Cerita Silat ABG SMU : Tiga Maha Besar 2 [lanjutan bara maharani]

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Senin, 26 Desember 2011

Cerita Silat ABG SMU : Tiga Maha Besar 2 [lanjutan bara maharani]

“Haahh…. haahh…. haahh…. aku orang tua tidak berani
melakukan perbuatan itu!”
Hoa Hujin segera berpaling ke arah Lan-hoa Siancu dan
berbisik dengan suara rendah, “Meninjau situasi yang
terbentang pada saat ini, kehadiran Ciu It-bong ditempat ini
sangat menguntungkan pihak kita, nona! berikan obat
pemunah tersebut kepadanya!”
Lan-hoa Siancu mengangguk, dia bangkit berdiri dan
melayang kehadapan Ciu It-bong katanya, “Huuh….! engkau
siorang tolol yang goblok dan berangasan, bisanya cuma
merepotkan orang saja!”
Ia merogoh kesakunya dan ambil keluar sebutir pil obat
berwarna merah kemudian dilemparkan kemuka.
Jilid 9

Ciu It-bong hendak menerima obat itu dengan tangannya
tiba-tiba satu ingatan berkelebat dalam benaknya, ia segera
berpikir, “Gadis dari suku Biau ini nampaknya saja berparas
muka cantik jelita padahal sekujur badannya penuh dengan
racun, aku tak boleh sampai menyentuh setiap benda
miliknya.”
Berpikir sampai disitu, dengan suara dingin ia lantas
berkata, “Aku hanya minta obat penawar dari Siang Tang Lay,
kebaikan hati orang lain tidak sudi kuterima dengan begitu
saja.”
Mendengar perkataan itu, Lan-hoa siancu segera
mengernyitkan sepasang alis matanya, ia berkata, “Aku sih tak
mau tahu apakah yang dinamakan kitab Kiam keng, obat
penawar hanya ada sebutir kalau kau tak sudi menerimanya
aku akan berikan kepada orang lain agar engkau terpaksa
musti tunduk dibawah perintah dan gertakannya!”
“Bagus….! bagus sekali….!” sambung Tong tiang kaucu
sambil tertawa, “kalau memang begitu, harap nona serahkan
obat pemunah tersebut kepada pinto!”
“Bagus! aku memang punya maksud untuk berbuat begitu”
Ciu It-bong jadi sangat terperanjat, ia segera membuka
mulutnya dan mengisap ke tanah, obat penawar yang masih
berada dalam genggaman Lan-hoa Siancu itu dengan cepat
meluncur kedepan dan masuk kedalam perutnya.
Tapi, setelah obat itu masuk ke perut, ia baru teringat
kembali bahwa perempuan dari suku Biau itu sangat beracun,
andaikata pil itu mengandung racun yang jauh lebih keji,
bukankah selembar jiwanya bakal mampus dengan lebih
cepat?

Teringat akan mara bahaya yang mengancam jiwanya, jadi
gugup dan gelagapan sendiri, paras mukanya berubah sangat
hebat.
“Nona, kembali ketempat dudukmu!” tiba-tiba Hoa Hujin
berseru kembali dengan suara lantang.
Hoa Hujin sama sekali tidak menunjukkan sikap marah tapi
wibawanya besar sekali, kendatipun Biau-nia Sam-sian tiga
dewi dari wilayah Biau termasuk manusia-manusia berwatak
tinggi hati dan tak sudi tunduk kepada orang lain, namun
mereka tak berani membangkang maksud hati perempuan
berwajah agung itu.
Ketika mendengar namanya dipanggil, tanpa mengucapkan
sepatah katapun Lan-hoa Siancu tergesa-gesa kembali ke
baraknya.
Obat racun dari perguruan Kiu-tok Sianci memang tersohor
akan kelihaiannya, namun seteleh menelan obat penawar
itu,racun tersebut pun menyurut dengan cepatnya.
Setelah Ciu It-bong menelan obat penawar tadi, beberapa
saat kemudian racun keji yang bersarang dalam tubuhnya
telah lenyap tak berbekas, diam-diam ia bersyukur karena hal
itu.
Setelah meletakkan kotak emas tadi didepan tubuhnya,
dengan suara lantang kakek cacad ini berseru, “Siang loo te,
sebenarnya bagaimana sih caranya untuk membuka kotak
emas ini?”
“Oooh….! baru saja engkau menyebut aku sebagai Looji
atau tua bangka, sekarang engkau telah menyebut aku
dengan panggilan Loo te, dingin panasnya perasaan manusia

selalu memang begitu, aaai….! apa tidak membuat hati orang
jadi bergidik?”
Ciu It-bong tertawa terbahak-bahak….Haahhh…. haahh….
haahhh…. itulah yang dinamakan harga barang pagi dan
malam jauh berbeda, sudah! engkau tak usah banyak bicara
lagi cepatlah kita bicarakan persoalan pokok!”
Siang Tang Lay tersenyum, paras mukanya berubah jadi
serius dan serunya, “Dalam kotak emas itu sama sekali tidak
terdapat alat rahasia apa-apa, benda itu merupakan satu
kesatuan yang bulat dan tiada cara untuk membukanya!”
“Kentut busuk!” tukas Ciu It-bong dengan mendongkol,
“kalau benda itu merupakan satu kesatuan yang bulat,
bagaimana caranya kitab Kiam keng itu bisa menerobos
masuk kedalamnya?”
Bukannya gusar Siang Tang Lay malah tertawa.
“Benda ini merupakan hasil karya dari seorang
cendekiawan pada jaman dahulu kala, sudah tentu aku
sendiripun tidak tahu bagaimana caranya kitab tersebut bisa
masuk ke dalam kotak tersebut!!”
“Jadi sebetulnya engkau sudah pernah membaca isi kitab
Kiam keng itu atau tidak?”
“Aku belum pernah membaca isinya!” jawab Siang Tang
Lay sambil menggeleng.
“Kalau engkau tak pernah melihat kitab tersebut darimana
engkau bisa tahu kalau isi kotak ini adalah kitab Kitam keng?
bukankah itu berarti bahwa engkau sedang mempermainkan
diriku?” teriak Ciu It-bong marah.

Pek Siau-thian yang berdiri disampingnya segera berkata
dengan suara ketus, “Diatas kotak emas itu bukankah terangterangan
sudah terukir tulisan besar yang berbunyi Kiam
keng? engkau buta huruf ataukah sepasang matamu memang
sudah buta?”
Ciu It-bong naik darah, ia menerjang maju kedepan sambil
melepaskan suatu pukulan dahsyat.
Dengan jurus Hoo Suo lip wi atau berdiri tegak diujung
sungai, Pek Siau-thian memunahkan datangnya ancaman itu
lengan panjangnya ditekuk keluar dan iapun melancarkan
sebuah serangan balasan.
Sudah sepuluh tahun lamanya dua orang itu saling
bertempur sengit, kedua belah pihak sama-sama sudah hapal
dengan jurus serang an pihak lawannya, kini setelah saling
bentrok kembali maka keadaannya menjadi amat hebat ibarat
tanggul sungai yang ambrol, serangan demi serangan laksana
sambaran petir saling meluncur kepihak lawan, pukulan demi
pukulan dilepaskan secara berantai, meskipun diantara para
penonton di sisi kalangan terdapat jago-jago yang memiliki
ilmu silat jauh lebih tinggi dari kedua orang itu, namun tak
urung mereka dibikin kabur juga pandangannya hingga sukar
untuk mengikuti jalannya pertarungan itu dengan seksama.
Tiba-tiba Pek Siau-thian membebaskan ujung baju kirinya,
segulung angin pukulan yang maha dahsyat meluncur keluar
dari balik kebutan tadi, sementara telapak kanannya dengan
gerakan hun hoa hud liu atau memisah bunga mengayun
pohon itu melepaskan satu pukulan.
Bukan begitu saja, pada saat yang bersamaan kaki kirinya
melepaskan pula satu tendangan menghajar batok kepala Ciu
It-bong.

Ketiga buah jurus serangan itu dilepaskan pada saat yang
bersamaan dengan kecepatan bagaikan sambaran petir,
kedahsyatannya luar biasa sekali.
Kalau berganti dengan orang lain, mungkin ancaman itu
sukar untuk dihadapi, tapi bagi Cui It bong yang sudah hapal
gerakan lawan ancaman itu masih terhitung seberapa, sebab
dahulu ia pernah merasakan kelihayan dari pukulan semacam
ini.
Ditengah berlangsungnya pertarungan yang maha seru itu,
tanpa berpikir panjang badannya segera miring sambil
membalik ke atas muka pertama ia menghindar dahulu
serangan musuh kemudian dengan dengan jurus pukulan Kun
sin ci tau in melancarkan satu pukulan yang tak kalah
hebatnya.
Serangan itu ditujukan ke arah iga kanan lawan badan
bergerak mengikuti serangan tadi dan hebatnya luar biasa
terhadap ancaman pukulan telapat dari Pek Siau-thiang
ternyata ia ambil sikap tak ambil perduli.
Inilah siasat mengepung Gui menolong Tio suatu siasat
bertempur untuk menolong diri yang amat lihay.
Bluuuummmm!! sepasang telapak saling membentur satu
sama lainnya menimbulkan suara benturan yang memekikan
telinga.
Pek Siau-thian seketika itu juga terdorong mundur satu
langkah kebelakang sedang kan Ciu It-bong sendiripun sama
saja, tak mampu menahan getaran pukulan tadi, namun ia tak
usah mempersoalkan masalah gengsi, dalam keadaan begini
buru-buru ia mengepos tenaga dan menggunakan kesempatan
itu untuk meloloskan diri.

Setelah berhasil lolos dari jangkauan angin pukulan Pek
Siau-thian, jaigo tua she Ciu itu dengan cepat hentikan
serangan dan ber diri tak berkutik lagi.
Diam-diam Pek Siau-thian berpikir dalam hati kecilnya,
“Pada hari ini seluruh jago dan orang gagah dari kolong langit
berkumpul disini, siapa menang siapa kalah masih sukar untuk
diduga, kalau aku selisih terus dengan manusia cacad ini,
bukan saja aku tak bisa cari kemenangan dalam soal ilmu silat
hingga bakal di terta wakan orang, akupun harus membuang
tenaga dengan percuma, apa gunanya pertempuran semacam
ini dilanjutkan?”
Berpikir sampai disini, diapun segera hentikan kejarannya
dan tidak melakukan serangan lebih jauh.
Dipihak lain, Ciu It-bong sendiripun diam-diam sedang
berpikir, “Kekuatanku minim sekali dan lagi aku hanya
sebatang kara belaka, yang ada hanya musuh tanpa teman,
menghadapi situasi seperti ini buang tenaga dengan percuma
bukanlah suatu tindakan yang cerdas….”
Karena berpikir begitu, maka diapun tak berani meneruskan
pertarungan itu lebih jauh.
Thong-thian Kaucu sendiri ketika dilihatnya pertarungan
harus berakhir hanya sampai ditengah jalan belaka, diam-diam
merasa kecewa dan sayang, biji matanya segera berputar
kemudian sambil tertawa nyaring ia berseru, “Siang sicu,
sebaenaruya bagaimana sih caranya untuk membuka kotak
emas itu serta ambil keluar kitab kiam keng? harap engkau
suka memberi keterangan!”
Mendengar tentang soal kotak emas, Ciu It-bong buru-buru
berpaling keatas tanah, ia temukan kotak tersebut masih tetap
bera da di tempat semula menubruk kedepan.

“Bangsat! enyah kamu dari sini….!” bentak Jin Hian dengan
suara dingin.
Telapaknya segera diayun kedepan melepaskan satu
pukulan dahsyat.
Ciu It-bong teramat gusar, ia membeatak nyaring dan
menyambut datangnya ancaman tersebut dengan keras lawan
keras.
“Blaamm! ditengah benturan keras yang memekikan
telinga, kedua belah pihak sama-sama tergetar mundur
kebelakang.
Jin Hian yang berdiri dengan kaki menginjak tanah hanya
berhasil dipaksa mundur satu langkah belaka untuk kemudian
berhasil menjaga keseimbangan tubuhnya.
Lain halnya dengan Ciu It-bong yang cuma memiliki sebuah
lengan tunggal, apalagi bertempur dengan tubuh
mengambang di tengah angkasa ia tidak memiliki daya tahan
yang cukup kuat, dalam benturan tadi tubuhnya mencelat
kebelakang dan harus bersalto beberapa kali untuk
memunahkan tenaga getaran itu sebelum dapat melayang
kembali ketanah dengan selamat.
Sementara itu kotak emas tadi masih tetap berada
ditempat semula, empat orang delapan buah mata saling
menatap dengan ma ta melotot, namun siapapun tidak
berhasil menyelesaikan persengketaan itu.
Thong-thian Kaucu sebagai tuan rumah dalam pertemuan
itu segera tertawa terbahak-bahak, ujarnya, “Haahh….
haahh…. haahh…. Ciu heng, aku harap engkau jangan
mengacau lebih lanjut, kita toh sama-sama merupakan

sahabat karib yang sudah berlangsung banyak tahun,
bagaimana kalau kira bagi ki tab kiam keng tersebut jadi
empat bagian dan kita masing-masing pihak mendapatkan
satu bagian?”
“Hmm! perkataan semacam ini masih bisa dianggap suatu
perun dingan yang masuk akal jawab Ciu It-bong ketus, “lebih
baik kita menunggang keledai sambil membaca buku, lihat
saja bagaimana nantinya….
Thong-thian Kaucu tersenyum sorot matanya perlahanlahan
dialihkan kembali kaatas wajah Siang Tang Lay.
Menyaksikan imam tua itu, pedang sakti yang menyapu
daratan Tionggoan ini segera mendehem ringan lalu tertawa,
katanya, “Meskipun kotak emas itu keras melebihi baja dan
tidak mempan dibacok oleh pelbagai senjata mustika namun
hanya satu benda yang mampu mengalahkan kerasnya kotak
emas itu!”
“Oohh….! benda apakah itu?” tanya Tong tiang kaucu
dengan wajah tercengang.
Siang Tang Lay tersenyum.
“Benda itu bukan lain adalab pedang emas yang pernah
kugunakan sebagai senjata andalan, hanya pedang emas yang
kecil iti saja yang mampu membuka kotak emas itu, oleh
sebab itulah jika kalian ingin mendapatkan kitab Kiam keng
yang berada dalam kotak emas itu dengan gampang dan
tanpa membuang banyak tenaga satu-satunya jalan hanyalah
menemukan pedang emas tersebut.
Setelah ucapan itu diutarakan keluar maka tanpa sadar
Thong-thian Kaucu , Pek Siau-thian serta Ciu It-bong alihkan
sorot mata mereka yang tajam bagaikan pisau menatap wajan

Jin Hian, sementara ribuan orang jago lainnya yang berada
diempat penjuru juga bersama-sama dialihkan keatas wajah
sang ketua dan perkumpulan Hong-im-hwie ini.
“Tua bangka she Jin!!” tiba-tiba terdengar Ciu It-bong
membentak nyaring, “ayoh cepat kembalikan pedang emas
milikku itu kalau tidak maka engkau bakal mampus ditempat
ini tanpa tempat mengubur mayatmu!”
“Hmm! sayang sekali engkau punya hasrat namun tenaga
kurang engkau tak akan mampu mengganggu seujung
rambutku” jawab Jin Hian sinis.
00000O00000
54
KEMARAHAN Ciu It-bong benar-benar memuncak dan sukar
dikendalikan lagi, diam-diam ia himpun tenaga dalamnya
kedalam tela pak ia bermaksud melakukan suatu sergapan
tiba-tiba dikala pihak lawan tidak siap.
Namun Jin Hian sendiri bukanlah seorang manusia tolol,
kendatipun diluaran ia tidak nampak siap bahkan ambil
perhatianpun tidak, padahal dalam kenyataannya ia sudah
bersiap siaga penuh dan sedikitpun tidak berani bertindak
gegabah.
“Jin heng….!” tiba-tiba terdengar Thong-thian Kaucu
berkata, “sudah belasan tehun lamanya kita gagal untuk
mengungkapkan rahasia yang menyelimuti pedang emas
tersebut, akhirnya hari ini rahasia mengenai pedang emas itu
terungkap juga.
“Hmm! mungkin hanya too beng seorang yang mengerti,
aku sih tetap tidak mengerti,” jawab Jin Hian ketus.

Tong tian kaucu menengadah keatas dan tertawa terbahakbahak.
“Haahh…. haahh…. haahh…. kenapa sih Jin heng musti
berlagak pilon dan pura-pura bodoh? pedang emas itu
merupakan kunci dari kitab pusaka Kiam keng, tanpa pedang
emas itu berarti kitab emas tersebut tak mungkin bisa dibelah,
tanpa membelah kotak emas itu maka kitab kiam keng ibarat
rembulan diatas permukaan air, bunga dibalik cermin, bisa
dilihat tidak bisa dijamah bukankah sama sekali tak ada
gunanya?”
“Benar juga perkataan ini” pikir Jin Hian dalam hati,
bayangkan saja bagaimana tajamnya pedang mustika Boan
liong poo kiam, ternyata kotak emas itu sama sekali tidak
gumpil atau cedera, dari sini dapat dibuktikan bahwa pedang
mustika atau golok mustika biasa tak mungkin bisa membelah
kotak emas itu….”
Setelah termenung sejenak, ia berpikir lebih jauh, “Pedang
emas milikku sudah dicuri orang, bahkan jiwa Bong ji pun
harus ikut dikorbankan, bila kuceritakan tentang pencurinya
pedang emas ini kepada umum, secuali pembunuh yang telah
mencuri pedang itu, orang lain pasti tak akan percaya dengan
perkataanku, sebaik nya kalau tidak kukatakan keluar maka
tindakanku ini pasti akan menggusarkan semua pihak, akulah
yang bakal jadi sasaran utama kemarahan mereka itu….”
Makin berpikir ia makin bingung tanpa terasa keringat
dingin mengucur keluar membasahi tubuhnya.
Terdengar Thong-thian Kaucu dengan nada dingin
perlahan-lahan berkata kembali, “Karena persoalan pedang
emas itu perselisihan antara Jin heng, Pek heng din Ciu heng
berlangsung tiada hentinya, pertarungan secara terangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
terangan atau perebutan secara diam-diam berlangsung terus
tiada habisnya, keadaan semacam ini bukan saja merusak rasa
persaudaraan dan rasa setia kawan antara sesama umat
persilatan, bahkan sangat melemahkan kekuatan kita untuk
bersatu padu bagaimanapun juga persoalan mengenai pedang
emas harus dibikin terang hari ini juga, kita tak boleh meniru
kegagalan-kegagalan kita yang telah lalu sehingga jatuh
kecundang kembali ditangan lawan.
“Keterangan dan pendapat too heng luar biasa dan sangat
mengagumkan hatiku,” jawab Jin Hian ketus, “sayang seribu
sayang, pedang emas milikku itu sudah dicuri orang, karena
itu kendatipun too heng bicara lebih jauh juga tak ada
gunanya!”
“Kentut busuk!” maki Ciu It-bong gusar, “sekalipun bocah
umur tiga tahun juga tak mempercayai obrolan omong
kosongmu itu!”
Nafsu membunuh yang sangat tebal melintas dialas wajah
Jin Hian, ia berkata dengan suara menyeramkan.
“Tua bangka sialan, kalau engkau tak mempercayai
omonganku lantas engkau mau apa?”
Ciu It-bong adalah seorang jago tua yang berwatak
berangasan, mendengar tantangan yang kasar ini, kKontan ia
naik pitam, tubuhnya siap melakukan tubrukan kedepan.
“Eeeei nanti dulu nanti dulu!” cegah Thong-thian Kaucu
sambil goyangkan lengannya berulang kali, “pinto mempunyai
satu cara untuk membuktikan apakah peristiwa hilangnya
pedang emas itu dari saku Jin heng adalah kejadian yang
benar atau cuma omong kosong belaka”
“Apa caramu itu?” hardik Jin Hian.

Thong-thian Kaucu tersenyum.
“Andaikata peiang emas itu masih berada ditangan Jin heng
dan sana sekali tidak pernah hilang tercuri, kemudian kotak
emas ini berhasil didapitkaa pula oleh Jin heng dan ilmu silat
maha sakti dari Malaikat pedang Gi Ko didapatkan juga oleh
Jin heng, maka….”
Berbicara sampai disini ia tertawa dan tidak melanjutkan
kembali kata-katanya, “Maka sepasang mata too heng akan
berubah merah karena iri, bukan begitu?!” sambung Jin Hian
dengan seram.
Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak.
“Haahh…. haahh…. haaah…. pinto sih belum tentu bermata
merah, cuma pada waktu itu ilmu silat yang Jin heng miliki
akan menjadi nomor satu di kolong langit, pinto sekalian tidak
akan mampu mengejar ketinggalan itu, hal ini menyebabkan
Jin heng sekalipun berhasil mendapatkan ilmu tapi kehilangan
teman, bukankah kejadian ini sangat tidak berharga bagimu?”
“Hmm! sempurna amat jalan pikiran Too heng!” ejek Jin
Hian sambil mendengus dingin.
Setelah berhenti sebentar, sambungnya lebih jauh,
“Menurut penglihatan t o-heng, bagaimana cara yang terbaik
untuk memecahkan masalah ini?”
Thong-thian Kaucu tertawa, dengan sikap yang santai ia
menjawab, “Menurut pendapat pinto yang bodoh, kalau toh
Jin heng sudah kehilangan pedang emas itu, kendatipun kotak
emas ini berhasil kau dapatkan juga sama sekali tak ada
gunanya, untuk membuktikan bahwa peristiwa hilangnya
pedang emas itu dicuri orang bukan berita isapan jempol

belaka, pinto persilahkan Jin beng untuk segera
mengundurkan diri dari perebutan kotak emas ini!”
“Betul!” teriak Ciu It-bong dengan suara keras, tua bangka
she Jin! jika engkau masih mengincar kotak emas itu, maka itu
berarti bahwa peristiwa hilangnya pedang emas karena dicuri
orang adalah berita kosong belaka, siapa tahu berita tentang
kematian putramu juga merupakan berita sensasi belaka!”
Karena amat mendongkol bercampur marah, Jin Hian
tertawa keras, paras mukanya berubah jadi hijau membesi.
“Bagus! bagus! bagus!” jeritnya dengan suara lengking, aku
orang she Jin akan segera mengundurkan diri dari perbuatan
kitab Kiam keng, akan kulihat bagaimana caranya kalian akan
membagi kotak emas tersebut….?”
Thong-thian Kaucu seketika alihkan sorot matanya
menyapu sekejap para jago disekeliling arena, setelah itu
ujarnya, “Pek heng, pedang emas itu sudah lama lenyap tak
berbekas untuk beberapa waktu lamanya tak mungkin bisa
ditemukan, menurut pendapat pinto lebih baik kotak emas
tersebut untuk sementara waktu kita berdua yang
menyimpan”
“Perkaraan Too heng sedikitpun tidak salah” jawab Pek
Siau-thian dengan suara tawa.
Thong-thian Kaucu kembali tersenyum.
“Pek heng adalah satu-satunya orang yang pernah
membaca isi catatan kitab pedang Kiam keng bu kui secara
komplit, asal engkau suka meneliti dan mempelajari isinya
dengan seksama kendatipun tak bisa disebut orang paling
lihay di kolong langit paling sedikit engkau bisa melatih diri
hingga mencapai taraf ilmu silat yang pernah dimiliki Siang

sicu, aku rasa kitab Kiam keng ini sudah ti dak memiliki
banyak kegunaan lagi bagimu.
“Kalau memang begitu biarlah aku saja yang menanggung
resiko dengan menyimpan kotak emas ini untuk sementara!”
seru Pek Siau-thian cepat.
Ia segera maju kedepan dan hendak pungut kotak emas
itu.
“Huuuh! jangan mimpi disiang hari bolong bentak Ciu Itbong
sambil melepaskan satu pukulan.
Pek Siau-thian melancarkan satu pukulan juga untuk pukul
mundur angin pukulan dari Ciu It-bong, sambil tertawa dingin
katanya, “Tua bangka yang sudah cacad engkau berani
menghalangi persoalan yang telah diputuskan bersama oleh
orang-orang dari Thong-thian-kauw dan Hong-im-hwie?
Hmmm! rupanya engkau sudah bosan hidup.
“Heeeh…. hheeeehh…. heeeh…. tua bangka she Pek kalau
engkau dilahirkan oleh ibumu dan dibuat oleh bapakmu maka
sekarang sepantasnya berani berduel satu lawan satu dengan
diriku sebelum mati jangan berhenti…. ini hari juga kita
tetapkan siapa yang berhak untuk hidup lebih jauh!”
Pek Siau-thian tidak langsung melayani tantangan dan Ciu
It-bong itu dalam hati ia berpikir, “Catatan kitab peding kiam
keng bu kui benar-benar merupakan kunci dasar dari suatu
ilmu silat tingkat tinggi, Hoa Thian-hong bocah keparat itu
hanya sempat mendengar beberapa patah kata saja
kehebatan ilmu pedangnya telah berlipat ganda, sayang aliran
ilmu silat yang kupelajari jauh berbeda dengan kunci ilmu silat
tersebut hingga untuk beberapa waktu tak mungkin bisa
menghisap kebaikan dan manfaatnya, kalau tidak binatang tua

yang sudah cacad ini pasti akan kubereskan dulu riwayat
hidupnya.”
Berpikir sampai disini, ia merasa mendongkol bercampur
gusar sorot matanya segera dialihkan ke arah Siang Tang Lay
dan berkata dengan suara ketus, “Baik pedang emas maupun
kotak erras itu pernah bersama-sama jatuh ketanganmu,
mengapa engkau tak ambil keluar kitab Kiam keng tersebut?
kejadian ini benar-benar mencurigakan sekali!”
“Betul!” teriak Ciu It-bong pula, tua bangka she Siang,
“sebetulnya permainan setan apakah yang sedang kau
lakukan?”
Siang Tang Lay tersenyum.
“Aku hanya melatih catatan ilmu pedang Kiam keng bu kui,
sejak kalian berempat sudah tidak mampu menangkan diriku,
apa gunanya melatih ilmu silat yang jauh lebih tinggi?”
Paras muka Thong-thian Kaucu, Pek Siau-thian, Jin Hian
serta Ciu It-bong segera berubah jadi merah padam, bicara
sesungguhnya dalam kenyataan memang terbukti begitu,
maka tak seorangpun ddiantara keempat orang itu yang buka
suara.
Diam-diam Pek Siau-thian berpikir, “Jika ilmu silatnya
berhasil dilatih hingga mencapai taraf yang begitu tinggnya
seseorang memang tidak terburu nafsu untuk melatih isi dari
kitab kiam keng, mungkin apa yang diucapkan ada benarnya
juga”
Berpikir sampai disitu ambisinya untuk mendapatkan kitab
pusaka kiam keng mekin besar tapi diapun tahu bahwa Thian
Ik-cu maupun Jin Hian sekalian tak akan berhati sosial dengan
menyerahkan kitab pusaka itu Untuk dimiliki sendiri, untuk

menyelesaikan pertikaian tersebut hanya ada satu jalan saja
yang dapat ditempuh yaitu penyelesaian dengan jalan
kekerasan.
Terdengar Thong-thian Kaucu berkata, “Pek heng, engkau
pernah menjebloskan Ciu heng kedalam penjara selama
sepuluh tahun lamanya, jika kitab pusaka kiam keng itu
disimpan olehmu tentu saja ia tidak akan terima.”
Melihat imam tua dari perkumpulan Thong-thian-kauw itu
berusaha mengungkit soal lama, Pek Siau-thian segera
tertawa dingin.
“Heehh…. heeeehh…. heeehh…. kalau memang begitu
biarlah kitab kiam keng tersebut untuk sementara waktu
disimpan oleh too heng!”
“Baiklah, pinto sebagai tuan rumah memang sudah
sepantasnya untuk memberikan bantuan kepada siapapun!”
Ia kebaskan ujung bajunya dan mengulung kotak emas
yang berada diatas tanah.
Tiba-tiba Jin Hian berteriak deugan suara menyeramkan,
“Barang siapa berani mengambil kotak emas itu maka dialah
yang telah mencuri pedang emas dan dia juga yans telah
mencelakai jiwa putraku, semua saudara dari perkumpulan
Hong-im-hwie akan bersama-sama bikin perhitungan dengan
dirinya, kami tak akan memperhitungkan mana hitam mana
putih sebelum salah satu pihak hancur, pertempuran tidak
akan dihentikan.”
Paras muka Tong tiang kauau berubah hebat, serunya
dengan gusar, “Jin heng, kita semua adalah orang-orang yang
sudah punya umur, jika engkau main fitnah belaka, jangan
salahkan kalau pinto tak mampu menahan diri lagi!”

Jin Hian tertawa dingin.
“Heehh…. heehh…. heehh…. yang bisa menahan diri harus
menahan diri, yang tak bisa menahan diripun harus menahan
diri”
Dari balik barak ditepi gelanggang, tiba-tiba berkumandang
keluar suara teriakan Hian Leng cu yang amat nyaring, “Dalam
pertikaian mengenai kitab pusala Kiam keng, perkumpulan
kami mengundurkan diri!”
Tenaga dalam yang dimiliki imam tua ini sukar diukur
dengan kata-kata, walaupun hanya sepatah kata yang ringan
namun semua orang yang hadir dalam lembah itu merasakan
bahwa ucapan tersebut seakan-akan dipancarkan dari sisi
tubuh mereka, begitu nyaring dan tajam hingga kelihatannya
seolah-olah sama sekali tidak menggunakan tenaga.
Hoa Hujin memang sudah tahu kalau imam tua itu adalah
seorang musuh tangguh, kini setelah mendengar ucapannya
yang nyaring maka tanpa sadar kewaspadaannya makin
dipertingkat.
Dalam pada itu, Thong-thian Kaucu yang berada ditengah
gelanggang mula-mula tertegun, kemudian ia berpikir lebih
jauh, “Benar juga perkataan dari paman guru, perduli siapa
yang mengambil kotak emas itu, toh kotak tersebut hanya
disimpan untuk sementara waktu, bilamana ada minat selesai
pertemuan besar ini toh masih ada banyak keempatan untuk
merampasnya kembali….”
Karena berpikir demikian, maka ia segera ulapkan
tangannya sambil berseru, “Perkumpulan Thong-thian-kauw
mengundurkan diri dari perbuatan kotak emas tersebut, siapa
ada kegembiraan silahkan untuk mengambilnya!”

Mendengar seruan tersebut, Ciu It-bong berusaha untuk
merampas kotak emas itu, tapi Pek Siau-thian yang berdiri
lebih dekat segera putar pergelangan melepaskan satu
babatan kilat. Kedua orang jago itu secepat kilat saling
bertempur sebanyak tiga gebrakan, siapapun tak berani
menggunakan tenaga yang berle bihan, karenanya setelah
lewat tiga gebrakan mereka berhenti dengan sendirinya.
Terdengar Jin Hian berkata dengan suara dalam, “Tua
bangka she Ciu, engkau tidak lebih hanya setan gentayangan
yang berdiri sendiri, kitab pusaka Kiam keng tersebut tidak
mungkin bisa terjatuh ketanganmu, menurut penglihatan aku
orang she Jin, lebih baik benda itu untuk sementara waktu
disimpan oleh manusia yang punya rumah dan harta saja!”
Tertegun Ciu It-bong mendengar perkataan itu, ia tahu
yang dimaksudkan orang yang punya rumah dan harta bukan
lain adalah Pek Siau-thian, tapi ia tak habis mengerti mengapa
secara tiba-tiba Jin Hian bisa berubah pikiran dan memutuskan
begitu?
Sudah tentu Pek Siau-thian sendiripun tahu, kendatipun
kotak emas tersebut berhasil didapatkan olehnya namun
persoalan belum beres sampai disitu saja, sekalipun begitu
setelah kitab pusaka berhasil didapatkan, ia tak sudi
melepaskannya dengan begitu saja.
Ujung bajunya dikebas kemuka dan kotak emas itu sudah
terjatuh ketangannya.
Sepasang mata Ciu It-bong berapi-api dan hampir saja
melotot keluar, tapi ia tahu bahwa anggota perkumpulan Sinkie-
pang banyak sekali jika Thong-thian Kaucu dan Jin Hian

tidak menghalang-halangi usaha itu maka dengan andalkan
kekuatannya seorang bukan tandingan dari Pek Siau-thian.
Oleh karena itulah meskipun dengan mata terbelalak ia
saksikan Pek Siau-thian mengambil kotak emas itu namun
sendiri tak tahu harus berbuat apa.
Tiba-tiba terdengar Thong-thian Kaucu berseru kembali
dengan suara lantang, “Siang sicu masalah kitab pusaka Kiam
keng sudah lewat dan teka teki yang menyelimuti pedang
emas juga sudah selesai, sekarang masih ada urusan lagi yang
hendak kau utarakan?”
Siang Tang Lay tertawa terbahak-bahak.
“Haaahhh…. haah…. haah…. urusan yang masih tertinggal
hanyalah membalas dendam untuk menyelesaikan sakit hati
yang masih tersisa!”
Sorot matanya segera dialihkan ke arah muridnya yang
berada disamping, sambungnya lebih jauh, “Kalian segera atur
barisan pedang dan mintalah petunjuk dari beberapa orang
cianpwee itu!”
“Tecu sekalian mentaati perintah dari suhu!” jawab enam
orang pemuda berpakaian ringkas itu sambil memberi hormat.
Dua orang dianteranya buru-buru mendorong kereta
beroda itu menghantar Siang Tang Lay mendekati mimbar
kehormatan, kemudian mereka ikut maju ketengah
gelanggang.
Enam orang menempati posisi yang berbeda, dalam waktu
singkat mereka sudah mengurung tiga orang pemimpin diri
tiga kekuatan besar serta Ciu It-bong ditengah kepungan.

Thong-thian Kaucu sekalipun saling berpandangan sekejap
lalu tertawa terbahak-bahak, empat orang itu merupakan
gembong iblis yang menguasai suatu bagian dunia, barisan
yang dibentuk oleh Siang Tang Lay dihadapan mereka ini
tentu saja amat menggelikan hati orang-orang itu.
Ciu It-bong yang berwatak paling berangasan segera
menuding salah seorang pemuda dihadapannya sambil
berseru, “Siang Tang Lay, engkau hendak suruh enam orang
bocah ingusan itu uatuk membunuh kami empat orang tua
bangka?”
Siang Tang Lay tertawa.
“Aku memang mempunyai niat untuk berbuat begitu tapi
seandainya gagal aku harap kalian semua jangan
menertawakan!”
“Hmm! aku tidak percaya!” bentak Ciu It-bong.
Ia putar telapaknya dan segera melepaskan satu pukulan
dahsyat ke arah seorang pemuda berpakaian ringkas yang
berada disampingnya.
Pemuda itu membentak nyaring dia ayun tangannya dan
serentetan cahaya perak segera meluncur kedepan balas
menyergap tubuh Ciu It-bong, meskipun serangan dilepaskan
belakangan tapi tiba lebih awal kedahysatannya benar-benar
menganggumkan.
Ciu It-bong terperanjat, ia segera mengepos tenaga dan
melayang beberapa depa ke samping.
Terdengar serentetan bentakan keras memenuhi angkasa,
enam orang pemuda berpakaian ringkas itu dengan cepat
menggerakan tubuh mereka mengitari arena, makin berputar

gerakannya semakin cepat sehingga akhirnya yang nampak
hanyalah kilatan-kilatan cahaya perak yang menggulung
ketempat orang itu.
Pek Siau-thian mengernyitkan sepasang alis matanya yang
putih dalam hati ia berpikir.
Yang datang pasti tidak membawa maksud baik, yang
bermaksud baik tidak akan datang, kalau tua bangka she
Siang itu tidak yakin bisa menangkan pertarungan ini, tak
mungkin ia berani muncul kembali dalam daratan Tionggoan
untuk jual kejelekan bahkan menghantar pula jiwanya.
Kotak emas itu mengandung racun keji dan tak mungkin
bisa disimpan dalam saku karenanya ia berusaha untuK
mengundurkan diri kedalam barak serta menyembunyikan
benda tersebut.
Dengan cepat ia lepaskan bajunya dan membungkus kotak
emas itu kemudian dipindahkan ketangan kiri dalam keadaan
demikian ia langsung menerjang keluar dari kepungan.
Bentakan nyaring berkumandang di angkasa, serentetan
cahaya perak bagaikan seekor naga berputar di angkasa tibatiba
mengancam dadanya.
Pek Siau-thian merasa amat terperanjat, pikirnya,
“Benarkah kawanan bocah ingusan itu sudah berhasil
mendapatkan seluruh warisan dari Siang Tang Lay? sungguh
lihay serangan itu!”
Ia mengegos kesamping dan melancarkan sebuah pukulan
balasan.
Cahaya perak itu mundur kembali kebelakang sesudah
mencapai tengah jalan, baru saja Pek Siau-thian tertegun,

mendadak hawa pedang yang menyengat badan sudah
mangancam punggungnya, ketika ia berpaling sebuag cahaya
perak telah berada didepan mata.
Diam-diam Thong-thian Kaucu yang menyaksikan kejadian
itu merasa terkesiap, pikirnya, “Cepat sekali gerakan pedang
bocah itu, ibaratnya naga sakti yang kelihatan kepala tak
nampak ekornya, sukar diraba oleh sia papun.
Belum habis ia berpikir, cahaya perak menyambar tiba dan
amat menyilaukan mata, ia merasa datangnya sergapan dari
belakang yang sangat lihay.
Buru-buru imam tua itu loncat maju kedepan untuk
menghindarkan diri dan ancaman pedang itu.
Dengan tingkat kedudukan beberapa orang itu, sebenarnya
mereka segan untuk melayani beberapa orang pemuda
ingusan tersebut, akan tetapi setelah enam orang pemuda
berpakaian ringkas itu membentangkan barisan pedangnya,
seketika itu juga seluruh arena dipenuhi oleh cahaya perak
yang menyilaukan mata, desiran angin tajam menyambar silih
berganti, hal ini memaksa Pek Siau-thian berempat mau tak
mau terpaksa harus melakukan perlawanan.
Baik Thong-thian Kaucu maupun Pek Siau-thian mereka
berdua sama-sama mempunyai pikiran untuk meloloskan diri
dari kepunggan barisan pedang kecil itu dan kemudian akan
memerintahkan anak buahnya untuk menggantikan
kedudukan mereka, siapa tahu terjangan yang mereka
lakukan beberapa kali semuanya mengalami kegagalan total,
ken datipun sudah dicoba dengan cara apapun terjangan
tersebut masih tetap gagal.
Berada dalam kepungan enam orang pemuda itu, walaupun
Thong-thian Kaucu sekalian tak mampu menerjang keluar

dari kurungan itu, merekapun tak bisa berteriak pula untuk
memerintahkan anak buah mereka yang ada diluar barisan
untuk menyerang secara serentak, karena itulah untuk
beberapa saat lamanya terpaksa mereka harus
melangsungkan pertarungan sengit dalam barisan tadi.
Haruslah diketahui bagimanapun lihaynya suatu barisan,
meskipun orang yang terkurung dalam barisan itu mengalami
keadaan yang kritis dan berbahaya, tapi di lihat dari luar
barisan maka pertarungan itu hanya berlangsung secara datar
dan biasa saja.
Karena itulah Thong-thian Kaucu berempat yang sedang
bertempur sengit kendatipun mereka sudah mengerahkan
hampir segenap kekuatan yang dimiliki tapi bagi orang-orang
yang ada diluar barisan kecuali beberapa orang yang mengerti
akan ilmu barisan, rata-rata berpendapat bahwa Thong-thian
Kaucu sekalian sengaja sedang mempermainkan lawannya
dengan tujuan untuk mengamati perubahan-perubahan dalam
barisan itu kemudian baru menghancurkan dalam sekali
serangan, siapapun tak ada yang menyangka kalau empat
orang gembong iblis yang tersohor akan kelihayannya itu
sebetulnya sudah terkurung rapat oleh beberapa orang
pemuda ingusan yang tidak bernama sama sekali.
Bagaimanapun juga keempat orang itu andalah kawakan
yang sangat berpengalaman, sudah banyak pertarungan besar
atau pertarungan kecil yang mereka hadapi, setelah
bertempur beberapa saat mereka berhasil menemukan
sumber kelihayan dan ilmu barisan itu mereka tahu bahwa
enam orang pemuda itu memiliki ilmu silat yang amat lihay
jika mereka bermaksud meloloskan diri dari kepungan barisan
itu dengan jalan jujur maka hal ini merupakan suatu pekerjaan
yang amat susah.

Setelah mereka berempat dapat menyaksikan keadaan
yang sebenarnya dangan cepat perhatian dan kosentrasinya
dipusatkan jadi satu untuk mengamati perubahan-perubahan
barisan pedang itu selain dari pada itu, merekapun mulai
mengamaii gerakan ilmu pedang dari beberapa orang pemuda
tersebut.
Setelah keempat orang itu menenangkan hatinya, daya
pukulan yang dilepaskan pun berlipat ganda, enam orang
pemuda itu seketika merasakan daya serangan yang
dilancarkan pihak musuh makin berat mereka tak dapat
melakukan terkaman dan terjangan lagi seperti keadaan
permulaan tadi.
Pemuda yang menjadi pimpinan dalam barisan itu segera
menyadari pula akan keadaan tersebut, ia segera membentak
nyaring dan dalam waktu singkat keadaan kembali terjadi
perubahan.
Sepasang mata Pek Siau-thian yang tajam mengikuti terus
perubahan barisan itu dengan seksama, ia lihat keenam orang
pemuda itu berputar mengitari barisan dengan langkah yang
teratur mereka selalu menyergap dan menyerang dari
lingkaran luar dalam ayunan tangan cahaya perak segera
meluncur datang dan gerakan tubuh beberapa orang itupun
ikut berputar mengikuti kilatan cahava perak tadi, berhubung
cepatnya gerakan dan barisan yang selalu berputar maka
sekilas pandangan keadaan tersebut bagaikan beberapa ekor
naga perak yang sedang berputar mempermainkan empat
orang korbannya yang ada ditengah kepungan.
Ilmu barisan itu luar biasa sekali dan indah dipandang,
empat orang yang terkepung merasakan jantung mereka
berdebar keras, dengan andalkan ilmu silat mereka yang lihay
dan pengalaman yang luas, untuk sementara waktu
keselamatan mereka masih dapat terjamin karena itu siapapun

tidak ingin menempuh bahaya untuk menerobos keluar dari
kepungan.
Ci-wi Siancu yang berada dalam barak segera dibikin
terpesona oleh pertarungan itu, ia lihat enam orang pemuda
itu bertempur sambil berputar, pedang perak mereka berputar
dan berkelebat selalu mengancam tempat-tempat penting di
tubuh lawan, sebaliknya Thong-thian Kaucu sekalian
mematahkan setiap arcaman datang, kadangkala ma ju
kadang kala mundur, kedua belah pihak seolah-olah tidak
menyerang sepenuh tenaga dan pertarungan itu tidak mirip
pertarungan mati-matikan, hal ini lama kelamaan
mencengangkan hatinya.
Diam-diam ia lantas mencowel ujung baju Hoa Hujin,
bisiknya dengan lirih, “Hujin, kalau pertarungan tersebut harus
dilangsungkan dalam keadaan seperti ini bagaimana mungkin
dendam sakit hatinya bisa terbalas? kalau dikatakan beradu
lenaga dalam rasanya Pek Siau-thian sekalian pasti tak akan
lebih lemah dari beberapa orang pemuda itu bukan?”
Hoa Hujin termenung sebentar, kemudian jawabnya,
“Kesaktian dari barisan pedang itu memang amat luar biasa,
sekali memandang siapapun akan tahu bahwa barisan itu
memiliki asal usul yang luar biasa namun perkataanmu ada
benarnya juga, bila hendak mengandalkan tenaga dalam dari
keenam orang itu untuk melukai jiwa Pek Siau-thian sekalian
rasanya cara ini masih sukar untuk diwujudkan, aku benarbenar
tidak habis mengerti apa maksud dan tujuan dari Siang
locianpwee untuk melakukan kesemuanya itu”
Tiba-tiba terdengar Thong-thian Kaucu berseru keras,
“Siang sicu, barisan pedang ini memang luar biasa sekali,
bolehkah aku mengetahui nama diri ilmu barisanmu ini?”

Pada waktu itu Siang Tong Lay sedang pusatkan seluruh
perhatiannya untuk mengikuti jalannya pertarungan ditengah
gelang gang, mendengar pertanyaan itu ia tertawa dan
menjawab, “Ilmu barisan ini merupakan ilmu warisan dan
Malaikat pedang Gi Ko dan dinamakan Lak liong gi thian kiam
tin atau barisan pedang enam naga terbang dilangit, sayang
tenaga dalam yang dimiliki murid-murid ku masih terlalu cetek
sehingga tak mampu menunjukkan kelihayan yang
sebenarnya”
Jin Hian yang mendengar perkataan itu, diam-diam berpikir
dalam hati kecilnya, “Hmmm, untung empat orang tua bangka
bersama-sama terjerumus dalam barisan ini, kalau cuma
seorang diri…. entah apa yang terjadi?”
Pek Siau-thian pun sedang berpikir didalam hatinya,
“Jangan dikata daya serangan belum mencapai sebagaimana
mestinya, sekalipun engkau hendak tukar kitab kiam keng
dengan keenam orang bocah itupun dengan sukarela akan
kulayani….”
Belum habis ingatan tersebut berkelebat dalam benaknya,
mendadak telinganya berhasil menangkap serentetan suara
yang amat lembut dan sukar dibedakan dengan suara lainnya.
Sura itu begitu lembut dau halus seakan-akan ada dan
seakan-akan tidak, hal ini membuat Pek Siau-thian sendiri tak
dapat membedakan apakah suara itu berasal dari telinganya
atau muncul dari dalam hati.
Ia adalah seorang jago tua yang sangat teliti, setelah
menemukan tanda yang mencurigakan, sudah tentu ia tak
sudi melepaskannya dengan begitu saja, ia segera pusatkan s
luruh perhatiannya untuk mencari sumbar dari suara itu.

Tiba-tiba terdengarlah pemuda yang memimpin barisan itu
membentak keras, dalam sekejap mata barisan itu berputar
dengan cepatnya, cahaya perak menyilaukan mata, hawa
desiran tajam memekikan telinga, hal ini memaksa Thongthian
Kaucu sekalian terpaksa harus memperketat serangan
mereka untuk membela diri.
Dalam waktu singkat, pertarungan yang berlangsung
ditengah gelanggang telah mencapai pada puncaknya, enam
orang pemuda itu putar pedangnya sambil melancarkan
serangan bertubi-tubi, keadaan makin seru….
Semua kejadian ini berlangsung dalam sekejap mata, Pek
Siau-thian yang harus meayani serangan musuh dengan
tangan kanan memegang kotak emas dengan tangan kiri
terpaksa harus pusatkan kembali perhatiannya untuk
bertempur, dengan begitu sumber dari munculnya suara aneh
itupun makin sulit ditemukan.
Tiba-tiba satu ingatan berkelebat dalam benak ketua
perkumpulan Sin-kie-pang ini, pikirnya, “Keadaan yang
kuhadapi pada hari ini sungguh aneh, andaikata tujuan
kedatangan dari Siang Tang Lay untuk membalas dendam,
maka ia tak akan menyerahkan kitab pusaka Kiam keng
kepada musuhnya dengan begitu saja, bagaimanapun aku toh
sudah pernah membaca isi catatan pedang Kiam keng bu kui
secara lengkap, kendatipun kitab Kiam keng ini harus musnah
juga tak apa yang penting jiwaku harus selamat…. aku harus
bertindak dengan lebih berhati-hati.
Ketika berpikir sampai disitu, pemuda yang memimpin
barisan kebetulan sedang berputar kehadapan mukanya, Pek
Siau-thian segera membentak keras, ia gunakan kotak emas
itu sebagai senjata rahasia dan segera disambit ke arah depan
sementara tubuhnya ikut menerjang kemuka sambil
melepaskan sebuah pukulan.

Pemuda itu merasa terkesiap, buru-buru pedang peraknya
diputar untuk menangkis sambitan tadi.
“Traaang….!” benturan nyaring yang menimbulkan percikan
bunga api muncul di angkasa termakan oleh tangkisan pedang
sang pemuda, kotak emas tadi segera mencelat kembali ke
arah Ciu It-bong.
“Mundur….!” tiba-tiba terdengar Siang Tang Lay
membentak dengan suara keras.
Sejak keempat anggota badannya lumpuh dan tak dapat
dipergunakan lagi, tenaga dalam yang dimiliki Siang Tang Lay
mengalami kemero-sotan yang hebat, bentakan yang muncul
dari pusar ini berkumandang di angkasa dan jauh menembusi
awan, begitu dahsyat dan kerasnya membuat semua orang
rasakan telinganya mendengung keras.
Bentakan tadi menggunakan sejenis ilmu sesat yang
disebut hua hiat hoo pekikan pembawa maut, ilmu sesat itu
merupakan suatu ilmu rahasia dari perguruan Seng sut hay
yang tidak pernah diturunkan kepada siapapun, setelah Siang
Tang Lay menderita kalah didaratan Tionggoan dan kembali
ke wilayah See ih, dengan sebuah kaus kutang berserat emas
yang tahan api dan tahan bacokan serta sebuah senjata kaitan
kumala yang amat berharga ia mengajak iblis tua ketua
perguruan Seng sut hay untuk melakukan barter dengan ilmu
tadi.
Iblis tua dari perguruan Seng sut hay adalah seorang
manusia yang rakus, melihat mustika, kedua kalinya ia tahu
bahwa Siang Tang Lay adalah orang wilayah See ih yang
memusuhi umat persilatan didaratan Tionggoan, hal ini sesuai
dengan kehendak hatinya, karena itu barter tersebut disetujui
dan ilmu pekikan pembawa maut pun diturunkan kepadanya.

Ilmu pekikan membawa maut merupakan kepandaian sakti
yang setaraf dengan Ilmu Sam cing hoa it lie dari kalangan
agama Too atau ilmu pekikan singa dari kalangan Buddha
hanya saja kepandaian ini lebih keji dan telengas.
Siang Tang Lay menghimpun tenaga dalamnya dan
membentak dengan ilmu sesat pekikan pembawa maut itu
tujuannya ialah untuk menyerang empat orang musuh
bebuyutan yang sedang bertempur ditengah gelanggang.
Thong-thian Kaucu d»n Pek Siau-thian sekalian yang
sedang bertempur seketika itu juga merasakan gendang
telinganya jadi amat sakit dalam waktu singkat isi perutnya
terbalik ia merasa amat mual dan darah panas seperti mau
keluar.
Keempat orang itu adalah jago-jago kawakan yang memiliki
pengalaman sangat luas, setelah berpikir sebentar mereka
segera mengetahui bahwa isi perut sudah terluka terserang
oleh pekikan lawan, dalam waktu singkat keempat orang itu
menunjukkan reaksi yang berbeda-beda.
Pek Siau-thian dan Jin Hian bersama-sama meluncur ke
arah mulut lembah dengan harapan bisa menjebolkan
lingkaran pengepungan, sedangkan Thong-thian Kaucu dan
Ciu It-bong bersama-sama loncat ketengah udara dengan
harapan bisa melewati batok kepala beberapa orang pemuda
itu dan kabur keluar barisan.
Pada saat yang bersamaan, ketika enam orang pemuda itu
mendengar gurunya mengeluarkan pekikan pembawa maut,
bukannya menubruk kedalam arena untuk melukai lawan,
sebaliknya mereka malah mengundurkan diri kesamping
arena, pedang perak ditanaan mereka berputar kencang
melindungi bagian-bagian penting diseluruh tubuhnya.

Semua kejadian itu berlangsung pada saat yang hampir
bersamaan, keempat orang gembong iblis ini sama-sama
cekatannya, begitu merasa isi perutnya sudah terluka mereka
segera berusaha menorobos keluar dari kepungan, sementara
itu kotak emas yang terpental keudara oleh tangkisan pedang
perak pemuda itu baru saja meluncur jatuh kebawah.
Ciu It-bong yang kebetulan berada disampingnya, sewaktu
menyaksikan kotak emas itu berada kurang lebih empat lima
depa disisinya,dengan sebat menyambarnya dan dicekal dalam
genggaman, meskipun tangannya bergerak menyambar kotak
namun gerakan tubuhnya yang sedang meluncur kedepan
meskipun tidak terganggu.
Siapa tahu baru saja kotak emas itu terjatuh kedalam
genggaman Ciu It-bong tiba-tiba terjadilah suatu ledakan yang
maha dahsyat….
“Blaamm….!” percikan cahaya api menyebar keempat
penjuru, asap hitam yang tebal membumbung tinggi
keangkasa, diiringi pecahan logam, daerah sekeliling tempat
itu semuanya terbungkus oleh jilatan api.
Jeritan ngeri yang menyayatkan hati bergema memecahkan
kesunyian, hancuran daging dan percikan darah berceceran
diatas tanah membuat pemandangan disekitar sana sampak
mengerikan sekali.
Peristiwa yang berlangsung ditempat itu benar-benar
mengejutkan hati, pemandangannya menyeramkan membuat
bulu kuduk pada bangun berdiri, Ciu It-bong yang membawa
kotak emas itu mati dengan tubuh hancur berantakan,
mayatnya tersayat-sayat dan tidak dapat ditemukan lagi.

Thong-thian Kaucu yang berada disampingnya kehilangan
kaki kirinya sebatas paha, kaki kanannya sebatas lutut,
sepasang kaki imam tua ini hancur tak tertolong lagi.
Sedang Jin Hian kehilangan lengan kanannya sebatas bahu,
yang paling beruntung adalah Pek Siau-thian ia hanya
menderita luka pada punggung dan tengkuknya sementara
keempat anggota badannya masih utuh dan jiwanya sama
sekali tidak terancam.
Semua kejadian itu berlangsung dalam sekejap mata, sejak
Siang Tang Lay mengeluarkan pekikan pembawa mautnya,
kemudian empat jago lihay yang sedang bertempur melarikan
diri terbirit-birit, para jago yang berada didalam barak sudah
dibikin terperanjat dan sama-sama bangkit berdiri, menanti
kotak emas itu meledak dan terjadilah peristiwa yang lebih
tragis semua orang semakin tertegun karena kagetnya.
Suasana hening untuk sesaat lamanya, menanti Thongthian
Kaucu , Pek Siau-thian dan Jin Hian roboh terkapar
diatas tanah, suasana jadi kalut. Pek Soh-gieper-tama-tama
yang menangkis sambil menerjang ketengah gelanggang
disusul para jago dari pelbagai golonganpun menerjang
kedalam gelanggang, jeritan dan teriakan bercampur baur
membuat suasana amat riuh.
Hoa Hujin yang menyaksikaa peristiwa itu merasa amat
terperanjat ia segera ulapkan tangannya dan menerjang
masuk kedalam gelanggang lebih dahulu. Ciu Thian-hau, It
sim hweesio, Cu im taysu, Suma Tiang-cing dan sekalian jago
dan golongan lurus dengan cepat membuntuti dari belakang
dan melindungi keselamatan Siang Tang Lay beserta anak
muridnya.
Pada waktu yang bersamaan Hing Leng cu, Pia Leng-cu
serta Cing Leng cu dari perkumpulan Thong-thian-kauw

dengan tubuh yang cepat bagaikan sambaran kilat telah
menerjang pula kedalam gelanggang rupanya mereka hendak
membereskan dulu jiwa Siang Tang Lay beserta anak
muridnya tetapi setelah menyaksikan Hoa Hujin sekalian ber
gerak pula kesitu dengan cepat mereka batalkan niatnya itu.
Kutungan lengan, kutungan kaki dan hancuran daging
berceceran diatas tanah, darah segar mengalir bagaikan
sungai, sekali memandang keadaan ditengah gelanggang
benar-benar mengerikan sekali membuat bu lu kuduk semua
orang pada bangun berdiri.
Tiga orang imam tua dari perkumpulan Thong-thian-kauw
tiba dulu ditempat kejadian, Cing Leng cu segera membopong
tubuh Thong-thian Kaucu , Pia Leng-cu menotok seluruh jalan
darah penting disekeliling kakinya yang kutung hingga darah
seketika berhenti mengalir.
Hoa Hujin yang menyaksikan ketepatan dan kehebatan
imam tua itu dalam melepaskan totokan, benar-benar sudah
mencapai puncak kesempurnaan, diam-diam ia merasa
kagum, so-rot matanya segera dialihkan ke arah Siang Tang
Lay.
Paras muka jago lihay dari wilayah See ih ini berubah jadi
hijau membesi, sepasang matanya terpejam rapat dan ketika
itu dia sedang mengatur pernapasan.
Melihat keadaan tersebut, dalam hati kecilnya perempuan
itu lantas berpikir, “Ternyata penggunaan ilmu pekikan
pembawa mautnya persis seperti tenaga pukulan sewaktu
dipergunakan pula selembar jiwa sendiri!”
Dalam pada itu, terdengarlah Thong-thian Kaucu berbisik
dengan suara terbata-bata, “Susiok bertiga luka pada

sepasang kaki ku tidak menjadi soal tecu sudah terkena
pekikan pembawa maut dari iblis tua Seng sut hay”
“Aku mengerti” jawab Hiang Leng cu dengan suara berat.
Ia tempelkan telapak tangannya diatas punggung Thongthian
Kaucu kemudian sambil berpaling hardiknya, “Semua
anggota perkumpulan Thong-thian-kauw segera
mengundurkan diri kedalam barak, jaga tata tertib dan jangan
kalut!”
Mendengar teriakan itu para anggota perkumpulan Thongthian-
kauw secara tertib segera mengundurkan diri kedalam
barak, Cing Leng cu sambil membopong Thong-thian Kaucu
pun ikut mengundurkan diri kedalam barak.
Dipihak lain, orang-orang dari perkumpulan Sin-kie-pang
serta Hong-im-hwie masing-masing telah menolong pemimpin
mereka meskipun Jin Hiang kehilangan lengan kanannya dan
punggung Pek Siau-thian penuh luka yang merekah namun
keadaan mereka berdua tidak jauh berbeda dengan keadan
dari Thong-thian Kaucu meskipun luka luar yang diderita
cukup parah namun tidak sampai mempengaruhi keselamatan
jiwa justru luka dalam yang ditimbulkan akibat pekikan
pembawa maut itulah yang mengancam keselamatan mereka.
Kelompok tiga maha besar dalam dunia persilatan ini
adalah perkumpulan-perkumpulan yang mempunyai tata tertib
serta organisasi yang sangat ketat meskipun pemimpin
mereka sudah mendalami musibah yang diluar dugaan,
setelah suasana kacau sebentar keadaanpun menjadi tenang
kembali.
Pek Siau-thian seria Jin Hian yang secara beruntun telah
sadar dari pingsannya segera menurunkan perintah untuk

menarik semua anggotanya kembali kedalam barak serta
melakukan perundingan lebih jauh.
Kendatipun begitu, semua anak buah dari Thong-thiankauw,
Hong-im-hwie maupun Sin-kie-pang telah menaruh rasa
benci yang bukan kepalang terhadap diri Siang Tang Lay,
mereka semua merasa gusar dan benci, siapa pun bermaksud
membunuh jago dari wilayah See ih itu untuk melampiskan
rasa dendam tersebut.
Dipihak para jago dari kalangan lurus meskipun mereka
merasa gembira dan lega karena pertarungan babak pertama
mereka berhasil rebut kemenangan tapi semua orang pun
tahu bahwa peristiwa itu hanya merupakan suatu permulaan
belaka, pertarungan berdarah yang sesungguhnya masih
berada di belakaang.
Maausia-manusia sebangsa Tio Sam-koh sekalian yang
berwatak polos dan terbuka kelihatan gembira dan riang sekali
mereka tertawa terbahak-bahak dengan kerasnya, ada yang
mengatakan sayang karena Pek Siau-thian tidak sampai
mampus, ada yang memaki Ciu It-bong karena serakah hingga
harus menemui ajalnya dalam keadaan mengenaskan
pokoknya suasana amat cerah dan gembira.
Peristiwa besar yang terjadi ditengah gelanggang boleh
dibilang telah menggoncangkan seluruh lembah Cu bo koh
tapi ada sekelompok manusia lain yang tetap tenang dan
bersikap acuh tak acuh, mereka bukan lain adalah gerombolan
makhluk aneh yang menyerupai sukma-sukma gentayangan
itu, yang berdiri tetap berdiri, yang duduk tetap duduk mereka
semua tak ada yang berkutik dari tempat semula, terhadap
kejadian yang berlangsung didepan mata tak seorangpun yang
ambil perduli.

Yang lebih hebat lagi adalah bayi yang berada dalam
pelukan setan perempuan itu, sambil menghisap puting susu
perempuan setan itu sang bayi masih tidur dengan
nyenyaknya seolah-olah sama sekali tidak terganggu oleh
suara-suaradiluar barak,
Tiba-tiba dari balik barak sebelah timur muncul seorang
pria bermuka putih berjenggot hijau dan berlengan tunggal.
Para jago di empat penjuru sebagian besar kenal dengan
pria berlengan tunggal ini sebagai manusia nomor tiga dalam
perkumpulan Hong-im-hwie yaitu Pat pit siu lo atau malaikat
berlengan delapan Cia Kim.
Semua orang mulai bertanya apa gerangan maksudnya
munculkan diri ditengah arena seorang diri? apa yang hendak
ia lakukan?
Sementara itu Malaikat berlengan delapan Cia Kim sudah
tiba dihadapan barak yang dihuni para jago dari kalangan
lurus, dengan alis berkernyit ia berseru ketus, “Bagaimana?
apakah harus menunggu sampai diundang oleh aku orang she
Cia?”
Dari dalam barak para jago dengan cepat melayang keluar
sesosok bayangan manusia, dia berlengan tunggal menyoren
pedang dan berwajah penuh cambang, orang itu bukan lain
adalah musuh bebuyutan dari Cia Kim yakni Ciong Lian-khek.
00000O00000
55
MALAIKAT berlengan delapan Cia Kim tertawa dingin tiada
hentinya, dengan suara menyeramkan, ia berkata, “Ciong
Lian-khek dendam permusuhan di antara kita sudah mencapai

tingkat sedalam lautan aku rasa tak usah banyak bicara lagi
tentang soal ini.
“Mati hidup antara golongan hitam dan putihpun bakal
ditentukan pada hari ini juga karena itu ada baiknya kalau kita
tentukan da hulu siapakah yang berhak untuk hidup lebih
lanjut diantara kita berdua”
Ciong Lian-khek lintangkan pedangnya didepan dada,
dengan serius ia menjawab.
“Hmm….! engkau masih terhitung seorang lelaki sejati!”
Manusia bercambang ini memang paling segan banyak
bicara, namun setiap patah kata yang diutarakan keluar
mempunyai bobot yang sangat berat.
Haruslah diketahui selama puluhan tahun belakangan ini,
hampir boleh dibilang peraturan dalam dunia persilatan sudah
lenyap tak berbekas, setiap kali terjadi pertempuran maka
seringkali orang mengandalkan jumlah yang lebih besar untuk
rebut kemenangan bahkan seringkali menggunakan cara yang
memalukan untuk rebut kemenangan.
Cia Kim sebagai seorang jago yang menduduki kursi nomor
tiga dalam perkumpulan Hong-im-hwie ternyata bersedia
melakukan duel satu lawan satu, tindakannya ini terhitung
suatu hal yang boleh dibanggakan oleh setiap orang, maka
dari itu pujian dari Ciong Lian-khek tadi menunjukkan bahwa
diapun mengagumi akan sifat lawannya yang jantan.
Terdengar Cia Kim mendengus dingin, sambil menubruk
maju kedepan ia lancarkan sebuah pukulan.
Nama besar Malaikat berlengan delapan betul-betul bukan
nama kosong belaka, setelah telapaknya berkelebat kemuka

maka seketika itu juga lengannya itu berubah jadi tujuh
delapan buah, tujuh delapan buah telapak itu menyerang
secara bersama-sama, masing-masing mengancam tiga bagian
jalan darah penting ditubuh Ciong Lian-khek.
Menyaksikan datangnya ancaman itu, Ciong Lian-khek
segera berpikir dalam hatinya, “Keparat sialan, meskipun
sudah kehilangan sebuah lengan ternyata ilmu silat yang
dimilikinya malah memperoleh kemajuan yang lebih pesat…. ia
memang hebat!”
Bayangan telapak berkelebat bagai kabut mana yang
sungguhan mana yang kosong sukar dibedakan lagi, jika ia
ambil tindakan untuk menangkis dan punahkan serangan itu
lebih dahulu maka posisinya masih akan terdesak.
Dalam keadaan begini Ciong Lian-khek segera putar
pedangnya menyongsong datangnya ancaman itu dengan
gunakan jurus Siau Ci lam thian atau sambil tertawa menunjuk
langit selatan, pedangnya langsung menusuk pelipis Cia Kim.
Jurus serangan ini merupakan suatu gerakan menyerang
sambil bertahan, dan penuh mengandung keuntungan bagi
permainan pedangnya, kendatipun pukulan telapak dari Cia
Kim sangat dahsyat namun karena kalah panjang maka diapun
jadi terdesar malahan.
Melihat serangannya digagalkan secara mudah, diam-diam
Malaikat berlengan delapan Cia Kim merasa amat gusar,
tubuhnya berkelebat kedepan dan berbalik mengancam rusuk
kiri Ciong Lian-khek, mengikuti gerakan telapak tadi badannya
ikut menerjang kemuka, dengan keras lawan keras ia
berusaha mematahkan pertahanan musuh.
Ciong Lian-khek bukan orang bodoh, ia segera putar
pedang balas menyerang titik kelemahan lawan, jurus demi

jurus dilepaskan secara berantai, serangan dibalas dengan
serangan, semua babatan pedangnya ganas dan keji,
sedikitpun tidak memberi peluang bagi lawannya untuk
menguasai keadaan.
Sejak bertemu muka, dua orang yang saling bermusuhan
ini sudah dipengaruhi oleh rasa dendam kesumat, mata
mereka sudah merah membara, karena itu begitu bertempur
maka kedua belah pihak sama-sama mengerahkan segenap
kemampuan yang dimilikinya, bukan saja bertempur mengenai
ilmu silat merekapun mengadu semangat.
Kedua belah pihak sama-sama merupakan orang yang
cemerlang dan punya nama besar dalam dunia persilatan,
karena saling bersumpah untuk tidak hidup berdampingan
membuat pertarungan itu berlangsung jauh lebih seru.
Dalam pada itu, jalan dibelakang barak telah dipenuhi oleh
berkelebatnya bayangan manusia, kurir dari kelompok tiga
besar saling berhubungan satu sama lainnya, rupanya mereka
sedang merundingkan suatu masalah yang besar dan gawat.
Dalam barak yang dihuni para pendekar dari kalangan
luruspun sedang berlangsung perundingan untuk menentukan
siasat dalam menghadapi pertempuran terakhir, meskipun
pertempuran diluar gelanggang berlangsung sengit dan
tegang namun situasi dalam pe-rundingan itu jauh lebih
tegang dan serius.
Tiba-tiba terdengar Ciong Lian-khek membenak keras,
dalam sekejap mata desiran pedang menderu-deru, cahaya
tajam berkilauan di angkasa, bayangan senjata berlapis-lapis
dan mengurung Malaikat berlengan delapan Ciu Kim semakin
ketat.

Terdengar angin pukulan menderu-deru, tenaga pukulan
yang terpancar keluar dari telapak Malaikat berlengan delapan
Ciu Kim pun segera tiba makin menghebat, pukulan demi
pukulan yang gencar berusaha menembusi kepungan lapisan
pedang yang berlapis hingga menyiarkan suara tajam yang
memekikkan telinga.
Ilmu silat memang sukar diukur dengan kata-kata,
sepanjang hidupnya Ciong Lian-khek selalu meyakinkan
permainan pedangnya, sewak tu menemani Hoa Thian-hong
berlatih pedang, secara tidak sadar ia telah melatih pula
kepandaian sendiri secara tekun dan rajin membuat
permainan ilmu pedang Seng too tui hun kiam hoatnya
mencapai puncak kesempurnaan yang tiada taranya, sedang
tenaga dalam yang dimilikipun mendapat kemajuan yang
pesat, hal ini membuat daya serangan yang terpancar dalam
permainan pedangnya betul-betul mengerikan.
Dipihak lain, Malaikat berlengan delapan Cia Kim pun
sepanjang hidupnya selalu tekun mendalami ilmu telapak Siu
lo ciang hoat nya. Inti sari dari ilmu pukulan itu sudah dikuasai
penuh, ditambah pula tenaga dalamnya yang sudah dilatih
selama dua puluh tahun membuat pukulan-pukulannya sangat
terlatih dan sempurna.
Oleh karena itulah, kendatipun serangan pedang Seng lo tui
hun kiam hoat dari Ciong Lian-khek amat keji dan telengas
namun selalu gagal untuk menembusi perlahanannya.
Tidak terasi setengah jam sudah lewat. Jua orang itu sudah
bertempur banyak tiga iratus gebrakan lebih.
Pertarungan ini merupakan suatu pertarungan yang amat
sengit, dendam yang telah berlangsung lama, rasa benci yang
sedalam lautan memaksa kedua belah pihak merasa tak puas
sebelum berhasil membinasakan lawannya, oleh sebab itulah

pertarungan berlangsung semakin lama, keadaan makin seru
dan ramai hingga akhirnya kedua bilah pihak sama-sama
mempertaruhkan keselamatan jiwanya untuk berusaha
merubuhkan lawannya.
Suana dalam barak tiba-tiba berubah jada sunyi senyap tak
kedengaran sedikit suara pun, semua orang telah mengetahui
bahwa salah satu diantara dua orang yang sedang berempur
sengit itu pasti ada yang bakal mati.
Malaikat berlengan delapan Cia Kim yang terkurung dalam
lapisan cahaya pedang Ciong Lian-khek, kelihatan terdesak
hebat dan berada dibawah angin, karena itu orang-orang dari
perkumpulan Hong-im-hwie merasa jauh lebih tegang dan
serius daripada pihak lain.
Jin Hian yang kehilangan sebuah lenganya baru saja
mendapat perawatan dan menyelesaikan semedinya, setelah
meninjau sebentar situasi dalam gelanggang, dengan dahi
berkerut ia berpaling ke arah Cu Goan Kek yang berada
dibelakananya sambil berkata, “Ji te, engkau segera
menantang perang! berpura-puralah seperti akan
menggantikan kedudukan dari Sim te, jika pihak lawan ada
yang berani menghalangi maka kita akan utus orang uutuk
menghadapi pertarungan itu, seandainya pihak Thong-thiankauw
memberi tanggapan atas kejadian itu maka kita korban
perang massal dan bergerak sesuai dengan rencana yang
telah dipersiapkan”
“Siaute terima perintah!” jawab Cu Goan Kek sambil
bangkit berdiri, ia keluar dari barak dan menerjang kedalam
gelanggang.
Hoa Hujin yang membayang-bayangi keadaan gelanggang
dari tempat kejauhan, segera berseru dengan suara berat

setelah menyaksikan keadaan tersebut, “Sam te, turun
kegelanggang dan hadang orang itu!”
Sejak tadi Suma Tiang-cing sudah mengharapkan
datangnya perintah, tanpa banyak bicara ia segera terjun
kegelanggang dan menghadang jalan pergi dari Cu Goan Kek.
Ketika Cu Goan Kek melihat orang yang muncul untuk
menghadapi dirinya adalah pedang sembilan nyawa Suma
Tian Cing hatinya terjelos. Tapi rupanya perkuuipilan Hong-imhwie
sudah punya rencana, baru saja pemuda Suma terjunkan
diri dengan cepat Yan-san It-koay pun terjun pula kedalam
gelanggang.
Tio Sam-koh yang menyaksikan tindakan musuh jadi naik
pitam ia ketukan tongkat besinya keatas tanah dan siap terjun
kedalam gelanggang, Hoa Hujin segera menarik lengan
bajunya sambil berbisik, “Pihak lawan berjumlah sangat
banyak sedangkan kekuatan kita sedikit sekali bilamana
keadaan tidak terlalu memaksa lebih baik menghemat tenaga”
Sementara pembicaraan itu masih berlangsung, Suma
Tiang-cing telah meloloskan pedangnya dan menyenril senjata
itu dengan sentilan jari, cahaya hijau berkilauan diiringi suara
dentingan yang memekikkan telinga terhadap kehadiran
musuh dari arah depan ia sama sekali tidak memandang
barang sekejappun.
Dafri pergelanggan tangannya, Yan-san It-koay melepaskan
pula gelangnya yang bercahaya hitam, dengan tangan
dikepalkan dan menyilang didepan dada ia melirik sekejap ke
arah Cu Goan Kek.
Orang kedua dari perkumpulan Hong-im-hwie itu mengerti
apa yang dimaksudkan sahabatnya, ia segera membentak

keras, tubuhnya menerkam kedepan sambil melepaskan satu
pukulan yang maha dahsyat.
Paras muka Suma Tiang-cing menunjukkan sikap menghina
dan pandang rendah musuhnya, sepasang matanya yang
memancarkan cahaya kesombongan menyapu sekejap ke arah
Yan-san It-koay dan Cu Goan Kek dengan ketus, walaupun ia
tahu serangan yang dilancarkan orang she Ciu itu sudah
hampir mengenai ditubuhnya, akan tetapi si anak muda itu
masih tetap berdiri tak berkutik.
Jilid 10
SERANGAN yang dilancarkan Cu Goan Kek itu sebenarnya
adalah suatu serangan kosong, menanti Suma Tiang-cing
menggerakkan tubuhnya maka Yan-san It-koay akan segera
menyergap kedepan sedang ia sendiri bisa melewati hadangan
pemuda Suma itu dan membantu Malaikat berlengan delapan
Cm Kiai yang terancam bahaya.
Tapi Setelah melihat sikap yang angkuh dan jumawa dari
Suma Tiang-cing, seakan-akan ia tak dipandang sebelah
matapun oleh la wannya, hawa arsiran segera berkobar dalam
benaknya, dari jurus itupun ia rubah jadi serangan sunguhan
dan langsung dihantam kemuka.
Suma Tiang-cing tertawa dingin, ia geserkan badannya
kesamping dan berkelit sejauh beberapa depa dari tempat
semula.
Cahaya hitam berkelebat lewat, Yan san koay dengan
gelang hitamnya yang berada dalam genggaman laksana
sambaran petir ditonjokkan ke arah batok kepala lawan.

Tenaga dalam yang dimiliki gembong iblis ini jauh lebih
sempurna jika dibandingkan dengan tenaga lweekang dari Cu
Goan Kek, karenanya walaupun serangan itu dilepaskan jauh
lebih lambat namun tiba pada sasaran hampir dalam waktu
yang bersamaan.
Gerakan Suma Tiang-cing yang berkelit ke arah samping
justru bagaikan perahu yang mendekat ketepian, dengan
tepat menyongsong datangnya ancaman tersebut.
Terdengar Suma Tiang-cing mendengus dingin, pedang
mustikanya dibalik dan langsung membabat pergelangan
lawan.
Cara pemuda ini mainkan pedang menyerupai cara
menggunakan golok, daya tekanannya berat bertenaga tapi
enteng dan lincah sekali membuat musuh sulit untuk menduga
sasarannya.
Ia tersohor sebagai jago pedang bernyawa Sembilan yang
merupakan manusia paling sadis dikalangan golongan putih,
kalau tidak bertempur wataknya baik, tapi setelah turun
tangan pasti ada jiwa yang melayang, karena kelihayan dan
kekejiannya banyak gembong iblis yang jeli dan mengalah tiga
bagian kepadanya.
Sementara itu jurus serangan yang dipergunakan Yan-san
It-koay sudah hampir mencapai pada akhir gerakan, melihat
seranganan itu jika dilanjutkan niscaya akan kurung ditangan
lawan ia jadi terkejut bercampur marah, sumpahnya,
“Keparat! anjing sialan!”
Sambil putar badan satu lingkaran, dia buyarkan pukulan
itu secara paksa….

“Cuuih!” Suma Tiang-cing meludah dan disemburkan keatas
wajah Yan-san It-koay, pedang mustikanya berputar dan
langsung membacok tubuh Cu Goan Kek.
Orang kedua dari perkumpulan Hong-im-hwie ini rada nafsu
untuk menghadapi pemuda tersebut karena itu setelah
serangannya mengenai sasaran yang kosong ia segera
enjotkan badan dan menyelinap kedepan.
Tiba-tiba desiran angin tajam meluncur dibelakang batok
kepalanya, sewaktu ia berpaling belakang tampaklah
sambaran pedang Suma Tiang-cing sudah tiba didepan mata,
ia amat terperanjat dan tubuhnya buru-buru jatuh
bergelinding keatas tanah untuk mencari selamat.
Mulai pertama Suma Tiang-cing menahan serangan dari
Yan jan It koay lebih dahulu kemudian menyergap Cu Gom
Kek meskipun ia melepaskan dua serangan namun dalam
kenyataan hanya satu jurus serangan.
Mimpipun Cu Goan Kek tidak menyangka kalau Yan-san Itkoay
begitu goblok dan dan tak becusnya sehingga serangan
dari Suma Tiang-cing pun tidak mampu dibendung, dalam
gugupnya ia berusaha sekuat tenaga untuk meloloskan diri
dari arcaman.
Cahaya barkelebat lewat pakaian bagian punggung Cu
Goan Kek tersambar robek, sebuah jalur sepanjang dua depa,
darah mengalir keluar dari mulut luka dan membasai tubuhnya
namun Cu Goan Kek masih belum merasakan hal itu.
Yan-san It-koay merasa malu bercampur gusar, ia
menyergap maju kedepan sepasang kepalannya disodok
kemuka menghajar pinggang Suma Tiang-cing memaksa si
anak muda itu harus putar pedangnya untuk menyelamatkan
diri.

Setelah secara nyaris berhasil lolos dari bacokan lawan, Cu
Goan Kek merasa gusar sekali, paras mukanya jadi hijau
kepucat-pucatan namun sebagai seorang jago kawakan yang
berotak dingin dan berhati licik, ia segera menggigit bibir
menelan rasa mendongkolnya itu didalam hati, sang badan
masih melanjutkan terjangannya menubruk ke arah Ciong
Lian-khek.
Kembali Suma Tiang-cing mendengus dingin, pedangnya
berkelebat menyergap tubuh bagian belakang dari Cu Goan
Kek, memaksa jago kedua dari perkumpulan Hong-im-hwie ini
buru-buru harus berkelit ke arah samping.
Yan-san It-koay adalah seorang jago lihay yang tersohor
karena kebengisan dan keganasanya, berada dihadapan
umum ia kena dipaksa oleh lawannya hingga selalu berada
dibawah angin, hal itu membuat kemarahannya menjadikan ia
kalap, sepasang tinju di lontarkan secara berrantai krdepan, ia
lepaskan pukulan secara membabi buta.
Serangan berantai yang amat gencar ini telah
menggunakan seluruh kekuatan yang dimiliki Yan-san It-koay,
kendatipun Suma Tiang-cing gagah perkasa dan pemberani
tak urung musti menghadapi dengan sepenuh tenaga juga.
Dengan terjadinya peristiwa ini maka Cu Goan Kek pun
berhasil melepaskar diri dari kurungan lawan, tanpa
mengucapkan sepatah katapun ia kirim satu pukulan dahysat
menyergap badan Ciong Lian-khek.
“Sreeet,!!” Ciong Lian-khek putar badan melepaskan satu
babatan pedang, serunya dengan ketus, “Cia Kim, ini hari
adalah saatnya kita berdua untuk menentukan siapa hidup
siapa mati apakah engkau hendak andalkan kekuatan orang
untuk mewujudkan harapanmu?”

Malaikat berlengan delapan Cia Kim tertegun, ia teringat
kembali atasn kata-katanya sebelum terjadi pertarungan itu, ia
pernah ber kata bahwa pada saat itu menang kalah di antara
mereka hendak dilakukan tanpa campur tangan orang lain.
Dangan wajah menyesal bercampur malu, segera
bentaknya dengan keras.
“Ji ko harap segera undurkan diri, setelah rasa akhirat
menentukan kematian pada kentongan ketiga, siapakah yang
berani mena han dirinya sampai kentongan kelima?”
Cu Goan Kek tertawa seram.
“Heeh…. heehh…. heehh…. Ji ko justru tak percaya dengan
segala ketahayulan, akan ku bereskan cecunguk ini sekarang
juga”
Ciong Lian-khek tertawa sinis.
“Huuh! baiklah, aku akan suruh engkau percaya dengan
segala Ketahayulan!!”
Sreet! sreet! dua serangan berantai di lepaskan dengan
gencar menukas perkataan Cu Goan Kek yang belum sempat
diselesaikan.
Malaikat berlengan delapan Cia Kim semakin bertambah
malu dan tiba-tiba ia berteriak keras, “Ji ko kalau engkau tak
segera mengundurkan diri, siaute akan bunuh diri lebih dulu di
hadapanmu!”
Cu Goan Kek merasa amat terperanjat, ia segera urungkan
serangannya dan mundur ke belakang dengan hati tercekat.

“Cia Kim” teriak Ciong Lian-khek kemudian dengan suara
lantang, “engkau memang seorang lelaki perkasa yang hebat,
aku Ciong Lian-khek kagum atas kegagahanmu itu!”
Pedangnya dikembangkan dan segera melancarkan satu
tusukan.
Malaikat berlengan delapan Cia Kim mendengus dingin, ia
melangkahkan kakinya sambil berputar, sebuah pukulan
balasan segera dilepaskan dengan dahsyat.
Cu Goan Kek yang dipaksa mengundurkan diri dari arena
pertarungan hanya bisa berdiri melongo disisi gelanggang
sambil menyaksiksn dua orang itu melanjutkan kembali
pertarungannya, dalam hati ia segera berpikir, “Baiklah aku
berdiri disini sambil membayanggi pertarungan yang sedang
berlangsung, bila keadaan membahayakan aku baru akan
turun tangan untuk menolong jiwanya, dalam keadaan begitu
aku rasa Ciong Lian-khek tidak akan….”
Belum babis ingatan tersebut berkelebat dalam benaknya,
tiba-tiba terdengar Yan-san It-koay berteriak keras, “Hati-hati
dengan sergapan dari belakang….!”
Terperanjat hati Cu Goan Kek mendengar teriakan tersebut,
ia segera berpaling kebelakang dan tampaklah seorang kakek
tua berwajah merah, berbadan pendek dan gemuk, sambil
menggoyangkan kipasnya sedang menyelinap kebelakang
tubuhnya tanpa menimbulkan sedikit suarapun.
Ketika menyaksikan lawannya berpaling, kakek gemuk
pendek berwajah merah padam itu tiba-tiba tertawa, kipasnya
diayun kedepan dan mengipasi punggung Cu Goan Kek.
Pakaian bagian punggung dari Cu Goan Kek itu sudah
tersambar robek oleh babatan pedang Suma Tiang-cing tadi

tanpa terasakan olehnya, setelah dikipasi oleh kakak gemuk
itu, pakaiannya segera tersingkap hingga kelihatan kulitnya
yang berdarah.
Cu Goan Kek jadi sangat terperanjat, buru-buru ia loncat
keudara dan menyingkir sejauh beberapa tombak dari tempat
semula.
Ditengah gelanggang, terdengarlah Ciong Lian-khek
membentak keras, Cia Kim mari kita tentukan siapakah yang
lebih berhak melanjutkan hidup di kolong langit.
Sambil berseru badannya meluncur keangkasa hingga
mencapai ketinggian dua tombak lebih.
Malaikat berlengan delapan Cia Kim tertawa angkuh,
kakinya melayang kepintu Cu bu dan kepalannya disilangkan
didepan dada, kepalanya menengadah keudara sikapnya
angkuh sekali.
Ciong Lian-khek mendengus dingin, badannya meluncur
kebawah, pedangnya berputar kencang bagaikan roda, cahaya
tajam menyelimuti daerah seluas satu tombak lebih, dan
mengurung batok kepala Cia Kim.
Terdengar bentakan keras bergeletar di angkasa, dengusan
gusar yang seram mengiringinya lalu terjadilah suatu benturan
yang dahsyat.
“Bluum! dengan jurus Lu wang kay hun atau jaring langit
membekuk sukma, bacokan pedang dari Ciong Lian-khek
berhasil menghajar separuh tubuh bagian atas dari Cia Kim
sehingga terluka parah dan darah segar berhamburan di
angkasa.

Pada saat yang bersamaan pula, sebuah pukulan maut
yang dilepaskan malaikat berlengan delapan Cia Kim berhasil
pula menghajar telak bahu kiri lawannya, membuat tulang
bahu Ciong Lian-khek hancur berantakan, tubuhnya yang ada
ditengah udarapun berpusing kencang.
Sejak menyaksikan Cia Kim bermaksud adu jiwa, Cu Goan
Kek sudah menyadari bahwa gelagat tidak menguntungkan
rekannya, ia hendak maju menolong tapi usahanya selalu
ditinggalkan oleh kebebasan kipas dari dewa yang suka
pelancongan Cu Thong, hal ini membuat dia panik sekali.
Demikianlah, setelah terjadinya bentrokan yang sama-sama
berakibatkan terlukanya kedua orang itu, para jago dari
perkumpulan Hong-im-hwie sama-sama membentak keras dan
serentak menyerbu masuk kedalam gelanggang pertarungan.
Terdengar Ciong Lian-khek membentak keras, pedangnya
berputar laksana kitiran petir, sekilas cahaya tajam yang
menyilaukan mata meluncur kemuka, dengan gerakan Thay
san ya teng atau tertindih oleh bukit Thay san, pedangnya
membacok kebawah.
Jeritan ngeri yang menyayatkan hati bergema memecahkan
kesunyian, batok kepala Malaikat berlengan delapan Cia Kim
terbacok hingga hancur lebur dan terpisah dari tubuhnya.
Dalam pada itu, dewa yang suka pelancongan Cu Thong
ketika melihat para jago dari perkumpulan Hong-im-hwie
bagaikan gulungan air bah menyerbu masuk kedalam
gelanggang pertarungan, ia segera meayadari bahwa
pertempuran massal tak bisa dihindari lagi, kipasnya dengan
cepat disimpan dan telapaknya laksana kilat melepaskan satu
pukulan maut.

Pukulan itu menggunakan gerakan menyerang sampai
mati, salah satu serangan ampuh dalam catatan Ci yu ju ciat,
tujuan Cu Thong menggunakan iimu maut itu bukan lain
adalah hendak membunuh lawannya secepat mungkin.
Dada Cu Goan Kek termakan telak oleh pukulan maut itu, ia
menjerit kesakitan, darah segar menyembar keluar dari
mulutnya dan binasalah jago nomor dua dari perkumpulan
Hong-im-hwie ini.
Pertempuran itu benar-benar berlangsung amat seru dan
mengerikan, belum cepat mayat Cia Kim dan Cu Goan Kek
roboh terkapar diatas tanah, pertarungan massal yang amat
serupun sudah berlangsung.
Delapan puluh orang jago lihay dari perkumpulan Hong im
Hwae bersama-sama terjun kedalam geianggang pertarungan,
yang masih tinggal dalam barak hanya Jin Hian yang baru saja
kehilangan lengan kiri nya serta nenek buta yang belum
sembuh dari luka dalamnya.
Sebaliknya dari pihak pendekar kalangan lurus, mulai dari
Hoa Hujin hingga kebawah sebagian besar ikut terjun dalam
pertarungan massal itu, kini yang masih berpeluk tangan
hanya Siang Tang Lay yang cacad dan menderita luka parah,
keempat orang muridnya yang melindungi keselamatan sang
guru, Biau-nia Sam-sian setia Chin Wan-hong.
Dilam sekejap mata, jeritan-jeritan ngeri berkumandang
silih berganti, meskipun dari pihak kalangan lurus hanya
berjumlah dua puluh dua orang tapi sebagian besar
merupakan jago-jago lihay yang berhasil lolos dalam
pertempuran berdarah dipertemuan Pak beng hwee, lagi pula
mereka semua telah bersepakat untuk membunuh pihak lawan
dengan serangan kilat, oleh karena itu begitu terjadi

pertempuran seru, perkumpulan Hong-im-hwie yang
merupakan kelompok paling lemah diantara Tiga maha besar
dalam dunia persilatan segera mengalami gempuran hebat
yang mengakibatkan rontoknya kekuatan tersebut.
Jin Hian yang menyaksikan anak buahnya banyak yang
roboh bergelimpangan diatas tanah jadi tercekat dan sedih
sekali, ia segera menjerit kalap, “Thian Ik-cu! Pek Siau-thian!
aku orang she Jin….”
Belum habis ia berkata, dari barak sebelah kiri
berkumdanglah suara bentakan keras dari Hian Leng cu, “Pek
pangcu, sekarang sudah tiba saatnya bagi kita untuk turun
tangan”
Dia ayun pedang mustikanya dan terjun kedalam
gelanggang lebih dahulu.
Dalam sekejap mata, hawa pedang membumbung tinggi
keangkasa, ratusan orang, anggota perkumpulan Thong-thiankauw
mengikuti dibelakang Hian Leng cu, Pia Leng-cu dan
Cing Leng cu terjun kedalam gelanggang pertarungan massal.
Luka yang diderita Pek Siau-thian paling ringan, luka itu
sudah selesai dibalut. Saat itu sambil memegang tanda
perintah Hong-lui-leng yang memancarkan cahaya keemasan
ia berdiri diatas sebuah meja, matanya yang jeli mengamati
situasi dalam gelanggang, namun ia tetap tidak buka suara
untuk mengirim kekuatannya.
Terdengar malaikat pertama Sim Kiam d ri Liong-bun
Siang-sat membentak dengan suara keras, “Saudara-saudara
dari perkumpulan Hong-im-hwie, cepat menghindar kesayap
kanan!”

“Hmmm! mau menghindar kemanapun tidak mungkin bisa!”
sahut Cu Thong dewa yang suka pelancongan dengan suara
dingin.
Weeeess….! ia lepaskan pukulan dahsyat ke depan.
Tatkala menyaksikan datangnya pukulan telapak yang
merah membara bagaikan baja yang membara, Malaikat
pertama Sim Kian merasa amat teperanjat, ujarnya, “Ilmu
sesat apakah yang dilatih oleh kakek tua bermuka merah ini?
nampaknya mengerikan sekali”
Setelah berhasil lolos dari ancaman musuh, ilmu lay in sin
jiau nya segera dikerahkan menembusi angkasa dan
menyergap kemuka.
Tiba-tiba terdengar Hoa Hujin membentak dengan suara
dalam.
“Giok Liong! Bong Pay! segera belok kesayap kanan dan
sambut kedatangan para jago dari perkumpulan Hong-imhwie!”
Para jago dan perkumpulan Hong-im-hwie pada waktu itu
sudah berbelok kesayap kanan, para imam dan sekte agama
Thong-thian-kauw bagaikan air bah segera menerjang masuk
kegelanggang, ratusan bilah pedang berkilauan di angkasa
membuat suasana bertambah mengerikan.
Chin Giok-liong serta Bong Pay sekalian menyadari bahwa
kekuatan mereka masih belum mampu untuk membendung
serangan tersebut, mendengar perintah dari Hoa Hujin dengan
cepat mereka menyingkir kesayap kanan dan menghadapi
orang-orang dari perkumpulan Hong-im-hwie.

Tiba-tiba dengusan dingin bergema diudara, seorang pria
berbadan bagaikan beruk melayang masuk kedalam
gelanggang, sekilas cahaya hitam kontan meluncur kedepan.
Hian Leng cu mengerutkan dahinya, ia segera membentak,
“Yang datang apakah Ciu Thian-hau dari gunung Huan san?”
Pedangnya berkilat, sebuah serangan balasan segera
dilepaskan.
“Traaanng….! Traaang….! Traang….! beberapa kali
benturan nyaring mengakibatkan percikan bunga api
berterbangan di angkasa, begitu bertemu muka kedua orang
itu sudah terlibat dalam suatu pertarungan yang amat seru.
Ciu Thian-hau dari gunung Huan San mendengus dingin,
golok tipisnya yang berkilauan tajam secara beruntun
melepaskan belasan jurus serangan berantai, namun
kesemuanya berhasil dipunahkan oleh Hian Leng cu, dari
pihak golongan pendekar, ilmu silat yang dimiliki Ciu Thianhau
hanya sedikit dibawah Hoa Hujin, sebaliknya Hian Leng-cu
adalah jago yang berilmu paling tinggi dari pihak lawan,
karena iti meskipun orang she Ciu itu sudah menyerang
dengan segala kemampuannya namun tetap gagal untuk
merebut posisi yang lebih menguntungkan.
Dalam pada itu, It sim hweesio Ti Kiam Hui telah memutar
senjata sian cang nya untuk bergebrak melawan Pia Leng-cu,
sedangkan Hoa Hujin menghadapi Ceng Leng cu, enam orang
terbagi dalam tiga kelompok bertempur dengan serunya.
Karena keenam orang itu merupakan jago-jago yang
berkepandaian paling lihay, maka sekalipun terjadi
pertempuran massal namun tak seorang manusiapun yang
mampu terjun dalam pertarungan diantara enam orang tadi,

Hian Leng cu, Pia Leng-cu dan Cing Leng cu dari pihak
Thong-thian-kauw telah membendung kekuatan dan pihak
pendekar yang berilmu paling tinggi, dengan terjadinya
pertarungan tersebut maka daya tekanan terhadap pihak
perkumpulan Hong-im-hwie pun jauh berkurang.
Pada waktu itu, malaikat pertama Sim Kian dari Liong-bun
Siang-sat bettempur seru melawan dewa yang suka
pelancongan Cu Thong, malaikat kedua Sim Ciu melawan Cu
Im taysu, Yan-san It-koay bertempur melawan jago pedang
bernyawa sembilan Suma Tiang-cing, sedangkan Thian Seng
cu dan Cing Si cu dari perkumpulau Thong-thian-kauw
bertempur melawan Tio Sam-koh, sisanya terlibat dalam
pertempuran massal.
Bentakan keras bergeletar bagaikan guntur, kedua belah
pihak saling bertempur dengan serunya, tapi disebabkan
jumlah anak murid dari perkumpulan Thong-thian-kauw
sangat banyak, dari pihak Hong-im-hwie masih terdapat
belasan orang jago, ditambah pula tiga puluh orang pengawal
pribadi golok emas, maka kendatipun dalam pertempu ran
seru itu pihak pendekar berhasil membunuh banyak musuh,
namun keadaan mereka kemungkinan terancam maut.
Sepanjang pertarungan itu berlangsung, kelompok makhluk
aneh yang menyerupai sukma-sukma gentayangan itu masih
tetap duduk tenang dalam barak, kehadiran mereka
mendatangkan firasat yang jelek bagi setiap orang disana.
Siang Tang Lay yang selama ini mengikuti terus jalannya
pertarungan itu, mendadak berbisik kepada seorang muridnya
yang bera da disamping.
“Kalian berputarlah ke arah tenggara dan serbu kedalam
gelang-gang, sergap jalan mundur pihak Hong-im-hwie dan
usahakan untuk membasmi mereka semua dan muka bumi!”

Keenam orang pemuda itu menunjukkan sikap keberatan,
mereka segera memberi hormat s?ambil berseru, “Suhu….!”
Siapa yans berani membangkang perintah ku? bintaik Siang
Tang Lay dengan mata melotot.
Enam orang pemuda iiu tak berani banyak bicara lagi,
mereka segera memberi hormat dan terjun kedalam
gelanggang.
Meskipun usia beberapa orang itu masih muda namun ilmu
silat mereka sudah mendapat warisan langsung dari Siang
Tang Lay, tenaga dalam yang mereka milikipun sudah
mencapai kesempurnaan, karena itu setelah mereka berenam
terjun kegelanggang lewat arah tenggara dan menyergap
jalan mundur dari tiga puluh orang pengawal pribadi golok
emas, dalam waktu singkat para jago dari perkumpulan Hongim-
hwie sudah keteler hebat dan mendekati ambang
kehancuran.
Pengawal pribadi golek emas mempunyai keahlian dalam
bertempur secara bersamaan sebaliknya keenam orang murid
dari Siang Tang Lay ini paham dengan ilmu barisan Lak liong
si thian kian tin, begitu terjadi bentrokan langsung, dalam
sekejap mata ada delapan sembi lan orang pengawal pribadi
golok emas roboh binasa ditangan mereka.
Jin Hian yang menyaksikan jalannya pertarungan itu dari
dalam barak jadi panik sekali, ia tahu jika pertarungan ini
dilanjutkan lebih jauh, massa pihak pendekar pasti akan
berhasil merebut posisi yang menguntungkan, sedang
perkumpulan Hong-im-hwie akan hancur berantakan dan
tergeser namanya dari dunia persilatan.

Ia jadi marah bercampur dendam, tiba-tiba sorot matanya
dialihkan ke arah Pek Siau-thian yang berada dalam barak
diseberang, dengan suara menguntur teriaknya, “Tua bangka
she Pek, lihatlah apakah ini?”
“Apa?” bentak Pek Siau-thian sambil berpaling.
Jin Hian angkat tangannya, sebilah pedang kecil yang
memancarkan cahaya keemasan segera muncul didepan mata.
Pek Siau-thian merasakan jantungnya bergentar keras,
teriaknya tanpa Sadar, “Aaaah! pedang emas”
“Heehh…. heeh…. heehh…. sedikitpun tidak salah, inilah
pedang emas,” jawab Jin Hian sambil tertawa dingin.
Ia sambit pedang itu kedepan, sekilas cahaya emas
berkelebat ketengah udara, setelah membentuk satu lingkaran
busur, pedang emas itu langsung ketengah gelanggang
dimana pertempuran massal sedang berlangsung.
“Haahhh…. haahhh…. haahhh…. bagus sekali tua bangka
she Jin rupanya engkau sengaja menciptakan berita yang
mengatakan pedang emas itu dicuri orang, rupanya engkaui
sedang berbohong!”
Tampaklah pedang emas yang berbentuk kecil itu berputar
diudara lalu rontok kebawah dan tepat berada dialas kepala
Cu Im taysu.
Siang Tang Lay yang berada dibawah barak buru-buru
membentak keras, “Taysu, cepat rampas pedang emas itu!”
Cu Im taysu tersenyum, pikirnya, “Dalam keadaan situasi
semacam ini, apa gunanya benda yang tak berfaedah itu?”

Ssmentata ia masih sangsi, tiba-tiba sesosok bayangan
manusia berkelebat menembusi angKasa dan menyambar
pedang emas itu.
Cu Im taysu dapat melihat bahwa orang yang menyambar
pedang emas itu bukan lain adalah Thian Sengcu dari
perkumpulan Thong-thian-kauw, senjata sekop peraknya
segera ditusuk ke arah tubuhnya.
Thian Sengcu tertawa tergelak, badannya melentak dan
bergeser dua depa ke arah samping, setelah lolos dan tusukan
sekop lawan, pedangnya segera diayun kemuka menotok
ujung senjata sekop, sementara tangan kirinya melanjutkan
gerakan untuk merampas pedang emas itu.
Malaikat kedua Sim Ciu yang sedang bertempur melawan
Cu Im taysu ketika menyaksikan senjata sekop lawan berputar
menyerang Thian Seng cu, ia tak mau membuang kesempatan
yang sangat baik itu dengan begitu saa tetapi sebelum
serangan dilepaskan tiba-tiba dilihatnya pedang emas itu
sudah hampir didapatkan oleh Thian Seng cu.
Sebagai seorang yang tamak akan harta, dengan cepat dia
urungkan serangannya untuk menghajar Cu Im taysu, diamdiam
ilmu Tay in tin jiau nya dikerahkan dan menghantam
lambung Thian Seng cu secara diam-diam.
Thian Seng cu yang menutulkan pedangnya pada ujung
sekop Cu Im taysu sebenarnya berhasil meminjam tenaga
pantulan itu untuk merebut pedang emas dan melayang
keluar dari gelanggang, siapa tahu baru saja ujung pedangnya
berhasil menutul diujung sekop mendadak lambungnya terasa
sakit bagaikan tertusuk, hawa murninya buyar dan tubuhnya
toboh keatas tanah.

Sekalipun begitu, imam tua tadi bukanlah seorang manusia
tolol setelah menyadari bahwa ia terbokong lawan, pedangnya
segera diayunkan menghantam pedang emas tadi sambil
berseru.
“Susiok, sambutlah pedang itu!”
Cu Im taysu hanya pusatkan perhatiannya untuk
membunuh musuh, ia sama sekali tak pikirkan pedang emas
itu didalam hati, karena kuatir malaikat kedua Sim Ciu
menyergap dirinya, dengan cepat sekop peraknya di babat
keatas tubuh Thian Seng cu yang baru saja rontok dari udara.
Serangan sekop perak itu dilepaskan dengan kecepatan
bagaikan sambaran petir, dahsyatnya luar biasa.
“Ploook….!” dengan telak bacokan itu bersarang diatas
pinggang Thian Seng cu membuat imam tua itu menjerit
ngeri, mutah d rah segar dan binasa seketika itu juga.
Malaikat kedua Sim cu yang menyaksikan usahanya sia-sia
belaka jadi gusar melihat mayat dari Thian Sang cu meluncur
dihadapan mukanya, ia segera lancarkan satu tendangan kilat
yang membuat mayat tadi mencelat kembali ke arah Cu Im
taysu, bersamaan itu pula badannya maju kedepan
meneruskan sergapannya.
Pedang emas yang dipukul oleh Thian seng cu dengan
pertaruhan nyawa itu segera mencelat kembali diudara dan
meluncur ke arah Cing Leng cu.
Pada waktu itu Cing Leng cu yang sedang bertempur
melawan Hoa Hujin sedang kebat kebit hatinya karena kejut
bercampur keder, dalam keadaan begitu tak sempat baginya
untuk pecahkan perhatian mengurusi soal pedang emas
tersebut.

Ketika dilihatnya pedang emas itu meluncur datang, ia
putar badan sambil bergeser kesamping kemudian melayang
ke arah depan meneruskan pertarungan lebih jauh.
Hoa Hujin, Ciu Thian-hau, It Sim hweesio, Hiang Leng cu
sekalian berada disekitar tempat itu, Hoa Hujin sekalian yang
berniat untuk membalas dendam sama sekali tak mau
pecahkan perhatian karena soal pedang emas itu.
Hian Leng cu dan Pia Leng-cu sendiri juga merupakan
siluman-siluman tua yang berpengala-man, mereka tahu
bahwa soal pedang emas masih merupakan suatu tanda tanya
yang belum terjawab, merebutnya dalam keadaan dan saat
seperti ini sama sekali tak ada gunanya, bahkan malahan akan
mendatangkan pembunuhan bagi diri mereka, karena itulah
meskipun pedang emas tadi menyambar lewat dari sisi
beberapa orang berkepandaian tinggi itu, namun tak ada
seorang manusiapun yang mau mempedulikan, mereka tetap
mengerahkan kepandaian masing-masing untuk bertempur
sengit melawan musuhnya.
Pedang emas itu setelah meluncur sejauh beberapa
tombak, daya luncurnya makin lemah dan akhirnya roboh
keatas tanah, Chin Pek-cuan yang kebetulan berada
disampingnya dengan cepat menyambar senjata tadi dan
dicekalnya dalam tangan.
Dari Ciu Thian-hau ia sempat mempelajari suatu ilmu
langkah yang luar biasa sekali hebatnya dalam sekali bergerak
tahu-tahu tubuhnya sudah terlepas dan kurungan senjata
lawan dan berhasil merampas pedang emas itu.
Suara hentikan nyaring berkumandaog dari empat penjuru,
ber puluh-puluh orang musuh serentak menyerang ke
arahnya.

Semua peristiwa itu berlangsung dalam sekejap mata, Pek
Siau-thian yang berdiri diatas meja ketika menyaksikan
pedang emas itu sudah terjatuh ketansan Chin Pek-cuan, ia
segera membisikan sesuatu kesisi telinga Cukat racun Yau sut,
panji Hong lui kie dikibarkan dan bentaknya, “Pelindung
hukum panji kuning mengikuti Kunsu untuk turun menuju
kegelanggang!!”
Cukat racun Yau Sut menyingkap badannya dan cabut
keluar sebilah pedang pendek, eriaknya, “Pelindung hukum
panji kuning, ikutilah aku!”
Suara sahutan bersema gegap gempita, seratus orang
pelindung hukum panji kuring dengan mengikuti dibelakang
Yau Sut, bagaikan gulungan air bah segera terjun kedalam
gelanggang.
Dengan dipimpin oleh Cukat racun Yau Sut, sepasukan jago
lihay itu bergerak menuju ke arah tenggara, kelompok
pelindung hukum panji kuning ini merupakan jago pilihan yang
berkepandian silat amat tangguh, terjangan mereka kedalam
gelanggarg kali ini benar-benar dahsyat dan mengerikan
sekali.
Malaikat pertama Sim Kian selain bertempur melawan dewa
yang suka pelancongan Cu Thong, itupun bertugas mengatur
anak buahnya serta memberi petunjuk kepada anggota
perkumpulan Hong-im-hwie untuk melakukan perbuatan,
ketika menyaksikan para anggota perkumpulan Sin-kie-pang
menyerang lewat arah belakang, ia jadi gusar sekali se-hingga
hampir saja hendak mrunkan perintah untuk beradu kekuatan
dingan pihak perkumpulan Sin-kie-pang.
Tapi ia tahu Hao Goan Siu mati ditangan mereka berdua,
perselishan dan dendam kesumat yang terjadi antara pihak

Hong-im-hwie dengan kaum pendekar sudah terlalu dalam
hingga sukar diselesaikan maka sambil menahan rasa dongkol
dihati ia membentak keras, “Saudara-saudara dari
perkumpulan Hong-im-hwie semuanya bergeser kesamping
kiri!”
Mendapat perintah tersebut, semua jago dari perkumpulan
Hong-im-hwie siap bergeser kesamping kiri dan memberikan
musuh yang ada disayap kanan kepada pihak perkumpulan
Sin-kie-pang.
Siapa tahu dari pihak perkumpulan Sin-kie-pang sudah
mempunyai rencana sendiri, mereka bermaksud menggunakan
kesempatan hari ini untuk melenyapkan kekuatan dari
perkumpulan Hong-im-hwie.
Tampaklah Cukat racun Yau Sut kembali ulapkan
tangannya, ratusan orang jago dari kelompok panji kuning
tiba-tiba menyebarkan diri dan menerobos kebelakang barisan
pihak Hong-im-hwie, hal ini membuat pasukan dan pihak
Hong-im-hwie segera terjepit ditengah kepungan, meskipun
mereka ayun senjata sambil berteriak keras namun tak
seorangpun diantara mereka yang secara langsung kontak
senjata dengan pihak pendekar.
Diantara perkumpulan Sin-kie-pang, Hong-im-hwie dan
Thong-thian-kauw bila membicarakan tentang soal ilmu silat
maka ilmu silat Hian Leng ki, Pia Leng-cu serta Cing Leng cu
dari perkumpulan Thong-thian-kauw lah yang paling tinggi,
berbicara tentang banyaknya anggota dan pergalamannya
panglima perang maka perkumpulan Sin-kie-pang yang nomor
satu.
Dalam pertempuran yang terjadi pada saat ini, tiga orang
imam tua dari perkumpulan Thong-thian-kauw telah
berhadapan dengan para pendekar berilmu tinggi sedangkan

Hong-im-hwie bertanggung jawab dalam serbuan pertama
maka bila dibicarakan sesungguhnya, maka posisi pihak Sinkie-
pang lah yang paling menguntungkan.
Jin Hian yang menyaksikan peristiwa tersebut dengan cepat
memahami siasat keji dari Pek Siau-thian, ia jadi mendendam
dan bencinya luar biasa namun jago tersebut hanya bisa
menggertak gigi belaka tanpa mampu berbuat apa-apa lagi,
sebab seluruh kekuatan perkumpulan Hong-im-hwie telah
terjun sedalam arena dan ia tidak memiliki kekuatan lagi
Ketika ia berpaling ke arah pihak perkumpulan Sin-kiepang,
tampaklah para Tong cu nya, para Hiangcu, serta
pelindung hukum yang berjumlah hampir melebihi tiga ratus
orang masih utuh berkumpul dibelakang Pek Siau-thian,
kekuatan sebesar itu masih mencerminkan suatu kekuatan
yang maha besar.
Tiba-tiba Bong Pay membentak keras, sepasang telapaknya
didorong kemuka secara berbareng, Seng Sam Hau itu
hweesio yang gemar makan daging dan minum arak dari
perkumpulan Hong-im-hwie segera terhajar telak dadanya
oleh pukulan itu, ia muntah darah segar dan mundur
kebelakang dengan sempoyongan, akhirnya sepasang kakinya
jadi lemas dan roboh tercengang keatas tanah.
Dalam perkumpulan Hong-im-hwie, Seng Sam Hau
menduduki kursi nomor lima, dia adalah seorang hweesio
yang gemar minum arak, main perempuan dan suka
membunuh orang, hal ini Bong Pay sebagai seorang pemuda
yang masih cetek pengalamannya ternyata mampu
membinasakan hweesio tadi.
Hal ini mencerminkan bahwa para jago dari perkumpulan
Hong-im-hwie rata-rata sudah pecah nyali dan patah
semangat.

Terdengar dua kali bentakan gusar berkumandang datang,
dua orang pengawal pribadi golok emas menyerbu kedepan
menggunakan kesempatan tersebut, Bong Pay yang baru saja
melepaskan serangan belum sempat berdiri tegak ketika
bacokan golok dari pria yang ada disamping kiri telah
menyambar tiba.
Tak bisa dihindari lagi, bahu kiri Bong Pay termakan oleh
bacokan itu sehingga darah segar memancarkan keluar
dengan deras nya, hampir saja badannya roboh keatas tanah.
Chin Giok-liong yang kebutalan berada disekitar sana,
dengan cepat menerjang maju, pedangnya dibacok kemuka
berulang kali memaksa dua orang pengawal pribadi golok
emas itu buru-buru mengundurkan diri.
Terdengar dewa yang suka pelancongan Cu Thong
berteriak keras, “Anak Pay dan Giok Liong segera mundur
kekiri dan mendekat dengan paman Yap!”
Dari ayahnya Chin Giok-liong berhasil mempelajari pula
ilmu langkah Lian Ngo heng mi sian poh hoat atau ilmu
langkah dewa pemabok yang diperoleh dari Ciu Thian-hau,
dalam pertempuran massal tersebut ternyata ilmu langkah itu
mendatangkan faedah yang amat besar bagi dirinya, ia bisa
berkelebat kekanan atau menerobos kekiri dengan leluasa.
Ketika mendengar perintah dari Cu Thong, ia segera putar
pedang mendesak mundur musuh yang ada didepan mata
serta melindungi Bong Pay bergeser kekiri. Tiba-tiba terdengar
Hoa Hujin berseru dengan suara berat, “Tiong Liau,
bertempurlah dengan mantap dan sabar, jangan terlalu rakus
dengan pahala.

Sementara itu suasana dalam gelanggang pertempuran
kalut sekali, suara betrokan senjata dan bentakan gusar amat
memekikan telinga, namun seruan dari Hoa Hujin yang
disertai dengan tenaga dalam amat sempurna itu ternyata
berhasil didengar oleh setiap orang dengan amat nyaring, hal
ini mengakibatkan semua orang terperanjat dan kesadaran
otak merekapun pulih kembali.
Tiga harimau dari keluarga Tiong sejak mendapat pelajaran
dari Hoa Thian-hong, mereka bertiga selalu melatih dasar
tenaga dalam aliran perkampungan Liok Soat Sanceng, ilmu
telapak yang mereka pelajari adalah ilmu pukulan Kun-siu-citauw
dari Ciu It-bong, kemudian atas warisan dari Lun tok sian
ci merekapun berhasil mempelajari barisan Sam seng bu kek
tin, ilmu kerja sama yang luar biasa ini sangat hapal sekali
mereka gunakan.
Pada saat ini suami istri dan anak tiga orang yang harus
bekerja sama menghadapi serbuan para jago dari
perkumpulan Thong-thian-kauw segera menarik keuntungan
yang sangat besar, hanya sayang watak mereka bertiga amat
benci pada kejahatan dan tidak takut mati, setelah terjadi
pertarungan pasti ada diantara mereka yang berusaha
merncari pahala dengan pertaruhan jiwa, karena itu seringkali
mereka harus menghadapi banyak mara bahaya yang
mengancam keselamatan mereka.
Dan kini kembali Tiong Liau berusaha hendak menerjang
maju seorang diri, ketika mendengar teguran dari Hoa Hujin
buru-buru ia mundur kembali kebelakang.
Pertarungan massal yang berlangsung kali ini merupakan
suatu pertarungan massal paling besar yang terjadi dalam
dunia persilatan setelah diadakannya pertemuan Pak beng
hwee, dan merupakan satu-satunya pertarungan sengit yang

pernah terjadi setelah dunia persilatan menjadi tenang selama
belasan tahun.
Para jago yang terlibat dalam pertmpuran itu, baik dari
pihak Sin-kie-pang, Hong-im-hwie, Thong-thian-kauw serta
golongan pen dekar mencapai jumlah hampir tiga ratus orang
banyaknya meskipun keempat belah pihak sama-sama
mempunyai pemimpin, tapi berhubung ilmu silat yang jauh
berbeda maka, tak lama setelah terjadi pertempuran itu sua
sana berubah jadi sangat kalut, orang yang memiiki ilmu silat
agak rendah semuanya terdesak dalam keadaan yang sangat
berbabaya dan setiap saat jiwa mereka terancam
Pasukan perkumpulan Sin-kie-pang dibawah pimpinan
Cukat racun Yau sut yang bertahan dilingkaran luar selalu
melancarkan serangan bila ada kesempatan, meski pun tidak
memperlihatkan kekuatan sepenuhnya namun dibawah
perlawanan pihak Hong-im-hwie yang semakin kalap dan
makin nekad karena posisi mereka makin terjepit, pihak
pendekar merasakan daya tekanan yang menekan mereka
kian lama kian bertambah besar hingga hampir saja tak
mampu mempertahankan diri.
Hoa Hujin yang diam-diam memperhatikan situasi dalam
gelanggang mulai merasa amat gelisah, ia menyadari bahwa
kekuatan pihaknya amat sedikit sedang jumlah musuh besar
sekali, jika pertarungan dengan sistim prajurit lawan prajurit,
panglima lawan panglima semacam ini dibiarkan berlangsung
lebih lanjut maka akhirnya seluruh pasukan akan musnah
ditempat itu.
Perempuan itupun tahu, untuk menolong keadaan seperti
ini, maka satu-satunya jalan yang bisa ditempuh adalah
menggunakan kekuaatan yang paling hebat dipihaknya untuk
menyerang kekuatan menengah pihak lawan dengan kekuatan
menengah pihaknya menyerang kekuatan paling bawah pihak

musuh, meskipun akhirnya kedua belah pihak akan samasama
musnah namun jumlah musuh yang bisa mereka
lenyapkan akan jauh lebih banyak.
Setelah berpikir sampai disitu, ia segera menggertak gigi
dan memperketat serangannya menghajar Cing Leng cu.
Setelah Hoa Hujin ambil keputusan untuk membinasakan
musuhnya, Cing Leng cu tak mampu mempertahankan diri
lagi, dalam waktu singkat pedang mustikanya berputar dengan
kencang dan menghindar terus tiada hentinya, sementara
mulutnya membentak penuh kemarahan, keadaan dari imam
tua tersebut bagaikan seekor binatang yang masuk
perangkap.
Hian Leng cu yang menyaksikan peristiwa itu jadi amat
terperanjat, dengan cepat ia lancarkan beberapa buah
serangan berantai kemudian berusaha untuk menerjang ke
arah Leng cu.
Terdengar Ciu Thian-hau membentak keras, golok tipisnya
melancarkan serangan ampuh secara bertubi-tubi dengan
jurus yu hun hoan im atau sukma gentayangan irama
pembetot, kiu ci coan lay atau sembilan irama menusuk hati
serta Cu thian kui im atau malaikat langit bayangan setan ia
gencet Hian Leng cu untuk tetap bertahan diposisi semula.
Angin pukulan berhawa dingin yang menusuk tulang,
segulung demi segulung memancar keluar mengikuti putiran
telapak kirinya.
Ciu Thian-hau segera memutar pula telapak kirinya untuk
memunahkan pukulan-pukulan beracun dari lawannya.

Tapi berhubung tenaga dalamnya masih rendah, hawa
dingin itu sempat pula menerobos masuk kedalam tubuhnya
membuat ia kedinginan dan sukar bertahan.
Terdengar Siang Tang Lay berteriak keras, “Hoa Hujin,
jangan terlalu terburu nafsu!”
Baru saja perkataan itu diutarakan, nafsu membunuh telah
menyelimuti seluruh wajah Hoa Hujin, ia maju kedepan sambil
melepaskan satu pukulan yang maha dahsyat ke arah tubuh
Cing Leng cu.
Pukulan yang dilepaskan dengan kecepatan bagaikan
sambaran kitat ini tak sempatditangkis oleh Cing Leng cu
dengan pedang nya, dalam keadaan apa boleh buat terpaksa
imam tua itu ayun pula telapak kirinya untuk menerima
datangnya arcaman tersebut dengan keras lawan keras.
“Blaaamm….!” suatu bentrokan yang memekikan telinga
terjadi ditengah gelanggang, tubuh Cing Leng cu mencelat
kebelakang dan roboh terkapar keatas tanah, darah segar
memancar keluar dari mulutnya setinggi empat lima depa,
sebelum tubuhnya mencium tanah selembar jiwanya telah
melayang tinggalkan raganya.
Paras muka Hoa Hujin berubah jadi pucat pias bagaikan
mayat, dengan tubuh sempoyongan ia menerjang ke arah
Hian Leng cu.
Melihat datangnya terjangan itu, Hian Leng cu jadi amat
terperanjat, pedang mustikanya diputar kencang melindungi
seluruh badan, sementara kakinya selangkah demi selangkah
tanpa sadar mundur ke arah belakang,
“Ciu heng!” bentak Hoa Hujin dengan suara keras,”
serahkan imam tua ini kepadaku!”

Ciu Thong Haud ari gunung Huansan menyadari bahwa dia
masih bukan tandingan dari Hian Leng cu, mendengar seruan
tersebut sambil mengepos tenaga ia segera tekan hawa racun
dalam tubuhnya keluar tubuh, sementara tubuhnya berputar
kesamping dan menyerbu ke arah kiri.
00000000000
56
MESKIPUN Ciu Thian-hau bukan tandingan dari Hian Ling
cu, namun jika dibandingkan dengan jago-jago lainnya maka
keadaan jago tersebut ibaratnya harimau di tengah kawanan
kambing, di mana golok tipisnya berkelebat jeritan ngeri
bergema memecahkan kesunyian, dalam sekejap mata Siang
Kiat dari perkumpulan Hong-im-hwie serta lima orang
pengawal golok emas telah menemui ajalnya diujung golok
jago ini.
Tiba-tiba terdengar Pia Leng-cu membentak keras,
pedangnya diangkat keatas dan menusuk ke arah dada It sim
hweesio.
Menghadapi tusukan tersebut, buru-buru It sim hweesio
mengundurkan diri kebelakang dan berusaha melepaskan diri
dari kejaran senjata lawan….
Kendatipun begitu pedang lawan masih sempat bersarang
diatas dadanya sedalam empat cun dan melukai paru-parunya
meskipun tidak sempat mencabut selembar jiwanya namun
cukup memberikan luka yang berarti.
Pada saat yang bersamaan sekelompok para pendekar
kembali ada seorang mati ditangan musuh, Chin Giok-liong
yang termakan oleh babatan pedang Ngo Ing toojin dari

perkumpulan Thong-thian-kauw hampir saja mengorbankan
lengan kanannya.
Pertarungan yang sedang berlangsung pada saat ini benarbenar
suatu penarungan yang sengit dan mendebarkan hati,
seluruh bumi bergoncang dan mayat bergelimpangan dimanamana.
Sekelompok makhluk aneh dalam barak yang selama ini
membungkam terus hingga detik itu belum menunjukkan
sikap apapun, Thian Ik-cu dari perkumpulan Thong-thiankauw
yang baru saja kehilangan kakinya kendatipun
seandainya pertarungan itu mendapat kemenangan total iapun
tak akan bisa bergembira.
Jin Hian paling sedih diantara beberapa orang itu, ia
saksikan anggota perkumpulannya yang bertempur kian lama
kian sedikit banyak diantaranya sudah terluka dan menemui
ajalnya hal ini membuat ia ja di putus asa dan semangat
tempurnya lenyap tak berbekas, ia hanya bisa menyaksikan
pertarungan berakhir dengan kematihan bagi pihak
perkumpulannya.
Diantara kelompok-kelompok besar, Pek Siau-thian lah
yang paling bangga memiliki kekuatan yang paling besar,
rencana yang paling sempurna serta tata susunan ketentaraan
paling terbaik hingga saat itu meskipun pelbagai pihak sudah
banyak yang mampus dan terluka parah, hanya perkumpulan
Sin-kie-pang yang belum menderita kerugian barang
sedikitpun, secara diam-diam ia sudah dapat merasakan jika
selesai berperang maka kemungkinan besar seluruh kolong
langit akan jatuh ketangan perkumpulan Sin-kie-pang.
Dalam barak para pendekar yang masih ketinggalan hanya
Siang Tang Lay, Biau-nia Sam-sian serta Chin Wan-hong, lima
orang berhubung ilmu silat yang dimiliki Chin Wan-hong

terlalu cetek, Hoa Hujin tidak memperkenankan gadis itu turun
serta dalam pertempuran itu sedangkan Kiu-tok Sianci dengan
umat persilatan didataran Tionggoan belum pernah terikat
perselisihan apapun apa bila keadaannya tidak terlalu
memaksa, Hoa Hujin merasa segan untuk menarik Biau-nia
Sam-sian terjun dalam kancah pertempuran itu, maka untuk
sementara waktu ia perintahkan tiga dewi dari wilayah Biau itu
untuk tetap tinggal dibarak.
Siang Tang Lay ada maksud untuk terjun kedalam
gelanggang tapi sayang keadaan tidak mengijinkan dia untuk
berbuat demikian.
Chin Wan-hong yang berotak cerdik dan seksama
menghadapi setiap masalah sewaktu menyaksikan Hoa Hujin
berhasil membinasakan musuh namun Siang Tang Lay bukan
saja tidak menunjukkan watak gembira sebaliknya malah
murung dan sedih, diam-diam dalam hati kecilnya timbul
kecurigaan, setelah bersabar beberapa saat akhirnya ia
bertanya, “Siang loocianpwee ilmu pukulan yang dimiliki Hoa
Hujin begitu lihay dan hebatnya mengapa ia tak mau melukai
beberapa orang musuh lagi?”
Siang Tang Lay menghela napas panjang.
“Aaai….! ilmu pukulan yang dilatih hujin adalah sejenis ilmu
pukulan Thian lui ciang yang keras dengan sejenis ilmu
pukulan Hek sat ciang yang sangat beracun, dua jenis ilmu
pukulan itu jika digabungkan menj di satu maka keadaannya
menyerupai air dalam guci, bila digunakan setetes berarti akan
berkurang setetes, jika seluruh tenaganya habis dipergunakan
maka keadaannya bagaikan lentera kehabisan minyak dan
akbatnya jiwa sendiripun tak dapat dipertahankan”
Mendengar penjelasan itu Chin Wan-hong merasa amat
terperanjat kembali ia bertanya lebih jauh.

“Berapa lama tenaga pukuian itu baru akan habis
digunakan?”
“Tentang soal ini sulit untuk dikatakan, tapi tenaga
pukulannya sebesar apa yang telah digunakan untuk
menghadapi Cing Leng imam busuk itu mungkin tinggal sekali
dua kali lagi, setelah itu tenaga dalamnya akan musnah sama
sekali”
Baik Chin Wan-hong maupun Biau-nia Sam-sian yang
mendengar keterangan itu sama-sama merasa amat
terperanjat.
Setelah duduk termangu-mangu untuk beberapa waktu
lamanya, tiba-tiba Chin Wan-hong berpaling ke arah Lan-hoa
Siancu sambil berkata, “Toa Suci, jangan biarkan tenaga
dalamnya punah sama sekali”
“Aku sendiripun ingin mewakili hujin untuk menghadapi
lawan-lawannya” sahut Lin hoa siancu dengan dahi berkerut,
“tapi ilmu si lat yang dimiliki dua orang imam tua itu terlalu
tinggi, kami tak mampu untuk mendekati tubuhnya”
Tiba-tiba terdengar Chin Pek-cuan membentak, dengan
penuh kegusaran, begitu keras suaranya sehingga memotong
percakapan mereka.
Dengan cepat mereka alihkan sorot mata nya ketengah
gelanggang, ternyata secara tiba-tiba Cukat racun Yau Sut
telah terjun pula kedalam gelanggang pertarungan dan
menghadang jalan pergi Chin Pek-cuan.
Dalam pertarungan itu tentu saja Chin Pek-cuan bukan
tandingannya, ditambah pula anak murid perkumpulan Thongthian-
kauw menyerang dari empat penjuru, hal ini membuat ia

jadi kalang kabut dan terjerumus dalam keadaan yang sangat
berbahaya.
Cbin Wan Hong amat menguatirkan keselamatan ayahnya,
melihat kejadian itu dengan gelisah ia berteriak, “Oooh….! toa
suci….”
Lan hoi siancu ulapkan tangannya, kemudian berseru, “Li
hoa, Ci wi, ikutilah aku!”
Tubuhnya dengan cepat bergerak menuju ketengah
gelanggang.
Li-hoa Siancu dan Ci-wi Siancu membuntuti dari belakang,
ketiga orang itu langsung menyerbu ke arah garis belakang
perkumpulan Sin-kie-pang.
Meskipur tiga dewi dari wilayah Biau seringkali berkelana
dalam dunia persilatan namun mereka belum pernah
menjumpai pertarungan sehebat ini menghadapi medan
pertempuran yang luas sedikit banyak hati mereka merasa
gugup juga dan tak tahu apa yang musti dilakukan.
Terdengar Pek Siau-thian berteriak dari kejauhan, “Hati-hati
perempuan suku Biau itu melepaskan racun!!”
“Ehmm! benar juga perkataannya itu” pikir Lan-hoa Siancu
dalam hati, ia segera membentak nyaring, “Yang takut mati
harap menyingkir, yang berani silahkan maju kedepan!”
Sepasang telapaknya diayun berulang kali, selapis senjata
rahasia bubuk pemabok yang tak berwujud dan berbau segera
tersebar ke luar.
Sejak menyaksikan munculnya tiga orang gadis suku Biau
itu, para jago dari perkumpulan Sio Kie pang sudah

menunjukkan perasaan waspada, buru-buru mereka tutup
pernafasan dan melancarkan pukulan kedepan.
Angin pukulan yang maha dahsyat bergabung jadi satu
menyambut datangnya sarangan dari Biau-nia Sam-sian hal ini
memaksa ketiga orang gadis itu terpaksa harus
mengundurkan diri dari arena.
Chin Pek-cuan yang menghadapi serangan dan empat
penjuru mala tak kuat mempertahankan diri, hatinya amat
gusar, dengan cepat pedang emas itu disambitkan ke arah
Ngo ing Cinjin dari perkumpulan Thong-thian-kauw sambil
membentak keras, “Nih!! kuhadiahkan kepadamu!!”
Cukat racun Yau Sut tersenyum, ia jangkau lengannya
mencengkeram pedang emas itu.
Dengan gerakan tubuhnya yang cekatan dan lincah, dalam
sekali berkelebat gagang pedang itu berhasil ditangkap
olehnya.
Ngo ing Cinjin yang menyaksikan pedang emas yang
sedang melayang ke arahnya tiba-tiba dirampas oleh Cukat
racun Yau Sut ditengah jalan, hawa amarahnya segera
berkobar, pedang berbentuk aneh dalam genggamannya
segera disapu keluar membacok tubuh pedang emas itu.
Cukat racun Yau Sut mendengus dingin, pikirnya didalam
hati.
“Hmm kalau aku tidak memberi sedikit pelajaran kepada
kamu semua, kalian hidung kerbau sialan pasti tak akan tahu
sampai dimanakah kelihayan dari Yau ya mu ini….”
Ingatan tersebut dengan cepat berkelebat dalam benaknya,
menanti pedang berbentuk aneh dari Ngo ing Cinjin sudah

hampir membacok diatas padang emas tersebut, kelima
jarinya baru berputar kencang dan menyongsong datangnya
bacokan tadi dengan ujung pedang emas yang tajam.
Criiiing….! ditengah benturan nyaring senjata berbentuk
aneh dari Ngo ing toojin yang membentuk pedang emas itu
seketika kutung jadi dua bagian.
Ngo in toojin bertambah marah, dengan putungan
pedangnya ia menerjang maju makin kedepan diiringi
dengusan nyaring ia lancarkan sebuah tusukan kedepan.
“Bangsat! rupanya sudah bosan hidup!” bentak Cu kat
racun Yau Sut dengan gusar.
Pedang emas diputar kebawah….
Criiing! kutungan pedang berbentuk aneh dari Ngo ing
toojin itu kembali tersayat hingga tinggal lima enam cun saja
panjangnya….
Kegusaran Ngo ing toojin mendekati kalap, ia sambit
kutungan pedang itu ke arah wajah Yau Sut sementara
tubuhnya ikut menerjang kedepan pukulan berantai dilepaskan
sicara bertubi-tubi mengurung seluruh tubuh lawan.
Para anggota perkumpulan Thong-thian-kauw yang berada
disekitar tempat itu ketika menyaksikan Ngo ing toojin
bertempur melawan Yau Sut merekapun ikut-ikutan berganti
haluan dan arahkan serangan gencar mereka ke arah pasukan
dari perkumpulan Sin-kie-pang.
Cukat racun Yau Sut tertawa dingin, badannya berputar
kencang, dengan jurus hang sau cian kim atau menyapu rata
selaksa prajurit, pedang emasnya diayun kemuka menyambut
datangnya serbuan tersebut,

“Triiing! triiing!” benturan-benturan nyaring berkumandang
memenuhi angkasa, senjata-senjata yang dimiliki para
anggota perkumpulan Thong-thian-kauw sama-sama tertebas
kutung jadi beberapa bagian oleh ketajiman pedanj e-mas itu.
Sementara dalam hati kecilnya, Cukat beracun ini berpikir,
“Meskipun pedang kecil ini sangat tajam namun tak lebih
hanya merupakan sebilah senjata mustika, kalau dipergunakan
tetap terasa ngotot dan menggunakan banyak tenaga,
sedikitpun tak mirip apa yang tersiar dalam dunia persilatan
apalagi cahaya yang terpancar keluar sama sekali tidak
menyolok, aneh benar! kenapa bisa begitu?”
Tiba-tiba terasa desiran angin tajam yang memekikan
telinga, diiringi daya tekanan yang maha berat menyergap
datang dari belakang tubuhnya.
Ketika ia berpaling kebelakang, tampaklah Chin Pek-cuan
tanpa menimbulkan sedikit suarapun telah menyusup
kebelakang tubuhnya sambil melepaskan satu pukulan
dahsyat.
Jelas anak murid perkumpulan Thong-thian-kauw tidak ada
menghalangi usaha Cing Pek Cuan untuk melancarkan
serangan maut kea rah Cukat racun Yau Sut.
Diam-diam orang she Yau ini menyumpah dalam hati
kecilnya, “Tua bangka sialan? engkau benar-benar tak tahu
diri….”
Pedang emasnya dikebas ke arah depan, dan diapun
segera melancarkan sebuah serangan balasan.
Diantara sekelompok mmusia yana sedang bertarung ini,
ilmu silat yang dimiliki Cukat racun Yau Sut jauh lebih tinggi

daripada yang lain, sekarang sambil putar pedang emasnya
untuk menghadapi serangan gencar dan pihak lawan, secara
diam-diam iapun mengawasi keadaan disekeliling tempat itu.
Mendadak ia temukan kurang lebih satu tombak disebelah
kanannya, terlihatlah seorang kakek tua baju hitam sedang
bertempur sengit melawan orang-orang dari perkumpulan
Hong-im-hwie, senjata yang dipergunakan adalah sebilah
pedang mustika.
Terhadap pedang emas yang berada dalam cekatannya ini
ia sudah timbul perasaan curiga, dalam benaknya segera
timbul ingatan untuk mencoba ketajaman senjata tersebut,
maka ia menggeserkan tubuhnya mendekati kakek tua baju
hitam itu.
“Traang! tiba-tiba terdengar bentrokan nyaring ditengah
arena senjata sian ciang dari It sim hweesio saling membentur
dengan senjata pusaka dari Pia Leng-cu sehingga kutung jadi
dua bagian.
Menggunakan kesempatan yang sangat baik ini, Pia Lengcu
menerjang lebih kedepan, pedang mustikanya membentuk
berjuta-juta ti tik bintang dan secara beruntun menyerang
tubuh It sim hweesio.
Dalam sekejap mati padri itu terkena lima tusukan kilat
mengakibatkan darah segar mengucur keluar dari mulut-mulut
lukanya.
Ditengah kancah pertempuran massal ini, semua orang
bertempur dengan saling berdesakan, tiada banyak tempat
ruang yang dapat dipergunakan untuk menghindarkan diri,
setelah menderita luka parah dan senjatanya kutung, maka It
sim hweesio sudah tiada kekuatan untuk melepaskan

serangan balasan lagi, kelihatannya ia bakal mampus diujung
pedang Pia Leng-cu.
Chin Thian Hau dari gunung Hang San yang kebetulan
berada didekatnya, ketika menyaksikan kejadian itu segera
membentak keras, sebuah pukulan dahsyat dilepaskan
menghantam tubuh seorang imam berusia penengahan yang
berada dihadapannya, isi perut imam tersebut kontan terpukul
hancur dan mayatnya mencelat ke arah tubuh Pia Leng-cu.
Tangan kiri Pia Leng-cu sepera ditebas kemuka
menyingkirkan mayat imam berusia pertengahan yang
menerjang ke arahnya itu, kemudian pedangnya disapu
kedepan membabat pinggang It sim hweesio.
“Lihat golok” bentak Ciu Thian-hau.
Cahaya tajam berkilauan di angkasa, sambaran goiok itu
dengan cepatnya telah meluncur tiba.
Buru-buru Pia Leng-cu putar pedang menangkis datangnya
ancaman tersebut, It sim hweesio segera merebut pedang
seorang imam dan ikut menyerang dari arah samping, dengan
begitu Pia Leng-cu harus menghadapi serangan gabungan dari
Ciu Chian Hau serta It sim hweesio.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras yang diiringi
suara dentingan nyaring berkumandang memecahkan
kesunyian.
Rupanya Suara Tiang Cing yang selama ini tak mampu
merebut kemenangan lama kelamaan jadi mendongkol juga,
hingga menimbulkan sifat kejinya sebagai seorang pendekar
pedang berjiwa sembilan, pedangnya segera diputar bagaikan
hembusan angin puyuh, telapak kirinya melepaskan pukulanpukulan
maut yang memaksa Yan-san It-koay terpaksa harus

menyambut setiap pukulan dengan pukulan dan sedang
bacokan pedang dengan tangkisan gelang.
Setelah melakukan bentrokan-bentrokan kekerasan
sebanyak dua puluh jurusan, sekujur tubuh dari dua orang itu
sudah berubah jadi lemas dan kehabisan tenaga, napasnya
terengah-engah bagaikan kerbau, namun Suma Tiang-cing
sama sekali tak ada minat untuk hentikan pertarungan.
babatan pedang ditangan kanan, pukulan dahsyat ditangan
kiri masih saja dilepaskan terus tanpa berhenti.
Yan-san It-koay yang tak mampu menyelesaikan
pertarungan itu terpaksa harus memutar tangan kirinya untuk
menyambut tusukan pedang dengan gelang hitam, sementara
lengan kanannya melepasken satu pukulan ke arah dada
Suma Tiang-cing.
Maksudnya jika Scma Tiang Cing memunahkan pukulannya
itu, maka ia bisa menggunakan kesempatan tersebut untnk
ganti jurus dan melepaskan diri dari kurungan manusia ganas
ini, siapa tahu pertarungan dengan cara beradu jiwa ini justru
sangat penuju dengan maksud hati Suma Tiang-cing bahkan
boleh dibilang ibaratnya Pucuk dicinta ulam tiba.
Gelang dan pedang saling beradu keras, tubuh kedua orang
ini sama-sama bergetar seras sehingga melejit samping,
gerakan pukulan yang dilepaskan tiba-tiba makin cepat
meluncur kedepan dan Blaaam! pukulan dari Suma Tiang-cing
dengan telak bersarang di atas dada Yan-san It-koay,
sebaliknya pukulan yang dilepaskan Yan-san It-koay bersarang
dibawah ketiak Suma Tiang-cing.
Isi perut kedua orang itu sama-sama menderita luka parah,
mereka memuntahkan darah segar dan roboh terjengkang
kebelakang, Suma Tiang-cing yang terkena pukulan persis
dibawah ketiaknya mengakibatkan lima batang tulang

rusuknya patah, jika dibandingkan luka yang dia derita jauh
lebih berat dan parah.
Yan-san It-koay yang roboh kebalakang hampir saja
menumbuk diatas tubuh dewa yang suka pelancongan Cu
Thong, namun kakek gemuk pendek itu tidak ambil perduli,
sepasang kakinya berputar dan tubuhnya segera berkelebat
kesampmg menyongsong kedatangan malaikat pertama Sim
Kian.
Ilmu silat yang dimiliki Malaikat pertama Sim Kian seimbang
dengan kepandaian dari Cu Thong, dua orang itu telah
bertempur sebanyak tiga ratus jurus lebih tanpa seorangpun
berhasil merebut kemenangan.
Sewaktu malaikat pertama Sim Kian melihat tubuh Yan-san
It-koay tiba-tiba roboh terjengkang kebelakang, tanpa berpikir
panjang lagi ujung bajunya segera dikebas kedepan dan
menanan punggungnya sehingga rekannya itu tidak sampai
mencium tanah.
Cu Thong yang melihat kejadian itu tak mau sia-siakan
kesempatan bagus itu dengan begitu saja, pukulun gencar dan
serangan jari bagaikan hembusan angin puyuh dilepaskan
secara berantai.
Dalam pada itu, Suma Tiang-cing yang terjengkang
kebelakang segera menumbuk tubuh seorang pengawal golok
emas sehingga membuat orang itu ikut roboh dan persis jatuh
dikaki seorang murid dari Siang Tang Lay.
Murid dari Siang Tang Lay itu membentak keras,
pedangnya berkelebat secepat kilat, percikan darah segar
berhamburan di angkaka dan batok kepala pengawal golok
emas yang naas itu segera berpisah dengan tubuhnya.

Setelah sempoyongan mundur dua langkah kebelakang,
Suma Tiang-cing berhasil mempertahankan tubuhnya, ia
merasakan bawah kakinya sakit sekali hingga tak tahan ia
muntah darah kembali.
Tapi dengan wataknya ysng keras kepala dan berangasan,
ia tak sudi menyudahi pertarungan tersebut sampai disitu saja,
setelah mengatur napas sebentar, ia seseri membentak keras
dan sekali lagi menerjang ke arah Yan-san It-koay.
Meskipun luka dalam yang diderita Yan-san It-koay lebih
ringan, namun ia sudah patah semangat, ketika menyaksikan
datangnya terjang maut dari Sama Tiang Cing yang berwajah
menyeringai seram, hatinya bergidik dan pecah nyali, terbiritbirit
ia menyingkir kesamping.
“Bajingan keparat, engkau akan kabur ke mana?” bentak
Sama Tiang Cing dengan gusar.
Pedang mustikanya dikebas kedepan, selapis cahaya tajam
yang amat menyilaukan mata dengan cepatnya mengurung
seluruh batok kepalanya.
Terdengarlah jeritan ngeri yang menyayatkan hati
berkumandang memenuhi angkasa, ketika Suma ang Cing
mengebaskan pedang mustikanya ke arah depan, terbanglah
semangat Yan-san It-koay untuk menghada pinya hingga
paras mukanya berubah jadi pucat pias bagaikan mayat, tak
ampun lagi lengan kirinya sebatas sebatas sikut terputus
hilang, darah dan hancuran daging bercampur jadi satu
membuat keadaan betul-betul mengerikan sekali.
Sepasang mata Suma Tiang-cing telah berubah jadi merah
darah, tiba-tiba ia membentak keras dengan suara yang
dahsyat bagaikan guntur, pedang mustikanya kembali
berkelebat kedepan membacok batok kepalanya.

Sskujur badan Yan-san It-koay bergetar keras ketika
mendengar suara bentakan yang kerad bagaikan guntur
membelah bumi itu, kesadaran otaknya berangsur menurun,
terasa cahaya tajam berkelebat lewat dan tahu-tahu batok
kepalanya sudah terbelah jadi dua.
Pertempuran itu benar-benar merupakan suatu
pertempuran berdarah yang sangat mendebarkan hati, seluruh
orang yang berada di sekitar tempat jtu merasakan hatinya
bergetar keras, sisa laskar perkumpulan Thong-thian-kauw
dan Hong-im-hwie yang menyaksikan kejadian itu merasakan
nyalinya pecah dan bulu kuduknya bangun berdiri, mereka
mulai mengamati keadaan disekelilingnya dan berusaha
menjauhi Suma Tiang-cing yang dianggapnya sebagai
malaikat elmaut.
Dengan semakin menipisnya kekuatan dari pihak Thongthian-
kauw dan Hong-im-hwie, kekuatan dan daya pengaruh
pihak Sin-kie-pang kelihatan semakin besar dan mengerikan.
Tatkala para pendekar saling bentrok deng an laskar
perkumpulan Sin-kie-pang, mereka merasakan daya tekanan
yang menggempur mereka begitu besarnya hingga sukar
ditahan, dari dua puluh dua orang laskar kaum pendekar yang
terjun kedalam gelanggang ada empat orang diantaranya
telah menemui ajalnya dan lima orang menderita luka pa rah.
Pada waktu itu Hoa Hujin berduel melawan Hian leng cu,
Ciu Thian-hong dan It sim hweesio yang menderita luka
bersama-sama menghadapi Pia Leng-cu, Cu Thong bertempur
sengit melawan malaikat kedua Sim Ciu sedangkan sisanya
bertempur melawan sisa laskar dari golongan Thong-thiankauw
serta Hong-im-hwie.

Keadaan mereka semua nampak sangat berbahaya dan
gawat sekali, seandainya keenam orang murid Siang Tang Lay
tidak memberikan pertolongan yang besar, mungkin sedari
tadi mereka semua sudah musnah di tangan musuh.
Biau-nia Sam-sian masih tetap bertahan di luar garis
pertahanan oleh pukulan gabungan para jago lihay dari
perkumpulan Sin-kie-pang, kendatipun mereka telah berusaha
dengan sepenuh tenaga tapi usaha itu selalu mengalami
kegagalan.
Barisan pelindung hukum panji kuning dari perkumpulan
Sin-kie-pang ini bukan saja berjumlah sangat banyak, berilmu
tinggi dan sangat teratur bahkan mereka mempunyai sistim
bertahan dan menyerang yang disiplin, serbuan mereka dikala
pasukan pendekar telah lelah dan kehabisan tenaga ini
ibaratnya gulungan ombak ditengah samudra yang
menghempit sampan kecil.
Pek Siau-thian yang selama ini berdiam diatas meja sambil
mengawasi medan pertempuran sudah mengetahui bahwa
waktunya sudah tiba, dalam hati segera pikirnya, “Sekarang
kekuatan laskar perkumpulan Hong-im-hwie sudah mengalami
kehancuran dan kemusnahan, pihak Thong-thian-kauw bukan
merupakan suatu ancaman yang serius lagi sedangkan
sekelompok manusia setan itu kendatipun mencurigakan sekali
rasanya kehebatan mereka juga tak akan berkelebihan, dunia
persilatan sejak kini akan menjadi daerah kekuasaan
perkumpulanku….
Berpikir sampai disini, paras mukanya segera berubah dan
dihiasi senyuman penuh ke-banggaan dan kesadisan, ia
melirik sekejap sekeliling tempat itu kemudian angkat tinggi
tanda perintah Hong Im leng tersebut.

Delapan orang pria baju hitam yang berada dikedua belah
sisinya segera membunyikan teronpet secara berbareng.
Begitu bunyi terompet berkumandang di angkasa, ditengah
gelanggang segera berkumandanglah suara bentakan yang
gegap gempita, ratusan orang pasukan panji kuning dari
perkumpilan Sin-kie-pang bagaikan kesurupan serentak
menyerbu kedalam gelanggang dan menyapu setiap orang
yang dihadapinya.
Dipihak lain, Poan thian jiu atau Tangan sakti pembalik
langit Ho Ke Sian beserta keenam orang Tongcu lainnya
dengan memimpin masing-masing laskar menyumbat seluruh
mulut lembah sehingga siapapun jangan harap bisa keluar
masuk dengan leluasa, rupanya sebelum mendapat
persetujuan dari Pek Siau-thian, setiap orang tak mungkin
dapat meninggalkan lembah Cu-bu-kok.
Dalam pada itu, pertempuran yang berlangsung dalam
gelanggang berlangsung makin sengit, rupanya laskar kaum
pendekar terancam kemusnahan dalam serbuan tersebut.
Lan-hoa Siancu merasa panik dan gelisah sekali, pikirnya
dihati, “Meskipun kami datang kemari untuk melindungi
keselamatan sumoay, tapi setelah berada disini sudah
sepantasnya kalau memberi bantuan kepada mereka semua,
toh kami tak dapat menyaksikan semua orang menemui
ajalnya tanpa ditolong….”
Berpikir sampai disitu, ia segera membentak keras, “Li hoa,
Ci Wi, ikutilah aku!”
Sepasang kakinya menjejak tanah dan membungbung
tinggi keangkasa, kemudian meluncur ke arah tengah
gelanggang.

Li-hoa Siancu dan Ci-wi Siancu yang menyaksikan tindakan
kakak seperguruan mereka dengan cepar enjotkan badan pula
menerobos ketengah gelanggang dengan melewati atas
kepala musuh-musuhnya.
Jilid 11
BILA berbicara tentang ilmu silat, diantara laskar panji
kuning dari perkumpulan Sin-kie-pang itu banyak diantaranya
yang memiliki ilmu silat jauh diatas tiga dewi dari wilayah
Biau, tentang hal ini Biau-nia Sam-sian sendiripun mengetahui,
jika mereka menerobos masuk kedalam arena berarti mereka
harus menempuh mara bahaya.
Tetapi kepandaian racun dari wilayah Biau sudah amat
tersohor di kolong langit, sedikit banyak para jago dari
perkumpulan Sin kie nang sudah menaruh rasa segan
terhadap ketiga orang gadis itu, karenanya ketika tiga orang
gadis itu berkelebat lewat, semua ang gota perkumpulan Sinkie-
pang sama-sama menutup pernapasan sambil bergeser
kesamping, pukukan gencar dilepaskan keudara kosong.
Setelah Lan-hoa Siancu melayang diudara, ia lihat
dibawahnya penuh dengan manusia dari perkumpulan Sin-kiepang
hingga sukar untuk mencari tempat untuk berpijak,
dalam keadaan apa boleh buat terpaksa ia membentak keras,
“Kalau kalian masih ingin hidup, ayoh cepat menyingkir dari
situ….!”
Ilmu melepaskan racun dari Kiu-tok Sianci memang luar
biasa sekali, Biau-nia Sam-sian telah mendapat warisan
langsung dari gurunya, kemampuan mereka untuk membunuh
orang benar-benar luar biasa sekali.

Baru saja tiga orang itu melayang turun ke atas
permukaan, tujuh delapan orang telah roboh tak sadarkan diri
diatas tanah, dalam sekejap mata para korban mengeluarkan
buih putih dari mulutnya, ada pula yang mukanya berubah jadi
hitam, ada yang merintih sambil berguling, ada pula yang
berkelejit seperti sekarat, hal ini membuat para jago dari
perkumpulan Sin kie Pong jadi ketakutan dan sama-sama
menghindarkan diri.
Tetapi setelah orang-orang itu mengundurkan diri sejauh
beberapa tombak, mereka segera lancarkan pukulan kembali
ke arah lawannya, angin pukulan yang maha dahsyat
menggulung tiba dari empat penjuru, hal ini memaksa tiga
dewi dari wilayah Biau tak mampu berdiri terlalu lama dan
terpaksa melayang kembali ketengah udara.
Pertempuran berdarah ini berlangsung dari malam sampai
pagi dan dari pagi sampai malam, banyak korban telah
berjatuhan darah berceceran diseluruh permukaan tanah.
Sisa laskar dari perkumpulan Hong-im-hwie yang masih
hidup bisa dihitung dengan jari, laskar dari perkumpulan
Thong-thian-kauw pun makin surut dan lemah hingga
akhirnya tinggal beberapa gelintir.
Han Leng cu serta Liong-bun Siang-sat sekalian kehilangan
semangat bertempur, namun dibawah desakan dan teteran
Hoa Hujin sekalian, terpaksa mereka harus melakukan
perlawanan dengan sepenuh tenaga.
Lembah Cu-bu-kok telah berubah jadi kuburan massal,
mayat yang bergelimpangan diatas permukaan hancur tak
menjadi rupa apalagi setelah di injak-injak oleh para laskar
yang masih saling baku hantam, keringat bercampur darah
membasahi pakaian para jago yang masih bertempur,
keadaan mereka mengenaskan sekali….

Situasi dalam gelanggang pertarungan kembali mengalami
perubahan, dari kelompok pendekar yang masih tetap
bertahan tinggal Hoa Hujin, Tio Sam-koh, Cu Im taysu, Chin
Pek Lian, Ciu Thian-hau dari gunung Huang-san serta dewa
yang suka melancong Cu Thong, enam orang selain itu masih
ada lagi Biau-nia Sam-sian serta sisa tiga orang murid Siang
Tang Lay yang masih hidup.
Sedang yang lain kebanyakan sudah roboh terkapir diatas
genangan darah, ada yang luka parah dan ada pula yang telah
menemui ajalnya
Ditengah sengitnya pertempuran suara terompet kembali
bergema di angkasa, mendengar tanda rahasia, Cukat racun
Yau Sut sekalian segera membentak keras dan menggerakkan
senjata mereka tidak ambil perduli apakah lawannya dari
pihak Thong-thian-kauw, Hong-im-hwie atau kaum pendekar,
setiap orang diserang dan dibunuh secara kalap.
Perubahan yang berlangsung secara mendadak dan sama
sekali diluar dugaan ini sangat mengejutkan dan
menggusarkan hati para laskar dari perkumpulan Thong-thiankauw
serta Ho Im Hwee, mereka jadi kelabakan, gelagapan
dan tak tahu apa yang musti dilakukan.
Thian Ik-cu naik pitam, ditengah kobarnya api amarah dan
perasaan dendam, ia segera menurunkan perintah kepada
seluruh anggota perkumpulannya yang masih tersisa diluar
gelanggang untuk menyerbu kedalam arena pertarungan, tapi
imam-imam muda yang sama sekali tak berpengalaman itu
bukan tandingan diri pasukan panji kuning, tidak selang
beberapa saat semua pasukan, berhasil ditumpas habis.
Jin Hian pun merasa sangat mendongkol, dia memaki dan
menyumpah, saking marahnya hawa murninya sampai

menyumbat tenggorokan membuat ia tak mampu
mengucapkan sepatah katapun.
Nenek dewa bermata buta yang terluka parah hanya dapat
duduk termanggu diatas tempat duduknya tanpa berkutik,
setelah mengetahui bahwa perkumpulan Hong-im-hwie
berhasil ditumpas habis, ia jadi kecewa dan putus asa hingga
selama ini mulutnya membungkam terus.
Darah mengucur keluar derasnya dari mulut luka lengan kiri
Jin Hian yang kutung, ia tidak memiliki kemampuan untuk
bertempur lagi, hawa murninya saat itu berjalan terbalik,
keadaannya bagaikan orang menderita jalan api menuju
neraka namun tak seorangpun yang menggubris atau
memberi pertolongan kepadanya.
Dalam kancah pertarungan yang kalut itulah Hoa Hujin
dengan menghimpun sisa tenaganya berbasil menghajar Hian
Leng cu hingga isi perutnya hancur dan menemui ajalnya.
Pada saat yang bersamaan sebuah pukulan danysat dari
Cukat racun Yau Sut berhasil mampir punggung malaikat
pertama Sim Kian hingga gembong iblis itu maju
sempoyongan.
Menggunakan kesempatan itulah Cu Im taysu segera putar
senjata sekopnya dan menusuk dada Sim Kian hingga tembus.
Tiba-tiba dari atas tebing sebelah kanan berkumandang
datang suara seorang perempuan dengan suara yang amat
nyaring, “Sau Tha turutkan perintah dan hentikan
pertempuran!”
Mendengar seruan itu sekujur badan Pek Siau-thian
gemetar keras, ia masih ingat Sau Tha adalah nama kecilnya
yang jarang diketahui orang, di kolong langit dewasa ini hanya

satu orang yang menyebut dirinya dengan nama itu, dan dia
bukan lain adalah istrinya yang selama ini dirindukan namun
hidup berpisah dengan dirinya.
Terdengar Pek Soh-gie berteriak sambil menangis, “Ibu….!”
Pek Siau-thian pun tak mampu menahan golakan perasaan
hatinya, ia ikut memanggil, “Hong Bwee!”
Dari tengah udara melayang turun seorang tokoh berbadan
ramping berwajah cantik, ditangan kanan Too koh itu
menegang sebuah Hud tim sedangkan tangan kirinya
mencengkam seorang gadis cantik, dia bukan lain adalah putri
bungsu Pek Siau-thian yaitu Pek Kun Gei.
Dengan rasa kejut bercampur girang, Pek Soh-gie segera
lari kedepan dan memeluk Pek Kun-gie erat-erat, teriaknya,
“Moay-moay, kami mengira engkau telah mati!”
Paras muka Pek Kun-gie yang cantik kelihatan kurus dan
layu, butiran air mata mengembang dalam kelopak matanya,
bibir yang kecil mungil kelihatan berkemak kemik, namun tak
sepatah katapun yang me-luncur keluar.
Tokoh cantik itu bukan lain adalah istri Pek Siau-thian yang
telah hidup berpisah selama banyak tahun, Kho Hong-bwee
adanya.
Sudah belasan tahun lamanya Pek Siau-thian tak pernah
berjumpa dengan istrinya ini, sekarang setelah berhadapan
muka dengan istrinya yang tetap cantik itu, ia tak dapat
menguasai pergolakan emosi didalam hatinya, hampir saja ia
menubruk kedalam arena memeluk istrinya dan menangis
sepuas puasnya.
Terdengar Kho Hong-bwee berkata dengan serius.

“Sau Tha! cepar turunkan perintah dan tarik kembali
pasukanmu, aku ada persoalan yang hendak dirundingkan
denganmu!”
Pek Siau-thian terperangah.
“Ada urusan apa….!”
Ia merasakan pikirannya kalut tekali, bicara sampai disitu ia
segera membungkam dan segera angkat tinggi-tinggi tanda
perintah Hong-lui-leng-nya sambil membentak, “Hentikan
penarungan dan tarik semua pasukan!”
Suara terompet berbunyi nyarirg, ratusan orang pasukan
panji Kuning yang sedang bertempur segera menarik kembali
serangannya dan mengundurkan diri diri gelanggang
pertarungan.
Waktu datang cepat bagaikan ombak, waktu surutpun
cepat tak terkirakan, memenandakan betapa tertib dan
disipliannya organisasi perkumpulan Sin-kie-pang.
Dalam Sekejap mata, dalam lembah Cu bu koh hanya
tersisa pandangan yang mengenaskan, sehabis pertempuran
massal, hawa pem bunuhan telah lenyap dan seluruh
gelanggang diliputi keheningan dan kesepian yang mengerikan
dan memilukan hati.
Ditengah darah yang berceceran diseluruh permukaan
tanah, mayat bergelimpangan dimana-mana, kutungan badan
berserakan disana-sini, di malam yang sunyi dan cahaya
bintang yang redup, kuntungan senjata yang memenuhi
permukaan memantulkan cahaya yang menyilaukan mata.

Angin malam berhembus sepoi-sepoi, bau amis darah
tersebar mengikuti tiupan angin, diantara mayat yang
bergemlimpaugan bergema, serentetan suara rintihan yang
lemah dan lirih, rintihan tersebut sahut bersahutan dan
memperdengarkan nada penderitaan dan siksaan.
Bayangan manusia bergerak ditengah kegelapan,
membalikan mayat-mayat dalam gelanggang dan berusaha
mencari rekan-rekan yang terluka parah dan belum putus
nyawa.
Dalam keadaan begitu, Hoa Hujin kelihatan lemah sekali,
seakan-akan seseorang yang baru sembuh dari suatu penyakit
yang berat, tenaga dalam yang dimilikinya sudah semakin
lemah ibaratnya lampu lentera yang kehabisan minyak, ia
berdiri sempoyongan ditengah ceceran darah. Chin Wan-hong
segera memburu kesisinya, memayang tubuh perempuan itu
dan perlahan-lahan diajak mundur kedalam barak.
Chin Pek-cuan pertama-tama mencari putranya lebih
dahulu, ia temukan Chin Giok-liong menggeletak ditengah
genangan darah tanpa berkutik, meskipun tubuhnya termakan
oleh lima bacokan golok dan sebuah tusukan pedang, ternyata
jiwanya belum melayang.
Air mata bercucuran membasahi wajib Chin Pek-cuan yang
tua berkeriput, ia terharu dan wajahnya menunjukkan rasaa
gembira dan bangga.
Ditengah mayat-mayat yang bergelimpangan, Tiga dewi
dari wilayah Biau berhasil temukan Tiga harimau dari keluarga
Tong. Harimau pelarian Tiong Liu masih hidup, sedangkan
istrinya yakni Harimau ompong Tiong loo Poo cu serta putra
Harimau bisu Tiong Long karena lukanya yang terlampau
parah ternyata sudah lama mati.

Cu Im laysu temukan jenasah dari It sim hweesio, sedang
Cui Thian Hau menemukan tubuh Su Tiang Cing, jago pedang
bernyawa sembilan ini benar-benar bernyawa rangkap,
meskipun tulang rusuknya ada lima biji yang patah dan isi
perutnya hampir remuk namun jiwanya belum melayang, lapi
Ciu Thian-hau yang membopong tubuhnya baru saja berjalan
beberapa langkah, tiba-tiba mereka roboh terjengkang keatas
tanah, ternyata jago lihay dari gunung Huang-san ini pun tak
kuat menahan lukanya.
Dewa yang suka pelancongan Cu Thong menemukan tubuh
Bong Pay, pemuda yang berjiwa besar ini bertempur sampai
titik darah penghabisan, terakhir kalinya ia kena di hantam
oleh Cukat racun Yau Sut sehingga roboh terjengkang keatas
tanah.
Dalam pertarungan massal, pukulan yang dilepaskan Yau
Sut rupanya tidak sepenuh tenaga, sekalipun begitu Bong Pay
tak sanggup menahan diri dan keaadaannya pada saat itu
kelihatan kritis sekali.
Ciong Lian-khek, tiga orang murid Siang Tang Lay beserta
jago pedang rambut hijau Yap Su Ciat, beberapa orang jago
mati dalam pertarungan tersebut, hanya Tio Sam-koh seorang
yang sama sekali tidak ciderfa.
Secara beruntun setelah bertempur melawan Thian Seng
cu, Sing Siu cu, Ngi Ing tojin serta dua orang sutenya Thian
Seng cu yakni Thian Keng toojin dan Thian Ing toojin dari
perkumpulan Thong-thian-kauw, sepanjang pertarungan
berlangsung sudah amat banyak musuh yang terbunuh kecuali
badan terasa lelah dan tanaga terhisap habis, pperempuan
lihay itu sama sekali tidak luka atau cidera.
Dengan begitu dia adalah satu-satunya jago dari golongan
pendekar yang paling pemberani dan paling beruntung,

Semua orang bekerja keras menolong mereka yang luka
dan menying-kirkan mereka yang telah mati, semua jago
bekerja dengan mulut membungkam, hal ini membuat
suasana jadi hening dan sepi, kendatipun bayangan manusia
bergerak kesana kemari tiada hentinya.
Dari pihak perkumpulan Thong-thian-kauw kecuali
ketuanya sendiri yaitu Thian Ik-cu yang masih hidup, tinggal
Pia Leng-cu dan enam belas orang imam cilik.
Keenam belas orang imam cilik itu bekerja keras
menggotong yang luka menyingkirkan yang telah mati, pulang
pergi hampir puluhan kali banyaknya namun pekerjaan itu
belum iuga selesai, sementara napas mereka sudah
tersengkal-sengal dan keringat membasahi seluruh badan.
Sebagian besar anak murid perkumpulan Thong-thian-kauw
ini menemui ajalnya dalam serangan kilat yang dilancarkan
oleh jago-jago dari perkumpulan Sin-kie-pang yang dahsyat
ibarat angin musim gugur yang merontokkan daun.
Dari pihak perkumpulan Hong-im-hwie kecuali nenek dewa
bermata buta serta Jin Hian yang tidak ikut terjun kedalam
gelanggang, hanya malaikat kedua Sim Ciu seorang yang
selamat.
Jin Hian dan Sim Ciu segera bekerja keras mencari rekanrekannya
yang terluka, setelah bersusah payah akhirnya
kedua orang itu berhasil menemukan sembilan orang yang
belum putus nyawa, dan cepat kesembilan orang itu digotong
kedalam barak dan diberi pertolongan.
Memandang sisa mayat yang bergelimpangan ditengah
gelanggang sebagian besar terdiri dari anggota perkumpulan

mereka, dua orang jago lihay itu jadi putus asa dan segan
untuk mengurusinya lebih jauh.
Diantara para korban yang terluka maupun mati binasa
ternyata tidak terdapat seorangpun anggota perkumpulan Sinkie-
pang, dalam pertumpahan darah yang benar-benar
mengerikan itu, perkumpulan Thong-thian-kauw serta Hongim-
hwie yang menggetarkan sungai telaga tertumpas sama
sekali dan sejak detik itu sudah lenyap dari percaturan dunia
persilatan.
Posisi segi tiga yang dipertahankan selama puluhan
tahunpun sudah hancur berantakan, sekarang tinggal
perkumpulan Sin-kie-pang yang merajai kolong langit, mulai
detik itu rupanya hanya orang-orang dan perkumpulan Sinkie-
pang yang akan malang melintang menguasaku seluruh
jaigad, kendatipun masih ada sisa perlawanan dari golongan
pendekar, tetapi kekuatan mereka jika dibandingkan maka
kaum pendekar boleh dibilang sudah ketinggalan jauh,
keadaan mereka ibaratnya telur beradu dengan batu.
“Pasang lentera!” tiba-tiba Pek Siau-thian membentak
keras.
Suaranya keras dan lantang hingga menggema diseluruh
lembah, suara itu penuh wibawa dan mengerikan sekali,
seakan-akan diucapkan oleh malaikat sakti yang baru turun
dari kahyangan.
Suara langkah kaki manusia bergema diseluruh tempat,
dalam waktu singkat semua lembah sudah bermandikan
cahaya Lampu lentera.
Selain beratus-ratus buah lentera, para anggota
perkumpulan Sin-kie-pang memasang pula beratus-ratus buah
obor besar, cahaya api yang berkilauan membuat lembah CuTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
bu-kok bagaikan ditengah hari bolong, semua suasana ngeri
dan menyeramkan yang semula menyelimuti lembah itu
segera tersapu lenyap, tinggal suasana gembira dan penuh
keagunggan yang menyala-nyala.
Beratus-ratus orang angota perkumpulan Sin-kie-pang
berbaris rapi disepanjang mulut lembah, mereka berdiri
dengan tegap gagah dan penuh disiplin, sementara sisa laskar
perkumpulan Thong-thian-kauw, Hong-im-hwie dan para
pendekar ditambah dengan kelompok manusia aneh
menyerupai setan masih tetap berdiam diri didalam barak
masing-masing.
Seluruh lembah Cu-bu-kok diliputi keheningan dan
kesunyian yang mencekam, begitu sepinya sehingga jarum
yang jatuhpun kedengaran. sorot mata semua orsng samasama
ditunjukan keatas tubuh Pek Siau-thian, mereka ingin
lihat tindakan apakah yang hendak dilakukan olehnya untuk
menyelesaikan persoalan ini.
Angin malam berhembus sepoi-sepoi menyiarkan bau amis
darah yang sangat memuakkan, obor yang menyala besar
memancarkan suara peletak yang membisingkan telinga,
mengacaukan ketegangan dan keheningan yang mencekam
seluruh lembah.
Pek Siau-thian berdiri tegak diatas meja dengan muka
merah bercahaya, tangan kanannya mengelus jenggot
sementara tangan kiri nya mercekal tanda perintah Hong-luileng
yang memancarkan cahaya keemasan.
sepasang matanya yang memancarkan cahaya tajam
perlahan-lahan bergeser kekiri dan kekanans.
Setelah memandang sekejap ke arah sisa laskar
perkumpulan Hong-im-hwie, ia mengawasi pula kelompok

manusia aneh yang berbadan seperti setan itu, pikirnya
didalam hati, “Mungkin kelompok manusia ini terdiri dari
manusia-manusia yang telah lama mengasingkan diri dan baru
saja terjun kembali kedalam dunia persilatan, dipandang dari
ketenangannya yang menyerupai bukit karang, seakan-akan
tak pandang sebelah matapun terhadap pertumpahan darah
yang sudah terjadi, bisa dibayangkan kalau pemimpin mereka
pas tilah merupakan seorang jago yang benar-benar luar biasa
sekali.
Setelah berhenti sebentar, ia berpikir lebih jauh.
“Kesempurnaan dalam hal ilmu silat yang diutarakan adalah
bukti kenyataan, tak mungkin ilmu itu langsung datang dari
langit, meskipun jumlah kelompok manusia aneh itu ada
seratus orang lebih, jika dianggap sepatuhnya merupakan jago
lihay dan separuhnya lagi jago berkepandaia biasa, itupun
jumlahnya baru beberapa puluh orang belaka, apalagi
manusia super sakti dalam seratus tahun paling banyak satu
dua orang belaka dan itupun kalau aneh dari sini bisa kutarik
kesimpulan bahwa sekalipun kedatangan mereka agak
mendadak toh tak mungkin bisa membendung serbuan kilat
dari jago-jago perkumpulan Sin-kie-pang yang kuhimpun
selama hampir dua puluh ta nun lamanya….”
Setelah berpikir pulang pergi beberapa saat lamanya, ia
merasa bahwa kehadiran kelompok manusia aneh tersebut
bukan merupakan suatu ancaman yang serius.
Sorot matanya segera dialihkan ke arah kelompok para
pendekar.
Selama dua hari ini secara beruntun Hoa Hujin telah
membinasakan Bu Liang Sinkun, Hian Leng cu dan Cing Leng
cu tliga orang.

Ketiga orang jago lihay itu rata-rata memiliki tenaga dalam
sebesar enam puluh tahun hasil latihan, kehebatan ilmu silat
mereka pun masing-masing memiliki keistimewaannya
masing-masing dan kematangannya telah mencapai p da taraf
tiada kelemahan lagi.
Jika Hoa Hujin ingin mencari kemenangan dengan andalkan
jurus serangan, maka walaupun bertempur selama tiga hari
tiga malam jangan harap bisa robohkan tiga orang itu
sekaligus.
Perempuan sakti itu berhasil membinasakan tiga orang
lawan tangguhnya, kesemuanya itu mengandalkan tenaga
kekerasan yang disebut siasat satu tenaga menundukkan
sepuluh kumpulan, dengan hawa murni yang sargat kuat,
sangat beracun dan sangat bebat hingga tiada tandingan ia
cabut nyawa ketiga orang itu dengan kekerasan.
Tapi setelah tiga orang itu mati, seluruh tenaga dalam yang
dilatih Hoa Hujin dengan susah payah dalam gua kunopun
ludas tak berbekas, kini ia tinggal bawah dasar yang tak
berguna, bukan saja ilmu silatnya punah bahkan luka dalam
yang ia deritapun kambuh lagi, tubuhnya jauh lebih lemah dari
orang lain dan tentu saja tak mungkin bisa bergebrak lagi
melawan orang lain.
Kecuali Hoa Hujin seorang, tak ada manusia lain yang
ditakuti oleh Pek Siau-thian lagi, sorot matanya segera
dialihkan kesisi kiri.
Tiba-tiba ia ingat bahwa istrinya yang cantik dan kini sudah
menjadi pendeta masih berdiri serius dihadapannya, kehadiran
perempuan itu telah menghalangi daya pandangannya.
Pek Siau-thian segera mendehem ringan, setelah
menenangkan hatinya, ia memberi hormat dan berkata sambil

tersenyum, “Hujin harap beristirahatlah kesamping, setelah
kuselesaikan semua masalah di sini segera kutemani engkau
untuk bercakap-cakap”
Kho Hong-bwee mendengus, lalu berkata dengan nada
tawar, “Ini hari engkau berhasil rebut kemenangan total,
seharusnya hatimu sudah merasa sangat puas bukan? masih
ada persoalan apa lagi yang hendak kau selesaikan sendiri?”
Walaupun perempuan itu sudah berusia setengah baya,
tapi berhubung tenaga dalam yang dilatih olehnya mempunyai
daya untuk awet muda, maka walaupun sekarang sudah lanjut
usia dan mengenakan pakaian pendeta yang longgar, akan
tetapi sama sekali tidak mengurangi kecantikan wajahnya
sebagai perempuan yang paling cantik sekolong langit dimasa
silam.
Sementara itu Pek Siau-thian terperangah, kemudian sambil
memberi hormat, katanya, “Hujin, engkau sudah lama
meninggalkan kedamaian dunia, aku rasa pekerjaan yang
kulakukan ini pasti akan menjemukan hati mu, menurut
penglihatanku alangkah baiknya kalau hujin jangan turut
campur dalam urusan dunia persilatan.”
Kho Hong-bwee mengernyiikan sepasang alisnya, dengan
sorot mata yang tajam ia melirik sekejap ke arah suaminya,
kemudian menjawab dengan suara dingin, “Sudah belasan
tahun lamanya kita tak pernah berjumpa muka, dalam
pertemuan kali ini ternyata engkau lebih memberatkan segala
tata cara yang tetek bengek, aku rasa tindakanmu ini
disebabkan karena kau berada dihadapan anak buahmu
sehingga berharap agar aku suka memberi muka kepada mu
daripada mengurangi wibawa dan gengsimu, bukan begitu
maksudmu?”

Paras muka Pek Siau-thian berubah hebat tapi hanya
sebentar saja ia telah jadi tenang kembali seperti sedia kala,
sambil tersenyum ia berkata, “Meskipun Sau Tha adalah
manusia persilatan yang kasar sedang hujin adalah seorang
manusia terpelajar yang menguasai segala bentuk tata
kesopanan tapi sejak kita menikah sekalipun pernah terjadi
sedikit kesalah pahaman namun selama ini kita saling hormat
menghormati sejak kapan Sau tha bersikap kurang hormat
kepadamu?”
Sau tha adalah nama kecil dari Pek Siau-thian yang cuma
diketahui oleh Kho Hong-bwee seorang.
Terdengar perempuan cantik itu berseru, “Kalau memang
begitu aku ingin menanyakan beberapa persoalan kepadamu!”
“Apa yang ingin hujin tanyakan? asal Sau tha mengerti
pasti akan kuterangkan hingga jelas!”
“Siapakah yang mendirikan perkumpulan Sin-kie-pang ini?”
Pek Siau-thian tertawa.
“Kita suami istri yang bekerja sama untuk mendirikan
perkumpulan ini”
“Jadi kalau begitu dalam masalah besar yang menyangkut
persoalan perkumpulan, aku punya hak untuk ikut
membicarakannya bukan?”
Pek Siau-thian agak tersipu-sipu dengan paras merah
padam ia tertawa dan mengangguk.
“Tentu saja kita sudah bersumpah untuk sehidup semati,
ada rejeki dinikmati bersama ada bencana ditanggulangi
berbareng”

Kho Hong-bwee segera ulapkan tamannya mencegah pria
itu berbicara lebih jauh, selanya, “Pembicaraan diatas
pembaringan lebih baik tak usah diungkap lagi dalam saat
seperti ini aku hanya ingin tahu bagaimana caramu untuk
menyelesaikaa persoalan yang terjadi pada saat ini?”
Pek Siau-thian tersenyum.
“Usaha dan perjuangan kita setengah abad lamanya bukan
cuma bertujuan untuk menangkan pertarungan yang terjadi
pada saat ini kita mempunyai tujuan jauh lebih kedepan….”
Sesudah berhenti sebentar, ia melanjutkan, “Apakah
engkau masih ingat? ketika kita mendirikan perkumpulan Sinkie-
pang, kita telah berjanji untuk merajai seluruh kolong
langit, menggalang babak baru dalam dunia persilatan,
membuat suatu karya yang besar serta melaksanakan
kebaikan dan kebajikan bagi seluruh umat manusia….?”
Sekali lagi Kho Hong-bwee ulapkan tangannya, dia
menukas, “Waktu itu kita masih muda dan tak tahu urusan
ucapan yang takabur dan tak tahu diri seperti itu tak pantas
diutarakan keluar buat apa engkau selalu ingat dihati?”
00000O00000
57
RASA gusar terlintas diatas wajah Pek Siau-thian, serunya
dengan nada marah. Kesemuanya itu adalah harapan kita,
cita-cita yang kita susun sejak dahulu dan kini beruntung
sekali semua harapan kita menjadi kenyataan, dalam
pertemuan ini dunia persilatan telah memasuki babak baru,
bukankah itu berarti bahwa perjuangan dan usaha kita selama
ini telah mencapai pada hasilnya?

“Darimana engkau bisa berkata begitu?” sela Kho Hongbwee.
Pek Siau-thian berhenti sebentar, kemudian berkata lebih
jauh, “Mulai saat ini, barang siapa menyoren pedang maka itu
berarti bahwa dia adalah anggota perkumpulan Sin-kie-pang,
bukankah itu berarti bahwa dunia persilatan telah bersatu
dibawah perintah kita.”
“Bagaimana dengan orang-orang itu?” tanya Kho Hongbwee
sambil menuding ke arah orang-orang yang berada
didalam barak, “apakah mereka juga merupakan anak buah
dari perkumpulan Sin-kie-pang?”
“Semut merupakan binatang terkecilpun ingin hidup apalagi
minusia-manusia yang baru lolos dari kematian, aku rasa
mereka akan jadi seorang manusia yang tahu diri”
Kho Hong-bwee tertawa terkekeh.
“Jadi maksudmu, andaikata mereka tak mau takluk kepada
perkumpulan Sin-kie-pang, maka itu berarti hanya ada satu
jalan kematian saja bagi mereka?”
“Benar! kecuali ditumpas sama sekali, aku rasa tiada jalan
lain yang bisa dilakukan!”
Kho Hong-bwee kembali tertawa.
“Andaikata semua orang telah menjadi anggota
perkumpulan Sin-kie-pang, bukankah itu berarti perkumpulan
Sin-kie-pang sudah tiada tandingannya lagi?”
Perempuan itu betul-betul cantik sekali, meskipun hanya
tertawa namun sudah cukup memancarkan daya tarik dan

daya pesona yang luar biasa, membuat siapapun serasa
terpikat hatinya.
Pek Siau-thian sudan lama tak menyaksikan senyuman dari
istri-nya, sekarang ia merasa tertegun dan berdiri melongo,
dalam keadaan demikian tentu saja ia tak dapat menangkap
arti yang sebenarnya dari perkataan itu.
Terdengar Kho Hong-bwee berkata lebih jauh, “Inilah hasil
pengetahuan yang berhasil kutemukan selama belasan tahun
menyucikan diri ditempat terpencil, engkau adalah seorang
manusia yang berambisi besar dan gemar cari pahala,
sekalipun pelaja ran semacam ini dimengerti olehmu, namun
engkau tak dapat menerimanya dengan begitu saja”
“Kita toh suami istri yang saling cinta mencintai” tukas Pek
Siau-thian dengan cepat, ada persoalan apapun bisa kita
bicarakan secara perlahan-lahan, meskipun Sau Tha bodoh
dan tidak cerdas, namun aku bersedia menuruti keinginan
hatimu.
Kho Hong-bwee tersenyum simpul.
“Kita adalah orang tua yang sudah mempunyai anak
dewasa, ucapan yang manis serta cumbu rayu yang tak
berguna lebih baik tak usah dibicarakan lagi”
Pek Siau-thian terperangah.
“Sebenarnya apa maksudmu?” ia bertanya.
Kho Hong putar biji matanya yang jeli dan memandang
sekejap ratusan anggota perkumpulan Sin-kie-pang yang
berjajar dihadapannya kemudian dengan santai berkata,
“Perkumpulan Sin-kie-pang didirikan bersama oleh kita
berdua, sudah lama aku mengasingkan diri dan keramaian

dunia sedang engkau sudah menguasai perkumpulan ini
selama belasan tahun lamanya sepantasnya kalau sekarang
engkau memberi kesempatan kepadaku untuk memegang
kekuasaan dalam perkumpulan ini dan memimpinnya secara
muttak selama beberapa lama”
Mula-mula Pek Siau-thian terperangah kemudian menyadari
apa yang dimaksudkan, ia tahu istrinya datang dengan
membawa tujuan tertentu walaupun diluar bicara amat
santai» dalam tujuannya benar-benar serius.
Jago tua ini dibikin serba salah tak tahu apa yang musti
dilakukan olehnya, ia takut wibawa dan gengsinya berkurang
di hadapan ratusan orang anggota perkumpulannya, setelah
berpikir sebentar akhirnya ia memberi hormat dan berkata
dengan serius.
Hong Bwee, bagaimanapun juga kita pernah jadi suami
istri, meskipun aku tak becus tapi belum pernah ada niat
melukai hatimu, ini hari adalah saat yang paling penting bagi
kita untuk menentukan kemenangan atau kekalahan,
janganlah disebabkan urusan rumah tangga mengakibatkan
urusan perkumpulan jadi terbengkalai hingga menghancurkan
masa depan sendiri.
Kho Hong-bwee gelengkan kepalanya, dengan tegas ia
berseru, “Perkumpulan Sin-kie-pang didirikan oleh kita berdua,
urusan perkumpulan maupun urusan rumah tangga boleh
dijadikan satu!”
Paras muka Pek Sian Thian yang berwarna merah seketika
berubah jadi hijau membesi, serunya, “Hong Bwee,
perbuatanmu ini apakah tidak kelewat batas? dengan
tinadakanmu semacam itu, engkau letakkan diriku pada posisi
yang bagaimana?”

“Ikutilah perbuatan yang telah kulakukan selama ini,
serahkan tanda perintah Hong-lui-leng kepadaku, lepaskan
tanggung jawab mu atas perkumpulan ini dan pilihlah tempat
yang kecil dan tenang untuk belajar agama ataupun falsafah,
terserah apa kemauanmu dan apa kegemaranmu, pokoknya
yang penting adalah umuk mempelajari ilmu un tuk
menguasai diri dan merenungkan kembali semua perbuatan
yang telah dilakukan selama ini, lima belas tahun kemudian
engkau boleh muncul kembali dan perkumpulan Sin-kie-pang
akan kuserahkan kembali kepadamu.
Mendengar perkataan itu, dalam hati kecilnya Pek Siauthian
segera berpikir, “Susunan kata-katanya begitu teratur
dan lancar, perkataan itiupun diutarakan secara rapi, jelas ia
sudah lama memikirkan masalah ini dan merercanakan sebaikbaiknya….”
Selama suami istri itu ribut sendiri, beratus-ratus orang
yang hadir disitu hanya membungkam sambil mengikuti
dengan seksama, lembah Cu-bu-kok yang begitu luas jadi sepi
dan tak kedengaran sedikit suarapun.
Haruslah diketahui pada waktu itu kekuatan dari
perkumpulan Thong-thian-kauw, Hong-im-hwie maupun
golongan pendekar boleh dibilang sudah hancur berantakan
sama sekali, dalam keadaan begitu mereka tak memiliki
kekuatan lagi untuk membendung ataupun melawan kekuatan
perkumpulan Sin-kie-pang yang kuat dan dahsyat, andaikata
Pek Siau-thian turunkan perintah untnk membantai semua
orang yang masih tersisa dalam lembah itu, maka orang-orang
itu tak akan memiliki kemungkinan untuk hidup lebih jauh.
Oleh sebab itulah perselisihan paham antara suami istri itu
bukan saja mempengaruhi kelangsungan hidup perkumpulan
Sin-kie-pang pribadi, bahkan sangat mempengaruhi juga nasib
dan kesempatan hidup bagi umat persilatan lainnya.

Posisi Pek Siau-thian pada saat itu benar-benar terdesak
dan dibuat apa boleh buat, hawa amarah yang memuncak
membakar hatinya, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa, sebab
tindakan yang terlalu berangasan dan tanpa perhitungan yang
masak akan mengakibatkan lelucon yang bakal di tertawakan
orang.
Otaknya segera berputar kencang untuk mencari akal
bagus guna mengatasi masalah itu, sementara diluaran ia
berkata, “Perkumpulan Sin-kie-pang dirikan bersama oleh kita
berdua, semua anggota goan loo mengetahui akan persoalan
ini, sebenarnya memang tak jadi soal kalau pucuk pimpinan
perkumpulan ini kuserahkan kepadamu, tapi engkau toh
seorang perempuan, andaikata engkau yang menjadi
pimpinan, aku kuatir para anggota perkumpulan ada yang tak
mau tunduk kepadamu”
Kho Hong hwee berdiam diri sebentar, sedang dalam hati
kecilnya ia berpikir, “Andaikata pada saat ini aku tak mampu
untuk merebut kekuasaan tertinggi itu maka satu-satunya
jalan yang harus kutempuh adalah memancing perpecahan
dalam tubuh perkumpulan tersebut hingga terjadinya
penghianatan diantara para anggota, bagaimanapun juga aku
harus berhasil membubarkan perkumpulan ini, darimana
kejahatan mereka sudah mengakar daging dan mendatangkan
banyak bencana serta malapetakan bagi umat persilatan….”
Berpikir sampai disint, dengan suara dingin ia lantas
berkata, “Kun Gie pernah berkata kepadaku, setelah engkau
mati maka kekuasaan tertinggi dari perkumpulan Sin-kie-pang
akan diserahkan kepadanya, benarkah ucapan itu?”
Pek Siau-thian mengerutkan dahinya rapat-rapat.
“Tentang soal ini sulit sekali untuk dilakukan”

“Seandainya bukan putrimu yang meneruskan kedudukan
tersebut lalu apa gunanya engkau mendirikan dan
membangun perkumpulan itu hingga begini besar dan
megahnya.
“Andaikata Kun Gie punyai kemampuan untuk memimpin
dan dihormati oleh setiap anggota perkumpulannya tentu saja
kedudukan ini akan kuserahkan kepadanya kalau tidak maka
terpaksa aku mencari ahli waris yang lain.”
Tidak menunggu ia menyelesaikan kata-katanya, Kho
Hong-bwee segera menukas dengan cepat, “Kalau memang
begitu tak usah dibicarakan lagi, kalau memang Kun Gie dapat
menduduki kursi kebesaran tersebut untuk memimpin
perkumpulan apa bedanya antara pria dan wanita? setelah ia
diangkat sebagai ketua siapa yang berani membangkang
perintahnya lagi? dan lagi toh kita punya hubungan suami istri
siapa tak tunduk kepadaku, berarti tidak setia kepadamu, aku
rasa lebih baik serahkan saja kekuasaanmu itu dengan lega
hati.”
Hawa amarah membakar dalam dada Pek Siau-thian, ia
tahu jika perselisihan ini di lanjutkan maka akhirnya yang rugi
dia sendiri, maka dengan muka masam serunya, “Hong Bwee,
engkau bukanlah seorang perempuan yang bodoh,
sepantasnya kalau engkau lebih mementingkan kepentingan
umum!”
“Andaikata aku tidak mementingkan kepentingan umum
dan mengingat bahwa masalah ini adalah masalah besar,
akupun segan untuk berjumpa lagi dengan dirimu.”
Pek Siau-thian jadi amat gusar, nafsu membunuh
menyelimuti wajahnya, dengan gemas ia berkata, “Apabila aku

tak sudi menyerahkan kekuasaan ini kepadamu engkau mau
apa?”
“Kalau aku tetap bersikeras akan merebut kursi pimpinan
tersebut, engkau mau apa?” balas Kho Hong-bwee dengan
ketus
Pek Siau-thian makin mendongkol, ia tertawa dingin tiada
hentinya.
“Heehh…. heehh…. heehh….! apabila engkau benar-benar
tak tahu diri, terpaksa aku akan putuskan semua hubungan
diantara kita dan mencabut selembar jiwamu”
Kho Hong-bwee balas tertawa dingin.
“Heeehhh…. heeeehh…. heeehh…. aku ingin bertanya
kepadamu diantara anak buah perkumpulan Sin-kie-pang
apakah ada yang bersedia mewakili dirimu untuk turun tangan
tergebrak melawan aku?”
Mendengar perkataan itu Pek Siau-thian terperangah tanpa
sadar ia berpaling dan memandang sekejap ke arah anggota
perkumpulannya kemudian pikirnya didalam hati, “Andaikata
aku Pek Siau-thian memerintahkan anak buahku untuk
membunuh istri, perbuatanku ini pasti akan tercemoh orang
dan dibuat sebagai suatu lelucon. Heeehhhh…. heeehh….
heeehhh…. keadaanku betul-betul payah sekali”
Ia mengaggap dirinya sebagai seorang pendekar sejati
dengan sendirinya sebagai seorang pendekar tidak pantas
kalau ia suruh anak buahnya untuk nembunuh istri sendiri.
Tapi pikiran lain segera berkecambuk pula dalam benaknya,
ilmu silat yang dimiliki Kho Hong-bwee seimbang dengan
dirinya walaupun selama belasan tahun terakhir ia terlatih

tekun sehingga ilmu silatnya memperoleh kemajuan yang
pesat, namun Kho Hong-bwee yang telah jadi pendeta tak
mungkin mengesampingkan soal kepanodaiannya, itu berarti
walaupun ada selisih, itu kecil sekail.
Dalam hati ia berpikir kembali.
Aku pernah bertanya kepada Kun Gie kakak beradik,
mereka berdua samai tak pernah melihat ibunya berlatih silat,
kalau di tinjau dari kemampuan Soh-gie yang begitu tak
becus, rasanya ilmu silat yang dimiliki ibunya tak akan
mencapai kehebatan yang luar biasa….
Berpikir sampai disitu, hawa amarah yang berkobar dalam
dadanya mereda separuh bagian, mukanya segara berubah
jadi membesi dengan memperlihatkan kewibawaannya
sebagai seorang suami, serunya kepada Kho Hong-bwee
dengan suara dingin, “Hong Bwee, aku telah mengambil
keputusan yang tegas, meskipun kita suami istri berdua telah
lama saling mencintai tapi aku tak akan mengesampingkan
soal umum karena masalah pribadi, aku rasa lebih baik
beristirahat dahulu kesamping nanti aku akan meminta maaf
padamu,” ia berpaling kesamping dan segera membentak,
“Soh-gie, Kun Gie bawalah ibumu untuk beristirahat dahulu
didalam barak”
Pek Soh-gie maupun Pek Kun-gie yang mendengar
perkataan itu sama-sama alihkan sorot matanya ke arah ibu
mereka namun kedua orang itu tetap berdiri tegak ditempat
semula tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Kho Hong-bwee tertawa dingin, tiba-tiba ia serahkan
senjata Hud tim didalam gengga-mannya kepada Kun Gie lalu
kepada Pek Siau-thian bentaknya dengan suara dalam.

“Dalam peristiwa yang terjadi pada saat ini, aku rasa tak
mungkin bisa diselesaikan dengan bersilat lidah belaka, lebih
baik kita tentukan siapa kuat siapa lemah dalam adu
kepandaian, siapa lebih unggul dialah yang berhak menduduki
kursi pimpinan!”
Pek Siau-thian merasa amat gusar.
“Engkau benar-benar akan bertempur melawan diriku?”
bentaknya.
“Hmmm! kalau engkau tak mau undirkan diri, terpaksa aku
harus menyelesaikan masalah ini lewat adu kepandaian!”
“Pertarungan yang diakhiri setelah saling menutul ataukah
bertarung sampai salah seorang diantaranya mampus?” teriak
Pek Siau-thian gemas.
“Aku belum akan berakhir jika kemenangan belum sampai
jatuh ketanganku, engkau toh seorang pria sejati, kalah satu
jurus atau setengah gerakan sudah pantas untuk mengaku
kalah sedang aku sebelum mati aku tak akan mengaku kalah”
“Jadi engkau bersikeras untuk mencari kematian?” seru Pek
Siau-thian dengan menggigit bibir.
“Susah untuk dikatakan, andaikata beruntung aku bisa
menangkan setengah jurus atau satu gerakan darimu
bukankah kita dapat hidup lebih jauh?”
Pek Siau-thian menggigit bibirnya hingga berbunyi
gemerutuk, setelah keadaan berubah jadi begini maka
pertarungan antara suami istripun tak bisa dihindari lagi.
Kalau Kho Hong-bwee lebih mengutamakan kenyataan
yakni asal dapat menutulkan pukulannya berarti menang,

maka Pek Siau-thian harus merobohkan perempuan itu hingga
tak mampu bertempur lagi baru bisa di anggap menang,
kejadian itu kalau dipikir kembali sebenarnya memang tidak
adil.
Tapi Pek Siau-thian adalah seorang jago persilatan yang
memimpin kolong langit, berada dibawah pandangan banyak
orang tentu saja ia merasa segan untuk menawar syarat yang
diajukkan istrinya, sebaliknya asal ia kena di menangkan
setengah gebrakan saja itu berati jerih payahnya selama ini
serta masa depannya akan hancur dengan begitu saja.
Jadi kalau dibicarakan sesungguhnya maka pertarungan ini
mempanyai sangkut paut yang amat sakit dan perih sekali.
Teringat kembali olehnya, sewaktu suami istri tak akur dan
Kho Hong-bwee pergi dengan hati mendoogkol, kesemuanya
itu dikarenakan perempuan tersebut merasa sangat tak puas
dengan tindak tanduknya yang kejam dan telengas.
Kecuali itu, Kho Hong-bwee sama sekali tak ada tindakan
yang dikatakan kelewat batas, ia amat mencintai istrinya yang
cantik, dalam pandangannya asal suatu hari ia berbasil
menduduki kursi pimpinan tertinggi di kolong langit dan
semua orang yang belajar silat tunduk pada komandonya,
maka pada saat itu istrinya yang ia cintai pasti akan berubah
pikiran dan kembali kedalam pangkuannrya.
Haruslah diketahui, pada waktu itu Pek Siau-thian baru
setengah umur dan cinta asmaranya belum paham, sedang
Khbo Hong Bwee baru berusia tiga puluh tahunan,
kecantikannya belum luntur dan cintanya belum padam, Pek
Siau-thian belum pernah dapat melupakan cinta kasihnya
dengan perempuan itu dan sifatnya itu memang jamak
sebagai seorang pria yang normal.

Tetapi, berada dalam keadaan seperti ini, Pek Siau-thian
merasa tak rela untuk mengundurkan diri dengan begitu saja,
kalau ia tidak ingin roboh maka satu-satunya jalan adalah
berusaha merobohkan istrinya dengan ilmu sebangsa totokan,
agar perempuan itu tak dapat bertempur lagi, atau jika cara
ini tak bisa digunakan, terpaksa harus membinasakan jiwanya.
Pek Siau-thian putar otak habis-habisan berusaha untuk
menemukan jalan yang paling baik, akhirnya dia menghela
nafas panjang dan bergerak kehadapan Pek Soh-gie, katanya,
“Peganglah tanda perintah Hong-lui-leng ini, setelah benda itu
berada ditanganmu berarti pula engkaulah yang memegang
tampuk pimpinan dalam perkumpulan Sin-kie-pang!”
Dengan lembut Pek Soh Gi mengangguk, ia sambut panji
terbuat dari benang emas itu dengan sepasang tangannya,
kemudian dipegang dalam pelukannya.
Gadis ini berwatak lembut dan baik hati ia tak kenal
kejelekan orang dalam kolong langit, dalam perselisihan yang
terjadi antara ayah dan ibunya, iapun tak tahu siapa yang
salah siapa yang benar, gadis itu hanya bisa melelehkan air
mata belaka.
Pek Siau-thian melirik sekejap ke arah putri sulungnya,
kemudian berpikir dalam hati, “Andaikata aku kalah, tentu saja
aku harus angkat kaki dan jauh meninggalkan tempat ini,
selamanya tak bisa berjumpa muka lagi dengan mereka
semua, sebaliknya kalau aku binasakan ibunya, sekalipun
gadis ini berhati luhur, tak urung diapun akan membenci diriku
sepanjang masa….”
Sorot matanya melirik kembali ke arah putri bungsunya,
lalu berpikir lebih jauh, “Tak nyana budak itu berhasil lolos
dari kematian, mungkin sewaktu tubuhnya jatuh kedalam
jurang kebetulan berhasil disambut oleh ibunya….

Heeh…. heeh…. heeehh…. budak itu mampunyai perasaan
hati yang tak berbeda dengan diriku, ia pasti tak akan
memperdulikan mati hidupku….”
Berpikir sampai disitu, ia segbera menyingkap pakaiannya
dan mengencangkan tali pinggang, lalu selangkah demi
selangkah berjalan menuju ketengah gelanggang.
Orang-orang perkumpulan Sin-kie-pang yang menyaksikan
ketuanya akan bertarung melawan istrinya dengan cepat
daerah sekitar sana dibersihkan dari mayat.
Pek Siau-thian dan Kho Hong-bwee segera terjun kedalam
gelanggang dan berdiri saling berhadapan, masig-masing
pihak memasang kuda-kuda dan siap bertempur.
Pertarungan yang bakal berlangsung pada saat ini jauh
berbeda dengan pertempuran pada umumnya, kedua belah
pibak tidak saling menerjang dengan kekasaran, mereka
bersikap waspada dan tetap saling menanti.
Seluruh perhatian dipusatkan jadi satu, tenaga dalam
dihimpun kedalam telapak dan tubuh merekapun mulai
bergeser ke arah samping.
Suami istri ini sama-sama merupakan jago lihay,
pergeseran tubuh mereka kian lama kian bertambah cepat,
sampai akhirnya bayangan tubuh mereka sudah lenyap tak
berbekas yang tersisa di gelanggang hanya bekas-bekas
telapak kaki yang samar.
Ujung kaki kedua orang itu sama-sama menuntul diatas
permukaan tanah yang penuh genangan darah, namun tak
kedengaran sedikit suarapun, darah yang kena terinjak sama

sekali tak berkutik, seakan-akan tak pernah ada orang yang
lewat situ.
Lembah Cu-bu-kok yang luas dan lebar seakan-akan jadi
sebuah lembah yang mati, tak kedengaran sedikit suarapua,
beratus-ratus pa sang mata sama-sama ditujukan ketengah
gelanggang tanpa berkedip barang sedikitpun juga.
Walaupun sudah berlarian beberapa saat lamanya, kedua
belah pihak tak ada yang berani turun tangan, mereka takut
kehilangan posisi yang menguntungkan sehingga
mengakibatkan kekalahan fatal.
Sambil berlarian mengelilingi arena, diam-diam Pek Siauthian
berpikir dalam hatinya, “Nama besarku sudah
menggegarkan seluruh kolong langit, jika aku harus tunjukkan
kelemahan dihadapan istri sendiri, bukankah tin-dakanku ini
akan ditertawakan orang….?”
Ingatan tersebut laksana kilat berkelebat dalam benaknya,
dengan cepat ia mengambil keputusan, telapak kirinya
berputar melindungi badan sedangkan kedua jari tengahn dan
telunjuk tangan kanannya tiba-tiba melepaskan serangan
tajam.
Terdengar Kho Hong-bwee membentak nyaring, tangan
kirinya ditebas kebawah membabat pergelangan musuh,
tangan kanannya menyapu kedepan dan laksana kilat
melancarkan satu pukulan balasan.
Buru-buru Pek Siau-thian merubah gerakan, tangan kanan
menahan serangan lawan dengan gerakan Siang ji bu pit atau
bersatu padu melindungi dinding, sedang tangan kanan
melancarkan serangan dengan Jurus ciong ing po loh atau
burung elang menyambar kelinci, kakinya menyapu keatas
dan menyerang lutut Kho Hong-bwee secara tiba-tiba.

Ketiga jurus serangan itu dilancarkan berbareng dengan
kecepatan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata, jikalau
seseorang tak memiliki ilmu silat yang tinggi serta tenaga
dalam sebesar puluhan tahun hasil latihan tak mungkin
serangan itu dapat dibendung.
Tapi Kho Hong-bwee berhasil merebut posisi yang lebih
menguntungkan, jurus serangannya segera berubah dan
memunahkan ke tiga jurus serangan dari Pek Siau-thian itu
hingga lenyap tak berbekas, telapak dan jari menyerang
berbareng secepat kilat ia lancarkan serangan balasan.
Dalam waktu singkat Kho Hong-bwee telah melancarkan
dua tiga puluh jurus serangan, kedua tiga puluh serangan itu
dilancarkan bagaikan hembusan angin puyuh dan hujan badai,
Pek Siau-thian yang kehilangan posisi dengan cepat
mengerahkan segenap kekuatannya untuk mempertahankan
diri, namun ia selalu gagal untuk merebut kembali posisi yang
lebih menguntungkan.
Inilah siasat musuh tak bergerak aku tak bergerak, musuh
bergerak aku bergerak lebih dahulu.
Pek Siau-thian adalah seorang pria yang berpandangan
luas, ia tahu sekalipun sekarang dirinya diserang habishabisan,
tapi suatu ketika ia akan mendapat kesempatan baik
untuk rebut kemenangan.
Beberapa saat kemudian, kedua orang itu sudah saling
bergebrak hingga mencapai lima enam puluh gebrakan lebih,
kedua belah pihak sama-sama mengerahkan segenap
kemampuannya untuk merobohkan lawan, setiap jurus
pertama belum selesai jurus berikutnya segera menyambung

lebih jauh, pukulan berantai dilepaskan berkesambungan
hingga sukar ditemukan mana kepala mana ekornya….
Para penonton jalannya pertarungan itu sama-sama merasa
terkejut bercampur kagum, serangan berantai dari Kho Hongbwee
susul menyusul bagaikan hujan badai yang melanda
permukaan bumi, tiada lubang kelemahan yang ditinggalkan,
sedangkan Pek Siau-thian sendiri meskipun kehilangan posisi
yang menguntungkan namun dengan sepenuh tenaganya ia
mampu membendung datangnya lima enam puluh serangan
tanpa ada tanda-tanda bakal menderita kalah.
Jurus serangan yang dimiliki kedua orang itu sama-sama
ampuh dan cepatnya perubahan yang dilakukan boleh dibilang
teah mencapai taraf yang sukar diungkapkan dengan katakata.
Para penonton yang ada disamping arena mulai merasakan
pandanngannya jadi kabur dan setiap gerakan sukar diikuti
dengan seksama sebagian besar jago persilatan yang
mengikuti jalannya pertarungan itu hanya merasakan seakanakan
menyaksikan sesosok bayangan manusia yang saling
berputar dengan kecepatan bagaikan kilat, lengan mereka
berdua saling menyambar kesana kemari dan sama sekali
tidak menemukan keindahan ataupun keampuan dari masingmasing
gerakan.
Sebaliknya mereka yang memiliki kepandaian yang agak
tinggi, walaupun mengikuti separuh bagian yang atas namun
separuh bagian yang bawah tertinggal jauh, setelah lama
mengikuti jalannya pertarungan mulai merasakan
pandangannya kabur, kepalanya pening dan pandangan
dihadapannya sama sekali jadi samar.
Diantara beberapa ratus orang jago itu hanya ada beberapa
orang saja yang dapat mengikuti semua jalannya pertarungan

dengan seksama, tapi berhubung jarak yang terlampau jauh,
penglihatan merekapun terhitung payah sekali.
Anggota perkumpulan Sin-kie-pang sebagian besat hanya
tahu kalau ilmu silat yang dimiliki pangcunya lihay sekali, tapi
mereka tak tahu sampat dimana taraf kelihayan ilmu silat dari
Pek Siau-thian, terutama sekali kelihayan dari Kho Hong-bwee,
kebanyakan orang merasa banwa peristwa ini benar-benar
ada diluar dugaan.
Beberapa saat kemudian, kedua orang itu sudah saling
bergebrak hingga mencapai ratusan jurus banyaknya, Kho
Hong-bwee selalu memimpin pertarungan itu dan sedikit pun
tidak nampak terdesak.
Dalam pada itu, Pek Siau-thian sudah kehabisan tenaga
dan mandi keringat, luka ledakan yang dideiitanya akibat
pecahan kotak emas milik Siang Tang Lay merekah kembali
dan terasa amat sakit, kendatipun luka yang diderita olehnya
cuma luka terbakar belaka dan sudah dibungkus dengan
bubuk obat.
Dalam pertarungan yang adu cepat dan adu kegesitan ini
sedikit banyak luka-luka yang perih sakit dan panas
merupakan gangguan yang paling besar lama kelamaan
perasaan sakit itu berubah jadi suatu pukulan batin yang
sangat berat.
Pek Siau-thian merasa amat terperanjat, segenap tenaga
murni yang dimilikinya disalurkan lewat permainan jurus
serangan tersebut kian lama serangannya kian semangat ia
berusaha menyelesaikan pertarungan adu cepat ini sesingkat
mungkin.
Menghadapi pertarungan semacam ini, seseorang
membutuhkan konsentrasi yang baik dan tak boleh ada pikiran

lain jika pikiran nya sedikit bercabang saja maka segera akan
mengakibatkan kekalahan total.
Pek Siau-thian berpengalaman luas tentu saja mengerti
akan bahaya tersebut kecuali mengerahkan segenap kekuatan
untuk melakukan perlawanan otaknya berputar keras untuk
mencari akal guaa memecahkan persoalan itu.
Dalam pada itu, para jago persilatan ysng menonton
jalannya pertarungan mulai merasa tegang dan tercekat
perasaan hatinya, mereka tahu bahwa pertarungan itu akan
segera berakhir dan siapa menang siapa kalah akan segera
diketahui, masing-masing orang membelalakkan matanya
lebar-lebar, mereka menatap gerak-gerik dua orang itu tanpa
berkedip.
Tiba-tiba…. terdengar Kho Hong-bwee membentak nyaring,
sepasang telapaknya berputar kencang melancarkan serangan
berantai, ibaratnya panah yang berhamburan bagaikan hujan
gerimis, jubah pendetanya terungkap lebar, kakinya yang
ramping melepaskan tendangan demi tendangan dengan
kepandaian Kun It tui atau tendangan dibalik gaun.
Tubuhnya yang kecil ramping beterbangan diudara, kakinya
melayang dan meluncur tiada hentinya, tendangan-tendangan
berantai Kun It tui meluncur keluar bagaikan jebolnya
bendungan sungai.
Serangan berantai seperti itu berlangsung hampir lima
puluh gebrakan lebih, tubuh Kho Hong-bwee sama sekali tidak
menempel diatas permukaan tanah, seakan-akan beratusratus
buah tendangan berantai itu dilancarkan dalam satu
hembusan napas.
Dibawah gencetan serangan berantai yang lihay dan
bertubi-tubi itu, Pek Siau-thian dipaksa hingga terdesak hebat

dan kerepotan, untuk melindungi diri badannya mundur
kebelakang berulang kali sementara sambaran telapaknya
memancarkan angin pukulan menderu yang sangat
memekikkan telinga.
Tiba-tiba Pek Siau-thian membentak keras ditengah
bentakan badannya meluncur kedepan dan tinggalkan
permukaan tanah setinggi dua tiga depa dengan cepat ia
melesat beberapa tombak melewati lingkaran.
Para penonton dibikin makin tegang perhatiannya ditujukan
ketengah gelanggang dan jeritan kaget tiba-tiba bergema
memecahkan kesunyian.
Setelah berhasil berdiri tegak, Pek Siau-thian menatap
wajah istrinya dengan paras hijau membesi, kegusaran yang
membakar hatinya benar-benar sudah mencapai puncaknya.
Pertarungan yang barusan berlangsung merupakan
pertarungan sengit yang jarang ditemui dalam masa hidupnya
walaupun ia masih mampu untuk mempertahankan diri,
namun hasil dari pertarungan itu membuat ia bergidik
bercampur ngeri, dan selamanya perasaan tersebut sukar
dilupakan dari benaknya.
Kho Hong-bwee sendiri berdiri kurang lebih delapan
sembilan depa dari sisi arena, dadanya naik turun
bergelombang, napasnya tersengkal-sengkal dan keringat
membasahi tubuhnya, didalam pertarungan yang berlangsung
barusan ia telah kerahkan segenap kekuatan yang ia miliki,
tapi sayang usahanya menemui kegagalan dan akhirnya toh
Pek Siau-thian tak berhasil dirobohkan olehnya.
Kedua orang itu segera atur pernapasan untuk menekan
pergolakan darah dalam dada masing-masing. perselisihan
pendapat membuat sepasang suami istri ini terpaksa harus

melupakan cinta kasih antara mereka, membuat perasaan hati
mereka campur aduk tak karuan.
Tapi kedua orang itu mengerti bahwa perpisahan mereka
selama belasan tahun sama sekai tidak mengendurkan
semangat mereka untuk berlatih ilmu, bahkan kepandaian silat
masing-masing pihak berhasil mendapat kemajuan yang cukup
pesat, jika pertarungan ini dilanjutkan lebih jauh maka
siapapun tak akan merebut kemenangan.
Setelah sunyi beberapa saat, dengan suara dingin Kho
Hong-bwee berkata lagi, “Sau tha hunus senjata tajammu!”
Pek Siau Thiag mengerutkan dahinya, paras muka yang
telah tenang terlintas kembali hawa kegusaran yang amat
tebal, tegurnya, “Dendam permusuhan apakah yang terikat
kita berdua?”
“Tidak ada urusan dendam atau permusuhan, yang ada
cuma pengaruh iblis yang tebal, Pek Siau-thian semakin gusar.
“Aku adalah manusia kasar dari dunia sedangkan engkau
adalah dewi dari sorga, maaf aku tak bisa menangkap
perkataanmu yang mengandung arti dalam”
Kho Hong-bwee tertawa getir.
“Teringat ketika diraasa lampau kita punya cita-cita dan
tujuan yang sama”
“Benar,” tukas Pek Siau-thian, “kalau ada permulaan buat
apa ada ini hari?”
Kho Hong-bwee menghela napas panjang dengan sedihnya.

“Pada waktu itu kita masih muda dan tak banyak
pengalaman, jalan pemikiran kita pada waktu itu benar-benar
keliru besar”
“Hmmm!” dengus Pek Siau-thian penuh kegusaran,
“meskipun perkumpulan Sin-kie-pang memiliki anggota yang
berpuluh-puluh ribu banyaknya, tapi peraturan perkumpuaan
sangat ketat dan tujuan kita amat jelas, bukan saja tak pernah
membunuh pembesar untuk memberontak, kami pun tidak….”
Kho Hong-bwee ulapkan tangannya memotong ucapan
suaminya yang belum habis, katanya, “Aku ingin bertanya
kepadamu, anggota perkumpulan Sin-kie-pang yang
berjumlah ratusan ribu orang tak pernah menggerakan badan
mereka untuk bekerja, tak pernah menancam padi atau
gandum, kecuali bunuh orang, bakar rumah, menindas kaum
rakjat jelata tiada perbuatan lain yang lebih mulia, darimana
datangnya makanan, minuman serta pakaian bagi orangorang
itu?”
Pek Siau-thian mendengus dingin.
“Thian menciptakan manusia, ia pasti memberi kehidupan
bagi ciptaannya, engkau toh sudah belajar agama selama
beberapa lama, kenapa cuma urusan itupun tak tahu? padahal
setiap umat persilatan mengetahui akan soal ini, aku adalah
seorang ahli silat kasar dari dnnia persilatan, sedang engkau
adalah istriku, lebih baik kita tak usah membicarakan
persoalan itu lagi.”
“Kalau memang begitu, cabut senjatamu dan mari kita
lanjutkan pertarungan ini!”
“Sebenarnya apa maksudmu?” bentak Pek Siau-thian amat
gusar, “apakah engkau bersumpah tak akan hidup
berdampingan dengan diriku lagi….?”

“Oooh! itu sih tidak, aku hanya menginginkan kau serahkan
panji Hong-lui-leng kepadaku dan segera mengasingkan diri
dari dunia persilatan….!”
Setelah berhenti sebentar sambungnya lebih jauh, “Cuma,
kalau kau masih mempunyai rasa sayang terhadap istri, asal
kau bubarkan perkumpulan Sin-kie-pang dan menyatakan
mundur dari dunia persilatan, aku akan menemui engkau
untuk berpesiar keempat penjuru mencari dewa belajar ilmu
dan mencari kehidupan yang bahagia serta panjang usia.”
Mula-mula Pek Siau-thian terperangah kemudian satu
ingatan berkelebat dalam benaknya, ia bertpikir lebih jauh,
“Meskipun usulnya sangat bagus dan menyenangkan tapi aku
Pek Siau-thian masih muda dan memimpin dunia persilatan
adalah suatu jabatan yang mulia serta patut di banggakan,
kenapa aku harus melepaskan kesempatan yang sangat baik
untuk menguasai seluruh jagad ini untuk mencari pelajaran
dewa yang masih semu itu? bukankah semacam ini
merupakan suatu tindakan yang terlalu bodoh?”
Meskipun paras suaminya berubah tenang, sadarlah Kho
Hong-bwee ia mengalami masalah yang pelik dan sukar ambil
keputusan, segera ujarnya kembali.
“Rembulan setelah bulat akan menjadi lonjong, air setelah
penuh akan meluber nasib buruk yang menimpa perkumpulan
Hong Im bwee serta Thong-thian-kauw merupakan contoh
yang paling bagus, perkumpulan Sin-kie-pang beruntung bisa
utuh dan seluruh kejadian ini boleh dibilang merupakan satu
keuntungan yang luar biasa, jika engkau mundur dalam
keberhasilan maka nama harummu akan dikenang sepanjang
masa, dan tindakan ini merupakan suatu tindakan yang
cerdas!”

Terdengar Pek Kun-gie berseru pula dengan sedih.
“Ayah, perkataan dari ibu tak salah, marilah kita bersamasama
mengundurkan diri dari urusan dunia persilatan, cici dan
aku akan berbakti kepada ayah serta melayani dirimu hingga
akhir tua nanti”
“Semuda ini sudah harus pergi menunggu ajal, apakah
tindakan ini tidak terlalu awal?” bentak Pek Siau-thian penuh
kegusaran.
“Usia manusia sampai berapa ratus tahun? darimana
engkau bisa pastikan terlalu awal atau tidak?” kata Kho Hongbwee.
“Bagaimana dengan perkumpulan Sin-kie-pang?”
“Bagaimanapun toh mereka bukan anak cucumu, lebih baik
dibubarkan mulai sekarang saja!”
Pek Siau-thian tertawa dingin.
“Heehh…. heehh…. heehh…. apa kau anggap d ngan
dibubarkanya orang-orang itu dari ikatan perkumpulan, maka
perbuatan tersebut akan mendatangkan keberuntungan bagi
umat ma-nusia?”
Dalam hati Kho Hong-bwee segera berpikir, “Perkataan ini
benar juga, manusia-manusia itu bukanlah termasuk manusia
yang baik, kalau dilepaskan kedalam dunia persilatan mereka
pasti akan membuat banyak keonaran, tapi…. jika
perkumpulan Sin-kie-pang dibiarkan tetap merajai kolong
langit dan perbuatan mereka semena-mena maka lama
kelamaan gejala ini akan mengakibatkan rusaknya
masyarakat, pihak pendekar akan terbasmi dan selamanya tak
bisa bangkit kembali, bencana ini bukan saja amat besar

bahkan terlalu dalam, lebih baik aku usahakan sampai
perkumpulan ini buyar….”
Setelah mempertimbangkan untung ruginya, perempuan itu
segera mengambil keputusan, kepada Pek Siau-thian ia
berkata, “Hukum karma selamanya berlaku dalam dunia,
barang siapa berani melakukan kejahatan dia pasti akan
terima binasa, perkumpulan Sin-kie-pang kita dirikan bersama,
kita pula yang bubarkan bukankah begitu sudah layak?
biarkan mereka ambil langkah sendiri dalam menentukan garis
hidupnya, biarlah mereka mampus jika berani melakukan
kejahatan, setelah orang-orang itu lepas dari pengawasan
kita, toh berarti sudah bukan termasuk tanggung jawab kita
lagi….”
“Jadi kasarnya engkau suruh aku bubarkan hasil karya yang
kuperjuangkan dan ku usahakan mati-matian selama dua
puluh tahun ini dengan begitu saja?” seru Pek Siau-thian
ketus.
“Yaa…. bicara pulang pergi toh akhirnya engkau lebih
beratkan nama dan kedudukan daripada kemuliaan akhlak,
kalau memang begitu biar kita selesaikan saja masalah ini
dalam pertarungan adu jiwa!”
Perempuan itu tak banyak pikir lagi, ia loloskan sebilah
pedang lemas yang tipis dan ramping dari pinggangnya,
kemudian membentak keras, “Persoalan yang kita hadapi pada
saat ini tak mungkin dapat diselesaikan secara damai, itu
berarti hubungan suami istri kita berduapun ibaratnya pedang
ini”
Criing! ditengah dentingan nyaring, Kho Hong-bwee
getarkan pedang lemasnya sehingga ujung pedang seketika
putus beberaoa cun dan meluncur ke arah Pek Siau-thian
dengan kilatan cahaya perak.

Pek Siau-thian bukan orang lemah, ia ayun telapaknya
kedepan dan menjepit ujung pedang yang menyambar ke
arahnya dengan kedua jari tangannya, sementara paras
mukanya berubah jadi pucat kehijau-hijauan dan tak sedap
dipandang.
Para jago yang mengikuti jalannya peristiwa itu dari tepi
arena pun segera mengetahui bahwa suami istri dua orang itu
sudah ambil keputusan untuk menempuh jalan hidup yang
berbeda, dalam keadaan begini tak mungkin mereka bisa
diakurkan lagi, dan satu-satunya peristiwa yang bakal terjadi
hanyalah pertarungan sengit yang akan menentukan siapa
menang siapa kalah, siapa hidup siapa mati.
Setelah berhenti beberapa saat lamanya, Pek Siau-thian
masukkan kuntungan pedang dalam jepitan jarinya itu
kedalam saku, kemudian ia menyikap jubah dan loloskan pula
sebuah senjata tajam.
Senjata andalannya berupa sebuah tali panjang yang
terbuat dari otot naga, panjangnya satu tombak dua depa,
pada ujung sebelah kiri terkait sembilan lembar pisau tajam
berbentuk bulan sabit, sedang pada ujung lainnya terpasang
sembilan batang duri segi tiga yang amat beracun.
Delapan belas pisau tajam duri segi tiga itu tersebar
disepanjang tali otot tersebut, ada yang berselisih jarak
beberapa cun, ada pula yang berjarak delapan sampai
sembilan cun, nampak nya sangat tak beraturan dan tak tahu
apa kegunaannya.
Pek Siau-thian memegang sebilah pisau tajam diantaranya,
tanpa mengucapkan sepatah katapun ia tebas kedua belah
ujung senjatanya itu hingga putus beberapa depa, dengan
begitu senjata tersebut panjangnya makin menyusut hingga

tidak sampai satu tombak, pisau bulan sabit dan duri segi tiga
yang tergantung pada senjata itupun tinggal dua belas
batang.
Perbuatan ini dilakukan tentu saja dikarenakan Kho Hongbwee
telah mematahkan pula ujung pedangnya sehingga
senjata itu cacad, ia tak sudi mencari keuntungan dari utuhnya
senjata, karena itu senjata tajam miliknyapun dibikin Cacad
sendiri.
Para pendekar dari golongan lurus yang menyaksikan
kejadian itu diam-diam merasa kagum juga, kendatipun
perbuatannya tidak dapat dibenarkan.
Terdengar Kho Hong-bwee berkata dengan ketus.
Dalam pertarungan ini kita harus saling merobohkan lawan
hingga benar-benar tak berkutik, tiada pengecualian dan tiada
keistimewaan bagi kedua belah pihak, pertarungan akan
berjalan secara adil dan tidak berat sebelah, engkau boleh
kerahkan segenap kekuatan yang kau miliki, sedang pedangku
juga tak akan kenal apa artinya belas kasihan.
“Maksudmu setelah merobohkan harus segera bangkit
untuk lanjutkan pertarungan.
Kho Hong-bwee gelengkan kepalanya.
“Kalau engkau sudah roboh, mungkin untuk selamanya tak
akan bisa bangkit kembali!”
Jilid 12
Pek Siau-thian mendendam sambil menggertak gigi,
bentaknya keras-keras, “Ayoh serang…. aku akan mengalah

sejurus bagimu, dan mulai sekarang hubungan kita sebadai
suami istripun putus sampai di sini saja!”
Kho Hong-bwee tertawa, tiba-tiba ia menerjang kedepan
sambil melepaskan serangan, cahaya berkilauan memancar
dari tubuh pedang lemas itu, desingan tajam memekikkan
telinga.
Pek Siau-thian putar senjata ototnya dengan disertai
desiran tajam, pisau bulan sabit dan duri segi tiga diatas tali
otot itu di liputi cahaya putih dan baru laksana kilat
melancarkan serangan balasan.
Kho Hong-bwee menggoyangkan pedang lemasnya.
Sreeet! tiba-tiba ia menebas lengan kanan Pek Siau-thian.
Senjata tajam yang dipergunakan suami istri berdua itu
sama-sama tidak lengkap, ketika dilancarkan sama-sama
merasa kurang leluasa, namun jurus serangan yang
dipergunakan sama-sama ganas dan keji, tanpa terasa
pertarungan itupun berlangsung jauh lebih bengis dan
mengerikan sekali….
ooooOoooo
58
KEDUA orang itu sama-sama bertempur dengan andalkan
kecepatan melawan kecepatan, dalam sekejap, mata dua
puluh gebrakan sudah lewst, kedua belah pihak sama-sama
berusaha untuk merebutkan kedudukan yang lebih
menguntungkan.

Dalam pada itu, dari pihak perkumpulan Hong-im-hwie,
hanya malaikat kedua Sim Ciu seorang yang masih sanggup
melakukan pertarungan, dari pihak perkumpulan Thong-thiankauw
hanya Pia Leng-cu seorang, sedangkan dari pihak
golongan pendekar, tenaga dalam yang dimiliki Hoa Hujin
sudah menyusut hingga tak mungkin bisa melakukan
pertarungan lagi, sedang Ciu Thian-hau dari gunung Huan
San, Suma Tiang-cing jago pedang bernyawa sembilan, Chin
Giok-liong, Bong Pay serta harimau pelarian Tiong Liau telah
menderita luka yang parah, kecuali mereka yang telah binasa
dalam pertarungan, hanya Cu Im taysu, Cu Thong dewa yang
suka pelancongan, Tio Sam-koh, Chin Pek-cuan, Biau-nia Samsian
serta Chin Wan-hong delapan orang saja yang masih
sanggup melanjutkan pertarungan.
Tapi kekuatan beberapa orang itu jika di bandingkan
dengan kekuatan perkumpulan Sin-kie-pang yang begitu besar
dan dahsyat ten tu saja ibaratnya telor melawan batu.
Selain itu rombongan manusia aneh yang menyerupai setan
itu masih ada seratus orang lebih, andaikata rombongan
manusia-manusia itu ada minat uniuk bertempur melawan
pihak perkumpulan Sin-kie-pang secara dipaksa mereka masih
mampu melakukan perlawanan tapi kalau berbicara
mengenahi kekuatannya sudah tentu pihak mereka masih
tertinggal jauh sekali.
Sekarang dalam tubuh perkumpulan Sin-kie-pang sendiri
terjadi perselisihan, sisa laskar yang kalah perang sama-sama
mengharapkan kemenangan dari Kho Hong-bwee sebab jika
perempuan itu yang menang maka sisa laskar yang kalah
perang itu masih ada kemungkinan untuk melanjutkan hidup,
sebaliknya kalau Pek Siau-thian yang menang maka dia pasti
akan menggunakan tindakan keji untuk membunuh mereka
semua.

Kendatipun semua orang berharap agar Kho Hong-bwee
yang menang namun ditinjau dati sisuasi yang terbentang
dabm gelanggang saat itu harapan menang bagi perempuan
itu kelihatan tipis sekali sementara anggota perkumpulan Sinkie-
pang telah berbaris rapi didepan mulut lembah dan
menyambut jalan keluar mereka.
Dalam keadaan seperti ini kecuali berdiam diri sambil
menantikan perubahan situasi selanjutnya tiada kemungkinan
bagi sisa laskar yang kalah perang itu melarikan diri.
Tiba-tiba terdengar Pek Siau-thian membentak keras,
senjata ruyung emasnya disertai desiran angin tajam
melancarkan serangan yang berkali lipat lebih dahsyat.
Keseriusan dan ketegangan menyelimuti paras Kho Hongbwee
yang cantik jelita, pedang lemasnya terbentang kian
kemari jurus demi jurus dilancarkan tiada hentinya, terhadap
serangan gencar yang dilepaskan oleh Pek Siau-thian ia sama
sekali tak ambil gubris bahkan melihatpun tidak.
Sistim bertempur yang lebih mengutamakan menyerang
daripada pertahanan dan selalu mencari kesempatan untuk
beradu jiwa ini sudah berada dalam dugaan Pek Siau-thian
sebagai seorang ketua perkum pulan besar yang berambisi
tentu saja ia tak sudi beradu jiwa dengan istrinya sendiri tetapi
kepandaian silat mereka berada dalam keadaan seimbang
lama kelamaan ia mulai kepayahan untuk menghadapi cara
bertempur istrinya yang nekad itu, ia mulai keteter bebat.
Dalam sekejap mata kedua oiang itu sudah melangsungkan
kembali pertarungan sengit sebanyak dua puluh gebrakan
namun siapapan gagal untuk merebut kemenangan.
Pek Siau-thian sendiri walaupan tidak ingin mengadu jiwa
dengan istrinya, dalam hati keclnya diapun tak ingin

membinasakan istrinya yang cantik jelita itu ia mulai sadar jika
pertarungan itu dilanjutkan lebih jauh maka akhirnya akan
terjadi tragedi yang menyedihkan bati
Kecemasan dan kejelisahan membuat hatinya jadi
mendongkol sekali.
Meskipun begitu toh dia adalah seorang pemimpin yang
cekatan, hatinya yang kalut tidak sampai mengacaukan
permainan jurus serangannya, setelah bertempur beberapa
jurus lagi ia membentak keras, “Tunggu sebentar!”
Tubuhnya loncat kebelakaug dan menyingkir sejauh dua
tombak dari tempat semula.
Kho Hong-bwee menjengek dingin, katanya, “Kalau engkau
bersedia mengaku kalah, ayoh cepat serahkan tanda perintah
Hong-lui-leng tersebut kepadaku!!”
“Heeeh, heeehh heeeh, sekali menjadi suami istri
selamanya tetap saling mencintai, siapa menang siapa kalah
toh sama saja?”
“Kalau begitu ayoh cepat serahkaa tanda perintah Hong-luileng
itu kepadaku!” bentak Kho Hong-bwee dengan gusar.
Pek Siau-thian tersenyum.
“Suami istri asalnya tetap satu, serahkan tanda perintah
Hong-lui-leng kepadamu bukanlah suatu perbuatan yang
memalukan!”
Ia lantas berpaling sambil membentak, “Soh-gie, serahkan
Hong lui-leng itu kepadaku!”

Pek Soh-gie terperangah, ia maju kedepan dan segera
persembahkan tanda perintah Hong-lui-leng tersebut kepada
ayahnya.
Semua orang melongo dan tak tahu apa maksud serta
tujuan dari Pek Siau-thian, melihat wajahnya berseri-seri dan
sikapnya yang santai, mereka tahu bahwa ketua dari
perkumpulan Sin-kie-pang ini sedang menjalankan siasat.
Setelah mencekal tanda perintah itu, Pek Siau-thian
membentak keras, “Pelindung hukum bagian depan, harap
terima perintah!”
Dari balik barisan pelindung hukum panji kuning berkelebat
keluar delapan orang kakek tua sambil memberi hormat
mereka berseru, “Hamba siap menunggu perintah!!”
“Jaga hujin baik-baik, kalian tak boleh menang tak boleh
kalah, dan tak boleh melukai hujin barang seujung rambutpun,
siapa berani melanggar akan kupenggal kepalanya.”
Mendengar seruan tersebut Kho Hong-bwee jadi amat
gusar dan bentaknya keras-keras, “Pek Siau-thian, engkau
berani perintahkan anak buahmu untuk mengeroyok aku?”
Pek Siau-thian tersenyum
“Engkau masih bersikap kekanak-kanakan, apa boleh buat?
hari ini terpaksa aku harus menyusahkan dirimu!”
“Kurang ajar!” bentak Kho Hong-bwee dengan gusar,
tubuhnya menerjang kedepan dan pedangnya langsung
membabat ke tubuh lawan.
Pek Siau-thian mengegos kesamping dan melayang
beberapa tombak kebelakang sementara kedelapan orang

kakek tua itu segera maju kedepan dan menghadang jalan
pergi Kho Hong-bwee.
Perempuan setengah umur itu jadi amat gusar, dengan
sorot mata yang tajam ia sapu sekejap wajah dari kedelapan
orang kakek itu, lalu bentaknya keras-keras, “Kurang ajar, jadi
kalian benar-benar berani untuk bertempur melawan aku?”
“Hujin harap jangan marah!” kata kedelapan orang kakek
tua itu sambil memberi hormat, “hamba terpaksa harus
berbuat demikian, harap engkau sudi memberi maaf!”
Dalam pada itu, Pek Siau-thian dengan suara lantang
berseru, “Mulai detik ini perkumpulan Hong-im-hwie telah
bubar, enam propinsi di wilayah Kang-pak akan masuk
menjadi wilayah kekuasaan perkumpulan Sin-kie-pang, ketua
Jin! apa yang hendak kau utarakan lagi?”
Jin Hian, Sim Cu dan nenek dewa bermata buta berunding
sebentar dengan suara lirih, kemudian baru berseru, “Mulai
sekarang perkumpulan Hong-im-hwie memang telah bubar,
wilayah Kang-pak mau jadi kekuasaan siapa bukan urusan
kami, kami segan untuk mengurusinya….”
Sejak lengannya kutung, masa depannya pun ikut hancur
berantakan apalagi setelah perkumpulannya ditumpas lawan,
hatinya benar-benar putus asa dan tak punya semangat lagi,
dalam pembicaraan bukan saja suaranya lemah bahkan
nadanya lirih dan membuat hati orang ikut beriba.
Pek Siau-thian berusaha menekan rasa bangga dan
gembiranya didalam hati, ia segera berpaling kesamping lain
dan berteriak pula, “Perkumpulan Thong-thian-kauw telah
bubar, semua kuil akan dibongkar dan wilayah Kanglam akan
dikuasai oleh perkumpulan Sin-kie-pang, kaucu! apakah
engkau ada usul lain?”

Sejak tadi Thong-thian Kaucu telah berunding dengan
paman gurunya Pia Leng-cu, mendengar pertanyaan tersebut
ia segera menjawab dengan suara hambar.
“Perkumpulan Thong-thian-kauw akan tinggalkan wilayah
Kanglam pangcu mau menduduki wilayah tersebut atau tidak
terserah pada kemauanmu sendiri.
Sepasang kakinya yang dihancurkan oleh ledakan kotak
emas milik Siang Tang Lay membuat imam tua itu menderita
jauh lebih parah dari pada keadaan Jin Hian meskipun anak
murid perkumpulannya masih ada beberapa orang namun ilmu
silat mereka rata-rata lemah sekali, meskipun ada Pia Leng-cu
tapi kekuatan pihak perkumpulan Sin-kie-pang terlalu besar
dan tak mungkin bisa dilawan lagi, oleh sebab itulah kecuali
ngaku kalah tiada jalan lain lagi baginya.
Pek Siau-thian gembira sekali sorot matanya yang tajam
segera dialihkan ke arah barak yang di huni para pendekar.
Sebelum ia sempat buka suara Ciu Thian-hau dari gunung
Huang-san telah tertawa terbahak-bahak, teriaknya dengan
cepat, “Golongan pendekar telah ditumpas rata dengan tanah,
dunia persilatan akan dimiliki oleh Pek Siau-thian seorang,
benar-benar mengagumkan…. benar-benar mengagumkan….”
Ucapannya bernada tajam dan penuh mengandung
sindiran.
Pek Siau-thian mendengus dingin, diam-diam pikirnya,
“Kelompok manusia-manusia itu binal dan tak takut mati sukar
untuk mendidik mereka jadi penurut, kalau rumput liar tidak
dibasmi sampai akar-akarnya bila angin musim semi
berhembus maka bibit rumput akan tumbuh kembali, lebih
baik kubasmi saja mereka semua hingga tak berbekas.

Setelah mengambil keputusan di hati, ia lantas berkata,
“Bulan sembilan tanggal sembilan nanti perkumpulan Sin-kiepang
akan merayakan hari jadinya yang kedua puluh dikota
Kay hong, semua jago yang ada di kolong langit harus
menghadiri perayaan tersebut apa bila ada yang tak mau pergi
harap menyatakan pendapatnya mulai sekarang.
Ucapan itu bernada perintah dan memaksa orang harus
menuruti kemauan hatinya.
Terdengar Ik cu berkata dengan cepat, “Perayaan sebesar
itu sudah sepantasnya untuk dihadiri, sampai waktunya pinto
pasti akan membawa orang untuk menyampaikan selamat
kepadamu….”
Jin Hian dalam baraknya ikut berseru pula, “Mulai detik ini
aku orang she Jin sudah menjadi burung yang terlepas, tentu
saja dengan senang hati aku akan menghadiri perayaan besar
itu.”
‘Terima kasih aras kesediaan kalian!” seru Pek Siau-thian
dengan angkuh.
Tiba-tiba terdengar Tio Sam-koh tertawa dingin dan
berkata, Pek Siau-thian, engkau tak usah sombong, jangan
harap kami bersedia untuk tunduk dibawah perintahmu, mau
bacok, mau cincang ayoh silahkan.
Pek Siau-thian memang ada niat untuk membasmi semua
kelompok pendekat, mendengar ucapan dari Thio Sam-koh
tersebut, ia segera pergunakan kesempatan itu sebaikbaiknya.
Dengan muka membesi bentaknya keras-keras, “Pelindung
panji kuning, ayoh maju dan tekuk mereka semua!!”

Suara sahutan yang gegap gempita bergema memecahkan
kesunyian, Cukat racun Yau Sut dengan memimpin hampir
seratus orang pelindung hukum panji kuning bagaikan air bah
yang menjebolkan tanggul langsung menerjang ke arah
kelompok pendekar.
Kho Hong-bwee yang menyaksikan kejadian itu jadi amat
gusar, pedangnya diputar kencang dan membabat seorang
kakek tua di hada pannya, kemudian ia terjang kemuka.
Criing! dengungan nyaring berkumandang memecahkan
kesunyian, seorang kakek tua yang berada disisi kiri
menyentilkan ujung jarinya yang tepat bersarang diujung
pedang Kho Hong-bwee, membuat serangan tersebut segera
menceng kesamping.
Kegusaran yang berkobar dalam dada Kho Hong-bwee
memuncak, ia putar pedang emasnya dan…. Sreeet! sekali lagi
ia lancarkan sebuah bacokan maut.
Pek Kun-gie yang selama ini membungkam terus dalam
seribu bahasa, tiba-tiba menyerang dari arah samping.
Kedelapan orang kakek tua itu merupakan jago-jago kelas
satu dalam perkumpulan Sin-kie-pang, mereka disebut sebagai
pelindung hukum bagian depan, tugas mereka adalah
melindungi keselamatan pangcu dan merupakan orang
kepercayaan dari Pek Siau-thian.
Walaupun kedelapan orang itu adalah orang-orang lihay
yang hanya bertahan belaka, namun serbuan Kho Hong-bwee
dan anaknya sama sekali tak mampu untuk menjebolkan
kurungan tersebut.

Dipihak lain, Cukat racun Yau Sut dengan memimpin hampr
seratus orang jago lihay, ibarat gulungan ombak ditengah
samudra segera menerjang ke arah barak yang di huni oleh
para pendekar golongan putih.
Para jago dari golongan pendekar yang masih sanggup
berdiri segera munculkan diri untuk menyambut datangnya
serangan tersebut, tapi jumlah mereka tak lebih dari tiga belas
orang, untuk menghadapi serangan sedahsyat itu keadaan
benar-benar bagaikan telur melawan batu.
Tiba-tiba Lan-hoa Siancu berteriak keras, “Li hoa, Ci wi,
kalau kita tidak mengadu jiwa lagi, maka kita akan berbuat
kesalahan besar terhadap Siau long!”
“Benar, bagaimanapun juga kita harus melayani serbuan
mereka dengan sepenuh tenaga!” sahut Li-hoa Siancu.
Sambil berbicara, ketiga orang kakak beradik seperguruan
itu segera menyerbu ke depan lebih dahulu dan masingmasing
orang menyebarkan diri untuk membendung serbuan
lawan yang dahsyat bagaikan gulungan ombak samudra itu.
Terdengar Cukut racun Yau Sut membentak keras.
“Ayoh lancarkan serangan!”
Begitu perintah dilepaskan para jago yang berada di
barisan paling depan sama-sama mengayunkan telapaknya
dan melepaskan satu pu kulan yang maha dahsyat.
Kawanan pelindung hukum yang tergabung dibawah panji
kuning ini merupakan sekawanan jago yang memiliki ilmu silat
yang amat lihay, tenaga pukulan mereka yang bergabung jadi
satu benar-benar amat dahsyat bagaikan gulungan ombak
menghancurkan dermaga, desiran tajam memekikkan telinga

kekuatan serta daya penghancurnya amat mendebarkan hati
orang.
Biau-nia Sam-sian yang berada di paling depan dengan
cepat tertumbuk oleh gulungan angin pukulan yang dahsyat
bagaikan angin puyuh itu, badan mereka tak mampu berdiri
tegak dan dengan langkah sempoyongan mundur beberapa
langkah ke belakang.
Tio Sam-koh serta Cu Thong sekalian yang menyusul
dibelakangnya tak mampu berdiri pula semua jago terdorong
mundur beberapa langkah dari posisi semula.
Walaupun begitu kepandaian melepaskan racun dari
wilayah Biau memang mempunyai ciri-ciri khas serta
keistimewaan yang luar biasa, tatkala Lan-hoa Siancu bertiga
menerjang maju kedepan tadi, bubuk racun yang dapat
merobohkan orang lain telah dilepaskan secara ber tubi-tubi.
Kendatipun Cukat racun Yau Sut dapat menyaksikan
tingkah laku mereka dengan seksama dan sudah melepaskan
pukulan dari tempat kejauhan namun ada empat orang anak
buahnya yang tetap keracunan serta roboh tak berkutik lagi
diatas tanah.
Menyaksikan kelihayan ilmu racun musuh, Cukat racun Yau
Sat merasa amat terperanjat, rasa waspada yang timbul dalam
hati kecilnya makin dipertingkat sambil menahan napas,
perlahan-lahan tubuhnya bergerak kedepan, pukulan demi
pukulan dilancarkan secara bertubi-tubi.
Kekuatan angin pukulan yang maha dahsyat itu bergabung
jadi satu membentuk gelombang serangan yang luar biasa
dahsyatnya, pukulan itu langsung menerjang para jago dari
kalangan lurus, membuat Cu Im taysu serta Cu Thong yang

berkepandaian tinggipun kena didesak mundur kebelakang
hingga tak sanggup mempertahankan kuda-kudanya.
Setelah mundur berulang kali, para jago telah
mengundurkan diri kembali kedalam barak, angin pukulan
dahsyat segera menerbangkan meja dan kursi membuat
keadaan pada saat itu ibaratnya suatu daerah yang ketimpa
angin topan.
Dalam barak terdapat beberapa orang jago yang sedang
menderita luka, melihat musuh tangguh menyerbu masuk
kesana, anak murid dari Siang Tang Lay segera melindungi
guru mereka dan menyingkir kesamping, Chin Pek-cuan
membopong putranya Giok Liong, Cu Thong membopong
Bong Pay dan Chin Wan-hong memayang Hoa Hujin
mengundurkan diri dari tempat itu.
Untuk beberapa saat lamanya suasana jadi kalut dan kacau
balau, agaknya para jago segera akan musnah dibantai orangorang
perkumpulan Sin-kie-pang.
Pada saat itulah, tiba-tiba dari atas atap barak
berkumandang suara bentakan seorang perempuan yang
sangat nyaring, “Pek Siau-thian! kabut yang telah kusebarkan
adalah kabut Kiu tok ciang dari wilayah Biau, kalau engkau
belum juga tahu diri maka pelindung hukummu itu akan
memperoleh ganjaran yang setimpal.”
Ucapan itu bernada datar dan tawar tapi setiap patah kata
bergema amat tajam dan nyaring didengar, Cukat racun Yau
Sut sekalian beserta Pek Siau-thian yang berdiri ditempat
kejauhan kontan dibuat terkesiap hatinya mendengar
perkataan itu, sadarlah mereka bahwa ditempat itu sudah
hadir seorang jago persilatan yang berilmu silat amat tinggi.

Sorot mata mereka segera dialihkan ke arah mana
berasalnya suara itu, diatas atap barak duduklah seorang
perempuan muda berdandan suku Biau yang telanjang kaki,
lengannya dan dadanya kelihatan separuh, perempuan itu
berwajah cantik jelita, berkulit putih bersih dan bersikap amat
santai.
Tiba tiba jeritan kaget bergema saling susul menyusul,
dalam waktu singkat separuh bagian pelindung hukum dari
panji kuning perkumpulan Sin-kie-pang yang hadir disitu roboh
terkapar keatas tanah dan tak berkutik lagi.
Pek Siau-thian amat terperanjat sekali, panji Hong-lui-leng
digoyangkan berulang kali, bentaknya keras, “Mundur!
mundur…. mundur….!”
Pada waktu itu Cukat racun Yau Sut sekalian sudah dibikin
ketakutan hingga sukma serasa melayang tinggalkan raganya,
mendengar tanda perinlah itu bagaikan gulungan angin topan
mereka segera saling berebut untuk mengundurkan diri dari
situ, seakan-akan mereka sedang mengalirkan diri dari pintu
neraka.
Dalam sekejap mata, disamping empat orang yang roboh
terkapar lebih dahulu, diatas tanah telah bertambah dengan
dua puluh tujuh sosok tubuh manusia yang semuanya terdiri
dari jago-jago lihay kelas satu dalam dunia persilatan.
Dalam pertarungan dengan andalkan ilmu silat, untuk
merobohkan seorang musuh merupakan suatu pekerjaan yang
sulit, tapi sekarang dalam waktu singkat ada dua puluh orang
lebih yang roboh tak berkutik lagi, dari sini bisa terbukti bahwa
ilmu racun dari wilayah Biau memang benar-benar mengerikan
sekali.

Saking gusar dan mendongkolnya, sekujur badan Pek Siauthian
gemetar keras, sambil menatap perempuan muda
berdandan suku Biau itu dengan sorot mata tajam tegurnya
dengan suara menyeramkan, “Apakah engkau adalah pemilik
lembah Hu liong kok dari wilayah Biau??”
Perempuan cantik suku Biau itu tertawa.
“Tebakanmu sedikitpun tak salah, aku adalah Kiu-tok
Sianci”
Sementara itu Biau-nia Sam-sian serta Chin Wan-hong
secara beruntun telah melayang keluar dari dalam barak,
sambil berlarian mereka sama-sama berseru lantang.
“Suhu….!”
Dengan sorot mata berkilat, Kiu-tok Sianci menyapu
sekejap ke arah keempat orang itu, kemudian dengan muka
membesi, ujarnya dingin, “Hmm! kalian sudah menurunkan
pamor kalian sendiri, apakah kamu semua masih punya muka
untuk berjumpa dengan aku?”
Telapaknya dikebas kedepan, segulung angin pukulan yang
tajam seketika merobohkan keempat orang itu dari atas barak.
Pek Siau-thian tertawa dingin tiada hentinya.
“Heehh…. heehb…. heehh…. antara perkumpulan Sin-kiepang
dengan pihak lembah Hu-liang-kok pernah mengikat
janji bahwasanya kedua belah pihak tidak akan saling
mengganggu maupun saling menyerang, dalam kenyataan
engkau telah meracuni anak buahku sebanyak dua puluh
orang lebih, jadi maksudmu tersebut hendak kau batalkan?”

“Tentu saja batal!” jawab Kiu-tok Sianci hambar, “tapi
perjanjian ini batal ditangan orang-orang perkumpulaa Sin-kiepang,
engkau tak usah salahkan kami orang-orang dari
lembah Hu-liang-kok”
“Apa maksudmu?”
Kiu-tok Sianci mendengus dingin.
“Hmm! selama ini pihak lembah Hu-liang-kok kami selalu
menutup diri pergaulan dunia luar, kami tak mencampuri
urusan dari siapapun tapi kalian orang-orang dan pihak
perkumpulan Sin-kie-pang telah meracuni Hoa Thian-hong
dengan racun keji kemudian menghantar masuk kedalam
lembah Hu-liang-kok kami, memaksa aku harus menerima
Chin Wan-hong sebagai muridku. Kalau perjanjian ini hendak
dibatalkan maka kalian perkumpulan Sin-kie-pang yang harus
bertanggung jawab dalam soal ini.”
Mendengar perkataan itu Pek Siau-thian terperangah
dibuatnya, meskipun alasan yang dikemukakan sedikit terlalu
memaksa namun kenyataan memang demikian, untuk
beberapa saat ia tak mampu mengucapkan sepatah katapun
tanpa sadar lagi ia melotot sekejap ke arah Pek Kun-gie
dengan pandangan gemas.
Setelah suasana hening beberapa saat lamanya, Pek Siauthian
memerintahkan Yau Sut untuk mengirim orang
mengangkut kembali kedua puluh sosok pelindung hukum
panji kuning yang terkapar di tanah.
Cukat racun Yau Sut segera memerintahkan sepasukan pria
kekar berbaju hitam untuk melaksanakan tugas tersebut.
Sepasukan pria kekar berbaju hitam ini merupakan anak
buah dari tiga ruang bagian luar, diantara para jago yang

hadir dalam lembah Cu-bu-kok dewasa ini mereka terhitung
manusia yang berkepandaian rendah dalam pikiran Yau Sut
dengan kedudukan Kiu-tok Sianci yang begitu tinggi dan
terhormat tak mungkin sampai dia melepaskan racun keji
terhadap kawanan manusia itu.
Terdengar Kiu-tok Sianci dengan suara dingin berseru,
“Dalam lingkaran tiga tombak disekitar barak ini tak mungkin
dilalui siapapun, jangan dikata manusia, burungpun tak
mungkin bisa melewati tempat ini, aku harap kalian semua
menghentikan langkah kakimu itu!”
Sebenarnya kawanan manusia baju hitam itu sudah merasa
amat kuatir sekali atas keselamatan jiwa mereka apa lagi
setelah mendengar ancaman dari Kiu-tok Sianci itu, kontan
jantungnya merasa berdebar keras tapi berhubung peraturan
perkumpulan yang begitu ketat, siapapun tak berani
membangkang perintah tersebut.
Begitulah, sekalipun mereka sudah tahu bahwa sebentar
lagi mereka semua akan melangkah masuk kedalam lingkaran
tiga tombak dari sisi barak, namun dengan langkah lebar
orang-orang itu masih tetap melanjutkan perjalanannya.
Bluuk! bluuk! bluuk! sebelum kawatan manusia baju hitam
itu sempat mencapai hadapan para pelindung hukum yang
terkapar diatas tanah, secara beruntun orang-orang itu roboh
terjengkang keatas tanah dan sama sekali tak berkutik lagi.
Kiu-tok Sianci yang duduk diatas atap barak masih tetap
seperti sedia kala, semua orang tak ada yang melihat
bagaimana caranya orang itu melepaskan racun kejinya, dari
sini semakin dapat dibuktikan betapa dahsyat dan luar
biasanya kepandaian melepaskan racun yang dimiliki
perempuan suku Biau ini.

Pek Siau-thian merasa terkejut bercampur gusar, pikirnya
didalam hati.
“Kabut kiu tok ciang yang ditebarkan disekitar tempat ini
pastilah merupakan sebangsa racun yang tak berwarna
maupun berbau yang melayang diudara sehingga membuat
setiap orang yang tersentuh seketika keracunan dan tak bisa
berkutik lagi, dengan cara apakah aku harus menahan
serangan racun itu?”
Otaknya berputar keras, segala kecerdikannya diserahkan
untuk memecahkan persoalan itu, namun akhirnya toh usaha
itu mengalami jalan buntu.
Karena gelisah bercampur cemas, hawa amarahnya segera
berkobar membakar hatinya, paras mukapun dari merah
padam berubah jadi hijau membesi.
Tiba-tiba terdengar Kho Hong-bwee berkata dengan suara
dingin, “Bukankah sudah kukatakan sejak tadi, rembulan yang
bulat akhirnya akan lonjong, air yang penuh pasti akan
meluber, sekarang engkau harus mempercayai kebenaran dari
ucapanku itu, ikutilah nasehatku dan serahkan tanda perintah
Hong-lui-leng tersebut kepadaku, biarlah aku yang bereskan
masalah selanjutnya!”
“Hmmm! aku orang she Pek tak rela mengaku kalah
dengan begitu saja!” teriak Pek Siau-thian penuh kegusaran.
Dengan tanda perintah Hong-lui-leng ki nya dia tuding
kemuka, kemudian bentaknya keras-keras, “Yau Sut pimpin
barisan pelindung panji kuning menyerang dari sayap kiri, Ho
Kee-sian pimpin anak buah tiga ruang dalam menyerang
langsung dari bawah mimbar, sisanya siapkan anak panah dan
menunggu perintah!”

Ratusan orang anggota perkumpulan Sin-kie-pang samasama
menyabut, suaranya keras bagaikan guntur yang
membelah bumi di siang hari bolong.
Cukat racun Yau Sut serta telapak pembalik langit Ho Keesian
segera tampil ke depan dan membentak, “Ikuti aku!”
Dalam sekejap mata Cukat racun Yau Sut dengan
memimpin enam tujuh puluh orang pelindung hukum panji
kuning menerobos dari bawah barak, mengitari belakang
rombongan manusia-manusia aneh dan menerjang masuk ke
arah barak yang dihuni para jago.
Telapak pembalik langit Ho Kee-sian dengan memimpin
semua pelindung hukum dan Tiang Cu dari tiga ruang dalam
yang berjumlah hampir dua ratus orang dengan melingkari
mimbar menerjang masuk ke arah barak yang dihuni para
pendekar dari sayap kanan.
Kesempurnaan barisan dari orang-orang perkumpulan Sinkie-
pang serta kedisiplinan mereka melaksanakan perintah,
benar-benar tak dapat dibandingkan dengan kelompok
manusia-manusia lain di kolong langit, serbuan yang
dilaksanakan secara serentak oleh dua tiga ratus orang ini
betul-betul dahsyat ibarat gulungan ombak ditengah samudra,
walaupun serentak namun sama sekali tidak kacau, kecepatan
gerakan mereka serta kecepatan mereka mengepung
sasarannya begitu dahsyat, membuat siapapun yang melihat
jadi terperanjat dan berkobar keras.
Kiu-tok Sianci sendiri diam-diam dibuat serba salah setelah
menyaksikan serbuan te sebut, ia sadar bahwa kemampuan
yang dimilikinya masih belum mampu untuk mengatasi
keadaan tersebut.

Dalam keadaan tergesa-gesa ia segera melayang turun dari
atas barak dan langsung menghadang serbuan yang dipimpin
oleh Yau Sut, bentaknya dengan suara lantang, “Lan hoa, Li
hoa! hadang sebelah kanan sebentar lagi Siau Long akan
datang kemari”
“Siau Long ada dimana?” teriak Lan-hoa Siancu.
Sementara pembicaraan sedang berlangsung, telapak
pembalik langit Ho Kee-sian dengan memimpin para jago lihay
dari tiga ruang dalam telah menyerbu masuk ke dalam barak.
Ketika para pendekar mendengar bahwa Hoa Thian-hong
sebentar lagi akan tiba di sana, semua orang merasakan suatu
perasaan gembira yang sangat aneh, mereka semua segera
terjun kedalam gelanggang dan masing-masing orang dengan
penuh semangat menyambut datangnya serangan dari pihak
lawan.
Pek Kun-gie sendiri, ketika mendengar dari mulut Kiu-tok
Sianci bahwasanya sebentar lagi Hoa Thian-hong akan muncul
disana, dalam hati kecilnya segera berpikir, “Sekarang orangorang
perkumpulan Sin-kie-pang sedang mengerubuti ibu dan
sahabat-sahabatnya jika dia sampai melihat kejadian ini
mungkin sampai akupun akan dibenci olehnya….”
Ingatan tersebut belum sempat berkelebat dalam benaknya
hingga selesai dengan cepat, gadis itu sudah merampas
sebilah pedang dan langsung lari ke arah mimbar.
Pek Siau-thian jadi amat gusar setelah menyaksikan
tingkah laku putrinya ia membentak keras,
“Budak ingusan….”

Badannya menerjang maju kedepan dan menyambar tubuh
gadis itu.
Dengan suara dingin Kho Hong-bwee segera berseru.
“Jangan urusi orang lain kita pun harus bertempur hingga
salah satu diantaranya mampus!”
Sreet….! Sreeet….! dua bacokan pedang memaksa Pek
Siau-thian terpaksa harus mundur dua langkah kebelakang.
Kegusaran yang berkobar dalam benak Pek Siau-thian tak
terkendalikan lagi.
Senjata pecut lemasnya segera dikibaskan ke luar dan
melancarkan sebuah serangan balasan.
Suasana pada waktu itu kalut sekali, Pek Siau-thian terlibat
kembali dalam suatu pertempuran yang sengit melawan
istrinya sendiri. Kiu-tok Sianci sendiri menahan serbuan dari
Yau Sut beserta anak buahnya berjumlah tujuh puluh orang
lebih.
Berbicara dalam hal ilmu silat, sudah tentu Kiu-tok Sianci
tak mungkin berhasil menghela serbuan jago-jago sebanyak
itu tapi karena pertama ruang gerak disekitar barak itu amat
sempit dan kecil, kedua, semua orang jeri akan nama besar
Kiu-tok Sianci maka sewaktu melihat perempuan itu
menerjang datang semua orang sama-sama menyingkir
kebelakang.
Setelah berhasil mendesak mundur para jago, Kiu-tok
Sianci secepat kilat melayang di angkasa dan berputar satu
lingkaran mengitari Hoa Hujin serta Siang Tang Lay sekalian
yang terluka dan tak dapat maju bertempur kemudian tanpa

memperdulikan musuh-musuhnya lagi ia langsung menerjang
ke arah Ho Kee-sian beserta para jagonya.
Yau Sut agak terperangah sewaktu dilihatnya Kiu-tok Sianci
meninggalkan mereka semua dan malahan berpindah ke pihak
lain, sebagai seorang jago yang gampang curiga satu ingatan
berkelebat dalam benaknya membuat ia segera menghentikan
gerakan tubuhnya.
Lain halnya dengan para jago lain yang kurang cermat,
orang-orang yang berada dikedua belah sisinya dengan cepat
menerjang ke muka dengan maksud membinasakan Hoa Hujin
sekalian yang sedang terluka.
Siapa tahu baru saja menerjang sejauh beberapa depa ke
arah depan tanpa sempat mendengus berat enam orang jago
sudah roboh tak berkutik lagi diatas tanah.
Diam-diam Cukat racun Yau Sut merasa terkesiap, buruburu
ia perintahkan anak buahnya untuk hentikan gerakan
mereka.
Sementara itu Hoa Hujin sekalian tepat berada dihadapan
mereka dan jaraknya hanya dua tiga tombak belaka, mereka
tahu, andaikata orang-orang itu bisa ditangkap maka tanpa
bertempur lebih jauh kemenangan telah berada ditangan
mereka.
Tapi tempat dimana Kiu-tok Sianci berputar tadi telah
membentuk sebuah dinding pemisah yang tak berwujud,
siapapun tak punya keberanian untuk melewati dinding
pemisah tersebut.
Telapak pembalik langit Ho Kee-sian adalah ketua dari
ruang Thian leng tong pada saat itu dengan pemimpin dua
ratus orang jago dari huan han telah menerjang masuk ke

dalam barak lewat sayap sebelah kanan dengan pukulanpukulan
yang berat dan dahsyat mereka paksa Biu nia Sam
sian sekalian terdesak mundur beberapa langkah kebelakang,
menggunakan peluang yang sangat baik itulah pasukan
segera dipecah menjadi dua bagian dan mengepung
gerombolan para pendekar itu dari sisi kiri maupun kana,
dalam waktu singkat suasana jadi makin kritis bagi pihak
kaum lurus dan nampaknya sebentar lagi mereka akau
berhasil menyerbu masuk kedalam barak.
Pada saat yang gawat itulah Kiu-tok Sianci berhasil
mencapai tempat kejadian, semua orang yang sudah tahu
akan kelihayan ilmu ra cun dari perempuan itu, sama-sama
mengundurkan diri kebelakang setelah melihat kehadirannya.
Apa lacur Pek Kun-gie dengan babatan pedangnya yang
kalap pada waktu itu sudah tiba disitu dan memutuskan jalan
mundur mereka, suasana jadi kalut dan barisanpun jadi kacau,
semua orang berusaha menghindarkan diri dari babatanbabatan
maut gadis itu.
Himpit menghimpit terjadi diantara sesama anggota
perkumpulan Sin-kie-pang, banyak orang yang tergelincir
roboh keatas tanah, membuat suasana yang kacau bertambah
kalut rasanya.
Dalam pada saat itulah, dari mulut lembah Cu-bu-kok tibatiba
bergema suara bentakan seseorang, “Pek Siau-thian!”
Bentakan tersebut begitu keras ibarat guntur yang
membelah bumi disiang hari bolong, semua orang merasakan
telinganya bergetar keras dan amat sakit rasanya.
Pek Siau-thian merasa amat terperanjat, andaikata
serangan Kho Hong-bwee secara mendadak tidak mengendor,
mungkin lengan kanannya sudah tertebas kutung.

Pada waktu ilu masih ada seratus dua rasus orang anggota
perkumpulan Sin-kie-pang yang menyumbat mulut lembah,
dengan demikian orang yang berada dalam lembah dapat
untuk melihat pemandangan diluar lembah.
Terdengarlah seseorang dengan nada gemetar berseru
keras, “Lapor pangcu, Hoa Thian-hong telah muncul
kembali!!”
Dari suara pelapor yang gemetar dan tersendat-sendat
dapat diketahui bahwa hati orang itu sudah keder dibuatnya.
Pek Siau-thian semakin naik pitam, ia segera membentak
keras, “Kembali yaa kembali, apa yang musti di takuti??
lepaskan dia masuk kedalam lembah!”
Bagaikan embok laut yang membelah ke samping, para
jago perkumpulan Sin-kie-pang yang menyumbat mulut
lembah sama-sama menyingkir kesamping hingga terbukalah
sebuah jalan lewat.
Hoa Thian-hong dengan mencekal pedang bajanya
melangkah masuk kedalam lembah, pelayan tua nya Hoa In
mengikuti dibelakang pemuda itu.
Pada dasarnya Hoa Thian-hong memiliki badan yang kekar
dan wajah yang berwibawa, kini ia nampak jauh lebih
bersemangat dan agung sekali, seakan-akan seorang manusia
yang baru saja muncul dari penggodokan dalam tungku pat
kwa, begitu agung dan berwibawanya membuat setiap orang
dalam lembah itu diam-diam mengaguminya.
Dengan sorot mata yang tajam bagaikan kilat, Pek Siauthian
menatap wajah Hoa Thian-hong tanpa berkedip, ketika
dilihatnya selangkah demi selangkah si anak muda itu

menghampiri kehadapannya, entah apa sebabnya tiba-tiba
muncul suatu perasaan dengki yang aneh sekali dalam hati
kecilnya”
Suasana dalam lembah Cu-bu-kok diliputi keheningan yang
luar biasa, sorot mata setiap orang ditujukan keatas wajah
Hoa Thian-hong, orang-orang dari pihak kaum pendekar
termasuk juga Siang Tang Lay dan Kiu-tok Sianci sama-sama
melelehkan air matia karena kegirangan, paras muka mereka
semua menampilkan perasaan lega dan gembira.
Diam-diam Pek Siau-thian menyumpah dalam hati kecilnya,
“Sialan! kenapa aku musti jeri kepadanya?”
Semua perhatiannya segera dipusatkan jadi satu, sambil
menekan pergolakan hatinya, ia berkata dengan ketus,
“Bukankah engkau sudah pilih jalan untuk kabur sejauhjauhnya
dari tempat ini? mau apa engkau datang lagi kemari,
mungkin sudah bosan hidup?”
Hoa Thian-hong menjura dan memberi hormat kemudian
sahutnya, dengan wajah serius, “Aku sama sekali tidak pergi
jauh, ambisi pangcu yang begitu besar sungguh membuat
hatiku merasa sangat kagum”
Bicara sampai disitu, ia merogoh sakunya dan ambil keluar
sebuah kotak kecil terbuat dari kumala sambil diserahkan
ketangan Hoa In, perintahnya, “Serahkan batang Leng-ci ini
untuk ibuku, Hoa In menyambut kotak itu dengan tangannya
dan segera lari menuju ke arah barak, Ci-wi Siancu buru-buru
nampakkan diri dari balik garis yang diselimuti kabut kiu tok
ciang dan menerima kotak kumala tadi, sementara itu Kiu-tok
Sianci telah ambil kembali botol kumala putih dari sakunya dan
berbisik kepada Lan-hoa Siancu dengan suara lirih, “Cepat kita
tarik kembali semua kabut kiu tok cian ini, masalah yang

sedang kita hadapi pada taat ini hanya bisa selesai dengan
menyerahkan semua persoalan tersebut ketangan siau liong!”
Lan-hoa Siancu menerima botol kumala itu dan segera
berlarian keempat penjuru untuk menarik kembali kabut racun
yang telah tersebar luas ditengah udara.
Dipihak lain, Pek Siau-thian telah memandang sekejap ke
arah Hoa Thian-hong dengan pandangan dingin, kemudian
dengan alis mata berkenyit ujarnya, “Seringkali ada pepatah
kuno yang mengatakan, bila dalam suatu negara muncul
seorang yang berbakat, maka keharuman namanya akan
mencapai beberapa ratus lamanya, engkau berbakat bagus,
berkemauan besar, punya keberanian dan rejeki bagus, aku
merasa sangat kagum pada dirimu!”
“Aku hanya seorang pemuda yang belum tamat belajar,
untuk memimpin dunia persilatan selama puluhan tahun
mendatang masih belum pantas untuk tiba gilirannya pada
diriku!”
“Hmm! hal ini sudah tentu!” sela Pek Siau-thian dengan
suara dingin.
“Tapi juga tidak pada giliran pangcu!, sambung Hoa Thianhong
lebih jauh dengan cepat.
“Kurang ajar, aku tidak percaya!” bentak Pek Siau-thian
penuh kegusaran.
Hoa Thian-hong menengadah keatas dan tertawa nyaring.
“Haahh…. haahh…. haahh…. kenyataan memang begitu,
sekalipun engkau tidak percaya juga harus mempercayai!”

Sambil menuding ke arah rombongan manusia-manusia
aneh berbentuk setan itu, ia melanjutkan, “Coba pangcu lihat,
danrimana asal mula datangnya rombongan manusia aneh
itu?”
Pek Siau-thian melirik sekejap ke arah rombongan manusia
aneh bagaikan setan itu, kemudian jawabnya dengan suara
tawa, “Huuh….! generasi muda dari perkumpulan Kiu-imkauw,
engkau anggap aku adalah manusia macam apa? kau
anggap dalam mataku telah kemasukan pasir?”
Begitu ucapan tersebut diutarakan keluar, paras muka
semua orang yang hadir dalam lembah Cu-bu-kok itu samasama
berubah hebat, sampai-sampai manusia aneh yang
selama ini hanya membungkam terus dan sama sekali tak
pernah mengucapkan sepatah katapun ikut berubah wajah.
Hoa Thian-hong mengangguk tanda membenarkan, setelah
itu tanyanya lagi, “Apakah pangcu tahu, siapakah kaucu dari
perkumpulan Kiu-im-kauw pada generasi yang lalu?”
“Siapa?” bentak Pek Siau-thian.
Hoa Thian-hong tertawa santai.
“Aku sendiripun tak tahu siapakah orang itu, tapi aku
pernah melihat sendiri bahwa orang itu adalah seorang
perempuan, setelah, memberi perintah kepada orang-orang
aneh ini, dia masuk kedalam tandu warna-warni itu dan
digotong masuk kedalam lembah ini, sayang pada itu semua
pikiranku tertuju untuk mendalami kelemahan-kelemahan
dalam permainan pedangku, sehingga duduk persoalan yang
lebih jelas tak sempat kudengar”
“Huuh! kalau cuma seorang perempuan saja, aku rasa
sekali lihay maka kelihayannya tak akan melampaui

kehebatanku dan tak akan melampaui kehebatanmu juga
orang she Hoa….!”
Hoa Thian-hong menggeleng dan tertawa.
“Engkau kelitu besar jika mempunyai pikiran begitu,
kesabaran orang ini luar biasa sekali, dan aku merasa tak
mampu untuk menangkan dirinya”
Pek Siau-thian segera mendengus dingin.
“Hmm! kesabaran yang luar biasa? aku rasa orang yang
lain belum tentu mempunyai kesabaran yang luar biasa, aku
telah mengambil keputusan, bila hutang piutang diantara kita
sudah dibikin beres maka segera akan kuundang
kemunculannya.
“Ternyata ia sudah punya perhitungan sendiri dalam hati
kecilnya….” pikir Hoa Thian-hong dalam bati, “kemampuannya
menguasai dunia peralatan benar-benar bukan diperoleh dari
hasil untung-untungan….!”
Berpikir sampai disini, dengan muka serius ia lantas
berkata, “Jadi pangcu sudah ambil keputusan untuk
membereskan kelompok kami lebih dahulu?”
“Tentu saja!”
Paras muka Hoa Thian-hong berubah jadi serius sekali, ia
berseru, “Aku minta agar pangcu menarik kembali semua anak
buahmu sebab untuk berduel satu lawan satu engkau masih
bukan tandinganku!”
Mendengar perkataan itu, Pek Siau-thian merasa amat
gusar sekali tapi sesaat kemudian pelbagai ingatan
berkecamuk dalam benaknya, ia teringat kembali akan

beberapa kali pengalamannya dalam menghadapi serangan
maut Hoa Thian-hong, hal itu membuat semangatnya jadi
kendor.
“Bangsat cilik ia sudah pasti telah berhasil menyelami arti
kata yang tercantum dalam catatan kiam keng” pikirnya dalam
hati, andaikata dugaanku tidak keliru mungkin kepandaian
silatku benar-benar sudah bukan tandingannya lagi”
Berpikir sampai disini, dia segera menggertak gigi dan
mengibarkan panji Hong-lui-leng nya.
“Kalian semua mundur kebelakang!” bentaknya keraskeras.
Cukat racun Yau Sut serta Telapak pembalik langit Ho Keesian
yang mendapat perintah itu segera memimpin anak
buahnya masing-masing untuk mengundurkan diri kebelakang,
dua tiga ratus orang jago perkumpulan Sin-kie-pang segera
mengepung sekitar lembah itu dengan rapatnya.
Kho Hong-bwee yang menjumpai keadaan tersebut jadi
gusar sekali, ia segera membentak keras, “Pek Siau-thian,
engkau masih punya muka atau tidak?”
Pek Siau-thian mendengus dingin.
“Hmm! memelihara tentara seribu hari apakah
persoalannya hanya punya muka atau tidak?”
“Haaah haaahh haaah perkataan pangcu memang tepat
sekali” sela Hoa Thian-hong sambil tertawa, “memelihara
tentara seribu hari, yang penting adalah dipergunakan disaat
yang perlu, ini hari silahkan eng kau gunakan segenap tenaga
yang kau miliki”

Kemudian sambil berpaling kebelakang dia membentak,
“Hoa In>, mundur dari situ!”
Hoa In terperangah.
“Bukankah lebih baik hamba berada disini saja?” serunya
kemudian dengan suara terbata-bata.
“Cepat mundur dari sini! dari pada kehadiranmu
merepotkan aku saja”
Hoa In melongo dan termangu-mangu, akhirnya perlahanlaha
ia mengundurkan diri dari gelanggang dan berjaga-jaga
diluar arena.
Sepeninggalnya Hoa In, Hoa Thian-hong alihkan sorot
matanya mengawasi Wajah Pek Siau-thian kemudian dengan
suara dingin katanya, “Dengan pedang baja ini berada
ditangan sekalipun berada diantara seriba prajurit sepuluh ribu
kuda untuk menebas batok kepa la pancu bagiku adalah suatu
pekerjaan yang sangat gampang ibaratnya mengambil barang
dalam saku sendiri aku lihat lebih baik pangcu segera
mengundurkan diri dari tempat ini”
Pek Siau-thian benar-benar merasa amat gusar sekali pecut
lemasnya seketika dikebaskan kedepan melepaskan seranganserangan
gencar yang mematikan.
Sejak menyaksikan keadaan ibunya dan saudara
seperjuangan lainnya banyak yang mati atau terluka, hawa
amarah sudah berkobar dalam dada Hoa Thian-hong hingga
mencapai keadaan yang tak terkendalikan lagi, sekarang
pemuda itu betul-betul tak mampu menahan kesabarannya
lagi.

Pemuda itu punya tujuan untuk mengalahkan Pek Siau
Than, karenanya ia tunggu hingga senjata pecut lemas pihak
lawannya hampir bersarang diatas tubuhnya dan jurus
serangan yang digunakan Pek Siau-thian sudah mendekati
pada akhirnya, secara tiba-tiba ia baru gerakan pedang
bajanya melepaskan serangan balasan.
Serangan yang dilancarkan kedua orang itu sama cepatnya
dan hanya berlangsung dalam sekejap mata, orang lain belum
sempat mengikuti jalannya pertarungan itu, tahu-tahu cahaya
hitam berkelebat lewat dan pedang baja itu secepat kilat
sudah menghantam diatas pisau berbentuk bulan sabit yang
terikal diatas pecut lemas tersebut.
“Cniing….! benturan nyaring berkumandang memecahkan
kesunyian, pecut lemas yang kena dihantam oleh pedang baja
itu tiba-tiba terpental dan balik menyerang ke arah kepala Pek
Siau-thian sendiri.
Sementara itu pisau berbentuk bulan sabit serta duri
beracun yang terikat diatas pecut lemas tadi, setelah
termakan getaran keras dari pedang baja itu seketika patah
semua jadi beberapa bagian ibarat hujan gerimis, semua
patahan dan hancuran senjata itu langsung menyambar ke
arah sekujur badan Pek Siau-thian….
Menghadapi kejadian yang sama sekali tak terduga itu,
ketua perkumpulan Sin-kie-pang ini jadi amat terperanjat
sekali hingga sukmanya terasa melayang tinggalkan raganya,
dalam keadaan kritis dan berbahaya ia tidak memperdulikan
soal kedudukan ataupun gengsi lagi buru-buru badannya
dijatuhkan ke arah belakang dengan gerakan jembatan
gantung ia menghindari serangan lawan lalu tubuhnya
menggelinding ke samping dan meloloskan diri dengan
tergopoh-gopoh.

Melesat menghantam tubuh Pek Siau-thian, hancuran pisau
bulatan sabit serta duri beracun itu meluncur terus kebelakang
dan menyambar para jago yang berada disekeliling
gelanggang.
Untung para jago yang berada disekitar gelanggang adalah
jago-jago lihay berkepandaian tinggi, kalau tidak niscaya
diantara mereka ada yang roboh karena tersambar oleh
senjata hancuran itu
Hoa Thian-hong merasa gusar sekali, dia tak sudi
melepaskan lawannya dengan begitu saja, melihat musuhnya
berhasil lolos dari serangan yang pertama ia segera enjotkan
badan dan berkelebat kehadapan Pek Siau-thian, pedangnya
berkelebat ke arah depan langsung membabat pinggang
lawan.
Serangan ini dilancarkan dengan kecepatan bagaikan
sambaran kilat, tapi enteng seakan-akan tiada sesuatu benda
apapun, sedikit pun tidak membawa suara desiran barang
sedikitpun jua.
Belum sempat Pek Siau-thian bangkit berdiri, sambaran
pedang itu sudah meluncur datang menghajar pinggangnya,
dalam keadaan terkesiap bercampur kaget jago tua dari
perkumpulan Sin-kie-pang ini menjerit kaget.
Dua buah serangan yang dilancarkan Hoa Thian-hong ini
terlalu cepat sekali begitu cepatnya membuat dua tiga ratus
orang anggota perkumpulan Sin kis pang yang mengepung
Hoa Thian-hong disekitar arenapun belum sempat melakukan
sesuatu gerakan apapun.
Jikalau pemuda ini ada maksud membinasakan Pek Siauthian,
maka asal pedangnya dilanjutkan babatannya kedepan,
niscaya jago tua itu akan kehilangan jiwanya.

Mendadak, dalam benaknya terlintas bayangan tubuh dari
Pek Kun-gie, pemuda itu jadi sangsi dan ia jadi tak tega untuk
melanjutkan babatannya itu.
Meskipun tak tega membinasakan lawannya, namun rasa
benci dan mendendam masih berkecamuk dalam benak si
anak muda ini, pedang bajanya segera dibelokan keluar
menyambar para pelindung hukum panji kuring yang berjajar
disebelah kanan, sementara kakinya melancarkan sebuah
tendangan kilat yang membuat Pek Sian Thian mendengus
berat, tubuhnya mencelat ketengah udara dan terkapar diluar
gelanggang.
Traang….! Traang….! bentrokan nyaring bergema saling
susul menyusul, dimana pedang bajanya berkelebat disitulah
empat lima ba tang senjata tersambar putus.
Pada waktu itulah bentakan keras bergema, orang-orang
yang berkerumun diluar gelanggang mulai mengepang dan
menyerang kedepan.
Menyaksikan serangan yang dilancarkan para jago lihay itu,
Hoa Thian-hong merasa gusar sekali, pikirnya, “Kawanan
manusia laknat ini sudah lama melakukan perbuatan jahat,
entah berapa orang baik dan manusia budiman yang menemui
ajalnya ditangan mereka? ini hari kalau aku tidak membantai
beberapa orang diantaranya aku rasa tindakanku ini kurang
adil….”
Setelah ambil keputusan dalam hati kecilnya, nafsu
membunuh yang sangat tebal seketika memancar keluar dari
balik matanya sedang baja dibabat kedepan dan langsung
menerjang ke arah Cukat racun Yau Sut yang berada
dihadapannya.

Menyaksikan terjangan si anak muda itu Cukat racun Yau
Sut amat terkesiap sehingga keringat dingin mengucur keluar
membasai seluruh tubuhnya untung ia pandai melihat gelagat,
ketika dilihatnya paras muka Hoa Thian-hong berubah jadi
menyeramkan sekali dan langsung menerjang ke arahnya,
buru-buru ia berkelebat kebelakang dan segera
mengundurkan diri kedalam gerombolan orang banyak.
Hoa Thian-hong yang amat gusar jadi tertawa keras,
pedang bajanya menyambar kesana kemari bagaikan
gulungan badai salju, ia terus menerus mengejar Cukat racun
Yau Sut kemanapun dia pergi, daya serangan yang terpancar
keluar dari ujung pedangnya amat dahyat dan berat membuat
siapapun tak sanggup mempertahan diri.
ooooOoooo
59
Pek Siau-thian yang tulang pantatnya kena ditendang
sehingga hampir saja beberapa tulangnya patah, dengan
susah payah melayang turun ditepi gelanggang dengan
sepasang kaki masih menempel diatas tanah.
Setelah berhasil merguasahi diri dan menekan rasa sakit
diatas pantatnya, jago tua dari perkumpulan Sin-kie-pang ini
segera a-lihkan sorot matanya ke arah gelangang.
Ia saksikan juru pikirnya atau Kunsu dari perkumpulannya,
Cukat racun Yau Sut sedang melarikan diri terbirit-birit kesana
kemari dengan penuh ketakutan, sedangkan Hoa Thian-hong
mengejar terus dari belakangnya, pedang baja yang berat
menyambar kian kemari tiada tandingan, setiap jago yang
berpapasan dengannya segera mengun durkan diri atau
berusaha menghindarkan diri, bagi mereka yang agak mundur
kebelakang, setiap kali senjatanya terbentur dengan pedang

baja lawan kontan patah jadi beberapa bagian dan terlepas
dari cekalan, keadaan pada saat itu boleh dibilang luar biasa
sekali
Peristiwa yang berlangsung pada saat ini terjadi dalam
waktu yang amat singkat semua jago dibuat terkesiap
menghadapi peristiwa tersebut, bagi mereka yang ada
dibawah barak dan tak dapat melihat jelas keadaan
gelanggang sama-sama memanjat keatas meja, suara bisikan
dan pembicaraan berkecambuk jadi satu membuat suasana
jadi gaduh.
Chin Pek-cuan nampak amat girang sekali, sambil mengelus
jenggotnya ia memuji tiada hentinya.
Biau-nia Sam-sian menuding kesana kemari sambil
berkaok-kaok mereka paling banyak bicara dan paling banyak
tertawa.
Tio Sam-kohb tersenyum simpul dengan wajah berseri-seri
mendadak ia saksikan Hoa Hujin tetap duduk tak berkutik
ditempat semula dengan nada gusar segera bentaknya, “Hong
ji ayoh cepat bimbing hujin bangun!”
Chin Wan-hong amat terperanjat, buru-buru dia bangunkan
Hoa Hujin dan memayangnya agar bisa melihat jelas keadaan
ditengah gelanggang.
Ciu Thian-hau dari gunung Huang-san walaupun sedang
menderita luka parah, pada saat ini ia berdiri diatas sebuah
meja, makin memandang makin emosi hingga akhirnya tak
sabar lagi ia berteriak keras, “Seng ji! bunuh saja bangsat itu
sampai mampus!”
Hoa Thian-hong sendiri setelah mengejar lama sekali
namun tidak berhasil menyusul Cukat racun Yau Sut, hatinya

sudah amat panas sekali apa lagi sekarang setelah mendengar
teriakan tersebut, hawa amarahnya langsung berkobar dan
nafsu membunuhpun menyelimuti seluruh wajahnya, ia tidak
kenal belas kasihan lagi dalam serangan-serangan berikutnya.
Dalam sekejap mata, jeritan ngeri berkumandang tiada
hentinya ibarat harimau diantara domba tak seorangpun yang
dapat membendung ataupun menahan serangan serta
terjangannya.
Setelah pemuda itu melakukan pembantaian, para jago
menghindarkan diri dibuatnya, dimana pedang bajanya
meyambar lewat semua orang pada menghindarkan diri
dengan tergopoh-gopoh.
Kegusaran yang berkobar dalam benak Pek Siau-thian tak
sanggup dikendalikan lagi, ia tak menyangka perkumpulan Sin
kie pa?ng yang didirikan dengan susah payah dan menguasai
dunia persilatan tanpa tandingan, kini tak mampu menahan
serangan seorang pemuda dengan sebilah pedang bajanya,
dalam keadaan sedih bercampur penasaran timbullah niatnya
untuk berbuat nekad dan mempertahankan hasil karya nya ini
dengan pertaruhan jiwa sendiri.
Dengan cepat ia menyingkap baju dan meloloskan
sepasang pedang pendek yang me-mancarkan cahaya sangat
tajam, sambil mencekalnya ditangan, jago tua itu langsung
menerjang ke arah Hoa Thian-hong.
Sementara itu posisi Cukat racan Yau Sut kian lama kian
terdesak hebat dan hadangan serta tameng yang dia andalkan
pun kian menipis, tatkala dilihatnya Hoa Thian-hong mengejar
terus tiada hentinya seakan-akan pemuda itu sudah ambil
keputusan untuk menghabisi jiwanya, ia makin ketakutan
dibuatnya, sampai-sampai sukmanya serasa melayang
tinggalkan raganya.

Dengan cepat ia putar badan dan menerobos sedalam
gerombolan manusia yang ada diluar gelanggang.
Diam-diam Hoa Thian-hong mendengus dingin, pikirnya,
“Sekalipun engkau naik kelangit atau masuk kebumi, ini hari
aku bersumpah akan binasakan dirimu!”
Pedang bajanya diayun kedepan menciptakan sebuah jalan
lewat dan pemuda itu mengjar lebih jauh.
Tiba-tiba Pek Siau-thian menerjang datang dari sisinya,
sambil membentak keras jago tua itu melepaskan satu
serangan kilat ke arahnya.
Menghadapi sergapan tersebut, Hoa Thian-hong merasa
amat gusar ia segera membentak, “Kurang ajar akan kutebas
dulu sebuah lehermu!”
Pedang baja digetarkan keras-keras, dengan jurus Hong ku
cay thian atau burung besar terbang di angkasa, ia balas
melancarkan serangan kilat….
Tenaga dalam yang disalurkan Hoa Thian-hong dalam
pedang bajanya pada saat ini dalam kenyataan tak mungkin
bisa ditandingi oleh Pek Siau-thian.
Terlihatlah pedang baja itu berkelebat lewat dengan
kecepatan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata, meskipun
dilepaskan bela kangan namun tiba disasaran lebih duluan,
langsung ujung pedangnya membabat lengan jago tua itu.
“Thian-hong….!” tiba-tiba terdengar Pek Kun-gie menjerit
lengking dengan nada yang sangat terperanjat.

Diam-diam Hoa Thian-hong menghela nafas panjang,
pedang bajanya dicukil keatas berulang kali, bukan lengan
yang diarah kini, dia menghajar sepasang pedang pendek dari
Pek Siau-thian….
“Criing! Criing!” dua bilah pedang pendek itu tergetar keras
dan segera mencelat keangkasa.
Paras muka Pek Siau-thian pucat keabu-abuan, ia berdiri
terperangah ditempat semula tanpa sanggup mengucapkan
sepatah kata-pun, tubuhnya kaku bagaikan patung.
Ujung baju lengan kaitannya tersambar robek dan
meninggalkan sebuah bekas darah yang amat dalam.
Sementara itu Cukat racun Yau Sut yang melarikan diri
kedalam kerumunan orang banyak benar-benar sudah pecah
nyalinya, paras muka orang itu sudah berubah jadi pucat pias
bagaikan mayat, ketika ia berpaling kebelakang maka
tampaklah Hoa Thian-hong telah menyusul datang dibelakang
tubuhnya.
Ia benar-benar terdesak hebat dan tak tahu ke mana ia
harus pergi, dengan sangat ketakutan sorot matanya
berkeliaran kesana kemari berusaha mencari jalan keluar.
Dengan cepat Hoa Thian-hong berkelebat kedepan dan
menghadang jalan pergi orang she Yau itu, sambil tertawa
dingin katanya, “Sehari engkau tak mati, berarti sehari pula
ada umat manusia di kolong langit yang mati ditanganmu!”
Pedangnya segera berkelebat kedepan dan melancarkan
sebuah bacokan maut.
Cukat racun Yau Sut benar-benar sudah pecah nyali karena
ketakutan, buru-buru ia gunakan gerakan keledai malas

bergelinding ditanah, dengan menggelinding bercampur
merangkak ia menyingkir sejauh satu dua tombak keluar
gelanggang.
Dalam perkiraan Hoa Thian-hong, Cukat racun Yau Sut
pasti tak akan berhasil lolos dan bacokan pedangnya itu, maka
dalam serangan tersebut ia tidak menggunakan seluruh
tenaga yang dimilikinya, tak nyana ternyata orang itu begitu
sudi menggunakan gerakan yang paling rendah dan
memalukan itu untuk menghindarkan diri.
Si anak muda itu jadi penasaran sekali, dengan cepat
badannya berkelebat kedepan dan sekali lagi melancarkan
serangan yang mematikan.
Keadaan dari Cukat racun Yau Sat pada waktu itu betulbetul
amat runyam, sukmanya terasa melayang tinggalkan
raga karena ta kutnya, dalam keadaan kritis dan jiwanya
terancam bahaya ia lupa akan segala-galanya, yang dipikirkan
saat ini hanyalah bagaimana caranya selamatkan selembair
jiwanya dari ancaman tersebut.
Mendadak ia putar badan dan kabur ke arah barak dimana
kelompok manusia-manusia aneh bermuka setan berkumpul,
sambil lari mendekati kelompok manusia aneh itu jeritnya
berulang kali.
“Kaucu…. tolonglah aku! kaucu…. tolonglah aku!”
Terperangah Hoa Thian-hong mendengar jeritan tersebut,
ia segera menghentikan gerakan tubuhnya dan lupa untuk
mengejar lebih jauh.
Keadaan itu benar-benar sangat aneh bampir saja
membuat para jago yang hadir dilembah Cu-bu-kok itu jadi
tertegun dibuatnya, semua orang tahu bahwa Cukat racun Yau

Sut adalah kunsu atau juru pikir dari perkumpulan Sin-kiepang,
berada dihadapan umum bukannya ia minta tolong
kepada pangcu perkumpulannya, malahan minta tolong
kepada orang lain.
Hal ini dengan cepat memberi keterangan kepada semua
orang, bahwasanya Cukat racun Yiu Sit bukan lain adalah
mata-mata yang dikirim kelompok manusia aneh itu untuk
menyelinap kedalam tubuh perkumpulan Sin-kie-pang….
Sementara itu tampaklah Cukat racun Yau Sut telah kabur
kedalam barak tersebut, tiba-tiba ia jatuhkan diri dan berlutut
dihadapan kelompok manusia aneh itu sambil beteriak keras,
“Kaucu…. tolonglah aku! kaucu….”
“Bangsat! manusia laknat!” maki Pek Siau-thian dengan
penuh kegusaran.
Bersamaan dengan diutarakannya bentakan itu, bagaikan
anak panah yang terlepas dari busurnya ia menerjang maju
kedepan, segenap tenaga dalam yang dimililiknya
dihimpunnya kedalam telapak lalu dihantam keatas balok
kepala Cukat racun Yau Sut dengan sepenuh tenaga….
“Praakk….!” diiringi suara benturan nyaring, batok kepala
Cukat racun Yau Sut terhajar sampai hancur berantakan, isi
benak nya tercecer di mana-mana mengotori seluruh badan
Pek Siau-thian.
Pada waktu itulah seorang manusia aneh berbadan
bagaikan prajurit setan tampil ke depan, ditangannya ia
membawa gembrengan dan sebuah alat pukulan dan alat
tersebut dibunyikan bertalu-talu.
Suara gemblengan yang berat dan mantap bergema
diselurub lembah, membuat suasana kacau yang semula

menyelimuti lembah Cu-bu-kok per lahan-lahan pulih kembali
dalam keheningan.
“Breeenng-….! Breenng….! Breeenng….” bunyi gembrengan
bergema tiada hentinya, suara yang keras memancar seluruh
lembah Cu-bu-kok dan mendengung ditelinga setiap orang,
begitu keras suaranya hingga terasa amat memekikkan
telinga.
Ketika suara gembrengan itu berbunyi untuk ketiga kalinya
dari antara rombongan pelindung panji kuning perkumpulan
Sin-kie-pang tiba-tiba melangkah keluar tiga orang jago
dengan tindakan yang lebar mereka tinggalkan barisan dan
langsung menggabungkan diri dengan rombongan para jago
dari perkumpulan Kiu-im-kauw tersebut.
Ketika Pek Siau-thian mengamati ketiga orang yang keluar
barisan itu ternyata mereka adalah Che It Hun, Lim Kui serta
Ke Teng Pok.
Ketiga orang itu disebut orang sebagai Kui im sam kui atau
tiga setan dari per kumpulan Kiu-im-kauw, dahulu memang
merupakan anak buah dari perkumpulan Kiu-im-kauw.
Sewaktu mereka menggabungkan diri dengan perkumpulan
Sin-kie-pang, secara terus terang ketiga orang itu sudah
menjelaskan asal usul mereka dan Pek Siau-thian pun telah
mengetahui siapa yang sedang dihadapi.
Sekarang, meskipun dalam hati merasa gusar sekali karena
ketiga orang jago itu berlalu tanpa pamit, namun hawa
amarahnya masih dapat dikendalikan.
Siapa tahu setelah ketiga orang itu keluar barisan, tindakan
itu diikuti pala oleh dua orang lain, melanjutnya disusul pula

oleh delapan orang. Dibelakang delapan orang itu mengikuti
satu orang, setelah satu orang mengikuti pula dua orang….
Jilid 13
PERISTIWA itu berlangsung amat mendadak dan sama
sekali diluar dugaan siapapun, belum pernah Pek Siau-thian
mengalami pukulan batin seberat ini, ia saksikan dari barisan
pelindung hukum panji kuning secara beruntun sudah empat
puluh orang yang keluar barisan dari barisan tiga ruangan luar
dalam pun ada tiga puluh orang lebih yang tinggalkan barisan.
Orang-orang itu bagaikan dicabut sukmanya oleh raja
akhirat seonang demi seorang keluar barisan dengan sangat
teratur dan mengikuti irama gembrengan yang bergema di
angkasa, pandangan mereka lurus kedepan dan tak pernah
celingukan kemana-mana, setelah tiba dihadapan Tiam cu
istana neraka para jago itu berdiri tegak dengan muka serius
dan penuh rasa hormat.
Sekarang Pek Siau-thian dapat memahami apa yang telah
terjadi, urutan orang-orang itu tinggalkan barisan ternyata
persis mengikuti urutan mereka bergabung kedalam
perkumpulan Sin-kie-pang, mereka yang masuk perkumpulan
Sin-kie-pang lebih dahulu sekarang tinggalkan barisan lebih
dahulu, dan mereka yang akhir masuk perkumpulan seka rang
tinggalkan pula perkumpulan pada urutan yang terakhir,
semuanya disiplin dan sedikitpun tidak nampak kacau.
Menanti suara gembrengan itu sudah dibunyikan untuk
kelima belas kalinya, watku itulah baru tak nampak ada
manusia yang tinggalkan barisan, namun diantara jago-jago
lihay yang masih tersisa dalam barisan pelindung hukum panji
kuning perkumpulan Sin-kie-pang hanya tinggal dua puluh

orang saja, bila berbicara tentang ilmu silat mereka, maka
orang-orang itu hanya dapat dikatakan sebagai kelas dua
belaka.
Rasa gusar, penasaran dan mendongkol yang berkecambuk
dalam dada Pek Siau-thian sukar dilukiskan dengan kata-kata,
dalam keadaan sedih bercampur malu mendadak ia rampas
sebilah golok dari tangan seorang jago yang berada disisinya
kemudian langsung digorokkan ke arah leher sendiri.
Kebetulan sekali Kho Hong-bwee berada d dekat suaminya,
menyaksikan perbuatannya yang nekad itu, dia jadi amat
terperanjat untuk menyelamatkan jiwanya terang sudah tidak
sempat lagi perempuan itu segera menjerit keras, “Sau Tha!!!”
Tiba-tiba Hoa Thian-hong tertawa tergelak.
“Haaah…. haaah…. haaah…. Sau Tha artinya masih muda
tapi segalanya sudah tahu. Nah! akhirnya toh engkau harus
menelan kekalahan yang begitu pahit!”
Laksana kilat ia menerjang maju kedepan dan telapaknya
langsung berkelebat merampas golok itu.
Rasa malu dan gusar berkecamuk dalam dada Pek Siauthian,
sepasang matanya tiba-tiba melotot besar dan dua titik
darah kental mengalir keluar membasahi pipinya, dengan
penuh kemarahan, ia mendelik ke arah Hoa Thian-hong dari
sikapnya yang ganas seakan-akan ia hendak melancarkan
terjangan.
Tiba-tiba Kho Hong-bwee membentak nyaring.
“Hoa Thian-hong engkau benar-benarr terlalu keji.

Merah padam selembar wajah Hoa Thian-hong, ia teringat
kembali akan peristiwa dimana Pek Kun-gie secara nekad
terjunkan diri kedalam jurang tak terasa lagi hatinya jadi lunak
dan pemuda itu jatuhkan diri berlutut dihadapan Pek Siauthian
dan menjalankan satu kali penghormatan besar.
Meskipun bibirnya berkemak kemik namun tak sepatah
katapun yang dapat diutarakan pemuda ini.
Pek Siau-thian menggertak giginya kencang-kencang
perasaan hatinya sangat kalut dan serba salah, dalam
keadaan seperti itu ia segera melengos ke arah lain.
Tiba-tiba satu jeritan yang lengking dan keras amat
memekikkan telinga bergema diseluruh angkasa.
“Kaucu muncul dalam mimbar!”
Bersamaan dengan berkumandangnya seruan itu, semua
anggota perkumpulan Kiu-im-kauw sama-sama bangkit berdiri
dan menyingkir keke dua belah samping, sementara bocah
perempuan berbaju warna-warni dan berkuncir panjang
dibelakang tandu segera tampil ke depan dan menggulung
horden dimuka tandu itu.
Dalam waktu singkat suasana dalam lembah diliputi
kesunyian serta kebeningan yang mencekam, beribu-ribu mata
sama-sama dialih kan ke arah tandu megah tersebut, setiap
orang merasakan suatu perasaan tegang yang sangat aneh.
Tiba-tiba dari balik tandu melangkah keluar seseorang, dia
adalah seorang perempuan berperawakan tinggi besar dan
bermuka bulat bagaikan bulan purnama.
Rambut perempuan itu masih berwarna hitam pekat dan
terurai sepanjang bahu. Ia mengenakan seperangkat jubah

lebar berwarna hitam pekat, tangannya memegang sebuah
tongkat hitam yrng berat dan berukirkan sembilan buah
kepala setan perempuan pada bonggol atasnya, setiap ukiran
kepala setan perempuan itu berambut panjang, bergigi taring
dan kelihatan seram sekali, sedang kepala setan yang berada
dipaling atas melukiskan raut wajah yang hampir mirip dengan
wajah Kiu-im Kaucu tersebut, hanya saja Kiu-im Kaucu itu
kecuali berwajah pucat pias dan bermata menyeramkan
mukanya kelihatan menggidikan hati siapapun yang
memandang.
Ketika perempuan baju hitam itu keluar dari tandunya
thamcu istana neraka beserta seluruh jago lainnya termasuk
Che It Hun sekalian yang baru saja menggabungkan diri
segera jatuhkan diri berlutut sambil berseru lantang.
“Hamba sekalian menunjuk hormat untuk kaucu!”
Dengan sorot mata yang tajam bagaikan kilat, Kiu-im
Kaucu menyapu sekejap ke arah semua anak buahnya yang
berlutut diatas tanah kemudian sambil mengetuk tongkat
kepala setannya ia berjalan menuju kekursi kebesarannya.
Dari sikapnya yang agung dan seram serta langkahnya
yang berat dan mantap, Hoa Thian-hong menyadari bahwa
ilmu silat yang dimiliki ketua perkumpulan Kiu-im-kauw ini
sangat lihay dan otakpun licin sekali, dia merupakan seorang
musuh yang sulit dihadapi.
Menggunakan kesempatan dikala Kiu-im Kaucu sedang
berjalan menuju kekursi kebesarannya, pemuda itu segera
kembali kedalam barak dimana para pendekar berkumpul
Sementara itu Hoa Hujin dan Kiu-tok Sianci sekalian duduk
bersanding pada barisan terdepan sedangkan Biau-nia Samsian
sekalian kaum angkatan muda duduk dibelakangnya.

Hoa Thian-hong langsung masuk kedalam barak dan
memberi hormat kepada para angkatan tua yang duduk
didepan, sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu mendadak
Siang Tang Lay berbisik dengan suara lirih, “Anakku tahukah
engkau pedang emas tersebut kini terjatuh ditangan siapa?”
“Aku sama sekali tak tahu!”
“Bukankah dalam saku Yau Sut terdapat sebilah pedang
emas” sela Tio Sam-koh dari samping.
“Oooh! pedang emas itu palsu” tukas Siang Tang Lay
dengan cepat.
Sesudah berhenti sebentar, kepada Hoa Thian-hong
ujarnya dengan wajah serius.
“Engkau harus ingat baik-baik, Kitab kiam keng
peninggalan malaikat pedang Gi Ko tersimpan didalam pedang
bajamu itu, pedang baja murni ini sangat kuat dan keras
sekali, tapi pedang emas itu merupakan senjata tertajam di
kolong langit, hanya pedang emas itu saja yang mampu
mematahkan pedang bajamu serta mengambil Kitab Kiam
keng yang tersimpan didalamnya”
Hoa Thian-hong merasa amat terperanjat, dia angkat
pedang bajanya dan diamat-amati dengan seksama.
Tiba-tiba terdengar bocah perempuan berkuncir panjang
yang berdiri disamping Kiu-im Kaucu berseru kembali dengan
suara lantang, “Ku Ing-ing, harap menerima perintah!”
Serentetan suara sahutan yang merdu bergema dari arah
mimbar, disusul munculnya Giok Teng Hujin serta Pui Che-giok
dua orang.

Semua orang terperangah dibuatnya dan diam-diam
mengeluh atas kebodohan sendiri, walaupun pertarungan
sudah berlangsung beberapa hari, ternyata tak seorang
manusiapun yang masih ingat dengan perempuan misterius
itu.
Kiu-tok Sianci mengerutkan dahinya, kemudian berkata,
“Lan hoa, coba sadarkan orang-orang yang menggeletak
ditanah, coba lihat diantara mereka masih terdapat mata-mata
dari perkumpulan Kiu-im-kauw?”
Lan-hoa Siancu terima perintah dan langsung keluar dari
barak, dia ambil sebuah botol dan menciumkan obat pemunah
itu di ujung hidung setiap orang yang terkapar di situ.
Pengaruh kabut racun Kiu tok ciang datang amat cepat,
dalam waktu singkat semua orang sudah sadar dan samasama
menggabungkan diri ke arah Pek Siau-thian.
Diantara orang-orang itu ada lima orang pelindung hukum
panji kuning yang tiba-tiba berhenti berlari setelah menjumpai
kehadiran Kiu-im Kaucu disitu, mereka segera putar badan
dan kabur menuju kebarak orang-orang Kiu-im-kauw.
Dalam pada itu Giok Teng Hujin dengan tangan kiri
membopong Soat-ji makhluk aneh kesayangannya, tangan
kanan memegang sumbu obat peledak, perlahan-lahan ia
berjalan kehadapan Kiu-im Kaucu kemudian jatuhkan diri
berlutut.
“Tecu Ku Ing-ing dengan membawa serta budak tecu yang
bernama Che Giok mengunjuk hormatt buat kaucu”
Kiu-im Kaucu tertawa dingin tiada hentinya.

“Heeeh…. heeeh…. heeeh…. engkau bagus, engkau bagus,
engkau tidak bagus!”
Paras muka Giok Teng Hujin berubah hebat, sambil
tundukkan kepalanya ia berkata, “Thian Ik-cu telah mengatur
siasat busuk dalam lembab Cu-bu-kok ini, dia sudah menanam
obat peledak di mana-mana dan siap diledakan apabila situasi
pertarungan tak menguntungkan pihaknya hingga semua
orang yang hadir dalam lembah ini mati konyol semua, tecu
telah berhasil menggagalkan siasat busuknya itu”
“Oleh karena itulah aku mengatakan engkau bagus” sahut
Kiu-im Kaucu dengan suara hambar.
Pek Siau-thian yang mendengar perkataan itu perasaan
hatinya kembali berubah ia tak menyangka pertemuan besar
Kian ciau tayhwee yang penuh dengan persoalan dan
peristiwa diluar dugaan ternyata masih tersembunyi suatu
hawa nafsu membunuh yang membahayakan jiwa setiap
orang, diam-diam ia merasa sudah beruntung dapat hldup
sampai waktu itu, kalau masih mempunyai pikiran dan ambisi
yang besar untuk menguasai jagad sebetulnya pikiran itu
terlalu kelewat batas.
Tiba-tiba terdengar Thian Ik-cu berseru dengan suara
keras, “Ku Ing-ing! hubungan diantara kita toh erat sekali,
kapan sih aku pernah menyia-nyiakan dirimu?”
Giok Teng Hujin yang masih berlutut dihadapan Kiu-im
Kaucu berubah air mukanya jadi merah padam setelah
mendengar sindiran tersebut, tapi berhubung ia jeri terhadap
pengaruh kaucu nya maka perempuan itu hanya
membungkam terus dalam seribu bahasa.
Tiba-tiba dari sorot mata Kiu-im Kaucu keluar cahaya nafsu
membunuh yang amat tajam, sambil menatap Thian Ik-cu dari

kejauhan, serunya, “Cara kami orang-orang perkumpulan Kiuim-
kauw membunuh orang, sama sekali berbeda dengan apa
yang kau bayangkan, andaikata engkau tak ingin merasakan
penderitaan yang lebih hebat, lebih baik tutuplah mulutmu
dan jangan banyak bicara!”
Dari nada ucapan itu dengan jelas mengartikan bahwa
pihaknya telah ambil keputusan untuk mencabut nyawa Thian
Ik-cu.
Panglima perang yang baru saja menderita kalah, seringkali
memang nyalinya jauh lebih kecil, ketika Thian Ik-cu dipelototi
oleh Kiu-im Kaucu dari tempat kejauhan, dia merasakan sorot
mata lawan begitu tajam bagaikan anak panah yang
menembusi ulu hatinya, tanpa sadar sekujur badannya
gemetar keras dan bulu kuduknya pada bangun berdiri, ia
segera membungkam dalam seribu bahasa.
Giok Teng Hujin merasa makin ngeri dan takut tatkala
dilihat Kiu um kaucu tidak memerintahkan dirinya untuk
bangkit berdiri, dalam gelisah dan cemasnya ia segera
berseru, “Tecu yang mengemukakan siasat dengan budak
tecu, Che Giok menyaru sebagai Kun Gie untuk membunuh
putra Jin Hian serta mencari pedang emas, dan karena siasat
itu pula tiga kekuatan besar terjadi perpecahan….”
Tiba-tiba terdengar Jin Hian menengadah dan tertawa
seram, suaranya begitu seram penuh kesedihan dan rasa
dendam, begitu kerasnya suara tertawa itu membuat lembah
Cu-bu-kok bergetar keras suasana tegang dan sedih
menyelimuti seluruh angkasa.
Jin Hian makin tertawa makin keras, kutungan lengan
kirinya yang telah dibalut kini merekah kembali hingga darah
segar m ngucur tiada hentinya, mendadak ia muntah darah
segar….

Dipihak lain secara diam-diam Thian Ik-cu telah
melepaskan pedang mustika Poan liong kiam nya dan
diserahkan ketangan Pia Leng-cu sambil berbisik penuh
kegelisahan, “Pedang emas itu tersimpan dalam pedang
mustika ini, harap susiok segera melarikan diri, selewatnya
hari ini baik atau buruknya kita harus berusaha untuk
membinasakan Ku Ing-ing perempuan sialan itu!”
Terdengar Jin Hian yang sedang tertawa seram, tiba-tiba
berhenti tertawa kemudian membentak keras, “Ku Ing-ing
semoga aku diberkahi umur panjang, akan kulihat
bagaimanakah akhir hidupmu?”
“Hmm! mati hidup anak murid perkumpulan kami berada
dalam genggamanku!” seru Kiu-im Kaucu dengan nada
menyeramkan, raja akhiratpun tak kuasa menguasai kematian
mereka, apalagi engkau….
Bicara sampai disini, tiba-tiba ia saksikan Pia Leng-cu yang
berada dalam barak seberang sedang mengenakan pedang
mustika dengan sikap yang tergesa-gesa, kecurigaannya
segera timbul dan ia membentak keras, “Ku lng Ing!
dimanakah pedang emas itu?”
“Dalam pedang mustika Poan liong kiam milik Thian Ik-cu!”
Baru saja ucapan itu diutarakan, Pia Leng-cu dengan
membawa serta pedang mustika Poan liong poo kiam telah
meluncur kedepan serentetan suara suitan nyaring bergema di
angkasa, imam tua itu langsung kabur keluar lembah.
Kiu-im Kaucu amat gusar sekali menyaksikan perbuatan
imam tua tadi, sambil mengetukkan tongkat kepala setannya
keatas tanah ia membentak keras kemudian secepat kilat
mengadakan pengejaran dari belakang.

Dua orang itu satu didepan yang lain di belakang, bagaikan
anak panah yang terlepas dari busurnya langsung menerjang
ke arah mulut lembah, dalam sekejap mata bayangan tubuh
mereka sudah lenyap dari pandangan mata.
Siang Tang Lay buru-buru berseru kepada Hoa Thian-hong
dengan nada cemas, “Seng ji, cepat kejar! bagaimanapun juga
engkau harus merampas kembali pedang emas itu!”
Hoa Thian-hong dengan cepat melirik sekejap ke arah
ibunya, lalu berpikir didalam hati, “Luka dalam yang diderita
ibu parah sekali, mungkin keselamatan jiwanya sukar dijamin,
aku mana tega untuk tinggalkan dia orang tua lagi….?”
Berpikir sampai disitu, ia segera gelengkan kepalanya dan
membungkam dalam seribu bahasa.
Mendadak…. terjadi kegaduhan yang amat ramai diempat
penjuru.
Rupanya Pek Siau-thian telah menyadari bahwa gelagat tak
menguntungkan bagi pihaknya, menggunakan kesempatan
Kiu-im Kaucu belum kembali dari pengejarannya atas diri Pia
Leng-cu, tiba-tiba ia pimpin sisa laskar yang tergabung dalam
perkumpulan Sin-kie-pang dan cepat-cepat mengundurkan diri
dari Lembah tersebut.
Jin Hian dari perkumpulan Hong-im-hwie serta malaikat
kedua Sim Ciu dan nenek dewa bermata buta, masing-masing
dengan membopong seorang rekannya yang terluka, ikut
kabur tinggalkan mulut lembah tersebut.
Thian Ik-cu pun tak mau membuang kesempatan itu
dengan begitu saja, ia segera perintahkan seorang murid

untuk membopong tubuhnya dan kabur keluar dari lembah
Cu-bu-kok.
Begitulah dalam keadaan serba kalut dan Kiu-im Kaucu
belum kembali dari pengejarannya atas Pia Leng-cu, beberapa
orang pen tolan dunia persilatan yang sudah terdesak
posisinya pada melarikan diri dari sana.
Hoa Hujin sendiri diam-diam berpikir dalam hati kecilnya,
“Pengaruh dan kekuatan pihak Kiu-im-kauw terlalu besar
untuk dilawan, Seng ji sendiripun belum tentu bisa menandingi
kepandaian ilmu silat dari kaucu mereka, apalagi semua orang
sedang terluka dan kami hanya menggantungkan Seng ji
seorang, bagaimanapun juga posisi serta situasi semacam ini
sangat menguntungkan bagi kita”
Perempuan ini cermat dalam pemikiran tegas dalam
keputusan setelah ambil keputusan ia segera berseru, “Seng ji
bersiap sedia untuk buka jalan, mari kita undurkan diri lebih
dahulu dari sini!”
Hoa Thian-hong paling menguatirkan keadaan luka yang
diderita ibuaya, mendengar ibunya memerintahkan mundur ia
amat gembira sebab keputusan tersebut sesuai dengan
maksud hatinya.
Pemuda itu segera berlutut dan membopong ibunya diatas
punggung kemudian sambil memegang pedang bajanya ia
berjalan dulu didepan barisan.
Dalam waktn singkat Chin Pek-cuan telah membopong
putranya Giok Liang, Dewa yang suka pelancongan Cu Thong
membopong Bong Pay, Hoa In membopong Suma Tiang-cing,
tiga orang murid Siang Tang lay membopong tubuh suhunya
keatas tandu dan mengusung tandu tersebut, sedang Cu Im
taysu menggandeng Ciu Thian-hau.

Sementara itu, sisanya masing-masing membopong dua
sosok jenasah dan mengikuti dibelakang Hoa Thian-hong
segera kabur keluar dari lembah Cu-bu-kok tersebut,
Para jago itu merupakan orang-orang cekatan, setelah
mereka ambil keputusan untuk pergi maka gerakan tubuh
mereka cepat sekali, tidak sampai seperminum teh kemudian,
semua orang telah meloloskan diri dari lembah itu.
Dipihak para pendekar kaum lurus, Hoa Thian-hong
bergerak dipaling depan membuka jalan sedang Kiu-tok Sianci
mengikuti dibarisan paling belakang, tentu saja orang-orang
perkumpulan Kiu-im-kauw lebih-lebih tak berani menghadang
jalan pergi mereka.
Sesudah keluar dari lembah, buru-buru Hoa Thian-hong
bertanya, “Ibu, kita akan pergi kemana?”
“Bergerak dulu ke kota Cho ciu!”
“Aaaah benar, kita memang harus kembali keperkampuan
Liok Soat Sanceng yang sudah lama ditinggalkan” pikir Hoa
Thian-hong didalam hati.
Ia segera perkencang larinya dan meluncur ke arah depan
tanpa lengah barang sedikitpun.
Tiba-tiba terdengar Chin Pek-cuan membentak keras, “Seng
ji, lambat sedikit larinya!”
Buru-buru Hoa Thian-hong mengiakan ia segera perlambat
larinya dari keadaan semula.

Meskipun pemuda itu sudah memperlambat gerakan
larinya, namun buat Chin Pek-cuan serta Biau-nia Sam-sian
sekalian masih tetap tak sanggup untuk menyusul.
Diantara mereka, Li-hoa Siancu yang paling payah, dengan
nafas tersengkal-sengkal ia segera percepat larinya melampaui
Hoa Thian-hong dan menghadang dihadapan si anak muda
itu, sehingga terpaksa pemuda itu harus mengurangi gerak
cepatnya.
Pada saat itu tengah hari baru saja lewat, sang surya
memancarkan sinarnya dengan amat panas, setelah berlarilarian
beberapa waktu lamanya tubuh mereka semua telah
basah kuyup oleh air keringat.
Tiba-tiba Lan-hoa Siancu merasakan perutnya gemerutuk
tiada hentinya, ia segera teringat satu urusan, dengan cepat
tegurnya, “Siau long, hari ini tanggal berapa?”
“Entah, aku sendiripun tak tahu?”
Kiu-tok Sianci yang berada didekatnya segera
menyambung, “Ini hari tanggal delapan belas, ada apa sih?”
“Yaaa ampun! aku sudah tiga hari tiga malam tak makan
sesuatu apapun” seru Lan boa siancu setengah berteriak.
Begitu ucapan tersebut diutarakan keluar, semua orang
segera merasakan perutnya sangat lapar, begitu haus dan
laparnya sehingga hampir saja tak tertahankan.
Tiba-tiba Cu Im taysu mengheta nafas panjang dan
berkata, “Aaai….! pertamuan besar Kian ciau tayhwee telah
berlangsung selama tiga hari tiga malam lamanya, kalau
diingat kembali pertarungan ini mungkin merupakan suatu
pertarungan yang paling panjang”

“Aaai….! ucapanmu memang benar” sambung Ciu Thianhau
dengan suara berat, andaikata tidak murcul manusiamanusia
setan dari perkumpulan Kiu-im-kauw, mungkin dalam
sekali gebrakan Seng ji dapat menumpas habis sisa-sisa
kekuatan dari perkumpulan Sin-kie-pang dan dunia
persilatanpun akan menjadi tenang kembali.
“Walaupun kita gagal mengusir kaum penjahat dari muka
bumi, sedikit banyak perkumpulan Hong-im-hwie dan Thongthian-
kauw berhasil ditumpas, hasil yang kita peroleh itu
sudah cukup memuaskan hati pin ceng,” sambung Cu Im
taysu.
“Hmm!” Tio Sam-koh mendengus penuh kegusaran,
“seorang manusia laknat telah lenyap, muncul manusia laknat
lain, apa yang engkau puaskan….?”
Tiba-tiba ia membentak keras, “Seng ji kurang ajar….!!
engkau memang telur busuk”
Hoa Thian-hong jadi melongo ketika secara mendadak ia
dicaci maki nenek tua itu, dengan keheranan ia lantas
bertanya, “Nenek Sam poo, kenapa sih engkau mencaci maki
diriku?”
Tio Sam-koh makin gusar, teriaknya, “Tadi bedebah Pek
Siau-thian hendak bunnuh diri, kenapa engkau musti
menghalangi perbuatannya itu?”
Li-hoa Siancu yang berada dibelakang, sambil mencibirkan
bibirnya dia segera menyambung, “Huuuh….! kenapa lagi?
tentu saja ia memandang diatas muka Pek Kun-gie”

Merah padam selembar wajah Hoa Thian-hong mendengar
perkataan itu, buru-buru selanya, “Engkau keliru besar, aku
berbuat demikian karena memandang diatas wajah istrinya.
“Huuh, engkau anggap aku tak tahu siapakah istrinya itu?
bukankah dia calon mertuamu?” sindir Li-hoa Siancu lebih jauh
sambil tertawa dingin.
Dewa yang suka pelancongan Cu Tong tertawa terbahakbahak.
“Haaah…. haaah…. haaah…. setia kawan yang diperlihatkan
Kho Hong-bwee patut dipuji, kita harus menghormati
kepribadiannya yang luhur”
Hoa Hujin yang selama ini membungkam terus, tiba-tiba
berkata, “Jikalau orang-orang pihak Kiu-im-kauw melakukan
pengejaran satu-satunya jalan yang bisa kita lakukan adalah
melawan dengan sepenuh tenaga, bagaimanapun juga kita
bukan lagi melarikan diri, lebih baik cari dulu sebuah dusun
setelah makan kenyang baru kita lanjutkan kembali perjalanan
kita.”
Lan-hoa Siancu segera berseru, “Ucapan hujin tepat sekali,
Siau long dimanakah ada dusun?”
“Siaute tidak tahu!”
“Haaah! engkau ini segala apapun tidak tahu, yang engkau
ketahui cuma bagaimana caranya melindungi Pek Kun-gie.”
Hoa In tak tega majikan mudanya dibuat bulan-bulanan
oleh sekawanan gadis Biau itu, dengan cepat ia maju kedepan
sambil berkata, “Hamba tahu, disebelah depan sana ada
sebuah kota kecil!”

Ketika semua orang teringat akan makan dan minum tanpa
sadar perjalanan dilakukan jauh lebih cepat, kurang lebih
setengah jam kemudian sampailah mereka disebuan kota
kecil.
Meskipun kota kecil tapi disitu terdapat sebuah rumah
makan, setelah Hoa In membawa semua orang kerumah
makan itu ia pergi seorang diri untuk membeli peti mati.
Setelah peti mati tersedia beberapa orang itu segera
mengebumikan jenasab dari It sim hweesio sekalian beberapa
orang, menghadapi rekan-rekan mereka yang telah gugur
dalam keadaan mengenaskan semua orang merasa amat
bersedih hati terutama Harimau pelarian Tiong Liau yang
hampir pada saat yang bersamaan kehilangan istri dan
putranya yang tercinta, kesedihan hatinya benar-benar sukar
dilukiskan dengan kata-kata.
Untung semua orang adalah pendekar-pendekar sejati yang
berhati lapang dalam menghadapi pertarungan tersebut pada
dasarnya semua orang telah membawa tekad untuk berjuang
hingga titik darah penghabisan serta membasmi perkumpulan
Hong Im twee, Sin-kie-pang serta Thong-thian-kauw, yang
hidup merasa bersukur karena masih dapat melanjutkan hidup
sebaiknya yang gugurpun berkorban dengan terpuji setelah
bersedih hati beberapa waktu lamanya, perasaan hati
merekapun menjadi lapang kembali seperti sedia kala.
Daun Leng-ci mustika yang masih tersisa tinggal selembar
daun belaka, tapi Suma Tiang-cing, Chin Giok-liong dan Bong
Pay tiga orang sama-sama menderita luka dalam yang amat
parah, karena itu selembar daun mustika itu dibagikan kepada
mereka bertiga untuk dimakan, hingga saat itu masih tertidur
nyenyak dan tak pernah sadar barang sebentarpun jua.

Siang Tang Lay dan Ciu Thian-hau sendiri walaupun isi
perutnya terluka sangat parah, tapi dengan dasar tenaga
dalam mereka berdua yang amat sempurna, asal bersemedi
beberapa hari saja niscaya luka itu dapat di sembuhkan
dengan sendirinya.
Justru diantara mereka keadaan Hoa Hujin yang termasuk
paling payah, segenap tenaga dalamnya telah ludas, ilmu
silatnya punah dan luka racun yang didcitanya dahulu mulai
kambuh kembali, keadaannya paling serius dan gawat
diantara yang lainnya.
Kiu-tok Sianci kecuali ahli dalam bidang obat-obatan
beracun, iapun menguasai dalam ilmu pengobatan, setelah
mengisi perut dia segera memeriksa keadaan luka yang
diderita Hoa Hujin serta mengobati penyakitnya itu.
Setelah ribut sampai sore hari, akhirnya semua persoalan
dapat diatasi dan para jago pun bersama-sama kumpul dalam
ruangan untuk merundingkan gerakan mereka selanjutnya.
Hoa Hujin memandang sekejap ke arah Kin tok sian ci,
kemudian sambil tertawa ujarnya, “Putra ku pernah berhutang
budi kepada Sian ci dan ini hari berkat pertolonganmu semua
orang berhasil lolos dari bencara tersebut, bukan saja kami ibu
dan anak merasa amat berterima kasih sekali atas
penolonganmu itu, aku rasa semua orang yang hadir disinipun
mempunyai perasaan yang sama”
Mendengar perkataan itu, Kiun tok sian ci tertawa.
“Aaah! hujin terlalu sungkan-sungkan, kita toh mempunyai
pandangan dan cita-cita yang sama, tak apa kalau kita saling
bantu membantu”
Hoa Hujin tersenyum.

“Aku tahu kalau sian ci paling tak suka mencampuri urusan
keduniawian, aku lihat lebih baik engkau segera pulang ke
wilayah Biau saja karena urusan disini sudah selesai dan aman
bila lain waktu ada kesempatan aku orang she Bun pasti akan
berkunjung kesitu.
“Ibu! bagaimana dengan luka racunmu?” tukas Hoa Thianhong
darin samping, “sian nio paling sayang kepada
ananda….”
“Sian ci telah tinggakan resep obat kepadaku, asal kita
belikan obat itu bukankah lukaku akan sembuh?” sela Hoa
Hujin sambil tertawa.
Sesudah berhenti sebentar ia melanjutkan.
“Sekarang engkaupun telah lerhitung seorang pendekar
kenamaan dalam dunia persilatan, lain kali kalau ingin
menyelesaikan sesuatu masalah maka engkau harus
mengutamakan soal cengli lebih dulu janganlah urusan pribadi
maka engkau merampas cengli dengan emosimu itu!”
“Ananda akan ingat selalu nasehat dari ibu” sahut Hoa
Thian-hong sambil tertawa riku.
Sementara itu Kiu-tok Sianci telah tertawa santai lalu
berkata, “Chin loo enghiong, putri kesayanganku itu akan kau
ajak pulang ke kota Keng ciil ataukah ikut aku pulang ke
wilayah Biau?”
“Haahh…. haahh…. haahh….” Chin Pek-cuan tertawa
terbahak-bahak, “selamanya perempuan mondong keluar,
sejak dari permulaan aku telah berikan putriku ini kepada
orang lain”

Kiu-tok Sianci kembali tersenyum, “Hong ji, inginkah
engkau pulang ke wilayah Biau dan belajar warisan ilmu
kepandaianku?”
“Ingin!” sahut Chin Wan-hong lirih, kepalanya ditundukkan
rendah-rendah.
Jawaban tersebut diutarakan dengan suara yang lirih dan
lembut bagaikan bisikan nyamuk, semua orang tahu gadis itu
sebenarnya ingin tapi tidak ingin, tidak ingin tapi sebenarnya
ingin.
Tiba-siang Siang Tang Lay berkata, “Hujin, aku adalah
orang yang berasal dari luar perbatasan, bila ada perkataan
yang menyumbat tenggorokanku, rasanya tak leluasa kalau
tidak diutarakan keluar”
Kita toh sesama rekan seperjuangan, bila Siang heng ingin
mengucapkan sesuatu silahkan saja diutarakan secara terus
terang.
Aku tak habis mengerti, apa sebabnya hujin tak mau
menganggap Hong ji sebagai menantumu? apakah engkau
benar-benar penuju dengan Pek Kun….
Buru-buru Hoa Hujin goyangkan tangannya berulang kali,
sambil tertawa ia menukas.
“Aku orang she Bun amat penuju sekali dengan Hong ji,
sebenarnya aku sudah ingin menimangnya sejak dulu, tapi
berhubung Hong ji masih punya harapan untuk mewarisi
segenap kepandaian dari sian ci maka aku kuatir karena soal
perkawinannya ini sehingga menghilangkan kesempatan baik
tersebut baginya”
Mendengar perkataan itu, Kiu-tok Sianci segera tertawa.

“Soal itu sih tak perlu kau risaukan, anak murid wilayah
Biau bisa menjadi menantu keluarga Hoa, sekalipun tiap tahun
aku harus berkunjung sekali kedaratan Tionggoan aku juga
rela….”
Berbicara sampai disini, tiba-tiba paras mukanya berubah
jadi amat serius serunya, “Siau long!”
Merah padam selembar wajah Hoa Thian-hong, dengan
terbata-bata ia mengiakan.
Dengan nada serius Kiu-tok Sianci berkata lebih jauh,
“Ibumu adalah seorang pendekar sejati diantara kaum wanita,
selamanya bertindak ia lebih mengutamakan kepentingan
umum daripada kepentingan diri pribadi, sedang aku adalah
suku Biau aku mempunyai jalan pikiran yang lain mengenai
kehidupan seorang manusia, mengertikah apa yang
kumaksudkan?”
Hoa Thian Hoag agak terperangah.
“Meskipun aku yang muda tidak mempunyai banyak
kesempatan untuk berkumpul dengan sian nio, tapi dalam
pikiranku. Sian nio tak ada ubahnya dengan ibu kandungku
sendiri”
Kiu-tok Sianci mengangguk, “Baik, akan kujelaskan
kepadamu sifat suku Biau kami, bagi orang Biau mereka lebih
mengutamakan soal cinta kasih daripada kepentingan umum,
kalau engkau tak bersedia mengawini Hong jin, maka
katakanlah sekarang juga, aku tak mungkin akan membenci
atau mendendam kepadamu, tapi seandainya engkau telah
mengawini Hong jin kemudian melakukan perbuatan yang
mengakibatkan ia merasa sakit hati, jikalau kami orang Biau
sudah membalas dendam, maka cara dan tindakan yang kami

lakukan tak akan kepalang tanggung, kami akan gunakan
berbagai cara yang terkeji untuk lenyapkan dirimu dari muka
bumi”
Selesai mendengar keterangan tersebut. Hoa Thian-hong
berdiri termangu-mangu, lama sekali ia baru berseru dengan
terbata-bata, “Empek Chin adalah tuan penolong keluarga Hoa
kami….”
“Sekarang kita tidak membicarakan soal budi atau setia
kawan, yang dibicarakan hanya soal cinta asmara, cintakah
engkau kepada Hong ji….?”
Hoa Thian-hong melirik sekejap ke arah Chin Wan-hong,
lalu tanpa disadari ia mengangguk.
Li-hoa Siancu yang selama ini membungkam, tiba-tiba
menimbrung dari samping, “Siau long, cintakah engkau
kepada Pek Kun-gie?”
Mendengar pertanyaan ttu, Hoa Thiao Hong berdiri
tertegun dan gelabakan setengah mati, bibirnya bergerak
seperti mau mengucapkan sesuatu namun tak sepatah
katapun yang meluncur keluar.
Li-hoa Siancu jadi mendongkol sekali, segera hardiknya,
“Ayoh jawab engkau cinta padanya atau tidak?”
“Siaute!…. siaute sendiripun tak tahu apakah aku cinta
padanya atau tidak!”
“Hmm! kalau tidak tahu itu tandanya engkau cinta pada
budak ingusan tersebut! bukan begitu?” seru Li hoa siansu
makin naik pitam.

Lan-hoa Siancu yang berada disisinya segera ikut nimbrung
dari samping.
“Kalau memang begitu urusan makin gampang untuk
diselesaikan, sebentar kita berangkat dan cari Pek Kun-gie
sampai ketemu setelah gadis ingusan itu kita bunuh bukankah
urusan akan beres?”
Hoa Thian-hong kaget sekali mendengar ancaman tersebut
segera pikirnya didalam hati.
“Ketiga orang budak ini sangat binal dan tak tahu aturan
apa yang diucapkan dapat sungguh-sungguh dilaksanakan,
waah…. kalau sampai terjadi peristiwa itu urusannya jadi
runyam”
Berpikir sampai disini buru-buru ia berpaling ke arah Kiutok
Sianci dan berseru.
“Sebagai seorang lelaki sejati aku berani menerima resiko
macam apapun juga tapi aku mohon agar sian ci jangan
membinasakan diri Pek Kun-gie”
Kiu-tok Sianci menghela napas panjang.
“Aaiai…. Hujin lebih baik engkau yang selesaikan urusan ini,
aku sendiripun tak tahu apa yang harus kulakukan!”
0000O0000
60
“Sian Ci tak usah kuatir” sahut Hoa Hujin dengan wajah
serius, “setelah putraku mengawini Hong ji jika tindak
tanduknya tidak genah dan cintanya tidak setia maka akan

kuhantar sendiri batok kepalanya ke wilayah Biau untuk
diperiksa oleh sianci!”
“Kalau memang begitu akupun tak akan mengatakan apaapa
lagi!”
Hoa Hujin segera berpaling dan tegurnya, “Chin heng entah
bagaimana pendapatmu?”
Chin Pek-cuan segera menengadah dan tertawa terbahakbahak.
“Haaahhh…. haaahh…. haahh…. apa yang harus kukatakan
lagi?”
Sampai disitu maka urusan perjodohanpun sudah
ditetapkan, Dewa yang suka pelancongan Cu Thong sekalian
segera memberi selamat kepada keluarga pihak lelaki,
keluarga pihak perempuan serta Kiu-tok Sianci, sedangkan
Biau-nia Sam-sian menggoda adik seperguruannya hingga
membuat Chin Wan-hong jadi tersipu-sipu.
Setelah ribut beberapa waktu, merekapun membicarakan
soal waktu perkawinan, Chin Pek-cuan tidak memberi
komentar apapun dan menurut semua pendapat yang
diutarakan.
Sebaliknya Hoa Hujin yang teringat letak perkampungan
Liok Soat Sanceng jauh di wilayah San see, kalau perkawian
itu diseleng garakan setelah tiba dirumah, maka hal ini pasti
akan memperlambat waktu pulang Kiu-tok Sianci ke wilayah
Biau, selain itu diantara rekan-rekan seperjuangan pun masih
banyak yang terluka, pengaruh perkumpulan Kiu-im-kauw
makin mengganas sedang masa depan dunia persilatan tetap
diselubungi kabut bencana, belum tentu semua orang
berminat untuk ikut menghadiri perayaan tersebut, karenanya

ia ambil keputusan daripada musti gelisah lebih baik upacara
perkawinan dilakukan secepatnya.
Kiu-tok Sianci adalah seorang suku Biau, ia tidak punya
pantangan atau kesulitan apa-apa kecuali urusan Pek Kun-gie
yang masih mengganjal dalam hatinya, menurut pemikirannya
asal sang murid segera melangsungkan perkawinannya dan
merekapun telah menjadi suami istri maka keadaan tersebut
akan jauh lebih mantap.
Setelah berunding beberapa waktu lamanya, terakhir tiga
orang itu memutuskan untuk menyelenggarakan upacara
perkawinan pada saat itu juga dalam rumah penginapan kecil
jauh diluar kota tersebut.
Dalam sekejap mata suasana dalam kedai itupun jadi ribut
dan ramai, Hoa In segera pergi ke pasar untuk siapkan lilin
dan hiasan, Lan-hoa Siancu dan Tio Sam-koh menyiapkan
pakaian serta perhiasan, Li-hoa Siancu dan Ci-wi Siancu
mengatur kamar pengantin, Dewa yang suka pelancongan Cu
Thong menyiapkan meja perjamuan.
Karena jumlah pembantu yang sangat kurang, Cui Im taysu
seorang yang pergi membereskan soal peti mati dan lelayon
rekan-rekannya untuk dipindahkan dari depan kedai ke arah
belakang, bekerja pulang pergi dengan repotnya membuat
beberapa orang itu basah kuyup oleh air keringat….
Setelah repot seharian penuh, tatkala malam hari
menjelang tiba semua persiapan pun telah beres.
Pada malam itu juga, ruang tengah kedai bermandikan
cahaya terang, Hoa Thian-hong mengenakan jubah panjang
warna merah, sedangkan Chin Wan-hong mengenakan gaun
yang gemerlapan, kecuali tidak memakai penutup kepala,
dandanan mereka persis seperti pengantin pada umumnya.

Sesudah upacara dimeja sembahyang pay ciu maka
sepasang pengantin baru itupun dihantar masuk kekamar
pengantin.
Keesokan harinya, sepasang pengantin baru itu
mengucapkan banyak terima kasih kepada para cianpwee dan
rekan lainnya yang ikut memeriahkan upacara itu.
Sejak pertempuran sengit dalam pertemuan besar Kian ciau
tayhwee, dalam hati kecil setiap orang sama-sama timbul
suatu perasaan yang sangat aneh, seolah-olah dalam
beberapa hari yang singkat, umur mereka semua telah
bertambah tua dua tiga puluh tahun kegagahan dan semangat
berkobar-kobar yang mereka perhatikan dimasa silam secara
tiba-tiba lenyap tak berbekas, setiap orang merasakan
badannya lesu dan penat bahkan Ciu Thian-hau serta Tio
Sam-koh sekalian yang merupakan orang-orang gagah yang
suka berterus terangpun sama-sama berharap agar dunia
persilatan dapat menjadi tenang untuk beberapa saat lamanya
sehingga memberi kesempatan buat mereka untuk
mengundurkan diri dan mengasingkan diri dari urusan dunia.
Selesai bersantap pagi, Kiu-tok Sianci memanggil sepasang
pengantin baru itu dihadapannya dan berkata, “Siau long ini
hari juga aku akan pulang ke wilayah Bitu, Hong ji adalah
seorang bocah yang jujur dan setia engkau harus hati-hati
merawat dirinya”
Hoa Thian-hong anggukkan kepalanya berulang kali.
“Aku yang muda tak berani menyia-nyiakan dirinya!”
“Hmm! aku tanggung engkau tak berani, sela Lan hoa sian
cu dari samping.

Hoa Thian-hong dan Chin Wan-hong saling berpandangan
sekejap lalu tertawa, setelah perkawinan paras muka mereka
berdua meman-carkan cahaya berkilauan, cinta kasih yang
begitu hangat dan mesrah terkandung semua dibalik
senyuman tersebut membuat Biau-nia Sam-sian yang
menjumpai keadaan tersebut sama-sama terperangah
dibuatnya.
Tiba-tiba Li-hoa Siancu berteriak keras, “Bagus sekali!
setelah Hong ji punya suami, ia tak mau suhunya serta para
sunci nya lagi”
“Benar akupun merasakan juga akan hal ini” sambung Ci-wi
Siancu dari samping secara tiba-tiba, “aku merasa hubungan
siau sumoay dengan diriku jadi terpaut sekali”
Chin Wan-hong jadi sangat gelisah, ia berusaha hendak
membantah tapi mulutnya tergagap dan tak sepatah katapun
yang sanggup di utarakan keluar.
Melihat keadaan muridnya yang terkecil ini, Kiu-tok Sianci
segera tertawa dan menghentikan suara ribut-ribut semua
orang, dari sakunya diambil keluar sejilid kitab lalu berkata,
“Isi kitab isi merupakan kepandaian ilmu tusuk jarum guna
mengobati luka akibat keracunan, ambillah dan pelajari sendiri
dengan seksama, setengah tahun kemudian aku akan
berkunjung lagi keperkumpulan Liok Soat Sanceng guna
mewariskan kepandaian yang lain”
Ching Wan Hong menerima kitab tersebut dan
mengucapkan banyak terima kasih kepada suhunya, Kiu-tok
Sianci pun menggunakan kesempatan itu mohon diri kepada
semua orang.
Tiba-tiba Siang Tang Lay berseru, “Seng ji, bagaimanakah
ilmu silat yang dimiliki Kiu-im Kaucu menurut pendapatmu?!”

Hoa Thian-hong termenung dan berpikir beberapa saat
lamanya, kemudian menjawab, “Aku yang muda tak dapat
menerkanya!”
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan.
“Tongkat kepala setan yang menjadi senjata andalannya itu
entah terbuat dari bahan apa? kalau didengar dari pantulan
suara ketika tongkat itu menyentuh tanah, mungkin beratnya
melebihi lima ratus kati….”
“Aaah! omong kosong, pandai benar engkau ngaco belo tak
karuan!” maki Lan-hoa Siancu.
Hoa Thian-hong tersenyum.
“Betul! tongkat itu berat sekali, mungkin enci tidak
perhatikan dengan seksama….”
“Aaaah! ngawur, omong kosong, aku lihat tongkat itu
dibawa olehnya dengan enteng sekali kami yang ada
didekatnyapun tak dengar sentuhan tongkat dengan tanah
maka engkau yang ada ditempat kejauhan malah mendengar
dengan jelas?”
“Suhu kau dengar atau tidak?” tanya Ci-wi Siancu.
Aku sih tidak mendengar jawab Kiu-tok Sianci sambil
tertawa, tapi aku percaya tongkat kepala setan itu bukan
benda sembarangan tongkat itu pasti berat sekali.
Kalau senjata itu benar-benar lima ratus kati beratnya tapi
ia bisa membawa dengan begitu enteng seolah-olah barang
kecil, dari sini dapat diketahui kalau ilmu silatnya pasti luar
biasa sekali!” teriak Lan-hoa Siancu.

Siang Tang Lay mengangguk.
Menurut pandanganku, Kiu-im Kaucu pastilah seorang jago
persilatan yang berkepandaian silat luar biasa, bukan saja
akalnya banyak dan cerdas diapun merupakan seorang
manusia yang licik dan kejam, manusia semacam ini sukar
dihadapi.
“Perkataan dari lociqnpwee tidak salah, Hoa Thian-hong
menanggapi, setelah orang ini munculkan diri dalam dunia
persilaan pelbagai perbuatan yang mengoncangkan dunia
persilatan pasti dilakukan olehnya, dalam keadaan demikian
rasanya tak mungkin bagi kita untuk tetap santai dan
menganggur”
Emmm! orang kuno mengatakan: Setelah Thian
memberikan kecerdasan kepada kita umat manusia, maka
setelah kita hidup di kolong langit kenapa musti menganggur
atau bermalas-malasan! cuma….”
Dia menyapu sekejap kawan-kawannya yang hadir disana,
lalu melanjutkan, “Aku adalah seorang manusia yang bertubuh
cacad, ketika pinjam ilmu iblis pekikkan maut Hong hiat mo
kang aku telah berjanji hanya akan menggunakan satu kali
saja, mulai sekarang aku tak dapat menggu nakan kepandaian
itu lagi, seandainya terjadi persoalan maka aku tak dapat
memberi bantuan apa-apa lagi”
Hoa Hujin tersenyum.
“Jadi kalau begitu, sepantasnya kalau namaku pun ikut
terhapus dari dunia persilatan”
Terdengar Siang Tang Lay melanjutkan kata-katanya lebih
jauh, “Kalau kita gunakan racun untuk melukai seorang atau

dua orang, maka kejadian ini merupakan suatu peristiwa yang
umum dan tak aneh tapi kalau mengandalkan benda racun
untuk membirasakan segenap musuh-musuh kita, maka
kejadian itu merupakan suatu peristiwa yang melanggar
hukum Thian serta memperkosa asas perikemanusiaan, sekali
pun meracuni sekelompok binatang buas hingga mati juga
merupakan tindakan kelewat kejam, oleh sebab itulah kita tak
boleh terlalu menggantungkan kemampuan Sian ci….”
Kiu-tok Sianci tertawa dan segera berkata, “Persoalannya
terletak pada kemampuan ilmu racun yang kadangkala tak
bisa digunakan sebagaimana mestinya kita berbicara menurut
keadaan yang kita alami kemarin, pada waktu itu kabut Kiu
tok ciang milikku sudah kusebarkan pada tingkat yang paling
hebat, seandainya berada ditanah lapang yang luas atau
ditempat yang berhembus oleh angin kuat maka benda racun
itu tidak akan banyak mendatangkan manfaat, meskipun aku
mempunyai ilmu racun lainnya, akan tetapi kepandaian
tersebut tak dapat di gunakan untuk mengbahapi jumlah
orang yang terlalu banyak.”
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan, “Kabut racun itu
paling anti dengan api, sebab kalau bertemu api segera akan
berkobar dan musnah tak berbekas, hawa racun akan kalut
dan buyar bahkan kemungkinan besar malahan akan melukai
orang-orang dari pihaknya sendiri, terus terang saja ilmu
racun itu banyak sekali penyakit dan kelem hannya,
seandainya pihak lawan mengetahui keadaan itu dengan jelas,
maka sulitlah bagi kita untuk pancing mereka hingga masuk
perangkap”
“Yaa…. kalau ditinjau dari sini, bicara pulang pergi akhirnya
toh untuk menghadapi perbuatan dunia persilatan, kita masih
menggantungkan diri dengan soal ilmu silat, kalau ilmu silat
trak dapat menandingi maka cepat atau lambat akibatnya
akan menuju jalan kematian”

“Aku yang muda akan berlatih tekun siang maupun malam,
aku harap Cianpwee sekalian bersedia untuk menyumbangkan
pula tenaga untuk bersama-sama menghadapi situasi yang
gawat dan serba susah ini” pinta Hoa Thian-hong serius.
Siang Tang Lay menghela napas panjang.
“Aaai…. yang tua dan berpengalaman telah mengundurkan
diri, orang-orang yang masih hidup sekarang tinggal beberapa
gelintir saja, kami beberapa orang ini sudah tak akan
memberikan manfaat apa-apa lagi bagi dirimu”
Mendengar sampai disitu, Ci-wi Siancu baru paham dengan
apa yang dimaksudkan oleh jago tua itu, dengan alis mata
berkenyit serunya tercengang, “Kenapa sih? maksud Siang
locianpwee, untuk menghadapi semua urusan dalam dunia
persilatan dikemudian hari, maka sian long harus
menanggulanginya seorang diri?”
“Kalau tidak begitu lantas apa yang harus kita lakukan?”
Ciwi siancu merasa sangat tidak puas, serunya, “Kita
semua….?”
Tetapi ketika ia saksikan kecuali dirinya guru dan murid
serta Siang Tang Lay, para jago yang hadir disinipun cuma
beberapa orang belaka yang mungkin merupakan segenap
anggota persilatan dari golongan lurus, ia jadi terbungkam dan
tak sanggup meneruskan kembali kata-katanya.
Terdengar Siang Tang Lay dengan suara lantang berkata
lagi, “Seng ji, seribu patah kata lebih baik kuringkas jadi
sepatah kata saja, cepat-cepatlah rampas kembali pedang
emas itu dan ambillah kitab Kiam keng dari pedang baja
tersebut, menanti ilmu silatmu telah berhasil dilatih hingga

mencapai tingkatan yang tiada tandingannya lagi di kolong
langit, pada saat itulah apa yang ingin kau kerjakan dapat di
laksanakan dengan leluasa”
“Terima kasih atas petunjuk dari locianpwee, aku telah
memahami arti dari kata-katamu itu” sahut Hoa Thian-hong
serius.
Siang Tang Lay tertawa ringan, kembali katanya, “Dan
disinilah letak kunci rahasia mengapa Kiu-im Kaucu tidak
terburu nafsu untuk membinasakan kita sebaliknya malah
ribut untuk merampas pedang emas itu”
“Mungkin dia kuatir kalau di kolong langit terdapat jago
lihay yang memiliki ilmu silat yang lebih tinggi dan lihay diri
pada dirinya?” ujar Ci-wi Siancu.
“Tentu saja dari pada menggantungkan kekuatan anak
buah lebih baik menggantungkan kekuatan sendiri, musibah
yang menimpa diri Pek Siau-thian merupakan suatu contoh
yang amat jelas sekali”
Kiu-tok Sianci tiba-tiba tersenyum sesudah memandang
sekejap ke arah sepasang pengantin baru itu, ia bangkit
berdiri dan mohon diri, Siang Tang Laypun segera mohon diri
pula, kepada semua orang dan berangkat kembali ke wilayah
See ih.
Hoa Hujin berusaha untuk menahan mereka, tapi setelah
usahanya gagal terpaksa ia menghantar keberangkatan
mereka.
Siang Tang Lay adalah rekan seperjuangan para jago,
gerak-geriknya sudah terbiasa pergi datang tak menentu,
kepergian jago tua itu tidak begitu memberatkan hati semua
orang.

Lain keadaannya dengan Kiu-tok Sianci, bukan saja ia
merupakan gurunya Chin Wan-hong, dengan diri Hoa Thianhong
pun mempunyai ikatan bubungan yang sangat erat.
Biau-nia Sam-sian amat menyayangi siau sumoynya ini,
sejak permulaan memandang Hoa Thian-hong sebagai
saudara sendiri pula, beberapa orang yang selalu berkumpul
dengan riang gembira ini, setelah harus berpisah mereka
sama-sama merasa berat hati dan segan untuk berpisah satu
dengan lainnya.
Setelah menghantar sampai keluar pintu rumah
penginapan, Siang Tang Lay beserta anak muridnya berangkat
ke arah barat, sedangkan Kiu-tok Sianci beserta Biau-nia Samsian
berangkat ke arah barat daya, Hoa Thian-hong dan Chin
Wan-hong menghantar guru dan kakak sepergu ruan mereka
hingga sepuluh li jauhnya, disitulah dengan air mata
bercucuran mereka saling berpisah.
Sesaat setelah berangkat, Lan-hoa Siancu diam-diam
berpikir dalam hati kecilnya, “Pek Kun-gie cantik jelita
bagaikan bidadari sebaliknya Hong ji segan untuk mencampuri
urusan itu, keadaan semacam ini benar-benar amat
membahayakan posisinya.”
Berpikir sampai disitu, ia lantas berseru, “Siau long!”
“Enci ada persoalan apa?” tanya Hoa Thian-hong dengan
air mata berlinang.
Lan-hoa Siancu menarik anak muda itu ke samping lalu
dengan muka serius bisiknya, “Aku hendak memperingatkan
dirimu lebih dahulu, jika engkau berani kasak kusuk
mengadakan cinta dengan Pek Kun-gie maka aku bersumpah

pasti akan bunuh budak ingusan she Pek itu sampai mampus
mengerti?”
“Siaute tidak berani!”
“Aku tak mau tahu engkau berani atau tidak” tukas Lan hoa
sianco cepat, “asal aku dengar engkau adakan hubungan
gelap dengan perempuan itu, maka aku akan segera bunuh
Pek Kun-gie secara keji, engkau pasti tahu bukan ilmu racun
dari suku Biau kami tersohor karena kelihayannya dan
membuat orang yang diserang sama sekali tak bisa
menghindar ataupun bersiap sedia!”
Hoa Thian-hong termangu beberapa saat lamanya,
kemudian sahutnya.
“Akan siaute ingat selalu!”
Lan boa siancu mendengus dingin, setelah dipikir sebentar
agaknya ia masih merasa tidak lega hati maka kembali Chin
Wan-hong ditarik kesamping dan secara diam-diam memesan
sepatah dua patah kata kepadanya, lalu memberikan sebuah
benda kedalam gengamannya, kemudian mereka guru dan
murid empat orang baru berangkat melakukan perjalanan.
Menanti bayangan punggung keempat orang itu sudah
lenyap dari pandangan, Hoa Thian-hong suami istri baru
kembali kerumah penginapan sambil bergandengan tangan,
pada waktu itu Hoa Hujin sekalian sudah menunggu diluar
pintu siap untuk berangkat keutara.
Dari tempat itu menuju keutara, perjalanan dilakukan
dengan sangat lambat, Hoa Hujin naik tandu, Suma Tian Cing
sekalian yang terluka parah naik kereta sedangkan sisanya
ada yang menunggang kuda ada pula yang jalan kali, sedang

empat buah kereta besar penuh berisikan peti mati dengan
layon dari rekan-rekan mereka yang gugur.
Suasana dalam dunia persilatan pada saat itu sangat
tenang dan sepi sekali, perkumpulan Thong-thian-kauw serta
Hong-im-hwie yang baru saja terbasmi dan musnah, lebihlebih
tak ada suara lagi sampai para anak buahnya yang
berada dipelbagai daerah pun ikut lenyap tak berbekas.
Bagi kalangan hitam, suasana semacam ini dinamakan
musim meng-hindari angin ibaratnya pohon tumbang monyet
pada berlarian, tak seorang anggota komplotan dari dua buah
perkumpulan itu yang berani munculkan diri secara terus
terang.
Setiap orang sama-sama menguatirkan suasana yang
tenang tapi menegangkan itu orang-orang dari perkumpulan
Kiu-im-kauw belum ada yang munculkan diri secara resmi,
sedang pihak Pek Siau-thian setelah mengalami pukulan batin
yang amat berat itu, pengaruh pihak Sin-kie-pang pun kian
hari kian bertambah merosot.
Sepanjang perjalanan menuju keutara, para jago tak
pernah berjumpa seorang manusiapun yang menggembol
golok atau pedang hingga akhirrya pada suatu hari mendadak
terjadilah suatu peristiwa yang sangat aneh.
Kiranya kisah pertarungan dan akibat dari pertemuan besar
Kian ciau Tay bwee telah tersiar secara luas dikalangan rakyat
jelata, para penduduk pada mengetahui kalau pihak pendekar
telah berhasil melenyapkan perkumpulan Thong-thian-kauw
dan Hoa Im hwee dari muka bumi, hanya saja berita yang
tersiar kian lama kian menjauhi garis kenyataan yang
sebenarnya, bahkan sampai-sampai tersiar berita yang
mengatakan secara bagaimana pihak pendekar bertempur
sengit selama tiga hari tiga malam sebelum akhirnya berhasil

melenyapkan Thong-thian-kauw dan Hong-im-hwie dari muka
bumi.
Bagaimana pihak Sin-kie-pang tinggalkankan medan dan
melarikan diri terbirit—birit, bagaimana ada beberapa orang
manusia tanpa nama yang menyaru sebagai setan dengan
mengaku orang-orang dari perkumpulan Kiu-im-kauw tapi
sandiwara mereka ketahuan dan ketuanya melarikan diri
terbirit-birit, sampai ada yang menyiarkan berita yang
mengatakan dunia telah aman tenteram dan bebas dan
kelaliman serta kejahatan.
Berdasarkan berita yang tersiar itulah setiap rumah
penduduk yang dilalui para pendekar rata-rata menyiapkan
meja sembahyang di luar pintu rumahnya segenap keluarga
menyiapkan sayur dan arak untuk menjamu pahlawanpahlawan,
mereka keluarga kaya dan kaum bangsawan
memimpin rakyatnya menyambut kedatangan jago-jago lihay
itu, nama besar Hoa Hujin sampai Hoa In dan Harimau
pelarian Tiong Liu tersohor di mana-mana dan dihormati
bagaikan malaikat,
Dua wilayah yang mereka lewati semuanya menunjukkan
keadaan yang sama, dengan susah payah akhirnya toh para
jago berhasil melanjutkan kembali perjalanannya namun
banyak waktu telah terbuang dengan percuma.
Dalam keadaan demikian, semua orang merasa malu dan
jengah dengan sendirinya, untuk menghindari semua keadaan
seperti itu terpaksa mereka menghindari kota besar dan
melewati jalan gunung, setelah tengah malam tiba, mereka
baru berani cari tempat penginapan untuk beristirahat.
Suatu ketika sewaktu rombongan para jago masih berada
beberapa li dari sebuah kota, mereka saksikan cahaya lampa
lentera menyinari sekeliling pintu gerbang kota, beratus-ratus

orang penduduk berkumpul dikaki pintu kota menantikan
kedatangan mereka, hal ini segera menyusahkan hati Hoa
Hujin dan buru-buru memerintahkan semua rombongan untuk
menghentikan perjalanan.
Tiba-tiba Ciu Thian-hau loncat turun dari atas kereta,
kemudian berseru, “Hujin, lo koko sekalian, aku ingin buruburu
pulang kerumah, lebih baik kita berpisah sampai disini
saja”
Setelah memberi hormat ia segera meneruskan perjalanan
kabur menuju ketempat yang sepi dan kegelapan.
Semua orang terperangah menyaksikan kejadian itu
sebelum mereka sempat mengucapkan sesuatu bayangan
tubuh Ciu Thian-hau sudah lenyap dari pandangan.
Dewa yang suka pelancongan Cu Thong berpikir sebentar
ketika merasakan bahwa cara itu sangat bagus maka sambil
tertawa terbahak-bahak ia segera bopoag tubuh Bong Pay
sambil berkata, “Sampai jumpa lain kesempatan, akupun ingin
berangkat selangkah lebih dulu”
“Cu toako kapan kita dapat bertemu lagi?” seru Hoa Hujin
dengan gelisah.
Dewa yang suka pelancongan Cu Thong tertawa.
“Kalau aku masih bernasib panjang permulaan tahun
mendatang aku pasti akan datang untuk menyampaikan tahun
baru kepada hujin”
“Cu toako engau akan berdiam dimana?”
Dewa yang suka pelancongan Cu Thong segera tertawa
terbahak-bahak.

Haahhh…. haahhh…. haahh…. empat penjuru samudra
adalah rumahku, kalau bercokol disuatu tempat tertentu maka
bukanlah Dewa yang suka pelancongan”
Bicara sampai disitu, ia putar badan dan segera berlalu dari
sana dengan cepatnya.
Hoa Thian-hong dengan cemas segera berseru, “Bong
toako!”
Terdengar Bong Pay mengiakan tapi dalam sekejap mata
bayangan tubuh Cu Thong sudah lenyap dibalik kegelapan.
Tiba-tiba Hoa Hujin menyaksikan Suma Tiang-cing ngeloyot
turun dari atas kereta, dengan muka berubah jadi amat serius
ia segera menegur, “Engkau harus ikut kami untuk kembali
keperkampungan Liok Soat Sanceng, setelah lukamu sembuh
barulah boleh pergi tinggalkan tempat ini”
“Paman!” ujar Hoa Thian-hong pula dari samping, “engkau
toh sebatang kara dan tak ada urusan apa-apa, berdiamlah
selama setengah tahun dalam perkampungan kami agar
keponakan dapat memperoleh banyak manfaat darimu”
“Bukan saja kalian harus membawa sanak keluarga bahkan
harus membawa pula orang-orang yang sudah mati,
perjalanan bukan saja lambat bahkan banyak urusan tetek
bengek, lebih baik aku berangkat lebih dahulu….!” seru Suma
Tiang-cing tegas.
Cui Im taysu tersenyum dan segera ikut menimbrung, “Aku
memangnya seorang padri yang tak punya kuil, baiklah akan
kutemani Suma loo te untuk berkelana keempat penjuru
samudra!”

“Hey hweesio tua, mau ajak dia pesiar sih boleh, tapi
jangan kau bujuki dirinya untuk cukur rambut jadi pendeta
lho! goda Tio Sam-koh.
“Aaah…. tentu saja, tentu saja, haahh…. haah…. haah
engkau tak usah kuatir” jawab Cu Im taysu sambil tertawa.
Suma Tiang-cing paling tidak terbiasa kalau terikat dan tak
bisa bebas, ia kuatir dihadang oleh Hoa Hujin lagi, maka
dengan cepat dirampasnya kuda tunggangan dari Hoa In, lalu
sekali cemplak melari kan kuda itu cepat-cepat meninggalkan
tempat itu.
Cui Im taysu yang menyaksikan kejadian tersebut, buruburu
menggerakkan senjata sekopnya dan menyusul dari
belakang.
Setelah beberapa orang itu berlalu, kini yang tersisa tinggal
keluarga Hoa, Chin dan Tio Sam-koh.
Meskipun usia Chiu Pek Cuan sudah melewati setengah
abad, tapi ia masih punya ibu yang masih hidup, sebenarnya
ia ada maksud untuk pulang dan merawat ibunya yang sudah
tua, tapi karena berat hati untuk tinggalkan menantu
kesayangannya ini, maka ia ambil keputusan untuk
menghantar mereka hingga tiba diperkampungan Liok Soat
Sanceng lebih dulu sebelum berangkat pulang.
Tapi sekarang setelah melihat para jago berlalu sendirisendiri,
timbul kembali keinginannya uniuk pulang rumah,
maka akhirnya ia pun mohon diri terhadap Hoa Hujin.
Dalam keadaan apa boleh buat, terpaksa Hoa Hujin
mengijinkan permintaannya itu.

Menanti semua orang sudah berangkat, ia baru berpaling
ke arah Tio Sam-koh sambil menyindir, “Apakah engkau juga
akan berangkat?”
Tio Sam-koh termenung dan berpikir sebentar, kemudian
jawabnya, “Baiklah, aku adalah sesosok sukma gentayangan
yang tak punya sanak tak punya keluarga, akan kutemani
engkau sampai akhir hidupku nanti….!”
Hoa Hujin tersenyum, kepada Hoa In ia segera berkata,
“Hantarlah layon dari Lie, Ma, Kwik tiga orang jago kerumah
keluarga masing-masing dan serahkan kepada anak mereka,
apabila dian tara ketiga keluarga itu sedang menjumpai
kesulitan, bantu mereka hingga semuanya beres!”
Hoa In mengiakan dan segera melaksanakan perintah
tersebut.
Harimau pelarian Tiong Liau yang kini hidup sebatang kara
segera ambil keputusan pula untuk selama hidup mengabdi
kepada Hoa Thian-hong, kini dia sudah termasuk menjadi
anggota keluarga Hoa, maka Hoa Hujin pun memerintah dia
untuk membawa ketiga layon lainnya keperkumpungan Liok
Soat Sanceng dan dikebumikan disitu.
Dua orang itu terima perintah, dan berangkatlah mereka
menuju ke arah kota dengan membawa kereta yang penuh
berisikan peti mati itu.
Chin Giok Liok yang terluka parah masih belum sembuh
dari lukanya itu, ia berbaring diatas sebuah kereta besar, Chin
Pek-cuan dengan menunggang seekor kuda jempolan segara
berpamitan kepada besannya, putrinya, menantunya dan
rekan-rekan yang lain, setelah menjanjikan saat pertemuan,
berangkatlah kereta dan kuda itu menuju ke arah barat.

Kini yang tersisa tinggalkan Hoa Hujin, Hoa Thian-hong,
Chin Wan Hoag serta Tio Sam-koh empat orang dan sebuah
kereta yang besar.
Hoa Hujin segera tinggilkan tandunya, bersama Tio Samkoh
dan Chia Wan Hong mereka naik kedalam ruangan kereta,
sedang Hoa Thian-hong duduk disisi sang kusir kereta.
Demikianlah beberapa orang itupun meneruskan kembali
perjalanan mereka dengan mengitari kota tersebut.
Beberapa hari kemudian, suatu senja kereta besar itu
masuk kedalam kota Cho ciu.
Di depan pintu gerbang kota tiba-tiba muncul seorang
kakek tua yang menghadang jalan pergi kereta tersebut
sambil berseru, “Hoa ya, masih ingatkah engkau dengan
hamba?”
“Tentu saja masih ingat” jawab Hoa Thian-hong sambil
tersenyum manis, “apakah engkau adalah pemilik rumah
penginapan Teng hwat?”
Pemilik rumah penginapan itu jadi terkejut bercampur
girang, buru-buru serunya, “Hamba Tio Tiang Hwat, betulbetul
pemilik rumah penginapan Teng Hwat, aaah….! sungguh
tak nyana kalau Hoa ya masih ingat dengan diri hamba….”
“Majukah usahamu?” tegur Hoa Thian-hong sambil
tersenyum.
Dengan muka berseri-seri, pemilik rumah penginapan itu
menjawab, “Berkat berkah dari Hoa ya, usaha hamba masih
berlangsung seperti sediakala, Hoa ya! penginapan kami telah
dibangun dan di kapuri hingga baru, apakah Hoa ya hendak
menginap di rumah penginapan hamba?”

“Tentu saja rumah penginapanmu bagus sekali”
Mendengar persetujuan itu, pemilik rumah penginapan tadi
jadi sangat kegirangan, dia segera berseru, “Hey kusir, ayoh
belok kekiri dan percepat lari kudamu!”
Sang kusir kereta itu, sejak permulaan sudah tahu pemuda
yang duduk disampingnya adalah seorang jago lihay yang
paling tersohor di kolong langit dewasa ini, sepanjang
perjalanan sudah banyak penghormatan yang diterimanya.
Sekarang mendengar pemilik rumah penginapan itu
menyebut dirinya dengan panggilan kurang sedap paras
mukanya jadi ketus, serunya dingin, “Didalam kereta masih
terdapat lo hujin dan Tio loo tay, kalau kularikan kereta ini
cepat-cepat sehingga menggoncangkan isi kereta ini, siapa
yang akan bertanggung jawab?”
Pemilik rumah penginapan itu jadi amat terperanjat, lalu
serunya, “Aaah benar, kalau begitu biarlah aku yang
membawa jalan, loo hen mari ikutilah aku”
Jilid 14
SAMBIL menyingsing jubahnya, selangkah demi selangkah
berjalan pemilik rumah penginapan itu didepan kereta untuk
membawa jalan.
Sang kusirpun menyetak kudanya untuk berjalan amat
lambat sambil busungkan dada dan celingukan kesana kemari,
gaya sang kusir itu seakan-akan membawa seorang sarjana
yang baru lulus ujian untuk berpawai keliling kota.
Hoa Thian-hong dibikin menangis tak bisa tertawapun tak
dapat untung sepanjang jalan ia sudah banyak pengalaman

menghadapi kejadian semacam ini maka pemuda itu masih
dapat menahan sabar.
Setelah berjalan beberapa waktu lamanya kereta itupun
berhenti didepan pinta gerbang rumah penginapan Teng hwat.
Hoa Thian-hong segera loncat turun dari atas kereta membuka
pintu ruangan dan mempersilahkan ibunya untuk turun.
Rupanya pemilik rumah pengiuapan telah menyiarkan
berita tentang kedatangan Hoa Thian-hong yang pernah
tersohor dikota Cho ciu karena Lari racun nya dan baru-baru
ini namanya makin tersohor setelah pertarungan dilembah Co
bu kok, ketika rombongan tiba dirumah penginapan Teng
hwat, tetangga disekitar tempat itu, beberapa tamu yeng
berdiam dirumah penginapan tersebut telah penuh
berdesakan disamping ruangan untuk bersama-sama
menonton kehadiran sang pahlawan yang amat tersohor itu.
Begitu penuh sesak orang yang berjejal disana membuat
pintu masuk rumah penginapan tersumbat dan Hoa Thianhong
tak dapat masuk kedalam.
Terpaksa pemilik rumah penginapan harus menjura
memberi hormat dan berteriak-teriak minta jalan kepada para
penonton, setelah bersusah payah akhirnya ia baru berhasil
menghantar keempat orang tamu terhormatnya ini masuk
kamar
Setelah berada dalam kamar, Hoa Hujin menghembuskan
napas panjang dan berkata, “Seng jil mulai besok engkau
bopong aku untuk melanjutkan perjalanan, kita harus cepatcepat
tiba kembali dirumah”
“Aku takut teriknya matahari akan merusak badan ibu yang
masih lemah….”

Tiba-tiba terdengar serentetan suara langkah manusia yang
tergesa-gesa berkumandang da-tang, disusul suara pemilik
rumah penginapan itu bergema, “Hoa ya baru saja tiba dan
masuk kamar beliau ada dikamar sana”
Belum babis ucapan itu berkumandang pintu sudah terbuka
lebar dan muncullah seorang pemuda berpakaian ringkas
langsung berlutut dihadapan Hoa Thian-hong sambil berseru
terbata-bata, “Hujin, Tio loo tay, Hoa toako, enci Hoa”
Sekilas memandang Hoa Thian-hong segera kenali kembali
pemuda itu sebagai murid termuda dan terkecil dari Siang
Tang Lay, ia berasal dari siku Fibulo dan bernama Haputule
bukan saja keenam orang murid Siang Tang Lay dia berusia
paling kecil, ilmu silat yang dimilikipun paling lihay.
Pada waktu itu dengan air mata bercucuran, keringat
membasahi seluruh tubuhnya dan muka penuh kegelisahan
berlutut diatas tanah tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Menyaksikan keadaan tersebut, Hoa Hujin jadi amat
terperanjat, ia segera berkata, “Nak! ayoh bangun dan
bicaralah perlahan-lahan, apakah gurumu menjumpai mara
bahaya?”
Haputule mengangguk tiada hentinya, sambil menangis dia
menjawab, “Guruku telah dirampas orang!”
“Baga’mana caranya bisa dirampas? dan siapa yang
merampas dirinya?” tanya Hoa Hujin keheranan.
“Seorang hweesio, seorang hweesio yang belum pernah
kami jumpai sebelumnya….”

Dia ingin berbicara dengan lebih jelas lagi, tapi karena
kurang lancar bicara dalam bahasa Han dan lagi kalimat yang
diketahui pun sangat terbatas maka meskipun hatinya gelisah
bercampur cemas, namun tak ada perkataan lain yang dapat
diutarakan lagi.
Hoa Thian-hong maju kedepan dan membimbing bangun
pemuda suku Fibulo tersebut, kemudian dengan halus
katanya, “Saudaraku, duduklah dengann tenang! pusatkan
perhatianmu dan ceritakan duduknya persoalan dari
permulaan hingga akhir dengan jelas, jangan ada yang
kelewatan”
Buru-buru Haputule duduk diatas kursi, Chin Wan-hong
menghidangkan air teh, setelah meneguk secawan dan
mengusap air mata pemuda itu berkata kembali.
“Dua hari berselang, ketika malam telah menjelang tiba
kami telah sampai dikota ok yang dan menginap disebuah
rumah penginapan, ketika selesai bersantap….”
Bicara sampai disitu mendadak ia tergagap dan tak
sanggup melanjutkan kembali kata-katanya.
Dengan hati iba Hoa Hujin berkata, “Jadi dalam sehari
semalam engkau telah berangkat dari kota Lok yang menuju
kemari? Aaah…. engkau benar-benar amat menderita”
Air mata jatuh berlinang membasahi seluruh wajah
Haputule, setelah berhenti sebentar ia melanjutkan, “Setiap
kali selesai bersantap guru pasti minum air teh dan biasahya
daun teh itu kami yang sediakan, begitu selesai bersantap
akupun minta seteko air mendidih pada pelayan rumah
penginapan itu, setelah membuat air teh maka aku hidangkan
kepada suhu, siapa tahu baru saja suhu minum seteguk tibaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tiba ia muntahkan kembali air teh itu sambil berteriak, “Dalam
air teh ada setannya, hati-hati sergapan pihak musuh!”
Mendengar sampai disitu, Hoa Hujin mengerutkan dahinya
dan menyela, “Bagaimana selanjutnya?”
“Baru saja suhu selesai berteriak, dari depan pintu
menerjang masuk sedrang hweesio, sementara badan suhu
mulai sempoyongan seperti mau roboh tak sadarkan diri,
sekali sambar hweesio itu segera menghempit suhu dibawah
ketiaknya, kami suheng te bertiga dengan kalap menerjang
kedepan, tapi hweesio itu dengan menggunakan sebuah jurus
serangan yang mirip dengan gerakan Raja setan
mengebaskan kipas, dalam sekali gebrakan saja telah berhasil
pukul roboh dua orang suhengku, diapun melarikan diri dari
sana, aku akan mengejar keluar tapi hweesio itu naik keatas
atap rumah dan dalam sekejap mata lenyap tak berbekas”
Mendengar sampai disitu, Hoa Hujin, Hoa Thian-hong serta
Tio Sam-koh saling berpandangan muka tanpa mengucapkan
sepatah katapun, didalam kisah tersebut terlalu banyak hal-hal
yang mencurigakan membuat timbulnya kecurigaan dalam hati
mereka bertiga.
Setelah termenung beberapa saat lamanya, Hoa Thianhong
segera bertanya, “Saudaraku, coba pikirlah kembali
dengan seksama, pernahkah engkau bertemu dengan hweesio
itu hari sebelumnya?”
“Engkau harus membayangkan mulai dari orang-orang Kiuim-
kauw” sambung Hoa Hujin, “bayangkan saja paras
mukanya, jangan kau perdulikan dia adalah seorang hweesio
atau bukan!”
Mendengar perkataan itu Haputule segera membayangkan
kembali setiap raut wajah para anggota perkumpulan Kiu-imTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
kauw yang pernah dijumpainya, tapi dengan cepat ia
gelengkan kepalanya berulang kali.
“Bukan, dia sudah pasti bukan orang-orang dari
perkumpulan Kiu-im-kauw!”
“Kalau begitu coba bayangkan orang-orang dari
perkumpulan Sin-kie-pang!” sela Tio Sam-koh.
“Dari pihak perkumpulan Sin-kie-pang hanya Pek Siau-thian
seorang dengan dipaksakan dapat merampas orang dengan
tangan kiri dan memukul luka dua diantara tiga orang anak
muridnya dengan satu jurus pukulan tangan kanannya” kata
Hoa Hujin, “namun aku rasa hal itu terlalu dipaksakan sekali,
kalau bukan sangat kebetulan sekali tak mungkin ia bisa
berhasil”
“Hweesio itu sudah pasti bukan penyaruan dari Pek Siauthian!”
seru Haputule menegaskan.
Bagaimana dari pihak perkumpulan Thong-thian-kauw?
mungkinkah Pia Leng-cu? sebab dengan ilmu kepandaian yang
dimilikinya ia dapat melakukan perbuatan seperti itu!”
Kembali Haputule gelengkan kepalanya berulang kali.
“Bukan, sudah pasti orang itu bukan Pia Leng-cu, Hweesio
itu bermuka runcing sedang Pia Leng-cu bermuka persegi, dan
berhidung pesek, sebaliknya hweesio itu bermuka besar, Pia
Leng-cu bermata sopit, hweesio itu pendek gemuk sebaliknya
Pia Leng-cu jauh lebih tinggi perawakan tubuhnya”
Mendengar penjelasan itu, diam-diam Hoa Hujin kembali
berpikir, “Bocah ini benar-benar amat cerdik hingga melebihi
orang lain, daya ingatnya pun sangat baik, kalau ditinjau dari
penjelasannya mengenai ciri-ciri Pia Leng-cu, ternyata apa

yang diuraikan sama sekali tidak keliru, kalau begitu apa yang
dia uraikan atas ciri-ciri hweesio tersebut mungkin tak salah
lagi, atau berbeda pun terlalu jauh….”
Mendadak terdengar Haputule berkata lagi dengan cemas,
“Selama sehari semalam ini aku telah memikirkan persoalan ini
beberapa ratus kali banyaknya, aku merasa yakin bahwa
hweesio yang sangat asing itu bukan saja tidak mirip orangorang
dari perkumpulan Kiu-im-kauw juga tidak mirip Pek
Siau-thian, tidak mirip Pia Leng-cu pun tidak mirip malaikat
kedua Sim Ciu atau mirip siapapun juga po tongan tidak mirip,
paras muka tidak mirip ilmu silatpun sama sekali tidak mirip”
0000O0000
61
“KALAU begitu padri tersebut mirip siapa?” tanya Tio Samkoh,
“masa dari atas langit tiba-tiba terjatuh seorang padri
macam begitu?”
Haputule jadi amat gelisah, paras mukanya berubah jadi
merah padam bagaikan kepiting rebus, sahutnya, “Darimana
aku bisa tahu? tapi yang jelas hweesio itu adalah penduduk
Tionggoan jelas ia bukan orang yang datang dari wilayah See
ih!”
“Diantara persoalan ini terdapat beberapa hal yang amat
mencurigakan hati” kala Hoa Hujin, “pertama dimanakah letak
maksud dan tujuan hwessio itu menculik pergi gurumu?”
“Tentu saja dikarenakan urusan Malaikat pedang Gi Ko”
sahut Hapatule dengan cepat, setiap umat manusia di kolong
langit ingin mengetahui rahasia mengenai pedang emas itu
dan dimana kitab pusaka Kiam keng disimpan dan diantara

berapa juta manusia di kolong langit hanya guruku seorang
yang tahu.
Engkau memang amat cerdik, menurut ceritamu tadi
hweesio itu berlalu dengan tergesa-gesa dan rupanya tak
berani diam terlalu lama dalam rumah penginapan itu, aku
rasa dibalik kejadian ini pasti ada sebab-sebab tertentu.
Haputule garuk-garuk kepalanya dengan kebingungan.
“Tentang soal ini aku sih belum sampai memikirkan”
katanya, “lalu menurut pendapat hujin apa sebabnya hweesio
itu begitu gugup dan tergesa-gesa?”
Hoa Hujin termenung sebentar, lalu menjawab, “Mungkin ia
takut bertemu dengan orang lain, mungkin juga ada
seseorang sedang mengejar di belakang tubuhnya, tapi semua
itu cuma menurut dugaanku belaka bagaimana kenyataan
yang sesungguhnya sukar untuk di ketahui.”
“Saudaraku, kini dua orang suhengmu itu berada dimana?”
tanya Hoa Thian-hong
“Mereka masih menginap dirumah penginapan kota Lok
yang!”
“Bagaimana dengan keadaan lukanya? apakah jiwa mereka
terancam bahaya?”
Haputule gelengkan kepalanya.
“Luka yang mereka derita sih tak terlalu parah, toa suheng
dihajar oleh hweesio itu dengan ilmu lutut saktinya hingga
tulang ke tiaknya terluka, sedangkan ji suheng kena disikut
oleh ilmu sikutan raja lalim yang mengakibatkan isi perutnya
terluka”

Hoa Hujin segera mengerutkan dahinya.
Jurus-jurus serangan yang sangat sederhana, hweosio itu
dapat menggunakan jurus serangan yang sederhana untuk
melukai Toohan dan Temotay, dari sini bisa diketahui bahwa
ilmu silat yang dimilikinya pasti sudah mencapai tingkat yang
tak terhingga tingginya, para jago-jago seperti Pek Siau-thian
dan malaikat kedua Sim Ciu pun belum tentu bisa
menggunakan jurus seperti itu hingga ketingkat yang
demikian sempurnanya.
Toohan adalah murid tertua dari Siang Tang Lay,
sedangkan Temotay adalah murid kedua, ilmu silat yang
mereka miliki pernah disaksikan kelihayannye oleh semua
orang apalagi setelah mendengar keterangan dari Hoa Hujin,
rata-rata mereka merasa bahwa ucapan tersebut sangat
masuk diakal, untuk beberapa saat suasana jadi hening dan
semua orang membungkam dalam seribu bahasa.
Ditengah matanya yang terbelalak lebar, air mata jatuh
bercucuran membasahi pipi Haputule, sambil memandang ke
arah Hoa Thian-hong serunya setengah memohon, “Hoa
toako, hanya engkau seorang yang dapat menolong suhuku….
selamatkan jiwanya….”
Hoa Thian-hong menepuk sepasang bahunya dengan
lembut, kemudian berkata, “Saudaraku, engkau tak usah
gelisah atau pun cemas, bagaimanapun juga kami pasti akan
berusaha untuk selamatkan Siang Tang Lay looianpwee dari
ancaman mara bahaya”
“Berbicara sampai disitu, sorot matanya tanpa terasa
dialihkan keatas wajah ibunya.

Hoa Hujin termenung beberapa saat lamanya, lalu kapadi
putranya ia berkata, “Siang loocianpwee adalah kawan senasib
sependeritaan dengan kita semua, apalagi budi kebaikan yang
pernah diberikan kepada mu luar biasa besarnya,
bagaimanapun juga persoalan ini harus diurus sampai beres
tapi hweesio itu tidak diketahui nama maupun asal usulnya,
tanpa tanda-tanda yang bisa memberi petunjuk kepada kita,
rasanya untuk mencari orang diantara lautan manusia
bukanlah suatu pekerjaan yang gampang….
“Bagaimanapun juga kita harus cari sampai ketemu!” sela
Haputule dari samping, keempat anggota badan suhu telah
cacad, sedang ilmu pekikan maut Hua hiat hou adalah ilmu
silat dari partai Seng sut pay setelah berjanji untuk dipinjam
pakai satu kali saja pastilah suhu tak akan mengingkari janji
sendiri, lagipula menggunakan ilmu kepan daian tersebut
sangat merusak kesehatan badan.
Hoa Hujin tertawa ramah, kepada Hoa Thian-hong serunya,
“Segera berangkatlah menuju kota Lok yang, coba lihat
bagaimana keadaan luka yang diderita Toohan serta Temotay,
apabila ada petunjuk jalan yang menerangkan identitas
hweesio asing itu, bertindaklah menurut kemauanmu sendiri,
pokoknya yang penting engkau harus cari jejak hweesio itu
dan berusaha untuk selamatkan jiwa Siang locianpwee dari
mara bahaya….!”
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan, “Dalam
mengatasi persoalan yang sama sekali tak ada tanda ataupun
petunjuk ini, engkau harus bertindak dengan andalkan ke
cerdasan otak serta semangat bekerjamu yang besar, tapi
engkau harus ingat menolong orang harus menolong sampai
pada akhirnya, setelah berhasil engkau tak boleh lepaskan
utusan itu ditengah jalan, sekali pun delapan tahun lamanya
engkau harus menolong sampai berhasil”

“Bagaimana dengan ibu?”
“Kami akan langsung pulang keperkampungan Liok Soat
Sanceng, sewaktu lewat dikota Lok yang nanti jika dapat
bertemu kita bertemu, kalau tidak maka aku akan lanjutkan
perjalanan menuju keutara, setelah berhasil menolong Siang
locian pwee, engkau harus menghantarnya sampai ke wilayah
See ih, jika semua urusan sudah selesai baru engkau pulang
kerumah! mengerti?”
Mendengar perintah itu, dalam hati kecilnya Hoa Thianhong
segera berpikir, “Waah….! kalau begitu, waktu yang
kubutuhkan untuk menyelesaikan persoalan ini panjang
sekali….”
Pemuda itu adalah seorang anak yang sangat berbakti
kepada orang tuanya, ia merasakan tak tega hati karena ilmu
silat yang dimiliki ibunya telah musnah dan tubuhnya lemah
kembali, selain itu diapun belum lama menikah, cinta kasih
antara suami istri masih amat tebal melekat dalam hatinya,
untuk berpisah dalam jangka waktu yang cukup lama tentu
saja amat memberatkan hatinya.
Dari perubahan paras mukanya yang berat hati, Hoa Hujin
dapat segera menebak suara hatinya, dengan alis mata
berkernyit ia segera menegur tajam
“Tugas berat ini tak dapat ditawar lagi, engkau tak boleh
sangsi atau ragu-ragu untuk menerimanya!”
Hoa Thian-hong merasa amat terperanjat, dengan cepat ia
jatuhkan diri berlutut di atas tanah sambil serunya, “Ibu,
semoga engkau bisa baik-baik jaga diri”
“Aku sudah tahu!” sahut Hoa Hujin sambil ulapkan
tangannya.

Kepada Tio Sam-koh si anak muda itupan jatuhkan diri
berlutut, baru saja dia akan buka suara untuk mohon
bantuannya agar merawat ibunya, tiba-tiba Tio Sam-koh
ulapkan tangannya sambil berseru, “Ayoh enyah dari sini!
semangat seorang pria berada ditempat samudra, apakah
engkau hendak menjaga bini mu sepanjang masa?”
Merah padam selembar wajah Hoa Thian-hong, ia segera
bangkit berdiri dari atas tanah.
Buru-buru Chin Wan-hong membungkuskan beberapa setel
pakaian dan diangsurkan ke depan.
Hoa Hujin dapat memaklumi kalau putranya belum lama
menikah, iapun dapat menyadari kalau pada saat itu rasa cinta
di antara mereka berdua sedang berkobar mencapai
puncaknya, maka ia perintahkan Chin Wan-hong untuk
menghantar Hoa Thian-hong dan Haputule sampai diluar
pintu.
Sementara Haputule sedang menerangkan tempat
tinggalnya dikota Lok yang, Chin Wan-hong lari kedapur dan
buru-buru menyiapkan sebuah bungkusan besar.
Ketika tiba didepan pintu ia serahkan bungkusan tersebut
kepada suaminya.
Hoa Thian-hong terima bungkusan tersebut sambil
berpesan.
“Kesehatan ibu kurang baik setiap hari harus minum obat,
engkau harus hati-hati melayaninya!”
Dengan air mata bercucuran Chin Wan-hong mengangguk.

“Dalam bungkusan terdapat dua tahil perak….” titik air
mata jatuh berlinang memotong ucapan selanjutnya.
Lama…. lama sekali suasana diliputi keheningan akhirnya
Hoa Thian-hong berkata lagi dengan suara lirih, “Mempelajari
obat-obatan paling banyak menghisap perhatian dan tenaga,
engkau jangan mengesampingkau ilmu silatmu terutama ilmu
mengatur pernapasan setiap hari engkau harus berlatih
dengan tekun dan jangan berhenti barang seharipun”
Dengan lembut Chio Wan Hong mengangguk.
“Ilmu silatmu terlalu tersohor di kolong langit, hati-hatilah
menghadapi segala tipu daya yang licik dan keji, terutama
sekali dalam soal minuman dan makanan, kau harus lebihlebih
menaruh perhatian”
Haputule sangat gelisah dan ingin cepat-cepat berangkat,
melihat kedua orang itu, tak tahan lagi ia menyela dari
samping, “Enso! engkau toh seorang ahli memunahkan racun,
siapa berani main setan dihadapan Hoa toako, itu berarti
mencari penyakit buat diri sendiri”
Mendengar perkataan itu, Hoa Thian-hong tertawa
tergelak.
“Ensomu belum lama angkat guru, ilmu kepandaian yang
dipelajari pun belum banyak, untuk mencapai tingkatan ahli
pemunah racun masih terlampau jauh”
Tahun itu usia Haputule baru mencapai enam tujuh belas
tahunan, ia belum mengerti apa artinya cinta muda mudi. Hoa
Thian-hong yang harus berpisah lama dengan istrinya merasa
ada banyak perkataan hendak disampaikan, tapi disaksikan
dengan mata melotot oleh sang pemuda itu tanpa berkedip
barang sedikitpun, sedikit banyak ia merasa kaku juga

akhirnya setelah berpesan beberapa patah kata dan saling
berpandangan dengan perasaan hati berat terpaksa mereka
harus saling berpisah.
Setelah keluar dari pintu barat, Hoa Thian-hong membuka
makanan itu sambil meneruskan perjalanan, kedua orang itu
menyikat semua ransum yang tersedia hingga ludas dan
sedikpun tak ada sisanya.
Sambil meraba perutnya yang kenyang Haputule memuji
tiada hentinya, “Aaah…. enso memang sangat baik, sejak kecil
sampai dewasa belum pernah kujumpai orang yang begitu
baiknya seperti enso ini Aaaai….! dia memang sangat baik!”
Hoa Thian-hong segera tersenyum.
“Baik! akan kuperhatikan persoalan ini, andaikata
dikemudian hari aku temukan seorang gadis semacam itu
yang berusia hampir sebaya dengan engkau, aku harus jadi
mak comblang untukmu!”
“Kalau suhu tak dapat diselamatkan selamanya aku tak
akan cari bini!”
“Betul!” puji Hoa Thian-hong, “kita memang harus cepatcepat
menyelamatkan Siang locianpwee dari ancaman bahaya
maut!”
Ia cengkeram pergelangan tangannya dan segera berlari ke
arah depan dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya
yang lihay.
Ketika tempo hari Hoa Thian-hong masih lari racun setiap
harinya ia berhasil melatih gerakan tubuhnya hingga mencapai
tingkat kecepatan yang sukar ditandingi setiap orang setelah
makan rumput mustika Leng-ci sian cho, maka ilmu

meringankan tubuhnya jauh melebihi tingkatan yang berhasil
mencapai tempo dulu apalagi sekarang tenaga dalamnya
setingkat jauh lebih sempurna, bisa dibayangkan betapa
sempurna dan luar biasanya gerakan tubuh pemuda itu boleh
dibilang ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya saat ini tiada
tandingannya di kolong langit.
Haputute yang diseret oleh pemuda itu seketika merasakan
sepasang kakinya sama sekali tidak menempel tanah, deruan
angin kencang menyambar lewat dari sisi telinganya, begitu
tajam hembusan angin dari arah depan membuat ia tak
sanggup membuka matanya, diam-daim ia merasa amat
kagum dan tunduk seratus persen terhadap kelihayannya.
Ditengah jalan mereka hanya beristirahat sebentar, ketika
fajar menyingsing keesokan harinya mereka telah masuk
kedalam kota Lok- yang.
Haputule segera berlarian kecang membawa Hoa Thianhong
menuju kerumah penginapan dimana kedua orang
suhengnya sedang merawat luka yang mereka derita.
Pada waktu itu rumah penginapan tersebut baru saja buka
pintu, ketika kedua orang itu masuk kedalam ruangan mereka
telah berpapasan dengan seorang pelayan.
Begitu mengetahui siapa yang sedang di hadapi, dengan
gelisah bercampur cemas pelayan itu segera berseru, “Siau
ya…. aduuh kalau engkau tidak datang lagi, rumah
penginapan kami pasti akan diseret kepengadilan dengan
tuduhan menghilangkan nyawa orang….”
“Apa yang telah terjadi?!” seru Haputule dengan hati
terperanjat.

“Siau ya!” seru pelayan itu sambil menuding keruang
belakang, “kemarin sore dua orang rekanmu pergi dari sini,
tapi entah bagaimana kemudian ternyata mereka telah
dibunuh orang, mayatnya menggeletak diluar tembok kota
dan….
Mulai Haputule berdiri menjablak dengan mata terbelalak,
kemudian sambil menangis menggerung ia lari menuju
keruang belakang rumah penginapan itu.
Buru-buru Hoa Thian-hong memburu dari belakang, ketika
masuk kedalam sebuah ruang terlihatlah dialas tikar terkapar
dua sosok mayat manusia, mereka bukan lain adalah Toohan
serta Temotay.
Haputule segera menjerit sambil menangis tersedu-sedu,
teriaknya dengan penuh kesedihan, “Hoa toako! aku mau cari
suhu…. aku mau membalas dendam…. aku mau membalas
dendam!”
Paras muka Hoa Thian-hong telah berubah jadi hijau
membesi, sambil menggigit bibir katanya, “Aku pasti akan
temukan kembali suhumu, aku pasti akan balaskan dendam
bagimu!!”
Ia berjongkok membuka kain selimut yang menutupi tubuh
mayat itu dan periksa keadaan lukanya.
Apa yang dialami Tooban maupun Temotay ternyata sama
sekali tak berbeda, kedua orang itu tertusuk dadanya oleh
senjata tajam pada ulu hati, masing-masing berbekaslah
sebuah mulut luka yang panjangnya beberapa senti dengan
lebar dua tiga mili, noda darah membasahi seluruh pakaian
mereka tapi karena kejadian itu sudah berlangsung sehari
semalam yang lalu noda darah itu sudah kering dan
membeku.

Sepasang mata Haputule berubah jadi merah berapi-api,
giginya saling beradu gemerutukan, tiba-tiba la cengkeram
bahu Hoa Thian-hong sambil menjerit, “Hoa toako siapa yang
melakukan pembuhan ini? siapa yang turun tangan sekeji ini
siapa…. siapa….?”
“Saudaraku, teguhkan imanmu dan hadapilah kenyataan
dengan hati tabah” bisik Hoa Thian-hong sedih, “akan
kupetaruhkan selembar jiwaku untuk menyelidiki siapakah
pembunuh kejam itu dan balaskan dendam bagi kematian dua
orang suhengmu!”
“Mereka mati ditusuk oleh pisau belati?” tanya Haputule
dengan wajah termangu-mangu.
Hoa Thian-hong mengangguk, ia lanjutkan pemeriksaannya
dengan lebih teliti lagi.
Tapi kecuali mulut luka diatas dada serta luka lama yang
ditinggalkan hweesio asing, diatas tubuh kedua sosok mayat
itu ti dak ditemukan bekas luka lainnya, melihat kenyataan
tersebut dalam hati kecilnya ia segera berpikir, “Letak luka
yang diderita dua orang ini sama sekali tak berbeda satu sama
lainnya, andaikata sang pembunuh bukan turun tangan karena
telah berhasil menawan dua orang itu lebih dahulu, maka
orang yang melakukan perbuatan ini pastilah memiliki ilmu
silat yang amat tinggi dan sangat lihay….”
Sementara itu Haputule sambil menggigit bibir, telah
berseru, “Hoa toako, perbuatan ini dilakukan oleh hweesio
tersebut? ataukah orang lain?….
Diam-diam Hoa Thian-hong menghela napas panjang,
pikirnya, “Rupanya bocah ini sudah menganggap diriku
sebagai seorang malaikat yang tahu akan segala-galanya dan

bisa melakukan perbuatan macam apapun. Aaai….! ia begitu
percaya pada diriku seandainya aku tak berhasil untuk
menolong Siang loccianpwee serta balaskan dendam bagi
kematian dua orang suhengnya betapa kecewa dan putus
asanya bocah ini….”
Berpikir sampai disitu, ia segera berkata, “Bekas luka yang
ditinggalkan adalah bekas luka keras dari sini sukarlah untuk
meraba ilmu silat dari aliran manakah yang telah
dipergunakan sang pembunuh untuk melakukan perbuatan
keji ini, untuk sementara waktu anggap saja pembunuh itu
adalah hweesio tersebut, kita harus berusaha untuk
menemukan dulu orang itu dan selamatkan Siang locianpwee
dari mara bahaya kemudian setelah itu baru membicarakan
soal balas dendam.”
Dengan air mata bercucuran karena sedih, Haputule
menganggukkankan kepalanya.
“Senjata tajam dari kedua orang suhengku sudah tidak
berada dalam saku mereka!”
“Pedang perak milik kalian merupakan benda yang sangat
berharga sekali, aku rasa senjata tersebut tentu sudah diambil
oleh sang pembunuh tersebut.”
Ketika dia angkat kepalanya memandang keluar, tampaklah
sang pelayan berdiri di tepi pintu, selain itu masih ada belasan
orang berdesakan didepan pintu menonton keramaian.
Diantara manusia-manusia itu, terlibat pula dua orang pria
kekar berusia setengah baya, ketika menyaksikan sorot mata
Hoa Thian-hong ditunjukkan ke arah mereka, dua orang itu
buru-buru menyembunyikan diri kebelakang kerumunan orang
banyak.

Haputule kebetulan menyaksikan tingkah laku mereka,
secepat sambaran kilat ia menerjang kedepan dan sekaligus ia
cengkeram bahu dua orang pria itu.
Menyaksikan datangnya tubrukan, dua orang pria setengah
baya itu berusaha untuk menghindarkan diri, namun usaha
mereka gagal dan tahu-tahu lengan mereka terasa amat sakit
dan cengkeraman lawan telah bersarang disana.
Haputule mencengkeram bahu dua orang lawannya
kencang-kencang, dengan suara berat hardiknya, “Ayoh cepat
jawab, apa yang sedang kalian lakukan?”
Saking sakitnya dua orang pria kekar itu menggigit bibir
untuk menahan penderitaan, keringat dingin telah membasahi
seluruh tubuh mereka sementara sorot matanya ditujukan ke
arah Hoa Thian-hong penuh mohon belas kasihan.
Hoa Thian-hong maju kedepan dan berkata, “Saudaraku
lepaskanlah cengkeraman mu itu biar aku yang bertanya
kepada mereka. Dengan penuh kebencian dan kebengisan
Haputule melotot sekejap ke arah dua orang itu kemudian
kendorkan cengke-ramannya dan mundur kebelakang.
Sambil memegang bahunya yang sakit dan linu, dua orang
pria berusia setengah baya itu berpaling ke arah Hoa Thianhong
paras muka mereka telah berubah jadi pucat pias
bagaikan mayat.
“Kalian berasal dari mana?” tegur Hoa Thian-hong dengan
sepasang alis berkenyit
“Hamba sekalian sebetulnya berasal dari perkumpulan
Hong-im-hwie….” jawab dua orang pria setengah baya hampir
berbareng, “tapi berhubung perkumpulan Hong-im-hwie sudah
bubar maka hamba….”

“Gerak-gerik kalian sangat mencurigakan, apakah kalian
berdua telah melakukan pekerjaan yang melanggar hukum?”
tukas Hoa Thian-hong dengan cepat.
“Baru kemarin malam hamba berdua tiba dikota Lok yang”
buru-buru dua orang pria itu membantah, hamba bersumpah
tak pernah melakukan perbuatan yang melanggar hukum,
kalau Hoa ya tak percaya silahkan ta nyakan sendiri kepada
pemilik rumah penginapan”
Hoa Thian-hong awasi sekejap paras muka dua orang pria
itu, kemudian tanyanya lagi, “Dahulu apakah kalian pernah
bertemu dengan aku?”
Dua orang itu gelengkan kepalanya berulang kali, pria yang
ada disebelah kiri segera berseru, “Kami belum pernah
berjumpa dengan Hoa ya, tapi cuma pernah mendengar
tentang potongan badan serta raut wajah Hoa ya dari mulut
orang lain, apalagi di pinggang Hoa ya tergantung sebilah
pedang baja maka sekali bertemu kami dapat segera
mengenali kembali”
“Lalu apa sebabnya kalian bersembunyi dan menghindar
dengan gerak-gerik yang mencurigakan?” bentak Haputule
dengan gusar.
Dua orang itu memandang sekejap ke arah Hoa Thianhong,
lalu dengan ketakutan sahutnya, “Kami takut berjumpa
dengan Hoa ya yang penuh berwibawa, karena itu….”
Hoa Thian-hong tahu bahwa kedua orang pria tersebut
pastilah merupakan manusia yang tidak penting dalam
perkumpulan Hong-im-hwie, maka ia segera ulapkan
tangannya memerintahkan kedua orang itu segera tinggalkan
tempat tersebut.

Bagaikan mendapat pengampunan, dua orang pria itu
buru-buru memberi hormat kemudian ngeloyor pergi dengan
tergopoh-gopoh.
Sedangkan para penonton keramaian lainnya kebanyakan
terdiri dari kaum pedagang dan saudagar kelilingan, tapi
rupanya mereka sudah kenal siapakah Hoa Thian-hong itu,
paras muka mereka rata-rata menunjukkan sikap yang sangat
menghormat.
Haruslah diketahui keadaan dari Hoa Thian-hong pada saat
itu ibarat sang surya yang berada ditengah angkasa, nama
besarnya amat tersohor dimana-mana dan menggemparkan
seluruh dunia persilatan, dari rakyat jelata sampai para
pembesar, dari kuli kasar sampai saudagar kaya hampir tak
seorangpun yang tak kenal siapakah Hoa Thian-hong, hal ini
disebabkan karena pengaruh tiga bibit bencana dunia
persilatan terlalu luas dan dalam membekas dihati setiap
orang maka ketika bibit bencana sumber kehancuran itu
lenyap dari permukaan bumi, nama Hoa Thian-hong segera
membubung setinggi langit dan pemuda itu menjadi pujaan
setiap keluarga disegala penjuru dunia.
Semula Hapntule mengira ia telah berhasil menemukan titik
terang, siapa tahu kedua orang itu tak ada sangkut pautnya
dengan persoalan itu, tak disangka lagi ia jadi amat sedih
hingga air mata kembali jatuh bercucuran.
“Hoa loako bagaimana sekarang? apa yang harus kita
lakukan….?” tanyanya dengan kebingungan.
“Saudaraku, tak usah gelisah mari bereskan dulu jenasah
dari kedua orang kakak seperguruanmu itu kemudian barulah
kita berangkat untuk mencari pembunuhnya”

Bicara sampai disitu, ia segera berpaling sambil menegur,
“Siapakah pemilik rumah penginapan ini?”
Sejak permulaan tadi sang pemilik rumah penginapan
sudah menunggu disamping, mendengar seruan tersebut
buru-buru ia maju kede-pan sambil membungkuk-bungkuk
memberi hormat.
“Hamba yang pemilik rumah penginapan ini, tuan ada
perintah apa….?”
Hoa Thian-hong ambil sekeping uang perak dari sakunya,
sambil diangsurkan kedepan, katanya, “Ciang kwee, harap
kirimlah orang untuk membeli peti mati serta tanah
pekuburan, kami akan segera mengembumikan jenasah dari
dua orang rekan kami ini, kalau uang tersebut tidak cukup,
nanti akan kuberi lagi….!”
“Hamba akan segera melaksanakanaya….!” sahut pemilik
rumah penginapan itu dengan gelisah, “sedang uang itu tak
berani terima, harap tuan simpan kembali…. harap tuan
simpan kembali!”
Dengan badan berbungkuk-bungkuk, pemilik rumah
penginapan itu mundur kebelakang.
Hoa Thian-hong mengerutkan dahinya, sambil memandang
pelayan rumah penginapan, ujarnya, “Siau jiko, siapa yang
menghantar jenasah dari dua orang rekanku ini pulang
kepenginapan?”
“Peronda kota berhasil mendapat tahu kalau mereka adalah
tamu yang menginap dalam rumah penginapan kami,
berhubung mereka adalah tamu asing dan lagi salah seorang
diantaranya belum kembali, maka terpaksa…. terpaksa
jenasah mereka dikirim kembali kerumah penginapan kami”

“Dimanakah peristiwa berdarah ini terjadi? apakah ada
orang yang menyaksikan jalannya pertarungan itu?”
Pelayan itu gelengkan kepalanya berulang kali.
“Tak ada orang yang menyaksikan jalannya peristiwa itu,
dan tak ada orang yang mengatakan telah menyaksikan
sesuatu, kejadian berdarah ini terjadi diluar kota sebelah
utara, kurang lebih lima enam puluh tombak dari pintu
gerbang kota.”
Hoa Thian-hong berpikir sebentar, kemudian menyusupkan
uang perak itu ketangan sang pelayan, setelah itu sambil
menarik tangan Haputule, mereka berlalu dari situ dengan
langkah lebar.
Setelah keluar dari rumah penginapan, kedua orang itu
langsung berangkat menuju kepintu kota sebelah utara.
Sementara itu fajar baru menyingsing dan belum terlalu
banyak orang yang berlalu lalang dijalan raya, belum jauh
kedua orang itu melakukan perjalanan, tiba-tiba dari arah
belakang terdengar ada orang yang menyusul mereka.
Dengan cepat Hoa Thian-hong berpaling kebelakang, ia
lihat dua orang bocah cilik yang berusia empat lima tahun dan
seorang bocah berusia sepuluh tahun sedang membuntuti
perjalanan mereka dengan kencangnya.
Pakaian yang dikenakan mereka berdua telah compang
camping dan dekil sekali, rambutnya kusut dan mukanya
penuh berminyak, rupanya dua orang bocah itu adalah
pengemis-pengemis cilik kota.

Yang berusia agak muda hanya berkaki lelanjang, sedang
bocah yang agak besaran memakai sepatu, tapi pada waktu
itu bocah tersebut telah melepaskan sepatunya dan berlarian
dengan kencangnya.
Hanya sayang gerakan tubuh Hoa Thian-hong dan Haputule
terlalu cepat, sehingga kendatipun dua orang bocah itu lari
dengan sepenuh tenaga namun kian lama mereka tertinggal
semakin jauh.
Hoa Thian-hong sendiri sama sekali tidak pikirkan kejadian
itu dalam hatinya, sebab dua orang bocah tersebut tidak lebih
hanya dua orang bocah pengemis yang sama sekali tak kenal
ilmu silat.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah tiba dipintu
sebelah utara dan sampai ditempat peristiwa berdarah itu
terjadi.
Dialas permukaan tanah hanya tersisa dua gumpalan darah
yang telah mengering, kecuali itu tiada tanda-tanda lain yang
berhasil di temukan lagi.
Hoa Thian-hong berdua tidak putus asa, mereka mencari
lagi di sekitar tempat kejadian itu, namun bagaimanapun juga
mereka berusaha senjata tajam milik Toohan dan Temotay tak
berhasil ditemukan.
Akhirnya dengan wajah murung bercampur sedih Haputule
mengeluh, “Ooh….! Hoa toako, bagaimana sekarang? apa
yang harus kita lakukan lagi?”
Hoa Thian-hong termenung dan berpikir beberapa saat
lamanya, setelah itu ujarnya, “Mari kita periksa semua rumah
penginapan yang ada dikota ini coba kita cari data, apakah
dalam beberapa hari berselang ada kaum padri yang

menginap disini kemudian kita cari dan selidiki pula setiap kuil
yang ada disekitar kota ini. Cuma…. yaaah! perbuatan kita ini
ibaratnya mencari jarum dari dasar samudra”
Mendadak dari balik pintu gerbang kota muncul dua buah
batok kepala manusia, setelah melirik sekejap ke arah mereka,
kepala kecil itu di tarik kembali dengan cepatnya.
Hoa Thian-hong adalah seorang jago persilatan yang
memiliki ketajaman mata yang luar biasa, sekilas menandang
ia segera kenali kembali mereka berdua sebagai dua orang
pengemis cilik yang mengejar dibelakang tubuhnya tadi.
Sambil tersenyum ia segera menggapeh bocah itu seraya
serunya, “Eeeei saudara cilik berdua, kemarilah mari kita
bercakap-cakap”
Dua orang pengemis cilik maju beberapa langkah kedepan,
tapi dengan cepat mereka berhenti dengan wajah
terperangah.
Beberapa detik kemudian mereka putar diri dan kabur ke
arah kaki tembok kota sambil memberi tanda kepada Hoa
Thian-hong berdua.
Melihat tanda itu, si anak muda itu mengerutkan dahinya
rapat-rapat, lalu bisiknya, “Ayoh ikuti mereka, coba lihat apa
yang hendak mereka lakukan, sambil berkata ia segera maju
kedepan.
Buru-buru Haputule mengejar dari belakang, tanyanya
dengan nada kebingungan, “Tahukah engkau dua orang
pengemis cilik itu berasal dari aliran mana?”
Hoa Thian-hong gelengkan kepalanya.

“Aku sendiripun kurang begitu jelas!” jawabnya.
“Bagaimana kalau kita kejar dua orang bocah itu kemudian
menanyai mereka?”
“Aku rasa kalau sampai bertindak begitu, kurang baik, lebih
baik ikuti saja mereka berdua dan coba lihat mereka akan
bawa kita pergi kemana?”
Dua orang bocah pengemis itu berlarian didepan,
sedangkan Hoa Thian-hong dan Haputule mengikuti
dibelakang dengan langkah yang santai, kurang lebih
setengah jam kemudian sampailah mereka dibawah sebuah
pagoda lama yang telah tak terpakai.
Pagoda itu terdiri dari tujuh tingkat dan berdiri disebuah
tanah lapang yang luas serta terpencil letaknya, berhubung
dimakan usia bangunan tersebut sudah rusak dan hancur,
setiap saat ada kemungkinan untuk tumbang ketanah, sekitar
bangunan telah dipagari dengan kayu siap untuk dibongkar,
tapi karena belum dikerjakan maka diatas pagar
terpancanglah sebuah tulisan yang berbunyi, “Dilarang
masuk!”
Ketika empat orang itu sudah tiba disekitar bangunan, dari
balik semak belukar tiba-tiba berkumandang suara tepuk
tangan yang amat nyaring, pengemis yang berusia empat lima
belas tahun ini segera balas menepuk tangan mengikuti irama
tertentu.
Dari balik semak belukar muncullah seorang bocah
pengemis berbadan hitam yang berusia antara tujuh delapan
tahun, dengan cepat ia lari menghampiri rekan-rekannya.
“Siau Ngo-ji, ada orang yang datang kemari?” tegur
pengemis yang rada besaran itu.

Pengemis hitam itu gelengkan kepalanya sementara
sepasang biji matanya yang melotot gede memperhatikan Hoa
Thian-hong dari atas sampai kebawah, tiba-tiba ia nampak
terperanjat hingga mulutnya ternganga dan tubuhnya berdiri
menjublak.
Pengemis yang rada besaran itu segera menuding ke arah
Hoa Thian-hong sambil berkata, “Dialah Hoa thian….!”
“Ooooh! tak aneh, kalau sejak pandangan pertama aku
sudah merasa kenal….” teriak Siau Ngo-ji.
Hoa Thian Hoag tersenyum.
“Saudara cilik, apa yang sedang kau kerjakan seorang diri
berada disini?”
Sambil menuding ke arah puncak pagoda dihadapannya,
Siau Ngo-ji menjawab, “Jenasah kakek tua dari wilayah See ih
berada diatas pagoda itu, aku sedang menjaga jenasahnya
agar tidak dicuri orang”
Begitu ucapan tersebut diutarakan keluar, Haputule
nampak tergetar keras karena terperanjat bagaikan angin
puyuh dia langsung lari menuju ke arah pintu pagoda.
“Hey, berhenti!” teriak Siau Ngo-ji dengan suara lantang.
Haputule sama sekali tidak menggubris teriakan itu lagi,
sekali hantam ia hajar pintu pagoda itu sampai terbuka lalu
dengan cepat menerjang masuk keruang pigoda.
Hoa Thian-hong sangat menguatirkan keselamatan jiwanya,
sekali enjot badan bagaikan sambaran kilat ia merebut lari
dihadapan mukanya.

“Blaammm!” terdengar ledakan keras bergelegar diudara
pintu pagoda yang kena diterjang segera membentang lebar
dan menumbuk diatas dinding kayu
Dalam sekejap mata debu dan pasir berterbangan
memenuhi seluruh angkasa, empat belah dinding bergetar
keras seakan-akan sebentar lagi bakal roboh sama sekali.
Diam-diam Hoa Thian-hong merasa amat terperanjat,
Haputule sama sekali tidak merasakan hal itu.
Ketika ia menengok keatas, tampaklah enam tingkat
dibagian bawah sudah roboh sama sekali, hanya pada tingkat
yang terakhir saja masih ada lantai papannya, tapi karena
jaraknya dari permukaan tanah terlalu tinggi, Haputule tak
mampu untuk melayang naik keatns.
Saat itulah Siau Ngo-ji menengok dari luar pintu, sambil
menggape serunya dengan suara lantang, “Hoa toako, cepat
keluar! hati-hati kalau sampai pagoda itu roboh dan mengubur
kalian berdua didalamnya!”
Hoa Thian Hoag segera menarik tangan Haputule sambil
serunya, “Saudaraku, ayoh keluar dulu! aku akan naik keatas
puncak terakhir untuk memeriksa keadaan disana!”
“Toako!” teriak Haputule dengan sepasang mata berubah
jadi merah berapi-api, “suhu pasti sudah mendapat celaka….
suhu pasti sudah mendapat celaka….”
Hoa Thian-hong sundiripun dapat merasakan pula bahwa
situasi tidak beres, ia bawa Haputule sampai keluar dari pagar
kayu ke mudian sambil mengepos tenaga tubuhnya segera
melayang naik keatas pagoda setinggi enam tujuh tombak,

sekali ujung bajunya dikibaskan pemuda itu sudah melayang
masuk kedalam ruang pagoda.
Siau Ngo-ji membelalakkan matanya lebar-lebar, tiba-tiba
sambil acungkan jempolnya ia berkata kepada dua orang
pengemis rekannya, “Hoa toako benar-benar hebat kalau
dibandingkan dengan hweesio itu…. huuh! kentutnya saja
belum bisa mengejar”
Begitu mendengar tentang kehadiran seorang hweesio
Haputule tak dapat menahan diri lagi, sekuat tenaga ia loncat
naik keatas pagoda tingkat keempat kemudian sekali enjot
badannya loncat naik lebih keatas.
Braak….Bluummm! seketika itu juga dinding pagoda jadi
retak dan roboh kebawah, Haputule yang menginjak tempat
kosong segera terjatuh kembali kebawah.
Dalam Waktu singkat batu bata dan pasir berguguran
diatas tanah dengan hebatnya, bangunan lama itu mulai
retak-retak lebar dan agaknya sebentar lagi bangunan
tersebut sama sekali akan roboh.
Reaksi dari Siau Ngo-ji paling cepat, menyaksikan keadaan
tersebut ia segera berteriak keras, “Hoa toako cepat loncat
keluar! pagoda itu bakal roboh keatas tanah!”
Sementara itu Hoa Thian Hoag sudah loncat masuk
kedalam ruang pagoda tingkat terakhir, begitu sorot matanya
dialihkan keruangan itu, hatinya kontan tercekat, ternyata
dalam ruangan diatas sebuah tikar buntut berbaringlah
sesosok mayat dan mayat itu bukan lain adalah tubuh dari
Siang Tang Lay.
Sebuah lobang besar yang penuh berpelepotan darah
muncul pada ulu hati Siang Tang Lay, dadanya penuh noda

darah, kematiannya sama sekali tidak berbeda dengan
kematian yang dialami oleh Toohan maupun Temotay, hal ini
membuktikan bahwa pembunuhnya adalah seorang yang
sama.
Belum sempat mayat itu diteliti, pagoda itu sudah roboh
keatas tanah, tergopoh-gopoh Hoa Thian-hong bopong mayat
tersebut dan loncat keluar lewat jendela.
“Braakk! Braakk! Braaakk!!” pagoda kuno itu roboh sama
sekali dan hancur Jadi berkeping-keping, pasir dan debu
segera beterbangan menyelimuti seluruh angkasa.
Haputule maupun ketiga orang bocah pengemis itu buruburu
loncat mundur kebelakang sedangkan Hoa Thian-hong
yang memiliki ilmu meringankan badan amat sempurna segera
berputar setengah lingkaran ditengah udara kemudian
melayang turun keatas permukaan jauh dari tempat kejadian.
Haputule masih diliputi rasa kaget yang luar biasa ketika
Hoa Thian-hong melayang turun keatas permukaan tanah, tapi
begitu ia lihat si anak muda itu membopong jenasah dari
gurunya, bagaikan orang kalap ia segera menerjang maju
kedepan, sambil mendekap mayat tersebut menangislah
bocah itu sejadi-jadinya.
Belasan tahun berselang Siang Ting Lay yang berilmu tinggi
datang ke wilayah timur untuk bertarung melawan jago
persilatan dari daerah Tionggoan dengan andalkan sebilah
pedang emas, ia berhasil mengobrak abrik utara maupun
selatan daratan Tionggoan tanpa menjumpai seorang
lawanpun yang bisa menandingi kehebatannya.
Tapi kemudian ia disergap oleh gabungan tenaga dari Pek
Siau-thian, Jin Hian, Thian Ik-cu, Bu Liang Sinkun serta Ciu ItTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
bong sehingga tertuka parah, untung jiwanya diselamatkan
oleh Hoa Goan-siu.
Kendatipun begitu badannya sudah jadi cacad dan ilmu
silatnya jauh mengalami kemunduran.
Dalam perjalanannya kedaratan Tionggoan kali ini sekaligus
ia berhasil melukai Jin Hian dan Thian Ik-cu boleh dibilang
sakit hatinya berhasil dibalas sebagian tapi sayang mereka
secara beruntun telah mengalami musibah, dari tujuh orang
ada enam orang sudah mati dan sekarang tinggal muridnya
yang terkecil Haputule seorang, kalau ditinjau kembali maka
nasib yang mereka alami benar-benar amat menyedihkan
sekali.
Haputule menangis tersedu-sedu, dengan sedihnya karena
begitu berduka menyaksikan gurunya dibunuh orang akhirnya
pemuda itu jatuh tak sadarkan diri.
Hoa Thian-hong sendiripun melelehkan air mata karena
sedih, tapi bagaimanapun juga dia adalah seorang pemuda
yang sudah banyak pengalaman meskipun rasa sedih yang
dialaminya sukar dilukiskan dengan kata-kata namun
pikirannya tidak sampai kacau karenanya.
Dengan cekatan ia segera mengurut dada Haputule
sehingga membuat pemuda itu sadar kembali dari pingsannya.
Sambil membuka kembali matanya lebar-lebar, Haputule
memeluk Hoa Thian-hong seraya menangis tersedu-sedu,
teriaknya, “Ooooh, toako aku ingin balaskan dendam untuk
suhu dan suheng-suhengku, engkau harus membantu aku!”
“Saudaraku engkau tak usah kuatir” jawab Hoa Thian-hong
dengan air mata bercucuran”, sekalipun barus pertaruhkan

jiwa, aku pasti akan menangkap pembunuh kejam itu agar
engkau bisa membalas dendam sendiri atas sakit hati ini”
“Tapi siapakah pembunuhnya? uuuh…. uuuhh…. uuuhh….
kita harus pergi kemana untuk mencari hweesio yang
dilahirkan oleh anjing betina itu?”
“Saudaraku, engkau tak perlu gelisah! selama pembunuh
itu belum mati, sekalipun dia sudah lari keujung langit atau
dasar samudra, kita pasti akan berhasil menangkapnya
kembali!”
“Betul, engkau tak perlu kuatir” sambung Siau Ngo-ji
terhadap diri Haputule, “selama janji yang diucapkan Hoa
toako kami ini selalu ditepati, apa yang lelah dia janjikan tentu
akan dilaksanakan sebagaimana mestinya”
Tiba-tiba satu ingatan berkelebat dalam benak Hoa Thianhong,
ia segera berseru, “Saudara-saudara cilik sekalian, dari
mana kalian bisa tahu akan peristiwa ini? bersediakah kalian
ceritakan kisah tersebut kepadaku?”
“Tentu saja bersedia!” jawab Siang ngo ji dengan cepat, ia
ber batuk-batuk sebentar, lalu melanjutkan, “Ceritanya
begini….”
“Bagaimana jalan ceritanya?” seru Haputule dengan hati
cemas.
“Dua hari berselang ketika malam telah menjelang tiba, aku
sedang menangkap jangkerik dibawah pagoda ini, tiba-tiba
muncul seo rang hweesio sambil membopong seseorang,
sekali loncat hweesio itu terbang keudada dan mencapai
tingkat keempat, kemudian dalam sekejap mata ia sudah
mencapai tingkat teratas!”

0000O0000
62
MENDENGAR sampai disitu, diam-diam Hoa Thian-hong
berpikir dihatinya, “Hweesio itu sambil membopong tubuh
seseorang sanggup melayang naik keatas puncak pagoda
dengan beberapa enjotan badan, ilmu meringankan tubuh
yang dimiliki tentu luar biasa sekali!”
Terdengar Siau Ngo-ji bercerita lebih jauh.
“Dari tingkah lakunya aku segera merasa bahwa asal usul
dari hweesio itu agak kurang beres, dalam hati aku mulai
berpikir sekali lompat hweesio itu bisa mencapai ketinggian
beberapa tombak itu berarti ilmu silat yang dimilikinya pasti
lihay sekali, karenanya terpaksa aku cuma bertiarap dibawah
pagoda tanpa berani bergerak barang sedikitpun juga”
“Kemudian bagaimana?” sela Haputule dengan hati amat
gelisah, “ayoh cepatlah bercerita”
Siau Ngo-ji segera mengerutkan dahinya.
“Tenangkan hatimu, kenapa musti terburu nafsu?” katanya.
Bocah pengemis itu cuma berusia tujuh delapan tahun, tak
bisa ilmu silat, badanpun kecil tapi sikapnya luar biasa sekali
gagahnya, terutama gerak-geriknya yang cerdik dan aneh,
sangat menarik perhatian orang.
Hoa Thian-hong dibikin serba salah, terpaksa dengan suara
yang amit lirih ia berkata, “Saudara cilik, cepatlah kalau
bercerita, setelah ada petunjuk yang jelas kami akan segera
menangkap pembunuh kejam itu”

Siau Ngo-ji mengangguk.
“Aku yang bersembunyi dibawah pagoda sempat
mendengar hweesio itu mengajukan beberapa pertanyaan
kepada suhu dari saudara ini dan mendesaknya untuk
menjawab, hweesio itu antara lain bertanya dimanakah kitab
pusaka Kiam keng disembunyikan, tapi suhu dari saudara ini
cuma tertawa dingin tiada hentinya tanpa mengucapkan
sepatah katapun, sikap yang ketus dan tidak bersahabat dari
suhunya saudara ini kontan menggusarkan hweesio tersebut,
ia segera turun tangan menyiksa suhu dari saudara ini.”
“Bagaimana selanjutnya?” seru Hoa Thian-hong dengan
sepasang alis mata berkenyit.
“Kemudian…. mendadak hweesio itu bertanya, ‘Apakah
kitab pusaka Kiam keng itu di simpan dalam pedang bajanya
Hoa toako?’”
Biji mata bocah itu segera berputar dan melirik sekejap ke
arah pedang baja yang tergantung dipinggang Hoa Thiao
Hong.
Diam-diam si anak muda itu merasa amat terperanjat,
tanyanya lagi, “Lalu apa yang dijawab oleh Siang locianpwee
itu?”
Siang locianpwee itu? sepatah katapun ia tidak berbicara, ia
tetap membungkam dalam seribu bahasa, mendadak hweesio
tersebut tertawa terbahak-bahak dengan kerasnya begitu
keras suara tertawa itu sehingga hampir saja pagoda itu akan
roboh, sesaat kemudian terdengarlah Siang locianpwee itu
menjerit kesakitan, rupanya hweesio tersebut telah turun
tangan untuk membunuh orang.
“Bagaimana selanjutnya?”

Pada saat itulah dari luar pagoda terdengar seorang
perempuan berbicara, perempuan itu berkata, “Hey Pia Lengcu….
Pia Leng-cu, dengarkanlah anjuranku dan cepat-cepatlah
takluk kepadaku ber gabunglah dengan perkumpulan Kiu-imkauw
kami….”
“Oooh….! jadi mereka adalah Pia Leng-cu serta Kiu-im
Kaucu!” seru Haputule dengan terperanjat.
“Emmm! saudaraku, lanjutkan ceritamu, bagaimana
selanjutnya?” sela Hoa Thian-hong.
“Hweesio itu…. aah! bukan, Pia Leng-cu itu segera loncat
turun dari atas pagoda, dengan sikap yang garang ia
berteriak, “Kiu-im Kaucu, engkau jangan terlalu mendesak
orang sehingga terpojok, ketahuilah kalau anjing sedang panik
tembok pekarangan pun akan diloncati, kalau engkau paksa
aku Pia Leng-cu terus sampai tak ada jalan lagi, terpaksa aku
akan serahkan pedang emas ini kepada Hoa Thian-hong”
“Apa yang kemudian diucapkan oleh Kiu-im Kaucu?!”
kembali Haputule bertanya dengan suara gelisah.
“Apa yang dia katakan?!” Siau Ngo-ji sengaja berjual
mahal, setelah berhenti beberapa saat ia baru melanjutkan.
Kiu-im Kaucu tertawa terbahak-bahak, ujarnya, “Waah,
kalau engkau berbuat demikian malah jauh lebih bagus lagi,
Hoa Thian-hong pernah berhutang budi kepada perkumpulan
Kiu-im-kauw kami, kalau engkau serahkan pedang emas itu
kepadanya, maka aku akan mintanya kembali dari tangannya,
aku yakin ia pasti tak akan menampik”

“Hoa toako!” seru Haputule dengan wajah tercengang,
“engkau pernah berhutang budi apa sih dengan pihak
perkumpulan Kiu-im-kauw?”
Hoa Thian-hong menghela napas panjang.
“Aaai….! nyonya hiolo kumala Ku Ing-ing pernah
menghadiahkan sebatang Leng-ci mustika berusia seribu
tahun kepadaku untuk memunahkan racun teratai yang
mengeram didalam tubuhku, berkat Leng-ci tersebut beberapa
orang toyu yang terlukapun berhasil diselamatkan jiwanya,
yang dimaksudkan Kuu im kaucu pastilah persoalan ini.”
“Betul!” seru Siau Ngo-ji membenarkan, “Kiu-im Kaucu juga
berkata demikian, semula aku masih mengira kalau dia lagi
mengibul dan omong besar!”
“Bagaimana selanjutnya?” tanya Hoa Thian-hong.
“Kemudian….” Siau Ngo-ji berhenti sejenak, kemudian baru
terusnya.
“Pia Leng-cu segera mendengus dingin, dengan sikap acuh
tak acuh dia berkata, ‘Sekalipun ilmu silat yang kau miliki
masih setingkat lebih lihay daripada kepandaianku, namun
untuk bereskan nyawa aku Pia Leng-cu bukanlah suatu
pekerjaan yang mudah, apalagi toh masih ada seorang to yu
yang pasti tak akan setuju dengan tindakanmu itu.’”
“To yu yang mana sih yang dia maksud kan?” tanya Hoa
Thian-hong keheranan.
“Pada mulanya aku sendiripun keheranan dan tak habis
mengerti, tapi setelah kutenggok ke arah mana asalnya suara
pembicaraan itu…. oohh hoohh…. rupanya dari arah lain telah
berdiri seorang makhluk yang sangat aneh.”

“Makhluk aneh macam apa?” tanya Haputule ikut
tercengang bercampur keheranan.
“Keanehan yang terdapat pada diri orang itu sukar
dilukiskan dengan kata-kata, pokoknya barang siapapun
bertemu dengan orang itu maka sekujur badannya akan
merinding dan bulu kuduknya pada bangun berdiri, lagi pula
waktu itu udara gelap aku sendiripun tidak dapat melihat jelas
raut wajahnya.”
“Apa yang diucapkan mauusia aneh itu?” kembali Haputule
bertanya dengan cepat.
“Manusia aneh itu berkata, ‘Pia Leng-cu, darimana engkau
bisa menebak kalau kitab Kiam keng disimpan dalam pedang
baja milik Hoa Thian-hong?’”
“Benar, dibalik peristiwa ini pasti ada hal yang diluar
dugaan” batin Hoa Thian-hong dihati kecilnya.
Terdengar Siau Ngo-ji melanjutkan kembali kata-katanya,
“Pia Leng-cu segera menjawab, ‘Gampang sekali untuk
menebak hal itu, coba bayangkan saja kitab pusaka Kiam keng
tersebut sudah pasti adalah suatu benda yang bisa dilihat tak
dapat diambil.’ Siang Tang Lay pun tak dapat mengambilnya,
kalau tidak kenapa ia tidak tidak ambil kitab pusaka Kiam keng
itu untuk diwariskan kepada anak muridnya, atau dihadiahkan
kepada Hoa Thian-hong”
“Pintar juga anjing bulukan ini!” seru Haputule dengan
penuh rasa benci dan mendendam.
“Sementara itu Pia Leng-cu melanjutkan kembali katakatanya!”
sambung Siau Ngo-ji lebih jauh, “dia bilang benda
pusaka warisan dari Dewa pedang Gi Ko sudah pasti

mempunyai sangkut pautnya antara yang satu dengan yang
lain, pedang baja yang berada ditangan Hoa Thian-hong
adalah sebilah senjata yang kuat dan keras sekali, sebalik nya
pedang emas adalah pedang paling tajam di kolong langit, dua
bilah senjata yang saling berlawanan ini pasti bukan kebetulan
saja sebaliknya mengandung maksud-maksud tertentu.
Mendengar perkataan itu manusia aneh tersebut segera
berseru, “Ucapanmu itu sangat masuk diakal dan….”
“Pia Leng-cu pun kembali berkata, ‘Keponakan muridnya
menyembunyikan pedang emas itu didalam pedang pusaka
Boan liong poo-kiamnya, perbuatannya itu segera
menggerakkan kecerdasannya, kalau didalam pedang itu
disimpan sejilid kitab pusaka Kiam keng, rasanya hal ini besar
sekali kemungkinannya, apalagi pedang baja itu kuat dan
ampuh tak mempan dibacok atau ditebas kutung oleh golok
atau pedang mustika biasa, sebaliknya hanya bisa ditebas
kutung oleh pedang emas, ditinjau dari rentetan hubungan itu
bukankah dapat ditarik kesimpulan kalau pedang emas itu
sebenarnya tak lain tak bukan adalah kunci untuk
mendapatkan kitab pusaka Kiam keng?’”
Mendengar kisah itu, tanpa terata sambil meraba gagang
pedangnya Hoa Thian-hong tertawa dingin.
“Hmmm! bagaimana selanjutnya?” ia bertanya.
Kemudian ketiga orang itu saling memaki dan saling
membentak, lama kelamaan dari cekcok mulut akhirnya Kiu-im
Kaucu bertempur melawan Pia Leng-cu malah bertempur
sengit melawan manusia aneh itu sedangkan Pia Leng-cu
mengundurkan diri dari gelanggang pertarungan dan
melarikan diri dari tempat kejadian, melihat Pia Leng-cu kabur
maka Kiu-im Kaucu dan manusia aneh itupun segera berhenti
bertempur kedua orang itu dengan cepatnya mengejar Pia

Leng-cu yang sudah kabur lebih dahulu, dalam sekejap mata
ketiga orang itu sudah lenyap dari pandangan mata.
Diam-diam Hoa Thian-hong merasa amat terperanjat, ia tak
dapat menebak siapakah manusia aneh yang berani
bertempur melawan Kiu-im Kaucu itu.
Haputule dengan sepasang mata berubah merah berapi-api
segera bertanya, “Saudara cilik, apakah engkau sempat
melihat jelas ke arah mana ketiga orang itu berlalu?”
“Pada waktu itu aku tak sempat melihat jelas, tapi kedua
orang kakak seperguruanmu kemarin sore baru menemui
ajalnya, oleh karena itu aku yakin sampai kemarin sore Pia
Leng-cu masih berada dikota Lok yang.”
“Pintar sekal bocah cilik ini” pikir Hoa Thian-hong dengan
perasaan terperanjat.
Haputule segera berpaling ke arah Hoaa Thian-hong,
kemudian ajaknya dengan suara lirih, “Hoa toako, bagaimana
kalau kita lakukan penggeledahan lebih dahulu disekitar kota
Lok yang, coba libat apakah kita masih dapat menemukan
jejak dari bajingan anjing bulukan itu!”
Siau Ngo-ji segera goyangkan tangannya berulang kali
sambil menyela dari samping.
“Tak usah dicari lagi, kami telah melakukan pencarian yang
teliti diseluruh kota Lok yang, namun tak berhasil menemukan
jejak dari ketiga orang itu. Hoa toako lebih baik segera
kembali untuk menyambut kedatangan ibumu.”
“Kenapa?” tanya Hoa Thian-hong dengan sepasang dahi
berkerut.

Pada waktu itu setelah aku kembali kedalam kota, dan
menceriterakan kisah kejadian itu kepada Ko toako….
“Ko toako? siapakah dia?” sela Haputule dengan wajah
keheranan.
Oooh yaa! dia adalah toako kami! belum habis aku
bercerita tiba-tiba saja toako berteriak. Aduh celaka….! pada
saat itu juga dia segera mencuri seekor kuda dan berangkat
menuju ke kota Cho Ciu….
“Mau apa Ko toako mau berangkat ke kota Cho ciu?”
Ko toako bilang begini: “ketiga orang gembong iblis itu ada
maksud untuk mendapatkan kitab Kiam keng, sedang kitab
kiam keng didalam pedang baja milik Hoa toako, mereka
bertiga pasti akan menggunakan segala daya upaya untuk
mendapatkannya. Mendengar perkataan itu aku lantas
membantah: ‘Aaahh! tak mungkin, ilmu silat yang dimiliki Hoa
toako lihay sekali dan tiada tandingannya di kolong langit,
sudah pasti dia tak akan pikirkan ketiga orang itu dalam
hatinya’, namun Ko toako tidak sependapat dengan jalan
pikiranku ini”
“Lalu apa yang dikatakan Ko toakomu?”
“Ko toako bilang begini: pertama, serangan yang datang
secara menggelap sukar di duga, kedua kemungkinan besar
tiga orang gembong iblis itu bakal bersekongkol untuk
bersama-sama menghadapi Hoa toako seorang, selain itu kami
dengar kabar yang mengatakan ilmu silat yang dimiliki ibunya
Hoa toako telah punah, seandainya tiga orang itu secara tibatiba
turun tangan dan menculik ibu Hoa toako bukankah
dalam keadaan demikian Hoa toako serta-merta akan
serahkan pedang baja itu kepada mereka tanpa syarat? jika ke

tiga orang itu sampai berhasil mendapatkan kitab kiam keng,
waaah…. ilmu silat mereka sudah pasti akan lihay sekali!”
Pucat pasi selembar wajah Hoa Thian-hong karena kaget
dan terkesiapnya, sambil membelai kepala Siau Ngo-ji ia
segera berseru.
“Saudara cilik engkau memang luar biasa sekali! Ko toako
mu juga hebat, kalau dibandingkan dengan aku maka
kecerdikan kalian jauh lebih hebat beberapa kali lipat”
“Ko toako seperti juga dengan aku, diantara para jago dan
orang gagah yang ada di kolong langit kami cuma kagum
terhadap Hoa toako seorang” tukas Siau Ngo-ji dengan cepat.
Jilid 15
HOA THIAN-HONG sangat terharu hingga air mata tanpa
terasa jatuh berlinang membasahi pipinya.
Sebelum bertemu, aku sama sekali tidak saling mengenal
dengan kalian, tapi karena urusanku Ko toako mu telah
bersusah payah berangkat ke kota Cho ciu uatuk memberi
kabar, bila bertemu nanti aku pasti akan mengucapkan banyak
terima kasih kepadanya.
Belum habis Hoa Thian-hong bicara kembali Siau Ngo-ji
menukas, “Kami sudah lama bersahabat dan berkenalan
dengan Ko toako urusan ini toh kecil sekali, kenapa Hoa toako
musti berterima kasih”
Ia berhenti sebentar, kemudian sambil tertawa haha hihi
sambungnya lebih jauh, “Hiiih…. hiiih…. hhiiih…. apakah Hoa
toako segera akan berangkat ke kota Cho ciu

“Apa yang diucapkan Ko toako mu memang tak sala, ibuku
dalam keadaan bahaya karenanya aku harus segera berangkat
kesana”
“Bagaimana kalau aku temani Hoa toako tanya Siau Ngo-ji
sambil mengerdipkan matanya.
Hoa Thian-hong jadi serba salah, dalam hati ia merasa
keberatan karenanya pemuda itupun berkata, “Dunia
persilatan sangat berbahaya dan banyak sekali tipu muslihat
yang bisa menjerumuskan orang kelembah kehancuran,
saudara cilik engkau masih muda dan lagi orang tuamu masih
ada”
“Oooh! sudah tak ada lagi aku sudah tak punya orang tua”
tukas Siau Ngo-ji sambil goyangkan tangannya berulang kali,
“aku hidup sebatang kara tak punya sanak tak punya
keluarga, dunia persilatan adalah rumahku dan aku hidup di
antara siksaan serta penderitaan karena itu aku tidak takut
mara bahaya, kalau aku takut menghadapi kenyataan
mungkin sejak dulu aku mati kelaparan….!”
Hoa Thian-hong jadi amat terharu dan tak tega untuk
menampik keinginannya dan lagi ia merasa sayang kalau
bocah cerdik itu harus hidup bergelandangan tanpa masa
depan yang cerah.
Setelah berpikir sebentar, pemuda itupun mengangguk,
kepada Haputule pesannya, “Saudaraku, untuk sementara
waktu tinggallah dulu dikota Lok yang untuk mengurusi layon
dari suhu serta kedua orang kakak seperguruanmu, aku akan
menyambut kedatangan ibukmu, disamping berusaha keras
untuk menangkap Pia Leng-cu”

“Selesai mengebumikan jenasah dari suhu, aku akan segera
menyusul Hoa toako ke kota Cho ciu!” sahut Haputule dengan
sedih.
“Baik! musuh amat licik dan kejam, saudaraku! engkau
harap selalu waspada dan bertindak seksama”
Setelah mengangguk kepada dua orang pengemis lainnya,
sambil menggempit Siau Ngo-ji dibawah ketiaknya
berangkatlah pemuda itu menuju ke kota Cho ciu.
Hoa Thian-hong sangat menguatirkan keselamatan ibunya,
perjalanan dilakukan cepat sekali ibarataya sambaran petir
yang membelah di angkasa, ketika senja menjelang tiba
mereka telah sampai diluar kota Tha sian shia….
Tiba-tiba Siau Ngo-ji berteriak keras, “Hoa toako, mari kita
beristirahat sebentar, turunkan aku!”
Hoa Thian-hong berhenti berlari dan t runkan Siau Ngo-ji
keatas tanah, tanyanya, “Saudara cilik, engkau lelah?”
Siau Ngo-ji menghembuskan napas panjang-panjang.
“Lelah sih tidak, cuma aku tak dapat bernapas, dadaku
lama kelamaan jadi sesak!”
Buru-buru Hoa Thian-hong atur pernapasan sebentar untuk
pulih kembali tenaganya, kemudian katanya, “Kalau dihitung
menurut jadwal perjalanan, mungkin pada malam ini ibuku
menginap semalam dikota ini, bila sepanjang perjalanan tak
ada halangan atau rintangan maka seharusnya saat ini sudah
berada dikota ini, ayoh kita masuk kedalam kota untuk
mencari jejak mereka!”

“Toako tak usah terburu nafsu” hibur Siau Ngo-ji, “aku
sudah mendapat kabar yang mengatakan bahwa sepanjang
perjalanan bibi tidak memperoleh rintangan apa-apa sekarang
mungkin beliau sudah tiba ditempat tujuan dengan selamat!”
“Aaaai….! dalam keadaan begini engkau masih bisa-bisanya
bergurau”
Sambil menggandeng tangan kecilnya yang dekil dan kotor
berangkatlah mereka masuk kedalam kota.
Ketika lewat dibawah pintu gerbang kota, tiba-tiba Siau
Ngo-ji berhenti, kemudian menunjukkan kode tangan kepada
seorang bocah ku disan yang sedang berjongkok dipinggir
jalan.
Bocah kudisan itu melirik sekejap ke arah Hoa Thian-hong
kemudian berbisik lirih, “Rumah penginapan Beng ho dijalan
raya sebelah barat!”
Siau Ngo-ji segera tarik tangan Hoa Thian-hong seraya
berseru, “Aku tahu tetak itu toako! ayoh ikuti lagi aku”
“Apakah Ko toako mu berdiam dirumah penginapan Beng
ho?” tanya Hoa Thian-hong keheranan.
“Bukan, bibi yang tinggal disitu!”
“Eeei…. rupanya kalian juga punya Organisasi yang cukup
besar….!” tegur sang pemuda tercengang.
Siau Ngo-ji tertawa bangga.
“Perkumpulan Hong-im-hwie menguasai wilayah Kangpak,
perkumpulan Sin-kie-pang menguasai wilayah Kanglam dan
perkumpulan Thong-thian-kauw menguasai wilayah Kangtang,

sebaliknya seluruh pengemis cilik yang ada di kolong langit
berada dibawah kekuasaan Ko toako, sebenarnya kami juga
akan mendirikan sebuah perkumpulan, tapi ilmu silat yang
dimiliki Ko toako belum berhasil dikuesahi, ia tak mau jadi Loo
toa dan suruh aku yang menjabat kedudukan tersebut, namun
aku sendiripun merasa terlalu pagi untuk berpikir sampai
kesana”
“Berapa sih usia Ko toako mu itu? ilmu silat apakah yang
dipelajari olehnya?”
Siau Ngo-ji berpikir sebentar, kemudian menjawab, “Lo
toako kurang lebih lima belas tahun, ilmu silat yang dipelajari
nya adalah ilmu telapak Tiat sah ciang serta Tiat poh san aku
sendiripun berlatih ilmu pukulan Tiat sah Ciang, tapi baru
mencapai taraf berlatih diatas pasir, itupun baru berlangsung
selama beberapa bulan”
“Coba aku periksa tangan kirimu!” kata Hoa Thian-hong
dengan dahi berkerut.
Siau Ngo-ji perlihatkan lengan kirinya, ketika diperiksa
ternyata telapak tersebut memang jauh lebih kasar daripida
tangan kanannya.
Bocah itu tersenyum, katanya, “Hoa toako, aku ingin
melatih kedua belah telapakku, boleh toh?”
Hoa Thian-hong termenung dan berpikir beberapa saat
lamanya, kemudian ia manjawab, “Kalau melatih ilmu keras
seperti itu, kadangkala telapak tangannya bisa membengkak
jika kedua duanya dilatih maka pertama ku rang begitu leluasa
dan kedua kurang sempurna sewaktu latihan, tangan bisa jadi
cacad, berlatih sepasang telapak secara bersama sama
memang terlalu bahaya.”

Ia berhenti sebentar, kemudian melanjutkan, “Apakah Ko
toakomu punya suhu?”
Siau Ngo-ji gelengkan kepalanya.
“Kami semua berlatih sendiri-sendiri, tak ada guru yang
memberi petunjuk kepada kami”
“Lalu siapa yang ajarkan cara berlatih ilmu keras itu kepada
kalian semua?”
Dengan mata terbelalak lebar Siau Ngo-ji menjawab, “Kami
dengar dari orang lain, katanya banyak sekali orang yang
mengetahui cara berlatih ilmu itu, cuma orang harus sabar
dan tekun berlatih, tidak takut sengsara dan tidak takut lelah,
dengan begitu kepandaian tersebut baru bisa tercapai
hasilnya, sekali hantam Ko toako kami sanggup untuk
mengbancurkan enam buah batu bata yang disusun menjadi
satu!”
“Aaai….! dua orang bocih yang cerdik, sayang mereka tidak
bertemu dengan guru yang pandai”
Sementara masih termenung, tanpa sadar mereka telah
sampai diluar rumah penginapan Beng ho, baru saja naik
ketangga batu seorang pelayan telah maju menyambut
kedatangan mereka sambil bertanya
“Kek koan, apakah kalian hendak mencari kamar?”
“Apakah ada tiga orang tamu perempuan menginap
dirumah penginapan ini?”
“Oooh ada…. ada” sahut pelayan itu berulang kali.

Ia segera putar badan dan membawa dua orang itu menuju
keruang belakang dan berhenti didepan sebuah kamar yang
tertutup rapat.
Belum sempat mereka bertiga mendekati kamar itu, dari
balik ruangan berkumandang lah suara bentakan dari Tio
Sam-koh.
Dari sura bentakan itu Hoa Thiaa Hong tabu kalau ibunya
selamat tanpa kekurangan sesuatu apapun, ia jadi lega dan
segera menjawab.
“Nenek Sam poo, aku!”
“Tunggu sabentar!” seru Tio San koh.
Hoa Thian-hong segera ulapkan tangannya memerintahkan
pelayan itu untuk berlalu, beberapa saat kemudian pintu
terbuka dan Chin Wan-hong muncul diambang pintu.
Hoa Hujin duduk bersila diatas pembaringan, sedang Tio
Sam-koh dengan toya ditangan berdiri disisinya dengan gagah
perkasa.
Hoa Thian-hong segara maju kedepan memberi hormat
kepada dua orang itu, kemudian sambil berpaling kebelakang,
serunya, “Siau Ngo-ji, orang tua ini adalah sam po po, ayoh
maju kedepan dan memberi hor at kepadanya!”
“Nenek sam popo!” sapa Siau Ngo-ji sambil menjura dalamdalam.
Hoa Thian-hong segera menuding kembali ke arah ibunya
sambil menambahkan, “Dan dia adalah ibuku!”

Siau Ngo-ji segera jatuhkan diri berlutut diatas tanah,
sambil menyembah, katanya, “Bibi, Siau Ngo-ji menyembah
untukmu!”
Tio Sam-koh jadi mendongkol sekali, sambil hentakkan toya
bajanya keatas tanah ia berteriak gusar, “Bocah kurangajar,
engkau berani pandang rendah orang yaa? kenapa tidak
berlutut dan menyembah kepada aku nenek tua?”
Siau Ngo-ji balas mendelik, sahutnya, “Bibi Hoa secara
beruntun telah membinasakan Lie Buliang, Hian Leng cu serta
Cing Leng cu, setiap orang di kolong langit mengetahui akan
hal ini, tentu saja aku harus berlutut dan menyembah
kepadanya”
Tio Sam-koh semakin gusar, kembali ia berkata, “Aku
nenek tua dengan andalkan toya bajaku telah membinasakan
Cing Si cu serta berpuluh-puluh orang lainnya, apakah engkau
bocah kurangajar tidak pernah dengar orang membicarakan
soal itu?”
“Cing Si cu?!” seru Siau Ngo-ji, dia adalah koancu dari kuil
It-goan-koan dikota Cho ciu, kalau engkau tidak bilang
darimana aku bisa tahu? baiklah, aku akan berlutut dan
menyembah kepadamu”
Sambil berkata ia segera putar badan dan menyembah
kepada Tio Sam-koh.
Selesai memberi hormat, Hoa Thian-hong kembali
menuding ke arah Chin Wan-hong sambil memperkenalkan,
“Dia adalah enso mu!”
Siau Ngo-ji kembali berlutut hendak menyembah, tapi Chin
Wan-hong buru-buru mencegah sambil berkata, “Saudaraku,

tak usah memberi hormat secara kebesaran, silahkan
duduk….”
Hoa Thian-hong tersenyum, ujarnya kemudian.
Enci Hong, kami harus buru-buru melakukan perjalanan
sehingga tak sempat makan dan minum, sekarang perutku
lapar sekali! tolong sediakan makanan
“Baik! aku akan siapkan makanan didapur!” sahut Chin
Wan-hong, iapun berlalu dari kamar.
Sepeninggal gadis itu, Hoa Hujin berkata, “Bagaimana
keadaan Siang locianpwee? kenapa Haputule tak kelihatan?”
Hoa Thian-hong menghela nafas panjang ia segera
menceritakan semua kejadian yang dialami selama melakukan
perjalanan ke kota Lok yang.
Setelah mengetahui akan nasib sial yang menimpa Siang
Tang Lay beserta kedua orang muridnya, Hoa Hujin tak tahan
ikut bersedih hati, ia menghela nafas panjang tiada hentinya.
Tiba-tiba Tio Sam-koh mengelukan tongkat bajanya keatas
tanah, kemudian serunya dengan lantang, “Pia Leng-cu pasti
berada dikota ini, bagaimanapun juga kita harus berusaha
untuk menangkap bajingan itu kemudian membacoknya
hidup-hidup hingga mampus!”
Hoa Hujin menghela napas panjang, dari balik selimut dia
ambil keluar dua carik kertas, sambil dianggurkan kedepan,
katanya, “Engkoh cilik she Ko ini adalah seorang pendekar
sejati yang berjiwa ksatria. Seng ji, engkau harus baik-baik
ikat tali persahabatan dengan dirinya”

Hoa Thian-hong menyambut kertas itu dan membaca
isinya, pada lembaran pertama tertulislah kata-kata sebagai
berikut,
Kiu-im Kaucu, Pia Leng-cu serta seorang manusia aneh tua
dari perkumpulan Mo-kauw yang bercokol dilaut Teng sut hay
telah ber kumpul semua dikota ini, mereka bertujuan jahat
terhadap diri hujin, harap diperhatikan dan waspada selalu”
Sedang pada lembaran kedua tertulislah kata-kata berikut,
“Pia Leng-cu sangat pandai ilmu merubah wajah, saat ini
paras muka serta dandanannya kembali berubah, jejaknya
hilang tak ketahuan, Kiu-im Kaucu berdiam dirumah
penginapan Ko seng dipintu kota sebelah utara, makhluk aneh
dari perkumpulan Mo-kauw bercokol dikuil kota Shia hong hio,
perlu diketahui makhluk aneh itu pernah berkata demikian
kepada Kiu-im Kaucu: ‘Engkau adalah kaucu, apa aku kaucu?’
Kalau dengar dari ucapan tersebut, kemungkinan besar dia
adalah pentolan dari perkumpulan Mo-kauw”
Di bawah surat itu tertulislah namanya sebagai berikut,
“Tertanda, aku yang rendah Ko Tay”
Hoa Thian-hong segera mengernyitkan sepasang alisnya
yang tebal, ia bertanya, “Ibu, siapa yang serahkan surat ini
kepadamu?”
Ketika kereta kuda kami baru saja masuk kota, seorang
bocah cilik angsurkan selembar kertas kepadaku, kemudian
sewaktu bersan tap malam tadi, dibawah mangkuk sayur kami
temukan pula lembaran surat yang kedua”

Ia berhenti sebentar, kemudian melanjutkan, “Makanan
maupun minuman kami dikerjakan sendiri oleh Hong ji,
akupun tak habis mengerti darimana datangnya surat itu?”
Hoa Thian-hong termenung sejenak, lalu ujarnya lagi, “Ilmu
silat yang dimiliki saudara Ko kurang begitu baik, kalau dia
harus adu kepandaian dengan tiga orang gembong iblis itu
aku takut kalau….”
“Toako tak usah kuatir” tukas Siau Ngo-ji dengan cepat,
“meskipun ilmu silat yang di miliki Ko toako masih belum bisa
menandingi kehebatanmu, tapi tiga sampai lima orang
gembong iblispun tak akan mampu berbuat sesuatu terhadap
dirinya”
Hoa Hujin tersenyum, serunya, “Tiga lima orang gembong
iblis bukan main kehebatannya lho…. jangan kau anggap
sebagai suatu permainan!”
Hoa Thian-hong memandang sekejap ke arah ibunya, lalu
berkata, “Saudara cilik she Ko itu baru berusia empat lima
belas tahunan, ilmu silat yang sedang dilatih adalah ilmu
pukulan Tiat san ciang atau pukulan pasir besi.”
Perkataan itu diucapkan sangat mendalam dan mempunyai
dua arti rangkap, sudah tentu sebagai seorang yang cerdas
Hoa Hujin dapat memahami maksudnya.
Jangan dibilang Ko Tay masih sangat muda dan belum
menginjak dewasa, sekalipun ia sudah dewasa dan ilmu
pukulan pasir besinya telah dilatih hingga mencapai puncak
kesempurnaan, dalam penglihatan Hoa Hujin dan putranya,
kepandaian tersebut masih belum terhitung sebagai Suatu
ilmu silat yang bisa diandalkan, tentu saja mereka tak ingin
menyaksikan seorang bocah cilik yang belum dewasa harus
jual nyawa bagi kepentingan mereka.

Hoa Hujin berpikir sebentar, lalu ujarnya, “Siau Ngo-ji,
dapatkah kau temukan Ko toakomu itu?”
“Untuk menemukan Ko toako sih bisa saja, cuma ia tak
dapat datang kemari, dan kitapun tak dapat pergi kesana”
“Kenapa??”
“Kalau kedua belah pihak telah saling bertemu, bukankah
rahasia Ko toako bakal ketahuan? jika ketiga orang gembong
iblis itu mengetahui kalau dia adalah sahabat Hoa toako….
waaah! kemungkinan besar dia malah akan dicelakai”
“Hmm! jaman memang sudah berubah, pentunganpun bisa
jadi siluman! betul-betul hebat!” ejek Tio Sam-koh dengan
suara tajam.
Mendengar sindiran itn, Siau Ngo-ji langsung mengenyitkan
sepasang alis matanya.
“Nenek Sam popo! aku toh sudah berlutut dan menyembah
kepadamu, kenapa sih engkau begitu pandang rendah
diriku?!” serunya penuh rasa penasaran.
Tio Sam-koh semakin melototkan matanya bulat-bulat.
“Huuh! orang sih kecil tapi nyali mu benar-benar sangat
besar….”
“Baik! Baik! Baik!” seru Siau Ngo-ji sambil anggukan
kepalanya berulang kali, suatu ketika aku pasti akan
melakukan suatu peker jaan besar untuk diperlihatkan
kepadamu”

Hoa Hujin tersenyum simpul, ia saling berhadapan sekejap
dengan Hoa Thian-hong lalu anggukkan kepalanya.
Mereka merasa bahwa setiap perkataan dari Siau Ngo-ji
sangat masuk diakal, dalam kenyataan memang banyak
kesulitan yang terdapat dalam peristiwa itu.
Beberapa saat kemudian, Chin Wan-hong muncul dalam
ruangan menghidangkan sayur dan nasi, Hoa Thian-hong
serta Siau Ngo-ji segera duduk dan bersantap bersama-sama.
“Toa! tiba-tiba Siau Ngo-ji berbisik lirih, apakah makanpun
ada peraturannya?”
Mendengar pertanyaan itu Hoa Thian-hong segera tertawa.
“Buat orang persilatan seperti kami, makan sih tak usah
pakai aturan, bebas dan santai sajalah!”
Siau Ngo-ji mengangguk, tanpa sungkan-sungkan lagi ia
segera ambil nasi dan bersantap dengan lahapnya.
Melihat pakaian yang dikenakan Siau Ngo-ji sudah amat
dekil dan banyak berlubang, celana sampai sebatas lutut
penuh dengan lumpur, sepasang tanganaya hitam, rambut
kusut dan awut-awutan persis seperti seorang pengemis cilik.
Hoa Hujin segera berpaling ke arah Chin Wan-hong sambil
berkata, “Hong ji, carilah satu stel pakaian baru untuknya, dan
perintabkan pelayan untuk siapkan air mandi!”
“Bibi Hoa, engkau tak usah repot-repot!” seru Siau Ngo-ji
sambil berpaling, “aku tak tahan pakai pakaian baru, tidak
sampai beberapa hari toh akhirnya bakal rusak lagi!”
“Kalau sudah rusak kita bicarakan lagi, ayoh cepat
bersantap lebih dulu!” kata Hoa Hujin sambil tertawa.

Chin Wan Hoag sendiri segera berlalu dari ruangan untuk
carikan pakaian buat Siau Ngo-ji.
Baru saja kedua orang itu selesai bersantap, pelayan telah
menyiapkan air mandi.
Berhubung Siau Ngo-ji adalah seorang bocah cilik yang
baru berusia tujuh delapan tahunan, semua orangpun tidak
terlalu memikirkan soal pantangan atau menyingkir dari sana,
mereka merintahkan pelayan untuk letakkan tong besar
tempat mandi disudut ruangan, kemudian suruh bocah itu
lepaskan pakaian dan mandi.
Sebenarnya Siau Ngo-ji ada maksud untuk menghindar,
tapi karena ia jeri terhadap Hoa Hujin maka dengan rada
jengah akhirnya bocah itu lepaskan pakaian juga untuk mandi.
Tiba-tiba Tio Sam-koh berkata, “Siau Ih, bagaimanapun
juga pertarungan ini harus kita adakan, sekarang Seng ji
sudah kembali, aku nenek tua tak sudi menjadi cucu kura-kura
terus-terusan!”
“Nenek Sam poo, apa yang kau katakan?!” sambung Hoa
Thian-hong dengan cepat.
Dengan wajah uring-uringan Tio Sam-koh berseru, “Setelah
membaca dua lembar tulisan itu, Hong jin selain mengusulkan
agar kita bertindak tenang dan memaksakan suatu tutup pintu
tidak keluar dari ruangan barang selangkahpun, dia selalu
mengandalkan kelihayan dari kepandaian perguruannya untuk
mempertahankan diri….”
Mendadak Siau Ngo-ji berpaling sambil memperingatkan,
“Nenek sam popo, dinding ada celah, tembok ada telinga,

kalau sedang membicarakan masalah yang penting, janganlah
berteriak-teriak begitu dong!”
“Bocah busuk! siapa suruh eagkau cerewet dan banyak
mulut?” bentak Tio Sam-koh penuh kegusaran.
“Pia Leng-cu telah lenyap tak ketahuan kemana perginya,
siapa tahu kalau ia berdiam dikamar sebelah, kalau engkau
berteriak teriak begitu hingga rahasianya ketahuan, mana
mungkin bangsat itu mau masuk perangkap?”
“Monyet cilik, banyak amat akal busuk mu!” maki Tio Samkoh,
kemudian sambil tertawa lanjutnya, “Seng ji coba
periksalah keadaan disekeliling ruangan ini jangan sampai
dugaan dari monyet cilik ini benar-benar terjadi hingga ada
orang yang berhasil mendekati tempat Tinggal kita”
Hoa Thian-hong tersenyum, dia segera melayang keluar
dari ruangan dan memeriksa keadaan disekeliling tempat itu,
kebetulan Chin Wan-hong telah pulang sambil membeli
setumpuk pakaian, dua orang itu segera bersama-sama
kembali keruangan.
Semua orang sekali lagi merundingkan siasat untuk
menghadapi musuh. Tio Sam-koh adalah seorang jago tua
yang bersifat seperti jahe, makin tua semakin pedas, kalau
menurut pedapatnya, sebelum musuh datang berkunjung,
mereka terjang lawan-lawanya lebih dahulu sehingga musuh
jadi kocar kacir.
Tapi Hoa Thian-hong lebih mementingkan keselamatan
ibunya, apabila keadaan tidak terlalu mendesak, ia tak ingin
terlalu jauh meninggalkan ibunya.
Chin Wan-hong adalah seorang gadis yang halus dan
penurut, setelah kembali kedalam ruangan dia selalu

mengikuti perasaan dan maksud hati mertua serta suaminya,
sekarang setelah mendengar kalau usul dari suaminya persis
seperti apa yang dia inginkan, gadis itupun segera tutup mulut
dalam seribu bahsaa tanpa mengajukkan suatu usul yang lain.
Hoa Hujin sendiri dalam keadaan demikian jadi bingung
sendiri, untuk beberapa waktu perundingan jadi macet dan
mereka tak berhasil mengambil keputusan apapun juga
Tiba-tiba Siau Ngo-ji berbisik lirih, “Enso, kepandaian
apakah yang merupakan kepandaian terampuh dari perguruan
mu?”
Sambil menyisir rambut Siau Ngo-ji dengan sisir, Chin Wanhong
tertawa.
“Ketika suhu menyaksikan ilmu silatku terlalu cetek, maka
dia telah menghadiahkan sedikit kabut sembilan bisa
kepadaku, kabut beracun itu tidak berwarna tidak berbau, jika
disebarkan diudara maka kabut itu tetap menggumpal dan
sama sekali tidak buyar, barang siapa tersentuh oleh racun itu
maka dia akan segera keracunan hebat dan jatuh tak
sadarkan diri!”
“Ooh! kalau begitu kabut beracun itu pasti lihay sekali, tapi
kalau dihembus angin bakal buyar atau tidak?”
“Kalau anginnya terlalu besar tentu saja akan buyar, tapi
kalau racun itu disebar dalam ruangan kemudian pintu kamar
dikunci rapat-rapat, sepuluh sampai setengah bulau pun tak
bakal buyar!”
“Andaikata engkau sabarkan kabut beracun itu dibelakang
pintu, kemudian ada musuh yang menerjang pintu dan masuk
kemari, bukankah ada hembusan angin yang bakal muncul
mengikuti hempasan pintu itu? bagaimana kalau racun itu

sampai terhembus buyar dan malahan meracuni orang yang
ada didalam kamar?”
Semua orang merasa terperanjat sesudah mendengar
perkataan itu, mereka sama sekali tak menyangka kalau Siau
Ngo-ji dengan usianya yang masih begitu muda ternyata
mempunyai jalan pikiran yang cermat dan teliti, semua orang
merasa malu sendiri dan perhatian mereka terhadap
kecerdasan bocah itupun makin berlipat ganda.
Chin Wan-hong sangat berharap bisa menggerakkan hati
Tio Sam-koh pergi menempuh bahaya, melihat bocah itu
menanyakan keampuhan kabut sembilan racun, dengan cepat
sahutnya, “Aku dapat sebarkan kabut beracun itu di….”
“Lain kali tak usah mengungkap soal kabut beracun lagi,”
tukas Siau Ngo-ji dengan cepat, “hati-hati kalau sampai
rahasia tersebut kedengaran orang lain”
Chin Wan Hoag menganggukan kepalanya berulang kali.
“Aku dapat meletakkan benda itu ditempat yang paling
ideal, andaikata ada orang menerjang pintu dan masuk
kedalam ruangan, gulungan angin hempasan justru malah
akan menyebar benda itu untuk menyumbat pintu masuk.”
“Bagus sekali!” seru Siau Ngo-ji dengan sepasang alis mata
berkenyit, “tapi manjur tidak kalah digunakan untuk
menghadapi orang-orang yang berilmu silat tinggi?”
“Menurut guruku, asal makhluk ini terdiri dari darah dan
daging, sampai dimanapun sempurnanya tenaga dalam yang
dimiliki, tak mungkin akan mampu untuk menghadapi
kehebatan benda itu.”

Paras muka Siau Ngo-ji segera berseri-seri, sambil
berpaling serunya, “Bibi Hoa, aku punya satu ide bagus!”
“Coba katakan!”
“Meskipun ide ku ini tak terhitung sangat bagus, tapi….”
Mendadak Hoa Thiaa Hong melayang kesisi pintu dan
sepasang lengannya bekerja cepat membentangkan pintu
ruangan mereka.
“Sreeeet….!” serentetan cahaya putih meluncur keluar dari
arah pintu ruangan, dalam sekejap mata bayangan tarsebut
telah lenyap dari pandangan.
Hoa Thian-hong mengejar sampai diluar ruangan setengah
baris ia mencari dan menggeledah sekitar tempat itu namun
tiada sesuatu jejak yang berhasil ditemukan.
Akhirnya dengan tangan hampa ia kembali kedalam
ruangan, sesudah menutup pintu katanya, “Bayangan putih
tadi adalah rase salju milik Ku Ing-ing!”
“Makhluk aneh rase salju? bukankah binatang itu adalah
binatang peliharaan Giok Teng Hujin dari perkumpulan Thongthian-
kauw tempo dulu?” kata Siau Ngo-ji keheranan.
“Huuhh! rupanya segala apapun diketahui olehmu!” jengek
Tio Sam-koh.
Siau Ngo-ji tersenyum, seakan-kan hendak
memperkenalkan diri, ia berkata, “Mulai umur lima tahun aku
berkelana di dunia persilatan, kalau dihitung-hitung sekarang
sudah hampir tiga tahun lamanya, meskipun tidak banyak
yang kulihat tapi banyak sekali yang kudengar.”

“Masih kecil banyak pengalaman, aku lihat engkau sudah
hampir tiba saatnya untuk cici tangan dibaskom emas dan
mengundurkan diri dari keramaian dunia persilatan!” ejek Tio
Sam-koh lagi sambil cibirkan bibirnya.
oooooOooooo
63
MENDENGAR sindiran itu, dengan mata melotor besar Siau
Ngo-ji segera berteraik, “Nenek Sim popo, aku toh….
sudah….”
“Oooh oooh…. yaa. aku Lupa! engkau toh sudah berlutut
dan menyembah kepadaku!” sela Tio Sam-koh kembali
dengan cepat.
Hoa Thian-hong yang disamping gelanggang segera
tertawa terbahak-bahak.
“Haahh…. haaahh…. hhaahh…. Siau Ngo-ji, nenek Sam
popo punya reputasi membunuh beberapa ratus orang
persilatan, akupun pernah kena ditempeleng oleh dia orang
tua, lain kali engkau musti lebih berhati-hati lho!”
“Kenapa?” seru Tio Sam-koh ketus, “apa aku nenek tua tak
boleh menggaplok dirimu?”
Hoa Thian-hong menjura berulang kali, “Boleh…. ooh
boleh…. boleh, tentu saja boleh! kalau Seng ji kurangajar,
silahkan Sam popo menghajar sepuasnya”
Melihat keadaan dari Hoa toako nya, diam-diam Siau Ngo-ji
berpikir dalam hati kecilnya, “Hoa toaiko pun berani dihajar
oleh nenek tua itu, waaah! dia musti galak sekali, aku harus
lebih berhati-hati lagi….”

Sementara itu, sambil tertawa Hoa Hujin telah berkata,
“Siau Ngo-ji, Ku Ing Isg adalah nama asli dari Giok Teng
Hujin, tapi persoalan ini tidak terlalu penting, coba katakan
dulu ba gaimanakah idemu tadi? ‘
Tiba-tiba tetdengar suara langkah kaki manusia
berkumandang datang, kemudian ada orang mengetuk pintu.
Hoa Thian-hong segera membuka pintu kamar, seorang
pelayan menyerahkan sepasang sepatu kecil terbuat dari kulit
menjangan sambil ujarnya, “Hoa ya, tadi siau hujin
menitahkan hamba untuk memberikan sepatu ini!”
“Oooh! terima kasih” sahut si anak muda itu sambil
menerimanya.
Sepatu kecil itu dibeli untuk Siau Ngo-ji, dengan cepat
bocah itu menerimanya sambil dipakai, sambil tertawa
cekikikan karena gembira ia mengomel.
Hiiihb…. hhiiih…. hiiihh…. bagus amat sepatu ini, waah!
baru pertama kali ini aku pakai sepatu baru…. oohh! enso,
engkau memang baik sekali, ensoku memang cantik, manis
dan lagi baik deeh”
Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang aneh, dengan cepat
dirabanya dalam sepatu itu, sesaat kemudian ia ambil keluar
secarik kertas yang dilipat dalam sepatu itu.
Siau Ngo-ji segera membuka kertas itu dan dilihatnya
beberapa saat, kemudian kepada Chin Wan-hong dia berkata,
“Enso, dua buah huruf ini adalah nama dari Ko toako, sedang
ini adalah tulisan ‘Pek’ dan tulisan ini adalah huruf ‘giok’ dan
yang ini…. huruf yang lain pernah enso temui tidak?”

Chin Wan tersenyum, ia ambil kertas itu kemudian
diserahkan kepada Hoa Hujin.
Dengan cepat Hoa Hujin periksa isi surat tersebut yang
kira-kira berbunyi demikian,
“Giok Teng Hujin dari perkumpulan Thong-thian-kauw
sudah tiba dikota ini, sekarang dia tinggal disebuah
penginapan kecil dijalan yang terpencil dekat pintu kota
sebelah selatan, ia belum berjumpa muka dengan Kiu-im
Kaucu, sedangkan Pek Kun-gie dari perkumpulan Sin kie ping
seorang diri baru saja masuk kedalam kota, sekarang dia
sedang berkeliling kota dengan wajah yang kusut, rupanya
kejernihan otaknya agak terganggu sebab aku lihat ia agak
tidak awas pikirannya….!
Tertanda: aku yang muda Ko Tay”
Waktu itu Tio Sam-koh duduk disebelah kanan Hoa Hujin,
sedang Hoa Thian-hong duduk disamping pembaringan,
mereka bertiga telah membaca isi surat itu bersama-sama.
Selesai membaca paras muka Hoa Hujin seketika nampak
murung dan alis matanya berkenyit, sedangkan Tio Sam-koh
melototkan matanya mengerling sekejap ke arah Hoa Thianhong
dengan pandangan dingin, seolah-olah sedang berkata
demikian, *Hmm! kesemuanya ini adalah gara-gara mu, coba
aku mau lihat bagaimana caramu untuk mengatasi kesulitan
ini?”
Hoa Thian-hong sendiripun gelagapan dibuatnya, buru-buru
dia alihkan sorot matanya melirik sekejap ke arah Chin Wanhong.
Gadis she Chin itu sendiri sewaktu menyaksikan paras
muka mertua nya menunjukkan kerumungan, dengan

perasaan gelisah dia segera bertanya, “Ibu, persoalan apa
yang membuat engkau jadi kesal dan murung….?”
Nada ucapannya penuh perasaan kuatir, dan perasaan itu
dengan jelas tertera nyata di atas wajahnya.
Hoa Hujin tertawa terpaksa, sahutnya, “Pek Kun-gie ikut
mengejar kemari, menurut laporan Ko Tay jalan pikiran gadis
itu sedikit kurang waras”
“Ooh….! rupanya begitu!” sambung Siau Ngo-ji dengan
cepat, “bibi tak usah gelisah, tentara menyerbu kita halau, air
bah datang kita bendung, sekalipun langit ambruk rasanya
Hoa toako masih mumpu untuk mengatasinya”
Chin Wan-hong tersenyum.
“Nona Pek sama sekali tidak mendatangkan beacaca bagi
kita! ujarnya lembut, sedangkan Giok Teng Hujin, adalah
sahabat karib Hoa toako mu, diapun tak akan mempunyai
maksud jelek terhadap diri kita”
“Ooh! kalau memang begitu, urusankan lebih gampang
untuk diselesaikan?”
Ia berhenti sebentar, kemudian melanjutkan, “Aku paling
benci mengadakan hubungan dengan kaum wanita, lebih baik
kita tak usah gubris persoalan ini lagi, ayoh kita teruskan
perundingan untuk menangkap penjahat saja!”
Hoa Thian-hong sendiripun merasakan suatu perasaan
yang amat tak sedap, waktu itu dia memang bermaksud untuk
alihkan pokok pembicaraan kesoal lain, mendengar ucapan itu
dengan gembira ia segera berseru, “Coba katakanlah,
bagaimana caranya untuk merangkap penjahat?”

Siau Ngo-ji mendehem ringan, dengan muka serius dia
berkata, “Kalau kita musti tunggu sampai penjahat datang
mencari gara- gara, maka satu hari penjahat tak datang
berarti kita musti tunggu seharian penuh dengan sia-sia,
setahun tidak datang kitapun musti siap siaga selama setahun
penuh, dari sini menuju ke San see masih amat jasuh dan
makin banyak pula yang musti kita hadapi, sekali pun sudah
sampai di San see dengan selamat toh Hoa toako masih tetap
harus berjaga-jaga dirumah tanpa berani tinggalkan pintu
gerbang barang satu langkahpun jua.
“Eeei…. bocah cilik, ternyata engkau punya otak yang encer
juga” seru Tío Sam-koh sambil tertawa, “lebih baik setujui saja
pendapat dari aku nenek tua, ayoh kita cari dulu jejak dari Pia
Leng-cu toosu bajingan itu, kalau Pia Leng-cu tidak ketemu
maka kita cari gara-gara dengan Kiu tm kaucu”
Bertempur sih harus bertempur, cuma kita harus mencari
jalan yang paling tepat.
“Apa kamu bilang?” teriak Tio Sam-koh dengan mata
melotot bulat-bulat.
Siau Ngo-ji tertawa cekikikan.
Hiiih…. hiihh…. hhiiih…. nenek Sam po po jangan gelisah
dahulu, aku toh akan menyetujui dengan pendapat dari kau
orang tua”
“Hmm! bocah ingusan, pandai benar putar kemudi
mengikuti hembusan angin….”
Siau Ngo-ji tertawa.
“Ooh yaaa? masa begitu? menurut aku, sewaktu aku dan
Hoa toako pergi, kalau ada orang bermaksud jabat dan

hendak menyerang ruangan ini mumpung Hoa toako dan aku
tak ada disini, maka kita harus suruh orang itu bisa datang tak
bisa pergi dan rasakan dulu kelihayan dari enso”
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan, “Sebaliknya
kalau aku dan Hoa toako tetap berjaga dirumah penginapan
ini, kecuali kalau mereka bertiga bisa saling bertukar syarat
dan menyerang secara bersama, aku rasa tak mungkin
mereka bersedia menempuh bahaya sendirian dan biarkan
orang lain pungut keuntungan dari samping….”
Hoa Hujin mengangguk setelah mendengar perkataan itu.
“Perkataan dari Siau Ngo-ji memang sangat masuk diakal,
dan siasat ini memang dapat dilaksanakan”
Siau Ngo-ji jadi kegirangan, serunya kemudian, “Kalau
memang begitu, mari kita lakukan sesuai dengan rencana
tersebut.”
Kepada Chin Wan-hong ia menambahkan, “Enso, aku
dengar orang bilang jalanan yang telah dilalui oleh orangorang
dari lembah Hu-liang-kok tak dapat dilalui orang lain
sebab kalau tidak maka orang itu bakal sial.”
“Kenapa?” tanya Chin Wan-hong tercengang.
“Sebab jalanan tersebut sudah mengandung racun keji,
bukankah begitu?”
Chin Wan-hong segera tertawa lebar.
“Aaaah! tidak sampai selihay apa yang kau bayangkan, aku
baru belajar sedikit tentu kemampuanku jauh lebih terbatas.”

“Aaaai….!” seru Siau Ngo-ji gegetun, “kalau ada
kesempatan kita musti lebih banyak mempelajari beberapa
macam kepandaian yang luar biasa itu, tapi bagaimanapun jua
tempat yang telah kau raba tentu bisa mengandung racun
bukan?”
“Kalau dibalik telapak tangan kita sudah diisi dengan obat
racun, tentu saja setiap benda yang telah kuraba dapat
mengandung racun yang jahat pula.”
“Kalau memang begitu bagus sekali!” seru Siau Ngo-ji,
“cepat polesi pedang baja milik Hoa toako itu dengan obat
racun, tapi obat musti jenis obat yang tak bisa hilang dalam
waktu lama dan jangan lupa polesi pula tangan Hoa toako
dengan obat pemunah.”
“Kenapa?” tanya Chm Wan Hong dengan wajah sangsi.
“Sampai detik ini sudah ada empat orang yang mengincar
pedang baja tersebut, mereka sudah pasti akan menggunakan
kekerasan kalau dapat dan menggunakan cara mencuri kalau
merasa sulit, untuk menghindari segala kemungkinan yanr
terjadi, dan siapa tahu kalau Hoa toako lagi teledor sehingga
ada orang berhasil merebutnya, maka biarlah orang pertama
yang mencuri lebih dulu harus merasakan bencana yang
datang tidak terduga itu….”
“Ehmm! cerdas amat bocah ini, akalnya banyak dan jalan
pikirannya jauh ke arah depan” pikir Hoa Thian-hong didalam
hati, “kalau usianya lebih meningkat dan ilmu silatnya lebih
hebat, kemungkinan besar dia bisa menjadi seorang jago yang
sangat lihay!”
Tio Sam-koh sebagai seorang nenek tua yang sangat emosi
dan benci terhadap segala kejahatan, nomor satu yang
menyatakan persetujuannya, ia segera berseru, “Hong ji,

bukankah sebelum tinggalkan dirimu beberapa orang sucimu
itu sudah tinggalkan banyak sekali benda wasiat untukmu?
kalau obat-obatan itu bisa digabung jadi satu, cepatlah
poleskan diatas tubuh pedang baja itu”
Chin Wan-hong tidak segera menjawab, sorot matanya
segera dialihkan keatas wajah Hoa Hujin dan menantikan
persetujuannya.
Hoa Thian-hong berpikir sebentar, diapun merasa apabila
kitab pedang Kiam keng itu sampai terjatuh ketangan
kawanan iblis dari golongan sesat, maka ibarat harimau yang
tumbuh sayap, mereka pasti akan makin menjadi dan berbuat
kejahatan serta keonaran dimana-mana, apalagi kalau ilmu
silatnya sudah mendapat kemajuan yang pesat, niscaya tak
ada orang yang mampu mengendalikan mereka lagi, untuk
mencegah segala kemungkinan yang tak diinginkan dan
menghindari tumbuhnya bibit bencana bagi umat persilatan
memang sepantasnya kalau sedia payung sebelum hujan.
Maka diapun mengangguk tanda setuju.
Buru-buru Chin Wan-hong lari masuk kedapur dan
mengambil tungku berisi api, kemudian melepaskan
buntalannya dan ambil keluar sebuah bungkusan obat.
Siau Ngo-ji yang masih bocah dan besar sekali rasa ingin
tahunya, dengan cepat mendekati Chin Wan-hong, dia ikut
menengok kedalam kantong kulit itu, ketika dilihatnya isi
kantong terdiri dari pelbagai macam botol kumala yang
berbentuk aneh-aneh dan ada yang besar ada pula yang kecil,
dia segera berseru, “Enso, engkau harus pilihkan dari jenis
yang paling lihay, kalau bisa carikan yang amat hebat
sehingga kalau tersentuh lantas tak bisa berkutik, dalam
sekejap mata putuslah nyawanya.”

Chin Wan-hong tertawa, dia ambil keluar dua macam botol
porselen dan membuka salah satu botol diantaranya,
kemudian ia perintahkan kepada Hoa Thian-hong untuk
merentangkan telapak tangannya.
Si anak muda itu merentangkan telapak tangannya dan
Chin Wan-hong menuang keluar segumpal cairan putih dari
dalam botol itu, dia suruh Hoa Thian-hong untuk mempolesi
seluruh telapak tangannya dengan ca iran tadi kemudian
memanggangnya sebentar diatas tungku api itu hingga jadi
kering.
Hoa Thian-hong tak banyak bicara, dia keringkan telapak
tangannya diatas tungku api, kemudian setelah kering
diciumnya dengan hidung, ternyata obat itu sama sekali tidak
meninggalkan bau apapun juga.
“Obat pemunah itu telah meresap masuk kedalam kulit
tanganmu, selama tujuh puluh hari obat itu masih bekerja,
tapi jangan sampai terkena cuka karena obat itu segera akan
buyar….” pesan Chin Wan-hong.
Hoa Thian-hong tertawa.
“Kalau obat ini dipoleskan diatas telapak tangan, masa tak
ada kejelekannya”
Tiba-tiba ia teringat kembali akan hubungan mesrahnya
dengan sang istri, apabila merugikan tentu saja istrinya tak
akan berbuat demikian terhadap dirinya, oleh karena itu
setelah bicara sampai ditengah jalan ia membungkam kembali.
“Obat itu adalah obat pemunah, sekalipun termakan
kedalam perut juga tidak menjadi soal….” kata dara itu
kembali, dia ambil botol yang lain dan segera membuka
penutupnya.

“Apakah obat itu akan kau poleskan keatas pandangku?”
Chin Wan-hong mengangguk.
“Mulai sekarang, orang lain tak boleh menyentuh pedang
bajamu ini dan engkau sendiripun harus hati-hati, jangan
sampai biarkan pedang baja itu menyentuh ditubuh bagian
lain, kalau sampai salah tersentuh cepatlah telan obat
pemunah, walaupun cuma sedikit itu sudah lebih dari cukup”
“Ooh…. benar-benar menarik hati!” seru Hoa Thian-hong
sambil tertawa, dia segera cabut keluar pedang bajanya dan
diangsurkan kedepan.
Isi botol kumala itu adalah cairan obat berwarna kuning,
Chin Wan-hong ambil kapas dan menyuruh Hoa Thian-hong
untuk mempoleskan obat racun itu keatas tubuh pedangnya.
Pedang baja itu bentuknya memang aneh, dari ujung
sampai gagang pedangnya merupakan satu bentuk yang
sama, keadaannya mirip pedang tapi dalam kenyataan lebih
mendekati sebagai sebuah pentungan, baja.
Mula-mula Hoa Thian-hong mempolesi gagang pedangnya
lebih dahulu, kemudian setelah dipanaskan diatas tungku api
sampai kering, dia baru mempolesi bagian lain dari senjata
tersebut.
Pedang baja itu panjang dan besar, obat racun dalam botol
itu hampir habis sama sekali dipakai untuk mempolesi pedang
itu, walaupun disana sini terpaksa ada yang di polesi dengan
begitu saja.
Dalam pada itu, Siau Ngo-ji yang selama ini membungkam,
tiba-tiba ulurkan telapak tangannya kedepan sambil

memohon, “Enso yang baik hati, tanganku belum kau polesi
dengan obat pemunah itu!”
“Buat apa?! tanya sang dara dengan wajah tercengang.
Dengan muka murung dan dahi berkerut Siau Ngo-ji
menjawab, “Andaikata pedang baja milik Hoa toako itu sampai
menyentuh tanganku, kan aku bisa berabe….!”
Chin Wan-hong tersenyum, melihat paras mukanya yang
patut dikasihani terpaksa dia ambil keluar obat pemunahnya
dan dilepaskan pula diatas tangannya.
Siau Ngo-ji dengan penuh semangat mempoleskan obat
pemunah itu disekitar telapak tangan sampai pergelangan
tangannya, kemudian dikeringkan diatas tungku api, begitu
seram wajahnya sehingga nampaklah sikapnya yang
bersungguh-sungguh.
Menanti obat itu sudah kering, dia baru tunjukkan
tangannya kehadapan Chin Wan-hong sambil berseru, “Eoso
yang manis, coba lihatlah! apakah sudah beres?”
“Beres!” sahut Chin Wau Hong sambil tersenyum, “dalam
tujuh puluh hari mendatang jangan sampai menyentuh cuka!”
Siau Ngo-ji amat kegirangan, dengan muka berseri-seri ia
segera berseru, “Hoa toako, sekarang waktu menunjukkan
kentongan ketiga, mari kita segera berangkat!”
Hoa Thian-hong tersenyum.
“Hari sudah malam, lebih baik engkau tetap tinggal
dirumah penginapan saja.”
“Apa?” seru Siau Ngo-ji dengan wajah melongo.

Chin Wan-hong jadi geli melihat kekagetan bocah itu, ia
tersenyum dan menjawab, “Ilmu silat yang dimiliki toakomu
sangat tinggi dan dia tak membutuhkan bantuan orang lain,
kalau engkau tidak tinggal disini untuk menjaga keamanan
dirumah penginapan ini, kita bisa ketakutan jadinya….! tinggal
saja disini yaa?”
Siau Ngo-ji termenung dan berpikir keras dengan alis mata
berkenyit.
“Hmmm….” untuk beberapa saat lamanya ia jadi serba
salah dibuatnya.
Tio Sam-koh mencibirkan bibirnya, sambil ulapkan
tangannya ke arah Hoa Thian-hong, dia menghardik, “Ayoh
cepat enyah dari sini!”
Hoa Thian-hong tetap berdiri ditempat semula, sorot
matanya yang memancarkan cahaya keraguan dialihkan
keatas wajah ibunya.
Dengan suara lirih Hoa Hujin segera berkata, “Pergilah
untuk mencoba kekuatan dari Kiu-im Kaucu tersebut, disini toh
ada Sam-koh dan Hong ji dua orang! kendatipun Pia Leng-cu
datang kemari, dia tak mungkin bisa mendapat keuntungan
apa-apa.”
“Tapi disini sudah hadir seorang jago dari Mo-kauw,
bagaimana sikap serta tujuannya sulit untuk diraba ataupun
diduga….”
“Kita sudah berani terjun ke dunia persilatan, harus berani
pula menghadapi segala resikonya, engkau tak usah banyak
berpikir dan cepatlah pergi!” seru Hoa Hujin sambil ulapkan
tangannya.

Dengan perasaan apa boleh buat, terpaksa Hoa Thian-hong
menyelipkan pedang bajanya dipinggang dan keluar dari
ruangan tersebut.
Tiba-tiba Siau Ngo-ji mengejar sampai didepan pintu,
sapanya, “Eeeeii…. toako!”
“Ada apa saudaraku?” tanya Hoa Thian-hong sambil
berpaling.
Dengan suara berat Siau Ngo-ji berpesan, “Kalau tak bisa
ungguli musuh cepatlah kabur, kalau bisa robohkan lawan
sakali bacok kutungi badannya jadi dua bagian, asal gembong
iblis itu sudah mampus maka bencana pun bisa kita hindari,
engkau jangan sekali-kali berhati lemah lembut!”
Terkesiap hati Hoa Thian-hong mendengar perkataan itu,
dalam hati ia segera berpikir, “Tabiat bocah ini rada mirip
dengan watak dari ibu, sungguh tebal hawa nafsu
membunuhnya!”
Dalam hati ia berpikir demikian, diluaran ia mengangguk
dan segera berlalu dari sana.
Setelah keluar dari ruangan kembali pemuda itu awasi
keadaan disekeliliagnya, setelah yakin tak ada orang, dia
enjotkan badan dan melayang naik keatas atap rumah.
Malam itu udara sangat gelap, langit tiada bintang ataupun
rembulan, cuaca gelap gulita sehingga membuat suasana jadi
menyeramkan, kecuali kerlipan cahaya dari lampu jalan nun
diujung sana, tiada kedengaran suara yang mendesis, suasana
amat hening dan sepi.

Dengan gerak rubuh yang enteng dan cekatan, Hoa Thianhong
bersembunyi dibelakang wuwungan rumah, dengan
sorot matanya yang tajam perlahan-lahan ia menyapu
keadaan disekitar tempat itu dan menjaga jangan sampai ada
yang menyergap ibunya disaat ia sedang pergi.
Walaupun langit sangat gelap dan tiada sinar yang
menerangi tempat itu, namun dengan sorot matanya yang
tajam ia dapat melihat semua benda disekitarnya dengan
jelas.
Mendadak…. ia temukan sesosok bayangan manusia berdiri
diatas rumah tepat diseberangnya, dan orang itu rupanya
sedang mem perhatikan ke arahnya.
Dalam hati Hoa Thian-hong segera berpikir, “Sungguh
besar nyali orang ini, ia berani betul berdiri diatas atap rumah
tanpa berusaha untuk menyembunyikan jejaknya”
Berpikir sampai disitu, ia segera awasi keadaan disekitar
tempat itu dan segera melayang turun dari atas atap rumah,
dengan menyelusup lewat wuwungan rumah dia berkelebat
maju kedepan.
Setelah menyeberangi jalan raya, dia berpuiar satu
lingkaran lebar dan diam-diam loncat naik keatas atap rumah,
sekarang posisi nya sudah dibelakang bayangan manusia itu.
Bayangan manusia tersebut masih tetap berdiri ditempat
semula, walaupun sudah makan waktu cukup lama namun ia
masih tetap tak bergeser dari tempat semula. Hoa Thian-hong
makin mendekati orang itu tapi hatinya segera bedebar keras.
Ternyata orang yang berdiri diatas atap rumah itu bukan
lain adalah putri kesayangan dari Pek Siau-thian, ketua

pekumpulan Sin-kie-pang yang selama ini mencintai dirinya….
Pek Kun-gie adanya.
Dengan tenang Pek Kun-gie berdiri diatas atap rumah, biji
matanya yang bening basah oleh air mata, dengan pandangan
sayu ia awasi rumah penginapan yang didiami oleh Hoa Thianhong
itu tanpa berkedip, badannya kaku bagaikan patung
namun alisnya berkeryit memancarkan kepedihan hati yang
amat tebal, membuat siapa pun yang memandang ikut beriba
hati.
Hoa Thian-hong yang bersembunyi ditempat kegelapan
sangat terharu melihat sikap gadis itu, sambil memandang
bayangan pung gungnya yang liuk-liuk indah, tanpa sadar air
mata jatuh berlinang membasahi pipinya, dalam hati ia
bergumam, “Ooh…. Kun Gie! Kun Gie sayang! buat apa kau
menyiksa diri? aku sudah beristri dan berkeluarga, buat apa
engkau masih mengerang akan diriku?”
Angin malam berhembus lewat mengibarkan ujung baju
Pek Kun-gie, namun dara itu masih tetap tidak merasa, ia
tetap berdiri tidak bergerak ditempat semula.
Lama sekali dilihatnya gadis itu tak berkutik terus dari
tempat semula, hatinya jadi kecut, pikirnya, “Ooh Kun Gi!
engkau akan menanti sampai kapan? apakah engkau hendak
berdiri disitu semalam suntuk?”
Pek Kun-gie adalah seorang gadis yang sangat cantik, pria
manapun yang berjumpa dengan dirinya kebanyakan terpikat
kepadanya, tapi rasa cinta gadis itu terhadap Hoa Thian-hong
sudah mencapai pada taraf yang sukar dilukiskan dengan
kata-kata, si anak muda itu tentu saja dapat merasakan pula
pancaran cinta yang diperlihatkan dara itu kepadanya, tapi
pemuda itu sadar dengan keadaan nya pada saat ini, dia telah

beristri sedang pihak lain adalah gadis perawan, dia tak ingin
merusak kehidupan dara itu karena dirinya.
Malam semakin kelam, baju yang mereka kenakan telah
basah oleh embun tapi Hoa Thian-hong tetap berdiri ditempat
persembunyiannya, ia tak tega meninggalkan gadis itu,
pemuda itu hendak maju mendekati dan menghibur dirinya,
tapi bayangan sekelompok perempuan segera muncul dalam
benaknyaa.
Bayangan itu terdiri dari raut wajah Chin Wan-hong,
ibunya, Kiu-tok Sianci, Biau-nia Sam-sian serta Tio Sam-koh.
Pemuda itu merasa seolah-olah kaum perempuan itu melotot
ke arahnya dan mengawas gerak-geriknya terhadap Pek Kungie….
Tiba-tiba…. telinganya seakan-akan mendengar lagi suara
peringatan dari Kiu-tok Sianci yang dingin, “Seng ji”, engkau
harus ingat! kalau engkau tidak setia dalam cinta dan mencari
bini lain, atau kau berani melakukan sesuatu perbuatan yang
merugikan Hong ji, aku bersumpah akan mencabut selembar
jiwamu!”
Kemudian ia teringat kembali suara dari ibunya yang tegas
dan berat, “Harap siau ci legakan hati, kalau Seng ji berani
mengkhianati cintanya, aku akan potong sendiri batok
kepalanya untuk dikirim ke lembah Hu-liang-kok dan minta
maaf kepadamu!”
Teringat kembali akan perkataan dari dua orang itu, dia
merasakan hatinya jadi kecut dan seakan-akan kepalanya
diguyur air dingin sebaskom, tanpa sadar peluh dingin
mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya.

Dalam hati ia segera berpikir, “Daripada bertemu lebih baik
tak berjumpa, daripada kesalahpahaman ini kian hari kian
berlarut-larut….!”
Karena berpendapat demikian, ia segera ambil keputusan
untuk tinggalkan tempat itu secara diam-diam.
Tapi bagaimanapun juga manusia bukanlah pohon atau
rumput yang tidak berperasaan, siapakah yang tidak terharu
kalau menyaksikan pemandangan seperti itu? siapa yang tidak
beriba melihat kesetiaan cintanya? apalagi makin gagah
seorang pria semakin besar pula rasa cintanya pada pihak
yang lain.
Tanpa disadari oleh Hoa Thian-hong sendiri, benih cintanya
terhadap Pek Kun-gie sudah tertanam sejak banyak waktu,
semakin tercekam oleh lingkungan yang serba terbatas, makin
berkobar cinta kasihnya terhadap gadis itu, hanya saja
larangan dari angkatan tuanya membuat pemuda itu tak
berani mengutarakan perasaan hatinya itu.
Tapi benih cinta yang tersembunyi dalam lubuk hatinya
kian hari kian tumbuh dengan suburnya, dan rasa cintanya
terhadap gadis itupun makin lama makin bertambah, apalagi
sekarang dilihatnya gadis itu berdiri termangu-mangu ditengah
malam yang dingin sambil mengawasi kamar tidurnya
membuat Hoa Thian-hong merasakan hati nya jadi hancur
berkeping-keping, dia ingin pergi dengan keraskan hati,
namun kakinya terasa tak mau diajak psrgi….
Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba Pek Kun-gie
bergumam seorang diri, “Apakah engkau sudah tidur? aku….”
Walaupun bisikan itu amat lirih tapi bagi pendengaran Hoa
Thian-hong cukup membuat hatinya jadi remuk rendam,

hampir saja ia tak mampu menguasai emosinya dan
menerjang kedepan serta memeluk gadis itu erat-erat.
Tapi ingatan lain dengan cepat berkelebat dalam benaknya,
“Dia adalah seorang gadis perawan yang masih suci, sedang
aku telah beristri, kalau aku mempunyai bubungan gelap
dengan dirinya maka nama baiknya pasti akan ternoda, itu
berarti aku telah menghancurkan kehidupannya, aaai…. aku
tak boleh mencelakai masa depannya!”
Terdengar Pek Kun-gie bergumam lagi dengan suara lirih”
“Oooh…. Thian-hong sayang, engkau telah tidur? aku akan
menunggu sebentar lagi, setelah kau tidur nyenyak aku baru
akan berlalu dari sini….”
Bisikan lirih yang mirip igauan tersebut penuh dengan rasa
cinta yang tebal, meski pun terselip nada yang begitu
memilukan hati….
Hoa Thian-hong yang jantan, pada saat ini tak dapat
menahan pergolakan emosinya lagi, dia ambil keputusan
untuk munculkan diri dan berjumpa dengan gadis manis itu.
Tapi…. sebelum pemuda itu sempat melangkah maju, tibatiba
ia saksikan sekujur badan Pek Kun-gie gemetar keras
kemudian menjerit kaget….
Hoa Thian-hong terkesiap, dia segera alihkan sorot
matanya kedepan, sesosok bayangan manusia tahu-tahu
muncul diatas atap rumah penginapan itu dan sedang awasi
ruang penginapan sebelah belakang.
Jarak kedua belah pihak hanya terpaut satu tombak belaka,
karena pendatang tak diinginkan itu muncul dari arah utara

sedang tubuh Pek Kun-gie kebetulan tertutup oleh bangunan
loteng yang tinggi, maka orang itu tidak menemukan jejaknya.
Sekilas pemandangan Hoa Thian-hong dapat kenali
pendatang yang tak diundang itu sebagai Kiu-im Kaucu, bawa
amarahnya segera berkobar didalam dada, pikirnya, “Pia Lengcu
saja belum datang, tak nyana dia sebagai seorang ketua
dari suatu perkumpulan telah datang lebih dahulu kesana,
manusia ini benar-benar tak tahu diri!”
Tiba-tiba terdengar Pek Kun-gie membentak keras, “Hey
Kiu-im Kaucu!”
Pada waktu itu Kiu-im Kaucu sedang mengawasi daerah di
sekitarnya, ketika mendengar bentakan itu dia segera
berpaling, tapi setelah diketahuinya kalau orang jtu adalah Pek
Kun-gie, dengan gerak tubuh yang amat cepat ia
menyeberangi jalan raya dan berdiri tepat dihadapan dara
tesebut.
Dengan pandangan yang tenang Pek Kun-gie melirik
sekejap ke arah Kiu-im Kaucu, wajahnya sama sekali tidak
menunjukkan perasaan jeri ataupun takut, dengan suara
ringan tegurnya, “Dia sudah tidur pulas, janganlah
mengganggu ketenangan tidurnya….!”
Mula-mula Kiu-im Kaucu agak tertegun, tapi dengan cepat
ia dapat menangkap apa yang dimaksudkan, dalam hati
segera berpikir, “Karena sedihnya budak ini sudah kehilangan
kesadaran otaknya, bahkan mendekati orang yang tak waras
otaknya.”
Sementara dalam hati berpikir demikian diluaran ia tertawa
dan mengejek, “Tahukah engkau, pada saat ini Hoa Thianhong
tidur sepembaringan dengan siapa?”

Rasa sedih yang tak terkirakan berkelebat diatas wajah Pek
Kun-gie, dengan muka murung jawabnya, “Tentu saja aku
tahu, dia telah menikah dengan Chin Wan-hong dan tentunya
tidur dengan gadis itu.”
“Benar dan tepat sekali perkataanmu itu, mereka sudah
menikah dan sekarang lagi bersenang-senang didalam kamar,
buat apa engkau berdiri termangu-mangu ditempat ini?”
“Anjing bedebah!” diam-diam Hoa Thian-hong menyumpah
dalam hati kecilnya, “dalam keadaan seperti inipun dia masih
tega untuk menyakiti hatinya dengan kata-kata seperti itu”
Terdengar Pek Kun-gie dengan suara tawar menjawab,
“Kiu-tok Sianci maupun Chin Pek-cuan adalah tuan penolong
dari keluarganya, sebagai seorang yang setia kawan dan
berjiwa gagah apalagi sebagai seorang bocah yang berbakti
kepada orang tuanya, tentu saja ia tak mau membangkang
perintah ibunya, walaupun dia telah menikah dengan Chin
Wan-hong, dalam kenyataan dia sama sekali tak mencintai
gadis itu.”
“Siapa yang bilang? apakah Hoa Thian-hong yang
mengatakan sendiri kepadamu?” ejek Kiu-im Kaucu sinis.
“Tentu saja bukan dia yang mengatakan sendiri kepadaku,
tapi aku tahu bahwa dugaanku itu pasti tak akan keliru!”
Kiu-im Kaucu semakin sinis, kembali sindirnya dengan
suara tajam dan tak sedap didengar, “Kenapa? hati manusia
toh tak sama, siapa tahu lain diluar lain didalam? dengan
berdasarkan bukti apa engkau bisa mengatakan kalau Hoa
Thian-hong sebenarnya tidak mencintai Chin Wan-hong?”
“Aku mengetahui perasaan hatinya!”

Jawaban yang amat singkat itu diutarakan dengan begitu
meyakinkan, seakan-akan walaupun samudra bisa mengering
dan batu bisa membusuk, tapi keyakinannya itu sama sekali
tak dapat digoyahkan lagi.
Kiu-im Kaucu mendengus dingin, sebenarnya dia hendak
mengatakan: ‘Itu toh menurut perasaanmu, bagaimana
dengan pemuda itu? engkau sendiri toh tak tahu….?’
Tapi ketika dilihatnya keyakinan yang begitu tebal
memancar keluar dari wajah Pek Kun-gie, ketika sorot mata
mereka saling bertemu satu sama lainnya, ucapan yang sudah
hampir meluncur keluar itu akhirnya tertelan kembali.
Sikap Pek Kun-gie masih tetap tenang, seakan-akan dia
tidak tahu kalau orang yang berdiri dibadapannya itu bukan
lain adalah ketua dari perkumpulan Kiu-im-kauw yang baru
saja munculkan diri kedalam dunia persilatan serta mengambil
oper kekuasaan dari Tiga maha besar yang telah musnah dari
permukaan bumi itu.
Dengan pandangan yang jeli dia menatap wajah lawannya
tajam-tajam, lalu serunya kembali dengan suara berat,
“Ditengah malam buta begini, mau apa engkau datang
kemari?”
Kiu-im Kaucu mengerutkan dahinya.
“Hmm….! engkau sedang berbicara dengan aku?”
“Tentu saja berbicara deneaa engkau! mau apa kau datang
kemari ditengah malam buta begini? mau menyergap dirinya
yaa?”
Kiu-im Kaucu tidak segera menjawab, dalam hati kembali
pikirnya, “Rupanya budak ini sudah dibikin sinting oleh rasa

cintanya yang tidak kesampaian, kalau dilihat dari sikapnya
yang kebodoh-bodohan ini rupanya ia sudah tak tahu apa
yang dinamakan lihay dan apa yang dinamakan mati atau
hidup.”
Berpikir sampai disitu, bukannya gusar ia malah tertawa
terbahak-bahak, sahutnya, “Dalam dunia persilatan dewasa ini
hanya dua tiga orang saja yang mampu bertempur satu lawan
satu dengan diriku dan berbicara tentang kemampuan dalam
ilmu silat, siasat, komplotan serta kekuasaan maka hanya
seorang saja yang sanggup menghadapi diriku, orang itu
bukan lain adalah Hoa Thian-hong….”
Rupanya Pek Kun-gie amat girang atas pujian itu, dengan
muka berseri-seri ia tertawa dan memotong.
“Kalau engkau sudah tahu, itu lebih baik lagi! sekarang
cepatlah tinggalkan tempat ini, jangan ganggu ketenangan
tidurnya, dan mulai sekarang jangan musuhi dirinya lagi.”
Kiu-im Kaucu dibikin serba salah oleh perkataan tersebut,
mau tertawa ia tak bisa mau marahpun tak dapat, akhirnya
dengan wajah menyeringai dia berseru.
“Hey budak ingusan! aku mempunyai satu cara untuk
membuktikan apakah Hoa Thian-hong benar-benar cinta
kepadamu atau tidak!”
Tapi dengan cepat Pek Kun-gie gelengkan kepalanya.
“Aku tak mau dengarkan caramu itu, aku tahu bahwa dia
sangat mencintai diriku!”
“Ooooh…. jadi kau takut kalau rahasia kebohonganmu
sampai terbongkar….?” ejek Kiu-im Kaucu sinis, “engkau takut
kalau kenyataan membuktikan bahwa dalam hati kecil Hoa

Thian-hong sebenarnya sama sekali tak ada pikiran tentang
dirimu?”
Hawa amarah berkobar dalam hati Pek Kun-gie, dengan
muka penuh kegusaran dia melototi perempuan tua itu.
Sejenak Kemudian sambil menutupi telinganya dengan jari
tangan, dia berseru, “Aku tak sudi untuk mendengarkan
omongan setanmu lagi, aku mau pergi….!”
Tanpa banyak bicara dia segera putar badan dan berlalu
dari sana.
Kiu-im Kaucu segera tertawa dingin.
“Heeeeh…. heeeh…. heeehh kalau engkau berani
tinggalkan tempat ini, aku akan segera membinasakan Hoa
Thian-hong!”
Mendengar ancaman tersebut sekujur badan Pek Kun-gie
gemetar keras, ia segera berpaling sambil berseru,
“Kepandaian silatnya sangat lihay, siapa pun jangan harap
bisa membinasakan dirinya!”
Kembali Kiu-im Kaucu tertawa licik.
“Aku telah siapkan suatu tindakan yang hebat dan dahsyat
untuk menghadapi Hoa Thian-hong, kalau aku ingin
membinasakan dirinya maka hal itu depat kulakukan dengan
gampang sekali bagaikan membalik telapak tangan sendiri.
Heeeh heehh asal bibit bencana ini berhasil kusingkirkan,
maka perkumpulan Kiu-im-kauw secara resmi akan dibuka dan
mulai menerima anggota baru, pada waktu itu seluruh
kekuasaan di permukaan bumi ada ditanganku!”

Pek Kun-gie makin terkesiap setelah mendengar ucapan itu,
dia melayang kembali ke tempat semula sambil berkata, “Coba
terangkanlah cara lihay apakah yang telah kau siapkan itu,
dan bagaimana caramu untuk mencabut jiwanya?”
Kiu-im Kaucu tertawa dingin.
“Heeeh…. heeh…. heehh siasatku tidak akan
kuperdengarkan pada telinga yang keenam, kemarilah! akan
Kubisikkan rencanaku ini kepadamu”
Agaknya Pek Kun-gie sama sekali tak mempunyai perasaan
waswas, mendengar perkataan itu dia segera loncat maju
kedepan.
Hoa Thian-hong yang bersembunyi ditempat kegelapan jadi
amat terperanjat setelah menyaksikan kejadian itu, dia takut
Kiu-im Kaucu menggunakan cara yang paling keji untuk
melukai Pek Kun-gie, badannya bergerak untuk menghalangi
gerak maju dara itu tapi ingatan lain dengan cepat berkelebat
dalam benaknya, “Andaikata dia ada maksud hendak
mencelakai Kun Gie, maka hal itu bisa dia lakukan dengan
gampang sekali tanpa menggunakan siasat licin untuk
membohongi dirinya, andaikata aku munculkan diri dalam
keadaan begini, siapa tahu kalau dia malah berubah ingatan
dan menggunakan Pek Kun-gie sebagai sandera untuk
memaksa aku….”
Jilid 16
SEMENTARA dia masih termenung sambil memikirkan
persoalan itu, Kiu-im Kaucu telah membisikkan sesuatu
ketelinga Pek Kun-gie.

Dengan paras muka pucat pias bagaikan mayat, gadis itu
secara beruntun mundur beberapa langkah kebelakang,
sekujur badan-nya gemetar keras membuat atap rumah itu
gemerisik suaranya.
0000O0000
64
KIU-IM KAUCU menyeringai seram, sambil tertawa keras
serunya lagi, “Bagaimana? sekarang engkau pasti sudah
percaya bukan, kalau aku hendak mencabut nyawa Hoa Thianhong,
maka soal itu bisa kulakukan dengan gampang sekali!”
“Hmm! selamanya perhitungan manusia tak dapat
menangkap garis yang ditetapkan oleh takdir, selamanya dia
akan lolos dari bahaya karena dilindungi oleh Thian!”
Hoa Thian-hong sendiripun berpikir dalam hatinya,
“Kelicikan dan kekejaman Kiu-im Kaucu benar-benar melebihi
kejahatan dari kelompok musuh yang sudah lewat, entah dia
mempunyai siasat keji apa lagi sehingga begitu punya
keyakinan untuk cabut nyawaku dengan mudah?”
Sementara ia masih termenung, Kiu-im Kaucu telah ulapkan
tangannya sambil berkata, “Kalau toh engkau percaya kalau
dia selalu dilindungi oleh Thian, pergilah tinggalkan tempat
ini!”
Tapi dengan cepat Pek Kun-gie gelengkan kepalanya.
“Aku tidak jadi pergi!” katanya.
Kiu-im Kaucu tertawa licik.

“Tidak pergi juga malah lebih baik, engkau cantik jelita dan
belum pernah kujumpai ada seorang nona yang mempunyai
paras muka secantik dirimu. Aaai! sayang Hoa Thian-hong
keparat cilik itu punya mata tidak berbiji”
“Jangan maki dirinya!” bentak Pek Kun-gie dengan gusar.
Baiklah, kalau toh engkau masih tetap tidak sadar dari
lamunanmu yang kosong, akan kubuktikan kesemuanya
dengan kenyataan, aku akan membuktikan sehingga engkau
tahu kalan Hoa Thian-hong sebenarnya sama sekali tidak cinta
kepadamu.
Mendengar perkatan itu, Pek Kun-gie berdiri termangumangu,
beberapa waktu kemudian dia baru bertanya dengan
suara gemetar, “Cara api yang hendak kau gunakan untuk
membuktikan bahwa dia…. dia tidak mencintai aku!”
Kiu-im Kaucu tertawa licik.
“Cara itu sebenarnya sederhana sekali, mulai sekarang
masuklah jadi anggota perkumpulan Kiu-im-kauw kami,
anggap saja engkau sudah kena kutawan, cara ini sebenarnya
terpaksa sekali tapi apa boleh buat lagi? toh kita hanya akan
membuktikan apakah Hoa Thian-hong bakai muncul untuk
menolong dirimu atau tidak!”
“Kenapa?” seru Pek Kun-gie dengan paras muka
tercengang dan tak habis mengerti.
“Coba jawablah, seandainya aku berhasil menawan Thianhong
dalam keadaan hidup-hidup, bukankah engkau akan
pertaruhkan jiwamu untuk menolong dia hingga lolos dari
bahaya?”

“Hem! kepandaian silatnya jauh lebih hebat dari engkau,
tak mungkin kau mampu untuk menawan dirinya” seru Pek
Kun-gie sambil mendengus dingin.
Kiu-im Kaucu tertawa kering.
“Jangan persoalkan kepandaian silat siapa yang lebih
tinggi, jawab saja pertanyaanku ini! andaikata aku berbasil
menangkap dirinya, apakah engkau akan menyelamatkan
jiwanya dari ancaman maut?”
“Tentu saja! tentu saja aku akan menyelamatkan
jiwanya….Hmm! andaikata engkau mencelakai jiwanya, maka
aku bersumpah tidak akan hidup berdampingan dengan
dirimu, dan selama aku masih hidup maka aku akan selalu
musuhi dirimu sehingga akhirnya engkau berhasil kubasmi dari
muka bumi!”
“Tepat sekali perkataanmu itu!” seru Kiu-im Kaucu sambil
menyeringai seram, “oleh karena kau mencintai Hoa Thianhong
maka engkau larang orang lain melukai dirinya,
sebaliknya kalau Hoa Thian-hong benar-benar mencintai
dirinya maka dengan sendirinya diapun melarang siapa pun
melukai engkau, setelah engkau masuk jadi anggota
perkumpulan Kiu-im-kauw kami, apabila Hoa Thian-hong
menolong jiwamu itu berarti dia memang mencintai engkau,
sebaliknya kalau dia tidak ambil peduli tentang persoalan ini
dan tak mau tahu tentang mati hidupmu, itu berarti dalam hati
kecilnya memang sama sekali tak pernah memikirkan tentang
dirimu….!”
Hoa Thian-hong yang bersembnnyi ditempat kegelapan,
diam-diam berpikir didalam hati.

“Perempuan itu sangat lihay dalam hal berbicara, entah apa
tujuannya memancing Kun Gie untuk masuk jadi anggota
perguruannya, sungguh licik ketua ini!”
Tampaklah Pek Kun-gie gelengkan kepalanya dan
menegaskan, “Aku tak mau mencoba hatinya!”
“Kenapa?” tanya Kiu-im Kaucu tercengang setelah
terperangah beberapa waktu.
“Aku mengetahui tentang perasaan hatinya dan aku
percaya kepadanya, kesemuanya itu sudah lebih dari cukup
bagiku. Hmm! cin ta berada dalam kepercayaan, tak boleh
dicoba mengertikah engkau akan teori ini?”
Kembali Kiu-im Kaucu tertawa licik.
“Aaaai, aku tak habis mengerti, kenapa di dunia terdapat
seorang perempuan yang tergila-gila oleh seorang pria hingga
kesadaran otakpun sampai terganggu.”
“Aku senang begini, kau mau apa?” potong Pek Kun-gie
dengan penuh kegusaran, asal aku cinta padanya, peduli amat
dia cinta kepadaku atau tidak, itu urusan pribadiku dan kau
tak usah mencampuri urusanku itu”
Paras muka Kiu-im Kaucu yang pada dasarnya berwarna
pucat, kini lerlintas oleh hawa nafsu membunuh yang sangat
tebal tapi hanya sebentar saja telah lenyap kembali, ia tertawa
licik sambil berseru, “Kalau begiti pergilah tinggalkan tempat
ini, kalau tidak aku akan segera akan mencabut jiwamu, akan
kulihat Hoa Thian-hong akan membalaskan dendam bagimu
atau tidak?”
Pek Kun-gie mendengus dingin.

“Hmm! engkau hendak mencelakai dirinya dengan
menggunakan akal licik, aku sengaja tak mau pergi, engkau
mau apa?”
“Kalau begtiu, artinya engkau sudah bosan hidup didunia
dan ingin mencari kematian buat diri sendiri”
Sambil tertawa seram ketua dari perkum pulan Kiu-im-kauw
itu segera menerjang kedepan dan melancarkan sebuah
cengkeraman maut.
Pek Kun-gie dengan cekatan loncat kesamping untuk
menghindarkan diri, ia singkap gaunnya dan cabut keluar
sebilah pedang lemas yang memarcarkan cahaya tajam.
Pertama-tama Kiu-im Kaucu agak tertegun, tiba-tiba satu
ingatan berkelebat dalam benaknya dan segera berseru,
“Oooh…. engkau juga menggunakan pedang lemas? apakah
ibumu yang ajarkan kepandaian itu kepadamu?”
“Engkau tak usah mencampuri urusanku!” tukas Pek Kungie
dengan ketus.
Bukannya gusar, Kiu-im Kaucu malah tertawa tergelak.
“Haaaah…. haaahh…. haaahhh…. walaupuna ku sudah
lama mengasingkan diri dari keramaian dunia, tapi aku
mengetahui dan memahami semua ilmu silat yang ada didunia
serta asal usul dari manusia-manusia kenamaan da am kolong
langit.”
Setelah berhenti sebentar, dia melanjutkan, “Aku mengerti
apa sebabnya secara tiba-tiba engkau menggunakan pedang!”
Pek Kun-gie tertegun lalu tertawa dingin.

“Heehh…. heehh…. heehh…. aku menguasai beraneka
ragam ilmu silat, aku senang memakai senjata apa itu toh
urusan pribadiku sendiri, kenapa engkau musti mencampuri
urusanku?”
Kiu-im Kaucu tertawa licik.
“Memang betul perkataanmu itu, mau pakai senjata apa
memang urusan pribadimu, tapi pedang lemas adalah sejeais
senjata yang paling sukar dipelajari, dari dulu engkau tidak
memiliki dasar yang cukup kuat, tak mungkin kalau tanpa
sebab engkau ganti memakai senjata lain, mungkin hal ini ada
hubungannya dengan peristiwa yang terjadi baru-baru ini….”
“Peristiwa apa?”
Kiu-im Kaucu tertawa keras, “Haahh…. haahh…. haahh….
baru-baru ini ayah mu mendapat kesempatan untuk membaca
seluruh isi catataa Kiam keng Poh kui, mungkin ia telah
ajarkan seluruh isi catatan tersebut dan menyuruh engkau
ganti belajar ilmu pedang….Hmm…. hmmmm. tebakanku ini
tidak keliru bukan?”
“Keliru besar!” teriak Pek Kun-gie dengan gusar.
Kiu-im Kaucu mengerutkan dahinya, dengan nada tak
percaya dia balik bertanya, “Dimana letak kesalahannya?”
Senyum manis tersungging diujung bibir Pek Kun-gie,
dengan wajah berseri dia menjawab, “Bukan ayahku yang
ajarkan kepandaian tersebut kepadaku, tapi Thian-hong lah
yang mewariskan kepandaian sakti itu kepadaku!”
“Eeei, kapan sih aku lelah ajarkan catatan ilmu pedang
Kiam keng Poh kui tersebut kepadanya?” batin Hoa Thianhong.

Sementara itu Kiu-im Kaucu telah tertawa seram.
“Haah…. haahh…. haahh…. perduli siapakah yang telah
ajarkan kepandaian itu kepadamu, pokoknya hari ini aku akan
menawan dirimu, akan kulihat apakah ada orang yang akan
menolong engkau atau tidak?”
Laksana sambaran kilat, ia segera menerjang kedepan
sambil melancirkan sebuah totokan….
Setelah perempuan tua itu ambil keputusan untuk
menawan orang, tentu saja sulit bagi Pek Kun-gie untuk
melarikan diri.
Hoa Thian-hong yang bersembunyi ditempat kegelapan
segera menyadari akan mara bahaya yang mengancam Pek
Kun-gie, ia tahu apabila dirinya tidak muncul tepat pada
waktunya, gadis itu niscaya akan terjatuh ketangan Kiu-im
Kaucu.
Menyadari betapa kritisnya situasi pada waktu itu, tanpa
banyak pikir lagi si anak muda itu segera munculkan diri,
dengan suara dalam serunya, “Kaucu, harap ampuni
jiwanya…. sambutlah penghormatan dari aku orang she Hoa”
Kiu-im Kaucu amat terperanjat, cepat-cepat ia melayang
kembali ketempat semula.
Rasa malu bercampur gusar berkecamuk dalam dadanya,
diatas paras mukanya yang pucat tiada berdarah terlintas
warna merah dadu karena jengah, katanya dengan dingin,
“Hmm! aku mengira untuk selamanya engkau akan
menghindari diriku, tak tahunya ada juga waktunya untuk
terpaksa munculkan diri dari tempat persembunyiannya”

Mendengar perkataan itu, Hoa Thian-hong segera berpikir
didalam hatinya, “Meskipun orang ini amat licik dan
berbahaya, tapi masih punya perasaan malu, ia tahu orang tua
menganiaya kaum muda adalah suatu perbuatan yang
memalukan, kalau dibandingkan kawanan iblis dimasa lalu, dia
memang mempunyai moral yang jauh lebih tinggi….!”
Berpikir sampai disitu ia segera tertawa nyaring, setelah
menjura ujarnya lagi, “Aku dengar kaucu berdiam dirumah
penginapan Tiang seng dipintu kota sebelah utara, sekarang
aku memang bermaksud untuk menyambangi dirimu disana!”
Diam-diam Kiu-im Kaucu merasa amat terperanjat, ia sama
sekali tidak menyangka kalau Hoa Thian-hong mengetahui
tentang jejaknya, dengan cepat dia balas memberi hormat
sambil menyahut, “Kata menyambung kalau tak berani
kuterima, sejak kau menikah sampai sekarang, aku belum
sempat memberi selamat kepadamu, harap suka
dimaafkan….”
“Kalau terlalu sungkan!” kata Hoa Thian-hong sambil
tertawa, sorot matanya segera dialihkan ke arah Pek Kun-gie.
Sementara itu gadis she Pek itu berdiri dengan air mata
bercucuran, sorot matanya yang sayu memandang wajah Hoa
Thian-hong tanpa berkedip, diatas wajahnya yang suram
tersungging satu senyuman manis, bibirnya bergetar seperti
mau mengucapkan sesuatu namun tak sepatah katapun yang
kedengaran.
Selama beberapa hari gadis ini tak enak makan tak
nyenyak tidur, dia hanya berharap bisa bertemu dengan
kekasih hatinya, dan sekarang setelah orang yang diimpiimpikan
telah muncul didepan mata, ia merasa hatina remuk
rendam, sakit sekali bagaikan di sayat dengan pisau tajam.

Banyak rintangan yang telah dihadapi, banyak kesedihan
yang telah dialami dan sekarang kekasih hatinya muncul
didepannya, tapi ia tak dapat menubruk kedepan dan
berbaring dalam pelukannya, banyak kata mesrah ingin
diutarakan tapi tak sepatah katapun dapat dilontarkan keluar,
yang ada hanya kesedihan, kesengsaraan serta siksaan batin
yang tak terlukiskan hebatnya.
Lama sekali ia termenung akhirnya tersungginglah satu
senyuman diatas wajahnya yang murung dan sayu, bibirnya
bergetar keras dan muncullah serentetan suaara yang amat
lirih, “Thian…. Hong….!”
Dua barisan air mata jatuh berlinang membasahai pipinya.
Hoa Thian-hong merasakan hatinya amat sakit, pikirnya,
“Selama ini dia selalu mencintai aku, kalau tak ada diriku maka
sering kali dia menganggap aku telah sehari dengan dirinya,
dia selalu mengatakan kalau aku cinta kepadanya, bahkan
sekarang dihadapan Kiu-im Kaucu pun bersikap demikian,
kalau aku bersikap agak dingin kepadanya maka dia pasti
akan kehilangan muka, betapa jengah dan malunya nanti….”
Sebagai seorang pria yang cukup romantis, dia tak tega
membuat seorang gadis sengsara dan malu karena urusan
kecil, tanpa sadar dia ulurkan tangannya kedepan dan
mengape ke arah gadis itu.
Maksudnya dia suruh Pek Kun-gie mendekati ke arahnya
dan berdiri diaampingnya, tapi ia sama sekali tak tahu kalau
gerakannya yang amat sederhana itu telah disalah artikan oleh
dara tadi, bagi sang gadis yang sedang dimabok cinta, ia telah
mengartikan uluran tangan itu sebagai suatu maksud yang
amat mendalam….

Mula-mula Pek Kun-gie agak tertegun, kemudian dengan
badan gemetar tiba-tiba ia menjerit sambil menangis,
“Oooh….Thian-hong.”
Dia segera menubruk kedepan dan menjatuhkan diri
kedalam pelukan si anak muda itu.
Dalam kejut dan girangnya, dara itu telah melupakan
segala-galanya, isak tangis tak dapat dikendalikan lagi dan
meluncurlah dari balik bibirnya.
Pada saat ini ia peluk tubuh Hoa Thian-hong erat-erat,
jatuhkan diri kedalam rangkulannya dan menangis tersedusedu,
dalam sekejap mata pakaian si anak muda itu sudah
basah oleh air mata, sambil membelai rambat Kun Gie yang
panjang, bisiknya dengan lembut, “Jangan menangis,
berdirilah kesamping…. aku akan beradu kepandaian lebih
dahulu dengan Kiu-im Kaucu….”
Belum habis dia berkata, mendadak dari dalam rumah
penginapan berkumandang suara yang amat gaduh, suara itu
amat lirih dan tak begitu jelas tapi serentetan suitan panjang
yang tinggi melengking segera menyusul dibelakang dan
menggema di angkasa.
Hoa Thian-hong amat terperanjat, ia segera menengadah
dan menyaksikan sesosok bayangan manusia sambil
mengempit seseorang melayang kekar dari halaman belakang
rumah penginapan itu, sambil membawa suitan panjang yang
melengking laksana sambaran kilat orang itu kabur menuju ke
arah selatan.
Gerak tubuh orang itu sangat cepat dan sama sakali tidak
berada dibawah kepandaian Hoa Thian-hong maupun Kiu-im
Kaucu, pekikan nyaringnya membelah kesunyian ditengah

malam buta, hanya sebentar saja bayangan hitam tadi sudah
lenyap dari pandangan mata.
Pada saat yang bersamaan, Kiu-im Kaucu pun berlalu
dengan gerakan yang amat cepat, dalam sekejap mata ia
sudah mengejar jauh kedepan dan lenyap dibalik kegelapan.
Hoa Thian-hong amat terperanjat, kepada Pek Kun-gie
segera serunya dengan hati cemas, “Cepat pulang kerumah,
dan jangan sembarangan pergi ke-mana-mana…. tahu?”
Tanpa menunggu jawaban ia segera loncat turus dari atas
atap rumah dan didalam dua kali loncatan ia sudah tiba
dirumah penginapan, dengan gerak tubuh yang sangat cepat
ia menerjang masuk kedalam ruangan dimana ibunya berada.
Terlihatlah pintu kamar sudah diterjang orang sehingga
hancur jadi berpuluh-puluh keping dan tersebar dimana-mana,
dinding ruang an ambruk selebar tiga empat depa, hancuran
kayu dan batu bata berterakan dimana-mana, bahkan
pembaringanpun sampai penuh debu.
Ketika ia melayang turun didalam ruangan itu tampaklah
Hoa Hujin, Tio Sam-koh, Chin Wan-hong dan Siau Ngo-ji
berkumpul diluar kamar, kecuali Hoa Hujin masih bersikap
tenang, paras muka tiga orang lainnya boleh dibilang telah
berubah hebat.
Setelah mengetahui kalau keempat orang itu berada dalam
keadaan selamat, Hoa Thian-hong merasa hatinya lega sekali,
ia mendekati ibunya seraya berbisik, “Ibu, tentunya engkau
sangat terkejut?”
Hoa Hujin tersenyum.

“Engkau telah anggap aku sebagai nenek tua dari dusun
yang sama sekali tak berguna?”
Tiba-tiba Chin Wan-hong berseru, “Engkoh Hong, kabut kiu
tok ciang tidak mungkin bisa ditarik kembali, kita harus cepatcepat
memusnahkannya daripada terhembus angin dan
menyebar kemana-mana sehingga meracuni mereka yang tak
bersalah.”
“Lalu bagaimana caranya untuk memusnahkan kabut
beracun itu?”
“Untuk memusnahkan pengaruh dari kabut racun itu sih
mudah sekali, justru aku kuatir kalau sampai membakar
rumah ini sehingga menimbulkan kebakaran!”
“Tidak jadi soal, musnahkan kabut beracun itu dan aku
akan berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan yang bakal
terjadi.”
Sementara itu para tamu yang menginap dirumah
penginapan tersebut telah terbangun dari tidurnya karena
terperanjat, mereka sama-sama bergerombol disekitar sana
menonton keramaian.
Chin Win Hoog segera meminjam lilin yang dibawa salah
seorang tamu dan sekali sentil, cahaya api dengan cepatnya
meluncur kedepan menyambar ketengah ruangan yang penuh
dengan debu itu.
Ledakan keras terjadi, cahaya api menjilat keempat
penjuru, tapi Hoa Thian-hong bertindak cepat, telapak kirinya
segera diayun kedepan melancarkan sebuah pukulan dahsyat.
Weeess….! desiran angin tajam menderu-deru, termakan
oleh kekuatan yang terpancar dari angin pukulan, bunga api

itu menggumpal jadi satu membentur bulatan api yang
menggelinding diudara, hanya dalam sekejap mata cabaya api
tadi sudah padam.
Menyaksikan kedahsyatan itu, Siau Ngo-ji segera berteriak
keras, “Waaduuh…. ilmu silat apaan itu?”
“Bocah ingusan, ilmu telapak tak bisa kau bandingkan
deagan ilmu pedang!” seru Tio Sam-koh sambil tertawa.
Hoa Thian-hong pun tersenyum, ujarnya, “Pukulan itu
adalah jurus Kun siao ci tao dari Ciu It-bong, aaai…. sayang
orang berbeda jalan sehingga harus menerima akhir yang
mengenaskan, kalau dihitung-hitung aku masih berhutang
budi kepada dirinya”
Tiba-tiba Siau Ngo-ji menuding keatas wajah Hoa Thianhong
dan berseru dengan nada tercengang, “Eeei…. Hoa
toako, engkau barusan menangis!”
“Aaah…. ngaco belo apa lagi yang hendak kau katakan?!”
seru Hoa Thian-hong sambil tertawa paksa.
Ia segera berpaling ke arah lain.
Sementara itu orang yang menonton keramaian berkumpul
kurang lebih beberapa tombak jauhnya, dari beberapa orang
itu, setelah ditegur oleh Siau Ngo-ji sehingga Hoa Thian-hong
buru-buru harus berpaling ke arah lain untus
menyembunyikan bekas air mata yang belum Kering, secara
tiba-tiba ia temukan ada sepasang biji mata yang jeli sedang
awasi pula dirinya dari balik kerumunan orang banyak, tapi
sewaktu melihat pemuda itu berpaling ke arahnya, orang itu
buru-buru menyembunyikan diri.

Tak usah diawasi dengan lebih seksama lagi, si anak muda
itu tahu kalau orang itu bukan lain adalah Pek Kun-gie, diamdiam
dia merasa amat murung bercampur kuatir, pikirnya,
“Dia begitu terpikat olehku, mungkin gadis itu bisa mengikuti
aku sampai ke wilayah San see…. waahh…. bagaimana
caranya aku selesaikan persoalan ini?”
Tiba-tiba pemilik rumah penginapan munculkan diri, setelah
memberi hormat ia bertanya, “Tuan…. see…. sebenarnya….
apa yang telah terjadi?”
Hoa Thian-hong segera tarik kembali lamunannya dan
menyahut, “Oooh…. barusan ada pencuri mau mengambil
barang milik kami, kamar ini sudah tak dapat dipakai lagi,
apakah masih ada kamar yang lain?”
Chin Wan-hong yang berada disamping segera
menyambung, “Semua kerugian yang terjadi ditempat ini akan
kami ganti, hitunglah semua kerusakan dan minta uang
gantinya besok pagi!”
“Ooh…. tak usah diganti, tak usah diganti….!” seru pemilik
rumah penginapan itu berulang kali.
Kemudian dengan cepat ia mendekati searang pedagang
yang ikut tonton keramaian dan membisikkan sesuatu dengan
suara yang amat lirih.
Pedagang itu tampak agak terperanjat, dengan muka
penuh rasa hormat ia segera berkata, “Ooooh…. tentu harus
mengalah! sudah sepantasnya mengalah…. aku segera akan
membereskan barang-barang milikku!”
Ia putar badan dan segera berlalu. Hoa Thian-hong yang
mempunyai daya pendengaran yang amat tajam, sempat
menangkap pembicaraan tersebut, ia lihat ketika pemilik

rumah penginapan itu menyebut namanya dan minta
pedagang itu pindah ke lain kamar, hatinya jadi merasa tak
enak di samping itu diapun tahu kalau Pek Kun-gie belum
berlalu dari sana karena kuatir ketahuan maka hatinya jedi
kebat kebit tak karuan, peluh dingin tanpa terasa membasahi
seluruh tubuhnya.
Beberapa saat kemudian pemilik rumah penginapan itu
telah muncul kembali dan mempersilahkan mereka untuk
masuk kedalam kamar.
Orang-orang yang menonton keramaianpun segera pada
bubaran, diam-diam Hoa Thian-hong melirik ke arah orangorang
yang bergerombol itu setelah dilihatnya Pek Kun-gie
tidak berada diantara mereka, tanpa terasa ia
menghembuskan nafas panjang dan membimbing ibunya
masuk kedalam kamar.
Dalam kamar tersebut baik diluar maupun didalam ruangan
terdapat tempat tidur, Hoa Thian-hong melirik kembali keluar
pintu kemudian dalam hati kecilnya diam-diam berdoa
“Budak bodoh, cepat-cepatlah pulang kerumah dan tak
usah berkeliaran lagi disekitar tempat ini…. apalagi berdiri
seperti orang bodoh didepan jalan….”
Habis berdoa ia segera menutup pintu kamarnya.
Dalam pada itu, Hoa Hujin telah bersandar diatas
pembaringan, ujarnya dengan lirih, “Seng ji, apakih engkau
sudah berjumpa dengan musuh? kenapa begitu cepat telah
kembali kemari?”
“Ananda berbicara dengan Kiu-im Kaucu diseberang jalan
sana, pertarungan belum sampai berlangsung, ketika

mendengar suara gaduh Kiu-im Kaucu segera mengejar orang
itu sedang ananda segera kembali kemari….!”
Mendengar perkataan itu, sepasang biji mata Siau Ngo-ji
yang jeli segera berputar kesana kemari kemudian berhenti
diatas dada Hoa Thian-hong yang basah, diam-diam dia
menunjukkan muka setannya.
Tanpa sadar Hoa Thian-hong ikut menundukkan kepalanya
memandang keatas dada sendiri, ia lihat pakaian bagian
dadanya masih basah, dan tempat itu bukan lain adalah
tempat yang basah terkena air mata dan Pek Kuti Gie tadi.
Kenyataan tersebut membuat hatinya jadi gugup dan kebat
kebit tak karuan, cepat-cepat ia geserkan badannya dan
berdiri membelakangi cahaya lentera.
Ketika dia kembali kerumah penginapan tadi, air mata yang
menodai pipinya belum kering dan semua orang dapat melihat
akan hal itu, tapi tak ada seorang pun yang meraruh curiga
terhadap kejadian tersebut, semua orang tahu pemuda itu
gelisah karena memikirkan keselamatan dari ibunya sehingga
mengucurkan air mata, oleh sebab itu Tio Sam-koh yang
biasanya cerewetpun sama sekali tak mengajuhkan suatu
pertanyaanpun.
Siau Ngo-ji adalah bocah nakal yang cerdik, diapun paling
teliti memeriksa keadaan orang, dengan kebiasaannya itulah
bocah tadi berhasil temukan tanda yang sukar diduga orang.
Hoa Thian-hong yang telah berbuat sesuatu tanpa ingin
diketahui orang lain jadi kuatir sekali apabila Siau Ngo-ji
berteriak, dengan muka penuh senyuman ia berkata, “Aku
lihat orang yang kabur itu mengempit seseorang, aku mengira
salah seorang anggota keluarga kita ada yang kena tangkap

karena itu hatiku merasa amat gelisah. Siau Ngo-ji, tentunya
engkau juga dibuat terkejut bukan?”
Siiu ngo ji tertawa cekikikan.
“Hiiihh…. hiiihh…. hiiihhh enso sangat baik kepadaku,
membelikan pakaian baru, celana baru, sepatu baru untukku
dan membantu pula menyisiri rambutku, hatiku akan selalu
condong kepadanya, karena perasaan istimewa ini aku selalu
kuatir apabila toako sampai berjumpa dengan seorang
manusia yang lihay dan kena ditawan olehnya…. kalau sampai
begitu kan berabe….”
Hoa Thian-hong mengerti bahwa dibalik perkataannya
masih terdapat perkataan lain, buru-buru ia tertawa kering
dan alihkan pokok pembicaraan kesoal lain.
“Sebenarnya siapa sih yang telah melakukan sergapan
ketempat ini sehingga dinding tembokpun jadi jebol? ibu
cepatlah cerita kepadaku!”
Hoa Hujin tertawa.
“Kali ini jasa Siau Ngo-ji paling besar, biarlah dia saja yang
bercerita!”
“Benar! Siau Ngo-ji memang paling pandai bicara” sokong
Hoa Thian-hong.
Siau Ngo-ji cepat-cepat goyangkan tangannya berulang kali
seraya berseru, “Eeeei eeeeeii kalau ada persoalan dapat kita
rundingkan secara baik-baik, toako! engkau tak usah
menyanjung-nyanjung diriku”
Setelah berbatuk ringan, dia melanjutkan

“Kesuksesan yang berhasil kita capai hari ini tidak lain
adalah berkat kelihayan dari enso, aku tak berani rebut pahala
ini ini, enso! lebih baik engkau saja yang berbicara kepada
toako, agar rasa kejutnya dapat segera hilang”
Chin Wan-hong adalah seorang perempuan yang jujur dan
polos, tentu saja dia tak tahu kalau kedua orang itu sedarg
main setan, dia segera berpaling kepada mertuanya sambil
berkata, “Ibu, kalau engkau hendak beristirahat, biarlah kami
bercakap-cakap ditempat luar saja!”
“Fajarpun sebentar lagi akan menyingsing, mari kita
bercakap-cakap di sini saja kemudian segera lanjutkan
perjalanan, nanti aku akan tidur dalam kereta saja!”
Dengan lembut Chin Wan-hong menganguk, kepada
suaminya dia segera berkata, “Setelah engkau pergi maka
akupun siapkian kabut beracun disekitar ruangan, Siau Ngo-ji
bilang lebih baik kita pasang jebakan disegala penjuru
ruangan, agar orang yang berani menyergap kesitu segera
terjatuh kedalam perangkap dan tak bisa kabur lagi, aku turuti
jalan pikirannya itu dan segera mengatur dua tempat jebakan
diluar pintu”
Sementara pembicaraan sedang berlangsung, diam-diam
Hoa Thian-hong mengerahkan tenaga dalamnya untuk
mengeringkan pakaiannya yang basah oleh air mara,
kemudian sambil tersenyum dia bertanya, “Jebakan apakah
yang telah kau siapkan?”
Kami minta ibu untuk memperhitungkan gerak langkah
yang bakal dilakukan pihak musuh, sebab andaikata orang
yang melakukan sergapan itu adalah seorang jago lihay kelas
satu, maka begitu mendorong pintu kamar dan merasakan
adanya racun disekitar tempat itu, dengan cepat dia pasti
akan mengundurkan diri, dalam keadaan demikian….

Ketika Siau Ngo-ji menyaksikan ensonya bicara ragu-ragu,
tak tahan lagi dia segera menyambung, “Kami telah letakkan
sebaskom air bekas cuci kaki keatas tiang pengtari dan
mengikat baskom itu dengan seutas tali yang di hubungkan
dengan pintu, apabila pintu terbuka maka baskom berisi bekas
air cuci kaki itu akan tumpah, dan apabila orang itu mundur
kembali air kotor itu dengan tepat akan menimpa batok
kepalanya….”
“Kenapa musti pakai air bekas cuji kaki?” tanya Hoa Thianhong
sambil tertawa.
Menurut bibi, apabila yang datang adalah jago sebangsa
Pia Leng-cu maka guyuran iir tersebut tak mungkin bisa
menimpa tubuhnya, kalau air itu diberi racun maka jika
meleset dari sasaran kan sayang sekali, oleh sebab itu kami
putuskan untuk menggunakan air bekas cuci kaki, untuk
melengkapi kebutuhan kami ini, nenek Sam popo secara
khusus telah cuci kakinya satu kali”
“Kentut busuk”, bentak Tio Sam-koh dengan gusar!, malam
yang mana aku nenek tua tak pernah cuci kaki? siapa bilang
aku cuci kaki secara khusus?”
“Benar…. benar….!” seru Siau Ngo-ji dengan gelisah, nenek
Sam popo setiap hari memang cuci kaki….”
Setelah berhenti sebentar, dia melanjutkan, “Menurut bibi,
apabila orang itu merasakan sesuatu yang aneh muncul dari
atas kepalanya, maka jikalau orang itu adalah Pia Leng-cu
atau Kiu-im Kaucu, mereka pasti akan menghindarkan diri ke
arah samping kanan, sebaliknya kalau orang itu adalah jago
lihay dari Mo-kauw, mereka pasti akan menghindar sesamping
kiri, karena pendapat tersebut maka kami meletakkan sedikit
obat racun yang setaraf lihaynya dengan kabut kiu tok ciang

disisi sebelah kanan, jika ada orang menghindar kesana dan
bubuk racun terhembus angin maka racun itu segera akan
berterbangan keangkasa, dan apabila Pia Leng-cu atau Kiu-im
Kaucu yang datang, mereka pasti akan menggeletak keatas
tanah.”
Hoa Thian-hong terpikir sebentar, kemudian berkata, “Ilmu
langkah Huan im tun hoat atau bayangan semua lolos di
angkasa dari pihak Mo ku memang berputar menurut
kebalikan dari tangkah Tay kek, dan itu berarti mundurnya ke
arah sebelah kiri, apa yang telah kalian siapkan disana?”
“Hiihh…. hiihh…. hiihh…. air dewa!” jawab Siau Ngo-ji
sambil tertawa cekikikan
“Air dewa?”
“Air kencing dari bocah keparat itu!” teriak Tie Sam-koh
dengan suara keras.
Hoa Thian-hong tertawa terbahak-bahak.
“Haaah…. haaah…. haaahhh masa air kencingpun bisa
dipakai untuk melawan musuh lalu apakah alasannya sehingga
jebakan yang dipasang dikedua belah pihik terbagi atas yang
ringan dan yang berat?”
Siau Ngo-ji tak menjawab pertanyaan itu sebaliknya sambil
tertawa dia balik bertanya, “Ketika toako baru saja kembali
keruangan ini, apakah engkau tidak mencium bau pesing??”
“Kenapa? oooh…. jadi yang datang adalah orang-orang dari
perkumpulan Mo-kauw?”
“Perkataanmu tepat sekali, anakan iblis cilik terkena kabut
racun Kiu tok ciang dan roboh seketika, dalam gugupnya

gembong iblis tua menyepak pispot isi air kencingku hingga
tumpah, karena ketakutan ia segera melarikan diri terbiritbirit.”
“Kalau cerita yang agak jelas dong!” sela Hoa Thian-hong
sambil tertawa.
Siau Ngo-ji ambil sebuah cawan air teh dan meneguk habis
isinya, kemudian ujarnya lagi, “Enso bilang kabut kiu tok ciang
tidak tersedia dalam jumlah banyak, maka hanya bisa
disebarkan dibelakang pintu, sedang obat pemabok Mi hun
san adalah bubuk obat yang mempunyai…. eeei Enso,
mempunyai apa….?”
“Mempunyai perbedaan dalam bentuk tapi persamaan
dalam kasiat!”
“Aaah! benar, mempunyai perbedaan dalam bentuk tapi
sama dalam kasiat sambung Siau Ngo-ji sambil menepuk
kepalanya, sayang jumlah yang tersediapun tidak banyak dan
cuma bisa disebar disuatu sudut yang sama!”
Setelah berhenti sebentar, sambungnya lebih jauh,
“Menurut jalan pikiranku, andaikata kita berhasil menangkap
Pia Leng-cu maka hal ini jauh lebih baik lagi, bukan saja kita
dapat lenyapkan seorang musuh besar, bahkan dapat pula
merampas kembali pedang emas yang berada ditangannya,
bukankah itu berarti sekali tepuk mendapat dua lalat?
sebaliknya kalau bangsat dari Mo-kauw adalah jago yang
paling lihay dari perkumpulannya, kitapun bisa tangkap iblis
itu dan sekali bacok menghabisi nyawanya, sekalipun anak
murid dan cucu muridnya mencari balas buat kami juga tak
mengapa…. sebaliknya kalau bajingan itu hanya jago kelas
dua belaka dari perkumpulan Mo-kauw maka kalau kita bunuh
orang itu, maka segera akan mengundang kembali kehadiran

jago yang lebih lihay…. dalam keadaan seperti ini kita toh
tidak bakalan rugi”
“Sungguh hebat daya pikiranmu! puji Hoa Thian-hong
sambil acungkan jempolnya.
Siau Ngo-ji melirik sekejap ke arah pakaian dada Hoa
Thian-hong, ketika dilihatnya bagian yang basah telah
mengering, dia segera tertawa kembali sambil berseru
“Toako, sekarang engkau sudah boleh tak usah
menyanjung diriku lagi!….”
“Jangan ngaco belo tak karuan, bicara lah yang serius!”
tegur Hoa Thian-hong sambil tertawa.
Siau Ngo-ji berhenti sebentar, kemudian sambungnya lebih
jauh, “Oleh karena itu kami letakkan bubuk racun pemabok itu
disebelah kanan, khusus lami tujukan untuk menghadapi Pia
Leng-cu atau Kiu-im Kaucu, sedangkan air dewaku diletakkan
disebelah kiri untuk disuguhkan kepada tamu-tamu dari pihak
Mo-kauw…. Heehh…. heehh…. baru saja pekerjaan kami
selesai, eeei…. yang ditunggu-tunggu telah datang!”
“Apakah waktu itu semua orang berada didalam kamar?”
“Benar, sebenarnya aku ingin mengintip keluar untuk
melihat situasi, tapi karena ilmu silat yang kumiliki terlalu
dangkal, si apapun tidak setuju kalau aku keluar dari pintu!”
“Bagaimana kemudian?! tanya Hoa Thian-hong lagi sambil
tertawa.
“Kemudian…. waah! suatu pertunjukkan baguspun
berlangsung, tanpa mendergar sedikit suarapun tiba-tiba
palang pintu kamar putus dengan sendirinya dan pintupun

segera terbentang lebar, dari luar pintu menerjang masuk
seorang marusia berbaju kening, siapa tahu baru saja kakinya
menginjak pintu kamar tiba-tiba ia roboh terkapar diatas
lantai, sementara disisi pintu telah bertambah dengan seorang
makhluk tua berbaju kuning pula, sungguh cepat gerak-gerik
makhluk tua itu, entah bagaimana caranya tahu-tahu ia sudah
menyambar kaki makhluk cilik dan menyeretnya keluar dari
kamar, tidak meleset dari dugaanku…. ooh…. bukan! bukan….
tidak meleset dari dugaan bibi, ia memang benar-benar
berbelok seperti yang diharapkan”
“Eeei…. bagaimana sih ceritanya?”
Bagaimana lagi? karena terperanjat makhluk tua baju
kuning itu loncat mundur ke belakang dan cepat mundur
kebelakang tiang penglari yang sudah kami pasang alat
jebakan, tak ampun lagi air cuci kaki dari nenek Sam-popo
segera tumpah kebawah dan hampir saja mengguyur kepala
makhluk tua tersebut, dengan cepat makhluk tua itu
menengadah dan melancarkan sebuah pukulan udara kosong
dengan jurus mendorong jendela memandang rembulan,
baskom berisi air cuci kaki itu kontan mencelat entah kemana,
diikuti suara gaduh yang sangat keras, pispot berisi air kencing
ikut tersambar sampai tumpah tak karuan, ia segera menjerit
bagaikan babi disembelih, tanpa buang waktu lagi segera
melarikan diri terbirit-birit….”
“Hmm! rupanya engkau suka sekali mendengar kisah cerita
dari orang-orang yang jual dongeng dialun-alun?” goda Hoa
Thian-hong sambil tertawa.
Siau Ngo-ji mengerutkan dahinya.
Mendengarkan orang jual dongeng? Hmm dikota Lok yang
banyak dijumpai orang seperti itu, dirumah minum teh yang
tersohor pun ada lima orang tapi cerita Hong sin pang dari

Sun ji macu manusia topeng itu paling menarik, aku adalah
tamu terhormatnya yang sudah menjadi langganan tetap
walaupun hujan badai aku tetap selalu hadir
“Huuuhh! tamu terhormat apa? paling-paling tamu di
kolong meja!” ejek Tio Sam-koh sambil mencibirkan bibirnya.
Siau ngoji kontan melotot, teriaknya, “Eeeei nenek sam
popo! seorang pria sejati tak takut berasal dari kalangan
rendah kalau tak punya uang sih diatas meja atau di kolong
meja juga sama-sama mendengarkan!”
“Bocah busuk!” maki Tio Sam-koh dengan marah, “kenapa
matamu melotot-melotot? pingin minta hadiah ditempeleng
yaa?”
Aku tidak takut ditempeleng, kalau ada alasan yang kuat
dan benar, aku harus beri penjelasan sampai terang.
Hoa Hujin tertawa geli, ia segera bangkit dan duduk
dipembaringan, kemudian tegurnya, “Siau Ngo-ji, jangan
ribut-ribut lagi! mari aku beri pelajaran ilmu silat kepadamu,
tapi kalau engkau tidak tekun, jangan salahkan kalau nenek
Sam popo benar-benar akan menghadiahkan sebuah
tempelengan kepadamu.”
Kletak…. keetak….! bunyi roda kereta kuda yang berputar
dengan cepat diatas jalan berbatu, ditengah sorot cahaya
sang surya yang telah condong kesebelan barat, rombongan
dari Hoa Hujin memasuki kota Lok yang.
Ketika kereta masuk sedalam kereta, seorang pengemis
cilik loncat naik keatas kereta dan membisikkan sesuatu kesisi
telinga Siau Ngo-ji.

Bocah yang duduk diatas kursi kusir segera mengangguk
sambil berseru, “Aku sudah tahu!
“Apakah mendapat kabar dari Ko toako mu?” buru-buru
Hoa Thian-hong bertanya.
Siau Ngo-ji gelengkan kepalanya.
“Kabar dari Haputule, dia bilang ada urusan yang harus
segera dikerjakan, untuk sementara waktu dia tak akan
berjumpa dengan toako”
Kemudian kepada sang kusir kereta serunya pula, “Hey
kusir, belok kekiri! “
Kusir kereta segera putar kemudi dan berbelok kesebelah
kiri, beberapa saat kemudian sampailah mereka didepan
sebuah sebuah penginapan….
Setelah mendapat kamar, ketiga orang perempuan itu
segera mandi dan tukar pakaian, sedang Siau Ngo-ji tarik Hoa
Thian-hong kesamping ruangan sambil berbisik, “Setelah
makan malam nanti, mari kita jalan-jalan ke kota dan mencari
musuh, kalau bisa kita bekuk dulu gembong-gembok iblis itu
agar pada gelagapan dan tahu kelihayan kita”
0000O0000
65
SIAPA yang kau maksudkan?! tanya Hoa Thian-hong.
Perduli amat siapakah orang itu, Kiu-im Kaucu juga boleh,
imam tua juga boleh atau gembong iblis dari Mo-kauw juga
lumayan, asal mereka menginap didalam kota, aku pasti
berhasil menyelidikinya”

Hoa Thian-hong segera gelengkan kepalanya.
“Caramu itu tak bisa digunakan, kabut racun kiu tok ciang
sudah kita gunakan, aku tak dapat meninggalkan ibuku
dengan begitu saja”
Siau Ngo-ji segera busungkan dada sambil berseru lirih,
“Jangan kuatir, kota Lo yang adalah daeah kekuasaanku,
tanggung beres, tak mungkin bisa terjadi sesuatu yang ada
diluar dugaan”
“Tidak mungkin!” kembali Hoa Thian-hong gelengkan
kepalanya, “sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya toh
jatuh pula keatas tanah, lebih baik kita jangan lakukan
tindikan yang terlalu mengundang resiko besar”
Tertegun Siau Ngo-ji mendengar jawaban tersebut, kembali
ia barbisik lirih, “Sebelah timur kota Lok yang merupakan
pusat segala hiburan dan keramaian kota”
“Pusat segala keramaian?”
“Benar! pusat dari segala keramaian dan hiburan kota!”
seru Siau Ngo-ji dengan gelisah, “ditepi jembatan Lok yang
ada pasar malam, ramainya bukan kepalang, mau makan
apapun aku bisa mendapatkannya secara gratis!”
Mendengar perkataan itu, Hoa Thian-hong segera berpiir
didalam hatinya, “Oooh…. rupanya dia cuma ingin bermainmain
belaka, hampir saja hatiku tertarik oleh obrolannya!”
Berpikir sampai disitu, dia segera gelengkan kepala
berulang kali sambil berkata, “Aku tak akan keluar dari pintu
rumah, engkaupun tak boleh keluar tinggalkan tempat ini,
kalau lain kali ada kesempatan maka akan kubawa dirimu

untuk pesiar segala penjuru dunia, kemana engkau suka
kesitu aku temani engkau untuk bermain”
Siau Ngo-ji segera mengerutkan dahinya erat-erat.
“Aku sama sekali tidak ingin bermain!” keluhnya, “Haputule
itu bodoh dan tidak mengerti adat istiadat dari orang
Tionggoan, kalau sampai ketemu Pia Leng-cu, bisa-bisa
jiwanya ikut melayang!”
“Ooh…. serius amat persoalan ini!” seru Hoa Thian-hong
dengan alis mata berkenyit.
“Oleh sebab itulah kita harus keluar rumah untuk
mencarinya, dan lagi dia pasti mempuayai alasan tertentu
sehingga menyembunyikan diri dikegelapan, kita harus
menanyakan persoalan ini kepadanya!”
Tiba-tiba pitu kamar terbuka, dan Tio Sam-koh munculkan
diri sambil berteriak, “Siau Ngo-ji, tingkah lakumu sangat
mencurigakan, apa lagi yang sedang kau bicarakan?”
Buru-buru Siau Ngo-ji loncat kedepan dan menyahut sambil
tertawa, “Ooh…. tidak apa-apa, toako sedang mambicarakan
soal ilmu silat dengan aku, nenek Sam Popo engkau silahkan
cuci kaki, air bekas cuci kakimu jangan sampai tumpah lho!
baunya…. huuh, sedap….”
Tio Sam-koh mendengus dingin, ia jewer telinga Siau Ngo-ji
dan menyeretnya masuk kedalam kamar.
Lewat beberapa saat kemudian, arak dan sayur telah
dihidangkan, beberapa orang itu duduk mengitari meja dan
santap bersama-sama.

Hoa Thian-hong tidak minum arak dihadapan ibunya, lebihlebih
Chin Wan-hong sebagai seorang perempuan yang
menjaga gengsi, ia menghindari minuman keras seperti itu,
hanya Siau Ngo-ji seorang yang ribut minta arak walaupun
begitu takaran minumannya terbatas sekali, cuma secawun
kecil.
Selesai bersantap, biji mata Siau Ngo-ji mengerling tiada
hentinya memberi kode kepada Hoa Thian-hong, tapi pemuda
itu pura-pura tidak melihat dan sama sekali tidak menggubris
kerlingan itu.
Tiba-tiba Hoa Hujin tertawa dan menegur, “Siau Ngo-ji,
engkau ingin keluar rumah untuk bermain-main?”
“Tidak! aku tidak ingin! buru-buru Siau Ngo-ji gelengkan
kepalanya berulang kali”, aku adalah penduduk asli kota Lok
yang, sudah bosan aku bermain disekitar tempat ini lagipula
sudah tak ada tempat lain yang menarik bagiku, buat apa
musti lelah keliling kota?”
Setelah berhenti sebentar, dia melanjutkan, “Barusan ada
orang mencari aku untuk diajak main, tapi aku segera
menolak ajakannya!”
“Siapa sih yang ajak engkau? kenapa aku tak melihat?”
tanya Hoa Thian-hong keheranan.
Mereka bersembunyi ditempat kegelapan, kalau toako tidak
memper-hatikan tentu saja tidak melihat, meskipun kami
adalah teman lama namun tidak pergi juga tidak menjadi soal.
“Kalau begitu jangan pergi” seru Chin Wan-hong, “daripada
menggangu pelajaran silatmu!”
Siau Ngo-ji anggukkan kepalanya berulang kali

Perkataan enso memang benar!
Tiba-tiba dengan wajah merengek dia melanjutkan,
“Mungkin sampai sekarang mereka masih menunggu aku
diluar, biar kusuruh mereka pulang dulu.”
Hoa Hujin tertawa geli menyaksikan tingkah lakunya yang
kocak, ia segera berseru, “Sudahlah, tak usah berpura-pura
lagi….! pergilah bermain sebentar besok pagi engkau harus
tinggalkan kota Lok yang, sudah sepantasnya kalau minta diri
lebih dahulu kepada sahabat-sahabat lamamu!”
“Benar! kita semua adalah teman-teman sewaktu masih
berkaki telanjang, sekarang aku sudah bersepatu, kalau aku
tidak temui mere ka mungkin orang lain akan mengatakan aku
jadi sombong dan lupa teman”
“Kami masih punya sedikit uang, berapa banyak sih temantemanmu
itu….? kita hadiahkan sepasang sepatu baru buat
setiap orang!”
Siau Ngo-ji goyangkan tangannya berulang kali.
“Bukan…. bukan begitu maksudku! bertelanjang kaki
artinya masih miskin dan menganggur, memakai sepatu
artinya sudah punya kedudukan dan hidup lebih enak! katakata
tersebut adalah kata-kata kangouw untuk mengatakan
sesuatu, bukan terus berarti kami benar-benar ingin membeli
sepatu baru!”
Hoa Hujin tersenyum.
“Baik! pergilah untuk menjamu sahabat-sahabat lamamu,
tapi engkau musti hati-hati, kalou seorang pria sejati, lelaki
jantan punya keberanian untuk keluar rumah, maka dia musti

cekatan dan pandai melihat gelagat, kalau sampai tertangkap
orang maka kejadian itu kurang cemerlang bagi diri sendiri.
“Bibi tak perlu kuatir!” sahut Siau Ngo-ji dengan hati
gelisah, “selama Hoa toako mendampingi aku, semua malaikat
atau iblis akan menghindarkan diri, siapa yang berani cari
gara-gara dengan diriku?”
“Aku segan untuk keluar rumah” potong Hoa Thian-hong
sambil tertawa.
Siau Ngo-ji jadi tercengang.
“Bukankah toako harus mencari Haputule serta Ko toako?”
Hoa Thian-hong kembali tersenyum.
“Haputule telah menyembunyikan diri, itu berarti posisinya
jauh lebih aman, aku memang ingin sekali berjumpa dengan
Ko toako mu itu!”
“Bagus sekali, kalau begitu mari kita segera berangkat, Ko
toako juga ingin menyambangi toako, ayoh kita segera
berangkat!”
“Kenapa musti terburu nafsu? ini hari au akan jaga rumah,
lain hari saja baru a ku kunjungi Ko toako mu itu”
Melihat ajakannya ditampik, Siau Ngo-ji menghela nafas
panjang.
“Aaaaiii….! baiklah, kalau begitu terpaksa aku harus pergi
seorang diri.”

“Bawalah uang disaku, cepat pergi dan cepat kembali!”’
ujan Chin Wan-hong, dari sakunya ambil keluar sebuah
kepingan uang perak dan dicerahkan kepada bocah itu.
Memandang uang perak yang diangsurkan kepadanya, Siau
Ngo-ji tertawa.
“Heeeh…. heeeeh…. heeeehbh teman-temanku semua
adalah sahabat yang miskin, memang tak ada salahnya kalau
membawa sedikit uang, lagi pula aku masih punya sedikit
hutang-hutang lama, setelah besok berangkat entah sampai
kapan baru kembali lagi? kalau hutang terlalu lama rasanya
memang kurang enak, cuma uang itu terlalu banyak, satu dua
tahil perak sudah lebih dari cukup.”
“Bawa kemari!” seru Tio Sam-koh.
Setelah menerima uang perak itu, dengan jari telunjuk dan
jari tengah tangan kanannya ia gunting uang perak tersebut,
dalam waktu singkat uang perak yang beratnya mencapai
sepuluh tahil itu sudah terpotong-potong jadi sepuluh
potongan kecil, bukan saja bentuknya sama bahkan beratnya
pun tak jauh berbeda.
Chin Wan-hong ambil dua kepingan kecil uang perak itu
dan diserahkan kepada Siau Ngo-ji sambil berpesan, “Ini hari
engkau tak boleh minum arak lagi, jangan berkelahi dengan
orang, cepat-cepat pulang untuk berlatih ilmu silat!”
Siau Ngo-ji mengangguk, sambil melototi kepingan uang
perak yang ada ditangannya, ia coba untuk memencetnya
dengan kedua belah jari tapi perak itu terasa keras sekali,
tanpa sadar sambil menjulurkan lidahnya ia berseru, “Cctt….
cctt…. cctt.! kepandaian apaan itu? tampaknya benar-benar
kalo lebih hebat dari pada ilmu Liong jiau kang!”

“Bawa ke toko dan timbangkan kepingan uang perak itu,
sekeping satu tahil, kalau beratnya tidak betul bawa kembali
kemari!” seru Tio Sam-koh lagi dengan dingin.”
Tertegun Sau ngo ji setelah mendengar ucapan itu,
akhirnya sambil memberi hormat dia berkata, “Hiiih…. hiihh….
Siau Ngo-ji punya mata tak kenal gunung Tay san, ini hari
baru kutahu kelihayan nenek Sam popo, pulangnya nanti aku
pasti akan membawa oleh-oleh yang enak untukmu, dan lain
hari aku ingin belajar ilmu menggunting perakmu, yang hebat
itu”
“Huhh….! cepat enyah….” hardik Tio Sam-koh ia pukul
pantat Siau Ngo-ji dengan toyanya dan melempar tubuh bocah
itu keluar dari pintu.
Siau Ngo-ji menjerit kaget, setelah selamat mencapai tanah
diam-diam ia baru menggerutu, “Oooh! sungguh lihay”
Pantatnya diraba, untung tak sakit, buru-buru ia kabur dari
rumah penginapan.
Setelah keluar dari pintu, ia bersuit ke arah tempat gelap,
kemudian seraya ulapkan tangannya dengan langkah lebar
Siau Ngo-ji berjalan kejalan raya, dalam sekejap mata
segerombol bocah mengikuti dibelakangnya, yang paling tua
berumur lima enam belas tahunan, yang terkecil berumur lima
enam tahun, semuanya adalah bocah-bocah gelandangan dari
kota Lok yang.
Setelah menyeberangi beberapa jalan raya, sampailah
mereka didepan kedai penjual bakmi, seorang kakek tua
sedang masak mie diluar, dari kejauhan Siau Ngo-ji telah
berteriak keras, “Hey lo thio, siapkan arak, sayur dan
hidangan lezat! kami akan bayar kontan, sekalian lunasi
hutang-hutang lamaku!”

Bersamaan dengan ucapan tadi, sekawanan bocah
gelandangan itu bagaikan hembusan angin berebutan cari
tempat duduk, kursi ditarik meja digeser, suasana hiruk pikuk
dan ramai sekali.
Seorang perempuan tua menghampiri mereka, setelah
mengamati Siau Ngo-ji tiba-tiba serunya dengan kaget.
“Eee….! Siau Ngo-ji, kaya mendadak?”
“Oooh…. jangan kuatir!” jawab Siau Ngo-ji sambil rogoh
sakunya dan ambil sekeping uang perak, “Nih! simpan dulu
uang itu dalam kas, setelah habis makan kita bikin
perhitungan….”
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan, “Tenggorokanku
sakit, ini hari tak minum arak, sediakan secawan air teh
bagiku!”
Bocah yang berusia paling kecil itu membawa sebuah
tabung bambu, sanbil mendekati Siau Ngo-ji dan merangkak
naik keatas kursi ujarnya, “Ngo ko, kenapa sih Hoa toako tak
ikut keluar?”
“Dia tak bisa keluar karena masih ada urusan, bagaimana
dengan Tiat Pak Ong?”
Bocah itu baru berusia lima enam tahunan dan bernami
Siau Biau ji, dia merupakan sahabat karib Siau Ngo-ji,
sementara itu sambil angsurkan tabung kecil tadi, sahutnya,
“Makan malam sudah kuberikan, selama engkau tak ada
dirumah, aku tak berani mengadunya dengan milik orang
lain.”

Siau Ngo-ji membuka tutup tabung, isinya ternyata seekor
cengkerik berwarna hitam, Siau Ngo-ji mengilik cengkeriknya
seben tar, ketika dilibatrya binatang itu tetap segar, ia tutup
kembali tabung bambu itu sambil berkata, “Selama beberapa
hari ini, ada orang yang menganiayai engkau?”
Siau Ngo-ji menggeleng.
“Tidak ada yang berani, kawan-kawan telah menerima
kabar dan tahu kalau engkau sudah angkat saudara dengan
Hoa toako, mereka bersikap sangat baik kepadaku!”
“Engkoh Siau ngo” seru seorang bocah yang bernama Hek
niu, “Hoa toako sudah wariskan ilmu silatnya kepadamu?”
“Hmm! dari siapa Hoa toako belajar ilmu silat, dari situ pula
aku belajar silat, soal ini tak usah dibicarakan lagi, kapan Ko
toako kembali kesini dan sekarang dia ada dimana?” tanya
Siau Ngo-ji dengan alis mata berkenyit.
“Sore tadi Ko toako sudah kembali ke kota, kami pada
mencari dirinya tapi tak ke temu, entah dia sudah pergi
kemana lagi?”
“Loo kok aneh?! gumam Siau Ngo-ji.
Sementara itu sayur dan arak telah dihidangkan, semua
orang segera angkat cawan untuk menyatakan selamat
kepada Siau Ngo-ji, sedang bocah itu angkat cawan air tehnya
menerima ucapan selamat itu.
Tiba-tiba bocah yang berumur agak tuaan berkata, “Siau
Ngo-ji, kemarin bocah keparat dari keluarga Lau datang lagi
mencari gara-gara dengan kita, perselisihan ini harus segera di
bereskan, aku rasa lebih baik kita hajar saja orang-orang itu
biar kapok!”

Siau Ngo-ji segera goyangkan tangannya berulang kali.
“Ilmu silat ynng sekarang kupelajari sudah mencapai
tingkatan yang lain daripada yang lain, bocah keparat itu
bukan tandingan ku lagi, kalau sampai kehilangan nyawa buat
aku sih bisa kabur sambil cuci tangan, tapi bagaimana dengan
kalian semua? kamu semua terpaksa harus angkat kaki dari
kota Lok yang!”
Setelah behenti sebentar, sambungnya lebih jauh, “Eei,
selama dua hari belakangan ini apa kalian melihat ada orang
yang berdandan menyolok masuk kedalam kota? misalnya
sebangsa hweesio…. atau imam…. atau orang persilatan
berjubah kuning, atau perempuan yang cantik! pokoknya
mereka-mereka yang punya mata bersih dan kening menonjol
keluar?”
“Ooh ada” jawab siau biau ji cepat, “ada hweesio bau,
imam hidung kerbau serta manusia jelek berbaju kuning,
mereka semua hebat-hebat nampaknya ada juga perempuan
yang cantik sekali, begitu cantiknya sampai aku ogah
berkedip!”
Cahaya tajam memancar keluar dari balik mata Siau Ngo-ji.
“Ceritalah yang jelas dari awal sampai akhir, jangan ada
yang kelewatan!”
“Betul, siau biau ji! kalau cerita musti yang jelas” tukas Hek
niu dari samping, engkoh siau ngo ayoh teguk secawan arak”
Siau Ngo-ji sedang memikirkan sesuatu, ia lantas
menjawab.
Enso larang aku minum arak diluaran, siau biau ji….”

Tiba-tiba ia sadar kalau terlanjur bicara, dengan cepat
tambahnya, “Ooh…. tenggorokanku benar-benar lagi sakit!”
“Kenapa sih?” tanya siau biau ji, “apakah ensomu galak
sesaki seperti anjing beranak?”
“Huuss! jangan sembarangan ngomong, ensoku adalah
perempuan paling baik didalam jagad, ilmu silatnya juga hebat
apalagi ilmu racun dan obat-obatanya…. waah! tak bisa
dilukiskan deh hebatnya, sampai akupun cuma mendengarkan
perkataaanya seorang…. ooh iya, bagaimana ceriteranya?
makhluk jelek berbaju kuning itu pernah kujumpai, bagaimana
dengan dia?”
Sau biau ji membasahi bibirnya dengan ludah, lalu
bercerita, “Selama beberapa hari belakangan ini kami selalu
berjaga-jaga dipintu kota selatan, pagi tadi muncul dua orang
makhluk aneh berbaju kuning, waktu kutengok mukanya….
hiiiii….! ngeri deh, jeleknya bukan kepalang….”
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan, “Makhluk tua
yang punya jenggot merah berjalan didepan, yang rada muda
dan punya hidung seperti samai mengikuti dibelakangnya, dia
memanggul sesosok tubuh manusia nampaknya kena penyakit
gila atau ayan…. mukanya bengkak seperti labuh, tangannya
penuh tutul-tutul merah seperti cacar…. hiiihh! pokoknya ngeri
deh.”
“Ehmm! orang itu terkena racun jahat dari wilayah Biau”
Siau Ngo-ji menjelaskan, bagaimana selanjutnya?”
“Setelah cari kamar dirumah penginapan Kong goan, yang
mudaan itu keluar rumah seorang diri, rupanya dia pergi beli
obat dikedai…. selanjutnya Ji hau yang membuntuti, biar dia
saja yang cerita!”

Sambil berseru bocah itu tuding seorang bocah
dihadapannya.
Bocah hitam yang berada dihadapannya segera
melanjutkan cerita itu, “Siau biau ji tetap jaga dipintu kota,
sedang aku buntuti beberapa orang baju kuning itu, aku
menyusup masuk kedalam rumah penginapan lewat pintu
belakang, ku lihat mereka bertiga mendapat kamar di ruang
sebelah barat, aku lantas ingat dengan perkataan dari Ko
toako, katanya orang yang berilmu silat tinggi bisa menangkap
ja tuhnya bunga dan daun pada jarak sepuluh tombak, aku
tak berani terlalu mendekat dan terpaksa mendorong pintu
dikamar sebelahnya”
“Bukankah diatas dinding kamar ada lubang untuk
mengintip?” tanya Siau Ngo-ji.
Ji hau angkat cawan araknya dan meneguk abis isinya,
kemudian menjawab, “Benar, aku masih ingat diatas dinding
papan terdapat sebuah lubang kecil untuk mengintip kamar
itu, seberangnya persis pembaringan dikamar seberang, kita
toh sering kali melihat siluman laki dan perempuan saling
bergumul dan saling menindih…. aduuh asyiiknya!”
“Jangan bicara yang tak penting, bagaimana seterusnya?
aku harus segera pulang seru Siau Ngo-ji dengan dahi
berkerut.
Ji hau melengak sebentar, kemudian melanjutkan, “Ketika
aku mendorong pintu kamar sebelah aduuuh maknya! seorang
kakek tua berjenggot putih sedang duduk bersila didalam
kamar itu, ketika aku melongok kedalam, sepasang mata
kakek itu segera terbuka lebar, yaa mama! sepasang biji
matanya memancarkan sinar yang dingin dan tajam, aku jadi

ketakutan sampai kakiku jadi lemas, hampir saja aku jatuh
semaput.”
Sambil menuding ke arah Ji hau, Siau bi ji tertawa geli dan
mengejek, “Haaah…. haaahh…. haaahh engkoh siau ngo,
karena ketakutan dia sampai terkencing-kencing hingga
celananya basah kuyup, sungguh memalukan”
Merah padam selembar wajah Ji hau, serunya dengan
penasaran, “Maknya! kalau bicara jangan sembarangan, kalau
engkau yang melihat sinar mata itu, mungkin sukmapun
seraya melayang meninggalkan raga….”
Bocah-bocah itu tergelak tertawa, sampai kakek penjual
bakmi pun ikut tertawa terbahak-bahak.
Siau Ngo-ji gebrak meja menghentikan gelak tertawa itu,
hardiknya dengan suara dalam, “Jangan gaduh! Ji hau,
teruskan ceriteramu”
Bocah-bocah itu berhenti tertawa, suasanapun pulih
kembali dalam kesunyian.
Terdengar Ji hau melanjutkan kembali kata-katanya,
“Dalam gugupnya, aku segera melarikan diri terbirit-birit,
untung kakek tua itu tidak berteriak sehingga aku kena
digebuk oleh pelayan rumah penginapan itu, aku kabur
ketengah tumpukan barang dan menyembunyikan diri,
beberapa saat kemudian pelayan muncul sambil membawa
sebuah gentong besar, isi gentong itu adalah air bersih, lewat
sebentar lagi orang baju kuning yang rada mudaan itu muncul
sambil membopong sebungkusan besar obat-obatan serta
segentong cuka.”
Bocah itu berhenti sebentar, setelah makan sayur asin dan
buru-buru menelannya kedalam perut, sambungnya lebih

jauh, “Aku sangat ingin mengintip kedalam dan pingin tahu
permainan setan apa yang sedang dilakukan, setelah maju
mundur setengah harian, akhirnya aku besarkan nyali dan
ngeloyor masuk kedalam halaman kemudian merangkak
kebawah jendela, siapa tahu sebelum aku bangkit berdiri tibatiba
aku dengar pintu kamar berbunyi dan makhluk tua itupun
berbicara!”

ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru Cerita Silat ABG SMU : Tiga Maha Besar 2 [lanjutan bara maharani], cersil terbaru, Cerita Dewasa Cerita Silat ABG SMU : Tiga Maha Besar 2 [lanjutan bara maharani], cerita mandarin Cerita Silat ABG SMU : Tiga Maha Besar 2 [lanjutan bara maharani],Cerita Dewasa terbaru Cerita Silat ABG SMU : Tiga Maha Besar 2 [lanjutan bara maharani],Cerita Dewasa Terbaru Cerita Silat ABG SMU : Tiga Maha Besar 2 [lanjutan bara maharani], Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru Cerita Silat ABG SMU : Tiga Maha Besar 2 [lanjutan bara maharani]
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Silat ABG SMU : Tiga Maha Besar 2 [lanjutan bara maharani] dan anda bisa menemukan artikel Cerita Silat ABG SMU : Tiga Maha Besar 2 [lanjutan bara maharani] ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cerita-silat-abg-smu-tiga-maha-besar-2.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Silat ABG SMU : Tiga Maha Besar 2 [lanjutan bara maharani] ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Silat ABG SMU : Tiga Maha Besar 2 [lanjutan bara maharani] sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Silat ABG SMU : Tiga Maha Besar 2 [lanjutan bara maharani] with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cerita-silat-abg-smu-tiga-maha-besar-2.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 1 komentar... read them below or add one }

poker mengatakan...

poker online terpercaya
poker online
Agen Domino
Agen Poker
Kumpulan Poker
bandar poker
Judi Poker
Judi online terpercaya

Posting Komentar