terlihatlah
seluruh tulang dari mayat itu sudah kena gencet sehingga
gepeng laksana selembar kertas saja, keadaannya penuh dilumuri
dengan darah sehingga karena amat menyeramkan sekali.
Dikarenakan keadaan di dalam ruangan bawah tanah itu amat
gelap untuk beberapa saat lamanya dia tidak bisa membedakan
yang mati itu Ti Then atau si lelaki berkerudung itu, tiba-tiba dia
teringat kembali dengan lampu lentera yang tergantung di dalam
ruangan siksa, tubuhnya dengan cepat berlari balik mengambil
lampu lentera itu kemudian kembali lagi ke tempat semula.
Dengan meminyam sinar lentera itu dia melakukan pemeriksaan
dengan amat telitinya terhadap mayat tersebut sudah lama
membeku, hatinya menjadi sangat girang sekali, dengan cepat dia
meloncat balik, ke sampinng tubuh Wi Lian ln sembari teriaknya
keras :
“Sumoy! cepat bangun, orang yang kena gencet mati itu bukan
Ti Kiauw-tauw. “
Perkataan ini ternyata amat manjur sekali jika dibandingkan
dengan obat mujarab lainnya, seketika itu juga Wi Lian ln sadar
kembali dari pingsannya.
“Kau bilang apa ?” tanyanya dengan cemas.
“Ti Kiauw-tauw tidak mati” seru Suma San Ho dengan amat
girang-
“Sungguh? “ teriak Wi Lian ln sambil meloncat bangun.
“Sungguh.”
Dengan cepat Wi Lian ln merebut lampu lentera yang ada
ditangannya dan berlari menuju ke ruangan bawah tanah itu.
Ketika dia dapat melihat “ Lembaran “ mayat itu tak terasa lagi
hatinya menjadi bergidik, dengan ketakutan teriaknya :
“Aduh ,.. sungguh sukar sekali untuk dilihat, dia . .orang siapa ? “
“Dia bukan Ti Kiauw-tauw juga bukan bajingan tua itu”
“Bagaimana kau bisa tahu kalau dia bukan bajingan tua itu?”
teriak Wi Lian In dengan terperanyat.
“Coba kau lihat darah dari mayat itu sudah lama membeku,” ujar
Suma San Ho sambil menuding kearah mayat tersebut, jikalau yang
mati adalah Ti Kiauw-tauw atau bajingan tua itu maka orang yang
baru saja mati kena gencet darah yang mengalir keluar tidak
mungkia bisa langsung membeku,”
“Tidak salah.” Sahut Wi Lian In setelah memeriksa dengan teliti
mayat itu,”Bahkan baju yang dia pakai pun tidak mirip dengan
pakaian yang d pakai oleh Ti Kiauw tauw. tetapi siapakah orang ini?
“
“Aku duga dia orang tentu salah satu dari anak buah Bunn Jin
Cu, kemungkinan sekali orang ini meminyam kesempatan sewaktu
semua orang memberontak memasuki ruangan bawah rahasia ini
untuk mencari harta siapa tahu sudah kena gencet alat rahasia
hingga menemui ajalnya”
Sekali lagi Wi Lian In mengangguk dengan perlahan matanya
beralih kearah depan.
“Kalau begitu Ti Kiauw tauw setelah pergi kemana?” tanyanya.
“Sudah tentu berada di jalan rahasia sebelah depan, nanti biarlah
kita tunggu Liuw Khiet datang dulu kemudian kita baru...”
Baru saja dia berbicara sampai di situ mendadak terdengar dari
dalam ruangan bawah tanah itu berkumandang datang suara
seseorang.
“Kalian berdua harap berlega hati seluruh alat rahasia yang ada
di dalam ruangan bawah tanah ini sudah hamba tutup”
Suara dari Liuw Khiet dengan amat ringannya berkumandang
datang dari suatu tempat yang agaknya amat jauh sekali.
Suma San Ho menjadi melengak, dengan cepat dia menyuruh Wi
Lian In mengangkat tinggi lampu lentera itu, saat itulah mereka
baru menemukan di at as dinding atap ruangan tersebut terdapat
sebuah lubang yang bulat kecil, segera dia angkat kepalanya
berteriak :
“Liuw Khiet, kaukah ? “
“Benar” sahut Liuw Khiet dengan keras, “Kalian berdua sekarang
sudah berada di tengah-tengah alat rahasia Siang Sek Sia Peng ini.
apakah kalian menemukan sesuatu ?”
“Di sini sudah kena gencet seseorang, tetapi dia bukan Ti Kiauw-
tauw juga bukan orang berkerudung itu” teriak Suma San Ho
dengan keras.
“Oooh ,. kalau tidak siapa yang sudah kena gencet sehingga mati
?” seru Liuw Khiet dengan terperanyat.
“Aku tidak kenal, tetapi darah dari mayat sudah membeku,
kelihatannya dia sudah mati dua hari yang lalu.”
“Kalau begitu dia tentulah orang dari istana Thian Teh Kong . . “
“Hey Liuw Khiet. kau berada di dalam kamar alat rahasia?” teriak
Wi Lian In bertanya.
“Benar"
“Kau yang berada di dalam kamar rahasia dapatkah melihat
semua keadaan alat-alat rahasia tersebut?”
“Aku tidak bisa melihatnya secara langsung, tetapi dari
perubahan yang terjadi di sini aku bisa tahu alat rahasia mana
sudah mulai jalan . .”
“Kalau begitu” potong Wi Lian In dengan cepat. “Sebelum kau
menutup semua alat-alat rahasia yang sudah berjalan? “
ooo O ooo
“Sudah ada tiga macam alat rahasia yang bekerja, yaitu” Siang
Sek Sia Peng, Thay San Ya Ting - serta - ln Sian Wan“, alat rahasia “
Thay San Ya Ting “ itu terletak jalan rahasia depan kalian, hamba
sudah menaikkannya.”
Tidak menanti dia bicara habis Wi Lian In sudah bertanya
kembali dengan cemas
“Apakah yang dimaksud sebagai Thay San Ya Ting serta In Sian
Wang itu ?”
“Yang dimaksud sebagai Thay san Ya Ting adalah sebuah plat
besi yang beratnya dua ribu kati bergerak dari atas atap di jalan
rahasia ini menuju ke bawah dan dapat membuat orang menjadi
hancur”
“Lalu adakah orang yang kena kena ditindih mati oieh alat
rahasia Thay San Ya Ting itu ?” tanya Wi Lian In terperanyat,
“Tidak ada,, tetapi di dalam alat rahasia In Sian Wang agaknya
sudah menawan seorang, hamba tidak tahu orang yang ada di
dalam alat rahasia In Sian Wang itu Ti siauw hiap atau lelaki
berkerudung itu karenanya hamba tidak berani . , . . aduh .”
Perkataannya belum selesai diucapkan mendadak dia sudah
menjerit kaget.
Suma San Ho menjadi cemas, tanyanya dengan cepat .
“Liuw Khiet, kau kenapa ?”
“Ti, . . , tida .... tidak mengapa . .tidak mengapa .....” seru Liuw
Khiet tetapi suara jelas rada gemetar.
“Lalu kenapa kau menjerit kaget ?” tanya Suma San Ho menjadi
curiga.
“Seee . . . seekor tikus . . .. baru saja dia berlari melalui atas
kakiku . . . .”
Walau pun pada saat ini dalam hati Wi Lian In sedang merasa
kuatir atas keselamatan dari Ti Then, ketika mendengar perkataan
ini tak urung dia tertawa cekikikan juga.
“Hmm” godanya. “Kau orang adalah lelaki berbadan gede,
kenapa sama seekor tikus yang begitu kecil juga takut ? “
Liuw Khiet segera ikut tertawa, tetapi lertawanya sangat
dipaksakan.
“Sudah tentu hamba tidak takut dengan tikus, hamba kira sudah
kedatangan musuh“
“Hey alat rahasia In Sian Wang itu terletak di mana ? sebetulnya
permainan apa itu ? “ sela Suma San Ho.
“Alat tersebut terletak di depannya Thay San Ya Ting yang
merupakan sebuah jala besar yang tidak mungkin bisa diputus
dengan menggunakan senyata tajam, sekarang di dalam jala itu
agaknya sudah menangkap seseorang, kalian cepatlah pergi lihat ke
sana. “
Wi Lian In segera berlari dengan amat cepatnya menuju ke
depan.
Sumai San Ho pun mengikuti dengan cepat dari belakang,
mereka berdua setelah berlari beberapa saat lamanya mendadak
merasakan permukaan di hadapan mereka agak melesak masuk
beberapa Cun ke dalam.
Wi Lian In segera mengangkat lampu lenteranya untuk
memeriksa, tampak di atas dinding jalan rahasia itu terdapat sebuah
besi plat yang amat besar sekali, tak terasa lagi ia menghembuskan
napas dingin.
“Mungkin inilah yang disebut sebagai alat rahasia Thay San Ya
Ting itu?”
“ Tidak salah” sahut Suma San Ho mengangguk. “Jika plat baja
yang demikian besarnya terjatuh dari atas tentu seketika itu juga
membuat orang tergencet jadi hancur”
Wi Lian ln tidak mau membuang banyak waktu lagi ditempat itu,
dengan cepat dia berlari ke depan sambil serunya.
“Hayo cepat kiia melihat alat rahasia In Sian Wang itu”
Mereka berdua berlari kembali beberapa puluh kaki jauhnya,
mendadak di hadapan mereka terlihatlah sebuah jalan rahasia yang
melesak dalam sekali, disekeliling tempat liang itu tampaklah jeriji-
jeriji besi yang dengan amat rapatnya mengurung tempat tersebut.
Wi Lian In serta Suma San Ho cepat-cepat berlari mendekati
liang itu dan melongok ke bawah mendadak mereka menemukan
dalam liang terkurung sesosok bajangan hitam yang di atasnya
tertutup oleh sebuah jala, orang tersebut tidak lain adalah Ti Then.
“Ti Kiauw tauw” teriak Wi Lian ln dengan cepat.
Ti Then yang sedang meronta di dalam In Siang Wan itu ketika
melihat Wi Lian In serta Suma San Ho sudah pada datang menjadi
amat girang sekali, teriaknya :
“Lian In, Suma Heng, cepat kalian tolong aku keluar dari sini “
“Kau tidak terluka bukan ?” tanya Wi Lian In dengan hati yang
cemas.
“Tidak, tetapi jala ini sangat kuat sekali, aku tidak berhasil
menjebolnya....”
“Kau tunggulah sebentar, biar kusuruh Liuw Khiet segera
mengereknya ke atas”
Dia segera angkat kepalanya ke atas, ketika dilihatnya di atas
tempat itu tidak terdapat adanya lubang untuk berbicara dengan
nada mencoba dia segera berteriak:
“Hey Liuw Khiet, kau dengar suaraku bukan?”
Agaknya di ruangan sebelah atas terdapat juga lubang untuk
mendengarkan percakapan yang ada di bawah, terdengar suara dari
Liuw Khiet segera bergema mendatang.
“Dengar, apakah orang yang yang ada di dalam jala itu adalah Ti
Siauw hiap?”
“Benar.” seru Wi Lian In dengan amat girang, “Cepat kau
gerakan alat rahasia itu dan menggereknya ke atas”
Liuw Khiet segera menyahut dengan perlahan jala itu dikerek
naik ke atas sedang tubuh Ti Then yang terjerumus ke dalam liang
itu pun naik ke atas, dengan perlahan permukaan tanah yang
tadinya berliang dengan tanpa mengeluarkan sedikit suara pun
sudah balik kembali seperti keadaan semula.
Dengan tergesa-gesa Wi Lian In serta Suma San Ho membuka
jala itu menolong Ti Then keluar.
Ti Then yang berhasil meloloskan diri dari dalam jala In Sian
Wang dengan amat gemasnya melancarkan satu tendangan
menghajar jala itu.
“Permainan apa ini.” teriaknya gemas.
“Bukannya menangkap bajingan tua itu malahan menahan aku
orang“
“Sebenarnya sudah terjadi urusan apa?” tanya Suma San Ho
sambil tertawa.
Ti Then garuk garuk kepalanya.
“Aku mengejar bajingan tua itu dengan berturut turut melewati
dua buah alat rahasia, tidak disangka sewaktu aku mengejarnya
sampai di sini mendadak permukaan tanah yang aku inyak sudah
menurun ke bawah dan terjatuh ke dalam sebuah jala yang amat
besar, masih untung bajingan tua itu hanya memikirkan untuk
melarikan diri saja sehingga tidak melihat kalau aku sudah terjebak
di dalam alat rahasia itu, jikalau dia melihat aku terjatuh ke dalam
jala sudah tentu dia tidak akan melepaskan aku dengan demikian
mudah”
“Kalau begitu bajingan tua itu sudah berhasil meloloskan diri dari
jalan rahasia ini” timbrung Suma San Ho.
Ti Then menjadi melengak.
“Bagaimana Suma heng bisa tahu kalau dia orang telah lolos dari
jala di bawah tanah ini?” tanyanya keheranan.
“Liuw Khiet sekarang masih ada di kamar alat rahasia, dia bilang
dari ke delapan belas alat rahasia cuma ada tiga buah saja yang
sudah bergerak, dari hal ini jelas membuktikan kalau bajingan tua
itu sudah berhasil meloloskan diri dari sini “
“Nyawanya sungguh betuntung sekali “ tak tertahan lagi Ti Then
menghela napas panjang, “Pukulanku tadi ternyata sama sekali
tidak berhasil merubuhkan dirinya”
“Tadi dengan cara apa kau berhasil meloloskan diri dari Siang
Sek Sia Peng itu?" sela Wi Lian In tiba-tiba.
“Apa yang dimaksud Siang Sek Sia Peng itu?" tanya Ti Then
melengak.
“Dua buah batu raksasa yang bisa menggencet barang yang ada
ditengahnya, bagaimana kau bisa meloloskan diri dari gencetan batu
besar yang ada lima kaki panjangnya itu?”
“Oooh kiranya barang itu yang dinamakan Siang Sek Sia Peng”
seru Ti Then sambil tertawa. “Hmm, si anying Iangit rase bumi
sungguh lucu sekali, ternyala dia orang sudah menyamakan
manusian dengan kue”
“Sebenarnya kau menggunakan cara apa untuk meloloskan diri
dari sana?” desak Wi Lian In lebih lanjut.
”Gampang sekali, walau pun di dalam satu kali loncatan aku
tidak berhasil mencapai lima kaki jauhnya tetapi asalkan sebelum
kedua buah batu besar itu merapat aku bisa menutulkan kakiku ke
permukaan tanah di tengah batu lalu meloncat lagi keluar bukankah
sudah lolos?“
“Oooh , , . kiranya begitu, tadi aku betul-betul merasa sangat
kuatir sekali,” ujar Wi Lian In sambi! tertawa,
“Tadi sewaktu sumoay melihat di dalam Siang Sek Sia Peng itu
tergencet mati seorang dia sudah mengira Ti Kiauw-tauw .,„. sudah
mati, di dalam keadaan yang amat terperanyat dia sudah jatuh tidak
sadarkan diri” sambung Suma San Ho dengan cepat.
“Lalu ?” seru Ti Then kaget.
Suma San Ho segera tertawa terbahak-bahak. “Akhirnya setelah
mengetahui kalau orang
yang mati itu bukan Ti Kiauw-tauw dia segera sadar kembali.”
Wayah Wi Lian In segera terasa amat panas, dengan gemasnya
dia pelototi diri Suma San Ho.
“Sudah . . sudahlah,jangan bicarakan soal itu lagi” teriaknya
cepat dengan hati mendongkol.
“Sewaktu aku lewat di sana tadi aku pun dapat melihat di atas
dinding batu ada sesosok mayat, siapakah orang itu ?”
“Orang itu sudah mati dua hari yang lalu aku kira tentulah anak
buah dari istana Thian Teh Kong.”
“Ehmmm , . . “ dengan perlahan Ti Then angkat kepalanya
memandang kearah jalan rahasia itu. “Sepertinya tadi aku dengar
suara Liuw Khiet ada di atas, apakah dia berada di sana ?”
“Benar” dia berada di dalam kamar alat rahasia, dia berbicara
dengan kita melalui sebuah corong kecil.
“Hey Liuw Khiet, kau meadengar suaraku tidak ?” teriak Ti Then
dengan keras.
“Dengar, apakah kau adalah Ti Siauwhiap ?” terdengar suara dari
Liuw Khiet berkumandang kembali dari atas ruangan.
“Benar, aku seharusnya mengucapkhn banyak terima kasih
kepadamu, bilamana bukannya kau bisa membedakan yang mana
jahat yang mana baik kita bertiga tentu akan sukar untuk
meloloskan diri dari cengkeraman bajingan tua itu.”
“Aaaah Ti Siauw-hiap tidak usah sungkan-sungkan”
“Bajingan tua itu sudah meloloskan diri dari dalam jalan rahasia
ini, kau harus berhati-hati.”
“Baik, hamba bisa.. hamba bisa berhati-hati”
Ti Then segera merasa nada suaranya sangat mencurigakan
sekali, dalam hati dia merasa keheranan, segera kepada Wi Lian In
serta Suma San Ho ujarnya dengan suara lirih:
“Sungguh aneh sekali, kenapa pada waktu berbicara kenapa
suaranya rada gemetar”
“Tadi dia dibikin terkejut oleh seekor tikus, mungkin rasa
kagetnya belum hilang” sahut Wi Lian In sambil tertawa.
“Kaget karena seekor tikus?” seru Ti Then keheranan.
“Dia yang bilang sendiri, tadi sewaktu Suma Suheng bercakap-
cakap dengan dirinya di dekat alat rahasia Siang Sak Sia Peng
mendadak dia menjerit kaget lalu Suma suheng tanya kepadanya
ada urusan apa dia jadi kaget, dia bilang baru saja ada seekor tikus
meloncat kakinya yang dia kira ada musuh datang sehingga menjadi
terperanyat, haa haaa seorang lelaki segede itu ternyata bisa dibuat
terperanyat hanya karena seekor tikus saja, sungguh lucu sekali “
Ti Then segera mengerutkan alisnya rapat-rapat.
“Tetapi tidak mungkin dia bisa terperanyat sampai seperti itu?“
Berbicara sampai di sini dia segera angkat kepalanya berteriak.
“Liuw Khiet, kau tidak mengapa bukan?”
Liuw Khiet tidak menyawab, lewat beberapa saat kemudian dia
baru menyawab.
“Tidak mengapa, tidak mengapa”
“Kami mau mengejar musuh lagi, kau lihat lebih baik kami
melalui jalan mana sehingga terasanya aman?”
Liuw Khiet tidak langsung menyawab lewat beberapa saat
kemudian baru sahutnya.
“Hamba sudah menutup semua alat rahasia yang ada di dalam
jalan rahasia ini, kalian bertiga boleh berjalan terus ke depan, tidak
selang lama segera akan menemukan kembali jalan keluar”
“Baiklah, sekarang kita baru berada di perjalanan melewati alat
rahasia In Sia Wang, di sebelah sana lagi merupakan alat rahasia
apa?"
“Alat rahasia selanjutnya bernama „Thian Ciang Kan Liem'
“Permainan macam apa itu?' tanya Ti Then tertawa.
“Sewaktu alat rahasia ini digerakkan dari atas atap dinding akan
memancar keluar air lima racun atau Ngo Tok Swe, barang siapa
yang terkena air beracun ini seketika itu juga akan menemui
ajalnya”
“Tempat itu ada seberapa jauh letaknya dari tempat kita
sekarang berada?”
“Kurang lebih dua puluh langkah, tetapi hamba sudah menutup
alat rahasia tersebut kalian bertiga boleh lewat dengan berlega
hati,”
"Baiklah sekarang kami juga akan pergi ke sana”
Selesai berkata dengan menggape kearah Wi Lian In serta Suma
San Ho dengan dia berjalan dipaling depan mereka melanjutkan
perjalanannya kembali.
Berjalan kurang lebih lima belas langkah mendadak dia
menghentikan langkahnya tidak bergerak lagi kepada Suma San Ho
yang ada di belakangnya dia berkata dengan suara yang amat lirih:
"Suma San Ho tolong pinyamkan pedangmu itu kepada siauw
te?"
Suma San Ho segera mencabut pedangnya dan diserahkan
kepadanya,
“Ti Kiauw tauw kau mau berbuat apa?” tanyanya keheranan.
Ti Then tidak menyawab, setelah menerima pedang tersebut dia
segera angkat pedang itu dan dilemparkan kearah jalan rahasia
yang ada di depannya,
“Braaak “dengan menimbulkan suara yang nyaring pedang itu
segera menggetarkan di atas tanah sehingga menimbulkan suara
yang ribut.
Seketika itu juga Suma San Ho mengerti maksud dari Ti Then,
dia segera tertawa ringan.
“Apakah Ti Kiauw tauw tidak ....percaya dengan Liuw Khiet lagi ?
“ tanyanya.
“Segala sesuatu lebih baik berhati-hati, bukan begitu?” bisik Ti
Then sambil tertawa.
“Sekarang boleh lewat bukan ? “
“Tidak,” cepat Ti Then sambil gelengkan kepalanya. “Kita coba
satu kali lagi, coba kau lemparkan sarung pedang itu ke depan.”
Suma San Ho segera mencabut keluar sarung pedangnya dengan
mengerahkan tenaga dalamnya dia menyambitkan sarung pedang
itu ke depan. Sarung pedang itu jatuh ke atas tanah dengan
menimbulkan suara yang nyaring tetapi alhasil sama saja seperti
keadaan semula dari dalam jalan rahasia itu sama sekali tidak
memperlihatkan gerak-gerik apa pun.
“Sekarang kita boleh maju ke depan” ujar Ti Then kemudian
sambil tertawa.
Mereka bertiga setelah berjalan kembali tiga puluh langkah
jauhnya dan dirasakannya sudah berlalu dari alat rahasia “Thian
Ciang Kan Liem“ terdengar Wi Lian In sudah bertanya :
“Entah selanjutnya merupakan permainan macam apa?”
“Coba aku Tanya” Ujar Ti Then sambil menghentikan langkah
kakinya.
“Hey Liuw Khiet.” teriaknya dengan keras.
“Ti Siauw hiap kau ada perintah apa lagi?” terdengar suara dari
Liuw Khiet berkumandang keluar dari atas ruangan.
“Kita sudah melalui alat rahasia Thian Ciang Kan Liem ,coba
katakanlah alat rahasia apa lagi yang ada di depan?”
“A!at rahasia itu dinamakan Ong Cong Coat Pit atau menangkap
kura-kura di dalam kendi.”
“Apa itu yang dimaksud dengan menangkap kura-kura di dalam
kendi ?“
“Sewaktu alat rahasia itu bergerak maka ada dua buah terali besi
yang akan meluncur turun ke bawah sehingga orang yang ada di
dalamnya kena kurungan”
“Hmmm aku tahu alat rahasia ini sama sekali tidak kelihatan
keistimewaannya,”
“Benar” sahut Ti Then membenarkan. “Sewaktu si anying langit
rase Bumi bermaksud hendak menangkap musuhnya dalam keadaan
hidup maka dia akan menggunakan alat rahasia ini.”
“Alat rahasia itu terletak dimana?”
“Berada kurang lebih sepuluh langkah dari tempat kalian
sekarang berada, hamba sudah menutup seluruh alat rahasia itu
kalian boleh maju terus dengan berlega hati”
“Baiklah, aku akan segera melewati tempat itu.”
Dia orang segera mengangkat
disambitkan kembali ke arah depan.
pedang
panjangnya
dan
“Traaang” sekali lagi pedang itu dengan mengeluarkan suara
yang amat nyaring terjatuh di atas tanah kurang lebih sepuluh
langkah di atas permukaan jalan rahasia itu.
“Braak . .. Braaak “ tidak lama suara pedang yang jatuh ke atas
tanah itu bergema diikuti dua buah suara yang amat keras
menggeletar memenuhi seluruh ruangan, dua buah terali besi yang
amat besar sudah terjatuh ke atas tanah satu terjatuh pada sepuluh
langkah di depan mereka sedang yang lain jatuh pada dua puluh
langkah dari mereka berdiri.
Wi Lian In yang nampak hal ini menjadi teramat gusar baru saja
dia mau membuka mulut untuk memaki Ti Then terburu-buru sudah
menutupi mulutnya.
“Jangan marah dulu. sebentar lagi kita baru memaki,” ujarnya
suara yang lirih.
Sehabis berkata tubuhnya dengan cepat meloncat ke depan terali
besi itu dan menggoyangkannya dengan amat keras, sembari
mendorong sembari teriaknya.
“Hey Liuw Khiet, kau orang sudah berbuat apa?”
“Haaa . . . ha . , haa . .”
Suara tertawa yang amat keras dan nyaring sekali bergema
datang dari ruangan di atas jalan rahasia itu.
Wi Lian In yang ikut meloncat ke tepian terali besi itu setelah
mendengar suara tertawa tersebut air mukanya segera berubah
sangat hebat, serunya dengan kaget.
“Aaah . . . dia“
“Tidak salah” sahut lelaki berkerudung itu sambil tertawa amat
keras “Memang Lohu adanya, haa . .haa . . Liuw Khiet sudah
menjual kalian kepadaku“
“Cepat” teriak Ti Then dengan suara amat keras: “Kita bersama-
sama coba mengangkat terali besi Ini“
Pada mulutnya berteriak-teriak dengan amat ribut padahal
badannya tetap berdiri tidak bergerak, agaknya dia berteriak-teriak
secara demikian bertujuan agar lelaki berkerudung yang ada di atas
ruangan itu mepgira kalau mereka bertiga sudah terkurung di dalam
terali besi itu.
Suma San Ho serta Wi Lian In segera mengetahui maksud hati
dari Ti Then mereka pun segera ikutan berteriak dengan suara
yang amat lantang.
“Mari, kita angkat terali besi ini,..”
Pada hal mereka sendiri pun tetap berdiri tidak bergerak.
Sekali lagi terdengar lelaki berkerudung itu tertawa terbahak
bahak.
“Lohu nasehatkan kepada kalian lebih baik duduk saja dengan
tenang-tenang di sana, kedua buah pintu terali itu sudah tertutup
mati, kecuali kalian mem punyai kekuatan selaksa kati hee . . . heee
. kalau tidakjangan harap kalian berhasil mengangkat terali besi ini“
“Hey keledai tua, “ maki Wi Lian In dengan gusar.”Jika kau
punya nyali ayoh turun bergebrak satu lawan satu dengan kami”
“Sudah tentu Lohu akan turun” ujar lelaki berkerudung itu sambil
tertawa.
“Ayoh kalau mau turun cepat menggelinding ke sini.“
Lelaki berkerudung itu
jawabannya, hal ini jelas
sama sekali tidak memberikan
memperlihatkan kalau dia orang
meninggalkan kamar alat rahasia itu untuk berangkat menuju ke
kamar alat rahasia menangkap kura-kura di dalam kendi ini.
“Hey keledai tua, kau dengar suaraku tidak?” teriak Wi Lian In
kembali.
“Nona Wi, dia orang sudah turun ke sana" terdengar suara Liuw
Khiet bergema mendatang.
“Kau , . Liuw Khiet “ seru Wi Lian ln tertegun. “Kau sudah
"menjual kami kepadanya“
“Tidak, hamba tidak akan berani menjual kalian kepadanya “
jawab Liuw Khiet ketakutan. “Peristiwa ini terjadi di luar dugaan
hamba, tadi secara mendadak dia menerjang masuk ke dalam
kamar alat rahasia ini lalu menangkap hamba dan hamba memaksa
untuk mendengarkaa perintahnya, kalau tidak . , “
“Cepat bilang, dia akan muncul sebelah mana? “ potong Ti Then
dengan cepat.
“Dia berjalan masuk dari jalan rahasia di depan kalian, kurang
lebih sekarang sudah ada ditengah jalan “
Dia berhenti sebentar untuk tukar napas lalu tambahnya.
"Sungguh maaf sekail saat ini jalan darah hamba sudah tertotok
aku orang tidak bisa menggerakan alat rahasia itu untuk menolong
kalian keluar dari jebakan tersebut”
“Terus terang saja aku beritahukan kepadamu” ujar Ti Then
dengan cepat, “Kami sama sekali tidak terkurung di dalam
kerangkeng besi itu.”
Mendengar perkataan itu Liuw Khiet menjadi teramat girang.
“Sungguh? tanyanya kaget. “Kalian berada dimana?”
“Kami ada di dekat alat rahasia Thian Ciang Kan Liem ini.”
“Bagus sekali” seru Liuw Khiet dengan cemas. “Kalian cepat
mundur kembali keluar pintu ruangan siksa lalu memutar dengan
mengambil jalan rahasia yang berbelok kesebeiab kanan dan
berjalan sampai di ujung, pada dinding ujung jalan itu bakal ada
sebuah batu yang bisa terlepas kalian cepat mendorong batu itu ke
dalam maka segera kalian akan menemukan dua buah tombol alat
rahasiayang berwarna putih serta hitam, kalian tekanlah tombol
hitam terlebih dulu maka akan ada sebuah papan meluncur turun ke
bawah kalian cepat-cepat berdiri di atas papan tersebut lalu tombol
berwarna putih, maka papan itu dengan ce pat akan membawa
kalian keluar dari ruangan Khie le Tong - . . cepat,”
Ti Then dengan cepat mengingat kata-kata tersebut lalu
menggape ke arah Suma San Ho serta Wi Lian In untuk berlari
dengan cepat-cepatnya melalui jalan rahasia semula.
Di dalam sekejap saja mereka bertiga sudah tiba di depan pintu
ruangan siksa itu lalu berputar ke kanan dan berlari lagi beberapa
kaki hingga mencapai pada ujung jalan.
Dengan diterangi Iampu lentera yang dibawa oleh Wi Lian In Ti
Then segera memeriksa di sekitar tempat itu,
Ternyata sedikit pun tidak salah mereka segera menemukan
sebuah batu yang sudah kendor, dengan cepat batu itu didorong.
“Kraaak . “ dengan secara otomatis batu itu menyusup ke dalam
dinding sehingga muncullah dua buah tombol yang berwarna putih
serta hitam.
Dia agak ragu-ragu sebentar lalu ujarnya:
“Tadi Liuw Khiet mengatakan suruh menekan tombol yang hitam
dulu bukan ?”
“Tidak salah, menekan yang hitami dulu”
Ti Then segera menekan tombol itu, terdengar sedikit suara yang
amat perlahan sebuah papan seluas tiga depa dengan perlahan-
lahan meluncur turun ke bawah.
Serentetan sinar terang menyorot masuk ke dalam ruangan
bawah tanah, sudah tentu sinar itu berasal dari ruangan Khie le
Tong dekat dengan istana Thian Teh Kong itu.
Ketika papan yang sedang meluncur turun ke atas permukaan
tanah itu mencapai kurang lebih dua kaki dari pintu keluar Ti Then
segera menggape ke arah Suma San Ho serta Wi Lian In, ujarnya.
“Mari kita meloncat keluar “
Wi Lian In menyahut, tubuhnya dengan cepat melayang ke atas
lalu meloncat keluar dari pintu ruangan itu dan hinggap di tengah
sebuah ruangan yang amat besar dari ruangan Khie Ie Tong.
Suma San Ho pun dengan cepat ikut meloncat keluar. Ti Then
segera menekan tombol putih itu untuk menggerakkan papan itu
naik kembali ke atas sedang dirinya pun ikut meloncat keluar.
Kecepatan meluncur dari papan itu jauh lebih cepat naik ke atas
dari pada turun ke bawah, tidak selang lama Ti Then berhasil keluar
dari mulut ruangan tersebut papan itu sudah menutupi permukaan
tanah, dan tertutup mati.
Waktu itu adalah tengah malam dari hari ketiga, mereka bertiga
dengan hati penuh kegirangan memperhatikan keadaan di sekeliling
tempat itu lalu memperlihatkan senyuman yang amat gembira.
“Mungkin saat ini keledai tua itu sudah menemukan kalau kita
orang sudah tidak berada di dalam terali besi itu” ujar Wi Lian In
sambil tertawa,
“Aduh . . . celaka.” Mendadak teriak Ti Then dengan kaget, “Aku
sudah lupa menanyakan kepada Liuw Khiet dimana letaknya kamar
alat rahasia itu jikalau bajingan tua itu menemukan kalau kita
berada di dalam jebakan tersebut sudah tentu dia bisa benci
terhadap Liuw Khiet dan membinasakan dirinya.”
“Tidak salah,” sahut Suma San Ho dengan serius. “Hati orang
tidak jelek, kita harus berusaha untuk menolong dirinya.”
“Tetapi di dalam istana Thian Teh Kong ini terdapat begitu
banyak kamar-kamar, untuk sesaat lamanya aku kira sukar bagi kita
untuk menemukan kamar alat rahasia itu, lebih baik aku turun lagi”
Baru saja berbicara sampai di sini mendadak dia melihat ke
depan pintu ruangan Khie le Tong itu tampak sesosok bajangan
manusia berkelebat dengan amat cepatnya dengan segera
tangannya menyambar sebuah pot bunga dan disambitkan ke
arahnya dengan amat keras.
Suma San Ho serta Wi Lian In melihat adanya musuh yang
muncul di sana segera lintangkan telapak tangannya di depan dada
siap menghadapi sesuatu.
Tetapi, pada saat Ti Then menyambitkan pot bunga itulah dia
bisa melihat dengan jelas wayah dari orang tersebut, tak terasa lagi
dia sudah menjerit kaget.
Kiranya orang yang baru saja datang itu bukannya lelaki
berkerudung melainkan itu Pek Kiam Pocu dari benteng seratus
pedang, Wi Ci To adanya.
Ti Then takut pot kembang yang disambit olehnya mengenai
tubuhnya, segera dengan hati cemas serunya
“Cepat menghindarkan.”
Dengan sama sekali tidak gugup Wi Ci To memukul jatuh pot
bunga itu lalu berjalan memasuki ruangan Khie Ie Tong.
“Kalian pun sudah datang semua ?”tanyanya.
Tetapi di dalam satu kali pandangan itulah dia bisa melihat baik
Ti Then mau pun Suma San Ho pada setengah telanyang bahkan
melihat pula pada tubuh Ti Then sudah dipenuhi bekas cambukan
yang penuh dinodai oleh darah yang sudah membeku, air mukanya
segera terlintas suatu rasa yang amat kaget sekali.
“Eeeeh ..kalian kenapa?” tanyanya terperanyat.
Wi Lian In yang melihat ayahnya sudah datang dengan cepat
berlari menyambut, teriaknya sambil tertawa.
“Tia, kau pun sudah datang”
Dengan cepat Wi Ci To menarik tangan putrinya
memperhatikan seluruh tubuhnya dengan amat teliti.
dan
“Lian In” ujarnya dengan terkejut, “Agaknya kau pernah dipukuli
dengan menggunakan cambuk?“
“Ehmmm . . . tadi aku dipukuli oleh Bun Jin Cu, kami secara tidak
sengaja sudah kena alat rahasianya dan di tawan di ruangan
siksanya”
“Mana Bun Jin Cu itu bangsat perempuan?” Serunya dengan
wajah amat gusar sekali, sedangkan matanya menyapu sekejap ke
sekeliling tempat itu.
“Dia sudah mati “
“Aaaah?” dengan perlahan sinar matanya dialihkan kearah Ti
Then lalu tanyanya:
“Apakah dia orang dibunuh oleh Ti-Kiauw tauw?”
“Bukan” sahut Ti Then sambiI memberi hormat. “Urusan ini sulit
untuk diceritakan secepatnya, biarlah setelah urusan ini beres
semua boanpwe baru laporkan urusan ini dengan lebih teliti lagi,
sekarang boanpwe harus menolong nyawa seseorang yang berada
di dalam keadaan yang sangat berbahaya . “
“Nyawa siapa orang yang sedang berada dalam keadaan bahaya?
“ tanya Wi Ci To dengan pandangan tajam.
“Seorang anak buah dari istana Thian Teh Kong yang bernama
Liuw Khiet, dia sudah menolong boanpwe bertiga meloloskan diri
dari cengkeraman seorang lelaki berkerudung yang tidak jelas asal
usulnya, sedangkan dia orang sekarang sudah tertotok jalan
darahnya oleh orang itu dan rubuh di dalam kamar alat rahasia.”
“Kemungkinan sekali lelaki berkerudung itu hendak pergi
membinasakan dirinya karena dia sudah menolong kita, cuma saja
boanpwe tidak tahu kamar alat rahasia itu terletak di bagian mana
dari istana ini, Pocu agaknya jauh lebih memahami hal-hal tentang
alat rahasia, dapatkah kau orang tua membawa kami menuju ke
kamar alat rahasia itu?”
Walau pun Wi Ci To cuma mendengar sedikit penjelasan saja
tetapi melihat sikap Ti Then yang amat serius segera mengetahui
kalau urusan ini tidak bisa ditunda lagi, dengan cepat dia putar
badannya menuju keluar.
“Kalian cepat ikut Lohu.”
Dengan memimpin diri Ti Then, Suma San Ho serta Wi Lian In
dia berjalan keluar dari ruangan Khi Ie Tong itu dan memasuki
sebuah ruangan dalam yang amat lebar dan indah sekali.
“Kamar alat rahasia itu berada di bawah ruangan ini” ujarnya
kemudian sambil menghentikan langkahnya.
“Tia, bagaimana kau orang bisa tahu?” tanya Wi Lian in dengan
amat girang.
“Kemarin sewaktu aku orang berjalan kemari di tengah jalan
sudah bertemu dengan seorang jagoan berkepandaian tinggi dari
istana Thian The Kong, dia beritahu kepada Lohu kalau istana Thian
Teh Kong sudah mengalami penghinaan bahkan memberitahukan
kepadaku juga kalau Bun Jin Cu sudah berada di dalam istana
bersiap-siap menggunakan alat rahasia untuk menghadapi diriku, di
samping itu dia pun menjelaskan letak keadaan dari berbagai alat
rahasia yang dipasang di dalam istana Thian Teh Kong ini dan
menjelaskan pula letak dari kamar alat rahasianya”
“Bagaimana orang itu mau membocorkan banyak urusan kepada
Tia?” tanya Wi Lian In keheranan,
Wi Ci To segera tertawa dingin.
“Semula aku orang juga merasa bingung dengan kejadian ini,
akhirnya setelah aku orang pikir masak-masak baru aku ketahui
kemungkinan sekali dia orang sudah merampok barang-barang
berharga dari istana Thian Teh Kong dalam jumlah yang amat
banyak, dikarenakan takut Bun Jin Cu datang mencari balas
kepadanya sengaja dia hendak menggunakan tangan Lohu untuk
membinasakan dirinya”
“Bagaimana kalau sekarang Wi Pocu terangkan dahulu jalan
masuk ke dalam kamar alat rahasia itu?” sela Ti Then dengan hati
cemas.
“Di dalam sebuah kamar kosong di dalam ruangan ini, kalian
masuklah untuk melihat-lihat” ujar Wi Ci To sambil menuding kearah
belakang ruangan itu.
Sambil berkata dia berjalan memasuki pintu ditengah ruangan
tersebut.
Ternyata sedikit pun tidak salah, di belakang ruangan itu
terdapat sebuah kamar kosong yang amat besar sekali, saat ini
pintu itu tertutup rapat.
Wi Ci To segera mendorongnya dan berjalan masuk menuju
kesebuah dinding di samping ruangan.
Dengan amat teliti sekali dia orang memperhatikan goretan-
goretan yang ada di sana lalu dengan mengarah satu tujuan telapak
tangannya melancarkan satu pukulan ke depan,
Batu pada dinding itu dengan cepat terpukul masuk sedalam tiga
cun tetapi sebentar kemudian sudah mental kembali seperti sedia
mula.
Dan pada saat itulah mendadak dinding tembok itu merekah
menjadi dua bagian yang setengah bagian bergeser ke sebelah kiri
dan yang lainnya bergeser ke sebelah kanan dan muncullah sebuah
ruangan rahasia.
Ditengah ruangan rahasia itu terdapat rentetan anak tanggayang
terus memantang ke dalam, suasananya amat gelap sekall sehingga
sulit untuk melihat lebih teliti seberapa dalam ruangan bawah tanah
itu.
“San Ho,” terdengar Wi Ci To berseru “Ditengah ruangan tadi ada
sebuah lampu lentera coba kau ambil dan bawa kemari”
Suma San Ho segera menyahut dan mengundurkan diri tidak
lama kemudian dengan membawa sebuah lentera dia berjalan
kembali ke dalam kamar itu.
Wi Ci To segera menerima lampu itu dan berjalan masuk kedakm
ruang rahasia tersebut, tanyanya.
“Kalian tadi bilang lelaki berkerudung itu masih ada di dalam
kamnr rahasia ?”
“Semula ada di jalan rahasia tetapi saat ini kemungkinan sekali
sudah kembali ke dalam kamar rahasia itu” sahut Ti Then sembari
berjalan mengikuti dari belakangnya.
Suma San Ho serta Wi Lian In pun dengan cepat mengikuti dari
belakang Ti Then setindak demi setindak berjalan menuruni anak
tangga tersebut.
”Apakah dia bukan orang dari istana Thian Teh Kong?” tanya Wi
Ci To lagi.
“Bukan, dia merupakan orang dari aliran lain.”
“Bagaimana dengan kepandaian silatnya?”
“Tidak jeiek, pendekar pedang merah dari benteng kita tak
seorang pun yang bisa melawan dirinya.”
“Kenapa dia dataog kemari mencari gara-gara dengan kalian?”
“Omong yang gampang saja, dia pingin penawan diri Lian In
serta hamba untuk dijadikan barang tanggungan untuk memaksa
Pocu . . . “
Saat itu Wi Ci To sudah mulai menuruni tangga yang bawah
ketika mendengar perkataan tersebut seketika itu juga dia
menghentikan langkahnya.
“Dia mau memaksa Lohu?“ tanyanya dengan sinar mata yang
berkelebat tajam.
“Dia orang tidak memberikan penjelasan yang seterang-
terangnya” sahut Ti Then tertawa, tetapi bilamana kita nanti
berhassil menawan dirinya sudah tentu akan menjadi jelas apa yang
sebenarnya dicari”
Wi Ci To termenung berpikir sebentar lalu tidak berbicara lagi,
dengan langkah lebar dia berjalan memasuki ruangan bawah tanah
tersebut.
Setelah menuruni tengah-tengah sampailah mereka disebuah
jalan rahasiayang amat lebar, tua muda empat orang segera
melanjutkan perjalanannya kembali dan tiba di depan sebuah pintu
besi.
Pintu besi itu cuma dirapatkan saja.
“Inilah yang dinamakan sebagai kamar alat rahasia” ujar Wi Ci To
kemudian sambil menuding ke arah pintu besi itu.
Selesai berkata dengan tendangan
serangan kearah pintu besi itu.
kilat
dia
melancarkan
Tangan kirinya dia membawa lampu sedang tangan kanannya
disilangkan di depan dada lalu dengan sangat berhati-hati sekali
berjalan masuk ke dalam,
Dangan mengikuti geseran lampu terlihatlah sebuah kamar alat
rahasia yang dipenuhi roda-roda bergerigi serta rantai yang malang
melintang tidak karuan muncul di hadapan mereka berempat.
Dikarenakan banyaknya alat yang ada di dalam kamar itu untuk
beberapa saat lamanya mereka tidak bisa melihat apakah di dalam
kamar itu ada orang atau tidak, Wi Ci To segera berkata kepada diri
Ti Then bertiga:
“Kalian bertiga berjaga-jagalah di pintu keluar ini biar lohu
seorang diri mencari-cari ke dalam”
“Tia, kau harus sedikit hati-hati” ujar Wi Lian ln kemudian
memberi peringatan.
Wi Ci To segera menyahut dan dengan langkah yang sangat hati-
hati dia berjalan memasuki ruangan itu,
Lampu lenteranya diangkat tinggi-tinggi sehingga bisa menerangi
ruangan jauh lebih luas lagi, dengan berjalan melewati berbagai
macam alat rahasia dia melakukan pemeriksaan terus akhirnya
sampailah di sebuah roda bergigi yang amat besar dan berhenti
bergerak.
“Iih . . di sini berbaring seseorang"
“Hamba . . hamba Liuw Khiet, kau ..” terdengar suara dari
seseorang bergema datang.
Ketika Ti Then mendengar suara itu segera berseru. “Pocu, dialah
Liuw Khiet, dia orang tidak terluka bukan?“
“Tidak, cuma jalan darahnya ter totok”
Liuw Khiet yang mendengar suara dari Ti Then segera berteriak.
“Ti Siauw-hiap cepat kemari tolong”
Sinar mata dari Wi Ci To menyapu sekejap ke sekeliling tempat
itu lalu baru bungkukkan badannya membebaskan jalan darah dari
Liuw Khiet.
“Dimana telaki berkerudung itu?” tanyanya.
“Sudah lari.”
“Lari kearah mana ?“ tanya Wi Ci To lagi sambil mengerutkan
alisnya rapat-rapat.
Dengan berusaha keras akhirnya Liuw Khiet berhasil berdiri juga,
ujarnya kemudian sambil menuding kearah sebuah pintu di tengah
ruang alat rahasia tersebut.
“Agaknya setelah dia orang tahu kau datang kemari segera
berlari masuk ke dalam kamar alat rahasia ini dan membuka alat
rahasia”Menangkap kura-kura di dalam kendi, setelah itu dengan
terburu-buru melarikar diri ke arah jalan keluar yang ada di dekat
ruangan Khie Ie Tong”
Ti Then,yang mendengar perkataan tersebut dengan cepatnya
dia berlari menu ju keluar ruangan depan dan berlari ke arah
ruangan Khie Ie Tong.
Jarak antara ruangan Khie Ie Tong sampai ruangan dalam itu ada
dua puluh kaki jauhnya karena itu hanya di dalam beberapa kali
loncatan saja dia sudah berada di dalam ruangan Khie Ie Tong,
dengan cepat dia berlari ke samping meja panjang itu.
Terlihatlah papan bergerak sudah menurun ke bawah, jika dilihat
dari keadaannya kemungkinan sekali lelaki berkerudung itu sudah
melarikan diri keluar dari ruangan Khie Ie Tong ini kemungkinan
juga dia baru akan meloncat keluar dari jalan rahasia itu.
Ti Then dengan cepat melongok ke dalam tetapi tidak terlihat
adanya bajangan dari lelaki berkerudung itu hatinya diam-diam
berpikir.
“Aku kira dia sudah melarikan diri dari sini, biar aku periksa sekali
lagi”
Begitu pikiran itu berkelebat di dalam benaknya dengan cepat dia
orang meloncat masuk ke dalam.
Dia percaya kepandaian silatnya masih bisa menangkan pihak
lawannya karena itu hatinya sama sekali tidak merasa takut, setelah
meloncat masuk ke jalan bawah tanah dengan langkah lebar dia
berjalan maju ke depan.
Setelah berjalan puluhan langkah banyaknya sampailah dia di
depan sebuah jalan rahasia yang bercabang, belok sebelah kanan
adalah ruangan siksa sedang belok sebelah kiri adalah jalan rahasia
yang dipenuhi dengan alat-alat rahasia.
Dia menengok ke arah kedua belah samping tetapi tidak tampak
bajangan dari lelaki berkerudung itu juga, segera tubuhnya dengan
cepat berkelebat menuju ke kamar siksa untuk memeriksanya
terlebih dahulu.
Langkah kakinya amat ringan sekali, dengan perlahan-lahan dia
berjalan mendekati pintu ruangan siksa itu lalu dengan cepatnya
menerjang masuk ke dalam ruangan sedangkan sinar matanya
menyapu ke sekeliling tempat itu.
Tetapi dengan amat cepatnya dia sudah menemukan kalau
ruangan siksa itu kosong melompong tak tampak sesosok manusia
pun, tubuhnya dengan cepat mendekati dinding menyambut keluar
sebilah golok dan menerjang keluar kembali menuju ke jalan rahasia
yang terpasang alat-alat rahasia itu.
Setelah melewati alat rahasia Siang Sek Sia Peng, Thay san Ya
Ting, In Siang Wang serta ‘menangkap kura-kura di dalam kendi’
empat buah alat rahasia terlihatlah kedua buah terali besi yang
tadinya menutupi jalan rahasia kini sudah diangkat kembali, segera
teriaknya dengan keras:
“Hey Liuw Khiet, Liuw Khiet, kalian masih ada di dalam kamar
alat rahasia ?”
“Masih,” sahut Liuw Khiet dari atas ruangan. “Apakah Ti siauw
hiap sudah menemukan sesuatu ?”
“Tidak, sekarang aku berdiri di dekat alat rahasia ‘Menangkap
kura-kura di dalam kendi’ itu mau mencoba periksa ke tempat a!at-
alat rahasia yang lain apakah semua alat sudah ditutup?”
“Biarlah aku periksa sebentar. .”
Sebentar kemudian dia baru menyawab:
“Sudah ditutup semua, Ti siauw hiap silahkan lewat dengan hati
lega.”
Dengan langkah yang cepat Ti Then segera berlari ke depan,
terlihatlah jalan rahasia itu ada yang lebar ada yang sempit bahkan
diantaranya terdapat pula beberapa ruangan yang mewah dan
sebuah gua yang amat besar, setelah lewat gua itu dia melewati
beberapa jalan tikungan yang membingungkan dan akhirnya
sampailah di depan sebuah pintu dan muncul kembali di dalam
kamar alat rahasia itu.
Wi Ci To masih memeriksa seluruh ruangan kamar alat rahasia itu
dengan amat teliti ketika dilihatnya Ti Then muncul kembali ke
dalam kamar itu dia agaknya dibuat tertegun.
“Bagaimana?” tanyaya.
“Pocu tidak usah mencari kembali, dia sudah melarikan diri dari
sini”
“Dia melarkan diri dengan mengambil jalan melalui pintu ruangan
Khie Ie Tong itu?” timbrung Liuw Khiet dengan cepat.
“Benar,” sahut Ti Then mengangguk, “Sewaktu aku sampai di
depan ruangan Khie IeTong di pintu keluar sudah terbuka, aku kira
dia teatunya sudah melarikan diri dari sini”
Wi Lian In yang sedang berjaga di pintu depan segera
mendepakkan kakinya ke atas tanah saking gemasnya.
“Aku kira dia belum lari jauh, mari cepat kita kejar“
Sehabis berkata dia mau putar badan untuk mengejar.
“Lian In kembali, jangan kejar lagi!” bentak Wi Ci To dengan
cepat.
Mendengar suara bentakan dari ayahnya Wi Lian In segera
menghentikan langkahnya:
“Kenapa tidak dikejar?” tanyanya sambil putar badan, “Keledai
tua itu jauh Iebih jahat dari Bun Jin Cu, seharusnya kita pergi
menawan dia orang untuk tanyai lebih jelas lagi“
“Sewaktu Ti Kiauw-tauw mengejar ke ruangan Khie Ie Tong dia
sudah melarikan diri” sahut Wi Ci To menerangkan, “Saat ini
kemungkinan sekali dia sudah berada jauh beberapa li dari sini,
apalagii kita pun tidak tahu dia melarikan diri dengan mengambil
arah yag mana, lebih baik tidak usah dikejar lagi”
“Hmmm, berka!i-kali dia membokong Ti Kiauw tauw serta
putrimu, bagaimana kita bisa melepaskan dirinya begitu saja ? “Seru
Wi Lian In dengan gemas.
-ooo0dw0ooo-
Jilid 24 : Lelaki berkerudung lolos.
“Jangan cemas” ujar Wi Ci To dengan perlahan. "Lebih baik kita
keluar dari tempat ini terlebih dahulu lalu kalian ceritakan kejadian
yang sudah kalian alami kepadaku, kemungkinan sekali aku bisa
menebak siapakah orang itu”
Demikianlah mereka berlima segera berjalan keluar dari kamar
alat rahasia itu dan menuju keruangan luar, setelah mengadakan
pemeriksaan kembali dengan teliti dan memastikan kalau lelaki
berkerudung itu benar-benar sudah merat dari istana Thian Teh
Kong mereka baru berkumpul dan duduk-duduk di dalam ruangan
Khie Ie Tong.
“Eeei di mana baju Ti Kiauw tauw serta San Ho ?” tanya Wi Ci To
kemudian.
“Masih ada di dalam ruangan siksa” sahut Ti Then cepat.
“San Ho” seru Wi Ci To memberi perintah. “Coba kau turun ke
bawah dan ambil pakaian kalian kemari lalu kita harus cepat-cepat
atur langkah kita selanjutnya.
Suma San Ho segera menyahut dan meninggalkan tempat itu
untuk balik kembali ke daIam jalan rahasia.
“Tia “ ujar Wi Lian In kemudian. “Janyi pertempuran kita adalah
besok pagi, bagaimana tia ini hari sudah sampai ?”
“Aku dengar orang bilang katanya di dalam istana Thian Teh
Kong sudah terjadi pemberontakan karena itu sengaja aku lebih
pagi datang kemari, , . - eeehm tadi kalian bilang Bun Jin Cu sudah
mati, sebenarnya dia mati ditangan siapa?”
“Dia sudah bunuh diri,” sahut Ti Then.
“Kenapa dia harus bunuh diri ?” tanya Wi Ci To keheranan.
“Saking kehekinya karena pengkhianatan dari si menteri pintu
yang mengingini harta kekayaannya, ternyata dia orang telah
mengambil kesempatan sewaktu dia orang tidak siap sudah
menotok jalan darah dirinya dan paksa dia untuk mengakui tempat
penyimpanan harta kekayaannya, setelah dia orang memberitahu
tempat penyimpanan harta kekayaan itu si menteri pintu segera
menawan dia untuk mengikuti dirinya masuk ke dalam, akhirnya
sudah kena senggol alat rahasia sehingga mereka berdua sama-
sama terbinasa di tengah hujan anak panah ...”
oooOOooo
Baru saja dia membicarakan sampai di situ tampaklah Suma San
Ho dengan membawa pakaiannya sudah meloncat keluar dari dalam
ruangan rahasia.
Ti Then segera menerima pakaiannya dan mengenakannya lalu
sekali lagi menceritakan kisahnya sejak meninggalkan benteng Pek
Kiam Po. sewaktu dia menceritakan sudah bertemu dengan Hong
Mong Ling di atas gunung Kim Teng san di mana dia orang sudah
terbinasa kena sambitan batu, air muka Wi Ci To berubah sangat
hebat, timbrungnya:
“Siapa yang sudah turun tangan terhadap dirinya?
“Boanpwe tidak melihatnya, tetapi. .”
“Apa mungkin sikakek pemalas Kay Kong Beng yang turun
tangan?” potong Wi Ci To kembali.
“Tidak mungkin!” sambung Wi Lian In dengan cepat. “Sewaktu Ti
Kiauw tauw mengejar turun gunung putrimu menyusul ke bawah
bersama-sama dengan si kakek pemalas Kay Kong Beng, sebelum
dia dan diriku menemukan mayatnya Hong Mong LIng dia orang
belum pernah meninggalkan diriku barang selangkah pun”
“ Kalau begitu menurut kalian siapa yang sudah menyambit mati
diri Hong Mong Ling?” tanya Wi Ci To.
“Menurut boanpwe pastilah lelaki berkerudung yang baru saja
melarikan diri dari istana Thian Teh Kong itu"
“Apa alasanmu?” seru Wi Ci To sambil memandang tajam
wajahnya.
“Menurut pengakuan Hong Mong Ling dikarenakan Hu pocu
sudah menerima jual beli dengan orang lain maka dia sengaja
perintahkan Hong Mong Ling untuk mencuIik pergi nona Wi, waktu
Hong Mong Ling mau menyebutkan nama orang yang melakukan
jual beli itu ternyata dia sudah dihajar mati oleh sambitan batu itu,
dari hal ini saja sudah jelas menunjukkan kalau orang yang turun
tangan membinasakan dirinya adalah orang yang mengadakan juai
beli Hu pocu itu sebetulnya Ielaki berkerudung itu terus menerus
menyusun siasat untuk menawan nona Wi serta boanpwe juga
bertujuan untuk mengadakan jual beli dari soal inilah boanpwe
berani memastikan kalau orang yang melakukan pembunuhan
terhadap Hong Mong Ling pastilah lelaki berkerudung hitam itu”
Air muka Wi Ci To segera berubah menjadi amat keren.
“Apakah dia orang terus menerus berusaha menawan kalian
berdua?"
“Benar” sabut Ti Then mengangguk, “Setelah baanpwe serta
nona Wi meninggalkan gunung Kim Teng San selama dalam
perjalanan kami terus menerus, berpikir siapa lagi yang bisa
membayat uang tebusan sebesaf sepuluh laksa tahil perak di dalam
Bu lim pada saat ini?
Akhirnya kami teringat pada seseorang, dialah itu pembesar kota
atau Sian Thay ya Cuo It San,”
Begitu Wi Ci To mendengar disebutnya nama Sian Thay ya Cuo It
Sian air mukanya segera berubah sangat hebat, seketika itu juga dia
bungkam dalam seribu bahasa. Terdengar Ti Then melanjutkan
kembali pembicaraannya:
“Boanpwse sudah lama mendengar sifat yang lurus dan berbudi
dari itu Sian Thay ya Cuo It Sian dan menganggapnya tidak
mungkin orang semacam ini melakukan kejahatan, tetapi teringat
kembali persahabatannya yang amat rapat sekali dengan Hu Pocu
kecuali dia, orang lain sekali pun mem punyai uang tebusan yang
lebih banyak pun belum tentu Hu Pocu mau menerimanya, karena
itu kami segera mengambil keputusan untuk pergi ke kota Tiong Jin
Hu mencari Cuo It Sian guna membicarakan persoalan ini .
Segera dia pun menceritakan kisahnya ketika bertemu dengan
Cuo It Sian lalu dimana didaiam kuii Sam Cing Kong termakan obat
pemabok dan ditawan di bawah ruang sebuah rumah petani di
dusun Thay Hung Cung beserta bagaimana kemudian berhasil
meloloskan diri dari kurungan mereka.
Semakin mendengarkan kisah ini air muka Wi Ci To berubah
semakin hebat, dari matanya memancarkan sinar yang amat tajam
sekali, ujarnya dengan suara yang berat.
“Perkam pungan petani itu apakah merupakan lumbung padi dari
Cuo It Sian? “
“Tidak salah” sahut Ti Then sambil mengangguk.
“Salah satu di antara ketiga orang berkerudung itu sebelum
meninggalkan tempat itu apakah sungguh-sungguh mengaku anak
buah dari Cuo It Sian?” tanya Wi Ci To kembali.
“Benar, dia orang berkata begitu.”
Wi Ci To segera mengerutkan alisnya rapat-rapat.
“Jika cuma berdasarkan hal itu saja kita belum bisa memastikan
kalau orang berkerudung tadi adalah Cuo It Sian bahkan
menyawabnya dengan tenang saja kemungkinan sekali mereka
memang mem punyai rencana untuk mencelakai diri Cuo It Sian,
tetapi kemungkinan juga orang yang melakukan jual beli itu adalah
Cu It Sian sendiri, sedangkan orang itu sengaja mengaku terus
terang kemungkinan sekali bermaksud agar di dalam hati kita timbul
perasaan ke balikannya terhadap mereka dan menganggap Cuo it
Sian pastilah bukan pemimpin mereka.”
Wi Ci To termenung berpikir sebentar, akhirnya dia baru
menyawab.
“Jadi menurut pendapat Ti Kiauw tauw lelaki berkerudung tadi
pastilah Cuo It Sian?”
“Benar atau bukan boanpwe tidak berani memastikannya.”
Tiba-tiba dengan sedikit
dengan suara tegas.
pun tidak ragu-ragu ujar Wi Ci To
“Tetapi Lohu dapat memberitahukan kepada kalian, lelaki
berkerudung itu bukanlah Cuo It Sian. “
“Lalu siapakah dia ?”
“Lohu sendiri pun tidak tahu“ sahut Wi Ci To sambil gelengkan
kepalanya.
“Tia, dengan berdasarkan apa kau orang tua berani memastikan
kalau lelaki berkerudung itu bukanlah Cuo it Sian ?” timbrung Wi
Lian In.
“Alasannya ada dua, pertama: Cuo lt Sian adalah seorang
pendekar tua yang sifat mau pun tindak tanduknya amat jujur dan
berbudi. Lohu sangat memahami dirinya, orang semacam dia tidak
mungkin bisa melakukan pekerjaan seperti ini. Kedua, Jika Cuo It
Sian mau melaksanakan niatnya ini dia tidak akan berani
menggunakan lumbung padinya sendiri untuk berbuat sesuatu.“
“Betui.” Seru Ti Then. “Tetapi boanpwe masih ada satu persoalan
yang masih merasa tidak paham, yaitu gudang di bawah tanah yang
digunakan untuk mengurung kami ... “
“Orang yang mem punyai gudang di bawah tanah bukan cuma
satu dua oran g saja.” Cepat sela Wi Ci To sambil tersenyum.
“Tidak salah. Kebanyakan rumah, gudang di bawah tanah itu
dipergunakan untuk menyimpan barang-barang keperluan tetapi
gudang di bawah tanah yang digunakan untuk mengurung kami
sangat berlainan sekali dengan gudang-gudang yang lain, di dalam
gudang tersebut sudah tertanam tiang besar yang malang melintang
tidak keruan dan sangat berbeda dengan tiang besi lainnya, pada
dasarnya ada empat buah cabang besi yang satu sama lainnya
saling sambung menyambung, jelas sekali tempat itu khusus
digunakan untuk menawan jago-jago berkepandaian tinggi dari Bu
lim”
Terhadap pertanyaan ini agaknya Wi Ci To tidak dapat
memberikan jawabannya, dia cuma mengerutkan alisnya rapat-
rapat sambil gelengkan kepalanya berulang kali.
“Coba bayangkan” ujar Ti Then kembali, “Bilamana lelaki
berkerudung itu bukan Cuo It Sian bagaimana di dalam gudang
orang lain sudah disediakan peralatan seperti ini?”
“Tidak salah” sambung Wi Lian ln pula.”Orang lain tidak akan
tahu kalau di bawah gudang rumah petani itu sudah dipasang
perlengkapan seperti ini”
Wi Ci To jadi termenung lama sekali dia berpikir keras akhirnya
ujarnya kembali.
“Waktu itu aku orang merasa sangat gusar sekali, sehingga
sudah salah mengira kalau setelah menaruh simpatik kepada Mong
Ling dan sama sekali tidak menyelidiki lebih lanjut”
Soal ini sudah tentu membuat orang merasa kebingungan, tetapi
lohu percaya lelaki berkerudung itu pasti bukanlah Cuo It Sian.
“Tia berani memastikan kalau lelaki berkerudung itu bukan Cuo It
Sian. sudah tentu Tia telah tahu siapakah lelaki berkerudung itu
bukan?”
“Aku betul-betul tidak tahu.” sahut Wi Ci To sambil gelengkan
kepalanya.
“Lalu sebelum Hu Pocu bunuh diri apakah dia orang tidak
memberitahukan sesuatu kepada Tia?” tak tertahan lagi desak Wi
Lian In lebih lanjut.
“ Tidak,” sahut Wi Ci To sambil gelengkan kepalanya, “Dia cuma
bilang merasa malu terhadap Tia, sedangkan karena apa dia mau
bekerja sama dengan Hong Mong Ling untuk menculik dirimu dia
orang sama sekali tidak mau memberi tahu.”
“Jikalau memangnya begitu, tidak seharusnya Tia membiarkan
dia orang lalu bunuh diri”
Agaknya Wi Lian In merasa sangat tidak puas terhadap
penjelasan dari ayahnya, tiba-tiba sambil mencibirkan bibirnya
ujarnya kepada Liuw Khiet:
“Liuw Khiet, di dalam istana ini apakah masih ada makanan yang
bisa didahar?”
“ Hamba tidak begitu jelas, mungkin masih ada sedikit,” sahut
Liuw Khiet dengan sangat hormatnya.
“Kalau begitu kau pergilah cari sedikit, kalau ada bawalah kemari
perutku terasa agak lapar.
Liuw Khiet sgera menyahut dan berlalu dari sana.
Wi Lian In memandang hingga bayangan tubuh Liuw Khiet
lenyap dari ruangan Khie le Tong lalu baru menoleh kembal kearah
ayahnya.
“Tia,” ujarnya dengan perlahan. “Tujuan lelaki berkerudung itu
menculik Ti Kiauw tauw serta purtimu sebetulnya hendak memaksa
Tia untuk menyerahkan semacam barang ?”
Tidak menanti orang selesai berbicara Wi Ci To sudah gelengkan
kepalanya.
“Lohu tidak paham barang apa yang di minta oleh dia orang.”
“Dia bilang barang itu sama sekali tidak berharga. Tia, tentunya
tahu bukan barang apa yang sama sekali tidak berharga yang
disimpan di dalam loteng penyimpan kitab tetapi baginya
merupakan barang yang maha penting ?”
“Lohu banyak menyimpan kitab-kitab serta lukisan-lukisan yang
kelihatannya sama sekali tidak berharga padahal merupakan barang
yang amat penting sekali.”
“Tetapi dia bilang tidak mau kitab-kitab serta lukisan itu.”
Wi Ci To tertawa pahit.
“Kalau begitu lohu semakin tidak tahu barang apa yang
sebenarnya dimaui dirinya.”
Wi Lian ln sekali lagi mencibirkan dirinya, dengan nada yang
amat manya serunya
“Tia, kau sungguh-sungguh tidak tahu ataukah memang sengaja
tidak mau beritahu kepada kami ?”
Air muka Wi Ci To segera berubah amat keren.
“Loteng penyimpan kitab yang ada di dalam benteng Pek Kiam
Po bukankah kau orang sudah melihatnya sendiri?” serunya dengan
nada kurang senang, “Di dalam sana selain kitab serta lukisan apa
pun tidak ada lagi”
“Kalau begitu urusan ini sungguh aneh sekali, walau pun lelaki
berkerudung itu tidak mengatakan nama dari barang itu tetapi jika
didengar dari nada ucapannya jelas dia tahu kalau dia pun
mengetahui barang yang dimintanya itu “
“Lalu kenapa dia tidak mau bicara terus terang?” balik tanya Wi
Ci To.
“Dia tidak mau bicara terus terang sudah tentu ada sebabnya.
“Sudah ., sudahlah, kau tidak usah berpikir sembarangan lagi “
sela Wi Ci To kemudian kurang sabar. "Teniunya dia orang sudah
mendengar orang lain bilang kalau lohu mem punyai sebuah loteng
penyimpan Kitab yang tidak memperkenankan orang lain masuk
atau melihatnya karena itu sudah menganggap di dalam loteng
penyimpan Kitab lohu itu sudah tersimpan semacam barang pusaka
yang sangat berharga sekali lalu timbullah niatnya untuk merebut.”
“Tidak mungkin begitu.” bantah Wi Lian In dengan cepat.
“Jikalau dia orang sama sekali tidak mengetahui barang apa yang
dimaui oleh dirinya sendiri bagaimana dia berani mengeluarkan
uang sebesar sepuluh laksa tahil untuk membelinya?”
“Menurut apa yang lobu ketahui Hu Pocu sama sekali tidak
pernah menerima uang sebesar sepuluh laksa tahil itu.”
“Dia sudah bersiap sedia untuk membayar uang sebesar sepuluh
laksa tahil perak itu, karena di dalam kantongnya dia membawa
selembar uang kertas .....”
Agaknya Wi Ci To tidak ingin melanjutkan pembicaraan tentang
soal ini mendadak dia bangkit berdiri.
“Kalian tadi bilang Bun Jin Cu sudah mati, dimana mayatnya ?”
“Ada di dalam sebuah jalan rahasia di balik tembok ruangan
siksa, dia memberitahu kepada si menteri pintu katanya seluruh
harta kekayaannya disimpan di dalam jalan rahasia tersebut, “sahut
Ti Then segera,
“Kalian ikutlah aku masuk ke dalam.”
Segera kepada Suma San Ho perintahnya:
“San Ho kau jagalah di atas ruangan ini, bilamana menemui lelaki
berkeudung itu , kembali lagi cepatlah kirim tanda bahaya.
“Tecu menerima perintah.” sahut
bungkukkan badannya memberi hormat.
Suma
San
Ho
sambil
Wi Ci To segera berjalan ke belakang meja panjang dan
melongok ke dalam ruangan bawah tanah itu, tanyanya:
“Kita berjalan melalui tempat ini?”
“Benar,” sahut Ti Then perlahan. “Biar boanpwe membawa
jalan.”
Selesai berkata dia segera meloncat turun ke bawah.
Wi Ci To serta Wi Lian ln pun ikut meloncat turun ke bawab,
sesampainya di bawah tanah Ti Then mengambil obor sebagai
penerangan untuk menyulut lampu lentera tadi baru memimpin
mereka berdua berjalan masuk ke dalam.
Mereka bertiga dengan cepat sudah tiba di dalam ruangan siksa
itu dan berhenti di depan jalan rahasia di balik dinding tersebut, di
bawah sorotan sinar lampu terlihatlah dengan amat jelasnya majat
dari Bun Jin Cu serta si menteri pintu masih menggeletak ditengah
jalan rahasia.
Lama sekali Wi Ci To memperhatikan mayat dari Bun Jin Cu lalu
sambil menghela napas panjang ujarnya :
“Seseorang asalkan hidup dengan teratur dan memakai aturan
pastilah tidak menemui ajal tanpa terurus”
“Tia, Bun Jin Cu bilang di jalan rahasia itu dia sudah menyimpan
harta kekayaannya dalam jumlah yang amat besar, bagaimana
kalau kita masuk untuk melihat-lihat?”
“Tidak.” sahut Wi Ci To sambil gelengkan kepalanya. “Tidak
perduli ada beberapa banyak harta kekayaannya semua itu
bukanlah milik kita”
“Cuma melihat saja kan tidak mengapa?” desak Wi Lian In lebih
lanjut.
“Kalau memangnya tidak mau mengambil buat apa pergi
melihat?”
“Menurut pendapat boanpwe.”sela Ti Then tiba-tiba, “Jikalau di
dalam sana benar-benar sudah tersimpan harta kekayaan dalam
jumlah yang amat besar sekali pun kita tidak mengambilnya tetapi
paling sedikit harus diatur sedemikian rupa sehingga berguna”
“Bagaimana mengaturnya?”
“Diambil keluar lalu dibagi untuk menolong kaum miskin?”
“Ehmm . . , baik sih baik,”sahut Wi Ci To perlahan, “Cuma saja
siapa yang mau percaya kalau harta itu kita ambil guna menolong
kaum miskin?”
“Kini ada Liuw Khiet di sini, sewaktu kita membagikan harta
kekayaan tersebut kita boleh membawa sekalian dirinya agar dia
pun bisa menjadi saksi”
Wi Ci To termenung untuk berpikir sebentar akhirnya dia
mengangguk.
“Baiklah, kita masuk ke dalam untuk meIihat-lihat . . .apakah alat
rahasia yang dipasang di dalam jalan rahasia ini sudah semua?”
“Putrimu kira masih ada alat rahasia yang belum bekerja, biarlah
aku menyambitkan semacam barang ke dalam sana untuk
memeriksa.”
Wi Lian In segera mengambil sebuah batu cadas lalu dilemparkan
ke dalam jalan rahasia yang agak dekat dengan jalan keluar,
sewaktu dilihatnya sama sekali tidak terjadi perubahan apa pun dia
mengambil kembali sebuah batu dan disambitkan kearah jalan
rahasia di depan kedua mayat yang menggeletak ditengah jalan itu,
tetapi keadaan tetap tenang-tenang saja, ujarnya kemudian.
“Kelihatannya sudah pada bekerja”
“Hmm, bagaimana kau bisa tahu menggunakan cara ini untuk
memeriksa keadaan?” tanya Wi Ci To sambil tertawa.
“Aku belajar dari Ti Kiauw tauw” jawab Wi Lian In tertawa malu
sedangkan tangannya menuding kearah Ti Then.
“Bagus . . bagus sekali,” puji Wi Ci To sambil menganggukkan
kepalanya. "Tetapi jikalau jalan rahasia ini panjang maka di dalamn
ja tentu masih terdapat alat rahasia, maka itu kita tidak boleh cepat-
cepat mengambil kesimpulan kalau alat rahasia ini sudah bekerja
semua”
Sambil berkata dia bungkukkan badannya mengambil dua buah
batu lalu berjalan masuk ke dalam ruangan rahesia itu.
Mereka bertiga melewati mayat dari Bun Jin Cu serta si menteri
pintu lalu ber jalan kembali beberapa langkah dengan mengikuti
jalan rahasia yang berbelok ke kiri mereka melanjutkan
perjalanannya ke depan.
Ti Then dengan membawa lampu lentera berjalan dl belakang Wi
Ci To, segera mereka dapat melihat kalau jalan itu semakin lama
semakin sempit dan semakin panjang, luasnya cuma ada dua depa
sedang kedua belah dindingnya terbuat dari batu yang tidak
dibubuhi oleh pasir untuk menguatkannya.
Wi Ci To memandang sebentar ke sekeliling tempat itu lalu
ujarnya :
“Di dalam jalan rahasia ini pasti ada alat rahasianya, bahkan alat
rahasia itu tentu ada di atas dinding.”
Sambil berkala dia melemparkan sebuah batu kearah depan
untuk memeriksa keadaan di sana.
Ketika batu itu jatuh ke atas tanah segera terdengarlah suara
yang amat nyaring, memecahkan kesunyian tetapi sama sekali tidak
tampak adanya alat rahasia yang bekerja.
“Aaah.. tidak ada.” Seru Wi Lian In tegas. Segera dia melempar
kembali sebuah batu ke arah dinding yang lain.
Segera terdengarlah suara yang amat keras diikuti suara desiran
yang amat nyaring dari dinding sebelah kanan mendadak meluncur
keluar ratusan batang tombak yang bersama-sama meluncur ke
dinding sebelah kiri.
Tombak-tombak panjang itu dengan amat rapatnya terjejer di
atas dinding tembok laksana paku yang memantek di atas kayu
membuat seluruh jalan rahasia itu tertutup rapat.
Jikalau orang yang berjalan melewati sana sekali pun ilmu silat
yang dimilikinya amat dahsyat tentulah sebentar saja akan berubah
menjadi seekor Landak.
Tak terasa lagi Wi Lian In menghembuskan napas dingin,
“Ooooh Thian” serunya. “Untung sekali kita belum berjalan ke
dalam”
“Sungguh aneh sekali” timbrung Ti - Then sambil mengerutkan
alisnya, “tadi Liew Khiet bilang semua alat rahasia sudah tertutup
bagaimana sekarang alat rahasia di tempat ini bisa bekerja?”
“Sebabnya alat rahasia yang ada di dalam jalan rahasia ini bukan
diatur dari kamar alat rahasia yang ada di sana” sahut Wi Ci To
menerangkan.
“Oooh kiranya begitu” ujar Ti Then menjadi paham kembali. “Jadi
dengan perkataan lain, selain si anying langit rase bumi berdua
siapa pun yang berani melewati jalan rahasia ini tentu sukar lolos
dari kematian.”
Wi Ci To mengangguk.
“Selain ini dapat dibuktikan pula kalau di ujung jalan rahasia Ini
memang betul-betul tersimpan harta kekayaan dalam jumlah yang
amat besar sekali.”
Wi Lian In memandang berates-ratus tombak yang menutupi
jalan tadi, dia amat tertegun.
“Kita harus masuk ke dalam melalui mana?” tanyanya.
Wi Ci To segera mengambil lampu lentera yang ada di tangan Ti
Then sambil ujarnya:
“Di tempat ini tentu ada alat rahasia untuk membukanya, biarlah
lohu periksa sendiri “
Dia mengangkat lam punya memeriksa keadaan di sekeliling
tempat itu bersamaan pula tangannya memukul dinding serta
permukaan tanah, akhirnya di ujung permukaan tanah dia dapat
menerima suara pantulan yang sangat berbeda, akhirnya dia
membongkar jubin yang ada tempat pojokan itu.
Tampak di bawah jubin itu terdapat sebuah lubang kecil, di
tengah lubang itu terpendam sebuah tabung besi yang kecil pula
sedang di atas tabung besi itu terdapat sebuah alat untuk
memegang yang berwarna hitam pekat, jelas sekali itu adalah alat
yang digunakan untuk membuka alat rahasia tersebut.
Wi Ci To segera memegang tabung besi itu dan dengan perlahan
menariknya ke arah sebelah kanan, terdengar suara yang amat
nyaring, tombak-tombak besi yang tertancap di atas dinding tadi
dengan perlahan balik kembali ketempat semula.
“Sekarang kita boleh masuk ke dalam bukan?” ujar Wi Lian In
kemudian.
“Tidak boleh, coba kau lemparkan sebuah batu kembali ke
dalam.” seru Wi Ci To memberi perintah.
Wi Lian In segera berjalan keluar dari jalan rahasia itu dan
mengambil sebuah batu besar untuk kemudian dilempar ke depan.
“Sreest ....” Tombak besi yang semula sudah tertarik kembali ke
tempatnya yang semula sekali lagi meluncur keluar menancap pada
dinding yang ada di hadapannya.
Wi Lian In menjadi sangat terperanyat sekali.
“Aduh ..... bagaimana bisa jadi?” serunya keras.
Wi Ci To tersenyum.
“Hal ini berarti bilamana kau tidak mengerti caranya berjalan
melewati tempat ini tentu akan tersenggol alat rahasia”
“Jika alat rahasianya bekerja tombak-tomabk itu menghalangi
jalan hingga kita tidak bisa berlalu jika tidak bekerja kita pun tidak
mengerti cara jalannya, bukankah dengan demikian kita dapat
masuk ke dalam?” ujar Wi Lian ln sambil kerutkan alisnya.
“Soal itu sangat mudah sekali” Sela Wi Ci To tersenyum. “Asalkan
gagang dari tabung besi itu kita ganyal sehingga tidak bergerak lagi
maka alat rahasia itu pun akan mati dengan sendirinya”
Sehabis berkata dari dalam sakunya dia mencabut keluar sebilah
pisau belati dan sekali lagi mengembalikan gagang tabung besi itu
kea rah sebelah kiri membuat tombak besi itu menyusup kembali ke
tempat asalnya, setelah itu pisau belatinya baru ditusuk ke dalam
liang kecil menahan daya luncur daripada gagang tabung besi
tersebut.
Ti Then yang melihat pisau belati itu sudah selesai menahan
gagang dari tabung besi itu, dia orang segera putar tubuh
membopon sebuah batu cadas dan dilemparkan kea rah dalam.
Kali ini ternyata alat rahasia itu sama sekali tidak jalan.
Wi Lian In menjadi amat girang, serunya keras.
“Bagus, sekarang kita boleh masuk bukan?”
Wi Ci To mengangguk, dengan tegakkan badan dia menggetakan
kakinya berjalan masuk ke dalam.
Mereka bertiga berjalan kembali beberapa kaki jauhnya,
mendadak jalan rahasia itu berubah menjadi tangga-tangga batu
yang menurun ke bawah, Wje Ci To segera perintahkan Ti Then
untuk balik ke jalan rahasia sebelah depan mengambil lagi dua buah
batu cadas lalu dilemparkan ke arah bawah anak tangga batu
tersebut.
Sewaktu dilihatnya dari tempat itu sama sekali tidak dapat
perubahan apa pun hatinya menjadi terasa amat lega.
Di bawah tangga batu itu merupakan sebuah ruangan batu yang
luasnya ada satu kaki lebih, di dalamnya tidak terlihat adanya
barang lain kecuali dua buah peti mati yang terbuat dari tembaga.
Kedua buah peti mati tembaga itu membujur berdampingan dan
diletakkan tepat di tengah ruangan batu tersebut, kelihatannya
sangat menjeramkan sekali.
Tua muda tiga orang sewaktu melihat di dalam ruangan itu
kecuali dua buah peti mati tembaga, tidak terlihat adanya barang
apa pun tidak terasa lagi dibuat melengak juga.
“Iih.. si anying langit rase bumi menyimpan semua harta
kekayaan di dalam peti mati?” seru Wi Lian In sambil menjerit
tertahan.
Wi Ci To pun angkat lam punya untuk menerangkan empat
penjuru lalu dengan nada yang amat tenang ujarnya :
“Ruangan batu ini agaknya merupakan ujung dari pada jalan
rahasia tersebut”
Ti Then segera mengambil kembali dua buah batu yang tadinya
disambitkan ke arah tangga batu itu lalu dilemparkan ke tengah
ruangan batu tersebut, tetapi sama sekali tidak kelihatan adanya
perubahan apa pun dari dalam ruangan, ujarnya kemudian,
“Mari kita turun ke sana lihat!”
Mereda bertiga dengan langkah perlahan berjalan masuk ke
dalam ruangan batu itu, sekali lagi Wi Ci To memeriksa keadaan di
sekeliling tempat itu akhirnya deagan nada pasti serunya.
“Tidak bisa salah lagi, kecuali ruangan batu ini tidak ada jalan
rahasia atau ruangan batu lagi.”
“Sungguh aneh sekali” ujar Ti Then kemudian mengutarakan
keheranan hatinya. “Apakah mungkin si anying langit rase bumi
sudah menyimpan seluruh harta kekayaannya di dalam peti mati
tembaga tersebut?”
Wi Ci To termenung berpikir sebentar lalu dengan perlahan dia
mengusap peti mati yang terbuat dari tembaga itu.
“Jika dilihat keadaannya” ujarnya perlahan. “Kemungkinan sekali
Bun Jin Cu menipu si Menteri pintu, dalam tempat ini agaknya sama
sekali tidak tersimpan semacam harta kekayaan .. “
“Lalu kedua buah peti mati tembaga ini?” timbrung Wi Lian in
dengan ragu-ragu.
“Mereka suami istri berdua tentunya mempersiapkan tempat ini
sebagai tempat pekuburan jenasah bagi mereka sendiri,” sambung
Wi Ci To kemudian.
Dia meletakkan lampu lentera tersebut ke atas tanah lantas
mengangkat kedua peti mati tembaga itu sebentar, ujarnya lagi:
“Peti mati yang ada di sebelah kiri rada enteng sedang peti mati
yang ada di sebelah kanan rada berat, kemunkinan sekali peti mati
yang berat itu sudah berisikan jenasah dari si anying langit Kong
Sun Yauw”
“Bagaimana
mengusulkan.
kalau kita buka penutupnya?” ujar Ti Then
Wi Ci To berpikir sebentar kemudian baru jawabnya
“Kita buka peti mati yang rada enteng itu saja, jikalau di
dalamnya kosong melompong berarti juga kalau peti mati yang ada
di sebelah kanan itu terbaring jenasah dari Kong Sun Yauw”
Ti Then segera mengangguk dan dengan perlahan membuka
penutup peti mati yang ada di sebelah kiri.
Sekali pandang saja segera kelihatan kalau peti mati itu memang
betul-betul kosong tak berisi.
“Jika peti mati ini kosong tentunya peti mati yang ada di sebelah
kanan berisikan jenasah dari Kong Sun Yauw,” ujar Wi Lian In
perlahan. “Tapi kenapa mereka suami istri mau berbuat demikian?”
“Kemungkinan sekali dia orang takut mayatnya dirusak orang lain
la!u baru mempersiapkan alat rahasia itu, kejahatan yang mereka
suami istri perbuat sudah terlalu banyak sekali sudah tentu dalam
hati mereka pun takut kalau ada orang yang merusak mayat
mereka setelah mereka mati.”
“Kelibatannya orang jahat yang terlalu banyak melakukan
kejahatan setelah mati pun tidak tenang,” ujar Ti Then sambil
tertawa pahit.
Dengan perlahan Wi Lian In mengeIus-elus peti mati tembaga
yang ada di sebelah kanan, dengan perasaan ingin tahu bercampur
rasa takut ujarnya
“Kemungkinan sekali di dalam peti mati ini bukan tersimpan
mayat dari Kong Sun Yauw, bagaimana . . . bagaimana kalau kita
buka sebentar untuk dilihat?”
“Wi Ci To tidak menyawab sebaliknya kepada Ti Then ujarnya.
“Ti Kiauw-tauw, kita berbuatlah sedikit amal, coba kau bawa
jenasah dan Bun Jin Cu dan masukkan ke dalam peti mati yang
masih kosong ini.”
Ti Then mengangguk dan balik ke jalan rahasia di bagian depan
dan membopong jenasah dari Bun Jin Cu masuk ke dalam ruangan
batu, setelah mencabut keluar semua anak panah yang tertancap di
badannya barulah dia masukkan mayatnya ke dalam peti dan
menutup peti mati tersebut, ujarnya kemudian sambil tertawa:
“Setelah mati dia tentu tahu perbuatan kita ini dan seharusnya
mengucapkan terim kasih kepada kita, karena sampai kini kita
sudah bantu dirinya mengurusi mayatnya yang terlantar”
“Berbuat baik harus timbul dari hati sendiri, kita tidak
mengharapkan adanya ucapan terima kasih buat kita” sela Wi Ci To
sambil tertawa.
Air muka Ti Then segera berubah merah.
“Perkataan dari Pocu sedikit pun tidak salah, boanpwe cuma
omong guyon saja” sahutnya sambil tertawa malu.
“Ayoh jalan” seru Wi Ci To kemudian sambil balik menaiki tangga
batu.
“Tia“ seru Wi Lian In tiba-tiba. “Kita memeriksa lebih teliti lagi
sekitar tempat ini, kemungkinan sekali harta kekayaan itu dipendam
di bawah ruangan batu itu.”
Wi Ci To tidak menyawab sebaliknya melanjutkan langkahnya
menuju keluar.
Wi Lian In cuma bisa meleletkan lidahnya terhadap diri Ti Then
terpaksa dengan mengikuti dari belakangnya mereka berjalan keluar
dari tempat itu.
Sekembalinya di ruangan Khie le Tong tampak Liuw Khiet
membawa senampan makanan sedang menanti, dia tahu Wi Ci To
bertiga masuk ke dalam jalan rahasia itu untuk mencari harta
karenanya kelihatan sekali air mukanya penuh diliputi ketegangan
dan gembira cuma saja dia orang tidak berani membuka mulut
untuk bertanya.
Suma San Ho sendiri pun ingin sekali cepat-cepat tahu keadaan
di dalam jalan rahasia itu melihat Pocu tidak menyawab tak tertahan
lagi tanyanya
“Pocu, di dalam jalan rahasia itu apa benar-benar ada harta
kekayaan?”
“Tidak ada.” sahut Wi Ci To dengan wajah yang amat serius
sekali, “Di dalam jalan rahasia itu ada sebuah ruangan batu, di
dalam kurungan batu itu ada dua buah peti mati tembaga, yang
satu berisi jenasah dari Kong Sun Yauw sedang yang lain kosong. Ti
Kiauw tauw sudah memasukkan jenasah dari Bun Jin Cu ke dalam
peti mati yang kosong itu. Selain itu tidak tampak barang Iainnya”
“Ouuww” teriak Suma San Ho dengan amat kagetnya. “Kalau
begitu Bun Jin Cu cuma sengaja menipu si menteri pintu”
Wi Ci To mengangguk.
“Tidak, Bun Jin Cu ada harta kekayaan di dalam jumlah yang
amat besar di dalam istana ini” timbrung Liuw Khiet secara
mendadak.
Wi Ci To segara melirik sekejap ke arahnya, lantas tertawa
dingin.
“Kau sangat ingin mendapatkan hartaitu?” tanyanya dengan
suara yang amat dingin.
Liuw Khiet menjadi sangat terperanyat sekali.
“hamba tidak berani . . hamba tidak terani” jawabnya gugup.
“Liuw Khiet, aku mau bertanya kepadamu” sambung Ti Then
kembali. “Kau kira hara kekayaan lebih penting ataukah nyawa lebih
penting?”
Air muka Liuw Khiet segera berubah menjadi merah padam
seperti kepiting rebus, dia menundukkan kepalanya rendah-rendah,
“Sudah tentu . . . sudah tentu nyawa lebih penting, jika tidak punya
nyawa bagaimana harta kekayaan itu bisa digunakan?”
“Betul,” seru Ti Then tertawa. “Makanya jika ingin nyawamu
panjang janganlah memikirkan harta kekayaan itu lagi, coba kau
lihat saja si menteri pintu yang ingin merebut harta kekayaan
akhirnya dia harus mengorbankan nyawanya.”
Agaknya Liuw Khiet dapat dibuat mengerti, dia menganggukkan
kepalanya berulang kali.
“Benar . , - - benar . . .” serunya.
“Di dalam ruangan batu itu benar-benar tidak ada harta
kekayaan apa pun,” sambung Ti Then lagi. “Tetapi aku percaya
tentu si anying langit rase bumi masih mem punyai sejumlah harta
kekayaan yang disimpan di sesuatu tempat, persoalannya tempat
disimpannya harta kekayaan itu tentunya sudah dipasangi alat
rahasia yang amat lihay sekali, jikalau kau tidak berhati-hati
kemungkinan sekali sebelum memperoleh harta kekayaan itu sudah
binasa terkena alat rahasianya.”
Liuw Khiet menganggukkan kepalanya berulang kali,
“Perkataan dari Ti Siauw Hiap sedikit pun tidak salah, hamba
sudah mengambil keputusan tidak akan memikirkan harta kekayaan
itu lagi.”
Selesai berkata dia angkat kepalanya memandang sekejap kearah
Wi Ci Tou agaknya ada perkataan yang hendak disampaikan tetapi
tidak berani mengutarakan keluar.
“Kau ingin berbicara apa lagi ?” Tanya Wi Ci To kemudian setelah
dilihatnya perubahan wajah dari Liuw Khiet.
Mendadak Liuw Khiet jatuhkan diri berlutut di atas tanah, ujarnya
:
“Hamba ada satu permintaan harap Wi pocu mau menerima
hamba untuk dijadikan seorang penjaga atau pelayan di dalam
Benteng Pek Kiam Po”
Agaknya Wi Ci To sama sekali tidak menduga dia bisa
mengajukan permintaan ini, untuk sesaat lamanya dia dibuat serba
salah, ujarnya kemudian setelah berpikir sebentar.
“Ehmmm . . . soal ini ...”
Dengan cepat Liuw Khiet mengangguk-anggukkan kepalanya
berulang kali.
“Bilamana Pocu mau menerima hamba, sejak ini hari hamba
bersumpah untuk berbuat jadi seorang baik-baik” ujarnya setengah
mendesak.
“Pocu,” ujar Ti Then kemudian sewaktu melihat Wi Ci To dibuat
serba susah. “Hati orang ini tidak jelek terhadap boanpwe untuk
menerimanya tidaklah salah.”
“Baiklah.” Sahut Wi Ci To kemudian setelah mendengar
perkataan tersebut. “Cuma peraturan perguruan Lohu amat keras
sekali, sekali pun seorang penjaga benteng yang kecil pun asalkan
perbuatannya sedikit melanggar peratutan tentu akan segera
mendapatkan huskuman yang berat, tentang hal ini kau harus
memikirkan lebih masak lagi.”
“Baik .... baik hamba sudah menyesali perbuatan hamba tempo
hari, hamba akan berusaha untuk memperbaiki semua perbuat an
serta sifatku yang jelek, jikalau melanggar peraturan silahkan Pocu
segera menyatuhkan hukuman kepada hamba.”
“Baiklah, kalau begitu kau bangun.”
Liuw Khiet menjadi amat girang sekali, setelah menganggukkan
kepalanya tiga kali dia baru merangkak bangun dan berdiri di
samping dengan amat hormatnya.
Dengan perlahan Wi Ci To menyapu mereka bertiga dan ujarnya:
“Kalian bertiga pun harus dahar dulu, sesudah itu masih ada
urasun yang harus diselesaikan.”
“Tia, kita mau bekerja apa lagi? “ tanya Wi Lian ln kemudian.
“Nanti sesudah dahar aku baru beritahu kepada kalian.”
Demikianlah, Ti Then, Suma San Ho, Wi Lian In bertiga segera
mulai mendahar makanan yang ada di atas meja panjang itu.
Di dalam sekejap saja mereka bertiga sudah menghabiskan
semua makanan yang ada di atas nampan, sambil mambersihkan
mulutnya ujar Wi Lian la dengan cepat.
“Sudah, Tia kau ingin suruh kami berbuat apa ?”
“Kita masing-masin berpencar untuk menyulut api membakar
habis istana Thian Teh Kong ini”
Wi Lian ln menjadi melengak,
“Aaaaaa .... istana Thian Teh Kong yang demikian besarnya
jikalau harus dibakar semua bukankah terlalu sayang ?”
“Harus dibakar sampai musnah, kalau tidak lain kali tentu ada
orang yang bisa menggunakan tempat ini untuk berbuat jahat lagi,”
“Benar,” sambang Ti Then, “Liuw Khiet coba kau pergi cari sedikit
minyak . . “
Waktu itu hari sudah, magrib sebuah bangunan istana Thian Teh
Kong yang amat megah hanya di dalam sekejap saja sudah berada
di tengah lautan api yang berkobar dengan besarnya sehingga
suasana di sekeliling tempat itu terasa amat terang sekali bagaikan
sang surya yang memancarkan sinarnya dari balik gunung.
Di tengah berkobarnya api yang amat besar itulah tua muda lima
orang bersama-sama turun gunung.
Di tengah perjalanan terdengar Wi Lian In bertanya
“Tia, apakah kita tidak berusaha untuk menyelidiki asal-usul dari
manusia berkerudung itu?”
“Kita tidak tahu siapakah dirinya, bagaimana bisa
mengadakan penyelidikan?” seru Wi Ci To dengan tawar.
pergi
“Pergi cari Cuo It Sian”
“Tidak bisa!”
“"Kenapa?”tanya Wi Lian In sambil mencibirkan bibirnya. “Apakah
Tia merasa dia orang sama sekali tidak mencurigakan?”
“Benar.” Sahut Wi Ci To mengangguk, “Kau tidak boleh
menganggap lelaki berkerudung itu adalah Cuo It Sian dikarenakan
kau ditawan dan disekap di dalam gudang di bawah tanah milik
dirinya.”
“Sejak tadi aku kan sudah bilang jikalau dia orang mau
melakukan kejahatan tentu tidak akan berani menggunakan perkam
pungannya sendiri.”
“Tetapi sekali pun bukan dia jikalau kita pergi ke sana untuk
mengajak dia orang membicarakan persoalan ini kemungkinan sekali
masih bisa mendapatkan sedikit keterangan yang berguna” kata Wi
Lian In lebih lanjut.
Dengan perlahan Wi Ci To gelengkan kepalanya.
“Sebelum kita memperoleh bukti yang nyata aku tidak akan
membuat kesalahan dengan seorang pendekar tua yang mem
punyai nama serta kedudukan yang amat terkenal di dalam Bu lim.”
“Tapi kita cuma mengajak dia membicarakan persoalan ini saja . ,
.” desak Wi Lian ln kembali.
“Tidak perlu,” potong Wi Ci To dengan cepat. “Jika ingin
menawan orang lelaki berkerudung hitam itu satu-satunya jalan
adalah kembali ke dalam Benteng menantikan kedatangannya, kalau
memang dia ingin mendapatkan semacam barang dari diriku sudah
tentu sejak saat ini dia akan munculkan dirinya berulang kali.”
Wi Lian In tidak berbicara lagi jika dilihat dari wajah ayahnya
yang kukuh dan tidak mau pergi mencari Cuo It Sian jelas sekali
menunjukkan kalau ayahnya tdak punya maksud untuk menyelidiki
hal ikhwal tentang manusia berkerudung tersebut.
Sikapnya yang sama sekali berlawanan dengan keadaan biasanya
ini sudah cukup bagi Ti Then untuk membenarkan dugaannya, ia
tahu Wi Ci To tentu sedang menyembunyikan sesuatu barang yang
tidak menginginkan dirinya ikut mengetahui.
Sambil berkata dia melirik sekejap ke arah Ti Then lalu
melemparkan satu senyuman pahit. “Apa boleh buat.”
Ti Then cuma bisa angkat bahunya sambil balas mengirim satu
senyuman pahit dia tidak mengucapkan sesuatu apa pun.
Dalam hati dia tahu bilamana Wi Ci To tidak mau menyelidiki asal
usul dari lelaki berkerudung itu jelas sekali di dalam hal ini tentu ada
sesuatu rahasia yang dia orang tidak ingin pun orang lain ikut,
sebaliknya walau pun dirinya merupakan seorang Kiauw tauw dari
Benteng Pek Kiam Po tetapi bagaimana pun juga merupakan orang
luar.
Jikalau dirinya terus menerus memaksa untuk menyelidiki asal
usul dari lelaki berkerudung itu berarti juga dia hendak membongkar
rahasia pribadinya, hal ini sama sekali tidak berguna bagi dirinya.
Karena itu di dalam hati kecilnya Ti Then sudah mengambil
keputusan untuk tidak ikut memberikan pendapatnya mengenai diri
lelaki berkerudung itu.
Dengan berdiam diri mereka berlima melanjutkan perjalanannya
ke arah depan, sewaktu hamper mendekati kaki gunung Kim Hud
san mendadak Wi Ci To yang berada di paling depan
memperdengarkan suara tertahannya yang amat perlahan lalu
menghentikan langkahnya.
Wi Lian In yang ada di belakangnya menjadi melengak.
“Tia, ada urusan apa?” tanyanya.
“Coba kau lihat dari sana muncul seseorang ,” sahut Wi Ci To
sambil menuding ke arah jalan gunung yang ada di sebelah
depannya.
Ti Then berempat segera mengalihkan pandangannya ke depan,
ternyata sedikit pun tidak salah dari jalan gunung di tempat
kejauhan tampaklah seseorang yang memakai baju bijau dengan
cepatnya berlari mendatang.
“Hey agaknya seorang kakek tua, bahkan kepandaian silatnya
tidak jelek “ seru Ti Then pula.
“Apa mungkin jagoan berkepandaian tinggi dari pihak istana
Thian Teh Kong? “ sela Suma San Ho.
“Lobu kira bukan ...”
“Kalau begitu lebih baik kita bersembunyi dulu, coba kita lihat
siapa yang telah datang, setelah itu ...”
“Tidak perlu” potong Wi Ci To sambil tertawa, “tidak perduli yang
datang musuh atau kawan, kita tidak boleh bersembunyi.”
Pada waktu mereka sedang berbicara itulah orang tersebut sudah
datang semakin mendekat.
Sewaktu mereka berlima dapat melihat, dengan jelas wajah
orang tersebut tak tertahan lagi pada menjerit tertahan, agaknya
peristiwa ini jauh berada diluar dugaan mereka.
Siapakah yang sudah datang?
Orang itu bukan lain adalah si pembesar kota atau Sian Thay-ya
Cuo It Sian.
Ternyata secara tiba-tiba dia sudah munculkan dirinya di atas
gunung Kim Hud san.
Ti Then serta Wi Lian In pun merasa jauh berada di luar
dugaannya dengan kedatangan dari Cuo It Sian secara tiba-tiba
seketika itu juga dari dalam hatinya timbul perasaan curiga, karena
mereka segera terpikirkan, jikalau lelaki berkerudung itu adalah
penyamaran dari Cuo It Sian maka dia memang ada alasannya
untuk cepat-cepat mengembalikan wajah aslinya untuk mencuci
bersih kecurigaan yang timhul di hati orang lain.
Di dalam sekejap saja Cuo It Sian pun dapat melihat kedatangan
yang mendadak dari Ti Then sekalian, dia agak tertegun tetapi
sebentar kemudian sudah menerjang ke hadapan mereka, teriaknya
dengan perasaan kaget bercampur girang.
“Wi Pocu, kalian ... kalian baru saja datang dari istana Thian Teh
Kong?”
“Benar,” sahut Wi Ci To sambil rangkap tangannya menjura.
“Sudah lama kita tidak bertemu, Cuo heng, bagaimana ini hari bisa
muncul di tempat ini?”
“Haa ,.. , haa , , Lolap memang sengaja datang kemari untuk
bertemu dengan kalian.”
“Oohh . “ Seru Wi Ci To lalu kepada Ti Then, Suma San Ho serta
Putrinya dia berkata kembali.
“Ti Kiauw tauw, Suma San Ho, In ji kalian cepat datang
menghunjuk hormat kepada locianpwe.”
Kiranya walau pun Wi Ci To terhitung manusia berkepandaian
tinggi yang kedudukannya amat terhormat tetapi usianya jauh lebih
kecil beberapa tahun dari Cuo lt Sian, kerenanya terhadap diri Cuo
It Sian dia orang menaruh rasa hormat yang berlebihan,
Walau pun di dalam hati Ti Then, mau pun Wi Lian ln menaruh
rasa curiga terhadap diri Cuo It Sian tetapi sebelum mendapat bukti
yang menerangkan lelaki berkerudung itu adalah hasil
penyamarannya sudah tentu mereka tidak berani berlaku tidak
hormat, segera bersama-sama dengan Suma San Ho pada bertindak
maju untuk memberi hormat.
oooOOooo
Cuo It Sian yang melihat wajah Ti Then serta Wi Lian In agak
tidak beres dia segera tertawa terbahak-bahak.
“Ti Siauw Hiap, nona Wi kalian tidak perlu kuatir, Lolap kali ini
sengaja datang ke gunung Kim Hud san bukanlah hendak
mengadukan parsoalan ini kepada Wi Pocu.”
Wi Lian lu segera tertawa tawar.
“Urusan hari itu dimana Tit li sudah menyambangi Cuo
Locianpwe ayahku sudah mengetahui.”
“Ocoouw begitu?” kepada Wi Ci To ujarrnya.
“Wi Pocu sudah bertemu muka dengan Bun Jin Cu?”
“Belum, sewaktu aku orang she Wi sampai ke istana Thian Teh
Kong dia sudah bunuh diri.”
Cuo It Sian menjadi amat terperanyat serunya.
“Aaaah... kenapa dia bunuh diri?”
“Anak buahnya pada kemarin hari sudah pada mengkhianati
dirinya sedangkan anak buahnya yang bernama Menteri pintu telah
turun tangan menotok tubuh dirinya dan memaksa dia orang
menyerahkan harta kekayaannya, di dalam keadaan gusar dia sudah
memancing menteri pintu untuk memasuki sebuah jalan rahasia
yang penuh dipasang alat rahasia lalu sengaja menggerakkan alat
rahasia untuk bersama-sama menemani ajalnya dengan si menteri
pintu itu.”
Mendengar sampai di sini Cuo It Sian semakin terperanyat lagi.
“Apa? ternyata ada urusan seperti ini? kenapa anak buahnya
pada mengkhianati dirinya?”
“0rang-orang dari istana Thian Teh Kong sebenarnya merupakan
manusia ganas yang sukar diatur” ujar Wi Ci To sambil tertawa.
“Mereka sewaktu melihat si anying langit sudah mati segera
menganggap seorang wanita tidak mungkin bisa berbuat sesuatu
pekerjaan yang amat besar karena itu mereka pada tidak mau
mendengarkan perintah si rase bumi lagi dan akhirnya
memberontak.
Dengan perlahan Cuo It Sian mengangguk ujarnya sambil
menghela napas panjang:
“Orang jahat pasti akan menerima pembalasan yang mengerikan,
inilah satu contoh buat kita”
“Tadi Cuo heng bilang ada satu urusan sengaja datang mencari
lohu entah urusan apa yang penting? tanya We Ci To kemudian.
Dengan perlahan Cuo It Sian mengalihkan pandangannya melirik
sekejap ke arah Ti Then serta Wi Lian ln, lalu baru berkata ujarnya.
“Wi Pocu kau tidak tahu, beberapa hari yang lalu di rumah
lumbung padiku di desa Thay Peng Cung sudah terjadi suatu
peristiwa yang amat mengagetkan, sewaktu Lolap bertanya dengan
para petani yang ada di sekeliling tempat itu katanya peristiwa itu
kemungkinan sekali ada sangkut pautnya dengan seorang pemuda
serta seorang nona, dalam hati loap segera menduga pemuda serta
gadis itu kemungkinan sekali adalah Ti siauw hiap serta putrimu
karenanya sengaja aku datang kemari untuk bertanya.”
“Tidak salah,” sambung Ti Then dengan cepat, “Sepasang
pemuda pemudi itu memang benar boanpwe serta nona Wi”
Air muka Cuo It Sian segera berubah sangat hebat.
“Jikalau demikian adanya pemilik rumah lumbung padi yang ada
di sana sebanyak lima orang dibinasakan oleh Ti siauw hiap ?”
ujarnya dengan keras.
“Bukan.”
“Kalau bukan siapa yang sudah turun tangan terhadap mereka ?“
seru Cuo It Sian sambil melototi dirinya.
“Mereka dibunuh oleh tiga orang berkerudung, mereka
meminyam kesempatan sewaktu boanpwe berdua menginap dikuil
Sam Cing Kong secara diam-diam sudah menyelinap ke dalam kuil
dan menaruh obat pemabok ke dalam air teh yang dikirim ke kamar
boanpwe berdua, sehingga boan pwe berdua tidak sadarkan diri,
sewaktu kami sadar kembali boanpwe berdua sudah disekap di
dalam sebuah gudang di bawah tanah, akhirnya boanpwe dengan
memakai akal berhasil meringkus sa!ah seorang di antara mereka .
.”
Dengan amat jelasnya dia segera menceritakan kejadian yang
telah dialami olehnya kepada si pembesar kota.
Air muka Cuo It Sian tampak berubah menjadi terperanyat
bercampur gusar, dari matanya memancarkan sinar yang tajam
sekali.
“Perkataan dari Ti siauw hiap ini apakah sungguh-sungguh?”
tanyanya.
“Sedikit pun tidak salah,” sahut Ti Then mengangguk.”Akhirnya
boanpwe berdua melakukan pemeriksaan kembali di dalam perkam
pungan tersebut, saat itu api sudah padam sedang boanpwe berdua
kembali untuk mencari pedang yang lenyap di tengah abu tetapi di
dalam ruangan tengah sudah menemukan lima sosok mayat yang
sudah hangus terbakar, menurut dugaan boanpwe tentunya
semalam ketiga orang berkerudung itu sudah menotok jalan darah
kaku serta bisunya sehingga sewaktu terjadi kebakaran sama sekali
tidak terdengar suara mereka yang berteriak minta tolong”
Cuo It Sian menjadi setengah percaya setengah tidak, tanyanya
lagi,
“Lalu apa tujuan mereka untuk menculik kamu berdua ?”
Dengan perlahan Ti Then menoleh arah Wi Ci To, tanyanya.
“Wi Pocu bolehkah boanpwe berbicara?”
“H mm m . . katakanlah” sahut Wi Ci To mengangguk.
Waktu itulah Ti Then baru berkata lagi terhadap diri Cuo It Sian
yang sudah memperhatikan dirinya terus menerus.
“Mereka bertiga mendapat perintah dari seorang lelaki
berkerudung hitam, sedangkan tujuan dari lelaki berkerudung hitam
itu sehingga menculik boanpwe berdua ialah hendak menggunakan
kami berdua sebagai barang tanggungan untuk memaksa Pocu kami
menyerahkan semacam barang.”
Sinar mata Cuo lt Sian segera berkilap-kilap, desaknya lebih
lanjut .
“Dia mau memaksa Wi Pocu menyerahkan barang apa?”
“Soal ini dia orang terus menerus tidak mau mamberi penjelasan,
katanya cuma sebuah barang yang sama sekali tidak berharga.”
Cuo It Sian segera berpaling memandang ke arah Wi Ci To lantas
tanyanya:
“Wi Pocu apakah kau tahu barang apa yang diminta olehnya?”
“Aku orang she Wi pun tidak mengerti” sahut Wi Ci To sambil
gelengkan kepalanya.
“Pihak lawan mengatakan barang itu tidak berharga tetapi bisa
dipikir tentunya sangat berharga sekali buat dirinya, Wi Pocu
sebaiknya kau harus mengetahuinya.”
Wi Ci To segera tersenyum.
“Aku orang she Wi benar-benar tidak tahu, di dalam loteng
penyimpan kitab aku orang she Wi memang banyak tersimpan
lukisan serta kitab-kitab kuno yang kelihatannya tidak berharga
padahal sangat bernilai sekali, tetapi pihak lawan bilang tidak
menghendaki lukisan atau kitab sehingga membuat aku orang she
Wi sendiri pun tidak paham barang apa yang sebenarnya diminta
olehnya.”
“Hal ini memang membuat orang menjadi kebingungan” seru Cuo
It Sian sambil kerutkan alisnya rapat-rapat.
Dia berpikir sebentar lalu mengalihkan pandangannya ke arah Ti
Then, tanyanya kemudian :
“Jika didengar perkataan Ti siauw hiap agaknya kau orang sudah
pernah bertemu dengan dirinya?”
“Benar,” sahut Ti Then mengangguk. “Dia pernah datang ke
gunung Kim Hud san pada beberapa jam yang lalu sewaktu masih
ada di dalam istana Thian Teh Kong”
Demikianlah dia pun segera menceritakan bagaimana lelaki
berkerudung itu hendak bekerja sama dengan Bun Jin Cu lalu
peristiwa yang sudah terjadi setelah itu.
Cuo It Sian menjadi sangat terperanyat sekali.
“Kalian sudah tahu siapakah mereka itu?” tanyanya.
“Dia orang terus menerus memakai kerudung pada kepalanya
bahkan sewaktu berbicara sengaja mengubah nada suaranya
sehingga kita tidak dapat mengenal dirinya.”
“LaIu menurut Ti Siauw hiap berapa besar usianya?”
“Kurang lebih enam puluh tahunan”
“Senyata tajam apa yang digunakan?”
“Tidak membawa senyata tajam,” sahut Ti Then sambil
gelengkan kepalanya.
“Lalu ilmu silatnya termasuk ilmu yang berdasarkan Iwekang
ataukah Gwa-kang?”
“Ilmu silatnya termasuk dalam golongan orang yang meyakinkan
Iwekang, tenaga dalamnya berhasil dilatih sehingga mencapai taraf
yang sangat tinggi cuma saja tidak tahu dia dari aliran mana karena
sebenarnya dia belum pernah secara sungguh-sungguh bergebrak
dengan boanpwe”
“Bagaimana dengan perawakan badannya?”
“Tinggi besar seperti locianpwe, gemuk kurusnya
mirip dengan Locianpwe”
pun sangat
“Ehmmm . . .” Alisnya dikerutkan rapat-rapat lalu tanyanya
kepada diri Wi Ci To.
“Wi Pocu, apakah kau orang sudah teringat seseorang dari
kalangan Bu lim yang mem punyai perawakan seperti itu?”
“Aku ingat akan seseorang” sahut Wi Ci To tertawa.
“Siapa?” tanya Cuo It Sian dengan amat girang.
“Si pembesar kota Cuo It Sian.” sahut Wi Ci To sambil tertawa.
Cuo It Sian jadi melengak disusul dengan suatu senyuman pahit
menghiasi bibirnya.
“Wi Pocu kau orang jangan berguyon, dengan amat kejamnya dia
sudah membinasakan orang-orang Lolap, pikirannya pun amat licik
Lolap pasti akan mencari dirinya untuk membalas dendam”
“Masih ada satu geguyon lagi yang Locianpwe setelah
mendengar tentu akan gusar dan gembar-gembor saking marahnya”
timbrung Wi Lian ln secara tiba-tiba.
Cuo It Sian menjadi melengak. “Geguyon apa?” tanyanya.
“Malam itu sewaktu masih ada di perkam pungan tersebut
setelah kami berhasil meloloskan diri dari lautan api dan
membinasakan orang berkerudung yang kedua, orang berkerudung
terakhir sebelum meninggalkan tempat itu sudah memberitahukan
suatu berita yang menggetarkan hati. . “
“Dia bilang apa?” tanya Cuo It Sian dengan penuh perhatian.
“Dia bilang pemimpin mereka bernama si pembesar kota Cuo It
Sian”
Seketika itu juga air muka Cuo It Sian berubah sangat hebat,
sinar matanya dengan perlahan menyapu sekejap kearab Wi Ci To
sekalian lalu ujarnya.
“Kelihatannya kalian sudah menaruh curiga terhadap Lolap?”
“Locianpwe kau jangan marah,” sela Ti Then dengan nada serius
sekali. “Lelaki berkerudung itu memang berkata demikian.”
“Sedang kalian pun percaya terhadap omongannya?” sambung
Cuo It Sian sambil tertawa dingin.
“Sudan tentu boanpwe tidak berani percaya perkataan dari orang
berkerudung itu jelas sekali menujukkan kalau dia orang sedang
sengaja mencelakai diri locianpwe”
Mendengar perkataan tersebut hawa amarah dari Cuo It Sian
dengan perlahan mereda kembali, dia segara mengangguk.
“Kelihatannya bukan saja lelaki berkererudung itu hendak
mendapatkan barang milik
Wi Pocu bahkan ingin mencelakai Lolap. Hmm, sungguh kejam
siasatnya sekali panah mendapat dua burung yang mereka
laksanakan.”
“Mungkin dia ada dendam sakit hati dengan Cuo heng sehingga
berbuat demikian terhadapmu” Tiba-tiba Wi Ci To memperingatkan.
“Selama hidupku Lolap benci orang-orang yang sudah bentrok
dergan aku amat banyak sekali, tetapi entah lelaki berkerudung itu
merupakan penyamaran dari musuhku yang mana?”
“Ooh yaa masih ada satu urusan yang boanpwe ingin minta
penjelasan”' ujar Ti Then lagi, “Pertanyaan ini setelah boanpwe
katakan harap locianpwe jangan menjadi marah dibuatnya”
“Urusan apa? “ tanya Cuo It Sian dengan pandangan yang amat
tajam.
“Di dalam gudang di bawah tanah itu ada terpendam sebuah
tiang besi yang khusus digunakan untuk menyekap tawanan-tawan,
apakah di dalam gudang bawah tanah orang lain juga mempunyai
barang tersebut?”
“Betul, urusan ini Lolap memang sukar untuk menjelaskannya
....”
Berbicara sampai di sini dia segera menoleh kearah Wi Ci To dan
tanyanya.
“Wi Pocu, apakah kau masih ingat kalau lolap mempunyai
seorang adik ?”
“Tidak salah, tidak salah” seru Wi Ci To membenarkan. “Urusan
itu sudah terjadi pada sepuluh tahun yang lalu.”
“Jelas dari air muka Cuo lt Sian menunjukkan rasa sedihnya, dia
menghela napas panjang,
“Dia sudah hidup selama dua puluh satu tahun lamanya di dalam
gudang bawah itu, setiap kali lolap teringat dirinya hatiku segera
merasakan seperti diiris-iris - . . .”
“Aaasaaah ., . , Locianpwe mem punyai seorang adik yang
pernah tinggal di dalam gudang di bawah tanah itu?” Tanya Wi Lian
In keheranan.
“Benar.” sahut Cuo It Sian sambil mengangguk. “Dia jauh lebih
cerdik dari lolap pada usia dua puluh tahun dia sudah berhasil
meiatih ilmu silatnya sehingga mencapai pada tarap kesempurnaan
tetapi akhirnya dikarenakan jatuh hati dengan seorang nona dan
dikarenakan berbagai sebab sehingga tidak berhasil mengawini
nona tersebut dia menjadi gila, bergerak sedikit saja lantas turun
tangan membunuh orang akhirnya lolap tidak bisa berbuat apa-apa
Iagi terpaksa mengurungnya di dalam gudang bawah tanah itu, dia
hidup selama dua puluh satu tahun lamanya di dalam gudang
bawah tanah tersebut dengan sangat menderitanya, akhirnya dia
meninggal dunia karena sakit.”
Berbicara sampai di sini tidak tertahan lagi titik air mata menetes
keluar membasahi wajahnya.
“ Oooh kiranya begitu” seru Wi Lian In ikut terharu, “Tidak aneh
kalau di dalam gudang tersebut sudah terpendam tiang besi yang
begitu kuatnya.”
Sekali lagi Cuo It Sian kerutkan alisnya rapat-rapat.
“Tetapi yang paling aneh bagaimana lelaki berkerudung itu bisa
tahu kalau di dalam gudang bawah tanahku itu ada barang seperti
itu sehingga bisa menawan kalian berdua ke sana?”
“Hal itu berarti juga kalau lelaki berkerudung itu sangat
memahami keadaan dari Locianpwe, atau dengan perkataan lain
kemungkinan sekali lelaki berkerudung itu adalah orang yang
locianpwe sangat kenal”
“Tidak salah” Cuo It Sian mengangguk, “Tetapi sekarang lolap
masih tidak bisa menduga siapakah dia orang “
“Ada satu hari boanpwe pasti bisa menangkap si rase tua itu,
sampai waktunya aku tentu akan menyerahkan kepada locianpwe
untuk dijatuhi hukuman yang setimpal”
“Jikalau lolap yang menangkapnya terlebih dahulu maka lolap
segera akan memberi kabar kepada kalian oooh benar, Wi Pocu
waktu itu lolap dengar dari Ti siauw hiap yang katanya Hu pocu
meninggal karena bunuh diri, apakah bunuh dirinya itu sungguh-
sungguh ada sangkut pautnya dengan lelaki berkerudung itu?”
“Ehmmm” sahut Wi Ci To sembarangan lalu bungkam kembali.
Air muka Cuo It Sian agak sedikit berubah kurang senang, cepat-
cepat dia berganti bahan pembicaraan.
“Lantas Wi Pocu punya maksud untuk langsung pulang ke dalam
Benteng sekarang juga?”
“Benar,” sahut Wi Ci To mengangguk, “Sampai saat ini cita-cita
dari lelaki berkerudung itu sama sekali belum mencapai, sudah tentu
dia orang tidak akan berpangku tangan saja, kemungkinan sekali dia
bisa kembali ke dalam Benteng”
Baru saja berbicara sampai di situ mendadak air mukanya
berubah sangat hebat cepat-cepat bentaknya
"Cepat tiarap”
Cuo It Sian, Suma San Ho serta Wi Lian In empat orang segera
bisa mendengar suara menyambarnya senyata rahasia yang
menampok angin berkelebat kearah mereka dengan cepat tubuhnya
bersama-sama membungkuk ke bawah untuk menghindar.
“Braaaaak , .. “ dengan disertai suara desiran yang amat tajam
senyata rahasia itu melewati atas kepala kelima orang itu nancap di
atas batang pohon di pinggir jalan.
Pada ujung anak panah itu terikatlah secarik kertas putih, jelas
sekali pihak-musuh sedang mn menyambit suratnya dengan
menggunakan perantara anak panah.
Cuo It Sian, Ti Then serta Suma San Ho yang melihat hal ini
bersama-sama membentak keras, tubuh mereka bersama-sama
berkelebat menuju ke arah mana berasalnya suara sambitan tadi.
Di kedua belah samping jalan gunung itu semuanya merupakan
pepohonan yang amat rindang dan rapat sekali sehingga mereka
bertiga menubruk ke depan beberapa kaki jauhnya tubuh mereka
sudah lenyap di balik pepohonan.
Wi Lian In pun ingin ikut mengejar tapi keburu ditahan oleh Wi
Ci To ujarnya:
“Tidak perlu, ada mereka tiga orang lebih dari cukup”
Liuw Khiet segera meloncat mendekati pohon itu dan mencabut
keluar anak panah tersebut yang kemudian dengan sangat
hormatnya diangsurkan kepada Wi Ci To.
Sebatang anak panah yang bersurat, pocu silahkan lihat, ujarnya.
Wi Ci To segera menerima anak panah itu dan melepaskan
secarik kertas yang terikat pada batang anak panah itu laIu
dibacanya.
Sebentar saja air mukanya sudah berubah sangat hebat sekali.
Kiranya pada kertas tersebut bertulisan :
“Dipersembahkan kepada Pek Kiam pocu. Wi Ci To.
Tiga pendekar pedang merah dari Benteng kalian, Ih Kun. Kha
Cay Hiong serta Pauw Kia Yen telah berada ditangan lohu.
Jikalau kalian tidak ingin melihat mereka bertiga dibunuh oleh
aku orang, cepatlah persiapkan barang yang sudah lohu ingini itu.
Menanti balasan dari saudara.”
Di bawah surat itu tidak tampak adanya nama si pengirim.
Tetapi sekali pandang saja Wi Lian In segera berteriak keras.
“Aaaah tentu si lelaki berkerudung itu yang menulis.”
Air muka Wi Ci To berubah menjadi pucat ke hijau-hijauan
menahan rasa gusar, dengan dinginnya dia berdiri di sana tanpa
mengucapkan sepatah kata pun tetapi barang siapa saja yang
melihatnya tentu segera akan mengetahui bagaimana kegusaran
yang sedang bergolak di dalam hatinya.
“le Kun, Kha Cay Hiong serta Pauw Kia Yen bagaimana bisa
terjatuh di tangannya?” tanya
Wi Lian In dengan sangat terperanyat.
Dari sepasang mata Wi Ci To segera memancar keluar sinar mata
yang amat tajam sekali, sepatah demi sepatah sahutnya .
“Kepandaian silat mereka bertiga tidak rendah sekali pun tidak
berhasil memenangkan pihak lawan belum tentu bisa tertawan oleh
mereka tentunya sewaktu mereka berangkat kemari di tengah jalan
sudah terkena jebakan yang dipasang oleh mereka”
“Lalu bagaimana baiknya?” tanya Wi Lian In murung. “Jikalau Tia
tidak menyerahkan barang itu tentunya mereka bertiga akan
dibunuh secara kejam”
Wi Ci To tetap berdiam diri tidak mengucapkan sepatah kata pun
sedangkan dari sepasang matanya jelas sekali tampak kegusaran
yang sukar untuk ditahan.
Sekali lagi Wi Lian In menghela napas panjang ujarnya.
“Semula aku orang selalu menaruh curiga kalau lelaki
berkerudung itu adalah Cuo it Sian. kiranya dugaanku tersebut
sebetulya salah”
Baru saja bicara sampai d sini tampak Cuo It Sian, Ti Then serta
Suma San Ho bertiga sudah berkelebat mendatang.
Di tangan Ti Then tampaklah seorang lelaki kasar berbaju hijau
yang terkena cengkeramannnya.
Ditangan lelaki berbaju hijau itu masih memegang sebuah busur,
jeias sekali panah tadi dialah yang memanah.
Melihat hal itu Wi Lian In menjadi amat gusar, teriaknya.
“Hoore sudah ketangkap, sudah ketangkap”
Bagaikan sedang menenteng seekor ayam kecil saja dengan
amat ringannya Ti Then berkelebat mendatang kemudian dengan
kerasnya membanting tubuh lelaki berbaju hijau itu ke hadapan Wi
Ci To, ujarnya.
“Tidak salah, budak inilah yang baru saja memanahkan anak
panah tersebut”
Dari dandanan lelaki berbaju hijau itu jelas menunjukkan kalau
dia merupakan seorang lelaki kasar yang sering berbuat jahat, dia
orang yang dibanting ke atas tanah oleh Ti Then segera m
merasakan kepalanya amat pening dadanya sesak, untuk beberapa
saat lamanya tidak sanggup untuk bangun.
Lama sekali baru kelihatan dia jatuhkan diri berlutut di hadapan
Wi Ci To, ujarnya dengan badan gemetar:
“Thay ya am pun . . hamba . , hamba...”
“Siapa namamu?” bentak Wi Ci To dengan amat keras.
“Hamba bernama Mao ji, penduduk dari Lam Khuan Sian “ sahut
lelaki berbaju hijau itu dengan badan gemetar.
“Anak panah tadi kau yang memanah?” tanya Wi Ci To kembali.
“Benar . . . . benar , , . “ sahut lelaki berbaju hijau itu sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Hamba tolol dan tidak tahu
aturan harap Loya mau mengam puni dosa hamba”
“Kau sudah seberapa lama mengikuti lelaki berkerudung itu?”
potong Wi Ci To kembali.
“Tidak - . , hamba tidak kenal dengan dia orang, kurang lebih
setengah jam yang lalu sewaktu hamba melewati gunung ini dia
sudah mencegat hamba, dia orang tanya maukah hamba mencari
untung besar sepuluh tail perak, karena hamba kena jiret kerlipan
uang perak seberat sepuluh tail perak, dia perintahkan hamba untuk
bersembunyi di balik pohon dan sewaktu melihat kalian turun segera
anak panah bersurat ini suruh dipanahkan . .”
“Omong kosong” bentak Wi Ci To secara tiba-tiba.
Lelaki berbaju hijau itu menjadi sangat terperanyat, dia
mengangguk-anggukkan kepalanya semakin cepat lagi.
“Sungguh... perkataan dari hamba .semuanya sungguh-sungguhi
. . coba kau lihat?”
Sembari berkata dari dalam sakunya dia mengambil keluar
sepuluh tahil perak dan ujarnya kembali :
“Coba kau lihat inilah uang sepuluh tahiI perak yang dia orang
hadiahkan kepada hamba”
“Kau orang masih tidak mau bicara terus terang ?” bentak Wi Ci
To kembali sambil melototkan sepasang matanya besar-besar.
Saking cemasnya hampir-hampir lelaki berbaju hijau itu dibuat
menangis, teriaknya dengan terputus-putus:
“Per...perkataan hamba....sungguh-sungguh, jika kau orang . .
orang tua tidak percaya hamba . hamba segera . . segera angkat
sumpah.”
“San Ho bunuh dia!” perintah Wi Ci To kemudian sambil menoleh
ke arah Suma San Ho.
Suma San Ho sudah tahu pocu mereka selamanya tidak pernah
membunuh orang secara sembarangan, dia tahu Pocunya ini sedang
menakut-nakuti dirinya karena itu dia segera menyahut kemudian
mencabut keluar pedangnya dan ditempelkan ke atas lehernya siap
ditebaskan ke atas kepalanya.
Saking takutnya lelaki berbaju hijau itu menjerit-jerit seperti babi
yang disembelih, teriaknya.
“Oooh . . thay ya am pun . thay ya am punilah hamba, di rumah
hamba masih ada seorang ibu yang sudah berusia delapan puluh
tahun, hamba tidak boleh mati..”
“Baiklah, lepaskan dia pergi” seru Wi Ci To kemudian sambil
tersenyum.
Suma San Ho segera mendorong badannya ke depan sambil
membentak.
“Sana menggelinding cepat-cepat dari sini”
Bagaikan baru saja mendapatkan rejeki nomplok lelaki berbaju
hijau itu segera berteriak kegirangan, sambil menghembuskan
napas lega dia merangkak bangun seperti anying yang kena gebuk
dengan terbirit-birit melarikan diri dari sana.
“Tia” ujar Wi Lian In sewaktu melihat ayahnya melepaskan orang
itu pergi, “Kau orang tua tidak seharusnya melepaskan dia dengan
begitu saja kemungkinan sekali dia anak buah dari lelaki
berkerudung tersebut”
Wi Ci To tidak berdaya setelah melihat lelaki berbaju hijau itu
pergi jauh baru ujarnya kepada Ti Then dengan suara yang amat
lirih.
“Ti kiauw tauw coba kau buntuti dirinya, lohu akan menanti kau
di dalam rumah penginapan
Ya Lay di dalam kota Ci Kian Sian.
Ti Then segera menyahut dan dengan mengerahkan ilmu
meringankan tubuh dia berkelebat masuk ke dalam hutan untuk
membuntuti dirinya dari tempat kejauhan.
Tidak lama kemudian mereka sudah sampai di tanab rumput di
bawah gunung, tampak lelaki berbaju hijau itu dengan cepatnya
berlari menuju ke kota Lan Khuan sian, selama di dalam
perjalanannya ini dia beberapa kali menengok ke belakang agaknya
dia merasa takut Wi Ci To sekalian mengejarnya.
Sudah tentu jejak dari Ti Then tidak dapat diketahui olehnya,
terus menerus menyaga jarak yang tertentu dengan dirinya selama
di dalam perjalanan ini dia menguntit dengan sangat berhati-hati
sekali.
Setelah mengikuti sejauh puluhan lie akhirnya sampailah mereka
di dalam kota Lam Khuan sian, begitu masuk ke dalam kota lelaki
berbaju hijau itu sudah tidak tampak rasa kaget atau ketakutan.
Dengan badan tegak langkah Iebar dia berjalan dengan
seenaknya di tengah jalan, agaknya dia merupakan seorang
benggolan yang paling ditakuti di dalam kota Lam Khuan Sian ini
banyak orang-orang yang berlalu lalang di tengah jalan ketika
bertemu dengan dia orang segera bungkukkan badannya memberi
hormat.
Ti Then tetap menguntit dirinya dari tempat kejauhan, setelah
melalui jalan raya yang besar mendadak tampak lelaki berbaju hijau
itu berbelok ke sebuah jalan kecil dan akhirnya berbelok pula ke
sebuah lorong kecil dan mamasuki sebuah rumah yang sudah
bobrok.
Baru saja dia mendorong pintu untuk masuk, dari dalam rumah
segera terdengar suara seseorang perempuan yang tinggi
melengking sedang bertanya.
“Siapa? “
“Aku . . Lo kongmu.” sahut lelaki berbaju hijau itu sambil
menutup kembali pintu rumahnya.
Tampaklah seorang wanita setengah baya yang rambutnya awut-
awutan tidak karuan berjalan keluar dari dalam rumah, tanyanya.
“Heei kenapa sepagi ini kau orang sudah pulang?”
“Ambillah secawan air teh terlebih dulu”Seru lelaki berbaju hijau
itu sambil duduk di atas sebuah kursi.
“Hmmm,” terdengar perempuan yang rambutnya awut-awutan
itu tertawa dingin. “Jika dilihat dari modelmu tentunya kau orang
berhasil memperoleh suatu jual beli yang agak lumayan ?”
“Sedikit pun tidak salah,” sahut lelaki berbaju hijau itu sambil
tertawa senang.
Perempuan yang rambutnya awut-awutan itu segera masuk ke
dalam rumah mengambil secawan teh dan diangsurkan kepadanya.
“Lo nio tahu setiap kali kau mem punyai uang tentu badanmu
bisa gemetar dengan keras,” Serunya sambil tertawa.
Sehabis minum secawan air teh lelaki berbaju hijau itu segera
mengangsurkan cawan kosongnya kepada dia orang ujarnya sambil
mengangkat kakinya ke atas kursi.
“Hey nasinya sudah matang?”
“Woou...masih terlalu pagi”
“Maknya .... nenek anying" maki lelaki berbaju hijau itu dengan
amat gusarnya, “Tentu kau orang berjudi lagi?”
“Tidak salah” sahut perempuan itu tidak mau kalah, “Kau bisa
pergi main pelacur di luaran sedang Lo nio tidak pernah pergi cari
lelaki unluk main, apa kau tidak terima? kau mau cari gara-gara
dengan aku yaaa ?”
Lelaki berbaju hijau itu segera mendengus dingin, dari dalam
sakunya dia mengambil keluar sepuluh tahil peraknya dan dengan
berat digebrakkan ke atas meja.
“Coba kau lihat barang apa ini?” t eriaknya keras.
Pandangan mata perempuan tersebut terasa menjadi terang,
dengan cepat dia merebut uang itu sambil mengusap-usapnya
dengan penuh bernapsu, dengan perasaan amat girang bercampur
terkejut dan keheranan tanyanya
“Heeey, kau dapat merampas dari mana? “
“Maknya, setiap kali aku punya uang tentu kau menganggap aku
mendapatkannya dengan jalan merampas.”
“Kalau tidak kau mendapatkan keuntungan dari toko yang mana
?“ seru perempuan tersebut sambil tersenyum-senyum kuda.
“Aku bukan mendapatkannya dari cari untung di toko, aku orang
memperoleh uang itu dengan taruhan nyawa“ teriak lelaki berbaju
hijau itu dengan mendongkol.
“Oooh. . tidak kusangka kau masih bisa mencari uang juga, eei
dengan cara bagaimana kau mendapatkan uang itu ?”
“Sore itu sewaktu aku tiba dibawab kaki gunung Kim Hud san
tiba-tiba
perjalananku
dihadang
oleh
seseorang
lelaki
berkerudung..”
“Aduh..”teriak perempuan itu dengan amat keras, “Apakah kau
orang tukang todong sudah bertemu dengan perampok?”
“Maknya ... “ sekali lagi lelaki berbaju hijau itu memaki sambil
melototkan matanya.
“Kalau bicara perlahan sedikit, neneknya,,. aku orang setiap hari
harus gulung sana gulung sini bukankah cuma memelihara kau
perempuan cabul. sekarang kau malah maki aku tukang
todong..perempuan sundal”
-ooo0dw0ooo-
Jilid 25 : Kecurigaan pada si pembesar kota
“BAGUS ! bagus !" seru perempuan itu kembali sambil tertawa.
“Perduli apa, teriak atau tidak berteriak pokoknya tetangga-tetangga
kita sudah pada mengerti semua keadaan kita, kau orang masih
takut apa lagi?"
“Hm !"' dengus lelaki berbaju hijau itu kurang puas." Tetapi uang
sebanyak sepuluh tahil yang aku dapatkan ini hari bukan dapat dari
merampas”'
“Scbenarnya sudah terjadi urusan apa?" tanya perempuan yang
rambutnya awut-awutan itu dengan nada serius, sedang senyuman
yang semula menghias bibirnya kini lenyap tak berbekas lagi.
“Lelaki berkerudung itu tanya padaku apakah mau untung
sepuluh tahil perak, aku yang melihat wajahnya dalam hati segera
tahu kalau dia orang ada urusan yang ingin meminta bantuanku,
karena itu aku segera menerimanya, dia lalu mengambil keluar
sepuluh tahil perak dan diberikan kepadaku di samping memberikan
pula sebuah busur dan sebatang anak panah yang di atasnya terikat
segulung kertas “
“Aku tahu, sekarang!" Nyeletuk perempuan itu. "Dia orang minta
kau pergi membunuh orang, bukan begitu ?”
Lelaki berbaju hijau itu menjadi sangat gusar sekali.
“Kenapa kau terus menerus memotong pembicaraan orang ?"
"Baik - . . baiklah .... sekarang kau lanjutkanlah perkataanmu !"
"Lalu dia membawa aku menuju ke sebuah jalan gunung di atas
gunung Kim Hud-san, dia meminta aku bersembunyi di dalam hutan
di samping jalan gunung tersebut, katanya nanti bakal ada lima,
enan oraag yang akan turun gunung melalui jalan itu, dia memesan
kepadaku kalau melihat mereka turun, panah bersurat ini harus
dipanahkan kearah mereka."
"Akhirnya kau berhasil membinasakan salah seorang diantara
mereka ?” tanya perempuan itu kembali.
Dengan amat kasarnya lelaki berbaju hijau itu menggebrak meja
yang ada di sampingnya.
"Aku suruh kau orang jangan memotong pembicaraanku, kau
mengerti tidak?" bentaknya dengan amat gusar.
"Baik. baiklah kau boleh teruskan !"
“Lelaki berbaju hitam itu tidak perinlahkan aku untuk membunuh
orang, dia cuma meminta aku memanahkan secarik surat kepada
mereka, enam orang yang baru saja turun gunung itu, aku lalu
menunggu di dalam hutan selama setengah jam lamanya ternyata
sedikit pun tidak salah, ternyata dari atas gunung muncul enam
orang, aku segera memanahkan, setelah itu lalu putar ..badan
melarikan diri ... . "
"Tidak aneh seluruh badanmu berkeringat bau, lalu bagaimana
selanjutnya?” Timbrung perempuan itu kembali.
Lelaki berbaju hijau itu menelan ludah lebih dulu kemudian baru
sambungnya.
"Aku belum barhasil lari seberapa jauh segera sudah terkejar
oleh seorang tua dan dua orang pemuda, sewaktu aku melihat tidak
bisa melarikan diri lagi dari kejaran mereka terpaksa memutar
badan memberikan perlawanan sengit kepada mereka ..."
"Akhirnya kau berhasil dikalahkan?” seru perempuan itu sambil
tertawa.
"Jika aku orang kalah saat ini mana mungkin bisa kembali
kerumah ?”
“Hm ! hm ! terus terang saja aku beritahu kepadamu si orang tua
serta kedua orang pemuda itu semuanya merupakan gentong nasi
belaka tidak sampai dua jurus aku sudah berhasil pukul mereka
bertiga sehingga jatuh bangun dan akhirnya berlutut di depanku
minta diam puni jiwanya, aku yang melihat keadaan mereka sangat
kasihan sekali lalu mengam puni mereka”
Mendengar kisahnya ini agaknya perempuan itu tidak mau
percaya, sambil mencibirkan bibirnya dia tertawa mengejek.
"Oooh sungguh ??" serunya kurang percaya.
"Sudah tentu sungguh, kapan aku orang pernah menipu dirimu
?” balas teriak lelaki berbaju hijau itu dengan serius.
“Lalu siapa lelaki berkerudung itu ?"
“Siapa yang tahu" jawab lelaki berbaju hijau itu sambil gelengkan
kepalanya. “Setelah itu aku pun tidak pernah bertemu kembali
dengan dirinya, kelihatannya dia menyerupai seorang kakek tua
yang sudah berusia lima, enam puluh tahunan, tubuhnya kurus
sekali
Ti Then yang bersembunyi di balik rumah setelah mendengar
perkataannya sampai di sini segera mendorong pintu berjalan
masuk ke dalam.
"Mao Ji !" serunya sambil tertawa, "Coba kau ulangi sekali lagi
badan lelaki berkerudung itu apakah kurus sekali?"
Agaknya lelaki berbaju hijau itu mimpi pun tidak pernah
menyangka kalau Ti Then bisa membuntuti dirinya sampai di sini,
melihat kehadiran dirinya air mukanya segera berubah sangat
hebat, sambil berteriak aneh tubuhnya meloncat ke atas sedang
tangannya menyambar sebuah kursi yang terbuat dari bambu dan
dilemparkan kearah Ti Then.
Ti Then segera ayunkan telapak tangannya mengirim satu
pukulan menghantam datangnya kursi bambu itu sehingga hancur
berantakan dan tersebar ke atas tanah, tubuhnya dengan
mengambil kesempatan ini mendesak maju ke depan lalu
mencengkeram baju didada lelaki berbaju hijau itu.
"Jika kau berani sedikit bergoyang saja segera aku orang akan
mencabut keluar seluruh. Otot-ototmu satu demi satu!” ancamnya
sambil tertawa.
Agaknya lelaki berbaju hijau itu termasuk manusia yang suka
menindas yang lemah tapi takut dengan yang keras, kali ini
badannya dicengkeram oleh Ti Then segera gemetar dengan amat
kerasnya.
“Baa .... baaik I Baik !' sahutnyagugup, “Ada omongan kita
bicarakan secara baik-baik .... ada omongan kita bicarakan secara
baik-baik"
Air muka perempuan yang rambutnya awut-awutanan itu pun
kelihatan amat gugup dan terkejut sekali, dengan cepat dia
menyusupkan uang seberat sepuluh tahil perak itu ke dalam
sakunya lalu mengambil sapu siap dipukulkan ke atas badan Ti
Then.
“Ayoh cepat lepas tangan!" jeritnya dengan suara yang
melengking tinggi. “Kenapa kau menangkap lakiku?"
Ti Then tidak ambil gubris terhadap dirinya, dia tetap
memandang kearah lelaki berbajau hijau itu sambil tertawa,
tanyanya:
“Kau sudah melihat betul-betul? Apa tidak salah lelaki itu mem
punyai badan yang amat kurus sekali ?''
Dia bisa sangat memperhatikan bentuk badan dari ‘Lelaki
berkerudung’ itu karena dia ingin membuktikan “Lelaki
berkerudung"' yang memerintahkan lelaki berbaju hijau untuk
mengirim surat ancaman ini benar atau tidak sama dengan lelaki
berkerudung yang muncul di dalam istana Thian Teh Kong itu,
karena menurut apa yang dilihat olehnya lelaki berkerudung yang
munculkan dirinya di dalam istana Thian Teh Kong itu mem punyai
potongan badan yang tinggi besar, jikalau perkataan dari lelaki
berbaju hijau yang mengatakan lelaki yang berkerudung itu mem
punyai badan yang amat kurus sekali adalah sungguh-sungguh
maka hal ini dengan amat jelas sekali membuktikan kalau ‘Lelaki
berkerudung’ yang mengirim surat ancaman ini sama sekali
bukanlah lelaki berkedung yang ditemuinya.
Dia merasa hal ini sangat penting sekali, alasan yang paling
penting adalah bilamana ‘Lelaki berkerudung’ yang sudah
memerintahkan lelaki berbaju hijau itu adalah lelaki berkerudung
yang ditemuinya maka jelas sekali menunjukkan si pembesar kota
atau Si Sian Thay-ya, Cuo It Sian bukanlah lelaki berkerudung hitam
itu, sebaiiknya jikalau lelaki berkerudung yang memerintahkan lelaki
berbaju hijau ini sama sekali lain dengan "lelaki berkerudung hitam
yang ditemuinya di dalam istana Thian Teh Kong maka keadaan dari
Si Sian Thay-ya atau si pembesar kota Cuo It Sian sangat
mencurigakan sekali.
Agaknya lelaki berbaju hijau itu saking tegangnya sehingga
napasnya serasa sesak sekali, ujarnya kembali dengan gugup :
“Beeee . . . benar . . . beee .... benar tubuhnya kurus . . . kurus-
sekali”
“ Seberapa tinggi badannya ?? “ tanya Ti Then kembali.
“Tidak terlalu tinggi, seperti . . . sepe-perti isteriku ini . . . “
Ti Then segera melirik sekejap ke arah perempuan yang awut-
awutan itu lagi, serunya kembali sambil tertawa :
“Kau tidak omong kosong bukan ! “
“Tidak! tidak! perkataan hamba sungguh-sungguh benar tidak
ada sepatah kata pun yang berbohong. “
“Tapi apa yang aku dengar selama setengah harian di luar rumah
tadi sudah merasakan di dalam sepuluh patah katamu ada sembilan
bagian yang sedang berbohong.”
Wayah lelaki berbaju hijau itu segera berubah menjadi merah
padam seperti kepiting rebus, lama sekali dia orang tidak dapat
mengucapkan sepatah kata pun juga.
Air muka Ti Then segera berubah menjadi sangat serius sekali,
serunya : “Aku sudah tahu kau orang adalah seorang tukang todong
yang terkutuk, kali ini aku am puni nyawa anyingmu. Tapi lain kali
jikalau kau orang masih saja melakukan pekerjaan semacam ini
heee . . . . heee .... jangan salahkan aku orang akan mencabut
nyawamu pada setahun kemudian"
Selesai berkata dengan mengerahkan tenaga dalamnya dia
mendorong rubuh ujung tembok dari rumah itu.
Setelah itu dengan perlahan dia menoleh ke arah perempuan
dengan rambut yang awut-awutan tadi, tambahnya:
“Lelakimu ini sungguh pandai berbohong, terang-terangan tadi
aku melihat dia orang mendapatkan lima puluh tahil perak dari lelaki
berkerudung itu sekarang dia bilang cuma mendapat sepuluh tahil
perak saja. Heee .... heee . , kamu orang sudah kena dibohongi”
Sehabis berkata dengan langkah lebar dia berlalu dari sini.
Belum jauh dia meninggalkan rumah itu segera terdengar suara
bantingan barang-barang yang amat ramai dari dalam rumah
tersebut disusul dengan suara makian dari perempuan tersebut :
“Bagus, bagus sekali ! Kau lelaki bangsat, pandai juga kamu orang
mengkorup uang belanya, terang-terangan orang lain perseni kau
sebanyak lima puluh tahil perak sekarang kau cuma mengaku
mendapat sepuluh tahil perak saja, cepat serahkan empat puluh
tahil perak yang lain, kalau tidak Lo-nio segera akan adu jiwa
dengan dirimu !”
"Eeeeei . . . tunggu dulu, tunggu dulu. Kau jangan mau
mendengar omongannya, aku betul-betul cuma mendapatkan
sepuluh tahil perak dari orang itu . . . Aduh !! "
Selanjutnya terdengarlah suara yang amat berisik sekali bergema
dari dalam rumah tersebut.
Dalam hati diam-diam Ti Then merasa sangat geli sekali, dia
segera berbelok keluar dari lorong itu melalui jalan besar, saat ini
malam hari sudah tiba, perut pun terasa amat lapar, dalam hati dia
segera mengambil keputusan untuk mencari sebuah rumah makan
untuk berdahar dulu kemudian baru melakukan perjalanan malam
menuju ke kota Ci Kiang sian untuk bertemu dengan Wi Pocu
sekalian.
Dengan mengikuti jalan besar, dia kembali berjalan puluhan
langkah jauhnya, mendadak di depan sebuah kuil dia melihat
banyak orang yang berkerumun mengelilingi sebuah lapangan, dari
tengah banyak orang itu terdengarlah suara tambur serta
gembrengan yang amat ramai sekali, sekali pikir saja dia segera
tahu tentunya ada orang yang jual akrobat sedang mamberikan
tontonannya di sana, dengan perlahan dia pun berjalan menuju ke
sana.
Tampak orang yang melakukan pertunjukan tersebut adalah
seorang kakek tua, seorang pemuda serta seorang nona, saat ini si
kakek tua yang ada di tengah kalangan sedang mempertunjukkan
Ilmu jari sakti Ci Sin Kang" yang jarang ditemui di dalam Bu-lim, dia
orang menggunakan jari tengah serta jari telunjuk dari tangan
kanannya menutul permukaan tanah la!u tubuhnya berdiri dengan
mengandalkan kekuatan jari tersebut, atau dengan perkataan lain
dia menahan seluruh berat badannya dengan mengandalkan
kekuatan jarinya itu.
Sungguh merupakan sebuah ilmu kepandaian yang sangat lihay
sekali !
Ti Then sama sekali tidak menyangka kalau orang yang
melakukan pertunjukan tersebut merupakan seseorang yang
memiliki kepandaian silat demikian tingginya, dalam hati merasa
sangat terkejut bercampur keheranan.
Dia segera maju ke depan untuk meIihat lebih jelas lagi, tapi
sewaktu dia melihat jelas wayah dari orang tua itu seketika itu juga
hatinya seperti digodam dengan sebuah palu yang amat besar,
seketika itu juga seluruh tubuhnya gemetar dengan amat kerasnya.
Dengan cepat dia mendesak untuk maju ke barisan yang paling
depan lantas teriaknya dengan suara yang amat keras : “Yan
Locianpwe ! "
Betul, dia memang kenal dengan orang tua penjual silat ini.
Bukan saja dia kenal dengan orang tua she Yan ini bahkan pada
masa yang lalu dia orang masih, mem punyai hubungan yang
sangat penting sekali dengan orang tua She Yan ini.
Kakek tua yang sedang mempertunjukkan ilmu “lt Ci Sin Kang"
itu sewaktu mendengar ada orang yang memanggil namanya dia
segera berhenti bermain dan bangkit berdiri, matanya dengan
perlahan menyapu ke sekeliling tempat itu bersamaan pula
tanyanya
“Kawan dari mana yang sudah memanggil aku orang ?"
Sewaktu kakek tua itu melihat Ti Then ada di sana air mukanya
segera berubah hebat.
“Kau. . . . Ti Then ?" serunya.
Ti Then mengangguk dengan perlahan, jelas sekali wayahnya
kelihatan amat terharu sekali.
Wajah kakek tua itu pun terlihat sangat terharu, setelah melototi
Ti Then beberapa waktu lamanya mendadak kepada para penonton
yang ada di dalam kalangan itu dia merangkap tangannya menjura.
“Saudara-saudara sekalian !” ujarnya sambil tertawa.
“Pertunjukan ini hari sampai di sini saja, terima kasih atas
kunjungan dari saudara-saudar sekalian!”
Ketika para penonton mendengar dia mau bubaran segera pada
meninggalkan tempat itu, uang persenan yang diberikan pun tidak
seberapa banyak.
Si pemuda serta sang nona yang mengikuti kakek tua itu
agaknya kenal juga dengan diri Ti Then, ketika melihat para
penonton pada bubaran mereka bersama-sama berjalan mendekati
diri Ti Then, jelas pada air muka mereka memperlihatkan
kegemasan serta kebencian hatinya.
Setelah memperhatikan diri Ti Then beberapa saat lamanya
terdengar si pemuda itu tertawa dingin.
“Kelihatannya pada waktu dekat-dekat
mendapatkan penghasilan yang lumayan juga ?"
ini
kau
orang
Air muka Ti Then sedikit pun tidak berubah sedangkan mulutnya
tetap membungkam di dalam seribu bahasa.
Sang nona itu pun segera tertawa dingin, tambahnya :
“Kenapa kau orang tidak berbicara ? Apa mungkin kau sudah
tidak kenal dengan kami orang-orang yang hidupnya tergantung
menjual silat ?"
Air muka kakek tua itu segera berubah amat keren, bentaknya :
" Wi lh, Lan-ji, jangan kurang ajar kalian, cepat bereskan barang-
barang itu dan kembali ke rumah penginapan terlebih, dulu!"
Pemuda yang bernama Wi Ih serta nona yang bernama Lan-ji itu
tidak berani membangkang perintah dari sang kakek tua, dengan
gusarnya mereka melotot sekejap kearah Ti Then lalu dengan uring-
uringan berlalu dari sana untuk membereskan gembrengan, tambur
serta alat-alat Iainnya yang ada di dalam kalangan.
Tampak kakek tua itu berjalan maju menggandeng tangan Ti
Then lalu ujarnya :
" Ayoh pwrgi, kita mencari satu tempat untuk omong-omong".
Dengan berdiam diri Ti Then mengikuti dari samping kakek tua
itu dan berjalan ke sebuah rumah makan.
"Bagaimana kalau kita naik ke atas loteng ? " tanyanya sambil
menghentikan langkahnya.
"Baiklah, kita minum berapa cawan, " sahut sang kakek tua
sambil mengangguk.
Mereka berdua segera naik ke atas loteng rumah makan itu dan
mencari sebuah tempat untuk duduk, setelah meminta beberapa
macam arak mereka saling berpandangan tanpa ada yang
mengucapkan kata-katanya terlebih du!u, agaknya mereka berdua
merasa banyak perkataan yang hendak diucapkan tetapi tidak tahu
baiknya memulai dari bagian yang mana karena itu sama-sama
bungkam diri.
Lama sekali baru terdengar
memecahkan kesunyian.
Ti
Then
yang
mula-mula
“Kau orang tua sudah ada berapa tahun lamanya melakukan
pertunjukan jual silat?" tanyanya.
“Sudah hampir satu tahun lamanya."
“Kenapa kau memilih jalan ini untuk melanjutkan hidup kalian ?"
Kakek tua itu segera tertawa pahit.
"Kecuali menjual silat Lohu masih bisa melakukan pekerjaan apa
lagi ?"
"Aaaai .... semuanya ini dikarenakan kesalahan hamba . . . " seru
Ti Then sambil menundukkan kepalanya.
Kakek tua itu pun ikut menghela napas panjang.
"Kau orang tidak usah menyalahkan dirimu sendiri, orang yang
sering berjalan malam pun tidak urung akan bertemu juga dengan
setan."
''Wi Ih bocah itu tidak jeiek" sambung kakek tua itu lagi. "Dan
belum pernah, meninggalkan Lohu sedangkan Lan-ji pun mem
punyai perhatian terhadap dirinya, maka itu pada beberapa bulan
yang lalu Lohu sudah kawinkan mereka berdua."
“Hal itu bagus sekali !" sahut Ti Then sambil mengangguk.
“Sikap serta tindak tanduk mereka tadi kurang baik terhadap
dirimu harap kau orang jangan marah di hati " ujar kakek tua itu
lagi.
“Tidak .... tidak ! Mereka memang seharusnya membenci diriku "
ujar Ti Then dengan amat murung.
“Kau sudah bertemu dengan dirinya?”
“Siapa ?" tanya Ti Then melengak.
“Si Hong Liuw Kiam Khek atau si jagoan pedang yang suka
pelesiran, Ing Ping Siauw?”
“Belum ?" jawabnya sambil gelengkan kepalanya.
Kakek tua itu segera menghela napas panjang kembali.
“Kau orang apa merasa yaki perbuatan itu dilakukan oleh si
jagoan pedang suka pelesiran Ing Ping Siauw ?" tanyanya.
“Di dalam sepuluh bagian ada delapan bagian tidak salah, karena
sejak kejadian itu. di dalam Bu-lim tidak pernah terdengar namanya
mau pun beritanya lagi. "
000O000
“Janyinya dengan dirimu masih ada setahun Iamanya bukan ?”
tanya takek tua itu lagi.
“Benar !"
Sekaii lagi kakek tua itu menghela napas panjang.
“Lohu betul-betul tidak paham apa tujuannya dia orang berbuat
demikian ?"
“Aku rasa tentunya demi nama baik dirinya, ada orang bilang si
jagoan pedang suka pelesiran, Ing Ping Siauw, si naga mega Hong
Mong Ling serta cayhe merupakam tiga orang jago dari angkatan
muda, dia orang sangat mengharapkan bisa menduduki pda jagoan
yang pertama diantara tiga jagoan angkatan muda lain.”
Baru saja kakek tua itu mau berbicara lagi tampak si pelayan
sudah membawa sayur serta arak, dia segera menutup mulutnya
kembali.
Menaati setelah pelayan itu mengatur sayur serta arak di atus
rneja Ti Then segera bangkit memenuhi cawan dari si orang tua lalu
memenuhi juga cawannya sendiri, setelah itu dengan berdiam diri
masing-masing menghabiskan isi cawannya sendiri-sendiri.
"Pada akhir-akhir ini kau orang bagaimana ?” tanya kakek tua itu
tiba-tiba,
"Cayhe sekarang menyabat sebagai Kiauw-tauw di dalam
Benteng Pek Kiam Po”
"Apa ?" seru kakek tua itu kaget.
"Cayhe menyabat sebagai Kiauw-tauw di dalam Benteng Pek
Kiam Po."
"Hal . . hal ini mana mungkin ?" seru kakek tua itu ragu-ragu.
"Orang yang bisa menyabat sebagai Kiauw-tauw di dalam Benteng
Pek Kiam Po seharusnya mem punyai kepandaian silat yang jauh di
atas para pendekar pedang merah lainnya yang ada di dalam
Benteng, sedangkan kau . . kau , .”
“Cayhe sudah menemui suatu kejadian yang aneh dan
mendapatkan pelajaran ilmu silat yang amat lihay dari seorang
manusia aneh di dalam Bu-lim . . . “
"Siapakah manusia aneh tersebut?"
“Hal inilah cayhe ingin sekali mengutarakannya keluar, tetapi
berhubung adanya sebab-sebab yang amat penting pada saat ini
cayhe tidak bisa memberitahukan seluruh keadaan dari manusia
aneh tersebut harap kau orang tua suka memaafkan."
“Dia bisa melatih ilmu silatmu sehingga melebihi kepandaian silat
dari pendekar pedang merah dari Benteng Pek Kiam Po?” tanya
kakek tua itu kembali.
"Benar “
"Kalau begitu tentang Ing Ping Siauw sudah tentu tidak ada
persoalannya lagi?"
"Benar, tetapi cayhe harus menanti delapan bulan kemudian baru
bisa mencari dirinya, sekarang cayhe masih belum bisa."
"Kenapa ?" tanya kakek tua itu melengak.
“Sebab-sebabnya cayhe tidak bisa menjelaskan" sahut Ti Then
sambil gelengkan kepalanya.
“Ehmmm”
“Menunggu setelah semua persoalan ini telah beres tentu cayhe
bisa menceritakan seluruh persoalan ini kepada kau orang tua"
“Ehmmm”
“Bagaimana hidup kalian sampai sekarang?"
“Masih baik"
“Tapi harus melakukan pertunjukan silat terus bukanlah suatu
acara yang baik”
“Sebaliknya Lohu merasa sangat bagus sekali, sekali pun
pendapatannya amat sedikit tetapi tidak ada ikatan apa pun."
“Tetapi bilamana sampai bertemu dengan orang yang pernah
dikenal .... bukankah..”
“Lohu mengandalkan kepandaian untuk mencari uang kenapa
harus malu bertemu dengan orang lain? "
“Cayhe cuma mengharapkan kau orang tua bisa membangun
kembali kejayaan serta kewibawaanmu seperti tempo hari."
“Tidak bisa jadi, siapa yang masih percaya dengan Lohu ?"
“Kalau begitu bagaimana kalau berdagang?"
“Soal itu harus membutuhkan sejumlah uang."
“Kalau lima belas laksa tahil perak cukup tidak?"
“Ehm,..berapa?"
Ti Then segera mengambil keluar uang kertas yang
didapatkannya dari si Giok Bin Langcun, Cu Hoay Lo lalu diberikan
kepada orang tua tersehut, ujarnya :
"Uang kertas ini dikeluarkan oleh gudang uang di kota Tiang An.
kau orang tua dengan membawa uang kertas ini bisa pergi
mengambil uang sebesar lima belas laksa tahil perak."
"Kau mendapatkan uang sebanyak ini dari mana??" tanya kakek
tua itu dengan amat terperanyat sekali.
"Uang itu bukan milik cayhe, pada dua bulan yang lalu secara
tidak sengaja cayhe sudah berhasil menawan diri si "Giok Bian
Langcun" Cu Hoay Lo, kau orang tua tentunya sudah pernah
mendengar nama "Giok Bin Langcun" Cu Hoay Lo bukan ?"
"Ehmm benar!" sahut kakek tua itu sambil mengangguk.
"Menurut berita yang tersiar katanya dia merupakan seorang
penyahat cabul yang kejahatannya sudah bertumpuk-tumpuk.''
"Benar, waktu itu sewaktu cayhe beserta putri dari Wi Pocu, Wi
Lian In karena ada urusan melewati sesuatu tempat telah ditemui
oleh Giok Bin Langcun ini, dengan mengambil kesempatan sewaktu
cayhe sekalian mcnginap di sebuah rumah penginapan dia secara
diam-diam sudah mencampurkan obat pemabok ke dalam makanan
kami, akhirnya hal itu sudah ditemui oleh cayhe dan berhasil
menawannya, karena dia kepingin hidup terus segera mengambil
keluar uang kertas ini untuk menebus nyawanya. . .”
Kakek tua itu segera mengerutkan alisnya rapat-rapat, potongnya
:
"Lalu kau orang menerima uang kertasnya ini dan melepaskan
dirinya pergi?"
"Tidak, cayhe menerima pemberian uang kertasnya ini lalu
menajatuhi hukuman mati kepadanya."
"Eeeeh .... seharusnya setelah kau orang mau menerima
uangnya ini tidas sepantasnya membinasakan dirinya" seru kakek
tua itu.
"Sesaat cayhe turun tangan aku sudah menanyainya dengan
amat jelas, cayhe dapat tahu kalau uang itu dia berhasil kumpulkan
dari hasil rampokannya selama ini, karena itulah cayhe merasa uang
itu tidak sah buat menebus nyawanya, apalagi cayhe pun tidak
punya perhatian untuk menggunakan uang sebanyak lima belas
laksa tahil perak ini, cayhe mem punyai maksud bilamana ada waktu
luang mau berangkat menuju ke- Tiang-An antuk mengambil uang
tersebut dan dibagikan kepada kaum miskin."
"Kalau begitu Lohu semakin tidak berani menerima uang itu?"'
ujar kakek tua kemudian.
"Tidak mengapa!" sahut Ti Then dengan perlahan. "Menanti
setelah tahun depan aku barhasil menyelesaikan urusan ini dengan
si jagoan pedang suka pelesiran Ing Ping Siuw kau orang boleh
mengurangi lima belas laksa tahil buat aku orang."
"Tidak!" seru kakek tua itu sambil gelengkan kepalanya. "Kau
bisa bertemu dengan Ing Ping Siuw atau tidak masih merupakan
satu persoalan, sekarang lohu tidak bisa menerima pemberian uang
tersebut."
"Cayhe percaya bisa bertemu dengan Ing Ping Siuw dan
menyelesaikan persoalan ini, kau orang tua harap berlega hati untuk
menerimanya."
"Tidak perlu!" ujar kakek tua itu sambil gelengkan kepalanya.
"Lohu sampai sekarang masih belum miskin benar-benar sehingga
makan pun tidak ada, aku tidak perlu membutuhkan uang sebegitu
banyak, Lebih baik kau menyimpannya kembali !"
Agaknya Ti Then tahu sifat dari orang tua itu dia pun tidak mau
mendesak lebih lanjut, dan memasukkan kembali uang ketas itu ke
dalam sakunya.
"Kalau begitu" ujarnya "kemudian. "Kita harus menentukan
waktu untuk bertemu muka kembali, kalau tidak di tempai yang
demikian luasnya cahe diharuskan pergi ke mana untuk menemui
dirimu??"
"Perjanyian dari Ing Ping Siuw masih ada satu tahun lamanya,
kalau begitu kita tentukan saja pada hari ini tahun depan kita
bertemu muka kembali di bawah loteng Cuan Yen Lo dikota Tiang
An."
"Baiklah! Sampai waktunya aku orang tentu akan menunggu."
Kakek tua itu segera meneguk habis isi cawannya lalu
memperhatikan diri Ti Then sambil tertawa.
"Sekali lagi Lohu mau beritahu kepadamu, kau orang tidak usah
merasa menyesal dikarena urusan itu, Lohu tahu kau orang
merupakan seorang pemuda yang jujur maka itu tidak perduli lain
kali kau bisa atau tidak menyelesaikan persoalan ini lohu sama
sekali tidak memikirkannya di dalam hati."
"Tidak !" seru Ti Then dengan tegas, “Tentang persoalan itu pasti
akan cayhe urus sampai selesai.”
''Lohu sangat tertarik dengan kehebatan dan kepandaianmu bisa
menyabat
sebagai Kiauw-tauw di dalam Benteng Pek Kiam Po" ujar orang
tua itu sambil ter senyum. "Dapatkah kau orang menceritakan
kisahmu secara bagaimana bisa memasuki Benteng Pek Kiam Po ?"
“Cayhe kenal dengan seorang pendekar pedang merah dari
Benteng Pek Kiam Po, dia orang she-Shia bernama Pek Tha yang
merupakan anak murid dari Wi Pocu, pada suatu hari. . . . yaitu
setelah cayhe memperoleh kejadian aneh .... sewaktu melakukan
perjalanan melalui kota Gobi cayhe sudah bertemu dengan Shia Pek
Tha itu, dia kukuh mau mengundang cayhe untuk mertamu di dalam
bentengnya, waktu itu Wi Pocu punya keinginan untuk mengetahui
kepandaian silat dari cayhe, apakah bisa memenangkan pendekar
pedang merah dari Bentengnya lalu dia perintahkan beberapa orang
pendekar pedang merah untuk menyajal kepandaian cayhe,
akhirnya beberapa orang pendekar pedang merah itu sudah
terkalahkan di tanganku, ternyata Wi Pocu jadi orang sangat jujur,
bukannya menjadi marah dia malah memuji-muji cayhe bahkan
memberi jabatan Kiauw-tauw kepada cayhe, melihat sikapnya yang
bersungguh-suugguh terpaksa cayhe menerimanya”
“Sungguh tidak kusangka kau bisa menemui kejadian aneh
seperti ini" seru kakek
tua itu sambil memperlihatkan rasa herannya. "Lalu ada urusan
apa ini hari kau
datang kekota Lam Khuan sian ini ?"
"Jika membicarakan persoalan ini sukar sekali untuk dijelaskan
dengan sepatah dua patah kata saja, persoalan ini dimulai dari
muridnya Wi Pocu yaitu Hong Mong Ling main perempuan lacur di
tempat luaran . . . .”
Demikianlah dia segera menceritakan bagaimana Hong Mong
Ling diusir dari perguruan, bagaimana dia orang bekerja sama
dengan Hu Pocu menculik Wi Lian In lalu bagaimana Hong Mong
Ling menyiarkan berita bohong di luaran yang menyatakan dirinya
sudh memperoleh kitab pusaka "Ie Cin Keng" dari Siauw-lim-Pay lalu
bagaimana si anying langit rase bumi merebut kitab tersebut
sehingga terjadi peristiwa yang amat panjang.
Sewaktu kakek tua itu mendengarkan, kisah ini tak terasa lagi
hatinya merasa sangat terperanyat sekali, tanyanya : .
“Sebenarnya Wi Pocu mem punyai barang pusaka apa toh
sehingga membual leIaki berkerudung itu mau melakukan tindakan
kejam semacam ini ?"
“Tidak tahu” sahut Ti Then sambil gelengkan kepalanya, “Selama
ini Wi Pocu tidak mau mengakui sudah menyimpan semacam
barang pusaka atau tidak, cayhe sendiri pun tidak tahu”
Mereka berdua sambil berdahar sambil bercerita tidak terasa lagi
hari sudah menunjukkan tengah malam, para tetamu yang
bersantap di rumah makan itu pun sudah pada berlalu, akhirnya
kakek tua itu bertanya:
“Kalau begitu malam ini juga kau punya maksud untuk keluar
dari kota untuk bertemu dengan Wi Pocu?”
“Benar”
“Kalau begitu” ujar kakek tua itu sambil bangkit berdiri, “Kita
berpisah dulu di sini, pada hari yang sama tahun depan kita
bertemu kembali di loteng Cian Yen Lo di kota Tiang An!”
Ti Then segera memanggil pelayan untuk bikin rekening lalu
bersama-sama turun dari loteng dan berpisah di tengah jalan, kakek
tua itu kembali ke rumah penginapan sedangkan Ti Then dengan
melakukan perjalanan malam meninggalkan kota untuk menunju ke
kota Ci Kiang sian yang jaraknya ada ratusan li jauhnya.
Setelah melakukan perjalanan selama satu malam pada waktu
hari mendekati terang tanah dia sudah tiba dikata Ci Kiang Sian.
Setelah menemukan rumah penginapan Ye Lay dan bertanya
pada pemilik rumah penginapan itu dia segera mengetahui kalau Wi
Ci To sekalian memang betul menginap di sana, dengan diantar oleh
pelayan dia berjalan mendatangi sebuah kamar.
Pelayan itu segera menuding kearah pintu kamar itu, ujarnya :
"Sianseng tua yang she-Wi itu menginap di dalam kamar yang
sebelah tengah, mungkin saat ini belum bangun."
Ti Then segera mengetuk pintu sambil berseru :
"Pocu, apakah kau orang sudah bangun ?”
Pintu kamar segera terbuka, tampak Wi Ci To sambil tersenyum
sudah berdiri di balik pintu.
"Ti Kiauw-tauw kau melakukan perjalanan malam '?" tanyanya.
'"Benar,"
"Silahkan masuk.''
Baru saja Ti Then duduk di dalam kamar nya Wi Ci To tampaklah
Wi Lian In, Suma San Ho serta s i pembesar kota Sian Thay Ya yang
mendengar suaranya dari kamar sebelah sudah pada berdatangan
untuk menanyakan jejak dari lelaki berbaju hijau itu.
“Orang itu tentu bukan anak buah dari lelaki berkerudung itu"
ujar TiThen kemudian. “Kemarin cayhe menguntit dirinya terus
hingga ke dalam kota Lam Khuan sian . . . "
Dia orang segera menceritakan seluruh apa yang didengarnya
kepada semua orang.
Sedangkan mengenai orang tua yang ditemuinya dikota tersebut
dia orang sama sekali tidak mengungkap barang sepatah kata pun
juga.
Wi Ci To segera menghela napas panjang.
"Hal ini sungguh berada diluar dugaanku. Lohu kemarin
menyuruh Ti Kiauw tauw membuntuti dirinya tidak lebih cuma takut
sudah salah menduga "
"Pihak lawan apakah tidak mengirim berita lagi?" tanya Ti Then
kemudian.
"Tidak"
"Kemarin tulisan di atas anak panah itu mengatakan apa saja ?"
tanya Ti Then kembali.
"Dia bilang tiga orang pendekar pedang merah dari Benteng kita
.... Ih Kun,Kha Hiong serta Pauw Kia Pen sudah terjatuh ke
tangannya, dia minta barang yang diinginkan supaya dipersiapkan
dan menunggu beritanya."
Ti Then menjadi amat terperanyat.
"Hmm ! ternyata permainanya Iihay juga!”
"Benar” seru Wi Ci To sambi! Tertawa dingin. "Tetapi di
kemudian hari ia bakal menyesal su sudah memperlihatkan
permainan ini!”
"Kini Wi Pocu punya rencana apa untuk menghadapi mereka ?"
"Kini orang kita tidak tahu mereka sudah membawa orang-orang
itu kemana terpaksa kita harus kembali ke dalam Benteng untuk
menunggu berita."
"Di atas suratnya apakah dia orang juga tidak menjelaskan
barang apa yang ia minta??" tanya Ti Then lagi.
"Tidak" sahut Wi Ci To sambil gelengkan kepalanya, "Agaknya dia
mengira Lohu sudah tahu barang apa yang dia minta itu, pada hal
Lohu sendiri sampai sekarang pun masih tidak tahu barang apa
yang sebenarnya dia inginkan.”
Ti Then segera menoleh ke arah Cuo It Sian lalu dengan amat
sopannya bertanya:
"Apakah Cuo Locianpwe punya rencana untuk ikut bersama-
sama kita pergi ke Benteng Pek Kiam Po ?"
"Benar" sahut Cuo It Sian sambil mengangguk. "Dia berani
mencari gara-gara dengan Ioolap sudah tentu lolap harus baik-baik
memberi pelajaran kepadanya."
Ti Then termenung berpikir sebentar lantas baru ujarnya
kembali:
“Sekarang dia orang sudah berhasil menawan ketiga orang kita,
setelah ada barang tanggungan sudah seharusnya dia orang
menampakkan dirinya."
"Lolap percaya dia masih belum berani menampakkan diri secara
terang-terangan" ujar Cuo lt Sian sambil tertawa dingin tak henti-
hentinya. "Kecuali dia orang sudah tidak sayang dengan nyawanya
sendiri."
"Lantas Pocu apa sudah mengambil keputusan untuk menerima
ancamannya ini?"' tanya Ti Then kemudian sambil menoleh ke arah
Wi Ci To.
"Lohu sendiri sampai sekarang masih belum bisa mengambil
keputusan, karena Lohu tidak tahu barang apa yang orang dia
mintai, apa lagi seharusnya dia orang memperlihatkan terlebih dulu
Ih, Kha serta Pauw tiga orang yang sudah mereka tawan."
"Betul" sahut Ti Then sambil mengangguk. "Kita harus
mengetahui terlebih dulu apakah Ih, Kha serta Pauw betul-betul
sudah terjatuh ke tangannya setelah itu baru memikirkan beberapa
syarat untuk ditukar dengan ketiga orang itu"
Wi Ci To melihat Liauw Khiet berdiri dipintu depan segera
perintahnya :
"Liauw Khiet cepat kau perintahkan orang untuk siapkan
makanan, setelah berdahar kita harus cepat-cepat meninggalkan
tempat ini."
Dengan sangat hormatnya Liauw Khiet menyahut dan berlalu dari
tempat itu.
Ti Then yang secara tiba-tiba sudah teringat kembali kedua ekor
kudanya yang sudah dititipkan di rumah petani di bawah gunung
Kim Hud san lantas bertanya kepada Wi Lian In: "Kau tidak
membawa kedua ekor kuda kita ?"
"Sudah." sahut Wi Lian In cepat," Kemarin Tia sudah membeli
lagi empat ekor kuda jempolan, nanti kita masing-masing
menungang kuda untuk kembali ke dalam Benteng."
Setengah jam kemudian tua muda enam orang sudah selesai
sarapan pagi dan melunasi rekening rumah penginapan, setelah itu
bersama-sama naik ke atas kudanya dan malakukan perjalanan
menuju ke kota Go-bi,
Jarak kekota Ci Kiang sampai ke kota Go-bi ada tiga
perjalanan, karenanya mereka berenam tidak berani
perjalanan terlalu cepat takut kuda tunggangannya
sehingga karena itu perjalanan mereka dilakukan tidak
tidak lambat.
empat hari
melakukan
tidak kuat
cepat juga
Di tengah perjalanan tiba-tiba Wi Lian In kirim satu kerdipan
mata kepada Ti Then, Ti Then yang melihat hal itu segera tahu
kalau dia orang mau mengajak dirinya untuk bercakap-cakap
karenanya sengaja dia orang memperlambat lari kudanya.
Akhirnya makin lama mereka berdua ketinggalan semakin jauh
dari rombongan, tanya Ti Then kemudian sambil melarikan kudanya
berbareng dengan dirinya.
"Ada urusan apa ?"
“Kita semua sudah salah menduga" ujar Wi Lian In sambil
menuding kearah Cuo It Sian yang berlari di depan. "Ternyata dia
orang bukanlah lelaki berkerudung itu!"
'Sungguh !” sahutnya tegas "Satu orang tidak mungkin bisa
berubah menjadi dua orang, kemarin dia berjalan bersama-sama
dengan kita, sudah tentu dia tidak bisa pergi menyuruh lelaki
berbaju hijau itu untuk mengirim surat tersebut."
"Tetapi lelaki berbaju hijau itu berkata bahwa pada setengah jam
sebelumnya orang berkerudung itu baru pergi mencari dirinya,
sedangkan dia..... Cuo It Sian sewaktu bertemu dengan kita sampai
waktu lelaki itu memanahkan suratnya agaknya belum kelewat
setengah jam Iamanya?"
"Benar !" sahut Wi Lian In mengangguk. "Dia berbicara dengan
kita lama sekali, pasti ada setengah jam lamanya"
"Kalau memangnya demikian dia orang masih tetap sangat
mencurigakan sekali” ujar Ti Then sambil tertawa.
"Kenapa?" seru Wi Lian In lertegan. "Apakah dia orang mem
punyai ilmu untuk memisahkan diri ?"
"Manusia berkerudung yang memerintahkan lelaki berbaju hijau
untuk kirim surat panah tersebut bukanlah manusia berkerudung
yang kita temui, melainkan manusia berkerudung yang lain.”
"Bagaimana kau bisa tahu dia adalah orang lain ?'" tanya Wi Lian
In keheranan.
"Lelaki berbaju hijau itu bilang orang yang memerintahkan
dirinya adalah seorang lelaki berkerudung yang badannya amat
kurus sekali, sedangkan, lelaki berkerudung yang kita temui tempo
hari sewaktu masih ada di istana Thian Teh Kong mem punyai
perawakan yang tinggi besar dari hal ini saja sudah jelas
membuktikan kalau dia adalah orang lain."
"Eeei . , . lelaki berkerudung yang melarikan diri sewaktu berada
di perkam pungau Thay Peng Cun itu pun agaknya mem punyai
perawakan yang amat kurus sekali ?" ujar Wi Lian In secara tiba-
tiba.
“Tidak salah, kemungkinan sekali memang dia orang " sahut Ti
Then sambil mengangguk.
"Hmm.Jika dilihat dari hal ini, orang yang ada di depan kita ini
sangat mencurigakan sekali ?"
"Jika keadaan ini tidak melihat maka aku sangat mengagumi
nyaiinya yang demikian besar" ujar Ti Then sambil tersenyum.
"Kau orang apakah tidak menceritakan urusan ini kepada ayahku
?"
"Tidak, dia terus menerus mengikuti dari samping tubuh ayahmu
lantas suruh dengan cara bagaimana membuka suara??"
"Urusan ini harus cepat-cepat dilaporkan kepada Tia, aku
pencaya Tia
pun masih mengira lelaki berkerudung yang
memerintahkan lelaki berbaju hijau itu adalah lelaki berkerudung
yang semula."
"Menanti jika malam nanti kita menginap di rumah penginapan,
dengan mengambil kesempatan sewaktu Cuo It Sian tidak ada di
samping ayahmu cepat-cepatlah kau menceritakan hal ini kepada
beliau.”
Wi Lian In segera mengangguk.
"Tetapi" ujar Ti Then kembali. "Kau tidak boleh tetap ngotot
menuduh Cuo It Sian adalah lelaki berkerudung itu, kau cukup
memberitahu kepada ayahmu saja lelaki berkerudung yang
memerintahkan lelaki berbaju hijau itu sama sekali bukanlah lelaki
berkerudung yang kita temui di dalam istana Thian Teh Kong."
"Kalau cuma berkata demikian bagaimana Tia bisa mengerti ?"
"Ayahmu itu manusia macam apa ? Ada urusan apa yang dia
orang tidak dapat pikirkan ?" Seru Ti Then sambil tersenyum.
Wi Lian In segera mengangguk, dia tersenyum,
“Tidak perduli lelaki berkerudung itu benar Cuo It Sian atau tidak,
menanti setelah kita kembali ke dalam Benteng kemungkinan sekali
segera kita orang bisa tahu barang apa yang dia minta sehingga
memaksa ayahmu untuk menyerahkan kepadanya !"
Hari itu malam hari sudah menjelang, keenam orang itu pun
baru saja tiba di sebuah kota, mereka segera pada mencari rumah
penginapan untuk beristirahat.
Dengan mengambil kesempatan sewaktu Cuo It Sian tidak ada di
samping ayahnya Wi Lian In segera menceritakan bagaimana
manusia berkerudung yang memerintahkan lelaki berbaju hijau itu
sama sekali bukan manusia berkerudung yang mereka temui di
dalam istana Thian Teh Kong.
Setelah mendengar perkataan itu agaknya Wi Ci To sama sekali
tidak menjadi terkejut atau heran.
"Lalu bagaimana ?" tanyanya sambil tertawa.
"Semula aku mengira dia adalah seorang yang sama ternyata
dugaan ini salah, kalau begitu . , . kalau, begitu - - ."
"Kalau begitu hal ini berarti juga manusia berkerudung itu adalah
anak buahnya dari manusia berkerudung hitam itu" sambung Wi Ci
To dengan cepat.
"Selain itu berarti juga ada salah seorang yang harus kita curigai”
"In-ji, kau orang jangan pikir yang bukan-bukan" Seru Wi Ci To
kemudian sambil mengerutkan alisnya rapat-rapat.
“Bukannya aku menaruh banyak curiga, tetapi berbagai fakta
sudah membuktikan , kalau . . . "
"Sudahlah “ potong Wi Ci To sambil mengulapkan tangannya.
"Kita jangan membicarakan persoalan ini lagi, aku ada satu urusan
yang hendak aku tanyakan kepadamu”
"Urusan apa ?' tanya Wi Lian In tertegun.
"Urusan ini sebetulnya ibumu yang cocok untuk bertanya" ujar Wi
Ci To sambil tertawa perlahan."Tetapi sayang ibumu teiah
meninggal dunia maka itu terpaksa akulah yang mewakili dirinya
untuk menanyai kau orang. . . . sebenarnya kau punya perhatian
tidak terhadap Ti Kiauw tauw ?"
Wi Lian In sama sekali tidak menyangka ayahnya bisa
menanyakan soal ini pada saat dan tempat seperti ini, seketika itu
juga saking malunya seluruh wayahnya sudah berubah menjadi
merah padam.
"Aku tidak tahu. . , . " Serunya sambil menutupi wayahnya
dengan kedua belah tangannya.
Wi Ci To segera tersenyum.
"Aku lihat selama beberapa hari Ini kau sudah mulai menaruh
rasa cinta terhadap Ti Kiauw-tauw, tetapi sekali pun begitu aku
harus bertanya terlebih dahulu kepapamu, kau rasa bagaimana ?"
Dalam hati Wi Lian In merasakan hatinya berdebar-debar dengan
amat kerasnya, dia merasa terkejut bercampur girang tetapi
tangannya tetap menutupi wayahnya dan tidak mengucapkan
sepatah kata pun.
'"Dengan mengambil kesempatan dia orang tidak ada di sini kau
boleh mengutarakan isi hatimu kepadaku, dengan demikian aku
pun bisa mengambil inisiatif” desak Wi Ci To selanjutnya.
"Dia . ., . dia .... putrimu merasa dia .... dia tidak jelek . . . !"
"Benar !" ujarya Wi Ci To sambil tertawa. "Aku pun merasa dia
orang tidak jelek hanya saja lohu merasa ada berbagai tempat yang
benar-benar membuat orang merasa tidak paham!”
"Tia, kau tidak memahami apanya ??" tanya Wi Lian In kemudian
dengan malu-malu.
"Lohu sendiri pun tidak bisa mengutarakannya keluar, lohu cuma
merasa agaknya dia mem punyai sesuatu rahasia."
"Tetapi aku tidak melihat bagian mananya yang tidak beres."
"Kau tentu masih ingat sewaktu si anying langit rase bumi
menyerang Benteng Pek Kiam Po kita pada malam hari bukan ?"
ujar Wi Ci To dengan perlahan. "Malam itu setelah si rase bumi
meninggalkan Tebing Sian Ciang lohu sudah mengundang dia untuk
kembali ke dalam benteng dan mengajaknya masuk ke dalam kamar
bukuku untuk berbicara, waktu itu lohu sangat menaruh curiga
kalau dialah Lu kongcu itu lantas dengan sejujurnya lohu minta dia
memberitahukan maksud tujuannya, semula dia tidak mau
menyawab akhirnya setelah lohu mendesaknya lebih lanjut
mendadak dia meneteskan air mata....”
Mendengar sampai di situ Wi Lian ln segera mencibirkan bibirnya.
"Dia memangnya bukan Lu Kougcu itu setelah Tia memaksa dia
terus untuk menyawab sudah tentu hatinya terasa tertekan
sehingga menjadi sedih hati dan meneteskan air mata "
“Tidak . . . . bukan demikian" bantah Wi Ci To sambil gelengkan
kepalanya. "Waktu itu lohu cuma bertanya kepadanya apakah ada
sesuatu perkataan yang sukar untuk diutarakan atau mungkin ada
persoalan yang menyulitkan hatinya, lohu bilang kalau ada tentu
aku akan bantu untuk menyelesaikan persoalan tersebut, setelah
mendengar perkataan tersebut mendadak dia meneteskan air
matanya, dia bilang jikalau lohu mau membantu dirinya untuk
menyelesaikan persoalan ini hanya ada satu cara saja yaitu meminta
lohu berkelahi dengan dirinya, mengalahkan dirinya !”
"Apa artinya ini?" seru Wi Lian In tertegun.
"Aku sendiri pun tidak paham tetapi dia orang tidak mau
menjelaskan lebih lanjut, dia cuma bilang harap lohu untuk
sementara waktu mau menganggap dirinya sebagai musuh besar
lalu bertempur dengan dirinya, jikalau lohu berhasil mengalahkan
dirinya hal ini berarti juga sudah membantu dia menyelesaikan satu
persoalan yang menyulitkan sekali."
Sepasang mata Wi Lian In segera terbelalak lebar-lebar, dengan
perasaan sangat terperanyat ujarnya :
"ini . . . ini... sebetulnya apa artinya?"
"Dia bilang alasannya sampai kini belum bisa diterangkan, tetapi
jikalau lohu berhasil mengalahkan dirinya maka dia mau
menceritakan sebab-sebabnya kepadaku."
"Lalu Tia menyanggupinya ?" Tanya Wi Lian In terperanyat.
"Dia mem punyai budi terhadap kita ayah beranak, bagaimana
aku bisa mengabulkan permintaannya yang sangat membingungkan
ini ?" Seru Wi Ci To sambil tertawa pahit.
"Sampai sekarang
sebabnya !"
dia
belum
pernah
mengatakan
"Tidak !"
"Kalau begitu biarlah aku pergi menanyai dirinya !"
sebab-
Selesai berkata dia segera pjtar badan siap berlalu dari dalam
kamar.
"Tidak !” Cegah Wi Ci To sambil menarik tangannya. "Kau jangan
pergi menanyai dirinya !"
"Kenapa ?" tanya Wi Lian In keheranan.
"Setiap orang tentu mem punyai suatu rahasia yang tidak bisa
dikatakan kepada orang lain. sekarang bilamana kau bertanya
kepadanya belum tentu dia mau mengutarakannya keluar bahkan
lohu merasa rahasianya ini tentu tidak ada sangkut pautnya dengan
Benteng kita, karena selama beberapa hari ini menurut pengamatan
lohu terhadap dirinya aku sudah dapat melihat kalau dia sama sekali
tidak menaruh suatu rencana terhadap Benteng kita, dia
Betul-betul merupakan seorang pemuda yang halus budi dan
baik-baik"
"Tetapi kalau memangnya dia mem punyai kesukaran seharusnya
kita pergi membantu dirinya" ujar Wi Lian In dengan ngotot.
"Benar!" sahut W ie Ci To sambil mengangguk. "Tetapi satu-
satunya jalan untuk membantu dia menyelesaikan kesukarannya
adalah menyuruh lohu mengalahkan dirinya dengan menggunakan
ilmu silat, coba kau pikir dapatkah hal ini dijalanan?"
"Kalau begitu biar aku pergi bertanya kepadanya, kemungkinan
sekali dia mau memberikan jawabannya".
Sekali lagi Wi Ci To gelengkan kepalanya.
"Tidak,jikalau kau bertanya padanya saat ini dia orang bisa salah
paham dan menganggap kita ayah beranak masih menaruh curiga
terhadap dirinya"
Dia berhenti sebentar lantas sambungnya sambil tertawa.
"Cuma ada suatu waktu di dalam keadaan yang tertentu kau
boleh pergi bertanya kepadanya."
"Keadaan bagaimana?” tanya Wi Lian In keheranan.
"Setelah kalian menjadi suami isteri !" Wayah Wi Lian In segera
berubah menjadi merah padam seperti kepiting rebus, saking
malunya tak sepatah kata pun bisa diucapkan keluar.
"Setelah kalian menjadi suami isteri berarti juga kita sudah satu
keluarga, saat itulah kau boleh bertanya kepada dirinya
kemungkinan sekali dia mau mengatakan sebab-sebabnya." ujar Wi
Ci To lagi.
"Tetapi Tia masih belum jelas mengetahui
bagaimana Tia begitu tega menjodohkan..”
asal-usulnya
Baru saja berbicara sampai di sini mendadak dia dapat melihat Ti
Then serta Suma San Ho berjalan masuk ke dalam kamar, dengan
terburu-buru dia menutup mulutnya. kembali.
Dengan perlahan Wi Ci To angkat kepalanya memandang kearah
Ti Then serta Suma San Ho yang baru saja masuk ke dalam kamar
itu, ujarnya kemudian sambil tertawa :
“Ti Kiauw-tauw, San Ho kalian keluarlah sebentar, lohu sedang
membicarakan suatu urusan dengan Siauw-li”
Dengan sangat hormatnya Ti Then serta Suma San Ho menyahut
lalu mengundurkan diri dari dalam ruangan.
Ketika Wi Lian In melihat mereka sudah mengundurkan diri
segera sambungnya kembali dengan suaranya lirih :
"Tia, apakah kau tega menjodohkan kami kepadanya?”
Dengan perlahan Wi Ci To mengangguk-
"Bukankah tadi aku sudah bilang dia adalah seorang pemuda
yang dapat dipercaya, tidak perduli di dalam hatinya masih
menyimpan rahasia apa atau lain kali akan berbuat pekerjaan apa,
lohu percaya dia tidak akan membahayakan keselamatan dari
Benteng kita."
Wi Lian In segara mengangguk tanpa mengucapkan kata-kata
lagi.
"Sekarang aku mau tanya lagi, apakah kau sungguh-sungguh
menyenangi dirinya?" tanya Wi Ci To lebih lanjut.
"Siauw-li serahkan Tia yang mengambil keputusan " sahutnya
perlahan, dengan air muka yang berobah menjadi merah.
Halaman 47-48 robek/hilang
"Benar, lolap masih teringat beberapa tahun yang lalu Pocu
pernahmengalah dua biji catur kepada lolap tetapi akhirnya kita
main seimbang, ini hari Lolap mau melihat apakah permainan
caturku ada mendapatkan kemajuan atau tidak."
"Bagus sekali !" sahut Wi Ci To dengan girang. "Tetapi kita batasi
dua kali permainan saja, besok kita harus masih melakukan
perjalanan, ini malam kita orang tidak boleh terlalu banyak capai."
Berbicara sampai di sini segera tolehnya kearah Wi Lian In."
"In-ji, kau pergilah
seperangkat catur !"
menyuruh
pelayan
mempersiapkan
Wi Lian In menyahut dan mengundurkan diri dari dalam kamar
lalu perintahkan pelayan untuk mengambil alat catur.
Setelah semuanya selesai dia baru pergi mencari Ti Then serta
Suma San Ho ujarnya kemudian :
"Ti Kiauw-tauw, Suma suheng, bagaimana kalau kita berjalan-
jalan ke kebun bunga ?".
Padahal dia cuma ingin mengajak Ti Then seorang saja, karena
melihat Suma San Ho pun ada di situ dia merasa tidak baik untuk
meninggalkan dia seorang diri oleh sebab itulah sengaja dia
mengajaknya sekalian.
Ternyata Suma San Ho tahu diri juga, sahutnya dengan cepat :
"Kalian berdua pergilah, aku tidak ingin pergi."
"Kenapa tidak mau ikut ?" sengaja Wi Lian In mengomel.
"Ie-heng merasa lelah sewaktu melakukan perjalanan, lebih baik
aku cepat-cepat kembali ke kamar untuk beristirahat."
Selesai berkata dia sengaja memperlihatkan muka setan pada Ti
Then lantas kembali ke dalam kamar.
Demikianlah akhirnya Ti Then serta Wi Lian In berjalan ke dalam
kebun bunga di belakang rumah penginapan tersebut, agaknya
kebun bunga itu tidak pernah terawat karena kelihatan sekali
rumput yang tumbuh dengan amat suburnya ....
Walau pun begitu di dalam pandangan Wi Lian In tempat ini
merupakan suatu tempat yang sangat indah sekali, bersama-sama
dengan Ti Then mereka berjalan menuju ke sebuah gardu lalu
duduk berdampingan
"Kau sudah beritahukan urusan itu kepada ayahmu ?" tanya Ti
Then kemudian.
"Benar !" sahut Wi Lian In mengangguk. "Tetapi Tia mengatakan
aku banyak menaruh curiga terhadap.orang lain dan suruh aku
jangan banyak berpikir tidak karuan."
"Kemungkinan juga Cuo It Sian bukanlah manusia berkerudung
hitam itu, seharusnya ayahmu jauh lebih jelas dari kita."
Dengan perlahan Wi Lian In mengangguk.
"Saat ini Tia sedang main catur dengan dia orang di dalam kamar
...."
"Tadi ayahmu sedang membicarakan apa dengan kau ?" tanya Ti
Then kemudian,
"Coba kau terka !" seru Wi Lian In sambil mencibirkan bibirnya.
Ti Then tersenyum.
"Apakah kalian sedang membicarakan barang yang diminta oleh
manusia berkerudung hitam itu?"
"Bukan !" jawab Wi Lian In sambil mengelengkan kepalanya.
"Membicarakan cara-cara untuk menolong Ih, Kha serta Pauw
tiga orang??"
"Soal itu tidak ada keharusan untuk mengelabuhi kau serta Suma
Suheng !"
"Lalu membicarakan urusanmu ?" seru Ti Then sambil tertawa.
"Cuma benar separuh saja."
"Lalu yang separuh membicarakan siapa ?" Tanya Ti Then lagi
sambil tertawa serak.
Wi Lian In segera manempelkan bibirnya dekat telinganya lantas
dengan nada yang manya sahutnya :
"Membicarakan dirimu."
"Membicarakan tentang apa tentang diriku?" Tanya Ti Then
dengan hati menegang.
Wi Lian In segera kirimkan satu kedipan mata yang menggiurkan
kepadanya "Coba kau terka lagi?” ujarnya.
"Dia orang tua menasehati dirimu untuk jangan terlalu bergaul
rapat dengan diriku?"
"Hihi...hiii...justru sebaliknya!"
Mendengar sampai di situ Ti Then segera menjadi paham
kembali, dia tersenyum.
"Kau menceritakan urusan tentang hubungan kita yang sudah
mengikat menjadi calon suami istri ?"
"Tidak, baru saja aku mau membicarakan urusan itu dengan Tia
mendadak dia balik bertanya kepadaku apakah aku..apakah aku. . .
kau mengerti bukan ?"
"Tidak!" sahut Ti Then sambil tertawa.
Dengan manyanya dia segera mencubit lengan Ti Then, serunya
dengan suara aleman:
“Jikalau kau pura-pura bodoh terus aku tidak mau berbicara lagi."
"Baik baiklah! aku tidak pura-pura bodoh lagi "ujar Ti Then
kemudian sambil tertawa terbahak-bahak. "Lantas bagaimana kau
memberikan jawabannya kepada ayahmu?”
"Aku bilang aku tidak tahu."
"Bagus sekali”
“Kenapa bagus sekali ?” Seru Wi Lian ln sambil mengirim satu
kerlingan mata kepadanya.
"Tidak mau dan tidak tahu mem punyai perbedaan yang sangat
besar sekali, bukan begitu ?"
"Ehmm .. , . selamanya Tia belum pernah langsung menanyakan
urusan ini kepadaku, tadi aku benar-benar merasa sangat malu
sekali” ujar Wi Lian In lagi sambil merebahkan dirinya ke dalam
rangkulan Ti Then.
"Tidak usah putar-putar lagi, akhirnya bagaimana ?"
"Dia bilang sesudah menolong Ih, Kha serta Pauw tiga orang
segera dia orang tua mau mengawinkan kita berdua."
Seketika itu juga Ti Then merasakan hatinya terjeblos ke dalam
jurang yang amat dalam sekali, dia merasa hatinya bagaikan dipukul
oleh ombak samudra yang tak putus-putusnya.
Urusan ini merupakan satu hal yang dinantikan sejak lama sekali,
juga merupakan sebuah urusan yang paling ditakuti olehnya. saat
ini dia tidak dapat mengata hatinya girang atau murung, seluruh
tubuhnya terasa menjadi sangat tegang sekali, karena dengan
demikian berarti juga 'Rencana busuk" dari majikan patung emas
sudah hampir mencapai kesuksesan
sedangkan dirinya sebagai seorang patung emas
mulai memperoleh perintah,
pun bakal
untuk melakukan sesuatu perbuatan yang sama sekali merugikan
Wi Ci To bersama putrinya..”
ooooOOoooo
Walau
pun di dalam hati kecilnya dia sudah mengambil
keputusan jikalau majikan patung emas mau perintah dirinya
melakukan suatu pekerjaan yang sekali merugikan Wi Ci To beserta
putrinya dia akan melakukan perlawanan dengan taruhan nyawa,
tetapi setelah dipikir lebih teliti lagi dia pun merasa bahwa urusan
ini tidak bisa diselesaikan dengan kematian dirinya, karena majikan
patung emas baru mau memberikan peiintahnya yang kedua selelah
dirinya kawin dengan Wi Lian In.
Sedangkan pada saat itu nasi sudah akan menjadi bubur, jikalau
dirinya mati bukankah sama saja dengan dirinya sudah merusak
kebahagiaan dari seorang nona?
Makanya dia merasakan hatinya sangat bingung sekali.
Saat ini Wi Lian In pun dapat melihat dia orang betul-betul mem
punyai pikiran yang ruwet, dengan perlahan tangannya ditepuk-
tepukkan ke atas bahunya lalu tanyanya dengan suara yang amat
halus:
"Agaknya kau merasa tidak begitu gembira ??"
"Siapa yang bilang??" ujar Ti Then dengan cepat sambil
memperlihatkan senyumya.
"Dari sikapmu aku bisa melihat jelas!”
“Tapi belum tentu rasa gembira yang terkandung di dalam hati
harus diperlihatkan di atas wayah"
"Tetapi berita ini tidak seharusnya membuat kau orang merasa
sangat tidak gembira !"
"Apakah wayahku memperlihatkan kalau hatiku merasa tidak
senang?" tanya Ti Then kemudian.
"Sedikit pun tidak salah,"
“Kau sudah salah melihat” seru Ti Then kemudian. "Aku tidak
mem punyai alasan untuk merasa tidak gembira, aku cuma..eeei!
Ini yang dinamakan ilmu menenangkan hati, yang dimaksud
sekali pun gunung ambruk di depan mata tidak menjadi kaget,
gembira tidak kelihatan senang, menemui bencana tidak kelihatan
murung, malang tidak tampak mengerang.
"Omong kosong! Kecuali tidak suka padaku kalau tidak
bagaimana bisa melihat gembira tidak menjadi girang hati?" Sela Wi
Lian In sambil mencibirkan bibirnya.
"Bukankah aku sekarang sedang girang hati?' Ujar Ti Then cepat-
cepat sambil meraperlihatkan tertawanya yang dipaksakan.
“Aku bisa melihat kau sengaja memperlihatkan tertawamu yang
dipaksakan”
"Bagaimana bisa jadi ?” ujar Ti Then sambil mengangkat
bahunya. "Aku sudah bilang aku tidak mem punyai alasan untuk
bergirang hati"
"Bilamana seseorang tidak dapat mengikuti perubahan perasaan
hatinya dengan memperlihatkan gembira, marah, murung dan sedih
hati hal ini membuktikan kalau ...... membuktikan kalau...”
“Membukikan kalau orang itu adalah seorang yang amat dingin
kaku dan tidak berperasaan bukan begitu??" sambung Ti-Then
dengan cepat.
"Tapi aku tahu kau bukanlah seorang manusia yang dingin kaku
dan tidak berperasaan'
"Kalau begitu sangat bagus sekali”
''Lalu kau mem punyai rahasia apa yang terkandung di dalam
hatimu ??" desak Wi Lian In lagi.
"Aku tidak punya rahasia apa-apa !"
"Kau sedang menipu aku !"
"Jika semisalnya aku benar-benar ada rahasia hati maka itu
berarti juga aku sedang merasa murung apakah dikemudian hari
aku bisa memberikan kegembiraan buat dirimu...”
"Asalkan kau benar-benar suka padaku tidaklah perlu untuk
merasa murung hati" ujar Wi Lian In sambil memandang tajam
wayahnya.
"Sudah tentu aku suka padamu. ..."
Wi Lian ln segera menarik-narik ujung bajunya, lantas ujarnya
dengan suara yang perlahan : "Omong sesungguhnya sebetulnya
kau mempnyai rahasia atau tidak ?"
Dalam hati Ti Then merasakan hatinya serasa berdesir.
"Haa . . . haaa . - . haaa .... Bagaimana malam ini kau bisa
memperlihatkan sikap yang demikian berubah dan tidak seperti
biasanya ?" ujarnya sambil tertawa paksa.
"Apa kau orang minta bukti ?"'
"Coba katakan !" ujar Ti Then sambil angkat kepalanya.
"Sebenarnya Tia sudah cegah aku untuk jangan menanyakan
urusan ini kepadamu, dia bilang sekali pun di dalam hatimu
tersimpan sesuatu rahasia tetapi belum tentu mem punyai bahaya
bagi kita ayah beranak, sekali pun begitu tapi aku merasa ada
pentingnya juga untuk bertanya lebih jelas lagi kepadamu karena
sekarang aku sudah menjadi calon istrimu, aku mem punyai hak dan
tugas untuk ikut memikul kemurungan hatimu itu !"
Semakin lama Ti Then merasa hatinya semakin tidak tenang,
tetapi pada wayahnya masih tetap memperlihatkan sikapnya yang
sama sekali tidak menjadi sesuatu urusan apa pun.
"Jikalau di dalam hatiku tersimpan suatu urusan tentu aku bisa
memberitahukannya kepadamu, tapi aku betul-betul tidak mem
punyai rahasia apa pun."
"Kalau begitu" ujar Wi Lian In lagi sambil memandang tajam wa
jahnya. "Waktu itu setelah kau berhasil memukul mundur si anying
langit rase bumi di atas tebing Sian Ciang dan mengikuti Tla masuk
ke dalam ruangan baca di dalam benteng kenapa kau minta Tia
untuk berkelahi dengan dirimu ? Kenapa kau bilang apabila Tia bisa
mengalahkan dirimu berarti pula sudah
menyelesaikan suatu urusan yang amat sulit ?"
membantu
kau
Ti Then sama sekali tidak menyangka dia bisa secara tiba-tiba
menanyakan kembali urusan ini, untuk beberapa saat lamanya dia
orang dibuat kelabakan tidak tahu bagaimana baiknya untuk
memberikan jawabannya.
"Ooouw .... soal ini??" ujarnya agak malu.
"Sekarang juga aku minta penjelasan yang beralasan dari
dirimu,"
"Itu...itu ..... sebetulny tidak ada urusan ap-apa!" sahut Ti Then
dengan gelagapan. “Waktu Itu kalian terus menerus menganggap
aku sebagai Lu kongcu maka dalam hati aku merasa kheki dan ingin
sekali . . ingin sekali meningalkan Benteng Pek Kiam Po, tetapi
menginginkan aku orang supaya tetap tinggal di sana, hatiku waktu
itu benar-benar merasa serba susah bahkan ayabmu terus menerus
mendesak aku dan bertanya apakah di daiam hatiku sudah
tersimpan satu rahasia.
Di dalam keadaan terdesak mendadak dalam ingatanku
berkelebat satu akal. aku pura-pura memperlihatkan kalau aku
benar-benar mem punyai sesuatu rahasia hati yang tidak bisa
diberitahukan kepada orang lain, dengan mengambil kesempatan itu
aku pun mengajak dia untuk berkelahi.
Padahal aku tahu ayahmu pasti tidak akan mau bertempur
dengan diriku, saat itu aku sengaja berkata demikian sebetulnya
bertujuan agar ayahmu menarah rasa curiga yang lebih besar lagi
terhadap diriku sehingga mengijinkan aku meninggalkan Benteng
Pek Kiam Po kalian itu!"
“Penjelasan ini sama sekali tidak sesuai dengan keadaan !" Seru
Wi Lian In kemudian setelah selesai mendengarkan perkataannya
itu.
"Tetapi hal ini merupakan kejadian yang sungguh-sungguh!"
Agaknya Wi Lian In merasa sangat tidak puas dengan
penjelasannya itu, dia tundukkan kepalanya tidak mengucapkan
sepatah kata pun,
Ti Then dengan sikap seperti sengaja seperti juga tidak sengaja
menyapu sekejap ke sekeliling tempat itu, lantas bisiknya dengan
suara yang amat lirih :
"Lian in, jikalau kau merasa tidak tega hati ternadap aku orang
kau boleh beritahukan kepada ayahmu supaja untuk sementara
waktu menunda maksudnya untuk menyelenggarakan perkawinan di
antara kita !"
Wi Lian In merasa semakin tidak puas lagi, mendadak dia bangkit
berdiri.
"Baik, aku segera memberitahukan urusan ini kepada Tia ! "
Selesai berkata dengan gemas dan marahnya dia berlari
meninggalkan gardu tersebut.
Dengan, pandangan yang amat sayu Ti Then memperhatikan dia
orang berlalu meninggalkan kebun bunga itu, dalam hati dia benar-
benr merasa sangat sedih sekali, tetapi dia pun merasa sedikit
girang hati.
Dia menganggap bilamana Wi Lian In benar-benar
memberitahukan perkataan ini kepada ayahnya maka untuk
sementara waktu Wi Ci To tentunya akan menghapuskan pikiran
tersebut, walau pun hal ini akan menusuk hatinya tetapi terhadap
kehidupan selanjutnya malah mem punyai kebaikan.
Jika dibicarakan dengan perkataan lain, dia menganggap sehari
dirinya belum kawin dengan Wi Lian In maka satu hari pula majikan
patung emas tidak dapat memberikan perintahnya yang kedua, jika
secara demikian berlarut-larut terhadap "Rencana busuk" yang
disusun oleh majikan patung emas
pun menjadi kurang
menguntungkan sebaliknya terhadap dirinya sendiri Wi Ci To dan Wi
Lian In sangat "Menguntungkan" sekali.
Tetapi apakah Wi Lian In benari pergi ke kamar ayahnya dan
meminta dia orang tua untuk sementara waktu membatalkan
maksudnya hendak mengadakan perkawinan di antara mereka?
Tidak! Sama sekali tidak!
Dia terus berlari masuk ke dalam kamarnya di rumah penginapan
tersebut lantas naik ke atas pembaringan untuk tidur dengan
lelapnya.
Keesokan harinya tua muda enam orang sesudah membereskan
rekening segera meninggalkan rumah penginapan itu untuk
melanjutkan perjalanan kembali ke Benteng.
Di tengah perjalanan tidak terjadi urusan apa-apa, pada hari
keempat siang akhirnya mereka berenam sudah tiba kembali ke
dalam Benteng Pek Kiam Po.
Di bawah sambutan yang amat hormat dari beberapa puluh
orang pendekar pedang merah Wi Ci To masuk ke dalam Benteng
dan duduk di tengah ruangan, tanysnya kemudian kepada si jago
pedang penembus ulu hati, Shia Pek Tha :
"Pek Tha, sudah beberapa lama kau kembali ke dalam Benteng
?"
"Hamba sudah ada enam, tujuh hari lamanya kembali ke dalam
Benteng."
"Apakah di dalam Benteng sudah terjadi sesuatu urusan ?” tanya
Wi Ci To kembali.
"Tidak."
“Apakah tidak menemukan adanya manusia yang tidak dikenal
menyusup ke dalam Benteng kita ?"
"Tidak ada, sejak Pocu meninggalkan Benteng keadaan di sini
sama sekali aman tentram tidak t erjadi suatu peristiwa pun."
Dengan perlahan Wi Ci To menyapu sekejap kearah para
pendekar pedang merah yang berdiri di sampingnya lantas
tanyanya:
"Kalian semua pada menerima perintah untuk meninggalkan
Benteng guna menawan Hong Mong Liang manusia terkutuk itu,
sewaktu kembali ke dalam Benteng ada siapa yang pernah bertemu
dengan Ih Kun, Kha Cay Hiong serta Pauw Kia Yen?"
"Tecu tidak ada yang melihat !" sahut para pendekar pedang
merah secara berbareng.
"Bagaimana dengan mereka bertiga?" tanya Shia Pek Tha dengan
amat terperanyat.
"Mereka bertiga sudah terjatuh ke tangan seorang manusia
berkerudung hitam"
Segera dia menceritakan seluruh kejadian itu dengan sejelas-
jelasnya.
Sampai waktu ini masih ada tpakah Ih,
Kha serta Pauw tiga orang betul-betul terjatuh ke tangan manusia
berkerudung hitam itu masih merupakan satu pertanyaan yang
mencurigakan bagiku .. . . " ujar Shia Pek Tha dengan perlahan.
"Tidak akan' salah lagi !" seru Wi Ci To sambil tertawa dingin tak
henti-hentinya. "Manusia berkerudung itu tidak perlu menggunakan
omongan bohong untuk menipu kita. Ih, Kha serta Pauw tiga orang
pasti sudah terjatuh ketangan musuh !"
Shia Pek Tha termenug berdiam diri.
"Dia minta lohu kem bali ke dalam Benteng untuk menunggu
kabar beritanya" ujar Wi Ci To lagi. "Maka di dalam beberapa hari ini
pasti ada berita yang akan muncul, kalian seharusnya sedikit
berhati-hati lagi."
Selelah semuanya selesai dia segera memerintahkan untuk
mempersiapkan perjamuan buat menyambut datangnya si Sian
Thay-ya atau si pembesar kota Cuo It Sian. Sore itu dengan
membawa mabok Ti Then balik kembali ke dalam kamarnya, si Lo-
cia itu pelayan tua segera membantu dia membawakan sebaskom
air untuk cuci muka, lalu sambil tertawa pecengis-an ujarnya :
"Ti Kiauw-tauw, katanya Hong Mong Ling itu bangsat cilik sudah
mati ?"
"Benar!" sahut Ti Then sambil mencuci muka. "Dia dibinasakan
oleh sebuah batu yang disambit oleh manusia berkerudung hitam."
"Sebetulnya manusia
mana?"tanya Lo-cia lagi.
berkerudung
itu
berasal
dari
aliran
"Sampai sekarang masih belum tahu..."
"Hamba dengar si rase bumi Bun Jin Cu pun sudah mati"
"Tidak salah, dia sudah bunuh diri !"
Dia orang "kenapa mau bunuh diri?" desak si-Lo-cia lebih lanjut.
Ti Then segera melemparkan handuknya kearah dia lantas
menepuk-nepuk bahunya.
“Aku baru saja pulang" ujarnya sambil tertawa. "Sekarang aku
orang harus tidur dulu dengan nyenyak lain kali saja aku
beritahukan kepadamu."
"Baik .... baik .... baik !" sahut Lo-cia sambil bungkukkan dirinya
memberi hormat. "Heee .... heee .... hamba selamanya tidak bisa
menghilangkan penyaktt cerewetnya ini, Ti Kiauw-tauw silahkan
beristirahat!"
Selesai berkata dengan mengambil
mengundurkan dirinya dari dalam kamar.
baskom
air
itu
dia
Ti Then segera naik ke atas pembaringan untuk beristirahat,
tidak terasa lagi dia sudah tertidur dengan amat nyenyaknya.
Menanti setelah didengarnya ada orang yang mengetuk pintunya
dia baru bangun dari pulasnya, ketika melihat keluar jendela
terlihatlah hari sudah gelap, dengan tergesa-gesa dia meloncat
bangun sambil bertanya :
"Siapa ?”
"Aku !”
Suara dari Wi Lian In !
"Silahkan masuk !" ujar Ti Then kemudian sambil tersenyum.
"Kenapa tidak pasang lampu?" tanyanya.
"Aku baru saja cuci muka sebentar, kemudian sudah tertidur
dengan amat nyenyaknya.”
Dia segera menyulut lampu kamar dan katanya sambil tertawa :
"Apa sudah waktunya untuk tidur malam ?"
"Sudah hampir" sahut Wi Lian In mengangguk. "Aku lihat satu
siangan kamu orang terus menerus tutup pintu tidak keluar
makanya sengaja aku kemari untuk menjenguk, tidak tahunya kau
sedang tidur.”
"Setelah tiba di dalam Benteng hatiku merasa amat tenang
sekali, karenanya mudah sekali untuk tertidur nyenyak."
"Hiii ..hii .... kiranya kau pun mem punyai perasaan hati tenang
setelah kembali ke dalam Benteng sehingga bisa tertidur dengan
amat nyenyaknya" ujar Wi Lian In sambil tertawa. "Aku masih
mengira kau dapat bersikap seperti di tempat luaran, melihat
kegembiraan tidak senang, menemui bencana tidak murung!"
"Kau orang sungguh pintar sekali mencari kelemahan ucapan
orang lain" seru Ti Then sambil angkat bahunya.
"Tia serta Cuo It Sian sedang ngomong-ngomong di dalam kamar
buku, bagaimana kalau kita pergi ke sana ?"
"Baiklah, mari kita ke sana.”
“Rasanya kau sudah tidak menaruh rasa curiga dengan Cuo It
Sian?”
“Rasa curiga sudah tentu masih ada sedikit" ujar Ti. Then sambil
tertawa. "Tetapi kalau memangnya ayahmu menyalahkan kita orang
terlalu banyak menaruh curiga kepada orang lain lebih baik untuk
sementara kita lepaskan rasa curiga tersebut”
"Tla sering menggunakan hati seorang budiman untuk
menghadapi pikiran licik manusia rendah, aku merasa kuatir...”
Ti Then termenung sebentar lantas ujarnya sambil tertawa :
“Bilamana kau merasa kuatir aku bisa ajarkan satu cara buat
dirimu."
“Coba kau katakanlah !”
"Selama beberapa malam ini kau jangan tidur tetapi sembunyilah
diluar jendela Cuo It Sian untuk melakukan pengintaian."
“Kau menganggap jikalau dia adalah manusia berkerudung hitam
itu maka dia bisa melakukan gerakannya pada malam hari ?" tanya
Wi Lian ln sambil memperhatikan wajahnya.
"Benar “ sahut Ti Then mengangguk. "Kemungkinan sekali
diwaktu malam secara bersembunyi-sembunyi dia bisa mendekati
jendela dari ayahmu untuk kirim beritanya.”
"Apakah yang kau maksud dengan berita adalah waktu serta
tempat untuk saling tukar menukar barang ?" tanya Wi Lian ln
perlahan.
"Benar."
"Dapatkah dia orang pergi mencari barang milik ayahku dengan
mengambil kesempatan sewaktu ada di dalam Benteng kita ?"
"Tidak mungkin!” sahut Ti Then sambil gelengkan kepalanya.
"Jikalau dia menganggap barang tersebut bisa dicuri sejak dahulu
dia sudah turun tangan untuk mencurinya."
Dengan perlahan Wi Lian ln mengangguk.
“Jikalau menyuruh aku seorang diri mengawasi gerak-geriknya
dengan seorang diri aku rasa terlalu tidak enak, bagaimana jika kau
temani aku?" ujarnya kemudian.
-ooo0dw0ooo-
Jilid 26 : Manusia berkerudung ternyata Sian Thay-ya
"TIDAK, aku tidak dapat menemani kau orang !”sahut TI Then
sambil gelengkan kepalanya.
"Kenapa ?” tanya Wi Lian In dengan kurang senang.
"Di dalam Banteng sebelum mendapatkan perintah dari ayahmu
aku tidak leluasa untuk sembarangan bergerak"
"Jikalau Tia nanti menyalahkan kau biarlah aku ssorang diri yang
menanggung.”
"Aku orang bukannya takut dimaki oleb ayahmu sebaliknya
karena kedudukanku sebagai Kiauw-tauw seharusnya menghormati
ayahmu" ujar Ti Then mengharapkan.
"Baiklah, jikalau kau tidak mau menemani aku biarlah aku ajak
Pek Tha suheng untuk menemani aku orang !" Seru Wi Lian In
sambil mencibirkan bibirnya.
"Bagus, aku setuju !”
Dengan sangat tidak senang Wi Lian In berlalu dari sana.
Malam hari itu sekali lagi Wi Ci To menyamu diri Cuo It Sian,
semua orang minum arak dan bersantap dengan gembiranya,
setelah ngobrol ke sana ke sini akhirnya masing-masing kembali ke
kamarnya sendiri-sendiri untuk beristirahat.
Ti Then yang sekembalinya ke dalam kamar segera mandi lalu
naik ke atas pembaringannya untuk tidur.
Dia tahu majikan patung emas tentu akan munculkan dirinya
ditengah malam untuk menanyai kejadian serta kemajuan yang
dicapai dengan Wi Lian In selama satu bulan lebih ini, dalam hati dia
terus berpikir untuk mencari jawaban yang akan diberikan nanti.
Ternyata sedikit pun tidak salah, kurang lebih pada kentongan
ketiga majikan patung emas sudah munculkan dirinya beserta
dengan patung emasnya dari atas atap rumah.
Kali ini Ti Then sudah bangun dari pulasnya sebelum majikan
patung emas menurunkan patung emasnya, dengan mata melotot
lebar-lebar dia memperhatikan sepasang tangan yang agak samar-
samar membuat atap kamarnya lalu melihat juga patung emas itu
dengan perlahan-lahan diturunkan ke samping pembaringan, dalam
hati diam-diam dia orang merasa sangat terperanyat sekali pikirnya:
"Kenapa tiap kali dia munculkan dirinya di atas atap rumah
selama ini tidak pernah ditemui oleh para pendekar pedang yang
melakukan perondaan di sekeliling Benteng ?? apa mungkin dia
benar-benar sudah berhasil melatih ilmu untuk melenyapkan diri ?
"Ti Then, kau bangunlah !"
Terdengar suara dari majikan patung emas dengan amat
Iembutnya berkumandang datang dari atas rumah.
Ti Then segera bangun dan menggoyang-goyangkan patung
emas tersebut, serunya dengan menggunakan ilmu untuk
menyampaikan suara .
"Aku tahu malam ini kau bisa datang” Majikan patung emas pun
segera tertawa.
"Aku pun tahu kau orang sedang menunggu aku"
"Kau ada banyak pertanyaan yang hendak kau ajukan bukan ?"
"Benar!" sahut majikan patung emas itu singkat.
"Ehmmm..kau boleh mulai bertanya !"
"Kau bicaralah ! Ceritakan seluruh kejadian yang kau alami sejak
meninggalkan benteng Pek Kiam Po sampai kembali lagi ke dalam
benteng"
"Jika demikian adanya, bercerita sampai pagi pun belum tentu
bisa selesai" seru Ti Then dengan keras.
"Katakan saja yang penting-penting”
"Setelah kami meninggalkan Benteng Pek Kiam Po karena jarak
waktu perjalanan dengan si rase bumi, mengambil keputusan untuk
pergi kegunung Kim Teng San terlebih dahulu untuk main-main. ..”
"Hey bocah Cilik !" Potong majikan patung emas tiba-tiba. "Kau
orang sengaja pergi kegunung Kim Teng San apakah hendak
mempamerkan kepandaian silatmu di hadapan si kakek pemalas Kay
Kong Beng itu?"
"Apa arti dari perkataanmu ini?" serunya.
"Tahun yang lalu kau pernah pergi ke tempatnya meminta dia
menerima kau sebagai muridnya tetapi dia tidak mau menerima, di
dalam hatimu sudah tentu merasa gemas juga terhadap dirinya
bukan ? kini kau sudah berhasil mempelajari kepandaian silat dari
diriku, kau sengaja mau memamerkan di hadapannya bukan begitu
?"
"Tidak benar “ Jawab Ti Then sambil gelengkan kepalanya. "Dia
orang tidak mem punyai alasan untuk harus menerima aku sebagai
muridnya sehingga aku pun tidak punya alasan untuk membenci
dirinya apa lagi sengaja pergi ke tempat tinggalnya untuk
mempamerkan kepandaian silatku !"
"Ehmm . . , sekarang teruskan !”
"Semula kami pun tidak ingin pergi menemui Kay Kong Beng
tetapi kemudian Wi Lian In bilang sekali pun dia orang belum
pernah bertemu muka dengan jago nomor wahid di dalam Bu-lim
saat ini dan terus menerus mengajak aku untuk menyambanginya,
akhirnya aku membawanya juga pergi ke atas puncak, siapa tahu
sewaktu hendak tiba di depan gua tempat Kay Kong Beng itulah
mendadak kita menemukan Hong Mong Ling sedang berlutut di
depan gua itu . . . "
Dengan amat tenangnya majikan patung emas mendengarkam
semua kisahnya, menanti setelah didengarnya Hong Mong Ling
telah dibinasakan oleh seorang dengan menggunakan sambitan
batu sewaktu dia orang mau memberi tahu nama dari orang yang
sudah melakukan jual beli dengan Hu Pocu segera diselanya :
"Sudah tentu orang itu adalah orang yang telah melakukan jual
beli dengan Huang Puh Kiam Pek ?"
“Sedikit pun tidak salah, dia membinasakan Hong Mong Ling
agar dia menutup mulut untuk selama-lamanya."
"Lantas kau berhasil menemukan orang ini?” tanya majikan
patung emas lagi.
"Tidak” gerak geriknya sangat cepat sekali, waktu aku bersama-
sama dengan nona Wi melakukan pemeriksaan di sekeliling tempat
itu ternyata sama sekali tidak menemukan sedikit pun jejak yang
mencurigakan, akhirnya kita teringat kembali kalau di dalam Bu-lim
saat ini orang yang bisa membayar uang sebesar satu laksa tahil
perak kecuali si anying langit rase bumi cuma ada Sian Thay-ha atau
si pembesar kota Cuo It Sian saja karenanya kami mengambil
keputusan untuk pergi mencari Cuo It Sian .. "
Dia segera menceritaikan seluruh kisahnya dengan amat jelas
sekali, tidak selang lama kemudian seluruh kejadian yang dialaminya
sudah selesai diceritakan.
“Jika demikian adanya Cuo It Sian itu ini memang merupakan
seorang yang sangat mencurigakan sekali" ujar majikan patung
emas kemudian.
"Ya atau tidak aku tidak berani bicara sembarangan,"
“Seharusnya Wi Ci To mengetahui akan hal ini.”
"Aku pun berpikir demikian !"
"Wi Ci To bilang dia orang tidak tahu barang apa yang diminta
oleh manusia berkerudung hitam itu, menurut aku tentunya
merupakan omong kosong belaka !” ujar majikan patung emas lagi
dengan perlahan.
"Aku pikir tentunya kau tahu bukan barang apa yang diminta oleh
manusia berkerudung hitam itu ?"
"Aku tidak tahu!"
"Tentunya aku pun berbicara tidak sesungguhnya!” Sambung Ti
Then segera.
“Aku bukannya manusia berkerudung hitam itu bagaimana aku
orang bisa tahu barang apa yang diminta dirinya?”
"Aku percaya kau orang tentunya merupakan orang-orang dari
satu golongan, barang yang diminta pun tentu sama!"
"Haaa. . haaa. . . . bagaimana kalau kita bertaruhan?" ujar
majikan patung emas sambil tertawa.
"Taruhan apa?"
"Bilamana dikemudian hari kau tahu kalau barang yang diminta
manusia berkerudung itu sama dengan barang yang aku minta kau
boleh tidak usah menjadi patung emasku lagi, sebaliknya jikalau
barang yang aku minta sama sekali berbeda bagaimana kalau kau
orang jadi patung emasku lagi untuk selama satu tahun"
Ti The a segera merasakan hatinya bergidik.
"Tidak mau. . . . tidak mau. . . ." serunya dengan gugup.
"Kau sudah takut?" ejek majikan patung emas sambil tertawa.
"Benar!" sahut Ti Then sambi! memperlihatkan tertawanya yang
amat pahit. "Aku yang jadi patung emas sudah merasakan sangat
menderita sekali, jikalau harus jadi patung emas selama satu tahun
lagi bukankah nyawaku pun akan ikut Ienyap?"
"Kalau begitu seharusnya kau orang mau percaya kalau tujuanku
sama sekali berbeda dengan tujuan dari manusia berkerudung hitam
itu!”
"Aku percaya ....... aku percaya !" sahut Ti Then berulang kali,
"Ehmm ...... bagaimana hubunganmu dengan Wi Lian In ?" tanya
majikan patung emas lagi.
"Seperti keadaan semula, tidak baik juga tidak jelek."
Mendengar perkataan itu majikan patung emas menjadi amat
gusar.
“Hal ini berarti juga kau orang belum mengeluarkan
kepandaianmu terhadap dirinya, bukan begitu ?" bentaknya dengan
keras.
"Coba kau pikirlah lebih teliti, kejadian yang sudah aku alami
selama satu bulan ini, kami benar-benar tidak mem punyai
kesempatan untuk berCintaan dan bermesra-mesraan !"
"Aku tidak percaya !” Seru majikan patung emas. "Jikalau
diantara kalian yang satu punya rasa Cinta sedang yang lain tidak
punya maksud berbuat begitu sekali pun kalian dijebloskan ke dalam
neraka tingkat kedelapan belas juga sama sekali tidak punya selera
untuk berkasih-kasihan."
"Aku nasehatkan kau lebih baik jangan keburu-buru, urusan
semacam ini tidak bisa dipaksa!"
"Aku pun menasehatkan padamu" seru majikan patung emas
sambil tertawa dingin." Jikalau kau ingin cepat-cepat bebaskan diri
dari belenggu, cepat-cepat memperistri dirinya !"
"Jikalau Wi Ci To mem punyai maksud untuk mengawinkan
putrinya kepadaku kemungkinan sekali sudah hampir"
"Dia orang pernah memberi tanda kepadamu?"
"Belum" sahut Ti-Then sambil gelengkan kepalanya, "Sekarang
dia orang sedang merasa risau karena ketiga orang anak buahnya
terjatuh ke tangan manusia berkerudung hitam itu, mana dia orang
punya selera untuk mengurusi urusan ini?”
"Kalau memangnya begitu apa yang kau artikan dengan ‘Mungkin
sudah hampir itu’? kau berdasarkan apa berani berkata demikian ?"
"Aku sedang berpikir jikalau aku bisa menolong Ih, Kha serta
Pauw tiga orang lolos dari 'belenggu manusia berkerudung hitam itu
kemungkinan sekali dia bisa mengawinkan putrinya kepadaku”
"Tidak salah !" sahut majikan patung emas itu membenarkan.
"Hal ini membutuhkan berapa waktu lamanya?"
"Soal ini tidak bisa diketahui dengan pasti sskarang kami sedang
menunggu berita dari manusia berkerudung hitam itu, menanti
selelah ada berita darinya aku segera akan melakukan sesuatu
gerakan, uma saja....."
“Cuma saja apa?"
“Aku takut dia orang tidak memperkenankan aku ikut campur di
dalam urusan ini”
“Yang kau maksudkan Wi Ci To ?"?" tanya majikan patung emas.
“Benar!” jawab Ti Then sambil mengangguk. "Dia tidak mau
memberitahukan barang apa yang diminta oleh manusia
berkerudung hitam itu kemungkinan sekali dia
pun tidak
memperbolehkan aku untuk membantu dia orang pergi menolong
orang karena jikalau aku ikut di dalam gerakannya maka akhirnya
kemungkinan juga aku pun bisa ikut mengetahui “rahasia" nya !”
"Tetapi dia pun tidak mungkin membiarkan ketiga orang anak
buahnya kehilangan nyawa bukan?"
"Sudah tentu, tetapi dia bisa pergi seorang diri untuk
menyelesaikan urusan ini dengan manusia berkerudung hitam itu."
"Aku kira tidak mungkin, kecuali dia rela menyerahkah barang
yang diminta pihak lawan kalau tidak dia pasti akan membawa
pembantu di dalam menyelesaikan urusan ini”
"Jikalau dia membutuhkan tenaga bantuanku sudah tentu aku
akan membantunya dengan hati rela dan menolong kembal Ih, Kha
serta Pauw tiga orang, saat itu bilamana dia mem punyai maksud
untuk mengawinkan putrinya kepadaku kemungkinan sekali segera
akan mengutarakannya keluar."
"Baiklah., aku menunggu beritamu !” akhirnya seru majikan
patung emas itu dengan perlahan.
“Kalau aku sudah ada janyi sebelumnya dengan dirimu sudah
tentu aku bisa melakukannya dengan sepenuh hati, tetapi aku tidak
berani memastikan aku pasti bisa memenuhi harapanmu, tidak
perduli bagaimana pun juga perkawinan adalah, merupakan satu
soal yang maha besar, hal ini kau seharusnya mengerti jelas terlebih
dahulu."
Sebenarnya majikan patung emas sudah menarik patung
emasnya naik ke atas untuk berlalu dari sana, mendengar perkataan
itu mendadak dia berhenti sehingga membiarkan patung emasnya
bergantungan ditengah udara.
"Apa arti dari perkataanmu itu ?” tanynya.
“Aku bilang belum tentu aku berhasil mencapai apa yang
diharapkan."
“Kecuali kau sengaja mengacau jalannya rencanaku ini kalau
tidak pasti akan berhasil" ujar majikan patung emas sambil tertawa
dingin. "Karena Wi Lian In sudah menaruh rasa Cinta kepadamu !.
Kalian berdua sudah sama-sama jatuh Cinta dan sama-sama senang
pada yang lainnya!"
“Tetapi masih ada searang Wi Ci To” sambung Ti Then dengan
amat cepat. "Jikalau dia orang tidak mem punyai maksud untuk
mengawinkau putrinya kepadaku, sekali pun Wi Lian In menaruh
Cinta kepadaku secara bagaimana pun juga tidak berguna."
Majikan patung emas termenung berpikir sebentar, lalu dengan
suara yang amat ketus dan dingin teriaknya :
“Apakah kau orang sudah menceritakan hubungan diantara kita
kepada Wi Ci To secara diam-diam ?"
"Tidak...!”
"Kalau begitu” sambung majikan patung emas lagi. "Dengan
watak serta kepandaian silatmu ditambah pula dengan jasa yang
kau peroleh buat benteng Pek Kiam Po, Wi Ci To pasti akan
menerima dirimu sebagai menantunya!”
Ti Then termenung tidak menyawab lagi.
"Tapi menurut aku” sambung majikan patung emas lagi, "Tidak
perduli kau berhasil bantu dia untuk menolong Ih, Kha serta Pauw
bertiga atau tidak, setelah urusan ini beres semua dia pasti akan
mengawinkan putrinya kepadamu, kalau tidak......kalau tidak hal ini
berarti kau pernah secara diam-diam memberitahukan kepada Wi Ci
To kalau kau orang sama sekali tidak punya maksud untuk
mengawini putrinya, sampai waktu itu aku tidak berlaku sungkan-
sungkan lagi terhadap dirimu!”
Ti Then tetap bungkam diri tidak berbicara.
Dengan perlahan majikan patung emas menarik kembali patung
emasnya ke atas sambil ujarnya kembali :
"Pokoknya kau orang boleh berlega hati, kau tidak usah takut
kalau lain kali aku menyuruh kau mencelakai Wi Ci To, Wi Lian In
atau anak buahnya, sekali lagi aku terangkan tujuanku sama sekali
tidak ada jeleknya terhadap semua orang yang ada di dalam
Benteng Pek Kiam Po ini”
"Tidak ada jeleknya apakah mungkin ada baiknya ?"
Waktu itu majikan patung emas sudah menarik kembali patung
emasnya, ketika mendengar perkataan tersebut dia lantas
menyawab :
“Boleh dikata sangat menguntungkan dirimu, karena Wi Ci To
yang
punya menantu seperti kau boleh dikata sangat
menguntungkan dirinya."
“Kalau begitu apakah tujuanmu baru berhasil setelah aku berhasil
memperistri diri Wi Lian In ?”
“Bukan, tujuanku adalah . , .. baiklah ! Aku bisa beri sedikit
keterangan buat dirimu. Cuanku pun sama dengan tujuan dari
manusia berkerudung hitam itu yaitu ingin mendapatkan semacam
barang yang tidak berharga dari Wi Ci To, Cuma saja barang yang
aku minta sama sekali berbeda dengan barang yang diinginkan oleh
manusia berkerudung hitam itu !”
"Kalau memangnya sama sekali tidak berharga buat apa kau
orang berusaha begitu keras dengan bersusah payah hendak
mendapatkanaja ?”
"Karena dia sangat penting buat diriku" sahut majikan patung
emas itu dengan tegas. "Kita ambil contoh saja bilamana aku
sedang membangun satu rumah tetapi kekurangan sebuah batu
bata sebaliknya di daiam Benteng Wi Ci To mem punyai kelebihan
batu bata maka itu aku ingin mendapatkan batu bata milik Wi Ci To
ini terhadap dirinya boleh dikata sama sekali tidak menemui
kerugian apa pun sebaliknya jika dibicarakan buat aku orang dengan
barang itu maka rumahku akan segera jadi.... sudahlah, untuk
malam ini sampai sekian saja, kau pergilah tidur!”
Dia mengulur keluar tangannya yang samar-samar untuk
menutup atap kamar lantas bagaikan bertiupnya angin sudah
berlalu dari sana tanpa mengeluarkan sedlkit suara pun.
Dengan termangu-mangu Ti Then memandang ke atas jendela,
penjelasan dari majikan patung emas ini bukan saja tidak membuat
dia menjadi jelas atas beberapa persoalan yang membingungkan
hatinya bahkan semakin membingungkan lagi, sudah tentu dia
paham apa yang diminta oleh majikan patung emas itu bukanlah
sebuah batu bata seperti perkataannya tadi, perkataan biar pun ini
tidak lain Cuma perumpamaan saja, tetapi di dalam hati dia berpikir:
“Kalau memangnya barang yang diminta oleh majikan patung
emas itu sama sekali tidak ternilai sehingga menyerupai sebuah
batu bata apa lagi merupakan barang 'Sisa"' dari Wi Ci To, kenapa
dia orang tidak mau memintanya dari Wi Ci To secara berterus
terang ? Sebaliknya menggunakan berbagai macam tindakan untuk
bersusah-payah memperolehnya ?”
Karena itulah dia menanggap perkataan dari si majikan patung
emas itu sama sekali tidak benar!
Dengan bersusah-payah dia memeras seluruh otaknya untuk
memecahkan persoalan ini, sampai terang tanah dia tidak bisa
memejamkan matanya kembali.
Pagi Itu setelah dia orang selesai sarapan pagi dengan Wi Ci To
serta Cuo It Sian dikarenakan dari manusia berkerudung hitam itu
masih belum ada ''Berita'" yang datang semua orang tidak ada
pekerjaan untuk dilakukan. Cuo It Sian segera mengusulkan kepada
Wi Ci To .
"Wi Pocu !" ujarnya, "Dari pada menganggur bagaimana kalau
kita main catur di dalam kamar bacamu ?"
"Bagus sekali !" sahut Wi Ci To sambil mengangguk. "Hari itu
sewaktu masih ada di rumah penginapan kita masing-masing
menang satu kali, ini hari kita harus menentukan siapa yang
menang siapa yang kalah !”
Demikianlah mereka berdua segera masuk ke dalam kamar baca
untuk main catur.
Menanti setelah mereka pergi dalam ruangan Wi Lian In buru-
buru berbisik kepada Ti Then dengan suara yang amat lirih :
"Kemarin malam aku bersama-sama dengan Pek Tha suheng
mengawasinya satu malam akhirnya sama sekali tidak menemukan
apa pun."
"Jikalau dia adalah manusia berkerudung hitam itu maka ini hari
atau malam ini tentu akan mengadakan sesuatu gerakan, kalian
awasi lagi satu malam !"
Wi-Lian In segera menguap beberapa kali, ujarnya:
"Semalaman tidak tidur sungguh lelah sekali, aku mau pergi tidur
dulu!"
"Benar, kau harus beristirahat dulu, nanti biarlah aku yang
melakukan pengawasan."
"Jikalau kau menemukan sesuatu cepatlah datang kekamarku
untuk beritahukan kepadaku."
"Tentu” sahut Ti Then mengangguk.
Setelah Wi Lian In pergi dia segera berjalan menuju ke kamar
baca dari Wi Ci To pikirnya mau menonton jalannya permainan catur
tersebut, tetapi baru saja berjalan sampai di bawah loteng
penyimpan kitab itu mendadak terlihatlah Shia Pek Tha berjalan dari
depan, dia segera- tertawa.
"Ti Kauw-tauw, bagaimana kalau kita mencari satu tempat untuk
ngobrol ?"
Dalam hati Ti Then tahu dia mau membicarakan soal apa, segera
dia mengangguk.
"Baiklah, mau kemana ?”
"Kekebun bunga saja, di sana agak tenang dan sepi"
Sesampainya di dalam kebun bunga mereka berdua segera
duduk di dalam sebuah gardu bersegi enam, terdengar Shia Pek Tha
membuka pembicaraan terlebih dahulu:
"Kemarin malam aku bersama-sama nona Wi melakukan
pengintaian semalaman di depan kamar Cuo It Sian tentunya Ti
Kiauw-tauw tahu bukan ?"
"Tahu!" jawab Ti Then sambil mengangguk. “Semula dia minta
siauw-te yang menemani tetapi siauw-te segera merasa hal itu tidak
pantas karenanya aku suruh dia pergi mencari Shia-heng "
Ar muka Shia Pek Tha segera berubah menjadi sangat murung.
"Ti Kiauw-tauw!" ujarnya. "Kau mengira Cuo lt Sian itu apakah
ada kemungkinan adalah manusia berkerudung hitam itu ?"
"Jika dilihat dari jejak serta keadaannya memang dia orang
sangat mencurigakan sekali, tetapi siauw-te tidak berani
memastikan kalau dia oranglah manusia berkerudung hitam itu."
"Tapi Cuo It Sian merupakan seorang jago tua yang namanya
sangat terkenal di dalam Bu-lim, bagaimana mungkin dia mau
melakukan pekerjaan seperti ini?"
“Siauw-te pun berpikir demikian. , .”
“Yang dimaksudkan berbagai bukti oleh Ti Kiauw tauw tadi
sebetulnya maksudkan beberapa hal ?"
"Pertama : sifat dari Hu Pocu kau, aku semuanya mengetahui
jelas, jikalau orang yang melakukan jual beli bukan kawan karibnya
dia tentu tidak mau menyanggupi untuk melakukan pekerjaan yang
menyalahi Pocu kita, sedangkan Cuo It Sian itu adalah kawan karib
dari Hu Pocu bahkan dia orang sangat kaya sekali, cuma dia orang
saja yang bisa membayar sepuluh laksa tahil perak. Kedua : Tempat
untuk mengurung sauw-tauw serta nona Wi di bawah gunung
bawah tanah adalah di dalam rumah tani di-desa Thay Peng Cung
yang merupakan milik Cuo It Sian, walau pun hai ini bisa di artikan
kemungkinan sekali manusia berkerudung itu sengaja mau
mencelakai diri Cuo It Sian tetapi setelah Siauw-te pikirkan masak-
masak siauw-te merasa manusia berkerudung itu tidak akan mem
punyai nyali untuk bersama-sama menyalahi Benteng Pek Kiam Po
serta diri Cuo It Sian.
"Ketiga: Sewaktu Pocu bersama siauw-te sekalian enam orang
baru saja keluar dari istana Thian Teh Kong, Cuo It Sian sudah
muncul di sana bahkan tidak lama kemudian ada orang yang
memanahkan surat ancaman itu, jika ditinyau dari urutan yang
terjadi . secara tiba-tiba dan bersamaan itu sesungguhnya dia
bertujuan untuk membersihkan kecurigaan serta nama baiknya,
dengan berdasarkan tiga hal ini siauw-te segera menaruh curiga
kalau Cuo it Sian itulah simanusia berkerudung hitam itu.”
Dengan perlahan Shia Pek Tha mengangguk.
"Tetapi" ujarnya lagi memperlihatkan ragu-ragunya. "Jikalau
dikatakan Cuo it Sian adalah manusia berkerudung hitam itu lalu
barang apa yang sebenarnya dia kehendaki seharusnya Pocu kita
mengetahuinya dengan jelas, kenapa Pocu bilang sama sekali tidak
tahu ?”
“Soal ini seharusnya Shia-heng mengetahui dengan sendirinya"
sahut Ti Then sambil tertawa.
oooOOOooo
Dari sepasang mata Shia Pek Tha segera memancar keluar sinar
yang berkedip-kedip, dengan wajah penuh perasaan terperanyat
serunya:
"Apa mungkin Pocu kita sengaja tidak mau memberitahu ??"
Ti Then cuma tertawa saja tanpa mengucapkan sepatah kata
pun,
"Benar!" seru Shia Pek Tha sambil mengangguk. "Di dalam loteng
penyimpanan kitab dari Pocu kita ini selamanya tidak
memperbolehkan orang lain untuk memasukinya aku kira di
dalamnya tentu sudah di simpan semacam barang ,, . , "
Ti Then tetap tersenyum tidak mengucapkan sepatah kata pun,
Mendadak Shia Pek Tha angkat kepalanya memandang tajam ke
atas wajahnya.
"Aku dengar katanya Pocu pernah membawa Ti Kiauw-tauw serta
nona Wi memasuki loteng penyimpan kitab tersebut?” tanyanya
dengan suara perlahan.
"Benar”
"Dapatkah Ti Kiauw-tauw menceritakan keadaan di dalam loteng
penyimpan kitab itu?”
“Boleh, tetapi Pocu merasa kurang senang kalau orang lain
mengetahui rahasianya, jikalau Shia-heng sudah mengetahui akan
hal ini lebih baik yangan secara sembarangan memberitahukan
kepada orang lain,"
"Tentang hal ini sudah tentu, harap kiauwtauw berlega hati."
seru Shia Pek Tha dengan cepat.
“Di dalam loteng penyimpan kitab dari Wi Pocu yang penting
sebenarnya tersimpan suatu kisah cinta...”
Segera dia menceritakan bagaimana pada waktu dahulu Wi Ci To
sudah kawin dengan seorang perempuan yang bernama "Su Sia
Mey" yang bermain bersama-sama sejak kecil lalu bagaimana
meninggalkan rumah mencari guru silat kenamaan karena rindu Su
Sin May jatuh sakit dan meninggal dunia sehingga hal ini membuat
hatinya terasa amat sedih sekali, karena rindunya lantas dia
membuat sebuah lukisan dari wajah Su Sin May dan disembunyikan
di dalam loteng penyimpan kitab itu . .
Sudah tentu cerita dari Wi Ci To ini adalah sebuah cerita bohong
sesuai dengan pemberitahuan dari majikan patung emas itu tetapi
saat Ini dia terpaksa harus menceritakan "Cerita bohong” ini kepada
Shia Pek Tha.
Setelah selesai mendengar kisah itu dengan perasaan amat
terperanyat Shia Pek Tha berseru :
"Tidak kusangka sama sekali Wi Pocu bisa mem punyai suatu
kisah cinta yang mengharukan, tetapi barang yang dikehendaki oleh
manusia berkerudung hitam itu tentunya bukan lukisan dari Su Sin
May itu-bukan?”
"Menurut dugaan siauw-te pasti bukan''sahut Ti Then sambil
mengangguk. "Karena kisah cinta itu sama sekali tidak ada sangkut
pautnya dengan orang lain"
“Kalau begitu . . . “ seru Shia Pek Tha Sambil mengerutkan
alisnya rapat-rapat. “Kemungkinan sekali Pocu kita masih mem
punyai rahasia lain yang belum diutarakan keluar”
"Pocu kita adalah ssorang jagoan Bu lim yang sangat
mengagumkan dan patut kita hormati, maksudnya siauw-te kira
tidak seharusuja kita orang pergi menyelidiki rahasianya."
"Sudah tentu, sudah tentu” sahut Shia Pek Tha sambil
mengangguk. "Tetapi yang membuat aku orang merasa sangat
heran sekali adalah : Baik dia orang tua mau pun lelaki berkerudung
hitam itu kenapa tidak ada yang mau menyebutkan nama mau pun
macam dari barang tersebut ?"
"Soal ini siauw-te sendiri pun tidak jelas”
Dengan perlahan Shia Pek Tha angkat kepalanya memperhatikan
wajahnya, lantas tanyanya dengan perlahan.
"Ti Kiauw-tauw! Kau rasa dapatkah Pocu kita menyerahkan
barang yang diminta oleh manusia berkerudung hitam itu untuk
ditukar dengan nyawa Ih, Kha serta Pauw tiga orang ?"
"Siauw-te tidak tahu."
“Aku rasa dia orang tidak mungkin dapat duduk tidak bergerak
melihat Ih, Kha serta Pauw tiga orang dibunuh orang lain” ujar Shia
Pek Tha lagi sambil menghela napas panjang.
"Sebelum manusia berkerudung hitam itu datang kemari untuk
mengirim berita mengenai waktu serta tempat untuk saling tukar
barang lebih baik untuk sementara waktu kita anggap saja menusia
berkerudung hitam itu adalah Cuo It Sian, secara diam-diam kita
meneruskan pengawasannya terhadap semua gerak gerik dia orang.
Bagaimana pendapat dari Shia-heng ?"
"Sampai saat ini terpaksa kita harus berbuat demikian" sahut
Shia Pek Tha sambil mengangguk.
Sampai di situ Ti Then segera bangkit berdiri.
"Sekarang mereka sedang bermain catur di dalam kamar baca,
siauw-te pikir mau pergi ke sana untuk melihat-lihat. Lain hari kita
berbicara lagi!" Serunya kemudian.
Mereka berdua segera berjalan keluar dari kebun bunga. Shia
Pek Tha melanjutkan perjalanannya menuju kehalaman luar
sedangkan Ti Then berjalan menuju ke pintu luar dari kamar baca
Wi Ci To, melihat pintu tersebut tertutup rapat dia orang lantas
maju ke depan untuk mengetuk pintu.
"Siapa?" Terdengar suara dari Wi Ci To berkumandang keluar
dari dalam kamar baca.
"Boanpwe !'
"Oooo . - silahkan masuk"
Ti Then segera mendorong pintu dan berjalan masuk ke dalam,
terlihatlah Wi Ci To serta Cuo It Sian ternyata benar-benar sedang
saling berhadap-hadapan main catur, cepat-cepat dia rangkap
tangannya menjura.
“Boanpwe dengan besar nyali datang menonton jalannya
permainan catur ini tentunya tidak mengganggu kalian berdua
bukan ?"
"Tidak.. . tidak" sahut Wi Ci To cepat sambil tertawa.
Ti Then lantas mengambil sebuah bangku dan duduk di samping
mereka, terlihatlah di atas papan catur kelihatan tinggal beberapa
biji catur saja, tak tertahan lagi tanyanya.
"Sudah main satu babak ?"
"Belum, baru babak pertama."
"Ouww . . . sungguh perlahan . sekali “ ujar Ti Then sambil
tertawa.
"Kenapa tidak?” Timbrung Cuo It Sian itu si pembesar kota
sambil tertawa pula, "Biasanya Pocu kalian selalu bermain gesit dan
cepat siapa sangka permainan babak ini ternyata sangat lambat
sekali”
"Penjagaan dari Cuo-heng semakin lama semakin dahsyat dan
semakin membingungkan aku orang she Wi jikalau tidak ingin babak
ini menemui kekalahan sudah seharusnya bermain dengan sangat
berhati-hati sekali."
Mendengar perkataan dari Wi Ci To ini Cuo It Sian segera tertawa
terbahak-bahak.
"Lebih baik Pocu cepat mengambil keputusan, jikalau berpikir
terlalu lama sering sekali permainan ini akan menjadi permainan
catur yang busuk”
Lama sekali Wi Ci To memperhatikan papan catur serta biji
caturnya, setelah termenung berpikir beberapa saat lamanya dia
baru meletakkan satu biji caturnya ke atas papan catur kemudian
dia menoleh ke arah Ti Then,
“Tadi Lohu mengalah dua biji catur kepadanya, kelihatannya
memang benar-benar sangat berat sekali. .” ujarnya sambil tertawa.
Ti Then cuma tersenyum-senyum tanpa mengucapkan sepatah
kata pun.
Sekali lagi Wi Ci To tertawa.
"Sewaktu bermain catur di dalani rumah penginapan itu kita
masing-masing menang satu kali, permainan kali ini merupakan
permainan untuk menemukan siapa yang bakal menang siapa yang
bakal kalah karenanya lohu harus mamenangkannya "
Mendadak Cuo It Sian memajukan satu biji caturnya ke depan,
dia tenawa tergelak dengan amat kerasnya.
"Sekarang adalah Lohu yang menguasai kalangan, jika ingin
menang seharusnya mengeluarkan satu jurus jalan aneh!" ujarnya
keras.
"Ehmmm...memang harus dicarikan sebuah jalan yang aneh
sekali."
"Kalau begitu bunuh saja " Timbrung Ti Then tiba-tiba.
Air muka Wi Ci To berubah menjadi amat keren sekali.
"Tidak, waktunya belum tiba” Serunya perlahan. "Sekarang
terpaksa kita harus mengikuti permainannya dengan jalan saling
buntut membuntuti, menanti ada kesempatan yang baik kita baru
kasih satu serangan total yang membuat dia orang gelagapan tidak
karuan."
Sembari berkata dia memajukan biji caturnya kembali.
Cuo It Sian segera mengambil satu biji caturnya ditaruhkan ke
atas papan, ujarnya sambil tersenyum-senyum mengejek:
“Jikalau Pocu ingin bermain uber-uberan dengan Lolap terpaksa
Lolap harus melakonkan suatu pertempuran cepat-cepatan dengan
diri Pocu !”
“Coba kau lihat!” seru Wi Ci To kemudian sambil menoleh kearah
diri Ti Then. '"Dia orang meminyam kesempatan sewaktu aku
mengalah berulang kali kepadanya dia mau menggunakan
permainan paksaan, sungguh menjengkelkan sekali!"
Ti Then yang selama ini mendengarkan pembicaraan mereka
segera merasakan kalau ucapan mereka tidak mengenai permainan
catur saja melainkan menyangkut suatu kata-kata rahasia yang
menyangkut suatu peristiwa besar, tidak terasa lagi hatinya
berdebar-debar dengan amat kerasnya, dalam hati pikirnya.
"Apa mungkin si pembesar kota ini benar-benar adalah manusia
berkerudung hitam itu ? Tetapi jika dilihat dari sikapnya yang amat
tenang sekali laksana batu karang kemungkinan sekali memang
betul dia orang adanya. Hmm! sungguh besar ju ga nyalinya dia
orang ternyata berani saling berhadap-hadapan dengan Pek Kiam
Pocu Wi Ci To yang namanya sudah meggetarkan sungai telaga”
Berpikir sampai di sini tidak terasa dia melirik sakejap kearah diri
Cuo It Sian.
“Bagaimana? apakah kau juga minta lolap bertindak terlalu
ganas, terlalu kejam?” ujar Cuo It Sian sambil tertawa sewaktu
melihat dia orang melirik kearah dirinya.
"Tidak berani !" ujar Ti Then dengan cepat. ''Dalam hati
boanpwae sedang berpikir : jikalau Pocu tidak mengalah aku kira
kau orang tua tidak bisa bermain dengan demikian enaknya."
Cuo It Sian segera tertawa terbahak-bahak, “Sudah tentu. .
.sudah tentu ! permainan catur dari Pocu kalian jadi lebih tinggi dari
kepandaian Loiap, jikalau dia orang tidak mau mengalah bagaimana
Lolap berani diam-diam dengan dia orang!”
Ti Then cuma tertawa saja tidak memberikan jawabannya, sekali
lagi dia orang berpikir:
"Benar jikalau perkataan ini dimaksudkan dia orang sudah
menguasai Ih, Kha serta Pauw tiga orang, Wi Ci To memang benar-
benar tidak leluasa untuk turun tangan"
Terdengar Cuo It Sian sudah melanjutkan lagi kata-katanya :
“Permainan ini mirip sekali dengan tindakan yang dipakai oleh
manusia berkerudung hitam itu, kepandandaian silatnya tidak bisa
memadahi kepandaian silat dari Pocu kalian sehingga dia harus
berusaha menggunakan akan menawan Ih, Kha serta Pauw tiga
orang terlebih dulu kemudian baru memaksa Pocu kalian. Lolap
percaya beritanya sudah hamper tiba di sini !"
"Perumpamaan ini memang paling sesuai !" ujar Wi Ci To sambil
tertawa keras.
"Benar !" sambung Ti Then sambil tertawa juga. "Cuo Locianpwe
berbicara demikian seperti juga kau adalah manusia berkerudung
hitam itu “
"Bilamana Lolap adalah manusia berkerudung hitam itu maka
urusan bisa kita selesaikan dengan mudah” ujar Cuo It Sian tiba-tiba
sambil tertawa.
"Bagaimana perkataanmu ini bisa kau ucapkan?” Tanya Ti Then
keheranan
“Kalian boleh turun tangan menawan Lolap lalu memaksa Lolap
untuk melepaskan orang yang sudah ditawan."
"Perkataan itu ini sedikitpun tidak salah cuma sayang Locianpwe
bukanlah manusia berkerudung hitam itu"
Walaupun pada mulutnya ia berbicara demikian padahal di dalam
hati diam-diam pikirnya:
“Benar! sedikit pun tidak salah! jikalau dia benar-benar adalah
manusia berkerudung itu kenapa Wi Ci To tidak mau melakukan hal
ini?
Kini Wi Ci To tidak mau berbuat demikian berarti juga kalau dia
bukanlah manusia berkerudung hitam itu, ataukah dia mem punyai
kesulitan sehingga tidak bisa turun tangan membuat dia ragu-ragu
dan takut untuk turun tangan?"
Di tengah tertawa serta ngobrolan yang ramai kedua orang tua
itu melanjutkan permainan catur mereka, Wi Ci To tetap bermain
dengan amat lambat sekali, entah dia betul-betul sedang berpikir
keras atau sengaja mengulur waktu?
Sampai siang hari sudah lewat permainan catur babak pertama
baru selesai, dan hasilnya adalah seri.
Wi Ci To segera tertawa terbahak-bahak :
"Haaaaa, . .. .haaaaa. .. .haaa . , . seri memang paling bagus !
damai jauh lebih baik”
“Tetapi lolap tidak ingin damai atau seri, nanti sore sekali lagi kita
adu kepandaian!” Seru Cuo It Sian sambil tertawa.
Sorenya mereka kembali melanjutkan kembali permainan catur
mereka di dalam kamar baca, Ti Then pun tetap menonton
jalannya pertandingan itu dari samping.
Permainan catur kali ini Wi Ci To main semakin lambat lagi,
menanti setelah hari menunjukkan tengah malam permainan
tersebut baru sampai di tengah jalan agaknya perhatian Wi Ci To
tidak terletak pada permainan catur tersebut, dengan tak hentinya
dia bergumam terus :
“Aneh, kenapa masih belum datang juga?”
"Kemungkinan sekali mereka sedang mengadakan persiapan,
setelah persiapan mereka selesai sudah tentu akan datang ber
tanya." sahut Cuo It Sian tetap tenang.
"Mari kita pergi bersantap dulu !" ujat Wi Ci To kemudian sambil
bangkit berdiri.
"Tetapi permainan catur kita belum selesai !" Jawab Cuo It Sian
sambil memandang kearah papan catur tersebut.
“Kita lanjutkan sesudah bersantap,"
Mereka bertiga segera pergi menuju ke ruangan makan,
mendadak tanya Wi Ci To:
"Ti Kiauw-tauw, selama satu harian ini kenapa In-ji tidak ada?
Dia pergi kemana?”
Baru saja ucapannya selesai terdengarlah suara dari Wi Lian In
berkumandang datang dari tempat luaran.
"Tia ! aku sudah datang !” teriaknya.
Disusul dengan munculnya seorang gadis ke dalam ruangan
makan tersebut.
"In-ji, hari ini kau pergi kemana ?" Tanya Wi Ci To.
"Aku tidak pergi kemana pun, seharian ini aku beristirahat di
dalam kamar”
“Kau sudah tidur satu harian penuh ?"
“Benar” Sahut Wi Lian In dengan malu-malu. "Pada waktu-waktu
yang lalu aku tidak pernah tidur dengan nyenyak, karenanya ini hari
aku tidur sepuas mungkin."
"Haaaoayaaa .... kau budak semakin lama semakin malas . . . "
Berbicara sampai di situ dia segera mempersilahkan Cuo it Sian
untuk ambil duduk.
Sewaktu mereka berempat sedang bersantap
terdengar Wi Lian In membuka mulut bertanya.
mendadak
"Tia, apakah sudah ada berita dari manusia berkerudung hitam
itu ?"
"Belum !" jawab Wi Ci To sambil gelengkan kepalanya. "Entah di
dalam cupu cu punya dia orang sedang menjual obat apa!”
"Sungguh aneh sekali !” ujar Wi Lian In keheranan. "Dia meminta
kita orang kembali ke benteng untuk menunggu beritanya, kini kita
sudah dua hari kembali ke dalam Banteng tetapi belum juga
mendapat berita dari dirinya, , , “
"Kecuali dia orang sudah tidak menginginkan barang dari Wi
Pocu, kalau tidak cepat atau lambat dia pasti akan kirim berita buat
kita" Sahut Cuo It Sian dengan cepat.
Dengan perlahan Wi Lian In menoleh ke arah Ayahnya, lantas
tanyanya.
"Apakah Tia rela menyerahkan barang itu untuk menolong Ih,
Kha serta Pauw tiga orang ?"
''Sampai saat ini lohu masih belum mengambil keputusan" jawab
Wi Ci To setelah termenung berpikir sebentar. "Karena lohu masih
tidak tahu barang apa yang dia orang minta”
Wi Lian ln tidak bertanya lagi, dengan berdiam diri dia
melanjutkan santapannya.
“Ti Kiauw-tauw, nanti lohu minta tolong kau orang mau
memeriksa keadaan di sekeliling tempat ini, serangan terang-
terangan bisa dicegah, serangan bokongan sukar diduga, kita harus
berhati-hati menghadapi mereka."
“Baiklah”
“Ayoh jalan !" ujarnya kemudian kepada Cuo It Sian." Kita
melanjutkan permainan catur yang belum selesai tadi !"
Setelah kedua orang itu meninggalkan ruangan makan Wi Lian In
segera bertanya kepada Ti Then dengan suara yang amat lirih :
“Apa kau orang sudah menemukan sesuatu yang mencurigakan
?"
“Tidak."
“Kalau begitu kemungkinan
berkerudung hitam itu?"
sekali
dia
bukanlah
manusia
“Kita tidak bisa berkata begitu, aku kira lebih baik kita
meneruskan pengawasan kita secara diam-diam !"
"Selama seharian ini apakah dia orang terus menerus bermain
catur dengan Tia di dalam kamar baca ?" tanya Wi Lian In lagi.
"Benar “ sahut Ti Then sambil mengangguk. "Aku masih ingat
perkataanmu tempo hari, bukankah permainan ayahmu amat cepat
sekali ?"
"Tidak salah, permainan catur ayahku itu memang amat cepat,
selamanya dia orang paling merasa tidak sabaran untuk berpikir
keras."
"Tetapi permainannya hari ini dengan Cuo It Sian ternyata sama
sekali berbeda dengan keadaan biasanya, permainannya kali ini
sangat lambat sekali."
"Kemungkinan sekali Tia terlalu kuatir atas keselamatan dari Ih,
Kha serta Pauw tiga orang sehingga sama sekali tidak mem punyai
minat untuk bermain catur ?"
"Jikalau dia orang tidak mem punyai minat untuk bermain catur
seharusnya bermain lebih cepat lagi" Sela Ti Then perlahan.
“Kalau tidak, lalu apa artinya ?” Tanya Wi Lian In keheranan.
"Aku merasa agaknya di dalam benak ayahmu sedang
memikirkan sesuatu urusan untuk cepat-cepat mengambil
keputusan, dia orang bukannya sungguh-sungguh sedang bermain
catur melainkan sedang memikirkan satu urusan yang lebih
penting,"
"Perkataanku tadi kan tidak salah, pasti sedang memikirkan cara-
cara untuk menolong Ih, Kha serta Pauw tiga orang dari belenggu
manusia berkerudung hitam tersebut"
"Kini berita dari manusia berkerudung belum tiba, apanya yang
bisa dipikirkan?" Ujar Ti Then sambil mengerutkan alisnya rapat-
rapat. "Makanya aku pikir tentunya ayahmu bukan sedang
memikirkan persoalan untuk menolong Ih, Kha serta Pauw tiga
orang, melainkan sedang berpikir perlukah dia orang pergi
menolong Ih, Kha serta Pauw tiga orang atau tidak,”
“Tentunya urusan ini ayahmu tentu akan menceritakan suatu
cara untuk menolong mereka !"
"Belum tentu" ujar Ti Then sambil tertawa. "Di dalam pikiran kita
nyawa Ih, serta Pauw tiga orang sangat penting sekali tetapi
kemungkinan juga barang dari ayahmu itu jauh lebih penting dari
nyawa Ih, Kha serta Pauw tiga orang!"
Wi Lian In termenung tidak berbicara. "Sekarang kau pergilah ke
kamar baca untuk melihat mereka bermain catur sedang aku mau
periksa sebentar sekeliling tempat ini."
Selesai berkata dia berjalan keluar dari ruangan makan itu.
Dia melalui pintu Benteng berjalan keluar lantai dengan
mengikuti tembok benteng melakukan perondaan disekeliling
tempat itu.
Setelah semuanya diperiksa dengan amat teliti dia baru kembali
ke dalam Benteng dengan mengambil jalan dari pintu Benteng yang
semula.
Baru saja dia orang memasuki benteng, mendadak tampak Wi
Lian In berlari mendatang, tak terasa lagi dengan perasaan heran
tanyanya : "Eeeeei . . . kenapa kau pun ikut keluar?”
"Tia tidak memperbolehkan aku ikut menonton” seru Wi Lian In
sambil mencibirkan bibirnya.
"Kenapa?” Tanya Ti Then keheranan.
“Dia meminta aku pergi memeriksa di sekeliling tempat ini untuk
berjaga-jaga jangan sampai ada musuh yang menyusup ke dalam
Benteng .... coba kau piker kita memangnya sedang menanti
kedatangan dari pihak musuh kenapa sekarang diharuskan berjaga-
jaga jangan sampai ada musuh yang menyusup kembali ?”
“Benar” sahut Ti Then sambil mengangguk. “Apalagi semua
pendekar pedang kita sudah bersiap siaga di dalam Benteng,
sebetulnya tidak perlu ditambah kau seorang lagi...apakah mungkin
hal ini dikarenakan pelbagai sebab lantas ayahmu sengaja
menyuruh kau orang keluar?”
"Aku pun berpikir demikian !”
Ti Then termenung berpikir sebentar, mendadak teriaknya.
“Aaaaah...mungkin...mungkin..biar aku pergi lihat !”
Sehabis berkata dengan langkah yang amat cepatnya dia berlari
masuk ke dalam Benteng.
Di dalam sekejap saja dia sudah tiba di depan kamar baca itu,
tampak keadaan di dalam kamar itu terang benderang agaknya
masih ada penghuninya di dalam kamar itu, segera dia orang maju
ke depan untuk mengetuk pintu.
Tetapi sekali pun dia sudah mengetuk pintu berulang kali dari
kamar itu tetap tidak terdengar suara dari Wi Ci To yang sedang
bertanya.
Dalam hati diam-diam dia terasa tergetar amat keras, dengan
cepat teriaknya.
“Pocu! Pocu ! Bolehkah boanpwe masuk ke dalam?”
Suasana di dalam kamar itu tetap sunyi senyap tidak terdengar
sedikit suara pun.
Dia segera tahu urusan tentunya terjadi suatu perubahan,
dengan cepat tangannya mendorong pintu tersebut dan masuk ke
dalam.
Terlihatlah di tengah kamar baca itu masih tergeletak papan
catur serta biji caturnya, sebaliknya bayangan dari Wi Ci To mau
pun Cuo It Sian sudah tidak nampak lagi.
“Iiih...mereka pergi kemana?”
Dengan cepat dia berlari masuk ke dalam kamar dan melakukan
pemeriksaan dengan teliti, terlihatlah keadaan di dalam kamar baca
itu sama sekali tidak tampak kacau balau, dalam hati dia merasa
semakin terperanyat lagi.
Dengan kecepatan dia balik badan berlari keluar dari kamar baca
dan bertanya kepada dua orang pendekar pedang hitam yang
sedang berjaga di depan loteng penyimpan kitab itu.
"Apakah kalian melihat Poca
meninggalkan kamar baca itu ?"
beserta
Cuo
Locianpwe
"Tidak !" Sahut kedua orang pendekar pedang hitam itu
bersama-sama, "Sejak Pocu serta Cuo Locianpwe masuk ke dalam
kamar sampai kini mereka belum pernah keluar."
Ti Then segera menduga kemungkinan sekali Wi Ci To serta Cuo
It Sian sudah keluar melalui jendela di belakang kamar baca itu,
dengan cepat tubuhnya meloncat kembali ke dalam kamar baca
tersebut.
Terlihatlah di dalam kamar baca itu semuanya ada dua buah
jendela sedang kedua buah jendela itu sampai kini masih tertutup
rapat-rapat, dia segera maju ke depan untuk mendorongnya tetapi
walau pun sudah didorong dengan sekuat tenaga tetap tidak
terbuka juga membuat hatinya bertambah cemas lagi. Pikirnya:
“Sungguh aueh sekali, jikalau mereka keluar melalui jendela itu
sudah seharusnya jendela ini tidak dapat ditutup kembali dari dalam
kamar, sedangkan kedua orang pendekar pedang hitam yang
menyaga di depan Loteng penyimpan kitab itu pun bilang tidak
melihat mereka berdua keluar dari dalam kamar lalu apakah mereka
sudah
berhasil
meyakinkan
ilmu
meienyapkan
diri
?
Ehemmm...benar! tentunya mereka keluar dari atap rumah, biar aku
naik ke atas untuk memeriksanya !"
Berpikir sampai di situ tubuhnya dengan cepat meloncat ke atas
atap rumah, terlihatlah atap-atap rumah itu sama sekali tidak
terlihat adanya tanda-tanda yang pernah dibuka orang, jelas sekali
Wi Ci To serta Cuo It Sian tidak mungkin keluar dengan melalui
tempat tersebut.
Jalan keluar dari kamar baca itu kecuali pintu kamar cuma ada
dua jendela atau atap rumah, sekarang atap itu pun kelihatan tidak
mungkin bisa dilalui sedangkan mereka berdua pun tidak keluar
melalui pintu kamar, lalu bagaimana mereka bisa lenyap ?
Bagaimana dua orang manusia hidup bisa lenyap secara tiba-tiba
dari dalam kamar tersebut ?
Apa mungkin mereka sudah berhasil meyakinkan ilmu untuk
melenyap diri ?
Tidak ! tidak mungkin terjadi urusan ini !
Dia orang segera merasakan urusan ini amat gawat sekali,
dengan cepat tubuhnya meloncat turun ke bawah kemudian
berteriak dengan kerasnya kearah kedua orang pendekar pedang
hitam, yang berjaga di luar loteng penyimpan kitab itu:
"Cepat panggil nona serta pendekar merah untuk berkumpul di
sini, Pocu seru Cuo Locianpwe sudah lenyap”
Kedua orang pendekar pedang hitam itu tetap berdiri tegak, dari
wajahnya jelas memperlihatkan sikap yang serba salah.
"Lapor kepada Ti-Kiauw-tauw !" ujar mereka berdua secara
berbareng. "Sebelum cayhe memperoleh perintah dari Pocu tidak
berani melalaikan tugas kami."
Ti Then sedikit mengerutkan alisnya ujung kakinya dengan cepat
menutul permukaan tanah dan berlari menuju ke halaman depan,
teriaknya dengan keras :
"Heeeei .... Lian ln ! saudara-saudar sekalian kemarilah semua . ,
. . Pocu serta Cuo Locianpwe sudah lenyap tak berbekas”
Baru saja dia selesai berteriak segera terlihatlah Wi Lian In
beserta lima, enam orang pendekar pedang merah pada berlari
mendekat, tanyanya dengan amal terperanyat :
"Ada apa ?"
"Pocu serta Cuo Locianpwe telah, lenyap!”
Baik Wi Lian In mau pun keenam orang pendekar pedang merah
itu segera menjerit kaget, air muka mereka berubah sangat hebat
sekali.
"Bagaimana lenyapnya ?”
"Semula mereka masih ada di dalam kamar bermain catur, tetapi
tadi sewaktu siauw-te mau masuk ke kamar baca itu ternyata sudah
menemukan mereka tidak ada di dalam kamarnya bahkan kedua
orang saudara yang berjaga di depan loteng penyimpan kitab itu
pun bilang mereka tidak melihat kedua orang tua itu berjalan
keluar”
"Apa mungkin mereka keluar melalui jendela ?" tanya. Shia Pek
Tha dengan sangat terperanyat.
“Tidak, baik kedua buah jendela mau pun atap kamar itu
semuanya tertutup amat rapat, siauw-te sudah memeriksanya
dengan teliti...mereka tidak mungkin melalui tempat tersebut.”
“Bagaimana bisa terjadi urusan ini?” seru Shia Pek Tha kembali
dengan amat terperanyat.
“Mari kalian ikut aku pergi memeriksa!” tiba-tiba Wi Lian In
berteriak keras.
Di tengah suara teriakannya itulah dia sudah berkelebat menuju
ke depan.
Semua orang segera mengikutinya dari belakang dan bersama-
sama berlari menuju ke depan kamar baca, setelah mengadakan
pemeriksaan dengan amat teliti akhirnya terbukti jendela itu sama
sekali tidak terbuka sedangkan atap itu pun tidak memperlihatkan
tanda-tanda pernah dibuka oleh orang lain.
Shia Pek Tha segera berlari keluar dan bertanya kepada kedua
orang pendekar pedang hitam yang sedang berjaga di depan loteng
penyimpan kitab itu.
“Kalian benar-benar tidak melihat Pocu serta Cuo Locianpwe
keluar dari dalam kamar?”
"Benar!" sahut kedua orang itu secara berbareng. “Cayhe sekali
pun melihatnya dengan amat jelas sekali Pocu serta Cuo Locianpwe
memang benar-benar tidak pernah keluar dari dalam kamar”
“Hal ini sungguh aneh sekali!” sela Ki Tong Hong salah satu dari
pendekar pedang merah itu dengan keras. “Mereka tidak pernah
keluar dari pintu, juga tidak keluar dari jendela mau pun dari atas
atap rumah tetapi bagaimana tidak pernah kelihatan manusianya?”
Sekali lagi semua orang berlari masuk ke dalam kamar baca itu
dan mengadakan pemeriksaan yang amat teliti sekali terhadap
seluruh isi kamar tersebut.
Mendadak dari atas meja buku Ki Tong Hong mengambil keluar
secarik kertas putih sambil teriaknya keras :
"Coba lihat, Pocu sudah meninggalkan sepucuk surat!”
"Ditujukan buat Ti Kiauw-tauw beserta semua pendekar pedang
merah yang ada di dalam Benteng”
“Lohu baru saja memperoleh sepucuk surat dari manusia
berkerudung hitam yang mengajak lohu pergi kesuatu tempat untuk
membicarakan persoalan ini. Lohu segera mengajak Cuo-heng
melakukan perjalananan cepat untuk memenuhi janyi itu. Kalian
semua harus tetap tinggal di dalam Benteng dan melakukan
penjagaan yang lebih ketat lagi. Jangan sekali-kali ada yang
meninggalkan benteng sehingga bisa digunakan kesempatan itu
bagi pihak musuh. Sekian”
Semua orang yang pada mengerubung untuk membaca surat itu
segera pada berubah wajahnya, air muka mereka penuh diliputi oleh
perasaan terkejut bercampur heran.
Karena sekali
pun mereka sudah membaca surat yang
ditinggalkan oleh Pocu mereka dan mengetahui kalau Pocu mereka
bersama-sama dengan Cuo It Sian sudah pergi memenuhi janyi
dengan manusia berkerudung hitam itu tetapi mereka semua masih
tidak paham dengan cara apa mereka bisa meninggalkan kamar
baca itu?
Masih ada lagi, surat yang dikirim oleh manusia berkerudung
hitam itu dengan cara bagaimana bisa dihantar masuk ke dalam
Benteng?
Sejak Wi Ci To berenam kembali ke dalam Benteng, oleh karena
mengetahui kalau dari pihak manusia berkerudung hitam itu bakal
ada berita yang hendak dikirim datang maka penjagaan di dalam
Benteng itu sudah diperkuat berkali-kali lipat sehingga mereka
semua percaya jikalau benar-benar ada orang luar yang mau masuk
ke dalam Benteng pasti tidak akan lolos dari pengawasan para
pendekar pedang yang melakukan penjagaan di sekitar Benteng itu.
Sebaliknya kini ternyata manusia berkerudung hitam itu bisa lolos
dari pengawasan para pendekar pedang dan mengirim surat
tersebut ke dalam Benteng bahkan Pocu mereka serta Cuo It Sian
pun secara tiba-tiba dan amat misterius sekali bisa meninggalkan
Benteng Pek Kiam Po tanpa diketahui, bukankah hal ini merupakan
suatu urusan yang berada diluar dugaan mereka?
Karenanya untuk beberapa saat lamanya mereka cuma bisa
saling berpandangan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Akhirnya Wi Lian In lah yang memecahkan kesunyian itu terlebih
dahulu, setelah ragu-ragu sebentar akhirnya dia berkata:
“Aku tahu secara bagaimana Tia serta Cuo Locianpwe bisa
meninggalkan kamar baca itu!”
Mendengar perrkataan tersebut tidak terasa lagi semangat semua
orang berkobar kembali.
“Mereka dengan cara apa meninggalkan tempat ini?” Tanya
mereka berbareng.
Dengan perlahan Wi Lian In melirik sekejap kearah sebuah lemari
pakaian yang ada di dalam kamar itu, lantas ujarnya:
“Di dalam kamar baca ayahku ada sebuah jalan rahasia di bawah
tanah yang bisa berhubungan dengan sebuah gua di atas tebing
Sian Ciang..”
“Ooh..kiranya begitu!” seru semua orang dengan amat
terperanyat. “kalau begitu Pocu beserta Cuo Locianpwe tentunya
berjalan keluar melalui jalan rahasia ini.”
“Dimana mulut jalan rahasia itu?” tanya Shia Pek Tha kemudian.
“Di dalam lemari tersebut” sahut Wi Lian In sambil menuding
kearah lemari yang ada di dalam kamar itu.
Dengan wajah yang amat terkejut bercampur heran Tanya Ki
Tong Hong kembali sambil memandang kearah lemari tersebut:
"Kenapa kami semua tidak tahu kalau ditempat ini ada sebuah
jalan rahasia?”
“Ada satu kali” ujar Wi Lian In menerangkan. “Sewaktu Tia
menemukan kalau satu gua di atas tebing Sian Ciang itu
menghubungkan tempat tersebut dengan tanah di bawah Benteng
kita lantas secara diam-diam dia orang tua sudah menghubungkan
tempat ini dengan jalan rahasia ini yang siap-siap digunakan untuk
mengundurkan diri jikalau ada sesuatu kejadian yang berada di luar
dugaan”
Dia berhenti sebentar, lalu sambungnya lagi:
“Karena Tia takut saudara-saudara secara tidak berhati-hati
sudah membocorkan urusan ini keluar maka itu dia orang tua tidak
sampai memberitahukan urusan kepada kalian semua.”
“Tetapi kenapa Pocu harus keluar dengan melalui pintu rahasia
ini?” tanya Shia Pek Tha.
“Mungkin dia tidak ingin kita semua mengikuti dirinya.”
“Bilamana Pocu tidak memperbolehkan kita ikut asalkan dia
orang tua kasih perintah siapa orang yang berani melanggar
perintah dari Pocu?”
“Aku berani melanggar!” ujar Wi Lian In sambil tertawa.
“Tidak salah!” seru Shia Pek Tha sambil tertawa serak. “Tentunya
Pocu takut kau secara diam-diam mengikuti dirinya karena itu
secara sembunyi-sembunyi dia orang sudah berlalu dari dalam jalan
rahasia ini”
"Tetapi kalau memangnya Pocu tidak ingin jalan rahasia ini
diketahui oleh kita semua kenapa justru membiarkan Cuo Locianpwe
mengetabuinya?" Tanya Ki Tong Hong mengemukakan rasa heran di
dalam hatinya. "Walau pun Cuo Lo-Cianpwe merupakan seorang
pendekar yang mem punyai nama besar tetapi bagaimana pun juga
dia adalah orang luar!”
“Soal ini aku juga tidak paham. . . "Sahut Wi Lian In perlahan.
"Masih ada lagi, kenapa Pocu tidak membolehkan kita semua ikut
pergi?
Bukankah semakin banyak orang yang pergi harapan untuk
menolong Ih, Kha serta Pauw tiga orang bertambah besar?”
“Kemungkinan sekali hal ini merupakah salah satu syarat yang
diajukan manusia berkerudung itu, mungkin dia cuma mengijinkan
PoCu serta Cuo Lo-Cianpwe dua orang saja yang pergi memenuhi
janyi”
Dengan perlahan dia menoleh kearah Ti Then, lalu tanyanya:
“Ti Kiauwtauw, kau bagaimana?”
“Mungkin memang demikian adanya” sahut Ti Then sambil
tertawa.
Sekarang di dalam hatinya semakin merasa kalau Cuo It Sian ada
delapan bagian merupakan manusia berkerudung hitam itu, cuma
saja dikarenakan urusan ini menyangkut suatu rahasia dari Wi Ci To
yang tidak bisa diberitahukan kepada orang lain maka dia tidak ingin
mengatakan kecurigaan di dalam hatinya.
“Tapi tulisan yang ditinggalkan oleh Pocu sudah tertulis amat
jelas supaya kita semua menyaga Benteng lebih ketat lagi dan tidak
diperkenankan meninggalkan tempat ini”
“Untung saja yang kau maksudkan sebagai kita tidak termasuk
aku di dalamnya” sahut Wi Lian In sambil tertawa.
Ti Then menjadi melengak.
“Bagaimana tidak termasuk kau?”
“Bukankah tulisan yang ada di dalam surua itu menulis kalau
surat tersebut ditujukan buat Ti Kiauw-tauw beserta seluruh
pendekar pedang merah yang ada di dalam Benteng?”
"Tapi kau pun salah satu dari pendekar pedang merah!" Seru Ti
Then sambil tertawa.
“Tidak!” bantah Wi Lian In sambil gelengkan kepalanya. “Tia
menganggap aku sebagai putrinya. Selama ini dia tidak pernah
menganggap aku sebagai salah satu pendekar pedang merah dari
Benteng kita.”
“Jadi maksudmu kau ingin pergi mengejar?”
“Benar!” sahut Wi Lian In mengangguk.
"Baru saja kau bilang sendiri kemungkinan sekali saat ini Pocu
serta Cuo Locianpwe sudah meninggalkan jalan rahasia itu dan tidak
mungkin bisa kecandak, buat apa kau pergi mengejar?”
“Aku punya cara untuk mengejar Tia!”
“Cara apa?” tanya Ti Then heran.
“Sebentar lagi tentu kau orang akan tahu!”
Selesai berkata dia segera berlalu dari dalam kamar baca itu.
Shia Pek Tha yang melihat tindak tanduknya itu segera
mengerutkan alisnys.
"Dia tentu akan membawa anying sakti untuk mengejar jejak
Pocu,
tetapi...
bagaimana
kita
memperbolehkan
dirinya
meninggalkan, benteng seorang diri?”
“Apa itu anying sakti?” tanya Ti Then lagi.
“Benteng kita mem punyai seekor anying srigala yang bisa
mengejar seorang, asalkan bisa mengambil barang dari Pocu kau
membiarkan dia menciumnya maka dia bisa mengejar diri Pocu tidak
perduli dia orang kemana pun.”
“Kiranya demikian, kalau begitu sangat bagus sekali!”
“Tidak, kita tidak boleh membiarkan dia pergi seorang diri!”
“Aku kira siapa pun tidak bisa menahan maksudnya ini” ujar Ti
Then sambil tertawa.
“Lalu apakah Ti Kiauwtauw mau pergi bersama-sama dirinya?”
“Tidak bisa jadi” seru Ti Then sambil gelengkan kepalanya. “Pocu
sudah memberi perintah agar siauwte tetap tinggal di dalam
Benteng, bilamana siauwte pergi dan di dalam Benteng terjadi
sesuatu urusan, bukankah siauwte akan kesalahan?”
“Bilamana musuh bisa menyerang kita, dsngan kekuatan dua
puluh orang mungkin masih bisa memberikan perlawanan, tentunya
hal ini harap Ti Kiauw-tauw berlega hati" ujar Shia Pek Tha dengan
cepat.
“Tidak salah” Nyeletuk Ki Tong Hong. “Apalagi tidak perduli
sudah terjadi urusan apa pun di dalam Benteng kita agaknya jauh
lebih penting untuk melindungi keselamatan dari nona Wi !”
"Tetapi siauw-te sendiri tidak bisa melanggar perintah dari Po-Cu
?" seru Ti Then Coba mempertahankan diri.
“Ti Kiauw-tauw bisa menjelaskan kepada Pocu, karena hendak
melindungi kesalamatan dari nona Wi terpaksa kau orang harus
meninggalkan benteng”
Melihat mereka berdua terus mendesak dirinya terpaksa Ti Then
mengangkat bahunya.
“Biarlah nanti siauwte coba-coba untuk menasehatinya kembali,
jikalau dia orang tetap kukuh mau mengejar terpaksa siauwte harus
mengawasinya”
Tidak selang berapa lama ternyata dugaan dari Shia Pek Tha
sedikit pun tidak salah, Wi Lian In dengan membawa seekor anying
yang amat besar berjalan masuk ke dalam kamar baca.
Anying raksasa itu mem punyai perawakan badan yang amat
besar dan kuat sekali, sepasang matanya memancarkan sinar yang
berkilauan, sepertinya mau menggigit semua
ditemuinya, keadaannya amat menakutkan sekali!
orang
yang
Dengan menuntun sang anying, Wi Lian In berjalan masuk ke
dalam kamar lalu mengambil keluar sepasang sepatu dari Wi Ci To
dan membiarkan anying itu membauinya, setelah itu barulah
ujarnya:
“Sepatu itu adalah sepatu milik ayahku, kau baiklah menciumnya
lalu kita pergi mengejar Tia, tahu tidak?”
Anying itu segera membaui sepasang sepatu dari Wi Ci To itu
lantas sambil menggonggong berlari mendekati lemari tersebut.
Ti Then segera tertawa.
“Nona Wi lebih baik jangan pergi!” ujarnya.
“Tidak bisa, tentunya kau tahu bukan kenapa aku harus pergi?”
Beberapa perkataan ini kecuali Ti Then serta Shia Pek Tha siapa
pun tidak paham apa arti dari perkataan itu, kiranya dia sudah
merasa kalau Cuo It Sian kemungkinan sekali adalah manusia
berkerudung hitam itu, karena dia takut ayahnya terjebak ke dalam
pancingannya, karena itu memaksa untuk pergi menyusul.
“Aku percaya ayahmu pasti tidak akan terjadi sesuatu urusan apa
pun, lebih baik kau tetap tinggal di dalam Benteng saja!” ujar Ti
Then dengan perlahan.
Wi Lian In tidak mau menggubris perkataan itu, dengan cepat dia
membuka lemari itu dan menarik sebuah pedang pada dasarnya,
begitu papan itu ditarik keluar maka segeralah terlihat sebuah mulut
jalan rahasia muncul di hadapannya.
Sambil menarik anying tersebut untuk memasuki ke dalam lemari
ujarnya kemudian:
"Ayoh Cian Li Yan masuk ke dalam..”
Kiranya anying itu bernama Cian Li Yan atau simata seribu li.
Si Cian Li Yan segera merangkak ke atas lemar dan menyusup
masuk ke dalam jalan rahasia itu sambil memperdengarkan suara
gongongannya yang amat ramai.
"Selamat tinggal!" seru Wi Lian In kemudian sambil melambaikan
tangannya kepada semua orang.
Selesai berkata dia pun melangkah masuk ke dalam jalan rahasia
tersebut.
“Nona Wi, tunggu sebentar!” teriak Shia Pek Tha mendadak.
Wi Lian In segera menoleh dan kirim satu senyuman kepada
semua orang.
"Siapa yang berani menghalangi diriku aku akan suruh Cian Li
Yan menggigitnya terlebih dulu" ujarnya.
"Tetapi jikalau ada orang yang mau ikut kau pergi ?” tanya Shia
Pek Tha sambil tertawa.
Wi Lian In dengan perlahan melirik sekejap kearah Ti Then lantas
dengan nada mengejek serunya :
"Siapa yang punya nyali untuk ikut aku pergi ?"
"Aku !" sahut Ti Then cepat.
"Bukankah kau orang mau menyaga Benteng?" Seru Wi Lian In
sambil mencibirkan bibirnya.
"Aku kira ayahmu tentu akan menganggap melindungi dirimu
jauh lebih penting daripada menyaga Benteng Pek Kiam Po ini.”
"Tapi aku tidak membutuhkan perlindungan dari orang lain”
Selesai berkata dengan cepat dia menerobos masuk ke dalam
jalan rahasia tersebut.
Ti Then pun dengan cepat mengikuti dari belakangnya, setelah
masuk ke dalam jalan rahasia itu dia orang segsra merasakan
keadaan di sana sangat gelap sekali sehingga tidak dapat melihat
bayangan Wi Lian In yang ada di depannya, dia orang menjadi
gugup.
“Nona Wi, kau dimana?” teriaknya dengan keras.
“Aku di sini!” sahut Wi Lian In dari tempat kurang lebih puluhan
kaki dalamnya.
Ti Then segera berjalan maju ke depan sembari berjalan ujarnya
lagi.
“Jalan rahasia ini sungguh gelap sekali, kenapa tidak memasang
lampu?”
“Jika kau orang takut gelap lebih baik jangan ikut” teriak Wi Lian
In sambil tertawa.
Mendadak Ti Then menghentikan langkahnya.
"Aku orang benar-benar takut tempat yang gelap, kalau begitu
kau pergilah sendiri!”
Baru saja dia selesai berkata tampaklah jalan rahasia itu sudah
diterangi oleh lampu yang memancarkan sinarnya dengan amat
terangnya.
Tampak Wi Lian In dengan membawa sebuah lampu lentera
berdiri kurang lebih dua kaki di dalam jalan rahasia itu, teriaknya
sambil tertawa geli.
“Jika kau orang tidak mau datang, lihat saja lain kali aku
menggubris dirimu atau tidak !”
Sambil tersenyum Ti Then segera maju mendekati dirinya.
Demikian mereka berdua segera melanjutkan perjalanannya
sambil berjalan berdampingan, mendadak terdengan Cian Li yan itu
anying yang ada di depan menyalak dengan amat kerasnya.
“Ada urusan apa?” tanya Ti Then dengan cepat.
“Di depan sana ada sebuah pintu batu, dia yang tidak bisa lewat
sudah tentu menyalak terus...” jawab Wi Lian In menerangkan.
Beberapa langkah kemudian ternyata tidak salah lagi, di depan
jalan rahasia itu terdapatlah sebuah pintu batu yang menghalangi
perjalanan selanjutnya, sedangkan itu anying “Cian Li Yan” berdiri
didekat pintu sambil menyalak tak henti-hentinya.
Wi Lian In segara maju ke depan membuka pintu batu itu dan
membiarkan "Cian Li Yan" si anying meneruskan perjalanannya ke
depan. ujarnya :
"Pintu batu itu sebetulnya tertutup rapat, sekarang ternyata
cuma dirapatkan saja, hal ini membuktikan kalau ayahku memang
benar-benar pernah melalui jalan rahasia ini”
"Apakah jalan rahasia ini tidak dipasangi alat rahasia ?"
"Tidak" sahut Wi Lian In dengan sambil gelengkan kepalanya. "Di
depan sana ada sebuah pintu besi yang bisa dibuka tutup secara
otomatis, setelah melewati pintu besi itu maka tempat yang di
depannya adalah gua alam”
ooOOoo
MEREKA berdua segera mengikuti jejak si anying" Cian Li Yan"
berjalan masuk ke dalam, kurang lebih setelah berjalan puluhan
langkah ternyata di dalam jalan rahasia itu kembali muncul sebuah
pintu besi yang menghalangi perjalanan mereka.
Wi Lian In segera mencekal gelang besi yang ada di atas pintu
dan memutarnya kekiri lantas kekanan, dengan perlahan pintu itu
terbuka lalu bergeser sendiri ke sebelah kanan. Ternyata sedikit
pun tidak salah di balik pintu itu merupakan sebuah gua alam yang
berliku amat panjangnya.
Setelah melalui pintu besi itu Wi Lian In segera memutar kembali
gelang baja yang ada di atas pintu tersebut sehingga pintu tersebut
bergeser kembali ke tempat semula, kemudian barulah bersama-
sama dengan Ti Then melanjutkan kembali perjalanannya mengikuti
jejak anying “Cian Li Yan” yang sudah lari terlebih dulu di depan.
Tidak lama kemudian kedua orang beserta sang anying tersebut
telah berjalan keluar dari sebuah gua yang amat sempit dan muncul
di samping sebuah hutan lebat di belakang bukit Sian Ciang.
Tampak anying itu membaui lagi sekeliling tempat itu, kemudian
dengan disertai suara gonggongannya yang amat keras ia berlari
menyusup ke atas gunung.
Arah yang dituju ternyata adalah puncak gunung Go-bi ini untuk
mengadakan pertemuan dengan ayahku"
“Jikalau manusia berkerudung hitam itu adalah Cuo It Sian maka
tempat yang mmenurut dugaannya merupakan tempat yang paling
cocok untuk bertemu dengan ayahmu adalah di atas gunung Go-bi
ini.”
“Kau rasa manusia berkerudung hitam itu apa mungkin
sipembesar kota Cuo It Sian?” tanya Wi Lian In dengan ragu-ragu.
“Di dalam sepuluh bagian ada delapan tidak akan salah”
“lalu Tia bisa keluar Benteng bersama-sama dengan dirinya
dikarenakan kemauannya sendiri ataukah dipaksa olehnya?”
"Soal ini aku orang tidak bisa mengetahui jelas, kita harus
menunggu sesudah bertemu dengan mereka baru bisa mengetahui
keadaan yang sebenarnya."
“Jika membicarakan di dalam soal ilmu silat Tia jauh lebih tinggi
tingkatannya daripada dirinya, tetapi saat ini dia sudah menguasai
Ih, Kha serta Pauw tiga orang, maka, ............Ehmmmm....kau rasa
ayahmu bisa menyerahkan barang itu kepadanya, karena menolong
orang lebih penting, dia orang tua tidak bisa melihat anak buahnya
dibunuh orang lain kecuali......”
"Kecuali bagaimana ?” tanya Wi Lian In cepat.
"Kecuali barang itu jauh lebih berharga dari pada nyawa dari Ih,
Kha, Pauw tiga orang, tetapi aku penrcaya di dalam dunia ini tidak
ada barang yang jauh lebih berharga dari pada nyawa manusia."
"Benar !' sahut Wi Lian In mengangguk. "Tetapi sifat ayahku
amat jujur sekali, selamanya dia tidak pernah mendapatkan tekanan
dari orang lain, jika permintaan dari pihak lawan sangat keterlaluan
atau mungkin dia orang juga lebih menegangkan setelah dia orang
menyerahkan barang yang diminta kepada pihak lawan, aku rasa
Tia tidak akan menyanggupi permintaannya itu."
“Jikalau dikarenakan ayahmu tidak menyerahkan barang tersebut
sehingga menyebabkan Ih, Kha serta Pauw tiga orang menemui
kematian yang amat mengerikan aku kira ayahmu pasti akan
mengerahkan semua jago pedang yang ada untuk menyelesaikan
urusan ini dengan pihak mereka.”
“Semoga saja keadaan jangan sampai begitu jelek..” seru Wi Lian
In segera.
Berbicara sampai di sini mereka berdua tidak membuka mulut
kembali, dengan mengikuti anying tersebut mereka melanjutkan
perjalanan dengan berdiam diri, karena mereka berdua merasa
kalau larinya "Cian Li Yan” semakin lama semakin cepat, hal ini
membuktikan kalau "tujuan" mereka sudah tidak jauh lagi.
Setelah melewati hutan yang lebar dan melanjutkan perjalanan
kembali sejauh satu, dua li sampailah mereka di depan sebuah
tebing yang sangat curam sekali.
Cian Li Yan segera membaui tebing tersebut dan mendongakkan
kepalanya memandang ke atas tebing sambil menyalak tak henti-
hentinya.
Ti Then segera tahu kalau Wi Ci To serta Cuo It Sian tentunya
ada di atas tebing curam tersebut.
"Lian In cepat suruh dia jangan menyalak lagi " teriaknya dengan
suara yang amat lirih.
Wi Lian In segera meloncat ke samping badan anyingnya.
“Sudah..sudahlah jangan menyalak lagi” serunya sambil mebelai
lehernya. “Kau baik-baiklah menunggu di tempat ini jangan
bergerak, tahu tidak?”
Cian Li Yan itu segera menggoyang-goyangkan ekornya dan
berbaring di bawah tebing tersebut tidak bergerak lagi.
Setelah itu Wi Lian In menggape kearah Ti Then memberi tanda
supaya bersama-sama melayang ke atas tebing, ujung kakinya
segera menutul permukaan tanah dan meluncur naik ke atas tebing
yang amat curam itu.
Tinggi tebing itu ada dua puluh kaki yang merupakan batu-batu
karang yang selapis demi selapis, karenanya mereka berdua yang
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya hanya di dalam sekejap
saja sudah berhasil tiba di atas puncak tersebut.
Baru saja mereka berdua menginyakkan kakinya di atas puncak
tebing itu mendadak dari samping badannya terdengar suara
bentakan yang sangat keras sekali:
“Berhenti! kalian tidak diperkenankan datang kemari !"
Orang baru saja membentak itu bukan lain adalah si pembesar
kota Cuo It Sian.
Dia berdiri di atas tebing sebelah utara, di belakang badannya
masih ada empat orang, yaitu lelaki berkerudung hitam yang
perawakannya kurus kecil (sekali pandang saja Ti Then mau pun Wi
Lian In segera bisa mengenal kembali kalau orang itu adalah
manusia berkerudung yang berhasil meloloskan diri sewaktu ada di
perkam pungan Tay Peng cung), sedangkan ketiga orang lainnya
adalah Ih Kun, Kha Cay Hiong serta Pauw Kia Yen yang mereka
tawan.
Mereka tiga orang diikat di atas sebuah pohon Siong di samping
tebing yang amat curam, sepasang tangan mau pun kakinya terikat
dengan amat kuatnya sehingga tidak dapat bergerak sedikit pun.
Sedangkan Wi Ci To berdiri di hadapan Cuo It Sian berlima
kurang lebih delapan kski di depannya, waajahnya amat murung
sekali jelas dia orang sudah menemui kesulitan.
Dari pemandangan waktu itu jeias sekali memperlihatkan kalau
manusia berkerudung yang mereka cari selama ini bukan lain adalah
Sian Thay-ya atau si pembesar kota Cuo It Sian adanya !
-ooo0dw0ooo-
Jilid 27.1 : Barang yang diminta....potongan pedang
Jelas sekali orang yang mengadakan jual beli dengan Hu Pocu
untuk mencuri semacam barang milik Wi Ci To lalu membinasakan
diri Hong Mong Ling di atas gunung Kim Teng san dengan sambitan
batu bukan lain adalah perbuatan dari Cuo It Sian si pembesar kota
ini. Sekali pun di dalam hati Wi Lian In sudah punya dugaan kalau
manusia berkerudung itu adalah Cuo It Sian tetapi sekarang setelah
melihat dengan mata kepala sendiri kalau Cuo It Sian benar-benar
adalah manusia berkerudung itu tidak urung merasa terkejut
bercampur gusar juga, alisnya dikerutkan rapat-rapat.
“Cuo It Sian, kiranya benar kau adanya!” teriaknya dengan amat
gemas.
Cuo It Sian segera tertawa terbahak-bahak.
"Sedikit pun tidak salah !" sahutnya ketus, "Cama saja kalian
mengetahui hal ini sudah terlalu lambat”
“Hmm...! Aku rasa sedikit
sambil tertawa dingin.
pun tidak lambat” seru Wi Lian In
Selesai berkata pergelangan tangan kanannya membalik dan
mencabut keluar pedang panjangnya lalu berjalan ke depan maju
mendesak kearah diri Cuo It Sian.
“In-ji, jangan sembarangan bergerak!” bentak Wi Ci To dengan
amat cepat.
Cuo It Sian segera mengundurkan satu langkah ke belakang dan
berdiri diantara Kha Cay Hiong serta Pauw Kian Yen telapak tangan
kanannya ditekan pada jantung Kha Cay Hiong sedang telapak nya
menekan dada dari Pauw Kia Yen.
“Benar..! Bagus sekali, ayoh maju satu langkah lagi !” serunya
sambil tertawa terbahak-bahak. “Lolap terpaksa main adu jiwa
dengan kalian !”
Si manusia berkerudung hitam yang badannya kecil kurus itu
pun segera melintangkan goloknya ke atas leher dari Ih Kun, dia
bersiap sedia asalkan Wi Lian In maju menyerang maka goloknya
akan segera ditabaskan ke atas kepala dari In Kun.
Wi Lian In yang melihat
menghentikan langkah kakinya.
keadaan
seperti
ini
terpaksa
"Kalian sungguh tidak berguna ! gentong nasi !” teriaknya
dengan amat gemas. “Hey bajingan tua ! terus terang saja aku
beritahu kepadamu, para pendekar pedang dari Pek Kiam Po kami
sudah mengepung tempat ini rapat-rapat, jikalau kau berani turun
tangan membinasakan ketiga orang itu maka kalian berdua jangan
harap pula bisa lolos dari kematian !"
Cuo It Sian sama sekali tidak menjadi jera ketika mendengar
ancaman tersebut, sekali lagi dia tertawa terbahak-bahak.
“Mati? haaa. . . , haaa. haaa. Lolap sama sekali tidak menaruh
rasa takut terhadapnya, sejak semula Lolap sudah mengambil
keputusan jikalau malam ini tujuanku tidak tercapai maka aku
segera akan adu jiwa dengan kalian l"
"Kenapa?
Air muka Cuo It Sian segera berubah menjadi amat keren.
“Kita tak perlu tahu!” serunya sambil mengejar kejam.
“Tia ! Sebetulnya dia orang minta barang apa?” Tanya Wi Lian In
sambil menoleh kearah ayahnya.
Wi Ci To tidak langsung memberikan jawabannya, lama sekali dia
termenung berpikir keras akhirnya baru jawabnya:
“Sebuah potongan pedang..”
"Hey orang she Wi, kau berani melanggar peraturan yang sudah
lolap tentukan” teriak Cuo It Sian dengan air muka yang berubah
sangat hebat.
Wi Ci To tertawa tawar.
"Aku orang she Wi cuma berbicara sampai di sini saja, apa
halangannya?” ujarnya dengan dingin.
“Asalkan kau orang berani berbicara sepatah kata lagi, Lolap
terpaksa akan adu jiwa dengan kalian!”
“Aku orang she Wi merasa perbuatan dari Cuo heng ini cuma
mendatangkan bencana buat dirimu sendiri !"
“Sebenarnya kau mau serahkan itu barang atau tidak?” teriak
Cuo It Sian dengan keras, napsu mulai menyelimuti wajahnya.
Wi Ci To dengan perlahan merogoh dan mengambil keluar
potongan pedang tersebut lalu tertawa.
“Sejak aku orang she Wi tahu kalau Cuo heng berhasil menawan
mereka bertiga, aku orang she Wi sudah mengetahui kalau aku
orang tidak bisa mempertahankan ptongan pedang ini lagi” ujarnya
perlahan. “Tetapi dapatkah kau orang menyambung kembali kedua
potongan pedang itu seperti sedia kala?”
Gagang pedang yang menghubungkan gagang dengan tubuh
pedang itu cuma ada enam tujuh cun saja panjangnya, pedangnya
pun amat kecil dan memancarkan sinar yang menyilaukan mata,
agaknya tidak salah lagi pedang itu merupakan satu pedang pusaka.
Cuo It Sian yang melihat Wi Ci To sudah mengambil keluar
potongan pedang itu air mukanya jelas kelihatan sangat terharu
sekali.
"Potongan yang sebelah lagi Lolap sama sekali tidak
membuangnya" ujarnya denga suara yang amat berat. “Maka itu
dapat mengembalikan seperti keasalnya atau tidak bukanlah urusan
yang penting..cepat kau lemparkan kemari!”
Dengan hati yang keberatan Wi Ci To mempermainkan potongan
pedang tersebut, agaknya dia pun merasa amat sayang untuk
melemparkan pedang tersebut kepadanya, ujarnya dengan
perlahan:
“Aku orang she Wi sudah menyimpan ptotongan pedang ini ada
tiga tahun lamanya, sekarang sebetulnya aku merasa amat sayang
sekali untuk diserahkan kepadamu...”
"Jikalau kau tetap menginginkan barang tersebut..hmmmm!
hmm! Jelas sekali keiga nyawa anak muridmu sukar untuk
dipertahankan lebih lama lagi!” ancam Cuo It Sian dengan
seramnya.
"Karena itulah aku orang she Wi harus tunduk kepala terhadap
pengaruh jahat untuk pertama kalinya" ujar Wi Ci To sambil
menghela napas panjang.
Dia berhenti sebentar, mendadak sinar matanya dengan amat
tajam sekali perhatikan diri Cuo It Sian, lantas tambahnya:
“Tetapi, anak murid dari aku orang she Wi sudah mengepung
puncak ini masa kalian percaya bisa meninggalkan tempat ini dalam
keadaan selamat ?”
"Lolap berdua percaya masih bisa menyingkir dari sini dalam
keadaan selamat”
"Kalian tetap akan membawa ketiga orang ini?” tanya Wi Ci To
lagi,
"Tidak, asalkan kau orang melemparkan potongan pedang itu
kepadaku, maka lolap segera akan melepaskan mereka bertiga,
perkataan yang aku sudah ucapkan selamanya tidak akan aku tarik
kembali !”
Wi Lian In yang melihat ayahnya sudah ada maksud untuk saling
bertukar barang dengan pihak lawan hatinya merasa sangat cemas
sekali, walau pun dia orang sama sekali tidak mengetahui seberapa
berharga potongan pedang itu tetapi dia tahu barang tersebut tentu
sangat berharga sekali.
"Tia, kau sungguh-sungguh mau bertukar syarat dengan dirinya
?” tak kuasa lagi dia bertanya.
“Benar...." sahut Wi Ci To mengangguk.
Dengan perlahan Wi Lian In menoleh ke arah Ti Then,
maksudnya dia mengharapkan Ti Then bisa mencarikan akal untuk
merebut kembali posisi mereka yang amat terdesak ini.
Ti Then segera gelengkan kepalanya dengan perlahan, agaknya
dia tidak punya kekuatan itu.
Karena tempat dimana dia berdiri sekarang ini ada sebelas, dua
belas kaki jauhnya dari Cuo It Sian berada, dia merasa dirinya tidak
punya kekuatan untuk mencegah Cuo It Sian jikalau dia orang mau
turun tangan membinasakan seseorang.
Cuo It Sian yang melihat kejadian ini dalam hati merasa amat
girang sekali, senyuman bangga segera menghiasi bibirnya.
"Wi pocu. kau masih tunggu apa lagi? " tanyanya sambil tertawa
dingin.
"Baiklah, kau sambutlah !”
Selesai berkata dia segera ayunkan tangannya melemparkan
potingan pedang tersebut kepadanya.
Cuo It Sian dengan cepat menyambutnya, seperti baru saja
mendapatkan harta karun dengan cepat dia memasukan barang
tersebut ke dalam sakunya.
"Bagus , , , bagus sekali....” ujarnya sambil tertawa, “Pertukaran
kita kali ini sama sekali tidak merugikan siapa
pun aku
mengharapkan kau bisa melupakan kejadian ini dan mengharapkan
pula agar persahabatan diantara kita masih terikat rapat, lain kali
jikalau ada kesempatan luang tentu aku akan pergi ke rumahmu
untuk main catur lagi.”
Berbicara sampai di sini dia segera kirim satu kerdipan mata
kepada manusia berkerudung hitam yang berperawakan kurus kecil
itu lantas bersama-sama mengundurkan diri ke belakang pohon.
Manusia berkerudung dengan perawakan yang kurus kecil itu
pun dengan gerakan yang amat cepat menyorenkan goloknya ke
atas pinggang lalu bersama-sama mengundurkan diri ke belakang
pohon.
Di dalam sekejap saja mereka berdua sudah mencekal sebuah
tali yang terikat di atas pohon itu lalu dengan cepatnya
bergantungan melayang ke atas puncak yang lain !
Kiranya sejak semula mereka sudah mempersiapkan cara-cara
untuk meloloskan diri dari sana, di atas sebuah pohon Siong yang
besar di puncak gunung sebelah depan mereka sudah mengikat
dua utas tali yang ujung sebelahnya lagi diikat pada puncak sebelah
sini, saat inilah dengan menggunakan tali itu mereka berkelebat
menuju ke puncak yang lain sehingga dengan demikian bisa jauh
meninggalkan kejaran dari Wi Ci To sekalian.
Wi Ci To, Ti Then mau pun Wi Lian In yang melihat mereka
berhenti melayang ke puncak seberang segera bersama-sama
menubruk ke depan.
Tetapi sewaktu tiba di samping badan Kha, pauw serta Ie tiga
orang, Cuo It Sian serta lelaki berkerudung hitam itu sudah
melayang sejauh lima kaki lebih, bahkan dengan amat cepatnya
sudah lenyap di tengah kegelapan malam.
Wi Lian ln jadi amat cemas sekali.
“Tia ! Biar putrimu yang melindungi ketiga suheng, kau dengan
Ti Kiauwtauw cepatlah melakukan pengejaran !” ujarnya cemas.
"Tidak perlu, kita tidak mungkin bisa menyandak dirinya, biarkan
saja mereka pergi ! " ujar Wi Ci To sambil gelengkan kepalanya.
“Tetapi potongan pedang itu. Bukankah Tia ingin merebutnya
kembali 7?"
Agaknya di dalam hati Wi Ci To mem punyai satu pikiran sendiri.
"Ehmmm . , . “ sahutnya. "Aku bisa dengan perlahan-lahan
mencarikan satu cara untuk merebutnya kembali.”
"Sekarang mereka belum pergi jauh jika Tia pergi mengejar
bersama-sama dengan Ti Kiauw-tauw kemungkinan sekali masih
bisa menyandak mereka !”
"Kau tidak tahu " ujar Wi Ci To sambil gelengkan kepalanya
kembali. "Jikalau aku sekarang pergi mengejar, di dalam keadaan
yang kepepet kemungkinan sekali dia akan menghancurkan
potongan pedang tersebut, dengan demikian...Haaii...sekarang
kalian lepaskanlah ikatan ketiga orang itu !”
Ti Then segera turun tangan melepaskan tali yang mengikat
badan Pouw Kia Yen, sedangkan Wi Lian In dengan menggunakan
pedangnya memutuskan tali yang mengikat tubuh Kha Cay Hiong
serta Ih Kun.
Agaknya mereka bertiga sudah tertotok jalan darahnya, karena
itu setelah talinya terlepas mereka masih berdiri di bawah pohon
dengan amat kakunya, sedikit pun tidak bisa bergerak.
"Apa kalian sudah tertotok jalan darah kaku serta bisunya ?”
tanya Wi Ci To kemudian.
Kha, Ih serta Pauw bersama-sama mengedip-ngedipkan
matanya, jelas dugaan dari Wi Ci To ini sama sekali tidak salah.
Wi Ci To dengan cepat turun tangan membebaskan jalan darah
dari mereka bertiga, lantas baru tanyanya:
“Bagaimana kalian bisa kena tawan oleh Cuo It Sian ?"
Dengan wajah amat menyesal Ih, Kha serta Pauw tiga orang
bungkukkan badan menjura.
“Sewaktu tecu sekalian mendengar suhu mau menemui janyi di
atas istana Thian Teh Kong maka tecu bermaksud untuk berangkat
ke sana memberi bantuan siapa tahu sewaktu sampai ditengah jalan
dan menginap disebuah rumah penginapan, mendadak di dalam
makanan kami sudah ditaruhi obat pemabok..”
Agaknya selama beberapa hari ditawan ini mereka bertiga sama
sekali tidak diberi makan, karena itu badannya terasa amat lemas
sekali sampai berbicarapa pun tidak bertenaga.
“Baiklah kalian duduklah untuk beristirahat,” perintah Wi Ci To
Kemudian.
Ih, Kha serta Pauw tiga orang segera-duduk di atas pohon,
terdengar Pauw Kia Yen melanjutkan kembali pembicaraannya.
“Tecu bertiga selama ini dikuasai oleh manusia berkerudung yang
kurus kecil itu sampai pada lima hari yang lalu mereka baru
memberi tecu sekalian sedikit makanan..”
“Kami tidak tahu kalau pemimpin mereka adalah Cuo It Sian itu si
pembesar kota" sambung Ih Kun kemudian, " Sampai pai tadi suhu
datang bersama-sama dengan dia orang, kami baru paham
sebanarnyasudah terjadi urusan apa”
“Tia ! " tiba-tiba Wi Lian In menimbrung. “Sebenarnya potongan
pedang itu mengandung rahasia apa?”
“Lohu tidak bisa menjelaskannya.”
“Kenapa tidak boleh dijelaskan?” Tanya Wi Lian In lagi dengan
nada kurang senang.
“Karena Lohu sudah menyanggupi
membocorkan rahasianya ini”
dirinya
untuk
tidak
“Tia ! Kenapa kau orang begitu memegang janyi dengan manusia
semacam dia?” serunya cemberut.
"Tidak perlu dia orang bersifat bagaimana, kalau lohu sudah
menyanggupi maka di dalam urusan ini aku harus tetap pegang
janyi" ujar Wi Ci To dengan vvajah serius. "Itulah sifat dari Ioohu
yang lohu pegang teguh sejak dahulu."
"Pocu baru malam ini tahu kalau lelaki berkerudung yang muncul
di istana Thian Teh Kong itu adalah dirinya, ataukah. . . , ."' tiba-tiba
Ti Then menimbrung.
"Sejak semula lohu sudah tahu !" potong Wi Ci To dengan cepat.
“Lalu kenapa sewaktu dia mertamu di Benteng, pocu tidak mau
turun tangan menawannya?”
"Kalau berguna sejak semula lohu sudah turun tangan" ujar Wi Ci
To sambil tertawa pahit.
“Kenapa tidak berguna?” Tanya Ti Then keheranan.
“Dia tidak takut mati, bukankah tadi terang-terangan kalian
dengar sendiri beberapa kali dia berkata mau mengadu jiwa?
Perkataan tersebut bukanlah cuma gertak sambal belaka.”
“Kenapa dia tidak takut mati?” tiba-tiba Wi Lian In nyeletuk.
"ln-ji, kau jangan berusaha mengorek sampai dasar kuali” seru
Wi Ci To sambil tertawa.
"Putrimu masih ada satu pertanyaan lagi, seharusnya Tia
menyawab dengan sejujur-jujurnya“
"Persoalan apa ? "
“Dia. ..Cuo It Sian sebetulnya orang baik atau orang jahat ?”
"Orang baik !”
“Kalau begitu kenapa dia orang menggunakan cara yang begitu
rendah untuk merebut potongan pedang milik Tia?”
“Karena
miliknya!”
potongan
pedang
itu
sebenarnya
adalah
barang
Mendengar perkataan ini, Ti Then, Wi Lian In serta Ih, Kha, Pauw
tiga orang pada melengak semua.
“Apa?” tanyanya berbareng, “Potongan pedang itu miliknya?”
“Benar!” sahut Wi Ci To mengangguk.
Hal ini benar-benar merupakan satu urusan yang jauh berada
diluar dugaan mereka, kiranya potongan pedang itu adalah barang
milik Cuo It Sian.
Sebelum kejadian ini Ti Then sekalian selalu menganggap Cuo It
Sianlah yang sudah menggunakan cara yang paling kotor untuk
merebut barang milik Pocu mereka, siapa tahu urusan yang benar
malah ke balikannya, kiranya Cuo It Sian menggunakan cara-cara
rendah ini tidak lebih untuk merebut barang miliknya sendiri.
“Tia! Jadi maksudnya..kau...kau sudah merebut potongan
pedangnya?” tanya Wi Lian In dengan perasaan yang amat
terperanyat sekali.
Wi Ci To dengan perlahan gelengkan kepalanya.
“Lalu kenapa tidak dikembalikan kepadanya?”
"Pertanyaan ini Ioohu tidak bisa menyawabnya, karena setelah
menyawab pertanyaan ini berarti juga aku sudah membocorkan
rahasia tersebut!"
Dia berhenti sebentar, lalu dengan perlahan pada wajahnya
terlintaslah suatu senyuman yang amat dingin sekali, tambahnya:
"Walau pun potongan pedang itu adalah barang miiiknya tetapi
lohu tetap akan berusaha menggunakan akal untuk merebutnya
kembali !"
“Kenapa?” tanya Wi Lian In dengan terperanyat.
Dengan perlahan Wi Ci To gelengkan kepalanya.
"Aku tidak bisa memberitahukan kepadamu sekarang ini”
sahutnya perlahan.
Kepalanya didongakkan ke atas langit nan gelap, lantas dia
menarik napas panjang.
"Sudahlah, mari kita kembali ke dalam Benteng!”
Tua muda enam orang segera menuruni puncak gunung itu, di
tengah perjalanan sembari memperhatikan keadaan di sekeliling
tempat itu mendadak Wi Ci To tertawa geli.
“Eeeh In-ji!” serunya. “Bukankah kau bilang seluruh jago pedang
dari Benteng Pek Kiam Po sudah mengurung gunung ini rapat-
rapat? Kiranya kau orang sedang berbohong!”
“Sebetulnya putrimu memang bermaksud untuk menakut-nakuti
diri mereka..” sahut Wi Lian In sambil tertawa tawar.
Wi Ci To kembali memimpin melakukan perjalanan lagi.
“Bukankah lohu sudah tinggalkan surat di dalam Benteng yang
memerintahkan kalian menyaga Benteng? Kenapa kalian mengejar
kemari?” ujarnya lagi. “Tentu kau yang memaksa Ti Kiauwtauw
untuk mengejar kemari bukan?”
“Benar...” seru Wi Lian In kurang senang.
Karena dia orang tidak berhasil memperoleh seluruh rahasia itu
karena di dalam hati merasa sangat tidak senang sekali.
Kembali Wi Ci To melanjutkan perjalanannya, tiba-tiba sepertinya
saja teringat akan sesuatu urusan mendadak dia menghentikan
langkahnya.
“Oooh benar, kurang sedikit saja Lohu lupa memberitahu kepada
kalian..” ujarnya.
Ti Then sekalian pun pada menghentikan langkahnya.
“Pocu ada pesan apa?” tanyanya.
Dengan perlahan Wi Ci To putar badannya menghadap kearah
mereka, lalu dengan wajah yang amat serius dia pandangi mereka
denpan amat tajamnya.
"Peristiwa malam ini aku larang kalian membocorkannya keluar,
termasuk juga kepada para jago pedang yang ada di dalam
Benteng, mengerti!”
“Jikalau para saudara dari Benteng menanyai tecu, maka tecu
harus bagaimana memberikan penjelasannya?” tanya Kha Cay Hiong
kemudian.
“Katakan saja kalau tujuan dari orang berkerudung itu menculik
kalian sebetulnya mau merampas pedang yang lohu bawa ini dan
bermaksud menghina lohu, untung saja mendapatkan bantuan dari
diri Cuo It Sian sehingga akhirnya berhasil menolong kalian lolos
dari tawanannya, Sekarang Cuo It Sian sedang pergi mengejar lelaki
berkerudung hitam tersebut"
Mendengar perkataan itu dengan wajah yang amat tidak senang
Wi Lian In mencibirkan bibirnya,
"Tia tidak mau memberitahu rahasia tentang potongan pedang
itu masih tidak mengapa, kenapa sampai diculiknya jago pedang
kita oleh Cuo It Sian puni harus dirahasiakan ?"
"Tidak salah” seru Wi Ci To dengan suara yang amat berat.
"Urusan ini menyangkut suatu pergolakan yang amat hebat di
dalam Bu-lim, kalian janganlah membocorkan di tempat luaran”
“Jikalau pocu menggunakan alasan yang mengatakan manusia
berkerudung itu bertujuan untuk menghina diri pocu, seharusnya
kau orang tua pikirkan satu alasan yang lebih tepat lagi baru bisa”
sela Ti Then kemudian
“Alasan ? beritahukan saja ada kemungkinan dia orang
mempunyai rasa sakit hati dengan Lohu, selama hidupku lohu selalu
bertindak adil dan banyak menyalahi orang-orang dari kalangan
Hek-to, alasan ini sudah tentu bisa diterima, bukan ?”
“Ada satu hal yang kermungkinan sekali tidak bisa diterima !"
sambung Wi Lian In dengan cepat.
"Soal yang mana ?" tanya Wi Ci To sambil mengalihkan
pandangannya yang amat tajam ke atas wajahnya.
"Jika dia menculik pada jago kita dengan bertujuan untuk
menghina Tia, sudah seharusnya Tia tidak bisa melepaskan dirinya
dengan begitu saja, tetapi kini sebaliknya Tia malah bersama-sama
kita pulang ke dalam benteng, bukanlah hal ini sangat lucu sekali ?”
"Benar. . ., , benar, . .” seru Wi Ci To sambil tersenyum, “Kalau
begitu lohu tidak jadi pulang ke dalam Benteng bersama-sama
kalian ! "
Mendengar perkataan itu kini malah Wi Lian In yang dibuat
tertegun.
“Jika Tia tidak ikut kami pulang, lalu...”
“Lohu sudah mengambil keputusan untuk pergi mengejar Cuo It
Sian dan berusaha untuk merebut kembali potongan pedang
tersebut !” potong Wi Ci To dengan cepat.
“Putrimu juga ingin pergi !"'cepat seru Wi Lian ln.
“Tidak bisa jadi, jikalau kau ikut aku pergi mungkin malah bisa
menyulitkan pekerjaanku !”
Wi Lian In segera mencibirkan bibirnya.
"Sampai kapan putrimu baru tidak menyulitkan pekerjaan kau
orang tua?” serunya kurang senang. j
“Kali ini jikalau kau ingin ikut lohu maka kau orang tentu akan
menyulitkan urusan !”
Wi Lian In yang melihat perkataan dari ayahnya amat atos dan
keren sekali, di dalam hati segera paham kalau ayahnya sudah
mengambil keputusan untuk tidak membiarkan dirinya ikut, sekali
pun memohon juga tidak berguna terpaksa dia berdiam diri tidak
berbicara lagi.
“Ingat !" tiba-tiba Wi Ci To berbicara lagi dengan wajah yang
berubah amat keren. " Kalian jangan sekali-kali membocorkan
rahasia tentang lelaki, berkudung hitam itu adalah diri Cuo It Sian,
siapa saja yang berani melanggar lohu segera usir dia dari
perguruan ! ".
Dalam hati Ih, Kha serta Pauw merasakan hatinya berdesir,
dengan cepat mereka pada menjura bersama-sama.
"Tecu turut perintah !”
"Kau pun sama juga” ujar Wi Ci To lagi sambil melototi diri Wi
Lian In. " Asalkan kau berani membocorkan rahasia ini maka lohu
tidak akan menganggap kau sebagai putriku lagi ! "
Agaknya Wi Lian In selamanya belum pernah mendengar
ayahnya berbicara dengan demikian seriusnya, sehingga dalam hati
dia rada merasa sedih.
"Baiklah, putrimu tidak akan memberitahukan kepada orang lain"
sahutnya sambil mengangguk.
Mendadak Wi Ci To menarik tangan Ti Then, ujarnya:
"Ti Kiauw-tauw, kau ikutilah Lohu ke samping untuk berbicara
sebentar, lohu ada urusan yang harus dipesankan kepadamu !"
Dengan menarik tangan Ti Then dia berjalan beberapa langkah
ke tempat kejauhan, setelah dirasanya jarak dengan putrinya serta
Ih, Kha serta Pauw tiga orang rada jauh dia baru berhenti,
"Ti Kiauw-tauw." ujarnya dengan suara yang amat lirih, "Maukah
kau orang membantu lohu untuk mencuri kembali potongan pedang
tersebut ?”
“Hamba turut perinlah dari Pocu" sahut Ti Then cepat sambil
mengangguk kepalanya.
“Bagus sekali !” Teriak Wi Ci To kegirangan. "Setelah Cuo It Sian
berhasil merebut kembali potongan pedangnya kemungkinan sekali
dia akan menyembunyikan barang itu ke dalam rumahnya, ada
kemungkinan juga pergi memjari "Cu Kiam Lojin" atau siorang tua
pelebur pedang untuk menyambungkan pedang yang putus jadi dua
bagian itu ... Ti Kiauw-tauw tahu bukan dengan Cu kiam Lojin ini ?"
“Tahu" sahut Ti Then sambil mengangangguk. "dia adalah ahli
lebur pedang yang paling terkenal dikolong langit pada saat ini,
menurut apa yang hamba dengar katanya dia bertempat tinggal di
atas gunung Tong Ting Cun san”
“Benar, si "Cu Kiam Lojin" ini bernama Kan It Hong, bukan saja
dia pandai membuat sebilah pedang bagus bahkan bisa pula
menyambung sebilah pedatng yang sudah patah menjadi dua
bagian sehingga tidak kelihatan sedikit bekasnya pun Lohu sangat
mengharapkan Ti Kiauw-tauw mau mewakili Ioohu untuk pergi ke
gunung Cun san satu kali, jikalau kau menemukan Cuo It Sian pun
ada di tempat itu dan sedang membetulkan pedangnya maka
usahakanlah untuk mencuri potongan pedang itu kembali."
“Baiklah.”
“Urusan ini sangat penting sekali” pesan Wi Ci To lagi dengan
nada sungguh-sungguh. “Kau boleh berangkat meninggalkan
Benteng pada besok hari secara diam-diam, janganlah sampai
membiarkan In-ji mengetahuinya.”
“Baik!”
“Kau boleh menanti selama tiga bulan lamanya di atas gunung
Cun san setelah lewat tiga bulan kemudian jikalau tidak melihat Cuo
It Sian pergi ke sana juga kau kembali ke dalam Benteng untuk
membuat laporan."
"Tetapi, jikalau tidak berhasil mencuri bolehkah aku pergi
merampas?" tanya Ti Then kemudian.
''Tidak, harus dicuri bahkan jangan sampai ditemui kalau kaulah
yang melakukan pekerjaan tersebut."
Mendengar perkataan itu Ti Then segera tertawa.
“Bilamana Boanpwe tidak berhasil mencuri barang tersebut Pocu
jangan marah lho... karena boanpwe belum pernah melakukan
pekerjaan seperti ini,"
Wi Ci To pun tertawa.
"Lohu memerintahkan Ti Kiauw-tauw untuk berlaku sebagai
pencjuri dalam hati sebetulnya Ioohu merasa tidak enak, tetapi Ti
Kiauw-tauw boleh melakukan tugas tersebut dengan hati yang
tenang, karena pekerjaan ini sama sekali bukanlah suatu pekerjaan
yang jahat, semua alasan serta sebab-sebabnya lohu tentu akan
menjelaskan kepadamu dikemudian hari."
"Baiklah, boanpwe percaya potongan pedang dari Pocu ini pasti
mem punyai kegunaan yang sungguh-sungguh"
Jilid 27.2 : Menguntit Cuo It Sian ke gunung Cun san
Wi Ci To tidak berbicara lagi, dengan memegang tangan Ti Then
dia berjalan kembali ke hadapan Ih, Kha, Pauw serta putrinya.
"Sudahlah, kalian boleh pulang, ke dalam Benteng !" ujarnya
kemudian.
Pada wajah Wi Lian In segera diliputi oleh kecurigaan yang
menebal, dengan pandangan yang aneh dia memperhatikan
ayahnya serta diri Ti Then, lalu ujarnya.
"Tia ! kau orang tua apa mau mengejar Cuo It Sian ?"
“Tidak salah ! " sahut Wi Ci To sambil mengangguk, “Lohu
kemungkinan sekali langsung pergi kerumahnya di kota Tiong Cing
Hu maka itu kemungkinan sekali tidak bisa langsung pulang ke
rumah, kalian harus baik-baik tinggal di dalam Benteng sebelum
lohu pulang ke dalam Benteng kalian dilarang berkeliaran sendiri di
luaran, tahu tidak ?”
“Tetapi jikalau Tia menemui hal yang ada di luar dugaan, putrimu
bagaimana bisa mengetahuinya?”
"Di dalam tiga bulan jikalau Tia belum pulang ke Benteng juga,
saat itulah baru boleh meninggalkan Benteng untuk mencari Lohu.”
Selesai berkata tubuhnya segera meloncat ke depan, bagaikan
segulung asap hitam hanya di dalam sekejap saja sudah berada di
tempat yang jauh sekali.
Wi Lian In dengan pandangan tajam memperhatikan bayangan
ayahnya hingga lenyap dari pandangan, lantas dengan cepat
tanyanya kepada diri Ti Then:
“Tadi ayahku membicarakan soal apa dengan kau ? ''
"Tidak tahu !”
Sepasang mata Wi Lian In segera melotot lebar-lebar.
"Kau barani tidak beritahu kepadaku ?" serunya manya.
"Jikalau boleh membiarkan kau tahu, ayahmu
memberitahukan hal itu secara diam-diam”
pun tidak perlu
Agaknnya Wi Lian In dibuat bertambah kheki, dengan cepat dia
berhenti berjalan.
"Sekarang ayahku sudah tidak ada di sini, bukankah tidak ada
halangannya kau memberitahukan urusan tersebut kepadaku ?”
"Aku sebagai Kiauw-tauw dari benteng Pek Kiam po bagaimana
boleh memberitahukan tugas rahasia yang diperintahkan oleh
ayahmu ? maukah kau orang jangan nembuat aku jadi serba susah
?”
Wi Lian In sekali lagi menjejakkan kakinya ke atas tanah lalu
berjalan lagi dengan cepat.
Ti Then, Ih Kun, Kha Cay Hiong serta Pauw Kia Yen pun dengan
membawa serta si anying Ciaa Ii Yen mengikuti di belakangnya
berjalan kembali ke dalam Benteng.
Setelah berjalan beberapa saat kemudian mendadak Wi Lian In
menghentikan langkahnya kembali, terdengar dengan seorang diri
dia bergumam:
"Kenapa potongan pedang itu bisa miliknya Cuo It Sian? Kalau
memangnya barang milik Cuo It Sian kenapa dia tidak mau minta
kembali barang itu secara terbuka ?"
Ti Then yang ada di belakangnya sewaktu melihat mulutnya
berkemak kemik seorang diri segera tertawa geli.
"Eeei kau jangan berpikir sembarangan ," serunya.
Wi Lian In tetap seperti orang gendeng . . .
"Tia adalah seorang yang jujur, kenapa dia mau merampas
barang milik orang lain?”
''Ayahmu bisa menguasahi barangnya Cuo It Sian sudah tentu
ada alasan yang kuat, kau janganlah dikarenakan urusan ini lantas
menaruh rasa curiga terhadap perbuatan ayahmu."
"Tetapi aku merasa Tia rada sedikit aneh , . . . " seru Wi Lian ln
lagi ragu-ragu.
“Apakah sebab-sebabnya dilain hari tentu ayahmu bisa memberi
penjelasan dengan sendirinya.”
" Lalu kenapa tidak dijelaskan sekarang saja ?"
"Ayahmu tidak mau memberi penjelasan pada saat ini sudah
tentu ada alas an-alasa tertentu”
“Masih ada lagi” ujar Wi Lian In lagi dengan perlahan " Tadi
terang-terangan ayah bilang tidak mau pergi mengejar Cuo It Sian,
tetapi seteIah aku bilang tidak seharusnya dia kembali ke Benteng
kenapa secara mendadak pula dia mau pergi mengejar diri Cuo It
Sian, dia . . apakah dia sungguh-sungguh pergi mengejar diri Cuo It
Sian ?"
"Sudah tentu sungguh-sungguh, kali ini ayahmu sudah bersiap
sedia pergi ke kota Tiong Cing Hu untuk mencari diri Cuo It Sian.”
Dengan perlahan Wi Lian In menghela napas panjang lalu
melanjutkan kembali perjalanannya ke depan.
Lima orang dengan cepatnya sudah tiba di dalam Benteng,
mereka segera dirubung oleh para jago untuk memanyakan
pengalamannya, Ti Then serta Wi Lian In pun segera menceritakan
kisahnya waktu mereka bisa dikibuli.
Setelah semuanya selesai masing-masing baru kembali ke dalam
kamarnya untuk beristirahat.
Ti Then yang kembali kembali ke kamarnya segera menyulut
lampu minyak dan mengetuk tiga kali ke depan jendela, setelah itu
baru naik ke atas pembaringan untuk beristirahat.
Dia bersiap-siap hendak mencerirakan perintah dari Wi Ci To
yang menyuruh dia pergi mencuri potongan pedang itu kepada
majikan patung emas, karena perjalanannnya kali ini harus
memakan waktu selama tiga bulan lamanya, sewaktu dirinya
kembali dari gunung Cun san maka boleh dihitung dia sudah jadi
patung emas selama tujuh bulan lamanya, saat itu jaraknya dengan
" Kontrakan waktu " sudah tinggal lima bulan lagi, terhadap dia
majikan patung emas boleh dikata kepulangan tiga bulan ini
merupakan satu "kerugian " yang amat besar sekali, kemungkinan
sekali karena urusan ini maka “rencana busuk" nya tidak bisa
mencapai kesuksesan, maka itu dia harus memberikan
penjelasannya.
Sudah tentu terhadap tugas yang diberikan Wis Ci To kali ini dia
merasa sangat girang sekali, karena hal ini merupakan satu
kesempatan yang paling baik buat dirinya untuk mengundurkan
waktu berakhirnya perjanyian ini. Maka dia mengambil keputusan
sekali pun perjalanannya kali ini menuju ke gunung Cun san bisa
memperoleh hasil dengan amat lancar, dia pun baru akan kembali
ke dalam Benteng setelah tiga bulan lamanya.
Sewaktu dia tertidur sampai tengah malam, ternyata patung
emas dari majikan patung emas itu muncul juga dari atas atap
rumah.
"Ti Then !'" terdengar majikan patung emas dengan
mengerahkan ilmu untuk menyampaikan suaranya memanggil
dirinya..
"Cepat kau ceritakan kisahmu sewaktu pergi menolong Ih, Kha
serta Pauw tiga orang !”
"Aku mengundang kau datang kemari memangnya hendak
memberitahukan urusan ini kepadamu.."
"Kalau begitu cepatlah berbicara !"
"Ternyata Cuo It Sian itu si pembesar kota adalah manusia
berkerudung itu !"
"Sejak semula sudah ada di dalam dugaanku !"
"Pada malam tadi'" ujar Ti Then kemudian, "Dia mengajak Wi Ci
To main catur di dalam kamar bacanya, akhirnya mendadak mereka
lenyap secara bersamaan,
Nona Wi segera memastikan kalau mereka keluar melalui sebuah
jalan rahasia yang ada di dalam kamar baca itu, lantas dengan
membawa seekor anying sakti Cian Li Yen mengikuti mereka"
"Jalan rahasia itu menembus sampai dimana ?” tanya majikan
patung emas ingin tahu.
"Di dalam sebuah goa di belakang tebing "Sian Ciang, aku
bersama-sama dengan nona Wi sesudah keluar dari goa itu dengan
mengikuti anying sakti tersebut lantas melakukan pengejaran terus
yang akhirnya sampailah disebuah tebing yang amat curam, di atas
tebing curam itu terdapat sebuah puncak yang agak luas, kami
segera naik ke atas puncak itu, terlihatlah Cuo It Sian dengan
seorang lelaki berkerudung yang kurus kering sedang naenguasahi
Ih, Kha serta Pauw tiga orang, kiranya barang yang diminta oleh
Cuo It Sian adalah sebuah potongan pedang, itulah bukan lain
sebuah gagang pedang yang amat pendek sekali, kalihatannya amat
berharga sekali . . . . "
"Eeeei . , .- , kiranya potongan pedang itu yang dicari, lalu Wi Ci
To apa menyerahkan kepadanya ?" tanya majikan patung emas
lebih lanjut.
''Sudah diberikan. !'"
"Hmmmm , . . . orang she Cuo itu sungguh lihay sekali !"
"Setelah dia berhasil memperoleh potongan pedang itu bersama-
sama dengan si lelaki berkerudung yang kurus kecil meninggalkan
tempat itu, sesaat sebelum pergi dia masih mengundang Wi Ci To
untuk pergi main catur di rumahnya !”
"Sungguh berarti sekali. lalu Wi Ci To mengadakan pengejaran
tidak ?”
"Tidak segera pergi mengejar " jawab Ti Then. " Dia menyuruh
kami jangan membocorkan rahasia dari Cuo It Sian ini terlebih
dahulu kemudian memberi perintah juga kepadaku, setelah itu baru
.pergi mengejar”
"Kau di perintahkan untuk berbuat apa ?" tanya majikan patung
emas lebih lanjut.
"Soal ini nanti sada aku baru memberitahukan padamu, sekarang
aku mau membicarakan soal potongan pedang itu terlebih dulu, . .
sungguh mengherankan sekali . ... kiranya potongan pedang itu
sebetulnya adalah barang milik Cuo It Sian, sungguh lucu tidak ?"
“Ehmm, . . memang aneh sekali . . ."
"Aku sungguh tidak mengerti, kalau memangnya potongan
pedang itu adalah milik Cuo It Sian sendiri kenapa dia tidak minta
kembali secara terus terang saja ? sebaliknya menggunakan cara-
cara yang begitu rendah untuk turun tangan ? sedangkan Wi Ci To
pun merupakan seorang dari kalangan lurus yang biasanya
bertindak jujur dan pendekar, kali ini dia sudah manginginkan
barang milik orang lain ? bahkan mengusahakan juga mau merebut
kembali potongan pedang itu ?"
"Benar!" seru majikan patung emas itu memperdengarkan suara
keheranannya juga. "Urusan ini memang benar-benar membuat
orang kebingungan, apa mungkin potongan pedang itu sudah
mengandung suatu rahasia yang amat penting?"
"Pastilah begitu !" teriak T i Then membenarkan. "Bahkan rahasia
itu pastilah mem punyai hubungannya dengan mereka berdua
sehingga terjadilah suatu perebutan yang tidak terbuka, yang satu
ingin merebut yang lain ingin mempertahankan terus”
“Tidak salah, , : .tidak salah..”
“Tetapi" ujar Ti Then lagi: "Tidak perduli rahasia itu mem punyai
sangkut paut dengan urusan apa pun, menurut pandanganku maka
Wi Ci To berada didalarn kedudukan lurus sedangkan Cuo It Sian
berada di dalam kedudukan jahat”
"Ehmmm, , , apa benar ?” seru majikan patung emas dengan
suara yang tidak yakin.
“Benar!" sahut Ti Then mengangguk.
“Karena untuk mendapatkan potongan pedang itu Cuo It Sian
ternyata tidak jeri-jerinya membunuh dan mencelakai orang lain,
bahkan masih ingin bekerja sama
dengan si rase bumi Bun Jin cu, pekerjaannya ini tidak sesuai
dengan sifat asli seorang pendekar sejati !”
"Lalu kau kira bagaimana dengan cara yang aku lakukan saat
ini?".
"Tindakanmu rada kalem tidak seperti Cuo It Sian yang amat
ganas dan kejam tetapi ... jika dikatakan lihay juga tidak cukup
lihay!"
"Apa maksudmu ?" tanya majikan patung emas sambil tertawa.
"Karena kau minta aku kawin dulu dengan nona Wi. hal ini sedikit
keterlaluan ".
"Aku membantu kau mendapatkan seorang istri yang amat cantik
dan genit dan membantu Wi Lian In mencarikan seorang suami
yang tampan bahkan membantu Wi Ci To mencarikan seorang
menantu yang amat bagus sekali, apanya lagi yang jelek ?”
"Jikalau kau orang tidak bertujuan, hal itu memang amat bagus
sekali ! " seru Ti Then dengan cepat,
"Sudah. . . . sudahlah. . . . kau jangan omong kosong lagi ! "
potong majikan patung emas kemudian. " Tadi kau bilang Wi Ci To
sudah perintahkan dirimu untuk melakukan satu tugas sebetulnya
tugas apa itu ?”
"Dia minta aku pergi mencuri kembali potongan pedang tersebut”
"Bukankah dia sudah pergi sendiri?”
“Dia punya rencana pergi merebut barang itu di rumahnya Cuo
It Sian, tetapi dia pun merasa ada kemungkinan Cuo It Sian pergi
ke atas gunung Cun-san untuk mencari Ciu Kiam Lojin untuk bantu
dia menyambungkan kembali pedangnya yang sudah patah jadi dua
bagian itu, karenanya sudah perintahkan diriku untuk meminyam
kesempatan tersebut mencurinya kembali.."
“Hmmm !” dengus majikan patung emas itu dengan cepat. "Jarak
dari sini menuju ke gunung Cun san selama tiga bulan lamanya,
jikalau waktu itu tidak melihat juga Cuo It Sian pergi mencari Ciu
Kiam Lojin maka tiga bulan kemudian akan baru boleh pulang ke
dalam Benteng.''
Mendengar berita itu agaknya majikan patung emas dibuat
cemas sekali.
"Maknya ... dengan begitu bukankah perkawinanmu dengan Wi
Lian In juga harus diundurkan paling cepat tiga bulaa lagi “
teriaknya dengan gemas.
"Aku tahu pekerjaan ini sangat menggangu sekali terhadap
rencana yang kau susun tetapi coba kau pikir dapatkah aku
menolaknya ?"
oooOOooo
“Sudah tentu kau tidak bisa menolaknya . . . persoalannya
sekarang. . . , setelah lewat tiga bulan kemudian berarti di dalam
satu tahun sudah tinggal lima bulan saja, jikalau diantara waktu itu
timbul kembali persoalan bukankah tujuanku jadi berantakan ?"
"Bilamana tujuanmu sampai berantakan, hee. . . hee, . .
bukanlah kesalahanku" sahut Ti Then cepat.
"Hmm! jikalau rencanaku gagal maka orang yang paling gembira
tentunya kau kan ?" seru majikan patung emas dengan dingin,
"Mana. . . . mana. .”
Dengan dinginnya majikan patung emas bertanya kembali.
“Kenapa Wi Ci To memerintahkan kau berjaga selama tiga bulan
lamanya baru boleh pulang kembali ?"
"Alasannya mudah sekali, dia sudah mengambil keputusan untuk
merebut kembali potongan pedang tersebut."
"Hmm ! Hmm ! sungguh kurang ajar sekali.." teriak si majikan
patung emas dengan teramat gusar.
“Dia bahkan memerintahkan aku untuk meninggalkan Benteng
secara diam-diam dan jangan sampai membiarkan nona Wi, karena
alasannya dia orang takut sampai putrinya terjatuh kembali ke
tangan Cuo It Sian, makanya aku mem punyai rencana untuk
meninggalkan Benteng secara diam-diam besok pagi, entah kau
orang punya perintah lain tidak ?"
Lama sekali majikan patung emas berpikir keras, akhirnya dia
menyawab :
"Setelah kau orang berhasil mendapatkan potongan pedang itu
kau harus cepat-cepat kembali ke dalam Benteng, aku larang kau
berkeliaran lebih lama lagi di tempat luaran !"
"Hal ini sudah tentu !"
"Aku sudah mengambil keputusan untuk secara diam-diam
mengirim orang untuk mengawasi seluruh gerak gerikmu, jikalau
aku mengetahui kalau kau belum pulang juga walau pun potongan
pedang itu sudah kau dapatkan. . . .hmmm. , . ,hmmm. . .! aku
segera bunuh dirimu!"
"Kau punya hak untuk berbuat begitu?'serunya membantah.
"Rencana yang sudah aku susun harus mencapai hasil, lain waktu
setelah kau
kembali ke dalam benteng jikalau di dalam satu bulan Wi Ci To
belum juga menyiarkan berita perkawinan putrinya dengan dirimu,
maka waktu itu terpaksa aku melakukan perintahku yang kedua!"
"Perintahmu yang kedua ini adalah. . . . .” tanya Ti Then.
"Aku perintah kau orang cepat mengawini diri Wi Lian In !"
Ti Then segera merasakan hatinya tergetar amat keras dia
tertawa pahit.
"Jikalau kau demikian adanya memungkinan sekali urusan malah
jadi kacau tidak karuan!" serunya.
"Tidak mungkin ! sewaktu Wi Ci To tahu kau dengan putrinya
sudah melakukan hubungan gelap maka satu-satunya cara buat dia
orang dia. , . , .adalah, . . mengawinkan dirimu secepatnya !"
"Dia mungkin akan turun tangan membunuh diriku."
"Tidak mungkin !"
Ti Then segara termenung tanpa mengucapkan sepatah kata
pun
Dengan perlahan majikan patung emas menarik kembali patung
emasnya ke atas, tambahnya :
“Kau harus ingat, aku bisa mengirim orang secara diam-diam
mengawasi seluruh gerak gerikmu, sewaktu kau berhasil
mendapatkan potongan pedang itu dan tidak kembali juga, tanpa
banyak rewel lagi aku segera akan turun tangan membinasakan
dirimu !":
Selesai berkata dia segera menarik seluruh patung emasnya ke
atas atap dan menutup kembali atapnya lalu pergi.
Dengan mandongakkan kepalanya ke atas atap Ti Then diam-
diam merasa geli pikirnya:
"Untung saja kau tidak melarang aku pergi. . . :"
Dia mengira asalkan dia orang tidak terlalu keburu untuk pergi
mencuri potongan pedang dari Cuo It Sian itu maka dia masih mem
punyai waktu yang banyak untuk berkeliaran selama tiga bulan
ditempat luaran, karena itu terhadap gentakan dari majikan patung
emas dia sama sekali tidak merasa murung,
Keesokan harinya, baru saja dia selesai bersantap pagi tampaklah
pelayan perempuan Cun Lan sudah menghadap datang.
“Ti Kiauw tauw !” ujarnya sambil menjura, “Siocia mengundang
kau untuk berbicara di dalam kebun bunga”
“Baik, beritahu kepadanya sebentar lagi aku akan ke sana.”
Cun Lan segera menyahut dan meninggalkan tempat itu.
Sekembalinya ke dalam kamar Ti Then segera membereskan
pakaiannya secara diam-diam dan diletakkan di dalam kamar,
setelah itu dia pergi mencari Shia Pek Thad an ujarnya kepadanya:
“Shia heng, siauwte sudah mendapatkan perintah dari Pocu
untuk melakukan suatu tugas, setelah aku meninggalkan Benteng
maka semua urusan di sini kaulah yang mengurus”
“Pocu suruh Ti Kiauwtauw melakukan pekerjaan apa?” Tanya
Shia Pek Tha keheranan.
“Maaf, pocu sudah pesan wanti-wanti kepada siauwte untuk
jangan memberitahukan urusan ini kepada orang lain, harap Shia
heng suka memaafkan.”
Dengan perlahan Shia Pek Tha mengangguk.
“Apa nona Wi juga ikut pergi?” ujarnya.
“Dia tidak pergi. Pocu minta siauwte pergi seorang diri saja.”
“Kalau memang begitu lebih baik Ti Kiauwtauw pergi secara
sembunyi-sembunyi saja jangan sampai membiarkan dia orang
tahu.”
“Benar !” sahut Ti Then sambil mengangguk. “Baru saja dia
perintahkan Cun Lan untuk datang mengajak siauwte ngobrol di
kebun bunga, nanti tolong secara diam-diam Shia-heng bawa kuda
Ang San Khek itu keluar, dan tunggu aku di pintu Benteng setelah
siauw-te bercakap cakap beberapa patah kata dengan diirinya
siauwte segera mau berangkat "
"Baiklah, kepergian dari Ti Kiauw-tauw
membutuhkan waktu seberapa lama ?”
kali
ini
entah
"Tidak tentu, paling cepat satu, dua bulan, paling lambat yaa tiga
empat bulan”
"Urusan yang hendak Ti Kiauw-tauw kerjakan kemungkinan
sekali ada hubungannya dengan manusia berkerudung hitam
bukan?''.
Ti Then segera tertawa,.
"Maaf, siauw-te tidak bisa naemberitahu..”
"Baiklah “ ujar Shia Pek Tha pula sambil tertawa. "Aku pergi
mempersiapkan kuda buat Ti Kiauw-tauw ".
Selesai berkata dia segera berjalan menuju ke kandang kuda.
Ti Then yang berjalan ke kebun bunga segera tampaklah olehnya
Wi Lian In sedang duduk seorang diri di tepi bunga teratai, agaknya
dia sedang memikirkan sesuatu.
Dengan perlahan dia duduk di samping badannya lantas
bertanya:
"Ada urusan apa ?”
Wi,Lian In segara memutuskan sebatang ranting pohon Liauw
dan dikoyakan ke dalam air kolam:
"Perkataan yang Tia ucapkan kemarin malam kepadamu tentunya
kau mau memberitahukan kepadaku bukan ?” ujarnya dengan
perlahan.
"Sebelum aku menyawab pertanyaanmu ini, aku mau
menanyakan satu urusan dulu kepadamu . . „ , kau .suka tidak kalau
aku menghormat ayahmu ?”
“Baik.. ., baik, . . . kau tidak mau bicara yaa sudahlah ! buat apa
kau orang mengambil perkataan yang tidak berat untuk menekan
aku ?” seru Wi Lian In sambil mencibirkan bibirnya.
Ti Then segera tersenyum.
“Kau adalah putri ayahmu, seharusnya kau orang lebih percaya
dan lebih menghormati ayahmu sendiri daripada aku ".
"Bukannya aku tidak percaya atau tidak menghormati ayahku,
aku cuma ingin tahu apa yang dia orang tua bicarakan dengan
dirimu ".
"Kemarin malam kan aku sudah bilang, jikalau ayahmu
memperbolehkan kau tahu kenapa harus berbicara secara pribadi
dengan aku orang."
Dengan sedihnya Wi Lian In menghela napas panjang.
"Aku tahu ayahku adalah seorang yang baik" ujarnya. "Tetapi
terhadap urusan yang menyangkut diri Cuo It Sian ini setelah
berpikir semalaman aku tetap tidak mengerti, aku tidak tahu kenapa
ayah ngotot mau mendapatkan kembali potongan pedang milik Cuo
It Sian itu ? sedangkan Cuo It Sian sendiri pun kenapa tidak mau
meminta langsung kepada ayahku secara terbuka ?"
"Tentang urusan ini ayahmu tidak pernah memberitahukan
kepadaku, sehingga aku sendiri pun tidak tahui”
"Apakah ayahku meminta kau orang membantu dirinya untuk
melakukan satu urusan?” tanya Wi Lian la kemudian sambil melototi
dirinya.
"Bukan !" sahut Ti Then sambil gelengkan kepalanya.
Mendadak Wi Lian In tersenyum.
"Sungguh-sungguh bukan ?" tanyanya.
"Sungguh !” sahut Ti Then dengan serius.
"Ini hari kau ingin berbuat apa ?”
"Tidak ingin berbuat apa-apa, cuma sada sat ini aku ada satu
urusan yang harus diselesaikan secepatnya , , "
"Urusan apa?” tanya Wi Lian In cepat.
Ti Then sengaja memperlihatkan wajah kemalu-maluan lalu
tertawa.
"Aku ingin pergi mengentengkan badan sebentar ! bilamana kau
tidak merasa kelamaan, tunggulah sebentar. . . . nanti kiia
ngomong-ngomomg lagi."
Mendengar perkataan itu air muka Wi Lian In segera berubah
memerah dengan malunya dia cemberut.
"Hmmm ! membosankan, sana. , sana. , . . “ serunya.
Ti Then segera bangkit berdiri dan ujarnya lagi sambil tertawa:
"Kau harus tunggu aku di sini, menanti aku kembali lagi ke sini
dan membicarakan. suatu urusan yang penting kepadamu”
Selesai berkata dengan gaya ada urusan genting dia berlari
keluar dari kebun bunga itu.
Sekembalinya dari dalam kamar dengan membawa buntalan dan
pedangnya dia segera berlari menuju kepintu Benteng.
Mendekati pintu benteng dia bertemu dengan Ki Tong Hong itu si
pendekar pedang merah, dia yang melihat Ti Then membawa
buntalan dan gerak geriknya tergesa-gesa segera maju bertanya :
“Ti Kiauw-tauw kau mau kemana ?”
"Ada urusan mau pergi ke kota sebentar..”
“Apa bukan melakukan perjalanan jauh?” Tanya Ki Tong Hong
sambil tertawa menyengir.
"Bukan..”
"Kalau begitu kenapa harus membawa buntalan?" desak Ki Tong
Hong lebih lanjut.
Untuk sesaat Ti Then tidak ada perkataan untuk menyawab, “Kau
orang boleh pergi bertanya dengan Shia-heng !"
Sehabis berkata dia segera merangkap tangannya memberi
hormat lalu keluar dari pintu Benteng.
Shia Pek Tha sejak semula sudah menanti diluar Benteng dengan
menuntun kuda Ang Shan Khek itu, melihat Ti Then berlari
mendatang dia segera datang menyongsong dan memberikan tali
les kudanya kepada dia orang.
Ti Then segera menerima tali les dan meloncat naik ke atas
punggung kudanya. Di tengah suara bentakannya yang amat
nyaring dia melarikan kudanya turun gunung.
Dia tahu jikalau Wi Lian In mendengar kalau dirinya
meninggalkan Benteng dia tentu akan mengejarnya, karena itu
selama perjalanan dia terus melarikan kudanya dengan amat cepat
sekali.
Hanya di dalam sepertanak nasi kemudian dia sudah menuruni
pegunungan Go-bi dan berlari di jalaa raya yang datar.
Setelah itu dia melarikan kudanya pula menuju ke arah timur.
Selama di tengah perjalanan tidak menemui kejadian apa-apa,
pada siang hari ketujuh dia sudah memasuki daerah Oh Kiang dan
menaiki gunung dari Bu Leng san.
Pemandangan disepanjang jalan amat indah sekali, akhirnya dia
memperlambat lari kudanya untuk melanjutkan perjalanan dengan
perlahan-lahan, dia orang benar-benar dibuat mabok oleh
keindahan alam sekitar tempat tersebut.
Dia berjalan . . - berjalan terus, tidak terasa lagi hari sudah
menjadi gelap.
Pandangan yang terlihat di hadapannya cumalah lereng-lereng
gunung terjal ini saling sambung menyambung, tak terasa lagi
gumamnya seorang diri :
"Aaaa . . . celaka, ini kemungkinan sekali aku harus menginap
ditempat terbuka."
Baru saja dia selesai bergumam, mendadak dari samping hutan
ditengah gunung berjalanlah keluar seorang tukang pencari kayu
yang usianya masih sangat muda sekali.
Pemuda itu mem punyai perawakan yang tinggi kekar dan sangat
berotot, wajahnya tampan dengan pada ikat pinggangnya tersoren
sebilah kampak pendek, pundaknya memikul satu pikulan kayu
bakar sedangkan langkahnya amat mantap sekali, jelas dia
merupakan orang yang pernah belajar ilmu silat.
Jilid 27.3 : Cian Pit Yuan membalas dendam
Ti Then yang melihat wajah pemuda sangat menarik rasa
simpatik segera menyelimuti dirinya, dia berjalan ke samping badan
pemuda itu lantas menjura: “Lo-te maaf mengganggu !”
Pemuda itu segera menghentikan langkah
mengangguk sebagai balasan menghormat,
kakinya,
dia
“Aaah.. Lo-heng tentu orang yang sedang melakukan perjalanan
bukan ?”
“Benar . . benar, tolong tanya dari tempat ini menuju kekota
yang terdekat masih ada seberapa jauh ?".
“Lo-heng mau pergi kemana ?”
“Kesebelah sana!” sahut Ti Then segera sembari menuding
kearah Utara.
"Tempat itu menuju kekota Ih Hong, kalau menunggang kuda
paling cepat juga ada setengah hari perjalanan !”
"Iiih. . . kalau begitu sesampainya di kota tersebut sudah tengah
malam buta?" teriak Ti Then amat terkejut.
"Benar, bilamana Lo-heng tidak menampik. silahkan menginap
satu malam di rumah gubukku?”
“Lote tinggal digunung ini?"
“Benar, tidak jauh dari sini."
"Tidak mengganggu?"
"Apa ganggu mengganggu, di rumah gubukku cuma siauw-te
seorang saja" sahut pemuda sambil tertawa,
Ti Then jadi keheranan. "Oooh. . Lote tinggal di atas gunung
seorang diri ?"
"Benar !” jawab pemuda itu sambiI menganggukkan kepalanya.
"Setelah orang tuaku mati satu-satunya ciciku juga kawin, sekarang
dirumahku cuma tinggal aku seorang diri saja."
"Lalu Lote menggantungkan pencari kayu sebagai penghidupan
sehari-hari ?" tanya Ti Then lagi.
"Benar!" sekali lagi pemuda itu mengangguk. "Ada kalanya aku
berburu adakalanya pula aku mencari kayu di hutan."
"Lalu siapa namamu?"
“Aku she Kwek bernama Kwek Kwan San, lalu kau ?"
"Aku adalah Ti Then!"
Pemuda Kwek Kwan San itu segera tersenyum ramah, ujarnya:
“Bagaimana Ti-heng? kau orang jadi bermalam dirumahku tidak?"
"Baik?" Sahut Ti Then dengan amat girang, Malam ini terpaksa
aku orang mengganggu satu malam !"
Agaknya Kwek Kwan San itu pun menaruh rasa simpatik
terhadap diri Ti Then, mendengar dia menyanggupinya hatinya
terasa amat girang sekali.
"Kalau begitu silahkan Ti-heng mengikut diri siauw-te !”
Sehabis berkata dia berjalan terlebih dahulu mengikuti jalan
gunung tersebut.
Ti Then pun turun dari kuda dan mengikuti dari sampingnya,
setelah berbelok-belok di jalan pegunungan yang agak lebar kini
mereka berbelok ke dalam sebuah jalan usus kambing yang amat
sempit sekali.
Setelah melalui lagi beberapa ratus langkah tampaklah tidak jauh
dari mereka sekarang berada berdirilah sebuah rumah gubuk.
"Itukah ramahmu ?" tanyanya segera.
"Benar !” jawab Kwek Kwan San mengangguk. "Rumahku jeiek
harap jangan dibuat geguyon"
"Mana . . . mana , . . Lo-te tinggal di sini seorang diri apakah
tidak terlalu kesepian ?" tanya Ti Then gugup.
"Dahulu aku memang rada kesepian tetapi sekarang sudah tidak,
karena baru-baru ini Siauw-te sudah mengangkat seorang suhu, dia
orang tua sekarang berdiam bersama-sama dengan siauw-te !"
"Oooh . . . kiranya begitu! laiu siapa, kah sebutan dari suhumu ?"
tanya riThtE kemudian
"Sebutan suhuku amat aneh sekuli, dia dipanggil sebagai Sang
Sim Lojin atau si kakek tua berduka hati, sedangkan siapakah nama
yang sesungguhnya selama ini dia orang tua tidak pernah mau
memberitahukannya kepada siauw-te . , ,”
"Sang Sim Lojin ?” tanya Ti Then terperanyat.
"Benar. Sang Sim Lojin !”
"Kenapa dia orang berduka ?"
“Entahlah..” sahut Kwek Kwan san sambil gelengkan kepalanya.
“Dia sekarang ada di dalam rumah?”
“Ada, suhuku jarang sekali keluar pintu”
"Jika dilihat dari langka lo-te yang begitu mantap sudah tentu
kepandaian silatnya amat hebat, kenapa kau orang masih
menggantungkan pencarian kayu bakar sebagai biaya hidup ?"
“Mana . : . . mana . . . “ ujar Kwek Kwan San sambil tertawa
malu. "Siauw-te cuma berhasil mempelajari sedikit permainan kaki
saja, jika dibandingkan dengan orang lain masih terpaut sangat jauh
sekali”
Sewaktu mereka bercakap-cakap itulah tanpa terasa sudah tiba
di depan rumah gubuk itu. Kwek Kwan San segera meletakkan kayu
bakar yang dipikulnya tadi ke atas tanah lantas berjalan masuk ke
dalam rumah.
"Suhu . . suhu . . . “ teriaknya keras "Kita sudah kedatangan
seorang tetamu."
Tetapi sewaktu dia berjalan masuk ke dalam rumah tidak terasa
lagi air mukanya rada sedikit tertegun.
“Iih . suhu, dia orang tua sudah pergi ke mana ?" jeritannya
kaget.
Ti Then pun ikut berjalan masuk ke dalam, ternyata di dalam
ruangan itu memang benar-benar kosong melompong dan sama
sekali tidak kelihatan jejak dari "Sang Sim Lojin" itu, lantas ujarnya :
"Kemungkinan sekali suhumu sudah keluar dari rumah."
Pada wajali Kwek Kwan San segera terlintaslah satu perubahan
yang amat aneh lantas dengan perlahan mengangguk.
"Benar .... Ti heng silahkan duduk biarlah siauw-te pergi
mencarinya sebentar”
Selesai berkata dia segera putar badan dan berjalan keluar.
Ti Then pun segera duduk di atas ruangan tersebut, matanya
dengan perlahan menyapu sekejap keseluruh dinding ditempat itu,
ketika dilihatnya di atas dinding sudah tergantung sebilah pedang
panjang dengan sarung yang amat kuno sekali dalam hati diam-
diam berpikir:
"Oooh . . . kiranya si Sang Sim Lojin ini pun merupakan seorang
jagoan pedang entah bagaimana kepandaiannya di dalam
permainan pedang ? dan mengapa mem punyai sebutan sebagai
Sang Sim Lojin?”
Sewaktu pikirannya berputar dengan keras itulah terdengar Kwek
Kwan yang ada diluar sedang berteriak keras:
"Suhu .... suhu . . . kau ada dimana ?” Suara teriakannya
semakin lama semakin perlahan dan semakin lama semakin kecil
agaknya dia sudah berada di tempat yang amat jauh sekali.
Kurang lebih seperempat jam kemudian tampaklah Kwek Kwan
San dengan wajah yang amat sedih sekali berjalan masuk kembali
ke dalam rumah, alisnya dikerutkan rapat-rapat.
"Aneh sekali, entah suhu dia orang tua sudah pergi ke mana ?"
"Apa suhumu jarang keluar?”
“Benar!” jawab Kwek Kwan San mengangguk. "Selama beberapa
bulan ini setiap kali siauw-te pulang dari mencari kayu dia pasti
menunggu di dalam rumah, entah mengapa ini hari sudah keluar
rumah..... haaaai..entah dia orang sudah pergi kemana ?”
"Jikalau mau pergi ke tempat kejauhan seharusnya dia orang tua
meninggalkan surat sebagai pemberitahuan"
"Benar ... sungguh aneh sekali ..” Seru Kwek Kwan San
keheranan tidak ada habisnya.
"Apa mungkin sudah menemui peristiwa lain ?"
"Jikalau sudah terjadi urusan, dengan kepandaian silat yang
dimiliki oleh suhu dia orang tua seharusnya bisa menghadapi
dengan mudah, kepandaian silat dari dia orang tua amat hebat
sekali”
" Pedang itu apakah milik suhumu ?” tanya Ti Then kemudian
sambil menuding kearah pedang yang tergantung di atas dinding
itu.
“Tidak salah!” sahut Kwek Kwan San mengangguk.
“Kalau begitu” ujar Ti Then lagi, “Dapatkah suhumu pergi ke
sekitar tempat ini untuk berjalan-jalan? Bilamana sudah terjadi
peristiwa yang diluar dugaan pedang itu tidak seharusnya masih
tergantung di atas dinding.”
Mendengar penjelasan dari Ti Then itu dengan perlahan perasaan
murung yang menyelimuti wajahnya mulai luntur.
“Perkataan dari Ti heng sedikit pun tidak salah” sahutnya rada
girang, “Silahkan kau tunggu sebentar, biar siuwte masuk ke dalam
untuk mempersiapkan makanan”
Selesai berkata dia berjalan masuk ke dalam rumah.
Tidak lama kemudian nasi panas dengan beberapa macam sayur
asin sudah dihidangkan di atas meja.
Kwek Kwan San kembali berjalan keluar dari rumah untuk
menengok, lalu dengan keheran-heranan ujarnya :
"Sungguh aneh sekali, bagaimana dia orang belum kembali
juga?"
"Coba tunggu sebentar lagi”
Kwek Kwan San segera kembali ke dalam rumah.
“Tidak, mari kita makan dulu" ujarnya kemudian.
Dia mempersilahkan Ti Then duduk dan mengambilkan dua
mangkuk nasi yang satu diangsurkan kepada Ti Then dan yang lain
buat dia sendiri, lantas bersama-sama bersantap.
Sembari makan tanya Ti Then lagi:
“Lo-te tahun ini umur berapa?”
“Delapan belas.”
“Kau
punya maksud untuk selamanya
pencarian kayu baker untuk biaya hidup?”
menggantungkan
"Tidak, lain kali setelah kepandaian silatku berhasil aku latih
hingga mencapai pada taraf yang tinggi siauwte punya rencana
untuk jadi Piauw-su, aku dengar jadi piauwsu paling mudah mencari
uang, bukan begitu?”
"Benar, tetapi juga sangat berbahaya sekali " sahut Ti Then
sambil mengangguk.
"Guruku pernah bilang, asalkan siauw-te mau berlatih selama
tiga tahun lamanya maka dia tanggung siauw-te bisa jadi jagoan
nomor satu, saat itu untuk jadi piauw-su bukanlah satu soal yang
sulit "
"Jadi piauwsu bukan saja harus mem punyai kepandaian silat
yang amat tinggi bahkan pengalamannya pun harus amat luas
sekali "
"Aku tahu " sahut Kwek Kwan San mengangguk, “Aku beleh
menyabat sebagai pengawal rendahan terlebih dulu. ooohh yaa, Ti-
heng bekerja apa ?”
"Cayhe menyabat sebagai Kiauw-tauw dari Benteng Pek Kiam Po”
Agaknya Kwek Kwan San belum pernah mendengar nama dari
Benteng Pek Kiam Po ini, mendengar perkataan tersebut dia jadi
tertegun.
"Apa itu Benteng Pek Kiam Po?” tanyanya.
"Benteng Pek Kiam Po adalah satu aliran di dalam Bu-lim yang
cukup besar pengaruhnya, markas besarnya ada di gunung Go-bi,
apakah suhumu belum pernah membicarakan soal Pek Kiam Po ini
kepadamu ?”
"Tidak!" sahut Kwek Kwan San sambil gelengkan kepalanya.
"Suhu kecuali setiap hari memberi pelajaran ilmu silat kepada siauw-
te, apapan tidak pernah dibicarakan.”
"Di dalam Bu-lim pada saat ini setiap jago yang pernah terjunkan
diri ke kalangan kang-ouw pasti akan tahu kalau di atas gunung Go-
bi ada sebuah Benteng Pek Kiam po, suhumu tidak pernah
mengungkatnya kepada mu mungkin dikarenakan perhatiannya
cuma dipusatkan pada pemberian pelajaran ilmu silat."
"Apakah orang-orang dari Benteng Pek Kiam Po
ilmu pedang semua?" tanya Kwek Kwan San lagi.
"Benar !”
"Siapakah Pocunya ?"
"Si pedang naga emas Wi Ci To.”
pun berlatih
“Apakah ilmu pedangnya sangat tinggi sekali?”
"Dia mem punyai nama harum sebagai Bu Lim Cit Ji Kauw-jin
atau jagoan nomor dua dari seluruh Bu-lim,"
Agaknya Kwek Kwan San menaruh perhatian khusus terhadap
urusan ini, desaknya lebih lanjut:
"Lalu siapakah si jagoan nomor wahid di dalam seluruh Bu-lim
saat ini ?”
"Si kakek pemalas Kay Kong Beng, tetapi dia bukan orang
benteng Pek Kiam Po kami, dia berdiam di puncak gunung Kim Teng
San “
"Ilmu pedang dari suhuku di dalam pandangan siauw-te amat
dahsyat dan liehay sekali, entah dapatlah kepandaian silatnya
dibandingkan dengan si kakek pemalas Kay Kong Beng serta pocu
dari Benteng Pek Kiam Po tidak ? "
"Cayhe belum pernah melihat ilmu pedang dari suhumu,
sehingga sukar buatku untuk menyawab pertanyaan ini "
"Ada satu hari suhu pernah mendemontrasikan permainan
pedangnya buat siauw-te lihat, dia menancapkan tiga batang bambu
ke atas tanah lantas di dalam satu kali babatan saja sudah berhasil
menebas putus ketiga batang bambu tersebut, tetapi bambu yang
cuma diberdirikan itu sama sekali tidak rubuh”
"Kalau begitu kepandaian ilmu pedang dari suhumu memang
sangat dahsyat sekali " seru Ti Then tertarik.
"Jika dibandingkan dengan si kakek pemalas Kay Kong Beng
serta Pocu dari Ti-heng rasanya bagaimana?”
"Hmmmm..mungkin hampir sama”
"llmu pedang dari Ti-heng tentunya sangat lihay bukan?”
"Mana. . mana. , ,” ujar Ti Then sambil tersenyum, "Cayhe masih
terpaut jauh"
"Tadi Ti-heng bilang kau menyabat sebagai apa di dalam Benteng
Pek Kiam Po?"
"Cong Kiauw-tauw."
“Apa yang dimaksud dengan Kiauw-tauw itu ?" tanya Kwek Kwan
San lagi
"Kedudukan Kiauw-tauw ada di bawah Pocu seorang dan
bertugas untuk memberi pelajaran ilmu silat kepada seluruh jagoan
pedang yang ada di dalam Benteng."
Mendengar penjelasan itu Kwek Kwan San jadi terperanyat
"Jagoan pedang yang ada di dalara Benteng Pek Kiam Po apakah
usianya sederajat dengan usia dari Ti-heng ?” tanyanya lagi.
“Tidak, jagoan pedang di dalam Benteng Pek Kiam Po yang
berusia sekecil cayhe cuma ada beberapa orang saja “
"Lalu bagaimana Ti-heng bisa menyabat sebagai Kiauw-tauw dari
para jago di dalam Benteng Pek Kiam Po" tanya Kwek Kwan San lagi
sambil berseru keheran-heranan.
"Hal ini dikarenakan , . , Ehmm, pertanyaan dari Lo-te ini
sungguh-sungguh membuat cayhe sukar untuk memberi jawaban.."
"Ooooh sekarang aku paham sudah tentu ilmu pedang dari Ti
heng jauh melebihi kepandaian silat dari para jago pedang lainnya
sehingga diangkat sebagai Kiauw-tauw, bukan begitu ?”
Ti Then sambil tertawa segera mengangguk.
Kwek Kwan San jadi amat girang sekali, serunya:
“Dapatkah Ti-heng memperlihatkan sedikit kepandaian untuk
siauwte lihat?”
“Haa..haa..siauwte tidak berani memperlihatkan kejelekanku di
hadapan kalian!” serunya dengan cepat sambil gelengkan kepalanya
cepat.
“Ti-heng kenapa sungkan?” ujar Kwek Kwan san dengan terburu-
buru.
“Siauw-te cuma ingin mengetahui bagaimana taraf kepandaian
silat yang aku miliki sekarang ini jika dilihat dari kepandaian yang Ti-
heng miliki. Siauw-te sejak belajar ilmu pedang dari suhuku dia
orang tua sampai saat ini belum pernah mengetahui bagaimana
hasil dari latihanku itu jikalau Ti heng mau sedikit
memperlihatkannya maka Siauw-te segera akan tahu seberapa
tinggi kepandaian yang aku miliki."
“Tapi...jikalau sampai suhumu pulang dan menemuinya bukankah
terlalu tidak baik . . . ," ujar Ti Then kembali berusaha menampik.
''Suhuku kemungkinan sekali ada urusan pergi ke kota, aku rasa
dia orang tua tidak mungkin bisa kembali dengan cepat,"
"Kalau begitu setelah selesai makan bilamana suhumu belum
kembali juga, cayhe akan memperlihatkan sedikit kejelekan."
akhirnya Ti Then mengabulkan.
Kwek Kwan San jadi amat girang sekali.
"Bagus sekali, mari kita cepat makan !”
Selesai berkata dengan lahapnya dia menghabiskan nasinya.
Tidak lama kemudian mereka berdua sudah kenyang benar-
benar. Kwek Kwan San tidak sempat membereskan mangkok
sumpitnya segera dia memohon lagi kepada diri Ti Then :
"Ti-heng bagaimana kalau mendemonstrasikan sekarang saja !”
"Baik, mari kita keluar rumah."
Mereka berdua segera jalan keluar dari rumah gubuk itu, Ti Then
memungut tiga batang bambu dan diletakkan di atas tanah lalu
mencabut keluar pedang panjangnya, dia tertawa. "Cayhe pun mau
jajal mengayunkan cara seperti suhumu, jikalau jelek Ioo-te jangan
tertawa Iho. ."
"Tidak mungkin, tidak mungkin. Ti-heng silahkan bermain" seru
Kwek Kwan San dengan cepat.
Ti Then segera pusatkan pikirannya, lantas kakinya maju satu
langkah ke depan, pedang yang ada di tangannya dengan cepai
bagaikan sambaran kilat dibabat ke depan.
...Sreeeet. ..... ditengah bekelebatnya sinar pedang yang
menyilaukan mata pedangnya sudah dimasukkan kembali ke dalam
sarungnya.
Sedang ketiga batang bambu itu pun masih tetap berdiri tidak
bergerak dari tempatnya, dengan lurus bamboo-bambu tersebut
masih berdiri di atas tanah.
Sepasang mata dari Kwek Kwan San terbelalak lebar-lebar
melototi ketiga bambu tersebut, beberapa saat kemudian dia baru
berjalan mendekati bambu tersebut menyenggolnya dengan
perlahan.
Ketiga batang bambu tersebut segera putus dan jatuh
berantakan di atas tanah, air mukanya segera berubah, dia merasa
terkejut bercampur kagum sehingga tidak terasa lagi menarik napas
panjang-panjang. “Oooh. . . . Ilmu pedang dari Ti-heng ternyata
seimbang dengan ilmu pedang dari suhuku, kau orang bagaimana
bisa berhasil melatih sehingga demikian hebatnya?”
Ti Then cuma tersenyum tanpa mengucapkan sepatah kata pun,
dia tidak ingin memberitahu kalau dirinya bisa mematahkan lima
batang bambu sekaligus, karena dia tidak ingin menghilangkan
kepercayaan seorang murid terhadap suhunya.
Lama sekali Kwek Kwan San mematung melongo kearahnya,
lantas dengan ragu-ragu serunya:
"Kau. . , usiamu masih muda, bagaimana kau orang berhasil
melatih ilmu pedangmu sehingga demikian tingginya ?”
"Cayhe berlatih ilmu pedang sejak berumur lima enam tahun
sehingga dengan demikian bisa memperoleh kesuksesan seperti ini,
tetapi jikalau membicarakan tenaga dalam mungkin Cayhe masih
kalah jika dibandingkan dengan suhumu”
Dengan amat kagumnya Kwek Kwan San memperhatikan dirinya
terus menerus ujarnya kemudian:
"Siauw-te baru belajar ilmu pedang beberapa bulan saja, entah
sampai kapan baru bisa berhasil mencapai seperti apa yang dimiliki
Ti-heng saat ini ?”
"Bakat lo-te amat bagus sedang pikirannya pun amat tajam
sekali, asalkan mau berlatih dengan giat lima tahun kemudian
pastilah kau orang bisa berhail mencapai taraf seperti ini”
“Tetapi.. “ bantah Kwek Kwan San.lagi. " Lima tahun kemudian
sewaktu siauwte berhasil mencapai pada taraf seperti Ti-heng saat
ini, maka pada waktu itu kedahsyatan dari ilmu silat Ti-heng entah
sudah menanyak seperti apa ?”
Ti Then segera tertawa geli,
"Lo--te kau tidak boleh berpikir demikian " ujarnya keras, “Ada
pepatah yang mengatakan satu gunung, lebih tinggi dari gunung
yang lain, ditengah yang hebat pasti ada yang jauh lebih hebat,
cayhe cuma bisa begini saja dapat dihitung seberapa tingginya?”
Agaknya Kwek Kwan San rada kikuk juga oleh perkataannya tadi,
dia tertawa malu dan ujarnya :
" Benar. siauw-te tidak seharusnya menginginkan diriku jauh
lebih tinggi dari orang lain”
Ti Then segera memungut kembali ketiga batang bambu itu dan
dilempar ke tempat kejauhan.
"Nanti sewaktu suhumu pulang lebih baik Lo-te
mengungkat-ungkat soal ini, mau bukan ? " ujarnya.
jangan
"Ti heng takut kalau suhuku mencari kau orang untuk diajak
bertanding ?"
"Benar !” jawab Ti Then tertawa, "Suhumu adalah seorang
locianpwe dari Bu-lim, cayhe seharusnya menaruh hormat
kepadanya ".
Suhu dia orang tua jadi orang memang amat baik sekali,
bilamana dia tahu kalau ilmu pedang Ti-heng amat tinggi sekali, dia
orang tua pasti akan ikut merasa bergirang hati ".
"Suhumu mem punyai julukan sebagai si kakek tua bersedih hati,
tentunya pada masa yang lalu sudah menemui suatu pengalaman
pahit yang mendukakan hati-nya. . . " ujar Ti Then tiba-tiba.
"Ada satu kali, dia pernah beritahu kepada siauw-te. katanya di
dalam Bu-lim dia mem punyai dendam dengan seorang jagoan
berkepandaian tinggi, cuma saja dia tidak pernah memberitahukan
siapakah nama si jagoan berkepandaian tinggi itu?”
“Suhumu mem punyai rencana hendak membalas dendam?”
tanya Ti Then.
"Agaknya memang begitu, karena di samping dia orang tua
menurunkan ilmu silat kepadaku dia pun setiap hari berlatih dengan
rajinnya”
Mereka berdua sembari bercakap-cakap sembari berjalan kembali
ke dalam rumah, Kwek Kwan San segera membereskan mangkok
sumpit dan dari dalam dapur membawa keluar sepoci teh panas.
Dia mengambil secawan buat Ti Then lalu mengambil pula
secawan buat dirinya sendiri, ujarnya lagi :
"Ilmu pedang dari Ti-heng belajar dari siapa ?"
"Cayhe pernah mengangkat seorang suhu yang mem punyai
julukan sebagai Bu Beng Lojin ".
" Bu Beng Lojin ?" tanya Kwek Kwan San keheranan.
"Benar " sahut Ti Then sambil meneguk air tehnya satu tegukan.
"Suhuku sama dengan suhumu, dia
pun mem punyai satu
pengalaman di masa lampau yang amat menyedihkan hatinya...”
Baru saja dia berbicara sampai kata-kata yang terakhir mendadak
terlihatlah olehnya tubuh Kwek Kwan San bergoyang tidak henti-
hentinya seperti seorang lagi kemabokan terhuyung-huyung dan
sempoyongan tidak karuan.
Tidak terasa lagi di dalam hati Ti Then merasa sangat
terperanyat.
"Iiih... Lo-te kau kenapa?” tanyanya.
"Heran..kepalaku..oh. . .kepalaku.” seru Kwek Kwan San sambil
memegang kepalanya sendiri dan mengerutkan alisnya rapat-rapat.
Perkataannya belum selesai diucapkan mendadak cawan yang
ada ditangannya terjatuh ke atas tanah sedang tubuhnya pun ikut
rubuh ke atas tanah, . . .secara tiba-tiba dan sangat aneh sekali dia
jatuh tidak sadarkan diri lagi.
Ti Then yang melihat kejadian itu menjadi sangat terperanyat
sekali, dengan cepat dia meletakkan cawan air tehnya ke atas meja
lalu berjongkok ke samping badan Kwek Kwan San dan
membimbingnya bangun.
"Hey Lo-te.. Lo-te.. kau kenapa ?'" teriaknya.
Pada saat itulah mendadak dia pun merasakan kepalanya sangat
pening sekali, dalam hati dia merasa sangat terperanyat, pikirnya:
"Celaka. . .! pasti ada orang yang memasukkan obat pemabok ke
dalam air the ini !”
Dengan cepat dia meletakkan badan Kwek Kwan San ke atas
tanah dan berusaha bangkit berdiri, tetapi pada saat itulah
kepalanya terasa semakin pening sehingga membuat matanya
berkunang-kunang
tubuhnya
terhuyung-huyung
dengan
sempoyongan akhirnya tidak kuasa lagi rubuh ke atas tanah dan
jatuh tidak sadarkan diri.
Baru saja dia jatuh tidak sadarkan di ri ke atas tanah, dari pintu
rumah gubuk itu tampaklah berkelebatnya sesosok bayangan
manusia diikuti munculnya seorang manusia aneh.
Orang aneh ini berusia kurang lebih enam puluh tuhunan,
tubuhnya sedengan sedang rambutnya awut-awutan dan amat kotor
dengan kepala yang kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang,
ditambah lagi dengan sepasang matanya yang memancarkan sinar
yang amat tajam sekali membuat orang yang melihat dirinya seperti
juga me lihat mayat hidup yang baru saja bangkit dari dalam
kuburan.
Siapakah orang itu ?
Bukan lain, dialah, si pendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan
adanya ! Si pendekar aneh dari Bu-lim yang telinga kanannya
berhasil dipapas putus oleh Wi Ci To pada masa yang lalu dan
terpapas lagi telinga kirinya oleh Ti Then pada beberapa bulan yang
lalu ternyata sudah munculkan dirinya di depan rumah gubuk di
atas.gunung Bu Leng san ini.
Begitu tubuhnya berjalan masuk ke dalam rumah, matanya
dengan amat tajam melirik sekejap ke atas badan Ti Then yang
menggeletak di atas tanah lalu memperdengarkan suara tertawanya
yang amat dingin sekali, setelah itu dari dalam sakunya dia
mengambil keluar sebotol obat dan mengambil keluar sebutir untuk
kemudian dimasukkan ke dalam mulutnya Kwek Kwan San.
Tidak selang lama kemudian Kwek Kwan San sadar kembali dari
pingsannya.
Dengan perlahan sepasang matanya dipentangkan, sewaktu dia
bisa melihat jelas orang yang ada di hadapannya bukan lain adalah
si pendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan dengan amat
girangnya dia segera meloncat bangun.
"Suhu" teriaknya. '' Kau sudah pulang ?"
Tetapi sebentar kemudian dia sudah melihat tubuh Ti Then yang
rubuh tidak sa¬darkan diri di atas tanah serta cawan air teh yang
berserakan di atas meja, seketika itu juga dia teringat kembali
dengan kejadian yang baru saja berlangsung itu, teriaknya.
"Aduuuh ... bagaimana bisa jadi ? Tadi tecu dengan Ti-heng ini -
.“
"Bukankah sudah jatuh tidak sadarkan diri ?" Potong .si pendekar
pedang tangan kiri Cian Pit Yuan sambil tertawa.
"Benar “ teriak Kwek Kwan San dengan sangat terperanyat."
Tecu mendadak merasakan kepalaku pening dan berputar amat
cepat lalu jatuh tidak sadarkan diri, saat itu agaknya Ti-heng masih
baik-baik saja . . bagaimana sekarang pun dia juga jatuh tidak
sadarkan diri ?"
"Karena kalian berdua sudah terkena obat pemabok !” jawab si
pendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan sambil tertawa dingin.
“Aaaah terkena obat pemabok ??" tanya Kwek Kwan San dengan
sangat terkejut sekali.
-ooo0dw0ooo-
Jilid 28
1 : Manusia berkerudung utusan Majikan Patung Emas
“Tidak salah,” jawab si pendekar pedang tangan kiri Cian Pit
Yuan sepatah demi sepatah. “Memang benar ada orang yang sudah
memasukkan obat pemabok ke dalam air teh kalian”
“Siapa yang memasukkan obat petnabok itu?” tanya Kwek Kwan
Ssn dengan amat terperanyat.
“Aku.”
Kwek Kwan San seketika Itu juga dibuat melengak.
“Haah .... suhu kau orang yang memasukkan obat pemabok itu
ke dalam air teh kami?” ujarnya tidak mau percaya.
“Benar . .” sahut si pendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan
mengangguk “Kau merasa ada diluar dugaanmu bukan?”
“Tidak salah, kenapa suhu memasukkan obat pemabok itu ke
dalam air teh kami sehingga kami jadi mabok?” teriak Kwek Kwan
San dengan melototkan sepasang matanya lebar-lebar.
“Karena aku orang tua mau merubuhkan dirinya” jawab si
pendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan sambil menuding kearah
diri Ti Then yang menggeletak di atas tanah.
Kwek Kwan San benar-benar merasa terkejut.
“Suhu kenal dengan dia orang?”
“Sudah tentu aku kenal, dia adalah Kiauw tauw dari Benteng Pek
Kiam Po yang bernama Ti Then “
“Suhu ada dendam sakit hati dengan orang ini?”
“Aku orang tua memang punya dendam dengan Pocu mereka Wi
Ci To, sedangkan bangsat cilik ini ...aku sih tidak punya ganyalan
apa apa”
“Kalau memangnya tidak punya ganyalan hati apa-apa kenapa
suhu mau merubuhkan dirinya?” tanya Kwek Kwan San keheranan.
“Karena aku ingin menanyakan satu urusan dengan dirinya, kau
pergilah mencari seutas tali”
Kwek Kwan San ragu-ragu sebentar, akhirnya dia masuk ke
dalam rumah juga untuk mengambil seutas tali.
Si pendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan segera turun
tangan mengikat seluruh tubuh Ti Then dengan cepatnya setelah itu
menotok jalan darah dari Ti Then dan memasukkan sebutir pil ke
dalam mulutnya.
Tidak selang lama kemudian Ti Then pun dengan perlahan-lahan
sadar kembali dari pingsannya.
Ketika dia dapat melihat orang yang berdiri di hadapannya bukan
lain adalah si pendekar tangan kiri Cian Pit Yuan dalam hati dia
merasa sedikt bergidik, disusul satu senyuman pahit menghiasi
bibirnya.
“Aaah, kiranya Sang Sim Lojin adalah kau!” serunya.
“Setelah Lohu mengasingkan diri ke atas gunung dan berlatih
ilmu pedang dengan susah payah selama dua puluh tahun lamanya
tidak kusangka sewaktu menerjunkan diri ke dalam Bu lim untuk
kedua kalinya sudah dikalahkan ditangan kau bangsat cilik,
bagaimana hal ini tidak membuat Lohu bersedih hati”
“Hal itu dikarenakan ilmu silatmu tidak sempurna, bagaimana
bisa menyalahkan diriku?”
“Lohu sama sekali tidak menyalahkan dirimu.”
“Lalu kenapa kau menawan aku seorang?” tanya Ti Then sambil
tertawa dingin.
“Karena aku ingin menanyakan satu urusan dengan dirimu.”
“Kau bersikap demikian kasarnya terhadap diriku, kau mengira
aku mau menyawab pertanyaan-pertanyaan yang kau ajukan?”
Si pendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan segera tertawa
dingin.
“Bilamana kau tidak mau menyawab pertanyaan yang lohu
ajukan maka jangan harap bisa meninggalkan tempat ini.” sahutnya.
Ti Then tertawa, dengan perlahan dia mengalihkar sinar matanya
kearah wajah diri Kwek Kwan San, “Lote. suhumu memang amat
bagus sekali” ejeknya.
ooOOoo
AIR muka Kwek Kwaa San seketika itu juga berubah memerah,
dengan menundukkan kepalanya rendah-rendah dia tidak
mengucapkan sepatah kata pun.
“Bangsat cilik!” seru si Cian Pit Yuan dergan suara yang amat
berat, “Kau bisa mencari sampai di sini hal ini jelas tidak
mengandung maksud baik terhadap Lohu, siapa yang bilang salah
kalau Lohu turun tangan dulu?”
“Aku sedang melakukan perjalanan lewat di tempat ini, aku sama
sekali tidak sedang mencari dirimu” ujar Ti Then sambil tertawa
pahit.
“Benar” sambung Kwek Kwan San lebih lanjut. “Suhu, Ti-heng
memangnya sedantg melakukan perjalanan lewat di tempai ini, dia
bukannya sengaja datang mencari kau orang tua”
“Kau mengerti apa?” bentak Cian Pit Yuan dengan gusarnya
sambil melotolt dirinya. “Tempat ini sangat jarang sekali dilalui
orang, dia pasti sengaja datang mencari aku orang-tua, kalau tidak
mana mungkin bisa tiba di sini?”
Ti Then tiba-tiba tertawa terbahak-bahak
“Sejak semula aku sudah melupakan dirimu sama sekali buat apa
aku datang mencari dirimu lagi?” serunya.
“Omong kosong,” bentak Cian Pit Yuan dengan amat gusar. “Wi
Ci To takut lohu pergi ke benteng Pek Kiam Po-nya untuk membalas
dendam maka dia sengaja mengirim dirimu untuk menyelidiki
keadaaan dari lohu, kau kira lohu tidak mengerti akan hal ini?”
“Bagaimana mungkin Wi Pocu kami takuti dirimu yang pergi ke
benteng Pek Kiam Po untuk membalas dendam? kau kira kami pihak
benteng Pek Kiam Po ada dendam dengan dirimu?”
“Apa mungkin tidak ada?” ejek Cian Pit Yuan dengan dingin.
“Tidak ada”
Cian Pit Yuan jadi teramat gurar, dia mendengus dengan amat
ademnya.
“Tetapi Lohu merasa punya satu dendam yang sedalam lautan
dengan dirinya,”
“Bagaimana kalau suruh muridmu itu menimbangnya dari
tengah?”
“Tidak perlu.”
“Yang kau maksudkan dengan dendam sedalam lautan tentunya
dikarenakan Wi Pocu serta aku berhasil membabat putus sepasang
telingamu bukan?”
Cian Pit Yuan yang mendengar lukanya dikorek kembali oleh Ti
Then air mukanya seketika itu juga berubah jadi merah padam, dia
menggembor dengan amat kerasnya.
“Tidak salah, karena Lohu tidak hati-hati telingaku berhasil kalian
tabas sampai putus, maka itu Lohu mau membalas dendam.
Pokoknya ada satu hari Lohu pasti akan msnabas putus juga
sepasang telinga dari kalian berdua.”
“Soal ini aku sama sekali tidak menolak” jawab Ti Than dengan
air muka yang sangat tenang sekali. “Tetapi kau boleh menganggap
tersayatnya sepasang telingamu oleh kita adalah satu dendam
sedalam lautan, pada mulanya kita melukai kau dengan
mengandalkan ilmu silat yang sungguh-sungguh dan sama sekali
tidak menggunakan akal licik mau pun siasat busuk, maka itu jika
lain kali kau merasa dirimu sudah cukup kuat untuk bergebrak
dengan diri kita lebih baik pergunakanlah ilmu silat yang benar,
tidaklah benar kalau menganggap kami sebagai satu musuh buyutan
yang dendamnya sedalam lautan.”
“Lohu pasti akan memotong sepasang telinga dari kalian berdua”
teriak Cian Pit Yuan lagi sambil menggigit kencang bibirnya
menahan kegemasan dalam hatinya, “Kalian tunggu saja waktunya”
“Sampai waktunya kami akan menyambut dirimu dengan senang
hati, sekarang mari kita bicara terang-terangan saja, perjalananku
hari ini bukanlah sengaja datang mencari dirimu.”
“Lohu tidak percaya!”
“Jika aku sengaja datang untuk menyelidiki keadaanmu, aku
tidak akan mengikuti muridmu untuk bersama masuk rumah ini.”
Seru Ti Then tertawa.
“Kalau begitu ceritakanlah apa maksudmu lewat jalan ini dan kau
bangsat cilik mau pergi kemana?”
“Maaf soal ini sukar untuk memberi jawaban.”
Cian Pit Yuan segera tertawa dingin.
“Jika kau orang suka berterus terang menyawab pertanyaan yang
aku ajukan ini Lohu akan segera melepaskan dirimu pergi, kalau
tidak heee heee heee seharusnya kau tahu, pada saat ini cukup
Lohu angkat jari tangan saja kau segera akan menemui ajalnya.”
“Aku rasa kau tidak akan berbuat demikian”
“Kau mengira Lohu tidak berani membunuh dirimu? seru Cian Pit
Yuan sambil tertawa aneh.
“Menurut apa yang ku ketahui kau orang kecuali berpikiran picik
dan mem punyai rasa ingin menang yang berlebih-lebihan
sebetulnya bukanlah satu orang yang suka membunuh orang
dengan sembarangan.”
“Kau terlalu memandang tinggi diri Lohu”
“Apa mungkin tidak?” Seru Ti Then.
“Ini hari kau harus menyawab dua buah pertanyaan dari Lohu,
kalau tidak Lohu pasti tidak akan melepaskan dirimu”
“Apa itu kedua buah persoalanmu itu?”
“Pertama, beritahu kepada Lohu kau hendak kemana,” ujar Cian
Pit Yuan dengan keren, “Kedua, beritahu kepadaku, kepandaian silat
yang kau pelajari ini kau dapat dari siapa?”
“Kedua buah persoalan itu sebetulnya mudah saja untuk
dijawab,cuma aku mempunyai satu sifat yang kukoay sekali,
bilamana aku menyawab pertanyaanmu dengan perkataan yang
sungguh atau mungkin mengarangkan satu jawaban hanya
bertujuan untuk memperoleh kebebasan hal ini sama saja aku
sudah menemui satu kekalahan, aku tidak ingin memperoleh
kekalahan ini.”
“Jadi kau tidak mau menyawab?” teriak Cian Pit Yuan dengan air
muka penuh diliputi oleh hawa napsu membunuh.
“Tidak!”
Cian Pit Yuan segera tertawa dingin dengan amat seramnya.
“Haruslah kau ketahui,” ajarnya dingin, “Bilamana malam ini Lohu
turun tangan melenyapkan dirimu, tidak mungkin ada orang yang
bisa tahu atas kejadian ini.”
“Tapi sedikitnya ada dua oraag yang tahu, yang satu adalah kau
dan yang lain adalah muridmu itu.”
Dengan perlahan sipendekar pedang tangan kiri Cian Pit Yuan
mengalihkan pandangannya ke atas wajah Kwek Kwan San,
tanyanya dengan nada mencoba:
“Kwan San, bangsat cilik ini adalah musuh besar suhumu,
bagaimana kalau suhu turun tangan membinasakan dirinya?”
“Baik,” sahut Kwek Kwan San mengangguk. “Tetapi suhu kau
orang tua haruslah memberi satu kesempatan buat dirinya.”
“Mau kasi kesempatan apa lagi?” tanya Cian Pit Yuan melengak.
“Lepaskan dia lantas bunuh dirinya dengan mengandalkan ilmu
silat yang suhu miliki.”
Agaknya Cian Pit Yuan sama sekali tidak menyangka kalau
muridnya bisa mengucapkan kata yang demikian ’Gagah’nya, untuk
sesaat lamanyadia malah dibuat sangat rikuh. Karena dia pun
pernah menyajal kepandaian silat dari diri Ti Then dan di dalam hati
tahu bilamaoa dirinya diharuskan mengadakan pertempuran secara
adil dengan diri Ti Then maka kesempatan untuk memperoleh
kemenangan tidaklah terlalu besar di dalam hatinya justru dia tidak
ingin bertempur secara adil dengan dirinya.
Dia agak melengak sebentar tapi sebentar kemudian sudah
angkat kepalanya tertawa terbahak-bahak.
“Bagus... Bagus... aku orang mern punyai ahli waris seperti
dirimu dalam hati aku benar-benar merasa girang sekali.”
Mendengar perkataan tersebat Kwek Kwan San jadi sedikit
ketakutan.
“Bilamana tecu sudah salah berbicara
memaafkan” ujarnya dengan cepat.
harap
suhu
mau
“Tidak, perkataanmu sedikit pun tidak salah” sahut Cian Pit Yuan
sambil gelengkan kepalanya. “Aku orang tua tidak akan
membinasakan dirinya di dalam keadaan situasi seperti ini, tetapi
aku pun tidak akan melepaskan dirinya dengan begitu saja, kecuali
dia mau menyawab kedua buah pertanyaan yang aku ajukan tadi.”
“Aku tidak akan menyawab kedua pertanyaanmu itu.” Teriak Ti
Then sambil tertawa.
“Kalau begitu kau jangan harap bisa meninggalkan tempat ini
dalam keadaan selamat”
“Kalau memangnya demikian bilamana aku punya kesempatan
bisa meloloskan diri dari sini, aku tentu tidak berlaku sungkan-
sungkan lagi terhadap dirimu.”
“Untuk selamanya kau tidak akan mem punyai kesempatan untuk
meloloskan diri lagi,” sahut Cian Pit Yuan sambil tertawa dingin
dengan amat seramnya. “Mulai saat ini setiap jsm sekali Lcohu akan
menotok jalan darah kakumu, kau tidak bakal bisa melarikan diri.”
“Haaa ..... haaa . . . tapi kau harus ingat dengan pepatah yang
mengatakan, orang budiman tentu akan dibantu oleh Tbian
kemungkinan sekali ada orang bakal turun tangan menolong diriku.”
“Kau jangan mimpi” Seru Cian Pit Yuan dengan serius ambil
tertawa, “Tidak akan ada orang yang bisa sampai di sini apalagi di
dalam Bu-lim pada saat ini kecuali si kakek pemalas Kay Kong Beng
serta Wi Ci To dua orang tidak akan ada yang bisa menolong dirimu
dari tangan lohu.”
Ti Then segera melirik sekejap kearah Kwek Kwan San lantss dia
tersenyum.
“Hal ini sukar sekali untuk dijawab, kemuungkinan sekali cuma
seorang yang berkepandaian sangat biasa pun bisa menolong aku
meloloskan diri dari sini”
Agaknya Cian Pit Yuan pun teringat pula dengan muridnya, tidak
terasa lagi dia sudah menoleh kearah Kwek Kwan San ke atas
dengan wajah yang serius dan keren ujarnya:
“Kwan San, kau tidak akan mengkhianati suhumu bukan?”
Agaknya Kwek Kwan san tidak paham dengan kata-kata tersebut,
dia agak melengak.
“Tecu mana berani mengkhianati suhu,” ujarnya.
“Maksudku kau dilarang menolong bangsat cilik ini secara diam-
diam” ujar Cian Pit Yuan dengan serius.
“Tecu tidak berani”
“Hey bangsat cilik.” ujar Cian Pit Yuan kemudian sambil menoleh
kearah Ti Then dan tertawa dingin. “Lohu bilang satu ysa satu,
jikalau kau mau menyawab pertanyaan dari Lohu itu maka Lohu
segera akan melepaskan dirimu”
Agaknya Kwek Kwan San pun tidak tega melibat Ti Then
tersiksa, tiba-tiba dia nyeletuk, “Benar, Ti-heng, kedua pertanyaan
yang diajukan oleh suhuku agaknya tidak terlalu sukar untuk
menyawab kenapa kau tidak mau memberi jawabannya?”
“Lepaskan diriku terlebih dulu, setelah itu aku baru kasi
jawabannya”
“Tidak.” potong Cian Pit Yuan dengan ketus. “Kau jawab dulu
pertanyaanku kemudian lohu baru lepaskan dirimu.”
“Kalau begitu kita tidak usah berbicara lagi.”
“Bangsat cilik” teriak Cian Pit Yuan sambil mendengus dingin.
“Tulang badanmu sungguh-sungguh keras sekali.”
“Benar, sudah keras bau lagi.”
“Bagus, Lohu mau lihat kau bangsat cilik bisa bersabar sampai
seberapa lama,”
Ti Then pejamkan matanya tidak menyawab lagi.
Kepada Kwek Kwan San dengan cepat Cian Pit Yuan memberi
perintah.
“Kwan San, bawa dia ke dalam kamar!”
Kwek Kwan San menyahut dan membopong tubuh Ti Then
masuk ke dalam sebuah kamar tidur dan meletakkan badan Ti Then
di atas pembaringan kemudian dengan tanpa mengucapkan sepatah
kata pun dia mengundurkan diri dari tempat itu.
Kepada Cian Pit Yuan tanyanya dengan suara yang amat lirih.
“Suhu, apa kau orang tua benar-benar mau menawan dirinya
selama beberapa hari di sini.”
Cian Pit Yuan mengangguk, lalu menarik dirinya keluar dari
rumah tersebut.
“Kwan San,” ujarnya dengan suara yang amat rendah. “Di dalam
hati kecilmu tentunya kau merasa perbuatan dari suhumu ini salah
bukan?”
“Tecu tahu suhu amat benci terhadap dirinya,” sahut Kwek Kwan
San sambil menundukkan kepalanya. “Karena seperti apa yang
dikatakan agaknya telinga suhu sudah dilukai olehnya.”
“Dia memang sudah melukai telingaku sebelah kiri, tetapi aku
sama sekali tidak membenci dirinya. Karena ilmu silatnya memang
benar-benar bisa mengalahkan diriku, kini suhu menahan dirinya
sebetulnya ingin mengetahui asal-usul yang sebetulnya.”
“Dia bilang suhunya bermama Bu Beng Lojin.”
“Bukankah hal ini sama saja dengan tidak diberitahu?”
“Suhu, buat apa kau ingin mengetahui asal-usulnya?” tiba-tiba
Kwek Kwan San angkat kepalanya dan bertanya.
“Karena dia adalah satu-satunya pemuda aneh yang pernah aku
temui selama hidupku, tabun ini dia cuma berusia dua pulun
tahunan tetapi kepandaian silat yang dimiliki amat dahsyat dan
sempurna sekali sehingga sukar diukur.”
“Tadi dia sudah mendemonstrasikan ilmu pedangnya di hadapan
tecu, tecu rasa ilmu yang dimilikinya tidak lebih seimbang dengan
kepandaian silat yang dimiliki kau orang tua”
“Tidak,” jawab Cian Pit Yuan sambil gelengkan kepalanya.
“Kepandaian silatnya jauh lebih tinggi satu tingkat dari diriku,
beberapa bulan yang sewaktu aku pergi ke Benteng Pek Kiam Po
untuk menunutut balas saat itu dia mengaku sebagai pendekar
pedang hitam dari Benteng Pek Kiam Po tetapi setelah bertempur
ternyata aku sudah dikalahkan satu jurus dari dirinya, akhirnya aku
baru tahu kalau dia adalah Kiauwtauw dari Benteng Pek Kiam Po...”
Berbicara sampai di sini dengan perlahan dia menghela napas
panjang, sambungnya kemudian:
“Hal ini benar-benar merupakan satu peristiwa yang sama sekali
tidak terduga semula aku cuma tahu di dalam Bu-lim pada saat ini
kepandaian silat dari si kakek pemalas Kay Kong Beng adalah yang
paling tinggi kemudian Wi Ci To dan terakhir aku, tetapi kini
sesudah munculnya Ti Then ini dimana kepandaian silatnya tidak
berada di bawah aku orang bahkan kelihatannya jauh di atas Wi Ci
To membuat aku jadi berpikir, dia orang yang usianya masih
sedemikian mudanya sudah memiliki kepandaian silat yang demikian
sakti dan dahsyatnya apalagi kepandaian silat dari suhunya sudah
tentu jauh lebih lihay lagi”
“Kepandaian ilmu silat dari orang itu tentu jauh berada di atas
kepandaian silat dari si kakek pemalas Kay Kong Beng, sedangkan
pada berpuluh-puluh tahun ini agaknya di dalam Bu-lim sama sekali
tidak pernah terdengar adanya orang yang memiliki kepandaian silat
jauh melebihi kepandaian silat dari si kakek pemalas Kay Kong
Beng, maka itu aku ingin sekali mengetahui siapakah sebenarnya
suhunya itu”
“Sekarang dia tidak mau memberi jawaban atas pertanyaan yang
suhu ajukan, suhu pikir mau berbuat apa terhadap dirinya?” seru
Kwek Kwan San kemudian.
“Biar dia merasa lapar selama beberapa hari, pada saat itu dia
tentu akan berbicara dengan sendirinya”
“Kalau berbuat demikian rada tidak baik suhu kalau memangnya
tidak bermaksud membinasakan dirinya lebih baik kita cepat-cepat
lepaskan dirinya pergi saja, tidak urung di kemudian hari pun suhu
harus melepasksn juga dia orang. Aku kuatir sampai waktu itu
sampaidia bisa..”
“Kau tidak perlu kuatir, dia tidak akan bisa berbuat sesuatu
terhadap kita.” Potong Cian Pit Yuan dengan cepat.
“Tecu punya satu akal, kemungkinan sekali ada gunanya.
“Akal apa?” tanya Cian Pit Yuan sambil memperhatikan dirinya.
“Apa kemungkinan ini hari dia lewat di tempat ini sebetulnya
hendak pulang untuk bertemu dengan suhunya, nanti lebih baik
suhu lepaskan dia pergi saja kemudian secara diam-diam menguntit
dari belakang, kemungkinan sekali dengan berbuat demikian bisa
bertemu dengan suhunya.”
Mendengar perkataan itu air muka Cian Pit Yuan sedikit bergerak.
“Ehmm... memang satu cara yang amat bagus . .” serunya
kemudian.
Ketika Kwek Kwan San melihat agaknya suhunya mau menerima
usulnya tersebut dalam hati dia merasa sangat girang sekali.
“Bagaimana kalau tecu pergi membebaskan dirinya?” tanyanya
dengan cepat.
“Jangan keburu. biar aku pikir-pikir dulu.”
“Tecu rasa inilah satu cara yang paling bagus,” sambung Kwek
Kwan San lebih lanjut. “Dengan demikian kita bisa menyelidiki asal
usul perguruannya bisa pula menghindarkan diri dari bentrokan
secara langsung dengan dirinya.”
“Baiklah.” sahut Cian Pit Yuan kemudian sambil mengangguk.
“Tetapi kita bebaskan besok pagi saja, besok pagi aku akan
berpura-pura pergi meninggalkan rumah lalu kau secara diam-diam
melepaskan dirinya pergi, dengan berbuat demikian dia tentu tidak
akan menaruh curiga kepada kita.”
“Betul, baiklah kita kerjakan demikiau saja. Sekararg kau tidurlah
dulu aku mau pergi menyaga dirinya”
Selesai berkata dia segera putar badan memasuki kamar
tersebut.
Setelah masuk kamar dimana Ti Then disekap, ketika melihat Ti
Then terbaring di atas pembaringan dia segera menariknya dan
merebahkan ke atas tanah.
“Sungguh maaf” serunya sambil tertawa. “Di dalam rumah ini
cuma ada dua buah pembaringan saja, malam ini terpaksa kau
harus tidur di atas tanah tanpa alas.”
Ti Then segera tertawa dingin.
“Kau bermaksud semalam tidak tidur dan duduk di atas
pembaringan untuk menyaga diriku?” tanyanya.
“Benar,” jawab Cian Pit Yuan tersenyum kemudian naik ke atas
pembaringan dan duduk bersila, “Lohu tahu kau bisa mengerahkan
tenaga dalammu untuk membebaskan diri dari totokan jalan darah,
karena itu aku hendak korbankan tidak tidur satu malam untuk
setiap setengah jam sekali menotok kembali jalan darahmu.”
Tiba-tiba Ti Then tertawa terbahak-bahak.
“Haa .... haa cuma sayang perhitunganmu kali ini rada meleset,
karena aku cuma membutuhkan seperempat jam saja sudah bisa
mengerahkan tenaga dalam untuk membebaskan diri dari totokan.”
“Seperempat jam?” tanya Cian Pit Yuan sambil mendengus
dingin.
“Tidak salah, seperempat jam sudah cukup.”
“Di dalam Bu-lim pada saat ini sekali pun sikakek pemalas Kay
Kong Beng sendiri pun belum tentu bira membebaskan diri dari
totokon jalan darah hanya di dalam seperempat jam saja,
bagaimana kau orang bisa?”
“Kay Kong Beng tidak dapat tetapi aku bisa melakukanuny” sahut
Ti Then tertawa,
“Agakaja kau sudah kena totok selama seperempat jam bukan ?”
“Benar.”
Cian Pit Yuan segera tertawa terbahak-bahak.
“Kalau begitu kenapa sampai sekarang kau masih belum bisa
bergerak?” tanyanya mengejek.
“Siapa bilang aku belum dapat bergerak?"
Sewaktu Ti Then mengucapkan kata yang terakhir itulah
terdengar suara terputusnya tali yang mengikat badannya bergema
memenuhi seluruh ruangan.
Cian Pit Yuan jadi sangat terperanyat, dengan cepat bagaikan
kilat dia mcloncat turun dari atas pembaringan lalu sepasang telapak
tangannya bersama-sama didorong ke depan menghajar badan Ti
Then yang masih menggeletak di atas tanah itu.
Dengan cepat Ti Then meloncat bangun dari atas tanah
menghindarkan diri dari datangnya serangan gencar itu disusul
tubuhnya meloncat bangun, di tengah suara tertawanya yang amat
keras telapak tangannya segera melancarkan satu pukulan
menghajar pinggangnya.
Walau pun Cian Pit Yuan melakukan gerakannya dalam ksadaan
yang amat kritis tetapi dia sama sekali tidak gugup, melihat
serangannya mencapai pada sasaran yang kosong dengan cepat
kaki kanannya ditarik ke belakang, tubuhnya berputar setengah
lingkaran lalu dengan menggunakan telapak tangannya menangkis
datangnya serangan Ti Then yang amat dahsyat.
Ti Then ysng melihat serangan gsncarnya tidak mencspai pada
sasaran serangan yang kedua segera menyusul datang, telapak
kirinya dengan menggunakan jurus banteng menerjang langit
menyerang kening kanan musuhnya.
Dengan cspat Cian Pit Yuan menundukkan kepalanya
menghindarkan diri dari serangan tersebut kakinya dengan
gencarnya melancarkan tendangan kilat ke depan.
“Bangsat cilik!” bentaknya dengan keras. “Ayoh kita bertempur
diluaran saja”
Telapak kanan dari Ti Then segera dibabat ke bawah menyambut
datangnya tendangan kaki kirinya, segera tertawa.
“Di dalam kamar bukankah sama saja?” serunya mengejek.
Mendadak Cian Pit Yuan mengundurkan diri ke belakang hingga
punggungnya terbentur dengan tembok ruangan dengan mengambil
kesempatan itulah dia segera mengerahkan tenaga dalamnya
menghajar hancur tembok yang menghalangi perjalanannya itu.
“Braaak . . !” dengan disertai suara yang amat keras tembok itu
kena hajar satu lubang yang besar dengan cepatnya tubuhnya
melayang keluar dari kamar.
Bagaikan bayangan
belakangnya.
saja
Ti
Then
menguntit
terus
dari
“Hey Cian Pit Yuan, kau mau melarikan diri?” teriaknya sambil
tertawa keras.
“Baru saja dia selesai berkata mendadak dari samping tubuhnya
berkumandang datang suara seorang asing yang amat halus tapi
keren dan berwibawa sekali:
“Sudah .. sudahlah Ti Then, kau tidak usah membuang banyak
waktu lagi di tempat ini,” ujarnya.
Orang yang baru saja berbicara itu bukan lain adalah manusia
berkerudung itu.
Lelaki berkerudung berbaju biru itu jika didengar dari suaranya
serta dipandang dari perawakannya jelas merupakan seorang
pemuda yang baru berusia dua puluh tahunan, dia berdiri kurang
lebih tiga kaki di depan pintu rumah dengan pada tangan-kirinya
mengempit seseorang, Kwek Kwan San.
Entah dengan cara bagaimana Kwek Swan San sudah
dikuasainya, saat ini badan dengan amat lemasnya bergantungan di
atas tangannya dan sama sekali tidak kelihatan bergerak.
2 : Menyambung pedang patah
Cian Pit Yuan pun mendengar juga suara itu, sewaktu dilihatnya
manusia berkerudung itu mengempit muridnya sendiri untuk sesaat
lamanya dia dibuat teramat gusar sekali.
“Siapa kau?” teriaknya dengan keras.
Lelaki berkerudung itu segera tertawa ringan.
“Cian Pit Yuan” serunya. “Jika orang tidak terlalu ingin tahu
mungkin usiamu masih bisa diperpanjang beberapa tahun lagi”
Dengan cepat Cian Pit Yuan menoleh kearah diri Ti Then lantas
tanyanya dengan suara yang amat berat.
“Kalian berasal dari satu golongan?”
“Ooooh bukan. . . . bukan . . “ sahut manusia berkerudung itu
tertawa. “Cuma secara diam-diam aku sudah memasuki kamarmu
lantas membebaskan jalan darah yang tertotok dari Ti Then.”
“Haaa - - haahaa - . saudara sungguh keterlaluan” seru Ti Tben
dengan cepat.
“Ha ha . . . haaa , . “ mendengar suara dari Ti Then itu manusia
berkerudung tersebut segera tertawa terbahak, “Dikolong langit
pada saat ini masih belum ada orang yang bisa membebaskan dari
pengaruh totokan hanya di dalam waktu seperempat jam saja, kalau
mau berbohong jangan berlebihan.”
Cian Pit Yuan segera maju satu langkah mendekati manusia
berkerudung itu dengan wajah penuh perasaan gusar teriaknya lagi.
“Kalau kalian bukan berasal dari satu golongan kenapa secara
diam-diam membantu dia melepaskan totokan jalan darahnya? Lalu
kenapa kau pun menculik anak muridku?”
“Semuanya demi kebaikanmu sendiri,” sahut manusia
berkerudung itu sambil tertawa, “Aku tidak tega melihat kau
terbinasa di tangan Ti Then.”
“Kentut makmu” teriak Cian Pit Yuan dengan amat gusar.
Manusia berkerudung itu sama sekali tidak jadi marah oleh
makian tesrebut, kepsda diri Ti Then lantas ujarnya.
“Ti Then, kau boleh pergi.”
“Saudara hendak menyatuhkan hukuman yang bagaimana
terhadap guru bermurid itu?” tanya Ti Then sambil memperhatikan
diri manusia berkerudung itu.
”Soal ini kau tidak usah ikut campur.”
“Walau pun dia orang bukanlah seorang manusia baik-baik tetapi
muridnya Kwek Kwan San itu tidak jelek, cayhe berharap jangan
sampai melukai dirinya.”
“Aku menyanggupi untuk tidak melukai diri Kwek Kwan San, kau
boleh berlega hati.”
“Eeeh . . . aku boleh bertemu lagi dengan dirimu?”
“Kau barus tahu kita tidak ada keperluan untuk bertemu muka
kembali.”
Ti Then terpaksa angkat bahunya.
“Sebetulnya saudara apa dia orang?” tanyanya kemudian.
Yang dia maksud sebagai “Dia” sudah tentu adalah Majikan
patung emas itu.
Tadi, setelah manusia berkerudung itu membebaskan jalan darah
dari Ti Then dengan menggunakan kesempatan sewaktu Cian Pit
Yuan guru bermurid sedang bercakap-cakap diluar rumah, dengan
amat cepatnya Ti Tben sudsh bisa menduga kalau manusia
berkerudung berbaju biru ini tentulah manusia yang sudah dikirim
oleh majikan patung emas untuk mengawasi dan membuntuti
dirinya, karena majikan patung emas takut setelah dia mendapatkan
potongan pedang itu tidak mau cepat-cepat kembali ke dalam
benteng, karenanya dia lantas kirim orang untuk mengawasi seluruh
gerak geriknya.
Ternyata manusia berkerudung itu memang orang yang dikirim
oleh majikan patung emas, mendengar perkataan tersebut dia
segera manyawab:
“Soal ini kau tidak perlu tahu”
“Tentu kau ahli warisnya bukan?” seru Ti Then lagi aambil
tertawa.
“Perkataanmu sudah terlalu banyak,” seru manusia berkerudung
itu kurang senang.
“Aku ada satu perasaan, agaknya kita pernah bertemu disuatu
tempat.”
“Kau jangan omong sembarsngan”
“Sungguh,” sahut Ti Then sambil tertawa, “Walau pun saudara
berkerudung tetapi aku bisa merasakan dari sepasang matamu itu.”
“Sebetulnya kau orang mau pergi tidak?” teriak manusia
berkerudung dengan keras.
Ti Then angkat bahunya lantas masuk ke dalam rumah
mengambil buntalan serta pedangnya kemudian naik ke atas
punggung kuda Ang Shan Kheknya, sambil merangkap tangannya
memberi hormat kepada Cian Pit Yuan serunya tertawa:
”Hey Cian Pit Yuan, aku msu pergi dulu! Jikalau kau orang mau
membalas dendam atas terpotongnya telingamu pada tiga bulan
kemudian aku akan menanti kedatanganmu di dalam benteng Pek
Kiam Po.”
“Ada satu hari Lcohu pasti akan datang!” teriak Cian Pit Yuan
dengan amat gusar.
Ti Then segera menyentak tali les kudanya lalu melarikan
kudanya meninggalkan rumah tersebut untuk melanjutkan kembali
perjalanannya dengan mengikuti jalan gunung yang ada.
---ooo0dw0ooo---
Pada hari yang ketujuh belas sore Ti Then sudah berada di dalam
kota Hoa Yong Sian yang jaraknya tinggal beberapa ratus li dari
gunung Cun San.
Di dalam kota itu dia menginap satu malam dirumah penginapan
'Im Hok' untuk kemudian pada keesokan harinya setelah menitipkan
kudanya di rumah penginapan itu dia melanjutkan perjalanannya
dengan berjalan kaki.
Pada suatu magrib akhirnya dia sampai di atas gunung Cun San
tersebut.
Cun san, disebut juga sebagai gunung Siang san dengan luas
puncak tujuh li merupakan satu gunung yang amat indah sekali.
Di atas gunung kecuali ada kuil Siang te Bio serta kuil Cong Sin si
yang terletak di kaki gunung, pemandangan di atas jalan amat
indahnya, bahkan banyak kaum pelajar yang berpelancongan di
sana.
Hari itu Ti Then sudah tiba di depan pintu kuil Cong sin si di
bawah kaki gunung, ketika dilibatnya ada seorang hwesio sedaog
bersapu membersihkan rontokan dedaunan ia segera maju menjura.
“Lao suhu, permisi..” serunya.
Si hwesio tua itu dengan cepat meletakkan sa punya dan
merangkap tangannya memberi hormat.
“Siauw sicu ada petunjuk apa ?” tanyanya dengan halus.
“Aku dengar di atas gunung Cun san seorang Cu Kiam Lojin,
entah tahukah Lo-suhu dia tinggal di gunung yang sebelah mana ?”
tanya Ti Then cepat.
“Siauw-sicu mencari dia apa mau membuat pedang?”
“Benar.”
Si hwesio tua itu segera menuding kearah sebuah lembah yang
ada di depan kuilnya,
“Siauw-cu boleh naik ke atas gunung dengan mengikuti lembah
tersebut, dan carilah Liong Hauw Ji Tong, bilamana kau orang
berjodoh kemungkinan sekali bisa bertemu dengan Cu Kiam Lojin
itu.”
“Apakah Cu Kiam Lojin tinggal di dalam gua Liong Hauw Ji
Tong?”
“Benar” sahut hwesio tua itu mengangguk, “Ada kalanya dia
tinggal di dalam gua naga, ada kalanya juga tinggal didaiam gua
macan. tetapi sekali pun tahu dia ada di dalam gua belum tentu
kau bisa bertemu muka dengan amat mudah.”
“Kenapa ?” tanya Ti Then keheranan.
“Apakah Siauw sicu tidak tahu begaimana keadaan dari gunung
tersebut?” tanya si hwesio tua tertawa.
“Cayhe tidak tahu, harap Lo-suhu mau memberi petunjuk.”
“Gunung Cun san di atasnya tanah padahal tengahnya kosong,
dan ada berates-ratus ruangan mau
pun gua yang saling
berhubungan satu sama lainnya, Jikalau Cu Kiam lojin tidak
membuat pedang kebanyakan tinggal di salah satu ruangan diantara
beratus ruangan tersebut, maka itu mau mencari dia tidak terlalu
gampang.”
“Apa sungguh ada keadaan seperti itu?”
“Benar atau tidak siauw-sicu boleh pergi melihatnya sendiri
Jikalau siavw sicu tidak menemukan apa yang aku katakan maka
anggap saja perkataan dari pinceng adalah bohong tetapi kalau
slauw sicu menemui apa yang kukatakan sudah tentu sicu akan tahu
kalau perkataan dari pinceng bukanlah bohong.”
Mendengar perkataan tersabut Ti Then segera tersenyum.
“Baiklah, terima kasih atas petunjuk dari Losuhu, cayhe akan
segera mengadu untung”.
Selesai berkata dia segera merangkap tangannya memberi
hormat dan putar badan melanjutkan kembali perjalanannya.
Dengan mengikuti lembah gunung dia berjalan beberapa saat
lamanya, sehingga menemukan juga gua naga serta gua macan, dia
melakukan pemeriksaan beberapa saat lamanya disekeliling gua
tersebut akhirnya dia mengambil keputusan untuk memasuki gua
naga terlebih dahulu.
Tetapi pada saat dia sedang menggerakkan langkah mendadak
dari dalam gua berkumandang datang suara pembicaraan manusia,
dalam hati dia merasa amat terperanyat.
Dengan cepat tubuhnya mengundurkan diri ke belakang lantas
bersembunyi di balik sebuah batu besar di sekeliling tempat itu.
Wi Ci To sudah memberi pesan wanti-wanti kepadanya untuk
jangan sampai diketahui pihak lawan sewaktu hendak mencuri
potongan pedang dari Cuo It Sian maka itu begitu dia mendengar
ada suara pembicaraan manusia dengan cepat dia menduga salah
satu diantara mereka pastilah diri Cuo It Sian, karenanya dengan
cepat dia menyembunyikan dirinya.
Sebentar kemudian suara pembicaraan manusia semakin lama
semakin dekat, tampaklah dari dalam gua naga muncul dua orang
tua.
Salah satu diantara mereka adalah seorang kakek tua berjubah
kuning dengan wajah yang amat segar, rambut serta jenggot yang
berwarna putih memenuhi seluruh wajahnya.
Sedang orang yang terakhir bukan lain adalah Cuo It Sian itu si
pembesar kota.
Kakek tua berjubah kuning itu sudah tentu adalah Cu Kiam Lojin
Kan It Hong, dia dengan mengikuti Cuo It Sian si pembesar kota
berjalan keluar dari gua naga dan berhenti di depan pintu gua,
ujarnya sembari mendongakkan kepalanya memandang keadaan
cuaca.
“Hari sudah hampir gelap. Lebih baik Cuo heng bermalam satu
malaman saja di sini, lalu berangkat pulang pada keesokan harinya”
“Tidak” tolak Cuo It Sian dengan cepat, “Aku orang she Cuo
benar-benar punya urusan penting yang harus diselesaikan, aku
harus cepat-cepat pulang untuk membereskannya”
“Jikalau aku tahu setelah mengambil pedang Cu heng segera
mau pulang, Lolap seharusnya mengundurkan pembuatan pedang
itu beberapa hari kemudian.” seru Cu Kiam 1oojin sambil tertawa.
Cuo lt Sian yang mendengar perkataan tersebut segera tertawa.
“Ha..ha..Kan-heng tidak perlu menyesali, setelah lewat beberapa
hari aku orang she Cuo tentu akan datang lagi kemari untuk
bermain catur dengan diri Kan-heng”
“Lolap tinggal di sini benar-benar membuat aku merasa tersiksa
adalah dikarenakan tidak memperoleh lawan permainan catur yang
setangguh Cuo-heng, permainan catur yang paling tinggi di sekitar
tempat ini cumalah ketua kuil Siang hui bio, tetapi usianya sudah
amat lanjut pandangan matanya pun sudah tidak seberapa jelas lagi
dia tidak begitu suka main catur lagi.”
Dengan perlahan Cuo It Sian memperhatikan keadaan disekeliling
tempat itu terlebih duu, lantas dia tertawa lagi.
“Sudahlah, aku orang she-Cuo harus mengucapkan terima
kasihku kepada Kan-heng, karena sudah menolong aku
menyambungkan kembali pedang tersebut, bilamana di kemudian
hari ada waktu luang aku tentu akan datang mengganggu Kan-heng
lagi, sekarang silahkan Kan-heng kembali ke dalam gua”
Selesai berkala dia rnerangkap tangannya mengambil perpisahan.
“Bagaimana kalau lolap menghantar Cuo heng sampai di tengah
jalan?” ujar Cu Kiam Lojin.
“Aaah tidak berani. Iiih - . - Kan-heng, coba kau lihat, siapa yang
ada di belakangmu?”
Air muka Cu Kiam Lojin segera berubah sangat hebat, dengan
tergesa-gesa dia menoleh kearah dalam gua.
Dengan mengambil kesempatan itulah mendadak Cuo It Sian
melancarkan satu pukulan dahsyat yang dengan amat tepat sekali
menghajar batok kepala dari Cu Kiam Lojin itu, dikarenakan tenaga
pukulan yang disalurkan keluar amat dahsyat dan berat sekali
segera terdengarlah suara benturan yang amat keras sekali tanpa
berteriak sepatah kata pun tubuh Cu Kiam Lojin sudah rubuh ke
atas tanah dalam keadaan tidak bernyawa.
Ti Then yang bersembunyi di balik batu sewaktu melihat secara
tiba-tiba Cuo It Sian turun tangan membinasakan diri Cu Kiam Lojin,
untuk sesaat lamanya saking terperanyatnya hamper-hampir dia
menjerit keras.
Peristiwa ini benar-benar sangat mengejutkan sekali. sebetulnya
mereka berdua berbicara dengan baik-baik sedikit percek-cokan
pun tidak ada, sungguh tidak terkira ternyata Cuo It Sian bisa turun
tangan secara tiba-tiba membinasakan diri Cu Kiam Lojin.
“Kenapa dia mau membinasakan diri Cu Kiam Lojin? Apakah dia
orang mem punyai ikatan permusuhan sedalam lautan dengan diri
Cu Kiam Lojin?
Tidak, Bilamana dia orang mem punyai dendam sedalam lautan
dengan diri Cu Kiam Lojin dia orang tidak mungkin bisa pergi
mencari Cu Kiam lojin untuk membetulkan pedangnya yang patah.
Berbagai macam pikiran dengan amat cepatnya berkelebat
memenuhi benaknya, darah panas yang mengalir di dalam tubuh
terasa bergolak dengan amat kerasnya, saking terharunya atas
kejadian itu hamper-hampi dia meloncat keluar untuk
membinasakan diri Cuo It Sian. Tetapi akhirnya dia berhasil
menahan pergolakan di dalam hatinya itu, dia teringat bahwa untuk
membinasakan diri Cuo It Sian sebetulnya bukanlah satu peristiwa
yang amat sulit setiap saat setiap waktu dia masih bisa mencabut
nyawanya.
Sekarang persoalannya bilamana dirinya segera munculkan diri
dan turun tangan membinasakan dirinya walau
pun dapat
mmperoleh pedang pendek itu tetapi dia takut setelah kematian dari
dirinya maka pedang pendek itu akan kehilangan semacam daya
yang amat berharga.
Dia bisa mem punyai dugaan ini semuanya dikarenakan sewaktu
dilihatnya Cuo It Sian masih ada dalam Benteng Pek Kiam Po,
sebenarnya Wi Ci To mem punyai kesempatan yang sangat baik
untuk membinasakan diri Cuo It Sian, sedangkan waktu itu Wi Ci To
sama sekali tidak turun tangan bahkan akhirnya pernah memesan
wanti-wanti kepadanya untuk mencuri pedang tersebut sewaktu Cuo
It Sian tidak berada.
Walau pun dia tidak bisa memahami alasannya tetapi dia tahu
Wi Ci To berbuat demikian sudah tentu ada satu sebab-sebab
tertentu.
Karena itu dia mengambil keputusan untuk mengikuti pesan dari
Wi Ci To dan mencuri kembali pedang pendek itu kemudian setelah
menanti Wi Ci To mendapatkan hasil dari perbuatannya ini dia baru
turun tangan membinasakan si bajingan tua yang berhati licik dan
kejam dengan bersembunyi di balik kulit sebagai pendekar tua yang
bijaksana.
Karena itu walau pun dia merasa amat gusar melihat kematian
dari Cu Kiam Lo-jin di tangannya tetapi dia masih tetap bersembunyi
di balik batu dengan amat tenangnya.
Cuo It Sian yang berhasil dalam satu kali pukulan membinasakan
Cu Kiam Lo-jin pada wajahnya segeralah memperlihatkan satu
senyuman yang amat licik sekali, dengan cepat dia memutar balik
jenasah dari Cu Kiam Lojin lalu gumamnya seorang diri.
“Kan It Hong, sebenarnya diantara kau dan aku tidak mem
punyai dendam sakit hati apa pun,. sebetulnya Lolap tidaklah
seharusnya turun tangan membinasakan dirimu, tetapi untuk
melenyapkan saksi berbicara, Lolap mau tidak mau harus turun
tangan membinasakan dirimu juga untuk menutupi kesalahan ini,
aku akan membantu untuk menguburkan mayatmu sehingga
mayatmu tidak sampai berserakan tanpa terurus”
Selesai berkata dia menggendong mayat dari Cu Kiam Lojin dan
balik kembali ke dalam gua.
Kurang lebih setengah jam kemudian baru tampak dia berjalan
keluar lagi dari dalam gua naga, saat ini cuaca sudah sangat gelap.
Beberapa saat lamanya dia berdiri di depan mulut gua, lalu
dengan menggerakkan tubuhnya dia berkelebat menuju kearah
Barat.
Menanti setelah bayangannya lenyap dari pandangan Ti Then
baru muncullah dirinya dari balik batu besar dan menguntitnya dari
tempat kejauhan.
Setelah menuruni gunung Cun san, Cuo It Sian rnelanjutkan
kembali perjalanannya menuju kearah Barat, kurang lebih dia berlari
lagi sejauh lima puluh li dan sampailah disuatu tempat pegunungan
yang amat sunyi, waktu itulah dia baru berhenti.
Dengan perlahan dia menengok sekejap kesekeliling tempat itu
lantas baru duduk di bawah pohon dan menyeka keringat yang
mengucur keluar membasahi wajahnya, dari dalam saku dia
mengambil keluar sebilah pedang pendek dan dipermainkan
beberapa saat lamanya, akhirnya dia memasukkan kembali
pedangnya ke dalam sarung dan memejamkan matanya untuk
beristirahat.
Ti Then pun bersembunyi di balik semak-semak kurang lebih dua
puluh kaki dari tempat itu dan berjongkok tidak bergerak, sedang
dalam hati diam-diam pikirnya.
“Mungkin dia sudah lelah karena lari terlalu lama sehingga
sekarang harus beristirahat sebentar. ...”
Baru saja pikiran tersebut berkelebat melewati benaknya
mendadak dari atas tidak jauh dari Cuo It Sian tampak secara tiba-
tiba berkelebat datang satu bayangan hitam.
Melihat akan hal itu Ti Then merasakan hatinya agak tergetar,
pikirnya dalam hati:
“Hmm,.. kiranya dia sedang menantikan kedatangaa seseorang..”
Tetapi dugaannya ternyata salah.
Agaknya orang yang melakukan jalan malarn itu bukanlah orang
yang sedang dinantikan oleh Cuo It Sian, karena begitu Cuo It Sian
melihat orang yang melakukan jalan malam itu mendekati dirinya
dengan cepat dia meloncat bangun.
“Siapa?” tanyanya dengan suara yang amat berat.
Agaknya orang yang sedang melakukan perjalanan malam itu
merasa sangat terkejut sekali, dengan cepat dia menghentikan
langkah kakinya lalu menyilangkan telapak tangannya di depan
dadanya.
“Kau adalah . . , Aaaah bukankah kau orang tua adalah Cuo It
Sian Cuo Lo cianpwe si pembesar kota?” serunya terkejut.
Di bawah sorotan sinar rembulan dapat dilihat orang yang
melakukan perjalanan malam itu berumur empat puluh tahunan,
wajahnya gagah dan'merupakan seorang berusia pertengahan yang
mem punyai semangat tinggi.
Air muka Cuo It Sian kelihatan amat ragu-ragu sekali dengan
amat telitinya dia memperhatikan beberapa saat lamanya lelaki
berusia pertengahan itu.
“Kau siapa?” tanyanya kemudian sesudah memperhatikan orang
beberapa saat lamanya.
Sikap dari orang berusia pertengahan itu sangat menghormat
sekali, dia segera merangkap sepasang tagannya menjura.
“Boan pwe Cau Ci Beng. dengan gclar Sin Eng atau si elang
sakti.”
“Kau kenal dengan lolap ?” tanya Cuo It Sian lagi.
“Benar.” sahut si elang sakti Cau Ci Beng mengangguk, “Suhuku
adalah Thiat Kiam Ong atau si kakek pedang baja Nyio Sam Pak,
pada tiga tahun yang lalu bukankah Cuo Lo cianpwe pernah
membantu dia orang tua membebaskan diri dari satu bencana
kemudian Cuo locianpwe masih bertamu di dalam perkam pungan
Kiam San Cung kami dan waktu itu bpanpwe yang meladeni diri kau
orang tua”
“Tidak salah . ., tidak salah . .. “ seru Cuo It Sian jadi paham
kembali. “Sekarang lolap sudah teringat kembali, bagaimana
keadaan dari suhumu pada rnasa-masa ini?”
“Suhu di dalam keadaan selamat dan sehat.”
Cuo It Sian segera tersenyum.
“Lolap sudah amat lama sekali belum pernah bertemu dengan
suhumu,” ujarnya.
“Suhuku pun sering merindukan diri Cuo locianpwe.”
“Lolap sendiri juga tidak melupakan suhmu . . Coba kau lihat,
pedang pendek Biat Hun atau pembasmi sukma yang suhumu
hadiahkan kepada lolap tempo hari masih lolap simpan terus di
dalam sakuku.” ujar Cuo It Sian sambil tertawa.
Dia segera mengambil keluar pedang pendek itu dan digoyang-
goyangkan di hadapannya Cau Ci Beng lantas disimpan kembali ke
dalam sakunya.
Mendengar keterangan tersebut diam-diam Ti Then merasa
sangat terperanyat sekali, pikirnya.
“Kiranya pedang pendek itu adalah pedang hadiah dari si kakek
pedang baja Nyio Sam Pak “ Mengenai si kakek pedang baja Nyio
Sam Pak ini dahulu dia pernah mendengar orang bercerita katanya,
si kakek pedang baja ini merupakan orang jagoan pedang yang
sudah lama mengasingkan diri dari dalam kalangan dunia persilatan,
dalam ilmu pedangnya kecuali Wi Ci To yang bisa menandingi boleh
dikata jarang sekali menemui tandingannya, tetapi dikarenakan
usianya yang sudah lanjut maka beberapa tahun yang lalu dia sudah
cuci tangan terhadap urusan dunia ramai.
Sekali pun begitu anak murid yang diterima amatlah banyak
sekali, karenanya sekali
pun dia orang tua sudah lama
mengundurkan dirinya tetapi nama perkam pungan Thiat Kiam San
Cung masih sangat terkenal di dalam Bu-lim bahkan mendapat
sanjungan dan penghormatan dari orang lain.
Karena seperti Juga Wi Ci To, sikakek pedang baja ini pun
menerima murid dan mendidik anak muridnya untuk berbuat jujur
dan bersikap pendekar.
Saat ini sewaktu Si elang sakti Cau Ci Beng memperlihatkan
pedang hadiah dari suhunya itu ada air mukanya segera
memperlihatkan senyuman girangnya.
“Bilamana suhu dia orang tahu kalau Cuo locianpwe begitu
sayang terhadap pedang pendek Biat Hun ini tentu dia orang tua
sangat girang sekali, kenapa ditengah malam buta ini Locianpwe
berlari-lari di tempat luarau?”
“Pada malam tadi Lolap sedang mengejar seorang penyahat
pemetik bunga dari kota Gak Yang, tidak disangka sewaktu sampai
di sini sudah kena terlolos olehnya, karena itu aku lantas beristirahat
di sini sejenak.”
“Penyahat pemetik bunga yang mana?” tanya Cau Ci Beng
dengan serius.
“Dia mengerudungi wajahnya dengan menggunakan secarik kain,
karenanya lolap sama sekali tidak bisa tahu siapakah dia orang”
Dengan gemasnya Cau Ci Beng menghela napas panjang.
“Penyahat pemetik bunga yang ada di dalam Bu-lim memang
tidak sedikit jumlahnya, aku dengar itu "Giok Bin Lang Cu' Cu Hoay
Lo yang sudah berbuat banyak sekali kejahatan telah dibinasakan
oleh Ti Then itu Kiauw-tauw dari benteng Pek Kiam Po.”
000odwo000
“EHHMMM.Lolap pun mendengar orang berkata begitu, cuma
tidak tahu sungguh-sungguh atau cuma berita isapan jempol saja”
“Kemungkinan sekali bukan lain isapan jempol,” ujar Cau Ci Beng
sambil gelengkan kepalanya. “Belum lama boanpwe pernah bertemu
dengan seorang pendekar pedaug merah dari benteng Pek Kiam Po,
boanpwe dengar berita tersebut dari penlekar pedang merah itu.”
“Malam ini Cau Hian tit datang kemari sedang ada urusan apa?”
“Boanpwe mendapat perintah dari suhu untuk pergi ke gunung
Cun san untuk meminta sebilah pedang dari Cu Kiam Lojin”
Mendengar perkataan tersebut air muka Cuo It Sian rada sedikit
berubah.
“Eeeei...pergi mengambil sebilah pedang ?”
“Benar, suhu sudah memesan suruh Cu Kiam Lojin membuatkan
sebilah pedang dan hari ini sudah jadi, pada setahun yang lalu
sewaktu suhu berpesiar kedaerah Lam Huang secara tidak sengaja
dia orang tua sudah menemukan sebuah besi baja yang amat bagus
sekali, lantas dia menyerahkan besi itu kepada Cu Kiam Lojin untuk
membuatkan sebilah pedang, pada akhir-akhir ini dia orang tua
mengirim surat kepada suhu yan katanya pedang tersebut sudah
jadi, karenanya boanpwe sekarang diperintahkan untuk pergi
mengambilnya.”
“Oooh .... kiranya begitu.”
“Locianpwe kenal dengan Cu Kiam Lojin ini ?” tanya Cau Ci Beng
lagi.
“Kenal...” sahutnya mengangguk.
Cu Kiam Lojin berturut-turut sudah membuatkan empat bilah
pedang buat suhu dia orang, sekarang yang boanpwe bawa ini
adalah satu diantaranya.”
“Kan It Hong adalah seorang akhli yang berpengalaman di dalam
membikin pedang, setiap pedang yang dibuat oleh dia orang
pastilah merupakan sebilah pedang yang amat bagus sekali.”
“Benar,” jawab Cau Ci Beng mengangguk, “Boanpwe sudah
menggunakan pedang ini selama sepuluh tahun lamanya, sampai
sekarang pedang ini masih tetap tajam tanpa memperoleh sedikit
kerusakan apa pun”
“Lolap sekali pun ada jodoh pernah bertemu beberapa kali
dengan Kan It Hong tetapi pedang yang dibuat lolap sama sekali
belum pernah melihatnya, dapatkah Cau hiantit meminyamkan
pedang itu kepadaku sebentar?”
Cau Ci Beng segera mencabut keluar pedangnya lalu dengan
menggunakan sepasang tangannya diangsurkan ke depan.
Cuo It Sian segera menerima pedang itu dan memperhatikannya
di bawah sorotan sinar rembulan.
“Ehhh, ternyata memang sebilah pedang yang sangat bagus
sekali,” pujinya berulangkali, “Cau hiantit sudah membinasakan
berapa banyak orang dengan menggunakan pedang ini?”
3 : Kehilangan jejak Cuo It Sian
“Boanpwe sudah membinasakan puluhan orang, tetapi yang
perlu diterangkan, manusia-manusia yang boanpwe bunuh
kebanyakan adalah kaum penyahat yang sudah sering melakukan
pekerjaan-pekerjaan durhaka, dan selama ini belum pernah
membinasakan seorang manusia baik pun..”
“Sebaliknya Lolap pernah membinasakan seorang manusia
baik...” seru Cuo It Sian sambil membelai pedang tersebut dan
menghela napas pendek.
“Ooh...benar?” seru Cau Ci Beng melengak.
“Benar, Lolap terang-terangan tahu kalau dia adalah seorang
manusia baik, tetapi mau tidak mau aku harus membinasakan
dirinya.”
“Lalu kenapa?”
Cuo It Sian tidak menyawab, dengan pandangan mata yang
melongo dia memperhatikan pedang yang ada di tangannya
kemudian baru angkat kepalanya dan bertanya.
“Kali ini Cau hian-tit melakukan perjalanan seorang diri ?”
“Benar” sahut Cau Ci Beng mengangguk, “Boanpwe dengan
seorang kawan sudah berjanyi untuk bertemu kembali beberapa
hari yang akan datang di kota Hoa Yong Sian, karena takut tidak
sampai kecandak waktunya maka terpaksa boanpwe melakukan
perjalanan dengan siang malam, aku punya perhitungan setelah
terang tanah nanti boanpwe sudah bisa tiba di atas gunung Cun
san”
Dengan perlahan Cuo It Sian mengangguk.
“Kalau memangnya demikian, Cau Hian-tit
melakukan perjalanan,” ujarnya kemudian.
cepat-cepatlah
Selesai berkata pedang panjang yang ada ditangannya mendadak
ditusuk ke depan menghajar ulu hati dari Cau Ci Beng.
Cau Ci Beng lantas berteriak ngeri dengan amat menyayatkan
hati. sepasang tanganya mencekal kencang-kencang pedang
panjang itu sedang air mukanya memperlihatkan rasa kaget yang
bukan alang kepalang, sambil melotot kearah Cuo It Sian serunya
gemetar:
“Lo . . . Locianpwe kenapa . . . ke napa . .!”
Bicara sampai di sini dia tidak kuat untuk bertahan lebih lama
lagi, tubuhnya rubuh ke atas tanah dan menemui ajalnya seketika
itu juga.
Cuo It Sian segera menghela napas panjang.
“Kenapa aku membinasakan dirimu?” serunya dengan terharu.
“Hei...alasannya karena sewaktu kau tiba di gua naga di atas
gunung Cun San kemungkinan sekali bisa menemukan tempat
terkuburnya Kan It Hang dan dari penemuan mayat dari Kan It
Hong yang terbunuh oleh orang lain jika dihubungkan dengan
penemuan mala mini dengan lolap bukankah kau orang bisa timbul
rasa curiga. Lain kali mungkin kau bisa menceritakan kisah ini
kepada orang lain dan orang pastilah akan menaruh curiga kalau
Kan It Hong adalah lolap yang turun tangan membinasakannya.”
Dengan perlahan dia menggelengkan kepalanya lantas menghela
napas panjang lagi.
“Kesemuanya ini adalah alasan lolap kenapa terpaksa aku harus
turut membinasakan dirimu. bagaimana kau mati tidak meram
sukmamu pergi mencari Wi Ci To untuk membalas dendam ini
karena dialah yang memaksa lolap harus melakuka jalanan ini.”
Selesai berkata dia segera memungut kembali pedangnya dan
mulai menggali tanah untuk mengubur mayat dari Cau Ci Beng.
Ti Then yang melihat kejadian itu di dalam hati benar-benar
merasa sangat terkejut bercampur gusar, makinya diam-diam:
“Bajingan tua, kau patut menemui kematianmu, kau sudah
membinasakan orang kini malah mengalihkan dosanya kepada
orang lain”
Terhadap kematian dari Cau Ci Beng ini ia merasa amat menyesal
sekali, karena sewaktu dia mendengar perkataan yang terakhir dari
Cuo lt Sian tadi secara samar-samar dia sudah merasakan kalau Cuo
It Sian bermaksud hendak melenyapkan saksi hidup.
Pada waktu itusebetulnya dia mem punyai kesempatan untuk
kirim suara memberi peringatan kepada diri Cau Ci Beng, tetapi
dikarenakan dia belum benar-benar yakin kalau Cuo It Sian benar
mau turun tangan membinasakan Cau Ci Beng di samping dia pun
memikirkan perintah yang dibebankan kepadanya maka membuat
dalam hatinya sedikit ragu-ragu sewaktu keadaan sangat kepepet
itulah untuk memberi peringatan sudah tidak sempat lagi skhingga
tidak berhasil menolong nyawa dari Cau Ci Beng.
Diam-diam dia menggigit kencang bibirnya, dalam hati pikirnya:
“Pokoknya ada satu hari aku tentu akan mengumumkan seluruh
kejahatan dari kau bajingan tua di hadapan orang-orang Bu-lim
kemudian menghancurkan badanmu sehingga berkeping-keping.”
Agaknya Cuo It Sian sendiri
pun takut I kalau sampai
diketemukan oleh orang lain, gerak-geriknya amat cepat dan tidak
selang kemudian dia sudah berhasil menggali liang yang amat besar
dan memasukkan mayat Cau Ci Beng ke dalam liang tersebut
kemudian menutupnya kembali dengan tanah, semuanya telah
selesai dia baru putar badannya melarikan diri ke sebelah Barat.
Ti Then tetap menguntitnya dari arah belakang. Dia tidak berani
terlalu dekat dengan dirinya.
Ketika sang surya muncul kembali di ufuk sebelah timur Cuo It
Sian sudah tiba di kota Hoa Yong Sian.
Ti Then segera mengikuti masuk ke dalam kota tersebut, ketika
dilihatnya Cuo It Sian sembari berjalan di tengahi jalan kepalanya
menengok ke kanan menengok ke kiri dia segera tahu kalau dirinya
sedang mencari rumah penginapan, teringat kuda Ang Shan Khek
nya masih dititipkan dipenginapan Im Hok tidak terasa diam-diam
doanya:
“Lebih baik jangan dibiarkan dia masuk ke rumah penginapan Im
Hok tersebut, kalau tidak aku akan menemui kesukaran untuk turun
tangan.”
Dia mem punyai rencana untuk meminyam keempatan sewaktu
Cuo It Sian menginap di rumah penginapan dia segera berusaha
untuk mencuri pedang pendek tersebut.
Sebaliknya di rumah penginapan Im Hok sudah ada nama serta
kudanya yang tertinggal di sana, karenanya dia tak ingin Cuo It Sian
masuk ke dalam rumah penginapan Im Hok itu sehingga membuat
urusan selanjutnya jadi berantakan.
Akhirnya rasa kuatir itu lenyap juga dari benaknya.
Cuo It Sian menginap di sebuah rumah pemginapan kecil dengan
nama Ban Seng.
Ti Then segera tahu dia sengaja mencari sebuah penginapan
kecil karena takut sampai ditemui oleh orang-orang yang dia kenal,
bersamaan pula dia tahu tentunya dia sedang melakukan siasat
siang mendekam malam bergerak paling sedikitnya dia akan
mendekam di penginapan Ban Seng itu seharian lamanya.
Segera dia mengambiI satu siasat pula. Dia segera membeli
seperangkat sepatu dan pakaian baru kemudian dengan
menggunakan beberapa macam barang untuk mengubah wajahnya
sete!ah itu baru berjalan ke luar kota dan mencari sebuah tempat
yang sunyi untuk mulai menyamar.
Terhadap ilmu mengubah wajah dia mem punyai satu
pengalaman yang cukup sempurna, tidak lama kemudian dia sudah
berhasil menyamar sebagai seorang pedagang pertengahan.
Setelah menyembunyikan sepatu, pakaian serta pedangnya dia
baru berjalan kembali lagi ke dalam kota.
Setelah memasuki kota dia langsung menuju kerumah
penginapan Ban Seng, ketika dilihatnya ada beberapa orang tamu
sedang membayar rekening siap meninggalkan tempat tersebut dia
segera menanti di samping,
Tidak lama kemudian terlihatlah seorang pelayan maju memberi
hormat kepadanya: “Khek-koan.. kau . .”
“Mau mencari kamar,” sahut Ti Then dengan cepat.
“Baik . . . baik.” sahut si pelayan sambil membungkukkan
badannya, silahkan Khek koan mengikuti hamba.”
Selesai berkata dia segera putar kepalanya berjalan masuk ke
dalam.
“Apa tidak perlu tinggalkan nama?”
“Tidak usah. . : tidak usah, silahkan kau orang beristirahat dulu
ke dalam kamar, nanti baru....”
“Tidak” potong Ti Then dengan cepat, “Aku mau menulis namaku
terlebih dulu, nanti sore ada kemungkinan seorang teman akan
kemari mencari aku”
“Kalau begitu silahkan ikuti hamba pergi ke sana” sahut pelayan
itu sambil menghentikan langkah kakinya.
Dia memimpin Ti Then menuju ke kamar kasir dan mengambil
sebuah kitab untuk kemudian membukanya pada halaman yang
terakhir menyilahkan Ti Then menulis namanya.
Tidak salah lagi pada nama tamu yang terakhir dia menemukan
tinta bak yang masih belum kering benar, tetapi nama yang ditulis
bukannya ‘Cuo It Sian’ tiga kata melainkan Cu Khei Kui.
Ti Then yang tidak menemukan nama ‘Cuo It Sian’ diantara
nama-nama tersebut dia segera menuding ke atas nama Cu Khei Kui
tersebut.
“Nama orang ini sungguh berarti sekali”
“Benar” sahut sang pelayan sambil tertawa. “Nama ini adalah
nama dari seorang tamu yang baru saja menginap di rumah
penginapan kami.”
Ti Then segera menulis namanya dengan sebutan Ciau Cuang di
belakang nama Cu
Khei Kui tadi sambil meletakkan kembali pitnya ke atas meja dia
berkata sambil tertawa.
“Aku adalah seorang pedagang, dan paling suka membicarakan
soal rejeki atau sial, nama orang ini adalah Khei Kui, tolong beri aku
satu kamar yang persis disarnpingnya saja, biar aku
kecipratan rejeki.”
pun ikut
“Boleh.. boleh, tetapi tetamu tua itu baru mau tidur, dia berpesan
kepada hamba untuk jangan membangunkan dia, maka . ...”
“Aku pun hendak pergi tidur sebentar “ potong Ti Then dingan
cepatnya. “Aku tidak akan membangunkan dirinya”.
“Kalau begitu bagus sekali. Khek koan kau ingin makan?” tanya
pelayan itu kemudian dengan cepat.
“Baiklah, ambilkan beberapa macam sayur dan bawa ke dalam
kamarku”
Demikianlah si pelayan itu segera memimpin dia masuk ke dalam
rumah penginapan dan membuka pintu kamar tepat di samping
kamar dari Cu Khei Kui dan membiarkan Ti Then masuk, kemudian
mempersiapkan makanannya.
Ti Then segera masuk ke dalam dia segera mepetkan badannya
dengan tembok untuk mendengarkan suara yang ada di sampingnya
dengan penuh perhatian,
Dia cuma mendengar suara napas yang agak keras dari Cu Khei
Kui itu, dia tentu pihak lawan sudah tertidur dengan amat pulasnya,
segera dia pun mengundurkan diri ke samping pembaringan dan
mulai memikirkan cara-cara untuk mencuri pedang pendek itu.
Tidak lama kemudian si pelayan sudah menghidangkan sarapan
pagi.
“Khek koan,” serunya. “Makanan pagimu sudah datang.”
“Baik,” sahut Ti Then sengaja mengganti nada ucapannya.
“Setelan makan aku pun mau tidur, kau tidak perlu melayani aku
lagi.”
Dengan amat hormatnya pelayan itu menyahut. setelah
meletakkan sarapan itu di atas meja dia segera mengundurkan
dirinya.
Setelah bersantap pagi Ti Then pun membaringkan badannya ke
atas tempat pembaringan melanjutkan pemikirannya cara-cara
untuk mencuri pedang tersebut.
Akhirnya dia memperoleh dua cara :
Pertama, sewaktu Cuo It Sian ada urusan dan meninggalkan
kamarnya.
Dan kedua, Sewaktu dia berganti pakaian atau sedang mandi.
Tetapi kedua buah cara itu baru bisa dilakukan menanti setelah
dia sadar kembali dari pulasnya, tetapi kapan dia baru sadar kembali
dari pulasnya?
“Ehmm, dia baru saja tertidur sudah tentu paling cepat siang
nanti baru bangun, lebih baik kini dirinya pun tidur sebentar.
Berpikir sampai di sini dia tidak melanjutkan kembali
pemikirannya, segera dia memejamkan matanya dan tertidur
dengan nyenyaknya.
Siapa tahu baru saja dia tertidur tidak lama, mendadak dari luar
kamar berkumandang datang suara yang amat ramai sekali.
Terdengar si pelayan itu dengan suara yang cemas sedang
berteriak:
“Eei . ,. . eei nona, kau sedang berbuat apa?”
Disambung dengan suara yang amat merdu dan nyaring dari
seorang gadis memberi jawabannya:
“Nonamu sedang cari orang”
“Kau sedang cari siapa?”
“Kau tidak usah ikut campur”
“Nona, kau...kau..menuntun anying itu, tentunya bukan sedang
perintah dia untuk menggigit orang bukan?”
“Bukan!”
“Lalu.. kenapa kau menuntun anying itu datang kemari?”
“Tadi aku sudah bilang aku sedang mmencari orang, apa
telingamu sudah tuli?”
“Tetapi...tetapi...”
“Kalau kau banyak bicara lagi nonamu segera akan perintah Cian
Li Yen ini untuk menggigit dirimu terlebih dulu”
Ti Then yang mendengar disebutnya nama ‘Cian Li Yen’ tiga buah
kata tidak terasa lagi menjadi sangat terkejut sekali, dengan gugup
tubuhnya meloncat bangun kemudian serunya di dalam hati:
“Aduh . . celaka, bagaimana dia bisa sampai di sini?”
Pada saat dia ingin membuka pintu kamar itulah mendadak dari
pintu kamar sebelah luar terdengar suara gonggongan anying
sangat ramai sekali, kemudian disusul suara dari Wi Lian In berkata:
“Cian Li Yen, apa tidak salah kamar ini?”
Sekali lagi anying itu menggonggong dengan amat kerasnya
bersamaan pula terdengar suara kuku anying yang mulai mencakar
pintu kamar.
Diam-diam Ti Then menghela napas panjang, pikirnya:
“Habis..habis sudah. Cuo It Sian yang ada di kamar sebelah
sesudah mendengar suara itu tentu akan kabur”
Dia takut Wi Lian In berteriak memanggil namanya terpaksa dia
segera maju ke depan membuka pintu kamar.
“Ada permainan setan apa? Siapa yang sudah membawa seekor
anying gila mengganggu orang?” teriaknya dengan gusar.
Wi Lian In yang berdiri di depan pintu di dalam anggapannya
orang yang ada di dalam kamar sudah tentu adalah diri Ti Then,
ketika dilihatnya orang yang ada di depan matanya sekarang bukan
lain adalah seorang lelaki berusia pertengahan dengan memelihara
jenggot pendek pada janggutnya seketika itu juga dia melengak.
“Kau siapa?” serunya dengan air muka yang sudah memerah.
“Cayhe Ciau Cuang” sahut Ti Then dengan nada suara yang
sengaja diperberat, “Nona ada keperluan apa datang mencari
cayhe?”
Untuk beberapa saat lamanya Wi Lian In dibuat kelabakan juga
dengan paksa dia menarik anying ‘Cian Li Yen’-nya.
“Maaf, maaf aku sudah salah mencari orang,”serunya kikuk.
“Sungguh membingungkan, hmmm..” seru Ti Then sambil
mendengus perlahan.
Selesai berkata dia hendak menutup pintu kamarnya kembali.
Siapa sangka si anying ‘Cian Li Yen’ itu tidak mau mengakui
kesalahannya, melihat Ti Then hendak menutup pintu dengan cepat
tubuhnya kembali menubruk ke depan dan menggonggong dengan
ramainya kearah diri Ti Then.
Dengan sekuat tenaga Wi Lian In segera menarik anyingnya ke
belakang,
“Binatang jahanam !” makinya dengan gusar. “Matamu betul-
betul sudah buta”
Si anying ‘Cian Li Yen’ itu tetap tidak mau mengaku salah,
kakinya diangkat ke atas dan tak henti-hentinya menggonggong
dengan menghadap diri Ti Then.
Si pelayan yang ada di samping sewaktu melihat kejadian ini dia
jadi semakin keras lagi, teriaknya berulang kali.
“Coba kau lihat, aku tadi Tanya kau mencari siapa kau orang
tidak mau menyawab, sekarang anyingmu sudah membangunkan
tetamu kita semua sungguh kurang ajar..sungguh kurang ajar
sekali”
“Cepat, tarik dia keluar” teriak Ti Then pula sambil mengulapkan
tangannya, “Kalau tidak jangan salahkan aku segera akan pukul
anying itu dengan menggunakan tongkat”
Wi Lian In menganggukkan kepalanya berulangkali lantas dengan
sekuat tenaga menarik anying Cian Li Yen-nya untuk mengundurkan
diri dari situ.
“Ayoh jalan...ayoh jalan,” bentaknya dengan keras, “Kau anying
goblok, anying konyol tunggu saja pembalasanku sekembalinya dari
sini”
Pada saat itulah dari pintu kamar Cu Khei Kui yang ada di
samping kamar Ti Then terbuka dengan perlahan disusul bergema
datangnya suara seorang kakek tua.”
“Ada urusan apa yang begitu ramai dan ributnya?”
“Aduh, habislah..” batin Ti Then diam-diam dia merasa hatinya
berdebar dengan amat keras.
Dia berpendapat bahwa ketika Cuo It Sian berjalan keluar dari
kamarnya dan melihat Wi Lian In seorang diri ada di sana, dia tentu
akan menawan diri Wi Lian In, pada saat itu dirinya harus turun
tangan memberi bantuan dengan begitu bukankah ‘penyamaran’-
nya akan jadi berantakan?
Atau dengan perkataan lain, seluruh usahanya yang susah payah
ini hancur berantakan sampai di sini.
Tetapi sewaktu dia orang sedang menghela napas panjang
dikarenakan kejadian inilah mendadak dia dibuat tertegun sesudah
melihat wajah dari Cu Khei Kui itu.
Kiranya Cu Khei Kui yang baru saja keluar dari kamar itu
bukanlah si pembesar kota Cuo It Sian melainkan adalah seorang
kakek tua yang berperawakan kurus sekali.
Dengan mata terbelalak mulut melongo Ti Then memperhatikan
kakek tua itu tajam-tajam untuk beberapa saat lamanya dia tidak
dapat mengucapkan sepatah kata pun. Ia selalu menganggap Cu
Khei Kui itu adalah adalah diri Cuo It Sian, siapa tahu dugaannya
ternyata adalah salah besar, kesalahannya kali ini benar-benar amat
lihay sekali.
Kalau memangnya Cu Khei Kui ini bukanlah Cuo It Sian, lalu Cuo
It Sian yang sebsnarnya tinggal di kamar sebelah mana?
Begitu pikiran tersebut berkelebat di dalam benaknya, ketika
dilihatnya Wi Lian In sudah hendak meninggalkan halaman rumah
penginapan tersebut dia segera berteriak dengan keras:
“Nona, tunggu sebentar!”
Sembari berteriak dia mengejar ke depan dengan langkah yang
cepat.
“Ada urusan apa?” tanya Wi Lian In setelah mendengar
perkataan tersebut, dia berhenti dan putar badannya.
“Cayhe sekarang sudah jadi paham kembali bukankah nona
sedang menggunakan penciuman anying ini sedang mencari
seseorang?”
Sskali pun perkataanmu itu sedikit
orang mau apa?” Seru Wi Lian In ketus.
pun tidak salah lalu kau
“Anying nona itu sudah mencari sampai di sepan kamar cayhe
kemungkinan sekali tidak salah orang yang sedang nona cari ada
kemungkinan pernah tinggal di dalam kamarku itu.”
“Ehmmm.... kemungkinan sekali memang demikian” Seru Wi Lian
In.
Mendadak Ti Then memperendah suaranya, ujarnya dengan
cepat:
“Aku adalah Ti Then, kau pergilah dulu sebentar kemudian aku
akan menyusul datang.”
Berbicara sampai di sini dia segera memperkeras suaranya.
“Kenapa nona tidak pergi ke tempat pemilik rumah penginapan
ini untuk memeriksa daftar nama tetamu? Kemungkinan sekali dari
sana bisa ditemukan kembali.”
Wi Lian In agak melengak dibuatnya, tetapi sebentar kemudian
dia sudah mengangguk berulang kali.
“Tidak salah...tidak salah” serunya dengan cepat, “Biarlah aku
periksa sebentar”
Selesai berkata dengan terburu-buru dia menarik anying Cian Li
Yen-nya untuk berlalu dari sana.
Setelah melihat bayangan dari Wi Lian In lenyap dari pandangan
Ti Then baru tertawa, putar badan dan ujarnya sambil gelengkan
kepalanya berulang kali.
“Nona ini sungguh amat lucu sekali...”
Si pelayan itu segera menjura berulang di depan Ti Then serta Cu
Khei Kui.
“Maaf..maaf, sudah mengganggu kalian, maaf..” serunya sambil
tertawa paksa.
Cu Khei Kui tidak menyawab, dia putar badan berjalan masuk
kembali ke dalam kamarnya dan menutup pintu kembali.
Sedangkan Ti Then segera menarik tangan si pelayan itu ke
samping.
“Aku mau bertanya kepadamu,” ujarnya dengan suara yang amat
lirih sekali, “Pagi ini orang yang memasuki rumah penginapanmu
kecuali aku beserta si kakek tua she Cu itu masih ada siapa lagi?”
“Sudah tidak ada lagi,” sahut pelayan itu sambil gelengkan
kepalanya.
“Sungguh?” tanya Ti Then keheranan.
“Sungguh,” sahutnya mengangguk.
“Tetapi kurang lebih dua jam sebelum aku memasuki rumah
penginapanmu ini agaknya aku pernah melihat seorang kakek tua
berjubah hijau memasuki rumah penginapan ini, kakek tua berjubah
hijau itu mem punyai perawakan tinggi besar.”
“Betul, betul..” sambung pelayan itu dengan cepat, “Memang
pernah ada seorang kakek tua berjalan memasuki rumah
penginapan kita ini, tetapi dia tidak menginap di sini.”
“Kenapa?”
“Siapa yang tahu?” sahut pelayan itu sambil merentangkan
tangannya ke samping.
“Semula dia
punya rencana untuk tinggal di sini selama
beberapa hari lamanya tetapi setelah bersantap pagi mendadak dia
bilang ada urusan penting yang harus diselesaikan, dengan terburu-
buru dia membayar rekening lantas meninggalkan tempat ini.”
“Kalau begitu dia pernah masuk ke dalam kamar?”
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar