengembangkan Ginkangnya melewati beberapa
bangunan.
Setiap jalanan maupun bangunan yang ada di dalam
gedung Bu-lim Bengcu ini sangat dikenal olehnya, sekali pun
ia hanya memejamkan mata, dia pun bisa melukiskan peta
tempat itu, karena tujuh tahun berselang dia pernah tinggal di
situ.
Walaupun penjagaan di dalam gedung Bu-lim Bengcu amat
ketat, bahkan pada hakikatnya tiap tiga langkah satu
pengawal, setiap langkah satu pos penjagaan, tetapi
berhubung udara sangat gelap, ditambah lagi Bong Thian-gak
memiliki ilmu meringankan tubuh yang sempurna, maka ia
dapat menyelundup masuk dengan leluasa.
Seperti segulung asap, dia menyusup ke dalam dan
akhirnya berhenti di depan sebuah ruangan besar.
Tengah malam sudah menjelang tiba, angin malam
berhembus mengibarkan kain putih di atas tiang lentera,
suasana amat hening, hanya tujuh buah lentera menerangi
ruangan itu.
Cahaya lentera yang redup menyinari setiap benda yang
ada di situ, karangan bunga di tengah ruangan yang lebar,
keranjang bunga di depan pintu gerbang dan kain-kain putih
dengan huruf hitam yang tergantung di setiap dinding.
Pada bagian paling belakang ruangan itu tampak sebuah
meja abu, di depannya terpajang nama Oh Ciong-hu dan di
dinding tergantung lukisan wajahnya.

9
Bong Thian-gak menjatuhkan diri berlutut di depan sebuah
Hiolo berwarna kuning tembaga, air mata bercucuran
membasahi wajahnya, seluruh badan gemetar keras menahan
isak tangis, walau tiada suara tangis yang terdengar, akan
tetapi kesedihan tanpa suara tangis terasa jauh lebih
menyedihkan.
Dalam waktu singkat, kenangan lama melintas di depan
mata. Ia teringat kejadian pada tujuh belas tahun berselang,
waktu itu hujan salju turun dengan derasnya, ketika ia sedang
tergeletak di suatu sudut jalanan kota Kay-hong sambil
menahan lapar dan kedinginan, tiba-tiba muncul seorang
seperti malaikat menunggang kuda jempolan menyelamatkan
jiwanya.
Kemudian orang itu telah memeliharanya, tiga tahun
kemudian bahkan ia melanggar kebiasaan dengan
menerimanya sebagai murid terakhir.
Begitulah, dia pun merasakan kasih sayang dan kehangatan
keluarga dari kakek penolongnya itu.
Sekarang melihat tulisan turut berduka-cita yang memenuhi
ruangan, tak tahan ia memanggil dengan sedih, "Oh, Suhu!"
Ia menubruk ke atas meja altar, lalu sambil memeluk
tulisan nama gurunya, ia bergumam lagi, "Suhu, aku Bong
Thian-gak benar-benar sangat berdosa. Suhu, walaupun kau
orang tua telah mengusirku dari perguruan, namun dalam hati
tak akan kulupakan budi pertolongan dan didikan Suhu selama
belasan tahun. Suhu, sebenarnya aku kemari untuk memohon
kepadamu agar menerimaku kembali dalam perguruanmu ...
tapi kini kau orang tua takkan bisa mengabulkan
permintaanku lagi! Selama hidup Bong Thian-gak akan
menjadi manusia berdosa yang telah dikeluarkan dari
perguruan, oh, Suhu

10
la tak kuasa menahan rasa sedih yang mencekam
perasaannya, meledaklah isak tangisnya yang amat
memilukan.
Sementara Bong Thian-gak masih tercekam dalam suasana
sedih, mendadak dari belakang tubuhnya berkumandang
suara helaan napas.
Bong Thian-gak segera sadar dari kesedihan dan segera
berpaling.
Entah sejak kapan di tengah ruangan telah muncul seorang
pendeta tua berjubah abu-abu. Telapak tangan kirinya
disilangkan di depan dada, sementara tangan kanannya
membawa tasbih, wajahnya ramah dan saleh, waktu itu ia
sedang bergumam membaca doa.
Setelah dapat melihat jelas raut wajah pendeta tua itu,
dengan terperanjat Bong Thian-gak berpikir, "Bukankah
pendeta tua ini adalah Ku-lo Siansu, pendeta suci dari Siaulim-
pay?"
Ku-lo Siansu, pendeta suci dari Siau-lim-pay adalah Supek
ketua Siau-lim-pay sekarang, kedudukannya dalam Bu-lim
boleh dibilang adalah angkatan tua.
Bong Thian-gak masih ingat, tujuh tahun berselang,
sebelum dia dikeluarkan dari perguruan, pemuda itu pernah
mendengar orang berkata, Ku-lo Siansu telah menutup diri
dan tidak mencampuri urusan dunia persilatan lagi.
Tak heran kemunculannya sekarang kontan membuat anak
muda itu tercengang.
Beberapa saat lamanya pendeta tua itu memejamkan mata
sambil berdoa, akhirnya dia membuka mata dan menatap
wajah Bong Thian-gak dengan sorot mata setajam sembilu.
"Omitohud! Limpahan perasaan sedih di hadapan layon Ohbengcu
benar-benar suatu pelimpahan perasaan yang
sebenarnya, bila arwah Oh-bengcu di alam baka tahu, dia

11
pasti akan terhibur, harap Sicu segera menghentikan
kesedihanmu itu!"
Dari kata-katanya itu, Ku-lo Siansu dapat melihat Bong
Thian-gak telah menderita luka dalam akibat kesedihan yang
kelewat batas.
Dengan amat hormat Bong Thian-gak menjura kepada
pendeta saleh itu, sahutnya, "Terima kasih banyak atas
nasehat Losiansu."
"Sicu, bolehkah Pinceng tahu, apa hubunganmu dengan
Oh-bengcu?"
Tergerak hati Bong Thian-gak.
"Wanpwe pernah menerima budi pertolongan jiwa dari Ohbengcu,
budi ini dalamnya melebihi samudra, maka ketika
kudengar berita kematiannya, aku menjadi sedih sekali,
apalagi bila teringat budi kebaikannya belum sempat kubalas."
Ku-lo Hwesio menghela napas panjang.
"Kegagahan dan kebajikan Oh-bengcu telah mendatangkan
berkah dan keuntungan bagi seluruh umat manusia, kini dia
telah tiada, kehilangan ini terasa berat dan menyedihkan buat
kita, ai ... limpahan perasaan Sicu pasti akan menghibur arwah
Oh-bengcu di alam baka."
Mencorong sinar mata tajam dari balik mata Bong Thiangak
sesudah mendengar perkataan itu, katanya kembali, "Aku
sudah banyak berhutang budi kepada Oh-bengcu, sekali pun
malam ini aku datang untuk menyampaikan rasa dukaku di
hadapan layonnya, namun semua itu belum dapat membayar
budi kebaikan yang pernah kuterima, kejadian ini benar-benar
membuat hatiku sedih."
Untuk kesekian kalinya Ku-lo Hwesio mengamati wajah
Bong Thian-gak.

12
"Bila Sicu ingin membalas budi kebaikannya, sudah
sepantasnya bila kau lanjutkan cita-cita Oh-bengcu untuk
mendatangkan keuntungan dan berkah bagi umat persilatan,
sebab hanya dengan cara ini saja kau dapat membalas budi
Oh-bengcu."
"Losiansu," tiba-tiba Bong Thian-gak bertanya, "ada satu
persoalan ingin kutanya padamu, apa yang menyebabkan
kematian Oh-bengcu?"
"Omitohud, Lolap pun baru saja kemari dari kuil Siau-lim-si,
aku sendiri kurang jelas tentang keadaan yang sesungguhnya.
Bila ingin mengetahui hal ini, lebih baik besok saja ditanyakan
langsung kepada para ahli warisnya!"
Baru selesai berkata, mendadak dari luar ruangan
berkumandang suara bentakan nyaring, "Siapa di dalam
ruangan? Cepat laporkan namamu!"
Delapan sosok bayangan orang berkelebat di depan pintu
ruangan, delapan orang pengawal berbaju hitam dengan
senjata terhunus telah menghadang di depan pintu.
"Aduh celaka!" pikir Bong Thian-gak dengan terperanjat.
Baru lewat ingatan itu, Ku-lo Hwesio telah menyahut
dengan suara rendah, "Omitohud, harap Sicu sekalian suka
melaporkan, Ku-lo dari Siau-lim-si datang untuk menyambangi
layon sahabat karibnya."
Nama Ku-lo dari Siau-lim-si ibarat guntur yang membelah
bumi di siang bolong, kontan membuat kedelapan pengawal
berbaju hitam itu buru-buru membungkuk badan memberi
hormat.
"Kehadiran Losiansu sungguh di luar dugaan, maafkan Tecu
sekalian yang tidak datang menyambut sepantasnya ...."
Tidak menanti ucapan itu selesai, Ku-lo Hwesio telah
menukas, "Omitohud, malam sudah semakin kelam dan tidak
baik mengganggu tidur orang, biar Lolap menanti dalam

13
ruangan ini sampai kentongan kelima saja, saudara sekalian
silakan berlalu!"
Pemimpin regu rombongan pengawal itu adalah seorang
lelaki setengah umur berperawakan jangkung, dia segera
menjura seraya berkata, "Panitia pemakaman ada perintah,
bila Losiansu datang di gedung ini, maka kami diwajibkan
melaporkan kedatangan Siansu."
"Kalau memang begitu, harap Sicu sekalian sudi membuka
jalan!" ujar Ku-lo Hwesio kemudian sambil mengangguk.
Belum habis perkataan itu, dari luar ruangan sudah
bergema suara nyaring seseorang.
"Sinceng datang berkunjung kemari, Heng-sui sengaja
datang menyambut...."
Berbareng dengan menggemanya ucapan itu, tampak
cahaya lentera bergoyang terhembus angin, seorang pemuda
berbaju hijau, berwajah tampan, dingin, gagah dan bermata
tajam telah berdiri di depan kedelapan pengawal itu sambil
memberi hormat kepada Ku-lo Hwesio.
Menyaksikan kemunculan orang itu, sekujur badan Bong
Thian-gak gemetar keras, dalam hati dia berpekik, "Ji-suheng
..."
Ternyata pemuda berbaju hijau itu adalah murid kedua Thiciang-
kan-kun-hoan Oh Ciong-hu yang bernama Toan-conghong-
liu (usus putus darah mengalir) Yu Heng-sui.
Kini ia sudah menjabat sebagai komandan pasukan
pengawal gedung Bu-lim Bengcu, orang yang berkuasa di
ruang hukuman dan berkuasa penuh dalam menjatuhkan
hukuman yang setimpal kepada sembilan partai besar dalam
Bu-lim, kedudukannya tinggi dan terhormat sekali.
Ternyata persekutuan dunia persilatan ini merupakan
dibentuk bersama sembilan partai besar dunia persilatan untuk
menyatukannya menurut sejarah, Bengcu hanya dipilih oleh

14
anggota sembilan partai besar dan berkuasa penuh mengatur
segala tindak-tanduk sembilan partai. Atau dengan perkataan
lain, kekuasaan Bu-lim Bengcu masih berada di atas
kekuasaan sembilan ketua partai.
Sedang anggota pengurus penting lainnya dalam
persekutuan dunia persilatan ini pun harus dinilai dan diteliti
lebih dulu oleh sembilan partai besar sebelum melakukan
pengangkatan, kekuasaan mereka meski hanya terbatas
dalam satu bidang, akan tetapi mempunyai tingkatan yang
sejajar dengan kedudukan para ketua partai lainnya.
Tampaknya Ku-lo Hwesio pernah bersua Yu Heng-sui, maka
sambil tersenyum segera ujarnya, "Yu-hiantit, tak usah banyak
adat."
Si Pemutus usus darah mengalir Yu Heng-sui mengangkat
kepala dan memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak yang
berada di belakang Ku-lo Hwesio, keningnya nampak berkerut,
kemudian sambil tertawa terbahak-bahak, ujarnya, "Maaf,
kalau aku tak kenal dengan saudara ...."
Sebelum ia menyelesaikan kata-katanya, Bong Thian-gak
telah menukas sambil menjura, "Yu-tayhiap tak perlu
sungkan-sungkan, aku she Ko bernama Hong."
"Ko Hong", nama yang asing dan belum pernah terdengar
di Bu-lim, sebagai tokoh persilatan yang berpengalaman luas
Yu Heng-sui tetap tak mengenalnya.
Namun dalam hati kecilnya dia merasa heran, diam-diam
pikirnya, "Heran! Meski baru berjumpa pertama kalinya,
namun orang ini seperti pernah kutemui, tapi kalau kuamati
lagi dengan seksama, kembali terasa begitu asing."
Yu Heng-sui tersenyum, lalu ujarnya, "Tampaknya Ko-heng
baru saja terjun ke Bu-lim bukan?"

15
Bong Thian-gak manggut-manggut, "Benar, sudah lama
aku tinggal di hutan terpencil, kali ini memang merupakan
perjalanan perdanaku."
Sementara berbicara, pemuda ini pun diam-diam berpikir,
"Ji-suheng, tak heran kau tak kenal lagi Sutemu yang telah
dikeluarkan dari perguruan ini, tujuh tahun ... ya, betapa
lamanya tujuh tahun ini. Apalagi hidup dalam suasana yang
penuh penderitaan dan kesengsaraan, oh, betapa keji dan
mengenaskan pengalamanku selama ini."
"Aku ... ai, Bong Thian-gak pada tujuh tahun berselang
tentu saja berubah banyak kalau dibanding tujuh tahun
kemudian."
"Sewaktu meninggalkan gedung Bengcu, aku baru berusia
delapan belas tahun, mukaku putih, keempat anggota
badanku utuh dan gagah, tapi hari ini aku muncul sebagai
seorang pincang, apalagi wajahku telah kuubah dengan obat
penyaru, tentu saja kau tak mengenali diriku lagi."
Berbagai ingatan dan perasaan segera berkecamuk dalam
benak Bong Thian-gak.
"Omitohud!" terdengar Ku-lo Hwesio berkata, "Aku lihat Kosicu
amat gagah dan perkasa, aku pun dapat menyaksikan
kepandaian saktimu yang tersembunyi, aku yakin kau pasti
berasal dari suatu perguruan tersohor."
Yu Heng-sui berdiri tertegun.
Sebenarnya dia mengira Bong Thian-gak merupakan
kenalan lama Ku-lo Hwesio yang datang ke sana bersamanya,
tapi sekarang tampaknya Ku-lo Hwesio baru saja berkenalan.
Kejadian ini menimbulkan kecurigaan dan perasaan serba
salah dalam benak Yu Heng-sui, bibirnya bergetar hendak
mengucapkan sesuatu, tetapi tak sepotong kata pun yang
meluncur keluar.

16
Bong Thian-gak bukan pemuda bodoh, ia dapat merasakan
hal itu, maka ujarnya, "Beberapa tahun lalu, jiwaku pernah
diselamatkan oleh Oh-bengcu sewaktu berada di Kang Tang,
budi kebaikan ini besar bagaikan bukit, maka ketika kudengar
kabar kematian Oh-bengcu, sengaja aku kemari untuk
memberi penghormatan terakhir kepadanya, Ya, hanya sayang
budinya tak sempat kubalas, itulah sebabnya bila selanjutnya
In-jin ada persoalan yang belum terselesaikan, sekali pun
tubuh harus hancur, aku bersedia mewakilinya untuk
menyelesaikan masalah itu. Yu-tayhiap, aku harap kau suka
menerima ketulusan hatiku ini dan tidak memandang asing."
Beberapa patah kata itu diutarakan dengan bersungguh
hati dan tulus ikhlas, kendatipun Yu Heng-sui menaruh curiga,
tentu saja ia tidak bisa bersikap kelewat batas, apalagi sampai
mengusir tamunya.
Tapi dia berpikir juga, "Asal-usul orang ini tidak begitu
jelas, mana mungkin dia dibiarkan hadir dalam masalah besar
Bu-lim Bengcu?"
Sementara Yu Heng-sui masih ragu dan tidak tahu
bagaimana harus bertindak, Ku-lo Hwesio telah berkata, "Kosicu
seorang yang gagah dan berjiwa besar, bila persekutuan
persilatan bisa mendapat bantuan pikiran dari Sicu, ini benarbenar
satu keberuntungan bagi umat persilatan."
Ku-lo Hwesio adalah Locianpwe yang paling disanjung dan
disegani dalam Bu-lim dewasa ini, tentu saja Yu Heng-sui tidak
berani ragu lagi, dia pun tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, Ko-heng gagah perkasa dan berjiwa besar, aku
orang she Yu merasa cocok denganmu, mana berani
memandang asing ...."
Sesudah berhenti sejenak, ia berpaling ke arah Ku-lo
Hwesio sambil melanjutkan, "Ku-lo Supek, silakan. Silakan
menuju ke ruang rapat, banyak jago lihai yang tergabung

17
dalam panitia pemakaman sudah berada dalam ruangan
menantikan kedatangan Supek."
Ku-lo Hwesio manggut-manggut.
"Kalau begitu harap Yu-hiantit membuka jalan."
Seusai berkata, Ku-lo Hwesio mengebaskan ujung bajunya
dan berjalan keluar ruangan itu mengikut di belakang Yu
Heng-sui dan kedelapan orang pengawal berbaju hitam itu,
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Bong Thian-gak
turut pula di belakang Ku-lo Hwesio beranjak pergi.
Setelah melewati tiga lapis halaman luas dan sebuah tanah
lapang, sampailah mereka di sebuah gedung yang
berpenjagaan amat ketat.
Gedung ini berloteng tingkat tiga yang megah seperti
keraton, empat penjuru penuh pengawal bersenjata lengkap,
suasananya begitu ketat, tegang dan menyeramkan seperti
hendak menghadapi serbuan musuh tangguh saja.
Menyaksikan keadaan itu, timbul suatu perasaan bimbang
di dalam hati Thian-gak, ia tidak habis mengerti, kematian
gurunya sebenarnya menyangkut masalah besar apa sehingga
suasana dalam gedung Bu-lim Bengcu dijaga dengan
sedemikian ketatnya.
Sementara itu Yu Heng-sui telah berpaling ke arah Ku-lo
Hwesio sambil berkata, "Jenazah Suhu disemayamkan di
loteng sana!"
Sementara pembicaraan berlangsung, dari balik pintu
tampak bermunculan belasan orang laki perempuan, ada
pendeta, Tosu, ada pula orang preman, ketika menyaksikan
kehadiran Ku-lo Hwesio, serentak mereka memberi hormat
seraya berkata, "Kami tidak dapat menyambut kedatangan
Sinceng dari jauh, harap sudi dimaafkan."

18
"Omitohud, kalian tidak usah banyak adat, Lolap sudah
datang mengganggu tidur kalian, sesungguhnya Lolaplah yang
harus minta maaf."
Bong Thian-gak yang berdiri di belakang Ku-lo Hwesio
menggunakan kesempatan itu mengawasi wajah para tokoh
silat yang berada di sana, tapi dengan cepat hatinya bergetar
keras.
Ternyata puluhan orang Enghiong yang hadir hampir
meliputi semua inti kekuatan yang ada di Bu-lim, bahkan
semuanya merupakan ketua-ketua partai persilatan yang
sudah termasyhur puluhan tahun lamanya.
Ketika sorot matanya dialihkan ke wajah seorang lelaki
setengah umur berbaju biru yang beralis tebal, bermata besar,
muka bulat, telinga persegi dan seorang gadis cantik yang
mengenakan pakaian berkabung, kembali sekujur tubuhnya
gemetar karena luapan emosi.
Ternyata lelaki setengah umur berbaju biru itu adalah Toasuhengnya,
Pa-ong-kiong (si Busur raja lalim) Ho Put-ciang,
sedang gadis berbaju putih itu adalah puteri tunggal gurunya,
Oh Cian-giok.
Sorot mata semua jago hampir sebagian besar dicurahkan
ke wajah Ku-lo Hwesio, maka tidak ada yang memperhatikan
Bong Thian-gak, apalagi Bong Thian-gak mengenakan baju
berwarna hitam, sehingga semua mengira dia adalah salah
seorang pengawal gedung Bu-lim Bengcu.
Hanya Oh Cian-giok, si nona baju putih itu yang
memperhatikan kehadiran Bong Thian-gak, hanya sekali lirikan
saja paras mukanya berubah hebat, tapi dengan cepat
wajahnya kembali seperti sediakala.
Setelah berbasa-basi sebentar, akhirnya Ku-lo Hwesio
bersama rekan-rekan pendekar lainnya beranjak masuk ke
ruang besar yang terang benderang itu.

19
Baru saja Bong Thian-gak hendak turut melangkah masuk,
tiba-tiba terdengar Oh Cian-giok yang berada di sisinya
berkata lantang, "Ji-suheng, Siangkong ini adalah jago lihai
dari perguruan mana?"
Tidak menanti Yu Heng-sui yang berada di belakangnya
menjawab, Bong Thian-gak segera membalik badan dan
menjura kepada Oh Cian-giok sambil memperkenalkan diri.
"Aku Ko Hong, tolong tanya apakah nona puteri
kesayangan Oh-bengcu?"
Sekarang Oh Cian-giok sudah bisa melihat jelas wajah Bong
Thian-gak yang pucat-pias bagai mayat, keningnya berkerut,
lalu sambil menggeleng, pikirnya, "Heran, sekilas pandangan
tadi, raut wajahnya seperti pernah kujumpai di suatu tempat,
tapi setelah diperhatikan lebih seksama, serasa tak kuingat
siapa gerangan orang ini?"
"Sumoay," terdengar Yu Heng-sui menjawab lantang, "Kosiauhiap
datang bersama Sinceng."
"Oh ...." buru-buru Oh Cian-giok menjura kepada Bong
Thian-gak sambil berkata, "Ko-siauhiap, terima kasih banyak
atas kehadiranmu turut melawat ayahku."
"Ai, kematian ayahmu benar-benar suatu kehilangan besar
bagi umat persilatan," Bong Thian-gak menghela napas.
"Ko-heng, kematian guruku secara lamat-lamat
menyangkut suatu ancaman maut bagi keamanan Bu-lim,"
kata Yu Heng-sui pula. "Malam ini, sengaja kuundang
kehadiran, Ku-lo Sinceng untuk bersama-sama membahas
ancaman bahaya yang telah semakin dekat ini .... Ko-heng
sebenarnya kau bukan termasuk anggota perserikatan,
bilamana tidak ada keperluan yang mendesak, lebih baik
janganlah melibatkan diri di dalam pertikaian ini."
Bong Thian-gak tersenyum.

20
"Sewaktu berada di loteng tadi, aku telah mengemukakan
suara hatiku, sejak kini biarpun harus terjun ke lautan api, aku
tidak akan menampik."
"Baiklah," kata Yu Heng-sui sambil manggut-manggut,
"KaJau begitu, silakan Ko-heng mengambil tempat duduk."
Sementara itu Ku-lo Sinceng dan para pendekar sudah
mengambil tempat duduk masing-masing. Puluhan orang
berkumpul membentuk suatu pertemuan.
Murid pertama Thi-ciang-kan-kun-hoan Oh Ciong-hu, yakni
Pa-ong-kiong Ho Put-ciang, murid kedua si Pemutus usus Yu
Heng-sui dan Oh Cian-giok duduk di kursi tuan rumah sebelah
timur, Ku-lo Sinceng duduk di sebelah barat, sedangkan Bong
Thian-gak duduk di sebelah kanan Ku-lo Hwesio.
Setelah semua orang duduk, si Busur raja lalim Ho Putciang
segera membuka suara, "Para pendekar dan orang
gagah sekalian, hari ini kita sengaja mengundang kehadiran
Ku-lo Sinceng yang telah menutup diri selama sepuluh tahun
untuk menghadiri pertemuan ini, tujuannya tak lain adalah
untuk menyelidiki sebab-sebab kematian guruku."
"Sesungguhnya siapa yang telah membunuh guru kami?
Dan apa yang menyebabkan kematiannya? Meski sudah
diperiksa dan diselidiki oleh semua jago berpengalaman,
alhasil hingga kini tetap merupakan suatu teka-teki yang
mencurigakan."
"Yang lebih mengherankan lagi adalah pada empat puluh
sembilan hari berselang, kuda tunggangan guru kami telah
pulang sendiri ke gedung Bu-lim Bengcu untuk mewartakan
kematiannya, kemudian kuda itu telah membunuh diri dengan
menerjang patung singa di depan pintu gerbang, disusul pula
lima orang tokoh persilatan yang kebetulan sedang bertamu di
dalam gedung ini ditemukan tewas secara misterius, sebabsebab
kematian mereka pun tidak berhasil ditemukan, karena
di tubuh masing-masing tidak dijumpai cidera atau luka,

21
mereka seakan-akan mati secara wajar, persis seperti keadaan
yang dialami guru kami."
"Omitohud!" Ku-lo Hwesio memuji keagungan sang
Buddha, "Siapa-siapa saja kelima tokoh persilatan itu?"
"Mereka adalah si Pukulan nomor wahid dari kolong langit
Ma Kong Loenghiong dari perguruan Sin-kun-bun, Liong-thau
Pangcu dari perkumpulan Hek-huo-pang Kwan Bu-peng,
Congpiauthau dari tujuh perusahaan ekspedisi gabungan
wilayah Kanglam Lui-hong-khek (Jago angin guntur) Gi Pengsan,
Loapcu dari benteng Jit-seng-po Tui-hun-pit (Pena
pengejar sukma) Cia Liang dan Thi-koan-im (Koan-im baja)
Han Nio-cu yang namanya disegani kaum Hek-to maupun Pekto."
Begitu nama kelima tokoh persilatan itu diungkap, Bong
Thian-gak serta sekalian pendekar mengerutkan dahi dengan
wajah serius.
Ternyata kelima tokoh silat itu tiada seorang pun yang
merupakan tokoh tanpa nama dalam Bu-lim, boleh dibilang
mereka merupakan pemimpin persilatan yang namanya
termasyhur dalam Bu-lim.
Siapa pun tak menyangka kalau di kolong langit terdapat
seorang gembong iblis yang mampu membunuh nyawa kelima
orang tokoh persilatan itu bersama-sama.
Dengan wajah sedingin es, pelan-pelan Ho Put-ciang
berkata, "Sampai dimanakah taraf kepandaian silat kelima
orang tokoh ini rasanya sudah diketahui setiap orang,
kenyataan mereka ditemukan tewas pada saat bersamaan
dalam gedung Bu-lim Bengcu, bayangkan saja betapa
mengejutkan peristiwa ini."
Ketika mendengar sampai di situ, mendadak Ku-lo Hwesio
memejamkan mata sambil termenung.

22
Si Busur raja lalim Ho Put-ciang menghela napas,
sambungnya lebih jauh, "Malam ketiga setelah kematian
kelima tokoh silat itu, tahu-tahu kelima sosok mayat itu lenyap
secara misterius."
"Apakah kelima sosok mayat itu lenyap dari dalam gedung
ini?" mendadak Ku-lo Hwesio mementang mata lebar-lebar.
"Benar, kelima sosok mayat itu telah dicuri orang."
Perasaan setiap jago yang hadir di situ kembali terasa
berat, sekarang mereka mulai sadar bahwa kasus ini
merupakan suatu peristiwa yang amat rumit dan aneh, bahkan
jika berita itu sampai bocor keluar, niscaya akan menimbulkan
pergolakan yang amat hebat di Bu-lim.
Kematian Oh Ciong-hu sendiri sudah membuat dunia
persilatan diliputi selapis kabut gelap, apabila peristiwa yang
lebih parah ini sampai meledak, mungkin bisa menciptakan
kemusnahan bagi seluruh umat persilatan.
Ku-lo Hwesio maupun para pendekar termenung
memikirkan persoalan itu, suasana dalam ruang rapat diliputi
ketegangan, keseraman dan kengerian, tekanan yang sangat
berat serasa menindih dada setiap orang.
Mendadak dari antara para jago melompat bangun seorang
kakek kurus berperawakan pendek.
"Menurut dugaan Lohu," ia berkata, "Kematian Ma Kong
berlima diliputi suatu masalah maha besar ...."
Sorot mata semua orang segera dialihkan ke wajahnya.
"Kongsun-tayhiap berhasil menemukan apa?" ucap Ku-lo
Hwesio pelan. "Coba utarakan lebih jelas agar bisa didengar
setiap orang yang hadir di sini."
Ternyata kakek yang berperawakan pendek kecil ini adalah
salah satu di antara tiga sesepuh Ciong-lam-san, yakni To-cising
(Si bintang banyak akal) Kongsun Phu-ki.

23
Kongsun Phu-ki memutar sepasang biji matanya yang kecil,
kemudian pelan-pelan berkata, "Menurut dugaan dan
perasaan indera keenam Lohu, sesungguhnya Ma Kong
berlima hingga kini belum ... mati."
Suasana gempar segera menyelimuti seluruh ruangan, para
jago berbisik-bisik menanggapi perkataan itu.
Ho Put-ciang tak dapat menahan sabar, dia segera
bertanya, "Apa bukti yang menjadi dasar pertimbangan
Kongsun-tayhiap, hingga kau berani mengatakan Ma Kong
berlima sesungguhnya belum mati?"
Kongsun Phu-ki tertawa dingin.
"Sesungguhnya kelima orang itu memang cuma pura-pura
mati, belum lama Lohu mendengar orang berkata bahwa
Koan-im baja Han Nio-cu mempunyai semacam obat mustika,
bilamana pil itu ditelan, maka satu jam kemudian jantung akan
berhenti berdenyut dan keempat anggota badannya jadi
dingin dan kaku. Keadaannya tak jauh berbeda dengan
keadaan orang mati."
"Ah, itu pil Tong-bian-wan!" mendadak terdengar Bong
Thian-gak berseru tertahan.
Seruan itu segera mengejutkan para jago, berpuluh pasang
mata serentak dialihkan ke arahnya.
Setelah semua pendekar melihat jelas raut wajahnya,
sambil berkerut kening diam-diam mereka berpikir, "Heran,
siapakah dia?"
Paras muka Kongsun Phu-ki berubah hebat, buru-buru
serunya, "Darimana kau bisa tahu pil itu bernama Tong-bianwan?"
Bong Thian-gak merasa amat tak leluasa ditatap sekian
banyak orang, segera jawabnya, "Aku pernah membaca
kupasan tentang obat itu serta sifat Tong-bian-wan dari
catatan sejilid kitab, menurut kitab itu, barang siapa menelan

24
pil ini, maka semua organ tubuh akan berhenti bekerja,
keadaan itu seperti ular yang tidur panjang di musim dingin,
tapi bila sifat dan daya kerja obat itu sudah habis, maka
kehidupan pun akan pulih seperti sedia kala."
"Dimanakah kau pernah membaca kitab itu?"desak
Kongsun Phu-ki lebih jauh.
"Dalam sebuah gua terpencil," Bong Thian-gak tersenyum
rawan. Kongsun Phu-ki menatap tajam wajah anak muda itu
beberapa saat lamanya, mendadak ia berkata lagi, "Siapakah
kau?"
"Aku she Ko bernama Hong."
"Anak murid dari perguruan mana?"
"Tanpa partai tanpa perguruan."
Mendadak Kongsun Phu-ki melompat ke tengah udara
setinggi satu tombak, kemudian tanpa menimbulkan sedikit
suara melayang turun tiga kaki di hadapan Bong Thian-gak,
bentaknya dengan suara keras, "Bila kau tidak menyebutkan
asal-usul perguruanmu, jangan harap kau bisa meninggalkan
gedung ini dalam keadaan hidup."
Ancaman yang diutarakan amat keras ini kontan membuat
suasana dalam ruang berubah menjadi tegang.
Sementara itu Ku-lo Hwesio dan Yu Heng-sui tetap duduk
tenang di tempat masing-masing tanpa melakukan sesuatu
tindakan, rupanya mereka pun ingin tahu asal-usul Bong
Thian-gak.
Mendadak di saat yang kritis itulah dari atas wuwungan
rumah berkumandang suara tawa dingin seseorang yang amat
mengerikan.
"He, monyet tua, lebih baik jangan menganiaya anak kecil."

25
Dampratan secara tiba-tiba itu kontan membuat paras
muka para pendekar yang berada di ruang rapat berubah
hebat.
Kongsun Phu-ki membentak gusar, sementara di
belakangnya mengikut Yu Heng-sui.
Untuk sesaat tampak bayangan orang berkelebat, para jago
serentak menerjang keluar ruangan.
Kini dalam ruangan tinggal Ku-lo Hwesio, Pa-ong-kiong Ho
Put-ciang, Oh Cian-giok dan Bong Thian-gak berempat yang
masih tetap duduk diam.
Namun paras muka mereka pun diliputi perasaan tegang,
bahkan Ho Put-ciang tiada hentinya mengawasi wajah Bong
Thian-gak dengan sorot matanya yang sangat tajam.
Akhirnya terdengar Ku-lo Hwesio menghela napas panjang,
kemudian berkata, "Sebenarnya ucapan tadi dipancarkan
dengan menggunakan ilmu Jian-li-hui-im (suara pantulan
seribu li) yang dikerahkan dengan menggunakan tenaga
dalam tingkat tinggi, ketika kalian mendengar suara itu, sang
pembicara telah berada satu li jauhnya dari sini. Ai,
tampaknya Bu-lim kembali dihadapkan pada suatu ancaman
maha besar."
Baru selesai pendeta itu berkata, tampak Kongsun Phu-ki
dengan wajah gusar telah muncul kembali dalam ruangan,
tangan kirinya membawa segulung kain putih, sedang di
belakangnya mengikut enam-tujuh orang jago.
Sambil melompat bangun dari tempat duduknya, Ho Putciang
segera bertanya, "Kongsun-tayhiap, apa yang telah
engkau temukan?"
Kongsun Phu-ki membentang kain putih dalam
genggamannya itu ke atas meja, lalu serunya dengan gusar,
"Coba kalian saksikan sendiri!"

26
Setelah kain putih itu dibentang di meja, terbacalah sederet
tulisan di atas kain putih itu: "To-ci-sing Kongsun Phu-ki tak
akan hidup melebihi bulan setan".
Yang dimaksud bulan setan adalah bulan ketujuh,
sedangkan hari ini adalah tanggal dua puluh tiga, berarti dia
takkan bisa hidup melebihi tujuh hari lagi.
Kontan semua orang terbelalak dengan mulut melongo,
mereka sama-sama memandang ketiga belas patah kata itu
dengan terkesima.
Sementara itu Yu Heng-sui dan para jago lainnya pun telah
pulang dengan tangan hampa.
Sewaktu mereka menyaksikan ketiga belas patah kata yang
tertera di atas kain putih itu, semua orang terbungkam dan
saling pandang.
Akhirnya Pa-ong-kiong Ho Put-ciang menarik napas
panjang; katanya, "Kongsun-tayhiap, kau menemukan kain
putih ini dimana?"
"Di atas tiang lentera di tengah lapangan sana," sahut
Kongsun Phu-ki sambil tertawa dingin.
"Penjagaan di gedung Bengcu ini dilakukan amat ketat,
bahkan jauh lebih ketat daripada penjagaan dalam keraton
kaisar, kenyataan pihak lawan dapat keluar masuk dengan
leluasa, malah mengganti kain putih di tengah lapangan tanpa
diketahui orang, kelihaian orang itu pada hakikatnya sukar
dilukiskan dengan kata-kata!"
"Sebenarnya siapakah orang ini?" bentak Kongsun Phu-ki
dengan suara lantang. Tangan kirinya menuding Bong Thiangak,
sementara sorot matanya yang tajam melotot gusar ke
arah Ho Put-ciang.
"Ko-siauhiap datang ke gedung Bengcu ini bersama Ku-lo
Sinceng!" buru-buru Yu Heng-sui berkata.

27
Yu Heng-sui cukup cerdas dan cekatan, dia dapat melihat
situasi malam ini telah mengubah Bong Thian-gak menjadi
orang yang amat mencurigakan, bila kesepakatan tidak
ditemukan, bisa jadi keadaan akan berkembang mengerikan.
Para pendekar yang hadir dalam ruangan rapat rata-rata
adalah anggota pengurus perserikatan dunia persilatan,
kedudukan mereka amat tinggi dan kekuatannya amat besar,
merekalah yang akan bertanggung jawab dalam pemilihan
pergantian Bengcu.
Tapi kini ia membicarakan seseorang yang tidak jelas
identitasnya yang telah memasuki ruang sidang, bahkan turut
dalam perundingan rahasia itu, jelas tindakan ini merupakan
suatu pelanggaran peraturan yang sangat besar.
Itulah sebabnya maka ia lantas memutar otak dan
melimpahkan semua tanggung jawab itu ke atas pundak Ku-lo
Hwesio.
Goan-hui Taysu, ketua Siau-lim-pay sekarang merupakan
ketua pengurus Bu-lim Bengcu, padahal Ku-lo Sinceng adalah
Supek dari Goan-hui Taysu, dia pun ketua pengurus yang lalu,
bisa dibayangkan betapa tingginya kedudukan orang ini.
Betul juga, Kongsun Phu-ki segera menarik kembali hawa
amarahnya sesudah mendengar perkataan Yu Heng-sui,
sambil berpaling ke arah Ku-lo Hwesio, tanyanya, "Tolong
tanya Sinceng, orang ini berasal dari perguruan mana?"
"Kongsun-tayhiap," jawab Ku-lo Hwesio cepat, "Harap kau
segera menenangkan hatimu, Ko-sicu adalah orang dari aliran
kita."
Dengan dasar ucapan itu, serentak para jago membuang
sebagian rasa curiganya terhadap Bong Thian-gak.
Dengan suara dalam, Ho Put-ciang lantas berkata, "Para
pendekar, silakan duduk kembali untuk melanjutkan
perundingan kita."

28
Para pendekar secara beraturan menempati tempat
duduknya masing-masing, kemudian Ui-hok Totiang dari Butong-
pay angkat bicara, katanya, "Pihak lawan telah
meninggalkan tiga belas patah kata itu dalam gedung Bengcu,
menurut pendapat Pinto, lebih baik dalam tujuh hari ini
Kongsun-tayhiap meningkatkan kewaspadaan."
Kongsun Phu-ki tertawa dingin, "Hehehe, terima kasih
banyak atas perhatian Ui-hok Totiang, Lohu percaya paling
tidak aku masih dapat hidup sepuluh tahun lagi."
"Kongsun-tayhiap, harap kau jangan gusar," kembali Ui-hok
Totiang berkata serius, "kau harus tahu, musuh yang datang
pasti bermaksud jelek, orang yang bermaksud baik tak akan
begini cara datangnya, sekarang mereka sudah berani
menantang kita secara terang-terangan, sudah pasti hal ini
bukan cuma gertak sambal belaka."
Kongsun Phu-ki kembali tertawa dingin.
"Lohu tidak percaya dengan segala macam kepandaian
setan mereka. Hehehe ... sudah puluhan tahun Kongsun-loji
malang melintang dalam Bu-lim tanpa kuatir bertemu setan,
aku minta kalian tak usah menguatirkan tentang diriku."
Setelah berhenti sebentar, sambungnya, "Sekarang aku
punya suatu persoalan yang membuat hatiku bingung, tadi
ketika aku mendengar suara lawan, sesungguhnya selisih
waktu kami hanya sekejap mata, kendatipun orang itu
memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat hebat, sulit
rasanya untuk menghindar dari pengawasan mata Lohu,
apalagi di sekeliling halaman ini penuh dengan pengawal yang
berjumlah tiga puluhan orang, tapi kenyataannya tak seorang
pun di antara mereka yang menemukan jejak musuh."
Yu Heng-sui pun diliputi perasaan berat, ujarnya, "Tadi
secara beruntun aku telah menanyai para pengawal yang
berjaga di ketujuh lapis halaman gedung, ternyata tak seorang

29
pun di antara mereka yang menemukan jejak musuh, juga
tidak mendengar sedikit suara pun."
"Pernahkah Sicu sekalian mendengar semacam kepandaian
yang disebut Jian-li-hui-im?" ujar Ku-lo Hwesio pelan. "Dengan
menghimpun tenaga dalam, seseorang dapat menghimpun
nada suaranya menjadi gelombang suara dan dipancarkan ke
dalam telinga manusia dari jarak ratusan kaki."
Begitu mendengar uraian itu, paras muka para jago
berubah hebat.
"Ai, kalau begitu ilmu silat lawan benar-benar telah
mencapai puncak kesempurnaan?"
"Kepandaian lawan memang bukan sembarangan, cuma di
antaranya justru terdapat kelicikan ...."
Bicara sampai di sini, Ku-lo Sinceng memejamkan mata
sambil berpikir sejenak, kemudian mengalihkan pokok
pembicaraan ke soal lain, "Ho-hiantit, kau paling lama
mengikuti Oh-bengcu, tahukah kau selama hidup gurumu
pernah terjadi peristiwa besar? Mungkinkah orang-orang itu
akan membalas dendam terhadap gurumu?"
"Selama hidup Suhu bersikap amat baik terhadap siapa
pun, berjiwa sosial dan suka membantu orang, boleh dibilang
tak punya seorang musuh pun, sekali pun ada, itu pun
manusia-manusia kurcaci dunia rimba hijau, Sutit sudah
membuang waktu selama setengah bulan melakukan
penyelidikan, sebagian besar di antara mereka telah
meninggal, yang belum mati pun telah dihukum Suhu hingga
cacat, cuma di antaranya terdapat tiga orang yang sangat
mencurigakan, hingga kini jejak mereka masih belum
ditemukan."
"Siapa ketiga orang itu? Harap Hiantit jelaskan."

30
Pa-ong-kiong Ho Put-ciang termenung sejenak, lalu ujarnya
dengan suara dalam, "Pertama adalah Suci Suhu kami yang
bernama Ho Lan-hiang."
Mendengar nama Ho Lan-hiang disinggung, paras muka
Ku-lo Hwesio berubah, ujarnya, "Pada sepuluh tahun lalu, Ho
Lan-hiang sudah termasyhur sebagai perempuan paling cantik
di wilayah Kanglarn, tapi dia hanya muncul sebentar saja
dalam Bu-lim, kemudian lenyap, hingga kini jejaknya tidak
jelas, semasa gurumu masih hidup, Lolap pun pernah
mendengar ia membicarakan Ho Lan-hiang, kalau dia adalah
Suci (kakak seperguruan) gurumu, tentunya tak mungkin
punya perselisihan dengan gurumu, jadi aku rasa tidak
sepantasnya kita mencurigai dia sebagai orang yang
membunuh Oh-bengcu."
Pa-ong-kiong Ho Put-ciang mengangguk berulang kali,
kembali katanya, "Orang kedua adalah Tio Tian-seng, seorang
jago silat yang pernah menggemparkan dunia persilatan pada
tiga puluh tahun lalu ...."
Mendengar nama Tio Tian-seng, kembali para jago saling
berbisik, seakan-akan setiap orang mengetahui nama itu.
Rupanya Tio Tian-seng sudah termasyhur di Bu-lim sejak
tiga puluh enam tahun lalu, dia hanya tiga tahun berkelana
dalam Bu-lim, mengandalkan pedang sesatnya, beruntun dia
berhasil merobohkan delapan puluh satu jago pedang
kenamaan sehingga dijuluki Mo-kiam-sin-kun (Malaikat sakti
pedang iblis).
Di masa lalu, bila orang menyinggung Mo-kiam-sin-kun Tio
Tian-seng, maka baik jagoan dari golongan sesat maupun
golongan putih, rata-rata orang menaruh rasa hormat dan
gentar kepadanya.
Ku-lo Hwesio termenung beberapa saat lamanya, kemudian
baru pelan-pelan berkata, "Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng
memang seorang pendekar aneh dunia persilatan,

31
pertarungan sengit antara Tio Tian-seng melawan almarhum
Oh-bengcu di puncak Im-soat-hong di bukit Si-ciang-san pada
tiga puluh tujuh tahun berselang memang betul-betul
merupakan suatu pertarungan yang paling mengagumkan
sepanjang sejarah...."
"Ku-lo Supek," tiba-tiba Yu Heng-sui menyela, "Ketika Tio
Tian-seng menantang Suhu kami bertarung di puncat Im-soathong,
bukankah Supeklah yang bertindak sebagai juri?"
Ku-lo Hwesio manggut-manggut, "Benar, waktu itu
memang Lolap bertindak sebagai wasit... pertarungan sengit
itu berlangsung tiga hari tiga malam sebelum akhirnya tahu
siapa menang siapa kalah, waktu itu almarhum Oh-bengcu
hanya berhasil menang setengah jurus."
Ku-lo Hwesio berhenti sebentar, kemudian baru
sambungnya, "Sejak menderita kekalahan di puncak Im-soathong
di bukit Si-ciang-san, Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng
mengundurkan diri dari keramaian dunia persilatan, selama
tiga puluhan tahun belakangan ini sudah tidak pernah
terdengar lagi namanya, juga tiada orang yang mengetahui
jejaknya ... benar, Tio Tian-seng pernah keok di tangan Thiciang-
kan-kun-hoan Oh Ciong-hu, mungkin dia akan
melakukan balas dendam."
Pa-ong-kiong Ho Put-ciang segera melanjutkan
perkataannya tentang orang ketiga yang dicurigai, "Orang
ketiga adalah Bong Thian-gak, seorang murid Suhu yang
dikeluarkan dari perguruan."
Hampir saja Bong Thian-gak yang duduk di sampingnya
menjerit kaget mendengar ia dituduh sebagai orang ketiga
yang dicurigai telah membunuh gurunya.
Mimpi pun dia tak menyangka kalau dirinya bisa
dicantumkan sebagai salah seorang yang dicurigai.
"Apakah dia adalah bocah cilik yang diterima almarhum Ohbengcu
sebagai muridnya yang terakhir?" tanya Ku-lo Hwesio.

32
"Benar," sahut Pa-ong-kiong Ho Put-ciang setelah
menghela napas sedih.
"Bong Thian-gak memang adik seperguruanku yang
terkecil."
Sambil menghela napas, Ku-lo Hwesio segera menggeleng,
"Siau Gak si bocah cilik ini sangat penurut dan alim, dia pun
cerdik, terutama bakatnya yang bagus, dia juga amat
berbakat belajar silat ... sebenarnya apa yang telah terjadi?
Waktu itu Lolap sudah menutup diri dalam kuil Siau-lim-si,
harap Hiantit suka memberi keterangan."
Kembali Pa-ong-kiong Ho Put-ciang menghela napas
panjang, "Bong Thian-gak Sute memang seorang bocah yang
menyenangkan, sekali pun dia telah dikeluarkan dari
perguruan, Suhu beserta segenap saudara seperguruannya
masih tetap merindukan dia."
Setelah berhenti sejenak, lalu sambungnya, "Peristiwa ini
terjadi pada musim panas tujuh tahun berselang, Sam-sute
Siau Cu-beng dan Su-sute Bong Thian-gak mendapat perintah
Suhu untuk berangkat ke Ci
Kang guna menjemput Subo pulang ke Kay-hong, di tengah
jalan mereka kakak beradik seperguruan saling berdebat
tentang ilmu silat, akhirnya perdebatan itu dilanjutkan dengan
pertarungan di puncak bukit, dasar keduanya berdarah muda
dan ingin mencari menang sendiri, mereka saling tak mau
mengalah hingga pertarungan tak dapat dihindari lagi ... dan
Sam-sute Siau Cu-beng kena dihajar oleh Su-sute Bong Thiangak
hingga tercebur ke dalam jurang, hingga kini mayatnya
tak pernah ditemukan."
Bong Thian-gak yang mendengar perkataan itu diam-diam
hatinya amat sakit, pekiknya di hati, "Toa-suheng, wahai Toasuheng,
kau tidak mengetahui rahasiaku, tak mungkin aku
berebut soal ilmu silat dengan Sam-suheng hingga
membunuhnya. Sesungguhnya aku mempunyai rahasia yang

33
tidak bisa diberitahukan kepada Suhu dan kalian, oleh sebab
itu mau tak mau aku harus mengarang sebuah cerita kepada
kalian guna menutupi kenyataan yang sesungguhnya."
Sementara itu Ku-lo Hwesio telah bertanya setelah selesai
mendengar kisah itu, "Siapa yang menyaksikan Bong Thiangak
telah menghajar Siau Cu-beng hingga terjatuh ke dalam
jurang?"
Pa-ong-kiong Ho Put-ciang menggeleng kepala berulang
kali.
"Mereka kakak beradik sedang berada dalam perjalanan
menuju ke wilayah Ci Kang, saat peristiwa itu terjadi, kami
tahu dari pengakuan Bong Thian-gak sendiri kepada Suhu
sekembalinya dari Kay-hong."
"Ketika Suhu mendengar peristiwa itu, beliau gusar sekali,
hampir saja dia orang tua hendak membunuhnya, tapi entah
mengapa Suhu tidak melanjutkan serangan itu, ditambah Susute
dan Ji-sute serta Oh-sumoay memohon ampun baginya,
akhirnya Suhu pun mengampuni dosa Su-sute dan
mengusirnya dari perguruan serta putus hubungan antara
guru dan murid."
Bong Thian-gak merasa sedih sekali, kembali ia bergumam,
"Oh, Toa-suheng! Tahukah kau, sewaktu kuhajar Siau Cubeng
Sam-suheng hingga jatuh ke dalam jurang, ada seorang
yang menyaksikan kejadian itu, orang itu adalah Subo ...
ketika kubunuh Sam-suheng, waktu itu dalam perjalanan
pulang dari Ci Kang menuju ke Kay-hong setelah menjemput
Subo."
"Siancay! Siancay! Sungguh tak kusangka selama Lolap
menutup diri, dalam keluarga almarhum Oh-bengcu telah
berlangsung peristiwa semacam ini, ai! Bong Thian-gak si
bocah itu meski memiliki hawa membunuh yang berat, namun
dia adalah seorang bocah yang berhati mulia dan baik."

34
"Ai, sejak dikeluarkan dari perguruan, selama tujuh tahun
ini Bong Thian-gak tak diketahui jejaknya lagi, mati hidupnya
hingga kini belum diketahui!"
Diam-diam Bong Thian-gak mengucurkan air mata, kembali
ia membatin dengan sedih, "Toa-suheng, wahai Toa-suheng,
tahukah kalian, selama tujuh tahun ini aku telah merasakan
banyak penderitaan dan siksaan ... ketika aku baru dipecat
dari perguruan, pembunuh-pembunuh yang dikirim Subo telah
datang mengejekku ... hampir saja aku tewas dalam
penghadangan itu. Kaki kiriku menjadi pincang adalah hadiah
dari Subo. Aku amat membenci kebejatan moral Subo,
sebenarnya ingin kuungkap semua rahasianya, tapi aku
terlampau menghormati dan menyayangi guruku, terpaksa
semua penderitaan ini hanya kusimpan dalam hati, itulah
sebabnya hingga kini tujuh tahun kemudian aku belum pernah
membocorkan rahasia ini kepada siapa pun, oh Toa-suheng,
kalian jangan salah menuduh diriku sebagai pembunuh Suhu!"
Sementara itu terdengar Yu Heng-sui berkata dengan
wajah serius, "Su-sute Bong Thian-gak adalah pemuda yang
perasa, dia gampang menaruh dendam pada orang, kami
kuatir lantaran dia diusir dari perguruan oleh Suhu, hingga
akhirnya timbul niat untuk menghabisi nyawa Suhu."
Oh Cian-giok yang selama ini hanya membungkam diri tibatiba
turut berbicara dengan air mata bercucuran, "Yu-suheng,
aku rasa Su-sute tak akan bertindak sekejam ini, dia ...
keesokan hari setelah ia dikeluarkan dari perguruan, aku
pernah melakukan pembicaraan dari hati ke hati dengan Bong
Thian-gak Sute waktu itu, tampaknya dia seperti menyimpan
suatu rahasia besar yang sukar untuk diutarakan."
Bong Thian-gak yang menyaksikan kejadian ini dari sisi
arena ingin sekali melompat keluar dan membeberkan semua
kejadian yang sebenarnya.
Selama tujuh tahun ini, dia telah merasakan penderitaan
dan siksaan yang tak mungkin bisa ditahan oleh kebanyakan

35
orang, sehingga semua itu menciptakan suatu kemampuan
untuk mengendalikan diri yang luar biasa, hingga akhirnya
segala sesuatunya dapat ditahan dan dilewatkan begitu saja.
Ia tidak dapat membuka rahasia identitasnya, lebih-lebih
lagi tak boleh mengungkap rahasia memalukan antara
Subonya dengan Sam-suhengnya, kendatipun kini gurunya
telah tiada, namun hal itu tetap akan merugikan nama
baiknya.
Ku-lo Hwesio menghela napas panjang, katanya,
"Walaupun Bong Thian-gak boleh saja dicurigai sebagai
pembunuh gurunya, tapi menurut pendapat Lolap
kemungkinannya kecil sekali, harus diketahui, orang yang bisa
membunuh almarhum Oh-bengcu jelas bukan seorang murid
yang baru tujuh tahun meninggalkan perguruan, kepandaian
silat Oh Ciong-hu Bengcu sedemikian hebat, Lolap sendiri pun
sulit menangkan dia, apalagi seorang muridnya."
Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan, "Tentu saja
lantaran Bong Thian-gak belum diketahui kabar beritanya
hingga sekarang, kita boleh saja menuduhnya sebagai salah
seorang yang dicurigai ... cuma menurut pendapat Lolap, dari
tiga orang yang dicurigai Ho-hiantit, aku lebih mencurigai Mokiam-
sin-kun Tio Tian-seng."
"Kau harus tahu, sewaktu masih berkelana di Bu-lim
dahulu, Tio Tian-seng mempunyai ambisi menjadi manusia
paling kosen di Bu-lim, tapi ambisi itu buyar setelah ia
dikalahkan oleh Oh Ciong-hu Bengcu, kekalahan yang
dideritanya ini membuat pamornya sewaktu berhasil
mengalahkan delapan puluh satu jago pedang pun buyar
dalam semalam saja, pukulan batin yang begini berat bagi
orang yang berwatak aneh macam dia, kadangkala bisa
berubah menjadi dendam kesumat yang dalam sekali, oleh
karena itu kukatakan bahwa Tio Tian-seng adalah orang yang
paling mencurigakan."

36
"Di samping itu keberhasilan Tio Tian-seng pada tiga puluh
tahun berselang sudah seimbang dengan Oh Ciong-hu
Bengcu, bila selama tiga puluh tujuh delapan tahun ini dia
berlatih secara tekun, bisa jadi kepandaiannya akan berhasil
melampaui Oh Ciong-hu Bengcu."
Mendengar uraian Ku-lo, para jago tak membantah lagi,
semua orang pun menganggap pentolan yang berada di balik
kabut kegelapan di Bu-lim adalah Tio Tian-seng.
Bahkan Bong Thian-gak sendiri pun berpendapat demikian,
diam-diam dia mengertak gigi sambil bertekad hendak
membunuh Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng untuk membalas
dendam bagi kematian gurunya.
Ku-lo Hwesio mengangkat kepala dan memandang sekejap
suasana gelap di luar jendela, kemudian ujarnya lagi,
"Membalas dendam bagi almarhum Oh-bengcu dan
melenyapkan bibit bencana serta menegakkan kembali
keadilan dan kebenaran di Bu-lim bukankah pekerjaan yang
dapat diselesaikan sehari dua hari saja, kini musuh berada
dalam kegelapan dan kita berada di tempat terang, terpaksa
untuk sementara kita berada di posisi yang diincar, karenanya
bila Sicu sekalian tidak mempunyai urusan penting, tak ada
salahnya tinggal dahulu di gedung Bu-lim Bengcu untuk
sementara waktu."
Para pendekar dari sembilan partai besar tidak memberi
komentar apa-apa, mereka menyetujui usul itu.
Mendadak Pa-ong-kiong Ho Put-ciang berkata, "Hingga hari
ini Suhu sudah mati empat puluh sembilan hari, tapi jabatan
Bu-lim Bengcu masih tetap kosong, entah bagaimanakah
pendapat Ku-lo Supek dalam hal ini?"
"Soal itu gampang untuk diselesaikan, bagaimana pun juga
Sicu yang hadir di sini sekarang adalah anggota pengurus
perserikatan dunia persilatan, soal Bengcu baru tentu saja
harus dipilih, tapi bukan mesti dipilih dalam waktu singkat,

37
meski demikian, untuk sementara kita memang boleh saja
memilih seorang wakil Bengcu yang akan mengurus semua
masalah."
Ku-lo Hwesio adalah ketua pengurus perserikatan generasi
lalu, setelah ia mengusulkan demikian, semua menyatakan
persetujuannya, sedang mengenai siapa yang akan dipilih,
tidak ada yang mengajukan usul.
Kembali Ku-lo Hwesio berkata, "Orang yang dipilih menjadi
wakil Bengcu paling baik bila seorang yang mengerti berbagai
masalah dalam Bu-lim, daripada kita harus membuang waktu
untuk mengajar padanya mengurusi soal-soal itu, itulah
sebabnya Lolap usulkan paling baik jika 1 Iiantit saja yang
menduduki jabatan itu, entah bagaimanakah pendapat
saudara sekalian?"
Semua jago segera menyatakan persetujuannya
mendengar perkataan itu.
Buru-buru Ho Put-ciang menampik, katanya, "Ku-lo Supek,
Sutit kurang berpengalaman, kurang cocok memikul tanggung
jawab yang berat ini."
"Ho-tayhiap," Ui-hok Totiang dari Bu-tong-pay berkata,
"Kau merupakan Tongcu yang mengurusi masalah luar dan
dalam Bu-lim dewasa ini, setelah Oh-bengcu berpulang ke
alam baka dan Bengcu baru belum terpilih, rasanya kecuali
Ho-tayhiap yang cocok untuk jabatan ini, sulit buat kita
mencari pengganti lainnya, buat apa Ho-tayhiap meski
menampik?"
"Dunia persilatan dewasa ini sedang terancam oleh suatu
badai pembunuhan yang mengerikan," ujar Ho Put-ciang
dengan suara dalam, "aku kuatir...."
Ku-lo Hwesio tidak memberi kesempatan padanya
melanjutkan perkataan itu, segera ia menukas, "Sudah dua
puluh tahun Ho-hiantit mengikuti Oh-bengcu almarhum, bicara
soal ilmu silat, kau telah mendapat seluruh warisan ilmu silat

38
Oh Ciong-hu, selain itu kau jujur dan berbudi luhur, cocok
untuk jabatan pemimpin dunia persilatan. Kau pun tak usah
menampik lagi, bersiap-siaplah untuk menerima jabatan itu."
Sebagai seorang yang berpengalaman, sudah tentu Ho Putciang
dapat menangkap maksud yang lebih mendalam di balik
perkataan Ku-lo Hwesio itu, terpaksa dia pun mengiakan.
"Atas kepercayaan serta kasih sayang Cianpwe sekalian,
aku orang she Ho mengucapkan banyak terima kasih, tapi
selanjutnya aku masih membutuhkan banyak petunjuk serta
nasehat dari para Loheng."
Bong Thian-gak bersyukur dalam hati mendengar Toasuhengnya
terpilih sebagai wakil Bengcu, ia cukup tahu
kebijaksanaan dan kejujuran Toa-suhengnya, terutama soal
ketenangan dan ketegasan menghadapi persoalan, ia memang
berbakat menjadi seorang pemimpin dunia persilatan.
Bicara soal ilmu silat, kepandaiannya pun tidak di bawah
kemampuan Ciangbunjin partai mana pun, meski di hari-hari
biasa Toa-suhengnya memang jarang bertanding melawan
orang lain, namun menurut apa yang diketahuinya, tenaga
dalam gurunya belum tentu lebih tinggi daripada kemampuan
Toa-suhengnya ini.
Oleh sebab itu Bong Thian-gak amat bersyukur karena
dunia persilatan telah memperoleh seorang pemimpin yang
jujur, bijaksana dan berwibawa.
Tiba-tiba Ku-lo Hwesio bangkit seraya berkata, "Lolap rasa
perundingan kita malam ini cukup sampai di sini saja, besok
baru akan kuperiksa lagi jenazah Oh-bengcu."
"Yu-sute!" dengan cepat Ho Put-ciang ikut beranjak
bangun, "cepat siapkan tempat penginapan buat Ku-lo Supek
serta Ko-cuangsu. Malam ini telah merepotkan para pendekar
sekalian."

39
Sesudah hampir sebulan lamanya kawanan jago silat itu
berdiam dalam gedung Bengcu, mereka kembali ke kamar
masing-masing untuk beristirahat.
Toan-cong-hong-liu Yu Heng-sui juga berangkat lebih dulu
untuk mempersiapkan tempat pemondokan bagi Ku-lo Hwesio
dan Bong Thian-gak.
Dengan demikian dalam ruang pertemuan tinggal Ku-lo
Sinceng, Ho Put-ciang, Bong Thian-gak dan Oh Cian-giok
berempat.
Menanti semua orang berlalu, Ku-lo Hwesio baru berkata
sambil menghela napas panjang, "Ho-hiantit, pihak musuh
telah menyelundup ke dalam gedung Bu-lim Bengcu, apakah
kau belum merasakan hal itu?"
Diam-diam Bong Thian-gak dan Oh Cian-giok merasa
terperanjat, mata mereka serentak dialihkan ke wajah pendeta
agung itu.
Dengan sedih Ho Put-ciang manggut-manggut.
"Ya, Sutit memang sudah merasa pihak lawan telah
menyelundup ke dalam gedung ini, tapi Sutit tak mampu
menyelidik siapa gerangan mereka."
"Untuk sementara waktu, berita ini lebih baik kita simpan
dulu rapat-rapat, jangan sampai diketahui anggota pengurus
lain," ujar Ku-lo Hwesio dengan sinar mata berkilat. "Siapa
tahu mata-mata yang dikirim pihak lawan justru berada di
antara kawanan pendekar itu."
"Entah bagaimana rencana Ku-lo Supek menyelidiki matamata
ini?" tanya Ho Put-ciang kemudian.
Ku-lo Hwesio termenung beberapa saat, mendadak dia
berpaling ke arah Bong Thian-gak dan berkata, "Ko-sicu, Lolap
mempunyai suatu permintaan, entah Sicu bersedia
mengabulkan atau tidak?"

40
"Aku merasa berhutang budi pada Oh-bengcu yang telah
tiada, sekali pun harus terjun ke lautan api pun aku bersedia."
Ku-lo Hwesio manggut-manggut, "Lolap ingin memohon
kepada Sicu agar secara diam-diam melindungi Kongsun Phuki
selama tujuh hari ini, mengawasi pula gerak-geriknya, entah
tugas ini dapat kau laksanakan atau tidak?"
"Aku siap melaksanakan tugas ini!" sahut Bong Thian-gak
dengan cepat.
Setelah menyaksikan Ku-lo Hwesio begitu mempercayai
Bong Thian-gak, Ho Put-ciang dan Oh Cian-giok merasa lega
juga, cuma mereka berdua kelewat menghormati Ku-lo
Sinceng, sehingga tidak ada yang berani memberi komentar
apa-apa.
Kembali Ku-lo Hwesio berkata, "Kecuali Ko-sicu yang
bertugas mengawasi gerak-gerik Kongsun Phu-ki secara diamdiam,
Ho-hiantit, Yu-hiantit, serta Oh-titli juga harus
meningkatkan kewaspadaan mengawasi gerak-gerik para
pendekar secara diam-diam, terutama para pengawal dalam
gedung. Jika dugaan Lolap tidak salah, di antara para
pendekar sudah pasti terdapat mata-mata, kemudian oleh
mata-mata ini berita itu disampaikan kepada musuh yang
bertugas sebagai pengawal dalam gedung."
Terhadap ketelitian dan keseksamaan Ku-lo Hwesio
berpikir, Ho Put-ciang, Bong Thian-gak, serta Oh Cian-giok
merasa kagum sekali.
Tiba-tiba Bong Thian-gak bertanya, "Ku-lo Taysu, aku
masih ada satu persoalan yang kurang jelas, mohon
petunjuk."
"Soal apa, Ko-sicu? Katakan terus terang."
"Tadi Taysu menyinggung ilmu Jian-li-hui-im, masa di Bulim
dewasa ini ada orang yang mampu melatih ilmu Khikang
tingkat tinggi itu hingga mencapai tingkatan sempurna,

41
sehingga dia sanggup mengirim suara ke telinga orang dari
jarak ratusan kaki?"
Agak terkejut juga Ku-lo Sinceng mendapat pertanyaan dari
anak muda itu, pikirnya, "Tampaknya anak muda ini benarbenar
memiliki ilmu silat yang luar biasa, kalau tidak,
darimana dia bisa mengetahui rahasia ilmu Jian-li-hui-im?"
Berpikir sampai di situ, ia lantas menjawab sambil
tersenyum, "Pengetahuan Ko-sicu amat luas, tentunya kau
tahu bukan tiada manusia di dunia ini yang sanggup melatih
kepandaian sakti itu seperti apa yang didongengkan."
Mendengar ucapan itu, seperti memahami sesuatu, Bong
Thian-gak berkata, "Jadi Taysu sudah tahu yang dikirim lewat
Jian-li-hui-im itu sesungguhnya berasal dari dalam ruang
pertemuan?"
Ku-lo Hwesio tersenyum.
"Benar, pada saat itu juga Lolap sudah tahu! Tapi waktu
itu, Lolap juga tak bisa menemukan suara itu berasal dari
siapa. Agar mata-mata yang menyelundup masuk tidak
menyadari, sengaja aku menggunakan cerita Jian-li-hui-im
untuk mengaburkan suasana."
Ho Put-ciang dan Oh Cian-giok jadi bertambah bingung
mendengar tanya jawab itu.
Oh Cian-giok berkata, "Ku-lo Supek, sebenarnya ilmu
Khikang macam apa Jian-li-hui-im itu?"
Ku-lo Hwesio tertawa, "Jian-li-hui-im adalah sejenis ilmu
Coan-im-ji-im atau Gi-hi-coan-im, hanya bedanya ilmu Coanim-
ji-im dan Gi-hi-coan-im merupakan pancaran hawa Khikang
yang memaksa nada suara seseorang berubah menjadi
getaran gelombang yang bisa dikirim ke tempat tujuan dalam
jarak puluhan kaki saja, kecuali orang yang bersangkutan,
yang lain tidak dapat mendengar suara itu."

42
"Sedang ilmu Jian-li-hui-im justru merupakan kebalikannya,
pancaran gelombang suaranya tidak mengelompok ke satu
tujuan saja, melainkan memancar kemana-mana dengan lebih
mengutamakan getaran baliknya atau gaung suara
pantulannya."
"Seperti misalnya orang yang mengucapkan kata-kata
makian tadi, sesungguhnya musuh yang memancarkan ilmu
itu berada dalam ruang pertemuan juga, tapi berhubung suara
itu dipancarkan dengan ilmu Jian-li-hui-im, akibatnya suara
tadi menyebar dan memantul kembali setelah membentur
langit-langit ruangan."
Oh Cian-giok hanya bisa membelalakkan mata mendengar
penjelasan itu, ia benar-benar merasa kaget bercampur
keheranan.
Mendadak sambil berpaling ke arah Bong Thian-gak, ia
berkata, "Mengapa kau pun mengetahui rahasia itu?"
Pertanyaan ini diucapkan dengan nada polos dan kekanakkanakan,
membuat orang tidak bisa menampik pertanyaan itu.
Bong Thian-gak merasa sangat geli, sahutnya, "Sebab aku
sendiri pun memahami rahasia ilmu Jian-li-hui-im itu."
"Jadi kau ... kau juga bisa ...."
Bong Thian-gak seperti memahami apa yang dimaksudkan,
dengan wajah bersungguh-sungguh katanya, "Tak usah kuatir
nona Oh, aku adalah orang sendiri."
"Ai, kalau memang begitu, apa sebabnya kau merahasiakan
asal-usul perguruanmu?" kata Oh Cian-giok sambil menghela
napas sedih.
"Ai, dalam hal ini aku harus minta maaf kepada kalian,
sebab aku benar-benar punya kesulitan yang membuatku tak
dapat menjelaskan asal-usul perguruanku."

43
Ho Put-ciang kuatir desakan Oh Cian-giok akan
menyinggung perasaan Bong Thian-gak, buru-buru teriaknya,
"Sumoay, kau jangan memaksa orang mengutarakan
persoalan yang jadi beban pikirannya, mungkin Ko-cuangsu
benar-benar memiliki kesulitan yang tidak bisa diutarakan,
padahal soal asal-usul bukan soal besar, asal saja hatinya
bersih dan berpihak pada kita, dia tetap merupakan sahabat
kita."
Meskipun Oh Cian-giok tidak bertanya lagi, namun dalam
hati berpikir juga, "Kecuali kau tak menggunakan jurus
seranganmu, kalau tidak, suatu saat aku pasti dapat menduga
asal-usul perguruanmu."
Sementara itu Ho Put-ciang telah berkata kepada Ku-lo
Hwesio, "Waktu sudah larut malam, Supek, Ko-cuangsu,
silakan beristirahat."
Selesai berkata Ho Put-ciang lantas membawa kedua orang
tamunya meninggalkan gedung pertemuan.
Gedung Bu-lim Bengcu memang besar, dengan bangunan
yang berlapis-lapis, di situ terdapat beratus-ratus buah kamar
yang berderet-deret, Ku-lo Hwesio dan Bong Thian-gak
mendapat sebuah kamar yang terletak di dekat gedung besar.
Aneka warna bunga tumbuh di seputar halaman, di situ
terlihat ada gunung-gunungan, air sungai, jembatan kayu,
gardu serta dekorasi lain yang menawan hati.
Di sisi sebelah timur dan barat menjulang bangunan
berloteng, sedang di seputar loteng itu berderet puluhan
halaman kecil.
Rupanya halaman besar itu merupakan gedung penerima
tamu yang khusus disiapkan untuk para jago persilatan yang
datang dari jauh, hampir sebagian besar tamu yang hadir
sekarang tinggal di sana, tapi setiap orang mendapat kamar
tersendiri dan tidak bercampur dengan yang lain.

44
Ku-lo Hwesio seorang diri tinggal di bangunan loteng
sebelah timur, sedang Bong Thian-gak berada di bangunan
loteng sebelah barat.
Antara loteng sebelah timur dan sebelah Jbarat berjarak
puluhan kaki, mungkin Ho Put-ciang memang sengaja
mengatur demikian agar lebih mudah mengawasi gerak-gerik
para jago lainnya, maka kedua orang itu dipisahkan ke dua
loteng yang berbeda hingga wilayah pengawasan pun
mencakup ke seluruh bagian.
Angin dingin berhembus menggigilkan badan, saat itu
kentongan keempat sudah lewat, udara benar-benar terasa
amat dingin.
Bong Thian-gak berdiri seorang diri di tepi pagar loteng
sambil memandang ke seluruh bangunan Bu-lim Bengcu,
terkenang kejadian masa lampau, tanpa terasa dia menghela
napas panjang.
Tujuh tahun berselang, sebelum dia diusir dari perguruan,
sering dia berdiri seorang diri di loteng itu, seperti malam ini,
dia menikmati keindahan malam dari tempat ketinggian.
Tapi kini tujuh tahun kemudian, meski dia kembali ke sana,
pemandangan masih seperti sedia kala, namun perasaan
sudah jauh berbeda, jauh lebih berat dan masgul.
Akhirnya Bong Thian-gak membalikkan tubuh, pelan-pelan
balik ke kamarnya, membaringkan diri untuk tidur, namun
bolak-balik kian-kemari, mata tak mau terpejam. Mendekati
kentongan kelima dia baru tidur.
Ketika mendusin keesokan harinya, matahari sudah jauh di
angkasa.
Tiba-tiba Bong Thian-gak menyaksikan di atas ranjang
tergeletak sebuah kartu merah.
Dengan kening berkerut, pemuda itu segera bergumam,
"Semalam Toa-suheng sendiri yang mengantarku naik loteng,

45
seingatku di atas pembaringan tidak kuketemukan kartu
merah seperti ini."
Cepat disambarnya kartu merah itu, kemudian diperiksa.
Bong Thian-gak segera tertegun, dia coba berpaling
memeriksa sekeliling ruangan, pintu kamar masih tertutup
rapat, tapi meja dan lantai sudah bersih, jelas sudah ada
pelayan yang membersihkan kamar itu.
Ketika kartu merah itu dibuka, tertulis di situ tiga huruf
yang sangat besar, berbunyi: "PERINTAH MENGUSIR TAMU".
Kemudian di bawahnya tercantum sederet tulisan yang
berbunyi: "Diperingatkan kepada saudara agar meninggalkan
gedung Bu-lim Bengcu sebelum senja hari ini atau nyawamu
tak akan selamat sampai besok kentongan kelima".
Bong Thian-gak tidak menyangka pihak musuh mencari
gara-gara padanya, bahkan bersikap terang-terangan
semacam ini. ,
Dilihat dari kemunculan kartu merah itu, dapatlah
disimpulkan bukan saja pihak musuh telah menyusup ke
dalam gedung Bu-lim Bengcu, bahkan sempat berakar di situ,
kalau tidak, mustahil mereka berani bersikap menantang
seperti ini.
Lama Bong Thian-gak termenung, akhirnya dia
memutuskan untuk merahasiakan peristiwa kartu merah itu,
pemuda yang keras kepala ini ingin tahu sampai dimana
keberanian musuh menghadapinya.
Mendadak dari luar ruangan berkumandang suara langkah
kaki, buru-buru Bong Thian-gak menyembunyikan kartu merah
itu ke dalam sakunya.
Dari luar pintu segera terdengar seseorang menyapa
dengan suara lembut, "Ko-siangkong, sudah bangunkah kau?"

46
Pintu kamar dibuka, muncul seorang dayang berbaju hijau
berusia lima-enam belas tahun.
Bong Thian-gak segera mengamati wajah dayang itu
dengan seksama, ia segera mengenalinya sebagai salah
seorang di antara empat bocah perempuan yang khusus
melayani kebutuhan Suhunya pada tujuh tahun lalu, bernama
Siau Kiok.
Kini ia telah tumbuh menjadi seorang gadis cantik dengan
tubuh ramping dan tinggi, berkulit putih bersih dan sangat
menawan.
Dayang berbaju hijau itu nampak agak terperanjat setelah
mengetahui Bong Thian-gak sedang mengamatinya lekatlekat,
buru-buru dia menegur, "Siangkong, ada apa?"
"Ah, tidak apa-apa," Bong Thian-gak menggeleng. "Oya,
betul, siapa namamu?"
Dayang itu tersenyum manis, "Aku bernama Siau Kiok,
panggil saja namaku!"
"Ehm, bagus sekali, aku akan memanggilmu Siau Kiok,
kapan kau masuk kemari dan membersihkan ruangan ini?"
"Kurang lebih dua jam berselang, aku lihat Siangkong
masih tertidur nyenyak, maka tak berani kubangunkan
dirimu."
Siau Kiok seperti tidak merasa takut terhadap wajah Bong
Thian-gak yang kuning penyakitan serta kakinya yang pincang
itu, justru menaruh rasa iba dan kasihan.
Bong Thian-gak termenung sesaat, lalu katanya,
"Selanjutnya kau tidak usah membersihkan kamarku sepagi
ini, sebab bagi kami yang biasa hidup malam, seringkali baru
naik ke tempat tidur menjelang pagi."
"Siangkong, aku telah menyiapkan air untukmu, silakan
membersihkan muka dan kemudian bersantap."

47
Bong Thian-gak manggut-manggut, "Pelayananmu sangat
teliti dan menyenangkan, entah bagaimana caraku
menyatakan rasa terima kasih kepadamu."
Mendadak Siau Kiok mengedipkan sepasang matanya yang
jeli dan memandang wajah Bong Thian-gak sekejap, kemudian
katanya, "Siangkong, sebagai seorang jagoan berilmu tinggi,
kau tidak nampak sombong, jumawa dan takabur seperti
kebanyakan jago lain, sebaliknya sikapmu begitu merendah
dan sopan, benar-benar seorang jagoan tulen."
Bong Thian-gak tersenyum, "Darimana kau tahu ilmu
silatku sangat tinggi?"
"Ruang khusus dalam gedung Bu-lim Bengcu ini hanya
khusus disediakan untuk para jago persilatan yang berilmu
tinggi, terutama bangunan loteng di sebelah timur dan barat,
biasanya khusus disediakan bagi tamu agung."
"Wah, kalau begitu kau pun khusus disediakan untuk
melayani kebutuhan tamu agung?" goda sang pemuda sambil
tertawa.
Siau Kiok menunduk kemalu-maluan, bisiknya sambil
tertawa, "Ah, Siangkong pandai menggoda!"
"Siau Kiok, kau pandai bersilat?" tiba-tiba Bong Thian-gak
bertanya.
Siau Kiok mengangguk.
"Siocia pernah mengajarkan beberapa jurus silat
kepadaku."
"Bukankah kau melayani Oh-bengcu?"
Bicara sampai di situ, pemuda itu baru sadar kalau sudah
salah bicara.
Ternyata Siau Kiok cukup cermat, dengan cepat dia balik
bertanya, "Darimana Siangkong tahu aku adalah dayang yang
khusus melayani Loya?"

48
"Beberapa tahun berselang, ketika menyambangi Ohbengcu,
aku seperti pernah melihat kau sebagai salah seorang
di antara empat bocah perempuan yang melayani Oh-bengcu."
"Siangkong memiliki ketajaman mata yang mengagumkan,"
puji Siau Kiok setelah mengamati wajah Bong Thian-gak
beberapa saat lamanya. "Walaupun hanya bertemu sekilas,
apalagi sudah lewat beberapa tahun, ternyata kau masih
dapat mengingatnya dengan jelas, benar-benar luar biasa!"
Bong Thian-gak kembali tertawa, "Ya, aku memang
mempunyai kemampuan khusus untuk mengingat setiap
wajah yang pernah kujumpai, apalagi terhadap raut wajah
mungil, cantik dan menarik seperti kau, mana mungkin aku
bisa melupakannya?"
Diumpak seperti itu oleh Bong Thian-gak, Siau Kiok menjadi
senang setengah mati, buru-buru dia berkata, "Ah, Siangkong
memang pandai bergurau. Ketika berjumpa dengan Siangkong
tadi, aku pun seperti merasa pernah berjumpa, namun tak
bisa kuingat kembali dimanakah kita pernah bersua!"
Setelah berhenti sejenak, dia baru berkata agak kaget, "Ah,
aku mengajak Siangkong mengobrol terus, hampir saja lupa
Siangkong belum sarapan!"
Dengan cepat dayang itu mengundurkan diri dari ruangan.
Memandang bayangan punggungnya lenyap di balik pintu,
Bong
Thian-gak kembali berpikir, "Heran, siapa sebenarnya yang
mengantar kartu merah itu untukku? Mungkinkah Siau Kiok?
Akan tetapi selain Siau Kiok, siapa lagi yang dapat memasuki
loteng ini? Ah, buat apa mesti memikirkannya, malam ini aku
memang hendak menanti kedatangan musuh? Kecuali dia tak
datang, kalau tidak ... hm, jangan harap dia bisa lolos dari
cengkeramanku!"
Dengan perhitungan yang meyakinkan, Bong Thian-gak
mulai mempersiapkan diri.

49
Hari itu sepanjang waktu Bong Thian-gak mengurung diri
dalam loteng itu, dia hanya mengawasi kamar tempat tinggal
Kongsun Phu-ki lewat jendelanya.
Hari itu tampaknya Kongsun Phu-ki juga seperti tak pernah
pergi keluar, sedang para jago yang tinggal di kamar lain pun
tak ada yang keluar.
Bong Thian-gak dapat menyaksikan pula Toa-suhengnya,
Ho Put-ciang dan Ji-suhengnya, Yu Heng-sui, mengunjungi
Ku-lo Hwesio di loteng sebelah timur pada tengah hari,
kemudian mereka baru berlalu menjelang sore.
Penjagaan di sekitar gedung Bu-lim Bengcu pun tampak
jauh lebih kendor, terutama di sekeliling ruangan itu, boleh
dibilang tak nampak seorang pengawal pun.
Matahari tenggelam di langit barat, senja pun menjelang
tiba, Bong Thian-gak berdiri di tepi pagar loteng sambil
memandang sinar sang surya di kejauhan, mendadak ia
teringat akan pesan yang ditulis dalam kartu merah tadi pagi.
"Diperingatkan kepada saudara untuk meninggalkan
gedung Bu-lim Bengcu sebelum senja hari ini atau nyawamu
tak akan melewati kentongan kelima".
Tanpa terasa Bong Thian-gak mulai meningkatkan
kewaspadaan, dia berpikir, "Tak mungkin musuh menyerangku
secara terang-terangan, besar kemungkinan mereka akan
mencelakai diriku menggunakan segala tipu muslihat licik."
Bong Thian-gak memerintahkan Siau Kiok agar
mengundurkan diri sejak tadi, bahkan berpesan kepadanya
agar balik lagi ke situ besok pagi.
Biasanya para pelayan perempuan baru boleh
meninggalkan tempat tugas masing-masing menjelang tengah
malam.
Langit semakin gelap, angin berhembus kencang, terasa
makin dingin, akhirnya malam pun tiba.

50
Bong Thian-gak memasang lentera, lalu turun dari loteng
dan berjalan-jalan di halaman luar, tampaknya seperti mencari
angin, padahal sedang mengawasi para jagoan.
Mendadak ia menyaksikan Kongsun Phu-ki berjalan keluar
dari kamarnya, dia mengenakan jubah berwarna putih yang
masih baru, nampaknya seperti akan keluar rumah.
Bong Thian-gak mendapat tugas mengawasi dan
melindungi keselamatan Kongsun Phu-ki, karena itu dengan
cepat ia melakukan penguntitan.
Betul juga, Kongsun Phu-ki memang keluar rumah, dia
langsung berjalan keluar dari pintu gerbang gedung Bu-lim
Bengcu.
Sudah cukup lama Bong Thian-gak tinggal di kota Kayhong,
boleh dibilang jalanan di situ sangat dikenal olehnya,
jalan besar lorong kecil tak sebuah pun yang tak dikenal,
maka dalam penguntitan itu ia bertindak amat hati-hati.
Ia cukup tahu Kongsun Phu-ki termasyhur karena
kecerdasannya, itulah sebabnya ia harus bertindak cermat
agar jejaknya tak ketahuan.
Suasana di kota Kay-hong menjelang senja sangat ramai,
banyak orang berlalu-lalang di jalanan.
Tampaknya Kongsun Phu-ki seperti mempunyai tujuan
tertentu, langkahnya tetap dan tak pernah berhenti, ternyata
dia langsung menuju ke arah jalanan dimana terletak tempat
hiburan malam.
Dengan kening berkerut, Bong Thian-gak berpikir, "Ah,
masa tua bangka ini hendak berbuat iseng dengan perempuan
penghibur."
Ternyata jalanan itu panjangnya setengah li dan
merupakan pusat hiburan malam kota Kay-hong, di sepanjang
jalanan itu terdapat tiga puluhan rumah pelacuran. Bunyi

51
musik, suara tertawa bergema dari sana sini, suasana benarbenar
amat romantis.
Sejak kecil sampai dewasa belum pernah Bong Thian-gak
mengunjungi tempat hiburan semacam ini, tanpa terasa dia
menjadi ragu dan kemudian berhenti.
Saat itulah Kongsun Phu-ki telah melewati desakan orang
banyak dan hampir lenyap dari pandangan matanya.
Berada dalam keadaan demikian, terpaksa dia harus
mengeraskan hati melanjutkan pengejarannya.
Ucapan cabul, pelukan hangat membuat Bong Thian-gak
benar-benar merasa amat rikuh, tapi akhirnya dia berhasil
juga melalui rumah-rumah pelacuran kelas rendah itu dan
sampai di depan sarang pelacuran kelas menengah.
Bong Thian-gak segera berpikir kembali, "Tak nyana tua
bangka itu pandai memilih, mau bermain iseng pun mencari
yang kelas tinggi."
Belum habis ingatan itu melintas, Kongsun Phu-ki telah
berhenti di depan sebuah gedung pelacuran yang sangat
besar.
Bong Thian-gak segera bertindak cekatan, dengan cepat
dia segera menyelinap ke samping dan menyembunyikan diri
di balik kerumunan orang banyak.
Benar saja, Kongsun Phu-ki segera celingukan memeriksa
sekejap sekeliling tempat itu, kemudian baru melangkah
masuk ke dalam gedung pelacuran itu.
Di bawah sinar lentera yang berwarna-warni, Bong Thiangak
mengenali tempat itu sebagai rumah pelacuran "Kangsan-
bi-jin-lau".
Sebagai penduduk lama kota Kay-hong, tentu saja pemuda
itu tahu bahwa rumah pelacuran Kang-san-bi-jin-lau ini
merupakan sarang pelacur terbesar di kota itu.

52
Semua penghuni gedung itu selain berwajah cantik jelita,
mereka pun pandai memetik harpa dan membawakan tarian
serta nyanyian, bahkan ada pula yang pandai bersyair
sehingga mutunya boleh dibilang terjamin.
Bong Thian-gak tak berani memasuki gedung itu dan
terpaksa dia menanti saja di luar, selain kuatir ketahuan
jejaknya oleh Kongsun Phu-ki, dia pun merasa tidak tertarik
dengan hiburan semacam itu.
Di tengah alunan bunyi musik yang diselingi gelak tawa
cekikikan, Bong Thian-gak merasa kehidupan semacam ini
benar-benar memuakkan dan menjemukan.
Malam semakin larut, tamu yang mengunjungi rumah
pelacuran ini pun kian lama kian bertambah sedikit.
Seorang demi seorang pencari hiburan pulang dalam
keadaan mabuk dan berjalannya pun sempoyongan!
Bong Thian-gak melototkan mata melakukan pengawasan,
namun dari sekian banyak tamu yang beranjak pulang, hanya
Kongsun Phu-ki seorang yang belum juga nampak batang
hidungnya.
Tanpa terasa pemuda itu menyumpah dalam hati, "Sialan
betul si kunyuk tua itu, benar-benar tak tahu diri, sepagi itu
dia masuk ke dalam, masa sampai sekarang belum juga
keluar? Jangan-jangan ia sudah mampus dijepit paha
perempuan."
Sambil menggerutu Bong Thian-gak menunggu lagi
beberapa jam, kini tengah malam sudah lewat.
Tapi aneh, belum nampak juga Kongsun Phu-ki muncul dari
gedung pelacuran itu.
Biasanya gedung pelacuran akan ditutup selewatnya
tengah malam, bila sesudah lewat tengah malam belum
nampak, berarti dia memutuskan untuk menginap di sana.

53
"Jangan-jangan kunyuk tua itu menginap di sini?" Bong
Thian-gak berpikir.
Dengan mata melotot dia mengawasi jalanan itu, tapi
suasana sudah sepi, hanya tinggal dia seorang diri yang
bersembunyi di sudut dinding sana.
Suara musik sudah reda sedari tadi, lampu pun sudah
banyak yang dipadamkan, akan tetapi bayangan tubuh
Kongsun Phu-ki belum nampak juga.
Tergerak hati Bong Thian-gak, segera pikirnya, "Aduh
celaka! Jangan-jangan dia sudah tahu aku sedang
menguntitnya, maka dia telah kabur sedari tadi?"
Berpikir sampai di situ Bong Thian-gak segera membalikkan
badan siap berlalu dari situ.
Namun baru beberapa langkah, dia berpikir kembali, "Tapi
siapa tahu dia memutuskan untuk menginap di sini."
Bong Thian-gak punya tugas melindungi keselamatan
Kongsun Phu-ki, bila gagal menemukan keadaan yang
sebenarnya, dia merasa tak lega.
Akhirnya diputuskan untuk melakukan pemeriksaan
seksama terhadap setiap ruangan dalam gedung pelacuran
itu.
Dengan gerakan cepat dia melompat naik ke tembok
pekarangan, lalu melayang naik ke atas atap rumah, dengan
Ginkang yang sempurna, Bong Thian-gak berkelebat secepat
sambaran petir.
Satu kamar demi saru kamar diperiksa oleh Bong Thian-gak
dengan seksama, matanya yang tajam mengamati setiap
wajah yang berada dalam kamar, namun kecuali sepasang laki
perempuan yang sedang bermesraan atau bertempur sengit,
tak nampak sesuatu yang lain.

54
Yang lebih aneh lagi, dari tujuh belas kamar yang
diperiksanya, dia hanya menemukan delapan pasang sejoli
yang lagi berbuat mesum, namun dari sekian banyak orang,
tak nampak Kongsun Phu-ki.
Bong Thian-gak menarik napas panjang, pikirnya,
"Sekarang tinggal gedung bertingkat itu saja yang belum
kuperiksa, jika di sana pun tak ada, sudah pasti kongsun Phuki
telah pergi karena mengetahui dirinya aku kuntit!"
Berpikir sampai di situ, dia segera menggerakkan tubuhnya
dan melompat ke arah bangunan loteng itu.
Setitik cahaya lentera memancar keluar dari balik loteng
itu, tanpa pikir panjang Bong Thian-gak segera melompat naik
ke atas loteng. Kemudian daun jendela dibukanya pelan-pelan
dan mengintip ke dalam ruangan.
Hampir saja Bong Thian-gak menjerit kaget, jantungnya
serasa mau melompat keluar dari rongga dada, ternyata dia
menyaksikan suatu lukisan yang sangat indah.
Bukan, bukan lukisan sungguhan, melainkan seorang yang
masih hidup, tubuh indah yang mempesona hati, tubuh indah
dalam keadaan bugil.
Dari sekian banyak pemandangan seram yang diintipnya
malam ini, tak satu pun di antara yang dapat mendebarkan
hatinya. Tapi kali ini jantungnya berdebar keras, darah panas
serasa mendidih dalam tubuhnya.
Ternyata di dalam ruangan kecil di atas loteng terdapat
sebuah lentera berwarna merah, sinar merah memancar ke
sebuah pembaringan, di mana berbaring seorang perempuan
cantik menawan, perempuan itu berbaring dalam keadaan
telanjang bulat.
Wajahnya cantik menarik bagai bidadari dari kahyangan,
rambutnya yang hitam memanjang dan terurai di antara
sepasang payudaranya yang montok, putih dan halus. Lekuk

55
tubuhnya menawan, pinggangnya ramping, benar-benar
perempuan bertubuh menarik.
Karena perempuan sangat cantik ini, hampir saja Bong
Thian-gak tidak percaya dengan apa yang dilihat, ia
memejamkan mata tetapi kemudian membuka matanya
kembali.
Cantik, benar-benar cantik, makin dilihat makin indah,
makin dipandang makin mendebarkan hati.
Bong Thian-gak berusaha menenangkan hati, kemudian
sambil menggeleng, pikirnya, "Tak nyana di rumah pelacuran
ini ada juga seorang perempuan yang begitu cantik, ai ...
sungguh sayang, sungguh sayang sekali...."
Entah mengapa Bong Thian-gak menghela napas panjang.
Mendadak ia menyaksikan perempuan cantik yang sedang
tidur itu membuka mata, kemudian terasa dua gulung cahaya
mata yang amat tajam menggidikkan dialihkan ke arah
matanya.
Bagaimana pun juga Bong Thian-gak adalah lelaki sejati,
ditatap seperti itu oleh seorang perempuan bugil, dia menjadi
ketakutan setengah mati, dengan jurus ikan Lehi meletik ia
berjumpalitan, lalu secepat kilat melejit pergi dan lari terbiritbirit
meninggalkan sarang pelacuran itu.
Tak selang beberapa saat kemudian, Bong Thian-gak sudah
balik ke dalam gedung Bu-lim Bengcu, namun jantungnya
masih berdebar keras, dia menyesal dirinya telah mengintip
perempuan telanjang.
Pemuda itu tidak masuk melalui pintu gerbang, melainkan
meluncur dari balik tembok pekarangan sebelah barat, dengan
ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna, tanpa mengusik
orang lain tahu-tahu ia sudah balik ke tempat tinggalnya.
Bong Thian-gak berdiri sejenak di tengah halaman
menenangkan hatinya yang bergolak, setelah agak tenang

56
baru ia berpikir, "Coba kuintip, benarkah si kunyuk tua itu
sudah kembali ke kamarnya?"
Untuk membuktikan dugaannya, secara diam-diam Bong
Thian-gak menyusup ke dalam kamar yang ditinggali Kongsun
Phu-ki, lalu mengintip ke dalam lewat daun jendela.
Apa yang dilihat? Ternyata Kongsun Phu-ki telah berbaring
di atas ranjangnya, malah tertidur amat nyenyak.
Bong Thian-gak menyumpah dalam hati.
"Kunyuk tua, kau benar-benar sudah membuatku
menderita, aku berdiri makan angin di situ, tak tahunya kau
malah enak-enakan tidur di rumah."
Sebaliknya Kongsun Phu-ki tanpa sepengetahuan dirinya
telah membuktikan bahwa ia telah dikuntit Bong Thian-gak.
Itulah sebabnya anak muda itu benar-benar merasa
mendongkol.
Dengan perasaan murung dan masgul ia balik ke
kamarnya, tampak cahaya lampu masih menerangi kamarnya,
maka dia melompat naik, memeriksa sekejap sekeliling situ,
kemudian baru masuk ke dalam.
Setelah memadamkan lentera, Bong Thian-gak
membaringkan diri di atas ranjang, namun mata tak mau
berpejam, rasa mendongkolnya membuat dia sukar tertidur,
sampai lewat kentongan ketiga pikirannya baru pelan-pelan
menjadi tenang kembali.
Di depan matanya segera terbayang tubuh perempuan
bugil yang baru saja dijumpainya itu.
Mendadak tergerak hatinya, ia segera berpikir, "Tajam
amat sepasang mata perempuan itu!"
Kalau tadi ia tak begitu memperhatikan hal itu, tapi
sekarang setelah dibayangkan kembali, tanpa terasa Bong
Thian-gak berkerut kening, pikirnya lebih jauh, "Dia

57
mempunyai sepasang mata yang tajam seperti sambaran kilat,
tajam melebihi mata pedang, mustahil sorot mata biasa
setajam itu, kalau begitu, sudah pasti dia pun seorang jago
persilatan."
Kejadian itu benar-benar aneh.
Seorang perempuan cantik menarik yang berilmu tinggi
ternyata membaurkan diri di sarang pelacuran. Kendati Bong
Thian-gak telah memeras otak habis-habisan, belum juga
menemukan alasan yang tepat untuk memecahkan teka-teki
itu.
"Bagaimana pun juga aku harus mengunjungi kembali
rumah pelacuran Kang-san-bi-jin-lau itu, akan kuselidiki
peristiwa aneh ini sampai tuntas," demikian anak muda itu
mengambil keputusan dalam hati, dengan begitu pikirannya
yang bergolak pun menjadi reda kembali.
Malam semakin larut, suasana amat hening, dalam suasana
seperti inilah tiba-tiba terdengar langkah kaki yang sangat lirih
berkumandang dari luar kamarnya.
Bong Thian-gak terkesiap, dengan cepat ia teringat kembali
akan kartu merah jambu itu!
"Bagus sekali, ternyata kau benar-benar datang!"
Tanpa berkutik Bong Thian-gak tetap berbaring di
ranjangnya.
Tapi secara diam-diam dia telah menghimpun tenaga
dalamnya mempersiapkan diri menghadapi segala
kemungkinan yang tidak diinginkan, hanya saja dia tak mau
bergerak sebelum musuh bertindak lebih dulu.
Suara langkah manusia itu berhenti tepat di depan
kamarnya.
"Mungkinkah dia membuka pintu dan bergerak masuk?"

58
Belum habis ingatan itu berkelebat, "Krek", suara pintu
didorong orang.
Dengan ketajaman matanya yang mengagumkan, Bong
Thian-gak dapat menyaksikan pantek kayu yang mengunci
pintu kamar itu terdorong patah oleh tenaga orang yang
dahsyat.
Menyusul seseorang berbaju hitam menerjang secepat
sambaran kilat, telapak tangannya tahu-tahu sudah diayun ke
batok kepalanya.
Sergapan itu dilancarkan dengan kecepatan bagaikan
sambaran petir, pada hakikatnya sama sekali tidak memberi
peluang bagi lawan untuk mempersiapkan diri, banyak jago
persilatan dan orang gagah yang ti'was oleh serangan kilat
yang sama sekali tak terduga semacam ini.
Apalagi pihak musuh menggunakan jurus pukulan yang
paling keji, buas dan sakti, sekali pun di hadapannya berdiri
seseorang yang lelah bersiap pun, belum tentu serangan itu
dapat dibendung atau dihindari.
Agaknya Bong Thian-gak cukup memahami kelihaian jurus
serangan lawan, dia tidak mencoba berkelit ke samping,
sebaliknya ilrngan kelima jari tangan kirinya yang dipentang
lebar-lebar dia sambut «lalangnya serangan itu.
"Plak", terdengar benturan keras, penyergap mendengus
tertahan dan sempoyongan, secara beruntun tubuhnya kena
terdorong hingga mundur sejauh empat-lima langkah.
Bong Thian-gak segera memanfaatkan kesempatan itu
dengan sebaik-baiknya untuk melompat bangun dari
pembaringan, kemudian diawasinya penyergap itu dengan
sorot mata penuh kegusaran.
Ternyata pihak lawan adalah seorang berbaju hitam
bertubuh ramping, jelas seorang wanita, memakai secarik kain
hitam untuk menutupi sebagian wajahnya.

59
Tampaknya penyergap sama sekali tak menyangka
sergapannya bakal mengalami kegagalan, dari balik matanya
segera terpancar rasa kaget dan tertegun.
"Siapa kau?" Bong Thian-gak segera membentak. "Lebih
baik menyerah saja daripada mampus secara mengerikan!"
Gadis penyergap itu berseru tertahan, kemudian untuk
kedua kalinya dia menerjang ke muka dengan kecepatan luar
biasa.
Kali ini dia menyerang dengan sebilah pisau belati di
tangan, serangannya buas dan nekat, membuat hati orang
bergidik.
Bong Thian-gak mendengus dingin, sepasang kakinya
sedikit membengkok, lalu sepasang tangannya seperti cakar
burung elang balas menyambar ke depan.
Jeritan kaget terdengar, tubuh si gadis penyergap itu
mengelak ke belakang bagai layang-layang putus benang,
kemudian menggelinding keluar pintu.
Bong Thian-gak tak tinggal diam, dengan lompatan lebar
dia menyusul keluar.
"Sreet", serentetan cahaya dingin menyambar.
Bong Thian-gak bertindak sigap, dia miringkan tubuhnya
sambil menyambar benda itu, tahu-tahu pisau belati tadi
sudah berpindah ke tangannya.
Gadis penyergap itu memang lihai, gerak-geriknya lincah
dan cekatan.
Di saat Bong Thian-gak merontokkan serangan pisau belati
tadi, ia segera melompat ke depan, lalu melarikan diri turun ke
bawah loteng.
Bong Thian-gak membentak gusar menyaksikan musuh
hendak kabur, tangannya cepat diayun ke depan, pisau belati

60
yang berhasil disambarnya tadi tahu-tahu sudah disambitkan
balik ke tubuh lawan.
Serangan balasan itu dilancarkan dengan kecepatan luar
biasa, tampak cahaya tajam berkilau, tahu-tahu gadis
penyergap itu menjerit kesakitan.
Pisau belati itu menancap telak di bahu kirinya, darah
segera berhamburan kemana-mana, setelah sempoyongan
sesaat, ia melarikan diri dari situ.
Bong Thian-gak mengejar secepat angin puyuh, tapi si
gadis penyergap sudah kabur sejauh tujuh-delapan depa.
Terkejut juga Bong Thian-gak menyaksikan pihak musuh
masih sanggup melarikan diri kendatipun tubuhnya sudah
terluka parah, kuatir musuh keburu kabur, cepat dia
melompati atap rumah dan berniat menghadang jalan
perginya dengan cepat.
Siapa tahu baru saja Bong Thian-gak melompati dua buah
rumah, gadis berbaju hitam itu sudah berbelok ke samping
dan menyusup ke dalam bangunan rendah di sisi loteng,
langsung kabur menuju ke halaman belakang.
Dengan begitu selisih kedua belah pihak menjadi semakin
lebar.
Bong Thian-gak segera menjejakkan kaki ke tanah, seperti
burung bangau raksasa dia melambung ke angkasa dan
mengejar dari belakang.
Kejar-kejaran segera berlangsung sengit, setelah melalui
tiga halaman rumah, gadis berbaju hitam itu sudah berada
tiga depa saja di hadapannya, tapi pagar pekarangan menuju
ke tempat tinggal kaum wanita dalam Bu-lim Bengcu pun
tinggal beberapa depa lagi.
Bong Thian-gak mengerti, seandainya gadis itu berhasil
kabur ke gedung sebelah dalam, pasti dia akan menjumpai

61
banyak kesulitan, buru-buru dia melepaskan sebuah pukulan
yang amat lihai.
Angin pukulan yang menderu-deru seperti amukan ombak
di tengah samudra, dengan cepat melesat ke depan.
Gadis berbaju hitam itu mendengus tertahan, tubuhnya
mencelat ke udara, lalu terbanting keras ke atas tanah.
Tubuhnya terkapar lemas di atas tanah, setelah
berkelejetan beberapa kali, akhirnya sama sekali tak berkutik
lagi.
Bong Thian-gak menyusul datang dari belakang, buru-buru
dia membungkukkan badan memegang nadi pergelangan
tangan lawan, namun pemuda itu segera tertegun, ternyata
denyutan nadi lawan sudah berhenti, musuh tewas dalam
keadaan mengerikan.
Menghadapi keadaan itu, Bong Thian-gak menghela napas
sedih, serunya sambil mendepak-depakkan kakinya berulang
kali.
"Ai, dengan susah payah aku berhasil mengungkap titik
terang ini, siapa tahu ia justru sudah mampus!"
Baru saja dia bergumam, segulung angin berhembus, lalu
terdengar seorang berkata, "Omitohud, ilmu pukulan Ko-sicu
benar-benar kuat, tajam dan berdaya kemampuan
menghancurkan bebatuan cadas, kini isi perut musuh sudah
hancur, nadinya sudah putus, mana mungkin hidup lebih
jauh?"
Bong Thian-gak berpaling ke tengah-tengah kegelapan
malam, tampak Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-si sudah berdiri
tegak di situ.
Menyusul kemudian bayangan orang berkelebat berulang
kali, secara beruntun jago-jago lainnya bermunculan pula di
sana.

62
Yu Heng-sui dan Ho Put-ciang juga hampir bersamaan
waktunya muncul di tempat kejadian.
Memperhatikan jenazah yang membujur di sana, Ho Putciang
berkata dengan wajah serius, "Ji-sute, coba kau
lepaskan kain kerudung hitamnya!"
Sementara itu paras muka para jago pun berubah menjadi
amat serius, berpuluh pasang mata bersama-sama dialihkan
ke wajah jenazah itu.
Pelan-pelan Yu Heng-sui merobek kain kerudung mukanya,
dengan cepat muncul seraut wajah yang mengerikan, dari
tujuh lubang indranya darah kental masih mengucur hingga
muka jenazah itu penuh berlepotan darah.
Tapi bagi Yu Heng-sui maupun Ho Put-ciang, raut wajah itu
tak asing lagi bagi mereka, mereka cukup tahu siapa gerangan
perempuan penyergap itu.
Kontan saja paras muka kedua orang itu berubah hebat,
jelas perempuan itu pun anggota gedung Bu-lim Bengcu.
Bong Thian-gak tidak kenal perempuan itu, mungkin orang
itu baru masuk ke gedung Bu-lim Bengcu setelah ia
meninggalkan tempat itu, kalau dilihat dari raut wajahnya,
gadis itu kira-kira baru berusia dua puluhan tahun, mungkin
dayang atau pelayan.
Cepat Ho Put-ciang memerintahkan kepada adik
seperguruannya, "Yu-sute, cepat gotong pergi jenazah ini dan
bersihkan lantai dari noda darah, jangan mengganggu
ketenangan tidur orang lain."
Kemudian sambil menjura kepada para jago, orang she Ho
itu berkata lebih jauh, "Toa-heng sekalian, asal-usul
pembunuh itu baru akan kuumumkan besok pagi, bagaimana
kalau sekarang dipersilakan kembali ke kamar masingmasing?"

63
Berhubung para pendekar tidak mengenali siapakah
perempuan yang tewas itu, tentu saja tak seorang pun di
antaranya yang bersuara, ditinjau dari paras muka Ho Putciang,
dapat diduga orang itu adalah salah seorang anggota
gedung Bu-lim Bengcu.
Waktu itu malam masih kelam, terpaksa semua orang balik
ke kamar masing-masing untuk beristirahat.
Menanti semua jago telah berlalu, Bong Thian-gak baru
berkata tertahan dalam hati, dia seperti menemukan sesuatu
yang tidak beres.
Ternyata di antara para jago yang bermunculan, ia tidak
nampak kemunculan Kongsun Phu-ki si kunyuk tua itu.
Ho Put-ciang memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak,
lalu ujarnya sambil tertawa getir, "Harap Ko-cuangsu sudi
memaafkan, ternyata pihak musuh benar-benar telah
menyusup ke setiap bagian gedung Bu-lim Bengcu ini,
perempuan tadi adalah salah seorang dayang Subo kami."
Mendengar nama 'Subo' disinggung, hati Bong Thian-gak
bergetar keras, bagaikan dihantam martil berat, sekujur
tubuhnya gemetar keras.
"Omitohud!" Ku-lo Hwesio berkata, "Ho-hiantit mungkin
masih ada urusan lain yang harus diselesaikan, untuk
sementara waktu Lolap kembali dulu."
Selesai berkata, pendeta itu segera berlalu lebih dulu.
Bong Thian-gak tahu Toa-suhengnya bakal menjumpai
banyak kesulitan dalam melakukan penyelidikan, agar tidak
menyusahkannya, maka dia pun segera mohon diri pula.
Kembali ke kamar, ia tidur di pembaringan sambil
membayangkan peristiwa yang baru saja lewat, diam-diam ia
merasa menyesal karena lurun tangan kelewat berat.

64
Setelah menghela napas panjang, Bong Thian-gak
bergumam,
"Konon pembunuh itu adalah salah seorang dayang Subo,
mungkinkah Subo masih seperti tujuh tahun berselang,
hatinya belum puas sebelum pembunuh yang dikirimnya
berhasil membunuh diriku?"
Saat itulah dalam benak Bong Thian-gak melintas peristiwa
yang berlangsung tujuh tahun lalu, peristiwa tragis yang
sangat memalukan.
Peristiwa itu terjadi pada suatu malam di musim panas,
waktu itu dia bersama Sam-suhengnya Siau Cu-beng sedang
dalam perjalanan pulang setelah menjemput Subonya di kota
Ci Kang.
Malam itu berhubung mereka tersesat di atas bukit hingga
kemalaman, maka terpaksa harus bermalam di tengah
gunung.
Udara pada malam itu panas sekali, karena tak tahan,
maka di tengah malam buta secara diam-diam dia pergi ke
sungai untuk menyegarkan badan, tetapi ketika selesai mandi
dan kembali ke tempat semula, dia tidak menemukan Subo
dan Sam-suhengnya.
Maka dengan gelisah, ia melakukan pencarian di sekeliling
tempat itu dan akhirnya di dalam sebuah hutan kecil, ia
saksikan suatu adegan yang menyeramkan, tapi juga amat
memalukan.
Di atas tanah berumput di bawah sinar rembulan, tampak
sepasang laki perempuan sedang saling berpelukan dalam
keadaan telanjang bulat, waktu itu mereka sedang bersenangsenang
menikmati surga dunia, berbuai mesum seperti apa
yang sering dilakukan antara suami istri.

65
Yang memegang peranan sebagai sang suami ternyata
Sam-suhengnya Siau Cu-beng, sedangkan yang memegang
peranan istri tak lain adalah ibu gurunya sendiri.
Kontan saja hawa amarah menggelora di dalam dadanya,
dengan geram ia keluar dari tempat persembunyian dan
mengagetkan sepasang sejoli yang sedang berbuat mesum.
Beberapa saat kemudian, Sam-suhengnya Siau Cu-beng
telah selesai berpakaian dan pelan-pelan berjalan keluar dari
hutan dengan senyum menyeringai menghias wajahnya, lalu
disusul ibu gurunya.
Dilihat dari paras muka Siau Cu-beng dan ibu gurunya,
dapat diketahui mereka hendak membunuh orang untuk
melenyapkan saksi.
Kemarahan dan kesedihan yang melampaui batas membuat
ia menerjang Siau Cu-beng seperti binatang buas, ia bertekad
hendak melenyapkan pengkhianat itu dari muka bumi dan
membersihkan nama gurunya yang ternoda.
Pertempuran sengit tak bisa dihindari lagi, seorang diri dia
harus bertarung menghadapi kerubutan Siau Cu-beng dan ibu
gurunya.
Entah siapa yang membantunya, dalam pertarungan itu
makin bertarung ia nampak makin gagah ... akhirnya dalam
suatu kesempatan dia berhasil menghajar Siau Cu-beng
hingga terjatuh ke dalam jurang.
Jerit kaget Siau Cu-beng yang terjatuh ke dalam jurang
telah mengagetkan ibu gurunya, ia segera berhenti
menyerang, kemudian sambil menutup muka menangis
tersedu-sedu, seperti merasa menyesal dengan perbuatannya
itu.
Diiringi isak-tangis yang memedihkan hati, ibu gurunya
lantas menceritakan bagaimana dia dirayu oleh Siau Cu-beng
untuk berbuat iseng, bagaimana dirangsang....

66
Dalam kesedihan itu, ia hanya memohon kepada dirinya
agar tidak menceritakan peristiwa yang memalukan itu kepada
gurunya.
Mendengar ucapan ibu gurunya, gejolak emosinya segera
menjadi reda, kesadarannya pun pulih, ia sadar bila gurunya
yang berhati bajik sampai mengetahui peristiwa tragis yang
memalukan itu, sudah pasti gurunya akan menderita tekanan
batin.
Padahal gurunya merupakan seorang Bu-lim Bengcu yang
memimpin seluruh umat persilatan di dunia, ia begitu
dihormati, disanjung oleh setiap orang, bagaimana jadinya bila
berita yang memalukan itu sampai bocor ke dunia persilatan?
Sudah pasti nama baik dan wibawa gurunya akan hancur.
Bila sampai terjadi hal ini, sungguh tragis akibatnya.
Ibu gurunya ini merupakan istri ketiga, waktu itu umurnya
baru tiga puluh tujuh tahun, masih muda, bila Suhu sampai
mengetahui penyelewengannya, apakah ibu gurunya akan
dibiarkan hidup terus?
Demi menyelamatkan nama baik gurunya, demi menjaga
semangat gurunya agar tidak menderita tekanan batin, juga
demi kaselamatan ibu gurunya, maka dia lantas mengarang
suatu cerita untuk merahasiakan kejadian yang sesungguhnya.
Siapa tahu Subonya begitu keji, ternyata dia telah mengirim
pembunuh bayaran untuk mencari jejak dan melenyapkan
jiwanya.
Berpikir sampai di situ, sepasang mata Bong Thian-gak
berkaca-kaca, ia bergumam, "Perempuan rendah yang tak
tahu malu, apakah kau tahu bahwa aku Bong Thian-gak telah
kembali ke sini? Kau kuatir aku membocorkan perbuatan
terkutukmu yang tak tahu malu itu, sehingga segera kau kirim
pembunuh-pembunuhmu untuk melenyapkan aku dari muka
bumi."

67
"Hm" seorang diri Bong Thian-gak mendengus berulang
kali, ia menyumpah lebih jauh, "Perempuan terkutuk, aku
benar-benar tak menyangka kau masih bisa bertebal muka
tetap tinggal di dalam gedung Bu-lim Bengcu ini, masih punya
perasaan hidup terus di dunia ini."
"Hm, kau sepantasnya mampus, suatu ketika aku Bong
Thian-gak pasti akan membunuhmu, aku takkan membiarkan
kau tetap hidup di dunia ini hanya untuk berbuat kejahatan!"
Bicara sampai di situ, mencorong sinar buas yang
menggidikkan dari balik mata anak muda itu, ia sudah
mengambil keputusan bulat.
Mendadak satu ingatan melintas kembali dalam benak Bong
Thian-gak, "Mungkinkah Subo adalah mata-mata yang
diselundupkan musuh kemari?"
Pendapatnya itu ibarat sumber air yang ditemukan di
tengah gurun pasir, segera membuat semangatnya berkobar
kembali.
Dilihat dari perbuatan ibu gurunya yang mengkhianati
cintanya dengan berbuat mesum bersama Siau Cu-beng,
kemudian ditinjau pula dari ilmu silat pembunuh perempuan
yang muncul pada malam ini, Subonya itu memang satusatunya
orang yang paling mencurigakan.
Setelah berhasil menemukan titik terang itu, hati Bong
Thian-gak agak tenang, tanpa terasa dia pun tertidur dengan
cepat.
"Tok, tok, tok", dari luar gedung sana berkumandang lima
kali kentongan sebagai pertanda kentongan kelima telah tiba.
Entah lama saat sudah lewat, akhirnya Bong Thian-gak
bangun dari tidurnya oleh suara pembicaraan yang gaduh.
Tampak Siau Kiok yang manis sudah berdiri di sisi
pembaringan, begitu melihat pemuda itu membuka mata, dia
lantas berkata, "Siangkong! Siangkong! Nona telah datang ...."

68
Bong Thian-gak segera mengalihkan sorot matanya ke arah
lain, sambil berseru tertahan buru-buru dia melompat bangun
dan duduk.
Ternyata di kursi dekat dinding kamarnya telah duduk
kakak seperguruannya, Oh Cian-giok.
Bong Thian-gak melompat turun dari pembaringan dan
menuju ke arah Oh Cian-giok sambil katanya, "Nona Oh, sejak
kapan kau sampai di sini? Maaf jika aku bersikap kurang
sopan."
Oh Cian-giok masih mengenakan pakaian putih tanda
berkabung, hanya wajahnya nampak amat murung, selapis
hawa dingin menghiasi raut wajahnya.
"Ko-siangkong," ujarnya, "maaf jika aku mengganggu
tidurmu, tapi berhubung dalam gedung telah terjadi suatu
peristiwa besar, terpaksa Toa-suheng mengutusku kemari
mengundang kedatangan Ko-siangkong."
"Apa yang terjadi?" seru Bong Thian-gak dengan
terperanjat. "Kongsun-tayhiap ditemukan tewas!"
Berita buruk ini segera membuat Bong Thian-gak amat
terkesiap, serunya tertahan, "Apa? Kau mengatakan Kongsun
Phu-ki telah tewas?"
Pelan-pelan Oh Cian-giok mengangguk, "Benar ia mati
terbunuh."
"Bagaimana tewasnya?"
"Ketika datang memanggilnya pagi tadi, ia ditemukan mati
kaku di atas pembaringan, anggota badannya telah kaku dan
mendingin, jelas sudah putus nyawa cukup lama, tapi sebab
kematiannya belum jelas. Kini Ku-lo Hwesio dan sebagian jago
sedang menantikan kedatangan Ko-siangkong di ruangan
bawah sana."

69
Bong Thian-gak tidak banyak bicara lagi, cepat ia
membetulkan pakaiannya, lalu mengikuti Oh Cian-giok menuju
ke kamar Kongsun Phu-ki.
Waktu itu para jago sudah berkumpul dalam ruang tamu
yang kecil, kebetulan Ho Put-ciang dan Yu Heng-sui sedang
berjalan keluar ilari dalam kamar, para jago segera bertanya,
"Apa yang menyebabkan kematian Kongsun Phu-ki?"
Baik Ho Put-ciang maupun Yu Heng-sui tidak menjawab,
mereka hanya menggeleng kepala berulang kali.
Menyaksikan Bong Thian-gak muncul, Ho Put-ciang berkata
hambar, "Ko-cuangsu silakan masuk, Ku-lo Sinceng sedang
menanti kedatanganmu di dalam sana."
Bong Thian-gak mengiakan dan buru-buru ia masuk ke
dalam kamar.
Di atas pembaringan kayu dalam ruangan, tergeletak kaku
seorang kakek kurus kering, dialah Kongsun Phu-ki, salah satu
di antara Ciong-lam-sam-lo.
Di sisi pembaringan duduk Ku-lo Hwesio, dia sedang
meneliti setiap bagian tubuh Kongsun Phu-ki.
Bong Thian-gak ikut mengamati jenazah itu, tampak paras
muka Kongsun Phu-ki pucat-pias, kulit wajahnya cekung ke
dalam sehingga boleh dibilang tinggal kulit pembungkus
tulang belaka.
Keadaannya saat ini mirip seorang yang tewas setelah
puluhan tahun menderita penyakit parah.
Ku-lo Hwesio mendongakkan kepala dan memandang
sekejap ke arah Bong Thian-gak, mendadak ia bangkit dan
berkata, "Di atas tubuhnya tidak ditemukan luka apa pun, juga
tidak ditemukan gejala keracunan, kalau begitu ...."
Mendadak ia berhenti sejenak sambil beranjak keluar dari
kamar, kemudian baru melanjutkan sambil menghela napas,

70
"Itu berarti dia tewas akibat sari darah dan tulang sumsumnya
mengering."
Dugaan itu segera disambut para jago dengan wajah
berubah hebat, hampir bersamaan mereka berseru, "Sari
darah dan tulang sumsum mengering? Mengapa sari darah
dan tulang sumsum bisa mengering dalam semalaman saja?"
Dalam ruangan itu hanya Bong Thian-gak seorang yang
secara lamat-lamat bisa menduga apa gerangan yang terjadi,
tapi karena dilihatnya Oh Cian-giok hadir pula di situ, maka ia
merasa agak sungkan untuk bertanya lebih jauh kepada Ku-lo
Hwesio.
Mendadak Ku-lo Hwesio berkata lagi dengan wajah amat
serius, "Ko-sicu, Lolap ingin bicara empat mata denganmu
sebentar, datanglah ke loteng sebelah timur bersama Hohiantit
dan Yu-hiantit
"Baik, aku akan segera ke sana!" jawab Bong Thian-gak
dengan suara lantang.
Selesai berkata, dia mengikut di belakang Ku-lo Sinceng
keluar ruangan itu. Tak selang beberapa saat kemudian,
mereka sudah tiba di ruang tamu loteng sebelah timur.
Ternyata Ho Put-ciang dan Yu Hengsui telah berada pula di
sana.
Setelah semua orang mengambil tempat duduk, Ku-lo
Hwesio barulah berkata, "Kongsun-sicu tewas akibat sari
darah dan tulang sumsumnya mengering atau dengan kata
lain dia mati akibat air maninya telah kering."
"Jadi dia benar-benar tewas akibat air maninya telah
mengering?"
Ku-lo Hwesio manggut-manggut, "Ya, Kongsun-sicu
memang lewas di tangan seorang perempuan."
"Ah, kematiannya benar-benar di luar dugaan."

71
"Ko-sicu, semalam kau yang menguntit di belakang
Kongsun-sicu, tentunya kau tahu bukan kemana dia telah
pergi?"
Diam-diam Bong Thian-gak terkejut juga, dia tidak
menyangka perbuatannya menguntit di belakang Kongsun
Phu-ki tak lolos dari pengawasan Ku-lo Hwesio. Dengan cepat
lantas dia menjawab, "Kongsun-tayhiap telah berkunjung ke
rumah pelacuran Kang-san-bi-jin-lau, tapi berhubung aku tidak
masuk ke dalam, maka tidak kuketahui apa yang
dilakukannya!"
Maka Bong Thian-gak menceritakan secara ringkas
bagaimana dia menguntit Kongsun Phu-ki semalam, hanya
soal mengintip seorang perempuan cantik dalam keadaan
telanjang saja yang sengaja dia rahasiakan.
Seusai mendengar penuturan itu, Yu Heng-sui berkata
sambil menghela napas, "Ah, sudah satu bulan lebih Kongsuntayhiap
berdiam di sini, tiap hari dia tentu keluar satu kali, aku
pun pernah menguntitnya secara diam-diam, dia memang
pergi ke sarang pelacuran untuk melepaskan napsunya."
"Lolap sendiri pun pernah mendengar Kongsun-sicu tak
mampu mengendalikan birahi, tapi dia cukup berjiwa jujur dan
lurus, selama ini belum pernah mengganggu anak gadis atau
istri orang. Namun kalau dibilang ia mengalami musibah akibat
peristiwa ini, rasanya juga tak mungkin."
Bong Thian-gak pun merasakan banyak hal yang
mencurigakan dalam kejadian itu, dia berkata, "Kalau dibilang
Kongsun Phu-ki mati akibat dia kehabisan air mani setelah
berbuat iseng dengan pelacur, mengapa justru tewas dalam
gedung Bu-lim Bengcu, apalagi dia seorang jago yang memiliki
tenaga dalam amat sempurna, tak mungkin dia berbuat iseng
hingga kelewat batas, sampai air maninya mengering dan
berakibat kematian."

72
"Kalau bukan suatu musibah, apa. mungkin suatu
pembunuhan?" kata Ho Put-ciang tiba-tiba.
"Menjelang tengah malam Lolap menyaksikan Kongsun-sicu
pulang seorang diri, menyusul kemudian Ko-sicu baru pulang
setengah jam kemudian, waktu itu Ko-sicu pernah menjenguk
pula ke kamar Kongsun-sicu."
Bong Thian-gak semakin terkejut mendengar ucapan itu, ia
tidak menyangka semua gerak-geriknya tak lepas dari
pengawasan Ku-lo Hwesio, maka jawabnya dengan lantang,
"Apa yang dikatakan Taysu memang tepat sekali, oleh karena
aku kuatir Kongsun-tayhiap belum sampai di rumah, sengaja
aku datang ke kamarnya untuk mengintip dan membuktikan
apakah dia telah kembali ke rumah atau belum!"
"Biasanya orang yang mati akibat kehabisan sumsum
tulangnya, dia akan mati seketika setelah selesai melakukan
senggama," Ku-lo Hwesio menerangkan. "Mustahil berjalan
pulang lebih dulu dari jauh sebelum akhirnya tewas di rumah.
Ah! Mungkin Kongsun-sicu tidur semalaman tak pernah
mendusin untuk selamanya!"
"Supek, lantas berada dalam keadaan apakah Kongsuntayhiap
menemui ajalnya?" tanya Yu Heng-sui kemudian.
"Dua ratus tahun berselang, di Bu-lim pernah beredar
sejilid kitab Tay-im-keng yang mencantumkan sejenis ilmu
yang disebut Soh-li-sut (kepandaian perempuan suci),
tegasnya kepandaian itu merupakan sejenis ilmu penghisap
hawa Yang dari tubuh lelaki untuk memupuk kekuatan Im
tubuh perempuan yang digauli. Ilmu sesat semacam itu
pernah muncul di Bu-lim sebelum ini, tapi bila dibicarakan,
gejalanya persis seperti gejala kematian Kongsun-sicu
sekarang, itulah sebabnya Lolap jadi teringat kitab aneh Tayim-
keng itu."
Mencorong sinar tajam dari balik mata Bong Thian-gak
sesudah mendengar penjelasan itu, katanya cepat, "Jadi

73
maksud Taysu, kematian Kongsun-sicu disebabkan oleh
perbuatan seorang perempuan yang mengerti ilmu Soh-li-sut,
dan telah menghisap hawa Yangnya hingga mengering?"
"Ya, sebab kematian Kongsun-sicu memang demikian
adanya."
Bong Thian-gak menjerit kaget, "Ah, mungkinkah dalam
rumah pelacuran Kang-san-bi-jin-lau terdapat perempuan
semacam ini?"
"Kalau dibilang dalam rumah pelacuran bisa muncul
perempuan seperti ini, sesungguhnya sesuatu yang mustahil
dan sukar untuk dipercaya, sekali pun ada, tak mungkin dia
mencelakai orang tanpa sebab, ah ... itulah sebabnya Lolap
sekali lagi ingin bertanya kepada Ko-sicu, kemarin malam
Kongsun-sicu telah pergi kemana?"
Bong Thian-gak tertegun. "Jadi Taysu tidak percaya dengan
perkataanku?" tanyanya.
"Sejak beberapa hari berselang, musuh telah menetapkan
hari kematian untuk Kongsun-sicu, mungkin hal ini disebabkan
pihak lawan tahu Kongsun-sicu gemar bermain perempuan,
maka ia sengaja menyiapkan seorang perempuan yang pandai
ilmu Soh-li-sut untuk merayunya di tengah jalan sehingga
rencana pembunuhan mereka tercapai, apabila dibilang di
dalam rumah pelacuran bisa terdapat perempuan macam
begini, sesungguhnya hal ini sukar untuk dipercaya."
Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai, apa yang
kukatakan sebenarnya merupakan kenyataan, namun bila
Taysu sekalian tidak percaya, aku pun tidak bisa berbuat apaapa."
Padahal Bong Thian-gak pun terkejut bercampur keheranan
atas kematian Kongsun Phu-ki.

74
"Baiklah," kata Ku-lo Hwesio kemudian, "Untuk sementara
waktu Lolap tak usah membicarakan dulu kematian Kongsunsicu
semalam."
Dilihat dari sikap Ku-lo Hwesio yang bernada memeriksa
dirinya, Bong Thian-gak segera sadar bahwa Hwesio tua yang
teliti ini pun sudah mulai menaruh curiga padanya, siapa tahu
Hwesio itu sudah lama menaruh curiga padanya, sehingga
sengaja mengajaknya turut menghadiri rapat rahasia itu.
Kemudian mengintai dan menyelidikinya secara diam-diam.
Terdengar Ku-lo Hwesio berkata, "Pembunuh gelap yang
dibunuh Ko-sicu itu merupakan salah satu dayang
kepercayaan Oh-bengcu Hujin. Kini Lolap ingin bertanya
kepada Sicu, mengapa dayang itu mencari Sicu sebagai
sasaran pembunuhan?"
Bong Thian-gak segera mengeluarkan kartu merah dari
dalam sakunya, kemudian berkata dengan lantang, "Silakan
Taysu memeriksa kartu ini terlebih dahulu!"
Ku-lo Hwesio menerima kartu itu dan diperiksa sebentar,
kemudian diberikan kepada Ho Put-ciang, setelah itu dia baru
berkata, "Seandainya Sicu adalah orang dari golongan kami,
setelah musuh memberikan kartu peringatan itu kepadamu,
Sicu pasti akan berusaha menawan mata-mata itu, kemudian
disiksa supaya mengaku, apa sebabnya kau malah membunuh
orang itu secara keji?"
Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai, tentang
kesalahan tanganku, aku membunuh pembunuh gelap itu, aku
merasa menyesal sekali."
Tiba-tiba mencorong sinar tajam dari balik mata Ku-lo
Hwesio, dia menatap wajah Bong Thian-gak lekat-lekat,
kemudian ujarnya dengan suara dalam, "Maaf jika Lolap
menaruh prasangka kepada Sicu, harap Sicu dapat
memberikan bantahan setelah tuduhanku ini kuucapkan."
"Katakan saja, Taysu."

75
"Seandainya Lolap menuduh Sicu adalah utusan lihai
musuh yang mendapat perintah untuk menyusup ke dalam
gedung Bu-lim Bengcu, entah bagaimanakah sanggahan
Sicu?"
Bong Thian-gak untuk kesekian kalinya menghela napas
panjang, "Ah, asal kuutarakan asal-usulku, sudah pasti Taysu
tak akan menaruh curiga lagi kepadaku, bila seseorang yang
tidak diketahui asal-usulnya tiba-tiba muncul dalam gedung
Bu-lim Bengcu, bagaimana pun juga hal ini memang
mencurigakan orang lain!"
"Apa yang hendak Sicu tanyakan?"
"Apa yang ingin kuketahui adalah soal kematian Kongsun
Phu-ki, benarkah dia tewas akibat kehabisan sumsum Goanyang?"
Tiba-tiba paras muka Ku-lo Hwesio berubah, tapi sebentar
saja sudah lenyap, pelan-pelan dia berkata, "Ko-sicu telah
menyaksikan jenazah Kongsun-sicu dengan mata kepala
sendiri, bagaimana tanggapanmu tentang kematiannya?"
Bong Thian-gak tertegun, sahutnya pula, "Dilihat dari gejala
kematiannya, dia memang tewas akibat kehabisan sumsum
Goan-yang!"
"Kalau begitu, apa lagi yang Sicu sangsikan?"
"Ah, aku harus membuktikan dulu sebab kematian Kongsun
Phu-ki sebelum menyelelidiki siapa pembunuhnya."
"Sicu, setelah sampai di sini, Lolap terpaksa mesti berterus
terang kepadamu!" kata Ku-lo Hwesio kemudian dengan suara
dalam. "Semua jago yang hadir di sini maupun pejabat Bengcu
merasa keberatan bila ada seorang yang tak jelas identitas
dan asal-usulnya turut serta dalam persoalan persekutuan
dunia persilatan ini."
Sambil tertawa getir Bong Thian-gak manggut-manggut,
"Aku akan segera meninggalkan gedung Bu-lim Bengcu ini,

76
tapi jangan harap bisa mengetahui asal-usulku yang
sebenarnya!"
Tiba-tiba Yu Heng-sui tertawa dingin, "Ko-heng, jika kau
tidak mengungkap asal-usulmu, mungkin kau tak akan dapat
mengundurkan diri dari gedung Bengcu ini dengan selamat."
Mendengar itu, Bong Thian-gak berkerut kening, lalu
ujarnya lagi dengan suara dalam, "Kalian tak mau mengurusi
masalah yang sesungguhnya, buat apa mendesak diriku
mengungkap asal-usulku?"
"Semua ini mengikuti keinginan para jago," sahut Yu Hengsui
tertawa. "Kini mereka telah menanti dirimu di bawah
loteng sana."
Bong Thian-gak menghela napas panjang mendengar
ucapan itu, "Ai, bila kalian tak mau percaya kepadaku, suatu
ketika kalian akan menyesal."
Setelah menghela napas lagi, dia berpaling ke arah Ho Putciang,
lalu ujarnya lebih jauh, "Kalau kalian tak percaya
kepadaku sejak awal, mengapa kalian izinkan diriku
mencampuri urusan ini? Sekarang kalian pun tidak
memperkenankan aku pergi dari sini, sebenarnya apa yang
hendak kalian lakukan?"
"Ko-cuangsu, mengapa kau tidak mengungkap asal-usulmu
secara jujur?"
Bong Thian-gak menggeleng, "Maaf, aku tidak bisa
menjawab."
"Jika kau enggan menjawab, para jago akan
menghalangimu pergi dari sini."
Kembali Bong Thian-gak tertawa, "Bila hal ini terjadi,
terpaksa aku suruh mereka saksikan kelihaian ilmu silatku!"
Selesai berkata, pemuda itu segera beranjak turun dari
loteng itu.

77
Yu Heng-sui tertawa dingin, dia segera melompat bangun
sambil bersiap-siap melancarkan serangan.
Tiba-tiba Ho Put-ciang berkata dengan suara dalam, "Jisute,
jangan bertindak gegabah!"
Yang dikuatirkan oleh Bong Thian-gak selama ini adalah
bilamana dia mesti bertarung melawan Toa-suhengnya,
betapa lega hatinya setelah Toa-suhengnya mencegah Jisuhengnya
turun tangan.
Selangkah demi selangkah dia turun dari anak tangga,
setelah tiba di depan pintu gerbang, tampak kawanan jago itu
benar-benar telah berdiri mengelilingi halaman gedung,
puluhan pasang mata yang tajam bersama-sama ditujukan ke
tubuhnya.
Bong Thian-gak bersikap acuh tak acuh, seakan-akan sama
sekali tidak melihat kehadiran mereka, dengan dada
dibusungkan dia langsung berjalan menuju ke tengah
halaman.
Sementara itu Ku-lo Hwesio bersama Ho Put-ciang dan Yu
Heng-sui telah turun dari loteng pula, mereka bertiga berdiri di
depan pintu gerbang dengan wajah serius.
Ketika Bong Thian-gak sudah hampir keluar pintu halaman,
tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring, "Berhenti!"
Bayangan orang berkelebat, seorang lelaki kekar
bercambang hitam pekat seperti pantat kuali, dengan
perawakan tinggi besar dan berjubah biru telah menghadang
di depan Bong Thian-gak.
Bong Thian-gak segera mengenali orang ini sebagai salah
seorang dari Tiam-jong-siang-kiat yang dijuluki Wan-pit-kim-to
(golok emas berlengan monyet) Ang Thong-lam.
"Ang-tayhiap, apakah engkau hendak memberi sesuatu
petunjuk kepadaku?" tegurnya.

78
Golok emas berlengan monyet Ang Thong-lam tertawa
terbahak-bahak, "Aku orang she Ang ingin mohon petunjuk
dari saudara!"
"Silakan turun tangan, Ang-tayhiap."
Sikap santai dan tenang Bong Thian-gak ini membuat si
Golok emas berlengan monyet tertegun dan berdiri termangumangu
di tempat.
Setelah tertawa dingin, kembali Bong Thian-gak berkata,
"Ang-tayhiap, mengapa tidak melancarkan serangan?"
Tiba-tiba saja Ang Thong-lam menganggap Bong Thian-gak
berniat mempermainkan dirinya, dia jadi naik darah dan
segera membentak nyaring, "Bagus sekali, akan kulihat
seberapa hebat kepandaian silatmu hingga begitu sinis
padaku."
Begitu selesai berkata, dia lantas mengayun tinjunya
menghantam wajah Bong Thian-gak, serangannya dahsyat,
tenaga pukulannya mematikan.
Bong Thian-gak tertawa dingin, kaki kanannya maju ke
Tiong-kiong, lalu telapak tangan kanan diayun ke muka
membabat urat nadi pergelangan tangan musuh.
Sekali orang menyerang, segera akan diketahui berisi atau
tidak, seketika itu juga paras muka para jago di sekeliling
halaman itu berubah hebat.
Ang Thong-lam merupakan adik seperguruan ketua Tiamjong-
pay sekarang, kesempurnaan ilmu silatnya termasuk juga
kemampuan seorang ketua partai, ia segera menyadari
pukulan tangan kanannya akan meleset.
Sambil membentak keras bagaikan harimau ganas keluar
dari sarang, secepat kilat tangan kirinya menghantam
pinggang musuh.

79
Serangan ini merupakan ilmu pukulan Kiong-ciang-kun
(Pukulan busur panah) yang amat termasyhur dari Tiam-jongpay,
serangannya dilepaskan dengan kecepatan bagaikan
sambaran kilat, hebat luar biasa.
Semua jago yang menyaksikan jalannya pertandingan itu
dari samping, segera dapat merasakan pukulan Ang Thonglam
itu sangat hebat dan membuat orang sukar
menghindarkan diri.
Sikap Bong Thian-gak cukup tenang, tampak dia
berjongkok, kemudian membentak nyaring, "Lihat serangan!"
Suara benturan keras menggelegar di udara, badan Ang
Thong-lam berguncang keras, kemudian dengan
sempoyongan mundur sejauh liga-empat langkah, lengan
kirinya terkulai lemas, sementara wajahnya basah oleh
keringat.
Dalam bentrokan itu, para jago dapat mengikuti kejadian
itu dengan jelas, rupanya di saat yang paling kritis, Bong
Thian-gak telah mengubah babatan tangan kanannya yang
mengancam urat nadi pada lengan kanan Ang Thong-lam itu
menjadi serangan menyikut, di antara posisi setengah
berjongkok itulah dia berhasil menyikut persendian hilang
lengan sebelah kiri musuh.
Dalam bentrokan barusan, kedua belah pihak memang
belum menggunakan kepandaian yang sebenarnya, tapi
menang kalah di antara mereka sudah ditentukan.
Seorang jago lihai yang termasyhur namanya di Bu-lim
ternyata menderita kalah total di tangan seorang pemuda tak
dikenal, kejadian ini benar-benar di luar dugaan siapa pun.
Hasil pertempuran yang mengejutkan ini kontan saja
membuat paras muka para jago berubah hebat.

80
Kepada Ku-lo Hwesio kata Ho Put-ciang, "Ku-lo Supek,
sodokan sikutnya benar-benar dilakukan dengan amat jitu dan
hebat, ilmu silat orang ini tidak boleh dipandang enteng."
Ku-lo Hwesio manggut-manggut, "Betul, sodokan sikut itu
dilancarkan di antara sela-sela peralihan jurus pertama ke
jurus kedua, dari sini dapat diketahui ilmu silat orang ini
benar-benar hebat sekali."
Dalam pada itu Bong Thian-gak telah menjura kepada
semua jago setelah berhasil mengalahkan Ang Thong-lam,
katanya dengan lantang, "Ang-tayhiap, terima kasih atas
kesediaannya mengalah!"
Setelah berkata, dia lantas beranjak pergi.
"Tunggu sebentar saudara! Lohu ingin mohon petunjuk
pula," tiba-tiba seseorang berkata dengan suara parau.
Tampak seorang kakek berbaju hitam menggembol
pedang, pelan-pelan berjalan keluar dan menghadang di
depan Bong Thian-gak.
Setelah melihat jelas paras muka kakek itu, dengan kening
berkerut Bong Thian-gak berkata, "Yu-koancu, harap kau sudi
memberi jalan untukku!"
Ternyata kakek baju hitam berperawakan jangkung dan
berwajah kurus ini adalah Koancu kuil Hian-thian-koan di bukit
Khong-tong, Yu Ciang-hong adanya.
Dengan sebilah pedang Ci-thian-kiam, dia berhasil
menguasai tiga belas macam ilmu pedang Khong-tong-pay
hingga mencapai puncak kesempurnaan, menurut berita di
Bu-lim, konon Yu Ciang-hong telah berhasil pula menguasai
Yu-kiam-sut atau ilmu pedang terbang.
Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong tersenyum.

81
"Ko-cuangsu, Lohu mohon petunjuk beberapa jurus
seranganmu untuk menambah pengetahuanku, apa tidak
boleh?"
Bong Thian-gak sadar, andai dia tidak memperlihatkan
kelihaian ilmu silatnya pada hari ini, mustahil dia bisa pergi
meninggalkan tempat itu dengan mudah.
Setelah berpikir sebentar, katanya dengan suara nyaring,
"Kalau memang begitu, terpaksa aku mengiringi
keinginanmu."
"Selama hidup Lohu menekuni ilmu pedang, boleh dibilang
pedang tak pernah terlepas dari tanganku, entah senjata
apakah yang hendak saudara pergunakan? Silakan saja segera
dilolos."
"Aku lebih meyakini ilmu telapak tangan, silakan Yu-koancu
melancarkan serangan!"
Yu Ciang-hong agak tertegun, kemudian ujarnya, "Kalau
begitu terpaksa Lohu bertindak lancang."
Begitu selesai berkata, Yu Ciang-hong segera mundur
setengah langkah, dengan cepat tangan kanannya
menyambar ke belakang untuk melolos pedangnya.
"Sret", cahaya tajam segera berkilauan memenuhi angkasa.
Begitu Ci-thian-kiam dilolos, tanpa banyak bicara lagi ia
melepas sebuah tusukan kilat ke arah dada Bong Thian-gak .
Yu Ciang-hong adalah jago pedang kenamaan di Bu-lim,
cukup dilihat dari caranya mencabut pedang bisa diketahui
sampai dimana taraf kesempurnaan orang ini.
Sudah lama para jago persilatan tahu bahwa Yu Cianghong
termasyhur karena ilmu pedangnya yang lihai,
kendatipun demikian jarang ada orang menyaksikan dia
memainkan ilmu pedangnya di depan umum, oleh sebab itu
semua orang lantas memusatkan segenap perhatiannya
menyaksikan jalannya pertarungan itu.

82
Agaknya Bong Thian-gak pun sadar ilmu pedang lawan lihai
sekali, dia tak berani memandang enteng, dengan sorot mata
berkilau tajam dia mengawasi gerak pedang lawan, sementara
telapak tangan kirinya dengan setengah ditekuk mengebas
pergi serangan pedang lawan.
Paras muka Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong berubah
hebat menyaksikan datangnya ayunan telapak tangan kiri
Bong Thian-gak, mendadak dia tekuk pinggang sambil
menarik senjatanya.
Setelah itu pedang Ci-thian-kiam sekali lagi digetarkan ke
muka, dari kiri menusuk ke kanan, lalu dari kanan menyapu ke
tengah, dalam
waktu yang singkat dia telah melepaskan tiga serangan
berantai.
Tampak cahaya tajam berkilauan memenuhi angkasa,
dengan gerakan pedang yang aneh, seperti menotok juga
menggunting, dia menghajar musuh.
Ku-lo Hwesio yang menonton jalannya pertarungan itu dari
sisi arena segera saja menghela napas panjang, katanya,
"Kebasan tangannya itu merupakan ilmu Hud-meh-ceng-hiat
(Menyapu nadi menggetarkan jalan darah) yang hebat sekali,
ilmu silat orang itu benar-benar mencapai tingkatan yang luar
biasa!"
Baik Ho Put-ciang maupun Yu Heng-sui dapat menyaksikan
pula kebasan tangan Bong Thian-gak tadi, dengan wajah
serius bercampur tegang mereka mengikuti jalannya
pertarungan itu dengan seksama.
Sementara itu Bong Thian-gak telah terdesak mundur
sejauh tiga langkah oleh gencetan tiga serangan berantai
lawan, tapi secara mudah sekali dia berhasil meloloskan diri
dari ancaman itu.

83
Yu Ciang-hong memang tak malu disebut jago pedang yang
termasyhur, ia tak memberi kesempatan pada musuh untuk
melepaskan serangan balasan, kaki kirinya segera maju
selangkah, lalu pedangnya ditebaskan ke samping, sebuah
tusukan kuat disodokkan ke muka.
Kini Bong Thian-gak tidak menghindar lagi, mencorong
sinar tajam dari balik matanya, setelah membentak nyaring,
pergelangan tangan kanannya diayunkan ke muka membabat
punggung pedang, seketika itu juga muncul segulung angin
pukulan yang mendesak pedang lawan miring ke samping.
Sedangkan tangan kirinya tidak tinggal diam, tiba-tiba saja
ia mencengkeram pergelangan tangan kanan musuh yang
menggenggam pedang.
Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong amat terkejut, cepat dia
mundur tiga langkah, tiba-tiba saja gerakan pedangnya
berubah.
Terdengar angin menderu, cahaya kilat berkilauan di
angkasa, segulung angin puyuh yang maha dahsyat
menggulung tiba.
Bong Thian-gak mendengus dingin, ujung bajunya berkibar
terhembus angin, dengan cepat dia menerjang ke tengah
gulungan angin pedang Yu Ciang-hong yang gencar, dengan
tangan kiri menangkis pedang, tangan kanan menyerang
musuh, sepasang telapak tangannya berubah silih berganti,
bagaikan dua naga bermain di air, kelihaiannya benar-benar
luar biasa.
Kawanan jago persilatan itu rata-rata adalah pemimpin
suatu perguruan besar, ilmu silat mereka tentu saja lihai
sekali, tatkala mereka menyaksikan jalannya pertarungan itu,
serentak keningnya berkerut.
Rupanya mereka tidak bisa membedakan lagi mana
gerakan tubuh Bong Thian-gak dan mana jurus pedang Yu
Ciang-hong.

