Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali 4

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Sabtu, 10 Desember 2011

Di hari kedua, pagi Temuchin berangkat dengan ajak keempat putranya serta lima ribu serdadunya, untuk mengantari Wangyen Yung Chi dan Wanyen Lieh pergi menganugrahkan pangkat kepada Wang Khan. Matahari telah memancarkan cahaya ketika Temuchin telah berada di atas kudanya dan lima ribu serdadunya telah siap dengan rapi.
Akan tetapi itu waktu, tentara Kim masih tidur nyenyak di kemahnya. Tadinya Temchin gentar menyaksikan roman gagah tentara Kim itu, mentereng seragam dan alat senjatanya, besar-besar kuda tunggangannya, tetapi sekarang menyaksikan doyannya tidur mereka, berulang kali ia kasih dengar suara di hidung. Pada Mukhali ia tanya: “Bagaimana pandanganmu terhadap tentara Kim itu?”
“Seribu serdau kita dapat lawan lima ribu serdadu mereka!” sahut Mukhali.
Temuchin girang sekali dengan jawaban itu. “Pandanganmu sering cocok dengan pandanganku,” ia bilang. “Katanya negeri Kim ada punya dua juta serdadu, kita hanya lima puluh laksa.”
Ketika itu ia menoleh, ia tampak kudanya Tuli, tetapi Tuli sendiri tidak kelihatan orangnya.“Mana Tuli?!” ia tanya dengan gusar.
Tuli itu putra yang keempat, masih kecil, akan tetapi dalam hal mendidik anak atau melatih tentara, Temuchin pakai aturan keras, maka itu tak senang ia tidak melihat anaknya itu.
Semua orang menjadi cemas hatinya.
“Dia biasanya tidak berani bangun sampai siang, nanti aku tengok,” berkata Boroul, yang menjadi gurunya Tuli, yang khawatir pemimpin itu gusari putranya. Tapi baru ia hendak putar kudanya, di sana kelihatan dua bocah berlari-lari mendatangi sambil berpegangan tangan. Mereka ialah Tuli bersama Kwee Ceng.
“Ayah!” panggil Tuli kapan ia tiba di depan ayahnya itu.
“Kema kau pergi?!” tanya Temuchin.
“Barusan aku membuat anda bersama saudara Kwee di tepi sungai,” sahut Tuli. “Dan dia menghadiahkan ini padaku.”
Membuat “anda” itu berarti mengangkat sudara. “Anda” itu kata-kata Mongol.
Sambil mengatakan demikian, Tuli ulapkan tangannya yang mencekal sepotong handuk merah yang tersulam bunga-bungaan indah, ialah handuk buatan Lie Peng untuk putranya.
Temuchin segera ingat halnya sendiri bersama Jamukha, tempo masih sangat muda mereka juga telah mengangkat saudara, hatinya menjadi tergerak, ia menjadi tenang.
“Kau sendiri, kau menghadiahkan apa padanya?” ia tanya dengan sabar.
“Ini!” Kwee Ceng mendahulukan menyahut seraya ia tunjuk lehernya.
Temuchin lihat kalung emas yang biasa dipakai oleh putra itu. Ia tersenyum. “Baik,” katanya. “Selanjutnya kamu berdua mesti saling mencintai dan saling menyayangi serta saling membantu!”
Tuli bersama Kwee Ceng menyahuti menerima pesan itu.
“Sekarang semua naik kuda!” Temuchin lalu memerintah. “Kwee Ceng, kau juga turut kami!”
Tuli dan Kwee Ceng girang sekali, sama-sama mereka naiki kuda mereka.
Orang mesti lagi menanti setangah jam barulah Wanyen Yung Chi dan saudaranya selesai dandan dan keluar dari kemahnya.
Wanyen Lieh lihat tentaranya Mongolia demikian rapi, ia lantas perintahkan tentaranya lekas siap.
Wanyen Yung Chi sebaliknya tunjuki tingkah polahnya satu putra raja, denagn ayal-ayalan ia minum araknya dan dahar kue, habis mana dengan perlahan-lahan juga ia naik ke atas kudanya. Maka itu, lagi kira setengah jam barulah tentara Kim itu siap berangkat.
Pasukan perang itu menuju ke utara, sesudah jalan enam hari, barulah mereka dipapak oleh wakilnya Wang Khan, yang mengutus putranya, Sangum bersama Jamukha.
Kapan Temuchin dengar Jamukha ada bersama Sangum, ia lantas maju ke depan, akan temui saudara angkatnya itu, maka keduanya lantas berpelukan. Hbais itu semua putra Temuchin menemui dan mengasih hormat kepada paman angkatnya itu.
Wanyen Lieh lihat Jamukha bertubuh jangkung kurus, kumis kuningnya jarang, akan tetapi sepasang matanya sangat tajam dan berpengaruh, menandakan ketangkasannya. Dilain pihak, Sangum adalah berkulit putih, tubuhnya gemuk, tanda dari hidup senang dan dimanjakan, dia tidak mirip dengan seorang yang dibesarkan di gurun pasir.
Jalan lagi satu hari, rombongan ini sudah mendekati tempat kediaman Wang Khan.
Justru itu dua serdadunya Temuchin yang bertugas jalan dimuka sekali, lari balik dengan laporannya bahwa di sebelah depan ada menghalang tentaranya bangsa Naiman yang berjumlah tiga puluh ribu jiwa.
Wanyen Yung Chi terkejut. “Hendak apakah mereka itu?” dia tanya, hatinya goncang.
“Kelihatannya mereka hendak menyerang,” sahut di juru warta.
“Jumlahnya mereka agaknya lebih banyak dari jumlah kita…” kata Yung Chi tidak lancar.
Temuchin tidak beri kesempatan untuk orang bicara lebih banyak. “Pergilah kau tanya mereka!” ia perintahkan Mukhali.
Dengan membawa sepuluh pengiring, Mukhali larikan kudanya ke depan. Karena hal ini, pasukan ini jadi tertunda keberangkatannya.
Berselang tidak lama, Mukhali telah kembali dengan laporannya: “Bangsa Naiman mendengar putra raja kerajaan Kim datang menganugrahkan Khan kami yang terbesar, mereka juga menghendaki anugerah itu. Mereka bilang, apabila mereka tidak diberi anugerah, mereka hendak tangkap dan tahan kedua putra raja Kim.”
Wanyen Yung Chi menjadi kaget, wajahnya berubah, tetapi ia mencoba mengendalikan diri. Wanyen Lieh sebaliknya segera mengatur pasukan perangnya, untuk bersiap sedia.
“Kakak,” berkata Mukhali kepada Temuchin, “Bangsa Naiman itu sering merampas binatang piaraan kita, mereka sangat suka mengganggu, apakah hari ini kita mesti lepaskan saja pada mereka?”
Temuchin melihat sekitarnya, ia telah lantas dapat memikirkannya. “Saudara,” katanya, “Biarlah kedua putra raja Kim yang besar ini melihat sepak terjang kita!” Ia pun lantas bersiul nyaring satu kali, disusul sama dua kali cambukan ke udara dari cambuknya, atas mana tentara Mongolia menyambut dengan seruan perang mereka berulangkali.
Dua saudara Wanyen tidak menyangka mendengar itu dan dan menyaksikan sikap orang, mereka terperanjat.
Segera terlihat debu mengepul di sebelah depan, dan musuh segera mulai tampak.
Tentara terdepan dari pihak Mongol sebaliknya telah mundur kepada barisan mereka.
“Adik,” Wanyen Yung Chi teriaki saudaranya, “Lekas suruh tentara kita maju! Ini orang-orang Mongol tidak ada gunanya!”
“Biarlah mereka yang bertempur lebih dulu,” Wanyen Lieh membisiki kakaknya.
Mendengar itu barulah Yung Chi sadar dan manggut-manggut.
Tentara Mongol masih perdengarkan suara mereka yang nyaring tetapi mereka tidak bergeming.
“Taruh kata kamu berterika-teriak hingga langit bergerak bumi bergoyang, apakah dengan begitu dapat tentara musuh dibikin mundur?” berkata Yung Chi.
Itu waktu Boroul berada di samping kiri, ia berkata kepada Tuli: “Pangeran kecil, kau turut aku, jangan kau ketinggalan. Kau lihat bagaimana kami nanti menghajar musuh!”
Tuli mengangguk. Bersama-sama Kwee Ceng, ia telad tentaranya ialah berkoak-koak dengan seruan peperangan.
Dalam tempo yang cepat sekali, tentara musuh sudah datang dekat beberapa ratus tindak, walaupun demikian, tentara Mongol tetap tidak bergerak, mereka tetap berteriak-teriak saja.
Wanyen Lieh menjadi heran. “Lepas panah!” ia mengasih titah. Ia khawatir tentara Naiman nanti keburu mendahulukan menyerbu kepada mareka.
Tentara Kim menurut titah, mereka lantas menghujani anak panah.
Jarak di antara kedua pihak masih cukup jauh, anak panahnya tentara Kim ini tidak sampai kepada musuh, semuanya jatuh di hadapan mereka itu. Hanya sementara itu, karena orang datang semakin dekat, Wanyen Yung Chi dapat lihat wajah tentara Naiman itu sangat bengis, sambil mengertak gigi, mereka kepraki kuda mereka untuk menerjang. Mau tidak mau, Yung berkhawatir pula.
Siwaktu itu, cambuknya Temuchin mengalun pula di tengah udara, suaranya nyaring. Sekali ini serempak berhentilah seruan-seruan peperangan tentara Mongol itu, yang sebaliknya lalu membagi diri dalam dua sayap, masing-masing dipimpin Temuchin sendiri berdua dengan Jamukha, keduanya ini lantas lari ke tanah tinggi di samping mereka, guna menduduki tempat yang bagus, tentara mereka mengikuti untuk turut ambil kedudukan bagus itu. Sesudah itu, dari tempat yang lebih tinggi, mereka lantas menyerang tentara Naiman. Karena ini adalah penyerangan dari jauh, merka menggunai anak panah.
Kepala perang Naiman rupanya melihat kedudukannya tak selayaknya, ia memimpin untuk mencoba merampas kedudukan itu.
Tentara Mongol membuat tembok bentengan yang terdiri dari semacam permadani, benda tebal itu dipasang di depan mereka dengan diri mereka teraling, penyerangan panah dilanjuti. Hampir semua panah mereka yang gagal.
Temuchin dari tempat yang tinggi menyaksikan penyerangan pihaknya itu, yang membuat musuh kacau, lantas ia berikan titahnya: “Jelmi, pergi kau serbu bagian belakangnya!”
Jelmi menerima titah itu, dengan membawa goloknya yang besar, ia pergi dengan seribu serdadunya. Ia ambil jalan memotong.

Jebe dengan tombak panjang di tangan, maju di paling muka. Sebagai orang baru, ia ingin membuat jasa. Ia mendekam di bebokong kudanya.Dalam tempo yang pendek, barisan belakang Naiman menjadi kalu. Kejadian ini membingungkan pasukan yang berada di sebelah depan.
Selagi kepala perang Naiman bersangsi, Jamukha bersama Sangum menyerang dari kiri dan kanan. Atas ini, musuh lantas lari serabutan, untuk kembali ke jalan darimana tadi mereka datang.
Jelmi tidak merintangi musuh lari terus, ia biarkan mereka dihajar oleh kawan-kawannya, hanya sesudah musuh tinggal kira-kira dua ribu jiwa lebih, baru ia memegat. Siasatnya ini memberi hasil. Musuh menjadi kecil nyalinya, mereka turun dari kuda mereka dan menyerah.
Sebagi kesudahan pertempuran, musuh terbinasa dan luka seribu lebih, tertawan dua ribu lebih. Di pihak Mongolia, kematian dan luka Cuma seratus lebih.
Temuchin titahkan loloskan seragam tentara Naiman itu, jumlah mereka dua ribu lebih dipecah empat yang sebagian diserahkan kepada dua saudara Wanyen, yang sebagian untuk Wang Khan, yang sebagian untuk Jamukha san yang sisanya untuk dirinya sendiri. Untuk serdadu-serdadunya yang terbinasa, ia memberi keluarganya lima ekor kuda serta empat tawanan Naiman sebagai budak.
Baru sekarang Wanyen Yung Chi sadar atas caranya bangsa Mongol itu berperang, dengan gembira ia rundingkan itu.
Wanyen Lieh sebaliknya gentar hatinya. Dengan jumlah yang lebih kecil, Temuchin dan Jamukha telah kalahkan musuhnya yang lebih besar jumlahnya.
“Dengan orang Mongol saling bunuh, maka kami bangsa Kim di Utara dapat merasai aman sentosa,” ia berpikir. “Kalau Temuchin dan Jamukha bisa persatukan pelbagai suku bangsa Mongol itu, itu artinya negaraku tak aman lagi…” Oleh karena ini, ia menjadi berpikir keras.
Itu waktu terlihat pula debu mengepul jauh di sebelah depan. Itulah tanda dari datangnya lagi satu pasukan perang.
“Bagus!” berseru Wanyen Yung Chi. “Hajar pula padanya!”
Akan tetapi juru warta Mongol datang dengan wartanya: “Wang Khan sendiri datang dengan pasukan perangnya!”
Mendengar itu Temuchin bersama Jamukha dan Sangum lantas pergi menyambut.
Wang Khan tiba untuk lantas lompat turun dari kudanya, terus ia tuntun Temuchin dan Jamukha di tangan kiri dan kanannya, untuk berjalan kaki menemui dua saudara Wanyen, di depan kuda dua saudara ini, ia menjalankan kehormatan.
Wanyen Lieh memasang mata kepada Wang Khan, yang tubuhnya gemuk, kumis dan jenggotnya telah putih bagaikan perak. Dia mengenakan jubah hitam dari kulit binatang tiauw dengan pinggang dilibat ikat pinggang emas. Nampaknya ia keren sekali.
Segera Wanyen Lieh turun dari kudanya, guna membalas menghormat. Tidak demikian dengan Wanyen Yung Chi, yang Cuma rangkap kedua tangannya dari atas kuda.
“Hamba dengar bangsa Naiman hendak berbuat kurang ajar,” berkata Wang Khan. “Oleh karena khawatir kedua pangeran kaget maka hamba datang bersama tentaraku ini. Syukur ketiga anak-anakku telah dapat membinasakan mereka!”
Lantas dengan hormat sekali, Wang Khan undung kedua utusan Kim itu datang ke tendanya.
Wanyen Lieh berpikir apabila ia dapatkan di dalam segala hal Wang Khan ada lebih unggul dari Temuchin. Tidak heran kalau Khan ini menjagoi di Utara.. banyak suka lainnya yang takluk padanya, dan tentaranya kuat. Ia menginsyafi ancaman bahaya dari pihak ini.
Setelah selesai upacara penganugerahan, malam itu Wang Khan jamu tetamunya.
Ia menyuguhkan nyanyian dan tari-tarian oleh budak-budak wanitanya. Ramai sekali pesta itu.Tengah berpesta, Wanyen Lieh berkata: “Aku ingin menyaksikan orang-orang gagah perkasa bangsa Mongolia.”
“Dua anak angkatku ini adalah orang-orang gagah perkasa bangsa Mongol,” berkata Wang Khan sambil tertawa seraya menunjuk ke arah Temuchin dan Jamukha.
Sangum tidak puas mendengar perkataan ayahnya itu, untuk mengendalikan diri, saban-saban ia cegluk arakanya dari cawannya yang besar.
Wanyen Lieh awas matanya, ia lihat ketidakpuasaan orang. “Putramu terlebih gagah lagi,” ia puji putra Khan itu. “Kenapa loo-enghiong tidak menyebut-nyebut dia?”
Sengaja pangeran Kim ini memanggil loo-enghiong, pendekar tua, kepada Khan itu.
“Jikalau aku telah menutup mata nanti, sudah sewajarnya dialah yang nanti menggantikan aku memimpin suku kita,” berkata Wang Khan sambil tertawa. “Dia mana dapat dibandingkan dengan kedua anak angkatku? Jamukha pandai dan cerdik, den Temuchin gagah tak tertandingkan. Dengan tangan kosong Temuchin bakal membangun negara. Orang gagah yang mana yang tidak bakal menjual jiwanya untuk Temuchin?”
“Apakah sebawahan loo-engjiong tak dapat melawan dia?” Wanyen Lieh tanya.
Temuchin lirik putra raja Kim ini. Kata-kata orang ada mengandung pancingan atau unsur merenggangkan. Ia lantas berhati-hati sendirinya.
Wang Khan urut kumisnya, ia tidak menjawab. Ia hanya menghirup araknya.
“Pernah bangsa Naiman rampas beberapa laksa binatang ternakku,” katanya kemudian. “Syukur Temuchin kirim empat panglimanya untuk membantu aku, dengan begitu semua binatang itu dapat dirampas pulang. Anakku? Ah….”
Mendengar itu, air mukanya Sangum berubah, ia letaki cangkir araknya dengan separuh dibanting.
“Apakah kegunaanku?” Temuchin lekas berkata, “Istriku dirampas orang, untuk itu adalah ayah angkatku dan saudara angkatku yang membantu aku merampas pulang.”
“Bagaimana dengan empat panglimamu yang kesohor gagah itu?” Wanyen Lieh tanya. “Mana mereka itu? Aku ingin melihatnya.”
“Suruhlah mereka masuk kemari!” Wang Khan berkata pula pada Temuchin.
Denga perlahan-lahan Temuchin tepuk-tepuk tangannya, segera setelah itu empat perwira masuk ke dalam tenda.
Wanyen Lieh mengawasi. Yang pertama adalah satu orang yang romannya lemah lembut, yang kulitnya putih sekali. Dialah Mukhali yang pandai mengatur tentara. Yang kedua ada bertubuh kekar dan sepasang matanya tajam seperti burung elang, ialah sahabatnya Temuchin, yaitu Borchu. Yang ketiga ada berpotongan kecil dan kate tetapi gesit gerakkannya, ia adalah Boroul. Dan yang keempat ada seorang yang dengan seluruh lengannya bercacat bekas bacokan golok, yang mukanya merah bagai darah. Dialah Chi’laun yang dulu hari pernah tolongi Temuchin dari ancaman malapetaka. Merekalah orang-orang peperangan yang berjasa membangun negara Mongolia yang Temuchin sendiri menyebutnya empat panglima gagah.”
Wanyen Lieh puji mereka itu satu persatu, ia haturkan secawan arak pada masing-masingnya. Habis orang minum, ia berkata pula: “Tadi di medan perang, ada satu panglima dengan seragam hitam, dia menerjang musuh bukan main gagahnya. Siapakah dia?”
“Dia adalah Jebe, pemimpin komponiku yang baru,” Temuchin menjawab.
“Coba suruh dia masuk kemari untuk minum satu cangkir,” Wanyen Lieh minta.
Temuchin meluluskan, ia beri titah untuk memanggil Jebe.
Jebe sudah lantas muncul. Diberikan arak, ia menghanturkan terima kasih. Ketika ia hendak hirup araknya itu, tiba-tiba Sangum berseru: “Kau cuma kepala komponi yang rendah pangkatnya, cara bagaimana kau beri minum dari cawan emasku?!”

Jebe kaget berbareng murka. Batal ia minum, ia lantas mengawasi Temuchin.Menurut kebiasaan bangsa Mongol, mencegah orang minum arak adalah satu penghinaan besar, apapula dilakukan di muka orang banyak. Maka itu Temuchin berpikir: “Dengan memandang ayah angkat, biar aku kasih dia ampun.” “Mari cawan itu! Aku berdahaga, kasih aku yang minum!” Ia ambil cawan itu dari tangannya punggawanya itu, ia lantas tenggak isinya.
Dengan mata bengis Jebe awasi Sangum, terus ia bertindak keluar.
“Kau kembali!” Sangum memanggil dengan membentak.
Jebe tidak ambil peduli, ia bertindak terus seraya angkat kepalanya.
Sangum kecele, tetapi ia kata kepada Temuchin: “Saudara Temuchin ada punya empat pendekar tetapi asal aku keluarkan satu makhluk, tentu empat-empatnya mereka dapat dimakan habis dengan sekali telan!” ia pun tertawa dingin.
“Makhluk apakah itu?” Wanyen Yung Chi bertanya.
“Mari kita pergi keluar untuk melihatnya,” Sangum mengajak.
“Kita lagi gembira minum arak di sini, kau hendak mengacau apa lagi!” Wang Khan menegur putranya.
Wanyen Yung Chi hendak melihat keramaian, ia berkata: “Minum arak saja pun kurang gembira, mari kita melihat yang lainnya!” Ia pun lantas berbangkit dan bertindak keluar. Terpaksa orang banyak turut keluar pula.
Di luar tenda, bangsa Mongol telah menumpuk beberapa ratus api unggun, mereka tengah berminum, kapan mereka tampak Khan mereka muncul, semuanya lantas bangkit berdiri.
Di terangnya api unggun, Temuchin lihat wajahnya Jebe merah. Ia mengerti bawahannya itu penasaran dan gusar. Ia tahu juga bagaimana mesti perlakukan orang polos demikian.
“Ambil arak!” ia menitah. Dia lantas dibawakan satu poci besar. Ia angkat poci itu, terus ia berkata dengan nyaring: “Hari ini kita hajar bangsa Naiman hingga mereka dapatkan kekalahan besar, dengan begitu kamu semua telah bercape lelah…!”
Tentara itu berteriak: “Adalah Wang Khan, Temuchin Kha Khan dan Jamukha Khan yang memimpin kita menghajar mereka!”
“Hari ini aku telah lihat seseorang yang luar biasa beraninya yang sudah menyerbu ke belakang barisan musuh,” Temuchin berkata pula: “Beruntun tiga kali dia menyerbu bolak-balik! Siapakah dia?!”
“Itulah Siphu-thio Jebe!” sahut banyak serdadu.
“Apa siphu-thio!” berkata Temuchin. “Dia-lah pekhu-thio!”
Dengan begitu, dengan sendirinya, sejenak itu juga, Temuchin telah naiki pangkatnya Jebe menjadi pemimpin eskadron.
Untuk sejenak, orang melengak, tetapi segera mereka mengerti, maka dengan kegirangan mereka berseru: “Jebe gagah berani, dia pantas menjadi pekhu-thio!”
“Ambil kopiah perangku!” kata Temuchin kepada Jelmi.
Jelmi menurut dan menyerahkan kopiah itu dengan kedua tangannya.
Temuchin menyambuti, terus ia angkat kopiahnya itu tinggi-tinggi. “Inilah kopiahku, yang aku pakai untuk membasmi musuh!” dia berkata dengan suara nyaring. “Sekarang hendak aku pakai ini sebagai gantinya cawan arak!”
Ia buka tutp poci arak, isinya ia tuang ke dalam kopiah besi itu. Ia lantas menghirup satu ceglukan, habis itu, kopiah itu ia sadurkan kepada Jebe.
Pekhu-thio itu menjadi sangat bersyukur, sambil tekuk sebelah kakinya, ia ulurkan tangannya untuk menyambuti, terus ia mencegluk beberapa kali.
“Biarpun cawan emas yang paling berharga di kolong langit ini, tidaklah itu dapat melawan kopiah besi dari Kha Khan ini!” katanya perlahan.
Temuchin tersenyum. Ia sambuti pulang kopiahnya itu, untuk dipakai di kepalanya.
Semua punggawa dan serdadu Mongol itu tahu Jebe telah menerima penghinaan, akan tetapi menyaksikan sikapnya pemimpin mereka itu, mereka lantas bertempik sorak.
“Sungguh satu manusia yang luar biasa!” pikir Wanyen Lieh. “Kalau sekarang dia suruh Jebe mati, Jebe tentulah rela!”
Beda dari saudaranya, Wanyen Yung Chi justru pikirkan saja kata-katanya Sangum tentang empat pahlawannya Temuchin. Ia suruh pengiringnya ambil kursi kulit harimau, di atas itu ia duduk bercokol.
“Kau ada punya makhluk apa yang demikian hebat, hingga ia dapat menelan keempat pahlawan?” dia tanya Sangum.
Sangum tersenyum. “Apakah emapt pahlawan saudara angkatnya Temuchin?” ia mengulangi. “Mana dia empat pahlawan yang menggetarkan padang pasir itu?”
Mukhali berempat lantas menghampirinya dan memberi hormat sambil menjura.
Sangum berpaling, untuk bicara perlahan sekali dengan satu pengiringnya. Pengiring itu menyahuti, terus ia mundurkan diri.
Tidak selang lama lantas orang mendengar suara mengaumnya seekor binatang liar, disusul mana munculnya binatang itu sendiri, yaitu dua ekor macam tutul yang besar, yang bulunya belang bertotolan, dua pasang matanya bersinar mencorot, jalannya ayal-ayalan tetapi sikapnya sangat bengis.
Wanyen Yung Chi kaget hingga ia raba goloknya, setelah mana kedua macam tutul itu sudah datang sekat api unggun, baru hatinya lega. Binatang itu dikalungi dengan kalung kulit dan setiap ekornya dituntun dua orang yang tubuhnya besar, mereka itu masing-masing mencekal sebatang galah. Sebab mereka itu adalah si pemelihara binatang buas itu. Adalah umum orang Mongol memelihara macam tutul, yang dipakai untuk berburu. Macam tutul baik tenaga maupun kegalakannya melebihi anjing pemburu. Tapi binatang ini sangat kuat makannya, dari itu kalau bukannya pangeran atau bangsawan, orang tak dapat memeliharanya.
“Kakak,” kata Sangum kepada Temuchin. “Empat pahlawanmu adalah orang-orang gagah, jikalau mereka dapat dengan tangan kosong membinasakan dua ekor macanku ini, barulah aku sangat takluk kepadamu!”
Mendengar ini, keempat pahlawan menjadi sangat dongkol. Mereka dalam hati kecilnya berkata: “Sudah kau hinakan Jebe, sekarang kau hinakan kami juga. Adakah kami babi hutan atau serigala maka kami hendak diadu sama macan tutulmu?”
Juga Temuchin menjadi sangat tidak senang. Maka ia berkata: “Aku menyayangi keempat pahlawanku sebagai jiwaku sendiri, cara bagaimana aku bisa biarkan mereka berkelahi sama macan tutul?”
Sangum tertawa terbahak. “Begitu?” ia mengejek. “Buat apakah mengepul menjadi orang gagah kalau dua ekor macanku saja takut dilawan?”
Diantara empat pahlawan itu, Chi’laun yang paling keras tabiatnya. Ia lantas bertindak maju ke depan. “Khan yang maha besar,” katanya, “Tidak apa orang tertawakan kami, tetapi kau, tak dapat kau hilang muka! Nanti aku lawan macan tutul itu!”
Wanyen Yung Chi menjadi sangat girang. Ia lantas loloskan sebuah cincinnya yang bermata berlian, ia lempari itu ke tanah. “Asal kau menang, cincin itu menjadi kepunyaanmu!” katanya.
Chi’laun tidak pandang cincin itu, ia hanya bertindak lagi.
Mukhali tarik kawannya itu. Dia berkata: “Kita menggentarkan padang pasir, membunuh musuh, kita telah membunuh cukup banyak, tetapi macan tutul? bisakah binatang itu memimpin tentara? Bisakah binatang itu mengatur tentara bersembunyi dan mengurung musuh?”
Temuchin pun segera berkata: “ Saudara Sangum, kau menang!” Dan ia bertindak menjemputi cincin tadi, untuk diletaki di tangannya saudara angkat itu.
Sangum masuki cincin itu ke jari tangannya, ia tertawa besar dan lama.
Ia angkat jari tangannya itu, ia pertontonkan ke empat penjuru. Tentaranya Wang Khan lantas saja bersorak-sorai.Jamukha mengerutkan alis, ia tapinya diam saja. Temuchin juga bersikap tenang dan agung. Sampai di situ, empat pahlawannya itu mengundurkan diri.
Lenyap kegembiraannya Yung Chi karena gagal menyaksikan pertandingan antara manusia lawan binatang liar itu, tak sudi ia minum arak lebih jauh, ia lantas pulang ke tendanya untuk tidur.
Besok paginya Tuli dan Kwee Ceng dengan bergandengan tangan pergi bermain, tanpa terasa mereka bertindak semakin jauh dari tenda mereka. Tiba-tiba ada seekor kelinci putih lari lewat di samping mereka. Tuli keluarkan panah kecilnya dan memanah. Tepat kelinci itu terpanah perutnya. Tapi tenaganya Tuli sangat terbatas, kelinci itu masih dapat lari terus dengan bawa anak panah yang nancap diperutnya itu. Tuli bersama Kwee Ceng lantas mengejar dengan berteriak-teriak.
Kelinci itu lari serintasan, lantas ia roboh dengan sendirinya. Girang Tuli berdua, mereka lompat maju untuk menubruk.
Justru itu dari samping mereka, yang merupakan rimba, muncul serombongan anak-anak, satu yang berumur kira-kira sepuluh tahun, dengan sangat sebat, telah mendahului menyambar binatang itu, dia cabut anak panahnya dan lalu ia buang ke tanah, kemudian setelah ia mengawasi Tuli berdua, dia lari bersama bangkai kelinci itu!
Tuli lantas berteriak: „Eh, kelinci itu akulah yang memanahnya! Kenapa kau bawa lari?!“
Bocah itu menoleh, dia tertawa. “Siapa yang bilang, kau yang memanah?” tanyanya.
“Panah ini toh kepunyaanku!” jawab Tuli.
Bocah itu yang telah berhenti berlari berdiri sepasang alisnya, matanya pun melotot. “Kelinci ini adalah piaraanku!” dia kata. “Sudah bagus aku tidak minta ganti rugi!”
“Tidak tahu malu!” bentak Tuli. “Terang ini adalah kelinci liar!”
Bocah itu galak, ia menghampiri Tuli dan mendorong pundak orang. “Kau maki siapa?!” tegurnya. “Kakekku ialah Wang Khan! Ayahku ialah Sangum! kau tahu tidak?! Taruh kata benar kelinci kaulah kau yang panahm kalau aku hendak ambil, habis bagaimana?!”
“Ayahku Temuchin!” kata Tuli dengan sama jumbawanya.
“Fui!” bocah itu menghina. “Ayahmu adalah hantu cilik yang nyalinya kecil, dia takuti kakekku, dia juga takuti ayahku!”
Bocah itu adalah Tusaga, putra tunggal dari Sangum atau cucunya Wang Khan. Mulainya Sangum dapat satu putri, selang lama, barulah ia dapatkan putranya ini, lalu ia tidak punya anak lain lagi. Karena itu, putranya ini sangat disayangi dan dimanjakan, hingga Tusaga menjadi kepala besar. Temuchin telah berpisah lama dengan Wang Khan dan Sangum, karenanya, anak-anak mereka tidak kenal satu sama lain.
Tuli gusar sekali yang ayahnya diperhina orang. “Siapa yang bilang?!” ia tanya dengan bengis. “Ayahku tidak takuti siapa juga!”
“Ibumu telah orang rampas, adalah ayahku dan kakekku yang pergi menolongi merampas pulang!” sahut Tusaga. “Apakah kau sangka aku tidak ketahui hal itu? Maka apa artinya kalau aku naru ambil ini kelinci kecil?”
Memang dahulu hari Wang Khan telah bantu anak angkatnya itu, Sangum ingat baik-baik peristiwa itu dan menceritakan kepada orang lain hingga Tusaga yang masih kecil mendapat tahu juga. Sebaliknya Tuli tidak tahu suatu apa, sebab Temuchin anggap hal itu memalukan dan tidak pernah memberitahukan putranya, apapula putranya itu masih kecil.
Meski begitu, Tuli gusar sekali. “Akan aku beritahu ayahku!” katanya. Ia putar tubuhnya untuk berlalu.
Tusaga tertawa terbahak. “Ayahmu takuti ayahku, kau mengadu juga bisa apa?” katanya. “Tadi malam ayahku keluarkan dua macan tutulnya, empat pahlawan dari ayahmu lantas tak berni bergiming!”
Tuli bertambah gusar. Di antara empat pahlawan, Boroul adalah gurunya. “Guruku tak takut harimau, apapula segala macan tutul!” serunya sengit. “Hanya guruku tidak hendak melayani!”
Tiba-tiba Tusaga maju dan tangannya melayang ke kuping orang. “Kau berani membantah?!” dia membentak. “Kau tidak takuti aku?”
Tuli melengak. Ia tidak sangka orang berani pukul padanya.
Kwee ceng panas hati semenjak tadi, sekarang ia tidak dapat mengatasi pula dirinya. Dia maju dan seruduk perutnya Tusaga!
Putranya Sangum juga tidak menyangka-nyangka, tidak ampun lagi dia roboh terjengkang. Tuli tertawa seraya tepuk-tepuk tangan. “Bagus!” dia bersorak. Kemudian dengan tarik tangannya Kwee ceng, ia lari.
Kawan-kawannya Tusaga tidak tinggal diam dan mengejar, maka itu, mereka lantas jadi berkelahi bergumul, kepalan dan kaki digunakan semua.
Tusaga murka sekali, dia merayap bangun, dia pun turut menyerbu. Pihaknya kebanyakan terlebih tua usianya, dan merekapun berjumlah lebih banyak orang, sebentar saja Kwee Ceng dan Tuli kena dipukul jatuh, lalu ditindihkan.
Tubuh Kwee Ceng diduduki Tusaga, sembari memukul bebokong orang, dia ini berkata: “Kau menyerah, aku kasih ampun!”

Kwee Ceng berontak, sia-sia saja, ia tak dapat bergerak. Tuli pun tak dapat bergeming, ditindih oleh dua lawan.Dalam saat tegang dari bocah-bocah ini, dari kejauhan ada terdengar kelenengan unta, lalu ditepi sungai tertampak rombongan pedagang dari gurun pasir. Salah satu diantaranya yang menunggang kuda putih, tertawa apabila ia lihat bocah-bocah itu sedang berkelahi.
“Bagus! Kamu lagi berkelahi!” katanya. Tapi kapan ia telah datang dekat dan lihat dua anak dikepung beramai, dua bocah itu telah babak-belur dan matang biru mukanya, ia kata nyaring: “Tidak malukah kamu?! Lekas lepaskan mereka!”
“Minggir! Jangan banyak omong disini!” bentak Tusaga. Dia adalah putranya satu jago di Utara, dia termanjakan, siapapun tidak berani lawan padanya. Maka itu ia menjadi besar kepala.
“Hai anak, kau galak sekali!” kata penunggang kuda itu. “Lepas tanganmu!”
Ketika itu telah tiba beberapa yang lainnya, lalu satu nona berkata: “Shako, jangan usilan, amri kita melanjutkan perjalanan.”
“Kau lihat sendiri, kau lihat sendiri!” kata orang yang dipanggil shako itu – shako – kakak nomor tiga.
Rombongan kalifah itu terdiri antaranya dari Kanglam Cit Koay, itu tujuh Manusia Aneh dari Kanglam. Mereka dengar Toan Thian Tek kabur ke utara, mereka menyusul hingga ke gurun pasir.
Untuk enam tahun lamanya mereka mondar-mandir, selama itu tidak pernah mereka dengar halnya si orang she Toan itu. Mereka semua mengerti bahasa Mongol.Han Siauw Eng adalah si nona, apabila ia telah melihat denagn tegas, ia lompat turun dari kudanya, ia tarik dua bocah yang mengerubuti Tuli, ia menyempar hingga orang berguling. “Dua mengepung satu, tak malukah kamu?!” tegurnya.
Tuli lompat bangun begitu lekas ia merasai tubuhnya enteng.
Tusaga menyaksikan kejadian itu, ia heran. Justru ia melengek, Kwee Ceng berontak dan loloskan dirinya seraya lompat bangun juga, lalu bersama kawannya ia angkat kaki!
“Kejar!” teriak Tusaga gusar. “Kejar!” Ia ajak kawan-kawannya mengubar.
Kanglam Cit Koay pada tersenyum, Mereka ingat masa kecilnya mereka, yang pun bengal dan gemar berkelahi.
“Hayolah jalan!” berkata Kwa Tin Ok. “Kita jangan bikin pasar keburu bubar, nanti kita tak dapat menanyai orang!”
Itu waktu Tusaga beramai telah dapat candak Tuli berdua, mereka itu kembali kena dikurung.
“Menyerah atau tidak?”Tusaga tanya.
Tuli dengan mata bersinar hawa amarah, menggelengkan kepala.
“Hajar lagi padanya!” Tusaga memberi komando. Anak-anak itu pun lantas maju.
Tiba-tiba sebuah benda berkelebat di tangannya Kwee Ceng. “Siapa berani maju!” ia berseru. Nyata ia mencekal sebatang pisau belati.
Lie Peng menyayangi putranya, senjata peninggalan suaminya itu ia serahkan kepada sang putra, untuk sang putra yang simpan. Ia mengharap pisau belati itu, sebagai mustika dapat mengusir pengaruh-pengaruh jahat.
Menampak orang bersenjata, Tusaga semua tidak berani maju.
Biauw Ciu Si-seng Cu Cong, yang telah larikan kudanya, lihat sinar berkelebat berkilau itu, ia manjadi heran. Banyak sudah ia mencuri barang-barang berharga kepunyaan pembesar rakus atau hartawan jahat, maka itu matanya tak pernah salah.
“Benda itu pasti mustika adanya,” ia berpikir. “Perlu aku lihat, benda apakah itu…”
Maka itu ia larikan kudanya ke arah anak-anak itu hingga ia menampak Kwee Ceng dengan belati di tangan, sikapnya gagah sekali. ia menjadi heran. Kenapa sebuah mustika berada di tangan satu bocah? Ia jadi awasi Kwee Ceng begitu pun semua bocah lainnya. Semua mereka mengenakan kulit binatang yang mahal, kecuali Kwee Ceng yang dilehernya pun berkalung gelang emas yang indah. Jadi mereka mestinya adalah anak-anak bangsawan Mongolia.
“Mestinya bocah ini telah curi senjata ayahnya,” si setan tangan ulung berpikir pula. “Dia tentu curi itu untuk dibuat main. Bukannya tak halal kalau aku ambil barangnya orang bansawan…”
Dengan timbul keinginannya akan punyai belati itu, Cu Cong lompat turun dari kudanya, dia dekati semua bocah itu sambil ia tertawa haha-hihi.
“Jangan berkelahi, jangan berkelahi!” katanya. “Hayolah kamu baik-baik bermain…!”
Ia menyelip di antara bocah-bocah itu, atau sekejap saja belati di tangan Kwee Ceng telah pindah ke dalam cekalannya. Jangan kata baharu Kwee Ceng, satu anak kecil, walaupun orang kosen lainnya, pasti dapat senjatanya dirampasnya. Ia lompat pula untuk naik ke atas kudanya, sambil tertawa berkakakan, ai susul kawan-kawannya.

“Tak jelek untungku hari ini, aku dapat mustika!” kata ia.“Jieko, tak dapat kau ubah tabiatmu yang suka mencopet itu!” kata Siauw Bie To Thio A Seng.
“Mustika apakah itu? Mari kasih aku lihat,” minta Lauw-sie In Hiap Coan Kim Hoat.
Cu Cong ayun tangannya, melemparkan. Bersinar berkilau belati itu diantara sinar matahari, bagaikan sinar bianglala, hingga semua Kanglam Cit Koay heran dan memuji. Kim Hoat pun merasa memegang benda yang rasanya dingin.
“Bagus!” ia segera memuji, lalu tangannya menyambar ke batu di dekatnya, batu mana terus terbabat kutung. Kemudian ia lihat gagangnya pisau, ia jadi terperanjat. Ia dapatkan ukiran dua huruf “ Yo kang”.
“Eh, ini namanya orang Han!” katanya. “Kenapa belati ini terjatuh ke dalam tangan orang Mongol? Yo Kang? Yo Kang? Tidak pernah aku dengar orang gagah dengan nama ini….Siapa tak gagah tak pantas ia mempunyai belati ini…..”


Bab 9. Si Mayat Perunggu dan Si Mayat Besi

Untuk sesaat, Kim Hoat berdiam. Kemudian dia bertanya pula pada kakaknya yang tertua, “Toako, takukah kau siapa Yo Kang?”“Yo Kang? Tak pernah aku dengar nama itu…” jawab Tin Ok.
Yo Kang itu adalah nama yang Khu Cie Kee berikan untuk anak yang masih ada dalam kandungannya Pauw Sek Yok, istrinya Yo Tiat Sim. Tiat Sim dan Siauw Thian telah saling mengasih tanda mata belati yang terukir nama Yo Kang dan Kwee Ceng, dari itu, tentu saja Kanglam Cit Koay tidak kenal nama Yo Kang itu.
Coan Kim Hoat sabar dan teliti, ia berpikir terus. Lantas ia ingat akan sesuatu. Ia berkata kemudian: “Orang yang khu Totiang cari adalah istrinya Yo Tiat Sim. Entah Yo Kang ini ada hubungannya sama Yo Tiat Sim atau tidak…”
Enam tahun sudah tujuh saudara ini merantau di gurun apsir tanpa ada hasilnya, sekarang mereka dapati ada titik terang, mereka jadi bersemangat, mereka tak hendak melepaskannya dengan begitu saja.
“Marilah kita tanya bocah itu!” Siauw Eng mengusulkan.
Han Po Kie mempunyai kuda yang paling gesit, ia mendahului berlari kepada kawanan bocah itu yang telah kembali bergumul berkelahi. Ia berteriak-teriak menyuruh mereka berhenti berkelahi, tetapi ia tidak dipedulikan, maka ia turun dari kudanya, dan kemudian ia langsung tarik beberapa bocah dan balingkan mereka ke pinggiran.
Tusaga lihat orang kuat, ia tak berani berkelahi terus. Tapi ia tuding Tuli dan menantang: “Dua ekor anjing cilik, jikalau kau berani, besok kita bertempur pula disini!”

“Baik, besok kita bertempur pula disini!” Tuli terima tantangan itu. Ia sudah lantas memikir, kalau sebentar ia pulang, hendak ia meminta bantuan Ogatai, kakaknya yang nomor tiga, dengan siapa ia paling erat hubungannya, sedang kakaknya itupun kuat. Ia percaya Ogagati akan suka membantu padanya.Kwee ceng dengan muka berlumuran darah, mengulurkan tangannya pada Cu Cong. “Mari kasih pulang!” katanya. Dengan berani ia minta belatinya kembali.
“Gampang untuk pulangi padamu!” kata Cu Cong sambil tertawa, seraya tangannya mencekal belati orang. Tapi kau mesti omong dulu biar terang, darimana kau peroleh belati ini?”
Dengan tangan bajunya Kwee ceng susuti darah yang masih mengalir dari hidungnya. “Ibuku yang berikan padaku,” sahutnya.
“Apakah she ayahmu?” Cu Cong tanya pula.
Bocah itu melengak. Ia tak punya ayah, tak dapat ia menjawab. Kemudian ia menggeleng kepalanya.
Cit Koay lihat orang rada tolol, mereka menjadi putus asa.
“Apakah kau she Yo?” Coan Kim Hoat kemudian menanya. Ia penasaran.
Kwee menggeleng-gelengkan kepalanya pula.
Kanglam Cit Koay paling menjunjung kehormatan, mereka pegang satu kepercayaan sekalipun terhadap satu bocah, maka itu Cu Cong lantas serahkan belati itu kembali kepada Kwee Ceng., sedang Han Siauw Eng keluarkan sapu tangannya, untuk susuti orang punya darah di hidung.
“Pergilah kau pulang,” katanya dengan halus dan ramah. “Lain kali jangan kau berkelahi pula.”
Lantas Cit Koay berangkat, akan susul rombongan kalifah yang mereka ikuti.
Kwee Ceng menjublak mengawasi orang pergi.“Kwee Ceng, mari pulang!” Tuli lantas mengajak.
Cit Koay belum jalan jauh. Tin Ok mempunyai kupingnya paling lihay pendengarannya dibandingkan dengan saudara-saudaranya, ia dengar panggilan “Kwee Ceng” dari Tuli, mendadak ia rasai tubuhnya menggetar, tanpa bersangsi pula, ia putar kudanya akan kembali kepada si bocah.
“Eh, anak, apakah kau bernama Kwee Ceng?” ia tanya dengan sabar.
Kwee Ceng menberikan penyahutan yang membenarkan.
Bukan kepalang girangnya Tin Ok. “Siapakah nama ibumu?” tanya pula, cepat.
“Ibu ialah ibu….” Kwee Ceng menjawab.
Tin Ok menggaruk-garuk kepalanya.
“Mari antar aku kepada ibumu, Maukah kau?” ia tanya lagi.“Ibuku tidak ada disini,” bocah itu menjawab.
Tin Ok dengar suara yang tak simpatik. Kemudian dia berkata kepada adiknya paling kecil, “Cit moay, kaulah ynag tanya dia.”
Siauw Eng lompat turun dari kudanya dan ia menghampiri bocah itu. “Mana ayahmu?” dia tanya, suaranya tetap ramah.
“Orang telah celakai ayahku hingga terbinasa,” sahut bocah itu. “Nanti kalau aku sudah besar, hendak aku cari musuh itu untuk membalaskan sakit hati ayahku!”
“Apakah namanya ayahmu itu?” Siauw Eng tanya pula. Ia bernafsu, hingga suaranya sedikit menggetar.
Kwee Ceng menggoyang kepala.
“Siapakah namanya itu orang yang membunuh ayahmu?!” Tin Ok turt tanya, suaranya dingin.
Sambil kertak gigi, Kwee Ceng jawab: “Dia bernama Toan Thian Tek!”
Memang Lie Peng telah memberitahukan kepada anaknya itu she dan namanya Thian Tek, malah roman mukanya dan potongan tubuhnya.
Nyonya Kwee tahu, jiwanya terancam bayaha sembarang waktu, maka itu ia telah berikan penjelasan kepada anaknya, supaya apabila ada terjadi sesautu atas dirinya, putranya itu sudah tahu segala sesuatunya. Ia pun telah memberitahukannya berulangkali, hingga Kwee Ceng ingat semua itu.
Cit Koay girang bukan kepalang, si nona Han sampai berseru, sedang Kwa Tin Ok memuji kepada Thian. Lucunya adalah Thio A Seng, yang sudah rangkul Lam Hie Jin, sementara si cebol Han Po Kie jumpalitan si atas kudanya.

Tuli dan Kwee Ceng mengawasi, mereka merasa lucu dan heran.“Adik kecil, mari duduk, mari kita bicara perlahan-lahan…” nona Han berkata dengan suaranya ynag tetap ramah.
“Mari pulang!” mengajak Tuli, Ia hendak cari kakaknya yang ketiga, untuk ajaki saudarany itu besok membantui ia melawan Tusaga.
“Aku mau pulang,” Kwee ceng berkata kepada Han Siauw Eng.
Ia tarik tangannya Tuli dan ia putari tubuhnya, untuk berjalan pergi.“Eh, eh, tunggu dulu,” Po Kie memanggil. “Kau tak dapat pergi! Biarkan sahabatmu pulang lebih dulu..!”
Melihat sikap orang yang luar biasa, dua bocah itu menjadi takut, mereka lantas lari.
Po Kie berlompat, untuk sambar pundaknya Kwee Ceng.
“Shatee, jangan semberono!”
Cu Cong cegah adiknya yang nomor tiga itu. Ia pun bergerak, untuk halangi tangan adiknya.Po Kie heran, ia batal membekuk bocah itu.
Cu Cong lari untuk susul kedua bocah itu, ia lantas jemput tiga butir batu kecil. “Aku akan main sulap untuk kamu!” katanya sembari tertawa, sikapnya manis.
Tuli dan Kwee Ceng berhenti berlari, mereka berdiam mengawasi.
Cu Cong genggam ketiga batu itu di telapak tangan kanannya. “Menghilanglah!” ia berseru. Kapan ia membuka kepalan tangannya, batu itu telah lenyap.
Kedua bocah itu heran, mereka mendelong.
“Nelusup masuk!” seru Cu Cong, yang tepuk kopiahnya.
Terus ia buka kopiahnya itu, di dalam situ ada tiga butir batu itu.“Bagus!” seru Tuli dan Kwee Ceng. Tanpa merasa, mereka menjadi tertarik.
Itu waktu terdengar suara belibis mendatangi, lalu tertampak burungnya terbang mendatangi dalam dua rombongan, datangnya dari utara.
“Akan aku suruh toako main sulap,” kata ia, yang dapat pikiran baru. Ia lantas rogoh keluar sepotong sapu tangan, yang mana ia kasihkan kepada Tuli, sambil menunjuk kepada Kwa Tin Ok, ia kata: “Kau tutup matanya.”
Tuli menurut, ia ikat matanya orang she Kwa itu. “Mau main petak umpat?” tanyanya tertawa.
“Bukan,” sahut Cu Cong. “Tanpa mata, ia dapat panah burung belibis itu.” Ia terus serahkan gendewa dan anak panah kepada kakaknya.
“Aku tidak percaya,” kata Tuli.
Itu waktu kedua rombongan belibis sudah terbang mendekat, Cu Cong menimpuk dengan tiga butir batunya, membuat burung-burung itu menjadi kaget, yang jadi pemimpinnya berbunyi. Justru karena burung itu berbunyi dan hendak merubah tujuan, panahnya Tin Ok sudah meleset, jitu sekali, burung itu terpanah batang lehernya dan bersama anak panahnya, jatuh ke tanah.
“Bagus! Bagus!” Tuli dan Kwee Ceng berseru dengan gembira. Mereka pun lari untuk pungut burung itu, hendak diserahkan pada Kwa Tin Ok. Mereka sangat kagum.
“Tadi mereka bertujuh atau berdelapan mengerubuti kamu berdua,” berkata Cu Cong. “Coba kamu ada punya kepandaian, kamu tidak usah takut lagi kepada mereka.”
“Besok kita bakal berkelahi pula, aku akan minta bantuan kakakku,” kata Tuli.
“Minta bantuan kakakmu?” kata Cu Cong. “Hm, itulah tidak ada faedahnya. Aku akan ajari kau sedikit kepandaian, aku tanggung besok kamu bakal dapat kalahkan mereka.”
“Kami berdua dapat kalahkan mereka berdelapan?” tegaskan Tuli.
“Ya!” Cu Cong beri kepastian.
Tuli girang sekali. “Baik! Nah, kau ajarkanlah aku!”
Cu Cong awasi Kwee Ceng, yang berdiri diam saja, dia agaknya tidak tertarik.
“Apakah kau tidak ingin belajar?” ia tanya bocah itu.
“Ibuku bilang, tidak boleh aku berkelahi,” Kwee Ceng menjawab. “Kalau aku belajar kepandaian untuk memukul orang, ibu tnetu tidak senang.”
“Hm, bocah bernyali kecil!” kata Po Kie perlahan.
“Habis, kenapa tadi kamu berkelahi?” Cu Cong tanya lagi.
“Mereka itu yang serang kami duluan.” jawab Kwee Ceng lagi.
Tin Ok campur bicara, suaranya tetap dingin: “Kalau kau bertemu dengan sama Toan Thian Tek, musuhmu itu, habis bagaimana?!” ia tanya.
Kedua matanya Kwee Ceng bersinar. “Akan aku bunuh dia, untuk balaskan dendaman ayahku!” sahutnya.
“Ayahmu pandai silat, dia masih dapat dibunuh musuhnya,” Ton Ok kata pula. “Kau tidak belajar ilmu kepandaian, bagaimana kau dapat membalas dendam?”
Kwee Ceng tercengang. Kemudian air matanya mengalir keluar.
Cu Cong menunjuk ke gunung di sebelah kiri. “Kalau kau hendak belajar kepandaian guna menuntut balas untuk ayahmu,” ia bilang. “Sebentar tengah malam kau pergi ke sana untuk cari kami. Cuma kamu sendiri yang dapat datang, kau tidak boleh beritahukan kepada orang lain. Kau berani tidak? Apakah kau takut setan?”
Kwee Ceng masih berdiri menjublak.
“Kau ajarakan aku saja!” Tuli bilang.
Tiba-tiba Cu Cong tarik tangannya bocah itu, kakinya mengaggaet.
Tuli rubuh seketika. Ia merayap bangun dengan murka.”Kenapa kau serang aku?” tegurnya.
“Ini dia yang dibilang ilmu kepandaian,” Cu Cong tertawa. “Mengertikah kau?”
Nyata Tuli sangat cerdas, segera ia mengerti. Ia manggut-manggut. “Coba ajarakan aku pula,” ia minta.
Cu Cong menyambar dengan kepalannya, Tuli berkelit ke kiri. Tapi di sini ia dipapaki tangan kiri si penyerang, tepat kena hidungnya, tapi Cuma hidung nempel, kepalan kiri itu segera ditarik pulang.
Bukan kepalang girangnya putra Temuchin itu. “Bagus! bagus!” ia berseru. “Kau ajari aku lagi!”
Cu Cong mendak, untuk mendongko, lalu ia seruduk pinggang orang. Tampa ampun Tuli berguling, tapi belum sempat ia terbanting ke tanah, Coan Kim Hoat sudah sambar tubuhnya, untuk di kasih tetap berdiri .
“Paman, ajari aku pula!” seru Tuli. Ia girang luar biasa.
“Sekarang kau pelajari dulu tiga jurus ini,” kata Cu Cong sambil tertawa. “Kalau kau sudah bisa, orang dewasa juga nanti tidak gampang-gampang kalahkan kau. Cukup sudah!” Ia lantas berpaling kepada Kwee Ceng, akan tanya, “Apakah kau pun sudah mengerti?”
Kwee Ceng lagi menjublak, ia menggeleng kepala.
Cit Koay hilang kegembiraannya melihat Tuli demikian cerdas tapi bocah she Kwee ini begitu tolol. Siauw Eng sampai menghela napas dan air matanya berlinang.
“Sudah, kita jangan terlalu capekan hati sekarang,” kata Kim Hoat kemudian. “Paling benar kita sambut ibu dan anak ini pulang ke Kanglam, kita serahkan mereka kepada Khu Totiang. Dalam hal janji pibu, kita menyerah kalah saja…”
“Anak ini miskin bakatnya, dia tak berbakatbelajar silat,” bilang Cu Cong.
“Ya, aku lihat dia tidak punya kekerasan hati,” kata Po Kie. “Ia bakal gagal…”
Dalam dialek orang Kanglam, Cit Koay berdamai.
“Nach, pergilah kamu!” kata Siauw Eng akhirnya. Ia ulurkan tangan kepada kedua bocah itu, atas mana Tuli tarik tangan Kwee Ceng untuk diajak pergi, ia snediri sangat kegirangan.
Selama mereka itu berbicara, Cuma Lam San Ciauw-cu Lam Hie Jin si Tukang Kayu dari Lam San, Gunung Selatan yang berdiam saja.
“Eh, sietee, apa katamu?” Tin Ok tegur adiknya yang keempat itu.
“Baik,” sahut Lam Hie Jin.
“Apa yang baik?” menegaskan Cu Cong.
“Anak itu baik,” jawab adik keempatnya itu.
“Beginilah biasanya sieko!” kata Siauw Eng, tak sabaran. “Susah sekali untuk sieko membuka mulut emasnya, tak hendak ia mengatakannya lebih sepatah kata!”
Hie Jin tertawa. “Di waktu kecil, aku tolol sekali,” katanya. Lam San Ciauw-cu memang pendiam, untuk mengeluarkan sepatah kata, ia memikirkan dahulu, maka itu asal ia membuka mulut, kata-katanya tentu tepat. Karena itu juga, enam saudaranya biasa hargakan pikirannya. Sekarang mendengar keterangannya itu, mereka bagaikan mendapat sinar terang.
“Kalau begitu, kita tunggu sampai nanti malam,” kata Cu Cong kemudian. “Kita lihat dia berani taua tidak datang seorang diri.”
“Kebanyakan ia tidak berani,” kata Kim Hoat. “Baik aku cari tahu dulu tempat tinggalnya.” Dan ia lompat turun dari kudanya, dari jauh-jauh ia mengikuti Kwee Ceng dan Tuli. Ia lihat mereka masuk ke dalam tenda.
Malam itu Cit Koay berkumpul di atas bukit. Mereka menanti sampai tengah malam, sampai bintang-bintang mulai menggeser, tak ada bayangan Kwee Ceng si bocah itu. Cu Cong lantas saja menghela napas.
“Kanglam Cit Koay sudah malang melintang seumur hidupnya, kali ini mereka rubuh di tangannya satu imam…!” katanya masgul.
Selagi tujuh saudara itu berduka, tiba-tiba Po Kie berseru tertahan: “Eh..!” dan tangannya pun menunjuk ke depan di mana ada gombolan pohon, “Apa itu?” katanya.
Ketika itu sang rembulan yang terang sudah sampai di tengah-tengah langit, sinarnya sampai kepada rumput tabal di mana ada tiga tumpuk benda putih yang nampaknya aneh.

Coan Kim Hoat lompat menghampiri benda itu, maka ia kenali itu sekumpulan tengkorak, yang bertumpuk rapi dalam tiga tumpukan. “Entah bocah nakal siapa sudah bermain di sini, tengkorak orang diatur begini…” katanya. “Eh…apakah ini? Jieko, mari!”
Suaranya sangat kedengarannya sangat terkejut, maka kecuali Kwa Tin Ok, yang lima saudara lainnya lantas menghampiri saudara she Coan itu. “Lihat!” katanya lagi kemudian, yang sodorkan sebuah tengkorak kepada Cu Cong.
Cu Cong dapatkan lima liang di embun-embunan tengkorak itu, romannya seperti bekas jari tangan. Ia ulur tangannya, tepat lima jarinya masuk ke dalam semua laing itu. Jadi itu bukanlah perkerjaannya satu bocah cilik. Ia pungut dua tengkorak lainnya, di situpun kedapatan masing-masing lima jari tangan yang sama. Ia jadi heran dan bersangsi.
“Mustahil benar ada orang membuat liang ini dengan jeriji tangannya?” ia kata dalam hatinya. Ia tak berani utarakan kesangsiannya ini.
“Mungkinkah disini ada hantu gunung?” tanya Siauw Eng. “Hantu tukang geregas manusia…”
“Benar, itulah siluman,” Po Kie membenarkan adiknya itu.
“Tetapi kenapa tengkorak-tengkorak ini diatur begini rapi?” Kim Hoat tanya. Saudara ini bersangsi.
Kwa Tin Ok dengar saudara-saudaranya itu berbicara. Tiba-tina ia lompat mendekati mereka itu. “Bagaimana itu diatur rapinya?” tanya ia.
“Semuanya terdiri dari tiga tumpuk, teraur sebagai segi tiga, dan saban tumpukannya sembilan tengkorak.” Coan Kim Hoat kasih keterangan pada kakaknya yang tak dapat melihat itu.
“Benarkah itu terbagi pula dalam tiga tingkat?” Tin Ok tanya. “Tingkat ynag bawah lima, tingkat tengah tiga dan tingkat atas satu buah?”
“Eh, toako!” seru Kim Hoat heran. “Kenapa toako ketahui itu?”
Tin Ok perlihatkan roman cemas. Ia tidak menjawab. Hanya segera I berkata: “Lekas jalan seratus tindak, ke arah timur utara dan barat utara! Lihat ada apakah di sana!”
Menampak sikap luar biasa dari saudara tua itu, yang biasanya sangat tabah, enam adik angkat itu lekas bekerja, yang tiga pergi ke timur utara, yang tiga lagi ke barat utara.
“Disini pun ada tumpukan tengkorak!” begitu suaranya Han Siauw Eng di timur utara dan Thi A Seng di barat utara.
Kwa Tin Ok lari ke arah barat utara itu. “Inilah saat mati hidup kita, jangan bersuara keras,” kata ia, suaranya perlahan tetapi nadanya tegas.
Thio A Seng bertiga terkejut.
Tin Ok lantas lari ke arah timur utara ke Han Siauw Eng, ia pun cegah mereka bertiga omong keras-keras.
“Siluman atau musuh?” tanya Cu Cong.
“Mataku buta, kakiku pincang, semua itu adalah hadiah mereka…” sahut kakak tertua ini.
A Seng bertiga lari berkumpul sama kakak mereka itu, mereka dengar perkataan si kakak, mereka semuanya jadi heran.
Tin Ok angkat saudara sama enam orang itu, cinta mereka bagaikan cintanya saudara-saudara kandung, meski begitu, ia paling benci orang menyebut-nyebut cacadnya itu. Semua saudaranya sangka, cacadnya itu disebabkan kecelekan semenjak kecil, tidak ada yang berani menanyakan, sekarang barulah mereka itu ketahui, itulah sebabnya perbuatan musuh. Tin Ok Demikian lihay, ia toh kalah, dari situ bisa diduga betapa lihaynya musuh itu.
“Apakah tumpukan disini pun tiga?” tanya Tin Ok.
“Benar,” sahut Siauw Eng.
“Dan setiap tumpukannya terdiri dari sembilan tengkorak?” sekali ini Tin Ok menanya perlahan sekali.
Nona Han menghitung. “Yang satu sembilan,” jawabnya kemudian, “Yang satunya delapan…”
“Coba hitung yang sebelah sana, lekas!” kata Tin Ok mendesak sekali.
Siauw Eng lari ke barat utara, sambil membungkuk ia menghitung, dengan lekas, lalu dengan lekas pula ia lari balik.
“Yang di sana setiap tumpukannya tujuh tengkorak,” ia beritahu.
“Kalau begitu, mereka akan segera kembali!” kata Tin Ok, kembali dengan suara perlahan.
Enam saudara itu mengawasi dengan melengak, mereka menantikan penjelasan.
“Merekalah Tong Sie dan Tiat Sie,” Tin Ok bilang.
Cu Cong terkejut hingga ia berjingkrak. “Bukankah Tong Sie dan Tat Sie sudah lama mati?” dia tanya. “Kenapa mereka masih ada di dalam dunia ini?”
“Aku juga menyangka mereka sudah mati, kiranya mereka sembuniy disini dan secara diam-diam tengah menyakinkan ilmu Kiu Im Pek-kut Jiauw,” kata Tin Ok. “Saudara-saudara lekas naik ke kudamu masing-masing, segera kabur ke selatan, sekali-kali jangan kamu kembali! Sesudah kabur seribu lie, tunggu aku selama sepuluh hari, jikalau sepuluh hari aku tidak datang menyusul kamu, kamu tidak usah menunggui lebih lama lagi…!”
“Toako, apakah katamu?” tanya Siauw Eng gelisah. “Kita sudah minum arak bercampur darah, kita sudah bersumpah untuk hidup atau mati bersama, maka itu kenapa kau anjurkan kita lari menyingkir?”
Tin Ok goyangi tangannya berulang-ulang. “Lekas pergi, lekas pergi!” katanya mendesak. “Lambat sedikit atau sudah tidak keburu lagi!”
Han Po Kie menjadi gusar. “Apakah kau sangka kita orang-orang yang tidak berbudi?!” dia tanya membentak.
“Mereka berdua lihay luar biasa,” Tin Ok bilang, “Mereka sekarang lagi menyakinkan ilmu Kiu im Pek-kut Jiauw itu, walaupun mereka belum dapat merampunginya, mereka toh sudah paham delapan atau sembilan bagian, dari itu sekalipun kita bertujuh, kita pasti bukan tandingan mereka. Kenapa kita mesti antaran jiwa secara sia-sia?”
Enam saudara itu ketahui kakak mereka ini beradat tinggi, belum pernah ia puji kepandaian lain orang, sekali pula Khu Cie Kee yang lihay, dia berani lawan, tetapi sekarang ia jeri terhadap dua orang itu, Tong Sie si Mayat Perunggu dan Tiat Sie si mayat Besi, mereka mau percaya sang kakak tidaklah tengah berdusta. Tentu saja, karenanya mereka menjadi ragu-ragu.
“Kalau begitu, marilah kita pergi bersama-sama,” Kim Hoat mengajak.
Tin Ok tidak setuju, dengan dingin ia berkata: “Mereka sudah celakai aku seumur hidup, saki hati ini tak dapat tidak dibalas!”
Lam Hie Jin segera campur bicara. “Ada rejeki kita mencicipi bersama, ada kesusahan kita derita bersama juga!” katanya. Ia omong singkat tetapi kata-katanya sangat tepat yang tak dapat diubah lagi.
Tin Ok menjadi diam dan berpikir. Sadarlah ia bahwa saudara-saudaranya itu sudah berkeputusan bulat. Dia akhirnya menghela napas. “Baiklah kalau begitu,” katanya kemudian. “Aku cuma minta kalian semua suka berlaku hati-hati. Tong Sie itu ialah pria dan Tat Sie itu wanita, mereka berdua itu adalah suami-istri. Sekarang ini tak ada tempo untuk menjelaskan tentang mereka itu, Cuma hendak aku pesan masing-masing jaga lah diri dengan hati-hati dari cengkraman mereka. Liok-tee, coba jalan seratus tindak ke selatan, lihat benar atau tidak di sana ada sebuah peti mati.”
Coan Kim Hoat, adik yang nomor enam, segera lari ke arah selatan. Setelah seratus tindak, ia tidak lihat peti mati yang disebutukan kakaknya itu, ia Cuma nampak unjungnya sebuah batu lempangan muncul dari dalam tanah, batu itu kotor dengan tanah dan ketutupan rumput hijau. Ia tarik batu itu tetapi tidak bergeming. Dengan menggape, ia panggil saudara-saudaranya yeng mengawasi ke arahnya.
Mereka itu segera saja menghampirinya. Thio A Seng, Lam Hie Jin dan Han Po Kie, setelah melihat batu itu, bantui saudaranya untuk mencabut. Sekarang barulah papan batu itu dapat disingkirkan. Di bawah sinar rembulan, di bawah batu itu tertampak sebuat peti mati bercorak kotak atau peti batu dan di dalam situ rebah dua mayat.
Kwa Tin Ok, setelah ia diberitahukan adanya kedua mayat itu, sudah lantas lompat turun ke dalam peti mati yang besar itu.
“Musuhku itu bakal lekas datang kemari untuk melatih ilmu silatnya itu, sebagai alatnya ialah kedua mayat ini,” berkata ia, “Maka itu sekarang hendak aku sembunyi di sini, untuk bokong pada mereka. Saudara-saudara pergi kau ambil tempat berlindung di empat penjuru, jaga supaya mereka tidak dapat ketahui. Kamu mesti menunggu sampai aku telah tidak dapat bertahan, baru kamu keluar untuk mengepung mereka, itu waktu jangan kamu main kasihan-kasihan lagi. Cara membokong ini bukanlah cara yang benar akan tetapi musuh terlalu tangguh dan telangas, tanpa cara ini jiwa kita bertujuh bakalan tidak dapat ditolongi lagi!”
Tin Ok omong dengan perlahan-lahan, tapi kata-katanya ditandaskan setiap patah. Semua saudaranya itu menyahuti dengan janji akan menaati.
“Nusuh itu sangat cerdik dan getap,” Tin Ok berkata pula dengan pesannya, “Sedikit saja ada kelisikan, mereka bakal dapat tahu. Sekarang tutuplah papan batu ini, Cuma tinggali sedikit liang kecil untuk aku bernapas.”
Enam saudara itu menurut, mereka lantas bekerja. Perlahan-lahan mereka letaki tutup peti mayat yang istimewa itu. Kemudian, denagn siapakn masing-masing senjatanya, mereka pencar diri ke empat penjuru untuk sembunyi sambil memasang mata. Di situ ada banyak pepohonan dan rumput tebal.
Han Siauw Eng adalah orang yang hatinya paling berkhawatir dan paling heran pula. Semenjak ia kenal kakaknya yang tertua itu, inilah pertama kalinya ia dapatkan sikap yang tegang sekali dari kakaknya itu. Ia bersembunyi di samping Cu Cong, maka itu sambil berbisik ia tanya ini kakak nomor dua: “Jieko, Tong Sie dan Tiat Sie itu makhluk macam apa?”
“Merekalah yang di dalam dunia kang-ouw kesohor sebagai Hek Hong Siang Sat,” sahut sang kakak denagn perlahan. “Di masanya mereka itu malang-melintang di utara, kau masih kecil sekali citmoay, maka itu kau tidak ketahui tentang mereka. Dua orang itu snagat kejam, ilmu silat mereka lihay sekali, baik di Jalan Hitam, maupun di Jalan Putih, siapa dengar mereka, hatinya ciut. Bukan sedikit orang gagah yang roboh di tangan mereka itu.”
“Kenapakah mereka itu tak hendak dikepung beramai-ramai?” Siauw Eng tanya pula.
“Menurut katanya mendiang guru,” Cu Cong menerangkan pula, “Orang-orang gagah dari Selatan dan Utara Sungai Besar pernah tiga kali mengadakan perhimpunan besar di gunung Heng San, lalu beruntun tiga tahun mereka mencoba mengepung Hek Hong Siang Sat, mereka itu dapat lolos. Begitu lihat banyak orang, mereka lantas sembunyikan diri, setelah orang bubaran, mereka muncul pula. Setahu bagaimana, belakangan orang tidak lihat lagi bekas-bekas tapak mereka, maka beberapa tahun kemudian orang anggap, karena dosa kejahatannya sudah meluap, mereka itu telah menemui ajalnya. Tidak disangka-sangka sekarang, di tempat belukar seperti ini, di tara ini, kita menemui mereka itu.”
“Apakah nama mereka itu?” Siauw Eng masih menanya.
“Yang pria, yang disebut Tong Sie itu, si Mayat Perunggu, bernama Tan Hian Hong,” sahut kakak keduanya itu. “Dia berparas muka semu kuning hangus seperti perunggu, pada wajahnya itu tak pernah tampak tanda kemurkaan atau tertawa, dia beroman seperti mayat saja, maka itu orang juluki dia Tong Sie.”
“Kalau begitu yang wanita, Tiat Sie itu, mestinya berkulit hitam legam?”
“Tidak salah! Dia she Bwee, namanya Tiauw Hong.”
“Toako menyebut ilmu Kiu Im Pek-kut Jiauw, ilmu apakah itu?” tanya adiknya lagi.
“Tentang ilmu itu belum pernah aku mendengarnya,” jawab sang kakak.
Siauw Eng diam sejenak. Lalu ia menyambung lagi, “Kenapa toako tak pernah sebut-sebut itu? Mustahilkah…”
Nona ini berhenti berbicara dengan tiba-tiba, sebab Cu Cong mendekap mulutnya yang kecil mungil itu.
“Sstt!” berbisik sang kakak itu seraya tangannya menunjuk ke bawah bukit.
Siauw Eng segera memasang matanya ke arah tempat ynag ditunjuk itu. Di bawah terangnya sinar rembulan, ia tampak seuatu benda hitam lagi bergerak-gerak cepat di atas tanah berpasir.
“Sungguh memalukan,” ia mengeluh di dalam hatinya, “Kiranya jieko waspada sekali, sambil memberi keterangan padaku, ia terus pasang matanya.”
Sebentar saja benda itu sudah datang semakin dekat. Maka sekarang tampaklah dengan nyata: Itulah dua orang, yang berjalan rapat satu dengan lain, hingga mereka merupakan sebagai satu bayangan yang besar.
Enam saudara dari Kanglam itu menahan napas, semuanya bersipa sedia. Cu Cong cekal kipasnya peranti menotok jalan darah. Siauw Eng tancap pedangnya ke tanah, guna cegah sinarnya berkilauan.
Sekarang terdengar suara pasir disebabkan tindakan kaki, suara itu menyebabkan ketegangan di hati ke enam bersaudara itu.
Kapan sebentar kemudian tindakan kaki tak menerbitkan suara pula, di atas bukit itu tertampak dua orang bagai bayangan, berdiri diam. Dilihat dari kepalanya, yang memakai kopiah kulit, yang satu mirip orang Mongol. Ynag kedua yang rambutnya panjang dan memain atas tiupan angin, adalah seorang wanita.
“Mestinya dia Tong Sie dan Tiat Sie,” pikir Siauw Eng. “Sekarang ingin aku saksikan bagaimana mereka melatih diri….”
Si wanita sudah lantas berjalan mengitari si pria, nyata terdengar buku tulang-tulangnya bersuara meretek, mengikuti jalannya, dari lambat menjadi cepat, suaranya semakin keras.
Enam saudara itu menjadi heran. “Tenaga dalamnya begitu hebat, pantas toako memuji mereka,” pikir mereka.
Wanita itu gerak-geraki kedua tangannya, diulur dan ditarik, saban-saban terdengar suara mereteknya. Rambutnya pun mengikuti bergerak-gerak juga.
Siauw Eng bernyali besar tetapi ia toh menggigil pula.
Tiba-tiba si wanita itu angkat tangan kanannya, disusul sama tangan kirinya menyerang dada si pria.
Heran enam saudara itu. “Dapatkah si pria, degan darah dagingnya manusia, bertahan terhadap serangan itu?” tanya mereka di dalam hati.
Selagi begitu, si wanita sudah menyerang pula, ke perut, beruntun hingga tujuh kali, setiap serangan bertambah cepat, bertambah hebat. Si pria tapinya mirip mayat, tubuhnya tidaj bergeming, ia tak bersuara. Tapat sampai pukulan yang ke sembilan, wanita itu lompat mencelat, jumpalitan, kepala di bawah, kaki di atas, tangan kirinya menyambar kopiah si pria, tangan kanannya, dengan lima jari, mencengkeram ke ubun-ubun si pria.
Hampir Siauw Eng menjerit karena kagetnya. Si wanita sebaliknya tertawa besar dan panjang, kapan tangan kanannya di tarik, lima jarinya berlumuran darah pula. Sembari mengawasi tangannya itu, ia masih tertawa. Tiba-tiba saja ia menoleh ke arah Siauw Eng, hingga si nona dapat nampak wajah orang – satu wajah hitam manis, usianya ditaksir kira-kira empatpuluh tahun. Hanya aneh, walaupun ia tertawa, mukanya tidak tersenyum.
Sekarang enam saudara itu ketahui, si pria bukan Tong Sie, si suami, hanya seorang yang lain, yang rupanya ditangkap untuk dijadikan bahan atau korabn latihan Kiu Im Pek-kut Jiauw, Cengkeraman Tulang Putih. Maka terang sudah, wanita itu adalah Tiat Sie Bwee Tiauw Hong, si Mayat Besi, sang sistri. dengan sendirinya mereka menjadi membenci kekejaman wanita itu.
Seberhentinyatertawa, Tiauw Hong geraki kedua tangannya, untuk merobek membuka pakaiannya pria korbannya itu. di Utara ini, dimana hawa udara adalah sangat dingin, orang memakai baju dalam kulit, tetapi sekarang, gampang saja si wanita ini menelanjangi pria itu, tubuh siapa lalu ia letaki di tanah. habis itu, dengan rangkap kedua tangannya, si wanita itu berjinjit, berlompatan mengitari korbannya itu. Diwaktu melompat, dia tidak tekuk dengkulnya, tidak membungkuk tubuhnya. Dia lompat tingginya beberapa kaki, lempang jegar.
Disamping heran dan gusar, enam saudara itu merasa kagum.
Wanita itu berhenti berlompatan dan berputaran sesudah ia berpekik keras dan panjang sambil ia lompat tinggi berjumpalitan dua kali, ia turun di sisi mayat, dua tangannya dipakai menjambak dada dan perut mayat itu, untuk menarik keluar isi perut orang. Di bawah sinar rembulan, wanita itu memeriksa, lalau ia membuangnya setiap isi perut itu, paru-paru dan jantung, yang semuanya telah tak utuh lagi.
Nyatalah, dengan sembilan kali serangannya – Kiu im – wanita ini membikin rusak isi perut pria itu, dan ia memeriksa itu, untuk membuktikan sampai di mana hasil latihannya itu.
Bukan kepalang gusarnya Siauw Eng. ia dapat menduga, tumpukan tengkorak itu terang adalah korban-korbannya wanita kejam ini. Tanpa merasa, ia cabut pedangnya, hendak ia menerjang wanita itu.
Disaat berbahaya itu, Cu Cong tarik si nona dan menggoyangi tangannya. Saudara yang kedua ini telah berpikir: Tiat Sie bersendirian, biar dia lihay, kalau dikepung bertujuh, kita pasti dapat melawan. Kalau dia terbunuh lebih dahulu, jadi lebih gampang untuk melayani Tong Sie. Kalau mereka ada berdua, tak dapat mereka layani…..Tapi, siapa tahu Tong Sie bersembunyi di mana? siapa tahu kalau dia muncul mendadak, untuk membokong kita? Toako telah memikir jauh, baiklah kita taai pesannya. Biar toako yang mendahului…”
Habis memeriksa isi perut mayat, Tiat Sie nampaknya puas, ia lantas duduk numprah di tanah. Dengan menghadapi rembulan, ia tarik napasnya keluar masuk, untuk melatih tenaga dalamnya. Ia duduk dengan membelakangi Cu Cong dan Siauw Eng, nampak nyata bebokongnya bergerak-gerak.
“Kalau sekarang aku tikam dia, sembilan puluh sembilan persen, aku dapat tublas tembus bebokongnya!2 pikir si nona Han. “Hanya kalau aku gagal, akibatnya mesti hebat sekali……………”
Karena ini, karena ragu-ragu, ia bergemetar sendiri. Tegang hatinya.
Cu Cong pun sama tegangnya sampai ia menahan napasnya.
habis melatih napasnya, Bwee Tiauw Hong bangkit berdiri. Ia lantas seret mayat korbannya, dibawa ke peti mayat di mana Kwa Tin Ok umpatkan diri. Ia membungkuk, untuk angkat tutup peti mati istimewa itu.
Enam saudara itu bersiap. Begitu tutup dibuka, hendak mereka menerjang berbareng.
Tiba-tiba Bwee Tiauw Hong mendengar berkelisiknya daun pohon di sebelah belakangnya. Perlahan sekali suara itu, seperti desairnya angin. ia toh berpaling dengan segera. ia dapat lihat seperti bayangannya satu kepala orang di atas pohon. Tak ayal lagi, berbareng dengan pekiknya, ia lompat ke arah pohon itu.
Itulah Ma Ong Sin Han Po Kie yang sembunyi di pohon itu. Ia bertubuh kate, ia percaya dengan sembunyi di atas pohon, ia tak bakal dapat dilihat. Ia hendak berlompat turun ketika tubuhnya bergerak bangun, ia tidak sangka, ia dapat dipergoki wanita lihay itu yang segera menerjang ke arahnya. Tanpa sangsi ia kerahkan tenaganya, akan sambut wnaita itu dengan cambuknya Kim-liong-pian. Ia mengarah ke lengan.
Bwee Tiauw Hong tidak berkelit atau menangkis, sebaliknya, ia papaki cambuk itu, untuk terus disambar, untuk dicekal dan dibarengi ditarik dengan keras!
Po Kie merasakan satu tenaga keras menarik ia, tetapi ia juga bertenaga besar, ia juga balik menarik. Mengikuti tarikan orang, atau lebih benar mengikuti cambuk Naga Emas. Bwee Tiauw Hong menyambar dengan tangannya ynag kiri, yang cepat bagaikan angin, anginnya pun tiba lebih dahulu. Po Kie meninsyafi bahaya, ia lepaskan cambuknya, terus ia lompat berjumpalitan. Tiauw Hong tidak hendak memberi lolos, lima jari tangannya menyambar ke arah bebokong si cebol itu. Po Kie merasakan angin dingin di pundaknya, lagi sekali ia enjot tubuhnya, untuk meleset ke depan.
Di saat itu, di bawah pohon, Lam Hie Jin dengan Touw-kut-cui, Bor Menembuskan Tulang, dan Coan Kim Hoat dengan sepasang panah tangannya, menyambar ke arah musuh itu. Tiauw Hong ketahui itu, seperti juga sebuah kipas besi, ia menyambok dengan tangannya yang kiri, hingga kedua senjata rahasia itu jatuh ke tanah, sedang di lain pihak, tangan kanannya telah merobek baju Po Kie di bagian bebokongnya!
Po Kie menekan tanah denagn kaki kiri, ia enjot tubuhnya, akan lomcat pula. Tetapi Tiauw Hong, yang sangat gesit, sudah lompat hingga di depannya dan sambil menaya: “Kau siapa?! Perlu apa kau datang kemari?!” sepasang tangannya sudah mampir di pundak orang, hingga PO Kie mersakan sakit sekali, sebab sepuluh kukunya telah nancap di dagingnya. Dia menjadi kesakitan, kaget dan gusar, dia angkat kakinya, menendang ke arah perut. Hebat kesudahan tendangan ini. Tendangan seperti mengenai papan batu, di antara suara keras, kaki itu terseleo tekukannya, hingga bahna sakitnya, yang sampai ke ulu hati, ia roboh hampir pingsan, hanya dasar jago, dia masih bisa menggulingkan diri, akan menyingkirkan jauh.
Tiauw Hong snagat lihay, dan gesit sekali, masih dia lompat, untuk menendang bebokong musuh gelapny aitu, hanya di saat itu, sebuah kayu pikulan yang hitam menyambar dia dari samping, mengarah kakinya. Batal menyerang, dia lompat mundur satu tindak. Hanya kali ini, dengan lihaynya matanya dan jelinya kupingnya, dia segera mengerti bahwa dia telah berada dalam kepungan. Satu mahasiswa yang memegang kipas totokan dan satu nona yang bersenjatakan pedang, menyerang ia dari kanannya, sedang di kirinya datang serangan golok dari seseorang yang bertubuh jangkung gemuk serta seorang kurus denagn senjatanya yanga neh, sementara penyerang dengan kayu pikulan itu adalah seorang desa. ia menjadi heran dan gentar pula. Semua penyerang itu tidak dikenalnya dan mereka agaknya lihay. Maka ia lantas berpikir: “Mereka banyak, aku sendirian, baiklah aku robohkan dulu beberapa diantaranya.” Demikian, dengan satu kali meleset, ia menyambar ke mukanya Siauw Eng!
Cu Cong melihat ancaman bahaya untuk adiknya itu, ia menyerang jalan darah kiok-tie-hiat dari musuh lihay itu. Tapi Tiat Sie si Myata Besi benar-benar lihay, malah aneh juga, sebab ia tidak pedulikan totokan itu, dia teruskan sambarannya kepada nona Han itu.
Dengan satu gerakan “Pek louw heng kang” atau “ Embun putih melintangi sungai”, Siauw Eng membabat tangan musuh, atas mana, dengan putar ugal-ugalan tangannya, Bwee Tiauw Hong dengan berani berbalik menyambar pedang. Dia agaknya tidak takuti senjata tajam itu.
Siauw Eng menjadi terkejut, cepat-cepat ia melompat mundur.
Disaat itu, denagn perdengarkan suara membeletak, kipas Cu Cong telah mengenai tepat sasarannya, ialah jalan darah kiok-tie-hiat. Biasanya, siapa terkena totokan itu, segera tangannya kaku dan mati. Cu Cong tahu ia telah dapat menghajar sasarannya, hatinya girang sekali. Justru is bergirang itu, tahu-tahu tangan musuh berkelebat, menyambar ke kepalanya!
Bukan main kagetnya Manusia Aneh yang kedua ini. Dengan perlihatkan kegesitannya, ai lompat melesat, untuk membebaskan diri dari sambaran itu. Ia lolos tetapi kegetnya tak kepalang, herannya bukan buatan.
“Mungkin ia tidak mempunyai jalan darah?” pikirnya.
Ketika itu, Han Po Kie sudah jemput cambuknya, dengan bekersama dengan kelima saudaranya, ai maju pula, mengepung musuh yang lihay itu, maka juga pedang dan golok semua seperti merabu Bwee Tiauw Hong. Akan tetapi si Mayat Besi tak jeri, dia seperti tidak menghiraukan enam rupa senjata musuh itu, ia terus melawan denagn sepasang tangannya yang berdarah daging!
Dengan kuku-kukunya yang seperti gaetan besi, Bwee Tiauw Hong main sambar musuh, untuk merampas senjata, guna mencengkeram daging. Menyaksikan itu, enam Manusia Aneh itu menjadi ingat semua tengkorak yang berliangkan bkeas jari tangan itu, dengan sendirinya hati mereka menjadi gentar. Merka juga mendapatkan tubuh orang seperti besi kuatnya
Dua kali bandulan timbangan Coan Kim Hoat mengenai bebokongnya Tiat Sie dan satu kali kayu pikulannya Kanglam Liok Koay menyambar paha, tetapi Bwee Tiauw Hong agaknya tidak terluka, sedang seharusnya dia mesti patah atau remuk tulang-tulangnya. Karena ini, teranglah orang telah punyakan pelajaran Kim-ciong-tiauw – Kurungan Loncang Emas, dan Tiat-pou-san – Baju Besi, dua macam ilmu kedot.
Kecuali golok lancipnya dari Thio A Seng dan pedang tajam dari Han Siauw Eng, semua senjata lainnya, berani Tiat Sie sambut dengan tubuhnya yang tangguh itu.
Lagi sesaat, Coan Kim Hoat berlaku rada ayal, tidak ampun lagi bahu kirinya kena dicengkeram Bwee Tiauw Hong. Lima Manusia aneh lainnya kaget, mereka menyerang dengan berbareng guna menolongi saudara mereka itu. Tapi si Mayat Besi sudah berhasil, tak saja bajunya Kim Hoat robek, sepotong dagingnya pun kena tercukil dan dia berdarah-darah.
Cu Cong jadi berpikir, ia menduga-duga dimana kelemahan musuh lihay itu. Ia tahu betul, siapa punya ilmu kedot, ia mesti mempunyai suatu anggota kelemahannya. Karena ini ia berlompatan, menyerang sambil mencari-cari. Di batok kepala ia totok jalan darah pek-hoay, di tenggorokan jalan darah hoan-kiat, sedang di perut jalan darah cee-cun dan di bebokong jalan darah bwee-liong, demikian pun jalan darah lainnya. Ia sudah menontok belasan kali, tidak juga ada hasilnya, hingga ia menjadi berpikir keras.
Bwee Tiauw Hong dapat menerka maksud orang. Dia berseru: “Siucay rudin, ketahui olehmu, pada nyonya besarmu tidak ada bagiannya yang lemah, semua anggota tubuhnya telah terlatih sempurna!” Dan tangannya menyambar lengan si mahasiswa itu!
Cu Cong terkejut, baiknya ia gesit dan cerdik, tak tunggu tibanya cengkeraman, ia mendahului menotok telapak tangan orang.
Tiauw Hong kena cekal barang keras, ia heran, justru itu Cu Cong bebaskan diri.
Manusia Aneh ynag kedua itu menyingkir beberapa tindak, untuk lihat lengannya. Di sana terpeta tapak lima jari tangan, melihat mana, ia menjadi terkesiap hatinya. Syukur ia keburu membela dirinya, kalau tidak, celakalah ia. Ia menjadi bersangsi. Dipihaknya, sudah ada tiga yang kena tangan lihay si Mayat Besi. Coba Tong Sie si Mayat Perunggu muncul, tidakkah mereka bertujuh saudara bakal roboh semuanya?
Thio A Seng, Han Po Kie dan Coan Kim Hoat sudah lantas mulai tersengal-sengal napasnya, jidat mereka bermandikan peluh. Tinggal Lam Hie Jin yang masih dapat bertahan demikian juga dengan Lam Siauw Eng – Hie Jin karena tenaga dalamnya sempurna, Siauw Eng lantaran kegesitan tubuhnya. Dipihak sana, Tiauw Hong malah bertambah gagah nampaknya.
Satu kali Cu Cong kebetulan menoleh ke arah tumpukan tengkorak, ia dapat lihat cahaya putih dari tengkorak-tengkorak itu. Tiba-tiba ia bergidik, tetapi tiba-tiba juga, ia jadi ingat sesuatu. Segera ia melompat, untuk lari ke arah peti mati, di mana Kwa Tin Ok lagi sembunyikan diri, sembari berlari, ia berteriak: “Semua lekas menyingkir!”
Lima saudara itu mengerti teriakan itu, mereka lantas berkelahi sambil mundur.
“Dari mana munculnya segala orang hutan yang hendak mencurangi nyonya besarmu!” kata Tiauw Hong dengan ejekannya. “Sekarang sudah terlambat untuk kamu melarikan diri…!” segera ia merangsak.
Lam Hie Jin bersama Coan Kim Boat dan Han Siauw Eng mencoba merintangi musuh ini, selagi begitu Cu Cong bersama Thio A Seng dan Han Po Kie, yang sudah lantas lari ke peti mati, sudah lanats kerahkan tenaga mereka, untuk angkat papan batu tutup dari peti mati itu. Mereka menggesernya ke samping.
Hebat Bwee Tiauw Hong, ia dapat menyambar kayu pikulan dari Lam Hie Jin. Ia menggunai tangan kirinya, maka itu dengan tangan kanannya, ia sambar sepasang mata lawannya itu.
Disaat itu, Cu Cong berteriak keras: “Lekas turun menyerang!” Dengan tangan kanan ia menunjuk ke atas, kedua matanya mengawasi ke langit, dengan tangan kirinya, yang diangkat tinggi, ia menggapai-gapai. Itulah teriakan dan tanda untuk kawannya yang sembunyi di dalam peti mati, supaya kawan itu segera turun tangan.
Bwee Tiauw Hong heran, tanpa merasa ia angkat kepalanya, memandang ke atas. Ia melainkan hanya lihat rembulan, ia tak tampak manusia seorang juga.
“ DI depan tujuh tindak!” Cu Cong teriak pula.
Kwa Tin Ok di dalam peti mati telah siap sedia, segera kedua tangannya diayunkan, dengan begitu enam buah senjata rahasianya sudah lantas menyerang ke tempat tujuh tindak, sasarannya adalah tiga bagian atas, tengah dan bawah. Pun, sambil berseru keras, ia turut lompat keluar dari dalam peti mati. Maka itu, ia sudah lantas bekerja sama dengan enam saudaranya itu.
Bwee Tiauw Hong sendiri sudah lantas perdengarkan jeritan hebat dan menggiriskan. Nyata kedua matanya telah menjadi korbannya tok-leng, senjata rahasianya Tin Ok itu. Empat yang lain, yang mengenai dada dan paha, tidak memberi hasil, empat-empatnya jatuh menggeletak di tanah.
Bwee Tiauw Hong merasakan sangat sakit dan juga menjadi sangat gusar, tanpa hiraukan sakitnya itu, ia menggempur terus dengan kedua tangannya kepada Kwa Tin Ok, akan tetapi Tin Ok telah segara berkelit ke samping. Dengan menerbitkan suara keras, batu telah kena terhajar hancur. Dalam murkanya, Tiauw Hong terus menendang papan batu yang menghalangi di depannya, papan batu itu terpatah menjadi dua tanpa ampun lagi!
Kanglam Cit Koay menyaksikan itu, hati mereka menggetar. Untuk sesaat mereka tidak menyerang pula.
Bwee Tiauw Hong telah kehilangan penglihatan kedua matanya, maka itu sekarang ia berkelahi secara kalap. ia bersilat ke empat penjuru, kedua tangannya menyambar berulang-ulang.
Cu Cong tidak buka suara, dengan tangannya ia memberi tanda kepada saudara-saudaranya menjauhkan diri dari orang kalap itu, dari itu, dari jauh-jauh, mereka menyaksikan lebih jauh bagaimana Mayat Besi menyambar pepohonan dan batu yang melintang di depannya, ia membuatnya pohon-pohon rubuh dan batu hancur tertendang.
Selang sekian lama, Tiauw Hong merasa matanya keras. Ia rupanya menginsyafi yang ia telah terkena senjata rahasia yang ada racunnya.
“Kamu siapa?!” ia berteriak dengan pertanyaannya. “Lekas kasih tahu! Kalau nyonya besarmu mati, ia akan mati dengan puas!”
Cu Cong menggoyangi tangan kepada kakak tertuanya, untuk kakak itu jangan membuka suara. Ia ingin si Mayat Besi mati sendirinya karena bekerjanya racun senjata rahasia itu. Baharu dua kali ia menggoyangkan tangannya, ia jadi terperanjat sendirinya. Kakak itu buta, mana dapat ia melihat tandanya itu?
Benar saja, Tin Ok sudah perdengarkan suaranya yang dingin itu. “Apakah kau masih ingat Hui-thian Sin Liong Kwa Pek Shia atau Hui-thian Pian-hok Kwa Tin Ok?” demikian tanyanya.
Bwee Tiauw Hong melengak dan lalu tertawa panjang. “Hai, bocah kiranya kau belum mampus?” tanya dia. “Jadinya kau datang untuk menuntut balas untuk Hui-thian Sin Liong?”
“Tidak salah!” jawab Tin Ok. “Kau juga belum mampus, bagus!”
Tiauw Hong menghela napas, ia berdiam.
Tujuh saudara itu mengawasi, mereka berdiam tetapi siap sedia. Ketika itu angin dingin meniup membuat orang mengkirik.
“Toako awas!” sekonyong-konyong Cu Cong dan Coan Kim Hoat berseru.
Belum habis peringatan kedua saudara itu, Tin Ok sudah merasakan sambaran angin ke arah dadanya, dengan menukikkan tongkat besinya ke tanah, tubuhnya lalu meleset naik ke atas pohon.
Bwee Tiauw Hong tubruk sasaran kosong, karenanya tubuhnya maju terus, merangkul pohon besar di belakang Tin Ok tadi, batang pohon besar itu tercengkeram sepuluh jarinya, menampak mana, enam Manusia Aneh itu bergidik sendirinya. Coba Tin Ok yang terkena rangkul, masihkah ia mempunyakan nyawanya?
Gagal serangan itu, Bwee Tiauw Hong berpekik keras, suaranya tajam dan terdengar jauh.
“Celaka, dia lagi memanggil Tong Sie, suaminya…” kata Cu Cong dalam hatinya. Lalu ia meneruskan dengan seruannya:” Lekas bereskan dia!” Ia pun mendahulukan, dengan kerahkan tenaga di tangannya, ia serang bebokongnya si Mayat Besi. Ia menepuk keras.
Thio A Seng menyerang dengan salah satu potong papan batu yang tdai ditendang patah Bwee Tiauw Hong. Ia pilih batok kepala musuh sebagai sasarannya.
Tiat Sie buta sekarang, ia pun belum pernah menyakinkan ilmu mendengar suara seprti Kwa Tin Ok, akan tetapi kupingnya terang, sambaran angin papan batu itu pun keras, ia dengar angin itu, maka itu, ia segera berkelit ke samping. Ia dapat menghindar dari batu tetepi tidak serangannya Cu Cong. Ia menjadi kaget apabila ia merasakan bebokongnya sakit sampai jauh di ulu hatinya. Tidak peduli ia kebal tetapi serangan Biauw Ciu Sie-seng hebat bukan main, ia tergempur di bagian dalam.
Setelah hasilnya yang pertama ini, Cu Cong tidak berhenti sampai di situ. Segera menyusul serangannya yang kedua. Kali ini ia gagal, ia malah mesti lompat menyingkir. Rupanya Tiauw Hong telah dapat menduga, ia mendahulukan menyambar. tentu saja Manusia Aneh yang kedua ini tidak sudi menjadi korban.
Hampir berbareng dengan itu, dari kejauhan terdengar pekikan nyaring seperti pekikan Tiauw Hong barusan. Pekikan itu membuat hati orang terkesiap. lalu menyusul pekik yang kedua, yang terlebih nyaring lagi, tanda bahwa orang yang memperdengarkan itu telah datang lebih dekat.
Kanglam Cit Koay terkejut. “Hebat larinya orang itu!” kata beberapa diantaranya.
Han Siauw Eng lompat ke samping, untuk memandang ke bawah bukit. Ia tampak satu bayangan hitam lari mendatangi dengan cepat sekali. Sembari mendatangi, bayangan itu masih berpekik-pekik.
Ketika itu Bwee Tiauw Hong sudah tidak mengamuk seorang diri lagi, ia berdiri diam dengan sikapnya yang siap sedia, napasnya diempos, guna mencegah racun di matanya dapat menjalar. Dengan sikapnya ini ia menantikan suaminya, untuk suaminya itu tolongi dia sambil membasmi musuh….
Cu Cong segera geraki tangannya ke arah Coan Kim Hoat, lalu berdua mereka lompat ke gombolan rumput.


Bab 10. Malam Yang Hebat

Cu Cong ambil sikapnya ini untuk bersedia membokong musuh. Ia percaya Tong Sie terlebih lihay daripada Tiat Sie, dari itu, ia terpaksa menggunai akal ini.
Itu waktu Siauw Eng telah kasih dengar suara kaget. Ia tanmpak sekarang, di depan bayangan yang berpekikan tak hentinya itu, ada satu bayangan lain, yang kecil dan kate. Karena tubuhnya kecil, bayangan ini tadi tidak kelihatan. Ia lantas lari turun ke arah orang orang bertubuh kecil dan kate itu, sebab ia segera menduga kepada Kwee Ceng. Ia berkhawatir berbareng girang. Ia khawatirkan keselamatannya bocah itu, ia girang yang orang telah menepati janji. Dan ia kemudia berlari, untuk memapaki, guna menyambut bocah itu.
Selagi dua orang ini mendatangi dekat satu dengan lain, Tong Sie si Mayat Perunggu pun telah mendatangi semakin dekat kepada Kwee ceng. Ia dapat berlari dengan cepat luar biasa.
“Inilah hebat…” pikir Siauw Eng. “Aku bukan tandingannya Tong Sie….tapi mana dapat aku tidak menolong bocah itu?” Maka terpaksa ia cepatkan tindakannya, terpaksa ia berteriak: “Bocah, lekas lari, lekas lari!”
Kwee Ceng dengar suara itu, ia lihat si nona, ia menjadi kegirangan hingga ie berseru. ia tidak tahu, di belakangnya dia tangan maut lagi menghampiri.
Siauw Mie To Thio A Seng telah menaruh hati kepada Han Siauw Eng sejak beberapa tahun, sampai sebegitu jauh belum pernah ia berani mengutarakan rasa hatinya itu, sekarang ia lihat si nona Han terancam bahaya, ia kaget dan berkhawatir, dengan melupakan bahaya, ia lari turun, niatnya mendahului nona itu, untuk memberi tahu supaya, habis menolongi orang, si nona terus menyingkir.
Lam Hie Jin semua memasang mata ke bawah bukit, mereka bersedia dengan senjata rahasia masing-masing, untuk menolongi Siauw Eng dan A Seng.
Segera juga Siauw Eng sampai kepada Kwee Ceng, tanpa bilang suatu apa, ia sambar bocah itu, terus ia memutar tubuh, guna lari balik, mendaki bukit. Tiba-tiba ia rasai tangannya enteng, berbareng dengan itu, Kwee Ceng pun menjerit kaget! Bocah itu telah dirampas Tan Hian Hong, demikian bayangan yang mengejar itu.
Dengan kegesitannya, Siauw Eng lompat ke samping, dari situ ia menyerang dengan pedangnya ke iga kiri si Mayat Perunggu, tetapi ia gagal, maka ia susuli dengan tikaman ke arah mata. Dengan beruntun ia mainkan jurus “Hong Hong tiam tauw” – Burung Hong menggoyang kepala, dan “Wat Lie Kiam-hoat”- ilmu pedangnya gadis Wat.
Tan Hian Hong mengempit Kwee Ceng di dengan lengan kirinya, ia kasih lewat ujung pedang, lalu dengan sikut kanannya, ia menyampok, setelah pedang itu berpindah arah, ia meneruskan menyambar si nona dengan jurusnya “Sun swi twi couw” – Menolak Perahu Mengikuti Air. Sia-sia Siauw Eng tarik pedangnya, untuk diteruskan dipakai membabat, tanganya Hian Hong mendahulukan menepuk pundaknya, hingga seketika ia roboh ke tanah.
Tan Hian Hong tidak berhenti sampai disitu, ia memburu dan ulur tangannya yang terbuka ke ubun-ubunnya nona Han. Ia bergerak dalam jurus Kiu Im Pek-kut Jiauw yang lihay yang untuk meremukkan batok kepala orang.
Thio A Seng sudah maju tinggal beberapa tindak lagi, ia melihat ancaman bahaya terhadap si nona yang ia sayangi, ia lompat kepada si nona itu, untuk mengahalangi serangan, tetapi justru karena ini, bebokongnya mewakilkan Siauw Eng kena dijambret, hingga lima jarinya si Mayat Perunggu masuk ke dalam dagingnya. Ia menjerit keras tetapi pedangnya dikerjakan untuk dipakai menikam ke dadanya lawan! Hanya, kapan Hian Hong mengempos semangatnya, pedang itu meleset di dadanya itu. Berbareng dengan itu, si Mayat Perunggu lemparkan tubuh musuhnya.
Cu Cong bersama Coan Kim Hoat, Lam Hie Jin dan Han Po Kie lantas lari menyusul tubuh saudaranya itu.
“Hai, perempuan bangsat, bagaimana kau?!” terdengar teriakannya Hian Hong.
Tiauw Hong tengah memegangi pohon besar, ia menyahut dengan keras: “Lelaki bangsat,sepasang mataku dirusak oleh mereka itu! ikalau kau kasih lolos satu saja diantara tiga ekor anjing itu, sebentar akan aku adu jiwa denganmu!”
“Bangsat perempuan, legakan hatimu!” sahut Tan Hian Hong. “Satu juga tidak bakal lolos!” sambil mengucap begitu, ia serang Han Siauw Eng dengan dua-dua tangannya.
Dengan gerakannya “Lay louw ta Kun” atau “Keledai malas bergulingan”, Siauw Eng buang diri dengan bergulingan, dengan begitu ia bisa menyingkir beberapa tindak, hingga ia bebas dari bahaya.
“Kau masih memikir untuk menyingkir?” tanya Hian Hong.
Thio A Seng rebah di tanah dengan terluka parah, menampak nona Han dalam bahaya, ia menahan sakit, ia kerahkan semua tenaganya, ia menerjang kepada musuh itu.
Hian Hong lihay sekali, batal meneruskan serangannya kepada Siauw Eng, ia papaki kakinya Thio A Seng itu, lima jarinya masuk ke dalam daging betis, maka itu, tak dapat Siauw Mie To bertahan lagi, setelah satu jeritan keras, ia jatuh pingsan.
Justru itu, Siauw Eng lepas dari marabahaya, sambil lompat bangun, ia menyerang musuhnya. Tapi sekarang ia menginsyafi lihaynya musuh, ia tak mau berkelahi secara rapat, saban kali si Mayat Perunggu hendak menjambak, ia jauhkan diri, ia berputaran.
Di waktu itu, Lam Hie Jin dan yang lainnya telah tiba, malah Cu Cong bersama Coan Kim Hoat mendahulukan menyerang denagn senjata rahasia mereka.
Tan Hian Hong kaget dan heran akan menyaksikan semua musuhnya demikian lihay, ia menduga-duga siapa mereka dan kenapa mereka itu muncul di gurun pasir ini. Akhirnya ia berteriak: “Eh, perempuan bangsat, makhluk-makhluk ini orang-orang macam apakah?!”
Bwe Tiauw Hong sahuti suaminya itu: “Mereka itu adalah saudaranya Hui-thian Sin Liong dan konconya Hui Thian Phian-hok!”
“Oh!” berseru Hian Hong. Lantas ia mendamprat: “Bagus betul, bangsat anjing, kiranya kau belum mampus! Jadinya kamu datang kemari untuk mengantarkan nyawa kamu!”
Tapi ia juga khawatirkan keselamatan istrinya, ia lalu menanya: “Eh, perempuan bangsat, bagaimana dengan lukamu? Apakah luka itu menghendaki jiwa kecilmu yang busuk itu?!”
Bwee Tiauw Hong menyahuti suaminya dengan mendongkol: “Lekas bunuh mereka! Nyonya besarmu tidak bakalan mampus!”
Hian Hong tahu luka istrinya itu berat, kalau tidak, tidak nanti ia pegang pohon saja dan tiak datang membantu. Istri itu sengaja pentang mulut besar. Ia berkhawatir tetapi ia dapat menghampiri istrinya itu. Cu Cong berlima telah kurung padanya, sedang yang satunya lagi, yaitu Kwa Tin Ok, berdiri diam sambil menanti ketikanya. Ia lantas lepaskan Kwee Ceng, yang ia lempar ke tanah, meneruskan gerakan tangan kirinya itu, ia serang Coan Kim Hoat.
Kim Hoat kaget melihat Kwee Ceng dilempar. Bocah itu dalam bahaya. Karena itu, sambil berkelit, ai terus lompat kepada Kwee Ceng, tubuh siapa ia sambar, dengan lompat berjumpalit, ia menyingkir setombak lebih. Gerakannya itu ialah yang dinamakan “Leng miauw pok cie” atau “Kucing gesit menerkam tikus”, untuk menolongi diri berbareng menolongi orang.
Hian Hong kagum hingga ia memuji di dalam hatinya. tapi ia telengas, makin lihay musuh, makin keras niatnya untuk membinasakan mereka, apalagi sekarang ini latihannya ilmu yang baru, Kiu Im Pek-kut Jiauw, sudah selesai delapan atau sembilan bagian. Tiba-tiba ia berpekik, kedua tangannya bekerja, meninju dan menyambar.
Kelima Manusia Aneh dari Kanglam itu menginsyafi bahaya, karenanya mereka berkelahi dengan waspada, tak sudi mereka merapatkan diri. Maka itu kurungan mereka menjadi semakin lebar.
Setelah berselang begitu lama, Han Po Kie tunujk keberaniannya. Ia menyerang dengan Teetong Pian-hoat, yaitu ilmu bergulingan di tanah, guna menggempur kaki lawan.
Dengan caranya ini, ia membikin perhatiannya tan Hian Hong menjadi terbagi. Karena ini, satu kali ia kena dihajar kayu pikulan Lam Hie Jin, hingga bebokongnya berbunyi bergedebuk. Walaupun merasakan sakit, tapinya ia tidak terluka, dia hanya terteriak menjerit-jerit, berbareng dengan itu, tangannya menyambar penyerangnya itu.
Belum lagi Hie Jin menarik pulang senjatanya, sambaran itu sudah sampai kepadanya, terpaksa ia melenggakkan tubuhnya.
Lihay tangannya Hian Hong itu. Diwaktu dipakai menyambar, buku-buku tulangnya memperdengarkan suara berkeretekan, lalu tangannya itu seperti terulur menjadi lebih panjang dari biasanya. berbareng dengan itu juga da tercium bau bacin.
Hie Jin kaget sekali. Selagi ia dapat mencium bau itu, tangan musuh yang berwarna biru sudah mendekati alisnya, atau sekarang tangan itu – atau lebih benar lima jarinya – sudah mendekati ubun-ubunnya! Dalam keadaan sangat berbahya itu, ia gunai Kim-na-hoat, ilmu menangkap tangan, guna membnagkol lengan musuh itu, untuk diputar ke kiri.
Berbareng dengan itu, Cu Cong pun merangsak ke belakang Tong Sie, si Mayat Perunggu itu, tangan kanannya yang keras seperti besi, diulur, guna mencekik leher musuh itu. Karena tangan kanannya itu terangkat, dengan sendirinya dadanya menjadi terbuka. Ia tidak menghiraukan lagi hal ini karena adiknya terancam dan adiknya itu perlu ditolongi.
Sekonyong-konyong saja guntur berbunyi sangat nyaring, lalu dengan tiba-tiba juga, mega hitam menutup sang putri malam, hingga semua orang tidak dapat melihat sekalipun lima jari tangannya di depan matanya!
Di dalam gelap gulita itu, orang dengar suara merekek dua kali dan suara “Duk!” satu kali, tanda tenaga diadu. Itulah Tan Hian Hong, yang telah pertunjuki tenaganya yang menyebabkan Hie in patah bahu kirinya, sedang sikutnya yang kiri menghajar dadanya Cu Cong.
Rasa sakit tiba-tiba membuat Cu Cong meringis dan tangannya yang dipakai mencekik leher musuh terlepas sendirinya, sebab tubuhnya terpental rubuh saking kerasnya serangan sikut itu.
Hian Hong sendiri bukannya tidak menderita karenanya, sebab tadi hampir-hampir ia tak dapat bernapas, setelah bebas, ia lompat ke samping, untuk lekas-lekas menjalankan napasnya.
“Semua renggang!” teriak Han Po Kie dalam gelap gulita itu.
“Citmoay, kau bagaimana…”
“Jangan bersuara!” menjawab Siauw Eng, si adik yang ketujuh itu. Dan ia lari ke samping beberapa tindak.
Kwa Tin Ok dengari segala gerak-gerik, ia menjadi heran sekali. “Jitee, kau bagaimana?” ia terpaksa bertanya.
“Sekarang ini langit gelap sekali, siapa pun tidak dapat melihat siapa,” Coan Kim Hoat memberitahu.
Mendengar itu, Hui Thian Pian-hok si Kelelawar Terbangkan Langit itu menjadi girang luar biasa. “Thian membantu aku!” ia memuji dalam hatinya.
Diantara tujuh Manusia Aneh, tiga sudah terluka parah, itu artinya Kanglam Cit Koay telah kalah besar, maka syukur untuknya, sang guntur menyebabkan langit menjadi gelap gulita, habis mana, sang hujan pun turun menyusul. Semua orang berhenti bertempur karenanya, tidak ada satu pun yang berani mendahului bergerak pula.
Kwa Tin Ok berdiam, dengan lihaynya pendengarannya itu, walaupun ada suara hujan, samar-samar ia masih mendengar suara napas orang. Dengan waspada ia pasang terus kupingnya. Ia dengar suara napas di sebelah kiri ia, terpisahnya delapan atau sembilan tindak daripadanya. Ia merasa pasti, itu bukan napas saudara angkatnya, dengan lantas ia ayunkan kedua tangannya, akan terbangkan enam batang tok-leng, diarahkan ke tiga penjuru.
Tan Hian Hong adalah orang yang diserang. Si Mayat Perunggu lihay sekali. Ia dengar sambaran angin, ia segera menunduk. Dua batang tok-leng lewat di atas kepalanya. Empat yang lain tepat mengenai tubuhnya, tetapi ia kebal seperti istrinya, ia tidak terluka, ia melainkan merasa sangat sakit. Karena serangan tok-leng ini, ia menjadi tahu di mana adanya si penyerang, musuhnya itu. Ia lompat ke arah musuh itu, kedua tangannya dipakai untuk menyambar. Ia tidak kasih dengar suara apa-apa.
Tin ok dengar suara angin, ia lantas berkelit, sambil berkelit, ia menghajar dengan tongkatnya.
Dengan begitu, di tempat gelap gulita itu, dua orang ini bertempur. Satu dengan yang lain tidak dapat melihat, mereka dari itu Cuma andalkan kuping mereka, mereka melainkan mendengari suara sambarannya angin.
Han Po Kie bersama Han Siauw Eng dan Coan Kim Hoat, yang ketahui kakaknya tengah bertenpur, sudah lantas kasih dengar seruan mereka berulang-ulang, untuk menganjurkan kakak itu, guna mencoba mengacaukan pikiran musuh. Disamping itu dengan meraba-raba, mereka pun menolongi tiga saudara mereka yang tealh terluka.
Pertempuran Hian Hong dengan Tin Ok hebat dengan cepat telah berlalu dua sampai tigapuluh jurus. Untuk Han Po Kie beramai, rasanya pertempuran itu berjalan sudah lama, disebabkan ketegangan dan kecemasan hati mereka. Ingin mereka membantui saudara mereka itu tetapi mereka tidak dapat melihat.
Tiba-tiba Hian Hong menjerit aneh. Dua kali ia terhajar tongkat, suara terhajarnya terdengar nyata. Mendengar itu, Po Kie semua bergirang. Itulah tandanya kakak mereka mulai berhasil.
Selagi orang kegirangan, mendadak kilat menyambar, memperlihatkan sinar terang.
Coan Kim Hoat terkejut, ia berseru: “Toako, awas!”
Hian Hong sangat lihay dan gesit, selagi Kim Hoat bersuara, tubuhnya sudah mencelat maju, untuk mendesak Kwa Tin Ok. Ia tidak hiraukan tongkat lawan, yang kembali mampir di tubuhnya yang kebal itu. Tongkat itu ia papaki denagn pundaknya yang kiri, tangannya sendiri diputar ke atas, guna menangkap tongkat musuh itu. Berbareng dengan gerakan tangan kiri ini, tangan kanannya menjambak ke depan. Sinar kilat sudah lenyap tetapi sambaran itu telah mengenai sasarannya.
Tin Ok kaget tidak kepalang, ia melompat mundur. Gerakannya itu terhalang, karena bajunya kena terjambak dan robek karenanya. Karena ini, Hian Hong lanjuti serangannya tanpa berlengah sedetikpun, dengan mengepal lima jari tangannya, ia lanjuti serangannya, lengannya itu terulur panjang.
Telak serangan itu, tubuh Tin Ok terhuyung. tapi ia belum bebas bahaya. Tongkatnya yang terampas Hian Hong, oleh Hian Hong dipakai menyerang ia dalam rupa timpukan!
Bukan main girangnya si Mayat Perunggu, ia tertawa sambil berlenggak, ia berpekik secara aneh.
Justru itu, kilat berkelebat pula, maka juga Han Po Kie menjadi kaget sekali. ia melihat bagaimana tongkat kakaknya itu, yang digunai Hian Hong, tengah menyambar ke kakaknya itu, yang tubuhnya terhuyung. Syukur dalam kagetnya itu, ia masih ingat untuk segera menyerang denagn cambuknya, guna mencegah dan melibat tongkat itu.
“Sekarang hendak aku mengambil nyawa anjingmu, manusia cebol terokmok!” berseru Hian Hong, yang lihat aksinya si orang she Han, yang menolongi kakanya itu. Ia lantas berlompat, guna hampirkan si cebol. Tapi kakiknya terserimpat, seperti ada tangan yang menyambar merangkul. Orang itu bertubuh kecil.
Ia menduga tak keliru, orang itu ialah Kwee Ceng! Segera ia menunduk, untuk sambar bocah itu.
“Lepaskan aku!” menjerit Kwee Ceng.
“Hm!” Hian Hong ksaih dengar suaranya yang seram.
Tetapi tiba-tiba Tan Hian Hong perdengarkan jeritan yang hebat sekali, tubuhnya terus roboh terjengkang. Ia terkena justru bagian tubuhnya yang terpenting, ialah kelemahannya. Ia melatih diri dengan sempurnya, ia menjadi tidak mempan barang tajam, kecuali pusarnya itu. Lebih celaka lagi, ia terkena pisaunya Khu Cie Kee, yang tajamnya bahkan sanggup mengutungi emas dan batu kemala. Diwaktu bertempur ia selalu melindungi perutnya, tetapi sekarang selagi mencekuk satu bocah, ia lupa. Ini dia yang dibilang “Orang yang pandai berenang mati kelelap, di tanah rata kereta rubuh ringsak”. Sebagai jago is terbinasa di tangannya satu bocah yang tidak mengerti ilmu silat.
Bwee Tiauw Hong si Mayat Besi dapat dengar jeritan suaminya itu, dari atas bukit ia lari untuk menghampirkan. Satu kali ia kena injak tempat kosong, ia terjeblos dan roboh terguling-guling. Tetapi ia bertubuh kuat, berurat tembaga bertulang besi, ia tidak terluka. Segera ia tiba di samping suaminya.
“Lelaki bangsat, kau kenapa?” ia tanya. Tak pernah ia lupai kebiasaannya membawa-bawa “bangsat”, sebagaimana juga kebiasaan suaminya.
“Celaka, perempuan bangsat….” sahut Hian Hong lemah. “Lekas kau lari…!”
Kwee Ceng dengar pembicaraan itu. Setelah menikam dan terlepas dari cekukan, ia bersembunyi di pinggiran. Ia takut bukan main.
Sang istri kertak giginya. “Akan aku balaskan sakit hatimu!” ia berseru.
“Kitab itu telah aku bakar…” kata Hian Hong, suaranya terputus-putus. “Rahasianya…di dadaku…” Ia tak dapat bernapas terus, tulang-tulangnya lantas meretak berulang-ulang.
Tiauw Hong tahu, disaat hendak menghembuskan napas terakhir, suaminya itu telah membuyarkan tenaga dalamnya. Itulah siksaan hebat. ia tak dapat mengawasi suaminya itu tersiksa begitu rupa. Maka juga, ia kuatkan hatinya lalu dengan tiba-tiba, ia hajar batok kepala suaminya. Maka sejenak itu, habislah nyawa jago itu.
Istri ini lantas meraba ke dada orang, untuk mengambil kitab yang dikatakan suaminya itu, ialah kitab Kiu Im Cin Keng bagian rahasianya.
Tan Hian Hong dan Bwee Tiauw Hong ini asalnya adalah saudara satu perguruan, mereka adalah murid-muridnya Tocu Oey Yok Su, pemilik dari pulau Tho Hoa To di Tang Hay, Laut Timur.
Oey Yok Su adalah pendiri dari suatu kaum persilatan sendiri, kepandaiannya itu ia ciptakan dan yakinkan di pulau Tho Hoa To itu. Sejak ia berhasil menyempurnakan ilmu kepandaiannya, tidak pernah ia pergi meninggalkan pulaunya itu. Karena ini, untuk di daratan Tionggoan, sedikit orang yang ketahui kelihayannya, maka juga ia kalah terkenal dari kaum Coan Cin Kauw yang kenamaan di Kwantong dan Kwansee dan Toan Sie yang kesohor di Selatan (Thian Lam).
Dua saudara seperguruan itu terlibat api asmara sebelum mereka lulus. Mereka insyaf, kalau rahasia mereka ketahuan, mereka bakal dihukum mati dengan disiksa. Maka itu pada suatu malam gelap buta, mereka naik sebuah perahu kecil, kabur ke pulau Heng To di sebelah selatan, dari mana mereka menyingkir lebih jauh ke Lengpo di propinsi Ciatkang.
Tan Hian Hong tahu, ilmu silatnya cukup untuk membela diri tetapi tak dapat digunai untuk menjagoi, sekalian buron, maka ia tak berbuat kepalang tanggung, ia curi sekalian kitab Kiu Im Cin Keng dari gurunya, untuk mana ia nyelusup masuk ke kamar gurunya itu.
Kapan Oey Yok Su ketahui perbuatannya kedua murid itu, ia murka bukan main. Tapi ia telah bersumpah tidak akan meninggalkan Thoa Hoa To, terpaksa ia membiarkan saja, hanya saking murkanya, lain-lain muridnya menjadi korbannya. Semua muridnya itu ia putuskan urat-uratnya, hingga mereka menjadi manusia-manusia bercacad seumur hidupnya, lalu ia usir mereka dari pulaunya.
Hian Hong dan Tiauw Hong menyembunyikan diri untuk menyakinkan Kiu Im Cin Keng itu. Dengan begini mereka bikin diri mereka menjadi jago. Belum pernah ada orang yang sanggup robohkan mereka. Sebaliknya, mereka telah minta bnayak korban, apapula makin lama mereka jadi makin telangas.
Pada waktu suami istri kejam ini dikeroyok orang-orang gagah dari pelbagai partai persilatan di utara Sungai Besar. Medan pertempuran ada di atas gunung Heng San. Dua kali mereka mendapat kemenangan, baru ketiga kalinya, mereka kena dilukakan, hingga mereka kabur untuk sembunyikan diri. Kekalahan ini disebabkan terlalu banyak pengepungnya. Mereka sembunyikan diri sampai belasan tahun, tidak ada kabar ceritanya, hingga orang percaya mereka sudah mati karena luka-lukanya. Tidak tahunya, mereka terus menyakinkan Kiu Im Cin Keng bagian “Kiu Im Pek Kut Jiauw” atau “Cengkeraman Tulang Putih” dan “Cui Sim Ciang” atau “ Tangan Peremuk Hati”.
Aneh tabiat Hian Hong, walaupun pada istrinya, ia tidak hendak beri lihat kitab Kiu Im Cin Keng itu, biar bagaimana Tiauw Hong memohonnya, ia tidak ambil peduli, adalah setelah ia sendiri berhasil mempelajarinya, baru ia turunkan kepandaian itu kepadanya istrinya. Ketika istrinya desak, Hian Hong menjawab: “Sebenarnya kitab ini terdiri dari dua bagian. Saking tergesa-gesa, aku dapat curi cuma sebagian, sebagian bawah. Justru di bagian atas adalah pelajaran pokok dasarnya. Adalah berbahaya menyakinkan bagian bawah tanpa bagian atas. dari itu, biar aku yakinkan sendiri dulu. Kalau tidak, atau kalau kau termaha, kau bisa celaka. Kau tahu, kepandaian yang kita sudah dapati dari suhu masih belum cukup untuk pelajari bagian bawah ini. Maka itu, aku mesti memilih dengan teliti.”
Tiauw Hong percaya pada suaminya, ia tidak memaksa lebih jauh. Adalah sekarangm, disaat dia hendak menutup mata, Hian Hong suka serahkan kitabnya itu pada istrinya. Tapi bukan kitabnya sendiri yang dia telah bakar, hanya singkatannya atau rahasia pokoknya.
Tiauw Hong lantas raba dada suaminya, ia tidak dapatkan apa-apa. Ia heran hingga ia diam menjublak. Tentu saja, ia menjadi penasaran, maka ia hendak memeriksa, untuk mencari terlebih jauh. Sayang untuknya, ia tidak sempat mewujudkan niatnya itu. Sebab Han Po kie bersama Siauw Eng dan Coan Kim Hoat, membarengi berkelebatnya kilat, hingga mereka bisa melihat musuh, sudah lantas maju menyerang.
Repot juga Tiauw Hong, yang kedua matanya sudah buta. Ia sekarang hanya mengandal pada kejelian kupingnya, kepada gerak-gerik angin. Ia tahu ada orang serang padanya, ai melawan dengan mainkan tipu-tipu Kim-na-hoat, ilmu Menyambar dan Menangkap. Adalah keinginannya ilmu ini agar musuh berkelahi rapat.
Ketiga Manusia Aneh ini menjadi cemas, bukan saja mereka tidak dapat mendesak, mereka sendiri saban-saban menghadapi ancaman. Di dalam hatinya, Po Kie berkata: “Celaka betul! Bertiga kita lawan satu wanita buta, kita tidak berhasil, runtuhlah nama nama Kanglam Cit Koay…” Maka itu, ia berpikir keras. Setelah itu mendadak ia menyerang hebat kepada bebokong lawannya. Ia ambil kedudukan di belakang musuhnya itu.
Terdesak juga Tiauw Hong diserang hebat dari belakang. Ketika ini digunai Siauw Eng akan menikam dengan pedangnya dan Kim Hoat dengan dacinnya. Hebat pengepungan ini.
Sekonyong-konyong datang angin besar, membawa mega hitam dan tebal, membuat langit menjadi gelap-gulita pula. Saking hebatnya, pasir dan batu pada beterbangan.
Kim Hoat bertiga terpaksa lompat mundur, untuk terus mendekam. Bisa celaka mereka dirabu pasir dan batu itu. Syukur, angin tidak mengganas terlalu lama. Hujan pun turut berhenti perlahan-lahan. Malah dilain saat, dengan terbangnya sang mega, si putri malam pun mulai mengintai pula dan muncul lagi.
Han Po Kie yang paling dulu lompat bangun, tetapi segera ia menjerit heran.
Bwee Tiauw Hong lenyap, lenyap juga mayatnya Tan Hian Hong. Masih rebah tengkurap adalah Kwa Tin Ok, Cu Cong, lam Hie Jin dan Thio A Seng, empat saudaranya itu. Kwee Ceng mulai muncul dari belakang batu dimana ia tadi bersembunyi.
Semua orang basah kuyup pakaiannya.
Dibantu oleh Siauw Eng dan Po Kie, Coan Kim Hoat lantas tolongi saudara-saudaranya yang terluka itu. Lam Hie Jin patah lengannya, syukur ia tidak terluka dalam. Syukur Tin Ok dan Cu Cong telah lihay ilmu dalamnya, walaupun mereka terhajar Tong Sie, si Mayat Perunggu, luka mereka tidak parah. Adalah Thio A Seng, yang tercengkeram Kiu Im Pek-kut Jiauw, lukanya berbahaya, jiwanya terancam. Ia membikin enam saudaranya sangat berduka, karena sangat eratnya pergaulan mereka, lebih-lebih Han Siauw Eng, yang tahu kakak angkatnya yang kelima ini ada menaruh cinta kepadanya, sedang ia pun ada menaruh hati. Ia lantas peluki A Seng dengan ia menangis tersedu sedan.
Thio A Seng adalah Siauw Mie To, si Buddha Tertawa, walaupun lagi menghadapi bahaya maut, ia masih dapat tersenyum. Ia ulur tangannya, untuk mengusap-usap rambut adik angkatnya itu. “Jangan menangis, jangan menangis, aku baik-baik aja…” ia menghibur.
“Ngoko, akan aku menikah denganmu, untuk menjadi istrimu! Kau setuju, bukan?” kata nona Han itu tanpa malu-malu.
A Seng tertawa, tapi lukanya sangat mendatangkan rasa sakit, terus ia berjengit, hampir ia tak sadarkan diri.
“Ngoko, legakan hatimu,” kata pula si nona. “Aku telah jadi orangnya keluarga Thio, seumurku, aku tidak nanti menikah dengan lain orang….kalau nanti aku mati, aku akan selalu bersama kamu…”
A Seng masih dengar suara tu, ia tersenyum pula, hingga dua kali. “Citmoay, biasanya aku perlakukan kau tidak manis…” katanya. Masih dapat ia mengatakan demikian.
Siauw Eng menangis. “Kau justru perlakukan aku baik, baik sekali, inilah aku ketahui,” katanya.
Tin Ok terharu sekali, begitupun dengan yang lainnya. Merek aitu pada melinangkan air mata.
“Kau datang kemari, kau tentu hendak berguru pada kami?” Cu Cong tanya Kwee Ceng, ynag telah hampirkan mereka.
Bocah itu menyahuti, “Ya!”
“Kalau begitu, selanjutnya kau mesti dengar perkataan kami,” kata Cu Cong pula.
Kwee Ceng mengangguk.
“Kami tujuh saudara adalah gurumu semua,” kata Cu Cong. “Ini gurumu yang kelima bakal pulang ke langit, mari kau hunjuk hormatmu padanya.”
Meski masih kecil, Kwee Ceng sudah mengerti banyak, maka itu, ia jatuhkan diri di depan tubuh A Seng, untuk bersujud sambil mengangguk berulangkali.
Thio A Seng tersenyum meringis. “Cukup…” katanya. Ia menahan sakit. “Anak yang baik, sayang aku tidak dapat memberi pelajaran kepadmu…. Sebenarnya sia-sia saja kau berguru padaku. Aku sangat bodoh, aku pun malas kecuali tenagaku yang besar…. Coba dulu aku rajin belajar, tidak nanti aku antarkan jiwa disini…..” Tiba-tiba kedua matanya berbalik, ia menarik napas, tapi masih meneruskan kata-katanya: “Bakatmu tidak bagus, perlu kau belajar rajin dan ulet, jikalau kau alpa dan malas, kau lihat contohnya gurumu ini….”
Masih A Seng hendak berkata pula, tenaganya sudah habis, maka Siauw Eng pasang kupingnya, di mulutnya kakak angkatnya itu. Si nona masih dengar: “Ajarilah ini anak dengan baik-baik, jaga supaya ia jangan kalah dengan itu…imam…”
“Jangan khawatir,” Siauw Eng menjawab. “Legakan hatimu, kau pergilah dengan tenang…Kita Kanglam Cit Koay, tidak nanti kita kalah…!”
A Seng tertawa, perlahan sekali, habis itu berhentilah ia bernapas…..
Enam saudara itu memangis menggerung-gerung, kesedihan mereka bukan main. Walaupun semuanya bertabiat aneh, mereka tetap manusia biasa, mereka juga saling menyinta. Dengan masih menangis, mereka menggali liang, untuk mengubur jenazah saudaranya itu ditempat itu. Sebagai nisan, mereka mendirikan satu batu besar.
Itu waktu, cuaca sudah menjadi terang, maka Coan Kim Hoat dan Han PO Kie lantas turun gunung untuk cari mayatnya si MayatPerunggu serta Bwee Tiauw Hong, si Mayat Besi. Mereka mencari denagn sia-sia. Habis hujan lebat, di tanah berpasir mesti ada tapak kaki tetapi ini tidak. Entah kemana perginya Tiauw Hong beserta mayat suaminya itu.
“Di tempat begini, tidak nanti wanita itu kabur jauh,” kata Cu Cng sekembalinya kedua saudara itu. “Sekarang mari kita antar anak ini dan kita pun merawat diri, kemudian kau, shatee, lioktee dan citmoay, coba kau pergi mencari pula.”
Pikiran ini disetujui, maka habis mengucurkan airmata di depan kuburan A Seng, mereka pun turun dari gunung. Mereka jalan belum jauh tempo mereka dengar menderunya binatang liar, yang terus terdengar berulang-ulang.
Po Kie keprak kudanya, maka itu kuda berlompat ke depan. Lari serintasan, binatang itu berhenti dengan tiba-tiba, tak mau ia maju walaupun dipaksa majikannya. Po Kie menjadi heran, ia memasang mata ke depan.
Di sana tertampak serombongan orang serta dua ekor macam tutul menoker-noker pada tanah. Itulah sebabnya kenapa kuda si kate tidak berani maju terus. Tidak ayal lagi, Po Kie lompat turun dari kudanya, dengan cekal Kim-kiong-pian, ia maju ke arah mereka. Segera ia dapat tahu perbuatannya itu macan tutul.
Dua ekor macan tutul itu telah dapat mengorek satu mayat, malah jago Kanglam ini kenali itu mayatnya Tan Hian Hong, yang terluka dari leher sampai di perutnya, seluruhnya berlumuran darah, seperti ada dagingnya yang orang telah potong.
Heran Po Kie. Ia berpikir: “Dia mati di atas gunung, kenapa mayatnya ada di sini? Siapakah orang-orang itu? Apakah maksudnya maka itu mayat diganggu?”
Itu waktu Coan Kim Hoat semua telah datang menyusul, maka mereka pun saksikan myatnya Hian Hong itu. Mereka menjadi heran sekali. Diam-diam mereka bergedik menyaksikan itu musuh tangguh. Coba tidak ada Kwee Ceng, setahu bagaimana jadinya dengan mereka.
Kedua macan tutul itu sudah mulai gerogoti mayatnya Hian Hong.
“Tarik macan itu!” kata satu anak kecil yang menunggang kuda, yang berada di antara rombongan orang tadi. Ia menitahkan orangnya, yang menjadi tukang pelihara macan tutul itu. Tempo ia lihat Kwee Ceng, dia membentak: “Hai, kau sembunyi di sini! Kenapa kau tidak berani membantui Tuli bertarung? Makhluk tidak punya guna!”
Bocah itu ialah Tusaga, putranya Sangum.
“Eh, kamu mengepung pula Tuli?” tanya Kwee Ceng, yang agaknya kaget. “Di mana dia?”
Tusaga perlihatkan roman tembereng dan puas. “Aku tuntun macan tutulku menyuruhnya geharesi dia!” sahutnya. “Kau lekas menyerah! Kalau tidak, kau pun bakal digegaren macanku!” ia mengancam tetapi ia tak berani dekati musuhnya, jerih ia menampak Kanglam Cit Koay. Kalau tidak, tentulah Kwee Ceng telah dihajarnya.
Kwee ceng terkejut, “Mana Tuli?!” ia tanya.
“Macan tutulku telah gegares Tuli!” sahut Tusaga berteriak. Ia lantas ajak pemelihara macan tutul itu untuk berlalu.
“Tuan muda, dialah putranya Khan besar Temuchin!” berkata itu tukang rawat macan tutul, maksudnya memberitahu.
Tusaga ayun cambuknya, menhajar kepalanya orang itu. “Takut apa!” teriaknya. “Kenapa tadi ia serang aku! Lekas!”
Dengan terpaksa, tukang rawat macan tutul itu turut perintah. Satu tukang rawat macan tutul yang lainnya ketakutan, ia berkata, “Akan aku laporkan kepada Khan besar!”
Tusaga hendak mencegah tapi sudah kasep. Dengan mendongkol ia berkata: “Biarlah! Mari kita hajar Tuli dulu! Hendak aku lihat, apa nanti paman Temuchin bisa bikin!”
Kwee ceng jeri kepada macan tutul tetapi ia ingat keselamatannya Tuli. “Suhu, dia hendak suruh macan itu makan kakak angkatku, hendak aku menyuruh kakak angkatku lari,” ia kata kepada Siauw Eng.
“Jikalau kau pergi, kau sendiri bakalan digegares macan itu,” kata itu guru. “Tak takutkah kau?”
“Aku takut…” sahut murid ini.
“Jadi kau batal pergi?” tanya gurunya lagi.
Kwee Ceng bersangsi sebentar, ia menyahuti: “Aku mau pergi!” Benar-benar ia lantas lari.
Cu Cong rebah di bebokongnya unta karena lukanya, ia kagumi bocah itu. Ia berkata kepada saudara-saudaranya: “Bocah ini bebal tetapi dialah orang segolongan dengan kita!”
“Matamutajam, jieko,” kata Siauw Eng. “Mari kita bantu dia!”
Coan Kim Hoat lantas memesan: “Bocah galak itu memelihara macan tutul, ia mungkin putranya satu pangeran atau raja muda, kita harus berhati-hati. Kita tak boleh terbitkan onar, ingat, tiga dari kita terluka…”
Po Kie manggut, ia lantas saja lari menyusul Kwee Ceng, setelah menyandak, ia ulur tangannya, akan cekuk bocah itu, untuk terus dipanggul!
Tetap tubuh Kwee Ceng di atas pundak orang, ia seperti lagi menunggang kuda, yang larinya sangat pesat, sebentar kemudian tibalah di satu tempat, dimana tampak Tuli sedang dikurung oleh belasan orang. Dia orang ini turut perintahnya Tusaga, dari ini putranya Temuchin Cuma dikurung, tidak lantas dikeroyok.
Sebenarnya Tuli rajin melatih diri menuruti ajarannya Cu Cong, ia pun sangat berani, ketika besoknya pagi ia tidak dapat cari Kwee Ceng, tanpa minta bantuan Ogotai, kakaknya, seorang diri ia pergi memenuhi janji kepada Tusaga untuk bertempur.
Tusaga datang dalam jumlah belasan, heran dia melihat Tuli sendirian. Tapi ia tidak peduli suatu apa, pertempuran sudah lantas dimulai. Hebat Tuli itu, ia gunai jurus ajarannya Cu Cong, ia bikin musuh-musuhnya rubuh satu demi satu. Ia tentu tidak tahu, jurusnya itu adalah jurus pojok dari “Khong Khong Kun”, ilmu silat tangan kosong.
Tusaga penasaran, sebab dua kali ia rubuh mencium tanah dan hidungnya kena diberi bogem mentah dua kali juga, saking murkanya, ia lantas lari pulang untuk menagmbil macan tutul ayahnya. Tuli yang sedang kegirangan tidak menyangka musuhnya itu bakalan minta bantuan binatang liar.
“Tuli! Tuli! Lekas lari, lekas!” Kwee Ceng berteriak-teriak sebelum ia datang mendekat. “Tusaga bawa-bawa macan tutul!”
Tuli kaget, hendak ia lari, tapi ia lagi dikurung. Sementara itu Han Po Kie dapat candak Tusaga dan melombainya.
Kanglam Cit Koay dapat lantas mencegah Tusaga apabila mereka kehendaki itu, tetapi mereka tidak mau menerbitkan onar, sekalian mereka ingin saksikan sepak terjangnya Tuli dan Kwee Ceng.
Itu waktu ada beberapa kuda dilarikan keras ke arah mereka, salah satu penunggangnya berteriak-teriak. “Jangan lepaskan macan tutul! Jangan lepaskan macan tutul!”
Segera terlihat ternyata mereka itu adalah Mukhali berempat, yang dengan laporannya si tukang pelihara macan tutul, tanpa perkenanan dari Temuchin lagi, mereka lantas datang menyusul.
Itu wkatu Temuchin bersama Wang Khan, Jamukha, dan Sangum tengah menemani dua saudara Wanyen di tenda mereka, mereka terkejut mendengar laporan si tukang pelihara macan, semua lantas lari keluar tenda untuk naiki kuda mereka. Wang Khan mendahului perintah satu pengiringnya: “Lekas sampaikan titahku, cegah cucuku main gila!“
Pengiring itu segera kabur dengan kudanya.
Wanyen Yung Chi kecewa gagal menyaksikan orang diadu dengan binatang, ia masgul, sekarang ia dengar berita ini, kegembiraannya terbangun secara tiba-tiba, “Mari kita lihat!“ katanya.
Wanyen Lieh pun gembira tetapi ia tidak perlihatkan itu pada wajahnya. Ia pikir: “Jikalau anaknya Sangum membinasakan anaknya Temuchin, kedua mereka bakal jadi bentrok, dan inilah untungnya negaraku, negara Kim yang besar!” Ia terus kisiki pengiringnya, yang pun lantas berlalu dengan cepat.
Wang Khan semua iringi kedua saudara Wanyen itu. Mereka jalan baharu satu lie lebih, di depan mereka tertampak beberapa serdadu Kim tengah berkelahi sama pengiring Khan ini yang tadi diberikan titah. Sebabnya adalah serdadu-serdadu Kim itu menghalang-halangi orang menjalankan tugas, sedang si petugas tidak berani abaikan kewajibannya.
Anda sedang membaca artikel tentang Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali 4 dan anda bisa menemukan artikel Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali 4 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cersil-online-pendekar-pemanah-rajawali_2291.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali 4 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali 4 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali 4 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cersil-online-pendekar-pemanah-rajawali_2291.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar