Cerita Silat Online : Pendekar Pemanah Rajawali - Kwee Ceng - 8

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Senin, 12 Desember 2011

Nio Cu Ong menyerang terus dengan senjatanya yang merupakan gunting panjang dan See Thong Thian dengan pengagayuh besinya. Maka itu, selang beberapa puluh jurus, Ma Giok terancam bahaya. Ia mesti melawan musuh di luar dan di dalam tubuhnya.
Khu Cie Kee heran melihat kelakuan kakaknya itu, yang seperti dari embun-embuannya terlihat mengepul hawa seperti uap. Hendak ia menolongi tetapi ia tidak sanggup, ketiga musuhnya mendesak keras padanya. Benar Hauw Thong Hay rada lemah tetapi Auwyang Kongcu lebih gagah daripada Pheng Lian Houw. Karena hatinya berkhawatir, ia kena terdesak.
Yo Tiat Sim tahu ilmu silatnya tidak berarti, akan tetapi melihat kedua imam itu terancam bahaya, ia maju menyerang Auwyang Kongcu, yang ia arah punggungnya.
“Saudara Yo, jangan maju!” mencegah Khu Cie Kee. “Percuma kau mengantarkan jiwa….”
Belum habis ucapan imam ini, Auwyang Kongcu sudah menendang patah tombak orang dengan kaki kirinya dan kaki kanannya mendupak roboh orang she Yo itu.
Adalah di itu waktu, dari kejauhan terdengar lari mendatanginya beberapa ekor kuda akan kemudian ternyata, yang datang itu adalah Wanyen Lieh bersama Wanyen Kang.
Wanyen Lieh melihat istrinya duduk di tengah, ia girang, segera ia menghampirkan. Justru itu sebatang golok menyambar kepadanya. Syukur ia keburu berkelit. Ia segera mendapatkan, penyerangnya itu satu nona dengan baju merah, yang goloknya lihat. Nona itu segera dikepung pengikut-pengikutnya.
Wanyen Kang heran menampak gurunya dikepung, ia lantas berteriak: “Semua berhenti! Tuan-tuan berhenti!”
Pangeran ini mesti berteriak beberapa kali, barulah Pheng Lian Houw semua berlompat mundur.
Wanyen Kang segera menghampirkan gurunya, untuk memberi hormat.
“Suhu, mari teecu mengajar kenal,” katanya kemudian. “Inilah beberapa cianpwee Rimba Persilatan yang diundang ayahku.”
“Hm!” bersuara imam itu, yang segera menghampirkan kakaknya, yang pun sudah tidak berkelahi lagi. Ia terkejut akan melihat tangan kanan kakaknya itu menjadi hitam terus sampai di lengan.
“Ha, racun begini lihay!” serunya. Lantas ia berpaling kepada Pheng Lian Houw, akan perdengarkan suaranya yang keren: “Keluarkan obat pemunahnya!”
Pheng Lian Houw bersangsi, ia melihat orang segera sampai pada ajalnya.
Ma Giok sendiri mengempos terus semangatnya, ia berhasil mencegah menjalarnya racun itu, yang perlahan-lahan mulai turun.
Wanyen Kang lari kepada ibunya, ia berkata: “Ma, akhirnya kita dapat cari kau!”
Tapi pauw Sek Yok berkata dengan keras: “Untuk menghendaki aku kembali ke istana, tidak dapat!”
Wanyen Kang dan Wanyen Lieh menjadi heran. “Apa?!” kata mereka.
Pauw Sek Yok menunjuk kepada Yo Tiat Sim, ia kata nyaring: “Suamiku masih belum mati, meski ia pergi ke ujung langit dan pangkal laut, akan aku ikuti dia!”
Wanyen Lieh heran tetapi ia dapat segera menoleh kepada Nio Cu Ong. Ia mengasih tanda dengan tekukan mulutnya.
Nio Cu Ong mengerti, sekejap saja ia telah menyerang Yo Tiat Sim dengan tiga batang pakunya.
Khu Cie Kee yang waspada dapat melihat serangan orang she Yo itu, ia menjadi kaget. Ia tidak mempunyai senjata rahasia untuk mencegah paku itu. Tiat Sim tebtu tak dapat berkelit. Tapi ia tidak putus asa. Ia menyambar satu serdadu di dekatnya, tubuh orang itu ia lemparkan ke arah antara paku dan Tiat Sim.
Segera terdengar jeritannya serdadu yang menjadi korban ketiga batang paku itu.
Melihat itu Nio Cu Ong menjadi gusar, ia lompat kepada si imam untuk menerjang.
Pheng Lian Houw dapat melihat suasana. Ia memangnya tidak sudi menyerahkan obat pemunahnya. Tidak ayal lagi ia berlompat kepada pauw Sek Yok, untuk menangkap onghui yang dicari Wanyen Lieh itu.
Khu Cie Kee melihat sepak terjang orang itu, ia pun lompat menyerang, mulanya menikam Nio Cu Ong, lalu membabat si orang she Pheng itu. Mereka ini berdua terpaksa lompat mundur.
Khu Cie Kee segera menghadapi Wanyen Kang, yang ia bentak: “Anak tidak tahu apa-apa, kau mengaku penjahat sebagai ayahmu selama delapan belas tahun, hari ini kau bertemu ayahmu yang sejati, kenapa kau masih tidak hendak mengenalinya?!”
Wanyen Kang memang telah mendengar keterangan ibunya, ia percaya itu delapan bagian, sekarang ia dengar perkataan gurunya ini, ia lantas menoleh kepada Yo Tiat Sim. Ia melihat seorang dengan pakaian tua dan pecah, pakaian itu kotor dengan tanah. Kemudian ia berpaling kepada Wanyen Lieh, ia tampak orang tampan dengan pakaian indah. Maka dua orang itu beda bagaikan langit dengan bumi. Ia lantas berpikir: “Mustahilkah aku meninggalkan kekayaan dan kemulian untuk mengikuti seorang melarat, untuk hidup merantau? Tidak, berlaksa kali tidak!” Maka ia lantas berseru, “Suhu, jangan dengari ocehan iblis ini! Suhu, tolonglah ibuku!”
Khu Cie Kee menjadi sangat mendongkol. “Kau sesat, kau tidak sadar, kau kalah dengan binatang!” Ia mendamprat.
Pheng Lian Houw melihat guru dan murid bentrok, mereka perkeras serangan mereka.
Wanyen Kang juga mendapatkan gurunya dalam bahaya tetapi ia berdiam saja.
Imam itu menjadi sangat murka. “Binatang, lihat aku!” dia membentak.
Wanyen Kang berdiam, hatinya ciut. Ia memang paling takut pada gurunya itu. Maka ia berharap-harap Pheng Lian Houw semua memperoleh kemenangan, supaya gurunya terbinasakan, dengan begitu ia akan selamat untuk selanjutnya.
Tidak lama, lengan kanan Khu Cie Kee kena ditusuk ujung gunting Nio Cu Ong, lukanya tidak hebat tetapi mengeluarkan darah.
Ma Giok melihat bahaya mengancam, ia mengeluarkan sebiji liu-seng, ia sulut itu, lalu melemparkannya, maka suatu sinar api biru lantas meluncur ke udara. Itulah pertandaan di antara kaum Coan Cin Pay.
“Imam tua itu mencari kawan!” berseru Pheng Lian Houw, lantas ia meninggalkan Khu Cie Kee untuk menyerang Ma Giok. Ia lantas dibantu See Thong Thian.
Baru mereka ini bergebrak satu kali, di jurusan Barat Laut terlihat meluncurnya satu sinar biru juga.
“Ong sutee di arah kiri sana!” berseru Khu Cie Kee girang. Ia geser pedangnya ke tangan kiri terus ia menyerang hebat, hingga ia dapat membuka jalan.
“Ke sana!” berseru Ma Giok yang menunjuk ke arah Barat Laut.
Yo Tiat Sim bersama Liam Cu, putrinya dengan melindungi Pauw Sek Yok, lari ke arah yang ditunjuk itu, di belakang mereka, Ma Giok menyusul. Imam ini sudah berlompat bangun.
Khu Cie Kee perlihatkan kepandaiannya, ia menghalangi di belakang.
See Thong Thian berniat mencekuk Pauw Sek Yok, ia berlompat ke depan, tetapi semua percobaannya sia-sia belaka, ia dirintangoi kalau bukan oleh Khu Cie Kee tentu oleh Ma Giok.
Tidak lama tibalah mereka di hotel kecil di mana Ong Cie It mengambil tempat.
Khu Cie Kee heran bukan main. “Kenapa Ong Sutee masih belum menyambut?” ia berpikir. Ia baru berpikir atau ia segera melihat munculnya adik seperguruannya itu, yang jalan dibantu tongkat.
Dua-dua pihak terkejut. Mereka sama-sama tidak menyangka, dari kaum Coan Cin pay, sekarang terluka justru mereka yang paling tangguh.
“Mundur ke dalam hotel!” Khu Cie Kee lantas berseru.
“Serahkan onghui baik-baik, aku nanti ampunkan kamu semua!” Wanyen Lieh berseru.
“Siapa menghendaki pengampunan kau bangsat anjing dari negara Kim?!” mendamprat Tiang Cun Cu. Sembari membuka mulutnya, imam ini terus membikin perlawanan dengan hebat, hingga mau tidak mau, Pheng Lian Houw semua mengaguminya.
Yo Tiat Sim menyaksikan pertempuran itu, ia anggap tidak seharusnya Khu Cie Kee bertiga menjadi korbannya, maka tiba-tiba saja ia tarik tangan Sek Yok, untuk pergi keluar, sambil ia berseru: “Semua berhenti! Di sinilah ajal kami!”
Di tangannya Tiat Sim mencekal tombaknya, dengan itu ia lantas tikam ulu hatinya, maka ia terus roboh dengan berlumuran darah.
Sek Yok tidak berduka karenanya, ia juga tidak tubruk suaminya itu, sebaliknya ia tertawa menyeringai, terus ia cabut tombak itu dari tubuh suaminya, untuk gagangnya ditancap ke tanah. Ia menghadap Wanyen Kang seraya berkata: “Anak, masih kau tidak percaya ayahmu yang sejati ini?” Tapi ia tidak menanti jawaban, segera setelah perkataan itu, ia tubruki dirinya ke ujung tombak itu, maka ia pun roboh dengan mandi darah.
kejadian ini ada sangat ehbat, semua orang tidak menduganya, maka juga pertempuran berhenti sendirinya.
Wanyen Kang sangat kaget, sambil menjerit: “Ibu!” ia lari untuk menolongi ibunya itu. Ia lantas menangis melihat dada ibunya tertancap tombak.
Khu Cie Kee lantas memeriksa lukanya kedua orang itu, ia putus asa.
Wanyen Kang memeluki ibunya, dan Liam Cu ayahnya. Keduanya menggerung-gerung.
“Saudara Yo,” berkata Tiang Cun Cu pada Tiat Sim. “Kau hendak memesan apa? Kau bilanglah padaku, nanti aku lakukan semua itu.”
Belum lagi Tiat Sim sempat menjawab, orang pada menoleh ke arah mereka, karena mereka mendengar tindakan dari banyak kaki orang. Segera mereka melihat datangnya Kanglam Liok Koay bersama Kwee Ceng.
Enam Manusia aneh itu dapat melihat See Thong Thian beramai, mereka menduga bakal terjadi pertempuran lagi, mereka lantas menyiapkan senjata mereka masing-masing. ketika mereka sudah datang dekat, mereka menjadi heran. Di sana ada dua orang terluka dan masing-masing tengah dipeluki dan yang lainnya mengawasi dengan roman tidak wajar.
Kwee Ceng kenali Yo Tiat Sim, segera ia menghampirkan. “Paman Yo, kau kenapa?” tanyanya.
Napasnya Tiat Sim sudah lemah, ia kenali anak muda itu, ia tersenyum. “Dahulu hari ayahmu dan aku telah berjanji, kalau kami mendapat anak lelaki dan perempuan, kami akan berbesan, tetapi juga anak pungutku ini ada seperti anakku sendiri….” Ia menoleh kepada Khu Cie Kee, akan meneruskan; “Totiang, tolong kau rekoki perjodohan ini, aku mati pun akan meram.”
“Tenangkan hatimu, saudara Yo,” menyahut si imam ini.
Pauw Sek Yok rebah di samping suaminya, tangan kirinya mencekal erat tangan suaminya itu, agaknya ia takut sekali suaminya nanti pergi. Ia seperti sudah tidak ingat apa-apa akan tetapi samar-samar ia masih dapat dengar pesan suaminya. Tiba-tiba ia angkat tangannya, untuk merogoh sakunya, darimana ia keluarkan sebilah pisau belati: “Ini buktinya….” katanya, lalu ia tersenyum dan berhenti jalan napasnya.
Khu Cie Kee menyambuti pisau itu. Ia kenali pisau yang dulu hari ia berikan di Gu-kee-cun, Lim-an. Pada pisau terukir terang dua huruf “Kwee Ceng”
Yo Tiat Sim pun kata pada anak muda itu: “Masih ada sebilah lagi, ialah ditangan ibumu. Dengan mengingat ayahmu, aku minta baik-baiklah kau perlakukan anakku ini.”
“Aku nanti urus semua, tenangi dirimu,” janji pula Khu Cie Kee.
Yo Tiat Sim benar-benar merapatkan kedua matanya dengan tentram.
Kwee Ceng berduka sekali berbareng pusing kepala. “Yong-jie begitu baik terhadapku, mana bisa aku menikah dengan orang lain?” katanya dalam hatinya. Lalu ia menjadi kaget, ia berpikir pula: “Kenapa aku melupai putri Gochin? Khan Agung telah jodohkan putrinya itu kepadaku! Ini……ini….bagaimana….?”
Selama hari-hari belakangan ini, Kwee Ceng sering ingat tuli tetapi tidak sedikitpun outri Gochin.
Cu Cong beramai berdiam saja atas pesan Tiat Sim itu. Memang mereka tidak berniat menolak pesan terakhir itu tetapi mereka tidak jelas duduknya hal, mereka tidak berani berlaku lancang.
Wanyen Lieh telah mesti menghadapi kejadian hebat itu, ia berduka bukan main. Ia lantas saja memutar tubuhnya, untuk meninggalkan tempat itu. Sejak ia mengambil pauw Sek Yok menjadi istrinya, ia telah mencoba segala daya untuk merebut cintanya nyonya itu, tetapi ia tidak berhasil sepenuhnya. Selama belasan tahun, Pauw Sek Yok tidak pernah melupai Yo Tiat Sim, suaminya itu.
Menampak pangeran itu berlalu, See Thong Thian beramai segera ngeloyor pergi juga, disebabkan ragu-ragu untuk menempur pula ketiha imam dari Coan Cin Pay, sudah mereka itu cukup tangguh, sekarang di samping mereka itu ada Kanglam Liok Koay.
Khu Cie Kee dapat melihat orang hendak angkat kaki. “He, Sam Hek Miauw, tinggalkan obatmu!” ia membentak.
Pheng Lian Cu menoleh, ia tertawa lebar. “Cecu kamu she Pheng!” sahutnya. “Akulah yang kaum kangouw julukan Cian ciu Jin-touw! Kau keliru lihat, Khu Totiang?”
Gentar juga Khu Cie Kee. “Pantaslah ia lihay sekali,” pikirnya. Tapi kakaknya terancam bahaya. Maka ia kata: “Tidak peduli kau seribu tangan atau selaksa tangan, obat itu kau mesti tinggalkan! Jangan harap kau bisa meloloskan diri!”
Imam ini mengejek dengan selaksa tangan, sebab julukan “Cian Ciu” dari Pheng Lian Houw berarti “seribu tangan.”
Lantas Khu Cie Kee lompat menyerang.
Pheng Lian Houw mempunyai tinggal sebatang poan-koan-pit tetapi ia tidak takut, ia menyambut serangan itu, hingga mereka jadi bertempur pula.
Cu Cong melihat Ma Giok duduk bersemedhi, napasnya lagi diempos, sedang sebelah tangan orang hitam legam, ia tanya imam itu kena dapat luka.
“Dia berjabat tangan denganku, siapa tahu dia menggunai jarum beracun,” menyahuti imam itu. Dengan “dia” ia maksudkan Pheng Lian Houw.
“Baiklah, itu tidak berarti!” kata Biauw Ciu Sie-seng si Mahasiswa Tangan Lihay. Ia terus berpaling kepada kakaknya dan berkata; “Toako, mari kasihkan aku satu biji leng-jie!”
Kwa Tin Ok tidak mengerti maksud orang tetapi ia berikan barang yang diminta. Leng-jie itu ialah lengkak beracun.
Cu Cong mengawasi dua orang yang lagi bertempur itu, ia tidak ungkulan memisahkan mereka, maka itu ia kata pula kepada kakaknya; “Toako, mari kita pisahkan mereka itu, aku ada daya untuk menolong Ma totiang.”
Kwa Tin Ok si Kelelawar Hitam tahu adiknya itu sangat cerdik, ia mengangguk.
Si Mahasiswa Tangan Lihay itu lantas saja berseru: “Kiranya di sana Cian Ciu Jin-touw Pheng Cecu! Kita ada orang sendiri, lekas berhenti berkelahi, aku hendak ada bicara!” Ia mengatakan demikian tetapi ia tarik tangan kakaknya, maka berdua berbareng mereka menyerbu kepada dua orang yang asyik bertempur itu. Yang satu memegang kipas, yang lain tongkat, dengan itu mereka memisahkan.
Dua-dua Khu Cie Kee dan Pheng Lian Houw heran mendengar perkataan orang yang membilang mereka semua adalah “orang sendiri”. Mereka suka memisah diri dulu, untuk mendengar penjelasan.
Dengan tertawa manis, Cu Cong menghadapi Pheng Lian Houw. Ia kata: “Kami Kanglam Cit Koay dengan Tiang Cun Cu Khu Cie Kee telah bentrok pada delapan belas tahun yang lampau, itu waktu lima saudara kami telah terluka parah, tetapi Khu totiang pun terluka oleh kami. Urusan itu sampai sekarang masih belum dapat di….” Ia lantas menoleh kepada Khu Cie Kee, untuk menanya; “Bukankah benar begitu, totiang?”
Tiang cun Cu mendongkol sekali. Ia menduga orang hendak membuat perhitungan disaat ia menghadapi musuh berbahaya. Maka ia menjawab dengan nyaring: “Tidak salah! Habis kau mau apa?!”
“Tetapi kita pun ada punya sangkutan sama See Liong Ong,” berkata Cu Cong. “Aku dengar See Liong Ong bersahabat sangat erat dengan Pheng Ceecu, karena kami mendapat salah dari See Liong Ong, kami jadi turut bersalah terhadap ceecu…”
“Haha…tidak berani aku menerima itu!” tertawa Pheng Lian Houw.
Cu Cong tertawa, ia berkata pula: “Karena Pheng Ceecu dengan Khu Totiang serta Kanglam Cit Koay ada bermusuhan, bukankah kamu kedua pihak jadi adalah orang sendiri? Maka itu, perlu apa kamu bertarung lagi? Dengan begitu, bukankan aku dengan Pheng Ceecu pun ada orang sendiri? Mari, mari kita mengikat persahabatan!”
Si Mahasiswa Tangan Lihay mengulur tangannya, untuk menarik tangannya orang she Pheng itu.
Pheng Lian Houw cerdik, ia bercuriga untuk kata-kata tidak karuan juntrungan dari Cu Cong. Bukankah Coan Cin pay telah menolongi murid Kanglam Cit Koay? Tidakkah berarti mereka berdua bersahabat? “Tidak, aku tidak dapat diakali, obatku tidak boleh diperdayakan!” Tapi melihat orang mengulurkan tangan, lekas-lekas ia selipkan senjatanya, berbareng ia keluarkan ban beracunnya.
“Saudara Cu, hati-hati!” Khu Cie Kee memberi ingat. Ia terkejut.
Cu Cong berpura-pura tidak mendengar, ia ulur terus tangannya, kelingkingnya ditekuk. Dengan begitu ia telah membangkol ban orang.
Pheng Lian Houw tidak merasakan apa-apa, ia berjabat tangan dengan si Mahasiswa.
Keduanya lantas mengerahkan tenaga masing-masing.
Mendadak Pheng Lian Houw merasakan tangannya sakit sekali, lekas-lekas ia menarik tangannya itu, untuk dilihat. Untuk kagetnya, telapakan tangannya telah berlubang tiga, darahnya yang mengalir berwarna hitam. Ia merasakan gatal, gatal-gatal enak, sakitnya lenyap. Tapi ia orang yang lihay, ia insyaf bahwa ia telah kena racun yang jahat. Makin tidak sakit, makin hebat racun itu. Ia juga merasa lukanya kaku. Ia kaget berbareng gusar, ia juga tidak mengerti kenapa ia sudah kena dicurangi. Ketika ia angkat kepalanya, ia dapatkan Cu Cong berdiri di belakangnya Khu Cie Kee, tangan kirinya mengangkat ban beracunnya yang dijepit dengan dua jari, tangan kanannya menunjuki sebuah lengkak hitam, ujung yang tajam dari buah itu penuh darah.
Kanglam Cit Koay yang nomor dua ini bergelar si Mahasiswa Tangan Lihay, maka tangannya itu benar-benar lihay sekali. Ketika ia mau berjabat tangan, dia sudah siapkan lengkaknya, tempo kedua tangan nempel satu sama lain, ia gaet ban tangan orang dan ujung lengkaknya bekerja!
Bukan main murkanya Pheng Lian Houw, ia berlompat untuk menerjang.
“Kau mau apa?!” membentak Khu Cie Kee, yang melintangi pedangnya.
Cu Cong segera berkata: “Pheng Ceecu, lengkak ini adalah lengkak kakakku, senjata rahasia yang istimewa, siapa terluka karena ini, biarnya ia pandai mengukir langit, ia tidak bakal hidup lebih daripada tiga jam!”
Pheng Lian Houw merasakan tangannya kaku, ia mau percaya keterangan itu, maka tanpa merasa, dahinya mengeluarkan keringat dingin.
“Kau mempunyai jarum beracunmu, aku mempunyai ini lengkakku yang beracun juga,” berkata pula Cu Cong. “Kedua racun beda sifatnya, maka beda juga obatnya. Marilah kita bersahabat, kita saling menukar obat. Akur?”
Belum lagi Pheng Lian Houw menyahuti, See Thong Thian sudah majukan diri seraya berkata: “Bagus! Kau keluarkan obatmu!”
“Toako, berikan dia obat itu!” Cu Cong bilang pada kakaknya.
Kwa Tin Ok merogoh dua bungkusan kecil dari sakunya, Cu Cong menyambuti itu.
Khu Cie Kee segera melangkah di tengah. “Saudara Cu, jangan kena terperdayakan!” ia memberi ingat. “Mesti dia yang menyerahkan dulu obatnya!”
Cu Cong tertawa. “Perkataan satu laki-laki mesti dibuktikan dengan kepercayaan,” ia kata. “Aku tidak khawatir dia tidak memberikannya.”
Pheng Lian Houw merogoh sakunya. Mendadak mukanya menjadi pucat. “Celaka!” serunya perlahan sekali. “Obatku lenyap…!”
Melihat orang ayal-ayalan, Khu Cie Kee murka. “Hm, kau masih mainkan tipu iblismu!” ia membentak. “Saudara Cu, jangan berikan!”
Cu Cong tertawa, ia berkata pula: “Kau ambillah! Kita ada bangsa orang budiman, kata-kata kita ada seumpama kuda dicambuk lari, aku bilang kasih tentu mesti dikasihkan!”
See Thong Thian tahu tangan orang lihay, ia tidak berani menyambuti dengan tangan, sebagai ganti tangannya, ia lonjorkan senjata pengayuhnya.
Cu Cong meletaki obat di atas pengayuh itu dan See Thong Thian menariknya, untuk menjumput itu.
Orang heran dengan kejadian ini. Mengapa Cu Cong memberikan obatnya? Kenapa ia tidak memaksa supaya pihak sana yang memberikan obatnya terlebih dahulu?
See Thong Thian masih menyangsikan obat adalah obat yang tulen, ia kata: “Kanglam Cit Koay adalah orang-orang kenamaan, tidak dapat ia mencelakai orang dengan obat palsu!”
Cu Cong tertawa. “Tidak nanti, tidak nanti!” ia berkata seraya dengan perlahan-lahan mengasihkan lengkaknya kepada Kwa Tin Ok, kemudian dari sakunya ia keluarkan beberapa rupa barang ialah sapu tangan, kim-cie-piauw, beberapa potong perak hancur serta sebuah pie-yan-hu putih.
Pheng Lian Houw melihat semua barang itu, ia melengak. Itulah semua barang kepunyaannya. Ia heran kenapa semua itu ada di tangan lain orang. Ia tidak menyangka, selagi berjabat tangan, Cu Cong telah perlihatkan kepandaiannya.
Cu Cong buka tutupnya pie-yan-hu itu, yang di dalamnya terbagi dua. di situ ada obat bubuk masing-masing berwarna merah dan abu-abu.
“Bagaimana ini dipakainya?” ia tanya Pheng Lian Houw.
“Yang merah untuk dimakan, yang abu-abu untuk dibeboreh,” sahut ceecu itu terpaksa.
Cu Cong menoleh kepada Kwee Ceng. “Lekas ambil air! Juga dua buah mangkok!” ia menyuruh.
Bocah itu lari ke dalam hotel, untuk mengambil mangkok dan air, maka sebentar kemudian ia sudah mulai merawat Ma Giok. Mangkok yang satunya ia mau kasihkan kepada Pheng Lian Houw.
“Tunggu dulu!” mencegah Cu Cong. “Kasihkan pada Ong totiang!”
Kwee Ceng melengak tetapi ia serahkan mangkok itu. Ong Cie it juga heran.
“Eh, bagaimana dipakainya dua bungkus obat kamu ini?” See Thong Thian menanya. Ia tidak sabaran.
“Tunggu sebentar, jangan kesusu!” Cu Cong bilang. “Baru satu jam tiga perempat menit, dia tidak bakal mati….” Sembari berkata, Cu Cong mengeluarkan sari sakunya belasan bungkus obat.
Melihat itu Kwee Ceng girang bukan buatan. “Itulah obatnya Ong Totiang!” ia berseru. Ia lantas menyambuti semua obat itu, ia bukai bungkusannya dan letaki di depan Ong Cie It. Ia kata: “Totiang, pilihlah sendiri mana yang kau butuhkan.”
Ong Cie It mengawasi semua obat itu, ia menjumput gu-cit, dan tiga lainnya, ia terus masuki itu ke dalam mulutnya, untuk dikunyah, lalu disusuli dengan air.
Nio Cu Ong mendongkol berbareng mengagumi sang lawan. “Begini lihay si mahasiswa jorok ini,” pikirnya. “Ia cuma mengebuti bajuku, obat itu sudah lantas pindah ke tangannya…”
Karena gusar, ia memutar tubuh mencabut guntingnya. “Mari, mari! Mari kita mengadu senjata!” ia menantang.
“Mengadu senjata?” Cu Cong tertawa. “Oh, sungguh-sungguh aku tidak sanggup menandinginya!”
Khu Cie Kee pun menyela, “Tuan ini adalah Ceecu Pheng Lian Houw, tetapi tuan-tuan yang lainnya belum kami kenal…”
See Thong Thian dengan suaranya yang serak, memperkenalkan kawan-kawannya.
“Bagus!” seru Tiang Cun Cu. “Di sini telah berkumpul semua orang Rimba Persilatan yang kenamaan. Sayangnya selagi kita belum memperoleh keputusan menang dan kalah, kedua belah pihak ada orang-orangnya yang terluka. Aku pikir baiklah kita menjanjikan lain hari untuk bertemu pula.”
“Begitu paling baik!” Pheng Lian Houw menyahuti. “Sebelum menemui Coan Cin Cit Cu, mati pun kita tak dapat memeramkan mata! Tentang harinya, silakan Khu Totiang yang menetapkan sendiri.”
Khu Cie Kee tahu lukanya Ma Giok dan Ong Cie It memerlukan rawatan beberapa bulan, sedang saudara-saudaranya yang lain terpencar kelilingan, sukar mencari mereka itu dalam waktu yang pendek, karena ia menyahut: “Baiklah setengah tahun kemudian diharian Pwee gwee Tiong Ciu, kita berkumpul sambil memandangi si Putri Malam sembari menyakinkan juga ilmu silat. Bagaimana penglihatan Pheng Ceecu?”
Pheng Lian Houw setuju dengan pilihan hari itu, pertengahan musim rontok. Ia mengetahui dengan baik, kalau Coan Cin Cit Cu kumpul semua, dengan mereka dibantu oleh Kanglam Cit Koay, jumlah mereka pun menjadi terlebih besar, karena mana pihaknya sendiri perlu mencari kawan. Selama setangah tahun, pasti ia sempat mencarinya. Kebetulan Chao Wang menghendaki mereka pergi ke Kanglam untuk mancuri surat wasiatnya Gak Hui, bolehlah mereka kedua pihak sekalian bertemu di sana. Maka itu, ia pun berkata: “Khu Totiang, sungguh pandai kau memilih hari Pwee gwee Tiong Ciu itu! Karena itu aku anggap kita pun baik sekali memilih juga tempat yang tepat! Aku memikir kepada kampung halaman dari Kanglam Cit Hiap!”
“Bagus, bagus!” menyahuti Khu Cie Kee. “Baiklah, bila tiba waktunya, kita boleh berkumpul di lauwteng Yan Ie Lauw di tengah telaga Lam Ouw di Kee-hin. Aku menganggap tidaklah suatu halangan jikalau tuan-tuan mengundang beberapa sahabatmu.”
“Baiklah, begini ketetapan kita!” kata Pheng Lian Houw singkat.
“Pheng Ceecu,” berkata Cu Cong setelah kepastian itu. “Dua bungkus obat di tanganmu itu, yang putih untuk dimakan, yang kuning untuk dipakai di luar.”
Selama itu tangan kanan Pheng Lian Houw sudah kaku sebagian, selama berbicara dengan Khu Cie Kee, ia menahan sakit, maka itu begitu mendengar perkataannya Cu Cong, tidak berayal sedetik juga, ia lantas makan obat yang putih itu.
Kwa Tin Ok dengan suaranya yang dingin berkata,” Pheng Ceecu, dalam tempo tujuh kali tujuh, empatpuluh sembilan hari kau mesti pantang minum arak! Kau pun mesti memantang paras elok! Kalau tidak nanti di harian Pwee gwee Tiong Ciu di Yan Ie Lauw kita tidak bakal kekurangan cecu satu orang, hingga karenanya pastilah lenyap kegembiraan kami!”
Pheng Lian Houw merasa bahwa ia diejek, tetapi karena orang bermaksud baik, ia tidak menunjuk kemurkaa. “Terima kasih untuk perhatianmu!” ia bilang. Ia sungkan menyebutkan kebaikan hati orang.
See Thong Thian sudah lantas menolongi kawan itu memakai obat luar, habis mana ia mempepayang ya untuk diajak berlalu.
Wanyen Kang berlutut di tanah, ia paykui empat kali kepada mayat ibunya, kemudian ia paykui beberapa kali kepada Khu Cie Kee, gurunya itu, habis itu tampa mengucap sepatah kata, ia berlalu dengan mengangkat kepala.
“Eh, Kang-jie, apakah artinya itu?!” sang guru menanya, membentak.
Wanyen Kang tidak menyahuti, ia juga tidak berjalan bersama rombongannya Pheng Lian Houw, ia hanya mengambil sebuah tikungan di pojok jalan.
Khu Cie Kee terdiam. Tetapi ia segera sadar, maka itu ia terus memberi hormat kepada Kwa Tin Ok beramai seraya berkata: “Jikalau hari ini kami tidak mendapat pertolongan Liok Hiap, pastilah kami bertiga sudah kehilangan jiwa kami. Mengenai muridku itu, yang tidak ada sekelingking murid Liok Hiap, untuk pertemuan nanti di Cui Siang Lauw di Kee-hin, disini aku menyatakan taklukku.”
Kanglam Liok Koay senang mendengar perkataan si imam, dengan begitu tidak sia-sialah yang mereka telah membuat tempo delapanbelas tahun di gurun pasir. Kwa Tin Ok lantas menjawab dengan merendah.
Sampai di situ, selesai sudah pembicaraan mereka. Ma Giok dan Ong Cie It lantas dipepayang masuk ke dalam rumah penginapan. Coan Kim Hoat pergi membeli peti mati untuk merawat jenazahnya Yo Tiat Sim dan Pauw Sek Yok, suami istri.
Khu Cie Kee bersusah hati melihat Bok Liam Cu yang sangat berduka itu.
“Nona, bagaimana hidupnya ayahmu selama beberapa tahun ini?” ia menanya.


Bab 24. Pengemis Dengan Sembilan Jeriji

“Selama belasan tahun ayah telah mengajak aku merantau ke Timur dan ke Barat,” menyahut si nona. “Belum pernah kami berdiam di suatu tempat lamanya sepuluh hari atau setengah bulan. Ayah membilang, dia hendak mencari satu orang….seorang engko she Kwee…..”
Perlahan sekali suara si nona, kepalanya pun tunduk. Ia likat.
Khu Cie Kee menoleh ke arah Kwee Ceng. “Bagaimana caranya ayahmu mendapatkan kau?” ia tanya si nona pula.
“Aku ada orang asal Gu-kee-cun di Lim-an,” Liam Cu menyahut pula. “Sejak kecil aku telah tidak mempunyai ayah dan ibu, aku tinggal menumpang sama seorang bibiku. Bibi itu tidak perlakukan baik padaku, demikian pada suatu hari ia telah memukul aku serta tidak memberikan aku nasi untuk berdahar, selagi aku menangis di depan pintu, lewatlah ayah angkatku ini. Ia merasa kasihan padaku, ia bicara sama pamanku, lalu ia ambil aku sebagai anak pungut. Demikian aku diajak merantau, diajari ilmu silat. Untuk mencari engko she Kwee itu, aku turut ayah merantau. Aku mesti sering melakukan pertempuran, karena ayah telah mengibarkan benderanya, bendera untuk pibu guna mencari pasangan….”
“Nah, inilah soalnya,” berkata Khu Cie Kee. “Baiklah kau mengerti, ayahmu itu bukan she Bok, dia she Yo. Selanjutnya kau baik memakai she Yo juga.”
“Tidak, aku bukan she Yo, baik aku tetap she Bok,” berkata si nona itu. Ia bersangsi.
“Kenapa? Apakah kau tidak percaya aku?” tanya si imam.
“Bukan aku tidak percaya, aku cuma ingin tetap memakai she Bok.”
Melihat orang berkukuh, imam itu tidak memaksa. Bukankah orang baru saja kehilangan ayahnya dan hatinya sangat berduka? Ia tidak tahu, didalam hatinya, Liam Cu sudah menyerahkan diri kepada Wanyen Kang. Kalau Wanyen kang itu berayah she Yo, dia pun she Yo juga, maka kalau ia memakai she Yo, mana bisa mereka menikah?
Ong Cie It sementara itu merasakan satu kesangsian. Setelah makan dan pakai obat, ia merasa segar, sembari rebah di pembaringan, ia mendengari pembicaraan saudaranya dan nona itu. Ia ingat bagaimana si nona bertanding sama Wanyen Kang.
“Eh,” tanyanya,” Kau bilang kau diajari silat oleh ayahmu, kenapa buktinya kau lebih gagah daripada ayahmu itu?”
“Itulah disebabkan pada suatu hari ketika aku berumur tigabelas tahun, aku bertemu sama seorang berilmu, Liam Cu menyahut. “Untuk tiga hari lamanya dia ajarkan aku ilmu silat. Sayang otakku buta, tidak dapat aku mewariskan semua pelajaran yang diajarkan itu…” kata si nona pula.
“Jikalau ia cuma mengajarkan tiga hari, kenapa kau jauh lebih lihay daripada ayahmu?” imam itu menanya pula. “Siapakah orang berilmu itu?”
“Maaf, totiang, bukannya aku berani mendusta, sebenarnya aku telah mengangkat sumpah, dari itu tidak berani aku menyebutkan namanya.”
Ong Cie It berdiam, ia tidak menanya lebih jauh. Tapi ia berpikir terus, ia mengingat-ingat ilmu silatnya si nona selama dia melayani Wanyen Kang. Sekian lama ia masih tidak mengingatnya, ia tidak dapat mengenali. Hal ini membuatnya bertambah heran.
“Khu Suko,” akhirnya ia tanya kakaknya, “Bukankah kau telah mengajari Wanyen Kang selama delapan atau sembilan tahun?
“Tepatnya sembilan tahun enam bulan,” menjawab Khu Cie kee. “Ah, aku tidak sangka sekali bocah itu ada begini punya tidak berbudi….”
“Ah, benar-benar aneh?” Cit It bilang.
Cie Kee heran. “Kenapa?” tanyanya.
Cit It diam, ia tidak memberi jawaban.
“Khu Totiang,” Tin Ok menanya. “Bagaimana caranya kau dapat mencari turunannya Yo Toako itu?”
“Itulah terjadi secara kebetulan,” sahut Tian Cun Cu. “Semenjak kita membuat perjanjian, aku pergi kemana-mana mancari turunan kedua keluarga Yo dan Kwee itu. Selama beberapa tahun, aku tidak memperoleh hasil. Karena ini aku merasa bahwa dalam halnya pibu, pihak kami pastilah kalah. Tapi aku tidak putus asa. Aku mencari terus. Kembali aku balik ke Gu-kee-cun. Pada suatu hari aku melihat beberapa hamba negeri pergi ke rumahnya saudara Yo itu, mereka mengangkut pergi semua barang perabotan rumah tangga. Aku heran, lantas aku menguntit mereka. Di luar dugaan mereka, aku mendapat dengar pembicaraan mereka. Nyatanya mereka bukanlah sembarang orang. Merekalah pengikut-pengikutnya pangeran Chao Wang dari negara Kim, mereka sengaja datang untuk mengangkuti isi rumahnya saudara Yo. Mereka bilang, tidak boleh ada barang yang kurang, tak terkecuali bangku, meja dan tombak serta luku juga. Oleh karena itu aku heran, aku jadi bercuriga, maka aku menguntit mereka terus sampai di Tiongtouw.”
Mendengar sampai disitu, Kwee Ceng sadar. Selama berdiam di dalam gedung Pangeran Chao Wang, ia pernah melihat kamarnya Pauw Sek Yok serta perlengkapannya. Ia heran seorang istri Pangeran, tetapi perlengkapan rumahnya sangat miskin….
Khu Cie Kee melanjuti keterangannya: “Malamnya aku pergi memasuki gedung pangeran itu. Ingin aku mendapat kepastian apa perlunya barang-barang demikian diangkut jauh-jauh, dibawa ke istana. Setelah aku memperoleh kenyataan, aku menjadi sangat gusar berbareng berduka dan terharu sekali. Ternyata Pauw Sek Yok, istrinya saudara Yo itu, sudah menjadi onghui, menjadi istrinya Pangeran Chao Wang itu. Saking murkanya, berniat aku lantas membunuh Sek Yok itu. Kemudian aku mengubah pikiranku itu. Segera aku mendapat kenyataan, Sek Yok tinggal di sebuah rumah batu yang kecil, di situ ia memeluki dan mengusap-usap tombaknya saudara Yo, semalam-malaman ia menangis saja. Teranglah ia tidak dapat melupakan suaminya itu. Karena itu, aku batal membunuhnya. Kemudian lagi aku mendapat keterangan, putranya Pangeran Chao Wang itu adalah putranya saudara Yo. Lewat lagi beberapa tahun, setelah usianya Wanyen Kang bertambah, aku mulai memberikan dia pelajaran ilmu silat.”
“Mungkinkah itu binatang sampai sebegitu jauh belum mengetahui asal-usulnya sendiri?” Tin Ok menanya.
“Tentang itu pernah aku mencoba mencari tahu,” berkata Khu Cie Kee. “Aku mendapat kenyataan ia telah terpengaruh sangat harta dan kemuliaan, karena itu, aku tidak lantas membeberkan rahasianya. Aku pikir hendak menunggu sampai ia bertemu dan pibu sama Kwee Sie-heng, baru aku hendak mengakurkan mereka, untuk kemudian menolongi ibunya, untuk pernahkan mereka di suatu tempat tersembunyi. Aku tidak sangka sama sekali, sebenarnya saudara Yo masih hidup, malah bersama-sama saudaraku, kita kena terpedayakan hingga beginilah pengalaman kami yang pahit. Ah…!”
Mendengar itu, Bok Liam Cu menangis seraya menutupi mukanya.
Kwee Ceng lantas turut bicara, menuturkan bagaimana dia bertemu sama Yo Tiat Sim, dan bagaimana mereka bertemu juga sama Pauw Sek Yok pada malam itu.
Semau orang lantas memuji Pauw Sek Yok, yang ternoda saking terpaksa, tetapi akhirnya dia berkorban untuk kehormatannya untuk cinta sucinya terhadap suaminya.
Setelah itu, pembicaraan mereka beralih kepada soal bertanding nanti di bulan kedelapan.
“Seluruh anggota Coan Cin Pay bakal hadir, apalagi yang dibuat khawatir?” berkata Cu Cong.
“Aku berkhawatir mereka mengundang banyak kawan hingga jumlah kita menjadi terlebih sedikit,” Ma Giok mengutarakan kekhawatirannya.
“Bisakah mereka mengundang banyak orang pandai?” Cie Kee bertanya.
“Bukan begitu, sutee,” berkata Tan Yang Cu seraya menghela napas. “Selama beberapa tahun ini aku benar telah memperoleh banyak kemajuan, hingga kau dapat memancarkan pengaruh partai kita, akan tetapi di sebelah itu, jangan kita melupakan, tidak dapat kita bertemberang dan menuruti adat muda…”
Cie Kee tertawa. “Jadi kita harus ketahui, bahwa diluar langit ada yang terlebih tinggi, di atas orang pandai ada lagi orang yang terlebih pandai?” katanya.
“Memang begitu. Lihat saja beberapa orang tadi, bukankah mereka itu tak ada dibawahan kita? Coba mereka dapat mengundang lagi beberapa orang, maka dalam pertemuan di Yan Ie Lauw itu sukar ditentukan dari sekarang, siapa bakal kalah, siapa bakal menang….” jawab Ma Giok lagi.
“Tapi mungkinkah kita Coan Cin Pay bakal roboh di tangannya beberapa jahanam itu?” Khu Cie Kee menegasi.
“Segala apa tak dapat diduga, saudaraku. Buktinya ialah kejadian tadi. Kalau tidak ada Kwa Toako dan Cu Jieko datang membantu, bukankah akan runtuh nama baik kita yang sejak beberapa puluh tahun? Tidakkah kita bertiga bakal kehilangan nyawa kita disini?” kata Ma Giok.
Tin Ok dan Cu Cong lekas-lekas merendahkan diri. “Mereka itu telah menggunakan akal muslihat,” kata mereka. “Kemenangan mereka itu tak dapat dibuat sebutan.”
Ma Giok menghela napas. “Memang kita harus berhati-hati,” katanya. “Lihat saja Ciu Susiok kita. Ia telah mewariskan kepandaiannya guru kita, kepandaiannya itu sepuluh lipat melebihi kita, tetapi ia terlalu mengandalkan diri, sampai sekarang sudah belasan tahun, tak diketahui dimana adanya dia. Maka itu Ciu Susiok itu harus dijadikan contoh.”
Mendengar perkataan kakaknya ini, Cie Kee berdiam.
Kanglam Liok Koay tidak mengetahui yang Coan Cin Cit Cu masih mempunyai susiok, paman guru, mereka heran, tetapi mereka tidak nerani menanyakan keterangan.
Ong Cie It sendiri membungkam selama dua saudaranya itu berbicara.
Kemudian Khu Cie Kee melirik kepada Kwee Ceng dan Bok Liam Cu. “Kwa Toako,” katanya tertawa. “Tidak kecewa murid yang kau pimpin itu. Yo Sutee mendapatkan baba mantu seperti ini, ia mati pun meram….”
Merah mukanya Liam Cu, ia berbangkit, sembari tunduk ia berjalan untuk keluar.
Ong Cie It dapat melihat caranya orang berbangkit dan bertindak, mendadak berkelebatlah suatu ingatan di otaknya, sebab sekali ia turun dari atas pembaringannya dan sebelah tangannya melayang ke pundak orang.
Hebat serangan mendadak ini, tatkala si nona sadar, pundaknya sudah kena ditekan, percuma ia hendak mempertahankan diri, ia terhuyung ngusruk. Tapi tangan kiri Cit It menyusul, sebelum ia jatuh, dia sudah dapat ditolong. Dia heran dan kaget, dengan mendelong ia mengawasi imam itu.
Ong Cie It lantas tertawa. “Jangan kaget, Nona,” katanya. “Aku sedang menguji kepandaianmu. Bukankah itu orang yang berilmu yang mengajari kau ilmu silat cuma tiga hari mempunyakan hanya sembilan jari tangan dan dandannya sebagai pengemis?”
Nona Bok menjadi terlebih heran lagi. “Eh, mengapakah totiang ketahui itu?” dia balik menanya.
Cit It tertawa pula. “Kiu Cie Sin Kay Ang Locianpwee itu memang aneh sepak terjangnya,” ia berkata, menerangkan. “Dia mirip dengan naga sakti yang nampak kepalanya tetapi tidak ekornya. Kau telah mendapat pengajaran dari dia, Nona, kau beruntung sekali. Sebenarnya ada sangat sukar akan mendapatkan ketika seperti kau itu.”
“Hanya sayang guruku itu tidak mempunyai tempo yang luang, dia cuma bisa mengajari tiga hari lamanya,” menambahkan si nona.
“Apakah kau tidak kenal kecukupan, Nona?” Ong Cie It menegaskan. “Kau tahu, pengajarannya itu tiga hari melebihkan pengajaran lain orang sepuluh tahun!”
“Totiang benar juga,” kata Liam Cu, yang terus berdiam tapi cuma sejenak, terus ia menanya: “Apakah totiang ketahui dimana adanya Ang Locianpwee itu sekarang?”
Cit It tertawa pula. “Perkataanmu menyulitkan aku, Nona!” ia berkata. “Adalah pada duapuluh tahun yang lampau aku menemui dia di puncaknya gunung Hoa San, habis itu aku tidak melihat dan mendengarnya pula.”
Liam Cu merasa kecewa, perlahan-lahan ia bertindak keluar.
“Ong Totiang, siapakah itu Ang Locianpwee?” Han Siauw Eng menanya. Sejak tadi si nona sudah tertarik hatinya mendengar disebutnya orang itu yang ada dari tingkat lebih tinggi dan tua (locianpwee).
Imam she Ong itu tersenyum, ia balik ke pembaringannya.
“Han Lie-hiap,” Ong Cie It menanaya, “Pernahkah kau mendengar sebutan Tong Shia See Tok, Lam Tee Pak Kay dan Tiong Sin Thong?”
Nona Han itu berpikir. “Rasanya pernah aku mendengar tetapi aku tidak tahu apa artinya itu semua.”
Tiba-tiba Kwa Tin Ok memeotong: “Ang Locianpwee itu bukankah Pak Kay dari Lam Tee Pak Kay itu?”
“Benar,” Ong Cie It memberikan jawabannya. “Tiong Sin Thong itu adalah almarhum Ong Cinjin yang menjadi guru kami.”
Kanglam Liok Koay kagum mendengar si orang she Ang sama tersohornya dengan gurunya Coan Cin Cit Cu.
Khu Cie Kee menoleh kepada Kwee Ceng, sembari tertawa ia berkata: “Bakal istrimu itu ada muridnya Kiu Cie Sin Kay yang ternama besar, di belakang hari siapa yang nanti berani menghinamu?”
Mukanya Kwee Ceng menjadi merah, berniat ia membantah tetapi ia tidak dapat membuka mulutnya.
“Ong Totiang,” kemudian Han Siauw Eng menanya pula. “Kau cuma menekan pundaknya si nona, cara bagaimana kau lantas bisa mendapat tahu dialah muridnya Kiu Cie Sin Kay itu?”
Selagi Cie It belum menyahuti, Cie Kee menggapai kepada Kwee Ceng, siapa sudah lantas datang menghampirkan. Mendadak saja ia menekan pundak si anak muda.
Kwee Ceng pernah mendapat pelajaran rahasianya ilmu dalam dari Ma Giok, pelajaran yang disebut Hian-bun Ceng-cong, ia juga telah makan darahnya ular, tenaga dalamnya kokoh sekali, dari itu tidaklah ia roboh tertekan si imam.
Khu Cie Kee tertawa. “Anak yang baik!” katanya seraya mengangkat tekanannya.
Kwee Ceng tidak berani melawan lebih jauh tenaga dalam si imam itu tapi justru itu, ia ditekan pula. Kali ini, tidak ampuj lagi, ia roboh terjengkang, sebab ia tidak bersiaga. Tapi ia tidak roboh terguling, begitu pula tangannya mengenakan tanah, ia sudah berlompat berdiri pula.
Menyaksikan itu, semua orang tertawa.
“Anak Ceng,” Cu Cong lantas berkata, “Khu Totiang telah memberikan kau pelajaran, kau ingatlah baik-baik.”
Kwee Ceng menyahuti sambil mengangguk.
“Han Lie-hiap,” Khu Cie Kee berkata pula, sekarang kepada Han Siauw Eng, “Siapa pun yang mempelajari ilmu silat, jikalau ia ditekan secara barusan, mesti ia roboh terjengkang, cuma ilmu silatnya Kiu Cie Sin Kay yang tidak mempan tekanan, paling-paling orang terhuyung ke depan. Sebabnya ini ialah kepandaian Ang Locianpwee itu banyak yang bertentangan sama ilmu silat yang kebanyakan.”
Liok Koay kagum untuk pengetahuan luas dari kaum Coan Cin Pay itu.
“Apakah Ong Totiang pernah melihat Kiu Cie Sin Kay bersilat?” Cu Cong tanya.
“Pada duapuluh tahun dulu itu,” menyahut Ong Cie It, “Kiu Cie Sin Kay telah berkumpul berlima bersama Oey Yok Su di puncak gunung Hoa San, di mana mereka merundingkan ilmu silat pedang, karena aku senantiasa mendampingi guruku, aku jadi dapat mendengar penguraiannya Kiu Cie Sin Kay itu.”
“Bukankah Oey Yok Su itu adalah Tong Shia dari Tong Shia See Tok?” Tin Ok tanya pula.
“Benar,” menjawab Tiang Cun, yang terus berpaling pada Kwee ceng sambil tertawa mengatakan: “Syukur Ma Suko telah ajarkan kau ilmu silat tetapi si antara kamu belum ada hubungan murid dan guru, jikalau tidak, mungkin terbit salah paham. Kau mesti terlebih rendah tingkatannya daripada bakal istrimu itu, dengan begitu seumurmu, tidak nanti kau dapat menanjak naik….”
Kwee ceng jengah, mukanya merah. “Tidak dapat aku menikah dengannya,” katanya.
Khu Cie Kee heran, hingga air mukanya berubah. “Kenapakah?” tanyanya.
Han Siauw Eng menyayangi muridnya itu, ia merasa kasihan, ia mewakilkan menyahut. “Kami cuma ketahui turunan Yo toako adalah anak laki-laki, maka itu selama di Mongolia anak Ceng ini sudah bertunangan. Oleh Khan besar dari Mongolia, Jenghiz Khan, ia telah diangkat menjadi Kim-to Hu-ma.”
Mendengar keterangan itu, Khu Cie Kee tertawa dingin. “Bagus betul!” katanya. “Orang adalah satu putri, pantaslah dia beda daripada yang lainnya. Tetapi disini adalah mengenai pesan orang tua mereka. Adakah kamu tidak memeprdulikan itu?!”
Kwee Ceng menjadi ketakutan, ia lantas saja menekuk lututnya. “Teecu belum pernah sekali juga bertemu sama ayahku almarhum,” ia berkata, “Dari itu tidak tahu teecu tentang pesan ayahku itu. Sukalah Totiang memberi petunjuk?”
Cie Kee tertawa. “Ya, kau tidak dapat dipersalahkan!” katanya. Tadi ia tak ingat akan hal ini. Habis itu lalu ia menutur kejadian pada delapanbelas tahun yang lampau di Gu-kee-cun, bagaimana ia berkenalan sama Kwee Siauw Thian dan Yo Tiat Sim, bagaimana ia sudah pukul mundur musuh, bagaimana ia menyusul dua orang itu hingga jadi bentrok sama Kanglam Cit Koay, dengan kesudahannya dibuat perjanjian pibu antara keturunannya Siauw Thian dan Tiat Sim itu.
Kwee Ceng lantas saja menangis. Baru sekarang ia ketahui jelas tentang dirinya sendiri. Ia berduka untuk sakit hati ayahnya, sakit hati mana belum terbalas. Karena ini juga ia menjadi ingat baik-baik budi semua gurunya.
Han Siauw Eng menghibur muridnya, ia kata: “Sudah lumrah, laki-laki mempunyakan tiga istri serta empat gundik, maka itu belakang hari bolehlah kau memberitahukan kepada Khan yang agung halnya kau akan menikah dua istri. Ini toh untuk kebaikan kedua pihak, bukan?”
Kwee Ceng menepas air matanya. “Aku juga tidak akan menikahi Putri Gochin!” katanya.
Nona guru itu menjadi terkejut dan heran. “Kenapakah?” tanyanya.
“Aku tidak senang ia menjadi istriku,” Kwee Ceng menyahut dengan terus terang.
“Bukankah kau kenal ia dengan baik dan pernah bergaul rapat?” Siauw Eng menanya pula.
“Ya, tetapi aku pandang ia sebagai adik saja, sebagai sahabat. Aku tidak ingin menikah dengannya.”
Khu Cie Kee menjadi girang mendengar itu. “Anak yang baik, kau bersemangat!” pujinya. “Peduli apa dia Khan yang agung atau tuan putri, kau baiklah turut pesan ayahmu almarhum dan paman Yo-mu itu, kau menikah dengan nona barusan!”
Kwee Ceng menggeleng kepala. “Aku juga tidak akan nikahi nona ini,” katanya.
Semua orang menjadi heran, tidak tahu mereka apa yang dipikirkan pemuda ini.
“Apakah kau telah mempunyai nona lain yang kau penujui?” tanya Siauw Eng perlahan. Dasar wanita, nona Han ini dapat menyelami hati orang.
Muka Kwee Ceng menjadi merah, dia berdiam sejenak, baru ia mengangguk.
Han Po Kie dan Khu Cie Kee terperanjat. “Siapakah nona itu?!” tanya mereka keras.
Kwee Ceng mengasih dengar suaranya perlahan, ia tidak menjawab.
Sedeik itu, Han Siauw Eng lantas ingat Oey Yong, yang ia telah perhatikan ketika malam itu bertempur dengan Bwee Tiauw Hong dan Auwyang Kongcu beramai di dalam istana pangeran. Ia ketahui nona itu berkulit putih bersih dan cantik menarik.
“Bukankah kau maksudkan si nona baju putih?” ia tegaskan muridnya itu.
Kwee Ceng tidak menjawab tetapi mukanya menjadi merah.
“Siapakah dia itu?” Khu Cie Kee tanya si nona Han.
“Aku dengar Bwee Tiauw Hong memanggil ia sumoay dan kepada ayahnya suhu…” menjawab Siauw Eng perlahan sekali. (Sumoay = adik seperguruan wanita dan suhu = suhu)
Dua-dua Kwa Tin Ok dan Khu Cie Kee terperanjat, hingga mereka berlompat bangun. “Mustahilkah ia putrinya Oey Yok Su?” tanya mereka berbareng.
Siauw Eng tarik tangan muridnya, untuk si murid datang dekat kepadanya. “Anak Ceng, apakah nona itu she Oey?” ia menanya perlahan.
Kwee Ceng mengangguk. “Ya,” sahutnya, perlahan juga.
Mendapat jawaban itu, Han Siauw Eng tergugup.
“Apakah ayahnya yang jodohkan kau dengan putrinya?” tanya Cu Cong.
“Aku belum pernah bertemu dengan ayahnya dan tidak tahu siapa itu ayahnya,” si murid menjawab.
“Kalau begitu, kamu jadi mufakat berdua saja?” Cu Cong menanya pula.
Kwee Ceng tidak mengerti jelas, ia membuka lebar matanya tanpa menjawab.
“Bukankah dia mengatakan mesti menikah dengamu dan kau membilang akan nikahi dia?”
“Tidak pernah dikatakan begitu…” sahut Kwee Ceng, yang terus berdiam, tetapi sesaat kemudian ia menambahkan: “Tidak usahlah itu dijelaskan lagi. Aku tidak dapat tidak mempunyai dia dan dia juga tidak dapat tidak mempunyai aku, hati kita sama mengetahuinya….”
Han Po Kie belum pernah mengenal asmara, mendengar itu ia menjadi tidak puas. “Habis bagaimana jadinya!” ia membentak.
Cu Cong lain lagi. Berkata ini guru yang nomor dua: “Kau tahu tidak, ayahnya nona itu adalah satu iblis besar, yang kalau membunuh orang tidak pernah mengicap matanya? Jikalau ia ketahui kau secara diam-diam mencuri mengambil hati anak gadisnya, apa kau sangka kau masih mempunyai jiwamu itu? Bwee Tiauw Hong belum mewariskan satu persepuluh dari kepandaian gurunya itu, dia sudah sangat lihay, maka jikalau tuan dari Pulau Tho Hoa To itu hendak membunuh kau, siapa yang dapat menolonginya?”
“Yong-jie demikian baik, aku pikir….aku pikir ayahnya tak mungkin bukan orang baik-baik,” berkata si murid perlahan.
“Angin busuk!” membentak Po Kie, yang tetap murka. “Kau mesti bersumpah bahwa untuk selanjutnya kau tidak akan bertemu pula dengan nona itu!”
Kanglam Liok Koay sangat membenci Hek Hong Saing Sat yang telah membinasakan Siauw Mie To Thio A Seng si Buddha Tertawa, dengan sendirinya mereka jadi membenci juga guru orang itu.
Kwee Ceng menjadi susah hati. Di satu pihak adalah guru-gurunya yang telah melepas budi banyak kapadanya, dilain pihak adalah cinta sejati. Ia pikir, kalau seumurnya ia tidak dapat bertemu lagi Oey Yong, apakah artinya hidupnya itu – buat apa ia menjadi manusia? Ia jujur dan polos, dari itu halus sekali perasaannya. Tempon ia mendapat lihat guru-gurunya itu mengawasi ia dengan bengis, hancur rasa hatinya. Ia lantas menekuk lutut, air matanya turun mengalir di kedua pipinya.
Han Po Kie lantas maju setindak. “Lekas bicara!” ia membentak.
Belum lagi Kwee Ceng menyahuti, di luar jendela sudah terdengar suaranya seorang wanita muda: “Kenapa kamu main paksa orang?!” Tercenganglah Tin Ok semua. Sedang begitu, si nona itu telah berkata pula: “Engko Ceng, lekas keluar!”
Kwee ceng kenali suaranya Oey Yong, ia kaget dan berbareng heran. Ia lantas berbangkit dan memburu keluar. Di depannya berdiri si nona cantik, tangan kirinya memegangi pelana kuda Han-hiat Po-ma.
Kuda merah itu meringkik panjang, apabila ia melihat ini anak muda, lalu kedua kaki depannya diangkat, untuk berjingkrakan.
Han Po Kie bersama Cu Cong dan Coan Kim Hoat memburu keluar, diikuti Khu Cie Kee berempat.
Menampak ketiga guru itu, Kwee Ceng menunjuk kepada si nona seraya berkata; “Sam-suhu, inilah dia si nona, dia bukannya siluman!”
Oey Yong menjadi gusar. “Hai, orang kate terokmok yang menyebalkan untuk dilihat, kenapa kau berani memaki aku perempuan siluman?!” dia menanya sambil membentak. Dia pun segera menuding Cu Cong tanpa menanti lagi jawabannya Ma Ong Sin si Malaikat Raja Kuda, untuk menambhakan: “Ada lagi kau, mahasiswa iblis yang jorok kotor, kenapa kau mencaci ayahku? Kenapa kau katakan ayahku satu iblis besar yang membunuh orang tidak mengicap mata?!”
Biauw Ciu Sie-seng si Mahasiswa Tangan Lihay sabar, ia tidak sudi melayani seorang nona, maka itu ia tersenyum. Ia mesti akui nona ini sangat cantuk, seumurnya belum pernah ia lihat lain nona yang melebihkannya, jadi tidaklah heran yang Kwee Ceng menjadi jatuh hati kepada si nona.
Tapi beda dengan kakaknya yang kedua ini, Han Po Kie gusar bukan main, sampai kumisnya bangun berdiri. “Pergi kau! Lekas kau pergi!” ia mengusir.
Bukannya si nona Oey itu pergi, ia justru menepuk-nepuk tangan, ia bernyanyai; “Hai, labu parang! Hai, bola kulit bundar! Ditendang satu kali, lalu bergelindingan!”
“Jangan nakal, Yong-jie!” kata Kwee Ceng lekas mencegah. “Inilah guruku….”
Han Po Kie maju, ia mengulurkan tangannya akan menolak si nona itu untuk diangkat pergi.
Masih Oey Yong bernyanyai: “Labu parang! Bola kulit bundar!” Ia pun mundur dari tangannya si kate terokmok itu, hanya sambil mundur, mendadak tangannya menyambar pinggang Kwee Ceng, yang etrus ia bawa berlompat, maka sedetik kemudian, keduanya sudah bercokol di atas kuda merah, tempo mana si nona itu mengedut tali les, Han-hiat Po-ma membuka tindakan lebar dan kabur!
Han Po Kie boleh sangat gesit dan sebat tetapi tidak snaggup ia menyandak kuda jempolan itu.
Ketika kemudian Kwee Ceng sempat menoleh ke belakang, wajah Po Kie semua terlihat hanya samar-samar saja, lantas bergelempang hitam, terus lenyap, saking keras larinya si kuda merah itu!
Oey Yong mencekal les dengan tangan kanan, tangan kirinya memegang tangannya si anak muda, hatinya berdenyut keras, walaupun belum lama mereka berpisahan, Kwee Ceng sendiri bingung sekali. Berat untuknya akan perpisahan secara demikian dari keenam gurunya itu, sebaliknya, pepat juga hatinya kapan ia mengingat gurunya itu hendak memisahkan ia dari pacarnya. Mana bisa ia tunduk kepada mereka itu?
Kabur kira-kira satu jam lamanya, Han-hiat Po-ma telah terpisah duaratus lie dari kota Yan-khia. Sampai disitu barulah Oey Yong menarik tali les kudanya, untuk mengasih kudanya berhenti. Lantas ia lompat turun dari binatanag tunggangannya itu, diturut oleh pemuda pujaannya itu. Kuda itu menggosok-gosok lehernya ke pinggang si anak muda, menandakan kelulutannya.
Sepasang muda-mudi ini berpegagan tangan, mereka berhadapan tanpa mengucapkan sepatah kata. Banyak yang mereka ingin ucapkan, tetapi mereka tidak tahu harus bagaimana memulainya. Cuma hati mereka yang berbicara satu pada lain……….
Beberapa saat kemudian, baru Oey Yong melepaskan tangannya dari tangan Kwee Ceng. Ia merogoh ke kantung kulit di pelana, ia menarik keluar sepotong sapu tangan, terus ia pergi ke tepi kali kecil di dekatnya, untuk mencelup saputangan itu, kemudian ia kembali ke pemudannya.
“Kau pakailah ini,” katanya perlahan, meminta orang menyusut mukannya yang keringatan.
Kwee Ceng berdiri bengong, agaknya ia berpikir keras sekali. Ia tidak menyambuti saputangan itu, hanya sekonyong-konyong ia berkata, keras; “Yong.jie, tidak dapat kita berbuat begini….”
Pemudi itu terperanjat, ia menatap, “Apa katamu?” tanyanya.
“Kita harus kembali,” Kwee Ceng bilang. “Kita mesti menemui guruku semua…!”
Kembali Oey Yong terperanjat. “Kembali?” ia menegasi. “Kita kembali bersama?”
“Benar!” sahut pemuda itu. “Hendak aku mencekal tanganmu, kepada guruku semua dan Ma Totiang beramai ingin aku mengatakan; ‘Inilah Yong-jie! Dia bukannya siluman perempuan!’” Sembari berkata begitu, ia menarik tangan yang putih mulus dan lemas dari si nona, kemudian ia angkat kepalanya, untuk mengawasi wajah orang. Ia agaknya hendak mengatakan pula; “Suhu, budi kamu besar laksana gunung, walaupun tubuhku hancur luluh, sukar aku membalasnya…Tapi, tapi Yong-jie bukannya siluman, dialah satu nona yang baik sekali…” ia hendak omong banyak, tapi cuma sampai di situ, berhentilah pikirannya melamun.
Mulanya Oey Yong tersenyum, ia anggap orang jenaka sekali, tetapi kemudian hatinya tergerak. Ia lantas berkata: “Engko Ceng, semua gurumu sangat benci aku, percuma kau omong banyak dengan mereka itu. Sudahlah, jangan engkau kembali! Mari kita pergi ke sebuah gunung sunyi, atau ke sebuah pulau mencil di laut, supaya mereka itu selama umurnya tidak dapat mencari kita….”
Kwee Ceng tetap menatap. “Yong-jie,” katanya, suaranya mantap, “Tidak dapat tidak, kita mesti kembali.”
“Tapi mereka itu hendak memisahkan kita, nanti kita tidak bakal bertemu pula,” kata si nona pula.
“Biarnya mati, kita tidak bakal berpisah!” si pemuda memastikan.
Semangat Oey Yong terbangun, kalau tadi hatinya berdebaran, sekarang hatinya itu menjadi mantap.
“Benar!” pikirnya. “Paling banyak kita mati! Mustahil ada yang lebih hebat dari kematian?” Maka ia kata: “Engko ceng, untuk selama-lamanya aku akan dengar perkataanmu! Sampai mati juga kita tidak akan berpisah!”
“Memang!” sahut si anak muda. “Aku sudah bilang, kau adalah satu nona yang manis!”
Nona itu tertawa. Ia merogoh pula kantong kulitnya, sekarang ia mengeluarkan sepotong besar daging mentah, ia gulung itu dengan lumpur, terus ia tambus. Ia menyalakan api dengan kayu kering.
“Biarlah si kuda lecil merah beristirahat,” kata pula si nona. “Habis beristirahat baru kita kembali.”
Kwee Ceng mengangguk, hatinya puas.
Tidak lama kemudian keduanya mulai menggayem daging tambus itu, kuda mereka juga sudah kenyang makan rumput. Sebentar kemudian, dengan menaiki kuda, mereka ambil jalan dari mana tadi mereka datang. Di waktu lohor, mereka tiba di hotel. Turun dari kudanya, Kwee Ceng pegang tangannya Oey Yong untuk diajak masuk ke dalam.
Pelayan hotel girang melihat kembalinya anak si muda, ia menyambuti dengan wajah berseri-seri. Ia pernah menerima persen dari Kwee Ceng.
“Kau baik, Tuan?” tegurnya. “Mereka itu sudah berangkat pergi. Tuan ingin dahar apa, silakan sebutkan.” katanya.
Tapi Kwee Ceng terperanjat. “Mereka sudah pergi?” ia mengulangi. “Adakah pesanannya?”
“Tidak, mereka menuju ke Selatan, perginya sudah selang dua jam.” jawab si jongos.
“Mari kita susul mereka!” Kwee Ceng mengajak kekasihnya.
Oey Yong menurut, maka mereka tinggalkan rumah penginapan itu, mereka kaburkan kuda mereka ke arah yang disebutkan si pelayan itu, yang heran menampak orang pergi secara demikian kesusu. Di sepanjang jalan mereka memasang mata. Sampai sore, mereka tidak dapat menemukan Kanglan Liok Koay.
“Mungkin suhu telah mengambil lain jalan,” kata Kwee Ceng. Ia membaliki kudanya.
Han-hiat Po-ma kuat sekali, walaupun penunggangnya dua orang, ia dapat lari tak kurang cepatnya, ia tidak menjadi lelah. Hanya sampai cuaca gelap, mereka tetap tidak melihat Kanglam Liok Koay atau ketiga orang Coan Cin Pay. Kwee Ceng menjadi masgul.
Oey Yong menghibur. Katanya: “Di harian Tiong Ciu mereka bakal berkeumpul di Yan Ie Liauw di Kee-hin, di sana kau pasti bakal dapat menemukan mereka.”
“Untuk sampai kepada hari raya Tiong Ciu, temponya masih setengah tahun lagi,” kata si anak muda, lesu.
Tapi si nona tertawa manis. “Selama setangah tahun kita toh dapat pesiar ke segala tempat kenamaan!” katanya. “Apakah itu tidak terlebih bagus?”
Mau tidak mau, Kwee Ceng menyatakan setuju. Hatinya menjadi lega juga.
Keduanya lantas memasuki dusun, akan mencari penginapan, guna melewatkan sang malam.
Besoknya Kwee Ceng membeli seekor kuda putih yang besar, untuk ia, supaya Oey Yong dapat menaiki kuda merah kecil itu seorang diri. Tidak leluasa untuk mereka terus menunggang seekor kuda.
Oey Yong tidak dapat menampik kehendak pemudanya itu.
Demikian dengan merendengkan kuda, mereka berjalan perlahan-lahan, untuk menikmati keindahan sang malam. Mereka pergi tanp tujuan. sering mereka turun dan duduk saling menyender di tempat yang sepi. Kalau singgah dan bermalam, mereka pun menyewa sebuah kamar. Hati mereka lapang, tidak ada pikirab yang bukan-bukan yang menyandingi mereka. Mereka melainkan memikirkan pesiar dan terbukalah hari mereka.
Pada suatu hari tibalah meteka di Baratnya perbatasan antara Liongkeng-hu dan Tayleng di sebelah timur kota raja. Ketik aitu sudah mendekati hari raya Toan-yang, hawa udara mulai panas. Dahi Oey Yong telah berkeringatan. Selagi mereka hendak cari tempat untuk meneduh, si nona mendengar suara mengericiknya air . Ia lantas larikan kudanya ke arah suara itu. Untuk girangnya ia mendapatkan sebuah kali kecil, sampai ia berseru.
Kwee Ceng mengasih kudanya lari menyusul.
Kali itu berair bening, hingga nampak dasarnya. Di kedua tepinya ada tumbuh banyka pohon yang-liu, yang cabang dan daunnya meroyot ke air. Di dalam air pun terlihat sejumlah ikan berenang pergi datang.
Oey Yong gembira sekali, hingga ia membuka pakaian luarnya, lalu terjun ke air.
Kwee Ceng terkejut, hingga ia menjerit. Ia lari ke tepian, hatinya lega. Segera ia melihat si nona berenang di dalam air, menangkap dua ekor ikan yang panjangnya kira-kira satu kaki, ketika diangkat ke muka air, ekornya kedua ikan itu bergerak-gerak, begitupun kepalanya.
“Sambut!” si nona berseru, kedua tangannya terayun.
Kwee Ceng sudah lantas menyambuti, ia bisa memegang kedua ikan itu, tetapi saking licinnya, ikan itu melejit dan lolos, jatuh ke tanah, di mana keduanya berloncatan.
Oey Yong tertawa geli. “Engko Ceng, mari turun, kita berenang!” ia memanggil.
Kwee Ceng tidak bisa berenang, ia menggeleng kepala. Ia menjadi besar di gurun pasir.
“Turunlah, nanti aku ajari!” kata si nona.
Pemuda ini menjadi tertarik, maka ia pun membuka baju luarnya, lalu turun ke kali. Ia tidak menerjun seperti si nona, tetapi ia turun dengan perlahan-lahan, tangannya pun diulurkan. Si nona jail sekali, ia menghampirkan, tahu-tahu ia telah merabuh kaki orang, maka tidak tempo lagi, tubuh Kwee Ceng terpelanting. Ia kaget, karenanya, ia menegak air! Oey Yong lekas pegangi tangan orang, ia menertawai.
“Begini menggeraki tangan,” si nona benar-benar lantas mengajari. Ia pun membilangi, untuk selulup mesti menahan napas dan mata dapat dirapati atau dimeleki.
Untuk Kwee Ceng, pelajaran berenang itu gampang sekali. Dengan dapat mengatur napasnya, dengan cepat ia telah dapat mengerti. Demikian ia bisa berenang hilir mudik dan selulup timbul. Tentu sekali, ia menjadi bertambah gembira, sedang kawannya demikian manis dan lincah.
Tidak puas dengan mandi di satu tempat saja, mereka berenang mudik, sampai kuping mereka mendapat dengar suara air nyaring. Kemudian ternyata, di Selatan itu ada air terjun yang yang tingginya lebih daripada sepuluh tombak, bagaikan rantai perak, air meluncur turun.
“Engko Ceng,” kata si nona sangat bergembira, “Mari kita mendaki air tumpah itu!”
“Baik, mari kita mencoba!” Kwee Ceng menyambut. “Kau pakailah baju lapismu!”
“Tidak usah!” menyahut si nona. “Mari kita mulai!”.
Kata-kata itu disusul sama gerakan tubuh yang lincah, berbareng dengan mana, si pemuda pun menggeraki kaki tangannya. Tapi air deras sekali, keduanya gagal. Beberapa kali mereka mencoba, tetapi mereka tidak berhasil.
Kwee Ceng penasaran sekali. “Baiklah kita beristirahat, besok kita coba pula!” katanya pada kawannya.
“Baik!” tertawa Oey Yong. Ia pun penasaran.
Besoknya percobaan diulangi, kali ini mereka dapat naik hingga setombak lebih. Hati mereka menjadi besar, mereka mencoba terus. Inilah suatu latihan bagus bagi mereka, yang ilmunya ringan tubuh sudah sempurna. Latihan ini terus dilakukan terus, maka juga di hari kedelapan, Kwee Ceng bisa menyampaikan puncak air terjun itu, dengan menyambar dan menarik tangan orang, ia membantu Oey Yong naik juga.
Bukan main girangnya muda mudi ini.
“Mari kita turun pula!” Kwee Ceng mengajak. Lalu keduanya menyebur mengikuti air tumpah itu.
Demikian mereka berlatih, naik dan turun. Dalam sepuluh hari, Kwee Ceng dapat berenang dengan baik walaupun ia masih kalan lincah dari si nona, ialah untuk menangkap ikan, ia tak dapat menyaingi.
Puaslah hatinya sepasang anak muda ini, maka di hari kesebelas baru mereka melanjuti perjalanan ke Selatan. Sampai di hulu sungai Tiang Kang, hari mulai sore. Terbuka hati Kwee Ceng menyaksikan kebesarannya sungai itu, yang airnya terus mengalir, gelombangnya saling susun.
“Kau mau berenang, engko ceng?” tanya si nona. “Marilah!”
“Baik!” sahut si anka muda. Dan ia lompat turun dari kuda putihnya, yang tepuk kempolannya. “Kau tidak punya guna, pergilah!” Ia pun melepaskan tali les. Dilain pihak, ia menghampirkan kuda merah.
Kapam kuda merah itu telah ditepuk, dengan berani dia terjun ke sungai, sembari terjun ia meringkik keras dan panjang, terus ia berenag pergi.
Kwee Ceng dan Oey Yong pun segera terjun, untuk menyusul. Pandai berenangnya kuda merah itu, dia mendahului di muka.
Di tempat dimana mereka terjun ini tidak ada lain orang, dengan begitu mereka tidak menarik perhatian siapa juga.
Belum begitu lama, tiba-tiba cuaca menjadi gelap. Sebab mega sudah lantas bergumpal-gumpal, langit menjadi mendung. Lalu kemudian terdengarlah suara guntur saling susul dan terlihat kilat menyambar-nyambar.
“Takutkah kau, Yong-jie?” Kwee Ceng tanya.
“Ada bersama-sama kau, aku tidak takut!” menjawab si nona tertawa.
Pemuda itu tersenyum.
Di bawah hujan besar, mereka berenang terus hingga di lain tepi di mana mereka mendarat. Mereka menanti sampai air langit itu berhenti turun, ketika itu tibalah sang malam dan rembulan memancarkan sinarnya di langit yang bersih. Mendung sirna, mega berkumpul lenyap.
Kwee Ceng mencari kayu kering, untuk menyalakan api ungun, di situ mereka memanggang pakaian mereka hingga kering, kemudian keduanya rebah tidur di udara terbuka. Mereka polos, mereka tidak ingat suatu apa.
Keduanya sadar besoknya fajar, tempo mereka dengar suara ayam berkeruyuk dari sebuah rumah tak jauh dari tepi sungai.
“Aku lapar!” berkata Oey Yong, yang menguap. Ia berbangkit, untuk lari ke rumah tadi, sebentar kemudian, ia sudah lari balik, bersama seekor ayam jago yang besar di tangannya.
“Mari kita pergi ke sana, supaya pemilik rumah tidak melihat kita,” Kwee Ceng mengajak.
Si nona mengangguk, lantas mereka berjalan sampai sejauh satu lie kira-kira. Kuda merah terus mengikuti mereka. Disini Oey Yong sembelih ayam itu, lalu di cuci bersih, kemudian ia gulung dengan lumpur, untuk ditambus. Maka dilain saat matanglah ayam itu, rontok bulu dan kulitnya, terlihatlah dagingnya yang gemuk. Disaat si nona hendak membeset ayam itu, tiba-tiba ia dengar suara dari belakangnya; “Besetlah menjadi tiga potong, pahanya kasih aku!”
Kedua muda-mudi itu terkejut. Bukankah kuping mereka lihay? Kenapa mereka tidak dengar berkelisiknya orang, hingga orang tahu-tahu sudah berada dibelakang mereka? Mereka memutar tubuh dengan cepat. Maka terlihatlah seorang pengemis usia pertengahan, pakaiannya banyak tambalannya, cuma anehnya, bahannya semua tersulam, hingga mirip pakaian pengemis di atas pentas. Dia pun memegang sebatang tongkat yang mirip batu pualam, sedang dipunggungnya tergemblok sebuah cupu-cupu besar yang merah warnanya. Wajah orang tampak acuh tak acuh wajar sekali.
Belum lagi si muda-mudi itu memberi penyahutan, mereka suka memabgi ayam mereka atau tidak, si pengemis sudah lantas menjatuhkan diri duduk di hapadan mereka, tangannya meraba punggungnya, untuk mengambil cupu-cupunya itu, yang tutupnya ia terus buka, maka di detik itu juga tersiarlah harumnya arak. Dia menggelogoki arak itu beberapa ceglokan, terus ia mengangsurkan kepada si anak muda.
“Eh, bocah, kau minumlah!” katanya.
Sebenarnya Kwee Ceng tidak puas untuk kelakuan orang yang tak hormat itu, tetapi karena tingkah laku itu aneh, tidak berani berlaku kasar. “Aku tidak minum arak, lojinkee, kau minumlah sendiri!” sahutnya hormat.
“Dan kau nona kecil, kau minum arak atau tidak?” si pengemis itu menanya Oey Yong.
Si nona tidak menyahuti, ia cuma menggelengkan kepalanya. Tapi sangat jeli matanya, dalam sesaat ia telah dapat melihat jeriji tangan si pengemis yang memegang tempat araknya. Untuk terkejutnya, jeriji itu cuma sembilan, lenyap satu dari lima jeriji tangan kanan! Ia lantas ingat kata-katanya Ong Cie It dan Khu Cie Kee perihal Kiu Cie Sin Kay, si Pengemis Aneh Berjeriji Sembilan.
“Benarkah di kolong langit ini ada peristiwa begini kebetulan?” ia tanya diri sendiri. “Baiklah aku dengar suaranya.”
Nona ini tertawa di dalam hati apabila ia sudah mengawasi wajah si pengemis yang terus memandangi ayamnya, hidung dia itu bergerak-gerak, mulutnya berkelemikan tanda mengilarnya. Tetapi ia tidak memikir untuk menjaili orang, maka ia lantas besat ayamnya dibagi dua, yang separuh ia sodorkan pada orang tua itu. Pengemis itu menyambuti seperti menyambar, terus ia masuki ayam itu kemulutnya, dan terus menggayem. Sangat bernafsu ia mendaharnya hingga lekas juga paha ayam itu termakan habis! Tulang-tulang ayam itu ia semburkan.
“Sungguh lezat! Sungguh lezat!” ia memuji berulang-ulang. “Biarnya aku si leluhur pengemis, tidak bisa aku mematangi ayam selezat ini!”
Oey Yong tertawa, ia menyodorkan pula sepotong lainnya.
“Ah, mana dapat!” pengemis itu menolak. “Kamu berdua belum makan….” Mulutnya mengatakan begitu, tetapi tangannya menyambuti, maka dilain saat, habis sudah sebelah ayam tambus itu! Lantas ia menepuk-nepuk perutnya. “Hai, perutku, perutku!” ia mengoceh seorang diri, “Bukankah jarang sekali kau gegares ayam begini lezat?”
Mau tidak mau, si nona tertawa geli.
Pengemis itu merogoh ke sakunya, mengeluarkan sepotong besar perak, yang mana ia sodorkan kepada Kwee Ceng. “Bocah, kau ambillah ini!” katanya.
Pemuda itu menggeleng kepalanya. “Kami menganggap kau sebagai sahabat, kami tidak menginginkan uang,” jawabnya.
Pengemus itu menyeringai, agaknya ia likat. “Inlah sulit,” katanya. “Meskipun aku pengemis, tidak biasa aku menerima budi orang sedikit juga.”
“Apakah artinya seekor ayam?” berkata Kwee Ceng tertawa. “Laginya, ayam ini pun kami dapatkan dengan jalan tangan panjang, tanpa perkenan dari pemiliknya….”
Pengemis itu tertawa terbahak-bahak. “Ah, anak muda, tabiatmu sama dengan tabiatku!” katanya. “Mari, mari bilangi aku, kau ada niat apa, kau kasih aku dengar!”
Belum lagi si pemuda menyahuti, Oey Yong sudah dului padanya. “Aku masih punya beberapa macam sayuran untuk kau cobai, lojinkee!” katanya manis. “Maukah kau turut kami pergi ke pasar di sana?”
Pengemis itu nampaknya sangat girang. “Bagus, bagus!” ia menyahuti.
“Lojinkee she apa?” Kwee Ceng menanya.
“Aku she Ang, anak yang ketujuh,” menjawab pengemis itu. “Maka kamu berdua, anak-anak, kau panggil saja aku Ang Cit Kong.”
“Ha, benar saja dia!” kata Oey Yong di dalam hatinya. “Tapi dia masih begini muda, cara bagaimana dia sama kesohornya dengan Coan Cin Cit Cu?….”
Walaupun ia memikir demikian, Oey Yong tidak bilang suatu apa. Bertiga mereka sudah lantas berjalan menuju ke Selatan, di mana ada sebuha dusun namanya Kiang-bio-tin. Lantas saja mereka mencari pondokan.
“Kamu berdua menanti sebentar, aku hendak membeli bumbu,” kata Oey Yong, yang terus pergi meninggalkan mereka.
Ang Cit Kong mengawasi belakang si nona, lalu ia tertawa. Ia kata kepada Kwee Ceng, “Adakah dia itu istrimu?”
Merah mukanya Kwee Ceng, sulit untuk ia mengiakan atau menyangkal. Ang Cit Kong tidak menanya pula, dia tertawa, lalu ia duduk nyender di kursinya, matanya meram melek.
Tidak lama Oey Yong kembali dengan sayuran dan bumbunya, ia pergi ke dapur untuk matangi itu. Kwee Ceng hendak membantui, sembari tertawa, pemuda ini ditolaknya.
Selang setengah jam, Ang Cit Kong menguap. Segera ia mengendus-endus. “Ah, harum sekali!” katanya. “Masakan apakah itu, ah?!” Ia melongok ke arah dapur, lehernya diulur panjang-panjang.
Melihat tingkah lauk orang, Kwee Ceng tertawa di dalam hati.
Bau wanginya barang hidangan mendesak, tetapi Oey Yong belum juga muncul. Si pengemis jadi serba salah, ia bangun, ia duduk, bangun pula, duduk kembali.
“Kau tahu tabiatku?” katanya pada Kwee Ceng, yang ia awasi. “Mulutku aneh, asal aku merasai makanan lezat, lantas aku lupa segala apa!” Kali ini ia tidak likat-likat lagi. Ia perlihatkan tangan kanannya, ia menambahkan: “Orang dahulu membilang, jari telunjuk dapat bergerak, inilah benar. Aku, asal aku melihat orang dahar makanan lezat jeriji telunjukku ini lantas bergerak-gerak tak hentinya, maka satu kali, sangking sengit, aku bacok kutung padanya….”
“Oh….!” Kwee Ceng berseru.
Tapi si pengemis tertawa. Katanya pula; “Meski jari tanganku lenyap, tabiatku tetap ada tak berubah…!”
Baru itu waktu Oey Yong muncul bersama sebuah penampan, di atas itu ada dua mangkok nasi, berasnya putih, secawan arak serta dua mangkok sayuran. Dua magkok sayuran itu lantas dipindahlan ke meja.
Kwee Ceng merasakan bau harum, tanda lezatnya masakan itu. Masih ada semangkok masakan daging yang menyiarkan bau terliebih harum lagi. Semangkok yang lainnya pula masakan rebung campur-campu, kuahnya hijau.
Oey Yong mengisikan cawan, ia letaki itu di depan si pengemis.
“Cit Kong, mari cobai masakanku!” katanya sembari tertawa.
Tanpa ditawarkan sampai dua kali, Cit Kong sudah lantas menenggak araknya, lalu ia menyumpit dua potong bakso di masuki ke dalam mulutnya, terus ia menggayem, dengan asyik sekali, tandanya bakso itu sangat lezat.
“Ah, aku tahu!” katanya kemudian. “Bakso ini adalah campuran daging kambing, daging babi, daging kerbau, dan daging…..daging….” Dan ia tidak dapat menyebutkan itu.
“Kalau kau bisa membade, betul kau lihay, Cit Kong!” Oey Yong tertawa. Tapi belum ia berhenti tertawa, si pengemis itu sudha berseru: “Itulah daging mencak dicampur daging kelinci!”
Si nona bertepuk tangan. “Bagus! Bagus!” pujinya. “Kau sungguh lihay!”
Kwee Ceng sebaliknya mendoleng. “Hebat Yong-jie!” pikirnya. “Bagaimana dapat ia memasak semua ini?”
Ang Cit Kong girang bukan main, ia menjepit pula dua buah engtoh yang dimasak bersama sayur kuwah hijau itu. “Aku tahu, inilah sup daun teratai campur rebung campur engtoh!” katanya. Ia masuki engtoh itu ke dalam mulutnya dan mengunyah. Mendadak ia mengasih dengar suara “Ah!” berulang-ulang.
Kwee Ceng heran. Ia menduga, engtoh itu tentu lezat sekali.
“Ah, nona kecil, aku takluk padamu!” kata Ang Cit Kong kemudian, sesudah menguyah. “Pada sepuluh tahun yang lampau, pernah aku makan makanan ini di dapurnya kaisar akan tetapi rasanya tidak selezat ini!”
Oey Yong tertawa. “Cit Kong,” katanya, “Coba bilangi, di dapur kaisar ada makanan apa lainnya yang lezat, ingin aku mempelajarinya, supaya aku bisa memasaki untukmu…”
Tapi tak sempat si pengemis berbicara, ia repot dengan baksonya, dengan sayurnya, maka dilain saat, maka semua makanan itu tinggal dua persepuluh bagian. Baru kemudian ia berkata; “Di dapur kaisar tidak ada barang makanan yang dapat melebihkan masakanmu ini!”
Kwee Ceng heran, “Eh, Cit Kong, apakah kaisar telah mengundang kau berjamu?” tanya ia.
Cit Kong tertawa tergelak-gelak. “Betul, kaisar telah mengundang aku!” jawabnya. Cuma kaisar sendiri tidak dapat mengetahuinya! Selama tiga bulan aku sembunyi di atas penglari dapur kaisar, semua barang hidangannya kaisar telah aku cobai satu demi satu, mana yang lezat, aku hajar habis, mana yang tidak lezat, aku biarkan si kaisar yang gegaras! Koki dan lainnya semua heran, mereka sampai mengatakan di dapurnya itu muncul dewa si rase besar!”
Dua-duanya Kwee Ceng dan Oey Yong bersenyum, di dalam hati mereka berkata: “Ini orang sangat doyan makan, mulutnya besar, tapi nyalinya pun gede…!”
“Eh, bocah!” tertawa pula si pengemis. “Kepandaian masak istrimu ini inilah nomor satu di kolong langit ini! Seumurmu, kau sangat berbahagia! Sungguh heran, kenapa semasa aku muda, aku tidak pernah bertemu nona semacam dia….?”
Kwee Ceng tertawa, begitu pun Oey Yong. keduanya lantas berdahar, Si nona perutnya kecil, sudah cukup ia makan satu mangkok. Kwee Ceng sebaliknya menghabisi sampai empat mangkok, sayurannya ia tidak perhatikan. Sayurannya telah dikonpa si pengemis!
Habis meludaskan semangkok sayur, Ang Cit Kong mengusap-usap perutnya. “Eh, anak-anak, aku tahu kau mengerti ilmu silat,” katanya tiba-tiba. “Dan kau bocah perempuan, kau masaki aku barang hidangan lezat, aku taju, kau tidak mengandung maksud baik! Kau tentunya menghendaki aku mengajarkan kau beberapa jurus! Baiklah, tidak apa! Aku telah merasai hidangan lezat, tidak enak jikalau aku tidak mengajari kau! Mari, ikut aku!”
Ia berbangkit, ia gendol cupu-cupunya, ia cekal tongkatnya, lantas ia berjalan keluar.
Tanpa membilang apa-apa, sepasang muda-mudi itu mengikuti, sampai di sebuah rimba.
“Kau ingin mempelajari apa?” Cit Kong tanya Kwee Ceng.
Pemuda itu berpikir; “Banyak sekali macamnya ilmu silat di kolong langit ini. Kalau aku menginginkan sesuatu, benarkah kau sanggup mengajarinya?” selagi si pemuda berpikir, Oey Yong mendahului.
“Cit Kong, kepandaian dia ini tidak melebihkan aku,” katanya. “Dia sering marah-marah, ingin sekali dia menandingi aku!”
“Eh, kapan aku pernah marah terhadapmu…?” tanya Kwee Ceng.
Oey Yong mengedipi mata pada pemudanya itu. Kwee Ceng lantas menutup mulutnya.
Cit Kong tertawa, ia berkata: “Aku lihat gerak kaki tanganmu, kau mesti mempunyai latihan dari beberapa puluh tahun, maka kenapa kau tidak sanggup melawan dia? Sekarang hayo kamu berdua bertempur, aku mau lihat!”
Oey Yong jalan beberapa tindak. “Engko Ceng, mari!” ia memanggil.
Pemuda itu bersangsi.
“Jikalau kau tidak pertontonkan kepandaianmu, mana bisa lojinkee mengajarimu?” si nona berkata. “Marilah!”
Kwee Ceng pikir si nona itu benar juga, maka lantas ia kata pada si pengemis: “Apa yang pernah aku pelajarkan tidak sempurna, aku minta sukalah lojinkee memberi petunjuk.”
Cit Kong tersenyum. “Mengajari sedikit tidak apa, mengajar banyak, itulah lain!” katanya.
Mendengar itu, Kwee Ceng melengak. Ia heran. Justru itu Oey Yong berteriak. “Awas!” seraya tangannya menyambar! Ia terkejut, lekas-lekas ia menangkis. Tetapi si nona lihay sekali, ia menarik tangannya, kakinya menggantikan merabuh ke bawah.
“Bagus nona cilik!” berseru Ang Cit Kong. “Kau lihay!”
Si nona tidak melayani pujian itu, hanya seperti berbisik ia kata kepada Kwee Ceng: “Mari bertempur sungguh-sungguh….”
Kwee Ceng menurut, ia berkelahi dengan bersemangat. Ia keluarkan ilmu silat ajarannya Lam Hie Jin, yaitu Lam San Ciang-hiat.Hebat permainannya ini disebabkan, sesudah meminum darah ular, tenaganya bertambah berapa lipat.
Oey Yong melayani pelbagai serangan, setelah itu, ia keluarkan kepandaian ciptaan Oey Yok Su, ayahnya, yaitu “Lok Eng Ciang”. Dengan begitu tenaganya lantas memain di delapan penjuru, bagaikan badai mengamuk rimba pohon tho. Kwee Ceng kontan menjadi repot, selagi ia kelabakan, empat kali ia terhajar punggungnya. Habis itu si nona berlompat keluar dari gelanggang, dia tertawa.
“Yong-jie, kau lihay!” Kwee Ceng memuji. Ia tidak gusar atau malu, sebaliknya ia girang sekali. Ia tidak dihajar keras oleh si nona.


Bab 25. Tipusilat “Naga Menyesal”

Ketika itu Ang Cit Kong berkata dengan dingin kepada si nona, “Ayahmu ada mempunyai kepandaian tinggi sekali, kenapa kau masih menghendaki aku mengajari dia?”
Oey Yong terkejut, “Eh, kenapa dia mengenali ilmu silat ayahku ini, yang ayah ciptakan sendiri?” pikirnya. Lantas ia menanya: “Cit Kong, kenalkah kau ayahku?”
“Tentu saja!” sahut si pengemis, temberang. “Dia Tong Shia dan aku Pak Kay! Selama beberapa tahun, entah kita sudah bertempur beberapa puluh kali!”
Oey Yong heran. Ia berpikir pula : “Dia pernah berkelahi sama ayhku dan dia masih belum mati, sungguh dia berkepandaian tinggi.” Lalu ia menanya pula: “Lojinkee, bagaimana kau mengenali aku?”
“Pergilah kau kacakan dirimu!” sahut pengemis itu. “Kau lihat alismu, matamu, tidakkah itu mirip dengan alis dan mata ayahmu? Mulanya aku tidak mengenali kau, aku cuma merasa seperti mengenal, setelah melihat ilmu silatmu barusan – hm! Walaupun aku belum pernah melihatnya, tetapi aku tahu betul, ilmu itu cuma dapat dibetelori oleh ayahmu itu yang licin bagai iblis itu!”
Oey Yong tidak gusar ayahnya dikatakan sebagai iblis, sebaliknya ia tertawa. “Bukankha lojinkee hendak membilang ayahku sangat lihay?” ia menanya.
“Memang ia lihay,” sahut Ang Cit Kong dingin. “Tetapi dia bukanlah yang nomor satu di kolong langit ini!”
Oey Yong bertepuk tangan, gembira sekali dia. “Kalau begitu adalah lojinkee yang nomor satu!” serunya.
“Itulah bukan,” berkata si pengemis, mengaku. “Pada lebih daripada duapuluh tahun yang lampau, kita, ialah Tong Shia, See Tok, Lam Tee, Pak Kay dan Tiong Sin Thong berlima berkumpul di atas puncak gunung Hoa San, kita membicarakan tentang ilmu silat bertangan kosong dan menggunai pedang, kita telah bertanding selama tujuh hari tujuh malam, kesudahannya ternyata Tiong Sin Thong yang paling lihay, kita berempat mengakui dia adalah yang nomor satu di kolong langit ini.”
“Siapa itu Tong Sin Thong?” Oey Yong menanya.
“Apakah ayahmu tidak pernah omong tentang dia?” tanya si pengemis.
“Tidak. Bahkan ayah mendamprat aku, dia tidak menyukai aku, dari itu aku minggat. Untuk selanjutnya ayah tidak menghendaki aku lagi…” kata si gadis dengan sedih.
“Ha, siluman tua itu!” Ang Cit Kong memaki. “Benar-benar dia sesat!”
Oey Yong memperlihatkan roman tidak senang. “Aku melarang kau memaki ayahku!” ia berkata.
Ang Cit Kong tertawa terkakak. “Sayang sekali orang mencela aku si pengemis melarat, tidak ada wanita yang sudi menikah denganku,” katanya, “Kalau tidak, dengan adanya kau yang begini manis, pastilah tidak rela aku mengusir kau buron…”
Oey Yong pung tertawa. “Itulah pasti, lojinkee! Dengan kau mengusir aku, siapa nanti yang masaki kau sayur?”
Pengemis itu menghela napas. “Kau benar, kau benar,” ujarnya. Ia berhenti sejenak, lalu ia meneruskan; “Tiong Sin Thong itu ada kauwcu, ialah kepala dari Coan Cin Kauw, namanya Ong Tiong Yang. Setelah ia menutup mata, sekarang sukar dibilang, siapakah dikolong langit ini menggantikan dia sebagai yang nomor satu…”
“Coan Cin Kauw, lojinkee bilang? Ah, bukankah disana masih ada si imam she Khu dan she Ong? Bukankah mereka itu lihay ilmu silatnya?” tanya Oey Yong lagi.
“Mereka itu ialah murid-muridnya Ong Tiong Yang. Aku dengar dari tujuh muridnya, Khu Cie Kee adalah yang paling lihay, tetapi walaupun demikian dia tidak dapat menandingi paman gurunya, Ciu Pek Thong.” jawab Cit Kong.
Mendengar disebutkannya nama Ciu Pek Thong itu, Oey Yong terperanjat, hendak ia bicara tapi mendadak ia mengurungkannya.
Sejak tadi Kwee Ceng hanya memasang kuping saja, sekarang ia menyelak. “Oh, kiranya Ma Totiang masih mempunyai paman guru…” katanya.
“Ciu Pek Thong itu bukannya imam dari Coan Cin Kauw,” Cit Kong memberi keterangan. “Dialah seorang biasa, yang tidak memegang agama. Ilmu silatnya itu diajarkan sendiri oleh Ong Tiong Yang. Ah, bukankah ayahmu tidak menyukai ini bocah tolol yang menjadi kawanmu?”
Pengemis ini mengatakan Kwee Ceng, inilah yang tidak disangka-sangka si anak muda. Ia menjadi bungkam.
Oey Yong tidak menjadi gusar, ia malah tertawa. “Ayahku belum pernah melihat dia,” ia menyahuti. “Jikalau lojinkee sudi memberi pelajaran padanya, dengan memandang kau, pastilah ayahku nanti menyukai dia.”
“Hai, iblis cilik!” seru si pengemis. “Kepandaian ayahmu belum kau dapatkan satu bagian saja, tetapi mata iblisnya kau telah wariskan semuanya! Aku tidak senang diumpak-umpak orang dipakaikan kopiah tinggi, aku si pengemis tua juga tidak pernah menerima murid, maka siapakah kesudian bocah tolol ini sebagai murid? Hanyalah kau sendiri yang memandangnya dia sebagai mustika!”
Sehabis berkata begitu, Ang Cit Kong berbangkit, dengan membawa tongkatnya, dia ngeloyor pergi.
Kwee Ceng heran, dia berdiri menjublak mengawasi kepergian orang tua itu. “Yong-jie,” katanya selang sesaat, “Tabiatnya locianpwee ini sungguh luar biasa.”
“Sebenarnya ialah seorang yang baik hatinya!” menyahuti Oey Yong, yang kupingnya sangat terang, hingga ia dapat mendengar satu suara sangat perlahan di atas pohon di samping mereka, hingga ia menduga kepada si pengemis aneh itu. “Dia juga terlebih lihay daripada ayahku…”
Kwee Ceng memperlihatkan roman aneh. “Kau belum pernah menyaksikan kepandaiannya, mengapa kau bisa bilang begitu?”
“Aku dengar itu dari ayahku,” jawab Oey Yong.
“Apakah kata ayahmu?” tanya si pemuda lebih lanjut.
“Ayahku bilang, sekarang ini, orang yang kepandaiannya lihay yang dapat memenangkan ayah cuma tinggal Ang Cit Kong seorang. Sayang orang tua itu tidak ketentuan tempat kediamannya, tidak dapat kita sering berkumpul dengannya untuk menyakinkan ilmu.” sahut si nona.
Dugaan si nona tepat, Ang Cit Kong tidak berlalu terus. Stelah tak nampak oleh Kwee Ceng dan si nona, lekas-lekas ia kembali. Ia jalan mutar, terus ia lompat naik ke atas pohon, dari itu ia bisa mendengar pembicaraannya muda-mudi itu. Ia pun puas mendengar suaranya Oey Yok Su seperti dikatakan si nona.
“Pada wajahnya Oey Yok Su tidak pernah mengagumi aku, siapa tahu di dalam hatinya dia memandang hormat,” pikirnya. Dan ia puas sekali. Ia tidak tahu Oey Yong melainkan mengarang cerita.
“Sayang belum berarti aku menuntut pelajaran dari ayahku,” Oey Yong berkata pula, ia bersandiwara terus. “Mengenai itu aku harus menyesalkan diri sendiri. Kenapa dulu aku gemar main-main saja, tidak mau aku belajar dengan rajin. Sekarang kebetulan sekali kita bertemu dengan Ang Cit Kong, asal dia suka memberikan satu-dua pelajaran, bukankah itu terlebih baik daripada pengajaran ayahku sendiri? Menyesal aku telah keterlepasan omong, aku menyebabkan locianpwee itu tidak senang hati….” Habis berkata begitu, ia lantas menangis.
Kwee Ceng menghiburi kekasihnya itu, tetapi justru itu, dari berpura-pura, Oey Yong menjadi menangis sungguhan.
Ang Cit Kong di atas pohon melihat dan mendengar semua itu, hatinya tertaeik. Oey Yong menangis tersedu-sedu.
“Pernah aku dengar ayah bilang,” katanya kemudian, “Kiu Cie Sin Kay ada mempunyai semacam ilmu silat yang di kolong langit ini tidak ada saingannya, yang sejak jaman dahulu senantiasa menjagoi sendiri, sampaipun Ong Tiong Yang jeri juga terhadapnya. Ilmu silat itu dinamakan……dinamakan…..Ah, aku lupa, sedang barusan aku ingat….. Sebenarnya, ingin aku minta diajari ilmu silat itu, namanya….namanya….Ah, aku lupa lagi!”
Ang Cit Kong masih tidak sadar bahwa orang tengah mengepul terus, ia tidak dapat mengendalikan diri dari ataas pohon, hingga ia langsung berseru: “Itulah Hang Liong Sip-pat Ciang!” Dan ia pun lompat turun dari pohon tempat bersembunyinya itu.
Oey Yong berpura-pura terkejut, tapi habisnya ia girang bukan kepalang. “Benar, benar, ah , kenapa aku tidak ingat itu?” dia berseru. “Ayah sering sekali menyebut ilmu silat itu, dia kata itulah ilmu yang ia paling malui….”
“Kiranya ayahmu itu masih suka omong terus-terang!” Ang Cit Kong berkata. “Aku tadinya menyangka, semenjak meninggalnya Ong Tiong Yang, dia menganggap dirinya sebagai si orang kosen nomor satu di dalam dunia ini…!” Dia memandang Kwee Ceng, terus ia berkata, “Eh, bocah, bakatmu kalah dengan bocah perempuan ini, itulah sebabnya kenapa kau tidak dapat menandingi padanya. Eh, nona cilik, pergilah kau pulang ke pondokmu!”
Oey Yong tahu si pengemis hendak memberi pelajaran pada Kwee Ceng, ia girang bukan main, dengan lantas ia lari pulang.
Lantas Ang Cit Kong memandang tajam pada si anak muda. “Lekas kau berlutut dan mengangkat sumpah!” Katanya, bengis. “Tanpa perkenan dari aku, aku larang kau mewariskan kepandaian yang aku ajarkan ini kepada lain orang, termasuk juga itu istrimu yang licin bagai iblis cilik!”
Kwee Ceng menjadi bingung. “Kalau Yong-jie memintanya, mana dapat aku menolak?” ia berpikir. Karena ini, ia berkata: “Cit Kong, aku tak ingin belajar! Biarlah dia tetap jauh terlebih gagah daripada aku…”
Cit Kong heran. “Eh, kenapa begitu?” dia menegaskan.
“Sebab kalau dia minta aku mengajarinya,” sahut Kwee Ceng, “Apabila aku tidak suka mengajarinya, aku jadi berlaku tidak pantas terhadapnya. Sebaliknya jikalau aku meluluskan permintaannya dan mengajarinya, aku malu terhadap kau, aku jadi melanggar sumpahku.”
Mendengar keterangan ini, Ang Cit Kong tertawa lebar. “Anak tolol, matamu tajam, hatimu baik!” katanya. “Kau jujur sekali! Sekarang begini saja, aku ajarkan kau jurus Kang Liong Yoe Hoei. Aku tahu Oey Yok Su itu sangat angkuh, seumpama kata ia sangat mengagumi pengajarkan ini, tidak nanti dia menjadi tidak tahu malu dengan mencuri mempelajari kepandaianku yang istimewa ini…”
Setelah mengatakan begitu, Ang Cit Kong lantas menekuk kakinya yang kiri, tangan kanannya ditarik mutar sebagai lingkaran, lalu mendadak ia majukan itu ke depan. Kesudahannya sebuah pohon di depannya itu patah batangnya, roboh dengan berisik sekali.
Kwee Ceng terperanjat kagum. Ia tidak sangka tolakan tangan demikian perlahan akibatnya sehebat itu. Itulah emposan tenaga dalam yang sangat besar.
“Pohon ini adalah benda yang tidak bergerak-gerak!” Cit Kong menerangkan, “Kalau manusia, dia pasti dapat mundur berkelit. Mempelajari ilmu pukulanini, sukarnya ialah mencegah agar lawan tidak dapat mundur, supaya dia itu tidak bisa berkelit, kalau cegahan itu dapat dilakukan, dia pasti bakal roboh seperti pohon ini.”
Lagi sekali si pengemis menjalankan pukulannya itu, sampai dua kali, ia sekalian mengajarkan emposan pernapasannya. Untuk ini ia mesti menggunai tempo cukup lama. Sebabnya ialah bakat yang kurang dari Kwee Ceng, yang otaknya bebal, hingga ia selamanya mesti belajar lama barulah ingat dan hapal. begitulah, selang dua jam barulah ia mengerti betul.
Cit Kong berkata: “Perempuan cilik itu, permainan silatnya lebih banyak gertakannya daripada pukulan yang sebenar-benarnya, kalau kau bertanding dengannya dan repot membela diri, pasti sekali kau dipermainkan dia. Kau boleh gesit dan lincah, kau tetap tidak nanti dapat menangi dia. Kau boleh menduga pukulannya yang benar-benar, kenyataannya ialah gertakan belaka. Saban-saban dia bisa membikin kau tidak dapat menerka.”
Kwee Ceng mengangguk-angguk.
“Karenanya jikalau kau ingin memecahkan ilmu silatnya itu,” Cit Kong membeber rahasia terlebih jauh, “Jangan kau usil pukulannya itu gertakan atau benar-benar, kau tunggu pukulannya tiba, palsu atau benar, kau sambut dengan Kang Liong Yoe Hoei. Apabila dia melihat seranganmu itu, mesti ia menangkis, asal dia menangkis, kalahlah dia!”
“Kemudian bagaimana!” Kwee Ceng tanya.
“Kemudian bagaimana?!” si pengemis mengulangi. “Ha, anak tolol! Dia ada punya berapa banyak kepandaian hingga ia sanggup melawan ini pukulan yang aku ajarkan kau?”
Si pemuda tak berani mananya lagi, ia terus berlatih. Ia pilih sebuah pohon yang kecil, ia hajar itu. Ia kena menghajar dengan tepat, tetapi pohon itu tidak roboh, melainkan bergoyang-goyang.
“Anak tolol!” mendamprat si pengemis. “Mau apa kau menggoyang-goyang pohon itu?! Kau hendak menangkap bajing atau mau memetik buah cemara?!”
Mukanya Kwee Ceng menjadi merah, ia tertawa menyeringai.
“Sudah aku bilang, kau mesti bikin lawan tidak dapat mundur, tidak bisa berkelit!” Ang Cit Kong berkata pula. “Pukulan barusan tepat tetapi kurang bertenaga, dengan pohon bergoyang, tenagamu menjadi buyar. Mestinya pohon dihajar tanpa ia bergoyang, baru ia dapat dibikin patah.”
Kali ini Kwee Ceng sadar. “Jadinya aku mesti sebat sekali supaya lawan tak keburu bersiaga,” katanya.
“Memang! Apa mesti disebutkan pula?!” sembrot si pengemis.
Anak muda ini berdiam, ia berlatih pula. Untuk beberapa puluh kali ia memukul, pohon masih bergoyang-goyang. Ia tidak menjadi bosan, ia tidak berputus asa, terus ia mencoba. barulah hatinya menjadi terbuka ketika kemudian bergoyangnya pohon perlahan sekali. Itu tandanya ia peroleh kemajuan. Sementara itu tangannya telah jadi bengkak dan merah, tetapi ia tidak pedulikan, masih ia berlatih terus.
Ang Cit Kong tidak sabaran, ia duduk menyender, lalu pulas, menggeros keras.
Ulet si anak muda, segera juga ia bisa bikin pohon tidak bergoyang. Ia jadi semakin bersemangat. Kembali ia memukul. Diakhirnya, robohlah pohon itu, terpatah dua! Hampir ia bersorak.
“Bagus!” begitu terdengar suaranya Oey Yong, yang terlihat mendatangi dengan perlahan-lahan, tangannya membawa kotak makanan. Cit Kong belum membuka matanya, hidungnya sudah mencium bau wangi makanan.
“Harum! Harum!” katanya seraya ia berlompat bangun, segera ia membuka tutup kotak hingga ia lihat ayam panggang dan bebek serta setumpuk lumpia. tanpa diundang lagi, ia menyambar dengan tangan kiri dan kanan, memasuki ayam dan bebek itu bergantian ke mulutnya untuk digeragoti. “Lezat! Lezat!” ia memuji, tapi karena mulutnya penuh, tak nyata pujiannya itu.
Ketika sebentar kemudian ayam dan bebek itu habis, tinggal tulang-tulangnya saja, baru ia ingat Kwee Ceng belum dahar. Agaknya ia jengah snedirinya. Tapi lekas ia berkata: “Mari, mari! Lumpia ini pun lezat….! Lebih lezat dari bebek…!”
Dua-dua Kwee Ceng dan Oey Yong tidak menjadi tidak senang, malah si nona tertawa.
“Cit Kong, kau belum dahar masakanku yang paling jempol!” katanya si nona.
Si pengemis menjadi mengilar. “Msakan apa itu? Masakan apa itu?” ia menanya, mendesak.
“Tidak dapat aku sebutkan semua itu sekarang,” menjawab si nona. “Ada peecay goreng, ada tauwhu tim, ada juga sup daging!”
Cit Kong menjadi semakin ngilar. “Bagus, bagus!” katanya. “Sudah aku bilang, kau memang anak manis! Apa boleh aku pergi membelikan peecay dan tauwhu sekarang?”
“Tak usah, Cit Kong. Kau yang beli pun tidak cocok sama pilihanku!”
“Ya, benar-benar, mana orang lain dapat memilih seperti kau sendiri!”
Nona Oey itu lantas memutar haluan. “Barusan aku lihat dia menghajar pohon patah dan roboh, sekarang ia lebih lihay daripadaku!” katanya mengenai Kwee Ceng.
Si pengemis itu menggeleng-geleng kepalanya. “Tidak, tidak!” katanya cepat. “Pukulan apa itu, pohon bergoyang-goyang dan melengkung? Mestinya sekali pukul pohon patah dan runtuh!”
“Toh pukulannya barusan sudah hebat, aku tentu tidak sanggup menahannya,” kata pula si nona. “Dasar kau yang berat sebelah! Kalau nanti ia menghina aku, bagaimana?”
Cit Kong hendak mengambil hati orang yang pandai masak itu, ia tidak menjadi kurang senang yang ia disesalkan. “Habis kau mau apa?” tanya.
“Kau mesti ajarkan aku ilmu, yang dapat menangi dia,” kata si nona. “Sesudah aku paham, aku nanti masaki kau barang hidangan.”
“Baiklah! Dia baru belajar serupa ilmu, tidak sukar untuk menangi dia. Nanti aku ajari kau Yang Siang Hoei.” Baru ia tutup mulutnya, sudah ia berlompat, untuk terus bersilat. Kedua tangan bajunya yang lebar berkibar-kibar, tubuhnya berlompatan ke Timur dan Barat, pesat gerakannya.
Diam-diam Oey Yong perhatikan sesuatu gerakan orang, maka tempo Cit Kong berhenti bersilat, ia sudah ingat separuhnya, selebihnya ia minta penjelasannya. Dasar ia berotak terang, belum dua jam, ia sudah mengerti seanteronya, dapat ia jalankan ilmu silatnya itu, tinggal memahirkan latihannya saja.
Yang Siang Hoei atau Burung Walet Terbang Berpasangan, terdiri dari tigapuluh enam jurus, gerakannya mirip dengan burung walet terbang menari-nari. Beda adalah Kang Liong Yoe Hoei, atau Naga Menyesal, yang singkat saja, tetapi untuk Kwee Ceng merupakan pelajaran yang sulit.
Habis berlatih, Oey Yong tertawa. “Engko Ceng, sekarang aku lebih menang pula daripada kau!” katanya gembira. “Sekarang aku mau pergi beli sayur!” Dan lantas dia lari pergi.
“Bocah itu cerdik melebihkan kau seratus lipat!” kata Cit Kong pada si anak muda seberlalunya si nona jenaka itu.
“Memang. Barusan aku melihat lojinkee bersilat, mataku kabur, aku cuma ingat tiga empat jurus.”
Cit Kong tertawa, tanpa membilang apa-apa, dia pulang ke pondokan. Kwee Ceng berdiam, ia mengikuti pulang.
Malam itu Oey Yong benar memasakkan peecay goreng dan tim tauwhu, peecaynya dimasak dengan minyak ayam dicampur ceker bebek, sedang tauwhunya dicampuri ham. Maka puaslah Cit Kong menangsel perutnya. Habis bersantap, ia heran melihat muda-mudi itu tidur terpiash kamar.
“Apa? Apakah kamu belum menikah?” dia menegaskan.
Oey Yong tukang bergurau, tetapi ditanya begitu, merah mukanya, hingga di antara cahaya api, dia tampak makin cantik.
“Awas Cit Kong!” dia mengancam, “Kalau kau ngaco lagi, besok aku tidak akan masaki kau makanan yang lezat!”
“Apa, eh? Apakah aku ngomong salah?” tanya si pengemis, kaget. Tapi segera ia mendusin, “Ah, aku tolol betul! Bukankah kamu baru mengikat janji sendiri, belum lagi mendapat perkenan orang tua kamu, belum ada rekokan comblang? Jangan takut, aku si pengemis yang nanti jadi comblangnya! Jikalau ayahmu tidak mau menerima, nona, nanti aku tempur dia! Biar kita bertempur lagi tujuh hari tujuh malam, biar sampai ada yang mampus dan hidup!”
Senang hatinya Oey Yong, sembari bersenyum ia memasuki kamarnya.
Besoknya pagi-pagi Kwee Ceng sudah pergi ke rimba untuk menyakinkan pula pukulan Kang Liong Yoe Hoei, yang sebenarnya adalah satu jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang, ilmu silat Menakluki Naga. Hanya kali ini ia berlatih kosong, tidak lagi ia menghajar pohon, sebab ia khawatir merusak pohon kayu penduduk situ. Baru menghajar duapuluh lebih kali, ia sudah mandi keringat. Tetapi ia girang sekali, sebab ia telah memperoleh kemajuan. Selagi ia beristirahat, tiba-tiba ia dengar suara orang di luar rimba.
“Suhu, kali ini mungkin kita telah melalui tigapuluh lie lebih!” demikian pendengarannya. Terang orang itu adalah murid berbicara sama gurunya. “Nyatanya ilmu lari kamu telah ada kemajuannya,” menjawab seorang yang lain.
Kwee Ceng lantas saja kaget. Ia kenali suara orang yang belakangan ini. Ia pun lantas melihat orangnya – berempat – ialah Kaoy Nio Cu Ong, si tua tetapi romannya tetap muda. Ia mengeluh, lantas saja ia kabur mengambil arah ke penginapan.
Juga Nio Cu Ong sudah lantas melihat dan mengenali pemuda itu. “Kau hendak kemana?!” dia membentak seraya terus mengejar.
Tiga yang lain benar adalah murid-muridnya Soam Sian Loa Kaoy, mereka lantas turut memburu, malah dengan berpencaran, untuk memegat dan mengurung.
Kwee Ceng lari terus. Ia mengerti, asal ia dapat keluar dari rimba, dekat sudah ia dengan pondokannya. Tapi ia dapat dipegat murid kepala musuhnya itu.
“Bangsat cilik, tekuk lututmu!” membentak pemegat itu, yang terus menyerang.
Kwee Ceng menekuk kaki kirinya, tangan kanannya diputar, lalu ia menolak. Itulah jurus Kang Liong Yoe Hoei yang baru saja ia pelajari.
Murid Nio Cu Ong itu hendak menjambak, karena ditolak, hendak ia menangkis. Inilah hebat untuknya. Segera ia terserang hingga lengannya itu patah dan tubuhnya terpental enam tujuh kaki, roboh tak sadarkan diri. Sekalipun ia berkelit, belum tentu ia bebas.
Kwee Ceng sendiri heran. Sebenarnya ia memakai tenaganya cuma lima bagian, tapi akibatnya dahsyat sekali. Untuk sejenak ia tercengang, ketika ia mendusin, lekas ia lari pula.
Nio Cu Ong melihat muridnya dirobohkan, ia kaget berbareng gusar, dia mengejar terus. Tepat dimuka rimba, ia dapat memegat.
Kwee Ceng kaget dan khawatir, sebab si musuh tangguh menghalangi di tengah jalan. Hampir tanpa berpikir, ia tekuk lagi kaki kirinya, tangannya dilingkarkan, lalu ia menolak dengan keras. Kembali ia menggunai jurus Naga Menyesal itu.
Soam Sian Loa Koay terperanjat. Ia tidak kenal pukulan itu, yang nampaknya hebat, terpaksa ia berkelit dengan menjatuhkan diri ke tanah dan bergulingan. Dengan begitu ia bebas, tapi justru itu, Kwee Ceng dapat menerobos untuk lari terus. Ketika ia berlompat bangun, dengan niat mengejar terus, ia dapatkan bocah itu sudah tiba di muka pondokannya.
“Yong-jie! Yong-jie!” Kwee Ceng berteriak. “Lekas minta Cit Kong tolongi aku!”
Oey Yong dapat mendengar teriakan itu, ia muncul dengan lantas. Segera ia melihat Nio Cu Ong.
“Eh, kenapa siluman bangkotan ini berada di sini?” pikirnya. “Bagus ia datang, hendak aku menguji Yan Siang Hoei!” Terus ia berteriak; “Engko Ceng, jangan takut! Lawan dulu padanya, nanti aku bantui kau!”
Kwee Cneg cemas hatinya, karena ia tahu Nio Cu Ong lihay dan Oey Yong belum tahu apa-apa. Tapi tidak sempat ia berpikir lama, musuhnya sudah menyandak. Ia memutar tubuhnya, kembali ia menyerang dengan pukulan Kang Liong Yoe Hoei.
Nio Cu Ong berlompat ke samping, kali ini ia kurang sebat, meski ia bebas, tangan kanannya terserembet juga, hingga ia merasakan sakit dan panas. Tentu sekali ia menjadi heran luar biasa. Baru beberapa bulan mereka berpisah, bocah ini telah menjadi demikian lihay. Ia menduga itulah disebabkan Kwee Ceng menminum darah ular. Ingat ini, ia menjadi tambah mendongkol.

Sia Tiauw Enghiong - 10
By admin • Sep 1st, 2008 • Category: 2. Silat China, CY - Sia Tiauw Enghiong
Kwee Ceng lihat orang berkelit, ia menyusuli serangannya, dengan pukulan yang serupa.Nio Cu Ong cerdas dan lihay, segera ia mendapat kenyataan, pukulan orang hanya serupa, maka setelah berkelit pula, dia tertawa dan berkata; “Ha, bocah, kau mempunyai cuma satu jurus ini?”
Kwee Ceng polos, ia tidak tahu orang memancing dia. “Ya,” jawabnya. “Toh kau tidak mampu menangkis!” Ia lantas menyerang pula.
Nio Cu Ong berlompat. Sekarang tahu ia bagaimana harus mengelakkan diri. Tiga kali lagi ia diserang, tiga kali ia berkelit, di samping itu, ia membalas menyerang. Kwee Ceng gagal berulang-ulang, ia lantas menjadi repot.
Oey Yong menonton pertempuran itu, ia melihat kawannya terdesak. “Engko Ceng, nanti aku lawan dia!” ia berseru. Ia berlompat ke arah dua orang itu, tubuhnya melayang bagaikan seekor burung walet. Begitu tiba, kepalan kiri dan kaki kanannya segera dikasih bekerja dengan berbareng.
Nio Cu Ong berlompat mundur, habis itu ia membalas menyerang.
Kwee Ceng lantas mengundurkan diri, lalu ia berdiri menonton.
Oey Yong menggunai Yang Siang Hoei dengan baik, tetapi dasar masih baru dan ia pun kalah Iweekang, ia tidak berdaya merobohkan jago tua itu, sebaliknya hampir-hampir ia kena dihajar beberapa kali oleh lawannya, syukur ia memakai tameng joan-wie-kah. Habis tigapuluh enam jurus, ia pun kenas terdesak.
Dua muridnya Nio Cu Ong menolongi kakak seperguruannya, yang mereka pepayang, mereka menonton pertempuran itu, mendapatkan guru mereka unggul, mereka berteriak-teriak menganjurkan guru mereka itu. Kwee Ceng berkhawatir untuk kekasihnya itu, terpaksa hendak ia maju membantui.
Justru itu ia dengar suara nyaring dari Ang Cit Kong, yang berada di aling jendela: “Dia bakal menggunai jurus Anjing Galak Memegat Jalan!”
Oey Yong mendengar itu, ia melengak. Ia melihat Nio Cu Ong memasang kuda-kuda terpentang dan kedua tangan dikasih rata. Ia kenali itulah sikap jurus Harimau Galak Memegat Jalan. Ia tertawa di dalam hatinya. Kiranya Cit Kong tukar ‘Harimau’ dengan ‘Anjing’. Ia hanya heran kenapa Cit Kong dapat membade niat orang. Ia lantas membela diri.
Kembali Cit Kong berseru: “Dia bakal menggunai Ular Bau Mengmbil Air!”
Oey Yong sangat cerdas, lantas ia mengetahui, tentulah itu dimaksudkan jurus Naga Hijau Menyedot Air. Jurus itu lihay di depan, kosong di belakang. Karenanya dengan lincah ia berlompat nyamping, terus ke belakang lawannya.
Nio Cu Ong benar-benar menyerang dengan pukulan Naga Hijau Menyedot Air itu. Tentu saja ia gagal, karena si nona sudah mendahului menghalau diri. Malah ia jadi terluang punggungnya. Syukur ia lihay, dapat ia berkelit dari serangan si nona. Segera ia memandang ke arah jendela rumah penginapan.
“Orang pandai siapa di situ? Mengapa kau tidak mau memperlihatkan diri?” dia berseru dengan pertanyaannya.
Ang Cit Kong dengar suara menantang itu, ia membungkam.
Oey Yong ada tulang punggungnya, ia jadi berani sekali. Ia menerjang. Dalam murkanya Nio Cu Ong melawan dengan bengis, ia menggunai pukulan-pukulan yang membinasakan. Tentu sekali, si nona segera terdesak pula.
“Jangan takut!” terdengar pula teriakannya Cit Kong. “Dia bakal menggunai Pukulan si Kunyuk Kempolan Biru Manjat Pohon!”
Oey Yong tertawa cekikikkan, ia lantas mendahului menyerang dengan tinjunya.
Nio Cu Ong benar-benar hendak menyerang dengan jurusnya yang disebut Cit Kong itu, hanya si pengemis aneh itu sengaja tukar namanya jurus itu, yang sebenarnya Kera Sakti Manjat Pohon. Melihat ia diserang, terpaksa ia membatalkan niatnya untuk membela diri, guna menukar jurus. Karena ia tahu, percuma ia melanjuti serangannya dengan tipu silat itu. Dasar ia lebih lihay, tidak sukar untuk ia menolong dirinya. Hanya ia jadi semakin heran. Ia tanya dirinya, “Kenapa orang itu ketahui aku bakal menyerang dengan jurusku itu?”
Oey Yong menyerang terus. Nio Cu Ong membela diri, habis mana, dia berlompat pula keluar kalangan. Ia berteriak ke arah pondokan: “Saudara yang baik, jikalau kau tetap tidak hendak memperlihatkan diri, jangan menyesal apabila aku tidak berlaku murah hati lagi!”
Di mulutnya Som Sian Lao Koay mengatakan demikian, tangannya berkerja. Ia maju menyerang Oey Yong, hebat serangannya itu, maka dalam beberapa jurus saja, si nona terdesak pula.
Cit Kong tidak bersuara pula, ia pun tidak muncul.
Kwee Ceng melihat kekasihnya terdesak dan kelabakan hingga ia mesti main berkelit saja, ia lantas maju untuk membantui. Segera ia menyerang denagn pukulannya Naga Menyesal itu!
Nio Cu Ong mengetahui hebatnya jurus itu, ia lompat mencelat.
“Hajar padanya, engko Ceng!” Oey Yong menganjurkan. “Serang terus-terusan hingga tiga kali beruntun!”
Habis menganjurkan, nona itu memutar tubuhnya, lari ke dalam pondokan. Kwee Ceng menuruti anjuran pacarnya, ia memasang kuda-kudanya. Ia mau menunggu io Cu Ong merangsak, hendak ia menyambutnya.
Som Sian Loa Koay menjadi gusar berbareng mendelu, pun ia merasa lucu juga. Dalam hatinya ia berkata: “Setahu darimana bocah ini dapat pelajari kurusnya ini…Toh ia cuma mempunyai satu jurus….” Walaupun begitu, ia tidak berani keras lawan keras, bahkan tidak berani ia datang mendekati.
Karena terpisah cukup jauh, Kwee Ceng tidak bisa menyerang. Dengan begitu, pertempuran jadi mandek, mereka berdiri berhadapan saja.
“Anak tolol, awas!” io Cu Ong berteriak kemudian, terus ia berlompat, untuk menyerang.
Kwee Ceng menanti, lantas ia menyambuti dengan serangannnya.
Tapi orang she Nio itu menggunai akal. Dia tidak menyerang terus. Belum lagi tubuhnya datang dekat, tangannya sudah terayun, lalu tiga batang jarum Touw-kut-ciam menyerang si anak muda di tiga jurusan, atas, tengah dan bawah!
Kwee Ceng melihat bahaya, terpaksa ia batalkan serangannya, ia terus berkelit.
Ketika ini digunai Nio Cu Ong berlompat maju, tangannya menyambar ke batang leher orang, menjambak leber baju.
Kwee Ceng terdesak, ia menyundul dengan kepalanya. Tapi Nio Cu Ong benar-benar lihay, si anak muda merasakan ia seperti membentur kapas. Nio Cu Ong puas sekali, hendak ia menghajar anak muda itu.
Kali ini Oey Yong muncul dengan tiba-tiba. “Siluman tua, lihat apa ini?!” dia berteriak.
Nio Cu Ong kenal orang licin, lebih dulu ia pencet jalan darah Kin-ceng-hiat dari Kwee Ceng, baru ia menoleh kepada si nona nakal. Dia lantas mendapatkan Oey Yong menghampirkan dengan tindakan perlahan-lahan, tangannya mencekal sebuah tongkat bambu warna hijau seperti kumala huicui. Untuk kagetnya, dia mengenali tongkat itu hingga ia berseru tertahan: “Ang…Ang Pangcu!”
Oey Yong tidak meladeni, hanya dia membentak: “Masih kau tidak hendak melepaskan tanganmu?!”
Jinak agaknya si jago ini, ia segera melepaskan cekalannya kepada Kwee Ceng. Sejak tadi ia sudah heran, kenapa Oey Yong ada yang mengajari cara bagaimana harus melawan dia dan niat penyerangannya dibeber. Ia mau menduga kepada Ang Cit Kong, ia ragu-ragu, sebab ia tahu, sudah belasan tahun Ang Cit Kong tidak pernah terlihat di dalam dunia kangouw. Sekarang ia lihat tongkat si kepala pengemis, kagetnya bukan main.
Oey Yong mendekati, ia terus memegangi tongkat dengan kedua tangannya. Ia berkata pula dengan membentak: “Cit Kong bilang bahwa ia sudah perdengarkan suaranya tetapi kau bernyali besar, kau tetap berani main gila disini! Maka Cit Kong tanya, kenapa kau berani berlaku kurang ajar begini?!”
Nio Cu Ong sudah lantas menekuk lututnya. “Dengan sesungguhnya aku yang rendah tidak mendapat tahu Pangcu ada disini,” katanya dengan hormat, “Kalau aku yang rendah mengetahui, tidak nanti aku berani berbuat salah terhadap Pangcu.”
Oey Yong heran. “Dia sangat lihya, kenapa dia takuti Cit Kong begini rupa? Kenapa dia pun memanggil Ang Pangcu?” Tapi, pada parasnya, ia tetap berlaku keren. “Taukah kau apa dosamu?”
“Nona tolong sampaikan kepada Pangcu, bahwa Nio Cu Ong sudah menginsyafi kesalahannya dan minta Ang Pangcu sukalah mengasih ampun,” berkata Som Sian Lao Koay.
“Ingat olehmu!” berkata si nona, “Mulai hari ini sampai seterusnya, untuk selamanya tidak boleh kau mengganggu kami berdua!”
“Aku yang rendah tadinya tidak tahu apa-apa,” menyahut Nio Cu Ong. “Aku tidak mengandung maksud sengaja, maka itu aku minta sukalah jiwi memaafkannya.”
Dengan “jiwi” – “tuan berdua” dimaksudkan Kwee Ceng dan si nona.
Oey Yong menjadi sangat puas, ia tersenyum, lantas ia tarik tangannya Kwee Ceng, buat diajak ngeloyor pergi, masuk ke dalam rumah penginapan. Di dalam pondok itu Ang Cit Kong tengah berduduk menghadapi empat mangkok besar terisi barang hidangan, tangan kirinya mengangkat cawan arak, tangan kanannya mencekal sumpit, mulutnya menggayem dan mencegluk air kata-kata.
“Cit Kong!” kata si nona tertawa. “Dia berlutut, sama sekali dia tidak berani berkutik!” Ia pun sampaikan permohonannya Nio Cu Ong.
Cit Kong menoleh kepada Kwee Ceng, “Pergi kau hampirkan dia, kau hajar serintasan, tidak nanti dia berani melawan!” katanya.
Kwee Ceng melongok di jendela. Ia lihat Nio Cu Ong terus berlutut di antara panasnya matahari, dua muridnya pun berlutut di belakangnya, roman mereka itu runtuh sekali. Ia menjadi tidak tega. “Cit Kong, kasihlah dia ampun,” katanya.
“Hai, makhluk tidak tahu diri!” membentak si pengemis. “Orang hajar padamu, kau tidak mampu melawan, aku si tua bangka menolongi padamu, sekarang kau memintakan ampun untuknya! Apakah artinya ini?!”
Ditegur begitu, Kwee Ceng berdiri diam. Ia tidak sangka si pengemis, yang biasanya jenaka dan manis budi, sekarang menjadi galak begini.
Oey Yong tertawa, dia datang sama tengah. “Cit Kong, nanti aku yang hajar dia!” katanya.
Dan lantas ia bertindak keluar dengan masih membawa tongkat istimewa itu. Ia hampirkan Nio Cu Ong, yang berlutut tanpa bergeming, wajahnya wajah ketakutan. Oey Yong lantas menegur: “Cit Kong bilang kau jahat, hari ini sebenarnya kau mesti disembelih, tetapi syukur ada aku punya engko Ceng yang hatinya murah, dia telah memintakan ampun untumu, ia memohon lama juga barulah Cit Kong meluluskannya.”
Kata-kata itu ditutup dengan diangkatnya tongkat, dihajarkan ke kempolan orang.
“Nah, kaupergilah!” akhirnya si nona mengusir.
Nio Cu Ong tidak segera mengangkat kaki, ia hanya memandang ke arah jendela. “Ang Pangcu, aku ingin bertemu padamu, untuk menghanturkan terima kasih yang kau telah tidak membunuh aku,” katanya.
Dari dalam pondokan tidak ada terdengar suara apa-apa.
Nio Cu Ong terus bertekuk lutut.
Sampai sekian lama, barulah Kwee Ceng muncul. Ia menggoyang-goyang tangan, ia berkata dengan perlahan: “Cit Kong lagi tidur, kau jangan bikin berisik disini!”
Baru sekarang Nio Cu Ong berbangkit, ia mendelik kepada itu muda-mudi, lalu ia ngeloyor pergi dengan mengajak ketiga muridnya.
Oey Yong dan Kwee Ceng membiarkan orang melotot mata, bersama-sama mereka balik ke dalam pondokan. Benar-benar Cit Kong terlihat lagi menggeros dengan kepalanya diletaki di atas meja. Si nona pegang pundak orang, ia menggoyang-goyang.
“Cit Kong, Cit Kong,” katanya. “Tongkat bambu mustikamu ini sangat besar pengaruhnya, jikalau kau tidak pakai, kau berikan saja padaku! Bolehkah!”
Cit Kong mengangkat kepalanya, ia menguap, ia pun mengulet. “Enak saja kau membuka suaramu!” katanya tertawa. “Bendaku ini adalah alat peranti mencari makan dari kakekmu. Seorang pengemis tanpa tongkat pemukul anjing mana bisa jadi pengemis?”
Oey Yong bermanja. “Ilmu silatmu sudah sangat lihay, orang jeri padamu, habis untuk apa kau menghendaki tongkat ini?” dia mendesak.
“Hai, budak tolol!” tertawa si pengemis. “Sekarang lekas kau masaki aku beberapa rupa barang hidangan yang lezat, sebentar aku menutur perlahan-lahan padamu.”
Oey Yong menurut, ia lantas pergi ke dapur. Ia menyiapkan tiga rupa masakan. Apabila sudah selesai, ia bawa itu keluar.
Cit Kong memegang cawan araknya dengan tangan kanan, tangan kirinya memegang sepotong ham, yang ia gerogoti. Ia mengunyah perlahan-lahan. “Makhluk di dalam dunia ini tidak ada yang tidak berkumpul dengan seterunya,” ia berkata kemudian. “Hartawan yang kemaruk uang satu rombongan, orang Rimba Hijau tukang membegal atau merampok satu rombongan juga. Demikian kami si tukang minta-minta, kami pun berkumpul dalam satu golongan….”
“Aku tahu sudah, aku tahu sudah!” Oey Yong memotong seraya ia menepuk-nepuk tangan. “Tadi Nio Cu Ong memanggil kau Pangcu, kau jadinya adalah pemimpin dari tukang minta-minta!”
Cerdik nona ini, ia lantas dapat menerka.
“Benar!” Cit Kong mengaku. “Kami bangsa pengemis biasa orang hinakan, bisa digigit anjing, apabila kami tidak bersatu, mana dapat kami hidup? Maka juga ini sebatang tongkat serta ini sebuah cupu-cupu, semenjak jaman Cian Tong Ngo tay sampai hari ini, sudah beberapa ratus tahun, selamanya dipegang oleh orang yang menjadi Pangcu, ialah pemimpin kepala, jadi inilah mirip dengan capnya seorang kaisar atau capnya satu pembesar negeri.”
Mendengar itu, Oey Yong meleletkan lidahnya. “Syukur kau tidak mengasihkan padaku!” katanya.
“Kenapa?” Cit Kong tertawa.
“Jikalau semua pengemis di kolong langit ini pada mencari aku, untuk aku mengurus mereka, apakah itu tidak cade?” sahutnya.
Cit Kong tertawa pula. Ia gerogoti pula sepotong ceker. Ia berkata pula: “Rakyat negeri di Utara diurus oleh negeri Kim, rakyat negeri di Selatan diurus oleh kerajaan Song, tetapi pengemis di kolong langit ini..?” “Tidak peduli mereka yang dari Selatan atau Utara, semua mereka diurus oleh kau , lojinkee!” Oey Yong mendahului.
Ang Cit Kong tertawa terbahak, ia mengangguk.
“Pantaslah itu siluman bangkotan she Nio sangat jeri padamu!” si nona menyambungi. “Kalau semua pengemis di kolong langit ini mencari dia, untuk mengganggu, nah, bukan main sulitnya dia! Umpama satu pengemis menangkap seekor tuma itu ditaruh di lehernya, tidakkah ia bakal mampus kegatalan?”
Kwee Ceng tertawa.
Ang Cit Kong tidak gusar, ia malah turut tertawa.
“Tetapi,” menjelaskan si raja pengemis kemudian, “Dia takuti aku bukannya karena itu…”
“Habis karena apa?” tanya Oey Yong.
“Itulah kejadian pada kira-kira duapuluh tahun yang lampau. Itu hari aku bertemu dengannya di Kwan-gwa, kebetulan ia tengah melakukan satu pekerjaan buruk dan aku pergoki dia…”
“Pekerjaan buruk apakah itu?” tanya si nona.
Cit Kong agaknya bersangsi tetapi ia menerangkan juga: “Siluman tua itu percaya kepada omongan sesat tentang memetik bunga untuk menambah tenaga atau panjang umur, dia lantas cari banyak nona-nona untuk dirusaki kesucian dirinya…”
“Apakah itu yang dinamakan merusak kesucian nona-nona?” tanya si nona kembali.
Oey Yong polos, ia belum mengetahui tentang hal kesucian yang dirusak itu. Ketika ia dilahirkan, ibunya lantas menutup mata disebabkan sukar melahirkan, dari itu semenjak bayi ia dirawat oleh ayahnya, kemudian terjadi Oey Yok Su murka besar disebabkan Tan Hian Hong dan Bwee Tiauw Hong, kedua muridnya itu, yang memainkan lelakon asmara dan minggat, saking kalapnya, dia putuskan urat-urat semua muridnya yang lainnya, yang ia pun usir pergi dari pulau Tho Hoa To, maka di pulau itu ketinggalan saja beberapa bujang tua, hingga si nona belum pernah dengar soal-soalnya pemuda dan pemudi dewasa. begitulah sampai usianya limabelas tahun, ia tetap gelap mengenai hal itu. Kalau toh ia suka sama Kwee Ceng, itulah karena perasaannya yang wajar, perasaan yang ia rasakan manis, apabila mereka berpisahan, segera ia merasa sunyi seorang diri. Tapi ia tahu, kalau orang menjadi suami-istri, orang tidak bakal berpisahan pula seumur hidupnya, maka itu ia anggap Kwee Ceng sudah menjadi sebagai suaminya; lain daripada itu, ia gelap.
Untuk sejenak itu, Cit Kong pun dipersulit pertanyaan si nona, hingga ia tidak lantas memberikan jawabannya.
“Setelah satu nona dirusak kesuciannya, apakah dia lantas dibunuh?” Oey Yong tanya pula.
“Bukannya begitu,” Cit Kong tertawa. “Wanita yang diperhina secara demikian, hebatnya melebihkan daripada dibunuh. Maka juga ada pembilangan, ‘Hilang kesucian urusan besar, mata kelaparan urusan kecil’”
“Habis, apakah dia dihajar kempolannya?” si nona tanya pula.
“Cis!” berludah Cit Kong tetapi dia tertawa. “Bukannya begitu, budak! Baiklah kau pulang untuk menanyakan keterangan ibumu!”
“Ibu sudah lama tutup mata.” sahut si nona.
“Oh….” si pengemis melengak. “Nanti saja, kapan tibanya kamu berdua merayakan pernikahanmu, kau bakal mengerti sendiri.”
Mukanya si nona menjadi merah, ia memonyongi mulutnya. “Sudahlah jikalau kau tidak sudi menerangkan!” katanya. Samar-samar ia mulai mengerti duduknya hal. Ia menanya pula: “Habis bagaimana sesudah kau pergoki si siluman bangkotan itu berbuat buruk?”
Lega si pengemis mendengar orang bicara dari lain soal.
“Pasti sekali aku urus dia!” ia menyahuti, “Orang she Nio itu telah kena aku bekuk, aku hajar dia, aku paksa ia mengantari pulang semua nona-nona itu kerumahnya masing-masing. Lain dari itu aku paksa ia mengankat sumpah bahwa dilain waktu dia tidak lagi berbuat sejahat itu, dan aku ancam, apabila aku mempergokinya pula, ia bakal mati tidak, hidup pun tidak!”
“Oh, kiranya demikian!”
Kemudian, habis bersantap, Oey Yong berkata, “Cit Kong, kalau sekarang kau kasihkan tongkatmu kepadaku, aku juga tidak sudi menerimanya, hanya masih ada satu saol. Bukankah kita tidak bakal berdiam bersama-sama untuk selama-lamanya? Bagaimana kalau dilain waktu kami berdua bertemu pula sama siluman she Nio itu dan dia membilangnya padaku, ‘He, budak yang baik, dulu hari kau mengandalkan Ang Pangcu, kau menghanjar aku dengan tongkatnya, sekarang aku hendak membalas sakit hati!’ Kalau sampai terjadi begitu, bagaimana kami harus berbuat?”
Ang Cit Kong tertawa. “Ha! Kau sebenarnya menghendaki aku mengajari pula lain ilmu silat kepada kau berdua! Kau kira aku tidak tahu? sekarang pergilah kau masak syaur lagi, bikinlah banyakan, kau boleh percaya Cit Kong tidak nanti membikin kau kecele!”
Oey Yong menjadi sangat girang, ia sambar tangannya si pengemis, untuk dibawa ke rimba tadi.
Ang Cit Kong mengajarkan pula jurus yang baru kepada Kwee ceng, yaitu jurus kedua dari Hang Liong Sip-pat Ciang, namanya “Hoei Liong Thay Thian” atau “Naga Terbang ke Langit”. Jurus ini mewajibkan Kwee Ceng lompat tinggi sekali, lalu dari atas ia menyerang turun, hingga tenaganya menjadi luar biasa besar. Untuk ini, Kwee Ceng memerlukan tempo tiga hari, baru ia dapat melatih dengan baik. Selama tiga hari itu, Oey Yong sendiri sudah mendapatkan pelajaran lain, ialah untuk dengan tempuling ngo-bje-cie memecahkan sebatang golok. Semenatar itu Ang Cit Kong sendiri telah menikmati belasan macam makanan lezat dari si nona.
Demikianlah hari-hari lewat. Tidak sampai satu bulan, Cit Kong sudah wariskan limabelas jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang, dari “Naga Menyesal” sampai pada “Liong Thian Ie Ya” atau “Naga bertempur di tanah datar”.
Ilmu silat Cit Kong ciptakan sendiri setelah ia memehami kitab “Ya Keng”, jurusnya terbatas sekali tetapi kegunaannya besar, sebab setiap jurusnya hebat. Hanya ketika dulu di puncak Hoa San ia mengadu silat sama Oey Yok Su beramai, ilmu ini belum ia pelajarkan habis, meski begitu, Ong Tiong Yang toh memuji ilmunya itu. Cit Kong menyesal yang ia belum sempat menyelesaikan itu, kalau tidak, mungkin ialah yang menjadi pemenang nomor satu. Mulanya dia hendak mengajari Kwee Ceng dua tiga jurus saja, untuk si anak muda pakai menjaga diri, tetapi masakan Oey Yong hebat sekali, setiap hari ditukar denagn hari lewat hari, kejadian ia mewariskan limabelas jurus itu. Maka dalam tempo satu bulan itu, Kwee Ceng telah seperti salin rupa. Oey Yong sendiri telah memperoleh beberapa jurus yang luar biasa, yang campur aduk!
Pada suatu pagi sehabis sarapan, Cit Kong berkata kepada kedua bocah itu; “Eh, anak-anak, kita sudah berkumpul sebulan lamanya, sudah tiba waktunya kita berpisahan.”
“Oh, tidak!” Oey Yong mencegah. “Aku masih mempunyai beberapa macam masakan yang hendak aku bikin untuk aku suguhkan kepada kau, lojinkee!”
“Ingat, anak, di kolong langit ini tidak ada pesta yang tidak bubar. Kau tahu biasanya aku si tua bangka belum pernah mengajari orang lebih daripada tiga hari, tetapi terhadap kamu, aku telah memakai tempo satu bulan, kalau mesti tambah hari lagi, oh itulah hebat sekali!” kata si pengemis.
“Kenapa begitu, Cit Kong?” tanya si nona heran.
“Dengan begitu, habislah semua kepandaianku diturunkan kepada kamu!” sahut si raja pengemis.
Oey Yong tersenyum tetapi ia kata: “Cit Kong, orang baik mesti sekali berbuat baik seterusnya berbuat baik hingga diakhirnya. Jikalau kau ajarkan semua delapanbelas jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang kepadanya, bukankah itu baik sekali?”
“Fui!” si pengemis berseru. “Ya, buat kamu baik, tetapi aku si pengemis tidak!”
Oey Yong menjadi bingung. Ia lantas memikirkan daya apa untuk menahan orang tua itu, akan tetpai belum ia dapat pikiran, Cit Kong telah menggendol cupu-cupunya dan mengangkat tongkatnya ngeloyor pergi, jalannya sambil menyeret sepatunya…..
Kwee Ceng menjadi bingung juga, ia lari menyusul. Hebta Cit Kong sebentar saja ia telah lenyap di dalam rimba.
“Cit Kong! Cit Kong!” Kwee Ceng menyusul dan berteriak-teriak. Tidak ada jawaban.
Oey Yong juga menyusul, ia pun memanggil-manggil. Tapi ia pun tidak peroleh penyahutan.
Tapi belum lama, terlihatlah suatu bayangan dan Cit Kong muncul dengan tiba-tiba.
“Ha, kamu berdua budak busuk, mau apa kamu melibat aku?” ia menanya, agaknya ia mendongkol. “Apakah kau masih minta aku mengajari silat? Oh, itulah sukar di atas sukar!”
“Lojinkee sudah mengajarkan banyak, teecu telah puas,” berkata Kwee Ceng, yang menyebut dirinya teecu atau murid. “Tidak nanti teecu berlaku temaha, cuma teecu belum dapat membalas budimu yang besar sekali.” Ia lantas jatuhkan dirinya, berlutut, untuk paykui kepada itu guru sembatan.
“Ha, tahan!” mendadak si pengemis berseru. “Aku mengajarkan kau silat sebab aku gegaras sayur masakan dia itu, untuk itu, pengajaranku itulah bayaranku! Di antara kita tidak ada soal guru dengan murid!” Mendadak ia pun berlutut, membalas hormatnya si anak muda.
Kwee Ceng kaget sekali, hendak ia paykui pula, untuk membalas, tetapi ia tidak dapat berbuat begitu, tiba-tiba saja si pengemis mengulurkan tangannya dan ia kena ditotok jalan darah dirusuknya hingga ia berdiri dengann kedua kaki ditekuk, tak dapat ia menggeraki tubuhnya!
Cit Kong mengangguk sampai empat kali, guna membalas penghormatan orang, baru ia menotok pula membebaskan jalan darah orang. Ia kata: “Ingat, sekarang jangan kau mengatakannya sudah memberi hormat padaku, bahwa kaulah muridku!”
Kwee Ceng berdiam, tidak berani ia membuka mulut lagi. Sekarang ia menginsyafi benar-benar tabiat kukoay bin aneh dari si raja pengemis yang berjeriji sembilan itu.
Cit Kong lantas memutar tubuhnya, untuk mengangkat kaki, atau mendadak ia bersuara “Ih!” lantas ia membungkuk, tangannya diulurkan ke tanah, di antara rumput, dua jarinya menjepit seekor ular hijau panjangnya dua kaki.
“Ular!” Oey Yong menjerit kapan si pengemis angkat tangannya. Cuma sebegitu ia berseru, atau pundaknya telah ditolak Ang Cit Kong hingga ia terpental jauhnya setombak lebih!


Bab 26. Memikiri Senantiasa

Menyusul itu terdengar pula beberapa suara rumput bergerak-gerak, lalu terlihatlah beberapa ekor ular lainnya. Dengan menggeraki tongkatnya, Ang Cit Kong singkirkan binatang berbisa itu, untuk setiap kemplangannya, tongkatnya mengenai tepat di kepala ular, yang terus mati.
Kalau tadinya ia kaget, sekarang Oey Yong kegirangan hingga ia berseru memuji.
Tengah ia tertawa, di belakangnya muncul dua ekor ular yang lain, yang menyambarsambil membuka bacotnya, untuk menggigit.
“Lari!” Ang Cit Kong berseru. Tapi sudah terlambat, si nona telah kena disambar dan digigit. Ular itu kecil tubuhnya tetapi hebat bisanya, cuma tergigit satu kali, celakalah orang, apapula sekarang menyambar sekali dua.
Ang Cit Kong pun kaget. Kupingnya segera mendengar suara lain, yang terlebih berisik, kapan ia mengawasi, ia tampak nyelosornya sekumpulan ular di tempat kira-kira sepuluh tombak dari mereka. Tidak ayal lagi, ia sambar pinggang Kwee Ceng, ia cekuk pundak Oey Yong, terus ia berlompat, lari keluar dari rimba itu. Dia lari terus kembali ke tempat penginapan. Setibanya di muka pondokan, pengemis itu awasi muka si nona, lantas hatinya menjadi lega. Nona itu tak kurang suatu apa, dia ada seperti biasa.
“Bagaimana kau merasakan?” ia menanya, hatinya girang.
Oey Yong tertawa. “Tidak apa-apa!” sahutnya wajar.
Tapi Kwee Ceng melihat ular tadi masih menyantel di badan kekasihnya, dia kaget, dia ulur tangannya, untuk menangkap ular itu, untuk disingkirkan. “Jangan!” Cit Kong berseru pula saking kagetnya.
Tapi tangan Kwee Ceng telah kena menjambret ular itu, yang kepalanya mengeluarkan darah. Binatang itu tidak bergerak lagi, dia sudah mati! Mulanya Ang Cit Kong tercengang, tetapi dengan lekas ia sadar sendirinya. “Tidak salah lagi!” katanya. “Tentulah joan-wie-kah ayahmu telah diwariskan kepadamu!”
Memang ulat itu menggigit joan-wie-kah, kepalanya pecah, lalu terbinasa.
Selagi Kwee Ceng menyambar seekor ular, banyak yang lainnya lagi keluar dari rimba. Cit Kong sendiri segera mengeluarkan obat hitam dari sakunya, ia masuki itu ke dalam mulutnya untuk dikunyah. dari dalam rimba masih saja terlihat ular yang keluar, hitung ratus, hitung ribu.
Maka Kwee Ceng berseru; “Cit Kong, mari lekas pergi!”
Cit Kong tidak menjawab, ia menurunkan cupu-cupu dari punggungnya, dia membuka sumpalnya, untuk menuang isinya ke dalam mulutnya, dicampur sama obat tadi, sesudah mana ia menyembur ke arah ular-ular itu, ke kiri dan kanan, hingga mereka bertiga terintang semburan arak. Sejumlah ular, yang mencium bau arak campur obat itu lantas rebah tak bergerak, ynag lainnya tak berani maju lebih jauh, tapi kerana yang dibelakang amsih banyak dan maju terus, mereka jadi kacau sendirinya. Oey Yong gembira menyaksikan ular-ular itu bergumulan, ia menepuk-nepuk tangan.
Selagi si nona ini kegirangan, dari dalam rimba terdengar suara berisik, lalu terlihat tiga orang pria yang pakaiannya putih semua, dengan tangan mencekal masing-masing sepotong pentungan dua tombak lebih panjangnya, lagi berseru-seru mengusir semua ular itu, pentungannya dipakai mengancam, mirip lagaknya dengan bocah angon lagi menggembala kerbau atau kambingnya.
Mual rasanya akan menyaksikan ujal-ujalan semua ular itu.
Ang Cit Kong menangkap seekor ular, yang ia sontek dengan tongkatnya. Dengan dua jari kiri ia jepit leher ualr itu, dengan kelingking kanan ia menggurat perutnya ular hingga pecah berlobang, untuk mengasih keluar nyalinya.
“Lekas telan ini! Jangan kena kegigit, sangat pahit!” ia berkata kepada si nona.
Oey Yong menurut, ia lantas telan nyali ular itu. Menyusul itu, ia merasa enak dan segar sekali.
“Eh, engko Ceng, kau juga hendak makan nyali ular?” dia menanya.
Kwee Ceng menggelengkan kepalanya. Ia sudah mengghirup darah ular, ia tidak mempan racun ular itu, malah tidak ada ular yang berani menggigit padanya, cuma Ang Cit Kong dan si nona yang tadinya diarah.
“Cit Kong, ular ini mesti ada yang piara,” berkata Oey Yong.
Pak Kay mengangguk. Dengan wajah murka, ia mengawasi ketiga orang serba putih itu, yang sebaliknya pun murka melihat orang bunuh ularnya dan dimakan nyalinya, malah habis membereskan ular-ularnya, mereka maju menghampirkan.
“He, kamu tiga ekor iblis, apakah kamu sudah tidak menghendaki lagi jiwamu?!” yang satu menegur dengan bengisnya.
“Tepat!” berseru Oey Yong dengan jawabannya. “Kamu tiga ekor iblis, apakah kamu sudah tidak menghendaki jiwa kamu?!”
“Bagus!” berseru Cit Kong seraya menepuk pundak si nona. Ia memuji pembalasannya si nona, yang mulutnya lihay itu.
Tiga orang itu menjadi bertambah gusar, satu yang kulit mukanya putih dan usia pertengahan sudah lantas berlompat, menyodok si nona dengan pentungannya. Melihat sambaran anginnya, dia bukannya sembarangan kepandaiannya.
Cit Kong berlaku sebat, ia melonjorkan tongkatnya, menyambut serangan itu. Dengan begitu Oey Yong jadi luput dari bahaya.
Penyerang itu lantas menjadi kaget, tidak saja pentungannya mandek, pula tak dapat ia menarik pulang. Pentungan itu menempel seperti terpantek pada tongkat si pengemis. Maka ia lantas mengempos semangatnya.
“Kau pergilah!” berseru Ang Cit Kong selagi orang menarik keras, tangannya digentak.
Maka terjengkanglah orang itu, terlempar ke dalam barisan ularnya, pentungannya hancur menjadi puluhan potong pendek. Dia rupanya telah memakan obat pemunah, ular tak berani gigit padanya.
Dua orang yang lain terkejut, mereka mundur dengan seketika.
“Bagaimana, toako?” mereka menanya pada kawannya yang roboh itu. Orang itu berlompat bangun dengan gerakannya “Ikan gabus melentik”. Akan tetapi dia terbanting keras, belum sampai bangun berdiri, dia sudah jatuh pula, kembali menimpa ularnya, hingga seperti tadi, ada belasan ular yang mampus ketindihan. Maka kawannya, yang mukanya putih, menyodorkan pentungannya, membantui dia bangun.
Sekarang mereka bertiga itu tidak berani menyerang pula, bahkan mereka lantas masuk ke dalam kalangan ular mereka.
“Siapa kamu!” kemudian tanya orang yang barusan terjungkal itu. “Kalau kau laki-laki, sebutkan nama kamu!”
Ang Cit Kong tertawa terbahak-bahak, ia tidak menyahuti.
“Kamu orang-orang macam apa?!” Oey Yong sebaliknya menanya. “Kenapa kau menggiring begini banyak ular berbisa untuk mencelakai orang?!”
Tiga orang itu saling mengawasi, selagi satu diantaranya hendak menyahuti, dari dalam rimba tertampak munculnya seorang yang berdandan sebagai mahasiswa yang putih mulus bajunya. Dia berjalan perlaha-lahan, tangannya mengerjakan kipasnya. Ia berjalan di antara banyak ular itu, yang pada menyingkir sendirinya.
Kwee Ceng dan Oey Yong sudah lantas mengenali orang itu ialah Auwyang Kongcu, sancu atau pemilik gunung Pek To San. Herannya ular-ular itu menyingkir daripadanya.
Tiga pengiring itu menghampiri si anak muda, untuk berbicara, lantas tangannya menunjuk ke ular-ular yang tak berkutik itu, rupanya mereka mengadu.
Pemuda itu agaknya terperanjat, tapi lekas ia menjadi tenang pula. Dia maju menghampir Ang Cit Kong bertiga, dia memberi hormat sambil mengangguk, kemudian dia tertawa dan berkata: “Beberapa sahabatku ini telah berlaku kurang ajar kepada locinpwee, untuk itu aku menghanturkan maaf.” Terus ia memandang Oey Yong, untuk meneruskan: “Kiranya nona ada di sini. Sungguh bersengsara aku mencari padamu…”
Oey Yong tidak mengambil mumat pemuda itu, ia hanya menoleh kepada si pengemis. “Cit Kong, orang inilah telur busuk yang paling besar!” ia memberitahu. “Kau baiklah mengajar adat padanya!”
Ang Cit Kong mengangguk, terus ia memandang si anak muda, romannya bengis. “Untuk mengangon ular ada tempatnya, ada batasnya, ada waktunya, ada aturannya juga!” katanya. “Kau andalkan pengaruh siapa maka kau jadi begini gila-gilaan?!”
“Semua ular ini datang dari tempat yang jauh sekali, semuanya sangat lapar, mereka jadi tidak dapat memakai aturan lagi,” menyahut si pemuda.
“Berapa banyak orang telah kamu bikin celaka?” Cit Kong menegur pula.
“Kami menggembala di tanah belukar, belum pernah kami mencelakai orang,” menyahut si anak muda.
“Hm!” Cit Kong mengejek. “Belum pernah mencelakai orang! Kau toh si orang she Auwyang?”
“Benar!” dia menjawab itu. “Kiranya nona ini telah memberitahukannya padamu. Kau siapa, lojinkee?” dia balik menanya.
Oey Yong mendahului si pengemis. “Namamu yang busuk! Siapa yang sudi menyebutnya!” kata dia. “Namanya locinpwee ini tidak usah diberitahukan kepadamu, cuma-cuma bakal membikin kau kaget!”
Auwyang Kongcu itu tidak gusar, dia melirik si nona sambil tersenyaum.
“Kau anaknya Auwyang Hong, bukankah?” Ang Cit Kong tanya.
Belum si anak muda menyahuti, tiga kawannya sudah gusar duluan. “Pengemis bangkotan tidak karuan, bagaimana besar nyalimu berani menyebut namanya sancu kami?!” mereka menegur.
Ang Cit Kong tertawa lebar.
“Lain orang boleh tidak menyebutnya tetapi aku boleh!” katanya. mendadak orang tua itu mencelat ke arah tiga orang itu dan tahu-tahu “Plak-plok!” muka mereka kena ditampar datang-pergi, setelah mana dengan menekan tongkatnya, ia berlompat balik ke tempatnya berdiri tadi.
“Kepandainmu ini, Cit Kong, kau belum ajari aku!” berkata Oey Yong, seperti ia tidak menggubris peristiwa.
Cit Kong bukan saja menggaplok, ia juga membuatnya terlepas sambungan baham orang.
Auwyang Kongcu terperanjat, lekas-lekas ia menolongi tiga orang itu. “Apakah cinpwee mengenal pamanku?” ia tanya Cit Kong, sekarang sikapnya hormat.
“Oh, kau jadinya keponakannya Auwyang Hong!” berkata Cit Kong. “Sudah berselang duapuluh tahun yang aku tidak pernah bertemu pula sama si racun tua bangkamu itu! Apakah dia belum mampus?”
Panas hatinya si anak muda, tetapi melihat orang lihay dan orangpun seperti mengenal baik pamannya, ia mau percaya, pengemis ini ada orang tingkat atasan yang lihay. Maka berkatalah ia: “Pamanku sering membilang, sebelum sahabat-sahabatnya pada habis mati terlebih dulu, dia masih belum ingin pulang ke langit…”
Ang Cit Kong tertawa berlengak. “Anak yang baik, pandai kau mencaci orang dengan jalan mutar-balik!” katanya. “Aku hendak tanya kau, perlu apa kau membawa-bawa sekalian mustikamu ini?” Ia maksudkan semua ular itu.
“Biasanya aku yang muda tinggal di barat,” Auwyang Kongcu menyahut, “Tapi kali ini aku berangkat ke Tionggoan untuk belajar berkenalan, lantaran iseng – kesepian di tengah jalan, sekalian aku membawa mereka ini untuk main-main saja.”
“Terang-terang kau mendusta!” Oey Yong menyemprot. “Ada demikian banyak wanita yang menemani kau, kau masih bilang iseng kesepian!”
Pemuda itu menggoyangi kipasnya hingga dua kali, matanya menatap si nona, lalu ia tersenyum, lantas ia bersenandung: “Duka hatiku, maka kenapa tidak ada lain orang? Karena kau, aku jadi bersenandung hingga jini!” Ia mengambil syair dari Sie Keng, Kitab Syair, yang ia campur aduk.
Oey Yong tidak gusar, ia sebaliknya tertawa. “Aku tidak membutuhkan kau mengambil-ambil hatiku!” ia menganggapi. “Lebih baik tak perlulah kau memikirkan aku!”
Pikiran si anak muda bagaikan melayang, tak tahu ia harus membilang apa….
Ang Cit Kong lantas menegur; “Kau paman dan keponakan, kamu malang melintang di Barat, di sana tidak ada orang yang mengendalikan kamu, jikalau di Tionggoan kau masih hendak berbuat seperti di sana, kau janganlah mimpi di musim rontok! Dengan memandang pamanmu itu, aku tidak ingin berpandangan cupat seperti kau, maka lekaslah kau pergi!”
Auwyang Kongcu mendongkol bukan main, tetapi untuk melawan ia tidak ungkulan, cuma untuk berlalu begitu saja, ia tidak puas. Maka akhirnya ia berkata; “Di sini aku yang muda meminta diri. Umpama kata dalam beberapa tahun ini cianpwee tidak dapat sesuatu sakit keras dan juga tidak menemui bahaya apa-apa, aku undang cianpwee suka berkunjung ke Pek To San untuk berdiam beberapa hari di sana.”
Ang Cit Kong tertawa.
“Nyata kau telah menantang aku!” katanya. “Tapi aku si pengemis bangkotan tidak biasanya main janji-janji! Pamanmu tidak takut padaku, aku juga tidak takuti pamanmu itu! Pada duapuluh tahun yang sudah, kita sudah mengadu kepandaian, kita adalah setengah kati sama dengan delapan tail, jadi tidak usahlah kita bertempur pula!” Tiba-tiba ia menambahkan, dengan membentak bengis; “Masih kau tidak hendak menyingkir jauh-jauh!”
Auwyang Kongcu terperanjat, hatinya pun berpikir; “Kepandaiannya pamanku belum separuhnya aku wariskan, orang tua ini rupanya tidak mendusta, aku mana sanggup menjadi tandingannya….” karenanya segera ia menjura, setelah melirik mendelik kepada Oey Yong, lantas ia mengundurkan diri masuk ke dalam rimba.
Ketiga pengangon ular itu sudah lantas mengasih dengar suaranya, bersiul secara aneh. Dengan itu mereka mengusir ular mereka. Maka juga semua binatang berbisa itu membalik tubuhnya, mengesor kembali ke dalam hutan. Sebentar saja, bersilah tempat itu dari semua binatang berbisa itu, tinggal tanahnya yang penuh lendirnya yang licin mengkilap.
“Cit Kong belum pernah aku melihat ular demikan banyak,” berkata Oey Yong. “Benarkah ular itu dipiara mereka?”
Cit kong tidak lantas menyahuti, dia hanya membuka mulut cupu-cupunya untuk menenggak araknya beberapa gelogokan, kemudian dengan tangan bajunya dia menyusuti peluh di dahinya. Ia pun menghela napas panjang. Baru setelah itu ia mengatakannya berulang-ulang: “Sungguh berbahaya! Sungguh berbahaya…!”
“Eh, Cit Kong, kenapakah?” tanya kedua pemuda-pemudi itu heran.
“Untuk sejenak aku dapat mengusir ular itu,” menyahut si pengemis kemudian: “Umpama kata tadi benar-benar semuanya menerjang, cara bagaimana ribuan binatang itu dapat ditangkis? Syukur beberapa bocah itu belum tahu apa-apa, mereka tidak mengetahui asal-usulku, mereka jadi kena kugertak. Coba si racun tua bangkotan itu ada di sini, oh, anak-anak, kamu bisa celaka….”
“Jikalau kami tidak sanggup melawan, kami kabur!” berkata si Oey Yong.
Cit Kong tertawa. “Aku si pengemis tua, aku tidak takuti dia!” katanya. “Tetapi kamu berdua, meski kamu ingin menyingkir, kamu tidak bakal lolos dari tangannya si racun bangkotan itu….”
“Siapakah pamannya orang itu? Benarkah dia demikian lihay?” tanya Oey Yong.
“Kau sangka ia tidak lihay? Apakah aku belum pernah dengar disebut-sebutnya Tong Shia See Tok, Lam Tee pak Kay dan Tiong Sin Thong?”
Tentang nama-nama itu Oey Yong pernah mendengarnya dari omongannya Khu Cie Kee denagn Ong Cie It, sekarang mendengar perkataan pengemis, hatinya girang.
“Aku tahu, aku tahu!” sahutnya. “Kau sendiri, lojinkee, adalah Pak Kay, dan kauwcu dari Coan Cin Kauw ialah Tiong Sin Thong.”
“Benar! Adakah ini ayahmu yang membilangi? Ayahmu itu ialah Tong Shia dan Auwyang Hong itulah See Tok! Orang yang nomor satu paling pandai di kolong langit ini yaitu Ong Cinjin itu sudah meninggal dunia, maka sekarang tinggal kita berempat yang kepandaiannya rata-rata setengah kati sama dengan delapan tail, hingga kita jadi saling memalui! Ayahmu lihay tidak? Aku sendiri si pengemis lihay tidak?”
Oey Yong mengasih dengar suara perlahan, agaknya ia berpikir.
“Ayahku orang baik-baik, mengapa dia dipanggil Tong Shia?” ia tanya kemudian.
Ang Cit Kong tertawa. “Dia seorang yang kukuh dan licin, dia dari kaum kiri, mustahilkah dia bukannya si sesat?” dia menyahuti. “Bicara dari hal ilmu silat, Coan Cin Kuaw adalah yang sejati, terhadapnya aku si pengemis tua takluk benar-benar dari mulut ke hati.” Ia menoleh kepada Kwee Ceng, untuk menegaskan; “Kau telah belajar ilmu dari Coan Cin Kauw, bukankah?”
“Totiang Ma Goik telah mengajarkan teecu selama dua tahun,” sahut si anak muda hormat.
“Nah, itu dianya, kalau tidak, tidak nanti dalam tempo pendek satu bulan kau dapat mempelajari Hang Liong Sip-pat Ciang dari aku.”
“Habis, siapakah itu Lam Tee?” tanya Oey Yong.
“Dialah satu hongya, seorang kaisar,” sahut Cit Kong.
Kwee Ceng dan Oey Yong heran. “Eh, seorang kaisar demikian lihay ilmu silatnya?” mereka menegasi.
“Memang ia seorang kaisar, tetapi dalam hal kepandaiannya, ayahmu dan aku jeri tiga bagian terhadapnya,” sahut si pengemis mengaku. “Api dari Selatan mengalahkan Emas dari Barat, maka dialah si penakluk dari si bisa bangkotan Auwyang Hong itu.”
Dua-dua muda-mudi ini kurang mengerti, tetapi mereka diam saja, sebab mereka lantas mendapatkan si pengemis dia menjublak, hingga mereka tidak berani menanya lebih jauh.
Cit Kong masih memandangi mega, agaknya ia berpikir keras, alisnya sampai dikerutkan. Nampaknya ia tengah menghadapi satu soal besar yang ia tak mendapatkan pemecahannya. Tanpa mengucapkan sepatah kata, ia berjalan pulang ke pondok. Mendadak saja terdengar suara memberebet, ternyata bajunya kena langgar paku di pintu dan sobek.
“Aih!” seru Oey Yong, yang mengikuti, tetapi si pengemis sendiri seperti tidak mengetahui hal itu. Maka si nona berkata, “Nanti aku tambalkan!” Lantas dia cari nyonya pemilik pondok, untuk pinjam benang dan jarum, terus ia jahiti baju sobek itu.
Cit Kong masih menjublak ketika ia lihat jarum di tangannya si nona, tiba-tiba saja dia rampas jarum itu, lantas dia membawa lari ke luar. Oey Yong dan Kwee Ceng heran, mereka lari mengikuti.
Sesampainya si luar, Cit kong mengebas tangannya yang memegang jarum itu, lalu terlihat satu sinar berkeredep. Nyata jarum itu telah dipakai menimpuk!
Oey Yong mengawasi jarum meluncur, lalu jatuh, nancap di tanah. Dan nancapnya dengan menikam seekor walang. Saking kagum, dia bersorak. Cit Kong mengeluarkan napas lega.
“Berhasil! Berhasil!” katanya. “Ya, beginilah….”
Oey Yong dan Kwee Ceng tercengang mengawasi pengemis itu.
Ang Cit Kong berkata; “Auwyang Hong si tua bangka beracun itu paling gemar memelihara ular dan ulat berbisa, semua binatang jahat itu dapat mendengarkan segala titahnya. Itulah usaha yang bukan gampang.” Ia berhenti sebenatr, lalu ia menambahkan: “Aku rasa juga ini bocah she Auwyang bukannya makhluk yang baik, jikalau nanti ia bertemu pamannya, mungkin ia menghasut yang bukan-bukan, maka itu berbahayalah kalau kita bertemu pada pamannya itu, jadi aku si pengemis tua tidak dapat tidak mesti aku mempunyai suatu senjata untuk melawannya mengalahkan segala binatang berbisa itu!”
Oey Yong bertepuk tangan. “Jadi kau hendak menggunai jarum untuk menikam nancap setiap ular berbisa itu di tanah!” katanya.
Ang Cit kong membuka lebar matanya terhadap si nona. “Ah, kau iblis cilik yang licin!” ujarnya. “Orang baru menyebutnya bagian atas, kau sudah lantas dapat mengetahui bagian bawahnya!”
“Bukankah kau telah mempunyakan obat yang lihay?” Oey Yong tanya, “Bukankah kapan obat itu dicampuri arak, asal kau menyemburnya, ular berbisa itu tidak berani datang dekati padamu?”
“Daya itu cuma dapat dipakai dalam sewaktu,” Ang Cit Kong memberi keterangan. “Sudah, kau jangan ngoceh saja, jangan mengganggu aku, hendak aku melatih diri dalam ilmu ‘Boan-thian hoa ie’. Aku hendak mendapatkan kepastian bagaimana kesudahannya ilmu itu kalau memakai jarum….”
“Kalau begitu, nanti aku menolongi kau membeli jarum,” berkata si nona, yang terus lari keluar.
Ang Cit Kong menghela napas. Katanya seorang diri; “Sudah ada si tua bangkanya yang cerdik licin bagaikan iblis, sekarang ada gadisnya yang serupa cerdik licinnya!”
“Tidak lama, Oey Yong telah kembali dari pasar, dari keranjang sayurannya ia mengasih keluar dua bungkus besar jarum menjahit.
“Semua jarum di kota ini telah kau beli hingga habis!” kata dia sambil tertawa. “Maka besok semua orang laki-laki di sini bakal digeremberengi hingga mati oleh istrinya!” katanya kemudian.
“Bagaimana begitu?” Kwee Ceng tanya.
“Sebab mereka bakal dicaci tidak punya guna! Sebab kalau mereka pergi ke pasar, mereka tidak mampu membeli jarum!” sahut si nona. “Sebatang pun tidak ada!” kata si nona sambil tertawa.
Ang Cit Kong tertawa tergelak. “Dasar aku si pengemis tua yang cerdik!” katanya. “Aku tidak menghendaki istri, supaya aku tak usah disiksa pihak perempuan! Nah, mari kita berlatih! Dua bocah, bukankah kau ingin aku si pengemis tua mengajarkan kau menggunai senjata rahasia? Apakah kamu sanggup?”
Oey Yong tertawa, dia mengikuti di belakang pengemis itu.
“Cit Kong, aku tidak mau belajar!” kata Kwee Ceng sebaliknya.
Ang Cit Kong heran. “Kenapa, eh?” dia tanya.
“Lojinkee sudah mengajari aku banyak ilmu, dalam sesaat ini aku tidak sanggup mempelajarinya semua,” Kwee Ceng mengaku.
Ang Cit Kong melengak, tetapi sebentar saja, ia sudah mengerti. Ia tahu orang jujur dan tidak serakah banyak macam pelajaran, alasan saja dia membilang tidak sanggup belajar lebih jauh.
“Ah, anak ini baik hatinya,” ia memuji di dalam hati. Ia lantas tarik tangannya Oey Yong, “Mari kita saja yang berlatih.”
Kwee Ceng tidak mengikuti, ia hanya pergi ke belakang bukit, di mana seorang diri dia menyakinkan terus lima belas jurusnya, ilmu silat Hang Liong Sip-pat Ciang itu. Ia merasakan ia dapat kemajuan, hatinya girang bukan main.
Berselang sepuluh hari, selesai sudah Oey Yong mempelajari “Boan-thian Hoa Ie Teng Kim-ciam”, ialah ilmu menimpuk dengan jarum, dengan sekali mengayun tangan, ia dapat melepaskan belasan batang jarum, cuma ia belum dapat memisahkan semua itu ke setiap jalan darah yang ia arah.
Pada suatu hari habis berlatih, Cit Kong tidur menggeros di bawah sebuah pohon cemara. Oey Yong membiarkannya. Tahu, yang mereka segera bakal perpisahan, ia lari ke pasar membeli beberapa rupa barang serta bumbunya. Ia ingin memasak beberapa rupa barang hidangan yang lezat untuk si pengemis. Di tengah jalan pulang, sambil menentengnya dengan tangan kiri, tangan kanannya saban-saban diayun, berlatih kosong dengan timpukannya. Ketika hampir sampai di tempat penginapan, kupingnya mendengar kelenengan kuda yang nyaring. Ia lantas menoleh. Ia tampak seekor kuda dikasih lari mendatangi, malah penunggangnya ia lantas kenali, ialah Bok Liam Cu, anak gadisnya Yo Tiat Sim. Ia berdiri diam, mengawasi dengan bengong, hatinya pepat. Ia tahu nona itu ada punya hubungan jodoh dengan Kwee Ceng. Ia memikir juga, “Apa baiknya wanita ini maka enam guru engko Ceng dan imam-imam dari Coan Cin Pay hendak memaksa engko Ceng menikah dengannya?” Memikir begini, dasar masih kekanak-kanakkan, ia menuruti hati panasanya. “Baik aku hajar ia untuk melampiaskan hatiku!” pikirnya pula.
Lantas ia bertindak memasuki penginapannya. Ia lihat Bok Liam Cu duduk seorang diri di sebuah meja, romannya berduka sekali, seoarng pelayan sedang menanya dia hendak mendahar apa. Dia memesan semangkok mie dan enam kati daging.
“Apa enaknya daging matang?” kata Oey Yong.
Liam Cu menoleh, ia tercengang. Ia kenali nona yang bersama Kwee Ceng naik seekor kuda di Pakhia. Ia lantas berbangkit.
“Oh, adik pun ada di sini?” katanya. “Silahkan duduk!”
“Mana itu semua imam?” tanya Oey Yong. “Mana si kate terokmok, si mahasiswa jorok? Kemana perginya mereka semua?”
“Aku sendiri saja,” menyahuti si Liam Cu. “Aku tidak bersama Khu Totiang beramai.”
Oey Yong jeri terhadap Khu Cie Kee beramai itu, maka mendengar jaaban si nona itu, hatinya girang, sembari tertawa ia mengawasi nona itu. Ia mendapatkan orang mengenakan pakaian berkabung, pada rambut di ujung kupingnya ada sekuntum bunga putih dari wol. Dia nampak lebih kurus, ia mengharukan, tetapi justru itu, wajahnya lebih menarik hati. Di pinggang si nona itu pun ada sebatang belati. Ia ingat: “Itulah pisau yang menjadi tanda perjodohannya dengan engko Ceng, pemberian ayah mereka masing-masing…” Maka ia berkata; “Enci, bolehkah aku pinjam melihat pisau belatimu itu?”
Itulah pisau yang Pauw Sek Yok keluarkan disaat dia hendak melepaskan napasnya yang terakhir, dengan dia dan suaminya telah meninggal dunia, pantaslah pisau itu telah jatuh di tangannya Bok Liam Cu. Mulanya Bok Liam Cu tidak berniat mengasihkan, sebab ia dapatkan air muka Oey Yong luar biasa, tetapi karena Oey Yong mendekati perlahan-lahan seraya mengulurkan tangannya, ia tidak dapat menolak. Ia mengasigkan sekalian bersama sarungnya.
Oey Yong lihat ada ukiran nama Kwee Ceng pada pisau itu. Lantas ia berpikir, “Inilah barangnya engko Ceng, mana dapat diberikan padanya?” Ia mencabut pisau itu, sinarnya berkilat, hawanya dingin. “Sungguh pisau yang bagus!” pujinya. Ia masuki pisau itu ke dalam sarungnya, terus ia masuki ke dalam sakunya sendiri. “Akan aku kembalikan ini pada engko Ceng,” katanya.
“Apa?!” tanya Liam Cu tercengang.
“Disini terukir nama engko Ceng, pasti ini adalah pisaunya,” berkata Oey Yong. “Sebentar bertemu dengannya, hendak aku memulanginya.”
Liam Cu gusar. “Inilah warisan satu-satunya dari ayah ibuku, mana dapat aku berikan padamu?!” katanya keras. “Lekas pulangkan padaku!” Ia pun segera berbangkit.
“Kalau kau bisa, ambilah!” sahut Oey Yong, yang terus lari keluar. Ia tahu Cit Kong sedang tidur dan Kwee Ceng lagi di belakang bukit berlatih sendiri.
Liam Cu mengubar, hatinya cemas. Ia tahu, sekali dia menunggang kuda merahnya, nona itu bakal lolos.
Oey Yong lari berliku-liku, sampai di bawahnya sebuah pohon yang besar, ia berdiri diam. Ia lihat di sekitar situ tidak ada lain orang. Sembari tertawa, ia berkata: “Jikalau kau dapat mengalahkan aku, segera aku pulangi pisau ini!”
“Adik, jangan main-main,” kata Liam Cu sabar setelah ia menyandak. “Melihat pisau itu, aku seperti melihat ayah ibuku, kenapa kau hendak mengambilnya?”
“Siapa adikmu?!” bentak si nona Oey, terus ia menyerang.
Liam Cu kaget, ia berkelit, tetapi Oey Yong lihay, “Buk! Buk!” dua kali dia kena dihajar iganya. Dia menjadi gusar sekali, lantas ia membalas menyerang, hebat.
“Oey Yong tertawa, “Ilmu silat Po-giok-kun, apa anehnya!” katanya, mengejek.
Liam Cu heran, “Inilah tipu silat ajaran Ang Cit Kong, kenapa dia dapat tahu?” pikirnya. Ia menjadi lebih heran ketika nona itu menyerang pula, ia justru menggunai ilmu silat yang sama. “Tahan!” ia berseru seraya lompat mundur. “Siapa yang ajari kau ilmu silatmu ini?”
“Aku yang menciptkan sendiri!” sahut Oey Yong, tertawa. “Inilah ilmu yang kasar, tidak ada keanehannya!” Perkataannya itu disusul sama dua serangannya, kembali jurus-jurus dari Po-giok-kun itu – Kepalan Memecahkan Kumala.
Liam Cu semakin heran. “Apakah kau mengenal Ang Cit Kong?” ia menanya, sambil menangkis.
“Dia sahabat kekalku, tentu saja aku kenal!” Oey Yong tertawa. “Kau gunai ilmu silat pengajarannya, aku menggunakan ciptaanku sendiri, coba lihat, bisa tidak aku mengalahkan kau!”
Nona ini tertawa tetapi serangannya terus bertambah dahsyat. Tentu saja Liam Cu tidak sanggup menandingi. Sudah kepandaian warisan ayahnya sendiri, dia juga dapat didikan Ang Cit Kong. Sebentar saja nona Bok kena terhajar pundaknya, tempo ia terpukul juga pinggang kanannya, ia roboh seketika. Sudah begitu, Oey Yong menghunus pisau belatinya, ia bulang-balingkan itu di muka orang, saban-saban hampir mengenakan kulit wajahnya. Liam Cu menutup matanya, ia tidak merasakan luka, cuma angin dingin meniup kulit mukanya itu. Satu kali ia membuka matanya, ia lihat pisau berkelebat, cuma berkelebat saja. Ia menjadi mendongkol. “Mau bunuh, bunuhlah, buat apa kau menggertak pula!” ia membentak.
“Kita tidak bermusuhan, buat apa aku membunuh kau?” kata Oey Yong tertawa. “Kau dengar aku, kau mengangkat sumpah, lantas aku akan memerdekakanmu!”
Liam Cu beradat keras, ia tidak sudi menyerah.
“Kalau kau berani, kau bunuhlah!” ia menantang. “Untuk kau minta sesuatu dari aku, bermimpi pun jangan kau harap!”
Oey Yong menghela napas, tetapi ia berkata dengan nyaring, “Nona begini elok, mati muda, sungguh kecewa.”
Liam Cu meramkan mata dan menulikan kupingnya, dia berdiam saja.
Hening sejenak, lalu ia mendengar nona itu berkata: “Engko Ceng baik denganku, biar dia menikah denganmu, tidak nanti ia mencintainya…”
Ia menjadi heran, segera ia membuka matanya. “Apa kau bilang?” ia menanya.
“Kau tidak mau mengangkat sumpah, tidak apa,” kata Oey Yong, tanpa menjawab. “Biar bagaimana, dia tidak bakal menikah padamu, inilah aku tahu pasti!”
“Sebenarnya siapa yang baik padamu?” tanya Liam Cu semakin heran. “Kau bilang aku hendak menikah dengan siapa?”
“Dengan engko Ceng – Kwee Ceng!” Oey Yong jelaskan.
“Oh, dia!” kata Liam Cu. “Bilanglah, kau menghendaki aku bersumpah apa?”
“Aku ingin kau bersumpah dengan berat, biar bagaimana, kau tidak bakal menikah dengan engko Ceng itu!” sahut Oey Yong.
Akhirnya Liam Cu tertawa. “Biarpun kau ancam aku dengan golokmu di leherku, tidak nanti aku menikah dengan dia!” katanya.
Oey Yong girang mendadak. “Benar?” tanyanya. “Kenapa begitu?”
“Benar ayah angkatku telah memberikan pesannya yang terakhir, aku telah dijodohkan denagnnya, sebenarnya,” sahut Liam Cu, yang lalu meneruskan dengan perlahan sekali; “Sebenarnya ayah angkatku itu telah sudah berlaku karena pelupaan, dia lupa yang aku telah dijodohkan kepada lain orang…”
Oey Yong menjadi girang sekali. “Oh, maaf!”katanya. “Aku telah menyangka keliru terhadapmu….”
Ia lantas menotok nona itu, akan membebaskan dari totokannya tadi, terus ia menguruti tangan dan kakinya. Sembari berbuat begitu, ia menegasi: “Enci, kau telah berjodoh dengan siapa?”
Mukanya Liam Cu menjadi merah. “Orang itu pernah kau melihatnya,” sahutnya.
Oey Yong berpikir. “Orang mana yang pernah aku lihat?” ia tanya. “Mana ada lain pemuda yang sembabat untuk dipasangi denganmu, enci?”
Mau tidak mau, nona Bok itu tertawa. “Apakah di kolong langit ini cuma ada satu engko Cengmu yang paling baik?” dia membalas menaya.
Oey Yong tertawa. “Enci,” katanya, “Kau tidak sudi menikah dengannya, apakah karena kau menganggap dia terlalu tolol?”
“Siapa yang bilang engko Kwee itu tolol?” Liam Cu membaiki. “Yang benar dia ada sangat polos dan wajar, bahkan hatinya yang mulia aku sangat mengaguminya.”
Oey Yong heran. “Habis kenapa kau tidak sudi menikah dengannya walaupun kau diancam denagn golok di lehermu?” tanyanya pula.
Melihat orang pun polos, Liam Cu mencekal tangannya erat-erat. “Adikku,” katanya, “Di dalam hatimu sudah ada engko Kwee itu, umpama kata dilain waktu kau bertemu lain orang yang berlaksa kali lipat menangkan dia, kau tidak akan mencintai lain orang, bukankah?”
Oey Yong mengangguk, “Sudah pasti,” sahutnya. “Cuma tidak nanti ada orang yang melebihkan dia!”
Liam Cu tertawa. “Kalau engko Kwee itu mendengar pujianmu ini, entah berapa besar kegirangannya,” katanya. “Kau tahu, di itu hari yang ayah angkatku mengajak aku ke Pakhia, di mana kita pibu, di sana telah ada orang yang mengalahkan aku…”
Oey Yong lantas saja sadar. “Oh, aku tahu sekarang!” serunya. “Orang yang kau buat pikirkan itu adalah si pangeran muda Wanyen Kang!”
“Dia boleh menjadi pangeran, dia boleh menjadi pengemis, di hatiku cuma ada dia seorang,” Liam Cu mengaku. “Dia boleh menjadi orang baik, dia boleh menjadi orang jahat, di dalam hatiku tetap ada dia seorang!” Perlahan suara nona Bok, tetapi tetap nadanya.
Oey Yong mengangguk, ia membalas mencekal erat tangan orang. Mereka berdua berendeng di bawah pohon itu, hati mereka bersatu padu.
Cuma sebentar Oey Yong berpikir, ia pulangi piasu orang. “Ini aku kembalikan,” katanya.
Liam Cu sebaliknya menolak. Katanya, “Ini kepunyaan engko Cengmu itu, ini harus menjadi kepunyaanmu.”
Bukan kepalang girangnya Oey Yong. Ia simpan pula piasu itu.
“Enci, kau baik sekali!” katanya, bersyukur. Ia lantas berniat memberikan sesuatu apa tetapi ia tidak ingat ia punya barang yang berharga untuk tanda mata. Maka ia menanya: “Enci, kau datang ke Selatan ini seorang diri untuk urusan apakah? Maukah kau menerima bantuan adikmu ini?”
Mukanya Liam Cu bersemu merah. “Tidak ada urusan yang penting,” sahutnya.
“Kalau begitu, mari aku mengajak kau menemui Ang Cit Kong,” kata Oey Yong.
Liam Cu menjadi sangat girang. “Cit Kong ada disini?” tanyanya cepat.
Oey Yong mengangguk, lantas ia berlompat bangun seraya menarik tangan orang.
Justru itu di atas pohon terdengar suara berkeresek, lalu terjatuh selemar kulit kayu, disusul mana berkelebat satu bayangan seorang, ynag berlompatan di atas pohon-pohon di dekat situ, lantas lenyap. Dengan heran Oey Yong jumput babakan pohon itu, di situ ia lihat sebaris huruf bertuliskan jarum, bunyinya, “Dua nona yang baik sekali! Yong-jie, apabila kau main gila pula, Cit Kong ingin menggaplokmu beberapa kali!” Di bawah itu tidak ada tanda tangannya, cuma gambaran sebuah cupu-cupu. Tahulah ia, itu ada perbuatannya Ang Cit Kong, maka tahu juga ia, segala sepak terjangnya sudah ketahuan si kepala pengemis itu. ia jengah sendirinya. Tapi ia ajak Liam Cu ke rima, di sana ia tak tampak Cit Kong. terpaksa mereka balik ke pondokan.
Kwee Ceng sudah kembali dari belakang bukit, heran ia melihat Oey Yong bergandengan tangan bersama Liam Cu.
“Enci Bok, apakah kau dapat melihat guruku beramai?” ia tanya.
“Aku telah berpisahan dari gurumu itu,” menjawab Liam Cu. “Mereka telah berjanji untuk bertemu pula di Yan Ie Lauw di Kee-hin pada Pee Gwee Tiong Ciu.”
“Baik-baikkah mereka semua?” tanyannya.
“Jangan kuatir, Kwee Sieheng,” sahut Liam Cu tersenyum. “Mereka semua tidak mendongkol karena perbuatanmu itu.”
Tidak lega hatinya Kwee Ceng, yang menyangka gurunya semua pasti gusar sekali. Karena ini ia menjadi tidak bernapsu dahar dan minum, ia duduk berdiam saja.
Liam Cu sebaliknya menanya Oey Yong cara bagaimana mereka bertemu dengan Ang Cit Kong. Oey Yong memberikan keterangan dengan jelas.
“Kau sangat beruntung, adikku,” kata Liam Cu, seraya menghela napas. “Kau dapat berkumpul begitu lama bersama dia, sedanf aku sendiri, bertemu pun susah.”
“Tapi diam-diam ia melindungimu, Enci,” Oey Yong menghibur. “Kalau tadi aku benar-benar mencelakai kau, dia tentu bakal turun tangan menolongi padamu.”
Liam Cu mengangguk, ia membenarkan.
Kwee Ceng mendengar pembicaraan orang, ia heran. “Yong-jie, bagaimana?” tanya. “Kenapa kau hendak mencelakai enci Bok?”
Oey Yong menoleh sambil tersenyum. “Tidak dapat aku menerangkan kepadamu,” sahutnya.
“Dia takut…dia takut….” kata Liam Cu tertawa. Ia pun likat, ia tidak berani bicara terus.
Oey Yong mengitik, “Kau berani menceritakan atau tidak?” katanya.
Liam Cu mengulurkan lidahnya. “Mana aku berani?” sahutnya. “Maukah aku bersumpah?”
“Cis!” Oey Yong berludah. Tapi mukanya kembali menjadi merah. Ia malu sendirinya kapan ia ingat tadi sudah memaksa nona itu bersumpah untuk dinikahi Kwee Ceng.
Kwee Ceng tidak tahu hati orang tapi ia senang melihat mereka rukun sekali.
Habis bersantap bertiga mereka pergi ke rimba berjalan-jalan. Di sini Oey Yong tanya bagaimana caranya Liam Cu bertemu dengan Ang Cit Kong hingga ia diajarkan silat.
“Itu waktu aku masih kecil,” menyahut Liam Cu bercerita. “Pada suatu hari ayah ajak aku pergi ke Pian-liang, di sana kita ambil tempat di penginapan. Itu hari aku keluar untuk main-main di depan pintu, aku lihat dua orang pengemis rebah di tanah, tubuh mereka berlumuran darah bekas bacokan, tidak ada orang yang memperdulikan, rupanya mereka jijik atau jeri….”
“Aku mengerti,” memotong Oey Yong, “Kau tentu baik hati, kau rawat mereka.”
“Aku tidak bisa mengobati mereka tetapi karena kasihan, aku pepayang mereka ke kamar ayah, aku cuci lukanya dan membalutnya,” Liam Cu melanjutkan. “Ktika ayah pulang dan aku tuturkan apa yang aku lakukan, ayah menghela napas dan memuji aku. Ia pun kata, dulu juga istrinya murah hati seperti aku. Kemudian ayah memberikan beberapa tail perak kepada kedua pengemis itu, untuk mereka membeli obat. Mereka menerima seraya mengucap terima kasih dan lantas pergi. Selang beberapa bulan, kami tiba di Sin-yang. Kebetulan sekali, aku bertemu kedua pengemis itu, waktu itu luka mereka sudah sembuh. Mereka mengajak aku ke sebuah kuil rusak, di sana aku bertemu sama Ang Cit Kong. Dia memuji aku, lantas ia mengajari ilmu silat Po-giok-kun itu. Baru tiga hari, aku sudah dapat memahamkan. Dihari keempat, aku pergi kek kuil tua itu, ternyata lojinkee sudah pergi, dan selanjutnya aku tidak pernah bertemu pula dengannya.”
Oey Yong ketarik hatinya. “Cit Kong telah mengajarkan banyak padaku, Enci,” ia berkata. “Kalau kau suka, aku nanti turunkan beberapa di antaranya padamu. Mari kita berdiam di sini untuk belasan hari. Umpama kata Cit Kong ketahui perbuatanku, tidak nanti ia gusar.”
“Terima kasih adik,” kata Liam Cu. “Sekarang ini aku ada punya urusan sangat penting, tidak ada tempo luangku. Nanti saja, biarnya kau tidak mengajari, aku sendiri yang akan minta padamu.”
Sabar dan lembut kelihatannya Liam Cu dari luar, tetapi sekali ia berkata, ia membuatnya orang bungkam. Begitulah Oey Yong, tadinya ia ingin menanya keterangan, lalu ia batal sendirinya.
Pagi itu Liam Cu pergi seorang diri, ia pulang di waktu sore, romannya gembira. Oey Yong lihat itu, ia pura-pura pilon.
Malam itu berdua mereka tidur dalam satu kamar. Oey Yong naik lebih dulu ke atas pembaringannya. Diam-diam mencuri lihat orang duduk menghadapai lampu seraya menunjang dagu, seperti lagi berpikir keras. Ia menutup matanya rapat-rapat, untuk berpura-pura pulas.
Berselang beberapa saat, Liam Cu mengeluarkan serupa barang dari buntalannya, dengan lembut barang itu di ciumi berulang-ulang, dibuatnya main di tangannya, dipandangi lama. Samar-samar Oey Yong melihat seperti sepotong sapu tangan sulam.
Tiba-tiba Liam berbalik, tangannya mengebaskan barang di tangannya itu.
Oey Yong kaget, lekas-lekas ia meram. Ketika ia mendengar siuran angin perlahan-lahan, ia membuka matanya sedikit, akan mengintai. Ia dapatkan Liam Cu jalan mundar-mandir di depan pembaringan, lengannya dilibatkan barang yang tadinya dia buat main itu. Nyatalah itu adalah juwiran jubahnya Wanyen Kang, yang didapat pada harian mereka pibu. Nona Bok tersenyum, rupanya dia membayangi kejadian di harian itu dan hatinya berbunga, begitulah satu kali ia menendang, lain kali kepalanya melayang, alisnya bergerak-gerak.
Oey Yong terus berpura pulas tapi setiap waktu ia mengintai. Ia lihat orang datang dekat sekali padanya dan menatap mukanya. Ia mendengar orang menghela napas dan berkata dengan perlahan: “Kau cantik sekali….” Mendadak nona itu membalik tubuh, ia pergi ke pintu dan membukanya, atau dilain saat ia sudah berada di luar, melompati tembok pekarangan dan pergi…..”
Oey Yong heran bukan main. Ia lompat turun, lantas ia keluar, untuk menyusul. Ia lihat orang lari ke arah Barat. Ia menguntit. Tentu saja ia berhasil, karena ia dapat berlari-lari dengan cepat. Ia hanya menjaga agar ia tidak diketahui nona she Bok itu.
Liam Cu pergi ke pasar, menaiki sebuah rumah, sesudah melihat keempat penjuru, dia pergi ke Selatan dimana ada sebuah lauwteng paling tinggi. Setiap hari Oey Yong pergi berbelanja ke pasar, ia tahu itulah rumah keluarga Chio, hartawan terbesar di tempat itu. Ia menjadi heran dan menduga-duga apa mungkin Liam Cu membutuhkan uang.
Sebentar saja keduanya sudah sampai di samping rumah keluarga Chio itu. Dari situ terlihat di depan rumah ada sinar terang dari dua buah lentera besar, yang bertuliskan huruf-huruf air emas: “Utusan Negara Kim”. Di bawah itu, di muka pintu, ada berjaga-jaga empat serdadu Kim dengan tangannya mencekal golok.
Liam Cu pergi ke belakang dimana keadaan sunyi, tapi ia masih mencoba menimpuk dengan batu, untuk mencari tahu di situ ada orang yang jaga atau tidak. Setelah itu ia lompati tembok masuk ke pekarangan dalam. Ia jalan di antara pohon-pohon bunga, di gunung palsu.
Oey Yong terus menguntit.
Liam Cu pergi ke jendela sebuah kamar timur, di situ di kertas jendela terlihat bayangan seorang lelaki, yang tengah berjalan mondar-mandir. Si nona menjublak mengawasi bayangan orang itu.
Oey Yong menduga, ia tapinya tidak sabaran.
“Baik aku masuk dari lain sebelah, aku totok roboh orang itu, supaya ia kaget,” pikirnya. Ia anggap nona Bok terlalu ragu-ragu. Disaat ia hendak membuka jendela, untuk berlompat masuk, ia dengar pintu dibuka, lalu seorang bertindak masuk. Orang itu memberi kabar bahwa menurut warta, utusan raja yang bakal menyambut yaitu Toan Ciangkun yang berpangkat komandan tentera, akan tiba lusa.
Orang di dalam itu menyahuti, lalu si pembawa kabar mengundurkan diri pula.
“Terang ini adalah utusan negara Kim, kalau beitu enci Bok ada punya maksud lain,” Oey Yong berpikir, “Aku tidak boleh semberono.” Ia lantas membasahkan kertas jendela, buat membikin sebuah lobang kecil, untuk mengintai ke dalam. Ia heran berbareng gembira. Orang di dalam kamar itu adalah si pangeran muda Wanyen Kang, tangannya memegang serupa benda hitam yang tengah dibuat main sembari ia jalan mundar-mandir, matanya mengawasi wuwungan, entah apa yang dipikirkannya. Tempo pangeran itu datang dekat ke api, Oey Yong melihat tegas barang itu adalah kepala tembok yang sudah karatan, masih ada sisa sedikit gagangnya.
Nona Oey ini tidak tahu tombak itu adalah tombak warisannya Yo Tiat Sim, ayahnya si pangeran, ia hanya menduga, Liam Cu tentu ada hubungannya dengan itu. Ia tertawa di dalam hatinya dan berpikir: “Kamu lucu! Yang satu membuat main juwiran jubah, ynag lain membuat main ujung tombak! Kamu berada begini dekat satu sama lain, kenapa kamu bagaikan terpisah antara ujung dunia?”. Tanpa merasa, ia tertawa.
Wanyen Kang dapat dengar suara itu, ia terperanjat. “Siapa?!” ia menanya seraya mengebas mati api lilin.
Oey Yong tidak menyahuti, hanya ia melompat kepada Liam Cu, sebelum nona Bok mendusin, ia sudah ditotok hingga tidak dapat bergerak lagi. Baru setelah itu sembari tertawa ia berkata: “Enci, jangan khawatir, jangan sibuk! Nanti aku antarkan kau kepada kekasihmu itu!”
Wanyen Kang telah membuka pintu untuk keluar ketika ia mendengar suara tertawa satu nona sambil terus berkata: “Inilah kekasihmu datang, lekas menyambut dia!” Ia terkejut, tapi ia mesati menantang kedua tangannya, karena ada tubuh yang ditolak kepadanya, hingga ia mesti memeluk orang itu juga. Itulah tubuh yang lemas. Si nona tadi lompat ke tembok, sembari tertawa, dia berkata pula: “Enci, bagaimana nanti kau membalas budiku?” Sesaat kemudian, suara itu lenyap, lenyap bersama orangnya.
Disaat itu juga, tubuh yang lemah itu bergerak, jatuh ke lantai.
Wanyen Kang heran, ia kaget hingga ia mundur. Ia berkhawatir sudah melukai orang.
“Apakah kau masih ingat aku?” ia dapat jawaban, yang perlahan sekali.
Ia kenali suara itu, ia terperanjat. “Kau?” katanya. “Oh!”
“Memang aku,” sahutnya Liam Cu.
“Apakah ada orang lain bersamamu?” tanya sang pangeran lagi.
“Yang tadi itu adalah sahbatku yang nakal dan jahil, dia menguntit aku di luar tahuku.” jawab sang nona.
Wanyen Kang masuk ke dalam, ia menyalakan api. “Nona mari masuk!” ia mengundang.
Liam Cu bertindak masuk sambil bertunduk, terus ia duduk di sebuah kursi. Ia tunduk terus dan membungkam, cuma hatinya berdebaran.
Wanyen Kang mengawasi orang yang agaknya kaget dan girang, mukanya sebentar pias sebentar merah. Itulah kelikatannya seorang nona. tentu saja hatinya pun memukul.
“Ada apa malam-malam kau datang mencari aku?” ia menanya akhirnya. Liam Cu tidak menyahuti.
Wanyen Kang ingat kematian hebat dari ayah dan ibunya, tanpa merasa ia menjadi mengasihani nona ini.
“Adik,” katanya kemudian, “Karena ayahmu telah menutup mata, selanjutnya kau baik tinggal bersama-sama aku. Aku nanti anggap kau sebagai adik kandungku.”
“Aku adalah anka angkat ayah, bukan anak kandung…” kata Liam Cu. Wanyen Kang sadar. “Dia bicara terhadap aku,” pikirnya. “Diantara kita jadinya tidak ada hubungan darah….” Ia ulur tangannya, mencekal tangan kanan si nona. Ia tersenyum.
Liam Cu merah pula mukanya, ia berontak perlahan tetapi tangannya tak terlepaskan. Ia tunduk , ia membiarkan tangannya itu terus dipegangi. Hati Wanyen Kang berdebaran. Ia ulur tangan kirinya, dan merangkul leher si nona.
“Inilah untuk ketiga kalinya aku memeluk kau,” ia berbisik di kuping orang. “Yang pertama di gelanggang pibu, yang kedua kali di luar kamar. Adalah kali ini kita ada bersama tanpa orang ketiga….”
Liam Cu mengasih dengar suara perlahan, hatinya berdebar bukan main. “Kenapa kau mencari aku?” ia mendengar pula si pangeran bertanya.
“Semenjak dari kota raja aku mengikuti kau,” menyahut si nona. “Setaip malam aku mengawasi tubuhmu dari antara jendela, aku tidak berani…” “Aku tidak mempunyai ayah dan ibu lagi, jangan kau sia-siakan aku…” kata pula Liam Cu kemudian, suaranya sangat perlahan.
Pangeran itu mengusap-usap rambut orang yang bagus.
“Kau jangan khawatir,” katanya. “Untuk selama-lamanya aku adalah kepunyaanmu dan kau pun untuk selama-lamanya kepunyaanku. Tidakkah itu bagus?”
Liam Cu puas sekali, ia mendongak menatap wajah pemuda itu. Ia mengangguk.
“Pasti aku akan nikah dengan kau,” katanya. “Kalau di belakang hari aku mensia-siakan kau, biar aku terbinasa di antara bacokan-bacokan golok, biar aku mati tidak utuh!” bersumpah sang pemuda.
Liam Cu menangsi saking terharu. “Meski aku adalah seorang nona kangouw, aku bukannya satu manusia rendah,” ia berkata. “Jikalau kau benar mencintai aku, kau juga mesti menghargainya. Seumurku, aku tidak berpikiran lain, meskipun leherku ditandalkan golok, apsti aku akan mengikuti kau.” Perlahan suara si nona tetapi tetap.
Mau tidak mau, Wanyen Kang jadi menaruh hormat. “Adikku, kau baik sekali,” ia berkata.
Terbuka hati Liam Cu, ia tertawa. Ia kata: Aku akan menantikan kau di rumah ayah angkatku di Gu-kee-cun di Liam-an, sembarang waktu kau boleh kirim orang perantaraanmu melamar diriku….” Ia berhenti sebentar, baru ia meneruskan: “Selama kau tidak datang, seumurku aku akan menantikan kau!”
“Jangan bersangsi, adikku,” kata Wanyen Kang. “Setelah selesai tugasku, aku nanti menyambutmu untuk kita menikah.”
Liam Cu tertawa, ia memutar tubuhnya, bertindak keluar.
“Jangan lantas pergi, adikku!” Wanyen Kang memanggil. “Mari kita beromong-omong dulu….”
Nona itu berpaling tetapi tindakannya tak dihentikannya.
Wanyen Kang mengantar dengan matanya sampai orang melompati tembok, ia berdiri menjublak, kemudian barulah ia balik ke kamarnya. Ia lihat tombaknya dimana masih ada air mata si nona. Ia merasakan dirinya sedang bermimpi.


Bab 27. Orang Tapakdaksa Dari Danau Thay Ouw

Oey Yong pulang ke pondokannya untuk terus tidur. Ia puas karena ia merasa sudah melakukan sesuatu perbuatan yang baik. Begitulah, ia tidur dengan nyenyak. Ketika besok paginya ia mendusin, ia tuturkan pada Kwee Ceng apa yang ia lakukan itu. Si anak muda pun senang. Keduanya lantas sarapan, terus mereka memasang omong. Tunggu punya tunggu, sampai bersantap tengah hari, Liam Cu masih belum kembali.
“Baiklah kita tidak usah menantikan dia, kita berangkat sekarang!” Oey Yong mengajak akhirnya.
Kwee Ceng setuju.
Mereka pergi ke pasar, untuk membeli seekor kedelai, di waktu mereka mulai berangkat, sengaja mereka memutar ke rumah keluarga Chio, di sana sudah tidak ada lagi lentera tanda dari peruntusan negara Kim. Rupanya Wanyen Kang sudah berangkat. Hal ini melegakan hatinya kedua anak muda itu.
Dalam perjalanan ini, Oey Yong menyamar sebagai seorang pemuda, senang ia berpesiar. Mengikuti saluran sunagi Oen Ho, mereka menuju ke Selatan. Kuda mereka kuat jalannya, keledai yang mereka beli pun cukup tangguh, dengan begitu, walaupun tidak terburu-buru, mereka juga dapat berjalan lekas.
Pada suatu hari mereka tiba di Gie-hin, suatu tempat pembuatan barang tembikar yang kesohor, di situ mereka menyaksikan aneka warna barang-barang itu. Inilah pemandangan yang lain dengan pemandangan di lain-lain tempat.
Jalan lebih jauh ke Timur, tak lama tibalah mereka di telaga Thay Ouw, pusat tumpahnya air dari tiga kota Timur dan Selatan. Luasnya telaga sekitar lima ratus lie, maka itu juga dinamakan Ngo Ouw atau Danau Lima.
Hatinya Kwee Ceng tertarik. Belum pernah ia melihat air seluas itu. Ia berdiri berendeng bersama Oey Yong di tepian, tangan mereka berpegangan satu pada lain. Tanpa merasa ia berseru kegirangan.
“Mari kita main-main di air,” Oey Yong mengajak.
Pemuda itu setuju, dari itu mereka hampirkan perkampungan nelayan, di sebuah rumah mereka menitipkan kuda dan keledai mereka, lalu mereka meminjam sebuah perahu kecil, hingga di lain saat mereka sudah mengagayuh di permukaan air, meluncurkan perahu itu, meninggalkan tepian. Dari perahu, mereka sekarang dapat melihat sekitarnya, yang agaknya jadi terlbeih luas lagi.
Rambut dan baju Oey Yong dipermainkan angin keras. Ia gembira sekali, sambil tertawa ia berkata: “Dulu hari Hoan Tayhu telah menaiki perahu bersama-sama See Sie pesiar di Danau Lima ini, dia sungguh cerdik sekali. Mati tua disini bukankah ada lebih menang daripada seumur tahun repot sebagai pembesar negeri?”
Kwee Ceng tidak tahu riwayatnya Hoan Tayhu itu. “Yong-jie, coba kau tuturkan tentang Hoan Tayhu dan See Sie itu,” ia minta.
Oey Yong suka memberikan keterangan. Maka ia menutur tentang Hoan Tayhu atau Menteri Hoan itu yang bernama Lee, yang pandai, hingga ia berhasil membantu Raja Wat menuntut balas membangun negara, tetapi sesuadh berhasil, ia kenal batas, dia mengundurkan diri bersama-sama See Sie, akan hidup dalam kesunyian dan ketenangan di telaga Thay Ouw ini. Pandai ia menutur hingga pemudanya menjadi kesemsem saking tertarik harinya.
“Benar-benar Hoan Lee itu cerdik,” kata si pemuda kemudian, “Tidaklah demikian dengan Ngouw Cu Sih dan Bun Ciong, sampai hari ajalnya mereka masih bekerja setia untuk negera. Sukar dicari orang-orang seperti mereka itu.”
“Memang!” berkata si nona. “Ini dia yang disebut, ‘Negara adil, tak berubah, itulah kegagahan, negera buruk, sampai mati tak berubah, itulah kegagahan.’”
Kwee Ceng tidak mengerti, “Apakah artinya itu?” ia menanya.
“Itu artinya, di dalam negeri bejaksana, kau menjadi pembesar negeri, kau tetap tidak berubah kejujuranmu semenjak bermula, di dalam negara buruk, kau berkorban jiwa raga, kau tetap tidak merusak kehormatan dirimu, itu pun satu laki-laki sejati.”
Kwee Ceng mengangguk. “Yong-jie, cara bagaimana maka kau dapat memikir demikian?” ia bertanya pula.
“Aha!” Oey Yong tertawa. “Kalau aku yang dapat memikir begitu, bukankah aku telah berubah menjadi nabi? Itulah ujar-ujarnya Nabi Khong Hu-cu, diwaktu aku amsih kecil, ayah paksa aku membacanya.”
“Sungguh banyak aku tidak mengerti,” Kwee Ceng menghela napas. “Coba aku bersekolah, pastilah aku ketahui itu semua.”
“Sebaliknya aku menyesal telah belajar surat,” berkata Oey Yong. “Coba ayah tidak memaksa aku bersekolah, melukis, menabuh khim, hanya aku dibiarkan menyakinkan ilmu silat, pasti kita tak usah takuti Bwee Tiauw Hong dan si siluman bangkotan she Nio itu!”
Asyik mereka pasang omong tanpa merasa perahu mereka sudah meninggalkan tepian belasan lie. Di dekat mereka, mereka melihat sebuah perahu kecil dimana seoarng nelayan bercokol di kepala perahunya sedang mengail ikan sambil kepalanya ditunduki, hingga dia nampak seperti lukisan gambar saja. Mereka bicara terus, ketika mereka berpaling kepada si nelayan, dia tetap duduk tak bergerak.
“Sungguh dia sabar dan ulet sekali!” kata Oey Yong tertawa. Kemudian di antara desiran angin dia bernyanyi, dari gembira menjadi sedih. Sebab ia menyanyikan “Syair Naga Air”. Ia bernyanyi baru separuh, tiba-tiba terdengar sambutan yangs erupa, yang kemudian ternyata adalah suara si tukang pancing ikan itu.
Oey Yong terbengong.
“Eh, kau kenapakah?” tanya Kwee Ceng heran.
“Itulah nyanyian yang sering dinyanyikan ayahku,” menyahut si nona. “Aku heran seorang tukang pancing di sini pun dapat menyanyikan itu dan suaranya pun bersemangat tetapi pun bernada duka. Mari kita lihat.”
Mereka mengayuh, akan menghampirkan tukang pancing itu, siapa justru telah berhenti memancing dan menyimpan pancingnya serta ia mengayuh perahunya pergi.
Ketika kenderaan air mereka berpisah beberapa tombak lagi, tukang pancing itu terdengar berkata: “Di tengah telaga bertemu sama sepasang tetamu mulia, aku girang sekali! Sudikah kalau aku mengundang kalian bersama meminum arak?”
“Cuma kami khawatir mengganggu lotiang,” Oey Yong menyahuti. Ia heran untuk kata-kata rapi dari si tukang pancing itu.
“Tidak sama sekali, malah aku bergirang. Silahkan!” dia itu mengundang pula.
Dengan beberapa kali mengayuh pula, Oey Yong merapatkan perahunya kepada perahu si nelayan itu, bersama Kwee Ceng ia pindah perahu, habis menambat perahunya sendiri kepada perahu orang, mereka memberi hormat. Nelayan itu membalasi sambil berduduk terus.
“Maaf, jiwi, kakiku sakit, tidak dapat aku bangun berdiri.” katanya.
“Jangan merendah, lotiang,” berkata muda-mudi itu.
Mereka mendapatkan orang berusia empatpuluh lebih, mukanya kurus, mirip orang yang lagi menderita sakit berat, tubuhnya jangkung, meski berduduk, ia jauh lebih tinggi dari Kwee Ceng. Ia tidak bersendirian. Di buntut perahu ada satu kacung lagi mengipasi perapian, dimana ia tengah memanasi arak.
Oey Yong perkenalkan she mereka, bahwa saking gembira mereka bermain perahu. Ia memohon maaf yang mereka sudah mengganggu ketentraman si nelayan.
“Kau merendah,” kata si nelayan tertawa. “Aku she Liok. Apa jiwi berdua baru pertama kali ini pesiar di telaga ini?”
“Benar,” sahut Kwee Ceng.
Kedua pemuda ini – sebab Oey Yong menyamar – lantas diundang minum dan dahar sayur mayur yang terdiri dari empat rupa. Mereka mengucap teriam kasih, mereka minum dan dahar bersama. Nyata araknya wangi dan sayurnya pun lezat, mesti itu masakan orang hartawan.
“Siauwko, kau muda sekali, tapi pandai kau menyanyikan syair Naga Air itu,” si orang she Liok itu memuji.
“Lotiang pun sama juga,” Oey Yong membalasi.
Keduanya lantas bicara hal syair itu, dua-duanya gembira. Kwee Ceng tidak mengerti hal syair, ia membungkam, ia cuma kagum.
Ketika itu terlihat mega berkumpul. Si orang she Liok itu mengundang kedua tetamunya berkunjung ke rumahnya, untuk berdiam beberapa hari. Ia kata rumahnya itu di tepi telaga.
“Bagaimana, engko Ceng?” Oey Yong tanya kawannya.
Belum lagi Kwee Ceng menyahuti, si orang she Liok itu sudah berkata pula bahwa rumahnya dekat dan di sana ada puncak yang indah. “Jiwi tengah pesiar, maka itu, jangan kau menampik,” ia mendesak.
“Kalau begitu, Yong-jie, mari kita membikin berabe tuan Liok!” akhirnya Kwee Ceng menjawab kekasihnya. Ia pun mengucapkan terima kasih.
Si orang she Liok itu girang, ia terus menyuruh kacungnya mengayuh. Sampai di tepian, langit mulai gelap, Kwee Ceng kata ia hendak membayar pulang dulu perahunya, sedang di rumah si tukang perahu ada kuda dan keledainya, hendak binatang itu dititipkan terus.
“Tidak usah,” kata si orang she Liok mencegah. “Disini semua kenal aku, hal itu biar dia saja yang mengurusinya.” Dia menunjuk kacungnya.
“Kudaku nakal,” kata Kwee Ceng.
“Kalau begitu baiklah, nanti aku menanti di gubukku,” kata si orang she Liok itu. Dia tertawa, lantas dia mengayuh perahunya, lenyap di antara pohon-pohon yangliu. Tapi kacungnya ikut Kwee Ceng dan Oey Yong memulangi perahu dan mengambil kuda serta keledai mereka. Kemudian mereka mesti berjalan berliku-liku akan sampai di rumah si orang she Liok, yang merupakan suatu rumah besar dengan pekarangan yang lebar luas. Untuk tiba di muka pekarangan, mereka mesti melintasi dulu sebuah jembatan tunggu. Muda mudi itu saling mengawasi, kagum karena rumah orang itu.
Di muka pintu, kedua tetamu ini disambut seorang muda umur duapuluh lebih yang membawa empat budak. Ia kata ia diutus ayahnya untuk menyambut. Kwee Ceng membalas hormat, ia mengucap terima kasih. Ia melihat pemuda itu mengenakan jubah panjang, wajahnya mirip ayahnya, cuma tubuhnya besar dan kekar. Ia lantas minta belajar kenal.
Pemuda itu menyebutkan namanya, Koan Eng.
Sembari berbicara mereka bertindak masuk, memasuki hingga tiga ruangan. Kedua tetamu ini menjadi terlebih kagum. Rumah itu indah tiang-tiangnya terukir.
“Lekas silahkan tetamu masuk!” lantas terdengar suaranya si orang she Liok, yang berada di ruang belakang.
“Ayahku terganggu kakinya, sekarang ia menantikan di kamar tulis Timur,” Koan Eng memberitahu.
Mereka melintasi pintu angin, lantas mereka lihat pintu kamar tulis yang dipentang. Di dalam situ si nelayan duduk di atas pembaringannya. Sekarang ia tidak dandan lagi sebagai tukang pancing, hanya mengenakan pakaian mahasiswa atau sastrawan, tangannya mencekal kipas. Ia menyambut dengan gembira, sambil tersenyum, ia pun lantas mengundang duduk. Koan Eng tidak berani duduk bersama, ia berdiri di samping.
Dua tetamu itu mengagumi kamar tulis itu, yang banyak kitabnya serta juga rupa-rupa barang kuno, tetapi Oey Yong terbengong ketika ia melihat sepasang lian di tembok, bunyinya “Dalam tumpukan pakaian menyimpan pedang mustika” dan “Dalam suara seruling dan tambur ada tetamu tua”. Ia heran untuk kata-katanya. Itulah kata-kata yang suka disenandungkan ayahnya. Di bawah lian itu tertulis nama penulisnya berikut keterangannya: “Coretan Ngo Ouw Hoat-jin selama dalam sakitnya”. Kata-kata “Ngo Ouw Hoat-jin” itu berarti “Orang tapakdaksa dari Thay Ouw”. Ia menduga, si orang tapakdaksa itu tentulah tuan rumah she Liok ini. Bukankah ia lagi menderita sakit kaki?
Tuan rumah heran. “Bagaimana pandanganmu tentang lian itu, laotee?” ia menanya.
“Kalau aku mengaco, harap chung-cu tidak buat kecil hati,” sahut Oey Yong. Ia sekarang memanggil “chung-cu” = tuan rumah. Ia kata lian itu mengandung kemurkaan dan penasaran, sedang tulisannya bagus dan keren. Ia anggap orang telah menyimpan pedangnya untuk hidup menyendiri di tempat sepi. Mendengar itu, tuan rumah menghela napas, ia berdiam.
“Aku masih muda dan tidak tahu apa-apa, aku telah sembarangan omong, harap chung-cu suka memaafkan,” berkata Oey Yong.
“Jangan mengucap demikian, Oey Laotee,” berkata Liok Chung-cu. “Apa yang tersimpan di dalam hatiku berulah hari ini dapat dilihat orang seorang sebagai kau, maka bisalah dibilang, kaulah orang yang paling mengenal aku selama hidupku ini.” Lalu ia menoleh kepada putranya, menyuruh lekas menyiapkan barang hidangan.
Oey Yong dan Kwee Ceng meminta tuan rumah jangan membikin berabe tetapi tuan rumah yang muda sudah lantas mengundurkan diri.
“Laotee, pandanganmu tajam, kau mestinya dari keluarga terpelajar, mungkin ayahmu ada seorang sastrawan besar,” berekat tuan rumah. “Entah siapa ayahmu itu, bolehkah aku mengetahui nama besarnya yang mulia?”
“Aku tidak mengerti apa-apa, chung-cu terlalu memuji,” menyahut Oey Yong. “Ayahku cuma membuka rumah perguruan di kampung halaman.”
Tuan rumah itu menghela napas. “Orang terpelajar tak menemui nasibnya yang baik, sejak dahulu hingga sekarang sama saja,” katanya. “Oey Laotee, kita ada bagaikan sahabat lama, maka itu aku ingin minta kau melukis sesuatu untukku, sebagai tanda peringatan. Sudikah kau meluluskannya?”
Oey Yong tersenyum. “Oh, chung-cu!” katanya. “Coretan buruk, cuma-cuma akan membikin kotor mata chung-chu saja!”
Mengetahui orang suka meluluskan, tuan rumah menjadi sangat girang, ia suruh kacungnya lekas menyediakan perabot tulis. Si kacung sendiri yang menggosokan baknya.
Oey Yong tidak menampik lagi, cuma berpikir sebentar, lantas ia melukiskan gambarnya seorang mahasiswa usia pertengahan lagi berdiri di latar tengah sedang berdongak sambil menghela napas memandangi si putri malam yang cahayanya terang permai, mahasiswa itu agaknya kesepian, tetapi tangannya dia memegangi gagang pedang, romannya keren. Di samping lukisan itu dituliskan syair: “Siauw Tiong San” dari Gak Hui. Sebagai tanda tangan ia menyebutkan dirinya si anak muda she Oey.
Liok Chung-chu girang sekali, ia memuji dan mengucapkan terima kasih. Ia senang dengan gmabar itu.
Habis bersantap, mereka kembali ke kamar tulis, akan pasang omong pula. Tuan rumah menyebutkan halnya kedua gua Thio Kong dan Sian Koan. Ia minta kedua tetamunya tinggal beberapa hari lagi untuk menjenguk kedua gua itu.
“Sekarang silahkan jiwi beristirahat,” katanya tuan rumah akhirnya.
Kwee Ceng dan Oey Yong mengucap terima kasih, mereka berbangkit, untuk mengikuti kedua bujang yang membawa lentera, yang hendak mengantar ke kamar yang telah disediakan untuk mereka. Selagi lewat di ambang pintu, Oey Yong mendongak, maka terkejutlah ia menampak di atas pintu ada delapan lemabr besi merupakan patkwa. Tapi ia tidak bilang suatu apa, ia mengikuti terus pengantarnya itu. Kamar yang disediakan diperaboti lengkap, pembaringannya dua. Kedua bujang menyediakan the, ketika hendak mengundurkan diri mereka memberitahu apabila perlu apa-apa, kedua tetamunya boleh membunyikan kelenengan, yang diikat di pinggiran pembaringan. Kemudian mereka memesan agar diwaktu malam jangan kedua tetamunya itu pergi keluar.
“Engko Ceng, lihat, tempat apa ini,” berbisik Oey Yong setelah kedua bujang menutup pintu kamar dan berlalu. “Kenapa kita dilarang keluar di waktu malam?”
“Rumah ini luas sekali pekarangannya, berliku-liku juga, mungkin dikhawatirkan kita kesasar,” sahut Kwee Ceng.
“Bagaimana engko lihat tuan rumah kita?” si nona menanya pula.
“Dia mirip perwira yang telah mengundurkan diri!” jawab si anak muda.
“Tidak salah! Dia tentu mengerti ilmu silat, bahkan lihay. Kau lihat tidak tadi itu patkwa besi di atas pintu kamar tulis?”
“Patkwa besi? Apakah itu?” tanya si pemuda.
“Itulah senjata yang menjadi alat untuk menyakinkan ilmu Pek-khong-ciang, latihan memukul udara kosong. Ayah pernah ajarkan aku ilmu itu, aku bosan, selang beberapa bulan, aku mengapalkannya siapa tahu, di sini aku melihat alat itu…”
“Kelihatannya Liok Chung-cu tidak bermaksud jahat, maka itu apabila dia tidak membilang sesuatu apa, kita baik perpura-pura pilon.”
Oey Yong tersenyum, lalu tangannya mengebas ke lilin, memadamkan api.
“Tanganmu sungguh lihay!” Kwee Ceng memuji perlahan. “Yong-jie, adakah ini Pek-khong-ciang?”
“Cuma sebegini pelajaranku,” Oey Yong tertawa. “Ini ada untuk main-main, buat dipakai menyerang orang, tidak dapat.”
Sampai di sini, keduanya tidur.
Mereka belum puas ketika kuping mereka dapat menangkap suara bagaikan orang meniup terompet kulit keong, terdengarnya samar-samar, tandanya jauh suara itu, kemudian datang suara yang menyambutnya, tanda terompet itu dibunyikan bukan oleh satu orang. Suara menyambut itu pun samar-samar.
“Engko Ceng, mari kita lihat,” Oey Yong mengajak, suaranya perlahan. Ia heran sebab terompet itu terang saling sahutan.
“Lebih baik kita jangan keluar, khawatir terbit gara-gara.” sahut si pemuda.
“Siapa bilang untuk menerbitkan gara-gara? Aku mengatakan untuk melihat.” jawab si nona bersikeras.
Kwee Ceng terpaksa menurut, maka dengan berhati-hati keduanya membuka jendela, untuk melongok dulu keluar. Di paseban terlihat beberapa orang dengan lentera, beberapa lagi pergi datang, agaknya repot. Di atas genteng pun ada tiga empat orang lagi mendekam. Di antara terangnya lentera, terlihat nyata orang pada membekal senjata tajam. Tidak lama, semua orang itu pergi keluar.
Oey Yong heran, ingin ia mencari tahu, dari itu ia tarik tangan Kwee Ceng pergi ke jendela sebelah barat. Di luar situ tidak ada orang, keduanya lompat keluar. Kerena kegesitannya, mereka tak terlihat orang-orang di atas genting itu.
Dengan memberi tanda dengan tangannya, si nona mengajak kawannya jalan mutar ke belakang. Jalanan di situ dari timur belok ke barat, berliku-liku. Heran adalah setiap paseban di tikungan, modelnya sama. Maka dalam beberapa belokan saja, tak dapat dibedakan lagi mana timur mana barat, mana selatan mana utara. Tapi si nona lihay, ia maju terus dengan cepat, tidak pernah ia bersangsi. Pernah nampaknya di depan tidak ada jalanan tetapi ia menobloskan gunung-gunungan.
Heran Kwee Ceng setibanya mereka di sebuah lorong yang agaknya buntu tetapi si belakangnya pintu angin nyata ada sebuah tempat tenang dan indah, hingga ia kata pada kawannya: “Yong-jie, rumah ini aneh, cara bagaimana kau kenal jalanannya semua?”
Oey Yong tidak menjawab, dengan tangannya ia memberi tanda supaya si pemuda tutup mulut. Mereka melalui beberapa tikungan, baru mereka tiba di tembok belakang. Di situ si nona menekuk-nekuk tangannya, ia maju beberapa tindak, kemudian Kwee Ceng dengar ia menyebutnya perlahan: “Cit satu…tun tiga…ie lima…hiu tujuh…kun….” yang ia tak mengerti, akan akhirnya si nona kata sembari tersenyum: “Cuma di sini ada jalan keluar, yang lainnya penuh dengan alat rahasia.” Habis berkata, ia lompat naik ke tembok. Kwee Ceng lantas mengikuti.
“Pekarangan ini diatur menurut patkwa,” Oey Yong memberi keterangan. “Inilah keahlian ayahku. Liok Chung-cu bisa menyulitkan orang lain, tidak aku!” Dan ia agaknya puas sekali.
Keduanya naik di tanjakan bukit kecil di belakang, memandang ke arah timur, mereka mereka melihat sebarisan lentera obor yang menuju ke tepi telaga. Oey Yong memberi tanda, ia lari ke arah timur itu, kawannya mengikuti terus. Lantas mereka sembunyi si belakang satu batu besar, mengintai ke tepian. Di situ berbaris perahu-perahu nelayan, orang semua menaiki itu. Sejenak saja, semua api dipadamkan.
Oey Yong berdua menunggu naiknya rombongan paling belakang, di dalam gelap gulita mereka keluar dari tempat persembunyiannya, lari ke sebuah perahu yang paling besar, untuk lompat naik ke gubuk perahu. Gesit dan enteng tubuh mereka, perbuatannya itu tidak ada yang ketahui. Mereka lantas mengintai di sela-sela gubuk. Segera ternyata, duduk di dalam perahu ada si chung-cu muda, Liok Koan Eng.
Semua perahu itu berlayar baru satu lie kira-kira, dari tengah telaga terdengar suara terompet. Dari perahu besar itu terlihat keluar seseorang, dia terus meniup terompet sebagai balasan. Masih perahu berlayar terus.
Selang beberapa lie lagi, terlihat di sebelah depan berbaris-baris perahu kecil berjalan bagaikan kawanan semut, atau titik-titik di atas kertas putih, entah berapa jumlahnya.
Tukang terompet di perahu besar meniup pula terompetnya, tiga kali, lantas perahu kecil segera datang menghampirkan dari perlbagai penjuru.
Oey Yong dan Kwee Ceng heran betul. Agaknya bakal ada pertempuran, tetapi Koan Eng tetap tenang sikapnya, tak seperti ia lagi mengahadapi musuh besar.
Lekas sekali semua perahu sudah datang dekat, dari setiap perahu berlompat pindah satu orang, dua orang, tiga empat orang, tak tentu, di dalam, mereka memberi hormat kepada Koan Eng, terus mereka duduk, sikapnya tetap menghormat, duduknya rapi. Tempat duduknya seperti sudah diatur, sebab ada yang datang duluan duduknya di belakang atau di tengah, ada yang datang belakangan justru duduk di kursi kepala. Sebentar saja, semua sudah berduduk. Mereka kelihatan keren, bukan seperti nelayan.
“Thio Toako, apa kabarmu?” tanya Liok Koan Eng seraya ia mengangkat tangannya. Ia memecahkan kesunyian setelah semua orang sudah duduk rapi itu.
Seorang yang kurus tubuhnya berbangkit. Ia menyahuti: “Peruntusan negara Kim itu sudah mengatur sebentar pagi-pagi akan melewati telaga dan Toan Cie-hui akan tiba lagi dua jam. Dengan alasan menyambut peruntusan itu, di sepanjang jalan Cie-hui itu sudah memeras harta benda. Ini pun sebabnya dia datang terlambat.”
“Berapa banyak hasilnya itu?”
“Setiap kota ada bingkisannya. Serdadu-serdadunya pun merampas di perkampungan. Aku lihat, waktu turun ke perahu, pengikutnya menurunkan duapuluh peti lebih yang semua nampaknya sangat berat.”
“Berapa banyak tentaranya itu?” Koan Eng menanya pula.
“Dua ribu serdadu berkuda. Yang naik perahu semuanya adalah serdadu berjalan kaki. Karena perahu tidak banyak, yang ketinggalan ada sekitar seribu jiwa.”
“Saudara semua, bagaimana pikiran kamu?” Koan Eng tanya para hadiran.
“Kami menanti titah siauw chung-cu!” ia mendapat jawaban serempak.
Koan Eng lantas bersidakep tangan, lalu ia berkata: “Semua itu keringat darah rakyat, semuanya harta tak halal. Karena mereka lewat di sini, kalau kita tak ambil, kita menentang wet Tuhan! Mari kita ambil semunya, nati separuhnya kita amalkan kepada rakyat jelata, yang separuhnya kita bagi rata antara semua markas!”
“Bagus!” semua hadirin setuju.
Baru sekarang Oey Yong berdua ketahui, semua orang itu adalah kepala-kepala perampok dan Koan Eng rupanya adalah pemimpin umumnya!
“Kita tidak dapat berayal lagi, mari segera kita turun tangan!” berkata Koan Eng lagi. “Thio Toako, tolong bawa lima buah perahu untuk membikin penyelidikan di depan!”
Si orang kurus menerima titah itu, ia berlalu paling dulu.
Setelah itu Koan Eng mengatur barisannya, siapa yang jadi pelopor, siapa penyambut atau pembantu, siapa mesti jadi “siluman air”, akan selulup di dalam air untuk memahat perahu-perahu musuh, dan siapa mesti jadi tukang angkut harta. Bahkan ditetapkan siapa mesti membekuk si kepala pasukan musuh. Dia kelihatan lemah tetatpi rapi pengaturannya itu. Maka itu, Kwee Ceng berdua bertambah kagum.
Disaat orang hendak mulai berangkat, seorang hadirin berbangkit dan berkata dengan suara dingin: “Kita yang bekerja tanpa modal ini, sudah cukup kalau kita makan dari kaum pedagang kaya raya, tetapi dengan menempur pembesar dan tentara negeri, apa selanjutnya kita masih bisa berdiam di telaga ini?”
Kwee Ceng dan Oey Yong mengawasi orang itu, ynag suaranya mereka rasa mengenalinya. Tidak usah mereka memandang lama, lantas mereka kenali orang ini ialah Toat-pek-pian Ma Ceng Hiong, salah satu dari keempat Hong Ho Su Koay, Empat Iblis dari sungai Hong Ho, yang adalah muridnya See Thong Thian. Maka heran mereka, kenapa iblis itu nelusup di antara kawanan dari Thay Ouw itu.
Wajahnya Liok Koan Eng menjadi merah padam. Belum lagi ia membuka suara, sudah ada dua tiga orang yang menegur Ceng Hiong itu.
“Ma Toako baru datang, tidak heran kau tidak ketahui aturan kami di sini,” kata Koan Eng mencoba bersikap sabar. “Bagi kami, satu kali semua orang sudah mengambil keputusan, kami mesti bekerja, biarnya kami semua ludas, kami tidak menyesal!”
“Baiklah!” kata Ceng Hiong. “Kamu lakuan usahamu, aku tidak dapat mencampuri air keruh kamu!” Ia terus memutar tubuhnya, berniat berlalu.
Dua orang, yang tubuhnya besar, melintang di mulut perahu. “Ma Toako!” kata mereka keras. “Kau sudah bersumpah memotong kepala ayam! Sumpah kita adalah, rejeki sama dicicipi, bencana sama diderita!”
Ma Ceng Hiong tidak menggubris cegahan itu. “Minggir!” ia membentak, kedua tangannya dikebaskan.
Sebagai kesudahannya, dua orang tinggi besar itu roboh terpelanting.
Disaat iblis ini hendak bertindak, ia merasakan sambaran angin pada punggungnya. Segera ia berkelit ke samping, tangan kirinya mencabut semcama pusut dengan apa ia membalas menyerang dengan tikaman.
Penyerang yang gesit itu adalah Liok Koan Eng. Dia menangkis, kakinya dimajukan, tangan kanannya menyerang terus. Maka “Duk!” punggung Ceng Hiong kena terhajar hingga dia menjerit keras, memuntahkan darah, tubuhnya terus roboh binasa seketika.
“Bagus!” berseru semua hadirin, diantara siapa ada yang sambar tubuh Ceng Hiong itu, untuk digayor ke tengah telaga!
“Semua saudara, berebutlah maju!” Koan Eng menyerukan tanpa menghiraukan lagi apa yang ia barusan lakukan.
Semua orang menyahuti, lantas semua kembali ke perahu masing-masing.
Sebentar kemudian, semua kenderaan air itu sudah menuju ke timur. Perahu besar Koan Eng mengiringi dari belakang. Tidak lama terlihatlah jauh di sebelah depan beberapa puluh buah perahu besar, yang apinya terang-terang, tengah menuju ke barat.
Di antara perahu kecil lantas terdengar suara terompet keong.
Kwee Ceng dan Oey Yong memasang mata. Mereka tidak usah menanti lama atau kedua pihak perahu sudah datang dekat satu pada lain, lanats terdengar suara bentakan-bentakan disusul mana beradunya senjata atau tubuh yang kecemplung ke muka air.
Selang tidak lama, di pihak perahu tentara terlihat api berkobar, hingga seluruh telaga menjadi merah marong.
“Tentu mereka sudah berhasil,” pikir Kwee Ceng berdua.
Tidak seberapa lama, beberapa perahu datang mendekati perahu besar, dari dalam situ terdengar laporan: “Semua musuh sudah musnah, kepala perangnya sudah tertawan!”
Koan Eng girang sekali, dai pergi ke kepala perahu. Dia berseru: “Saudara-saudara, bercapai lelahlah sedikit lagi! Silahkan kamu membekuk utusan negera Kim!”
Pembawa kabar itu bersorak, mereka lantas berlalu pula, untuk menyampaikan titah itu. Habis itu, terdengar suara terompet dari pelbagai perahu kecil, semua perahu memasang layar, menuju ke barat, bertiup keras angin timur.
Perahu besar Koan Eng, yang tadinya berada di belakang, sekarang maju mendahului ynag lain-lain, pesat sekali lajunya.
Kwee Ceng dan Oey Yong berdiam terus, mata mereka mengawasi ke depan. Tidak peduli angin keras mendampar-dampar punggung mereka, mereka gembira sekali. Coba tidak lagi sembunyi, tentulah si nona sudah bernyanyi. Pula menarik akan melihat perahu-perahu kecil mencoba melombai perahu besar itu.
Berlayar kira-kira satu jam, di depan mulai tertampak cahaya terang. Maka dua buah perahu kecil terlihat melesat mendatangi, lalu seorang dikepala salah satu perahu, dengan tangan memegang bendera merah berteriak nyaring: “Kita sudah menemui perahu-perahu peruntusan negera Kim itu! Hoo Cecu sudah mulai menyerang!”
“Bagus!” Koan Eng menyahuti.
Lekas sekali ada datang sebuah perahu lain, seorang memberi laporan: “Kaki tangan negera Kim itu lihay, Hoo Cecu telah terluka! Kedua cecu Pheng dan Tang tengah mengepung mereka!”
Kapan perahu itu sudah datang dekat, dua orang memanggul Hoo Cecu ynag terluka itu naik di perahu besar. Selagi Koan Eng hendak mengeobati cecu itu, sudah lantas datang beberapa perahu lagi, yang membawa kedua cecu Pheng dan Tang yang tadi disebutkan, ynag pun telah terluka. Pula dilaporkan yang, “Kwee Tauwnia dari puncak Piauw Biauw Hong telah kena ditombak mati utusan negara Kim, mayatnya kecemplung ke telaga.”
Mendengar itu Liok Koan Eng jadi gusar sekali. “Anjing Kim itu demikian galak, nanti aku sendiri pergi membinasakan dia!” ia berseru.
Kwee Ceng dan Oey Yong sesalkan kegalakan Wanyen Kang itu, yang membunuh bangsanya, dilain pihak, mereka khawatirkan kebinasaan pangeran itu, yang tentu tidak snaggup melayani kawanan perampok yang besar jumlahnya itu, hingga kalau dia mati, bagaimana jadinya dengan Bok Liam Cu
“Kita tolongi dia atau jangan?” Oey Yong berbisik.
“Kita tolongi dia tetapi dia mesti dibikin insyaf dan menyesal,” sahut anak muda ini.
Oey Yong mengangguk.
Itu waktu Koan Eng sudah membawa sebuah golok yang tajam di dua mukanya, dai berlompat ke sebuah perahu kecil. “Lekas!” dia berseru.
“Mari kita rampas itu perahu kecil di sampingnya!” Oey Yong mengajak kawannya.
Disaat kedua hendak berlompat, tiba-tiba tempik sorak riuh kawanan perampok, kemudian tertampak perahu-perahu rombongan perutusan Kim itu pada karam. Rupanya perahu mereka itu telah dipahat bolong dasarnya. Kemudian, dengan bendera merahnya dikibar-kibarkan, dau perahu datang melapor: “Anjing Kim itu kecemplung di air. Dia sudah dapat dibekuk!”
Koan Eng girang, dia berlompat kembali ke perahu besar.
Tidak lama, di antara berisiknya terompet, sejumlah perahu kecil datang membawa orang-orang tawanan mereka ialah si utusan Kim, sekalian pahlawan dan pengiringnya, semua sudah lantas digusur naik ke perahu besar.
Kwee Ceng dan Oey Yong mendapatkan Wanyen Kang dibelebat kaki tangannya, matanya meram saja, rupanya ia telah kena tenggak banyak air telaga.
Kebetulan itu sang fajar telah tiba, seluruh telaga mulai terang tertojohkan matahari dari timur, air telaga bersinaran, memain seperti berlugat-legotnya ular-ular emas.
Liok Koan Eng telah memberikan pengumumannya; “Semua cecu berkumpul di Kwie-in-chung untuk berjamu! Semua tauwnia pulang ke markas, untuk menanti hadiah!”
Kaum perampok bersorak-sorai, lantas tertampak mereka berpencaran, lenyap di kejauhan. Dimuka telaga terlihat burung-burung melayang-layang, pula terlihat layar-layar putih. Segala apa tenang sekali, hingga orang tidak nanti menyangka bahwa baru saja dilakukan pertempuran mati hidup….
Kwee Ceng berdua menantikan orang sudah pada ke darat, baru dengan diam-diam mereka pun pulang, untuk berpura-pura tidur.
Beberapa kali dua bujang pelayannya datang ke pintu kamar, mereka ini menyangka tetamunya sedang tidur nyenyak bekas letih pesiar kemarin, mereka tidak berani mengasih bangun.
Lewat lagi sesaat barulah Kwee Ceng berdua membuka pintu. Lantas mereka diberi selamat pagi oleh kedua pelayannya, yang pun cepat menyediakan sarapan pagi seraya memberitahukan bahwa chung-cu menantikan di kamar tulis.
Keduanya menangsal perut sekedarnya, kemudian mereka pergi ke kamar tulis, di mana Liok Chung-cu sambil berduduk di pembaringan, menyambut sambil tertawa; “Angin besar di telaga, semalam gelombang mendampar-dampar gili-gili mengganggu orang tidur! Apakah semalam jiwi dapat tidur nyenyak?”
Kwee Ceng jujur, pertanyaan itu membuat ia bungkam, tetapi Oey Yong menyahuti: “Tadi malam aku mendengar suara terompet kulit keong, rupanya paderi atau imam tengah membaca doa.”
Tuan rumah tertawa. Lantas ia mengatakan ingin ia memperlihatkan kumpulan gambar lukisannya kepada kedua tetamunya.
“Tentu suka sekali kami melihat,” berkata Oey Yong. “Pasti itu ada lukisan-lukisan yang sangat indah.”
Liok Chung-cu menyuruh kacungnya mengambil gambarnya itu, maka sebentar kemudian Oey Yong sudah memandang menikmatinya.
Selagi hatinya sangat ketarik, mendadak Oey Yong mendengar bentakan-bentakan disusul berlari-larinya beberapa orang, seperti seorang lari dikejar beberapa orang. Satu kali terdengar nyata bentakan: “Kalau sudah masuk ke dalam Kwie-in-chung, untuk kabur dari sini lebih sukar daripada mendaki langit!”
Diam-diam Oey Yong melirik tuan rumah, ia mendapat kenyataan orang tenang seperti biasa, bagaikan dia tidak mendengar apa-apa, bahkan ia menanya, dari empat sastrawan besar di jamannya itu, tulisan siapa yang tetamunya paling digemari.
Selagi Oey Yong hendak memberikan jawabannya, tiba-tiba pintu kamar ada yang tabrak, seorang nerobos masuk, pakaian orang itu basah kuyup. Ia lantas mengenali Wanyen Kang, maka ia tarik Kwee Ceng seraya membisiki: “Lihat gambar, jangan pedulikan dia…”
Keduanya segera tunduk, terus mengawasi gambar-gambar lukisan serta perlbagai tulisan. Tuan rumah mengawasi orang yang nerobos masuk itu.
Orang itu memang Wanyen Kang adanya. Dia tertawan karena ia kecemplung dan kena meminum banyak air. Tempo dia mendusin, dia mendapatkan kaki tangannya terbelenggu, dan Liok Koan Eng hendak memeriksa dia. Segera dia mengerahkan tenaganya, sekali berontak, dia membuatnya belenggunya pada putus. Orang semua kaget, lantas mereka bergerak untuk menangkap. Dia membuka kedua tangannya, dua orang yang terdekat terpelanting roboh. Dia terus nerobos, untuk lari. Tapi Kwie-in-chung diatur menurut kedudukan patkwa, siapa tidak ketahui itu, jangan harap ia dapat lolos. Demikian dia lari tanpa tujuan sambil dikejar-kejar, sampai ia menabrak justru pintu kamar tulis.
Liok Koan Eng tidak berkhawatir orang lolos, tetapi melihat orang tawanan masuk ke kamar ayahnya, khawatir ayahnya nanti diserang, dia lompat untuk menghalang di depan ayahnya itu. Di muka pintu segera terlihat sejumlah cecu berdiri menghalang.
Dalam kesusu dan bingung seperti itu, Wanyen Kang tidak dapat memperhatikan Oey Yong berdua, dia menuding Liok Koan Eng dan menegor: “Perampok sangat jahat, kau sudah menggunai akal busuk membocorkan perahu! Tidakkah kamu khawatir ditertawakan kaum kangouw?!”
Koan Eng tertawa lebar. “Kau putra raja Kim, perlu apa kau menyebut-nyebut dua huruf kangouw itu?” ia membaliki.
“Selama di Pakhia aku telah mendengar nama besar kaum kangouw di Selatan,” berkata Wanyen Kang berani, “Buktinya – hm – ternyata hari ini kamu hanya….”
“Hanya apa?!” Koan Eng memotong.
“Hanya kamu kaum hina dina yang pandai mengandalkan orang banyak!” sahut pangeran muda iru.
Koan Eng gusar sekali dihina secara demikian. Ia muda tetapi ialah kepala untuk kaum Rimba Persilatan di Kanglam. Ia kata: “Kau ingin bertempur satu sama satu, baru kau mampus tidak menyesal?”
Inilah jawaban yang diharap Wanyen Kang. Memang ia sengaja memancing amarah orang. Maka ia kata; “Kalau orang Kwie-in-chung ada yang sanggup mengalahkan aku, aku akan mandah dibelenggu, tidak nanti aku membilang suatu apa. Siapa yang hendak memberikan pelajaran kepadaku?!” Ia pun bersikap temberang, matanya menyapu semua orang, kedua tangannya digendong di belakangnya.
Kata-kata tersebut itu membangkitkan amarah Cio Cecu dari puncak Bok Lie Hong, juga aseran tabiatnya, maka ia lantas majukan dirinya, malah segera dia menyerang dengan kedua tangannya.
Wanyen Kang berkelit, membikin serangan jatuh di tempat kosong, berbareng dengan itu, kedua tangannya bekerja. Tangan kanan menyambar ke baju di punggung, tangan kiri membantui, maka tubuh cecu itu lantas terangkat, terus dilemparkan ke arah kawan-kawannya di ambang pintu!
Koan Eng terkejut. Orang lihay, mungkin tidak ada cecu lawannya. “Tuan, kau benar lihay!” katanya. “Aku ingin meminta pengajaran beberapa jurus dari kau, mari kita pergi ke thia!”
Tuan rumah yang muda ini berkata demikian sebab ia duga pertandingan mesti hebat, di dalam kamar tulis itu ia khawatir nanti melukai ayahnya serta kedua tetamunya itu yang tidak mengenal ilmu silat…
“Untuk pibu, di manapun sama saja!” kata Wanyen Kang jumawa. “Apakah halangannya di sini? Silahkan cecu memberi pengajaranmu!”
Koan Eng terpaksa, tapi ia berlaku tenang. “Baik!” katanya. “Kau tetamu, kaulah yang mulai!”
Wanyen Kang benar lihay. Mendadak ia ulur tangan kirinya, mengancam, disusul sama dengan tangan kanannya, menjambak baju orang. Ia sudah lantas menggunai jurus dari Kiu Im Pek-kut Jiauw.
“Bocah kurang ajar, tahukah lihaynya chung-cu kamu!” kata Koan Eng di dalam hatinya. Ia tidak berkelit, ia cuma mengkeratkan tubuhnya sedikit, untuk meluncurkan tangan kanannya menghajar lengan orang, sedang dua jari dari tangan kirinya menyambar ke sepasang mata.
Wanyen Kang pun terperanjat mengetahui orang lihay. Inilah ia tidak sangka. Ia lantas menarik pulang kedua tangannya, ia mundur setengah tindak, untuk memutar tangan menankap lengan lawan. Tapi Koan Eng dapat membebaskan diri.
Melihat lihaynya tuan rumah, Wanyen Kang tidak berani memandang enteng. Maka ia berkelahi dengan sungguh-sungguh.
Koan Eng itu sebenarnya ada murid kesayangan dari Kouw Bok Taysu dari kuil Kong Hauw Sie di Lim-an, ia pandai Gwa-kang yaitu ilmu luar Hoat Hoa Cong. Ia pun mengetahui orang lihay, ia bersilat dengan hati-hati. Ia tidak kasih tubuhnya dijambak.
Untuk Gwa-kang, kaum Gwa-kee, ialah ahli luar, ada pribahasa, “Kepalan tiga bagian, kaki tujuh bagian”, atau lagi, “Tangan ialah kedua daun pintu, mengandal kaki menendang orang,” Maka itu, Koan Eng bersilat mengaandal pada pribahasa itu.
Hebat pertarungan ini, sampai seratus jurus lebih belum ada yang menang atau kalah, Kwee Ceng dan Oey Yong diam-diam memuji Koan Eng demikian lihay.
Setelah bertempur lama, hati Wanyen Kang gentar. Ia tahu, ia terkurung dan lama-lama ia bisa kehabisan tenaga, kalau ia mesti banyak menempur banyak musuh bergantian, celakalah dirinya. Ia pun sebenarnya masih lemah bekas disebabkan menenggak terlalu banyak air. Karena itu, ingin ia lekas mengakhirkan pertandingan itu, untuk menyingkirkan diri.
Lewat lagi beberapa jurus, Koan Eng merasa ia keteter. Musuh telah mendesak sangat. Satu kali ia terlambat, pundakny akena terhajar. Tidak tempo lagi ia terhuyung mundur. Wanyan Kang merangsak, untuk memberikan hajaran terakhir. Justru ia maju, justru kaki kiri tuan rumah meleset ke arah dadanya. Itulah dupakan “Kaki jahat” yang ebrbahaya sekali.
Wanyen Kang tidak menyangka selagi terhuyung musuh dapat mendupak, ia ketahui itu sesudah kasep, dadanya kena terhajar kaki musuhnya itu. Ia lantas menrasakan dadanya itu sakit. Tapi ia tidak menyerah dengan begitu saja. Ia membalas dengan membareng menotok betis dengan lima jeriji kiri dan tangan kanannya dipakai menolak dengan keras seraya ia berseru: “Pergilah!”
Koan Eng berdiri dengan sebelah kaki, tidak heran kalau ia kena tertolak hingga mental ke arah pembaringan ayahnya, disaat tubuhnya bakal membentur pembaringan, mendadak Liok Chung-cu mengulur tangan kirinya menahan punggungnya, lalu dengan perlahan tubuhnya dikasih turun. tapi ayah itu terkejut melihat betis anaknya mengucurkan darah.
“Kurang ajar!” ia berseru. “Pernah apa kau dengan Hek Hong Siang Sat?!”
Tanggapan dan seruan itu membikin heran semua orang tidak terkecuali Koan Eng sendiri, anaknya. Sebab anak ini semenjak kecil ketahui ayahnya sudah bercacad kedua kakinya, setiap hari ayah itu berdiam di kamar tulis saja berteman dengan alat tetabuhan khim, gambar dan kitab. Ia juga heran merasakan tanggapan ayah itu kepada tubuhnya. Tapi masih ada juga orang yang tidak heran, mereka ini ialah Oey Yong dan Kwee Ceng. Si nona karena ia melihat besi patkwa di pintu dan si pemuda karena mendengar keterangan kekasihnya.
Wanyen Kang melengak ditanyakan halnya Hek Hong Siang Sat. “Makhluk apa Hek Hong Siang Sat itu?” ia balik menanya. Ia telah diajari silat oleh Bwee Tiauw Hong tetapi Tiauw Hong tidak pernah memberitahukan asal usul dan she serta namanya.
“Jangan berlagak pilon!” membentak pula Liok Chung-cu. “Siapa yang ajarkan kau itu ilmu Kiu Im Pek-ku Jiauw ynag jahat?!”
Wanyen Kang bernyali besar. “Tuan kecilmu tak sempat ngobrol denganmu, maaf tak dapat aku menemani kau!” katanya seraya ia memutar tubuh, bertindak ke arah pintu.
Semua cecu gusar, mereka mengangkat golok merintangi.
“Bagaimana kata-katamu?!” Wanyen Kang menoleh kepada Koan Eng, romannya bengis.” Kata-katamu berharga atau tidak?!”
Muka Koan Eng pucat. Ia mengangkat tangannya. “Kami kaum Thay Ouw bangsa terhormat!” katanya. “Saudara-saudara, lepaskan ia pergi! Thio Toako, tolong antar ia keluar!”
Semua cecu itu tidak puas tetapi mereka tidak berani membantah pemimpinnya itu.
Thio cecu pun sudah lantas membentak: “Mari turut aku! Sendiri saja tidak nanti kau menemani jalanan bocah!”
“Mana sekalian siwi dan pengiringku?” Wanyen Kang tanya.
“Mereka semua pun dimerdekakan!” menyahut Koan Eng.
Pangeran itu menunjuki jempolnya. “Bagus, benar kau satu kuncu! Nah, sekalian cecu, sampai bertemu pula di belakang hari!” Ia memutar tubuh untuk memberi hormatnya, romannya sangat puas.
“Tunggu dulu!” chung-cu tua membentak selagi orang hendak mengangkat kaki.
Wanyen kang segera menoleh, “Bagaimana?!” tanya ia.
“Aku si orang tua bodoh, ingin aku belajar kenal dengan Kiu Im Pek-ku Jiauwmu!” menyahut tuan rumah yang tua ini.
“Bagus! Bagus!” tertawa Wanyen Kang, sedang orang lainnya terperanjat.
Koan Eng sangat berbakti, ia terkejut tetapi ia lantas menceagh. “Ayah, jangan layani binatang ini!” katanya.
“Jangan khawatir!” berkata si ayah itu. “Aku lihat belum sempurnya kepandaiannya itu.” Ia mengawasi dengan tajam kepada pangeran itu, lalu berkata pula: “Kakiku sakit, aku tidak dapat berjalan. Kau maju ke mari!”
Wanyen kang tertawa, tetapi ia tidak menghampirkan.
Koan Eng habis sabar, meskipun kakinya sakit, ia tidak mau membiarkan ayahnya bertempur, maka ia lompat maju sambil berkata; “Hendak aku mewakilkan ayahku meminta pengajaran beberapa jurus dari kau!”
“Bagus, mari kita berlatih pula!” tertawa Wanyen Kang.
“Anak Eng, mundur!” mendadak Liong Chungcu berseru, sambil berseru tangan kanannya menekan pinggiran pembaringan, hingga tubuhnya mencelat maju, berbareng dengan mana dengan tangan kiri ia menyerang ke arah embun-embun si pangeran.
Semua orang terkejut, mereka berseru.
Wanyen Kang tidak takut, ia menangkis. Tapi kesudahannya ia kaget bukan main. Ketika kedua tangan beradu, ia merasa tangan kanannya terpegang keras, menyusul mana, tangan kanan si orang tua menyambar bahunya. Ia lantas menangkis seraya berontak untuk melepaskan tangan kanannya itu dari cekalan lawan.
Tubuh Liok Chungcu tidak turun ke lantai, tubuh itu berdiam mengandal tenaga lengan si pangeran, yang ia terus mencekalnya dengan keras, tangan kanannya menyerang pula, beruntun hingga lima enam kali. Wanyen Kang repot menangkis, ia berontak tapi sia-sia saja. Ia mencoba menendang dengan kaki kirinya, juga tidak ada hasilnya.
Melihat itu, para cecu heran dan girang. Semua mengawasi pertempuran ynag luar biasa itu, yang hebat sekali.
Lagi sekali tangan kanan Liok Chungcu menyerang.
Wanyen Kang menggunai lima jarinya, untuk membabat tangan lawan, atau mendadak lengan si orang tua ditekuk, sikutnya menggantikan menyerang, tepat mengenai jalan darah kinceng-hiat. Pangeran itu kaget, ia merasakan tubuhnya seperti mati separuh hingga gerakannya menjadi lambat, karenanya, tangan kirinya lantas kena ditangkap lawannya, bahkan dengan suara meretek, sambungan tangannya kena dibikin terlepas!
Liok Chungcu benar-benar sebat, ia mengandali kedua tangannya saja, dapat ia bergerak dengan lincah. Kembali tangan kirinya menyerang, menyambar ke pinggang orang, berbareng dengan mana, cekalan tangan kanannya dilepaskan, tangan itu dipakai menekan pundak si pangeran, maka pesat sekali ia mencelat balik ke pembaringannya di mana ia bercokol pula dengan tetap dan tenang.

Bab 28. Ular-Ular Pada Menari

Koan Eng lompat ke depan pembaringan. “Ayah, kau tidak apa-apa?” ia menanya.
Ayahnya itu tertawa. “Binatang ini benar-benar lihay!” katanya.
Dua tauwnia sudah lantas maju, untuk membelenggu kaki dan tangan Wanyen Kang.
“Dalam kantongnya perwira she Toan yang ditawan itu ada beberapa borgolan tembaga, itu dapat dipakai untuk membelenggu binatang ini, coba kita lihat, dia dapat berontak lagi atau tidak!” berkata Thio Cecu.
“Bagus!” sahut beberapa orang, diantaranya ada yang lantas pergi lari, untuk mengambil borgolan itu, maka dilain detik, pangeran itu sudah diborgol tangan dan kakinya.
“Mereka sediakan ini untuk menyusahkan rakyat jelata, sekarang biarlah ia yang mencicipi sendiri!” kata Liok Chungcu dengan tertawa.
Wanyen Kang bermandikan peluh pada dahinya, ia menahan sakit, ia tidak mengeluh atau merintih.
“Bawa dia kemari!” kata Liok Chungcu, yang tahu orang kesakitan.
Dua tauwnia menggotong pangeran itu dekat kepada tuan rumah.
Liok Chungcu menotok tulang punggung serta dada kiri di beberapa tempat, setelah mana hilang rasa sakitnya Wanyen Kang, hingga pangeran itu mendongkol berbareng heran. Katanya dalam hatinya: “Gerakan tangannya orang ini sama dengan gerakan tangannya suhu, mungkinkah mereka daa hubungan satu sama lain?” Tapi belum sempat ia bicara, Koan Eng sudah suruh orang bawa ia ke tempat tahanan. Semua cecu pun pada lantas mengundurkan diri.
Baru setelah itu, Kwee Ceng dan Oey Yong memutar tubuhnya. Semenjak tadi mereka berdiam saja, melainkan secara diam-diam mereka melirik.
“Anak-anak gemar berkelahi, jiwi tentu menertawakan mereka,” kata Liok Chungcu kepada tetamunya.
“Siapa dia itu?” tanya Oey Yong. Dia membawa sikap wajar, “Apakah dia telah mencuri disini, maka chungcu menjadi gusar sekali?”
Di dalam hatinya, nona ini semakin curiga. Gerakan tangan dan totokannya tuan rumah ini sama dengan pelajarannya sendiri.
Chungchu itu tertawa. “Benar, dia telah mencuri tidak sedikit barang kami!” sahutnya. “Mari, mari kita melihat gambar-gambar dan kitab, jangan kegembiraan kita diganggu pencuri itu.”
Koan Eng sudah mengundurkan diri juga, maka dikamar tulis itu mereka tetap berada bertiga, tapi yang berbicara adalah tuan rumah dan Oey Yong berdua, Kwee Ceng tidak mengerti hal kitab dan gambar, pemuda itu tertarik sama huruf-huruf yang coret-coretannya tajam mirip dengan gerakan pedang. Meski begitu ia berdiam saja. Bukankah mereka toh sudah berpura-pura tidak mengerti silat?
Habis bersantap tengah hari, Liok Chungcu perintah kedua bujangnya mengantarkan kedua tetamunya pesiar kedua gua Thio Kong dan Sian Kong seperti ia telah menjanjikan. Kedua gua itu kesohor untuk pemandangan alamnya yang indah. Sampai sore baru mereka kembali dengan merasa senang.
“Bagaimana, Yong-jie, kita tolongi dia atau jangan?” tanya Kwee Ceng disaat mereka hendak masuk tidur.
“Kita baik tinggal dulu di sini beberapa hari,” sahut si nona. “Kita masih belum ketahu jelas tentang tuan rumah kita ini.”
“Ilmu silatnya sama dengan ilmu silatmu,” Kwee Ceng memberitahukan.
Oey Yong berpikir, “Inilah anehnya,” katanya. “Mungkinkah ia kenal Bwee Tiauw Hong?”
Keduanya tidak dapat menerka. Mereka pun khawatirkan tembok ada kupingnya, lantas mereka memadamkan api dan tidur. Pada tengah malama, keduanya mendusin karena kuping mereka mendengar suara perlahan di atas genting. Keduanya lantas lompat bangun, untuk menghampirkan jendela. Begitu mereka mementang daun jendela, mereka menampak berkelebatnya satu bayangan orang, yang terus bersembunyi di antara pohon-pohon bunga mawar. Setelah celingukan, orang itu bertindak ke timur, hati-hati itu sekali sikapnya, menandakan ia bukannya salah seorang penghuni rumah.
Oey Yong menarik tangan Kwee Ceng, keduanya lompat keluar dari jendela, untuk menguntit bayangan itu. Mereka bisa lantas bekerja karena tadi, diwaktu masuk tidur, mereka tidak membuka pakaian luar.
Belasan tindak kemudian, diantara cahya bintang-bintang, kelihatan nyata bayangan itu adalah seorang nona, yang ilmu silatnya lumayan juga. Kerana ini Oey Yong bertindak mendekati,. Tepat orang itu menoleh, ia lantas mengenali Bok Liam Cu. Ia lantas saja tersenyum. Di dalam hatinya ia berkata: “Bagus, kau hendak menolong kekasihmu! Hendak aku melihat, bagaimana caramu bertindak!”
Bok Liam Cu jalan pergi datang di taman itu, lalu dilain saat ia tersesat jalan.
Oey Yong sebaliknya kenal taman itu, yang diatur menurut patkwa. Inilah keistimewaannya Oey Yok Su, ayahnya. Tentang patkwa ini, ayahnya telah mengajari padanya. Jadi taman ini diatur menurut barisan rahasia Pat-kwa-tin.
“Dengan caramu ini berjalan, sampai seratus tahun pun tidak nanti kau dapat cari kekasihmu itu,” kata Oey Yong dalam hatinya. Tapi ia hendak membantu. Maka ia memungut segumpal tanah, ia menimpuk, “Ambil jalan ke sana!” ia menunjuki, suaranya perlahan, ia sendiri bersembunyi di belakang pohon.
Nona Bom terperanjat. Ia menoleh, ia tidak melihat siapa juga. Ia pun bercuriga dan bersangsi. Lantas ia melompat ke arah darimana timpukan datang. Tentu sekali Oey Yong telah lenyap.
“Entah ia bermaksud baik atau jahat, tapi baiklah aku turuti pengunjukannya,” kemudian nona Bok berpikir. Ia terus pergi ke kiri. Lalu habis itu, setiap ia bersangsi, ada timpukan tanah yang memberi petunjuk padanya. Ia telah berjalan berliku-liku, sampai mendadak ada timpukan yang jauh, yang bersuara di jendelanya sebuah kamar yang di depannya. Berbareng dengan itu, dua bayangan berkelebat dan lenyap.
Cerdas Liam Cu, segera ia lari menghampiri jendela itu, jendela dari sebuah rumah kecil. Setibanya di depan rumah itu, dua orang lelaki tergeletak di tanah, matanya mereka mengawasi dia. Mereka itu masih mencekal senjata, tapi tak dapat bergerak. Terang sudah mereka itu adalah korban-korban totokan di jalan darah.
“Pasti ada orang pandai yang membantu aku,” berpikir Liam Cu. Ia masuk ke dalam rumah itu, kuping dan matanya dipasang. Segera ia mendapat dengar suara orang bernapas.
“Engko Kang!” ia memanggil perlahan. “Kau…!”
“Ya, aku!” ada jawaban untuk itu.
Itulah suara Wanyen Kang, yang sadar sebab barusan mendengar suara tubuh roboh di luar rumah. Dia memang lagi memasang kuping. Dia kenali suara si nona.
Dalam gelap gulita, Liam Cu segera menghampirkan.
“Ada dua orang pandai yang membantu aku, enath siapa mereka itu,” kata nona ini. “Mari kita pergi!”
“Apakah kau membawa golok pedang mustika?” tanya pangeran itu.
“Kenapa?” balik tanya si nona.

Wanyen Kang tidak menjawab, ia hanya perdengarkan suara borgolan.
Liam Cu mengerti, ia menjadi sangat masgul.
“Menyesal pisau belati mustikaku itu telah aku berikan pada adik Oey,” ia menyesalkan diri.
Oey Yong dan Kwee Ceng yang tetap bersembunyi, mereka dapat dengar suara si nona. Di dalam hatinya, nona Oey berkata: “Sebentar akan aku serahkan pisau mustika itu.”
“Nanti aku pergi curi kunci borgolnya!” kata Liam Cu akhirnya. Ia bingung dan berkhawatir.
“Jangan pergi, adik!” Wanyen Kang mencegah. “Orang disini lihay, percuma kau pergi.”
“Bagaimana kalau aku gentong kau?” tanya si nona.
“Tidak dapat, orang ikat aku pada tiang.” jawab sang pangeran.
“Habis bagaimana?” tanya si nona lagi.
Lalu terdengar suara menangis perlahan dari nona itu.
“Mari kau dekati aku….” kata Wanyen Kang tertawa.
Liam Cu membanting kaki. “Orang tengah bergelisah, kau masih bisa bergurau!” tegurnya.
“Siapa bergurau?” Wanyen Kang masih tertawa. “Aku omong sebenarnya.”
Liam Cu tidak memperdulikannya, ia mengasah otaknya.
“Kenapa kau ketahui aku berada disini?” Wanyen Kang tanya kemudian.
“Aku mengikuti kau terus-menerus…” jawab si nona perlahan.
“Oh, adik, kau baik sekali.” Suara Wanyen Kang agak tergerak. “Mari kau dekati aku, kau menyender di tubuhku, hendak aku bicara.”
Liam Cu menjatuhkan diri dan duduk, ia menurut.
“Aku adalah utusan negeri Kim, tidak nanti mereka berani lancang membunuh aku,” berkata Wanyen Kang. “Hanya dengan tertahan di sini, pastilah gagal urusan tentara dari ayahku. Aku bingung….Adik, baiklah kau tolongi aku?”
“Bagaimana?” tanya si nona.
“Di leherku ada cap emas, kau loloskan itu.”
Liam Cu menurut.
“Inilah cap perutusan,” Wanyen Kang memberitahukan. “Sekarang kau lekas pergi ke Lim-an, di sana kau menemui Soe Mie Wan, itu perdana menteri kerajaan Song….”
Nona Bok terkejut.
“Aku seorang wanita biasa, cara bagaimana perdana menteri itu dapat menemui aku?” tanyannya.
“Kalau ia melihat cap ini, apsti ia repot sekali menyambut kau!” kata Wanyen Kang tertawa. “Kau beritahu padanya bahwa aku ditawan perampok di Thay Ouw ini, hingga karenanya tidak dapat aku datang padanya. Kau pesan apabila ada utusan Mongolia yang datang, suruh ia jangan menerimanya hanya segera bunuh saja si utusan itu!“
“Eh, kenapa begitu?” si nona menanya heran.
“Inilah urusan besar dari tentara dan negera, dijelaskan pun kau tidak bakal mengerti! Pergi kau sampaikan pesanku ini kepada perdana menteri itu, itu artinya kau sudah mewakilkan aku melakukan satu pekerjaan yang besar. Jikalau utusan Mongolia itu keburu sampai dan dapat bicara dengan raja Song, itu artinya kerugian besar bagi kami negara Kim.”
“Apa itu negara Kim?” Liam Cu tanya. “Aku adalah rakyatnya kerajaan Song! Sebelum kau omong jelas, tidak bisa aku bekerja”.
“Bukankah nanti kau bakal menjadi permaisuri di negara Kim?” Sembari berbicara, Wanyen Kang tersenyum.
“Ayah angkatku ialah ayahmu sejati, adalah orang Han. Apakah kau benar-benar sudi menjadi raja Kim?” tanya Liam Cu. “Aku cuma tahu, cuma….”
“Kenapa?” Wanyen Kang memotong.
“Sampai sebegitu jauh aku pandang kau sebagai orang pintar dan gagah,” kata Liam Cu, “Dan aku menyangka kau berpura-pura saja menjadi pangeran, bahwa kau lagi menantikan ketikanya yang baik untuk berbuat sesuatu guna kerajaan Song! Kau benar-benarkah hendak mengakui musuh sebagai ayahmu!”
Wanyen Kang bediam. Ia dapat mendengar suara lagu orang berubah, kata-katanya seperti macet di tenggorokan. Itulah tandanya orang gusar dan menyesal. Maka ia berdiam.
“Negara yang indah dari kerajaan Song telah separuhnya dirampas orang asing!” berkata pula Liam Cu. “Dan rakyat kita bangsa Han telah ditangkap-tangkapi, dibunuh dan dianiaya! Mustahilkah kau sendiri juga tidak memikirkan itu? Kau….kau…..”
Berhenti si nona berbicara, ia lemparkan cap ke tanah, sambil menutup muka, ia bertindak pergi.
Wanyen Kang terkejut, segera ia memanggil
“Adik, aku salah!” katanya, memanggil, “Mari kembali!”
Liam Cu berhendti bertindak, ia berpaling, “Mau apa kau?!” ia tanya.
“Tunggulah sampai aku sudah lolos dari sini, aku akan tak lagi menjadi utusan negeri Kim,” berkata Wanyen Kang. “Aku juga tidak akan kembali ke negera Kim itu, hanya bersama kau, aku akan hidup menyepi sebagai orang tani, supaya kita bisa hidup bersama dengan tenang dan berbahagia….”
ona Bok menghela napas, ia berdiri menjublak. Semenjak pibu, ia sudah pandang Wanyen Kang sebagai pemudanya yang paling gagah. Bahwa Wanyen Kang tidak hendak mengakui ayahnya sendiri, ia masih menyangka pada itu ada sebabnya. Ia pun menduga orang menjadi utusan negara Kim karena ada suatu maksud tersembunyi, guna nanti melakukan suatu usaha besar untuk kerajaan Song. Tapi siapa tahu, sekarang sia-sia saja pengharapannya itu. Ia dapatkan kenyataan orang hanya satu manusia sekakar, yang kemaruk sama harta dan kemuliaan….
“Adikku, kau kenapa?” Wanyen Kang tanya.
Liam Cu berdiam.
“Memang ibuku membilangi aku bahwa ayah angkatmu adalah ayahku yang sejati,” Wanyen Kang berkata pula. “Sayang sebelum aku menanya dengan jelas, keduanya mereka sudah menutup mata, karenanya sampai sekarang aku jadi ragu-ragu…..”
Pikiran Liam Cu tergerak juga.
“Kalau ia belum mengetahui jelas, ia dapat diberi maaf…” pikirnya. Lalu ia berkata: “Sekarang kau jangan sebut lagi hal aku harus pergi kepada perdana menteri Song untuk membawa capmu ini. Hendak aku mencari adik Oey untuk minta pisau mustika guna menolongi kau…”
Oey Yong mendengar itu semua, kalau tadinya ia hendak menyerahkan pisaunya, segera ia menubah maskdunya. Ia benci mendengar Wanyen Kang hendak berbuat sesuatu untuk tentara Kim. Ia pikir: “Baiklah aku membiarkan dia tertutup lagi beberapa hari di sini….” Ayahnya memang membenci sekali negera Kim itu.
“Taman ini aneh jalannya, kenapa kau ketahui jalanannya itu?” kemudian Wanyen Kang menanya.
“Ada seorang pandai yang memberi petunjuk padaku,” sahut Liam Cu. “Dia menyembunyikan diri, aku belum tahu siapa dia.”
Wanyen Kang mengasih dengar suara tidak tegas.
“Adikku,” katanya pula, “Kalau lain kali kau datang pula, mungkin kau kepegrok penghuni rumah ini. Kalau benar kau hendak menolongi aku, pergi kau cari satu orang…”
“Aku tidak sudi mencari perdana menteri she Soe itu!” memotongi si nona.
“Bukannya Soe Sinsiang, hanya guruku,” Wanyen Kang memberi tahu
“Oh…” si nona terhenti suaranya.
“Kau pergi membawa ikat pinggangku ini,” Wanyen Kang berkata pula. “Di gelang emasnya ikat pinggang itu kau ukir kata-kata: ‘Wanyen Kang dapat susah di kwie-in-chung di tepi telaga Thay Ouw’ Tigapuluh lie di utara kota Souwciu ada sebuah bukit belukar, di sana kau cari sembilan buah tengkorak yang bertumpuk menjadi satu: Satu di atas, tiga di tengah dan lima di bawah. Ikat pinggangku ini, kau letakkan di bawah tenggorak itu.
Liam Cu heran, “Untuk apakah itu?” ia menanya.
“Guruku itu telah buta kedua matanya,” Wanyen Kang memberi keterangan. “Kalau ia dapat memegang ikat pinggang itu serta gelang emasnya, lantas ia bakal dapat mencari aku. Setelah meletaki ikat pinggang itu, jangan kau berlambat, kau mesti lekas-lekas mengangkat kaki. Aneh tabiat guruku, apabila ia mendapatkan ada orang di dekat tumpukan tengkorak itu, mungkin ia akan membunuhmu. Guruku lihay, pasti dia bakal dapat menolongi aku. Kau tunggui saja aku di kuil Hian Biauw Koan di kota Souwciu.”
“Kau bersumpah dulu, bahwa kau tidak akan akui pula bangsat menjadi ayah dan tidak menjual negara ini untuk mencelakai rakyat!” berkata si nona.
Mendengar itu, Wanyen Kang menjadi tidak senang. Ia kata: “Setelah urusanku beres, sudah tentu aku akan bertindak menurut kata hatiku yang benar. Sekarang kau memaksa aku mengangkat sumpah, apakah mau?!”
Liam Cu lemah hatinya. “Baik, aku akan pergi menyampaikan warta!” bilangnya. Ia meloloskan ikat pinggang si anak muda.
“Adikku, kau hendak pergi sekarang?” kata Wanyen Kang, “Mari, adik!”
“Tidak!” kata si nona yang bertindak ke pintu.
“Aku khawatir belum lagi guruku datang menolongi aku, mereka sudah keburu membunuh aku,” kata pula Wanyen Kang, “Maka itu untuk selama-lamanya aku tidak bakal melihat pula padamu…”
Liam Cu menjadi lemah hatinya. Ia kembali, ia senderkan tubuhnya dalam rangkulan pangeran itu. Ia pasrah. Kemudian, mendadak ia berkata dengan keras: “Di belakang hari, jikalau kau tidak menjadi orang baik-baik, aku bakal mati di hadapanmu!”
Inilah Wanyen Kang tidak sangka, maka itu, ia menjadi melengak.
Liam Cu berlompat bangun, untuk berlalu.
Oey Yong sudah lantas menunjuki pula jalan secara diam-diam seperti tadi, maka setibanya di kaki tembok, Liam Cu bertekuk lutut, mengangguk tiga kali, katanya: “Oleh karena cianpwee tidak sudi memperlihatkan diri, biarlah aku memberi hormatku ke udara saja.”
“Oh, itulah aku tidak berani terima!” terdengar satu suara halus dibarengi sama tertawa geli.
Liam Cu segera mengangkat kepalanya tetapi tetap ia tidak melihat siapa juga kecuali bintang-bintang di langit. Ia heran bukan main. Ia seperti mengenali suara Oey Yong, hanya ia heran, kenapa orang berada di sini dan ketahui jalan rahasia itu. Ia jalan belasan lie, lantas ia berhenti di bawah sebuah pohon besar untuk tidur, lalu besoknya, dengan menaik perahu, ia menyeberangi telaga Thay Ouw dan pergi ke kota Souwciu.
Souwciu adalah kota kota ramai di tenggara walaupun ia tidak dapat melawan Hangciu, di sini orang hidup secara mewah melupakan kekejaman bangsa Kim yang pernah menggilas-gilasnya. Tapi Liam tidak pikirkan kepelesiran. Habis bersantap di sebuah rumah makan, melihat matahari sudah doyong ke barat, ia lantas pergi keluar kota utara. Dengan menuruti petunjuk Wanyen Kang, ia hendak mencari gurunya pemuda itu. Makin lama jalanan makin sulit. Matahari pun segera melenyap di belakang bukit. Segera terdengar suara-suara aneh dari burung-burung hutan. Sampai langit sudah gelap ia mencari di lembah, belum juga ia menemui tumpukan tengkorak seperti katanya Wanyan Kang.
“Baiklah aku cari pondokan, besok pagi aku mencari pula,” pikirnya.
Syukur di sebelah barat situ ada sebuah rumah, dengan kegirangan ia lari menghampirkan, hingga ia mendapatkan sebuah kuil tua dan rusak, namanya Yoh Ong Bio. Ketika ia menolak pintu, pintu itu roboh menjeblak, debunya beterbangan. Terang itulah sebuah kuli kosong. Di dalamnya penuh kabang-kabang, segala apa tidak teratur.
Senang juga Liam Cu akan mendapati meja masih utuh, ia lantas bersihkan itu, untuk menempatkan diri. Ia tutup pintu tadi, yang ia pasang pula, lantas ia mengeluarkan rangsum kering untuk menangsal perut. Ia pakai buntalannya sebagai bantal waktu ia merebahkan diri. Kapan ia ingat Wanyen Kang, ia menjadi berduka dan malu, tanpa merasa air matanya meleleh turun. Karena ini, sampai kentongan yang kedua barulah ia dapat tidur. Tiba-tiba saja ia mendusin. Ada suara apa-apa di luar kuil, bukan suara angin, bukan suara air. Ia berduduk untuk memasang kuping terlebih jauh. Ketika ia mendengar suara bertambah nyaring, ia lompat ke pintu untuk melihat keluar. Ia menjadi kaget sekali, hatinya memukul dengan keras.
Di bawah terangnya rembulan, terlihat ribuan, ya laksaan ular hijau, bergulat-legot menuju ke timur, bau amisnya masuk ke dalam kuil. Menggelesernya ular itu, itulah yang menerbitkan suara luar biasa itu. Di belakang pasukan ular itu nampak tiga orang pria dengan pakaian serba putih yang tangannya memegang galah panjang peranti menggiring ular itu.
Liam Cu tidak berani mengintai lebih lama, ia khawatir nan kepergok. Sesudah mendengar suara orang pergi jauh, baru ia mengintai pula. Sekitarnya jadi sepi pula, hingga ia merasa tengah bermimpi.
Ia membuka pintu, ai pergi ke luar. Tidak lagi ia melihat ketiga orang dengan pakaian putih itu. Ia merasa hatinya lega. Ia jalan beberapa tindak ke jalan yang bekas diambil ular itu. Disaat ia hendak membalik tubuh, untuk kembali ke kuil, ia melihat suatu barang putih tidak jauh dari dekatnya itu. Warna putih itu bertojoh sinar rembulan, adanya di atas batu. Ia heran, ia menghampirkan. Ia segera melihat tumpukan tengkorak, malah bertumpuknya tepat seperti ditunjuk Wanyen Kang. Ia kaget berbareng girang. Dengan hati kebat-kebit, ia menghampirkan, untuk meletaki di bawah itu ikat pinggang Wanyen Kang. Tangannya bergetar ketika ia meraba tengkorak itu. Luar biasa sekali, lima jarinya tepat masuk ke dalam lima lubang di tulang tengkorak itu hingga ia menjerit seraya memutar tubuh untuk kabur. Atau mendadak ia ingat tak perlu ia takut. Ia ketakutan sendiri tanpa perlunya. Maka sekarang ia dapat tersenyum. Maka ia lantas merapikan menaruh ikat pinggangnya itu.
“Pasti benar gurunya luar biasa sekali, entah bagaimana romannya yang menakuti…” pikirnya. Ia memang belum pernah melihat Bwee Tiauw Hong, dan tempo Tiauw Hong bertempur hebat di istana, dia dan ayahnya sudah kabur lebih dulu. Habis itu ia memuji, mengharap gurunya Wanyan Kang itu menemui ikat pinggang ini nanti segera menolongi muridnya balik ke jalan yang lurus.
Tengah si nona memuji, ia merasai pundaknya ada yang pegang. Ia kaget sekali. Tanpa menoleh, ia berlompat ke depan, kemudian sambil meletaki kedua tangannya di depan dadanya, baru ia memutar tubuhnya. Di luar dugaannya, orang sudah berada di belakangnya, kembali pundaknya di pegang. Ia berlompat pula, kembali dia disusul, kembali pundaknya di pegang. Kejadian ini terulang empat lima kali. Ia bermandikan keringat dingin. Tak tahu ia, ia lagi menghadapi manusia lihay atau hantu.
“Kau siapa?!” akhirnya ia menanya, suaranya bergemetar.
Orang itu mencium ke lehernya. “Harum!” katanya.
Liam Cu berbalik dengan cepat sekali, maka sekarang ia dapatkan di depannya berdiri seorang pemuda dengan dandanan sebagai mahasiswa, tangannya menggoyang-goyangkan kipas, gerak-geriknya halus. Untuk kagetnya ia kenali Auwyang Kongcu, salah seorang yang memaksa kematian ayah dan ibu angkatnya. Ia gusar tetapi ia tidak berdaya, maka itu ia memutar tubuhnya untuk lari. Baru saja belasan tindak, atau Auwyang Kongcu sudah berada di hadapannya sembari tertawa haha-hihi, ia mementang kedua tangannya. Asal ia maju lagi, ia tentu telah masuk ke dalam rangkulannya pemuda itu! Maka ia menghentikan tindaknnya, untuk lari ke kiri. Tapi baru beberapa tindak, kembali orang berada di hadapannya. Ketika ia mengulangi lari beberapa kaki lagi, tetap pemuda itu menyaksikan orang kaget dan takut, saban-saban dia mengulur tangannya untuk umencekuk. Rupanya senang dia mempermainkan nona itu.
Liam Cu menjadi nekat, ia menghunus goloknya dan menyerang. Dua kali ia membacok, dua-dua kalinya gagal.
“Ah, jangan galak!” seru pemuda itu tertawa, habis ia membebaskan diri. Ia mengegos ke kiri, tangan kanannya dikebaskan, tangan kirinya di ulur. Maka si nona sudah lantas kena dipegang pinggangnya yang ceking ramping itu.
Liam Cu berontak tetapi cuma-cuma, ia merasakan tubuhnya sakit. Goloknya pun sudha kena dirampas si pemuda. Ia berontak pula tetapi hanya menyebabkan tubuhnya kena dipeluk. Ia merasakan nadinya ditekan, habis mana habislah semua tenaganya, tubuhnya menjadi lemas, tidak bisa ia meronta pula.
Auwyang Kongcu mengasih dengar tertawa ceriwisnya. “Kau angkat aku menjadi gurumu, segera aku merdekakan kau!” katanya.
Liam Cu merasakan mukanya diusap-usap, ia mengerti, orang bermaksud buruk terhadapnya, saking mendongkol dan takutnya, mendadak saja ia pingsan. Beberapa lama ia tak sadarkan diri, ia tidak tahu, kapan kemudian ia mendusin perlahan-lahan, ia merasakan tubuhnya masih dipeluk orang. Mulanya ia menyangka ia berada dalam rangkulan Wanyan Kang, ia girang, tetapi ia membuka matanya, ia dapatkan Auwyang Kongcu. Ia kaget, ia malu, ia lantas berontak. Hendak ia berteriak, mulutnya sudah disumpal dengan sapu tangan. Sekarang ia mendapatkan dirinya diapit kiri dan kanan oleh masing-masing delapan wanita yang canti-cantik, yang semuanya pun serba putih pakaiannya, setiap wanita memegang alat senjata, hanya mata mereka mengawasi ke tengkorak-tengkorak di atas batu.
Heran nona Bok, tak tahu orang lagi berbuat apa. Ia menyesal tak dapat menggerakkan tubuhnya, ia melainkan bisa menoleh. Ia kaget luar biasa waktu ia berpaling ke Auwyang Kongcu.
Di belakang pemuda itu berkumpul ular-ular hijaunya, tubuh semua ular itu tidak bergerak, mulutnya terbuka, di situ terlihat lidahnya semua, warnanya merah, merupakan sebagai lautan lidah. Di antara ribuan ular itu ada tiga pria dengan bjau putih dan tangan mencekal galah.
Ketika ia menoleh ke arah sembilan tengkorak, yang ia awasi, di sana terlihat gelang emas pada ikat pinggang mengasih lihat warna bergemerlapan, tiba-tiba ia ingat suatu apa.
“Mungkin mereka ini lagi menanti tibanya guru engko Kang,” ia berpikir. “Mestinya mereka lagi bersiap dengan sikap bermusuh….. Kalau gurunya Wanyen Kang datang seorang diri, mana ia sanggup melawan mereka ini? Di sini pun ada ribuan ular hijau….”
Cemas hatinya si nona. Ia lalu berharap-harap supaya gurunya Wanyen Kang jangan datang.
Selang tengah jam, rembulan tampak mulai naik, Auwyang Kongcu terlihat mendongak memandang si putri malam.
“Apakah mungkin guru Wanyen Kang baru akan datang sesudah rembulan naik?” nona Bok ini menduga-duga.
Rembulan terus naik perlahan-lahan, naik melintasi atas pepohonan. Langit menjadi terang sekali dan bersih sekali. Tidak ada suara lain, kecuali kutu-kutu dari empat penjuru atau suara burung malam. Malam sunyi sekali……….
Auwyang kongcu masih memandangi putri malam. Sekarang ia serahkan Liam Cu kepada satu nona, untuk nona itu yang memeluknya. Ia sendiri mengeluarkan kipasnya, dicekal di tangan kanannya. Matanya mengawasi ke sebuah pengkolan.
Liam Cu menduga bahwa orang yang dinanti-nanti bakal segera datang, dengan sendirinya hatinya tegang. Apakah bakal terjadi?
Tidak lama dalam kesunyian itu, dari jauh terdengar suara tajam, lalu suara itu datang mendekat. Maka sekarang terlihat seorang wanita dengan rambut riap-riapan muncul di pengkolan. Dia sudah lantas bertindak dengan perlahan. Mungkin ia sudah merasa ada orang di dekat-dekatnya.
Liam Cu menduga inilah gurunya Wanyen Kang. Ia menjadi heran. Ia telah menyangka kepada seorang luar biasa, tidak tahunya cuma wanita macam ini….
Bwee Tiauw Hong telah memperoleh kemajuan setelah di dalam istana ia mendapatkan beberapa petunjuk dari Kwee Ceng untuk melatih diri. Ia menyakinkannya dengan sungguh-sungguh. Hasilnya kedua kakinya dapat dipakai berjalan dengan cepat. Ia tahu Kanglam Liok Koay sudah pulang ke Kanglam, ia hendak menyusul untuk membalas dendam. Demikian ia menyusul selagi si pangeran muda menjadi utusan negara Kim, mengikuti ke Selatan. Ia masih berlatih diri terus, karena itu ia tidak dapat naik perahu, ia ambil jalan darat, supaya nanti dapat ebrtemu di Souwciu. Karena perpisahan ini, ia tidak tahu bahwa Wanyen Kang sudah terjatuh ke dalam tangan perampok. Ia pun tidak tahu bahwa Auwyang Kongcu untuk membalas sakit hati gundiknya, telah menantikan ia di tempat ini. Hanya saking lihaynya , ia segera mendengar suara orang bernapas. Sekarang ia mendengar satu suara lain yang ia anggap luar biasa.
“Sungguh lihay!” kata Auwyang Kongcu dalam hatinya. ia lihat berhenti bertindak. Ia lantas mengebaskan kipasnya, ia berbangkit, berniat untuk segera menyerang. Syukur sebelum ia melompat, tiba-tiba ia melihat satu orang muncul dari sebuah tikungan. Ia mengawasi, orang itu tinggi dan kurus, pakaiannya sebagai seorang sastrawan, hanya mukanya belum tampak jelas. Yang aneh, tindakan orang itu tidak bersuara. Sekalipun Bwee Tiauw Hong, ia masih mengasih dengar tindakan perlahan.
Segera orang itu telah datang dekat. Ia berdiri di belakang Bwee Tiauw Hong, matanya menyapu kepada pemuda she Auwyang itu.
Sekarang Auwyang Kongcu dapat melihat wajah orang, ia terkejut, tubuhnya menggigil. Itulah muka dengan sepasang mata seperti berputaran, dengan warna kulit dari mayat, romannya tidak jelek amat tetapi diam dan dingin. Karena ini, ia mesti mengatasi dirinya.
Ketika itu Bwee Tiauw Hong pun bertindak perlahan, setindak demi setindak.
Hatinya Auwyang Kongcu gentar. “Baiklah aku turun tangan lebih dulu!” pikirnya. Maka tangan kirinya dikibaskan sebagai tanda. Menyusul itu tiga penggembala ular lantas membunyikan suitan. Maka semua ular mulai bergerak-gerak.
Semua wanita berbaju putih itu duduk tidak bergeming. Mungkin mereka semua membekal obat pemunah racun, semua ular berlegot melewati mereka, tidak ada yang melanggarnya.
Bwee Tiauw Hong mendengar suara bergeraknya ular-ular itu. Ia berlompat mundur beberapa tombak.
Dengan petunjuk si penggembala, semua ular itu memisahkan diri memenuhi tegalan belukar. Siapa kena tergigit, celakalah dia. Semua binatang itu berbisa.
Liam Cu mengawasi dengan hati kebat-kebit. Ia lihat Bwee Tiauw Hong beroman jeri, maka ia cemas hatinya untuk gurunya Wanyen Kang ini. Hanya sedetik, Bwee Tiauw Hong telah lantas mengeluarkan cambuknya yang panjang, yang ia terus putar di sekitarnya. Dilain pihak, semua ular sudah datang mendekat, sikapnya mengurung. Beberapa ekor, menuruti titahnya siutan, berlompat menyerang, tetapi segera mereka terpental terbalik terkena angin cambuknya Tiauw Hong itu.
“Siluman wanita she Bwee!” berseru Auwyang Kongcu sesudah sekian lama ia membungkam saja. “Ketahui olehmu, aku tidak menghendaki nyawamu! Kau keluarkan kitab Kiu Im Cin-keng, kongcumu akan segera membebaskanmu!”
Tiauw Hong tinggal mengambil mumat, ia terus putar cambuknya.
“Jikalau kau sanggup, kau putarlah cambukmu selama satu jam!” Auwyang Kongcu berkata pula. “Aku nanti menunggu kau sampai besok pagi. Aku mau lihat kau serahkan kitabmu itu atau tidak!”
Tiauw Hong tidak menyahuti, tetapi ia bergelisah, Ia memikir daya untuk meloloskan diri. Ia pasang kupingnya. Ia ketahui, disekitarnya ular belaka. Ia tidak berani bertindak, ia khawatir nanti kena menginjak ular. Hebat kalau ia kena dipagut walaupun cuma satu kali saja…..
Dari berdiri, Auwyang Kongcu lantas berduduk. Ia berdiam lagi sekian lama, lalu dengan suara puas, ia mengasih dengar suaranya: “Orang she Bwee, kitabmu itupun kau dapati dari mencuri, dan selama duapuluh tahun, kau pasti sudah menyakinkannya dengan seksama, maka itu, perlu apa kau peluki saja kitab itu hingga mampusmu? Kau pinjamkan itu kepadaku, untuk aku lihat, dengan begitu dari musuh kita menjadi sahabat, aku akan melupakan segala apa yang sudah lewat! Tidakkah itu bagus sekali?”
“Kalau begitu, bubarkan barisan ularmu ini!” menyahut Bwee Tiauw Hong.
Auwyang Kongcu tertawa, “Kau serahkan dulu kitabmu!” katanya.
Kita “Kiu Im Cin-keng” di tangan Bwee Tiauw Hong hanya separuh tetapi ia pandang itu bagaikan nyawanya, dari itu tidak sudi ia menyerahkannya. Ia sudah mengambil keputusan: “Kalau aku mati, aku akan merobek-robek ini!”
Liam Cu tegang hatinya, ia habis sabar.
“Lekas panjat pohon! Lekas panjat pohon!” ia berteriak menganjurkan. Tapi mulutnya disumbat, tak dapat ia mengasih dengar teriakannya itu.
Tiauw Hong buta, tidak tahu ia di dekatnya ada sebuah pohon pohon kayu besar. Ia pun percaya betul kepandaiannya, tidak suka ia mengangkat kaki. Sebelah tangannya ia masuki ke dalam sakunya.
“Baiklah, hari ini nyonya besarmu menyerah!” katanya kemudian. “Kau ambillah ini!”
“Kau lemparkan!” kata Auwyang Kongcu yang licik.
“Kau sambutlah!” seru Bwee Tiauw Hong, yang tangannya terayun.
Menyusul itu Auwyang Kongcu roboh.
Liam Cu mendengar suara sar ser, lantas dua orang wanita disampingnya turut roboh juga. Hanya Auwyang Kongcu tetap bergulingan, di waktu mana ia dapat dengar robohnya lagi dua wanitanya. Ia berlompat bangun dengan hatinya gentar, tubuhnya mandi keringat dingin. Hebat senjata rahasia musuh, yang juga membikin ia menjadi sangat gusar.
“Perempuan siluman!” dia berteriak seraya mundur, “Hendak aku membikin kau hidup tidak, mati pun tidak!”
Bwee Tiauw Hong itu menyerang dengan “bue-heng-teng”, yaitu paku rahasia yang seperti tidak tampak wujudnya. Ia kagum akan mendapatkan musuh dapat menolong diri. Tentu saja, hatinya pun cemas.
Auwyang Kongcu mengawasi tajam kedua tangan orang, ia mau menunggu asal cambuk wanita itu kendor, ia akan menitahkan ularnya menyerbu. Di sampingnya sudah ada bangkainya beberpaa puluh ularnya itu. Tapi ia mempunyai ribuan, laksaan, mana orang bisa keluar dari kurungan? Cuma, karena jeri pada cambuk perak lawannya, si pemuda juga tidak berani datang dekat.
Satu jam orang seperti saling berdiam, rembulan mulai doyong ke barat.
Inilah hebat untuk Tiauw Hong. Mana ia mesti putar cambuknya, mana ia mesti memasang kuping. Dengan terpaksa, kalangan cambuknya itu menjadi menciut.
Senang Auwyang Kongcu menyaksikan itu. Ia perintahkan ularnya merangsak maju. Ia hanya khawatir orang menjadi nekat dan merusak kitabnya. Ia lantas bersiap sedia, asal Tiauw Hong mulai merobek, ia hendak merampasnya.
Tiauw Hong meraba ke dalam sakunya, kepada kitabnya, wajahnya berubah pucat.
Auwyang Kongcu tidak tahu bahwa musuhnya ini telah berkata di dalam hatinya: “Sungguh aku tidak sangka, selagi sakit hatiku belum terbalas, aku mesti terbinasa di sini….”
Tepat tengah wanita ini berpikir keras, kupingnya mendengar suara seperti bunyinya burung hong di tengah udara, atau suara seperti ditabuhnya batu kumala. Menyusul beberapa suara itu, terdengarlah suara seruling yang halus dan merdu.
Kedua pihak, yang “tengah” bertempur, menjadi terkejut. Auwyang Kongcu yang mengangkat kepalanya untuk melihat, mendapatkan orang yang tadi, yang mengenakan baju hijau, lagi bercokol di atas pohon. Dialah yang lagi meniup seruling itu.
Bukan main herannya pemuda ini. Ia ketahui baik lihaynya matanya tetapi toh kali ini ia gagal. Tak tahi ia kapannya si baju hijau itu berada di atasnya pohon itu. Pula aneh, orang itu duduk dengan tenang sekali selagi pohon itu bergoyang-goyang. Ia lihay ilmunya ringan tubuh tetapi tidak nanti ia dapat menyamai orang itu. Ia sampai mau menerka hantu…..
Seruling masih berbunyi terus. Hatinya Auwyang Kongcu goncang, tetapi wajahnya tersenyum. Ia lantas merasakan tubuhnya panas, dengan sendirinya ia seperti hendak menari-nari. Baru tangan dan kakinya bergerak, atau ia kaget sendirinya, lekas-lekas ia menetapkan hatinya. Ia sekarang mendapatkan ular-ularnya pada mendekati bawah pohon itu, kepalanya diangkat tinggi-tinggi, bergerak-gerak mengikuti irama seruling itu.
Hampir di itu waktu, si penggembala ular, tiga pria itu, bersama-sama belasan wanita serba putih itu, sudah berada di bawah pohon, dimana mereka itu menari-nari. Hebat caranya mereka menari, sebab selanjutnya mereka bukan cuma menari, mereka merobek-robek pakaian mereka dan mencakari kuka mereka, toh mereka pada tertawa. Mereka menari bagaikan kalap, tak lagi mereka merasakan sakit.
Auwyang Kongcu kaget bukan main. Tahulah ia bahwa ia telah bertemu musuh yang tangguh. Ia lantas mengeluarkan enam biji senjata rahasianya, torak perak yang beracun, dengan sekuat tenaganya ia menyerang orang itu di tiga juruan: kepala, dada dan perut. Dalam hal senjata rahasia, ia adalah satu ahli, belum pernah ia gagal. Tapi aneh kali ini, toraknya itu disampok ujung seruling dan jatuh, serulingnya tak pernah terpisah dari mulutnya orang itu.
Atau dilain pihak saat pemuda ini membeber kipasnya, ia pun menari-nari. Dia kaget bukan main, ia mencoba untuk menguasai dirinya. Dia menahan gerakan tangan dan kakinya. Katanya itu dalam hati: “Lekas robek baju, sumpal kupingmu, jangan dengari lagi serulingnya!”
Hanya luar biasa suara seruling itu, telinga telah disumbat tapi suaranya masih terdengar. Maka pemuda itu kaget dan berkhawatir sekali. Baru sekarang ia tahu takut. Ia bermandikan keringat dingin.
Bwee Tiauw Hong sendiri duduk bercokol di tanah, kepalanya dikasih tunduk. Terang ia tenagh bersemadhi, untuk menguasi dirinya.
Beberapa perempuan dari Auwyang Kongcu itu telah roboh di tanah, tubuhnya bergulingan. Mereka itu telah merobek pakaian mereka. Liam Cu tengah tertotok jalan darahnya, tidak bisa ia menggeraki kaki tangannya, tetapi mendengari suara seruling itu, hatinya goncang. Ia sekarang rebah di tanah, hatinya tidak karuan rasa.
Auwyang Kongcu menderita hebat. Kedua belah pipinya menjadi merah, kepalanya dirasakan panas sekali, lidah dan tenggorokannya kering. Tapi ia masih ingat untuk membela diri. Maka ia gigit lidahnya, diwaktu ia merasakan sakit, gangguan seruling itu menjadi berkurang sendirinya. Lekas-lekas ia bergerak, ia lompat ke Liam Cu, tubuh siapa ia pondong, untuk dibawa lari. Sebentar saja ia sudah berada jauh beberapa lie, di mana suara seruling tadi tidak terdengar pula. Di sini ia merasa hatinya lega tetapi tenaganya habis, tubuhnya basah kuyup dengan keringatnya, ia seperti sakit berat. Tapi ia menguati hati, ia mencoba lari terus. Supaya tak usah berhenti di tengah jalan, ia bebaskan totokan pada tubuh Liam Cu, untuk menyuruh si nona turut lari masuk ke dalam kota Souwciu.
* * *
Oey Yong sendiri bersama Kwee Ceng, sehabisnya menunjukkan jalan pada Liam Cu, sudah lantas pulang ke kamarnya untuk terus tidur. Mereka tidak memikir untuk mencari tahu apa yang nona Bok itu perbuat. Besoknya siangnya, mereka jalan-jalan di tepi telaga Thay Ouw. Malamnya, mereka berkumpul dengan tuan rumah, melihat gambar-gambar dan berbicara tentang ilmu surat.
Biar bagaimana, hatinya Kwee Ceng tidak tenang. Dengan kepergiannya Liam Cu, berarti Bwee Tiauw Hong bakal datang. Ia tahu Tiauw Hong kejam, maka ada kemungkinan Kwie-in-chung nanti menampak bahaya. Siapa di rumah ini yang sanggup melawan si Mayat Besi? Karenanya, diwaktu ia berada berduaan dengan Oey Yong, ia utarakan kekhawatirannya itu.
“Apakah tidak lebih baik kita memberitahukan tuan rumah perihal Bwee Tiauw Hong, supaya Wanyen Kang dibebaskan, agar rumah ini lolos dari bahaya?” katanya kepada si nona.
“Jangan,” Oey Yong menggoyangi tangan. “Mulanya aku percaya Wanyen Kang itu baik hatinya, setelah mendengar suaranya enci Bok, biarlah ia mengalami lebih banyak penderitaan. Kalau tetap dia tidak mengubah kelakuannya, kita bunuh saja padanya!”
“Bagaimana kalau Bwee Tiauw Hong sampai datang?” tanya si pemuda lagi.
“Kita justru boleh mencoba kepandaian ajaran Ang Cit Kong terhadap dirinya!” sahut si nona, yang tertawa.
Oey Yok Su terkenal sebagai Tong Shia, si Sesat dari Timur, maka gadisnya ini, tak banyak tapi sedikit menerima warisan sifatnya yang kukuh dan keras itu dan luar biasa. Kwee Ceng ketahui baik sifat ini, ia tidak mau membantah, bahkan ia tertawa. Cuma di dalam hatinya ia sudah mengambil ketetapan, mengingat kebaikannya tuan rumah, layak saja apabila ia membantu melindungi tuan rumahnya itu.
Berselang dua hari, kedua tetamunya ini tidak mengutarakan bahwa mereka hendak pergi melanjuti perjalanan mereka. Tuan rumah tetap melayani mereka dengan manis, bahkan tuan rumah ini mengharap-harap mereka berdiam lebih lama.
Dihari ketiga, pagi, selagi tuan rumah duduk pasang omong bersama Oey Yong dan Kwee Ceng di kamar tulis, Koan Eng muncul dengan air mukanya tak biasa, bersamanya ada satu chungteng yang membawa sebuah penampan, di atasnya itu ada serupa barang yang ditutupi kain hijau. Anak itu memberitahukan baru saja ada yang mengantar barang itu, setelah mana ia menyingkap kain hijaunya, maka di situ terlihatlah sebuha tengkorak dengan lubang lima jari tangan.
Terang sudah, itulah tanda mata dari Bwee Tiauw Hong.
Oey Yong dan Kwee Ceng telah menduga bakal terjadi hal begini, paras mereka tidak berubah, sebaliknya tuan rumah, mukanya pucat dan suaranya tak lancar ketika ia menanya: “Siapa…siapakah yang membawa ini kemari?” Ia pun memcoba berbangkit dengan bantuan tangannya.


Bab 29. Orang yang Berjalan di Atas Kali

Koan Eng dapat menduga tengkorak itu aneh tetapi percaya ada ketangguhannya sendiri, ia tidak begitu berkhawatir, maka itu heran ia mendapatkan perubahan sikap dari ayahnya itu.
“Barusan orang mengantarkan ini termuat dalam sebuah kotak,” ia menerangkan. “Chunteng kita mengira pada bingkisan biasa saja, ia menerima dan memberi upah, tanpa meminta keterangan lagi, setelah dibawa ke dalam, baru ketahuan barang itu inilah adanya. Pembawa barang itu dicari tetapi ia sudah pergi entah kemana. Adapakah mengenai barang ini, ayah?”
Chungcu tidak menjawab, sebaliknya ia memasuki lima jari tangannya ke dalam lima lubang di tengkorak itu. Cocok lubang dan jari tangan itu.
Koan Eng mengawasi, ia heran bukan kepalang. “Adakah lubang ini dibikin dari tusukan jari tangan?” tanyanya.
Sang ayah mengangguk, ia mengasih dengar suara tak tegas. Sesaat kemudian barulah ia bilang: “Kau suruh orang menyiapkan semua barang berharga, lantas kau antarkan ibumu ke tempat sepi di dalam telaga, untuk menyembunyikan diri. Kau pun memerintahkan semua cecu supaya dalam tempo tiga hari janganlah mereka meninggalkan tempat mereka masing-masing walaupun satu tindak. Pesan mereka itu bahwa walaupun ada gerakan apapun di Kwie-in-chung ini, ada api atau kitar berkurang, jangan mereka datang menolongi….!”
“Ayah, apakah artinya ini?” Koan Eng tanya, kaget.
Liok Chungcu tertawa menyeringai. Bukan ia menjawab anaknya itu, hanya ia berpaling kepada kedua tetamunya untuk berkata: “Kita baru bertemu tetapi kita cocok sekali satu dengan lain, sebenarnya adalah maksudku akan meminta jiwi berdiam lagi beberapa hari di sini, sayang itu tak dapat dilakukan. Dengan sebenarnya aku ada mempunyai dua musuh besar yang lihay sekali, mereka itu sekarang hendak datang mencari balas, karena itu, bukan aku tidak ingin ketumpangan jiwi tetapi sesungguhnya Kwie-in-chung terancam bahaya hebat. Kalau nanti aku lolos dari bahaya maut, di belakang hari pastilah kita akan bertemu pula….”
Terus ia menoleh kepada kacungnya dan kata: “Pergi kau ambil uang emas empatpuluh tail.”
Kacung itu sudah lantas mengundurkan diri, sedang Koan Eng tidak berani tanya-tanya lagi, ia pun mundur untuk melakukan titah ayahnya.
Sebentar kemudian kacung tadi muncul pula dengan uang emas di tangannya, Liok Chungcu menyambuti itu, untuk terus dihanturkan kepada Kwee Ceng. Ia kata: “Nona ini cantik luar biasa, dengan saudara Kwee ia berjodoh sekali, maka itu haraplah saudara sudi menerima bingkisan ini yang tidak berarti untuk saudara nanti gunai di hari pernikahanmu. Harap saja saudara tidak menertawainya.”
Mendengar itu muka, Oey Yong merah sendirinya. “Tajam sekali mata orang ini,” pikirnya. “Kiranya ia telah mengetaui penyamaranku. Anehnya kenapa ia pun ketahui aku belum menikah sama engko Ceng?”
Kwee Ceng tiadk bisa berpura-pura, ia menerima bingkisan itu seraya menghanturkan terima kasih.
Di meja sampingnya ada sebuah gendul, dari situ Liok Chungcu menuang beberapa butir obat pulung warna merah, terus ia bungkus itu, kemudian ia kata pula: “Aku tidak mempunyai kebisaan apa-apa, kecuali dulu pernah guruku mengajarkan ilmu obat-obatan. Inilah obat yang aku berhasil membuatnya. Khasiat obat ini ialah, setelah memakannya, orang akan dapat bertambah umur. Kita telah dapat berkenalan, inilah sedikit hormatku.”
Obat itu menyiarkan bau harum, maka taulah Oey Yong bahwa itu ada obat yang dinamakan pil “Kiu-hoa Giok-louw-wan”. Semasa kecil pernah ia mambantui ayahnya mengumpuli sembilan rupa bunga yang tangkainya masih ada embunnya, untuk dibuat obat. Memang tiadk gampang untuk membikin obat itu. Maka itu ia kata: “Tidak gampang untuk membikin obat Kiu-hoa Giok-louw-wan ini,” ia berkata, “Dari itu sudah cukup jikalau kami menerima dua butir saja.”
Herang chungcu ini, hingga keheranan itu terkentara pada wajahnya. “Kenapa nona ketahui namanya obat ini?” tanyanya.
“Dimasa kecil tubuhku lemah sekali,” Oey Yong mendusta, “Kebetulan pandai kita bertemu dengan seorang pandai yang menghadiahkan tiga butir. Begitu makan obat itu, kesehatanku pulih.”
Tuan rumah tertawa menyeringai pula. “Jangan menampik, jiwi,” ia berkata. “Sebenarnya sia-sia belaka untuk aku menyimpannya.”
Oey Yong tahu orang sudah bersedia untuk binasa, percuma ia menampik lebih jauh, maka ia terima pemberian obat itu. Kembali ia menghanturkan terima kasih.
“Perahu telah disiapkan, maka itu silakan jiwi lekas berangkat meinggalkan telaga ini,” berkata lagi tuan rumah. “Di tengah jalan, jikalau ada terjadi sesuatu, harap jiwi jangan mengambil peduli. Aku minta jiwi perhatikan pesanku ini.”
Sebenarnya Kwee Ceng hendak memberitahukan bahwa mereka berdua hendak berdiam di telaga itu untuk memberikan bantuannya tetapi Oey Yong mengedipi mata padanya, terpaksa ia mengangguk.
“Aku lancang, ingin aku menanyakan suatu hal,” kata Oey Yong.
“Apakah itu, nona?” tanya si tuan rumah.
“Chungcu sudah ketahui musuh lihay dan tidak dapat dilawan, kenapa chungcu tidak hendak menyingkir daripadanya? Menyingkir untuk sementara waktu. Peribahasa membilang, seorang budiman tak akan menerima malu di depan mata….”
Chungcu itu menghela napas.
“Tapi dua orang itu telah membuatnya aku menderita,” katanya, masgul. “Cacad tubuhku ini pun adalah pemberian mereka itu. Selama duapuluh tahun, karena aku tidak dapat berjalan, tidak dapat aku mencari mereka untuk membuat perhitungan, sekarang mereka itu datang sendiri, inilah ketika yang baik yang dihadiahkan Thian!”
Oey heran mendengar orang menyebut dua orang. “Ah, ia tentunya masih menduga si Mayat Perunggu Tan Hian Hong masih hidup. Sebenarnya, apakah permusuhan mereka itu? Sayang aku tidak dapat menanyakannya….” Tapi ia tertawa. Ia lantas menanya: “Chungcu, kau mengenali penyamaranku, inilah tidak aneh. Kenapa kau pun ketahui kami belum menikah? Kita toh tinggal dalam sebuah kamar?”
Ditanya begitu tuan rumah melengak. “Kau toh satu gadis putih bersih, mana aku tidak dapat melihatnya? Cuma, sulit untuk aku menjelaskannya…” pikirnya. Selagi ia bersangsi, Koan Eng datang, berbisik di kupingnya, “Pesan ayah sudah disampaikan tetapi empat cecu Thio, Kouw, Ong dan Tam, tidak hendak pulang. Mereka kata biarnya mereka dipotong kepalanya disini, mereka tidak hendak meninggalkan Kwie-in-chung!”
Liok Chungcu menghela napas. “Sungguh mereka baik sekali,” katanya. “Nah, kau antarlah kedua tetamuku kita yang terhormat ini keluar dari telaga ini.”
Oey Yong bersama Kwee Ceng lantas memberi hormat. Di luar mereka dapatkan kuda dan keledai mereka.
“Naik perahu atau tidak?” Kwee Ceng berbisik.
“Kita pergi untuk kembali!” sahut Oey Yong, berbisik juga.
Koan Eng tengah bingung, ia cuma tahu harus lekas-lekas mengantar kedua tetamunya itu pergi, ia tidak memperhatikan sikapnya kedua tetamunya itu.
Disaat Oey Yong berua hendak naik di perahu yang sudah disediakan, mendadak saja ia menampak suatu pemandangan yang luar biasa, ialah dari satu orang yang berjalan cepat sekali di tepi telaga, di kepala itu ada dijunjung satu jambangan yang besar. Kwee Ceng dan Koan Eng pun lantas dapat melihatnya maka mereka turut mengawasi seperti si nona.
Sebentas kemudian orang telah datang dekat. Sekarang terlihat nyata, ia adalah seorang tua dengan kumis ubanan, bajunya kuning, tangan kanannya memegnag sebuah kipas yang besar. Masih ia bertindak tetap dan cepat. Jambangannya pun rupanya terbuat dari besi, beratnya mungkin beberapa ratus kati. Ia lewat di samping Koan Eng semua tetapi ia seperti tidak melihatnya. Beberapa tindak kemudian, ia terhuyung, lalu dari jambangan itu itu air mengeplok. Air itu sendiri mungkin seratus kati atau lebih beratnya. Seorang tua dapat membawa jambangan seberat itu benar-benar hebat.
“Apakah bisa menjadi dialah musuh ayah?” Koan Eng menduga-duga. Ia lanatas saja menyusul.
Oey Yong dan Kwee Ceng segera mengikuti.
Cepat jalannya si orang tua, sebentar saja sudah lewat beberapa lie.
Koan Eng dapat berjalan cepat, bisa ia menyusul. Hanya ia heran untuk si orang tua.
Juga Oey Yong dan Kwee Ceng turut heran. Kwee Ceng malah menyangsikan mungkin dia ini melebihkan lihaynya Khu Cie Kee. Ia ingat cerita gurunya tentang pertandingan mereka dengan Tian Cun Cu, yang kuat mempermainkan jambangan besar tetapi jambangan ini jauh lebih besar.
Si orang tua berjalan ke tempat belukar, berliku-liku. Koan Eng tinggal di tempat yang sunyi tetapi ia toh tidak kenal tempat ini. Ia jadi bersangsi. Ia pikir: “Ini orang tua saja aku tidak dapat melayaninya, bagaimana kalau di sana ia menyembunyikan kawan-kawannya? Baiklah aku balik…” Tapi di depannya ada kali, ia heran. Pikirnya pula: “Di depan tidak ada jembatan, hendak aku lihat bagaimana dia melewatinya…. Atau dia jalan di tepian timur atau di tepian barat…”
Selagi ia menduga-duga. Koan Eng lantas berdiri melengak.
Si orang tua itu jalan terus di kali itu, kakinya terpendam di air sebatas betisnya. Dia jalan terus hingga di seberang. Setibanya dia meletaki jambangan di rumput, dia sendiri kembali ke kali ke mana ia terjun, setelah mana, dia berjalan setindak demi setindak kembali ke darat.
Kwee Ceng dan Oey Yong, yang dapat menyusul, mengawasi dengan kekaguman.
Tiba-tiba si orang tua mengusut-usut kumisnya sambil tertawa lebar. “Tuan, adakah kau chungcu muda yang menjadi pemimpin jago-jago dari Thay Ouw?” dia bertanya.
“Maaf,” kata Koan Eng merendahkan diri, lalu ia balik menanyakan she dan nama orang.
“Ah, masih ada dua engko kecil di sana!” kata si orang tua itu menunjuk Kwee Ceng dan Oey Yong. “Marilah kamu sama-sama datang ke mari!”
Koan Eng menoleh. Baru sekarang ia ketahui bahwa Kwee Ceng berdua telah mengikuti dia. Dia menjadi heran. Tidak dia sangka, orang dapat ebrlari keras seperti dia tanpa tindakannya bersuara.
Kwee Ceng dan Oey Yong memberi hormat sambil berjura. Mereka menyebutkan dirinya orang-orang dari tingkat muda dan memanggil orang dengan sebutan - thay-kong - orang tua yang dihormati.
Orang tua itu tertawa pula; “Sudah, Sudah!” ia mencegah orang menghormat. Kemudian ia mengawasi Koan Eng dan berkata: ” Di sini bukan tempat yang tepat untuk memasang omong, mari kita mencari tempatnya untuk berduduk-duduk.”
Koan Eng tetap bersangsi orang ini musuh ayahnya atau bukan. “Apakah thaykong kenal ayahku?” ia menanya.
“Kau maksudkan chungcu yang tua? Belum pernah aku bertemu dengannya.” sahut si orang tua.
Agaknya orang tidak berdusta, maka Koan Eng berkata pula: “Hari ini ayah menerima serupa bingkisan luar biasa, adakah thaykong ketahui itu?”
“Bingkisan apakah itu yang aneh?” si orang tua balik menanya.
“Itulah sebuah tengkorak dengan lima lubang bekas jari tangan….” sahut Koan Eng.
“Benar-benar aneh! Apakah ada orang yang bergurau dengan ayahmu itu?” tanya si orang tua lagi.
Mendengar itu, Koan Eng mendapat kesan lain. Maka ia pikir, baik ia undang orang ini ke rumahnya, dia tentu gagah, mungkin dia dapat membantu ayahnya. Karena ini, ia lantas menunjuk wajah gembira.
“Jikalau thaykong tidak menampik, aku minta thaykong datang ke rumahku untuk minum the,” ia mengundang.
“begitupun baik,” shaut orang tua itu setelah berpikir sejenak.
Buakn main girangnya Koan Eng. Ia lantas minta si orang tua jalan di muka.
“Apakah kedua engko kecil itu pun dari rumahmu?” tanya si orang tua seraya ia menunjuk Kwee Ceng dan Oey Yong.
“Kedua tuan ini adalah sahabat-sahabatnya ayahku,” menyahut Koan Eng.
Lantas orang tua itu tidak memperdulikan lagi, dia jalan cepat.
Kwee Ceng dan Oey Yong mengikuti di belakang Koan Yeng. Lekas juga mereka tiba di Kwie-in-chung. Tuan rumah yang muda minta tetamunya menanti di ruang tamu, ia sendiri lari ke dalam untuk mewartakan kepada ayahnya.
Tidak lama, tuan rumah telah muncul dengan digotong dua orangnya. Ia numprah di atas pembaringan bambu, yang merupakan bale-bale. Ia memberi hormat sambil menjura kepada tetamunya yang tua itu. Ia kata: “Maaf, tak tahu aku akan kedatangan tuan hingga tidak bisa aku menyambut dengan selayaknya.”
Orang tua itu membalas hormat hanya dengan membungkuk sedikit. Suaranya pun tawar ketika ia berkata: “Tak usah menggunai banyak adat peradatan, Liok Chungcu.”
Tuan rumah tidak memperdulikan sikap orang, ia menanyakan she dan nama tetamunya itu.
“Aku she Kiu, namaku Cian Jin,” sahutnya.
Tuan rumah terkejut.
“Jadinya locianpwee adalah Tiat-ciang Sui-siang-piauw!” katanya. Ia ketahui baik nama orang berikut gelarannya itu, yang berarti si Tangan Besi Mengambang di Air.
“Bagus sekali ingatanmu, Liok Chungcu, kau masih ingat julukanku itu! Sudah duapuluh tahun semenjak aku tidak muncul pula dalam dunia kangouw, aku menyangka orang telah melupai aku.”
Memang pada duapuluh tahun yang lampau itu, nama Tiat-ciang Siu-siang-piauw kesohor sekali, kemudian ia tinggal menyendiri, hingga orang seperti melupai dia. Liok Chungcu ingat nama orang, tidak heran kalau ia jadi terperanjat.
“Untuk apakah locianpwee datang ke sini?” ia menanya. “Bila aku sanggup, suka sekali aku berbuat sesuatu untukmu.”
“Tidak ada urusan yang penting,” sahut si orang tua tertawa. “Atau mungkin aku bakal ditertawakan sahabat-sahabat kalangan Rimba Persilatan. Sebenarnya aku ingat meminjam suatu tempat yang sunyi untuk aku melatih diri. Tentang ini baiklah sebentar malam saja kita bicarakan dengan perlahan-lahan.”
Liok Chungcu tidak melihat niat orang yang tidak baik pada wajah orang tua ini akan tetapi ia tetap kurang tenang hatinya.
“Apakah locinpwee pernah bertemu sama Hek Hong Siang Sat?” ia menanya.
“Hek Hong Siang Sat? Apakah kedua iblis itu belum mampus?” si orang tua balik menanya.
Lega juga hatinya Liok Chungcu mendapat jawaban itu.
“Anak Eng, pergi kau minta locinpwee beristirahat di kamar tulis,” katanya kemudian.
Kiu Cian Jin mengangguk, terus ia mengikuti Koan Eng.
Liok Chungcu belum tahu kepandaiannya Kiu Cian Jin itu, hanya ia ketahu ketika dulu hari Tong Shia bersama See Tok, Lam Kay, Pak Tee dan Tiong Sin Thong berlima mengadu kepandaian di atas gunung Hoa San, dia telah diundang ikut hadir, hanya karena ada urusan, ia tak dapat datang. Dia telah diundang, itu tandanya dia bukan sembarang orang. Sekarang ia berada di sini, kalau Hek Hong Siang Sat datang, bolehlah tak usah ia terlalu berkhawatir.
“Jiwi belum berangkat, inilah bagus,” katanya kemudian kepada Kwee Ceng dan Oey Yong. “Kiu locianpwee lihay sekali, sekarang kebetulan dia datang kemari, selanjutnya aku tidak mengkhawatirkan lagi kedua musuh besarku itu. Sebentar silkana jiwi beristirahat di dalam kamarmu, jangan jiwi keluar, selewatnya malam ini bahaya sudah tak ada lagi!”
Oey Yong tertawa. “Aku ingin menonton keramaian, bolehkah?” ia bertanya lucu.
Tuan rumah berpikir. “Aku cuma khawatir musuh datang dalam jumlah banyak, aku jadi tidak bakal dapat melayani jiwi,” berkata dia. “Tapi baiklah, asal jiwi berdiam saja disampingku, jangan kamu berkisar, dengan adanya Kiu locianpwee di sini, segala tikus tentulah tidak ada artinya!”
Oey Yong bertepuk tangan saking girangnya.
“Aku memang paling gemar menonton orang berkelahi!” katanya. “Ketika kemarin ini kau menghajar pangeran cilik, sungguh senang untuk menyaksikannya!”
“Tapi yang bakal datang malam ini adalah gurunya pangeran cilik itu,” Liok Chungcu memberitahu. “Dia lihay sekali, karenanya aku berkhawatir.”
“Ah, chungcu, mengapa kau bisa ketahui itu?” Oey Yong tanya, ia heran.
“Nona tentang lihaynya ilmu silat kau belum mengerti,” berkata tuan rumah. “Ketika si pangeran cilik melukai anakku dengan totokan jari tangannya, kepandaiannya itu sama denagn kepandaian totokan lima jari tangan pada tengkorak itu.”
“Aku mengerti sekarang!” kata Oey Yong. “Memang juga tulisan Souw Tong Po beda dengan tulisannya Oey San Kok, sama seperri bedanya lukisan Too Koen Hong dari lukisannya Cie Hie! Cuma ahli yang segera dapat menbedakannya!”
“Sungguh kau cerdas, nona!” tertawa tuan rumah.
Oey Yong tarik tangan Kwee Ceng. “Mari kita lihat itu orang tua yang kumisnya ubanan!” katanya. “Sebenarnya ia tengah menyakinkan ilmu apa?”
“Eh, jangan nona!” mencegah tuan rumah, terkejut. “Jangan kau membuatnya gusar!”
“Oh, tidak ada!” kata Oey Yong, tertawa. Ia berbangkit, untuk berlalu.
Liok Chungcu bercokol saja, tak dapat ia bergerak dengan leluasa, ia menjadi bergelisah sendirinya.
“Nona ini sangat nakal!” katanya. “Mana orang dapat diintai?” Terpaksa ia suruh orangnya menggotongnya ke kamar tulis, untuk bisa mencegah Oey Yong itu. Dari masih jauh ia sudah lihat Oey Yong dan Kwee Ceng lagi mengintai di jendela.
Oey Yong mendengar orang datang, ia menoleh, tangannya digoyang-goyangi, untuk mencegah orang menerbitkan suara berisik, dilain pihak ia menggapai kepada tuan rumah supaya tuan rumah itu datang padanya.
Liok Chungcu bersangsi, tetapi ia toh datang mendekati juga. Ia berkhawatir, kalau ia menampik, nona itu nanti rewel. Dibantu kedua chungtengnya, ia turut mengintai. Oey Yong membikinkan ia sebuah lubang kecil di kertas jendela. Ia lantas menjdai heran sekali.
Kiu Cian Jin duduk bersila dengan kedua matanya ditutup rapat. Dari mulutnya menghembus keluar tak habisnya serupa hawa mirip asap atau kabut. Ia luas pengetahuannya tetapi ia tidak mengerti ilmu apa itu. Maka ia tarik ujung bajunya Kwee Ceng, untuk menyuruh orang jangan mengintai terlalu lama.
Kwee Ceng seorang terhormat, ia mengindahi tuan rumah, ia pun insyaf tak pantas ia mencuri melihat lain orang, dari itu ia terus tariknya Oey Yong. Bersama-sama tuan rumah mereka masuk ke perdalaman.
“Bagus sekali permainannya tua bangka itu!” kata Oey Yong tertawa. “Di dalam perutnya bisa api menyala!”
“Kau tidak tahu, nona,” kata tuan rumah. “Itulah semacam ilmu yang lihay sekali!”
“Mustahilkah mulutnya nanti dapat menyemburkan api membuat orang terbakar mampus?” tanya Oey Yong. Ia menanya dengan sesungguhnya, sebab sebenarnya ia heran atas asap yang keluar dari mulutnya tetamu tua itu.
“Kalau itu benar api, itulah tidak mungkin,” berkata tuan rumah. “Aku percaya, itulah semacam latihan tenaga dalam. Bukankah bunga dan daun pun dapat digunakan sebagai senjata rahasia untuk melukai orang?”
“Ya, dengan hancuran bunga menghajar orang!” seru Oey Yong.
“Benar-benar nona cerdas!” tuan rumah memuji pula. Kemudian ia mengasih perintah kepada Koan Eng untuk meronda dengan hati-hati di sekitar rumahnya itu dengan pesan, kalau ada orang atau orang-orang yang sikapnya luar biasa, mereka itu mesti disambut dengan hormat dan diundang masuk untuk bertemu dengannya.
Setelah mulai sore, Liok Chungcu memerintahkan menyulut beberapa puluh lilin besar untuk membikin ruang besar menjadi terang sekali, di tengah itu disiapkan meja perjamuan. Kiu Cian Jin lantas diundang dan dipersilahkan duduk di kursi kepala. Kwee Ceng dan Oey Yong yang menemani. Tuan rumah dan putranya duduk di paling bawah.
Liok Chungcu memberi hormat pada tetamunya dengan secawan arak, ia tidak berani menanyakan maksud kedatangan orang, ia hanya membicarakan lain urusan, yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali.
“Liok Laotee,” kata Kiu Cian Jin kemudian. “Kau menjadi pemimpin di Kwie-in-chung ini, ilmu silatpun bukan sembarang, apakah kau sudi memperlihatkan barang satu atau dua jurus kepadaku? Dengan begini mataku jadi dapat dibuka.”
“Kepandaianku tidak berarti, tidak berani aku mempertunjuki itu dihadapan locianpwee,” kata tuan rumah menghormat. “Laginya sudah lama aku bercacad, sedikit pelajaran yang aku dapatkan dari guruku sudah lama aku mengalpakannya.”
“Siapakah itu gurumu, laotee?” tanya tetamu itu. “Kalau kau menyebutkannya, mungkin aku si orang tua mengenalnya.”
Liok Chungcu menghela napas panjang, lalu mukanya menjadi pias. “Kelakuanku tidak selayaknya, tak dapat aku diterima guruku, karena itu malu untuk aku menyebutnya,” katanya selang sejenak.
Mendengar itu, Koan Eng berduka. Baru sekarang ia ketahui ayahnya itu telah diusir gurunya. Dengan sebenarnya ia tidak tahu yang ayahnya lihay ilmu silatnya. Ia percaya ayahnya itu ada punya lelakon yang menyedihkan.
“Liok Chungcu,” berkata si orang tua, “Kau menjadi pemimpin di sini, kenapa kau tidak hendak menggunai ketika ini untuk membangun diri, untuk melampiaskan tak kepuasanmu itu? Dengan jalan ini kau nantinya membikin tetua dari partaimu menjadi insyaf dan menyesal karenanya.”
“Aku bercacad, aku bodoh, meskipun kata-kata cianpwee ada nasehat berharga sekali, menyesal aku tidak dapat menerimanya,” sahut Liok Chungcu. Ia selamanya bicara dengan merendah.
“Chungcu terlalu merendah. Di depan mataku ada satu jalan, hanya entahlah, chungcu memang tidak melihatnya atau memang tidak memikirkannya….”
“Tolong locianpwee memberi petunjuk”
Kiu Cian Jin tersenyum, ia santap lauk pauknya, ia tidak menyahuti.
Tuan rumah menduga pasti ada sebabnya kenapa orang tua ini muncul setelah ia mengundurkan diri duapuluh tahun lamanya, ia hanya tidak dapat menerka maksud orang itu. Orang pun ada dari kalangan terlebih atas, tidak dapat ia menanyakannya, maka itu ia membiarkan saja sampai orang suka bicara sendiri.
“Tidak apalah Chunngcu tidak sudi memberitahukan guru atau rumah perguruanmu,” kata Kiu Cian Jin kemudian. “Kwie-in-chung begini kesohor, yang mengurusnya mesti murid dari guru yang kenamaan….”
“Segala apa disini diurus oleh Koan Eng, anakku,” menerangkan tuan rumah. “Ia adalah muridnya Kouw Bok Taysu dari kuil Kong Hauw Sie di kota Lim-an.”
“Ah, Kouw Bok Taysu itu adalah ahli waris yang menjadi ketua dari cabang Selatan dari partai Hoat Hoa,” berkata Kiu Cian Jin. “Dialah ahli luar. Maukah siauw-chungcu mempertunjuki sesuatu untuk aku meluaskan pandangan mataku?”
“Locianpwee sudi memberi petunjuk, inilah untungnya anakku,” kata Liok Chungcu.
Koan Eng memang ingin sekali diberi petunjuk, maka itu ia sudah lantas pergi ke tengah ruang. “Tolong thay-kong mengajari aku,” katanya. Lalu ia mulai bersilat dengan tipu silatnya yang ia paling gemari, yaitu Loo-han Hok-houw-kun, kuntauw Arhat Menakluki Harimau. Setiap kepalannya memperdengarkan suara angin santar, tindakannya pun gesit dan tetap. Dekat penutupnya ia berseru keras, bagaikan harimau menderum, hingga api lilin pada bergoyang dan orang merasakan tersampar angin dingin. Itulah artinya arhat bertempur sama raja hantu. Diakhirnya ia menghajar batu sampai batu batanya hancur, lalu ia berdiri tegar, tangan kirinya diangkat tinggi menunjang langit, kaki kanannya ditendangkan ke depan. Dengan begitu ia memperlihatkan sikap dari arhat atau loohan.
“Bagus! Bagus!” Kwee Ceng dan Oey Yong berseru memuji.
Habis itu Koan Eng memberi hormat kepada Kiu Cian Jin. Ketika ia kembali ke kursinya, air mukanya tidak berubah, napasnya tidak memburu, ia duduk dengan tenang seperti bukan habis bersilat hebat sekali.
Kiu Cian Jin tidak membilang suatu apa, ia melainkan tersenyum.
“Apakah kebisaannya anakku ini masih dapat dilihat?” Liok Chungcu tanya.
“Begitulah,” sahut si orang tua.
“Tolong locianpwee beri petunjuk di mana yang perlu,” tuan rumah minta.
“Ilmu silat putramu ini, kalau dipakai untuk memperkuat tubuh, sunggu tak ada yang melebihkannya,” menyahut tetamu itu, “Hanya kalau ia hendak dipakai untuk merebut kemenangan, dapat dikatakan itu tidak ada gunanya.”
Selagi tuan rumah belum membilang suatu apa, Kwee Ceng merasa heran. Ia pikir: ” Memang tidak terlalu lihay ilmu silatnya tuan rumah yang muda ini, akan tetapi tidaklah tepat untuk mengatakan tidak ada gunanya….”
Tuan rumah lantas berkata: “Tolong locianpwee memberikan petunjuk untuk sekalian membuka pandangan kami yang cupat.”
Kiu Cian Jin berbangkit, ia bertindak keluar ruangan. Ketika ia kembali, di kedua tangannya masing-masing ada tercekal sepotong batu bata. Orang tidak lihat ia mengerahkan tenaga, tahu-tahu ada terdengar suara meretek, lalu tertampak dua potong batu bata itu sudah remuk, akan kemudian hancur menjadi seperti tepung.
Semua orang terkejut.
Duduk pula di kursinya, semberai tertawa ia berkata: “Chungcu muda dapat menhajar batu hancur itu pun bukan sembarang pelajaran, tidak gampang untuk mendapatkan itu, tetapi haruslah diingat, musuh bukan sepotong batu, musuh tidak mungkin mandah saja diserang. Maka dalam ilmu silat, yang penting ialah menggunai ketika terlebih dulu untuk menaklukkan musuh. Ini dia yang orang dahulu kala menyebutnya, diam bagaikan anak dara, gesit bagaikan kelinci.”
Koan Eng terdiam, menginsyafi kata-kata itu.
Kiu Cian Jin menghela napas. Ia berkata pula: “Sekarang ini banyak orang yang menyakinkan ilmu silat tetapin kepandaiannya berarti tidak ada seberapa….”
“Siapakah beberapa orang itu, lojinkee?” Oey Yong tanya.
“Kaum Rimba Persilatan menyebutnya Tong Shia, See Tok, Lam Tee, Pak Kay dan Tiong Sin Thong berlima,” menyahut si orang tua. “Semua mereka itu pernah aku ketemukan sendiri, aku lihat diantaranya yang terlihay ialah Tiong Sin Thong, yang lainnya, ada keistimewaannya tetapi pun ada kekurangannya masing-masing. Harus diketahui, ada panjang mesti ada pendek, asal kita ketahui cacad orang, tak susah untuk merobohkannya.”
Liok Chungchu bersama Kwee Ceng dan Oey Yong terperanjat. Koan Eng sendiri tidak, sebab ia tidak tahu siapa itu lima orang lihay yang disebutkan. Tapi Oey Yong terkejut berbareng mendongkol. Suara orang itu bernada menghina ayahnya. ia tidak memperdulikan lagi bahwa orang dapat berjalan di air sambil menjunjung jambangan, napasnya mengeluarkan asap dan remasan tangannya kuat sekali.
“Apakah tidak bagus jikalau locianpwee menghajar roboh kelima orang itu supaya namamu jadi sangat kesohor di kolong langit ini?” ia menanya seraya tertawa.
Kiu Cian Jin tidak menjawab, dia hanya melanjuti kata-katanya: “Sekarang ini Ong Tiong Yang itu telah menutup mata. Ketika terjadi perundingan ilmu silat pedang di gunung Hoa San itu, lantaran kebetulan ada urusan, aku tidak dapat turut hadir, dengan begitu gelaran jago silat nomor satu di kolong laing ini telah didapatkan imam tua yang telah meninggal dunia itu. Tatkala itu mereka berlima memperebuti kitan Kiu Im Cin Keng, katanya siapa yang paling tangguh, dialah yang mendapatkan kitab itu. Tujuh hari dan tujuh malam sudah mereka bertempur, Tong Shia, See Tok, Lam Tee dan Pak Kay menyerahlah mereka semua. Kemudian, sesudah Ong Tiong Yang meninggal, timbul lagi gelombang. Katanya ketika si imam tua hendak menutup mata, kitabnya itu dia wariskan kepada Ciu Pek Thong, adik seperguruannya. Tong Shia Oey Yok Su sudah lantas pergi mencari Ciu Pek Thong itu, Ciu Pek Thong bukan tandingannya, kitabnya terampas sebagian. entahlah kemudian bagaimana urusan kitab itu.”
Oey Yong dan Kwee Ceng mengangguk dengan diam-diam. Baru sekarang mereka ketahui lelakonnya kitab Kiu Im Cin Keng itu, yang sebagiannya lagi kena dicuri Hek Hong Siang Sat.
“Oleh karena lojinkee ialah orang yang nomor satu ilmu silatnya, sudah selayaknya kitab itu menjadi kepunyaanmu,” berkata Oey Yong.
“Aku malas untuk berebutan sama orang,” sahut Kiu Cian Jin. “Tong Shia, See Tok, Lam Tee dan Pak Kay, mereka adalah setengah kati delapan tail. Selama beberapa puluh tahun ini keras mereka berlatih, ingin mereka menjadi jago nomor satu. Maka itu kalau terjadi pertemuan yang kedua di Hoa San, pastilah ramainya bukan buatan.”
“Oh, bakal terjadi pertempuran yang kedua di Hoa San?” si nona menegaskan.
“Duapuluh lima tahun ialah satu generasi!” berakta Kiu Cian Jin. “Mereka ynag tua bakal mati, yang muda bakal muncul, maka itu, lagi satu tahun akan tibalah saat perundingan yang kedua di Hoa San itu. Aku lihat, yang bakal bertarung itu kembali kami si orang-orang tua. Sayang sekarang tidak ada lagi anak-anak muda yang berarti, ilmu silat menjadi lemah satu generasi demi satu generasi….!”
“Apakah lain tahun lojinkee hendak mendaki gunung Hoa San itu?” Oey Yong menanya terus-menerus. “Kalau benar lojinkee hendak pergi, maukah kau mangajak aku untuk turut menyaksikan keramain itu? Akulah orang yang paling gemar menonton orang berkelahi!”
“Ah, mana dapat itu dikatakan pertempuran? Sebenarnya aku tidak mengandung niat pergi. Bukankah kita si tua bakal masuk ke dalam tanah? ntuk apa segala nama kosong? Hanya di hadapan kita sekarang ada satu urusan sangat besar, yang mengenai keselamatan seluruh umat manusi. Jikalau aku termahai hidup senang sendiri dan aku tidak manjat tinggi, celakalah semua umat dan makhluk!”
Inilah hebat, maka Liok Chungcu berempat lantas menanyakan bencana apa itu yang demikian hebat ancamannya.
“Inilah rahasia sangat besar. Kedua engko kecil Kwee dan Oey, kamu bukan orang kangouw, kamu lebih baik jangan ketahui urusan ini!”
Oey Yong tidak menjadi kurang senang, sebaliknya ia tertawa. “Liok Chungcu ini sahabatku yang baik sekali, asal kau menjelaskan kepadanya, tidak nanti ia menyembunyikan itu kepadaku!” katanya.
“Ah, anak nakal!” kata Liok Chungcu di dalam hatinya. Tapi ia berdiam.
“Kalau begitu, baiklah aku menjelaskan kepada kamu semua!” kata Kiu Cian Jin. “Cuma aku minta kemudian janganlah kau membocorkannya.”
“Kamu bukan sanak bukan kandung, urusan rahasia ini baiklah kami tidak mendengarnya,” pikir Kwee Ceng, yang terus berbnagkit dan berkata: “Maafkanlah aku serta saudara Oey ini, ingin aku mengundurkan diri.”
“Jiwi adalah sahabat-sahabat kekal dari Liok Chungcu, kamu bukan orang luar, silakan duduk!” Kiu Cian Jin minta. Sembari berkata ia menekan pundaknya si anak muda.
Kwee Ceng tidak merasakan tekanan keras, akan tetapi karena ia mengaku tidak mengerti ilmub silat, ia tidak melawan, ia berduduk pula. Karena itu, Oey Yong pun batal mengundurkan diri.
Kiu Cian Jin berbangkit, ia mengangkat araknya untuk mengajak orang minum bersama.
“Tidak sampai setengah tahun, kerajaan Song bakal menghadapi bencana besar,” katanya kemudian. “Apakah tuan-tuan ketahui itu?”
Mendengar ini, semua orang terkejut. Bahkan Koan Eng lantas menitahkan orang-orangnya mundur sampai ke pintu dan semua pelayan dilarang datang dekat.
“Aku telah mendapat keterangan pasti,” Kiu Cian Jin melanjuti. “Dalam tempo enam bulan pastilah angkatan perang bangsa Kim bakal menyerbu ke Selatan. Kali ini angkatan perangnya itu besar dan kuat, maka juga kerajaan Song pastilah tidak dibelakan pula. Ya, inilah takdir, tidak dapat kita berbuat apa-apa….”
Kwee Ceng terkejut hingga ia lantas berkata: “Kalau begitu haruslah locianpwee lekas memberitahukan ancaman itu kepada pemerintah supaya pemerintah segera siap sedia untuk menyambut musuh!”
Orang tua itu mendelik kepada anak muda itu.
“Kau tau apa?!” tegurnya. “Satu kali angkatan perang Song bersiap sedia, bahayanya bakal terjadi terlebih hebat lagi!”
Kwee Ceng terdiam. Tidak mengerti ia maksud orang. Oey Yong pun bungkam.
“Lama aku telah memikirkan itu,” Kiu Cian Jin melanjuti omongannya. “Aku lihat cuma ada satu jalan untuk membikin rakyat hiudp damai dan senang, supaya negera yang indah ini tidak sampai menjadi habis terbakar. Inilah tujuanku kenapa aku telah melakoni perjalanan ribuan lie jauhnya datang ke Kanglam ini. Kabarnya chungcu telah menawan pangeran muda negara Kim serta komandan tentara Toan Tayjin, tolongkan undang mereka hadir di sini untuk kita memasang omong. Maukah kau meluluskan, chungcu?”
Liok Chungcu terpengaruh kata-kata orang. Ia pun heran kenapa orang ini mendapat tahu hal tertawannya dua orang itu. Ia lantas meluluskan, ia membawa menghadap orang tawanannya itu, bahkan mereka dibebaskan dari belengguan dan disuruh duduk disebelah bawah.
Kwee Ceng dan Oey Yong mendapatkan, baru ditahan beberapa hari, roman Wanyen Kang sudah kucel dan perok, sedang Toan Tayjin itu, yang berumur limapuluh lebih dan berewokan ketakuan.
“Siauw-ongya, kaget?!” kata kiu Cian Jin pada Wanyen Kang.
Pangeran itu mengangguk, tetapi hatinya berkata: “Si Kwee dan si Oey ini berada di sini, entah mau apa mereka… Dan adik Liam Cu itu, entah dia bawa ikat pinggangku kepada guruku atau tidak….”
“Chungcu,” berkata Kiu Cian Jin pada tuan rumah. “Di hadapanmu ada terbayang harta besar dan kemuliaan, aku melihat itu tetapi tidak hendak mengambilnya, kenapakah?”
Tuan rumah heran. “Kemuliaan apakah itu, locianpwee?” tanyanya.
“Kalau nanti angkatan erang Kim itu menyerbu ke Selatan ini dan peperangan itu terjadi, mesti banyak sekali orang yang terluka,” berkata Kiu Cian Jin, “Oleh karena itu bukankah bagus jikalau chungcu menggabungi semua orang gagah untuk melenyapkan ancaman perang itu?”
“Memang itu urusan yang besar dan baik sekali,” pikir Liok Chungcu. Maka ia menjawab: “Jikalau dapat aku mengeluarkan tenaga untuk negera dan juga dapat menolong rakyat dari marabahaya - yang mana adalah tugas kita sebagai rakyat jelata - tentu sekali sudi aku melakukannya. Sebenarnya aku setia kepada pemerintah, tetapi sayang pemerintah sendiri yang tidak mengerti itu, sekarang ini kawanan pengkhianatlah yang memegang tampuk pemimpin, maka itu sia-sialah belaka maksud hatiku. Locianpwee, tolong kau menunjuk aku satu jalan yang terang, untuk itu aku akan sangat bersyukur kepadamu.”
Kiu Cian Jin mengusap kumisnya, ia tertawa lebar. ia baru hendak berkata pula atau ia terhalang oleh datangnya satu chungteng yang memberi kabar: “Thio Cecu yang kebetulan berada di tengah telaga sudah menyambutnya enam tetamu luar biasa, yang sekarang sudah berada di depan.”
Kaget tuan rumah itu. “Lekas mengundang!” titahnya.
Koan Eng sudah lantas berlari keluar untuk menyambut.
Diantara terangnya api terlihat enam tetamu yang tubuhnya tinggi dan kate tidak rata, antaranya ada seorang wanita. Ketika mereka itu bertindak masuk, Kwee Ceng berbareng girang, segera ia lari memapaki untuk berlutut di hadapan mereka itu.
“Suhu!” katanya. “Apakah suhu semua baik?”
Keenam tetamu itu memang Kanglam Liok Koay adanya. Mereka itu datang dari Utara, setibanya mereka di telaga Thay Ouw, lantas ada beberapa orang yang menyambutnya dengan manis. Sudah lama mereka meninggalkan Kanglam, mereka masih rada asing. Maka itu Cu Cong yang melayani beberapa itu bicara. Kemudian ternyata, pihak penyambut adalah Thio Cecu dari Kwie-in-chung. Sebenarnya tidak tahu cecu itu siapa enam orang ini, ia doyong menduga kepada musuhnya chungcu tua, maka itu selama menyambut, ia terbenam dalam kesangsian. Ia ditugaskan Koan Eng berjaga-jaga, sekalian menyambut orang pandai, maka itu ia bertindak secara hati-hati.
Liok Koay pun heran melihat muridnya itu ada di sini.
“Eh, bocah, mana silumanmu?!” Han Po Kie menanya. Ia menegur.
Han Siauw Eng bermata tajam, segera ia melihat Oey Yong hadir bersama, maka itu ia tarik ujung baju kakaknya seraya berbisik: “Sabar, urusan ini kita boleh bicarakan perlahan-lahan kemudian.”
Nona lihay ini dapat mengenali walaupun Oey Yong dandan sebagai seoarng pemuda.
Tuan rumah tak kenal siapa enam orang itu tetapi karena Kwee Ceng memanggil guru kepada mereka, ia lantas memberi hormat. Ia minta dimaafkan yang ia tidak dapat berjalan. Ia pun segera memerintahkan menyiapkan sebuah meja untuk ini tetamu baru.
Kwee Ceng tidak berayal lagi menjelaskan perihal gurunya.
Liok Chungcu menjadi girang sekali.
“Sudah lama aku mendengar nama besar dari tuan-tuan, hari ini aku dapat meneminya, sungguh aku beruntung!” katanya.
Bebeda dari tuan rumah, Kiu Cian Jin duduk tetap di kursinya. Ia cuma tersenyum, terus ia dahar dan minum seoarng diri.
“Siapa tuan ini?” menanya Han Po Kie. Ia sebal atas sikap orang acuh tak acuh itu, bahkan temberang.
“Baiklah Liok-hiap ketahui,” tuan rumah berkata, “Tuan ini adalah gunung Tay San dan Bintang Pak Tauw dari Kaum Rimba Persilatan di ini jaman, yang kepandaian ilmu silatnya tidak ada orang di kolong langit ini yang dapat menandinginya….”
Mau tidak mau Liok Koay heran.
“Apakah dia Oey Yok Su dari Tho Hoa To?” tanya Han Siauw Eng.
“Apakah dia Kiu Cie Sin Kay?” tanya Han Po Kie.
“Meskipun tuan dari pulau Tho Hoa To serta Kiu Cie Sin Kay sangat lihay, tidak nanti mereka dapat menandingi Tiat-ciang Sui-siang-piauw Kiu Locianpwee!” Liok Koan Eng lantas memperkenalkan.
Kwa Tin Ok heran. “Oh, Locianpwee Kiu Cian Jin!” katanya.
Kiu Cian Jin tertawa keras, sampai rumahnya bagaikan tergetar.
Ketika itu beberapa chungteng telah selesai menyiapkan meja serta barang hidangan dan keenam tetamu itu sudah lantas mengambil tempat duduk mereka. Kwee Ceng pindah duduk di sebelah bawah gurunya itu. Ia telah menarik tangannya Oey Yong untuk diajak duduk bersama, si nona tapinya menggoyang kepala sambil tertawa, ia menampik untuk pindah duduk.
Liok Chungcu tertawa, ia kata: “Aku menyangka saudara Kwee tidak mengerti ilmu silat, kiranya kau adalah muridnya enam orang pandai. Benar-benar mataku lamur, tidak dapat aku melihat mustika yang disembunyikan….”
Kwee Ceng berbangkit, ia memberi hormat.
“Kepandaianku tidak seberapa,” ia berkata, “Dengan menerima pengajaran guruku, tidak berani aku banyak bertingkah. Harap chungcu sudi memaafkannya.”
Senang Tin Ok mendengar pembicaraan itu. Terang sudah Kwee Ceng pandai membawa diri.
“Tuan-tuan adalah orang-orang kenamaan kaum Rimba Persilatan di Kanglam ini,” berkata Kiu Cian Jin. “Kebetulan sekali aku si orang tua ada punya urusan yang penting, jikalau di dalam hal itu aku bisa memperoleh bantuan kamu, sungguh bagus sekali!”
“Ketika tuan-tuan datang, baru saja Kiu Locianpwee hendak memberi penjelasan,” berkata tuan rumah. “Sekarang silakan locianpwee memberi petunjuk kepadaku.”
Kiu Cian Jin menurut, ia lantas berkata: “Kita yang memernahkan diri dalam dunia Rimba Persilatan, pokok penting dari tujuan kita adalah perbuatan-perbuatan mulia, menolong rakyat dari kesengsaraan. Sekarang ini tinggal ditunggu harinya saja yang angkatan perang negara Kim meluruk ke Selatan ini, jikalau kerajaan Song tidak dapat melihat selatan dan dia tidak sudi menyerah, asal saja peperangan terjadi, celakalah rakyat, entah berapa banyak jiwa yang bakal terbinasa! Bukankah ada kata-kata, siapa menurut Thian dia makmur, siapa menentang Thian dia musnah? Maka juga aku datang ke Selatan ini untuk menggabungi semua orang gagah di Kanglam, untuk bersama menyambut angkatan perang Kim itu, supaya Kerajaan Song digencet dari luar dan dalam, hingga habislah tenaganya, tidak dapat ia melawan perang dan karenanya menyerah. Kalau usaha ini berhasil, disebelahnya pangkat mulia dan kedudukan yang senang buat kita, rakyat pasti sangat bersyukur. Dengan begitupun tidaklah sia-sia kita telah mempunyai kepandaian silat yang lihay.”
Mendengar itu, air muka Kanglam Liok Koay berubah, bahkan dua saudara Han saudh lantas hendak membuka suaranya, syukur Coan Kim Hoat dapat lantas menarik ujung baju mereka seraya matanya melirik kepada tuan rumah, menunjuki untuk melihat atau mendengar sikapnya tuan rumah itu.
Sebegitu jauh Liok Chungcu menghormati tetamunya yang tua itu, tetapi sekarang, mendengar suara orang ia heran bukan main. Ia mencoba tertawa ketika ia berkata: “Meskipun aku bodoh tetapi dengan menempatkan diri di dalam kalangan kaum kangouw, masih mengerti juga aku tentang tiong dan gie, kesetian dan kebajikan dan tidak dapat aku melupakannya. Angkatan perang Kim itu hendak menyerbu ke Selatan ini, itu artinya mereka bakal mencelakai rakyat negeri, kalau itu sampai terjadi, aku akan turut semua tindakannya orang gagah di Kanglam ini untuk menentangnya hingga aku terbinasa! Untuk ini aku akan mengangkat sumpah! Locianpwee, kata-katamu ini rupanya hendak memancing aku, bukan?”
“Laotee, mengapa pandangan matamu begini pendek?” tanya tetamu itu. “Apakah kebaikannya membantu kerajaan Song melawan bangsa Kim? Paling banyak kau bakal mengalami nasib sebagai Gak Bu Bok yang terbinasa secara menyadihkan di paseban Hong Po Teng…”
Mendengar ini, tuan rumah kaget berbareng gusar. Ia mulanya mengharap mandapat bantuan melawan Hek Hong Siang Sat, siapa tahu ia justru dibujuk untuk mengkhianati negera sendiri! Maka sia-sia belaka orang tua ini pandai ilmu silatnya kalau jiwanya demikian rendah, dia demikian tidak tahu malu. Ia lantas mengebaskan tangan bajunya. Ia berkata: “Malam ini aku lagi menghadapi datangnya musuh, sebenarnya aku berniat memohon batuan locianpwee, tetapi karena kita tidak sepaham, walaupun leherku bakal memuncratkan darah, tidak berani aku melayani locianpwee terlalu lama pula! Silahkan!” Ia memberi hormat pula, tandanya ia mengusir tetamunya itu.
Kanglam Liok Koay berikut Kwee ceng dan Oey Yong girang dalam hatinya.
Kiu Cian in tidak tertawa, ia pun tidak menyahuti, dengan tangan kiri mencekal cawan arak, tangan kanannya dibawa ke mulut cawan itu, terus diputar-putar, mendadak tangan kanannya itu dikebaskan, disambarkan terbalik. Maka untuk herannya semua orang, cawan arak itu terpapas separuhnya!
Liok Chungcu berdiam dengan hatinya bekerja keras memikirkan daya untuk melayani orang tua ini, yang sudah mengancam dengan kepandaiannya itu yang luar biasa.
Tapi Ma Ong Sin Han Po Kie tidak dapat bersabar lagi, dia lompat bangun dari kursinya menghadapi orang tua itu.
“Manusia tak tahu malu, mari kita mengadu kepandaian!” ia menantang.
Kiu Cian Jin tidak menjadi gentar.
“Sudah lama aku mendengar nama Kanglam Cit Koay, baiklah hari ini diuji tulen palsunya!” katanya, “Tuan-tuan, baiklah kau maju semua berbareng!”
Tuan rumah mau menduga Han Po Kie bukan tandingan orang, mendengar tantangan itu, ia girang sekali. Ia lantas berkata: “Memang biasanya Kanglam Liok Koay meju berbareng mundur berbareng, musuh seorang mereka berenam, musuh sepasukan tentara besar mereka berenam juga, tidak pernah ada salah satu di antaranya yang sudi ketinggalan!”
Inilah kata-kata yang disengaja. Mendengar ini Cu Cong ketahui maksud orang.
“Baiklah!” dia berkata, “Biak kita bersama-sama melayani ini jago Rimba Persilatan yang kenamaan!” Lalu dengan mengebaskan tangannya, lima saudaranya segera berbangkit bangun bersiap-sedia.
Kiu Cian Jin berdiri, ia angkat kursinya, lalu ia bertindak ke tengah ruangan, yang mau dijadikan gelanggang pertarungan itu. Di situ ia letaki kursi itu, terus ia berduduk pula, kaki kanannya disusun diatas kaki kirinya. Dengan duduk tenang, ia berkata: “Sambil berduduk begini aku si orang tua akan menemani tuan-tuan bermain-main!”
Tin Ok terkesiap hatinya. Jikalau orang bukan lihay luar biasa, tidak nanti ia membawa sikap demikian rupa.
Selagi guru-gurunya belum bergerak, Kwee Ceng majukan diri ke depan. Ia pun mau percaya semua gurunya bukan lawannya jago tua ini, yang kepandaianny telah ia saksikan sendiri. Tentu saja ia bersedia binasa untuk membantu gurunya itu, maka ia menjadi nekat.
“Locianpwee, aku yang muda memohon pengajaran dari kau,” ia berkata seraya menjura.
Kiu Cian Jin melengak, akhirnya ia tertawa.
“Tidak mudah ayah dan ibumu memelihara kau, kenapa jiwa kecilmu hendak cuma-cuma diantarkan di sini?” katanya.
“Anak Ceng, mundur!” berseru Tin Ok, yang kagum dengan keberanian muridnya itu tetapi ia menyayanginya.
Tapi Kwee Ceng sudah bulat tekadnya. Ia khawatir nanti gurunya mencegah terus, maka tanpa berkata lagi, ia tekuk kakinya yang kiri, tangan kanannya digeraki melingkar, lalu dengan keras tangannya itu ditolakkan maju!


Bab 30. Si baju hijau yang aneh.....

Inilah jurus “Hang Liong Yu Hui” dari Hang Liong Sip-pat Ciang, yang anak muda she Kwee ini telah menyakinkan sekira selama satu bulan, hingga bisalah dimengerti beda jauh dengan waktu permulaannya Ang Cit Kong mengajarinya.
Kiu Cian Jin memandang enteng kepada murid orang ini, sebab ia melihat dari gerak-gerik, mestinya Han Po Kie tidak seberapa lihay, maka kaget ia melihat serangan itu. Ia mencelatkan tubuhnya, melompat tinggi-tinggi, karena mana, hancurlah kursinya itu. Ia menjadi gusar sekali.
“Anak kurang ajar!” bentaknya setelah turun kembali di lantai.
“Locianpwee, tolong berikan pengajaran padaku!” kata Kwee Ceng dengan hormat. Ia berlaku harti-hati, tak mau ia segera menyerang pula.
Tetapi Oey Yong hendak mengacaukan pikirannya orang tua itu. “Engko Ceng, menghadapi tua bangka ini jangan kau sungkan-sungkan!”
Orang tua itu murka bukan kepalang. Dia kenamaan sekali, siapa pernah mencaci padanya, apapula di hadapannya sendiri? Sekarang ada ini bocah! Hampir ia melompat dengan tangannya diayun, untuk menghajar bocah itu, atau mendadak ia masih ingat akan kehormatannya dirinya sendiri. Dia tertawa dingin. Dia mengeluarkan tangannya yang kanan, tangan kirinya dibawa ke keningnya, kemudian ia menyerang, justru disaat itu Kwee Ceng lagi menyampingkan diri. Sebat sekali gerakannya ini.
Tapi Oey Yong sudah lantas berteriak.
“Itulah pukulan yang tidak ada keanehannya! Itulah jurus ke delapan yang dinamakan ‘Burung belibis tunggal keluar dari rombongannya’ dari tipu silat Thong-pek Liok-hap-ciang!”
Kiu Cian Jin heran orang mengenali pukulannya itu. Memang itu adalah tipu silat Thong-pek Ngo-heng-ciang. Jurus itu tidak aneh, tetapi ia telah melatihnya selama beberapa puluh tahun, maka di tanganya, pukulan itu lihay sekali, kedua tangannya dapat bergerak dengan sebat dan hebat.
Kwee Ceng tidak berani menangkis serangan itu, kesatu ia gentar juga untuk nama orang, kedua ia melihat gerak-gerik orang yang luar biasa. Ia main mundur.
Kiu Cian Jin menduga-duga terhadap si anak muda, ia mengambil kesimpulan; “Dia dapat menghajar kursi, itulah sebab tenaganya yang besar. Ilmu silatnya hanya biasa saja….” Karena itu ia lantas mendesak.
Oey Yong bingung melihat kawannya terdesak demikian rupa, ia mengkhawatirkan kekalahannya. Maka ia lantas bersiap untuk membantu.
Kwee Ceng kebetulan menoleh kepada si nona, kapan ia melihat roman berkhawatir dari nona itu, tanpa merasa hatinya terkesiap. Justru itu, tinjunya Kiu Ciab Jin mampir di dadanya. Serangan itu membuatnya Oey Yong dan Kanglam Liok Koay kaget sekali, mereka mau menyangka akan habis sudah anak muda itu. Bukankah musuh itu sangat tangguh? Kalau tidak mati, Kwee Ceng akan terluka parah.
Kwee Ceng pun kaget bukan main, ia lantas mengerahkan tenaganya. Kedua tangannya dipentang dengan kaget. Habis itu, ia menjadi heran sendirinya. Ia terhajar dadanya tetapi ia tidak merasakan terlalu sakit, hingga ia jadi tercengang.
Oey Yong dapat melihat orang berdiam, ia menyangka pemuda itu mau pingsan, ia lantas lompat untuk mempepayang.
“Bagaimanam, engko Ceng?” tanyanya. Tanpa merasa, air matanya meleleh.
Tapi jawaban si pemuda luar biasa sekali. “Tidak apa-apa, akan aku mencoba pula!” demikian jawaban itu. Ia terus mengangkat dadanya dan bertindak menghampiri lawannya yang berdiri mengawasi padanya.
“Kaulah si jago tua Tangan Besi, marilah kau pukul pula aku satu kali lagi!” ia menantang.
Jago tua itu menjadi sangat gusar, ia sudah lantas meninju. Sebagai akibat serangan itu terdengar suara “Duk!” keras sekali.
Bukannya ia jatuh atau kesakitan, Kwee Ceng justru tertawa berkakakan.
“Suhu, Liok Chungcu, Yong-jie!” dia berteriak. “Tua bangka ini berkepandaian biasa saja! Dia tidak menghajar aku tidak apa, setelah ia menghajar, terbukalah rahasianya!”
Kata-kata ini disusul dengan gerakan tangan kiri mengebas akan mendesak orang itu sambil si anak muda berseru: “Kau pun rasakan tanganku!”
Melihat gerakan orang itu, Kiu Cian Jin memandang enteng. Ia lantas menggeraki kedua tangannya, guna membentur tangan kiri si pemuda. Ia tidak tahu Kwee Ceng justru menggunai jurus “enam naga naik ke langit” dari Hang Liong Sip-pat Ciang, ialah salah satu pukulan yang paling luar biasa. Maka tidak ampun lagi ia kena trerhajar pundak kanannya yang menyambung sama dadanya, tubuhnya terus terlempar ke luar pintu bagaikan layangan putus!
Semua orang menjadi kaget hingga mereka memperdengarkan seruan. Jutsru itu, kejadian aneh lainnya menyusul itu. Dari luar terlihat masuknya seorang wanita yang mencekal Kiu Cian Jin pada leher bajunya, tindakan wanita itu lebar, sesampainya di dalam ruangan, ia meletakkan orang yang dibawanya itu seprauh ditenteng. Dia berdiri tegar, pada wajahnya tak tampak senyuman, sebaliknya romannya sangat dingin. Dia panjang rambutnya riap-riapan ke pundaknya, kepalanya pun didongakkan. Sebab dialah tat Sie Bwee Tiauw Hong, salah satu dari Hek Hong Siang Sat.
Semua orang terperanjat.
Di belakang si Mayat Besi ini ada mengikuti seorang lain, tubuhnya jangkung kurus, bajunya hijau, wajahnya luar biasa sekali. Siapa mengawasi wajah itu, sendirinya ia akan menggigil. Siapa pernah melihat satu kali, lantas tak sudi dia melihatnya buat kedua kalinya….
Liok Chungcu heran bukan main, Kiu Cian Jin yang demikian kesohor itu, yang mulutnya terpentang sangat lebar, tidak sanggup mempertahankan diri untuk satu hajaran dari Kwee Ceng. Ia pun merasa lucu. Akan tetapi, menampak munculnya Bwee Tiauw Hong, ia melongo.
Wanyen Kang melihat gurunya, ia girang bukan main.
“Suhu!” ia memanggil seraya ia menghampirkan untuk memberi hormat. Berbareng dengan itu dia menjadi ingat Liam Cu, yang dia heran tidak datang bersama, entah di mana adanya si nona.
Liok Chungcu tidak berdiam lama, atau segera ia memberi hormat pada si Mayat Besi.
“Bwee Suci!” katanya, “Duapuluh tahun sudah kita berpisah, hari ini kita dapat bertemu pula, aku girang sekali. Tentunya Tan koko baik, bukan?”
Liok Koay saling mengawasu dengan Koan Eng. Kenapa tuan rumah memanggil Suci, kakak seperguruan kepada Bwee Tiauw Hong itu? Mereka heran berbareng gentar juga. Tin Ok pun berpikir, “Hari ini kita berada dalam kurungan. Sudah Bwee Tiauw Hong sendiri sukar dilawan, sekarang ada adik seperguruannya ini.”
Oey Yong sebaliknya berpikir: “Liok Chungcu ini, ilmu silatnya, ilmu suratnya, kata-katanya, gerak-geriknya, semua mirip dengan ayah, aku sudah menyangka dia ada hubungannya sama ayah, siapa sangka dia justru murid ayah…!”
Segera terdengar suara dingin dari Bwee Tiauw Hong. “Yang bicara ini apakah sutee Liok Seng Hong?”
“Benar suteemu, suci,” sahut Liok Chungcu. “Sejak perpisahan kita, apakah suci banyak baik?”
Atas itu, Bwee Tiauw Hong menjawab, “Kedua mataku telah menjadi buta dan kau punya kakak Hiang Hong telah orang bunuh mati pada duapuluh tahun yang lalu! Tidakkah itu memuaskan hatimu?!”
Mendengar itu, tuan rumah girang berbareng kaget. Kaget sebab Hek Hong Siang Sat yang begitu lihay, yang malang melintang di dunia ini, telah ada yang binasakan. Girang sebab itu berarti ia kekurangan seorang lawan tangguh dan ini musuh sisanya sudah bercacad matanya. Hanya ia berduka kapan ia ingat persaudaraan mereka selama di pulau Tho Hoa To.
“Siapakah musuh dari Tan koko itu?” ia tanya. “Sudahkah suci menuntut balas?”
“Aku justru hendak mencari mereka itu!” sahut Tiauw Hong.
“Nanti aku akan membantu kau menuntut balas itu suci,” berkata Liok Chungcu. “Selesai pembalasan itu, barulah kita membereskan perhitungan kita!”
“Hm!” Bwee Tiauw Hong mengasih dengar ejekannya.
Mendadak itu Han Po Kie menepuk meja sambil berlompat bangun. “Bwee Tiauw Hong, musuhmu ada di sini!” dia berteriak.
Coan Kim Hoat terkejut, ia tarik saudaranya itu.
Tiauw Hong sebaliknya melengak.
Sampai disitu Kiu Cian Jin yang sejak tadi berdiam saja, sebab ia merasakan sakit bekas hajaran Kwee Ceng dan baru sekarang rasa sakitnya itu hilang sedikit, turut bicara.
“Apa itu yang disebut menuntut balas dan membereskan perhitungan!” katanya. “Sekalipun guru sendiri dibunuh orang tidak tahu, untuk apa menyebut diri sebagai orang gagah?!”
“Apa kau bilang?!” membentak Bwee Tiauw Hong seraya mencekal keras tangan orang.
“Lekas lepas!” berteriak Kiu Cian Jin kesakitan.
“Kau bilang apa?” tanya pula Tiauw Hong, tidak memperdulikannya.
“Oey Yok Su, pemilik dari pulau Tho Hoa To, telah orang bunuh mati!” sahut si orang tua.
Liok Seng Hong kaget sekali. “Benarkah kata-katamu ini?” ia menanya.
“Kenapa tidak benar?!” membaliki Kiu Cian Jin. “Oey Yok Su kena dikurung Coan Cin Cit Cu murid-muridnya Ong Tiong Yang dan terbinasa karenanya.”
Mendengar itu, Bwee Tiauw Hong dan Liok Seng Hong menjerit menangis menggerung, sedang Oey Yong roboh pingsan berlutut di kursinya. Dan yang lainnya semua kaget sekali. Sebenarnya mereka tidak percaya Oey Yok Su yang begitu lihay terbinasakan orang, tetapi mengetahui musuh-musuhnya adalah Coan Cin Cit Cu, mau mereka mempercayainya. Mereka ketahui baik kelihayan Ma Giok bertujuh.
Kwee Ceng pun kaget tetapi ia segera tubruk Oey Yong, untuk dikasih bangun sambil dipeluki.
“Yong-jie, sadar!” ia memanggil-manggil. Ia melihat muka orang pias dan napasnya berjalan perlahan sekali, saking berkhawatir, ia berteriak: “Suhu! Suhu! tolongi dia!”
Cu Cong lompat menghampirkan, ia meraba hidung orang.
“Jangan khawatir,” ia berkata. “Ia pingsan karena kaget mendadak, dia tidak mati.” Ia lantas mengurut-urut jalan darah lauw-kong-hiat di telapakan tangan si nona.
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Silat Online : Pendekar Pemanah Rajawali - Kwee Ceng - 8 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Silat Online : Pendekar Pemanah Rajawali - Kwee Ceng - 8 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cerita-silat-online-pendekar-pemanah_12.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Silat Online : Pendekar Pemanah Rajawali - Kwee Ceng - 8 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Silat Online : Pendekar Pemanah Rajawali - Kwee Ceng - 8 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Silat Online : Pendekar Pemanah Rajawali - Kwee Ceng - 8 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cerita-silat-online-pendekar-pemanah_12.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 8 komentar... read them below or add one }

Obat Maag mengatakan...

semoga hari ini lebih berhasil gan aminn,,

Obat Maag Kronis Tradisional mengatakan...

ajip gann selamat beraktifitas

Obat Rematik mengatakan...

Siang gan

Khasiat Jelly Gamat Gold G mengatakan...

Siang gan ajip ni,, http://goo.gl/RJf9f

Obat Kaku Sendi mengatakan...

keren kang broo http://goo.gl/Hlk5Cz

Obat embangkit Gairah Wanita mengatakan...

ini keren kangh http://goo.gl/zBMIkt

Khasiat Jelly Gamat Gold G mengatakan...

goo.gl/pmKzwS

Khasiat Jelly Gamat Gold G mengatakan...

ajip gan mantab,,

Posting Komentar