“Kurang ajar!” mencaci Kwee Ceng. “Aku tidak kenal dia, siapa bilang dia adikku!” Ia gusar sebab kongcu itu ejek dia sebagai toaku, ipar. Itulah cacian di antara orang Pakhia, tetapi ia tidak tahu, ia cuma mendongkol. Karena dicaci begitu, ia ditertawai sekalian pengikut si kongcu.Si kongcu sendiri merasa lucu berbareng mendeluh. “Tolol, awas!” ia berseru seraya menyerang.
Kwee Ceng melawan, dari itu, mereka menjadi bergumul pula. Kali ini pemuda ini berlaku waspada, tidak lagi ia kena dipancing. ia kalah pandai tapi ia bersemangat, maka kewalahan juga si kongcu.
Pertempuran seru itu ditonton semakin banyak orang. Bok Ek jadi merasa tidak enak hati. Ia tahu, kalau datang polisi, ia bisa dapat susah, sedikitnya ia bakal diseret ke kantor pembesar setempat. Ia juga berkhawatir untuk banyaknya orang, i antara siapa ia tampak beberapa yang matanya tajam dan air mukanya luar biasa, ada juga yang membekal senjata. Di sebelah mereka, yang bicarakan silat kedua anak muda itu, ada yang bertaruh untuk siapa yang bakal menang.
Dengan perlahan-lahan Bok Ek menggeser ke tempat pengiring-pengiringnya si kongcu, segera ia lihat, diantara mereka itu ada tiga orang yang menarik perhatiannya. Yang satu adalah satu pendeta bangsa Tibet, tubuhnya besar, kopiahnya disalut emas, jubahnya merah dan gerombongan. Dia berdiri tegar hingga ia melebihkan tingginya semua orang. Orang yang kedua sudah lanjut usianya, sebab rambutnya sudah putih semua, tubuhnya sedang saja, hanya mukanya bercahaya segar, dan tidak keriputan. Dia pun bermata tajam. Karena romannya yang luar biasa itu, tak bisa diduga usianya yang tepat. Orang yang ketiga bertubuh kate dan kecil, nampaknya sangat gesit, mukanya pun bersinar merah, matanya mencorong tajam. Maka juga, mengawasi mereka, tukang jual silat ini terkejut hatinya.
“Leng Tie Siangjin,” berkata satu pengiring, “Baik kau maju dan hajar bocah itu, kalau mereka bertempur terus dan siauw-ongya salah tangan hingga ia terluka, hilanglah jiwa kami semua…”
Itulah se pendeta Tibet yang ditegur. Dia tersenyum, dia tidak menjawab. Adalah si rambut ubanan yang berkata sambil tertawa: “Paling juga kakimu dikemplang patah! Mustahil ongya hendak mengehndaki jiwamu?”
Bok Ek terperanjat. Orang disebutnya siauw-ongya dan ongya, pangeran muda dan pangeran. Kalau begitu, benar juga, bencana akan datang kalau sampai siauw-ongya itu terluka. Tidakkah di antara pengiring-pengiringnya si siauw-ongya adalah orang-orang yag gagah dan lihay?”
“Jangan takut!” berkata si orang kate dan kecil. “Siauw-ongya lebih lihay daripada lawannya itu!”
Orang ini kate dan kecil akan tetapi suaranya mengejutkan. Suara itu nyaring, hingga beberapa orang disampingnya menjadi terkejut, semua pada berpaling memandang dia, yang matanya bersinar, hingga mereka lekas-lekas melengos.
Si rambut putih tertawa, dia pun berkata: “Siauw-ongya telah belajar ilmu silat belasan tahun, kecewa kalau itu tidak dipertontonkan di muka orang banyak. Dia tentu tidak senang ada orang yang membantu padanya…”
“Eh, saudara Nio, coba bilang,” berkata si kate kecil, “Ilmu silat siauw-ongya itu ada dari partai mana?” Kali ini ia berbicara dengan perlahan.
Si rambut putih tertawa. “Haouw Laotee, kau lagi uji mataku, bukan?” ia berkata. “Kalau mataku tidak salah, itulah ilmu silatnya kaum agama Coan Cin Kauw.”
“Sungguh begitu, sungguh aneh!” kata si kate kecil itu. “Bukankah kaum Coan Cin Kauw itu bangsa aneh? Kenapa mereka justru mewariskan kepandaiannya pada siauw-ongya…?”
“Ongya pandai bergaul, siapa saja tak dapat ia undang?” kata pula si rambut ubanan itu. “Umpama kau sendiri, Haouw Laotee. Kau biasa menjagoi di dua propinsi Shoatang dan Shoasay, kenapa kau juga berada di istana ongya?”
Si kate kecil itu mengangguk.
Si ubanan sudah lantas mengawasi kedua anak muda yang lagi bertempur itu. Ia dapatkan Kwee Ceng berubah silatnya, ialah gerakannya jadi ayal tapi tubuhnya terjaga rapat, sia-sia saja beberapa kali siauw-ongya menyerang padanya.
“Haouw Laotee, coba lihat, dari partai mana asalnya ilmu silat si bocah itu?” ia tanya.
“Kelihatannya kepandaiannya itu kacau, dia tentu bukan satu gurunya,” sahut si kate kecil itu kemudian.
“Pheng Ceecu benar,” berkata seorang di pinggiran, “Bocah ini adalah muridnya Kanglam Cit Koay.”
Bok Ek pandang ornag itu, yang mukanya kurus dan sinarnya biru, di jidatnya ada tiga tahi lalatnya. Ia kata di dalam hatinya: “Dia memanggil Pheng Ceecu, mungkinkah si kate kecil ini adalah kepala berandal? Nama Kanglam Cit Koay sudah lama tidak terdengar, apa benar mereka masih hidup?”
Selagi Bok Ek berpikir, si muka biru dan kurus itu sudah berlompat maju ke tengah kalangan seraya ia berseru: “Hai bocah, kau ke sini!” Dia pun menarik keluar sebatang kongce atau cagak dari dalam sakunya.
Orang banyak terkejut, ada yang berteriak. Bok Ek pun tidak kurang kagetnya, tapi ia segera bersiap, untuk membantu Kwee Ceng. Tentu saja ia tidak kenal si orang ini, ialah Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay, paman gurunya Hong Ho Su Koay.
Hauw Thong Hay bukan menyerang Kwee Ceng, dia hanya maju ke antara orang banyak, di antara siapa ada satu anak muda yang tubuhnya kurus lemah, yang pakaiannya compang-camping, kapan anak itu dapat lihat dia, dia menjerit “Ayo!” seraya terus memutar tubuh, untuk angkat langkah panjang. Thong Hay mengejar terus, ia diikuti empat orang lainnya yang bukan lain daripada Hong Ho Su Koay.
Kwee Ceng sedang bertempur, ia heran atas itu suara bentakan, kapan ia lihat siapa yang dikejar Thong Hay, ai terkejut. Pemuda dengan pakaian tidak karuan itu adalah Oey Yong, sahabat barunya. Karena ini, ia sudah lantas kena ditendang si kongcu.
“Tahan dulu!” ia berseru seraya lompat keluar kalangan. “Aku hendak pergi sebentar, segera aku kembali!”
“Lebih baik kau mengaku kalah!” mengejek si kongcu.
Sia Tiauw Enghiong - 7
By admin • Sep 1st, 2008 • Category: 2. Silat China, CY - Sia Tiauw Enghiong
Kwee Ceng tidak berniat berkelahi terus, pikirannya lagi kusut, ia khawatirkan keselamatannya Oey Yong, tetapi justru ia hendak melompat lari, tiba-tiba ia tampak sahabatnya itu lari mendatangi, sepatu kulitnya diseret hingga berisik kedengarannya. Dia pun terus tertawa. Di belakangnya tampak Thong Hay tengah mengajar tengah mengejar, mulutnya mencaci kalang kabutan, setelah datang dekat, berulang-ulang ia tikam bebokong orang yang ia kejar itu!
Oey Yong sangat lincah, selalu dapat ia kelit tubuhnya.
Kongce itu ada cagak tiga, semuanya tajam, di bawah cahaya matahari, sinarnya berkilauan, sinar itu ditimpali tiga gelangnya yang bergerak dan berbunyi nyaring setiap kali digeraki. tapi senjata itu tidak dihiraukan Oey Yong. Ia nyelusup sana dan nyelusup sini di antara orang banyak.
Segera juga orang banyak tertawa riuh. Mukanya Hauw Thong Hay, pada pipinya yang kiri dan kanan, tambah tanda tapak lima jari tangan, tanda arang hitam. Terang sudah dia telah kena ditampar oleh lawannya yang licin itu.
“Mari! Mari!” Oey Yong menantang, setiap kali ia dapat pisahkan diri jauh-jauh dari lawannya, yang ia tinggalkan lalu ia berdiri diam, menoleh dan mengejek, tangannya menggapai berulang-ulang.
“Jikalau aku tidak berhasil menggeset kulitmu dan mematahkan tulang-tulangmu, aku Sam-tauw-kauw tidak sudi menjadi manusia!” Thong Hay sesumbar. Ia berteriakan, ia mengejar.
Oey Yong menanti sampai orang sudah datang dekat, kembali ia lari. Kelakuannya ini, ditimpali sama kalapnya Thong Hay, membuatnya orang banyak saban-saban tertawa riuh.
Dalam saat itu, terlihatlah datang memburunya tiga orang yang napasnya tersengal-sengal. Merekalah tiga Siluman dari Hong Ho. Song-bun-hu Cian Ceng Kian, Siluman yang keempat, tidak tampak.
Itu waktu barulah Kwee Ceng menginsyafi bahwa sebenarnya Oey Yong itu lihay ilmu silatnya, bahwa ialah yang selama di hutan cemara Hek-siong-lim di Kalgan sudah menggantung Hong Ho Su Koay di atas pohon dan memancing kepada Hauw Thong Hay.
“Bagus perbuatannya,” ia pikir.
Kelakuan Hauw Thong Hay itu, yang dipermainkan Oey Yong, menyebabkan rombongannya Leng Tie Siangjin memperbincangkannya.
Leng Tie itu adalah paderi dari Tibet, dari partai Cong Gee, keistimewaannya ialah ilmu Tay-ciu-in, Tapak Tangan yang lihay, kawannya yang ubanan tapi mukanya tampak segar bagai muka anak kecil, adalah Nio Cu Ong, ketua dari partai Tiang Pek Pay dari Gunung Tiang Pek San. Ia tetap awet muda sebab sejak masih kecil ia doyan makan jinsom serta lainnya pohon obat, hingga ia dijuluki Som Sian Lao Koay, Dewa Jinsom-Siluman Tua. Julukan ini harus dipecah dua: Siapa yang menghormati dia, memanggilnya Som Sian, Dewa Jinsom, dan siapa bukan orang-orang partainya, dibelakangnya, menyebut ia Lao Koay, si Siluman Tua. Dan orang ynag matanya tajam bagaikan kilat itu adalah orang ynag sangat terkenal di Tionggoan, namanya Pheng Lian Houw, julukannya Cian-ciu Jin Touw, Pembunuh Sribu Tangan. Di selatan dan utara Sungai Besar, sekalipun wanita umumnya kenal namanya itu, dan anak-anak yang lagi nangis, kalu ditakut-takuti; “Peng Lian Houw datang!” tentulah berhenti tangisnya.
Berkatalah Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong: “Selama aku di Kwan-gwa, telah aku dengar nama besar dari Kwie Bun Liong Ong, bahwa ia lihay sekali, kenapa adik seperguruannya ini begini tidak punya guna, sampai satu bocah pun dia tidak sanggup layani?”
Pheng Lian Houw mengkerutkan keningnya, dia bungkam. Dia bersahabat erat dengan Kwie-bun Liong Ong See Thong Thian si Raja Naga Pintu Iblis, sering mereka “bekerja tanpa modal”, dan ia tahu baik Houw Thong Hay lihay, maka kenapa hari ini orang she Hauw itu jadi demikian tidak berdaya?
Selagi Oey Yong permainkan Hauw Thong Hay, pertempuran di antara Kwee Ceng dan si siauw-ongya, pangeran muda, telah berhenti. Siauw-ongya telah robohkan Kwee Ceng lima-enam kali, dia sangat letih, tangan dan kakinya dirasakan ngilu, dia pun berdahaga dan lapar, dengan sapu tangannya, ia susuti peluhnya.
Dipihak lain, Bok Ek telah kasih turun bendera Pie-bu Ciauw-cin, ia hampirkan Kwee Ceng untuk dihiburkan, untuk diajak pulang ke penginapannya, untuk beristirahat. Tapi, belum kebeuru mereka berangkat, mereka sudah dengar ramainya tindakan kaki serta berisiknya gelang konce, lalu terlihat Oey Yong berlari-lari kembali dengan tetap dikejar oleh Hauw Thong Hay. Tangannya Oey Yong sambil mengibar-ibarkan dua potong kain. Hauw Thong Hay sebaliknya, pakiaannya menjadi tidak karuan macam: Baju di dadanya robek putus, hingga kelihatan baju dalamnya yang putih. Jauh di belakang mereka terlihat Gouw Ceng Liat serta Ma Ceng Hiong, yang satu bersenjatakan tombak, yang lainnya ruyung, lari mendatangi dengan napas memburu. Ketika mereka ini datang dekat, Oey Yong dan Hauw Thong Hay saudh lenyap pula.
Semua orang banyak, yang menjadi penonton, heran berberang merasa lucu, mereka menjadi tertarik untuk menonton terus. Justru itu, mereka lantas dengar bentakan-bentakan riuh yang datang dari arah barat, lalu mereka tampak belasan orang polisi serta pengiring, dengan cambuk di tangan, lagi menyerang kalang-kabutan ke kira dan ke kanan, kepada orang banyak, yang mereka usir pergi. Maka itu, orang banyak itu lantas saja mundur ke kedua pinggir jalan. Menyausul rombongan hamba-hamba galak itu, terlihatlah enam orang menggotong sebuah joli besar yang indah.
“Ong-hui datang! Ong-hui datang!” pengikut-pengikutnya si siauw-ongya berseru berulang-ulang setelag mereka melihat joli itu.
Siauw-ongya lantas mengerutkan keningnya.
“Rewel!” ia menggerutu. “Siapakah telah pergi membawa berita kepada ong-hui!?”
Tidak ada berani ynag menjawab. Segara juga joli telah sampai di lapangan pibu, semua pengikut maju untuk memberi hormat.
Dari dalam joli, yang tertutup rapat, lantas terdengar suaranya seorang wanita, suara yang halus: “Kenapa berkelahi? Baju luar pun tidak dipakai! Nanti masuk angin!”
Bok Ek dapat mendengar tegas sekali suara itu, hatinya tercekat. Suara itu seperti mengaung di kupingnya, ia menjadi diam sambil berpikir keras.
“Kenapa suara ini sama suaranya orangku ini?” katanya di dalam hatinya. Tiba-tiba ia tertawa sendirinya. Ia berpikir pula: “Orang ini adalah onghui dari negeri Kim, aku memikir kepada istriku, apakah aku sudah pikun? Sungguh gila untuk memikir yang tidak-tidak…”
Tidak dapat ia lantas melenyapkan pikirannya itu, maka ia bertindak, untuk mendekati joli indah itu. Kebetulan itu waktu, dari dalam joli diulur keluar sebelah tangan yang putih dan halus, yang memegang sapu tangan putih, dengan apa mukanya si siauw-ongya disusuti, untuk singkirkan peluh dan debunya, sembari berbuat begitu, si wanita masih mengucapkan beberapa kata-kata, yang halus dan perlahan, hingga si penjual silat ini tak dapat mendengarnya dengan tegas. Mungkin si saiuw-ongya ditegur dan dihiburi oleh onghui ini, onghui ialah selir seorang pangeran atau raja.
“Ibu, aku senang bermain-main,” terdengar suaranya pangeran muda itu. “Tidak apa-apa…”
“Lekas pakai bajumu, mari kita pulang bersama!” kata si onghui kembali.
Kembali si Bok Ek terperanjat. “Benarkah di kolong langit ini ada dua orang yang suaranya sangat mirip satu dengan lainnya?” ia menanya dalam hatinya, yang terus berdebaran.
Satu pengiring menjumput jubah sulam dari siauw-ongya, sembari berbuat begitu, ia pandang Kwee Ceng dengan bengis dan memdamprat: “Binatang cilik! Lihat, kau telah bikin kotor jubah ini!”
Satu pengiring lain, yang tangannya mencekal cambuk, terus saja menghajar ke arah kepala si anak muda, atas mana, Kwee Ceng berkelit, sebelah tangannya diangkat, untuk menangkap lengan orang, berbareng dengan mana, satu kakinya menyapu. Tidak ampun lagi, pengiring itu roboh terguling. Tapi Kwee Ceng tidak berhenti sampai disitu, ia rampas cambuk orang itu, guna dipakai menyabet hingga tiga kali.
“Siapa suruh kau menganiaya rakyat jelata!” ia menegur.
Orang senang melihat kejadian itu. Belasan serdadu maju, untuk menolongi kawannya itu, tetapi tempo mereka mulai menyerang Kwee Ceng, satu demi satu, mereka ditangkap si anak muda, lalu dilemparkan saling susul.
Siauw-ongya menjadi gusar. “Kau masih berani main gila?!” tegurnya. Ia terus lompat, untuk tolongi dua serdadu yang dilemparkan paling belakang, habis mana, ia tendang itu anka muda.
Kwee Ceng berkelit, lalu ia menyerang. Dengan begitu, keduanya jadi bertempur lagi.
“Jangan! Jangan berkelahi!” onghui berseru mencegah.
Terhadap ibunya, siauw-ongya itu agaknya tidak takut, malah ia seperti termanjakan. Ia berkelahi terus, sembari berkelahi, ia menyahuti: “Tidak, ibu , tidak dapat tidak, ini hari aku mesti labrak dia ini!”
Setelah belasan jurus, siauw-ongya itu berkelahi dengan hebat sekali, rupanya ia hendak banggakan kegagahannya di depan ibunya. Kwee Ceng lantas terdesak lagi, dua kali ia kena dibikin memegang tanah.
Selama itu, Bok Ek tidak pedulikan segala apa disekitarnya, sepasang matanya terus diarahkan kepada joli indah itu. Maka tempo tenda tersingkap, ia dapat melihat satu wajah dengan sepasang mata jeli dan rambut yang bagus, sinar mata itu ayu sekali, mengawasi kedua anak muda yang lagi bertarung itu. Mengawasi mata orang itu, Bok Ek berdiri menjublak bagaikan patung.
Kwee Ceng dirobohkan dua kali, dia bukan menyerah kalah, ia menjadi lebih kosen, maka kali ini, ia tidak dapat dirobohkan pula. Ia bertubuh kuat, ia dapat melayani pukulan berulang-ulang kepada tubuhnya itu. Ia pun menang ‘kang-lat’ atau tenaga latihan, ia menjadi ulet sekali.
Itu waktu, Oey Yong dan Thong Hay telah berlari-lari balik, sekarang di rambutnya Sam-tauw-kauw, Ular Naga Kepala Tiga itu, ada ditancapkan cauw-piauw atau tanda barang hendak dijual, dengan begitu berarti, Thong Hay hendak menjual kepalanya itu! Ia hanya tidak tahu bahwa ia telah dipermainkan oleh Oey Yong, lawannya yang lincah dan licik itu. Di belakang mereka tidak tertampak dua Siluman, mungkin mereka telah kena dirobohkan pemuda itu.
Nio Cu Ong bertiga menjadi heran, hingga mereka menduga-duga, Oey Yong itu sebenarnya orang macam apa.
Selagi bertempur, lengan Kwee Ceng kena dihajar satu kali, lalu ia membalas memukul paha siauw-ongya. Mereka jadi semakin sengit berkelahinya. Kwee Ceng berkelahi dengan ilmu silat Hun-kin Co-ku-hoat, untuk merabu otot dan tulang musuh, siauw-ongya sebaliknya dengan Kim-na-ciu, ilmu menangkap yang terdiri ari tujuh puluh dua jurus. Maka itu, kedua-duanya saling terancam hilang jiwa atau terluka parah. Karena ini Leng Tie Siangjin dan Nio Cu Ong lantas menyiapkan senjata rahasia mereka, untuk menolong apabila siauw-ongya benar-benar terancam jiwanya. Mereka adalah orang-orang tua yang kosen, sungkan mereka mengepung Kwee Ceng, sebaliknya mereka merasa, kapan perlu, bisa mereka mencegah Kwee Ceng menurunkan tangan jahat terhadap si pangeran muda.
Makin lama Kwee Ceng makin gagah. Inilah tidak heran sebab ia hidup di tanah gurun. Sebaliknya siauw-ongya biasa hidup di istana, ia termanja, ia kalah ulet, maka ia lantas terdesak.
Satu kali Kwee Ceng menyambar ke muka siauw-ongya itu. Siauw-ongya berkelit, terus ia membalas meninju. Atas itu, Kwee Ceng mendahulukan, dengan tangan kanannya, ia membentur sikut kanan si pemuda agung, berbareng dengan itu, ia maju, tangan kirinya membangkol tangan lawan itu, lalu tangan kanannya diteruskan untuk memegang leher lawan. Siauw-ongya terkejut, ia membalas membangkol dan memegang leher lawannya itu. Maka keduanya menjadi berkutat, yang satu hendak mematahkan tangan, yang lain hendak mencekik.
Semua orang kaget, onghui sampai berparas pucat, separuh mukanya keluar dari tenda. Putrinya Bok Ek, ynag tadinya numprah di tanah, berlompat bangun, parasnya pun pucat.
Disaat itu terdengar suara menggelepok. Nyata muka Kwee Ceng kena digaplok, sebab siauw-ongya merubah siasat. Keras pukulan itu, Kwee Ceng merasakan matanya berkunang-kunang dan kepalanya pusing. Tapi ia masih sadar, sambil berseru, ia sambar bajunya siuaw-ongya, terus ia kerahkan tenaganya, ia angkat tubuh siauw-ongya, untuk dilemparkan. Ia nyata telah menggunai ilmu silat bangsa Mongolia, yang ia peroleh dari Jebe.
Siauw-ongya dilemparkannya, tapi sebelum tubuhnya dilepas, ia sudah berdaya, dengan cepat ia ayun tubuhnya itu, Kedua tangannya menyambar tanah, dengan begitu, ia tidak terbanting. Habis itu sama sebatnya, ia menyambar kedua kaki lawannya itu, ia menarik keras, maka Kwee Ceng kena ditarik roboh hingga saling tindih, hanya siauw-ongya berada disebelah atas. Dia ini sebat, dia lompat, tangannya menyambar tombak di tangan seorang serdadu yang berada dekat dengannya, dengan tombak itu, segera ia menikam Kwee Ceng.
Dengan menggulingkan tubuh, Kwee Ceng menghindarkan diri, tapi ia didesak, ia dikam terus, lagi dua kali, terpaksa ia kembali bergulingan, hingga sukar untuk ia melompat bangun, terpaksa sambil bergulingan, ia layani tombak musuhnya itu. Karena didesak tak hentinya, ia berguling hingga ke dekat tiang bendera Pibu Tiauw-cin. Di sini ia gunai kesempatannya, ia sambar tiang itu, terus ia pakai menangkis, sesudah mana ia berlompat bangun, untuk melakukan penyerangan membalas. Maka sekarang mereka bertempur dengan bersenjata, meskipun Kwee Ceng hanya bergenggaman tiang bendera.
Tiang bendera itu terlalu panjang, kurang tepat untuk Kwee Ceng, ynag bersilat denagn tipu Hang Mo Thung-hoat, pengajaran dari gurunya yang pertama, Hek Pian-hok Kwa Tin Ok si Kelelawar Hitam, akan tetapi, ia dapat mainkan itu dengan baik. Siauw-ongya tidak kenal permainan silat lawannya itu, ia lantas saja kena didesak hingga ia mesti selalu membela diri.
Bok Ek tetap perhatikan ilmu silat tombak dari siauw-ongya, makin lama ia menjadi makin heran. Itulah terang Yo Kee Ciang-hoat, yaitu ilmu tombak Keluarga Yo, ilmu mana diturunkan hanya kepada anak laki-laki, tidak kepada anak perempuan. Yang menegrti ilmu itu, untuk bagian Selatan Tionggoan saja sudah jarang, maka heran kenapa di negara Kim ada yang dapat memainkannya itu? Ia terus mengawasi, sampai akhirnya ia merasa sedih sendirinya, tidak dapat ia mencegah mengucurnya air matanya.
Nona Bok pun memperhatikan jalannya pertempuran, ia juga agaknya berpikir keras.
Diakhirnya terdengar teriakannya onghui: “Berhenti! Berhenti! Jangan berkelahi lagi!” Karena nyonya agung itu mendapatkan putranya telah bermandikan keringat.
Mendengar suaranya onghui, Peng Lian Houw bertindak ke dalam kalangan. ia segera geraki tangan kirinya, untuk menyampok tiang bendera. Atas itu, Kwee Ceng merasakan telapak tangannya sakit, tiang bendera lantas terlepas dari cekalannya, mental ke udara, hingga benderanya berkibar-kibar bagus.
Anak muda itu terkejut. Seumurnya kecuali Bwee Tiauw Hong, belum pernah ia menemui tandingan selihay ini. Belum sempat ia memandang orang, atau satu pukulan telah menjurus ke mukanya. Ia berkelit dengan cepat, tetapi tidak urung, lengannya kena terhajar. Tidak ampun lagi, ia terguling roboh.
Setelah merobohkan bocah itu, Pheng Lian Houw berpaling kepada si pangeran muda dan berkata sambil tertawa: “Siauw-ongya, akan aku bereskan dia ini, supaya dia jangan mengganggu terlebih jauh…” Sembari berkata, ia maju ke Kwee Ceng, ia ulur tangan kanannya ke arah kepala orang, justru si anak muda lagi merayap bangun.
Kwee Ceng kaget, lebih-lebih ia tahu, kedua tangannya sakit. Untuk tolongi dirinya, ia memaksa menangkis juga.
Disaat anak muda ini terancam bahaya maut, sekonyong-konyong datang teriakan dari antara orang banyak: “Perlahan!” Lalu terlihat melesetnya satu bayangan abu-abu perak disusul serangan semacam senjata, yang terus saja melibat tangannya si orang she Pheng itu, hingga serangan itu batal. Tetapi Lian Houw tidak diam saja, ia segera menarik pulang tanagnnya, begitu keras, hingga senjata yang melibatnya ia terputus.
Orang yang baru datang itu agaknya terperanjat, hingga ia tercengang, tetapi lekas juga ia sambar Kwee Ceng, yang pinggangnya ia peluk, setelah mana, ia lompat mundur.
Sekarang orang bisa lihat, dia adalah satu tojin atau imam usia pertengahan, jubahnya warna abu-abu, tangannya mencekal sebatang hudtim atau kebutan, hanya kebutan itu tinggal sepotong, sepotong yang lain masih melibat ditangannya Lian Houw. Ia terus mengawasi pada Lian Houw, yang kemudian berkata: “Tuan, adakah kau Pheng Cecu yang namanya sangat tersohor? Hari ini aku dapat bertemu denganmu, sungguh aku merasa sangat girang!”
“Tidak berani aku menerima yang namaku yang rendah dijunjung sedemikian tinggi olehmu,” sahut Lian Houw. “Aku mohon ketahui gelaran suci dari totiang.”
Semua orang lantas mengawasi kepada imam itu, yang romannya toapan, yang kumis dan janggutnya terbelah tiga. Kaos kakinya yang putih serta sepatunya yang abu-abu bersih sekali. Ia tidak menjawab, hanya Ia ulur kakinya, untuk dimajukan satu tindak, lalu ia menarik pulang, tetapi karena injakan atau tindakannya itu, di tanah lalu tertapak dalam. Sedang di tanah utara ini, tanah kering dan keras.
Melihat tapak sepatu itu, Peng Lian Houw terperanjat. “Jadinya totiang adalah Thie Kak Sian Giok Yang Cu Ong Cinjin?” ia menanya.
Imam itu menjura. “Teecu terlalu memuji kepadaku,” ia menyahut. “Memang benar, pinto adalah Ong Cie It. Tidak berani pinto menerima itu sebutan cinjin.”
Peng Lian Houw, begitu juga Som Sian Lao Koay, Nio Cu Ong dan Leng Tie Siangjin mengawasi imam itu, yang mereka tahu namanya tidak kalah daripada Tiang Cun Cu Khu Cie Kee. Sudah lama mereka ketahui hal imam ini, baru sekarang mereka menemui sendiri orangnya. Mereka dapatkan orang sungguh alim dan agung. Coba tadi mereka tidak telah menyaksikan gerakan yang gesit dan melihat itu tapak kaki, tidak nanti mereka mau percaya dia adalah Thie Kak Sian Giok Yang Cu si Dewa Kaki Besi yang pernah menakluki jago-jago di Utara.
Ong Cie It tersenyum, terus ia menunjuk pada Kwee Ceng dan berkata: “Pinto tidak kenal anak ini, hanya karena kemuliaan hatinya dan kegagahannya berusan, hatiku menjadi sangat tertarik, maka itu dengan besarkan nyali, pinto mohon Pheng Ceecu memberi ampun kepada jiwanya.”
Melihat sikap orang yang demikian hormat, sedang orang pun dari Coan Cin Kauw, Peng Lian Houw suka berbuat baik, maka itu sambil membalas hormat, ia memberikan persetujuannya.
Ong Cie It menjura pula seraya menghanturkan terima kasih, ketika ia memutar tubuh, ia menghadapi si siauw-ongya dengan wajahnya keren sekali.
“Siapakah namamu?” ia menanya bengis, “Siapakah gurumu?!”
Siauw-ongya itu telah merasa kurang enak hati. Sebenarnya ia sudah memikir untuk berlalu, tetapi ia terlambat. Ia berdiri diam dan menyahuti: “Namaku Wanyen Kang. Nama guruku tidak dapat aku beritahukan padamu.”
“Bukankah gurumu ada tanda tahi lalat merah pada pipinya yang kiri? Ong Cit It tanya pula.
Wanyen Kang tertawa hihi-hihi, hendak ia menjawab secara jenaka, atau mendadak matanya si imam bersinar tajam bagaikan kilat, maka hatinya terkesiap, batal ia untuk main gila. Ia lantas mengangguk.
“Memang telah aku duga, kau adalah muridnya Khu Suhengku itu,” berkata Ong Cinjin. “Hm, bagus benar perbuatanmu ya? Pada mula kali gurumu hendak mengajarkan silat padamu, apakah ia telah bilang padamu? Apakah pesannya?”
Wanyen Kang perlihatkan roman cemas. Ia dapat lihat suasana buruk.
“Anak, lekas pulang!” demikain terdengar suara ibunya dari dalam joli.
Anak ini dapat dengar panggilan itu, justru berbareng dengan itu, ia mendapat satu pikiran. Ia insyaf, kalau gurunya ketahui perbuatannya, inilah hebat. Maka itu, lekas ia ubah sikapnya. Dengan sabar, ia berkata: “Totiang kenal guruku itu, terang totiang adalah satu cianpwee, oleh karena itu boanpwe mohon sukalah totiang datang ke rumahku, untuk boanpwe anti mendengar segala pengajaranmu.”
Dengan lantas siauw-ongya ini membahasakan diri “boanpwe”, orang dari tingkat lebih rendah, karena ia tahu ia lagi berhadapan dengan satu cianpwee, orang yang tingkat derajatnya terlebih tua.
“Hm!” Ong Cie It perdengarkan suaranya.
Wanyen Kang benar-benar cerdik, tanpa tunggu orang buka mulut lagi, ia sudah lantas menjura kepada Kwee Ceng, sembari tersenyum, ia berkata: “Saudara Kwee, kalau kita tidak bertempur, pasti kita tidak kenal satu sama lain. Ilmu silat kau saudara, aku sangat mengaguminya. Maka itu, aku pun minta suka kau bersama totiang berkunjung ke rumahku. Sukalah kau kalau kita mengikat persahabatan?”
Kwee Ceng tidak menjawab, ia hanya menunjuk kepada Bok Ek dan gadisnya serta bertanya: “Bagaimana urusan jodohmu dengan nona itu?”
Wanyen Kang menjadi likat. “Hal itu kita perlahan-lahan saja kita bicarakan pula,” katanya.
Mendengar itu, Bok Ek tarik tangannya Kwee Ceng. “Engko Kwee kecil, mari kita pulang!” berkata ia. “Buat apa kau layani pula manusia hina dina ini?”
Wanyen Kang dengar suara orang menghina itu, ia tidak menjadi gusar, ia hanya menjura pula kepada Ong Cie It seraya berkata: “Totiang, bownpwe menantikan segala kehormatan atas kedatangan totiang ke rumahku. Totiang tanyakan saja istananya Chao Wang.”
Habis berkata begitu, ia sambar les dari seekor kuda pilihan yang satu pengiringnya bawa kepadanya, terus ia lompat naik ke atas kuda itu, yang pun ia kasih lari ke antara orang banyak, hingga mereka itu berlari-lari untuk menyingkir dari bahaya kena diterjang kuda.
Ong Cie It mendongkol untuk sikap keagung-agungan itu. Tapinya ia berkata kepada Kwee ceng, “Engko kecil, kau turut aku,”
“Aku hendak menantikan dulu sahabatku…” Kwee ceng menjawab.
Belum berhenti suaranya bocah ini, Oey Yong muncul dari antara orang banyak, lantas saja ia berkata sambil tertawa: “Aku tidak kenapa-kenapa! Sebentar aku pergi mencari padamu…!” Baru ia mengucap, kemudian ia menyelinap di antara orang banyak itu. Ia memang bertubuh kecil dan lincah.
Di lain pihak, lantas terlihat Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay lari mendatangi.
Melihat si Ular Naga Kepala Tiga ini, Kwee Ceng tertawa di dalam hati. Tapi ia pun cerdik, ia lantas menjatuhkan diri di depan Ong Cinjin. “Totiang, banyak-banyak terima kasih,” ia berkata.
Ong Cie It tidak bilang suatu apa, ia cekal tangan si bocah, untuk diajak pergi, hingga dilain saat mereka sudah tinggalkan orang banyak itu dan tengah menuju keluar kota.
Cepat tindakannya si imam, sebentar saja mereka sudah berada diluar kota. Selang lagi beberapa lie, tibalah mereka di belakang sebuah puncak buklit. Di sini si imam berjalan semakin cepat. Memang ia hendak menguji enteng tubuhnya si bocah.
Sampai sebegitu jauh, Kwee Ceng dapat mengikuti denagn baik kepada si imam itu. Ia sudah belajar lari keras, tubuhnya enteng, dan dibawah pimpinan Tan Yang Cu Ma Giok, ia dapat manjat puncak, maka itu, ia bisa berlari-lari tanpa napasnya memburu atau hatinya berdenyutan.
Ong Cie It cekala tangan orang, ia lari terus-terusan, tiba-tiba ia melepaskannya. Ia terperanjat dan mengawasi bocah itu.
“Dasarmu tidak jelek!” ia berkata dalam herannya itu. “Kenapa kau tidak dapat mengalahkan dia itu?”
Kwee Ceng tidak tahu bagaimana harus menjawab, ia cuma tertawa saja.
“Siapakah gurumu?” Ong Cinjin menanya lagi.
Kwee Cneg tahu di antara adik seperguruan dari ma Giok ada yang bernama Ong Cie It, ialah ini imam, dari itu, tidak mau ia mendusta. Ia menyebutkan Kanglam Cit Koay dan Ma Giok.
Mendengar itu Ong Cie It menjadi girang sekali. “Toasuko telah ajarkan kau ilmu silat, bagus!” katanya. “Sekarang aku tidak usah mengkhawatirkan apa-apa lagi!”
Kwee Ceng heran, ia mengawasi imam itu.
“Orang dengan siapa tadi kau bertempur, yang dipanggil setahu apa siauw-ongya Wanyen Kang itu adalah muridnya suhengku Tiang Cun Cu, kau tahu atau tidak? bertanya si imam.
Bocah itu tercengang. “Apa?” dia menanya. “Aku tidak tahu…”
Ma Giok mengajarkan Kwee Ceng tanpa penjelasan, bocah ini menjadi tidak tahu tentang ilmu silat kaum Coan Cin Kauw, sekarang setelah mendengar pertanyaannya Ong Cie It, ia menjadi ingat kepada pertempurannya sama In Cie Peng hingga ia ingat juga, ilmu silat Wanyen Kang sama dengan ilmu silatnya In Cie Peng itu. Ia lantas menunduki kepala.
“Teecu tidak tahu siauw-ongya itu adalah muridnya Khu Totiang, teecu telah berlaku kurang ajar, teecu mohon totiang suka memberi maaf,” ia memohon.
Ong Cie It tertawa bergelak.
“Hatimu mulia, aku suka sekali! Mustahil aku nanti persalahkan kau!” ia berkata. Kemudian ia meneruskan dengan sikapnya sungguh-sungguh : “Kami kaum Coan Cin Kauw ada punya aturan yang keras, kalau ada murid yang bersalah, dia dapat dihukum berat, tetapi tidak nanti dilindungi atau dieloni. Siauw-ongya itu sombong dan ceriwis, nanti aku suka minta toasuko menghukum padanya!”
“Asal ia suka menikah dengan nona Bok, baiklah totiang memberi ampun padanya,” berkata Kwee Ceng, yang tidak mendendam, hatinya masih ingin merekoki jodohnya nona Bok.
Ong Cie It menggeleng kepala, ia tidak bilang suatu apa, di dalam hatinya tapinya ia suka bocah ini yang jujur dan hatinya pemurah. kemudian setelah berpikir, ia berkata-kata seorang diri: “Toasuko biasanya benci kejahatan sebagai musuh besarnya, dia lebih-lebih membenci bangsa Kim, maka itu kenapa dia bolehnya mengajari silat kepada satu pangeran Kim? Sungguh membikin pusing kepala…” Terus ia mengawasi Kwee Ceng dan berkata pula: “Khu Toasuko telah menjanjikan aku bertemu di Yan-khia, dalam beberapa hari ini tentulah ia bakal tiba, maka setelah bertemu dengannya, aku akan menanya jelas segala apa. Toasuka telah menerima satu murid she Yo, dia kata hendak ajak muridnya itu pergi ke Kee-hin untuk dicoba pibu denganmu. Entah bagaimana kepandaiannya murdi she Yo itu, nanti kau jangan khawatir. Di sini ada aku, tidak nanti aku bikin kau memdapat susah….”
Kwee Ceng telah terima titah gurunya untuk sebelum tanggal duapuluh empat bulan tiga sampai di Kee-hin, Ciat-kang untuk apa ia dimestikan pergi ke Kee.hin itu, gurunya tidak memberikan keterangan apa-apa, maka itu ia heran atas kata-katanya imam ini.
“Totiang, pibu apakah itu?” ia bertanya.
Ong Cie It dapat menduga, ia menghela napas. “Gurumu belum membilang suatu apa kepadamu, tak baik aku mewakilkan mereka memberi keterangan,” ia menjawab.
Ong Cie It ketahui maksudnya Kanglam Cit Koay. Dia telah mendengar lelakonnya kedua keluarga Yo dan Kwee itu, bahwa dalam pibu, Kanglam Cit Koay pasti menghendaki kemenangan, maka itu tidak heran Tujuh Manusia Aneh dari Kanglam itu tidak mau menjelaskan sesuatu kepada Kwee Ceng, maksudnya pasti untuk mencegah Kwee Ceng menjadi bersusah hati hingga pernyakinan ilmu silatnya menjadi terganggu. Atau mungkin disebabkan musuh adalah turunan sahabat ayahnya, Kwee Ceng itu nanti berkelahi tidak dengan sungguh-sungguh dan karenanya menjadi tidak memperoleh kemenangan.
Kwee Ceng juga tidak berani menanya apa-apa lagi, dia cuma manggut-manggut.
“Sekarang masri kita lihat itu orang she Bok dan gadisnya,” berkata Ong Cie It kemudian. “Nonan itu bertabiat keras, aku khawatir dia nanti menerbitkan bencana jiwa…”
Kwee Ceng terkejut. ia menjadi ingat kepada nona itu. Maka keduanya lantas berjalan dengan cepat ke kota barat, terus ke rumah penginapan Kho Seng di jalan besar utama. Baharu mereka sampai di depan pintu, dari dalam hotel sudah muncul beberapa pengiring dengan pakaian seragam bersulamnya, semua lantas memberi hormat kepada Ong Cinjin seraya berkata: “Kami diperintahkan siauw-ongya mengundang totiang serta Tuan Kwee menghadiri pesat di gedung kami.” Mereka lantas menyerahkan sehelai kartu nama di atas mana ada tertera: “Hormat dari teecu Wanyen Kang.”
“Sebentar kita datang,” berkata Ong Cie It.
“Dan ini kue-kue dan bebuahan, siauw-ongya minta totiang dan Tuan Kwee sudi menerimanya,” berkata pula si pengiring. “Dimana totiang dan Tuan Kwee tinggal? Nanti kami pergi mengantarkan ke sana.”
Beberapa pengiring lainnya lantas maju untuk mengsih lihat barang antaran mereka, yang terdiri dari duabelas, isinya semua adalah makanan dan bebuahan yang istimewa.
“Oey Yong suka dahar makanan semacam ini, baik aku tinggalkan untuk dia,” Kwee Ceng berpikir. Ia polos, ia bersedia menerima antaran itu.
Ong Cie It tak berkesan baik terhadap Wanyen Kang, hendak ia menampik, akan tetapi kapan ia melihat sikap Kwee Ceng, ia lantas terima itu. Ia tersenyum, di dalam hatinya ia berkata: “Dasar bocah! Dia tidak harus dipersalahkan.”
Bab 18. Mengadu Kepandaian
Habis menerima antaran itu, Ong Cie It menanyakan keterangan kamarnya Bok Ek, lalu ia terus masuk ke dalam kamar orang, hingga ia dapatkan orang she Bok itu sedang rebah dengan muka pucat dan di tepi pembaringan, gadisnya duduk smabil menangis. Kapan mereka lihat tetamu, si nona berbangkit berdiri, Bok Ek sendiri berbangkit untuk berduduk di atas pembaringan.
Ong Cinjin periksa lukanya Bok Ek, yang setiap belakang telapakan tangannya bertanda lima lobang jari tangan, hingga nampak tulang-tulangnya dan kedua lengannya bengkak besar. Luka itu telah ditorehkan obat, tetapi mungkin dikhawatir menjadi nowa, sudah tidak dibalut.
“Aneh,” pikir Ong Cie It. “Ilmu silat Wanyen Kang terang adalah ajarannya toasuko, maka darimana dia dapatkan ilmu pukulan jahat ini? Pada ini mesti ada rahasianya…?” Lantas ia pandang si nona dan menanya: “Nona, siapakah namamu?”
Nona itu menunduki kepalanya. “Namaku Bok Liam Cu,” ia menyahut perlahan.
“Luka ayahmu ini tak enteng, dia perlu dirawat baik-baik,” kata Cie It, yang terus merogoh sakunya, untuk mengeluarkan uang perak dua potong, yang mana ia letaki di atas meja, seraya menambahkan: “Besok aku akan datang untuk menjenguk pula padamu.” Lalu menanti jawaban si nona, ia tarik tangan Kwee Ceng buat meninggalkan hotel itu.
Di luar hotel, mereka dipapaki empat pengiring, setelah mereka itu memberi hormat, yang satunya memberitahukan bahwa siauw-ongya mereka lagi menentikan di gedung dan imam serta bocah itu diundang ke sana.
Ong Cie It mengangguk.
“Totiang, kau tunggu sebentar,” berkata Kwee Ceng, yang terus lari masuk pula ke dalam hotel, ke dalam kamar di mana ada bingkisan kue dan buah dari Wanyen Kang. Ia pilih empat rupa kue, ia bungkus itu dengan sapu tangan, sesudah masuki itu ke dalam sakunya, ia lari pula ke luar, untuk bersama si imam pergi mengikuti keempat pengiring itu pergi ke onghu, gedungnya Wanyen Kang.
Tiba di muka gedung, atau lebih tepat istana, Kwee Ceng paling dulu lihat dua lembar bendera berkibar di tiang yang tinggi, di kiri dan di kanan pintu ada nongkrong masing-masing seekor cio-say, atau singa batu, yang rimannya bengis. Undakan tangga dari batu putih semua, batu mana dipasang terus sampai di thia depan. Di pintu besar ada dituliskan tiga huruf besar air emas, bunyinya: “Chao Wang Hu” atau istana pangeran Chao Wang.
Kwee Ceng tahu, Chao Wang itu adalah Wanyen Lieh, putra keenam dari raja Kim. Maka itu tanpa merasa, hatinya tercekat.
“Mungkinkah si pangeran muda itu adalah putranya Wanyen Lieh?” ia kata di dalam hatinya. “Wanyen Lieh mengenali aku, kalau di sini aku bertemu dengannya, inilah cade….”
Selagi si bocah terbenam dalam keragu-raguan, lantas ia dengar ramainya suara tetabuhan, yang rupanya diperdengarkan untuk menyambut ia dan Ong Cie It, menyusul mana ia tampak si siauw-ongya keluar menyambut, pakaiannya jubah merah dengan gioktay atau ikat pinggang kumala, sedang kepalanya ditutupi kopiah emas.
Melihat dandanan pangeran itu, Ong Cie It mengkerutkan keningnya. ia diam saja, ia turut dipimpin ke dalam thia, dimana ia lantas dipersilakan duduk di kursi atas.
“Totiang bersama saudara Kwee sudi datang kemari, sungguh aku merasa sangat beruntung!” berkata tuan rumah yang muda ini.
Ong Cie It tidak puas, bahkan ia mendongkol. Pangeran itu tidak berlutut didepannya dan tidak juga memanggil susiok atau paman guru kepadanya.
“Sudah berapa lama kau ikuti gurumu belajar silat?” ia tanya.
“Mana boanpwe mengerti ilmu silat?” sahut Wanyen Kang sambil tertawa. “Aku ikuti suhu buat dua tahun lamanya, selama itu aku main-main kucing kaki tiga hingga aku membikinnya totiang dan saudara Kwee menertawai aku.”
“Hm!” Ong Cie It kasih dengar suaranya. “Walaupun ilmu silat Coan Cin kauw tidak tinggi tetapi ilmu itu bukannya ilmu kucing kaki tiga! Gurumu bakal tiba di sini, kau tahu tidak?”
“Guruku ada di sini, apakah totiang ingin bertemu dengannya?” Wanyen Kang balas menanya.
Ong Cie It menjadi heran sekali. “Ada di mana ia sekarang?” ia tanya.
Wanyen Kang menepuk tangan dua kali. “Siapakan meja santapan!” ia memberi perintah kepada pengiringnya.
Pengiring itu berlalu untuk menyampaikan titah lebih jauh.
Wanyen Kang sudah lantas ajak kedua tetamunya pergi ke hoa-thia, untuk mana mereka melintasi sebuah lorong, mengitari lauwteng yang indah, hingga mereka mesti jalan sekian lama. Selama itu, Kwee Ceng dapak menyaksikan keindahannya istana, sampai ia merasakan matanya berkunang-kunang. Hatinya pun tidak tentram, tidak tahu ia mesti bersikap bagaimana andaikata ia bertemu dengan Wanyen Lieh. Setibanya di hoa-thia, di sana sudah menantikan enam-tujuh orang, yang tubuhnya jangkung dan kate tidak rata, di antara siapa yang kepalanya benjut tiga, yaitu Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay. Dia itu mengawasi anak muda kita ini dengan sorot mata bengis! Biar bagaimana, Kwee Ceng terkejut juga hingga ia pernahkan dirinya dekat sekali dengan si imam.
Wanyen Kang bergirang ketika ia kata pada Ong Cie It. “Totiang, beberapa tuan ini sudah lama mengagumi kau dan semuanya merasa sangat ingin bertemu denganmu!” Ia lantas menunjuk Peng Lian Houw dan kata: “Inilah Pheng Cecu, kedua pihak sudah saling mengenal.”
Kedua orang itu saling memberi hormat.
“Dan ini adalah Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong, locianpwe dari Tiang Pek San,” Wanyen Kang memperkenalkan pula orang yang rambutnya putih tapi mukanya segar sebagai muka seorang bocah.
Ong Cie It heran hingga ia berpikir: “Kenapa Siluman Tua ada disini juga?”
io Cu Ong sudah lantas memberi hormat dan berkata: “Di sini lohu dapat bertemu sama Thie Kak Sian Ong Cinjin, maka tidaklah kecewa yang lohu sudah datang ke Tionggoan ini.” Dan lantas ia perkenalkan paderi di sampingnya, katanya: “Ini adalah Leng Tie Siangjin, ahli Tay-ciu-in dari partai Bit Cong dari Tibet. Kami berdua, satu dari timur utara, satu lagi dari barat selatan, dari empat ribu lie, maka pertemuan ini benar-benar satu jodoh!”
Ong Cie It memberi hormat kepada paderi dari Tibet itu dengan menjura dan si paderi membalasnya seraya menakopi kedua tangannya.
Justru itu seorang yang suaranya serak terdengar berkata nyaring: “Kiranya Kanglam Cit Koay didukung dari belakang oleh Coan Cin Pay, maka juga mereka menjadi begini malang melintang.”
Ong Cie It awasi orang yang pentang bacot itu, kepala siapa lanang, tidak ada selembar rambutnya, matanya merah, biji matanya menonjol keluar. Dengan melihat roman orang saja, ia sudah lantas mengenalinya.
“Bukankah tuan adalah Kwie-bun Liong Ong See Locianpwee?” ia bertanya.
“Benar!” sahut orang itu, suaranya menandakan kemarahannya, “Kiranya kau masih kenal aku!”
Cie It heran, hingga kata dalam hati kecilnya: “Kita ada bagaikan air kali dan air sungai yang tidak saling menerjang, kapan dan di dalam hal apa aku pernah berbuat salah terhadapnya?” Ia menunjuki sikap sabar, ia kata: “Nama besar dari See Locianpwee memang telah lama aku pangeni.”
Orang she See ini tidak ambil mumat sikap orang yang halus itu, ia tengah diliputi kemarahan besar. Memangnya dia bertabiat keras. Dia bernama Thong Thian dan gelarannya, Kwie-bun Liong Ong ialah Raja Naga dari Pintu Iblis. Dia banyak lebih lihay daripada Hauw Thong Hay, adik seperguruannya. Sebab tabiatnya itu, di waktu mengajari silat, ia tetap berangasan dan galak. Inilah sebabnya kenapa murid-muridnya tidak dapat wariskan tiga bagian saja dari sepuluh ilmu kepandaiannya, tidak heran kalau Hong Ho Su Koay gagal mengepung Kwee Ceng. Thong Thian gusar bukan main waktu ia dengar kekalahan empat muridnya itu, ia hajar mereka, dia mendamprat habis-habisan. Sesudah itu ia kirim Hauw Thong Hay untuk menuntu balas, supaya Kwee Ceng dibekuk. Celakanya Thong Hay telah kena dipermainkan oleh Oey Yong, hingga adik seperguruan ini juga gagal. Karena ini, tak terkira gusarnya Thong Thian, maka juga, sekalipun di depan orang banyak, tak dapat ia mengatasi diri, tak peduli ia bahwa perbuatannya melanggar adat sopan santun. Demikian ia ulur sebelah tangannya, akan jambak Kwee Ceng.
Bocah itu mundur, sedang Ong Cie It segera maju, untuk menghalang di depannya.
“Bagus! benar-benar kau melindungi binatang cilik ini!” ia berseru, tangannya terus menyambar si imam.
Melihat orang demikian galak, Ong Cie It tidak dapat mundur, maka ia pun angkat tangannya, untuk menangkis.
Disaat kedua tangan hampir bentrok, dari samping mereka tiba-tiba muncul satu orang, tangan kirinya menyambar lengan See Thong Thian, tangan kanannya menyambar lengan Ong Cinjin, terus ia mengibas keluar, maka dengan berbareng, dua orang itu dapat dipisahkan, diundurkan satu dari yang lain.
Dua-dua See Thong Thian dan Ong Cie It terperanjat. Mereka bukan sembarang orang, maka mereka heran ada seorang yang dapat pisahkan mereka secara demikian gampang. Tanpa merasa keduanya lantas mengawasi si pemisah itu, ialah seoarng dengan jubah putih, sikapnya tenang sekali, umurnya ditaksir tigapuluh lima atau tipuluh enam tahun, alisnya panjang hingga ujungnya mengenai rambut di pelipisnya, romannya tampan, hingga ia mirip dengan satu sastrawan, siucay. Dandanannya, seumumnya, seperti dandanan seorang bangsawan.
Segera juga Wanyen Kang menghampirkan, sembari tertawa ia berkata: “Tuan ini adalah Auwyang Kongcu, sancu dari Pek To San dari pegunungan Kun Lun San di Tibet. Dia belum pernah datang ke Tionggoan, maka itu ini adalah pertama kalinya ia bertemu sama tuan-tuan!”
Bukan melainkan Ong Cie It dan Kwee Ceng yang belum pernah melihat sancu- pemilik bukit – dari Pek To San itu, juga Nio Cu Ong dan Peng Lian Houw serta lainnya hadiran di situ. Dan semua mereka kagum akan caranya sancu ini datang menengah. Mereka belum pernah mendengar nama Pek To San – Bukit Unta Putih itu.
Auwyang Kongcu ini sudah lantas rankap kedua tangannya, terus ia berkata: “Sebenarnya aku telah mesti siang-siang tiba di kota Yankhia ini, sayang di tengah jalan aku mendapatkan satu urusan penting dan karenanya menjadi terlambat beberapa hari. Untuk itu aku mohon tuan-tuan suka memaafkannya.”
Kwee Ceng tidak kenal sancu ini, tetapi mendengar nama bukit Pek To San itu, ia lantas ingat kepada si nonan-nona serba putih yang di tengah jalan sudah mencoba merampas kudanya. Ia menjadi menduga-duga: “Mungkinkah enam guruku sudah bertempur dengan dia ini?”
Ong Cie It pandai berpikir, ia tidak hunjuk kemurkaan. Ia mengerti, semua hadirin di situ itu ada bangsa lihay, percuma kalau ia melayani mereka itu. Maka ia lantas pandang tuan rumah.
“Mana gurumu?” ia tanya. “Kenapa tidak kau minta ia keluar?”
“Ya,” sahut Wanyen Kang denagn sederhana. Lantas ia berpaling kepada pengiringnya dan memrintah dengan singkat: “Undang suhu!”
Pengiring itu sudah lantas mengundurkan diri.
Cie It merasakan hatinya lega. Ia telah berpikir: “Dengan adanya Khu Suheng disini, musuh boleh tambah lagi, masih dapat kami membela diri…”
Tidak lama lantas terdengar tindakan sepatu, lalu di depan pintu thia terlihat seseorang bertubuh gemuk yang mengenakan seragam baju sulam, suatu tanda ia adalah seorang opsir. Dia berjanggut lebat, usianya empat puluh lebih, romannya sangat keren.
“Suhu!” Wanyen Kang lantas memanggil. “Totiang ini hendak bertemu sama suhu, malah ia sudah menanyakan beberapa kali…”
Melihat orang itu dan mendengar perkataan si pangeran, hatinya Ong Cie It menjadi panas sekali. Ia telah berpikir: “Bocah binatang ini, kau permainkan aku..!” Tapi ia mencoba untuk mengendalikan diri.
“Untuk urusan apakah kau hendak bertemu sama aku, imam?” si opsir menanya, sikapnya jumawa. “Adalah sudah biasa bagi aku, aku paling tidak senang terhadap segala paderi, imam atau paderi perempuan!”
Dengan paksakan diri, Ong Cinjin tertawa. “Tayjin hendak memohon derma,” ia berkata. “Ingin aku minta buat banyaknya seribu tail perak!”
Heran opsir itu atas permintaan derma tersebut. Ia bernama Thung Couw Tek, kepala barisan pengiring dari Wanyen Lieh di masa Wanyen Kang masih muda sekali, pernah ia ajarkan ilmu silat kepada pangeran itu, karenanya ia dipanggil guru. Yang lain-lain pun turut memanggil guru padanya.
“Itulah selayaknya,” berkata Wanyen Kang, yang mendahului gurunya itu. Ia lantas kata pada pengiringnya: “Lekas kau siapkan uang itu, sebentar kau antarkan ke hotelnya totiang.”
Thung Couw Tek celangap, ia mengawasi imam itu, dari kepala ke kaki, dari kaki ke kepala. Tidak dapat ia menduga, imam ini orang macam apa.
“Tuan-tuan, silakan duduk!” Wanyen Kang mengundang. “Totiang baharu pertama ini tiba disini, silakan duduk di kursi kepala.”
Ong Cie It merendahkan diri tetapi ia didesak terus, akhirnya ia duduk juga di kursi pertama itu. Setelah tiga edaran arak, ia berkata: “Sekarang ini telah hadir banyak cianpwee kaum Rimba Persilatan, maka bolehlah kita bicara dari hal keadilan. Tentang si orang she Bok yah dan anak itu, bagaimana urusannya itu harus diatur?”
Mendengar pertanyaan itu, semua mata diarahkan kepada Wanyen Kang.
Pangeran itu mengisikan sebuah cangkir, ia berbangkit untuk bawa itu kepada Ong Cie It seraya terus berkata: “Silahkan totiang keringkan dahulu cawan ini. Tentang itu, bagaimana juga hendak diaturnya, boanpwe selalu bersedia untuk menuruti.”
Cie It heran hingga ia tercengang. ia tidak sangka pangeran ini dapat bersikap demikian. Ia lantas hirup arak itu. Ia berkata kemudian: “Bagus! Sekarang baik si orang she Bok itu diundang kemari, untuk kita membicarakan urusannya.”
“Bagus begitu,” menyahut Wanyen Kang. “Aku minta saudara Kwee saja yang pergi mengundang tuan Bok itu.”
Ong Cie It menagngguk dan Kwee Ceng segera berbangkit, untuk pergi ke hotel dimana Bok Ek dan gadisnya menumpang. Tiba di sana, ia menjadi heran. Ayah dan anak dara itu tidak ada di kamarnya, barang-barangnya pun telah dibawa pergi. Ketika jongos ditanya, jawabannya adalah Bok Ek dan gadisnya itu ada yang undang sudah pergi entah ke mana, uang sewa kamar pun sudah dibayar lunas.
Kwee Ceng heran. Ia tanya jongos, siapa itu yang mengundang. Jongos itu tidak dapat memberikan keterangan. Maka terpaksa pemuda ini pulang ke onghu dengan tangan hampa.
Sambil tertawa, Wanyen Kang sambut tetamunya. “Banyak cape, tuan Kwee!” katanya. “Mana tuan Bok itu?”
“Ia telah pergi, entah kemana,” sahut Kwee Ceng, yang treus tuturkan kepergiannya Bok Ek serta anaknya itu.
“Oh, aku menyesal…” berkata Wanyen Kang cepat. Terus ia menoleh pada pengiringnya, untuk memerintah: “Kau lekas ajak orang pergi mencari tuan Bok dan putrinya itu, dia mesti dapat diundang datang kemari!”
Pengiring itu menyahuti, terus ia undurkan diri.
Ong Cie It menjadi membungkam, tetapi ia bercuriga. Akhirnya, ia berkata: “Tidak peduli orang bermain sandiwara apa, urusan toh akan ketahuan akhirnya!”
“Totiang benar,” berkata Wanyen Kang sembari tertawa.
Sementara itu Thung Couw Tek heran dan mendongkol. Tidak karu-karuan cukongnya kehilangan uang seribu tail perak. ia penasaran sekali, selagi si pangeran berlaku manis, si imam bersikap seperti tidak tahu aturan. Akhirnya ia menegur: “Eh, tosu, kau asal kuil mana? Kenapa kau datang kemari untuk main gila?!”
Ong Cie It tidak menyahuti, ia hanya balik bertanya: “Jenderal, kau ada asal negara mana? Kau mengandal apa maka kau datang kemari dan menjadi pembesar negeri?”
Couw Tek gusar sekali. Bukankha ia orang Han yang bekerja pada bangsa Kim? Kenapa ia mesti ditanya lagi kalau bukan orang hendak menghina padanya? Ia justru paling tidak senang orang menyebut-nyebut kebangsaannya. Ia memang tidak puas dengan kedudukannya. Ia anggap dirinya gagah, ia sudah bekerja mati-matian untuk negara Kim, tetapi pemerintah Kim tidak pernah mengijinkan ia memimpin pasukan tentara sendiri. Sudah duapuluh tahun ia bekerja, pangkatnya bukan kecil tetapi ia tetap ditempatkan di onghu. Maka juga perkataannya Ong Cie It membikin ia merasa tersinggung. Lantas ia lompat bangun, walaupun di depannya ada Nio Cu Ong dan Auwyang Kongcu, ia ulur tangannya meninju mukanya Ong Cinjin!
Cie It tertawa. “Kau tidak hendak memberitahu pun tidak apa, ciangkun,” ia berkata, “Maka perlu apa kau bergusar dan menggunakan kekerasan?” Ia angkat sumpitnya untuk menjempit kepalan orang.
Kepalan Couw Tek kena tertahan, tak dapat ia meneruskan meninju.
“Imam siluman, kau menggunai ilmumu!” ia membentak, kaget dan gusar menjadi satu. Dia terus menarik pulang tangannya itu, tetapi dia tidak berhasil. Maka mukanya menjadi merah, dia jengah sekali.
“Jangan gusar, ciangkun,” berkata Nio Cu Ong, yang berada di sampingnya. “Baiklah ciangkun duduk dan keringkan arakmu!” Ia ulur tangannya, akan tekan pundak si jenderal.
Thie Kak Sian Giok Yang Cu tahu, sumpitnya dapat mempengaruhi Couw Tek tetapi tidak si orang she Nio ini, maka selagi orang menekan pundak si jenderal itu, cepat luar biasa, ia melepaskan jepitannya, sumpitnya itu terus ia pakai menyambar sepotong paha ayam, yang segera dibawa masuk ke dalam mulutnya orang she Thung itu, untuk disuapi dengan paksa!
Couw Tel menjadi gelagapan, selagi mulutnya tersumpel, tubuhnya jatuh terduduk di kursinya akibat tekanannya Nio Cu Ong. Ia malu bukan main, ia sangat mendongkol, maka ketika ia berbangkit pula, terus ia lari ke dalam.
Menyaksikan kejadian itu, semua hadirin tertawa.
“Coan Cin Pay berpengaruh di Selatan dan Utara, sungguh namanya bukan kosong belaka!” berkata See Thong Thian. “Aku hendak memohon sesuatu kepada totiang, sudikah totiang meluluskannya?”
“Tidak berani aku menerima pujianmu, See Locianpwe,” berkata Giok Yang Cu. “Silakan locianpwe mengatakannya.”
“Pihak kami tidak ada sangkutannya sama Coan Cin Pay,” berkata Kwie-bun Liong Ong, “Maka itu aku mohon keterangan, kenapa pihakmu berdiri sepenuhnya dibelakang Kanglam Cit Koay dan dengan begitu menyusahkan pihakku? Walaupun Coan Cin Pay banyak anggotanya dan sangat berpengaruh, aku yang bodoh tidak merasa takut.”
“See Locianpwe, pada ini terang ada salah mengerti,” berkata Giok Yang Cu. “Pinto tahu tentang Kanglam Cit Koay, tetapi dengan mereka itu, tidak satu pun yang pinto kenal, hanya salah satu suhengku ada punya sangkutan dengan mereka. Maka itu sama sekali tidak ada soal pihakku membantu Kanglam Cit Koay menghadapi Hong Ho Su Koay.”
“Bagus, kalau begitu!” berseru See Thong Thian. “Sekarang kau serahkan ini bocah kepadaku!” ia lantas berbangkit, akan ulur sebelah tangannya, guna menjambak batang lehernya Kwee Ceng.
Ong Cie It mengerti, bocah itu tidak bakal lolos dari jambakan itu, sedikitnya ia tentu terluka enteng, maka itu, ia lekas berbangkit, untuk menghalang, lengan kirinya berbareng dipakai membentur bocah itu, hingga tubuhnya Kwee Ceng tertolak mental. Menyusul itu jambakannya si orang she See itu mengenai kursi yang diduduki Kwee Ceng, hingga kursi itu tercengkeram rusak seraya menerbitkan suara keras.
Jambakan itu adalah jambakan dari Gwa-kang, ilmu Bahagian Luar, hebatnya tak sama dengan Kiu-im Pek-ku Jiauw dari Hek Hong Siang Sat akan tetapi toh tidak kalah.
“Hau, kau lindungi bocah ini?” menegur Thong Thian karena kegagalannya itu.
“Sabar, locianpwe,” berkata Cie It tenang. “Anak ini pinto yang bawa datang ke istana ini, maka itu sudah selayaknya kalau nanti pinto membawanya keluar secara baik-baik. Kalau benar saudara tidak sudi melepaskan padanya, tidak dapatkah kau mencari ia dilain hari?”
Auwyang Kongcu lantas campur bicara. “Bagaimana caranya bocah ini mendapat salah dari saudara See?” dia tanya. “Coba jelaskan duduknya hal, supaya kita dapat menimbangnya.”
Sebelum menjawab, See Thong Thian telah berpikir: “Imam ini lihay tak ada di bawahanku, kalau ia mengotot, bocah ini pasti tidak bisa dibiarkan tinggal tetap di sini. Untuk melayani dia, aku mesti dapat satu pembantu yang lihay…” Maka itu, ia lantas duduk pula, cawannya ia hirup kering. Kemudian ia berkata: “Sebenarnya aku tidak bermusuh langsung dengan anak she Kwee ini. Aku ada punya empat murid tolol, mereka turut Yang Mulia Chao Wang pergi ke Mongolia untuk suatu urusan, selagi mereka berkerja dan nampaknya bakal berhasil, tiba-tiba mereka diganggu oleh bocah ini. Yang Mulia Chao Wang menjadi sangat gusar karenanya. Coba tuan-tuan pikir, kalau satu bocah begini tidak dapat dibereskan, cara bagaimana kami bisa lakukan usaha yang besar?”
Kata-kata itu berpengaruh untuk para hadirin itu. Kecuali Cie It dan Kwee Ceng, mereka dalah orang-orang undangan Wanyen Lieh, yang diundang dengan kehormatan dan bingkisan berarti. Dengan lantas mereka itu memikir untuk menahan si bocah, guna diserahkan pada Chao Wang.
Diam-diam Cie It bingung juga mendapatkan semua mata diarahkan kepada Kwee Ceng. Ia lantas memikirkan daya untuk meloloskan diri bocah itu. Ia bingung sebab musuh tangguh semuanya. Sejak turun gunung, ia pernah menghadapi pelbagai pertempuran tetapi tidak seperti ini kali, bahkan ia berbareng mesti melindungi satu bocah. Ia lihat, jalan yang terbuka ialah memperlambat tempo sambil mencoba mencari tahu sikap sebenarnya dari para hadirin masing-masing.
“Nama besar dari tuan-tuan telah lama pinto buat pangenan,” ia berkata, “Hari ini pinto berjodoh bertemu sama tuan-tuan, itulah hal yang sangat menggembirakan pinto. Tentang bocah ini,” ia menambahkan, seraya menunjuk Kwee Ceng, “Ia muda dan tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi, ia mendapat salah dari Yang Mulia Chao Wang, pinto tidak dapat bilang suatu apa. Tuan-tuan berniat menahan dia, ini juga pinto tidak dapat menentangi. Cuma lebih dulu daripada itu, dengan membesarkan nyali, pinto minta tuan-tuan mempertunjuki dulu ilmu kepandaian kamu, supaya bocah ini dapat melihatnya, supaya nanti ia jangan mengatakan pinto todak sudi melindungi padanya, sedang sebenarnya pinto tidak sanggup berbuat demikian….”
Hauw Thong Hay sudah menahan sabar sekian lama, mendengar perkatannya Giok Yang Cu, ia mendahului berbangkit, untuk singsatkan bajunya.
“Biarlah aku yang belajar kenal lebih dulu denganmu,” ia berkata, menentang si imam.
“Kebiasaanku tidak berarti, mana berani pinto mengadu kepandaian dengan tuan-tuan,” Ong Cie It berkata pula.
“Maka itu saudara Hauw, aku minta sukalah kau mempertunjuki sesuatu agar pinto dapat pentang mataku, sekalian untuk memberi pengajaran kepada bocah ini, supaya ia insyaf bahwa di luar langit ada langit lainnya, di atas orang pandai ada pula yang terlebih pandai lagi, supaya selanjutnya dibelakang hari, dia jangan berani pula banyak tingkah!”
Hauw Thong Hay mendongkol sekali. Ia tahu orang mengejek padanya tetapi tidak tahu ia bagaimana harus memberikan jawaban. Perkataan orang diatur dengan halus.
See Thong Thian juga berpikir: “Imam-imam dari Coan Cin Pay tidak dapat dibuat permainan, memang lebih baik tidak usah bertempur dengannya.” Maka ia lantas awasi Thong Hay dan berkata kepadanya: “Sutee, coba kau perlihatkan Soat-lie May Jin, untuk minta Ong Cinjin memberi pengajaran padamu!”
“Itulah aku tidak berani,” Cie It membilang keras.
Ketika itu hujan salju masih belum berhenti, Hauw Thong Hay sudah lantas pergi ke lataran dimana dengan kedua tangannya ia menumpuk salju sampai tingginya tiga kaki, untuk membikin padat, ia menginjak-injak, habis itu, ia mundur tiga tindak, lalu mendadak ia lompat maju, kepala di bawah kaki di atas, kepala itu nuncap melesak ke dalam tumpukan salju itu, sampai sebatas dada.
Kwee Ceng heran. ia tidak tahu ilmu silat apa itu, meski ia tahu namanya seperti telah disebutkan See Thong Thian, yaitu “Soat-lie May Jin” atau “Mengubur orang di dalam salju”
See Thong Thian lantas berkata pada pengiring-pengiringnya Wanyen Kang: “Tolong tuan-tuan membikin padat dan keras salju disekitarnya Tuan Huaw!”
Kawanan pengiring itu girang sekali, dengan bergembira mereka luluskan permintaan itu.
Sebenarnya See Thong Thian bersama-sama Hauw Thong Hay telah menjagoi di sungai Hong Ho, mereka pandai berenang dan tahan selulup lama, karena ini Thong Hay dapat nyelusup ke dalam salju, untuk mana ia mesti menahan napas.
Orang semua heran dan akgum, tetapi mereka terus minum arak mereka.
Selang sekian lama. barulah dua tangan Thong Hay bergerak, tubuhnya ikut, lalu sejenak saja, ia sudah keluar dari salju dan berdiri tegak.
Saking kagum, Kwee Ceng yang polos memuji sambil bertepuk tangan.
Thong Hay melirik pada bocah itu, lalu ia kembali ke kursinya.
“Kasar kepandaiannya suteeku ini, ia hanya mendatangkan tertawaan…” berkata See Thong Thian, yang sembari bicara mengulurkan tangannya ke piring kwaci, untuk menjumput, setelah mana jari tangannya yang tengah disentilkan tak hentinya, maka biji kwaci itu meluncur ke tembok putih di hoa-thia itu, nancap di tembok merupakan satu huruf “Yauw”. Jarak ke tembok ada kira-kira tiga tembok, biji kwaci enteng, tetapi biji kwaci itu dapat disentilkan demikian rupa, itulah bukti dari tenaga dalam yang terlatih sempurna.
Kata Ong Cie It dalam hatinya: “Tidak heran Kwie-bun Liong Ong menjagoi sungai Hong Ho, dia memang lihya sekali.”
Di tembok sekarang terlihat lagi dua huruf, “Bu” dan “Yang”, maka itu dapat diduga See Thong Thian hendak menuliskan empat huruf “yauw bu yang wie” yang artinya menentang pengaruh atau menjagoi.
Menyaksikan itu Peng Lian Houw manjadi bertangan gatal. Ia berkata, “See toako, kepandaianmu ini membuatnya aku takluk sekali! Kita biasa berkerjasama, maka setelah totiang ini hendak menguji kepandaian kita, aku pun dengan meminjam pengaruhmu, ingin mempertunjuki sesuatu…” Ia lantas saja lompat ke tengah ruangan itu.
Ketika itu See Thong Thian benar-benar telah membuat huruf “Wie” yang terakhir, akan tetapi baru huruf selesai separuhnya, Peng Lian Houw sudah memegat meluncurnya biji-biji kwaci itu, mulanya ia merintangi , lalu semua biji beruntun dikasih masuk ke dalam mulutnya, atas mana, mulutnya itu sudah lantas kermak-kermik, seperti burung menyisit, kwaci itu ia makan isinya dan kulitnya dilepehkan!
“Bagus!” orang banyak berseru memuji.
“Ah, aku tidak sanggup memakan lebih jauh!” berseru Peng Lian Houw, yang terus aja lompat balik ke kursinya.
Setelah itu barulah See Thong Thian rampungkan huruf “Wie” itu.
Gangguannya Peng Lian Houw itu tidak membuat Thong Thian kecil hati, dia malah tersenyum. Persahabatan mereka adalah dari persahabatan dua tigapuluh tahun, mereka telah mengenal baik satu dengan lain. kemudian Thong Thian menoleh kepada Auwyang Kongcu, untuk mengatakan: “Auwyang Kongcu hendak mempertunjukan apa untuk kami dapat membuka mata kami?”
Kongcu itu dengar suara orang ada mengandung nada menyindir, dia berdiam saja. Ia tunggu sampai pelayan membawa datang tambahan barang makanan dan semua sumpit bekas ditukar dengan yang baru, sumpit bekas itu ia ambil dari tangannya si pelayan. Segera setalah memegang, ia ayun tangannya, lantas semua sumpit – dua puluh pasang – terlempar ke salju dan nancap. Apa yang luar biasa, semua sumpit nancap rapi merupakan empat tangkai bunga bwee!
Kwee ceng dan Wanyen Kang kurang mengerti ilmu kepandaian itu, tidak demikian dengan Ong Cie It, See Thong Thian dan lainnya yang lihay, maka mereka ini diam-diam terkejut sendirinya. Malah Ong Cie It segera berpikir: “Kenapa orang-orang lihay ini dapat berkumpul di sini? Biasanya, untuk menemui satu saja sudah sukar! Apakah tak boleh jadi bahwa mereka ada mengandung sesuatu maksud?”
Selagi si imam berpikir, Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong berbangkit sambil tertawa, haha-hihi, ia pergi ke samping tambur batu di depan hoa-thia itu, untuk ulur tangannya yang kanan ke pinggangnya batu, begitu ia kerahkan tenaganya, batu itu kena terangkat, sedang beratnya batu ada tujuh atau delapan puluh kati. Batu itu segera diapungkan, terlepas dari tangan dan mencelat naik dua tombak tingginya. Sebelum batu itu turun, lagi dua batu diangkat dan diapungi seperti yang pertama itu. Dan ketika batu yang pertama turun, ia tanggapi dengan dahi, maka batu itu lantas diam di dahinya itu. Lalu menyusul batu yang kedua dan yang ketiga, ketiganya menjadi saling susul. Dengan rangkapi kedua tangannya, memberi hormat kepada orang banyak, Cu Ong jalan perlahan-lahan ke tengah latar. Dengan satu lompatan, ia tiba diatasnya pelatok-pelatok sumpit Auwyang Kongcu tadi, berdiri di atas itu ia lantas bersilat, memainkan ilmu silat “Yan Ceng Kun.” Ia menjunjung tiga buah batu yang beratnya rua ratus kati lebih, tapi barang berat itu tidak mengurangi kegesitannya, dan setiap tindakan kakinya tidak pernah meleset dari ujung sumpit. Baru setelah habis semua jurus itu, ia lompat turun dari pelatok sumpit, dan setelah turunkan ketiga batu itu, ia kembali ke kursinya. Ia mengasih lihat senyuman, tidak ada tanda bahwa ia merasa letih.
Adalah biasa untuk tukang-tukang dangsu mempertunjukan permainan batu seperti Nio Cu Ong ini, hanya yang istimewa, ini dimainkan di atas pelatok sumpit dan sumpitnya tidak ada yang patah atau miring karena ketindihan tubuh dan batu yang berat itu.
Kwee Ceng kagum bukan main, ia memuji tak henti-hentinya. Kelihatannya pesta bakal ditutup sampai disitu. Pelayan-pelayan telah datang dengan baskom yang terisi air hangat, untuk semua tetamu membersihkan tangan mereka.
“Cuma Leng Siangjin yang belum mengasih lihat kepandaiannya,” Cie It berpikir. “Mungkin sehabis dia, mereka ini bakal turun tangan…”
Maka itu si imam segera melirik paderi dari Tibetb itu.
Leng Tie Siangjin mencuci tangan seperti yang lain-lain, sikapnya wajar saja, hanya selagi yang lain-lain sudah selesai, ia masih merendam kedua tangannya di dalam baskom. Hal ini dapat dilihat semua orang, mereka menjadi heran. Mereka justru menantikan tanda dari paderi itu untuk bergerak.
Selang lagi sesaat, Ong Cie It dan Auwyang Kongcu adalah yang paling dulu menampak perubahan. Baskomnya si paderi lantas saja menghembuskan hawa napas sebagai uap. Yang lain-lain baru dapat melihat setelah uap itu nampak semakin nyata, mirip asap, akan kemudian terdengar suara perlahan dari air bergolak.
Selagi semua orang heran dan kagum, Ong Cie It terperanjat. “Hebat tenaga dalamnya paderi ini,” katanya dalam hati. “Aku tidak boleh berlambat lagi, aku mesti mendahului turun tangan terhadap dia…”
Tengah semua mata diarahkan kepada Leng Tie Siangjin, Ong Cie It cenderungkan tubuhnya, melewati dua orang, tangannya menyambar kepada Wanyen Kang, yang duduk berselang daripadanya, ia menangkap nadinya siauw-ongya itu, tubuh siapa ia terus angkat, untuk digeser ke depannya.
Orang lantas melihat kejadian ini, mereka heran. Kemudian, untuk kagetnya mereka, mereka lihat pangeran itu ditotok hingga ia menjadi tak berdaya lagi. Kemudian lagi si imam taruh tangan kirinya di punggung pangeran itu.
See Thong Thian semua kaget berbareng gusar tetapi mereka tak segera dapat berdaya.
Dengan tangan kanannya, Ong Cinjin angkat poci arak, terus ia berkata: “Barusan aku saksikan kepandaian mengagumkan dari tuan-tuan, maka dengan ini aku hendak menghormati kamu dengan secawan arak.” Ia tidak berbangkit tapi ia dapat menuangi arak ke dalam cawannya semua orang. Asal tangannya digeraki, arak meluncur keluar dari mulut poci, turun ke dalam cawan, mengisi hingga penuh, tidak ada arak yang berceceran.
Leng Tie Siangjin beramai menginsyafi tenaga dalam yang terlatih baik dari imam ini, maka itu, asal tangan kirinya digeraki, celakalah Wanyen Kang. Mereka insyaf juga, Ong Cinjin berbuat begini tentulah disebabkan dia bersendirian saja.
Paling akhir Ong Cie It isikan cawannya Kwee Ceng serta cawannya sendiri, kemudian ia letaki poci arak, untuk angkat cawannya yang ia hirup kering. Habis itu ia berbicara,
“Pinto tidak berselisih, tidak bermusuhan dengan tuan-tuan,” katanya, “Pinto juga tidak bersanak tidak bersahabat dengan anak ini, cuma pinto merasa suka kepadanya karena dia berhati polos dan pemurah, ia bersemangat. Maka itu denagn memandang kepada mukaku, pinto minta sukalah tuan-tuan melepaskan dia hari ini.”
Semua orang berdiam. Mereka berdiam sejak Wanyen Kang dicekuk.
“Jikalau tuan-tuan memberi ampun kepada anak ini,” berkata pula Ong Cie It, yang menanti jawaban, “Maka pinto juga akan bebaskan ini siauw-ongya. Siauw-ongya adalah seumpama cabang emas daun kumala, ini anak sebaliknya adalah satu anak rakyat jelata, dari itu jikalau mereka ditukar guling, tidakkah siauw-ongya rugi? Bagaimana?”
“Ong Totiang, kau baik sekali!” berkata Nio Cu Ong tertawa. “Baiklah, beginilah kita mengambil keputusan.”
Tanpa bersangsi sedikit juga, dengan sikutnya Ong Cie It bentur pinggangnya Wanyen Kang, maka pangeran itu bebas dari totokan, terus ia dikembalikan ke kursinya. Ia percaya semua jago itu, tidak peduli mereka licin atau licik. Habis itu ia mengangguk kepada semua orang, lalu ia tarik tangannya Kwee Ceng untuk diajak pergi. Masih ia mengucapkannya: “Ijinkanlah kami mengundurkan diri. Sampai bertemu pula!”
Semua orang mengawasi denagn air muka guram. Bukankah ikan telah masuk ke dalam jala tetapi dapat lolos pula? Tidakkah itu sayang?
Wanyen Kang telah lantas dapat menenangkan hatinya. Sambil tersenyum, ia kata kepada Ong Cinjin: “Totiang, apabila ada tempo yang luang, silakan sembarang waktu datang untuk pasang omong di sini, supaya aku yang lebih muda dapat banyak pengajaran.” Ia lantas berbangkit, dengan sikapnya yang menghormat, ia mengantarkan keluar.
“Hm!” bersuara si imam, yang terus bilang: “Urusan kita telah selesai, maka itu mesti ada harinya yang kita nanti bertemu pula!”
Setibanya mereka di pintu hoa-thia, tiba-tiba Leng Tie Siangjin berbicara. “Totiang sangat lihay, yang kau membuatnya orang sangat kagum!” demikian katanya. Ia merangkapkan kedua tangannya, untuk memberi hormat, akan tetapi ketika ia buka kedua tangannya itu, siuran angin hebat menyambar ke arah si imam!
“Celaka!” Ong Cie It berseru di dalam hatinya dengan ia lekas-lekas angkat kedua tangannya untuk membalas hormat. Ia kerahkan tenaga latihannya dari beberapa puluh tahun untuk memcahkan serangan hebat itu.
Sebat luar biasa, Leng Tie Siangjin mengubah tenaga dalamnya menjadi tenaga luar, tangan kanannya diulur, untuk menyambar lengannya Ong Cie It. tetapi si imam pun tidak diam saja, ia menyambuti dengan sama kerasnya, karena ia telah lantas dapat melihat sambaran itu, ia pun berbalik menyambar lengan lawan.
Cuma hanya sekali bentrok, kedua tangan sama-sama ditarik pulang.
“Sungguh aku takluk, aku takluk!” berkata Leng Tie Siangjin yang air mukanya berubah, seraya melompat mundur.
Ong Cie It tersenyum, ia bertanya: “Nama Taysu bersemarak dalam dunia kangouw, mengapa kata-katanya tidak masuk hitungan?”
Leng Tie menjadi gusar. “Aku bukan hendak menahan ini bocah she Kwee, aku hanya hendak menahan kau…” katanya, tapi belum dapat ia meneruskan, lantas saja ia muntah darah. Sebab bentrokan itu membuat ia terluka. Coba ia berlaku tenang dan mainkan napasnya, darahnya itu tidak nanti menyemprot keluar, tetapi ia diejek si imam, ia tidak dapat mengendalikan diri.
Ong Cie It segera tarik tangan Kwee Ceng, buat diajak berlalu dengan cepat-cepat dari istana itu.
See Thong Thian beramai tidak berani mencegah, bukan saja memang mereka seudah berjanji, contoh dalam dirinya Leng Tie Siangjin juga membikin hati mereka gentar. Imam ini benar-benar tidak dapat dibuat permainan, tidak berani mereka merintangi.
Sesudah belasan tombak keluar dari pintu istana, setelah melintasi sebuah tikungan dan melihat di belakangnya tidak ada orang yang menyusul mereka, dengan perlahan Giok Yang Cu berkata kepada bocah yang ia tuntun itu: “Kau gendong aku sampai di rumah penginapan…”
Kwee Ceng kaget sekali. Ia dengar suara orang sangat lemah, seperti ynag kehabisan napas. Ia juga lantas dapat melihat roman pucat dari si imam.
“Adakah totiang terluka?” ia tanya heran.
Ong Cie It mengangguk, lalu tiba-tiba saja tubuhnya terhuyung.
Kwee Ceng mengerti, maka lantas saja ia membungkuk di depan si imam itu, untuk menggendong dia, untuk dibawa pergi denagn cepat. Ia mau mampir di sebuah hotel yang pertama diketemukan, tetapi Cie It bilang dengan perlahan: “Cari…cari tempat yang sepi dan hotel kecil…”
Kwee Ceng menurut, ia maju terus, sambil berlari-lari. Ia tahu imam ini khawatir nanti disusul musuh, yang ia terluka dan ia sendiri tidak punya guna, mereka bisa terancam bahaya. Ia tidak tahu jalanan, ia pilih yang sepi saja. Sementara itu ia merasai napasnya si imam semakin mendesak. Syukur ia lantas dapat cari sebuah hotel yang kecil dan jorok, tetapi tanpa pedulikan itu, ia memasukinya. Setibanya di dalam, ia segera turunkan imam itu di atas pembaringan.
“Lekas…lekas cari sebuah jambangan besar…” berkata Ong Cie It. “Kau isikan penuh air bersih…”
“Untuk apakah itu, totiang?” Kwee Ceng tanya.
Cie It tidak menyahuti, ia hanya memberi tanda dengan tangannya, supaya bocah itu lekas pergi.
Kwee Ceng menurut. Ia cari orang hotel, ia letaki sepotong perak di atas meja seraya minta lekas disediakan jambangan. Ia juga memberi persen kepada si jongos. Maka itu jongos kegirangan, cepat-cepat ia sediakan barang yang diminta itu, yang diletaki di cimche, terus diisikan air dingin.
Kwee Ceng lari ke dalam kamar untuk memberi kabar.
“Bagus, anak yang baik!” berkata Ong Cie It. “Sekarang pondong aku, kau letaki aku di dalam jambangan itu. Kau larang orang lain datang dekat padaku…”
Kwee Ceng tidak mengerti tetapi ia pondong si imam itu, ia masuki tubuh orang ke dalam jambangan hingga sebatas leher, sedang jongos ia pesan untuk melarang siapa saja masuk ke cimche itu.
Ong Cie It merendam di dalam jambangan seraya memeramkan kedua matanya, dengan tenang ia mainkan napasnya.
Kira semakanan nasi lamanya, air jambangan yang bersih bening itu berubah menjadi hitam. Di pihak lain, kulit muka si imam dari pucat pasi berubah menjadi bersemu dadu.
“Coba bantui aku bangun, air ini tukar dengan yang bersih,” ia minta kepada Kwee Ceng.
Permintaan itu diturut, maka sebentar kemudian, Cie It sudah berendam pula di dalam air yang baru.
Sekarang barulah Kwee Ceng ketahui orang tengah mengerahkan tenaga dalamnya, untuk menyembuhkan diri dari luka di dalam akibat pertempuran dahsyat dengan Leng Tie Siangjin. Imam ini umpama kata cuma menang seurat.
Kwee Ceng melayani terus sampai ia tukar air tujuh kali, baru air itu tak lagi berubah hitam, atas mana Giok Yang Cu lantas saja tertawa dan berkata: “Sudah tidak ada bahaya lagi!”
Dengan pegangi pinggiran jambangan, ia dapat merayap keluar. Tapi ia menghela napas ketika ia berkata pula: “Paderi dari Tibet itu sangat berbahaya!”
Kwee Ceng berlega hati, ia girang sekali. “Apakah tangannya paderi Tibet itu ada racunnya?” ia tanya.
“Benar,” sahut Cie It. “Itulah racun dari Cu-see-ciang. Ilmu semacam itu, Tangn Pasir Merah sering aku menemukan tetapi tidak ada yang lihay seperti ini. Hari ini hampir aku kehilangan jiwa…”
“Totiang ingin dahar apa? Nanti aku pergi belikan,” Kwee Ceng tanya kemudian.
Cie It pinjam perabot tulis pada tuan rumah, ia menulis sehelai surat obat. “Aku telah bebas dari bahaya jiwa,” berkata si imam itu. “Tetapi hawa racun di dalam tubuh belum bersih betul, jikalau dalam duabelas jam itu tak disingkirkan, akibatnya akan menyebabkan cacad seumur hidup. Sekarang kau tolongi aku lekas membeli obat.”
Kwee Ceng mengerti, ia pergi sambil terus berlari. Di jalan perapatan ia lihat rumah obat yang pertama, ia segera mampir dan serahkan resepnya itu.
“Sayang tuan,” kata pelayan setelah ia membaca surat obat itu, “Kebetulan saja obat hiat-kat, gu-cit, bek-yo dan hitam baru habis.”
Tanpa minta penjelasan, Kwee Ceng samber resepnya, untuk lari ke rumah obat yang lain. Di sini ia diberi tahu, empat rupa obat itu tidak ada. Makanya ia mesti pergi ke lain toko obat lagi. Untuk herannya, tujuh atau delapan rumah obat semua kehabisan empat rupa bahan obat itu. Ia menjadi bingung dan mendongkol. Malah didua tiga rumah obat yang terbesar, obat-obatan itu masih tidak kedapatan, katanya baru saja ada orang yang borong.
“Akun mengerti sekarang,” kata bocah ini kemudian. “Tentulah orang dari istana Chao Wang yang memborong semua obat itu, sebab mereka ketahui Ong Cinjin pasti membutuhkannya. Sungguh jahat!”
Dengan masgul, bocah ini lari pulang ke hotel, kepada Ong Cie It ia tuturkan kegagalannya.
Imam itu menghela napas, wajahnya menjadi guram.
Kwee Ceng sangat jujur dan hatinya lemah, ia lantas taruh kepalanya di atas meja dan menangis megerung-gerung. Ia putus asa.
Ong Cie It tertawa. “Jiwa manusia sudah ditakdirkan,” ia berkata, “Kematian pun tidak harus disayangkan. Laginya belum tentu aku bakal mati, maka itu kenapa kau menangis?” Lalu dengan suara halus ia bernyanyi.
Kwee Ceng heran, ia mengawasi.
Cit It tertawa pula, terus ia duduk bersemadhi di atas pembaringan.
Bocah ini tidak berani mengganggu, diam-diam ia keluar dari kamar. “Kenapa aku tidak mau pergi ke tempat yang berdekatan,” pikirnya kemudian. “Di sana belum tentu obat itu telah orang beli juga…”
Ingat begini, hatinya lega. Maka ia mau tanya jongos, di dekat-dekat dimana ada toko obat. Justru ia mau cari jongos, jongos datang dengan cepat, menyerahkan sepucuk surat kepadanya. Surat itu dialamatkan kepadanya.
Surat itu bagus tulisannya dan kertanya berbau harum. Ia heran. “Siapa yang mengirim surat ini?” ia menanya dalam hatinya. Ia terus robek sambpul surat, untuk dibaca isinya. Surat itu berbunyi singkat saja:
“Aku menunggu kau di telaga di luar kota barat, jauhnya kira-kira sepuluh lie. Ada urusan penting yang hendak aku damaikan. Lekas datang!”
Surat itu tidak memakai tanda-tanda hanya lukisan gambar dari satu pengemis bocah. Untuk kegirangannya Kwee Ceng kenali romannya Oey Yong, yang tersenyum berseri-seri.
“Siapa bawa surat ini?” ia tanya jongos. Ia girang berbareng heran.
“Seorang gelandangan di jalan besar,” sahut jongos itu.
Kwee Ceng masuk ke dalam kamar Cie It, ia lihat imam itu lagi melatih kaki dan tangannya. Ia lantas kasih tahu bahwa ia mau pergi beli obat ditempat lain.
“Kita dapat pikir ini, kenapa mereka tidak?” berkata si imam. “Tidak usahlah kau pergi.”
Kwee Ceng tidak menjadi putus asa, ia ingin mencoba. Ia ingat Oey Yong cerdik sekali, mungkin ia dapat berunding dengan temannya itu. Maka itu ia beritahu bahwa ia ingin menemui sahabatnya itu. Ia pun beri lihat suratnya Oey Yong itu.
Ong Cie It berpikir. “Cara bagaimana kau kenal anak itu?” ia tanya.
Kwee ceng tuturkan pertemuannya sama Oey Yong, hingga mereka menjadi sahabat.
“Aku telah saksikan caranya ia mempermainkan Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay,” berkata Ong Cinjin. “Dia luar biasa gerak tubuhnya. Kau harus berhati-hati,” ia pesan. “Di dalam ilmu kepandaian, dia jauh terlebih lihay daripada kau. Aku lihat padanya seperti ada terselip sifat-sifat kesesatan, hanya aku tidak tahu pasti apa itu…”
“Kita bersahabat sangat erat, sehidup semati, tidak nanti ia celakai kau,” menyatakan Kwee Ceng, yang percaya betul sahabatnya itu.
Ong Cinjin menghela napas. “Baru berapa lama kamu bersahabat?” katanya. “Mana itu dapat disebut persahataban sehidup semati? Jangan kau pandang enteng dia sebagai bocah! Kau tahu, jikalau ia hendak mencelakai padamu, kau tentu tidak dapat layani dia….”
Di dalam hatinya, Kwee Ceng berpikir: “Totiang membeilang begini sebab ia belum tahu sifatnya Oey Hiantee…” Ia menyebutnya “Oey Hiantee” = “adik she Oey”, tanda ia sangat percaya pada Oey Yong. Lantas ia tuturkan perihal kebaikannya sahabatnya itu.
Ong Cinjin tertawa. “Baik, kau pergilah lekas!” katanya. “Semua anak muda berkelakuan seperti kamu. Tanpa mengalami sesuatu, tidak tambah kecerdikan kamu…”
Imam ini tetap percaya Oey Yong bukan orang dari golongan yang sadar.
Bab 19. Ada Kuping Di Balik Tembok
Kwee Ceng tiada bilang apa-apa lagi, ia masuki resep ke dalam sakunya, lanats ia berlalu dari hotel. Ia lari keluar kota barat tanpa menghiraukan salju berterbangan menyampok mukanya. Disekitarnya yang luas, ia tampak segala apa putih meletak, disana tidak ada tapak-tapak manusia. Sesudah hampir sepuluh lie, ia lihat sinar terang dari air telaga. Karena hawa udara tidak sangat dingin, telaga itu tidak membeku, salju jatuh ke air, lantas lumer. Adalah di tepian, di pepohonan, salju melulu yang tampak.
Memandang ke sekitarnya, bocah ini menjadi heran. Tidak ada bayangan orang sekalipun.
“Apa mungkin dia sia-sia menanti aku dan dia lantas pergi duluan?” ia berpikir. Tapi ia buka mulutnya, akan perdengarkan suara nyaring: “Oey Hiantee! Oey Hiantee!”
Tidak ada jawaban, cuma dua ekor burung air yang terbang gelapakan di telaga.
“Oey Hiantee! Oey Hiantee!” ia memanggil pula, dengan hatinya masgul. Tapi ia masih dapat berpikir; “Mungkin ia belum datang, maka baiklah aku menunggu ia disini…”
Maka ia lantas menantikan sambil ia pandangi keindahan telaga di musim salju itu.
Belum terlalu lama atau dari tengah telaga terdengar suara tertawa halus, kapan Kwee Ceng menoleh, ia lihat sebuah perahu muncul dari bagian telaga yang lebat dengan pepohonan. Itulah sebuah perahu kecil dengan penumpangnya, yang duduk di belakang perahu, ada satu nona, yang rambutnya panjang meroyot melewati pundak, bajunya putih mulus, rambutnya di bagian atas ada pitanya dari emas, hingga emas itu bercahaya di antara sinar putih dari salju.
Kwee Ceng mengawasi dengan menjublak. Ia dapatkan si nona bagaikan bidadari. Orang berumur belum lima atau enambelas tahun, kulitnya putih halus, romannya cantik sekali dan manis, mukanya dadu segar. Ia lantas berpaling ke lain jurusan, tidak berani ia mengawasi terus-terusan. Ia pun bertindak dari tepian.
Si nona mengayuh perahunya sampai ke pinggir telaga. “Kwee Koko, mari naik ke perahu!” tiba-tiba dia memanggil. Dia menyebutnya “Kwee Koko” = “Engko Kwee”.
Kwee Ceng terkejut. Ia dipanggil selagi ia menoleh ke lain jurusan. Begitu ia menoleh, begitu ia tampak satu wajah yang manis sekali, sedang tangan baju orang memain di antara sampokan angin. Ia berdiri menjublak bagaikan orang yang tengah bermimpi, kemudian ia kucak-kucak matanya dengan kedua tangannya.
“Bagaimana, eh, engko Kwee,” berkata pula si nona. “Apakah kau tidak kenal aku?”
Kwee Ceng perhatikan suara orang. Itulah suaranya Oey Yong, sahabat eratnya, sahabat sehidup semiati…….. !
Tapi sahabatnya itu adalah satu pemuda dengan muka kotor dan pakaian compang-camping…. Kenapa sekarang tercipta menjadi satu bidadari?
Dalam kesangsiannya, bocah ini mengawasi dengan mendelong.
Nona itu tertawa. “Aku adalah Oey Hianteemu!” ia berkata. “Benarkah kau telah tidak kenali aku?”
Oleh karena ia menatap, Kwee Ceng kenali roman mukanya Oey Yong yang alisnya lentik dan mulutnya mungil, cuma dandannya lain. “Kau…kau….” katanya perlahan.
Oey Yong tertawa pula. “Sebenarnya aku adalah seorang wanita,” ia berkata pula. “Siapa suruh kau panggil aku Oey Hiantee dan Oey Hiantee tak sudahnya? Ayolah lekas naik ke perahu ini!”
Kwee Ceng sadar, lalu ia enjoti tubuhnya, lompat ke perahu itu. “Oey Hiantee…!” katanya.
Oey Yong tidak menyahuti, ia hanya kayuh perahunya ke telaga. Ia lantas sajikan bekalannya, barang makanan dan arak.
“Kita duduk disini, dahar dan minum arak sambil memandangi sang salju, bagus bukan?” katanya merdu.
Kwee Ceng mencoba akan menenangi diri. “Ah…aku tolol sekali!” katanya kemudian. “Sampai sebegitu jauh, aku sangka kau adalah seorang pria! Selanjutnya tidak dapat aku panggil lagi kau Oey Hiantee….”
Oey Yong tertawa. “Kau juga jangan panggil aku Oey Hian-moay,” ia berkata. “Aku dipanggil Yong-jie. Ayahpun selalu memanggil aku begitu.”
Dengan sendirinya nona ini tidak menghendaki di panggil “Oey Hian-moay” = “adik Oey” dan menghendaki di sebut namanya saja. “Yong-jie” berarti “anak Yong”.
Tiba-tiba Kwee Ceng ingat sesuatu. “Aku membekali kau tiamsim!” katanya seraya terus kasih keluar tiamsim yang ia bawa dari istananya Wanyen Kang. Cuma sekarang tiamsim itu sudah pusak-pesok tiada karuan.
Oey Yong mengawasi macamnya tiamsim yang tidak karuan itu, ia tertawa.
Merah mukanya Kwee Ceng, ia jengah. “Tiamsim ini tak dapat dimakan…” katanya. Ia ambil itu, untuk dilemparkan ke air.
Oey Yong sambar tiamsim itu. “Aku bisa makan!” katanya. “Aku doyan!”
Selagi si bocah tercengang, Oey Yong sudah menggayem tiamsim itu.
Kwee Ceng mengawasi, sampai ia mendadak menjadi heran sekali. Oey Yong dahar tiamsim itu, lantas perlahan-lahan matanya menjadi merah, lalu air matanya perlahan-lahan mengalir turun…
“Begitu aku dilahirkan, aku sudah tidak punya ibu,” berkata Oey Yong yang dapat membade pikirannya sahabatnya. “Seumurku, belum pernah ada orang yang ingat aku seperti kau ini…”
Air matanya mengalir deras, ia keluarkan sapu tangannya ang putih bersih.
Kwee Ceng menyangka orang hendak menyusuti air matanya, tak tahunya dengan cara hati-hati nona itu bungkus sisa tiamsim yang kemudian ia masuki ke dalam sakunya. “Aku akan dahar ini perlahan-lahan…” katanya, dan kali ini ia tertawa.
Benar-benar aneh kelakuan bocah wanita ini, Kwee Ceng asing betul dengan tingkah lakunya ini “Oey Hiantee”.
“Bilangnya ada urusan penting yang kau hendak bicarakan dengan aku, urusan apakah itu?” kemudian ia tanya. Ia sudah lantas ingat surat si nona dan untuk apa ia datang ke telaga ini.
Oey Yong tertawa ketika ia menyahuti: “Aku panggil kau datang kemari untuk memberitahukan padamu bahwa aku bukannya Oey Hianteemu, hanya Yong-jie. Apa ini bukannya urusan penting?”
Kwee Ceng tersenyum. Orang benar-benar jenaka. “Kau begitu manis untuk dipandang, kenapa mulanya kau menyamar sebagai penemis?” ia tanya.
Oey Yong melengos ke samping. “Kau bilang aku manis dipandang?” ia tanya.
“Manis sekali!” sahut si anak muda. “Kau mirip dengan bidadari dari puncak gunung salju!” Ia menghela napas.
Oey Yong tertawa pula. “Pernahkah kau melihat bidadari?” tanyanya.
“Aku belum pernah lihat. Kalau aku dapat menemui, mana aku masih hidup lagi…?”
Oey Yong heran. “Eh, kenapa begitu?” ia menegaskan.
“Sebab pernah aku dengar pembilangannya orang-orang tua, siapa dapat melihat bidadari, dia tidak bakal kembali ke tanah datar, untuk selamanya ia akan duduk bengong saja di gunung salju, lalu lewat beberapa hari, dia akan mati beku….”
Oey Yong tertawa pula. “Sekarang kau melihat aku, kau bakal bengong saja atau tidak?” tanyanya kemudian.
Mukanya Kwee Ceng menjadi merah. “Kita toh sahabat-sahabat kekal, kita lain…”
Oey Yong menganggguk. Lalu ia berkata dengan sungguh-sungguh: “Aku tahu kau baik hati dengan sesungguhnya, terhadap aku, tidak peduli aku pria ataupun wanita, biarpun aku bagus atau jelek.” Ia berhenti sebentar. “Dengan dandananku ini, kalau orang bersikap baik terhadap aku, apakah anehnya? Diwaktu aku menjadi pengemis, kau baik sekali dengan aku, nah itu barulah sahabat sejati.” Ia rupanya sangat girang, semabri tertawa ia kata pula: “Aku ingin bernyanyi untukmu, sukakah kau mendengarnya?”
“Apakah tidak boleh besok saja kau bernyanyi?” Kwee Ceng minta. “Sekarang ini aku mesti pergi beli obat untuk Ong Totiang.”
Kwee Ceng lantas tuturkan tentang adu kepandaian di istana Chao Wang, sampai Ong Cie It, yang melindungi ia, mendapat luka parah, bahwa sia-sia belaka ia mencari obat.
Oey Yong mengawasi, ia tertawa. “Aku pun heran sekali menyaksikan kau lari mondar-mandir di jalan besar dan memasuki rumah obat dari yang satu kepada yang lain, entah kau bikin apa, tidak tahunya kau hendak membeli obat,” katanya.
Kwee Ceng menduga, selagi ia lari mondar-mandir, Oey Yong tentu telah mengintai padanya tetapi ia tidak tahu, kalau tidak, niscaya nona itu tidak ketahui ia tinggal di hotel mana.
“Oey Hiantee,” katanya kemudian, “Apakah boleh pinjam kuda merahmu yang kecil untuk aku pergi membeli obat?”
Oey Yong menatap. “Ketahuilah!” katanya. “Kesatu, aku bukannya si Oey Hiantee! Kedua, kuda merah yang kecil itu adalah kepunyaanmu! Apakah kau sangka benar-benar aku menghendaki kudamu itu? Aku melainkan lagi menguji hatimu. Ketiga, di tempat sekitar ini, belum tentu kau dapat mencari obat itu…!”
Kwee Ceng berdiam, hatinya pepat. Ia bingung sekali. Dugaan si nona nyata cocok betul dengan dugaannya Ong Cie It.
Oey Yong tertawa. “Sekarang aku nyanyai, kau dengari!” dia kata. Lalu kedua bibirnya yang merah tergerak terbuka, segera lidahnya bergerak, memperdengarkan nyanyiannya yang halus dan merdu.
Kwee Ceng mendengari dengan hati kesengsem walaupun tidak mengerti jelas artinya nyanyian itu, hatinya menjadi goncang. Seumurnya belum pernah ia peroleh pengalaman ini.
“Inilah nyanyian Sui Ho Sian dari Sin Tayjin,” kata Oey Yong perlahan habis ia nyanyi. “Bagaimana kau bilang, bagus atau tidak?”
“Aku kurang mengerti tetapi didengarnya menarik hati,” Kwee Ceng menjawab. “Siapa itu Sin Tayjin?”
“Dialah Sin Kee Cie,” sahut Oey Yong. “Menurut ayahku dialah satu pembesar jempolan yang menyinta negara dan rakyat. Ketika dulu hari utara Tionggoan terjatuh ke dalam tangan bangsa Kim dan Gak Bu Bok terbinasa di tangan dorna, tinggal Sin Tayjin sendiri yang masih berdaya untuk merampas pulang daerah-daerah yang terhilang itu.”
Kwee Ceng tahu kekejaman bangsa Kim dari penuturan ibunya, karena ia hidup di Mongolia, ia kurang tahu. Ia kata: “Belum pernah aku pergi ke Tionggoan, maka hal ini baik nanti saja perlahan-lahan kau tuturkan padaku. Sekarang kita mesti pikirkan daya menacri obat untuk Ong Totiang.”
“Kau dengar aku,” berakta Oey Yong. “Kita pesiar dulu disini, tak usah kau cemas tidak karuan.”
“Ong Totiang bilang, kalau dalam tempo dua belas jam ia tidak dapat obat, ia bisa celaka,” Kwee Ceng jelaskan.
“Aku tanggung, kau akan dapatkan obat itu,” si nona bilang.
Mendengar si nona bicara dengan sungguh-sungguh dan juga percaya orang memang ada terlebih pandai dan cerdik daripadanya, Kwee Ceng dapat juga melegakan hatinya.
“Mungkin ia tidak akan membikin gagal,” pikirnya. Maka ia lantas layani si cantik itu minum arak dan dahar makanan sambil mereka pasang omong.
Dengan gembira, dan secara menarik hati, Oey Yong tuturkan bagaimana caranya ia menggangtung Hong Ho Su Koay, bagaimana ia ganggu Hauw Thong Hay sampai si Ular Naga Kepala Tiga itu mendongkol bukan main.
“Bagus!” seru Kwee Ceng saking gembira.
“Memang bagus!” kata si nona. Dan keduanya bertepuk tangan.
Tanpa merasa sang tempo telah berlalu, Oey Yong lihat bagaimana secara perlaha-lahan sang mega atau kabut mulai menutupi air telaga yang putih. Dengan perlahan sekali ia ulur tangannya, terus ia genggam tangannya si Kwee Ceng, sembari berbuat begitu ia kata dengan perlahan: “Sekarang aku tidak takut apa juga…!”
“Kenapa?” menanya si anak muda dengan heran.
“Taruh kata ayah tidak menginginkan aku, kau tentunya sudi aku ikuti kau, bukankah?” si nona tanya tanpa ia menyahuti pertanyaan orang.
“Pasti!” jawab Kwee Ceng sungguh-sungguh. “Aku sendiri, belum pernah aku bergembira seperti sekarang ini!”
Oey Yong membawa tubuhnya mendekati dada si pemuda dan menempelkannya, maka Kwee Ceng lantas saja merasakan ia bagai terkurung bau harum, bau yang meliputi juga antero telaga, seluruh langit dan bumi……
Tanpa mengucap sepatah kata, keduanya saling berpegang tangan…..
Lagi sekian lama, tiba-tiba Oey Yong menghela napas. “Tempat ini sungguh indah, sayang kita bakal meninggalkannya…” katanya.
“Kenapa begitu?” Kwee Ceng tanya. Ia heran.
“Bukankah kita harus mencari obat untuk menolongi Ong Totiang?” sahut si nona.
Kwee Ceng sadar, ia menjadi girang sekali. “Ah, ke mana kita mencarinya?”
“Ke manakah perginya itu beberapa rupa obat yang dibutuhkan, yang tidak berada di rumah-rumah obat?” Oey Yong menanya.
“Tentulah semua itu dibeli oleh orangnya Chao Wang,” menyahut Kwee Ceng.
“Benar!” berkata si nona.
“Tetapi tidak dapat kita pergi ke sana!” Kwee Ceng bilang. “Pergi ke sana artinya kita mengantari jiwa kita…”
“Habis apakah kau tega membiarkan Ong Totiang menjadi bercacad seumur hidupnya?” Oey Yong tanya. “Jangan-jangan, karena lukanya itu berubah menjadi berbahaya, ia pun bisa hilang jiwanya….”
Darahnya Kwee Ceng bergolak. “Baik, aku akna pergi!” ia bilang. “Tapi kau jangan turut…”
“Jangan turut? Kenapakah?” tanya si nona.
Kwee Ceng berdiam. Ia tidak punyakan alasan untuk kata-katanya itu.
Oey Yong mengawasi. “Engko yang baik,” katanya perlahan. “Kau kasihanilah aku. Umpama kata kau menemui bencana, apakah kau sangka aku dapat hidup seorang diri saja?”
Kwee Ceng menjadi sangat bersyukur dan bergirang. “Baiklah!” katanya kemudian. “Mari kita pergi bersama!”
Keduanya lantas mengayuh, membuatnya perahu mereka ke pinggir, setelah mendarat, mereka menuju langsung ke istana Chao Wang, ke arah belakang. Mereka memasuki pekarangan dengan melompati tembok.
“Engko Ceng, sempurna sekali ilmu ringan tubuhmu!” Oey Yong memuji selagi si anak muda mendekam di kaki tembok untuk memasang kuping dan mata.
Mendengar pujian itu, Kwee Ceng gembira bukan main. Merdu sekali suara si nona.
Tak lama, mereka mendapat dengar tindakan kaki dibarengi sama suara bicara sambil tertawa. Mereka menutup mulut.
“Siauw-ongya mengurung si nona di sini, kau tahu untuk apa?” terdengar seorang menanya. “Siauw-ongya” itu ialah pangeran muda.
“Buat apa lagi!” tertawa orang yang kedua. “Si nona ada demikian cantik! Sejak kau dilahirkan, pernahkah kau melihat nona secantik itu?”
“Kau hati-hati, sahabat!” kata yang pertama, “Melihat macammu ini, hati-hatilah, nanti siauw-ongya kutungi batang lehermu…”
Kwee Ceng lantas berpikir: “Kiranya Wanyen Kang sudah punya pacar maka juga ia tidak sudi nikahi nona Bok. Dalam hal ini, dia tidak dapat disesalkan. Cuma mengapa ia mengurung nona itu? Mustahilkah si nona menolak dan ia hendak gunai kekerasan untuk memaksa?”
Dua orang itu sudah lantas datang dekat sekali, yang satu membawa tengloleng, yang lainnya menenteng barang makanan.
Yang membawa makanan itu berkata pula sambil tertawa: “Siauw-ongya aneh! Dia mengurung orang, dia juga khawatir orang kelaparan! Lihat, sudah malam begini dia masih suruh mengantarkan barang makanan….”
“Jikalau tidak berlaku manis budi, mana dia dapat merampas hati si nona?” berkata yang membawa lentera.
Lantas mereka lewat, suara tertawa mereka masih terdengar.
“Mari kita lihat!” berbisik Oey Yong, yang hatinya menjadi tertarik. “Sebenarnya bagaimana sih cantiknya orang itu…”
“Lebih perlu kita mencari obat,” Kwee Ceng bilang.
“Aku ingin lihat dulu si cantik!” kata Oey Yong, yang tertawa.
Kwee Ceng heran sekali. “Apa sih bagusnya orang perempuan untuk di lihat?” katanya dalam hati. Ia tidak menginsyafi sifat wanita. Kalau satu nona mendengar ada nona cantik lainnya, sebelum melihatnya, hatinya tidak nanti puas, kalau dia sendiri cantik, lebih keras lagi keinginannya melihatnya itu. “Ah, dasar anak kecil….!”
Luas pekarangan dalam dari gedung Chao wang itu. Mereka berdua berjalan berliku-liku menguntit dua hamba tadi. Mereka tiba di depan sebuah gedung besar yang gelap, tapi ada yang jaga. Mereka lantas umpatkan diri, untuk mendenagri kedua kacung itu bicara sama penjaga rumah itu, yang ialah seoarng serdadu. Dia ini lantas membuka pintu, untuk mengijinkan orang masuk.
Oey Yong cerdik. Ia menjumput sebutir batu, dengan itu ia menimpuk lentera orang, hingga apinya lentera itu padam seketika, membarengi mana ia tarik tangan si anak muda, untuk diajak berlompat masuk ke pintu.
Kedua kacung dan serdadu itu tidak menduga jelek, mereka cuma menyangka batu jatuh dari atas. Sembari mengutuk, mereka nyalakan pula lenteranya. Setelah membuka sebuah pintu dalam, yang kecil, berdua mereka masuk lebih jauh.
Oey Yong dan Kwee Ceng menempatkan diri di sebelah belakang, dengan hati-hati mereka menguntit pula, sampai mereka berada di depan sebuah ruang seperti kerangkeng binatang liar, jerujinya semua besi kasar. Di dalam situ ada dua orang, terlihat samar-samar seperti pria dan wanita.
Satu bujang lantas memasang lilin, yang mana ia masuki ke dalam kerengkeng. Maka sekarang terlihat tegaslah dua orang yang terkurung itu. Mengenali mereka, Kwee Ceng terkejut. Mereka adalah Bok Ek serta gadisnya, yang tadi siang mengadakan pibu mencari jodoh. Bok Ek nampaknya tengah bergusar. Liam Cu duduk di samping ayahnya dengan kepala tunduk.
“Bagaimana dengan Wanyen Kang? Sebenarnya dia sukai nona ini atau tidak?” Kwee Ceng beragu-ragu.
Kedua bujang itu memasuki barang makanan berikut araknya. Bok Ek sembat sebuah mangkok, terus ia lemparkan. Ia berseru: “Aku telah terjatuh ke dalam tipumu yang busuk, kalau kau hendak membinasakan, binasakanlah! Buat apa kamu berpura-pura menaruh belas kasihan?!”
Belum sampai si bujang membilang apa-apa, di sebelah luar terdengar suaranya serdadu penjaga pintu yang tadi: “Siauw-ongya baik?”
Mendengar itu, Kwee Ceng dan Oey Yong berpaling, lalu lekas-lekas mereka mencari tempat sembunyi.
Segera juga terdengar suara membentak sari Wanyen kang, yang datang dengan tindakan lebar: “Siapa yang membikin Bok Loenghiong gusar? Awas, sebentar aku hajar patah kaki anjingmu!”
Kedua hamba itu lantas bertekuk lutut. “Hambamu tidak berani…” berakat mereka.
“Lekas berlalu!” membentak pula si pangeran.
“Ya, ya…” menyahuti kedua hamba itu, yang berlalu dengan cepat. Hanya setibanya mereka di pintu luar, mereka saling mengawasi dengan mengulurkan lidahnya masing-masing…..
Wanyen Kang tunggu sampai orang telah merapatkan daun pintu, ia hampiri Bok Ek dan gadisnya.
“Jiwi silahkan kemari!” ia berkata, suaranya sabar sekali. “Aku hendak membilangi sesuatu kepada kamu, harap kamu jangan salah mengerti.”
“Kau telah kurung kami sebagai pesakitan, apakah artinya undanganmu ini?!” Bok Ek menegur. Ia gusar sekali.
“Maafkan aku, menyesal sekali,” berkata Wanyen kang. “Untuk sementara aku minta jiwi harap bersabar. Aku pun merasa tak enak hati.”
“Kau boleh akali bocah umur tiga tahun!” Bok Ek membentak pula. “Aku tahu baik sifatnya kamu orang besar! Hm!”
Wanyen Kang hendak bicara pula, saban-saban ia terhalang oleh bentakan orang tua itu, tetapi ia sabar luar biasa, sebaliknya dari bergusar, ia tertawa.
“Ayah, coba dengar dulu apa ia hendak bilang,” akhirnya Liam Cu berkata dengan perlahan.
“Hm!” orang tua itu perdengarkan suara di hidungnya.
“Nona seperti putrimu, mustahil aku tidak sukai dia” berkata Wanyen Kang.
Mendengar itu, wajahnya Liam Cu menjadi merah, ia tunduk lebih rendah.
“Hanyalah aku adalah satu pangeran dan aturan rumah tanggaku keras sekali,” Wanyen Kang berkata pula. “Umpama kata orang mendapat tahu aku mempunyai mertua seorang kangouw, bukan cuma ayahku bisa memarahinya, malah ada kemungkinan sri baginda juga nanti menegur ayahku itu…”
“Habis kau mau apa?” menanya Bok Ek. Ia anggap orang bicara beralasan juga.
“Sekarang ini aku mau minta jiwi berdiam dulu beberapa hari di sini, untuk sekalian merawat lukamu,” sahut pangeran itu. “Setelah itu barulah kamu pulang ke kampung halamanmu. Nanti, selang satu atau setengah tahun, setelah suasana sudah reda, akan aku nikahi putrimu ini, baik dengan jalan aku pergi menjemput ke rumahmu atau dengan minta locianpwee datang ke mari. Tidakkah itu lebih bagus?” kata pangeran ini lebih lanjut.
Bok Ek berdiam. Ia tengah memikir satu hal lain.
“Peristiwa ini bisa merembet ayahku,” Wanyen Kang berkata pula, sambil tertawa. “Oleh karena kenakalanku, beberapa kali ayah pernah ditegur sri baginda raja, maka kalau urusan ini sampai didengar oleh sri baginda, pastilah pernikahan ini gagal. Maka itu aku minta sukalah locianpwee menyimpan rahasia.”
Bok Ek gusar. “Menurut caramu ini!” katanya sengit, “Kalau nanti anakku menikah sama kamu, untuk seumur hidupnya ia mesti main sembunyi-sembunyi! Dia jadinya bukan satu istri yang terang di muka umum!”
“Dalam hal ini pastilah aku akan mengatur lainnya,” Wanyen Kang memberi keterangan. “Sekarang pun aku sudah pikir nanti minta perantaraannya beberapa menteri sebagai orang pertengahan, supaya kita nanti menikah secara terhormat….”
Wajahnya Bok Ek berubah. “Kalau begitu, pergi kau panggil ibumu datang ke mari,” katanya. “Aku ingin kita omong depan berdepan dan secara terus terang!”
Wanyen Kang tersenyum. “Mana dapat ibuku menemui locianpwee?” katanya.
“Jikalau aku tidak dapat bicara dengan ibumu, biar bagaimana, tidak sudi aku melayani kamu!” kata Bok Ek kaku, tangannya menyambar sepoci arak, yang dia timpukkan di antara jeruji besi.
Bok Liam Cu kaget dan berduka menyaksikan sikap ayahnya ini. Sebenarnya, semenjak memulai bertanding sama pangeran itu, ia telah menaruh hati, maka juga ia senang mendengar pembicaraannya si anak muda yang ia anggap beralasan. Ia tidak sangka, ayahnya telah ambil sikapnya yang tegas itu.
Wanynn Kang geraki tangannya menyambar poci arak itu, terus ia letaki itu ditempatnya, di atas meja. “Menyesal tidak dapat aku menemani lebih lama,” katanya. Ia tertawa dan memutar tubuhnya untuk berlalu.
Kwee Ceng anggap omongannya Wanyen Kang beralasan. Bukankah si pangeran ada kesulitannya sendiri? Maka itu, menyaksikan kemurkaannya Bok Ek, ia lantas berpikir; “Baiklah aku bujuki ia…” Ia lantas geraki tubuhnya, untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Tapi ia tidak dapat wujudkan apa yang ia pikirkan itu. Oey Yong telah tarik tangan bajunya, untuk ajak ia keluar.
“Apakah sudah diambil?” mereka lantas dengar suaranya Wanyen Kang, yang bicara sama satu hambanya.
“Sudah,” sahut si hamba, yang terus angkat sebelah tangannya. Nyata ia mencekal seekor kelinci. Wanyen Kang menyambuti dengan kedua tangannya, tiba-tiba saja ia patahkan kedua kakinya kelinci itu, yang ia terus masuki ke dalam sakunya, setelah mana ia bertindak dengan cepat.
Binatang itu berpekik satu kali, lalu kelengar.
Dua-duanya Oey Yong dan Kwee Ceng heran sekali. Merak lantas kuntiti pangeran itu, yang jalan memutari sebuah pagar bambu, setelah mana terlihatlah sebuah rumah tembik putih yang kecil. Itulah rumah bermodel rumah rakyat di Kanglam. Maka heran di dalam pekarangan istana mentereng itu ada sebuah rumah yang begini sederhana. Maka mereka jadi bertambah heran.
Wanyen Kang menolak pintu rumah itu dan masuk ke dalamnya.
Dengan lekas Kwee Ceng berdua lari ke jendela untuk memasang kuping sambil mengintai di sela-sela jendela itu. Mereka percaya mesti ada perbuatan yang aneh dari si pangeran itu.
“Ma!” mereka lantas dengar suara si pangeran.
“Ya..!” demikian suara penyahutan perlahan, suaranya seorang wanita.
Wanyen Kang lantas masuk ke dalam kamar.
Untuk bisa melihat, Kwee Ceng berdua menghampirkan sebuah jendela lain. Maka mereka lantas tampak satu nyonya tengah berduduk di pinggiran meja, sebelah tangannya menunjang dagu, matanya mendelong. Dia belum berumur empatpuluh tahun dan mukanya cantik sekali. Di rambut dekat kupingnya dia memakai setangkai bunga putih. Pakaiannya semua terdiri dari kain kasar.
“Mama, apakah hari ini kau kurang sehat?” tanya Wanyen Kang seraya pegangi tangan si nyonya.
Nyonya itu menghela napas. “Bukankah aku tak berlega hati untukmu?” sahutnya.
Wanyen Kang sanderkan diri di tubuh nyonya itu, yang ia panggil ibu, agaknya ia manja sekali.
“Ma, bukankah anakmu berada di sini?” katanya, aleman. “Toh aku tidak kekurangan walaupun sebelah kakiku…?”
“Kau mengacau, kalau ayahmu dengar itu, masih tidak apa,” berkata si ibu itu, “Tetapi gurumu? Bagaimana kalau ia mendengar kabar? Tidakkah hebat?”
“Ma,” berkata si pangeran, tertawa, “Tahukah kau siapa imam itu yang datang menyela untuk menolongi orang?”
“Siapakah imam itu?”
“Dialah adik seperguruan dari guruku…”
“Celaka!” berseru si nyonya kaget. “Pernah aku melihatnya gurumu disaat ia tengah murka! Dia dapat membunuh orang! Sungguh menakutkan…!”
Wanyen Kang agaknya heran. “Pernah mama melihat suhu membunuh orang?” dia tanya. “Di manakah itu? Kenapa suhu membunuh orang?”
Nyonya itu angkat kepalanya, memandang lilin. Ia agaknya tengah memikir jauh. “Itulah sudah lama, sudah lama,” katanya kemudian dengan perlahan. “Ah, kejadian daulu hari itu hampir aku lupa….”
Wanyen Kang tidak menanyakan lebih jauh, sebaliknya dengan gembira, ia kata; “Ong Susiok itu telah mendesak aku, menanyakan bagaimana urusan pibu hendak diselsaikan. Aku telah menjanjikan untuk menerima baik. Asal si orang she Bok itu datang, apa yang diatur, aku terima baik.”
“Apakah kau sudah bicara dengan ayahmu?” tanya si nyonya itu. “Bersediakah dia akan memberikan perkenanannya?”
Wanyen Kang tertawa. “Ma, kau memang baik sekali!” katanya. “Dari siang-siang telah aku perdayakan orang she Bok itu dan gadisnya datang ke mari, sekarang mereka ditahan di kerangkeng di belakang sini. Mana Ong Susiok dapat mencari mereka?”
Selagi si pangeran ini demikian gembira, Kwee Ceng sebaliknya bertambah kemendongkolannya dan kemurkaannya. Kata pemuda ini dalam hatinya; “Aku menyangka dia bermaksud baik, siapa tahu ia sebenarnya sangat licik!”
Si wanita pun tidak setujui putranya itu. “Kau telah permainkan anak dara orang,” katanya kurang senang, “Kau juga kurung mereka di sini. Apakah artinya itu? pergi lekas kau merdekakan mereka! Kau berikan mereka uang, kau menghanturkan maaf, lantas kau persilahkan mereka pulang ke kampung halaman mereka.”
Kwee Ceng mengangguk-angguk. Ia setujui sikap nyonya itu. “Begitu baru benar,” pikirnya.
Wanyen kang tetap tertawa. “Ma, kau belum tahu,” katanya. “Orang kangouw seperti mereka tidak memandang uang! Jikalau mereka dilepaskan, setelah merdeka, tentu mereka akan buka suara lebar-lebar. Kalau itu sampai terjadi, bagaimana suhu bisa tak ketahui urusan ini?”
“Habis, apakah kau hendak kurung mereka seumur hidup mereka?” tanya si nyonya.
Putra itu tetap tertawa. “Akan aku bicara baik-baik dengan mereka, nanti aku perdayakan hingga mereka suka pulang ke kampung halaman mereka,” ia bilang. “Biarlah di sana mereka menanti-nanti hingga mereka putus asa…”. Lantas ia tertawa terbahak.
Kembali bangki hawa amarahnya Kwee Ceng, hingga ia ayun sebelah tangannya ke daun jendela dan mulutnya pun hendak dibuka.
“Jangan turuti adat…!” demikian ia dengar bisikan di kupingnya, berbareng denagn mana sebuah tangan yang halus menutup mulutnya dan tangan yang lain menarik tangannya. Merdu bisikan itu……
Cuma sejenak itu, pemuda ini insyaf akan kekeliruannya, maka ia menoleh kepada si nona manis di sisinya dan bersenyum. Karena itulah Oey Yong yang mencegah padanya. Kemudian ia mengintai pula ke dalam kamar.
“Tua bangka she Bok itu sangat licin,” terdengar pula suaranya Wanyen Kang. “Telah aku bujuki dia, dia tak mau makan umpan. Maka biarlah dia ditahan lagi beberapa hari, untuk lihat akhirnya dia suka menurut atau tidak.”
“Aku lihat nona itu bagus romannya dan gerak-gerakinya, aku suka dia,” berkata si nyonya. “Aku pikir hendak bicara dengan ayahmu, supaya kau diijinkan menikah dengannya. Bukankah dengan begitu selesai sudah semuanya?”
“Ah, mama, ada-ada saja!” berkata sang putra sambil tertawa. “ Kita dari keluarga apa? Cara bagaimana aku bisa menikah dengan satu nona kangouw? Ayah sering bilang padaku bahwa dia hendak mencarikan satu jodoh dari keluarga agung. Sayangnya ialah ayah bersaudara dengan raja yang sekarang…”
“Apakah yang dibuat sayang?” nyonya itu bertanya.
“Sebab,” menyahut sang putra, “Kalau tidak, pasti aku kana mendapatkan putri raja dan aku bakal menjadi menantu raja!”
Nyonya itu menghela napas, ia tak bicara lagi.
“Ma, ada satu lagi hal yang lucu,” Wanyen Kang berkata pula, tak ketinggalan tertawanya. “Tua bangka she Bok itu bilang ingin bertemu sama kau, ingin dia bicara sendiri, untuk mendapat kepastian, setelah itu barulah dia mau mempercayai aku.”
“Tidak nanti aku bantui kau memperdayakan orang, itulah perbuatan yang tidak baik!” berkata pula si ibu.
Wanyen Kang tertawa geli, ia jalan mondar-mandir di dalam kamar.
Oey Yong dan Kwee Ceng dapat kesempatan memperhatikan kamar itu. Semua meja dan kursi terbuat dari kayu kasar. Pembaringan serta perlengkapannya mirip dengan kepunyaan kebanyakan petani di Kanglam, semua kasar dan jelek. Di tembok ada tergantung tombak serta sebuah pacul. Di pojokan ada sebuah mesin tenun. Maka, menyaksikan semua itu, mereka menjadi heran.
“Wanita ini mulia sebagai selir, mengapa ia tinggal dalam kamar dengan perlengkapan semacam ini?” mereka itu berpikir.
Justru itu Wanyen Kang menekan ke dadanya, ke sakunya, lalu terdengar dua kali pekikan perlahan.
“Eh, apakah itu?” sang ibu tanya.
“Oh, hampir aku lupa!” sahut putranya itu, agaknya ia terperanjat. “Tadi di tengah perjalanan pulang aku melihat seekor kelinci yang terluka, aku bawa dia pulang. Mama, coba kau tolong obati dia…”
Ia lantas keluarkan kelinci putih itu, diletaki di atas meja. Dengan kakinya patah, binatang itu tidak dapat jalan.
“Anak yang baik!” berkata si nyonya. Ia lantas mencari obat, untuk mengobati kelinci itu.
Lagi-lagi darahnya Kwee Ceng bergolak. Ia sungguh membenci orang punya kelicinan dan kekejaman itu, terutama untuk memperdayakan seorang ibu yang hatinya demikian mulia. Tidakkah binatang yang harus dikasihani itu sengaja disakiti? Bukankah ibu telah didustai, untuk mengobati binatang yang sengaja disiksa? Kalau terhadap ibu sendiri saja ia mendusta demikian, maka bisalah diketahui buruknya sifat anak itu.
Oey Yong yang tubuhnya menempel sama tubuh si anak muda merasakan tubuh orang bergemetar. Ia menginsyafi bahwa orang ada sangat gusar. Tentu saja ia khawatir kawan ini perluap hawa amarahnya itu hingga Wanyen kang bisa pergoki mereka. Ia lantas pegang tangannya si pemuda itu, yang ia tarik untuk diajak mengundurkan diri.
“Jangan pedulikan dia, mari kita pergi cari obat,” bisiknya.
“Tahukah kamu obat itu disimpan di mana?” Kwee Ceng tanya.
Nona itu menggeleng kepala. “Aku tidak tahu,” sahutnya. “Mari kita cari…”
Kwee Ceng bersangsi. Dimana mesti mencari obat di istana demikan besar? Bukankah berbahaya kalau mereka kepergok See Thong Thian atau lainnya? Ia tidak sempat berpikir lama-lama. Pikirannya itu berhenti secara tiba-tiba. Sebab kupingnya segera mendengar orang mengoceh seorang diri dan di depan matanya berkelebat sinar api.
“Anak yang manis, kalau kau tidak mencintai aku, kau mencintai siapa lagi? Maka, kau kasihanilah aku…”
Sembari perdengarkan suaranya yang berlagu, terlihatlah seorang bertindak dengan perlahan-lahan. Dia mencekal sebuah tenglong.
Selagi Kwee ceng hendak menyembunyikan diri di belakang sebuah pohon, Oey Yong justru maju memapak orang itu, hingga ia menjadi tercengang, lalu lantas saja ia diam bagai patung, hatinya goncang keras. Oey Yong telah ancam dia dengan sebatang pisau belati.
“Siapa kau?” si nona menanya, membentak tapi perlahan.
Orang itu kaget dan ketakutan, selang berepa detik baru ia dapat menyahuti, suaranya tidak lancar. Ia adalah pengurus surat-surat di istana itu.
“Kau menjadi pengurus, bagus!” kata si nona. “Di mana disimpannya obat-obatan yang hari ini pangeranmu yang muda menitahkan orang membeli?!”
“Semua itu siauw-ongya yang simpan sendiri, aku…aku tidak tahu…”
Oey Yong cekal tangan orang dengan tangan kirinya untuk memencet, sedang ujung pisaunya ditempel kepada kulit leher. Orang itu kesakitan akan tetapi ia tidak berani berteriak.
“Kau hendak bilang atau tidak?!” si nona mengancam.
“Benar-benar aku tidak tahu….” jawab orang itu dengan gugup.
Oey Yong kerahkan tenaga di tangan kirinya itu, lalu dengan menerbitkan suara membeletak, patahlah tangan kanan si pengurus itu. Ia buka mulutnya, untuk berteriak tetapi dengan cepat si nona sambar kopiah orang, untuk dipakai menyumbat mulutnya. Maka hanya sekali saja dia itu mengasih dengar suara keras tertahan, lalu ia roboh dengan pingsan.
Kwee Ceng tidak menyangka satu nona demikian cantik dan halus gerak-geriknya dapat berbuat demikian telengas, ia menjadi tercengang, tak dapat ia membilang apa-apa.
Oey Yong menotok dua kali kepada iganya pengurus istana itu, lantas ia sadar. Ia tarik kopiah orang, untuk dibelesaki ke kepelanya.
“Apakah kau ingin tangan kirimu pun dipatahkan?” ia tanya.
Pengurus itu lantas saja menangis, ia menjatuhkan diri berlutut. “Dengan sebenarnya aku tidak tahu, percuma umpama nona membunuh aku,” katanya.
Sekarang Oey Yong mempercayainya, tetapi ia kata: “Sekarang pergi kau kepada pengeranmu itu, bilang bahwa kau jatuh dan patah tanganmu. Kau kasih tahu bahwa tabib membilang kau perlu obat hiat-kat, gu-cit, thim-tha dan bu-yok. Obat itu semua tak dapat dibeli di kota raja ini, maka kau mintalah kepada pangeran itu.”
Pengurus itu sudah membuktikan si nona tidak pernah main gila, ia suka menurut.
“Siauw-ongya ada pada ibunya, lekas-lekas kau pergi padanya!” Oey Yong bilang. “Aku akan ikuti padamu. Jikalau kau tidak dengar aku dan sengaja kau membuka rahasia, akan aku patahkan batang lehermu, akan aku kerek matamu!”
Tubuhnya orang itu bergemetar, ia merayap bangun, lalu dengan menggertak gigi, menahan sakit, ia lari ke arah kamarnya onghui, si selir.
Wanyen Kang masih ada pada ibunya, mereka masih pasang omong. Ia heran ketika ia lihat datangnya pengurus itu, yang bermandikan peluh dan air mata, dengan separuh mewek dia mohon diberi obat. Dia mengaku seperti ajarannya Oey Yong.
“Kasihlah dia obat!” berkata onghui, yang hatinya lemah. Ia lihat muka orang berpucat-pasi dan ia merasa kasihan.
Wanyen Kang mengkerutkan alisnya. “Semua obat itu ada apa Nio Losianseng,” katanya. “Pergi kau mengambil sendiri!”
“Tolong ongya memberikan sehelai surat,” si pengurus meminta.
Onghui itu sudah lantas sediakan perabot tulisnya. Wanyen Kang menulis beberapa kata-kata, untuk si Nio Losianseng, ialah io Cu Ong.
Pengurus itu mengangguk-angguk mengucapkan terima kasihnya.
“Lekas kau pergi!” menitah onghui. “Sebentar sesudah sembuh baru kau haturkan terima kasihmu!”
Pengurus itu lantas saja bertindak keluar. Ia baru jalan beberapa tindak, atau pisau belati telah tertanda di pundaknya.
“Pergi kepada Nio Losianseng!” menitah Oey Yong separuh berbisik.
Orang itu berjalan, baru beberapa puluh tindak, ia sudah terhuyung, rupanya tak sanggup ia menahan rasa sakitnya.
“Sebelum kau dapatkan obat itu, jangan harap jiwamu selamat!” si nona mengancam pula.
Kaget hamba itu, ia mengeluarkan keringat dingin, entah dari mana, datanglah tenaga kekuatannya, maka dapat ia berjalan terus. Sekarang ia jalan dengan menemui beberapa hamba lainnya, mereka itu lihat ia diikuti si nona dan pemuda, mereka itu heran tetapi tidak ada di antara mereka yang menanya apa-apa.
Tiba di kamarnya Nio Cu Ong, pintu kamar tertutup terkunci. Pengurus itu tanya satu hamba, ia dapat jawaban bahwa Nio Losianseng lagi menghadari perjamuannya pengeran di ruang Hoa Cui Kok.
Kwee ceng lantas merasa kasihan menampak orang seperti tidak kuat jalan, ia lantas mencekal tubuh orang, untuk dipepayang. Bersama-sama mereka menuju ke tempat pesta itu.
“Berhenti! Siapa kamu!” Itulah teguran oleh dua orang, yang memapaki sekira beberapa tindak dari Hoa Cui Kok. Mereka itu masing-masing memegang golok dan cambuk.
“Aku hendak menemui Nio Losianseng,” sahut si pengurus, yang perlihatkan suratnya siauw-ongya. Dia lantas dikasih lewat. Ketika Kwee Ceng dan si nona ditanya, pengurus itu mendahului menerangkan: “Mereka kawan kita.”
Oey Yong berlaku tenang. Ia kenali dua orang itu, ialah dua dari keempat Hong Ho Su Koay, yaitu Sim Ceng Kong dan Ma Ceng Hiong. Mereka ini sebaliknya tidak mengenali orang, yang telah dandan sebagai asalnya, seorang nona. Hanya melihat Kwee Ceng, mereka tercengang, lantas mereka mau seraya angkat tangan mereka. Tapi sejenak itu, tidak dapat mereka menyerang dengan golok dan cambuk mereka. Tiba-tiba saja iga mereka kaku. Karena dengan kesebatannya yang luar biasa, Oey Yong sudah totok mereka.
Kwee Ceng kagum vukan main. Ia berada di samping si nona tetapi ia tak sempat melihat gerakan tangan orang. Mendadak ia mengingat kejadian di rumah makan di Kalgan, tempo kawanan nona-nona serba putih hendak rampas kudanya, tahu-tahu mereka itu roboh tanpa berkutik.
“Pastilah mereka telah terkena tangan lihay dari si Yong ini,” pikirnya lebih jauh.
“Eh, kau pikirkan apa?” menegur si nona sambil tertawa menampak orang termenung. Ia lantas saja tarik Sim Ceng Kong dan Ma Ceng Hiong ke belakang pot-pot kembang, untuk disembunyikan, kemudian ia tarik tangan si pemuda, untuk menyusul si pengurus.
Di depan Hoa Cui Kok, Oey Yong tolak tubuh si pengurus, untuk ia masuk, ia sendiri bersama Kwee Ceng lantas lompat naik ke payon, guna mengintai dari jendela, hinngga mereka dapat melihat jelas ke dalam.
Terang sekali ruang dalam itu di mana ada sebuah meja penuh dengan pelbagai barang hidangan dan arak, tetapi yang membuat Kwee ceng terperanjat adalah kapan matanya bentrok sama hadirin yang duduk mengitari meja itu, sampai hatinya berdenyutan. Ia lihat dan mengenali Auwyang Kongcu dari pek To San, Kwie-bun Liong-ong See Thong Thian, Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay, Som Sian Lao-koay Nio Cu Ong dan Cian-ciu Jin-touw Pheng Lian Houw. Menemani mereka itu, duduk di sebelah bawah adalah Chao Wang Wanyen Lieh, yaitu Liok-hong-cu atau pangeran keenam dari negara Kim. Duduk di samping, di atas kursi tay-su-ie yang besar dan tebal amparnya, adalah Tay-cu-in Leng Tie Siangjin, kedua mata siapa terbuka sedikit dan mukanya bagaikan kertas kuning, suatu tanda lukanya tak enteng.
Diam-diam Kwee Ceng girang sekali, maka ia kata di dalam hatinya: “Kau hendak mencelakai Ong Totiang, kau juga dapat merasakan enak….”
Si pengurus bertindak masuk untuk terus berlutut di depan Nio Cu Ong, kedua tangannya mempersembahkan suratnya siauw-ongya.
Nio Cu Ong menyambuti, ia baca surat itu, terus ia awasi si pembawa surat, kemudian ia angsurkan surat itu kepada Wanyen Lieh. “Ongya, benarkah ini tulisannya siauw-ongya?” ia tanya.
Chao Wang membaca surat itu, ia mengangguk. “Benar,” katanya. “Berikanlah dia obat itu.”
Nio Cu Ong menoleh kepada kacung di sisinya. “Tadi siauw-ongya ada mengirimkan empar macam rupa obat,” katanya. “Kau ambilkan masing-masing itu satu tail, berikan kepada koankee ini.”
Bocah itu menyahuti, lalu ia ajak si koankee atau pengurus itu mengundurkan diri. Kwee Ceng berbisik di kupingnya Oey Yong: “Mari kita pergi, lekas! Semua mereka itu sangat lihay!”
Oey Yong tertawa perlahan, ia menggeleng kepala. Oleh karena ia menggoyang kepalanya,rambutnya si nona mengenai mukanya si pemuda, hingga Kwee Ceng merasa gatal dari muka terus ke hatinya.
Pemuda ini tidak hendak berbantahan, ia hanya lantas geraki tubuhnya untuk melompat turun. ia baru bergerak, atau si nona telah sambar tangannya, untuk ditahan. Untuk itu, nona itu mesti menyantel keras kedua kakinya pada payon, habis mana perlahan-lahan ia kasih turun tubuh si pemuda.
Kwee Ceng terkejut, di dalam hatinya ia kata, “Ah, aku semberono sekali. Tidakkah ini berbahaya? Bukankah orang-orang di dalam itu lihay semua? Jikalau aku berlompat mundur, bagaimana mereka tidak dapat memergokinya?” ia insyaf, dasar baru masuk dalam dunia kangouw, ia jadi kurang berpengalaman. Dengan lantas ia ikuti si pengurus dan kacung itu. Satu kali ia menoleh ke belakang, ia dapatkan Oey Yong masih belum turun, dengan masih bergelantungan nona itu mengawasi ke dalam ruangan.
Oey Yong tidak segera berangkat. Untuk mencari tahu orang di dalam ketahui tentang dirinya atau tidak, ia mengintai terus. Ia lakukan itu setelah itu setelah ia lihat Kwee Ceng sudah pergi belasan tembok jauhnya. Katika ia mengawasi ke dalam, sinar matanya bentrok sama sinar mata tajam dari Pheng Lian Houw, ynag kebetulan berpaling. Ia tidak berani mengawasi terus, ia hanya memasang kuping.
Seorang yang suaranya serak, berkata; “Saudara-saudara, bagaimana pandangan kamu mengenai Ong Cie It? Adakah ia datang dengan maksud sengaja atau itu cuma kebetulan saja?”
“Peduli ia datang dengan sengaja atau bukan!” berkata seseorang, yang suaranya nyaring dan keras sekali. “Dia telah merasai tangannya Leng Tie Siangjin, jikalau ia tidak mampus, sedikitnya ia mesti bercacad seumur hidupnya!”
Oey Yong lantas mengawasi pula. Ia dapatkan orang itu adalaha Pheng Lian Houw yang matanya tajam, yang tubuhnya kate dan kecil.
Seorang, yang suaranya tedas sekali, berkata smabil tertawa; “Selama aku berada di wilayah Barat, aku pernah dengar namanya Coan Cin Cit Cu yang kesohor itu, sekarang terbukti mereka benar-benar lihay, coba Leng Tie Siangjin tidak menghadiahkan dia pukulan Tay-ciu-in, pastilah hari ini kita roboh di tangan mereka itu.”
Seorang yang suaranya keras tetapi dalam berkata; “Auwyang Kongcu, janganlah kau menempeli emas di mukamu….. Kita berdua pihak sama-sama nampak kerugian, siapa juga tidak ada yang menang…”
Orang yang dipanggil Auwyang Kongcu itu berkata pula: “Biar bagaimana, kalau ia tidak kehilangan jiwanya, dia bakal bercacad. Siangjin cuma perlu beristirahat sekian waktu.”
Sampai di situ, tuan rumah mempersilahkan tetamunya mengeringi arak mereka.
Habsi itu terdengar seorang berkata: “Tuan-tuan telah memerlukan datang dari tempat ynag jauh, atas itu siauw-ong sangat berterima kasih. Sungguh inilah keberuntungan dari Negara Kim yang tuan-tuan telah dapat diundang!”
“Dia tentulah Chao Wang Wanyen Lieh,” pikir Oey Yong.
Atas kata-kata itu, beberapa orang perdengarkan suara yang merendah.
Setelah itu, terdengar pula suaranya Chao Wang: “Leng Tie Siangjin adalah paderi suci mulia dari Tibet, Nio Losianseng adalah guru silat kenamaan Kwan-gwa, Auwyang Kongcu biasa hidup berbahagia di wilayah Barat dan belum pernah datang ke Tionggoan. Pheng Ceecu jago dari Tionggoan dan See Pangcu jago dari sungai Hong Hoo. Dari lima tuan-tuan, satu saja sudi datang membantu, pasti uasaha besar dari Negara Kim bakal berhasil, apapula sekarang lima-limanya telah datang semua. Hahahaha!”
Agaknya bukan main gembiranya pangeran itu.
“Jikalau ongya ada titah apa-apa, pasti kami akan lakukan itu dengan sepenuh tenaga kami,” berkata Nio Cu Ong sambil tertawa. “Apa yang dikhawatirkan adalah tenagaku tidak cukup nanti dan mensia-siakan kepercayaan ongya yang dilimpahkan kepada kami. Jikalau itu sampai terjadi, pastilah kami akan kehilangan muka kami.” Ia pun lantas tertawa.
Kelima orang itu adalah bangsa jago dari beberapa puluh tahun, maka itu meskipun mereka bicara secara merendah, masih tetap tak hilang sifat jumawanya.
Chao Wang mengangkat pula cawannya, mempersilahkan mereka itu minum. Terus ia kata: “Siauw-ong telah mengundang tuan-tuan, pasti sekali siauw-ong akan menaruh kepercayaan kepada tuan-tuan, urusan bagaimana besar juga, tidak nanti siauw-ong sembunyikan, dilain pihak, apabila tuan-tuan telah ketahui segala apa, aku percaya tidak nanti tuan-tuan beritahukan itu kepada lain orang siapa juga, untuk mencegah pihak yang bersangkutan nanti mendapat ketahui dan dapat bersiap sedia….”
Semua orang itu mengerti maksudnya pangeran ini, yang mempercayai mereka tetapi secara tidak langsung masih memesan untuk mereka menyimpan rahasia itu.
“Baik Ongya tetapkan hati, tidak nanti kami membikin rahasia bocor,” kata mereka. Dengan sendirinya mereka itu tegang hatinya. Mereka percaya, Chao Wang bakal percayakan mereka satu rahasia besar.
“Di tahun Thian-hwee ketika dari Sri Baginda Thay Cong kami dari Negara Kim,” berkata pula Chao Wang kemudian, “Itulah tahun Soan-hoo ketujuh dari Kaisar Hiw Cong dari Keluarga Tio. Ketika itu dua Panglima besar kami ienmeho dan Kanlipu telah pimpin angkatan perangnya menerjang kerajaan Song, mereka berhasil menawan kedua Kaisar Hwie Cong dan Kim Cong dari kerajaan musuh itu. Sejaka jaman dahulu, belum pernah negeri kami sekuat itu, walaupun demikian, sampai sekarang ini, Keluarga Tio itu yang tetap duduk sebagai raja di Hangciu. Tahukah tuan-tuan sebab dari pada itu?”
Semua orang terdiam. Mereka heran raja muda itu membicarakan urusan negera. Cuma Nio Cu Ong yang lantas memohon penjelasan.
“Duni telah ketahui yang kerajaan kami telah berulang-ulang kalah di tangan Gak Hui, tentang ini tak usah disembunyikan lagi,” berkata pula Chao Wang. “Wunchu, panglima kami, pandai mengatur tentara, akan tetapi menghadapi Gak Hui, dia selamanya kena dipecundangi. Benar kemudian Gak Hui dapat dibinasakan Cin Kwee yang dititahkan pemerintah kami, akan tetapi tenaga kami sudah lemah, kami tidak sanggup lagi berperang ke Selatan. Atas ini, aku tidak puas, tanpa mengukur tenaga sendiri, ingin aku mendirikan suatu jasa besar untuk negeraku. Untuk ini, tidak dapat tidak, aku mebutuhkan bantuan tuan-tuan.”
Orang saling memandang, bagi mereka belum jelas maskudnya raja muda ini. Mereka bukan orang peperangan tukang merobohkan atau merampas kota.
Chao Wang tampaknya sangat puas den bernafsu ketika ia berbicara pula, suaranya sedikit menggetar. Katanya: “Baru beberapa bulan yang lalu, diluar dugaanku, aku telah dapat menemui sebuah surat peninggalan pemerintahku yang dulu. Itulah suratnya Gak Hui yang bunyinya luar biasa. Selang beberapa bulan, barulah aku dapat terka maksudnya surat itu. Gak Hui menulis itu ketika ia dipenjarakan. Rupanya ia mengerti bahwa ia tidak bakal hidup lebih lama lagi, tetapi ia sangat mencintai negaranya, maka ia tinggalkan warisannya itu. Itulah surat yang merupakan rahasia ilmu perang, bagaimana harus mendidik tentara dan berperang. Ia mengharapkan warisannya itu terjatuh di dalam tangan seorang yang nanti bisa pakai itu untuk melawan negara Kim. Tapi Cin Kwee menjaga keras sekali, sampai hari matinya Gak Hui, surat itu tidak dapat diberiakan kepada orang luar.
Para hadiran sangat tertarik hatinya, sampai mereka melupakan arak dan barang hidangan mereka. Oey Yong pun ketarik hatinya.
“Gak Hui dapat mengetahui warisan itu tidak dapat diloloskan, ia terus simpan itu ditubuhnya,” Chao Wang melanjuti. “Sebagai gantinya, ia meninggalkan sepucuk surat warisan, yang bunyinya tidak keruan junterungannya. Cin Kwee mempunyai kepandaian sebagai conggoan, ia masih tidak dapat menangkap artinya surat wasiat itu, maka surat itu ia dikirim ke negriku. Selama beberapa puluh tahun, surat itu disimpan di dalam istana. Dipihak kami juga tidak ada yang bisa mengartikan surat itu, orang hanya menduga, saking berduka dan penasaran, disaat-saat kematiannya, Gak Hui menulis ngaco belo. Tidak tahunya, itu adalah sebuah teka-teki istimewa.”
Orang heran tetepi sekarang mereka memuji kecerdikan Chao Wang itu.
“Gak Hui begitu pandai, kalau kita bisa dapatkan surat warisan ilmu perangnya itu, bukankah gampang untuk negaraku mempersatukan benua ini?” berkata Chao Wang.
Mendengar itu barulah semua orang dapat menerka maksudnya pangeran ini. Mereka pada berkata dalam hati masing-masing. “Kiranya Chao Wang mengundang kita untuk minta kita menjadi pembongkar kuburan…”
“Turut dugaanku semula, surat wasiat itu mestinya dibawa Gak Hui ke dalam liang kubur,” Chao Wang berkata pula. Ia berdiam sebentar, agaknya ia berpaling. “Tapi….Tuan-tuan adalah orang-orang yang gagah, mustahillah aku nanti meminta tuan-tuan pergi mencuri dengan membongkar kuburan? Di samping itu, ada satu keberatan lainnya. Gak Hui itu memang musuh negaraku, tetapi ia adalah satu orang gagah dan setia, satu pencinta negara, yang siapa pun menghormatinya, dari itu, cara bagaimana aku berani mengganggu tempat perkuburannya? Karena ini, aku sudah lantas memikirkannya terlebih jauh. Aku pun telah membongkar surat-suratnya kerajaan Song, yang telah dikirim semenjak dulu-dulu. Diakhirnya, aku telah berhasil memperoleh suatu sumber lain. Ketika itu hari Gak Hui menjalankan hukuman mati di paseban Hong Po Teng, dia dikubur di tepinya jembatan Ciong An Kio di dekat paseban itu, baru kemudian kaisar Song Hauw Cong memindahkan kuburannya ke tepi telaga See Ouw, dimana pun didirikan sebuah rumah abu untuknya. Dilain pihak lagi, pakaian dan kopiahnya Gak Hui disimpan di tempat lain, ialah di kota raja Lim-an. Karena itu tidak gampang untuk mencari surat wasiat itu. Pada ini ada satu rahasia yang tidak boleh didengar lain orang, atau orang nanti mendahului kita mengambilnya. Harus diketahui di wilayah Selatan ada banyak sekali orang-orang gagah. Maka itu, setelah memikir lama, tidak ada jalan bagiku kecuali mengundang tuan-tuan, yang terhitung orang-orang Rimba Persilatan kelas satu.”
Mendengar ini, para hadiran itu pada mengangguk.
“Pernah aku menduga, mungkin surat wasiat itu telah diambil lain orang,” Wanyen Lieh berkata lebih jauh. “Bukankah pakaiannya Gak Hui itu telah dipindahkan? Ada kemungkinan, selama perpindahan itu, suratnya telah diambil orang. Hanya kalau surat itu sampai ada yang ambil, orang itu mesti mengerti kepentingannya itu. Siapa yang menghormati Gak Hui, dia tentu tidak berani menggangu pakaiannya. Aku percaya, belum ada lain orang yang mengetahuinya. Kalau kita sudah sampai di sana, aku percaya, kita bakal dapatkan surat itu. Memang, kalau dikata sukar, sukarnya bukan main, akan tetapi di mata orang lihay, gampangnya bukan buatan. Sebenarnya surat wasiat itu disimpan di…..”
Baru Chao Wang mengucapkan sampai di situ, tiba-tiba pintu ruang ada yang tabrak hingga terbuka terpentang, lalu satu orang terlihat menebros masuk, matanya bengkat dan mukanya matang biru. Dia lantas lari ke Nio Cu Ong.
“Suhu…!” dia berseru, lantas suaranya tertahan.
Segera orang kenali, dia adalah si kacung yang tadi Nio Cu Ong titahkan pergi mengambil obat……
Bab 20. Tombak Besi Dan Pakaian Lama
Kwee Ceng telah terus ikut si pengurus bersama si kacung pergi untuk mengambil obat. Jalanan ada berliku-liku. Selama itu ia masih terus mengancam si pengurus, yang khawatir nanti jatuh atau main gila. Akhirnya mereka tiba di tempatnya Nio Cu Ong. Kacung itu membuka pintu, ia masuk ke dalam dan menyulut lilin.
Begitu ia berada di dalam kamar, Kwee Ceng lihat obat-obatan memenuhi meja, pembaringan dan lantai. Di situ pun ada banyak botol dan guci, besar dan kecil. Rupanya Nio Cu Ong gemar sekali membuat obat-obatan.
Kacung itu rupanya mengerti obat-obatan, ia sudah lantas mengambil kertas, untuk menjumput empat rupa obat yang dibungkus masing-masing. Obat-obatan mana terus ia serahkan pada si koanke. Tapi Kwee Ceng yang, yang tak tahan sabar, sudah lantas mengulur tangannya, akan sambut obat-obatan itu, terus tanpa pedulikan si koanke, ia bertindak untuk pergi lebih dulu. Si koankee itu cerdik, walaupun ia telah terluka, pikirannya berekrja. ia sengaja jalan perlahan. Ia tunggu sampai Kwee Ceng dan si kacung sudah keluar dari kamar, dengan sebat ia tiup padam api lilin, segera ia sambar daun pintu, untuk digabruki dan dikunci, menyusul mana ia berteriak-teriak: “Ada penjahat! Ada penjahat!“
Kwee Ceng terkejut, ia memutar tubuh, ia mencoba membuka pintu tetapi sia-sia belaka, ia sudah ketinggalan. Ia gusar dan terburu nafsunya, selagi begitu si kacung sambar bungkusan obat di tangannya, bungkusan mana terus dilemparkan ke empang di dekat mereka.
Kacung itu adalah muridnya Nio Cu Ong, dia masih kecil tetapi cerdik, mendegar teriakannya si koanke, dia menjadi kaget dan heran, kemudian dia menjadi curiga, maka ia rampas obat itu dan dibuang.
Dalam gusarnya, kwee Ceng kerahkan tenaganya menghajar pula pintu kamar. Kali ini daun pintu dapat digempur terbuka. Dalam sengitnya, ia serang si koanke yang segera roboh tanpa dapat membuka suara. Tempo Kwee Kwee Ceng menoleh, si kacung sudah lari. Dalam murkanya, ia berlompat untuk mengejar, segera ia berada di balakang kacung itu, pundak siapa ia jambret.
Kacung itu dapat dengar suara menyambar, ia berkelit sambil mendak, lalu seraya memutar tubuh, ia membalas menyerang denagn sapuan kakinya.
Kwee Ceng jadi tambah penasaran, setelah berkelit, ia menyerang dengan hebat. Dua kali kacung itu kena dihajar mukanya, cuma sebab ia masih keburu membuang mukanya, dia tak sampai roboh. Adalah kemudian, setelah kepalanya ke disampok, dia roboh dengan pingsan.
Dengan satu dupakan, Kwee Ceng bikin tubuh si kacung terlempar ke tempat tumbuh rumput didekatnya, habis itu ia lari ke dalam kamar. Ia lantas menyalakan api. Terlihat si koanke masih rebah tanpa berkutik. Ia mengawasi obat, ia menjadi bingung. tadi ketika si kacung mengambil obat, dia tidak perhatikan darimana orang mengambilnya. Pun nama obat yang tertempel di peles obat tidak dapat ia baca, sebab itu ditulis dalam huruf-huruf Nuchen. Tapi ia mesti bekerja cepat, tidak bisa ia memikir lama-lama.
“Tadi kacung ini berdiri di dekat sini, baik aku ambil semua obat ini, sebentar Ong Totiang yang pilih sendiri,” pikirnya kemudian. Maka ia lantas ambil kertas, ia membungkus setiap obat.
Karena ia bekerja cepat, tanpa sengaja Kwee Ceng kena langgar sebuah keranjang di sampingnya. Ketika itu jatuh ke lantai, tutupnya terbuka. Untuk kagetnya, ia lihat isi keranjang adalah sebuah ular besar yang tubuhnya merah mulus. Malah ular itu segera menyambar!
Kwee Ceng kaget, syukur ia masih sempat berlompat. Sekarang ia dapat melihat dengan tegas, tubuh ular ada sebesar cangkir, separuh tubuhnya masih ada di dalam keranjang, jadi belum ketahuan berapa panjangnya tubuh ular itu. Yang aneh adalah itu warna merah mulus. Lidah ular, yang diulur keluar, bercabang dua, lidah itu bergerak-gerak tak hentinya.
Selagi mundur, Kwee Ceng membentur meja, lilin di atas meja roboh dan padam, maka ruangannya segera menjadi gelap-gulita. Tapi obat telah didapat, ia lantas lari ke pintu untuk mengangkat kaki. Tiba-tiba ia merasakan kakinya disambar dan dipeluk, atau itu mirip dengan libatan dadung/tali, saking kaget, ia melompat untuk meloloskan diri. Tapi ia dapat berhasil. Sebaliknya ia lantas merasakan barang adem mengenakan lengannya.Kembali ia menjadi kaget. Ia tahu sekarang bahwa ia telah dililit ular. Tapi ia tak hilang akal, dengan tangan kirinya hendak ia cabut golok emas hadiah Jenghiz Khan. Disaat itu, ia merasakan bau obat tercampur bau amis menyambar hidungnya, lalu mukanya terasa dingin. Itulah ular yang telah menjilati mukanya!
Lagi sekali ia kaget tak terkira! Tak sempat ia menghunus goloknya, dengan tangan kirinya ia sambar leher ular untuk dipencet.
Ular itu agaknya kaget, dia bertenaga besar, sebelum lehernya tercekik, ia pentang mulutnya, untuk mencoba mengigit muka Kwee Ceng. Dilain pihak, ia melibat dengan mengerahkan tenaganya, hingga Kwee Ceng lantas merasai tubuhnya terlilit keras, sampai napasnya mulai sesak bahkan tenaga tangan kirinya mulai berkurang. Baunya ular itu sangat mengganggu pernapasan si anak muda, hingga ia menjadi mual, hendak ia muntah. Adalah sejenak kemudian, ia kehabisan tenaga, ia seperti hendak pingsan, cekikan tangan kirinya terlepas sendirinya…..
Adalah disaat itu dilain pihak si kacung telah sadar dari pingsannya. Dia mendapatkan kamar gelap sekali. Dia tahu, orang jahat itu tentu telah kabur. Maka tidak ayal lagi, ia lari keluar dari kamar, dia kabur kepada gurunya itu.
Oey Yong terkejut akan dengar keterangan si kacung, denagn gerakan “Burung meliwis turun di pasir datar”, dengan enteng sekali, ia lompat turun. ia menaruh kaki tanpa menerbitkan suara. Meski begitu, tak urung ia telah keperogok. Inilah sebabnya, segera setelah keterangan si kacung, semua orang menjadi curiga. Mereka memang semuanya orang-orang lihay.
Sejenak saja tubuh io Cu Ong sudah mencelat keluar, bahkan segera ia menghadang di depan si nona. Dia lantas menegur; “Siapa kau?”
Oey Yong menginsyafi bahaya. Ia tahu orang lihay. Disamping dia ini, masih ada yang lainnya. Maka ia hendak menggunakan akal. Untuk ini ia cerdik sekali. Tiba-tiba saja ia tertawa dengan manis.
“Bunga bwee ini indah sekali, maukah kau memetiknya setangkai untuk aku?” ia berkata kepada orang she Nio itu, jago dari Kwan-gwa.
Nio Cu Ong tercengang. Tidak ia sangka bakal menghadapi satu nona, malah satu nona yang begitu cantik manis, yang suaranya halus dan merdu. Tanpa merasa ia mengulurkan tangannya, akan memetik setangkai bunga, yang untuk terus diangsukan kepada si nona.
Oey Yong menyambuti. “Loya-cu, terim kasih!” katanya, kembali tertawa dengan suaranya yang halus merdu itu.
Di ambang pintu berkumpul semua orang lainnya, merek aitu berdiri mengawasi kedua orang itu. Ketika Oey Yong lantas memutar tubuhnya, untuk berlalu.
“Ongya,” Pheng Lian Houw menanya, “Adakah nona ini, nona dari istana ini?”
“Bukan,” menjawab Wanyen Lieh sambil menggelengkan kepala.
Hanya dengan menjejak dengan kakinya yang kiri, Lian ouw sudah mencelat ke depan si nona.
“Tunggu nona!” katanya, “Aku pun akan memetik setangkai bunga untukmu…!” Terus ia ulur tangannya yang kanan, hendak menangkap lengan orang, tetap sebat luar biasa, ia ubah tujuan, untuk meraba buah dada si nona.
Oey Yong kaget bukan main. Ia sebenarnya hendak berpura-pura tidak mengerti ilmu silat. ia gagal. Lian Houw, sebagai jago di antara berandal di Hoopak, adalah sangat tajam matanya dan cerdik. Tidak bisa lain, ia geraki tangan kanannya, jari tangannya menyambuti tangan jago itu.
Lian Houw terperanjat waktu ia merasakan getaran di jalan darahnya koik-tie-hiat, lekas-lekas ia menarik pulang tangannya itu, dengan begitu dia dapat lolos dari bahaya. Dia menjadi heran, nona demikian muda tetapi demikian lihay, dia pun tak kenal ilmu silat si nona itu. Tentu saja ia tidak ketahui kepandaian yang Oey Yong dapatkan sebagai warisan, namanya Totokan Bunga Anggrek.
Yang lain-lain pun terkejut dan heran.
“Nona, kau she apa?” Lian Houw lantas menanya, “Siapakah gurumu?”
“Bukankah bunga bwee ini permai sekali?” tanya Oey Yong sambil tertawa. Ia terus berlagak pilon, ia tidak menunjukki kagetnya tadi. “Bukankah kau menghendaki aku menancapnya di dalam pot?”
Sikap ini kembali membuatnya orang heran dan menjadi menduga-duga.
“Kau dengar apa tidak, apa yang kami tanya?” Lian Houw menegur. Ia tidak sabaran, dia lantas menunjuki kesembronoannya dengan campur bicara.
“Apakah itu yang kau bicarakan?” balik tanya Oey Yong, tertawa.
Justru itu, Pheng Lian Houw dapat mengenali si nona ini adalah si nona yang diwaktu siangnya sudah mempermainkan Hauw Thong Hay, cuma waktu itu orang menyamar menjadi satu bocah dekil.
“Lao Houw, apakah kau tidak kenal nona ini?” ia tanya sahabatnya. Ia tertawa.
Thong hay tercengang. Lantas ia awasi si nona, dari atas sampai bawah dan sebaliknya. Cepat sekali, ia mengenalinya. Mendadak saja hawa amarahnya meluap.
“Ha, anak busuk!” dia mendamprat. Dia pun terus pentang kedua tangannya untuk menubruk.
Dengan berkelit ke samping, Oey Yong bebaskan dirinya. Tapi di sini ia dipapaki See Thong Thian, yang tubuhnya tahu-tahu berkelebat dan tangannya menyambar ke lengan. “Kau hendak lari ke mana?” menegur Kwie-bun Liong Ong.
Oey Yong terkejut. Ia tidak menyangka lengannya bisa disambar secara demikian. Tapi ia tidak gugup, ia pun tidak kekurangan akal. Dengan dua jari dari tangan kirinya ia menotok kepada kedua matanya si orang she See itu.
Hebat See Thong Thian itu, hampir tak nampak bagaimana ia geraki tangannya, juga tangan kiri si nona sudah lantas kena dia cekal.
“Tidak tahu malu!” mendamprat Oey Yong, yang kaget sekali.
“Tidak tahu malu apa?!” balik tanya See Thong Thian.
“Tua bangka menghina anak kecil! Laki-laki menghina anak perempuan!” Oey Yong menyahuti.
See Thong Thian terperanjat. Dia memang seorang tua dan kenamaan juga. Memang, dengan perbuatannya ini, terang dia telah menghina anak kecil, seorang anak perempuan…..
“Masuk ke dalam!” katanya seraya kendorkan cekalannya.
Oey Yong tahu tidak dapat ia menolak, ia lantas turut masuk.
“Nanti aku bikin dia bercacad dulu baru kita bicara!” kata Hauw Thong Hay, yang ada sangat mendongkol. Dia terus maju, untuk menanyakan kata-katanya itu.
“Tanyakan dulu, siapa gurunya dan siapa yang menitah ia itu datang ke mari!” berkata Pheng Lian Houw.
Hauw Thong Hay tidak pedulikan jago dari Hoopak itu, sebelah tangannya sudah lantas melayang.
Oey Yong berkelit. “Benar-benarkah kau hendak menurunkan tangan?” ia menanya.
“Aku hendak cegah kau melarikan diri!” jawab Thong Hay. Dia paling takut si nona minggat, karena terang sudah, dia bakalan tidak dapat mengejar….
“Jikalau kau benar hendak adu kepandaian denagn aku, baiklah!” kata Oey Yong yang sikapnya sabar tapi rada mengejek. Ia terus mengisikan enam buah cawan arak di atas meja. Cawan yang satu ia letaki di batok kepalanya dan dua yang lain ia cekal di antara kedua tangannya. Lantas ia menantang: “Beranikah kau mencontoh aku ini?”
“Setan alas!” berseru orang she See itu, jago tunggal dari sungai Hong Hoo.
Oey Yong tidak mengambil mumat, ia memandang kepada orang banyak. Ia kata, “Aku tidak bermusuhan dengan tuan ini, bagaimana jadinya apabila aku keliru menggeraki tangan dan kena melukakan dia?”
Thong Hay maju setindak, kedua matanya terbuka lebar. “Kau dapat melukakan aku? Kau?” katanya sengit.
Kembali Oey Yong tidak mengambil mumat. Ia kata pula, “Dengan cara begini hendak aku mengadu kepandaian dengannya! Siapa yang araknya tumpah lebih dahulu, dialah yang kalah? Akurkah kau?”
Nona ini menggunai kecerdikannya. Ia tahu bahwa ia tidak bakal meloloskan diri dari orang-orang lihay ini. Sekalipun terhadap Hauw Thong Hay, ia menang cuma sebab ia andalkan kegesitan dan kelincahannya. Ia percaya, dengan bergurau secara demikian, ia bakal dapat lolos.
“Siapa kesudian main-main denganmu!” Thong Hay membentak. Kembali ia menyerang sambarannya bagaikan angin.
“Bagus!” Oey Yong tertawa, seraya ia berkelit. “Pada tubuhku ada tiga buah cawan, kau snediri boleh bertangan kosong! Nah mari kita adu kepandaian!”
Bukan alang kepalang gusarnya Thong Hay. Dia berusia jauh terlebih tua, meski ia tidak sangat kesohor seperti See Thong Thian, kakak seperguruannya itu, ia toh ternama juga. Sekarang dia dipermainkan secara begini! Tanpa berpikir sejenak juga, ia jumput sebuah cawan arak, untuk diletaki di batok kepalanya, habis mana ia sambar dua yang lain, masing-masing dengan sebelah tangan. Kemudian, dengan sama cepatnya, ia tekuk sedikit kaki kirinya, untuk menyusul melayangkan kaki kanannya mendupak nona itu!
“Bagus! Nah ini barulah namanya enghiong sejati!” Oey Yong berseru sambil tertawa, seraya ia berkelit. Belum sempat ia melanjuti perkataannya atau dia sudah ditendang pula, kali ini berulang-ulang. Karena dengan kedua tangan mencekal cangkir dan kepala ditaruhkan cangkir juga, Thong Hay tidak dapat berbuat lain dari menggunai kedua kakinya.
Oey Yong akhirnya repot akan tetapi ia selalu dapat lompat berkelit atau mengegos tubuhnya, menyingkir dari tendangan. Untuk ini, ia mesti seperti memutari ruangan itu.
Nio Cu Ong memasang mata kepada gerakan kakinya si nona cilik. Itulah gerakan bagaikan “Mega berjalan atau air mengalir”. Tubuh tetap tegak, tidak bergerak sedikit juga, dan kedua kaki seperti ketutupan kun tetapi bergeraknya cepat. Dipihak sana, tindakannya Hauw Thong Hay cepat dan lebar.
Si nona berkelit bukan cuma main berkelit saja, ia saban-saban mencoba dengan sikutnya akan membentur lengan lawannya, supaya benturannya dapat membuat arak tumpah atau ngeplok.
“Bocah ini begini lihay, sebenarnya sulit untuk melatih diri hingga begini rupa…” berpikir jago tua ini. “Hanya, lama-lama dia toh bakal menjadi bukan tandingannya Lao Hauw…”
Disaat itu, tiba-tiba Cu Ong ingin obat-obatannya, maka lenyaplah keinginannya menyaksikan pertempuran, ingin ia lari ke pintu, untuk terus ke kamarnya, guna cari si pencuri obat. Tentu saja ia tidak sempat memikir bagaimana halnya dengan si pencuri obat sensiri……
Kwee Ceng belum sampai pingsan tatkala ia merasakan bau ular menjadi semakin hebat. Ia insyaf bahayanya apabila binatang berbisa itu sampai dapat memagut padanya. Maka ia lantas tempel mukanya di tubuh ular itu. Oleh karena ia tidak dapat menggeraki tubuhnya, atau kaki tangannya, sekarang tinggal mulutnya yang masih merdeka. Mendadak saja ia ingat suatu apa. Lantas ia kuatkan hatinya, agar tidak sampai roboh pingsan, terus ia gigit leher ular itu. Binatang itu kaget dan kesakitan, dia bergerak, hingga lilitan kepada anak muda itu menjadi semakin keras.
Tanpa pedulikan apa juga, Kwee Ceng menggigit terus, lalu terus menghisap, menyedot darah binatang itu. Ia tidak ambil mumat lagi binatang itu berbisa. Ia juga tidak gubris pula bau darah yang sangat tidak enak. Ia melainkan ketahui, kalau darahnya berkurang, maka tenaga binatang itu juga akan berkurang pula dan dengan begitu, lilitannya akan menjadi kendor. Itu pun artinya ia bakal terlolos dari bahaya maut. Maka ia menghisap terus-terusan, hingga tanpa merasa, perutnya mulai kembung.
Dugaannya bocah ini tepat. Setelah darahnya terkuras banyak, tenaganya binatang itu segera menjadi berkurang, lilitannya segera menjadi kendor, atau sesaat kemudian, ia lepaskan lilitannya itu, tubuhnya pun jatuh sendirinya. Sebab itu waktu, dia kehabisan tenaga, napasnya lantas berhenti berjalan!
Kwee Ceng terjatuh duduk. Tapi dia masih sadar, lekas-lekas ia empos semangatnya, untuk menjalankan napasnya dengan beraturan. Dengan dapat bersemadhi lekas ia dapat pulang tenaganyanya. Hanya aneh sekarang ia merasakan darahnya bergerak keseluruh tubuhnya. Ia mengerti itulah darahnya si ular yang lagi bekerja. Ia terus bersemadhi sampai ia merasa sangat lega hati dan tubuh. Segera setelah merasa segar betul, ia gunai tenaganya untuk mencelat bangun.
Yang pertama diingat bocah ini adalah obat-obatan di dalam sakunya. Ia lantas meraba. Ia menjadi girang sekali. Obat-obatan itu masih ada. Karena ini, ia segera teringat pula kepada Bok Ek.
“Dia dan anak gadisnya dikurung Wanyen Kang, aku telah ketahui halnya itu, bagaimana dapat aku tidak menolongi mereka?” demikian ia berpikir. Ia lantas bekerja. Ia tindak ke pintu, dari situ, setelah melihat ke sekitarnya, ia jalan dengan cepat ke arah kurungannya Bok Ek dan gadisnya. Selagi ia mendekati kurungan, ia mendapati penjagaan kuat di situ. Tapi ia mesti bisa masuk ke dalam. Ia memutar ke belakang. Di situ ia tunggu lewatnya serdadu ronda, lalu cepat sekali ia lompat turun ke sebelah dalam. Ia hampirkan kurungan. Sembari memasang kuping, ia melihat ke sekeliling. Tidak ada serdadu jaga di situ.
“Bok Cianpwee, aku datang untuk menolongi,” ia lantas berkata dengan perlahan.
“Kau siapa, tuan?” ada jawabannya Bok Ek yang menanya.
Kwee Ceng perkenalkan dirinya.
Bok Ek pernah dengar lapat-lapat namanya Kwee Ceng itu, karena berisik dan ia pun terluka, ia tidak sempat memikirkannya, sekarang di tengah malam, ia mendengarnya dengan nyata.
“Kau…kau she Kwee?” tanyanya, menegaskan. Agaknya ia terperanjat.
“Benar,” sahut si bocha hormat, “Aku yang muda adalah orang yang tadi siang melawan si pangeran muda.”
“Siapakah ayahmu?” Bok Ek tanya pula.
“Ayahku almarhum bernama Siauw Thian,” Kwee Ceng menyahut pula.
Dengan tiba-tiba saja air matanya Bok Ek mengembang dan berlinang-linang, lalu ia angkat kepalanya, dongak, seraya mengeluh: “Oh, Thian….Thian….” ia pun ulur keluar tangannya dari dalam jeruji, untuk mencekal tangannya si anak muda dengan erat.
Kwee Ceng merasakan tangan orang itu bergemetar dan air mata orang itu pun menetes jatuh ke belakang telapakan tangannya itu. Ia kata dalam hati kecilnya: “Rupanya dia ketahui ada orang bakal menolong dia, dia menjadi girang luar biasa.” Maka ia kata dengan perlahan sekali: “Aku punya golok yang tajam, dengan itu kunci dapat dirusak untuk Cianpwee bisa keluar dari kerangkeng ini…”
“Ibumu she Lie, bukankah?” Bok Ek menanya pula, ia seperti tidak pedulikan perkataan orang. “Apakah ibumu itu masih ada atau ia telah menutup mata?”
Kwee Ceng heran sehingga ia balik menanya: “Ah, kenapa Cianpwee ketahui ibuku she Lie? Ibu masih ada di Mongolia.”
Hatinya Bok Ek goncang keras, ia cekal tangan Kwee Ceng semakin keras, ia tidak hendak melepaskannya.
“Tolong, lepaskan cekalanmu, nanti aku bacok kunci ini,” Kwee Ceng bilang.
Bok Ek tetap memegangi erat-eart. Ia seperti mendapati sesuatu yang berharga dan tak ingin itu lenyap pula.
“Ah, kau telah menjadi begini besar…” katanya menghela napas. “Ah, dengan memeramkan mata sekejapan saja, lantas aku dapat membayangkan wajah ayahmu yang telah almarhum itu…”
Kwee Ceng menjadi semakin heran. “Cianpwee kenal ayahku itu?” tanyanya.
“Ayahmu adalah kakak angkatku,” Bok Ek beritahu. “Kita telah mengangkat saudara hingga perhubungan kita erat bagaikan saudara kandung….”
Orang tua ini tidak dapat melanjuti kata-katanya, ia menangis sesegukan.
Tanpa merasa, air matanya Kwee Ceng pun berlinang. Ia tidak tahu Bok Ek ini adalah Yo Tiat Sim, yang dulu hari itu, diwaktu bertempur bersama tentera negeri, sudah terluka tusukan tombak pada punggungnya, karena lukanya parah, ia roboh pingsan. Syukur untuknya, disebabkan malam dan gelap, dia tidak kena tertawan. Adalah besok paginya ia sadar sendirinya, dengan merayap dia pergi ke rumah seorang petani di dekat tempat kejadian. Satu tahun lebih ia merawat dirinya, baru dia sembuh. Setelah itu ia merantau mencari Lie Peng, istrinya Kwee Siauw Thian, serta Pauw See Yok, istrinya sendiri. Tentu saja ia tidak berhasil. Karena yang satu berada jauh sekali di gurun pasir, yang lain berada di Utara. Dia tidak pakai terus she dan namanya – Yo Tiat Sim – dia hanya rombak she Yo itu, di ambil bagiannya ynag kiri, yaitu huruf “Bok” yang berarti “Kayu”. Tapi juga huruf “Bok” ini diganti lagi dengan huruf “Bok” yang berarti “Akur”. Dia cuma ambil suaranya saja. Dan nama “Ek” dia ambil dari huruf pecahan sebelah kanan dari huruf “Yo” shenya itu. Huruf “Yo” itu terdiri dari dua huruf “Bok = kayu dan Ek = gampang atau tukar”. Selama delapan belas tahun ia merantau. Sekarang secara kebetulan ia bertemu sama putra sahabat atau saudara angkatnya itu, cara bagaimana ia tidak menjadi bersedih hati?
Selama ayahnya itu berbicara sama si anak muda, Bok Liam Cu berniat memberi ingat serta meminta Kwee Ceng menolongi dulu mereka, tentang pasang omong, itu boleh dilanjuti lain kali, akan tetapi belum lagi ia membuka mulutnya, lalu datang pikiran lain, yang membuatnya berubah. Ia kata dalam hatinya: “Satu kali kita keluar dari sini, aku khawatir untuk selama-lamanya aku nanti tidak dapat bertemu dengan dia…”
Dengan “dia” yang dimaksud oleh Liam Cu adalah Wanyen Kang, si pangeran muda. Dengan sendirinya, ia telah jatuh cinta kepada pangeran itu, hingga ia tak ingin pergi jauh, untuk memisahkan diri….
Kwee Ceng pun ingat bahaya yang mengancam mereka, maka ia sudah lantas tarik keluar tangannya dari dalam kerangkeng, hanya di saat ia hendak ayun goloknya, untuk menggempur kunci, mendadak ia tampak sinar terang yang disusul sama suara tindakan kaki. ia terkejut, dengan sebat ia simpan goloknya, dengan gesit ia lompat sembunyi di belakang pintu.
Sekejap saja, dengan mengasih suara, daun pinttu dipenntang, lalu terlihat masuknya beberapa orang, di antara siapa yang jalan di muka adalah yang menenteng lentera.
Kwee Ceng heran akan melihat orang itu yang bukan lain daripada onghui atau selirnya Chao Wang dan ibunya Wanyen Kang. Ia tidak dapat menerka orang datang dengan maksud apa. Ia memasang kuping dan matanya.
“Adakah mereka ini yang hari ini dikurung siauw-ongya?” demikian Kwee Ceng dengan pertanyaannya si nyonya mulia.
“Ya,” menyahuti si opsir atau pemimpin dari beberapa pengiring nyonya itu.
“Sekarang juga merdekakan mereka!” onghui memberi titah.
Opsir itu terkejut, dia ragu-ragu, hingga tak dapat ia segera menjawab.
“Jikalau siauw-ongya menanyakan, bilang aku yang memerdekakan mereka,” onghui berkata pula menampak orang sangsi. “Lekas buka kuncinya!”
Sampai di situ, opsir itu tidak berani berlambat pula.
Setelah ayah dan gadis itu sudah berada di luar kerangkeng, onghui merogoh sakunya untuk mengeluarkan dua potong emas, yang mana ia angsurkan kepada Bok Ek atau Yo Tiat Sim. Ia kata: “Nah, pergilah kamu baik-baik!”
Tiat Sim tidak menyambut emas itu, sebaliknya ia mengawasi dengan tajam.
Ditatap demikian, onghui heran. “Putraku berbuat keliru, harap kamu tidak sesalkan dia…” dia berkata lagi kemudian.
Cuma sedetik atau Tiat Sim telah ubah pikiran. Ia sambuti itu emas, terus ia tuntun tangan putrinya, untuk diajak berlalu dengan tindakan lebar.
“Ha, orang kasar!” membentak si opsir. “Kamu tidak membilang terima kasih kepada onghui yang telah menolong jiwamu!”
Bagaikan tidak mendengar, Tiat Sim jalan terus.
Sampai di situ, onghui pun berlalu bersama sekalian pengiringnya.
Kwee Ceng tunggu sampai pintu sudah ditutup dan mendengar tindakan kaki onghui sudah jauh, baru ia keluar dari tempat sembunyinya, untuk keluar juga. Ia melihat ke sekeliling, ia tidak dapatkan Bok Ek dan Liam Cu.
“Pasti mereka sudah keluar dari istana,” pikirnya. Maka ia lantas menuju ke Hoa Cui Kok untuk mencari Oey Yong. Ingin ia membujuk nona itu buat jangan mengintai lebih lama, supaya mereka bisa lekas pergi menolongi Ong Cie It.
Baru ia tiba disebuah tikungan, Kwee Ceng lihat sinar terang dari dua buah lentera serta mendengar suara tindakan kaki yang cepat. Ia lantas lompat ke samping di mana ada gunung-gunungan dari batu, untuk umpatkan diri, kemudian ia segera dengar teguran dari orang yang jalan di paling depan. “Siapa?!” Bahkan orang itu sudah lantas berlompat maju dan tangannya menyambar.
Kwee Ceng geraki tangannya, untuk membebaskan diri. Berbareng dengan itu, ia terkejut juga. Di antara cahaya api, ia kenali Wanyen Kang si siauw-ongya atau pangeran muda.
Wanyen Kang telah datang dengan cepat karena baru saja ia terima laporan dari opsir yang mengiringi onghui bahwa Bok Ek dan gadisnya telah dimerdekakan. Ia kaget dan kata dalam hatinya: “Sungguh lemah hati ibu, hingga tidak memperdulikan urusan besar, ia merdekakan dua orang itu. Kalau guruku ketahui ini, cara bagaimana aku dapat menyangkal?” Ia berniat memegat Bok Ek dan Liam Cu, maka ia datang dengan cepat, diluar dugaannya, ia bertemu dengan Kwee Ceng.
Pemuda she Kwee ini hendak meloloskan diri, ia membikin perlawanan. Wanyen Kang hendak menawan, dia menyerang dengan hebat. Maka itu, mereka lantas saja bertempur seru melebihkan pertandingan mereka tadi siang.
Bukan main masgul dan cemasnya Kwee Ceng. Beberapa kali ia mencoba untuk meloloskan diri, saban-saban ia gagal. Tak kurang hebatnya rintangan si siauw-ongya.
Sia Tiauw Enghiong - 8
By admin • Sep 1st, 2008 • Category: 2. Silat China, CY - Sia Tiauw Enghiong
Sementara itu dilain pihak, Nio Cu Ong yang menduga Oey Yong bakal kalah baru saja memutar tubuhnya atau pertandingan telah salin rupa. Hebat si nona, ia perlihatkan kepandaian yang luar biasa. Dengan satu gerakan berbareng ia membuat tiga cawan di kepala dan kedua tangannya terlepas, mumbul naik ke atas menyusul mana dengan satu lompatan enteng tetapi gesit ia menerjang pada Thong Hay dengan kedua tangannya.
Orang she Hauw ini menjadi repot. Dengan kedua tangan mencekal cawan, tidak dapat ia menangkis, maka terpaksa ia berkelit ke kiri. Justru itu, dengan kesebatannya, tangan kanan si nona menyambar pula. Kali ini, Thong Hay tidak dapat mengegos pula tubuhnya, terpaksa ia menangkis!
Begitu kedua tangan bentrok, begitu juga kedua cawan di tangan orang she Hauw itu tergerak, isinya lantas tumpah, membasahkan lantai. Yang hebat adalah cawan di batok kepalanya, cawan itu jatuh ke lantai, pecah hancur menerbitkan suara berisik dan araknya melulahkan.
Oey Yong sudah lantas mencelat mundur, kedua tangannya menyambar kedua cawannya, yang baru saja turun, sedang kepalanya menyambut cawan yang ketiga yang tadi ia letaki di batok kepalanya itu. Semua terjadi dengan cepat luar biasa, semua cawan itu tidak miring, araknya tidak tumpah!
“Bagus!” seru orang banyak. Mau atau tidak, mereka mesti puji nona ini yang merebut kemenangan dengan kecerdikan dan kelincahannya itu.
Thong Hay sebaliknya bermuka merah, berparas bermuram durja, saking malu dan mendongkolnya. “Mari kita bertanding pula!” ia menantang.
Oey Yong bawa jari-jari tangan ke pipinya “Tak malukah kau?” dia bertanya, mengejek.
“Hm!” See Thong Thian mengasih suaranya menyaksikan adik seperguruannya itu dibikin malu secara demikian. “Budak cilik, kau licin sekali! Siapa sebenarnya gurumu!”
“Besok akan aku mengasih keterangan kepada kau!” menjawab si nona tertawa. “Sekarang aku mesti pergi dulu!”
Setahu bagaimana gerakkannya Thong Thian, tiba-tiba saja tubuhnya sudah mencelat ke ambang pintu, untuk menghalangi di situ.
Oey Yong telah merasakan tadi bagaimana orang she See ini tanpa ia mengetahui, hingga kedua tangannya tidak dapat digeraki lagi, sekarang ia menyaksikan cara mencelat orang, yang ada dari tipu “Menukar wujud, mengganti kedudukan”, semacam ilmu yang luhur, ia kaget sekali. Tapi ia dapat menenangkan diri, parasnya tidak menunjuki perubahan. Ia hanya mengkerutkan kening.
“Mau apa kau menghalangi aku?” dia bertanya, berlagak pilon.
“Aku ingin ketahui kau murid siapa?” menyahut See Thong Thian. “Aku ingin ketahui untuk apa kau datang nyelusup ke istana ini?”
Sepasang alis yang bagus dari si nona bergerak bangun. “Jikalau aku tidak sudi mengasih keterangan?” tanyanya, menantang.
“Pertanyaannya Kwie-bun Liong Ong tidak dapat tidak dijawab!” sahut orang she See itu.
Oey Yong melihat ke sekitarnya. Pintu ada di belakang Thong Thian, tidak dapat ia memaksa menerobos keluar. Justru itu ia dapatkan Bio Cu Ong hendak pergi ke luar, ia lantas menegur.
“Lopepe, dia pegat aku, dia tidak mau kasih aku pulang?” katanya.
Hati Cu Ong tertarik. Suara orang merdu dan bernada minta dikasihani. Ia pun mau percaya, bocah ini bukan sembarang orang. Tanpa merasa, ai menjadi merasa suka kepada si nona.
“Kau jawablah pertanyaannya See Liong Ong,” ia kata, tertawa. “Setelah kau berikan jawabanmu, dia nanti mengasih ijin kau berlalu.
Oey Yong tertawa, tetap dengan manis. “Aku justru tidak sudi menjawab dia!” sahutnya. Lantas dia hadapkan Thong Thian untuk mengancam, “Jikalau kau tidak mengijinkan aku pergi, nanti aku pergi denagn cara paksa!”
See Thong Thian tertawa dingin.”Asal kau mampu!” bilangnya.
“Tapi awas, kau tidak boleh serang aku!” berkata si nona, ynag hendak menggunai pula kecerdikannya.
“Untuk memegat kau, budak cilik, buat apa See Liong Ong sampai menurunkan tangan?” katanya.
“Bagus!” seru Oey Yong. “Seorang laki-laki, satu kali ia mengucap, itu telah menjadi kepastian! Eh, See Liong Ong, kau lihat itu di sana apa?” Semabri mengucap, dia menunjuk ke arah kiri.
See Thong berpaling ke arah yang ditunjuk itu.
Oey Yong gunai kesempatan ketika orang menoleh, tubuhnya meleset, lewat di samping jago tunggal dari sungai Hong Ho itu.
Benar-benar lihay See Thong Thian. Baru orang berkelebat, atau kepalanya sudah menghadang di depan si nona. Syukur si nona itu pun lihay, ia dapat menahan tubuhnya hingga ia tidak usah melanggar kepala orang itu. Ia meundur dengan cepat.
See Thong Thian mengawasi. Sekarang telah buntu jalannya si nona itu. Dua kali lagi ia mencoba, jago sugai Hong Ho itu senantiasa menghadang di depannya.
Nio Cu Ong menyaksikan itu, ia tertawa. “See Liong Ong, adalah satu ahli tersebar,” katanya. “Maka janganlah kau mensia-siakan tenaga, kau mengaku kalah saja!” Habis berkata, ia lantas hendak pergi, untuk lari ke kamarnya. Baru saja ia tiba di ambang pintu atau hidungnya sudah tercium bau yang membuatnya sangat terkejut.
“Celaka!” serunya. Ia sudah lantas nyalakan api, hingga ia menjadi tercengang. Di situ tergeletak bangkai ularnya, dan obat-obatannya kacau tidak karuan. Hampir ia menjerit menangis, karena habislah usahanya beberapa puluh tahun.
Som Sian Lao Koay bukan melainkan pandai ilmu silat tetapi pun ia paham ilmu tabib, maka kebetulan untuknya pada suatu waktu ia dapat resep yang istimewa, resep untuk membikin sehat dan kuat tubuh. Untuk ini, ia lantas pergi berkelana, untuk mencari bahan-bahan obatnya. Pula, setelah banyak kesulitan, ia telah dapatkan ularnya yang besar itu yang sanat berbisa. Lantas ular ini ia kasih makan pelbagai macan obat pilihan. Mulanya tubuh ular itu warnanya hitam abu-abu, setelah makan banyak macan obat itu, warnanya lantas berubah menjadi merah mulus, warna merah itu menjadi marong sesudah sang ular dipiara duapuluh tahun lamanya. Ia sudah memikir buat lagi beberapa hari akan menghisap darahnya ular itu, untuk membikin ia panjang umur, untuk menambah kekuatan tubuhnya, sebab ia berangan-angan untuk menjagoi dan merobohkan segala jago lainnya, siapa tahu sekarang ularnya itu terbinasa, malah ia ketahui juga terbinasanya ular itu sebab darahnya telah orang sedot.
Cepat setelah ia tersadar, io Cu Ong periksa tubuh ularnya itu, terutama lukanya, maka tahulah ia, musuh belum pergi jauh. Tidak bersangsi lagi, ia lari keluar, ia lompat naik ke atas pohon besar, untuk memandang sekitarnya, guna mencari si pencuri. Ia dapat melihat di dalam taman ada dua orang lagi bergumul. Berbangkit pula hawa amarahnya, maka dengan lantas ia lari ke arah taman. Sebentar saja ia sudah sampai si taman di mana Kwee Ceng dan Wanyen Kang tengah bertempur. Baru ia datang atau hidungnya telah mendapat cium bau obat tercampur bau amis yang datangnya dari arah si pemuda.
Dalam halnya ilmu silat, Kwee Ceng kalah dari Wanyen Kang, maka juga kali ini diwaktu mulai bertempur, ai sudah lantas keteter, akan tetapi, begitu lewat beberapa jurus, begitu juga datanglah perubahan atas dirinya. Mendadak ia merasa perutnya sangat panas seperti ada bola api di dalam perutnya itu. Disaat itu tenaganya lantas bertambah sendirinya. Satu kali ia serang Wanyen Kang, maka si pangeran menangkis, beda daripada biasanya, dia terhuyung.
“Heran, kenapa tenaganya menjadi kuat?” tanya si pangeran dalam hatinya.
Kwee Ceng pun pun terus merasakan perubahan. Tubuhnya panas hingga ia seperti tidak sanggup menahannya. Ia menjadi sangat berbahaya. Di mana-mana ia merasakan gatal pada tubuhnya.
“Kali ini habislah jiwaku…” pikirnya. “Tentulah bisa ular lagi bekerja…”
Ingat kepada bisa ular, hatinya pemuda ini menjadi kecil. Karena ini, ia pun menjadi alpa, hingga dua kali bebokongnya kena dihajar si pangeran, yang sudah dapat memperbaiki dirinya. Tapi juga penyerangan ini mendatangkan perubahan lainnya. Biasanya kalo ia kena diserang, ia merasa sakit, tetapi sekarang, bukannya ia merasa sakit hanya gatal, dan enak sekali rasa gatal itu. Ia menjadi heran berbareng girang, hingga sengaja ia membuatnya lowongan, sampai Wanyen Kang dapat menyerang sepuasnya. Tidak sedikit pun ia merasakan sakit lagi.
Siauw-ongya itu turut menjadi heran, karena pelbagai pukulannya tidak menyebabkan orang kesakitan atau roboh. “Kenapa sekalipun dengan pukulan yang membahayakan aku tidak dapat melukai dia?” pikirnya.
Sedang Kwee Ceng berpikir: “Heran, kenapa pukulannya empuk sekali, dia seperti meggaruki gatalku?”
Adalah aturan dari resepnya io Cu Ong itu, siapa habis minum darah ular, tubuhnya mesti dipukuli, supaya dengan begitu, hawa darah itu buyar, supaya racunnya tidak bekerja lagi, setelah mana, tubuh orang yang bersangkutan menjadi tambah kuat. Maka itu kebetulan sekali Kwee Ceng bertempur sama Wanyen Kang. Siauw-ongya tidak ketahui rahasia itu, tidak heran kalau ia menjadi bingung.
Tatkala Nio Cu Ong tiba, telah cukup lama Kwee Ceng terhajar, maka itu tubuhnya menjadi kuat luar biasa, pelbagai pukulannya Wanyen Kang menjadi tidak ada artinya. Menyaksikan itu, Cu Ong menjadi menyesal berbareng penasaran dan mendongkol.
“Hai, bangsat anjing!” dia menegu. “Siapa yang anjurkan kau mencuri ularku?!” Dia percaya, sebagai bocah Kwee Ceng tentunya tidak ketahui rahasia resepnya itu, mestinya si bocah diberi petunjuk oleh seorang berilmu, yang entah siapa.
Kwee Ceng memang tidak tahu suatu apa mengenai resep itu atau darah ular yang ia minum, oleh karena itu ia gusar yang ia telah dicaci.
“Bagus, kiranya kau yang piara ular berbisa itu!” ia berseru. “Aku sekarang telah terkena bisanya binatang jahat itu, hendak aku mengadu nyawa denganmu!” Ia lompat maju untuk menyerang itu jago dari Kwan-gwa.
Nio Cu Ong merasakan pula sambaran bau obat dan amis dari ular, yang leuar dari baju atau tubuhnya Kwee Ceng, mendadak hatinya menjadi panas, lantas timbul pikirannya yang kejam. Ia pikir: “Dia telah minum darah ularku, baik aku bunuh dia, untuk sedot darah dari tubuhnya itu, mungkin kekuatannya obat masih ada atau mungkin kekuatan itu bertambah besar…” Karena ini, ia menjadi girang, lantas ia menyambuti serangan. Dengan lantas ia dapat menangkap tangannya si anak muda.
Tenaganya Kwee Ceng telah bertambah luar biasa, maka itu ketika ia mengibaskan tangannya, untuk ditarik, tangan itu segera terlepas dari cekalannya lawan.
Nio Cu Ong tidak menjadi heran yang ia tidak bisa mencekal terus tangannya bocah itu, ia lantas menggunai akal. Ia menanti lain serangan, lalu ia menangkap pula. Kali ini ia menunggu sampai orang berontak, segera ia gunai kakinya untuk menggaet.
Jago ini lihay berlipat kali dari kwee Ceng, ia tentu dapat berbuat sesukanya terhadap anak muda itu, yang kalah pandai dan kalah pengalaman, kalah cerdik juga. Begitulah ketika kakinya kena digaet, Kwee Ceng roboh dengan segera. Lantas Cu Ong menubruk, untuk memegang keras pundak orang, yang ia tekankan kepada tanah, setelah mana ia majukan mukanya ke arah leher, untuk menggigit leher itu, guna menyedot darah ularnya.
Sementara itu Oey Yong di dalam Hoa Cui Kok masih tidak dapat menerobos penjagaannya See Thong Thian, biarnya ia sangat lincah, semua percobaannya sia-sia belaka. Sebenarnya, kalau Thong Thian menghendaki, dengan gampang ia bisa bekuk nona itu, dengan mencekal tangannya, tetapi di depan Chao Wang, dia hendak pertontonkan kepandaiannya, dia sengaja permainkan nona itu.
Oey Yong menjadi cemas. Akhirnya ia berhenti mencoba. “See Liong Ong,” katanya, untuk menggunai akal pula, “Asal aku dapat lolos, kau tidak dapat mengganggu pula padaku. Akurkah kau?”
“Asal kau dapat molos, akan aku menyerah kalah!” Thong Thian jawab.
Oey Yong lantas menghela napas. “Sayang, sayang….” katanya dengan masgul. “Sayang, ayahku cuma ajarkan aku menyerang masuk, dia tidak mengajarkan aku ilmu menerjang keluar…..”
“Apakah itu menyerang masuk dan menerjang keluar?” tanya See Thong Thian. Biar bagaimana, ia belum pernah dengar hal ilmu masuk dann keluar itu.
“Itulah ilmu untuk merobohkan kau,” sahut si nona. “Kau punya ilmu Menukar Wujud Memindahkan Kedudukan ini, walaupun sudah tidak dapat dicela, apabila dibandingkan sama kepandaian ayahku, bedanya masih jauh sekali!”
Thong Thian gusar. Ia percaya ilmunya sudah dipuncak kemahiran. “Kau ngaco-belo, budak cilik!” bentaknya. “Siapakah ayahmu itu?!”
“Jikalau aku sebutkan nama ayahku, aku khawatir kau nanti kaget hingga semangatmu terbang!” Oey Yong menjawab. “Ketika dulu hari ia ajarkan aku menyerang masuk, ayahku itu menjaga di mulut pintu, aku memasukinya dari luar, beberapa kali aku mencoba, aku gagal. Mengenai kepandaianmu ini, memang dari dalam aku tidak sanggup menerjang keluar, akan tetapi kalau dari luar, tak usah menggunai tenaga untuk meniup debu, pasti aku akan dapat molos.”
Thong Thian mendongkol sekali. “Dari luar masuk ke dalam sama dari dalam pergi keluar, tidakkah itu sama saja?” dia menanya. “Baiklah kau boleh coba dari luar!” Ia lantas menggeser tubuhnya, guna mengasih si nona pergi keluar. Ingin ia menyaksikan orang menyerang masuk, untuk mengetahui, apa macam ilmu menyerang masuk itu.
Oey Yong lantas saja meleset keluar, terus ia tertawa geli.
“See Liong Ong, kau telah tertipu olehku!” katanya nyaring. “Kau telah bilang sendiri, asal aku berada di luar, kau akan menyerah kalah, kau tidak bakal mengganggu pula aku. Kau lihat, bukankah aku sekarang telah berada di luar? Nah, sampai ketemu pula!”
See Thong Thian berdiri diam. Memang telah dibikin perjanjian itu, tidak peduli si nona telah menggunai akal bulus. Saking menyesalnya, ia ketoki kepalanya sampai tiga kali.
Pheng Lian Houw bersahabat erat sekali sama Kwie-bun Liong, tidak suka ia membiarkan kawannya itu diperdayakan secara demikian, ia pun tidak senang orang dapat pergi dengan begitu saja, dari itu ia segera ayun kedua kedua tangannya. Maka menyambarlah dua renteng senjata rahasia yang berupa kim-chie atau uang emas.
Adalah umum kalau orang menyerang dengan kim-chie, serangannya itu untuk atas dan bawah, hingga sulit orang lolos dari salah satunya. Orang she Pheng ini adalah satu ahli, hingga ia peroleh gelarannya yang luar biasa – Cian Ciu Jin-touw, yang berarti pembunuh manusia seribu tangan, maka tidaklah heran kalau ia ada mempunyakan keistimewaannya sendiri. Senjata rahasianya itu adalah seperti bumerang. Kim-chie lewat di atasannya kepala Oey Yong, lalu berbalik sendirinya, terus menyerang ke bebokong.
Oey Yong heran dan kaget. ia lihat serangan lewat di atasan kepalanya, ia menjadi heran, hingga ia memikir, kenapa kepandaian orang ini begini buruk? Tapi justru ia heran, ia dengar suara angin, lalu kedua senjata rahasia itu berbalik, menyambar ai di kiri-kanan mengarah batok kepalanya. Ia menjadi kaget sekali. Ia ada punya mustika pelindung tubuh, tidak demikian dengan kepalanya, kalau ia terserang jitu, celakalah ia. Karena ini, ia lompat ke depan, Ia baru menaruh kaki, atau kim-chie yang belakangan sudah menyambar pula. Hebat untuk dia, dua renceng kim-chie dari Phen Lian Houw terdiri dari beberapa puluh biji, datangnya saling susul. Tidak dapat kim-chie itu ditanggapi. Karena ini tidak ada jalan lain, terpaksa ia melompat maju pula, ia berlompatan. Maka dilain saat, ia telah kembali ke ruangan besar!
Tidak ada niatnya Pheng Lian Houw untuk melukai si nona, ia menyerang denagn sennjata rahasianya itu guna menggiring nona itu kembali ke dalam, kalau tidak demikian, pasti Oey Yong tidak sanggup membebaskan diri dari bahaya maut atau entengnya terluka. Menampak itu, semua orang bersorak saking gembira. Lian Houw sendiri lantas berdiri di ambang pintu.
“Bagaimana?” dia tertawa. “Kau kembali ke dalam?”
Oey Yong membuat main mulutnya untuk mengejek. “Kepandaianmu menggunai senjata rahasia bagus sekali,” bilangnya, tawar, “Melainkan sayang kau gunai itu untuk menghina satu anak perempuan! Apakah yang aneh?”
“Siapa menghina kau?” Lian Houw tanya. “Aku toh tidak melukai kamu?”
“Kalau begitu, kau biarkanlah aku berlalu dari sini,” kata si nona.
“kau bilang dulu, siapa yang ajarkan kamu ilmu silat,” Lian Houw bilang.
Nona nakal itu tertawa. “Aku telah pelajarkan ini sejak aku dalam kandungan ibuku,” jawabnya.
“Kau tidak hendak memberitahu, apakah dengan begitu kau menyangka aku tidak akan mengetahuinya?” Lian Houw berkata seraya sebelah tangannya menyemboki pundak orang.
Oey Yong tidak menangkis, ia pun tidak berkelit. Ia tahu tidak dapat ia lawan jago ini, ia mencoba berlaku norek. Hendak ia menyangkal terus-menerus.
Lian Houw lihat orang diam saja, disaat tangannya hampir mengenai pundak si nona, ia lantas menarik pulang.
“Lekas menangkis!” ia berseru. “Lekas! Di dalam sepuluh jurus, aku orang she Pheng pasti akan ketahui asal-usulmu!” Dia memang luas pengetahuannya dan mengenali ilmu silat pelbagai golongan, tetapi ilmu silat Oey Yong membuatnya bersangsi, dari itu ingin ia menempur selama sepuluh jurus untuk memeproleh kepastian.
“Jikalau sampai sepuluh jurus kau masih belum dapat mengetahui?” tanya Oey Yong.
“Aku akan merdekakan padamu! Awas!” Sambil menjawab demikian, Lian Houw menyampok dengan tangan kiri yang disusul sama tinju kanan, tinju mana dibarengi sama tendangan kaki kanan. Inilah pukulan berantai tiga kali yang hebat.
Oey Yong terkesiap juga melihat datangnya serangan saling susul dan berbareng itu, akan tetapi ia tidak menjadi kaget dan gugup. Sebat sekali ia mundur sambil memutar tubuh dengan sebelah kaki, hingga dengan begitu ia perlihatkan sikap “Si ayam emas berdiri dengan satu kaki”. Dengan begitu, ia lolos dari bahaya.
Di dalam hatinya, Pheng Lian Houw berkata, “Inilah ilmu silat Jie Long Kun dari Keluarga Luow dari Ceciu, Shoatong. Keluarag itu memang mengutamakan kelincahan. Coba aku desak pula dia dengan dua jurus.” Lalu pikiran ini ia wujuskan denagn cepat sekali.
“Inilah jurus yang kedua!” berseru si nona, yang menangkis dengan tangan kiri buat memunahkan serangan orang. Ia bersilat dengan ilmu silatnya Iwee-kee si ahli dalam.
Pheng Lian Houw menjadi heran. “Inilah jurus Pak-kek-sie dari ilmu silat Liok Hap dari Kangpak,” ia berpikir pula. “Ilmu silat ini bertentangan dengan Jie Long Kun, yang adalah dari pihak gwa-kee. Kenapa dia dapat menyakinkan dalam dan luar dengan berbareng?”
Gwa-kee ialah ahli luar.
Lantas orang she Pheng ini melanjuti serangannya, ynag ketiga dan keempat, karena juga yang kedua dan ketiga itu dapat dihindarkan si nona, demikian pun dengan yang keempat ini.
Oey Yong menolong diri dengan ilmu silat Keluarga Swee dari Thay-goan, yaitu ilmu silat “Cut In Ciu” atau “Keluar dari Mega”.
Lian Houw menjadi bertambah heran. “Heran bocah ini mempunyai ilmu silat campur aduk seperti ini! Mungkinkah ia sengaja berbuat begini untuk mencegah aku dapat mengenali asal-usulnya? Baik aku gunai pukulan yang telengas, denagn begitu tidak dapat ia tidak menggunai ilmu silatnya yang sejati guna menolong diri,” katanya dalam hati.
Oleh karena berpikir begini, Lian Houw segera menyerang dengan jurusnya yang kelima, yang hebat sekali. Kalau yang keempat pertama bengis, tapi tidak sekejam ini.
Semua orang terkejut melihat kawannya bersikap telengas begitu, dengan sendirinya mereka jadi berkhawatir untuk Oey Yong, sedang si nona pun segera menjadi kelabakan. ia cuma bisa berkelit dan menangkis, tidak dapat ia mencoba membalas menyerang.
Auwyang Kongcu, san-cu atau pemilik dari Pek To San, lantas berkata: “Budak ini barusan menggunai jurus Menggantung kumala di gantungan emas. Itulah ilmu silat Lo Cia Sie dari partai Siong Yang Pay. Dia menyusuli itu dengan jurus Menunggang harimau mengalah tindak dari ilmu silat Tiang Kun dari Kwan-tong, yang mirip dengan ilmu silatnya saudara Som Sian Lao Koay. Ah, inilah Tepukan tiga kali dan Gunting emas, jurus dari Cu-ngo Tay Kok Kiam dari Kanglam. Banyak benar ragam ilmu silatnya. Ah,ah, dia celaka! Kenapa ia tidak berkelit ke kiri?”
Pheng Lian Houw mendesak terus, sampai pada jurus yang kedelapan, tangan kirinya menggertak, tangan kanannya meninju. Oey Yong tahu tangan kiri itu adalah ancaman belaka, maka berniat ia berkelit ke kanan, tetapi justru itu, ia dengar perkataan terakhir dari sancu dari Pek To San itu, tiba-tiba ia mendapat pikiran baru, segera ia terjang tangan kiri si orang she Pheng itu denagn jurusnya “Tibanya air mata es dingin,” salah satu jurus dari ilmu silat “Soat San Pat To” dari See Hek, wilayah Barat.
Menampak itu, Auwyang Kongcu tertawa dan mengatakan, “Ha, dia menggunai ilmu silatnya tetanggaku!”
Pheng Lian Houw mendelu mendengar suaranya orang she Auwyang itu. Terang si bocah wanita ini telah diberi kisikan berterang, hingga gagallah serangannya itu. Karena ini, ia menjadi mendongkol terhadap si nona . Ia kata dalam hatinya: “Mustahil aku tidak mampu hajar mampus padamu, budak?!” Ia memang telengas, kalau mulanya ia menaruh “belas kasihan”, itu disebabakan si nona cantik dan manis, usianya pun masih sangat muda. Tapi sekarang, setelah ia dilayani dengan ilmu silatnya delapan partai, ia menjadi penasaran, dari penasaran, ia menjadi gusar, yang mana ditambah sama kisikannya san-cu dari Pek To San itu. Segera ia menyerang denagn jurusnya yang kesembilan. Ia menggunai jurus “Menolak jendela untuk memandang rembulan”, ia bergerak denagn kedua tangannya, tangan kiri di balik ke bawah, tangan kanan ke atas.
Oey Yong terkejut melihat gerakan lawan ini, sampai ia mengeluh di dalam hatinya. Batok kepalanya bakal hancur luluh kalau ia sampai kena di serang. Untuk menangkis sudah tidak keburu lagi. Terpaksa ia lantas berkelit, kepalanya di aksih mendak, kedua tangannya ditekuk, untuk membalas menyikut naik dadanya penyeranganya itu.
Pheng Lian Houw menyerang dengan hebat, akan tetapi ia waspada, maka itu ia dapat melihat perlawanan si nona. Dengan gampang ia membebaskan dirinya, sesudah mana, ia melanjuti dengan jurusnya yang kesepuluh. Ia menggunai tipu silat “Binatang jatuh di tengah udara”. Tapi ia tidak menyerang habis, disaat si nona hendak memunahkannya. ia berhenti setengah jalan sambil terus berseru: “Kau muridnya Hek Hong Siang Sat!” Dan seruan ini disusul sama gerakan tangan kanan, atas mana Oey Yong terhuyung ke belakang, terpelanting tujuh-delapan tindak!
Semua orang terperanjat dengan perkataan Pheng Lian Houw itu, kecuali Chao Wang. Sebab mereka semua adalah orang-orang kangouw berpengalaman dan terhadap Hek Hong Siang Sat, rata-rata orang jeri. Benar terkabar kalau Tong Sie Tan Hian Hong si Mayat Perunggu telah meninggal dunia akan tetapi tidak ada diantara mereka ini yang pernah menyaksikan sendiri, mereka jadinya ragu-ragu. Pheng Lian Houw telah dapat membuktikan ilmu silatnya Oey Yong di jurus kesembilan, dari itu pada jurus kesepuluh batal ia dengan maksudnya menghajar si nona, ia cuma mendorong saja denagn keras.
Oey Yong dapat mempertahankan diri, setelah berdiri tetap, mendadak ia rasakan sakit pada dadanya yang kiri. Sebenarnya hendak ia bicara, ketika denagn sekonyong-konyong. di malam yang tenang itu, ia dengar satu suara keras dari kejauhan, malah ia segera kenali suaranya Kwee Ceng, suara mana bernada kaget dan gusar. Ia menjadi kaget, mukanya menjadi pucat. Ia menduga kawannya itu telah menghadapi ancaman malapetaka.
Memang juga itu waktu, Kwee Ceng telah dibikin tak berdaya oleh Nio Cu Ong. Ia telah ditekan ke tanah, tangannya dan kakinya telah dicekal keras, hingga habislah tenaganya, tak dapat ia berkutik. Ia kaget bukan main, waktu ia rasakan mulutnya orang si she Nio itu mengenai batang lehernya. Setahu dari mana datangnya, mendadak saja ia dapat tenaga pula, terus ia berontak sekuat-kuatnya, hingga Nio Cu Ong tidak dapat menguasai ia terlebih lama. Ia tidak lantas menginsyafi bahwa ia dapat tenaga besar berkat darah ular yang dicampur latihan tenaga dalam dari Tan Yang Cu Ma Giok. Dengan satu gerakan “Ikan gabus meletik” ia kasih dengar jeritannya itu.
Nio Cu Ong bukan melainkan membikin terlepas cekalannya, juga kedua telapakan tangannya pecah dan berdarah, darahnya mengalir keluar. Ia menjadi kaget berbareng gusar. Segera ia maju untuk menyerang pemuda itu.
Kwee Ceng berkelit dengan berlompat ke belakang, tetapi Nio Cu Ong ada sangat gesit, tangannya tiba di bebokongnya. Kali ini, pukulannya Nio Cu Ong bukan seperti pukulannya Wanyen Kang, pukulan ini mendatangkan rasa sangat sakit. Maka itu, karena sakitnya dan kaget, Kwee Ceng lantas lari sekeras-kerasnya. Dia memang ringan tubuhnya, setelah meminum darah ular, tenaganya bertambah, hingga itu Nio Cu Ong tidak dapat segera menyandak, hingga mereka berlari-larian di taman, di antara pohon-pohon dan gunung-gunungan. Satu kali Cu Ong berlompat, tangannya menjambak. Kwee Ceng berayal, bajunya kena terpegang, baju itu lantas robek sebagian, bebokongnya kena terjambret hingga berdarah, bertapak tanda lima jari, sakitnya bukan main. Saking takut, Kwee Ceng lari terus. Kebetulan ia tiba di depan rumah petani dari onghui, ia lompat masuk ke dalam rumah itu. Di situ ia mendekam.
Nio Cu Ong tidak dapat mencari. Kemudian ia disusul oleh Wanyen Kang, denagn siapa ia berbicara. Selama itu Kwee Ceng terus diam saja, cuma kupingnya mendengar pembicaraan orang itu. Di dalam hatinya ia berpikir: “Onghui murah hati, mungkin ia dapat menolong aku…” Karena ini, ia keluar dari tempat sembunyinya, ia lari ke dalam kamar si nyonya agung. Ia dapatkan sebuah kamar yang diterangi lilin tetapi penghuninya tidak ada, onghui kebetulan berada di kamar yang lain. Ia melihat ke seluruh kamar. Di sebelah timur ada sebuah lemari besar, ia hampirkan itu, akan buka pintunya, lalu ia masuk ke dalamnya, untuk menyembunyikan diri. Dengan masih mencekal terus goloknya, ia menghela napas lega.
Segera tedengar tindakan kaki perlahan masuk ke dalam kamar. Dari sela-sela lemari, Kwee Ceng mengintai. Ia lihat yang datang itu onghui sendiri.
Nyonya agung itu duduk di samping meja, matanya bengong mengawasi lilin.
Tidak antara lama, Wanyen Kang bertindak masuk. “Ma,” sapanya. “Apakah tidak ada orang jahat masuk ke mari?”
Onghui menggeleng kepala. Cuma sebegitu jawabannya.
Putra itu lantas keluar pula, untuk bersama Io Cu Ong dan yang lainnya pergi mencari ke lain-lain bagian dari istana itu.
Sebentar kemudian, onghui mengunci pintu. Hendak ia beristirahat.
“Setelah sebentar ia meniup lilin, aku akan lari dari jendela,” Kwee Ceng pikir. “Aku percaya adik Yong sudah lama pulang….”
Hampir di itu waktu, di jendela terdengar satu suara keras, disusul sama menjublaknya daun jendela itu dan mana segera lompat masuk satu orang.
Kwee Ceng terkejut, begitu juga onghui, malah nyonya itu mengasih dengar jeritan tertahan.
Orang yang datang itu adalah Yo Tiat Sim yang menyebut dirinya Bok Ek. Kedatangannya ini pastilah diluar dugaannya Kwee Ceng dan onghui. Kwee Ceng menyangka orang sudah ajak gadisnya pergi menyingkir.
Onghui dapat menenangkan diri, ia mengawasi Bok Ek itu. “Kau baiklah lekas pergi,” bilangnya kemudian. “Tidak boleh mereka dapat lihat kita….”
“Terima kasih untuk kebaikan onghui,” berkata Yo Tiat Sim. “Jikalau aku tidak datang sendiri untuk menghanurkan terima kasihku, meskipun aku mati tidaklah aku dapat memeramkan mata.” Suara itu berirama sedih.
“Ya, sudahlah,” onghui itu menghela napas. “Dalam kejadian itu adalah anakku yang salah, dia membuatnya kamu ayah dan anak bersusah hati….”
Tiat Sim tidak menyahuti, ia hanya memandang seluruh kamar. Tiba-tiba ia menjadi sangat berduka, kedua matanya menjadi merah, tanpa ia dapat menahan, air matanya menguncur turun. Dengan uujung bajunya, ia susuti air matanya itu. Ia bertindak ke tembok, di situ ia kasih turun tombak besi yang tergantung. Ia meneliti gagang tombak itu. Tepat enam dim dekat tajamnya tombak, di situ ada terukir empat huruf “Tiat Sim Yo-sie”, yang artinya, “Istrinya Yo Tiat Sim”. Lantas ia pegang terus tombak itu, ia mengusap-usap. Akhir-akhirnya sambil menghela ia berkata, “Tombak ini sudah karatan, tandanya sudah lama tidak pernah digunakan lagi….”
Agakanya onghui heran atas lagak-lagu orang itu. “Aku minta janganlah kau raba tombak itu,” katanya perlahan.
“Kenapakah?” Tiat Sim tanya.
“Itulah barang yang aku paling hargai,” sahut si nyonya agung.
“Ah…” Tiat Sim bersuara perlahan, terus ia gantung tombak itu. Sekarang ia mengawasi lanjam yang berada si pinggiran tombak itu.
“Ujung lanjam ini sudah rusak, biarlah besok besok suruh Thio Bok-jie dari dusun timur memperbaikinya dengan tambah setengah kati besi…” katanya peralahan.
Mendengar kata-kata itu, tubuh onghui bergemetar. Ia berdiam aja mengawasi Tiat Sim. Sampai sekian lama baru ia dapat membuka mulutnya. “Kau…kau kata apa?” tanyanya.
“Aku bilang lanjam ini sudah rusak,” Tiat Sim menyahuti, “maka besok baiklah suruh Thio Bok-jie dari dusun timur membetulkannya, dengan menambah setengah kati besi…”
Tiba-tiba saja onghui menjadi lemas kedua kakinya, ia roboh di kursi. “Kau…kau siapa?” tanyanya, suaranya menggetar. “Kenapa…kenapa kau ketahui kata-katanya suamiku pada itu malam dari saat kematiannya…?”
Hancur hatinya onghui ini yang sebenarnya bukan lain daripada Pauw Sek Yok atau nyonya Yo Tiat Sim. Rumah tangganya telah runtuh, famili pun tidak ada, mana ia percaya suaminya telah menutup mata, dengan terpaksa ia turut Wanyen Lieh pergi ke Utara. Tidak dapat ia menampik bujukannya pangeran itu yang perlakukan ia dengan baik sekali, di akhirnya ia serahkan dirinya dijadikan onghui atau selir. Sudah delapan belas tahun ia tinggal di istana, selama itu wajahnya tidak berubah banyak. Sebaliknya To Tiat Sim yang mesti hidup dalam pengembaraan, ia tidak lagi seperti masa mudanya, maka itu sekalipun mereka berada di dalam sebuah kamar, Pauw Sek Yok tidak dapat lantas mengenali suaminya itu.
Yo Tiat Sim tidak menjawab, ia hanya bertindak ke samping meja, untuk menarik lacinya meja itu. Di dalam situ ada tersimpan beberapa potong pakaian pria, baju dan celana biru. Itulah pakaian yang ia pakai pada dulu hari. Ia jumput sepotong baju, ia kerebongi itu pada tubuhnya: “Bajuku telah cukup dipakai. Tubuhmu lemah, kau pun tengah mengandung, kau baik-baiklah beristirahat, tak usah kau membikin pakaian lagi untukku…”
Sek Yok terkejut. Ia ingat betul, itulah kata-kata suaminya dulu hari tempo ia tengah hamil membuatkan sepotong baju baru. Ia lantas berbangkit, akan hampirkan Tiat Sim, baju siapa ia tarik, kemudian ia gulung tangan bajunya, hingga ia dapat lihat di lengan kiri orang satu tanda bekas luka. Sekarang ia tidak bersangsi pula, maka lantas saja ia tubruk suaminya itu dan merangkulnya erat-erat seraya ia menangis sedih sekali.
“Aku tidak takut!” katanya kemudian. “Lekas kau bawa aku pergi….Aku akan turut kau ke lain dunia, untuk mati bersama…Aku lebih suka menjadi setan untuk tetap berada bersama denganmu…!”
Tiat Sim rangkul istrinya itu, air matanya turun bercucuran. “Kau lihat, apakah aku setan?” kata suaminya ini kemudian.
See Yok memeluk erat-erat. “Tidak peduli kau manusia atau setan, tidak dapat aku lepaskan kau!” katanya. Hanya sejenak kemudian ia bertanya: “Mustahilkah kau belum mati? Mustahilkah kau masih hidup?”
Tiat Sim hendak menyahuti istrinya itu tatkala mereka mendengar suara Wanyen Kang dari luar kamar: “Mama, kenapakah kau berduka pula? Dengan siapakah kau berbicara?”
Se Yok kaget tetapi ia lantas menyahuti: “Aku tidak apa-apa, aku hendak tidur….”
Wanyen Kang tidak lantas pergi hanya ia jalan mengitari rumah itu. Ia menjadi curiga sebab tadi terang ia dengar suara orang berbicara. Di pintu ia berhenti dan mengetok perlahan beberapa kali. “Ma, hendak aku bicara denganmu,” katanya.
“Besok saja,” sahut sang ibu. “Sekarang aku letih sekali.”
Mendapatkan ibu itu tidak hendak membuka pintu, siauw-ongya ini menjadi semakin bercuriga. “Aku hendak omong sedikit saja, lantas aku pergi,” ia berkata pula.
Tiat Sim menduga orang bakal masuk ke dalam, ia lepaskan Sek Yok dan bertindak ke jendela dengan niat lompat keluar, tetapi ketika ia menolak, jendela itu keras, rupanya ada orang yang menahannya dari sebelah luar.
Pauw Sek Yok segera menunjuk ke lemari, maksudnya menganjurkan suaminya itu masuk ke dalamnya untuk bersembunyi.
Tiat Sim suka menurut. Ia memang tidak rela meninggalkan istrinya itu. Ia lantas bertindak ke lemari yang ditunjuk itu, untuk menjambret pintunya untuk dibuka.
Begitu pintu lemari terpentang, tiga orang menjadi terkejut sekali. Di dalam lemari itu tertampak Kwee Ceng, melihat siapa onghui menjadi tergugu, hingga ia mengeluarkan jeritan tertahan.
Wanyen Kang berkhawatir mendengar jeritan ibunya itu, ia takut ibunya diganggu orang jahat. Dengan pundaknya, ia segera tabrak pintu kamar itu, hingga daun pintunya mejeblak terbuka.
Sebelum orang nerobos masuk, Kwee Ceng tarik Tiat Sim masuk ke dalam lemari, yang pintunya ia segera tutup pula.
Wanyen Kang dapatkan ibunya bermuka pucat dan mukanya itu bermandikan air mata. Di dalam kamar itu tapinya tidak ada lain orang. Ia menjadi curiga sekali. “Ma, ada terjadi apakah?” ia menanya.
“Tidak apa-apa,” sahut si ibu, yang menenangkak dirinya. “Hatiku tidak tentram.”
Putra itu menghampiri ibunya, di tubuh siapa ia menyanderkan diri. “Ma, aku tak akan main gila lagi,” katanya. “Aku minta supaya kau jangan bersusah hati. Dasar anakmu yang buruk….”
“Nah, kau pergilah,” kata ibu itu. “Aku mau tidur.”
“Ma, apakah tidak ada orang masuk ke mari?” putra itu tanya pula.
“Siapakah dia?” tanya ibunya, hatinya berdenyut.
“Orang jahat telah nyelusup masuk kedalam istana,” Wanyen Kang beritahu.
“Begitu?” tanya ibunya. “Sekarang lekas kau pergi tidur. Urusan itu kau jangan campur tahu!”
Wanyen Kang tertawa. “Tentara pengawal semuanya kantong nasi!” katanya. “Ma, baiklah, kau tidurlah!”
Putra ini memberi ucapan selamat malam, tapi disaat ia hendak mengundurkan diri, ia dapat melihat ujung baju di sela-sela lemari, maka kembali timbul kecurigaannya. Ia batal pergi, ia lantas ambil tempat duduk. Ia pun menuang the ke dalam cangkir, untuk di minum dengan perlahan-lahan. Sembari minum, hatinya bekerja.
“ Di dalam lemari itu ada seorang sembunyi, entah ibu mengetahuinya atau tidak.” demikian pikirnya. Ia masih menghirup beberapa kali, baru ia berbangkit, bertindak perlahan-lahan.
“Ma,” katanya. “Bagaimana tadi permainan tombakku, bagus atau tidak?”
“Lain kali aku larang kau menghina orang karena kau andalkan pengaruhmu,” sang ibu bilang.
“Siapa mengandalkan pengaruh, Ma?” sahut si anak. “Aku tempur itu anak tolol dengan andalkan kepandaianku.”
Ia telah sampai di tembok, tangannya diulur kepada tombak, begitu lekas ia mencekal dengan baik – yang mana ia lakukan dengan luar biasa cepat – mendadak saja ia menikam ke arah lemari. Itulah gerakan “burung hong terbang, ular naga melayang”.
Pauw Sek Yok melihat itu, ia kaget bukan main, hingga ia lantas roboh pingsan.
Tapi Wanyen Kang telah menahan gerakan tangannya, batal ia menikam lemari disaat ujung tombak hampir mengenai daun pintu lemari. Ia pun lihat ibunya itu roboh.
“Ah, ibu tahu di dalam lemari ini ada orang…” pikirnya. Ia lantas senderkan tombaknya, untuk mengasih bangun pada ibunya. Sambil berbuat begitu, ia tetap mengawasi ke lemari.
Sek Yok sadar dengan perlahan-lahan, kapan ia dapatkan lemari tidak kurang satu apa, hatinya menjadi lega. Hanya karena kagetnya itu, tubuhnya menjadi lemah sekali.
Wanyen Kang telah menyaksikan kelakuan ibunya ini. “Ma,” katanya keras, “Aku ini anak kandungmu atau bukan?”
“Tentu saja,” sahut ibunya itu. “Kenapa kau menanya begini?”
“Kalau begitu, kenapa ada apa-apa yang disembunyikan kepadaku?” si anak bertanya pula.
Hatinya Pauw Sek Yok goncang keras. Ia pikir: “Kejadian ini mesti dijelaskan kepada anak ini, biarlah mereka ayah dan anak bertemu, habis itu barulah aku mencari jalan pendekku…. Aku telah hilang kehormatan diriku, inilah kesalahan besar yang tidak dapat diperbaiki lagi, maka dalam dunia ini tidak bisa aku hidup pula bersama Tiat Sim.”
Karena memikir ini, air matanya lantas bercucuran deras.
Wanyen Kang mengawasi ibunya, ia heran dan bercuriga.
“Kau duduklah baik-baik, kau dengari aku bicara,” kemudian kata si ibu.
Putra itu menurut, ia berduduk, tetapi tombaknya masih dipegangi.
“Apakah kau sudah lihat itu ukiran empat huruf di gagang tombak?” Pauw Sek Yok tanya.
“Sedari aku masih kecil telah aku menanyakannya,” menjawab anak itu. “Tetapi ibu tidak hendak menjelaskan siapa Yo Tiat Sim itu.
“Sekarang aku akan menerangkannya kepadamu,” kata ibu itu.
Tiat Sim dalam lemari telah dengar nyata pembicaraan di antara ibu dan anak itu, hatinya tergoncang keras. Ia pun berpikir: “Sekarang dia telah menjadi satu onghui, mana dapat ia mengikuti pula aku seorang rakyat kasar? Dia hendak membuka rahasia, mungkinkah ia hendak menyuruh anaknya itu mencelakai aku?”
Ia lantas dengar perkataannya Pauw Sek Yok: “Tombak ini tadinya berada di dusun Gu-kee-cun di kota Lim-an, ibukota dari kerajaan Song di Kanglam. Aku sengaja menitahkan orang melakukan perjalanan jauh ribuan lie untuk mengambilnya. Itu lanjam di tembok dan semua perabotan dalam ruangan ini, seperti meja, bangku, lemari dan pembaringan, tidak ada satu yang bukan dibawanya dari Lim-an.”
“Sampai sebegitu jauh aku tidak mengerti,” berkata Wanyen Kang, “Kenapa mama suka sekali tinggal di ini rumah bobrok, anakmu membawakan kau perabot rumah tangga yang baru tetapi semua itu ibu tolak.”
“Kau menyebutkan rumah ini bobrok?” tanya sang ibu. “Aku justru merasa ini jauh terlebih bagus dibandingkan istana yang indah, yang segalanya serba dilukis dan diukir dan diperaboti mentereng! Anak, kau tidak punyai untung bagus, kau tidak dapat tinggal di rumah bobrok ini bersama-sama dengan ayah dan ibu kandungmu snediri….”
Jantungnya Tiat Sim berdenyut, pedih ia merasa.
Wanyen kang tertawa. “Ma, makin lama kau bicara, makin aneh!” katanya. “Mana bisa ayah tinggal di sini?”
Sek Yok menghela napas. “Kasihan ayahmu itu, selama delapan belas tahun dia berkelana di duni kangouw,” berkata dia. “Oleh karena itu mana bisa dia berdiam dengan tenang dan tentram di rumah ini….”
Sang putra heran hingga ia mengawasi dengan matanya dibuka lebar-lebar. “Ma, apakah katamu?” tanyanya saking heran.
“Taukah kau siapa ayahmu yang sebenarnya?” Sek Yok menanya, suaranya keras.
“Ayahku adalah adiknya sri baginda, dialah pangeran Chao Wang,” sahut Wanyen Kang. “Kenapa mama menanya begitu?”
Ibu itu berbangkit, ia peluki tombak besi itu, lantas air matanya turun dengan deras. “Kau tidak tahu, anak, inilah tidak heran,” katanya sesegukan.
“Kau tidak dapat disesalkan. Tombak ini…inilah senjatanya ayahmu yang sejati…” Ia pun lantas menunjuk pada ukiran empat huruf di gagang tombak: “Ini barulah namanya ayahmu itu!”
Tubuhnya sang putra bergemetar. “Ma, pikiranmu was-was,” katanya, “Nanti aku pergi panggil tabib.”
“Aku was-was kenapa?” ibu itu bilang. “Apakah kau sangka kau adalah orang bangsa Kim? Kau adalah orang Han! Kau bukannya bernama Wanyen Kang, tetapi nama kau ialah Yo Kang!”
Mendengar di sebutnya nama Yo Kang itu, Kwee Ceng ingat segera ingat satu nama yang ia rasa kenal baik. Ia hanya lupa, di mana ia pernah dengar itu, Kemudian ia ingat, tempo ia masih kecil, di sana ada sebuah piasu belati yang gagangnya berukiran dua huruf “Yo Kang” itu. Kemudian piasu itu telah dipakai menikam mati pada Tan Hian Hong si Mayat Perunggu. Kemudian lagi piasu itu lenyap entah ke mana.
Wanyen Kang heran bukan kepalang. Ia lantas memutar tubuhnya. “Nanti aku minta ayah datang ke mari!” katanya.
“Ayahmu ada disini!” Sek Yok bilang. Lantas dia bertindak cepat le arah lemari, untuk buka pintunya, sesudah mana, ia pegang tangannya Yo Tiat Sim, untuk di tarik keluar.
“Oh, kiranya kau!” seru pangeran itu, yang mendadak saja menikam Bok Ek, yang di arah tenggorokannya.
Tiat Sim berkelit, sedang Sek Yok menjerit: “Inilah ayahmu! Apakah kau masih tidak percaya?” Lantas ia benturkan kepalanya ke tembok hingga tubuhnya terus roboh ke lantai.
Wanyen Kang kaget, ia putar tubuhnya, akan lihat ibunya itu, yang kepalanya mandi darah dan napasnya empas-empis. Saking tergugu, ia jadi berdiri menjublak.
Tiat Sim tubruk istrinya itu, yang ia terus peluk dan angkat untuk dibawa lari keluar dari rumah bobrok itu.
“Lepaskan!” teriak Wanyen Kang, yang kaget sekali. Tapi ia masih sadar, maka juga sambil berlompat dengan gerakan “Seekor belibis keluar dari rombongannya”, ia serang bebokongnya Yo Tiat Sim.
Bab 21. Semua Berkumpul
Tiat Sim mendengar angin menyambar belakangnya, ia putar tangan kirinya ke belakang, untuk menangkis seraya mencekal, maka ujung tombak lantas kena terpegang. Ia telah mainkan ilmu silat Keluarga Yo bagian jurus “Hui ma chio” atau “Membaliki kuda”, ialah tipu istimewa yang hanya diketahui keluarganya yang mewariskan ilmu silat itu. Sebenarnya habis itu, tanpa menanti musuh menarik pulang tombaknya, tangan kanannya sudah mesti membarengi menyerang, akan tetapi sekarang ia memeluki Pauw Sek Yok dengan tangan kanannya itu, tidak dapat ia menyerang. Maka seraya memutar tubuh, ia membentak: “Ilmu silatku ini diwariskan cuma kepada anak laki-laki, tidak kepada anak perempuan, dari itu tentulah gurumu tidak dapat mengajarakan kepadamu!”
Memang benar, walaupun Khu Cie Kee lihay, tapi ia tidak dapat mengerti sedalam-dalamnya ilmu silat Keluarga Yo itu, jadi kepandaian Wanyen Kang menggunai tombak itu belum sempurna, maka ditegur begitu, pangeran itu menjadi tercengang. Dengan begitu, mereka mencekal masing-masing satu ujungnya tombak itu. Inilah hebatnya untuk tombak itu sendiri, yang gagangnya sudah tua. Tempo keduanya saling membetot, gagang tombak itu patah sendirinya.
Kwee Ceng lantas lompat maju, ia membentak: “Kau telah bertemu dengan ayahmu sendiri, kenapa kau masih tidak berlutut untuk memberi hormat!”
Wanyen Kang bersangsi, ia menjadi tidak berayal.
Yo Tiat Sim tidak pedulikan pangeran itu, dengan bawa istrinya , ia telah tiba di luar. Ia sudah lantas disambut Bok Liam Cu, gadisnya itu, maka bersama-sama mereka melompati tembok untuk menyeingkirkan diri.
Kwee Ceng juga tidak berani berayal-ayalan, segera ia pun lari keluar. Disaat ia hendak melompat tembok, ia merasakan sambaran angin ke arah kepalanya. Ia menjadi kaget sekali, cepat sekali ia mendak. Meski begitu, angin menyambar lewat di mukanya, ia merasakan perih bagaikan kebaret pisau. Itulah menandakan lihaynya si penyerang. Selagi ia terkejut, ia dengar bentakan: “Anak tolol, aku si orang tua sudah lama menantikanmu di sini!”
Itulah suaranya Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong!
Pada itu waktu di lain kalangan, tatkala mendengar Pheng Lian Houw mengatakan ialah muridnya Hek Homh Siang Sat, sambil tertawa Oey Yong kata kepada cecu itu: “Kau kalah!” Ia berbicara dengan terpaksa, karena hatinya cemas bukan main mendengar suaranya Kwee Ceng, maka habis berkata, ia terus putar tubuhnya dan bertindak ke pintu.
Cuma dengan satu kelebatan, Pheng Lian Hoauw sudah mengahdang di ambang pintu.
“Oleh karena kau adalah muridnya Hek Hong Siang Sat, aku tidak berniat mengganggu padamu,” berkata orang she Pheng ini. “Hanya kau bilanglah, apa perlunya gurumu menitah kau datang kemari?”
Oey Yong tertawa. Dia menyenggapi: “Kau sendiri yang bilang, jikalau dalam sepuluh jurus kau tidak dapat mengenali ilmu silatku, kau akan membiarkannya aku berlalu dari sini. Kau adalah satu laki-laki sejati, kenapa sekarang kau menyangkal?”
Pheng Lian Houw gusar sekali. Ia menyahuti dengan membentak: “Jurusmu yang terakhir adaöah jurus “Tindakannya si binatang sakti”. Apakah itu bukannya pengajaran dari Hek Hong Siang Sat?!”
Oey Yong tertawa pula. “Belum pernah aku melihat Hek Hong Siang Sat,” dia kata. “Laginya, dengan kepandaian semacam itu dari mereka, mereka mana tepat menjadi guruku?”
“Percuma kau menyangkal!” bilang Lian Houw.
“Nama Hek Hong Siang Sat pernah aku dengar,” Oey Yong bilang tanpa pedulikan perkataan orang. “Apa yang aku tahu tentang mereka ialah mereka pengrusak perikeadilan dan prikemanusiaan, tidak ada kejahatan yang mereka tidak lakukan. Mereka pun telah mendurhaka terhadap guru dan kakek guru mereka, jadinya mereka adalah orang-orang dari Rimba Persilatan? Kenapa Pheng Cecu samakan aku dengan mereka itu?”
Mulanya orang menyangka nona ini tidak hendak omong terus terang, akan tetapi mendengar ia bicara demikian hebat terhadap Hek Hong Siang Sat, yang dikatakan Pheng Lian Houw sebagai gurunya, mereka menjadi saling mengawasi, dari heran mereka jadi mau mempercayai. Orang boleh berdusta hebat tetapi tidak nanti ada murid yang berani mencela dan mencaci guru sendiri di hadapan orang banyak.
Mau tidak mau, Pheng Lian Houw menggeser tubuhnya ke samping.
“Nona kecil, hitunglah kau telah menang,” katanya. “Aku si Lao Pheng kagum sekali untukmu! Sekarang aku memikir untuk meminta tanya namamu yang harum.”
Oey Yong tertawa lagi. “Maafkan, aku dipanggil Yong-jie,” ia menyahut.
“Apakah shemu?” Lian Houw menanya pula.
“Aku tidak punya she,” sahut si nona, yang tersenyum.
Semua orang di situ, kecuali Leng Tie Siangjin dan Auwyang Kongcu, telah menjadi pecundangnya nona ini, oleh karena Leng Tie Siangjin telah terluka parah, hingga tidak dapat ia menggeraki tubuhnya, kelihatannya cuma Auwyang Kongcu yang bisa menghalangi nona ini, maka itu, semua mata ditujukan kepada pemuda she Auwyang ini.
Auwyang Kongcu, sambil tersenyum, lantas bertindak perlahan. “Aku yang rendah dan bodoh, ingin aku meminta pengajaran beberapa jurus dari nona,” ia berkata.
Oey Yong mengawasi, terutama untuk pakaian orang yang serba putih. “Mereka itu – ini nona-nona cantik yang menunggang unta putih – adakah mereka orang-orangmu?” dia menanya, menegaskan.
Auwyang Kongcu tertawa. “Apakah kau telah bertemu dengan mereka itu?” tanyanya. “Kecantikan mereka itu tidak ada separuhnya dari kecantikanmu.”
Oey Yong agaknya jengah, hingga wajahnya bersemu merah. “Di sini ada beberapa tua bangka yang hendak menyusahkan aku, mengapa kau tidak membantu aku?” dia tanya.
Auwyang Kongcu tidak bisa lantas menjawab, dengan tajam ia menatap. Ia merasa hatinya gatal dan tulang-tulangnya lemas……
Anak muda ini lihay ilmu silatnya, di See Hek, wilayah Barat, ia menjagoi seorang diri. Tapi ia pun gemar sekali pada paras elok. Maka juga sejak beberapa tahun dia sudah kirim orang ke pelbagai tempat, untuk mencari nona-nona cantik dan manis, untuk dia ambil mereka itu sebagai gundik-gundiknya. Adalah diwaktu-waktu yang senggang, ia ajarkan mereka itu ilmu silat dan ilmu surat, dari itu dengan sendirinya mereka itu menjadi juga murid-muridnya. Kali ini ia berlalu dari kampung halamannya atas undangan Chao Wang, dia datang ke kota raja – Yan-khia – dengan mengajak sekalian gundik-gundiknya yang merangkap murid-muridnya itu. Dia sengaja menitahkan mereka menyamar sebagai pria, dengan semua dimestikan mengenakan pakaian serba putih seraya menunggang unta-unta putih juga. Oleh karena gundik-gundiknya itu banyak, dia pecah mereka dalam beberapa rombongan. Serombongan di antaranya, yang berjumlah delapan orang, adalah mereka yang di tengah jalan bertemu dengan Kanglam Liok Koay dan Kwee Ceng. Mereka dengar itu Biauw Ciu Sie-seng bicara perihal kuda jempolan, yang keringatnya merah, mereka jadi ketarik hati dan ingin merampasnya untuk diserahkan kepada Auwyang Kongcu, guna mengambil hatinya suami merangkap guru itu. Di luar sangkaan mereka, mereka gagal. Auwyang Kongcu pun bangga akan gundik-gundiknya itu, yang ia percaya adalah tercantik di kolong langit ini, - sekalipun di dalam keraton raja, belum tentu ada tandingannya, - ia tidak nyana mereka itu kalah dari Oey Yong, hingga ia menjadi tergila-gila sampai umpama kata kepalanya pening. Demikian hatinya goncang kana mendengar suara orang yang merdu itu.
“Nah, hendak aku pergi!” katanya si nona pula. “Kalau mereka itu menghalangi aku, kau bantu aku, maukah kau?”
Auwyang Kongcu tertawa. “Untuk aku membantu kau, itu pun dapat,” katanya. “Asal kau angkat aku menjadi gurumu dan untuk selamanya kau mengikuti aku.”
Si nona tertawa. “Umpama kata aku menjadi muridmu, tak usahlah untuk selama-lamanya aku mengikuti kau!” dia bilang.
“Murid-muridku beda daripada murid-muridnya orang lain,” Auwyang Kongcu bilang. “Semua muridku wanita dan asal sekali saja aku memanggil, semuanya bakal datang.”
Oey Yong miringkan kepalanya. “Aku tidak percaya!” ujarnya.
Auwyang Kongcu hendak membuktikan perkatannya, ia lantas mengasih dengar suaranya. Sebentar saja di muka pintu terlihat beberapa puluh wanita muda dengan pakaian serba putih yang berseragam, melainkan tubuh orang ada yang kurus dan montok, tinggi dan kate. Dengan lantas mereka berdiri berkumpul di belakangnya anak muda itu. Mereka ini berkumpul di luar selagi Auwyang Kongcu berpesta, baru mereka muncul setelah ada panggilan.
Pheng Lian Houw semua seperti bermata kabur, memandang nona-nona manis itu, mereka jadi kaget sekali dan tergiur hatinya.
Ketika di Kalgan, Oey Yong telah robohkan delapan dari nona-nona itu, ia ketahui kepandaian silat mereka itu biasa saja, sekarang ia sengaja permainkan Auwyang Kongcu supaya orang mengumpulkan gundik-gundiknya itu. Ia mengharap, selagi orang berkumpul banyak, ia dapat mencari jalan untuk meloloskan diri. tapi Auwyang Kongcu cerdik, dia rupanya telah dapat menerka, maka juga ia terus pergi ke ambang pintu, dengan perlahan-lahan dia mengipasi dirinya, sedang di bawah sinar merah dari api lilin, dia mengerling kepada si nona. Dia kelihatannya tenang dan puas.
Mengetahui akalnya gagal, Oey Yong mengasah pula otaknya. “Jikalau kau benar-benar lihay,” ia bilang. “Memang tidak ada yang terlebih baik daripada aku mengangkat kau menjadi guru, supaya dengan begitu kemudian aku tak usahlah menerima penghinaan orang.”
“Apakah kau hendak mencobanya?” Auwyang Kongcu menegaskan.
“Benar!” jawab si nona.
“Baiklah!” berkata kongcu itu. “Nah, kau kemarilah! Kau tak usah takut, aku tidak akan balas menyerang.”
“Bagaimana?” si nona menanya. “Apakah tanpa membalas menyerang kau dapat mengalahkan aku? Benarkah?”
Pemuda itu tertawa. “Walaupun kau pukul aku, mana aku tega membalas memukul?” katanya kemudian.
Lian Houw semua heran. Mereka pun dapat anggapan, pemuda ini benar-benar ceriwis. Mereka pikir: “Nona ini lihay, walaupun dia lebih pandai sepuluh lipat, mana bisa dia mengalahkannya tanpa dia membalas menyerang? Mungkinkah dia hendak menggunai ilmu siluman?”
“Aku tidak percaya yang kau benar-benar tidak bakal balas menyerang!” bilang Oey Yong pula. “Hendak aku telingkung tanganmu ke belakang!”
“Baik,” sahut Auwyang Kongcu, yang terus buka ikatan pinggangnya yang ia serahkan kepada si nona, habis mana ia bawa kedua tangannya ke belakangnya, bersedia untuk dibelenggu.
Oey Yong heran, yang orang benar-benar menyerahkan diri untuk dibelenggu, pada wajahnya ia tidak ketarakan suatu apa, ia tetap senyum, tetapi hatinya terkesiap. Ia pikir: “Terang sekali orang ini tidak bermaksud baik, maka sungguh hebat jikalau aku sampai kena dibekuk dia….” Karena ini, ia menjadi berpikir keras. Lekas ia mengambil putusan: “Biarlah, aku bekerka setindak demi setindak….” Maka ia sambuti ikat pinggang itu, yang terbuat dari benang sutra tetapi kuat, dengan itu ia terus ikat tangan orang.
“Bagaimana sekarang – bagaimana kalah menangnya?” si nona tanya.
Auwyang Kongcu lonjorkan kaki kanannya, ia taruh itu di lantai, lalu dengan kaki kiri menahan diri, ia berputar dengan kaki kiri itu, kaki kanannya terus menggurat, maka itu, dengan begitu ia membuat lingkaran. Lingkarannya sendiri dalam kira setengah dim, suatu tanda dari kuatnya kaki kanannya itu. Lingkaran pun seluas enam kaki. Hal ini membuat See Thong Thian dan Pheng Lian Houw kagum sekali.
“Siapa yang keluar dari lingkaran ini, dia yang kalah,” berkata Auwyang Kongcu, kemudian seraya ia bertindak masuk ke dalam lingkaran itu.
“Jikalau dua-duanya yang keluar?” Oey Yong masih menanya.
“Begitu pun boleh dianggap aku yang kalah,” jawab Auwyang Kongcu.
“Jikalau kau kalah, toh kau tidak bakal merintangi aku lagi, bukan?” si nona menegaskan.
“Tentu saja! Tapi kalau kau yang kalah, maka kau mesti baik-baik turut aku. Semua orang tua di sini menjadi saksinya!” kongcu itu memberi kepastian.
“Baik!” kata Oey Yong, yang lantas bertindak memasuki lingkaran itu. Ia bukan cuma bertindak masuk saja, begitu masuk lantas kedua tangannya bekerja, tangan kiri dengan jurus “Angin menyambar yanglui”, yang satu enteng, yang lain berat, yang satu lemah, yang lain keras, tetapi menerjangnya berbareng.
Auwyang Kongcu sudah lantas mengegos tubuhnya akan tetapi sia-sia saja ia berkelit, kedua tangan si nona mengenai tepat pundaknya, meski begitu yang terkejut adalah si nona sendiri, karena begitu tangan mengenai sasaran, ia menginsyafi keadaan yang tidak wajar. Kongcu itu lihay tenaga dalamnya, dia membilang tidak akan membalas menyerang, dia buktikan perkataannya itu, akan tetapi ia gunai kepandaiannya, meminjam tenaga untuk menyerang tenaga, maka begitu serangn Oey Yong mengenakan padanya, segera ia merasakan pukulannya itu membal balik, hingga ia lantas terhuyung sendirinya, hampir ia melintasi garis lingkaran itu. Ia tentu saja tidak berani menyerang untuk kedua kalinya. Sebaliknya, dengan kecerdikannya, ia kata: “Aku hendak pergi sekarang! Kau tidak dapat keluar dari lingkaran untuk menyusul aku! Tadi kau sendiri yang mengatakannya, kalau kita berdua sama-sama keluar dari lingkaran, kau yang kalah!”
Auwyang Kongcu tercengang karena herannya. Dia hanya bisa berdiri menjublak tanpa bisa bicara apa-apa!
Si nona tidak menghiraukannya lagi, ia bertindak dengan tenang, keluar dari lingkaran. Hanya begitu ia berada di luar, segera ia percepat tindakannya itu. Sebab ia mengerti sembarang waktu bisa terjadi perubahan. Maka terlihatlah gelang rambutnya yang terbuat dari emas itu berkeliauan dan bajunya yang putih berkibar-kibar, sebenatr saja ia sudah tiba di dekat pintu, tiba-tiba terlihat berupa benda besar yang melayang jatuh di depannya. Ia sudah lantas berkelit ke samping, tindakannya pun dihentikan. Segera ia dapat kenyataan, benda itu adalah sebuah kursi thaysu, di atasnya mana ada bercokol satu paderi dari Tibet yang tubuhnya tinggi dan besar, yang mengenakan jubah warna merah. Dia duduk di kursi tapi ia lebih tinggi dari si nona. Anehnya, dia duduk seperti terpaku di kursinya, hingga ia dapat berlompat bersama-sama kursinya itu.
Oey Yong hendak menegur di pederi itu tetapi ia telah di dahului Leng Siangjin, yang dari dalam jubahnya mengasih keluar sepasang cecer tembaga, begitu kedua tangannya dirapatkan, berbunyilah alat tetabuhan itu hingga menulikan kuping. Ia masih heran tatkala di depan matanya berkelebat suatu sinar, lalu sepasang cecer itu menyambar ke arahnya….sebuah di atas, sebuah lagi di bawah.
Dalam keadaan seperti itu, Oey Yong tidak menjadi gugup, ia pun tidak berlompat itu lari menyingkir, sebaliknya, dengan menjejak dengan kedua kakinya, ia justru mencelat ke depan, tangan kanannya diangsurkan, untuk menampa dasarnya cecer, kaki kirinya ditekankan di atasan cecer yang di bawah tubuhnya dipengkeratkan, maka sekejap kemudian, ia sudah lewat di antara kedua senjata rahasia itu. Cuma, walaupun itu sudah lolos dari bahaya, karena ia berlompat maju, ia menjadi mendekati si orang suci itu.
Kali ini Leng Tie Siangjin mengangkat tangannya, dengan ilmu pukulan “Tay ciu ini” atau “Tapak tangan besar”, dia memukul ke arah tubuhnya si nona.
Oey Yong seperti juga tidak dapat menahan tubuhnya, ia maju terus, hingga ia seperti hendak menyerbu ke rangkulannya lawannya itu. Orang menjadi kaget hingga mereka pada berseru. Nona yang begitu cantik manis, pastilah bakal runtuh di tangan yang kasar dari si paderi, bukan saja tulang-tulangnya bakal patah, juga isi perutnya, bakalan remuk semua….
Bahaya tidak dapat dicegah lagi, satu suara keras segra terdengar. Serangannya Leng Tie Siangjin tepat mengenai sasarannya, ialah punggung si nona. Selagi orang kaget, si nona sendiri melayang terus bagaikan layangan putus, sampai di luar gedung!
Dari kaget, orang menjadi heran sekali, hingga mereka tercengang. Mereka lihat tangan kanan dari Leng Tie Siangjin mengucurkan darah, sebab telapakan tangannya pecah menjadi sepuluh liang kecil.
Dalam kagetnya, Pheng Lian Houw berseru: “Budak itu memakai Joan-wie-kah! Itulah mustika pemilik pulau dari pulau Tho-hoa di Tang Hay!”
See Thong Thian pun berseru: “Dia masih begini muda, kenapa dia dapat memiliki Joan-wie-kah itu?”
Sementara itu Auwyang Kongcu sudah berlompat, untuk berlari-lari keluar. Biar bagaimana tidak dapat ia melupakan nona yang manis itu, hanya tempo ia sampai di luar, di antara gelap petang tidak dapat lagi ia melihat bayangannya si nona. Ia penasaran, maka sambil serukan sekalian gundiknya, ia lari mencari. Di dalam hatinya ia menghibur diri. “Dia dapat lolos, mungkin ia tidak terluka, maka maulah dia nanti merangkulnya….”
Hauw Thong Hay, ynag tidak tahu apa itu Joan-wie-kah, menanyakan itu kepada kakak seperguruannya.
“Pernahkah kau melihat landak?” Pheng Lian Houw mendahului menanya
“Tentu pernah aku melihatnya!” sahut orang she Hauw itu.
“Di dalam bajunya ia memakai baju lapis yang lemas,” Lian Houw lantas memberi keterangan. “Baju lapis itu tidak takut kepada senjata tajam seperti golok dan tombak. Baju itu mempunyai duri yang seperti duri landak. Maka siapa memukul atau menendangnya, dia mesti menderita sebab tertusuk duri-duri landak itu.”
Hauw Thong Hay mengulur lidahnya. “Syukur aku tidak sampai kena menghajar budak itu…” katanya.
Sembari berbicara, Thong Hay dan Lian Houw sertia Thong Thian turut pergi mengejar, untuk mencari. Malah Chao Wang juga menitahkan Thung Couw Tek mengepalai barisan pengiringnya pergi mencari. Hingga istana pangeran itu menjdai kacar dan gempar!
Di pihaknya Kwee Ceng, yang bertemu sama Nio Cu Ong, dia takutnya bukan main, dia lari tanpa memilih lagi jurusan timur atau barat, selatan atau utara, asal ke tempat yang gelap. Cu Ong sebaliknya mengejar dia dengan hebat. Som Sian Lao Koay ingin membekuk orang untuk dihisap darahnya!
Kwee Ceng dapat lari keras, dia pun berlari-lari di tempat yang gelap, dengan begitu, sekian lama dia tidak dapat dicandak. Sebentar kemudian dia sampai di satu tempat, di mana ada banyak pohon berduri serta batu muncul di sana-sini, bagaikan rebung muda atau pedang yang ditancap di tanah. Dia heran yang di pekarangannya istana ada tempat yang demikian. Dia menjadi terlebih kaget, ketika dia merasakan sakit pada kakinya, yang tertusuk duri. Mendadak kakinya menjadi lemas, terus tubuhnya terjatuh hingga ia menjerit keras. Tapi ia masih sadar, dia lantas siapkan kakinya, supaya setibanya di bawah, tak usah dia jatuh terbanting. Mungkin ia menerka, dia terjatuh ke dalam sebuah liang, yang dalamnya beberapa tombak. Ketika akhirnya kakinya tiba di dasar liang, dia kena injak bukan batu atau tanah keras, hanya serupa benda licin, hingga tidak ampun lagi, ia terus terpeleset dan terguling. Lekas-lekas ia merayap bangun, tangannya terus dipakai mereba-raba kepada benda itu. Untuk kagetnya, dia dapatkan sebuah tengkorak manusia.
“Rupanya ini adalah lubang peranti membuang mayatnya orang yang dibunuh di istana….” ia menduga-duga. Justru hatinya lagi berpikir, di atas sana, dia dengar teriakannya Nio Cu Ong: “Bocah, lekas naik!”
“Aku tidak ada begitu gila mau naik untuk mengantar jiwa….” pikir bocah ini. Dia pun rtidak sudi memberi penyahutan, hanya ia lantas meraba ke belakangnya, sembari meraba dia sembari mundur. Ini pun ada penjagaan untuk lari terus andaikata Nio Cu Ong berlompat turun. Di belakangnya, ia tidak dapat meraba apa juga.
“Biarpun kau kabur ke istana Raja Akherat, akan aku susul padamu!” terdengar pula suaranya Nio Cu Ong, bahkan kali ini tubuhnya terus lompat turun.
Kwee Ceng kaget dan takut, terus ia mundur. Dia masih tidak dapat meraba sesuatu apa, yang bisa menghalangi mundurnya, maka ia mundur terus. Kemudian ia putar tubuhnya, untuk berjalan dengan kedua tangannya dilonjorkan ke depan. Dalam liang gelap yang gelap itu, dia tidak dapat melihat apa juga.
Liang itu merupakan sebuah terowongan, baru menyusul kira dua tembok, Nio Cu Ong telah dapat mengetahuinya. Dia bernyali besar, dia andalkan kepandaiannya, dia menyusul terus. Hanya karena berada di tempat gelap, dia bahkan tidak dapat melihat jeriji tangan di hadapannya, dia bertindak dengan enteng, supaya ia tidak mengasih dengar suara apa-apa. Dia takut Kwee Ceng nanti bokong padanya.
Kwee Ceng menyingkir terus dengan hatinya memukul keras. “Terowongan ini mesti ada ujungnya, di sana habislah jiwaku….” ia mengeluh. Ia tidak melihat siapa juga tetapi ia merasa pasti Nio Cu Ong sedang menyusul padanya. Ia menjadi semakin takut.
Lagi beberapa tombak, tibalah Kwee Ceng di satu tempat yang terbuka, di mana terdapat cahaya terang. Itulah ujungnya terowongan itu. Itulah sebuah kamar atau ruang bertembok tanah.
Nio Cu Ong pun tiba dengan segera, lantas dia tertawa lebar. “Ha, bocah, ke mana kau hendak kabur?!” dia berseru.
Kwee Ceng bingung, ia melihat ke sekitarnya.
Justru itu, dari pojok kiri terdengar ini suara dingin seram: “Siapa berbuat kurang ajar di sini?!”
Kwee Ceng kaget, hatinya goncang keras. Siapa sangka di temapt demikian boleh ada penghuninya.
Sekalipun Nio Cu Ong, yang kosen dan nyalinya besar, ia turut terkejut juga.
Kembali terdengar suara seram dingin tadi: “Siapa ke dalam gua ini, dia mesti mati, dia tidak bakal hidup pula! Apakah kamu sudah bosan hidup?!”
Terang suara itu adalah suaranya seorang wanita, hanya kali ini suara itu disusul sama napas yang memburu, mungkin sekali, dialah seorang yang sedang sakit.
“Aku datang kemari tidak sengaja,” berkata Kwee Ceng perlahan, menyahuti orang itu. “Aku lagi dikejar-kejar orang….” Sebagai seorang polos, tidak dapat ia berdiam saja atau mendusta.
Baru Kwee Ceng berhenti bicara, atau ia telah dengar sambaran angin. tahulah ia, Nio Cu Ong tengah menyerang padanya, mungkin untuk ditawan. Ia lantas saja berkelit.
Nio Cu Ong mendapatkan tangkapannya gagal, ia menyerang pula.
Kwee Ceng menjadi cemas dan sibuk, ia berkelit ke kiri dan kanan.
“Siapa yang berani datang kemari menangkap orang?!” terdengar pula suara wanita tadi.
Nio Cu Ong tidak takut, ia bahka bergusar. “Apakah kau hendak menyamar menjadi iblis untuk menakut-nakuti aku?!” dia menegur.
Wanita itu tidak menyahuti, ia hanya kepada Kwee Ceng: “Eh, anak muda, mari kau sembunyi padaku di sini!” Ia rupanya dapat menduga dari suara orang. Ia mengucap demikian tetapi ia tidak berkisar dari tempatnya.
Kwee Ceng sedang bingung, di dalam keadaan seperti ini, tidak dapat lagi ia bersangsi sedikit juga, maka ia lantas berlompat ke arah darimana suara itu datang. Begitu kakinya menginjak tanah, ia merasakan tangannya disambar dan dicekal tangan lain orang yang dingin enyam, besar tenaga orang itu, tubuhnya segera tertarik hingga ia roboh menubruk sebuah dipan tempat duduk bersemadhi.
Wanita itu masih bernapas memburu, dia kata terhadap Nio Cu Ong: “Barusan seranganmu, yang berupa tangkapan, ada lihay sekali. Apakah kau ada satu jago Rimba Persilatan dari Kwan-gwa?”
Nio Cu Ong heran bukan buatan. “Aku tidak dapat melihat dia, kenapa dia sebaliknya segera mengenali asal-usulnya ilmu silatku?” ia berpikir. “Dia lihay sekali! Mungkinkah ia dapat melihat di tempat gelap?” Ia menjadi tidak mau berlaku semberono, ia lantas menyahuti: “Aku adalah seoarng saudagar jinsom dari Kwantong, she Nio. Bocah ini telah curi barangku, tidak dapat tidak, aku mesti tangkap dia. Aku minta sukalah nyonya tidak menghalangi aku…”
“Oh, kiranya saudagar Som Sian Nio Cu Ong!” berkata wanita itu. “Kalau lain orang, yang tidak tahu apa-apa, lancang masuk ke rumahku ini, dia sudah tidak dapat diberi ampun, apapula kau Nio Lao Koay, kau ketua sebuah partai! Apakah benar kau tidak kenal aturan kaum Rimba Persilatan?!”
Som Sian Lao Koay terperanjat. “Nyonya yang terhormat, aku mohon tanya shemu yang mulia,” ia meminta.
“Aku….aku….” sahut si wanita itu.
Kwee Ceng baru mendengar sampai disitu, lantas ia merasakan tangannya wanita itu bergemetar keras, lalu perlahan-lahan cekalannya menjadi kendor. Ia pun mendengar orang merintih, tanda bahwa nyonya itu sangat menderita.
“Apakah kau sakit?” ia tanya perlahan.
Nio Cu Ong dapat mendengar suaranya kwee ceng itu, ia menjadi bergusar pula. Ia sangat andalkan kegagahannya, ia tidak ambil pusing siapa si nyonya itu, yang ia duga sedang sakit keras atau terluka parah. Lantas ia ulur kedua tangannya, untuk membekuk si anak muda. Ia baru saja melanggar bajunya Kwee Ceng lalu mendadak ia merasakan tangannya terbentur tenaga yang besar, hingga ia terkejut, walaupun begitu, ia segera kirim tangan kirinya, untuk menyerang!
“Pergi!” membentak si wanita, yang sebelah tangannya segera mampir di bebokongnya Som Sian Loa Koay, hingga ia terhuyung tiga tindak. Syukur tangguh ilmu dalamnya, ia tidak sampai mendapat luka di dalam. Ia hanya heran atas kesebatan wanita itu.
“He, bangsat perempuan, mari maju!” ia berseru saking murkanya.
Wanita itu terdengar napasnya memburu, tubuhnya tidak bergerak.
Sekarang Nio Cu Ong percaya pasti orang tidak dapat bergerak, karena ini, ia menjadi lebih tabah. Dengan perlahan ia bertindak menghampirkan wanita itu. Disaat ia hendak berlompat, untuk menerjang, tiba-tiba ia mendengar suara angin, lalu sebuah cambuk panjang menyambar ke kakinya. Ia menjadi kaget sekali, tetapi ia tidak mau kasih dirinya diserang demikian, sambil lompat mencelat, kakinya terus menendang ke arah wanita itu!
Tendangan orang she Nio ini ada sangat kesohor, untuk wilayah Kwan-gwa, ia kenamaan duapuluh tahun lebih, tetapi kali ini, kesudahannya membuat ia kaget tidak terkira. Belum lagi tendangannya itu mengenai sasaran atau jalan darahnya kongsun-hiat, tiba-tiba kaku sendirinya. Jalan darah itu ada di batas mata kaki, biasanya siapa kena tertotok, ia mesti lantas roboh. Dalam kagetnya, ia ayun tubuhnya untuk berjumpalitan, sedang tangannya dipakai menyampok. Di dalam hatinya ia berkata: “Wanita ini awas sekali matanya! Dia bisa menotok jalan darah, mungkinkah dia itu siluman?”
Juga sampokan Cu Ong adalah sampokan istimewa, tenaganya telah dikerahkan sepenuhnya kepada tangannya itu. Ia pun menduga orang lagi sakit, kalu serangannya mengenai sasarannya, pastilah itu tidak bakal gagal.
Tiba-tiba terdengar urat-urat meretek, lalu tangannya si wanita diulur panjang, ujung kukunya menyambar ke pundak. Cu Ong terkejut, ia menangkis dengan tangan kirinya. Kali ini kedua tangan bentrok, tetapi untuk kagetnya, ia rasakan tangan lawan dingin sekali, bagaikan es, bukan seperti daging. Tidak ayal lagi, ia buang dirinya ke tanah, untuk bergulingan pergi, bahkan dengan merayap, terus ia keluar dari terowongan itu, hingga diluarnya dapatlah ia bernapas lega.
“Sudah beberapa puluh tahun, belum pernah aku mengalami kejadian seperti ini,” pikirnya. “Benarkah di dalam dunia ini ada iblis? Ah, mungkin ongya ketahui rahasia ini…” Maka dengan cepat ia kembali ke Hoa Cui Kok.
Kwee Ceng dapat dengar sauara orang berlari pergi, hatinya jadi lega, dengan kegirangan dan bersyukur, lantas ia berlulut di depan wanita itu untuk mengangguk-angguk hingga tiga kali. Ia berkata: “Teecu mengucap banyak-banyak terima kasih untuk pertolongan cianpwee.”
Wanita itu bernapas tersengal-sengal, rupanya melawan Nio Cu Ong, ia telah menggunakan tenaga berkelebihan. Ia pun batuk-batuk.
“Kenapa Lao Koay hendak membunuh kau?” ia tanya selang seaat, setelah napasnya tidak terlalu memburu lagi.
“Ong Totiang mendapat luka, dia membutuhkan obat, maka itu teecu datang ke istana ini…” Kwee Ceng menyahut. Tiba-tiba ia berhenti, karena ia berpikir: “Wanita ini tinggal di dalam istana, apakah ia bukan orangnya Wanyen Lieh?”
“Oh…!” berseru si wanita. “Jadinya kau telah curi obatnya Lao Koay! Aku dengar kabar ia tengah menyakinkan pembuatan obat-obatan….”
“Apakah cianpwee terluka?” menanya Kwee Ceng, yang seperti tidak memperdulikan perkataan orang. “Teecu ada punya empat macam obat yaitu thian-cit, hiat-kat, him-tha dan bu-yok. Ong totiang tentu tidak membutuhkan sebanyak itu. Kalau cianpwee….”
“Mana aku terluka!” memotong si wanita, agaknya ia gusar. “Siapa yang menghendaki kebaikanmu itu!”
“Ya, ya,” sahut Kwee Ceng, yang ketemu batunya, hingga tak tahu ia mesti membilang apa. Sebaliknya, hatinya menjadi lemas pula apabila ia dengar suara napas empas-empis dari wanita itu. Maka ia kata pula: “Jikalau cianpwee tidak merdeka untuk jalan, mari boanpwee menggendong buat pergi keluar…”
“Siapakah ynag tua?!” wanita itu membentak. “Bocah tolol, cara bagaimana kau ketahui aku sudah tua?”
“Ya,ya,” sahut Kwee Ceng, yang tidak berani banyak omong. Ia terus bungkam. Ia telah lantas pikir, untuk meninggalkan pergi kepada wanita ini tetapi ia tidak tega hati. Maka ia membelas. Ia tanya pula: “Kau menghendaki barang apa? Nanti aku pergi mengambilkannya….”
“Ah, kau benar baik….” kata wanita itu, tetapi ia tertawa dingin. Ia ulur tangan kirinya, diletaki di pundak Kwee Ceng, terus ia menarik.
Kwee Ceng merasakan pundaknya itu sakit sekali, tanpa berdaya ia kena ditarik hingga ke depan wanita itu. Yang membikin ia terkejut adalah lehernya terasa dingin dengan mendadak. Sebab tangan kanan si wanita sudah merangkulnya.
“Gendong aku pergi!” berseru si wanita itu, keren.
“Memang aku pun hendak menggendong kau,” kata Kwee Ceng dalam hatinya. Ia lantas menggendong, dengan tindakan perlahan ia menuju ke luar.
“Adalah aku yang memaksa kau menggendong aku keluar dari sini,” kata si wanita. “Tidak dapat aku dijual orang…”
Mendengar ini, Kwee Ceng merasa orang sangat berkepala besar, orang tidak sudi menerima budi. Ia jalan terus hingga di mulut terowongan, ialah liang yang tadi. Ia mengangkat kepalanya, akan melihat bintang-bintang di langit, habis itu ia mencoba menggunai kedua tangannya, akan merayap naik. Dalam hal kepandaian ini, ia telah berlatih cukup di bawah pimpinan Tan Yang Cu Ma Giok. Liang sumur itu cukup tinggi tetapi Kwee Ceng dapat memanjatnya.
Tidak lama keluarlah mereka dari gua itu.
“Siapa yang ajari kau ilmu ringan tubuh?!” si wanita tanya. “Lekas bicara!” Ia memegang keras leher orang sampai si anak muda sukar bernapas.
Saking kagetnya, Kwee Ceng kerahkan tenaganya di leher, untuk melawan cekikan. Ia tidak tahu orang menguji padanya, cekikan itu menjadi semakin keras. Hanya sesaat kemudian, tangan si wanita menjadi kendor sendirinya.
“Ha, kau mengerti ilmu tenaga dalam yang sejati,” seru wanita itu. “Kau bilang barusan Ong totiang mendapat luka. Apakah namanya Ong totiang itu?”
Sebelum menjawab, Kwee Ceng berpikir: “Kau telah tolongi padaku, segala apa kau boleh tanyakan, tidak nanti aku mendusta. Kenapa kau berlaku begini kasar?” Tapi ia toh menjawab: “Ong Totiang itu bernama Ong Cie It, orang dipanggil Giok Yang Cu.”
Tiba-tiba wanita itu menggetar, napasnya pun tersengal-sengal. “Jadinya kau adalah muridnya Coan Cin Pay!” katanya. “Ong Cie It itu kau punya pernah apa? Kenapa kau memanggil ia totiang, bukan suhu atau susiok?”
Suhu dan susiok ialah guru dan paman guru.
“Teecu bukan murid Coan Cin Kauw,” Kwee Ceng berkata. “Adalah Tan Yan Cu Ma Giok, yaitu Ma Totiang yang pernah ajarkan aku ilmu mengendalikan napas dan bersemadhi.”
“Habis, siapakah gurumu itu?!” si wanita tanya pula. Dia agaknya mendesak.
“Guru teecu semuanya ada tujuh orang,” sahut Kwee Ceng. “Merekalah yang disebut Kanglam Cit Koay. Guru yang nomor satu ialah Hui Thian Pian-hok, seorang she Kwa.”
Wanita itu batuk-batuk beberapa kali, agaknya susah ia berbicara. “Dialah Kwa Tin Ok!” katanya kemudian.
“Benar,” Kwee Ceng mengangguk.
“Apakah kau datang dari Mongolia?” tanya wanita itu lagi.
“Benar,” sahut Kwee Ceng pula, yang heran sekali. “Kenapa wanita ini ketahui aku datang dari Mongolia?” ia pikir.
“Kau dipanggil Yo Kang, benar tidak?!” masih wanita itu bertanya.
“Bukan, teecu she Kwee,” menjawab si anak muda.
Wanita itu perdengarkan suara seperti merintih, dari sakunya ia tarik keluar serupa barang, yang ia letaki di tanah. Itulah sebuah hungkusan, entah dari cita atau kertas. Kapan bungkusan itu telah dibuka, di dalamnya tertampak barang yang berkilauan. Itulah sebuah pisau belati, melihat mana, Kwee Ceng rasanya kenal. Ia menjemput untuk dilihat teliti. Di gagangnya ia dapatkan dua hruf ukiran, bunyinya : “Yo Kang”. Itulah pisau yang ia pakai untuk menikam Tong Sie Tan Hian Hong si Mayat Perunggu.
Selagi si anak muda mengawasi pisau itu, si wanita merampasnya. “Kau kenal pisau belati ini, bukan?!” dia tanya.
“Benar,” menjawab Kwee Ceng. “Di masa kecil pernah aku pakai pisau ini membunuh seorang jahat, lalu mendadak orang jahat itu lenyap dan pisau ini….”
Belum habis ia mengucap, lehernya sudah dicekal si wanita, terus di cekik. Ia kaget, ia berontak, sebelah tangannya menyerangi si wanita. Tapi tangan itu sudah lantas kena ditangkap!
Segera si wanita melepaskan tangannya yang kanan, ia duduk di tanah. “Kau lihat, aku ini siapa?!” ia tanya dengan bentakannya.
Diwaktu malam seperti itu, seram suaranya.
Matanya Kwee Ceng telah berkunang-kunang tetapi ia masih bisa melihat si wanita yang rambutnya yang panjang riap-riapan, mukanya pucat seperti kertas. Ia lantas mengenali Tiat Sie Bwee Tiauw Hong si Mayat Besi, salah satu dari Hek Hong Siang Sat. Ia kaget tidak kepalang, ia lantas berontak pula tetapi sia-sia saja, tangannya telah dicekal keras, kuku orang sudah masuk ke dalam dagingnya…
Ketika malam itu di atas gunung terjadi pertempuran di antara Kanglam Cit Koay dengan Hek Hong Siang Sat, Tan Hian Hong telah jambak mati kepada Thi A Seng, sebaliknya ia kena ditikam Kwee Ceng pada anggota tubuh kematiannya. Bwee Tiauw Hong sudah buta kedua matanya, tetapi ia masih bisa bawa lari mayat suaminya itu, ia lolos justru ketika itu turun hujan lebat. Sekarang denagn tiba-tiba Kwee Ceng mengantarkan jiwanya, bagaimana Tiauw Hong tidak jadi girang. Sudah belasan tahun ia cari pembunuh suaminya denagn sia-sia. Segera ia menjadi girang bercampur sedih, lantas ia ingat penghidupannya yang dulu-dulu.
“Dulu aku adalah satu nona yang lincah, setiap hari aku memain saja, aku dikasihi oleh ayah dan ibuku,” demikian ia melamun, sedang tangannya terus memegang keras si anak muda, “Baru kemudian,s esudah kedua orang tuaku menutup mata, orang perhina aku, hingga oleh guruku, Oey Yok Su, aku ditolongi dan dibawa ke pulau Tho Hoa To, dimana aku diajarkan ilmu silat. Sekejap kemudian, seorang pemuda yang matanya besar terbayang dihadapanku. Dialah Tan Hian Tong, kakak seperguruanku. Sama-sama kita belajar ilmu silat, sampai hati kita coco satu sama lain. Demikian pada suatu malam di musim semi, di bawah pohon tho, mendadak ia rangkul aku…”
Wajahnya si Mayat Besi menjadi merah dengan tiba-tiba, Kwee Ceng pun dengar napas orang memburu. Habis itu, si wanita menghela napas panjang.
Tiauw Hong lantas melamun pula. Ia ingat sebab takut digusari guru mereka, mereka buron dari Thoa Hoa To, lantas mereka menikah. Itu waktu Tan Hian Hong telah memberitahukan bahwa ia telah mencuri sebagian kitab “Kiu Im Cie Keng”. Setelah itu, mereka sembunyikan diri di gunung, untuk menyakinkan ilmu seperti pengajaran kitab istimewa itu, hingga setelah pandai, mereka berkelana dan menjagoi dunia kangouw. Banyak orang kosen yang mereka robohkan, malah Hui Thian Sin-liong Kwa Pek Sia telah mereka binasakan dan Kwa Tin Ok sudah mereka bikin buta matanya.
Bwee Tiauw Hong masih ingat baik-baik perkataan Tan Hian Hong, suaminya itu: “Eh, perempuan bangsat, kitab Kiu Im Cie Keng itu aku cuma dapat curi sebagian saja, bagian bawah. Bagian atasnya adalah mengutamakan pelajaran tenaga dalam. Dengan begitu, pelajaran kita jadi kepalang tanggung. Bagaimana sekarang?”
Atas itu, ia ingat, ia menjawab dengan balik menanya: “Apa daya?”
“Kita kembali ke Tho Hoa TO, kita curi pula yang sebagian itu!”
Ia tidak berani pergi. Biar kepandaian merka sepuluh lipat lebh lihay, mereka masih tidak sanggup lawan dua jari tangan saja dari guru mereka. Hian Hong pun jeri, tetapi dia penasaran, dia hendak pergi mencurinya juga. Dia bilang pada istrinya: “Aku mesti pergi, kita mesti jadi tanpa tandingan di kolonng langit ini, atau kau menjadi janda, perempuan busuk!” Ia tidak sudi menjadi janda, maka kejadianlah mereka berdua berlaku nekad.
“Kami tahu, karena buronan kami, suhu telah sangat gusar dan telah umbar kegusarannya itu,” Tiauw Hong melamun lebih jauh. “Dalam murkanya suhu telah putuskan ototnya semua muridnya, yang terus ia usir, hingga selanjutnya dipulaunya itu guru hidup berdua saja dengan istrinya serta beberapa budak pelayan. Ketika kami tiba di pulau, kami menemukan berbagai peristiwa yang luar biasa. Kiranya musuhnya suhu telah datang ke pulau untuk mengadu kepandaian. Pertandingan itu itu membuatnya kami kaget, goncang hati kami. Dengan berbisik aku kata kepada suamiku, “Eh, lelaki bangsat, kita gagal, mari kita lekas pergi!” Tapinya suamiku menampik. Kami telah menyaksikan suhu telah dapat membekuk musuhnya, kaki siapa dia telah hajar patah. Aku ingat kepada subo, budi siapa aku tidak dapat lupakan. Aku pergi ke jendela, untuk mengintai. Apa yang aku lihat adalah meja abu. Kiranya subo telah menutup mata. Aku menjadi bersedih. Ditepi meja abu aku lihat satu anak perempuan kecil duduk di kursi, dia mengawasi aku sambil tertawa. Bocha ini mirip dengan subo. Pastilah dia anaknya suboku itu. Aku pikir, mungkinkah subo meninggal sehabis melahirkan yang sulit? Karena ini aku pikir untuk tidak melahirkan anak juga! Selagi aku berpikir begitu, suhu telah dapat dengar suara kami. Suhu muncul di ruang meja abu itu. Aku kaget hingga lemas kaki tanganku, tidak dapat aku bergerak. Aku dengar bocah itu berseru, ‘Ayah, empo!’ Dia tertawa manis, dia pentang kedua tangannya dengan apa ia tubruk ayahnya. Bocha itu menolong kami. Suhu khawatir dia jatuh, ia menyambuti anak itu. Lantas si bangsat laki-laki menarik tanganku, untuk diajak lari. Kami kabur dengan naik perahu. Air laut telah muncrat memasuki perahu kami, hatiku memukul terus, seperti mau lompat keluar.”
Ketika itu angin bersiur, hawanya dingin. Di kejauhan, burung hantu pun mengasih dengar suaranya yang seram. Karena kupingnya jeli, Bwee Tiauw Hong dapat dengar itu semua. Ia masih terbenam dalam lamunannya, tentang peristiwa dulu-dulu itu, yang merupakan pengalamannya.
Demikian ia berkata terus dalam hatinya: “Menyaksikan pertempuran dahsyat dari suhu, barulah suamiku itu padam hatinya. Dia kata, ‘Bukan cuma kepandaian suhu belum dapat kita pelajari sebagian saja, juga kepandaian lawannya itu kita berdua tidak dapat melawannya!’ Maka itu kami lantas meninggalkan wilayah Tionggoan, kami menyingkir jauh sekali sampai di gurun pasir di Mongolia. Suamiku itu berkhawatir kitabnya nanti ada yang curi, sekalipun aku, dia tidak kasih lihat. Aku juga tidak tahu dimana ia menyembunyikannya. Maka aku kata kapadanya, ‘Baiklah, bangsat lelaki, aku tak akan lihat kitabmu!’ Dia jawab aku, ‘Eh, perempuan bangsat, aku justru berbuat baik terhadapmu! Jikalau kau lihat ini, kau tentu ingin mempelajarinya, tetapi kau tidak mengerti ilmu dalam, tubuhmu bisa rusak.’ Aku jawab, ‘Baiklah! Jangan kau terus mengaco-belo!’ Tapi ia mengajarkan aku Kiu Im Pek-ku Jiauw dan Cwie-sim-ciang, yaitu cengkeramnan Tulang Putih serta Pukulan Meremukkan Hati. Kemudian terjadilah pertempuran di atas gunung itu. Kanglam Cit Koay telah mengepung aku. ‘Mataku! Mataku!’ Ya, aku merasakan sangat sakit pada mataku, aku merasa gatal sekali. Aku empos semangatku, aku lawan serangan racun. Aku tidak mati, tetapi mataku buta! Suamiku pun binasa! Itulah pembalasan! Pernah kami membinasakan kakaknya dan mata adiknya dibikin buta.”
Mengingat itu semua, dengan sendirinya cekalan Bwee Taiuw Hong menjadi semakin keras dan giginya pun bercatrukan.
“Matilah aku kali ini…” kata Kwee Ceng di dalam hatinya. “Entah dia bakal gunai cara kejam bagaimana akan siksa aku hingga aku terbinasa….” Karenanya, ia lantas berkata: “Eh, sekarang aku tidak menghendaki hidup pula! Aku hendak minta suatu apa padamu, harap kau suka meluluskannya.”
“Kau hendak minta sesuatu dari aku?” Bwee Tiauw Hong tanya, ia tertawa dingin.
“Ya,” jawab Kwee Ceng. “Di tubuhku ada beberapa rupa obat, aku minta kau tolong serahkan itu pada Onng Totiang yang sekarang ini lagi mondok di penginapan Ang Ie, di luar kota barat.”
“Seumurku aku tidak pernah melakukan kebaikan!” Tiauw Hong membilang.
Dia tidak ingat lagi berapa banyak kesengsaraan yang dideritanya dan berapa banyak jiwa yang telah dibunuhnya, tetapi pertempuran dahsyat di atas gunung itu, ia masih ingat jelas sekali. Sekonyong-konyong matanya menjadi gelap, ia tidak dapat melihat sinar bintang lagi.
“Suamiku berkata,” dia berkata di dalam hatinya lagi, ngelamun, “’Aku tidak bakal ketolongan lagi…rahasianya Kiu Im Cie Keng ada di dadaku….’ Itulah kata-katanya yang terakhir. mendadak hujan turun seperti di tuang-tuang. Lalu Kanglam Cit Koay perhebat serangannya atas diriku. bebokongku telah kena tertinju. Penyerang itu sempurna ilmu dalamnya, dia membikin aku merasa sakit sampai di tulang-tulangku. Aku pondong tubuhnya si lelaki bangsat, aku kabur. Aku tidak dapat melihat musuh-musuhku itu, tetapi mereka juga tidak mengejar. Itulah aneh! Hujan turun hebat sekali, langit mestinya gelap gulita, dan mereka itu tidak dapat melihat aku. Aku berlalri-lari di dalam hujan. Tubuhnya si lelaki bangsat mulanya masih hangat, lalu perlahan-lahan menjadi dingin. hatiku pun turut menjadi dingin karenanya. Seluruh tubuhku bergemetar, dinginnya luar biasa. ‘Lelaki bangsat, apakah benar-benar kau telah mati?’ Aku bertanya. ‘Kau yang begini lihay, kau mati tidak karuan?’ aku cabut pisau belati dari pusarnya, darah lantas muncrat keluar. Sebenarnya apakah yang heran? Orang dibunuh, darahnya pasti mengalir keluar. Aku sendiri, entah berapa banyak orang telah aku bunuh…. Sudahlah, aku pun harus mati bersama si lelaki bangsat. Hanya, tanpa ada orang yang memanggil dia lelaki bangsat, oh, bagaimana tawar! Lantas aku bawa ujung belati ke mulutku, dibawah lidah. Itulah temapt kematianku. Tiba-tiba aku kena raba huruf-huruf ukiran di gagang pisau belati itu. Aku lantas meraba-raba. Itulah dua huruf ‘Yo Kang’. Ah, kiranya pembunuh si lelaki bangsat itu bernama Yo Kang! Mana dapat aku tidak menuntut balas? Sebelum membinasakan Yo Kang itu, mana boleh aku mati? Maka itu aku meraba ke dadanya si lelaki bangsat, akan cari rahasianya kitab Kiu Im Cie Keng itu. Sia-sia aku mencari, aku tidak mendapatkannya. Aku penasaran! Aku lalu mencari di rambut kepalanya, terus ke bawah. Tidak ada bagian anggotanya yang aku bikin kelompatan. Tempo aku meraba pula dadanya, di situ aku merasakan kulit dagingnya yang rada luar biasa.”
Bwee Tiauw Hong lantas mengasih dengar suara tertawa kering dari tenggorokannya. Hebat suara itu, menyeramkan, Kwee Ceng sampai bergidik.
Bwee Tiauw Hong merasa ia telah berada pula di gurun pasir, hujan besar telah membasahkan seluruh tubuhnya, akan tetapi tubuh itu ia rasakan panas sekali. Dia merasa seperti telah meraba dada suaminya, yang ia selalu panggil dengan sebutan ‘lelaki bangsat’, sebagaimana dia sendiri dipanggil ‘perempuan bangsat’ oleh suaminya itu. Nyata dada itu dicacah dengan jarum, merupakan huruf-huruf dan peta. Itu dia rahasianya Kiu Im Cie Keng. Hian Hong khawatir kitabnya dicuri orang, dia cacah tubuhnya sendiri, setelah itu ia bakar kitabnya itu.
“Memang,” demikian dia ngelamun pula, “Suhu yang demikian lihay, kitabnya masih kena kita curi. Maka siapa berani tanggung yang kitab kami pun tak ada yang bakal mencurinya? Maka ia kata pada waktu itu, ‘Bagus betul pikiranmu ini. Ini artinya, selama orangnya masih hidup, kitabnya pun ada, setelah orangnya mati, kitabnya lenyap bersama.’ Aku lantas gunai pisau belati mengiris kulit dadanya si lelaki bangsat. Ah, hendak aku memberi obat kepada kulit itu, supaya tidak menjadi nawoh dan rusak, ingin aku membawa-bawanya di tubuhku. ‘Aku ingin kau selalu mendampingi aku…’ Ketika itu aku tidak bersedih lagi sebaliknya aku tertawa terbahak-bahak. Dengan kedua tanganku, aku lantas menggali sebuah liang besar. Di situ aku kubur si lelaki bangsat. ‘Kau ajarkan aku cengkaraman Kiu Im Pek-ku Jiauw, sekarang dengan kepandaian itu aku menggalikan kau liang kubur. Lantas aku sembunyikan diri di dalam gua, aku khawatir Kanglam Cit Koay dapat mencari aku. Sekarang ini aku bukannya tandingan mereka, maka tunggulah aku selesai dengan pelajaranku. Hm! itu waktu akan aku jambret setiap batok kepala, setiap hati manusia! Aku akan belajar, tidak peduli aku bisa terluka di dalam atau tidak. Peduli apa! Berselang dua hari, selagi perutku lapar, aku dengar suara pasukan tentara lewat di depan guaku. Mereka itu bicara dengan bahasa Nuchen dari negara Kim, aku lantas keluar dari tempat sembunyiku, aku minta barang makanan. Pangeran yang memimpin pasukan itu mengasihani aku, dia suka menolong, malah ia terus ajak aku ke istananya si Tiongtouw. Belakangan aku mendapat tahu, pangeran itu adalah Pangeran Chao Wang, putra nomor enam dari raja Kim. Aku bekerja di taman belakang, bekerja menyapui rumput, di situ secara diam-diam aku menyakinkan ilmu kepandaianku. Beberapa tahun telah lewat tanpa ada yang mengetahui perbuatanku itu. Semua orang menganggap akulah seorang wanita tua yang buta yang harus dikasihani.”
“Kemudian pada suatu tengah malam…. Ah! Pangeran cilik yang nakal itu telah datang ke taman belakang, untuk mencari telur burung, dia telah mempergoki aku lagi menyakinkan cambuk perak.
Ia lantas menggerembengi aku, dia memaksa minta aku memberi pelajaran padanya. Terpaksa aku ajarkan dia tiga jurus. Sekali saja, ia telah dapat belajar dengan baik. Ternyatalah ia berotak terang sekali! Aku jadi gembira, maka aku terus mengajari dia. Aku hendak mengajari dia segala macam kepandaian asal dia suka bersumpah tidak membuka rahasia kepada siapa juga, tidak kecuali kepada ongya dan onghui. Aku mengancam, asal rahasia bocor, akan aku cambuk toblos batok kepalanya!”
“Lewat beberapa bulan, pangeran cilik itu memberitahukan kepada aku, bahwa ongya hendak pergi lagi ke Mongolia. Lantas aku minta supaya aku diajak, agar aku bisa bersembahyang di kuburan suamiku. Ongya menerima baik permintaan itu. Dia sangat menyayangi pangeran kecil itu, yang segala keinginannya senantiasa dipenuhi. Oh, disana tidak dapat aku mencari tulang-tulangnya si lelaki bangsat. Lantas aku hendak mencari Kanglam Cit Koay. Sungguh aku sangat beruntung, di sana aku dapatkan tujuh saudara imam dari Coan Cin Kauw. Mataku tidak bisa melihat, cara bagaimana aku bisa melawan mereka? Di antara mereka, yang lihay tenaga dalamnya adalah Tan Yang Cu Ma Giok. Asal ia membuka mulutnya, walaupun ia tidak berbicara keras, suaranya dapat terdengar sampai di tempat jauh. Perjalananku ke Mongolia itu tidak sia-sia belaka. Aku dapat mendesak kepada Ma Giok, hingga ia secara sembarangan mengajari aku sepatah kata rahasianya ilmu dalam. Sepulangnya ke istana, aku berdiam di dalam terowongan dalam tanah, di mana aku menyakinkan kepandaianku. Tidak dapat ilmu dalam itu dipeljarakan tanpa petunjuk, aku mempelajarinya dengan memaksa. Kesudahannya, separuh tubuhku ini tidak dapat digeraki. Aku melarang si pangeran cilik datang padaku. Ia tidak ketahui yang pelajaranku telah tersesat. Coba kalau bocah ini tidak menerobos masuk ke dalam terowongan, pastilah aku akan mati kelaparan di dalam situ. Hm, rupanya dari si lelaki bangsat yang memimpin bocah itu datang padaku, supaya ia menolongi aku, supaya kemudian aku bunuh si bocah untuk menuntu balas untuknya!”
Saking senang dan gembiranya, Tiauw Hong tertawa berkakakan tak hentinya. Dia tertawa haha tercampur hmhm, tertawa dingin!
Bab 22. Pertempuran Dahsyat
Wanita ini tertawa, hingga tubuhnya menggetar, sedang tangan kanannya mengerahkan tenaganya. Kwee ceng merasakan tenggorokannya tercekik keras sekali. Di saat mati atau hidup itu, ia pegang tangan si wanita, untuk dipaksa melepaskan cekikannya. Ia telah mendapatkan pelajaran dari Ma Giok, ia sudah menyakinkannya beberapa tahun, tenaga dalamnya telah cukup kuat, sedang juga, ia dapat tenaga akibat darah ular yang ia sedot. Pengejarannya Nio Cu Ong dan pertempurannya sama Wanyen Kang membuatnya tenaga obat menguatkan tubuhnya. Maka juga, ia berontak dengan berhasil.
Bwee Tiauw Hong terperanjat. “Tidak jelek kepandaiannya bocah ini!” pikirnya. Dia lantas menjambak pula, sampai tiga kali.
Kwee Ceng selalu berkelit dengan berhasil.
Panas hatinya Tiauw Hong, dia berseru panjang, tangannya menyambar ke batok kepala. Itu dia pukulannya yang berbahaya, pukulan Cwi-sim-ciang.
Kwee Ceng kalah pandai, tangan kanannya pun masih dicekal si wanita, tidak dapat ia berkelit lagi. Tapi dia pun nekat, maka ia angkat tangannya yang kanan, untuk menangkis.
Begitu kedua tangannya beradu, Bwee Tiauw Hong sudah lantas menarik pulang tangannya. Tangannya itu telah tergetar, juga seluruh tubuhnya menjadi panas. Ia menjadi heran sekali. Ia berpikir: “Aku berlatih tanpa guru, aku tersesat. Bocah ini sebaliknya sempurna ilmu dalamnya. Kenapa aku tidak mau memaksa dia untuk mengajari aku?”
Maka kembali ia mencekik leher si bocah itu. “Kau telah membunuh suamiku, tidak ada harapan algi untuk kau hidup lebih lama!” ia kata dengan bengis. “Tetapi jikalau kau meu dengar perkataanku, akan kau membikin kau mati dengan puas! Jikalau kau membela, aku nanti siksa padamu!”
Kwee Ceng tidak menjawab.
“Bagaimana Tan Yang Cu mengajarkan kau ilmu bersemadhi?!” Tiauw Hong tanya.
Kwee Ceng dapat menerka isi hati orang. Ia berpikir; Ah, kau ingin aku mengajarkan kau ilmu tenaga dalam! Tidak nanti! Biar aku mati, tidak nanti aku membikin harimau tumbuh sayap!” Maka ia lantas tutup rapat kedua matanya, ia tidak pedulikan ancamanan orang.
Bwee Tiauw Hong mengerahkan tenaga di tangan kirinya, hal itu membuat Kwee Ceng merasai lengannya sakit sekali. Tetapi ia sudah nekat, malah ia kata: “Kau memikir untuk mendapatkan kepandaianku? Hm! Baiklah siang-siang kau matikan keinginanmu itu!”
Tiauw Hong kendorkan pencetannya. “Aku berjanji akan mengantarkan obatmu kepada Ong Cie It, untuk menolongi jiwanya,” katanya lemah lembut.
Mendengar ini, Kwee Ceng berpikir. “Inilah urusan penting,” katanya dalam hatinya. Lekas ia bilang: “Baik! Tapi kau mesti bersumpah dulu – sumpah yang berat, nanti aku ajarkan kau ilmu yang Ma Totiang ajarkan aku.”
Tiauw Hong lantas saja menjadi kegirangan. “Orang she Kwee….” katanya, dengan sumpahnya, “Sesudah si bocah she Kwee yang baru mengajari aku ilmu dalam dari Coan Cin Kauw, apabila aku si orang she Bwee tidak mengantarkan obat kepada Ong Cie It, biarlah tubuhku tidak dapat bergerak seluruhnya, biarlah aku tersiksa untuk selama-lamanya!”
Wanita ini baru memberikan sumpahnya itu lalu tiba-tiba di sebelah kiri mereka, sejarak belasan tembok, ada orang membentak dengan dampratannya; “Budak hina, lekas kau munculkan dirimu untuk terima binasa!”
Kwee Ceng kenali itu suara bentakan, ialah dari Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay.
Lantas ia dengar pula suara seorang lain, “Budak cilik ini mesti ada di dekat-dekat sini! Jangan khawatir, dia tidak bakal lolos!”
Sembari berbicara, mereka itu jalan pergi.
Kwee Ceng terkejut. “Kiranya Yong-jie masih ada disini,” pikirnya. “Dan dia telah dipergoki mereka itu….” Dia lantas berpikir pula. Setelah itu, ia kata kepada Bwee Tiauw Hong; “Kau masih harus melakukan baik satu hal lagi, jika tidak, kau boleh siksa aku, aku akan tutup mulutku!”
“Masih ada apalagi?!” tanya Tiauw Hong yang murka sekali.
“Aku ada punya satu sahabat, satu nona kecil,” sahut si anak muda: “Sahabatku itu lagi dikejar-kejar lawannya. Kau mesti turun tangan untuk menolongi sahabatku itu!”
“Hm!” Tiauw Hong kasih dengar ejekannya. “Cara bagaiman aku bisa mengetahui di mana adanya sahabatmu itu? Sudah, jangan ngoceh terus! Lekas kau jelaskan ilmu itu!” Dia pun kembali memencet.
Kwee Ceng menahan sakit, hatinya cemas dan mendongkol. Ia membandel. “Kau mau menolongi atau tidak, terserah padamu!” katanya keras. “Aku suka bicara atau tidak, terserah padaku!”
Tiauw Hong kewalahan. “Baiklah bocah, aku menerima baik permintaanmu,” bilangnya. “Bocah cilik yang bau, aku tidak sangka Bwee Tiauw Hong satu jago yang telah malang melintang di kolong langit ini, sekarang aku mesti menyerah kepada segala kehendakmu!”
Kwee Ceng tidak menyahuti, dia hanya berkoak-koak: “Yong-jie, ke mari! Yong-jie! Yong-jie…..”
Baru dua kali Oey Yong dipanggil, tiba-tiba dia telah muncul dari gerombolan pohon kembang mawar di samping mereka. Dia lantas menyahuti: “Sudah lama aku ada di sini….!”
Memang nona itu sudah sekian lama bersembunyi di situ, maka itu dia pun telah denar pembicaraan di antara Tiauw Hong dan Kwee Ceng. Dia menjadi terharu dan tertarik hatinya kepada si pria, yang begitu perhatikan dan menyayangi kepadanya. Tanpa merasa, air matanya turun meleleh di kedua belah pipinya yang halus. Tapi ia tidak menangis terus, hanya ia lantas kata pada Bwee Tiauw Hong: “Bwee Jiak Hoa, lekas kau merdekakan dia!”
Kwee Ceng heran, begitu pun Bwee Tiauw Hong.
Bwee Jiak Hoa itu adalah nama benar dari Tiauw Hong, nama sebelum ia berguru, nama itu tidak dikenal kaum kongouw. Nama itu pun sudah beberapa puluh tahun tidak pernah terdengar lagi. Sekarang Tiauw Hong dengar nama orang menyebutnya, ia terperanjat. “Kau siapa?!” ia tanya, suaranya bergemetar.
Oey Yong menjawab, katanya: “Di dalam tumpukan cita menyembunyikan pedang mustika, dalam suara seruling dan tambur ada si bintang tetamu….Aku she Oey….”
Tiauw Hong menjawab terlebih kaget lagi. “Kau…kau….!” tanyanya membentak.
“Kau bagaimana?!” balas tanya Oey Yong. “Masih ingkatkah kau kepada puncak Cek Cui Hong, gua Twie In Tong dan paseban Sie Kiam Teng dari pulau Tho-hoa-to di Tang Hay?”
Tiauw Hong berdiam, ia merasakan seperti tubuhnya melayang-layang. Semua puncak, gua dan paseban itu adalah tempat, dimana ia biasa pesiar semasa dia masih belajar silat. Heran ia akan mendengar disebutnya semua itu.
“Kau pernah apa dengan Oey Suhu, yang namanya Yok di atas dan Su di bawah?” ia tanya kemudian.
“Bagus!” seru si nona. “Kau nyatanya belum melupai ayahku! Tapi juga ayahku belum melupakannya kau! Dia telah datang sendiri menjenguk padamu!”
Tiauw Hong ingin berbangkit bangun akan tetapi kakinya tidak mau menurut perintah. Ia menjadi kaget, seumpama kata semangatnya terbang pergi. Ia menjadi bingung sekali.
“Lekas lepaskan dia!” Oey Yong berkata pula.
Tiba-tiba pula Tiauw Hong ingat: “Selama ini suhu tidak pernah meninggalkan Tho Hoa To, maka cara bagaimana dia bisa datang kemari? Bukankah aku tengah di perdayakan?”
Menyaksikan keragu-raguan orang, Oey Yong berlompat tinggi setombak lebih, selagi lompat, ia putar tubuhnya dua kali sebelum tubuhnya turun, ia menyerang ke arah Tiauw Hong. Itulah jurus “Burung garuda terbang ke langit” dari Cwie-sim-ciang. Sembari menyerang, ia menaya: “Kau sudah mencuri kitab Kiu Im Cie Keng, kau mengertikan jurus ini?”
Tiauw Hong merasakan serangan itu dari anginnya saja, ia angkat tangannya untuk menangkis seraya ia berkata: “Sumoay, marilah kita bicara baik-baik! Mana suhu?”
Oey Yong tidak segera menjawab, di waktu tubuhnya turun ke bawah, ia lantas ulur tangannya akan sambar Kwee Ceng guna ditarik.
Memang Oey Yong ini adalah putrinya Oey Yok Su, Tocu pemilik pulau dari pulau Thoa Hoa To di Tang Hay, Laut Timur. Dia adalah anak tunggal dan tersayang. Ibunya telah meninggal dunia karena kesulitan bersalin setelah ia dilahirkan. Dalam kedukaannya, Oey Yok Su menghibur diri dengan merawat dan memanjakan putrinya ini dengan dibantu sejumlah pelayan. Karena ia sangat disayang, ia menjadi sangat nakal. Ia cerdas sekali tetepi dalam pelajaran ilmu silat, ia kurang bersungguh-sungguh, ia tidak dipaksa ayahnya itu yang ingat ia masih berusia terlalu muda. Maka itu, walaupun Oey Yok Su ada satu jago yang lihay, anaknya baru mendapat permulaan saja dari kepandaiannya itu.
Pada suatu hati Oey Yong pesiar kelilingan di pulaunya itu, sampai ia tiba di gua, dimana ayahnya telah mengurung musuhnya. Ia bicara sama musuh itu. Ia merasa kasihan, ia memberikan sedikit arak. Belakangan Oey Yok Su ketahui perbuatan anaknya itu, ia gusar, ia tegur anaknya itu. Belum pernah Oey Yong ditegur, ia menjadi tidak senang, maka itu ia pergi buron dengan menaiki sebuah getek kayu. Ia menyamar sebagai satu pemuda melarat, ia pergi ke mana ia suka, sampai di Kalgan ia – diluar dugaannya – bertemu sama Kwee Ceng, malah keduanya tertarik satu pada yang lain hingga mereka lantas saja menjadi bersahabat erat. Oey Yong pernah dengar ayahnya omong tentang Tan Hian Hong dan Bwee Tiauw Hong, kedua murid ayahnya itu, maka itu ia jadi tahu nama benar dari Tiauw Hong. Tentang kata-katanya tadi, yaitu: “ Di dalam tumpukan cita menyembunyikan pedang mustika, dalam suara seruling dan tambur ada si bintang tetamu”, itulah nyanyiannya Oey Yok Suk yangs ering dinyanyikan, maka setiap muridnya kenal itu baik sekali. Ia sengaja menyebutkan itu, untuk menggertak kepada Tiauw Hong, yang kepandaiannya tidak dapat ia tandingi. Benar-benar Tiauw Hong jeri dan melepaskan Kwee Ceng.
Tiauw Hong masih berpikir: “Suhu telah datang, entah dengan cara apa dia bakal menghukum aku…” Mukanya menjadi pucat kapan ia ingat kebengisannya Oey Yok Su, tubuhnya menggigil sendirinya. Ia buta tetapi ia seperti membayangkan guru itu dengan bajunya warna kuning muda, dengan pundaknya menggendol sebuah pacul kecil peranti menggali obat-obatan, lagi berdiri di hadapannya. Mendadak tubuhnya menjadi lemas, seperti habis sudah ilmu silatnya, ia terus mendekam ke tanah seraya berkata: “Teecu ketahui dosaku yang mesti dibunuh berlaksa kali, tetapi teecu mohon sukalah guru mengampunkan teecu dari hukuman mati mengingat mata teecu telah buta dan separuh tubuhku cacat…”
Kwee Ceng heran menyaksikan orang demikian ketakutan dan pasrah sedang begitu jauh yang ia ketahui, si Mayat Besi biasanya galak dan telengas, musuh bagaimana tangguh juga tidak dapat buat ia jeri.
Oey Yong tertawa di dalam hatinya. Ia tarik tangan Kwee Ceng, terus ia menunjuk ke luar jendela. Itu artinya ia mengajak sahabat itu lari bersama, buat menyingkir dari istana itu.
Kwee Ceng baru memandang ke tembok tatkala di belakang mereka, mereka dengar satu suara seruan yang disusul tertawa panjang, lalu di sana muncul seorang yang tangannya menggoyang-goyang kipas.
“Anak yang baik, aku tidak kena kau jual!” orang itu berkata sambil tertawa.
Oey Yong lantas kenali Auwyang Kongcu, yang ia tahu ilmu silatnya lihay, dan orang pun hendak membekuk padanya. Ia mengerti yang ia sukar lolos, tetapi ia cerdik sekali, segera ia dapat akal, lantas ia menghadapi Bwee Tiauw Hong dan berkata: “Bwee Suci, ayah paling dengar perkataanku, sebentar nanti aku mohonkan ampun kepadanya, hanya sekarang kau mesti mendirikan dulu beberapa jasa baik, supaya ayah suka mengampunkannya.”
“Jasa baik apakah itu?” Bwee Tiauw Hong tanya.
“Ada orang busuk lagi menghina aku,” Oey Yong terangkan. “Akan aku berpura-pura tidak sanggup melawan, kaulah yang mesti hajar dia. Sebentar ayah datang, kapan ia lihat kau membantui aku, hatinya tentu girang.”
Tiauw Hong suka memberikan bantuannya. Kata-katanya ini sumoy, adik seperguruan, membuat ia mendapat harapan, hingga semangatnya bangun dengan mendadak.
Sementara itu Auwyang Kongcu lagi mendatangi bersama keempat murid wanitanya. Begitu dia tiba di depan mereka bertiga, Oey Yog tarik tangannya Kwee Ceng, untuk memernahkan diri di belakangnya Bwee Tiauw Hong. Nona ini telah pikir, begitu lekas Tiauw Hong dan si kongcu bertempur, ia mau ajak sahabatnya itu menyingkirkan diri.
Auwyang Kongcu melihat Tiauw Hong sedang duduk numprah, nyonya itu berserba hitam dan romannya tidak luar biasa, ia ulur tangannya akan sambar Oey Yong. Mendadak saja ia merasakan angin menyambar ke arah dadanya, ia lihat tangan si nyonya menjambak secara hebat. Ia kaget bukan main. Belum pernah ia mendapat serangan sehebat ini. Lekas-lekas ia mengetok denagn kipasnya ke lengan si nyonya, tubuhnya pun dibawa berlompat berkelit. Walaupun begitu, ia masih kurang sebat, dengan menerbitkan suara memberebet, ujung bajunya robek sepotong sedang kipasnya patah menjadi dua potong. Yang membikin ia terkejut sekali adalah keempat muridnya telah roboh terguling, apabila ia mendekati mereka, untuk memeriksa, nyata mereka sudah putus jiwanya semua, otak mereka telah dilobangi lima jari tangan. Itulah cengkeraman Kiu Im Pek-kut Jiauw.
Kongcu ini menjadi murka sekali, tidak banyak omong lagi, ia lompat maju, untuk menyerang Bwee Tiauw Hong. Ia keluarkan kepandaiannya yang istimewa, ialah “Sin To Soat San Ciong”, atau “Unta Sakti Gunung Salju”.
Bwee Tiauw Hong membuat perlawanan dengan Kiu Im Pek-kut Jiauw, kedua tangannya bergerak panjang dan pendek, sambungan tulang-tulangnya mengasih dengar suara meretek, hingga Auwyang Kongcu tidak berani merapatkan diri.
Oey Yong hendak menggunai ketikanya untuk menyingkir, ia baru menarik tangan Kwee Ceng atau tiba-tiba ia dengar bentakan di belakangnya, disusul sama serangan dua tangan. Itulah Hauw Thong Hay yang telah datang ke situ dan lantas menyerang, ke arah muka, sebab dia tahu si nona memakai lapis berduri.
Segera setelah itu, ke situ pun datang See Thong Thian bersama Nio Cu Ong dan Pheng Lian Houw.
Chao Wang bersama putranya repotnya mencari orang yang menculik onghui, mereka berlari-lari bersama barisan pengiring mereka, di dalam dan di laur istana.
Nio Cu Ong lihat bagaimana Auwyang Kongcu terdesak, sampai bajunya robek dan terlihat baju dalamnya. Ia pun lantas ingat bagaimana di dalam gua ia telah dipermainkan nyonya itu, ia menjadi gemas sekali sambil berseru, ia maju akan membantui si pemuda mengepung.
See Thong Thian dan Pheng Lian Houw menanti di pinggiran, bersiap untuk membantui. Hati mereka tapinya gentar menyaksikan kehilayan si nyonya.
Oey Yong main berkelit terhadap pelbagai serangan Hauw Thong Hay, ia membuatnya orang she hauw itu kewalahan.
Tidak lama, Bwee Tiauw Hong merasakan repot melayani dua lawan yang tangguh. Tiba-tiba ia tarik sebelah tangannya dan menyambar bebokongnya Kwee Ceng seraya ia berseru: “Kau podong kedua kakiku!”
Kwee Ceng kaget, ia tidak mengerti maksud orang, akan tetapi ia insyaf bahwa mereka bekerjasama menangkis musuh, ia turut perkataan orang itu, segera ia membungkuk memegang kedua pahanya Tiauw Hong, untuk diangkat.
Dengan tangan kirinya Tiauw Hong tangkis serangan Auwyang Kongcu, dengan tangan kanannya ia jambak Nio Cu Ong, semabri berbuat demikian, ia kata kepada Kwee Ceng: “Kau pondong aku, kau kejar si orang she Nioitu!”
Baru sekarang Kwee Ceng mengerti maksud orang. Pikirnya: “Dia tidak dapat menggunai kedua kakinya, dia membutuhkan bantuanku!” Ia terus bekerja. Ia bukan lagi pondong si nyonya, dia hanya memanggulnya, lalu dia bergerak kesana ke mari menuruti setiap petunjuk nyonya itu, untuk maju memburu, guna mundur sembari menangkis atau berkelit. Ia bertenaga besar, enteng tubuhnya, dan tubuh Tiauw Hong tidak berat, ia jadi dapat berbegrak dengan leluasa. Maka setelah itu Tiauw Hong manjadi menang diatas angin.
“Bagaimana sih caranya menyakinkan ilmu dalam?” dia tanya Kwee Ceng selagi ia melayani musuh. Dia tidak dapat melupakan ilmu itu.
“Dudk numprah, lima hati di hadapkan ke langit,” Kwee ceng menjawab.
“Apa itu ynag dinamakan lima hati?” Tiauw Hong menanya pula.
“Dengan itu dimaksudkan telapakan dua tangan, telapakan kedua kaki dan embun-embunan.”
Girang Tiauw Hong hingga ia menjadi bersemangat, hingga ketika ia menjambret Nio Cu Ong, dia dapat mengcengkram pundaknya. Maka tidak tempo lagi, pundaknya orang she Nio itu berlumuran darah, hingga ia mesti melompat menyingkir.
Kwee Ceng lompat, untuk memburu, tatkala ia melihat Kwie-bun Liong Ong See Thong Thian maju membantu suteenya untuk menggerubungi Oey Yong, ia menjadi kaget, lantas ia putar tubuhnya. “Hajar dulu ini dua orang!” ia kata pada Tiauw Hong.
Nyonya itu sudah lantas kasih bekerja kedua tangannya, ynag kiri ke arah bebokongnya Hauw Thong Hay. Dia ini mengkeratkan diri, untuk berkelit. Di luar dugaannya tangan si nyonya, maka kagetlah ia tempo bebokongnya kena dijambak, hingga tubuhnya segera diangkat, sedang di lain pihak lima jari tangan kanan si nyonya itu menyambar ke abtok kepalanya. tanpa berdaya lagi, ia menjadi lemas sekujur tubuhnya, tak dapat ia bergerak lagi.
SeeThong Thian menyaksikan itu, kagetnya bukan main. Ia berlompat, untuk menghalau lengan nyonya itu. Karenanya kedua tangan beradu satu sama lain. keduanya menjadi kaget, tangan mereka sama-sama kesemutan.
Berbareng dengan itu, dari arah kiri terdengar suara angin menyambar. Itulah serangan kim-chie-piauw, atau senjata rahasia yang berupa uang dari Pheng Lian Houw.
Tiauw Hong dapat tahu datangnya serangan gelap, ia menangkis dengan melemparkan tubuhnya Hauw Thong Hay ke arah datangnya piauw itu, maka Thong Hay lantas saja berkoak, “Aduh!” karena tepat ia terkena piauw itu.
See Thong Thian kaget, apapula ia dapatkan tubuh sutee itu bakal jatuh ke tanah. Kalau ia terbanting, celakalah sutee itu. Terpaksa ia melompat maju, untuk menanggapi dengan menyambar pinggang si adik seperguruan itu, ynag terus ia lemparkan. Maka kali ini Thong Hay bisa kerahkan tenaganya, hingga ia jatuh dengan wajar.
Tiauw Hong melemparkan tubuh orang dan See Thong Thian menolongi sutee itu, semua itu terjadi dalam sejenak, menyusuli itu, Tiauw Hong segera diserang dari tiga penjuru, oleh piauwnya Pheng Lian Houw, oleh Auwyang Kongcu dan See Thong Thian.
Bwee Tiauw Hong memasang kupingnya, lantas jari-jari tangannya dipakai menyentil, akan menyentil balik setiap piauw, dari itu, semua piauw itu mental kembali, menyerang kepada Auwyang Kongcu, Pheng Lian Houw dan See Thong Thian, juga kepada Nio Cu Ong, yang turut maju pula.
“Apakah itu yang dinamakan mengumpulkan ngo-heng?” Tiauw Hong menanya lagi.
“Itulah kayu dari Tong-hun, emas dari See-pek, api dari Lam Sin, air dari Pak Ceng, dan tanah dari Tiong Ie.”
Ngo-heng ialah kayu, emas, api, air dan tanah.
“Apakah itu yang disebut mengakurkan su-ciang?”
“Itu artinya menyimpan mata, mengebalkan kuping, meluruskan napas dan menutup lidah.”
“Tidak salah! Itu yang dinamakan ngo-kie-tiauw-goan – lima hawa dipusatkan kepada asalnya?”
“Itulah, mata tidak melihat tetapi semangatnya ada di jantung, kuping tidak mendengar tetapi pendengarannya ada di geginjal, lidah tidak berbunyi tetapi pemikirannya ada di hati, dan hidung tidak mencium bau tetapi rohnya ada di peparu.”
Girang Tiauw Hong mendapatkan keterangan ini. Sudah belasan tahun ia menyakinkan Kiu Im Cie Keng, tidak pernah ia mengerti itu. Maka ia menanya. Dengan begini ia telah memecah perhatiannya, belum lagi Kwee Ceng menjawab ia, pundak kirinya dan iga kanannya telah terkena hajar oleh Auwyang Kongcu dan See Thong Thian. Ia bertubuh kuat akan tetapi toh hajaran itu membikin ia merasakan sangat sakit.
Oey Yong pun menjadi cemas. Ia mengharap Tiauw Hong bisa melibat musuh-musuhnya, supaya ia bisa ajak Kwee Ceng kabur, siapa tahu, pemuda ini mesti membantui orang.
Segera juga Tiauw Hong terdesak dibawah angin. Ia heran atas tidak datangnya bala bantuan, maka akhirnya ia teriaki Oey Yong: “Eh, darimana kau memancing begini banyak musuh lihay? Mana suhu?” Ia menanya demikian, sebenarnya ia berkhawatir. Sungguh tak ingin ia bertemu sama gurunya, yang ia tahu telengas,
“Dia bakal segera datang!” Oey Yong menyahuti. “Mereka ini bukannya tandinganmu! Umpama kata kau duduk di tanah, mereka tidak nanti dapat mengganggu selembar rambutmu!” Ia ingin membangkitkan kejumawaannya si Mayat Besi, supaya Kwee Ceng dilepaskan. Tetapi Tiauw Hong tengah sulit sekali, ia repot melayani musuh-musuhnya.
Nio Cu Ong berseru, ia berlompat menerjang.
Tiauw Hong merasakan ada serangan di kiri dan kanannya, ia mementang kedua tangannya untuk menangkis, tetapi ia merasakan rambutnya ada yang tarik. Itulah nio Cu Ong, yang menyambar rambutnya itu. Ia kaget, begitu pun Oey Yong.
Nona ini segera menyerang punggungnya orang she Nio itu, atas mana Cu Ong menangkis dengan tangan kanannya, sekalian dia hendak membangkol tangannya si nona itu, sedang tangan kirinya tidak melepaskan rambutnya si Mayat Besi.
Untuk membebaskan dirinya, Tiauw Hong menyambar ke rambutnya, maka bagaikan sitebas, rambutnya itu kutung putus, menyusul mana, ia serang Nio Cu Ong.
Dengan mencelat ke samping, Cu Ong menolong dirinya. Sementara itu Pheng Lian Houw lantas mengetahui wanita itu adalah Bwee Tiauw Hong, salah satu dari Hek Hong Siang sat, maka itu, apabila ia dapat kenyataan Oey Yong membnatui si Mayat Hidup, dia menegur : “Eh, budak cilik! Kau bilang kau bukannya murid Hek Hong, nyata kau mendusta!”
Oey Yong tidak mau mengalah. “Dia guruku?” dia membalik, mengejak. “Lagi seratus tahun ia belajar silat, dia masih belum mampu menjadi guruku!”
Lian Houw heran. Terang mereka berdua sama ilmu silatnya. Kenapa si nona menyangkal? Kenapa agaknya si nona tidak menghormati Tiauw Hong itu?
Justru itu terdengarlah suaranya See Thong Thian: “Memanah orang lebih dulu memanah kudanya!” Kata-kata itu ditujukan kepada Kwee Ceng, yang ia lantas rabu kakinya.
Tiauw Hong kaget. Ia tahu Kwee Ceng masih lemah, kalau naka itu roboh, ia pun bisa susah. Maka itu, ia membungkuk, untuk menyambut kakinya orang she See itu. Justru itu, dengan tubuhnya si nyonya turun rendah, Auwyang Kongcu membarengi menumbuk bebokongnya.
Tiauw Hong mengasih dengar suara “Hm!” Mendadak saja tangan kanannya terayun, lalu terlihat berkelebatnya satu sinar putih terang. Nyata ia telah kasih keluar cambuknya, dengan apa ia menyambet ke empat penjuru. Cambuknya itu bergerak bagaikan naga beracun, hingga empat lawannya mesti menjauhkan diri.
Pheng Lian Houw berpikir: “Ini perempuan buta mesti lebih dulu dibinasakan, jikalau suaminya si Mayat Perunggu keburu datang, sungguh sulit!” Ia memikir demikian karena ia tidak tahu Tan Hian Hong sudah terbinasa.
Sebenarnya cambuk Tong-liong Gin-pian dari Bwee Tiauw Hong lihay sekali, di dalam kalangan enam tombak, siapa kena dicambuk, dia mesti terbinasa, cuma sekarang ia menghadapi Auwyang Kongcu berempat…semua bukan sembarang orang. Ia cuma bisa membikin mereka itu merenggangkan diri.
Pheng Lian Houw penasaran, sambil berseru, dia menjatuhkan diri, untuk menyerbu dengan bergulingan.
Tiauw Hong tidak tahu orang hendak membokong dia, dia tetapi melayani ketiga musuhnya. Adalah Kwee Ceng, yang menjadi kaget sekali, dalam takutnya, ia menjerit. Atas ini tahulah Tiauw Hong atas datangnya musuh-musuh, ia lantas ulur tangan kirinya, guna menjambret si orang she Pheng itu.
Oey Yong tidak dapat membantu Tiauw Hong lagi, karena cambuk orang merintangi majunya. Dilain pihak, ia melihat ancaman bahaya untuk si Mayat Besi – artinya untuk ia sendiri berdua sama Kwee Ceng. Ia lantas dapat akal, maka ia berteriak: “Semua berhenti! Aku hendak bicara!”
Pheng Lian Houw, yang bisa membebaskan diri, begitupun ketiga kawannya, tidak mengambil mumat atas teriakan itu, mereka terus mengurung.
Oey Yong berkhawatir dan penasaran, hendak ia berteriak pula, atau tiba-tiba ia dengar lain orang mendahulukan padanya: “Semua berhenti, aku hendak ada bicara!” Suara itu datangnya dari arah tembok.
Oey Yong segera berpaling. Enam orang, yang tubuhnya tinggi kate tdak rata, tertampak berdiri di atas tembok. Tapi malam ada gelap, muka mereka tidak terlihat nyata.
Pheng Lian Houw semua tahu, ada datang orang dari pihak ketiga, merek atidak ambil peduli, mereka berkelahi terus.
Rupanya keenam orang di atas tembok itu tidak dapat manahan sabar, dua diantaranya sudah lantas lompat turun. Merek ini masing-masing bersenjatakan joan-pian dan pikulan besi, dengan senjatanya itu, mereka lantas serang Auwyang Kongcu. Orang yang mencekal joan-pian itu, cambuk emas, ynag tubuhnya kate, membarengi mendamprat: “Bangsat tukang petik bunga, kemana kau hendak lari?!”
Kwee Ceng dengar suara orang, ia menjadi girang sekali. “Suhu lekas tolongi teecu!” ia berteriak.
Memang keenam orang itu adalah Kanglam Liok Koay. Sejak di Utara mereka terpisah dari Kwee Ceng, muridnya mereka itu, kemudian mereka menguntit delapan murid wanita dari Pek To San. Diwaktu malam, mereka lantas mempergoki Auwyang Kongcu beserta sekalian muridnya merampas anak gadisnya suatu keluarga baik-baik. Mereka gusar, mereka lantas menyerang.
Auwyang Kongcu membuat perlawanan, tetapi Liok Koay telah berlatih bersungguh-sungguh di gurun pasir, telah memperoleh banyak kemajuan, mereka membikin ia kewalahan. Begitulah tubuhnya kena dihajar tongkatnya Kwa Tin Ok dan kakinya tertendang Cu Cong. Merasa tidak ungkulan, terpaksa ia lepaskan si nona mangsanya itu dan lari kabur. Dua muridnya terhajar binasa masing-masing oleh Lam Hie Jin dan Coan Kim Hoat.
Wat Lie Kiam Han Siauw Eng lantas menolong si nona, yang ia gendong pulang ke rumahnya. Kemudian Auwyang Kongcu dikejar, tetapi ia licin dan dapat meloloskan diri. Liok Koay juga tidak mengejar dengan berpisahan, karena mereka ketahui, kalau bertempur satu lawan satu, pihaknya tidak sanggup. Tapi mereka terus melakukan penyeledikan. Inilah tidak sukar, sebab rombongannya Auwyang Kongcu gampang dikenali dari dandanan mereka yang serba putih itu. Begitulah mereka menguntit hingga di onghu, istananya Chao Wang itu.
Diwaktu gelap, gampang sekali untuk melihat pakaiannya rombongan Auwyang Kongcu itu, maka itu Lam Hie Jin dan Han Po Kie sudah lantas melakukan penyerangan. Mereka kaget akan dengar teriakannya Kwee Ceng. Empat yang lainnya turut heran juga. Merekanjuga lantas mengawasi, hingga mereka dapat lihat dengan tegas: Bwee Tiauw Hong si Mayat Besi telah bersilat dengan cambuknya, dia sepertinya duduk bersilat di pundaknya Kwee Ceng. Rupanya bocah itu berada dibawah pengaruh orang. Karena ini tanpa bersangsi lagi, Han Siauw Eng maju menyerang si Mayat Besi yang ia sangat benci itu, sedang Coan Kim Hoat maju untuk menolongi muridnya.
Pheng Lian Houw semua heran atas datangnya enam orang itu, apapula mereka itu lantas menyerang Auwyang Kongcu, menyerang si Mayat Besi juga. Lian Houw lantas menggulingkan tubuh, akan keluar dari gelangan. Kemudian ia berteriak: “Semua berhenti! Aku hendak bicara!” Teriakannya nyaring sekali, menulikan telinga.
Nio Cu Ong bersama See Thong Thian mendahulukan mundur.
Kwa Tin Ok, yang dengar teriakan hebat itu, percaya yang orang adalah orang lihay, maka ia pun teriaki saudara-saudaranya: “Shatee dan citmoay, tahan dulu!”
Dua saudara itu menurut, begitupun yang lainnya, mereka semua mundur.
Tiauw Hong pun sudah berhenti bersilat, ia hanya bernapas memburu.
Oey Yong sudha lantas menghampirkan murid ayahnya itu. “Kali ini kau telah berjasa!” katanya. Tapi kepada Kwee Ceng ia memberi tanda dengan gerakan tangan, agar sahabatnya itu melemparkan tubuh orang.
Kwee Ceng mengerti, untuk simpangi perhatian si Mayat Besi, ia memberi keterangan atas pertanyaan orang tadi. Akhirnya ia berkata: “Nah, kau ingatlah baik-baik!” Berbareng dengan itu, dengan mengerahkan tenaga, ia melemparkan tubuh si nyonya sampai jauhnya setombak lebih, ia sendiri segera lompat mundur. Hanya, belum lagi ia menaruh kaki di tanah, cambuk perak yang bergemerlapan sudah lantas menyambar kepadanya. Cambuk itu ada banyak gaetannya.
“Celaka!” teriak Han Po Kie, yang menyaksikan bahaya mengancam muridnya. Tanpa ayal lagi ia menyerang dengan Kim-liong-pian, cambuknya, si Naga Emas. Maka kedua cambuk itu beradu keras. Ia kaget, telapakan tangannya sakit. Cambuknya itu terlepas, terlibat dan tertarik sama cambuknya Bwee Tiauw Hong. Ia menyerang Kwee Ceng begitu lekas ia dapatkan tubuhnya dilemparkan. Ketika ia jatuh ke tanah, lebih dahulu ia menampa dengan tangannya, habis itu ia duduk dengan hati-hati. Ia ketahui datangnya Kanglam Liok Koay begitu lekas ia dengar suaranya Kwa Tin Ok. Ia mendongkol berbareng khawatir. Ia pikir: “Aku cari mereka ke mana-mana, hari ini mereka mengantarkan diri. Coba hari bukannya hari ini, pasti aku bersyukur sangat kepada Langit dan Bumi. Sekarang ini aku lagi dikurung oleh musuh, aku hampir tidak dapat bertahan, jikalau aku mesti tambah musuh dalam dirinya Tujuh Manusia Aneh ini, pastilah aku bakal binasa….” Ia lantas mengertak gigi. Ia lantas mengambil keputusan: “Nio Lao Koay beramai tak ada permusuhannya dengan aku, maka hari ini baiklah aku terbinasa bersama-sama dengan Cit Koay saja!” Ia cekal keras cambuknya, ia memasang kuping, akan dengari gerak-geriknya Cit Koay itu. Ia tahu orang muncul yang berenam, ia heran: “Dari Cit Koay cuma muncul yang enam, entah yang satunya lagi bersembunyi di mana…?” Ia tidak tahu yang Siauw Bie To Thio A Seng telah terbinasa di tangan suaminya.
Liok Koay bersama rombongannya Nio Cu Ong berdiam semua, mereka pun memernahkan diri di jarak tujuh tombak dari wanita kosen itu yang cambuknya sangat lihay.
“Anak Ceng, kenapa mereka itu bertempur?” Cu Cong berbisik kepada muridnya. “Kua sendiri, mengapa kau bantui perempuan siluman itu?”
“Mereka hendak membunuh aku, dia menolongi,” jawab Kwee Ceng.
Biauw Ciu Sie-seng heran.
“Aku minta kau memberitahukan nama kamu?!” Nio Cu Ong menegur Kanglam Liok Koay. “Tengah malam buta, kau lancang masuk ke dalam istana, kamu hendak berbuat apa?”
“Aku she Kwa,” menyahut Tin Ok. “Kami bersaudara bertujuh orang. Orang Kangouw menyebut kami Kanglam Cit Koay.”
“Oh, Kanglam Cit Koay!” kata Pheng Lian Houw. “Sudah lama aku mengagumi nama kamu!”
See Thong Thian tapinya berteriak: “Bagus! Cit Koay telah datang sendiri! Aku orang she See hendak belajar kenal, untuk melihat Cit Koay yang namanya demikian besar, kepandaiannya sebenarnya bagaimana!”
Thong Thian gusar karena ia ingat penghinaan yang diterima empat muridnya. Ia lantas lompat ke depannya Pheng Lian Houw.
Auwyang Kongcu berdiam sambil bersiap. Ia bermusuh dengan Liok Koay dan Bwee Tiauw Hong, yang satu merusak usahanya, yang lainnya membinasakan muridnya atau gundiknya tersayang. Inilah ketikanya untuk turun tangan.
See Thong Thian maju sambil mengawasi keenam Manusia Aneh itu. Ia dapatkan Kwa Tin Ok bercacat mata dan kakinya, Han Siauw Eng satu nona yang manis, Coan Kim Hoat kurus kering, Han Po Kie kate dampak dan gemuk, sedang Cu Cong lemah lembut bukan seperti orang Rimba Persilatan. Cuma Lam San Ciauw-cu Lam Hie Jin, yang romannya gagah. Karena itu, segera ia serang si Tukang Kayu dari gunung Lam San itu.
Lam Hie Jin menancap pikulannya, tanpa bersuara, ia menangkis serangan. Ia lihay akan tetapi baru beberapa jurus, tahulah ia bahwa ia bukannya tandingan musuh she See itu. Karena ini, Han Siauw Eng lantas maju dengan pedangnya dan Coan Kim Hoat dengan dacinnya.
Pheng Lian Houw tidak berdiam saja melihat kawannya dikerubuti, sambil berseru keras, ia lompat maju akan rintangi Coan Kim Hoat, yang senjatanya yang luar biasa itu hendak dirampasnya. Tapi Kim Hoat lihay, gerakannya aneh, ia serangn musuh ini hingga si musuh kaget dan mesti berkelit dengan lompatan jungkir balik “Ular naga membalik tubuh.”
“Eh, senjata apa senjata kau ini?” dia tanya, heran, sesudah berkelit ke kiri dan ke kanan. “Ini toh barang yang diperantikan menimbang di pasar tetapi kau pakai untuk menyerang orang!”
Coan Kim Hoat mendongkol dan menyahut: “Dacin ini untuk menimbang kau, babi!”
Lian Houw murka dikatakan babi, lantas ia menyerang dengan hebat, hingga ia membikin Kim Hoat terdesak.
Meyaksikan saudara keenamnya itu kewalahan, Han Po Kie berlompat maju. Cambuknya kena dirampas Bwee Tiauw Hong tetapi ia punyakan kepalannya.
SeeThong Thian dan Pheng Lian Houw benar lihay, walaupun mereka dikepung, mereka masih menang diatas angin. Karena ini, Kwa Tin Ok dan Cu Cong lantas maju, untuk membantui saudara-saudaranya itu, dengan begitu, mereka jadi bertempur dalam dua rombongan dengan masing-masing tiga lawan satu. Kali ini pihak Liok Koay yang menang di atas angin.
Pertempuran di antara Oey Yong dan Hauw Thong Hay juga berjalan dengan seru. Sebenarnya Thong Hay lebih lihay terapi ia kalha gesit dan ia pun jeri untuk beju lapis si nona, dari itu tidak berani ia menghajar tubuh orang. Karena ini Oey Yong yang dapat mendesak, hingga lawannya itu main mundur.
Auwyang Kongcu telah memasang mata, ia ketahui pihaknya keteter, maka ia lantas mengambil keputusan: “Baiklah aku binasakan dulu ini beberapa manusia jahat. Si wanita siluman, biar bagaimana tidak nanti ia dapat kabur, dia boleh dibereskan belakangan…” Segera ia lompat ke sampingnya Kwa Tin Ok. Ia bergerak dengan jurus “Sekejap seribu lie” dari ilmu silatnya Sin To Soat-san-ciang. Ia pun lantas membentak: “Kamu usilan, bangsat buta, maka kau rasailah lihaynya kongcumu!” Lalu tangannya kanannya meninju.
Kwa Tin Ok mendengar suara angin di kanan, ia menangkis dengan ujung tongkatnya, tetapi ia kebogehan, sebab serangan datang dalam rupa tangan kiri lawan. Ia lantas saja berkelit denagn mendak, berbareng dengan mana, ia menyerang pula dengan jurusnya “Arhat menunjuk pengaruh”.
Auwyang Kongcu menyingkir dari serangan itu, tetapi ia bukannya menyingkir untuk berlari, hanya ia lompat kepada Lam Hie Jin, yang ia terus serang, hingga Hie Jin terkejut dan mesti berbalik akan melayani.
Melayani Hie Jin pun Auwyang Kongcu pun tidak mau mengulur tempo, ia lantas tinggalkan musuh ini, untuk menyerang yang lain. Begitu ia berkelahi, hingga ia menempur Liok Koay dengan bergantian. Maka teranglah, ia tengah mengganggu musuh-musuhnya itu, hingga Pheng Lian Houw dan See Thong Thian jadi dapat bernapas.
Suasana kembali terbalik, Liok Koay yang mulai keteter pula.
Nio Cu Ong sementara itu terus memasang matanya terhadap Kwee Ceng, maka tempo ia menginsyafi aksinya Auwyang Kongcu itu, ia lantas lompat kepada bocah itu sambil ulur tangannya, ia menjambret dengan kedua tangannya.
Kwee Ceng bukan tandingan jago ini, dalam beberapa jurus saja ia sudah terdesak, malah lekas juga dadanya kena dicengkram. Dengan tangan kanannya, Cu Ong menjambak ke arah perut, untuk membikin pecah perut orang, supaya ia bisa menghisap darah anak muda itu.
Dalam saat berbahaya itu, Kwee Ceng membela diri. Ia mengkeratkan perutnya, hingga terdengar suara robek dari bajunya, hingga belasan bungkusan obatnya kena disambar musuh.
Nio Cu Ong dapat mencium bau obat, ia masuki semua bungkusan itu ke dalam sakunya, setelah mana kembali ia menjambak.
Kwee Ceng berontak sekuat-kuatnya, ia dapat meloloskan diri, terus ia lari ke arah Bwee Tiauw Hong sambil berteriak: “Tolongi aku!”
Girang Tiauw Hong mendengar suara orang. Ia memang ingin meminta beberapa keterangan pula kepada anak muda itu.
“Kau peluki aku! Jangan takuti Lao Kaoy!” ia menyahuti.
Kwee Ceng tahu, satu kali ia peluk wanita itu, ia tidak bakal lolos pula, karena itu, ia tidak berani menghampirkan, ia hanya lari berputaran dekat, di sekitarnya.
Nio Cu Ong memburu, hingga ia memasuki kalangan smabaran cambuknya si wanita kosen, sembari mengejar, ia waspada terhadap nyonya itu terutama terhadap cambuknya.
Bwee Tiauw Hong sendiri memperhatikan suaranya Kwee Ceng, gerak-geriknya, maka juga mendadak saja ia geraki cambuknya, untuk merabu kakai si anak muda!
Oey Yong melayani Hauw Thong Hay dengan selalu memperhatikan Kwee Ceng. Ia terkejut ketika Kwee Ceng kena dijambret Nio Cu Ong, untuk menolongi, sudah tidak keburu lagi. Sekarang ia melihat kawannya terancam cambuknya Tiauw Hong, ia dapat menolong, maka dengan meninggalkan Thong Hay, ia lompat ke arah cambuk! Ia tidak takuti cambuk itu, meskipun ia tahu, kecuali ayahnya, sukar dicari orag yang bisa mengalahkannya. Ia pun bukannya hendak menangkis, hanya ia berlompat ke atas cambuk di mana ia menggulingkan tubuhnya.
Kwee Ceng tertolong dari bahaya tetapi sekarang Oey Yong yang kena kelibat cambuk itu, yang terus ditarik Bwee Tiauw Hong. Atas itu Oey Yong lanats berseru: “Bwee Jiak Hoak, beranikah kau melukai aku?!”
Kaget Tiauw Hong mengenali suaranya Oey Yong, hingga ia memandikan peluh dingin. Dia pun berpikir: “Cambukku banyak gaetannya, sekarang aku lukai budak ini, bagaimana suhu dapat mengampunkan aku? Tapi sudah terlanjur, baiklah aku habiskan dia dulu!” Maka dia terus menarik, hingga ia dapat cekal tubuh si nona, untuk diletaki di tanah. Ia percaya tubuh si nona itu sudah tercengkeram pelbagai gaetan cambuknya.
Justru itu Oey Yong tertawa geli. Ia memakai lapisan joan-wie-kah, tubuhnya tidak terluka, melainkan baju luarnya dan dalamnya pada robek. Dengan jenaka ia berkata: “Kau merusaki pakaianku, aku minta ganti!”
Tiauw Hong melongo. Dari suaranya orang, ia dapat tahu nona itu tidak kesakitan. Dengan tiba-tiba ia ingat, maka katanya dalam hatinya: “Ah, tentu saja baju lapis berduri dari suhu telah diberikan padanya!” Ia lantas menyahuti: “Ya, encimu ini yang salah, nanti aku pasti mengganti bajumu ini…”
Oey Yong lantas menggapai pada Kwee Ceng.
Anak muda itu menghampirkan, ia berdiri jauhnya tujuh atau delapan kaki dari Tiauw Hong. Sekarang ia tidak dihampirkan oleh Nio Cu Ong, yang jeri kepada cambuknya si wanita lihay itu.
Kanglam Liok Koay sekarang berkelahi dengan mengumpulkan diri, belakang dengan belakang, denagn begitu mereka dapat melayani See Thong Thian, Pheng Lian Houw, Hauw Thong Hay dan Auwyang Kongcu berempat. Thong Hay ditinggalkan Oey Yong, ia lantas membantui kawannya itu. Inilah cara berkelahi yang Liok Koay baru pahamkan dan melatih selama mereka berdiam di gurun pasir. Dengan begitu, mereka tidak usah repot-repot menjagai punggung mereka. Meski begini, mereka keteter juga.
Han Po Kie terluka pundaknya, ia berkelahi terus. ia takut keluar dari kalangan, khawatir nanti benteng perlawanannya itu menjadi dobol. Ia berkelahi sambil menggertak gigi, sebab Pheng Lian Houw yang lihay sudah cecar padanya.
Kwee ceng lihat gurunya yang nomor tiga itu terancam bahaya, melupakan segala apa, ia lari menghampirkan, terus ia serang bebokongnya Pheng Lian Houw dengan jurusnya, “Membuka mega untuk menolak rembulan.”
“Hm!” Pheng Lian Houw mengasih dengar suara si hidung. Ia berkelit, lantas ia memutar tubuh untuk membalas menyerang.
Justru itu terlihat muncul dari gombolan pohon bunga, sambil berlari-lari mendatangi, dia berseru: “Semua suhu, ayahku ada urusan penting untuk mana ia minta bantuan kamu! Lekas!”
Orang itu mengenakan kopiah emas, kopiahnya miring. Ialah siauw-ongya Wanyen Kang, si pangeran muda.
Pheng Lian Houw semua menjadi bingung. Masing-masing mereka lantas berpikir: “Ongya adalah yang mengundang kami semua, sekarang dia ada punya urusan penting, cara bagaimana aku tidak pergi membantu dia?” Karena ini, mereka lantas lompat mundur, keluar dari gelanggang.
“Ibuku telah dibawa buron penjahat,” Wanyen Kang beritahu dengan perlahan. “Ayah minta semua suhu membantu mencari, untuk menolongi. Tidak nanti kami berani melupakan budi suhu semua!”
Pangeran ini datang secara kesusu, malampun gelap, ia tidak dapat melihat Bwee Tiauw Hong, yang numprah di tanah.
“Onghui telah orang bawa lari, inilah hebat!” pikir Lian Houw semua. “Kalau begitu, apa perlunya kami berdiam di dalam istana?” Mereka juga menduga: “Pasti Liok Koay ini lagi menjalankan siasat memancing harimau turun dari gunung, untuk melibat kami semua. dilain pihak, kawannya pergi menculik onghui!” Karena ini tanpa sangsi lagi, mereka lari mengikuti Wanyen Kang, mereka meninggalkan musuh-musuh mereka.
Nio Cu Ong berlari paling belakang, ia pergi dengan perasaan sangta tidak puas. Ia ingat Kwee Ceng darah siapa ia belum sempat hisap. Justru itu, Kwee Ceng teriakin dia: “Eh, kau pulangi obatku!” Dalam sengitnya, ia menimpuk dengan senjata rahasianya, yaitu paku Cu-ngo Touw-kut-teng.
Cu Cong lompat maju, dengan kipasnya ia sampok paku itu, sesudah jatuh ia pungut, terus dibawa ke hidungnya, untuk dicium. “Oh, paku beracun Cu-ngo Touw-kut-teng! Inilah paku yang asal menemui darah lantas menutup tenggorakan orang hingga orang mati seketika!”
Nio Cu Ong tercengang mengetahui orang kenal pakunya itu.
“Apa?” dia menanya seraya ia merandak, tubuhnya pun diputar.
Cu Cong lari menghampirkan, dengan tangan kirinya ia angsurkan paku itu. “Ini , aku kembalikan pada kau, tuan!” katanya sembari tertawa.
Cu Ong pun ulur tangannya untuk menyambuti. Ia tidak jeri karena ia tahu orang kalah daripadanya.
Cu Cong dapat lihat ujung baju orang penuh rumput dan debu, ia gunai tangan bajunya untuk menyapu itu.
“Siapa kesudian kau mengambil hatiku?!” Cu Ong membentak, terus ia putar tubuhnya untuk berlalu.
Sia Tiauw Enghiong - 9
By admin • Sep 1st, 2008 • Category: 2. Silat China, CY - Sia Tiauw Enghiong
Kwee Ceng menjadi masgul sekali. “Dengan begitu saja kita pulang…” katanya menyesal. Satu malaman ia menumpuh bahaya, kesudahannya obat tak didapatkan juga. Untuk menggunai kekerasan, harapannya tidak ada.
“Mari kita pulang!” mengajak Tin Ok selagi muridnya ragu-ragu. Ia pun mendahului lompat ke tembok, maka lima saudaranya lantas menyusul.
“Bagaimana dia, toako?” Han Siauw Eng tanya sambil ia menunjuk Tiauw Hong.
“Kita telah memberikan janji kepada Ma Totiang, biar kita mengasih ampun padanya,” sahut kakak tertua itu.
Oey Yong tertawa haha-hihi, ia tidak memberi hormat kepada Liok Koay. Ketika ia pun lompat ke tembok, ia naik ke ujung lainnya.
“Adik kecil, mana suhu?” Tiauw Hong tanya nona itu.
“Ayahku?” balik tanya Oey Yong masih tertawa. “Tentu sekali ayah berada di pulau Thoa Hoa To! Tidak pernah ayah meninggalkan rumah! Ada apa kau menanyakannya?”
Tiauw Hong menjadi sangat gusar, hingga napasnya memburu. Ia tahu ia tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah berhenti sejenak, ia kata pula: “Kau toh yang membilangnya kalau suhu datang ke mari!”
Oey Yong tertawa pula. “Tanpa aku dustakan kau, mana kau mau lepaskan dia?” Dengan “dia” ia maksudkan Kwee Ceng.
Tiauw Hong murka bukan kepalang, dengan kedua tangannya ia menekan tanah, lantas saja ia bangkit berdiri, lalu dengan tindakan terhuyung-huyung, ia menubruk kepada si nona. Ia telah keliru menyakinkannya ilmu silat dala, akibatnya kedua kakinya mati, dan makin ia memaksakan diri, makin pendek napasnya. Tapi kali ini, ia lupa segalanya.
Oey Yong terkejut, lekas ia lompat turun ke lain sebelah, untuk lari menghilang.
Tiba-tiba Tiauw Hong sadar. “Eh, mengapa aku bisa jalan?” tanyanya pada diri sendiri. Justru ia sadar, habis ia menanya, mendadak ia roboh pula, kedua kakinya lemas dan kaku. Ia pun pingsan.
Gampang sekali kalau Liok Koay hendak merampas jiwa orang akan tetapi untuk menepati janji kepada Ma Giok, mereka tidak mau turun tangan, maka itu mereka berlalu dengan terus. Mereka ajak Kwee Ceng bersama.
“Eh, anak Ceng, kenapa kau berada disini?” kemudian Han Siauw Eng menanya.
Kwee Ceng menjawab guru ini dengan tuturkan semua pengalamannya, sampai ia berikhtiar untuk menolongi Ong Cie It.
“Kalau begitu, mari kita tolongi Ong Totiang!” Cu Cong mengajak.
Bab 23. Bisa Lawan Bisa
Yo Tiat Sim girang bukan main dapat menemukan istrinya, malah ia dapat menolongi juga, dari itu ia pondong erat-erat istrinya itu ketika ia lari keluar dengan melompati tembok istana.
Di bawah tembok, Liam Cu menantikan ayahnya dengan pikiran tegang. Ia tidak sabaran dan cemas juga. Ia heran ketika ia lihat ayahnya kembali dengan memondong seorang wanita.
“Ayah, siapa ini?” ia lantas tanya.
“Inlah ibumu!” sahut ayah itu. “Mari lekas kita menyingkir!”
Liam Cu kaget dan heran. “Ibuku?” ia menegasi.
“Perlahan!” Tiat Sim mengasi ingat. “Sebentar kita bicara.” Ia sudah lantas lari.
Kira-kira serintasan, Pauw Sek Yok tersadar. Ketik aitu fajar sudah menyingsing, di antara cahaya pagi remang-remang, ia lihat orang yang memondongnya, ialah suami yang ia buat pikiran siang dan malam. Ia heran hingga ia menyangka ia sedang bermimpi. Ia ulur tangannya, akan meraba muka suaminya.
“Toako, apakah aku juga sudah mati?” ia tanya. Ia percaya suaminya itu sudah meninggal dunia.
Tiat Sim girang hingga ia mengucurkan air mata. “Kita tidak kurang suatu apa….” sahutnya halus. Ia berhenti dengna tiba-tiba sebab kupingnya segera dengar suara berisik berupa teriakan-teriakan dan melihat cahaya terang dari banyak obor. Satu barisan serdadu sedang lari mendatangi. Ia dengar nyata: “Jangan kasih lolos penjahat yang menculik onghui!”
Tiat Sim menjadi kecil hatinya. Ia melihat kesekelilingnya, ia tidak dapatkan tempat untuk menyembunyikan diri. Di dalam hatinya ia kata: Thian mengasihani aku hingga hari ini aku dapat bertemu sama istriku kembali, kalau sekarang akan terbinasa, tak usah aku menyesal…!” Lantas ia kata pada anaknya: “Liam Cu, anakku, kau peluklah ibumu…!”
Sejenak itu terbayanglah di matanya Pauw Sek Yok pengalamannya delapan belas tahun yang lampau, pada peristiwa di dusun Gu-kee-cun di kota Lim-an, di kampung halamannya itu. Ia dipondong oleh suaminya dan dibawa lari sekuat-kuatnya, di dalam gelap petang mereka dikejar tentara. Delapanbelas tahun lamanya mereka telah berpisah, ia berduka dan terhina saking terpaksa, atau sekarang, baru saja ia bertemu kembali dengan suaminya, peristiwa dahulu bakal terulang pula. Maka ia rangkul leher suaminya, tidak mau ia melepaskannya.
Menampak tentara pengejar datang semakin dekat, Yo Tiat Sim menjadi nekat. daripada terhina ia rela terbinasa dalam pertempuran. Dari itu ia paksa melepaskan rangkulan istrinyaitu yang ia serahkan kepada anak gadisnya. Ia lantas lari memapaki tentara pengejarnya. Dalam dua tiga gebark saja, ia telah dapat merampas sebatang tobak. Senjata ini membangunkan semangatnya, ia bagaikan harimau tumbuh sayap.
Opsir yang memimpin pasukan itu bernama Thung Couw Tek, dia kena ditusuk pahanya hingga ia terjungkal dari kudanya, atas mana tentaranya lantas kabur serabutan. Tanpa pemimpinnya, mereka ketakutan.
Lega juga hatinya Tiat Sim yang mengathui pasukan itu tidak dipimpin oleh opsir yang kosen, ia pun menyesal yang ia tidak sempat merampas kuda musuh. Tidak ayal lagi, ia ajak istri dan anaknya lari terus.
Setelah terang tanah, Pauw Sek Yok dapatkan suaminya berdarah di sana sini. Ia menjadi kaget sekali. “Kau terluka?” ia tanya.
Di tanya begitu, tiba-tiba saja Tiat Sim merasakan sakit pada belakang telapakan tangannya. baru sekarang ia ingat tadi ia telah dismabar sepuluh jari tangannya Wanyen Kang, hingga tangannya itu mengeluarkan darah, karena repot melarikan diri, ia tidak rasai itu, ia lupa pada sakitnya. Sekarang ia pun merasakan kedua lengannya sakit dan sukar digeraki.
Pauw Sek Yok lantas balut tangan suaminya itu.
Hampir itu wkatu kembali terdengar suara sangat berisik, lalu terlihat debu mengepul baik dan mengulak. Itulah tandanya satu pasukan besar lagi mendatangi.
“Sudahlah, tak usah dibalut….!” kata Tiat Sim sambil menyeringai. Ia lantas menoleh kepada gadisnya dan kata: Anak, kau menyingkirlah seorang diri! Ibumu dan aku akan berdiam disini….”
Liam Cu tidak menangis, hatinya tegang sekali. Ia menginsyafi bahaya, tapi ia menajadi tenang. Ia angkat kepalany. “Biarlah kita bertiga mati bersama!” katanya gagah.
Sek Yok heran, ia mengawasi nona itu. “Dia…dia mengapa adalah anak kita?” dia tanya.
Tiat Sim hendak menjadwab istrinya tetapi ia daptakan tentara itu sudah semakin mendekat, justru itu, dilain jurusan ia melihat datangnya dua imam yang satu berkumis dan rambutnya ubanan, wajahnya sangat berwales asih, yang lain kumisnya abu-abu, sikapnya gagah, dibelakangnya tergendol sebatang pedang. Melihat mereka itu, Yo Tiat Sim tercengang, lantas ia sadar. Dalam kegirangan sangat, ia berseru menyapa salha satu imam itu: “Khu Totiang, hari ini kembali aku bertemu denganmu!”
Imam itu memang Tiang Cun Cu Khu Cie Kee serta saudara seperguruannya, Tan Yang Cu Ma Giok. Mereka hendak menempati janji dengan Giok Yang Cu Ong Cie It, akan bertemu di kota raja, guna membicarakan urusan pibu dengan pihak Kanglam Liok Koay. berdua mereka datang dengan terburu-buru, di luar dugaan, di sini mereka bertemu dengan Yo Tiat Sim suami-istri. Khu Cie Kee telah sempurna Iweekangnya, maka sekalipun telah bertambah delapan belas tahun umurnya, wajahnya tetapi seperti dahulu hari itu, cuma rambutnya yang berubah. Karena itu ia tidak lantas mengenal waktu ia dipanggil dan melihat Tiat Sim, hingga ia mengawasi saja.
Tiat Sim bisa menduga orang lupa padanya, ia berkata: “Apakah totiang masih ingat peristiwa delapan belas tahun yang lampau di dusun Gu-kee-cun di Lim-an, tatkala selagi kita minum arak kita menumpas musuh?”
“Jadinya tuan….!” menegaskan imam itu.
“Aku yang rendah ialah Yo Tiat Sim,” Tiat Sim berkata cepat. “Semoga totiang tidak kurang suatu apa.”
Habis berkata, orang she Yo itu lantas menjatuhkan diri berlutut di depan orang suci itu.
Tiang Cun Cu lekas membalas hormat, tetapi ia tetap ragu-ragu. Setelah hampir duapuluh tahun, disebabkan penderitaannya, Tiat Sim berubah roman dan suaranya juga.
Orang she Yo ini bisa mengerti kesangsiannya si imam. Di lain pihak hatinya tegang melihat tentara pengejar telah mendatangi semakin dekat. Mendadak saja ia geraki tombaknya dan menikam imam itu dengan tipu tombaknya. Ia pun berseru: “Khu Totiang, kau telah melupakan aku tetapi kau tentu tidak dapat melupakan ini ilmu tombak dari keluarga Yo!”
Tiang Cun Cu terkejut tetapi ia mundur. Ia lantas mengenali ilmu tombaknya Keluarga Yo itu, maka sekarang ia ingat ebtul peristiwa delapanbelas tahun dulu ketika ia mencoba ilmu silat orang. Ia menjadi girang bercampur terharu dapat bertemu sama kenalan lama ini. “Oh, Yo Laotee!” katanya. “Kau masih hidup….!”
Tiat Sim tarik pulang tombaknya. Ia tidak sahuti imam itu, hanya lantas ia kata: “Totiang, tolongilah aku!”
Imam itu bisa mengerti keadaan orang. Ia menoleh ke arah tentara pengajar. Lantas ia tertawa. “Suheng, hari ini kembali aku mesti membuka pantangan membunuh!” katanya, kepada saudara seperguruannya. “Aku harap kau tidak gusari aku!”
Ma Giok mengerti, ia menjawab: “Kurangilah pembunuhan! Gertak saja meraka itu!”
Khu Cie Kee tertawa nyaring dan lama, lantas ia maju ke arah tentara itu, yang sudah lantas sampai, malah mendapatkan dia menghalang-halangi, mereka itu terus menerjang dengan begis. Dengan hanya mementang kedua tangannya, ia lantas menarik roboh dua serdadu berkuda itu, tubuh siapa terus ia timpuki ke serdadu yang lainnya yang lagi mendatangi. Maka lagi dua serdadu roboh pingsan.
Luar biasa sebatnya imam ini, dengan cara itu ia robohkan lagi delapan serdadu, delapan-delapannya ia timpuki bergantian kepada kawan mereka, maka lagi-lagi ada delapan serdadu yang terguling. Kejadian ini membikin kaget serdadu-serdadu yang lainnya, mereka lantas putar kuda mereka, untuk lari balik.
Belum lagi semua serdadu kabur, di antara mereka muncul seorang yang tubuhnya besar dan kekar, yang kepalanya licin mengkilap. Dia membentak: “Darimana datangnya si bulu campur aduk ini!” Lantas tubuhnya mencelat ke depan Tiang Cun Cu, yang terus ia serang.
Kata-kata “bulu campur aduk” itu adalah hinaan untuk suatu imam. Tiang Cun Cu tidak menghiraukan itu, hanya melihat orang demikian lincah, ia hendak menguji tangan orang. Ia tangkis seragan itu.
Kedua tangan beradu dengan keras dan bersuara nyaring, habis itu keduanya mundur sendirinya masing-masing tiga tindak.
Khu Cie Kee heran hingga ia kata di dalam hatinya: “Kenapa di sini ada orang begini lihay?”
Selagi si imam ini terheran-heran, adalah Kwie-bun Liong Ong – demikian si lanang itu – merasakan tangannya sakit, hingga ia kaget berabreng mendongkol, maka sekali ia maju menyerang.
Kali ini Khu Tiang Cun tidak berani bergerak sembarangan, dengan sabar ia melayani, sesudah belasan jurus, tangannya menyampok kepala orang hingga di kepalanya See Thong Thian bertapak lima jari berwarna merah.
Orang she See ini insyaf, dengan tangan kosong ia tidak bisa berbuat apa-apa, lantas ia meraba pada pinggangnya di mana ia selipkan genggamannya yang berupa pengayuh besi yang berat, dengan itu ia menyerang pula, menghajar pundak si imam dengan jurusnya “Souw Cin menggendol pedang”.
Khu Cie Kee tetap bertangan kosong, setelah berkelit, ia membalas menyerang. Ia bersedia melayani musuh yang bersenjata itu. Adalah masksudnya, untuk merampas senjata lawan. Tetapi See Thong Thian telah punyakan latihan beberapa puluh tahun, tak gampang senjatanya itu dapat dirampas. Sebaliknya, dia bergerak dengan gesit sekali.
Tiang Cun Cu heran juga atas kegagahan orang, hingga ia ingin tanya she dan namanya lawan ini. Hanya, belum sampai ia membuka mulutnya, dari belakang ia dengar ini pertanyaan yang nyaring sekali: “Kau ada totiang mana dari Coan Cin Kauw?” Ia lantas berlompat, untuk menoleh, hingga ia melihat empat orang berdiri berendeng.
Itulah Nio Cu Ong bersama Pheng Lian Houw, Auwyang Kongcu dan Hauw Thong Hay yang telah lantas dapat menyusul See Thong Thian.
Khu Cie Kee lantas mengangguk kepada mereka itu seraya memberikan penyahutannya: “Pinto she Khu. Pinto mohon tanya nama mulia dari tuan-tuan.”
Nama Tiang Cun Cu kesohor sekali di Selatan dan Utara, maka itu Pheng Lian Houw berempat saling mengawasi, hati mereka berkata: “Pantaslah dia bernama besar, dia memang gagah.” Pheng Lian Houw sendiri berpikir lebih jauh: “Kita sudah melukakan Ong Cie It, itu artinya ganjalan dengan Coan Cin Kauw, sekarang kita bertemu sama Khu Cie Kee, baiklah ia sekalian dibunuh saja! Ini adalah ketika yang paling baik untuk mengangkat nama kita!” Karena berpikir begini, la lantas berseru: “Mari maju berbareng!” Ia pun lantas mengeluarkan sepasang poan-koan-pitnya, dengan apa ia terus terjang imam itu. Ia menerjang sambil berlompat. Ia tahu lawan lihay, maka itu lantas ia menotok kepada kedua jalan darah kin-jie dan pek-hay-hiat.
Khu Cie Kee tidak heran yang orang sudah lantas menerjang kepadanya, ia cuma berpikir, “Si kate ini galak sekali! Dia pun agaknya lihay!” Ia lantas menghunus pedangnya, tetapi ia berkelit dari serangan orang, sebaliknya, ia menikam ke pinggangnya See Thong Thian. Ketika ia telah menarik pulang pedangnya itu, ia meneruskan menikam jalna darah ciang-bun-hiat di iganya Hauw Thong Hay.
Jadi dengan sekali bergerak, imam ini telah melayani tiga lawan. Inilah cara berkelahi yang langka.
Hampir saja Hauw Thong Hay terkena pedang, syukur ia keburu berkelit, tetapi ia kena disusuli, kempolannya kena didupak si imam.
Pheng Lian Houw dan See Thong Thian lantas menyerang, Nio Cu Ong menyusul untuk mengepung. Orang she Nio ini terperanjat untuk kesebatannya si imam.
Auwyang Kongcu melihat bagaimana si imam ini dilibat See Thong Thian dan Pheng Lian Houw dan bagaimana Nio Cu Ong merangsak dari kirinya, ia pun lantas menggunai ketika untuk mengeroyok. Dengan tangan kiri hanya mengancam, ia menotok dengan kipasnya di tangan kanan, mengarah tiga jalan darah hong-bwee, ceng-cok dan pwee-sim di punggung si imam.
Kelihatannya Khu Cie Kee sudah sangat terdesak, ketiga jalan darahnya itu bakal menjadi sasaran kipas yang istimewa itu, atau mendadak satu bayangan berkelebat si samping si kongcu, lalu kipasnya dia ini kena ditahan.
Itulah Ma Giok yang membantu saudaranya. Imam ini heran mendapatkan munculnya begitu banyak orang pandai, yang terus menggeroyok saudaranya, sedangkan ia tidak mengerti, Auwyang Kongcu pun menyerang secara membokong itu, maka terpaksa ia lompat maju untuk menghalangi.
Auwyang Kongcu lihat berkelebatnya satu bayangan, sambil menarik pulang kipasnya, yang hendak dirampas, ia memandang bayangan itu, ialah seoarng imam berusia lanjut, ubanan rambut dan kumisnya. Ia lantas menduga kepada anggota Coan Cin Kauw yang tertua. Ia pun lompat ke belakang.
“Tuan-tuan siap?” tanya Ma Giok. “Kita tidak kenal satu dengan lain, ada salah paham apakah di antara kita? Aku minta sukalah tuan-tuan menjelaskannya.”
Imam ini berbicara dengan sabar sekali, suaranya halus, tidak keras dan mengagetkan seperti suaranya Pheng lian Houw, tetapi pada itu ada nada yang mengandung pengaruh, hingga dengan sendirinya orang-orang yang lagi bertempur itu pada lompat mundur, akan terus mengawasi orang suci ini.
“Apaha she totiang yang mulia?” Auwyang Kongcu bertanya.
“Pinto berasal dari keluarga Ma,” Ma Giok menyahut, tetap sabar.
“Oh, kiranya Tan Yang Cinjin Ma Totiang!” berkata Pheng Lian Houw, suaranya tetap keras. “Maaf, maaf!”
“Pengetahuan pinto tentang agamaku masih terlalu sedikit, sebutan Cinjin itu tidak berani pinto terima,” menolak Ma Giok.
Pheng Lian Houw mencoba bersikap halus, tetapi di dalam hatinya, ia berpikir: “Kita telah bentrok dengan pihak Coan Cin Kauw, di belakang hari pastilah sukar untuk menyelesaikan masalah ini, sekarang dua anggota utama dari mereka berada disini, baiklah kita berlima mengepung mereka itu untuk membinasakannya. Perkara di belakangada soal lain. Hanya, apakah di sini masih ada lain-lain saudaranya….?” Ia lantas melihat ke sekitarnya. Di situ cuma tertampak Yo Tiat Sim sekeluarga bertiga jiwa. Maka ia lantas berkata: “Nama Coan Cin Kauw sangat kesohor, kami sangat mengaguminya. Mana lagi lima saudara totiang? Silahkan minta mereka itu sudi menemui kami.” Itulah kata-kata pancingan.
“Nama kami kosong belaka, cuma untuk ditertawakan tuan-tuan,” menyahut Ma Giok. “Kami bertujuh sudara tinggal di beberapa propinsi, ada sukar untuk kami datang berkumpul. Kali ini kami datang ke Tiong-touw untuk mencari Ong Sutee, baru saja kami mendapat tahu alamatnya, justru kami hendak menjenguk dia, di sini kebetulan kita bertemu sama tuan-tuan. Ilmu silat di kolong langit ini banyak perbedaannya tetapi asal mulanya adalah satu, maka itu bagaimana pula jikalau kita mengikat persahabatan?”
Imam ini jujur, ia tidak menduga bahwa orang lagi memancing padanya.
Pheng Lian Houw girang sekali. Orang cuma berdua dan mereka belum sempat menemui Ong Cie It. Maka boleh ia mengeroyok. Tapi ia masih tertawa, ia berkata: “Totiang berdua tidak mencela kami, itulah bagus sekali. Aku she Sam dan namaku Hek Miauw.”
Ma Giok dan Khu Cie Kee heran, mereka pikirkan siapa Sam Hek Miauw ini, yang namanya aneh. Nama itu berarti Tiga Kucing Hitam. Sama sekali mereka belum pernah mendengarnya. Orang toh lihay….
Pheng Lian Houw selipkan senjatanya di pinggangnya, ia menghampirkan Ma Giok.
“Ma Totiang, aku merasa beruntung dengan pertemuan kita ini,” katanya seraya mengangsurkan tangannya, untuk berjabat tangan, tapi telapakan tangannya dibalik ke bawah.
Ma Giok menyangka orang bermaksud baik, ia pun mengulurkan tangannya, buat menyambuti. Ia merasa orang memegang keras sekali, ia berpikir; “Kau hendak uji tenagaku, baiklah!” Ia tersenyum, sembari tenaganya dikerahkan. Tiba-tiba ia merasakan lima jari tangannya sakit, seperti tertusuk jarum. Saking kaget, ia lantas menarik pulang tangannya itu.
Pheng Lian Houw tertawa tetapi ia mencelat mundur setombak lebih.
Ma Giok melihat telapakan tangannya, lima jarinya berlobang kecil masing-masing dan bergaris hitam.
Ketika tadi Pheng Lian Houw menyelipkan senjatanya, berbareng ia menarik keluar senjata rahasianya, yaitu ban Tok-hoan-taya, yang tipis seperti benang tetapi disitu ada lima batang jarumnya, jarum yang telah dipakaikan racun yang keras seklai, siapa terluka hingga di dagingnya, dalam tempo enam jam dia bakal terbinasa. Ia sengaja memakai nama Sam Hek Miauw, untuk membuat Ma Giok memikirkan, selagi orang tidak bercuriga, ia gunai jarum jahatnya itu. Ketika Ma Giok insyaf ia telah dicurangi dan hendak ia menyerang, si licik sudah lompat mundur.
Khu Cie Kee heran melihat saudaranya berjabat tangan tapi sudah lantas menyerang. “Kenapa?” tanyanya.
“Jahanam licik, dia telah melukai aku dengan racun!” menyahut Ma Giok, yang berlompat maju, untuk menyerang pula.
Khu Cie Kee kenal baik kakak seperguruannya ini, yang sangat sabar, yang untuk beberapa puluh tahun tidak pernah berkelahi, sedang sekarang ia menyerang dengan “Sam Hoa Cie Teng Ciang-hoat”, ialah ilmu pukulan paling lihay dari kaumnya, ia mengerti sebabnya kegusaran itu. Maka ia pun menggeraki pedangnya, ia lompat maju ke depan Pheng Lian Houw, untuk menerjang.
Pheng Lian Houw sempat mencabut poan-koan-pitnya, dengan itu ia menangkis, beruntun dua tikaman, terus ia membalas satu kali. Ia tidak tahu, tangan kirinya Tiang Cun Cu lihay seperti tangan kanannya ang memegang pedang. Imam ini menyambuti poan-koan-pit, yang ia sambar ujungnya, terus ia menggentak ke samping seraya berseru: “Lepas!”
Pheng Lian Houw pun ada seorang jago, senjatanya tidak terlepas, ia lawan keras dengan keras, waktu ia mengerahkan tenaga dan menarik, hebat kesudahannya, ialah poan-koan-pitnya itu terputus menjadi dua potong!
“Bagus!” Khu Cie Kee memuji, tetapi ia terus menyerang pula dengan dua-dua tangannya.
Pheng Lian Houw segera main mundur, karena ia merasakan tangan kanannya kesemutan, hingga hatinya menjadi gentar.
Di lain pihak, See Thong Thia dan Nio Cu Ong maju memegat Ma Giok, sedang Auwyang Kongcu dan Hauw Thian Hay segera membantui Pheng Lian Houw.
Khu Cie Kee heran kenapa mendadak berkumpul orang-orang tangguh ini. Ia ingat, semenjak menempur Kanglam Cit Koay, sudah delapan tahun belum pernah ia menemui tandingan. Karena ini, ia bersilat dengan sungguh-sungguh.
Dikepung bertiga, Khu Cie Kee tidak jatuh di bawah angin, tidak demikian dengan kakak seperguruannya. Tangan Ma Giok menjadi bengkak dan hitam, rasannya kaku dan gatal. Itulah tanda bekerjanya racun dahsyat. Inilah tidak disangka imam itu, yang menduga kepada racun biasa. Makin ia bergerak, jalan darahnya makin cepat. Karena menginsyafi bahaya, segera ia menjatuhkan diri untuk duduk bersemadhi, guna mencegah ransakan racun, sedang dengan tangan kirinya melindungi diri.
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 4 komentar... read them below or add one }
"Terimakasih gan"..
Bimsalabim naek JO,,,
waw keren ini gan
keren kang
Posting Komentar