Cerita Silat Klasik : BuTong It Kiam 4

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Kamis, 22 Desember 2011

Cerita Silat Klasik : BuTong It Kiam 4

"Kalau dia sendiripun enggan memberitahukan kepada kalian,
berarti akupun tidak boleh mewakilinya memberi penjelasan. Tapi
ada satu hal aku perlu memberitahukan kepada kalian, bila dua ekor
harimau saling bertarung, salah satunya pasti akan terluka. Aku
telah membujuki Han Siang agar tidak lagi merajalela dalam rimba
hijau, karena itu bila kalian toh tidak mungkin dari musuh berubah
jadi teman, paling tidak seharusnya air sungai tidak melanggar air
sumur.”


"Jika Han Siang tidak datang mengusik kami, tentu saja kamipun
tidak akan banyak berulah.”
"Kalau memang begitu tunjukkan dulu niat baik kalian, sekarang
bubarkan semua pos penjagaan yang ada di seputar sini.”
Kelihatannya Liok Ki-seng merasa sangat keberatan, namun
setelah berpikir beberapa saat akhirnya dengan terpaksa dia
menyanggupi.
Saat itulah Lan Sui-leng baru berkesempatan untuk bertanya,
"Apakah kalian melihat Seebun Yan?"
"Nona Lan, aku memang hendak memberitahukan kepadamu.
Nona besar memang lewat dari tempat ini, tapi dia meninggalkan
pesan yang minta aku untuk menyampaikan kepadamu. Dia minta
kami menghantarmu balik ke Pek-hoa-kok.”
"Bagaimana dengan dia sendiri?"
"Kelihatannya dia sedang terburu-buru mengejar Tonghong
Siauya, hanya pesan itu yang ditinggalkan.”
"Aku tidak berniat kembali ke Pek-hoa-kok.”
"Mana boleh begitu? Pesan yang telah disampaikan Toa-siocia
tidak berani kami bangkang!"
Lan Sui-leng jadi naik darah, teriaknya, "Aku bukan budaknya,
bukan anak buahnya, jika kalian mau turuti perkataanya, itu urusan
kalian. Apa hak kalian semua mau mengurusi diriku?"
"Kami harap nona Lan mau memaklumi kesulitan kami sebagai
orang bawahan,” desak Liok Ki-seng.
"Liok sianseng!" Lan Giok-keng menegur ketus, "jadi gara-gara
ingin berebut posisi Liok-lim Bengcu dengan Han Siang, kau tidak
malu merendahkan dirimu sendiri?"
"Ayah Seebun siocia memang majikan lama kami, apa yang
kulakukan sekarang pun hanya untuk menghormati majikan lama
kami, jadi tidak bisa dibilang merendahkan derajat sendiri. Saudara


cilik, kau tidak mengerti peraturan dunia persilatan....”
"Mungkin saja aku tidak mengerti peraturan yang berlaku dalam
dunia persilatan, tapi aku tahu, tidak seorangpun di dunia ini yang
boleh memaksa orang lain untuk melakukan perbuatan yang tidak
dia inginkan. Kami kakak beradik mempunyai rumah sendiri,
sekarang ciciku ingin pulang ke rumah sendiri, jadi tidak seorangpun
di dunia ini yang boleh menghalangi niatnya!"
Sambil berkata dia mengayunkan tangannya, gerakan tangan
yang digunakan pun tanpa disadari merupakan sebuah jurus
pedang, seketika itu juga sebatang pohon besar yang tumbuh di
hadapannya telah tersambar patah batangnya hingga roboh ke
tanah.
Dengan perasaan terperanjat Liok Ki-seng berkata, "Aku tidak
berani memaksa nona Lan untuk kembali ke Pek-hoa-kok, tapi kami
berharap nona Lan mengijinkan kepada kami untuk mengutus orang
menghantarmu sampai ke rumah.”
"Aku bisa berjalan sendiri,” tukas Lan Sui-leng.
"Jadi nona akan pulang ke rumah bersama adikmu?"
Lan Sui-leng memandang adiknya sekejap, kemudian
menggeleng.
"Tidak!"
"Nona Lan, aku tahu kungfu yang kau miliki sangat tangguh, tapi
sebagai seorang gadis remaja, rasanya tidak leluasa bukan bila
harus melakukan perjalanan seorang diri. Disini kami telah siapkan
sebuah kereta kuda, akan kusuruh orang menggunakan kereta
untuk menghantarmu pulang, dengan begitu sepanjang perjalanan
pun ada orang yang melayani kebutuhanmu.”
"Aku bukan seorang nona orang kaya atau gadis anak hartawan,
tidak perlu orang untuk melayani kebutuhanku.”
"Maaf, rupanya aku belum menerangkan lebih jelas lagi. Yang
kuberikan untuk melayani kebutuhanmu bukanlah anak buah biasa.


Aku pun mempunyai anak buah wanita, akan kusiapkan seorang
taubak perem-puan yang kaya pengalaman dunia persilatan untuk
menghantarmu pulang.”
Kemudian sambil tertawa lanjutnya, "Nona Lan, kau adalah anak
angkat ibu majikan kami, sesungguhnya sudah terhitung setengah
majikan kami. Hanya saja, bila kau tetap enggan dianggap majikan,
tidak ada salahnya kau anggap dia sebagai petunjuk jalan saja.”
Melihat ketulusan hati orang itu, Lan Sui-leng pun berpikir, 'Apa
yang dia katakan memang merupakan kenyataan, aku sama sekali
tidak punya pengalaman dalam dunia Kangouw, kalau bukan
Seebun Yan yang selama ini menemani perjalananku, entah berapa
banyak lelucon lagi yang sudah kualami selama ini.”
Berpikir begitu diapun menjawab, "Terima kasih banyak atas
maksud baik Toucu, hanya saja aku tidak berani menerima bila
secara khusus kau harus mengutus pentolan dari markas kalian.”
"Semua pos penjagaan yang kuatur untuk mengawasi Toan-hunkok
segera akan kububarkan. Hong-hiocu yang kumaksud berasal
dari wilayah Ouwpak, rencananya dia sendiripun ingin pulang
kampung, jadi aku dapat menyuruhnya sekalian menghantarmu
pulang ke gunung Bu-tong!"
Sesungguhnya Lan Giok-keng sendiripun merasa rada kuatir
dengan nasib cicinya yang tidak begitu paham dunia Kangouw,
sebab dia tahu mustahil bagi dirinya untuk menghantar pulang
cicinya itu, pikirnya kemudian, 'Orang she Liok ini sudah mengetahui
hubungan-ku dengan Hwee-ko Thaysu, kalau dibilang dia bukan
melihat diatas wajah Seebun-hujin, rasanya diapun tidak bakal
berani membohongi ciriku'
Berpikir sampai disitu diapun menyahut, "Bila Liok-tuocu memang
berniat baik, baiklah, kami akan menuruti permintaanmu.”
"Aaaah, ternyata Lan Siauhiap memang lebih bijaksana,” puji Liok
Ki-seng. Segera dia perintahkan orang untuk memanggil Honghiocu.


Menggunakan kesempatan ini, Lan Giok-keng segera mengajak
cici nya untuk berbicara.
"Ciri, tolong sampaikan kepada ayah dan ibu, katakan apa pun
yang bakal terjadi dikemudian hari, kau masih tetap adalah ciriku
yang tersayang.”
Dari nada pembicaraan itu dia seolah hendak memberi kisikan
kepada cicinya kalau kepergiannya kali ini adalah untuk menyelidiki
rahasia asal usulnya.
Sepasang mata Lan Sui-leng segera berubah jadi merah, sambil
menahan lelehan air matanya dia mengangguk.
"Pergilah dengan perasaan lega.”
“Persoalan yang paling membuatku sedih adalah tidak bisa ikut
menghantar kepergian Sucouw, aku dengar waktu upacara
penguburan telah dirubah, benarkah begitu?"
"Benar, seharusnya sudah ditetapkan pada hari pehcun, tapi
ketika masih di Pek-hoa-kok, aku dengar waktunya telah dirubah
jadi pertengahan bulan tujuh.”
"Sucouw minta aku pergi mencari seorang tokoh persilatan yang
sudah lama hidup mengasingkan diri, Hwee-ko Thaysu tahu kalau
saat ini dia berada di wilayah Liauw-tong. Semisal aku sedang
mujur, setibanya di wilayah Liauw-tong aku dapat segera
menemukannya hingga masih ada waktu bagiku untuk kembali ke
gunung dan mengikuti upacara penguburan Sucouw, tapi semisal
kurang beruntung, sulitlah aku untuk bicara.”
"Asal kau tidak menyia-nyiakan pengharapan Sucouw, lakukanlah
apa yang harus dilakukan. Adikku, sewaktu turun gunung, apakah
pikiranmu dipenuhi pelbagai kecurigaan dan teka teki?"
Lan Giok-keng manggut-manggut.
"Aku rasa, kau pun sama seperti aku bukan?"
"Adikku, kau jauh lebih cerdas dan tahu urusan ketimbang diriku,
tapi akupun mempunyai pemikiran yang bodoh, menurutku, lebih


baik cari tahulah terlebih dulu semua kecurigaan dan teka-teki itu
hingga jelas sebelum kembali ke rumah.”
"Cici, aku memahami maksudmu, sekembali ke gunung Bu-tong
nanti, bila menjumpai persoalan yang menurutmu susah dihadapi
atau sukar dipecahkan, pergilah mencari Bu-si Tianglo untuk
mendiskusinya. Dia baik orangnya, jauh lebih baik daripada Bu-liang
Totiang.”
"Aku tahu.”
Ketika berbicara sampai disitu, terlihat sebuah kereta kuda
bergerak mendekat dari jalan perbukitan, tidak lama kemudian telah
berhenti di hadapan mereka.
Dari atas kereta melompat turun seorang perempuan setengah
baya.
Liok Ki-seng segera berkata, "Dia adalah Hong-hiocu, usianya
sudah cukup dewasa, cara kerja pun cekatan dan hebat. Saudara
saudara kami semua memanggilnya Hong Toaci. Hong Toaci,
kuserahkan nona Lan kepadamu!"
Lan Sui-leng segera maju menghampiri sambil memanggil "Hong
Toaci", kontan saja perempuan paruh baya itu berseri-seri saking
girangnya, buru-buru sahutnya, "Siaumoy-cu, kau memang hebat
dan cantik, dengar-dengar kau adalah putri angkat Seebun-hujin,
sungguh suatu keberuntungan bagiku dapat melayani seorang nona
macam kau. Aku bernama Si-hu, kau panggil saja namaku.”
"Hong Toaci,” kata Liok Ki-seng pula, "aku hampir saja sudah
melupakan nama gadismu.”
"Tidak berani,” Lan Sui-leng merendah, "Hong Toaci, aku boleh
dibilang tidak tahu urusan apa-apa, selanjutnya mohon petunjuk
darimu.”
Orang yang bertindak sebagai kusir kereta adalah seorang lelaki
gemuk pendek, sambil tertawa Si-hu segera berkata, "Nona Lan,
tidak perlu sungkan-sungkan. Aku ingin menguji ketajaman
matamu, coba kau lihat dia adalah seorang lelaki atau seorang


wanita?"
Wajah maupun suara orang itu mirip sekali dengan seorang pria,
tapi dari nada pembicaraan Hong toaci, Lan Sui-leng sudah tahu
kalau dia adalah wanita yang menyamar menjadi pria, sahutnya
sambil tertawa, "Belum pernah kujumpai perempuan menyaru
sebagai pria yang begitu mirip dan persis.”
"Suaminya berasal dari keluarga Peng, saudara semua biasanya
memanggil dia Peng-toaso,” Hong-sihu menjelaskan, "tapi harap
diingat, bila sedang berada di depan orang banyak, kau harus
memanggilnya Peng Toa-siok.”
"Harap nona jangan mentertawakan,” ujar sang kusir, "sejak lahir
tampangku memang sudah begini, tanpa menyamar pun orang
sudah menyangka aku adalah seorang lelaki bertampang jelek.”
"Justru karena itulah Liok Toucu sangat menghargai
kemampuanmu dan memilih kau yang melaksana kan tugas ini,”
sambung Hong-sihu sambil tertawa.
Kusir kereta itu tertawa, dengan suara parau serunya, "Silahkan
nona naik ke dalam kereta!"
Suaranya keras bagaikan gembrengan rusak, membuat Lan Suileng
tersentak kaget.
Baru saja gadis itu berpaling hendak berpamitan kepada Hwee-ko
Thaysu, tiba-tiba terlihat pendeta itu berjongkok sambil mengambil
segumpal tanah liat.
Dengan perasaan keheranan dan ingin tahu Lan Sui-leng berjalan
menghampirinya.
"Hey Hwee-ko Thaysu, apa yang sedang kau lakukan?" tegurnya,
"aku hendak pamitan denganmu.”
"Tunggu sebentar!" seru Hwee-ko Thaysu, setelah membuat
sebuah patung manusia dari tanah liat, katanya lebih lanjut,
"tentunya kau kenal bukan dengan tosu bisu tuli yang selama ini
melayani kebutuhan Bu-siang Cinjin?"


"Dia bisu lagi tuli, aku tidak bisa dibilang kenal baik dengannya,
setiap kali berjumpa paling hanya menganggukkan kepala saja.”
"Kalau begitu serahkan patung tanah liat ini kepadanya. Bila
dikemudian hari kau menjumpai masalah, mintalah bantuan
darinya.”
Lan Sui-leng jadi tercengang, ujarnya keheranan, "Konon Totiang
bisu tuli itu sudah puluhan tahun datang ke gunung Bu-tong, selama
ini belum pernah ada orang yang datang mencarinya, jadi kau
adalah sobat lamanya?"
"Aku rasa boleh dibilang begitu,” sahut Hwee-ko Thaysu hambar,
"hanya kau saja yang boleh tahu, jangan sekali-kali beritahu kepada
orang lain.”
Lan Sui-leng memperhatikan sekejap patung manusia itu, patung
itu mirip sekali dengan wajah seorang pria muda, bahkan raut
mukanya lamat-lamat seperti pernah dikenalnya, pikirnya
keheranan, 'Hadiah ini sungguh aneh.... '
Tapi dia tahu Hwee-ko Thaysu pasti punya maksud lain dengan
pemberiannya itu, karena merasa kurang leluasa untuk bertanya
lebih jauh maka diapun menyimpannya ke dalam saku.
"Ciri, kau harus baik-baik jaga diri,” kata Lan Giok-keng
kemudian.
"Tidak usah kuatir,” sela Hong-sihu sambil tertawa, "kemampuan
lain mungkin aku tidak punya, tapi selama melakukan perjalanan di
dunia Kangouw, belum sekalipun pernah terjadi peristiwa diluar
dugaan.
Selama aku yang menghantar pulang cicimu, tanggung tidak
bakalan dia kehilangan sekerat rambut pun.”
Peng-toaso pun membentak nyaring, sambil mengayunkan
pecutnya dia jalankan kereta kuda itu meninggalkan tempat
tersebut.
Ooo)*(ooO


BAB XII
Bertemu musuh ditengah jalan
Timbul curiga melihat bayangan di telaga beku.
Setelah berjalan selama beberapa hari, Lan Sui-leng merasakan
kalau udara makin lama semakin dingin, padahal dari Toan-hun-kok
menuju gunung Bu-tong seharusnya dari arah utara menuju selatan,
sedang saat itu adalah peralihan musim semi ke musim panas,
sepatutnya bila suhu udara makin hari makin bertambah hangat.
Hari itu kereta mereka berjalan di tengah sebuah tanah datar
yang sangat luas, Lan Sui-leng merasa makin dipikir keadaan
semakin tidak beres, sementara dia masih ragu dan penuh
kesangsian tiba tiba terlihat ada dua orang penunggang kuda
berjalan melalui samping keretanya.
Usia kedua orang itu tidak terlalu tua, lebih kurang berusia dua
puluh tahunan, salah seorang diantaranya berdandan sebagai
seorang pelajar.
Kelihatannya keadaan hati orang berdandan sastrawan itu
sedang sangat gembira, sepanjang perjalanan dia seringkali
bergurau, hanya saja Lan Sui-leng tidak terlalu menaruh perhatian
apa saja yang sedang mereka bicarakan.
Pada saat itulah terdengar sastrawan itu bersenandung dari atas
pelana kudanya, "Beraneka ragam tumbuhan obat menghiasi
halaman depan, bunga teratai tampak suci di atas kolam, hanya
bunga Botan indah menawan, di saat mekar menggetarkan
kotaraja.”
Kemudian ujarnya, "Besok kita sudah akan tiba di kota Lokyang,
tampaknya kedatangan kita saat ini tepat saat bunga Botan di
kebun Kim-kok-wan sedang mekar.”
Rekannya segera menyahut sambil tertawa, "Keindahan bunga


Botan di kota Lokyang memang tiada keduanya di kolong langit,
justru karena aku tahu kalau kau sangat menggemari bunga Botan,
maka sengaja mengundangmu untuk berkunjung ke sana. Hanya
saja aku merasa tujuan kedatanganmu kali ini bukan Cuma ingin
menikmati keindahan bunga di kebun, tapi sudah tertarik oleh
kecantikan si bunga botan hitam yang sudah tersohor di kolong
langit?"
Kedua ekor kuda itu berlari sangat cepat, hanya terdengar
sastrawan itu berseru, "Dasar omonganmu tidak benar....”
Kata selanjutnya tidak sempat lagi terdengar jelas.
Lokyang merupakan ibu kota di masa lampau, ketika jaman
dinasti Ciu, kota itu disebut Tong-tok, kemudian pada jaman Cankok
baru berubah menjadi Lokyang. Sejak dinasti Ciu takluk, dinasti
Han, Gui, Cing, Sui, Tong, Liang, Tong akhir dan Song utara hampir
semuanya pernah menggunakan kota itu sebagai kotaraja.
Lan Sui-leng tidak tahu manusia macam apakah si Bunga botan
hitam itu, namun dia tahu dengan jelas kota Lokyang berada
dimana. Ternyata setelah menempuh perjalanan selama empat, lima
hari, mereka telah memasuki wilayah Holam. Itu berarti mereka
hanya bergeser dari wilayah tenggara menuju ke arah barat laut.
Dalam kagetnya Lan Sui-leng segera menghardik, "Hentikan
kereta!"
Peng-toaso seolah tidak mendengar, kereta kuda dilarikan makin
cepat.
"Adikku,” Hong-sihu berbisik sambil menekan bahu Lan Sui-leng,
"tidak usah gelisah, berbicaralah secara baik-baik.”
"Mengapa kalian membohongiku?”
“Tidak!"
"Masih mengatakan tidak? Bukankah kalian berjanji akan
menghantarku balik ke Bu-tong? Mengapa kalian ingkarjanji?"
"Bukan kami sedang membohongimu, Seebun siocia yang


meminta kau untuk kembali ke lembah Pek-hoa-kok!"
Tidak terlukiskan rasa gusar Lan Sui-leng, serunya sambil melotot
besar, "Bukankah sejak awal sudah kukatakan, aku tidak akan
kembali ke lembah Pek-hoa-kok! Kokcu menyuruh kalian
menghantarku kembali ke gunung Bu-tong, bukankah kau pun telah
menyatakan kesanggupan.”
Hong-sihu tertawa.
"Nona Seebun adalah majikan muda kami, sedang Kokcu tidak
lebih hanya pemimpin kelompok kami. Perintah majikan tentu lebih
berbobot daripada perintah pemimpin kelompok, oleh karena itu
terpaksa kami hanya mengikuti perintah nona Seebun.”
"Kurangajar!" umpat Lan Sui-leng gusar, "cepat hentikan kereta
dan bebaskan aku!"
Peng-toaso dipaksa untuk menghentikan keretanya, hanya saja
bukan Lan Sui-leng yang memaksanya untuk berhenti.
Yang memaksanya mau tidak mau harus menghentikan larinya
kereta adalah lima orang penunggang kuda yang datang dari
depannya, salah seorang diantara ke lima penunggang itu,
seseorang yang mengerudungi wajahnya dengan kain hitam
menghadang jalan lewatnya (Gb 12).
Sambil melompat turun dari kereta Peng-toaso maju
menghampiri orang itu, tegurnya dengan suara yang nyaring
bagaikan gembrengan bobrok, "Kalian adalah sobat-sobat dari aliran
mana?"
Lelaki yang menjadi pemimpin itu tertawa.
"Dasar manusia aneh yang laki bukan perempuan pun bukan,
siapa kesudian bersahabat denganmu?" ejeknya.
Ternyata dia sudah mengetahui asal-usul dari Peng-toaso.
"Dasar bajingan cilik tidak punya mata!" bentak Peng-toaso
semakin gusar, "tahukah kalian siapa kami?"


"Perduli amat siapa kalian, yang jelas kami akan borong
semuanya!"
Istilah 'borong' adalah istilah rahasia yang berlaku di kalangan
hekto, maksudnya mereka menghendaki orangnya juga
menghendaki harta kekayaannya.
Penyamun yang berada di sampingnya segera menyela sambil
tertawa, "Toako, perkataanmu sedikit kurang benar.”
"Bagian mana yang tidak benar?"
"Perempuan genit yang ada di dalam kereta mah masih
mencocoki seleraku, sedang si jelek ini....
hahahaha.... biar kau hadiahkan kepadaku pun belum tentu aku
mau!"
Biarpun Peng-toaso menyamar sebagai seorang kusir kereta,
dalam kalangan hek-to dia merupakan seorang tokoh yang cukup
berbobot, selama ini dia sudah terbiasa malang melintang menuruti
suara hati sendiri.
Pepatah kuno mengatakan: merusak mulut orang pantang
merusak mulut cawan. Orang itu telah menggunakan kejelekan
wajahnya sebagai bahan olok olokan, sudah pasti Peng-toaso tidak
sanggup menahan emosinya lagi.
"Bocah keparat!" umpatnya, "kulihat kau sudah bosan hidup!"
Sambil mengayunkan cambuk kudanya dia hajar kuda
tunggangan orang itu.
Cambuk kuda itu merupakan cambuk rotan ular yang terbuat dari
serat besi baja, dibalik kelembutannya terkandung ketajaman yang
luar biasa, bahkan bentuknya jauh lebih panjang daripada cambuk
biasa.
Begitu cambuk itu menghajar kaki depan kuda tunggangan itu,
kontan saja sang kuda meringkik panjang sambil mengangkat tinggi
kedua kaki depannya.


Sambil tertawa terbahak bahak kembali orang itu mengejek,
"Ngaco belo tidak karuan, hey manusia jelek, rupanya kau sudah
edan karena mikirin lelaki!"
Walaupun masih sempat mengejek, namun mau tidak mau dia
harus melompat turun juga dari punggung kudanya.
Dengan jurus Hui-hong-sau-liu (pusingan angin menyapu pohon
Liu) Peng-toaso segera membelit pinggang orang itu sambil
menghardik, "Aku menginginkan nyawamu!"
Buru-buru orang itu mengayunkan goloknya untuk menahan
lilitan cambuk rotan ular.
"Buat apa saling menarik saling membetot, memang kau sangka
kalau ingin mendapatkannya lantas kau segera memperolehnya?"
seru orangitu sambil tertawa.
"Lepaskan golokmu!" dengan tenaganya yang besar dan kuat
Peng-toaso membentak nyaring.
Siapa tahu biarpun orang itu berbadan kurus kecil, namun
sepasang kakinya seolah terpantek mati diatas tanah, Peng-toaso
sama sekali tidak mampu menggoyahkan tubuhnya.
Dengan perasaan terkesiap Peng-toaso berpikir, "Ternyata
tenaga dalam yang dimiliki bangsat ini masih jauh lebih tangguh
ketimbang aku!"
Cepat cambuk ularnya disentak ke belakang kemudian dengan
jurus Hui-hong-sau-liu, lagi-lagi dia babat tubuh bagian bawah
orang itu.
"Lepaskan cambukmu!" tiba-tiba orang itu membentak keras.
Goloknya secepat kilat membabat cambuk ular yang sedang
menyambar tiba. Dalam keadaan begini, seandainya Peng-toaso
tidak melepaskan cambuknya, niscaya jari tangannya akan terpapas
kutung.
Peng-toaso cukup telengas, sambil melepaskan cambuknya
dengan dua jari tangannya dia tusuk sepasang mata orang itu.


Ternyata dia mempertaruhkan tubuhnya terkena bacokan dengan
niat membuat buta orang itu lebih dahulu.
"Nenek jelek, buas amat kau!" bentak orang itu, sambil
membuang goloknya dia tangkis tusukan lawan dengan telapak
kanannya melintang ke atas.
"Kraakkkk!" dua jari tangan Peng-toaso seketika terhajar hingga
patah tulangnya.
Dalam keadaan begini, Peng-toaso sama sekali tidak mengeluh
kesakitan ataupun mengernyitkan alis matanya, telapak tangan kiri
segera di bacokkan ke ubun ubun lawan.
Sambil tertawa dingin orang itu mengejek, "Hanya kerbau gila
yang mengandalkan tenaga.”
Telapak tanganya segera disodok ke depan, seketika itu juga
Peng-toaso roboh terjengkang ke tanah sambil muntahkan darah
segar.
Perlu diketahui, biarpun Peng-toaso memiliki tenaga alam yang
luar biasa, dia masih kalah jauh bila dibandingkan dengan orang
yang pernah berlatih tenaga dalam, ketika orang itu meminjam
tenaganya untuk kemudian mengirim balik pukulan itu ke arahnya,
seketika itu juga Peng-toaso terhajar telak hingga menderita luka
parah.
Belum puas dengan tindakannya, sambil mendengus kembali
orang itu berseru, "Perempuan busuk, kau ingin membuat cacat
mataku? Hmmm, baik, akan kusuruh kau rasakan dulu bagaimana
rasanya bila kehilangan kedua mata!"
Diambilnya kembali golok dari atas tanah kemudian siap
ditusukkan ke arah mata Peng-toaso.
Pada saat itulah buru-buru Hong-sihu berteriak keras, "Tunggu
sebentar!"
Sambil melompat turun dari kereta, dia maju menghampiri sambil
ujarnya lagi, "Air bah menenggelamkan kuil raja naga, jangan


sampai merusak hubungan dari orang kalangan sendiri!"
"Kalangan sendiri? Kau punya hubungan gelap dengan anggota
kami yang mana?" ejek orang itu sambil tertawa dingin.
Sambil menahan gejolak emosinya ujar Hong-sihu, "Harap toako
jangan menggoda, tentunya kalian pernah mendengar nama Liok Kiseng,
Liok-tuocu kami bukan? Aku adalah salah seorang hiocu di
bawah pimpinan Liok-tuocu.”
Lelaki yang menjadi pemimpin rombongan itu segera tampil ke
depan dan tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... nama besar Liok Ki-seng tidak bakalan membuat
kami ketakutan. Betul, kamipun tahu kalau dia adalah tokoh yang
ingin merajai rimba persilatan, tapi sayang kemampuannya tidak
becus, untuk menghadapi Han Siang yang sudah terkurung dalam
Toan-hun-kok saja tidak mampu, huuh, kalau sekarang mah sang
harimau sudah berubah jadi seekor kucing penyakitan.”
Hong-sihu terkesiap, pikirnya, 'Cepat amat kabar berita yang
diketahui orang orang ini' Cepat dia berseru, "Aku rasa kalian hanya
tahu satu tidak tahu keduanya....?"
Tidak menunggu dia menyesalkan perkataannya, pentolan bandit
itu telah menukas sambil tertawa, "Aku tidak ambil perduli satu atau
dua, aku hanya tahu Liok-tuocu kalian itu kini sudah menjadi
Buddha tanah liat yang menyeberangi sungai, melindungi diri
sendiripun sudah tidak mampu. Hanya saja, bila kau telah menjadi
anggota kami, mungkin urusan masih bisa dirundingkan lagi.”
Seorang rekannya segera menimpali, "Kami adalah lima orang
saudara angkat, empat orang telah beristri dan tinggal seorang yang
belum berkeluarga. Hong-hiocu, aku dengar suamimu sudah mati.
Kami orang persilatan mah tidak pernah pantang memperistri janda,
asal kau bersedia menjadi enso angkat kami, itu berarti kita semua
sudah menjadi orang sendiri.”
Selesai bicara kembali dia tertawa terbahak-bahak.
Hong-sihu mana tahan menghadapi ejekan dan penghinaan


semacam itu, kontan dia tertawa dingin.
"Hmmm, aku hanya ingin menyapa kalian menu-rut aturan yang
berlaku di kalangan hitam. Memang kau sangka aku mudah
dipermainkan dengan begitu saja?"
"Aku toh bermaksud baik dengan mencarikan jodoh untukmu,
siapa bilang sedang mempermainkan?" jengek orang itu sambil
tertawa.
"Dasar lelaki busuk, mulut anjing memang tidak bakalan tumbuh
gading!" bentak Hong-sihu, "aku tidak bakalan takut meskipun
kalian akan mengandalkan jumlah banyak, ayoh maju saja bersamasama!"
Pentolan bandit itu mendengus, ujarnya dingin, "Kau sangka
kami sedang bergurau? Saudara Suma, ayoh tampil ke depan!"
Begitu mendengar kata "Suma", Hong-sihu tampak melengak.
Terlihat manusia berkerudung itu sudah melepaskan kain
kerudungnya dan melangkah maju ke hadapannya.
"Hong Toa-siocia, masih mengenali aku?" sambil memandang
dengan mata jalang lelaki itu menegur.
Sementara itu Lan Sui-leng masih mendongkol karena Hong-sihu
telah membohonginya, dia berniat berpangku tangan saja
membiarkan sesama kalangan Hek-to itu saling menggempur.
Namun dari atas kereta dia dapat melihat suasana di tengah
arena dengan sangat jelas, begitu melihat lelaki itu melepaskan kain
kerudung hitamnya, hampir saja dia menjerit keras saking kagetnya.
Ternyata paras muka orang itu dipenuhi bekas luka yang sangat
rapat, lukanya seperti rel kereta api saja, malang melintang tidak
beraturan, selama hidup belum pernah Lan Sui-leng saksikan paras
muka manusia seburuk dan seseram ini.
"Suma Cau,” Hong-sihu segera menegur ketus, "ternyata kau
belum mampus, hmmm! Tidak nyana masih punya muka untuk
tampil kembali di hadapan-ku!"


Begal yang tadi menjadi mak comblang itu segera gelengkan
kepalanya berulang kali seraya berkata, "Biarpun saudara Suma
tahu kalau kau telah kawin dengan orang, tapi dia masih
menggunakan panggilan lama untuk menyebutmu sebagai Toasiocia,
ini menunjukkan kalau cintanya kepadamu tidak pernah
terlupakan, tapi balasannya, kau malah mengumpatnya,
mengutuknya, aaai.... dasar perempuan busuk yang tidak punya
perasaan!"
"Hong-sihu,” kata lelaki jelek itu, "ketika aku meminangmu dulu,
seandainya kau menampik pun tidak menjadi masalah, kenapa kau
melukai aku hingga berubah jadi begini rupa? Hmmm, apa yang
kuderita sekarang merupakan hasil pemberianmu, biar tidak punya
muka pun aku tetap akan menjumpaimu!"
Kalau dilihat tidak punya muka, lelaki itu benar benar tidak punya
kulit muka, karena kulit mukanya sudah tidak utuh lagi.
Sikap Hong-sihu masih tetap tenang seolah tidak terjadi apapun,
katanya angkuh, "Huuh, manusia macam kaupun ingin meminang
aku? Masih untung kalau tempo hari aku tidak sampai menghabisi
nyawamu, sekarang apa yang kau inginkan?"
Dengan satu gerakan cepat Suma Cau meloloskan pedangnya
dari sarung, katanya dingin, "Tidak ingin berbuat apa-apa, aku
hanya ingin membuat wajahmu mirip dengan apa yang kuderita!
Hhehehe.... dulu, kau telah menghadiahkan enam belas buah
bekas bacokan diwajahku, sekarangpun aku ingin meninggalkan
enam belas bacokan luka di wajahmu, modal balik modal, tidak usah
bayar bunganya!"
Sudah banyak tahun dia memendam rasa benci dan dendam,
hawa amarah, kebencian dan dendam kesumat yang terpancar dari
wajah lelaki jelek itu membuat Hong-sihu bergidik tanpa sadar, bulu
kuduknya pada berdiri, dia tidak berani saling bertatap muka
dengan lawan.
Tampak kulit muka yang penuh codet itu mengejang berulang
kali, membuat tampangnya terlihat makin menakutkan dan


menggidikkan, sementara pedang yang berada dalam
genggamannya berkilauan bagai lidah ular berbisa.
Hong-sihu berusaha keras menenangkan gejolak hatinya, sambil
mundur dua langkah bentaknya, "Tunggu sebentar!"
"Perempuan bajingan, apa lagi yang hendak kau sampaikan?"
teriak Suma Cau.
Lelaki yang berhasil membuat Peng-toaso terluka parah tadi
segera ikut menimbrung, "Suma-heng, jangan kelewat awal
mengumpatnya, siapa tahu dia bersedia menjadi binimu. Kalau
sekarang kau mengumpatnya sebagai perempuan bajingan,
bukankah dirimu sendiri pun jadi ikut termaki?"
"Hmm! Biar dia berlutut dan menyembah, aku pun tidak bakalan
aku akan menikahinya!" sumpah Suma Cau penuh kebencian.
Habis sudah kesabaran Hong-sihu, tiba-tiba serunya dengan nada
melengking, "Sedikit banyak Liong-bun-pang masih punya nama
dalam kalangan hitam, aku tidak ingin menganggap kalian sebagai
manusia tengik kelas tiga. Siapakah Liong-pangcu? Silahkan tampil
untuk berbicara!"
Darimana perempuan ini bisa mengetahui asal usul kelompok
manusia itu?
Ternyata sewaktu dia berhasil melukai Suma Cau waktu itu,
walaupun kejadian mana tidak sampai tersimpan dalam hatinya,
namun ada orang yang pernah menyampaikan kabar mengenai
Suma Cau. Dia mendapat tahu kalau semenjak tiga tahun berselang
Suma Cau telah bergabung dengan perkumpulan Liong-bun-pang.
Oleh karena itulah setelah berhasil mengenali identitas Suma
Cau, otomatis asal usul ke empat orang rekannya diketahui pula
dengan sangat jelas.
Dalam perkumpulan Liong-bun-pang terdapat seorang pangcu
dan tiga orang hiocu, mereka berempat mengikat diri sebagai
saudara dengan julukan Liong-bun-su-pa (empat manusia bengis
dari pintu naga).


Ketuanya bernama Liong Pa-thian, sementara ke tiga orang hiocu
nya adalah In Thian-tek, The Thian-hau danLi Bun-kiat.
Semenjak Suma Cau menggabungkan diri, julukan mereka pun
berubah menjadi Liong-bun-ngo-pa (lima manusia bengis dari pintu
naga).
Pentolan bandit itu segera menyahut sambil tampil ke depan,
katanya memperkenalkan diri, "Akulah Liong Pa-thian, apakah
Hong-hiocu ada petunjuk?"
Berhubung Hong-sihu telah membongkar rahasia asal-usulnya,
mau tidak mau Liong Pa-thian harus bersikap lebih sopan dan
hormat terhadap lawannya.
"Baik buruk kita berasal dari aliran yang sama,” ujar Hong-sihu,
"menurut aturan kalangan hitam, aku perlu bertanya dulu kepada
Liong pangcu, kedatangan-mu kali ini dikarenakan masalah dinas
ataukah karena urusan pribadi?"
"Bagaimana kalau urusan dinas? Bagaimana pula kalau urusan
pribadi?"
"Bila kehadiran kalian dikarenakan menerima permintaan dari
Han Siang untuk menghadapi diriku, ini berarti yang kita bicaralah
adalah urusan dinas, jadi kitapun tidak perlu bertindak mengikuti
peraturan.”
Liong Pa-thian tidak mengakui pun tidak menyangkal, tanyanya
lebih jauh, "Coba terangkan lagi, bagaimana jika lantaran urusan
pribadi?"
"Bila dikarenakan urusan pribadi, ini berarti urusan hari ini adalah
masalah pribadiku dengan salah seorang hiocu dari perkumpulan
kalian. Jadi peraturan mana yang harus dilaksanakan, aku rasa tidak
perlu dijelaskan pun Liong pangcu tentu lebih jelas ketimbang aku.
Tapi, bila kalian tetap tidak mau mengikuti peraturan dunia
persilatan pun tidak menjadi masalah, paling banter aku Hong-sihu
harus mengorbankan selembar nyawaku, kalian boleh maju
bersama-sama!"


Mendengar ucapan itu, Liong Pa-thian segera tertawa terbahakbahak.
"Hahahaha.... terus terang saja kukatakan, aku memang merasa
tidak senang melihat ulah Liok Ki-seng si bocah keparat itu, tapi
tidak bakalan sampai kubekuk seorang hiocu nya hanya dikarenakan
ingin memberi hadiah untuk Toan-hun Kokcu.”
"Itu berarti urusan hari ini adalah masalah pribadi?" sela Hongsihu
sambil menghembuskan napas lega.
"Lagi-lagi kau keliru besar, urusan kali ini adalah urusan dinas
dan urusan pribadi, tapi bukan urusan dinas dan urusan pribadi
seperti apa yang kau maksudkan.”
"Apa maksud ucapanmu itu?"
"Aku tidak perlu memberi hadiah untuk Han Siang, tapi anak
buah Liok Ki-seng yang bertemu aku, kecuali dia bersedia menyerah
kepada kelompokku, kalau tidak aku tidak bakalan melepaskan dia
dalam keadaan hidup. Bila mau menyerah, berarti dia harus
mentaati semua perkataan dan perintahku!"
"Bagus! Kalau begitu silahkan Liong pangcu turun tangan!"
"Kenapa musti terburu napsu? Aku toh belum selesai berbicara.
Betul, persoalan ini adalah urusan pribadi saudara Suma, namun
tidak bisa dikatakan kalau seratus persen adalah urusan pribadinya,
jangan lupa, dia bukanlah seorang anggota biasa dalam
perkumpulan Liong-bun-pang, dia adalah saudara angkat kami.”
"Bagus sekali!" seru Hong-sihu semakin gusar, "kalau memang
Liong-bun-pang kalian tidak kuatir ditertawakan orang, silahkan
maju bersama sama!"
"Lagi-lagi kau keliru besar, aku tidak ingin membunuhmu, hanya
berharap keinginan saudara Suma dapat terkabulkan. Jangan kau
anggap saat ini mulutnya ketus, jika rasa mendongkolnya sudah
terlampiaskan, semisal kau memohon lagi kepadanya, kujamin dia
pasti akan langsung mengawini dirimu. Tapi jika kau tidak menurut,
terpaksa Toako yang menjadi mak comblang itu akan menggunakan


cara tirani untuk memaksakan kehendaknya!"
Kontan saja Hong-sihu mengernyitkan alis matanya rapat rapat,
bentaknya, "Aku menghormati dirimu sebagai ketua satu
perkumpulan, karenanya mengajak kau untuk membicarakan
peraturan dunia persilatan. Siapa sangka kalian semua sama-sama
satu kwalitas, sampah busuk, hmmm! Biar aku hanya seorang
wanita, aku lebih rela kehilangan nyawa daripada harus takluk
kepada kalian semua! Sudah, tidak usah banyak mulut lagi, ayoh
maju saja bersama-sama!"
Sebetulnya Lan Sui-leng benci sekali dengan perempuan ini, tapi
sehabis mendengar perkataannya itu, tanpa terasa timbul juga rasa
hormatnya, dia berpikir, 'Meskipun sepak terjangnya telengas dan
kejam, namun ucapannya yang gagah perkasa, pantang takut,
pantang menyerah, jauh mengungguli kaum lelaki!'
Sementara itu terdengar Suma Cau telah berseru dengan nada
lantang, "Maksud baik Toako biar kuterima dalam hati, yang
kuinginkan sekarang hanya membuat perempuan jadah ini berubah
seperti tampang wajahku!"
Sambil berkata dia langsung melancarkan sebuah tusukan ke
depan.
Senjata yang digunakan Hong-sihu adalah sepasang golok Wanyo-
to yang satu panjang satu pendek. Golok panjang digunakan
untuk melindungi tubuh sedang golok pendek dipakai untuk
menyerang musuh, jurus serangan yang digunakan hampir
semuanya kejam, ganas dan telengas.
Tapi setelah bertarung berapa gebrakan, diam diam perempuan
itu mulai merasa terkesiap, pikirnya, 'Sungguh tidak disangka ilmu
silat bajingan ini sudah jauh lebih maju daripada kemampuannya
dimasa lampau, aku tidak boleh kelewat pandang enteng dirinya'
Ditengah pertarungan sengit akhirnya Suma Cau berhasil
menemukan kesempatan, cepat pedangnya diputar lalu menyapu ke
pinggang lawan. Dalam babatan kali ini dia sertakan tenaga sebesar
sepuluh bagian, kedahsyatannya benar-benar mirip sapuan angin


puyuh dan sambaran geledek.
Siapa tahu Hong-sihu memang sengaja membuka titik kelemahan
untuknya, di saat yang amat singkat itulah golok panjang dan golok
pendeknya serentak melancarkan serangan pula, begitu benturan
nyaring bergema, pedang di tangan Suma Cau seketika terpapas
kutung jadi dua.
Ternyata walaupun tenaga dalamnya tidak bisa mengungguli
pihak lawan, namun caranya menggunakan waktu sangat tepat
hingga tidak sulit baginya untuk mematahkan senjata lawan.
Pepatah kuno mengatakan: semakin keras semakin gampang
patah. Walaupun Suma Cau telah mendapat petunjuk dari Liong Pathian,
namun cara menggunakan tenaga yang kurang tepat
menyebabkan pihak lawan justru memanfaatkan kesempatan itu.
Hanya saja sistim menggunakan tehnik mengatasi kekuatan
harus digunakan tepat waktu, sedikit saja salah perhitungan sudah
pasti usaha semacam ini akan mengalami kegagalan, itulah
sebabnya ketika menggunakan jurus tersebut, boleh dibilang Hongsihu
telah melakukannya dengan menyerempet bahaya.
Di dalam pelajaran ilmu silat partai Bu-tong terdapat juga cara
meminjam tenaga untuk melawan tenaga, dengan pengetahuan
yang dimiliki Lan Sui-leng saat ini, dia pun segera berpikir, "Tentu
saja kemampuan kungfu yang dilakukan Hong-sihu kali ini tidak bisa
dibandingkan dengan kehebatan kungfu perguruan sendiri, namun
kalau hanya berbicara terbatas masalah penggunakan tehnik, aku
rasa banyak sekali anak murid para supek, Susiok dari angkatan
"Put" yang belum mampu menandingi kehebatan perempuan ini.”
Tapi dengan cepat dia harus bermandikan peluh dingin karena
menguatirkan keselamatan Hong-sihu.
Rupanya si pentolan bandit Liong Pa-thian telah ikut turun
tangan.
Begitu seorang jagoan tulen turun tangan, orang akan segera
mengetahui kehebatannya, Liong Pa-thian tidak menggunakan


senjata tajam, dia hanya mengandalkan sepasang kepalan kosong,
tapi begitu turun tangan, posisi Hong-sihu langsung terkurung dan
mati kutu.
Dia sama sekali tidak ambil perduli ketika golok pendek Hongsihu
mengancam tenggorokannya, dengan membalikkan telapak
tangannya dia justru bermaksud merebut senjata andalannya itu.
Belum lagi urat nadi Hong-sihu kena di cengkeram, dia sudah
merasakan kesakitan yang luar biasa, tidak ampun sepasang
goloknya segera berhasil direbut musuh.
Sambil tertawa terbahak bahak ujar Liong Pa-thian, "Hahahaha....
saudara Suma, sekarang kuserahkan perempuan itu kepadamu. Aku
telah membantumu mencabut gigi taring harimau betina ini, kau
suka berbuat apa lakukan saja sekehendak hatimu!"
Dengan hilangnya sepasang golok, keadaan Hong-sihu benarbenar
ibarat harimau yang kehilangan gigi taring, bahkan kekuatan
tubuh yang dimiliki pun sudah terkuras habis sewaktu dipakai untuk
melawan Liong Pa-thian, hal ini membuat keadaannya bukan saja
mirip harimau tanpa taring, bahkan tidak jauh berbeda dengan
seekor macan yang sedang sakit parah.
Dengan gemas dan keji Suma Cau mengayunkan cambuknya
berulang kali, setiap ayunan cambuknya segera meninggalkan
sebuah luka memanjang yang mengucurkan darah segar.
Dalam sekejap mata, pakaian yang dikenakan Hong-sihu sudah
tercabik-cabik dan beterbangan bagaikan kupu-kupu, kini seluruh
punggungnya sudah berada dalam keadaan bugil.
Lama kelamaan tidak tega juga Lan Sui-leng setelah menyaksikan
kejadian ini, namun diapun merasa bahwa kesalahan pertama
memang berada dipihak Hong-sihu, hingga dia memang
sepantasnya memperoleh ganjaran hukuman seperti ini.
"Ke dua belah pihak sama-sama bukan orang baik, buat apa aku
musti mencampuri urusan mereka?" demikian dia berpikir.
Cepat gadis itu membalikkan tubuh dan tidak memperhatikan


keadaan mereka lagi.
Tidak lama kemudian seluruh tubuh Hong-sihu sudah penuh
dengan luka-luka berdarah, namun perempuan itu sama sekali tidak
mengaduh, mengeluh pun tidak, tubuhnya terguling-guling sampai
ke tepi kereta kuda, namun dia masih berusaha untuk merangkak
naik ke atas kereta.
Sambil tertawa dingin jengek Suma Cau, "Hehehe.... kau sangka
dengan merangkak naik ke atas kereta lantas sanggup melarikan
diri?"
"Taaar, taaar....” dua ayunan cambuk membuat kaki ke dua ekor
kuda penarik kereta tersambar hingga pincang, kereta pun seketika
teronggok roboh ke samping.
Berada dalam keadaan begini, terpaksa Lan Sui-leng harus
menyingkap tirai kereta sambil melompat keluar.
Mula-mula Suma Cau nampak agak tertegun, menyusul kemudian
serunya sambil tertawa tergelak, "Hahahaha,.... ternyata diatas
kereta masih ada seorang budak cilik yang amat cantik!"
"Kau telah melampiaskan semua rasa benci dan dendammu,
sekarang ampunilah jiwanya!" pinta Lan Sui-leng.
"Mengampuni dia? Enak benar, memang disangka segampang
itu?" jengek Suma Cau sambil tertawa licik, "hehehehe.... aku ingin
bertanya, apa hubunganmu dengan dia? Adik angkatnya atau anak
jadahnya? Buat apa kau mintakan ampun baginya!"
Sampai sebesar ini belum pernah Lan Sui-leng mendengar
ucapan sekasar dan sekotor itu, hatinya jadi sangat mendongkol,
serunya, "Aku bukan sedang mintakan ampun baginya, aku hanya
merasa sangat terganggu dengan ulahmu yang kelewatan batas,
letakkan kembali cambukmu!"
Suma Cau tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... lucu, sungguh amat lucu,” jengeknya, "budak
ingusan macam kaupun ingin memberi pelajaran kepadaku, Hmm!


Rupanya kau pun ingin mencicipi bagaimana rasanya dicambuk?"
"Kau ingin mencambukku? Aku khawatir tidak segampang yang
kau bayangkan,” dengus Lan Sui-leng sambil tertawa dingin, "kalau
tidak percaya, coba saja!"
Suma Cau bertemperamen tinggi, selain itu dia pun kasar dan
berangasan, habis sudah kesabarannya setelah mendengar ucapan
itu, "Sreeet!" sebuah ayunan cambuk langsung dilontarkan sambil
bentaknya, "Bagus, akan kusuruh kau cicipi bagaimana rasanya
disambar cambuk kulit.”
Belum habis dia bicara, mendadak terlihat cahaya tajam
berkelebat bagai sambaran petir, menyusul kemudian terdengar
serentetan suara letupan seperti jagung berondong yang sudah
matang dan meletup, dalam sekejap mata cambuk rotan ular yang
berada dalam genggaman Suma Cau telah putus menjadi berkeping
keping, yang tersisa pun hanya sepotongan kecil saja.
"Hahahaha.... ilmu pedang bagus, ilmu pedang hebat,” puji Liong
Pa-thian sambil tertawa terbahak-bahak, "nona cilik, apakah kau
berasal dari Bu-tong-pay?"
"Kau tidak usah perduli aku berasal dari perguru-an mana, kalau
kau tidak puas karena aku telah melukai anak buahmu, ayo maju
saja.”
"Hmm! Membunuh ayam buat apa harus menggunakan golok
penjagal kerbau,” sela In Thian-tek tiba tiba, "nona cilik, biar aku
saja yang melayanimu.”
Dia adalah loji atau orang kedua di dalam Liong-bun-su-pa,
kepandaian silatnya masih sedikit di bawah Liong Pa-thian, orang
inilah yang tadi menghajar Peng-toaso hingga terluka parah.
Waktu itu Peng-toa-so sudah mulai memperoleh kesadarannya
kendatipun belum sadar seratus persen, sambil berbaring diatas
tanah teriaknya dengan suara parau, "Hong-hiocu, kau harus
balaskan dendam bagiku!"
Dia mana tahu kalau "Hong-hiocu" nya saat itu sudah tergelepar


pula ditanah dengan sekujur tubuh penuh luka.
Kembali Lan Sui-leng berpikir, Teng Toaso memang orang yang
memuakkan, tapi orang ini jauh lebih menyebalkan, sekalipun aku
tidak bisa membalaskan dendam baginya, paling tidak harus kuberi
hukuman yang setimpal untuk bajingan tengik ini'
Sementara itu In Thian-tek sudah melangkah maju sambil
berkata dingin, "Buat seorang lelaki rimba persilatan, kehilangan
batok kepala ibarat muncul bisulan. Kalau kemampuannya hebat
akan mampu membunuh orang lain, kalau kemampuannya tidak
becus paling dibunuh orang. Nona cilik, kalau memang merasa
punya kemampuan, ayoh bunuh saja aku!"
"Aku tidak ingin membunuhmu, bukankah kau senang menusuk
mata orang hingga buta? Baiklah, aku pun akan membuat cacat
papan nama mu.”
Bagi orang persilatan, istilah "papan nama" berarti sepasang
mata.
Bukannya gusar In Thian-tek malah tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... nona cilik, kau ingin membuat cacat papan
namaku? Hehehehe.... yang kuketahui selama ini, dalam partai Butong
terdapat Bu-si Tojin yang sangat lihay ilmu pedangnya,
tampaknya aku benar benar punya mata tidak kenal Thay-san.”
"Kalau hanya untuk membuat cacat papan nama mu, tidak perlu
dia orang tua musti repot-repot turun tangan sendiri!"
"Bagus, kalau begitu dipersilahkan untuk mencoba nya!"
Senjata yang digunakan adalah sepasang senjata kaitan Hau-taukou,
sambil memutar sepasang senjatanya segera dia lancarkan
serangan ke arah gadis itu.
Dengan jurus Giok-li-tou-so (gadis remaja melempar jarum) Lan
Sui-leng melancarkan serangan balasan.
"Bagus!" bentak In Thian-tek keras.


Kaitan sebelah kiri menekan ke bawah sementara kaitan
disebelah kanan mengait ke atas. Tusukan pedang Lan Sui-leng
seketika tertangkis hingga miring ke samping, coba dia tidak
berubah jurus dengan cepat, hampir saja pedangnya terkena tehnik
"menggiring" hingga terlepas dari cekalan.
Ternyata di antara sekian banyak senjata tajam, senjata kaitan
Hau-tau-kou memiliki sifat untuk mengendalikan keganasan golok
dan pedang, Lan Sui-leng sebagai anak kemarin sore yang belum
lama terjun ke dalam dunia persilatan, mana mungkin dia
memahami akan hal itu?
Tidak heran kalau begitu bertarung, dalam hal senjata tajam dia
sudah menguntungkan pihak musuhnya.
Berhasil dengan serangan pertama, In thian-tek segera meneter
lebih jauh, sepasang kaitannya segera mengembangkan tehnik
menggunting, mengikat, menelan, memuntahkan, menggaet,
mengunci, mencabut, membuyar.
Ibarat dua ekor ular berwarna perak, dia menempel terus di
sekitar cahaya pedang Lan Sui-leng. Biarpun ilmu pedang Lianhuan-
toh-beng-kiam-hoat yang dikembangkan gadis itu cepat bagai
sambaran kilat, namun begitu dikendalikan sepasang kaitan lawan,
lambat laun permainannya semakin tidak mampu berkembang, jurus
pedang pun makin lama semakin melambat.
Sementara In Thian-tek merasa bangga dengan keberhasilannya,
tiba-tiba Lan Sui-leng mengubah permainan pedangnya, perlahanlahan
dia membentuk satu lingkaran busur, bukan saja sepasang
senjata kaitan In Thian-tek tidak mampu "mengunci" ujung
pedangnya, sebaliknya tanpa disadari senjata kaitannya mengikuti
gerakan pedang lawan dan turut berputar satu lingkaran.
Rupanya ilmu pedang yang dikembangkan Lan Sui-leng dari sifat
keras berubah menjadi sifat lembek, kini dia menggunakan ilmu
pedang Thay-kek-kiam-hoat.
Hanya sayang kematangan Lan Sui-leng belum mencapai pada
puncaknya, dia masih jauh dari kondisi "mengerahkan tenaga sesuai


dengan kehendak", perubahan hanya bisa dia lakukan perlahanlahan,
coba kalau bukan begitu, niscaya senjata kaitan In thian-tek
sudah patah sejak tadi, bahkan lawanpun sudah menderita luka
parah.
In Thian-tek segera menggetarkan sepasang senjata kaitannya,
baru saja lolos dari kurungan gadis itu, tiba tiba dia menyaksikan
Lan Sui-leng telah melambung ke tengah udara.
"Loji, hati-hati!" Liong Pa-thian segera berteriak memperingatkan.
Belum habis teriakan itu, Lan Sui-leng dengan jurus Pek-hokliang-
ci telah membabat turun ke bawah.
Sekalipun ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat yang diyakininya
belum mencapai kematangan, namun sudah berulang kali dia
menyaksikan perubahan yang berbeda dari Tonghong Liang, Bouw
It-yu serta adiknya ketika menggunakan jurus serangan itu, boleh
dibilang jurus ini merupakan jurus yang paling disukai, biar masih
selisih jauh bila dibandingkan adiknya, namun sudah cukup
membuat In Thian-tek tidak sanggup menahan diri.
Dalam waktu singkat In Thian-tek merasakan cahaya pedang
berkilauan didepan mata, begitu dekatnya sambaran itu hingga
kelopak matanya dapat merasakan desingan hawa dingin dari mata
pedang.
Dalam terkejut bercampur ngerinya, dia sangka Lan Sui-leng
benar-benar hendak menusuk sepasang matanya, tanpa sadar dia
pejamkan matanya rapat-rapat.
Tidak terasa sakit, tidak terasa pedih, ternyata pihak lawan hanya
menempelkan pedangnya nyaris menempel di atas matanya.
Terdengar Lan Sui-leng berkata dengan nada dingin, "Oleh
karena sepasang mata Peng-toaso tidak sampai kau bikin buta,
anggap saja hari ini adalah hari mujurmu!"
In Thian-tek membuka matanya, ternyata tidak buta. Tapi
dihadapan matanya terlihat ada segumpal alis matanya yang sedang
beterbangan terhembus angin. Dia dapat melihat amat jelas, bulu


alis yang lebih lembut dari rambut, alis matanya yang semula tebal,
kini pun terasa sedikit agak aneh.
Ketika coba diraba dengan tangan, dia baru merasakan kalau alis
matanya yang semula tebal, kini sudah terpangkas hingga bersih
dan licin, rupanya bulu alis mata miliknya yang sedang beterbangan
di depan mata.
Alis mata terpangkas jauh lebih mengenaskan daripada rambut
yang terpangkas, biasanya orang persilatan menyebutnya sebagai
"alis mata terpangkas".
Keadaan semacam ini sama artinya dengan satu peristiwa yang
sangat memalukan, bahkan sebuah kejadian yang paling kehilangan
muka.
Tidak kuasa lagi In Thian-tek meraung gusar, jeritnya, "Toako,
siaute benar-benar telah jatuh pecundang. Aku tidak punya muka
lagi untuk mengikutimu!"
Cepat dia melompat naik ke atas punggung kudanya dan
menceplak pergi dari situ.
Liong Pa-thian tertawa terbahak-bahak, ujarnya, "Kalah menang
adalah kejadian yang lumrah dalam dunia kangouw, Loji, pikiranmu
kelewat sempit. Baiklah, nona cilik, biar aku yang menjajal
kehebatan-mu!"
Tidak menanti Lan Sui-leng menyahut, dia sudah melancarkan
serangan dahsyat.
Jika dibandingkan In Thian-tek, sudah jelas kungfu yang dimiliki
Liong Pa-thian jauh lebih hebat dan tangguh. Dengan tangan
kosong dia bertarung melawan pedang Lan Sui-leng.
Begitu Lan Sui-leng melancarkan tusukan, Liong Pa-thian segera
maju sambil miringkan tubuh, tangan kanan menyapu secara
melintang sementara tangan kiri dibabat ke muka, dalam sekejap
mata dia telah melancar kan dua jurus serangan balasan.
Tusukan pedang Lan Sui-leng segera tergetar miring oleh tenaga


pukulan lawan, bukan saja tidak mampu menusuknya, malah
sebaliknya nyaris terhajar serangan lawan.
Ketika segulung angin sejuk berhembus lewat, tiba tiba Lan Suileng
teringat dengan teori ilmu silat perguruannya, "Berat bagaikan
tindihan bukit Thay-san, ringan bagaikan hembusan angin sejuk,”
tanpa terasa dia pun berpikir, 'Intisari ilmu silat perguruan adalah
meminjam tenaga untuk melawan tenaga, dengan kelembutan
mengatasi kekerasan, mengapa aku bisa melupakannya?'
Teori tentang "Meminjam tenaga melawan tenaga, dengan
lembut melawan keras" memang sangat dipahaminya, hanya saja
ketika berada di gunung Bu-tong, dia hanya bisa menggunakannya
dalam permainan ilmu pukulan, biarpun dalam ilmu pedang pun
dapat menggunakan cara yang sama, namun selama ini dia belum
pernah mencobanya.
Begitu ingatan tersebut melintas, jurus pedangnya segera
berubah, dia mengikuti gerakan pukulan dari Liong Pa-thian
perlahan-lahan menciptakan sebuah garis busur yang melingkar,
benar saja, tujuh bagian tenaga kekuatan lawan segera berhasil
dipunahkan.
Kendatipun dia masih belum dapat menerapkan teori 'pinjam
tenaga memukul tenaga' dalam permainan pedangnya, namun
dengan menggiring kekuatan lawan ke luar lingkaran pertarungan,
paling tidak dia sanggup melenyapkan tujuh bagian daya hancurnya,
dengan begitu Liong Pa-thian sendiripun tidak sanggup untuk
melukainya.
Akan tetapi Liong Pa-thian memiliki tenaga dalam yang amat
sempurna, pengalamannya pun sangat luas, sesudah menjajal dua
gebrakan, dia segera tahu kalau tenaga dalam yang dimiliki Lan Suileng
masih sangat cetek, belum mencapai tiga bagian. Satu ingatan
pun seketika melintas dalam benaknya.
"Biarpun ilmu pedang yang dimiliki budak ini cukup tangguh,
namun belum mencapai kesempurnaan.
Bila pertarungan dilanjutkan, aku masih punya peluang untuk


meraih kemenangan'
Maka dalam setiap pukulannya dia sertakan enam, tujuh bagian
tenaga pukulan, serangan yang dilancarkan susul menyusul
membuat Lan Sui-leng sama sekali tidak mampu lolos dari
kuningannya.
Dalam menghadapi ancaman musuh, setiap jurus Lan Sui-leng
hanya sanggup memunahkan tujuh bagian tenaganya, padahal dia
pun belum mampu menggunakan Sim-hoat tenaga dalam
perguruannya, akibatnya meski tenaga yang dia pakai untuk
memunahkan ancaman musuh jauh lebih sedikit ketimbang pihak
lawan, cukup parah kerugian yang dideritanya.
Lebih kurang setengah batang hio kemudian, peluh sebesar
kacang kedele sudah bercucuran membasahi jidatnya, lambat laun
dia mulai kewalahan dan tidak mampu mempertahankan diri.
Sambil menggertak gigi, menggunakan kesempatan disaat
tenaga dalamnya belum melemah, kembali tubuhnya melambung ke
udara, mata pedang langsung dibabat ke bawah dengan ganasnya,
sekali lagi dia menggunakan jurus bangau putih pen tang sayap.
Tentu saja Liong Pa-thian membuat persiapan yang matang
begitu tahu gadis itu menggunakan lagi jurus serangan yang pernah
mengalahkan In Thian-tek, dengan jurus Ki-hwee-liau-thian
(mengangkat obor membakar langit) telapak tangan kirinya
mendorong ujung sikut lawan sementara telapak tangan kanannya
mencengkeram tulang pi-pa-kut nya.
Kendatipun dia telah membuat persiapan, tidak urung kehebatan
dan kesaktian jurus serangan itu cukup membuatnya tercengang
dan diluar dugaan.
Dalam waktu singkat baik Hong-sihu yang berada diatas kereta
maupun The dan Li sekalian yang menonton dari pinggir arena
bermandikan keringat dingin saking tenang dan gelisahnya.
Mengapa mereka sampai gelisah hingga bermandi kan peluh
dingin? Karena bila jurus serangan itu dilanjutkan lebih jauh maka


lengan Liong Pa-thian segera akan terbabat kutung oleh sabetan
pedang Lan Sui-leng, sebaliknya tulang pi-pa-kut di tubuh nona
itupun akan tercengkeram hingga hancur.
Pada detik detik terakhir dimana kedua belah pihak sama-sama
akan terluka parah itulah tiba-tiba terjadi perubahan yang sama
sekali diluar dugaan siapa pun, perubahan yang terjadi pada saat
yang paling kritis.
Sewaktu telapak tangan kiri Liong Pa-thian yang digunakan untuk
mendorong sikut gadis itu hampir menyentuh tubuhnya, tiba-tiba
dia merasa lututnya seolah digigit oleh semut merah, gigitan yang
seketika membuat sepasang lututnya jadi kaku dan lemas, tidak
kuasa lagi dia menjatuhkan diri berlutut ke tanah.
Biarpun tubuhnya telah merendah setengah bagian, tidak urung
di mana cahaya pedang Lan Sui-leng berkelebat lewat, dua jari
tangannya segera terpapas kutung.
Sebenarnya perhitungan Liong Pa-thian sudah sangat tepat, di
saat tubuh Lan Sui-leng meluncur turun ke atas permukaan itulah
cengkeraman tangan kanannya dengan tepat akan menghancurkan
tulang pi-pa-kut nya. Kendatipun akibatnya dia bakal kehilangan
lengan kiri, namun bersamaan waktu diapun dapat memunahkan
ilmu silat yang dimiliki Lan Sui-leng.
Namun ketika secara mendadak tubuhnya merendah ke bawah,
cengkeraman yang dilancarkan pun hanya mampu mencengkeram
rerumputan.
Agak tertegun Lan Sui-leng ketika menyaksikan kejadian itu,
segera tegurnya, "Hey, sedang apa kau?"
Waktu itu Peng-toaso telah sadar dari pingsannya, sembari
tertawa terbahak-bahak sindirnya, "Hahahaha.... masa kau tidak
paham? Dia sedang berlutut minta ampun!"
Biarpun nada suaranya parau tidak enak didengar, namun penuh
dengan nada gembira dan puas.
Liong Pa-thian mencak-mencak dengan wajah merah padam,


bentaknya, "Siapa yang telah membokongku? Menang pun tidak
gagah.”
"Eeei.... siapa yang kau tuduh?" tegur Lan Sui-leng sambil
berseru tertahan.
"Siapa yang sedang membokongmu?" sindir Hong-sihu pula
sambil tertawa dingin, "huuh, aku lihat paling kau sedang mencari
alasan untuk menutupi rasa malumu. Hmmm! Sebagai seorang
Pangcu beraninya hanya menganiaya seorang nona cilik, laki-laki
macam apa pula kau?"
Liong Pa-thian mendengus dingin, tanpa mengucapkan sepatah
kata pun dia melompat naik ke atas kudanya dan berlalu dari sana.
"Toako....” teriak The Thian-hau.
"Aku tidak punya kemampuan untuk menjadi tokomu!" seru
Liong Pa-thian dari kejauhan, "kalau tidak kabur, memang harus
menunggu makin dibuat malu lagi?"
Belum lama dia masih bisa mengatakan kalau "menang kalah
adalah hal lumrah dalam sebuah pertarungan" bahkan menyindir In
Thian-tek tidak cukup gagah, namun ketika tiba gilirannya, diapun
dari malu dan menjadi gusar.
The Thian-hau tidak berani banyak bicara, cepat dia melompat
naik ke atas kuda dan ikut kabur.
Li Bun-kiat maupun Suma Cau tidak perlu disebut lagi, mereka
berdua justru sudah ikut kabur lebih duluan, bahkan kedua orang itu
seolah khawatir tertinggal, mereka cemplak kudanya keras-keras.
Dalam waktu sekejap orang orang Liong-bun-pang telah kabur
tidak berbekas.
"Sayang!" keluh Hong-sihu kemudian sambil menghela napas.
"Hong-hiocu,” tegur Lan Sui-leng ketus, "sebuah permusuhan
lebih baik diselesaikan daripada diperpanjang, kuanjurkan
kepadamu lebih baik sudahi sampai disini saja.”


Selama ini dia selalu memanggilnya sebagai Hong-toaci, ketika
secara tiba-tiba panggilannya berubah jadi Hong-hiocu, hal ini
menunjukkan kalau dia merasa sangat tidak puas dengan sepak
terjang Hong-sihu selama ini.
"Nona Lan,” ujar Hong-sihu sambil tertawa paksa, "aku hanya
merasa sayang mengapa tidak kau rampas kuda tunggangannya.”
Sebagaimana diketahui, kaki ke dua ekor kuda mereka telah
dibuat pincang, dengan begitu kuda-kuda tersebut tidak mampu lagi
menarik kereta.
Sementara itu Peng-toaso telah bangkit berdiri, setelah
mematahkan sebatang dahan untuk digunakan sebagai tongkat, dia
berjalan menghampiri seraya berkata, "Nona Lan, ilmu pedangmu
sungguh hebat, terima kasih kau telah membalaskan dendamku.”
"Peng-toaso, bagaimana dengan luka mu?"
"Hanya luka luar, tidak masalah. Apalagi kulit tubuhku dasarnya
memang tebal seperti badak, tidak bakalan mampus!"
"Kalian butuh obat luka luar? Aku masih punya tiga butir Siauhuan-
wan pemberian guruku.”
Siau-huan-wan adalah obat mustajab yang bisa menyembuhkan
luka dalam, kehebatannya tidak kalah jauh dengan siau-huan-wan
dari biara Siau-lim.
"Nona tidak usah kuatir, kami masih memiliki obat luka luar,”
tampik Peng-toaso, "lagian menurutku luka yang diderita Honghiocu
pun hanya luka luar, setelah dibubuhi obat luar beberapa hari
lagi akan sembuh dengan sendirinya, tidak perlu membuang
percuma pil Siau-huan-wan yang tidak ternilai harganya.”
"Baiklah, kalau begitu baik-baiklah kalian merawat diri, maaf
kalau aku tidak dapat menemani kalian lagi!"
"Nona Lan....” teriam Hong-sihu.
"Kenapa?" tukas Lan Sui-leng ketus, "kalian masih ingin
memaksaku kembali ke Pek-hoa-kok?"


"Terus terang saja, aku hanya tahu mentaati perintah Toa-siocia,
seandainya tidak berada dalam keadaan terluka, biarpun tahu kalau
tidak sanggup mengalahkan dirimu, aku tetap akan berusaha untuk
menghalangi kepergianmu, tapi sekarang.... tentu saja terpaksa
akan kubiarkan kau pergi!"
Hong-sihu segera berlagak tertawa, katanya, "Nona Lan, kau
salah paham, aku hanya merasa menyesal karena tidak dapat
membalas budi kebaikanmu, bahkan mengucapkan terima kasih pun
tidak.”
Seandainya perkataan itu disampaikan pada beberapa hari
berselang, mungkin saja Lan Sui-leng akan sangat terharu
dibuatnya, tapi kini Lan Sui-leng telah mengetahui wajah aslinya,
biarpun dia berbicara manis, lembut dan senyumannya ramah pun
kesemuanya itu hanya membuat Lan Sui-leng semakin muak dan
ingin muntah.
"Tidak usah berterima kasih lagi,” tukas Lan Sui-leng ketus,
"orang tidak menggangguku, akupun tidak akan mengganggu orang
lain. Aku mengusir orang orang Liong-bun-pang karena mereka
mengusikku lebih dahulu.”
Kemudian sambil berpaling katanya pula kepada Peng-toaso,
"Peng-toaso, aku suka dengan keterus terangan-mu, akupun akan
bicara blak-blakan kepadamu, coba kalau tidak memandang di atas
siocia kalian, mungkin saja akupun tidak akan bersikap sungkan
kepada kalian!"
Padahal perkataan itu sengaja dia tujukan kepada Hong-sihu,
begitu selesai berkata dia segera membalikkan tubuh dan berlalu.
"Ternyata perkataan Seebun Yan tidak salah, hati manusia
memang amat berbahaya dan busuk, jadi orang memang tidak
boleh kelewat jujur. Ehmm, entah bagaimana keadaannya
sekarang? Apakah dia berhasil menyusul Tonghong toako? Mogamoga
saja apa yang diharapkan bisa terkabulkan.”
Begitu teringat akan Tonghong Liang, perasaan hatinya kontan
jadi hangat, buru-buru dia mempercepat langkah kakinya dan


berlarian cepat, seakan-akan sedang berusaha untuk melepaskan
diri dari bayangan Tonghong Liang.
Dia tidak tahu harus berjalan lewat mana untuk kembali ke
gunung Bu-tong, terpaksa dia hanya bisa berbalik arah dan
menelusuri jalan yang ada.
Menelusuri jalan perbukitan, suasana terasa amat hening dan
tidak nampak sesosok bayangan manusia pun. Yang terdengar
hanya suara air yang lamat-lamat mengalir dikejauhan serta suara
serangga yang mengerik.
Tiba-tiba dari balik pepohonan lebat muncul seseorang, begitu
muncul dihadapannya segera menegur sambil tersenyum, "Sui-leng,
kau kaget?"
"Eeei.... Siau-susiok, kenapa.... kenapa kau pun bisa muncul di
sini?" ketika Lan Sui-leng mendongakkan kepalanya dan mengetahui
siapa yang muncul, dia berteriak penuh kegirangan bercampur rasa
kaget. Bahkan diantara rasa gembira dan kaget terselip juga
perasaan ngeri yang aneh dan tidak jelas sebab musababnya.
Ternyata orang itu tidak lain adalah Bouw It-yu, Bouw It-yu yang
perintahkan dia untuk membunuh Tonghong Liang dengan
"menghalalkan segala cara".
"Sebetulnya tidak bisa dibilang kebetulan,” sahut Bouw It-yu
sambil tertawa, "sudah dua hari aku ikuti perjalanan kalian.”
Seolah baru sadar kembali, Lan Sui-leng segera berseru, "Jadi
kaulah yang membantuku mengalahkan Liong Pa-thian dengan
sambitan senjata rahasia?"
Terbayang kembali pertarungannya saat melawan Liong Pa-thian,
dia merasa jantungnya masih berdebar keras, dia menganggap
suatu keberuntungan besar karena bisa terhindar dari akibat yang
lebih fatal dari pertarungan seru itu.
Waktu itu Liong Pa-thian sempat mengumpat karena ada orang
menyambitkan senjata rahasia secara diam-diam, waktu itu dia
menganggap hal semacam ini mustahil, siapa yang bakal


membantunya secara diam-diam, kendatipun kenyataan mana
membuatnya setengah percaya setengah tidak.
"Padahal bukan termasuk senjata rahasia yang khusus,” sahut
Bouw It-yu perlahan, "aku hanya menimpuknya dengan sebuah
batu kerikil kecil.”
"Siau-susiok, tadi kau mengatakan sudah dua hari mengikuti
perjalananku?"
Nada lain dari perkataan itu adalah, mengapa baru sekarang kau
menampakkan diri.
"Hong toa-ci itu terhitung seorang jago kawakan dalam rimba
hijau, dia mempunyai nama yang cukup termashur kendatipun ilmu
silatnya tidak terhitung seberapa hebat. Pengetahuanku tidak
seberapa luas, tapi secara kebetulan aku mengetahui asal-usulnya,
justru akulah yang sedang merasa heran, mengapa kau bisa
melakukan perjalanan bersama mereka. Itulah sebabnya untuk
sementara aku tidak menampakkan diri, ingin kulihat mereka dan
kau hendak pergi ke mana.”
Diam-diam Lan Sui-leng terperanjat, padahal Hong-sihu maupun
Peng-toaso adalah jago-jago kalangan hitam yang amat cekatan dan
banyak pengalaman, namun dalam kenyataan walaupun sudah
dikuntit selama dua hari pun mereka tidak menyadarinya.
Selain itu, dia pun lamat-lamat merasakan ada sesuatu yang
tidak beres sehabis mendengar perkataan dari Bouw It-yu tadi,
dimana letak ketidak beresan itu, dia sendiripun tidak tahu. Namun
ada satu hal yang pasti, besar kemungkinan Bouw It-yu masih
mempunyai alasan lain dengan penguntitannya selama dua hari ini,
tidak mungkin alasannya hanya begitu sederhana.
"Kenapa aku bisa berkumpul bersama mereka? Soal ini panjang
untuk diceritakan!"
Bouw It-yu tersenyum, tukasnya, "Selama menguntil dibelakang
kalian, aku dapat mendengar semua keributan diantara kalian
dengan sangat jelas, karena itu kau tidak perlu memberi penjelasan


lagi, hanya saja sejak berpisah denganku selama tiga bulanan ini
pasti ada banyak hal yang ingin kau katakan kepadaku bukan?"
Lan Sui-leng merasa sedikit gugup, katanya, "Walaupun aku
berhasil menemukan Tonghong Liang, namun kemudian lantaran
terjadi suatu peristiwa yang sama sekali diluar dugaan, aku pun
berpisah dengannya setelah melakukan perjalanan bersama selama
satu hari.”
"Aku tahu. Kau diundang paksa Piaumoynya Seebun Yan untuk
berkunjung ke rumahnya bukan. Aah benar, dimana sih letak Pekhoa-
kok itu?"
"Akupun tidak tahu dimana letaknya, tapi gunung itu disebut
gunung Nyainqentanglha, sebuah nama gunung yang sangat aneh.”
"Oooh, gunung itu terletak jauh di wilayah Hwee.”
Tiba tiba satu ingatan melintas dalam benak Lan Sui-leng, segera
serunya, "Tonghong Liang dengan Seebun Yan adalah saudara
misan, jadi kau berencana menguntit kami hingga sampai di Pekhoa-
kok?"
Bouw It-yu tertawa getir.
"Kau sangka aku masih berniat mencari Tonghong Liang untuk
membuat perhitungan?" serunya, "sayang hingga kini aku masih
belum memiliki kemampuan untuk berbuat begitu.”
Kemudian setelah berhenti sejenak, tanyanya lagi, “Jadi kau
berniat tidak akan kembali lagi ke Pek-hoa-kok?"
"Benar, justru gara-gara alasan inilah aku sampai ribut dengan
Hong-sihu.”
"Bukankah Seebun Yan memperlakukan dirimu dengan sangat
baik?"
Diam diam Lan Sui-leng tertawa getir, namun jawabnya juga,
"Sebaik apapun perlakuannya terhadapku, tidak mungkin aku akan
menganggap rumahnya sebagai rumahku. Sudah tiga bulan lebih


aku meninggalkan orang tuaku, kalau tidak segera kembali,
mungkin mereka akan menungguku dengan gelisah.”
"Oooh, jadi kau enggan balik ke lembah Pek-hoa-kok karena
rindu rumah?" tanya Bouw It-yu lagi dengan senyum tidak senyum.
"Memangnya masih ada alasan lain?”
“Bukankah kau takut bertemu Tonghong Liang lagi di Pek-hoakok
bukan? Walaupun kau pernah menyanggupi permintaanku
untuk membunuhnya dengan segala cara, padahal dalam hati
kecilmu kau tidak tega untuk membunuh dirinya!"
Lantaran rahasia hatinya sudah tertebak, sambil pura-pura
jengkel seru Lan Sui-leng, "Siau-susiok, kau sedang mengajakku
bergurau ataukah sedang bicara serius?"
"Bagaimana kalau sedang bergurau? Bagaimana pula kalau
sedang bicara serius?"
"Kalau dikatakan sedang bergurau, gurauanmu sedikit kelewatan
dan aku akan memakimu sebagai orang tua yang tidak tahu sopan.
"Tapi kalau dibilang sedang bicara serius, hal ini menunjukkan
kalau kau tak percaya denganku, bila tak percaya, kenapa mesti
minta aku yang melakukan tugas ini untukmu!"
"Waaah, waah.... sungguh lihay mulut kecilmu itu.”
seru Bouw It-yu sambil tertawa.
"Bicara sejujurnya saja,” ujar Lan Sui-leng lebih lanjut,
"kesempatan sudah terlewatkan satu kali, aku khawatir sulit untuk
memperoleh kedua kalinya. Lagipula jika dia dan Seebun Yan telah
kembali ke Pek-hoa-kok, bagaimana mungkin aku bisa lebih sering
berdekatan dengan dirinya?"
"Baiklah, kalau begitu persoalan ini tidak perlu diperdebatkan
lagi. Tapi masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepadamu.”
Baru saja Lan Sui-leng merasa sedikit lega, tanpa terasa hatinya
menjadi tegang kembali, cepat tanyanya, "Soal apa?"


"Aku dengar Tonghong Liang serta adikmu secara beruntun telah
muncul di Toan-hun-kok, sementara Liok Ki-seng dan komplotannya
telah mendirikan pos penjagaan di bukit Pa-san diluar Toan-hunkok.
Karena kau keluar dari tempat sana bersama seorang hiocu
anak buahnya, aku rasa kaupun pasti mengetahui juga akan
peristiwa ini bukan?"
"Betul, aku pernah mendatangi Toan-hun-kok, sewaktu tiba
disana, Giok-keng sedang bertanding pedang melawan Tonghong
Liang. Kemudian mereka pun pada kabur.”
"Bertanding pedang? Mereka sedang bertanding pedang?"
gumam Bouw It-yu seolah tidak percaya.
"Kenapa? Kau tidak percaya? Hampir semua orang yang berada
di Toan-hun-kok tahu akan hal ini. Jika tidak percaya, kenapa kau
tidak....”
"Bukannya aku tidak percaya, aku hanya ingin tahu karena
persoalan apa mereka sampai bertanding pedang?"
"Aku sendiripun tidak tahu, yang kuketahui pertandingan pedang
itu bukan suatu permainan! Tentunya kau tidak akan mencurigai
Giok-keng sedang bersekongkol dengan pihak musuh bukan?"
"Aaah, ucapanmu kelewat serius. Aku hanya khawatir adikmu
dengan usianya yang masih muda gampang ditipu orang jahat. Tapi
kalau toh dia sudah bentrok dengan Tonghong Liang, aku pun dapat
merasa sedikit lega. Apa yang kemudian dia katakan tentang
peristiwa ini?"
"Dia lalu meninggalkan Toan-hun-kok bersama seorang hweesio
tua, kepergian mereka sangat tergesa gesa, adik hanya bertanya
tentang keadaan di rumah dan berpesan agar aku baik-baik
merawat ayah dan ibu.”
"Ke mana dia akan pergi? Tentunya hal ini dia katakan kepadamu
bukan?"
Bila Lan Sui-leng menjawab tidak tahu, jelas jawaban itu sangat
tidak masuk diakal, terpaksa jawabnya, "Aku dengar mereka hendak


pergi ke wilayah Liauw-tong.”
"Mau apa pergi ke Liauw-tong?"
"Menurut hwesio tua itu, tampaknya mereka sedang mencari
seseorang.”
"Siapa?"
"Orang itu adalah sahabat hwesio tua itu, kalau dia tidak
mengatakan, darimana aku bisa tahu siapakah orang itu. Kau pun
tidak usah bertanya kenapa adikku pergi menemaninya, aku bukan
seorang nona yang cerewet, tidak bakalan aku bertanya ini itu
dihadapan hwesio tua itu hingga menimbulkan kesan muak bagi
orang lain. Eeei Siau-susiok, sudah selesaikah interogasi-mu?"
Bouw It-yu segera tertawa.
"Hahahaha.... kalau kuteruskan pertanyaanku, sudah pasti akan
menimbulkan kesan muak bagimu. Baiklah, pulanglah sana. Tapi
tahukah kau bagaimana cara untuk kembali ke gunung Bu-tong?"
"Kau sendiri tidak pulang gunung?" tanya Lan Sui-leng agak
melengak.
"Sebetulnya aku ingin sekali menemanimu pulang, tapi
sayangnya masih ada urusan lain yang harus kuselesaikan dulu.”
Sebetulnya Lan Sui-leng tidak membenci Siau-susioknya ini,
namun selama berada bersamanya, dia selalu merasa hatinya
tegang dan tidak tenang.
Kontan saja dia menghembuskan napas lega setelah mendengar
perkataan itu, ujarnya, "Asal aku tidak malas bertanya jalan, apa
susahnya untuk balik ke gunung Bu-tong? Kau tidak usah
menguatirkan diriku."
"Daripada bertanya kepada orang lain, lebih baik sekarang
bertanyalah kepadaku. Tahukah kau dimana-kah posisi kita
sekarang? Tempat ini dekat sekali dengan dermaga Hong-leng-tok
di tepi sungai Huang-ho.”


'Tidak heran kalau secara lamat-lamat aku mendengar suara
aliran air yang cukup deras,' pikir Lan Sui-leng.
Bouw It-yu segera menjelaskan arah jalan dengan amat teliti,
sembari menerangkan dia gunakan sebatang ranting pohon untuk
menggambar peta di atas tanah.
"Terima kasih banyak Siau-susiok atas petunjukmu,” ucap Lan
Sui-leng kemudian.
Kembali Bouw It-yu tertawa.
"Padahal usiaku paling berapa tahun lebih tua ketimbang kau,
bila tidak keberatan, akan kuminta kepada ayah untuk menerimamu
sebagai murid, jadi waktu itu kaupun menjadi Siau-sumoayku,
memanggil akupun jadi Toa-suheng.”
Setengah bergurau setengah serius kata Lan Sui-leng, "Huuuh,
siapa yang kesudian? Kapan jenasah Sucouw akan dikebumikan?"
"Kalau tidak salah telah ditentukan pada bulan berikut tanggal
delapan, kau masih sempat untuk kembali ke gunung dan mengikuti
upacara penguburan.”
Kembali Lan Sui-leng merasa keheranan, pikirnya: Ayahnya
adalah Ciangbunjin baru, kenapa dia tidak ikut pulang untuk
menghantar keberangkatan jenasah Ciangbunjin lama? Memangnya
ada urusan lain yang jauh lebih penting?'
Hanya saja diapun tidak ingin bertanya lebih mendetil, bisa
terlepas dari Bouw It-yu pun sudah merupakan kejadian yang paling
dia inginkan.
Siapa sangka baru saja dia akan meninggalkan tempat itu,
mendadak terdengar suara seseorang yang amat dikenalnya
memanggil nyaring, "Tunggu sebentar!"
Ternyata orang yang muncul dihadapannya adalah Seebun Yan!
Dengan wajah agak gusar teriak Seebun Yan, "Mengapa kau
enggan balik ke Pek-hoa-kok?"


Terkejut bercampur girang Lan Sui-leng berseru tertahan, "Mana
Tonghong toako? Kau tidak berhasil menemukannya?"
"Perduli amat dengan dirinya, aku hanya ingin bertanya, kenapa
kau enggan balik?"
"Bukankah sejak awal telah kuberitahu padamu? Aku ingin
pulang ke rumah.”
"Aku perlakukan dirimu dengan begitu baik, sungguh tidak
disangka kau begitu membenciku!"
Tanpa terasa Lan Sui-leng ikut mendongkol juga oleh perkataan
itu, serunya, "Kenapa kau mencampur adukkan masalah itu jadi
satu? Jelas hal itu merupakan dua masalah yang berbeda!"
"Aku memang senang mencampur adukkan semua masalah.
Hmmm! Tidak masalah bila kau membenci diriku, tapi gara-gara
kau, Hong-sihu dan Peng-toaso sampai terluka parah!"
"Aaah, kau betul-betul tidak tahu aturan. Apa urusannya mereka
terluka dengan diriku? Ketika orang orang Liong-bun-pang melukai
mereka, malah akulah yang telah membantu mereka untuk
memukul mundur bandit-bandit itu!"
"Mereka mendapat perintahku untuk menghantar kau balik ke
Pek-hoa-kok, coba kalau bukan lantaran harus menemanimu,
bagaimana mungkin mereka bisa bertemu dengan bandit-bandit
busuk dari Liong-bun-pang!"
Ucapan tersebut benar-benar sebuah perkataan yang tidak pakai
aturan, dan mencari menangnya sendiri, masih untung bukan baru
kali ini Lan Sui-leng menghadapi keadaan tidak tahu aturan seperti
ini. Pikirnya, 'Tampaknya gara-gara tidak berhasil menyusul
Tonghong toako, dia jadi jengkel dan ingin melampiaskan
amarahnya kepadaku'
Berpikir begitu, maka ujarnya cepat, "Aku tidak ingin ribut
denganmu, cici Yan, lebih baik kau cepatlah pulang ke rumah. Siapa
tahu Tonghong toako sudah menunggumu di rumah.”


"Dia tidak bakalan menunggu aku. Dia tidak bakal baik kepadaku
sebaik perhatiannya pada dirimu!"
Perkataan ini dipenuhi nada cemburu dan julas, membuat Lan
Sui-leng jadi melengak lalu tertegun.
Dengan mata melotot besar kembali Seebun Yan berseru, "Cepat
katakan, mengapa dia berusaha menghindariku?"
Lan Sui-leng merasa mendongkol bercampur geli, serunya,
"Darimana aku tahu keributan apa yang sedang terjadi diantara
kalian berdua? Lagian sewaktu berada di Toan-hun-kok, kita pun
bersama-sama bertemu dengannya, bahkan aku pun cuma sempat
berbicara sepatah dua patah kata dengannya.”
"Tapi dia tidak mengucapkan sepatah kata pun padaku!" protes
Seebun Yan.
Habis sudah kesabaran Lan Sui-leng menghadapi ulahnya itu,
dengan nada sedikit marah teriaknya, "Kalau dia tidak
menggubrismu, kenapa kau malah melampiaskan amarahnya
kepadaku.”
"Kau tidak boleh pergi!" bentak Seebun Yan lagi, "kau harus ikuti
aku pulang ke rumah!"
"Hey, kau pakai aturan tidak?" teriak Lan Sui-leng gusar.
"Kalau kau mengatakan aku tidak pakai aturan, aku sengaja tidak
pakai aturan! Kau harus menunggu sampai sepulangnya Tonghong
Liang baru boleh pergi.”
Tidak tahan Bouw It-yu ikut tertawa, katanya, “Kau mengatakan
dia tidak pakai aturan, padahal dia pun mempunyai alasan tersendiri
untuk berbuat begitu.”
"Oooh, lantas apa alasannya?" tanya Lan Sui-leng.
"Dia kuatir kakak misannya jatuh hati kepadamu, bila kau
dibiarkan berkeliaran diluar, takutnya kau bakal pergi bersama-sama
Piaukonya. Karena itu dia harus membawamu untuk tetap berada di
sampingnya, dengan demikian hatinya baru lega.”


"Ngaco belo, apa hubunganmu dengannya?" bentak Seebun Yan
semakin gusar.
"Dia adalah Siau-susiokku,” cepat Lan Sui-leng menjelaskan.
Mula mula Seebun Yan agak tertegun, kemudian katanya, "Oooh,
jadi kau adalah itu yang bernama Bouw It-yu?"
"Apa ini itu?" sela Bouw It-yu tertawa, "dikolong langit hanya ada
satu yang bernama Bouw It-yu, akulah orangnya. Siau-sumoay, kau
pergi saja, kalau dia suka menyusahkan orang, biar aku saja yang
melayani dia.”
Lan Sui-leng memang ingin sekali ada orang yang mewakilinya
menghadapi gadis itu, sambil tertawa cepat ujarnya, "Enci Yan, kau
sudah menemui lawan tanding, maaf kalau aku tidak bisa
menemanimu lagi.”
"Sreeeet!" Seebun Yan segera mencabut pedangnya dan
menuding sambil membentak, "Kau ingin pergi? Coba saja kalau
bisa kabur dari sini!"
Dalam keadaan begini, terpaksa Lan Sui-leng harus menangkis
pedangnya, tapi berhubung pertama dia tidak ingin bertarung
kelewat lama, kedua ilmu pedangnya memang setingkat masih di
bawah kemampu an Seebun Yan, maka dia ingin secepatnya
meninggalkan tempat itu.
Dengan sebuah jurus Hu-yu-Huan-hun (mengundang hujan
membalik awan) Seebun Yan segera menekan pedang gadis itu
hingga turun ke bawah, jengeknya sambil tertawa dingin, "Kau
sangka setelah belajar ilmu pedang dari ibuku, lantas bisa kau pakai
untuk melawanku? Lebih baik suruh Siau-susiokmu....”
Belum selesai dia berkata, terdengar....”Criiing.”
Bouw It-yu benar-benar telah menerima "undangan" nya dan
begitu turun tangan, pedangnya segera tertangkis hingga mencelat
ke samping.
"Nona Seebun,” ujarnya, "biarkan Siau-sumoay ku pulang.


Sementara akulah yang akan membantumu menemukan Tonghong
Liang!"
"Siapa yang butuh bantuanmu?" teriak Seebun Yan gusar.
Diam-diam Lan Sui-leng tertawa geli, pikirnya: 'Nah, kali ini kau
telah mendapat pembalasan yang setimpal, dia ingin merecoki aku,
siapa tahu malah direcoki Siau-susiok'
Menggunakan kesempatan itu cepat-cepat dia kabur
meninggalkan tempat itu.
Sambil tertawa kembali Bouw It-yu berkata, "Kau tidak percaya
kalau aku dapat membantumu menemukan jejak Piauko mu?
Padahal aku bicara sejujur nya.”
Seebun Yan benar-benar naik pitam, dia mendongkol setengah
mati, hardiknya, "Bagus sekali, Bouw It-yu, aku memang hendak
mencarimu untuk membuat perhitungan!"
"Rasanya sebelum pertemuan hari ini, kita belum pernah
bertemu, kapan aku pernah berhutang padamu?" kata Bouw It-yu
sambil tertawa.
Mendadak seperti teringat akan sesuatu, terusnya, "Aaah benar,
aku pernah berkelahi melawan Piaukomu, jadi lantaran peristiwa ini
kau mendongkol dan membenciku?"
"Huuh, kau tidak lebih hanya panglima perang yang pernah kalah
di tangan Piaukoku, buat apa aku musti mewakilinya untuk
membuat perhitungan.”
"Tempo hari aku memang sengaja berniat mengalah kepada
kakak misanmu, jadi kau sangka aku benar-benar kalah
ditangannya? Hanya saja, kalau toh kau bukan demi kakak misanmu
itu, lalu dikarenakan urusan apa kau hendak membuat perhitungan
dengan-ku?"
"Kalau dikatakan hendak membuat perhitungan, rasanya
perkataan ini kelewat serius, padahal aku.... aku hanya merasa tidak
puas!" kata Seebun Yan, "ibuku selalu memujimu setinggi langit,


seakan-akan di dunia ini kau adalah segalanya, jelas dia maksudkan
kalau kau lebih hebat dari Piauko, bahkan katanya Piauko ku tidak
mungkin bisa melebihi kemampuanmu.”
"Oooh, rupanya begitu,” kini Bouw It-yu baru mengerti, "tidak
heran kalau dia mengatakan "Itu si Bouw It-yu", ternyata hal ini
dikarenakan ibunya pernah memuji-mujiku.”
Sebagaimana diketahui, ayah Seebun Yan adalah Seebun Mu,
seorang Liok-lim Bengcu pada dua puluh tahun berselang,
sementara ibunya In Beng-cu adalah perempuan paling cantik dari
dunia persilatan, mereka berdua merupakan tokoh-tokoh besar yang
namanya amat tersohor sampai dimana-mana.
Tentu saja Bouw It-yu pun mengetahui siapakah ayah ibunya,
namun Seebun Mu maupun In Beng-cu adalah tokoh persilatan satu
angkatan dengan ayahnya, selama hidup belum pernah dia
menjumpai mereka.
Kemudian sejak meninggalnya Seebun Mu, In Bengcu selalu
hidup mengasingkan diri dalam Pek-hoa-kok, dia semakin tidak
berkesempatan untuk berjumpa dengannya.
"Aneh, darimana ibunya bisa mengetahui tentang aku? Sekalipun
ayah adalah seorang ternama dalam dunia persilatan, dia pun tahu
kalau Tiong-ciu Thayhiap Bouw Ciong-long mempunyai seorang
putra, darimana pula dia bisa mengetahui tinggi rendahnya
kepandaian silatku serta sampai dimana sifat dan akhlakku? Bila dia
tidak mengetahui detilku dengan jelas, darimana pula bisa
memberikan perbandingan antara aku dengan Tonghong Liang?"
Sementara dia masih termenung, sambil tertawa dingin Seebun
Yan telah berkata lagi, "Cuuuh, kau merasa bangga karena ibuku
memujimu?"
"Hingga kini aku belum pernah bertemu muka dengan ibumu,
kenal pun tidak, namun aku merasa berterima kasih sekali atas
pujiannya, aku merasa malu untuk menerima pujian itu. Tentu saja
aku tidak dapat menutupi rasa senang dan banggaku.”


"Oooh, ternyata kaupun tahu juga kalau ucapannya hanya
sekedar kata pujian! Hmmm, aku pun tidak habis mengerti apa
sebabnya ibu memujimu secara ngawur. Dia memujimu, aku merasa
tidak puas! Mari, mari, mari, aku akan mengajakmu bertanding
pedang, bila kaupun tidak mampu mengungguli diriku, lebih baik
selanjutnya tidak usah berlagak sombong lagi!"
Sudah cukup lama dia ingin melampiaskan perasaan tidak
puasnya itu, apalagi sekarang dia berada dalam kondisi labil karena
perasaan emosinya yang sedang bergejolak, maka dari itu tanpa
mempertimbangkan lebih jauh atas perkataan ibunya, dengan
penuh amarah dia lancarkan sebuah tusukan ke depan.
Bouw It-yu segera memutar pedangnya satu lingkaran, dengan
jurus Sam-coan-hoat-lun (tiga putaran roda hukum) dia sampok
pedang lawan hingga miring ke samping.
"Hmm, kau bisa membuat garis lingkaran, di sangka aku pun
tidak bisa?" seru Seebun Yan jengkel.
Dengan cepat pedangnya membentuk pula satu gerakan
melingkar, benar saja, tenaga giringan dari Bouw It-yu seketika
terpunahkan.
Melihat itu, Bouw It-yu berpikir dalam hati, 'Tonghong Liang
mampu menggunakan ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat, sudah
pasti jurus serangan ini dia pelajari dari Tonghong Liang'
Namun dia segera merasakan ada sesuatu yang "tidak beres",
setelah bergebrak berapa jurus lagi, dia menjumpai Seebun Yan
sanggup mematahkan setiap jurus, setiap gerakan yang dia
lancarkan, kini Bouw It-yu baru sadar dimanakah letak "ketidak
beresan" itu.
Yang paling diutamakan ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat adalah,
“Berputar bulat bagai gelang, tiada putus tiada cacat, niat berada di
pedang, bergerak bersambungan tanpa berhenti".
Asal kau dapat memahami makna dari rumus tersebut dan
bergerak mengikuti niat, maka semuanya akan berjalan dengan


sendirinya. Itulah sebabnya guru yang bijak selalu mengharapkan
muridnya lebih mengutamakan kesaktian daripada keindahan
wujud.
Hanya saja karena pemahaman yang diterima setiap orang
berbeda, murid yang dilatih oleh guru yang berbeda otomatis akan
memperlihatkan gaya pedang yang berbeda pula meski sama-sama
menggunakan sebuah jurus serangan yang sama.
Ketika Tonghong Liang bertarung melawan Bouw It-yu tempo
hari, dia hanya menggunakan berapa jurus Thay-kek-kiam-hoat,
sementara saat ini Bouw It-yu telah bertarung belasan jurus
melawan Seebun Yan, dari pertarungan itupun dia mulai
menemukan kalau gaya pedang yang mereka gunakan ternyata
"sama tapi berbeda, berbeda tapi sama".
Misalkan saja dalam "berputar bulat", dalam bidang ini ilmu
pedang Tonghong Liang jauh lebih tangguh dan hebat, namun
dalam masalah "ketajaman", dia masih kalah jauh bila dibandingkan
Seebun Yan.
Dengan perasaan heran Bouw It-yu berpikir, 'Bila ditinjau dari
kejadian ini, pada mula mereka belajar pedang rasanya kedua orang
itu berasal dari perguruan yang sama. Tapi kemudian masingmasing
mempunyai guru pembimbing yang berbeda. Kalau
Tonghong Liang semakin cekatan dalam ilmu pedangnya maka
Seebun Yan lebih banyak memahami jurus pedang Thay-kek-kiamhoat.
Tapi.... mengapa bisa begitu?'
Bagaimanapun juga dia adalah seorang yang ahli dalam hal ilmu
pedang Thay-kek-kiam-hoat, sekalipun dugaannya tidak benar
seratus persen, namun selisihpun tidak terlalu banyak.
Ternyata ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat yang dipelajari
Tonghong Liang serta Seebun Yan sama-sama berasal dari ibu
Seebun Yan, hanya saja pemahaman yang diperoleh Tonghong
Liang jauh lebih maju dan berkembang.
Dengan kemampuan ilmu pedang yang dimiliki Bouw It-yu saat
ini, sebetulnya tidak sulit baginya untuk mengalahkan gadis itu tidak


sampai sepuluh gebrakan, namun berhubung rasa ingin tahunya, dia
sengaja berlagak seolah kekuatan mereka seimbang.
Belasan gebrakan kemudian, kejadian aneh lain kembali
mencekam perasaan hati Bouw It-yu.
Begitu pertarungan berlanjut, dia semakin merasa kalau gaya
pedang yang digunakan Seebun Yan seolah sangat dikenal olehnya,
setelah dipikirkan sejenak, tiba tiba dia menjadi sadar kembali.
Bukankah gaya yang digunakan gadis itu persis sama seperti gaya
pedang yang diajarkan ayahnya kepada dirinya?
Ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat yang dipelajari ayah Bouw It-yu
boleh dibilang merupakan bentuk aliran yang tersendiri, jauh
berbeda dengan gaya dari Bu-siang Cinjin maupun Bu-si Tojin.
Diantara sekian banyak murid Bu-tong-pay, hanya dia seorang
yang memahami semua rahasia dan intisari ilmu pedang ayahnya.
Tapi mengapa Seebun Yan pun seakan sangat memahaminya?
Sudah barang tentu mustahil kalau gadis itu belajar dari ayahnya,
satu hal yang membuat Bouw It-yu kebingungan dan tidak habis
mengerti.
Kelihatannya Seebun Yan pun sudah merasa kalau gelagat tidak
menguntungkan dirinya, secara beruntun dia lancarkan tiga babatan
kilat kemudian dengan gaya nekad dia meneter maju, serangan
demi serangan bagaikan gulungan ombak samudra menerjang ke
depan tiada hentinya.
Garis-garis busur yang terbentuk kian tidak beraturan, di balik
kekerasan tersimpan kelembutan, ada enam tujuh bagian mirip
dengan jurus Thay-kek-kiam-hoat tapi tidak mirip secara
keseluruhan. Menghadapi gerak serangan semacam ini, untuk
sesaat Bouw It-yu dibuat bimbang juga, kendatipun
pengetahuannya luas namun dia tidak bisa menebak darimana
gerakan pedangnya akan berubah.
Tatkala Seebun Yan masih bayi, ayahnya telah meninggal dunia.
Karena itu ilmu pedangnya dipelajari dari ibunya. Namun disaat
usianya sudah mulai lanjut, dia pun mulai mempelajari kitab kiamTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/

boh peninggalan ayahnya, setiap kali menjumpai hal yang tidak
dipahami, dia selalu minta petunjuk dari ibunya. Ilmu pedang
andalan ayahnya itu bernama Keng-to-kiam-hoat (Ilmu pedang
pukulan ombak), sebuah ilmu pedang bersifat positip yang keras.
Biarpun ibunya memahami ilmu pedang tersebut, namun belum
berhasil menguasahi semua rahasia serta intisari yang terkandung
dalam jurus pedang itu. Lantaran dia sebagai anak gadis keluarga
Seebun, mau tidak mau gadis itu tetap harus mempelajari ilmu
pedang warisan ayahnya. Dengan begitu, kendatipun dia
mempelajari ilmu pedang dari dua keluarga yang berbeda, namun
pemahamannya jauh lebih matang dalam menggunakan ilmu
pedang Thay-kek-kiam-hoat.
Dan kini, permainan jurus pedang yang dia kembangkan tifak lain
adalah jurus gubahan hasil peleburannya antara ilmu pedang Thaykek-
kiam-hoat dengan ilmu pedang Keng-to-kiam-hoat. Dari seluruh
perubahan itu, sebagian besar adalah hasil ciptaan ibunya, dan
sebagian kecil merupakan gerakan spontan yang dia lakukan
menyesuaikan diri dengan kondisi.
Saat ini seandainya Bouw It-yu melancarkan serangan dengan
sepenuh tenaga, sebetulnya tidak sulit baginya untuk mengalahkan
lawannya ini, tapi berhubung rasa ingin tahunya, dia enggan meraih
kemenangan dengan mengandalkan tenaga dalam, tapi lebih
mengimbanginya dengan jurus pedang.
Jurus-jurus aneh yang dilancarkan Seebun Yan seketika membuat
dia kelabakan, karena untuk sesaat tidak mampu mematahkan jurus
yang datang, tidak lama kemudian pemuda ini sudah keteter hebat
hingga kalang kabut sendiri.
Berhasil dengan serangannya, Seebun Yan semakin tidak
memberi kesempatan kepada lawannya untuk bernapas, secara
beruntun dia lancarkan kembali tiga jurus serangan berantai.
Diam-diam Bouw It-yu berpikir kembali, 'Dia sedang mencoba
menggunakan jurus barunya, mengapa akupun tidak mencoba jurus
baruku?'


Perlahan-lahan pedangnya membabat keluar, lingkaran busur
seakan dibikin rata oleh getaran gelombang serangannya, kalau
dibicarakan memang sangat aneh, gerakan pedang yang begitu
lambat ternyata seketika memunahkan seluruh serangan gencar dari
Seebun Yan.
Tampaknya hasil serangan inipun sama sekali diluar dugaan
Bouw It-yu. Rupanya jurus itu bernama Oh-teng-siong-tou (sambil
berbaring mendengarkan suara pohon siong), sebuah jurus pedang
yang diciptakan ayahnya belakangan, dia sendiripun belum berhasil
menguasahinya dengan sempurna.
Berhubung menurut teori jurus pedang ini paling sesuai
digunakan untuk mematahkan serangan berantai lawan, karena
itulah dengan mengambil resiko dia mencoba menggunakannya.
Dalam hati kecil dia memang sudah membuat persiapan, seandainya
jurus itu menemui kegagalan, dia berencana akan mementalkan
pedang Seebun Yan dengan mengandalkan tenaga dalam.
Siapa tahu tanpa menggunakan tenaga dalam pun jurus
serangan tersebut berhasil dipunahkan.
Begitu serangannya berhasil dipunahkan lawan, Seebun Yan
menyangka ilmu pedang warisan ayahnya belum berhasil dipelajari
dengan sempurna, terpaksa dia harus berubah lagi menggunakan
jurus Thay-kek-kiam-hoat ajaran ibunya.
Begitu berhasil dengan percobaan pertamanya, Bouw It-yu
kembali menggunakan jurus jurus baru yang lain untuk menjajal
memunahkan ancaman lawan.
Begitu dicoba, seketika itu juga dia berhasil mendapatkan lagi
sebuah penemuan baru. Bila dia menggunakan jurus pedang yang
belakangan diciptakan ayahnya, Seebun Yan seketika akan dibuat
gelagapan dan susah untuk menghadapi, namun bila dia
menggunakan ilmu pedang ayahnya yang sering digunakan pada
usia tiga puluh tahun berselang, kendatipun jurus pedang tersebut
baginya jauh lebih sempurna dan matang, sebaliknya bagi Seebun


Yan justru dapat melayani dan menghadapi dengan sama baiknya.
Rasa heran dan curiga semakin mencekam perasaan Bouw It-yu,
pikirnya, 'Bila dianalisa dari gejala yang kujumpai sekarang, rasanya
hanya ada satu penjelasan yang masuk diakal. Dia pernah diterima
ayahku menjadi muridnya pada tiga puluh tahun berselang'
Sudah jelas hal ini merupakan satu kejadian yang mustahil, tahun
ini ayahnya sudah berusia lima puluh tahunan, sewaktu dia masih
berusia dua puluh tahun, Seebun Yan jelas belum lahir.
Tidak salah, memang masih ada sebuah kemungkinan lagi, pada
dua puluhan tahun berselang orang tua Seebun Yan pernah belajar
ilmu pedang dari ayahnya. Akan tetapi 'kemungkinan' semacam
inipun tidak bisa diyakini dengan begitu saja. Orang tua Seebun Yan
adalah tokoh Liok-lim yang termasyhur nama besarnya, bahkan
berasal dari satu angkatan dengan ayahnya, bagaimana mungkin
mereka bisa menjadi murid ayahnya?
Hasil pemolesan yang kebetulan mirip memang ada
kemungkinan, tapi ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat yang digunakan
Seebun Yan jelas bukan hasil pemolesan yang secara kebetulan
mirip dengan ilmu pedang perguruannya.
Biarpun Bouw It-yu sudah mencoba peras otak untuk
memecahkan masalah ini, namun dia gagal memperoleh jawaban
yang memuaskan, bahkan secara lamat-lamat dia dapat merasakan
kalau dibalik kesemua nya ini seolah tersimpan sebuah rahasia
besar yang sulit dipercaya.
Semua jurus ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat yang dikuasahi
Seebun Yan telah diperlihatkan dihadapannya, dalam hal ini dia
sudah tidak merasa perlu untuk menyelidiki lebih jauh. Sengaja dia
membuka sebuah titik kelemahan, membiarkan jurus Seebun Yan
digunakan hingga puncaknya, kemudian dengan satu ayunan
lingkaran pedang, seketika dia sumbat seluruh gerakan dari gadis
itu dan....”Traaang!" pedang yang berada dalam genggaman
Seebun Yan terlepas dan jatuh ke tanah, sementara ujung pedang
Bouw It-yu langsung menempel di atas tenggorokannya.


Sambil pejamkan matanya rapat-rapat Seebun Yan berteriak,
"Kalau punya nyali, ayoh cepat bunuh aku. Biar ibu tidak
membalaskan dendamku pun, Piauko pasti akan membalaskan sakit
hatiku ini!"
Biarpun dia masih sempat berteriak lantang, sejujurnya gadis itu
merasa ketakutan setengah mati. Begitu dekat ujung pedang itu
dengan tenggorokannya membuat dia tidak berani membuka
matanya, dia sudah siap menerima kematiannya sambil
memejamkan mata.
Setelah lewat berapa saat kemudian, tiba-tiba dia merasa hawa
pedang yang menempel didepan lehernya sudah tidak sedingin tadi
lagi, pihak lawan pun seolah sama sekali tidak bergerak, keheningan
yang sangat aneh membuat dia mau tidak mau harus membuka
matanya kembali.
Tapi begitu membuka matanya, tidak kuasa lagi dia merasa
keheranan, malu bercampur mendongkol, ternyata ujung pedang
Bouw It-yu sudah tertuju ke bawah, tapi sepasang matanya yang
terbelalak besar, seakan begitu dekat mengawasi raut mukanya.
Saat itu Bouw It-yu memang sedang mengawasi wajah gadis itu
dengan termangu, ingatannya seakan terbang balik pada kejadian
berapa tahun berselang.
Ibunya sudah tiga bulan menderita sakit, waktu itu tahun baru
hampir menjelang tiba, tapi ayahnya belum kembali ke rumah.
Walaupun saat itu dia hanya seorang bocah berusia lima, enam
belas tahunan, namun terhadap urusan orang dewasa dia cukup
banyak memahami.
Dia pun mengetahui sedikit banyak mengenai rahasia seputar
ayahnya, rahasia itu sempat dicuri dengar ketika orang bawahannya
sedang berkasak kusuk membicarakan hal tersebut, tapi ada juga
sebagian rahasia yang berhasil dia curi dengar ketika ibunya
berkeluh kesah terhadap ayahnya.
Waktu itu dengan penuh rasa jengkel dan mendongkol dia


berkata di hadapan ibunya yang masih tergolek sakit di ranjang,
"Sudah pasti ayah terpikat lagi oleh perempuan yang tidak tahu
malu itu!"
"Jangan kau maki ayahmu,” cegah ibunya, "jangan pula
mengumpat perempuan itu. Dia bukanlah perempuan liar yang tidak
tahu malu!"
Dia merasa sangat tidak puas dengan jawaban ibunya itu, segera
bantahnya, "Ibu, kau jadi orang kelewat baik hati, sudah jelas
perempuan yang tidak memperolehkan ayah pulang adalah
perempuan jalang yang tidak tahu malu, mengapa kau masih
berusaha membelainya?"
"Perempuan jalang? Siapa yang mengatakan kalau dia
perempuan jalang?"
"Kau tidak perlu mengusut siapa yang telah memberitahukan
kepadaku, pokoknya aku sudah tahu siapakah perempuan busuk
itu.”
"Ooh.... kau sudah tahu? Siapakah dia?"
"Perempuan busuk yang amat tersohor karena jahatnya, si lebah
hijau Siang Ngo-nio.”
Ibunya segera menghela napas panjang, desisnya, "Alangkah
baiknya bila dia adalah si Lebah hijau Siang Ngo-nio.”
"Jadi orang itu jauh lebih keji daripada Siang Ngo-nio?" tanyanya
terkesiap.
"Bukan,” ibunya menggeleng, "dia adalah seorang wanita anggun
yang mempunyai reputasi tinggi, selain cantik dan berbakat,
kungfunya sangat lihay, hampir dalam hal apa pun dia jauh
mengungguli diriku.”
"Ibu, aku tidak percaya masih ada perempuan lain yang jauh
lebih baik daripada dirimu.”
Ibunya tertawa getir, ujarnya, "Di dalam pandanganmu, aku
adalah perempuan yang terbaik di dunia ini. Akan tetapi kebaikan


dan kelebihanku masih jauh ketinggalan bila dibandingkan
perempuan itu, bukan saja dalam pelbagai hal dia mengungguli aku,
bahkan jauh mengungguli diriku!"
Dengan perasaan ragu bercampur tidak habis mengerti ujarnya,
"Ibu, kau terlalu mengunggulkan musuh dengan memadamkan
semangat sendiri. Tapi aku tetap tidak mengerti maksud dari
perkataan yang barusan kau ucapkan.”
"Kau tidak mengerti? Manusia semacam ayahmu tidak bakalan
bisa menyukai perempuan semacam Siang Ngo-nio, kendatipun
mereka pernah berselingkuh, paling hubungan tersebut hanya
sekedar panggung sandiwara. Oleh karena itu, bila perempuan
tersebut adalah Siang Ngo-nio, aku justru merasa lega sekali,
karena perempuan semacam itu tidak bakalan akan membuat
ayahmu terpikat hingga tergila-gila.”
Kini dia baru memahami maksud ibunya.
"Lantas perempuan manakah yang benar-benar disukai ayah?"
tanyanya kemudian.
Ibunya tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya berkata,
"Ayahmu pun benar-benar mencintai aku.”
"Berarti kesemuanya ini merupakan kesalahan ayah, dia dikenal
orang sebagai seorang pendekar sejati, mengapa cintanya justru
bercabang-cabang?"
"Jangan salahkan ayahmu, jangan salahkan juga perempuan itu,
kesemuanya ini.... kesemuanya ini.... aaaai, boleh dibilang memang
nasib, memang takdir kita semua.”
"Siapakah perempuan itu?"
"Jangan mencampuri urusan ayahmu, padahal ayahmu, dia....
perasaan hatinya sudah cukup men derita.”
Saat ibunya mengucapkan perkataan itu dulu, dia sama sekali
tidak paham, tapi sekarang, setelah mengamati paras muka Seebun
Yan, tiba-tiba saja dia seakan memahami akan sesuatu.


Perkenalannya dengan Seebun Yan baru saja berlangsung belum
lama, tapi Seebun Yan yang berada dihadapannya sekarang terasa
seakan seseorang yang sangat dikenalnya.
Mengapa dia bisa memiliki perasaan sedemikian aneh?
Ketika menatap kembali paras muka Seebun Yan yang cantik,
tiba-tiba hatinya tergerak, "Jangan-jangan perempuan itu adalah
ibunya?"
In Beng-cu, ibunda Seebun Yan berasal dari keluarga persilatan
kenamaan, semasa masih muda dulu, dia pernah dijuluki orang
sebagai Bulim Tee-it Bi-jin (perempuan paling cantik dari persilatan),
setelah menikah dengan Seebun Mu, diapun menjadi nyonya
seorang Liok-lim Bengcu, bukan saja statusnya sangat tinggi dan
terhormat, kecantikan dan kepintarannya juga luar biasa, hingga
kini dia masih disegani banyak orang.
Dengan pelbagai syarat yang dimilikinya, dia memang pantas
menyandang predikat sebagai seseorang dengan status istimewa,
bukankah syarat seperti ini sangat cocok dengan penuturan ibunya
dulu?
Akan tetapi dia pun tidak berani menduga kalau "perempuan itu"
tidak lain adalah ibunda Seebun Yan.
Benarkah apa yang dia bayangkan? Atau salah? Sungguh? Atau
palsu? Dia merasa bingung, tidak habis mengerti, pikirannya kalut....
Seebun Yan membuka kembali matanya, melihat pedang di
tangan Bouw It-yu sudah tertunduk ke bawah sementara wajahnya
dengan mimik terpesona sedang mengawasi wajahnya tanpa
berkedip, dia jadi mendongkol bercampur gusar, "Ploook!" sebuah
tamparan langsung dilayangkan ke depan.
Bagi seorang jago silat berilmu tinggi, biarpun sedang
menghadapi sergapan yang sangat tiba-tiba, namun daya
refleksinya cukup tinggi, sayangnya kendatipun dia sudah
menghindar cukup cepat, tidak urung tamparan itu mengena juga.
Tentu saja bukan menghantam diwajahnya melainkan menghantam


pada pedangnya hingga terlepas dari pegangan.
"Kalau ingin membunuh, cepatlah bunuh aku. Buat apa kau
mempermainkan diriku?" umpat Seebun Yan.
"Eeei.... kapan aku mempermainkan dirimu? Bukankah kau
mempunyai ibu yang gagah, mana berani aku permainkan dirimu?"
Seebun Yan berpikir sejenak, benar juga, dia hanya menatap
wajahnya dengan terpesona, sama sekali tidak melakukan tindak
tanduk kurangajar atau berniat mempermainkan dirinya, dia pun
berpikir, "Kelihatannya dia benar-benar hanya terpesona oleh paras
muka ku!"
Bagaimana pun wanita memang senang bila tahu ada orang
lelaki yang terpikat oleh paras mukanya, otomatis rasa
mendongkolnya ikut mereda, katanya kemudian, "Asal tahu saja
kau....”
Bouw It-yu tidak banyak bicara lagi, dengan ujung kakinya dia
congkel gagang pedang Seebun Yan, menyusul kemudian
memungut juga pedang milik sendiri.
Agak tertegun Seebun Yan melihat hal itu, segera bentaknya,
"Kau ingin....”
Belum sempat kata berikut diucapkan, terdengar Bouw It-yu
telah berkata lagi, "Aku telah menjatuhkan pedangmu, kaupun telah
menjatuhkan pedangku, boleh dikata kita berdua seimbang.
Rasanya tidak perlu bertanding lagi bukan?"
Seebun Yan tahu kalau dia sengaja berkata begitu karena ingin
mengambil hatinya, karena tidak perlu kehilangan muka lagi maka
dengan perasaan girang katanya, "Padahal ilmu pedangmu jauh
lebih tinggi ketimbang aku, hanya saja dibandingkan Piauko ku, kau
masih selisih sedikit saja. Baiklah, pedangpun sudah
dipertandingkan, sekarang silahkan.”
"Silahkan? Silahkan aku ke mana?"
"Siau-sumoay mu sudah pergi cukup lama, masa kau tidak


segera mengejarnya?"
"Oooh, ternyata kau sedang mempersilahkan aku pergi!"
"Tentu saja, masa aku harus menahanmu disini.”
"Eeei, jangan buru-buru pergi, kau tidak ingin menahanku tapi
aku justru ingin menahammu!"
Sambil berkata tiba tiba dia melompat ke depan dan menangkap
pergelangan tangan Seebun Yan.
Dengan perasaan terkesiap jerit Seebun Yan, "Kau.... mau apa
kau....”
Bouw It-yu tidak menjawab, dia menarik gadis itu ke tepi telaga,
air telaga dalam lembah bukit itu bening bagaikan cermin, bayangan
wajah mereka pun segera muncul diatas permukaan.
"Coba kau perhatikan dengan seksama!" kata Bouw It-yu.
"Melihat bayangan tubuhmu?"
"Melihat bayanganku, melihat juga bayanganmu. Coba
perhatikan, bukankah wajah kita sangat mirip?"
"Aaaah benar,” Seebun Yan ikut menjerit tertahan, "wajah kita
benar benar mirip sekali. Lantas kenapa?"
"Paras mukamu mirip ayahmu atau mirip ibumu?" tiba-tiba Bouw
It-yu bertanya lagi.
"Buat apa kau menanyakan soal ini?"
"Tidak apa apa, aku hanya ingin tahu saja.”
'Jangan-jangan inilah penyebab mengapa dia awasi wajahku
dengan termangu tadi,' pikir Seebun Yan. Maka sahutnya,
"Kerabatku kebanyakan mengatakan kalau aku mirip ibuku, tapi ibu
bilang aku lebih banyak mirip ayah. Hanya sayang disaat ayahku
meninggal dunia, aku masih tidur dalam bokongan ibuku sambil
menetek. Jadi aku sama sekali tidak tahu bagaimana sebetulnya
wajah ayahku.”


"Aku belum pernah bertemu ayahmu, juga belum pernah
bertemu ibumu, tapi menurut pendapatku, kau lebih banyak mirip
ibumu.”
Timbul rasa ingin hati dihati kecil Seebun Yan, cepat tanyanya,
"Kenapa kau bisa berkata begitu?"
"Hampir semua orang tahu kalau ibumu adalah perempuan
paling cantik dalam persilatan.”
Seebun Yan segera tertawa.
"Mulutmu pandai amat berbicara, rupanya setelah bicara ke utara
selatan, akhirnya tujuanmu hanya ingin memujiku. Tapi, tadi kau
mengatakan kalau wajah kita mirip sekali, bukankah perkataanmu
sama artinya sedang memuji diri sendiri.”
"Sayang aku hanya berapa bagian mirip dengan dirimu. Tapi
dimasa masih muda dulu, ayahku pun pernah disebut orang sebagai
lelaki paling tampan dalam persilatan.”
"Jangan kau katakan wajahmu lebih banyak mirip ayahmu,” goda
Seebun Yan sambil tertawa.
Bouw It-yu hanya tertawa tanpa menjawab, sementara dalam
hatinya berpikir, 'Mungkin wajahmu pun lebih banyak mirip ayah'
Kelihatannya Seebun Yan masih tetap bingung dan tidak habis
mengerti, kembali dia bertanya, "Bouw It-yu, sebenarnya apa
maksudmu dengan tindakanmu ini?"
"Apa maksudnya?" Bouw It-yu balas bertanya sambil menirukan
gayanya.
"Tidak ada angin tidak ada hujan kau mengajakku mengaca di
permukaan air telaga, kemudian mengucapkan juga perkataan yang
tidak ada ujung pangkalnya, aku tidak yakin kalau perbuatanmu ini
hanya ulah seorang bocah cilik.”
"Tentu saja aku bukan berulah. Sekarang tentunya kau sudah
tahu bukan kalau diantara kita berdua sesungguhnya sangat mirip?"


"Jadi kau bermaksud agar aku mengetahui hal ini? Tapi apa
manfaatnya bagimu setelah aku mengetahuinya?"
"Bukan bermanfaat bagiku saja, bagimu pun bermanfaa tjuga.”
"Ini lebih aneh lagi, manfaat apa yang bisa kuperoleh?"
"Jika kau menyamar sebagai adikku, orang lain pasti akan
mempercayainya.”
"Buat apa aku harus menyamar menjadi adikmu?"
"Dengan begitu kau bisa ikut aku pergi ke wilayah Liauw-tong,
kita pun tidak usah kuatir ada perbedaan antara lelaki dan wanita.”
"Karena alasan apa aku harus mengikutimu pergi ke wilayah
Liauw-tong?"
"Bukankah kau hendak mencari Piauko mu?"
"Jadi kau tahu kalau Piauko ku berada di Liauw-tong?"
"Kau tidak usah perduli darimana aku mengetahui nya, yang
pasti aku tidak bakalan menipumu!"
"Kau sangka aku akan mempercayaimu?"
"Bila aku berniat membohongimu, biar aku mendapat nama
busuk, tidak bisa menancapkan kaki lagi dalam Bui-lim, tidak bisa
mendongakkan kepala lagi dihadapan orang lain!"
Seandainya dia hanya bersumpah "biar aku mati tidak wajar"
atau ucapan sebangsanya, mungkin saja Seebun Yan tidak bakalan
percaya, tapi sumpah itu sangat berat, mau tidak mau gadis itu
harus mempercayai juga akan ketulusan hatinya.
Perlu diketahui, Siau-lim dan Bu-tong merupakan tonggak dunia
persilatan, sebagai putra dari seorang Ciangbunjin partai besar,
tentu saja dia tidak ingin mendapat nama busuk, apalagi tidak ada
tempat untuk tancapkan kaki dalam rimba persilatan.
Jika seseorang berada dalam kondisi "tidak bisa mendongakkan
kepala lagi didepan orang lain", jelas keadaan itu jauh lebih


menakutkan daripada mati.
Setelah termangu berapa saat, akhirnya Seebun Yan bertanya
lagi, "Antara kau dengan Piauko pernah terjadi perselisihan,
mengapa kau bersedia membantuku?"
"Karena aku ingin membalas pujian yang diberikan ibumu
kepadaku, sekalipun aku tidak berani menerimanya, namun
bagaimana pun dia telah menyam paikan pujian itu.”
Setengah percaya setengah tidak Seebun Yan bertanya, "Jadi
lantaran ibuku pernah memujimu, maka kau pun bersedia menahan
cemoohan orang lain?"
Perlu diketahui, dengan Bouw It-yu bersedia membantunya
mencari Tonghong Liang, sama artinya dia bersedia mengajak
damai kakak misannya itu.
Tiba tiba Bouw It-yu bertanya lagi, "Apakah sikap ibumu
terhadap Piaukomu sangat baik?"
"Tentu saja. Aku tidak punya saudara, karena itu ibu selalu
menganggapnya seperti anak kandung sendiri.”
Berbicara sampai disini, tiba-tiba dia seperti teringat akan
sesuatu, katanya lagi sambil tertawa, "Ibu sama sekali tidak
mengenalmu, tapi dia sangat memuji dirimu, kalau didengar dari
nadanya, dia seolah menaruh sikap yang jauh lebih baik ketimbang
terhadap Piauko ku.”
"Benar, itulah sebabnya aku harus membalas budi kebaikan
ibumu, dia telah memujiku, padahal Kau dan Piauko mu adalah
orang yang paling dia kasihi, masa aku masih bisa bersikukuh atas
perselisihanku dengan Tonghong Liang?"
Pada dasarnya tabiat Seebun Yan memang istimewa, dia
termasuk orang yang senang gusar semaunya sendiri, seringkali apa
yang dia lakukan jauh diluar kebiasaan pada umumnya.
Jika berganti orang lain, kemungkinan besar mereka tidak bakal
percaya dengan penjelasan dari Bouw It-yu itu, tapi baginya,


apalagi setelah melihat ketulusan hati Bouw It-yu ketika
mengucapkan kata kata tersebut, tanpa terasa dia mempercayai
semua perkataan nya.
Melihat gadis itu hanya termenung tanpa menjawab, sambil
tertawa Bouw It-yu bertanya lagi, "Apa yang sedang kau pikirkan,
masih tidak percaya dengan diriku?"
"Bukannya tidak percaya, tapi aku tidak bisa mendampingimu
pergi Liauw-tong. Maukah kau memberitahukan jejak Piauko ku?"
"Aku pun hendak ke Liauw-tong untuk mencari tahu kabar
beritanya. Mengapa kau tidak bisa pergi bersamaku?"
"Tidak apa-apa, aku hanya tidak ingin.”
"Apa lantaran kau kuatir Piauko mu cemburu?" desak Bouw It-yu
sambil senyum tidak senyum.
Merah jengah selembar wajah Seebun Yan.
"Kau tidak perlu mencampuri urusanku!"
"Piaukomu benar benar amat jahat!" tiba tiba Bouw It-yu
berbisik.
"Atas dasar apa kau menuduh Piaukoku jahat?” tegur Seebun
Yan gusar.
"Jadi menurutmu tidak jahat? Bayangkan saja, dia mempunyai
seorang Piaumoay yang cantik jelita bak bidadari dari kahyangan,
tapi dia justru berlagak seolah tidak memahami perasaan hatimu,
tidak perduli padamu, bahkan acuh tidak acuh, aku lihat sikapnya
terhadap Lan Sui-leng justru jauh lebih baik kan. Masa kau masih
bisa menahan diri? Hmm, coba kalau berganti aku....”
"Kenapa kau?"
"Maaf, aku salah bicara. Kalau kuteruskan, pasti akan kau anggap
sedang mengadu domba. Lebih baik pikirlah sendiri.”
"Tidak kau ucapkan pun aku juga tahu, betul, aku memang
sepatutnya membuat panas hatinya juga, kalau dia sampai salah


paham, biarkan saja dia salah paham.”
"Jadi adikku, kau sudah paham bukan? Bagus, kalau begitu mari
kita segera berangkat!"
"Huuh, siapa yang jadi adikmu?" seru Seebun Yan gusar.
"Tentu saja kau,” sahut Bouw It-yu sambil tertawa, "jangan lupa,
kita sedang menyamar menjadi kakak beradik. Bila tidak dibiasakan
panggilannya sejak sekarang, aku kuatir rahasia penyamaran kita
bakal terbongkar.”
Sementara dia berbicara, dalam hati kecilnya berpikir, 'Mogamoga
saja dia memang bukan adikku. Tapi kalau dilihat gelagatnya,
kemungkinan besar perempuan itu adalah ibunya, mungkin aku
tidak ingin menjadi kakaknya pun tidak mungkin bisa dihindari'
Berpikir sampai disitu dia hanya bisa tertawa getir, paras
mukanya tampak makin bimbang d an kosong.
Seebun Yan berjalan berdampingan dengannya, melihat
perubahan wajahnya itu dia jadi keheranan, segera tegurnya, "Aku
lihat pikiranmu sangat kalut dan tak tenang, apakah sedang
merindukan siau sumoay mu?"
Tentu saja Bouw It-yu tidak bisa mengemukakan alasan
sebenarnya, maka sahutnya, "Aku memang sedikit kuatir
membiarkan dia pulang gunung seorang diri, namun setelah
berjumpa denganmu, aku pun sedikit merasa lebih lega.”
"Kenapa?" tanya Seebun Yan tercengang.
"Kau pintar, cekatan lagi, meskipun usiamu sedikit lebih tua
daripadanya, pengetahuanmu tentang rimba persilatan pun jauh
lebih banyak, bukankah selama berapa bulan terakhir dia selalu
mengikutimu? Asal dia pernah mempunyai seorang guru yang begini
bagus, tentu saja aku tidak perlu menguatirkan keselamatannya
lagi.”
"Pandai amat kau mengambil hati orang, tapi ada satu hal aku
ingin bertanya kepadamu, mengapa kau panggil dia sebagai SiauTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/

sumoay, sementara dia sendiri menyebutmu Siau-susiok?"
"Berbicara soal tingkatan, aku memang setingkat lebih tinggi
darinya. Tapi bicara soal usia, aku hanya berapa tahun lebih tua dari
umurnya, jadi aku berniat minta ayahku untuk menerimanya
sebagai murid.”
"Memangnya ayahmu bersedia? Dalam perguruan lain, soal
tingkat kesenioran tidak bisa dirubah semau sendiri.”
"Ayahku sama seperti aku, tidak suka mengurusi segala urusan
tetek bengek yang tidak berguna.”
"Pepatah kuno mengatakan: begitu bapaknya, begitu anaknya.
Kau seharusnya mengatakan kalau kaulah yang mirip ayahmu.”
"Terima kasih banyak atas petunjukmu, tapi kalau semua
perkataan harus dipikir dulu sebelum diucapkan, aku merasa seolah
diriku jadi terkekang.”
"Aaah, benar, memang disinilah terlihat kalau kau bukan orang
yang suka dikekang.”
Setelah memandang Bouw It-yu sekejap, tiba tiba ujarnya lagi,
"Tahukah kau, ketika kau sedang memikir sesuatu masalah,
tampangmu.... tampangmu....”
"Tentunya amat jelek bukan?"
"Tidak, sangat menarik malah,” bicara sampai disitu, Seebun Yan
tertawa cekikikan.
"Tertawamu aneh sekali, pasti ada penyebab lain?"
"Bukankah sudah kukatakan,” sahut Seebun Yan sambil tertawa,
"alasannya adalah karena tampangmu menarik sekali!"
Alasan yang sesungguhnya sudah tentu bukan lantaran
"menarik", melainkan karena secara tiba-tiba dia teringat dengan
ibunya.
'Seringkali tanpa sebab ibu seperti sedang memikirkan sesuatu,
ketika dia sedang termenung, alis matanya selalu berkenyit, sorot


matanya memandang ke tempat kejauhan, bukankah tampang ibu
saat itu mirip sekali dengan tampang Bouw It-yu sekarang.... '
Ketika berpikir sampai disini, tiba-tiba perasaan aneh lain kembali
melintas dalam benaknya.
"Bukan hanya gayanya saja, bahkan dari atas mimik mukanya
aku seolah dapat melihat bayangan dari ibu.”
Ooo)*(ooO
BAB XIII.
Mengarungi jalan mencari jejak
Hati beku nyali baja saling berkaitan.
"Hey, apa yang sedang kau pikirkan?" tegur Bouw It-yu.
"Aku sedang berpikir, mungkinkah ada kehidupan lain sebelum
kehidupan kali ini?"
"Mengapa kau berpikir ke situ?"
"Seringkali di dunia ini terdapat dua orang yang tidak saling
mengenal, ternyata memiliki wajah yang sangat mirip, bahkan jalan
pikiran mereka pun sering-kali sama. Mungkinkah dalam
penghidupan mereka sebelumnya pernah menjadi sanak
saudaranya? Kemudian ada juga orang yang merasa begitu cocok
satu sama lainnya ketika baru bertemu, mungkinkah dalam
kehidupan mereka sebelumnya pernah mengikat tali kasih atau
jodoh?"
"Aaah, makin bicara perkataanmu semakin mendekati tahayul.
Pepatah kuno bilang: manusia ada yang mirip, benda pun ada yang
sama. Masa kau tarik masalahnya jadi jodoh pada penghidupan
sebelumnya?"
Kembali Seebun Yan tertawa.


"Kau tidak tahu, aku memang seringkali terjangkit penyakit suka
berpikir yang bukan-bukan. Tapi anehnya, kadangkala pikiran yang
bukan-bukan itu sering bisa berubah menjadi kenyataan.”
Tidak jelas apakah hal semacam inipun termasuk "jodoh", belum
lama berselang mereka masih saling menyerang, tapi kini
pembicaraan berlangsung begitu hangat dan akrab.
Sepanjang perjalanan Bouw It-yu selalu merawat dan
memperlakukan gadis itu sebagai seakan dia adalah kakak
tertuanya, namun sikap serta tindak tanduknya tidak pernah
melanggar batas kesopanan.
Tidak selang berapa hari kemudian, bukan saja orang lain telah
menganggap mereka sebagai dua bersaudara, Seebun Yan pun
telah menganggap Bouw It-yu sebagai saudara kandung sendiri.
Hanya saja diantara mereka berdua ada satu hal yang berbeda,
Bouw It-yu bukan orang yang suka mengurusi masalah kecil dan
urusan tetek bengek, dia adalah seseorang yang penuh dengan akal
dan cerdas, seringkali dia menggunakan sejumlah tehnik yang halus
untuk melakukan penyelidikan tentang urusan yang berhubungan
dengan orang tuanya.
Suatu kali Bouw It-yu membicarakan masalah pemandangan
alam di wilayah Kanglam, Seebun Yan pun berkata, "Diatas langit
ada surga, di bawah bumi ada Siok-Hang (Siok-ciu, Hang-ciu), tidak
usah kau jelaskan pun aku sudah tahu. Khususnya mengenai telaga
See-ouw, biarpun aku belum pernah mengunjunginya, namun dalam
alam mimpi entah sudah berapa kali aku pesiar ke sana.”
"Hahahaha.... macam apakah telaga See-ouw dalam alam mimpi
mu itu?" tanya Bouw It-yu sambil tertawa.
"Baik, akan kuceritakan satu per satu, coba kau perhatikan
apakah aku telah salah jalan?"
Dari pohon Yang-liu yang tumbuh disepanjang tanggul Siok-ti,
Pek-ti, sampai bunga Tho di bukit Ku-san, bayangan ombak di
pagoda Ou-sim-teng, suasana bulan purnama di Sam-than-eng,


malah sampai tempat tempat terkenal di telaga See-ouw dan
hidangan lezat yang tersedia, satu per satu dia uraikan dengan detil.
Selesai mendengar uraian nona itu, sambil tertawa Bouw It-yu
berkata, "Aneh, kau seolah seperti benar-benar pernah mendatangi
kota Hang-ciu, masa tentang telaga See-ouw kau bisa menjelaskan
begitu hapal dan detil.”
"Desa asal kakak misanku berada di kota Hang-ciu. Ibu pun
pernah tinggal di rumah Cihu (suami Cici) hampir setahun lamanya,
dia paling senang telaga See-ouw, bukan saja seringkali
membicarakan keindahan alam See-ouw denganku, bahkan dia pun
tunjukkan juga banyak lukisan yang pernah dibuatnya dulu.”
"Tentunya kisah cerita banyak tahun berselang bukan?"
"Waktu itu ibu belum menikah, aku merasa paling tidak sudah
dua puluhan tahun berselang.”
"Waah, rupanya kejadian pada dua puluhan tahun berselang!"
seru Bouw It-yu sambil tertawa, "tentunya waktu itu akupun belum
lahir. Tidak heran kalau kau begitu mengagumi telaga See-ouw,
ternyata semasa masih dalam kandungan ibumu pun kau sudah
menghapalkannya.”
Sementara diluar dia berbicara sambil tertawa, dalam hati
kecilnya semakin dicekam perasaan ragu dan tanda tanya, pikirnya,
Aku masih ingat ibu pernah berkata kalau ayah buru-buru pulang ke
rumah dari Hang-ciu untuk menikah dengannya. Dia tiba dirumah
persis dihari perkawinan yang telah ditetapkan. Ehmm, janganjangan
pada tahun ayah menikah, ibu Seebun Yan juga kebetulan
berada di rumah Cihunya di kota Hang-ciu?"
Sekarang dia hampir berani memastikan kalau Seebun-hujin
adalah "perempuan itu", namun masih ada berapa pertanyaan yang
mencurigakan hatinya.
"Bila dia adalah perempuan itu, mengapa dia bisa sangat memuji
diriku? Mengapa Seebun Yan bisa iri dan cemburu gara-gara
pujiannya jauh melebihi pujian terhadap kakak misannya? Jelas


keadaan semacam ini tidak sesuai dengan kenyataan.”
Kalau berbicara menurut kenyataan, biasanya pikiran dan
perasaan kaum wanita jauh lebih sempit dan cupat, mana mungkin
dia memuji putra dari musuh cintanya? Lagipula selama inipun
mereka belum pernah berjumpa muka.
Seebun Yan sendiripun dicekam oleh keraguan, setelah
menempuh perjalanan bersama selama beberapa hari, tidak tahan
dia bertanya kepada Bouw It-yu, "Selama berapa hari mencari
tempat penginapan, kau sering mencari berita dari para pelayan
losmen tentang seorang pemuda, tapi kalau kudengar dari raut
muka yang kau lukiskan, rasanya orang yang sedang kau cari bukan
kakak misanku?"
"Lalu kau sangka siapa dia?"
"Kalau kubayangkan dari raut muka yang kau lukiskan, rasanya
dia adalah adik Lan Sui-leng bukan? Aku pernah satu kali berjumpa
dengannya dalam Toan-hun-kok.”
"Dugaanmu tepat sekali, aku memang sedang mencari kabar
tentang Lan Giok-keng, adik Lan Sui-leng.”
"Kenapa kau harus mencari tahu kabar beritanya?"
"Karena aku tahu Lan Giok-keng memang sedang pergi ke Liauwtong,
bila kita berhasil menemukan Lan Giok-keng, Piauko mu pasti
akan ditemukan juga.”
Dengan nada setengah tidak percaya, tanya Seebun Yan,
"Mengapa bisa begitu?"
"Dengan mencermin masa lalu kita akan tahu masa depan,
selama ini di mana Lan Giok-keng munculkan diri, cepat atau lambat
Piauko mu pasti akan muncul juga disana. Contoh yang paling jelas
adalah sewaktu kau bertemu mereka di Toan-hun-kok.”
"Siapa tahu kalau pertemuan itu hanya secara kebetulan?"
"Kebetulan hanya bisa terjadi satu kali. Menurut apa yang
kuketahui, sejak Lan Giok-keng turun gunung, dia sudah ditempel


terus oleh Piauko mu!"
Sebetulnya Seebun Yan sendiripun sudah merasa kalau peristiwa
yang terjadi dalam Toan-hun-kok sangat aneh dan mencurigakan,
namun setelah mendengar ucapan dari Bouw It-yu, tidak tahan
segera bantahnya, "Masa kaupun percaya dengan segala isu yang
beredar selama ini, menyangka Piauko ku ingin mencuri belajar ilmu
pedang perguruanmu dari tangan Lan Giok-keng?"
"Aku tidak mempunyai maksud begitu, tapi aku yakin dia pasti
akan mengikuti Lan Giok-keng berangkat ke Liauw-tong!"
Begitu melihat pemuda itu berbicara dengan begitu serius,
Seebun Yan jadi setengah percaya setengah tidak, pikirnya,
'Bagaimana pun aku toh tidak punya cara lain untuk menemukan
jejak Piauko, lagipula orang she-Bouw ini tidak terlalu memuakkan,
apa salahnya aku ikut jalan jalan ke wilayah Liauw-tong?'
Berpikir begitu maka sahutnya, "Baiklah, aku akan
mempercayaimu kali ini saja, bila tetap tidak berhasil menemukan
Piauko ku....”
"Akan kuganti dengan....”
"Ngaco belo, emang Piauko pun bisa dicarikan penggantinya?"
"Nanti dulu, perkataanku kan belum selesai diucapkan, bukan
diganti dengan Piauko tapi dengan seorang kakak kandung.”
Seebun Yan mengira pemuda itu sedang mencari untung darinya,
kontan dia mengumpat, "Cisss.... aku mah ogah mendapat kakak
macam kau.”
Tapi kemudian sambil tertawa terusnya, "Hanya saja, rasanya
kau masih punya harapan bila ingin menjadi anak angkat ibuku.
Cuma.... biar begitupun aku tidak bakalan mengakui dirimu sebagai
kakak angkatku.”
Begitulah sepanjang jalan mereka berdua melakukan perjalanan
sambil berbincang dan bergurau, suasana tidak terasa kelewat sepi.
Namun mereka tidak berhasil mendapatkan berita mengenai Lan


Giok-keng, tanpa terasa mereka berdua telah memasuki wilayah
Liauw-tong.
Hari ke tiga setelah menginjakkan kaki di wilayah Liauw-tong,
ketika sedang menempuh perjalanan, mereka melihat ada sebuah
kedai arak dipinggir jalan.
Hampir semua kedai arak yang ada disepanjang jalan memiliki
bentuk yang sama, dinding empat penjuru berada dalam keadaan
terbuka, tiada jendela, tiada pintu. Sang pemilik kedai merangkap
pula menjadi pelayan, biasanya mereka hanya menggaji seorang
kacung cilik.
Arak yang dijual pun hanya arak putih biasa, sedang hidangan
teman minum arak biasanya adalah daging sapi asin atau itik
goreng.
Sebenarnya Bouw It-yu tidak terlalu menaruh perhatian terhadap
kedai arak itu, namun sewaktu lewat tadi, dia sempat mendengar
suara pembicaraan dari sang pemilik kedai dengan kacungnya,
pembicaraan itulah yang menarik perhatiannya.
"Pemuda asing yang datang dari luar daerah itu sungguh begitu
lihay?" terdengar si kacung bertanya.
"Walaupun aku tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri,
tapi banyak orang dikota ini yang berkata begitu, masa bisa
bohong?"
Tergerak pikiran Bouw It-yu, dia segera balik kembali.
Melihat itu Seebun Yan segera menegur, "Bukankah baru saja
kita bersantap siang, masa kau sudah lapar kembali?"
"Arak di kedai tadi kurang enak, aku ingin meneguk barang dua
cawan arak lagi disini.”
"Darimana kau bisa tahu kalau arak disini enak?"
"Kau bukan peminum arak, tentu saja tidak bakal tahu. Begitu
kuendus bau harum arak disini, segera kutahu kalau arak di tempat
ini pasti arak yang harum.”


Ketika melihat sang tamu hanya berjalan lewat, pemilik kedai itu
sebenarnya kecewa, maka begitu melihat kedua orang itu balik
kembali ke arah kedainya, buru-buru dia menambahkan, "Betul,
betul, ketajaman matamu memang luar biasa, arak putih yang kami
jual memang arak putih kwalitas satu, dijamin tidak dicampuri air,
silahkan masuk!"
Bouw It-yu memesan sepoci arak dan setengah kati daging sapi,
selesai bersantap dia pun mengeluarkan sebiji goanpo seberat lima
tahil perak dan diserahkan kepada pemilik kedai itu.
"Kami tidak punya hancuran perak sebanyak itu untuk
pengembaliannya,” kata pemilik kedai kemudian dengan kening
berkerut.
Untuk membayar arak dan hidangan yang dipesan Bouw It-yu,
paling banter harganya tidak lebih dari lima rence (seperlima tahil).
"Kau tidak perlu memberi pengembaliannya, asal
memberitahukan satu hal kepadaku,” kata Bouw It-yu sambil
tersenyum.
"Soal apa?"
"Pernahkah kau menjumpai seseorang macam begini lewat di
tempat ini?"
Mencorong sinar terang pemilik kedai itu selesai mendengar
penjelasan tamunya, cepat dia berseru, "Oooh, bukankah pemuda
itu berlogat selatan?”
“Tepat sekali. Aku hanya ingin tahu apakah dia telah tiba di
wilayah Liauw-tong, bila kau tahu cepat katakan padaku, soal yang
lain, kau tidak perlu banyak bertanya lagi.”
Pemilik kedai itupun orang kawakan yang sudah berpengalaman
dalam pergaulan, tujuan baginya hanya ingin mendapat uang perak
tersebut, sudah barang tentu diapun tidak ingin mencari tahu latar
belakang Bouw It-yu.
Begitu menerima uang tersebut segera katanya, "Aku sendiri


belum pernah bertemu dengan orang itu, tapi aku tahu ada banyak
orang pernah berjumpa dengannya.”
"Bertemu di mana?"
"Dikota Uh-sah-tin!"
"Uh-sah-tin? Sah dari kata pasir atau Sah dari kata ikan hiu?"
"Sah dari kata ikan hiu. Kota Uh-sah-tin terletak lebih kurang
tujuh puluh li dari sini, kota itu adalah sebuah bandar, oleh karena
di wilayah lautan sekitar sana seringkali muncul sejenis ikan hiu
yang seluruh badannya berwarna hitam pekat, maka orang orang
pun menyebut bandar itu sebagai kota Uh-sah-tin, padahal tidak
terlalu sering muncul ikan hiu hitam disitu, dalam setahun paling
banter hanya muncul satu, dua kali, kalau bukan begitu mana ada
orang berani menangkap ikan lagi di seputar sana.”
Bouw It-yu tidak sabar mendengar penjelasan yang bertele-tele
itu, segera tukasnya, "Apa yang dilakukan si bocah muda itu di kota
Uh-sah-tin?"
"Berkelahi dengan pedagang ikan.”
"Kenapa berkelahi dengan pedagang ikan?"
"Katanya mah pedagang ikan, padahal mereka adalah tukang
pukul dari pengumpul ikan. Semua nelayan yang berada di kota Uhsah-
tin harus menjual semua ikan hasil tangkapannya kepada
pengumpul ikan itu, pemilik pengumpul ikan tersebut konon
merupakan seorang saudagar yang mempunyai kemampuan duduk
sejajar dengan pembesar setempat, aku dengar beberapa buah toko
perdagangan yang ada di kota itupun miliknya seorang.”
"Tentunya transaksi jual beli berjalan tidak adil bukan?" tanya
Seebun Yan.
"Eeei, darimana kau bisa tahu? Tidak ada salahnya aku beritahu,
secara diam-diam penduduk kota Uh-sah-tin mengumpat juragan
ikan itu sebagai Hi-pa (manusia lalim pengumpul ikan)!"
"Aku rasa tidak mungkin bocah muda itu melakukan transaksi


jual beli dengan para nelayan, lantas mengapa bisa berkelahi?"
tanya Bouw It-yu.
"Itulah dia, kejadian ini memang benar-benar aneh sekali, konon
baru saja anak muda itu tiba di kota, para tukang pukul pengumpul
ikan itu sudah mengerubuti dirinya. Penduduk kota tidak berani
mendekat, mereka hanya menonton dari tempat kejauhan saja,
siapa pun tidak berani bertanya apa sebabnya.
"Konon ada tujuh delapan orang tukang pukul yang mengerubuti
anak muda kurus kering itu, tapi anehnya, ke tujuh delapan orang
lelaki itu berhasil dihajar sampai tidak mampu merangkak bangun!"
Diam diam Seebun Yan tertawa geli, pikirnya: 'Terhitung manusia
macam apa berapa orang tukang pukul itu, jangan lagi Lan Giokkeng,
aku pun sanggup menghajar berapa orang itu sampai tidak
mampu merangkak bangun'
Berbeda dengan gadis itu, Bouw It-yu justru menunjukkan mimik
muka yang amat serius, dengan berlagak kaget bercampur
keheranan serunya, "Aaah, benarkah ada kejadian seperti ini? Aku
tidak berani percaya kalau seorang anak muda memiliki kemampuan
sedemikian hebatnya, jangan-jangan ada orang yang secara diamdiam
membantunya?"
"Betul sekali, ada orang memang curiga begitu.”
"Lantas mereka mencurigai siapa?"
"Waktu itu si anak muda datang bersama seorang hwesio tua,
hwesio itu kurus kering dan batuk tiada hentinya, sepertinya sedang
sakit parah, kondisi tubuhnya jauh lebih lemah ketimbang bocah laki
itu. Selama bocah itu terlibat pertarungan, si hwesio sendiri hanya
berdiri ditepi arena, tapi anehnya ketika ada dua orang tukang pukul
menumbuk badannya, yang jatuh terpelanting bukan sang hwesio
melainkan ke dua orang tukang pukul itu sendiri.”
"Bagaimana nasib hwesio tua dan bocah muda itu kemudian?"
"Tentu saja kabur. Pepatah mengatakan: naga sakti susah
melawan ular setempat. Kali ini mereka memang menang, bukan


berarti dalam pertarungan berikut mereka seuntung sekarang, tentu
saja mereka tidak berani berdiam lagi di dalam kota.”
Tanpa banyak bicara lagi Bouw It-yu melanjutkan perjalanan,
Seebun Yan menyusulnya sambil bertanya, "Bagaimana kita
sekarang?"
"Aku rasa lebih baik kita segera menuju kota Uh-sah-tin.”
"Betul, sekalipun mereka sudah tidak berada dikota itu, paling
tidak kita sudah berhasil memperoleh sedikit keterangan tentang
jejak mereka berdua.”
Kalau si nona bergembira karena berhasil menemu kan setitik
petunjuk, sebaliknya mimik muka Bouw It-yu justru berubah jadi
lesu dan murung, jauh berbeda dengan sikap biasanya yang banyak
bicara danbergurau.
"Eeei, apa yang sedang kau pikirkan?" tegur Seebun Yan
kemudian.
"Tidak apa-apa, aku hanya merasa hwesio tua itu sedikit rada
aneh.”
"Oooh, rupanya kau sedang memikirkan hwesio tua itu, kenapa
tidak kau tanyakan kepadaku?"
"Memangnya kau tahu siapakah si hwesio tua itu?"
"Tentu saja tahu, dia adalah seorang hwesio juru masak dalam
biara Siau-lim dengan gelar Hwee-ko. Aku dan Lan Sui-leng pernah
mendatangi biara Siau-lim untuk mencarinya. Tapi sayang waktu itu
dia bersama Lan Giok-keng sudah pergi ke Toan-hun-kok. Kemudian
kami pun pernah bersua lagi dengannya dalam Toan-hun-kok.”
"Apakah hwesio tua yang kau jumpai dalam Toan-hun-kok
memberitahukan kepadamu kalau dia bernama Hwee-ko Thaysu?"
"Dia jalan bersama Lan Giok-keng, kalau bukan Hwee-ko Thaysu
lantas siapa lagi?"
Dalam hati dia benar-benar merasa keheranan, dengan


kecerdasan Bouw It-yu, masa pandangan semacam inipun tidak
terpikirkan olehnya.
"Aku justru merasa keheranan,” kata Bouw It-yu, "mana mungkin
seorang hwesio juru masak dari biara Siau-lim bisa memiliki
kepandaian sehebat itu?"
"Sudah pasti dia bukan seorang hwesio juru masak biasa, ketika
aku hendak berangkat ke Toan-hun-kok untuk mencari Piauko, ibu
pernah menyarankan aku untuk minta bantuannya di biara Siau-lim.
Hanya saja aku tidak tahu asal-usul serta identitasnya yang
sesungguhnya.”
Padahal Bouw It-yu jauh lebih mengetahui tentang asal-usul
Hwee-ko Thaysu ketimbang Seebun Yan, sejak awal dia sudah
curiga kalau hwesio tua yang jalan bersama Lan Giok-keng adalah
Hwee-ko Thaysu, dia tidak lebih hanya ingin membuktikan dan
mencari ketegasan dari pernyataan Seebun Yan.
"Ternyata dugaan ayah tidak salah, dikolong langit hanya Hweeko
Thaysu seorang yang bisa menemukan Jit-seng-kiam-kek, dan
ternyata Lan Giok-keng telah berhasil mengundangnya untuk turun
gunung. Tentu saja Hwee-ko Thaysu membantunya bukan lantaran
dia memberi muka kepada Lan Giok-keng, tapi siapakah tokoh besar
yang mempunyai reputasi begitu tinggi hingga berhasil
mengundangnya membantu Lan Giok-keng?"
Bisa jadi ayahnya sudah tahu siapakah tokoh di belakang layar
itu, hanya saja tidak sampai mengemukakan dugaan itu kepada
putranya, mau tidak mau Bouw It-yu harus menganalisanya sendiri.
"Eeei, kenapa kau hari ini? Sejak tadi hanya murung terus seperti
sedang memikirkan sesuatu, kenapa kau tidak berbicara?" tegur
Seebun Yan tiba-tiba.
Bouw It-yu tertawa, baru saja akan bicara, mendadak paras
mukanya berubah.
"Kau tunggulah sebentar,” ujarnya.
Di tepi jalan merupakan tanah pegunungan yang dipenuh rumput


ilalang, ternyata dia lari masuk ke balik rumput ilalang itu.
Seebun Yan segera menyusul dari belakang, tampak pemuda itu
sedang memungut sekerat tulang belulang dari balik rumput ilalang.
"Apa bagusnya tulang belulang itu?" tegur Seebun Yan.
Bouw It-yu memperhatikan sekejap tulang itu, kemudian sambil
membuangnya kembali ujarnya tertawa, “Mungkin aku yang banyak
curiga.”
“Apa yang kau curigai?"
"Aku curiga dia mati karena dibunuh orang, ingin mencari tahu
bekas lukanya dari tulang belulang itu.”
"Benar benar sinting, tidak waras otakmu. Tidak terhitung
manusia yang mati di tengah alas seperti ini, masa mereka yang
mati pasti karena kasus pembunuhan?"
Lagi-lagi Bouw It-yu tidak berbicara.
"Padahal aku sendiri pun mungkin sudah terjangkit juga penyakit
curiga,” kata Seebun Yan lagi.
"Apa pula yang kau curigai?"
"Mencurigai dirimu!"
"Dalam hal mana aku pantas dicurigai?" seru Bouw It-yu
terperanjat.
Padahal tujuan Seebun Yan hanya ingin memancing
perhatiannya, begitu tujuannya tercapai segera ujarnya sambil
tertawa, "Kau tidak usah gugup, aku bukan curiga atas akhlak dan
kelakuanmu. Tapi ada satu hal aku merasa tidak habis mengerti,
tolong berilah penjelasan.”
"Oooh, kenapa kau malah bersikap begitu sungkan.”
“Bukankah hari penguburan jenasah Bu-siang Cinjin telah
ditetapkan akan terselenggara pada bulan depan?"
"Benar, kenapa kau menanyakan hal ini?"


"Aku ingin bertanya lagi, menurut dugaanmu masih butuh berapa
lama lagi untuk menemukan Piauko ku?"
"Kalau soal ini mah tidak pasti, walaupun sekarang kita telah
memperoleh titik terang, namun tidak jelas sampai kapan baru bisa
menemukan Lan Giok-keng, bila kita berhasil menemukan Lan Giokkeng,
kita pun harus menunggu lagi sampai munculnya Piauko mu.”
"Berarti sulit bagimu untuk pulang ke gunung dan mengikuti
upacara penguburan?"
Bouw It-yu tertawa getir.
"Sekalipun sekarang aku menyusul pulang, rasanya tidak akan
bisa mengikuti upacara itu,” katanya. "Persoalan inilah yang ingin
kutanyakan kepada-mu, Bu-siang Cinjin adalah seorang tokoh saleh
yang tersohor nama besarnya, bukan saja penyelenggaraan upacara
penguburan baginya merupakan kejadian besar bagi partai Bu-tong,
terhitung kejadian besar juga bagi umat persilatan. Apalagi ayahmu
saat ini adalah Ciangbunjin partai, sudah pasti upacara itu akan
dipimpin ayahmu.
Aku duga para pemimpin dunia persilatan khususnya para ketua
partai besar pasti akan berbondong-bondong naik ke Bu-tong untuk
mengikuti upacara tersebut. Sebagai putra Ciangbunjin kenapa kau
bukannya balik ke gunung untuk turut hadir dalam upacara akbar
itu, sebaliknya malah menemani aku mencari Piauko sampai ke
wilayah Liauw-tong?"
Sejak awal Bouw It-yu telah mempersiapkan jawaban untuk
pertanyaannya itu, segera sahutnya, "Kau hanya tahu satu, tidak
tahu dua.”
"Lantas apakah yang ke dua itu?"
"Lan Giok-keng adalah cucu murid yang paling disayang Bu-siang
Cinjin, secara tiba-tiba dia turun gunung, jangankan orang lain
bahkan ayah angkatnya pun tidak tahu lantaran apa dia pergi, tentu
saja kami harus menemukannya dan membawa dia pulang. Aku
hanya mendapat tugas untuk menemukan jejaknya, jadi membantu


kau menemukan Piauko sebetulnya hanya kebetulan saja.”
Dengan setengah percaya setengah tidak kata Seebun Yan,
"Ternyata masih terdapat alasan istimewa lainnya, sebagai orang
luar mana aku bisa menduga sampai ke situ? Namun bagaimana
pun juga, nasibku memang terhitung cukup baik, bukan saja secara
kebetulan bertemu kau, bahkan mendompleng juga keberuntungan
dari Lan Giok-keng!"
Bouw It-yu tahu penjelasan semacam itu sulit untuk membuatnya
percaya, tapi dia tidak ada waktu untuk berpikir lebih jauh.
Padahal apa yang dia katakan bukan ucapan bohong,
kehadirannya untuk mencari tahu jejak Lan Giok-keng memang atas
perintah ayahnya, hanya saja latar belakang dibalik kesemuanya itu
tidaklah sesederhana apa yang dia lukiskan tadi.
Mendadak cuaca berubah jadi sangat buruk, hujan turun tidak
terlalu deras pun tidak terlalu kecil. Sambil mengenakan jas hujan
kedua orang itu melanjutkan perjalanannya ditengah curahan hujan,
meski harus melalui jalan perbukitan namun tidak terlalu
menyulitkan mereka berdua.
Namun sepanjang perjalanan, perasaan Bouw It-yu gelap dan
murung segelap cuaca saat itu, bahkan tiada hentinya bersih
berulang kali.
Di hadapan matanya dia seakan melihat ada sesosok tengkorak
sedang bergoyang, dia teringat kembali dengan kejadian yang
dialaminya ketika berada di Boan-liong-san tempo hari, saat itupun
hujan sedang turun cukup deras.
Di atas Boan-liong-san tersimpan kasus pembunuhan yang telah
terlangsung hampir tujuh belas tahun lamanya, Bu-kek Totiang,
ketua Tianglo Bu-tong-pay terkubur diatas bukit tadi. Bersamanya
terkubur pula murid Bu-tong-pay lainnya, Keng King-si, Ho Giok-yan
serta Ho Liang pelayan tua dari keluarga Ho.
Jauh sebelum kedatangannya di gunung Boan-liong-san, seorang
murid Bu-tong-pay lainnya telah tiba disana.


Murid Bu-tong-pay itu bukan orang sembarangan, dia adalah Putcoat
murid pertama dari Bu-siang Cinjin . Put-coat mendapat
perintah gurunya untuk mendatangi Boan-liong-san dan membawa
pulang kerangka tulang Bu-kek yang terkubur disana.
Tatkala Bouw It-yu tiba di Boan-liong-san, secara kebetulan dia
bertemu dengan Put-coat yang sedang diserang seorang manusia
berkerudung. Waktu itu dia sudah terkena jarum lebah hijau milik
Siang Ngo-nio terlebih dulu, tampaknya sebentar lagi bakal tewas di
tangan manusia berkerudung itu.
Bouw It-yu segera membantunya memukul mundur manusia
berkerudung itu, walaupun pada akhirnya dia tidak berhasil
selamatkan jiwa nya, namun paling tidak Put-coat meninggal sesaat
setelah dihantar balik ke gunung Bu-tong. Kalau tidak, mungkin
sampai mati pun dia akan mah tidak meram.
Padahal peristiwa itu bukan suatu kejadian yang "kebetulan",
jauh sebelum terjadinya peristiwa itu, Bouw It-yu sudah mengetahui
kabar itu hingga secepatnya berangkat ke Boan-liong-san. Adapun si
pemberi kabar telah membeberkan pula semua untung rugi yang
bakal terjadi kepadanya.
Hujan turun semakin deras, membayangkan kembali duel yang
terjadi di tengah hujan lebat waktu itu, perasaan takut bercampur
ngeri kembali timbul dihatinya.
Ilmu pedang Bu-tong-pay yang dimiliki manusia berkerudung itu
jauh lebih hebat ketimbang kemampuannya, dia sendiripun tidak
habis mengerti kenapa manusia berkerudung itu bisa kalah
ditangannya, hingga orang itu melarikan diri, dia masih seolah
berada dalam alam impian.
Tapi yang membuatnya lebih terkejut adalah ditemukannya
sebatang jarum lebah hijau diatas tulang tengkorak kepala Ho
Liang.
Jarum lebah hijau adalah senjata rahasia andalan Siang Ngo-nio,
sementara sejak awal diapun sudah tahu kalau ayahnya pernah
mempunyai hubungan istimewa dengan Siang Ngo-nio.


Tentu saja dia tisak ingin merembetkan persoalan ini dengan
ayahnya, karena itulah dia sengaja menyembunyikan tengkorak
kepala itu dan tidak berani membiarkan Bu-siang Cinjin
mengetahuinya.
Pepatah kuno mengatakan ‘kalau ingin mengetahui anaknya,
lihatlah bapaknya’. Tapi sebaliknya pikiran seorang ayah terkadang
dirasakan juga secara langsung oleh putranya.
Selama ini ayahnya memang tidak pernah berkata apa pun, tapi
dia dapat "merasakan" kalau ayahnya seperti tidak berharap
beberapa kasus pembunuhan misterius itu bisa terungkap hingga
tuntas.
Sudah barang tentu dia tidak bakalan mencurigai ayahnya
sebagai seorang pembunuh, tapi mengapa ayahnya takut kasus
pembunuhan itu terungkap? Apakah rasa takutnya itu hanya
lantaran dia pernah mempunyai hubungan khusus dengan Siang
Ngo-nio? Tapi, bukankah Siang Ngo-nio hanya seorang pembantu
dalam kasus pembunuhan itu? Lagipula kemampuannya toh belum
sanggup menghabisi nyawa Bu-kek Tianglo yang berilmu.
Ooo)*(ooO
Yang paling menjurigakan justru manusia berkerudung itu,
hampir dalam beberapa kasus pembunuhan yang terjadi,
kesemuanya itu terkait erat dengan manusia berkerudung itu, lalu
siapakah manusia berkerudung itu?
Kali ini ayahnya perintahkan dia untuk menguntil Lan Giok-keng,
alasannya adalah lantaran tindak tanduk serta gerak-gerik Lan Giokkeng
sangat aneh dan mencurigakan, dia sebagai seorang
Ciangbunjin harus mencari tahu akan masalah ini.
Tapi Bouw It-yu sebagai putranya dapat merasakan kalau
perkataan yang disampaikan ayahnya hanya sebuah alasan yang
dibuat-buat, masalah apakah yang membuat dia tidak berani
berterus terang kepada putranya sendiri?
Kini dia makin lama semakin tahu banyak tentang segala


persoalan yang terjadi setelah Lan Giok-keng turun gunung, dia pun
makin lama semakin yakin kalau Lan Giok-keng pasti sedang pergi
ke wilayah Liauw-tong, dan kepergiannya sudah jelas terkait dengan
penyelidikannya atas berapa kasus pembunuhan yang pernah
terjadi. Sekalipun Lan Giok-keng sendiri belum tentu mengetahui
latar belakang yang sebenarnya.
Entah mengapa, tiba tiba muncul sebuah ingatan aneh dalam
benak Bouw It-yu, "Bila hasil pelacakan membuktikan kalau manusia
berkerudung itu ada keterkaitan yang erat dengan ayah, lantas apa
yang harus kulakukan?"
Bagi Seebun Yan, dia hanya ingin secepatnya menemukan
Piaukonya, karena itu segera tegurnya, "Eeei, kenap^ kau? Aku lihat
pikiranmu tidak tenang sepertinya ada yang sedang kau renungkan!
Ayoh kita jalan lebih cepat, dengan begitu menjelang malam nanti
kita bisa tiba di kota Uh-sah-tin!"
Pikiran dan perasaan Bouw It-yu sangat kalut, terpaksa dia
mempercepat langkahnya menyusul di belakang gadis itu.
Setelah berjalan berapa saat, mendadak Seebun Yan
menghentikan kembali langkahnya sembari berteriak, "Coba kau
lihat ke sana!"
Memandang ke arah yang ditunjuk gadis itu, Bouw It-yu segera
menemukan sebuah bekas telapak tangan yang tertinggal jelas di
atas sebuah batu cadas yang licin bagaikan cermin.
"Bekas tangan itu tampaknya sangat aneh, biar kuperiksa
sebentar,” kata Seebun Yan lagi dengan rasa ingin tahu.
"Bukankah kau ingin cepat-cepat tiba ditempat tujuan? Buat apa
mesti mencampuri urusan yang tidak berguna?" cegah Bouw It-yu.
Tapi Seebun Yan tidak menggubris, dia telah mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya untuk mendekati bawah batu cadas itu.
"Hati-hati!" teriak Bouw It-yu cepat.
Belum selesai dia berteriak, mendadak dari permu kaan tanah di


bawah batu cadas itu terbuka sebuah liang besar, ternyata ada
orang telah menyiapkan jebakan di sekitar tempat itu.
Dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat Bouw It-yu segera
melesat ke depan, untung saja dia bertindak cepat, ketika tiba di
tempat tersebut secara kebetulan dia masih berhasil menangkap
kaki Seebun Yan dan menariknya ke atas.
Dengan tubuh masih melambung di tengah udara sementara
tangan sebelah menggenggam kuat pedang berikut sarungnya, dia
sodokkan pedang tersebut di atas permukaan tanah yang keras lalu
menggunakan kekuatan tadi meluncur kembali ke arah lain, dengan
cara itulah dia berhasil menyelamatkan Seebun Yan yang
terperangkap dalam liang itu.
Belum hilang rasa kaget Seebun Yan, lamat-lamat terdengar ada
orang seperti sedang tertawa dingin.
"Bangsa tikus yang tidak tahu malu, berani amat kau
membokong nonamu, kalau punya nyali ayoh cepat keluar!" umpat
Seebun Yan dengan nada sewot.
Tiada jawaban, ketika mereka periksa sekeliling tempat itu,
jangankan manusia, bayangan setan pun tidak nampak.
"Aneh!" bisik Bouw It-yu sambil membungkukkan tubuh
memeriksa perangkap itu. "Apa yang aneh?”
“Coba kau perhatikan sendiri.”
Seebun Yan mengira di dalam liang itu terdapat suatu benda atau
makhkuk yang aneh atau sesuayu menyeramkan, siapa tahu setelah
diperiksa ternyata liang itu kosong, tidak ada sesuatupun yang
terlihat.
Setelah tertegun sejenak, diapun seolah menyadari akan sesuatu,
ujarnya, "Benar juga, tampaknya memang sedikit agak aneh,
berbicara pada umumnya, bila mereka telah menyiapkan perangkap
disini, seharusnya di dalam liang itu disiapkan juga sesuatu alat
rahasia atau alat perangkap yang mematikan. Sekalipun tidak ada
alat perangkap, paling tidak didalam liang harus ditebari senjata


rahasia duri atau sebangsanya untuk melukai sang korban. Tapi
liang itu kosong tidak berisi, biar orang biasa pun yang terperosok
ke dalam, dia toh masih sanggup merangkak keluar lagi.”
"Kalau di dengar dari suara tertawa dingin tadi, jelas ada orang
bersembunyi di belakang batu cadas itu, jika mereka berniat
mencelakai dirimu, seharusnya sejak tadi mereka telah melancarkan
bokongan dengan senjata rahasia,” kata Bouw It-yu.
"Masa mereka hanya berniat mengagetkan hati-ku?" seru Seebun
Yan.
Bouw It-yu tidak menjawab, dia melompat naik ke atas batu
cadas itu.
"Orang itu sudah kabur sejak tadi, mau apa kau naik ke sana?"
kembali gadis itu menegur.
"Bekas cap tangan ini sedikit agak aneh, akan kuperiksa dengan
lebih seksama.”
Apa yang diucapkan pemuda itu tidak lain adalah perkataan yang
pernah diucapkan Seebun Yan tadi.
Tidak heran gadis itu segera tertawa cekikikan, serunya, "Burung
beo belajar bicara, cepat amat kau menirukannya.”
Dengan nada parau diapun segera menirukan gaya bicara Bouw
It-yu tadi, "Bukankah kau ingin cepat tiba ditempat tujuan, buat apa
mencampuri urusan orang!"
"Tidak mencampuri urusan orang lain pun kini telah dicampuri,”
kata Bouw It-yu, "biar kita mempercepat langkah kaki saja nanti.”
Dia benar-benar menunjukkan gaya seseorang yang sedang
menganggur dan suka mencampuri urusan orang, bukan saja bekas
telapak tangan itu diteliti dengan seksama bahkan masih dipegang
dan dirabanya berulang kali.
"Apa bagusnya bekas telapak tangan itu?" tegur Seebun Yan,
"coba lihat tampangmu, seakan sedang menikmati sebuah lukisan
antik!"


Bouw It-yu tertawa.
"Lukisan antik hanya bisa dinikmati seniman atau sastrawan yang
mengerti lukisan, kalau aku mah orang kasar, tidak mengerti soal
begituan.”
"Kalau kau hanya ingin mengetahui kungfu orang itu, seharusnya
sedari tadi sudah terlihat jelas. Sudah begitu lama kau perhatikan,
masa masih belum cukup?"
Bouw It-yu tidak langsung menjawab, dia melompat turun dari
atas batu cadas.
"Sudah menemukan sesuatu?" tanya Seebun Yan.
"Ternyata memang sedikit agak aneh.”
Seebun Yan tidak tahu pemuda itu sedang bergurau atau sedang
bicara sungguhan, tapi dia melihat paras mukanya memang amat
berat dan serius, maka tanyanya, "Apa yang aneh? Hey, aku sedang
bertanya kepadamu, dengar tidak? Kenapa tidak menjawab?"
Seolah baru mendusin dari impian, sahut Bouw It-yu kemudian,
"Batu cadas itu berada enam tujuh tombak dari permukaan tanah,
bagi orang dengan ilmu meringankan tubuh hebat mungkin saja
masih berdiri tegak disitu, tapi kalau melambung sambil
meninggalkan bekas telapak tangan yang begitu jelas di atas
dinding jelas bukan perbuatan yang gampang dilakukan, apa kau
tidak merasa aneh sekali?"
"Pernyataanmu aneh juga! Pertama, seharusnya kau hanya bisa
mengatakan kalau ilmu silat yang dimiliki orang itu luar biasa,
kenapa menggunakan kata aneh?"
"Betul, aneh dan luar biasa memang ada bedanya, aku yang
tidak tepat dalam penggunakan kata. Lantas apa yang ke dua?"
"Biarpun dibutuhkan ilmu silat tingkat tinggi untuk
melakukannya, tapi bukan berarti tiada orang yang bisa
melakukannya. Dulu, seorang pelayan tua di rumahku pun memiliki
ilmu Kim-kong-ciang semacam ini.”


"Dimana pelayan tuamu itu sekarang....”
"Sudah mati lama, dia adalah pelayan ayahku.”
"Tidak ada yang ke tiga bukan?"
"Tepat sekali, masih ada yang ke tiga. Boleh saja orang lain
mengatakan aneh atau luar biasa, namun tidak seharusnya orang
macam kau berkata begitu juga!"
"Kenapa?"
"Ayahmu adalah Ciangbunjin Bu-tong-pay, tokoh yang disegani
dan dihormati seluruh umat persilatan, boleh saja orang lain
tercengang atau bahkan terheran heran, namun tidak pantas untuk
dirimu. Apa kata orang jika mereka melihat sikap semacam itu?"
"Betul, bagi ayahku memang tidak sulit untuk meninggalkan
bekas telapak tangan di atas dinding batu itu, tapi untuk manusia
semacam aku, paling tidak harus berlatih sepuluh tahun lagi untuk
bisa melakukan hal yang sama.”
Sesungguhnya jawaban tersebut bukan terhitung jawaban yang
tepat untuk pertanyaan yang diajukan, tapi berhubung Bouw It-yu
telah melangkah pergi, maka Seebun Yan pun tidak ingin
merecokinya lagi dengan mengajukan pertanyaan lain.
Darimana dia tahu kalau sikap "ringan dan santai" yang
diperlihatkan Bouw It-yu sesungguhnya kelewat dipaksakan. Saat
itu paras mukanya telah berubah sangat aneh bahkan jauh dari
keadaan biasa, perasaan hatinya terasa jauh lebih berat daripada
mimik mukanya yang murung dan kelabu.
Karena bukan saja dia telah berhasil meraba asal usul ilmu silat
yang dimiliki orang itu, bahkan sudah tahu juga siapakah dia.
Sewaktu berada di Boan-liong-san tempo hari, dia pernah
bertanding pedang melawan manusia berkerudung itu, pernah juga
beradu pukulan dengannya. Dia masih ingat dengan jelas, telapak
tangan kanan orang itu memiliki ciri khusus, kebanyakan orang jari
tengahnya pasti lebih panjang ukurannya dibandingkan ukuran jari


lain, tapi ukuran jari tengah orang ini pendek lagi kasar, bahkan
ukuran jari tengah dan jari telunjuknya nyaris seimbang.
Bekas telapak tangan yang tercetak diatas dinding batu itu
merupakan telapak tangan kanan, ternyata jari tangan cap tangan
itu persis sama seperti ciri-ciri jari tangan manusia berkerudung itu.
"Apa maksud dia meninggalkan bekas telapak tangan? Janganjangan
jejak ku sudah ketahuan olehnya sejak awal hingga dia
bermaksud agar aku tahu akan kehadirannya disini dan sekarang
minta aku segera mengundurkan diri?"
Sementara Bouw It-yu masih berpikir dengan perasaan sangsi,
tiba-tiba dia seperti mendengar lagi suara tertawa dingin dari
manusia berkerudung itu.
Waktu itu Seebun Yan sudah berjalan melampaui dirinya,
sembari berpaling serunya, "Sudahlah, jangan berpikir yang bukanbukan,
ayoh kita beradu ginkang saja.”
Bouw It-yu tidak ingin rahasia hatinya ketahuan lawan, maka
sambil membangkitkan kembali semangatnya dia beradu kecepatan
dengan gadis itu.
Dan masing-masing mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki, terjadilah kejar mengejar di antara mereka berdua, tanpa
terasa puluhan li sudah terlampaui.
Sementara Seebun Yan sedang berlari dengan penuh keriangan,
tiba-tiba dia saksikan Bouw It-yu telah memperlambat kembali
langkahnya.
"Hey ada apa kau?" tegur gadis itu kemudian, "kenapa kau sudah
kehilangan semangat lagi? Sudah ke tiga kalinya aku berhasil
melampaui dirimu!"
Belum selesai dia berkata, terlihat Bouw It-yu bukan saja telah
memperlambat langkahnya, malah kali ini dia benar-benar telah
berhenti berlari.
Seebun Yan tidak perlu menanyakan alasannya lagi, sebab dia


pun telah menyaksikan sendiri dengan amat jelas.
Apa yang dilihatnya? Ternyata di atas dinding batu cadas persis
dihadapannya tertulis dua huruf tulisan besar.
Tulisan itu berbunyi, "Bila tidak segera kembali, mencari penyakit
buat diri sendiri!"
Seusai membaca tulisan itu, seru Seebun Yan, “Tampaknya
tulisan itupun hasil karya orang itu, hmmm! Sebentar meninggalkan
bekas telapak tangan, sebentar meninggalkan sederetan tulisan,
entah permainan busuk apa yang sedang dia lakukan?"
"Dia ingin menakut-nakuti kita, mencegah kita menempuh
perjalanan lebih jauh,” sahut Bouw It-yu sambil tertawa getir.
"Memangnya kau takut kepadanya?"
Bouw It-yu tidak menjawab, dia telah menghampiri tulisan itu
dan memeriksanya dengan seksama.
"Kau telah mengetahui siapa yang meninggalkan tulisan itu, bisa
menulis huruf-huruf itu diatas dinding batu pun bukan sesuatu
kungfu yang hebat, buat apa kau musti meraba dan menelitinya
lagi?" tegur Seebun Yan sambil berkerut kening.
"Aku rasa gaya tulisan yang tertera di baru ini sangat indah.”
"Bukankah kau bilang tidak suka dengan segala macam seni dan
budaya?"
"Kita sudah cukup jauh menempuh perjalanan, tidak ada
salahnya untuk beristirahat sejenak. Lagipula kita memang tidak ada
urusan penting, apa salahnya kalau kali ini kita melanggar kebiasaan
dengan menikmati karya seni....”
Tulisan "Bila tidak segera kembali, mencari penyakit buat diri
sendiri!" yang tertera di atas dinding batu itu digores dengan
menggunakan pedang, 'gaya tulisan' nya tidak seberapa istimewa,
tapi khususnya huruf 'bila' terasa goresannya kelewat panjang
sementara huruf 'tidak' terlihat kelewat pendek.


Melihat pemuda itu begitu bersemangat mengawasi gaya tulisan
itu, bahkan nyaris termangu, tanpa terasa tergerak perasaan
Seebun Yan, pikirnya, 'Dia pasti bukan sedang menikmati gaya
tulisan itu saja, tidak mungkin masalahnya begitu sederhana'
Cepat dia maju mendekat. Tapi setelah diamati berapa saat tidak
tahan serunya tertahan.
"Apakah kau pun telah melihat keanehan dibalik goresan tulisan
ini?" tanya Bouw It-yu kemudian.
"Benar, goresan hurufnya mirip sekali dengan sebuah gerakan
pedang, jangan-jangan dia menyembunyikan semacam aliran ilmu
pedang di balik goresan huruf itu?"
"Apakah sudah kau ketahui dari aliran mana ilmu pedang itu?"
"Tidak, cepat terangkan kepadaku.”
"Aku sendiripun tidak mengetahuinya! Hanya kuketahui kalau
ilmu pedang ini adalah sebuah Kiam-hoat tingkat tinggi.”
"Aku tidak percaya. Hanya sayang kita bukan berasal dari
perguruan yang sama, ilmu pedang yang kau pahami tidak mungkin
bisa kau jelaskan kepadaku. Kalau memang keberatan untuk
menjelaskan yaa sudahlah.”
Bouw It-yu tertawa paksa.
"Tolong jangan terlalu menaruh curiga kepadaku, mari kita
lanjutkan perjalanan,” katanya.
Tentu saja hal ini bukan dikarenakan Seebun Yan menaruh
banyak curiga.
Setelah berkata begitu diam-diam Bouw It-yu tertawa getir,
pikirnya, 'Mungkin aku benar benar sudah terjangkit penyakit
banyak curiga'
Apa yang di duga Seebun Yan memang tidak salah, Bouw It-yu
memang sudah mengetahui asal-usul ilmu pedang yang digunakan
orang itu. Hanya saja alasan dia enggan mengemukakan bukan


dikarenakan seperti apa yang digunakan Seebun Yan tadi,
melainkan karena dia sudah dapat melihat aliran ilmu pedang yang
digunakan orang itu, bahkan ilmu pedang tersebut tidak lain adalah
ilmu pedang yang pernah digunakan orang itu untuk
menghadapinya.
Bahkan dari gaya tulisan orang itu diapun berhasil meraba
"gerakan pedang" yang dimiliki orang itu, bukan saja terselip
perubahan baru yang berhasil dia ciptakan bahkan mengandung
juga gerak serangan yang jauh lebih ganas, yang cukup mampu
untuk mengatasi gerak serangannya.
Bila bekas telapak tangan tadi merupakan peringat an pertama,
maka tulisan yang dijumpainya sekarang merupakan peringatan
untuk kedua kalinya, jika dia tetap "Tidak segera kembali" mungkin
tindakan berikut yang dilakukan manusia berkerudung itu tidaklah
seringan dan sesederhana saat ini.
Namun yang membuat dia merasa takut bercampur ngeri
bukanlah ilmu pedang yang sangat hebat dari manusia berkerudung
itu, melainkan dikarenakan keterlibatan secara langsung ayahnya di
dalam seluruh kasus pembunuhan yang telah terjadi.
Apakah dia akan melakukan penyelidikan lebih lanjut, ataukah
dilepas begitu saja? Bila dia tidak melakukan pelacakan dan
seandainya Lan Giok-keng yang berhasil menyelidiki ke semuanya
itu, mungkinkah bocah itu akan melakukan tindakan yang tidak
menguntungkan ayahnya?
Keadaan Bouw It-yu saat ini ibarat makan buah simalakama,
kalau dimakan bapak mati kalau tidak dimakan ibu mati. Perasaan
bimbang, gugup dan panik tanpa sadar tercermin semua di mimik
mukanya.
Seebun Yan seperti mengetahui rahasia hatinya, cepat ujarnya,
"Aku tidak tahu apakah aku harus menyampaikan pertanyaanku ini
kepadamu, aku kuatir kalau sampai diucapkan, kau akan
menuduhku banyak curiga lagi.”
Berdebar keras jantung Bouw It-yu setelah mendengar perkataan


itu, sahutnya, "Kalau begitu cepat katakan.”
"Aku lihat kau seperti sedikit takut pergi ke kota Uh-sah-tin
bersama aku?"
"Dugaanmu tepat sekali. Tapi aku bukan takut lantaran masalah
keselamatanku pribadi.”
"Jadi lantaran aku?"
Bouw It-yu manggut-manggut.
"Aku kuatir perjalanan kita kali ini bakal menjumpai banyak mara
bahaya, atau begini saja, kau pulanglah dulu, bila aku berhasil
menjumpai Piauko mu, akan kusuruh dia segera pulang.”
"Dia mau menuruti anjuranmu?" sela Seebun Yan sambil tertawa,
"lagipula akulah yang hendak mencari Piauko, jadi seandainya harus
menghadapi tantangan mara bahaya pun sudah sepantasnya aku
sendiri yang menghadapinya, mana boleh kau mewakiliku.”
"Sejak awal aku telah berkata, kedatanganku kemari karena atas
nama Bu-tong-pay ingin mengajak pulang Lan Giok-keng, jadi bukan
karena ingin membantumu.”
"Tahukah kau akan watakku?" tanya Seebun Yan sambil tertawa.
"Kau cerdas, bernyali besar, menurut kemauan sendiri, berjiwa
besar, egois.... hmmm, apa yang kau tertawakan, aku bukannya
sengaja mencari alasan untuk membela diri, disaat kau sedang baik
maka apa pun akan diberikan kepadamu, di saat jelek, maka urusan
apa pun dilimpahkan kepadamu.”
"Aku lihat kau jauh lebih memahami perangaiku ketimbang kakak
misanku,” kata Seebun Yan tertawa, "tapi apa yang kau katakan
belum lengkap. Mari biar kutambahkan sendiri. Aku bukanlah orang
yang dengan begitu saja mau menerima kebaikan orang lain. Aku
baru mau menerima kebaikan orang jika merasa yakin bisa
membalas kebaikan itu. Bila hutang budiku kelewat besar dan tidak
mungkin bisa kubayar, tahukah kau apa yang bakal kulakukan?"
"Tentu saja menolak kebaikan orang,” jawab Bouw It-yu sambil


menghela napas.
"Salah, keliru besar!" seru Seebun Yan sambil tertawa, "bila aku
harus menerima budi kebaikannya sementara aku tidak sanggup
membayar kebaikan budinya, maka satu-satunya jalan adalah
membunuh orang itu. Karena itu kau harus membiarkan aku pergi
bersamamu, kalau tidak berarti hutangku kepadamu tidak mungkin
bisa kubayar.”
Bouw It-yu sadar, sulit baginya untuk mencegah keinginan si
nona, akhirnya sambil tertawa katanya, "Budi bisa diimbangi dengan
dendam, bila kau merasa tidak mampu membayar budiku, biar
kucarikan sebuah masalah untuk mencelakaimu, bukankah urusan
jadi impas.”
"Aku tidak percaya kau bakal mencelakaiku.”
“Siapa tahu,” tiba-tiba Bouw It-yu menghela napas panjang,
"seringkali budi atau dendam seseorang sulit untuk dibicarakan.
Siapa yang berani menjamin sepanjang hidup kau tidak bakal
melakukan kesalahan terhadap orang lain!"
"Aneh benar sikapmu hari ini, tampaknya kau sedang dilanda
kemurungan yang luar biasa. Ehmm, tapi kalau dipikirkan dengan
seksama, rasanya apa yang kau ucapkan memang masuk diakal.”
Dia jadi teringat kembali dengan kakak misannya, sesudah
termangu sesaat, ujarnya lagi sambil tertawa, "Sudah, tidak usah
bicara yang bukan-bukan lagi, ayoh kita segera berangkat sambil
mencari tahu kabar berita tentang Lan Giok-keng.
Ooo)*(ooO
Langit sangat bersih, ditengah hamparan pantai berpasir yang
lembut tampak burung manyar terbang tinggi di udara, sampan dan
perahu hilir mudik di kejauhan.
Nama Uh-sah-ho atau sungai ikan hiu hitam mungkin saja
mendatangkan kesan menyeramkan bagi yang mendengarnya,
namun pemandangan alam di sana memang indah menawan.


Sungai itu bukanlah sebuah sungai besar, tapi berhubung sungai
itu terhubung dengan laut utara maka di saat musim hujan, air
sungai mengalir ke dalam laut sementara di musim kemarau, air laut
yang mengalir masuk ke dalam sungai. Oleh karena itu sepanjang
tahun permukaan air selalu rata dan seimbang, bukan hanya
pantainya yang berliku, tiga penjurunya pun dikelilingi pula oleh
pegunungan hingga terbentuklah sebuah bandar yang sangat indah
dan strategis. Bandar ini merupakan bandar andalan para nelayan
yang tinggal di seputar sana.
Suasana di sepanjang pesisir sungai Uh-sah-ho memang selalu
sepi dan jarang ada yang lewat, apalagi sebelum tiba saat perahu
nelayan bersandar, tapi pada saat itulah terlihat ada seorang lelaki
tua dan seorang lelaki muda sedang berjalan menelusuri pesisir,
bahkan yang tua tampak sebagai seorang hweesio. Jelas mereka
adalah tamu yang datang dari luar daerah.
Kedua orang tamu luar daerah itu tidak lain adalah Hwee-ko
Thaysu dan Lan Giok-keng.
Dalam suasana lingkungan yang begitu tenang, perasaan Lan
Giok-keng justru amat kalut. Dia baru saja melarikan diri keluar dari
lingkungan pertarungan yang kalut.
Semakin dipikir dia merasa semakin tidak habis mengerti, tidak
tahan ujarnya, "Kalau hanya bertemu satu orang gila, kejadian
semacam ini tidak termasuk aneh, tapi tidak mungkin rasanya untuk
bertemu begitu banyak orang gila sekaligus?"
"Tentu saja mereka bukan orang gila, mereka adalah tukang
pukul pedagang ikan,” sahut Hwee-ko Thaysu sambil tertawa,
"bahkan aku lihat mereka bukanlah tukang pukul biasa.”
"Aku tahu. Mereka semua pernah berlatih ilmu silat, beberapa
orang diantaranya malah memiliki ilmu silat yang cukup tangguh.
Andaikata aku melakukan pertarungan semacam ini ketika baru
turun gunung, rasanya sulit untuk lolos dari kepungan dengan
keadaan selamat. Tapi justru disinilah letak ketidak pahamanku.
Selama hidup aku belum pernah lewat kota Uh-sah-tin, mengapa


mereka begitu bertemu aku langsung ingin menghajarku sampai
mati? Bahkan cara mereka turun tangan telengas dan tidak kenal
ampun, seakan-akan mereka ingin membereskan nyawaku
secepatnya.”
"Setiap masalah pasti ada penyebabnya, coba pikirlah, saat itu
apakah kau sempat mendengar ucapan ucapan aneh?"
Seolah baru tersadar kembali Lan Giok-keng segera berseru,
"Betul, aku seperti mendengar ada orang bilang begini, mirip benar,
mirip benar.... aku tidak mengerti apa maksud perkataan orangorang
itu, apakah aku mirip seseorang?"
"Aku rasa kita hanya bisa menjelaskan begitu,” sahut Hwee-ko
Thaysu setelah termenung sejenak.
"Tapi penjelasan inipun rasanya tidak bisa di terima dengan
begitu saja. Sekalipun wajahku mirip dengan seorang musuh besar
mereka, tidak sepantasnya kalau mereka berusaha untuk
membunuhku.”
"Apakah kau bertekad akan menyelidiki persoalan ini hingga
tuntas?" tiba tiba pendeta itu bertanya.
"Apakah Thaysu punya cara untuk melacak masalah ini hingga
tuntas?"
"Di dusun ada sebuah pepatah kuno yang berkata begini:
terkadang orang bodoh itu malah beruntung. Ada kalanya orang
yang kelewat pinter malah gampang mendatangkan kesulitan. Aku
rasa daripada kau mengetahuinya lebih baik malah tidak usah tahu
saja.”
Hwee-ko Thaysu memang pandai ilmu agama Buddha, namun
kurang pengetahuannya tentang ilmu kejiwaan, justru karena
perkataannya itu, Lan Giok-keng malah semakin ingin tahu.
"Hwee-ko Thaysu!" seru Lan Giok-keng tiba-tiba, "aku masih
ingat, kau pernah bercerita kalau semasa muda dulu pernah
mencintai seorang gadis tapi entah apa sebabnya tiba-tiba sikap
gadis itu terhadapmu jadi dingin dan tawar, gara-gara urusan ini


kau sampai tidak bisa tidur selama beberapa hari, akhirnya karena
tidak tahan, kau pun pergi mencarinya dan menanyai persoalan itu
hingga jelas.”
"Peristiwa itu sudah terjadi pada dua puluh tahunan berselang,
tujuh malam aku tidak bisa tidur nyenyak, saking tidak tahannya
maka pada hari ke delapan aku pergi mencarinya dan bertanya
secara langsung. Ehmm, waktu itu aku masih terlalu muda, seorang
lelaki tidak tahu diri memang sulit terlepas dari godaan rakus, marah
dan bodoh. Kalau dipikirkan kembali sekarang, keadaanku saat itu
memang sangat menggelikan. Kitab Buddha pernah tertulis: bila
sifat gelap kau lenyapkan, bila sifat keras kepala kau atasi, maka
kecerdasan dan kesadaran baru akan muncul. Yang dimaksud sifat
gelap yaitu: kerakusan, angkara murka dan bodoh....”
Dengan sabar Lan Giok-keng mendengarkan perkataannya itu,
kemudian baru ujarnya, "Kalau begitu kau baru merasa geli atas
perbuatan mu di masa muda dulu setelah kau menjadi pendeta?"
"Benar, setelah menjadi pendeta banyak tahun aku baru
menyadari betapa bodoh dan kosongnya semua perbuatanku di
masa muda dulu. Eeei, sebenarnya apa yang ingin kau katakan,
tidak usah berputar lagi, utarakan saja berterus terang.”
Lan Giok-keng tertawa.
"Pertama, aku belum pernah menjadi hwesio biar hanya
seharipun, kedua, usiaku jauh lebih muda ketimbang usiamu waktu
itu, walaupun masalahnya berbeda namun sama-sama tidak bisa
menahan diri untuk mencari tahu duduk persoalan yang
sebenarnya, aku sudah digebuk orang, akupun telah menggebuk
orang. Bila rahasia di balik persoalan ini belum juga bisa diungkap,
mungkin paling tidak aku tidak bisa tidur selama tiga hari tiga
malam.”
"Hahahaha.... bicara sedari tadi, ternyata tujuanmu hanya ingin
tahu rahasia di balik kejadian ini,” kata Hwee-ko Thaysu sambil
tertawa, "untung saja sudah kuduga kalau kau tidak bakalan
berhenti untuk melakukan penyelidikan hingga jauh sebelumnya


telah kusembunyikan sesuatu, ayoh ikuti aku.”
Timbul perasaan ingin tahu di hati kecil Lan Giok-keng, tanyanya,
"Kau menyembunyikan apa?"
Sambil melanjutkan langkahnya sahut Hwee-ko Thaysu, "Ketika
kau sedang bertarung melawan orang orang itu, akupun ikut
disergap orang.
"Orang itu sengaja menumbuk tubuhku, dengan senjata
martilnya dia hantam jalan darah Ih-khi-hiat ku. Dari caranya
melancarkan serangan, aku mendapat tahu kalau dia adalah anak
murid Tiang-pek-pay.
"Tentu saja serangannya tidak mengenai sasaran, dengan cepat
aku tabok punggungnya pelan sambil membisikkan sesuatu ke sisi
telinganya. Kontan dia kabur terbirit-birit.
"Padahal ilmu silat yang dimiliki orang ini cukup tangguh, coba
kalau aku tidak membisikkan sesuatu, mungkin banyak tenaga yang
harus kugunakan untuk menghadapinya.”
Begitu orang itu turun tangan, Hwee-ko Thaysu langsung sudah
tahu asal-usul perguruannya. Atas kehebatan rekannya itu Lan Giokkeng
merasa sangat kagum, segera tanyanya, "Apa yang telah
Thaysu bisikkan kepadanya?"
"Aku bilang begini: ilmu Sam-sat-ciang yang kau yakini belum
mencapai kesempurnaan, tentunya kau tahu bukan? Kini mau hidup
atau mati tergantung dirimu sendiri, lebih baik tahu diri sedikitlah.”
"Sam-sat-ciang (pukulan tiga hawa sesat)? Ilmu silat apa itu?
Kenapa dia langsung melarikan diri?"
"Sam-sat-ciang adalah ilmu silat aliran Tiang-pek-pay, sejenis
ilmu pukulan beracun yang sangat lihay, tapi ilmu semacam ini baru
dapat dipelajari bila ilmu Iweekang maupun gwakang dari aliran
perguruannya telah dilatih hingga mencapai tingkat kesempurnaan.
Oleh sebab itu aku yakin kalau dia belum pernah melatihnya.”
"Jadi Thaysu pernah berlatih ilmu silat aliran Tiang-pek-pay?"


Hwee-ko Thaysu tertawa. "Tentu saja aku belum pernah
melatihnya, ilmu silat aliran sesat semacam ini tidak berharga untuk
dipelajari. Akibat dari pukulan Sam-sat-ciang dapat membuat tulang
belulang korbannya menjadi lembek hingga berakibat kematian,
begitu terkena pukulan, seluruh badan akan terasa ada banyak
semut dan ulat yang berjalan di dalam tubuhnya. Ketika aku
menepuk pelan punggungnya tadi, memang sengaja kubuat agar
dia merasakan hal yang sama, karena pukulan yang kulakukan mirip
dengan ilmu pukulan Sam-sat-ciang. Tentu saja ilmuku ilmu
gadungan, karena yang kugunakan adalah tenaga dalam aliran
perguruanku.”
Lan Giok-keng tertawa geli, serunya, "Memang tepat sekali untuk
memakai cara itu menakuti dirinya. Tapi aku tidak mengerti apa
kegunaannya kau berbuat begitu terhadapnya?"
"Ilmu tersebut merupakan ilmu pukulan beracun dari Tiang-pekpay,
meskipun dia belum pernah melatihnya namun kuduga dia
seharusnya tahu bagaimana cara untuk mengobati luka pukulan
beracun itu. Caranya adalah berendam diri di dalam air hangat yang
telah diberi sejenis rumput obat, setiap hari dilakukan sebanyak tiga
kali dan beruntun selama tujuh hari lamanya sebelum semua racun
bisa dipunahkan. Kebetulan rumput obat itu tumbuh disekitar
tempat ini, setiap saat kau bisa mengumpulkan setumpuk rumput
obat itu diatas gunung. Aku yakin saat ini orang tersebut pasti
sedang berendam diri di dalam rumahnya dengan air bercampur
rumput obat itu.”
Kini Lan Giok-keng baru mengerti apa yang dimaksud, tanyanya
kemudian, "Jadi sekarang kita akan pergi mencari orang itu?"
"Benar, diantara kelompok tukang pukul tadi, dialah yang
memiliki ilmu silat paling bagus, bisa jadi dialah pentolannya. Asal
kita dapat menemukan orang itu berarti kita bisa mengorek banyak
keterangan dari mulutnya.”
"Apakah kita pasti dapat menemukan orang itu?”
“Rumput obat itu mempunyai semacam bau khas yang menusuk


hidung. Bila dia memasak obat tadi dalam rumahnya, semua orang
yang berada diluar rumah pasti dapat mengendusnya. Orang itu
melarikan diri keluar dari kota Uh-sah-tin, padahal diluar kota hanya
terdapat puluhan rumah penduduk, aku rasa tidak sulit untuk
menemukan jejaknya.”
"Benar. Tempat ini adalah desa paling dekat dengan kota Uhsah-
tin, tapi darimana kita bisa tahu kalau dia bukannya tinggal di
dusun yang lebih jauh lagi?"
"Anak muda harus banyak memakai otak untuk berpikir, coba
renungkan sendiri.”
Lan Giok-keng memang terhitung bocah cerdas, begitu berpikir
sejenak dia langsung mengerti, katanya kemudian sambil tertawa,
"Betul, jika tempat tinggalnya jauh, mungkin sebelum tiba dirumah
racun ditubuhnya sudah keburu kambuh, tidak mungkin dia akan
kabur secara terburu-buru dan bisa dipastikan dia akan tebalkan
muka untuk minta kepadamu mengobati racunnya.”
Ternyata dugaan mereka tidak salah, baru berjalan mengelilingi
dusun nelayan itu satu kali, Hwee-ko Thaysu segera mengendus bau
sejenis ramuan obat yang muncul dari sekitar sana. Rumah itu
ternyata berdiri menyendiri di tepi tanah perbukitan.
Baru Hwee-ko Thaysu mendorong pintu sambil berjalan masuk,
dua orang yang berada dalam ruangan tampak amat terperanjat,
tanpa banyak bicara mereka langsung menerkam ke depan.
Dengan sekali kebutan Hwee-ko Thaysu segera menotok jalan
darah mereka berdua. Mereka hanya sempat meneriakkan kata
"Toako" kemudian ucapan berikut terhenti karena jalan darahnya
keburu tertotok.
"Siapa?" bentak sang Toako.
"Tidak usah gugup,” sahut Hwee-ko Thaysu sambil tertawa, "aku
datang untuk menolongmu, bukan untuk membunuhmu.”
Sembari berkata, Hwee-ko Thaysu telah menerjang masuk ke
halaman belakang dan menendang pintu kamar hingga terbuka. Lan


Giok-keng menyusul dari belakang.
Terasa udara dalam ruangan itu panas sekali, ternyata di tengah
mangan terlihat ada sebuah gentong besi besar yang diletakkan
diatas rak baja, kobaran api sedang membara di bawah gentong itu,
sementara air dalam gentong diisi penuh dan saat itu mulai
mendidih.
Dalam gentong terlihat seseorang, hanya kepalanya yang terlihat
sementara tubuhnya berendam dalam air. Dia tidak lain adalah
bajingan yang membokong Hwee-ko Thaysu kemarin.
Berubah paras muka orang itu saking kagetnya, cepat teriaknya,
"Aku tidak butuh pertolonganmu, kalau kedatanganmu bukan untuk
mempermainkan aku, silahkan keluar dari sini!"
"Rumput obat itu tidak bakalan bisa memunahkan racun dalam
tubuhmu, bukankah gejala aneh dalam tubuhmu sama sekali tidak
berkurang? Hmmm, aku rasa justm bertambah beratbukan?"
Sudah hampir dua jam orang itu berendam dalam air hangat
yang diberi rumput obat, bukan saja gejala semut berjalan dalam
tubuhnya sama sekali tidak berkurang, malah sebaliknya dia merasa
keadaan bertambah berat. Sejak awal dia memang menaruh curiga
kalau cara pemunahan racun yang dilakukan tidak benar, hatinya
bertambah gugup setelah mendengar perkataan Hwee-ko Thaysu
barusan.
"Bila kau tidak percaya, coba tariklah napas dalam dalam,” ujar
Hwee-ko Thaysu lagi, "bukankah dadamu terasa sesak dan perutmu
kembung?"
Orang itu segera mencobanya, kemudian serunya terperanjat,
"Si.... siapa kau? Mengapa bisa menggunakan ilmu Sam-sat-ciang
dari Tiang-pek-pay kami?"
"Kau tidak perlu tahu siapakah aku, Sam-sat-ciang yang
kupelajari jauh berbeda dengan ilmu yang dipelajari Ciangbunjin
kalian, bahkan paling tidak sepuluh kali lipat lebih lihay dari
kemampuannya, hanya resep rahasia ku yang bisa selamatkan


nyawamu. Mau percaya atau tidak, terserah padamu!"
Setelah keadaan berkembang jadi begini, mau tidak mau orang
itu harus mempercayainya, buru-buru serunya, "Thaysu, tolong....
tolonglah aku!"
"Tidak sulit untuk menolongmu, tapi aku tidak bisa menolongmu
dengan percuma, aku harus menerima bayaran untuk pertolongan
ini.”
"Katakan saja Thaysu, berapa pun jumlah uang yang kau minta,
pasti akan kubayar!"
"Aku tidak menginginkan uangmu, kau cukup menjawab tiga
pertanyaanku.”
"Tiga pertanyaan?" kelihatan sekali kalau orang itu terperanjat
bercampur keheranan.
"Betul, aku minta kau menjawab dengan sejujurnya. Bila kau
berbohong, akupun akan memberikan obat palsu untukmu.”
"Aku mana berani membohongi thaysu?"
"Aku percaya kau tidak akan berani. Jujur atau tidaknya
jawabanmu, asal kudengar pasti akan segera ketahuan.”
Maka diapun mulai bertanya, "Aku tahu, kau adalah penduduk
asli yang tumbuh dan dewasa di tempat ini, aku ingin bertanya
padamu, pernahkah ada orang luar daerah yang tinggal di kota Uhsah-
tin?"
Orang itu berpikir sejenak, kemudian mengangguk.
"Pernah, lebih kurang belasan tahun berselang, ada sepasang
suami istri muda yang pernah berdiam di kota Uh-sah-tin.”
"Katakan yang lebih jelas, belasan itu berapa tahun? Siapa pula
nama sepasang suami istri itu?"
Tampaknya orang itu sedang membuat pertimbangan, lewat
berapa saat kemudian baru jawabnya, "Pada delapan belas tahun
berselang ada sepasang suami istri yang masih muda sekali datang


ke kota ini, sang suami dari marga Keng dan mempunyai nama yang
aneh, namanya adalah "Heng-ji" (deret ke dua). Sedang istrinya dari
marga apa, tidak ada yang tahu. Hanya suatu kali, secara kebetulan
kudengar suaminya memanggil dia sebagai adik Yan. Kuduga nama
perempuan itu tentu ada kata Yan". Sepasang suami istri itu tidak
genap setahun tinggal di kota Uh-sah-tin, tiba tiba saja jejak mereka
hilang tidak berbekas.”
Pada mulanya Lan Giok-keng mengira interogasi yang akan
dilakukan Hwee-ko Thaysu tidak akan bergeser dari persoalan yang
terjadi pagi tadi. Menurut jalan pemikirannya, persoalan pertama
yang harus ditanyakan lebih dulu adalah: mengapa kelompok orang
orang dari kota Uh-sah-tin itu langsung mengembut bahkan
bemsaha membunuhnya begitu bertemu, padahal diantara mereka
belum pernah saling mengenal sebelumnya?
Siapa tahu pertanyaan yang diajukan Hwee-ko Thaysu sama
sekali tak menyangkut urusan hari ini, sebaliknya malah menyelidiki
masalah orang luar daerah yang pernah tinggal dikota itu delapan
belas tahun berselang.
Sebenarnya dia merasa sangat keheranan, namun setelah
mendengar jawaban orang itu, satu ingatan segera melintas lewat,
dia seakan telah memahami akan sesuatu.
Dia teringat kembali dengan kejadian ketika dalam perjalanan
bersama Tonghong Liang bertemu lebah hijau Siang Ngo-nio di
tengah jalan, waktu itu Siang Ngo-nio menyebutnya sebagai 'bocah
muda she-Keng". Padahal dia bermarga Lan, kenapa Siang Ngo-nio
mengubah nama marganya menjadi Keng? Atas dasar apa dia
berbuat begitu?
Kemudian dia teringat pula dengan cerita Hwee-ko Thaysu
tentang Ji-ouw Thayhiap Ho Ki-bu.
Ayah angkatnya belum pernah menyinggung tentang asal usul
dirinya sewaktu masih preman dulu, dari mulut Hwee-ko Thaysu lah
dia mengetahui segala sesuatunya.
Dia tahu kalau Ho Ki-bu mempunyai dua orang murid, murid


pertama bernama Ko Ceng-kim yakni ayah angkatnya sekarang dan
murid ke dua bernama Keng King-si, diapun mempunyai seorang
putri bernama Ho Giok-yan.
Ho Ki-bu ayah beranak bersama Keng King-si ditemukan tewas
secara misterius pada tujuh belas tahun berselang!
Dalam waktu singkat Lan Giok-keng merasakan hatinya sangat
kalut. Setelah berusaha menenangkan hatinya dia pun berpikir,
"Jangan-jangan suami muda yang bernama Keng Heng-ji itu adalah
Keng King-si? Bukankah dalam perguruan Ho Ki-bu, dia berada pada
urutan kedua? Sedang istrinya memakai kata Yan", kalau bukan Ho
Giok-yan yang dimaksud lalu siapa pula?
Mengapa Hwee-ko Thaysu mulai mengajukan pertanyaannya
tentang suami istri muda itu? Mungkinkah mereka berdua ada
sangkut paut dan keterkaitannya dengan diriku?"
Belum habis ingatan itu melintas lewat, terdengar Hwee-ko
Thaysu telah mengajukan persoalan yang ke dua.
"Kapan untuk terakhir kalinya kau berjumpa dengan Jit-seng
Kiam-kek?"
Sekali lagi Lan Giok-keng tertegun, darimana Hwee-ko Thaysu
bisa tahu kalau orang ini pernah bertemu Jit-seng-kiam-kek? Bahkan
bertemu bukan hanya satu kali saja?
Tampaknya Hwee-ko Thaysu dapat menebak jalan pikirannya,
perlahan ia berkata, "Bila dugaanku tidak keliru, walaupun Jit-sengkiam-
kek tidak tinggal di kota Uh-sah-tin, namun dia pasti bukan
hanya satu kali datang ke kota ini. Bahkan pada enam belas tahun
berselang, sewaktu sepasang suami istri itu tinggal dikota Uh-sahtin,
dia pasti pernah datang kemari!"
Sepintas perkataan itu seolah ditujukan kepada orang itu,
padahal dalam kenyataan dia sengaja mengucapkannya untuk
didengar Lan Giok-keng.
"Ucapan Thaysu tepat sekali. Dalam belasan tahun terakhir,
mungkin ada empat, lima kali Jit-seng-kiam-kek datang kemari.


Terakhir kali aku menjumpainya adalah pada bulan sembilan tahun
berselang. Tapi harinya sudah tidak ingat,” kata orang itu.
Sekali lagi Lan Giok-keng merasakan hatinya tergerak, bulan
sembilan tahun berselang? Bukankah tepat saat ayah angkatnya
berkunjung ke wilayah Liauw-tong? Apakah ayah angkatnya
bertemu Jit-seng-kiam-kek di kota Uh-sah-tin?
Keng King-si adalah adik seperguruan ayah angkatnya ketika
masih preman dulu, tujuh belas tahun berselang pun pernah
berdiam di kota Uh-sah-tin, konon pada tahun itu Jit-seng-kiam-kek
pernah muncul juga di kota tersebut, apakah ke tiga kejadian ini
ada keterkaitan nya satu dengan lainnya?
Hwee-ko Thaysu manggut-manggut, katanya kemudian,
"Sekarang adalah pertanyaanku yang terakhir, setahuku, Jit-sengkiam-
kek mempunyai seorang putra, tapi dia sudah berganti nama
dan she. Cepat katakan kepadaku, siapa nama putranya sekarang
dan dimana aku bisa menemukan dirinya?"
"Soal ini.... soal ini....” orang itu jadi tergagap.
"Tidak usah ini itu, kalau menginginkan nyawa-mu, cepatjawab!"
Pada saat itulah tiba tiba terdengar desingan angin tajam
bergema memecahkan keheningan, begitu suara itu bergema, para
jago silat segera tahu kalau suara itu adalah desingan senjata
rahasia yang menembus udara.
Reaksi Hwee-ko Thaysu cukup cepat, dia kebaskan ujung
bajunya merontokkan dua paku penembus tulang yang menyambar
tiba. Tapi paku penembus tulang yang ke tiga tetap menghajar
orang itu. Bukan menembusi tulangnya, tapi menembusi
tenggorokannya!
Semburan darah segar segera memancar keluar, dalam waktu
singkat air didalam gentong itu telah berubah jadi merah darah.
"Berani membunuh orang kenapa tidak bernyali bertemu aku?"
bentak Hwee-ko Thaysu nyaring.


Tubuhnya bagaikan sebuah anak panah langsung melesat keluar
melalui jendela.
Ketika Lan Giok-keng periksa orang yang berada dalam gentong,
ternyata dia telah tewas seketika.
Membayangkan kembali betapa dahsyat dan hebatnya serangan
senjata rahasia itu, Lan Giok-keng merasakan hatinya kebat kebit,
pikirnya, 'Masih untung ada Hwee-ko Thaysu di sampingku, coba
kalau ke tiga batang paku penembus tulang itu diarahkan ke
tubuhku, mungkin rubuhku akan bertambah dengan tiga buah
lubang besar!"
Hwee-ko Thaysu telah kembali. Baru Lan Giok-keng ingin
bertanya, sambil tertawa getir dia telah berkata, "Tidak terkejar lagi!
Ilmu silat yang dimiliki orang itu masih jauh diatasku dan tidak
mungkin dibawahku!"
Ternyata bajunya telah tertembus sambitan senjata rahasia tadi
hingga muncul dua lubang besar, bagi orang lain, baju yang
berlubang karena sambitan paku penembus tulang bukanlah satu
kejadian aneh, namun baginya, peristiwa tersebut cukup membuat
hatinya bergetar keras karena kaget.
Sebab sewaktu menangkis serangan Am-gi tadi, dia telah
menggunakan ilmu Thiat-siu-kang (ilmu baju baja) untuk
menangkisnya, bila ilmu silat yang dimiliki lawan sedikit lemah,
maka biarpun mereka membacok dengan golok atau pedang pun
jangan lagi melukai tubuhnya, bisa jadi senjata mereka sendiri yang
bakal patah.
Cepat Lan Giok-keng berbisik, "Di depan sana masih ada dua
orang, apakah....”
"Mungkin nyawa mereka pun sudah melayang, coba kita periksa
ke luar.”
Ternyata dugaan mereka tidak meleset, di tubuh kedua orang itu
tidak ditemukan tanda luka apa pun, namun mereka pun sudah
kehilangan napas.


Selesai melakukan pemeriksaan, tiba-tiba Hwee-ko Thaysu
bertanya, "Apakah ilmu pukulan Thay-kek-ciang dari partai Bu-tong
bisa membunuh orang tanpa meninggalkan bekas luka di tubuh
korbannya?'
"Jika ilmu pukulan seseorang telah dilatih hingga mencapai
puncak kesempurnaan, memang bisa terjadi seperti apa yang kau
katakan. Aaaah, teringat aku sekarang!"
"Teringat apa?"
"Tujuh belas tahun berselang, seorang Tianglo dari partai Butong
mati juga karena dibokong orang.”
"Yaa, tentang peristiwa itu akupun tahu, bukankah yang
terbunuh adalah Bu-kek Totiang, ketua para Tianglo dari Bu-tongpay?
Entah bagaimana tampang dan keadaannya sewaktu
meninggal?"
"Dari pernyataan Sucouw, konon tidak ditemukan bekas luka apa
pun di tubuhnya.”
"Kejadian ini sedikit rada aneh. Menurut apa yang kuketahui,
tenaga dalam yang dimiliki Bu-kek tootiang sudah mencapai
tingkatan sempurna, kehebatannya sama sekali tidak berada di
bawah kemampuan Bu-siang Cinjin. Dari ke tiga orang Tianglo Butong-
pay saat itu, bicara soal ilmu pedang maka Bu-si Tojin yang
paling hebat, tapi kalau bicara soal tenaga pukulan seharusnya Bukek
tootiang lah yang paling tangguh. Sekalipun dia tewas karena
dibokong orang, aneh rasanya kalau ternyata dia mati karena
dihantam ilmu pukulan Thay-kek-ciang, tentu terkecuali Bu-siang
Cinjin sendiri yang melakukan. Tentu saja pembunuhnya waktu itu
bukan Bu-siang Cinjin karena pada saat kejadian, Bu-siang Cinjin
berada diatas gunung Bu-tong.”
"Tapi tenaga pukulan yang menyebabkan kematiannya toh belum
pasti akibat pukulan Thay-kek-ciang-hoat.”
"Apakah Bu-siang Cinjin yang berkata begitu?" tanya Hwee-ko
Thaysu cepat, "apakah dia yakin kalau pukulan itu bukan Thay-kekTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/

ciang-hoat?"
"Sucouw tidak membenarkan, juga tidak mengatakan bukan. Dia
hanya bilang masih berada dalam penyelidikan. Tapi kalau menurut
Bu-liang Tianglo, dia menganggap pukulan itu tidak salah lagi pasti
Thay-kek-ciang-hoat.”
"Oooh, jadi saat itu Bu-liang Tianglo juga ikut hadir?"
"Persoalan itu memang sedang diperbincangkan Bu-liang Tianglo
dengan Sucouw, kebetulan saja hari itu aku sedang berlatih tenaga
dalam di dalam kamar Sucouw hingga tanpa sengaja mendengar
pembicaraan tersebut.”
"Atas dasar apa Bu-liang Tianglo berani mengatakan
keyakinannya?"
"Dia bilang walaupun tenaga pukulan sesama seperguruan tidak
ada yang bisa mengungguli Bu-kek Tianglo, namun tidak menjamin
murid Bu-tong-pay dari aliran lain tidak ada yang memiliki tenaga
pukulan jauh lebih tangguh darinya, konon banyak tahun berselang
ada seorang murid Bu-tong-pay yang hilang lenyap jejaknya setelah
berhasil mempelajari ilmu silat sakti, konon dia kabur ke luar
perbatasan dan hidup mengasingkan diri disana, bahkan tersebar
berita yang mengatakan dia telah mempunyai seorang ahli waris.
Hanya saja bagaimana kejadian yang sesungguhnya, hingga kini
tidak seorangpun yang tahu jelas. Sebab sejak hilang dari
peredaran, belum pernah ada rekan-rekan Bu-tong-pay yang pernah
bersua lagi dengannya, tentu saja kesemuanya ini hanya menurut
cerita saja. Hingga kini peristiwa tersebut sudah berlalu hampir
mendekati seratus tahun, tidak ada lagi yang menemukan ahli waris
lain dari orang tersebut muncul di luar perbatasan.”
"Sekalipun benar ada manusia seperti ini, yang pasti orang yang
telah membokong Bu-kek Tianglo tidak memiliki tenaga pukulan
Thay-kek-ciang-hoat diatas kemampuan Bu-kek Tianglo.”
"Darimana kau bisa tahu?"
"Pertanyaanmu susah untuk kujelaskan dalam waktu singkat. Aku


hanya bisa mengatakan bahwa dugaan dan kesimpulan ku ini tidak
bakalan salah.”
Lan Giok-keng sangat pintar, segera pikirnya, 'Hwee-ko Thaysu
pasti masih mengetahui hal-hal lain yang kemungkinan besar tidak
diketahui Sucouw maupun beberapa orang Tianglo, hanya saja dia
enggan mengatakannya kepadaku'
Berpikir begitu, diapun bertanya, "Kalau memang begitu, kau
tentunya sangat yakin kalau kedua orang inipun sudah tewas karena
pukulan Thay-kek-ciang-hoat?"
"Betul sekali, aku yakin melesetpun tidak bakalan terlalu jauh.
Hanya saya, aku tetap menaruh curiga, bisa jadi pembunuh yang
telah menghabisi nyawa kedua orang ini tidak lain adalah pembunuh
yang telah membokong Bu-kek tootiang pada enam belas tahun
berselang.”
"Kalau begitu cepatlah kau mencari akal untuk menyelidiki
siapakah sang pembunuh itu!" seru Lan Giok-keng kegirangan.
"Kau pernah berlatih ilmu pukulan Thay-kek-ciang?" tiba tiba
Hwee-ko Thaysu bertanya.
"Latihan mah sudah pernah, hanya sayang tenaga dalamku
masih sangat cetek.”
"Kalau begitu pukullah aku, tapi harus memukul dengan sepenuh
tenaga!"
"Boanpwee tidak berani,” sahut Lan Giok-keng terperanjat.
"Tidak usah kuatir,” kata Hwee-ko Thaysu lagi sambil tertawa,
"pukul saja dengan sepenuh tenaga, semisal berhasil melukai
akupun tidak bakalan aku marah kepadamu.”
Begitu mendengar perkataan itu, Lan Giok-keng baru tersadar
kembali, tenaga dalam yang dimiliki Hwee-ko Thaysu masih jauh
diatas kemampuannya, bagaimana mungkin pukulannya bisa
melukai pendeta itu?
Pukulannya dilancarkan dengan sepenuh tenaga, walaupun


akibatnya Hwee-ko Thaysu tidak sampai terluka, tidak urung
tubuhnya bergetar juga sangat keras.
Ternyata setelah ilmu pedangnya mengalami kemajuan pesat
dalam berapa bulan terakhir, tenaga dalamnya ikut mengalami
kemajuan, bahkan dia sendiri tidak sadar akan hal ini.
"Sangat bagus,” ujar Hwee-ko Thaysu kemudian, "aku telah
merasakan kehebatan dari kekuatan lembek Thay-kek-ciang-hoat.
Coba kau tunggu sebentar.”
Sambil berkata, dia membopong sesosok mayat dan berjalan
masuk ke dalam kamar.
Lan Giok-keng kebingungan melihat ulah pendeta itu, setelah
menunggu sesaat, tampak Hwee-ko Thaysu muncul kembali dengan
tangan kosong sambil berkata, "Ternyata dugaanku tidak salah,
orang ini bergabung dengan Buy-tong-pay setelah mempelajari ilmu
silat perguruannya sendiri, oleh karena itu tenaga pukulan Thaykek-
ciang nya tidak terlalu sempurna.”
"Darimana kau bisa mengetahui dengan begitu jelas?"
"Aku telah melakukan otopsi untuk memeriksa isi perut mayat
tadi, karena kuatir kau ngeri dan muak, maka sengaja tidak
mengajakmu. Jika ilmu pukulan Thay-kek-ciang-hoat yang dimiliki
orang itu sudah mencapai tingkat kesempurnaan, jantung sang
korban akan ditemukan dalam keadaan utuh. Tapi jantung mayat
tadi sudah hancur berantakan, malah dua kerat tulang iganya ikut
berubah bentuk karena pengaruh tenaga pukulan. Bagian-bagian ini
tidak mungkin bisa ditemukan bila kita tidak melakukan
pembedahan jenasah.”
"Jadi sang pembunuh berasal dari perguruan mana?"
"Tiang-pek-pay memiliki dua jenis ilmu silat yang sangat lihay,
yang pertama adalah ilmu pukulan Sam-sat-ciang, dan yang kedua
adalah Hong-lui-ciang (ilmu pukulan angin geledek). Korban yang
tewas akibat pukulan Hong-lui-ciang pun tidak meninggalkan bekas
luka di permukaan tubuh sang korban, tapi isi perutnya pasti hancur


berantakan. Tampaknya sang pembunuh telah menggabungkan ke
dua macam ilmu pukulan itu menjadi satu, kesempurnaan ilmu
pukulan Thay-kek-ciang nya mungkin saja belum mampu melampaui
kehebatan Bu-kek Tianglo, tapi kesempurnaannya cukup
meyakinkan.”
"Kalau begitu, bukankah ke tiga orang penghuni rumah ini sudah
mati karena dibunuh rekan seperguruannya?"
"Dia ingin melenyapkan saksi, tentu saja tidak akan
memperdulikan apakah rekan seperguruan atau tidak. Aaaah,
mengerti aku sekarang!"
Ucapan itu kelewat mendadak, membuat Lan Giok-keng jadi
tertegun. Tanyanya cepat, "Thaysu telah mengerti soal apa?"
"Apakah tahun berselang Sucouw mu pernah mengutus orang
pergi ke gunung Boan-liong-san untuk menggali kerangka tubuh Bukek
Tianglo?"
"Benar, Sucouw ingin memindahkan kerangka jenasahnya untuk
dikubur kembali diatas gunung. Yang mendapat perintah untuk
melakukan penggalian adalah Toa-supekku, Put-coat. Sayang Toasupek
terluka di tangan seorang manusia berkerudung ketika masih
berada di gunung Boan-liong-san, lantaran luka yang kelewat parah
maka setelah tiba di gunung Bu-tong, dia menemui ajalnya. Apakah
manusia berkerudung itu....”
"Saat ini aku masih belum berani memastikan apakah manusia
berkerudung itu sama dengan manusia berkerudung yang barusan
kita jumpai, namun ada satu hal aku berani memastikan.”
"Soal apa?"
"Sucouw mu beralasan ingin memindahkan kerangka jenasahnya
agar bisa dikubur digunung Bu-tong, tapi di dalam kenyataan
sebenarnya dia ingin melakukan penyelidikan sebab kematiannya di
masa lalu dengan memeriksa sendiri kerangka Bu-kek Tianglo,
bahkan ingin membuktikan benarkah sang pembunuh adalah
anggota perguruan Bu-tong-pay. Ehmmm, bila dia berhasil


mendapat tahu kalau sang pembunuh masuk perguruan dengan
membawa serta ilmu silat perguruan semula....”
Bicara sampai disitu diapun membungkam dan tidak dilanjutkan,
seolah secara tiba-tiba terpikir kembali suatu teka teki yang sulit
dipecahkan olehnya.
Lan Giok-keng tidak mengetahui jalan pemikirannya, sambil
menghela napas katanya, "Sayang sekali di saat Put-coat supek
meninggal dunia, Sucouw pun menderita sakit parah, bahkan
berapa hari kemudian ikut menghembuskan napas penghabisan.
Aaai.... dalam keadaan begitu, mana mungkin dia punya kekuatan
lagi untuk melacak sebab kematiannya. Thaysu, apa yang harus kita
lakukan sekarang?"
Waktu itu langit sudah mendekati gelap.
"Jelas kita tidak bisa tinggal terlalu lama ditempat seperti ini,”
sahut Hwee-ko Thaysu, "lebih baik kita pergi dulu dari sini.”
Dia bersama Lan Giok-keng berjalan menuju ke atas sebuah
tanah perbukitan didekat sana, sambil mengeluarkan rangsum
kering katanya lagi, "Sekarang makanlah dulu hingga kenyang,
kemudian tidur dengan nyenyak.”
"Kenapa harus tidur?" tanya Lan Giok-keng.
"Kalau tidak memiliki tenaga yang segar, bagaimana bisa
menyelesaikan tugas?"
"Jadi kau sudah mempunyai rencana?"
"Tidak usah terburu napsu, kau pun tidak perlu memikirkan terus
persoalan ini, bila saat harus berangkat telah tiba, akan
kuberitahukan kepadamu.”
Lan Giok-keng tertawa.
"Kalau hanya untuk memulihkan tenaga mah tidak perlu harus
tidur sampai nyenyak,” katanya.
Diapun segera duduk bersila dan mulai mengatur pernapasan


dengan mengikuti Sim-hoat tenaga dalam yang dipelajarinya dari
sang Sucouw. Tidak selang beberapa saat kemudian dia sudah
masuk dalam kondiri lupa diri, terhadap sekelilingnya dia
memandang tapi tidak melihat, ada suara tapi tidak mendengar.
Setelah melakukan latihannya sebanyak tiga kali, dia baru
mendongakkan kepalanya, ternyata rembulan telah berada ditengah
angkasa.
"Bagus sekali,” ujar Hwee-ko Thaysu kemudian, "kau telah
menyelesaikan latihanmu, mari sekarang juga kita berangkat.”
"Mau ke mana?"
"Kota Uh-sah-tin!"
Mula-mula Lan Giok-keng agak tertegun, kemudian seolah
menyadari sesuatu sahutnya, "Benar, mereka pasti tidak menyangka
kalau secepat ini kita bakal balik lagi, siapa tahu kita berhasil
melacak sedikit titik terang.”
"Kau harus melakukan persiapan untuk menghadapi hal yang
tidak diinginkan.”
Kemudian secara ringkas pendeta ini membeberkan semua
rencana yang harus dia lakukan nanti, setelah itu dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuh mereka berdua balik kembali
ke kota Uh-sah-tin.
Target penyelidikan mereka kali ini tidak lain adalah balai
penjualan ikan di kota tersebut.
Ternyata balai penjualan ikan dikota itu mencakup tanah yang
sangat luas. Di bagian depan merupakan gedung yang digunakan
untuk jual beli, di bagian belakang merupakan deretan rumah
tinggal, sedang di bagian tengah merupakan sebuah halaman yang
sangat luas.
Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, pada tengah
malam itu Hwee-ko Thaysu dan Lan Giok-keng berhasil menyusup
masuk ke halaman dalam tanpa menimbulkan sedikit suara pun.


Pada ujung serambi ruangan yang berliku-liku terdapat sebuah
bangunan loteng, cahaya terang memancar keluar dari balik jendela
ruangan itu.
Ternyata jendela itu berada dalam kondisi setengah tertutup.
Begitu mereka berdua tiba diujung serambi, dengan satu
lompatan ringan mereka melompat naik ke atas wuwungan rumah,
kebetulan wuwungan itu terdapat sebuah bagian yang agak cekung
ke dalam hingga persis bisa dipakai mereka berdua untuk
menyembunyikan diri.
Tampak seorang lelaki setengah umur yang tubuhnya agak
gemuk duduk di ruang tengah, seorang kakek jangkung lagi kurus
dan seorang lelaki pendek tapi kekar berdiri di kiri kanannya.
Suasana dalam ruangan itu sangat hening, tidak terdengar ada
suara pembicaraan, rupanya lelaki setengah umur itu sedang
memusatkan perhatiannya membaca sepucuk surat.
Ketika selesai membaca, dia letakkan kembali surat itu ke meja
dan berkata, "Apakah dia sendiri yang menyerahkan surat ini
kepadamu?"
Lelaki yang pendek tapi kekar itu segera menyahut, "Karena
kuatir menimbulkan kecurigaan orang, aku tidak berani mencarinya
di kantor resminya. Seorang kepercayaannya yang menyerahkan
surat ini kepadaku, jadi aku yakin tidak bakalan salah. Kim-lopan,
apakah kau merasa gaya tulisan dalam surat itu mencurigakan?"
Ternyata lelaki setengah umur itu tidak lain adalah juragan
bengis yang menguasahi penjualan ikan di kota Uh-sah-tin dan
bernama Kim Teng-hap. Tentu saja statusnya disana bukan hanya
sebagai seorang juragan bengis saja.
Terdengar Kim Teng-hap berkata, "Belasan tahun berselang, dia
pernah membantu aku mengerjakan pembukuan disini. Tentu saja
aku pernah melihat gaya tulisannya, tapi semua catatan pembukuan
yang dia lakukan pun aku hanya kadang-kala membukanya. Setelah


lewat banyak tahun, sesungguhnya aku sendiripun agak buram
dengan gaya tulisannya.”
"Kalau soal itu mah gampang,” kata si kakek ceking, "perintahkan
saja Lo-liau untuk membawa kemari semua catatan pembukuan
yang pernah dia kerjakan dulu, bukankah dengan cepat kita bisa
mendapat tahu apakah gaya tulisan itu miliknya atau bukan.”
"Untuk sementara tidak perlu. Terus terang saja, aku bukannya
menaruh curiga dengan gaya tulisannya, hanya merasa sedikit
keheranan.”
"Keheranan soal apa?"
"Heran kenapa beritanya begitu cepat dan tepat?"
"Si hwesio tua dan bocah muda itu datang dari selatan,” ujar
lelaki pendek kekar itu, "untuk bisa tiba di kota Uh-sah-tin paling
tidak juga butuh waktu setengah bulan lamanya, sementara
jabatannya di kotaraja adalah....”
"Aku sudah tahu apa jabatan dia di kotaraja, buat apa kau ikut
cerewet?" tukas Kim Teng-hap tiba tiba sambil melotot ke arahnya,
"hmmm, selama ini kau pintar dan cekatan, mengapa sikapmu hari
ini jadi begitu bodoh dan pikun?"
Buru-buru lelaki kekar itu tertawa paksa, sahutnya, "Aku tahu
rahasianya memang tidak boleh sampai bocor, tapi bukankah dalam
ruangan hanya ada....”
"Biarpun di tempat ini kita tidak perlu kuatir di balik dinding ada
telinga, tapi jadikan hal semacam ini sebagai suatu kebiasaan.”
Setelah lelaki kekar itu mengiakan, Kim Teng-hap baru berkata
lagi, "Baiklah, sekarang lanjutkan.”
Lelaki kekar itu melanjutkan kembali perkataannya, "Dengan
posisi jabatannya sekarang, waktu selama setengah bulan sudah
lebih dari cukup baginya untuk mendapat laporan dari matamatanya
yang tersebar dimana-mana. Begitu sang hweesio dan
bocah itu meninggalkan Toan-hun-kok menuju utara, mungkin


sudah ada orang yang menggunakan kuda paling cepat untuk
melaporkan berita ini ke kotaraja.”
"Dia mempunyai mata-mata yang tersebar dimana mana
bukanlah kejadian yang aneh, yang aneh justru.... ehmmm, apakah
kalian sudah melihat isi surat ini?"
"Mana berani kubuka dulu surat itu?" buru-buru lelaki kekar itu
berseru.
"Kalau begitu ambillah dan dibaca dulu.”
Selang berapa saat kemudian terdengar Kim Teng-hap berkata
lagi, "Aku benar benar tidak habis mengerti, kenapa dia pesan
wanti-wanti kepada kita agar jangan melukai nyawa bocah muda
itu?"
Tentu saja "bocah muda" yang dimaksud Kim Teng-hap tidak lain
adalah Lan Giok-keng.
Mendengar ucapan tersebut, Lan Giok-keng segera merasakan
hatinya berdebar keras. Inilah persoalan yang sangat ingin dia
ketahui, apa sebabnya Kim Teng-hap dan komplotannya berusaha
mencabut nyawanya?
Lalu siapa pula orang yang telah melindungi nyawanya?
Kim Teng-hap sama sekali tidak menjawab pertanyaan yang dia
ajukan itu, malah sambil tertawa getir ujarnya lebih lanjut,
"Seandainya surat ini datang sehari lebih awal, kita tidak perlu
kehilangan nyawa beberapa orang saudara.”
"Tapi masih beruntung begitu,” sahut kakek ceking itu,
"andaikata bocah muda itu yang tewas di tangan kita, sekalipun kita
bisa beralasan kedatangan surat itu terlambat sehari, bukan berarti
kita bisa terhindar dari teguran dan umpatannya.”
Kim Teng-hap segera mendengus.
"Hmm! Sekarang dia memang bisa bergaya, coba kalau tempo
hari bukan aku yang mengajaknya bergabung, memangnya dia bisa
memangku jabatan tinggi seperti sekarang?"


Kakek ceking itu tidak bicara lagi, sementara lelaki pendek kekar
itu berkata, "Benar, Kim-lopan, terlepas betapa tingginya pangkat
yang dia jabat sekarang, yang pasti dia pernah mendapat budi
kebaikan darimu. Aku yakin diapun tidak akan berani berbuat apaapa
terhadapmu. Menurut pendapatku, lebih baik kau berlagak
seperti tidak pernah membaca surat itu, kita habisi dulu nyawa
bocah muda itu kemudian baru bicara lagi. Terus terang akulah
yang pertama tama tidak puas dengan hasil sekarang, hmmm, kita
harus kehilangan nyawa berapa orang saudara sementara kita
dilarang mengusiknya barang seujung rambutpun!"
"Kau tidak usah banyak bicara, aku mempunyai perhitungan
sendiri. Aku hanya ingin tahu, mengapa dia harus melindungi bocah
muda itu? Eng-lo, apakah kau bisa menduga sebab dan alasannya?"
Tampaknya dia menaruh sikap hormat terhadap kakek ceking itu,
tapi menganggap lelaki pendek kekar itu sebagai bawahannya.
"Berbicara dari tampang muka bocah muda itu, siapa pun yang
melihatnya segera akan tahu.... ehmm, aku malah masih
mengetahui akan satu hal, dari pembicaraan In-po yang buka
praktek di kota Uh-sah-tin tempo hari, katanya di saat bini Keng
Heng-ji meninggalkan kota ini, dia sudah.... sudah....”
Suara pembicaraan kakek itu makin lama semakin mengecil,
biarpun Lan Giok-keng mencoba pasang telinga baik-baik pun dia
hanya bisa menangkap berapa patah saja yang tidak jelas.
Namun Hwee-ko Thaysu dapat menangkap semua perkataan itu
dengan jelas sekali, ternyata sang In-po (dukun melahirkan dimasa
lampau) itu berkata begini: sebelum bini Keng Heng-ji balik ke
selatan, dia sudah berada dalam keadaan hamil, bahkan janinnya
sudah berusia tiga bulan lebih.
"Jadi maksudmu, dia memang sudah mengetahui asal usul bocah
muda itu?" seru lelaki pendek kekar itu cepat, "karena mengingat
hubungan baiknya dengan Keng Heng-ji di masa lampau maka dia
sengaja menulis surat ini? Aku rasa dugaan ini tidak benar?"
"Betul,” Kim Teng-hap manggut manggut, "bagi kita yang


melakukan pekerjaan semacam ini, boleh dibilang kita tidak kenal
sanak tidak kenal saudara. Jangan lagi hanya sahabat karib, bila
perlu bini yang kita ajak tidur bersama tiap haripun setiap saat bisa
kita bunuh.”
Melihat sang majikan menyetujui dengan pendapatnya, lelaki itu
merasa amat bangga, ujarnya lagi, "Menurut apa yang kuketahui,
kematian Keng Heng-ji dimasa lalu pun gara-gara tersangkut
masalahnya. Apakah dia tidak kuatir bocah muda itu datang mencari
balas kepadanya? Semestinya dia jauh lebih cemas daripada kita
dan seharusnya dialah yang berkepentingan untuk segera
menghabisi nyawa bocah itu.”
"Kalau aku tidak berpendapat begitu,” perlahan kakek ceking itu
berkata.
"Lalu bagaimana menurut pendapatmu?" buru-buru Kim Tenghap
bertanya.
"Tahukah kalian, apa sebabnya dimasa lalu orang she-Keng itu
sampai dicurigai rekan seperguruannya?"
"Aku tahu, karena disakunya tersimpan sepucuk surat,” sela lelaki
kekar itu cepat, "surat itu pertama kali diketahui oleh Susioknya dari
marga Ting, kemudian Suhunya dan Suhengnya mengetahui juga
akan kejadian tersebut.”
"Betul, orang yang menulis surat untuknya dulu tidak lain adalah
orang yang menulis surat untuk kita sekarang. Tapi tahukah kalian
apa isi surat itu?"
"Surat itu adalah sepucuk surat rahasia, ketika orang she-Keng
itu tewas, suratnya langsung dirampas.
Darimana aku bisa tahu? Kenapa kau bertanya begitu, apakah
kau mengetahui isi suratnya?"
"Tentu saja akupun tidak tahu. Tapi darimana kau bisa tahu
kalau surat itu sudah terjatuh ke tangan rekan seperguruannya?
Hmm, jangan-jangan kau pun hanya menduga.”


"Dasar apa kau berkata begitu?" protes lelaki pendek itu.
Kim Teng-hap tidak ingin melihat kedua orang itu ribut lebih
lanjut, segera tukasnya, "Bagaimana pun kita sama-sama hanya
menduga. Eng tua, coba lanjutkan analisamu.”
"Semua orang tidak pernah melihat isi surat itu, tapi rekan
seperguruan orang she-Keng telah menganggap surat rahasia itu
sebagai tanda bukti kalau dia telah bersekongkol dengan musuh,
tapi mungkinkah di dalam surat itu tersembunyi pula pembicaraan
yang hanya bisa dimengerti mereka berdua? Atau dalam surat itu
tercantum pula sesuatu yang tidak terlihat orang lain?"
"Hanya si penerima surat yang bisa membaca isinya dan orang
lain tidak bisa membaca? Maksudmu?" tanya lelaki kekar itu
tertegun.
"Ada semacam cairan obat yang bisa menyembunyikan tulisan,
mungkin kau belum pernah mendengarnya bukan? Tulisan yang
telah digosok dengan cairan obat itu hanya bisa terbaca tulisannya
bila digarang diatas api.”
Paras muka Kim Teng-hap kelihatan agak sedikit berubah, buruburu
serunya, “Lanjutkan!"
"Bisa jadi surat itu sudah terjatuh ke tangan seseorang yang
punya hati....”
"Seseorang yang punya hati? Apa maksudnya?" sela lelaki kekar
itu tiba-tiba.
"Jangan menimbrung dulu, biar Eng-lo lanjutkan pandangannya!"
tegur Kim Teng-hap dengan kening berkerut.
"Orang yang punya hati terbagi menjadi dua macam, pertama
ada hati atau niat membantu orang she-Keng itu terlepas dari
tuduhan dan fitnahan yang tidak pernah dilakukan, tapi berhubung
saat itu dia tidak punya kekuatan atau kemampuan untuk
membelanya, maka surat itu sengaja dia sembunyikan. Ke dua
adalah orang yang punya hati atau niat untuk menggunakan surat
itu untuk mengancam dan mengompas si penulis surat itu.”


Kim Teng-hap kembali mengangguk.
"Jika termasuk orang yang pertama, kemungkinan besar surat itu
sudah diserahkan kepada Lan Giok-keng si bocah muda itu,”
katanya.
Lan Giok-keng yang mendengar ucapan itu kontan saja
merasakan hatinya bergetar keras, pikirnya, 'Kenapa dia
menganggap surat itu bakal diserahkan kepadaku. Mungkinkah
antara aku dengan orang she-Keng itu terdapat hubungan khusus?'
Tampaknya lelaki kekar itu berhasil menemukan pula sebuah titik
terang, cepat katanya, "Eng-lo, apakah kau menaruh curiga kalau
dia tidak setia kepada majikan? karena khawatir surat itu terjatuh ke
tangan Lan Giok-keng si bocah muda itu, maka dia harus berusaha
melindungi nyawanya. Dan setelah surat itu berhasil didapatkan
kembali bara berani membunuh bocah itu?"
"Kau yang bicara begitu, bukan aku yang bilang yaa! Lebih baik
kau jangan sembarangan menebak maksud hatiku!" seru kakek itu.
Tentu saja Kim Teng-hap juga tahu kalau kakek ceking itu
gelisah lantaran rahasia hatinya tertebak tepat, maka sengaja
dengan muka serius katanya, "Perkataan Eng-lo memang tepat
sekali, perkataan semacam ini tidak boleh diucapkan secara
sembarangan.”
Sambil tertawa paksa cepat cepat lelaki itu berkata,
"Bagaimanapun kita semua hanya saling menduga, apalagi dalam
ruangan ini pun hanya ada kita bertiga.”
Perlahan-lahan paras muka Kim Teng-hap berubah melunak
kembali, sahutnya, "Kalau hanya berbicara disini mah tidak menjadi
masalah, tapi jangan sampai bocor atau salah bicara ditempat
luaran sana. Baik, sekarang kalian sudah membaca surat itu, biar
kusimpan baik-baik....”
Pada saat itulah mendadak berhembus lewat segulung angin
kencang, baru saja Kim Teng-hap hendak mengambil surat itu,
tubuhnya sudah bergetar sangat kuat hingga nyaris tidak mampu


berdiri tegak. Surat yang berada diatas meja pun tahu-tahu sudah
melayang ke tengah udara.
Secepat sambaran kilat Hwee-ko Thaysu bagai seekor burung
raksasa telah menerjang masuk ke dalam ruangan itu, surat yang
berada diatas meja pun sudah direbutnya.
Kakek ceking dan lelaki kekar pendek itu serentak menyerbu
maju dari kiri kanan, dengan satu tendangan Hwee-ko Thaysu
merobohkan lelaki kekar itu sementara si kakek ceking langsung
menyambar betisnya.
Saat itu Hwee-ko Thaysu belum sempat mencapai tanah, buruburu
dengan gaya burung belibis membalikkan badan, ia pelintir
kakek itu hingga terbanting ke tanah, kemudian sambil
mencengkeram pinggangnya, pendeta itu melempar tubuh
lawannya keluar.
Selama pertarungan berlangsung, Kim Teng-hap sama sekali
tidak melarikan diri, sebaliknya dia malah tertawa terbahak-bahak.
Ditengah gelak tertawa yang keras itulah mendadak papan lantai
di bawah kaki Hwee-ko Thaysu terbuka lebar, tampak jelas di
bawah jebakan itu dipenuhi dengan panah panah tajam. Cahaya
kebiruan memantul keluar dari ujung panah panah itu, bisa diduga
kalau semuanya telah dibubuhi racun jahat.
Sewaktu membanting tubuh kakek ceking tadi, Hwee-ko Thaysu
telah mengerahkan seluruh kekuatannya pada sepasang kaki, dalam
keadaan begini mana mungkin dia bisa menghindarkan diri?
Tidak ampun tubuhnya segera meluncur ke dalam liang jebakan
itu dan memapaki ujung panah yang tajam.
Sambil tertawa terbahak bahak seru Kim Teng-hap,
"Hahahaha.... hwesio bau, ini namanya menghantar diri....”
Sayang dia tertawa terlalu awal.
Benar, bila tubuh Hwee-ko Thaysu terjatuh ketengah hutan
panah beracun itu, niscaya dia akan mati secara mengenaskan. Tapi


disaat yang amat kritis itulah telah terjadi perubahan yang sama
sekali di luar dugaan.
Belum lagi Kim Teng-hap menyelesaikan kata katanya, mendadak
terlihat seutas tali panjang telah menggulung datang bagaikan
seekor naga sakti, disaat sepasang kaki pendeta itu menginjak di
tempat kosong, lilitan tali panjang itu tepat menggulung diatas
pinggangnya dan membetot tubuhnya ke atas.
Kim Teng-hap seketika berdiri tergagap bagaikan tertotok jalan
darahnya, dia hanya bisa membuka lebar mulutnya namun tidak
sedikit suara tertawa pun yang keluar.
Rupanya Hwee-ko Thaysu sudah menduga kalau ruangan itu
telah dilengkapi alat rahasia, karena itu dia sengaja meninggalkan
Lan Giok-keng di tempat luar sambil bersiap siap membantunya di
saat dibutuhkan. Tali otot kerbau yang panjang itu dia pula yang
menyiapkan jauh sebelumnya dan diserahkan kepada Lan Giokkeng.
Namun sayang, walaupun persiapan telah mereka lakukan amat
cermat, masih ada juga peristiwa lain yang sama sekali tidak
terduga telah terjadi.
Baru saja tali panjang yang menggulung pinggangnya itu hendak
membetotnya keluar dari jendela, tiba-tiba dari atas atap bangunan
melompat turun sesosok manusia.
Saat itu tubuh Hwee-ko Thaysu masih berada di tengah udara,
mana mungkin dia dapat menghindarkan diri dari sergapan itu?
"Blaaaam....!" dengan telak pukulan dari orang itu bersarang di
tubuhnya.
"Kau.... ternyata kau!" teriak Hwee-ko Thaysu dengan suara
parau.
Menggunakan tenaga pantulan dari Hwee-ko Thaysu, orang itu
melesat keluar dari ruangan, begitu berhasil dengan serangannya,
dia langsung melarikan diri.


Tapi Lan Giok-keng telah melihat orang itu. Dia tidak sempat
melihat raut wajahnya karena wajah orang itu tertutup oleh kain
kerudung hitam, tapi Lan Giok-keng berani memastikan kalau
manusia berkerudung itu tidak lain adalah manusia berkerudung
yang mereka jumpai kemarin.
Buru-buru Lan Giok-keng menarik kembali talinya dan menarik
tubuh Hwee-ko Thaysu ke samping.
Di bawah redupnya cahaya rembulan, dia tidak sempat melihat
jelas apakah Hwee-ko Thaysu sudah menderita luka atau tidak, baru
akan bertanya, tampak Hwee-ko Thaysu sudah melepaskan diri dari
lilitan tali sambil berbisik, "Bocahbodoh, ayoh cepat kabur!"
Waktu itu Lan Giok-keng masih bersembunyi di bagian cekung
dari wuwungan rumah, belum lagi bangkit berdiri, Hwee-ko Thaysu
sudah melompat turun ke bawah.
Begitu melihat rekannya tidak dapat menggunakan ilmu
meringankan tubuh, Lan Giok-keng segera tahu kalau dia sudah
terluka, bahkan lukanya parah sekali, dengan perasaan cemas buruburu
dia mengikuti di belakangnya melarikan diri.
Saat itu Kim Teng-hap yang berada dalam kamar masih dicekam
perasaan kaget bercampur ngeri, dua orang pembantu andalannya
pun sudah terluka, tentu saja dia tidak berani melakukan
pengejaran.
Beberapa orang tukang pukul dari pengumpul ikan segera
munculkan diri di tempat itu, tapi dengan kekuatan mereka,
bagaimana mungkin bisa menghadang kepergian kedua orang
jagoan itu?
Di bawah remangnya cahaya rembulan, tampak bayangan
manusia bermunculan dari balik halaman, dalam waktu singkat
empat arah delapan penjuru telah dipenuh kawanan tukang pukul.
"Bajingan cilik, mau kabur ke mana kau!" teriak mereka bersama.
"Kalian mau menangkapku? Bagus sekali,” ejek Lan Giok-keng
sambil tertawa, "bagaimana kalau kalian maju kemari dan


menangkap diriku? Hanya saja, mampukah kalian berbuat begitu,
tergantung sampai dimana kemampuan yang kalian miliki.”
Dia sambil menyongsong maju sambil melancarkan serangan
secepat petir, dalam waktu singkat sudah ada tujuh orang yang
terkena tusukan dan roboh terjungkal.
Biarpun dalam kegelapan malam susah untuk mengincar jalan
darah orang, namun setiap tusukan yang dia lancarkan ternyata
berhasil mengenai jalan darah lawannya secara tepat.
Kawanan jago lainnya jadi panik dan bingung ketika melihat
rekannya roboh terkapar tanpa diketahui mati hidupnya lagi, saking
takutnya serentak mereka menyingkir ke samping dan tidak berani
berteriak lagi.
Tiba-tiba terdengar seseorang bertanya dengan suara
gemetaran, "Suara ribut apa diluar sana? Eei.... kenapa secara tibatiba
hilang suaranya?"
Orang itu berbicara dari dalam sebuah ruangan, dari balik
ruangan terlihat cahaya lentara yang memancar keluar.
"Liauw-ciangkwee, coba lihat, masa kau ketakutan sampai seperti
itu? Memang kau tidak mendengar, yang datang hanya seorang
bajingan cilik, aku yakin bajingan itu pasti sudah tertangkap, tentu
saja suara teriakan pun ikut mereda," rekan sekamarnya sok pintar
dengan memberikan penjelasannya.
Bagaimana pun juga Liauw-ciangkwe adalah seorang yang sudah
berusia lanjut, pengetahuan dan pengalamannya sudah sangat
banyak, walaupun dicekam rasa gugup dan takut namun otaknya
jauh lebih terang ketimbang rekannya, sahutnya kemudian, "Aku
merasa gelagat agak tidak beres, coba keluar dan tengoklah apa
yang sebetulnya telah terjadi?"
"Baik, aku akan menengok keluar,” jawab lelaki kasar itu, "dasar
manusia bernyali kecil, sana, bersembunyi di kolong ranjang dulu.”
Belum selesai dia berkata, "Braaaak!" tahu-tahu pintu kamar
sudah ditendang orang hingga terbuka lebar, orang yang menerjang


masuk tidak lain adalah Hwee-ko Thaysu.
Begitu bertemu lelaki kasar itu, Hwee-ko Thaysu langsung
mengayunkan tinjunya kuat-kuat sementara tali yang berada
ditangannya langsung digunakan untuk menjirat tubuh Liauwciangkwee
yang sudah siap-siap bersembunyi di kolong ranjang.
Tidak terlukiskan rasa kaget Liauw-ciangkwee, saking takutnya
walau ia sudah berusaha berteriak sekeras kerasnya, namun tak
kedengaran ada suara yang muncul.
Tindakan Hwee-ko Thaysu yang secara tiba-tiba melewati disisi
tubuh Lan Giok-keng dan langsung menangkap Liauw-ciangkwee ini
seketika membuat bocah muda itu tercengang, dengan perasaan
penuh tanda tanya pikirnya, 'Orang ini tidak lebih hanya seorang
pegawai yang mengurusi pembukuan milik Kim-lopan, sekalipun
hendak menghukumnya, kita bisa menghukumnya ditempat, buat
apa musti membelenggunya? Apakah akan kita bawa kabur juga
dari sini?'
Rupanya Hwee-ko Thaysu memang berniat membawa kabur
Liauw-ciangkwee, begitu keluar dari ruangan, dia langsung
menyerahkan tali itu ke tangan Lan Giok-keng sambil berpesan,
"Hati-hati sedikit, jangan mengikatnya kelewat kencang. Tidak usah
banyak bertanya, kita bawa keluar dulu orang ini.”
Hwee-ko Thaysu berjalan paling depan, dengan menelusiri tepi
sungai dia kabur menuju ke atas sebuah bukit kecil. Sementara Lan
Giok-keng dengan membopong Liauw-ciangkwe mengikutinya terus
dari belakang.
Hwee-ko Thaysu masih berlarian dengan gagah dan penuh
semangat, tapi baru tiba di punggung bukit, tampak dia sudah
basah kuyup bermandikan peluh, asap putih mengepul dari batok
kepalanya.
Menyaksikan hal ini, Lan Giok-keng segera tahu apa yang telah
terjadi, walaupun pengalamannya masih cetek, namun dia tahu
kalau gejala tersebut merupakan pertanda kalau tenaga dalamnya
telah mengalami kerugian besar.


"Thaysu, kau berjalan terlalu cepat, aku tidak bisa mengikutimu,
tolong perlahan sedikit,” Lan Giok-keng sengaja berlagak terengahengah
dan berteriak keras. Hwee-ko Thaysu tertawa hambar,
tukasnya, “Setan cilik, kau tidak usah berbohong dihadapanku. Kau
sangka aku tidak tahu kalau kau memang sengaja memperlambat
langkahmu agar tidak bisa menyusulku?
Ayoh cepat, ayoh cepat sedikit, waktuku sudah tidak banyak
lagi.”
"Waktuku sudah tidak banyak lagi"?? apa maksud perkataan ini?
Tanpa terasa Lan Giok-keng bertambah lagi dengan sebuah beban
bera t.
Ketika tiba di puncak bukit, hari sudah mulai terang tanah.
"Thaysu, kau.... kau tidak apa-apa bukan?"
"Tidak usah banyak bicara, sadarkan dulu orang itu, ada
pertanyaan yang ingin kutanyakan kepadanya.”
Lan Giok-keng segera menyeret tubuh ciangkwee she-Liauw itu
ke sisi sebuah selokan kemudian mengguyur kepalanya dengan air
dingin, benar saja dinginnya air gunung seketika membuatnya
tersadar kembali.
"Buat apa kalian menangkapku,” Liau ciangkwee segera berteriak
keras, "aku tidak lebih hanya pegawai pembukuan dari Kim-lopan,
aku tidak pegang uang, akupun tidak punya uang....”
Entah karena kedinginan ataukah sedang ketakutan, ketika
berbicara seluruh tubuh orang tua ini gemetar keras.
"Aku si hweesio tua bukan mencari derma,” sela Hwee-ko Thaysu
ketus, "aku hanya ingin mengajukan dua pertanyaan. Bila kau
berani berbohong, aku si hweesio pasti akan membacakan doa
keberangkatanmu ke alam baka!"
"Bicara, bicara, apa yang kuketahui pasti akan kukatakan,” jawab
Liauw-ciangkwee gemetar.
Sambil memperlihatkan surat yang dirampasnya tadi Hwee-ko


Thaysu bertanya, "Ini tulisan siapa?"
"Tu.... tulisan Huo Bu-tuo.”
"Menurut apa yang kuketahui, Huo Bu-tuo telah berganti nama,
sekarang dia memakai nama apa dan dimana dia berada?"
"Dia.... dia.... aku.... aku....” Liauw-ciangkwee tampak tergagap,
agaknya dia tidak berani menjawab pertanyaan itu.
"Apakah kau benar-benar ingin segera berangkat ke alam baka?"
bentak Hwee-ko Thaysu.
"Baik, baik, akan kujawab, akan kujawab.... sekarang dia
bernama Kwik Bu, berada di kotaraja.”
"Kotaraja dari negara mana? Yang jelas kalau bicara, di kota
Seng-keng atau di Kim-leng?"
"Berada di kota Kim-leng.”
"Bagus, bila kau tidak membohongiku, akan kuhantar kau
berangkat ke langit barat.”
Tiba-tiba telapak tangannya diayunkan, sebuah pukulan langsung
mencabut nyawa Liauw-ciangkwee.
Bukan saja Liauw-ciangkwee beranggapan asal dia bicara jujur
maka jiwanya akan terselamatkan, Lan Giok-keng sendiripun
berpendapat sama, tidak heran kalau tindakan pendeta itu jauh
diluar dugaannya.
Sesudah tertegun berapa saat, serunya tertahan, “Thaysu,
kau....”
Hwee-ko Thaysu menghela napas panjang, ujarnya, "Sebenarnya
boleh saja orang ini tidak usah dibunuh, tapi aku terpaksa harus
berbuat begitu, apa daya, yang bisa kulakukan kini hanya
melanggar pantangan membunuh.”
"Atas alasan apa kau harus membunuhnya?" tanya Lan Giokkeng
terperanjat.


Hwee-ko Thaysu tidak langsung menjawab pertanyaan itu, hanya
ujarnya, "Aku khawatir selanjutnya kau harus seorang diri
menghadapi mereka. Aku tidak bisa membiarkan orang ini
membocorkan rahasiamu.”
Lan Giok-keng kembali berdiri tertegun, dia tidak habis mengerti
"rahasia" apa yang dia miliki sekarang?
Tampak Hwee-ko Thaysu mengambil sebatang ranting pohon
dan menuliskan dua nama diatas tanah, “Huo Bu-tuo", "Kwik Bu".
Dia seperti kuatir Lan Giok-keng tidak menangkap jelas nama yang
disebut orang itu dengan logat Liauw-tong nya sehingga secara
khusus menuliskan nama tadi agar bisa dibaca bocah itu.
"Nama Manchu orang ini adalah Huo Bu-tuo, sedang nama Han
nya adalah Kwik Bu. Kau harus mengingatnya baik-baik,” ujar
Hwee-ko Thaysu perlahan, ketika selesai bicara napasnya kelihatan
makin tersengkal.
"Apa hubungan orang ini dengan diriku?" buru-buru Lan Giokkeng
bertanya.
"Aku rasa semua persoalan yang ingin kau ketahui bisa diperoleh
dari mulut orang ini. Sedang mengenai Jit- seng-kiam-kek....”
"Thaysu, beristirahatlah sejenak sebelum bicara lagi.”
Hwee-ko Thaysu seolah tidak mendengar perkataan itu, sambil
mendorong tubuh bocah itu, lanjutnya, "Sedangkan mengenai Jitseng-
kiam-kek, jika menemukannya tentu saja jauh lebih baik, tapi
semisal tidak ketemu pun tidak masalah. Yang paling penting
putranya....”
Suara pembicaraannya makin lama semakin mengecil, coba kalau
Lan Giok-keng tidak berlatih tenaga dalam semenjak kecil, dengan
pendengaran orang awam, nyaris tidak terdengar suara apapun.
"Putranya", yang dimaksud "nya" disini sudah pasti Jit-sengkiam-
kek, tapi mengapa secara tiba tiba dia mengalihkan
pembicaraan ke masalah putra Jit-seng-kiam-kek? Siapa pula putra
Jit-seng-kiam-kek? Bila di dengar dari nada pembicaraannya,


kemungkinan besar dia adalah manusia yang bernama Huo Bu-tuo
itu. Tapi bagaimana kalau bukan orang itu yang dimaksud?
Buru-buru Lan Giok-keng menempelkan telinganya diatas bibir
Hwee-ko Thaysu, dia mendengar kata berikut dari pendeta itu
adalah, "Aaaai, aku tidak bisa melebihi Bu-kek Tootiang, aku tidak
bisa menemanimu lagi....”
Tiba-tiba saja pembicaraannya terputus ditengah jalan.
Ketika Bu-kek Totiang terkena bokongan manusia berkerudung
waktu itu, dia masih mampu kabur sejauh ratusan li dan bertahan
hampir dua hari lamanya sebelum tewas di Boan-liong-san.
Dengan perasaan terkejut buru-buru Lan Giok-keng membopong
tubuh Hwee-ko Thaysu, serunya sambil menggoyangkan tubuh
pendeta itu berulang kali, "Kau tidak boleh mati, kau tidak boleh
mati, siapa musuh pembunuhmu? Kau belum mengatakannya
kepadaku!"
Semula dia menyangka Hwee-ko Thaysu hanya menderita luka
ringan, tapi sekarang dia sudah tahu kalau pendeta itu telah
menderita luka parah yang mengancam keselamatan jiwanya, dia
bisa bertahan sampai sekarang karena telah menggunakan sisa
kekuatan yang dimilikinya untuk membantu dia menginterogasi
orang ini. Jadi keadaannya sekarang ibarat lentera yang kehabisan
minyak.
Tiba-tiba Lan Giok-keng teringat kembali, ketika mendapat
serangan dari manusia berkerudung tadi, pendeta itu sempat
berteriak keras "Ternyata kau!", hal ini membuktikan kalau dia
sudah tahu siapakah manusia berkerudung itu. Dalam keadaan
begini, persoalan lain boleh tidak usah ditanyakan, tapi dia harus
tahu siapakah pembunuh yang telah melukai nyawa Hwee-ko
Thaysu itu.
Tenaga dalam yang dipelajari Lan Giok-keng berasal dari ajaran
Bu-siang Cinjin, meskipun dasarnya masih cetek namun hasil
latihannya sudah terhitung cukup bagus. Buru-buru dia tempelkan
telapak tangannya diatas jalan darah Leng-ki-hiat dipunggung


Hwee-ko Thaysu.
Jalan darah Leng-ki-hiat merupakan pertemuan dari delapan nadi
penting dari Ki-keng, begitu mendapat rangsangan hawa murni, asal
nyawa orang itu belum keburu melayang, biasanya akan
menimbulkan reaksi yang cukup untuk menyadarkan orang itu dari
kondisi koma.
Lan Giok-keng pernah mempelajari cara pertolong an pertama ini
dari Sucouwnya, namun berhubung baru digunakan pertama kali,
dia merasa tisak yakin dengan keberhasilannya.
Entah apakah Hwee-ko Thaysu sedang mengalami Hwee-konghuan-
cau (cahaya terang sebelum padam), ataukah berkat
pertolongan pertama yang dilakukan, tiba-tiba pendeta itu
membuka kembali sepasang matanya.
"Siapakah manusia berkerudung yang membokongmu? Cepat
katakan! Sekarang aku memang belum mampu mengalahkan dia,
namun di kemudian hari aku tetap akan membalaskan sakit
hatimu!" bisik Lan Giok-keng berulang kali disisi telinganya.
Akhirnya Hwee-ko Thaysu membuka suara, kali ini suaranya
malah jauh lebih nyaring daripada tadi, "Buddha bersabda: jangan
katakan, jangan katakan!"
"Thaysu, dalam keadaan seperti ini buat apa kau singgung sabda
sang Buddha!" omel Lan Giok-keng dengan perasaan gelisah.
Hwee-ko Thaysu berhenti sejenak untuk menghela napas,
kemudian seolah sedang bergumam, lanjutnya, "Aku pernah
berbuat kebaikan, pernah pula melakukan.... ehmmm, sekalipun
tidak bisa dikatakan perbuatan jahat, namun tidak akan jauh dari
perbuatan salah. Mati hidup merupakan putaran kodrat, buat apa
meninggalkan dendam kesumat yang tidak dapat terurai lagi di
dunia ini?"
Mimik mukanya berubah amat serius, dari bergumam sikapnya
berubah seperti seorang pendeta agung yang sedang memberi
kotbah.


"Thaysu!" teriak Lan Giok-keng lagi, "kau boleh saja mengampuni
musuhmu, tapi aku harus waspada dari bokongannya. Bila aku tidak
tahu asal usulnya, maka....”
"Benar, aku memang harus berpikir untukmu. Tapi orang ini tidak
bakalan akan mencelakaimu.”
Sebenarnya Lan Giok-keng ingin bertanya "darimana kau bisa
tahu", namun setelah melihat nada suaranya makin lama semakin
melemah, terpaksa dia harus mengesampingkan dulu masalah
tersebut, buru-buru tanyanya lagi, "Thaysu, apakah kau masih ada
tugas yang belum terselesaikan?"
"Aduh.... benar, ada satu hal penting yang lupa kukatakan
kepadamu!"
Buru-buru Lan Giok-keng menempelkan telinganya untuk
mendengarkan.
Dengan suara terputus-putus kata Hwee-ko Thaysu, "Setelah
kejadian pada malam ini, kau.... kau harus pergi mencari Huo....
Huo.... jangan sampai orang lain tahu, termasuk Ciangbunjin yang
menjabat sekarang, kau tidak boleh.... tidak boleh....”
Belum selesai perkataan itu diucapkan, tiba-tiba ucapannya
terputus ditengah jalan, kali ini dia benar benar telah 'putus nyawa',
walaupun Lan Giok-keng sudah dua kali melakukan usaha
'pertolongan', namun sama sekali tidak menimbulkan reaksi.
Meledaklah isak tangis Lan Giok-keng, dia tidak menyangka
secepat itu Hwee-ko Thaysu berlalu dari dunia ini. Memandang sinar
fajar yang baru menying-sing di ufuk timur, perasaan hatinya benarbenar
masgul bercampur pedih.
"Mengapa secara khusus Hwee-ko Thaysu menyinggung soal
Ciangbunjin yang sedang menjabat sekarang?" Lan Giok-keng benar
benar tidak habis mengerti, namun dia sangat memahami jalan
pemikiran pendeta itu.
Sebagaimana diketahui, Lan Giok-keng turun gunung sehari
sebelum Bu-beng Cinjin menjabat sebagai Ciangbunjin generasi


berikut, mungkin Hwee-ko Thaysu khawatir keterangannya kurang
jelas maka secara khusus dia menandaskan soal "yang menjabat
saat ini", dengan demikian begitu mendengar dia langsung akan
tahu kalau yang dimaksud adalah Ciangbunjin yang baru sekarang,
Bu-beng Cinjin.
Lan Giok-keng belum pernah bertemu Ciang-bunjin baru, tapi dia
cukup mengetahui asal-usul dari Ciangbunjin baru itu, tanpa terasa
pikirnya: 'Semasa masih preman dulu, Ciangbunjin baru adalah
Tiong-ciu Thayhiap Bouw Ciong-long yang amat termashur nama
besarnya, ketika Put-coat supek terluka parah ditangan manusia
berkerudung, putranya Bouw It-yu lah yang menghantar dia balik ke
gunung Bu-tong. Konon Bouw Ciong-long naik ke gunung pada hari
kedua setelah aku turun gunung, begitu sampai di gunung dia
langsung jadi pendeta dan begitu menjadi pendeta langsung
menjabat sebagai ketua baru. Padahal mereka ayah beranak
memang berasal dari orang persilatan, jangan-jangan antara
mereka dengan Jit-seng-kiam-kek dan Huo Bu-tuo pernah terjalin
perselisihan atau permusuhan?'
Tapi begitu pikiran itu muncul, bocah itupun merasa
pemikirannya kelewat "ngawur dan sembarangan", tegurnya kepada
diri sendiri, "Kenapa bisa muncul pemikiran semacam ini? Sucouw
begitu mempercayai Bouw Ciong-long, ketika sedang sakit parah
pun dia tetap berusaha menunggu sampai Bouw Ciong-long tiba
diatas gunung dan menyerahkan kedudukan Ciangbunjin kepadanya
sebelum tutup mata dengan tenang, mana boleh aku malah
menaruh curiga kepadanya?"
Pikiran dan perasaan Lan Giok-keng sangat kalut, setelah berpikir
berulang kali, akhirnya dia putuskan untuk berangkat ke kota Kimleng
dan mencari Huo Bu-tuo yang kini telah berganti nama menjadi
"Kwik Bu", sebab dari mulut orang inilah mungkin semua rahasia
yang terselubung dapat terungkap.
Selesai mengubur jenasah Hwee-ko Thaysu dan baru saja akan
meninggalkan tempat itu, tiba-tiba dia mendengar seperti ada suara
langkah kaki manusia sedang berjalan mendekat, dalam terkejutnya


mendadak dia teringat dengan pesan dari Hwee-ko Thaysu, buruburu
dia hapus kedua tulisan nama yang tertera diatas tanah itu
dengan kakinya.
Ooo)*(ooO
Sepeninggal Hwee-ko Thaysu dan Lan Giok-keng, di gedung
kediaman Kim Teng-hap terjadi pula peristiwa yang luar biasa.
Baru saja badai keruwetan berlalu, suasana hening yang aneh
segera mencekam seluruh perkampungan itu.
Ketika manusia berkerudung itu muncul secara tiba-tiba dan
melukai Hwee-ko Thaysu, Kim Teng-hap maupun kedua orang anak
buahnya dapat menyaksikan dengan sangat jelas.
Mereka tidak melakukan pengejaran, dari sisi jendela si kakek
ceking itu segera berjalan kembali diikuti Kim Teng-hap pun masuk
kembali ke dalam ruangan, tidak seorangpun diantara mereka yang
bersuara.
Karena mereka tidak bersuara, otomatis lelaki kekar pendek
itupun tidak berani berkoar-koar.
Seperti ada yang dipikirkan, mendadak Kim Teng-hap bertanya,
"Eng-lo, enam belas tahun berselang kau masih menjadi seorang
pengawal dari Nurhaci Khan bukan?"
Ternyata kakek yang dipanggil "Eng-lo" ini tidak lain adalah salah
satu pengawal kepercayaan Nurhaci Khan, dia bernama Eng Siongleng,
masih terhitung seorang jagoan lihay yang sangat ternama
dari perguru-an Tiang-pek-pay.
Seolah secara tiba-tiba mendusin dari impian, mendadak Eng
Siong-leng melompat bangun sambil berteriak, "Tidak salah,
ternyata dia!"
"Aku pun sudah menduga kalau dia!" seni Kim Teng-hap pula
sambil manggut m anggut.
Eng Siong-leng adalah tamu kehormatan dari Kim Teng-hap,
sedang lelaki kekar pendek itu bermarga Ouyang dan bernama


Yong. Dia merupakan salah satu anak buah andalan Kim Teng-hap.
Berbicara soal ilmu silat, mungkin kemampuannya tidak selisih
jauh dari Eng Siong-leng, tapi berhubung Eng Siong-leng pernah
menjadi pengawal pribadi Nurhaci Khan, berbicara soal status, jelas
dia tertinggal jauh sekali.
Saat ini sebenarnya Ouyang Yong masih agak bingung siapa
gerangan "dia" yang dimaksud, namun berhubung mimik muka Kim
Teng-san maupun Eng siong-leng menunjukkan keenggannya untuk
menyebutkan nama orang itu, otomatis berada di hadapan
majikannya dia pun merasa segan untuk bertanya lebih jauh,
apalagi ingin tahu rahasia yang bukan masalahnya merupakan
sebuah pantangan besar, terpaksa teka-teki dan keraguan itu hanya
disimpan dalam hati.
"Sudah pasti bukan Khan, atau jangan-jangan Huo Bu-tuo? Tapi
Huo Bu-tuo meski memiliki ilmu silat yang mungkin lebih tangguh
dari Kim-lopan maupun Eng Siong-leng, tapi rasanya gerakan
tubuhnya tidak selincah dan segesit manusia berkerudung itu,
lagipula tidak ada alasan bagi Huo Bu-tuo untuk meninggalkan Kimleng.
Aneh.... lantas siapakah orang itu?"
Sementara Ouyang Yong masih menduga-duga, mendadak
terlihat Eng Siong-leng melompat bangun lagi, seakan baru teringat
harus melakukan sesuatu yang wajib segera dilakukan, buru-buru
dia berlari keluar dari ruangan sambil berseru, "Maaf, aku tidak bisa
menemani lagi!"
Saat itu Lan Giok-keng dan Hwee-ko Thaysu sudah keluar dari
halaman gedung, tapi Kim Teng-hap beserta para begundalnya
masih belum berani bercuap cuap.
Akan tetapi bukan semua orang yang berada disana telah dibuat
tertegun karena terkejut, ada seseorang yang bersembunyi dibalik
gunung gunungan mendadak berbisik lirik, "Ternyata dia!"
"Betul, akupun telah melihat jelas, memang dia!" seorang gadis
yang berada di sampingnya segera menyahut.


Tentu saja sepasang muda mudi itu bukan tukang pukul dari Kim
Teng-hap, yang lelaki adalah Bouw It-yu sedang sang nona adalah
Seebun Yan.
Yang mereka maksud "dia" bukanlah manusia berkerudung itu,
melainkan Lan Giok-keng.
Begitu mendapat kabar dari warung teh di pinggir jalan yang
mengatakan Lan Giok-keng pernah muncul di kota Uh-sah-tin,
dengan cepat mereka berdua menyusulnya hingga tiba di rumah
tauke pengumpul ikan.
Baru saja Seebun Yan hendak melakukan suatu gerakan, Bouw
It-yu segera mencegahnya.
"Kalau toh kita sudah melihat jelas akan dirinya, kenapa tidak
segera mengejarnya?"
"Hweesio tua itu sudah terluka parah, kalau pandanganku tidak
keliru, tampaknya tidak enteng luka yang dideritanya, apalagi Lan
Giok-keng harus kabur sambil membopong seseorang.”
"Maksudmu kita cukup mengundinya secara diam diam? Karena
pasti terkejar maka tak perlu terburu-buru?"
"Benar, lagipula....”
"Lagipula kenapa?"
Pada saat itulah Eng siong-leng berlalu keluar dan kebetulan
sedang lewat dari samping mereka berdua, menunggu orang itu
sudah berlalu, Bouw It-yu baru berbisik kembali, "Lagipula ilmu silat
yang dimiliki orang ini masih jauh diatas kepandaian kita berdua,
lebih baik bila pada saat seperti ini jangan sampai ketahuan mereka
dulu.”
"Tapi kalau sampai kedahuluan dia....”
Tentu saja Bouw It-yu memahami maksud hatinya, baru
mendengar setengah dia sudah menukas, "Berbicara untuk kita
sekarang, yang paling penting tentu saja tetap Lan Giok-keng, tapi
bagi mereka, orang yang lainnya mungkin jauh lebih penting.”


"Siapa yang kau maksud?"
"Manusia berkerudung itu.”
Seebun Yan ingin menemukan Piaukonya lewat diri Lan Giokkeng,
cepat katanya lagi, "Biarpun begitu tapi semisalnya yang dia
kejar bukan manusia berkerudung itu melainkan Lan Giok-keng....”
"Itupun tidak masalah, ilmu pedang yang dimiliki Lan Giok-keng
saat ini sudah jauh lebih hebat, sekalipun tidak bisa mengungguli
kakek she-Eng itu, dia tidak bakalan sampai menderita kekalahan.”
Sementara itu suasana dalam halaman gedung mulai terjadi
kegaduhan baru, begitu rasa kaget kawanan tukang pukul itu
mereda, yang berteriak pun mulai berteriak, yang berlarian mulai
berlarian, suasana amat kalut.
"Baik, sekarang kita boleh berangkat,” bisik Bouw It-yu
kemudian.
Di tengah hiruk pikuknya suara teriakan manusia tiba-tiba terselip
pula suara gonggongan anjing, suaranya tajam memekakkan
telinga, nyaris semua hiruk pikuk suara manusia tenggelam dibalik
suara gonggong-an anjing itu.
Tiba tiba Bouw It-yu menarik Seebun Yan ke samping.
Ooo)*(ooO
Perginya Eng Siong-leng secara tiba-tiba seketika membuat Kim
Teng-hap mengeritkan alis matanya, namun dia tetap tidak
berbicara.
Berbeda dengan Ouyang Yong, tidak tahan dia berteriak, "Eng
Siong-leng benar-benar kelewatan, dianggapnya dia paling senior
lalu berbuat semaunya sendiri, begitu bilang mau pergi langsung
pergi, mau pergi ke mana si tua itu? Hmmm, sekalipun ada urusan
penting yang harus diselesaikan, paling tidak bicara dululah dengan
sang majikan.”
"Dia kalau bukan sedang mengejar manusia berkerudung itu,
tentulah sedang mengejar bocah she-Lan itu.”


"Dari kedua orang ini, mana yang lebih penting?"
"Aku bukan dia, sulit untuk dijawab....”
Sementara itu suara hiruk pikuk telah bergema hingga ke dalam
ruangan mereka.
"Celaka, Liauw-ciangkwee telah disandera mereka!"
"Kelihatannya hweesio tua itu sudah terluka, aaah.... bocah itu
kabur....! aaah, si hweesio turut kabur!"
Kim Teng-hap tidak bersuara, sepasang matanya tertuju pada
sebuah benda yang tergeletak diatas lantai.
Benda itu adalah selembar jubah pendeta yang berhasil dirobek
Eng siong-leng ketika tubuh Hwee-ko Thaysu terseret keluar oleh
gulungan tali panjang tadi, biarpun tubuhnya tidak sampai
tertangkap namun kain jubah yang berhasil dirobek lebarnya se
telapak tangan orang.
Ouyang Yong cukup cekatan, begitu melihat sorot mata
taukenya, dia segera tahu apa maunya, cepat dia mengambil
robekan kain itu, setelah diendus serunya sambil tertawa, "Waah.
Bau sekali. Kelihatannya hwesio tua itu paling tidak sudah setengah
bulan tidak pernah mandi!"
"Benar, cepat suruh anjing-anjing pelacak untuk mencari
jejaknya! Aku tidak tahu siapa yang sedang dicari Eng Siong-leng,
tapi bagiku, bocah yang bernama Lan Giok-keng jauh lebih penting!"
"Leng-oh" adalah sejenis anjing serigala yang banyak hidup di
luar perbatasan, daya penciumannya sangat tajam.
Ouyang Yong memberikan sobekan kain itu untuk diendus kedua
ekor anjing serigala itu, kemudian ketika tali kekangnya dilepas,
kedua ekor anjing itupun langsung melompat keluar menuju
halaman.
Dengan perasaan terkejut bisik Seebun Yan, "Waaah.... belum
pernah melihat anjing garang sebesar ini, anjing apa anak
harimau??"


"Anjing serigala jenis ini merupakan anjing yang paling hebat
untuk melacak jejak, ayoh kita ikuti dari belakang.”
Saking cemas dan gelisahnya, Seebun Yan langsung tampilkan
diri dari tempat persembunyian dan menyusul di belakang anjing
anjing pelacak itu.
Ouyang Yong adalah seorang jagoan yang cermat, begitu melihat
perawakan tubuh orang yang sedang lari dihadapannya
berperawakan kurus kecil dan tidak mirip salah satu tukang
pukulnya, kontan dia sambit tiga batang paku penembus tulang ke
depan.
"Hey bocah kecil dari mana kau?" hardiknya, "cepat berhenti!"
Rupanya dia belum tahu kalau Seebun Yan adalah seorang gadis.
Seebun Yan hanya merasakan desingan angin tajam menyambar
tiba, belum habis ingatan kedua melintas, sebatang paku penembus
tulang telah meluncur lewat dari atas kepalanya bahkan nyaris
bergesekan dengan kulit kepalanya.
Selain itu ada dua batang paku penembus tulang lagi yang
menyambar tepat di samping telinganya.
Dalam terkejut bercampur ngerinya, dia benar-benar berhenti
dibuatnya.
Ouyang Yong segera menyusul tiba, setelah jarak mereka
semakin dekat, dia baru melihat dengan lebih jelas, dengan wajah
tercengang ujarnya kemudian, "Kusangka bocah busuk darimana
yang datang, ternyata sudah muncul target baru....”
Belum selesai ia berkata, tiba-tiba di sisi telinganya terdengar
seseorang membentak keras, "Roboh kau!"
Tahu-tahu ketiaknya jadi kaku, seketika itu juga dia tidak mampu
tertawa lagi.
Ternyata orang yang secara diam diam membokong Ouyang
Yong tidak lain adalah Bouw It-yu.


Dengan menggunakan ilmu totok jalan darah yang paling berat
Bouw It-yu telah menotok Hiat-to di tubuh Ouyang Yong, sementara
ke dua ekor anjing serigala tadi telah lari semakin jauh.
Buru-buru Seebun Yan berbisik, "Kedua ekor binatang itu hanya
menuruti perintah majikannya, dengan ilmu meringankan tubuh
yang lebih hebat pun sulit rasanya bagi kita untuk menyusulnya.”
"Tadi kita memang belum mengetahui ke arah manamkedua ekor
anjing itu pergi, tapi sekarang kita telahmmengetahuinya,” ucap
Bouw It-yu, "coba kau lihat....”
Ketika Seebun Yan berpaling, dia menjumpai jalanan yang
terbentang dihadapannya adalah sebuah jalan yang lurus, diujung
jalan merupakan sebuah bukit. Biarpun ke dua ekor anjing itu sudah
berjarak sangat jauh namun mereka masih dapat melihat ada dua
titik bayangan hitam sedang bergerak cepat, sudah jelas ke arah
bukit itulah kedua ekor binatang itu menuju.
Seakan baru mengerti Seebun Yan menyahut, "Betul juga,
meskipun kita tidak bisa menyusul anjing-anjing itu tapi sudah pasti
dapat menemukan jejak Lan Giok-keng. Si hweesio tua sudah
terluka, dapat dipastikan bocah muda itu tidak bakalan terlalu jauh
meninggalkan dirinya.”
Ooo)*(ooO
Baru selesai Lan Giok-keng mengubur jenasah Hwee-ko Thaysu,
dia sudah mendengar suara langkah kaki manusia yang bergerak
mendekat, buru-buru dia menggunakan kakinya untuk menghapus
nama yang ditulis Hwee-ko Thaysu diatas tanah.
Belum bersih dia hapus tulisan nama itu, orang tersebut telah
muncul dihadapannya.
Lan Giok-keng segera mengenali orang itu sebagai kakek ceking
yang berada bersama Kim Teng-hap.
Dalam sekilas pandang Eng Siong-leng telah melihat gundukan
tanah baru disana, sementara si hweesio tua tidak terlihat lagi
sedang Liauw-ciangkwee terkapar ditanah, berdasarkan pengalaman


yang dimiliki nya dia langsung dapat menduga peristiwa apa yang
telah terjadi di tempat itu.
Dua nama yang ditulis Hwee-ko Thaysu diatas tanah telah
terhapus sembilan puluh persen, yang tersisa sekarang tinggal huruf
"ong" yang merupakan huruf samping dari kata "Bu".
"Hey bocah keparat,” Eng Siong-leng segera menghardik, "cepat
mengaku terus terang, apa saja yang telah dikatakan orang ini
kepadamu?"
Sambil berkata dia menuding ke arah jenasah Liauw-ciangkwee,
kemudian lanjutnya, "Selain itu, kau pun harus menyebutkan satu
per satu apa isi tulisan yang hurufnya telah kau hapus itu!"
"Hmm, kalau dipandang dari wajahmu, seharusnya kau sudah
cukup umur, kenapa pandanganmu justru seperti anak kecil!"
"Hmm! Apa maksud perkataanmu itu?" dengus Eng Siong-leng.
"Jangan lagi aku memang enggan memberi-tahukan kepadamu,
biar aku bersedia pun, kau sangka aku bakal mengatakan hal yang
sejujurnya?"
Kontan saja Eng Siong-leng tertawa terbahak-bahak.
"Apa yang kau tertawakan?" kembali Lan Giok-keng menegur.
Tiba-tiba paras muka Eng Siong-leng berubah, bentaknya,
"Bocah ingusan yang masih bau susu, tahu apa kau? Bila aku tidak
punya kemampuan untuk memaksa-mu berbicara, tidak nanti aku
akan muncul di tempat ini!"
Begitu selesai bicara, dia langsung melancarkan serangan maut,
telapak tangan kirinya membabat bagaikan golok, sementara tangan
kanannya bagaikan senjata kaitan, dengan jurus Beng-hun-liat-sik
(mega gugur batu retak) yang digabungkan dengan tehnik
membabat, membacok, merobek dari ilmu Ki-na-jiu-hoat
melancarkan serangan berbarengan, Lan Giok-keng sejak awal
sudah membuat persiapan, musuh tigak bergerak, diapun tidak
bergerak; begitu musuh bergerak, dia bergerak lebih duluan.


Mencabut pedang, berkelit, melancarkan serangan balasan
kesemuanya dilakukan hampir bersamaan waktu, kedua belah pihak
sama sama bergerak sangat cepat, ujung pedang Lan Giok-keng
dengan menciptakan setengah garis busur dengan tepat
menyongsong datangnya ke lima jari tangan Eng Siong-leng yang
sedang mencakar.
"Aaah, rupanya aku kelewat memandang enteng bocah keparat
ini,” batin Eng Siong-leng dengan hati tercekat.
Buru-buru tangan kirinya yang membabat miring dirubah jadi
tusukan lurus.
Belum sempat garis busur Lan Giok-keng membentuk satu
lingkaran utuh, serangannya segera dibuyarkan oleh pukulan Samyo-
kay-thay (tiga kambing membuka bukit) yang dilancarkan pihak
lawan, tenaga serangan yang bersimpangan seketika membentuk
pusaran yang sangat kuat, kontan ujung pedangnya bergeser ke
samping.
Eng Siong-leng berseru tertahan, dia tIDak menyangka
pukulannya gagal menggetar lepas senjata bocah itu, kehebatan
lawannya membuat Dia bertambah tercengang.
Dalam pada itu ke dua ekor anjing serigala tadi telah berlari
mendekat, anehnya binatang itu sama sekali tidak menerjang dan
menggigit ke arah mereka, setelah mengitari tempat itu dua kali,
binatang tadi langsung berlalu.
Ternyata binatang itu telah mengendus bau tubuh mereka
berdua, dan bau itu sangat berbeda dengan bau yang muncul dari
robekan kain yang diendusnya tadi.
Kembali ke dua ekor anjing itu mengendus di seputar tempat itu,
akhirnya tibalah disisi gundukan tanah baru.
Daya penciuman anjing-anjing serigala itu memang luar biasa
tajamnya, ditambah lagi gundukan tanah itu dikerjakan Lan Giokkeng
secara terburu-buru, sudah tentu tanah galian yang menutup
kembali lubang kuburan itu kurang padat, bau jenasah Hwee-ko


Thaysu yang terkubur di bawah tanah pun bersama bau tanah
tersebar keluar.
Rupanya bau itulah yang berhasil dicium ke dua ekor anjing
pelacak ini.
Kini giliran Lan Giok-keng yang merasa hatinya tidak tenteram.
Kedua ekor anjing itu sudah mulai menggali tanah. Dia tidak tega
menyaksikan jenasah Hwee-ko Thaysu dirusak anjing anjing serigala
itu, namun dia pun sulit meloloskan dari dari gencetan serangan Eng
Siong-leng.
Tiba-tiba terdengar ke dua ekor anjing serigala itu mengaum
sangat keras, tubuhnya melompat setinggi satu depa lebih
kemudian bersama-sama jatuh ke bawah, hanya saja begitu
terjatuh kembali, tubuhnya sama sekali tidak bergerak lagi. Pada
batok kepala binatang itu terlihat sebuah mulut luka yang
menganga lebar, darah segera membasahi seluruh permukaan
tanah.
Bersamaan itu mendadak muncul lagi sesosok bayangan
manusia. Ternyata ke dua ekor anjing serigala itu telah ditimpuk
dengan baru hingga mati.
Belum lagi orangnya muncul, dia telah mempu menghabisi nyawa
dua ekor anjing serigala yang ganas hanya menggunakan dua butir
batu kecil, dari sini dapat diketahui betapa tingginya tenaga dalam
yang dimiliki orang itu.
Tidak terlukiskan rasa kaget Eng Siong-leng! Jangan lagi Ouyang
Yong mustahil memiliki tenaga dalam seampuh itu, sekalipun
memiliki pun tidak mungkin dia akan menghabisi nyawa anjinganjing
kesayangan majikannya.
Perubahan yang sama sekali tidak terduga ini betul-betul diluar
dugaan Eng Siong-leng maupun Lan Giok-keng. Kalau Lan Giokkeng
merasa terkejut bercampur girang maka Eng Siong-leng
merasa terkejut bercampur tercekat hatinya.
Ternyata orang yang muncul secara tiba-tiba itu tidak lain adalah


Tonghong Liang.
Dalam keadaan terkejut bercampur tercekat, dengan cepat Eng
siong-leng dipaksa untuk bertamng seimbang lagi melawan Lan
Giok-keng.
Begitu munculkan diri, Tonghong Liang langsung mendesak
masuk diantara mereka berdua, dengan rentangan tangannya dia
memisahkan ke dua belah pihak.
Ternyata tindakan ini dilakukan sangat adil, sama sekali tidak
membantu pihak mana pun.
Sayang tenaga dalam yang dimiliki Lan Giok-keng sedikit lebih
lemah, lagipula dia baru saja melewati serangkaian pertarungan
yang menguras tenaga, begitu dipisah, dia tidak mampu menahan
diri lagi dan segera terduduk dengan napas tersengkal.
Sedangkan Eng Siong-leng mundur dua langkah dari posisi
semula, dia masih dapat mempertahankan tubuhnya tidak sampai
roboh.
Dengan napas masih tersengkal Eng Siong-leng segera menegur,
"Siapa kau? Kenapa menggunakan kesempatan ini mencampuri air
keruh?"
"Hmm, bila aku ingin menangkap ikan di air keruh, barusan
adalah kesempatanku yang terbaik untuk mencelakaimu,” jengek
Tonghong Liang hambar, "hmmm, hmmm, dan kini, kalian berdua
sudah pasti telah terjatuh ke tanganku dan menunggu nasib!"
Perkataan itu bukan saja telah menyindir Eng Siong-leng,
tampaknya diapun sengaja mengucapkannya untuk Lan Giok-keng.
"Hmm! Menggunakan kesempatan di saat orang tidak siap,
terhitung perbuatan ksatria macam apa dirimu itu....”
Tonghong Liang tertawa terbahak-bahak, tukasnya, "Eng toawisu,
kau tidak usah mengumpak aku. Aku bukan seorang siaujin,
tapi aku pun bukan seorang kuncu!"
"Lebih baik buka jendela lebar-lebar dan bicara sejujurnya, aku


tidak percaya kalau kau hanya lewat secara kebetulan, boleh tahu
apa maksud kedatangan-mu?"
"Bagus,” sahut Tonghong Liang dingin, "karena kau telah
bertanya, aku pun akan beritahu secara terus terang. Eng Toa-wisu,
apakah kau tidak malu dengan kedudukanmu sebagai seorang
pengawal kenamaan harus bertarung melawan seorang bocah yang
belum dewasa? Hmm, meski kau sendiri tidak merasa malu, orang
lain bakal malu melihat perbuatanmu itu. Hmm, bila kau masih
belum puas, bagaimana kalau aku saja yang melayanimu?"
Sambil berkata dia melepaskan ikat pinggangnya dan menelikung
lengan kanan sendiri ke belakang punggung lalu mengikatnya.
"Tonghong toako, apa yang kau lakukan?" tanya Lan Giok-keng
keheranan.
"Aku tidak pernah mau mencari keuntungan dari orang lain, Eng
toa-wisu telah bertarung denganmu, maka akupun akan bertarung
melawanmu dengan mengikat sebelah tanganku, dengan begitu
pertarungan ini tentunya lebih adil bukan?"
Tatkala Eng Siong-leng mendengar Lan Giok-keng menyebutnya
sebagai "Tonghong toako" tadi, dia nampak agak tertegun, tapi
kemudian segera pikirnya, 'Sekalipun dia adalah keturunan dari
keluarga persilatan Tonghong, usianya saat ini paling baru dua
puluh tahunan, tidak mungkin ilmu silatnya telah mencapai puncak
kesempurnaan, apalagi bertarung dengan mengikat tangan
sebelah....'
Orang ini benar-benar pandai menahan diri, biarpun sudah
dicemooh Tonghong Liang, bukan saja tidak gusar sebaliknya malah
berkata sambil tertawa licik, "Tepat sekali perkataanmu itu, dengan
kedudukan dan statusku sekarang memang tidak boleh membiarkan
orang lain mentertawakan diriku, tapi untung saja hanya kau
seorang yang melihat aku sedang menganiaya seorang bocah!"
"Toako, hati-hati!" teriak Lan Giok-keng, "dia ingin....”
"Dia ingin membunuhku untuk melenyapkan saksi, aku tahu,”


sahut Tonghong Liang tertawa, "katak buduk ingin mencicipi daging
angsa, apa salahnya kita biarkan dia berpikir begitu?"
Sementara dia masih tertawa dingin, sebuah pukulan maut dari
Eng Siong-leng telah dilontarkan ke depan.
Tonghong Liang menyongsong datangnya serangan itu dengan
tangan sebelah, jari tangannya ditegakkan bagaikan tombak dan
menyambut datangnya ancaman itu.
Sebenarnya kekuatan jari tangan tidak bisa melawan kekuatan
telapak tangan, tapi sungguh aneh, ternyata Eng Siong-leng tidak
berani melawannya dengan keras melawan keras, cepat-cepat dia
berganti jurus.
Kalau pada serangan yang pertama kali tadi angin pukulannya
menderu-deru dan sangat kuat, sampai Lan Giok-keng yang berdiri
di samping pun merasakan ketajaman angin serangannya, maka
setelah berganti jurus, serangannya sama sekali tidak membawa
deruan angin pukulan.
Mula-mula Lan Giok-keng merasa tercengang, namun setelah
diperhatikan lagi, dia pun segera mengetahui apa yang telah terjadi.
Ternyata Tonghong Liang telah mengubah ilmu pedangnya
menjadi ilmu jari, serangannya ganas dan tajam bagaikan burung
elang yang menerkam dari angkasa.
Ilmu pedang yang ganas, keras dan garang ini sebenarnya saling
bertolak belakang dengan unsur sifat ilmu pedang Thay-kek-kiamhoat,
tapi sewaktu Lan Giok-keng mengamatinya dengan seksama,
justru muncul satu perasaan yang aneh, dia seolah melihat bahwa
"niat pedang" yang terkandung dalam jurus pedang ini banyak
kemiripannya dengan "niat pedang" dari Thay-kek-kiam-hoat.
Mendadak Lan Giok-keng seperti teringat akan sesuatu, pikirnya,
Bu-si Tianglo pernah berkata, ilmu pedang perguruannya disebut
Hui-eng-hwee-sian-kiam-hoat, ilmu pedang elang terbang berputar,
bisa jadi selesai berlatih ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat
bersamaku, dia berhasil melebur kedua unsur sifat keras dan lembut


itu ke dalam ilmu pedangnya'
Apa yang diduga Lan Giok-keng memang tidak salah,
kemampuan yang dimiliki Tonghong Liang saat ini meski belum bisa
dibilang berhasil melebur kedua unsur ilmu pedang itu menjadi satu,
namun secara dipaksakan dia memang telah menggabungkan unsur
kedua ilmu pedang ini.
Kendatipun hanya dipaksakan, namun sudah lebih dari cukup bila
dipakai untuk menghadapi Eng Siong-leng, karena itulah mau tidak
mau si kakek ceking itu harus menggunakan ilmu pukulan Im-yangciang
untuk menghadapi ancaman tersebut.
Ilmu pukulan Im-yang-ciang miliknya masih memiliki kelebihan
lain, tenaga pukulannya akan membentuk pergolakan tenaga
pusaran yang mengelilingi tubuh lawan, sekalipun tidak mengenai
tubuh lawan pun kekuatannya dapat membuat pihak musuh terjerumus
ke dalam lingkaran pusaran tidak berwujud itu.
Mendadak Tonghong Liang berseru, "Bagus, kau ingin beradu
tenaga pukulan bukan? Baik, aku akan melayani mu dengan tenaga
pukulan juga!"
Telapak tangan tunggalnya mendadak 'melengket' jadi satu
dengan sepasang telapak tangan lawan.
Lan Giok-keng yang menonton dari tepi arena diam-diam mandi
dengan peluh dingin, pikirnya, 'Tonghong Toako benar-benar
tekebur, masa dia meninggalkan kelebihan sendiri dan malah
mengikuti kemaunan lawan?"
Sampai dimana kehebatan tenaga dalam yang dimiliki Eng siongleng,
dia telah menjajal dan merasakannya, sekarang dia mulai
kuatir bila Tonghong Liang tidak sanggup menahan diri.
Sebetulnya Eng siong-leng sendiripun tidak yakin bisa meraih
kemenangan dengan mengandalkan ilmu pukulan Im-yang-ciang
nya, tapi diapun tidak mengira kalau Tonghong Liang begitu berani
beradu tenaga dalam melawan dirinya, tindakan lawan justru
dianggap pucuk dicinta ulam tiba. Memang keadaan inilah yang


diharapkan.
Sambil menghimpun seluruh tenaganya ke dalam telapak tangan,
dia mencoba menekan ke depan, betapa girangnya kakek ini begitu
tahu pihak lawan ternyata tidak memiliki kekuatan untuk melawan.
Siapa tahu pada saat itulah tiba-tiba Tonghong Liang menarik
tangannya ke belakang, kekuatan serangannya kontan tergiring ke
depan, seolah menghantam tempat yang kosong saja, bukan Cuma
serangannya tidak membuahkan hasil, bahkan tubuhnya pun ikut
bergoncang hingga bergeser ke samping.
Lan Giok-keng sangat girang menyaksikan kejadian itu, diamdiam
pikirnya, Sungguh memalukan, padahal dasar ilmu silat
perguruan adalah meminjam tenaga memukul tenaga, memakai
tenaga empat tahil menghadapi serangan ribuan kati. Aku memang
belum pernah melihat ilmu pukulan dari Tonghong toako, tapi
tampaknya ilmu silat yang dia miliki mempunyai dasar ilmu
perguruan Bu-tong. Sungguh aneh, tidak mungkin Sim-hoat tenaga
dalam ajaran Sucouw bisa dicuri belajar orang luar, kenapa dia
sebagai murid perguruan lain justru bisa menggunakan ilmu
tersebut jauh melebihi diriku! Ehmm, jangan-jangan bila ilmu silat
telah dilatih mencapai suatu tingkatan tertentu maka segala
sesuatunya akan terbuka dan saling berhubungan?'
Eng Siong-leng tidak sabar untuk bertarung lama, sambil tertawa
dingin katanya, "Kau mengetahui asal-usulku, akupun mengetahui
asal usulmu. Hmmm! Hmmm! Sebagai keturunan keluarga
Tonghong, sebagai murid tertua Khong-tong-pay, ternyata masih
menggunakan ilmu silat aliran perguruan lain, kau tahu malu tidak?
Kalau memang punya kemampuan, ayoh bertarung menggunakan
ilmu silat perguruanmu sendiri.”
Memanfaatkan kesempatan ketika dia berganti napas, tiba-tiba
Tonghong Liang membentak nyaring, "Bukankah kau ingin beradu
tenaga dalam? Baik, aku akan beradu tenaga dalam denganmu!"
Telapak tangannya diputar ringan, tatkala tenaga menggiring
masih berkelanjutan, tiba-tiba dari serangan kosong berubah jadi


serangan nyata, tenaga pukulannya langsung dimuntahkan keluar.
Tidak ampun tubuh Eng Siong-leng yang kurus kering segera
mencelat ke udara bagaikan layang-layang putus benang, kemudian
roboh terjungkal ke tanah.
"Bagaimana? Masih ingin dilanjutkan!" ejek Tonghong Liang
sambil tertawa dingin.
Ternyata Eng Siong-leng cukup tangguh, dengan gaya burung
belibis membalikkan badan, begitu kakinya menjejak tanah cepat
dia kabur dari situ dengan kecepatan tinggi.
Kembali Tonghong Liang berteriak nyaring, “Biarpun kau ingin
membunuhku, aku tidak sudi membunuhmu, lebih baik kau tidak
usah mencampuri air keruh di sungai Uh-sah-tin lagi!"
Kemudian dia baru berpaling kembali, tampak Lan Giok-keng
masih mengawasinya dengan termangu, seolah tidak tahu apa yang
harus diucapkan.
"Mana Hwee-ko Thaysu?" tanya Tonghong Liang kemudian.
"Ada di bawah gundukan tanah.”
Tonghong Liang menghela napas panjang, katanya, "Aaai....
sayang kedatanganku terlambat selang- kah. Jadi dia sudah tewas?"
"Benar, dia dibokong orang sewaktu berada di rumah pemilik
pelelangan ikan dikota Uh-sah-tin. Cuma, dia pergi dengan sangat
tenang dan tenteram.”
"Apakah manusia berkerudung yang membokongnya?"
Tergerak perasaan Lan Giok-keng, buru-buru tanyanya, "Benar,
apakah toako tahu siapakah manusia berkerudung itu?"
Tonghong Liang tidak menjawab, dia hanya menggelengkan
kepalanya berulang kali, entah apakah dia memang tidak tahu
siapakah manusia berkerudung itu, ataukah enggan
memberitahukan kepada Lan Giok-keng.
Setelah menggeleng berulang kali dia balik bertanya, "Apa saja


yang telah Hwee-ko Thaysu katakan kepadamu menjelang ajalnya
tadi?"
Teringat kembali pesan terakhir Hwee-ko Thaysu menjelang
ajalnya, Lan Giok-keng ragu-ragu dan tidak bisa mengambil
keputusan. Pendeta itu telah berpesan agar dia tidak menceritakan
rahasia tersebut kepada siapa pun, tapi Tonghong Liang....
bukankah dia ber hutang budi kepadanya? Budi yang telah
menyelamatkan jiwanya?
Kembali Tonghong Liang berkata sambil menghela napas
panjang.”
"Sewaktu berada di Toan-hun-kok, tidak seharusnya aku
membohongimu, tapi akupun mempunyai kesulitan yang tidak bisa
diungkap. Suatu saat nanti aku pasti akan memberitahu kepadamu,
karena sekarang masih belum saatnya. Anggap saja aku masih
berhutang satu kepadamu.”
"Toako, kau jangan berkata begitu, akulah yang telah banyak
berhutang kepadamu.”
"Mau kau yang berhutang kepadaku atau aku yang berhutang
kepadamu, lebih baik kita tidak usah permasalahkan lagi. Baiklah,
sekarang beritahu dulu kepadaku!"
Entah karena didesak rasa ingin tahu yang begitu kuat atau
karena dipengaruhi emosi, suaranya ikut pula berubah, berubah jadi
tinggi melengking, terburu napsu dan sorot matanya berubah
menjadi sangat aneh.
Namun bagi Lan Giok-keng, sinar mata itu amat dikenalnya,
selama dia terkurung dalam penjara bawah tanah Toan-hun-kok,
hampir setiap hari dia bertanding pedang melawan manusia
berkerudung itu, setiap kali selesai bertanding, manusia
berkerudung itu selalu memperlihatkan sinar mata semacam ini!
Dia tidak pernah mendengar suara manusia berkerudung itu, tapi
pada hari terakhir kedok rahasia manusia berkerudung itu
terbongkar juga, ternyata orang itu tidak lain adalah Tonghong


Liang yang berdiri dihadapannya sekarang.
Dalam waktu sekejap tiba-tiba muncul lagi perasaan curiga dihati
Lan Giok-keng, pikirnya, 'Sudah jelas Tonghong Toako mengetahui
siapa-kah manusia berkerudung yang muncul semalam, tapi dia
enggan beritahu kepadaku, mungkinkah dia adalah manusia
berkerudung yang semalam muncul di rumah juragan Kim?
Bukankah sewaktu di lembah Toan-hun-kok, diapun pernah
menggunakan cara yang sama untuk membohongi aku?"
"Jadi kau masih tidak percaya dengan aku? Persoalan ini
berpengaruh besar pada situasi persilatan, kau harus secepatnya
beritahu kepadaku.”
Kini sinar mata aneh yang memancar dari mata Tonghong Liang
telah lenyap, tapi nada suaranya masih terkesan panik, gelisah dan
tidak tenang.
"Mungkin tidak seharusnya aku menaruh rasa curiga kepadanya,”
kembali Lan Giok-keng berpikir, "tapi berulang kali Hwee-ko Thaysu
pesan wanti-wanti kepadaku agar jangan sembarangan percaya
kepada orang lain, tidak seharusnya secepat itu kulupakan
peringatannya.”
"Di saat menjelang ajalnya, Hwee-ko Thaysu hanya
menyampaikan sepatah kata kepadaku, dia bilang, nak maafkan
aku, aku tidak bisa menemanimu lagi!"
Lan Giok-keng memang tidak bohong, Hwee-ko Thaysu memang
mengucapkan perkataan itu kepadanya. Malah sepasang matanya
sempat memerah dan berkaca-kaca.
Tonghong Liang kelihatan sangat kecewa, sambil menatap tajam
bocah itu, tanyanya, "Dia benar hanya berkata begitu?"
"Betul, memang hanya berkata begitu,” jawaban Lan Giok-keng
sangat tenang.
Sambil berkata, dia berpikir dalam hati, 'Maaf, kau telah
membohongi aku satu kali, jadi akupun berbohong satu kali
kepadamu'


Tonghong Liang setengah percaya setengah tidak, mendadak
tanyanya lagi sambil meninggikan nadanya, "Tahukah kau tentang
kabar berita Jit-seng-kiam-kek?"
"Jit-seng-kiam-kek?" Lan Giok-keng tidak menyangka kalau
Tonghong Liang mengetahui juga tentang Jit-seng-kiam-kek, karena
dalam gugup dia tak tahu bagaimana harus menjawab, terpaksa dia
mengulang kembali nama itu.
"Benar, dialah Jit-seng-kiam-kek Kwik Tang-lay yang pernah
melukai ayah angkatmu! Aku tahu kedatanganmu ke Liauw-tong
karena ingin mencari dia. Tapi waktu tidak banyak, aku tidak bisa
memberi-tahukan padamu kenapa aku bisa tahu.”
Dari mimik mukanya yang gelisah, terlihat kalau dia berniat pamit
diri.
"Aku tidak tahu,” kembali Lan Giok-keng berkata, sementara
dalam hatinya berpikir, “Ternyata si jago pedang tujuh bintang
bermarga Kwik, padahal nama Han dari Huo Bu-tuo adalah Kwik Bu.
Kenapa bukan memakai nama marga lain dia justru memakai Kwik?
Jangan jangan....”
Belum habis ingatan itu, kembali terdengar Tonghong Liang
bertanya lagi, "Konon jit-seng-kiam-kek berputra satu, seharusnya
Hwee-ko Thaysu telah memberitahukan kepadamu bukan....”
Sementara Lan Giok-keng sedang tertawa getir dan tidak tahu
bagaimana harus menjawab, tiba-tiba Tonghong Liang menjawab
sendiri persoalan itu.
Barusan Tonghong Liang telah menyinggung kalau Jit-seng-kiamkek
mempunyai seorang putra, jika pembicaraan itu berlangsung
terus, maka dia pasti akan menyinggung soal Huo Bu-tuo atau Kwik
Bu.
Siapa tahu tiba-tiba saja dia mengalihkan pembicaraan ke soal
lain, katanya, "Aku memang pernah membohongimu, jadi tidak
heran kalau kau tidak percaya kepadaku. Baiklah, kau boleh
bercerita kepadaku ketika suatu saat nanti kau sudah memahami


perasaan hatiku.”
Beberapa patah kata itu diucapkan makin lama semakin cepat,
ketika mengucapkan perkataan terakhir, dia seolah sudah tidak bisa
berdiam lebih lama lagi disana, tubuhnya langsung berbalik dan
kabur dari situ. Malah kata terakhir berasal dari beberapa puluh
langkah dari posisi semula.
Lan Giok-keng sangat keheranan, pikirnya, 'Kenapa dia melarikan
diri seperti berusaha menghindari sesuatu, jangan-jangan ada yang
datang?'
Benar saja, dia segera mendengar ada suara pembicaraan orang.
"Coba lihat, siapa yang berada diatas sana, perkataanku tidak
salah bukan?"
"Aaah benar, ternyata memang Piauko! Piauko, jangan kabur,
kau dengar suaraku? Aku adalah Piaumoy mu!"
"Giok-keng-sutit, tidak usah gugup, aku adalah Bouw-susiok mu!"
Yang memanggil Piauko adalah Seebun Yan, sedang yang
memanggil "Giok-keng sutit" adalah Bouw It-yu.
Ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki sebenarnya tidak
sebanding, tapi saat ini Seebun Yan lari sangat cepat dan
meninggalkan Bouw It-yu jauh di belakang.
Terhadap Lan Giok-keng yang berdiri di atas bukit dia seolah
tidak melihatnya, begitu sampai di puncak bukit, dia langsung
mengejar ke arah Tonghong Liang.
Waktu itu Lan Giok-keng baru saja menghapus huruf yang ditulis
Hwee-ko Thaysu diatas tanah, biarpun tulisannya sudah tidak
terbaca namun masih kelihatan bekasnya.
Bouw It-yu berjalan kehadapannya, sambil melirik sekejap
permukaan tanah dikakinya dia berkata sambil tersenyum, "Giokkeng,
kau tidak menyangka aku bakal datang mencarimu bukan?"
"Aaah sudah datang, lagi-lagi sudah datang!" pikir Lan Giok-keng


sambil tertawa getir.
Dia sangka Bouw It-yu pasti akan mengulang kembali pertanyaan
yang barusan diajukan Tonghong Liang, siapa tahu pemuda itu tidak
berbuat demikian, katanya, "Sutit, kau tentu sudah mendengar
bukan kalau Bu-siang Cinjin telah kembali ke langit?"
"Benar, aku sudah tahu. Sayang aku tidak bisa pulang untuk
melayat jenasahnya.”
"Tidak, kau masih sempat untuk mengikutinya. Jadwal
penguburan adalah tanggal tujuh bulan depan, berarti persis masih
ada setengah bulan, kau bisa segera berangkat.”
"Aku.... mungkin aku tidak bisa pulang tepat waktu.”
“Aku tahu. Serahkan saja tugas yang diberikan Ciangunjin
kepadaku. Dengan begitu kau bisa segera pulang.”
"Aku tidak paham dengan maksud Susiok,” ucap Lan Giok-keng
tertegun. Bouw It-yu tertawa.
"Bukankah Bu-siang Cinjin suruh kau mengajak Hwee-ko Thaysu
datang ke Liauw-tong mencari Jit-seng-kiam-kek? Tentu saja kau
tidak boleh memberitahukan rahasia ini kepada orang lain, tapi aku
sudah mengetahuinya.”
Lan Giok-keng merasa sangat ragu, pikirnya, 'Ayahnya adalah
Ciangbunjin partai saat ini, tidak aneh bila diapun mengetahui
persoalan ini'
Sebagaimana diketahui, rencana mengangkat Bouw Ciong-long
sebagai pewaris Ciangbunjin memang sudah dipersiapkan Bu-siang
Cinjin sebelum ajalnya tiba, jadi sangat masuk diakal bila
Ciangbunjin lama menyerahkan pesan kepada Ciangbunjin baru atas
beberapa perintahnya yang belum terselesaikan.
Kalau memang begitu, mengapa Sucouwnya meninggalkan surat
wasiat dan mengapa pula suruh dia pergi mencari Hwee-ko Thaysu
dan segala sesuatunya mengikuti perintah Hwee-ko Thaysu?
Menjelang saat ajalnya Hwee-ko Thaysu pun berpesan wanti-wanti


kepadanya, bahkan berpesan secara khusus.... jangan mengatakan
rahasia itu kepada siapa pun termasuk sang Ciangbunjin sendiri
pun.
Bukankah Ciangbunjin yang dimaksud Hwee-ko Thaysu adalah
ayah Bouw It-yu, Bouw Ciong-long yang kini telah berganti nama
menjadi Bu-beng Cinjin?
Maka sambil menggelengkan kepalanya berulang kali dia berkata,
"Sucouw hanya suruh aku datang ke biara Siau-lim mencari Hweeko
Thaysu dan menuruti semua perintahnya. Karena itulah Hwee-ko
Thaysu mengajak aku datang ke Liauw-tong. Mengenai nama Jitseng-
kiam-kek.... rasanya aku memang pernah mendengar Hwee-ko
Thaysu menyinggung nama orang ini. Tapi sayang hingga sekarang
aku masih belum tahu siapakah Jit-seng-kiam-kek itu, tidak tahu
juga dia berada di mana sekarang.”
Apa yang dia katakan memang tidak bohong, nama Jit-sengkiam-
kek pun dia ketahui setelah disebut Tonghong Liang.
Dan dia pun benar-benar tidak mengetahui kabar berita serta
jejak dari Jago pedang tujuh bintang itu.
Bouw It-yu setengah percaya setengah tidak, kali ini sinar
matanya dialihkan ke tubuh Liauw-ciangkwee, katanya lagi, "Apakah
orang ini mati lantaran dibunuh Hwee-ko Thaysu?"
Lan Giok-keng tidak tahu apa sebabnya dia mengajukan
pertanyaan seperti itu, tapi setelah tahu kalau hal semacam ini tidak
mungkin berbohong, dia pun mengangguk.
"Benar Hwee-ko Thaysu tidak mengatakan apa-apa sebelum
menemui ajalnya?"
"Benar, benar tidak ada,” sahut Lan Giok-keng mengikuti nada
suaranya.
"Aku percaya padamu. Kalau begitu sebutkan siapa nama orang
itu.”
"Orang yang mana?" tanya Lan Giok-keng melengak.