84
Dalam waktu singkat kedua belah pihak sudah saling
bertarung puluhan gebrak.
Tiba-tiba terdengar dengusan tertahan memecah
keheningan. Di tengah lapisan bayangan pedang yang
menyelimuti udara, mendadak Bong Thian-gak melejit ke
tengah udara dan melayang turun, kemudian dia membalik
tubuh dan dalam beberapa kali lompatan saja bayangan
tubuhnya sudah lenyap di balik halaman gedung sana.
Perubahan yang berlangsung tiba-tiba ini amat
mencengangkan semua orang, membuat semua jago yang
hadir di arena tak seorang pun sempat melakukan
penghadangan, mereka hanya berdiri tegak di tempat dengan
wajah termangu.
Akhirnya suara helaan napas panjang menyadarkan para
jago dari lamunan, sewaktu mereka mengangkat kepala,
tampak Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong berdiri lemas
dengan pedang Ci-thian-kiam terkulai ke bawah.
"Kalah total ... kalah total ... tiga puluhan tahun Lohu
berlatih dengan tekun, siapa tahu hari ini mesti menderita
kekalahan di tangan jago muda yang sama sekali tak dikenal,"
gumamnya lirih.
"Koancu, bukankah kau berhasil melukai lengan kirinya?"
seru Yu Heng-sui dengan nyaring. "Siapa yang menderita
kekalahan?"
Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong mendongakkan kepala
dan dengan sedih sahutnya, "Betul, Lohu memang berhasil
melukai lengan kirinya, namun telapak tangannya justru
berhasil menghantam dadaku lebih dulu, coba kalau pukulan
itu disertai dengan tenaga dalam, Lohu sudah tewas sejak
tadi, bagaimana mungkin masih dapat melukai lengannya
dengan pedang?"
Rupanya dalam gebrakan penentuan yang berlangsung
dengan amat cepat tadi, kecuali Ku-lo Hwesio, Ho Put-ciang,

85
Ui-hok Totiang dan beberapa orang yang sempat melihat
jelas, sisanya masih belum tahu bagaimana kedua belah pihak
menentukan menang kalahnya, mereka cuma menyaksikan
Bong Thian-gak melarikan diri dengan membawa luka.
Dalam pada itu Ku-lo Hwesio telah memejamkan mata
rapat-rapat seakan sedang mengambil suatu keputusan yang
amat penting, tiba-tiba dia membuka mata, lalu berkata
dengan suara dalam, "Kelihaian ilmu silat orang ini benarbenar
jauh di luar dugaan, terutama aliran ilmu silatnya, susah
buat kita untuk menduganya, andaikata dia adalah musuh, hal
ini benar-benar amat merisaukan buat kita."
Paras muka Ho Put-ciang berubah menjadi serius sekali,
setelah .termenung sejenak, tiba-tiba bisiknya kepada Ku-lo
Hwesio, "Ilmu pukulan orang ini sangat aneh dan sulit diduga,
akan tetapi tidak kehilangan sifat jujur dan terbukanya,
bahkan gaya serangannya pun mirip sekali dengan...."
Ketika berbicara sampai di situ mendadak dia tutup mulut,
kemudian setelah menggeleng kepala dia melanjutkan, "Akan
tetapi di balik sikapnya yang gagah dan perkasa membawa
juga serangan keji yang licik dan tak kenal ampun, sungguh
membuat orang tidak mengerti!"
Ku-lo Hwesio menatap wajah Ho Put-ciang lekat-lekat,
kemudian tanyanya pelan, "Menurut Ho-hiantit, ilmu silat
orang itu mirip aliran mana?"
"Mirip sekali dengan ilmu pukulan guruku, tapi bila diamati
lagi dengan seksama seperti tak mirip, ya, ilmu silat di dunia
memang bersumber satu, mungkin otakku kelewat tumpul
hingga telah salah melihat!"
Mendengar itu, Ku-lo Hwesio membungkam, sepasang
matanya dipejamkan rapat-rapat seperti sedang bersemedi.
Mendadak terdengar Ku-lo Hwesio berkata dengan suara
yang dalam dan berat, "Ho-hiantit, cepat kirim orang untuk
mengejar dan membunuh Ko Hong!"

86
Ho Put-ciang tertegun oleh seruan itu, "Mengapa Ku-lo
Supek mengambil keputusan begini?"
Mencorong sinar tajam dari balik mata Ku-lo Hwesio,
serunya kemudian, "Lolap sudah teringat sekarang,
kemungkinan besar orang itu adalah anak murid Mo-kiam-sinkun
Tio Tian-seng."
Begitu ucapan itu diutarakan, paras muka para jago segera
berubah hebat.
Gara-gara dugaan itu, Bong Thian-gak bakal menjumpai
banyak kesulitan dalam pengembaraannya di Bu-lim di
kemudian hari.
Dalam pada itu Bong Thian-gak telah mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya melewati atap rumah dan kabur dari
gedung Bu-lim Bengcu.
Ia langsung menuju ke tempat terpencil yang jauh dari
keramaian, tiga li kemudian pemuda itu baru berhenti berlari,
sementara lukanya mulai terasa sakit.
Ternyata darah segar telah membasahi lengan kirinya,
sakitnya bukan kepalang.
Sambil menggigit bibir dia lantas merobek secarik kain dan
membalut luka itu, kemudian setelah menghembuskan napas
kesal, gumamnya seorang diri, "Ilmu pedang Khong-tongkiam-
hoat milik Yu Ciang-hong memang benar-benar lihai, bila
tujuh tahun belakangan ini aku tidak belajar ilmu sakti yang
kutemukan tanpa sengaja, bisa jadi aku tewas di ujung
pedang orang itu!"
Pelan-pelan dia berjongkok dan duduk bersila di bawah
rimbunnya pohon.
Memandang awan di angkasa, tanpa terasa gumamnya
lagi, "Masa depan suram, dunia amat luas, besok aku akan
kemana dan berbuat apa? Ai, sungguh tak kusangka setelah
aku memasuki gedung Bu-lim Bengcu dan bisa menginap di

87
sana, sehari kemudian aku dipaksa berkelana lagi tanpa
tujuan."
"Oh, Suhu! Apakah arwah kau orang tua yang tidak
berkenan aku memasuki pintu gerbang gedung Bu-lim Bengcu
lagi? Oh Suhu! Seandainya arwahmu di alam baka tahu, kau
harus mengerti bahwa tujuh tahun berselang aku tidak
melakukan kesalahan apa-apa, kubunuh Siau Cu-beng
dikarenakan aku hendak membersihkan perguruan kau orang
tua dari manusia-manusia laknat!"
Keluh-kesah Bong Thian-gak ini makin lama semakin
memilukan, dia merasa nasib sendiri benar-benar amat buruk,
sepanjang hidup harus
berkelana tanpa tujuan, dimana-mana mendapat kesulitan,
seakan-akan perjalanan hidup penuh dengan duri.
Teringat akan nasibnya yang buruk, tanpa terasa ia teringat
pula pada ibu gurunya, Pek Yan-ling, yang menggemaskan,
tak tahu malu dan menjengkelkan itu.
Andai bukan gara-gara perbuatan cabul Pek Yan-ling,
mungkin dia tak akan mengalami nasib yang begini tragis
seperti saat ini.
Sambil menundukkan kepala dan membelai kaki kirinya
yang pincang, api kebencian membara lagi dalam benaknya,
saking tak kuasa menahan diri, dia segera mencaci-maki
kalang-kabut, "Perempuan jalang, tujuh tahun berselang kau
telah membacok otot kaki kiriku hingga membuatku pincang,
semalam kau lagi-lagi mengirim orang untuk membunuhku.
Ah, aku Bong Thian-gak bersumpah tak akan melepaskan
dirimu begitu saja."
Pikir punya pikir sambil bersandar di pohon dan dibuai
angin yang berhembus silir-semilir, tanpa terasa akhirnya
Bong Thian-gak jatuh tertidur.

88
Ketika mendusin dari tidurnya, matahari sudah tenggelam
di langit barat, cuaca mulai remang-remang.
Sambil melemaskan otot-ototnya yang kaku, Bong Thiangak
melompat bangun, tiba-tiba berhembus segulung angin
yang membawa bau harum daging semerbak.
Seketika pemuda itu merasa perutnya lapar sekali sehingga
sukar ditahan, sambil menelan air liur dia mulai celingukan ke
sana-kemari mencari sumber datangnya bau harum itu.
Akhirnya dari balik sebuah hutan kecil tak jauh dari situ, dia
saksikan ada selapis cahaya api yang sedang berkobar, di
sampingnya duduk berjongkok seseorang berdandan
pengemis, tampak di atas jilatan api sedang terpanggang
sesuatu, dari situlah bau daging tadi terendus.
Waktu itu Bong Thian-gak lapar sekali, dia lantas berpikir,
"Untuk membeli makanan di kota, aku mesti berjalan dua-tiga
li, mengapa tidak kubeli separoh ayam dari pengemis itu untuk
menangsal perut?"
Berpikir sampai di situ, dia lantas berjalan menuju hutan
kecil itu.
Benar juga, ternyata benda yang sedang dipanggang
adalah seekor ayam yang sangat gemuk, waktu itu si
pengemis sedang mencongkel bara api di bawah panggangan
dengan sebatang ranting, dia seperti belum tahu kehadiran
Bong Thian-gak.
"Permisi sobat!" Bong Thian-gak segera menegur.
Pengemis itu tidak berpaling, juga tidak mengangkat kepala,
sambil meneruskan pekerjaannya dia berkata, "Hihihi, silakan
duduk, silakan duduk sobat aku tahu perutmu lapar."
Mendengar perkataan itu, dengan perasaan rikuh Bong
Thian-gak berkata, "Aku ingin membeli separoh ayam
panggangmu itu, berapa pun harganya pasti kubayar."

89
Tiba-tiba pengemis itu mendengus dingin, "Hm, harta
kekayaan seperti awan di angkasa, uang seperti kotoran
manusia, kalau berbicara soal uang, lebih baik tidak kujual
saja!"
Bong Thian-gak tertegun, "Kita tak pernah mengenal satu
sama lain, bagaimana boleh kuminta ...."
Belum selesai dia berkata, pengemis itu sudah menukas
dengan suara dingin, "Kalau begitu lebih baik pergi saja
dengan menahan lapar!"
Bau harum yang semerbak membuat Bong Thian-gak harus
menelan air liur berulang-kali, sebagai orang jujur, dia kasihan
kalau harus meminta makanan yang mungkin didapat dari
dermaan orang, berpikir sampai di situ ada baiknya bilamana
diberi sedikit uang sebagai imbalan separoh ayam itu,
bagaimana pun juga ia tetap merasa rikuh untuk minta
makanan dari seorang pengemis.
Karena ragu-ragu, untuk sesaat dia hanya berdiri di tempat.
Mendadak terdengar pengemis itu berseru dengan gembira,
"Sudah matang, sudah matang!"
Ia segera membuang ranting itu dan mencengkeram
panggang ayam yang masih panas itu dengan tangannya.
Bong Thian-gak yang menyaksikan kejadian itu segera
berteriak, "Hati-hati, jangan sampai menyengat tangan!"
Belum habis dia berkata, pengemis itu sudah menyobek
paha ayam dan dimakan dengan lahapnya.
Saat itulah Bong Thian-gak melihat dengan jelas paras
muka pengemis itu, tanpa terasa keningnya berkerut kencang.
Ternyata usia pengemis itu sangat muda, kurang lebih dua
puluh tiga-empat tahun,wajahnya amat tampan, telinga besar
dan mata jeli, bukan saja hidungnya mancung, kulit tubuhnya
juga putih, halus dan bersih.

90
Coba kalau dia tidak mengenakan jubah panjang yang
penuh tambalan, siapa yang percaya kalau orang ini adalah
pengemis? Orang tentu akan menganggapnya sebagai
seorang Kongcu yang romantis!
Pengetahuan Bong Thian-gak cukup luas, sekarang dia
sudah menduga, besar kemungkinan pengemis muda ini
adalah anggota Kay-pang yang termasyhur di Bu-lim selama
seratus tahun belakangan ini.
Kay-pang atau perkumpulan pengemis merupakan
perkumpulan terbesar di Bu-lim, selain anggotanya sangat
banyak, jumlah mereka pun tersebar rata di setiap pelosok
dunia.
Mereka tidak pernah menggabungkan diri dengan
persekutuan dunia persilatan, selamanya bekerja sendiri tanpa
terikat oleh perguruan lain, selain jarang mengadakan
hubungan dengan berbagai perguruan silat, perkumpulan ini
pun merupakan satu-satunya perkumpulan yang berdiri antara
aliran lurus dan sesat.
Belasan tahun berselang, ketika guru Bong Thian-gak
masih menjadi Bengcu persekutuan dunia persilatan, pihak
Kun-lun-pay sebagai anggota persekutuan pernah bentrok
dengan orang-orang Kay-pang.
Gara-gara peristiwa itu hampir saja pihak Kay-pang
melakukan pertarungan terbuka dengan pihak persekutuan
dunia persilatan.
Akhirnya Bu-lim Bengcu harus berkunjung ke markas besar
Kay-pang untuk minta maaf kepada ketua perkumpulan itu
sebelum urusan bisa didamaikan.
Ditinjau dari kejadian itu, dapat disimpulkan bahwa
pengaruh Kay-pang dalam Bu-lim waktu itu sama sekali tidak
berada di bawah kemampuan sembilan partai besar daratan
Tionggoan.

91
Sementara itu si pengemis muda menyaksikan Bong Thiangak
hanya berdiri termangu, mendadak dia menyambar
sepotong paha ayam dan dilempar ke depan Bong Thian-gak,
serunya, "Nih, sambutlah!"
Paha ayam itu meluncur dengan kecepatan tinggi, Bong
Thian-gak dengan gugup segera menerimanya.
Kini dia sudah menduga pengemis itu kemungkinan besar
adalah anggota Kay-pang, maka sikapnya pun tidak sungkansungkan
lagi.
Dia lantas berjongkok dan melalap paha ayam itu dengan
lahapnya malah lebih lahap daripada pengemis muda itu,
dalam waktu singkat paha ayam tadi sudah disikat hingga
tinggal tulangnya.
Dengan mata melotot dan tertawa cekikikan, pengemis
muda rtu berkata ”Ujung langit seperti tetangga, empat
samudra adalah saudara sendiri silakan makan, silakan
makan!"
Bong Thian-gak tertawa bodoh, tanpa sungkan lagi dia
pentang kelima jarinya dan merobek sepotong daging ayam
gemuk itu, langsung dikirim ke dalam mulutnya.
Hanya dalam waktu singkat seekor ayam gemuk seberat
tiga-empat kati itu sudah tinggal tulang.
Setelah kenyang, Bong Thian-gak baru bertanya dengan
suara lantang, "Bolehkah aku tahu siapa namamu?"
Pengemis muda itu melototkan matanya, kemudian
sahutnya, "Dilihat dari tampangmu, sama sekali tidak
menunjukkan sikap seorang pelajar, tapi heran, tingkahlakumu
justru penuh dengan segala tetek-bengek, siapa
namamu sendiri?"
Bong Thian-gak menaruh kesan baik terhadap pengemis
muda itu, setelah tertawa nyaring dia menyahut, "Aku she Ko
bernama Hong."

92
"Nama palsu, shenya juga palsu!"
Bong Thian-gak jadi tertegun, "Maksudmu?"
"Tiada manusia yang bernama demikian di Bu-lim."
Diam-diam Bong Thian-gak terperanjat, pikirnya kemudian,
"Pengemis muda ini sudah pasti seorang yang punya
kedudukan tinggi dalam Kay-pang, kalau dilihat dari
kemampuannya merobek daging ayam tadi, pasti tenaga
dalamnya telah sempurna!"
Berpikir demikian, sambil tersenyum Bong Thian-gak
berkata, "Kalau begitu kau pun seorang dari dunia persilatan?"
"Jika kau sudah tahu aku anggota Kay-pang, buat apa kau
mesti banyak bertanya?"
"Tapi kau belum memberitahukan namamu kepadaku?"
"Aku she To bernama Siau-hou!"
"Oh, rupanya To-heng, terima kasih banyak atas hidangan
daging ayammu pada malam ini!"
"Ayam gemuk itu dapat kucuri dari dalam gedung Bu-lim
Bengcu, jadi berterima kasihlah kepada mereka!"
Bong Thian-gak tertegun mendengar itu, segera serunya,
"Jadi kau pun telah berkunjung ke gedung Bu-lim Bengcu?"
"Aku pun telah menyaksikan pertarunganmu melawan Yu
Ciang-hong. Hm, orang-orang dari sembilan partai memang
benar-benar tak tahu malu, sudah kalah masih
menghadiahkan tusukan kepada orang!"
Bong Thian-gak terkejut mendengar ucapan terakhir itu, To
Siau-hou ini selain sudah menyusup ke dalam gedung Bu-lim
Bengcu tanpa diketahui siapa pun, bahkan setiap gerakan
serangan yang digunakan sewaktu bertarung melawan Hianthian-
koancu pun dapat diketahuinya, dari sini dapat
disimpulkan kepandaian silatnya benar-benar sangat lihai.

93
To Siau-hou memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak,
kemudian tanyanya, "Bukan memujimu, ilmu silatmu memang
sangat tinggi, orangnya juga jujur dan terbuka, kami orangorang
Kay-pang paling suka dengan orang macam dirimu,
apakah kau ingin masuk menjadi anggota?"
Bong Thian-gak tersenyum, "Sekarang aku tak punya
beban tak punya ikatan, hidup bebas tanpa terikat oleh suatu
apa pun, buat apa To-heng mesti memberi belenggu padaku?"
To Siau-hou ikut menghela napas panjang, "Cara untuk
menjadi anggota perkumpulan kami selamanya sangat ketat,
justru lantaran aku merasa amat berkesan kepada Ko-heng
sejak pertemuan pertama, seakan-akan kita seperti sudah
berteman lama saja, maka ... sudahlah! Ko-heng, di kemudian
hari bila kau bersedia menjadi anggota perkumpulan kami,
katakan saja kepadaku."
"To-heng memiliki watak yang gagah, terbuka, berjiwa
besar dan hangat terhadap setiap orang, Siaute benar-benar
telah mendapat seorang sahabat sehati."
Tiba-tiba To Siau-hou bangkit, kemudian katanya, "Kini aku
sedang mendapat tugas rahasia dari Pangcu kami untuk
menyelidiki beberapa persoalan di kota Kay-hong, tugas yang
amat berat itu mesti kulakukan secepatnya, hingga tak ada
waktu buat kita untuk banyak bicara, kalau begitu kita bersua
lagi di lain waktu saja!"
Selesai berkata dia lantas menjura dalam-dalam kepada
Bong
Thian-gak, setelah itu membalik badan dan beranjak pergi
dari situ.
"Baik-baiklah menjaga dirimu To-heng, sampai jumpa lain
waktu," seru Bong Thian-gak lantang.
Setelah berjalan beberapa langkah, tiba-tiba To Siau-hou
berhenti dan membalik tubuh, katanya, "Ko-heng, kini Ku-lo

94
Hwesio dari Siau-lim-pay telah menurunkan perintah untuk
mencari dan membunuh dirimu, kau harus lebih waspada
untuk menjaga diri!"
Mendengar itu Bong Thian-gak menghela napas panjang,
"Terima kasih banyak atas peringatan To-heng, aku bisa
menghadapinya dengan hati-hati."
To Siau-hou tidak banyak bicara lagi, dia membalik badan
dan melompat pergi, dalam waktu singkat bayangan tubuhnya
telah lenyap dari pandangan mata.
Memandang bayangan punggung To Siau-hou yang
menjauh, tiba-tiba Bong Thian-gak seperti kehilangan sesuatu,
sobat barunya ini seakan-akan meninggalkan kesan yang amat
mendalam dalam hatinya.
Pesan sebelum kepergian To Siau-hou tadi membuat Bong
Thian-gak makin bertambah kesal, perintah yang diturunkan
Ku-lo Hwesio itu kemungkinan besar bisa mengakibatkan dia
saling bentrok dengan sesama saudara seperguruannya.
"Ai, apakah sebaiknya aku mengundurkan diri dan
mengasingkan diri di tengah gunung yang terpencil?"
Bintang-bintang bertaburan di angkasa dan berkelip tiada
henti, persis seperti perasaan Bong Thian-gak yang tak
menentu sekarang, dia tidak tahu harusnya dia tetap tinggal di
Kay-hong ataukah melanjutkan penyelidikannya atas
pembunuh yang membinasakan gurunya itu?
Dia tahu, meski dunia persilatan kehilangan dia, namun dia
bertekad tetap melakukan penyelidikan terhadap kematian
gurunya. Agar mereka jangan sampai salah sasaran, dia
memang sepantasnya mengundurkan diri dari keramaian
dunia.
Angin dingin berhembus mengibarkan ujung baju Bong
Thian-gak, dengan pikiran kusut pelan-pelan dia berjalan
meninggalkan tempat itu.

95
Malam terasa aneh dan penuh misteri.
Mendadak terdengar suara keliningan yang nyaring,
membuat suasana malam menjadi bertambah misterius.
Mendengar suara itu, Bong Thian-gak segera berpaling, di
tengah kegelapan malam segera terlihat olehnya bayangan
sebuah tandu yang muncul dari balik kegelapan.
Rupanya suara keliningan itu berasal dari tandu itu.
Dengan kening berkerut Bong Thian-gak segera menyelinap
ke balik semak belukar dan menyembunyikan diri, tampak
olehnya tandu itu makin lama makin mendekat.
Itulah sebuah tandu kecil yang digotong dua orang, yang
lebih mengherankan lagi, pemikul tandunya adalah dua orang
gadis yang masih berusia muda, di sisi kanan tandu tampak
pula seorang gadis mengiringi.
Tirai tandu ditutup rapat, sehingga tidak diketahui siapakah
yang duduk dalam tandu itu.
Sekilas pandang kedua gadis muda itu nampak lemahgemulai
dan halus sekali, meski sedang memikul tandu,
langkah mereka tetap cepat dan ringan, jelas orang-orang itu
mempunyai kepandaian silat sangat tinggi.
Dengan cepat tandu misterius itu lewat di hadapan Bong
Thian-gak dan bergerak menuju ke arah barat daya.
Memandang bayangan tandu yang menjauh, pelan-pelan
Bong Thian-gak berjalan keluar dari balik semak belukar,
kemudian dengan perasaan tidak mengerti ia menggeleng
kepala berulang kali, pikirnya, "Pada umumnya pemikul tandu
adalah laki-laki kekar, mana ada gadis muda yang
menggotong tandu? Hendak kemanakah mereka?"
Perasaan ingin tahu yang meluap membuat anak muda itu
segera mengerahkan tenaga dan mengejar ke arah bayangan
tandu itu lenyap.

96
Kurang lebih empat li sudah lewat, tapi anehnya bayangan
tandu itu tidak nampak juga, malah suara keliningan yang
amat nyaring itu pun sudah tak terdengar lagi.
Dengan tertegun Bong Thian-gak segera berpikir, "Masa
secepat itu pemikul tandu itu berjalan? Mengapa bayangan
mereka bisa lenyap? Ah, mungkinkah aku telah salah arah!"
Berpikir demikian, Bong Thian-gak segera membalik badan
dan mencari kembali ke tempat semula.
Sekali pun dia sudah kembali ke semak belukar dimana dia
menyembunyikan diri tadi, tandu itu belum juga ditemukan.
"Benar-benar aku sudah bertemu setan," gumam Bong
Thian-gak dalam hati, untuk sesaat dia berdiri termangu di
situ.
Mendadak di tengah heningnya suasana, lagi-lagi muncul
seorang pejalan malam, ilmu meringankan tubuh orang itu
hebat sekali, berjalan di tengah kegelapan seakan-akan
segulung hembusan angin saja.
Dengan cekatan kembali Bong Thian-gak menyembunyikan
diri di balik semak belukar.
Tak selang lama kemudian, pejalan malam itu sudah
berhenti di hadapannya, sepasang matanya yang tajam tiada
hentinya celingukan ke sana kemari melakukan pemeriksaan.
Melihat itu Bong Thian-gak berpikir, "Mungkin dari kejauhan
orang ini melihat di sini ada bayangan orang!"
Ternyata dugaannya benar, terdengar orang itu bergumam,
"Mungkin bayangan pohon cemara!"
Dia lantas mengembangkan Ginkangnya dan lewat di
hadapan liong Thian-gak, orang itu bergerak menuju ke arah
barat daya.

97
Dengan sepasang mata Bong Thian-gak yang tajam, dia
dapat melihat pakaian yang dikenakan orang itu adalah
pakaian seragam pengawal gedung Bu-lim Bengcu.
Satu ingatan segera melintas dalam benak Bong Thian-gak.
Dengan cepat ia mengembangkan Ginkang pula dan
melakukan pengejaran.
Ginkang Bong Thian-gak telah mencapai puncak
kesempurnaan, dengan selisih jarak puluhan depa, bagaikan
sukma gentayangan saja dia menguntit dari belakang.
Setengah jam kemudian mendadak ia menyaksikan orang
itu menyelinap ke balik hutan lebat di sisi jalan.
Bong Thian-gak segera melanjutkan penguntitannya
melalui arah lain.
Hutan itu gelap gulita tak ada setitik sinar pun, tentu saja
sulit bagi pemuda itu untuk mengawasi orang itu dengan lebih
seksama.
Untung Bong Thian-gak memiliki ketajaman pendengaran,
dari suara langkah kaki si pejalan malam menginjak dedaunan,
ia bisa menduga orang itu berada di depannya dan sedang
menerobos ke arah selatan hutan itu.
Setelah berjalan masuk ke dalam, tiba-tiba dari depan sana
muncul setitik cahaya, ternyata di situ berdiri sebuah kuil.
Mimpi pun Bong Thian-gak tidak mengira dalam hutan lebat
ini bisa tersembunyi sebuah kuil, dengan perasaan ingin tahu
ia segera bersembunyi dalam hutan itu sambil menanti
perkembangan selanjutnya yang akan terjadi.
Tampaknya kuil itu tidak berpenghuni, di dalam ruang
gelap gulita tak nampak setitik cahaya lentera pun, lagi pula
sebagian tembok pekarangannya sudah roboh, rumahnya juga
kuno dan bobrok, suasana amat menyeramkan.

98
Dengan memperingankan langkah kakinya, orang itu
langsung bergerak menuju ke dalam kuil bobrok itu.
Mendadak dari ruang tengah kuil berkumandang suara
teguran seorang perempuan, "Apakah kau adalah utusan yang
dikirim Sam-kaucu (ketua ketiga)?"
Ketika mendengar teguran itu, orang itu nampak
terperanjat, lalu buru-buru menjawab, "Be ... benar, hamba
adalah Huhoat (pelindung) di bawah pimpinan Sam-kaucu,
apakah Jit-kaucu (ketua ketujuh) sudah datang?"
Sekali lagi dari dalam ruang kuil berkumandang suara
dengusan dingin perempuan itu, "Hm, Jit-kaucu telah datang
sedari tadi, mengapa kau tidak segera berlutut menerima
perintah?"
Lelaki berbaju hitam itu benar-benar bertekuk lutut
mendengar perkataan itu, wajahnya nampak gugup dan
tegang.
Sementara itu Bong Thian-gak yang bersembunyi dalam
hutan pun diam-diam merasa terperanjat, "Sam-kaucu, Jitkaucu,
sebenarnya perkumpulan macam apakah itu? Kalau
lelaki berbaju hitam itu salah satu di antara pengawal gedung
Bu-lim Bengcu, penemuanku pada malam ini boleh dibilang
penting sekali."
Dalam pada itu, dari dalam ruang kuil berkumandang lagi
suara pembicaraan perempuan lain, perempuan itu sedang
bertanya dengan suara hambar, "Kau adalah Huhoat nomor
berapa di bawah Sam-kaucu?"
Suara perempuan ini merdu bagaikan burung nuri yang
sedang berkicau, tapi di balik suara yang merdu itu terselip
kewibawaan yang menggidikkan.
Dengan suara gemetar, lelaki berbaju hitam itu segera
menjawab, "Hamba adalah pelindung nomor dua puluh
sembilan Lo Gi."

99
"Lo Gi?" kembali suara perempuan itu bertanya. "Tahukah
kau di antara Kaucu dalam perguruan kita, Kaucu nomor
berapakah yang mempunyai peraturan paling ketat?"
"Jit-kaucu!"
Perempuan dengan suara berwibawa itu kembali berkata,
"Aku telah menunggu hampir setengah jam lamanya di tempat
ini, persoalan apakah yang membuat kedatanganmu terlambat
tiga perempat jam?"
"Secara tiba-tiba di gedung Bu-lim Bengcu diadakan
pemeriksaan pasukan, oleh sebab itu hamba datang
terlambat, harap Jit-kaucu sudi memaafkan dosa hamba ini."
Kepala Bong Thian-gak serasa mendengung keras sesudah
mendengar tanya jawab itu, apa yang didengarnya ini
ternyata benar, orang adalah mata-mata musuh yang sengaja
diselundupkan ke dalam gedung Bu-lim Bengcu.
Ini berarti perguruan rahasia itulah yang sesungguhnya
musuh umum seluruh umat persilatan.
Sementara itu dari dalam ruang kuil kembali terdengar Jitkaucu
berkata, "Perintah apakah yang diberikan Sam-kaucu
untuk disampaikan kepadaku? Cepat katakan."
"Sam-kaucu hanya menyerahkan tiga hal, pertama, ia
minta pada Jit-kaucu untuk menyelidiki seorang yang bernama
Ko Hong."
"Manusia macam apakah Ko Hong itu? Mengapa harus
Kaucu yang melakukan penyelidikan ini?" tegur Jit-kaucu dari
dalam ruangan dengan suara sedingin es.
"Sam-kaucu yang mengharapkan demikian, menurut Samkaucu,
Ko Hong mempunyai ciri khas, dia berwajah kuning
macam orang penyakitan, kaki kirinya pincang, ilmu silatnya
amat lihai dan usianya antara dua puluh tujuh-delapan
tahunan."

100
"Sam-kaucu menitahkan kepada Jit-kaucu untuk menyelidiki
asal-usulnya dan berusaha menariknya agar bergabung
dengan perkumpulan kita, apabila usaha ini mustahil,
mumpung belum menimbulkan ancaman, dia mesti cepat
disingkirkan dari muka bumi."
Bong Thian-gak yang mendengar perkataan itu menjadi
amat terkesiap, dia tidak menyangka perkumpulan ini pun
akan turun tangan keji terhadapnya.
Jit-kaucu yang berada dalam ruangan kuil nampaknya
sedang termenung, selang beberapa saat kemudian ia baru
bertanya, "Masih ada persoalan apa lagi, cepat katakan."
"Kedua, menurut Sam-kaucu, beberapa hari mendatang
mungkin Yu Heng-sui hendak menuju ke kantor cabang kita
untuk melakukan penyelidikan, bila perlu Jit-kaucu boleh
mengambil keputusan sendiri untuk menentukan mati
hidupnya."
Berita ini lagi-lagi membuat Bong Thian-gak terperanjat,
cepat pikirnya, "Entah dimanakah letak kantor cabang
mereka? Bila aku tidak berusaha keras memberitahu kabar ini
kepada Ji-suheng, bisa jadi keselamatan Ji-suheng akan
terancam mara bahaya!"
Sementara itu lelaki berbaju hitam berkata lagi, "Soal
ketiga, kata Sam-kaucu, Cap-go-kaucu (ketua kelima belas)
pernah mengirim pembunuh ke gedung Bu-lim Bengcu untuk
melenyapkan jiwa Ko Hong, tapi usaha pembunuhan itu
menemui kegagalan, malah rahasia Sin-li-tui (pasukan gadis
suci) perkumpulan kita ikut bocor, kemungkinan hal itu akan
mempengaruhi rencana kita secara keseluruhan, Sam-kaucu
minta Jit-kaucu menyampaikan berita ini kepada Cong-kaucu
untuk menetapkan langkah selanjutnya dari Cap-go-kaucu."
"Hanya tiga soal inikah yang dipesankan Sam-kaucu?"
tanya Jit-kaucu hambar.
"Benar!"

101
Pelan-pelan Jit-kaucu berkata lagi, "Peraturan perkumpulan
kita amat ketat, tak mengizinkan anggota partai melakukan
kesalahan?"
Lelaki berbaju hitam itu nampak tertegun, kemudian
sahutnya, "Bagi yang melakukan kesalahan berat hukumannya
mati, sedangkan yang ringan disekap untuk menyesali
dosanya."
"Lo Gi, kemari kau," tiba-tiba Jit-kaucu berkata dengan
suara pelan.
Tampaknya lelaki berbaju hitam itu belum tahu bencana
besar sudah berada di ambang mata, dengan menurut sekali
dia berjalan m.isuk ke dalam ruangan.
Ruangan itu gelap gulita tak nampak setitik cahaya pun,
semenjak lelaki berbaju hitam itu masuk ke dalam, suasana
sekeliling tempat itu hei ubah menjadi hening, sepi dan tak
terdengar sedikit suara pun ....
Dengan mengerahkan segala kemampuannya, Bong Thiangak
mencoba memeriksa sekeliling ruang itu, namun belum
juga ditemukan suatu gerakan pun, lama-kelamaan timbul
juga rasa curiga dalam hatinya, dia segera berpikir, "Aneh!
Paling tidak dalam ruangan itu terdapat dua orang atau lebih,
ditambah orang berbaju hitam yang masuk ke dalam,
mengapa dalam waktu singkat suasana berubah menjadi
hening dan tak terdengar sedikit pun suara?"
Bong Thian-gak menunggu lagi hingga setengah jam
lamanya, akan tetapi suasana dalam ruangan tetap hening.
"Jangan-jangan mereka sudah kabur melalui ruang
belakang?" Ingatan itu dengan cepat melintas dalam
benaknya.
Berpikir sampai di situ, Bong Thian-gak segera menyumpah
dalam hati, "Siluman rase, benar-benar licik kau!"

102
Dia segera melompat keluar dari dalam hutan dan berlari
ke arah gedung utama dengan kecepatan tinggi.
Mendadak Bong Thian-gak menyaksikan lelaki berbaju
hitam itu masih berlutut di depan pintu kuil itu.
"Jangan-jangan mereka belum pergi?" diam-diam Bong
Thian-gak hrrpikir.
Tapi untuk menyelidiki asal-usul perkumpulan lawan dan
untuk membalas dendam bagi kematian gurunya, bagaimana
pun juga dia harus menawan musuh dalam keadaan hidup.
Tanpa rasa jeri barang sedikit pun, selangkah demi
selangkah Bonng Thian-gak berjalan menuju ruang kuil.
Siapa tahu kendati dia sudah berdiri di belakang lelaki
berbaju hitam itu, suasana dalam ruangan kuil masih tetap
hening tak terdengar suara apa pun, lelaki berbaju hitam yang
sedang berlutut itu pun tak berpaling.
Bong Thian-gak tertawa dingin, dengan satu lompatan
lebar dia menerjang masuk ke dalam ruangan tengah, lalu
tangan kirinya secepat kilat mencengkeram urat nadi
pergelangan tangan kanan lelaki itu.
Siapa tahu tangannya yang berhasil mencengkeram nadi
lawan hanya menyentuh tubuh yang telah dingin dan kaku,
tubuh lelaki itu tahu-tahu roboh terjengkang ke tanah.
Di bawah cahaya bintang yang menyinari sekitar situ, Bong
Thian-gak menemukan wajah yang amat tak sedap dipandang
dari lelaki berbaju hitam itu, saking kagetnya ia sampai
melepas cengkeramannya dan mundur.
Ternyata lelaki itu sudah tewas, wajahnya pucat-pias,
seluruh daging wajahnya telah lenyap sehingga wujudnya
sekarang tinggal kulit membungkus tulang.
"Ah, keadaan seperti ini agaknya seperti amat kukenal!"
pikir pemuda itu kemudian.

103
Tapi dengan cepat Bong Thian-gak teringat mayat Kongsun
Phu-ki, mayat mereka berdua pada hakikatnya mirip sekali.
Menurut penilaian Ku-lo Hwesio, sebab kematian Kongsun
Phu-ki adalah kehabisan sumsum akibat hubungan senggama
yang kelewat batas, tapi lelaki berbaju hitam ini tak
melakukan hubungan senggama, mengapa dia pun tewas
akibat kehabisan sumsum?
"Ilmu silat apakah itu? Ya, ilmu silat apakah itu? Mengapa
dia bisa menghisap sari tubuh lelaki kekar yang nampak
bertubuh segar menjadi sesosok mayat yang bertubuh kulit
membungkus tulang hanya dalam sekejap mata?"
Betul-betul suatu peristiwa yang amat mengerikan.
Sebetulnya perempuan macam apakah Jit-kaucu itu?
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kematian Kongsun Phuki
pun. disebabkan perbuatan Jit-kaucu ini.
Dengan cepat Bong Thian-gak masuk ke ruang tengah,
menembus dua halaman dan di belakang kuil dia menemukan
sebuah hutan yang amat lebat.
Tanpa pikir panjang lagi, dia segera memasuki hutan lebat
itu.
Dari balik hutan yang sangat lebat dan seakan-akan tak
bertepian itu, mendadak terdengar suara bentakan nyaring.
Bagaikan seorang yang tersesat di padang gurun pasir dan
secara tiba-tiba menemukan sumber mata air saja, Bong
Thian-gak segera mengerahkan Ginkangnya menyusul ke
depan.
Di tengah semak belukar yang lebat, akhirnya ia temukan
sebuah landu kecil diparkir di sana, dua gadis muda berbaju
hijau memikul tandu itu, sedang gadis berbaju hijau lainnya
berdiri di muka tandu dengan senjata terhunus.

104
Di depan gadis berbaju hijau yang bersenjata terhunus itu
berdiri seorang pemuda berbaju compang-camping yang
berwajah tampan.
Dengan cepat Bong Thian-gak dapat mengenali pemuda itu
sebagai To Siau-hou, anggota Kay-pang yang baru saja
dikenalnya semalam.
Sementara itu To Siau-hou juga sudah mengenali Bong
Thian-gak, paras mukanya segera berubah hebat.
Rupanya To Siau-hou salah mengira Bong Thian-gak
berasal sealiran dengan gadis-gadis itu, sambil tertawa dingin
ia menyindir, "Sungguh tak kusangka kau adalah pelindung
bunga. Hahaha, bila begitu aku telah salah memilih teman."
"To-heng, jangan salah paham," buru-buru Bong Thian-gak
berkata. "Aku sama sekali tak punya hubungan apa-apa
dengan mereka."
"Kalau memang demikian, harap Ko-heng berpeluk tangan
saja di sisi arena!"
Sementar itu si gadis bersenjata pedang telah menuding ke
arah To Siau-hou sambil membentak, "Hei, kau si pengemis,
mengapa berdiri menghadang di tengah jalan? Memangnya
telah bosan hidup?"
To Siau-hou tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, tidak sulit
bila tandu nona ingin lewat tempat ini, cuma aku harus
memeriksa dulu orang macam apakah yang sedang duduk di
dalam tandu itu."
Bong Thian-gak menyaksikan semua itu, dengan cepat ia
dapat menduga orang yang berada dalam tandu itu pasti
adalah Jit-kaucu yang keji dan tak berperi-kemanusiaan itu.
Ketika nona baju hijau selesai mendengarkan ucapan itu,
alisnya segera bekernyit, hawa membunuh menyelimuti
wajahnya, dia segera membentak, "Rupanya kau ingin
mampus!"

105
Mendadak dia menekuk pinggang, lalu secepat sambaran
petir menerjang ke muka dan melepas bacokan kilat.
To Siau-hou menggoyang bahu berkelit tiga kali ke
samping, kemudian melangkah maju menghampiri tandu kecil
itu
Gadis berbaju hitam itu membentak nyaring, jurus
pedangnya segera berubah, beruntun dia melancarkan tiga
buah serangan berantai, cahaya tajam yang berkilau bagaikan
beribu bintang dengan cepat menyapu ke depan dan
mengurung sekujur badan To Siau-hou.
Terdesak oleh tiga serangan berantai itu, To Siau-hou
mundur dua langkah, bayangan orang berkelebat, lagi-lagi
gadis berbaju hitam itu sudah melintangkan pedangnya
menghadang di depan tandu.
Rupanya To Siau-hou dibikin gusar pula oleh perbuatan
musuh, keningnya berkerut dan matanya memancarkan
cahaya berkilauan, pelan-pelan tangan kanannya mencabut
sebatang tongkat bambu dari balik bahunya.
Dengan tangan kiri menggenggam tongkat bambu, tangan
kanan pelan-pelan bergerak ke muka, sebilah pedang tajam
tahu-tahu sudah dilolos pula dari sarungnya.
Pada saat itulah dari dalam tandu berkumandang suara
merdu dan lembut menegur hambar, "Aku duga kau pastilah
Giok-bin-giam-lo (Raja akhirat berwajah kemala) To Siau-hou,
salah satu di antara Cho-yu-siang-siau (Sepasang muda kiri
kanan) yang mendampingi Liong-thau Pangcu dari Kay-pang!"
Cho-yu-siang-siau dari Kay-pang jarang melakukan
perjalanan di Bu-lim, oleh sebab itu nama mereka jarang
diketahui orang, agak terperanjat juga hati To Siau-hou
setelah nama dan julukannya berhasil disebut orang secara
tepat.

106
Sambil melintangkan pedang di depan dada, ia segera
membentak dengan suara dalam, "Siapakah kau?"
"Jit-kaucu!"
"Bagus sekali, Jit-kaucu. Sebelum Bu-siang-long-hou-ciang
dari perkumpulan kami menemui ajal, ia pernah menyinggung
nama besar Jit-kaucu, sekarang aku ingin bertanya kepadamu,
apakah saudara kami ini tewas di tanganmu?"
"Dia tewas di tangan Ji-kaucu (ketua kedua)!" jawab Jitkaucu
dengan suara dingin.
"Siapakah Ji-kaucu itu?" bentak To Siau-hou dengan kening
berkerut.
"Pertanyaanmu itu terlalu lampau bersifat kekanakkanakan,
Jikaucu adalah Ji-kaucu, kau tak usah banyak
bertanya lagi."
Bong Thian-gak berkerut kening mendengar ucapan itu,
belum pernah ia jumpai suatu perkumpulan dengan sejumlah
pimpinan begini aneh, ditinjau dari pembicaraan malam ini,
lalu dianalisa kembali, dapat disimpulkan bahwa pimpinan
tertinggi organisasi rahasia ini mungkin disebut "Kaucu!".
Sedang orang yang paling berkuasa di antara deretan
Kaucu-kaucu itu tentulah Cong-kaucu (Kaucu nomor satu),
tapi berapa banyak Kaucu yang terdapat dalam perkumpulan
itu?
Dari pembicaraan malam ini, agaknya angka terbesar yang
pernah disebut adalah kelima belas, yakni Cap-go-kaucu.
Sementara itu Giok-bin-giam-lo To Siau-hou tertawa dingin,
lalu ujarnya, "Jika aku berhasil membekuk kau malam ini, aku
tak kuatir anak murid perguruanmu itu tak akan
menampakkan batang hidungnya."
"Begitu yakin akan kemampuanmu?"

107
"Mengapa tidak dibuktikan saja!" seru To Siau-hou sambil
tertawa nyaring.
Mendadak terdengar Jit-kaucu berseru, "Turunkan tandu,
kalian bertiga boleh segera mengundurkan diri!"
Begitu perintah diturunkan, kedua gadis berbaju hitam
segera menurunkan tandu, lalu bersama gadis berpedang
mengundurkan diri dengan cepat ke sisi kiri, kanan dan
belakang tandu.
Giok-bin-giam-lo To Siau-hou segera merentangkan pedang
di depan dada, kemudian tertawa terbahak-bahak, "Hahaha,
kalau begitu aku ingin mencoba sampai dimanakah taraf
kepandaian silat yang kau miliki!"
Mendadak terdengar Bong Thian-gak membentak dengan
suara dalam, "Tunggu dulu!"
Dengan langkah lebar dia berjalan mendekat, lalu sambil
menjura kepada To Siau-hou, katanya, "To-heng, harap kau
bersedia memberi kesempatan bagiku mengajukan beberapa
pertanyaan dulu kepadanya sebelum pertarungan dilakukan!"
Giok-bin-giam-lo To Siau-hou memandang sekejap ke arah
Bong Ihian-gak, kemudian katanya, "Silakan Ko-heng!"
Dengan suara lantang Bong Thian-gak berseru, "Jit-kaucu,
dengar baik-baik! Aku punya beberapa persoalan yang tak
kupahami dan ingin minta petunjuk darimu, aku harap kau
sudi memberi petunjuk!"
"Soal apa? Katakan saja!" ucap Jit-kaucu dari dalam tandu
dengan suara hambar.
"Aku ingin bertanya, Bu-lim Bengcu Thi-ciang-kan-kun-hoan
Oh Ciong-hu tewas dalam keadaan bagaimana?"
"Ada hubungan apa antara kau dan Oh Ciong-hu?" Jitkaucu
balik bertanya.
"Kami adalah sahabat!"

108
Jit-kaucu termenung beberapa saat lamanya, setelah itu
baru berkata lagi, "Sebab kematian Oh Ciong-hu hanya
diketahui satu orang saja dan orang itu bukan diriku sehingga
aku pun tak bisa memberikan keterangan apa-apa kepadamu."
"Apakah orang itu adalah Cong-kaucu perkumpulan kalian?"
"Benar!"
Mencorong sinar tajam dari balik mata Bong Thian-gak,
kembali dia bertanya, "Apa nama perkumpulan kalian?"
Jit-kaucu yang berada di dalam tandu tertawa riang, "Sejak
saat ini nama perkumpulan kami akan berkumandang di
seluruh penjuru dunia dan membekas dalam hati setiap orang,
kuberitahukan kepadamu pun tak ada salahnya, perkumpulan
kami bernama Put-gwa-cin-kau!"
"Put-gwa?" seru Bong Thian-gak terperanjat.
"Put-gwa (tiada aku) merupakan persembahan kita
terhadap partai, demi kepentingan partai, kami tak akan
mempersoalkan hati sendiri, tubuh dan hati kami semua
adalah milik partai."
"Benarkah Cong-kaucu kalian adalah Mo-kiam-sin-kun Tio
Tian-seng!"
"Benar atau tidak, maaf aku tak bisa memberitahukan
kepadamu."
Tiba-tiba Bong Thian-gak menghela napas panjang.
"Baiklah, terima kasih banyak atas jawabanmu!" katanya
kemudian.
Selesai berkata, dia lantas mengundurkan diri ke samping
To Siau-hou sambil berbisik, "To-heng, orang ini memiliki ilmu
pukulan yang amat sakti dan jahat sekali, kau harus berhatihati."
"Andai aku mati, tolong Ko-heng sudi mengirim jenazahku
kembali ke markas Kay-pang!"

109
Dalam pada itu Jit-kaucu hanya duduk diam di dalam
tandu, tirai tandu masih tertutup rapat sehingga secara lamatlamat
cuma nampak bayangan orang saja.
Dengan pedang terhunus To Siau-hou berjalan ke muka
dan baru berhenti di depan tandu, kemudian tegurnya, "Jitkaucu,
dengan cara inikah kau hendak menerima
seranganku?"
"Hm, tak usah banyak bicara, lancarkan saja seranganmu!"
seru Jit-kaucu dingin.
Dengan kening berkerut To Siau-hou segera mengayun
pedang menyambar tirai tandu.
"Kau ingin mampus rupanya!" bentakan nyaring
berkumandang.
Bagaikan sukma gentayangan tiba-tiba muncul sebuah
lengan putih mulus dari balik tandu, kemudian jari tangannya
yang ramping menyentil ke muka.
Pedang To Siau-hou terpental oleh suatu kekuatan maha
dahsyat.
"Aduh, celaka!" pekik To Siau-hou.
Dia ingin membuang pedangnya sambil mundur, siapa tahu
telapak tangan membalik ke atas. Sekilas cahaya merah
segera memancar keluar, segulung tenaga pukulan yang maha
dahsyat bagaikan gelombang ombak di tengah samudra
langsung menghajar tubuh To Siau-hou.
Dengusan tertahan bergema, To Siau-hou berikut
pedangnya terpental oleh tenaga pukulan yang maha dahsyat
itu.
Sekali pun sepasang kakinya dapat mencapai tanah lebih
dahulu hingga tubuhnya tidak terbanting, tak urung tubuhnya

110
berguncang keras, lutut gemetar dan hampir saja tak sanggup
menahan diri.
Dengan cepat Bong Thian-gak memburu ke muka, serunya
dengan cemas, "To-heng, parahkah lukamu?"
Sementara itu peluh dingin telah bercucuran membasahi
wajah To Siau-hou, kulit mukanya mengejang menahan
penderitaan yang luar biasa, katanya dengan suara gemetar,
"Ilmu silat perempuan ini teramat hebat, harap Ko-heng
jangan menghadapinya dengan kekerasan."
Kedua gadis muda itu sudah menggotong kembali tandunya
dan siap berlalu dari situ.
Dengan cepat Bong Thian-gak melompat ke depan sambil
membentak nyaring, "Tunggu sebentar!"
Sepasang telapak tangannya diayunkan ke depan melepas
dua gulung angin pukulan dahsyat ke tubuh kedua gadis muda
itu.
"Turunkan tandu dan cepat mundur!" seruan nyaring Jitkaucu
berkumandang dari balik tandu.
Tapi sayang, keadaan terlambat, kedua gulung angin
pukulan Bong Thian-gak secepat sambaran petir telah
menyapu ke depan.
Dua jeritan kaget segera berkumandang memecah
keheningan.
Kedua gadis pemikul tandu terhantam oleh kedua gulung
angin pukulan itu hingga badannya terpental dan roboh
terjengkang ke atas tanah.
Tandu kecil itu pun terjatuh ke tanah.
Begitu berhasil menyapu kedua gadis itu, dengan serangan
bagaikan naga sakti bermain di udara, Bong Thian-gak segera
menerjang tandu itu.

111
Mendadak sebuah pergelangan tangan menerobos keluar
dari balik tandu, dengan cepat Bong Thian-gak mengayun
telapak tangan kanannya melepaskan sebuah bacokan dengan
kecepatan tinggi.
Tetapi telapak tangan lawan bergerak sangat lincah, sedikit
menggeser tahu-tahu sudah terhindar dari bacokan, kemudian
dengan lima jari dibentangkan bagaikan kaitan, dia balik
mematuk pergelangan tangan kanan Bong Thian-gak.
Begitulah, kedua jago lihai masing-masing melepas
serangan dengan menggunakan tangan sebelah, kedua belah
pihak bergerak dengan kecepatan luar biasa serta kelincahan
yang mengagumkan. Pertarungan berlangsung bertambah
sengit.
Perlu diketahui, arah ancaman serangan kedua orang itu
selalu berkisar antara jalan darah Huo-ko-hiat dan Meh-bunhiat,
padahal kedua jalan darah itu merupakan Hiat-to
mematikan di tubuh manusia, sekali salah perhitungan maka
akibatnya akan mengenaskan.
Bong Thian-gak membentak keras, tiba-tiba dia mengayun
kaki kanannya menendang urat nadi pergelangan tangan
lawan, kemudian tangan kanan menyambar ke bawah
mencengkeram tirai yang menutup tandu itu.
Agaknya Jit-kaucu yang berada dalam tandu pun sudah
dibikin berkobar amarahnya, tangannya bagaikan ular lincah
yang keluar dari gua bergerak kian kemari dengan teramat
cepat, secara lincah dan cekatan dia selalu berhasil
meloloskan diri dari serangan gencar Bong Thian-gak.
Mendadak Jit-kaucu menarik telapak tangannya ke dalam,
tapi secara tiba-tiba dikeluarkan kembali, selisih waktunya
hanya beberapa detik saja.
Ketika telapak tangannya keluar dari balik tirai, sekilas
cahaya merah segera memancar keempat penjuru.

112
Bong Thian-gak segera tahu perempuan itu hendak
mengeluarkan ilmu pukulan maha saktinya, dia membentak
keras, segenap tenaga dalamnya dihimpun pada tangan kiri,
lalu diayun ke muka mengikuti gerakan tubuhnya yang
menyelinap keluar.
Dalam waktu singkat dua gulung tenaga pukulan telah
saling bentur, ledakan nyaring menggelegar, pusaran angin
disertai desingan angin tajam menderu-deru di angkasa.
Bong Thian-gak melayang turun, berbareng tangan
kanannya telah bertambah dengan sebuah kain cadar hitam,
akhirnya wajah asli Jit-kaucu kelihatan juga di depan mata.
Setelah tirai tandu terlepas, tampaklah di dalam tandu
duduk seorang gadis cantik berbaju biru, sepasang matanya
jeli memancarkan sinar tajam membetot sukma, saat itu sorot
matanya sedang memandang wajah Bong Thian-gak tanpa
berkedip.
Sebaliknya Bong Thian-gak yang dapat melihat wajah
cantik dalam tandu itu segera merasa tubuhnya gemetar keras
tanpa terasa, cadar itu sudah terlepas ke atas tanah.
Ternyata raut wajah si nona cantik ini amat dikenal
olehnya, sekali pun memejamkan mata Bong Thian-gak pun
bisa melukiskan setiap bagian tubuhnya secara nyata dan
jelas.
"Ah, rupanya dia!" pekik anak muda itu dalam hati.
Dia menggeleng kepala berulang kali sambil memejamkan
mata, kemudian sekali lagi menatap wajah gadis itu lekatlekat.
"Ya, betul! Memang dia, dialah si gadis telanjang bulat di
rumah pelacuran Kang-san-bi-jin-lau."
Sementara itu perempuan cantik dalam tandu itu seolah
teringat pula akan sesuatu persoalan setelah menyaksikan
sikap Bong Thian-gak yang melongo itu, dia pun berseru

113
tertahan, lalu mukanya berubah merah padam, tubuhnya
gemetar keras karena emosi.
Suasana hening menyelimuti tempat itu, sepasang mudamudi
itu dengan membawa rahasia masing-masing hanya
termenung sambil membungkam.
Dalam keadaan demikian, bukan cuma To Siau-hou saja,
bahkan ketiga gadis berbaju hijau pun tidak habis mengerti
apa sebabnya kedua orang itu tertegun dan termangu-mangu
seperti orang kehilangan sukma setelah saling bertatap muka.
Mendadak terdengar Jit-kaucu yang berada dalam tandu
berkata, "Sialan, bocah keparat yang tidak tahu malu!"
Ucapan itu membuat Bong Thian-gak merasa malu sekali
sehingga menundukkan kepala, namun dia tak mengucapkan
sepatah kata pun.
Mendadak terdengar Jit-kaucu membentak keras, "Ing
Soat, kalau tidak pergi mau tunggu apa lagi?"
Kedua gadis pemikul tandu dan gadis baju hijau yang
membawa pedang buru-buru mengangkat tandu kecil itu dan
tanpa mengucapkan sepatah kata pun berlalu dari situ.
Suara keliningan nyaring berkumandang makin menjauh.
Menanti suara keliningan itu menjauh, Bong Thian-gak
seolah baru mendusin dari lamunannya, ia berseru tertahan
sambil berpaling.
Dijumpainya Giok-bin-giam-lo To Siau-hou telah
menempelkan pedang di atas pinggang kiri sendiri.
"To-heng, apa maksudmu?" tegur Bong Thian-gak.
Dengus napas To Siau-hou agak tersengal, katanya,
"Siapakah perempuan itu?"
"Siapa lagi, tentu saja Jit-kaucu!" sahut Bong Thian-gak
dengan wajah tertegun.

114
To Siau-hou tertawa dingin, "Ko-heng, kau tak usah
berlagak pilon, sewaktu mata kalian saling bertemu, paras
muka kalian berdua segera berubah tak menentu, sudah jelas
kalian adalah kenalan lama, mengapa Ko-heng mengatakan
tidak tahu?"
Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai, betul,
sebelumnya aku memang pernah sekali berjumpa dengannya,
tapi aku tidak tahu siapakah dia. Ucapan Siaute adalah
sejujurnya bila aku bohong biar Thian mengutuk aku!"
Mendadak To Siau-hou menarik kembali pedangnya,
kemudian dia muntah darah sebanyak dua kali, setelah
mundur sempoyongan, tubuhnya roboh terjengkang ke tanah.
Menanti Bong Thian-gak membalik tubuhnya, To Siau-hou
sudah tergeletak dengan wajah pucat-pias seperti mayat,
tanpa terasa teriaknya dengan terkejut, "To-heng,
mengapakah kau?"
"Ko-heng, maafkanlah aku, aku telah salah sangka
kepadamu," bisik To Siau-hou dengan lemah. "Aku.mungkin
sudah tak bisa ditolong lagi! Ilmu pukulannya sangat jahat dan
lihai ... sekarang tubuhku mulai terasa berkerut kencang,
sekujur tubuhku kedinginan setengah mati."
Bong Thian-gak pernah menyaksikan bagaimana cara Jitkaucu
membunuh orang, ia menjadi terperanjat sekali, segera
pikirnya, "Entah apa nama pukulan ilmu saktinya itu? Aku tak
bisa ilmu pengobatan. Ai, apa yang mesti kulakukan
sekarang?"
Makin dipikir hatinya semakin gelisah sehingga tanpa terasa
dia menghentakkan kaki ke tanah, serunya kemudian, "Toheng,
apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Agaknya To Siau-hou sudah tahu tiada harapan baginya
untuk hidup, sikapnya malah tampak jauh lebih tenang,
katanya, "Ko-heng, setelah aku mati, tolong antarkan
jenazahku ke markas besar Kay-pang di Sucwan, kemudian

115
ceritakanlah nasib yang kualami ini kepada guruku, ketua Kaypang...."
"To-heng, cepat kau pikirkan sebentar apakah di sekitar sini
ada tabib pandai!" seru Bong Thian-gak gelisah.
Sambil tertawa getir To Siau-hou menggeleng kepala
berulang kali, "Tidak ada! Sebelum menemui ajal Bu-sianglong-
hou-ciang pernah berkata bahwa Jit-kaucu telah berhasil
memiliki sejenis ilmu pukulan maha sakti yang tiada tandingan
di dunia ini, barang siapa terkena pukulannya itu, hanya
kematian yang akan dialaminya, tiada obat yang hisa
menyembuhkannya!"
"Ai, aku memang kelewat tinggi hati dan gegabah, sekali
pun tahu kelihaian ilmu pukulan lawan, aku tetap nekat
menghadapinya, aku memang patut mampus!"
Cepat Bong Thian-gak menggeleng, katanya, "Tiada
pukulan yang tak bisa disembuhkan di dunia ini, asal diketahui
namanya, aku bisa mengusahakan penyembuhan bagimu.
Cuma aku kuatir waktu tidak mengizinkan lagi."
"Aku pun mengerti sedikit ilmu pertabiban, menurut
keadaan luka yang kuderita sekarang, mungkin tak akan bisa
bertahan sampai tengah malam nanti."
Tiba-tiba Bong Thian-gak berkata, "To-heng, mari
kubimbing kau pergi ke tempat sepi, kemudian aku akan
mencari Jit-kaucu, aku akan bertanya kepadanya ilmu pukulan
apa yang telah dia pergunakan untuk melukai dirimu."
"Terima kasih Ko-heng!" To Siau-hou tertawa sedih. "Ilmu
silat Jit-kaucu sudah kau ketahui sendiri, bila Ko-heng
mengalami hal-hal yang tak diinginkan gara-gara urusanku,
bagaimana mungkin arwahku di alam baka bisa tenteram?"
Mencorong sinar tajam di balik mata Bong Thian-gak,
serunya, "Kecuali berbuat demikian, tiada cara lain yang bisa
dipakai untuk menyelamatkan nyawa To-heng."

116
Meski hanya beberapa patah kata yang singkat, namun
terpancar sifat ksatria dan kegagahan Bong Thian-gak.
"Ko-heng, budi kebaikanmu sungguh sangat mengharukan,
sampai mati pun Siaute tak akan melupakanmu."
Bong Thian-gak tak bicara lagi, dia segera memayang To
Siau-hou dan membawanya ke balik semak yang agak
tersembunyi, lalu katanya, "Harap To-heng menunggu di sini,
Siaute akan segera mengejar Jit-kaucu, paling lambat satu
setengah jam aku akan balik ke sini."
"Tidak usah! Lebih baik menemani aku saja di sini!"
"To-heng!" seru Bong Thian-gak dengan suara dalam.
"Meski kau menganggap kematian bagaikan pulang ke rumah,
tapi pernahkah kau bayangkan kematianmu merupakan
hilangnya seorang Enghiong bagi dunia Kangouw? Pihak
manusia laknat akan kehilangan musuh tangguh?"
Air mata meleleh membasahi wajah To Siau-hou, serunya
pelan, "Ko-heng, bila kepergianmu mengundang bencana
bagimu sendiri, dunia persilatan lebih-lebih akan kehilangan
seorang pendekar berjiwa ksatria, apa lagi dengan kematian
kita berdua maka tak ada yang tahu siapakah pembunuh kita
itu."
"Tak usah kuatir, To-heng” ucap Bong Thian-gak sambil
menahan rasa pedih dalam hati. "Aku tak bakal mati di tangan
Jit-kaucu, nah, aku pergi dulu."
Tidak menanti jawaban To Siau-hou lagi, dia segera
melompat bangun dan berlalu dari situ dengan mengerahkan
Ginkangnya.
Sejak dapat melihat jelas raut muka Jit-kaucu, Bong Thiangak
yakin dia adalah gadis yang pernah dijumpainya di Kangsan-
bi-jin-lau, maka dia segera mengerahkan Ginkangnya
menuju ke Kay-hong.

117
Tak lama kemudian Bong Thian-gak telah masuk ke kota
Kay-hong, buru-buru dia menuju ke tempat hiburan dan
berhenti di luar rumah pelacuran Kang-san-bi-jin-lau.
Setelah ragu sejenak, dia membalik badan menuju ke
halaman belakang, dari situ dia masuk dengan melompati
pagar, ketika tiba di luar loteng, ia saksikan cahaya lentera
menerangi seluruh ruangan, sesosok bayangan bertubuh
indah sedang duduk di dekat jendela.
Bong Thian-gak memeriksa sekeliling tempat itu, ia jumpai
cahaya lampu pun menerangi hampir setiap jendela, suara
pembicaraan tiada hentinya berkumandang, tapi di halaman
kecil yang terpencil itu justru suasananya amat hening, tak
seorang pun ditemukan di situ.
Tanpa ragu lagi dia melompat naik ke atas pagar loteng,
agaknya perempuan cantik di balik jendela telah mengetahui
kedatangannya, dia menggoyang sedikit kepalanya untuk
berpaling, sementara tubuhnya masih tetap duduk di kursi.
Setelah berdehem pelan, Bong Thian-gak segera menyapa,
"Jit-kaucu di dalam?"
Perempuan cantik di balik jendela tidak bergerak, tapi
terdengar ia menegur dengan suara sedingin es, "Kau adalah
berandal hidung htingor, besar betul nyalimu!"
"Jit-kaucu, aku bukan berandal cabul...."
Tidak menanti Bong Thian-gak menyelesaikan katakatanya,
kembali perempuan itu mengumpat, "Kalau kau
bukan berandal cabul hidung bangor, mengapa di tengah
malam buta mengintip kamar tidur kaum wanita?"
Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai, pada
peristiwa kemarin dulu, biar kujelaskan nanti secara pelanpelan,
malam ini aku ...”
"Ada urusan apa?"

118
"Aku ingin bertanya kepada Jit-kaucu, dengan ilmu pukulan
apakah kau melukai Giok-bin-giam-lo?"
"Dia belum mampus?" tanya perempuan itu hambar.
"Belum, tapi sudah tak jauh dari ambang pintu kematian."
"Kalau sudah mampus lebih baik lagi, buat apa kau
menanyakan ilmu pukulan yang kupakai untuk
membunuhnya?"
Bong Thian-gak mengerut dahi, lalu menjawab dengan
suara dalam, "Mengapa kau memandang enteng nyawa
manusia? Ketahuilah, Thian menciptakan manusia dengan
harapan banyak berbuat kebajikan, kegemaran Jit-kaucu
membunuh orang benar-benar telah melanggar perintah
Thian."
Tiba-tiba perempuan cantik itu tertawa dingin, suaranya
amat menyeramkan penuh dengan nada membunuh,
membuat orang yang mendengar berdiri bulu kuduknya.
Mendadak suara tawa itu sirap, lalu terdengar perempuan
cantik itu bertanya lagi dengan hambar, "Kau berani masuk
kemari?"
Terkesiap hati Bong Thian-gak, segera sahutnya, "Mengapa
tidak?"
Sambil berkata, pelan-pelan Bong Thian-gak berjalan
menuju ke pintu dan mendorongnya.
Pintu itu tidak terkunci dan segera terbuka ketika didorong,
Bong Thian-gak yang berilmu tinggi dan bernyali besar segera
melangkah masuk dengan dada dibusungkan.
Waktu itu Jit-kaucu sedang duduk membelakangi pintu,
sekali pun tahu Bong Thian-gak masuk, namun sama sekali ia
tidak berpaling, hanya tangan kirinya yang putih bersih
menuding ke sebuah kursi bulat di sampingnya, katanya,
"Duduklah!"

119
Dengan sorot mata tajam Bong Thian-gak memandang
sekejap kursi bulat itu, setelah tidak melihat sesuatu gejala
aneh, dia pun menurut dan berduduk.
Kini separoh wajah nona yang cantik sudah kelihatan
dengan jelas.
Di bawah cahaya lentera, terlihat jelas perempuan itu
memang berwajah cantik jelita, kecantikannya ibarat bidadari
yang baru turun dari kahyangan.
Diam-diam Bong Thian-gak menghela napas, pikirnya,
"Dengan wajah yang begitu cantik, mengapa justru dilahirkan
dengan hati yang busuk, jelek dan jahat? Ai, benar-benar
patut disayangkan!"
Mendadak terdengar Jit-kaucu menegur, "Hei, apa yang
sedang kau pikirkan?"
Suaranya merdu bagai kicau burung nuri, sungguh
mempesona hati siapa pun.
Entah sedari kapan Jit-kaucu telah membalikkan badan, kini
jarak kedua orang itu dekat sekali, ketika angin berhembus,
terendus bau harum semerbak yang membuat hati menjadi
mabuk.
Bong Thian-gak menarik napas, kemudian berkata dengan
suara nyaring, "Aku sedang berpikir, mengapa Kaucu
berwajah begitu cantik."
"Dan kau pun sedang berpikir, mengapa hatiku begitu
kejam tak kenal perasaan begitu, bukan?" sela Jit-kaucu
sambil tersenyum.
Bong Thian-gak tertegun, kemudian ujarnya, "Benar-benar
amat lihai! Darimana kau tahu akan jalan pikiranku?"
Tiba-tiba paras muka Jit-kaucu berubah hebat, serunya
lagi, "Nyalimu sungguh besar, mungkin di kolong langit

120
dewasa ini belum ada orang kedua yang berani duduk
sedemikian dekat denganku."
"Bila Jit-kaucu hendak turun tangan keji kepadaku, tadi kau
sudah turun tangan!"
Jit-kaucu segera bangkit, lalu pelan-pelan berjalan menuju
ke depan pintu, dia mendongakkan kepala memandang
kegelapan malam, sambil membetulkan rambutnya yang
panjang terurai ia berjalan kembali.
Langkah kakinya yang lemah gemulai itu sangat menawan
dan mendatangkan daya pikat, pada hakikatnya kecantikan
maupun gerak-gerik perempuan itu dapat membuat orang
lupa daratan.
Pelan-pelan dia berjalan ke hadapan Bong Thian-gak,
kemudian secara tiba-tiba menempelkan telapak tangannya ke
jalan darah Pek-kwe-hiat di ubun-ubun Bong Thian-gak.
Sambil tertawa terkekeh-kekeh, Jit-kaucu menyingkirkan
kembali telapak tangannya, lalu berkata, "Ko Hong,
sebelumnya kau sudah tahu bila aku tidak berniat
membunuhmu, maka kau bersikap begini tenang dan
bernyali!"
"Apa maksud perkataanmu itu?"
"Ketika di hutan depan kuil, bukankah kau telah mendengar
banyak rahasia perkumpulan kami?"
Mendengar itu, Bong Thian-gak menjadi terkejut, pikirnya,
"Kalau begitu dia sudah tahu aku sudah menyadap
pembicaraannya dari dalam hutan! Jadi kematian Lo Gi,
pelindung Sam-kaucu adalah gara-gara perbuatanku ."
Sementara itu Jit-kaucu telah berkata lagi sambil
tersenyum, "Kalau kau sudah mendengar sebagian besar
rahasia kami, maka sekarang hanya ada dua jalan yang bisa
kau pilih, pertama adalah jalan kematian, sedang kedua
adalah masuk menjadi anggota Put-gwa-cin-kau. Asal kau

121
bersedia, aku dapat memberi kedudukan sebagai seorang
Kaucu."
"Kau mengundang aku masuk menjadi anggota Put-gwacin-
kau, apakah kau tidak kuatir aku akan menyusahkan
dirimu?"
"Apa maksudmu?"
"Kau belum tentu tahu riwayat hidupku dan lagi setelah
menjadi anggota perkumpulan, belum tentu aku setia pada
perkumpulan dengan tulus hati, apalagi menyuruh aku
mencapai Put-gwa (tanpa aku)?"
Jit-kaucu manggut-manggut, "Benar, kalau begitu kau
hanya ingin menempuh jalan kematian?"
Kembali Bong Thian-gak tersenyum, "Dari dulu hingga kini
tiada seorang pun yang bisa lolos dari kematian, apa yang
kutakuti? Cuma ...."
"Cuma kenapa?"
"Aku tak akan mati muda," sahut Bong Thian-gak dengan
sinar mata mencorong tajam.
Mendadak Jit-kaucu menatap wajah Bong Thian-gak lekatlekat.
Bong Thian-gak tertegun, lalu berpikir, "Mungkinkah dia
akan turun tangan keji kepadaku?"
Maka secara diam-diam dia lantas menghimpun tenaga
dalamnya untuk bersiap.
Lewat setengah jam kemudian, terdengar Jit-kaucu berkata
lagi dengan suara hambar, "Hampir saja aku kena kau kelabui,
rupanya wajahmu telah kau ubah dengan obat penyamar,
kalau begitu Ko Hong pun bukan namamu yang sebenarnya!"
Bong Thian-gak merasa perempuan ini lihai sekali, "Padahal
obat penyaruan yang kugunakan merupakan obat paling baik

122
di dunia, malah penyaruanku amat sempurna, buktinya Ku-lo
Hwesio dan Toa-suheng serta para jago tiada yang tahu, tak
nyana dia berhasil mengetahui sekali pandang saja."
Jit-kaucu berkata, "Sebenarnya kau telah melakukan
perbuatan apa yang malu diketahui orang hingga tak berani
memperlihatkan raut wajah aslimu?"
"Bukankah Jit-kaucu pun demikian?"
Jit-kaucu tertegun, lalu serunya, "Tapi aku tidak menyaru!"
"Walaupun kau tak menyaru, tapi gerak-gerikmu sangat
rahasia, tanpa nama, tanpa asal-usul, bukankah kau pun
sudah melakukan suatu perbuatan yang takut diketahui
orang?"
"Siapa bilang aku tak punya nama?" teriak Jit-kaucu gusar.
"Kalau begitu siapa namamu?"
"Kau tidak berhak mengetahui namaku."
Mendadak Bong Thian-gak menunjukkan wajah serius,
katanya, "Apa nama ilmu pukulanmu?"
"Buat apa kau menanyakan soal ini?"
"Aku hendak mengobati luka To Siau-hou."
Mendengar itu, Jit-kaucu tertawa terkekeh-kekeh, "Kau
anggap setelah mengetahui ilmu pukulanku, maka nyawa To
Siau-hou bisa diselamatkan? Hehehe, kalau begitu kuberitahu
kepadamu!"
"Apa namanya?" kembali Bong Thian-gak bertanya dengan
cemas.
"Itulah pukulan Jian-yang-ciang (Pukulan cacat) salah satu
jurus dari ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang!"
"Soh-li-jian-yang-sin-kang," seru Bong Thian-gak terkejut.

123
Dengan wajah berubah hebat dia melompat bangun,
kemudian bagaikan burung walet menembusi jendela, dia
lantas berlalu.
Bong Thian-gak tidak menunjukkan pertanda hendak
berlalu, ditambah pula gerakan tubuhnya kelewat cepat,
dalam waktu singkat bayangan tubuhnya tahu-tahu sudah
lenyap.
Jit-kaucu yang menyaksikan kejadian itu tertegun dan
duduk melongo, seperti merasa kehilangan sesuatu dia duduk
dengan wajah bingung.
Sementara itu Bong Thian-gak dengan suatu gerakan yang
amat cepat telah meninggalkan loteng itu, dia segera
mengembangkan ilmu meringankan tubuhnya keluar kota Kayhong
langsung menuju ke pinggir kota.
Malam sudah semakin kelam, tengah malam pun sudah
menjelang tiba, di tengah keheningan yang mencekam terasa
suatu kemisteriusan yang menyeramkan.
Dengan hati risau dan gelisah Bong Thian-gak menuju
tempat persembunyian To Siau-hou, siapa tahu suasana di
sekeliling tempat itu sangat hening dan tak nampak bayangan
orang pun.
Dengan kening berkerut dan sorot mata tajam, Bong Thiangak
memandang sekejap sekeliling tempat itu.
Angin malam berhembus menggoyang rumput dan
dedaunan, kecuali bunyi jangkrik dan binatang kecil, suasana
di situ amat hening hingga terasa menakutkan, ternyata tak
nampak bayangan To Siau-hou.
Bong Thian-gak menjadi amat gelisah, segera teriaknya,
"To-heng! Dimana kau?"
Ia berteriak berulang kali, tapi malam tetap hening, tiada
jawaban.

124
Bong Thian-gak tahu To Siau-hou sudah menderita luka
sangat parah, mustahil dia bisa meninggalkan tempat itu,
maka dia mulai berjalan mengelilingi tempat itu melakukan
pencarian dengan seksama.
Aneh! Sudah beberapa kali dia melakukan pencarian, tapi
tetap tak nampak bayangan To Siau-hou?
"Jangan-jangan dia sudah ditolong orang?"
"Tapi siapakah yang menolongnya?"
Bong Thian-gak memeras otak memikirkan ini.
Pencarian pun kembali dilakukan ke sekeliling tempat itu.
Akhirnya di atas sebuah batu cadas di pinggir jalan, Bong
Thian-gak menemukan sesosok bayangan sedang duduk
bersila di sana.
Dengan dua kali lompat saja Bong Thian-gak sudah
mencapai depan batu cadas itu.
Ternyata adalah Hwesio tua berbaju abu-abu, sepasang
kakinya tertekuk membentuk sikap bersila, di atas lututnya
terletak sebuah Hud-tim, sedang di atas dadanya tergantung
seuntai tasbih.
Waktu itu si Hwesio duduk sambil memejamkan mata
rapat-rapat, tubuhnya sama sekali tidak bergerak.
Sesudah melihat jelas raut wajah Hwesio tua itu, Bong
Thian-gak mefnbatin, "Ah, Ku-lo Sinceng."
Ternyata Hwesio tua yang duduk di atas batu cadas itu
adalah Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-pay.
Dia menjadi teringat peringatan To Siau-hou, "Ku-lo Hwesio
telah menurunkan perintah untuk membunuhmu".
Dengan terkesiap dan tanpa mengucap sepatah kata pun,
Bong Thian-gak segera membalikkan badan dan berlalu dari
situ.

125
"Omitohud! Harap Sicu tunggu sebentar," suara sapaan
lembut berkumandang.
Bong Thian-gak membalikkan badan dengan kecepatan
bagaikan kilat.
Tampak mencorong sinar lembut dari balik mata Hwesio
tua itu, meski lembut tapi tajam sekali hingga menggetarkan
perasaan orang.
"Sinceng ada petunjuk apa?" tanya Bong Thian-gak dengan
suara nyaring.
Hwesio tua itu tetap duduk di atas batu cadas tanpa
bergerak, tapi wajahnya agak bergetar, ujarnya, "Sicu, usiamu
masih muda, tapi tenaga dalammu sudah sampai puncak
kesempurnaan, tolong tanya, Siauhiap berasal dari perguruan
mana?"
Bong Thian-gak tertegun, kemudian jawabnya, "Taysu,
maaf bila Wanpwe mempunyai kesulitan yang tak dapat
diutarakan."
Hwesio tua itu termenung sebentar, lalu sambil mengelus
jenggot putihnya dia bertanya lagi, "Sicu, apakah kau sedang
mencari To-siauhiap dari Kay-pang?"
Bong Thian-gak mengangguk, "Tolong tanya apa Taysu
melihat jejaknya?"
"To-siauhiap telah menderita luka yang cukup parah,
nyawanya dalam keadaan gawat, Lolap telah memerintahkan
dua orang muridku untuk mengirimnya ke suatu tempat yang
tenang guna memperoleh perawatan dan pengobatan yang
diperlukan."
Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak merasa agak
lega, buru-buru dia bertanya lagi, "Tolong tanya, apakah luka
yang diderita To-siauhiap makin parah?"

126
"Ketika Lolap menemukannya, dia sudah pingsan,
nyawanya berada di ujung tanduk. Sicu, dapatkah kau
terangkan To-siauhiap terluka oleh pukulan apa?"
Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Dia terkena
pukulan Jit-kaucu, ai! Mungkin luka itu sukar untuk
disembuhkan!"
Mendengar perkataan itu, paras si Hwesio berubah hebat.
"Kalau begitu, To-siauhiap telah terkena pukulan Jian-yangciang
dari Soh-li-jian-yang-sin-kang?"
Dengan terkesiap Bong Thian-gak segera berpikir,
"Sungguh lihai sekali Hwesio ini, ternyata dia pun mengetahui
tentang ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang, mungkinkah dia sudah
bertemu dengan Jit-kaucu?"
Berpikir demikian, sahutnya kemudian sambil menghela
napas, "Benar, To-siauhiap memang terkena pukulan Jianyang-
ciang dari Jit-kaucu!"
Mendengar ucapan itu, tiba-tiba mencorong tajam mata
Hwesio tua itu, ia menatap wajah Bong Thian-gak lekat-lekat,
kemudian bertanya pula, "Sicu, darimana kau bisa mengetahui
ilmu pukulan Jian-yang-ciang?"
"Wanpwe mengetahui hal ini dari mulut Jit-kaucu sendiri."
Rasa kaget dan tercengang segera menghias wajah Hwesio
tua itu, segera tegurnya dengan suara dalam, "Sicu,
sebenarnya siapa kau?"
Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Taysu, tidak
usah menaruh curiga terhadap Wanpwe, aku bukan anggota
Put-gwa-cin-kau!"
Hwesio tua itu semakin terperanjat, kembali dia berkata,
"Sicu, agaknya kau telah mengetahui banyak rahasia, dari
sembilan partai persilatan dewasa ini, kecuali Lolap seorang,

127
boleh dibilang tidak banyak orang yang mengetahui Put-gwacin-
kau?"
Sampai di situ Ku-lo Hwesio berhenti sejenak, seolah
termenung beberapa saat, dia pun melanjutkan, "Sicu, kau
enggan menyebut nama perguruanmu, tapi bersedia
menyebutkan namamu bukan?"
Bong Thian-gak tertegun, lalu sahutnya, "Aku bernama Ko
Hong, buat apa Sinceng mesti menaruh prasangka jelek
kepadaku?"
Terlintas cahaya tajam dari balik mata Hwesio tua itu, tibatiba
dia berkata, "Siancay! Siancay! Lolap baru pertama kali ini
berjumpa dengan Sicu, sebelum malam ini kita tak pernah
berjumpa, mengapa Lolap mesti berprasangka buruk terhadap
Sicu? Tapi setiap ucapan Sicu justru merupakan rahasia yang
sedang diselidiki semua umat persilatan, apakah hal ini tak
membuat Lolap terperanjat?"
Ucapan itu membuat Bong Thian-gak tertegun, serunya
kemudian dengan wajah tercengang, "Sinceng, mengapa kau
mengatakan malam ini adalah perjumpaan kita yang pertama
kali?"
Secara tiba-tiba saja Bong Thian-gak merasa apa yang
diucapkan Ku-lo Hwesio malam ini terdapat banyak keanehan,
tindak-tanduk maupun gerak-geriknya berbeda dengan tempo
hari. Mungkinkah dia bukan Ku-lo Hwesio pendeta agung dari
Siau-lim-si?
"Omitohud! Sicu, apakah kau tahu siapakah Loceng?" tanya
Hwesio tua itu tiba-tiba.
Bong Thian-gak tertegun. "Wanpwe justru ingin
menanyakan nama Sinceng!" serunya cepat.
Bong Thian-gak tidak percaya kalau matanya telah salah
melihat orang, meski dia dan Ku-lo Hwesio hanya bersua

128
secara sepintas saja, jika berjumpa kembali pada waktu yang
sangat lama, bisa saja kekeliruan itu terjadi.
Tetapi dia baru saja berpisah dengan Ku-lo Hwesio pagi ini,
lagi pula raut wajah pendeta itu sekali pun dia diharuskan
melukis dengan mata terpejam pun, pemuda itu sanggup
melakukannya, bagaimana mungkin bisa keliru.
Hwesio tua ini sudah jelas adalah Ku-lo Hwesio dari Siaulim-
pay.
Tatkala Hwesio tua itu menyaksikan paras muka Bong
Thian-gak berubah tak menentu, pelan-pelan dia berkata,
"Lolap adalah Ku-lo dari Siau-lim-si...."
"Benar! Kau memang Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-si!" pekik
Bong Thian-gak dalam hati.
Sementara itu Hwesio tua itu telah melanjutkan kembali
katakatanya setelah berhenti sejenak, "Sejak delapan tahun
lalu, Pinceng selalu menutup diri di dalam kuil Siau-lim-si, baru
belakangan ini Pinceng menyelesaikan semediku dan buruburu
menuju ke Kay-hong, sampai di sini pun paling baru
beberapa jam lalu, mengapa Lolap tak boleh mengatakan
pertemuanku dengan Sicu pada malam ini adalah pertemuan
kita yang pertama kali?"
Benak Bong Thian-gak mendengung keras sesudah
mendengar ucapan itu, pikirnya, "Aneh, mengapa bisa muncul
dua orang Ku-lo Sinceng? Yang satu sudah tiba di gedung Bulim
Bengcu sejak tiga hari berselang, sedang yang lain baru
tiba di Kay-hong pada malam ini, padahal raut wajah mereka
berdua persis seperti pinang dibelah dua, lantas yang
manakah baru Ku-lo Sinceng yang asli?"
Benar-benar merupakan suatu peristiwa besar, munculnya
Ku-lo Sinceng ganda menandakan pula betapa berbahayanya
situasi dalam Bu-lim dewasa ini.

129
Diam-diam Bong Thian-gak membayangkan gerak-gerik
Hwesio tua itu serta membandingkan dengan gerak-gerik Kulo
Hwesio yang dijumpainya dalam gedung Bu-lim Bengcu.
Tiba-tiba Bong Thian-gak menjerit kaget, "Ah! Kalau begitu
dia adalah Kaucu ...."
Paras muka Bong Thian-gak pada saat itu benar-benar
berubah hebat sekali.
Sementara Hwesio tua itu pun seakan-akan telah
menyadari akan datangnya ancaman bahaya, dengan wajah
serius ujarnya, "Sicu telah menemukan masalah besar apa?"
"Celaka!" seru Bong Thian-gak dengan gelisah.
"Keselamatan jiwa para jago yang berada dalam gedung Bulim
Bengcu terancam oleh bahaya maut."
"Bagaimana penjelasan Sicu tentang perkataan ini?"
Dengan sinar mata berkilat Bong Thian-gak menatap wajah
Hwesio tua itu lekat-lekat, kemudian katanya, "Taysu, aku
ingin tahu bagaimana caramu membuktikan bahwa kau benarbenar
Ku-lo Sianceng dari Siau-lim-si?"
"Apakah di Bu-lim muncul seorang Ku-lo lagi?" tanya
Hwesio tua itu dengan paras muka berubah.
Bong Thian-gak segera manggut-manggut, "Benar, bahkan
kalian berdua mempunyai wajah dan bentuk badan yang
persis sama, bahkan perawakan tubuh kalian pun tidak
berbeda."
Mendengar perkataan itu, tiba-tiba Hwesio tua itu
memejamkan mata sambil termenung, tiba-tiba wajahnya
berubah kembali.
"Siancay! Siancay! Sungguh tak disangka peristiwa yang
terjadi pada delapan tahun berselang kini telah berkembang
menjadi suatu ancaman besar yang mengerikan."

130
Sampai di situ, dia memejamkan kembali matanya sambil
termenung seorang diri.
Kurang lebih setengah peminuman teh kemudian Hwesio
itu baru membuka mata, setelah menghela napas sedih,
katanya, "Sejak delapan tahun lalu, Put-gwa-cin-kau sudah
melakukan pembunuhan terhadap jago-jago persilatan,
setelah melewati delapan tahun yang panjang, perkembangan
mereka sudah benar-benar mencapai titik yang paling
berbahaya untuk keselamatan dunia persilatan."
"Ai! Andaikata Pinceng dapat menyadari akibatnya
semenjak delapan tahun berselang, lalu mengambil tindakan
pengamanan, niscaya keadaan tak akan berkembang menjadi
begini. Oh Ciong-hu pun tak sampai terbunuh."
Bong Thian-gak berkerut kening mendengar perkataan itu.
Melalui berbagai dugaan dan analisanya, dia yakin Hwesio tua
di hadapannya sekarang benar-benar adalah Ku-lo Hwesio dari
Siau-lim-si, tapi dia tak habis mengerti mengapa Ku-lo Hwesio
yang asli ini baru keluar dari masa semedinya hari ini?
Sebab kalau didengar dari pembicaraannya, pendeta itu
seperti sudah mengetahui gejala pergerakan Put-gwa-cin-kau,
mengapa dia tak berusaha menghalangi penyebaran pengaruh
Put-gwa-cin-kau?
Berpikir demikian, dengan penuh emosi Bong Thian-gak
berkata, "Seandainya sejak delapan tahun lalu Sinceng tahu
pergerakan Put-gwa-cin-kau, mengapa kau biarkan
berkembang lebih jauh?"
Ku-lo Hwesio menghela napas panjang mendengar teguran
Bong Thian-gak itu, ucapnya, "Sicu jangan emosi, sebenarnya
hingga sekarang punn Pinceng belum mengetahui keadaan
yang sesungguhnya Put-gwa-cin-kau itu, delapan tahun
berselang aku pun tak lebih hanya berjumpa seorang anak
perempuan dari Put-gwa-cin-kau."

131
Setelah berhenti sejenak dan menghela napas panjang,
Hwesio itu menyambung lebih jauh, "Bercerita tentang
kejadian delapan tahun berselang, suatu malam bulan
purnama, Pinceng sedang membaca doa di ruang belakang
kuil Siau-lim-si, tiba-tiba muncul seorang gadis muda di
hadapanku, gadis itu berusia empat belas tahunan, berparas
cantik, senyumnya menawan hati dan membuat orang
terkesima. Sejak hari itulah setiap malam selama empat puluh
sembilan hari berturut-turut gadis itu selalu muncul di bukit
bagian belakang untuk menyaksikan Pinceng berlatih, selama
itu dia tak pernah mengucapkan sepatah kata pun, pada
malam kelima puluh itulah untuk pertama kalinya dia berbicara
dengan Pinceng."
Dengan perasaan tercengang Bong Thian-gak bertanya,
"Apa yang dia katakan kepada Sinceng?"
"Dia bilang, dia murid Put-gwa-cin-kau, berhubung
mendapat perintah Cong-kaucu untuk mencelakai Pinceng,
maka dia minta Pinceng berbuat bajik dengan menyerahkan
jiwaku kepadanya."
"Lantas bagaimana jawaban Taysu?"
"Mendengar perkataan bocah perempuan yang lucu dan
sama sekali tidak membawa hawa sesat itu Pinceng cuma
tersenyum, apalagi aku belum pernah mendengar di Bu-lim
terdapat Put-gwa-cin-kau, Pinceng anggap ucapan itu hanya
perkataan bocah kecil, itulah sebabnya Pinceng pun
menjawab, 'Bila kau menginginkan jiwa Pinceng, baiklah akan
Pinceng serahkan kepadamu!'."
"Maka bocah perempuan itu pun turun tangan terhadap
Taysu?"
Kembali Ku-lo mengangguk, "Benar, bocah perempuan itu
segera berjalan mendekat dan memukul punggung Pinceng
sebanyak empat kali, kemudian ujarnya kepadaku bahwa dia
telah menggunakan ilmu pukulan untuk melukai delapan nadi

132
penting dalam tubuhku, biasanya orang lain akan tewas pada
hari ketujuh, tapi berhubung tenaga dalam Pinceng sempurna,
maka saat kematiannya dapat diundur."
"Selesai mengucapkan perkataan itu, bocah perempuan itu
segera pergi, sedangkan Pinceng pun tidak mengingat
kejadian itu lagi, sebab pukulan bocah perempuan itu di atas
punggungku amat pelan, bukan saja tak bertenaga dalam,
tenaga sedikit pun tak ada. Ai, siapa tahu ilmu silat yang ada
di kolong langit memang sukar diduga sebelumnya."
"Apakah Taysu menderita luka?" tanya Bong Thian-gak
keheranan bercampur kaget.
Ku-lo Hwesio menghela napas panjang, "Sejak itulah
Pinceng merasakan peredaran darahku tidak lancar, terutama
bila sampai pada delapan nadi pentingku, segera akan terasa
sumbatan pada aliran darahku, lambat-laun sumbatan itu
terasa makin berat dan parah, saat itulah Pinceng baru
merasa terperanjat sekali."
Bicara sampai di situ, dia menghela napas panjang,
lanjutnya, "Semua jago yang ada di kolong langit, termasuk
juga anak murid partai kami, siapa yang menduga
pengumuman pengunduran diri Pinceng pada delapan tahun
berselang sesungguhnya untuk mengobati luka dalamku?"
Bong Thian-gak benar-benar terperanjat sekali. "Hanya
dengan empat tepukan ringan si bocah perempuan itu,
Pinceng harus berbaring delapan tahun di atas ranjang?"
serunya.
"Dalam masa delapan tahun duduk bersila menghadap
dinding, Pinceng menyadari pukulan maut itu tak lain adalah
Soh-li-jian-yang-sin-kang, tentunya Ko-siauhiap bisa
membayangkan sampai dimanakah kelihaian pukulan sakti
itu."

133
"Masa gadis cilik itu memiliki kepandaian sakti yang begitu
jahat? Kalau begitu dia adalah Jit-kaucu!" seru Bong Thian-gak
terperanjat.
"Dalam kitab ilmu silat, Soh-li-jian-yang-sin-kang
merupakan salah satu di antara tiga ilmu pukulan sakti,
kepandaian semacam ini tidak setiap orang bisa mempelajari.
Konon untuk berlatih kepandaian itu, dia harus berlatih sejak
berusia tiga tahun, sampai latihan itu berhasil,
keperawanannya tak boleh hilang. Ketika kuperiksa keadaan
luka yang diderita To-sicu dari Kay-pang tadi, segera
kubuktikan bahwa dia terluka akibat pukulan Jian-yang-ciang,
menurut dugaan Pinceng, orang yang telah mencelakai Tosicu
itu kemungkinan besar adalah si bocah perempuan yang
pernah Pinceng jumpai pada delapan tahun berselang."
Mencoba memperkirakan usia Jit-kaucu, katanya, "Betul,
Jit-kaucu adalah si bocah perempuan itu."
"Setelah delapan tahun bersemedi untuk mengobati luka
yang kuderita, Pinceng telah memahami bagaimana cara
mengobati luka itu, Pinceng rasa nyawa To-sicu dari Kay-pang
itu tak akan terancam lagi, namun ilmu silatnya sulit pulih
kembali seperti sedia kala!"
Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai, menurut
catatan dalam kitab ilmu silat, Soh-li-jian-yang-sin-kang
merupakan pukulan yang tak terobati, sekali pun To Siau-hou
harus kehilangan ilmu silatnya, bisa selamat dari ancaman
kematian pun telah terhitung luar biasa, ai ... tampaknya di
antara orang-orang Put-gwa-cin-kau, Jit-kaucu merupakan
musuh paling tangguh bagi dunia persilatan."
"Bila dihitung bocah perempuan itu mulai berlatih ilmu Sohli-
jian-yang-sin-kang mulai berusia tiga tahun, hingga hari ini
mungkin sudah ada dua puluh tahun hasil latihannya, ia sudah
berlatih hingga mencapai tingkat kesembilan, bila dibiarkan
mendalami ilmu itu selama tiga tahun lagi, maka dia akan

134
menyelesaikan kepandaian itu, saat itu tubuhnya akan kebal
dan tiada orang yang bisa menandinginya lagi."
Ketika berbicara sampai di situ, sepintas rasa pedih
melintas pada wajah Ku-lo Sinceng.
Walaupun Bong Thian-gak tidak memahami seluk-beluk
ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang, tapi dari sebuah kitab dia
pernah membaca catatan tentang ilmu Soh-li-jian-yang-sinkang
dan ilmu itu memang merupakan ilmu paling sesat dan
paling dahsyat di kolong langit ini.
Tiba-tiba Bong Thian-gak berkata dengan suara dalam,
"Tolong tanya Taysu, apakah di dunia saat ini sudah tiada
orang yang bisa melawan Soh-li-jian-yang-sin-kang lagi?"
Sambil menggeleng kepala Ku-lo Siceng menghela napas
panjang, "Hingga kini Lolap belum berjumpa lagi dengan Jitkaucu,
aku pun belum begitu jelas sampai tingkat berapakah
ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kangnya, andai benar telah mencapai
tingkat kesembilan, maka hal ini benar-benar gawat."
"Jauh hari sebelum Pinceng keluar dari pengasingan, telah
kuutus jago-jago dari kuil kami untuk menyelidiki situasi dalam
Bu-lim serta organisasi Put-gwa-cin-kau yang makin
berkembang. Menurut hasil penyelidikan, Kaucu pertama
sampai Kaucu kesembilan Put-gwa-cin-kau boleh dibilang
merupakan jago-jago berilmu tinggi, persoalan yang paling
rumit dewasa ini adalah asal-usul serta gerakan yang
dilakukan kesembilan orang Kaucu itu."
"Situasi dunia persilatan sekarang, musuh berada di tempat
gelap sedang kita di tempat terang, bila umat persilatan ingin
mengubah situasi, maka harus mengubah diri ke tempat
gelap, dengan cara gelap lawan gelap itulah usaha kita untuk
menyelamatkan dunia persilatan baru akan mendatangkan
hasil yang diinginkan."
"Apa yang dimaksud dengan siasat gelap melawan gelap?"

135
"Yang dimaksud siasat gelap lawan gelap adalah di luar
lingkaran sembilan partai persilatan daratan Tionggoan, kita
harus membentuk suatu organisasi penyerang yang tangguh
dan khusus untuk menjegal gerak-gerik musuh."
Sesudah mendengar ucapan Ku-lo Hwesio ini, Bong Thiangak
merasa Hwesio tua ini agaknya sudah mempunyai suatu
rencana yang matang untuk menghadapi pertarungan
melawan Put-gwa-cin-kau di masa mendatang.
Sejak delapan tahun lalu, Put-gwa-cin-kau telah turun
tangan keji terhadap Ku-lo Hwesio, rencana busuk mereka ini
boleh dibilang keji sekali.
Dunia persilatan dewasa ini terdapat dua pemimpin yang
paling berkuasa, mereka adalah Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-si
serta Oh Ciong-hu, Bengcu dunia persilatan.
Bila dua orang ini sampai terbunuh, secara otomatis dunia
persilatan akan kehilangan pemimpin mereka.
Sekarang Put-gwa-cin-kau telah mengutus orang untuk
menyamar sebagai Ku-lo Hwesio dan menyusup ke dalam
gedung Bu-lim Bengcu Dari tindakan mereka ini, tampaknya
orang-orang Put-gwa-cin-kau menyangka Ku-lo Hwesio telah
tewas.
Justru karena peristiwa ini, asal umat persilatan
menggunakan siasat melawan siasat, kemudian menangkap
Sam-kaucu Put-gwa-cin-kau yang menyaru sebagai Ku-lo
Hwesio, bisa jadi orang itu akan tertangkap basah.
Maka setelah melalui pemikiran yang mendalam, Bong
Thian-gak berkata dengan suara dalam, "Taysu, Wanpwe
hendak memberitahu satu hal kepadamu, Put-gwa-cin-kau
telah mengutus Sam-kaucu menyaru sebagai Sinceng dan kini
menyusup ke dalam gedung Bu-lim Bengcu."

136
Secara ringkas dia lantas menceritakan semua peristiwa
yang terjadi belakangan ini kepada Ku-lo Hwesio, hanya soal
asal-usulnya saja yang tetap dia rahasiakan.
Sehabis mendengar keterangan itu, Ku-lo Hwesio berkerut
kening, lalu menghela napas dengan sedih, katanya, "Hanya
untuk menjaga jangan sampai mengacau situasi dunia,
Pinceng muncul agak terlambat, terhadap mata-mata yang
menyusup ke dalam gedung Bu-lim Bengcu pun tidak
melakukan suatu tindakan apa pun, ai, siapa tahu tindakanku
ini justru mengakibatkan kematian Kongsun-sicu, ai ...."
"Dari berita Ko-sicu tadi, berarti musuh yang menyusup ke
dalam Bu-lim Bengcu sekarang adalah Sam-kaucu (ketua
ketiga) serta Cap-go-kaucu yang telah diketahui, tapi siapa
pula Cap-go-kaucu itu?"
"Soal ini Wanpwe kurang begitu jelas," kata Bong Thiangak
sambil menggeleng kepala.
Mendadak Ku-lo Hwesio berkata lagi dengan serius, "Kosicu
adalah pemuda berbudi luhur, gagah dan perkasa, sudah
pasti bukan pesilat kasaran, bagaimana pun Pinceng memeras
otak, tidak pernah berhasil mengetahui asal-usul Sicu,
bersediakah Sicu menjelaskan asal-usulmu yang sebenarnya
agar umat persilatan pun tidak menaruh curiga kepadamu?"
Dengan wajah sedih Bong Thian-gak Thian-gak menghela
napas panjang, sahutnya, "Wanpwe tak dapat menerangkan
asal-usulku karena aku benar-benar mempunyai kesulitan
yang tak dapat diterangkan, sebenarnya Wanpwe ingin
menjauhi masalah ini dan mengasingkan diri dari dunia
persilatan, tetapi dendam berdarah atas kematian guruku
belum terbalas, sehingga sulit bagiku untuk mengundurkan
diri begitu saja."
"Siapakah musuh besar Ko-sicu?"
"Put-gwa-cin-kau, tapi belum kuketahui siapa yang
melakukan."

137
Ku-lo Hwesio menghela napas panjang, "Ai, Ho Put-ciang
Sutit selalu murung karena tidak mengetahui asal-usul Kosicu,
dia telah minta kepada Pinceng menyelidiki persoalan ini,
tetapi bila Sicu mempunyai kesulitan, ya tak usah dibicarakan
lagi."
"Oh, jadi Bengcu dan Taysu ...."
Agaknya Ku-lo Hwesio telah mengetahui apa yang hendak
dia tanyakan, dengan cepat dia menjawab, "Ho Put-ciang Sutit
telah tahu pihak lawan telah menyaru sebagai Pinceng."
Mendengar perkataan itu Bong Thian-gak menjadi gembira,
segera serunya, "Bagus sekali bila begitu, dengan demikian
kita pun tak usah menyampaikan kabar itu kepada Ho-tayhiap,
kalau tidak, entah berapa banyak tenaga dan waktu yang
harus kita butuhkan lagi?"
"Ko-sicu, Pinceng hendak minta bantuanmu, bersediakah
kau mengabulkannya?"
"Biar mati pun Wanpwe bersedia."
"Pinceng rasa Sicu tentu sudah mengerti, apa sebabnya aku
tak menampilkan diri untuk sementara waktu, cuma gedung
Bu-lim Bengcu saat ini berbahaya sekali, Pinceng kuatir Hohiantit
yang berada di situ sendirian tak mampu menghadapi
situasi yang semakin gawat, oleh karena itu Pinceng mohon
bantuan Sicu membantu mereka."
Mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak berkerut kening,
lalu ujarnya, "Wanpwe pernah bertempur melawan para
pendekar, Sam-kaucu Put-gwa-cin-kau sekalian juga telah
mengenali wajah asliku, entah bantuan macam apakah yang
bisa Wanpwe berikan untuk Ho-tayhiap? Harap Taysu sudi
memberi petunjuk."
Ku-lo Hwesio termenung sebentar, kemudian ujarnya,
"Bantuan yang Pinceng harapkan dari Ko-sicu adalah
membantu Ho Put-ciang Hiantit membekuk Sam-kaucu."

138
"Mengapa Sinceng tidak langsung mengambil tindakan
saja?"
Kembali Ku-lo Hwesio menghela napas, "Gerak-gerik Putgwa-
cin-kau dalam Bu-lim amat rahasia, hingga saat ini bahan
yang berhasil Pinceng kumpulkan tentang perkumpulan ini
masih sedikit, oleh sebab itu Lolap dan Ho-hiantit telah
memutuskan untuk sementara jangan menggebuk rumput
mengejutkan ular."
"Sam-kaucu yang menyusup ke dalam gedung Bu-lim
Bengcu saat ini telah melaksanakan siasat keji membunuh
para jago persilatan satu per satu, apabila orang semacam ini
dibiarkan mengendon terus di situ, kemungkinan besar akan
lebih banyak jago persilatan dalam gedung bengcu yang akan
menjadi korban."
Ku-lo Hwesio manggut-manggut, "Pinceng merasa serba
salah, ai, cepat atau lambat kita pasti akan bentrok juga
secara kekerasan dengan pihak Put-gwa-cin-kau, tapi yang
membikin Pinceng ngeri adalah tidak diketahuinya berapa
banyak mata-mata Put-gwa-cin-kau yang telah diselundupkan
ke berbagai perguruan dewasa ini, seandainya kita melakukan
suatu tindakan, mungkinkah pihak lawan akan segera
melancarkan pembantaian secara besar-besaran lewat matamata
mereka itu?"
Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak merasakan pula
betapa gawatnya situasi yang mereka hadapi, tampaknya
kekuatan serta pengaruh Put-gwa-cin-kau telah menguasai
seluruh dunia persilatan dan mendesak umat persilatan, tak
heran sejak awal sampai akhir Ku-lo Hwesio selalu
menunjukkan sikap amat tegang dan serius.
Mendadak satu ingatan melintas dalam benak Bong Thiangak,
ujarnya kemudian dengan suara nyaring, "Taysu,
mengapa kita tidak mencoba membekuk salah seorang
anggota mereka, lalu disiksa agar mengungkapkan segala
persoalan yang ada?"

139
Ku-lo Hwesio menghela napas, "Pusat kekuatan dan
kekuasaan yang sebenarnya dari Put-gwa-cin-kau sebagian
besar terletak di tangan Kaucunya, hal ini tak akan
mengungkap banyak berita penting yang berguna untuk kita."
"Ah, betul! Mengapa Wanpwe tidak mencoba membekuk
Jit-kaucu saja?"
Ku-lo Hwesio menggeleng kepala berulang kali, "Jit-kaucu
memiliki ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang yang maha dahsyat,
lebih baik Ko-sicu tak usah mengusik dirinya."
"Jit-kaucu sangat telengas, membunuh tanpa berkedip, bila
perempuan itu tidak dibasmi, dunia persilatan tak akan bisa
tenang."
"Ko-sicu, aku minta kau jangan bertindak secara gegabah,"
ucap Ku-lo Hwesio. "Bukan Pinceng sengaja mengagulkan
lawan dengan merendahkan kegagahan sendiri, tapi hingga
kini sudah ada puluhan jago lihai persilatan yang tewas oleh
pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang, delapan tahun lalu Pinceng
telah merasakan empat kali pukulannya dan harus berbaring
selama bertahun-tahun, hingga kini pun penyakit itu belum
sembuh seratus persen, oleh sebab itu Pinceng anjurkan
kepada Sicu, lebih baik jangan terlalu menuruti emosi sendiri."
Dengan perasaan apa boleh buat Bong Thian-gak menghela
napas panjang, "Ya sudahlah, kalau begitu Wanpwe akan
melaksanakan seperti apa yang Taysu perintahkan."
Ku-lo Hwesio berkata, "Ko-sicu, Pinceng telah berkeputusan
untuk turun tangan lebih dahulu terhadap Sam-kaucu, harus
diketahui, kita tak boleh mengorbankan lebih banyak jago
persilatan lagi di tangannya!"
Dengan berseri Bong Thian-gak bertepuk tangan
kegirangan, "Keputusan ini memang paling bagus, penyaruan
Sam-kaucu atas diri Sinceng boleh dibilang demikian miripnya
sehingga sukar dibedakan lagi mana yang asli dan mana yang

140
palsu, maka Sinceng pun dapat memanfaatkan peluang itu
untuk menyelundup ke dalam Put-gwa-cin-kau."
Diam-diam Ku-lo Hwesio terkejut mendengar perkataan itu,
ujarnya kemudian sambil menghela napas, "Kecerdasan otak
Sicu sungguh mengagumkan, sebenarnya Pinceng telah
berkeputusan untuk melakukan tindakan ini, tapi berhubung
Ho-hiantit sekalian menolak, maka hingga malam baru bisa
dilakukan."
Tiba-tiba Bong Thian-gak merasa bahwa Ku-lo Hwesio
merupakan pemimpin pasukan penyergap dunia persilatan,
apabila dia sudah menyusup ke dalam barisan musuh, lalu
siapa yang akan memimpin pasukan? Apalagi menyusup ke
sarang harimau merupakan suatu tindakan yang berbahaya
sekali.
Berpikir sampai di sini, dengan cemas Bong Thian-gak
berkata, "Taysu, aku rasa keputusan ini...."
Sebelum anak muda itu menyelesaikan perkataannya, Ku-lo
Hwesio telah menukas, "Ko-sicu tak usah ragu-ragu, Pinceng
sudah lama menyusun rencana dengan rapi untuk penyusupan
ke tubuh lawan, sedang mengenai tugas Pinceng selama ini
pun telah kuatur semuanya dengan rapi, yang paling penting
buat Ko-sicu adalah besok pukul lima sore harap kau datang di
pagoda Leng-im-po-tah yang terletak tiga li di tenggara kota
Kay-hong untuk bergabung dengan seorang pendekar lagi,
kemudian kita bersama-sama membasmi Sam-kaucu dari
muka bumi. Sekarang Pinceng masih ada urusan penting
lainnya untuk segera diselesaikan sehingga tak mungkin
memberi penjelasan lebih jauh."
"Baiklah, kita berpisah sampai di sini dulu, segala
sesuatunya besok harap Sicu bersedia menuruti perkataan
pendekar itu saja."

141
Selesai berkata Ku-lo Hwesio segera bangkit, tampaknya
persoalan sudah tak bisa ditunda-tunda lagi, dia mengebaskan
ujung bajunya dan melompat turun dari atas batu cadas.
"Wanpwe akan mengikuti petunjuk Locianpwe!" seru Bong
Thian-gak lantang, sementara Ku-lo Hwesio sudah pergi jauh.
Setelah menempuh perjalanan sehari penuh, Bong Thiangak
merasa lelah, maka malam itu dia menginap di dalam kota
Kay-hong, semalaman dilewatkan dengan tenang. Ketika
menjelang kentongan kelima, seperti apa yang dipesan Ku-lo
Hwesio, Bong Thian-gak segera mengerahkan Ginkangnya
menuju ke arah tenggara, setelah berjalan tiga-empat li, betul
juga ada sebuah pagoda yang tinggi menjulang ke angkasa, di
bawah sinar rembulan bangunan itu nampak megah dan
mentereng.
Bong Thian-gak baru saja mendekati bukit kecil itu,
mendadak dari atas pagoda di samping kiri melayang turun
sesosok bayangan orang menyongsong kedatangannya,
kemudian menegur, "Apakah Ko-cuangsu?" '
"Betul, aku Ko Hong, siapakah saudara?"
Di bawah cahaya malam terlihat seorang pemuda
berdandan sastrawan, dia mengenakan pakaian berwarna
biru, memegang sebuah kipas di tangan kirinya dan bersikap
amat lembut, siapa menduga kalau pemuda sastrawan ini
sebenarnya merupakan seorang pendekar besar yang
menggetarkan sungai telaga?
Sastrawan berbaju biru itu memperhatikan Bong Thian-gak
beberapa kejap, lalu katanya, "Aku Thia Leng-juan, atas pesan
Ku-lo Sinceng khusus datang kemari untuk menanti
kedatangan Ko-cuangsu."
Begitu mendengar nama "Thia Leng-juan", timbul perasaan
hormat dalam hati Bong Thian-gak, buru-buru sahutnya
dengan hormat, "O, rupanya Im-ciu-tay-ji-hiap, sudah lama

142
kudengar nama besarmu, maaf bila kau menunggu terlampau
lama."
Tay-ji-hiap (pendekar sastrawan) Thia Leng-juan dari kota
Im-ciu termasyhur belakangan ini, Bong Thian-gak sama sekali
tak menyangka dia seperti sastrawan lemah yang berusia tiga
puluh tahunan, namun merupakan seorang pendekar yang
disegani orang.
Thia Leng-juan menjura, kemudian katanya, "Ko-cuangsu
tak perlu sungkan, persoalan yang dipesankan Ku-lo Sinceng
tentunya telah Ko-heng pahami bukan?"
"Ya, aku siap menunggu perintah Thia-tayhiap."
"Ku-lo Sinceng berpesan agar kita bekerja sama dengan
Ho-tayhengcu untuk bersama-sama menaklukkan Sam-kaucu
Put-gwa-cin-kau, Ku-lo Sinceng juga berpesan agar gempuran
ini harus berhasil, tak boleh gagal, itulah sebabnya kita perlu
merundingkan suatu cara untuk menghadapi dirinya."
"Apakah Thia-tayhiap sudah mengatur persiapan?"
Im-ciu-tay-ji-hiap Thia Leng-juan mendongak memandang
cuaca, lalu katanya, "Menjelang tengah malam masih ada satu
jam, tak ada salahnya kita naik dahulu ke atas pagoda dan
berunding di sana, sambari berunding kita pun bisa
mengawasi gerak-gerik di sekeliling tempat itu dengan jelas."
"Ucapan Thia-tayhiap memang benar."
Seusai berkata, mereka berdua segera berjalan menuju ke
arah pagoda itu.
"Mari kita berada di sebelah kiri pagoda saja," ajak Thia
Leng-juan kemudian. Selesai berkata dia melompat naik ke
atas lebih dahulu.
Lompatannya mencapai empat depa tingginya, lalu tampak
Thia Leng-juan berjumpalitan sekali dan tangan kanan
menekan di atas atap rumah pagoda tingkat empat.

143
Dengan meminjam tenaga tekanan itulah tubuhnya
seenteng bulu melayang kembali tiga depa dan melayang
turun pada tingkat teratas.
Demonstrasi ilmu meringankan tubuh yang amat sempurna
itu segera menimbulkan rasa kagum Bong Thian-gak, dengan
cepat dia ikut menyusul dari belakang, namun naik setingkat
demi setingkat.
Gerakan tubuh yang digunakan pemuda itu dilakukan
dengan kecepatan luar biasa, hanya dalam beberapa kejap
saja Bong Thian-gak pun sudah tiba pula di puncak pagoda
itu.
Thia Leng-juan agak tertegun melihat kepandaiannya itu
sehingga tanpa terasa tegurnya, "Ko-heng, apakah ilmu
meringankan tubuh yang kau gunakan itu adalah Im-ti-peng
(Lari di awan)?"
Bong Thian-gak tersenyum, "Masih selisih jauh, belum
berhasil mencapai ilmu lari di awan, harap Thia-tayhiap jangan
menertawakan."
Walaupun dari Ku-lo Sinceng Thia Leng-juan sudah
mendengar ilmu silat Bong Thian-gak lihai sekali, tapi waktu
berjumpa dengan Bong Thian-gak untuk pertama kalinya tadi,
sedikit banyak timbul juga rasa tak percaya di dalam hatinya.
Tapi sekarang setelah menyaksikan dia mengeluarkan ilmu
meringankan tubuh yang bergitu hebat, baru ia terperanjat.
"Ternyata pemuda ini benar-benar memiliki kepandaian
amat tangguh," dia berpikir. "Sudah jelas ilmu Im-ti-peng yang
digunakan barusan sudah mencapai tingkatan yang amat
sempurna, dari tingkatan ilmu meringankan tubuhnya itu
seandainya dia mau melompat, mungkin sekali lompat saja
dapat mencapai ketinggian empat depa!"

144
Berpikir sampai di situ, dia lantas berkata sambil tertawa
ringan, "Ko-heng bisa merahasiakan kelihaian, sungguh luar
biasa, tampaknya Ku-lo Sinceng memang tak salah memilih."
"Pujian Thia-tayhiap benar-benar membuat aku malu
sendiri."
Thia Leng-juan tertawa. "Ko-heng, mari kita duduk di atas
wuwungan saja," ajaknya kemudian.
Mereka berdua pun duduk saling berhadapan.
"Thia-tayhiap," ujar Bong Thian-gak kemudian, "Sam-kaucu
adalah seorang licik bagai rase, seandainya dia mengetahui
titik kelemahan dalam rencana kita ini, mungkin dia tidak
datang bersama Ho-bengcu, apa yang harus kita lakukan?"
"Rencana untuk menyingkirkan Sam-kaucu merupakan
rencana yang ditetapkan Ku-lo Sinceng semalam, hanya Hobengcu,
Ko-heng dan aku saja yang mengetahui rencana ini,
jadi aku pikir tak mungkin rahasia ini bocor, Ho-bengcu sendiri
pun tak mungkin membocorkan rahasia itu, jadi menurut
pendapatku, yang perlu kita kuatirkan sekarang adalah
seandainya Sam-kaucu berhasil meloloskan diri dari kepungan
dan melarikan diri."
"Walaupun ilmu silat Sam-kaucu sangat lihai, namun Hobengcu
sendiri pun bukan orang sembarangan, apalagi
dibantu Thia-tayhiap, aku pikir sekali pun musuh adalah
makhluk berkepala tiga berlengan enam belum tentu sanggup
mempertahankan diri."
Thia Leng-juan manggut-manggut, ujarnya pula, "Ya,
semoga saja sesuatunya berjalan lancar, kalau tidak, entah
bagaimana akibatnya?
Cuma untuk menjaga segala hal yang tidak diinginkan, kita
perlu merundingkan sesuatu rencana yang matang untuk
menghadapi lawan."

145
"Ya, memang seharusnya begitu," Bong Thian-gak
mengangguk.
Thia Leng-juan termenung beberapa saat, ujarnya kembali,
"Sebentar bila Ho-bengcu dan Sam-kaucu tiba di pagoda
Leng-im-po-tah nanti, Ho-bengcu akan membuka kartu Samkaucu
dan membongkar rahasia lawan, maka pertarungan
pasti segara berkobar, seandainya Ho-bengcu tidak sanggup
mempertahankan diri, saat itulah aku akan terjun ke dalam
arena untuk bersama-sama mengembut Sam-kaucu, sedang
Ko-heng bertanggung jawab menghadang musuh yang
mencoba melarikan diri, atau seandainya aku dan Ho-bengcu
tidak sanggup mempertahankan diri dari gempuran lawan,
harap Ko-heng segera tampil dan ikut terjun ke dalam
pengerubutan itu."
"Thia-tayhiap, aku ingin bertukar tugas dengan dirimu,
apakah kau bersedia?"
"Ya, begitu pun boleh juga."
"Bila Sam-kaucu sudah sampai di sini nanti, aku ingin
segera muncul dan bertarung dengannya jauh sebelum Hobengcu
bertarung lebih dahulu dengannya, karena Ho Putciang
adalah seorang Bengcu dunia persilatan, tidak baik jika
dia dibiarkan bertempur begitu saja."
Thia Leng-juan memanggut, "Perkataan Ko-heng memang
benar, cuma hal ini akan merepotkan dirimu!"
Bong Thian-gak tersenyum, "Aku ada dendam kesumat
sedalam lautan dengan Put-gwa-cin-kau, merupakan musuh
besarku pula, maka aku telah bertekad membasmi mereka
sampai ke akar-akarnya."
"Ko-heng, sekarang harap kau periksa dulu sekeliling
tempat ini, kemudian pilihlah tempat untuk menyembunyikan
diri, sampai saat ini waktu yang dijanjikan tinggal tiga
perempat jam saja."

146
"Menurut pendapatku, Thia-tayhiap lebih baik berjaga di
sini saja, perlu diketahui, seandainya Sam-kaucu melarikan
diri, kemungkinan besar dia akan memilih ruang kosong, maka
andaikata dia kabur menuju ke arah tiga bagian dari pagoda
lainnya, aku akan mencegatnya dari sebelah kanan pagoda,
kita perlu berebut waktu dengannya."
Thia Leng-juan memanggut, "Penjelasan Ko-heng memang
tepat, aku yakin Sam-kaucu tak akan bisa lolos dari
cengkeraman kita."
"Sekarang saatnya sudah hampir tiba, mumpung mereka
belum datang, aku harus bersembunyi dulu di sebelah kanan
pagoda daripada Sam-kaucu melihat jejak kita dari kejauhan."
Selesai berkata dia lantas melompat turun dan
menggelinding ke arah belakang, kemudian bergerak menuju
ke sebelah kanan pagoda dan duduk bersila di balik kegelapan
di depan pagoda itu.
Thia Leng-juan yang berada di atas secara lamat-lamat
dapat menyaksikan bayangan tubuh Bong Thian-gak.
Sementara itu suasana di sekeliling tempat itu amat sepi,
malam itu tiada rembulan, hanya bintang yang bertaburan di
angkasa, seluruh jagad hanya dikilapi oleh setitik sinar.
Walaupun waktu bergerak amat lambat, akhirnya tengah
malam menjelang juga.
Mendadak Bong Thian-gak mendengar ada suara orang
berjalan di atas tanah di kejauhan sana.
Dengan cepat dia membuka mata, tak lama kemudian dari
depan pintu pagoda muncul dua sosok bayangan orang.
Orang yang berada di sebelah depan mengenakan jubah
berwarna abu-abu dengan sebuah tasbih tergantung di depan
dada, tangan kanan menggenggam sebuah kebutan.

147
Tak bisa disangkal lagi, dia adalah Sam-kaucu Put-gwa-cinkau
yang menyaru sebagai Ku-lo Hwesio.
Di belakangnya mengikut seorang lelaki setengah umur
yang berbadan kekar, Bong Thian-gak dapat mengenali
sebagai Toa-suhengnya, si Busur raja lalim Ho Put-ciang.
Tampaknya Ho Put-ciang sudah menyusun suatu rencana
yang masak, maka begitu masuk ke dalam pintu, dia segera
memperlambat gerak tubuhnya untuk mencegat jalan pergi
Hwesio gadungan itu.
Ternyata Sam-kaucu cukup cekatan, setelah maju beberapa
langkah, mendadak dia berhenti sambari membalik tubuh, lalu
menegur, "Ho-hiantit, ada urusan apa kau mengajak Pinceng
kemari?"
Sebelum Ho Put-ciang sempat menjawab, dengan cepat
Bong Thian-gak melompat ke arah mereka, sahutnya, "Hobengcu
sengaja mengajakmu kemari untuk bertemu
denganku."
Ketika selesai berkata, Bong Thian-gak sudah berada
beberapa kaki saja di hadapan Sam-kaucu.
Sam-kaucu yang menyaru sebagai Ku-lo Hwesio nampak
agak tertegun, kemudian serunya, "Oh, rupanya Ko-sicu,
Pinceng dan Ho-bengcu memang sedang mencarimu."
Bong Thian-gak tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, Samkaucu
kau tak usah berlagak sok alim lagi, Ku-lo Taysu dari
Siau-lim-si belum wafat, malam ini ada baiknya kalau kau
memperlihatkan wajah aslimu, daripada harus merasakan
siksaan hidup."
Beberapa patah perkataannya membuat paras muka Samkaucu
berubah hebat, tanpa terasa dia berpaling dan
memandang sekejap ke arah Ho Put-ciang, dengan cepat dia
merasa gelagat tak menguntungkan.

148
Walaupun begitu, dia masih bersikap tenang, katanya
dengan suara lembut, "Ko Hong apa kau katakan? Pinceng
sedikit pun tidak mengerti...."
"Sam-kaucu," saat itulah Ho Put-ciang buka suara. "Asal
kau bersedia menjawab beberapa pertanyaan, kami pun
belum tentu akan membunuhmu, tentang penyaruanmu
sebagai Ku-lo Sinceng, sudah lama aku orang she Ho
mengetahuinya."
Sekarang Sam-kaucu sadar bahwa rahasianya sudah
terbongkar dan kini terperangkap dalam jebakan orang.
Tapi nampaknya dia sama sekali tidak memandang sebelah
mata terhadap dua jago lihai yang berada di hadapannya
sekarang, dengan tenang dia tertawa seram, "Hehehe, bagus
sekali!"
"Aku tahu, cepat atau lambat akhirnya kita bakal bentrok
juga, Kaucu memang ditugaskan untuk memusnahkan
persekutuan dunia persilatan, untuk mewujudkan tugasku ini,
terpaksa harus menghabisi pemimpinnya lebih dahulu."
"Sam-kaucu, dengar baik-baik, siapa Cong-kaucu Put-gwacin-
kau?" bentak Ho Put-ciang dengan suara kereng.
Sam-kaucu tertawa seram, "Tanyakan sendiri kepada raja
akhirat, dia pasti akan memberitahukan semua itu kepadamu."
Ho Put-ciang kembali mengerut dahi, "Urusan sudah begini,
apakah kau masih tetap belum sadar? Malam ini kami sengaja
membuka kartu, karena kami telah bertekad akan
membinasakan kau, tak nanti kami izinkan kau melarikan diri,
bila kau bersedia bekerja sama, mungkin aku masih dapat
mempertimbangkan mengampuni jiwamu."
"Hm, hanya mengandalkan kekuatan kalian berdua?"
jengek Sam-kaucu sinis. "Aku rasa kemampuan kalian masih
belum cukup untuk mengendalikan gerak-gerik serta
kebebasanku."

149
Kembali Bong Thian-gak tertawa terbahak-bahak, "Hahaha,
mana, mana, tak ada salahnya kita mencoba kemampuan
masing-masing."
Sementara itu sepasang mata Sam-kaucu yang tajam
memandang sekejap ke empat penjuru dengan cepat, dari
perubahan wajahnya jelas dia tidak berhasil menemukan
bayangan orang lain.
Sekali lagi Ho Put-ciang membentak dengan suara keras,
"Siapa Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau? Ayo cepat jawab."
"Bila kalian mengetahui namanya berarti kalian tak bisa
hidup melewati kentongan kelima, lebih baik tak usah
disebut," jawab Sam-kaucu hambar.
Bong Thian-gak tertawa dingin, "Hehehe, aku justru tidak
percaya dengan segala takhayul, ayo katakan saja!"
Dengan sepasang matanya yang tajam, Sam-kaucu
memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, lalu ujarnya,
"Dasar ilmu silat yang kau miliki amat sempurna, sebenarnya
Kaucu pun bermaksud mengajakmu bergabung dengan
perkumpulan kami dan memangku kedudukan tinggi, sekarang
kau masih punya waktu untuk mempertimbangkan tawaranku
ini, jangan kau sia-siakan kesempatan baik ini."
Bong Thian-gak tertawa terbahak-bahak, "Hahaha,
semalam aku sudah mengetahui hal ini dari mulut seorang
pelindung hukum Sam-kaucu, Jit-kaucu juga telah
menyinggung masalah itu kepadaku, tapi aku menampik
tawaran ini, karena aku ingin mengetahui siapa orang yang
berhak memerintah diriku."
Paras muka Sam-kaucu segera berubah menjadi dingin dan
kaku, katanya kemudian, "Tampaknya banyak rahasia
perkumpulan kami yang telah kau ketahui, bila kau tidak
bersedia bergabung dengan kami, berarti hanya ada jalan
kematian untukmu."

150
"Mengapa kau tidak menguatirkan keselamatanmu sendiri?"
"Tidak sampai setengah jam, wilayah seluas sepuluh li di
sekitar sini akan dipenuhi oleh anak murid perkumpulan kami,
mereka akan mengepung tempat ini secara berlapis-lapis,
coba bayangkan, bagaimana caranya kalian meloloskan diri?"
Ketika mendengar ucapan itu, Ho Put-ciang berkerut
kening, lalu tegurnya, "Apakah kau tidak berbohong?"
Sam-kaucu tertawa, "Tentu saja bukan gertak sambal."
"Ho-tayhiap, jangan kau percayai perkataannya itu," Bong
Thian-gak berseru lantang.
Sam-kaucu terbahak-bahak, "Hahaha, niat untuk berjagajaga
tak boleh tiada. Ketika aku dan Ho-heng datang kemari
tadi, jejak kita sudah dibuntuti anak buah kami secara diamdiam,
oleh karena itu kedatanganku ke tempat ini pun tak
pernah lolos dari pengamatan mereka. Di sinilah kelebihan
Put-gwa-cin-kau, juga kekurangan Put-gwa-cin-kau kami."
"Kelebihan dan kekurangan? Apa maksudmu?" tanya Bong
Thian-gak tertegun.
"Kelebihannya adalah dapat berkomunikasi terus secara
utuh dan tiada putus-putusnya, setiap saat kami bisa
mengadakan kontak secara terus-menerus, dapat pula
berjaga-jaga agar tidak terperangkap ke dalam jebakan
musuh. Kekurangannya adalah tidak adanya perasaan saling
percaya mempercayai antara segenap anggota Put-gwa-cinkau,
sehingga mereka harus saling awas-mengawasi."
Bong Thian-gak tersenyum, "Put-gwa-cin-kau
menggunakan nama Put-gwa atau tiada aku, artinya setiap
orang yang bergabung dalam perkumpulan ini, dia harus
mempersembahan jiwa dan raganya untuk perkumpulan
sehingga mencapai keadaan 'Tanpa aku' (Put-gwa). Tapi
sekarang kau berani melancarkan kritik terhadap prinsip
perkumpulan, hal ini membuktikan kau merasa tak puas

151
dengan keadaan itu, kalau memang begitu mengapa kau tak
memanfaatkan kesempatan ini untuk meninggalkan jalan
sesat dan kembali ke jalan benar?"
Mendengar ucapan itu, paras muka Sam-kaucu berubah
hebat.
"Tutup mulut!" bentaknya keras. "Kini kedudukanku adalah
Sam-kaucu dalam Put-gwa-cin-kau, kedudukanku amat tinggi
dan menguasai segenap jago persilatan, kekuasaanku hanya
di bawah satu orang tapi di alas laksaan orang, aku pun
memegang hak hidup banyak orang, siapa hilang aku tidak
puas?"
"Bila demikian, terpaksa kami harus turun tangan."
Selesai berkata, Bong Thian-gak segera turun tangan,
sepasang telapak tangannya secepat kilat meluncur ke depan
melepas pukulan dahsyat.
Dimana serangan ini dilepaskan, segulung angin tajam
yang menggiriskan dengan membawa deru angin yang
mengerikan, bagaikan amukan gelombang dahsyat segera
meluncur dan menyapu ke tubuh lawan.
Serangan Bong Thian-gak dilancarkan secepat sambaran
petir, bahkan sebelumnya tidak pernah memperlihatkan suatu
gejala apa pun, bagaimana pun lihai dan liciknya Sam-kaucu,
tidak urung dibikin kelabakan juga oleh datangnya ancaman
itu.
Menanti Sam-kaucu menyadari datangnya bahaya, angin
pukulan yang kuat bagaikan baja itu secepat petir sudah
menekan tiba.
Menghadapi situasi seperti ini, terpaksa dia harus
menyambut datangnya ancaman itu dengan keras lawan
keras.

152
Diiringi suara bentakan nyaring, Sam-kaucu segera
merangkap sepasang telapak tangannya di depan dada,
kemudian bersama-sama dilontarkan ke depan.
Suara ledakan keras yang memekakkan telinga
berkumandang memecah keheningan.
Tubuh Sam-kaucu mencelat ke tengah udara melewati
kepala Bong Thian-gak dan seperti seekor burung bangau
langsung kabur ke atas pagoda.
Tampak Bong Thian-gak seperti sudah menduga pihak
lawan akan memanfaatkan datangnya angin pukulan itu untuk
melejit ke tengah udara dan melarikan diri.
Entah sedari kapan, tahu-tahu dalam genggaman Bong
Thian-gak telah bertambah dengan sebilah pedang yang
memancarkan cahaya tajam berkilauan.
Tampak cahaya pelangi hawa pedang secepat petir
mengejar ke atas, lalu diiringi suara dentingan nyaring
terciptalah beribu bayangan pedang yang segera menyebar ke
empat penjuru.
Terkurung oleh cahaya pedang itu, tubuh Sam-kaucu yang
sedang melejit ke udara itu segera berputar balik dan
melayang turun ke bawah.
Cahaya pelangi segera sirap dan Bong Thian-gak dengan
pedang terhunus sudah menghadang di depan Sam-kaucu.
Paras muka Sam-kaucu kini diliputi perasaan kaget
bercampur tercengang, sepasang matanya tanpa berkedip
mengawasi wajah Bong Thian-gak, mungkin keampuhan dan
kelihaian ilmu silat Bong Thian-gak sama sekali di luar
dugaannya.
Selama hidup belum pernah dia menjumpai suasana
tegang, seram dan terancam keselamatan jiwanya seperti apa
yang dialaminya hari ini.

153
Semenjak gempuran kekerasan itu disambut dengan keras
lawan keras, dia sadar tenaga dalam musuh masih tiga bagian
lebih tangguh daripada kemampuan sendiri, terutama
serangan pedangnya yang amat lihai itu, kalau tadi dia tidak
berkelit dengan cepat, niscaya dia sudah keok sejak tadi.
Bukan itu saja, di situ masih hadir Ho Put-ciang yang sudah
diketahui ketangguhan ilmu silatnya.
Bagaimana caranya meloloskan diri dari situasi yang
berbahaya ini?
Berbagai ingatan segera berkecamuk dalam benaknya.
Tentu saja Bong Thian-gak tidak memberi kesempatan
kepadanya untuk berpikir, kembali dia bergerak melancarkan
serangan dahsyat.
Pelan-pelan pedangnya digetarkan, lalu ditujukan ke arah
jalan darah Sim-kan-hiat di tubuh Sam-kaucu.
Sepintas serangan pedang itu nampaknya amat sederhana
dan seakan-akan tidak disertai tenaga, padahal di balik semua
itu tersimpan suatu perubahan jurus yang amat jahat,
perubahan yang tak terhingga banyaknya.
Sam-kaucu bukan manusia sembarangan, tentu saja dia
tahu ancaman itu amat serius, maka setelah menyaksikan
gerakan itu, dia segera berdiri kaku sambil bersiap
menghadapi segala kemungkinan yang tak diinginkan.
Melihat musuh tidak terpancing oleh jurus pedangnya,
maka dia lantas mengubah gerakan dan melepaskan tusukan
secepat kilat.
Hawa tajam memancar ke depan, bayangan orang
berkelebat, yahu-tahu Sam-kaucu itu sudah meloloskan diri
dari ancaman lawan.
Bong Thian-gak memang memiliki ilmu silat yang
mengerikan, begitu jurus serangan dilancarkan, semua

154
dilakukan dengan kecepatan bagaikan sambaran petir, di
antara perputaran pergelangan tangannya, hawa pedang
menderu-deru, ia melancarkan serangkaian serangan ke atas
maupun ke bawah.
Sam-kaucu yang kena didahului lawan jangankan
melancarkan serangan balasan, untuk menghindarkan diri dari
babatan pedang musuh pun sulit bukan kepalang.
Tampak dia merangkap telapak tangan di depan dada, lalu
menggenggam tasbih di lehernya, berkelit ke kiri menghindar
ke kanan, secara beruntun dia sudah meloloskan diri dari
ketiga belas jurus serangan pedang Bong Thian-gak.
Dalam waktu singkat kedua belah pihak sudah bergebrak
belasan jurus, hal ini membuat Ho Put-ciang dan pendekar
sastrawan Thia Leng-juan yang bersembunyi di balik pagoda
merasa terperanjat.
Mereka berdua merasa kelihaian ilmu pedang Bong Thiangak
pada hakikatnya sudah mencapai tingkatan yang luar
biasa, sebaliknya Sam-kaucu pun merupakan musuh tangguh
yang tak boleh dianggap remeh.
Sementara kedua orang masih bertarung dengan serunya,
dari sisi pinggangnya Ho Put-ciang telah melolos busur besi
baja andalannya, bersiap menghadapi segala kemungkinan
yang tak diinginkan.
Tatkala dia menyaksikan ketujuh belas jurus serangan
pedang Bong Thian-gak semuanya mengenai sasaran kosong,
tanpa terasa ia berteriak nyaring, "Ko-siauhiap, apakah kau
memerlukan bantuan?"
Ho Put-ciang kuatir Bong Thian-gak tak senang bila dibantu
orang, maka hingga kini dia belum turun tangan.
Mendengar seruan itu, Bong Thian-gak segera menyahut
dengan suara lantang, "Ho-bengcu, silakan turun tangan, kita

155
harus berlomba dengan waktu menyelesaikan pertarungan ini
secepat mungkin."
Menggunakan kesempatan di saat Bong Thian-gak bicara
hingga pikirannya bercabang, Sam-kaucu tertawa seram,
tasbihnya diayunkan ke depan.
Seratus delapan biji tasbih bagai peluru besi segera
berhamburan di angkasa dan bersama-sama menyambar ke
tubuh Bong Thian-gak.
Serangan senjata rahasia yang amat dahsyat itu benarbenar
luar biasa, betapa pun lihai ilmu silat seseorang, sulit
rasanya untuk
menghindarkan diri dari sergapan seratus delapan biji
tasbih yang dilepaskan dari jarak dekat.
Tak terlukiskan rasa kaget Ho Put-ciang melihat keadaan
itu, segera teriaknya, "Ko-siauhiap ...."
Selanjutnya dia membungkam, namun panah baja tanpa
bulu yang sudah disiapkan di busurnya serentak dibidikkan ke
depan.
Busur Pa-ong-cian Ho Put-ciang termasyhur di kolong langit
sebagai salah satu kepandaian yang tangguh di dunia ini,
begitu panah dibidikkan, sulit bagi orang menangkap
bayangannya, kecepatannya pun sukar dilukiskan dengan
kata-kata.
Begitu melepaskan serangan biji tasbih tadi, Sam-kaucu
mengegos ke sebelah kanan dengan gerakan cepat, tapi
kelitannya itu belum berhasil juga meloloskan diri dari
ancaman Pa-ong-cian Ho Put-ciang.
Dengusan tertahan segera berkumandang memecah
keheningan, panah baja tanpa bulu yang kuat itu menyambar
pinggang sebelah kiri Sam-kaucu hingga tembus pinggang
bagian depan, darah segar segera menyembur membasahi
seluruh jubahnya.

156
Kendati bidikan panah itu tidak mengenai bagian tubuh
yang mematikan, namun cukup membuat Sam-kaucu terluka
parah.
Di saat Sam-kaucu mendengus tertahan itulah bahu kiri
Bong Thian-gak juga kena terhajar oleh dua biji tasbih
sehingga tembus ke dalam, darah muncrat, pedang di tangan
kanannya juga kena terhajar liga biji tasbih hingga terlepas
dan mencelat jauh.
Menyaksikan Bong Thian-gak terancam bahaya maut, buruburu
Ho Put-ciang berseru, "Ko-siauhiap, bagaimana keadaan
lukamu?"
"Ho-bengcu, aku tidak apa-apa, cepat halangi musuh
melarikan diri," bentak Bong Thian-gak cepat.
Ternyata pada saat itulah Sam-kaucu sudah melejit ke
tengah udara, lantas kabur menuju ke arah sebelah kiri
pagoda.
Pada saat itulah Thia Leng-juan yang bersembunyi di
sebelah kiri pagoda segera berpekik nyaring, secepat kilat dia
menerjang turun ke bawah dan menyongsong kedatangan
Sam-kaucu.
Mimpi pun Sam-kaucu tidak menyangka seorang musuh
tangguh bersembunyi di atas pagoda, padahal tadi ia sudah
memperhatikan ke.idaan sekeliling tempat itu, maka di saat
keselamatan jiwanya terancam, terpaksa dia harus
melancarkan serangan sekuat tenaga.
Tampak Sam-kaucu meletik di tengah udara, kemudian
sepasang telapak tangannya didorong ke depan melepaskan
pula dua pukulan maha dahsyat.
Empat gulung angin pukulan maha dahsyat diiringi suara
ledakan yang memekakkan telinga saling bentur.

157
Untuk kedua kalinya Sam-kaucu mendengus tertahan,
tubuhnya bagai layang-layang putus benang meluncur ke
bawah dengan kecepatan tinggi.
Sebaliknya Thia Leng-juan sendiri pun merasa hawa darah
di dalam dada bergolak keras akibat benturan yang maha
dahsyat itu, tanpa terasa dia berjumpalitan beberapa kali di
tengah udara.
Ketika tubuh Sam-kaucu terjun ke bawah tadi, ternyata
sepasang kakinya masih sempat mencapai tanah dengan
mantap. Wajahnya menyeringai seram sekali, darah menodai
ujung bibirnya, sepasang matanya merah membara, dengan
penuh gusar dia melotot ke arah Ho Put-ciang dan Bong
Thian-gak yang mulai mengurungnya dari sisi kiri dan kanan.
Sementara itu Thia Leng-juan juga telah melayang turun,
dia mengambil posisi di belakang Sam-kaucu.
Agaknya Sam-kaucu menyadari jiwanya terancam mara
bahaya, bagaimana pun tangguhnya dia, jangan harap bisa
lolos dari gencetan dan kerubutan tiga orang jago lihai
sekaligus.
Tiba-tiba ia mendongakkan kepala, lalu memperdengarkan
suara gelak tertawa keras yang memekakkan telinga, suara
tawanya itu amat tak sedap didengar, bagai lolongan srigala di
tengah malam buta.
Dengan suatu gerakan yang amat cepat Sam-kaucu melejit
ke tengah udara, lalu secara ganas menerjang ke arah Bong
Thian-gak.
Rupanya dia berpendapat Bong Thian-gak sudah terhajar
oleh tasbihnya, berarti dia adalah kunci terlemah di antara
ketiga orang itu, maka sekali pun dia harus binasa hari ini,
paling tidak dia pun harus membunuh salah seorang lawan
untuk mendapatkan kembali modalnya.

158
Itulah sebabnya terjangannya terhadap Bong Thian-gak
boleh dibilang dilakukan dengan ganas dan luar biasa.
Tampaknya Ho Put-ciang sudah menduga sejak tadi bahwa
Sam-kaucu bakal menerjang ke arah Bong Thian-gak, oleh
sebab itu baru saja pihak lawan menggerakkan tubuh, kembali
Ho Put-ciang menggetarkan busur bajanya dan melakukan
babatan melintang ke depan.
Walau Sam-kaucu menyerang seperti banteng terluka,
melihat datangnya busur baja yang begitu kuat dan dahsyat,
sepasang telapak tangannya segera dibalikkan, lalu
mencengkeram busur baja itu.
"Pletaak", iga kiri Sam-kaucu kena terhajar oleh sapuan
dahsyat busur baja Ho Put-ciang hingga patah sepotong.
Pada saat itu Sam-kaucu melancarkan serangan balasan
yang mematikan, telapak tangan kanannya bagaikan seekor
ular sakti langsung membacok ke dada sebelah kiri Ho Putciang.
Segulung tenaga pukulan tak berwujud menggetarkan
tangan Ho Put-ciang sehingga busur besinya terlepas dan
badannya terlempar.
Begitu berhasil mendesak mundur Ho Put-ciang, dengan
langkah lebar Sam-kaucu segera menerjang ke arah Bong
Thian-gak, sepasang lelapak tangannya disilangkan ke depan
dan memancarkan berlapis-lapis angin puyuh disertai
kekuatan dahsyat menerjang ke arah depan.
Bong Thian-gak terkesiap menyaksikan jurus serangan
mengadu |iwa yang digunakan Sam-kaucu, tapi Bong Thiangak
yang pada dasarnya keras kepala tak sudi menyerah
begitu saja.
Dia tahu musuh sudah nekat dan ancamannya tak boleh
disambut dengan kekerasan, namun dia bukannya berkelit,
sebaliknya malah memutar sepasang telapak tangannya

159
membentuk satu jalur sinar herbentuk busur, lalu
menyongsong datangnya ancaman itu.
Benturan keras lawan ini tampaknya merupakan saat paling
sial bagi Sam-kaucu.
Keunggulan Bong Thian-gak justru terletak pada permainan
telapak tangannya, apalagi serangan itu dilepaskan dengan
tenaga pukulan maha dahsyat, pada hakikatnya bagaikan
amukan gelombang dahsyat di tengah samudra yang sedang
dilanda angin puyuh.
Dalam bentrokan keras yang pertama ini kedua belah pihak
sama-sama tetap berdiri tegak tanpa berkutik.
Tatkala benturan keras terjadi untuk kedua kalinya, kedua
belah pihak sama-sama mundur tiga langkah.
Ketika untuk ketiga kalinya mereka akan beradu kekuatan.
Mendadak Sam-kaucu menyilangkan tangan kiri dan
kanannya membentuk gerakan salib, lalu pelan-pelan didorong
ke depan.

Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Silat Terbaik : Pendekar Cacat 1 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Silat Terbaik : Pendekar Cacat 1 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cerita-silat-terbaik-pendekar-cacat-1.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Silat Terbaik : Pendekar Cacat 1 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Silat Terbaik : Pendekar Cacat 1 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Silat Terbaik : Pendekar Cacat 1 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cerita-silat-terbaik-pendekar-cacat-1.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar