Kwee Ceng menaruh belas kasihan, ia menjambak punggung si nyonya, untuk mencegah dia terjun, tetapi nyonya itu menyampok ke belakang. Maka “Plok!” muka sianak muda kena dihajar, sampai ia merasakan pipinya panas dan sakit, hingga ia berdiri menjublak.
Oey Yong pun heran, tetapi burungnya sudah datang. maka ia memanggil: “Engko Ceng, mari! Jangan layani perempuan gila itu! Mari kita pergi!”
Kwee Ceng menoleh kepada si nona, kemudian ia berpaling pula kepada Eng Kouw.
Ketika itu air sudah merendam kaki mereka. Mendadak nyonya itu menekap mukanya dan menangis menggerung-gerung. “Anak. anak!” dia sesambatan.
“Lekas, lekas!” Oey Yong memanggil engko Cengnya.
Tapi Kwee Ceng bersangsi. Pemuda ini ingat pesan It Teng Taysu untuk menjaga dan melindungi Eng Kouw. Maka ia teriaki kawannya itu: “Yong-jie lekas kau naik burung dan mendarat! Sebentar kau suruh dia terbang pula ke mari menyambut aku!”
“Sudah tidak keburu!” Oey Yong kata, hatinya cemas.
“Lekas kau pergi!” Kwee Ceng mendesak. “Kita tidak dapat menyia-nyiakan pesan It Teng Taysu!”
Mendengar penyahutan si anak muda, Oey Yong turut bersangsi. Ia pun ingat pesan si pendeta dan ingat pertolongan orang kepadanya., Tengah ia berdiam, mendadak tubuhnya bergoyang keras dan kupingnya mendengar suara nyaring. Nyata perahu mereka telah membentur satu batu besar, hingga air segera menerobos masuk ke dalam perahu itu, badan perahu juga melesak ke dalam air.
“Lekas lompat ke wadas!” Oey Yong berteriak.
Kwee Ceng pun mengerti bahaya, ia mengangguk. Ia segera menghampirkan Eng Kouw untuk memegang padanya.
Kali ini si nyonya berdiam bagaikan orang linglung, dipegangi Kwee Ceng, dia tidak meronta, cuma matanya bengong mengawasi permukaan air.
“Mari!” berseru Kwee Ceng, yang dengan tangan kanannya mengempit tubuh si nyonya dan berlompat. Oey Yong turut berlompat.
Mereka berhasil menginjak batu wadas itu, yang besar, hanya pakaian mereka telah basah kecipratan air. Ketika mereka menoleh, mereka mendapatkan perahu mereka sudah karam di pinggir wadas itu.
Oey Yong berdiri diam, melihat air, ia seperti kabur matanya. Itulah pengalaman sangat hebat untuknya, meskipun ia sebenarnya pandai berenang.
Burung rajawali terbang berputaran di atasan mereka, burung itu tidak mau turun menghampirkan meski berulang-ulang Kwee Ceng memanggil. Terang binatang itu takut air.
Kemudian Oey Yong memandang juga kelilingan. Ia melihat sebuah pohon yangliu di tepian sebelah kiri, terpisahnya dari mereka kira sepuluh tombak. Ia lantas dapat akal.
“Engko Ceng, kau pegang tanganku,” ia kata.
Kwee Ceng tidak tahu orang hendak berbuat apa, ia pegang tangan kiri si nona.
Mendadak Oey Yong terjun ke air, terus dia selulup.
Pemuda itu kaget, ia lekas-lekas membungkuk dengan tangannya diulur panjang-panjang, sedang kedua kakinya dicantel di batu wadas. Dengan tangan kanan ia terus memegangi tangan si nona.
Oey Yong selulup untuk mengambil dadung layar, yang ia bawa kembali ke wadas. Ia menarik dadung hingga panjang duapuluh tombak lebih, ia mengutungi itu, kemudian ia memanggil burungnya, disuruh menclok di pundaknya kiri dan kanan.
Kwee Ceng membantui memegangi burung itu, yang sudah besar dan berat tubuhnya, ia khawatir si nona tak kuat memundaki kedua binatang piaraannya itu.
Oey Yong mengikat dadung ke kaki burung yang jantan, ia menunjuk ke pohon yangliu, untuk menitahkan burungnya terbang ke pohon itu.
Burung itu mengerti, dia terbang ke pohon, setelah terbang memutari, ia terbang balik.
“Eh, aku menyuruh kau melibat dadung ini pada pohon!” kata Oey Yong.
Burung itu tidak dapat dikasih mengerti, maka nona ini masgul.
“Hayo coba!” kata Oey Yong kemudian. Ia memberi contoh.
Burung rajawali itu terbang pula, ia mesti terbang hingga delapan kali, baru dadung dapat dilibat di pohon. Baru sekarang si nona girang.
Kwee Ceng pun girang, sebab ia mengerti maunya kawannya itu.
Ujung yang lain dari dadung itu lantas diikat di wadas. “Nah, Yong-jie, kau mendarat lebih dulu!” kata si pemuda selesai mengikat.
“Tidak,” menyahut nona itu. “Aku akan menanti kau. Biar dia naik lebih dulu.”
Eng Kouw mengawasi muda-mudi itu, ia terus menutup mulutnya. Tapi sekarang ia sudah tenang, ia mengerti maksud orang, maka tanpa bilang apa, ia berpegangan pada dadung, untuk melapai naik, hingga di lain saat ia telah tiba di darat.
“Di masa aku kecil, inilah permainanku yang menarik hati,” kata Oey Yong. “Kwee Toaya, aku hendak memberikan pertunjukan, harap kau mengasih hadiah biar banyak!”
Setelah berkata begitu, si nona menyambar dadung, untuk berdiri di atas dadung itu, habis mana, dia berlari-lari menyeberang melintasi air deras itu, tiba di pohon, untuk turun ke tanah!
Kwee Ceng belum pernah meyakinkan ilmu jalan di atas tambang, ia tidak berani mencoba-coba, khawatir terpeleset dan jatuh ke air, dari itu ia mencontoh Eng Kouw, ia berpegangan pada dadung itu dan melapai. Sambil bergelantungan, ia mengawasi ke darat. Lagi beberapa tombak ia akan tiba di pohon, mendadak ia mendengar seruannya
Oey Yong: “Eh, kau hendak pergi ke mana?” Ia terkejut. Itulah seruan kaget.
Seruan itu disebabkan Eng Kouw berjalan seorang diri, untuk meninggalkan mereka berdua. Kwee Ceng khawatir nyonya itu belum sadar betul, itulah berbahaya. Maka ia lekas-lekas melapai, belum sampai di cabang pohon, ia sudah lompat turun.
“Lihat, dia pergi seorang diri!” kata Oey Yong, tangannya menunjuk.
Kwee Ceng mengawasi, hingga ia menampak Eng Kouw berlari-lari di tanah pegunungan, yang jalanannya banyak batunya dan sukar. Orang sudah pergi jauh, sulit untuk menyandaknya.
“Dia pergi seorang diri, pikiran dia was-was, inilah berbahaya,” kata Kwee Ceng.
“Mari kita susul.” Ia berkhawatir, begitu juga Oey Yong.
“Mari!” menyahut si nona setuju. Hanya ketika ia mengangkat kaki, untuk berlompat, mendadak ia roboh sendirinya, jatuhnya duduk, kepalanya digoyang beberapa kali.
Kwee Ceng mengerti nona itu lemas sebab barusan dia memakai terlalu banyak tenaga.
“Kau duduk di sini,” ia kata. “Nanti aku yang menyusul sendiri. Aku akan segera kembali.”
Pemuda itu lari keras, tapi kapan ia tiba di tikungan tiga, ia bingung. Di situ Eng Kouw tak terlihat, setahu dia mengambil jalanan yang mana. Tempat itu sunyi, rumputnya tinggi, hari pun sudah mendekati magrib. Oleh karena mengkhawatirkan Oey Yong terpaksa ia lari balik.
Kesudahannya, satu malam mereka berdiam di tepi kali itu dengan menahan lapar.
Pagi-pagi mereka sudah berjalan mengikuti tepian di mana ada sebuah jalanan kecil.
Mereka mau mencari kuda dan burung api mereka, guna bersama-sama mencari jalan besar. Sesudah jalan setengah harian, mereka dapat mencari sebuah rumah makan.
Lantas mereka singgah. Mereka membeli tiga ekor ayam, yang seekor dimatangi, untuk dimakan berdua, yang dua ekor untuk sepasang rajawali.
Dua ekor burung itu makan sambil menclok di atas pohon kayu besar.
Burung yang jantan baru makan separuh ayam itu ketika dia bersuara nyaring dan panjang, lantas makanannya dilemparkan, terus dia terbang ke utara. Yang betina pun terbang tinggi, setelah dia juga mengasih dengar suaranya, dia menyusul ke utara itu.
“Kelihatannya burung kita bergusar,” kata Kwee Ceng. “Mereka melihat apakah?”
“Marilah kita lihat!” kata Oey Yong, yang terus melemparkan sepotong perak.
Dengan lantas, mereka lari ke jalan besar, di sana mereka melihat burung mereka terbang berputaran, lalu menukik ke bawah, lalu naik pula, akan seterusnya terbang berputaran lagi.
“Mereka bertemu musuh!” kata Kwee Ceng. “Mari!”
Pemuda itu lantas lari, si nona mengikuti. Kira tiga lie, mereka menampak di depan mereka sekumpulan rumah seperti dusun yang ramai, di atas itu kedua burung mereka masih terbang berputaran, agaknya mereka kehilangan sasaran yang mereka cari.
Bab 68
Sampai di luar dusun, Oey Yong memanggil turun kedua burungnya, akan tetapi burung itu tetap berputaran, masih saja mereka mencari apa-apa.
“Entah dengan siapa mereka bermusuhan hebat ……” kata Kwee Ceng heran.
Lewat lagi sekian lama barulah kedua burung itu turun. Lantas ternyata kaki kiri yang jantan berdarah, di situ ada bekas bacokan golok, syukur kakinya tidak tertebas kutung.
Pantas dia agaknya mendongkol.
Muda-mudi itu kaget.
Sebelah kaki burung yang jantan mencengkeram suatu barang hitam, setelah diperiksa, itulah kulit kepala orang, yang masih ada rambutnya, yang masih ada darahnya.
Sembari memeriksa kulit kepala orang itu, Kwee Ceng berpikir.
“Burung ini dipelihara semenjak kecil, dia baik sekali,” kata ia. “Aku tahu mereka belum pernah melukai orang tanpa sebab. Kenapa sekarang mereka berkelahi sama orang?”
“Mesti ada yang aneh,” kata Oey Yong. “Mari kita cari orang yang kepalanya kehilangan kulitnya itu ……”
Maka mereka mampir di dusun itu, untuk bermalam. Tapi dusun besar, banyak rumah dan penduduknya. Mereka membuat penyelidikan sampai sore tanpa ada hasilnya.
Besoknya pagi, mereka mendapatkan kedua burung mereka membawa pulang kuda mereka. Hiat-niauw tidak ada beserta.
“Mari kita cari,” kata Oey Yong, yang mengajaki kembali. Ia sangat sayang burungnya itu.
Tapi Kwee Ceng berkhawatir untuk Ang Cit Kong, yang terluka dan entah ada di mana, sedang harian Pee-gwee Tiong Ciu bakal lekas datang, mereka mesti menghadirkan pibu di Yan Ie Lauw di Kee-hin. Ia kata, perlu mereka lekas pergi ke timur.
Oey Yong dapat dikasih mengerti, ia suka turut. Demikian dengan naik kuda merah, mereka berangkat. Mereka melarikan kuda mereka keras dan burung mereka mengiringi dari udara. Oey Yong senang sekali, di sepanjang jalan ia banyak omong dan tertawa, gemar ia bergurau. Ia jauh lebih gembira daripada yang sudah-sudah. Bahkan di waktu singgah, sampai jauh malam, ia masih tidak mau tidur, sedang kawannya, yang khawatir ia terlalu letih, menganjurkan ia beristirahat. Ada kalanya, sampai jauh malam, sambil bersila di atas pembaringan, ada saja yang ia omongi sama si anak muda.
Pada suatu hari tibalah mereka di tempat perbatasan sebelah selatan antara dua propinsi Ciat-kang dan Kang-souw, di sini mereka mengasih kuda mereka lari satu harian hingga singgah di sebuah penginapan. Oey Yong pinjam sebuah rantang rotan dari pelayan, hendak ia berbelanja di pasar.
“Kau sudah letih, kita dahar sembarangan saja di sini,” Kwee Ceng mencegah.
“Aku hendak masak untukmu,” berkata si nona. “Apakah kau tidak sudi makan masakanku?”
“Tentu aku suka hanya aku menghendaki kau lebih banyak beristirahat,” kata si anak muda. “Nanti, kalau kau sudah sehat betul, itu waktu masih ada tempo untuk kau masak untukku.”
“Sampai aku sudah sehat betul ……” mengulangi si nona. “Itu waktu ……” Ia telah bertindak di ambang pintu, baru sebelah kakinya, atau ia berhenti.
Kwee Ceng tidak tahu apa orang bilang, tetapi ia menurunkan naya dari lengan si nona. Ia kata; “Ya, sampai kita sudah dapat mencari suhu, baru kau masak, nanti kita dahar bersama-sama ……”
Oey Yong berdiam sekian lama, lalu ia kembali ke dalam, untuk merebahkan diri di atas pembaringan. Ia terus berdiam, rupanya ia kepulasan ……
Kemudian, datang saatnya bersantap. Pelayan telah menyajikan barang makanan mereka. Si pemuda membanguni si pemudi, untuk diajak berdahar.
Nona itu bangun seraya berlompat turun. Ia tertawa.
“Engko Ceng, kita tidak dahar ini,” ia kata. “Mai turut aku!”
Pemuda itu menurut, ia mengikuti. Mereka pergi ke pasar. Oey Yong pergi ke sebuah rumah besar yang temboknya putih dan pintunya hitam. Dia mutar ke belakang. Di sini dia lompat naik ke tembok, untuk ke pekarangan dalam. Si pemuda tidak mengerti tetapi ia mengikuti terus.
Oey Yong berjalan hingga ke ruang depan di mana ada api terang-terang, sebab tuan rumah tengah membikin pesta.
“Semua minggir!” berkata si nona sembari tertawa. Ia maju ke depan.
Semua orang di medan pesta itu heran. Sama sekali ada tigapuluh orang lebih yang terbagi atas tiga meja. Mereka itu saling mengawasi. Mereka heran mendapat orang adalah satu nona muda dan cantik.
Oey Yong menghampirkan satu tetamu yang gemuk, ia menjambak dan mengangkat tubuh orang, kakinya menggaet, maka robohlah si terokmok itu. “Apa kamu masih tidak mau menyingkir?” ia tanya, sambil tertawa.
Orang menjadi heran berbareng takut, mereka itu lantas jadi kacau.
“Mana orang? Mana orang?” tuan rumah berteriak teriak. Dia heran, kaget dan berkhawatir dan mendongkol juga.
Segera terdengar suara berisik, di situ muncul dua guru silat beserta belasan pengikutnya. Mereka itu membawa golok dan toya.
Oey Yong tidak takut, bahkan dia tertawa terus. Ketika ia menyambut kedua guru silat itu, sebentar saja ia dapat merobohkan mereka, terus ia menyerbu, merampas senjatanya belasan pengikut itu, hingga ruang pesta jadi sangat kacau.
Tuan rumah jadi takut, dia hendak lari, tetapi dia dicekuk si nona, jenggotnya ditarik, lehernya diancam dengan golok. Dalam takutnya dia menekuk lutut, dengan suara gemetaran dan tidak lancar dia kata: “Lie-tay-ong …… oh, nona …… kau ingin uang, nanti aku sediakan, asal kau ampuni jiwaku ……”
“Siapa menghendaki uangmu?” kata Oey Yong tertawa. “Mari temani aku minum!”
Tuan rumah itu ditarik jenggotnya, ia ketakutan, ia diam saja.
“Mari duduk,” kata si nona, yang pun menarik tangan Kwee Ceng. Ia mengajaknya duduk di meja tuan rumah bersama tuan rumah itu. “Kamu juga duduk!” ia kata pada orang banyak, yang berkumpul di pojokan, bingung dan khawatir. “Eh, kenapa kamu tidak mau duduk?” Ia lantas menancap golok di meja, golok itu berkilauan. Semua tetamu itu ketakutan, dengan saling desak, mereka berebut maju, hingga kursi pada terlanggar terbalik.
“Kamu toh bukan bocah-bocah umur tiga tahun!” si nona menegur. “Apa kamu tidak dapat duduk dengan rapi?”
Semua tetamu itu takut, mereka lantas berlaku tenang.
Oey Yong minum araknya dengan gembira.
“Perlu apa kau membikin pesta?” ia tanya tuan rumah. “Apakah kau kematian anggota keluargamu?”
“Sebenarnya aku tambah anak,” kata tuan rumah. Sekarang is tak terlalu takut lagi.
Hari ini adalah hari ulang tahun satu bulan anakku itu dan aku mengundang sahabat dan tetangga-tetanggaku ……”
“Bagus!” kata si nona tertawa. “Coba kau bawa keluar anakmu itu!”
Tuan rumah kaget, mukanya pucat. Ia takut anaknya dibunuh. Dengan membelalak,
ia mengawasi pisau yang masih nancap di meja. Tapi karena takut, ia terpaksa menyuruh orang membawa keluar anaknya itu.
Oey Yong menggendong itu bayi, ia mengawasi muka orang. Ia pun memandang muka tuan rumah. “Tidak mirip-miripnya,” katanya. “Jangan-jangan ini bukan anakmu sendiri.”
Tuan rumah itu likat berbareng berkhawatir, kedua tangannya bergemetaran.
Semua tetamu merasa lucu tetapi tidak ada yang berani tertawa.
Oey Yong mengeluarkan sepotong uang emas berat kira lima tail, ia serahkan itu kepada si babu pengasuh berikut bayinya seraya berkata: “Ini tidak berarti, hitung saja sebagai tanda mata dari nenek luarnya.”
Semua orang merasa heran dan lucu. Dia orang luar dan menyebut dirinya nenek luar sedang dialah satu nona remaja. Tuan rumah nampaknya girang. “Mari! Aku beri kau selamat satu mangkok!” kata Oey Yong. Dan ia mengambil satu mangkok besar, ia isikan arak, ia tolak itu ke depan tuan rumahnya.
“Aku tidak kuat minum, maaf,” kata tuan rumah itu.
Mendadak si nona mengasih lihat roman bengis, tangannya pun menyambar jenggot.
“Kau minum atau tidak?” dia tanya keras.
Tuan rumah ketakutan, terpaksa ia menenggak arak itu.
“Nah, ini baru bagus!” kata si nona. “Mari, sekarang kita main teka-teki!”
Semua orang takut, maka apa yang si nona inginkan, lantas kejadian. Tapi mereka bangsa saudagar atau hartawan, tidak ada yang pandai main teka-teki, si nona jadi sebal. “Sudahlah!” katanya.
Sementara itu tuan rumah roboh menggabruk. Dia tidak kuat minum tetapi mesti minum banyak arak ……
Si nona tertawa, ia dahar, Kwee Ceng menemani padanya.
Akhirnya terdengar tanda jam satu malam, si nona mengajak kawannya pulang, tuan rumah dan tetamunya dibiarkan dalam bingung ……
“Bagus tidak, engko Ceng?” Oey Yong tanya setibanya di pondokan.
“Ah, tidak karu-karuan kau membikin orang ketakutan,” kata si anak muda.
“Sekarang ini aku mencari kesenangan untukku, aku tidak perduli orang lain ketakutan,” kata si nona.
Pemuda itu heran. Kata-kata itu mesti mengandung arti tetapi ia tidak sanggup menangkapnya.
“Aku hendak pergi jalan-jalan, kau turut tidak?” kemudian Oey Yong tanya.
“Di waktu begini mau pergi ke mana lagi?” tanya si pemuda heran.
“Aku ketarik sama bayi tadi. Ingin aku memain dengannya, sesudah beberapa hari, baru aku akan membayarnya pulang ……”
“Eh, mana dapat ……” kata Kwee Ceng heran.
Tapi si nona tertawa, dia pergi keluar, dia melompat tembok pekarangan.
Kwee Ceng menyusul, ia menarik tangan orang. “Yong-jie, kau sudah main-main lama, apakah itu masih belum cukup?” tanyanya.
“Belum cukup,” si nona menyahuti. “Mari kau temani aku, kita main-main sampai puas benar. Lewat lagi beberapa hari bukankah kau bakal meninggalkan aku, kau akan pergi mengawini putri Gochin Baki? Tentu dia bakal tidak mengijinkan kau bertemu pula sama aku …… Kau tahu, waktunya aku berada bersama kau, lewat satu hari berarti kurang satu hari, maka itu satu hari tempo itu ingin aku bikin menjadi seperti dua hari, seperti tiga hari, ya seperti empat hari! Engko Ceng, hari kita sudah tidak banyak lagi, maka malam juga aku tidak mau tidur, aku mau terus pasang omong dengan kau!
Mengertikah kau sekarang? Bukankah kau tidak bakal mencegah aku pula atau menasihati aku untuk beristirahat?”
Kwee Ceng terbengong. Baru sekarang ia mengerti perubahan sikap nona ini – sikap yang luar biasa itu. Si nona jadi tak ingin berpisah darinya. Tempo yang pendek hendak dibikin panjang dengan pertemuan lama, tak siang tak malam …… Ia memegang erat tangan nona itu, ia merasa kasihan, ia mencinta.
“Yong-jie, otakku memang tumpul,” katanya. “Sebegitu jauh aku tidak mengerti maksudmu. Aku …… aku ……” Ia berdiam tak dapat ia berkata terus. Ia tidak tahu mesti mengatakan apa.
Oey Yong bersenyum.
“Dulu hari ayah mengajarkan aku membaca banyak syair, yang mengenai kedukaan dan penasaran,” katanya. “Aku kira itu disebabkan ayah berduka karena mengingat
ibuku yang telah meninggal dunia itu, baru sekarang aku ketahui, hidup di dalam dunia ini, orang benar banyak lelakonnya, sebentar girang, sebentar bersusah hati ……”
Malam itu bulan sisir, udara terang, hawa pun adem. Angin meniup halus. Kwee Ceng jadi berpikir. Ia tidak menyangka si nona mencintai ia demikian rupa.
Sekarang ia mengerti akan kelakuan luar biasa nona itu selama beberapa hari yang paling belakangan ini.
“Bagaimana kalau kita berpisah nanti?” pikirnya. “Yong-jie cuma ditemani ayahnya,
apa tidak kesepian ia berdiam seorang diri di Tho Hoa To? Dan bagaimana lagi nantinya, kalau ayahnya telah menutup mata? Tidakkah ia akan ditemani hanya hamba- hamba gagu? Mana dia bisa merasa senang-senang?”
Mengingat begitu, hati pemuda ini menjadi kecil. Ia pegangi keras tangan si nona, ia menatap mukanya.
“Yong-jie,” katanya, “Biar langit ambruk, akan aku menemani kau di Tho Hoa To!”
Tubuh si nona bergemetar, ia mengangkat kepalanya. “Apa katamu?” ia tanya.
“Aku tidak memperdulikan lagi Jenghiz Khan atau Gochin Baki,” menyahut si anak muda. “Seumur hidupku, akan aku menemani kau saja!”
“Ah ……” kata si nona dan ia nyelundup ke dadanya si anak muda.
Kwee Ceng merangkul. Sekarang ia merasa hatinya lega.
“Bagaimana dengan ibumu?” si nona tanya selang sesaat.
“Aku akan pergi menyambutnya untuk diajak ke Tho hoa To,” sahut si anak muda.
“Apakah kau tidak takut pada Jebe, gurumu dan Tuli serta sekalian saudaranya, semua pangeran itu?”
“Mereka semua baik terhadapku tetapi aku tidak dapat memecah dua hatiku ……”
“Bagaimana dengan keenam gurumu dari Kanglam serta Ma Totiang, Khu Totiang dan lainnya lagi?”
“Pasti mereka bakal gusar tetapi perlahan-lahan saja aku akan minta maaf mereka. Yong-jie, kau tidak mau berpisah dari aku, aku juga tidak mau berpisah dari kau.”
“Aku ada punya akal,” berkata si nona tiba-tiba. “Kita bersembunyi di Tho Hoa To, untuk selamanya kita jangan berlalu dari situ. Ayah pandai mengatur hingga pulau itu tertutup untuk orang lain, taruh kata mereka dapat mendatangi tetapi tidak nanti mereka dapat mencari kau ……”
Kwee Ceng menganggap akal itu tidak sempurna, ia hendak mengutarakan pikirannya itu atau mendadak ia memasang kupingnya. Ia mendengar tindakan kaki ditempat belasan tombak, tindakan dari dua orang yang biasa berjalan malam, datangnya dari selatan, tujuannya utara. Ia pun dapat mendengar perkataan satu di antaranya:
“Loo Boan Tong telah kena terjebak Pheng Toako, kita jangan takuti dia lagi! Mari lekas!”
Juga Oey Yong mendengar sama seperti si anak muda. Kedua mereka tidak berniat memikir apa juga, ingin mereka menyenangi hati, tetapi disebutnya nama Loo Boan Tong membuatnya mereka itu berdua berjingkrak berbareng, dengan serentak mereka lari untuk menyusul dua orang itu.
Orang-orang yang belum dikenal itu berlari-lari tanpa mengetahui yang mereka lagi dikuntit. Mereka lari terus hingga lima enam lie di belakang dusun itu. Tempo mereka membelok ke sebuah tikungan, dari sebelah depan lantas terdengar suara yang berisik sekali serta cacian.
Dengan mempercepat larinya, Kwee Ceng dan Oey Yong lantas sampai di tempat tujuan. Dengan lantas mereka menjadi terkejut dan heran. Mereka telah melihat Ciu Pek Thong lagi duduk bersila di tanah, tubuhnya tak bergerak, entah dia masih hidup atau sudah mati. Dan di depannya, duduk bercokol juga, ada seorang pertapaan sebagaimana dia kenali dari jubahnya. Dialah Leng Tie Siangjin si pendeta bangsa Tibet.
Disamping Ciu Pek Thong ada sebuah gua gunung yang mulutnya kecil, yang tiba muat tubuh satu orang dengan orang itu mesti masuk sambil membungkuk. Di luar gua ada enam orang, ialah mereka yang suaranya berisik itu, mereka berani membuka mulut tetapi takut masuk ke dalam gua, seperti juga di dalam situ ada suatu makhluk yang dapat mencelakai orang.
Kwee Ceng khawatir Ciu Pek Thong telah menjadi korbannya si Pheng Toako, sebagaimana tadi ia mendengar perkataannya orang, karena itu hendak ia lantas maju mendekati.
Oey Yong melihat sikap kawannya, ia mencegah sambil menarik tubuh orang.
“Sabar,” kata si nona. “Mari kita memeriksa dulu dengan teliti.”
Kwee Ceng dapat dicegah maka berdua mereka mengumpatkan diri. Dengan begitu mereka jadi bisa melihat tegas rombongan orang itu, yang kebanyakan ada kenalan-kenalan lama, ialah Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong, Kwie-bu Liong Ong See Thong Thian, Cian-ciu Jin-touw Pheng Lian Houw dan Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay. Dua lagi ialah si orang tukang jalan malam yang tadi, mereka ini tidak dikenal.
Oey Yong merasa semua orang itu bukan tandingannya dia serta Kwee Ceng. Dua orang baru itu juga tidak usah dikhawatirkan. Tapi ia masih melihat ke sekitarnya. Di situ tidak ada orang lain. Maka ia kisiki kawannya; “Dengan kepandaiannya Loo Boan Tong,
beberapa orang ini pastilah tidak bisa berbuat sesuatu atas dirinya, maka itu, menurut sangkaanku, mesti di sini ada See Tok Auwyang Hong. Entah dia bersembunyi di mana ……”
Si nona lantas hendak mencari tahu atau ia mendengar suara tak sedap dari Pheng Lian Houw. “Binatang, jikalau kau tetap tidak keluar, aku nanti ukup kau dengan asap!”
Dari dalam gua, ke dalam mana ancaman Lian Houw diberikan, terdengar jawaban yang berat dan angker: “Kau mempunyai kepandaian bau apa, kau keluarkan saja!”
Kwee Ceng terkejut. Ia mengenali suara gurunya yang nomor satu, yaitu Hui Thian Pian-hok Kwa Tin Ok si Kelelawar Terbangkan Langit. Sekarang ia tidak ingat lagi kepada Auwyang Hong, lantas ia berseru: “Suhu, muridmu datang!” Suaranya itu disusul sama lompatannya yang pesat, hingga ia muncul sambil berbareng mencekuk punggungnya Hauw Thong Hay, tubuh siapa lantas dilemparkan!
Munculnya si anak muda membuatnya pihak Thong Hay menjadi kaget. Pheng Lian Houw berdua See Thong Thian lantas maju menerjang, sedang Nio Cu Ong pergi ke belakang orang, untuk membokong.
Kwa Tin Ok di dalam gua pun turut bekerja. Ia rupanya melihat perbuatan si orang she Nio, ia lantas menyerang dengan sebatang tokleng atau lengkak beracun.
Cu Ong terkejut, dia berkelit sambil tunduk, tidak urung kondenya kena tersambar hingga beberapa juir rambutnya putus. Ia kaget bukan main. Ia tahu senjatanya Tin Ok itu beracun, sebagaimana dulu hari hampir saja Pheng Lian Houw terbinasa karenanya.
Maka ia berlompat ke samping seraya meraba kepalanya. Ia berlega hati ketika ia mendapat kenyataan kulitnya tidak terluka. Ia lantas mengeluarkan senjata rahasianya,
paku Touw-kut-jiam, terus ia jalan mutar ke kiri gua, maksudnya untuk menyerang kedalam gua secara diam-diam, guna membokong musuh yang ada di dalam itu. Ia baru menggeraki tangannya atau ia merasakan lengannya kaku, pakunya lantas saja jatuh dengan menerbitkan suara nyaring. Tengah ia bingung, ia mendengar suara tertawanya seorang nona yang terus berkata: “Lekas berlutut! Kau akan merasai tongkat lagi!”
Nio Cu Ong berpaling. Ia melihat Oey Yong dengan tongkat di tangan, berdiri sambil tertawa haha-hihi. Ia kaget berbareng girang. Pikirnya: “Kiranya tongkat Ang Cit Kong jatuh di tangannya dia ini?” Dengan segera ia mengerjakan dua tangannya berbareng:
Tangan kiri melayang ke pundak si nona, tangan kanan menyambar ke tongkat, yang ia hendak rampas.
Dengan lincah, Oey Yong berkelit dari sambaran tangan kiri itu. Ia tidak menarik tongkatnya, ia sengaja memberinya ketika hingga ujung tongkat itu kena dipegang perampasnya. Cu Ong girang bukan main. Di lantas menarik dengan keras, di dalam hatinya dia kata; “Jikalau dia tidak melepaskan maka tubuhnya bakal ketarik bersama.”
Benar saja tongkat itu kena ketarik, tetapi cuma sedetik, cekalannya lolos sendirinya.
Sebab selagi ia menarik dan si nona mengikuti, mendadak nona itu mendorong dengan kaget, hingga terlepaslah cekalannya. Tengah ia terkejut, tahu-tahu tongkat itu sudah berbalik, melayang ke kepalanya. Ia kaget melihat tongkat itu berkelebat. Dasar ia lihay,
ia lantas menjatuhkan diri, berguling jauh satu tombak. Ketika ia sudah berdiri pula, ia menampak si nona berdiri diam mengawasi ia dengan bersenyum.
“Kau tahu apa namanya jurus ini?” si nona tanya, tertawa. “Kau telah kena aku kemplang satu kali, kau tahu kau telah berubah menjadi apa?”
Dulu hari pernah Nio Cu Ong merasa lihaynya tongkat itu, dia dibuatnya Ang Cit Kong “mati dan hidup pula”, maka juga meski sang tempo telah lama lewat, dia masih ingat itu dan merasa jeri, sekarang dia merasakannya pula, meski tidak hebat, toh hatinya terkesiap, dia menjadi jeri. Justru itu dia melihat See Thong Thian dan Pheng Lian Houw tengah terdesak hebat, mereka itu cuma dapat membela diri, dia lantas berseru dan memutar tubuh, untuk mengangkat kaki.
See Thong Thian kena disikut Kwee Ceng, dia terhuyung tiga tindak. Meneruskan serangannya, tangan kiri si anak muda melayang kepada Pheng Lian Houw. Dia ini tidak berani menangkis, dia berkelit. Tapi dia kalah gesit, tangan kanan anak muda itu kena menyambar lengannya, yang terus dicekal keras. Dia bertubuh kate dan kecil, dengan gampang tubuhnya itu kena diangkat, hingga kedua kakinya seperti bergelantungan di udara ……
Sambil mengangkat tubuh orang Kwee Ceng mengepal tangan kirinya, siap sedia meninju dada orang tawanannya itu. Lian Houw melihat itu, dalam takutnya dia berseru menanya: “Hari ini bulan kedelapan tanggal berapa?”
“Apa kau bilang?” tanya si anak muda tercengang.
“Kau memegang kepercayaan atau tidak?” Lian Houw tanya. “Apakah kata-katanya satu laki-laki tak masuk hitungan?”
“Apa kau bilang?” Sambil menegasi, Kwee Ceng masih mengangkat tubuh orang.
“Bukankah janji kami ialah Pee-gwee Cap-gouw,” kata Lian Houw. “Bukankah janji pertandingan kita di Yan Ie Lauw di Kee-hin pada tanggal limabelas bulan delapan itu?
Dan tempat ini bukannya kota Kee-hin dan sekarang bukannya harian Tiong Ciu!
Bagaimana dapat kau mencelakai aku?”
Kwee Ceng pikir perkataan orang itu benar juga, ia hendak melepaskan atau mendadak ia ingat suatu apa.
“Kamu bikin apa atas dirinya Toako Ciu Pek Thong?” ia tanya.
“Dia sekarang lagi bertaruh sama Leng Tie Siangjin,” menyahut Lian Houw. “Mereka bertaruh, siapa bergerak paling dulu, dialah yang kalah! Urusan dia tidak ada hubungannya sama aku!”
Kwee Ceng mengawasi dua orang yang duduk di tanah itu, pikirnya, “Kiranya begitu?” Lantas ia menanya keras; “Toasuhu, adakah kau baik?”
Itulah pertanyaan untuk Kwa Tin Ok, gurunya yang nomor satu.
“Hm!” jawab Hui Thian Pian-hok dari dalam gua. Sampai di situ, pemuda ini lantas melepaskan cekalannya sambil ia terus menolak dada orang. “Pergilah!” ia mengusir.
Pheng Lian Houw tidak roboh, karena ia terus berlompat. Ketika kedua kakinya telah menginjak tanah, ia berpaling ke arah kedua kawannya, See Thong Thian dan Nio Cu Ong, maka ia mendapatkan mereka itu sudah pergi jauh. “Celaka, manusia tidak ingat persahabatan!” ia mencaci di dalam hatinya. Lantas ia memberi hormat kepada Kwee Ceng seraya membilang: “Nanti tujuh hari kemudian, kita mengadu kepandaian pula di Yan Ie Lauw untuk memastikan kalah menang!” Setelah beraksi begitu ia memutar tubuhnya, dengan menggunai ilmu enteng tubuhnya. Ia lantas mengangkat kaki!
Itu waktu Oey Yong telah menghampirkan Ciu Pek Thong dan Leng Tie Siangjin. Dua orang itu saling mengawasi dengan matanya masing-masing terbuka lebar, tidak ada yang mengedip atau menoleh. Ia lantas ingat perkataannya dua orang yang berjalan malam itu bahwa Pek Thong telah kena ditipu Lian Houw, sekarang ia membuktikan itu.
Pasti, karena jeri kepada Pek Thong, jago tua itu telah dipancing kemurkaannya dia diadu dengan Leng Tie Siangjin, dengan cara adunya mereka main diam-diam. Dengan cara begitu juga, Pek Thong jadi dibikin tidak dapat berkutik, hingga mereka itu leluasa mengepung Kwa Tin Ok. Pek Thong gemar bergurau, ia pun polos, gampang saja dia kena diperdayakan, maka juga meski di sampingnya orang bertempur hebat dan mengacau, dia tidak mengambil mumat, dia terus mengadu diam dengan Leng Tie, si pendeta dari Tibet. Dia berduduk tegar, maksudnya yang utama ialah mengalahkan Leng Tie.
“Loo Boan Tong, aku datang!” kata Oey Yong.
Pek Thong mendengar itu, tetapi dia takut kalah, dia berdiam saja.
“Dengan bertaruh begini kamu menyia-nyiakan waktu,” kata si nona. “Lagi satu jam juga, belum tentu kamu ada yang menang atau kalah! Mana itu menarik hati? Begini saja! Aku yang menjadi wasitnya! Aku akan mengitik kamu, mengitiknya sama, lantas aku mau lihat, siapa yang tertawa paling dulu. Siapa yang tertawa, dialah yang kalah!”
Sebenarnya Pek Thong sudah habis sabar, bahwa ia toh tetap berdiam saja, ia penasaran kalau ia sampai kalah, sekarang mendengar usulnya si nona, ia akur. Tapi ia tidak mau mengasih tanda akan kesetujuannya, sebab kalau ia menepi atau bergerak ia kalah.
Oey Yong tidak menanti jawaban, ia mendekati mereka, ia memernahkan diri dari diantara merek itu, lalu ia mementang kedua tangannya, dengan berbareng ia menotok ke jalan darah siauw-yauw-hiat mereka itu, ialah urat tertawa. Ia tahu Pek Thong menang unggul dari Leng Tie, ia tidak berlaku curang. Kesudahannya totokannya itu membuatnya heran. Pek Thong memang tetap bercokol, tetapi anehnya, Leng Tie pun berdiam saja, pendeta itu seperti tidak merasakan apa-apa dia seperti tidak menggubrisnya godaan itu.
“Heran pendeta ini,” pikir si nona. “Nyata dia lihay ilmunya menutup jalan darahnya.
Jikalau aku, tentulah aku sudah tertawa terpingkal-pingkal ……” Ia penasaran, maka ia menotok pula, kali ini dengan terlebih keras.
Ciu Pek Thong mengumpul tenaga dalamnya, ia menentang totokannya Oey Yong. Segera ia menjadi heran. Ia mendapat kenyataan tenaganya si nona menjadi besar sekali. Ia melawan terus, ia bertahan, tetapi ia kewalahan. Diakhirnya, ia melepaskan perlawanannya, sambil berlompat bangun, ia tertawa berkakakkan. Kemudian ia kata;
“Eh, eh pendeta, kau hebat! Baiklah, Loo Boan Tong menyerah kalah!!”
Oey Yong menjadi menyesal. Ia tidak menyangka Pek Thong begitu gampang saja mengaku kalah. Pikirnya, “Kalau tahu begini, aku tidak mengganggu dia, aku hanya mengeraskan totokanku kepada si pendeta.” Maka ia lantas menghadapi Leng Tie dan berkata; “Kau sudah menang, nonamu tidak menginginkan jiwamu! Lekas mabur!”
Leng Tie tidak menyahuti, dia duduk tetap.
“He, siapa kesudian menontoni macam tololmu ini?” membentak si nona seraya tangannya menolak. “Kau berpura-pura mampus?”
Oey Yong menolak dengan perlahan, tetapi tubuh si pendeta yang besar dan gemuk itu roboh terguling dengan tiba-tiba, robohnya dengan tangan dan kakinya tidak bergerak, seperti tadi dia bersila.
Si nona terkejut, juga Kwee Ceng dan Pek Thong.
“Apakah ini disebabkan ilmunya menutup jalan darah?” tanya Oey Yong. “Apa ilmunya itu belum sempurna, maka ia gagal bertahan dan menjadi kaku terus-terusan dan mati sendirinya. Ia lantas menaruh tangannya di depan hidung pendeta itu, ia merasakan hawa tarikan napas yang biasa, ia menjadi heran mendongkol dan lucu.
“Loo Boan Tong, kau terpedayakan, kau tidak tahu!” ia kata sambil tertawa pada Pek Thong. “Sungguh manusia tolol!”
“Apa kau bilang?” tanya si orang tua, matanya dipentang lebar.
Si nona tertawa.
“Kau bebaskan dulu dia dari totokan jalan darah, baru kita bicara pula!” sahutnya.
Si tua jenaka itu melengak, tetapi ia membungkuk kepada Leng Tie Siangjin tubuh siapa ia lantas raba-raba, usap sana dan usap sini, ia juga menepuk-nepuk, dengan begitu ia menjadi mendapat kenyataan, si pendeta telah ditotok seluruh jalan darahnya.
Ia lantas berjingkrak dan berseru-seru; “Tidak, tidak, inilah tidak masuk hitungan!”
“Tidak masuk hitungan apa?” Oey Yong menegasi.
“Dia ini dipermainkan konconya,” kata Loo Boan Tong. “Sesudah dia duduk tadi, konconya totok dia hingga dia jadi duduk tegak tanpa bisa berkutik. Dengan begitu, meski kita bertaruh sampai lagi tiga hari dan tiga malam, dia pasti tidak bakal kalah!” Ia berbalik pula pada si pendeta, yang rebah melengkung di tanah, ia kata; “Mari, mari! Mari kita mulai mengadu pula!”
Sementara itu, hati Kwee Ceng menjadi lega. Ia melihat orang tidak kurang suatu apa, bahkan sehat sekali. Maka ia tidak sudi mendengari ocehan orang lebih lama. Ia ingat kepada gurunya. Dari itu ia lantas lari ke dalam gua.
Pek Thong sendiri lantas menolongi Leng Tie Siangjin, yang ditotok bebas, sembari menolongi, masih ia mengoceh tak hentinya. “Mari, mari kita bertaruh pula!”
“Mana guruku?” Oey Yong tanya dingin kepada orang tua berandalan itu. “Kau buang ke mana guruku itu?”
Ditanya begitu, Pek Thong terkejut hingga dia berteriak, lantas dia lari ngiprit ke arah gua, hingga hampir saja dia saling tabrak sama Kwee Ceng, yang keluar dari dalam gua itu sambil mempepayang gurunya.
Tiba di luar anak muda ini berdiri menjublak. Ia melihat Kwa Tin Ok, gurunya yang paling tua itu, melibat kepala dengan sabuk putih, bajunya baju putih juga.
“Suhu, apakah kau sedang berkabung?” akhirnya ia menanya heran. “Jie-suhu dan yang lainnya mana?”
Tin Ok tidak menyahuti, hanya ia mengangkat kepalanya memandang langit. Dengan lantas ia mengucurkan air mata.
Kwee Ceng heran dan kaget, sampai ia tidak berani lantas mengulangi pertanyaannya.
Ketika itu Pek Thong sudah muncul pula dari dalam gua, ia mempepayang satu orang yang tangannya yang kiri mencekal cupu-cupu arak, tangannya yang kanan memegang daging ayam sebelah potong, sedang mulutnya menggigit satu paha ayam juga. Dialah Kiu Cie Sin Kay Ang Cit Kong.
Oey Yong dan Kwee Ceng menjadi girang sekali. “Suhu!” mereka memanggil.
Justru itu Kwa Tin Ok, dengan romannya yang bengis, menghajar nona Oey dengan tongkat besinya.
Oey Yong sedang bergirang sekali, ia tidak menyangka yang ia bakal diserang. Itulah
satu jurus dari Hok Mo Thung-hoat yaitu ilmu tongkat Menakluki Iblis, yang Tin Ok sengaja menciptakannya di gurun pasir, untuk melawan Bwee Tiauw Hong. Sebaliknya Kwee Ceng melihat itu. Bukan main kagetnya murid ini. Tidak ada tempo lagi untuk mencegah dengan mulut, terpaksa si anak muda mengulur tangan kirinya, guna menyampok tongkat itu, sedang dengan tangan kanannya, ia menyambar ujungnya,
guna membikin tongkat itu tidak jatuh. Dalam kesusu, ia menggunai tenaga besar. Inilah hebat untuk Kwa Tin Ok. Dia tersampok dan tertarik, dia tidak dapat mempertahankan dirinya, tongkatnya terlepas, tubuhnya terpelanting jatuh!
Kembali Kwee Ceng menjadi kaget.
“Suhu!” ia berseru seraya menubruk, guna mengasih bangun gurunya itu.
Mulutnya Kwa Tin Ok mengeluarkan darah, sebab dua buah giginya copot, sedang mukanya bengkak akibat jatuhnya itu.
“Untuk kau!” katanya ketika ia mengambil kedua buah giginya itu dan menyerahkannya kepada muridnya. Tangannya berlepotan darah.
Kwee Ceng menjatuhkan diri di depan gurunya itu. “Teecu salah, suhu,” ia kata.
“Silahkan suhu menghukumnya ……”
“Untukmu!” kata pula si guru, tangannya tetap dilonjorkan.
“Suhu ……” murid itu kata pula sambil menangis.
Ciu Pek Thong menyaksikan kejadian itu, yang ia anggap lucu, maka ia tertawa dan kata; “Semenjak dulu adalah guru yang menghajar murid tetapi hari ini murid menghajar guru! Bagus-bagus!” Ia tidak memperdulikan lagi bahwa ia justru membikin hati Tin Ok menjadi makin panas. Karena sang murid tidak mau menerima giginya itu, Tin Ok lantas menelan itu!
“Bagus, bagus!” kembali Pek Thong berseru-seru dan bertepuk tangan.
Oey Yong bingung. Ia tidak tahu kenapa Tin Ok hendak membinasakan padanya. Ia mendekati Cit Kong tangan siapa ia cekal.
“Biar bagaimana juga teecu tidak berani melawan suhu,” kata Kwee Ceng mengangguk-angguk. “Barusan teecu kesalahan tangan, maka itu harap suhu menghukum padaku ……”
“Suhu! Suhu!” membentak sang guru. “Siapa gurumu? Kau mempunyai pemilik dari Tho Hoa To sebagai mertuamu, perlu apa lagi kau dengan gurumu? Kanglam Cit Koay cetek kepandaiannya, mana tepat dia menjadi gurunya Kwee Toaya?”
Kwee Ceng semakin menyesal, ia mengangguk-angguk pula. Hebat sekali kemurkaan guru itu hingga Oey Yok Su disebut-sebut sebagai mertuanya dan ia pun disindir “toaya” atau “tuan besar”.
Ang Cit Kong tidak dapat mengawasi saja.
“Kwa Tayhiap,” ia berkata, “Di antara guru dan murid, keterlepasan tangan adalah hal yang umum, oleh karena itu, aku harap kau maafkan muridmu ini. Barusan anak Ceng menggunai jurus dari ilmu silat ajaranku si pengemis tua, akulah yang bersalah, di sini aku hatur maaf kepadamu.”
Pengemis itu benar-benar menjura kepada jago Kanglam itu.
Mendengar Cit Kong berkata demikian, Pek Thong pikir ia pun baik berbicara. Maka ia kata kepada Hoe Thian Pian-hok: “Kwa Tayhiap di antara guru dan murid keterlepasan tangan adalah yang umum sekali, karena sambaran saudara Kwee barusan kepada tongkatmu adalah sambaran ajaranku, di sini aku si Loo Boan Tong matur maaf padamu.”
Dan ia pun menjura dalam.
Dalam murkanya itu, Tin Ok menganggap orang mengejek ia, ia bukan saja mendongkol pada si tua yang doyan bergurau ini, ia juga menganggapnya Ang Cit Kong mau main gila terhadapnya, maka itu dengan sengit ia kata; “Kamu Tong Shia dan See Tok, Lam Tee dan Pak Kay, kamu semua sangat mengandalkan kepandaian kamu, kamu menganggap kamu dapat malang melintang di kolong langit ini, akan tetapi di mataku, perbuatan kamu semua banyak yang tak pantas, maka akhirnya nanti mesti buruk adanya!”
Pek Thong heran.
“Eh, apakah salahnya Lam Tee hingga kau membawa-bawa dia?” ia tanya.
Oey Yong melihat suasana buruk sekali, kalau ia diam saja, si tua bangka berandalan ini bisa mengacau hebat, karena dalam murkanya itu, Tin Ok mesti dibikin sabar dan bukannya dikocok, maka itu ia lantas menyelak. Ia kata; “Loo Boan Tong, burung wanyoh mau terbang berpasangan datang mencari kau, apakah kau tidak mau lekas-lekas pergi melihat dia?”
Pek Thong kaget hingga ia lompat berjingkrak. “Apa?” ia menanya.
“Dia ingin bersama kau di musim dingin di dalam tempat yang tersembunyi mandi baju merah ……” kata pula si nona.
Pek Thong menjadi terlebih kaget lagi.
“Di mana? Di mana?” ia tanya berulang-ulang.
“Di sana!” sahut Oey Yong, tangannya menunjuk ke arah selatan. “Di sana! Lekas kau pergi cari dia!”
“Untuk selama-lamanya aku tidak akan menemui dia pula!” berseru Pek Thong.
“Nona yang baik, apa juga kau boleh menitahkannya kepadaku asal kau jangan membilangi dia bahwa aku berada di sini ……!” Belum berhenti suaranya, dia sudah lari ke utara.
“Kau ingat perkataanmu ini ialah janjimu!” kata Oey Yong.
“Kalau Loo Boan Tong sudah mengatakan, dia tidak nanti menyesal!” kata Pek Thong dari jauh, lalu dia lenyap dari pandangan matanya si nona.
Maksudnya Oey Yong ialah memperdayakan si tua jenaka itu pergi mencari Eng Kouw, siapa tahu, Pek Thong takut bertemu sama nyonya itu, dia bahkan kabur. Tapi biar bagaimana, orang toh telah menyingkir, maka lega juga hatinya nona ini.
Kwee Ceng masih berlutut di depan gurunya, ia masih minta diberi hukuman. Sambil menangis ia berkata pula: “Buat guna teecu, suhu bertujuh telah pergi jauh ke gurun diutara, tempat yang bersengsara, maka itu biarpun tubuh teecu hancur lebur, sukar untuk teecu membalas budi suhu semua. Tanganku ini bersalah, baiklah teecu tidak menginginkannya pula!”
Dengan tangan kanannya, si anak muda mencabut pedangnya, dengan itu ia menebas tangannya yang kiri, tetapi Kwa Tin Ok menangkis dengan tongkatnya, hingga kedua senjata bentrok keras, lelatu apinya muncrat, tangan si guru dirasakan sakit.
Itulah bukti yang muridnya itu benar-benar mau mengutungi tangannya itu. Maka lantas ia berkata: “Baiklah! Sekarang aku ingin kau melakukan sesuatu!”
“Titahkan saja, suhu, tidak nanti teecu membantah,” Kwee Ceng bilang.
“Jika kau menampik, lain kali jangan kau bertemu pula padaku!” kata si guru. “Biarlah perhubungan kita putus bagaikan ditebas!”
“Teecu akan melakukan itu dengan sungguh-sungguh,” kata Kwee Ceng, “Kalau tidak sampai mati baru teecu berhenti.”
Tin Ok membanting tongkatnya ke tanah.
“Kau kutungi kepalanya Oey Lao Shia serta kepala gadisnya!” ia bilang keras.
Bukan main kagetnya Kwee Ceng. Itulah titah sangat hebat, yang ia tidak sangka.
“Suhu!” serunya. “Suhu ……!”
“Bagaimana?” tanya si suhu bengis.
“Entah kenapa Oey Lao Shia bersalah kepada suhu?”
“Hm! Hm!” mengejek si guru. “Aku mengharap Thian memberikan ketika sejenak saja untuk aku bisa melihat, asal aku bisa melihat mukamu binatang cilik yang bong in pwee gie!” Dia mengangkat pula tongkatnya, niat menyerang.
Bukan main sedihnya Kwee Ceng, yang dikatakan bong it pwee gie - tidak mengenal budi. Ia melihat tongkat mengancam. Ia tidak berkisar, tidak berkelit.
Oey Yong terkejut, apa pula ketika ia mendapatkan si pemuda berdiam saja.
“Menolong dulu, itulah perlu!” pikirnya. Maka ia menggeraki tongkatnya, dengan jurusnya “Anjing jahat menghadang jalanan”.
Tongkatnya Tin Ok tidak mengenai sasarannya.
Bukan main mendongkolnya ketua Kanglam Cit Koay ini. Tangkisan si nona membuatnya terhuyung, meski ia tidak jatuh. Dua kali is menumbuk dadanya sendiri, lantas dia lari ke arah utara.
“Suhu! Suhu!” Kwee Ceng berteriak-teriak memanggil.
“Apakah Kwee Toaya menghendaki jiwa tuaku?” guru itu tanya. Kwee Ceng tercengang. Ia tidak berani mencegah pula. Ia menunduki kepala. Maka itu ia cuma bisa mendengar suara tongkat besi mengenai tanah atau batu, makin lama makin jauh, makin jauh, makin samar, lalu lenyap. Ia ingat budinya guru itu ia menjatuhkan diri di tanah dan menangis menggerung-gerung.
Sambil menuntun tangan Oey Yong, Cit Kong menghampirkan muridnya itu.
“Dua-dua Kwa Tayhiap dan Oey Lao Shia mempunyai tabiatnya sendiri-sendiri yang sangat luar biasa.” ia berkata, “Entah ada terjadi perselisihan hebat apa di antara mereka itu. Sekarang kau jangan bersusah hati, kau serahkan urusan padaku, nanti aku si pengemis tua yang membereskan, supaya mereka menjadi akur pula.”
Kwee Ceng berhenti menangis, ia bangun.
“Suhu, tahukah suhu apa sebabnya itu?” ia tanya.
Cit Kong menggeleng kepala, tetapi ia berkata; “Loo Boan Tong telah kena orang perdayakan. Dia bertaruh mengadu diam maka kejadianlah dia diam tak berkutik.
Memangnya kawan manusia jahat itu hendak membikin celaka padaku, kebetulan gurumu itu sampai, dia melindungi aku, dia mengajaknya aku bersembunyi ke dalam gua itu. Dengan mengandal pada lengkak beracun gurumu itu, orang jahat tidak berani memasuki gua. Maka kita dapat bertahan sekian lama. Gurumu itu seorang mulia hati, melindungi aku dengan memberbahayakan dirinya sendiri.”
Pengemis itu berhenti bicara, dia mencegluk araknya dua kali, akan menggerogoti paha ayamnya, yang ia terus telan, setelah mana, ia menyeka mulutnya. Habis itu, baru ia berkata pula: “Pertempuran barusan hebat sekali. Celaka untukku, karenakepandaianku telah ludas, aku tidak dapat turun tangan untuk membantu. Aku bertemu sama gurumu itu tetapi tidak sempat aku bicara dengannya. Aku percaya kegusarannya barusan pasti bukan karena kau keterlepasan tangan. Dia seorang berbudi dan jauh pandangannya, tidak nanti dia berlaku dengan cupat pikiran. Lagi beberapa hari akan tiba waktu perjanjian Pee-gwee Cap-gouw, maka sesudahnya pertandingan di Yan Ie
Law nanti aku menjadi orang pertengahan akan mengakuri mereka itu.” Kwee Ceng mengucap terima kasih.
“Kepandaian kamu berdua maju sangat pesat anak-anak,” Cit Kong berkata pula tertawa. “Kwa Tayhiap ada seorang Rimba Persilatan yang kenamaan tetapi setelah kamu turun tangan, dia jatuh pamornya. Sebenarnya bagaimanakah halnya dengan kamu?”
Kwee Ceng berduka dan malu, ia tidak dapat bicara, maka Oey Yong yang menutur hal perjalanan mereka berdua semenjak mereka berpisah di istana kaisar.
Cit Kong memuji dengan seruannya mendengar Yo Kang membinasakan Auwyang Kongcu. Ketika ia mendengan halnya Yo Kang menipu Lou Tiangloo sekalian, ia mencaci anak muda itu sebagai anak jadah. Kemudian ia melongo mendengar halnya It Teng Taysu menolongi nona Oey sampai pada lelakonya Sin Soan Cu Eng Kouw yang penasaran dan mendendam hebat. Diakhirnya ia bcrseru kaget mengetahui Eng Kouw muncul di Chee-liong-tha di mana nyonya itu menjadi seperti hilang ingatan.
“Suhu, apakah suhu kenal Eng Kouw?” Oey Yong tanya.
“Tidak, aku tidak kenal dia,” menyahut guru itu, “Hanya di waktu Toan Hongya masuk menjadi pendeta, aku berada di sisinya. Dia telah mengirim surat padaku di Utara, dia mengundang aku datang ke Selatan. Aku lantas datang karena aku percaya tanpa urusan penting tidak nanti dia mengundang aku. Aku datang karena sekalian aku ingin
mencoba pula makanan Inlam yang lezat, bahkan aku berangkat dengan cepat. Tempo aku bertemu sama Toan Hongya, dia lesu sekali, dia sangat beda sama waktunya pertemuan di Hoa San di mana dia gagah bagaikan naga dan harimau. Aku heran sekali. Besoknya dia mengajaki aku berunding tentang ilmu silat maksudnya untuk mewariskan padaku dua macam kepandaiannya. Sian Thian Kan dan It Yang Cie.
Kembali aku menjadi heran. Sian Thian Kang dari Toan Hongya bersama Hang liong Sip-pat Ciang dari aku, Kap Moa Kang dari Auwyang Hong dan Pek Khong Ciang dari Oey Lao Shia, sama tersohornya, sama tangguhnya, maka itu setelah dia pun memperoleh It Yang Cie dari Ong Tiong Yang, pasti sudah dia bakal jadi jago nomor satu di kolong langit ini dalam pertempuran yang kedua di Hoa San. Tidak karu-karuan sekarang dia mau mewariskan dua rupa kepandaiannya itu padaku, untuk itu ia memakai alasan merundingkan ilmu silat. Kenapa dia tidak mau mempelajari Hang Liong Sip-pat Ciang dari aku? Mesti ada sebabnya. Hal itu aku telah memikirkannya.
Kemudian setelah diam-diam aku berbicara dengan empat muridnya, baru aku ketahui sebab aneh itu. Kiranya, habis mewariskan kepandaiannya padaku, dia hendak membunuh diri ……”
“Suhu,” berkata Oey Yong, “Toan Hongya itu khawatir, setelah dia mati, It Yang Cie tidak ada yang mewariskan dan itu artinya tidak ada orang yang dapat menguasai lagi Auwyang Hong.”
“Benar, aku pun telah melihat hal itu. Karena itu juga, aku bilang aku tidak suka mempelajari dua rupa kepandaiannya itu. Setelah aku menampik, dia baru menutur maksud hatinya. Dia kata keempat muridnya, biarnya mereka jujur dan setia, tetapi sebab perhatian mereka itu ditumpleki pada urusan pemerintah, tidak nanti mereka memperoleh kemajuan. Dia kata pula, tidak apa aku tidak menyukai Sian Thian Kang tetapi It Yang Cie sangat perlu. Dia bilang, apabila It Yang Cie terbawa ke kubur olehnya tanpa ada yang mewariskan, dia malu bertemu Ong Tiong Yang Cinjin di dunia baka.
Aku masih membandel tidak mau menerima warisannya itu. Aku pikir, dengan membandel artinya jiwanya dapat ditolong.”
“Kejadian itu sungguh aneh,” kata Oey Yong. “Semenjak dulu adalah umum, seorang mau belajar dan minta diajari dan orang menolak mengajari, akan tetapi kali ini, orang tidak mau belajar tapi ia justru dibujuki, dipaksa!”
“Oleh karena aku tetap menolak,” Cit Kong bercerita lebih jauh, “Toan Hongya habis daya, lantas dia masuk menjadi pendeta, di harian dia dicukuri rambutnya, aku hadir dan mendampingi dia. Itulah kejadian belasan tahun yang lalu. Ah, bagus, bagus sekarang urusan bisa diselesaikan secara begini.”
“Suhu,” kemudian Oey Yong berkata pula. “Urusan kami sudah beres, sekarang tetang hal suhu sendiri.”
“Urusanku sendiri!” kata si orang tua. “Di istana aku telah makan segala macam masakan lezat ……” dan tak hentinya ia menyebut namanya pelbagai sayur sambil dengan lidahnya menjilati bibirnya.
“Kenapa Loo Boan Tong tidak berhasil mencari suhu?”
“Sebabnya ialah karena koki raja sering kehilangan banyak sayurnya, dapur istana jadi kacau! Semua orang bilang di dapur istana itu muncul dewa rase, lantas mereka memasang hio memuja aku. Kemudian urusan terdengar oleh pimpinan siewi, dia mengirim delapan siewi untuk menjagai dapur, untuk menangkap dewa rase itu. Aku jadi sulit, sedang Loo Boan Tong tidak datang-datang. Terpaksa aku pergi bersembunyi di tempat yang sepi. Tempat itu dipanggil ruang Gok Lek Hoa-tong. Di sana ada ditanam banyak pohon bwee. Itulah tempat raja menggadangi bunga bwee di musim dingin,
maka itu di musim panas, di situ tidak ada satu setan jua kecuali beberapa orang kebiri tua tukang nyapu. Senang aku tinggal di situ. Di mana saja di dalam istana, orang bisa makan, seratus pengemis tinggal juga mereka tidak bakal kelaparan. Baru belasan hari aku hidup senang lalu datang gegobrak, mulanya Loo Boan Tong yang main menangis seperti setan mengulun atau anjing membaung atau kucing mengeong, hingga istana jadi kacau, lalu beberapa orang berteriak-teriak: ‘Ang Cit Kong Looya-cu! Ang Cit Kong Looyacu!’ Aku mengingat, aku mengenali mereka ialah rombongannya Pheng Lian Houw, See Thong Thian dan Nio Cu Ong ……”
“Mau apa mereka itu mencari suhu?” tanya Oey Yong heran.
“Aku pun heran. Hendak aku menyingkir dari mereka, tetapi Loo Boan Tong berhasil mempergoki aku. Dia sangat girang, dia peluk aku, dia memuji-muji kepada Thian.
Kemudian dia menitahkan Nio Cu Ong semua berjalan di belakang ……”
Kembali Oey Yong heran.
“Kenapa Nio Cu Ong semua dapat diperintah Loo Boan Tong?”
“Ketika itu aku pun sangat heran. Aku melihat mereka sangat takut kepada Loo Boan Tong, apa yang diperintahkan, mereka lantas kerjakan, tidak berani mereka membantah. Demikian mereka diberi tugas mengiringi, Loo Boan Tong menggendong
aku sampai di Gu-kee-cun, untuk mencari kamu berdua. Di tengah jalan dia menjelaskan padaku bahwa dia bingung tidak dapat mencari aku, sedangnya begitu dia bertemu Nio Cu Ong semua. Dia hajar mereka itu, dia suruh mereka membantui mencari di segala tempat. Mereka mengatakan sia-sia belaka mereka mencari di istana sedang istana sangat luas dan lebar.”
Oey Yong tertawa.
“Loo Boan Tong lihay sekali, dia dapat membikin Nio Cu Ong semua tunduk. Kenapa kawanan iblis itu tidak melarikan diri saja?”
Cit Kong pun tertawa.
“Loo Boan Tong ada mempunyai akalnya sendiri. Dia kata dia telah membuat obat pel yang dicampuri kotorannya, dia suruh mereka makan satu orang tiga butir, setelah itu dia membilangi, obatnya itu ada racunnya dan akan bekerja selewatnya empatpuluh sembilan hari, bahwa obat pemunahnya cuma ia sendiri yang dapat membikinnya.
Mereka itu jadi ketakutan, mungkin mereka sangsi, tetapi mereka menjadi mendengar kata. Begitu mereka jadi dapat diperintah segala macam.
Kwee Ceng lagi berduka tetapi mendengar ceritanya sang guru, ia tertawa juga.
“Sampai di Gu-kee-cun, kamu tidak dapat dicari,” Ang Cit Kong meneruskan keterangannya, “Loo Boan Tong memaksa mereka itu mencari pula. Kemarin malam mereka pulang dengan lesu, mereka gagal, dari itu Loo Boan Tong mencaci mereka, yang terus diancam, apabila besok mereka gagal pula, mereka akan dikasih makan lagi obat kotorannya itu. Ia menyebut-nyebut air kencing. Mendengar itu, timbul kecurigaan
mereka. Mereka percaya bahwa mereka lagi dipermainkan, bahwa sebenarnya mereka bukan dikasih makan racun. Lantas mereka memancing. Dalam gusarnya, Loo Boan Tong membuka rahasianya sendiri tanpa merasa. Aku menjadi berkhawatir. Mereka itu bangsa licik, aku pikir lebih baik mereka disingkirkan saja, supaya mereka tidak menjadi bahaya di belakang hari. Mereka itu benar lihay mereka merasa bahaya mengancam mereka, mereka mendahului turun tangan. Begitulah Pheng Lian Houw menggunai kecerdikannya, dia mau adu Loo Boan Tong dengan Leng Tie Siangjin. Tidak dapat aku mencegah lagi. Untuk menolong diri, aku pergi menyingkir. Kebetulan sekali di luar dusun aku bertemu Kwa Tayhiap. Dia melindungi aku menyingkir kemari, kemudian dia pergi kepada Loo Boan Tong, maka Loo Boan Tong pun datang ke mari, hanya di sini, setelah dikocok Lian Houw, dia mengadu kepandaian duduk diam sama si pendeta.” Oey Yong mendongkol berbareng merasa lucu.
“Jikalau tidak terjadi perkara kebetulan, suhu, jiwamu bisa hilang di tangan Loo Boan Tong,” kata Ia. “Baiknya kebetulan sekali engko Ceng dan aku mendengar lewatnya dua kawan mereka itu.”
“Jiwaku memang sudah tidak berharga, jiwa itu diantarkan di tangan siapa pun sama saja.” kata sang guru.
“Suhu, ketika itu hari kita pulang dari pulau Beng Hee To ……” kata si nona.
“Bukan Beng Hee To hanya pulau menggencet setan!” kata sang guru pula.
“Baiklah, pulau menggencet setan,” kata sang murid. “Sekarang ini benar-benar Auwyang Kongcu telah menjadi setan! Ketika itu hari di atas getek kita menolongi Auwyang Hong paman dan keponakan, aku mendengar si bisa bangkotan mengatakan bahwa di kolong langit ini cuma ada satu orang yang dapat menyembuhkan suhu, hanya dia sangat gagah dan lihay, dia tidak bisa dipaksa menolongi sedang suhu tidak sudi menolong diri dengan merugikan lain orang, suhu tidak mau minta pertolongan orang itu. Suhu juga tidak mau membilang nama orang. Sekarang kami tahu siapa orang itu, sebab dialah bukan lain daripada Toan Hongya dulu hari dan It Teng Taysu sekarang ini.”
Ang Cit Kong menghela napas.
“Jikalau dia menggunai It Yang Cie menyalurkan jalan darahku, memang dia dapat menyemhuhkan aku,” ia berkata, “Hanya karena dia menolong aku, dia bakal menggunai tenaga dalamnya cara berlebihan, setelah itu banyaknya tujuh tahun atau sedikitnya lima tahun, tidak dapat dia memulihkan tenaga dalamnya itu. Mungkin hatinya tawar dan dia tidak menghiraukan lagi urusan pertemuan yang kedua di gunung Hoa San, tetapi dengan usianya sudah enam atau tujuhpuluh tahun, berapa lama lagi dia bisa hidup? Maka itu, mana aku si pengemis tua dapat membuka mulut untuk mohon pertolongannya itu?”
Mendengar itu, Kwee Ceng berjingkrak.
“Suhu, mari aku yang mengobati kau!” ia berkata. “Aku telah mempelajari It Yang Cie!
Apakah tidak baik sekarang juga digua ini aku menyalurkan semua jalan darahmu itu?”
Ang Cit Kong menggeleng kepala.
“Tahukah kau kenapa It Teng Taysu mengajari It Yang Cie padamu?” ia tanya.
Inilah Kwee Ceng tidak pernah pikir, maka itu mendengar pertanyaan gurunya ini, ia lantas mengerti, tanpa merasa ia mengeluarkan peluh dingin.
“Ah, It Teng Taysu hendak mencari kematiannya!” ia berseru. “Kalau begitu akulah yang membikin ia celaka!”
“Ketika dia mengobati Yong-jie, jikalau dia tidak melihat kau diam-diam mempelajari ilmunya itu, tempo Eng Kouw mencari dia, mustahil dia berani pasang tubuhnya untuk dibunuh nyonya itu?” kata pula guru ini. “Untuk menolongi aku, untuk mengobati aku, tidak menjadi soal, tetapi bagaimana kalau dalam tempo lima atau tujuh tahun si bisa bangkotan datang untuk membikin celaka padamu? Bagaimana kau nanti melayani dia?
Bolehkah kau menyia-nyiakan pengorbanan It Teng Taysu?”
“Jikalau suhu sudah sembuh, suhu dapat melayani si bisa bangkotan itu,” berkata sang murid. Cit Kong lagi-lagi menggeleng kepala.
“Sukar untuk lukaku ini dapat disembuhkan dalam tempo yang cepat,” ia berkata.
“Sebaliknya hari pertandingan di Yan Ie Lauw di Kee-hin sudah sampai bulu alis. Maka itu tentang sakitku ini dan pengobatannya, baik kita bicarakan lain kali saja.”
Oey Yong tertawa mendengar orang berebut omong, yang satu memaksa mau mengobati, yang lain menolak. Ia berkata; “Sudahlah, jangan kamu berebut mulut! Untuk menyalurkan jalan darah dan meluruskan nadi, aku mengerti!”
“Apa katamu!” Cit Kong menanya heran.
Si nona bersenyum, ia menyahuti: “Bahasa yang aneh yang engko Ceng ingat di dalam hatinya telah disalin jelaskan kepada kami, sekarang aku pikir-pikir, ilmu itu dapat dipakai menolong suhu.” Untuk menguatkan keterangannya, ia menjelaskan penjelasan penjelasan dari It Teng Taysu itu.
“Bagus, bagus!” kata Cit Kong girang. “Aku lihat kau memang dapat menolong, Cuma untuk itu dibutuhkan tempo sedikitnya setengah sampai satu tahun.”
Bab 69
“Suhu,” kata Oey Yong kemudian. “Di dalam pertemuan di Yan Ie Lauw itu, pihak sana pasti bakal mengundang Auwyang Hong, benar Loo Boan Tong tidak bakal kalah tetapi dia berandalan, dia suka mengacau, aku khawatir nanti timbul keonaran, maka itu aku pikir perlu kita pergi ke Tho Hoa To untuk mengundang ayahku. Dengan begitu barulah kita akan merasa pasti akan kemenangan kita!”
“Kau benar,” berkata Cit Kong. “Biar aku yang pergi dulu ke Kee-hin dan kamu berdua pergi ke Tho Hoa To.”
“Baiklah kita pergi bersama dulu ke Kee-bin,” kata Kwee Ceng. Ia berkhawatir untuk gurunya itu.
“Tidak usah, biar aku pergi sendiri,” kata guru itu. “Aku akan menunggang kudamu.
Umpama kata ada orang jahat, aku dapat mengaburkannya. Siapa dapat menyusul aku?” Ia lantas lompat naik ke punggung kuda, di mana ia menenggak araknya. Ketika ia menjepit kedua kakinya, kuda itu berpekik menghadapi Kwee Ceng, terus dia kabur ke arah utara.
Pemuda itu mengawasi gurunya sampai guru itu lenyap dari pandangan matanya, lantas dia mengingat sikap Kwa Tin Ok, gurunya yang ke satu itu dari pihak Kanglam Cit Koay, ia menjadi sangat berduka.
Oey Yong tahu orang bersusah hati, ia tidak membujuki, hanya ia terus menyewa perahu, untuk mengajak orang menaikinya, guna berangkat ke Tho Hoa To. Di dalam perjalanan ini, mereka tidak mengalami sesuatu, maka mereka tiba dengan tidak kurang suatu apa di pulau yang dituju. Setelah mendarat dan membayar sewaan perahu, hingga si tukang perahu lantas pergi, baru ia kata kepada kawannya; “Engko Ceng aku hendak memohon sesuatu kepadamu, kau suka meluluskan atau tidak?”
“Kau sebutkan dulu, aku mendengarnya,” menyahut si anak muda, “Jangan nanti soal yang aku tidak dapat melakukannya.”
Oey Yong tertawa.
“Aku bukannya minta kau memotong kepalanya ke enam gurumu itu!” katanya.
Pemuda itu tidak puas.
“Perlu apa kau menimbulkan urusan itu, Yong-jie!” ia tanya.
“Kenapa aku tidak menimbulkannya?” si nona balik menanya. “Mungkin kau dapat melupakan itu, aku tidak! Biarnya aku baik dengan kau tetapi aku tidak suka kepalaku dipotong olehmu ……”
Anak muda itu menarik napas panjang.
“Sungguh aku tidak mengerti kenapa toasuhu demikian gusar ……” katanya.
“Toasuhu ketahui baik sekali kaulah orang yang aku cintai. Biar aku mesti mati seribu atau selaksa kali, tidak nanti aku sudi melukai kau biar bagaimana kecil juga.”
Oey Yong bersyukur. Ia menarik tangan si anak muda, ia menyenderkan tubuhnya ke tubuhnya.
“Engko Ceng, apakah kau anggap Tho Hoa To ini bagus?” ia tanya. Ia menunjuk ke barisan pohon yangliu di tepi air. Perlahan suaranya.
“Mirip tempat dewa-dewi,” Kwee Ceng menyabut.
Si nona menarik napas.
“Ingin aku tinggal hidup di sini, tidak sudi aku di bunuh kau ……” bilangnya.
Kwee Ceng mengusap-usap rambut nona itu.
“Anak tolol! Mana dapat aku membunuh kau ……”
“Bagaimana kalau kau didesak enam gurumu, ibumu dan sekalian sahabatmu? Kau turun tangan juga atau tidak?”
“Biar semua orang di seluruh jagat memusuhkan kau, aku tetap akan melindungimu!” berkata si anak muda.
Oey Yong memegang keras tangan orang.
“Untukku, kau suka mengorbankan segala apa bukan?” ia tanya.
Kwee Ceng berdiam, agaknya ia bersangsi.
Oey Yong mengangkat kepalanya, ia mengawasi mata orang. Sinar mata itu menunjuki roman kedukaan atau ragu.
“Yong-jie,” kata si anak muda kemudian. “Aku telah bilang padamu aku suka berdiam di Tho Hoa To untuk menemani kau seumur hidupku, ketika aku mengatakan itu, aku telah mengambil keputusanku.”
“Bagus!” si nona berseru. “Mulai hari ini, kau tidak akan meninggalkan pulau ini!”
Kwee Ceng heran.
“Mulai hari ini?” dia tanya.
“Ya, mulai hari ini!” berkata si nona. “Aku akan minta ayah pergi ke Yan Ie Lauw untuk membantu pihakmu, aku bersama ayah nanti pergi membunuh Wanyen Lieh guna membalaskan sakit hatimu, habis itu aku bersama ayahku nanti pergi ke Mongolia menyambut ibumu! Bahkan, akan aku minta ayah menemui keenam gurumu guna memohon maaf untukmu. Aku hendak membikin supaya hatimu lega dan tidak ada apa-apa lagi yang harus dipikirkan!”
Kwee Ceng heran. Aneh sekali sikapnya nona ini.
“Yong-jie, apa yang aku bilang, semua itu kata-kataku,” ia bilang. “Kau baiklah bertetap hati.”
Si nona menghela napas.
“Urusan di dalam dunia ini banyak yang sukar dibilang pasti,” ia berkata. “Ketika dulu hari kau menerima baik perjodohan putri Mongolia itu, mana kau pernah ingat bahwa hari ini kau bakal menyangkal dia. Juga aku sendiri, aku pikir aku dapat melakukan segala apa sesukaku. Sekarang baru aku tahu …… Ah, apa yang kita pikir baik, Thian justru pikir sebaliknya.”
Kedua matanya si nona menjadi merah, lekas-lekas ia tunduk.
Kwee Ceng pun berdiam, pikirnya bekerja. Ingin ia menemani Oey Yong seumur hidup di pulau Tho Ho To ini, tetapi berat untuk meninggalkan semua urusan di dalam dunia, itulah tidak sempurna. Hanya kenapa ia tidak dapat menyebutnya.
“Aku bukannya tidak percaya kau dan hendak memaksa kau berdiam di sini,” si nona berkata pula sesaat kemudian, perlahan, “Hanya …… hanya …… Di dalam hatiku, aku sangat takut ……” Ia lantas mendekam di pundak anak muda itu, ia menangis.
Kwee Ceng bengong. Inilah ia tidak sangka. Ia juga heran.
“Kau takut apa, Yong-jie?” ia tanya.
Si nona tidak menjawab, ia hanya menangis terus.
Kwee Ceng menjadi semakin heran. Semenjak mengenal si nona, biar bagaimana hehat pengalaman mereka, belum pernah nona itu menangis, dia lebih banyak tertawa, tetapi sekarang, sepulangnya ke pulaunya ini? Inilah kampung halamannya. Apakah yang dia buat takut? Bukankah dia justru bakal segera bertemu sama ayahnya?
“Apakah kau mengkhawatirkan keselamatan ayahmu?” ia tanya akhirnya.
Oey Yong menggoyangi kepala.
“Apakah kau takut, kalau aku meninggalkan Tho Hoa To, lantas aku tidak kembali?”
Oey Yong menggeleng kepala pula. Dan ini dilakukan terus meski si anak muda menanya pula ia hingga empat atau lima kali.
Maka berdiamlah mereka sekian lama.
“Engko Ceng,” kata si nona kemudian seraya mengangkat kepalanya mengawasi si anak muda. “Aku takut tetapi tidak dapat aku mengatakan apa sebabnya …… Kalau aku ingat sikap dan romannya gurumu tempo ia hendak membinasakan aku, aku jadi bingung sekali. Aku menjadi khawatir, akan ada satu harinya yang kau nanti mendengar perintah gurumu itu hingga kau membunuh aku …… Maka itu aku minta kau jangan meninggalkan lagi pulau ini. Kau berjanjilah!”
Kwee Ceng tertawa.
“Aku kira urusan besar bagaimana, tak tahunya urusan begini!” katanya. “Ingatkah kau kejadian dulu hari di Pakhia ketika keenam guruku mengatai kau sebagai siluman?
Ketika itu aku ikut kau pergi, lalu akhirnya tidak terjadi apa-apa. Memang roman keenam guruku itu bengis tetapi hati mereka baik, maka kalau nanti kau sudah mengenal baik mereka, mereka tentulah akan menyukaimu …… Jiesuhu lihay ilmunya merabai saku orang, nanti kau bola belajar padanya. Tentang Citsuhu, ia sangat halus dan sabar ……”
Tapi si nona memotong: “Dengan begitu, artinya kau mau meninggalkan pulau ini?”
“Kita meninggalkannya bersama-sama,” berkata si anak muda. “Kita sama-sama pergi ke Mongolia untuk menyambut ibuku. Kita bersama-sama membunuh Wanyen Lieh. Lalu bersama-sama juga kita pulang! Bukankah itu bagus?”
Si nona melongo.
“Kalau begitu, tidak dapat untuk selamanya kita pulang bersama dan tidak dapat juga untuk selamanya berada bersama,” katanya selang sesaat.
Kwee Ceng menjadi heran.
“Kenapa begitu?” ia tanya.
“Aku tidak tahu,” si nona menggeleng kepala. “Jikalau aku melihat romannya toasuhumu, aku dapat menerka sesuatu. Untuk dia, tidak cukup dia mengutungi saja kepalaku! Dia membenci aku sampai di dalam tulang-tulangnya!”
Kwee Ceng melihat orang bicara secara sungguh-sungguh, nona itu jadi sangat berduka. Ia jadi memikir. Tanpa merasa, ia pun berkhawatir. Ia ingat pula sikap gurunya yang kesatu yang sangat bengis itu.
“Dia biasa pandai berpikir,” katanya di dalam hati, “Kalau sekarang aku tidak turuti dia dan kemudian kekhawatirannya berbukti bagaimana nanti jadinya?” Ia jadi sangat berduka. Tapi ia pun dapat mengambil putusannya. Maka ia kata: “Baiklah, aku tidak akan berlalu dari sini!”
Mendengar itu, Oey Yong bengong mengawasi pemuda itu, air matanya meleleh dari kedua belah pipinya.
“Yong-jie, kau menghendaki apa lagi?” tanya si pemuda perlahan.
“Aku menghendaki apa lagi?” menyahut si nona. “Apa juga aku tidak menghendaki pula.” Lantas sepasang alisnya yang bagus bergerak, lantas dia tertawa. Ia kata pula:
“Kalau aku menghendaki apa-apa lagi, Thian juga tidak bakal meluluskannya!”
Saking gembiranya, lantas di situ dia menari-nari, tangan bajunya yang panjang berseliweran, gelang emasnya berkilauan. Kadang-kadang ia menyambar-nyambar pohon bunga dengan bunganya berwarna merah, putih kuning dan ungu, hingga dia mirip seekor kupu-kupu Tiba-tiba ia berlompat naik ke atas pohon, ke pohon yang lain, kembali lagi. Dalam kegembiraannya itu ia bersilat dengan Yan Siang Hui dan Lok Eng Ciang.
Menyaksikan si nona, Kwee Ceng seperti ngelamun: “Dulu ibu mendongeng kepadaku bahwa di laut Tang Hay ada sebuah gunung dewa, bahwa di atas gunung itu ada sejumlah dewinya. Mustahilkah di dunia ada gunung dewi yang terlebih indah daripada pulau Tho Hoa To ini? Mungkinlah benar ada dewi yang melebihkan cantiknya Yong-jie?” Ia sadar ketika mendadak Oey Yong berseru seraya terus lompat turun, tangannya menggapai padanya seraya dia terns lari ke depan, nerobos di antara rimba.
Kwee Ceng menyusul. Ia pun khawatir nanti kesasar.
Oey Yong lari berliku-liku sampai ia berbenti dengan mendadak.
“Apakah itu?” tanyanya seraya tangannya menunjuk ke depan di mana ada benda bertumpuk.
Kwee Ceng mendahului maju. Itulah seekor kuda yang lagi rebah. Bahkan ia lantas mengenali itulah kudanya Han Po Kie, samsuhu atau gurunya yang nomor tiga. Ia mengulur tangannya memegang perut kuda itu. Dingin rasanya. Terang sudah kuda itu telah mati lama. Berbareng heran, Kwee Ceng berduka. Kuda ini pernah turut pergi ke gurun pasir dan dengannya Kwee Ceng kenal sejak ia masih kecil.
“Boleh dibilang inilah kuda luar biasa dan kuat, kenapa dia mati di sini?” si anak muda berpikir. “Tentu sekali samsuhu sangat berduka ……”
Mengawasi lebih jauh, Kwee Ceng dapat memperhatikan, kuda itu bukan mati rebah melonjor hanya keempat kakinya tertekuk meringkuk. Ia terkejut. Ia lantas ingat kudanya Gochin Baki, yang terbinasa dihajar Oey Yok Su. Kuda putri itu mati melingkar, mirip dengan kuda ini. Maka dengan tangan kirinya ia mengangkat lehernya kuda itu dan dengan tangan kanannya meraba dua kaki depannya. Untuk kagetnya, ia mendapatkan tulang-tulangnya kuda itu remuk. Ia lantas meraba punggung kuda itu. Tulang punggung itu juga patah! Ketika ia mengangkat tangannya, ia melihat tangannya itu berlepotan darah - darah yang sudah berubah menjadi hitam tetapi bau amisnya masih ada.
Mungkin sudah tiga empat hari matinya kuda itu.
Oleh karena penasaran, Kwee Ceng membalik tubuh binatang itu, untuk memeriksa.
Ia tidak mendapatkan luka di luar. Saking heran, ia duduk dengan menjatuhkan diri di tanah, hatinya bekerja: “Mungkinkah ini darahnya samsuhu? Habis dimana adanya guruku itu?”
Sekian lama Oey Yong berdiam di samping menyaksikan kelakuannya Kwee Ceng, ia pun heran, tetapi ia dapat menenangkan diri. Maka kemudian ia kata; “Kau jangan bergelisah. Mari kita memeriksanya dengan perlahan-lahan ……”
Nona ini maju, ia mementang kedua tangannya membiak pohon-pohon bunga, sembari jalan ia memperhatikan tanah. Kwee Ceng mengikuti, ia juga mengawasi ke tanah, maka terlihat olehnya titik-titik yang disebabkan berceceran darah. Saking ketarikdan tegang hatinya, ia sampai melupai jalan yang sesat, ia mendahului si nona, dari jalan perlahan, ia menjadi membuka tindakan lebar. Tidak heran kalau beberapa kali ia kesasar.
Oey Yong berlaku teliti, ia berjalan hingga di gombolan rumput, di pinggir batu karang. Di situ tanda darah itu sebentar kedapatan sebentar lenyap. Ia memeriksa dan melihat tapak serta bulu kuda.
Tanpa mengenal capai, mereka berjalan terus hingga beberapa lie, sampai di depan sekumpulan pohon bunga dan pepohonan lain di mana ada sebuah kuburan. Melihat itu Oey Yong lari menghampirkan.
Ketika dia pertama kali datang ke Tho Hoa To, Kwee Ceng pernah melihat kuburan itu, yang ia masih mengenalinya. Itulah kuburan dari ibunya si nona. Hanya kali ini, kuburan itu tidak utuh seperti dulu hari itu. Batu nisannya telah roboh. Ia maju untuk mengangkat itu. Ia membaca tulisan batu peringatan itu. Ibunya Oey Yong ada orang she Phang. Terang tulisan itu ada tulisan Oey Yok Su - tulisannya bagus dan tegak.
Oey Yong melihat pintu pekuburan telah terpentang lebar-lebar. Ia merasa pasti bahwa di pulaunya ini sudah terjadi sesuatu. Tadi pun ketika dari atas pohon ia melihat melingkarnya kuda, hatinya sudah bercekat. Ia tidak lantas bertindak masuk. Lebih dulu ia memasang mata ke sekitar kuburan. Di kiri kuburan, rumput hijaunya bekas diinjak-injak. Di muka pintu terlihat bekas-bekas senjata beradu. Ia memasang kuping. Ia tidak mendengar suara apa-apa. Maka dengan membungkuk, ia masuk di pintu.
Kwee Ceng berkhawatir, ia mengikuti masuk.
Begitu berada di dalam, muda-mudi ini merasakan hati mereka tegang. Lebih-lebih si pemuda. Bukankah itu kuburan ibunya? Tembokan pada gugur atau gugus, bekas terhajar senjata tajam akibat suatu pertempuran dahsyat.
Oey Yong memungut suatu barang ketika ia mulai bertindak masuk. Kwee Ceng mengenali itulah batang timbangan atau dacin, yang menjadi senjata gurunya keenam, Coan Kim boat. Timbangan itu terbuat dari besi, ukurannya sebesar lengan, tetapi toh orang dapat mematahkannya menjadi dua. Maka berdua mereka saling mengawasi, mulut mereka bungkam, mereka seperti tidak berani membuka mulut. Mereka tahu, cuma ada beberapa gelintir orang yang tenaganya kuat istimewa dan untuk di Tho Hoa To, orang itu melainkan Oey Yok Su ……
Kwee Ceng menyambut dari tangan Oey Yong potongan dacin itu, ia lantas mencari potongan yang lainnya, sembari mencari ia merasakan hatinya tertindih berat sckali. Ia bersangsi, ingin ia mencari dapat, ingin ia tidak dapat mencarinya ……
Lebih jauh ke dalam, tempat kuburan itu menjadi terlebih suram. Kwee Ceng lantas membungkuk, tangannya meraba-raba ke tanah. Mendadak tangannya itu membentur sesuatu yang keras, yang lantas ternyata adalah batu timbangan, batu mana dapat dipakai Kim Hoat sebagai senjata rahasia untuk menimpuk. Hatinya berdebaran. Iamasuki gandulan itu ke sakunya, ia maju lehih jauh.
Untuk terkesiapnya hatinya, Kwee Ceng kena meraba benda yang dingin tetapi lunak. Ia meraba-raba. Akhirnya ia kaget hingga ia berlompat bangun, ia kena pegang muka orang. Justru ia lompat, justru – duk ……! Kepalanya membentur langit kuburan itu. Tapi disaat seperti itu, ia melupakan nyeri. Maka ia lantas mengeluarkan bahan apinya dan menyalakan itu. Begitu dapat melihat, begitu ia menjerit, begitu ia roboh pingsan!
Api di tangannya pemuda itu tidak padam, dengan cahanya api, Oey Yong bisa melihat tegas.
Coan Kim Hoat rebah terlentang sebagai mayat, kedua matanya terbuka besar. Didadanya nancap potongan yang lain dari dacinnya itu. Maka sekarang duduknya haltelah menjadi terang.
Oey Yong kaget tetapi ia mencoba menentramkan diri. Dari tangannya Kwee Ceng ia mengambil api, dengan itu ia mengasapi hidungnya si anak muda. Itulah daya untuk menyadarkan orang pingsan.
Tidak lama, anak muda itu berbangkis dua kali, lantas ia mendusin. Ia membuka matanya mengawasi si pemudi. Kemudian ia bangun, untuk berdiri. Tanpa membilang suatu apa, ia masuk lebih jauh. Oey Yong mengikuti.
Di ruang dalam, yang merupakan liang kubur asli, segala apa kacau. Meja sembahyang pecah ujungnya. Pikulan besi dari Lam Hie Jin nancap di lantai. Di pinggir kiri kamar itu, rebah melintang tubuh satu orang, ikat kepalanya robek, sepatunya copot.
Dengan melihat dari punggung saja sudah dapat dikenali dialah Biauw Ciu Sie-seng Cu Cong si Mahasiswa Tangan Lihay.
Dengan tindakan perlahan, Kwee Ceng menghampirkan. Ia membalik tubuhnya jiesuhu itu, gurunya yang nomor dua. Ia melihat bibir yang bersenyum, tapi yang sudah dingin, seperti dinginnya seluruh tubuhnya. Maka anehlah senyumannya Kanglam Cit Koay yang kedua ini.
“Jiesuhu, teecu Kwee Ceng datang!” kata si anak muda perlahan. Setelah itu dengan berhati-hati, ia mengangkat tubuhnya guru itu, atau - tingtang! Ia mendengar suara barang jatuh saling susul. Itulah jatuhnya dari sakunya banyak barang permata, seperti batu kumala, yang berserakan di lantai.
Oey Yong menjumput beberapa potong barang permata itu, untuk ditelitikan. Segera ia melemparkannya pula, dengan dingin, ia berkata: “Ini permata mulia yang dikumpul ayahku yang disengaja dipakai untuk menemani ibuku!”
Kwee Ceng terkejut. Ia menoleh kepada kekasih itu. Ia menjadi lebih kaget pula. Di samping suara dingin dan tak sedap dari nona itu, ia melihat sinar mata yang mencorong tajam dan bengis, dari mata yang merah bagaikan darah.
“Apakah kau maksudkan guruku datang ke mari mencuri permata ini?” ia menanya perlahan.
Mata si pemudi menatapsi pemuda akan tetapi dia ini tidak dapat mundur, dia bahkan mengawasi, hanya sekarang sinarnya berubah. Itulah sinar mata dari putus asa, darikedukaan.
“Guruku yang kedua seorang laki-laki sejati,” kata Kwee Ceng. “Mana mungkin dia mencuri harta ayahmu? Lebih-lebih tak mungkin dia mencuri barang permata di dalam kuburan ibumu ini!”
Oey Yong mendengar nada orang, dari gusar menjadi berduka.
Memang juga pikiran Kwee Ceng berubah dengan perlahan-lahan. Ia menyangka si nona menuduh gurunya itu, seorang ksatria, ia menjadi tidak senang, ia menjadi gusar.
Segera setelah itu, ia memikir kepada kenyataan. Bukankah gurunya itu terkenal sebagai si tangan lihay, yang sangat pandai mencopet? Bukankah semua permata itu meluruk dari sakunya guru itu? Bukankah mereka justru berada di dalam liang kubur di mana harta itu disimpan? Tapi, benarkah gurunya datang ke situ untuk mencuri?
Bukankah guru itu laki-laki sejati? Ia menyangsikan gurunya berbuat demikian busuk dan hina. Maka ia menduga kepada sesuatu yang diluar dugaannya. Dalam kesangsian itu, antara kegusaran dan kedukaan dan keragu-raguan ia mengepal keras tangannya hingga terdengar suara meretek.
Oey Yong masih mengawasi lalu ia berkata dengan perlahan. “Ketika itu hari aku melihat air mukanya gurumu yang nomor satu, aku merasa aneh sekali, aku lantas seperti dapat firasat bahwa di antara kita berdua sulit ada akhir yang baik, yang membahagiakan. Jikalau kau hendak membunuh aku, sekarang kau boleh turun tangan.
Ibuku ada di sini, maka kau tolong saja mengubur aku di sisinya. Setelah selesai kau mengubur aku, kau mesti lekas mengangkat kaki dari sini, supaya jangan sampai kau bertemu dengan ayahku ……”
Kwee Ceng tidak menyahuti, ia jalan mondar-mandir, tindakannya lebar dan cepat, napasnya pun memburu.
Oey Yong berdiam. Ia mengawasi ke gambar lukisan dari ibunya. Ia melihat sesuatu di situ, ia lantas menghampirkan. Nyata itulah dua senjata rahasia yang nancap. Ia menurunkan itu.
Kwee Ceng melihat senjata itu, ia mengenali tok-leng, atau lengkak rahasia, dari Kwa Tin Ok.
Oey Yong terus berdiam, tangannya menyingkap toh-wie di belakang meja sembahyang. Di situ ada pernahnya peti mati dari ibunya. Ketika ia menghampirkan, mendadak ia menghela napas panjang. Di belakang peti mati ibunya itu rebah dua mayat dari kakak beradik, atau engko dan adik. Han Po Kie dan Han Siauw Eng. Siauw Eng itu terang telah membunuh diri, sebab tangannya masih memegang gagang pedang. Tubuh Po Kie sendiri menindih peti mati. Hanya yang hebat, batok kepalanya telah meninggalkan liang bekas lima jari.
Kwee Ceng telah melihat kedua mayat itu. Ia sekarang bisa berlaku tenang. Ia memondong turun tubuh gurunya yang ketiga itu, seorang diri ia berkata: “Aku melihat sendiri kematiannya Bwee Tiauw Hong. Di kolong langit ini, orang yang pandai Kiu Im Pek-kut Jiauw, siapa lagi kecuali Oey Yok Su?” Ia mengambil pedangnya Siauw Eng, terus ia bertindak keluar, ketika ia melewati Oey Yong, ia tidak berpaling lagi pada nona itu.
Nona Oey merasa hatinya dingin secara tiba-tiba. ia terdiam. Justru itu, ruang itu menjadi gelap, sebab apinya padam. Ia kaget, hatinya berdebaran. Itulah kuburan yang ia kenal baik, tetapi di situ sekarang rebah empat mayat dalam caranya yang berlainan, yang mengerikan, maka ia lantas lari keluar. Satu kali ia terpeleset, hampir ia roboh.
Setibanya di luar baru ia ingat bahwa ia kesandung tubuhnya Coan Kim Hoat. Sekarang ia melihat batu nisan yang roboh. Ia hendak menutup pintu kuburan ketika ia ingat satu hal. Ia lantas kata pada dirinya sendiri: “Kalau ayah yang membunuh keempat anggota Kanglam Cit Koay ini, kenapa pintu ini tidak dikunci? Ayah sangat mencintai ibu, biarnya ia sangat kesusu, tidak nanti ia membiarkan pintu tinggal terpentang?” Maka ia menjadi ragu-ragu. Ia menjadi ingat pula: “Cara bagaimana ayah dapat membiarkan mayat keempat orang ini menemani ibu? Tidak mungkin! Mungkinkah ayah sendiri yang nampak sesuatu yang tidak dinyana?”
Lantas Oey Yong membetulkan batu nisan itu, ia mengunci pintunya, ialah dengan mendorong batu nisan ke kanan tiga kali dan ke kiri tiga kali juga, habis itu ia lari ke arah rumahnya. Ia dapat menyusul Kwee Ceng meskipun si anak muda telah keluar lebih dulu beberapa puluh tindak. Anak muda itu berputaran karena kesasar. Kapan dia melihat si nona, dia lantas mengikuti. Mereka berjalan tanpa membuka suara, mereka melintasi pengempang, sampai di rumah peranti bersemedi dari Oey Yok Su. Hanya sekarang rumah itu roboh tidak karuan, di bagian depan terlihat tiang-tiang dan penglari yang patah.
Oey Yong kaget sampai ia menjerit-jerit. “Ayah! Ayah!” Dia lari ke dalam rumahnya.
Di situ kursi meja pada terbalik dan segala perabot tulis, buku semua berserakan di lantai. Di situ tidak ada sekalipun bayangannya Oey Yok Su.
Nona ini berotak tajam, dia cerdas dan lekas berpikir, tetapi kali ini pikirannya kacau.
Ia memegang meja tulis ayahnya, tubuhnya bergoyang-goyang mau jatuh. Sampai sekian lama, baru ia bisa menetapkan hati. Ia lari ke samping, ke kamarnya budak-budaknya yang gagu, sia-sia belaka ia mencari, ia tidak dapat menemukan seorang budak juga. Di dapur sunyi semua. Rupanya, meski orang tidak mati, semua telah pergi entah ke mana. Rupanya di pulau itu, kecuali mereka berdua, tidak ada orang lainnya lagi ……
Dengan tindakan perlahan Oey Yong menuju ke kamar tulis, di sana Kwee Ceng berdiri menjublak, matanya mengawasi lempang ke depan.
“Engko Ceng, lekas kau menangis!” berkata si nona. “Kau menangis dulu, baru kita bicara!”
Kwee Ceng tidak menyahuti, hanya dengan mata mendelik ia mengawasi nona itu. Ia sangat mencintai keenam gurunya, sekarang ia mendapat pukulan begini hebat, kedukaannya sampai di puncaknya hingga tak dapat ia menangis.
Oey Yong kaget.
“Engko Ceng!” katanya. Cuma sebegitu ia bisa bilang, lantas ia berdiam.
Keduanya berdiri saling mengawasi.
Akhirnya si anak muda ngoceh seorang diri “Tidak dapat aku membunuh Yong-jie, tidak dapat aku membunuh Yong-jie!”
Oey Yong lantas berkata: “Gurumu telah mati, kau menangislah!”
“Tidak, aku tidak menangis!” kata Kwee Ceng seorang diri.
Kembali keduanya berdiam. Sunyi kamar tulis itu. Cuma di kejauhan terdengar samar-samar suara berdeburnya gelombang.
Oey Yong berpikir keras, ia mengingat segala apa, tetapi tetap ia berdiam.
“Aku mesti mengubur dulu guru-guruku ……” Kemudian terdengar Kwee Ceng mengoceh pula.
“Benar, semua guru mesti dikubur lebih dulu!” menimpali Oey Yong. Bahkan ia mendahului berjalan kembali ke kuburan ibunya.
Tanpa bersuara, Kwee Ceng mengikuti, selagi si nona hendak mendorong batu nisan, mendadak ia lompat melewati, terus ia menendang batu nisan itu. Ia menggunai tenaga besar tetapi batu besar dan berat, ia tidak dapat menggempur roboh, sebaliknya, kakinya yang berdarah, hanya ia tidak merasakan itu. Bagaikan kalap, ia menyerang kalang kabutan dengan pedangnya: menikam dan menebas, dan tangan kirinya juga menghajar, hingga batu gugur dan gugusannya terbang berhamburan. Pedangnya tak tahan, pedang itu patah. Ia menjadi panas, maka ia terus menyerang dengan tangannya. Kali ini ia berhasil membikin batu patah, hingga terlihat sebatang besi. Ia pegang besi itu, ia menggoyang-goyang keras. Dengan satu suara nyaring, besi itu membuatnya pintu kuburan terbuka sendirinya. Ia melengak, ia kata seorang diri;
“Kecuali Oey Yok Su, siapa dapat membikin pintu rahasia ini dan siapa dapat memancing semua guruku masuk ke dalam kuburan hantu ini?” Lalu dia berdongak dan berseru nyaring, terus ia melemparkan pedang buntungnya, untuk lari masuk ke dalam kuburan itu!
Oey Yong mengawasi pedang buntung dan batu nisan yang patah, yang terkena darahnya si anak muda, ia bengong, hatinya bekerja. Ia melihat kebencian hebat dari Kwee Ceng itu. Ia pikir; “Jikalau dia melampiaskan hawa marahnya dengan merusak peti ibuku, lebih dulu aku akan membunuh diri dengan membenturkan kepalaku kepada peti ……” Lantas ia hendak menyusul pemuda itu atau ia melihat Kwee Ceng berjalan keluar dengan memondong tubuhnya Coan Kim Hoat, setelah meletaki tubuh itu, dia masuk pula, akan mengambil mayat Cu Cong. Perbuatan itu dilanjutkan kepada mayat Han Po Kie dan Han Siauw Eng.
Dengan mata mendelong, Oey Yong mengawasi si anak muda pada air muka siapa kentara sekali cintanya kepada guru-gurunya itu. Hatinya menjadi dingin. Ia kata di dalam hatinya itu: “Nyatalah dia mencintai gurunya melebihkan cintanya kepadaku. Ah, mesti aku cari ayahku, mesti aku cari ayahku ……”
Kwee Ceng membawa mayat keempat gurunya ke dalam rimba, terpisah dari kuburan ibunya Oey Yong beberapa ratus tindak, di situ barulah ia menggali lobang. Ia menggali dengan patahan pedang, hebat ia menggunai tenaganya. Sekian lama ia bekerja, mendadak pedangnya itu bersuara keras - pedang itu patah pula!
Justru itu ia merasakan dadanya sesak, hawa panas naik, ketika ia mementang mulutnya, ia memuntahkan darah hidup hingga dua kali, tetapi ia bekerja terus, dengan kedua tangannya ia membongkar tanah, yang ia saban-saban melemparkannya.
Melihat demikian, Oey Yong lari mengambil dua buah sekop peranti bujang gagunya, yang satu ia kasihkan pada si anak muda, yang lain ia pakai sendiri, untuk membantui menyingkirkan tanah.
Kwee Ceng merampas sekop di tangan si nona, ia patahkan itu kemudian dengan sekop yang satunya bekerja sendiri, ia menggali terus lobangnya.
Oey Yong tahu artinya perbuatan pemuda itu, merasakan hatinya sakit, tetapi ia tidak menangis, ia lantas duduk mengawasi saja.
Kwee Ceng bekerja luar biasa. Ia berhasil menggali dua buah liang satu besar dan satu kecil. Ke lubang yang kecil itu ia pondong tubuh Siauw Eng, untuk diletak dengan hati-hati. Ia lantas berlutut, ia paykui beberapa kali. Ia mengawasi muka guru wanita itu, guru yang ketujuh, sesudah itu baru ia menguruknya. Setelah itu ia mengangkat tubuh Cu Cong dimasuki ke dalam liang kubur yang besar. Mendadak ia berpikir: “Permata mulia kotor dari Oey Yok Su mendapat menemani jiesuhu?” Maka itu, ia merogoh saku gurunya, ia mengeluarkan sisa batu permatanya. Paling akhir ia menarik keluar sehelai kertas putih, yang ada suratnya. Ia membeber itu dan membaca:
“Yang rendah dari Kanglam, Kwa Tin Ok, Cu Cong, Han Po Kie, Lam Hie Jin, Coan Kim Hoat dan Han Siauw Eng, dengan ini menghaturkan bertahu kepada cianpwe pemilik Tho Hoa To bahwa mereka telah mendengar kabar bahwa Coan Cin Cit Cu, dengan tidak menaksir tenaganya sendiri, hendak melakukan sesuatu terhadap Tho Hoa To. Mengenai itu, menyesal kami tidak dapat berbuat apa-apa untukmengakurkannya, hanya mengingat bahwa cianpwee adalah pantarannya Ong Tiong Yang Cinjin, kami memikir mana dapat cianpwee malayani anak-anak muda. Di jaman dulu Lin Siang Jie telah mengalah terhadap Liam Po, peristiwa itu menjadi buah tutur yang berupa pujian. Karena siapa gagah, dadanya lapang bagaikan lautan, dia tentu tidak menghiraukan segala perbuatan di antara ayam dan kutu. Kalau nanti kejadian Coan Cin Cit Cu datang ke depan Tho Hoa To, untuk nengakui kesalahannya sendiri, pastilah semua orang gagah di kolong langit ini akan mengagumi kepribadian cianpwee.
Tidakkah itu bagus?”
Habis membaca itu, Kwee Ceng berpikir; “Dulu hari Coan Cin Cit Cu bertempur sama OeyYok Su di Gu-kee-cun, lantas Auwyang Hong secara diam-diam menggunai akal jahatnya dan membinasakan Tiang Cun Cu Tam Cie Toan, kesalahan digeser kepada Oey Yok Su. Oey Yok Su berkepala besar, dia tidak menghiraukan urusan itu tidak mau membersihkan diri, maka kejadian Coan Cin Cit Cu jadi sangat membenci padanya.
Rupanya sekarang guruku mendapat dengar Coan Cin Cit Cu datang untuk melakukan pembalasan, karena ia khawatir kedua pihak itu rusak bersama, guruku menulis suratnya ini nenganjurkan Oey Yok Su menyingkirkan diri untuk sementara waktu,supaya kemudian di dapat jalan guna membeber duduknya hal. Dengan begitu, guruku ini bermaksud baik, maka Oey Yok Su si tua, kenapa dia telah menurunkan tangan jahatnya kepada guruku semua?” Baru ia berpikir begitu, atau ia lantas berpikir pula:
“Jiesuhu sudah menulis suratnya ini, kenapa dia tidak menyampaikan kepada alamatnya hanya dibiarkan berada di dalam sakunya? Ah, mungkin waktu terlalu mendesak, Coan Cin Cit Cu telah keburu datang, dia jadi tidak mendapat tempo lagi untuk menyerahkannya, maka mereka lantas datang sendiri, guna maju si sama tengah di antara kedua pihak yang bertempur itu. Oey Lao Shia, Oey Lao Shia, mungkin kau menyangka guruku adalah kawan-kawan undangan dari Coan Cit Cin Cu, yang bakalmembantu pihak sana, maka dengan sembrono kau telah menurunkan tangan jahatmu itu ……”
Kembali pemuda ini berdiam. Surat itu ia lipat, hendak dimasuki ke dalam sakunya.
Selagi ia melipat tiba-tiba di belakang itu ia melihat coretan beberap huruf, yang membikin ia kaget hingga hatinya berdebaran. Tulisan itu, yang suratnya tidak karuan, berbunyi; “Segera bakal terjadi hal yang tidak diduga-duga, maka semua bersiaplah berjaga-jaga ……” Masih ada tulisan lainnya, yang belum tertulis lengkap, mungkin disebabkan bencana sudah lantas tiba.
“Inilah terang huruf ‘Tong’ yang hendak ditulisnya. Jiesuhu memperingati untuk bersiaga untuk ‘Tong Shia’ sayang sudah terlambat ……”
Maka ia kepal-kepal surat itu menjadi gulungan kecil dengan mengertak gigi, ia kata dengan sengit; “Jiesuhu, jiesuhu, maksudmu yang baik telah dipandang sebagai maksud jahat oleh Oey Lao Shia ……”
Setelah itu, surat itu jatuh ke tanah, ia sendiri lantas mengangkat tubuh Cu Cong.
Oey Yong mengawasi terus pemuda itu, ia melihat air muka orang yang seperti berubah-ubah. Ia menduga surat itu mesti penting sekali, maka perlahan-lahan ia bertindak. Ia pungut surat itu untuk segera dibaca dua-duanya, yang di depan dan yang di belakang. Ia pikir “Keenam gurunya datang ke Tho Hoa To dengan maksud baik, maka sayang Biauw Ciu Sie-seng hatinya tidak lurus, sudah biasa dia menjadi pencopet melihat hartanya ibuku hatinya terpincuk, hingga dia melanggar pantangan besar dari ayahku ……”
Ketika itu Kwee Ceng telah meletaki tubuhnya Cu Cong, lalu dia membuka tangan kiri orang yang terkepal, mengambil dari situ serupa barang.
Oey Yong melihat itulah sebuah sepatu wanita, yang panjangnya satu dim lebih.
Terang itu ada sepatu mainan sebab terbuat dari batu hijau tetapi buatannya indah sekali. Itulah benda yang berharga mahal. Belum pernar ia ingat ibunya mempunyai barang mainan semacam itu maka entahlah dari mana Cu Cong mendapatkannya.
Kwee Ceng membulak-balik sepatu-sepatuan itu bagian bawahnya ia melihat ukiran huruf “ciauw” sedang di dasar sebelah dalam, ada ukiran huruf “pie”. Ia sengit ia banting sepatu batu itu, syukur tidak pecah. Kemudian ia bergantian mengangkat tubuh Han Po Kie dan Coan Kim Hoat, dikasih masuk ke dalam lubang yang besar itu diletaki dengan rapi. Ketika ia hendak mulai menguruk ia melihat muka ketiga gurunya hatinya tak tega.
Maka ia mengawasi ke batu permata. Tiba-tiba timbul pula hawa amarahnya. Ia pungut semua itu dengan kedua tangannva, ia lari ke kuburan ibunya Oey Yong.
Si nona khawatir orang nanti merusak peti mati ibunya, ia pun lari. Ia lari, untuk mendahului. Ia bisa memotong jalan, maka ia tiba lebih dulu. Lantas ia menghadang di depan pintu kuburan, kedua tangannya dipentang.
“Kau mau apa?” ia tanya si pemuda.
Kwee Ceng tidak menjawab, dengan tangan kirinya ia menolak tubuh si nona, lalu kedua tangannya disempar ke depan, maka terdengarlah suara nyaring, dari meluruk jatuhnya barang-barang permata, di antaranya itu sepatu mainan dari batu hijau yang jatuh ke kaki si nona.
Oey Yong membungkuk, ia memungutnya.
“Ini bukannya barang ibuku,” ia kata, dan ia membayarnya pulang.
Kwee Ceng menyambut, ia awasi itu, terus ia masuki ke dalam sakunya. Setelah itu ia memutar tubuhnya. Kali ini ia mulai menguruk tanah, hingga menutup rapat mayat keempat gurunya.
Lama sang waktu lewat, hari mulai magrib.
Oey Yong menyaksikan, Kwee Ceng terus tidak menangis, ia merasa sangat berduka. Maka ia pikir, kalau dibiarkan sendiri, mungkin hati pemuda itu lega. Dari itu ia pergi pulang, untuk memasak nasi serta lauk-pauknya. Apabila semua itu sudah matang, ia pernahkan di dalam naya, ia membawanya keluar.
Kwee Ceng terlihat berdiri menjublak di depan kuburan gurunya. Dia berdiri tetap di tempat dia berdiri semula, tubuhnya juga tidak berkisar atau berubah. Ia berdiam setengah jam lebih selama si nona masak, hinggga dia mirip patung. Maka si nona kaget sekali.
“Engko Ceng, kau kenapa?” ia tanya.
Kwee Ceng tidak menyahuti, tubuhnya tetap tidak bergerak.
“Engko Ceng, mari dahar,” kata pula si nona. “Sudah satu harian kau belum dahar ……”
“Mesti aku mati kelaparan tidak nanti aku maka barang dari Tho Hoa To!” berkata si anak muda.
Mendengar itu, meskipun tidak sedap, hati Oey Yong lega sedikit. Ia mengerti adat orang, tentu Kwee Ceng pegang perkataannya itu. Dari itu ia meletaki naya, duduk di tanah.
Demikian, yang satu berdiri tegak, yang lain berduduk, keduanya berdiammenghabiskan waktu, hingga rembulan mulai muncul di permukaan laut. Si Putri Malam naik terus, sampai dia berada di atasan kepalanya dua orang itu, sedang sayur di dalam naya telah menjadi dingin sendirinya. Hati mereka seperti sama dinginnya. Dengan kesunyian itu, suara gelombang terdengar semakin nyata. Dari kejauhan pun terdengar beberapa kali suara seperti suara srigala dan harimau, suara minip dengan jeritan. Sang angin juga yang membikin suara itu lenyap sendirinya.
Oey Yong memasang kupingnya, ia menyangsikan itu suara manusia atau suarabinatang yang sedang menderita, karena perhatiannya tertarik, ia berbangkit, untuk lari menuju ke sana. Sebenarnya ia berniat mengajak si anak muda atau ia membatalkan pikirannya itu setelah ia berpikir pula: “Kebanyakan inilah urusan tidak bagus, aku akan cuma-cuma menambah keruwetan pikirannya ……” Ia sebenarnya sedikit jeri untuk suasana seperti itu, tetapi karena ia kenal baik pulaunya itu, ia maju terus.
Selagi si nona berlari-lari, dia merasakan angin menyambar di sampingnya. Segera ia mendapat kenyataan, Kwee Ceng lagi mencoba mendahului dia. Pemuda ini tidak kenal jalanan, maka itu ia maju dengan tangan dan kakinya saban-saban menghajar pohon-pohon yang menghadang di hadapannya. Dilihat dari romannya, pemuda itu seperti telah kehilangan pikirannya yang sehat.
“Kau ikut aku!” kata si nona.
Kwee Ceng tidak menyahuti, hanya ia berteriak-teriak: “Soe-suhu! Soe-suhu!” Ia telah mengenali suara gurunya yang keempat, Lam Hie Jin.
Hati Oey Yong terkesiap. Ia tahu, kalau Kwee Ceng bertemu sama gurunya itu, entah bakal terjadi apa pula atas dirinya. Tapi ia tidak takut, maka ia lari terus, akan menunjuki jalan. Ia lari ke timur, di mana ada banyak pepohonan. Tiba di situ, ia melihat seorang berada di bawah sebuah pohon, tubuhnya bergulingan, tubuh itu melingkar. Itulah Lam Hie Jin.
Kwee Ceng menjerit, ia berlompat menubruk gurunya itu, untuk dipondong. Ia melihat mulut gurunya terbuka, tertawa, tetapi suaranya bukan tertawa wajar. Ia kaget dan girang, hingga ia menangis.
“Soe-suhu! Soe-suhu!” ia memanggil-manggil.
Lam Hie Jin tidak menyahuti, hanya sebelah tangannya melayang.
Kwee Ceng tidak menyangka tetapi ia sempat berkelit. Hanya habis menggaplok dan gagal, Hie Jin terus meninju dengan tangan kirinya. Kali ini si anak muda tidak berkelit, ia tidak menangkis. Ia menyangka guru itu menyesalkan atau mempersalahkan padanya. Hebat serangan guru yang nomor empat ini, Kwee Ceng terpental jumpalitan.
Ia tidak menduga gurunya bertenaga demkian besar. Dulu-dulu, di waktu berlatih dengannya, tenaga guru itu tidak sedemikian besar. Ia baru bangun atau Hie Jin, yang sudah maju, menyerang pula denga kepalannya. Masih si murid tidak berkelit, ia mandah. Hajaran ini terlebih hebat pula, Kwee Ceng merasa matanya berkunang-kunang, hampir ia roboh pingsan.
Setelah itu, Hie Jin memungut batu besar, lagi-lagi dia menyerang. Kalau Kwee Ceng terhajar batu ini, mesti ia pecah batok kepalanya. Ia memang masih pusing kepalanya.
Melihat demikian, Oey Yong berlompat maju, dengan tangan kirinya ia menolak lengan Kanglam Cit Koay yang nomor empat itu, atas mana, bersama-sama batunya Hie Jin roboh ke tanah, mulutnya mengasih dengar suaranya tertawa seperti tadi, habis itu dia tidak merayap bangun lagi ……
Adalah maksudnya si nona untuk menolongi Kwee Ceng, maka diluar sangkaannya, Hie Jin ada demikia tidak bertenaga, dia roboh hanya karena tolakan tanga yang enteng. Dengan lantas si nona mengulur tangannya untuk mengasih bangun. Atau ia melihat muka orang yang tertawa, tertawa yang dipaksakan, hingga menjadi menyeringai, nampaknya sangat menakuti. Ia menjerit, ia menarik pulang tangannya, untuk membikin tangan itu tidak mengenai tubuh orang. Sebaliknya tangan kiri Hie Jin menyambar pundak si nona. Atas itu dua-duanya, si nona dan si penyerang, mengasih dengar seruan bahna sakit dan kaget.
Oey Yong mengenakan baju lapisnya, meski begitu ia merasakan sakit sampai iaterhuyung beberapa tindak.
Hie Jin merasa sakit karena ia menghajar baju yang ada durinya, karena mana tangannya lantas mengucurkan darah.
“Soe-suhu!” Kwee Ceng berteriak saking kagetnya.
Hie Jin menoleh mengawasi si anak muda, suara siapa ia rupanya ia mengenalinya,hanya ketika ia hendak membuka mulutnya cuma bibirnya bergerak sedikit, suaranya tidak terdengar. Ia masih mengasih lihat senyuman hanya itulah senyum dari putus asa.
Sinar matanya pun guram.
“Soe-suhu, baik kau beristirahat,” kata Kwee Ceng: “Sebentar lagi kita bicara.”
Hie Jin mencoba mengangkat kepalanya, ia seperti memaksa mau bicara, lagi ia gagal, mulutnya tidak dapat dibuka. Ia cuma dapat bertahan sebentar segera kepalanya teklok, terus tubuhnya roboh terjengkang, lalu berbalik.
“Soe-suhu!” Kwee Ceng berseru, ia berlompat maju, guna mengasih bangun.
“Jangan!” berkata si nona, “Gurumu lagi menulis surat ……”
Tajam matanya si nona.
Kwee Ceng mengawasi. Benar, dengan tangan kanannya, ‘Hie Jin lagi mencoret ketanah. Di antara sinar rembulan, segera terlihat ia menulis: “Yang …… membunuh ……
aku …… ialah ……”
Oey Yong mengawasi, ia mendapatkan Hie Jin menulis dengan susah sekali, ia lantas goncang hatinya. Ia lantas ingat; “Da berada di Tho Hoa To, sekalipun orang yang paling tolol tentulah tahu ayahku yang membunuh dia, maka kenapa dia begini susah menulis nama ayahku itu? Apakah si pembunuh lain orang sebenarnya ……?”
Semakin lama dia menulis, tenaganya Hie Jin makin habis. Hati si nona tegang, hingga ia memuji; “Kalau kau mau menulis nama lain orang, lekaslah!”
Ketika Hie Jin menulis huruf yang kelima, yang mesti menjadi she atau nama orang yang membunuh dia, baru dia menulis dua coret, yang menjadi huruf “sip” - “sepuluh”, mendadak tangannya berhenti bergerak.
Kwee Ceng melihat tubuh orang bergerak, tanda dari pengerahan tenaga yang terakhir, habis itu berhentilah napasnya sang guru. Ia sendiri menahan napas, ketika iamelihat huruf “sip” itu, ia berteriak: “Soe-suhu, aku tahu kau hendak menulis huruf oey -huruf oey!” Terus ia menubruk tubuh gurunya, terus ia menangis keras, kedua tangannya menumbuki dadanya. Dengan demikian meledaklah amarah dan kedukaannya yang sangat, yang sekian lama terbenam di dalam dadanya. Ia menangis menggerung-gerung tidak lama atau ia pingsan di atas tubuh gurunya itu.
Berapa lama anak muda ini tak sadarkan diri, ia tidak tahu, ketika kemudian ia mendusin, ia melihat sinar matahari, langit telah menjadi terang. Ia bangun, untuk melihat ke sekitarnya. Ia tidak melihat Oey Yong, entah ke mana perginya si nona. Ia mendapatkan tubuh Hie Jin, yang kedua matanya terbuka besar. Ia lantas ingat pembilangan, “mati tidak meram”, maka ia lantas menangis pula, air matanya turun deras. Ia mengulurkan kedua tangannya, guna merapatkan mata gurunya itu.
Mengingat gurunya begitu sengsara hendak melepaskan napasnya yang terakhir, Kwee Ceng menjadi heran maka ia membukai baju gurunya itu, untuk memeriksa tubuhnya. Aneh, seluruh tubuh itu tidak kurang suatu apa, dari kepala sampai di kaki, tidak ada yang luka, kecuali luka di tangan bekas terkena duri baju lapisnya Oey Yong.
Pula tidak ada luka di dalam, kulitnya tidak hitam atau hangus.
Sesudah memeriksa dengan sia-sia, Kwee Ceng memondong mayat gurunya,niatnya untuk dikubur bersama dengan ketiga gurunya yang lainnya. Ketika ia sudah jalan beberapa puluh tindak ke tempat darimana tadi dia datang, ia kehilangan jalanannya. Terpaksa ia menggali sebuah lubang lain di bawah pohon, guna mengubur di situ mayat gurunya itu.
Habis itu, ia menjadi bingung. Ia pun merasa sangat lapar. Sia-sia ia berjalan, untuk mencari jalanan keluar. Ia duduk di bawah sebuah pohon, guna beristirahat, guna menentramkan pikirannya. Ketika ia berjalan pula, ia mengambil putusan tidak perduli apa juga, ia mengambil satu tujuan, ialah ke arah timur, terus menghadapi matahari.
Dengan begini, ia masih mengalami kesukaran, dan pepohonan yang sangat lebat.
Sekarang di setiap pohon ia melihat adanya rotan panjang dan duri tajam. Umpama kata ia jalan di atas pohon, di situ tidak ada tempat untuk menaruh kaki ……
“Tapi hari ini, cuma ada maju, tidak ada mundur!” ia pikir. Ia paksa berlompat naik ke atas pohon. Ia baru menindak atau “Bret!” maka celananya robek kesangkut duri, hingga kulitnya lecet dan darahnya mengalir. Rotan pun ada yang melilit kakinya. Maka dengan pisau belatinya, ia memotong putus pohon oyot itu.
Memandang jauh ke depan, Kwee Ceng melihat hanya oyot belaka.
“Biar habis daging betisku, aku mesti keluar dari pulau iblis ini!” katanya di dalam hati.
Degan itu ia mengambil keputusannya. Ia mau bertindak pula, lalu mendadak ia mendengar suaranya OeyYong: “Kau turun! Nanti aku mengantarkanmu!” Ia lantas tunduk, maka ia melihat si nona, dengan pakaian putih seluruhnya, lagi berdiri di bawah pohon. Tanpa membilang apa-apa, ia lompat turun. Ia melihat muka Oey Yong pucat sekali, seperti tidak ada darahnya. Ia terkejut. Hendak ia menanya, tetapi segera ia dapat menguatkan hati.
Oey Yong melihat orang hendak bicara tetapi gagal. Ia menanti sekian lama, tetap ia tidak mendengar suara orang. Ia menghela napas.
“Jalanlah!” katanya.
Dengan berliku-liku, mereka menuju ke timur. Oey Yong lesu dan berduka. Ia baru sembuh, ia perlu beristirahat dan ketenangan hati, siapa tahu ia telah mesti membuat perjalanan jauh dan menghadap peristiwa berat dan gelap ini. Ia pikir tidak dapat ia menyesalkan Kwee Ceng atau mempersalahkan ayahnya, ia juga tidak bisa menyesalkan Kanglam Liok Koay, Ia hanya menyesalkan diri sendiri. Kenapa Thian berbuat begini macam terhadapnya? Apa Thian membenci kepada orang yang hidup terlalu senang?
Tanpa berkata-kata nona ini menunjuk jalan kepada Kwee Ceng menuju ke tepi laut.
Ia mau percaya, dengan kepergiannya ini, anak muda itu bakal tidak kembali. Maka itu setiap satu tindaknya, ia merasa hatinya pecah satu potong.
Ketika akhirnya mereka keluar dari rimba lebat dengan rotan dan duri itu, pesisir terlihat di depan mata.
Oey Yong merasa dirinya sangat letih, ia mencoba menguati hati tetapi tubuhnya terhuyung juga, lekas-lekas ia menggunai tongkatnya, untuk menekan tanah, guna menunjang, hanya sekarang ia merasakan tangannva juga tidak bertenaga, tongkatnya itu miring, hingga tubuhnya turut terguling.
Kwee Ceng melihat itu, segera ia mengulur tangan kanannya, guna memegangi si nona, atau mendadak ia ingat sakit hati hebat dari guru-gurunya itu, segera dengan tangan kirinya ia menghajar tangan kanannya. Itulah pukulan ajarannya Ciu Pek Thong, yang dapat memecah pikiran, hingga kedua tangannya dapat bergerak sendiri-sendiri.
Karena dihajar, tangan kanannya itu segera membalas. Habis itu, ia berlompat mundur.
Dengan begitu, sendirinya robohlah Oey Yong.
Oleh karena jatuhnya ini tanpa pertolongan, hati si nona pepat sekali. Ia menyesal, ia penasaran, ia berduka.
Juga Kwee Ceng kaget, juga pemuda ini menyesal, penasaran dan berduka. Ia lompat maju, untuk mengangkat tubuh si nona. Ia melihat kelilingan, untuk membawa nona itu ke tempat di mana dia bisa beristirahat.
Juga Oey Yong turut melihat ke sekitar mereka.
Di arah timur laut, di mana ada sebuah batu besar, terlihat sepotong kain hijau tertiup angin. Ketika melihat itu Oey Yong lantas berteriak; “Ayah!” Ia lantas saja mendapat tenaga, ia lari.
Kwee Ceng juga lari bersama, maka itu mereka saling berpegang tangan.
Tiba di batu itu, di situ pun kedapatan sepotong kulit muka orang.
Oey Yong kenal baik topeng kulit kepunyaan ayahnya itu, dengan kebingungan ia membungkuk akan memungutnya begitu pun baju hijau itu di mana ada tapak tangan dari darah, tegas nampak bekas telunjuk.
Melihat itu Kwee Ceng berpikir; “Pasti ini tapak Kiu Im Pek-kut Jiauw dari Oey Yok Su, habis dia mencelakai samsuhu, dia menyusut tangannya di sini ……” Ia tengah memegang tangan si nona ketika mendadak ia melepaskannya sambil menyempar terus ia merampas baju hijau itu dan merobeknya. Ketika itu ia melihat ujung baju itu pecah sedikit, maka ia ingat, juiran itu pastilah yang telah dibawa burung rajawali tempo si nona minta ikan emas istimewa.
Kwee Ceng berdiri diam kapan ia telah mengawasi tapak jari tangan itu, kemudian ia lekas menggulung itu dan mengasih masuk ke dalam sakunya, habis itu tanpa membilang apa-apa, ia lari ke pinggir laut sekali di mana ada sebuah perahu layar, yang tidak ada anak buahnya. Entah ke mana perginya semua budak gagu. Ia tidak berpaling pula pada Oey Yong ketika ia memotong putus dadungnya perahu itu, ia mengangkat jangkarnya, ia memasang layarnya, terus ia berlayar ……
Oey Yong dengan bengong mengawasi perahu menuju ke barat. Mulanya ia masih mengharap si anak muda berbalik pikir dan akan kembali, untuk mengajak ia pergi, maka ternyata, habislah pengharapannya. Dengan lekas perahu layar itu seperti terbenam di dalam lautan. Sekarang merasalah ia yang ia berada sebatang kara di pulaunya itu. Engko Cengnya pergi, ayahnya entah bagaimana, entah masih hidup atau telah terbinasa ……!
“Yong-jie, Yong-jie!” akhirnya ia kata pada dirinya sendiri. “Siang hari masih panjang!
Kau tidak dapat berdiri diam saja di pesisir ini! Ingat Yong-jie, tidak dapat kau memikir pendek!”
Bab 70
Kwee Ceng berlayar terus menuju ke barat sesudah melalui beberapa puluh lie, mendadak ia mendengar suara burung terang di atasannya. Ia mengenali sepasang burungnya, yang terbang menyusul padanya. Dengan cepat kedua burung menclok di atas layar.
“Burung ini mengikuti aku, Yong-jie berada sendirian di pulau, ia bakal jadi bertambah kesepian,” pikirnya. Maka timbullah rasa kasihannya.
Dihari ketiga, pemuda ini mendarat. Ia membenci segala benda dari Tho Hoa To, dari itu ia mengangkat jangkar, ia menghajar perahunya, maka tenggelamlah kendaraan air itu. Ia sendiri berlompat ke darat sebelum air memenuhi perahu itu, maka ia melihat perahu Perlahan-lahan masuk ke dalam air dan lenyap. Ia berjalan tanpa tujuan. Ia mampir di rumah seorang tani di mana ia membeli beras untuk masak nasi, guna menangsal perut. Habis dahar, setelah menanya jalanan untuk Kee-hin, ia berangkat menuju ke kota itu.
Malam itu pemuda ini bermalam di tepi sungai Cian Tong Kang, ketika ia tengah mengawasi permukaan air, tiba-tiba ia melihat bayangan rembulan.
Ia terkejut, la memang telah lupa tanggal. Tentu sekali ia khawatir nanti melewati janji pertemuan di Yan Ie Lauw. Lantas ia menanya tuan rumah. Lega sedikit hatinya ketika ia diberitahukan hari itu tanggal tigabelas. Karena ini malam ini juga, ia menyeberangi sungai, terus ia menyewa keledai guna melanjuti perjalanannya, untuk lega hatinya, ia tiba di kota Kee-hin selebatnya tengah hari. Di sini segera ia menanya orang di mana pernahnya Cui Sian Lauw, rumah makan Dewa Mabuk. Itulah rumah
makan yang Paling berkesan untuknya. Semenjak ia masih kecil,
guru-gurunya telah menuturkan kepadanya tentang pertempuran merea dengan Khu Cie Kie di rumah makan itu. Ia tidak diberitahukan sebab musababnya tetapi ia ketarik sama caranya Pertempuran, mengadu minum arak memakai jambangan perunggu. Kemudian lagi ia ketahui tentang asal usul dirinya, maka tahulah ia, rumah makan itu ada hubungannya sama kehidupannya. Ketika orang menunjuki dia bahwa rumah makan itu berada di tepi telaga Lam Ouw, segera ia pergi ke sana. Setibanya, ia mengangkat kepala, mengawasi rumah makan itu. Ia mendapatkan c0cok apa yang dijelaskan Han Siauw Eng. Setelah sepuluh tahun lebih mengingat-ingat rumah makan itu, baru sekarang ia melihatnya dengan matanya sendiri.
Memang rumah makan itu indah dengan lauwtengnya yang berukiran, sedang di tengah-tengah ada berdiri sepotong bokpay, atau papan, yang bertuliskan empat huruf besar: “Tay Pek Ie Hong”, artinya, peninggalan kebiasaan dari Lie Thay pek si sastrawan yang dijuluki Dewa Mabuk, sedang nama “Cui Sian Lauw”, yang memakai leter emas, ada tulisannya Souw Tong Po. Bersih dan berkilap tiga huruf emas itu.
Dengan hati berdebar, Kwee Ceng naik dengan tindakan cepat ke atas lauwteng.
Segera ia dipapaki seorang palayan, yang memberitahukan bahwa hari itu sudah ada yang memborong rumah makannya. Ia heran, hendak ia minta keterangan, atau segera ia mendengar panggilan: “Anak Ceng! Kau sudah datang?” Ia lantas mengangkat kepalanya. Ia terkejut akan mengenali orang yang memanggilnya itu, sebab ialah Khu Cie Kie, yang lagi duduk bersila- Ia lari rnenghampirkan, ia lantas berlutut dengan cuma dapat memanggil: “Khu Totiang a Sa S!”
Khu Cie Kie mengasih orang bangun.
“Apakah keenam gurumu juga sudah sampai?” ia tanya. “Aku telah memesan barang santapan untuk kita a Sa S” ia menunjuk ke kanan, di mana Kwee Ceng melihat telah disiapkan sembilan buah meja yang diperlengkapi sama sumpit dan cangkirnya. Ia berkata pula. “Ketika delapanbelas tahun yang lalu untuk pertama kali aku bertemu di sini dengan ketujuh gurumu, mereka mengatur meja begini rupa. Ini satu meja kepunyaan Ciauw Bok
Taysu, maka sayang ia dan gurumu yang nomor lima sudah tidak dapat berkumpul pula di sini “
Kelihatannya imam itu sangat berduka.
Kwee Ceng berpaling ke lain arah, tidak berani ia mengawasi langsung imam itu.
Khu Cie Kie tidak melihat sikap orang, ia berkata lagi: “Jambangan perunggu yang dulu hari itu kita pakai untuk minum arak, hari ini aku telah mengambilnya dari kuil, maka kalau sebentar semua gurumu datang, kita boleh minum arak pula.”
Kwee Ceng melihat jambangan itu di samping sekosol. Karena usianya sudah tua, warnanya jambangan itu sudah hijau gelap, pula jambangan itu sudah dimuati arak hingga dari sana tersiar baunya minuman itu. Ia terus mengawasi dengan mata mendelong. Kemudian ia mengawasi delapan meja yang masih kosong itu. Ia pikir, kecuali guruuya yang nomor satu, tidak ada orang lainnya yang dapat duduk di situ untuk minum arak. Ia menjadi ngelamun: “Asal aku bisa memandang satu kali saja tujuh guruku duduk pula di sini dan minum arak dengan gembira, mati pun aku puas”
Kembali terdengar suara Khu Cie Kie; “Tadinya telah dijanjikan untuk tahun ini bulan tiga tanggai duapuluh empat kau berdua Yo Kang mengadu kepandaian di sini. Aku mengagumi gurumu semua yang hatinya mulia itu, mengharap-harap kaulah yang nanti menang, supaya dengan begitu nama Kanglam Cit Koay menjadi bertambah kesohor. Aku sendiri senantiasa merantau, tidak dapat aku mencurahkan perhatianku sepenuhnya kepada Yo Kang, tidak dapat aku mengajari ia ilmu silat dengan baik. Sudah begitu, aku juga tidak berhasil mendidik sifatnya agar dia menjadi seorang
gagah. Berhubung dengan ini aku menyesal terhadap pamanmu, Yo Tiat Sim. Benar Yo Kang membilang dia sudah menyesal akan tetapi untuknya sangat sukar untuk merubah sipatnya itu”
Sebenarnya Kwee Ceng hendak memberitahukan halnya Yo Kang telah mati tetapi ia tidak tahu bagaimana harus mulai bicara, dari itu si imam kembali melanjutkan kata-katanya: “Dalam hidupnya manusia, kepandaian ilmu surat dan ilmu silat untuknya ialah soal terakhir yang paling utama ialah Tiong Gie - kesetiaan dan kejujuran. Boleh dianggap Yo Kang lebih kosen seratus kali daripada kau akan tetapi dalam perilaku, gurumuiah yang menang. Kau tahu aku kalah dengan puas.”
Habis berkata, saking puasnya itu, Khu Cie Kie tertawa lebar. Sebaliknya Kwee Ceng, anak muda ini lantas mengucurkan air mata deras. “Eh, kenapa kau berduka?” tanya si imam heran.
Anak muda itu maju lebih dekat, lantas ia menjatuhkan dirinya, untuk berlutut. Ia menangis*
“Kelima guruku sudah meninggal dunia a Sa S” katanya sukar. Khu Cie Kie terkejut-“Apa?” dia tanya keras.
“Kecuali guruku yang nomor satu, yang lainnya yang lima lagi, semua sudah meninggal dunia,” kata pula Kwee Ceng.
Khu Cie Kie melengak, ia bagaikan disambar guntur, inilah ia tidak sangka, sedang ia mengharap sangat pertemuan ini. Sebagai seorang jujur; ia sangat menghargai Kangiam Cit Koay, yang ia anggap sebagai sahabat-sahabat sejati, ia telah tak melupai mereka itu selama deiapanbelas tahun, meskipun benar mereka sangat jarang bertemu. Maka ia pergi ke loneng matanya mengawasi ke telaga, kemudian ia dongak dan mengeluarkan napas panjang. Segera berbayang romannya Cit Koay. Kemudian ia menoleh, ia Pergi mengangkat jambangan perunggu untuk berkata; “Sahabat-sahabatku telah menutup mata, kau ini untuk apa?” dengan mengerahkan tenaganya, ia melemparkannya.
Hebat ketika jambangan itu tercebur ke telaga, suaranya nyaring, airnya muncrat tinggi. Kemudian ia dekati K^ee Ceng, untuk mencekal keras sekali tangan anak muda itu-
“Bagaimana meninggalnya mereka itu?” ia tanya. “Lekas tuturkan!”
Kwee Ceng mau memberikan keterangan, hanya belum lagi ia membuka mulutnya, mendadak ia melihat tubuh seorang berkelebat, di antara mereka lantas tertampak seorang lain, yang bajunya hijau, yang sikapnya tenang. Ia menjadi kaget ketika ia telah mengenalinya, ia mengawasi, ia tidak salah mata. Orang itu Oey Yok Su, tocu, atau pemilik dari Tho Hoa To. Juga Oey Yok Su melengak melihat anak muda ini. Selagi ia berdiam mengawasi, dengan mendadak datang serangan untuknya. Sebab Kwee Ceng, dengan melompati meja menerjang dengan jurusnya Hang liong yoe hui”, itulah serangan sangat hebat. Tapi ia tabah dan awas, dengan sebat ia berkelit, tangan kirinya dipakai menolak-
Hebat serangannya si anak muda, hebat perlawanan majikan dari Tho Hoa To itu, hebat juga kesudahannya. Anak muda itu terjerunuk ke depan, dia menerjang papan lauwteng yang menjadi ruang di situ, terus tubuhnya jatuh ke bawah lauwteng, sedang di bawah ia menimpa para_para cangkir, maka dengan suara sangat berisik hancurlah perabotan itu -cangkir, piring, mangkok dan lainnya.
Pemilik rumah makan lantas saja mengeluh. Ingatlah ia akan kejadian delapanbelas tahun yang lampau. Tadi juga, melihat Khu Cie Kie mengambil jambangan, hatinya sudah berkhawatir, sekarang kekhawatirannya itu berbukti.
Kwee Ceng takut ia terlukakan pecahan cangkir itu, dengan lantas ia berlompat naik pula ke lauwteng. Di lain pihak, Oey Yok Su dan Khu Cie Kie telah berbareng berlompat turun, hanya mereka itu mengambil jalan dari jendela.
Dengan terpaksa anak muda ini lompat dari jendela, untuk menyusul, hanya kali ini ia menyiapkan senjatanya, karena ia pikir; “Si tua itu lihay, tidak dapat aku melawan ia dengan tangan kosong.”
Maka ia mengeluarkan tiga rupa senjata: Dengan mulutnya ia menggigit pedang pendek dari Khu Cie Kie, tangan kanannya mencekal kim-too, golok emas, pemberian jenghiz Khan, dan tangan kirinya memegang tombak pendek warisan ayahnya- Ia pikir juga; “Biar bagaimana, mesti aku dapat menikam dia dua lubang a sa s”
Ketika itu lagi banyak orang, maka kagetlah mereka itu menampak si anak muda lompat turun dari jendela dengan menghunus senjata, sedang tadinya mereka berkumpul untuk menonton karena mendengar suara ribut disusul dengan lompat turunnya dua orang.
Kwee Ceng, setibanya ia di bauiah tidak melihat Oey Yok Su dan Khu Cie Kie. Ia melepaskan pedang pendek, ia menanya seorang tua di dekatnya ke mana perginya itu dua orang yang barusan turun dari lauiteng.
Orang tua itu kaget dan ketakutan. Ia salah menduga. “Ampun, hoohan,” katanya-
“Aku tidak tahu urusan mereka itu a Sa S”
“Sebenarnya mereka Pergi ke mana?” Kwee Ceng tanya pula.
Orang tua itu makin ketakutan, ia minta-minta ampun, sudah lama si anak muda tinggal di gurun pasir, sekarang pun hatinya lagi tegang, maka itu suaranya menjadi keras luar biasa. Saking sebal, si anak muda menolak si empeh, ia pergi mencari, tapi tanpa hasilnya, maka ia naik pula ke lauwteng rumah makan. Dari sini ia memandang ke telaga, maka terlihatlah olehnya sebuah perahu kecil, yang memuat Cie Kie dan Yok Su, yang tengah menuju ke Yan Ie Lauw. Khu Cie Kie duduk di buntut perahu di mana dia mengayuh.
“Tentu mereka berdua pergi ke Yan Ie iauui untuk bertempur mati dan hidup,” pikir Kwee
Ceng.” Meskipun Khu Totiang lihay, mana dia sanggup melawan itu bangsat tua?”
Maka ia lantas mengambil putusan, ia lari turun dari lauwteng, lari ke tepi telaga, untuk menyambar sebuah perahu kecil, yang ia terus kayuh ke arah Yan Ie Lauw juga, menyusul dua orang itu.
Adalah maksudnya si anak muda untuk dapat menyandak, di luar tahunya lantaran ia menggunakan tenaga terlalu besar, pengayuhnya patah sendirinya. Terpaksa ia memakai selembar papan sebagai pengganti Pengayuh itu, maka sekarang Perahunya laju ayal sekali. Dengan lantas ia
ketinggalan jauh, lalu ia kehilangan mereka. Ia mengayuh terus. Ketika ia akhirnya tiba di darat, ia menyesal. Di saat seperti itu, ia dapat mengendalikan diri-
“Aku mesti sabar,” demikian pikirnya- Ia bertindak ke arah iauwteng- Ketika ia sudah datang dekat, ia mendengar di belakang situ suara senjata beradu, suara sambar menyambarnya angin serta bentakan berulang-ulang. Kalau orang bertempur, itu mestinya
bukan cuma Khu Cie Kie dan Oey Yok Su.
Sesudah melihat ke sekitarnya, dengan berindap-indap si anak muda bertindak
masuk ke lauwteng. Di bagian bawah ia tidak melihat seorang juga, maka ia lantas naik di tangga-Segera ia melihat seorang lagi menyender di jendela, mulutnya menggayam hingga terdengar suara menggayamnya itu.
Ia menjadi heran.
“Suhu!” ia memanggil seraya menghampirkan.
Orang itu benar Ang Cit Kong. Dia mengasih lihat roman sungguh-sungguh, tangannya menunjuk ke bawah jendela- Dengan lain tangannya ia mengangkat sepaha kambing untuk digerogoti.
Kwee Ceng lari ke tepi jendela, untuk melongok. Ia lantas melihat satu permandangan yang mengherankan ia.
Oey Yok Su lagi bertempur, dia dikurung oleh enam anggota dari Coan Gin Pay.
Menyaksikan pemilik Tho Hoa To itu dikepung, pemuda ini merasa lega juga. Ia hanya kaget ketika ia melihat di situ pun ada gurunya yang nomor satu, guru itu lagi menyerang dengan tongkatnya, di belakangnya ada In Cie Peng. Dia ini berdiri membelakangi, tangannya memegang pedang, dia tidak turut berkelahi.
“Heran, kenapa toasuhu ada di sini?”
Kwee Ceng tidak usah menanti lama, lantas ia mengetahui Coan Cin Liok Cu lagi berkelahi dengan mengatur barisannya yang istimewa, ialah Thian K0ng Pak Tauw Tin- Hanya karena Tam Cie Toan telah meninggal dunia, dia digantikan Kwa Tin Ok, yang mengambil kedudukan thain-soan- Sebab ketua Kanglam Cit Koay ini cacat matanya, ia ditunjang oleh In Cie Peng supaya ia tidak usah mengkhawatirkan serangan dari belakang.
Demikian Oey Yok Su dikurung. Ketika pertempuran di Gu-kee-cun, cuma dua orang Goan Gin Pay yang menggunai pedang, yang lainnya bertangan kosong, tetapi sekarang mereka, bertujuh sama Kwa Tin Ok atau berdelapan sama In Cie Peng, semuanya bersenjatakan pedang. Yok Su tetap bertangan kosong, hebat ia diserang hingga nampaknya ia tidak bisa melakukan penyerangan membalas, bahkan membela diri pun kewalahan- Melihat demikian, Kwee Ceng kata dalam hatinya; “Biar kau sangat lihay, hari ini kau tidak bakal dapat lolos lagi!”
Disaat ia terdesak itu, mendadak terlihat Oey Yok Su menekuk kaki kiri dan kaki kanan menyambar, menyapu kaki lawannya semua. Rengkasan itu sangat berbahaya. Dengan serentak, delapan lawan itu berlompat mundur tiga tindak-
“Bagusi” Kwee Ceng berseru dengan Pujiannya- Rengkasan itu dilakukan sambil berputar, maka itu semua musuh mesti menyingkir dengan hampir berbareng.
Habis menyerang, Oey Yok Su mengangkat kepala sambil mengulapkan tangan ke atas lauwteng kepada Ang Cit Kong berdua Kwee Ceng, tandanya ia senang dengan pujian si anak muda.
Menyaksikan sikap orang itu, Kwee Ceng kagum. Walaupun terdesak, tocu dari Tho Hoa To itu tetap tenang dan napasnya juga tidak memburu. Ia pun heran. Dari heran, ia menjadi bercuriga. Bukankah Oey Yok Su tengah berakal muslihat?
Selang sekian lama, datanglah ketika yang mendebarkan hati- Mendadak tangannya ketua Tho Hoa To itu menyambar ke embun-embunannya Tiang Seng Cu Lauw Cie Hian. Kalau serangan itu mengenai sasarannya, pecahlah batok kepalanya si imam yang nomor tiga itu. Dengan itu pun teranglah Oey Yok Su sudah memulai dengan serangan membalasnya.
Oey Yok su menyerang dengan dua tangannya berbareng- Seharusnya LaUui Cie Hian tidak boleh menangkis, ia mestinya ditolongi oleh Khu Cie Kie di kedudukan Thian-koan dan Kuia Tin ok di kedudukan thian-soan di pinggir. Apa mau, Hui Thian Pian-hok tidak dapat melihat, dia Cuma mengandali kupingnya, maka ketika ia menyerang dari kiri ia terlambat, ia kena didului Khu Cie Kie. Dengan begitu, Oey Yok Su jadi tidak terancam bahaya. Cie Hian melihat ancaman datang, terpaksa ia menjatuhkan diri dengan bergulingan.
Ma Giok dan Ong Cie It melihat saudaranya itu terancam, mereka maju bersama, menyerang lawannya itu.
Semua gerakan berlaku sangat cepat- Lauw Cie Hian lolos dari bahaya, tetapi dengan begitu, Pak Tauw menjadi kacau. Oey Yok su tertawa terbahak, lantas ia menyerang kepada Ceng Ceng Sanjin Sun Put Jie, imam yang termuda, hanya begitu ia maju begitu lekas juga ia berlompat mundur, guna berbalik menyerang Kong Leng Cu Cek Tay Thong.
Serangan itu luar biasa, Sun Put Jie heran, Cek Tay Thong melengak. Ketika Ceng Ceng Sanjin menangkis, untuk terus menyerang, Oey Yok Su sudah keluar dari kepungan dan berdiri diam di tempat dua tombak jaraknya-“Hebat Oey Yok Su!” Ang Cit Kong memuji-“Biar aku Pergi!” berkata Kwee Ceng, yang terus memutar tubuh, untuk lari turun di tangga.
“Sabar, sabar!” mencegah Cit Kong. “Semenjak tadi mertuamu itu tidak melakukan Perlawanan, aku sebenarnya berkhaWatir untuk gurumu yang nomor satu, tetapi sekarang aku melihat dia tidak ada niatnya mencelakai orang.”
Kwee Ceng kembali ke jendela.
“Kenapa begitu, suhu?” ia tanya.
“Kalau dia hendak mencelakai orang, barusan itu si imam kurus seperti kera tidak bakal ketolongan jiwanya, menyahut sang guru. “Semua imam itu bukannya tandingan dari Oey Lao Shia, bukan tandingannya!” Ia menggigit daging kambingnya dan mengganyam, lalu menambahkan. “Ketika mertuamu dan Kim Coa Long-kun belum datang, aku melihat beberapa imam itu serta gurumu mengatur barisan, agaknya mereka masih menantikan satu orang guna membantui gurumu itu, agar tiga orang bersama menjaga garis thian-soan.
Entah kenapa, sampai sekarang orang itu tetap tidak muncul-Sekarang garis tnian-soan dijaga hanya
dua orang, tak cukup itu guna bertahan dari mertuamu itu a Sa S” Dia bukannya mertuaku I” kata Kwee Ceng sengit. Eh!” Cit Kong heran- “Kenapa bukan mertuamu?!” Dia! Dia! Hm!”
Bagaimana dengan Yong-jie? Apakah kamu berdua bercedera?”
inilah tidak ada hubungannya dia, dia telah membikin mati kelima guruku! Aku bermusuh dengannya, dalamnya bagaikan lautan!”
Cit Kong heran hingga ia berjingrak. “Benarkah?” dia menegasi.
Kwee Ceng tidak mendengar pertanyaan itu, ia lagi menumpieki perhatiannya kepada pertempuran di bauiah.
Oey Yok Su menggunai Pek Khong Ciang, ilmu silat Menyerang Udara Kosong, anginnya itu seperti menderu-deru, ia membuatnya semua musuhnya tidak bisa dating dekat. Tapi Pak
Tauui Tin telah diatur rapi pula. ia tidak bisa lantas membebaskan diri seanteronya.
Hanya terpisahnya mereka sedikit jauh. Dengan begitu,
selagi pedang C0an Cin Cit Cu tidak sampai kepada lawan, sebaliknya pihak lawan, kalau dia menghendakinya, dia dapat berlompat mendekati.
“Ah, kiranya begitu?” kata Cit Kong tiba-tiba-”Apa suhu?”
‘oey Yok Su sengaja memancing Cit Cu menggunai barisannya itu, untuk ia memahami sifatnya,” menyahut sang guru. “Itulah sebabnya kenapa ia berayal menurunkan tangan. Ia hendak memperkecil garis.”
Cit Kong telah kehilangan ilmu silatnya tetapi tidak pikiran atau Pandangannya yang tajam. Benarlah, makin lama kalangannya Coan Cin Cit Cu
makin rapat, makin rapat, hingga ada membahayakan mereka sendiri kalau mereka menggeraki pedangnya masing-masing. Pernah Lauw Cie Hian, Khu Cie Kie, Ong Cie It dan Cek Tay Th0ng menyerang berbareng, tempo Oey Yok Su berkelit, hampir mereka saling menikam sendiri.
Hatinya Kwee Ceng menjadi tegang pula, ia cemas. Ia mengerti, begitu lekas Oey Yok Su turun tangan, gurunya yang nomor satu itu bisa menjadi korban yang pertama. Ia berada jauh, mana bisa ia menolong?
“Biarlah teecu turun!” katanya seraya terus ia lari turun Pula- Hanya ketika ia mulai mendekati kalangan pertempuran itu, di antara mereka itu terlihat pula perubahan.
Oey Yok Su maju dengan tetap ke arah kiri dari Ma Giok, ia seperti memisahkan diri nampaknya hendak ia mengangkat kaki.
Menampak demikian, Kwee Ceng lantas bersiap sedia, asal tocu dari Tho Hoa To itu berlompat menyingkir, hendak ia menyerang dengan Pedang pendeknya.
Tiba-tiba terdengar suitannya Ong Cie It, lalu bersama Cek Tay Thong dan SUn Put Jie, dia bergerak dari kiri dengan begitu, mereka tetap mengurung lawannya yang tangguh dan lihay itu.
Oey Yok Su mencoba hingga tiga kali, tidak bisa dia mendekati Ma Giok- Ada saja, Khu Cie Kie atau Ong Cie It atau Cek Tay Thong berempat, yang mengganggu padanya, yang melindungi Ma Giok» ketua dari Coan Cin Pay itu-Setelah percobaan Oey Yok Su yang keempat kali, Kwee Ceng pun sadar, hingga ia berseru di dalam hatinya: “Ah, benar! Dia hendak merampas kedudukan bintang utara Pak-kek-chee!”
Bintang Pak-kek-chee berada di utara di tengah sekali, sedang barisan Pak Tauw Tin itu
berpokok pada bintang utara itu (Pak Tayui). Setelah Oey Yok Su menginsyafi
sifatnya tin atau barisan lawan itu, ia memusatkan perhatiannya kepada garis tengah itu. Ia mengerti, asal ia bisa merangsak tengah, tin akan pecah, atau kalau tidak, ia akan bertahan di situ, hingga ia tidak dapat dikalahkan.
Juga Ma Giok semua dapat menerka maksud lawan, mereka menjadi cemas hati.
Coba Tam Cie Toan masih hidup, mereka tidak usah terlalu berkhawatir, mereka tidak nanti membiarkan lawan merangsak ke utara itu, sekarang tidaklah demikian, di sebabkan lemahnya Kwa Tin Ok meskipun Tin Ok dibantu in Cie Peng. Tin Ok bercacad dan Cie Peng lemah, sudah begitu, keduanya masih asing dengan tin itu.
juga kawanan Coan Cin Pay ini telah melihat Kwee Ceng. Mereka menduga setiap waktu Kwee Ceng bakal membantui mertuanya itu. Maka itu, mereka bingung. Mereka menantikan saat orang, guna mengambil tempatnya Tin Ok di garis thian-soan itu akan tetapi orang yang dinanti-nanti belum juga kunjung tiba. Mereka percaya, asal orang itu datang, garis thian-soan bakal jadi kuat sekali-
Sembari berkelahi oey Yok Su kata sambil tertawa: “Sungguh aku tidak menyangka, murid-muridnya Ong Tiong Yang ada begini tidak tahu selatan!”
Kata-kata ini dibarengi rangsakan kepada Sun put Jie, yang diserang saling susul hingga tiga kali, hingga imam itu repot. Ma Giok bersama Cek Tay Thong segera maju membantui, guna menolongi.
Oey Yok Su berkelit, setelah pedang kedua orang itu lolos, ia maju pula. Lagi tiga kali beruntun ia menyerang Sun put Jie. Hebat serangannya itu, sekalipun Ong Ti0ng Yang atau Cit Kong sembuh, sulit untuk melayani itu-Karena itu, Sun Put Jie terpaksa hanya membela diri. Atas itu, Oey Yok Su mengubah siasatnya, ialah lantas ia menyerang di bawah, kedua kakinva bekerja bergantian enam kali menyapu kaki lawannya itu. Jadiberuntun tocu Tho Hoa To itu sudah menggunai ilmu silatnya tangan kosong “Lok Eng Ciang” dan tendangan “Sauw Yap Twie”.
Ma Giok beramai menjadi bingung. Serangan-serangan itu membahayakan Sun Put Jie- Pula, dengan Kwa Tin Ok tidak dapat melihat, mereka jadi bergerak lambat. Hebat akibatnya kalau Pak Tauw Tin kacau. Sebaliknya Oey Yok Su ia tidak mengambil mumat apa yang dipikir lawan, ia merangsak terus. Mendadak ia tertawa panjang dan tubuhnya melesat, terus terdengar jeritan yang keras dari satu orang yang tubuhnya terlempar ke ujung Yan Ie Lauw.
Itulah in Cie Peng, yang punggungnya kena disambar, hingga tanpa berdaya, tubuhnya kena dilemparkan Oey Yok Su. Setelah itu, tanpa menanti ketika, jago Tho Hoa To ini maju ke arah Ma Giok. Ia Percaya ia bakal berhasil. Tidak tahunya, imam itu tidak berkisar dari kedudukannya, malah dengan pedangnya dia membalas menikam ke alis.
“Bagus!” berseru Yok Su dengan pujiannya sambil ia berkelit. “Tidak kecewa kau menjadi murid kepala dari coan Cin Pay!”
Meski juga ia memuji, Oey Yok Su tidak menghentikan gerakannya. Mendadak ia menendang Cek Tay Thong hingga imam itu terguling, pedangnya terlepas, maka ia menubruk pedang itu, untuk dipakai menikam lawannya yang roboh itu.
Layui Cie Hian kaget, ia lantas menangkis guna menolongi saudaranya itu.
Oey Yok Su melihat datangnya bantuan untuk Tay Thong, ia tertawa, sembari tertawa, pedangnya dipakai menangkis Cie Hian- Dengan begitu bentroklah kedua senjata itu- Yang hebat ialah kedua-duanya pedang patah sambil
mengasih dengan suara keras.
Bagaikan bayangan berkelebat gesit sekali tocu dari Tho Hoa To merangsak ke arah Pak-kek-chee.
Sejenak itu, kacaulah pak Tauw Tin. Coan Cin Cit Cu mengeluh saking berdukanya.
Ma Giok menghela napas panjang, hendak ia melemparkan pedangnya, guna menyerah kalah. justru itu satu bayangan berkelebat di antara mereka, lantas digaris utara itu tambah satu orang - itulah Kwee Ceng!
Khu Cie Kie menjadi girang sekali. Ia telah menyaksikannya di Cui Sian Lauw di mana mertua dan menantunya itu bertempur mati-matian.
Ma Giok dan Ong Cie It juga lantas mengenali si anak muda, yang mereka tahu adalah seorang jujur, maka mereka percaya, anak muda itu tentunya bakal membantui mertuanya itu- Habislah Cian Cin Cit Cu - atau Coan Cit Liok Cu -kalau mertua dan mantu bekerja sama. Tentang Kuia Tin Ok
tidak dikhawatirkan, sebab tidak nanti Kwee Ceng mencelakai gurunya itu. Tapi selagi mereka itu berkhawatir dan berputus asa, lantas mereka menampak kenyataan yang luar biasa. Kwee Ceng bukannya membantui mertuanya, ia justru menempur mertuanya itu!
Oey Yok Su percaya ia bakal dapat mengacau Pak Tauw Tin dan memecahnya, supaya dengan begitu Coan Cin Pay menyerah dan minta-minta ampun, maka heran ia atas datangnya bala bantuan kepada musuhnya itu, tidak menanti sampai ia memutar tubuh, ia segera menyerang ke belakang, ke arah dada, dengan pukulan Pek Khong Ciang. Serangan ini dihalau orang tanpa orang itu berkelit, cuma tangan kirinya dipakai menangkis. Ia terkejut-“Cuma beberapa orang saja yang dapat menangkis seranganku semacam ini,”
pikirnya. “Siapakah dia?” Maka ia segera menoleh, akan mengenali Kwee Ceng, hingga ia menjadi mendongkol berbareng menyesal. Dengan penasaran, ia menyerang pula, beruntun tiga kali. Ia tahu tanpa dapat mengundurkan si anak muda, ia terancam bahaya terkepung, ia menyerang dengan tiap pukulannya bertambah hebat, tetapi tiga”tiga kalinya, serangannya itu dapat dihindarkan. Untuk keempat kalinya, ia menyerang pula, dengan siasat berPura-pura dan benar-benar. Siasat ini dapat membingungkan lawan.
Kwee Ceng tidak kena diakali, ia menjaga diri, ia tidak menyerang – Pedangnya menjaga dada, tangan kirinya melindungi perut.
Oey Yok Su menjadi heran.
“Terang bocah ini mengenal baik sifat Pak Tamu Tin,” pikirnya. “Dia tahu bagaimana harus membelai atau memukul pecah a Sa S Lihatlah, dan tidak berkisar dari Pak-kek-chee! Rupanya dia telah diminta bantuannya untuk menentang aku “
Dugaan pemilik Tho Hoa To ini benar separuh, salah separuh. Benar ialah karena Kwee Ceng memang mengerti baik barisan pak Tauui Tin itu, hanya itu didapat bukan dari pengajarannya Coan Cin Cit Cu tetapi dari kitab Kiu Im Cin-keng. Dia salah menduga, sebab Kwee Ceng bukan diminta bantuannya oleh Coan Cin Pay hanya dia bertindak atas kehendak sendiri. Tidak saja di situ ada Tin Ok, dia pun telah dianggap si anak muda sebagai musunnya, karena dipercaya dialah yang membinasakan Cu Cong berlima.
Hanya karena mengetahui lawannya lihay, Kwee Ceng mengambil sikap membela diri, sama sekali anak muda ini tidak mengambil mumat orang menyerang benar-benar atau menggertak saja.
Akhirnya Oey Yok Su mengeluh sendirinya:
“Anak ini tidak tahu maju atau mundur,” pikirnya. “Hm! Biarlah, biar aku disesalkan
Yong-jie, mesti aku hajar dia, sebab kalau tidak, tidak nanti aku daPat lolos dari tin ini!” Ia pun lantas bergerak, tenaganya dikerahkan di kedua tangannya. Tepat di saat
ia hendak menyerang, ia berpikir; “Kalau dia tetap berdiri diam dan tidak menyingkir, dia bakal terluka parah, kalau dia sampai kenapa~napa, mana Yong-jie mau mengerti?”
Kwee Ceng telah melihat gerakan lawannya yang tangguh itu, akan tetapi ia tidak mau berkisar dari tempat jagaannya itu- Ia menggertak gigi. ia
menangkis dengan jurusan “Kian Liong Cay Thian”, atau “Melihat naga di sawah”.
Dengan Hang Liong Sip-pat Ciang hendak ia bertahan, agar Pak Tauw Tin dapat dilindungi.
Dengan mendadak, Oey Yok Su menunda serangannya itu.
“Bocah tolol, lekas menyingkir?” ia membentak. “Mengapa kau menentang aku?”
Kwee Ceng bersiap dengan pedangnya, ia mengawasi dengan tajam. Ia takut jago itu menggunai akal. Ia tidak menyahuti.
Pihak Khu Cie Kie sudah lantas memperkokoh lagi barisannya. “Di mana Yong-jie?”
0ey Yok Su tanya.
Kwee Ceng berdiam, matanya merah bagaikan api, romannya bengis.
Yok Su he^an. Ia lantas mau menduga telah terjadi sesuatu kepada putrinya-“Kau perbuat apa atas Yong-jie?” ia membentak, ia mulai berkhawatir. “Lekas bilang!”
Masih si anak muda berdiam, hanya tangannya yang mencekal pedang bergemetar. Oey Yok Su terus mengawasi dengan tajam, maka heranlah ia.
Ia menjadi curiga. “Kenapa tanganmu bergemetar?” ia tanya.
“Kenapa kau tidak mau bicara?”
Kwee Ceng tengah mengingat kebinasaan hebat dari kelima gurunya di pulau Tho Hoa To, ia lagi menahan hawa amarahnya, getaran hatinya, maka ia bergemetar.
Oey Yok Su bercuriga berbareng berkhawatir sekali. Hanya ia berkhawatir, mungkin sebab perebutan di antara putrinya itu dan putri Mongolia, si anak muda telah membunuh Yong-jie, anaknya. Dengan menjejak kedua kaki, ia lompat maju.
Khu Cie Kie melihat gerakan pemilik Tho Hoa To itu, ia segera menggeraki barisannya. Ong Cie It bersama Cek Tay Thong menyerang dari kiri dan kanan.
Kwee Ceng tidak menyingkir, ia cuma berkelit, pedangnya terus ditikamkan. Oey Yok Su pun tidak menyingkir, bahkan dengan satu tekukan tangan, ia menangkap tangan si anak muda,
guna merampas pedangnya. Tapi ia gagal- Kecuali pedangnya Ong Cie It mengancam punggungnya, pedang Kwee Ceng pun bisa diegos, dipakai menikam pula.
Setelah segebrak itu, pertempuran terulang pula, jauh terlebih hebat daripada yang semula. Selagi Kwee Ceng panas hatinya, Khu Cie Kie semua tidak kurang gusarnya. Mereka ini hendak menuntut balas untuk Ciu Pek Thong dan Tam Cie Toan.
Oey Yok Su merasa bahuia di sini telah terbit salah mengerti tetapi ia beradat keras dan jumawa, ia tidak suka mengalah, sedang juga, ia berderajat lebih tua, lebih tinggi. Ia ingin menghajar mereka itu, supaya mereka menyerah kalah, sampai itu waktu babulah ia mau memberi keterangan, untuk sekalian memberikan tegurannya. Begitulah, dua-dua pihak sama kerasnya.
Oey Yok Su ingin mendesak Kwee Ceng, yang ia berniat membekuknya, guna didengar keterangannya. Kalau benar dugaannya, Oey Yong terbinasa di tangan pemuda ini, hendak ia menghukum picis. Tapi Kwee Ceng berjaga diri di garis utara, teguh kedudukannya.
Ketika itu In Cie Peng, yang dilemparkan ke atas lauwteng Yan Ie Lauw, masih belum dapat merayap bangun, tetapi tanpa dia, Kwee Ceng tidak menjadi lemah.
Oey Yok Su menghadapi kesulitan. Kalau ia mendesak Kwee Ceng, Khu Cie Kie beramai mendesak padanya- Ingin ia menggempur Khu Cie Kie semua, tetapi malang dengan si anak
muda.
Kapan pertempuran telah berlangsung lima puluh jurus, maka terlihatlah Oey Yok su kena terdesak- Kepungan nampak menjadi ciut-“Tahan!” berseru Ma Giok disaat sangat tegang itu-Seruan itu ditaati, lima saudaranya lantas berhenti menyerang.
“Oey Tocu!” berkata tertua dari Coan Cit Liok Cu. “Kaulah seorang kenamaan dan juga dari golongan tua, maka itu kami orang-orang dari golongan lebih muda tidak berani berlaku kurang ajar terhadapmu, kalau toh sekarang kami mengurung padamu, itulah saking terpaksa. Sekarang aku hendak menanya kau, apa katamu berhubung dengan hutang darah dari paman kami Ciu Pek Thong dan sutee kami Tam Cie Than?”
Orang yang ditanya tertawa dingin.
“Apa lagi yang hendak diperkatakan?” katanya. “Lekas kau bunuh Oey Yok Su, untuk melindungi namanya Coan Cin Pay! Tidakkah itu bagus? Lihatlah!”
Tahu-tahu tangan kanannya majikan dari Tho Hoa To ini melayang ke muka Ma Giok!
inilah satu jursu dari Lok Eng Ciang, yang Oey Yok Su sudah melatihnya belasan tahun, gerak-geriknya sangat gesit, seperti juga tidak dapat terlihat.
Dalam kagetnya, Ma Giok berkelit ke kanan. Justru ia berkelit, justru itulah kehendaknya Oey Yok Su, yang serangannya mempunyai dua maksud berbareng benar- benar dan berpura-pura. Maka itu ia bukannya kena ditinju hanya terjambak dadanya. Asal Oey Yok Su mengerahkan tenaganya gempurlah dadanya itu.
Semua orang terkejut, semua maju untuk menolongi, tetapi mereka terlambat.
Hanya disaat Ma Giok itu bakal menerima nasibnya, Oey Yok Su tertawa dan jambakannya dilepaskan. Ia pun berkata: “Jikalau dengan caraku ini aku memukul pecah barisan kamu, tentulah kamu tidak puas! Oey Lao Shia boleh mati tetapi tidak nanti dia mau menyebabkan tertawanya semua orang gagah di kolong langit ini! Kawanan imam yang baik, kamu majulah semua!”
Lauw Cie Hian mendongkol, tinjunya melayang, disusul sama pedangnya Ong Cie It.
Maka itu, bergerak pula Thian Kong Pak Tauw Tin. Kali ini yang digeraki ialah rintasan yang ketujuhbelas. Setelah Ong Cie It, serangan mesti disusul Ma Giok. Hanya setelah Ong Cie It menikam dia lompat mundur, Ma Giok bukannya menggantikan menyerang, dia malah lompat mundur juga.
“Tahan! ‘ serunya.
Lagi sekali semUa orang berhenti bergerak.
“Oey Tocu, aku menghaturkan terima kasih untuk kebaikanmu,” berkata Ma Giok.
“itulah kata-kata bagus dari kau,” jawab yok su.
“Sebenarnya disaat ini jiwa aku yang rendah sudah tidak ada,” kata Ma Giok, “Sedang barisan warisan guru kami ini telah terpecahkan olehmu, dengan begitu sudah seharusnya saja kami menyerah kalah, kami mesti menyerah terhadap keputusan tocu. Tapi, sakit hati kami tidak dapat tidak dibalaskan! Oey Tocu, aku yang rendah, aku bersedia akan menggorok leherku sendiri untuk menghaturkan terima kasih padamu a Sa S”
“Sudahlah!” berseru Oey Yok Su, wajahnya guram- “Tidak usah kita banyak 0mong lagi! Kamu boleh turun tangan! Memang juga, perkara sakit hati sukar sekali dijelaskannya a Sa S”
Kwee Ceng telah mendengar semua itu, ia menjadi berpikir; Ma Totiang membilang dia bertempur guna membalas sakit hati paman guru dan saudara seperguruannya. Apakah artinya itu? Bukankah Toako Ci Pek Thong masih hidup?
Pula kematiannya Tam Cie Toan, bukankah itu tidak ada hubungannya Oey Tocu? Hanya kalau aku menjelaskan semua ini, apabila Coan Cin Liok Cu mengundurkan diri, hingga tinggal aku berdua guruku, mana sanggup aku melawan dia? Jangan kata soal sakit hati, buat melindungi jiwa sendiri pun sukar a sa s” Baru ia berpikir demikian atau segera ia berpikir lain: “jikalau aku menutup mulut, apakah aku bukannya menjadi si hina dina?
Bukankah semua guruku sering mengajari, kepala boleh kutung tetapi kejujuran tidak?” Karena ini segera ia mengasih dengar suaranya yang nyaring; “Ma totiang, paman guru kamu tidak mati! Tam Totiang pun dibinasakan oleh AuWyang Hong!”
Belum lagi Oey Yok Su membilang apa-apa, Khu Cie Kee telah mendahuluinya.
“Apakah kau bilang?” imam itu tanya.
“Toako Ciu Pek Thong tidak mati dan Tam Totiang dibinasakan Auwyang Hong,”
Kwee Ceng menjawab seraya terus ia menjelaskan apa yang ia dengar selama ia sembunyi sembari merawat diri di kamar rahasia, bagaimana Khiu Cian Jin melepas cerita burung dan fitnahnya Auwyang Hong.
Cerita itu luar biasa.
“Apakah kau omong sebenar-benarnya?” Khu Cie Kee menegaskan.
‘Teecu sangat membenci dia, ingin teecu menelannya, maka itu apa perlunya teecu membantui dia?” kata Kwee Ceng dengan sengit sambil ia menuding Oey Yok Su. “Kenyataan
ada demikian rupa maka itu teecu tidak dapat tidak bicara dari hal yang benar.” Oey Yok Su menjadi heran- Sungguh ia tidak menyangka Kwee Ceng mau membelai dia-”Kenapa kau membenci aku sampai begini?” ia tanya pemuda itu.
“Mana Yong-jie?” Tapi Kuia Tin Ok panas hatinya.
“Apakah kau tidak tahu perbuatanmu sendiri?” dia membentak. “Anak Ceng, biarnya kita kalah mari kita mengadu jiwa kita!” Ia terus menyerang.
Kwee Ceng lantas mengucurkan air mata. ia mengerti, dengan Perkataannya itu, sikapnya Oey Yok Su sudah berubah sedikit. Tapi di situ ada gurunya, yang bergusar tak kepalang itu-
“Toasuhu, jiesuhu semua mati secara sangat menyedihkan a Sa s” katanya-Oey Yok Su menyambar tongkatnya Kwa Tin Ok yang dihajarkan kepadanya.
“Apa kau bilang?” ia tanya Kwee Ceng, suaranya keras. “Cu Cong berlima baik-baik berada di Pulauku menjadi tetamu, kenapa mereka pada mati?”
Kuia Tin Ok tidak menanti jawaban muridnya, ia membetot tongkatnya. Tetapi tongkat itu tidak bergeming.
“Kau kurang ajar sekali, di depanmu seperti tidak ada orang yang terlebih tua, kau juga ngoceh tidak karuan, bahkan kau menggepaki tangan dan kakimu, adakah itu untuk Cu Cong semua?” Oey Yok Su tanya pula Kwee Ceng.
Matanya si anak muda seperti mau mencelos, mata itu merah.
“Dengan tanganmu sendiri kau membinasakan kelima guruku, kau masih hendak berpura-pura tidak tahu?” membentak dia. Dia mengangkat pedang pendeknya dan menikam-
Oey Yok Su menangkis dengan tongkatnya Kwa Tin Ok, maka Pedang dan tongkat beradu nyaring, ujung tongkat somplak.
“Siapakah yang menyaksikan itu?” ia tanya.
“Kelima guruku itu aku yang menguburnya dengan tanganku sendiri, apakah dengan begini aku masih memfitnah padamu?” Kwee Ceng balik menanya.
Yok Su tertawa dingin. Kelakuan anak muda itu membangkitkan hawa amarahnya. Ia memang besar kepala, tidak Pernah ia suka mengalah.
“Fitnah atau bukan, masa bodoh!” kata pemilik Tho Hoa To. “Semur hidup Oey Lao Shia suka orang pandang keliru maka itu dengan hanya membunuh beberapa jiwa, mungkinkah aku menyangkal? Tidak salah, semua gurumu akulah yang membunuhnya!”
Tepat disaat habisnya ucapan Tong Shia, di situ terdengar suaranya seorang perempuan: “Bukan, ayah, bukannya kau yang membunuh mereka! Jangan kau sembarang bertanggung jawab!”
Semua orang terkejut, semua lantas berpaling.
Di sana muncul Oey Yong, yang orang tak ketahui datangnya sebab mereka terlalu repot bertarung dan mengadu mulut.
Kwee Ceng melongo. Ia tidak tahu mesti bergirang atau berduka-Oey Yok Su kaget sebentaran, lantas dia sadar- Bukan main girangnya ia menyaksikan putri tunggalnya tidak kurang suatu apa. Dengan begitu juga lenyap semua kemendongkolannya kepada Kwee Ceng. Ia tertawa berkakakkan.
“Anak yang baik, ke mari!” ia kata. “Ayah sangat menyayangi kau!”
Sudah banyak hari Oey Yong berduka, sekarang ia mendengar suara demikian manis, lantas
ia lari kepada ayahnya itu, untuk menubruk, melepaskan diri dalam rangkulan orang tua itu. Ia menangis-
“Ayah a Sa S” katanya, “Anak tolol itu membikin kau penasaran, dia pun menghina aku a sa S”
Oey Yok Su merangkul putrinya itu, ia tidak gusar, malah ia tertawa-“Oey Lao Shia pergi, dia Pergi ke mana dia suka, dia bikin apa dia mau!” katanya.
“Untukku, selama beberapa puluh tahun, pengalamanku luar biasa! Mereka yang tidak ketahui apa-apa, semua menimpahkan kesalahan di atas kepala ayahmu, maka kalau itu ditambah lagi sama beberapa fitnah, apakah artinya itu? Lima anggota dari Kanglam Cit Koay itu musuh besar dari kakakmu seperguruan, memang aku yang telah membinasakan mereka!”
“Bukan, bukan!” berteriak Oey Yong cepat. “Aku tahu betul, bukannya ayah yang
membunuh mereka itu!”
Oey Yok Su bersenyum.
“Si tolol itu sangat besar nyalinya, dia berani menghina anakku yang baik!” ia berkata.
“Kau lihat ayahmu membereskan dia!”
Benar seperti perkataannya, pemilik jho Hoa jo itu lantas bekerja, sebat seperti tadi ia mencekuk Ma Giok.
Kwee Ceng tengah memikirkan pembicaraannya ayah dan anak itu tahu~tahu pipinya yang kiri kena ditampar, nyaring hingga ia merasakan pipinya itu panas. Ia mau mengangkat tangannya, guna menangkis, atau orang telah menarik pulang tangannya itu, untuk dipakai mengusap-usap rambut indah dari putrinya. Ia menjadi bingung, tidak tahu ia mesti menyerang terus atau bagaimana. Tamparan itu keras suaranya tetapi tidak terlalu sakit.
Kuia Tin Ok kaget- Ia tahu muridnya dihajar tetapi ia tidak melihat itu.
“Anak Ceng bagaimana?” ia lantas menanya-“Tidak apa-apa,” menyahut sang murid-“Kau jangan dengari ocehannya siluman serta anak silumannya!” kata pula Tin Ok.
“Aku telah mendengarnya sendiri keterangan soe-suhu kau bahwa dia melihatnya sendiri bangsat tua itu membunuh jiesuhumu dan memaksakan kematiannya Cit a sa s”
Kwee Ceng tidak menanti habisnya perkataan gurunya itu, ia menerjang kepada Oey Y0k su, sedang Tin Ok turut menyerang dengan tongkatnya.
Oey Yok Su melihat datangnya serangan, ia melepaskan anaknya, sambil berkelit dari sepangan Kwee Ceng, ia maju untuk menanggapi tongkat si jago yang buta.
Kali ini Kuia Tin Ok sudah bersedia, tongkatnya itu tidak kena dirampas, maka itu berdua muridnya itu, ia menyerang terus, hingga mereka jadi berkelahi bertiga.
Kwee Ceng telah menemui banyak orang lihay, yang memberikan ia pelajaran, akan tetapi untuk melayani Oey Yok Su, ia masih kalah jauh, meski ia dibantu Kuia Tin Ok, ia masih tidak bisa berbuat banyak. Baru tigapuluh jurus ia dan gurunya itu sudah terdesak. Khu Cie Kie semua berdiam sejak tadi. Mereka dibikin bingung dengan keterangannya Kwee Ceng itu- Belum mereka bisa berpikir, mereka melihat orang bertempur, maka yang pertama dipikir mereka ialah; “Tadi Coan Cin pay terancam bahaya, mereka guru dan murid membantui, maka sekarang sekali mereka terdesak apa kami mesti berdiam saja? Biarlah urusan Ciu Susiok, dia benar masih hidup atau sudah mati, baiklah Oey Yok Su ini dibikin tunduk dulu!” Maka
ia mengangkat pedangnya dan berseru: “Kwa Tayhiap, kembalilah ke kedudukanmu!”
Baru itu waktu, In Cie peng merayap bangun untuk turun dapi lauwteng. ia kaget dan terbanting keras tetapi tidak teriuka Parah, cuma mukanya
bengap dan matang biru- Ia lantas kembali ke belakang Tin Ok dengan pedang terhunus.
Lagi sekali Oey Yok Su terkurung, hingga ia menjadi sangat gusar.
“Tadinya cuma salah mengerti, masih ada alasan kenapa orang menyerang aku,” pikirnya, “Sekarang setelah si bocah bicara, kawanan bulu campur aduk ini masih mengepung aku! Apakah mereka kira Oey Lao Shia takut membunuh orang?”
Maka ia lantas merangsak ke arah Kwa Tin Ok- Oey Yong berkhawatir melihat air muka ayahnya. Ia tahu kalau ayah itu sudah gusar, dia benar-benar tidak mengenal kasihan-
Ong Cie It bersama Ma Giok lantas menghadang di depan tertua Cit Koay itu.
Kwa Tin Ok mendongkol sekali, ia menyerang si nona sambil mendamprat: “Manusia hina jahat yang tidak berampun, siluman perempuan!”
Oey Yong menjadi sangat gusar-
“He, tua bangka, beranikah kau mencaci pula padaku?” ia berseru.
Untuk Kangiam Cit Koay, memaki bukan pekerjaan sukar, maka itu Tin Ok mengulangi dampratannya- Untuk Oey Yong, itulah hal langka- Ia tidak bisa mencaci orang, maka
sambil berludah, ia kata; “Cis! Tak malukah kau menjadi guru orang sedang mulutmu begini kotor?”
Tapi Kuia Tin Ok kata; “Aku bicara baik-baik sama orang baik, aku bicara kotor sama manusia hina dinai” Oey Yong habis sabar, ia segera menyerang.
Tin Ok mengetahui datangnya serangan, ia menangkis, tetapi ia belum kenal l_ek-tiok-thung yang luar biasa itu, begitu kedua tongkat beradu,
tongkatnya lantas seperti ditempel, tongkat itu kena diputar sekehendak nona, ia seperti kehilangan kendali- Ia berdiam di garis thian-soan,
dengan ia kena dipengaruhi si nona, Pak Tauui Tin menjadi macet.
Khu Cie Kie lantas menyerang si nona, punggung siapa ia arah, dengan begitu ia hendak membebaskan Tin Ok. Si nona tidak menghiraukan serangan itu. Ia mengandal pada baju lapisnya.
Ketika ujung Pedangnya hampir mengenai sasarannya, imam dari Coan Cin Pay itu berpikir. Ia ingat kepada derajatnya yang tinggi, maka mana dapat ia melayani seorang bocah. Karena ini, Pedangnya tidak diteruskan menikam.
Justru ketika yang baik itu digunai Oey Yong, maka dengan satu sontekan, ia membuatnya tongkat Tin Ok terlepas dari cekalan, mental tinggi, nyemplung ke Lam Ouui, Telaga Selatan!
Khu Cie Kie khawatir si nona nanti menyerang terus kepada tertua Kanglam cit Koay it, ia lompat untuk menghalang. Sementara itu ia heran atas lihaynya si nona, ilmu tongkat siapa ia tidak kenal-Kwee Ceng juga melihat gurunya terancam, ia ber seru: “Suhu, silahkan mengaso, aku nanti menggantikan kaul” Dan ia lompat ke garis thian-soan itu. Begitu ia bertindak, begitu tin menjadi hidup pula, bahkan ke dudukan thian-soan ini lantas menggantikan kedudukan thian-kie.
0ey Y0k Su kembali terdesak. Biar ia dibantu gadisnya, ia tidak bisa berbuat banyak.
Ia belum bisa menyelami arti atau sipatnya Thian Kong Pak
Tauw Tin itu. Syukur untuknya, di antara lawannya itu cuma Kwee Ceng yang paling hebat, hingga ia seperti harus melayani satu orang saja.
Hanya sulitnya untuknya, ia tidak berniat mencelakai anak muda itu.
Oey Yong mendapat lihat Kwee Ceng berkelahi hebat sekali dan air muka orang juga guram, Pemuda itu seperti dikurung sinar pembunuhan, ia terkejut. Belum pernah ia menyaksikan perubahan air muka semacam itu. Karena ini, ia maju ke depan ayahnya, ia kata pada itu anak muda; “Kau bunuhlah aku lebih duluj”
“Minggir!” membentak si anak muda, bentakannya keras, romannya bengis.
Oey Yong heran hingga ia tercengang. Pikirnya; “Kenapa kau bicara begini rupa terhadapku?”
Kwee Ceng maju terus, ia menolak tubuh si nona untuk dikepinggirkan, habis mana, ia terus merangsak Oey Yok Su.
Disaat tegang itu, di belakang mereka yang lagi bertarung itu terdengar suara tertawa terbahak disusul kata-kata nyaring; “Saudara Yok, jangan berduka, mari saudaramu membantu Padamu’”
Suara itu tajam, untuk kuping tak sedap terdengarnya.
Orang semua heran, tetapi mereka tidak lantas menoleh, sesudah Oey Yok su terdorong. Cie Kie semua baru berpaling. Maka mereka melihat di tepian telaga ada lima atau enam orang dengan satu diantaranya Panjang kaki dan tangannya, sebab dialah See Tok Auwyang Hong, si Bisa dari Barat.
Coan cin Cit Cu lantas bertindak, sedang Khu Cie Kie kata kepada Kwee Ceng;
“Anak Ceng, mari kita membikin perhitungan pada See Tok dulu! 1 Ia mengulapkan pedangnya, terus ia lompat, guna mencoba mengurung Auwyang Hong.
Ketika itu Kwee Ceng tengah memperhatikan Oey Yok su, ia sampai mendengar suaranya Khu
Cie Kie, ia terus menerjang ayahnya Oey yong itu, bahkan sebentar saja, mereka sudah bertempur lima enam jurus, hebat pertempuran mereka.
Beberapa kali mereka sama-sama maju pula, kembali mereka mundur lagi.
Khu Cie Kie berenam sudah mengatur barisannya, ketika ia melihat ke arah Kuia Tin Ok, orang buta itu lagi memasang kuping, guna mendengar suara pertempurannya Kwee Ceng. Tin Ok bersedia akan berlompat menubruk Oey Y0k Su, guna memeluk keras-keras, agar muridnya bisa membinasakan musuh ini, untuk itu ia bersedia mengorbankan dirinya.
Menampak demikian, Khu Cie Kie memerintahkan In Cie Peng menggantikan Tin ok mengambil kedudukan thian-soan.
Ruuiyang Hong juga telah bersiap- Ia berjongkok dengan sikap ilmu kodoknya, tangan kanannya memegang tongkatnya. Sebagaimana biasanya, ia berlaku tenang, tidak mau ia lancang bergerak. Ia pula memangnya rada jeri untuk barisan Pak Tauw Tin dari Coan Cin Pay itu. Adalah setelah Khu Cie Kie bergerak, terpaksa ia melayani. Ia bermata jeli, segera ia merasa kelemahan tin itu ada di pihak In Cie Peng, maka ia memasang mata ke garis thian-soan itu.
Oey Yong menaruh diri di antara Kuia Tin ok dan ayahnya serta Kwee Ceng yang lagi bertempur itu, ia masgul-
“Tahan dulu!” ia berseru. “Dengar perkataanku!”
Kwee Ceng tidak memperdulikan itu, ia menyerang terus, tetap hebat. Sikapnya ini membikin hilang sabarnya Oey Yok Su, dari bergerak dengan setengah hati, ia mulai menggunai tenaganya.
Di pihak Auwyang Hong, si Bisa dari Barat itu lagi mencoba mendesak Coan Cin Cit Cu, saban-saban ia mengasih dengar suaranya berkerak kerok mirip kodok- Itu artinya, bahaya tengah mengancam.
Si nona menjadi bingung- Kalau dua-dua ayahnya dan Auwyang Hong sudah turun tangan benar-benar, itulah akan hebat akibatnya. Ketika ia
berpaling ke Van Ie Lauw, di sana Ang Cit Kong masih duduk meioneng, menonton pertempuran itu.
“Suhu, suhu!” ia lantas memanggil- “Suhu, tolong kau bicara!”
Sebenarnya, Cit Kong pun berkhawatir. Kalau ia masih gagah, ia tentu sudah maju sama tengah. Maka ia menonton saja, sampai ia mendengar suara
si nona. Ia lantas berpikir; “Asal 0ey |_ao Shia masih suka memandang aku, inilah gampang.”
Dengan menekan loneng, Pak Kay lantas menurunkan diri. ia terus berseru; “Tuan-tuan, tahan! Aku si pengemis tua hendak bicara!”
Kiu Cie Sin Kay kesohor sekali, melihat datangnya orang lantas berhenti berkelahi.
Tapi yang berkhawatir sekali ialah Auwyang Hong, hingga
dia berkata di dalam hatinya: “Kenapa kepandaiannya si pengemis tua dapat pulih kembali?”
See Tok tidak ketahui, dengan dapat bantuan Kiu Im Cin-keng menurut keterangannya Kwee Ceng, Ang Cit Kong memperoleh sedikit kefaedahannya, jalan darahnya mulai lurus sendirinya, di dalam ilmu ringan tubuh, kepandaiannya itu sudah pulih lima atau enam bagian. Cuma dalam ilmu silat, semua kepandaiannya itu masih terhilang, ia mirip orang yang tidak mengerti silat sama sekali.
Bab 71. Si Buta Membuka Jalan
Melihat orang bersikap memandang mata kepadanya, cit Kong pikir bahwa ia harus sedikit beraksi, hanya ia belum dapat pikir, apa yang ia mesti katakan agar Auwyang Hong suka mengundurkan diri. Karena lagi memikir, ia dongak, terus ia tertawa terbahak. Ia melihat rembulan mulai muncul, lantas ia mendapat pikiran, maka ia kata dengan nyaring, “Yang ada di depan mata ini, semuanya orang-orang pandai dari Rimba Persilatan, tidak disangka lagaknya mirip lagak buaya darat, kata-katanya seperti angin busuk”
Mendengar itu semua orang melengak. Memang orang tahu, cit Kong suka bilang apa yang ia pikir. Ma Giok lantas memberi hormat. “Tolong Cianpwee memberikan pengajaran,” katanya.
Ang cit Kong berpura gusar, ia kata dengan nyaring: “Aku si pengemis tua telah mendengar dari siang-siang bahwa pada Pee-gwee Tiong ciu bakal ada orang bertarung di pinggir lauteng Yan Ie Lauw ini, maka itu hendak aku menyaksikannya. Tapi aku adalah seorang yang kupingnya paling tidak suka mendengar suara berisik, maka itu justru waktunya masih siang, hendak aku tidur pulas dan nyenyak di sini, siapa tahu pagi ini lantas saja aku mendengar suara berisik dari anjing mau mampus, orang rebut mengatur barisan rombongan kuda atau tahang air kencing, juga ada suami memukul istri, ada menantu menyerang mertuanya, ada yang memotong ayam dan menyembelih anjing, ributnya bukan buatan, sampai aku si pengemis tua tidak dapat tidur tenang
Coba kamu angkat kepala kamu dan lihat, hari ini tanggal berapa?”
Mendengar itu, orang lantas ingat bahwa hari itu ada Pee-gwee Capsie, ialah bulan delapan tanggal empat belas,jadi hari pibu, harian mengadu kepandaian, adalah besok.
Jadi tidaklah tepat akan bertempur mendahului hari yang dijanjikan.
“Locianpwee benar,” kata Khu Cie Kie kemudian,
“Memang tidak selayaknya hari ini kami membuat berisik di sini.”
Ia menoleh pada Auwyang Hong, untuk berkata ” orang she Auwyang, mari kita mencari tempat lain di mana kita bisa bertempur terus mati-matian”
“Bagus, bagus” Auwyang Hong tertawa. “Memang harus aku menemani kamu”
Mendengar itu Ang Cit Kong mengasih lihat roman bengis, ia kata keras-”satu kali ong Tiong Yang menutup mata, kawanan bulu campur aduk dari Coan Cin Kauw lantas main gila tidak karuan Aku bilang terus-terang kepada kamu, enam imam pria ditambah sama satu imam wanita, kamu semua masih bukan tandingannya si bisa bangkotan ong Tiong Yang tidak mewariskan apa-apa kepadaku, aku pun perlu memikirkan kamu, hanya sekarang aku hendak tanya kamu, Kamu telah membuat janji, habis bagaimana kamu akan memenuhkan janji kamu itu? Apakah yang bakal memenuhkan janji ada imam-imam yang mati?”
Kata-kata itu berupa teguran atau dampratan tetapi di balik itu adalah pemberian ingat untuk menyadarkan kawanan imam itu bahwa dengan melawan Auwyang Hong,
mereka adalah bagian mati, bukannya bagian hidup, Liok Cu menginsyafi itu tetapi mereka lagi menghadapi musuh besar, tidak dapat mereka memikir jauh Selagi orang berdiam, cit Kong melirik kepada Kwee Ceng dan Oey Yok Su. Si anak muda tetap mengawasi dengan kemurkaannya yang hebat. Oey Yong mau menangis,air matanya mengembang, tandanya dia sangat berduka. Ia lantas berpikir, setelah itu ia berkata pula dengan keras-”sekarang aku si pengemis tua hendak pergi tidur siapa yang bertempur pula, itu artinya dia tidak memandang lagi padaku, maka kalau besok malam kamu mengamuk hingga langit ambruk dan bumi gempa, aku tidak akan membantu siapa juga Ma Giok. hayo kau ajak kawanan bulu campur aduk dari kamu naik kelauwteng, di sana tinggallah kamu dengan tenang Anak Ceng, anak Yong, mari turut aku, kau tumbuki pahaku”
Auwyang Hong jeri. Ia tahu kalau Cit Kong membantu Coan Cin Pay, sulit ia melawannya, maka ia pun berkata “Eh, pengemis tua, saudara Yok bersama aku bentrok sama Coan cin Kauw, kalau kata-katamu bukan angin busuk belaka, baiklah hari ini aku memberi muka padamu, tetapi ingat, besok tidak dapat kau membantu siapa juga”
Di dalam hatinya, Ang Cit Kong tertawa. Ternyata orang telah kena digertak. Pikirnya:
” Kalau sekarang kau menolak aku dengan jari kelingkingmu, tentu aku roboh, siapa nyana kau takut”
Maka ia kata pula dengan nyaringo “Kalau aku sipengemis tua melepaskan angin busuk, bila itu dibandingkan sama kata-katamu, masih terlebih harum Aku telah bilang,
aku tidak akan membantu, pasti aku tidak akan membantu Apakah kau merasa pasti bahwa kau bakal menang”
ia tertawa dan melengak, kepalanya sampai mengenai tanah, tempat araknya dijadikan bantal. Ia berkata pula: “Anak-anak, mari kau memukuli pahaku”
Paha kambing Cit Kong tinggal tulangnya saja tetapi ia sayang untuk membuang itu, ia masih menggerogotinya, baru kemudian, ia masuki tulang itu ke dalam sakunya. Ia mengawasi langit di mana awan putih melayang-layang. Katanya perlahan: “Jangan- jangan bakal terjadi perubahan udara “
Ia terus menoleh pada Oey Yoksu, untuk berkata “saudara Yok, dapatkah kau meminjamkan putrimu supaya dia menumbuki pahaku?” Ditanya begitu, Tong shia bersenyum.
Oey Yong lantas menghampirkan, ia duduk di sisi orang, terus ia menggebuki perlahan paha pengemis tua itu.
“Ah,” kata Cit Kong sambil menghela napas. “Beberapa tulang tuaku ini belum pernah
mendapat rejeki seperti kali ini ” ia terus memandang Kwee Ceng, untuk mengatakan.”Eh, anak tolol, apakah tanganmu tidak kena dibikin patah oleh Oey Loshia?”
“Ya,” menyahut si anak muda itu. Ia juga duduk di sisi si pengemis, untuk menumbuki pahanya.
Kwa Tin Ok pergi menyenderkan tubuhnya di sebuah pohon yang liu di tepi telaga,
sepasang matanya yang tidak ada bijinya diarahkan kepada Oey Yok su. Ia menggunai kupingnya sebagai matanya.
Oey Yok Suberjalan mondar-mandir di tepi telaga itu, ia pergi ke timur atau ke barat,
matanya Tin ok terus mengikuti padanya. Ia ketahui itu, ia tidak mengambil mumat, ia cuma bersenyum mewah.
Khu Cie Kie berenam, bertujuh sama In cie Peng, duduk numprah di tanah dengan kedudukannya tetap seperti barisan rahasia itu. Kepala mereka tunduk. alis mereka turun. Mereka bersemedhi sambil berlatih secara diam-diam.
Budak-budaknya Auwyang Hong telah lantas bekerja. Dari perahu mereka, mereka mengeluarkan meja dan kursi, mengatur itu di bawah Yan ie Lauw, mereka terus menyajikan barang hidangan serta araknya. seorang diri see Tok bersantap dan minum, matanya memandang ke telaga. Ia duduk dengan membelakangi orang banyak.
Ang Cit Kong secara diam-diam memperhatikan Kwee Ceng dan Oey Yong.
Keduanya saling menghindarkan pandangan mata mereka. selama hampir satu jam,
Pak Kay belum pernah melihat mereka memandang ataupun melirik satu pada lain. Ia heran. ia telah menanyakan sebabnya, senantiasa dua orang itu menjawab dengan mengalihkan pertanyaan.
“Eh, saudara Yok,” akhirnya Cit Kong tanya Tong shia, “Apa nama lainnya dari telaga Lam ouw ini?”
“Dipanggiljuga Wan Yo ouw,” Oey Yok Sumenjawab. Itu berarti “Telaga burung wanyoh”.
” Kalau begitu, kau lihatlah” kata si Pengemis dari Utara.
“Di telaga burung wanyoh ini anakmu dengan menantumu sudah main berdiam-diam,
kenapa kau yang menjadi orang tua atau mertua, tidak hendak mengasih atau membujuki mereka?”
Mendengar itu, belum lagi Oey Yok Sumenjawab, Kwee Ceng sudah mendahului. Ia berlompat bangun, ia menuding Tong shia seraya berkata dengan keras:
“Dia dia telah membinasakan kelima guruku, cara bagaimana dapat aku masih memanggil dia mertua?”
“Toh tidak aneh, bukan?” kata Tong shia tertawa dingin.
“Kang Lam Cit Koay belum mati habis, masih ketinggalan satu si buta Dan dia ini, aku akan membikin dia hidup tidak sampai besok”
Kwa Tin Ok bertabiat keras, ia menjadi gusar sekali, maka ia berlompat akan menyerang si Bisa dari Timur. Tetapi Kwee Ceng telah mendahului, sebab biarnya dia bergerak belakangan, murid ini gesit sekali, serangannya sampai terlebih dulu. Oey Yok su menangkis serangan itu, hingga si anak muda mundur setindak.
“Telah aku bilang jangan menggeraki tangan” Ang cit Kong berseru.
“Apakah kamu kira perkataanku si pengemis tua angin busuk belaka?”
Kwee Ceng tidak berani maju lebih jauh, cuma dengan sorot bengis ia mengawasi Oey Yok su.
“Oey Lao shia,” berkata Cit Kong.
”Kang Lam Cit Koay itu laki-laki semuanya, mengapa kau bolehnya membinasakan mereka itu? Aku si pengemis tua melihatmu, aku merasa tidak puas”
“Siapa aku suka, dapat aku membunuhnya” Yok su menyahuti. “Dapatkah kau menguasai aku?”
“Ayah” Oey Yong menyelak. “Lima guru, dari dia ini bukannya kau yang membinasakannya Inilah aku tahu betul Ayah, bilanglah bahwa bukannya kau yang membunuh mereka”
Oey Yok Sumengawasi anaknya, yang mukanya kucal, ia merasa kasihan sekali. Ia pun lantas mengawasi Kwee Ceng, atas mana hatinya yang barusan lunak lantas menjadi keras pula.
“Memang aku yang membunuh mereka” kata ia keras. Oey Yong lantas menangis.
“Ayah ” katanya, “Ayah mengapa kau membunuh orang?”
“Di dalam dunia ini orang mengatakan ayahmu sesat, kau tahu tidak?” si ayah tanya.
” Kalau seorang jahat, dapatkah dia berbuat baik? semua perbuatan jahat di kolong langit ini, semua itu perbuatan ayahmu Kang Lam Cit Koay menganggap diri mereka orang-orang gagah yang mulia tetapi aku, melihat lagak gagah perkasa dari mereka, tak senang hatiku”
Auwyang Hong mendengar pembicaraan itu, dia tertawa terbahak.
“saudara Yok. mari aku menghadiahkan suatu tanda padamu” katanya. Ia lantas melemparkan satu bungkusan.
Jarak di antara Auwyang Hong dan Oey Yok Suada dua puluh tombak lebih akan tetapi hebat gerakan tangan dari siBisa dari Barat, cepat melesatnya bungkusan itu, segera sampai kepada si sesat dari Timur, yang menyambutinya dengan gampang.
Tong shia merasa memegang barang yang keras, ia menduga kepada kepala manusia. Ia lantas membuka itu, maka tepatlah dugaannya. Itulah satu kepala orang, yang baru dikutungi dari lehernya. Kepala itu memakai kopiah persegi, ada kumisnya, hanya mukanya tidak dikenali.
Selagi Tong shia memandang kepala orang itu, see Tok tertawa dan kata “Pagi ini aku datang dari Barat, aku singgah di sebuah kamar buku, di sana aku mendengar dia ini lagi berceramah di hadapan sekumpulan pelajar, dia mengajar orang untuk menjadi menteri yang setia atau anak yang berbakti. Aku sebal mendengarnya, aku menghunus senjataku dan aku mengUtungi kepalanya. Maka itu kamu Tong shia dan Aku see Tok. kita berdua cocok satu dengan lain” Lantas ia tertawa bergelak-gelak.
Mendengar itu, air muka si sesat dari Timur berubah. Ia kata “Aku justru paling menghormati menteri setia dan anak berbakti” Maka ia membungkuk, ia menggali tanah, di situ ia kubur kepala orang itu, lantas ia menjura dengan dalam tiga kali.
see Tok kecele, hilang kegembiraannya barusan, tetapi ia tertawa lebar.
“Nama besar dari Oey Lao shia kosong belaka^ katanya.
“Kiranya kaujuga orang yang dikekang adat sopan santun”
” Kesetiaan dan kebaktian itu adalah kesucian hati, kehormatan besar, itu bukannya adat istiadat” berkata Oey Yok su, suaranya berpengaruh.
Baru Tong shia menutup mulutnya atau di udara terdengar guntur hebat, kapan orang banyak berdongak. mereka melihat mega tebal seperti menutupi langit, tandanya hujan besar bakal segera turun. Lalu itu disusul sama suara tetabuhan yang nyaring dan ramai, yang datangnya dari tujuh atau delapan buah perahu besar, yang mendatang ke tepian. Di atas semua perahu itu ada lentera merahnya. Itulah tanda dari perahunya orang berpangkat.
Begitu lekas perahu-perahu telah di kepinggirkan, dari sana lompat ke darat kira-kira tigapuluh orang, di antara siapa nampak Pheng Lian Houw dan kawan-kawannya. Yang paling belakang mendarat ialah dua orang, satu jangkung dan yang lain kate. Yang jangkung itu Chao Wang Wanyen Lieh, pangeran dari negeri Kim, dan yang kate Pangcu Khiu Cian Jin dari Tiat Ciang Pang, partai Tangan Besi.
Teranglah, karena mengandal pada Auwyang Hong dan Khiu Cian Jin, pangeran Kim ini berani datang sendiri ke selatan. Rupanya ia percaya betul, dalam pibu di Hoa san itu, pasti pihaknya yang bakal menang.
Begitu melihat Khiu Cian Jin, Oey Yong menuding dia seraya berkata kepada ayahnya^ “Anak telah terkena tangan jahat dia, hingga hampir hilang jiwa anak”
Oey Yok Suheran. Di Kwie-in-chung ia melihat sendiri orang she Khiu itu mempertontonkan keburukannya, maka itu kenapa anaknya dapat dilukakan dia?
Ketika itu Wanyen Lieh berkumpul bersama Auwyang Hong, kelihatan mereka memasang omong dengan asyik, mereka kasak kusuk sambil tunduk. setelah itu Auwyang Hong menghampirkan Ang cit Kong, untuk berkata
“saudara Cit kalau sebentar kita mulai pibu, kau tidak bakal membantu pihak yang mana juga, bukankah itu kata-katamu sendiri?”
Cit Kong kata di dalam hatinya: “Aku cuma mempunyai niat tetapi tidak punya tenaga, ada niatku membantu”
Maka ia menjawab: “Aku tidak tahu sebentar atau bukan sebentar, aku hanya membilang Pee-gwee Cap-gouw”
“Benar begitu” berkata see Tok, yang terus berkata kepada Oey Yok Su “saudara Yok, orang-orang Coan cin Pay dan Kang Lam Cit Koay menghina padamu tetapi kaulah seorang tertua, jikalau kau melayani mereka, kau merendahkan kehormatanmu, maka itu sebentar biarlah aku yang memberi hajaran kepada mereka itu, kau sendiri boleh menonton saja Akurkah kau?”
Oey Yok Susudah lantas berpikir. Ia telah melihat keadaan dua-dua pihak. Kalau Ang Cit Kong tidak turun tangan, coan cin Pay pasti bakal kena dibikin mampus hingga sulit mencari tempat untuk mengubur mayat mereka. Dengan begitu maka akan musnahlah partai yang dulu hari itu dibangun ong Tiong Yang. sebaliknya kalau Kwee Ceng tetap membantu dengan terus mengambil kedudukannya di garis utara, di kedudukan thian-soan itu, mungkin Auwyang Hong tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya ia mendapatkan bocah itu terus memusuhkan padanya. Maka itu, dapatkah ia berpeluk tangan saja?
Maka ia pikir di akhirnya^ “Hidup atau mati, senang atau susah inilah saat keputusannya”
Auwyang Hong mengawasi, ia tidak memperoleh jawaban, ia cuma menampak air muka orang muram. Ia pikir, sang tempo pendek sekali, sekaranglah saatnya untuk turun tangan. Kalau sampai Ciu Pek Thong keburu datang, sulit untuk melayaninya.
Maka itu, ia lantas bersiul panjang dan berkata nyaringo “Turun tanganlah sekarang Hendak menanti apa lagi?” Mendengar suara itu, Ang Cit Kong gusar.
“Eh, apa yang kau keluarkan dari mulutmu itu kata-katanya manusia atau angin busuknya seekor anjing?” dia menegur. Auwyang Hong menunjuk ke langit, ia tertawa.
“Bukankah jam Cu-sie telah lewat?” kata ia. “Bukankah ini sudah termasuk saat dari fajar Pee-gwee Capgouw?”
Pak Kay dongak. Ia melihat si Putri Malam mulai doyong ke barat, ada mega yang menutupinya sedikit.Jadi benarlah itu waktu ada detik perlintasan dari jam Cu-sie ke jam Tiu-sie.
Auwyang Hong tidak menanti orang membilang apa juga, dengan menekankan tongkat kepala ularnya ke tanah, ia berlompat ke depan Khu Cie Kie, untuk menyerang imam dari Coan cin Pay itu.
Coan cin Liok Cu menginsyafi suasana itu atau kedudukan mereka. Di pihak sana pun berkumpul rombongan dari Pheng Lian Houw, yang menanti ketika untuk turun tangan, maka kalau mereka sembrono, pasti akan termusnahlah mereka. Tapi sembrono atau tidak. setelah beberapa gebrak. mereka merasai kesulitan mereka. Inilah sebab lihaynya si Bisa dari Barat dengan tongkat ularnya -di ujung tongkat ada dua ekor ular berbisanya yang jahat,
yang saban-saban memainkan lidahnya. Beberapa kali ular itu ditikam Cie Kie beramai, keduanya terus dapat berkelit.
oey Yong menyaksikan pertempuran itu tetapi ia tidak pernah lepas mata dari Kwee Ceng. ia mendapatkan si anak muda terus mengawasi dengan bengis pada ayahnya.
Mungkin malang kepada Cit Kong, Kwee Ceng dapat mengendalikan dirinya. Tiba-tiba ia mendapat pikiran, maka ia berkata^
“setiap hari membilang hendak menuntut balas, h m sekarang musuh benar-benar datang tetapi berbalik menjadi jeri”
Kwee Ceng ketahui ialah yang diejek. Ia sadar. ia melirik kepada nona itu, hatinya berkata^ “Baiklah aku bunuh dulu si anjing Kim, kemudian masih ada tempo untukku berurusan sama oey Yoksu” Maka itu ia menghunus tombak pendek warisan ayahnya,
ia lari kepada Wanyen Lieh untuk menyerang. see Thong Thian dan Pheng Lian Houw melihat majunya si anak muda, keduanya lantas merintangi dengan mereka maju ke depan pangeran Kim.
Kwee Ceng menyerang terus dengan tombaknya itu Pheng Lian Houwcun lantas menangkis dengan paon-koan-pit, semacam senjata mirip alat tulis. Ketika senjata mereka bentrok, dia merasakan tangannya bergemetar dan kesemutan justru begitu,
Kwee Ceng dapat melewati dia, lalu juga see Thong Thian, yang kalah sebat. Mereka itu menjadi kaget dan mendongkol dan berkhawatir untuk pangeran Kim itu. segera mereka
menyusul. Tapi di sana, sudah ada Leng Tie siangjin dan Tio Cu ong, yang menggantikan mereka memegat kepada pemuda itu, bahkan Nio cu ong dengan bengis sudah lantas menimpuk dengan dua batang paku rahasianya.
Kwee Ceng berkelit sambil terus menyerang dengan tangan kirinya, dengan jurus “in liong sam hian” atau “Naga muncul tiga kali”. serangan itu adalah serangan berantai tiga kali.
Nio Cu ong berkelit dengan menjatuhkan diri burgulingan di tanah.
Leng Tie siangjin bertubuh besar, ia kurang gesit, ia pun bersangsi menangkis, maka itu, selama ia ayal-ayal, Kwee Ceng sudah sampai di depan si pangeran. sampai itu waktu, terpaksa pendeta ini mengangkat kedua cecernya untuk menangkis.
Benar hebat serangannya si anak muda, dengan suara nyaring ia membikin kedua cecer penghadangnya mental tinggi, menyusul mana serangannya yang ketiga telah menyusul yang pertama dan yang kedua.
Dalam keadaan seperti itu Leng Tie membela terus. Ia sekarang mau mengandalkan tangannya yang lihay, yang juga ada racunnya. Demikian ia menyampok serangan berantai dari lawannya. Tapi kesudahannya juga hebat untuknya. Ketika kedua tangan bentrok, ia merasakan lengannya seperti mati, lengannya itu lantas turun sendirinya, tidak bisa digunai lagi
Wanyen Lieh terkejut menyaksikan pemuda yang gagah itu, yang di dalam sekejap saja telah membikin empat jagoan menjadi tidak berdaya, maka ia lantas memutar tubuhnya untuk melarikan diri
Kwee Ceng tidak mau menyia-nyiakan ketikanya, ia lompat untuk mengejar. Belum ia menyusul, atau ia menampak berkelebatnya satu bayangan kuning, yang disusul sama sambarannya dua tangan dari sampingnya. Ia berkelit, ia menyerang dengan tombaknya tapi serangannya itu gagal, bahkan senjatanya seperti kena tertarik. Maka lekas-lekas ia menahan dirinya. segera ia mengenali lawannya yang baru, yang lihay sekali dialah Khiu Cian Jin. Dari itu, ia melawan dengan sungguh-sungguh, dengan tangan kanan ia menombak. dengan tangan kiri ia meninju atau menyambar.
Pheng Lian Houw melihat Kwee ceng telah dilibat Khiu Cian Jin dan Wanyen Lieh sudah dilindungi see Thong Thiandan^io cu ong, ia maju pada Kwa Tin ok, yang ia tegur sambil ia tertawa: “Kwa Tayhiap. kenapa Kang Lam cit Koay cuma datang satu orang saja?”
Tin ok telah kehilangan tongkatnya yang oleh oey Yong kena dibikin mental ketelaga, maka itu, tanpa menyahuti ejekan itu, ia menyerang dengan tiat-leng, leng kak rahasianya, hanya sambil menimpuk. la lompat mundur tiga tindak.
Lian Houw tahu lihaynya leng kak besi itu, ia berkelit sambil berlompat. Maka senjata rahasia itu lewat di bawah kakinya. Pernah ia terkena lengkak itu, benar ia tahu cara mengobatinya dan ia tidak terbinasa, tetapi Lamesti menderita sakit dan berobat selama beberapa bulan. Karena itu juga, ia menjadi bersakit hati dan segera menyerang si jago buta, untuk melampiaskan kemendongkolannya. Habis berkelit, ia merangsak pula.
Kwa Tin ok bercacad di kaki, ia biasa jalan dengan mengandali tongkat, sekarang tongkatnya itu lenyap. Ia menghadapi musuh tangguh, terpaksa ia berlompat Pula. Hanya ketika kaki kirinya menginjak tanah, hampir ia terguling roboh.
Lian Houw melihat tubuh lawannya limbung, dalam girangnya ia maju pula. Ia maju sambil menjaga diri dengan tangan kirinya yang mencekal pitnya, ia menyerang dengan tangan kanan ke arah punggung.
Kuping Tin ok jeli sekali, terancam bahaya, ia juga bisa menggulingkan diri Maka juga pitnya Lian Houw mengenai batu, Tapi Lian Houw gusar dan penasaran, ia menyerangpula sambil mendamprat, “Bangsat buta, kenapa kau begini licin?” Kali ini ia menotok dengan tangan kirinya.
Kwa Tin ok berguling pula, sambil membuang diri, ia membarengi mengayun tangannya, menerbangkan sebatang leng kak besi.
Ketika itu Leng Tie siangjin lagi berjaga-jaga seraya ia memegangi lengan kanannya,
justru Kwa Tin ok berguling ke dekatnya, tidak ayal lagi, ia menjejak.
Tin ok terkejut. Ia mendengar nyata angin jejakan itu. Kebetulan tangan kirinya tertindih tubuhnya, ia mengerahkan itu, untuk membikin tubuhnya melesat menyingkir dari bahaya. Hanya, selagi ia berhasil lolos darijejakan si pendeta, pitnya Lian Houw sudah tiba pula, hingga ia merasakan punggungnya sedikit kaku. Ia mengeluh, “celaka”
di dalam hatinya, kulit matanya terus dirapati, untuk menerima binasa.
“Pergilah” mendadak kupingnya dengar bentakan halus tapi nyaring, bentakan mana disusul sama jeritan, “aduh” yang disusul pula sama suara robohnya tubuh yang berat.
Itulah oey Yong, yang turun tangan dengan tiba-tiba. Mulanya dengan tongkatnya ia menangkis poan koan-pit, menyusul itu, tongkat itu bergerak pula ke kaki, maka robohlah Lian Houw, yang terguling cuma kedua senjatanya tidak sampai terlepas dari cekalannya.
Lian Houw kaget dan gusar. ia lantas merayap bangun. Hanya sekarang ia melihat oey Yong menghalang di depan Kang Lam cit Koay yang nomor satu itu. Untuk herannya, ia mendengar Tin ok membentak: “siluman perempuan cilik siapa yang kesudian ditolongimu?”
oey Yong tidak menggubris teguran itu, ia berseru kepada ayahnya^ “Ayah, kau jagai ini si buta yang tolol, supaya orang tidak mencelakai dia” segera setelah itu, ia lari kepada Kwee Ceng, untuk membantui anak muda itu melawan Khiu Cian jin. Tin ok berdiri menjublak, ia bingung.
Pheng Lian Houw melihat gerak-geriknya oey Yok su. Itu waktu Tong shia berdiri jauh dan membelakangi ia, si sesat dari Timur itu seperti tidak mendengar suara putrinya tadi. Ia menjadi berani, diam-diam ia bertindak ke arah Hui Thian Pian-hok. lalu dengan diam-diamjuga ia menyerang dengan pitnya. ia telah mengerahkan tenaganya dan bersungguh-sungguh .
Jangan kata Tin ok dibokong, biarnya tidak dan umpama kata dia memegang tongkatnya, diserang begitu dekat, belum tentu dia sanggup menolong dirinya, akan tetapi disaat Lian Houw menyerang, mendadak terdengar suara menggaung serupa barang, yang terus membentur poankoan-pit. Begitu membentur, barang kecil itu hancur. Meski begitu, orang she Pheng itu kaget dan kesakitan tangannya, tanpa ia merasa, pitnya terlepas jatuh. Herannya, ia tidak tahu dari mana datangnya serangan.
Ketika ia berpaling kepada oey Yok su, ia mendapatkan Tong shia lagi menggendong
kedua tangannya dan mata-nya memandangi awan hitam di langit. Pemilik dari Tho Hoa To itu tidak pernah menoleh ke arahnya
Tin ok si buta, yang kupingnya mendengar segala apa, menjadi mendelu sekali. Ia tahu siapa yang menolongi padanya, karena semasa di Kwie-in-chung, ia mengenal kepandaian Tan cie sin-thong dari oey Yok su. Maka ia bertindak cepat ke belakang Tong shia, ia kata dengan nyaring, dengan nada mendongkolnya: “Dari antara tujuh saudaraku tinggal aku satu orang, buat apa aku hidup lama pula?”
Oey Yok Soemendengar suara itu, ia tetap tidak memutar tubuhnya, hanya ketika ia merasa orang telah berada kira tiga kaki darinya, mendadak ia menoleh ke belakang dengan tangan kirinya atas mana Tin ok lantas roboh terjengkang, karena Tiat sim sanggup dia mem-pertahankan diri. Bahkan dia roboh untuk tidak segera dapat bangun pula.
Ketika itu Kwee Ceng, dengan dapat bantuannya oey Yong, dapat melayani seimbang kepada Khiu Cian Jin. Tentu sekali sekarang mereka tidak beranimemandang enteng kepada ketua dari Tiat Ciang Pang itu, sebab dia bukan lagi Khiu Cian Lie si pembual.
Perlawanan coan cin cit Cu juga menemui satunya yang hebat sekali. Pahanya Cek Tay Thong telah kena kesabet tongkat kepala ular dan jubahnya sun putJie telah tersontek robek. ong cie It gentar hatinya, sebab ia mengerti, apabila pertempuran berlangsung terus, daLam tempo tiga puluh jurus, mesti ada saudaranya yang terbinasa.
Ia menjadi sangat berkhawatir, karena orang yang mereka buat andalan tetap belumjuga muncul. Terpaksa, selagi Ma Giok dan Lauw Cie Hian menyerang dengan berbareng, ia mengeluarkan dan menyulut hu-sen pertandaannya, yang ia meluncurkannya ke udara bagaikan kembang api.
Ketika itu udara gelap dan kabut pun tebal, kaki mereka seperti tertutup kabut itu.
Makin lama, kabut makin tebal dan hidung orang mencium bau demak yang keras.
Udara gelap itu membikin rembulan hampir tidak dapat memancarkan sinarnya. Maka lagi sekian saat, benar-benar lenyap binarnya si putri malam itu. Dengan cuaca gelap itu, sukar orang melihat tegas satu pada lain. Karena ini, semua pihak menggunai siasat membela diri
Kwee Ceng dan oey Yong terus mengurung Khiu Cian Cian. Si anak muda melihat si nona dan musuhnya itu, yang seperti terliput kabut. Ia menjadi girang sekali. Diam-diam ia mengambil ketika akan meninggalkan mereka itu, untuk pergi mencari Wanyen Lieh.
Di dalam tempat yang gelap itu,ia mementang matanya lebar-lebat. Di luar jarak tiga kaki tidak bisa ia melihat orang, maka ia berlaku teliti. Ia mencari kelilingan.
Tiba-tiba, di dalam gelap itu, terdengar suara nyaring: “Di sini Ciu Pek Thong siapa yang mencari aku untuk mengajak berkelahi?”
Mendengar suara itu, Kwee Ceng girang sekali, hanya ketika ia hendak menyahuti, lain orang sudah mendahului ia.
Di sana terdengar suaranya Khu Cie Kie: “Ciu susiok baik?”
Kebetulan itu waktu, awan gelap terbuka sedikit, maka kedua pihak dapat melihat satu pada lain. Nyata mereka terpisah dekat sekali satu pada lain, asal mereka menyerang, dapat mereka mengenai sasarannya. Tentu sekali mereka sama-sama terkejut, dengan sendirinya mereka pada lompat mundur. Awan gelap membikin pertempuran berhenti sendirinya dan mereka pada berdiam diri Ciu Pek Thong terlihat berdiri di antara kedua pihak, ia tertawa dan berkata dengan gembira: “sungguh ramai Bagus, bagus” Terus tangan kanannya digeraki, mulanya ke tangan kirinya, lalu sambil berkata^ “Nah, ini kau makan obat beracun” ia menyuapi ke arah see Thong Thian
orang she see itu lihay, dia mengerti ilmu kegesitan “le heng hoan wie” atau Memindah diri menukar kedudukan, tidak urung dia masih kalah sebat, lengannya yang dipakai menangkis kena ditangkap Pek Thong, maka lain tangannya orang she ciu itu berhasil menjejalkan “obat beracun” yang ia sebutkan itu, ialah lumpur. Dia pernah merasai kesengsaraan dari Pek Thong kalau dia melepehkan lumpur itu, dia bakal dihajar, dengan terpaksa dia mengemut itu di dalam mulutnya.
ong cie It mendapatkan, pertandaannya itu bukan mengasih datang orang yang mereka harap-harap hanya Ciu Pek Thong, sang paman guru, kala itu membuatnva girang luar biasa. Maka ia berseru “susiok, kiranya kau tidak dibinasakan oey Tocu”
Mendengar suara keponakan muridnya itu, Ciu Pek Thong gusar.
“siapa bilang aku sudah mati?” ia berteriak. “Memang oey Lao shia berniat membinasakan aku tetapi sudah berselang sepuluh tahun lebih, tidak pernah dia berhasil Ha, oey Lao shia, kau lihatlah” Lantas ia menyerang ke pundaknya oey Yok su.
Ia menggunai ilmu silat Khong Beng un terdiri dari tujUh puluh dua jurus, yang ia menciptakan selama terkurung di pulau Tho Hoa To. Itulah ilmu yang berdasarkan kelunakan, lemas luar biasa.
Oey Yok Soetidak berani memandang enteng, ia menangkis dengan Lok Eng ciang, terus ia membalas menyerang. Tapi ia pun menyahuti. Katanya:
” Kawanan imam-imam tua bulu campur aduk dari Coan Cin Pay mengatakan aku membunuh kau, mereka itu hendak mencari balas untukmu” Pek Thong masih gusar.
“Apakah kau dapat membunuh aku?” dia berteriak. “Jangan meniup kerbau” sembari mengoceh, Pek Thong menyerang terus, makin lama makin hebat, karenanya terpaksa Oey Yok Soemelayani, untuk membela dirinya.
Coan cin Liok Cu menjadi kecele. Mereka menghadap. dengan datangnya sang paman guru, dia bersama Oey Yok Soenanti membantu mereka melawan rombongan dari Auwyang Hong, siapa tahu, paman guru itu tidak dapat diajak bicara, dia berlaku sangat sembrono. “susiok. jangan menempur oey Tocu” Ma Giok berteriak.
“Benar, Loo Boan Tong” Auwyang Hong turut berkata. “Kau bukan tandingannya saudara Yok, lekas kau lari sipat kuping”
Inilah kata-kata yang berbisa yang membikin Pek Thong menyerang makin kalap. oey Yong masgul melihat itu, maka ia lantas kata pada si tua bangka berandalan itu^ “ciu Toako, kau menggunai kepandaian dari Kiu Im cin-keng melayani ayahku, maka bagaimana nanti kau membilangnya kepada ong Cinjin di dunia baka?” Pek Thong tertawa berkakak.
“Apakah kau melihat aku menggunai ilmu silat dari kitab itu?” ia kata.
“Aku telah berikhtiar mati-matian untuk melupakan bunyinya kitab itu Hm, mempelajariya gampang, melupakannya sukar sekali”
Oey Yok Soeheran dan masgul mendengar perkataannya si orang tua kebocah-bocahan itu. Ketika ia menempurnya di pulaunya, ia mendapat kenyataan Pek Thong hebat sekali. sekarang ia merasakan orang jauh terlebih lemah tetapi aneh, ia melayani dia seimbang kosennya. Kenapa begini, lebih lunak tetapi tebih lihay? Ia juga tidak mengerti, kenapa Pek Thong membuang ilmu silatnya yang lama itu.
Auwyang Hong, yang menyembunyikan diri di dalam kabut, senang menyaksikan pertempuran di antara dua jago itu, hanya ia berkhawatir juga, umpama Pek Thong menang, dia nanti membantu rombongannya Khu Cie Kie. Karena ini ia memikir, baiklah ia lekas-lekas memukul pecah.Thian Kong Pak Tauw Tin. Ia berpikir dan bekerja, ia lantas mulai dengan penyerangannya lebih jauh.
ong Cie It dan Lauw Cie Hian menjadi bergelisah. “Ciu susiok, mari membinasakan Auwyang Hong dulu” mereka berteriak.
Ciu Pek Thong juga melihat kawanan keponakan muridnya itu terancam bahaya, ia segera merangsak oey Yok su, tangan kirinya terbuka, tangan kanannya terkepal, lalu satu kali, ketika kepalanya hampir mengenai muka lawannya itu, mendadak ia mengubah, kepalan menjadi tangan terbuka, tangan terbuka menjadi kepalan, sambil tertawa, ia menyambar dan langsung. Oey Yok Soe terperanjat. Inilah ia tidak sangka. Ia lantas mengeluarkan tangannya,
untuk menangkis, atau ia terlambat sedikit, ujung alisnya telah kena kebentur ujung tangan lawan, meski benar ia tidak terluka, ia merasakan panas sekali.
Habis berhasil dengan serangannya itu, Ciu Pek Thong sadar, segera dengan tangan kirinya ia menghajar lengan kanannya sambil mendamprat, ” Harus mampus Harus mampus Inilah jurus dari Kiu Im Cin-keng”
Oey Yok Soetengah membalas menyerang ketika ia mendengar perkataannya Pek Thong itu, ia terkejut, hendak ia membatalkan penyerangannya itu atau sudah kasep.
tangannya sudah mampir di pundak orang, atas mana, si berandalan itu berseru^ “Ah, hebat, pembalasan datang cepat sekali”
Di dalam keadaan kacau itu, kacau karena keberandalannya Ciu Pek Thong, Kwee Ceng mengingat kedua gurunya, ia khawatir mereka itu nanti mendapat celaka, maka ia menghampirkan Kwa Tin ok. Ia memimpinnya ke dekat Ang cit Kong, supaya keduanyaberdiam bersama. Dengan perlahan sekali, ia kata kepada mereka itu: “Jiewi suhu, mari pergi beristirahat di Yan ie Lauw, sebentar sebuyarnya kabut baru kita lihat bagaimana baiknya:”
Ketika itu, kembali terdengar suaranya oey Yong: “Eh, Loo Boan Tong, kau dengar
perkataanku atau tidak?”
“Aku tidak bakal mengalahkan ayahmu, kau jangan khawatir” menyahut sijenaka.
“Aku menghendaki kau lekas menghajar si bisa bangkotan” berkata si nona. “Hanya aku melarang kau membinasakan dia”
” Kenapa begitu?” tanya Pek Thong, yang kaki tangannya bekerja terus.
“Jikalau kau tidak mau dengar .perkataanku, nanti aku beber riwayatmu yang busuk” berkata si nona.
“Riwayat busuk apa itu?” tanya si tua. “Kau ngaco belo”
“Baik” menyahut si nona, yang membikin suaranya keras dan panjang “Empat buah
perkakas tenun maka tenunan burung wanyoh bakal terbang berpasangan” Pek Thong kaget mendengar itu.
“Baik, baik” ia lekas berkata, “Aku suka dengar perkataanmu Eh, bisa bangkotan, kau ada di mana?”
Auwyang Hong tidak memberikan penyahutannya. Adalah Ma Giok yang berkata: “ciu susiok, kau ambil kedudukan di Pak Kek chee untuk mengurung dia” oey Yong tidak bicara pula sama Pek Thong, hanya ia membilang pada ayahnya^
“Ayah, Khiu Cian Jin bersekongkol sama bangsa asing, dialah satu pengkhianat besar, lekas kau bunuh padanya”
“Anak. mari kau ke sampingku” ada jawabannya si orang tua.
Di dalam kabut itu, Khiu Cian Jin tidak nampak di mana adanya. Hanya segera terdengar tertawa nyaring dari Ciu Pek Thong yang berseru: “Bisa bangkotan, lekas kau bertekuk lutut di depan kakekmu, nanti aku beri ampun padamu” Dari suara itu dapat diduga pihak Coan Cin Pay telah menang unggul.
Kwee Ceng sementara itu sudah mengantarkan kedua gurunya ke pinggiran lauwteng Ya Ie Lauw, setelah mana ia pergi pula, guna melanjuti mencari Wanyen Lieh.
Ia telah pergi ke segala penjuru, masih ia tidak memperoleh hasil. Entah ke mana perginya pangeran bangsa Kim itu. Bahkan see Thong Thian semua, berikut Khiu Cian Jin, setahu telah menyingkir ke mana.
“Hai, bisa bangkotan, kau hendak lari ke mana?” kembali terdengar suaranya Ciu Pek Thong.
Ketika itu kabut nampak makin tebal, tidak ada lowongan seperti tadi. suara orang juga terdengar semakin berat, menjadi kurang nyata. Karena ini orang menjadi jeri sendirinya.
oey Yong menempelkan rapat tubuhnya kepada tubuh ayahnya.
Ma Giok telah memberikan titahnya perlahan sekali, untuk kawan-kawannya memperciut lingkaran mereka, supaya mereka memasang kuping untuk mendengar gerak-gerik lawan. Maka itu, sejenak itu, segala apa menjadi sunyi senyap.
Tidak antara lama, terdengarlah suara Khu Cie Kie: “Dengar suara apakah itu?”
Di sekitar mereka, mereka mendengar suara sar-ser, atau sas-sus, suara itu darijauh mendatangi semakin dekat, semakin dekat. oey Yong berteriako “si bisa bangkotan melepaskan ularnya Tidak tahu malu”
Oey Yok Soepun telah mendengar suara itu dan mengenalinya, ia sebenarnya ketahui ilmu mengusir ular tetapi sekarang ia tidak dapat menggunai itu. Asal ia meniup serulingnya, ular bakal menari-nari secara kalap. Hanya sekarang ia telah tidak mempunyai serulingnya itu. Ia telah membikin patah alat tetabuhannya itu ketika ia mendengar warta paisu tentang putrinya sudah mati kelelep. Maka sekarang ia turut menjadi bingung.
Ang cit Kong telah naik ke atas lauwteng Yan ie lauw, ia mendengar segala apa, ia berteriako “si bisa bangkotan mengatur barisan ularnya semua naik ke lauwteng”
Ciu Pek Thong lihay ilmu silatnya tetapi la paling takut sama ular, maka itu begitu lekas ia mendengar suaranya oey Yong, ialah yang paling dulu ngiprit ke lauwteng, bahkan karena khawatir ular nanti menyantol kakinya, di tangga lauwteng ia tidak bertindak lagi hanya berlompat, maka di lain saat tibalah ia di wuwungan paling tinggi dari lauwteng itu di mana hatinya berdebaran sekian lama. suara ular terdengar makin keras.
“sayang hiat-niauw tidak ada di sini,” kata oey Yong seraya ia menarik tangan ayahnya untuk diajak naik ke lauwteng. Kawanan coan Cin Pay juga naik ke lauwteng, mereka jalan sambil berpegangan tangan satu dengan lain dan naiknya merayap. In cie Peng kejeblos, ia jatuh terguling hingga kepalanya benjut, ia merayap bangun untuk merayap naik kembali. oey Yong tidak terdengar suaranya Kwee Ceng, ia bingung.
“Engko Ceng, kau di mana?” ia tanya. Tetapi beberapa kali ia memanggil, ia tidak memperoleh jawaban. ia jadi semakin berkhawatir.
“Ayah, aku hendak cari dia,” ia kata pada ayahnya.
“Perlu apa kau mencari aku?” terdengar suara Kwee Ceng dingini “Lain kali tidak usah kau mencari aku, aku pun tidak akan menyahuti”
Kiranya pemuda ini berada di samping si pemudi.
“Anak busuk” membentak oey Yoksu sengit seraya tangannya menyampok.
Kwee Ceng berkelit sambil menunduk. justru ia hendak membalas, ia mendengar
suaranya beberapa panah nyaring, yang menyambar ke kayu jendela, hingga semua orang menjadi kaget. suara panah itu diikuti teriakan-teriakan dari banyak orang, disusul, pula hujan anak panah. Teranglah itu suaranya satu pasukan tentara, entah berapa besarnya. Kemudian terdengar lagi teriakan-teriakan “Jangan kasih lobos semua pemberontak” Khu cie Kie menjadi gusar sekali.
“Pastilah kawanan anjing Kim itu sudah bersekongkol sama pembesar negeri” katanya sengit.
“Pastilah pembesar di Kee-hin ini yang datang untuk menawan kita”
“Mari kita menerjang turun” kata ong cie It panas hatinya.
“Kita labrak mereka” cek Tay Thong justru berteriak-teriako ” celaka Ular Ular” orang semua kaget, berkhawatir dan gusar sekali. sekarang mereka mengerti, untuk pertempuran ini, Wanyen Lleh dan Auwyang Hong sudah melakukan persiapan, bahkan mereka berlaku curang dan hina.
Melihat semua itu, Ang cit Kong segera mengasih dengar suaranya^ “Kita dapat melawan panah, tidak dapat kita melawan ular Dapat kita menyingkir dari ular, tidak dapat kita menyingkir dari panah Maka itu, semua lekaslah mengangkat kaki”
Di atas wuwungan, ciu Pek Thong mencaci kalang kabutan. Dia telah menyambuti dua batang anak panah dengan apa ia menangkis setiap anak panah lainnya yang menyambar-nyambar ke arahnya.
Lauwteng Yan ie Lauw terkurung air di tiga penjuru dan tentara negeri dengan menggunai perahu-perahu kecil telah datang dari tiga penjuru itu sambil mereka menyerang dengan panah: disebabkan kabut tebal, mereka tidak berani datang terlalu dekat. “Kita menuju ke barat, kita ambil jalan darat” terdengar pula suara Cit Kong.
Dalam kekacauan itu, dengan sendirinya Pak Kay menjadi komandan di antara rombongan orang gagah itu, semua orang telah mendengar perkataannya itu, semua lantas turun dari lauwteng. Kembali mereka rapah-repeh, sebab kabut masih tetap tebal
dan dijarak satu kaki, sukar mereka melihat satu pada lain. Disaat seperti itu, mereka melupai permusuhan, bahkan mereka berjalan sambil saling tuntun.
Khu Cie Kie bersama ong cie It, dengan pedang di tangan masing-msing berjalan di
paling depan. Mereka memutar rapat pedang mereka dalam jurus siang-kiam Hap-pek, sepasang pedang bersatu padu.
Kwee Ceng menuntun Ang cit Kong dengan tangan kanannya, tangan kirinya dipakai bergedangan dengan lain orang. ia justru kena memegang tangan yang halus dan lunak. Itulah tangannya oey Yong, maka ia terkejut. Dengan lantas ia melepaskan cekalannya.
oey Yong terdengar berkata: “siapa menghendaki kau memperhatikan aku?” Dingin suaranya itu.
Ketika itu terdengar seruannya Khu Cie Kie: ” Lekas kembali Di depan kita, semuanya ular”
Ang cit Kong bersama oey Yoksu berada di paling belakang, terdengarlah suara ular yang berisik sekali, sedang baunya yang memuakkan lantas menyambar hidung. Oey Yong tidak tahan, ia lantas muntah. oey Yoksu menyambar putrinya, untuk dipeluk. orang semua bingung. panah hebat masih dapat ditangkis tetapi barisan ular berbisa itu?
Disaat berbahaya itu, tiba-tiba terdengar suara keras dan dingin dari satu orang: “siluman perempuan cilik mari serahkan tongkat bambumu pada si buta” orang mengenali, itulah suaranya Kwa Tin ok.
Mendengar suara itu, Oey Yok Soedan oey Yong lega hatinya. si nona tidak menghiraukan yang ia dicaci sebagai “siluman perempuan cilik”, ia lantas menyerahkan tongkatnya.
Kwa Tin ok menyambuti tongkat sambil ia berkata “semua orang mari mengikuti si buta menyingkir dari sini”
Hui Thian pian-hok ada orang Kee-hin asli, ia me ngenal baik kampung halamannya itu, meski benar matanya buta, kabut tidak menjadi rintangan untuknya. Ia sekarang cuma mengandalkan kupingnya, akan mendengar suara ular. Maka itu, is memasang kuping akan mencari tahu di mana tidak ada suara panah atau ular. ia memang ketahui di sebelah barat ada sebuah jalan kecil, justru dari sana tidak terdengar suara apa-apa.
Demikian dengan dingkluk-dingkluk ia menuju ke barat itu.
Jalanan kecil itu ada jalanan yang tak terpakai umum, sudah beberapa tahun ini disana juga tumbuh pohon bambu, maka itulah sebuah jalan mati. Maka juga dengan lantas mereka terintang p^hon-pohon bambu.
Khu Cie Kie bersama ong cie It menggunai pedang mereka merobohkan setiap pohon yang menghadang, di belakangnya, semua orang lainnya mengikuti mereka.
“Ciu susiok. kau di mana?” tanya Ma Giok. “Lekas ke mari”
Pek Thong duduk berdiam di alas wuwungan, ia mendengar panggilan itu, tetapi ia jeri sama ular, ia berdiam saja.
sesudah berjalan belasan tombak, orang telah berhasil melewati rujuk bambu itu. Disitu terlihat nyata sebuah jalan kecil. Di sana suara ular tidak terdengar nyata,
sebaliknya seruan-seruan tentara agak semakin nyaring. Rupanya ada rombongan tentara yang mencoba jalan mutar untuk memegat. semua orang tidak takut sama tentara negeri. Bahkan Lauw Cie Hian lantas berkata:
“Cek sutee, mari kita maju bersama, kita mampusi beberapa pembesar anjing itu”
“Baik” menyambut Tay Thong.
Maka keduanya lantas maju di depan, mereka menangkis setiap anak panah. orang maju terus, maka tidak lama kemudian, tibalah mereka dijalan besar. Di sini mereka disambut hujan yang lebat dan guntur yang menulikan kuping. Turunnya hujan menyebabkan kabut tersapu habis. Benar cuaca tetap gelap. tetapi sekarang mereka dapat melihat samar-samar satu pada lain.
“Marah bahaya telah lewat, tuan-tuan, persilahkan” berkata Kwa Tin ok. Artinya ia mempersilahkan orang mengambil jalan sendiri-sendiri ia pun membayar pulang
tongkatnya oey Yong, seorang diri ia bertindak ke timur tanpa berpaling lagi. “suhu” Kwee Ceng memanggil.
“Kau bawa Ang Loohiap ke tempat yang sunyi, untuk dia berobat,” berkata guru itu,
“setelah beres kau pergi ke dusun Kwa-kee-cun mencari aku” “Baik, suhu” menyahut sang murid.
Oey Yok Soemenyambut sebatang panah yang melayang ke arahnya, ia bertindak ke depan Tin ok seraya berkata: “Jikalau bukannya hari ini kau telah menolong jiwaku, sebenarnya tidak sudi aku menjelaskan kepadamu “
Belum habis kata-kata itu, Tin ok sudah berludah hingga ludahnya itu mengenai hidung orang. Dia berkata dengan sengit, “Berhubung dengan kejadian ini hari maka kalau nanti aku menutup mata, aku tidak mempunyai muka untuk menemui keenam saudara angkatku”
Oey Yok Soegusar sekali, ia lantas mengayun tangannya. Kalau Tin ok kena dihajar,
pasti terbanglah jiwanya. Tapi Kwee Ceng berlompat maju, ia mewakilkan gurunya menangkis.
Terpisahnya Oey Yok Soedan Kwee Ceng belasan tindak. tidak keburu si anak muda menolongi gurunya, akan tetapi oey Yoksu batal menyerang, dengan perlahan-lahan dia mengasih turun tangannya, untuk ditarik pulang, lalu sambil tertawa lebar dia berkata^ “Kamu kira aku Oey Yok Soeorang macam apa? Maka dapat aku berpandangan serupa sebagai kamu?” Ia lantas memutar tubuhnya kepada putrinya seraya berkata^
“Yong-jie, mari kita pergi” Ia juga berpaling kepada Ang cit Kong, untuk menjura,
habis mana, dengan hanya satu kali berkelebat, ia sudah lantas memisahkan diri beberapa tombak jauhnya
Mendengar suaranya Oey Yok Soeitu, Kwee Ceng melengak. Ia menjadi ragu-ragu.
Tapi ia tidak dapat memikir lagi.Justru itu, dengan suara berisiknya, terlihat tibanya satu pasukan serdadu untuk menerjang mereka.
Coan cin Liok Cu lantas maju, guna menyambuti terjangan, untuk membalas menghajar.
Oey Yok Soesebaliknya tidak sudi berkelahi, ia menghampirkan Ang cit Kong tangan siapa ia pegang untuk ditarik, sambil ia berkata: “saudara Cit, mari kita pergi ke depan untuk minum beberapa cangkir arak Nanti kita bicara di sana” cit Kong setuju sekali dengan ajakan itu.
“Bagus Bagus” sahutnya, terus ia mengikut, maka sebentar kemudian, mereka berdua sudah menghilang di tempat yang gelap.
Kwee Ceng membiarkan gurunya itu pergi, sekarang ia hendak membantui gurunya yang tertua Justru itu, serangan tentara kembali datang. ia tidak berniat mencelakai banyak orang, maka ia menggunai tangan kosong merobohkan siapa yang berada paling dekat dengannya.
Di dalam kekalutan itu lalu terdengar suara nyaring dari Khu Cie Kie berarnai. Itulah disebabkan di antara tentara negeri ada orang-orangnya Wanyen Lieh, ialah kawanan Tiat elang Pang dari Khiu Cian jin, maka mereka itu tidak selemah serdadu negeri, hingga mereka tidak gampang-gampang dapat dipukul mundur.
Kwee Ceng berkhawatir untuk gurunya yang paling tua, ia lantas memanggil-manggil: “Toasuhu Toasuhu Toasuhu di mana?” tapi suaranya itu tidak mendapatkan jawaban.
Ketika itu oey Yong berdiri menyender di sebuah pohon. ia tidak mengikuti ayahnya.
Habis menyambut, tongkatnya dari Tin ok, pikirannya kusut. Ia telah melihat ayahnya diludahi tertua dari Kang Lam cit Koay, ia masgul bukan main. impiannya yang manis telah menjadi seperti buyar. Maka juga ia berdiam saja menyaksikan tentara negeri lewat di dekatnya. Tapi selagi ia berdiam, ia mendengar teriakannya Tin ok. Ia terkejut
Tanpa me-rasa, ia berlompat, akan lari ke tempat dari mana teriakan itu datang. Ketika ia sampai, tepat ia melihat Tin ok rebah di tanah dan seorang punggawa mengayun golok panjangnya ke punggung si buta itu. Tapi opsir itu tidak berhasil membinasakan jago Kanglam itu. Tin ok dapat berkelit dengan menggulingkan tubuh, terus ia bangun berduduk seraya membalas menyerang.
opsir itu menjerit dan roboh pingsan. Tin ok mencoba bangun pula, tetapi ia gagal, rupanya ia terluka, baru ia melempangkan tubuh, kembali ia roboh. oey Yong lari menghampirkan, ia melihat kaki orang terkena panah. Ia mengulur tangannya, untuk memberikan bantuannya.
Kwa Tin ok rupanya mendapat tahu siapa yang menolongi ia, ia menarik tangannya hingga terlepas, tetapi ia kembali jatuh, sebab sebatang panah menyambar kaki yang lain.
” Untuk apa berlagak menjadi enghiong atau hoohan?” kata oey Yong dengan mengejek. Ia lantas menotok dengan ilmu totoknya “Lan-hoa Hut-hiat ciu”, ia menotok jalan darah di pundak si buta, atas mana jago Kanglam itu tidak berdaya lagi, dia lantas bisa dipegangi untuk tidak jatuh pula. Dia masih mau berontak tetapi dia gagal, separuh tubuhnya tidak dapat digeraki lagi. Hanya sambil terpaksa dia membiarkan dipepayang pergi, mulutnya mencaci kalang kabutan.
Belasan tombak jauhnya oey Yong membawa pergi gurunya Kwee Ceng itu, lalu ia singgah di sebuah pohon, untuk beristirahat. Di sini ia terlihat sejumlah serdadu, mereka itu lantas menyerang dengan belasan batang anak panah. Terpaksa ia maju, untuk menangkis mundur serangan itu. Tin ok ia biarkan sembunyi di belakang pohon.
Jago Kanglam itu mendengar suara datangnya anak-anak panah, ia tahu oey Yong lagi berkelahi untuk menolongi padanya, pikirannya menjadi berubah, maka itu ia berhenti mencaci, ia berkata^ “Jangan kau perdulikan aku Pergilah kau lari sendiri” sekarang ia bicara dengan perlahan.
“Hm” bersuara si nona. “Aku justru hendak menolongi kau Aku mau lihat, apa dayamu menolaknya”
Keduanya menyingkir ke belakang tembok kate di dekat situ. Penyerangan telahterhentikan, tetapi oey Yong dibikin capai sekali oleh tubuh yang berat dari Kwa Tin ok, maka itu dengan napas sengal-sengal ia menyender di tembok itu.
“Habislah sudah” kata Tin ok sambil menghela napas. Ia seperti putus asa. “Di antara kita, budi telah habis semuanya, maka kau pergilah semenjak ini anggap saja aku si bula she Kwa sudah mati”
oey Yong berkata dengan dingini “Terang-terang kau belum mati, mengapa kau menganggap dirimu sudah tidak ada di dalam dunia ini?jikalau kau tidak mencari aku untuk membalas sakit hati, nanti aku yang mencari padamu”
Dengan mendadak si nona menotok dua kali dengan tongkatnya, dua-duanya dijalan darah wietiong di tekukan dengkul. Tin ok tidak menyangka sama sekali, segera ia roboh mendelepok di tanah. Di dalam hatinya, ia lantas mencaci si nona. Ia tidak tahu nona itu hendak menyiksa bagaimana atas dirinya. Ia memasang kuping, ia mendengar orang telah berjalan pergi.
Ketika itu suara pertempuran terdengar semakin jauh, rupanya Coan Cin Liok Cu telah berhasil menghajar tentara negeri. Hanya sekarang Tin ok mendengar suara-nya Kwee Ceng memanggil-manggil. “Toasuhu” suara itu makin lama makin perlahan. Itulah tanda yang Kwee Ceng telah pergi mencari ke lain jurusan.
Lagi sekian lama, sunyilah di sekitarnya. Cuma di kejauhan terdengar keruyuknya ayam-ayam jago.
“Inilah yang terakhir aku mendengar keruyuk ayam,” pikir ketua Kanglam Cit Koay ini.
“Kalau besok pagi ayam berbunyi di sekitar kola Kee-hin, aku Kwa Tin ok. aku bakal tidak mempunyai kuping untuk mendengarnya lagi”
Tengah ia berpikir itu, ia mendengar tindakan kaki dari tiga orang. Tindakan kaki yang satu enteng sekali yang dua sangat berat. Ia lantas menduga kepada oey Yong. Dugaan ini nyata tidak meleset.
“Ini toaya” kata si nona, “Lekas gotong padanya”
Kata-kata itu dibarengi sama totokan, membebaskan jago Kang Lam itu, yang merasa tubuhnya lantas diangkat dinaiki di alas bale-bale, untuk digotong pergi. La berdiam saja. Ia merasa heran, hendak ia menanya, tetapi ia kata nanti disenggapi si nona.
Mendadak seorang yang jalan di sebelah depan, menjerit kesakitan. Rupanya orang itu dihajar si nona, yang terdengar berkata bengis^ “Jalan lekas Kamu semua tukang mengganggu rakyat, tidak ada satu dari kamu yang baik” Lalu yang di belakang pun menjerit.
“Terang sudah, dia telah menawan dua serdadu untuk menggotong aku,” Tin ok berpikir.
“Benar dia pintar dia mendapat pikiran semacam ini”
Tin ok menggigit rapat giginya alas dan bawah. Ia menahan sakit hebat sekali disebabkan rasa nyeri yang dahsyat di kedua kakinya yang terpanah tadi. Ia malu kalau ia merintih dan si nona nanti mengejeknya. Ia merasa bahwa ia dibawa di jalanan yang sukar, yang turun dan naik. Kemudian ia merasa ada cabang-cabang pohon yang melanggar mukanya. Jadi mereka berada di tempat yang pepohonannya lebat. Dua tukang gotong itu tetap berjalan tidak tetap. saban-saban mereka terhuyung, tandanya mereka letih sekali. Mereka jalan terus karena tongkat si nona seperti tidak mengenal kasihan
Tin ok menduga ia telah dibawa pergi sekira tiga puluh lie. Ia percaya hari sudah tengah hari. Pakaiannya kuyup bekas ditimpa hujan tetapi sekarang pakaian itu sudah hampir kering tersorot matahari dan terkena angin. Lalu ia mendengar suara tonggeret dan anjing, juga nyanyiannya sipetani pria dan wanita. suasana tenang sekali, beda dengan tadi di waktu terjadi pertempuran kacau.
oey Yong membeli buah labu dan masak itu dengan nasi. Ia makan satu mangkuk, yang semangkuk lagi ia letaki di depan Kwa Tin ok.
“Aku tidak lapar” kata jago Kanglam itu.
“Kakimu sakit, apa kau kira aku tidak tahu?” kata si nona.
“Apa sih lapar atau tidak lapar? sengaja aku hendak membikin kau merasai sakit, baru aku akan mengobatimu”
Tin ok gusar, ia menjeblok dengan mangkuk labunya.
Si nona tertawa dingin, satu serdadu sebaliknya menjerit kesakitan, sebab ia bisa berkelit dan si serdadu tidak.
“Buat apa menjerit-jerit” kata si nona.
“Kau tahu, Kwa Tayhiap membagi sayur labu padamu Kau tidak tahu terima kasih Lekas bikin bersih” serdadu itu takut, ia lapar dan kesakitan, ia lantas bekerja memunguti, ia dahar itu. Ia kesakitan karena mukanya yang kena sayur panas itu.
Bab 72. Mulutnya Si Tolol
Tin Ok mendongkol bukan main, ia mendongkol dan bergusar tanpa dapat melampiaskan itu. Ia duduk separuh menyender, mukanya menyeringai. Ia berniat mencabut anak panah di kakinya itu, ia tidak berani. Ia khawatir nanti darahnya menyembur dan ia sukar menyumbatnya. Memang celaka kalau si nona tidak menolongi ia membalut lukanya itu. Dengan terpaksa, ia menutup mulut. “Lekas ambil air dingin” menitah si nona bengis. “Lekas”
Perintah itu dibarengi sama tamparan nyaring ke muka serdadu yang diperintah itu.
Tin Ok mendengar itu, ia pikir. “Hebat ini siluman perempuan. Kalau dia tidak bicara, tidak apa asal dia membuka mulutnya, tentulah orang bercelaka”
“Ambil pisau” memerintah pula si nona. “Kau potong ujung bajunya Kwa Tayhiap di dekat lukanya itu” Perintah itu dilakukan satu serdadu.
“Orang she Kwa, kalau benar laki-laki, jangan kau menjerit kesakitan” kata si nona.
“Jangan kau membikin nonamu mendongkol, nanti dia tidak mau memperdulikan lagi padamu”
“Memangnya siapa yang kesudian kau memperdulikannya?” kata Tin Ok sengit.
“Lekas kau pergi,jauh-jauh” Tapi belum ia bicara habis, mendadak ia merasakan pahanya sangat sakit. orang telah memegang gagang panah, bukan panah itu dicabut hanya ditusukkan sakit
dan kaget, sebelah tangannya melayang. Lagi sekali ia merasakan sakit, kali ini pada tangannya, sebab pada tangannya itu dibelesaki anak panah.
oey Yong mencabut anak panah dan menyerahkan itu pada siterluka.
“Jikalau kau bergerak lagi satu kali, aku akan gaplok padamu” terdengar pula suara si nona.
Tin ok sangat mendongkol tetapi ia berdiam. Ia tahu, si nona berbuat apa yang dia katakan. sekarang ini ia bukan tandingan nona itu. sungguh hina kalau ia sampai digaploki oey Yong. Dengan muka merah padam, ia menutup mulut. Ia mendengar orang membeset beberapa kali pada potongan bajunya, ia merasa lukanya dibalut keras sekali, guna mencegah keluarnya darah. Habis itu ia merasakan dingin. si nona lagi mencuci lukanya itu. Ia menjadi heran.
” Kalau dia mau bikin aku celaka, kenapa dia menolongi? Kalau dia mau mendongi
aku Hm Hm Ayah dan anaknya ini, siluman-siluman dari Tho Hoa To, benarkah mereka
suka mendongi aku? Boleh jadi dia lagi menggunai akal jahatnya” Dilain saat, oey Yong sudah selesai mengobati.
Tin ok segera merasakan sakitnya berkurang sebagian besar. Ia tidak tahu oey Yong telah memakai obat siauw Hoan Tan dari Tho Hoa To, obat mustajab nomor satu untuk luka-luka. setelah itu, ia merasakan lapar, perutnya berbunyi keruyukan.
“Aku kira laparmu lapar paisu, kiranya lapar tulen” kata si nona mengejek, tertawanya dingin. “Baiklah, mari kita berangkat”
Ia bukan mengasih makanan, ia mengajak pergi. Pula ia telah mengayun tangannya, maka kedua serdadu tukang gotong itu kembali merasa sakitnya tongkat dari Partai Pengemis. Mereka ini menggotong pula orang yang luka itu, yang mereka diperintah memanggilnya “toaya” atau “tuan besar”.
Kali ini orang berjalan kira empat puluh lie, sang magrib telah mendatangi, burung-burung gagak pada berbunyi berisik sekali. Entah ada berapa ribu gagak di situ.
Tin ok kenal baik kota Kee-hin, maka tahulah ia yang ia telah dibawa ke dekat Tiat ciang Bio, kuil di mana ada dipuja Tiat Ciang ong Gan ciang si Tombak Besi, panglima perang yang kesohor di jaman Ngo Tay. Di samping kuil itu ada sebuah menara besar, yang sudah semenjak lama menjadi sarang gagah. Penduduk menyangka burung itu burung malaikat, mereka tidak berani mengganggu, maka juga, makin lama burung hitam itu jadi makin banyak.
“Ah, hari sudah gelap. di mana di sini kita mencari pondokan?” berkata si nona.
Tin ok lantas berpikir: “Kalau kita menumpang di rumah penduduk. ada kemungkinan rahasia nanti bocor dan tentara negeri bisa datang untuk melakukan penangkapan”
Karena ini, ia menyahuti: “Di sebelah depan, tidak terlalu jauh, ada sebuah kuil tua lainnya.”
si nona tidak menjawab, hanya ia kata bengis: “Apakah bagusnya burung gagak untuk dipandang? Memangnya kamu belum pernah melihatnya? Lekas jalan” Kedua serdadu lantas berjalan pula, kesakitan dan ketakutan dan lelah sekali.
Tidak lama sampailah mereka di Tiat Ciang Bio. Kwa Tin ok mendengar oey Yong menolak pintu. segera hidung mereka tersampok bau kotoran gagak. Itulah tanda yang kuil itu sudah lama tertinggal kosong dan tidak terurus. Ia tadinya menduda nona itu bakal menggerutu karena kuil kotor, tidak tahunya si nona tidak memperdulikannya. Ia lantas mendengar kedua serdadu diperintah menyapu kotoran dan kemudian masak air.
oey Yong sendiri mengganti obatnya si jago Kang Lam, habis itu baru dia sendiri pergi mencuci muka dan kaki. Tin ok merebahkan diri di ujung meja.
Belum lama, terdengarlah suara si nona: “Perlu apa kamu memandangi kakiku?
Memangnya kakiku dipertontonkan kepada kamu? Awas, aku nanti korek biji matamu”
Kedua serdadu itu ketakutan, mereka menjatuhkan diri dan mengangguk-angguk hingga jidatnya nyaring mengenai lantai.
“Bilang, perlu apa kamu mengawasi aku mencuci kaki?” si nona bertanya pula.
“Maafkan, nona,” kata satu serdadu sambil mengangguk pula. “sebenarnya hambamu melihat kaki nona bagus bagus sekali”
“Celaka betul,” pikir Tin ok. “sampai ini waktu mereka masih main gila Entah mereka bakal dikeset kulitnya dan dibetot otot-ototnya atau tidak oleh si nona”
Tapi oey Yong tertawa, katanya: “Macam tolol sebagai kamu masih mengetahui apa yang bagus dan apa yang tidak? Hm”
Dan satu serdadu jumpalitan, karena dihajar tongkat si nona. setelah itu kedua serdadu itu pergi bersembunyi di belakang. Tin ok berdiam saja, ia ingin ketahui apa bakal terjadi pula.
oey Yong berjalan mondar mandir, kemudian terdengar ia mengoceh seorang diri:
“ong Tiat Ciang gagah luar biasa, diakhirnya ia toh kepala terpisah dari tubuhnya Apakah artinya seorang enghiong? Apakah artinya seorang hoohan? Ah, tombak besinya ini tentulah tombak karatan”
Di masa mudanya, sebelum matanya buta, Tin ok bersama Han Po Kie dan yang lainnya pernah memain di kuil ong Gan ciang ini, meski mereka masih kecil, mereka pernah bergantian mencoba mengangkat tombak besi itu, maka itu mendengar perkataannya nona itu, ia menyahuti: “sudah pasti tombak itu tombak besi, bukannya tombak palsu”
“Ah” berkata si nona, yang terus mengangkat tombak itu. “Beratnya tombak ini kira-kira tiga puluh kati Aku telah membikin tongkatmu hilang, aku belum sempat menggantinya, karena besok kita bakal berpisah, untuk pergi masing-masing, sebab kau tidak mempunyai senjata, baiklah kau ambil tombak ini untuk dipakai sebagai gantinya tongkat.”
Tanpa menanti persetujuan oey Yong pergi membikin patah ujung tombak yang tajam, lalu ia menyerahkan tombak yang tinggal gagangnya itu, yang menjadi semacam toya atau tongkat.
Tin ok berduka ketika ia mendengar si nona membilang besok mereka bakal berpisahan. sekarang ini ia sebatang kara. Pula aneh, setelah berkumpul seharian itu sama si nona, ia sekarang merasa berat untuk berpisahan. Ia memegangi tombak itu, yang antap beratnya, ia merasa senjata itu cocok untuknya. Ia pun berpikiri “la memberikan senjata kepadaku, nyata ia tidak bermaksud jahat.”
Lalu ia mendengar si nona berkata kepadanya: “Inilah obat siauw Hoan Tan bikinan ayahku. obat ini ada faedahnya untuk lukamu. Kau membenci kami ayah dan anak.
terserah kepadamu untuk memakainya atau tidak”
Tin ok merasakan tangannya dijejalkan sebuah bungkusan, ia menyambuti itu dan memasukinya perlahan-lahan ke dalam sakunya. la tidak dapat membilang suatu apa.
Lamengharap si nona masih berkata-kata pula, tapi apa yang ia dengar hanya ini: “Nah, sekarang tidurlah” Lalu sunyi segala apa.
Jago Kanglam ini merebahkan dirinya, tombaknya diletaki di sisinya. Tidak bisa ia lantas tidur pulas. Ada saja pikiran yang menyandingi padanya. Lamendengar suara gagak yang berisik, suara mana makin lama makin reda, lalu sunyi segala apa.
Mengenai si nona, ia merasa orang tidak tidur hanya duduk terus, duduk tanpa berkutik.
Adalah kemudian, terdengar nona itu mengatakan seorang diri, suaranya perlahan, bersenandung. Dia membacakan syairnya Eng Kouw, yang Tin ok tidak mengerti maksudnya. Hanya jago Kanglam ini merasa suara orang sedih, hingga ia menjadi terharu.
Tidak lama dari itu barulah si nona bergerak. rupanya dia merebahkan diri Kemudian lagi, suara napasnya menjadi perlahan lalu berhenti.
Tin ok meraba tombak di sisinya. Kesunyian membuatnya ia berpikir. Di depan matanya lantas bagaikan berpeta Cu Cong lagi membaca kitab bututnya dan Han Po Kie dan coan Kim Hoat seperti lagi menarik-narik kumis patung malaikat. Lamerasakan seperti bermimpi bersama Lam Hie Jin dan Thio A seng tengah saling menarik tombak besi itu, sedang siauw Eng - sananya - baru berumur empat atau lima tahun, dua kuncirnya ngacir, selagi dia tertawa haha-hihi, kuncirnya itu memain dengan benang merahnya. Hanya sekejap. segala apa menjadi gelap. Lenyap segala pertanyaan itu sebaliknya, timbullah hawa amarahnya, muncul kebenciannya yang hebat terhadap si nona. Maka ia berbangkit, sambil membawa tombaknya, ia berindap-indap mendekati si nona. Lamendengar suara napas yang enteng, bukti bahwa nona itu lagi tidur nyenyak.
“Jikalau aku hajar dia, dia akan mati tanpa merasa,” pikirnya jago ini, yang pikirannya seperti waswas itu. “Tanpa bersikap begini, karena oey Lao shia sangat kosen, mana bisa aku menuntut balas? Anaknya ini lagi tidur, inilah ketika yang baik pemberian Thian Biarlah Tong shia merasakan enaknya orang kematian anak” Cuma sebentar ia berpikir begitu, atau ia ingat pula: “Anak ini pernah menolongi jiwa ku, dapatkah aku membalas kebaikan dengan kejahatan? Ah, biarlah Habis membunuh dia, aku pun membunuh diri di sampingnya, guna membalas budinya”
Cuma bersangsi sebentar, Tin ok segera mengangkat tombaknya. la telah pikir pula:
“Aku Kwa Tin ok. seumurku aku jujur dan pemurah, selama beberapa puluh tahun dari hidupku, tidak pernah aku melakukan apa-apa yang tidak pantas. sekarang aku dapat kembali ke kampung halamanku, meski mati, tidak ada yang dibuat sesalan lagi”
Tepat sekali ia mengerahkan tenaganya, mendadak ia mendengar suara tertawa nyaring dari kejauhan, suara itu menyeramkan, membangunkan bulu roma.
oey Yong terbangunkan tertawa itu, ia terus berlompat. Maka kagetlah, ia menyaksikan Kwa Tin ok lagi mengancam ia dengan tombaknya ong Gan cian itu Tapi ia berteriak. “Auwyang Hong”
Tin ok kecele. Tidak dapat ia meneruskan serangannya itu. la pun segera mendengar suara bicaranya beberapa orang, yang terus mendatangi ke arah kuil. setelah itu, ia mendengar tindakan kaki, mungkin dari tiga sampai empatpuluh orang, terdengarnya di depan dan belakang kuil, di kedua samping.
setelah mendengari sekian lama, Tin ok berkata dengan perlahan: “Terang mereka datang kemari karena mereka mendapat dengar suara burung gagak. Mari kita sembunyi” oey Yong setuju, ia memberikan penyahutannya.
Tin ok menuntun tangan orang untuk diajak pergi ke belakang tapi di pintu pendopo bagian belakang itu, ia mengutuk kedua serdadu tadi. Pintu itu dikuncikan mereka itu.
sedang begitu, di depan terdengar suara pintu ditolak,Jadi untuk mereka, tidak ada tempo untuk pergi keluar.
“Mari kita bersembunyi di belakang patung,” katanya. oey Yong menurut. la pun tidak melihat lain tempat sembunyi.
Baru mereka memernahkan diri Tin ok mencium bau belerang, maka tahulah ia yang orang telah menyalakan api.
“Paduka yang mulia Chao Wang,” lalu terdengar suaranya Auwyang Hong. “Kali ini dalam pertempuran di Yan le Lauw kita tidak memperoleh hasil tetapi kesudahannya kita telah memberi hajaran juga kepada semangatnya musuh” Chao Wang atau Wanyen Lieh, tertawa.
“Di dalam segala hal aku mengandal kepada sianseng,” ia kata. “Begitu juga di lain hari, dalam urusan mengambil kitab di Tiat Ciang Pang, aku mengharap sangat bantuan sianseng.”
“ltulah pasti” kata Auwyang Hong. “sebenarnya, kalau bukan paduka yang mulia telah mengalami bahaya besar ini, siapa menyangka kitabnya Gak Bu Bok itu adanya di puncak Tiat Ciang Hong?”
“Beberapa budak sianseng telah menolongi jiwanya anakku, aku berterima kasih sekali,” berkata pula Chao Wang si pangeran Kim. “Aku telah kirim mereka ke kota raja, untuk di sana mereka dirawat seumur hidupnya.”
“ltu semua menandakan kebaikan paduka yang mulia,” kata Auwyang Hong tertawa.
“Khiu Pang cu telah menjadi gusar danpulang ke gunungnya,” kemudian Wanyen Lieh berkata pula, “Di sana pasti dia bakal melakukan penjagaan kuat sekali, maka itu sianseng ada mempunyai akal apa untuk mendapatkan kitabnya Gak Hui itu?”
“Paduka yang mulia mempunyai banyak orang pandai, apakah artinya satu partai Tiat Ciang Pang?” berkata see Tok. “Biarnya Khiu Cian Jin lihay, Auwyang Hong merasa sanggup untuk melayani dia” la lantas tertawa kering.
Lalu terdengar suaranya Nio Cu ong, Pheng Lian Houw, see Thong Thian dan lainnya, yang mengumpak-umpak see Tok, sebaliknya Khiu Cian Jin tidak dipandang mata sama sekali.
setelah itu terdengar suaranya seorang muda: “Tuan-tuan, kata-katamu tidak tepat.
Khiu Pangcu lihay sekali, aku telah melihatnya dengan mataku sendiri Aku percaya, selain Auwyang sianseng, tidak sanggup menandingi dia.” Tin ok mengenal suaranya Yo Kang, hatinya panas sekali. Perkataannya Yo Kang itu membikin Nio Cu ong semua kecele dan malu.
“Khiu Cian Jin si tua bangka seperti ampas, sekalipun Kwee Ceng si bocah dia tidak
dapat mengalahkannya” tiba-tiba terdengar suaranya Leng Tie siangjin. ” Kepandaian dia itu biasa saja”
Mendengar itu, Auwyang Hong tertawa dingin. ” Kalau begitu, dapatkah sianjin mengalahkan Kwee Ceng?” ia tanya.
Diam-diam orang tertawa. Mereka ingat peristiwa itu hari di Ci Han Tong di istana di mana Leng Tie siangjin telah dibikin terlempar dari dalam air tumpah.
“Bukan aku memandang rendah kepada siangjin,” berkata pula Auwyang Hong.
“orang dengan kepandaian sebagai kau, meski kau belajar lagi sepuluh tahun, belum tentu kau dapat menjadi tandingannya Khiu Pangcu. Nama Tiat Ciang sui-siang-pauw menggetarkan dua propinsi Lian ouw, hingga sekalipun aku, tidak berani aku memandang enteng terhadapnya” Lagi sekali see Tok tertawa kering.
Leng Tie siangjin mendongkol bukan main, ia malu, akan tetapi ia tidak berani membuka mulut guna melawan bicara. Mukanya menjadi merah.
Kwa Tin ok mendengar orang bicara, ia menahan napas. Lamengenali semua orang tangguh itu. Kalau tadi ia ingin mati bersama oey Yong, sekarang sebaliknya ia khawatir dirinya dan si nona nanti terbinasakan mereka.
Habis itu terdengar hamba-hambanya Wanyen Lieh mengatur tatakan untuk Wanyen Lieh bersama Yo Kang dan Auwyang Hong beristirahat.
“Auwyang sianseng,” terdengar suaranya Yo Kang. “Di dalam bukunya siangkoan Kiam Lam, boanpwee melihat ada catatan tentang ilmu untuk memecahkan pukulan Tangan Besi itu.”
Auwyang Hong girang mendengar keterangan itu hingga ia berlompat bangun sambil menegasi: “Benarkah itu?”
“Boanpwee tidak berani mendusta,” kata Yo Kang, yang menyebut diri “boanpwee”,
yang terlebih muda. “Hanya sayang, bagian pelajaran itu termuat di dalam halaman-halaman yang justru kena dirobek-robek si perempuan hina dina”
Auwyang Hong menyesal sekali. Ia tidak takuti Khiu Cian Jin tetapi kepandaian orang itu ia malui. Maka sayang ilmu memecahkan ilmu silat Tangan Besi itu telah lenyap dan musnah.
“Boanpwee telah membaca itu, bunyinya masih boanpwee ingat samar-samar,”
berkata pula Yo Kang, “sayang kepandaianku tidak berarti dan aku tidak dapat menyelami catatan itu. Di dalam hal ini boanpwee mengharap petunjuk sianseng.”
Mendengar ini, timbul harapannya see Tok.
“Bagus, bagus” serunya. Hanya sejenak, ia terus menghela napas. Kemudian ia kata:
” Keponakanku telah terbinasa di tangannya Oey Yok Soedan orang-orang Coan Cin Pay, dengan begitu Pek To san menjadi tidak ada ahli warisnya lagi. Aku pikir baiklah aku ambil kau sebagai muridku.”
Yo Kang girang bukan main. Inilah justru pengharapannya. Tidak ayal lagi, ia berlutut di hadapan see Tok, untuk paykui. Tin ok menyesal dan mendongkol bukan main.
“Dia turunan baik-baik, mengapa sekarang dia mengakui musuh sebagai ayahnya?” pikirnya. “sudah begitu, mengapa dia juga mengangkat orang jahat sebagai gurunya?
Dia tenggelam semakin dalam, mungkin tidak ada harapan untuk ia berbalik pikir.”
Melihat putranya mengangkat guru, Wanyen Lieh berkata: “Di sini di tanah asing tidak dapat disediakan hadiah untuk upacara mengangkat guru ini, baiklah itu ditunda sampai lain hari.”
Auwyang Hong tertawa dan berkata “Tentang barang permata, di Pek To San telah tersedia cukup, Auwyang Hong cuma mengharap bakat baik dari anak ini, supaya dia menjadi ahli warisku yang berarti.”
“Sianseng, maaf,” berkata Wanyen Lieh.
Nio Cu ong beramai lantas memberi selamat kepada Auwyang Hong, Yo Kang dan pangeran Kim itu. yang pertama karena mendapat murid, yang kedua karena mendapat guru, dan yang ketiga karena putranya mendapat guru pandai.
“Tengah ramai mereka itu memberi selamat, mereka mendengar seorang berkata-kata nyaring: “sa Kouw sudah lapar sa Kouw sudah lapar sekali Kenapa aku tidak diberi makan?”
Kwa Tin ok mendengar suara itu yang ia mengenalinya, ia menjadi heran. “Kenapa anak itu berada bersama Wanyen Lieh dan Auwyang Hong?” pikirnya.
“Benar” terdengar saranya Yo Kang, yang tertawa. “Lekas cari barang makanan untuk si nona, jangan bikin ia kelaparan hingga nanti mendapat sakit”
Tidak lama setelah suaranya pangeran muda itu, sa Kouw terdengar sudah mulai memakan apa-apa sembari makan maka terdengar pula suaranya “saudara yang baik, kau bilang kau hendak mengajak aku pulang, kau minta aku selalu mendengar perkataanmu, tetapi kenapa sampai sekarang aku masih belum sampai di rumahku?”
“Besok kita akan sampai di rumahmu,” kata Yo Kang. “Sekarang kau dahar biar kenyang dan lantas tidur baik-baik,” sa Kouw berdiam, hanya sebentar.
“saudara yang baik,” katanya pula, “suara apa itu di atas menara?”
” Kalau bukannya burung tentulah tikus,” sahut si pangeran muda.
“Aku takut,” kata si nona tolol.
“Ah, nona tolol, takut apa?” Yo Kang kata tertawa.
“Aku takut setan” sahut si nona.
“Di sini ada begini banyak orang, mana setan berani datang ke mari?” bilang pangeran muda itu.
Tin ok mendengar nyata, suaranya Yo Kang sedikit menggetar dan tertawanya pun tidak wajar.
“Aku takut setannya si kate dan gemuk itu,” berkata si nona pula.
“Hus, jangan ngaco belo” kata Yo Kang, kembali tertawa.
“Apa sih si kate gemuk? Buat apa kau menyebut nyebut”
“Hm, jangan kau kira tidak tahu” berkata sa Kouw “si kate gemuk itu mati di dalam kuburan dari nenekku maka arwahnya nenek bisa mengusir dia pergi dari pekuburan itu, untuk melarang dia tinggal di dalam kuburan setelah diusir, dia nanti pergi mencari kau”
“Tutup mulut” Yo Kang membentak. ” Kalau kau terus banyak bacot, nanti aku panggil kakekmu, biar dia nanti membawa kau kembali ke Tho Hoa To” Ancaman itu rupanya memakan, sa Kouw lantas menutup mulutnya.
“Hai, kau menginjak kakiku” tiba-tiba see Thong Thian membentak. Rupanya si tolol, karena takutnya kepada setan, telah menggeraki kakinya.
Tin ok segera berpikir. la percaya dengan si kate gemuk itu tentulah dimaksudkan Han Pe Kie, saudaranya yang nomor tiga. saudara itu terbinasa di Tho Hoa To, terang dia dibunuh oey Yok su, maka kenapa setannya hendak mencari Yo Kang? la heran. Sa Kouw memang tolol tetapi kata-katanya itu mesti ada sebabnya, itu bukannya ocehan belaka. Karena di situ ada banyak musuh, biarnya ia hendak menanyakan si nona tolol, tidak dapat ia melakukan itu Lalu ia ingat kata-kata Oey Yok Soeselama di Yan le Lauw bahwa dia ada manusia macam apa dan bagaimana dia bisa sama pendapat sama mereka.
“Oey Yok Soetidak mau membunuh aku, maka bagaimana d la dapat membunuh kelima saudaraku? Kalau bukan Oey Yok Soeyang membunuhnya, kenapa adik yang nomor empat membilang dia melihat sendiri Oey Yok Soemembunuh saudaraku yang nomor dua dan nomor tujuh?”
Tengah ia berpikir, Tin ok merasa oey Yong menarik tangan kirinya dan di telapakan tangannya lantas mencoret beberapa huruf, mulanya huruf “kiu” = minta, lalu yang lain: “
satu hal.” la lantas membalasi dengan menuliskan pertanyaan: ” urusan apa itu?” oey Yong menulis pula: “Membilangi ayahku slapa membunuh aku.”
Mengetahui pertanyaan itu, Tin ok melengak. la tidak mengerti maksud si nona.
sedangkan ia berpikir, Ia merasakan angin bergerak di sisinya, lalu oey Yong lompat keluar dari tempatnya sembunyi, sambil tertawa, nona itu kata “Auwyang Peehu, kau baik?”
Mendengar suara orang itu, Nio Cu ong semua terkejut, dengan serentak, mereka menghunus senjata mereka masing-masing, lantas mereka mengambil sikap mengurung. Di antaranya ada yang berseru: “siapa kau?” oey Yong tidak takut, ia bahkan tertawa terus.
“Ayahku menitahkan aku menantikan Auwyang Peehu di sini” katanya keras.
“Perlu apa kamu membikin banyak berisik tidak karuan?” Auwyang Hong tertawa.
“Bagaimana ayahmu ketahui aku bakal tiba di sini?” ia menanya.
“Ayahku mengerti ilmu bintang dan meramalkan tidak ada apa-apa yang ia tidak tahu,”
menyahut si nona. “Asal dia menghitung-hitung menuruti ilmu hitung Bun ong Kwa lantas dia tahu segala apa.”
Auwyang Hong tidak menanyakan lagi, meski ia hanya percaya satu bagian dari perkataan si nona dan tidak mempercayainya yang sembilan bagian.
see Thong Thian sendiri berlaku cerdik. Ia sudah lantas pergi ke luar kuil, kekelilingan, memeriksa, habis mana, ia masuk kembali dengan hati lega. Ia tidak mendapatkan kawan si nona. sesudah menyimpan senjata masing-masing, orang merubungi Wanyen Lieh.
oey Yong menghampirkan tempat duduk. untuk bersila di situ. “Auwyang Peehu, kau membikin ayahku bersengsara” katanya, tertawa.
Auwyang Hong tidak menyahuti. Ia tahu bocah in lihay mulutnya, kalau ia salah omong, di depan orang banyak itu ia bisa mendapat malu. Maka ia menantikan perkataan lebih jauh dari si nona.
“Auwyang Peehu,” berkata pula oey Yong. “Ayahku telah terkurung imam-imam dari coan cin Kauw di dusur Sinteng-tin di Siauw Hong Lay, jikalau kau tidak menolongi, dia sukar meloloskan dirinya.”
See Tok bersenyum. “Mana bisa jadi” katanya.
“Enak sekali kau bicara, Auwyang Peehu” berkata pula si nona. “Satu laki-laki, dia berbuat, dia bertanggung jawab Terang-terang kaulah yang membinasakan Tam cie Hian, si imam dari coan cin Kauw, entah kenapa sekarang itu kawanan imam telah menggerembengi ayahku itu. Sudah begitu muncul juga Loo Boan Tong ciu Pek Thong, yang mengacau. Ayahku tidak mau mengaku atau menyangkal semua itu, maka juga, habis bagaimana?”
Di dalam hatinya, Auwyang Hong girang. Tapi ia kata, “Ayahmu lihay sekali, apa yang mereka bisa bikin itu beberapa bulu campur aduk?”
Sengaja See Tok menyebutnya imam-imam dari coan cin Kauw itu sebagai “bulu campur aduk”.
“Tetapi ayahku juga bukannya menghendaki kau datang sendiri untuk membantui padanya,” berkata pula si nona, “Hanya ayahku menyuruh aku menyampaikan kepada kau bahwa setelah ia memikirkan susah payah selama tujuh hari dan tujuh malam, ia telah berhasil dengan pemahamannya. Inilah mengenai sebuah kata-kata”
“Apakah itu?” Auwyang I Hong tanya.
Oey Yong menyahuti. Ia membacakan serintasan kata-kata Sansekerta.
Kwa Tin ok dan Wanyen Lieh serta rombongannya tidak mengerti ucapan si nona itu, sebaliknya Auwyang Hong menjadi terkejut.
“Benarkah Oey Yok Soeberhasil memahamkan bagian terakhir dari Kiu Im Cin-keng” pikirnya. Tapi karena ia seorang berpengalaman, ia tidak mengasih kentara akan kagetnya itu. Ia malah berlagak tenang.
“Bocah cilik, kau gemar mendustai orang” katanya. “Kau ngaco belo, siapakah yang mengerti?”
“Ayahku telah berhasil menyalin semua itu, aku melihatnya sendiri,” kata oey Yong.
“siapa mendustakan kau?”
Auwyang Hong tergoncang ketenangan hatinya. Ia tahu Oey Yok Soesangat cerdas.
Memang orang yang dapat memahamkan Kiu Im Cin-keng cuma si sesat dari Timur itu, tidak ada orang lainnya lagi.
“Kalau begitu, hendak aku memberi selamat kepada ayahmu” katanya. Ia tetap berlaku tenang.
oey Yong bisa menduga kesangsian orang. Ia kata pula, “Aku telah melihat terjemahan itu, sekarang aku masih mengingatnya. Tidak ada halangannya untuk aku membacakannya mengasih kau dengar” Benar-benar ia membacakan: ” Kalau tubuh bergerak, kalau tubuh berat seperti ketindihan barang, atau kalau tubuh enteng seperti hendak terbang, atau tubuh terikat, atau panas atau dingin, atau girang atau bergelisah, atau kaget, atau sangat girang dan mabuk. semua itu harus disalurkan menurut ilmu yang di bawah ini, guna memperoleh ketenangannya dan menjadi sempurna”
Auwyang Hong sangat tertarik. Memang ilmu itu mesti didapat secara tenang, kalau tidak, orang bisa tersesat dan menghadapi akibatnya yang membahayakan. Ia tidak tahu si nona menyebutkan terjemahannya It Teng Taysu jadi Kiu Im Cin-keng yang tulen, ia hanya percaya itu sebab ia menganggap masuk di akal.
“Habis bagaimana sadurannya itu?” ia tanya.
“Bagaimana bawahnya itu aku lupa,” berkata si nona.
Auwyang Hong bersangsi. Ia tahu nona ini sangat cerdik, tidak nanti dia lupa. Ia mau
percaya orang mendustai ia. Maka ia memikirkan, kenapa si nona menyebut-nyebut bunyinya kitab itu.
“Ayah menyuruh menanya kau, Auwyang Peehu,” kata oey Yong pula. “Kau menghendaki lima ribu huruf atau tiga ribu?”
“Coba kau menjelaskan dulu,” menjawab see Tok.
“Jikalau kau suka membantu ayah hingga kamu berdua bersama memusnahkan Coan Cin Kauw, maka semua lima ribu huruf dari Kiu Im Cin-keng akan aku baca habis untuk kau mendengarkannya.“
Auwyang Hong bersenyum. “Jikalau aku tidak suka membantu ayahmu?”
“Maka ayah mau minta kau tolong membalaskan sakit hatinya saja. setelah kau membinasakan Coan cin Liok Cu beserta Ciu Pek Thong, akan aku membacakan yang tiga ribu huruf itu.” see Tok tertawa.
“Sebenarnya perhubungan ayahmu denganku tidak erat, mengapa sekarang dia begini menghargai aku?” ia tanya.
“Ayah membilang, pertama-tama, yang membinasakan keponakanmu itu ialah muridnya Coan Cin cit Cu, maka ayah pikir kau tentunya akan membalaskan sakit hatinya”
Yo Kang menggigil sendirinya mendengar perkataan nona. Ialah muridnya Khu Cie Kie. Jadi si nona pasti maksudkan dia.
“Eh, saudara yang baik, kau kedinginan?” tanya sa Kouw kepada pangeran muda itu.
Ia melihat tubuh orang bergemetaran. Yo Kang menyahuti sembarangan saja.
“Kedua,” berkata pula oey Yong. “setelah berhasil memahamkan kitab, ayah lantas bertempur sama kawanan imam itu, ia jadi belum sempat menjelaskan semua. Kitab itu kitab aneh dan langka, mana dapat itu dibikin lenyap? sekarang ini cuma kau seorang yang tabiatnya mirip ayahku, maka itu ayah ingin mewariskan itu padamu, nanti baru kau mengajari aku.”
“Kata-kata ini dapat dipercaya,” Auwyang Hong pikir. “Tanpa penjelasan, biar budak ini sangat cerdas, tidak nanti dia dapat menangkap artinya kitab itu.” Tapi ia mengutarakan kesangsiannya. Ia kata: “Mana aku ketahui kau membacakan yang asli atau yang palsu?”
“Kwee Ceng si tolol telah mengasihkan kitab yang tertulis,” berkata si nona, “Maka kalau kau mengakurkannya dengan apa yang aku bacakan, kau bakal mengetahui tulen atau paisunya.”
“Kau benar juga. sekarang kau memberikan ketika untuk aku beristirahat, besok aku nanti pergi menolongi ayahmu itu,” berkata Auwyang Hong. oey Yong tidak mau mengerti.
“Menolongi orang kesusahan seperti tolongi orang kebakaran, bagaimana kau bisa menanti sampai besok? “
“Kalau begitu, nanti saja aku membalaskan sakit hati ayahmu? sama bukan?”
See Tok tertawa. Ia telah berpikir, di mana kitab sudah ada di tangannya, ia tinggal memaksa saja si nona memberikan penjelasan kepadanya, nanti ia akan mendapat mengerti sendiri Bukankah bagus ia membiarkan Oey Yok Soedan Coan Cin Kauw bertempur mati-matian?
Kwa Tin ok memasang kuping. orang membicarakan melulu soal kitab, ia tidak mengerti. Ia pun heran untuk tulisannya oey Yong di telapakan tangannya itu: “Bilangi ayahku siapa yang membunuh aku.”
Lalu terdengar suara oey Yong pula: “Bagaimana kalau kau pergi besok pagi-pagi?
Dapatkah?” si nona agak kewalahan.
“Tentu” see Tok tertawa. “sekarang kau beristirahatlah”
Oey Yong menurut, akan tetapi Lamendekati sa Kouw.
“Eh, sa Kouw ayahku membawa kau ke Tho Hoa To, kenapa sekarang kau ada di sini?” ia tanya.
“Aku tidak suka berdiam di Tho Hoa To, hendak aku pulang ke rumah sendiri,” menyahut si tolol.
“Bukankah ini saudara she Yo yang telah pergi ke Tho Hoa To dan lalu membawa
kau pergi? Benar bukan?” oey Yong tanya pula.
“Benar. Dia benar-benar seorang baik hati” Kwa Tin ok mendengar itu Ia heran.
” Kapannya Yo Kang pergi ke Tho Hoa To?” ia tanya dirinya sendiri.
” Habis, ke mana perginya ayahku?” oey Yong tanya. sa Kouw nampak kaget.
“Jangan membilangi aku buron, ya?” katanya. “Kakek bakal menghajar aku..”
“Aku tidak akan memberitahukan,” kata oey Yong tertawa.
“Cuma hendak aku menanya kau dan kau harus menjawabnya dengan baik.”
“Kau jangan membilangi kakek. ya. Kakek hendak menangkap aku, buat dibawa pulang. Dia mau mengajari surat pada ku.”
“Tentu aku tidak memberitahukan” kata oey Yong tertawa pula. “Kau bilang kakek mau mengajari surat?”
“Benar. Hari itu di kamar tulis kakek mengajari aku menulis surat. Pula aku diberitahu bahwa ayahku orang she Kiok dan namanya entah apa Hong. Benar-benar aku sukar mengingati itu, lantas kakek gusar, dia mengatakan aku tolol hebat sekali. Aku memang juga dipanggil sa Kouw”
“sa Kouw memang tolol,” kata oey Yong tertawa manis. “Ayah memaki kau, itulah keliru” sa Kouw senang mendengar perkataannya nona ini. “Bagaimana kemudiannya?”
“Aku mengasih tahu niatku ingin pulang, kakek jadi semakin gusar selagi begitu, satu budak gagu datang masuk. Ia bicara sama kakek, tangannya digerak-geraki. Kakek kata, ‘Aku tidak mau menemui tetamu, suruh mereka pergi kembali’ Budak itu mengundurkan diri, tapi sebentar lagi ia kembali sambil membawa sepotong kertas.
Kapan kakek melihat itu, ia lantas menitahkan aku ikut si gagu menyambut sekalian tetamunya itu. Aku melihat si kate gemuk itu, muak aku melihatnya. Aku mendelik terhadapnya, dia mendelik terhadapku.”
Tin ok membayangi halnya itu hari ia dan saudara-saudaranya berkunjung ke Tho Hoa To. Keterangannya nona tolol ini cocok sama keadaan itu waktu. Mulanya mereka ditolak, setelah Cu Cong menulis surat, mereka diterima. Memang benar, sa Kouw yang menyambut mereka. Hanya sekarang Han Po Kie telah tidak ada bersama ia, ia menjadi sedih. “Apakah kakekmu menemui mereka itu?” oey Yong bertanya pula.
” Kakek memerintah aku menemani mereka bersantap. kakek sendiri mengundurkan diri. Aku tak senang melihat si kate gemuk itu, diam-diam aku meninggalkan mereka.
Aku melihat kakek di belakang, lagi duduk di batu mengawasi laut. Aku pun turut memandangnya. Di ana nampak sebuah perahu layar lagi mendatangi. Yang duduk diperahu itu ialah bangsa imam.”
Kwa Tin ok berpikir: “Itu hari kami mendengar kabar Coan cin Pay bakal menyatroni Tho Hoa To untuk menuntut balas, kami lantas mendahului datang guna mengasih kisikan, buat minta dia suka menyingkir untuk sementara waktu, supaya kami yang menemui pihak Coan cin Pay guna memberikan penjelasan, hanya di pulau itu kami tidak mendapatkan tibanya orang-orang coan Cin Kauw itu Kenapa sekarang sa Kouw membilang dari hal tibanya imam-imam itu yang naik perahu?”
“Bagaimana dengan kakek?”
“Kakek menggapaikan aku. Aku kaget. Aku mengira kakek tidak tahu aku meninggalkan tetamu. Aku takut menghampirkan kakek. aku khawatir nanti dihajar.
Kakek kata, ‘Aku tidak pukul padamu kau ke mari.’ Aku menghampirkan. Kakek lantas membilangi aku dia mau pergi mancing dengan naik perahu, maka dia memesan kalau kawanan imam itu mendarat, aku mesti menyambut mereka, untuk mengajak mereka masuk dan bersantap bersama-sama rombongannya si kate gemuk itu. Aku bilang bahwa akupun ingin pergi mancing. Lantas air mukanya kakek menjadi guram. Terpaksa aku diam saja. “
“Kemudian lagi, bagaimana?”
“Kakek pergi ke belakang untuk mengambil perahunya. Aku mendapat kenyataan, wajahnya semua imam itu tak sedap dipandangnya, pantas kakek tidak sudi menemui mereka.”
“Benar, benar apa yang kau bilang. Kapan kembalinya kakek?”
“Apa, kembali? Dia tidak pulang lagi.”
Tin ok terkejut hingga tubuhnya bergerak.
“Apakah kau tidak salah ingat? Kemudian lagi bagaimana?” oey Yong menanya, suaranya rada bergemetar.
“selagi kakek hendak melayarkan perahunya untuk berangkat, mendadak datang sepasang burung besar. Itulah sepasang burungmu. Kakek menggapai kepada kedua burung itu. Mereka itu terbang turun. Ada apa-apa yang diikat di kaki burung, bagus barang itu. Aku teriaki kakek: “Kakek, kakek kasih aku”
selagi mengucap itu, benar-benar sa Kouw berteriak-teriak.
“sudah, jangan omong saja” Yo Kang membentak. ” orang mau tidur”
“Jangan perdulikan dia,” berkata oey Yong. ” Kau omong terus.”
“Aku akan bicara perlahan,” katanya si tolol. Dan ia benar memperlahankan suaranya. “Kakek tidak meladeni aku, dia menyobek ujung bajunya, dia ikat itu di kaki burung, yang dia lantas lepaskan pergi pula.”
oey Yong berpikiri “Ayah hendak menyingkir dari Coan Cin cit Cu, pantas dia tidak sempat mengambil ikan emas. Hanya panah di tubuhnya burungku yang jantan, siapakah yang memanahnya?” Maka ia lantas menanya: “siapakah yang memanah burung itu?”
“Memanah burung? Tidak.” selagi mengatakan itu, si tolol melongo.
“Baik. Nah, kau cerita terus.”
“Melihat bajunya robek. kakek menyuruh aku pulang untuk mengambil sepotong yang lain. Ketika kemudian aku kembali bersama baju, kakek sudah tidak ada. Perahu kawanan imam juga tidak nampak. Cuma baju robek itu ditinggalkan di tanah.” oey Yong tidak menanya lagi, ia berdiam.
“Ke mana perginya mereka?” katanya selang sekian lama.
“Aku melihatnya. Mulanya aku memanggil-manggil kakek. dia tidak menyahut. Lantas aku naik ke atas pohon, memandang ke laut. Aku melihat perahu kakek di depan perahu si imam di belakang. Perahu kakek kecil, perahu si imam besar. Perlahan-lahan kedua perahu itu tak terlihat lagi. Aku tidak sudi melihat pula si kate gemuk. aku terus berdiam di tepi laut main-main menendangi batu. sampai hari sudah malam baru aku pulang dengan mengajak kakek itu serta ini saudara yang baik,” Ia menunjuk Auwyang Hong dan Yo Kang.
“Jadi kakek ini, bukannya kakek yang mengajari kau surat?” oey Yong menegaskan.
sa Kouw tertawa.
“Ya, kakek ini baik sekali,” sahutnya. “Dia tidak mau mengajari aku surat, dia bahkan membagi aku kue, Eh, kakek. kuemu masih ada atau tidak?”
“Ada” sahut Auwyang Hong sambil tertawa menyeringai. “Ini aku bagi pula padamu”
Hati Kwa Tin ok seperti melonjak. Kiranya itu hari Auwyang Hong berada di pulau Tho Hoa To.
Justru itu sa Kouw menjerit keras, menyusul mana terdengar bentrokan tangan dua kali, tanda dari satu pertempuran, sebagaimana nampak tubuh orang berlompatan. “Kau hendak membunuh dia untuk menutup mulutnya? Baiklah kau bunuh dulu padaku”
Auwyang Hong tertawa, dia kata: ” Urusan ini dapat dikilangi untuk orang luar, tidak ayahmu, maka perlu apa aku membunuh dia? Jikalau kau hendak menanyakannya, pergilah kau menanya sepuasnya”
sa Kouw merintih- rintih kesakitan tidak dapat ia bicara. Entah ia telah ditotok jalan darah apanya oleh seeTok. siBisa dari Barat.
“Tidak usah aku menanyakan dia, telah dapat aku menduganya,” kata oey Yong.
“Aku cuma menghendaki dia mengucapkannya sendiri”
“Budak perempuan, kau sangat cerdik” kata Auwyang Hong tertawa. “Kenapa kau dapat menduga itu? Coba kaujelaskan kasih aku dengar.”
“Ketika pertama kali aku melihat keadaan di pulauku itu,” menyahut si nona mengasih keterangannya, “Aku juga menyangka adalah ayahku yang membinasakan Kang Lam Ngo Koay.”
Baru kemudian, setelah memikirkannya, aku mendapat anggapan lain. coba kau pikir, cara bagaimana ayahku dapat membiarkan mayatnya semua orang busuk itu berada di dalam kuburan untuk menemani ibuku? Lagi pula mana bisa jadi ayahku keluar dari kuburan tanpa mengunci pula pintunya?”
Auwyang Hong menepuk pahanya.
“Ah, benar, itulah kealpaanku” serunya. “Anak Kang, benar bukan?”
Mendengar sampai di situ, Tin ok merasakan hatinya mau meledak. Sekarang baru ia mengerti kiranya sejak siang-siang oey Yong telah menduga si pembunuh adalah Auwyang Hong, siBisa dari Barat yang kejam ini serta Yo Kang. si nona bermaksud baik, Ia sendiri yang menyangka keliru .Jadi nona ini barusan keluar dari tempatnya sembunyi melulu untuk membeber duduknya hal guna membersihkan ayahnya. Itulah perbuatan berbahaya sekali. Ia menduga, suratnya si nona adalah untuk ia nanti memberitahukan ayahnya, ialah oey Yok su, tentang orang yang membunuh padanya andaikata nona itu menemui bencana. Maka ia jadi sangat berduka dan menyesal.
“Ah, nona, nona,” ia mengeluh di dalam hatinya, “Bukankah cukupj ikalau kau memberitahukan aku siapa pembunuhnya semua saudaraku itu? Kenapa kau bertindak begini rupa?” Kemudian ia ingat tabiatnya sendiri Pikirnya pula: “Aku Hui Thian Pian-hok, kenapa aku sangat sembrono? Kenapa aku berkukuh menuduh itu ayah dan putrinya? Memang, kalau ia memberi keterangan padaku, mana bisa aku gampang mempercayainya? Kwa Tin ok. oh Kwa Tin ok, kau pantas dihukum picis si buta yang busuk. kau memaksa si nona kepada kebinasaannya “
Dalam sengitnya, Tin ok hendak menghajar dirinya sendiri. Baiklah ia lantasmendengar pula suaranya Auwyang Hong, yang menanya si nona: “Bagaimana caranya kau menduga padaku?”
“Tidaklah sukar menerkamu” menjawab si nona. “Menghajar mati kuda dan mematahkan dacin, itulah perbuatan yang di jaman ini cuma dapat dilakukan beberapa gelintir manusia. Hanya mula-mula aku masih menduga lain orang. Ketika Lam Hie Jin hendak menghembuskan napasnya yang terakhir, dengan jari tangannya ia masih dapat mencoret beberapa huruf di tanah, ‘Yang membunuh aku ialah’ Huruf yang terakhir ini tidak keburu menuliskan lengkap. baru pada bagian sampingnya, yang merupakan huruf ’sip’ yang berarti ’sepuluh’. Aku pikirkan huruf belum lengkap itu. she namamu tidak memakai permulaan huruf sIP itu, maka aku menduga kepada Khiu Cian Jin” Auwyang Hong tertawa terbahak-bahak.
“Hebat Lam Hie Jin” katanya. “Dia dapat menanti hingga tibamu”
“Aku melihat keadaannya sewaktu dia mau mati itu, aku menduga dia terkena racun.”
oey Yong berkata pula. “Karena ini, aku menduga keras kepada orang she Khiu itu.
Bukankah Tiat Ciang Pang memelihara banyak kodok dan ular berbisa?” see Tok tertawa pula.
“Tiat Ciang Pang memelihara banyak binatang berbisa tetapi tidak ada yang luar biasa,” ia berkata. “Ketika Lam Hie Jin mau mati, bukankah dari mulutnya keluar suara tetapi tanpa dapat bicara? Bukankah ia mati dengan wajah tertawa?”
“Benar sebenarnya dia terkena racun apa?”
Auwyang Hong tidak menjawab, hanya ia menanya pula: “Bukankah tubuhnya meringkuk dan dia bergulingan di tanah, tenaganya besar luar biasa? Benar tidak?”
“Benar Bisa semacam itu, aku pikir, kecuali Tiat Ciang pang, lain orang tidak memilikinya”
Kata-kata yang terakhir ini ada pancingan membangkitkan kemarahan. Auwyang Hong menginsyafi itu tetapi ia tidak dapat menahan meledaknya kemurkaannya. Ia berseru dalam kemurkaannya itu: ” orang menyebutnya aku si bisa bangkotan, apakah itu panggilan kosong belaka?” Ia mengetok lantai dengan tongkat ularnya. Ia kata pula nyaring: “Itulah ular di tongkatku ini yang menggigitnya Dan lidahnyalah yang dicatok itu Karena itu, tubuh dia menjadi tidak meninggalkan bekas dan dia tidak dapat bicara” Tin ok merasakan sesak dadanya hingga hampir ia pingsan.
oey Yong mendengar suara apa-apa di belakang patung, ia dapat menduga, maka ia lantas batuk-batuk guna menyaruhkan suara itu, kemudian ia berkata pula dengan sabar: “Ketika itu kau telah berhasil membinasakan lima anggota dari Kanglam Cit Koay yang lolos hanya Kwa Tin ok seorang, yang kedua matanya buta, maka itu menjadi tidak ketahuan siapa yang melakukan pembunuhan hebat itu”
Tin ok mendengar perkataan ini, ia mengerti kata-kata itu ditunjuki kepadanya. Ia pikiri “Ia mengisiki aku untuk jangan sembarang bergerak. supaya kita berdua tak usah mati secara gelap”
Auwyang Hong berkata sambil tertawa kering: “Apakah seorang buta dapat lolos dari tanganku? Hm Memang sengaja aku meloloskan dia”
“Kau benar Kau membunuh yang lima, kau sengaja mau membikin dia percaya ayahkulah yang membunuhnya supaya dia mengoarkannya, supaya nanti semua orang gagah datang mengepung ayahku” Lagi-lagi Auwyang Hong tertawa.
” Itulah bukan pikiranku hanya pikiran anak Kang Benar bukan, anak?” Yo Kang menyahuti seperti tadi, sepintas lalu.
“sungguh suatu pikiran yang bagus luar biasa” berkata oey Yong. “Aku kagum sekali”
Tentu saja itulah pujian ejekan.
“Kita bicara balik lagi,” kata Auwyang Hong. “Bagaimana maka kemudian kau dapatmenduga aku?”
“Aku pikir Khiu Cian Jin itu pernah bertempur denganku di selatan Liang ouw. Dalam keadaan biasa, memang dapat dia mendahului aku tiba di Tho Hoa To, akan tetapi aku mempunyai kuda merahku, tidak bias menjadi dia dapat melawan kudaku itu. Lalu aku ingat suaranya Cu Cong. Di situ ia memesan untuk berjaga-jaga. Ia pun belum menulis lengkap. Huruf yang tidak lengkap itu dapat diteruskan menjadi ‘Tong’. Dapat juga dijadikan ’see’. Maka itu, kalau bukannya Tong shia tentulah see Tok. selama di Tho Hoa To telah aku dapat memikir itu hanya aku belum dapat memastikannya sebab masih ada beberapa hal lainnya.”
Auwyang Hong menghela napas.
“Aku kira babwa aku telah menjabit rapat sekali, tidak tahunya masih ada yang bolong,” katanya. “si mahasiswa dekil itu sangat sebat, aku tidak dapat melihat dia menulis suratnya.”
“Dia digelarkan Biauw ciu sie-seng, si mahasiswa Tangan Lihay, pasti sekali dia menulis tanpa memberikan ketika kau melihatnya Aku telah memikirkan keras huruf ’sip’
dari Lam Hie Jin itu Karena aku mendengar kabar yang ini saudara Yo telah terkena racun dan mati, sama sekali aku tidak pernah memikirkan dia.” Yo Kang heran.
” Kenapa kau ketahui aku terkena racun dan mati?” ia tanya. “siapa yang memberitahukan itu pada mu? “
“Banyak sekali hal-hal yang aku ketahui” menjawab si nona. “Hari itu aku berada sendirian di pula u Tho Hoa To, aku tidur tanpa merasa, aku mendusin, aku tidur pula, aku mendusin lagi, masih aku tidak dapat menerka. selama tidur itu, aku pun banyak mimpi, dan didalam mimpiku, aku melihat banyak orang Akhirnya aku mimpi melihat enci Bok. Aku mimpikan dia di Pakhia di sana dia mengadu ilmu silat untuk merangkapi jodohnya. Mimpi sampai di situ aku mendusin dengan kaget, hingga aku berlompat bangun Itu waktu baru aku tahu si pembunuh itu ialah, kau”
Bab 73. Bisa Bekerja
Kata-kata itu cepat dan tajam, Yo Kang mengeluarkan peluh dingin tanpa ia merasa.
Ia mencoba menentramkan diri dengan memaksa tertawa. “Mustahilkah Bok Liam cu mengasih mimpi kepadamu?” katanya.
“Memang Tanpa impian itu, mana aku ingat kau” menjawab si nona. “Nah, mana sepatumu yang kecil mungil yang tertabur batu permata?” Yo Kang kaget hingga ia melengak.
“Bagaimana kau ketahui itu?” serunya. “Kembalikah Bok Liam cu yang mengasih impian padamu?”
“Buat apa menyebutkan itu pula” si nona membaliki sambil tertawa dingin, “Ketika kau telah membunuh cu cong, kau masuki barang-barang permata ibuku ke dalam sakunya korbanmu itu, supaya kalau orang luar melihatnya, mereka bisa menyangka dia telah dipergoki ayahku dan karenanya dia menerima kebinasaannya Ini tipu daya keji memang bagus sekali, hanya kau telah melupakan satu hal, yaitu gelarannya cu cong, ialah Biauw ciu Sie-seng, si Mahasiswa Tangan lihay”
Auwyang Hong pintar sekali akan tetapi ia tidak dapat mengerti maksudnya perkataan nona itu.
“Kalau dia Biauw Ciu sie-seng, habis bagaimana?” tanyanya heran.
“Hm” menyahut nona itu. “saudara Yo ini cuma tahu menjejalkan barang permata ke dalam saku orang, dia tidak tahu yang Cu Cong pun telah mengambil barang permata dari sakunya sendiri”
“Barang permata apakah itu?” tanya Auwyang Hong masih heran.
“Di dalam ilmu silat Cu Cong memang kalah daripada kau,” oey Yong menerangkan, “Tetapi dia pun seorang lihay, di saat dari tarikan napasnya yang penghabisan, dia telah mengambil serupa barang, barang mana dia genggam di tangannya. Tentu sekali kamu tidak dapat ketahui itu, tidak dari bermula hingga di akhirnya .Jika bukan karena adanya permata itu pastilah aku tidak menyangka yang paduka pangeran yang muda ini sudah mati tetapi hidup pula dan bahkan berkunjung ke pulau Tho Hoa To”
“sungguh menarik” Auwyang Hong tertawa. “sungguh lihay Biauw Ciu sie-seng Dia telah kehilangan jiwanya tetapi dia dapat meninggalkan bukti Kalau begitu, barang yang dia ambil itu mestinya sepatu yang kau sebutkan itu”
“Tidak salah Barang-barang permata ibuku yang disimpan di dalam kuburannya itu, aku telah melihatnya semenjak aku kecil, aku ingat dan mengenali semuanya, hanya ini sepatu mungil belum pernah aku melihatnya. Cu Cong menggenggam ini erat-erat, mesti ada sebabnya. Pula sepatu ini ada ukiran hurufnya, yang dasarnya huruf Pie yang di baliknya huruf Ciauw. Lama aku pikirkan artinya kedua huruf itu, tidak dapat aku jawabannya, maka ketika malam itu aku bermimpi, memimpikan enci Bok menjual silat di kota Pakhia dengan dia memancar bendera yang bersulamkan empat huruf Pie Bu Ciauw Cin, baru aku ingat dan sadar, baru aku mengerti Bukankah Pie Bu Ciauw Cin itu berarti mengadu silat untuk mengamproki jodoh? Bukankah kedua huruf Pie dan ciauw itu diambil dari empat huruf itu?” Auwyang Hong tertawa bergelak.
“sepatu ini mempunyai riwayat asmara demikian bagus. Ha ha Ha ha”
see Tok tertawa berulang-ulang, agaknya dia sangat gembira, sebaliknya Kwa Tin ok, kemurkaannya tidak terkira- kirakan. Ia menjadi mendapat tahu semakin jelas nasib saudara-saudaranya, lelakon yang hebat dan menyedihkan sekali dipulau Tho Hoa To itu. Ia hanya heran mengapa oey Yong dapat menerka demikian jitu.
Putrinya Oey Yok Soepercaya Tin ok masih belum mengerti jelas, maka ia sengaja berkata pula. Tapi sebab Tin ok lagi bersembunyi, ia menjelaskannya kepada Auwyang Hong, yang juga tentunya masih bingung. Ia kata ” Ketika itu hari enci Bok mengadakan pertunjukan silat, buat mengadu kepandaian untuk merangkap jodohnya, maka paduka pangeran yang muda telah turun ke dalam gelanggang di mana ia telah memperlihatkan kepandaiannya. Aku berada di itu tempat, aku menyaksikannya sendiri pertandingan itu.
Diakhirnya pertempuran, paduka pangeran yang muda telah merampas sebelah sepatunya enci Bok. Itu artinya, di dalam pertandingan itu dialah yang menang Hanya mengenai perang kapan jodoh, urusan itu ruwet sekali”
Mendengar keterangan oey Yong sampai di situ, mereka yang hadir lantas pada berpikir sendirinya. Ketika itu saksi-saksi terdiri antaranya dari Nio Cu ong dan see hong Thian. Mereka menjadi teringat akan peristiwa yang telah lewat itu, yang ada hubungannya sama halnya Wanyen Lieh kematian istrinya dan Yo Kang menemui ayahnya.
oey Yong tidak memperdulikan mereka yang lagi berpikir itu, ia melanjuti keterangannya “sampai di sini, maka teranglah sudah duduknya hal. Paduka pangeran yang muda dan enci Bok telah mengikat janji, tanda mata dari pertunangan mereka ialah sepasang sepatunya enci Bok itu, sepatu kumala yang berukiran huruf-huruf Pie Bu Ciauw Cin. sepatu yang sebelah memakai huruf-huruf Pie dan ciauw itu, dan yang sebelah lagi tentulah Bu dan cin. Paduka pangeran muda bukankah terkaanku ini tidak salah?” Yo Kang berdiam, tidak dapat ia berbicara.
“setelah mengerti ini, yang lainnya tak sulit lagi,” si nona masih meneruskan. “Han Po Kie terbinasa karena cengkeraman ilmu silat Kiu Im Pek kut Jiauw. Di dalam dunia ini, yang meyakinkan ilmu yang dahsyat itu cuma Hek Hong siang sat berdua, tetapi dua-duanya mereka sudah mati maka itu orang luar pastilah lantas mengingat kepada guru mereka, yang mestinya pandai ilmu itu. Guru itu bukan lain daripada Oey Yok Soeayahku siapa tahu semasa hidupnya Tiat sie Bwee Tiauw Hong, si Mayat Perunggu, telah mengambil seorang murid yang pandai Tentang huruf sip yang ditulis Lam Hie Jin huruf tidak lengkap itu pastilah diartikan huruf Yo, hanya sungguh aku tidak nyana Kwee Ceng si bocah dungu itu, dia memaksa membilangnya huruf oey”
Di waktu mengucapkan kata-katanya yang terakhir ini, nona itu muram mukanya, tandanya ia sangat berduka. Auwyang Hong tertawa pula terbahak dan lama.
“Kalau begitu tidaklah heran Kwee Ceng si bocah itu selama di Yan Ie Lauw telah hendak mengadu jiwanya dengan ayahmu” katanya.
“Memang tipu daya keji kamu ini sangat bagus,” kata oey Yong. “Dan dia, dalam murka dan sedihnya, sukar dapat menerkanya. Aku juga mulanya menyangka kau telahmenawan budak-budak gagu dan memaksanya mereka menunjuki jalan, tetapi hari ini barulah aku ketahui sebenarnya sa Kouw adalah orang yang mengajak kamu masuk ke dalam. Di dalam ini hal tentunya, ini engko Yo telah menjanjikan dia untuk membawanya pulang ke Gu-kee-cun. Sa Kouw sangat girang maka ia lantas menuruti saja kata-kata kamu. Sekarang aku mengerti, pasti kamu telah menyembunyikan diri di dalam kuburan ibuku, lalu kamu menyuruh mengundang Kanglam Liok Koay datang ke situ. Pasti sekali kamu memakai alasan ayahkulah yang mengundang mereka. Setelah Liok Koay masuk, terang sudah Auwyang Peehu yang menjaga pintu Mana Liok Koay dapat meloloskan diri lagi dari tangan beracun? Ini dia yang dinamakan akan menangkap pie di dalam keranjang.” (pie = sejenis kura-kura).
Tin ok merasakan hatinya menggetar. Ia heran dan kagum sekali. Si nona bercerita seperti dia menyaksikan sendiri peristiwa hebat di dalam liang kubur itu. Di dalam otaknya maka berbayangkan kejadian hari itu.
“Auwyang Peehu,” berkata pula oey Yong. “Ketika di tepi laut, kau telah menemukan baju dan topengnya ayahku, kau mengenakan itu untuk menyamarkan diri. Di dalam kuburan, cahaya memang remang-remang. Begitu bergebrak, beberapa orang dari Liok Koay telah terluka atau terbinasa. Di dalam keadaan seperti itu, maka bisa mereka mengenali baik-baik siapa musuh mereka? Demikian sudah terjadi Lam Hie Jinmengatakan kepada Kwa Tin ok bahwa musuh mereka ialah ayahku. Yang benar ialah Cu Cong dan Coan Kim Hoat terbinasakan di tangan peehu, Han Po Kie dibunuh engko Yo. Dan Han Siauw Eng mati membunuh diri. Kwa Tin ok dan Lam Hie Jin telah mencoba melarikan diri. Mereka bertempur pula di kamar semedhi ayahku, di sana kamu sengaja melepaskan Tin ok satu orang. Ketika Lam Hie Jin mengetahui babwa si penjahat ialah si orang she Yo, ia telah menjadi korbannya racun hingga ia tidak sempat menyelesaikan suratnya.” Auwyang Hong menghela napas.
“Eh, budak cilik, dugaanmu lihay sekali,” ia berkata, memuji. “Sebenarnya kejadian ada hal yang sangat kebetulan. Itulah dasar nasibnya Liok Koay Ketika aku bersama anak Kang pergi ke pulau Tho Hoa To itu, kami tidak tahu yang mereka berada juga di pulau itu.”
“Nasib Itulah benar” berkata oey Yong. “Kang Lam Cit Koay itu tersohor namanya, itu disebabkan perbuatan-perbuatan mereka yang mulia. Bicara tentang ilmu silat, dia mana ada di pandangan mata peehu Maka itu, kalau kamu berdua sampai bertindak demikian rupa, bercapai lelah secara demikian, mesti ada maksud tujuannya.”
“Melihat kecerdikan kau, bocah, kau tentu tidak dapat dikelabui” kata Auwyang Hong tertawa.
“Nanti aku menerka,” berkata oey Yong, “Kalau aku menerka keliru, harap peehu tidak buat kecil hati. Aku menduga pada permulaannya kamu datang ke Tho Hoa To, kamu mengharap- harap Coan Cin Cit Cu serta ayahku nanti bertarung hebat hingga.
dua-duanya sama terbinasa, supaya kau yang menjadi Pian Chong yang menikam harimau, agar dengan satu kali bergebrak saja, dapat kau memusnahkan Coan Cin Cit Cu dan Tho Hoa To. Sayang kamu datang terlambat satu tindak. Ialah ayahku bersama-sama Coan Cin Cit Cu sudah berangkat meninggalkan pulau. Tempo ini engko Yo bicara sama sa Kouw, ia mendapat tahu kehadirannya Liok Koay, maka lantas saja kamu berdua menunjuki kepandaian kamu yang lihay, kamu membunuh lima di antaranya, kamu membuatnya segala apa seperti juga mereka terbinasakan ayahku. Kamu juga membunuh habis semua bujang gagu di situ, guna melenyapkan saksi-saksi. Dengan begitu bukankah kemudian akan terjadi Ang Cit Kong, Toan Hongya dan yang lainnya nanti membikin susah ayahku? Engko Yo ini cerdik, dia khawatir ayahku nanti keburu pulang lebih dulu dan ayahku mungkin akan melenyapkan segala bukti, maka itu ialah yang mengusulkan supaya Kwa Tin ok dibiarkan dapat lari. Tin ok buta tetapi lidahnya tidak kurang suatu apa, benar dia tidak dapat melihat, dia dapat ngoceh tidak karuan”
Tin ok menjadi bersedih dan bergusar dan malu sekali, ia menyesalkan
kesembronoannya telah menduga yang tidak-tidak terhadap oey Yoksu dan putrinya ini.
Auwyang Hong menghela napas. Ia berkata pula saking kagumnya: “Aku sangat mengagumi oey Laoshia yang telah mempunyai anak dara begini cerdas dan pintar, setiap kata-katanya tepat mengenai ulu hatiku”
oey Yong tidak membilang apa-apa atas kekaguman see Tok itu, ia hanya bilang:
“sekarang ini Kwee Ceng telah kena tipu daya kamu, dia memusuhkan aku dan ayahku, dia sampai seperti tidak mau hidup bersama kami di dalam dunia ini. Tapi biarkanlah dia. sekarang urusan di antara kita. Kalau besok kau menolong ayahku, apabila keponakanmu masih hidup, ah, pembicaraan dulu hari tentang perjodohan, tidakkah itu dapat ditimbulkan pula? “
Auwyang Hong heran.
“Mau apa dia menimbulkan urusan perjodohan itu?” pikirnya.
“sa Kouw,” menanya oey Yong kepada si nona tolol tanpa ia menantikan perkataannya see Tok. “Ini saudara she Yo orang baik sekali, bukan?”
“Benar,” menyahut si tolol itu. “Dia hendak membawa aku pulang ke rumahku. Aku tidak suka berdiam di pulau.”
“Kau mau pulang, kau hendak bikin apa di rumah?” tanya putrinya Tong shia. “Di rumahmu itu telah ada orang yang mati, di sana ada setan”
“oh, ya” berseru si tolol itu. “Benar sekali Tidak. aku tidak mau pulang”
“Kau tahu siapa yang membunuh orang yang mati di rumahmu itu?”
“Aku tahu, aku melihatnya sendiri, ialah ini saudara yang baik”
Menyusul perkataannya sa Kouw ini, di situ terdengar dua kali suara nyaring, dari beradu dan jatuhnya dua rupa senjata rahasia, lalu oey Yong tertawa dan berkata “
Engko Yo, biarkanlah dia bicara terus Kenapa kau menggunai senjata rahasia untuk mengambil jiwanya?”
“si tolol ini ngaco belo” berseru Yo Kang, yang barusan menyerang sa Kouw. “Dia dapat menyebutkan segala omongan yang tidak-tidak”
“sa Kouw bicara terus” berkata nona oey kepada si tolol itu. “Kau bicaralah, kakek ini sangat suka mendengarkannya.”
“Tidak aku tidak mau bicara,” menyahut sa Kouw. “saudara yang baik ini melarang aku bicara”
“Benar,” berkata Yo Kang cepat. “Kau rebahkan dirimu dan tidurlah Jikalau kau membuka mulutmu satu kali saja, nanti aku menyuruh setan makan padamu”
Nona itu ketakutan, ia menyahuti, “Ya,” berulang-ulang. Kwa Tin ok mendengar suara seperti orang mengerebongi diri,
“Sa Kouw,” berkata oey Yong, yang tidak berputus asa, “Jikalau kau tidak suka bicara sama aku, untuk menghilangi saat iseng ini, nanti aku menyuruh kakek membawa kau pergi”
“Tidak, aku tidak mau pergi” kata nona tolol itu.
“Kalau begitu, kau bicaralah Ini saudaramu yank baik telah membunuh orang di rumahmu. Kau tahu, orang macam apakah yang dia bunuh itu?”
orang banyak menjadi heran. Tidak karu-karuan nona ini bicara dari hal pembunuhan. Akan tetapi Yo Kang, bulu romanya telah bangun berdiri semua. Ia lantas menyiapkan pula senjata rahasianya. Kalau Sa Kouw membuka rahasianya, hingga Auwyang Hong bakal menjadi bercuriga, hendak ia membinasakan si nona. Meski begitu, ia kata di dalam hatinya: “Ketika aku membinasakan Auwyang Kongcu, yang melihatnya cuma tiga orang yaitu Bok Liam Cu, Thia Yauw Kee dan Liok Koan Eng.
Mungkinkah rahasiaku ini telah bocor?”
Kuil itu menjadi sunyi sekali. orang tinggal menanti jawabannya Sa Kouw. Kwa Tin ok bahkan menahan napas.
Lewat sekian lama, Sa Kouw tidak terdengar suaranya, hanya terdengar suara napas di hidungnya, tandanya ia sudah tidur. Yo Kang merasakan hatinya lega, tetapi telapakan tangannya basah, karena kekhawatirannya, disebabkan menggenggam terus senjata rahasianya. Ia pikir “Kalau dia dikasih tinggal hidup terus, dia bisa jadi bahaya untukku, maka aku mesti mencari jalan untuk menyingkirkan dia”
Pangeran ini melirik kepada Auwyang Hong. Ia mendapatkan see Tok duduk dengan kedua matanya ditutup rapat, mukanya tertuju cahaya rembulan. Dia tenang sekali, dia seperti tidak menghiraukan segala apa di sekitarnya.
selama itu, orang mulai menyangka oey Yong cuma mengoceh. Dengan sa Kouw sudah tidur pulas, urusan tadi artinya telah beres. Maka kemudian mereka pada merebahkan diri atau menyender, untuk beristirahat. Di antaranya ada yang lantas meram melek.
Justru kesunyian menguasai kuil itu, mendadak orang dibikin terkejut dengan jeritannya sa Kouw: “Jangan pelintir tanganku Aduh Aduh”
oey Yong pun segera berteriak-teriak: “setan setan setan yang kakinya buntung sa Kouw Kaulah yang membunuh itu pemuda yang ganteng, sekarang dia datang mencari kau” Di dalam kesunyian itu, seram suaranya si nona.
“Bukan Bukan aku yang membunuhnya” menyangkal sa Kouw dia berteriak-teriak.
“Yang membunuhnya ialah saudara yang baik ini”
Belum habis suara si tolol, atau segera itu disusul sama suara bergedebuk dari jatuhnya benda yang berat. Itulah tubuhnya Yo Kang, yang roboh terguling. sebab dia telah berlompat, dengan tangannya yang hebat dia menyerang batok kepalanya si nona tolol, tapi oey Yong menghalangi dia, dengan tongkat keramatnya, nona ini membuatnya orang jatuh terbanting
sekejap itu, kalutlah keadaan. see Thong Thian beramai segera mengurung oey Yong. Putrinya oey Yoksu tidak menggubris sikap banyak orang itu, dia menunjuk ke pintu seraya berkata nyaring “Kongcu yang berkaki buntung, mari masuk ke mari sa Kouw ada di sini”
sa Kouw memandang ke arah pintu, ia tidak melihat apa juga. Ruang itu gelap. Tapi ia takut setan semenjak kecilnya, ia tetap ketakutan. Maka ia menarik tangan bajunya oey Yong.
“Jangan cari aku” ia berkata kepada si setan yang ditunjuki nona oey. “Yang membunuh ialah ini saudara yang baik, yang menggunai tombak besi. Aku melihatnya dari belakang pintu dapur Jangan cari aku”
Auwyang Hong mendengar itu semua, mendadak ia tertawa terbahak. Adalah di luar dugaannya yang keponakannya yang ia sayang sebagai mustika itu terbinasa di tangannya Yo Kang. Ia mau percaya sa Kouw sebab kalau lain orang mendusta, si tolol ini tidak mungkin. Ia berduka berbareng murka sekali. Dengan mata mendelik ia mengawasi pangeran itu dan berkata “siauw-ongya, keponakanku itu memang harus mati Dia telah dibunuh, bagus, bagus”
suara itu tajam, mengaung di telinga, bahkan kawanan burung gagak menjadi kaget, mereka lantas berbunyi gegaokan, terbang kelabakan.
Yo Kang kaget danjeri sekali. Ia pikir, habislah jiwanya. Ia melirik ke kiri dan kanan, untuk melihat jalan lolos.
Wanyen Lieh juga tidak menjadi kecuali, dia takut bukan main. Ketika suara gagak mulai reda, dia berkata: “Auwyang sianseng, nona ini tolol, dia mirip orang gila, kenapa sianseng percaya dia? Keponakanmu itu adalah orang undanganku, aku dan anakku sangat
menghormatinya, mana bisa menjadi dengan tidak sebab musabab anakku membunuh dia?”
Auwyang Hong tidak menyahut, hanya tubuhnya mencelat ke arah sa Kouw, tangan kirinya mencekuk lengan nona tolol itu.
” Karena apa dia membunuh keponakanku?” tanyanya bengis. ” Lekas bilang?” Sa Kouw kaget, dia ketakutan.
“Bukan aku yang membunuh dia.Jangan tangkap aku” Dan ia meronta sekuat-kuatnya. Tapi hebat cekalan see Tok, ia tidak dapat melepaskan diri saking takutnya, ia lantas menangis, berulang kali ia memanggil-manggil: “Ibu”
Auwyang Hong mengulangi pertanyaannya hingga beberapa kali, tetapi tidak memperoleh jawaban. saking takutnya, sa Kouw berhenti menangis, dia mendelong memandang jago dari Barat itu.
“Jangan takut sa Kouw,” oey Yong menghibur, suaranya halus. ” Kakek ini hendak memberikan kue pada mu”
Nona ini tidak menolongi si tolol seperti tadi ia menghajar Yo Kang sebab ia tahu Auwyang Hong tidak nanti, atau sedikitnya tidak bakal lantas membinasakan orang.
Bahkan perkataannya itu menyadarkan see Tok. Ia tahu sekarang, makin ia bengis, makin susah si tolol membuka mulutnya. Maka ia merogoh sakunya, akan mengeluarkan bakpauw yang telah dikeringkan, yang ia jejalkan di tangan nona itu. Ia pun tertawa dan kata: “Benar Nah, kau makanlah kue ini”
Dasar tolol, sa Kouw ambil kue itu Ia bersenyum. Dengan cepat ia lupa akan kebengisannya see Tok.
“Dulu hari itu si pemuda yang kakinya buntung memeluki satu nona,” kata oey Yong tenang. “Kau lihat, nona itu cantik atau tidak?”
“sangat cantik,” menyahut sa Kouw wajar. Tidak dapat ia memikir yang ia lagi dilagui.
“Kemana perginya dia sekarang?”
oey Yong tidak menjawab, ia hanya menanya: “Tahukah kau siapa nona itu?” Ia terus berlaku sabar dan wajar.
si tolol agaknya gembira sekali, dia puas, hingga dia menepuk tangan “Aku tahu, dialah istrinya ini saudara yang baik,” sahutnya.
Mendengar itu, Auwyang Hong tidak bersangsi lagi. Ia memang tahu keponakannyaitu sangat gemar pelesiran. Ia mau menduga, rupanya disebabkan main gila kepada Bok Liam Cu, Auwyang Kongcu menerima kebinasaannya. Ia hanya heran Yo Kang dapat membinasakan keponakannya yang ia tahu lihay, tidak perduli kakinya buntung.
Bagaimana keponakannya itu dibunuhnya? Maka ia berpaling kepada si pangeran muda. Ia kata sabar: “Dia berani kurang ajar terhadap siauw-onghui, dia harus mampus berlaksa kali” siauw-onghui ialah istri siauw-ongya, pangeran muda.
“Bukan bukan aku yang membunuhnya,” Yo Kang menyangkal, suaranya tidak lancar.
“Habis siapa?”
Kali ini suaranya see Tok menjadi keras dan bengis secara tiba-tiba, kedua matanya pun bersinar tajam.
Yo Kang ketakutan hingga kaki tangannya lemas. Ia yang biasanya berotak terang, sekarang mati daya, sampai tak bisa ia membuka mulut.
“Auwyang Peehu,” oey Yong berkata, “Jangan kau sesalkan siauw-ongya berlaku telengas, juga tak usah kausesalkan keponakanmu yang sangat gemar pelesir itu, hanya kau harus persalahkan dirimu yang berkepandaian sangat lihay.” Auwyang Hong berpaling dengan cepat. Ia heran. ” Kenapa?” tanyanya.
“Aku pun tak tahu kenapa. Hanya ketika aku sedang berada di Gu-kee-cun, di sana aku mendengar dua orang tengah berbicara. Mereka itu seorang pria dan seorang wanita, dan bicaranyapun di sebelah tembok. sungguh aku tidak mengerti.” see Tok kena dibikin bingung, ia berada dalam kegelapan. “Apa itu yang mereka bicarakan?”
“Nanti aku menyebutkannya setiap patah yang mereka bicarakan itu, tidak nanti aku menambahkan satu huruf juga. Tolong kau menjelaskannya nanti padaku. Aku tidak melihat mereka itu, aku tidak tahu, yang pria siapa yang wanita siapa. Aku hanya mendengar yang pria bilang: ‘urusan aku membunuh Auwyang Kongcu ini, apabila sampai teruwar di luaran, sungguh berbahaya.’ Yang wanita kata ’seorang laki-laki, dia
berani berbuat, ia berani bertanggung jawab Jikalau kau takut, tidak seharusnya kemarin kau membunuh dia. Benar pamannya dia itu lihay tetapi kita tak bakal dapat dicari.’”
Auwyang Hong mengawasi. Ketika ia mendapatkan nona itu terus berdiam, ia menanya: “Pembilangannya perempuan itu benar. Apa katanya pula si lelaki?”
Yo Kang mendengar pembicaraan itu, ia takut bukan main, terhadap oey Yong, ia sangat gusar. Kebetulan itu waktu sinar rembulan masuk ke dalam, diam-diam ia bergerak. dengan perlahan ia menghampirkan ke belakang si nona. Ia menyingkir dari sinar rembulan itu.
selagi berindap-indap. ia mendengar jawabannya oey Yong: ” Kata- katanya si lelaki itu membuatnya aku berpikir bahwa semua disebabkan kepandaian kau yang sangat lihay hingga kau membikin keponakanmu itu celaka. Lelaki itu kata ‘Adikku sekarang ini aku ada memikir satu jalan. Pamannya itu sangat kosen, aku ingin mengangkat dia menjadi guru. sebenarnya sudah lama aku memikir begini, hanya di dalam kalangan dia itu ada aturan yang ditaati, ialah kepandaian diwariskan di dalam satu generasi hanya kepada satu orang. Maka itu, kalau dia sudah mati baru pamannya dapat menerima aku sebagai muridnya’”
Tidak usah oey Yong menjelaskan lagi siapa pria itu, lagu suaranya pun sudah menerangkannya. Dengan pandai ia meniru lagu suaranya Yo Kang, hidup sedari kecil di kota raja, ibunya, Pauw sek Yok. adalah orang Lim-an, sedang di dalam istana ada banyak orang Kim, maka itu, suaranya itu campur aduk antara lagu bicaranya orang selatan dan orang utara. Dengan demikian gampang sekali orang mengenalinya.
Auwyang Hong berulang kali mengasih dengar suara mengejek, “Hm” Lalu ia menoleh ke arah Yo Kang. Ia baru melihatnya si anak muda tidak ada di tempatnya atau mendadak ia mendengar suara, “Buk” disusuli teriakan dari kesakitan, lalu nampak Yo Kang dengan tangan kanannya mengucurkan darah dan mukanya pucat pias sebagaimana itu terlihat di cahayanya si Putri Malam.
Hebat oey Yong membuka rahasia, maka pemuda she Yo itu tidak dapat menguasai pula hatinya. Ia hendak melampiaskan kemurkaannya, jalannya ialah membunuh nona she oey itu. Maka setelah datang dekat si nona, ia berlompat seraya tangannya menyambar ke batok kepalanya nona itu, untuk dicengkeram dengan ilmu cengkeraman Kiu Im Pek-kut Jiauw.
oey Yong ketahui serangan gelap itu, ia berkelit, maka tangannya si anak muda tiba pada pundaknya. Dia mencengkeram kuat sekali, dalam sengitnya, ia menggunai semua tenaganya maka itu, justru ia mengenai baju lapis yang berduri, tangannya itu nancap di duri baju. Bukan main dia merasakan sakit, maka tak dapat dia tidak menjerit, setelah mana, dia mengasih turun tangannya itu, hampir dia pingsan menahan nyerinya.
Di tempat yang gelap itu, tidak ada orang yang melihat apa yang sudah terjadi, malah mereka tidak tahu juga, pemuda itu bercelaka di tangan si nona atau di tangan Auwyang Hong. oleh karena orang tidak tahu pasti dan mereka punjeri terhadap see Tok. semua berdiri diam sambil mengawasi saja.
Adalah Wanyen Lieh yang mengajukan diri untuk memegangi anaknya.
“Anak Kang, kau kenapa?” ia tanya. “Apamu yang terluka?” Ia menghunus goloknya dan menyerahkan itu pada si anak. Ia berkhawatir Auwyang Hong membalaskan sakit hati keponakannya .
“Tidak apa-apa,” menyahut Yo Kang, yang mencoba melawan rasa sakitnya. Ia pun menyambuti golok dari ayahnya itu atau mendadak ia merasakan tangannya kaku, golok itu terlepas dan jatuh berisik di lantai. Ia lekas-lekas membungkuk. untuk memungutnya.
Apa celaka, lengannya menjadi kaku, lengan itu tidak mau mengikuti lagi suara hatinya.
Dalam kagetnya, dengan tangan kirinya ia memencet tangan kanannya, tetapi ia tidak merasakan apa-apa. Maka ia lantas mengawasi oey Yong. “Bisa Bisa” serunya. “Kau menggunai bisa melukakan aku?”
Pheng Lian Houw semua menjadi bingung, meski begitu, mereka lantas mengambil keputusan. Biarnya Auwyang Hong lihay, di situ ada Wanyen Lieh si pangeran Kim yang berpengaruh, jadi biar bagaimana, perkaranya Auwyang Kongcu itu harus diselesaikan secara baik. Begitu melihat roman menakuti dari Yo Kang, sebagian menghampirkan pangeran muda itu, untuk menghiburi, yang sebagian lagi mendekati oey Yong, antaranya ada yang berseru: “Lekas keluarkan obatmu untuk mengobati siauw-ongya”
oey Yong beriaku tenang.
“Baju lapisku tidak berbisa,” ia kata tawar, “Jangan kamu bergelisah tidak karuan Di sini ada orang yang harus membunuh dia, tidak ada perlunya aku melukai padanya”
Ketika itu Yo Kang menjerit, “Aku aku tidak dapat bergerak” Lalu teriihat dia menekuk kedua dengkulnya, tubuhnya turun dengan perlahan-lahan, sedang dari mulutnya terdengar suara tidak tegas.
Mendengar jeritan dan suara orang itu, oey Yong heran. Ia lantas mengawasi Auwyang Hong, paras siapa nampaknya terkejut. Ketika ia juga menoleh kepada Yo Kang, muka si anak muda tersungging senyuman, mulut terbuka seperti tertawa. Di antara sinar rembulan, wajah pemuda itu menjadi luar biasa sekali. Mendadak ia ingat.
“Inilah Auwyang Kongcu Peehu yang menurunkan tangan jahat, kau jangan sesalkan aku,” ia berkata.
Auwyang Hong heran, ia berkata^ “Melihat dari rupanya, dia memang terkena racun ular di tongkatku, memangnya aku berniat memberi dia rasa, siapa tahu si budak cilik telah mewakilkan aku. Bagus, bagus sekali Hanya ular berbisa itu cuma aku seorang yang mempunyai, entah dari mana si budak cilik mendapatkannya?”
“Aku mana mempunyai semacam ular?” kata oey Yong. “Kaulah yang menggunai racun itu Mungkin kau sendiri tidak merasa”
“Benar-benar aneh” seru see Tok.
“Auwyang Peehu,” berkata si nona. “Aku ingat peristiwa dulu hari ketika kau dan Loo Boan Tong bertaruh. Kau telah memberi makan racun ularmu kepada seekor ikan cucut, setelah ikan itu mati, dagingnya dimakan ikan yang lain, ikan itu keracunan dan lantas mati. Demikian seterusnya, racunmu itu menular tidak putusnya. Benar bukan?”
Auwyang Hong tertawa.
“Jikalau racunku bukannya istimewa, tidakkah nama see Tok itu nama kosong belaka?” ia bilang puas.
“Benar” menyahut si nona. “Lam Hie Jin itu ikan cucut yang pertama”
Ketika itu Yo Kang telah menjadi seperti orang kalap. Dia bergulingan di lantai. Nio Cu ong mencoba memeluknya, tidak ada hasilnya. Auwyang Hong tidak dapat menangkap artinya perkataan oey Yong.
“Coba kau memberi penjelasanmu” ia bilang.
“Bukankah kau telah menggigitkan ularmu kepada Lam Hie Jin?” berkata si nona.
“Ketika itu hari aku bertemu dia di Tho Hoa To, dia telah memukulku satu kali. Tinjunya itu mengenai pundakku yang kiri Dengan begitu, di duri dari baju lapisku lantas ketinggalan sisa bisanya. Barusan siauw-ongya menghajar aku, kebetulan dia kena mencengkeram baju lapisku, karena dia terluka, darah beracun itu masuk ke dalam darahnya. Hm Dialah ikan cucut yang ketiga”
Mendengar keterangan si nona, orang merasa bergidik sendirinya. sungguh hehat bisanya Auwyang Hong itu. Yo Kang telah menerima pembalasannya sendiri, dia mau mencelakai lain orang, dia sendiri yang menjadi korban.
Mendengar sampai di situ, Wanyen Lieh menghampirkan Auwyang Hong di depan siapa ia menekuk lututnya.
“Auwyang sianseng,” ia berkata, “siauw-ong minta sukalah kau menolongi jiwanya putraku, nanti siauw-ong tidak bakal melupakan budimu yang sangat besar ini.”
Auwyang Hong tertawa lebar.
“Jiwa anakmu ialah jiwa, jiwa keponakanku bukannya jiwanya” katanya. Ia lantas menyapu Pheng Lian Houw semua, muka siapa terang di sinar rembulan, terus ia kata dengan suara dalam: “orang gagah yang mana yang tidak puas, baik lekas-lekas maju untuk bicara”
“Bisa Bisa” serunya. “Kau menggunai bisa melukakan aku?”
Bukannya orang maju, orang justru mundur. Pula tidak ada yang berani membuka mulut.
selagi orang menjublak itu, mendadak Yo Kang berlompat bangun dan menghajar Nio Cu ong hingga pahlawan itu roboh. Wanyen Lieh lantas bangun berdiri.
” Lekas bawa siauw-ong ya ke Lim-an” ia memberi titah. “Mari kita mengundang tabib yang pandai untuk mengobati dia”
Auwyang Hong mendengar perkataannya pangeran itu, sembari tertawa ia berkata.
“Racunnya si bisa bangkotan mana ada tabib di kolong langit ini yang sangguc mengobatinya? Lagi pula mana ada tabib pandai yang tidak menyayangi jiwa” dengan dia berani merusak usaha Wanyen Lieh tidak mau melayani bicara.
“Masih kamu tidak mau lekas-lekas menolongi siauw-ongya?” bentaknya kepada semua pahlawannya.
Belum lagi Yo Kang dipegang, untuk dibawa pergi, dia sudah berlompat tinggi hingga hampir kepalanya sundul dengan penglari, ketika dia sudah turun pula, dia menuding pangeran Kim itu sambil berseru: “Kau bukannya ayahku sudah kau bikin celaka ibuku, sekarang kau bikin celaka juga aku”
“siauw-ongya, sabar” see Thong Thian membujuk. Ia mendekati, untuk memegang kedua lengannya pangeran itu.
Yo Kang lihay, dia mendahului menangkap lengan orang she see itu, lalu dia menggigit jempolnya.
see Thong Thian menjerit bahna sakitnya, dia menarik tangannya, terus dia melengak. Dengan lantas dia merasai tangannya kaku, hingga dia menjadi kaget tidak terkira. oey Yong mengawasi jago itu, ia kata dingini ” Inilah ikan cucut yang keempat”
cian Ciu Jin-touw Pheng Lian Houw kaget sekali. Dia memang bersahabat paling rapat dengan see Thong Thian. Dia pula paling pandai menggunai racun, maka dia tahu apa yang dia mesti lakukan. see Thong Thian itu sudah keracunan. Dengan sebat luar biasa, dia menghunus goloknya, dengan itu dia membabat kutung sebelah lengannya sahabatnya itu Hauw Thong Hay kaget bukan main. Ia tidak tahu maksudnya Lian Houw.
“Pheng Lian Houw, kau melukai sukoku” ia membentak. Ia lantas maju untuk menyerang.
Tapi Thong Thian, yang menahan sakitnya, berteriak: “Tolol Pheng Toako justru menolongi aku” Thong Hay batal menyerang, ia melengak.
Yo Kang menjadi kalap. pikirannya waswas. Ia menyerang kalang kabutan, ia meninju, menendang dan menggigit juga. orang telah melihat contoh dalam dirinya see Thong Thian,
mereka semua ketakutan, mereka pada menyingkirkan diri, semua lari keluar, hingga kacaulah mereka. Burung-burung gagak dengan turut kaget lagi dan beterbangan dengan berisiknya. Maka di pekarangan yang kosong di depan kuil, terlihat bayangan mereka terbang serabutan, suara mereka saling sahut dengan teriakan-teriakannya Yo Kang
Wanyen Lieh juga turut pergi ke luar kuil, tapi ia masih menoleh dan memanggil:
“Anak Kang Anak Kang” Yo Kang mengucurkan air mata.
Wanyen Lieh girang, ia mementang kedua tangannya, untuk menyambuti putranya itu. Maka berdua mereka saling merangkul.
“Anak. kau sudah mendingan?” tanya ayah itu. Tapi di sinar rembulan, ia menampak wajah orang yang tidak wajar, yang matanya terbuka lebar, terang dia belum sadar, sedang giginya bercatrukan. Ia kaget ketika si anak mengangkat tangan kirinya, menghajar ke arahnya. Dalam kagetnya ia bukan lompat mundur atau lari, ia menjoroki tubuh putranya itu.
Pangeran muda itu kehabisan tenaganya, dia roboh terguling, terus dia tidak merayap bangun.
Menampak demikian, hatinya Wanyen Lieh mencelos, tidak berani ia mengawasi pula, lantas ia lari terus, di luar kuil, ia lompat naik atas kudanya, untuk dikasih kabur, maka ia segera diiringi sekalian pahlawannya. Lekas sekali, mereka telah lenyap berikut bayangan, mereka.
Auwyang Hong mengawasi tubuhnya Yo Kang. Pemuda itu lagi bergulingan. Oey Yong pun mengawasi. Maka mereka berdua ada masing-masing pikirannya sendiri yang satu berduka berbareng gusar, yang lain terharu dan puas. Mereka sama-sama membungkam, sampai mendadak mereka mendengar suara berkeresek di atas genting.
“Mau apa kau mencuri mendengari?” menegur Auwyang Hong. “Turunlah”
oey Yong kaget. Ia menyangka Kwa Tin ok yang naik ke genting. Ia lantas melihat satu bayangan orang berlompat turun, orang itu lari masuk. ” enci Bok” ia berseru. Ia lantas mengenali orang. “Enci kau datang”
Nona itu tidak menghiraukan panggilan, ia lari terus pada Yo Kang, yang ia lantas angkat tubuhnya untuk dipondong. “Kau masih kenali aku?” ia menanya halus.
Yo Kang menyahut, suaranya tidak karuan, terdengarnya cuma^ “Ho ho”
“Ah, kau tidak dapat melihat aku” kata Liam Cu. Ia memutar tubuh, untuk mendapat sinar rembulan, untuk si anak muda melihat mukanya. Ia tanya pula: “Kau kenali aku atau tidak?”
Yo Kang mendelong mengawasi nona itu. selang sesaat, baru ia mengangguk. Liam Cu girang.
“Hidup di dalam dunia sungguh sengsara” katanya perlahan. “Kau menderita, aku juga Mari kita pergi Maukah kau?”
Yo Kang mengangguk pula. Tapi mendadak dia berteriak. Liam cu duduk mendeprok.
dia memeluki erat-erat.
Menyaksikan semua itu, oey Yong menghela napas. Tapi lekas juga ia menjadi heran. Tubuh Liam Cu bergerak turun, menindih tubuh Yo Kang, kepalanya jatuh di pundak si anak muda. Habis itu, keduanya terlihat tidak bergerak lagi.
” enci Bok enci Bok” ia memanggil-manggil, kaget. Liam Cu tidak menyahuti, ia seperti tidak mendengar, tubuhnya terus diam.
Nona oey bingung, ia segera menghampirkan, dengan perlahan ia pegang pundak si nona, untuk diangkat, atau mendadak tubuh itu roboh ke belakang Lagi sekali oey Yong berteriak bahna kagetnya. Hanya sekarang ia melihat di dada si nona menancap ujung tombak buntung, napas si nona sudah berhenti. Ketika ia memandang Yo Kang, dada itu pun bekas tertusuk tombak, darahnya mengalir keluar.
Anak muda itu juga sudah putus jiwa.
Liam Cu tidak tega mengawasi Yo Kang tersiksa, maka itu ia memeluknya dengan memasang tombak pendeknya didada sianak muda, tempo ia memeluk kuat, ujung tombak melesak dalam, maka matilah kekasihnya itu, setelah mana, ia menikam dadanya sendiri dengan cara serupa. Dari itu keduanya pulang bersama ke lain dunia oey Yong mendekam di tubuh Liam Cu, ia menangis sedih. Ia bersedih untuk nasib buruk nona itu. Kemudian, kapan ia ingat peruntungannya sendiri, yang masih kusut, ia menangis semakin sedih.
Auwyang Hong terus mengawasi semenjak tadi, sampai kemudian ia kata “Bagus
matinya mereka, buat apa ditangisi lagi? Setengah malaman sudah orang mengacau, sekarang akan lekas terang tanah. Mari kita melihat ayahmu” Si nona berhenti menangis.
“Di saat ini mungkin ayahku sudah pulang ke Tho Hoa To, buat apa dilihat lagi?” bilangnya.
Auwyang Hong melengak, terus ia tertawa dingin. “oh, budak, budak, kiranya kau menjual orang” katanya keras.
“Di bagian depan dari kata-kataku, memang aku mendustai kau,” berkata oey Yong.
“Ayahku orang macam apa, mustahil dia membiarkan dirinya dikurung imam-imam busuk dari Coan Cian Kauw? Jikalau aku tidak menyebut-nyebut Kiu Im Cin-keng, maka kau mau mengijinkan aku memeriksa Sa Kouw?”
Kwa Tin ok mendengar semua itu, ia kagum dan menyayangi oey Yong. Ia sekarang mengharap- harap si nona mendapat akal untuk menyingkir dari hadapannya manusia yang lihay dan berbahaya ini.
“Di dalam kata-katamu ada terkandung tiga bagian kebenaran, kalau tidak, aku si bisa bangkotan tidak nanti kena terpedayakan,” kata Auwyang Hong. “Baiklah, sekarang kau menjelaskan salinan dari ayahmu itu, jangan ada satu huruf juga yang dilompati”
“Jikalau aku lupa, bagaimana?” oey Yong tanya.
“Paling baik kau mengingat- ingatnya. Kalau budak secantik kau ini kena dicatol ularku, itulah harus disayangi”
oey Yong jeri juga. Ia telah menyaksikan hebatnya kebinasaannya Yo Kang. Maka ia berpikir keras- “Taruh kata aku memberitahukan terjemahan It Teng Taysu, tidak nanti dia gampang-gampang melepaskan aku Bagaimana caranya aku harus menyingkir dari dia ini?”
Ia tidak dapat pikiran yang baik, maka ia anggap baiklah ia bersikap ayal-ayalan, untuk menang tempo.
“Jikalau aku melihat huruf sansekertanya, mungkin aku dapat menjelaskan semua,” katanya kemudian. “Coba kau membacakan, nanti aku mencoba-coba.”
“Siapa sanggup membaca di luar kepala bahasa asing itu?” kata Auwyang Hong.
“Sudah, jangan kau main gila denganku”
Mendengar orang tidak dapat menghapal, oey Yong mendapat pikiran. Ia menganggap pastilah see Tok memandang kitabnya itu sebagai jiwanya.
“Baik,” katanya, “sekarang kau keluarkan kitabmu itu.”
Auwyang, Hong menurut. Dari dalam sakunya, ia mengeluarkan satu bungkussan, yang ia buka. Bungkusan itu terdiri dari tiga lapis kertas minyak. Itu dia kitab yang ditulis Kwee Ceng.
“Hm” tertawa si nona di dalam hatinya. “Engko Ceng menulis ngaco, dia memandangnya sebagai mustika”
Auwyang Hong menyalakan api, untuk menulis sisa lilin. Ia lantas membaca.
“Itu artinya mesti pandai melihat lalu membuatnya menjadi dua belas macam tarikan napas,” oey Yong menjelaskan. see Tok girang. Ia membaca pula.
“Setelah dapat menghindari diri daripelbagai ancaman maka perlahan-lahan akan masuk kejalan kesempurnaan,” si nona menjelaskan pula. Kembali see Tok membaca.
si nona berpikir, lalu ia menggeleng kepala. “salah, kau salah membacanya” katanya.
Auwyang Hong membaca lagi tetapi si nona menggoyang pula kepalanya.
“Tidak salah, begini tulisnya,” kata see Tok. ” Heran Kenapa aku tidak mengerti?”
oey Yong bergelisah, ia mengawasi tajam. Ia ingin orang lekas-lekas ingat dan mengerti.
“Ah, mungkin Kwee Ceng si bocah salah menulisnya” katanya si nona kemudian.
“Mari aku lihat.”
See Tok tidak takut orang main gila, ia menyerahkan kitabnya.
Oey Yong menyambut dengan tangan kanan, tangan kirinya mengambil api, ia bersikap hendak menyuluhi, atau mendadak ia berlompat ke belakang hingga setombak lebih. Lilin dan kitab ia lantas dekati satu dengan lain.
“Auwyang Peehu, kitab ini kitab palsu” katanya mendadak. “Biar aku bakar saja”
Auwyang Hong kaget bukan main.
“Eh, eh, kau kata apa?” katanya. ” Lekas pulangi pada ku”
“Kau menghendaki kitab atau jiwaku?” si nona tanya.
“Jiwamu buat apa” bentak seeTok. “Lekas pulangi” Ia bersikap hendak berlompat maju, guna merampas.
oey Yong tidak takut, ia malah membawa lebih dekat ke kitab.
“Kau bergeraklah” katanya mengancam. “setiap kali kau bergerak. setiap kali aku membakar sehelai Akhirnya kau akan menyesal seumur hidupmu” Auwyang Hong kalah gertak.
“Hm” ia mendongkol. “Kau letaki kitab itu. Kau pergilah”
” Kaulah seorang guru besar tidak dapat kau menelan kata-katamu” kata si nona tertawa. see Tok mengasih lihat roman bengis.
“Aku bilang lekas kau letaki kitab itu” katanya, suaranya dalam. ” Kau pergilah”
oey Yong percaya, sebagai orang kenamaan, biarnya kejam, See Tok akan pegang perkataannya itu, maka ia lantas meletaki kitab dan lilin-
“Auwyang Peehu, maaf,” katanya tertawa. Ia memutar tubuh untuk pergi dengan membawa tongkatnya.
Auwyang Hong tidak berpaling lagi, mendadak ia menghajar ke belakang, kepada patung ong Gan ciang, hingga patung itu pecah separuhnya dan roboh dengan berisik.
Terus dia membentak: ” orang buta she Kwa, kau keluarlah”
Oey Yong kaget bukan kepalang. Inilah ia tidak sangka. Ia lekas menoleh.
Kwa Tin ok tidak mau bersembunyi lebih lama, ia berlompat turun seraya memutar tombak di depannya.
Nona oey mendusin dengan lantas. orang selihay see Tok tidak nanti gampang-gampang diakali, pastilah suara napasnya ketua Cit Koay itu telah terdengarnya, hanya semenjak tadi, si Bisa dari Barat berlagak pilon saja. Terpaksa ia kembali, ia berlompat ke samping Tin ok. bersiap untuk membelanya.
“Auwyang Peehu, aku tidak jadi pergi,” katanya “Kau kasihlah dia pergi”
“Jangan, Yong-jie” berkata Tin ok. ” Kau pergi, kau cari anak Ceng. Kau menyuruh dia membalaskan sakit hati kami enam saudara” si nona menjadi berduka.
” Kalau Kwee Ceng percaya aku, dia sudah mempercayainya dari siang-siang,” ia kata masgul. “Kwa Tayhiap. jikalau kau tidak pergi, penasaran ayahku sukar dijelaskannya, sukar dilenyapkan. Kau bilangi Kwee Ceng, aku tidak sesalkan dia dan minta dia jangan bersusah hati.”
Tin ok seorang laki-laki, tidak sudi ia ditolong dengan si nona mengorbankan diri, maka itu ia berkutat sama nona itu. Auwyang Hong jadi babis sabar.
“Eh, budak cilik” tegurnya. “Aku telah memberi ijin kau pergi, perlu apa kau masih banyak rewel?”
“Aku justru tidak mau pergi” si nona membelar.
“Auwyang Peehu, baik kau usir pergi ini si buta yang menyebalkan, nanti aku melayani kau berunding. Asal jangan kau melukai dia”
Auwyang Hong berpikir: ” Kau tidak mau pergi, itu lebih baik lagi. Apa sangkut pautnya dengan aku kalau si buta ini mampus atau hidup terus?” Maka ia bertindak maju, ia menjambak dada Tin ok.
Ketua cit Koay itu menggeraki tombaknya untuk membela diri, tetapi ketika tombak bentrok sama tangan, toya itu terlepas dan tangannya dirasai kesemutan, dadanya juga sedikit sakit. Tombaknya itu mencelat ke atas, menembusi wuwungan. Terpaksa ia berlompat mundur. Akan tetapi belum lagi ia dapat menaruh kaki, tubuhnya sudah disambar see Tok dan diangkat. Ia seorang berpengalaman, ia tidak menjadi gugup atau takut, tangan kirinya diayun, hingga dua biji lengkak besi menyambar ke muka jago dari Wilayah Barat itu.
Auwyang Hong tidak menduga orang dapat bertindak demikian, terpaksa ia berkelit sambil melengak seraya tangannya melemparkan tubuh jago Kang Lam itu ke arah belakangnya.
Melihat itu, oey Yong menjerit. Tubuh Tin ok terlempar mendahului lengkaknya itu, hingga dia terancam bahaya senjata rahasianya sendiri Tapi si buta itu lihay sekali, dia mendengar suara angin, dia mengulur tangannya, menyambuti lengkaknya itu, maka ia turun ke bawah dengan tidak kurang suatu apa.
“Bagus” berseru Auwyang Hong memuji. “orang buta she Kwa, kau lihay. Nah, kau pergilah, aku beri ampun padamu” Kwa Tin ok bersangsi, ia tidak lantas bertindak pergi.
oey Yong mengerti keragu-raguan orang, ia tertawa dan mengatakan “Kwa Tayhiap.
Auwyang Hong hendak mengangkat aku menjadi guru, dia mau belajar Kiu Im Cin-keng, maka kalau kau tidak maupergi, apa kau juga hendak mengangkat aku menjadi gurumu?”
Tin ok masih berdiri diam. si nona boleh tertawa tetapi ia ketahui baik ancaman bahaya untuk nona itu.
Auwyang Hong memandang langit.
” Langit sudah terang mari kita pergi” ia mengajak oey Yong. Ia menarik tangan si nona, untuk dituntun pergi. Cepat jalannya ke luar kuil.
“Kwa Tayhiap. kau ingat apa yang aku tulis di tanganmu” kata oey Yong sambil mengikuti see Tok. Ketika ia mengakhirkan pesannya itu, ia sudah terpisah belasan tombak. tetapi Tin ok masih dapat mendengarnya. Hanya tertua Cit Koay ini heran, terus ia berdiri menjublak. Ia masih berdiri diam kendati orang sudah pergi jauh. Maka tak lama kemudian, riuhlah suaranya kawanan gagak yang beterbangan di udara.
Masih Tin ok berdiri diam sampai ia mendengar burung-burung itu terbang ke dalam kuil, untuk berebut makan mayat orang. Ia ingat Bok Liam Cu, ia merasa kasihan untuk nasib buruk nona itu, tidak pantas si nona menjadi umpan burung, maka ia lari ke dalam kuil, ia cari mayatnya, terus ia bawa keluar, ke belakang, di mana ia menggali lubang untuk menguburnya. setelah itu ia lompat naik ke atas genting, untuk mencari tombak buntungnya.
“Ke mana aku mesti pergi?” tanya ia kepada dirinya sendiri sambil berdiri bengong. Ia pun telah menjadi sebatang kara.
sementara itu, banyak burung gagak mengasih dengar suaranya yang sedih, lalu bergantian mereka jatuh sendirinya dari udara dan mati. Mereka telah makan daging beracun dari Yo Kang dan mati karenanya.
Menduga kepada nasibnya burung-burung itu, Tin ok menghela napas, lalu ia bertindak ke utara. Dihari ketiga, selagi berjalan, ia mendengar suaranya burung rajawali, yang terbang di atasan kepalanya.
“Mungkin anak Ceng ada di sini,” pikirnya. Maka lantas ia memanggil-manggil, “Anak Ceng Anak Ceng”
Belum lama maka terdengarlah suara kuda lari mendatangi, lantas Kwee Ceng tiba bersama kuda merahnya. Dia girang sekali melihat gurunya dari siapa ia terpisah dalam pertempuran kacau. Dia lompat turun dari kudanya, untuk merangkul gurunya itu seraya memanggil. “suhu suhu”
Tapinya Tin ok menggaplok muridnya itu dua kali, hingga si murid melengak, lekas-
lekas dia melepaskan pelukannya.
Tin ok masih mencoba menyerang dengan tangan kirinya dan tangan kanannya
berulang-ulang dipakai menggaplok mukanya sendiri
Menampak demikian, Kwee Ceng kaget dan heran. “suhu” katanya. “Suhu, kau kenapa?”
“Sebab kau si tolol cilik dan aku si tolol bangkotan” menjawab guru itu keras.
Masih Tin ok memukuli muridnya dan dirinya sendiri. sampai muka mereka pada bengap. baru dia berhenti sendirinya. setelah ini, dia mencaci kalang kabutan kepada muridnya itu.
“Suhu, kenapa?” tanya si murid, yang tetap bingung.
sekarang ini Tin ok telah menjadi tenang, maka itu ia lantas menuturkan apa yang telah terjadi di kuil, terutama tentang penuturannya oey Yong, yang membuka rahasianya Yo Kang dan Auwyang Hong yang membinasakan cu Cong dan lainnya.
Mendengar keterangan itu, Kwee Ceng heran dan girang, malu dan berduka.
“Dengan begitu aku telah berlaku keliru terhadap Yong-jie,” katanya, menyesal.
“Maka itu kau bilanglah,” Tin ok menutup ceritanya, “Kita berdua harus mampus atau tidak?”
“Memang suhu,” berkata si murid. “suhu, sekarang mari kita lekas menolongi Yong-jie” Kwee Ceng menganggap oey Yong berada dalam bahaya.
“Bagaimana dengan ayahnya?” Tin ok tanya.
“oey Tocu membawa Ang Insu ke Tho Hoa To untuk berobat. suhu, ke mana kiranya Auwyang Hong membawa Yong-jie?” Tin ok berdiam, nampaknya ia berpikir.
“Jikalau Yong-jie tidak dapat lolos dari tangannya Auwyang Hong, entah dia bakal tersiksa bagaimana” katanya. “Anak Ceng, pergilah kau tolongi dia Aku sendiri, hendak aku membunuh diri untuk menghaturkan terima kasih kepadanya..” Kwee Ceng terkejut.
“Suhu, janganlah memikir demikian” ia berkata. Ia berkhawatir karena ia tahu benar tabiat keras dari guru ini, yang biasa melakukan apa yang dikatakan. “suhu, lebih baik suhu pergi ke Tho Hoa To untuk mengasih kabar, kau minta oey Tocu lekas menolong putrinya itu. Dengan sebenarnya aku bukannya lawan dari Auwyang Hong.”
Kwa Tin ok bisa berpikir, maka ia menganggap perkataannya murid itu benar adanya.
Karena ini ia batal membunuh dirinya, lantas ia berangkat, guna pergi ke pulau Tho Hoa To.
Kwee Ceng merasa berat sekali untuk berpisahan pula, ia mengikuti.
” Kenapa kau masih belum mau pergi?” membentak sang guru, yang mendapat tahu dirinya diikuti. ” Lekas pergi Jikalau kau tidak dapat menolongi Yong-jie, maka jiwamu akan aku ambil”
Kwee Ceng menghentikan tindakannya, ia mengawasi guru itu berjalan terus, sampai si guru lenyap daripandangan matanya. Ia masih berdiam sekian lama, karena ia benar-benar bingung ke mana ia mesti mencari oey Yong. Akhirnya sambil menunggang kudanya dan mengajak burungnya, ia menuju ke arah Tiat Ciang Bio.
Hebat apa yang disaksikan di kuil ong Gan ciang itu dan sekitarnya. Banyak sekali bangkai burung gagak bergeletakan, di luar dan di dalam, dan di dalam terlihat seperangkat tulang belulang manusia. Terang itulah sisa tubuhnya Yo Kang. Ia menjadi terharu meskipun ia tahu, pemuda itulah musuh dari guru-gurunya. Ia masih ingat persahabatannya dengan Yo Kang dan perhubungan di antara kedua pihak orang tua mereka. Maka ia pungut semua tulang itu, ia kubur di belakang kuil di sisinya kuburan Bok Liam Cu. Ia memberi hormat sambil berlutut dan mengangguk-angguk dan memuji:
“saudara Yo, saudara Yo Jikalau kau masih ingat budiku ini mengubur tulang-tulangmu, kau harus memayungi aku hingga aku berhasil mencari Yong-jie, dengan begini dapatlah kau menebus segala dosamu selama hidupmu”
Bab 74. Ilmu Perangnya Gak Hui
Habis memuji, Kwee ceng masih menjura empat kali kepada kuburannya Yo Kang dan Bok Liam cu itu, baru ia keluar dari kuil, untuk mulai dengan perkataannya mencari Oey Yong. Di sepanjang jalan, di mana saja, ia menanya-nanya orang tentang nona itu dengan ia menunjuki petaan roman dan potongan tubuhnya si nona serta Auwyang Hong. Inilah pekerjaan sukar untuknya. Setengah tahun lamanya ia merantau. Ia telah minta keterangannya pihak Kay Pang dan coan cin Kauw dan orang-orang yang ia kenal, ia tetap tidak memperoleh hasil. Ia bertabiat keras, ia tidak mau menyerah kalah, terus ia mencari. Selama itu pernah ia pergi ke Pakhia, dan dua kali ia mendatangi kota Pianliang, di sana pun ia tidak mendengar kabar halnya Wanyen Lieh.
Pada suatu hari pemuda ini tiba di propinsi Shoatang, kebetulan ia berada di dalam satu daerah yang kosong, sebab di sepanjang jalan itu, dari sepuluh rumah, sembilan yang ditinggalkan pergi penghuninya. Dijalan besar banyak orang yang lagi berangkat mengungsi. Katanya tentara Mongolia dan Kim telah berperang, pihak Kim kalah dan tentaranya kabur buyar, sembari kabur mereka itu main merampok dan memperkosa.
Tiga hari sudah Kwee ceng berjalan - ia menuju ke Utara -ia mendapat kenyataan daerah semakin kosong dan keadaannya semakin menyedihkan. Dengan begini ia menjadi semakin menyedihkan. Dengan begini ia menjadi menginsyafi bahaya perang itu yang sangat merusak. terutama sangat mengganggu rakyat negeri.
Dihari ketiga anak muda kita tiba di sebuah dusun di dalam lembah, di situ ia hendak singgah untuk mencari nasi dan air untuk kudanya, mendadak ia mendengar suara berisik dari kuda dan manusia, ketika ia menoleh ke arah dari mana suara itu datang, ia melihat tibanya beberapa serdadu Kim. Yang berjalan di muka ada seorang punggawa di ujung tombak siapa ada tertusuk mayatnya seorang bayi, punggawa itu sendiri tertawa terbahak-bahak sedang barisannya memulai membakar dusun, yang penduduknya mereka usir keluar dari rumahnya, untuk diikat dan dibunuh mati, tak perduli tua dan muda, cuma wanita yang muda yang mereka belenggu untuk dibawa pergi.
Menyaksikan keganasannya orang itu, Kwee Ceng menjadi naik darah. Ia mengajukan kudanya menghampirkan punggawa itu. Paling dulu ia merampas tombak orang, habis itu tangan kirinya menyusul melayang. Punggawa itu tidak menyangka sama sekali, selagi ia kaget, tangannya si anak muda sudah tiba kepada sasarannya, maka itu sebelum ia berdaya, ia roboh seketika, biji matanya sampai lompat ke luar, jiwanya terbang melayang.
semua serdadu Kim menjadi kaget dan gusar, dengan serempak mereka berseru-seru dan maju untuk mengepung si anak muda.
Kuda merah tidak takut, dikendalikan majikannya. dia membawa tubuh majikannya ke mana majikan itu bergerak. Kwee Ceng pun gusar sekali, kecuali tombak di tangan kanannya itu, ia merampas sebatang golok besar, maka dengan kedua tangannya dengan ilmu silat pengajarannya Ciu Pek Thong - ia melabrak tentara Kim itu. Ia menikam dan membacok dengan hebat.
setelah melihat banyak kawannya yang roboh, serdadu Kim itu menjadi kuncup nyalinya. Mereka memang telah kehilangan pemimpin mereka. Maka dengan berteriak-teriak. mereka melarikan diri ke luar dusun.
sementara itu dari sebelah depan terlihat munculnya satu pasukan dari seratus lebih serdadu Mongolia, di depannya tertampak satu benderanya yang besar. Melihat begitu, tentara Kim itu, yang jeri kepada tentara Mongolia, lantas lari balik, dengan terpaksa mereka menyerang pula Kwee Ceng, guna membuka jalan kabur.
Anak muda itu sangat membenci tentara Kim ini, ia lantas lari ke mulut lembah, di sana ia menghadang. Dengan cepat ia berhasil merobohkan belasan serdadupenunggang kuda, yang lari mendahului kawan-kawannya. Robohnya mereka itu membikin kawan-kawan mereka menjadi serba salah, mundur tidak bisa, maju tidak dapat.
Barisan Mongolia heran ada orang membantu pihaknya, dengan begitu mereka berhasil menumpas sisa tentara Kim itu. Mereka jadi ingin juga mengetahui siapa itu pembantu yang merintangi jalan molosnya musuh. selagi pekhu-thio, yang mengepalainya mau maju untuk mencari keterangan, tiba-tiba seorang siphu-thio berseru^ “Kim Too Huma” dan terus dia berlutut di tanah untuk memberi hormatnya.
Kapan pekhu-thio itu mengetahui orang adalah menantu dari junjungan mereka, ia pun lompat turun dari kudanya, guna memberikan hormatnya, setelah mana ia memberi perintah untuk seorang serdadunya lekas memberi kabar kepada kepala perangnya.
Kwee Ceng tidak berdiam saja. Ia lantas menitahkan tentara Mongolia itu memadamkan api yang dilepaskan tentara Kim tadi untuk membakar dusun itu Karena ini penduduk yang dapat tertolong itu pada datang menghaturkan terima kasih mereka.
Baru saja penduduk itu lega hatinya atau segera mereka dibikin kaget pula dan ketakutan. Mereka telah mendapatkan datangnya lagi satu pasukan besar sebagaimana suara kuda dan tentara itu membikin berisik luar dusun. Dengan muka pucat mereka saling mengawasi.
Itu waktu lantas terlihat seorang penunggang kuda kabur ke dalam dusun, kudanya besar dan gagah. Dialah seorang panglima muda, yang lantas berseru: “Anda Kwee Ceng di mana?”
Kapan Kwee Ceng telah melihat panglima muda itu, ia girang sekali. “Anda Tuli” ia berseru.
Maka keduanya lantas lari saling menghampirkan, terus mereka saling rangkul.
Kedua burung rajawali mengenali Tuli, putranya jenghis Khan, keduanya terbang menghampirkan, untuk mengulas- ulas panglima muda itu.
Tuli menitahkan seorang Cian-hu-thio mengejar terus tentara Kim, di lain pihak ia memerintahkan mendirikan tenda di mana bersama Kwee Ceng ia duduk berkumpul, untuk mereka bicara panjang lebar hal-hal semenjak mereka berpisahan.
Tuli menceritakan urusan ketentaraan di utara, maka itu Kwee Ceng jadi mendapat tahu selama satu tahun lebih Jenghiz Khan telah tak hentinya berperang ke timur dan barat, hingga dia dapat merampas banyak daerah, hingga keempat putranya yaitu Juji Jagatai, ogotai dan Tuli ini, telah membangun banyak jasa, demikian juga empat panglimanya yang kenamaan, Mukhali, Borehu, Boroul dan chilaun. Dan sekarang ini Tuli bersama Mukhali lagi memimpin angkatan perangnya menyerang negara Kim, dipropinsi shoa tang ini, beberapa kali tentara Kim itu telah kena dilabrak hingga kacau balau, hingga angkatan perangnya dipusatkan di kota Tongkwan di mana mereka mengunci pintu, tidak berani mereka melayani perang .
Baru beberapa hari berkumpul sama Tuli itu, lantas ada diterima perintah dari Jenghiz Khan di gurun utara. semua putra dan panglima dipanggil berkumpul di sana.
Tuli dan Mukhali tidak berani menyangkal panggilan itu, setelah menyerahkan tentaranya kepada wakilnya, mereka lantas berangkat.
Kwee Ceng ingat kepada ibunya, ia turut bersama. Dengan begitu ia jadi dapat terus menemani Tuli.
Pada suatu hari tibalah mereka di tepi sungai onon, di sana memandang ke tegalan yang luas sekali terlihatlah tenda-tenda tentara yang sangat banyak jumlahnya, sedang suara meringkiknya kuda-kuda perang berisik sekali. ujung-ujung tombak yang tajam bergemerlapan di antara cahaya matahari. Di antara puluhan ribu tenda itu ada sebuah yang besar luar biasa yang warnanya kuning, ujung tenda teratas terbuat dari pada emas. Di depan tenda besar itu dipancar sebuah bendera besar, bendera yang menjadi tanda kebesaran dari junjungan bangsa Mongolia. Dari situlah keluar titah Jenghiz Khan memanggil berkumpul semua putra dan kepala perangnya.
Berdiri di atas sebuah tumpukan pasir tinggi, Kwee Ceng memandang ke seluruh perkemahan itu Ia merasakan keang kerannya angkatan parang Mongolia, ia berdiam saja.
Tapi tak usah lama ia berdiam, dari arah markas kelihatan datangnya satu barisan berkuda yang kecil, yang menyambut Tuli dan Mukhali, maka dilain saat ia sudah mengikuti pangeran dan panglima itu menuju ke tenda besar tadi. setibanya mereka di dalam, pemuda ini terperanjat. Ternyata lain-lain kepala perang sudah berkumpul di situ.
Jenghiz Khan girang melihat tiga orang itu. Tuli bersama Mukhali segera memberikan laporannya, sedang Kwee Ceng memberi hormatnya sambil berlutut, kemudian ia menambahkan. “Kha Khan menitahkan aku memotong batang lehernya Wanyen Lieh, untuk mengambil kepalanya, akan tetapi beberapa kali sudah aku menemui dia, saban-saban dia dapat meloloskan diri, dari itu aku mohon Kha Khan memberikan hukumanmu kepadaku”
Jenghiz Khan tertawa. Ia berkata: “Kalau burung elang sudah menjadi besar, pada suatu hari pastilah dia akan dapat menerkam si rase, maka itu kenapa aku mesti menghukum padamu?”
segera setelah itu, kepala bangsa Mongolia ini memulai dengan rapatnya untuk mengatur tindakan menyerang besar-besaran kepada negara Kim. Kebanyakan panglima mengusulkan kerja sama dengan pemerintah song guna menggencet kota Tongkwan. “Baiklah, begini kita mengambil keputusan,”jenghis Khan menyatakan setuju. Maka utusan segera dikirim ke selatan, kepada kerajaan song.
sampai sore baru rapat dibubarkan, Kwee Ceng keluar dari markas dalam cuaca remang-remang ia hendak mencari tenda ibunya. Tiba-tiba ia merasakan dua tangan yang halus menutupi matanya dan hidungnya dapat mencium bau yang harum. Ia melengak sejenak, lantas ia memanggil: “Adik GochinBaki” Ia pun memutar tubuhnya.
Putriny ajenghiz Khan berdiri dengan wajah manis. Sekarang ia nampak terlebih jangkung, romannya agung. “Adik” Kwee Ceng memanggil pula. Putri kegirangan hingga ia menjadi terharu sendirinya. “Ah, benar-benar kau kembali” katanya.
Menyaksikan kepolosan nona itu, hati Kwee Ceng tergerak. sampai tak tahu ia mesti mengucapkan apa. Keduanya berdiri diam, mata mereka saling mengawasi.
“Pergi kau menemui ibumu,” katanya. “Kau pulang dengan masih hidup, maka kau terkalah, siapa yang terlebih girang, aku atau ibumu”
“Pastilah ibu akan girang luar biasa,” menyahut Kwee Ceng.
“Apakah aku pun tidak sangat bergirang?” tanya si nona.
Nona ini menunjuki kepolosannya bangsa Mongolia, yang selalu mengucapkan apa yang dia pikir. Mendengar itu, Kwee Ceng kembali merasa terharu.
Lantas keduanya, sambil berpegang tangan, pergi ke tendanya Lie Peng, maka tak usahlah dituturkan lagi bagaimana kegirangannya ibu dan anak itu Lewat beberapa hari Jenghiz Khan panggil Kwee Ceng menghadap dan mengatakannya^ “Tentang semua perbuatanmu, aku telah mendengarnya dari Tuli. Kau dapat memegang kepercayaanmu, anak aku girang sekali. Kau tunggu lagi beberapa hari, nanti aku nikahkan kau dengan putriku.”
Kwee Ceng kaget. segera ia ingat oey Yong. pikirnya: “sampai sekarang ini masih belum ketahuan Yong-jie masih hidup atau sudah mati, mana bisa aku membelakangi dia menikah lain orang?” Ia ingin menampik tetapi melihat roman angker dari Jenghiz Khan, ia
gagal membuka mulutnya.
Jenghiz Khan ketahui pemuda itu jujur, ia menyangka orang berdiam saking girangnya, maka dia lantas memberikan hadiahnya berupa uang emas seratus kati, kerbau lima ratus ekor dan kambing dua ratus ekor. Dia memerintahkan untuk si anak muda menyiapkan sendiri segala keperluan nikahnya itu.
GochinBaki adalah putri tunggal dan ia sangat disayang ayahnya, sedang itu waktu berkat pelbagai kemenanganJenghiz Khan, pelbagai suku bangsa Mongolia merasa senang, maka juga, berhubung sama pernikahan si putri, yang telah lantas diumumkan, dari sana sini segera datang pemberian selamat berikut rupa-rupa hadiah, barang permata tak terkecuali, hingga semua itu mesti ditempati dalam beberapa puluh tenda.
GochinBaki girang bukan kepalang, akan tetapi Kwee Ceng sebaliknya murung, apapula hari pernikahan mendatangi semakin dekat.
Lie Peng dapat melihat kedukaan dan kebingungan putranya itu, pada suatu malam ia menanyakan sebabnya.
Kwee Ceng berlaku terus-terang dengan menutur hal pergaulannya sama oey Yong.
Mengetahui hal putranya ini, nyonya Kwee berdiam. “Ibu, anakmu menghadapi kesukaran ini, bagaimana baiknya?” Kwee Ceng tanya.
“Budinya Khan sangat besar mana itu dapat disiasiakan?” kata sang ibu. “Hanya Yong-jie, ini anak. walaupun aku belum pernah melihatnya, mestinya dia manis sekali”
“Ibu, kalau umpama ayah menemui urusan begini, apakah akan dibuatnya?” Kwee Ceng tanya pula.
Inilah pertanyaan luar biasa. Lie Peng melengak. Kemudian ia tunduk, akan memikirkan siIat suaminya, yang ia kenal baik sekali.
“Ayahmu lebih suka menderita daripada dia menyia-nyiakan lain orang,” jawab ibu ini akhirnya.
Kwee Ceng berbangkit, ia kata dengan gagah: “Anak belum pernah bertemu sama ayah akan tetapi anak akan mencontoh siIatnya Jikalau Yong-jie selamat, anak akan memenuhkan janji dan akan nikah putri CochinBaki, apabila atas diri Yong-jie terjadi sesuatu, anak tidak akan menikah seumur hidup,”
“Memang begitu mestinya,” pikir sang ibu. “Tidak boleh keluarga Kwee dibikin putus turunannya olehmu. Tapi anak ini kukuh seperti ayahnya, tidak ada gunanya” Maka ia tanya: “Habis bagaimana kau hendak bicara sama Khan?”
“Aku akan bicara terus-terang,” sahut sang anak.
Lie Peng adalah ibu bijaksana, ia bersedia mengiringi kehendak anaknya itu.
“Baik,” katanya. “Di sini kita tidak bisa tinggal lebih lama pula, nah, pergi kau bicara sama Khan. Besok pagi kita berangkat ke selatan.” Kwee Ceng mengangguk.
Ibu dan anak ini lantas berbenah membuntal bungkusannya. Mereka Cuma membekal pakaian seperlunya dan sejumlah uang, yang lainnya, yang menjadi hadiahnya Jenghiz Khan, mereka membiarkan saja.
“sekarang aku hendak pamitan dari putri GochinBaki,” kata Kwee Ceng selesainya mereka.
Lie Peng bersangsi.
“Mana dapat itu diberitahukan dia,” katanya. “Baik kau pergi dengan diam-diam saja supaya dia tidak bersusah hati”
“Tidak. ibu, aku mesti bicara sama dianya,” kata Kwee Ceng pasti. Dan ia bertindak pergi.
Putri GochinBaki berdiam bersama ibunya di dalam sebuah kemah. selama beberapa hari ia gembira sekali, ia repot menyiapkan segala apa untuk pernikahannya, maka ia heran waktu mendengar Kwee Ceng di luar kemah memanggil padanya. Ia pun likat ketika ia berkata “Ibu”
sang ibu tertawa dan kata: “Lagi beberapa hari kamu bakal menikah, satu hari tidak bertemu pun tidak dapat Baiklah, kau pergilah menemui dia” Gochin bersenyum, lantas ia pergi keluar. “Engko Ceng” katanya perlahan.
“Adik, aku ingin bicara sama kau,” berkata Kwee Ceng, yang lantas mengajak si nona bertindak ke arah barat, terpisah jauh dari perkemahan. Di sana mereka duduk di atas rumput.
Gochin menyenderkan tubuhnya di tubuh si anak muda.
“Engko Ceng, aku juga ingin bicara denganmu,” katanya perlahan.
Kwee Ceng terperanjat.
“Oh, kau pun telah mengetahuinya?” katanya. Ia lantas pikir: “Dia sudah mendapat tahu, inilah terlebih baik pula, jadi aku tidak usah bicara banyak”
“Tahu apa?” kata si putri, ia heran. “Aku hanya hendak memberitahukan kau bahwa aku bukan anak dari Kha Khan”
“Apa kau bilang?” tanya Kwee Ceng, heran.
Gochin mengangkat kepalanya memandangi si Putri Malam yang baru mulai muncul.
“Kalau nanti aku sudah menikah sama kau,” berkata si putri perlahan, “Aku akan melupakan diriku bahwa akulah anaknya Jenghiz Khan, aku melainkan ketahui aku ialah istrinya Kwee Ceng, maka apabila kau hendak memukul aku atau memaki aku, kau boleh memukul dan memakinya, jangan nanti karena kau pikir karena ayahku Khan yang agung, kau nanti merasa terhina.” Kwee Ceng terharu sekali.
“Adikku, kau sangat baik,” katanya, “Maka sayang sekali, aku tidak setimpal dijodohkan dengan kau”
” Kenapa tidak setimpal?” Gochin tanya. “Di kolong langit ini kaulah orang yang paling baik, kecuali ayah, tidak ada yang dapat menimpali kau. Keempat kakakku itu, mereka tidak ada separuh mu”
Kwee Ceng berdiam, tidak dapat ia membuka mulutnya, untuk memberitahukan bahwa besok, kapan sang pagi datang, ia bakal meninggalkan Mongolia.
“Di dalam beberapa hari ini, aku girang sekali,” Gochin berkata pula. ” Ketika itu hari aku mendengar kabar kau mati, aku ingin lantas turut mati juga, syukur sekali Tuli telah merampas golok dari tanganku. Tidak demikian, mana sekarang aku bisa menikah denganmu? Engko Ceng, jikalau aku tidak dapat menikah sama kau, benar-benar aku tidak suka hidup lagi.” Kwee Ceng berdiam.
“Kalau Yong-jie, tidak bisa ia bicara begini padaku,” pikirnya. “Dua-dua mereka, mereka baik sekali terhadapku” Ingat oey Yong, ia menghela napas.
“Eh, mengapa kau menarik napas?” Gochin heran.
“Tidak apa-apa” menyahut si anak muda bersangsi.
“Ah, kau tentu ingat kakakku yang nomor satu dan nomor dua,” kata si putri. “Mereka memang tidak menyukai kau. Tapi di sana ada kakakku yang nomor tiga dan nomor empat, mereka baik sekali kepadamu. Baik kau jangan berduka, di d-pan ayah aku telah mengatakan bahwa kakak yang nomor satu dan nomor dua itu tidak baik, yang baik ialah kakak nomor tiga dan nomor empat.”
Kwee Ceng heran. ” Kenapa begitu?” ia tanya. Gochin agaknya senang.
“Aku telah mendengar ibu berkata bahwa sekarang ini usia ayah sudah lanjut dan ayah lagi memikir untuk mengangkat putra mahkota. Coba kau terka, siapakah yang bakal terpilih?”
“Pastilah kakakmu yang paling tua Juji,” menyahut Kwee Ceng. “Dia berusia paling tua dan jasanya pun besar.” Putri itu menggeleng kepala ia tertawa.
“Kau menerka keliru,” bilangnya. “Menurut aku, menduga kakak yang nomor tiga, atau kakak yang nomor empat.”
Juji, putra sulung dari Jenghiz Khan, pintar dan pandai bekerja danputra yang nomor dua Jagatai, gagah dan pandai berperang. ogotai, putra nomor tiga, gemar minum dan berburu, hatinya lapang dan jujur. Dia menginsyafinya, yang bakal menggantikan ayahnya tentulah Juji atau Jagatai, bahwa ia tidak mempunyai pengharapan, dari itu ia tidak turut itu kedua saling bersaing mengejar kedudukan Khan yang maha agung itu, karena ini, beberapa saudaranya, juga adiknya yang perempuan, baik sekali dengannya. Maka itu Kwee Ceng menyangsikan hanya dengan kata-katanya Gochin Jenghiz Khan akan menukar putra mahkota pilihannya itu. Kesangsian ini ia utarakan pada putri itu.
“Aku juga tidak tahu pasti, aku menduga saja,” kata Gochin, ” Hanya andaikata benar salah satu kakakku yang nomor satu atau yang nomor dua yang menjadi Khan, kaujangan khawatir, jikalau mereka berani mengganggumu, akan aku mengadu jiwa dengan mereka itu”
GochinBaki berani berkata begitu, sebab ia sangat disayangi ayahnya hingga keempat saudaranya sudah mengalah terhadapnya. Kwee Ceng tahu putri ini bakal lakukan apa yang dikatakan itu, ia bersenyum.
“Tak usahlah kau sampai berbuat demikian,” katanya.
“Itulah yang diharap. umpama kata saudaraku itu memperlakukan kita berdua tidakselayaknya,. kita berangkat saja ke selatan”
“Aku justru hendak membilangi kau aku hendak pulang ke selatan” kata Kwee Ceng, membarengi ketikanya ini.
Gochin heran hingga ia melengak.
“Aku khawatir ayah dan ibuku tidak akan memberi ijin” katanya. “Tapi aku akan pergi seorang diri”
“Ah, aku selalu mendengar perkataanmu,” kata putri itu. “Kau membilang hendak pulang ke selatan, aku akan turut kau, jikalau ayah dan ibuku tidak mengijinkannya, kita pergi secara diam-diam”
Kwee Ceng tidak dapat menahan sabar lagi. Ia berlompat bangun. “Aku berdua ibuku yang akan pulang ke selatan” katanya.
Kembali GochinBaki heran, hingga dia duduk menjublak, matanya mengawasi si pemuda, yang pun memandang kepadanya. Dia masih belum mengerti maksud orang.
“Adikku, maafkan aku, aku menyesal yang aku tidak dapat menikah denganmu,” kata Kwee Ceng sesaat kemudian.
“Apakah aku telah melakukan sesuatu kesalahan?” tanya si putri. “Apakah kau menyesal yang aku telah tidak membunuh diri? Benarkah itu?”
“Bukan, bukannya kau bersalah” kata Kwee Ceng. “Akupun tidak tahu siapa yang salah, hanya setelah aku pikir-pikir, yang salah itu ialah aku. Duduknya begini”
Pemuda ini lantas menuturkan hal persahabatannya sama oey Yong. Ketika ia menceritakan sampai di bagian oey Yong itu ditawan Auwyang Hong dan ia telah mencarinya setengah tahun lebih dengan sia-sia, Gochin menepas air mata karena ia turut merasa kasihan atas nasibnya nona yang dianggap bernasib malang itu.
“Maka itu, adikku kau lupakanlah aku,” kata Kwee Ceng. “Aku pasti hendak mencari dia.”
“setelah kau berhasil mencari dia, kau akan dating menjenguk aku atau tidak?”
menanya si nona bangsawan.
“Jikalau dia selamat, aku pasti akan kembali ke Utara ini,” Kwee Ceng menyahuti, “Itu waktu,jikalau kau tidak menyia-nyiakan aku dan tetap masih menginginkannya, aku akan menikah denganmu, tidak nanti aku menyesal.”
“Jangan kau membilang begitu,” berkata si putri. “Kau tahu sendiri, aku ini untuk selama-lamanya ingin menikah sama kau. Nah, kau pergilah mencari dia Kau cari dia, sepuluh tahun, dua puluh tahun, asal aku masih hidup, aku akan menantikan kau di padang rumput ini.”
Kwee Ceng terharu bukan main.
“Ya, sepuluh tahun, dua puluh tahun, akan aku cari dia,” ia bilang. “sepuluh tahun, atau dua puluh tahun, aku pun akan selalu mengingat yang kau di sini, di padang rumput, lagi menantikan aku.”
Gochin berlompat bangun, ia menyesapkan diri di dadanya si anak muda, ia menangis tersedu sedan. Kwee Ceng memeluk perlahan lahan, matanya pun merah.
Justru itu waktu, empat penunggang kuda lari mendatangi dari arah barat dan lewat di dekat sepasang muda-mudi ini, mereka itu langsung menuju ke kemah dari Jenghiz Khan. Ketika terpisah lagi beberapa puluh tombak dari kemah, kuda yang satu roboh terguling, tidak dapat dia bangun pula. Itulah tanda latihannya yang sangat. Penunggang kudanya telah berlompat bangun, terus dia kabur ke dalam kemah.
Hanya sejenak saja, maka dari dalam kemah lari keluar sepuluh serdadu, mereka berdiri di empat penjuru kemah itu, untuk memperdengarkan suara terompetnya.
Itulah terompet tanda panggilan kilat untuk sekalian perwira. Kalau terompet itu dibunyikan, tidak perduli pangeran atau panglima yang tersayang, apabila Khan yang agung menghitung dengan tekukan sepuluh jarinya tetapi ada yang belum datang memenuhi panggilan, maka dia bakal segera dihukum potong kepala tanpa ampun lagi.
Kwee ceng ketahui itu.
“Kha Khan menghimpunkan panglima perang” katanya. Tanpa banyak bicara lagi, ia meninggalkan GochinBaki untuk kabur pulang. Ia menggunai ilmunya ringan tubuh. Dari segala penjuru, ia mendengar derapnya kaki kuda. Ketika ia tiba di dalam kemah Jenghiz Khan justru baru menekuk jeriji tangannya yang ke lima. Tempo delapan jari tangan telah tertekuk. maka kumpullah semua putra dan panglimanya.
Jenghiz Khan sudah lantas berkata nyaring: “Adakah raja anjing itu mempunyai putra-putra yang begini gesit? Adakah dia mempunyai panglima-panglima perang yang begini gagah?”
“Tidak” menyahut sekalian pangeran dan panglima berbareng. Jenghiz Khan menepuk dada.
“Kamu lihat” katanya pula. Dia menunjuk. “Inilah perutusanku yang dikirim ke Khoresm *) Apakah yang itu raja anjing Muhammad telah perbuat atas budak- budakku yang setia?”
semua orang berpaling ke arah yang ditunjuk junjungan mereka. Di situ ada beberapa orang Mongolia dengan muka bengkak dan matang biru dan kumisnya terbakar bersih.
Kumislah tanda keagungan dari seorang pahlawan Mongolia. Kalau kumis terbentur saja sudah satu penghinaan, sekarang terbakar habis. Maka semua panglima itu menjadi sangat gusar hingga mereka berseru-seru.
*) KHORESM atau KHIVA,
Dahulunya suatu negara dibawah pemerintahan seorang Khan, dan sekarang menjadi salah satu propinsi daripada negara bagian USBEKISTAN di UNI SOVIET. “Khoresmia itu suatu negara besar di sebelah Barat kita,” berkata pulaJenghiz Khan.
“oleh karena kita memusatkan perhatian kita dalam penyerangan kepada anjing Kim, terhadapnya kita suka mengalah .Juji, anakku, kau bilang, bagaimana sikapnya itu anjing Muhammad terhadap kita?”
Juji maju satu tindak. ia menyahuti dengan nyaring: “Tahun dulu itu ayah menitahkan anakmu menyerang bangsa Mergid yang harus mampus itu, anak pulang dengan kemenangan. Ketika itu Muhammad telah mengirim satu pasukan perangnya menggencet bangsa Mergid itu. Karenanya kedua pasukan telah bertemu satu dengan lain. Anak lantas mengirim utusan untuk mengadakan perhubungan baik dengan membilang ayah suka bersahabat dengan Khoresm.
Lantas Muhammad bilang: “MeskipunJenghiz Khan tidak menitahkan kamu menyerang aku akan tetapi Tuhan memerintahkan aku menghajar kamu.” Kita jadi bertempur dan kita menang, hanya pada waktu tengah malam, lantaran jumlah musuh lebih besar sepuluh lipat, diam-diam aku mengundurkan diri”
“Walaupun demikian, Kha Khan masih tetap berlaku baik terhadapnya,” berkata Boroul. “Tempo kita mengirim kafilah perdagangan kita, semua barang kita dirampas Muhammad dan semua saudagarnya dibunuh mati sekarang mengirim utusan untuk mengikat persahabatan, Muhammad telah mendengar ojokannya Wanyen Lieh si pangeran anjing dari negara Kim, dia membunuh utusan kita yang gagah dan menyerang pengiring-pengiringnya utusan itu, separuh pengiring dibinasakan dan separuhnya lagi dibakar kumisnya lalu diusir pulang”
Mendengar disebutnya nama Wanyen Lieh, Kwee Ceng campur bicara. “Apakah Wanyen Lieh ada di Khoresm?” ia tanya.
“Anjing Kim itu berserikat sama Khoresm,” berkata Jenghiz Khan, “Mereka hendak menggencet kita Apakah kita takut?”
“Khan kita yang agung tak ada tandingannya di kolong langit ini” berseru para panglima. “Kha Khan, kau titahkan kita pergi menyerang Khoresm, nanti kita menggempur kota-kotanya, kita membakar rumah- rumahnya, kita membunuh habis rakyatnya laki-laki dan perempuan, kita rampas hewan mereka”
“Muhammad mesti dibekuk Wanyen Lieh mesti dibekuk” Jenghiz Khan menambahkan.
“Ya” berseru para hadirin hingga api lilin di dalam kemah jadi berkelak- kelik, Jenghiz Khan menghunus golok di pinggangnya, ia membacok ke depannya, lantas ia lari ke luar kemah, lompat naik atas kudanya, atas mana semua panglima turut berlari-lari keluar, naik juga atas kuda mereka, lari mengikuti.
Jenghiz Khan melarikan kudanya beberapa lie, lalu dia naik atas sebuah bukit kecil.
semua orang tahu junjungan itu hendak mengasah pikiran seorang diri, mereka tidak turut naik, mereka hanya lantas mengitari, mengurung bukit kecil itu. Jenghiz Khan melihat Kwee Ceng berada tak jauh di sampingnya.
Kwee Ceng mengeprak kuda merahnya, unluk menghampirkan. Jenghiz Khan memandang ke tanah datar di mana tampak cahaya api bagaikan bintang di pelbagai tenda tentaranya. Ia lantas mengayun cambuknya.
“Anak.” katanya, “Dulu hari tempo kita dikurung sangum dan Jamukha di atas bukit, pernah aku omong sama kau. Apakah kau masih ingat kata-kata itu?”
“Aku masih ingat,” menjawab si anak muda. ” Ketika itu kau membilangi, kita bangsa Mongolia mempunyai banyak orang gagah, asal kita tidak lagi saling membunuh, hanya kita berserikat menjadi satu, maka kita bangsa Mongolia akan membuatnya seluruh dunia menjadi lapangan penggembalaan ternak kita.” Jenghiz Khan menjeterkan cambuknya di udara.
“Benar” katanya. “sekarang bangsa Mongolia telah bersatu padu, mari kita pergi membekuk Wanyen Lieh”
Kwee Ceng telah berkeputusan untuk besok pulang ke selatan, tetapi sekarang ia menghadapi urusan besar ini, terpaksa ia mesti mengubah keputusannya itu. Wanyen Lieh musuh besarnya, tidak dapat ia melepaskannya. Maka ia menjawab raja Mongolia itu, “Kali ini kita pasti akan membekuk Wanyen Lieh”
Jenghiz Khan berkata pula: “Khoresm ia terkenal sebagai negara dengan sejuta serdadu pilihan, akan tetapi menurutku, jumlahnya yang tepat kira-kira enam - atau tujuh puluh laksa jiwa. Kita di sini sebaliknya cuma mempunyai dua puluh laksa jiwa, dari sini, beberapa laksa serdadu diperlukan menghajar anjing Kim, dari itu dengan limabelas laksa serdadu melawan tujuhpuluh laksa jiwa, kau bilang, apakah pasti kita bakal menang?”
Kwee Ceng belum kenal urusan perang tetapi ia muda dan nyalinya besar, ia tidak pernah jeri akan kesukaran, maka mendengar pertanyaan itu, ia kata dengan gagah:
“Pasti menang”
“Ya, pasti menang” berkata Jenghiz Khan. “Baru-baru ini aku telah mengatakan kepada kau bahwa aku akan perlakukan kau sebagai anakku sendiri, mengenai ini hendak aku membilangi kau, kata-katanya Temujin tidak pernah dilupakan sekarang kau turut aku berperang ke Barat, setelah membekuk Muhammad dan Wanyen Lieh, sepulangnya barulah kau menikah dengan putriku”
Inilah apa yang Kwee Ceng harap maka ia mengiakan. Jenghiz Khan melarikan kuda turun dari bukit. ” Kumpulkan tentara” ia menitah. segera pasukan pengiringnya membunyikan terompet.
Jenghiz Khan melarikan terus kudanya ke kemahnya. selama itu di sepanjang jalan terlihat tubuh orang bergerak-gerak bagaikan bayangan dan banyak kuda berlari-larian akan tetapi suatu orang tidak terdengar sama sekali, suatu tanda dari tata tertib yang sempurna. Ketika ia tiba di muka kemah, maka tiga laksa serdadunya sudah berbaris rapi di padang rumput, golok panjang mereka berkilauan di antara cahaya rembulan.
setibanya di dalam kemah Jenghiz.Khan memanggil penulisnya, untuk menitahkan dia menulis surat pernyataan perang. Penulis itu tidak menanya jelas lagi, ia menggelar kertas kulit kambing di atas tanah, sambil berlutut, ia mulai menulis. Mulanya ia memuji junjungannya, lalu dia mengancam musuh untuk membayar upeti.
“He, kepada siapa kau menulis surat?” bentak Jenghiz Khan dengan murka, penulisnya itu ia tendang terbalik. “Menulis sama raja anjing kenapa demikian rewel?” Ia mencambuk kepala orang seraya berkata keras- “Kau dengar Apa yang aku bilang, kau catat”
Penulis itu ketakutan, ia merayap bangun, akan mengambil kertas pula dan siap. Ia berlutut seraya mengawasi mulut junjungannya.
Jenghiz Khan menyingkap tendanya, ia memandang ke luar, kepada tiga laksa serdadunya. Ia berpikir. Tapi lekas juga, ia bilang: “Kau menulis begini, cuma enam huruf” Ia berhenti sebentar, lantas dia mengatakan, keras: “Jikalau kau mau berperang, lekaslah berperang”
Penulis itu heran, tetapi ia menulis. Ia menulis huruf-huruf yang besar “Berikan cap keb es a ranku Lekas kirim”Jenghiz Khan memerintah pula.
Mukhali maju, akan mencapi surat itu dengan Cap emas, dan seorang opsir pangkat cianhu-thio diperintah menyampaikan permakluman perang itu kepada musuh.
semua panglima menanti sampai derap kuda si utusan dan pengiringnya sudah terdengar jauh, dengan serentak mereka berseru: “Jikalau kau mau berperang, lekaslah berperang” seruan ini disambut oleh tiga laksa serdadu dengan teriakan perangnya.
seperti biasanya, teriakan perang ini segera diikuti oleh pekiknya kuda perang. Maka sejenak itu, seluruh tanah datar jadi seperti menggetar.
sesudah semua itu Jenghiz Khan menitahkan semua panglima dan tentaranyamengundurkan diri, lalu seorang diri ia duduk di kursi emasnya, untuk berpikir. Kursi itu ada kursi rampasan di waktu dia menyerang Chungtu, ibu kota negara Kim. Bagian belakang kursi berukiran naga melingkar merampas mutiara, sedang di kedua tangan-tangannya ada ukiran masing-masing seekor harimau galak. Karena itulah kursi takhta raja Kim. Ia memikirkan masa mudanya yang penuh dengan penderitaan, ia memikirkan ibunya, istrinya, empat putra-putrinya, lalu juga pelbagai kemenangannya, hingga negaranya menjadi besar dan luas, sedang sekarang ia bakal menghadapi musuh tangguh.
Usia Khan ini sudah lanjut akan tetapi kupingnya masih terang sekali. Ia mendengar suara seekor kuda yang datang dari kejauhan, beberapa kali binatang itu mengasih dengar suara sedih, lantas berhenti. Ia tahu apa artinya itu. Ialah kuda itu mendapat sakit yang tidak dapat diobati lagi, lalu majikannya, yang tidak tega mengawasi, penderitaannya, membunuhnya. Tiba-tiba ia ingat, “Aku sudah tua, sekarang aku bakal pergi perang. Dapatkah aku bakal pergi perang. Dapatkah aku kembali dengan masih hidup? Jikalau aku mati mendadak di medan perang, lalu keempat putraku memperebuti takhta, kedudukan Khan yang agung, tidakkah itu kacau? Dapatkah aku tak mati untuk selama-lamanya? ”
Ingat kematian, hatinya pendekar Mongolia ini bercekat.
“Aku mendengar di selatan ada orang yang dinamakan tosu, yang katanya dapat mengajari orang menjadi dewa, hidup seumurnya tanpa menjadi tua, benarkah itu?”
demikian ia berpikir. Ia lantas menepuk tangan, memanggil seorang pahlawannya.
Pahlawan itu dititahkan lekas memanggil Kwee Ceng.
Pemuda itu muncul dalam tempo yang cepat. Ia lantas ditanyai mengenai halnya si tosu atau imam.
“Tentang hidup panjang umur hingga menjadi dewa, anak tidak ketahui benar atau bohongnya,” Kwee Ceng memberi keterangan, yang benar ialah halnya ilmu bersemedhi, untuk menyalurkan napas dengan sempurna, guna menambah umur.”
Jenghiz Khan girang mendengar keterangan itu.
“Kenalkah kau orang semacam itu?” ia tanya. “Lekas kau cari seorang saja untuk dia datang menghadap aku”
“Imam semacam itu, apabila dia dipanggil dengan cara sembarangan, pasti dia tidak bakal datang,” Kwee Ceng beritahu.
“Kau benar. Nanti aku mengutus satu pembesar berpangkat tinggi mengundang dia datang ke Utara sini. coba bilang, siapa yang aku mesti undang?”
Kwee Ceng lantas memikirkan kaum Coan cin Pay, di antara siapa Tiang cun cu Khu Cie Kie adalah yang paling mahir ilmu silatnya dan siIatnya pun sudi gawe, maka mungkin dia itu dapat diundang. Maka ia lantas memujikan imam itu.
Jenghiz Khan girang, ia lantas memerintahkan penulisnya datang menghadap, untuk dititah menulis surat undangan itu.
Baru saja penulis ini mendapat bagian, hatinya jadi kecil, maka setelah berpikir, ia menulis ringkas, cuma enam huruf, bunyinya: “Kami mempunyai urusan, lekaslah kau datang.” Membaca itu, Jenghiz Khan gusar.
“Terhadap raja anjing aku bicara begitu rupa, apakah terhadap orang cerdik pandai mesti begitu juga?” bentaknya. “Kau tahu, kau mesti menulis panjang lebar dan hormat”
Penulis itu bingung tetapi ia menurut. Ia lantas mengarang suratnya itu, yang panjang
dan lemah lembut bunyinya, junjungannya diangkat, Khu Cie Kie dipuji tinggi. “
Cukupkah ini?” ia menanya rajanya. Jenghiz Khan tertawa.
“Ya, begini cukup, katanya. “Kau lantas rapikan, nanti aku mengutus Lauw Tiong Lok, itu pembesar tinggi berbangsa Tionghoa, yang pergi membawanya, untuk mengundang dia, pasti dia akan datang.” Penulis itu merampungkan suratnya.
Jenghiz Khan pun menyuruh Kwee Ceng menulis surat kepada Khu Cie Kie, untuk memberitahukan undangannya itu serta Kwee Ceng sendiri meminta si imam suka datang ke Utara. Habis itu, Lauw Tiong Lok lantas diutus.
Besoknya jenghiz Khan mengadakan kurultai, rapat besar untuk membicarakan lebih jauh soal menyerang ke Barat, di antaranya Kwee Ceng diangkat menjadi “Noyon”,
suatu pangkat paling tinggi, yang biasa tidak dianugerahkannya kecuali kepada pangeran, keluarga raja terdekat atau panglima perang, setelah mana, anak muda itu ditugaskan memimpin selaksa serdadu untuk turut berperang.
Kwee Ceng telah maju pesat ilmu silatnya tetapi dalam ilmu perang ialah seorang asing, berhubung dengan ini kedudukannya yang baru, yang ia tidak dapat tampik, ia lantas pergi kepada Jebe subotai untuk meminta pengajaran. Karena ia bebal, tidak gampang-gampang ia lantas mengerti, dari itu untuk beberapa hari, ia masgul sekali.
Tidakkah tugasnya berat? Bagaimana kalau di harian keberangkatan perang, titahnya tidak sempurna? Bagaimana kalau ia gagal? Tidakkah pasukannya bakal termusnah dan kehormatannya jenghiz Khan runtuh? Ia bingung hingga ia berniat menghadap junjungannya untuk menampik tugas itu.Justru ia mau mengambil putusan akan penampikannya itu, tiba-tiba serdadu pengawalnya masuk dengan warta bahwa ada seribu lebih orang Han yang datang dan lagi menantikan di luar kemah untuk minta bertemu padanya. Ia menjadi girang sekali.
“Ah, begini cepat Kiu Totiang datang?” pikirnya. Dengan cepat ia pergi ke luar.
setibanya di muka tangsi, ia melengak. Di sana ia menampak serombongan orang dengan dandanan sebagai pengemis. Ia heran bukan main.
Dari dalam rombongan tukang minta-minta itu lantas muncul tiga orang, untuk menghampirkan si anak muda, guna menunjuki hormatnya, guna memperkenalkan diri Ternyatalah mereka ada ketiga tianglo dari Kay Pang, yaitu Lou Yoe Kiak, Kan dan Tio Tiang lo.
“Tahukah kamu tentang nona oey Yong?” ia tanya. Mengingat Kay Pang, ia lantas ingat nona kekasihnya itu.
” Kami telah mencarinya ke mana-mana, belum pernah kami mendengar kabar tentang Pang cu kami itu,” berkata Lou Yoe Kiak. “Baru saja kami mendengar kabar koanjin mau pergi berperang ke Barat, kami datang untuk menyerahkan diri kami.”
Pemuda ini heran sekali.
“Cara bagaimana kamu mendapat tahunya?” ia tanya pula.
“Khan yang agung telah mengirim utusan mengundang Khu Cie Kie Totiang, kita mendengarnya dari orang coan cin pay,” Yoe Kiak menyahut.
Kwee Ceng menjublak mendongak ke arah Selatan di mana ada gumpalan-gumpalan mega putih, hatinya berpikiri Kay Pang tersebar di seluruh negara, toh mereka tidak ketahui tentang Yong-jie, kalau begitu, dia lebih banyak terancam bahaya daripada menghadapi keselamatan” Maka tanpa merasa, kedua matanya menjadi merah. Tapi ia menerima kawanan pengemis itu, ia memerintahkan orangnya untuk memerinahkan mereka itu, ia sendiri terus menghadap Jenghiz Khan guna melaporkannya.
“Baik,”Jenghiz Khan menerima baik. “Kau masukilah mereka di dalam pasukan pwrangmu” sekalian menghadap junjungan itu, Kwee Ceng mengutarakan niatnya mengundurkan diri
Jenghiz Khan gusar, ia berkata dengan nyaring: “siapakah yang dilahirkan lantas dapat berperang? Tidak bisa, bukan? Maka itu, berperanglah, setelah beberapa kali, kau tentu lantas bisa”
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 3 komentar... read them below or add one }
semangat terus jo... pasti bisa jangan menyerah ,,
ajip cin
http://goo.gl/EFJDs terimakasih
Posting Komentar