"Orang yang titip surat untuk Kim-lopan. Bukankah tujuan Hweeko
Thaysu menangkap dan menyeret Liauw-ciangkwee kemari untuk
mencari tahu nama dari orang itu serta dimana dia berada?"
Diam-diam Lan Giok-keng terkesiap, pikirnya, 'Usia Siau-susiok
hanya selisih sedikit dibandingkan aku, ternyata dia begitu lihay!'
Cepat dia menggeleng seraya menyahut, "Aku tidak tahu.”
Berubah paras muka Bouw It-yu.
"Sebelum meninggal, Hwee-ko Thaysu masih sempat
membunuhnya. Sudah jelas dia telah berhasil mengorek keterangan
dari mulutnya. Lan-sutit, masa sampai terhadap diriku pun kau tidak
percaya? Kau harus tahu, aku sedang melaksanakan perintah
Ciangbunjin untuk menggantikan dirimu menyelesaikan tugas ini.
Tujuannya tidak lain agar kau bisa segera pulang gunung untuk
mengikuti upacara penguburan sucou. Di antara murid generasi ke
tiga, kaulah yang paling disayang Sucouw, masa kau tidak ingin
menghantarnya masuk ke tanah dan berkabung baginya?"
Perkataan itu bernada tinggi, tajam dan penuh sindiran,
membuat Lan Giok-keng jadi gelagapan sendiri.
Kini bocah tersebut benar-benar tidak tahu bagaimana harus
menghadapinya, pelbagai kecurigaan memenuhi seluruh benaknya,
dia berdiri melongo dengan sinar mata kabur, seakan sudah dibuat
bodoh saking kagetnya.
Tampaknya Bouw It-yu sendiripun tidak ingin mendesaknya
kelewat batas, dengan nada yang lebih lunak katanya lagi, "Coba
kau pikirkan lagi dengan kepala dingin, siapa tahu akan teringat
nama orang itu. Agar aku bisa membantumu menyelesaikan tugas
ini, paling tidak aku harus mengetahui nama kedua orang itu.
Pertama adalah orang yang menulis surat untuk Kim-lopan, dan
kedua adalah manusia berkerudung yang pernah muncul di rumah
keluarga Kim. Setelah aku berbicara sampai disini, semestinya
kaupun tahu bukan, kemarin malam aku sama seperti kau,
bersembunyi dalam kebun di rumah keluarga Kim!"


Sementara Lan Giok-keng masih kebingungan dan tidak tahu
bagaimana harus menghadapinya, mendadak terdengar seseorang
berkata, "Kau tidak usah mendesak bocah itu untuk menjawab,
semestinya tanyalah kepadaku!"
Dengan kepandaian silat sehebat Bouw It-yu, ternyata dia tidak
mengetahui akan kehadiran pihak ke tiga, rasa terkejut yang
dialaminya benar-benar tidak terlukiskan dengan kata.
Sambil melompat bangun, hardiknya, "Siapa kau?"
Orang itu tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... bukankah kau sedang mencariku?
Nah, sekarang aku sudah datang!"
Di tengah gelak tertawa nyaring, tahu-tahu orang itu sudah
muncul dihadapan Bouw It-yu, sayang pemuda itu tidak dapat
melihat raut mukanya, sebab dia mengenakan kain kerudung hitam
hingga yang terlihat hanya sepasang matanya.
Walaupun hanya kelihatan sepasang matanya, namun Bouw It-yu
masih dapat mengenali orang itu sebagai manusia berkerudung
hitam yang semalam menyerang Hwee-ko Thaysu di rumah
keluarga Kim.
Sambil berusaha menenangkan hatinya Bouw It-yu membentak,
"Mau apa kau?"
"Aaah, masa secepat itu kau sudah lupa?" jengek manusia
berkerudung hitam itu dingin, "aku telah berulang kali
memperingatkan dirimu: bila tidak segera kembali berarti mencari
penyakit buat diri sendiri! Hmm, siapa tahu kau begitu bandel, tidak
mau menuruti peringatanku, terlambat sudah bila sekarang kau
ingin berbalik!"
Sambil meraba gagang pedangnya kembali Bouw It-yu
membentak, "Ternyata kaulah bajingan tengik yang berlagak sok
rahasia di tengah jalan itu! Hmm, aku justru tidak percaya dengan
segala dewa, apalagi takut dengan setan!"


"Bagus sekali! Kalau begitu cabut pedangmu! Kalau punya
kemampuan, rubahlah aku jadi setan, bila kau yang tidak punya
kemampuan.... hmm, akulah yang akan mengubahmu jadi setan.”
Perkataan itu diucapkan dengan nada sengau, seolah suara yang
membawa nada hidung, seperti orang yang sedang menderita flu
berat.
Tapi anehnya Lan Giok-keng justru merasa suara hidung yang
sangat aneh itu seakan "sangat dikenal" olehnya, namun dia tidak
teringat dimanakah dia pernah mendengar suara orang itu. Lagipula
diapun merasa tidak pernah mendengar suara orang yang sedang
menderita flu berat sedang berbicara. Tapi mengapa bisa timbul
perasaan seaneh ini?
Belum habis ingatan itu melintas, Bouw It-yu telah melancarkan
sebuah tusukan sambil membentak, "Bagus, berubah jadi setan
tidak masalah, dianggap mencari penyakit pun tidak mengapa. Yang
pasti aku memang sedang mencarimu!"
Serangan yang dilancarkan cepat bagaikan sambaran petir, di
saat ujung pedang hampir menusuk di tubuh orang tersebut,
mendadak bergetar tiga buah lingkaran yang membuat gerakan
tusukan yang lurus seketika berubah.
Diam-diam Lan Giok-keng memuji, pikirnya, 'Ternyata begini
caranya menggunakan jurus sam-huan-tau-gwee (tiga lingkaran
membelenggu rem-bulan)!'
Sam-huan-tau-gwe merupakan salah satu jurus serangan dalam
ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat, pada dasarnya thay-kek-kiam
memang mengutamakan kelembutan untuk mengatasi kekerasan,
maka dalam penggunaan jurus ini tenaga lembek jauh lebih di
utamakan.
Namun Bouw It-yu yang menggunakan jurus ini justru berbeda
sekali dengan prinsip dasarnya, bukan saja tenaga keras dan
lembek digunakan bersama bahkan kecepatannya bagaikan
sambaran kilat, hingga teori "menyerang belakangan tapi
menguasahi musuh duluan" pun ikut dirubah pula.


Sekalipun terdapat banyak perbedaan dan pertentangan prinsip,
jurus serangan itu tidak bisa dikatakan bukan merupakan bagian
dari ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat.
Lan Giok-keng bagaikan orang mabok saja, dia begitu kesemsem
menyaksikan permainan jurus itu, pikirnya, 'Tidak heran kalau
Sucouw selalu berkata bahwa ilmu pedang perguruan kita tertumpu
pada pencerahan dan pemahaman, aaai.... kusangka sudah banyak
teori yang kupahami, sekarang terbukti bahwa kata pencerahan dan
pemahaman memang gampang diucapkan susah dilaksanakan!"
Dalam waktu singkat tujuh puluh gebrakan sudah lewat, tiba-tiba
manusia berkerudung itu berkata sambil menghela napas, "Ayahmu
memang seorang jago silat berbakat luar biasa, tapi sayang ilmu
pedang yang berhasil dia rubah dari pelajaran yang diterima dari
Thio-cinjin belum berhasil kau pelajari barang setengahnya pun.”
Sementara berbicara, serangan tangannya semakin diperketat,
tidak selang berapa saat kemudian dia sudah berhasil memaksa
Bouw It-yu hanya bisa bertahan saja tanpa memiliki kekuatan untuk
melancarkan serangan balasan.
Kini Lan Giok-keng baru paham, rupanya pada belasan jurus
pertama, manusia berkerudung itu hanya berniat mengintip rahasia
ilmu pedang keluarga Bouw, begitu gerak jurus lawan telah
dipahami, dia pun tidak memberi kesempatan lagi bagi Bouw It-yu
untuk bertarung lebih lama.
Biarpun Lan Giok-keng menaruh rasa curiga terhadap Bouw Ityu,
namun bagaimanapun orang itu adalah paman gurunya
sementara manusia berkerudung itu tidak lain adalah pembunuh
yang telah mencelakai nyawa Hwee-ko Thaysu, bicara dari sudut
mana pun, tidak mungkin lagi baginya untuk berpangku tangan
saja.
Sedari tadi dia tidak ikut turun tangan karena dianggapnya Bouw
It-yu seorang diri sudah mampu menghadapi manusia berkerudung
itu.
Kini, setelah melihat Bouw It-yu keteter hebat dan mulai tidak


sanggup menahan diri, tanpa berpikir panjang lagi Lan Giok-keng
segera mencabut pedangnya dan maju menyerang.
"Hey bocah cilik, kau pun ingin menghantar kematian?" tegur
manusia berkerudung hitam itu.
"Kau telah membunuh Hwee-ko Thaysu, sekali-pun aku tidak
mampu mengalahkanmu, biar harus korbankan nyawa pun aku
tetap akan beradu jiwa melawanmu!"
Kembali manusia berkerudung itu menghela napas.
"Aaaai.... budi dan dendam susah untuk dibicarakan!"
Dengan telapak tangan kirinya dia menghadapi serangan dari
bocah itu.
Ketika pedang Lan Giok-keng membabat ke depan, manusia
berkerudung itu berusaha merampas senjatanya, siapa tahu tibatiba
dia berganti gerakan dan menusuk tubuh manusia berkerudung
itu dari posisi yang sama sekali tidak terduga.
"Ilmu pedangbagus!" puji manusia berkerudung itu sambil
berseru tertahan.
Dimana cahaya pedang Lan Giok-keng menyambar lewat,
pakaian yang dikenakan manusia berkerudung itu segera robek
memanjang. Namun pedangnya kena ditangkis juga oleh kebasan
lawan hingga mencelat ke samping.
Dalam jurus serangan kali ini Lan Giok-keng telah menggunakan
taktik menuding ke barat menyerang ke timur, perubahannya
sangat hebat dan luar biasa, namun kebasan dari manusia
berkerudung itu bukan saja dapat membebaskan diri dari ancaman
bahkan langsung melancarkan serangan balasan, kehebatannya
benar-benar di luar dugaan siapa pun.
Kebasan ujung baju itu seketika membua t napas Lan Giok-keng
menjadi amat sesak dan tidak leluasa, tiba-tiba dia teringat dengan
cerita "sang koki menjagal sapi" yang dijelaskan Hwee-ko Thaysu
sewaktu masih terkurung dalam penjara Toan-hun-kok, pikirnya,


'Tidak salah, kenapa aku tidak belajar dari si koki? Sang koki bisa
menusukkan pisaunya di tempat yang luang, hal ini tidak lain karena
dalam pandangannya tidak melihat sapi'
Dia sadar kalau kepandaian silat yang dimiliki lawan jauh diatas
kemampuannya, tidak mungkin baginya untuk bertarung untunguntungan,
terpaksa seluruh perhatiannya ditujukan ke telapak
tangan lawan.
Lambat laun terhadap lingkungan di sekelilingnya dia seolah
memandang tapi tidak melihat, mendengar tapi tidak menangkap,
bahkan terhadap manusia berkerudung yang sedang bertarung
melawan dirinya pun dia seakan hanya melihat sepasang telapak
tangannya saja.
Kalau dikatakan memang aneh sekali, begitu dia mencapai
keadaan seakan lupa segala galanya, peredar-an darah serta
dengusan napasnya malah menjadi begitu lega dan leluasa, tenaga
yang menekan dan menghimpit dirinya pun makin bertambah
ringan.
Diam-diam manusia berkerudung itu memuji, pikirnya, 'Selama
puluhan tahun terakhir, banyak sudah murid Bu-tong-pay yang
kujumpai, tapi rasanya hanya pemuda ini yang benar-benar dapat
mewarisi seluruh kemampuan dan kepandaian dari Thio-cinjin. Tidak
heran kalau Bu-siang Cinjin begitu serius membina dan
membimbingnya, keberhasilannya di kemudian hari pasti diatas Busiang
Cinjin dan tidak mungkin di bawah nya.”
Begitu timbul rasa pujian itu, serangan yang dilancarkan pun jadi
bertambah serius, dia seolah sedang berhadapan dengan musuh
tangguh, tidak berani lagi memandang pihak lawan sebagai kanak
kanak.
Pada mulanya dia menggunakan kekuatan tujuh bagian untuk
menghadapi Bouw It-yu, tapi kini keadaan malah sebaliknya, dia
hanya menggunakan tiga bagian kekuatannya untuk menghadapi
jago muda ini.
Diam-diam Bouw It-yu mengeluh, pikirnya, 'Sungguh menyesal!


Kusangka ilmu pedang ciptaan ayahku sudah tiada tandingan di
kolong langit, tapi kalau dilihat sekarang, mungkin masih kalah jauh
bila dibandingkan dengan ilmu pedang hasil pencerahan dari Giokkeng
si bocah ini'
Lambat laun manusia berkerudung itupun mulai tidak kuasa
menahan diri lagi, pikirnya, 'Walaupun aku tidak bisa melukainya,
tapi bila keadaan seperti ini dibiarkan berlarut, mungkin bakal
mengacaukan urusan besarku'
Sementara dia masih mempertimbangkan bagaimana caranya
menaklukkan Lan Giok-keng tanpa melukai tubuhnya, Bouw It-yu
telah menggunakan kesempatan ini melancarkan serangkaian
serangan berantai.
Satu ingatan segera melintas dalam benak manusia berkerudung
itu, bentaknya, "Manusia she-Bouw, akan kubunuh dirimu lebih
dulu!"
Dengan satu gerakan cepat dia berputar ke samping, sebuah
kebasan baju memunahkan serangan pedang Lan Giok-keng yang
meluncur tiba, sementara telapak tangan kirinya diangkat siap
dihantamkan ke atas ubun-bun Bouw It-yu.
Saat itu Lan Giok-keng nyaris sudah berada dalam keadaan "lupa
diri", namun sewaktu melihat telapak tangan manusia berkerudung
itu tinggal lima inci dari ubun-ubun Bouw It-yu, mau tidak mau
perasaan hatinya bergetar keras.
Kunci utama dari ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat adalah timbul
niat pedang langsung menyerang, rangkaian serangan berhubungan
menjalin satu lingkaran, begitu perasaan hatinya bergetar keras,
gerakan pedangnya yang semula mengalir bagaikan lingkaran pun
muncul titik kelemahan.
Dengan gerakan cepat yang tidak terlukiskan dengan kata
manusia berkerudung itu segera manf aatkan peluang dengan
sebaik-baiknya, Lan Giok-keng merasakan tubuhnya jadi enteng,
tahu-tahu dia sudah kena ditangkap dan dilempar keluar arena.


Tubuh Lan Giok-keng meluncur sejauh tiga tombak lebih
dan....”Bruuuk!" terbanting keras-keras di tanah, tidak sempat lagi
menjerit kesakitan, bocah itu jatuh tidak sadarkan diri.
Tidak terlukiskan rasa kaget Bouw It-yu, bentaknya penuh
amarah, "Kauherani membunuh keponakan muridku!"
Dia sangka Lan Giok-keng sudah dibanting mati manusia
berkerudung itu, padahal bocah itu meski kehilangan kesadaran,
tubuhnya sama sekali tidak terluka.
Ternyata sewaktu membanting Lan Giok-keng tadi, manusia
berkeru dung itu telah menggunakan sejenis ilmu bantingan yang
khas, bantingan semacam itu tidak bakalan membuat yang
bersangkutan jatuh pingsan.
Lan Giok-keng bisa tidak sadarkan diri karena sewaktu
dicengkeram manusia berkerudung tadi, dia telah menotok pula
jalan darahnya.
Dicekam perasaan terkejut bercampur marah, Bouw It-yu
melancarkan serangan semakin garang, bahkan nyaris mendekati
beradu jiwa.
Bukan jadi gusar, sorot mata manusia berkerudung itu sebaliknya
justm berubah makin lembut dan lunak, pikirnya, 'Memandang atas
rasa sayang dan perhatiannya untuk melindungi keselamatan jiwa
Giok-keng, aku tidak boleh mencelakai jiwanya'
Setelah bertarung satu lawan satu, mana mungkin Bouw It-yu
bisa menandingi kehebatan manusia berkerudung itu? Ketika
pedangnya dengan jurus sam-coan-hoat-lun menerobos keluar,
tanpa menggubris datangnya ancaman manusia berkerudung itu
menyodokkan kedua jari tangannya memasuki lingkaran pedang.
Jurus Sam-coan-hoat-lun baru berputar satu lingkaran, tahu-tahu
punggung pedangnya sudah terjepit oleh dua jari tangan manusia
berkerudung itu.
"Lebih baik bunuhlah aku!" seru Bouw It-yu dengan nada parau,
dia sadar kalau dirinya bukan tandingan, saat inipun dia sudah tidak


memiliki kekuatan lagi untuk melawan.
Begitu dia buka suara, hawa murninya kontan saja membuyar, isi
perutnya seketika terasa bagai dibolak balik dengan kerasnya.
Belum lagi manusia berkerudung itu buka suara, mendadak
terdengar seseorang telah menegur lebih dulu.
Sesaat sebelum jatuh tidak sadarkan diri, tiba tiba Bouw It-yu
mendengar ada orang berseru, "Kungfu yang hebat, kau adalah
Tianglo yang mana dari Bu-tong-pay?"
Dari balik cahaya fajar yang baru menyingsing, tampak seorang
wanita berbaju kuning muncul dari balik kegelapan dan berjalan
menghampiri.
Perempuan itu sebetulnya sudah setengah umur, tapi bila tidak
tahu siapakah dia, mungkin akan menyangka usianya masih sangat
muda.
Dia memiliki perawakan tubuh yang kecil dan ramping, tidak
mirip perempuan yang pernah melahirkan, apalagi sebagai seorang
ibu yang putrinya telah menanjak dewasa. Kecantikan wajahnya
pada hakekatnya bagaikan sekuntum bunga segar yang baru mekar
di pagi hari.
Begitu melihat kemunculan wanita itu, perasaan hati manusia
berkerudung itu bergetar keras, kedua jari tangannya yang sedang
menyodokpun segera ditarik kembali.
Begitu kehilangan daya tekanan yang berat, tubuh Bouw It-yu
pun "roboh" dengan lemas, dia hanya bisa duduk diatas tanah
dengan napas tersengkal sengkal.
Perlahan perempuan setengah umur itu berjalan mendekat.
Sesaat itu bukan hanya manusia berkerudung itu saja yang
merasakan hatinya bergetar keras, Bouw It-yu sendiripun
merasakan hatinya berdebar.
Paras muka perempuan setengah umur itu beberapa bagian mirip
Seebun Yan, tapi jauh lebih cantik dibandingkan gadis itu. Hal ini


masih tidak aneh, yang lebih aneh lagi adalah perasaan yang timbul
di hati Bouw It-yu, dia merasa seakan sedang berhadapan dengan
orang yang sangat dikenalnya, tanpa sadar timbul lah perasaan
simpatik yang tebal di hati kecilnya.
Perasaan kenal ini tidak sama seperti perasaan kenal terhadap
Seebun Yan, melainkan jauh melebihi perasaan itu. Padahal mereka
belum pernah saling bertemu.
Siapakah dia? Siapakah dia?
Ooo)*(ooO
JILID KE LIMA
BAB XIV
Jago pedang dari Tiong-ciu.
Tapi bukan persoalan ini yang ingin diketahui jawabannya, sebab
biarpun dia belum pernah bertemu wanita setengah umur itu,
namun secara lamat-lamat telah dapat menebak siapa gerangan
perempuan ini.
Yang paling ingin diketahui jawabannya adalah....
Manusia berkerudung itu berdiri kaku bagaikan sebuah patung
batu, dia seakan sudah tertegun dibuatnya.
"Hey kau tuli? Kau bisu?" terdengar wanita cantik itu kembali
membentak, "aku sedang bertanya, kau adalah tianglo yang mana
dari Bu-tong-pay? Kenapa? Tidak berani menjawab?"
"Tianglo dari partai Bu-tong?" tidak terlukiskan rasa terperanjat
yang dialami Bouw It-yu saat itu.
Kalau memang tianglo dari Bu-tong-pay, lalu siapakah dia?
Bu-tong-pay mempunyai dua orang tianglo, yakni Bu-liang
Totiang dan Bu-si Tojin, keduanya sangat dikenal olehnya,


sementara Put-ji, tianglo yang belum lama diangkat pun sudah
cukup lama bergaul dengannya, malah selama ini dia
memperhatikan orang ini secara khusus. Dia yakin tidak bakal tidak
bisa mengenalinya kendatipun dia telah mengenakan kain kerudung
muka.
Bouw It-yu mencoba untuk memperhatikan dengan lebih
seksama, di pandang dari sudut manapun dia tidak bisa menemukan
bayangan rubuh dari ke tiga orang tianglonya di tubuh manusia
berkerudung ini.
Hanya satu hal yang berhasil dia ketahui, orang berkerudung ini
adalah seseorang yang telah lanjut usia, paling tidak berusia lima
puluh atau enam puluh tahunan. Orang yang memiliki ilmu silat
hebat memang agak sulit untuk diduga usianya.
Namun bagaimanapun juga, biar seseorang yang telah lanjut usia
berusaha memelihara tubuhnya sebagus apapun, bila dibandingkan
dengan orang berusia pertengahan tetap terdapat perbedaan yang
nyata.
Sewaktu bertarung melawannya tadi, Bouw It-yu tidak sempat
memperhatikan akan hal itu, tapi kini, setelah diamati lebih
seksama, dia segera dapat menemukan perbedaannya.
Dia percaya dengan kemampuan matanya, oleh sebab itu meski
dia kagum akan kehebatan perempuan cantik itu, yang bisa
mengetahui kalau orang itu adalah seseorang yang lanjut usia
dalam pandangan pertama, tapi diapun berani memastikan kalau
manusia berkerudung ini tidak mungkin tianglo dari Bu-tong-pay.
Lalu siapakah dia? Siapakah dia?
Manusia berkerudung itu tidak menjawab, dia hanya gelengkan
kepalanya. Biasanya gelengkan kepala tertanda menyangkal.
Tampaknya perempuan cantik itu tidak percaya, terdengar ia
bergumam diri, "Tenaga dalammu masih setingkat lebih hebat dari
Bu-liang Totiang, ilmu pedangmu juga tidak berada di bawah
kemampuan Bu-si Tojin....”


Dia bukan saja mengetahui kelebihan yang dimiliki para tianglo
dari Bu-tong-pay, mengetahui juga kalau manusia berkerudung itu
bisa menggunakan ilmu pukulan sebagai pengganti ilmu pedang.
"Tidak benar, tidak benar! Ehmm, benarkah Bu-kek Totiang telah
mati?" pertanyaan terakhir ini dia tujukan kepada Bouw It-yu.
Sebetulnya pertanyaan ini bisa dijawab Bouw It-yu secara tegas
dan tanpa ragu, sebab dialah yang mengambil kerangka tubuh Bukek
Totiang dan membawanya kembali keatas gunung Bu-tong. Tapi
sayang dia sudah tidak bertenaga lagi untuk bicara, yang bisa
dilakukan hanya manggutkan kepala.
Pada saat itulah manusia berkerudung itu menghela napas
panjang, namun dia tetap belum berbicara.
Tiba-tiba perempuan cantik itu mematahkan setangkai ranting
pohon, katanya dingin, "Kau sangka dengan berlagak bisu dan tuli
lantas bisa mengelabuhi aku? Kau tidak usah beritahu akupun aku
juga bisa mengetahui asal-usulmu.”
Sambil tertawa dingin dia getarkan ranting pohon itu, kemudian
dengan menggunakan jurus pedang yang sangat hebat menusuk
tubuh manusia berkerudung itu.
"Sreeet, sreeet, sreeet" diiringi tiga desingan tajam, tahu-tahu
jubah yang dikenakan manusia berkerudung itu sudah bertambah
dengan tiga buah lubang kecil, tubuhnya mundur ke belakang
berulang kali.
"Kau berani tidak membalas?" kembali perempuan cantik itu
membentak nyaring.
Biarpun yang dia gunakan hanya sebatang ranting pohon, namun
setiap tusukan yang dilancarkan selalu disertai desingan angin
tajam, Giok-li-to-sou (gadis perawan memasukkan jarum), Ting-sansi-
hau (Ting-san memanah harimau), Gin-han-hu-chat (bianglala
mengam bang di angkasa), Kek-seng-huan-gwee (bintang tamu
mengusik rembulan). Jurus serangan yang keras dikombinasikan
dengan jurus serangan yang lembek, semua ancaman boleh dikata


terarah ke bagian tubuh yang mematikan ditubuh lawan.
Selangkah demi selangkah manusia berkerudung itu terdesak
mundur hingga ke tepi jurang, kini sudah tidak ada jalan mundur
lagi baginya.
Dalam pada itu ranting pohon ditangan perempuan cantik itu
kembali telah menciptakan tiga lingkaran cahaya yang mengurung
seluruh tubuhnya, ujung ranting yang terarah persis di hadapannya
tampak segera akan berhasil mencongkel kain kerudung mukanya.
Dalam keadaan seperti inilah terpaksa manusia berkerudung itu
melakukan pembelaan, sepasang telapak tangannya dirangkap di
depan dada, dia membalas dengan jurus Tong-cu-pay-kwan-im
(bocah suci menyembah Kwan-im).
Maksud dari gerakan jurus ini adalah berniat menjepit ranting
pohon yang mengancam tiba, siapa tahu perempuan cantik itu
kembali mengubah jurus serangannya secepat kilat, dia tarik balik
rantingnya lalu berganti mengancam tiga bagian tubuhnya.
Hanya saja, biarpun perubahan jurus dilakukan sangat cepat,
namun hal ini justru memberi peluang kepada manusia berkerudung
itu untuk menghindarkan diri.
"Weesss....!" diiringi desingan angin tajam, manusia berkerudung
itu sudah melambung ke udara, bagaikan seekor burung terbang
lewat dari atas kepalanya, membopong Lan Giok-keng yang masih
tergeletak di tanah dan melarikan diri.
Berapa gerakan gesit dan cekatan yang diperlihatkan kedua
orang itu membuat Bouw It-yu yang menyaksikan merasakan
hatinya ngeri bercampur berdebar. Tapi diapun berhasil melihat
jelas sebuah kenyataan, kemungkinan besar manusia berkerudung
itu kenal dengan wanita cantik itu, karenanya dia tidak pernah
berani melancarkan jurus serangannya, bisa dipastikan hal ini
dikarenakan dia kuatir wanita cantik itu berhasil mengetahui asalusul
ilmu silatnya.
Bouw It-yu tidak tahu apakah wanita cantik itu telah berhasil


mengetahui asal-usul jurus serangan yang dimiliki manusia
berkerudung itu, tapi dia telah mengenali sumber ilmu silat yang
digunakan sang wanita cantik itu.
Jurus serangan yang barusan dia gunakan tidak lain adalah jurus
Sam-coan-hoat-lun (tiga putaran roda hukum), sebuah jurus ciptaan
ayahnya yang diambil dari ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat,
malahan permain an jurus perempuan itu jauh lebih bagus
ketimbang ayahnya sendiri.
Bouw It-yu merasa bimbang bercampur bingung, dia tidak tahu
dengan cara apa manusia berkerudung itu berhasil melarikan diri.
Pandangan matanya penuh diliputi teka-teki, perasaan hatinya
pun dicekam kebingungan.
Dia seakan telah balik kembali ketepi ranjang ibunya yang
sedang sakit, apa yang dilihat, apa yang didengar, hanya bayangan
semu dari ibunya, yang bergaung diangkasa hanya helaan napas
ibunya.
Berada ditepi ranjang ibunya yang sedang sakit, dia mengumpat
dan menyumpahi "perempuan liar" itu. Besok adalah tanggal satu
hari raya Imlek, ibunya sakit begitu parah, tapi ayahnya.... dengan
alasan demi "perempuan liar" itu, ternyata enggan pulang kembali
ke rumah!
Sambil menghela napas, saat itu ibunya berkata perlahan, "Dia
bukan wanita liar! Bukan, dia adalah wanita anggun yang
mempunyai status sosial tinggi, dia cantik, ilmu silatnya hebat,
dalam segala bidang dia jauh mengungguli aku!"
Sekarang dia sudah tahu siapakah "wanita liar" itu, dia tidak lain
adalah perempuan cantik yang berada dihadapannya sekarang.
Apa yang dikatakan ibunya memang tidak keliru, "perempuan
liar" ini memang anggun, ilmu silatnya tinggi, wajahnya cantik jelita!
Biarpun demi ibunya, dalam hati kecilnya dia tetap memaki dia
sebagai "perempuan liar", namun mau tidak mau diapun harus
mengakui, "perempuan liar" ini memang jauh lebih cantik daripada


ibunya, ilmu silat yang dimilikipun jauh lebih hebat. Tidak aneh bila
ayah begitu tergila gila kepadanya.
Sebuah jawaban lain pun ikut tersingkap, tidak perlu diberitahu
wanita cantik itu, diapun sudah tahu kalau wanita itu tidak lain
adalah ibu kandung Seebun Yan.
Semenjak pertemuan pertamanya dengan Seebun Yan, dia sudah
menaruh curiga akan hal ini. Dan sekarang dia telah memperoleh
sebuah bukti nyata yang amat jelas.
Tiba-tiba saja dia merasa peristiwa ini kelewat lucu, kelewat
menggelikan, dia dan Seebun Yan saling menyebut sebagai saudara,
tidak disangka ternyata ibunya Seebun Yan adalah kekasih gelap
ayahnya!
Dia ingin tertawa, namun tidak ada suara tertawa yang muncul,
dia ingin menangis, tidak ada pula suara tangisan yang terdengar!
Perasaan dan tenaga yang runtuh seketika membuatnya jatuh tidak
sadarkan diri.
Walaupun pikiran dan kesadaran mulai buram, namun dia masih
dapat merasakan.
Kini keadaannya ibarat orang yang terlelap dalam alam impian,
seperti sedang bermimpi seperti bukan, seperti kejadian nyata tapi
seperti juga tidak.
Sentuhan pertama yang terasa olehnya adalah sesuatu yang
lunak, seakan menyiarkan bau harum semerbak.
Dia seperti sedang berbaring diatas tumpukan bunga, begitu
lembut dan empuk, jauh lebih lunak daripada kasur yang terbuat
dari bulu angsa, dia pun merasa seakan sedang berbaring di pesisir
pantai dengan cahaya matahari yang hangat, pasir yang putih dan
lembut membuat setiap pori pori tubuhnya terasa hangat.
Tapi perasaan yang lebih mendekati adalah dia seperti sedang
berbaring dalam pelukan ibunya, merasakan belaian dan kasih
sayang seorang ibu.


Aaaai, mungkinkah waktu berjalan berbalik? Apakah dia sedang
kembali ke alam mimpi, kembali ke masa kanak-kanaknya dulu?
Suara apakah itu? Apakah suara hembusan angin bulan ke lima
yang membangunkan berbagai bunga? Ataukah suara nyanyian
ibunya yang sedang mendendangkan nina bobo?
Di balik perasaan yang hangat terasa pula hawa dingin,
mungkinkah embun pagi yang menetes dari kelopak bunga
membasahi wajahnya?
Seperti bermimpi, tapi bukan mimpi, seperti khayalan seperti
kejadian nyata! Aaai, terserah dia sedang bermimpi atau tidak,
semoga alam impian ini dapat bertahan kekal.
Manusia berkerudung itu telah membopong Lan Giok-keng dan
berlalu dari sana. Sementara perempuan cantik itu balik kembali ke
samping Bouw It-yu.
Dia peluk tubuh Bouw It-yu, menempelkan telinga nya diatas
dada pemuda itu, mendengarkan detak jantungnya. Dia gunakan
sentuhan ujung jarinya untuk "mendengar" denyutan nadinya.
Detak jantung berjalan normal, denyutan nadi meski agak lemah
namun tidak menunjukkan kekalutan.
"Entah dikarenakan dia teringat dengan budi kebaikan teman
lama atau karena takut bertindak kelewat keji terhadap murid Butong-
pay? Ehmm, asal nyawa anak Yu masih dapat dipertahankan,
akupun tidak ingin membongkar kedok rahasianya....”
Wanita cantik itu mengalihkan matanya memandang ke tempat
kejauhan, sewaktu tidak menemukan kembali manusia berkerudung
itu, dia pun merasakan beban hatinya jauh lebih lega.
"Nak, tidak disangka aku masih bisa bertemu dirimu, aku
memang patut dikasihani, tapi kau pun lebih patut dikasihani!" dia
mencium lembut pipi Bouw It-yu, setetes air mata jatuh membasahi
wajah pemuda itu.
Bouw It-yu sama sekali tidak terluka dalam, tapi gencetan tenaga


dalam manusia berkerudung itu telah membuat tenaganya jadi
lemah bahkan seluruh semangat dan kekuatannya telah runtuh.
Keadaan tersebut meski bukan merupakan luka yang bewujud,
namun termasuk juga sebuah luka tanpa wujud. Bila tidak
memperoleh perawatan yang setimpal, dia akan lemah seperti orang
yang baru sembuh dari penyakit parah, paling tidak dibutuhkan
waktu setahun lamanya untuk bisa pulih kembali seperti sedia kala.
Perempuan cantik itu menempelkan telapak tangannya
dipunggung Bouw It-yu, menyalurkan hawa murni ke dalam
tubuhnya.
"Bila dia sampai tahu siapakah aku, mungkin perasaan hatinya
akan bertambah sedih. Aaai, lebih baik dia tidak usah tahu.”
Kembali air mata jatuh berlinang.
Mimpi indah memang tidak akan langgeng, biarpun Bouw It-yu
enggan mendusin kembali, akhirnya toh dia telah mendusin juga.
Ketika membuka matanya kembali, dia menjum-pai wanita cantik
itu sedang duduk di sampingnya. Biarpun dia merasakan ke empat
anggota tubuhnya lemah tidak bertenaga, namun semangatnya
terasa segar kembali. Dia bukan orang bodoh, tentu saja tahu kalau
wanita cantik itu telah menyalurkan tenaga dalamnya untuk
menyembuhkan dia.
"Terima kasih kau telah selamatkan nyawaku,” ucap Bouw It-yu.
Biarpun dia sedang menyampaikan rasa terima kasihnya, namun
tidak dapat menutup perasaan benci terhadap dirinya.
"Kau tidak usah berterima kasih kepadaku, manusia berkerudung
itu memang tidak berniat mencelakai nyawamu,” kata wanita cantik
itu.
"Tapi kalau bukan kau menolongku tepat waktu, mungkin aku
harus berbaring entah sampai kapan di tengah pegunungan sunyi
ini!"
Apa yang dia katakan memang tidak salah, sebab itulah


kendatipun masih terselip perasaan benci dan dendam, mau tidak
mau diapun merasa berterima kasih kepadanya.
Wanita cantik itu tersenyum.
"Mungkin kau belum tahu siapakah aku,” katanya, "akulah ibu
Seebun Yan. Aku dengar kau datang ke Liauw-tong bersamanya,
karena itulah secara khusus aku datang kemari untuk mencari
kalian.”
Maksud ucapan itu jelas, karena kau baik pada putriku, jadi
sudah sepantasnya bila akupun membantumu.
"Padahal sedari tadi aku sudah tahu siapakah kau,” batin Bouw
It-yu dalam hati kecilnya, tapi diluaran dia berlagak seolah terkejut
bercampur girang, serunya, "Ooh, ternyata bibi, coba kau datang
selangkah lebih awal, mungkin dapat bertemu dengan putrimu.”
"Dia pergi ke mana?" tanya Seebun-hujin.
"Mengejar Piaukonya.”
"Oooh, Tonghong Liang maksudmu?"
"Benar. Dia tiba duluan disini sebelum kehadiran kami, tapi entah
mengapa, begitu bertemu kami, dia langsung melarikan diri.”
Dia tahu Seebun-hujin selalu menganggap Tonghong Liang
seperti putra sendiri, dalam perkiraannya, setelah mendengar kabar
itu, dia pasti akan segera pergi mencari putrinya dan keponakannya
itu.
Siapa tahu Seebun-hujin sama sekali tidak berniat meninggalkan
tempat itu, dia malah duduk di sampingnya dan berkata sambil
menghela napas panjang, "Budak itu memang selalu menuruti suara
hati sendiri, apa yang dia inginkan selalu berusaha untuk
mendapatkannya. Namun dalam persoalan dia, aku tidak bisa
membantu apa-apa, biarkan saja mereka urusi sendiri. Bagaimana
keadaanmu sekarang? Apakah sudah baikan? Sekarang cobalah
berjalan dua langkah.”
Bouw It-yu merasa tidak leluasa untuk membantah, namun dihati


kecilnya timbul perasaan heran, pikirnya, Aneh, kalau memang dia
tidak bisa membantu putrinya, tapi setelah jauh-jauh datang kemari,
kenapa tidak secepatnya ingin bertemu dengan putrinya? Malahan
aku lihat dia lebih menaruh perhatian terhadap aku sebagai orang
luar?'
Dia bangkit berdiri, mencoba berjalan dua langkah, lalu sahutnya,
"Aku sudah jauh lebih baik. Kelihatannya besok aku sudah dapat
bergerak seperti biasa.”
"Kau tidak usah terburu-buru,” kata Seebun-hujin sambil
tersenyum, "beristirahatlah barang dua hari, setelah ilmu silatmu
pulih tujuh, delapan bagian, belum terlambat untuk pergi.”
"Terima kasih atas perhatian bibi. Aah benar, aku masih belum
memperkenalkan diri, aku dari marga Bouw bertanam It-yu.”
Padahal tidak ada gunanya dia memperkenalkan nama sendiri.
Perlu diketahui, Seebun-hujin justru khusus datang ke Liauwtong
mencari mereka karena dia telah mendapat kabar kalau
putrinya melakukan perjalanan bersamanya. Dalam keadaan seperti
ini, apa gunanya dia memperkenalkan nama sendiri?
Namun, Bouw It-yu tentu saja tidak pernah akan berpikir sampai
disitu, karena dia merasa situasi saat ini serba rikuh dan untuk
sesaat tidak tahu apa yang harus dibicarakan dengan Seebun-hujin,
maka dia mencari bahan bicaraan untuk mengisi kekosongan ini.
Sejak bertemu dengan dirinya, Seebun-hujin belum pernah
menanyakan namanya, sebagai seorang Boan-pwee, demi sopan
santun dia memang sepatutnya memperkenalkan diri.
Benar saja, Seebun-hujin tersenyum, katanya, "Aku tahu, biarpun
aku hidup mengasingkan diri di pinggir perbatasan, pengetahuanku
sangat cupat namun ayahmu adalah Tiong-ciu Thayhiap yang
namanya telah menggetarkan sungai telaga, kinipun sudah menjadi
Ciangbunjin Bu-tong-pay, secupat apapun pengetahuanku, rasanya
tidak mungkin kalau tidak mengenali kalian ayah beranak. Apalagi


sewaktu anak Yan pulang tempo hari, diapun pernah menying-gung
tentang dirimu. Konon kalian berkenalan gara-gara saling
bertarung? Terus terang saja, sejak mendengar pujiannya atas
dirimu, akupun sudah sejak lama ingin bertemu denganmu.”
Tentang persoalan ini, Bouw It-yu sudah mendengar dari cerita
Seebun Yan, hanya saja yang memuji dia adalah Seebun-hujin dan
bukan putrinya. Malahan Seebun Yan sempat merasa tidak puas dan
marah gara-gara ibunya memuji dia jauh lebih hebat dari Piauko
nya.
Dia tidak mengerti apa sebabnya Seebun-hujin begitu
menyayangi dirinya, diapun tidak mengerti setelah memuji dirinya,
mengapa dia harus meminjam nama putrinya, atau janganjangan....
Dia bersama Seebun Yan telah menempuh perjalanan sejauh
ribuan li hanya berduaan, kendatipun bagi orang persilatan batasan
antara lelaki dan perempuan tidak seketat pandangan orang
sekolahan, namun bagaimana pun juga dia merasa wajib memberi
penjelasan dihadapan ibunya.
"Terima kasih banyak atas pujian ini. Tempo hari, aku hanya
bertemu putri anda secara kebetulan, oleh karena dia bilang sedang
mencari Piauko nya, sementara secara kebetulan akupun hendak
pergi ke Liauw-tong untuk mencari keponakan muridku, maka kami
memutuskan untuk melakukan perjalanan bersama-sama.
Sepanjang jalan aku dan putri anda selalu mengaku sebagai kakak
beradik....”
Tiba-tiba paras muka Seebun-hujin berubah sedikit agak aneh,
setelah tertegun serunya, "Oooh, jadi kalian sudah mengaku
sebagai kakak beradik?"
"Aku tahu, sebetulnya aku tidak pantas menjadi kakaknya, tapi
untuk leluasanya terpaksa kami saling menyebut....”
Seebun-hujin tersenyum, tukasnya, "Kau tidak usah jelaskan
lebih jauh, bila anak Yan ku benar-benar mempunyai seorang kakak
macam kau, oooh, betapa indahnya. Sejak kecil dia sudah


kehilangan ayahnya, akupun tidak mendidiknya terlalu ketat hingga
sejak kecil sudah terbiasa manja. Sepanjang jalan tentu banyak
mendatangkan kesulitan bagimu bukan?"
Bouw It-yu menyangka perempuan itu berkata begitu karena
tidak berputra, maka sahutnya, "Bibi, bila kau tidak keberatan,
bagaimana kalau aku memanggilmu ibu angkat.”
Sementara diliati kecilnya dia berpikir, 'Kau adalah musuh besar
ibuku, dengan mengakui mu sebagai ibu angkat, dikemudian hari
semakin memudahkan aku bila ingin membalas dendam'
Dengan wajah berseri karena kegirangan sahut Seebun-hujin
cepat, "Bagus, bagus sekali. Kini kesehatan tubuhmu belum pulih
kembali, kau tidak perlu melakukan penghormatan.”
Setelah menerima penghormatan dari Bouw It-yu, kembali dia
berkata lebih lanjut, "Sejak hari ini, aku akan menganggapmu
sebagai putra kandungku sendiri, aku tahu ayahmu hanya
mempunyai kau seorang putra, dia pasti telah mendidikmu secara
baik.”
Berbicara sampai disini, tiba-tiba dia mengucapkan sepatah kata
yang membuat Bouw It-yu tercengang, "Apakah ibumu baik
terhadapmu?"
Baru pertama kali bertemu "ibu angkat" nya, ternyata dia malah
bertanya apakah ibu kandungnya bersikap baik terhadapnya,
apakah pertanyaan ini tidak aneh dan di luar kebiasaan?
"Tabiat Seebun Yan sudah terhitung antik, siapa tahu ibunya
lebih antik lagi, coba kalau aku tidak tahu siapakah dia, pasti
kuanggap dia sudah gila.”
Membayangkan nasib buruk yang menimpa ibunya, tidak tahan
Bouw It-yu menyahut dengan sedih, "Ayahku jarang berada
dirumah, kecuali mengajar kan ilmu silat, hampir urusan yang lain
semuanya dilakukan ibuku. Terus terang saja aku lebih banyak
mendapat didikan ibu ketimbang ajaran bapak. Sayangnya dia orang
tua mati terlalu awal.”


"Ibumu berasal dari keluarga kenamaan, akupun tahu, dia pasti
akan bersikap baik sekali kepadamu. Maaf kalau aku telah
mengungkit kembali kesedihan hatimu.”
Bouw It-yu kembali berpikir, 'Kalau hanya membuat aku sedih
mah bukan masalah, tapi kau telah membuat ibuku mati merana,
mati karena sedih. Betapa pun baiknya sikapmu kepadaku, aku tak
bakalan akan memaafkan dirimu!'
Seebun-hujin memandang sekejap keadaan cuaca, kemudian
katanya, "Tenaga murnimu mengalami kerugian besar, tenagamu
belum pulih seperti sedia kala, aku tidak seharusnya mengajakmu
banyak bicara, tapi karena pertemuan ini baru terjadi untuk pertama
kalinya, aku tidak tahan untuk bicara panjang lebar. Sekarang kau
harus beristirahat dulu, aku tahu disana terdapat sebuah gua,
malam ini mari kita ibu beranak menginap semalam disana. Aku
dapat membantumu untuk menghimpun kembali hawa murnimu,
asal bisa pulih lebih cepat, besok kau sudah dapat bergerak seperti
biasa. Hanya saja, bila ingin ilmu silatmu pulih kembali seperti sedia
kala, mungkin harus menunggu dua, tiga hari lagi.”
"Kau tidak perlu pergi mencari adik Yan dan keponakanmu?"
tidak tahan Bouw It-yu bertanya.
"Mereka tidak terluka, juga tidak sakit, aku tidak perlu mengurusi
mereka berdua. Terlepas anak Yan berhasil atau tidak menyusul
kakak misannya, aku rasa dia pasti akan kembali juga ke sisiku.”
Bicara sampai disini, diapun menarik bangun Bouw It-yu dan
memapahnya untuk berjalan. Karena tidak bertenaga untuk
melawan, terpaksa pemuda itu membiarkan dirinya dipapah.
Ilmu silat yang dimiliki Seebun-hujin memang sangat luar biasa,
ketika tangannya mencekal pinggang Bouw It-yu dan menariknya,
tubuh pemuda itupun melayang di udara, tanpa mengeluarkan
sedikit tenaga pun, kakinya tidak usah menempel ditanah pun, dia
sudah digiring untuk melakukan perjalanan.
Setelah membimbingnya masuk ke dalam gua, Seebun-hujin
mengeluarkan ransum kering, katanya, "Makanlah dulu sedikit


ransum yang kubawa, oyaa.... ini arak susu kuda, mungkin kau
tidak biasa untuk meneguknya, tapi berfaedah untuk memulihkan
tenagamu.”
Perawatan dan layanan yang begitu lemah lembut dari Seebunhujin
membuat rasa heran dan curiga Bouw It-yu makin bertambah,
pikirnya, 'Tidak jelas rencana apa yang dia susun dengan
perbuatannya ini, sudah jelas dia tahu kalau aku adalah putra
musuh cintanya, kenapa sikap dia terhadapku justru seakan aku
adalah putra kandungnya?
Sementara dia masih berpikir, terdengar Seebun-hujin telah
berkata lagi, "Baiklah, sekarang kau boleh duduk bersamadi, ulurkan
tanganmu kemari, aku akan membantumu.”
Digenggamnya tangan Bouw It-yu, kemudian segulung hawa
murni perlahan-lahan mengalir keluar dari telapak tangannya
mengalir masuk ke tubuhnya.
Selang beberapa saat kemudian, kembali Seebun-hujin berkata,
"Selama mengatur pernapasan, kau harus menjaga konsentrasimu,
sebenarnya apa yang sedang kau pikirkan?"
"Tidak pikir apa apa. Hari sudah hampir gelap, kenapa adik Yan
belum juga kembali!" Seebun-hujin tersenyum.
"Mungkin saja dia telah menemukan Piauko nya dan sedang
bermanja-manja. Aku yang jadi ibunya saja tidak kuatir, kenapa kau
musti khawatir? Yang perlu kau kuatirkan adalah dirimu sendiri. Jika
ingin secepatnya hawa murnimu terhimpun kembali di Tan-tian,
jangan cabangkan pikiran untuk berpikir yang bukan-bukan.”
"Baik!" sahut Bouw It-yu.
Walaupun dia berusaha keras untuk membuang jauh-jauh pikiran
yang kalut, namun masih tetap tidak berhasil menenangkan diri.
"Anak Yu,” kata Seebun-hujin kemudian, "ganjalan apa yang
masih kau rahasiakan terhadapku? Lebih baik katakan saja berterus
terang, siapa tahu aku dapat membantumu untuk memecahkan
persoalan itu.”


Diam diam Bouw It-yu terkesiap, pikirnya, Aaah.... jangan sampai
rahasia hatiku diketahui olehnya.... '
Cepat-cepat dia berkata, "Ibu angkat, aku memang masih ada
masalah yang membuatku tidak tenang.”
"Baiklah, apa masalahmu, katakan saja!"
"Keponakan muridku ditangkap manusia berkerudung itu, entah
apa yang akan dia lakukan terhadapnya?"
"Ooh, rupanya persoalan itu yang kau kuatirkan, kalau begitu aku
berani memberi jaminan, keponakan muridmu pasti dapat kembali
dengan selamat.”
"Kenapa?"
"Kalau kau saja tidak dilukai, bagaimana mungkin manusia
berkerudung itu akan mencelakainya? Masa kau tidak bisa melihat,
betapa sayang dan cintanya dia terhadap keponakan muridmu itu.
Sewaktu dia membanting tubuhnya tadi, yang digunakan adalah
sebuah tehnik membanting tingkat tinggi, dia saja kuatir
bantingannya membuat dia terluka, mana mungkin jiwanya akan
terancam.”
Bouw It-yu mencoba untuk membayangkan kembali kejadian
tadi, ternyata apa yang dikatakan Seebun-hujin memang tidak
salah. Dengan hati tercengang ujarnya kemudian, "Keponakan
muridku ini tumbuh dewasa diatas bukit Bu-tong, seharusnya dia
tidak pernah berhubung-an dengan orang luar. Kenapa manusia
berkerudung itu bersikap luar biasa baiknya terhadap dia?"
"Darimana aku tahu. Aku rasa sudah cukup asal kau tahu kalau
dia tidak berniat akan mencelakai keponakan muridmu.”
'Kau pasti tahu, hanya enggan mengatakannya kepadaku' batin
Bouw It-yu dalam hati.
Tidak bisa dibilang dia sama sekali tidak mengkhawatirkan
keselamatan Lan Giok-keng, tapi persoalan yang benar-benar
membelenggu dirinya bukanlah keselamatan bocah itu, dia memang


masih mempunyai masalah lain yang lebih berat. Hanya saja
persoalan itu enggan dia kemukakan di hadapan Seebun-hujin.
Kuatir rahasia hatinya ketahuan, terpaksa dia berusaha keras
mengendalikan pikirannya, di bawah bantuan Seebun-hujin
perlahan-lahan dia himpun hawa murni dan mulai menggiringnya
mengitari badan.
Begitu pikiran terkonsentrasi, kesadarannya pun lambat laun
mulai jernih kembali.
Entah berapa lama sudah lewat, kini peredaran hawa murni di
tubuh Bouw It-yu telah berhasil menembus semua sumbatan.
Seebun-hujin pun menghembuskan napas panjang seraya
berkata, "Biarpun taraf pemulihan yang kau capai tidak sesuai
harapan, namun sudah cukup baik untukmu. Sekarang tidurlah
sejenak.”
Bouw It-yu tidak tidur, malah Seebun-hujin yang tidur duluan.
Setelah membantu Bouw It-yu menembus semua nadinya dengan
sepenuh tenaga, dia benar-benar kepayahan, jauh lebih letih
ketimbang sewaktu bertarung melawan manusia berkerudung itu,
kini dia benar-benar sangat lelah.
Bagian atap gua ini terdapat sebuah celah yang berbentuk
setengah lingkaran, dari sana cahaya rembulan yang bersinar terang
memancar masuk ke dalam gua, menyinari tubuh Seebun-hujin
yang indah.
Entah mimpi indah apa yang sedang diperolehnya, sekulum
senyuman seolah tersungging diujung bibirnya.
Aaah! Senyuman tersebut mengapa terasa begitu hapal, begitu
dikenal olehnya?
Tiba-tiba Bouw It-yu mulai berpikir, memikirkan ibunya yang
telah meninggal, mungkin saja wajah ibu tidak secantik Seebunhujin,
namun senyuman yang menghiasi bibirnya sama lembut,
sama hangatnya seperti senyuman ibunya.


Dia amat menyukai senyuman ibunya, senyuman sewaktu sadar,
senyuman saat tertidur, dia menyukai semua. Tapi sayang
senyuman ibu jarang sekali terlihat.
Bayangan semu yang muncul dihadapannya sudah berubah
menjadi ibunya yang terkapar sakit diatas pembaringan. Yang
terlihat hanya wajah yang sayu, wajah yang kusut, yang tersisa
hanyalah senyum-an getir yang memilukan hati, senyuman yang
menghiasi wajah kurusnya.
Segulung angin dingin berhembus lewat, Bouw It-yu bergidik,
tiba-tiba yangan semu ibunya hilang lenyap. Begitu mendusin,
hanya kenyataan yang ter-pampang dihadapannya, musuh besar
ibunya sedang tidur di samping tubuhnya.
Gaya Seebun-hujin sewaktu tidur begitu tenang, anggun dan
indah, hal ini memperlihatkan perasaan hatinya yang bahagia dan
penuh kedamaian.
Sinar mata Bouw It-yu mulai bergeser dari wajah Seebun-hujin,
hatinya penuh diliputi rasa benci yang mendalam. Siapa yang telah
mencelakai ibunya? Siapa yang telah membuat ibunya sengsara?
Perempuan inilah! Siapa yang membuat ibunya merana sepanjang
hidup? Perempuan ini juga!
Tiba-tiba muncul dorongan emosi untuk membalaskan dendam
bagi ibunya! Kini musuh besar ibunya telah berada di sampingnya,
pedang pun berada disisinya, asal dia cabut pedang itu maka ulu
hatinya segera akan tertembus.
Tapi, apakah perbuatannya tidak kelewatan? Apalagi membalas
dendam dengan cara begini?
Atau mungkin tidak usah membunuhnya, cukup patahkan saja
tulang Pi-pa-kut nya, agar dia jadi cacat seumur hidup, agar semua
ilmu silatnya yang paling hebat pun tidak bisa dipergunakan lagi.
Atau cukup merusak wajahnya yang cantik, agar selama hidup
dia menjadi perempuan jelek, dia ingin tahu apakah ayahnya masih
tetap mencintainya?


Tentu sajak bila dia gunakan cara seperti itu untuk membalas
dendam, dia sendiripun bakal mampus di tangan Seebun-hujin, tapi
asalkan bisa membalaskan dendam ibunya, apalah artinya
kehilangan nyawa?
"Seorang lelaki sejati, seorang lelaki jantan, masa membokong
seorang wanita dengan cara begitu licik? Apakah tindakan semacam
ini tidak kelewat hina? Benar, lebih baik aku tidak membunuhnya....”
Tangan yang menggenggam pedang mulai gemetar keras.
"Malaikat baik" dan "Malaikat jahat" seolah sedang bertarung
didalam batinnya, apakah pada akhirnya dia akan terjerumus ke
"jalan kesesatan"? ataukah segera tersadar dari kekeliruannya?
Ooo)*(ooO
Akhirnya Lan Giok-keng tersadar dari pingsannya.
Di saat manusia berkerudung itu menurunkan tubuhnya, dia telah
mendusin. Hanya saja manusia berkerudung itu tidak
mengetahuinya.
Sewaktu bertemu manusia berkerudung itu, Lan Giok-keng
merasakan suatu perasaan yang aneh, dia merasa seolah pernah
mengenalnya.
Apalagi ketika mendengar suara pembicaraannya yang membawa
logat suara yang berat. Perasaan tersebut lebih kentara lagi.
Perasaan "aneh" itu sesungguhnya memang sangat tepat. Bukan
saja manusia berkerudung itu mengenali dirinya, bahkan sangat
memahami ilmu silatnya.
Namun yang dia ketahui adalah ilmu silat yang dimiliki Lan Giokkeng
sewaktu masih berada di gunung Bu-tong, bagaimana
kemajuan yang berhasil dicapai bocah itu dalam setengah tahun
terakhir, rupanya tidak diketahui secara jelas.
Biarpun baru saja dia bertarung melawan Lan Giok-keng, namun
yang menimbulkan perasaan heran dan curiganya baru terbatas
pada ilmu pedangnya saja, tinggi rendahnya tenaga dalam yang


dimiliki masih belum dapat dia lihat dalam waktu singkat.
Dia tahu kalau ilmu silat yang dimiliki Lan Giok-keng seharusnya
mengalami kemajuan pesat, namun dia tidak mengira kalau
kemajuan yang berhasil dicapainya jauh diluar dugaan dan
perkiraannya semula.
Dia sengaja menotok jalan darah tidur Lan Giok-keng, karena
kuatir akan melukai tubuhnya maka totokan itu tidak menggunakan
ilmu totokan yang terlalu berat, dia hanya mengendalikan jalan
darahnya pada taraf menguntungkan, dalam perhitungannya paling
tidak dua jam kemudian Lan Giok-keng baru akan tersadar kembali.
Siapa tahu belum sampai satu jam, Lan Giok-keng telah pulih
kembali kesadarannya.
Dia menurunkan tubuh Lan Giok-keng lalu menghela napas
panjang, gumamnya, "Aku selalu memandang rendah ayah
angkatnya, padahal semua perbuatan dan tindak tandukku tidak
jauh berbeda dengan tingkah laku Put-ji, kami berdua ibarat lima
puluh langkah mentertawakan seratus langkah!"
Lan Giok-keng yang mendengar suara gumanan itu jadi amat
tergetar hatinya, manusia berkerudung itu bisa menyebut ayah
angkatnya bahkan dapat pula menyebut gelar kependetaan ayah
angkatnya, tidak bisa di sangkal lagi manusia berkerudung ini
pastilah murid Bu-tong-pay, bahkan merupakan orang yang amat
dikenal ayah angkatnya!
Mungkinkah dia adalah Bu-liang tianglo? Tidak mirip, sama sekali
tidak mirip! Mungkinkah Bu-si Tianglo? Rasanya semakin tidak
mungkin.
Manusia berkerudung itupun tidak mengenakan pakaian pendeta,
biarpun seringkali ada tamu preman yang menginap diatas gunung
Bu-tong, namun kalau bukan murid pendeta yang sering
berhubungan, darimana dia bisa kenal begitu dekat dengan ayah
angkatnya?
Penyamaran memang bisa merubah tampilan seseorang, hanya


kemampuan ilmu silat yang tidak mungkin bisa dipalsukan.
Ilmu silat yang dimiliki manusia berkerudung ini masih jauh
diatas kemampuan ayah angkatnya, kalau bukan satu diantara ke
dua orang Tianglo itu lantas siapakah dia?
Padahal berbicara soal ilmu silat yang dimiliki ayah angkatnya,
dia sudah terhitung jago yang cukup diandalkan pada angkatannya.
Ada satu hal lagi yang membuat perasaan hatinya bergoncang
keras, bila didengar dari nada pembicaraan manusia berkerudung
itu, ternyata ayah angkatnya memang seseorang yang sangat jahat!
Atau paling tidak dia adalah manusia yang tidak benar tingkah
lakunya. Kalau bukan begitu, mengapa bisa menimbulkan
pandangan hina dari orang ini.
Saking goncangnya perasaan hati yang dialaminya saat itu, tanpa
terasa tubuhnya bergetar keras.
Tampaknya manusia berkerudung itu terperanjat, sambil
menepuk tubuhnya dia menegur, "Kau sudah mendusin?"
Lan Giok-keng tidak menjawab, cepat dia mengatur napasnya
dan pura-pura masih tertidur nyenyak.
Manusia berkerudung itu segera mentertawakan dirinya yang
banyak curiga, gumamnya lagi, "Lebih baik biar kubangunkan dia
lebih awal saja. Aaai, bocah yang patut dikasihani!"
Lan Giok-keng merasa telapak tangannya di tempelkan ke
punggungnya lalu terasa ada aliran hawa panas menyusup masuk
ke dalam tubuhnya, membuat sekujur tubuhnya terasa panas sekali.
Perutnya jadi kembung bagai balon yang diisi hawa, begitu
menggelembung seluruh pori-pori tubuhnya, membuat dia seolah
mau meletup saja.
Hawa panas yang menyusup ke dalam tubuhnya makin lama
semakin bertambah kuat. Sambil menggertak gigi Lan Giok-keng
mencoba untuk bertahan, tapi akhirnya dia tidak kuasa menahan
diri dan mulai merintih.


"Bocah yang tidak kenal tingginya langit tebalnya bumi!" bentak
manusia berkerudung itu nyaring, "baru menerima sedikit siksaan
saja sudah tidak tahan, begitu masih berani membela orang lain!"
"Cepat bunuhlah aku,” rintih Lan Giok-keng, "bila kau tidak
membunuhku, pada akhirnya aku pun akan membalaskan dendam
atas kematian Hwee-ko Thaysu!"
Sebetulnya yang dimaksudkan manusia berkerudung sebagai
orang lain adalah Bouw It-yu, siapa tahu Lan Giok-keng ternyata
masih mendendam terus atas serangan gelapnya terhadap Hwee-ko
Thaysu.
Diam-diam manusia berkerudung itu menghela napas panjang,
dalam waktu sekejap pelbagai ingatan melintas dalam benaknya,
"Bagaimana pun aku bersikap baik terhadapnya, belum tentu bocah
ini mau menerima niat baikku. Kalau aku tidak membunuhnya,
dikemudian hari bisa jadi dia akan mendatangkan bencana bagiku!"
"Aaah tidak, tidak! Aku membunuh Hwee-ko Thaysu karena
terpaksa, aku tidak boleh menciptakan dosa besar lagi? Apalagi aku
menyaksikan bocah ini sejak kecil hingga tumbuh jadi dewasa!"
"Kini sebelah kakiku sudah melangkah masuk ke dalam peti mati,
sekalipun nanti bakal muncul bencana, kenapa musti kumasukkan
ke dalam hati!"
"Sampai mimpi pun bocah ini tidak bakal menduga siapakah aku,
buat apa aku musti takut? Dia adalah cucu murid yang paling
disayang Bu-siang Cinjin, seluruh pengharapan Bu-siang Cinjin
untuk kemajuan dan kejayaan Bu-tong-pay pun tertumpu pada
dirinya, aaai.... budi kebaikan Bu-siang Cinjin tidak mungkin bisa
kubalas, satu-satunya jalan yang bisa kulakukan hanyalah
membantu dia untuk mewujudkan cita-cita dan pengharapannya.
Asal bocah ini tidak menyia-nyiakan harapan Bu-siang Cinjin,
biarpun di kemudian hari aku harus mati ditangannya pun,
kematianku terhitung cukup berharga!"
Berpikir begitu, hawa pembunuhan yang semula muncul pun kini
kian memudar, namun dia tetap berlagak berniat jahat, katanya


sambil tertawa dingin, "Hmm, aku sengaja tidak akan
membunuhmu, aku sengaja akan menyiksamu! Hehehe.... bukankah
Sim-hoat tenaga dalam Bu-tong-pay paling mengutamakan cara
menggiring hawa murni? Kenapa? Rupanya hanya bualan belaka?
Hmmn, dasar bocah yang tidak punya rejeki, rasakan saja siksaan
itu perlahan-lahan!"
Di tengah tawa dinginnya yang menyeramkan, manusia
berkerudung itu pergi dari tempat itu.
Namun dari suara tertawa dingin orang itulah, tiba-tiba Lan Giokkeng
menyadari akan sesuatu.
"Dia sengaja menyinggung soal Sim-hoat tenaga dalam
perguruanku, jangan-jangan dia memang secara khusus
menyalurkan tenaga murninya ke dalam tubuh-ku dengan tujuan
untuk membantu aku meningkatkan tenaga dalam yang kumiliki?
Tapi dia telah membunuh Hwee-ko Thaysu, mengapa masih
bersikap begitu baik kepadaku?"
Pelbagai kecurigaan dan teka-teki menyelimuti benak Lan Giokkeng,
tapi rasa panas yang menusuk tubuh benar-benar
membuatnya tidak kuasa menahan diri, dalam keadaan begini,
terpaksa dia harus mencoba untuk mengatur napas.
Kali ini dia mencoba mengerahkan Sim-hoat tenaga dalam
perguruan nya, benar saja hawa panas yang menusuk tubuhnya
lambat laun mulai beredar menurut garisnya, setetes demi setetes
terhitumpun ke dalam Tandan, setiap kemajuan yang berhasil diraih
membuat penderitaannya lebih ringan dan memudar.
Di saat dia sedang berkonsentrasi mengatur pemapasan,
mendadak terdengar suara seseorang yang dikenalnya
berkumandang memecahkan keheningan, "Piauko, Piauko!"
Ternyata Seebun Yan yang sedang mencari kakak misannya telah
melacak hingga ke puncak bukit itu.
Lan Giok-keng pernah bertemunya satu kali ketika masih berada
di Toan-hun-kok, waktu itu Seebun Yan pun sedang mengejar


Piauko nya.
Diam diam Lan Giok-keng tertawa geli, pikirnya, 'Sungguh tidak
nyana walaupun sudah dikejar hingga ke Liauw-tong pun, dia masih
belum berhasil menyusulnya. Konon dia binal dan susah diatur, apa
mau dikata justru benda yang paling ingin diperolehnya susah
didapat, benar-benar mengenaskan'
Belum lagi ingatan itu melintas lewat, mendadak terdengar
seseorang berkata, "Benar-benar gadis cilik yang patut dikasihani,
apakah Piauko mu sudah tidak maui dirimu lagi?"
Nada ucapan itu penuh dengan nada ejekan dan sndirian, tapi
nadanya manja dan amat merdu di dengar.
Tidak perlu dilihatpun Lan Giok-keng sudah tahu, siapa gerangan
yang telah muncul.
Tidak salah lagi, yang muncul adalah si lebah hijau Siang Ngonio.
Wajah merah padam Seebun Yan, bentaknya, "Kau tidak usah
ngaco belo, urusanku tidak perlu kau campuri!"
Sesungguhnya, ilmu silat yang dimiliki Siang Ngo-nio tidak
terhitung tinggi, tapi dia kekasih gelap Tong Ji-sianseng,
kepandaiannya menggunakan racun pun berhasil dipelajari dari
rahasia ilmu silat keluarga Tong.
Biarpun Seebun Yan terhitung gadis yang tidak takut langit dan
bumi, namun terhadap perempuan ini sedikit banyak dia menaruh
perasaan jeri juga.
Sambil tertawa terkekeh kembali Siang Ngo-nio berkata, "Siapa
yang ngaco belo? Aku sedang bicara serius dan sejujurnya. Dalam
kepandaian lain, mungkin Lonio tidak berani bicara besar, tapi
masalah ilmu menggaet lelaki, kau harus mengangkat ku sebagai
gurumu. Atau bila kau mohon bantuanku, aku pun bersedia
memberikan bantuannya!"
"Tidak tahu malu!" tidak tahan Seebun Yan mengumpat.


Siang Ngo-nio segera mendongakkan kepalanya dan tertawa
terbahak bahak.
Seebun Yan jadi keheranan, tegurnya, "Apa yang kau
tertawakan? Aku tidak punya waktu menemanimu gila, minggir, biar
aku lewat!"
Siang Ngo-nio telah menghadang jalan perginya, setelah tertawa
sesaat dia baru berhenti sambil berkata, "Tahukah kau, memaki aku
sama halnya kau sedang memaki ibu kandungmu sendiri!"
Kontan Seebun Yan naik pitam, sesungguhnya dia menaruh
berapa bagian perasaan jeri terhadap Siang Ngo-nio, tapi kini
dengan wajah memerah umpatnya, "Dasar perempuan cabul yang
tidak tahu malu, hmm, perempuan busuk macam kaupun berani
membandingkan diri dengan ibuku.”
"Hahahaha.... kau jangan membuat aku sakit perut lantaran
tertawa geli,” jengek Siang Ngo-nio sambil tertawa tergelak, "kau
sangka ibumu benar-benar wanita suci yang setia pada suami?
Teras terang, akupun merasa kalah jauh bila dibandingkan dengan
kcmampu-annya menggaet suami orang. Hanya saja, bila dugaanku
tidak salah, selama berada dihadapanmu, dia pasti berlagak sok
suci, karena itu aku pun tidak bakal menyalahkan dirimu.”
Paras muka Seebun Yan berubah jadi hijau membesi saking
marahnya, "sreeet!" dia mencabut keluar pedangnya kemudian
bentaknya nyaring, "Kalau kau berani bicara sembarangan lagi,
segera kubunuh dirimu!"
Siang Ngo-nio gelengkan kepalanya berulang kali sambil
menghela napas, katanya, "Kasihan, sungguh kasihan, ternyata kau
telah dikelabuhi ibumu sendiri selama hampir dua puluh tahun
lamanya! Apakah kau ingin mengetahui apa yang sedang dilakukan
ibumu sekarang? Dia sedang mengada kan pertemuan gelap dengan
anak jadahnya! Bila kau tidak percaya, ayoh kuajak kau untuk
melihatnya. Bila perkataanku terbukti bohong, bunuh saja diriku!"
Paras muka Seebun Yan merah membara, amarahnya benarbenar
memuncak, sambil melancarkan sebuah tusukan kilat,


bentaknya, "Siluman perempuan, rupanya kau ingin masuk neraka
dengan lidah terbetot. Hmmm, biar aku tidak mampu
membunuhmu, ibuku pasti akan menjagal nyawamu!"
"Hahahaha.... terima kasih atas peringatanmu,” kembali Siang
Ngo-nio tertawa terkekeh, "sejujurnya aku memang bukan
tandingan ibumu.”
Seebun Yan bukan gadis bodoh, dari nada ucapan Siang Ngo-nio
dia segera tahu kalau perempuan beracun ini berniat menangkapnya
sebagai sandera.
Betul saja, dengan ilmu Liong-heng-cuan-ciang (pukulan
terobosan naga) Siang Ngo-nio mencengkeram jalan darah Ciankeng-
hiat diatas bahunya.
Sadar kalau dirinya bukan tandingan lawan, sebetulnya Seebun
Yan berniat meminjam nama besar ibunya untuk menggertak pergi
perempuan itu, siapa sangka hasil yang diperoleh justru
kebalikannya.
Dasar dia seorang gadis cerdas yang banyak akal, cepat dia
berpikir, "Bila dia ingin menangkapku sebagai sandera, berarti
nyawaku pasti tidak berani diusiknya!"
Jalan darah Cian-keng-hiat berada dilekukan tulang Pi-pa-kut,
menurut keadaan pada umumnya, saat Siang Ngo-nio
mencengkeram ke bagian tubuhnya yang mematikan, gadis itu
seharusnya segera berkelit ke samping.
Waktu itu pukulan Siang Ngo-nio telah memblokir semua jalan
perginya, mau berkelit ke arah mana pun, Siang Ngo-nio dapat
merampas pedangnya. Begitu senjata terlepas, dapat dipastikan
gadis itu akan terjatuh ke tangan Siang Ngo-nio.
Seebun Yan yakin kalau perempuan itu tidak bakal berani
menghancurkan tulang Pi-pa-kut nya, maka bukannya mundur dia
malah merangsek maju ke depan, dengan jurus Hian-nio-hua-sah
(burung hitam mendayung pasir) dia menghadang pergelangan
tangan lawan.


Ternyata perkiraannya tidak salah, Siang Ngo-nio benar-benar
tidak berani turun tangan telengas, perlu diketahui, bila tulang Pipa-
kut seseorang sampai tercengkeram hancur, dia bakal menderita
cacat seumur hidup, menghancurkan tulang Pi-pa-kut lawan hampir
sama seperti telah mencelakai jiwanya.
Padahal Siang Ngo-nio bermaksud menggunakan Seebun Yan
sebagai sandera lalu mengompas Seebun-hujin, tentu saja dia tidak
berani bertindak kelewat telengas.
Begitu dia ragu-ragu, cahaya pedang Seebun Yan segera
menyambar lewat dan merobek sebagian dari pakaian yang
dikenakan.
Masih untung dia menarik tangannya dengan cepat, kalau tidak,
ke lima jari tangannya mungkin sudah terpapas kutung.
Seebun Yan kuatir dia menggunakan senjata rahasia beracun,
maka begitu berhasil dengan serangan pertamanya, kembali dia
mencecar dengan serangkaian serangan yang cepatbagaikan
sambaran kilat.
Tampaknya Siang Ngo-nio dapat membaca jalan pikirannya,
sambil tertawa serunya, "Sebetulnya ilmu pedang Tui-hong-kiamhoat
dari keluarga Seebun sangat hebat, sayang kau baru belajar
tentang kecepatan, hmmm! Kau kira dengan melancarkan
serangkaian serangan kilat, lantas aku tidak bisa melepaskan
senjata rahasiaku? Kalau kulukai dirimu dengan senjata rahasia, kau
pasti kalah dengan perasaan tidak puas, biar kuimbangi pertarungan
ini dengan menggunakan senjata saja.”
Sementara berkata, dia telah bergeser posisi ke samping, begitu
tusukan pedang Seebun Yan mengenai sasaran kosong, tahu-tahu
sepasang goloknya telah tergenggam ditangan.
Sebagaimana diketahui, golok Wan-yo-to yang dia gunakan
adalah sebilah golok panjang dan sebilah golok pendek, yang
panjang dipakai untuk melindungi tubuh sementara yang pendek
dipakai untuk menyerang musuh.


Berbicara soal kehebatan ilmu pedang, seharusnya ilmu yang
dimiliki Seebun Yan tidak kalah dari musuhnya, namun masalah
pengalaman menghadapi musuh serta ilmu meringankan tubuh dia
masih kalah setingkat.
Begitu Siang Ngo-nio merangsek maju, jurus serangan yang
dilancarkan Seebun Yan seketika terbendung semua oleh permainan
golok panjangnya, menggunakan kesempatan itu golok pendeknya
menerobos masuk menyerang.
Seebun Yan benar-benar keteter hebat, kini dia sudah tidak
sanggup lagi membendung datangnya serangan dari pihak lawan.
Dalam pada itu serangan yang dilancarkan Siang Ngo-nio
semakin lama semakin garang dan dahsyat, Seebun Yan hanya
merasakan golok pendek itu selalu menyambar di depan mukanya.
Tidak selang berapa saat kemudian, dia sudah semakin terdesak,
permainan pedangnya makin kalut, posisinya semakin kacau dan
terdesak di bawah angin.
Lan Giok-keng yang berada dibelakang batu cadas hanya bisa
mendengar suara benda tajam yang saling beradu, suara bentrokan
yang memekakkan telinga itu membuat bocah ini tanpa sadar
mengucurkan keringat dingin.
Diam-diam pikirnya, 'Biarpun tabiat nona ini kasar, binal dan
sukar diatur, bagaimana pun dia adalah sahabat ciciku, aku tidak
boleh berpeluk tangan saja tanpa berusaha menolongnya.'
Tapi gumpalan hawa panas yang mengeram dalam lambungnya
baru separuh yang terserap masuk ke dalam tan-tian, keadaannya
waktu itu tidak berbeda seperti orang yang sedang panas tinggi,
biarpun punya niat namun sama sekali tidak bertenaga.
Dalam keadaan apa boleh buat, terpaksa dia hanya bisa duduk
tenang sambil menanti.
Tiba-tiba terdengar lagi suara bentrokan senjata yang amat
nyaring, namun suara deruan golok sama sekali tidak terdengar lagi.


Begitu mendengar ini Lan Giok-keng segera tahu kalau Seebun
Yan sedang menggunakan jurus Pek-hok-liang-ci dari ilmu pedang
Thay-kek-kiam-hoat. Dalam hati diam-diam dia berpikir, "Sayang,
sayang dia tidak tuntas mempelajarinya, bahkan setengah dari
kemampuan piauko nya pun belum tercapai.”
Entah mengapa, Siang Ngo-nio justru kelihatan sangat
terperanjat, jeritnya keras, "Kau.... ternyata kaupun bisa
menggunakan ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat!"
Dibalik jeritan kaget, terselip pula perasaan jengkel dan
mendongkol, malah terdengar pula rasa cemburu, sedih yang amat
mendalam.
Seebun Yan yang menyaksikan kejadian itu jadi keheranan,
pikirnya, 'Aku belum mampu tarung berimbang melawannya,
kenapa dia nampak sangat ketakutan? Masa dia dibikin keder oleh
nama besar Thay-kek-kiam-hoat? Padahal aku hanya bisa
menggunakan tapi belum berhasil menyelaminya. Baiklah, kalau
begitu biar aku takut-takuti dirinya.'
Maka dengan berlagak bangga segera bentaknya lagi, "Siluman
perempuan, sudah tahu kelihayanku bukan? Hmm, yang lebih hebat
masih ada di belakang!"
"Baiklah, kalau begitu keluarkan juga jurus jurusmu yang lebih
lihay!" kata Siang Ngo-nio dingin.
Secara beruntun Seebun Yan melancarkan beberapa jurus
serangan dengan ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat, walaupun
hampir semua serangannya berhasil dipunahkan Siang Ngo-nio,
namun kini keadaannya sudah jauh lebih mendingan, selain
bertahan diapun dapat melancarkan serangan balasan.
"Apakah ilmu pedang ini kau pelajari dari ibumu?" tiba-tiba Siang
Ngo-nio bertanya.
"Kalau benar kenapa? Apa yang kupelajari belum lagi satu bagian
dari kemampuan yang dimiliki ibuku!"
Siang Ngo-nio menghela napas panjang.


"Aaaai.... aku percaya dengan perkataanmu itu.”
katanya. Mendadak dia mengumpat, "Tidak tahu malu!"
"Siapa yang kau maki tidak tahu malu!" teriak Seebun Yan gusar.
Siang Ngo-nio melotot besar, lama kemudian dia baru menghela
napas lagi.
"Betul, aku memang tidak pantas memaki ibumu, aku seharusnya
mengumpat manusia yang tidak punya perasaan itu!"
Ternyata dia jengkel kepada Bouw Ciong-lor.g karena tidak
pernah mengajarkan ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat kepadanya,
sementara Seebun-hujin diajari secara khusus.
Sebetulnya Seebun Yan kebingungan setengah mati, dia tidak
habis mengerti melihat ulah lawannya yang aneh, tapi setelah
melihat otot hijau di wajah Siang Ngo-nio pada menonjol keluar,
sepasang matanya merah membara dan wajahnya diliputi hawa
napsu membunuh, rasa takut tiba-tiba mencekam hatinya, begitu
melancarkan sebuah serangan tipuan, cepat dia membalikkan tubuh
siap melarikan diri.
"Mau kabur ke mana kau!" bentak Siang Ngo-nio keras, golok
panjangnya segera diputar balik, lalu dengan memakai gagang
goloknya dia sodok jalan darah tertawa dipinggang lawan.
Seebun Yan tidak kuasa menahan rasa gelinya lagi, dia tertawa
terbahak-bahak, tertawa sampai tubuhnya jadi lemas dan kakinya
mulai limbung.
"Roboh kau!"bentak Siang Ngo-nio lagi.
Siapa tahu bukan saja Seebun Yan tidak roboh, malah dia berdiri
stabil dan suara tertawanya seketika terhenti.
Menghadapi perubahan yang sama sekali diluar dugaan ini, Siang
Ngo-nio merasa tercengang, padahal saat itu Seebun Yan pribadi
jauh lebih terkejut dari pada dia.
Ternyata sewaktu bersiap kabur tadi, secara kebetulan Seebun


Yan lari menuju ke batu karang dimana Lan Giok-keng sedang
menyembunyikan diri. Maka secepat kilat bocah itu mengulurkan
tangannya untuk menahan pinggang si nona.
Saat itu delapan bagian tenaga murni yang disalur kan manusia
berkerudung itu sudah meresap di dalam tubuhnya, sisanya yang
dua bagian langsung tercecer keluar, satu bagian dipakai untuk
menahan pinggang Seebun Yan sementara bagian yang lain
menyusup ke dalam tubuh gadis itu dan menerjang jalan darah Ihkhi-
hiat nya.
Jalan darah Seebun Yan yang tertotok pun seketika terbebaskan!
Hanya saja diapun tidak kuasa menahan rasa sesak yang
mendadak menyumbat dadanya, ketika menjumpai Lan Giok-keng,
dia seperti tidak mampu tertawa lagi, mau bicara pun tidak
sanggup.
Ketika Lan Giok-keng membaringkan badannya, dia pun roboh
terkapar diatas tanah dengan lemas.
"Siapa yang bersembunyi disana, cepat menggelinding keluar!"
bentak Siang Ngo-nio.
Dengan mata melotot besar Lan Giok-keng menampilkan diri,
jengeknya sambil tertawa dingin, "Perempuan siluman, biar kau
tidak mencari akupun aku sedang mencarimu. Pentang matamu
lebar lebar, perhatikan siapakah aku!"
Begitu tahu orang yang munculkan diri adalah Lan Giok-keng,
Siang Ngo-nio segera merasakan hatinya tenang kembali, dia segera
tertawa terkekeh-kekeh.
"Hahahaha.... rupanya anak kesayanganku, anak tersayang,
cepat panggil ibu. Asal kau bersedia mengangkat aku sebagai ibu
angkatmu, akan kuampuni budak cilik yang kau sukai itu.”
"Dasar perempuan siluman yang tidak tahu malu!" umpat Lan
Giok-keng penuh amarah.
Cepat tubuhnya melambung, mencabut pedang, mengumpat dan


melancarkan serangan, berapa tindakan itu dilakukan sekaligus
nyaris bersamaan waktu.
Ketika baru turun dari bukit Bu-tong, Lan Giok-keng sudah
pernah bersua Siang Ngo-nio di tengah jalan bahkan tertawan,
peristiwa itu berlangsung baru pada berapa bulan berselang.
Jadi Siang Ngo-nio tidak menyangka kalau baru berpisah berapa
bulan, ternyata ilmu silat yang dimiliki bocah itu telah mengalami
kemajuan yang amat pesat.
"Traaangg!" golok pendek Siang Ngo-nio terpental hingga jatuh
ke tanah, sementara ujung pedang Lan Giok-keng secepat petir
langsung menutul urat nadinya.
Buru-buru Siang Ngo-nio membuang tubuhnya ke samping
dengan gerakan VVan-yo-si-liu (membungkuk pinggang memetik
pohon liu), sementara golok panjangnya melakukan tangkisan,
perpaduan gerakan tubuh dengan ilmu golok yang sangat indah.
Sebenarnya tangkisan itu sudah cukup untuk membendung
serangan ganas pihak lawan, siapa tahu sebelum ujung pedang Lan
Giok-keng menyentuh urat nadinya, hawa pedang yang kuat
seketika membuat pergelangan tangannya lamat-lamat terasa linu
dan kaku.
"Traang....!" begitu golok dan pedang saling membentur, lagi-lagi
golok panjang di tangan Siang Ngo-nio terlepas dari genggamannya.
Menyaksikan sorot matanya yang berapi api dan sepak
terjangnya yang garang, tanpa terasa Siang Ngo-nio jadi sedikit
ketakutan, segera bentaknya, "Kalau enggan menjadi putraku yaa
sudah, memang ada dendam sakit hati apa antara kau dengan
aku?"
Dengan sepenuh tenaga dia melompat, melejit, menghindar,
menyusup berusaha untuk meloloskan diri dari ancaman maut,
sayang belum selesai dia berkata, lagi lagi....” Triiing! Tusuk konde
yang menancap diatas rambutnya kembali sudah terpapas kutung.
Siang Ngo-nio malah merasakan juga hawa dingin yang


membabat persis diatas kulit kepalanya.
Sambil menggigit bibir bentak Siang Ngo-nio, "Dasar tidak tahu
kebaikan orang, akan kusuruh kau rasakan kelihayan lonio!"
Sambil berkata dia mengayunkan tangannya, di hadapan Lan
Giok-keng segera muncul selapis kabut asap tebal berwarna keabuabuan.
Ternyata di balik ujung bajunya tersimpan bubuk pembingung
sukma yang dapat merobohkan orang.
Sayang, walaupun Lan Giok-keng merasakan kepalanya agak
pening, namun dia sama sekali tidak roboh ke tanah.
Bocah itu hanya seperti lelaki mabok, langkah kakinya gontai dan
agak sempoyongan, namun tetap menempel terus di belakang
musuhnya dan tetap melakukan pengejaran.
Sebetulnya ilmu pedang yang dia kuasai pada mulanya lebih
menitik beratkan pada kekuatan otot, namun sesudah mendapat
petunjuk dari Hwee-ko Thaysu, kepandaiannya mengalami
kemajuan lagi satu tingkat, kini dia sudah pandai mengalihkan
kekuatan ototnya dengan lebih menitik beratkan pada tehnik dan
akal.
Kini dengan langkah delapan dewa mabok dia bergerak kian
kemari sambil merangsek terus ke depan, begitu gencar tekanan
yang dilakukan membuat Siang Ngo-nio benar-benar terdesak dan
keteter hebat.
Diam-diam Siang Ngo-nio mengeluh, segera bentaknya, "Lan
Giok-keng, kau jangan percaya akan perkataan orang, aku bukan
musuh besarmu!"
Perempuan ini sudah terbiasa memandang suatu masalah dari
sudut untung rugi bagi diri sendiri, begitu Lan Giok-keng
meneternya terus menerus, otomatis timbul perasaan curiga dihati
kecilnya.
Tergerak perasaan Lan Giok-keng setelah mendengar ucapan itu,


sengaja dia mendengus, sahutnya dingin, "Perempuan siluman,
tanganmu sudah penuh berpelepotan darah, tidak usah aku
berbicarapun seharusnya kau sudah memahami sendiri!"
Keterlibatan Siang Ngo-nio di dalam berapa kasus pembunuhan
yang menimpa beberapa orang jago Bu-tong-pay diketahui Lan
Giok-keng dari pembicaraannya dengan Bu-si tianglo, sekarang dia
sengaja mengungkapnya secara sekilas, tujuannya tidak lain karena
ingin menyelidiki reaksinya.
Bila berada dalam keadaan biasa, tentu saja Siang Ngo-nio tidak
bakalan masuk perangkap, tapi saat ini dia sedang terdesak hebat,
bukan saja kerepotan menghadapi serangan lawan, pikirannya pun
ikut kalut, tanpa sadar segera teriaknya, "Bukan aku yang
membunuh ayahmu, akupun tidak membunuh ibumu, buat apa kau
merecoki aku terus seperti sukma penasaran?"
Sekalipun Lan Giok-keng berniat melakukan penyelidikan, namun
mimpi pun dia tidak menyangka akan memperoleh hasil seperti itu.
Ketika berjumpa cicinya di lembah Toan-hun-kok, dari mulut
kakaknya dia sudah tahu kalau si Lebah hijau Siang Ngo-nio pernah
mendatangi rumah mereka dan memaksa orang tuanya untuk
menyerahkan dia. Untung nya Put-hui suthay datang tepat waktu
sehingga berhasil memaksa Siang Ngo-nio kabur dan orang tuanya
tidak sampai menderita luka.
"Jangan-jangan aku masih mempunyai orang tua lain?" dalam
waktu seketika, pelbagai kecurigaan serta kesangsian yang
mengendap di dasar hatinya selama ini mulai terapung di
permukaan, hal mana membuat hatinya semakin kalut bahkan
nyaris membuatnya tertegun.
Menggunakan kesempatan itu Siang Ngo-nio melepaskan sebutir
peluru asap, di bawah perlindungan kabut asap yang tebal, dia
segera melarikan diri.
Dengan sepenuh tenaga Lan Giok-keng melepaskan pukulan
demi pukulan untuk menyapu kabut asap yang menyelimuti
sekeliling tempat itu, menanti kabut mulai buyar, dia baru seolah


mendusin dari impian.
Lamat-lamat dia mendengar di belakang tubuhnya bergema
suara orang merintih, saat itulah dia baru teringat kalau Seebun Yan
masih berada di bekas tempat persembunyiannya.
Ternyata saat itu Seebun Yan benar-benar sudah letih dan
kehabisan tenaga, karena dibalik kabut tebal itu mengandung bubuk
pemabok dari Siang Ngo-nio, kendatipun tubuhnya bersembunyi
dibelakang batu karang, tidak urung ada sedikit asap racun yang
menyusup ke dalam tubuhnya.
Padahal sisa tenaga dalam yang dimiliki saat itu sudah tidak
cukup untuk melawan serangan itu. Dalam keadaan kritis, terpaksa
dia hanya bisa menggigit ujung lidahnya, berusaha agar dirinya
tidak sampai roboh tidak sadarkan diri.
Lan Giok-keng sendiri meski pandai ilmu pertabiban, namun dia
sama sekali tidak tahu bagaimana cara untuk memunahkan racun.
Yang bisa dilakukan sekarang hanya berjongkok di samping Seebun
Yan dan membiarkan gadis itu bersandar ke tubuhnya sehingga
tubuhnya tidak sampai berguling di tanah yang berakibat terluka.
Untung saja kabut beracun yang terhisap oleh Seebun Yan tidak
terlalu banyak sehingga dia tidak sampai roboh tidak sadarkan diri.
Tatkala melihat gadis itu menggerakkan bibirnya, cepat Lan Giokkeng
menempelkan telinganya dekat dengan bibir dan mencoba
menangkap apa yang sedang dia katakan.
Dengan suara yang lemah dan lirih, bagaikan suara angin yang
menggoyangkan ranting liu, dia berbisik, "Bi-leng-wan, Bi-lengwan....”
Apa yang dimaksud Bi-leng-wan?
"Pil Bi-leng-wan yang terbuat dari Thian-san-soat-lian, pil itu....
pil itu berada di....”
Seketika Lan Giok-keng menjadi paham, teratai salju dari gunung
Thian-san memang berkhasiat memunahkan pelbagai racun, boleh


dikata setiap umat persilatan mengetahui akan hal ini.
"Aku tahu, pil itu adalah pil mestika yang dapat memunahkan
racun,” kata Lan Giok-keng, "konon teratai salju dari gunung Thiansan
adalah barang langka yang susah diperoleh, kau telah
menggunakan bahan itu untuk membuat pil Bi-leng-wan?"
"Yaa.... pil itu berada.... berada di saku ku!"
Seebun Yan berkata dengan terbata-bata, satu kalimat yang
pendek dia harus membaginya jadi tiga bagian, bahkan selesai
bicara, napasnya semakin tersengkal. Dalam keadaan begini, dia
hanya bisa menempel semakin lekat di tubuh pemuda itu.
Tapi pil Bi-leng-wan berada disakunya, inilah masalah yang
membuatnya kesulitan.
Sejak dilahirkan, baru pertama kali ini dia berdekatan begitu
mesra dengan seorang lawan jenis, tubuh yang halus, lembut,
hangat ternyata menempel di tubuhnya, kulit bertemu kulit, badan
bersentuhan dengan badan, ke semuanya ini sudah cukup membuat
wajahnya berseru merah dan jantungnya berdebar keras.
Dan kini, pil Bi-leng-wan ternyata berada dalam sakunya.
Seebun Yan menanti berapa saat, ketika tidak merasakan
pemuda itu melakukan tindakan berikut, dia pun berseru gusar,
"Hey setan cilik, ciut amat nyalimu.... tidak usah menghindar lagi....”
Merah padam selembar wajah Lan Giok-keng, terpaksa dia
masukkan tangannya ke dalam pakaian gadis itu, dari balik saku
yang berada di pakaian dalamnya dia berhasil menemukan sebuah
botol perak kecil, di dalam botol itu terdapat berapa butir pil
berwarna merah.
"Apakah yang ini?"
"Benar, cepat lolohkan ke mulutku.”
Pil semacam ini harus dimamah dulu sebelum ditelan, dengan
begitu daya kerja obat baru bereaksi lebih cepat. Tapi keadaan si
nona saat ini amat lemah, jangan lagi menghancurkan pil tersebut,


membuka mulut pun sudah tidak mampu.
Sambil membopong tubuhnya, Lan Giok-keng merasakan hatinya
goyah, jari tangannya gemetar, nyaris botol itu terjatuh dari
genggamannya.
"Ini masalah nyawa, aku harus segera menolongnya,” demikian
dia berpikir, "baiklah, biar kuanggap dia seperti ciciku sendiri.”
Maka dia pun menggigit hancur sebutir pil Bi-leng-wan, kemudian
dilolohkan ke mulut gadis itu.
"Butuh berapa butir?"
"Cukup sebutir.”
Seebun Yan bersandar lemas dalam pelukannya, tapi air
mukanya mulai nampak secercah cahaya kemerahan.
Bi-leng-wan memang nyata sebagai pil pemunah racun yang
amat tangguh, daya kerjanya sangat cepat.
Tidak sampai setengah batang hio kemudian, Seebun Yan telah
pulih kembali kekuatan tubuhnya, dia bangkit dari pelukan Lan Giokkeng,
duduk bersila dan berbisik, "Terima kasih banyak!"
Mukanya yang semula pucat pasi, kini mulai nampak memerah
dan segar kembali.
"Tidak perlu berterima kasih. Kau adalah sahabat ciciku, jadi
sudah sepantasnya bila aku membantumu,” sahut Lan Giok-keng.
"Ooh, kau adalah adik Sui-leng, kau bernama Lan Giok-keng?"
"Betul. Kita pernah berjumpa ketika masih di lembah Toan-hunkok.
Aku juga tahu kalau kau adalah Toa-siocia dari keluarga
Seebun.”
Lang Giok-keng tidak habis mengerti, mengapa dia ajukan
perkataan semacam itu padahal sebelumnya sudah tahu.
Tiba-tiba Seebun Yan tertawa cekikikan.
"Apa yang kau tertawakan?" tanya Lan Giok-keng tak habis


mengerti.
"Kau tidak seharusnya memanggil aku Toa-siocia. Tahukah kau
kalau aku sudah mengangkat saudara dengan cici mu?"
"Lantas kenapa?"
"Lantas kenapa, kalau cici mu memanggil cici kepadaku, coba
jawab kau harus memanggil apa kepadaku? Kau musti menyebut
aku Lo-toaci!"
"Aku lihat usiamu paling lebih tua sedikit ketimbang aku,” sahut
Lan Giok-keng pura-pura serius, "lebih baik aku memanggil cici saja
kepadamu. Kalau musti ditambah kata 'lo' tua.... aku mah tidak
berani melakukannya.”
Kontan Seebun Yan tertawa.
"Tidak nyana masih muda usia sudah pandai bicara manis,”
serunya, "aku dua tahun lebih tua dari cicimu, tahun ini berapa
usiamu?"
"Aku dilahirkan pada tahun, bulan dan tanggal yang sama
dengan cici, sudah tujuh belas tahun.”
"Oooh, rupanya kalian saudara kembar? Eeei, rasanya aneh
sekali.”
"Apanya yang aneh?"
"Orang bilang wajah saudara kembar pasti mirip satu dengan
lainnya, aku lihat kau sedikitpun tidak mirip dengan wajah cicimu!"
Lan Giok-keng jadi teringat kembali dengan ledekan dan ejekan
para Suheng-te nya sewaktu masih berada di gunung Bu-tong,
pikirnya, 'Kalau ditinjau dari apa yang dia katakan sekarang, berarti
isu yang beredar selama ini bukannya muncul tanpa sebab. Sayang
tadi aku tidak berhasil membekuk perempuan siluman itu.'
Maka sambil tertawa paksa katanya, "Segala macam persoalan
tentu ada pengecualian, ayah bilang aku mirip dengan engku, cici
mirip ibu. Apa anehnya akan hal ini?"


Seebun Yan seperti ada yang sedang dipikirkan, selang berapa
saat kemudian ia baru berkata, "Perlakuan cicimu terhadap dirimu
sungguh baik sekali, selama tinggal di rumahku, hampir setiap hari
dia selalu ribut merindukan dirimu. Aaai.... kau punya cici, kau jauh
lebih hokki ketimbang diriku. Sementara Aku hanya hidup sebatang
kara, tidak punya saudara laki-laki, tidak punya saudara
perempuan!"
"Bukankah kau pun mempunyai seorang piauko?" entah
mengapa tiba-tiba Lan Giok-keng nyelutuk.
Tapi begitu ucapan tersebut diutarakan, dia baru tersadar, tidak
seharusnya mengungkit kembali luka hatinya.
Benar saja, paras muka Seebun Yan kontan berubah jadi gelap,
serunya, "Tidak usah mengungkit dia lagi, kapan dia pernah
menganggapku sebagai orang dekatnya? Hmm, dia tidak ambil
perduli diriku, aku pun tidak butuh dirinya.”
Lan Giok-keng tidak berani memberi komentar, dia terbungkam
dalam seribu bahasa.
Baru saja Seebun Yan menyinggung soal "tidak usah mengungkit
dia lagi", tapi malah dia pula yang segera mengungkitnya kembali,
"Piauko seringkali jalan bersamamu, tahukah kau dia hendak ke
mana?"
"Aku sendiripun baru bertemu dia di puncak bukit itu,” kata Lan
Giok-keng, "kedatangannya hanya setengah jam lebih awal daripada
kedatangan kalian. Tapi begitu melihat kemunculan kau berdua, dia
langsung angkat kaki kabur dari sini, jadi aku sendiripun tidak tahu
hendak kemana dirinya.”
Begitu menyinggung soal 'kalian', Seebun Yan seolah baru
mendusin dari impian, dia mulai teringat dengan Bouw It-yu yang
datang ke Liauw-tong bersama dia.
"Kemana perginya Bouw-susiokmu? Apakah dia pun berada
diatas bukit itu? Kenapa kau datang kemari seorang diri?"
"Aku tidak tahu.”


"Aku masih ingat,” ujar Seebun Yan keheranan, "ketika aku
menyusul Piauko, dia sedang berada disini mengajakmu berbicara,
mana mungkin kau tidak tahu?"
"Tidak lama setelah kepergian kalian, datang seorang manusia
berkerudung. Ilmu silat yang dimiliki manusia berkerudung itu
sangat lihay, biar aku bersama Bouw-susiok mengerubutinya tetap
tidak berhasil mengalahkan dirinya. Kemudian aku dibanting sampai
jatuh tidak sadarkan diri. Sewaktu mendusin kembali, tahu-tahu aku
sudah berada disini.”
Apa yang dia katakan memang semuanya merupa kan kejadian
nyata, tapi hanya separuh cerita yang dia sampaikan.
"Oooh, ternyata ada peristiwa seaneh ini, padahal jarak antara
tempat kita berada sekarang dengan puncak bukit itu paling tidak
mencapai tujuh, delapan li. Memangnya kau mimpi berjalan hingga
tiba disini?"
"Aku sendiripun bingung dan tidak habis mengerti, mungkin saja
ada orang yang memindahkan diriku kemari di saat aku sedang tidur
terlelap.”
Padahal meski pada mulanya dia tidak sadarkan diri, namun
diapun tahu kalau manusia berkerudung itulah yang telah
memindahkan tubuhnya sampai disitu. Hanya saja dia tetap tidak
habis mengerti, mengapa manusia berkerudung itu berbuat
demikian.
Tampaknya Seebun Yan pun tidak berniat menyelidiki lebih jauh
tentang kejadian aneh ini, apa yang dia pikirkan sekarang adalah
"apa yang bisa diperbuat manusia berkerudung itu terhadap Bouw
It-yu.”
Tiba tiba ia menjerit keras dengan nada terkesiap, "Pasti orang
itu!"
"Kau pernah bertemu manusia berkerudung itu?" tanya Lan Giokkeng.
"Sehari sebelum aku dan Bouw It-yu tiba di kota Uh-sah-tin, di


tepi jalan kami jumpai tulisan besar di atas baru cadas yang
mencegah kami untuk melanjutkan perjalanan, tulisan itu berbunyi:
bila tidak segera kembali, berarti mencari penyakit buat diri sendiri.
Kami tidak bertemu dengannya, tapi tahu kalau kungfu yang
dimilikinya jauh diatas kemampuan kami berdua. Sebab selain
meninggalkan tulisan peringatan itu, dia pun meninggalkan bekas
telapak tangannya di atas batu cadas itu.”
"Aaai, kalau sampai Bouw It-yu bertemu dengan orang itu, aku
kuatir.... aku kuatir bukan masalah saja yang dia jumpai. Kau saja
sudah dibanting sampai pingsan, meski Bouw It-yu itu paman
gurumu, dalam masalah ilmu silat, mungkin dia pun tidak lebih
hampir sama dengan kemampuanmu!"
Ketika berbicara sampai disini, nada suaranya kedengaran mulai
gemetar. Jelas dia sedang merasa takut bila Bouw It-yu bakal
kehilangan nyawanya. Melihat itu, Lan Giok-keng pun berpikir,
“Kusangka dalam hatinya hanya terdapat piauko nya seorang,
ternyata rasa kuatir dan perhatiannya terhadap Siau-susiok pun
sama sekali tidak berada di bawah perhatiannya terhadap sang
piauko.”
Maka dengan nada menghibur segera katanya, “Orang baik selalu
dilindungi Thian. Kau tidak perlu kelewat kuatir, Bouw-susiok pasti
bisa lolos dari segala mara bahaya.”
"Kau tidak merasa apa yang kau ucapkan hanya kata yang sama
sekali tidak berguna?" bentak Seebun Yan gusar, "kecuali ada
seseorang dengan ilmu silat jauh lebih hebat dari manusia
berkerudung itu datang menyelamatkan jiwanya, kalau tidak, mana
mungkin dia bisa lolos dari bahaya maut?"
Lan Giok-keng tertawa.
"Aku tidak tahu apakah di tempat ini terdapat seseorang yang
memiliki ilmu silat jauh lebih tinggi daripada manusia berkerudung
itu, tapi aku tahu sejak awal sudah ada orang yang datang
membantunya.”
"Siapa dia?" buru-buru Seebun Yan bertanya.


"Rasanya seorang wanita.”
"Kalau benar katakan benar, kalau tidak katakan tidak, kenapa
kau bilang sepertinya?"
"Waktu itu aku baru saja dibanting ke atas tanah oleh manusia
berkerudung itu, aku hanya sempat mendengar suaranya tapi belum
sempat melihat wajahnya, karena kesadaranku keburu hilang.”
"Perkataan apa yang diucapkan orang itu?"
"Suara itu datang dari tempat yang jauh, tapi begitu lembut dan
halus sehingga enak didengar, kelihatannya dia sedang memanggil
nama seseorang, tapi aku hanya sempat mendengar salah satu
katanya saja.”
"Apa itu?"
"Kata Yan.”
Seebun Yan seperti terperanjat, sesaat kemudian dia baru
bertanya lagi, "Menurut dugaanmu dia adalah ibuku?"
"Aku harap dugaanku tidak salah, bagaimana menurutmu
sendiri?"
Seebun Yan tidak menjawab, wajahnya diliputi kebimbangan dan
keraguan.
"Eeei, apa yang sedang kau pikirkan?" tegur Lan Giok-keng.
Seebun Yan memang sedang memikirkan sesuatu, tapi apa yang
dipikirkan tidak bisa diucapkan dengan kata-kata. Karena dia
teringat kembali dengan perkataan yang pernah diucapkan si Lebah
hijau Siang Ngo-nio.
Bukan saja perkataan tersebut tidak boleh diberitahukan kepada
Lan Giok-keng, bahkan dia sendiripun merasa tidak pantas untuk
membayangkan kembali ucapan tersebut.
"Mana boleh aku mempercayai perkataan perempuan siluman
itu? Bouw It-yu adalah putra Tiong-ciu Thayhiap Bouw Ciong-long,
ibu pun perempuan keturunan keluarga kenamaan, hampir setiap


umat persilatan mengetahui akan hal ini. Tidak pantas dia
mengenakan topi hijau ini diatas kepalanya tanpa didasari bukti
yang jelas.”
Biarpun jalan pikiran itu hanya 'ingatan sesaat' yang timbul dari
hatinya, lagipula telah dipermak disana sini. Namun
perumpamaannya tentang "asal usul yang tidak jelas" kedengaran
amat tidak sedap dalam telinga.
Waktu itu dia berkata secara terang terangan kalau Seebun-hujin
sedang bertemu dengan anak jadahnya.
Menghadapi sinar mata penuh tanda tanya dari Lan Giok-keng,
Seebun Yan segera tersadar kembali, sambil berlagak girang
serunya kemudian, "Kecuali ibuku, Perempuan yang bisa membuat
kabur manusia berkerudung dewasa ini rasanya tidak bakalan ada
keduanya. Tapi apakah Bouw-susiok mu dalam keadaan sehat
wal'afiat? Bagaimana kalau ku-temani kau balik ke sana?"
Seandainya bukan Seebun Yan yang memohon kepadanya,
sejujurnya Lan Giok-keng tidak ingin balik lagi menengok Bouw Ityu.
Entah mengapa, dia menaruh perasaan curiga bercampur takut
yang aneh terhadap paman guru kecilnya ini. Lagipula dia sendiri
masih ada tugas lain, harus berangkat ke kota Kim-leng untuk
melacak dan menyelidiki teka teki seputar asal usulnya.
Tapi dia tidak bisa memakai alasan itu untuk menampik
permohonan dari Seebun Yan.
Sementara dia masih sangsi, Seebun Yan telah berkata lagi
sambil tertawa cekikikan, "Masa kau merasa malu berjalan bersama
cici mu? Barusan saja kau malah sempat membopong dan memeluk
ku.”
Gadis ini memang sudah terbiasa menuruti suara hati sendiri, di
saat sedang bergembira, dia suka sekali bergurau, dan sekarang dia
ingin sekali melihat wajah Lan Giok-keng yang malu tersipu-sipu.
Dengan wajah merah padam terpaksa Lan Giok-keng menemani
gadis itu balik kembali ke atas bukit.


Seebun-hujin tertidur sangat nyenyak, entah apakah dia sedang
bermimpi indah, senyuman yang lembut dan ramah tersungging
diujung bibirnya.
Perasaan budi dan dendam bercampur aduk, walaupun hati kecil
Bouw It-yu masih diselimuti perasaan benci, namun dia tidak berani
menatap senyuman di wajahnya, cepat dia alihkan sorot matanya ke
arah lain.
Pedangnya telah dicabut keluar, namun tangan yang
menggengamnya masih gemetar keras.
Bila ingin membalaskan dendam bagi ibunya, inilah kesempatan
terbaik baginya, tapi bolehkah dia berbuat begitu?
Sementara pertarungan batin masih bergejolak, mendadak dia
seperti mendengar suara helaan napas bergema dari luar sana.
Cepat dia melangkah keluar dari gua, mencoba mendengarkan
dengan seksama.
Waktu itu fajar baru saja menyingsing, diantara lamat-lamatnya
cuaca, dari puncak bukit berselimutkan salju di seberang sana
terlihat ada berapa bayangan manusia sedang bergerak mendekat.
Suara pembicaraan mereka pun telah terkirim datang oleh
hembusan angin fajar dan terdengar ditempat itu.
Terdengar suara seorang perempuan yang amat dikenalnya
bergema tiba, "Tonghong Liang pernah membuat keonaran di
gunung Bu-tong, tentu Thaysu telah mengetahuinya bukan?
Tonghong Liang si bocah keparat itu masih tidak seberapa, aku
justru kuatir bila ilmu pedang Seebun-hujin sudah jauh diatasnya.”
Bouw It-yu sangat terperanjat, ternyata perem-puan itu tidak lain
adalah si Lebah hijau Siang Ngo-nio.
Menyusul kemudian terdengar suara seseorang yang bernada
keras menyahut, "Aku hanya merasa sayang Seebun Mu telah mati.”
Yang berbicara adalah seorang pendeta asing berbaju merah.


Sebagaimana diketahui, Seebun Mu pernah menjadi Liok-lim
Bengcu, dari nada pembicaraan pendeta asing itu bisa disimpulkan
bahwa dia menganggap hanya Seebun Mu yang pantas menjadi
musuhnya, sementara istri Seebun Mu sama sekali tak dipandang
sebelah mata pun olehnya.
Siang Ngo-nio segera tertawa paksa, ujarnya, "Aku merasa
sangat kagum dengan ilmu silat yang dimiliki Thaysu, tentu saja
perempuan itu bukan tandinganmu, hanya saja segala sesuatu lebih
baik bertindak lebih hati-hati, yang aku kuatirkan hanyalah bila
Thaysu kelewat pandang enteng musuh kita.”
Tiba-tiba orang ke tiga berkata, "Tonghong Liang kuserahkan
kepada kalian, sementara Bouw It-yu kalian serahkan kepadaku.”
"Benar,” sambung orang ke empat, "bila kita berempat turun
tangan bersama, betapapun lihaynya musuh kita, aku yakin masih
dapat menghadapinya. Yang paling ingin kutangkap adalah Lan
Giok-keng si bocah keparat itu.”
Ke empat orang itu berjalan cepat diatas permukaan salju, dalam
waktu singkat mereka telah berjalan mendekat dari tebing bukit di
seberang sana.
Bouw It-yu segera mengenali dua orang lelaki lainnya, ternyata
mereka adalah Ouyang Yong yang pernah ditotok jalan darahnya
serta Eng Siong-leng yang pernah dikalahkan Tonghong Liang.
Dari ke empat orang itu, dia mengenali tiga orang diantaranya,
hanya pendeta asing berbaju merah itu yang belum diketahui asal
usulnya.
Sungguh tajam pandangan mata Siang Ngo-nio, dia yang
pertama kali mengetahui kehadirannya, sambil memperdengarkan
suara tertawa dinginnya yang menggidikkan, ujarnya, "Hahahaha....
tidak nyana kau si keparat masih berada disini, dimana perempuan
bangsat itu?"
Sambil tertawa dingin dia menyentilkan sebutir peluru kabut
harum yang langsung meledak persis dihadapan Bouw It-yu.


Bertemu musuh besarnya, sepasang mata Ouyang Yong
langsung berubah jadi merah membara, bentaknya pula, "Bajingan
keparat, aku memang sedang mencari-mu untuk membuat
perhitungan, kalau punya nyali ayoh bertarung habis habisan
melawanku!"
Buru-buru Bouw It-yu melepaskan satu pukulan untuk
membuyarkan asap beracun, namun tidak urung dia menghisapnya
juga beberapa bagian.
Sebagaimana diketahui, peluru kabut harum yang diracik Siang
Ngo-nio merupakan sejenis bubuk pemabuk yang sangat lihay,
namun khasiatnya hanya dapat membuat orang pingsan dan sama
sekali tidak meracuni tubuh.
Padahal saat itu tenaga dalam yang dimiliki Bouw It-yu belum
sama sekali pulih, setelah menghisap kabut pemabok itu meski tidak
sampai jatuh pingsan, sedikit banyak dia merasakan juga kepalanya
jadi pening dan pandangan matanya berkunang.
Ketika telapak tangan Ouyang Yong membacok tiba, cepat Bouw
It-yu menyentilkan jari tengahnya menghajar urat nadi di punggung
tangannya, lengan kanan Ouyang Yong seketika terhajar telak
hingga lunglai lemas.
Dalam keadaan begini ternyata orang itu enggan menyerah
dengan begitu saja, dia merangsek lebih ke depan, biar lengan
kanannya sudah lemas tidak bertenaga namun dia masih memiliki
tangan kiri, sebuah pukulan tinju langsung ditumbukkan ke depan.
Bila berada dalam keadaan biasa, Bouw It-yu tidak bakalan
merasa kuatir, tapi kini tenaga dalamnya belum pulih, gerakgeriknya
sama sekali tidak lincah, pertarungan keras melawan keras
ini menyebabkan kedua belah pihak sama-sama menderita kerugian
besar.
Tidak ampun tubuh Bouw It-yu mundur dengan sempoyongan,
wajahnya bertambah pucat pias.
Pada saat yang bersamaan Eng Siong-leng telah menerjang maju


dan memapaki datangnya tubuh lawan.
"Tinggalkan bocah itu untukku,” buru-buru Siang Ngo-nio
berteriak keras, "kalau ingin balas dendam, silahkan kalian balas
dendam, tapi jangan kalian usik nyawanya!"
"Tidak usah kuatir Ngo-nio,” sahut Eng Siong-leng sambil
tertawa, "aku tidak bakal memusnahkan si pipi putih ini.”
Saat itu tenaga dalam Bouw It-yu semakin berkurang, ditambah
lagi kungfunya memang kalah setingkat dari lawannya. Tidak
sampai beberapa gebrakan dia sudah dibuat kalang kabut.
"Ngo-nio, siapakah bocah muda itu?" tanya pendeta berbaju
merah itu tiba-tiba.
"Dia bernama Bouw It-yu, ayahnya adalah Ciangbunjin Bu-tongpay
saat ini.”
Pendeta berbaju merah itu tentu saja mengetahui nama besar
Bu-tong-pay, namun dia sangat percaya dengan kemampuan
sendiri, jangan lagi hanya putra dari sang ketua, kemampuan
Ciangbunjin dari Bu-tong-pay pun sama sekali tidak dimasukkan ke
dalam hati.
Maka sambil memasukkan sepasang tangannya ke balik baju, dia
gelengkan kepalanya berulang kali seraya berkata, "Lantas ke mana
perginya jago-jago lihay yang kalian maksudkan? Merusak selera,
merusak selera! Hanya menghadapi seorang bocah muda saja
dibutuhkan kekuatan berapa orang untuk mengerubutinya?"
Merah padam selembar wajah Eng siong-leng, segera bentaknya,
"Ouyang Yong, kau mundur!"
Waktu itu Ouyang Yong sedang merasakan kesakitan yang luar
biasa pada tangan kanannya, dia segera membangkang, sahutnya,
"Bocah keparat ini pernah membokongku secara diam-diam, boleh
saja kalau minta aku mundur, tapi harus menunggu sampai
kuhadiahkan sebuah bacokan terlebih dulu.”
Waktu itu Eng Siong-leng telah berada diatas angin, pikirnya,


'Apa susahnya memberi kesempatan kepadamu untuk
menghadiahkan sebuah bacokan?'
Sambil berpikir dia melepaskan sebuah bacokan ke depan,
serangannya mulai dilancarkan sangat gencar, begitu perhatian
Bouw It-yu terpancing untuk memperhatikan gerak serangannya,
tiba-tiba dia melancarkan sebuah sapuan, membuat tubuh anak
muda itu seketika terpelanting jatuh ke tanah.
"Bocah keparat, jangan gugup!" jengek Ouyang Yong sambil
tertawa seram, "aku hanya menginginkan sebuah lenganmu!"
Tampaknya ayunan goloknya segera akan memisahkan lengan
Bouw It-yu dengan tubuhnya....
Mendadak dari sisi arena meluncur datang seekor "ular emas"
diikuti berkelebatnya segumpal bayangan putih, lalu terdengar
Ouyang Yong menjerit keras, goloknya terlepas dari genggaman dan
tubuhnya mencelat sejauh berapa tombak dari posisi semula.
Ternyata Seebun-hujin telah berjalan keluar dari dalam gua.
Karena tidak membawa senjata, dia melepaskan seutas tali ikat
pinggangnya dan digunakan untuk menggulung golok yang berada
ditangan Ouyang Yong.
Tali pinggang itu berwarna warni dan meluncur bagaikan seekor
ular emas, namun kelihayannya jauh melebihi seekor ular berbisa,
bukan saja berhasil merampas golok di tangan Ouyang Yong,
bahkan sempat melilit pergelangan tangannya dan membuat tulang
tangannya patah jadi dua.
Dengan jurus ikan lehi melentik buru-buru Bouw It-yu melompat
bangun, sebuah tendangan langsung diarahkan ke tubuh Ouyang
Yong yang sedang ter-guling.
Sayang kekuatan tubuhnya sudah amat lemah, asap pemabok
yang terhisap dalam tubuhnya sedang bekerja, begitu berhasil
menendang tubuh Ouyang Yong, dia sendiripun berdiri
sempoyongan bagaikan lidah api yang dipermainkan angin.
Cepat Seebun-hujin memeluk ke dalam rangkulannya, bisiknya,


"Jangan gugup, ada ibu disini!" Tapi dia lupa kalau masih ada Eng
Siong-leng disisinya. Oleh karena perubahan ini terjadi sangat tiba
tiba, tidak urung Eng Siong-leng tertegun juga dibuatnya.
Namun bagaimana pun dia adalah seorang jago kawakan, begitu
melihat peluang emas, langsung saja dia lancarkan sebuah
cengkeraman maut ke tubuh Seebun-hujin.
Orang ini adalah seorang jagoan yang sangat menguasahi ilmu
Toa-kin-na-jiu-hoat, cengkeraman yang dia lancarkan benar-benar
sangat menakutkan, biar seorang jago lihay pun mungkin sulit untuk
meloloskan diri, atau paling tidak tulang tubuhnya bakal
tercengkeram hancur.
Menghadapi datangnya ancaman maut itu, ternyata Seebun-hujin
masih tetap memeluk tubuh Bouw It-yu, malah tangan kirinya
sedang mengambil sebutir pil yang disuapkan ke mulut pemuda itu
sementara sepasang mata nya tertuju pula pada pemuda yang
berada dalam pelukannya.
Dia seakan sama sekali tidak melihat kalau Eng Siong-leng sudah
berada disisi tu buhnya, tentu saja dia pun tidak berusaha untuk
menghindarkan diri.
Tampaknya cengkeraman itu segera akan menghancurkan tulang
Pi-pa-kut nya....
Pada detik terakhir tiba-tiba dia mengayunkan tangan kanannya,
lagi-lagi tali ikat pinggang itu berubah jadi ular emas dan meluncur
ke depan, kali ini mengarah telapak tangan Eng Siong-leng.
Bagaimanapun Eng Siong-leng adalah seorang jago silat
kawakan, begitu merasakan angin serangan yang muncul membawa
daya 'tusukan', dia segera sadar kalau gelagat tidak
menguntungkan.
Tali ikat pinggang termasuk benda yang lunak, namun setelah
memperoleh saluran tenaga dalam dari Seebun-hujin, kini tali yang
lemas telah berubah jadi tombak yang sangat tajam.
Bagi Eng siong-leng, dia lebih suka digigit ular berbisa daripada


membiarkan jalan darah Lau-kiong-hiat pada telapak tangannya
tertusuk ujung tali lawan. Bila jalan darah Lau-kiong-hiat sampai
tertusuk tembus, mungkin tenaga dalam yang dimilikinya bakal
punah separuh bagian.
Sekalipun cukup cepat dia menarik kembali tangannya, tidak
urung punggung telapaknya terhajar juga oleh tali ikat pinggang itu,
seketika dia merasakan rasa panas dan sakit yang luar biasa.
Dalam pada itu Seebun-hujin sama sekali tidak bergeser dari
posisi asalnya, dia hanya memainkan tali pinggangnya kian kemari,
memaksa lawan tidak sanggup menghampirinya.
Terdengar pendeta asing berbaju merah itu bertanya kepada
Siang Ngo-nio, "Bukankah kau mengatakan kalau bocah she-Bouw
itu adalah putra Bu-tong Ciangbunjin Bouw Ciong-long? Setahuku
bini Bouw Ciong-long sudah lama mati, darimana bisa muncul
seorang nenek yang mengaku sebagai ibu kandungnya?"
Saat itu Ouyang Yong telah menyambung sendiri sendi tulangnya
yang terlepas, kontan dia nyeletuk sambil tertawa dingin, "Untuk
bisa bermain dengan pipi putih, kalau tidak mengaku sebagai
anaknya, lalu musti diakui sebagai apa?"
"Mulutmu benar benar kotor dan tidak bermoral,” umpat Siang
Ngo-nio cepat, "mana boleh kau sembarang an menuduh orang?"
"Eeei.... bukankah kaupun mengumpatnya sebagai perempuan
hina? Kenapa malah membantu bicara untuk dirinya?"
"Yang kukatakan adalah kenyataan, benar adalah benar, tidak
benar adalah tidak benar.”
"Lantas menurutmu mengapa dia anggap si muka putih itu
sebagai anak kesayangannya?"
"Aaaah, kau seperti tidak mengerti saja, ini namanya mencintai
orangnya sekalian mencintai peliharaannya.”
Maksud lain dari perkataan itu adalah menuding orang yang
benar-benar dicintai Seebun-hujin adalah ayah Bouw It-yu.


Tampaknya pendeta asing berbaju merah itu kurang begitu
paham dengan pepatah dari bangsa Han, padahal sejujurnya dia
memang tidak tertarik untuk mengetahui hubungan antara Seebunhujin
dengan Bouw It-yu, pertanyaan yang dilontarkan tidak lebih
hanya pertanyaan iseng. Yang benar-benar menarik perhatiannya
saat ini hanyalah ilmu silat yang dimiliki Seebun-hujin.
"Apakah perempuan ini adalah Seebun-hujin yang kau
maksudkan itu?" kembali pendeta berbaju merah itu bertanya.
Belum sempat Siang Ngo-nio menjawab, situasi kembali telah
terjadi perubahan baru, perubahan yang membuat hatinya
terkesiap.
Saat itu Seebun-hujin telah menurunkan Bouw It-yu ke tanah,
dengan wajah penuh amarah dia bangkit berdiri dan....”plaaaak!
sebuah tempelengan keras telah mendarat di wajah Eng Siong-leng,
rupanya ikat pinggang Seebun-hujin telah mencambuk wajahnya
secara telak, bagaikan terkena sabetan cambuk ruyung, kontan
wajahnya sembab memerah dan mengucurkan darah. Masih untung
dia berkelit cukup cepat, kalau tidak mungkin sepasang matanya
telah buta dibuatnya.
Kembali tubuh Seebun-hujin melambung ke udara, kali ini dia
bukannya mengejar ke arah Eng Siong-leng melainkan menerkam
Siang Ngo-nio.
Buru-buru Siang Ngo-nio melepaskan segenggam jarum emas,
tapi mana mungkin serangannya itu dapat membendung terjangan
Seebun-hujin?
"Triiiing, traaaang....” serangkaian dentingan nyaring bergema di
udara, tahu tahu seluruh jarum emas itu sudah tersapu oleh tali ikat
pinggangnya dan meluncur balik.
"Kungfu yang hebat!" puji pendeta asing berbaju merah itu.
Sebuah pukulan yang dibabat keluar menghancurkan segenggam
jarum emas yang terpental balik itu menjadi bubuk halus, hancuran
bubuk itu menyebar diseluruh tubuh Siang Ngo-nio, membuat


perempuan itu termangu saking kagetnya.
Dengan satu gerakan yang amat cepat pendeta asing berjubah
merah itu menyongsong kehadiran Seebun-hujin, dengan sebuah
pukulan Toa-jiu-eng dia lepaskan pukulan dahsyat.
Tali ikat pinggang Seebun-hujin yang semula tegak lurus seperti
seekor ular emas, kini telah berubah jadi berliuk-liuk karena tekanan
pukulan lawan.
Siang Ngo-nio ikut melejit ke samping untuk menghindari
desakan hawa pukulan yang dahsyat.
Toa-jiu-eng memang sebuah pukulan yang menakutkan, begitu
meleset dari sasaran, angin pukulan yang maha dahsyat itu
langsung menggulung ke muka dan menghantam sebatang pohon
kecil yang tumbuh di sisi jalan.
"Blaaaam!" pohon sebesar paha itu langsung terhantam patah
jadi dua dan roboh ke tanah.
Ternyata pendeta asing berjubah merah itu adalah seorang
jagoan sakti dari Mi-tiong Tibet, dia bergelar Ka-cok. Konon ilmu
pukulan Toa-jiu-eng miliknya berada di urutan kedua di kolong
langit.
Ketika Nurhaci Khan (kemudian menjadi kaisar Cheng Thay-cu)
mendengar nama besarnya, secara khusus dia mengundang
pendeta ini untuk datang ke Seng-keng (kini kota Shen-yang) dan
memberinya gelar Sin-bu-hoat-su Pendeta dewa silat.
Kehadirannya kali ini pun sedang menjalankan perintah dari
Nurhaci Khan untuk datang ke kota Uh-sah-tin dan menyampaikan
perintah rahasia kepada Kim-lopan.
Eng siong-leng pernah bekerja sebagai pengawal pribadi Nurhaci
Khan, sejak sepuluh tahun berselang dia sudah berkenalan
dengannya di kota Seng-keng. Ketika pendeta itu tiba di kota Uhsah-
tin, waktu itu kebetulan Eng Siong-leng baru pulang dari
pengejaran, maka begitu bertemu dengannya, dia pun
mengundangnya untuk sekali lagi mengejar Tonghong Liang serta


Lan Giok-keng sekalian.
Di tengah jalan mereka bertemu Siang Ngo-nio, karena
mengandalkan orang-orang itu sebagai jimat pelindung dirinya,
maka diapun ikut balik lagi ke tempat itu. (semalam ketika Seebunhujin
sedang mengobati Bouw It-yu, diapun pernah bersembunyi di
sekitar sana sambil mengintip, hanya saja tidak berani menampilkan
diri).
Ka-cok Hoatsu tampak tercengang ketika melihat serangan toajiu-
eng yang dilancarkan hanya mampu memaksa tali ikat pinggang
Seebun-hujin jadi meliuk. Cepat dia mengejar ke depan, sambil
tertawa tergelak serunya, "Ternyata kungfu mu hebat juga, kenapa
baru satu gebrakan sudah ingin kabur. Jangan kuatir, walaupun
Hudya tidak pantang membunuh, tapi belum pernah mencelakai
perempuan cantik, ayoh kemari, temani Hudya bermain beberapa
gebrakan lagi!"
Seebun-hujin membalikkan tubuhnya sambil melompat keluar,
diantara kibaran ujung bajunya, bagaikan sekuntum awan putih
tahu-tahu dia sudah melayang turun di hadapan Ouyang Yong.
"Plaaak, plaaak, plaaak, plaaak!" dalam waktu sekejap Seebunhujin
telah melayangkan tamparannya berulang kali,
menghadiahkan empat gamparan keras ke wajah Ouyang Yong,
bukan saja membuat pipinya sembab merah, beberapa buah giginya
ikut patah dan tertelan berikut darah.
Coba kalau bukan Ka-cok Hoatsu segera menyusul tiba, mungkin
penderitaan yang dialami Ouyang Yong akan semakin parah.
Perlahan-lahan Seebun-hujin membalikkan tubuhnya, setelah
tertawa dingin ujarnya, "Hweesio gede, lebih baik gunakan
kesempatan ini untuk membaca mantera selamat!"
Setelah merasakan kelihayan Toa-jiu-eng dari hwesio itu, kali ini
Seebun-hujin bertindak lebih hati-hati. Tali ikat pinggangnya
berputar kencang di utara lalu menerobos masuk ke depan, kali ini
sasaran yang diarah adalah sepasang mata, lubang hidung dan
telinga dari Ka-cok Hoatsu.


Di bawah gempuran musuh yang dahsyat, tampak tali ikat
pinggang itu bergoyang tiada hentinya bagaikan ranting pohon liu
yang dimainkan angin puyuh, tapi sayang tali termasuk benda
lembek, Ka-cok Hoatsu tidak sanggup menggunakan angin
pukulannya untuk mematahkan senjata tersebut.
Di tengah pertempuran, berapa kali tali di tangan Seebun-hujin
menerobos masuk bagaikan seekor ular lincah, berapa kali nyaris
menyusup masuk ke dalam lubang hidung Ka-cok Hoatsu, hal ini
menyebabkan pendeta itu bersin berulang kali, terpaksa dia mundur
berapa langkah dengan wajah merah padam.
Menerobos masuk ke lubang hidung memang masalah kecil, tapi
urusan jadi besar jika sepasang matanya yang tertusuk.
Ka-cok Hoatsu tidak berani pandang enteng lawannya, cepat dia
memutar tubuh sambil melepaskan jubah merahnya, kemudian
bagaikan selapis awan merah dia hadang sergapan tali musuh yang
meliuk bagaikan ular emas.
Seebun-hujin tidak berani merangsek lebih ke depan, tidak lama
kemudian permainan tali ikat pinggangnya malah terhambat
sehingga terkurung sama sekali di bawah lapisan awan merah.
Sebetulnya kepandaian yang dimiliki wanita ini tidak kalah dari
Ka-cok Hoatsu, namun berhubung semalam dia telah mengorbankan
banyak tenaga murni untuk membantu Bouw It-yu menembusi
delapan nadi pentingnya, maka setelah pertarungan berlarut lebih
lama, dia mulai merasakan kehabisan tenaga.
Begitu berhasil menduduki posisi di atas angin, kembali Ka-cok
Hoatsu merasa bangga, katanya sambil tertawa, "Konon suamimu
sudah lama meninggal, selama ini hidup sebatang kara, benar-benar
kasihan, bagaimana kalau kau menjadi murid Hud-ya saja!"
Seebun-hujin tidak berani memecahkan perhatian untuk balas
mengumpatnya, terpaksa dia harus menahan diri dan bertarung
seraya menggertak gigi.
Di pihak lain Bouw It-yu sudah bertarung seru melawan Siang


Ngo-nio.
Setelah menelan pil Bi-leng-wan, semangat dan tenaga Bouw Ityu
telah pulih kembali, tapi tenaga dalamnya baru pulih delapan
bagian, karena Siang Ngo-nio tidak menggunakan senjata rahasia
beracun, maka kekuatan mereka pun berimbang.
Dengan berlagak seolah tidak terburu-buru, sambil tertawa seru
Bouw It-yu, "Apakah Tong ji-sianseng baik-baik saja? Tidak nyana
dia begitu tega membiarkan kau pergi seorang diri.”
Siang Ngo-nio balas tertawa.
"Semestinya aku sudah terbaring di dalam liang kubur, apa mau
dikata aku jadi orang lebih suka mampus daripada kesepian, karena
itu terpaksa harus bangkit lagi dari liang kubur. Sekalipun begitu,
aku tetap berterima kasih kepadamu karena telah merancangkan
siasat ini. Karenanya kau tidak perlu gugup atau panik, asal mau
mengakui aku sebagai ibu angkatmu, aku tidak bakalan
mencelakaimu lagi.”
Yang dia maksudkan adalah peristiwa yang telah terjadi delapan
bulan berselang, ketika Bouw It-yu merancangkan siasat baginya,
membiarkan dia "tewas" ditangan Tong Ji-sianseng hingga terhindar
dari penangkapan yang dilakukan orang-orang Bu-tong-pay.
Dalam peristiwa ini, hanya tiga orang yang mengetahuinya, Eng
Siong-leng serta Ouyang Yong yang berada di samping perempuan
itu nampak tertegun dan tidak habis mengerti.
Wajah Eng Siong-leng saat itu hanya dihajar terluka oleh Seebunhujin,
yang diderita hanya luka luar saja, beda dengan luka dari
Ouyang Yong, baru saja dia menyambung tulangnya yang terlepas,
hal ini membuat tangannya untuk sementara tidak bisa digunakan.
Tapi dasar bandel, dia tidak tahan mendengar celoteh dari Siang
Ngo-nio dan Bouw It-yu itu.
Terdengar Bouw It-yu berkata sambil tertawa tergelak, "Ngo-nio,
kelihatannya kau sedang mengidap penyakit menular, bertemu


siapa pun ingin menjadikan dia sebagai anak pungutmu, hanya saja,
aku tidak ingin merusak tingkat kesenioranku dengan Lan Giokkeng.”
Ouyang Yong tidak mengetahui sebab musabab dibalik ucapan
itu, dia sangka mereka sedang saling meledek, maka sambil
menerjang maju ke depan dan tertawa dingin, serunya, "Kalau kau
tidak mau menjadi anak angkatnya Ngo-nio, jadi anakku saja,
panggil aku bapak, segera kuampuni nyawamu!"
Siang Ngo-nio tidak suka hati mendengar perkataan itu, sengaja
dia kendorkan serangannya, menggunakan kesempatan itu Bouw Ityu
langsung melepaskan sebuah tusukan sambil membentak, "Kau
hanya pantas jadi cucu kura-kura!"
Sesungguhnya ilmu silat yang dimiliki Ouyang Yong kalah
setingkat dibandingkan Bouw It-yu, apalagi saat ini harus bertarung
dengan mengandalkan sebuah lengan, mana mungkin dia bisa
menahan serangan jurus pedang Bouw It-yu yang dahsyat?
Terdengar dia menjerit keras, tubuhnya yang baru menerjang ke
depan segera mundur kembali. Biarpun kali ini luka yang dideritanya
tidak terhitung parah, namun dua jari tangan kirinya telah terpapas
kutung oleh sabetan pedang tajam Bouw It-yu.
Saking mendongkolnya Ouyang Yong berteriak keras, "Siang
Ngo-nio, kau benar-benar hanya membutuh kan si muka putih tidak
tidak perdulikan sahabatmu?"
"Bagus,” jawab Siang Ngo-nio dingin, "kau maju saja, akan
kubiarkan kau bertarung satu lawan satu dengannya.”
Eng Siong-leng segera goyangkan tangannya memberi tanda
agar dia segera mundur. Sementara dia sendiri sambil maju ke
depan katanya, "Ngo-nio, kaupun tahu kemungkinan besar pihak
lawan masih mempunyai bala bantuan, hingga sekarang Tonghong
Liang dan Lan Giok-keng belum muncul disini!"
"Lantas kenapa?"
"Kita harus selesaikan pertarungan ini secepatnya!" sahut Eng


Siong-leng hambar, "Ngo-nio, bila kau sudah lelah, pergilah
beristirahat sejenak, biar aku bertarung satu lawan satu melawan
bocah muda ini!"
Eng Siong-leng tidak bisa dibandingkan dengan Ouyang Yong,
sebab baik soal status maupun ilmu silat, dia masih jauh diatas
kemampuan rekannya.
Terhadap Ouyang Yong boleh saja Siang Ngo-nio
mempermainkan dan pandang enteng dirinya, tidak demikian
terhadap Eng Siong-leng, dia harus menaruh rasa hormat
terhadapnya.
Hanya saja karena antara dia dengan Bouw It-yu mempunyai
hubungan yang khusus, tentu saja dia enggan membiarkan Bouw Ityu
terjatuh ke tangan Eng Siong-leng.
Sementara dia masih serba salah dibuatnya, mendadak terdengar
suara teriakan seorang pria dan wanita berkumandang secara
bersamaan.
Yang lelaki memanggil, “Susiok!", sedang yang wanita
memanggil, “Ibu!"
Tidak salah lagi, mereka berdua adalah Lan Giok-keng dan
Seebun Yan.
Kedatangan mereka berdua sebenarnya sudah berada dalam
dugaan Siang Ngo-nio, namun juga diluar dugaannya.
Cepat atau lambat Seebun Yan pasti akan balik kesana untuk
mencari Bouw It-yu, sementara kedatang-an Lan Giok-keng
mendampingi gadis itupun sangat masuk diakal, tentu saja Siang
Ngo-nio tidak akan merasa keheranan.
Justru yang membuat Siang Ngo-nio tidak menyangka adalah
kedatangan mereka yang begitu cepat.
Seebun Yan sudah terkena bubuk pemaboknya, menurut
perkiraan dia, sekalipun dapat pulih kembali paling tidak juga butuh
waktu berapa jam lamanya.


Tentu saja dia tak mengira kalau Seebun Yan mengandalkan
khasiat dari pil Bi-leng-wan serta "tenaga bantuan" dari Lan Giokkeng
hingga tidak sampai setengah jam kemudian, dia sudah dapat
menggunakan lagi ilmu meringankan tubuhnya.
Begitulah, dengan kecepatan luar biasa Lan Giok-keng telah
menerjang tiba dan menggantikan posisi Bouw It-yu.
"Lagi-lagi bocah keparat ini!" umpat Eng Siong-leng gusar.
"Tua bangka yang tidak tahu malu, baru saja kau berhasil
melarikan diri, sekarang berani mencari gara-gara lagi.”
Umpatan ini mempunyai arti ganda, tadi wajah Eng Siong-leng
terhasil dihajar Seebun-hujin hingga robek berdarah, dia memang
benar-benar sudah kehilangan muka sedari tadi.
Tidak heran kalau Eng Siong-leng jadi amat gusar, bentaknya,
"Bocah keparat, akan kucabutnyawamu!"
Diiringi bentakan nyaring, dia segera melancarkan serangan
mematikan!
"Bagus, kalau memang punya kepandaian ayoh keluarkan
semua!"
Sambil mencabut pedang dia melancarkan sebuah babatan.
Cengkeraman maut yang dilancarkan Eng siong-leng diarahkan
ke tulang Pi-pa-kut nya, bukan saja jurus serangannya matang
bahkan sudah diperhitungkan ke mana pun pihak lawan akan
berkelit, meski tulang Pi-pa-kut nya tidak sampai hancur, paling
tidak akan menyebabkan luka yang cukup parah.
Siapa tahu Lan Giok-keng bukannya berkelit malahan merangsek
maju ke depan, pedangnya dengan membentuk garis melingkar
langsung menyongsong datangnya cengkeraman itu.
Dengan begitu cengkeraman ini sama artinya usaha yang sia-sia
meski sudah dilakukan dengan resiko.
Tampak dimana cahaya putih berkelebat lewat, percikan darah


segar berhamburan ke udara, tahu-tahu sebuah jari tangan Eng
siong-leng sudah terpapas kutung. Masih untung dia cepat menarik
kembali tangannya, kalau tidak mungkin ke lima jari tangannya
bakal terpapas kutung semua.
Bouw It-yu sebagai seorang paman guru tidak tahan bersorak
memuji juga setelah melihat kejadian ini, serunya, "Sebuah gerak
tipuan yang hebat, jurus Hian-nio-hua-sah yang kau gunakan sangat
bagus!"
Sementara itu Eng siong-leng justru merasa terkesiap, pikirnya,
'Heran, baru selisih saru hari, kenapa ilmu pedang yang dimiliki
bocah ini bisa mengalami kemajuan secara tiba-tiba?'
Sewaktu bertarung melawan Lan Giok-keng kemarin, walaupun
kekuatan mereka hanya seimbang namun dia masih bisa mengambil
porsi enam bagian untuk melancarkan serangan. Dia yakin kalau
bukan Tonghong Liang ikut menimbrung secara mendadak, dia
seharusnya masih bisa mengungguli Lan Giok-keng. Itulah sebabnya
tadi dia masih berani bicara sesumbar.
Dia mana tahu kalau ilmu pedang dari Lan Giok-keng lebih
menitik beratkan pada "pemahaman", ilmu Eng-jiau-kang yang
diyakini Eng siong-leng merupakan sebuah ilmu manunggal yang
jarang beredar dalam dunia persilatan, ketika bertarung pertama
kali, oleh karena Lan Giok-keng belum pernah menjumpai ilmu
tersebut sebelumnya, tidak urung dia sedikit dirugikan.
Tapi setelah bentrok untuk kedua kalinya, keadaan sedikit
berbeda, dari pengalaman sebelumnya dia berhasil menempa diri
untuk menciptakan cara untuk mematahkan serangan lawan, itulah
sebabnya tidak sulit baginya untuk merebut posisi diatas angin.
Selain itu masih terdapat alasan lain, dalam hal tenaga dalam
Eng siong-leng memang jauh diatas kemampuannya, tapi sebelum
ini Eng Siong-leng sudah menghadapi dua pertarungan secara
beruntun, hal ini menyebabkan tenaga dalamnya terkuras habis,
keadaannya sekarang malah jauh berada di bawah kemampuan Lan
Giok-keng.


Sayangnya Eng siong-leng bukan saja tidak tahu kekuatan
sendiri, diapun tidak mengetahui kekuatan lawan, begitu sadar
kalau kemampuannya tidak sanggup mengatasi serangan pedang
lawan, dia masih ingin mengandalkan tenaga dalamnya untuk
meraih kemenangan, sebuah tendangan kilat dia lontarkan ke dada
Lan Giok-keng.
Terkesiap hati Bouw It-yu begitu melihat Eng siong-leng berniat
adu nyawa. Tapi belum sempat dia maju untuk memberi bantuan,
terdengar jeritan ngeri yang memilukan hati, bergema memecahkan
kehening-an, tampak seseorang roboh terjungkal ke atas tanah.
Tapi orang itu bukan Lan Giok-keng, juga bukan Eng Siong-leng
melainkan Ouyang Yong.
Ternyata begitu Ouyang Yong melihat Seebun Yan hanya
seorang gadis muda, dia anggap "gadis ingusan" itu gampang
dipermainkan, waktu itu dia sedang duduk diatas batu sambil
mengobati lukanya, begitu melihat Seebun Yan lewat dihadapannya,
tanpa banyak bicara dia langsung menerkam ke depan.
Biarpun sedang bertempur, namun perhatian dan pendengaran
Seebun-hujin masih cukup tajam, begitu tahu anaknya terancam
bahaya, cepat dia berteriak, "Heng-im-toan-hun! (awan melintang
memotong puncak)!"
Sejak kecil Seebun Yan sudah belajar silat dari ibunya, begitu
mendengar teriakan itu dia langsung lancarkan jurus serangan itu.
Sekalipun dalam keadaan tidak terluka pun Ouyang Yong sudah
sulit mengungguli gadis itu, apalagi sekarang setelah memperoleh
petunjuk dari ibunya.
Daya jangkauan dari jurus Heng-im-toan-hun ini sangat kecil,
namun daya penghancurnya justru besar sekali, merupakan jurus
paling tangguh untuk menghadapi sergapan dari musuh. Begitu
jurus ini digunakan gadis tersebut, derita yang diterima Ouyang
Yong bukan hanya sekedar lepas tulang saja, seluruh lengannya
tertebas hingga kutung jadi dua.


Ternyata Ouyang Yong terhitung jagoan yang bandel dan nekad,
biar lengan sudah berpisah dengan tanah, biar badan sudah
tergeletak ditanah namun dia sama sekali tidak pingsan.
Sambil menggertak gigi dia segera menggulingkan diri ke bawah
tebing.
Padahal di bawah tebing penuh dengan batu cadas tajam dan
runcing, begitu menggelinding ke bawah, bukan saja mati hidup
susah diketahui, yang pasti seluruh tubuhnya bakal luka dan robek
karena gesekan batu-batu itu.
Untuk sesaat Seebun Yan berdiri tertegun saking kagetnya.
Saat itulah kebetulan Eng Siong-leng sedang melambung sambil
melepaskan tendangan, ketika secara tiba-tiba mendengar jeritan
ngeri dari Ouyang Yong, seketika pikirannya jadi kalut, tendangan
yang dilancarkan pun otomatis bergeser arah.
Tapi justru karena tendangannya miring dari sasaran, dia malah
berhasil menyelamatkan kakinya dari babatan lawan. Waktu itu Lan
Giok-keng dengan jurus Sam-coan-hoat-lun sebetulnya sedang
menunggu sampai kaki lawan menendang keatas dadanya, maka
tebasan pedangnya segera akan memotong tumit sebatas lutut
musuhnya hingga kutung.
Begitu tendangannya miring kesamping, cepat dia gunakan
kesempatan itu menggelinding pula ke bawah tebing dengan gaya
burung belibis membalikkan badan.
Gara-gara harus memberi petunjuk kepada putrinya, meski
berhasil memukul mundur Ouyang Yong namun Seebun-hujin
sendiri semakin tidak sanggup menghadapi gempuran gempuran
dahsyat dari Ka-cok Hoatsu, kini seluruh badannya nyaring
terkurung di bawah kepungan awan merah yang pekat.
Begitu hilang rasa kagetnya, Seebun Yan segera berteriak keras,
"Bajingan gundul, jangan lukai ibuku!"
Rasa kasih sayang seorang anak terhadap ibunya membuat
Seebun Yan untuk sesaat seolah lupa kalau kepandaian yang dimiliki


ibunya masih sepuluh kali lipat diatas kemampuannya, kalau ibunya
saja tidak sanggup melawan, apa pula gunanya dia maju memberi
bantuan?
Tampak jubah merah yang diputar Ka-cok Hoatsu menimbulkan
deruan angin serangan yang sangat kuat, baru saja Seebun Yan
berlari mendekati ruas tiga tombak dari arena pertarungan, tiba-tiba
dia merasakan munculnya segulung tenaga yang sangat kuat
menghantam dadanya, seketika itu juga bagaikan sebuah bola kain,
tubuhnya mencelat sejauh tiga tombak lebih.
Dalam terkejut bercampur panik, secara beruntun Seebun-hujin
melancarkan berapa pukulan untuk memunahkan tenaga kekuatan
lawan.
Untung saja dia melepaskan pukulan tepat waktu, sehingga
tenaga pukulan yang menyentuh tubuh Seebun Yan hanya tidak
lebih dari tiga bagian dari kekuatan Ka-cok Hoatsu semula, dengan
begitu si nona pun lolos dari luka yang parah.
Namun, kendatipun tidak sampai terluka parah, namun bantingan
dari tengah udara cukup membuatnya menderita.
Cepat Bouw It-yu dan Lan Giok-keng memburu ke depan untuk
menolong, Lan Giok-keng yang berada paling depan persis
menyongsong jatuhnya tubuh Seebun Yan dari udara, tanpa
berpaling lagi dia membalik tangan sambil melemparkan tubuh
Seebun Yan ke arah Bouw It-yu.
Dengan gugup Bouw It-yu menerima lemparan itu dan
membopongnya erat-erat, untuk sesaat mereka berdua berdiri
bodoh saking kagetnya.
Dalam pada itu Lan Giok-keng bagai segulung angin kencang
telah menyerbu ke dalam arena pertarungan dan bertarung
bersanding dengan Seebun-hujin, gejolak tenaga dalam yang
dipancarkan kedua orang jago ini membuat anak muda itu
merasakan napasnya sesak dan tidak leluasa.
Cepat pemuda itu memusatkan konsentrasinya, dengan tehnik


"biarkan gunung Thay-san datang menindih, aku tanggapi bagai
hembusan angin berlalu" dia tusukkan pedangnya ke dalam
gumpalan awan merah pendeta itu.
Sebetulnya permainan jubah dari Ka-cok Hoatsu sangat ketat,
sedemikian rapatnya ibarat angin dan hujan pun sukar tembus, tapi
aneh sekali, ternyata tusukan pedang Lan Giok-keng yang
sederhana dan tidak dikenal itu berhasil menembusinya.
Padahal kalau berbicara soal ilmu silat, jelas kemampuan yang
dimiliki Ka-cok Hoatsu jauh diatas kemampuannya, mengapa dia
bisa memiliki kekuatan sedemikian 'sakti'?
Tentu saja hal ini disebabkan Seebun-hujin telah memberikan
bantuannya, kalau tidak ada Seebun-hujin yang mewakilinya
menghadang serbuan dari Ka-cok Hoatsu, tentu saja anak muda itu
tidak sanggup mengeluarkan kebolehannya.
Tapi alasan lain yang lebih penting lagi adalah karena dia sudah
memusatkan seluruh pikiran dan kekuatannya dalam jurus serangan
ini, dia telah menyatukan jiwa serta tubuhnya menjadi satu dengan
serangan pedangnya.
Dalam waktu singkat, bukan saja dia seolah tidak melihat dan
tidak mendengar suasana di sekelilingnya, bahkan terhadap diri
sendiripun dia seolah sudah melupakannya.
Dalam detik yang singkat ini, dia seakan telah menjelma jadi si
tukang jagal sapi.
"Tusukan pisaumu ke dalam celah kosong antara tulang dengan
otot, karena menurut anatomi tubuh sapi, bagian sambungan otot
dengan tulang adalah bagian yang susah ditusuk dengan pisau,
apalagi menusuk tulang keras. Oleh sebab itu walaupun pisau sudah
digunakan selama sembilan belas tahun, ketajamannya masih
seperti baru. Walau begitu, setiap kali bertemu bagian pertemuan
antara otot dan tulang, aku selalu bertindak hati-hati dengan
tingkatkan kewaspadaan, pusatkan pandangan ke satu titik, gerakan
semakin melambat, ketika menggerakkan pisau pun sangat ringan.
Lalu daging pun terurai dari tulang dan.... berserakan diatas tanah.


Dengan bangga kupandang empat penjuru, dengan hati-hati
kugosok pisauku dan menyimpannya kembali.”
Kini dia sudah menjadi si koki yang hendak menjagal sapi, dia
berhasil menemukan "rongga kosong" di tubuh Ka-cok Hoatsu.
Jaman kuno ada seorang pemanah sakti bernama Yang Yu-ki, dia
pernah menggunakan cara semacam ini untuk melatih diri, dia ikat
seekor kutu dengan benang dan digantungkan diatas kelambunya,
setiap hari dipandangnya kutu itu, hingga suatu hari dari pandangan
matanya dia dapat melihat kutu itu telah berubah sebesar roda
kereta, maka anak panah yang dilepaskan pasti akan mengenai
sasaran tanpa meleset.
Cerita ini mempunyai banyak kesamaan dan kemiripan dengan
cerita sang koki penjagal sapi.
Dan keadaan Lan Giok-keng saat ini tidak beda dengan Yang Yuki
yang melihat seekor kutu sebesar roda kereta, dia telah
menemukan setitik kelemahan yang muncul pada diri Ka-cok
Hoatsu, betapa pun ketat dan rapatnya perputaran jubah Ihasanya,
namun keadaan "angin dan hujan sukar tembus" hanya berlaku bagi
pandangan orang lain, dalam pandangan Lan Giok-keng dia berhasil
menemukan setitik 'ruang kosong' yang tidak terlihat orang lain.
Maka seperti panah sakti dari Yang Yu-ki, pedang saktinya pun
menusuk tembus jubah lhasa milik Ka-cok Hoatsu (Gb 13).
Biarpun hanya sebuah lubang yang kecil, namun jubah lhasa Kacok
Hoatsu yang semula menggelem-bung bagaikan layar perahu
samudra, tiba-tiba saja mengem-pis lalu rontok sama sekali. Ka-cok
Hoatsu bagaikan seekor ayam jago yang kalah bertarung segera
membuang jubah Ihasanya lalu membalikkan tubuh dan melarikan
diri.
Untuk sesaat keheningan mencekam seluruh jagad. Lama
kemudian baru terdengar Bouw It-yu dan Seebun Yan berteriak
serentak, "Ilmu pedang hebat!"
Hanya bedanya, teriakan Seebun Yan penuh dengan nada


gembira sementara Bouw It-yu justru merasakan kekecutan yang
sukar diurai dengan perkataan.
Lama Seebun-hujin menatap wajahnya, kemudian tanyanya
perlahan, "Siapa yang mengajarkan ilmu pedang itu kepadamu?"
"Ibu,” sela Seebun Yan, "rupanya kau belum tahu, dia adalah
adik Lan Sui-leng, murid dari Bu-tong-pay, menurut Bouw-toako, dia
adalah cucu murid yang paling disayang Bu-siang Cinjin "
Maksud dari perkataan itu sangat jelas, siapa yang telah
mengajarkan ilmu pedang itu sudah tidak perlu dipertanyakan lagi.
Tapi Seebun-hujin seolah tidak mendengar perkataan dari
putrinya, dengan tatapan tanpa berkedip dia masih menanti
jawaban dari Lan Giok-keng.
Dan jawaban dari Lan Giok-keng ternyata jauh diluar dugaan
Seebun Yan.
"Aku tidak tahu,” sahutnya.
"Hey, apa maksud jawabanmu itu,” sela Seebun Yan lagi dengan
nada tercengangm, "kenapa kau....”
Sebetulnya dia ingin menegur Lan Giok-keng, tapi setelah
menyaksikan pandangan mata ibunya maupun Bouw It-yu samasama
tertuju ke wajah Lan Giok-keng, seakan mereka tidak
menganggap aneh jawaban pemuda itu, terpaksa kata berikut tidak
dia lanjutkan.
Lan Giok-keng berpikir sejenak, kemudian ujarnya lebih jauh,
"Kiam-koat aku dapatkan dari warisan Sucouw, gerakan jurus aku
belajar dari Gihu, tapi dengan pikiran yang kalut akupun
menciptakan sejumlah jurus baru.”
"Oooh, dengan pikiran yang kalut? Pintar amat kau!" ujar Bouw
It-yu hambar.
"Hwee-ko Thaysu pernah memberi petunjuk kepadaku, tapi yang
dia bicarakan adalah makna dan inti sari dari ilmu silat, sama sekali
bukan ilmu pedang.”


"Bila sebuah makna berhasil dipahami, berbagai pengertian lain
dengan sendirinya akan lebih mudah dicerna, meskipun petunjuk
yang dia berikan bukan ilmu pedang, namun banyak manfaat yang
berhasil kau peroleh bukan?" kata Seebun-hujin.
"Tepat sekali seperti yang hujin katakan.”
Diam-diam Seebun-hujin berpikir, "Tampaknya apa yang dia
katakan bukan bohong, ilmu pedangnya memang jauh diatas
kemampuan anak Yu, meski belum tentu bisa mengungguli ayahnya
anak Yu, namun jelas dia telah membuka sebuah aliran baru.”
Ternyata ketika dia menyaksikan kehebatan ilmu pedang yang
dimiliki Lan Giok-keng, sempat muncul kecurigaan dihati kecilnya,
curiga apakah ilmu pedang itu merupakan ajaran dari Bouw Cionglong.
Sementara dia dapat menerima penjelasan dari Lan Giok-keng,
berbeda dengan Bouw It-yu, dia masih menaruh sedikit kecurigaan.
"Tentunya orang yang memberi petunjuk ilmu silat kepadamu
bukan hanya Hwee-ko Thaysu seorang bukan?"
Belum sempat Lan Giok-keng menjawab, Seebun Yan sudah
kehabisan sabar, segera selanya, "Masalah ini bukanlah sebuah
masalah yang sangat penting, apa salahnya ditanyakan nanti saja.
Aku baru bertemu dengan ibuku, bolehkah aku berbicara duluan?"
"Anak Yan, kenapa kau begitu tidak tahu adat, jangan memotong
pembicaraan orang!" tegur Seebun-hujin.
Lan Giok-keng segera berpikir, "Mumpung Seebun-hujin masih
berada disini, inilah kesempatan terbaik bagiku untuk melepaskan
tali simpul mati ini!"
Maka sahutnya cepat, "Aku pernah bertanding ilmu pedang
melawan Tonghong Liang, kalau dibilang bertanding, lebih cocok
disebut menempa diri. Tapi saat itu aku sama sekali tidak tahu kalau
antara Tonghong Liang dengan perguruan kami pernah terjadi
perselisihan. Bouw-susiok, bila kau anggap perbuatanku salah, aku
bersedia menerima hukumanmu!"


Bouw It-yu sama sekali tidak menyangka kalau pemuda itu bakal
bicara tanpa tedeng aling-aling di hadapan Seebun-hujin, untuk
sesaat dia jadi serba salah, rikuh dan tidak tahu bagaimana harus
menanggapinya.
"Anak Yu,” ujar Seebun-hujin kemudian, "aku mohon kau sudi
mengabulkan sebuah permintaanku.”
Bouw It-yu segera dapat menebak apa yang hendak
disampaikan, namun diapun terpaksa harus menyahut, "Nyawa ku
saja diperoleh kembali berkat bantuan ibu angkat, silahkan ibu
memberikan perintah.”
"Tonghong Liang adalah keponakanku, walaupun dia pernah
membuat keonaran di gunung Bu-tong, namun bukankah Bu-siang
Cinjin pun telah memaafkan kesalahannya? Aku harap kau jangan
lagi menganggapnya sebagai musuh besar.”
"Hahahaha.... mana mungkin aku mengingat terus perselisihanku
dengan keponakanmu, bila aku menganggapnya sebagai musuh
besar, tidak nanti akan kutemani adik Yan untuk mencarinya di
Liauw-tong,” sahut Bouw It-yu sambil tertawa tergelak, "hanya saja
aku harus bicara dulu dimuka, aku adalah murid Bu-tong-pay, bila
suatu saat keponakanmu datang mencari keributan lagi dengan Butong-
pay kami, saat itu paling banter aku hanya bisa menghindar,
tapi tidak bisa mencegah rekan sesama seperguruanku untuk
bermusuhan dengannya.”
Seebun-hujin tahu kalau pemuda itu tidak bicara sejujurnya, tapi
dia berkata pula, "Aku sudah merasa puas bila kau dapat berbuat
begitu. Hanya saja akupun ada sepatah kata ingin minta tolong
untuk disampaikan kepada sesama seperguruanmu, aku tahu kalian
curiga dia telah mencuri belajar ilmu pedang perguruanmu, maka
aku perlu bicara sejujurnya, sekalipun berniat mencuri belajar, dia
tidak perlu harus mencuri belajar dari anggota perguruanmu. Ilmu
pedang Bu-tong-pay bukanlah ilmu rahasia yang tidak pernah
diwariskan kepada orang luar, sudah banyak orang pernah
melihatnya, bukan anggota perguruan kalian pun bukan berarti tidak
mengerti ilmu pedang perguruan kalian. Jika Tonghong Liang ingin


belajar, akupun dapat mengajarinya.”
"Baik, aku tahu,” sahut Bouw It-yu.
Padahal sewaktu menjawab pertanyaan ini, timbul sebuah
kecurigaan lain dihati kecilnya.... kenapa Seebun-hujin pun mengerti
ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat?
Sambil tertawa Seebun Yan berkata pula, "Akupun jadi orang
suka bicara blak-blakan. Bouw-toako, sekarang ibuku telah
memberikan penjelasannya, aku harap di kemudian hari kau tidak
usah mencurigai lagi kalau keponakan muridmu itu pernah
mengajarkan ilmu pedangnya secara diam-diam kepada piauko ku!"
"Toako mu sudah mendengar dengan jelas,” sela Seebun-hujin
sambil tertawa, "buat apa kau musti melukis kaki di gambar ular?
Baiklah, sekarang katakan-lah apa yang ingin kau ucapkan
kepadaku.”
Menggunakan kesempatan ibunya sedang senang, Seebun Yan
segera berseru, "Sebelum si Lebah hijau Siang Ngo-nio muncul
disini, aku pernah bertemu satu kali dengannya bahkan nyaris
dicelakai olehnya, untung Lan Giok-keng berhasil menyelamatkan
nyawaku. Ibu, bagaimana kalau kucarikan sebuah anak angkat lagi
untukmu? Dia adalah adik Sui-leng, bukankah Sui-leng pun sudah
memanggil kau ibu angkat.”
Seebun-hujin tidak berkata apa-apa, begitu pula dengan Lan
Giok-keng.
Cepat Seebun Yan mengerdipkan matanya berulang kali ke arah
Lan Giok-keng sambil serunya, "Kenapa kau tidak segera memberi
hormat kepada ibu angkatmu, bila kau sudah menjadi anak
angkatnya maka kaupun bisa minta ibu mengajarkan ilmu pedang
untukmu.”
"Ilmu pedangnya sudah jauh diatas kemampuanku, pelajaran apa
lagi yang bisa kuajarkan kepadanya?" kata Seebun-hujin hambar.
"Maafkan aku tidak tahu diri, aku telah mempunyai seorang ayah
angkat,” kata Lan Giok-keng pula.


"Memangnya setelah punya ayah angkat lantas tidak boleh punya
ibu angkat?" pikir Seebun Yan dalam hati.
Namun berhubung kedua belah pihak sama sama tidak berminat,
terpaksa dia hanya bisa menggerutu dalam hati.
Sejenak kemudian kembali Lan Giok-keng berkata, "Bouw-susiok,
maafkan aku karena tidak bisa pulang gunung untuk menghadiri
pemakaman Sucouw, aku harus pergi duluan karena masih ada
urusan lain.”
"Apakah urusanmu tidak bisa diwakilkan orang lain?" tanya Bouw
It-yu.
"Persoalan ini merupakan tugas yang dicerikan Sucouw semasa
masih hidup dulu, maaf kalau aku tidak bisa minta bantuan orang
lain.”
Bouw It-yu merasa amat rikuh dan serba salah, terpaksa dia
hanya bisa mengawasi bayangan punggung pemuda itu lenyap dari
pandangan matanya.
Tiba tiba Seebun-hujin berbisik, "Daripada bertambah dengan
satu masalah, lebih baik berkurang dengan satu masalah, biarkan
saja dia pergi seorang diri!"
"Eeei.... ibu, kau seakan sudah mengetahui semuanya!" seru
Seebun Yan tercengang.
"Masa kau lupa, ayahmu dulu pernah menjadi Liok-lim Bengcu,
biarpun di wilayah Liauw-tong, banyak juga bekas anak buahnya
yang bermukim disini, apa sulitnya bagiku untuk menyelidiki jejak
kalian semua?"
"Bukan soal ini yang kumaksud. Yang kumaksud adalah
tampaknya kau jauh lebih mengerti persoalan Bouw-toako
ketimbang apa yang kuketahui.”
Seebun-hujin terperanjat, dia sangka putrinya sudah timbul
curiga, tanyanya cepat, "Mengapa kau punya pikiran begitu?"
"Atas dasar perkataanmu tadi.”


"Oooh, perkataanku tadi yang mana?"
"Kau membujuk Bouw-toako lebih baik kurangi satu masalah
ketimbang bertambah satu masalah, bukankah hal ini mengartikan
kau sedang beritahu kepada orang bahwa kau telah mengetahui apa
tujuan kedatangan Bouw-toako ke Wilayah Liauw-tong kali ini? Aku
tidak mengerti apa yang kau maksud dengan bertambah satu
masalah.”
"Dasar budak nakal, rupanya kau sedang menelaah kata per kata
dan memaksa orang untuk memberi penjelasan....”
Meski begitu diam-diam dia merasa lega sekali.
"Bouw-toako,” ujar Seebun Yan lagi, "bukankah kedatangamu
dan aku ke Liauw-tong kali ini adalah untuk mencari Lan Giok-keng
dan mengajaknya pulang gunung?"
Tergerak pikiran Bouw It-yu, serunya sambil tertawa tergelak,
"Hahahaha.... sejak kapan kau berubah jadi begitu bawel dan suka
mencampuri urusan orang?"
"Coba lihat, hal ini membuktikan kalau kau memang masih punya
urusan lain. Baik, aku tidak akan ikut campiir urusanmu, aku hanya
ingin membantumu.”
"Oooh, ingin membantuku?"
"Aku belum selesai bicara. Sekalipun aku tidak mampu
membantumu, toh masih ada ibuku. Coba katakan, siapa tahu ibu
dapat membantumu.”
"Jangan kau anggap ibumu hebat, serba bisa dan luar biasa,”
tegur Seebun-hujin tertawa.
Diam-diam Bouw It-yu berpikir, "Bekas anak buah suaminya
tersebar luas di kolong langit, jelas berita mereka amat tajam dan
cepat, apa salahnya aku mencari tahu darinya....?"
Berpikir begitu diapun berkata, "Aku tahu, kedatangan Giok-keng
dan Hwee-ko Thaysu ke Liauw-tong karena sedang mencari
seseorang, tapi aku tidak tahu siapakah yang sedang mereka cari?"


"Aaah, keponakan muridmu memang kurang sopan dan tidak
menghormatimu, masa dia enggan memberitahukan hal ini
kepadamu?" seru Seebun Yan.
"Apakah masalah ini sangat penting untukmu?" tanya Seebunhujin
pula.
"Boleh dibilang begitu.”
"Ooh, jadi rupanya masalah ini adalah masalah yang ingin
diketahui ayahmu?" Seebun-hujin menam-bahkan sambil
tersenyum.
Bouw It-yu tidak menjawab tapi mimik mukanya sudah
mengakuinya.
Tiba-tiba Seebun-hujin berkata lagi, "Menurut dugaan kalian,
siapakah orang yang sedang dicari dia dan Hwee-ko Thaysu?"
"Menurut dugaan kami, kemungkinan besar orang itu adalah Jitseng-
kiam-kek.”
"Jit-seng-kiam-kek Kwik Tang-lay?" seru Seebun-hujin agak
tertegun, "kalian yakin dia masih hidup di dunia ini?"
"Tahun berselang, Put-ji-suheng pernah datang ke Liauw-tong
dan bertemu dengannya.”
"Berapa usia Put-ji dibandingkan usiamu?"
"Mungkin usianya seputar empat puluh tahunan.”
Seebun-hujin termenung dengan kening berkerut, sesaat
kemudian dia baru berkata lagi, "Sudah hampir dua puluh tahunan
Jit-seng-kiam-kek lenyap dari peredaran dunia persilatan, kalau
dilihat Suhengmu dulunya adalah seorang murid preman, aku rasa
tidak mungkin bukan dia sudah berkelana sejak belasan tahun?
Lantas darimana bisa tahu kalau orang yang dijumpainya adalah Jitseng-
kiam-kek?"
"Put-ji-suheng telah menderita kerugian fatal di tangannya,
hanya menggunakan satu jurus, dada Put-ji-suheng telah


bertambah dengan tujuh buah titik bekas tusukan pedang, tujuh
titik yang berjajar membentuk barisan tujuh bintang gugus utara.”
Berubah paras muka Seebun-hujin, serunya, "Kalau begitu orang
itu memang Jit-seng-kiam-kek, kurasa lebih baik kau tidak usah
pergi mencarinya.”
"Ibu, kau takut terhadap Jit-seng-kiam-kek?" seru Seebun Yan
penasaran.
"Ibu bukannya takut kepadanya....” jelas masih ada kelanjutan,
tapi setelah berhenti sejenak, Seebun-hujin tidak melanjutkan
perkataan itu.
Tiba-tiba dia mengalihkan pokok pembicaraan, "Yan-ji, kau telah
datang ke Liauw-tong, keinginanmu juga telah kesampaian, mari
ikut aku pulang.”
"Aku belum menemukan Piauko.”
"Tapi kalian telah bertemu muka.”
"Tidak sepatah kata pun dia bicara denganku, bertegur sapa pun
tidak! Aku ingin pulang bersamanya!"
"Aaaai, dalam masalah apa pun tidak baik untuk kelewat
dipaksakan,” kata Seebun-hujin sambil menghela napas, "mari kita
pulang dulu, nanti akan kuutus orang untuk menyampaikan
pesanmu kepadanya.”
"Ibu, aku bukannya menguatirkan Piauko, tapi apa salahnya
kalau kita pulang setelah kau membantu Bouw-toako?"
Kembali Seebun-hujin tertawa.
"Hahahaha.... aku sedang berpikir kenapa secara tiba-tiba kau
bersikap begitu perhatian terhadap urusan orang lain, rupanya
hanya untuk memenuhi harapanmu untuk menunggu kedatangan
Piauko mu. Baiklah, agar hatimu lebih tenteram, kita tinggal sehari
lagi disini.”
"Ibu angkat,” Bouw It-yu segera menyela, "aku tidak ingin


kelewat memaksa dirimu, lagipula persoalan ini mengandung resiko
yang kelewat besar''
"Kau salah paham,” sahut Seebun-hujin tertawa, "masih ada
alasan lain mengapa aku tidak ingin kau pergi mencari Jit-sengkiam-
kek, hanya saja sekarang aku telah berubah pikiran, sebab
saat ini hatiku ter-dorong juga oleh rasa ingin tahu yang besar, ingin
kujumpai sahabat lamaku ini.”
"Aaah, ternyata ibu angkat sudah lama kenal dengan Jit-sengkiam-
kek?" seru Bouw It-yu sedikit diluar dugaan.
"Benar, aku sudah berkenalan dengannya sejak tiga puluh tahun
berselang, waktu itu kau belum lahir,” jawab Seebun-hujin hambar.
"Jadi ibu angkat tahu, dimanakah dia sekarang?"
"Aku tidak tahu.”
"Tapi katamu hanya butuh waktu sehari....”
“Aku tidak mengetahui kabar beritanya, tapi bukan berarti tidak
bisa bertanya dimana dia berada, bukankah di kota Uh-sah-tin
sudah siap seseorang yang bisa ditanyai.”
"Maksudnya Kim-lopan?" hampir berbareng Bouw It-yu dan
Seebun Yan berteriak.
"Betul, mungkin saja orang lain tidak tahu kabar berita tentang
Jit-seng-kiam-kek, tapi Kim Teng-hap pasti tahu.”
"Masa dia mau memberitahukan kepada kami?" tanya Seebun
Yan.
"Jadi kau sangka aku pergi untuk memohon kepadanya?"
"Berarti kita akan memaksanya untuk menjawab? Aku tidak
seberapa tahu ilmu silat yang dimiliki Kim Teng-hap, tapi jumlah
anak buahnya cukup banyak, jika manusia berkerudung ditambah
pendeta asing berjubah merah itu berada disana juga, aku kuatir....
aku kuatir....
aaai, kenapa Lan Giok-keng buru-buru pergi.”


"Kedua orang itu bukan anak buah Kim Teng-hap, lagipula
akupun bukan mencari mereka untuk berkelahi,” sela Seebun-hujin.
Agaknya Bouw It-yu sudah dapat menebak beberapa bagian,
katanya kemudian, "Apakah ibu angkat ingin menggunakan
peraturan dunia persilatan dengan mengundang seorang penengah
untuk menyelesaikan perselisihan ini kemudian sekalian mencari
berita tentang jejak Jit-seng-kiam-kek?"
"Bagaimana pun kau memang lebih berotak,” Seebun-hujin
tertawa, "benar, Kim Teng-hap mempunyai anak buah, akupun
mempunyai anak buah. Bila benar benar harus bertarung, belum
tentu kekuatan yang kita miliki kalah dari mereka.”
"Lantas apakah sekarang juga kita akan pergi ke Uh-sah-tin?"
"Aku telah minta tolong seseorang yang kenal dengan Kim Tenghap
untuk menyampaikan kartu namaku, kartu nama itu memakai
namanya tapi dari status kedudukannya, dia adalah utusanku. Kita
menanti kabar beritanya terlebih dulu.”
Berkata sampai disini, dia memeriksa sebentar keadaan cuaca
kemudian melanjutkan, "Seharusnya sebentar lagi dia sudah tiba
disini....”
Benar saja tidak lama kemudian terdengar suara desingan anak
panah bergema di udara kemudian terlihat sebuah lidah api
berwarna biru meledak di angkasa. Inilah tanda rahasia panah lidah
ular yang seringkali dipergunakan kalangan hek-to untuk
menyampaikan berita.
Dengan mengerahkan ilmu Coan-im-jip-bit (ilmu menyampaikan
suara) Seebun-hujin berseru kepada orang yang berada di bawah
bukit, "Aku tidak ada masalah, kalian tidak perlu naik kemari.”
Walaupun sudah ada perintah, namun sewaktu Seebun-hujin,
Seebun Yan dan Bouw It-yu tiba di punggung bukit, masih ada dua
orang yang segera berlarian menyongsong kedatangannya.
Kedua orang itu adalah orang-orang yang sama sekali diluar
dugaan Seebun Yan.


Ternyata kedua orang yang munculkan diri itu tidak lain adalah
Peng-toaso serta Hong-sihu.
Tempo hari, Hong-sihu telah dihajar Suma Cau dari perkumpulan
Liong-bun-pang hingga sekujur tubuhnya babak belur, kendatipun
hanya luka luar dan kini telah sembuh, namun berapa bekas luka
diwajahnya hingga kini masih belum hilang sama sekali.
Di hari mereka terluka itulah Seebun Yan berjumpa dengan Bouw
It-yu. Biarpun waktu itu dia hanya bersembunyi di tempat kegelapan
tanpa menampilkan diri, namun setelah itu dia menempuh
perjalanan bersama Bouw It-yu, bisa diduga kalau jejaknya tidak
akan bisa mengelabuhi kedua orang ini.
Begitu bertemu kedua orang itu, Seebun Yan seakan memahami
akan sesuatu, segera serunya, "Ooh, ternyata kalianlah yang
menyampaikan berita diriku kepada ibu.”
"Mana Kuai-be Han?" tiba-tiba Seebun-hujin bertanya.
"Liok-tuocu sendiri yang telah pergi mencarinya, kini Liok-tuocu
sedang menunggu di bawah,” jawab Hong-sihu.
Yang mereka maksudkan sebagai 'Liok-tuocu' tidak lain adalah
Liok Ki-seng yang bergelar Im-kian-siucay si pelajar dari alam baka.
Seebun-hujin kelihatan sedikit tidak suka hati, dengusnya, "Hmm,
tidak dinyana dia sudi menjual tenaga untukku dengan jauh-jauh
dari Toan-hun-kok menyusul kemari. Sayang aku tidak punya imbal
balik yang setimpal untuknya.”
Sementara pembicaraan masih berlangsung, mereka sudah tiba
di bawah bukit. Benar saja, terlihat Liok Ki-seng telah menunggu
disana.
Cepat Liok Ki-seng maju memberi hormat sambil berkata, "Salam
hormat untuk Bcngcu-hujin.”
"Suamiku sudah mati hampir dua puluh tahun lamanya, mana
ada Bengcu-hujin?" sahut Seebun-hujin dingin, "eei.... aku harus
bicara dulu di muka, biarpun kali ini kau telah datang membantuku,


bukan berarti aku akan memberi keuntungan apa pun kepadamu.”
"Sudah menjadi kewajiban hamba untuk menyusul kemari,” buruburu
Liok Ki-seng menyahut sambil tertawa dibuat-buat, "mana
berani hamba mengharapkan imbalan?"
"Waah, waah.... aku tidak tahan dengan perkataanmu itu,
jangan-jangan setelah kau menjadi Bengcu nanti, gantian aku yang
harus melayanimu.”
"Bengcu-hujin, perkataanmu benar-benar seperti membunuh aku
orang she-Liok. Bagaimana pun usaha-ku mengumpulkan kembali
semua bekas anggota Bengcu yang lama tidak lebih hanya ingin
memberi pelajaran setimbal atas ulah kurangajar Toan-hun kokcu
Han Siang.”
"Aku dengar Tonghong Liang telah menasehati kalian berdua
untuk berdamai dan menyelesaikan masalah lama dengan
berunding, jadi kau masih tetap merasa tidak puas?"
"Tentu saja aku tidak berani menentang niat baik Piau-sauya.
Aku justru kuatir kalau Piau-sauya telah terperangkap oleh tipu
muslihat lawan. Hanya saja, urusan ini lebih baik nanti dibicarakan
lagi saja.”
"Betul, kalau toh kau tidak mengharapkan balas jasa apa-apa
dariku, sekarang kita boleh mulai membicarakan pokok persoalan,
mana si Kuay-be Han?"
"Soal ini, soal ini....”
"Apakah lantaran aku sudah bukan Bengcu-hujin, maka dia tidak
sudi datang menjumpaiku?"
"Harap hujin jangan salah paham, semestinya dia memang mau
kemari, hanya saja....”
"Hanya saja kenapa?"
"Sudah lama Kuai-be Han tidak melakukan usaha di kalangan
Hek-to lagi, kini dia sudah menjadi pejabat negara.”


"Oooh, apa kedudukannya sekarang?"
"Konon sudah menjadi seorang pejabat militer yang
kedudukannya cukup lumayan dalam pasukan berkuda pengawal
Nurhaci Khan. Sekalipun posisinya belum terhitung tinggi sekali,
namun dia sudah menjadi orang kepercayaan Khan.”
"Lantas setelah dia jadi pejabat, apakah aku harus pergi
menyambanginya lebih dulu?"
"Dia tidak berani kelewat pandang tinggi jabatannya, ketika aku
minta dia untuk menjalin kontak dengan Kim Teng-hap, dia pun
telah melakukannya.
"Tapi menurutnya, kemungkinan besar Kim Teng-hap ingin
mengajukan berapa syarat pertukaran, oleh sebab itu dia minta aku
melapor dulu kepada hujin sebelum kedatangannya, agaknya,
maksud.... maksud hatinya adalah mohon pengertian dari hujin.”
"Kalau bicara buat apa putar kesana kemari, langsung saja
katakan terus terang, bilang saja dia minta imbalan untuk jasanya
karena telah bantu aku bertemu dengan Kim Teng-hap, bukankah
urusan jadi jelas?"
Dengan suara rendah Liok Ki-seng segera berbisik, "Sepintas
orang mengira Kim Teng-hap adalah seorang juragan di rumah
lelang ikan, padahal jabatan pangkatnya masih jauh diatas
kedudukan Kuai-be Han.”
"Tentang hal ini aku telah menduganya. Hmm! Baru pertama kali
ini aku berhubungan dengan kaum pejabat. Lantas syarat apa yang
mereka tuntut sebagai imbalannya?"
Pada saat itulah dari tempat kejauhan terlihat debu beterbangan
di udara, kemudian tampak satu pasukan berkuda bergerak
mendekat dengan kecepatan tinggi, pasukan berkuda itu baru
menghentikan kudanya setelah berada seratus langkah dihadapan
mereka.
Ternyata orang yang berada paling depan adalah Kim Teng-hap,
disusul kemudian dibelakangnya adalah Kuai-be Han.


"Maafkan aku agak terlambat menyambut kedatangan Seebunhujin,”
Kim Teng-hap segera menjura seraya berseru.
"Ternyata Tauke Kim adalah seorang pejabat tinggi, maaf, maaf.
Han Cau, kionghi juga untukmu, tidak nyana kaupun sudah menjadi
pejabat tinggi!" jengek Seebun-hujin.
Han Cau atau Kuai-be Han (si kuda cepat Han) sebetulnya hanya
seorang begal berkuda, dulu dia beroperasi di seputar perbatasan
sebelum akhirnya diterima dan dibina ayah Seebun Yan.
"Saudara Liok, tentunya kau telah menyampaikan maksud Kimlopan
kepada hujin bukan?" kata Han Cau, "aku memang khusus
datang untuk menyambut hujin dan siap mengawal hujin hingga
tiba di kotaraja.”
"Kotaraja? Kotaraja yang mana?" seru Seebun-hujin.
Han Cau tampak melengak, dia segera mengalihkan matanya ke
wajah Liok Ki-seng.
Sambil tertawa getir sahut Liok Ki-seng, "Tidak kusangka kalian
tiba begitu cepat, baru saja ingin kusampaikan kepada hujin, kalian
telah tiba.”
Sambil tertawa paksa kata Kim Teng-hap, "Karena hujin sudah
berada disini, aku rasa tidak perlu orang lain untuk menyampaikan
lagi. Hujin, boleh saja aku beritahu kepadamu bila kau ingin
mengetahui kabar berita tentang Jit-seng-kiam-kek, aku bukan
hanya bisa memberitahu saja bahkan bisa mengaturkan pertemuan
bagi kalian berdua. Hanya saja, akupun mempunyai satu
permintaan, harap hujin mau berkunjung dulu ke kotaraja Sengkeng
bersamaku.”
"Oooh, ternyata kotaraja yang kalian maksudkan adalah kotaraja
kerajaan Kim. Aku hanya seorang wanita, lagipula tidak berniat
mencari pangkat untuk berbakti kepada Khan kalian, buat apa musti
pergi ke kotaraja?"
"Hujin, kau kelewat merendah. Aku tahu, kau bukanlah seorang
wanita sembarangan, apalagi pernah menjadi Liok-lim Bengcu-hujin


yang dihormati dan disegani banyak orang. Terus terang saja, Khan
kami sudah lama mendengar dan mengagumi nama besar hujin.
Mungkin kau tidak ingin bertemu Khan, namun Khan kami ingin
sekali bertemu dengan dirimu!"
Seebun-hujin segera tertawa dingin.
"Aneh sekali. Jangankan suamiku sudah lama meninggal, aku
pun sudah lama mengundurkan diri dari dunia persilatan. Kalau toh
hingga sekarang aku masih dipanggil Bengcu-hujin, panggilan itu
tidak lebih hanya bermakna aku adalah bini bekas pentolan bandit.
Masa seorang Khan yang tersohor ingin bertemu bini seorang
pentolan bandit?"
"Harap hujin maklum. Khan sangat menghargai orang pintar,
saat ini amat membutuhkan dukungan dari orang berbakat untuk
bekerja sama dengan beliau, Khan tidak pernah mempersoalkan
asal usul seseorang. Apalagi Khan berniat menyerang dan
menguasai wilayah Kanglam, saat inilah beliau sedang
mengumpulkan para orang gagah kalangan rimba hijau yang berada
di dalam perbatasan untuk bersama-sama mendukung
perjuangannya.
"Sekalipun hujin enggan bergabung dengan Khan, kami tetap
akan menyambut kedatangan hujin dengan segala hormat, semoga
hujin bisa memaklumi niat baik Khan.”
"Oooh, ternyata kalian ingin menggunakan merek ku, dengan
menggotong namaku maka bekas anak buah suamiku yang sudah
mampus mau bergabung pula dengan kalian. Tapi sayang aku
sudah tidak mencampuri urusan rimba hijau lagi, kalian telah salah
mencari orang.”
Bicara sampai disini seperti sengaja tidak sengaja dia melirik Liok
Ki-seng sekejap, maksud lain dari ucapan itu adalah, disini telah siap
Liok Ki-seng, kalian seharusnya pergi menghubunginya.
Kim Teng-hap tidak menanggapi, dia berkata lebih jauh, "Begitu
pula dengan Bouw-siauhiap, walaupun dengan kami pernah terjadi


sedikit perselisihan, namun kami tidak akan mempermasalahkan.
Menurut apa yang kami ketahui, ayah Bouw-sauhiap adalah
Ciangbunjin Bu-tong-pay saat ini. Khan sangat menghargai orang
orang saleh dan orang terpelajar, apalagi Bouw-siauhiap jauh-jauh
sudah sampai kemari, kami akan berusaha menjadi tuan rumah
yang baik, harap Bouw-siauhiap mau datang ke kotaraja kami
bersama Seebun-hujin.”
Bouw It-yu tertawa dingin.
"Sayang aku bukan orang terpelajar, juga bukan seorang
pendekar,” katanya, "aku tidak lebih hanya seorangbangsa Han,
bukan penghianat bangsa!"
Begitu perkataan itu diucapkan, paras muka Kim Teng-hap serta
Han Cau seketika berubah hebat.
"Sudah, tidak usah banyak bicara lagi,” Seebun-hujin segera
menukas, "kini aku dengan mengikuti peraturan dunia persilatan
ingin bertanya kepadamu, inikah syarat yang kalian ajukan?"
"Benar,” Kim Teng-hap membenarkan, "harap hujin mau berpikir
tiga kali!"
"Tidak perlu dipikirkan lagi, transaksi batal!"
"Bagaimana dengan Bouw-siauhiap?" tanya Kim Teng-hap, "kau
jauh jauh datang ke luar perbatasan, bukankah tujuannya adalah
ingin bertemu Jit-seng-kiam-kek?"
Tercekat perasaan Bouw It-yu, pikirnya, 'Darimana dia bisa
membaca jalan pikiranku?'
Namun dengan lantang sahutnya, "Aku memang ingin bertemu
Jit-seng-kiam-kek, namun tidak ingin bertemu dengan Khan kalian!"
"Anak Yu, tidak kusangka kau sehati dengan pemikiranku. Mari
kita pergi dari sini!" seru Seebun-hujin girang.
"Tunggu sebentar! "bentak Kim Teng-hap tiba-tiba. Seebun-hujin
tertawa dingin.


"Hmm, aku toh tidak melanggar hukum negara kalian, a tas
dasar apa kalian melarang aku pergi?"
"Hujin, bukankah tadi kau mengatakan akan menyelesaikan
persoalan ini menurut peraturan dunia persilatan.”
"Tepat sekali! Tolong tanya, bila transaksi gagal lantas kalian
memaksa akan menahan kami, peraturan mana yang berkata
begitu?"
"Tidak ada orang yang memaksa hujin untuk tetap tinggal disini,
hanya saja, hujin boleh pergi, tidak demikian dengan Bouwsiauhiap.”
"Benar, Bouw-siauhiap memang pernah mempunyai perselisihan
dengan kalian,” kata Seebun-hujin, "tapi bukankah kau pernah
berkata tadi, sejak awal kalian sudah tidak mempermasalahkan lagi
perselisihan kecil ini. Eei, kalau bicara masuk hitungan tidak?"
"Bouw-siauhiap, tolong tanya apakah kau adalah Siauciangbunjin
dari Bu-tong-pay? Apakah Lan Giok-keng adalah
keponakan muridmu?"
"Kalau benar kenapa?" dengus Bouw It-yu.
"Bouw-siauhiap, perselisihan diantara kita boleh saja kusudahi
sampai disini. Tapi Lan Giok-keng pernah membunuh dan melukai
beberapa orang saudaraku, hutang piutang ini bagaimana pun harus
dilunasi. Menurut peraturan yang berlaku dalam dunia persilatan,
bila murid melanggar kesalahan maka kalian yang jadi angkatan
tuanya harus ikut bertanggung jawab. Apalagi kau adalah putra
Ciangbunjin! Kami sama sekali tidak berniat menyusahkan dirimu,
tapi tolong bantulah kami untuk menemukan kembali keponakan
muridmu itu dan serahkan kepada kami untuk dihukum. Kapan Lan
Giok-keng balik kemari, saat itulah kau boleh pergi dengan
merdeka!"
Di dalam dunia persilatan memang berlaku peraturan semacam
ini, tapi bila Bouw It-yu sampai 'ditahan', mana mungkin Seebunhujin
dan Seebun Yan akan berpeluk tangan meninggalkan dirinya


seorang?
"Menurut apa yang kuketahui, baru tiba di kota Uh-sah-tin, Lan
Giok-keng sudah dikepung dan dikejar orang-orang mu. Karena
terpaksalah dia baru melukai orang-orangmu,” seru Seebun Yan.
Kim Teng-hap segera tertawa tergelak.
"Hahahaha.... menurut peraturan dalam dunia persilatan, untuk
membicarakan masalah yang terjadi maka orang yang bersangkutan
harus hadir. Lagipula menurut pengetahuanku, saat kejadian
rasanya kau tidak hadir ditempat peristiwa. Malah semalam kau dan
Bouw It-yu baru saja mencuri dalam rumahku!"

ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru Cerita Silat Klasik : BuTong It Kiam 4, Cerita Dewasa, cerita mandarin Cerita Silat Klasik : BuTong It Kiam 4,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru Cerita Silat Klasik : BuTong It Kiam 4, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru Cerita Silat Klasik : BuTong It Kiam 4
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Silat Klasik : BuTong It Kiam 4 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Silat Klasik : BuTong It Kiam 4 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cerita-silat-klasik-butong-it-kiam-4.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Silat Klasik : BuTong It Kiam 4 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Silat Klasik : BuTong It Kiam 4 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Silat Klasik : BuTong It Kiam 4 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cerita-silat-klasik-butong-it-kiam-4.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar