perkataannya, namun dia pura-pura bodoh, tanyanya: "Majikanmu
itu, apakah si Malaikat perempuan?"
"Bukankah Siauhiap sudah tahu, kok tanya lagi .......”
"Kudengar orang memanggilnya Siancu ......."
"Ya, julukan Hujin adalah ..........”
"Kenapa tidak kau lanjutkan?"
Sedikit berobah rona muka Liu Gim-gim seakan-akan sadar kata-
katanya terlalu semberono, disadarinya bahwa dirinya telah berbuat
salah dan menyerempet bahaya, namun toh dia tetap memberi
jawaban, karena pikirannya sekarang sudah dirasuk perasaan lain
dari seorang anak perawan yang baru mekar, kesadarannya sudah
tenggelam dikuasai oleh asmara. "Dia bergelar Hun-tiong-siancu,"
demikian disambungnya.
"O, Hun-tiong-siancu (dewi dalam mega), memang dia setimpal
mendapatkan julukan ini. Apakah dia cantik?"
18.52. Keluar Dari Kurungan Jala Sutera
"Sukar dicari bandingannya, dia amat cantik. Dan bagaimana
dengan hamba?"
"Kaupun ayu, terutama gerak gerikmu teramat anggun."
"Hamba hanya seorang pesuruh, mana berani mendapat pujian
Siauhiap."
Geli hati Ji Bun, agaknya nona ini sudah pusing tujuh keliling
karena mabuk kepayang terhadap dirinya, namun kalau sandiwara
ini dilanjutkan, persoalan pokok pasti akan segera disinggung. Maka
dia lalu bicara blak-blakan: "Apakah nona ada maksud memberi
bantuan kepada Cayhe?"
"Wah, terus terang hamba tidak berani mempertaruhkan jiwa
raga sendiri, tapi ........”
"Tapi kenapa?"
"Hatiku tidak tega melihat engkau menderita."
"Aku tahu. Sebetulnya nona ingin membantu, namun ada
syaratnya bukan?"
Liu Gim-gim terkikik sambil menutup mulut, matanya melirik
penuh arti, katanya sedikit kikuk: "Ji-siauhiap memang lebih cerdik
daripada orang lain, terus terang hamba tak berani mengajukan
syarat segala, cuma .... cuma tujuanku ......"
“Apa tujuanmu?"
Jengah wajah Liu Gim-gim, katanya dengan malu-malu kucing:
"Hamba hanya seorang pelayan rendah, kurela menyerahkan jiwa
ragaku demi Siauhiap." Biji matanya yang jeli menatap penuh
harapan ke arah Ji Bun.
Memang Ji Bun sudah menduga apa yang terkandung dalam
benak cewek ini, maka dia tidak kaget atau heran, katanya tawar:
"Apakah ini syaratnya?”
"Terserah kepada Siauhiap."
"Lalu bagaimana aku harus menepati syaratmu ini?"
"Bersumpah kepada langit dan bumi bahwa engkau akan
mengawiniku dan menjadi suami istri sampai hari tua, segera hamba
akan berusaba menolong Siauhiap."
Ji Bun tertegun, berusaha lolos adalah keinginan dan harapan
yang mendesak bagi Ji Bun. Untuk lolos dia boleh menggunakan
cara keji atau muslihat kotor apapun, peduli cara keji apa yang akan
dia laksanakan. Bagi seorang insan persilatan yang betul-betul
berjiwa ksatria jelas pantang ingkar janji. Lalu mungkinkah dia
menikah dengan perempuan jalang seperti Liu Gim-gim ini? Tidak
mungkin, namun kesempatan sebaik ini, mana boleh diabaikan
demikian saja. Kalau Hun-tiong Siancu ada di kandang, umpama
nyali Liu Gim-gim setinggi langit juga takkan berani berbuat senekat
ini, maka lama sekali Ji Bun tak membuka suara.
"Hamba tahu Siauhiap pasti tidak sudi sama sekali mengawini aku
yang rendah ini ........"
Agak kusut pikiran Ji Bun, tak tahu bagaimana dia harus
menjawab, katanya sesaat kemudian: "Biarlah kupikirkan dulu, ini
urusan besar, demi masa depan."
Liu Gim-gim celingukan, lalu katanya gugup: "Ji-koko, waktu
tidak memberi kesempatan untuk bimbang hati, kalau Hujin keburu
pulang, segala harapan akan sirna."
Merinding sekujur badan Ji Bun mendengar orang memanggil "Ji-
koko" kepadanya, hatipun muak, sebetulnya dia bisa berbuat apa
saja terhadap perempuan genit ini. Namun Ji Bun tidak sudi berbuat
kotor demi kebersihan nama baik sendiri, maka dia berkata pula:
"Berilah satu jam untuk kupikirkan, bagaimana?"
"Wah ..... baiklah, satu jam kemudian aku kemari lagi," sembari
bicara Liu Gim-gim ulurkan tangan ke dalam lubang hendak
mengukuti perabot, lengannya tampak putih halus, jari-jarinya
runcing. Melihat lengan orang, suatu pikiran berkelebat dalam benak
Ji Bun, batinnya: "Memberi kelonggaran kepada musuh berarti
berlaku kejam terhadap diri sendiri." Maka dengan segera dia
berkeputusan, dengan senyum lebar tiba-tiba dia membungkuk
sambil mengelus lengan orang.
Semula Liu Gim-gim kaget dan secara refleks hendak menarik
tangannya, namun dia urungkan niatnya, tangannya dibiarkan
dipegang dan dielus-elus, katanya cekikikan senang: "Ji-koko, kau
sudah berubah pikiran dan mantap?"
Tiba-tiba Ji Bun bersikap dingin, katanya dengan suara berat:
"Kau tahu apa julukanku?"
Liu Gim-gim tertegun, jawabnya: "Te-gak Suseng."
Ji Bun lepas pegangannya, suaranya lebih dingin: "Bagus,
kuharap kau tidak melupakan nama gelaranku ini."
Lenyap tingkah genit Liu Gim-gim tadi, katanya mengerut kening
penuh keheranan: "Apa maksudmu?”
"Ketahuilah, bahwa aku ini bukanlah manusia yang mudah dipelet
dan dipermainkan. Sekarang buka jaringan ini."
Liu Gim-gim menyurut mundur, suaranya gemetar: "Kau belum
menerima syaratku .........”
"Aku tidak berminat sama sekali."
"Kenapa aku harus membebaskan kau?"
"Untuk menolong jiwamu sendiri. Sudah kupoles racun yang jahat
pada lenganmu, tiada orang yang bisa menawarkan racun itu, dalam
jangka seperempat jam, nona secantik dirimu bakal melayang
jiwanya. Kalau kamu mau membuka jaringan ini, aku berjanji akan
menolongmu."
Pucat wajah Liu Gim-gim, dia mundur lagi, teriaknya beringas
menuding Ji Bun: "Kau sungguh kejam ........"
"Sesuai dengan nama gelaranku, memang aku bukan orang baik-
baik."
"Ji Bun, kalau aku mati, memangnya kau bisa hidup?"
"Itu persoalan lain."
Berkerutuk gigi Liu Gim-gim, serunya. "Dalam jangka seperempat
jam, aku sudah cukup berlebihan untuk menghancur leburkan
tubuhmu."
"Kau berani? Boleh coba."
Sekilas Liu Gim-gim melengong, mendadak dia putar tubuh,
tangannya meraih cakar naga yang menjadi hiasan ukiran di atas
saka di serambi sana.
Mencelos hati Ji Bun, sungguh tak pernah dibayangkan bahwa
gadis ini berani nekat, cakar naga itu pasti kunci rahasia untuk
memutar suatu alat senjata yang ganas. Dirinya terkurung di sini
hakikatnya tak mampu mencegah perbuatan orang. Kalau benar
dirinya sampai berkorban di tangan budak jalang ini, sungguh
matipun takkan meram.
Jari-jari Liu Gim-gim sudah pegang cakar naga, desisnya
mengancam: "Ji Bun, jangan kau menyesal!''
Seperti dibakar hati Ji Bun, namun lahirnya dia tetap tenang-
tenang, katanya angkuh: "Aku tidak pernah merasa menyesal."
"Baik, akan kutonton cara bagaimana kau meregang jiwa."
"Liu Gim-gim," pada detik-detik yang menentukan itu, tiba-tiba
sebuah bentakan berkumandang dari serambi luar sana, "besar
sekali nyalimu!"
Tahu-tahu seorang nyonya baju hitam setengah baya sudah
muncul di depan kamar, kereng wajah nyonya ini, sorot matanya
menyala mengawasi Liu Gim-gim. Seperti berhadapan dengan
dedemit, Liu Gim-gim tampak ketakutan, beruntun dia mundur
sampai mepet pintu dan berada di depan jaring.
"Budak keparat," damprat nyonya baju hitam bengis, “apa yang
hendak kau lakukan?"
Suara Liu Gim-gim penasaran: "Aku .... aku .... terkena
racunnya."
Nyonya baju hitam melirik ke arah Ji Bun, katanya: "Kau tahu dia
tawanan penting Hujin? Kalau kau membunuhnya dengan Kang-niu-
tin, akibat apa yang akan terjadi?”
"Tapi, jiwa hamba tinggal beberapa detik lagi ........”
"Tutup mulutmu, tiada anak buah Siancu yang sebejat dirimu,
berani kau berkhianat terhadap Siancu, hendak melakukan
perbuatan kotor lagi, kau sendiri harus menerima ganjarannya. Hayo
berlutut.”
Liu Gim-gim bertekuk lutut, mulutnya sesambatan: "Congkoan,
ampunilah akan kesalahanku yang pertama kali ini."
"Undang-undang yang di tegakkan oleh Li-sin, biarpun Siancu
sendiri juga tidak berani mengubahnya, tutup mulutmu."
Seperti kertas air muka Liu Gim-gim, badannya gemetar.
Congkoan, nyonya baju hitam itu, mendekati jaring, katanya: "Ji
Bun, kuharap kau memberi obat penawarnya."
“Kenapa? "
"Dia akan mendapat hukuman sesuai peraturan disini."
"Siapa nama yang mulia?"
"Sun Hoan-ji, menjabat Congkoan di sini."
Sejak digembleng dengan ajaran ilmu tingkat tinggi Ban-tok-bun,
cara menggunakan racun sudah terlalu mahir bagi Ji Bun. Dikala
mengelus tangan Liu Gim-gim tadi dia sudah mengeluarkan racun
penghancur jantung, namun kini dia dapat mengendalikan racun itu
supaya bekerja pada waktu-waktu tertentu dan dapat
diperhitungkan sesuai dengan keadaan. Kalau setengah tahun yang
lalu, siapa saja yang kesentuh tangan kirinya pasti mampus seketika.
Sekarang sekujur badannya boleh dikatakan berlepotan racun,
namun racun dalam tubuhnya hanya bisa mencelakai jiwa orang
kalau dikehendakinya sendiri. Hari ini pertama kali dia gunakan ilmu
tingkat tinggi yang baru dipelajarinya itu, soalnya juga karena
terpaksa. Apalagi gerak geriknya selalu terkendali oleh larangan
perguruan yang tidak boleh sembarangan membunuh, yang benar
dia sendiri juga tidak ingin mengambil jiwa Liu Gim-gim. Oleh karena
itu dia berkata keras: “Nona Liu coba ulurkan kemari tanganmu."
"Untuk apa?" tanya Liu Gim-gim menoleh.
"Menawarkan racun dalam tubuhmu."
"Tidak mau."
"Kenapa?”
"Akhirnya aku juga mati, biar aku mati di tanganmu saja."
"Memangnya kau bisa berbuat sesukamu di sini?" damprat Sun
Hoan-ji, sekali lompat dia jinjing tubuh Liu Gim-gim dan tangannya
dimasukkan ke dalam lubang.
Mata mendelik dan gigi berkerutuk, namun Liu Gim-gim tidak bisa
meronta, dia tidak berani melawan. Lekas Ji Bun pegang
pergelangan tangan orang, diam-diam dia kerahkan tenaga murni
menyedot kadar racun di badan orang, dengan cepat dia lepas
tangan lagi, katanya: "Sudah selesai."
Cara menawarkan racun yang aneh luar biasa ini, selama hidup
belum pernah Nyonya baju hitam mendengar atau menyaksikan,
sesaat dia berdiri melongo.
Pada saat itulah, dari bawah loteng sana tiba-tiba berkumandang
suara hardikan dan berdentingnya suara senjata, agaknya terjadi
baku hantam yang ramai di bawah sana. Berubah air muka nyonya
baju hitam, sekali berkelebat dia bawa Liu Gim-gim pergi.
Ji Bun merasa kaget, siapakah yang berani mencari setori di atas
puncak ini? Suara gaduh pertempuran berkumandang di sana sini,
pekik teriakan kesakitan juga saling susul, agaknya korban sudah
mulai berjatuhan. Dari suara baku hantam yang gaduh ini, terang
tidak sedikit orang yang tengah bertempur.
Tiba-tiba sesosok bayangan orang meluncur naik ke atas loteng,
secepat kilat menubruk kebilangan kanan, namun cepat sekali berlari
keluar pula dan menyusup ke arah kiri. Agaknya dia sedang mencari
apa-apa, menggeremet di depan kamar tempat Ji Bun dikurung,
melihat jaring besar ini, seketika mulutnya bersuara terjepit.
Ji Bun berjingkrak mendengar suara orang, keruan senangnya
bukan main, lekas dia berteriak: "Toako, aku ada di sini."
Yang datang kiranya Ui Bing, kini dia menyamar sebagai seorang
Busu baju hitam, kalau tadi dia tidak bersuara pasti Ji Bun tidak
mengenalnya.
Ui Bing mendekati jaring, serunya: "Hiante, kau masih sehat?
Sudah lima hari, kuduga kau sudah tiada, apakah yang terjadi?"
"Aku terkurung oleh jaring ulat ini. Siapakah yang berhantam di
luar itu?”
"Jago-jago Ngo-hong-kau, jumlahnya 50-an, aku mencampurkan
diri di antara mereka, baru berhasil menyelundup kemari."
"Tangga batu yang sempit berbahaya itu tak kuasa menghalangi
mereka?"
Setelah mengorbankan 12 jagonya baru Ngo-hong-kau dapat
menjebol penjagaan itu.”
"Kedua makhluk yang berjaga itu?"
"Sudah tentu mampus. Biar kucari alat pembukanya dulu."
Habis berkata, tangan meraba dan menendang, dengan teliti dia
mencari tombol untuk membuka jaringan ini Sebagai murid Biau-jiu
Siansing, maling sakti nomor wahid di seluruh jagat, sudah tentu Ui
Bing cukup ahli juga dalam hal alat-alat rahasia.
"Awas!" tiba-tiba Ji Bun berseru memperingatkan, sejalur angin
kencang tiba-tiba menerjang ke arah Ui Bing, penyerangnya adalah
seorang gadis baju hijau, munculnya begitu mendadak, namun Ui
Bing berjuluk Sian-tian-khek, gerak geriknya tentu cukup tangkas.
Tapi kalau dibandingkan lawannya dia masih kalah, beruntun dicecar
tiga kali tabasan pedang, sehingga Ui Bing melompat mundur
kewalahan, keadaannya sangat berbahaya. Dalam sepuluh jurus,
jelas Ui Bing tidak akan lolos dari rangsakan pedang si gadis.
Ji Bun gelisah, tangan diulur keluar jaring, dengan tenaga
selentikan jari dia menyerang lawan dengan kekuatan murninya.
"Trak", kepala naga yang ada di saka, tiba-tiba protol dan terlempar
jauh.
"Rebahlah," berbareng si gadis menghardik, di tengah
kumandang suaranya, pundak Ui Bing kontan berdarah, tubuhnya
sempoyongan. Gerakan pedang si gadis tidak berhenti, tahu-tahu
ujungnya mengancam ulu hati Ui Bing, sebat sekali Ui Bing berusaha
melompat, namun gerak geriknya selalu dibayangi oleh ujung
pedang sigadis, agaknya dia sukar terhindar dari bahaya.
Untunglah bertepatan dengan protolnya kepala naga itu, tiba-tiba
jaring besar yang mengurung Ji Bun tiba-tiba menggulung sendiri
keatas. Keruan bukan kepalang girang Ji Bun, selentikan jari tadi
sebetulnya menyerang si gadis, namun gerakan si gadis teramat
gesit, malah sebaliknya kepala naga ini yang terkena selentikan
tenaga jarinya dan mengenai alat rahasia yang tepat sehingga
membebaskan diri sendiri.
"Huuuaaah!" di tengah teriakan yang mengerikan, tampak gadis
baju hitam itu roboh tersungkur roboh binasa.
"Hiante, kau ...." seperti melihat suatu keajaiban, tiba-tiba Ui Bing
berteriak.
"Secara kebetulan, mimpi juga aku tidak menduganya," ujar Ji
Bun sambil menuding ke arah saka. "Bagaimana keadaan Toako?"
"Luka-luka luar saja, tidak jadi soal," lekas-lekas dia keluarkan
obat, menelan pil serta membubuhi puyer pada luka-lukanya.
Suara baku hantam masih gaduh di luar, namun semakin
mendekati bangunan loteng. Menyala sinar mata Ji Bun, serunya
penuh murka :"Akan kucuci tempat ini dengan darah."
"Jangan!" lekas Ui Bing mencegah.
"Kenapa?"
"Kau mau membantu Ngo-hong-kau? Sebagai seorang Busu,
memangnya kau hendak mengail di air keruh?"
Sejenak Ji Bun ragu-ragu, katanya: "Apa harus tinggal pergi
begini saja?"
"Kalau pihak tuan rumah tiada bala bantuan, pihak Ngo-hong-kau
pasti berhasil menguasai keadaan di sini.”
Tatkala mereka bicara, tiba-tiba sesosok bayangan orang melesat
ke atas loteng. Kiranya seorang pemuda baju sutera, tangan
menenteng pedang sekujur badan berlepotan darah. Begitu berdiri
tegak segera dia menuding Ui Bing seraya membentak: "Kenapa
tidak turun tangan?" agaknya dia kira Ui Bing sebagai anak buah
Ngo-hong-kau.
Ji Bun melirik sekitarnya, lalu menyambut dengan suara dingin:
"Selamat bertemu!"
Pemuda baju sutera adalah salah satu Ngo-hong-su-cia yang
pernah bentrok di luar kota Bik-seng tempo hari, temannya sudah
mati di tangan Ji Bun. Berhadapan dengan pemuda ini mau tak mau
Ji Bun lantas ingat pada kekasihnya, Thian-thay-mo-ki, nafsunya
seketika memuncak tak terkendali lagi.
Begitu berhadapan dan melihat jelas musuh dihadapannya,
seketika berobah roman pemuda baju sutera, cepat dia putar badan
hendak melarikan diri. Sebat sekali Ji Bun berkelebat mencegat,
desisnya: "Kau harus mampus!" kontan dia menyerang dengan Tok-
jiu-it-sek.
Lekas Ngo-hong-su-cia melintangkan pedang terus membabat,
namun sebelum gerak pedangnya dikembangkan, tiba-tiba mulutnya
menjerit keras terus terjungkal roboh.
Ji Bun tidak hiraukan mati hidup orang, segera dia melayang
turun sambil berseru: "Toako, hayo keluar."
Ui Bing segera melejit turun pula di belakangnya.
Mayat sudah bergelimpangan di bawah loteng, ada laki-laki ada
perempuan, yang perempuan adalah anak murid Hun-tiong Siancu,
di mana-mana orang masih baku hantam dengan sengit, suara
gaduh masih menguasai keadaan. Sekilas Ji Bun memandang,
dilihatnya perempuan baju hitam yang menamakan diri Congkoan
Sun Hoan-ji tengah bergebrak melawan seorang tua baju sutera.
Dari cara tempur dan tipu-tipu yang dilontarkan, jelas mereka
merupakan lawan setanding yang berkepandaian paling tinggi di
antara kelompok lain. Namun setiap kelompok yang lagi bertahan,
semuanya bertempur sengit dan seru, nekat mengadu jiwa.
Ui Bing segera menuding laki-laki tua baju sutera itu, katanya:
"Itulah pimpinan orang-orang Ngo-hong-kau."
Ji Bun manggut, sebuah hardikan berkumandang dari arah kiri,
tampak seorang gadis baju hijau tersungkur roboh binasa oleh
tabasan pedang seorang laki-laki baju sutera, agaknya laki-laki ini
masih belum puas, meski lawannya sudah mampus, tapi dia masih
memburu maju, baju si gadis diiris sobek sehingga dada si gadis
terbuka lebar. Perbuatan yang kotor dan rendah serta hina ini
membuat Ji Bun naik pitam, sekali lompat dia menubruk ke sana,
belum lagi laki-laki baju sutera itu melihat jelas siapa yang
menyerang dirinya, tahu-tahu kepalanya sudah pecah terhantam
oleh Ji Bun.
Entah siapa tiba-tiba berteriak ketakutan: "Te-gak Suseng!"
Teriakan ini sungguh menimbulkan pengaruh besar, semua orang
yang lagi bertempur segera berhenti dan berlompatan mundur.
Ji Bun segera menuju ke arah laki-laki tua baju sutera, di mana
tangannya bekerja musuh pasti bergelimpangan, sejauh lima tombak
dia melangkah, pihak Ngo-hong-kau roboh tujuh orang. Cepat orang
tua baju sutera melancarkan tiga kali pukulan mendesak mundur
perempuan baju hitam, lalu menubruk ke arah Ji Bun.
Melihat Ji Bun tiba-tiba muncul, tapi orang-orang Ngo-hong-kau
yang dipukulnya binasa, keruan perempuan baju hitam berdiri
melongo kaget.
Sementara itu Ji Bun telah menyongsong kedatangan laki-laki tua
baju sutera, tanpa bicara dia lontarkan jurus Tok-jiu-it-sek. Ternyata
kepandaian lawan teramat tinggi, gerakannya tangkas, mundurnya
juga tidak kalah sebatnya, hanya sedikit bergoyang tahu-tahu dia
sudah meluputkan diri dari serangan Ji Bun yang mematikan, belum
lagi gerakan Ji Bun berubah, pedang panjang orang sudah
menyerang laksana samberan kilat. Mau tidak mau Ji Bun terdesak
mundur dua langkah, disaat mundur itu sekaligus iapun menabas
dengan telapak tangan yang dilandasi sepenuh tenaganya.
Dahsyat sekali pukulannya, gerakan pedang si orang tua sampai
tersampuk miring, gerakkannya menjadi sedikit lamban, pada detik
inilah jurus kedua Ji Bun sudah menyerang tiba.
Tapi pada waktu yang sama Ji Bun juga merasakan angin dingin
hawa pedang tengah mengincarnya dari belakang. Dari samberan
anginnya, Ji Bun tahu si penyerang adalah seorang ahli pedang yang
berkepandaian tinggi. Didesak keadaan, terpaksa Ji Bun menggeser
tubuh ke samping, karena gerakannya ini, dengan sendirinya
kekuatan serangan jurus kedua menjadi berkurang, namun Tok-jiu-
ji-sek memang bukan main lihaynya, tak urung laki-laki tua baju
sutera mengerang kesakitan dan sempoyongan beberapa tindak.
Ji Bun melirik ke belakang, seketika mulutnya berteriak kaget,
mata seketika menjadi gelap, hampir saja dia terjungkal roboh.
Orang yang membokongnya dengan pedang ternyata adalah paman
Ciang.
Untuk menyembuhkan tangan kirinya yang beracun, Ciang Wi-bin
pergi ke danau setan di Cong-lam-san mencarikan obat, tak terkira
tiba-tiba muncul di sini, lebih tidak pernah terpikir bahwa beliau
sudah menjadi anak buah Ngo-hong-kau serta tega menyerang
dirinya.
“Kenapa orang sendiri dan musuh sama ingin membunuh diriku?
Kenapa sahabat ayah yang selalu dihormati ini tega membunuh
diriku. Sungguh Ji Bun tidak habis mengerti. Hatinya sakit seperti
ditusuk sembilu.
Disebelah sana Ui Bing juga berteriak kaget dan girang pula.
Ciang Wi-bin berkata: "Ji Bun, tidak pantas kau membantu
musuh."
Megap-megap mulut Ji Bun, sekian lama baru keluar suaranya:
"Aku ...... membantu musuh?"
Ciang-Wi-bin membentak: “Apa kau lupa, Wi-to-hwe adalah
musuh besarmu?"
"Paman ........”
"Jangan banyak bicara, sekarang bereskan orang-orang Wi-to-
hwe."
Tiba-tiba Ui Bing berteriak: "Dia bukan Ciang Wi-bin, dia palsu."
Ji Bun tersentak sadar, mulutnya menggerung sekeras-kerasnya,
dengan sengit segera dia layangkan kepalannya. Sementara itu
perempuan baju hitam telah melawan laki-laki tua baju sutera yang
sudah terluka itu.
Permainan pedang orang yang memalsu Ciang Wi-bin ternyata
cukup lihay, walau Ji Bun menyerang dengan sengit, namun dia
tetap bertahan ketat malah balas menyerang setiap ada
kesempatan. Hawa pedang yang dimainkan bisa merobek badan
orang, sinar pedangnya laksana jala yang berlapis-lapis, rapat dan
ketat. Tujuh delapan gebrak telah lewat namun keduanya masih
setanding.
18.53. Rahasia Ngo-hong Kaucu
Tiba-tiba sebuah jeritan keras menyayat hati membarengi si
orang tua baju sutera roboh terkapar. Laki-laki yang memalsu Ciang
Wi-bin segera memberi aba-aba: "Mundur!"
Karena memecah perhatian memberi perintah ini, Ji Bun
memperoleh kesempatan, Tok-jiu-sam-sek laksana kilat cepatnya
dilancarkan, sebetulnya Ji Bun belum berani melancarkan serangan
ganas dari Giam-ong-yan-khek ini, namun besar niatnya hendak
merobohkan lawan yang satu ini maka tanpa banyak pikir segera dia
lancarkan serangan yang mematikan ini.
Ciang Wi-bin palsu kontan roboh binasa. Anak buah Ngo-hong-
kau serempak berlarian menuju ke tangga hendak meloloskan diri ke
bawah puncak, suasana menjadi gaduh dan panik.
Ji Bun berteriak sambil menuding mayat di sampingnya ke arah
Ui Bing: "Toako, lihatlah wajah aslinya!"
Akhiri kata-katanya itu tubuhnya sudah melambung tinggi
meluncur ke arah undakan batu. Rasa bencinya sudah memuncak,
sengaja dia tidak mau membiarkan seorangpun anak buah Ngo-
hong-kau lolos. Maka di tengah udara secepat angin lesus dia
berputar terus meluncur turun ke tempat di mana semula kedua
makhluk tua itu berada. Begitu dia membalik tubuh, kebetulan anak
buah Ngo-hong-kau yang lari paling depanpun tiba, kontan dia
kebutkan lengannya, dua jeritan memecah keheningan udara,
bayangan orang satu persatu terjungkal roboh binasa. Laksana
membabat rumput saja Ji Bun binasakan semua anak buah Ngo-
hong-kau yang lari dikejar anak buah San-lim-li-sin. Hanya sekejap
saja pertempuran telah berakhir, darah berceceran di mana-mana,
mayat bergelimpangan.
Sebagai Congkoan, segera perempuan baju hitam Sun Hoan-ji
perintahkan anak buahnya membersihkan darah dan menggotong
pergi mayat-mayat yang bergelimpangan. Langsung dia
menghampiri Ji Bun, katanya sungguh-sungguh: "Kami mewakili
Hujin menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada
Siauhiap yang telah membantu kami."
"Tidak usah," ujar Ji Bun dingin, "aku tak sengaja membantu
kalian."
Berubah air muka perempuan baju hitam, tanyanya: "Cara
bagaimana kau bisa lolos?”
"Kukira tak perlu aku menjelaskan."
Ui Bing mendatangi dengan langkah lebar.
"Toako," tanya Ji Bun, "siapakah yang memalsu paman Ciang?"
"Belum pernah kenal, yang terang dia adalah jagoan Ngo-hong-
kau."
"Apa maksud mereka menyamar jadi paman Ciang?"
"Marilah kita turun dulu, nanti kujelaskan."
"Sulit dikatakan, mungkin ingin memfitnah, supaya pihak Wi-to-
hwe mencari perhitungan kepada beliau, atau mungkin ada muslihat
lain."
"Darimana Toako tahu kalau dia palsu dan samaran."
"Marilah kita turun dulu, nanti kujelaskan."
"Sun-congkoan," kata Ji Bun, "tidak lama kami akan bertemu lagi,
dikala aku kemari, keadaan akan melebihi hari ini."
"Silakan saja," sahut Sun-congkoan.
Ji Bun berdua segera turun dari undakan, ternyata orang-orang
yang bersembah sujud dibawah bukit sudah tidak kelihatan lagi
bayangannya. Maka sambil berjalan Ui Bing lalu memberi
penjelasan: "Pertama, paman Ciang pergi ke danau setan, tak
mungkin muncul secara mendadak di sini. Kedua, suara dan
permainan silatnya jauh berbeda. Ketiga, baru saja paman Ciang
dirampok habis-habisan, tidak mungkin dia mau menyerah kepada
musuh."
"Betul, kenapa aku mudah dikelabui, sebetulnya aku sudah
menduga sebelumnya," lalu Ji Bun menceriterakan pengalamannya
kenapa sampai dirinya terkurung.
Tatkala itu mereka sudah tiba di bawah gunung, Ui Bing
perlambat langkah, kakinya, katanya: "Hiante, bagaimana kalau
sekarang kita menuju ke danau setan untuk mencari jejak paman
Ciang?"
Berkata Ji Bun dengan serius: "Tidak, Siaute ingin, pergi ke
markas Ngo-hong-kau lebih dulu."
"Kau sudah tahu di mana letak markas pusatnya?”
"Ya, berada di belakang puncak Siong-san, dari sini jaraknya
tidak terlalu jauh."
Ui Bing berpikir sebentar, lalu katanya: "Baiklah, mari kita
berangkat."
"Tidak, kita harus bekerja secara terpencar, kuharap Toako
berusaha menemukan gurumu, karena banyak persoalan yang ingin
kumohon petunjuknya, setelah kubereskan urusan di Ngo-hong-kau,
baru .......”
“Watak guruku aneh, kecuali dia yang mencarimu, kemanapun
kau mencarinya pasti takkan ketemu."
"Mohon Toako suka berusaha menemukan beliau?"
"Hiante kira kepandaianku rendah dan takkan bisa bekerja, serta
merupakan beban belaka bagimu?"
"Bukan begitu maksudku," jawab Ji Bun. Yang betul Ji Bun tidak
ingin Ui Bing ikut menyerempet bahaya, tujuan ke Ngo-hong-kau tak
ubahnya memasuki rawa naga dan sarang harimau, jago-jago sllat
Ngo-hong-kau amat banyak, seorang Duta saja, Ui Bing bukan
tandingannya. Apalagi dari keterangan Kiang Giok sebelum ajal,
kemungkinan sekali Ngo-hong Kaucu adalah murid murtad
perguruannya, kalau Ui Bing mendampinginya, terlalu sukar untuk
menyelesaikan pembersihan perguruan ini. Namun dia kehilangan
kata-kata untuk mencegah ikutnya Ui Bing, alisnya bertaut, lama dia
berpikir mencari akal.
Sebagai kawakan Kangouw, jalan pikiran Ui Bing cukup teliti dan
terbuka, melihat sikap Ji Bun yang serba salah ini, terpaksa dia ubah
sikap: "Apakah Hiante ada kesulitan yang bisa diutarakan?”
Apa boleh buat Ji Bun manggut-manggut, ujarnya: "Memang
benar.“
"Baiklah, aku tidak jadi ikut, lalu di mana selanjutnya kita
bertemu?"
"Di kota Jip-ciu, bagaimana?”
"Baik!" keduanya terus berjalan di lereng pegunungan, menjelang
magrib baru mereka keluar dari gunung, di depan mengadang
persimpangan jalan. Kata Ui Bing sambil pegang tangan Ji Bun:
“Hiante kita harus berpisah, jagalah dirimu dalam sepuluh hari
bertemu lagi di kota Jip-ciu."
o0o
Siong-san, di mana Siau-lim-pay yang merupakan simbul
kebesaran kaum persilatan berada, walau beberapa tahun
belakangan ini, kebesaran dan kecemerlangannya agak pudar,
namun kejayaannya tetap tidak pernah runtuh.
Bagian belakang gunung nan dalam dan jauh sana, jarang diinjak
manusia, gunung gemunung sambung menyambung seperti gajah
beriring, jurang berlapis, puncak bertingkat, keadaan di sini penuh
hutan belukar dan liar.
Tengah hari itu, tatkala kabut di atas gunung sirna dibuyarkan
oleh panasnya matahari, tampak seorang pemuda pelajar berjubah
hijau tengah berlenggang dengan langkah ringan berlari-lari, di
pegunungan yang penuh belukar itu. Dia bukan lain adalah Ji Bun
yang dirundung niat menyala untuk menolong ibu dan kekasihnya.
Sang waktu berjalan tanpa terasa, matahari tahu-tahu sudah
doyong ke barat, Ji Bun sudah mengobrak-abrik pegunungan seluas
puluhan li, namun tetap tidak menemukan tanda-tanda yang
mencurigakan. Jangankan orang Ngo-hong-kau, seorang penebang
kayupun tidak ditemukan. Hari hampir sore, kabut mulai timbul lagi,
namun hasil usahanya tetap nihil. Kini dia berdiri di atas sebuah
puncak tinggi, hatinya kecewa dan putus asa. Kalau benar Ngo-
hong-kau mendirikan markas di sini, sedikit banyak pasti ada
jejaknya, apakah keterangan Kiang Giok dapat dipercaya? Dia mulai
sangsi.
Mendadak bayangan seorang laksana setan melayang keluar dari
hutan yang lebat sana. Kuping dan mata Ji Bun cukup tajam, segera
dia merasakan kedatangan orang. Waktu dia putar tubuh, dilihatnya
lima tombak di sebelah sana berdiri seorang pemuda baju sutera,
dari dandanan orang dia yakin bahwa orang ini pasti salah seorang
Duta Ngo-hong-kau, penemuan ini seketika mengobarkan
semangatnya, terhitung sukseslah perjalanannya kali ini.
Pemuda baju sutera buka suara lebih dulu: "Te-gak Suseng,
untuk apa kau kemari?"
Ji Bun melompat maju ke depan orang, katanya: "Kau ini Ngo-
hong-su-cia? Aku hendak ketemu dengan Kaucu kalian."
"Ya, untuk apa kau hendak bertemu dengan Kaucu kami? Yang
terang Kaucu tidak ingin menemuimu?"
"Apa maksudmu?"
"Aku diperintahkan kemari untuk menyampaikan berita padamu."
Diam-diam terkesiap hati Ji Bun, kiranya perjalanan dirinya
kemari sudah diketahui pihak lawan. "Menyampaikan berita apa?"
tanyanya.
"Ibu dan kekasihmu Thian-thay-mo-ki mendapat pelayanan yang
baik sekali."
Bersinar pandangan Ji Bun. "Masih ada apa lagi?”
"Kaucu mengajukan satu syarat sebagai imbalannya, kalau kau
berhasil melakukannya, ibu dan kekasihmu akan dibebaskan."
"Kalau tidak kuterima syarat ini?"
"Selama hidupmu takkan bisa bertemu lagi dengan mereka."
"Apakah syaratnya?"
"Batok kepala Wi-to-hwecu suami isteri sebagai imbalannya."
"Apa, batok kepala Siangkoan Hong dan Hun-tiong Siancu? Kau
yakin aku mau melakukannya?”
"Sudah tentu. Pertama, Siangkoan Hong suami isteri adalah
musuhmu. Kedua, demi keselamatan ibu dan kekasihmu kau harus
bekerja menurut petunjuk kami."
Alasan ini memang tepat dan benar, namun masakah Ji Bun mau
dipermainkan begini saja setelah berhasil menemukan markas
musuh? Maka dengan dingin dia mendengus: "Inikah beritamu? Aku
takkan menerimanya."
Berubah air muka pemuda baju sutera, serunya: "Kau akan
menyesal. Sampai bertemu!”
"Jangan bergerak," bentak Ji Bun. "Jangan kau kira bisa pergi
demikian saja, sebutkan dulu nama Kaucumu.”
"Kau kira keinginanmu dapat terlaksana?"
"Memangnya kau berani membangkang," Ji Bun mendesak maju.
Pemuda baju sutera menyurut mundur dengan ketakutan, tiba-
tiba dia melompat balik terus lari sipat kuping, gerakkannya teramat
cepat dan mengejutkan, namun Ji Bun tak membiarkan dia lolos.
"Berhenti," ditengah hardikannya, tak kalah cepatnya tubuhnya
berkelebat, tahu-tahu ia sudah menghadang di depan orang.
Dengan gerakan cepat sementara itu mereka sudah berada di
pinggir hutan, kalau pemuda baju sutera itu sampai menyusup ke
dalam hutan, urusan tentu runyam.
Bagai kilat menyambar, sambil melompat Ji Bun kebaskan
lengannya, walaupun serangan ini tidak sekuat biasanya, di mana
angin menggulung, pemuda baju sutera tergentak sompoyongan.
Sebat sekali Ji Bun menubruk maju seraya membentak: "Kau kira
mampu lolos dari tanganku?”
Pucat pemuda itu, kembali dia menyurut sejauh mungkin, tahu-
tahu tangannya terayun. Serangkum bau harum tiba-tiba
merangsang hidung Ji Bun. Tak terduga Ji Bun malah menjengek
dengan nada menghina: "Ternyata kau juga belajar menggunakan
racun, sayang kebentur aku si bangkotan pemakai racun."
Karena terdesak dan kehabisan akal sehingga tanpa pikir pemuda
baju sutera menyerang dengan menggunakan racun, tak pernah
terpikir olehnya bahwa Te-gak Suseng gembongnya ahli racun jaman
itu. Kini Ji Bun lebih yakin lagi bahwa Ngo-hong Kaucu pasti orang
yang memperoleh Tok-keng, tapi mengkhianati perguruan.
Mendadak pemuda itu berteriak aneh, serangannya bagai kilat
menyambar, dengan nekat dia merangsak Ji Bun. Seperti kata
pameo "seorang berlaku nekat, orang banyakpun tak kuat
melawannya". Lwekang pemuda dari Ngo-hong-kau ini memangnya
tinggi, kini menyerang dengan nekat dan membabi buta lagi, sudah
tentu Ji Bun menjadi kerepotan juga meski kepandaian silatnya lebih
unggul. Sayang kekuatan pemuda baju sutera juga terbatas, yang
diandalkan hanya semangat yang menyala sebentar, bicara soal
Lwekang dan kepandaian, betapapun dia terpaut jauh sekali
dibanding Ji Bun. Setelah rangsakkan pemuda itu hampir mencapai
titik balik yang menentukan, Ji Bun pun mendapatkan kesempatan
untuk melancarkan Tok-jiu-it-sek.
"Ciiaaaat!" pemuda baju sutera menggembor sekeras-kerasnya,
darah menyembur dari mulutnya, badan terkapar sebentar, ternyata
dia masih kuat meronta berdiri pula. Ji Bun tahu dia harus
mempertahankan jiwa orang ini untuk didengar keterangannya,
maka dia tidak menggunakan tenaga sepenuhnya.
"Boleh kau tidak menjawab pertanyaanku, tapi tunjukkan jalan
menuju ke markas pusat kalian!”
Menyeka darah dimulutnya, pemuda baju sutera menjawab
tegas: "Jangan harap!"
Keruan memuncak amarah Ji Bun, sekali ulur tiba-tiba dia
cengkeram pundak orang, kelima jarinya ambles ke kulit daging
pundak orang, darah meleleh dari sela-sela jarinya, warna darah
yang menyolok kelihatan segar membasahi baju sutera berwarna
kelabu itu.
"Berani sekali lagi kau mengatakan tidak?”
"Tidak!" tegas jawab pemuda itu.
Ji Bun perkeras cengkeramnya, pemuda baju sutera seketika
melolong seperti binatang kesakitan, tulang pundaknya remuk,
keringat dingin sebesar kacang berketes-ketes, kulit daging
wajahnya berkerut-kerut aneh, sorot matanya diliputi ketakutan
seram penuh kebencian serta dendam. "Te-gak Suseng," desisnya
menahan sakit, "kau akan mendapat balasan sepuluh kali lipat lebih
berat daripada deritaku ini."
"Itu bukan urusanmu. Katakan, kau mau tidak tunduk akan
perintahku?" karena pemuda baju sutera tetap bungkam, semakin
berkobar nafsu Ji Bun, hardiknya: "Kau tidak mau buka mulut,
memangnya orang lain tidak, kalau kau ingin mampus, jangan kau
salahkan aku berlaku kejam terhadapmu."
Sekonyong-konyong puluhan bayangan orang muncul bersama
dari berbagai penjuru, semuanya berseragam baju sutera,
bersenjata pedang dan lain-lain senjata tajam. Sekilas pandang Ji
Bun lantas tahu yang datang semua adalah anak buah Ngo-hong-
kau. Akhirnya dari rombongan belakang tampil seorang laki-laki
berjubah sutera yang gagah perkasa, langsung dia menghampiri Ji
Bun, bentaknya dengan suara berat: "Lepaskan dia!"
Tajam dan wapada Ji Bun awasi orang, katanya, "Siapa tuan ini?"
"Aku adalah Ngo-hong Kaucu!"
Darah kontan mendidih di rongga dada Ji Bun, sorot matanya
semakin jalang, sekali gentak dan ayun, pekik panjang seketika
menggema di angkasa. Ngo-hong-su-cia yang jadi tawanannya tiba-
tiba dia lempar sejauh lima tombak dan membentur batu serta
pecah kepalanya.
"Ji Bun," teriak Ngo-hong Kaucu, "Gila kau!"
Tanpa gentar sedikitpun Ji Bun mendelik ke arah Ngo-hong
Kaucu, ingin dia saksikan secermatnya wajah murid murtad ini, lama
sekali baru dia mendesis di antara sela-sela giginya yang berkerutuk
itu: "Siapa nama gelaran Tuan?"
Ngo-hong Kaucu terloroh-loroh, ujarnya: "Anak muda, kau belum
setimpal tanya namaku."
Sejenak Ji Bun menepekur, katanya: "Kebetulan kau datang,
marilah kita bicarakan dulu persoalan pribadi ........"
"Apa, urusan pribadi? Baiklah, ada dendam apa kau?"
"Bukankah kalian yang membantai orang-orang Jit-sing-po?"
"Aku pernah menyuruh orang menyampaikan kabar padamu,
pergilah temui Wi-to-hwecu."
"Kau ini sebagai Kaucu, apakah kata-katamu boleh dipercaya?"
"Sudah tentu."
"Memangnya kenapa ibuku harus kau tawan?"
"Demi merajai Bu-lim, demi mencapai cita-cita, perduli pakai cara
apapun, untuk ini tidak perlu aku memberi penjelasan padamu."
"Aku kurang puas akan jawabanmu ini. Lalu apapula tujuanmu
membunuh Sam-cay Lolo dan menculik Thian-thay-mo-ki?”
"Sudah tentu karena alasan yang sama."
"Sekarang lepaskanlah ibuku dan Thian-thay-mo-ki."
"Hm, memangnya begitu mudah?" jengek Ngo-hong Kaucu.
"Kau harus kerjakan apa yang kukatakan, kalau tidak anjing
ayampun takkan kutinggalkan hidup di dalam Ngo-hong-kau."
"Kata-katamu yang takabur ini memangnya dapat membuat aku
jeri?"
Ji Bun sudah ingin turun tangan, namun dia tetap bersabar diri,
karena banyak persoalan perlu dia bicarakan lebih dulu. Lagi orang
adalah sesama saudara seperguruan dari dua generasi yang
berlainan, terpaksa ia tekan gejolak hatinya meski sudah hampir
meletus, katanya pula dengan menggertak gigi: "Tuan mau
melepaskan mereka tidak?"
"Kecuali barter dengan kepala Siangkoan Hong suami isteri.
Membunuh dua orang dalam pandanganku tak ubahnya seperti
memites dua ekor semut."
"Kau ..... memang tidak berperi-kemanusiaan ........"
"Kalau bicara peri-kemanusiaan, aku takkan hidup sampai
sekarang."
Tatkala itu sang surya sudah doyong ke ufuk barat, sinar surya
yang kuning emas terpancar benderang. Semua hadirin berdiri tegak
dengan kereng, pedang mereka tampak gemerlapan, suasana
menanjak tegang, hawa terasa dingin mencekam.
Sejenak Ji Bun tenangkan diri, namun matanya tetap menyala,
desisnya: "Soal pribadi boleh di kesampingkan dulu, marilah kita
bicarakan pula urusan keluarga ......."
"Apa urusan keluarga?"
"Peristiwa orang tua she Ngo yang kau kurung di bawah tanah
dalam gedung di kota Bik-su itu, kau takkan mungkir bukan?"
Ngo-hong Kaucu menyurut mundur, matanya mendelik ganas,
suaranya gemetar: "Kau anggap ini urusan keluarga? Apa
maksudmu?
"Jadi kau ngaku akan perbuatanmu? Suruh anak buahmu
menyingkir."
"Kenapa?"
"Urusan keluarga orang luar dilarang ikut campur tangan."
Ngo-hong Kaucu mundur selangkah pula, suaranya dingin
mengancam: "Ji Bun, manfaat apa yang kau peroleh dari tua bangka
she Ngo itu?"
Ji Bun menghardik murka: "Kau berani menghina beliau?
Singkirkan anak buahmu."
"Tidak perlu. Kau belum setimpal."
Hampir meledak dada Ji Bun, larangan Ban-tok-bun menyebutkan
bahwa semua urusan rahasia perguruan dilarang bocor, dihadapan
sekian banyak anak buah Ngo-hong-kau, tak mungkin Ji Bun bicara
secara blak-blakan dan berbuat menurut aturan perguruan, namun
Ngo-hong Kaucu ini amat temberang, hakekatnya dia tidak perduli
akan segala aturan perguruan, keruan bukan kepalang keki dan
dongkol hatinya, katanya geram: "Kau ingin aku turun tangan?”
"Katakan dulu apa arti urusan keluarga yang kau maksud?"
"Singkirkan dulu anak buahmu atau aku yang wakilkan kau
menggebah mereka?" sembari bicara tiba-tiba secepat kilat dia
menubruk ke arah rombongan orang banyak.
"Berani kau?" teriak Ngo-hong Kaucu, iapun menubruk kearah Ji
Bun. Tapi sudah terlambat, jeritan saling susul, tiga orang yang
berdiri paling depan terjungkal roboh binasa, dalam waktu yang
sama damparan angin pukulan Ngo-hong Kaucu laksana hujan badai
juga menyambar tiba sehingga kekuatan pukulan Ji Bun terhenti
dalam batas tertentu hingga tidak menimbulkan korban lebih
banyak, Ji Bun sendiri juga tergetar mundur dua langkah.
Ngo-hong Kaucu terkekeh-kekeh. "Anak muda, kalau tidak
kubunuh kau, aku bukan manusia!" kedua tangan membundar terus
mendorong ke depan, segulung angin menderu laksana angin lesus
menyambar tiba.
Tersirap darah Ji Bun, kekuatan angin pukulan yang dilandasi
hawa murni luar biasa ini tak terpecahkan dengan segala ilmu
kekuatan lain dan merupakan inti sari dari segala kekuatan ilmu
pukulan di dunia ini. Seingatnya hanya Hun-tiong Siancu dan Thong-
sian Hwesio yang juga meyakinkan pukulan yang dilandasi kekuatan
hawa murni ini. Tak nyana Ngo-hong Kaucu juga meyakinkan ilmu
yang lebih tinggi pula Lwekangnya dari kedua orang terdahulu.
Lekas Ji Bun kerahkan ajaran perguruan, dengan sepenuh tenaga
dia menyongsong dengan kekerasan pula.
"Blang!" di tengah getaran yang mengguntur, dahan-dahan
pohon serentak berjatuhan dan hangus, batu-batu berloncatan debu
pasir beterbangan, hawa laksana pecah berderai. Anak buah Ngo-
hong-kau yang berdiri dalam jarak tiga tombak sama terdorong
mundur pontang-panting, semuanya kaget dan pucat ketakutan.
Ji Bun dan Ngo-hong Kaucu sama bertolak mundur tiga empat
langkah. Gebrakan yang dahsyat ini, ternyata setanding alias sama
kuat. Kini keduanya berdiri saling tatap seperti dua jago yang tengah
beradu di arena. Ngo-hong Kaucu bersuara: "Ji Bun, dalam setengah
tahun ini, rejeki apa yang kau peroleh?"
"Peduli amat dengan kau?" jengek Ji Bun.
Besar tekad Ji Bun untuk membersihkan perguruan dari anasir
jahat dan murid yang lalim ini, lalu menolong ibu dan kekasihnya.
Tapi sebaliknya Ngo-hong Kaucu juga besar niatnya membunuh Ji
Bun yang merupakan lawan tertangguh selama ini. Dari tatapan
mata kedua pihak dapatlah diselami betapa besar hasrat kedua
pihak dalam menuntut keinginan masing-masing. Semua anak buah
Ngo-hong Kaucu sampai mengkirik seram dan tegang.
Keduanya tak ubah seperti patung batu yang berdiri kaku, tak
bergerak dan tak bersuara, hawa seperti membeku, semua orang
tercekam oleh ketegangan yang memuncak ini. Sinar surya seakan-
akan ketakutan juga menyaksikan adegan adu nyawa yang
menggiriskan ini dan sudah tenggelam di ufuk barat, tabir malampun
tiba.
Keduanya sama mengadu kekuatan batin dalam mengendalikan
ketenangan pikiran dan pemusatan semangat serta kekuatan, sedikit
lena dan terpecah perhatian, serangan lawan yang mematikan bakal
merupakan genta kematian bagi jiwa raga sendiri. Satu jam telah
berselang, keringat sudah membasahi jidat kedua orang. Akhirnya Ji
Bun yang berdarah panas tidak tahan lagi, dia tidak membuang-
buang waktu.
"Ciiaaaat!" di tengah gemboran yang menggetar sukma, Ji Bun
melancarkan Tok-jiu-it-sek. Dalam waktu yang sama, permainan
Ngo-hong Kaucu yang sengit dan lihay juga dilontarkan. Inilah
bentrok antara kedua kekuatan keras lawan keras, keduanya sama-
sama menyerang tanpa pikirkan pertahanan, dua bayangan seperti
saling bergumul sekejap, segera terdengar suara gerungan rendah,
dua bayangan sama-sama terpental mundur, namun cepat sekali
keduanya sudah saling tubruk lagi, kini Ji Bun lancarkan Tok-jiu-ji-
sek. "Blang, blang,'' herangan tertahan kembali berkumandang, dua
bayangan terpisah lagi, keduanya sempoyongan mundur, darah
meleleh dari mulut masing-masing.
Semua orang yang menonton serasa rontok nyalinya. semuanya
menyingkir semakin jauh.
"Robohlah!" di tengah teriakan, yang menggiriskan ini, Ji Bun
lontarkan jurus Tok-jiu-sam-sek. Serangan jurus ini merupakan
tempaan dari seluruh kekuatan Lwekangnya, merupakan serangan
mematikan terakhir yang diandalkan pula. Kalau jurus ini juga tak
kuasa mengalahkan lawan, bagaimana akhir dari pertempuran
malam ini entahlah nanti jadinya. Untunglah jerit kesakitan segera
berpadu dengan teriakan seram, tampak Ngo-hong Kaucu terlempar
jauh dan roboh terguling.
Anak buah Ngo-hong-kau sama berteriak kaget dan kuatir, tanpa
komando serentak mereka menubruk maju menggerakkan senjata,
terutama cahaya pedang laksana jala sinar pating seliweran
merangsak ke arah Ji Bun.
Biji mata Ji Bun sudah merah, di tengah bentakan kalap, secepat
kilat kedua tangan menggaris dan memukul. Seperti membabat
rumput belaka, satu persatu anak buah Ngo-hong-kau dibikin roboh
binasa, sisanya yang masih hidup lekas lari mencawat ekor,
seranganpun terhenti.
Dengan badan limbung Ngo-hong Kaucu melompat berdiri,
suaranya serak seperti kehabisan tenaga: "Kalian mundur!"
Sisa anak buahnya segera menyingkir jauh.
Waktu Ji Bun berpaling, seketika dia mendelik seram: "O, kiranya
kau adanya."
Ikat kepala yang dikenakan Ngo-hong Kaucu sudah terlempar
jatuh. Di pinggir kepala di atas telinga kanan tampak sebuah codet
menggaris panjang. Dia ternyata bukan lain adalah Kwe-loh-jin
sendiri alias manusia berjubah berkedok yang pernah membunuhnya
dulu, orang yang berhasil merebut Hud-sim pula.
Memang tak pernah terpikir oleh Ji Bun bahwa Ngo-hong Kaucu
yang diliputi misteri ini ternyata adalah Kwe-loh-jin yang pernah
bentrok beberapa kali dengan dirinya. Lwekang dan kepandaian
Kwe-loh-jin sekarang ternyata sudah jauh berbeda dan lebih
tangguh dari pada dulu. Tentunya ini hasil dari Hud-sim yang pernah
direbutnya dulu itu.
Tapi siapa sebetulnya orang ini, tetap merupakan teka teki yang
sukar dipecahkan.
Semula Kwe-loh-jin pura-pura mengatakan dirinya utusan
seseorang majikan yang menulang punggungi segala perbuatannya,
kiranya ini hanya palsu belaka, jadi waktu dia menyamar laki-laki
muka hitam sebagai komandan ronda Wi-to-hwe dulu juga salah
satu duplikatnya belaka. Betapapun teka-teki ini sudah terbongkar
separo, namun masih cukup jauh dari terbebernya rahasia yang
sangat diharapkannya itu.
Ji Bun melangkah setapak.
"Jangan bergerak" bentak Ngo-hong Kaucu.
18.54. Penderitaan Puteri Musuh Besar
Tanpa sadar Ji Bun menghentikan langkah, katanya rnenyeka
darah dipingglr mulutnya: "Kuperintahkan kau menyingkirkan anak
buahmu, kalau tidak satupun takkan kubiarkan hidup."
"Kau takkan berani. Mati hidup ibumu Lan Giok-tin dan Thian-
thay-mo-ki tergenggam di tanganku."
"Jiwamu sendiri berada ditanganku, memangnya kau punya
kesempatan berbuat jahat lagi."
"Sebelumnya sudah kuatur sedemikian rupa, setengah jam
setelah matahari terbenam kalau tiada perintahku, Lan Giok-tin dan
Thian-thay-mo-ki akan dipancung kepalanya, sekarang waktu yang
ditentukan sudah akan tiba."
Semakin beringas Ji Bun dibuatnya, mendadak dia jadi nekat,
kaki menjejak tangan menyerang. Asal dia bisa membekuk Ngo-hong
Kaucu, segala persoalan akan dapat dibereskan. Tapi Ngo-hong
Kaucu bukan tokoh sembarang tokoh. Sudah tentu sebelumnya dia
sudah siaga dan berjaga diri. Pada saat secepat percikan api seperti
bayangan setan saja tahu-tahu orangnya berkelebat lenyap kedalam
hutan. Gerakan kedua pihak hampir dalam waktu yang sama. Sudah
tentu Ji Bun menubruk tempat kosong, dengan bentakan murka
segera ia mengudak ke dalam hutan.
Tabir malam sudah menyelimuti jagat raya, dalam hutan gelap
gulita, walau dia memiliki pandangan yang tajam, namun hanya
dalam sekejap jejak Ngo-hong Kaucu sudah lenyap entah kemana.
Sebuah suara menggema dari kejauhan: "Anak muda, jangan
lupa perjanjian barter kita dengan batok kepala orang yang
kuminta."
Ngo-hong Kaucu mengirim gelombang suara dari jauh sehingga
posisinya sukar ditentukan. Betapa Ji Bun amat penasaran, dengan
kalap ia terjang kian kemari mengobrak abrik hutan, namun hasilnya
nihil. Hutan ini cukup luas, dari puncak yang satu bersambung pula
kepuncak yang lain.
Setengah malam sudah Ji Bun bekerja berat dengan sia-sia, dia
pikir letak markas Ngo-hong-kau tentu berada di suatu tempat yang
tersembunyi, pegunungan seluas ini kemana harus menemukannya,
tak mungkin dia bisa menjelahi seluruh pelosok pegunungan ini.
Penasaran, marah, benci dan dendam berkecamuk dalam
benaknya, pikirannya bergolak, namun tetap tak berdaya. Akhirnya
dia menemukan sebuah batu besar segede kerbau, lulu ia duduk dan
merenungkan pengalamannya ......”
Keselamatan ibu dan Thian-thay-mo-ki untuk sementara, terang
tidak akan terancam, karena Ngo-hong Kaucu minta barter dengan
kepala Siangkoan Hong suami isteri, walau tujuannya sulit diraba,
namun sudah jelas kalau orang hendak pinjam tangan membunuh
orang, kecuali keadaan betul-betul mengancam, sandera
ditangannya terang takkan terganggu keselamatannya.
Apakah dia harus menerima syarat ini untuk menolong ibu dan
Thian-thay-mo-ki? Walau Siangkoan Hong dan Hun-tiong Siancu
juga musuh besarnya, namun sakit hati tetap sakit hati dan tidak
pantas bertindak di luar etika persilatan yang harus berjiwa kesatria.
Apalagi kini dirinya sebagai seorang pejabat Ciangbun (ketua) Ban-
tok-bun yang terhormat.
Tapi kalau tidak menurut kehendak musuh, apa pula langkah
yang harus dilakukannya? Persoalan yang paling penting adalah
Ngo-hong Kaucu ini murid murtad seperguruan, peraturan
perguruannya amat keras, pesan Suco harus dilaksanakan, selama
hayat masih dikandung badan dirinya harus menegakkan wibawa
peraturan perguruan. Kalau sampai dirinya harus tunduk akan
ancaman musuh, lalu di mana dia harus menaruh mukanya.
Ilmu beracun dirinya diperoleh dari ajaran ayahnya secara lisan,
sumber pelajaran ilmu beracun dari ayahnya ini terang dari Tok-
keng, sedang Tok-keng dimiliki oleh Ngo-hong Kaucu. Lalu ada
hubungan rahasia apa di antara Ngo-hong Kaucu dengan ayahnya?
Mau tidak mau dia lantas ingat pada Biau-jiu Siansing, seperti
diketahui ibu tua atau isteri pertama ayahnya yang telah dicerai itu
berada di rumah Biau-jiu Siansing. Khong-kok-lan So Yan sedemikian
dendam dan benci terhadap ayahnya. Siucay tua pernah bilang,
Biau-jiu Siansing sehaluan dengan ayahnya. Biau-jiu Siansing pernah
berjanji hendak membantu dirinya untuk membereskan beberapa
persoalan. Dari semua gejala-gejala ini, terang Biau-jiu Siansing tahu
akan seluk beluk persoalan ini.
Sungguh Ji Bun ingin bia segera berhadapan dengan Biau-jiu
Siansing untuk tanya semua urusan ini sampai jelas. Tapi Ui Bing
bilang jejak gurunya tidak menentu, entah sengaja menghindari
dirinya atau .....”
Rangsum kering dikeluarkan untuk mengisi perut, selesai makan,
haripun telah fajar, sudah terang benderang. Namun Ji Bun tidak
rela tinggal pergi demikian saja, teringat akan ibu dan kekasihnya
yang ditawan musuh, meski dirinya memiliki kepandaian setinggi
langit juga percuma, mereka tetap tak bisa lolos dari cengkeraman
iblis. Tanpa terasa air mata berlinang membasahi pipi, hati amat pilu
seperti ditusuk sembilu.
Kini dia mulai mencari dengan cara yang lebih teliti, daerah yang
diobrak-abrikpun semakin luas. Dia percaya sarang Ngo-hong-kau
pasti tidak akan lebih dari sepuluh li dari sekitar dirinya, kalau tidak,
tak mungkin terjadi peristiwa semalam, malah kemungkinan sarang
musuh berada dekat di sekitarnya sekarang.
Sehari telah lalu pula, namun hasilnya tetap nihil. Betapapun
kerasnya watak Ji Bun, akhirnya dia patah semangat juga. Musuh
sudah lari ketakutan dan menyembunyikan diri, kalau selalu mencari
secara membuta begini, apa yang bisa dihasilkan? Hal ini kiranya
perlu dirundingkan dulu dengan Ui Bing untuk menentukan langkah-
langkah selanjutnya. Oleh karena itu dengan marah dan uring-
uringan Ji Bun terpaksa meninggalkan Siong-san, terus menuju ke
kota Bik-ciu.
Setiba di kota Bik-ciu, dia pilih sebuah rumah makan besar yang
bernama Jui-lay-kip, dan mencari tempat duduk di pinggir jendela
yang menghadap ke jalan raya. Dipesannya makanan dan minuman,
seorang diri dia makan minum sepuasnya.
Ui Bing hanya menjanjikan untuk bertemu di kota Bik-ciu tanpa
menyebut tempatnya. Kini dia memilih rumah makan terbesar ini,
maksudnya supaya Ui Bing mudah menemui dirinya. Sebagai murid
Biau-jiu Siansing, gembong si maling yang punya kaki tangan yang
tersebar, luas di mana-mana, tentu bukan soal pelik bagi Ui Bing
untuk mencarinya ke sini.
Beberapa jam sudah dia duduk seorang diri sambil menunggu
dengan hati gelisah, namun bayangan Ui Bing tetap tidak kunjung
datang. Lama kelamaan dia merasa kurang enak, tamu lain sudah
ganti berganti keluar masuk. Kalau dirinya lama-lama berada di sini
tentu mengganggu orang lain, maka dia panggil pelayan untuk
menghitung rekening.
Dengan cengar-cengir pelayan menghampiri, tanyanya lebih dulu:
"Tuan datang dari Siong-san?”
Ji Bun melengak, jawabnya: "Ya, kenapa?"
"Tadi seorang tua meninggalkan pesan, katanya dia punya
urusan penting dan tidak bisa menunggu tuan, diminta supaya Tuan
menyusulnya ke arah barat."
Lekas Ji Bun bayar rekening terus berangkat, orang ramai berlalu
lalang di jalan raya, namun Ji Bun tidak ingin menikmati pasar yang
meriah ini, dia mencari hotel terdekat terus menyewa sebuah kamar.
Sebelum tidur Ji Bun sudah memikirkan langkah selanjutnya harus
menyusul ke barat, tujuannya tentu danau setan di Cong-lam-san
untuk menyusul paman Ciang Wi-bin, bukan mustahil ke sana pula
yang dituju Ui Bing dengan ke arah barat itu. Setelah berkeputusan
hati Ji Bun menjadi tenang, mungkin pula badan terlalu penat, maka
malam ini dia tidur amat nyenyak.
Waktu dia bangun besok paginya matahari sudah tinggi, lekas dia
bergegas-gegas menempuh perjalanan ke arah barat. Kira-kira
tengah hari, dia sudah menempuh ratusan li jauhnya, kini dia berada
di jalan raya yang bertanah menguning, jauh dari kota dan dusun,
sekelilingnya lereng pegunungan yang tidak kelihatan bayangan
manusia.
Ji Bun merasa kering kerongkongannya, dengan rasa dahaga
terpaksa meneruskan perjalanan. Tak jauh lagi di depan sebelah
kanan yang jauh dari jalan raya dilihatnya sebidang hutan, di antara
rimbunnya pepohonan, lapat-lapat dilihatnya pagar tembok warna
merah. Kalau bukan bangunan biara tentu sebuah kelenteng.
Kenapa tidak kesana minta air untuk menghilangkan dahaga sambil
istirahat pula baru melanjutkan perjalanan? Dengan langkah lebar Ji
Bun berlari-lari menuju ke hutan itu. Lekas sekali dia sudah tiba di
pinggir hutan, kiranya memang benar sebuah kelenteng kecil,
suasana sepi dan nyaman, tidak terdengar suara manusia.
Ji Bun langsung menuju ke kelenteng itu, namun baru saja
melangkah masuk, hatinya tiba-tiba melonjak, hampir saja ia
berteriak kaget, dilihatnya sesosok mayat melintang di belakang
pintu, bau darah yang amis merangsang hidung. Darah masih
mengalir dan membeku, pertanda orang ini mati belum lama, dari
dandanannya orang ini kelihatan penghuni atau pemilik kelenteng
kecil ini.
Siapakah yang tega membunuh seorang lemah yang tidak pandai
silat ini? Waktu dia memeriksanya, dilihatnya di dinding sekuntum
bunga Bwe warna putih menghiasi dinding warna merah. Seketika ia
menjadi murka, dalam hati ia mengumpat: "Anak buah Ngo-hong-
kau yang jahat dan laknat," sigap sekali dengan gerakan enteng Ji
Bun menyelinap masuk kedalam kelenteng.
Di dalam kelenteng, di undakan batu di tengah ruangan besar,
berdiri seorang pemuda berlengan satu baju sutera, wajahnya
diliputi rasa dendam dan kebencian serta kesadisan. Di ujung
undakan, duduk seorang gadis baju merah semendeh dinding
dengan perut yang membuncit, air mata bercucuran, badan lunglai
lagi, namun sinar matanya pun bercahaya terang penuh benci dan
penasaran. Dengan kedua tangan menahan perutnya yang bunting
seperti menahan sakit, gadis baju merah itu sedang berteriak
beringas: "Kau ....... kau bukan manusia?"
Pemuda tengan satu menyeringai sadis, jengeknya: "Memangnya
kenapa kalau aku bukan manusia?"
Saking murka gemetar sekujur badan gadis baju merah, katanya
dengan menggertak gigi: "Aku ..... aku ...... ingin lalap dagingmu
dan keremus tulang belulangmu.”
Pemuda lengan satu menyeringai, katanya: "Membunuh suami,
menurut aturan kau harus dihukum pancung, tahu?"
"Kau ...... binatang, kau ini anjing, kau tidak setimpal jadi
manusia. Aduh!" tiba-tiba gadis baju merah menjerit kesakitan
sambil menekan perut yang sudah hamil tua.
Pemuda lengan satu terloroh-loroh, katanya: "Dendam
membunuh ibu dan menghancurkan keluarga, memangnya aku
harus berpeluk tangan setelah lenganku inipun buntung ........”
Keringat gemerobyos, agaknya gadis baju merah menahan sakit
yang luar biasa, teriaknya dengan mengertak gigi: "Itulah ganjaran
perbuatanmu."
Perempuan jalang, kau tidak akan kubunuh, namun akan
kupinjam dirimu supaya ayah ibumu muncul, sekarang hayo ikut
aku."
"Apa yang hendak kau lakukan atas diriku?"
"Tidak apa-apa, yang terang bayi di dalam perutmu itu harus
dilahirkan."
"Anak haram, bila lahir akan kucekik sampai mati dengan kedua
tanganku sendiri," kata gadis itu.
"Memangnya kau mampu berbuat demikian."
"Binatang, kau telah menghancurkan masa depanku .........."
"Jangan cerewet, hayo berangkat!” bentak pemuda lengan satu,
tangan diulur hendak menyeret tangan si gadis. Agaknya gadis baju
merah sudah mendekati saat-saat melahirkan jabang bayi yang
dikandungnya, mata mendelik hampir melotot keluar, namun dia
tiada tenaga melawan.
Sekonyong-konyong sebuah suara yang amat dingin
berkumandang: “Liok Kin, kiranya kau belum mampus?"
Ternyata pemuda lengan satu itu adalah majikan muda Cip-po-
hwe, yaitu Liok Kin adanya. Gadis baju merah bukan lain adalah
puteri Siangkoan Hong, yaitu Siangkoan Hwi, karena tertipu dan
dipelet oleh ketampanan wajah dan rayuan manis Liok Kin,
Siangkoan Hwi sampai mengorbankan kesucian dan cintanya.
Akhirnya kedok Liok Kin terbongkar, tujuannya ternyata adalah Hud-
sim, sehingga. Siangkoan Hwi beberapa kali berusaha bunuh diri.
Sudah tentu pihak Wi-to-hwe amat marah, di bawah pimpinan Jay-
ih-lo-sat, Cip-po-hwe digerebeg dan dihancur leburkan. Untung Liok
Kin sebelumnya sudah melarikan diri, namun karena dia melanggar
pantangan golongan maling, maka lengannya dikutungi sebagai
ganjaran atas perbuatannya.
Begitulah serentak Liok Kin membalik tubuh, seketika dia gemetar
ketakutan, serunya: "Te-gak Suseng."
Wajah Ji Bun diliputi hawa nafsu membunuh, desisnya: "Betul,
memang aku adanya, selamat bertemu."
Pucat wajah Liok Kin, beruntun dia mundur menjauh, suaranya
jeri: "Apa maksudmu?"
"Memenggal kepalamu."
"Kau ..... berani bermusuhan dengan Kau (agama) kami?"
"Ha ha ha, Liok Kin, tak kira kau terima jadi antek Ngo-hong-kau,
memang cocok dan setimpal, kau berada di sana. Ketahuilah, bukan
kau saja, seluruh Ngo-hong-kau akan kusikat habis."
Liok Kin putar tubuh, hendak pergi. "Berdiri!" bentak Ji Bun,
suaranya keras berwibawa, ternyata Liok Kin tak berani melangkah
lebih lanjut. "Putar tubuhmu!" terpaksa dia menurut, wajahnya putih
laksana kertas.
Tanpa terasa Ji Bun melirik ke arah Siangkoan Hwi, si nona
menunduk sambil mendekap muka, air mata bercucuran. Timbul
perasaan yang ruwet dalam benak Ji Bun, inilah gadis yang pertama
kali mengisi relung hatinya, pernah dia tergila-gila padanya, sayang
orang tidak memandang sebelah mata kepada dirinya, malah jatuh
ke dalam pelukan Liok Kin si durjana ini. Kini perutnyapun sudah
bunting, sayang sang kekasih tidak berperikemanusian. Kini dirinya
harus menaruh simpatik padanya atau mencercahnya? Atau bersorak
senang?
Mengingat perlakuan ayah bundanya terhadap dirinya, adalah
pantas kalau sekarang dia membunuhnya, namun tidak pernah
timbul hasrat ini dalam benaknya, hatinya hanya merasa gegetun,
penasaran dan serba susah, tercampur pula oleh perasaan risau dan
lain-lain yang sukar dilukiskan. Masihkah dia mencintainya? Tentu
tidak. Tapi betapapun tali asmara yang pernah berbenih dalam
hatinya tak mungkin dihapus demikian saja.
"Orang she Liok," kata Ji Bun kemudian, "kau
berperikemanusiaan tidak?"
Liok Kin mundur lagi, mulutnya sudah terbuka, namun tidak
bersuara.
Ji Bun berkata lebih lanjut: “Darah dagingmu terkandung dalam
perutnya, kau mempermainkan dia, menyia-nyiakan cinta dan
merusak masa depannja, sekarang masih tega kau memaksa dan
menyiksanya, manusia macam dirimu tidak setimpal hidup di dunia
ini ........"
Liok Kin menjadi nekat, katanya: "Te-gak Suseng, dulu kau
pernah tergila-gila padanya, tapi dia tidak mencintaimu, sekarang
kau hendak bunuh aku untuk melampiaskan penasaranmu?" kata-
katanya mengandung arti yang dalam. Pikirnya dia hendak balas,
mencercah untuk mengubah jalan pikiran Ji Bun, dia tahu watak Ji
Bun tentu tidak mengingkari kenyataan ini, namun dia salah sangka.
"Peduli apa saja yang kau katakan," ejek Ji Bun, "hari ini kau
pasti mampus."
Tanpa bersuara lagi Liok Kin tiba-tiba enjot kaki, badan melenting
melesat ke atap rumah, jelas kepandaiannya sekarang jauh lebih
maju dari dulu, namun dalam pandangan Ji Bun dia tidak lebih
hanya lawan enteng yang cukup dirobohkan dengan menggerakan
sebuah jarinya saja.
"Kembali!" kontan Liok Kin terjungkal balik ke tempat semula
dengan mengerang kesakitan. Ji Bun tetap mendelik ditempatnya
seolah-olah dia tidak pernah bergerak. Serasa terbang sukma Liok
Kin, lututnya terasa lunglai, hampir saja kakinya tak kuat
menyanggah badannya.
Siangkoan Hwi meronta bangun, badannya limbung, lalu jatuh
terduduk pula, wajahnya yang pucat, keringat dingin berketes-ketes.
"Orang she Liok, masih ada pesan apa lagi kau?" bentak Ji Bun
bengis.
Keruan Liok Kin ketakutan, dengan sempoyongan dia mundur dua
langkah, suaranya serak dan tertelan dalam tenggorokan: "Te-gak
Suseng, aku .... aku bekerja menurut perintah Kaucu, sebentar
Kaucu akan datang kemari, kau .... takkan lolos."
"Tutup mulutmu!" hardik Ji Bun tak acuh, "kebetulan kalau Kaucu
kalian berani datang, memangnya aku kuatir tak bisa menemuinya."
"Jangan kau membunuhnya," tiba-tiba Siangkoan Hwi menjerit
dengan suara memekik.
Ji Bun menoleh, tanyanya: "Apakah dia tidak setimpal dibunuh?"
Siangkoan Hwi tertunduk, dia tidak berani adu pandang dengan
sorot mata Ji Bun.
Liok Kin pandai melihat gelagat, dengan sedih segera memohon:
"Adik Hwi, memang aku bersalah, mengingat orok dalam
kandunganmu ......."
Permintaan Siangkoan Hwi itu adalah refleks setiap insan yang
mempunyai nurani sehat dan bajik, soalnya dia sedang mengandung
anak Liok Kin, tapi itu hanya cetusan emosi selintas saja, karena
sesungguhnya dia amat membencinya, ingin rasanya melalap kulit
daging dan menghirup darahnya, dendam membara, kebencian yang
timbul karena perubahan cinta yang tak tercapai, maka landasan
benci inipun jauh lebih hebat daripada tekanan luar lainnya. Dia
maklum, kalau Ji Bun tidak muncul tepat pada waktunya, sejak tadi
dirinya sudah terjatuh ke tangannya. "Anjing kau!” akhirnya dia
berteriak kalap.
Ji Bun berpaling seraya membentak: "Serahkan jiwamu!” di mana
telapak tangannya menyambar, Liok Kin seketika menjerit roboh.
Setelah berkelenjetan beberapa kali, akhirnya terdiam dan tak
bergerak lagi, jiwanya melayang.
"Ooooh!" tak tertahan lagi pecah tangis Siangkoan Hwi.
Siangkoan Hwi menangis tersedu sedan. Ji Bun sudah angkat
langkah hendak tinggal pergi, namun mendadak timbul pikiran tak
tega, katanya mengerut kening: "Bagaimana nona Siangkoan?"
Lemah suara Siangkoan Hwi, katanya terisak: "Ji-siauhiap .....kau
...... boleh silakan pergi."
Ji Bun serba salah, tiada omongan yang ingin dikatakan. Tiba-tiba
Siangkoan Hwi berkata dengan suara bergetar: "Ji-siauhiap, harap
kemarilah kedekatku. Ada beberapa patah pesan hendak
kusampaikan kepadamu."
Tergerak hati Ji Bun, sahutnya: "Baik, silakan katakan."
"Tidak, marilah mendekat, masih ada ........”
Tanpa terasa Ji Bun melangkah maju: "Ada apa nona?''
"Sukalah kau bantu aku berdiri," Siangkoan Hwi ulurkan tangan,
biji matanya memancarkan cahaya aneh, timbul rasa heran dan
curiga Ji Bun, dia tidak tahu apa keinginan dan maksud orang.
Namun mengingat kepandaian silatnya sekarang, dia tetap
mendekati selangkah, tangan kanan diulur menarik tangan kiri
orang.
Mendadak tangan kanan Siangkoan Hwi mencengkeram ke
tangan kiri Ji Bun. Gerakannya terlalu mendadak, meski Ji Bun sudah
waspada, namun karena gerakan ini tidak terduga, dengan telak
lengannya kena dipegang orang. Tapi sedikit mengerahkan tenaga
dan menghentak, Siangkoan Hwi terpental jatuh diundakan.
"Nona, apa maksudmu ini?" bentaknya.
Mulut, terbungkam, matapun terpejam, lama sekali baru
Siangkoan Hwi membuka mata: "Kenapa aku tidak mati?"
Sudah tentu Ji Bun melenggong, katanya: "Aku tidak bermaksud
membunuhmu."
“Kau ...... bukankah kau meyakinkan Bu-ing-cui-sim-jiu, kenapa
...... aku tidak mati keracunan?"
Sekarang Ji Bun mengerti, kiranya Siangkoan Hwi sengaja hendak
cari kematian, dengan memegang lengan kiri Ji Bun. Dia berharap
dirinya mati keracunan, maka katanya dingin: "Tangan beracunku
sekarang bisa kugunakan sesuka hati.”
"Aah!" mungkin karena kecewa dan putus asa Siangkoan Hwi
menjerit panjang dan menangis sesambatan. Menghadapi suasana
yang merawankan hati entah bagaimana perasaan Ji Bun, dia
merasa kasihan, iba, simpatik.
Waktu dia menoleh lagi, tiba-tiba dia menjerit kaget, dilihatnya di
bawah, di mana Siangkoan Hwi duduk telah dibasahi oleh cairan
darah. Dengan cepat Ji Bun maklum apa yang terjadi, keruan
mukanya merah jengah dan keripuhan, tak tahu apa yang harus dia
lakukan. Kiranya Siangkoan Hwi akan melahirkan.
Selamanya belum pernah dia menghadapi kejadian seperti ini,
namun pengalaman dari cerita orang dan catatan dalam buku yang
pernah dibacanya, dia tahu bahwa keadaan seperti ini adalah tanda-
tanda bagi seorang perempuan yang akan segera melahirkan,
menghadapi sikap Siangkoan Hwi yang putus asa pula, keruan dia
semakin bingung.
"Tolonglah ...... sempurnakanlah aku!” ratap Siangkoan Hwi
dengan pilu.
"Apa, menyempurnakan kau?”
"Ya, bantulah aku meringankan penderitaan ini, pada penitisan
mendatang pasti kubalas kebaikanmu ini."
"Aku .... aku ...... tidak bisa."
"Tolonglah, Ji-siauhiap ......."
Keringat dingin gemerobyos membasahi dahi Ji Bun. Kaki tangan
terasa kaku, kepalanya mendengung seperti hendak meledak, mata
terbeliak, mulut ternganga tak mampu bersuara.
Tiba-tiba bau harum merangsang hidung. Waktu Ji Bun menoleh,
tampak seorang perempuan cantik rupawan tersipu-sipu melangkah
masuk, di belakangnya mengintil empat gadis baju hijau. Dengan
kaget Ji Bun melangkah mundur dan berdiri berhadapan dengan
perempuan rupawan itu.
Pendatang ini adalah Hun-tiong Siancu, isteri Siangkoan Hong
dan ibu Siangkoan Hwi. Teringat sakit hati dirinya dikurung tempo
hari, seketika membara dendam Ji Bun. Dengan Hun-tiong Siancu
menyapu pandang sekejap kepada Ji Bun lalu memburu ke arah
Siangkoan Hwi, serunya dengan penuh sedih dan kaget: "Anakku
sayang, sudah setengah bulan ibu mencarimu."
"Bu," Siangkoan Hwi mengeluh sekali terus jatuh pingsan, Hun-
tiong Siancu memeluknya kencang-kencang, air matapun ikut
bercucuran. Ji Bun menjublek ditempatnya. Betulkah Hun-tiong
Siancu ibu kandung Siangkoan Hwi? Usia kedua orang kelihatan
hanya terpaut lima-enam tahun, namun hubungan darah daging
yang tak bisa dipalsukan ini terang takkan dilakukan seorang ibu tiri
terhadap anak tirinya.
Kalau Ji Bun mau turun tangan, Hun-tiong Siancu terang takkan
mampu melawannya. Seketika timbul dalam ingatannya akan syarat
yang diajukan Ngo-hong Kaucu dengan kepala Siangkoan Hong
suami isteri untuk barter dengan jiwa ibunya dan Thian-thay-mo-ki.
Demi ibu dan kekasihnya, sebetulnya dia boleh turun tangan tanpa
ragu namun dia tidak tega turun tangan, karena dia seorang
manusia yang memiliki hati Buddha, seorang yang
berperikemanusiaan, welas asih.
Tak lama kemudian, Siangkoan Hwi pun siuman, katanya serak:
"Bu, kenapa tidak biarkan aku mati saja?"
"Jangan bodoh nak, kau adalah tambatan hati ibu ..... kau masih
kecil, belum tahu lika-liku kehidupan Kang-ouw yang serba kotor, ibu
memaafkan kesalahanmu."
"Tidak Bu, tidak pantas aku mendapat kasih sayangmu. Bu, aku
ingin mati saja."
"Jangan kau berkata demikian, apakah dia....." tatapan matanya
yang tajam melirik ke arah Ji Bun.
"Bu, dialah yang menolong puterimu."
"Ji Bun yang menolongmu? Oooo .......” serta merta ia menoleh
ke arah mayat Liok Kin.
“Bu!" pecah lagi sedu sedan Siangkoan Hwi dengan sedih.
Bertaut alis Hun-tiong Siancu, segera ia memberi tanda kepada
ke empat dayangnya, katanya: “Carilah tempat yang bersih, bawalah
Siocia kalian!”
Empat dayang mengiakan bersama, dua orang berjalan di depan
menuju ke ruang belakang, dua diantaranya memayang Siangkoan
Hwi. Dengan gemetar tangan. Siangkoan Hwi menuding Ji Bun,
katanya lemah: "Bu, jangan kau mempersulit dia.”
“Ya, ibu tahu.”
Baru sekarang Ji Bun maklum, kiranya Hun-tiong Siancu turun
gunung mencari puterinya sehingga sarangnya kosong hingga kena
diserbu dan diobrak-abrik pihak Ngo-hong-kau.
"Ji Bun," kata Hun-tiong Siancu menatap Ji Bun, "mengingat
puteriku, sekarang kau boleh pergi, perhitungan kita boleh
dibereskan lain kesempatan.”
"Kalau sekarang juga aku ingin membereskan?” jengek, Ji Bun
dingin.
"Aku harus merawat anak Hwi, tiada waktu ......"
Ji Bun tak bisa bicara, soalnya dia tidak ingin mengambil
keuntungan dikala orang sedang kesulitan, namun diapun maklum,
kekuatan Lwekang kedua pihak terpaut tidak jauh, kalau betul-betul
berhantam takkan berakhir dalam dua-tiga gebrak, namun
menghadapi musuh besar, betapapun hatinya penasaran, kalau
tinggal pergi begini saja. Kalau tidak kebetulan pesawat rahasia itu
tersentuh, sampai sekarang pasti dirinya pasti masih terkurung,
nasibpun sukar diramalkan. Maka dengan gusar dia berkata:
"Apakah aku harus berkunjung pula ke San-lim-li-sin?"
19.55. Keluhuran Budi Thian-thay-mo-ki
"Tidak perlu, menurut laporan, kau bantu memberantas musuh
yang menyerbu, sekarang kau tanam budi pula pada puteriku. orang
Bu-lim mengutamakan perbedaan budi dan dendam, selanjutnya aku
takkan lagi mencari setori padamu ...........”
"Nanti dulu. Bagaimana juga Cayhe harus membereskan
persoalan itu."
"Sekarang?" seru Hun-tiong Siancu sambil melongok ke belakang,
sinar matanya mengunjuk kegelisahan hatinya.
"Baik, cara bagaimana perhitungan akan kau bereskan?"
"Yang kuat hidup yang lemah mampus,” kata Ji Bun tandas.
"Ji Bun, yang kau andalkan hanya racun, tapi racun adalah sepele
dalam pandanganku, hal ini kunyatakan lebih dulu."
"Kalau kau kira aku hanya mengandalkan racun salah sekali
dugaanmu."
"Hayolah segera dimulai, aku tidak punya tempo lagi,"
Sejak digembleng ilmu tingkat tinggi dari Ban-tok-bun, belum
pernah Ji Bun berhantam dengan seorang musuh yang betul
tangguh, bahwa Ngo-hong Kaucu yang berkepandaian tinggi itupun
bukan tandingan Hun-tiong Siancu, ini membuktikan bahwa
kepandaian silatnya, di mulut dia bilang yang kuat hidup yang lemah
mampus, yang benar dia sendiri tidak punya keyakinan dapat
merobohkan lawan. Namun tekadnya sudah keras, tiada perasaan
gentar sedikitpun, yang terang dendam hatinya harus dibalas.
Serentak dia teringat dua persoalan, maka ia bertanya: "Ada dua hal
perlu kau jelaskan lebih dulu. Pertama, betulkah bukan Siangkoan
Hong yang menghancurkan Jit-sing-po?"
"Berulang kali kau sudah mengajukan persoalan ini."
"Tapi aku belum memperoleh jawaban yang meyakinkan."
"Baiklah sekarang kujelaskan, bukan dia yang melakukan, semula
memang ada rencana, tapi akhirnya rencana dibatalkan, yang dicari
hanya biang keladinya."
"Apakah aku harus percaya?”
"Memangnya tidak perlu kupaksa kau mempercayainya."
"Bagus sekali. Sekarang kedua, kalau kau kalah, batok kepalamu
harus kupenggal.”
Berubah wajah Hun-tiong Siancu, katanya dingin: "Asal kau
mampu saja."
"Nah, sambutlah pukulanku ini!" tenaga penuh dikerahkan pada
kedua lengan Ji Bun, dengan sepuluh bagian kekuatannya dia
menabas tegak, tujuannya hendak menjajaki sampai di mana taraf
kekuatan Lwekang lawan, supaya gebrak selanjutnya lebih mudah
cari daya untuk mengalahkan.
Hun-tiong Siancu mengebaskan kedua lengan bajunya secara
bersilang, segulung angin lunak segera menyamber keluar. "Blang!"
suara keras memekak telinga, kedua pihak tersurut selangkah,
bertambah yakin Ji Bun, kini kedua tangan dilandasi setaker
kekuatan Lwekangnya. Tebasan kedua ini bagaikan gugur gunung
dahsyatnya. Hun-tiong Siancu juga kerahkan kekuatan dan himpun
semangat balas menyerang. "Blum!" ledakan terjadi pula lebih
dahsyat, genteng sama rontok, debu beterbangan, kelenteng kecil
ini terasa holeng seperti keterjang gempa. Hun-tiong Siancu
tergentak mundur tiga langkah, sebaliknya Ji Bun sempoyongan lima
langkah. Kenyataan membuktikan bahwa kekuatan Hun-tiong Siancu
masih setingkat lebih tinggi.
Sekarang jarak kedua orang menjadi jauh, sebat sekali Ji Bun
mendesak maju, Tok-jiu-it-sek segera menggaris keluar. Kekuatan
racun kini dia kerahkan pada kesepuluh jarinya, ingin dia
membuktikan apa betul lawan tidak gentar mengadapi racunnya.
Kecuali Hun-tiong Siancu berhasil meyakinkan Kim-kong-sin-kang,
kalau tidak, selain orang-orang seperguruannya tiada seorangpun di
dunia ini yang mampu menawarkan racun jahat ini, tapi umumnya
Kim-kong-sin-kang hanya dilatih oleh kaum laki-laki. Hun-tiong
Siancu scorang perempuan, tak mungkin dia memiliki ilmu sakti itu.
Tampak Hun-tiong Siancu menggaris tangan terus diputar satu
lingkar, maka Tok-jiu-it-sek yang dilontarkan Ji Bun tertolak dan
tertahan diluar lingkaran tenaganya. Gerakan menggaris dan
membundar tangan itu kelihatannya biasa dan enteng, tapi di dalam
gerakan ini tersembunyi kekuatan yang luar biasa.
Mencelos hati Ji Bun, namun serangan tidak berubah, karena dia
tahu walau lawan bisa membendung jurus serangan dan meritul
kekuatannya, betapapun racun pasti akan menyentuh jari-jari
tangannya. Racun itu sendiri tak mungkin ditahan dan ditolak oleh
tenaga betapapun besarnya.
"Plak-plak!" telapak tangan saling beradu tujuh-delapan kali,
namun hasilnya sungguh membuat Ji Bun kaget bukan main, lawan
ternyata betul-betul tidak gentar menghadapi racunnya.
Dikala serangan Ji Bun dilancarkan pada titik puncaknya, dalam
waktu sesingkat percikan api, tiba-tiba Hun-tiong Siancu
melontarkan pukulan balasan dengan telapak tangan dari sudut yang
tidak mungkin terjadi. Serangan ini sungguh hebat sekali, apalagi
sasaran yang diincar juga di luar kebiasaan ilmu persilatan, orang
lain jelas tidak mungkin bisa melakukannya.
"Bluk", diseling suara gerungan, Ji Bun tak kuasa menghindar
diri, dengan telak dia kena pukulan. Hakikatnya belum sempat dia
pikirkan cara menghalau serangan lawan, tahu-tahu telapak tangan
orang sudah menahan dadanya, dia tergentak sempoyongan, darah
segera meleleh dari mulutnya.
Kembali Hun-tiong Siancu mengebaskan kedua lengan bajunya,
katanya dengan wajah kaku membeku: "Te-gak Suseng, enyahlah
kau hitung-hitung kubalas kebaikanmu."
"Tidak, aku tidak terima kebaikanmu!" desis Ji Bun, kaki
melangkah tangan melancarkan Tok-jiu-sam-sek, dia tahu jurus
kedua terang takkan mampu melukai lawan, maka tanpa ragu-ragu
dia lontarkan jurus ketiga yang luar biasa dan merupakan inti
kekuatan latihannya selama ini.
"Ciiaaat!" di tengah teriakan ini, tiba-tiba Hun-tiong Siancu
meloncat mundur beberapa kaki, wajahnya berubah, baju di bagian
lengan di pinggir pundaknya tampak tersobek satu kaki panjangnya,
darah juga merembes keluar, lengannya yang putih halus dibasahi
darah yang merah sehingga menimbulkan perhatian yang menyolok.
Dalam keadaan nekat adu jiwa ini, mau tidak mau hati Ji Bun
tetap mencelos.
Malu dan marah merangsang hati Hun-tiong Siancu, hardiknya:
"Cari mampus kau!" di mana telapak tangannya bekerja, dia
melancarkan sejurus serangan yang ganas, sengit dan hebat sekali
perbawanya. Ia yakin tiada tokoh silat dalam dunia ini yang mampu
melawan serangan ini.
Dasar watak Ji Bun memang angkuh, hatinya dirundung dendam
kesumat, mati hidup sudah tidak terpikir lagi, meski dia tahu apapun
tetap takkan bisa menyelamatkan jiwa sendiri, namun sekuatnya dia
melawan. "Ngek!" tak urung dia mengerang kesakitan, darah
menyembur dari mulut, badanpun terlempar setombak jauhnya.
Serangan Hun-tiong Siancu dilancarkan bagai kilat menyamber,
gerak-geriknya gesit dan ringan, tahu-tahu bayangannya sudah
menubruk maju pula. Tapi Ji Bun sekarangpun bukan lawan empuk,
begitu kaki menyentuh bumi, tenaga terhimpun lagi terus
memberondong dengan jurus ketiga pula. Tak kira maju mundur
Hun-tiong Siancu begitu enteng dan tangkas laksana kilat
berkelebat, di tengah jalan dia menghentikan gerakan sambil
menyingkir ke samping tiga kaki, maka pukulan dahsyat Ji Bun
berhasil dihindarkan. Begitu jurus pertama gagal, jurus kedua Ji Bun
sudah dilontarkan pula, serangan tetap menggunakan Tok-jiu-sam-
sek, yaitu Giam-ong-yan-khek (raja akhirat menjamu tamu).
Tak tahunya baru saja serangan dilancarkan, bayangan lawan
tiba-tiba lenyap, keruan dia melengak, namun dia insaf dirinya dalam
posisi yang berbahaya, sedikit lena bisa celaka jiwanya, cepat dia
menerjang maju terus putar badan, namun bayangan lawan tetap
tidak kelihatan. Keruan serasa terbang sukmanya, secepat kilat dia
ikut berputar ketiga arah, namun bayangan lawan tetap tidak
kelihatan. Ji Bun betul-betul melengggong dibuatnya, dia yakin
kepandaian sendiri tidak lemah, namun kenyataan bayangan lawan
tahu-tahu lenyap di bawah pandangan matanya, ini sungguh amat
menakjubkan, betulkah ada gerakan seaneh ini di dunia ini?
Tiba-tiba ia teringat waktu menempuh perjalanan di Siong-san
tempo hari, di tengah jalan dia bersua dengan Liu Gim-gim,
orangpun tahu-tahu lenyap dari pandangan matanya. Waktu itu dia
kira bertemu dengan setan, kiranya gerakan mereka sama, malah
Hun-tiong Siancu jauh lebih lihay dan tinggi.
"Rebahlah!" bentakan berkumandang di belakangnya, kontan Ji
bun merasakan punggungnya seperti dipukul godam, sakitnya bukan
main, pandangannya seketika menjadi gelap, kontan dia roboh
tersungkur, darah menyembur sebanyak-banyaknya.
"Aku tak boleh mati!" hatinya berteriak, dengan mengertak gigi
dia meronta berdiri, dilihatnya Hun-tiong Siancu berdiri dekat
sejangkauan tangan di depannya. Tanpa pikir, Tok-jiu-sam-sek
dilancarkan pula. Bayangan orang tahu-tahu lenyap pula. Karena
serangan mengenai tempat kosong, badan Ji Bun terhuyung maju
dan tertelungkup jatuh, darah kembali menyemprot deras, matanya
berkunang-kunang, hawa murninya semakin buyar. Tamatlah sudah
pikirnya, mungkin di sinilah ajalku. Tiba-tiba bayangan Hun-tiong
Siancu muncul pula di hadapannya.
"Bunuhlah, aku terima kematianku!" teriak Ji Bun kalap.
"Aku tidak ingin membunuhmu, tapi ..........”
"Tapi kau atau aku yang harus mati." Beringas Hun-tiong Siancu,
katanya: "Dinilai dari perbuatan ayahmu, memang tidak berlebihan
aku membunuhmu, terus terang, kematianmu, belum setimpal
menebus dosanya. Sayang aku sudah berjanji pada puteriku."
"Te-gak Suseng tak pernah mengemis hidup kepada orang lain,
aku takkan menerima kebaikanmu, siapapun musuhku takkan
kulepaskan...."
"Baiklah, kulaksanakan keinginanmu sendiri, semoga pada
penitisan yang akan datang kau kembali menjadi orang baik.”
Pada saat itulah tiba-tiba kumandang tangis orok dari belakang
kelenteng. Ji Bun melongo Hun-tiong Siancu juga tertegun, namun
mimik mukanya tampak cemberut.
Seorang dayang berlari keluar. "Lapor Siancu nona telah
melahirkan seorang putera!"
Hun-tiong Siancu mendengus sedih, katanya: “Sudah tahu,
pergilah."
Cepat dayang itu mengundurkan diri, sekilas dia melirik ke arah Ji
Bun dengan pandangan aneh, dan kaget.
Tiba-tiba Hun-tiong Siancu membentak, katanya: "Te-gak Su-
seng, kau ingin mampus, nah, pergilah dengan dada lapang "
"Blang", tubuh Ji Bun terpukul terbang setinggi satu tombak,
waktu tubuhnya melayang jatuh, pikiran dan napas pun berhenti.
Tersipu-sipu Hun-tiong Siancu berkelebat masuk ke kelenteng
belakang. Tertinggal dua sosok mayat menggeletak tak bergerak,
mayat Ji Bun dan Liok Kin, keduanya sama-sama masih muda.
Seorang bermuka hitam tahu-tahu melayang turun di pekarangan
kelenteng, dia seorang pemuda, sejenak dia celingukan, lalu
menghampiri mayat Ji Bun, dengan tangan dia meraba pernapasan
dan memegang urat nadi Ji Bun, tak tertahan air matanya
bercucuran. Mayat Ji Bun diangkatnya terus keluar, memasuki hutan
dan meletakkannya di bawah pohon yang rindang, katanya sedih
sambil sesenggukan: "Hiante, aku pasti menuntut balas kematianmu.
Berpisah beberapa hari ini, tak nyana kita lantas berpisah untuk
selamanya, oh ......"
Siapakah pemuda muka hitam ini? Dia bukan lain Sian-tian-khek
Ui Bing adanya. Dengan sedih Ui Bing lantas menggali liang kubur,
dia siap mengebumikan jenazah adik angkatnya ini. Lekas sekali
liang sudah digalinya, dicarinya sebuah, batu besar untuk batu
nisan, dengan kekuatan jarinya dia mengukir beberapa huruf yang
berbunyi tempat semayam Te-gak Suseng Ji Bun, di bawahnya dia
ukir pula namanya sendiri, sebagai kakak angkat Ui Bing.
Setelah kerja selesai, dia menghampiri mayat Ji Bun hendak
dimasukkan ke liang lahat.
Tak nyana tiba-tiba dilihatnya Ji Bun menggeliat sekali terus
bangun berduduk. Keruan Ui Bing berteriak kaget, bulu roma berdiri,
merinding sekujur badannya, dikiranya mayat Ji Bun penasaran dan
mau menuntut balas. Soalnya dia sendiri sudah memeriksa keadaan
Ji Bun, napas putus dan denyut nadinya sudah berhenti, Ji Bun
betul-betul sudah mati, (orang mati masakah bisa hidup kembali?
Ji Bun kucek-kucek mata lalu celingukan dengan pandangan
hambar, akhirnya matanya memandang Ui Bing. "Kau .... kau
siapa?" tanyanya.
Gemetar suara Ui Bing: "Hiante, kau belum mati?"
"O, Toako? Kau yang menolongku?"
Ui Bing yakin bahwa Ji Bun betul-betul hidup kembali, rasa takut
dan merindingnya segera lenyap, katanya kegirangan: "Hiante
sungguh ajaib ....”
"Apa? Ajaib?" Ji Bun tidak mengerti.
"Kau sudah mati, aku sudah siap menguburmu di sini, tak kira
....... ai, sungguh tak kira ........"
Ji Bun mengawasi liang dan tumpukan batu di sana, akhirnya dia
manggut-manggut, katanya: "Ya, sekarang aku ingat, aku terpukul
mampus oleh serangan Hun-tiong Siancu ........."
"Jadi tadi itulah Hun-tiong Siancu?"
"Ya, isteri Siangkoan Hong."
"Begitu aku tiba, kebetulan kulihat dia memukulmu, tak sempat
lagi aku mencegahnya, sebetulnya dengan kekuatanku paling-paling
cuma ikut mengorbankan diri belaka."
"Bagaimana Toako bisa mencari ke kelenteng ini?"
"Kudapat laporan bahwa kau menempuh perjalanan ke sini, maka
kususul sepanjang jalan raya ini, bayanganmu tak kelihatan, karena
dahaga aku kemari ingin cari air .......”
"Dengan alasan yang sama kami masuk ke kelenteng ini,
sungguh kebetulan."
"Hiante, bagaimana keadaanmu sekarang?"
Ji Bun kerahkan hawa murni, rasa sakit sudah lenyap, namun
kepala masih rada pening, katanya dengan tertawa getir: "Tidak
apa, aku takkan mati,"
Ui Bing mengerut kening, katanya: "Hiante, jelas kau sudah mati,
denyut nadimu berhenti, tapi kau hidup kembali ......”
Ji Bun geleng kepala, katanya; "Toako, bukan sekali ini saja aku
mati, entahlah aku sendiri tidak tahu apa sebabnya."
"Tentu ada sebabnya."
"Siaute juga berpikir demikian, namun aku tak habis mengerti. O,
Toako, pernahkah kau dengar ada gerakan tubuh yang bisa
menghilang mendadak?"
"Gerakan yang menghilang mendadak?"
"Ya, kalau tidak, aku tidak akan kecundang di bawah tangan
perempuan itu."
Ui Bing berpikir sambil menunduk, katanya kemudian: "Ya,
teringat olehku, itulah suatu gerakan tubuh yang sudah lama putus
turunan dari kalangan Bu-lim, namanya Wan-hun-hu-deh"
"Wan-hun-hu-deh (sukma penasaran melekat badan)?" Ji Bun
menegas.
"Ya, kau kira bayangan orang bisa tiba-tiba lenyap? Sebenarnya
kenyataan tidak demikian, dia hanya berada di belakangmu, dia ikut
bergerak mengikuti gerak-gerikmu, tak peduli kau mengubah posisi
apapun, jejak orang takkan bisa kau temukan, oleh karena itu
dinamakan Wan-hun-hu-deh."
"O," Ji Bun manggut-manggut seperti menyadari sesuatu,
batinnya, kalau tahu demikian, takkan se¬mudah itu aku terjungkal
di tangan Hun-tiong Siancu, betapapun hebat dan aneh gerakan itu,
masakah ia dapat merajai segala gerakan ilmu tubuh dalam dunia
ini, sebetulnya cukup dirinya bergerak dan berputar di tempat saja,
atau melejit tinggi ke atas sudah cukup melayani gerakan lawan,
memangnya ia juga mampu mengikuti gerakan mumbul ke atas,
apalagi dirinya pernah meyakinkan Ginkang angin lesus berputar ke
atas, ilmu ini kiranya cukup untuk mengatasi gerakan lawan yang
aneh itu.
Setelah paham lika-liku rahasianya, diam-diam Ji Bun bertambah
yakin akan dirinya sendiri. Menang pengalaman merupakan guru
yang paling bagus bagi perbendaharaan pengetahuan, apalagi ilmu
dalam dunia ini tiada batasnya, hanya mengandal ilmu silat tanpa
dilandasi pengetahuan yang luas tetap tidak cukup bekal untuk
berkelana di Kang-ouw.
"Hiante," kata Ui Bing, "kukira kau pasti pernah makan sesuatu
obat mujarab atau benda mestika lainnya, kalau tidak, daya hidupmu
takkan berkobar pula setelah padam, orang yang sudah mati takkan
semudah itu hidup kembali?"
Ji Bun geleng-geleng, ujarnya: "Toako, aku tidak menipumu,
Siaute sendiri betul-betul tidak tahu sebabnya?"
Sekonyong-konyong sebuah suara nyaring merdu tapi dingin
kaku menanggapi: "Kalau kau tidak tahu, biarlah aku yang beritahu
padamu."
Ji Bun berjingkat kaget luka-lukanya belum sembuh seluruhnya,
terutama hawa murni yang buyar belum sempat dihimpun kembali,
baru saja dia bergerak, kepala pening pandanganpun berkunang-
kunang, tubuh limbung hampir roboh, tak tertahan dia merintih
tertahan.
"Siapa di situ?" Ui Bing segera menegur. Bagi Ji Bun, begitu
mendengar suara orang segera dia tahu siapa yang bicara, darah
seketika mendidih, namun dia tahu keadaan sendiri sekarang tak
sanggup menghadapinya, namun sikapnya tetap angkuh dan ketus,
tanyanya: "Kau tahu apa?"
Terdengar kesiur angin lambaian kain, sesosok bayangan tiba-
tiba muncul di hadapan mereka, dia adalah Hun-tiong Siancu.
Wajahnya nan rupawan tidak mengunjuk kemarahan dan nafsu
membunuh pula, katanya tawar: "Ji Bun, dalam tubuhmu ada
mengalir darah Thian-thay-mo-ki."
"Apa? Darah Thian-thay-mo-ki berada dalam, tubuhku? Aku tidak
mengerti?"
"Sudah tentu kau tidak mengerti. Waktu pertama kali kau
mendapat celaka, demi menolong kau, terpaksa Thian-thay-mo-ki
berkorban diri, dengan darahnya sendiri dia menolong jiwamu ......."
Terbelalak biji mata Ji Bun, rasa kaget, heran, dan tidak percaya
melapisi mimik wajahnya, suaranya gemetar: "Apa? Darahnya telah
menolong aku?"
"Ya, karena dia pernah minum Sek-liong-hiat-ciang (darah naga
batu), dalam darahnya mengandung mujarab mestika yang tiada
taranya itu sehingga melindungi jiwanya dari marabahaya, itulah
sebabnya kenapa berulang kali kau dapat hidup kembali setelah
dipukul mati."
"Oh," Ji Bun dan Ui Bing sama-sama bersuara kaget, sungguh
rahasia yang belum pernah mereka. dengar, lain pula bagi
penerimaan Ji Bun, hal ini merupakan pukulan batin dan beban yang
bertambah berat pula bagi nuraninya, betapa besar dan mendalam
budi kebaikan Thian-thay-mo-ki terhadap dirinya ibarat setinggi
langit sedalam lautan dan tak mungkin bisa dilukiskan dengan kata-
kata, imbalan apapun takkan sembabat untuk membalas budinya.
Sungguh celaka, bahwa selama ini dia tidak pernah menyinggung hal
ini, kalau tidak tentu hubungan mereka tidak akan seburuk ini,
namun kenyataan Thian-thay-mo-ki tidak mau menggunakan urusan
ini untuk menarik simpatik darinya, betapa bajik dan bijak hatinya
sungguh sukar dilukiskan.
Lahirnya dia kelihatan sebagai perempuan jalang, wanita genit,
yang benar ia memiliki hati Buddha, hati suci nan murni. Agaknya
hati manusia memang sukar dan tidak boleh diukur dari lahiriah atau
dari sikap dan tingkah lakunya melulu, bayangan si nona seketika
mengisi seluruh sanubarinya. Namun Ji Bun masih rada bimbang,
tanyanya: "Darimana kau tahu akan rahasia ini?"
"Tanpa sengaja kudengar pembicaraannya dengan gurunya,
Sam-cai Lolo. Ji Bun, kupukul kau tadi hanya melampiaskan dongkol
hatiku, aku tahu kau tidak akan mati, kalau aku sengaja
membunuhmu, cukup kupenggal kepalamu atau kupreteli kaki
tanganmu, Sek-liong-hiat-ciang tetap takkan bisa mempertahankan
jiwamu."
Ji Bun menggertak gigi: "Kebaikanmu tidak akan kulupakan,
kalau kau ingin turun tangan, sekarang juga boleh."
"Tadi sudah kubilang takkan kubunuhmu, tapi kelak, entah kapan
persoalan akan menjadi lain."
"Baik, selama hayat masih dikandung badan, akan datang suatu
saat akulah yang akan memenggal kepalamu," demikian ancam Ji
Bun malah.
"Boleh saja, asal kau mampu."
"Lalu apa maksud Siancu kemari sekarang ini?"
"Beritahu kepada Ji Ing-hong, suruh dia sendiri unjuk diri
membereskan persoalan lama. Kalau dia belum mati, pasti akan
membuat perhitungan, kalau sudah mati, akulah yang akan memikul
segala akibat dari perbuatannya."
Mulut Hun-tiong Siancu sudah bergerak, namun dia urung bicara,
sekali berkelebat, tahu-tahu bayangannya lenyap dari pandangan Ji
Bun dan Ui Bing.
"Gerakan tubuhnya sungguh menyerupai ilmu dewa!" kata Ui
Bing.
Ji Bun diam saja, hatinya memikirkan Thian-thay-mo-ki, diam-
diam ia bersumpah dalam hati, setelah dendam keluarga beres, dia
ingin mengawini dan hidup sampai tua berduaan dengan Thian-thay-
mo-ki. Tapi kilas lain segera iapun teringat kepada Ciang Bing-cu.
Betapa besar pula budi kebaikan Ciang Wi-bin dan puterinya
terhadap dirinya. Ciang Wi-bin sendiri sampai sekarang masih tak
keruan parannya karena mencarikan obat ke "danau setan" di Cong-
lam-sam, tujuannya untuk menawarkan racun tangan kirinya supaya
dirinya mengawini puterinya. Bagaimana dia harus mempertanggung
jawabkan persoalan ini?
Apabila Ciang Wi-bin mengalami petaka dalam perjalanannya,
dirinya pula yang harus menanggung segala akibatnya, lalu
bagaimana ia harus menyelesaikan persoalan ini dengan Ciang Bing-
cu? Keadaan mendesak dirinya untuk segera menyusul ke danau
setan secepat mungkin, kalau berhasil menemukan Ciang Wi-bin dan
beliau selamat tak kurang suatu apa, persoalan ini tentu dapat
diselesaikan dengan baik. Maka ia berkata kepada Ui Bing: "Toako,
Siaute segera akan berangkat ke danau setan"
"Hiante," ujar Ui Bing, “Toako tidak bisa mengiringimu."
Ji Bun melengak, namun hatinya senang malah, yang benar dia
tidak ingin Ui Bing ikut serta, karena ada beberapa persoalan yang
pantang diketahui orang luar, maka dia bertanya: "Kenapa?"
"Ada urusan yang harus segera kuselesaikan. Sebelum pergi
Suhu ada pesan dengan wanti-wanti supaya aku membereskannya,
kini tiba saatnya, terpaksa aku harus melaksanakannya." Lalu ia
menambahkan: "Kalau di tengah jalan Hiante mendengar sesuatu
kabar tentang guruku, boleh kau tak usah lanjutkan perjalananmu
mencari Ciang Wi-bin."
Ji Bun tidak mengerti, tanyanya: "Kenapa?"
Sejenak Ui Bing tergagap, katanya kemudian: "Guruku akan
memberi tahu apa sebabnya, asal kau mendapat kabar tentang
beliau, usahakanlah menemuinya."
Ji Bun kebingungan, entah apa maksud ucapan Ui Bing ini? Apa
sebabnya bila ketemu Biau-jiu Siansing dirinya tidak perlu lagi
mencari Ciang Wi-bin? Kan tujuannya untuk kebaikannya dan ini
satu sama lain saling bertentangan. Ui Bing justru tidak mau
menjelaskan, maka dengan rasa sangsi ia mengiakan saja.
"Masih ada sesuatu, aku ada sebuah kantong sutera ......."
"Kantong sutera?" Ji Bun tertawa geli.
Ui Bing juga tertawa, dari kantong sutera dia mengeluarkan
sebuah sampul besar yang tertutup rapat, katanya: "Hiante, ini amat
penting, jika menghadapi kesulitan dan sukar dibereskan, boleh kau
membukanya."
"Kalau tidak menghadapi kesulitan?"
"Bakar saja."
"Tidak boleh membukanya?"
"Lebih baik jangan dibuka," sahut Ui Bing serius. Lalu dia minta
diri lebih dulu.
Setelah Ui Bing pergi, Ji Bun yakin Hun-tiong Siancu tidak akan
mengganggu dirinya lagi, maka dengan lega hati dia memberanikan
duduk bersimpuh di dalam kelenteng menyembuhkan luka-luka
dalamnya, satu jam lamanya baru seluruh kekuatannya pulih, segera
dia menempuh perjalanan ke arah barat.
Hari itu Ji Bun tiba di kaki Cong-lam-san, seluruh pelosok gunung
sudah dia jelajahi, namun tiada orang yang tahu di mana letak
"danau setan", dia percaya apa yang dikatakan Ui Bing pasti bukan
bualan, namun ada kemungkinan nama "danau setan" ini diberi oleh
orang-orang persilatan untuk menentukan suatu tempat tertentu,
yang tahu sudah tentu hanya orang-orang persilatan pula, rakyat
jelata terang tidak tahu.
19.56. Misteri Danau Setan
Apa boleh buat, terpaksa Ji Bun menyiapkan makanan kering
yang cukup banyak dan melanjutkan pencariannya.
Kalau "danau setan" merupakan tempat tersembunyi dan jarang
diketahui orang, letaknya tentu amat rahasia dan belum pernah
dijelajahi manusia. Karena itu, setelah masuk gunung, Ji Bun menuju
tempat-tempat tersembunyi dan berbahaya. Tiga hari sudah dia
putar kayun di pegunungan itu. Siang malam bekerja tidak kenal
lelah, namun hasilnya nihil. Tapi dia tidak putus asa, dalam hati dia
sudah bertekad untuk mencari sampai memperoleh hasil yang
diharapkan, kalau tidak lahir batin dia tak bisa memberi
pertanggungan jawab terhadap Ciang Bing-cu.
Hari keempat dengan Ginkang "angin lesus" yang lihay itu, dia
melambung tinggi memanjat ke atas sebuah puncak bukit yang
tinggi dan berbahaya, puncak ini mencakar langit, kecuali burung
terbang, kera dan orang hutanpun takkan mungkin manjat ke atas
karena dinding gunungnya berlumut dan tiada tumbuhan pepohonan
apapun.
Di atas puncak adalah hutan lebat dengan pepohonan-pepohonan
besar dan tua, selayang pandang tak kelihatan ujung pangkalnya
seolah-olah puncak yang tinggi ini mengenakan sebuah topi hijau
yang besar sekali. Dari ketinggian memandang sekitarnya, tampak
gunung-gunung terbentang luas dan panjang sambung
menyambung, selepas pandang, tak terlihat ada sebuah danaupun.
Mungkin karena teraling oleh pepohonan lebat, maka pandangannya
hanya bisa melihat ke arah depan dan kiri saja, kalau ingin melihat
ke sebelah dalam dia harus menembus hutan lebat dan berada di
bagian lain sana. Sejenak dia berpikir, lalu melompat tinggi ke pucuk
pohon, dari pucuk pohon satu ke pohon lain dia kembangkan pula
ilmu ringankan tubuh terus maju ke depan.
Puluhan tombak kemudian, tiba-tiba pandangannya terbeliak
terang, tampak sebuah danau seluas beberapa hektar terbentang
dihadapannya, letaknya persis di tengah-tengah hutan, sekelilingnya
dipagari pohon-pohon tinggi dan tua, dari luar terang takkan
kelihatan. Mungkinkah ini dinamakan "danau setan"? Dengan rasa
girang segera dia mempercepat langkahnya terus melayang turun di
pinggir danau, kira-kira sepuluh tombak jauhnya dia berhenti.
Permukaan danau tampak berkilau, tenang tidak bergelombang
sedikitpun, permukaan air berselimut kabut tebal, kelihatannya
seperti khayalan belaka, suasana di sini diliputi hawa setan yang
menggiriskan. Tanpa kuasa Ji Bun berteriak kegirangan: "Betul inilah
danau setan!"
Mendadak dari tengah danau sana berkumandang gelak tawa
yang menusuk kuping, Ji Bun jadi merinding. Danau setan,
memangnya ada setan di danau ini?
Gelak tawa itu sebentar putus sebentar bersambung,
kedengarannya jauh tapi tahu-tahu amat dekat, betapapun tinggi
kepandaian dan Lwekang Ji Bun, dalam suasana seperti ini tak urung
dia merasa kebat-kebit juga.
Betulkah Ciang Wi-bin pernah kemari dan sekarang berada di sini
ataukah sudah pergi? Atau hakikatnya tidak pernah menemukan
tempat ini? Gelak tawa tadi sudah sirap, suasana kembali menjadi
hening mencekam perasaan.
Ji Bun tenangkan hati, lalu mengerahkan tenaga bersuara
lantang: "Ji Bun angkatan muda dari Bu-lim, mohon bertemu
majikan tempat ini!"
Beruntun tiga kali dia berkaok-kaok tanpa mendapat jawaban, tak
kelihatan ada reaksi apa-apa. Tengah dia ragu-ragu, tiba-tiba
dilihatnya bayangan seorang bagai setan melayang tahu-tahu
muncul dari tengah danau dan mendatangi ke arahnya. Tersirap hati
Ji Bun, kagetnya bukan kepalang. Mungkinkah manusia bisa berjalan
di permukaan air? Kalau dia setan, di tengah hari bolong tak
mungkin berani menampakkan diri?
Bayangan itu semakin dekat, langkahnya berat, seperti bersuara
tapi tak kedengaran pula. Air tidak kelihatan terpercik, juga tidak
mirip orang mengembangkan Ginkang tingkat tinggi, lalu apa
sebabnya dia bisa berjalan mengapung?
Jantung Ji Bun semakin mengencang mengikuti langkah
bayangan itu yang semakin dekat. Kini dia sudah melihat jelas, itulah
seorang laki-laki yang tua berusia 50-an, bertubuh tegap, wajahnya
tidak menunjukkan mimik apa-apa, hanya sorot matanya tampak
tajam berwibawa, dua kali dia melirik kepada Ji Bun, ujung mulutnya
bergerak-gerak pula, terus berputar ke kiri dan melangkah pergi.
Lekas Ji Bun merangkap tangan, sapanya: "Tuan ini harap
berhenti!"
Tanpa berpaling lagi orang tua itu tetap melangkah pergi seperti
seorang olah ragawan yang tengah latihan dengan langkahnya yang
ringan mengelilingi lapangan.
Ji Bun heran apakah orang tuli? Tapi matanya tidak buta, melihat
orang asing datang, kenapa sikapnya acuh tak acuh? Maka dia
perkeras suaranya dan berseru: "Cayhe mohon bertanya!"
orang tua itu tetap tidak menghiraukan suaranya, lekas sekali dia
berputar ke arah pinggir hutan.
Sekali melejit Ji Bun lompat ke depan orang, katanya dengan
menahan marah: "Kenapa tuan bersikap tak acuh begini?"
Orang itu tetap diam saja, namun langkahnya berhenti.
"Apakah tempat ini danau setan?" tanya Ji Bun pula dengan
menekan perasaan.
Bertaut alis orang tua itu, sorot matanya menampilkan perasaan
aneh, lalu dengan suara yang lirih sekali, namun jelas terdengar dia
berkata: “Lekas pergi!"
Ji Bun bingung dan curiga, entah apa maksud orang tua ini, tidak
menjawab pertanyaannya, sebaliknya menyuruhnya pergi.
Sikapnyapun menampakkan rasa ragu dan kuatir, kenapa? Sedikit
miring tubuh, tahu-tahu si orang tua sudah menerobos lewat di
sampingnya, gerak geriknya amat aneh dan cepat.
Sudah tentu Ji Bun tidak tinggal diam, secepat kilat iapun
berkelebat melampaui ke depan orang, serunya keras: "Cayhe
mohon tanya, apakah ini tempat Danau Setan?"
Orang tua mundur beberapa langkah, wajahnya menampilkan
derita dan sedih, bertambah heran dan curiga Ji Bun dibuatnya,
orang membisu dan pura-pura tuli, apa maksudnya?
Sekonyong-konyong dari tengah danau berkumandang sua-ra
perempuan: "Dia tidak akan menjawab segala pertanyaanmu!” Suara
ini terang dikirim dengan gelombang suara panjang, jelas dan tegas,
keruan Ji Bun kaget sekali, namun kalau tiada orang bersuara,
urusan akan gampang dibereskan, segera dia balas bersuara:
"Kenapa?"
"Kau tidak perlu tahu."
"Kau majikan dari tempat ini? Siapa gelaranmu?"
"Akulah Kwi-ouw Hujin (nyonya danau setan)!"
"Cayhe mohon bertemu!"
“Untuk urusan apa?”
"Cayhe mencari jejak seseorang."
"Siapa?"
"Ciang Wi-bin dari Kayhong, tiba bulan yang lalu beliau kemari
mencari obat...."
"O, jadi kau inikah Te-gak Suseng?”
Dari pertanyaan balasan ini, Ji Bun yakin bahwa Ciang Wi-bin
memang sudah pernah kemari dan menjelaskan keperluannya, bisa
jadi kini terkurung di sini, kalau tidak mana mungkin orang tahu
nama julukan dirinya? Maka dengan senang dia mengiakan.
"Kau ingin bertemu dengan Ciang Wi-bin? Kau kenal dia?"
Orang tua tadi berkedip-kedip memberi isyarat mata kepada Ji
Bun, namun Ji Bun sudah kelepasan omong: "Sudah tentu aku kenal
dia!"
Terdengar Kwi-ouw Hujin terkekeh-kekeh, tiba-tiba suaranya
menjadi dingin kaku: "Kau membual!"
Ji Bun tertegun, serunya: "Dari mana kau tahu aku membual?"
"Hakikatnya kau tidak kenal dia."
"Berdasar apa kau bilang demikian?"
"Coba, siapa yang ada dihadapanmu itu?"
Terkesiap Ji Bun, serta merta pandangannya menatap si orang
tua tadi, jelas wajah orang sedikitpun tidak mirip Ciang Wi-bin,
kecuali perawakannya sedikit sama, terutama jenggot Ciang Wi-bin
yang menjuntai panjang sebatas dada, namun orang tua ini hanya
bercambang pendek. Apapun yang telah terjadi tidak mungkin
dirinya pangling pada Ciang Wi-bin.
Kulit muka si orang tua tampak gemetar, mimiknya sangat lucu
dan aneh, namun dia tetap tidak bersuara. Kini Ji Bun sudah melihat
jelas wajah orang tua ini, terdapat sebuah tahi lalat besar hitam
menyolok di antara kedua alisnya, menurut ilmu ramalan, tahi lalat
yang terdapat di antara kedua alis ini dinamakan Ji-liong-toh-cu (Dua
naga berebut mutiara), yang jelas Ciang Wi-bin tidak mempunyai
tanda khas seperti ini, tapi kenapa Kwi-ouw Hujin menuding orang
tua ini sebagai Ciang Wi-bin? Maka dengan cekak dan tandas dia
menjawab: "Dia bukan!"
"Apa dia bukan? Kalau begitu, tiada orang yang kau cari di sini."
Ji Bun menarik napas panjang, katanya: "Memang aku mau
dipermainkan?"
"Memangnya kau setimpal kupermainkan?"
"Dengan hormat Cayhe mohon sukalah engkau bicara terus
terang."
Laki-laki tua itu bergerak bibirnya, seperti hendak bicara tapi
urung, lagaknya seperti takut bersuara.
Tiba-tiba Kwi-ouw Hujin terkial-kial, nadanya menghina dan
mencemoohkan, katanya dingin: "Te-gak Suseng, kalau tahu diri
lekas menggelinding turun gunung."
Ji Bun naik pitam, jengeknya angkuh: "Kalau tidak?"
"Selamanya kau takkan turun lagi dari sini"
"Sebelum mencapai tujuan, Cayhe bersumpah takkan pergi dari
sini."
Wajah si orang tua tak mengunjukan rasa gelisah, beruntun dia
menggerakkan bibir, memberi isyarat kepada Ji Bun supaya lekas
pergi.
Mendengar suara Kwi-ouw Hujin berkumandang pula: "Ciang Wi-
bin, perjanjian semula sudah batal, kau boleh pergilah."
Berubah hebat air muka si orang tua tadi, mendadak hardiknya
dengan bengis kepada Ji Bun: "Goblok, kau bikin gagal segala daya
upayaku!"
Habis berkata, sebat sekali dia melejit ke tengah Danau, cepat
sekali bayangannya lenyap ditelan kabut tebal.
Ji Bun menjublek, hardikan ini terang adalah suara Ciang Wi-bin,
namun wajah orang jelas jauh berlainan, apa pula artinya gagal
segala usahanya? Tapi dengan begini berarti orang tua ini juga
mengaku dirinya sebagai Ciang Wi-bin? Kembali dia
mendemontrasikan kepandaian jalan di permukaan air, mungkinkah
Ciang Wi-bin memiliki kepandaian setinggi ini?
Tiba-tiba dia teringat kantong sutera pemberian Ui Bing, katanya
kalau menghadapi kesulitan baru sampul surat itu boleh dibuka. Kini
tibalah saatnya. Maka lekas dia keluarkan kantong itu terus
membuka sampul surat itu, dilihatnya di atas secarik kertas tertulis :
"Ciang Wi-bin adalah guruku, kalau bertemu seorang ada tahi
lalat di tengah alisnya, itulah wajah asli beliau."
"Hah!" teriaknya kaget, sekujur badannya gemetar, sungguh
mimpipun tak pernah terbayang dalam benaknya bahwa Biau-jiu
Siansing ternyata duplikat Ciang Wi-bin. Baru sekarang teka-teki ini
tersingkap, banyak persoalan yang dulu mencurigakan kini menjadi
terang. Jadi Ciang Wi-bin yang berjenggot panjang itupun hanya
samaran belaka, jadi orang tua dihadapannya tadi adalah Ciang Wi-
bin asli.
Khong-kok-lan So Yan diterima tinggal di rumahnya dan dia
bersekongkol dengan ayahnya, Berulang kali menyuruh dirinya pergi
ke rumah keluarga Ciang di Kayhong, agar berunding demi
kepentingan Ciang Bing-cu. Ui Bing juga pernah berpesan, kalau
bertemu dengan Biau-jiu Siansing supaya tidak usah mencari Ciang
Wi-bin teka teki yang semula sulit ditebak kini seluruhnya telah
tersingkap dengan sendirinya.
Kalau Ciang Wi-bin sama dengan Biau-jiu Siansing, maka mati
hidup ayahnya dan siapa sebetulnya Jit-sing-ko-jin pasti boleh
ditanyakan padanya. Kini tiba saatnya memberitahu padanya bahwa
Kim-sian-jau-koh (buah bergaris emas) sudah tidak diperlukan lagi.
Untuk apa harus minta-minta kepada Kwi-ouw Hujin?
Sekali lompat dia melesat beberapa tombak jauhnya, mendadak
dia sadar bahwa di depannya adalah permukaan air danau, namun
gerakan sudah telanjur, kedua kakinya sudah meluncur ke
permukaan air. Saking kagetnya badan sampai berkeringat dingin,
tapi begitu kaki menginjak turun, waktu dia menunduk, hampir saja
dia tertawa geli sendiri.
Mana ada air danau segala? Yang terinjak bawah kakinya
ternyata adalah batu jade putih yang tumbuh secara alamiah di
puncak ini, Di bawah pancaran cahaya matahari, ditambah kabut
tebal yang bergulung-gulung maka kelihatannya menjadi mirip air
danau yang berkilauan. Tak heran Ciang Wi-bin bisa berlari enteng
seperti bergerak di tanah datar.
Mau tak mau Ji Bun amat kagum dan pesona oleh ciptaan alam
yang aneh ini. Danau setan, memang pantas kalau tempat ini
dinamakan demikian, suasana dan hawa di sini memang diliputi
hawa setan. Setelah rahasianya terbongkar, bertambah besar nyali Ji
Bun, segera dia melangkah lebar menuju ke tengah danau.
Semakin jauh ke sana kabut semakin tebal dan pekat, dengan
ketajaman matanya, dia hanya bisa melihat sejauh tiga tombak, dia
harus waspada dan siaga menghadapi sergapan yang tidak terduga.
Tiba-tiba pandangannya menjadi terbeliak terang, tampak sebuah
bangunan yang berbentuk dari sebongkah besar batu putih berdiri
dihadapannya. Kabut di sini agak tipis, sinar matahari memancar
terang benderang, sehingga segalanya kelihatan terang dan jelas,
pintu besar terbentang lebar, tampak Ciang Wi-bin berlutut di depan
pintu. Didengarnya akhir kata Ciang Wi-bin: " ...... harap Cianpwe
suka menarik kembali keputusan semula."
Dari dalam rumah batu putih itu terdengar suara Kwi-ouw Hujin,
nyaring dingin: "Tidak bisa!"
Di dengar dari suaranya, usianya agaknya belum lanjut, namun
Ciang Wi-bin memanggilnya Cianpwe, ini agak janggal.
"Wanpwe kan tidak buka suara dan melanggar janji?"
"Tidak peduli, apa yang sudah kuputuskan tak bisa diubah lagi"
"Harap ingatlah pada guru almarhum .......”
"Tutup mulutmu, kalau tidak mengingat gurumu Yu-ing-long-kun,
memangnya kau kuijinkan berdiam di atas puncak ini.”
Tergerak hati Ji Bun, kiranya Biau-jiu Siansing adalah murid Yu-
ing-long-kun.
Terdengar Kwi-ouw Hujin berkata lebih lanjut: “Mengingat
gurumu, sekarang bawa pergi bocah itu."
Agaknya kehadiran Ji Bun tetap tidak dapat mengelabuinya.
Segera dia melangkah maju, serunya: “Paman Ciang, silakan
bangun, mari pulang."
Ciang Wi-bin mendesis dongkol: "Hiantit, kau bikin runyam
urusanku."
"Paman, kini aku tidak memerlukan Kim-sian-jau-koh lagi.”
"Tidak memerlukannya lagi, kenapa?"
"Persoalannya nanti akan kujelaskan."
Dengan laku hormat segera Ciang Wi-bin memberi hormat ke
arah pintu, serunya: "*Wanpwe mohon diri!"
Lalu berdiri.
Ji Bun pikir, Kwi-ouw Hujin yang ada hubungan akrab dengan Yu-
ing-long-kun kini usianya tentu sudah mencapai seabad.
Terdengar suara Kwi-ouw Hujin berkumandang lagi: "Ji Bun, kau
ini tidak tahu sopan santun, tidak kenal adat terhadap orang tua."
Lekas Ji Bun mengubah sikap, serunya: "Terima kasih atas
teguran Cianpwe, Wanpwe mohon maaf!”
Segera iapun menyembah, ia bersikap demikian karena
memandang muka Ciang Wi-bin.
"Cukup sepatah kata dua kata begitu saja?"
Ji Bun melengak, katanya: "Habis bagaimana menurut maksud
Cianpwe?"
"Kau harus diajar adat!"
"Diajar adat bagaimana?"
"Berhantam tiga jurus, jika kau mampu bertahan kau boleh turun
gunung, kalau tidak kau tetap kutahan di sini."
Keruan Ciang Wi-bin keripuhan, dia tarik Ji Bun dan berkata ke
arah pintu: "Sukalah Cianpwe ampuni kesalahannya, usianya masih
muda .......”
"Bukan urusanmu!"
Ji Bun naik pitam, katanya dengan temberang: "Apa Cianpwe
tidak keterlaluan?"
"Keterlaluan? Buyung, kau tidak setimpal bicara demikian ....."
merandek sebentar, lalu ia berkata pula. "Siau-bwe, keluarlah dan
ajar adat bocah itu, jangan kau celakai jiwanya."
"Terima perintah!" sebuah sahutan berkumandang dari dalam.
Ji Bun kira Kwi-ouw Hujin sendiri yang hendak menjajal tiga jurus
padanya, tak kira dia hanya menyuruh anak buahnya, bicaranyapun
seperti menghina sekali.
Berubah rona muka Ciang Wi-bin, katanya "Hiantit, kau terlalu
sombong, dengan bekalmu sekarang memangnya setimpal kau
bergebrak dengan kaum Cianpwe, lekas kau mohon ampun dan
mengaku salah saja .......”
"Paman boleh minggir saja," ujar Ji Bun tawar, "Siautit yakin akan
diriku sendiri."
"Ah, anak yang tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi,”
kata Ciang Wi-bin
Waktu Ji Bun angkat kepala, tahu-tahu dihadapannya telah
berdiri seorang nenek reyot beruban, matanya bercahaya terang
laksana lampu senter. Inilah orang yang dipanggil Siau-bwe oleh
Kwi-ouw Hujin tadi? Sedikitnya usianya sudah mencapai 70-80
tahun, tapi namanya Siau-bwe atau si Bwe kecil, kok seperti nama
genduk cilik saja.
"Yang mulia ini adalah Siau-bwe?" Ji Bun bertanya.
"Ceriwis, namaku memangnya boleh sembarangan kau sebut."
"Silakan mulai kalau begitu!"
"Jangan sombong, kau boleh turun tangan lebih dulu."
Keruan Ciang Wi-bin gugup, bentaknya gusar: "Ji Bun, kalau kau
mampu sambut .......
"Ciang Wi-bin," bentak Kwi-ouw Hujin keras, "jangan kau langgar
aturan di sini."
Dengan bersungut gusar terpaksa Ciang Wi-bin mundur ke
samping. Ji Bun tahu maksud baiknya, orang kuatir dirinya tak kuasa
menghadapi tiga gebrakan. tapi dia tenang saja tanpa menghiraukan
sikap Ciang Wi-bin itu.
Nenek tua yang bernama Siau-bwe membentak: "Hayo mulai!"
Menurut aturan Kang-ouw, orang yang usianya lebih tua tidak
akan turun tangan lebih dulu, maka Ji Bun juga tidak banyak bicara,
secepat kilat kontan dia lontarkan Tok-jiu-it-sek. Si nenek berseru
kaget, sebat sekali dia berkelit ke samping. Tergerak hati Ji Bun,
orang mampu meluputkan diri dari Tok-jiu-it-sek, maka dia ingin
mengukur sampai di mana taraf kepandaiannya, tanpa memberi
kesempatan lawan balas menyerang, Tok-jiu-ji-sek segera
dilancarkan pula.
Kedua jurus serangan ini merupakan tumpuan kekuatannya,
maka terdengar si nenek mengerang sekali, tubuhnya terhuyung ke
belakang, wajahnya yang penuh keriput tampak menahan derita luar
biasa.
Ji Bun tahu diri, dia tidak melanjutkan serangannya. Di samping
Ciang Wi-bin mengunjuk rasa kaget dan keheranan, Lwekang dan
kepandaian Ji Bun betul-betul di luar dugaannya. Pengalaman Ji Bun
selama setengah tahun belakangan ini, hakikatnya dia memang tidak
tahu.
"Locianpwe," seru Ji Bun ke arah pintu, "beruntung Wanpwe
menang satu jurus."
Baru saja dia berkata, tahu-tahu suara dengungan
berkumandang di depannya. Seorang perempuan setengah baya
berwajah ayu berdiri kereng di depan pintu. Ji Bun kaget, apakah dia
ini Kwi-ouw Hujin yang sudah berusia antara seabad itu.
"Hm, kau memang hebat, terlalu rendah penilaianku
terhadapmu," kata perempuan itu.
"Apa petunjuk Cianpwe?" tanya Ji Bun.
"Aku sendiri akan menyambut tiga jurus seranganmu, gunakanlah
seluruh kekuatanmu."
"Menggunakan seluruh kekuatanku ......,” Ji Bun ragu-ragu.
"Ya, aku takkan balas menyerang, aku hanya menyambut
pukulanmu saja. Hayolah mulai!"
Serta merta Ji Bun melirik ke arah Ciang Wi-bin, dia ingin tahu
reaksinya, namun wajah orang kelihatan bersungut lesu malah,
naga-naganya tidak mengharap Ji Bun turun tangan, tapi bak panah
yang sudah terpasang di busurnya, tidak bisa tidak harus dibidikkan,
terpaksa ia pusatkan semangat dan menghimpun tenaga, pelan-
pelan tangannya bergerak melancarkan Tok-jiu-it-sek.
Kwi-ouw Hujin juga angkat sebelah tangannya, secara aneh
tangannya bergerak melingkar. Dengan kaget Ji Bun menarik
serangannya. Ternyata gerakan membundar tangan lawan membuat
serangannya sukar dilancarkan, keruan bukan main kagetnya.
Betapa tinggi Lwekang orang, agaknya masih lebih unggul dari Ngo-
hong Kaucu, Hun-tiong Siancu pun tak mampu berbuat demikian.
Dasar wataknya keras, timbul hasrat Ji Bun untuk menang, maka
Tok-jiu-ji-sek segera dilancarkan pula. Tapi keadaan tetap sama, Ji
Bun dipaksa menarik serangannya di tengah jalan.
Lekas Ciang Wi-bin angkat tangan, serunya: "Hiantit, Lwekang
Locianpwe tiada taranya, jangan kau semberono mencobanya lagi.”
Kwi-ouw hujin berkata dingin: "Sudah kukatakan tiga jurus."
Ciang Wi-bin diam saja, namun hatinya cukup lega, karena Kwi-
ouw Hujin berjanji tidak akan balas menyerang.
Sudah tentu lain bagi penerimaan Ji Bun, dua jurus serangannya
yang dahsyat dapat dipatahkan lawan. Apakah jurus ketiga dapat
berhasil, inilah merupakan tanda tanya pula. Padahal ketiga jurus
pukulan ini merupakan inti sari dari segala puncak ilmu Ban-tok-bun,
kalau hari ini dikalahkan oleh Kwi-ouw Hujin, sungguh merupakan
tamparan dan penghinaan bagi perguruannya, sebab ini
membuktikan bahwa meski Kwi-ouw hujin tidak pernah mendirikan
perguruan atau aliran, namun kenyataan ilmunya !ebih tinggi dari
perguruan sendiri.
Sebenarnya saja latihan Ji Bun yang belum matang, kematangan
latihan akan sangat penting artinya bagi perbawa ilmu yang dia
lancarkan, kalau Lwekang bertambah tangguh, sudah tentu
kekuatan jurus serangannya juga akan bertambah kuat. Di samping
itu, demi menjaga tata tertib perguruan, di waktu melancarkan
serangan ini dia pantang menggunakan racun, sudah tentu keadaan
menjadi jauh berbeda. Apalagi kalau Kwi-ouw Hujin balas
menyerang, akibatnya tentu amat mengerikan. Sikapnya serius,
sorot matanya berkilat laksana api yang mencorong panas.
"Sambutlah jurus ketiga!" di tengah hardikannya, Tok-jiu-sam-sek
segera dilancarkan dilandasi seluruh kekuatannya.
"Ah," walau lirih suaranya, namun semua orang mendengar
keluhan ini, Kwi-ouw Hujin agak limbung dan tergetar mundur,
segera ia mengayun tangan dan berkata: "Kalian boleh pergi!"
Suaranya terasa pahit getir, sedih lagi. Bayangkan, seorang tokoh
Bu-lim yang sudah seabad usianya dikalahkan seorang tunas muda,
sudah tentu bukan kepalang rasa kecewanya.
Ji Bun sendiri tidak menyangka jurus ketiga serangannya bakal
berhasil, keruan iapun melenggong. Setelah orang buka suara baru
dia sadar dan lekas memberi hormat, katanya penuh rasa sesal:
"Locianpwe suka mengalah, terima kasih."
Tanpa bicara lagi Kwi-ouw Hujin putar tubuh terus berkelebat
masuk ke dalam pintu, nenek tua yang dipanggil Siau-bwe tadi juga
ikut lenyap ke dalam.
Ciang Wi-bin tertawa kecut, katanya: "Marilah kita pergi!"
Mereka berlari memasuki hutan dan menuju ke pinggir jurang. Ji
Bun melongok ke bawah, katanya: "Paman, cara bagaimana kau
akan turun?"
"Ikatlah aku!" kata Ciang Wi-bin, setiba di celah-celah antara
lekukan batu gunung, dari dalam lubang di bawah batu Ciang Wi-bin
merogoh keluar dua gulung tali, pada ujung tali terpasang gantolan
besi yang berbentuk cakar. "Pakai ini!" katanya.
"Silakan paman turun lebih dulu, Siautit punya cara lain."
Ciang Wi-bin heran, seperti hendak bicara, tapi urung, sambil
menggerakan kedua cakar besi di tangannya, segesit kera tubuhnya
segera melorot turun ke bawah dan segera bayangannya ditelan
gumpalan awan.
Ji Bun kerahkan tenaga, lalu dengan Ginkang angin lesus pelan-
pelan iapun melayang turun ke bawah. Setiba di bawah, bayangan
Ciang Wi bin tidak kelihatan, ia merasa heran. Secara beruntun
mereka turun, jarak waktunya tidak terlalu lama, kenapa
bayangannya tidak kelihatan? Tak mungkin dia tinggal pergi begitu
saja.
Mendadak ia melihat sebuah cakar yang dipakai Ciang Wi-bin tadi
jatuh di antara semak-semak sana, di depan semak-semak tampak
noda darah pula berceceran menuju ke arah kanan.
Keruan ia kaget, Ciang Wi-bin terang mendapat sergapan di luar
dugaan, memangnya siapa yang pasang perangkap menjebaknya di
sini? Kenapa dirinya tidak mendengar keributan dari orang-orang
yang berbaku hantam di sini? Kepandaian silat Ciang Wi-bin cukup
tangguh?
Dengan gelisah dia ikuti ceceran darah itu terus memasuki semak
belukar, beberapa tombak kemudian ceceran darah itu berhenti dan
lenyap tiada kelanjutannya. Pandangannya di sini teraling dedaunan
dan semak belukar, tidak bisa melihat ketempat yang jauh. Tapi Ji
Bun yakin, menurut waktu dia perhitungkan, peduli apa yang telah
terjadi, pihak lawan pasti tidak akan lari jauh. Maka dia melompat ke
atas sebuah hatu yang tinggi letaknya, dari atas melihat kebawah,
namun selepas matanya menjelajah tiada yang ditemukan sesuatu.
Kalau Ciang Wi-bin sampai mengalami nasib jelek, pasti bukan
kepalang sesal hatinya, keringat membasahi jidatnya, hatinya gelisah
seperti dibakar.
Disaat dia celingukan, tiba-tiba didengarnya sebuah suara
herangan lemah seperti suara yang bergema dari bawah tanah,
arahnya dari hutan yang tak jauh di sebelah depan sana, tanpa pikir
Ji Bun lantas menubruk kearah datangnya suara. Betul juga
dilihatnya Ciang Wi-bin tertelikung tangannya, terikat pada batang
pohon, mulutnya disumbat kain tebal, hanya sepasang matanya saja
yang kelihatan. Sekelilingnya sunyi senyap tidak terdengar suara
apapun.
Berkobar amarah Ji Bun, bergegas dia menghampiri Ciang Wi-bin.
Sejak kelana berulang kali dia mengalami bencana, liku-liku
kehidupan Kang-ouw yang serba berbahaya kenyang baginya, maka
dia sudah meningkatkan kewaspadaan. Kalau menuruti adatnya
yang dulu, sejak tadi dia sudah menubruk ke arah Ciang Wi-bin serta
membebaskannya.
"Uk, uk!" Ciang Wi-bin bersuara dalam tenggorokan, Ji Bun
berhenti, matanya menjelajah sekitarnya, lalu melangkah maju pula.
Biji mata Ciang Wi-bin mendelik sebesar kelereng, sayang mulut
tersumbat sehingga tak dapat memberi peringatan bahaya apa yang
bakal mangancam Ji Bun. Tapi Ji Bun cukup mengerti akan sikapnya
yang cemas dan kuatir itu.
Kalau tahu pasti ada perangkap, namun Ji Bun tetap melangkah
mendekati Ciang Wi-bin. Mendadak kedua kaki Ciang Wi-bin
menggedok tanah, tanah dan daun serta ranting pohon yang kering
sama ditendangnya bertaburan.
Di situkah perangkapnya? Tiba-tiba Ji Bun tersadar, langkahnya
diperlambat, sementara matanya meneliti dengan seksama
sekelilingnya, daun-daun kering dan tetumbuhan rumputpun tidak
lepas dari pengamatannya, ingin ditemukannya sesuatu yang
mencurigakan.
Tiba-tiba sehuah suara yang amat lirih, sedemikian lirihnya kalau
orang biasa pasti tak mendengarnya, tapi kuping Ji Bun yang tajam
dapat menangkapnya dan tahu letaknya kira-kira lima tombak di
semak pepohonan sana. Dasar cerdik dan waspada Ji Bun lantas
tahu kalau di sebelah sana pasti ada orang yang sembunyi sudah
tentu tujuannya hendak membokong atau menyerang dirinya
dengan cara apapun. Kini barulah dirinya tahu apa maksud Ciang
Wi-bin menggedok tanah dan melotot padanya, maksudnya jelas
mencegah dirinya mendekat lebih lanjut.
"Sret!" laksana kilat menyamber di tengah angkasa, cepat sekali
Ji Bun menubruk ke semak pohon sebelah sana.
"Blang'", pada waktu yang sama, tanah di mana barusan Ji Bun
berpijak, meledak keras dengan memercikan lelatu api, asap tebal
membubung tinggi ke angkasa.
"Ngek!" di tengah herangan kesakitan, tahu-tahu seorang
pemuda baju sutera telah dicengkeram oleh Ji Bun. "Ngo-hong-su-
cia! He he, sungguh tak kira kalian cakar-cakar iblis ini juga
menguntit diriku sampai di pegunungan ini ........”
Belum selesai Ji Bun bicara, Ngo-hong-su-cia yang diringkusnya
mendadak menjerit ketakutan, “Ngo-lui-cu!"
Reaksi Ji Bun amat cepat dan tangkas, begitu lepas tangan, sebat
sekali tubuhnya melompat tiga empat tombak ke samping, maka
terdengar ledakan keras pula, diiringi pekik tertahan Ngo-hong-su-
cia yang mati dengan tubuh hancur lebur, asap tebal mengelilingi
sekitarnya, daun dan dahan pohon sama rontok berjatuhan.
Beringas wajah Ji Bun, sekali lompat dan cengkeram, kembali dia
berhasil membekuk seorang pemuda baju sutera. Pengalaman
merupakan pelajaran yang berharga, begitu berhasil membekuk
seorang musuh, segera dia melompat ke tempat lain. Maka
bayangan orang segera bermunculan dari berbagai arah, semuanya
berseragam baju sutera warna bijau ketat, kecuali yang sudah mati
bersama yang ditawan di tangannya sekarang semuanya berjumlah
delapan orang.
"Te-gak Suseng, hari ini kau pasti mampus!" seru seorang.
Ji Bun menoleh, dilihatnya dari balik pohon sebelah kanan sana
muncul seorang aneh berambut merah, matanya yang cuma satu
bersinar terang buas dan liar, badannya kurus kering seperti genter,
jubah yang dipakainya panjang dan lebar kedodoran sehingga
keadaannya mirip sekali setan gentayangan. Laki-laki ini bukan lain
adalah wakil Kaucu Ngo-hong-kau, jit-sat-sin Jiu Jing adanya, tempo
hari dia pernah terluka oleh Tok-jiu-it-sek, untung dapat melarikan
diri.
"Hu-Kaucu," jengek Ji Bun sinis, "selamat bertemu!"
19.57. Beberapa Misteri Mulai Terkuak
"Aaaah!" pekik panjang yang mengerikan berkumandang di
angkasa pegunungan. Sebab cengkeram dan mengerahkan tenaga,
secara hidup-hidup Ji Bun membetot protol tubuh pemuda baju
sutera yang dibekuknya tadi, sekenanya terus dilemparnya mayat itu
ke depan.
Berpijar mata tunggal Jit-sat-sin Jiu Jing saking murka, teriaknya
seperti kebakaran jenggot "Te-gak Suseng, kalau hari tidak kuhancur
leburkan tubuhmu, aku bersumpah tidak jadi manusia."
Ji Bun menyeringai, jengeknya: "Kalau tidak jadi manusia, nah,
pergilah jadi setan!"
Belum lenyap dia bicara, tahu-tahu ia sudah menubruk ke arah
Jit-sat-sin.
"Jangan bergerak!"
Ji Bun kaget, lekas dia hentikan aksinya, tampak Jit-sat-sin sudah
melompat sembunyi ke belakang Ciang Wi-bin, telapak tangannya
menekan batok kepala Ciang Wi-bin.
Dengan murka Ji Bun membentak: "Jit-sat-sin, berani kau
mengganggu seujung rambutnya, ayam anjingpun takkan kubiarkan
hidup dalam Ngo-hong-kau."
Semua orang mengkirik mendengar ancaman tegas ini. Wajah Ji-
sat-sin sendiripun berubah, katanya bergelak tawa: "Anak muda, kau
tiada punya kesempatan lagi.”
"Belum tentu .......”
Tiba-tiba kedua kaki Ciang Wi-bin kembali menggedok-gedok
tanah. Ji Bun seketika sadar dan waspada, sigap sekali tiba-tiba dia
membalik tubuh, dilihatnya seorang Sucia tengah mengayun tangan
menimpukkan Ngo-lui-cu, kekuatan Ngo-lui-cu dapat mencapai
beberapa tombak, betapapun cepat gerakan Ji Bun takkan lebih
cepat dari pada ledakan Ngo-lui-cu itu.
Kalau Thong-sian Hwesio mampu menghentikan luncuran Ngo-
lui-cu di tengah udara dengan ilmu Sian-thian-cin-khi, namun Ji Bun
tak mampu berbuat demikian, soalnya masing-masing mempunyai
keahliannya sendiri. Waktu amat mendesak, tiada tempo buat Ji Bun
mencari akal. Secara refleks terpaksa dia kerahkan sepenuh
kekuatannya menggempur dengan kedua telapak tangannya.
Setelah pukulan jarak jauh dilontarkan, cepat dia mendekam.
"Daaarl" karena kebentur oleh tenaga pukulan dari jauh sebelum
jatuh menyentuh tanah sudah meledak di tengah udara, terdengar
dua kali jeritan pula, ketiga Sucia sekaligus terjungkal mampus.
Ji Bun gunakan kesempatan baik ini, di saat Jit-sat-sin terpencar
perhatiannya, selicin belut segesit kera tubuhnya tiba-tiba melenting
ke belakang Jit-sat-sin, berbareng ia terus menutuk.
Jit-sat-sin tersadar dan kaget, namun sudah terlambat,
kesempatan untuk menghantam batok kepala Ciang Wi-bin sudah
tiada lagi, lebih perlu menyelamatkan jiwa sendiri, terpaksa dia
berkelit. Bahwa dia berhasil meluputkan diri dari tutukan lihay ini
membuktikan bahwa kepandaian silatnya memang bukan olah-olah
tingginya.
Benci Ji Bun luar biasa terhadap musuh yang ini, di mana tubuh
orang berkelebat, sigap sekali iapun membayanginya, berbareng
Tok-jiu-sam-sek dilancarkan. Kontan Jit-sat-sin melolong ngeri,
tubuhnya terjungkal roboh, namun dia masih kuat meronta bangun.
Kembali Ji Bun ayun tangannya dengan telak dada orang
ditamparnya, tubuh orang kurus kering laksana genter itu seketika
terlempar, "Bluk", begitu terbanting di tanah lantas tak bergerak
lagi. Empat Sucia lainnya yang ketinggalan pecah nyalinya, beramai-
ramai mereka angkat langkah seribu alias melarikan diri.
Ji Bun tak sempat mengejar dan membunuh mereka, menolong
Ciang Wi-bin lebih penting.
Ciang Wi-bin menggosok tangannya yang terikat kencang tadi,
katanya sambil tertawa getir: "Hiantit, sungguh berbahaya, hampir
saja jiwa kita melayang."
"Paman tidak apa-apa?" tanya Ji Bun prihatin.
"Tidak apa-apa."
"Agaknya mereka sudah pasang perangkap dan menunggu kita di
bawah gunung?"
"Mereka kemari karena menguntit jejakmu, tujuannya hendak
membunuhmu"
"Darimana mereka tahu paman berada bersamaku? Paman sudah
beberapa bulan terkurung di atas, setan atau malaikatpun tiada yang
tahu, Siautit juga datang seorang diri, apalagi jarang orang Kangouw
yang pernah melihat wajah asli paman ini .......”
"Kejadian ini tidak mungkin kebetulan, aku tiba di bawah sini,
lantas disergap, malah Jit-sat-sin membuka kedok mukaku. Marilah
duduk, ceritakan dulu pengalaman akhir-akhir ini padaku."
Ji Bun duduk di atas dahan pohon yang roboh, lalu menceritakan
pengalamannya setengah tahun yang lalu, karena adanya larangan
perguruan, maka dia hanya menjelaskan sekenanya tentang rejeki
yang diperolehnya, seluk beluk Ban-tok-bun tidak dia ceritakan.
Ciang Wi-bin manggut-manggut, hatinya lega dan terhibur,
katanya menghela napas: "Hiantit, dengan kepandaianmu sekarang
hanya beberapa gelintir orang saja yang mampu menandingimu."
Ji Bun geleng-geleng, katanya "Paman terlalu memuji, terhadap
Kwi-ouw Hujin saja, kalau beliau mau melawan secara sungguh-
sungguh, siapa unggul atau asor sulit ditentukan."
"Coba kau terka, siapa sebenarnya Kwi-ouw Hujin? Dia adalah
Pek-pian-mo-li yang dulu pernah menggetarkan Bu-lim itu."
"O, tak heran wajahnya tidak cocok dengan usianya, ternyata
iapun seorang gembong yang dalam bidang tata rias."
"Bukan begitu, apa yang kau lihat adalah wajahnya yang
sebenarnya, Lwekangnya sudah sedemikian tinggi sehingga dapat
mempertahankan kecantikan dirinya, secara serampangan akhirnya
aku herhasil menemukan danau setan. Mengingat hubungannya
dengan almarhum guruku Yu-ing-long-kun dulu, dia mau
memberikan Kim-sian-jau-koh kepadaku, namun dia mengajukan
syarat, bahwa aku harus berbakti kepadanya setengah tahun
lamanya..."
"Berbakti? Jadi kacungnya maksud paman?"
"Ya, di samping itu dalam syarat yang ditentukan juga bahwa aku
dilarang berbicara dengan siapapun yang datang dari luar."
"Kenapa demikian?”
“Dia kuatir aku membocorkan rahasia 'danau setan' ini."
"Sungguh orang aneh bertingkah ganjil pula."
"Memangnya. Eh, kau belum jelaskan kenapa kau tidak
memerlukan buah itu lagi?"
"Tanpa sengaja kupernah mengalami suatu ke jadian aneh dan
memperoleh rejeki nomplok, tangan beracun sudah bisa
kukendalikan menurut kemauan hati, tanpa diobati, racun sudah
kutawarkan sendiri. Sebaliknya jerih payah paman ini membuat
hatiku tidak tenteram."
"Jangan kau singgung soal ini lagi ......... Kau masih ingat tentang
janji sebulan pada setengah tahun yang lalu? Sekarang kau boleh
tanya langsung."
Ji Bun menyeka keringat jidatnya, setelah tenangkan hatinya
yang bergejolak, lalu buka suara: "Bagaimana tentang mati hidup
ayah?"
Sikap Ciang Wi-bin tampak berobah, katanya sambil menggigit
bibir: "Mungkin dia masih hidup."
"Hanya mungkin? Itu berarti belum tentu."
"Kemungkinan boleh diartikan masih hidup. Kau tahu siapa
sebetulnya Jit-sing-ko-jin? Dia adalah duplikat ayahmu sendiri."
Laksana disamber petir kaget Ji Bun, matanya mendelik,
suaranya gemetar: "Tidak, tidak mungkin ......"
"Kenapa tidak mungkin?"
"Di puncak Pek-ciok-hong Siautit dipukulnya sampai terjungkal ke
dalam jurang."
Ciang Wi-bin berjingkrak berdiri, serunya: "Ada kejadian begitu?
Mungkinkah ........”
"Kenyataan begitu, Siautit tidak membual."
Ciang Wi-bin mendelong sekian lamanya, mulutnya melongo
tanpa bersuara.
Pikiran Ji Bun menjadi kalut, seorang ayah tanpa sebab hendak
membunuh puteranya sendiri, siapa mau percaya? Tapi apa yang
diucapkan Ciang Wi-bin pasti bukan bualan, cuma di dalam
persoalan ini pasti ada latar belakangnya yang sukar diraba, segera
ia tanya: "Paman, lalu bagaimana dengan kedua mayat di jalan raya
ke Kay-hong itu?"
"Kalau Jit-sing-ko-jin adalah ayahmu, maka berani kupastikan
ayahmu masih hidup."
"Dia ...... dia ....... kenapa bisa begitu?"
"Ya, untuk menghindari pengejaran Siangkoan Hong, karena dia
sendiri atau Jit-sing-ko-jin merupakan sasaran utama pihak Wi-to-
hwe, maka dia mengatur muslihat ini."
"Tapi kenapa dia turun tangan terhadapku? Mungkinkah ada latar
belakang yang serba rahasia?"
"Hal ini memang sukar diraba."
"Jadi kalau demikian, jadi ayah betul-betul belum mati? Paman
pernah sehaluan dengan ayah bukan?''
"Ya, laki-laki tak dikenal dan Kwe-loh-jin yang berhasil merebut
Hud-sim itu kuduga adalah samaran ayahmu, sayang aku tak
berhasil memecahkan seluk-beluk ini."
"Keponakan sudah tahu, Kwe-loh-jin adalah Ngo-hong Kaucu."
"Apa?" tertak Ciang Wi-bin, "Kwe-loh-jin adalah Ngo-hong
Kaucu?"
"Ya, dia pula yang pernah menyamar jadi ayah, berjubah sutera
dan berkedok, orang pertama yang pernah membunuh keponakan."
"Kau sudah mendapatkan bukti?"
"Bukti dan nyata."
"Kalau demikian aku bisa menyimpulkan bahwa Jit-sing-ko-jin
yang memukulmu itu bukan samaran ayahmu, mungkin orang itu
juga pandai rias diri, sebelumnya dia sudah mengintip dari tempat
sembunyinya, maka dengan mudah ia turun tangan padamu?”
"Analisa paman tentu tidak meleset, lalu siapa orang ini?"
"Mungkin Kwe-loh-jin itu ......”
"Untuk ini keponakan yakin pasti bisa membereskannya, Hud-sim
tercuri di rumah paman, sebetulnya dengan kemampuan paman
......”
Ciang Wi-bin geleng-geleng, katanya getir: "Waktu mendapatkan
Hud-sim, kudapat patung itu sudah kehilangan hatinya, kukira sudah
tiada nilainya lagi, untuk menghindari bencana maka sengaja kubuat
pajangan supaya dicuri orang, untuk mengaburkan salah sangka
orang."
"O, kiranya demikian. Ibu tua Khong-kok-lan So Yan menempati
gedung setan milik paman di kota Cinyang, hubungannya dengan
ayah sudah retak ........”
"Liku-liku kejadiannya kau sudah tahu. Tentunya kau masih ingat
kisah Hing-thian-kiam Gui Han-bun yang bermusuhan dengan
ayahmu? Karena ibu tuamu minta perlindunganku, terpaksa aku
menerimanya, aku menghargai dia dan simpatik padanya, soal ini
ayahmu tidak tahu."
"Dan anak itu ......”
Terunjuk perasaan sedih pada wajah Ciang Wi-bin, katanya
rawan: "Dia adalan putera paman, ibunya meninggal waktu
melahirkan dia, maka kutitipkan ibu tuamu untuk mengasuhnya."
Ji Bun manggut-manggut, katanya pula: "Kalau ayah masih
hidup, kenapa dia tidak menemuiku?"
"Mungkin dia punya perhitungan sendiri, mungkin ...... Ai,
sebetulnya tak perlu kubicarakan soal ini, namun kau juga sudah
tahu, betapa sepak terjang dan kelakuan ayahmu sebetulnya
memang keterlaluan."
Anak pantang menista perbuatan ayah sendiri, apa pula yang
bisa Ji Bun katakan? Maka dia alihkan pokok pembicaraan, katanya:
"Ibu diculik pihak Ngo-hong-kau, demikian pula Thian-thay-mo-ki
......”
Terbeliak mata Ciang Wi bin, katanya: "Sejak Jit-sing-po hancur,
selalu dia bersama ayahmu, bagaimana .......”
"Mungkin ayah dibunuh pihak Ngo-hong-kau?" seru Ji Bun kaget.
Ciang Wi-bin menepekur, rona mukanya berubah ganti berganti.
"Paman," kata Ji Bun pula, "maaf, sebetulnya ada hubungan
rahasia apakah antara paman dengan ayah?"
"Hubungan rahasia tiada, tapi ...... hal ini memang kau harus
tahu, dulu aku bersahabat dengan ayahmu, sayang aku tidak
menyelami watak dan karakternya, belakangan baru kudengar
banyak perbuatannya yang tidak baik sehingga hubungan kami
semakin renggang, sampai pada waktu kau menolong puteriku dari
markas Cip-po-hwe, sejak itu puteriku sudah menaksir padamu ......
Kemudian baru aku kontak pula sama dia, kami masing-masing
bertukar ilmu ........”
"Bertukar ilmu?"
"Ya, kuajarkan gerakan badan dan tata rias, sedang dia
mengajarkan ilmu beracun, itulah sebabnya dia pandai menyamar
dan akupun tidak gentar terhadap serangan tanganmu yang
beracun."
"O," dengan kaget Ji Bun mengiakan, sungguh hal ini tidak
pernah dia bayangkan, secara langsung teka teki selama ini telah
tersingkap pula. Tanyanya: "Apakah paman tahu dari mana asal usul
ayah mendapatkan ilmu beracun itu?"
"Katanya tanpa sengaja dia memperoleh sejilid Tok-keng ......”
"Tok-keng? Pernahkah ayah menceritakan bagaimana dia
memperoleh Tok-keng ini?"
"Tidak. Memangnya kau sendiri tidak tahu?'
"Keponakan diajarkan secara lisan, belum pernah melihat Tok-
keng, entah bagaimana asal usulnya," lalu ia menunduk memeras
otak, mendadak dia angkat kepala sambil berseru; "Ya, aku sudah
mengerti sekarang."
"Kau mengerti apa?" tanya Ciang Wi-bin.
"Ngo-hong Kaucu adalah pemilik Tok-keng, mungkin di dalam
suatu kejadian, ayah mendapatkan Tok-keng ini dari dia, sedang ibu
terkurung di Ngo-hong-kau, kalau benar apa yang paman katakan
bahwa ayah selalu bersama ibu, tentu ayah sudah terbunuh oleh
pihak Ngo-hong-kau, kalau Ngo-hong-kau berusaha membunuh
keponakan dengan macam-macam cara, tujuannya tentu hendak
mencari kembali ilmu beracun itu .......”
"Kau yakin analisamu ini pasti tepat?"
"Umpama meleset juga tidak terlalu jauh."
"Apakah muridku Ui Bing sudah melaksanakan pesan yang
kutinggalkan? Ketahuilah, tugas yang sedang dia kerjakan bakal
membantu membongkar teka-teki ini."
Tergerak hati Ji Bun, sebetulnya dia ingin tanya tugas apa yang
dikerjakan Ui Bing, namun dia urung bertanya.
Ciang Wi-bin mengerut alis, katanya: "Tapi bukan mustahil kalau
komplotan Wi-to-hwecu Siangkoan Hong yang melakukannya."
"Kukira tidak mungkin, bukti tidak ada."
"Memang, tapi ketika Jit-sing-po hancur, Siangkoan Hong juga
meluruk datang hendak menuntut balas, dendam Siangkoan Hong
terhadap ayahmu sedalam lautan, apapun yang terjadi, dia takkan
melepas ayahmu."
"Tapi dulu paman pernah berulang kali mencegah aku menuntut
balas?"
"Bukan mencegah, soalnya aku merasa peristiwa ini rada janggal,
kuharap setelah kau berunding dengan ayahmu baru bertindak,
supaya tidak bekerja membabi buta dan menempuh bahaya yang
tiada artinya. Tak kira sejauh ini jejak ayahmu tetap menghilang.”
Ji Bun manggut dengan berat, katanya: "Keponakan bersumpah
untuk membongkar kejadian ini sejelas-jelasnya."
"Hiantit masih ada persoalan lain?"
"Sementara ini tidak ada."
"Baik, kini jawablah sebuah pertanyaan paman, tapi perlu
kukatakan, kau tidak perlu rikuh, akupun tidak memaksa. Katakanlah
terus terang ..... Kau menyukai Bing-cu tidak?"
Seketika Ji Bun menjublek tak mampu menjawab, kalau
dikatakan tidak suka, ini bertentangan dengan sanubarinya, kalau
menyatakan suka, jelas Ciang Wi-bin menuntut adanya ikatan nikah,
lalu bagaimana dia harus memberi pertanggungan jawab kepada
Thian-thay-mo-ki yang telah mengorbankan segala miliknya untuk
dirinya? Sekian lama Ji Bun mematung tak mampu bicara.
"Banyak persoalan dalam dunia ini yang tak mungkin bisa
dikerjakan secara paksa oleh siapapun" demikian ujar Ciang Wi-bin
menghela napas.
Kata-katanya laksana jarum menusuk hati Ji Bun, tapi apa yang
dapat dia katakan? Suasana sesaat menjadi hening, kikuk dan serba
salah. Setelah berpikir baru Ji Bun berkata: "Paman, bagaimana
kalau soal ini kujawab setelah Siautit berhasil menuntut balas?"
"Masing-masing orang mempunyai cita-cita hidup sendiri, cuma
perlu kutegaskan, puteriku itu berkeras hati .......”
"Biarlah nanti Siautit sandiri yang bicara langsung dengan dia.”
“Maksudmu soal jodoh ini sukar terlaksana?"
"Siautit punya kesulitan, tentunya adik Bing-cu dapat
memaklumi."
Terbayang rasa masgul pada wajah Ciang Wi-bin. Ji Bun sendiri
juga merasa rikuh, serba salah dan menyesal, terasakan betapa
agung dan besar perhatian keluarga Ciang pada dirinya, selama
hidup takkan dilupakannya, malah kali ini demi perjodohan dirinya
dengan putrinya, orang tua ini rela menempuh perjalanan jauh dan
bahaya mencarikan obat penawar racun tangannya, kini harapannya
yang dinanti-nanti akan sirna, betapa hati sang hartawan besar
nomor satu dan tokoh aneh dari Kangouw ini takkan sedih dan
menyesal?
"Paman Siautit sangat menyesal."
"Soal ini tak usah dibicarakan lagi. Bagaimana tindakanmu
selanjutnya?"
"Siautit akan meluruk ke markas Ngo-hong-kau baru nanti pergi
ke Wi-to-hwe."
"Perjalanan ke Ngo-hong-kau boleh ditunda, paman sudah
mengatur suatu muslihat, biarlah kita lihat dulu hasil dari rencanaku
itu baru nanti mengambil langkah selanjutnya."
"Langkah apakah yang telah paman atur?"
"Terlalu pagi untuk kujelaskan, akan kujelaskan setelah tiba
saatnya."
"Kalau begitu Siautit akan pergi ke Tong-pek-san saja."
"Kenapa tidak ke Cinyang, temuilah Bing-cu di sana."
"O, ya, tentu ..... tentu Siautit akan ke sana.”
"Baiklah, kita berpisah di sini, selamat bertemu di kota Cinyang."
Ji Bun tahu Ciang Wi-bin tidak mau muncul dengan wajah aslinya
di muka umum, mungkin setelah berdandan baru akan menempuh
perjalanan, maka Ji Bun juga tidak banyak bicara lagi. "Silakan
paman." katanya.
"Hati-hati terhadap orang Ngo-hong-kau, mungkin mereka
mengatur perangkap dan main sergap."
Ji Bun mengiakan. Ciang Wi-bin segera melayang pergi. Ji Bun
mendongak melihat cuaca, matahari telah jauh doyong ke barat,
lekas dia berlari-lari menuju ke arah timur.
Beruntung perjalanan ke "Danau Setan" ini tidak sia-sia. Ciang
Wi-bin selamat, malah dia berhasil melihat muka orang yang asli,
banyak persoalan rumit tersingkap pula, sayang mati hidup ayahnya
masih merupakan tanda tanya. Keselamatan ibunda dan Thian-thay-
mo-ki juga masih mengganjel hatinya.
Bagaimana dia harus bicara langsung terhadap Ciang Bing-cu
setelah tiba di kota Cinyang? Inilah soal pelik yang menjadi
pemikirannya sepanjang jalan.
Sehari semalam baru dia keluar dari pegunungan Cong-lam-san,
semalam dia menginap di hotel, setetah, cukup istirahat dan
memulihkan kesegaran badannya, esok pagi dia melanjutkan
perjalanan menuju ke tenggara.
Hari itu dia tiba di Sip-san, di gunung inilah San-lim-li-sim
bersemayam, mau tidak mau dia teringat pada Hun-tiong Siancu,
jiwanya hampir mampus ditangannya, kalau dalam tubuhnya tiada
darah Thian-thay-mo-ki yang pernah minum darah "naga batu",
tentu sejak lama dirinya sudah mati. Dendam lama ditambah sakit
hati yang baru lalu, betapapun harus segera dibereskan. Maka Ji Bun
membelok meninggalkan jalan raya menuju ke arah bukit payung
dimana tempat Hun-tiong Siancu bercokol.
Setelah tahu letaknya dan apal jalannya, dengan mudah dan
cepat Ji Bun menuju ke puncak berbahaya dengan undakan batu
tunggal menuju ke atas itu. Di atas sanalah Hun-tiong Siancu
berada.
Setelah diserbu pihak Ngo-hong-kau, adalah jamak kalau
penjagaan lebih ketat dan kuat, lalu dirinya harus menerjang secara
terang-terangan lewat undakan batu ini atau mumbul ke atas
menggunakan Ginkang "pusaran angin lesus" saja.
Sebelum Ji Bun berkeputusan, "trang, trang", tiba-tiba
didengarnya suara benturan senjata tajam dari pinggir hutan sana,
bangkit rasa ingin tahu Ji Bun, lekas dia melenting ke arah
datangnya suara.
Keadaan di dalam hutan ternyata amat tegang dan mengejutkan.
Seorang Siucay kampungan sedang berhadapan dengan seorang
laki-laki baju sutera, keduanya bersenjata pedang, pedang laki-laki
baju sutera menuding ke bawah, sedang pedang si Siucay melintang
lurus ke depan, sementara tangan kiri melindungi dada. Kedua orang
menunjuk gaya yang berlainan dari permainan ilmu pedang
umumnya, keringat sudah membasahi jidat dan badan kedua orang,
dada turun naik, agaknya mereka berhenti untuk mengatur napas
dan menghimpun kekuatan. Pertempuran ini tampaknya menjelang
babak terakhir, yang terang keduanya sama kuat alias setanding.
Masih ada lima orang berbaju sutera ketat bersenjata pedang
berjajar setengah lingkaran di luar gelanggang, masing-masing
menduduki posisi yang mengurung, setiap pedang kelima orang ini
memancarkan sinar kemilau yang berceceran darah. Di atas tanah
dua belas mayat bergelimpangan.
Ji Bun menyelinap maju lebih dekat, kedatangannya tidak
diketahui, waktu dia menyapu pandang, segera iapun maklum.
Orang-orang baju sutera itu adalah jago-jago kosen Ngo-hong-kau.
Siucay tua ini pernah menawan dirinya dan belakangan menjadi
anggota Wi-to-hwe pula. Asal-usulnya belum diketahui. Para korban
itu ternyata adalah anak buah Wi-to-hwe.
"Trang, trang!" sinar pedang berkelebat kemilau laksana kilat
menyambar, hawa pedang terasa dingin dan mengiris kulit,
bayangan kedua orang berkutet sebentar lalu berpencar mundur,
kembali keduanya bergaya dengan posisi semula. Kepandaian ilmu
pedang kedua orang ini jarang terlihat di kalangan Bu-lim.
Ji Bun pikir belum lama Ngo-hong-kau berdiri, namun berhasil
menjaring jago-jago silat tinggi sebanyak ini, taraf kepandaian
keenam orang jago pedang ini sudah terhitung kelas satu di
kalangan Kangouw. Tapi mata Ji Bun lebih banyak menatap pada si
Siucay tua, beruntung hari ini bertemu di sini, perhitungan lama
dibereskan nanti.
Terdengar laki-laki setengah umur baju sutera itu buka suara:
"Saudara betul-betul tidak mau memperkenalkan diri?"
"Tiada perlunya," suara si Siucay tua rada gemetar.
"Tapi permainan pedangmu sudah membongkar asal usul dirimu
..........”
"Kau sudah tahu?"
"Gui Han-bun, Hing-thian-it-kiam yang kau unjukkan barusan
tentu dapat kukenali."
"Bagus, agaknya memang luas pengalamanmu?” jengek Siucay
tua.
Mencelos hati Ji Bun, Hing-thian-it-kiam Gui Han-bun, bukankah
dia ini suami atau kekasih ibu tua Khong-kok-lan So Yan? Terbayang
cerita yang dikisahkan Biau-jiu Siansing, agaknya Gui Han-bun tidak
mati ketika terjungkal ke dalam jurang. Ya, kini Ji Bun mengerti,
kenapa tempo hari orang menculik dirinya dan mengompes
keterangan di mana ayahnya berada, kiranya menyangkut urusan
permusuhan lama ini.
Pertempuran berlangsung pula dengan sengit. Pikiran Ji Bun
sedang kusut. Bicara kejadian nyata, perbuatan ayahnya dulu
memang kotor dan memalukan. Petaka yang menimpa sepasang
kekasih ini memang sangat menyedihkan, siapapun pasti akan
menaruh simpatik kepada mereka.
Tiba-tiba kelima pemuda baju sutera menghardik bersama terus
terjun ke tengah gelanggang, jadi enam lawan satu kini, sudah tentu
lekas sekali keadaan berubah. Betapapun tinggi kepandaian Hing-
thian-it-kiam Gui Han-bun, dalam beberapa gebrak saja sudah
terancam maut, terang sekali Gui Han-bun bukan tandingan keenam
musuhnya.
Entah berdasarkan perasaan apa, tiba-tiba Ji Bun menghardik
diluar sadarnya: “Berhenti!"
Sebat sekali dia melompat maju.
Orang-orang yang tengah berhantam berbareng menghentikan
gerakannya dan mundur, serempak mereka memandang ke arah
datangnya suara. "Te-gak Suseng!" mereka berteriakan kaget.
Melihat Ji Bun, Siucay tua memandangnya dengan sorot penuh
kebencian. Dengan langkah berat Ji Bun menghampiri, lalu
menghadapi laki-laki setengah umur yang menjadi pemimpin anak
buah Ngo-hong-kau, suaranya dingin: "Apa kedudukanmu di dalam
Ngo-hong-kau?"
Laki-laki itu menyurut selangkah, katanya: "Te-gak Suseng,
kuharap kau tidak bersikap bermusuhan dengan pihak kami."
"Akan kuberantas kalian setan iblis ini!" Berubah roman keenam
orang.
"Te-gak Suseng," kata laki-laki setengah umur geram, "jangan
lupa akan keselamatan jiwa tawanan kami?"
Menyinggung ibunda dan Thian-thay-mo-ki, hal ini malah
mengobarkan amarah dan kebencian Ji Bun, yang tak terkendali lagi,
sorot matanya mencorong benderang, hardiknya kalap: "Serahkan
jiwa kalian!" Kaki menjejak maju, kedua tangan bergerak dengan
sepenuh kekuatan, telapak tangan tegak menabas lalu menggaris
melintang, gelombang angin dahsyat bagai amukan ombak samudra
menggulung maju. Kepandaian laki-laki setengah umur memang
lihay, tahu-tahu tubuhnya berkelebat miring menghindar ke pinggir,
berbareng pedangnya terayun. Sinar pedangnya memanjang
delapan kaki, membabat dari samping ke arah Ji Bun. Betapa lihay
serangan ini sungguh amat mengejutkan. Dalam waktu yang sama,
kelima pedang lainnya juga menyerang dari berbagai arah.
Kedua tangan Ji Bun sudah terlanjur menyerang dengan
kekuatan penuh maka kakinya mendesak maju pula sambil menekuk
badan. Laksana kilat tangannya bergerak, dua orang kontan menjerit
ngeri pedang terlempar dan badannya tersungkur tak bergerak.
"Mundur," laki-laki setengah umur memberi aba-aba. Dia
mendahului lompat jauh, ketiga temannya keruan ketakutan
setengah mati berlomba mereka putar badan terus angkat langkah
seribu.
"Kalian takkan lolos!" bentak Ji Bun. Secepat anak panah
meluncur tiba-tiba Ji Bun menyusul ke arah laki-laki setengah umur,
telapak tangan diselingi tutukan jari yang mengandung racun
bekerja, menutuk sambil mencengkeram. Kontan laki-laki setengah
umur mengerang panjang, badannya yang tengah lari terbanting
keras, kepalanya melesak ke dalam tanah, jiwapun melayang
seketika.
Sebat sekali Ji Bun menjemput sebatang pedang dari tanah.
Sekali ayun dia menimpuk ke arah pemuda yang tengah lari sipat
kuping ke arah kanan, begitu pedang meluncur, cepat sekali dia
melejit mengejar ke arah pemuda yang lari ke arah yang berlawanan
itu. Lolong panjang berkumandang dari arah sana, pedang
menembus punggung ke dada dan memanteknya di atas tanah,
pemuda itupun melayang jiwanya, sementara kedua orang lagi
tersusul Ji Bun. Seperti menjinjing anak ayam, batok kepala kedua
orang dia adu hingga pecah berantakan, hanya sekejap enam orang
sudah tamat riwayatnya.
Ji Bun putar balik menghampiri Hing-thian-it-kiam, katanya:
"Orang she Gui, selamat bertemu!”
Gui Han-bun menyurut mundur, suaranya dingin: "Te-gak
Suseng, apa kehendakmu?"
20.58. Pembasmi Jit-sing-po
Serba salah, bagi Ji Bun tidak sukar untuk merenggut jiwa orang,
namun mengingat perbuatan kejam dan kotor ayahnya dulu
terhadap orang ini, kalau sekarang dirinya membunuhnya pula,
sungguh hatinya tidak tega dan lagi melanggar azas kemanusiaan.
Sebaliknya kalau dibebaskan, permusuhan ini entah berlarut sampai
kapan.
"Dulu aku lolos dari kematian, maka aku bersumpah menuntut
balas kepada Ji Ing-hong," demikian desis Gui Han-bun.
"Memangnya kau mampu?"
"Anak muda, kalau hari ini aku mati ditanganmu, mungkin itu
sudah suratan takdir."
Berputar pikiran Ji Bun, katanya kemudian:
"Orang she Gui, permusuhanmu dengan ayah, bolehkah ditunda
sementara?"
"Tidak mungkin"
"Kalau sekarang aku membebaskan dirimu .......”
"Anak muda, kalau aku mati memang itulah nasibku, orang she
Gui pantang mengemis hidup kepada orang lain."
"Orang she Gui, kalau kuinginkan kau mati, memangnya kau bisa
hidup?"
"Silakan turun tangan," pedang ditangannya segera melintang,
sikapnya tak acuh dan siap menghadapi detik-detik kematiannya.
Perang batin bergejolak dalam sanubari Ji Bun, kalau musuh
dibunuh, urusan akan beres, namun sekarang dirinya sebagai
seorang pejabat Ciangbun dari sebuah aliran, segala tindakan
pantang menuruti keinginan hati sendiri.
Pada saat itulah, bayangan seorang mendadak berkelebat
ditengah udara dan meluncur tiba. Kiranya seorang laki-laki tua baju
hitam, wajahnya seram menakutkan. Seketika mendidih darah Ji Bun
melihat orang ini.
Orang yang baru datang langsung menghampiri si Siucay,
katanya dengan menyeringai: "Gui Han-bun, tak kira kau belum
mampus."
"Siapa kau?" desis Gui Han-bun kereng.
"Inilah Kwe-loh-jin."
"Kwe-loh-jin apa?" tukas Ji Bun, "dia inilah Ngo-hong Kaucu."
Gui Han-bun mundur beberapa langkah, teriaknya: "Ngo-hong
Kaucu?"
Ngo-hong Kaucu berpaling ke arah Ji Bun, katanya: "Urusan kita
boleh ditunda sementara."
Belum mulutnya selesai bicara, tahu-tahu bayangannya sudah
merangsak ke arah Gui Han-bun, betapa hebat dan keji cara orang
turun tangan sungguh mengejutkan. Entah menggunakan jurus apa,
di tengah suara bentaknya tahu-tahu pedang Gui Han-bun terjatuh,
dadanya terluka panjang, pucat pias wajah Gui Han-bun.
"Gui Han-bun," Ngo-hong Kaucu terkial-kial dan maju selangkah
seraya mengancam, “kini tibalah saat kematianmu!”
Bayangan tangan berlapis-lapis membentuk sebuah gulungan
yang meninggi, tahu-tahu bayangan gulungan ini melintir terus
menggaris maju. Hing-thian-it-kiam Gui Han-bun pejamkan mata,
hakikatnya dia tidak mampu menangkis atau menghindar dari
serangan telapak tangan yang hebat dari Ngo-hong Kaucu ini.
"Tahan!" di tengah bentakan keras, "Blang" suara keras
berkumandang pula, tampak Ngo-hong Kaucu tersurut mundur,
tahu-tahu Ji Bun sudah menghadang di antara kedua orang.
"Te-gak Suseng," teriak Ngo-hong Kaucu murka, apa maksudmu
ini?"
"Tidak apa-apa, kularang kau membunuhnya."
"Anak keparat, kau tidak tahu kalau dia ini adalah satu Houhoat
Wi-to-hwe?"
"Ya, aku tahu!"
"Kenapa kau membantu musuh malah?”
"Bukan urusanmu," Ji Bun berpaling lalu menambahkan, "Orang
she Gui, kau boleh pergi."
Gui Han-bun melenggong bingung, Ji Bun tidak membunuhnya
malah menolong jiwanya, sungguh hal ini sukar diselami, namun
sikapnya tetap angkuh, “Tek-gak Suseng, aku tak mau terima
kebaikanmu.”
"Terserah!" jengek Ji Bun.
Tanpa bersuara tiba-tiba Ngo-hong Kaucu menyerang Ji Bun.
Sergapan mendadak ini membuat Ji Bun keripuhan, kontan dia
terdesak beberapa langkah. Tujuan Ngo-hong Kaucu bukan
menyerang Ji Bun, setelah bikin Ji Bun mundur, secepat kilat dia
berbalik menubruk ke arah Hing-thian-it-kiam Gui Han-bun, agaknya
besar tekadnya hendak menamatkan riwayat orang ini.
Serasa pecah dada Ji Bun, Ngo-hong Kaucu terlalu licik, Lwekang
orang terpaut tidak jauh dengan dirinya, untuk menolong Gui Han-
bun terang tidak sempat lagi. Untunglah pada detik-detik yang
gawat itu, sejalur angin lunak tajam meluncur dari arah samping
mengancam pelipis Ngo-hong Kaucu.
Ngo-hong-kaucu cukup cekatan, ia tahu betapa hebat serangan
angin lunak ini. Kaki seperti terpaku di tanah, tahu-tahu
pinggangnva meliuk, terus mendoyong badan ke belakang,
serangannya terpaksa urung dilancarkan.
Sedikit peluang ini sudah cukup memberi kesempatan kepada Ji
Bun, mendadak telapak tangannya menabas, bencinya sudah
kelewat takaran, maka serangannya ini menggunakan tenaga penuh,
di tengah jerit kesakitan, Ngo-hong Kaucu tersurut lima langkah
jauhnya.
Cepat sekali dua sosok bayangan orang berdiri di tepi
gelanggang, seorang laki-laki setengah umur dengan muka codet,
seorang yang lain adalah nyonya muda yang berwajah ayu laksana
bidadari. Yang muncul bersama ternyata suami-isteri Wi-to-hwecu
Siangkoan Hong dan Hun-tiong Siancu. Pandangan mereka tertuju
ke arah Ji Bun sekejap lalu berpaling ke arah Ngo-hong Kaucu.
Munculnya kedua orang ini sunqguh di luar dugaan Ji Bun, dua
pihak musuh yang yang saling bertentangan hari ini sama kesaplok
di sini, hati Ji Bun tidak keruan rasa, siapa biang keladi pembantaian
di Jit-sing-po kini bisa diadu maka untuk membeberkan secara jelas.
Bagi Ngo-hong Kaucu kini bertambah satu dosa, yaitu murid murtad
dari Ban-tok-bun.
Dengan suara mantap Siangkoan Hong berkata: "Ngo-hong
Kaucu, sungguh pertemuan yang tak terduga."
Ngo-hong Kaucu terkekeh-kekeh, ujarnya dingin, “Ya, pertemuan
yang tak terduga."
Hun-tiong Siancu menyela bicara: "Tapi semua permusuhan lama
dan baru kebetulan bisa dibereskan sekaligus sekarang."
"Sudah tentu," Ngo-hong Kaucu tertawa-tawa dingin, lalu dia
berputar menghadapi Ji Bun, katanya: "Anak muda, kalau kau ingin
melaksanakan syarat itu, kini adalah saatnya yang terbaik, aku
malah akan membantumu, bagaimana?"
Inilah pancingan dan tekanan yang berat bagi Ji Bun. Dengan
kekuatan Ji Bun dan Ngo-hong Kaucu berdua mungkin tidak terlalu
sukar untuk memenggal kepala Siangkoan Hong suami istri, itu
berarti ibu dan Thian-thay-mo-ki akan segera bebas dari
cengkeraman iblis. Tapi apakah Ngo-hong Kaucu dapat dipercaya
dan mau menepati janji? Dengan jiwanya yang culas, licik dan
kejam, bukan mustahil dia akan janji dan melakukan perbuatan
kotor pula. Apalagi dirinya sebagai pejabat Ciangbun suatu aliran
yang disegani. Pantaskah tunduk dan terima diperintah oleh seorang
murid murtad?
Siangkoan Hong mengejek: "Kaucu ingin meminjam tangan Te-
gak Suseng untuk menghadapi kami suami isteri, setelah
keinginanmu terlaksana lalu hendak merajai Bu-lim dan menguasai
dunia, apakah caramu ini tidak terlalu kotor dan hina?"
Jawab Ngo-hong Kaucu tanpa mengunjuk perobahan air muka:
"Untuk mencapai cita-cita besar harus menggunakan cara yang luar
biasa pula."
"Dengan cara luar biasa, pasti akan mendapat ganjaran yang luar
biasa pula," tiba-tiba Hun-tiong Siancu melengking tinggi.
Ji Bun tidak sabar mendengar perang mulut ini, sekilas matanya
menyapu para hadirin, lalu katanya dingin: "Siapa sebetulnya yang
melakukan pembantaian di Jit- sing-po?"
“Siangkoan Hong," Ngo-hong Kaucu segera bersuara, “Kau tidak
berani mengaku?"
Siangkoan Hong tertawa dingin, baru saja dia mau bicara, tiba-
tiba Hing-thian-it-kiam Gui Han-bun tampil ke depan, katanya tegas:
"Ji Bun, akulah yang melakukan."
Tersirap darah Ji Bun, kepalanya terasa berat seketika, teriaknya:
"Kau?"
Sikap Hing-thian-it-kiam Gui Han-bun tampak amat menderita,
katanya: "Betul, akulah yang melakukan, sayang Ji Ing-hong sendiri
dapat lolos."
Memuncak nafsu Ji Bun, sekian lamanya dia mengira biangkeladi
pembunuhan orang-orang Jit-sing-po adalah Wi-to-hwe dan Ngo-
hong-kau. Kini teryata dugaannya meleset, yang melakukan adalah
Hing-thian-it-kiam Gui Han-bun. Walau diluar dugaan, sebetulnya
kejadian inipun bisa diterima bila dipikir dengan sehat, karena Hing-
thian-it-kiam ada alasan sendiri pula untuk melakukan pembantaian
besar-besaran ini.
"Tuan sendiri yang melakukan? Kau ...... mampu?”
"Kenapa tidak mampu?"
"Dengan kekuatanmu seorang sanggup membunuh Jit-sing-lak-
ciang dan lain-lain?“
"Ji Bun, bicara terus terang, dikala aku turun tangan, kebetulan
Siangkoan Hwecu juga meluruk datang hendak menuntut balas
kepada ayahmu, tapi kenyataan ayahmu sendiri menyembunyikan
diri."
"Bagus, sekarang tibalah saat kematianmu sendiri, tentunya kau
tidak akan menyesal."
"Nanti dulu .......” seru Siangkoan Hong sambil angkat tangan.
"Hwecu ada pendapat apa lagi?" tanya Ji Bun garang.
"Gui-Houhoat adalah anggota kami, sama-sama menghadapi
musuh, pengalaman kamipun sama ......”
"Memang permusuhanku dengan kalian suami isteri juga belum
beres?"
"Boleh diperhitungkan sekarang juga."
"Bagus sekali!" kata Ji Bun.
Ngo-hong Kaucu menyeringai dingin, katanya: Ji Bun, seorang
diri jangan harap kau bisa menuntut balas. Bagaimana kalau aku
membantumu?"
"Tutup mulutmu, urusanku tak usah kau turut campur."
Ngo-hong Kaucu membuka tangan sambil angkat pundak,
katanya mundur selangkah: "Kalau begitu biarlah aku nonton saja."
Kalau Siangkoan Hong suami isteri bergabung dengan Gui Han-
bun, pihak mana yang bakal gugur memang sukar diramalkan. Tapi
Ji Bun berwatak keras dan angkuh, betapapun dia tidak sudi dibantu
orang luar, apalagi Ngo-hong Kaucu sendiri arus menyelesaikan dua
persoalan dengan dirinya, ini lain dari kenyataan, sebetulnya dia
harus menumpasnya lebih dulu.
Hing-thian-it-kiam Gui Han-bun memberi hormat kepada
Siangkoan Hong, katanya: "Hwecu, pertikaian ini biarlah
kuselesaikan sendiri."
"Gui-Houhoat, bukan lantaran kau adalah Houhoat kami maka
aku mencampuri urusan ini, tapi demi keadilan dan kepentingan
umum."
Gui Han-bun bungkam. Sebaliknya Ngo-hong Kaucu mendongak
dengan gelak tertawa dingin yang panjang. Ji Bun tambah waspada,
kalau Gui Han-bun sudah mengaku sebagai biangkeladi dari
pembataian besar di Jit-sing-po, tentu orang tidak akan melarikan
diri, hal ini bisa diselesaikan menurut aturan Kangouw secara adil.
Lain halnya tengan Ngo-hong Kaucu yang kejam dan licik serta
banyak muslihatnya ini. Siapa dia sebenarnya masih merupakan
tanda tanya. Kalau hari ini dirinya tak sempat membekuk atau
mengalahkan dia, perubahan apa yang akan terjadi kelak sulit
diramalkan. Mendadak dia melangkah ke arah Ngo-hong Kaucu,
katanya: "Marilah urusan kita selesaikan lebih dulu."
Ngo-hong Kaucu bersuara heran, tanyanya: Ji Bun, apa
maksudmu?"
"Urusanku dengan kau lebih penting untuk segera dibereskan."
"Kau tidak ingin menolong tawananku dulu?"
"Jangan kau kira dapat memeras aku dengan para tawanan itu."
"Te-gak Suseng, kau tidak ingat sakit hatimu lagi, kau akan
menyesal ......”
"Siangkoan Hwecu dan lain-lain adalah insan persilatan yang
sejati, aku percaya kepada mereka, takkan melakukan perbuatan
licik dan kotor," jawab Ji Bun.
"Jadi kau tak percaya padaku?" dengus Ngo-hong Kaucu. "Kalian
hendak mengeroyokku?"
"Tua bangka, mereka tidak akan membantuku, namun betapa
besar hasrat mereka untuk membunuhmu, umpama mereka turun
tangan, aku juga tidak perduli."
Ngo-hong Kaucu menyurut mundur, suaranya gemetar jeri:
"Dengan cara apa kau selesaikan perhitungan ini?"
Ji Bun mengertak gigi, katanya: "Sebelum turun tangan, aku ingin
tanya, pernah apa ayahku dengan kau?"
Ngo-hong Kaucu terloroh-loroh, serunya: "Darimana kau bisa
bilang demikian?"
"Jangan mungkir, hatimu sendiri sudah tahu."
"Tahu apa?”
"Dari asal usul Tok-keng, kau pasti punya satu hubungan dengan
ayahku."
Memancar terang biji mata Ngo-hong Kaucu, katanya
menyeringai: "Ji Bun, jadi kau sedang mengejar jejak Tok-keng itu?
Baiklah biar kuberi tahu, Ji Ing-hong memang punya hubungan yang
intim sekali dengan aku."
Bergetar tubuh Ji Bun, tanyanya mendesak: “Kau pasti tahu di
mana ayahku."
"Sudah tentu, kau ingin menemuinya? Kalau kau sudah
melaksanakan syaratku, aku pasti beri sempatan untuk berkumpul
dengan ayah bundamu."
"Jadi .... dia ....... juga kau kurung?"
"Ah, cuma jadi tamuku saja."
Siangkoan Hong, Hun-tiong Siancu dan Hing-thian-it-kiam Gui
Han-bun sama bersuara kaget, mereka belum merasa lega sebelum
membunuh Ji Ing-hong si durjana, kini setelah tahu dimana dia
berada, keruan dalam hati mereka bersorak girang.
Terutama Ji Bun, hatinya dirangsang emosi yang meluap-luap
sampai badannya gemetar, ternyata ayahnya masih hidup, dugaan
Ciang Wi-bin ternyata tidak meleset.
"Tapi kau pernah bilang ayahku sudah gugur di tangan Thong-
sian Hwesio."
"Ada kalanya membual akan ada faedahnya juga bagiku?"
"Hina, tidak tahu malu!"
"Kini bukan saatnya ngobrol, kau harus segera memberi
keputusan."
Gemertak gigi Ji Bun, desisnya: "Biar kubunuh kau lebih dulu,"
tubuhnya segera menubruk ke arah, Ngo-hong Kaucu.
Ngo-hong Kaucu menggeram sekali, dengan mengerahkan
seluruh kekuatannya kedua tangan terangkat, menyongsong maju.
Lwekangnya hasil ajaran dari Hud-sim, betapa hebat, kuat dan
lihaynya tiada lawan lagi di seluruh jagat ini, kecuali Tok-jiu-sam-
sek, tiada jurus ilmu manapun yang mampu mengatasinya.
"Plak," keduanya tertolak mundur beberapa langkah. Serempak
Siangkoan Hong suami-isteri dan Gui Han-bun berlompatan
terpencar menduduki posisi masing-masing, agaknya mereka ingin
turun tangan dalam setiap kesempatan.
Ji Bun menyapu pandang mereka bertiga, katanya: "Kalian
jangan ikut campur ......"
Hanya karena lena sejenak untuk bicara ini, tahu-tahu bayangan
Ngo-hong Kaucu berkelebat pergi dan lenyap ke dalam hutan.
"Lari kemana!" serentak berempat orang membentak, secepat
kilat mereka berlomba mengejar.
Tak pernah terpikir oleh Ji Bun, bahwa sebagai seorang Kaucu,
orang ternyata serendah dan sehina itu perbuatannya, keruan benci
dan dongkolnya bukan kepalang, reaksinya amat cepat dan cekatan,
namun hanya terpaut sedetik saja, ternyata Ngo-hong Kaucu sudah
lenyap tanpa ketahuan parannya.
Di antara mereka berempat termasuk Hun-tiong Siancu yang
memiliki gerakan tubuh paling aneh dan cepat, sayang peringatan Ji
Bun tadi sedikit banyak memancarkan perhatian mereka. Kalau tidak
tak mungkin Ngo-hong Kaucu bisa lolos sedemikian mudah. Hampir
meledak dada Ji Bun, seperti orang kesurupan dia mengobrak-abrik
hutan, lari kesana terjang kemari, seluruh pelosok hutan dijajaki,
namun hasilnya tetap nihil.
Akhirnya dia kembali ketempat semula, baru memutar badan,
tiga bayangan berturut-turut juga melayang datang, mereka
Siangkoan Hong suami-isteri dan Gui Han bun. Mereka tidak kabur,
dalam hati Ji Bun diam-diam memuji akan sepak terjang mereka
yang jujur dan dapat dipercaya. Karena itu sikap Ji Bun tampak
sedikit lunak, namun ini tidak menurunkan rasa dendamnya, ini
hanya soal sikap dan tindakan saja.
Karena pengalaman yang berbeda-beda, watak Ji Bun beruntun
ikut berubah pula, dan perubahan ini merupakan gemblengan
sehingga Ji Bun sekarang menjadi insan persilatan yang sejati pula.
Siangkoan Hong berkata dengan nada serius: "Ji Bun, berkat
bantuanmu atas pertolongan terhadap isteri dan puteriku,
kusampaikan ucapan terima kasih."
"Kukira tidak perlulah."
"Insan persilatan mengutamakan perbedaan antara dendam dan
budi secara jelas."
"Hwecu ingin mencampuri urusanku dengan Gui Han-bun?"
"Pendirianku tadi sudah kuterangkan, mau tak mau aku harus
ikut campur.”
"Baik, perlu juga kutandaskan, siapa yang ikut campur, tetap
kupandang sebagai musuhku?"
"Menurut kenyataan, memang antara kita ada ikatan
permusuhan, walau ini buah hasil perbuatan jahat ayahmu."
"Bagus sekali, kini saatnya aku turun tangan!”
Habis berkata Ji Bun melangkah ke sana menghadapi Hing-thian-
it-kiam Gui Han-bun.
Muka Gui Han-bun merah padam, benci dendam menjalari
sanubarinya, meski hatinya tegang dan dilandasi emosi, namun dia
tidak gentar menghadapi saat-saat akhir dari adu jiwa ini. walau dia
sendiri menyadari kepandaian sendiri adalah paling lemah di antara
empat orang yang hadir.
"Ji Bun," tiba-tiba Siangkoan Hong bersuara dengan angkat
sebelah tangan, "aku masih ingin bicara. Kenyataan tidak boleh
disangkal, Gui-Houhoat bukan tandinganmu .......”
"Lalu kenapa?"
"Kau boleh robohkan kami berdua dulu baru jiwa Gui-Houhoat
akan kuserahkan kepadamu."
"Jadi kecuali mati, urusan ini takkan selesai demikian saja?” kusut
hati Ji Bun, ia bertekad membunuh Gui Han-bun untuk membalas
kematian para korban di Jit-sing-po. Terhadap Siangkoan Hong
suami isteri, ia tidak berniat membunuh mereka, kini keadaan
memaksa dirinya melawan tiga orang, tiada pilihan lain dia harus
menggunakan ilmu beracun. "Kalian maju bersama?" tanyanya.
"Menilai perbuatan ayahmu Ji Ing-hong, untuk menghadapi kau
boleh menggunakan cara apapun, tapi kami tidak ingin menjadi buah
tutur orang lain, marilah kita selesaikan pertentangan ini dengan
aturan Kangouw, satu lawan satu."
Menyinggung perbuatan ayahnya, bicara soal permusuhan kedua
pihak, ini merupakan derita yang tak terlukiskan dalam batin Ji Bun.
Setiap insan persilatan yang sejati lebih cenderung untuk
menyelesaikan segala pertikaian dengan keadilan, kesetiaan dan
kebijaksanaan. Kini dirinya berada di pihak yang keliru, membela
pihak yang salah, adalah jamak kalau merekapun berhak
menggunakan cara apapun untuk menghadapi dirinya.
Kenyataan telah mendesak dirinya ke sudut, terpaksa dia harus
menghadapi segala persoalan ini tanpa mengingat risikonya. Sejenak
dia terdiam, lalu berkata dingin: "Siangkoan Hwecu, kalau
bertanding satu lawan satu, kau tidak akan unggul dalam tiga
gebrak."
Dalam dunia persilatan masa kini siapa yang berani bicara
seangkuh dan sesombong begini terhadap Wi-to-hwecu, namun
yang bicara adalah Te-gak Suseng, meski terlalu temberang, tapi
siapapun tak berani menyangkal akan kebenaran ini.
Berubah rona muka Siangkoan Hong, katanya dingin, "Te-gak
Suseng, agaknya tiada orang lain yang terpandang olehmu?"
"Aku berani membuktikan ucapanku."
"Kau berani bertaruh dengan aku?" tiba-tiba Hun-tong Siancu
menyela.
”Bertaruh apa?"
Sebelum bicara Hun-tiong Siancu melirik kearah Siangkoan Hong,
maksudnya supaya tidak campur bicara, lalu katanya dengan nada
berat: "Apakah akupun tak kuasa menghadapi tiga jurus serangan?"
Terhadap Hun-tiong Siancu, Ji Bun tidak berani membual, namun
dasar berwatak angkuh, sikapnya tetap keras. “Mungkin saja,"
jengeknya.
"Baiklah kita bertaruh dalam tiga gebrak,"
"Bertaruh bagaimana?"
"Akan kuterima tiga jurus seranganmu, kalau kalah, batok kepala
kami bertiga boleh kau penggal sesuka hatimu ......" pertaruhan ini
amat megejutkan, diam-diam Ji Bun sendiri merasa mengkirik.
"Tapi kalau beruntung aku sanggup menerima seranganmu ......
kau harus batalkan tuntutanmu terhadap Gui-Houhoat, biarlah dia
sendiri membereskan perrmusuhannya dengan ayahmu."
"Dan kalian suami isteri?" tanya Ji Bun.
"Kami akan mencari ayahmu juga, tapi setiap saat kami tetap
menerima tantanganmu."
Ji Bun berpikir sejenak, katanya tegas: "Baik, kuterima tantangan
ini."
"Jangan Siancu," tiba-tiba Hing-thian-it-kiam Gui Han-bun tampil
ke depan.
Hun-tiong Siancu menoleh, katanya melengak "Ada pendapat apa
Gui-Houhoat?”
"Aku keberatan akan pertaruhan ini," kata Gui Han- bun.
"Apa yang telah kuucapkan tak boleh berubah lagi." sahut Hun-
tiong Siancu.
"Tapi hatiku takkan tenteram selama hidup ini."
"Silakan mundur Gui-Houhoat, tak usah banyak bicara lagi,"
suaranya lembut, namun siapa yang mendengar takkan berani
melawannya.
Gui Han-bun mengertak gigi, apa boleh buat, terpaksa dia
melangkah mundur, baru dia hendak bicara lagi, tiba-tiba Siangkoan
Hong menggoyang tangan mencegahnya.
20.59. Dendam Dibalas, Budi Pun Harus .....
Tadi sudah timbul hasrat Ji Bun hendak memberitahu Gui Han-
bun tentang Khong-kok-lan So Yan, namun saat lain dia batalkan
niatnya. Soalnya dia tidak boleh membongkar rahasia Ciang Wi-bin,
lagi peduli bagaimana asal usul dan sepak terjang Khong-kok-lan,
betapapun dia semula adalah isteri resmi ayahnya, pertikaian ini
memang sulit diselesaikan. Tujuan hari ini membunuh Gui Han-bun
adalah menuntut balas bagi seluruh penghuni Jit-sing-po yang
menjadi korban.
"Te-gak Suseng," ujar Hun-tiong Siancu, "sekarang kau boleh
siap turun tangan."
Tiba-tiba tergerak hati Ji Bun, katanya "Siancu mengandalkan
ilmu Yan-hun-hu-deh .......”
"Ji Bun," potong Hun-tiong Siancu sambil angkat sebelah
tangannya, "tiga jurus kuterima seranganmu tanpa menggunakan
gerakan apapun."
Hati Ji Bun sudah mantap, katanya: "Siancu boleh saja
menggunakan gerakan tubuh itu, tapi cayhe perlu memperingatkan,
seranganku mengandung racun yang amat jahat."
"Tanpa kau katakan juga aku sudah tahu," sahut Hun-tiong
Siancu tanpa pikir.
"Baiklah! Nah sambutlah pukulan pertama!" Tok-jiu-it-sek segera
dilancarkan dengan mengerahkan seluruh kekuatannya.
Lwekang Hun-tiong Siancu memang paling tinggi di antara
mereka bertiga, jika dia tidak kuasa menerima tiga jurus serangan
ini, sudah tentu Siangkoan Hong dan Gui Han-bun juga bukan
tandingan Ji Bun pula, bahwa Hun-tiong Siancu mengadakan
pertaruhan dengan tiga jurus serangan ini, maksudnya adalah untuk
menghindari bentrokan habis-habisan, biarlah seorang berkorban
daripada bertiga gugur bersama, apalagi bukan mustahil dirinya
mampu menerima tiga jurus serangan Ji Bun.
Tanpa sengaja beruntun Ji Bun pernah menanam budi terhadap
musuh-musuhnya. Pertama dia menolong Siangkoan Hong yang
keracunan, kemudian secara beruntun tiga kali menyelamatkan
Siangkoan Hwi lagi. Di tempat semayam Sam-lim-li-sin iapun bantu
memberantas orang-orang Ngo-hong-kau yang menyerbu datang.
Setengah jam yang lalu iapun menolong jiwa Gui Han-bun dari
renggutan elmaut Ngo-hong Kaucu. Dengan berbagai alasan ini,
maka Hun-tiong Siancu bertiga merasa rikuh dan tidak enak hati
untuk mengeroyoknya. Akan tetapi perbuatan jahat ayahnya
memang kelewat takaran, bagaimanapun juga tidak terlampias
sebelum mencacah tubuhnya. Oleh karena itu, persoalan di antara
mereka menjadi berkepanjangan. Hal inipun dimaklumi oleh Ji Bun,
maka begitu turun tangan segera dia kerahkan seluruh kekuatannya.
Penderitaan hidup Hing-thian-it-kiam Gui Han-bun memang harus
dikasihani, namun dosa dan perbuatannya yang telah membantai
seluruh penghuni Jit-sing-po betapapun takkan terampunkan, untuk
membunuhnya, terpaksa Ji Bun harus mengalahkan Hun-tiong
Siancu pula. Maka pertempuran kali ini merupakan pertempuran
mati hidup, jika Hun-tiong Siancu kalah berarti tiga batok kepala
harus diserahkan mentah-mentah.
Oleh karena itu, Hun-tiong Siancu pun tidak berani lena, dia
gerakkan kedua tangan, membundar terus menggaris ke depan.
"Blang, blung", benturan keras terjadi beberapa kali, dengan mudah
ternyata Hun-tiong Siancu berhasil menyambut serangan pertama.
Serasa membeku hati Ji Bun. Kepandaian perempuan ini memang
amat mengejutkan, inilah lawan satu-satunya yang paling tangguh
selama ini. Bukan saja tidak gentar terhadap serangan racun, dia
pula orang pertama yang kuasa memunahkan serangan tangan
beracun yang ampuh ini.
Keringat mulai membasahi jidat Hun-tiong Siancu, hal ini
menandakan betapa tegang hatinya. Begitu mundur, Ji Bun segera
membentak, "Sambutlah jurus kedua."
Tok-jiu-ji-sek segera dilontarkan pula.
Kali ini Hun-tiong Siancu rada menungging, mulutnya mengerang
tertahan, kakinya tersurut tiga-empat langkah, wajahnya kelihatan
pucat, namun jurus kedua ini dapat dia terima tanpa kurang suatu
apa-apa.
Kini tinggal jurus terakhir, jurus yang menentukan mati hidup.
Saking tegang badan Gui Han-bun sampai gemetar, telapak tangan
berkeringat dingin. Demikian pula keringat Siangkoan Hwecu juga
gemerobyos.
Tambah cemerlang sinar mata Ji Bun, pelan-pelan matanya
menyipit, mulut terkancing rapat, sikap dan perbawanya amat
menggetarkan nyali setiap orang yang menghadapinya.
Terdengarlah kata-kata berat, yang mengandung nafsu membunuh
dari mulutnya laksana godam yang mendentam di sanubari orang:
"Jurus terakhir!"
Agak bergetar tubuh Hun-tiong Siancu, mukanya yang pucat
membesi hijau, wajahnya nan molek jelita, menjadi guram dan sayu,
butir-butir keringat bak mutiara nan berkilau menghiasi jidatnya.
Inilah jurus yang menentukan, Ji Bun sendiripun amat tegang.
Telapak tangan pelan-pelan bergerak ke atas, udara serasa
membeku dan mencekam perasaan. Terbeliak mata Gui Han-bun
dan Siangkoan Hong, babak terakhir dari pertandingan yang jarang
terjadi selama seratus tahun terakhir di Bu-lim akan berlangsung.
Telapak tangan Ji Bun terangkat tinggi tiba-tiba menggaris tegak
dibarengi dengan pekik panjang yang mengerikan.
Inilah Tok-jiu-sam-sek — yaitu Giam-ong-san-khek.
Hun-tiong Siancu melintangkan kedua tangan, masing-masing
menggaris setengah lingkaran lalu beradu di depan dada untuk
bertahan, hawa seketika seperti teriris oleh pisau tajam sehingga
mengeluarkan suara mendesis tajam.
"Huuaaah ....." di tengah jeritan ngeri, tampak Hun-tiong Siancu
terlempar jatuh.
Siangkoan Hong bersama Gui Han-bun berteriak kaget sambil
memburu maju. Dalam sekejap itu Ji Bun sendiri merasa pening
kepalanya, matanya berkunang-kunang, hawa dan tenaga murni
yang ia kerahkan terlampau besar, mau tidak mau badannya
gemetar, saking lelah langkahnya sampai sempoyongan.
Kalau Siangkoan Hong dan Gui Han-bun tidak hiraukan aturan
Kang-ouw segala dan turun tangan bersama, Ji Bun sendiri menjadi
ragu apakah dia mampu menghadapi kedua lawan ini. Untunglah
Siangkoan Hong hanya mendelik dengan pandangan murka luar
biasa. Sebaliknya Gui Han-bun juga tampak gemetar dan
sempoyongan karena dirangsang emosi.
Disana Hun-tiong Siancu telah meronta bangun, namun baru
setengah berdiri, tubuhnya tersungkur lagi. Kalau dia mau
menggunakan gerakan tubuhnya yang lihay atau balas menyerang,
mungkin keadaan sekarang jauh berbeda. Namun secara mentah-
mentah dia terima tiga kali serangan, walaupun kalah, betapapun Ji
Bun merasa kagum dan memuji dalam hati. Seorang perempuan
namun memiliki jiwa kesatria, siapapun akan tunduk dan merasa
simpatik padanya.
Pandangan Ji Bun dari Siangkoan Hong beralih kearah Gui Han-
bun dan berhenti.
Gui Han-bun mendongak sambil menghela napas panjang,
katanya rawan: "Hwecu, Siancu, biarlah Han-bun membalas budi
kalian pada penitisan yang akan datang. Thian memang kurang adil,
kenapa setan iblis dibiarkan merasuk jiwa manusia ....." betapa
besar dendam dan kebencian hatinya, dirundung kepedihan dan
kedukaan pula.
"Gui Han-bun," seru Ji Bun, "siaplah untuk mempertahankan
dirimu, dengan tanganku akan kubunuh kau."
Dengan gemetar Hing-thian-it-kiam Gui Han-bun mundur
setapak, suaranya gemetar "Silakan, aku akan bertahan sekuat
tenaga."
Pada saat dulah tiba-tiba sebuah suara lemah berkata; "Tahan,
aku toh belum mati!"
Waktu Ji Bun menoleh, tampak Hun-tiong Siancu telah berdiri,
wajahnya pucat pasi.
Memang dia tidak mati, namun terluka parah, lalu apakah dapat
dianggap mampu terima serangannya atau tidak? Sayang pada
permulaan mengikat pertaruhan tiga jurus ini tidak dinyatakan
secara tegas. Kalau tidak mati berarti kuat menerima tiga kali
serangan, demikian pula sebaliknya, kalau mati berarti kalah.
"Ji Bun,” seru Siangkoan Hong penuh haru, menurut aturan
biasanya, ketiga jurus seranganmu terhitung sudah diterima dengan
baik."
Ji Bun menggigit bibir, memang omongan ini tidak salah, sebab
walau lawan roboh, namun masih kuat berdiri pula meski terluka
parah. Tengah ia menimang-nimang, "pluk", tiba-tiba dilihatnya Hun-
tiong Siancu tersungkur jatuh pula, mukanya membiru, bibirnya
terkancing kencang, lama sekali tak bergerak lagi.
Sekilas pandang Ji Bun lantas mengerti jiwa orang tinggal
menunggu waktu belaka kalau tidak segera diberi pertolongan, itulah
tanda-tanda racun tengah bekerja ditubuh orang.
Tangan beracun Ji Bun kini sudah bisa dilancarkan sesuka
hatinya, dalam tiga jurus serangannya tadi iapun gunakan ilmu
racun yang hebat. Setelah terluka, keracunan lagi, namun jiwa Hun-
tiong Siancu tidak melayang seketika, betapapun hal ini amat
mengejutkan sekali.
Naga-naganya Hun-tiong Siancu sudah meyakinkan Hu-sin-sin-
cin, semacam ilmu pelindung badan yang kebal dari segala racun,
maka serangan jurus pertama dan kedua tidak membikinnya cedera
apapun. Namun jurus ketiga dia terluka, pertahanan ilmu kebalnya
pun dengan sendirinya menjadi bobol sehingga tak kuasa melindungi
badan. Begitu racun menyerang dada, maka terjadilah keadaan yang
menyedihkan ini. Sudah tentu Siangkoan Hong maklum akan hal ini.
"Siangkoan Hwecu,” ujar Ji Bun dingin, "apa pula yang ingin kau
katakan?"
Siangkoan Hong menggerung murka, serunya: “Ini memang
takdir, kaulah yang menang."
"Bagaimana janjimu?"
"Tentu akan kulaksanakan."
Ji Bun benar-benar diliputi emosi yang meluap-luap kematian Gui
Han-bun sudah terhitung mengakhiri permusuhan kematian orang-
orang Jit-sing-po. Dengan membekal batok kepala Siangkoan Hong
suami isteri, berarti dirinya dapat barter dengan keselamatan ibu dan
Thian-thay-mo-ki, dan tugas selanjutnya adalah mencuci bersih
nama baik perguruan, menumpas murid murtad, Ngo-hong Kaucu
harus ditundukkan dan dibekuk untuk menerima hukuman sesuai
peraturan perguruan. Tersimpul senyum getir pada wajahnya,
senyum getir yang mengandung, perasaan lega dari dendam dan
penasaran. Betapa susah untuk mencapai hasil ini.
"Omitohud!" sabda Buddha yang merdu nyaring tiba-tiba
memecah kesunyian yang mencekam perasaan orang. Tampak
seorang Nikoh tua tiba-tiba muncul. Waktu Ji Bun menoleh ke sana,
napasnya seketika terasa sesak. Yang muncul bukan lain adik
sepupu Pek-ciok Sin-ni, yaitu Toh Ji-lan, yang dulu selalu berada di
dalam tandu.
Tempo hari hampir saja jiwa Ji Bun melayang di tangan orang ini,
untunglah mendadak Toh Ji-lan melihat tanda pengenal Ji Bun yang
terjatuh, setelah tanya jawab berlangsung barulah diketahui bahwa
Nikoh tua ini ternyata adalah kekasih Giok-bin-hiap Cu Kong-tan,
alias orang tua aneh di dasar jurang yang pernah memberi ajaran
Ginkang "angin lesus" serta menyalurkan seluruh Lwekang pada
tubuhnya. Kini Toh Ji-lan, si orang dalam tandu bisa muncul di
tempat dan waktu ini, sungguh di luar dugaan Ji Bun.
Lekas Siangkoan Hong dan Gui Han-bun memberi hormat kepada
Nikoh tua ini. Nikoh tua itu menatap tajam ke muka Ji Bun.
Tersipu-sipu Ji Bun memberi hormat juga, katanya: "Selamat
bertemu Locianpwe, baik-baik saja selama berpisah?"
Nikoh tua mengiakan sambil angkat sebelah tangan di depan
dada.
Ji Bun bertanya pula: "Apakah Cu-cianpwe juga baik-baik?"
Kelam wajah si Nikoh tua, katanya sambil memejamkan mata:
"Dia sudah meninggal dunia."
"Apa?" Ji Bun kaget, "Cu-cianpwe sudah meninggal dunia?"
"Ya, dia amat berterima kasih akan bantuanmu sehingga
keinginannya tercapai, yaitu memberi kabar kepadaku. Disamping itu
beliau juga memperhatikan sepak terjangmu sejak meninggalkan
Pek-ciok-hong .......”
Sudah tentu Ji Bun maklum apa arti kata-kata ini, katanya
sungguh-sungguh: "Sejak mendapat saluran Lwekang dari Cu-
cianpwe, selama ini Wanpwe takkan melupakan budi kebaikan ini,
sungguh menyesal tiada jalan lain untuk membalas budi ini, namun
Wanpwe juga yakin, selama ini tak pernah melukai orang yang tidak
berdosa, apalagi salah membunuh orang."
"Bagus sekali, kalau tahu, tentu Cu-Kong-tam akan merasa lega
dan tenteram di alam baka."
"Entah ada petunjuk apa pula akan kedatangan Cianpwe ini?''
"Kau tahu betapa perbuatan ayahmu?"
"Wanpwe tahu," sahut Ji Bun mengertak gigi.
"Tentunya kau juga maklum betapa mengerikan dan penderitaan
Siangkoan Hwecu dan Gui Han-bun karena perbuatan ayahmu?"
Ji Bun mengiakan sambil manggut-manggut.
"Menurut pendapatku, watak dan karaktermu jauh berbeda
dengan ayahmu, kau berjiwa luhur dan bijaksana, sudilah kau
mendengar sepatah kataku?”
"Mohon diberi pengertian."
”Sudikah kiranya kau membatalkan tuntutan balas dendam ini?"
Sejenak Ji Bun berdiam diri, lalu katanya dengan suara berat:
"Locianpwe, dalam keadaan seperti Wanpwe sekarang ini, kukira
sulit?"
"Maksudku pertikaian angkatan tua, biarlah diselesaikan sendiri
oleh orang tuamu."
"Tapi sebagai seorang putera yang harus berbakti terhadap orang
tuanya, meski tahu sesuatu itu tidak pantas kulakukan, terpaksa
harus kulakukannya juga!”
"Jadi kau harus memenggal kepala mereka bertiga?"
Ji Bun terkancing mulutnya, hatinya mendidih, resah dan gundah,
sakit hati harus dibalas, budi juga harus dibalas. Jika tiada Cu Kong-
tam, tiada hari ini bagi dirinya, kalau menuruti nasihat Toh ji-lan
membatalkan balas dendam ini, betapapun hatinya takkan tenteram
sepanjang masa. Sejenak berpikir, akhirnya ia berkata. "Baiklah,
mengingat Cu-cianpwe, Wanpwe berjanji untuk memberi
kelonggaran sekali ini."
"Tidakkah mereka yang bermusuhan saja menyelesaikan sendiri
urusan ini."
"Maaf, Wanpwe tidak bisa terima usul ini."
"Baik, kuturuti kehendakmu."
Tak nyana urusan bisa berakhir demikian, hati Ji Bun menyesal
juga marah, namun apa boleh buat, katanya kemudian, “Wanpwe
mohon diri!" Tubuhnya sudah berputar pergi, namun tiba-tiba
merandek sambil merogoh kantong dan mengeluarkan sebutir pil
terus dilemparkan ke arah Nikoh tua, serunya: "Toh-locianpwe, inilah
obat penawar untuk menolong Hun-tiong Siancu."
Nikoh tua menerima obat itu, serunya haru: "Pin-ni akan selalu
ingat kebaikkanmu ini."
"Tidak perlulah!" ujar Ji Bun, segera ia berlari pergi.
Ji Bun sendiri tidak mengerti kenapa dia berbuat demiklan, jelas
musuh terluka parah, kenapa memberi obat untuk menolong jiwanya
malah tiada penjelasan lain. Inilah perbuatan seorang kesatria,
kelakuan seorang laki-laki sejati, karena dia tak pernah lupa bahwa
dirinya adalah pejabat ketua suatu aliran perguruan, sepak terjang
dan perbuatan harus selalu menjunjung kebesaran dan kejayaan
nama Ban-tok-bun.
Setelah berlari-lari sekian lamanya, entah berapa jauh telah
ditempuhnya, gejolak hatinya mulai mereda, kini dia menerawang
tindakan selanjutnya.
Ayahnya juga terkurung di Ngo-hong-kau, tidak heran selama ini
tidak pernah mengadakan kontak dengan dirinya, pertama kali
bertemu dengan ayahnya bilang pihak Wi-to-hwe biang keladi dari
pembantaian orang-orang Jit-sing-po, padahal, si Siucay tua alias
Hing-thian-it-kiam Gui Han-bun waktu itu belum masuk jadi anggota
Wi-to-hwe, hal ini jelas serba bertentangan satu sama lain,
mungkinkah ayahnya waktu itu juga hanya menduga-duga dan
menaruh curiga belaka?
Kelicikan dan kemunafikan Ngo-hong Kaucu dirasakan amat sukar
dihadapi, tapi toh harus ditumpas dan dibereskan juga oleh tangan
sendiri.
Biau-jiu Siansing Ciang Wi-bin ada janji untuk bertemu di kota
Cinyang, kini tiba saatnya untuk bertindak menurut langkah-langkah
yang direncanakan. Di Cinyang dia bisa berunding sama Ciang Wi-
bin, mencari daya untuk menolong ayahnya, disamping memberi
penjelasan langsung terhadap Ciang Bing-cu soal perjodohan
mereka. Seorang laki-laki harus menepati janji, soal ini harus
selekasnya diselesaikan. Mengenai permusuhannya dengan
Siangkoan Hong untuk sementara biarlah ditunda dulu. Demikianlah
ia lantas menuju ke Cinyang.
Hari itu ia tiba di Cinyang, ia tahu pasti ada orang yang diam-
diam menguntit dirinya, maka ia tidak perlu buru-buru menuju ke
"gedung setan", langsung dia mencari hotel kelas rendah yang
letaknya di gang kecil. Setelah makan malam, dia rebahkan diri
menghabiskan waktu.
Yang dia kuatirkan bila rahasia Ciang Wi-bin terbongkar dan
mengalami petaka di luar dugaan, pihak Ngo-hong-kau jelas tidak
akan menyia-nyiakan setiap kesempatan. Kalau tidak, dengan
kepandaiannya sekarang hakikatnya tidak perlu merahasiakan gerak-
geriknya sendiri.
Kira-kira kentongan kedua, setelah meringkasi seperlunya, segera
dia buka jendela dan melompat keluar langsung menuju luar kota.
Setelah yakin tiada orang yang menguntit baru, dia putar balik ke
dalam kota, langsung menuju ke gedung setan.
"Gedung setan" yang hening dan seram itu sudah apal baginya. Ji
Bun langsung menuju ke pekarangan kecil di mana tempo hari dia
pernah bersua dengan Khong-kok-lan So Yan.
Malam pekat, sunyi senyap, tiada sinar lampu, tidak terdengar
suara manusia, diam-diam merinding bulu kuduk Ji Bun. Menurut
kebiasaan, kedatangan dirinya pasti sudah diketahui oleh penghuni
rumah maka dia batuk pelan-pelan. Tapi ditunggu sekian lamanya
tiada sesuatu reaksi. Aneh, mungkinkah telah terjadi sesuatu?
"Ssssst!" Ji Bun kaget mendengar suara mendesis ini. Tapi jelas
suara ini terdengar dari atas pohon yang rimbun daunnya. Maka
dengan dingin dia membentak: "Siapa?"
"Sssst! Kau Ji-seheng bukan?"
Mendengar suara anak kecil, Ji Bun lantas mengerti siapa yang
bicara, cepat dia menyapa, "Apakah Siau-po?"
"Betul, aku di atas pohon."
Ji Bun melejit ke atas pohon, dilihatnya sesosok bayangan kecil
nongkrong dipucuk pohon, dengan enteng badannya berputar terus
hinggap tanpa menimbulkan pantulan sedikitpun di dahan pohon
sebelahnya.
“Adik Siau-po, apa yang terjadi?" tanya Ji Bun lirih.
“Malam ini ada tamu kemari."
"Tamu, siapa?"
"Kawanan kunyuk Ngo-hong-kau."
"Darimana kau tahu akan kedatanganku?"
"Ayah yang bilang padaku, katanya malam ini kau pasti kemari,
aku disuruh menunggumu di sini. Begitu kau tiba, beliau lantas
tahu."
"Kapan ayahmu pulang?"
"Kemarin."
"Mana beliau?"
"Ada di ruang bawah tanah."
"O, adik Siau-po, Tacimu ada?
"Ada, barusan dia tanya tentang kau, boleh kupanggil kau
Toako?"
"Sudah tentu boleh."
"Toako, apa benar kau hendak menikah dengan Toaci?"
Ji Bun gelagapan tak bisa menjawab, menghadapi bocah yang
jenaka ini, apa yang bisa dia katakan? Agaknya Ciang Wi-bin ayah
beranak sudah pernah membicarakan soal dirinya, untung malam
amat gelap, sehingga sikapnya yang kikuk tidak dilihat Siau-po.
"Siau-po, bicara dulu urusan yang lebih penting, sejak kapan
orang-orang Ngo-hong-kau kemari?"
"Mereka mengejar ayah dan hendak membunuhnya."
"Rencana apa yang telah diatur oleh ayahmu?"
"Kata ayah, setelah Toako datang baru akan turun tangan sambil
melihat gelagat, lebih baik ka¬lau bisa membekuk pimpinannya
untuk mengompes keterangannya."
Belum habis mereka bercakap-cakap, sebuah suara lirih lambaian
pakaian yang memecah udara terdengar dari arah luar. Lekas Ji Bun
mendekap mulut Siau-po sambil memberi tanda supaya Siau-po
tidak banyak ulah. Dari suara desiran angin ini, Ji Bun tahu
kepandaian pendatang ini amat tinggi.
Dengan cepat dua bayangan orang tanpa mengeluarkan suara
telah melayang turun di pekarangan. Mata Ji Bun amat jeli, walau di
tempat gelap juga dapat melihat jelas bahwa yang datang ini adalah
laki-laki yang berpakaian ketat dari kain sutera. Ini sudah cukup
menunjukkan asal usul mereka.
Terdengar salah seorang berkata: "Menurut laporan, ada
bayangan orang masuk ke dalam rumah, kenapa tidak kelihatan?"
"Mungkin bersembunyi."
"Kapan kita mulai bergerak?"
"Menunggu perintah komandan, mungkin setelah kentongan
ketiga."
"Menghadapi seorang maling tua kenapa harus mengerahkan
begini banyak jago-jago kosen?"
"Jangan kau pandang rendah Biau-jiu Siansing, sulit dilayani."
Ji Bun sudah tidak sabar lagi, dengan gerakan tangan dia
memberi tanda kepada Siau-po supaya tidak bergerak, lalu seringan
daun dia melayang turun. Kedua orang itu agaknya berkepandaian
tinggi, pendengarannya tajam, luncuran Ji Bun sudah diketahui,
serempak mereka putar tubuh seraya bersiaga. Tanpa membuka
suara, laksana setan tahu-tahu Ji Bun sudah menubruk tiba sambil
menggerakan kedua tangan. "Plak, plok," belum lagi kedua orang itu
sempat melihat siapa yang menyerang, kontan badan mereka
tersungkur roboh binasa, segera Ji Bun menyeretnya ke sudut
tembok sana.
Tiba-tiba dari kamar di depan sana menyala secercah sinar pelita
yang kuning redup. Di atas pohon Siau-po segera berseru lirih:
"Toako, itulah tanda untuk memancing musuh."
Tergerak pikiran Ji Bun, cepat dia berkelebat masuk ke dalam
kamar.
Kira-kira setengah jam kemudian, terdengar suitan panjang
melengking dari arah tenggara, disusul sambung menyambung pada
setiap sudut rumah bersahutan suitan panjang yang sama. Agaknya
gedung setan ini sudah terkepung oleh orang-orang Ngo-hong-kau.
Ji Bun membatin, kejadian sungguh amat kebetulan, jika Biau-jiu
Siansing tidak sempat pulang dan dirinya tidak kebetulan tiba disini,
rahasia gedung setan ini tentu bakal terbongkar oleh pihak Ngo-
hong-kau, betapa akibatnya sungguh sukar dibayangkan.
Dari berbagai sudut rumah dan pekarangan, tampak bayangan
orang mulai bergerak, semua perhatian tertuju ke arah sinar pelita di
dalam kamar. Empat bayangan orang mendadak menubruk maju ke
depan kamar, masing-masing orang bersenjata pedang. Setelah
saling memberi tanda serentak menyerbu kedalam kamar.
"Waaah, aduh!" jeritan yang mengerikan memecah kesunyian
malam, hampir bersamaan bayangan ke empat orang yang
menerjang ke kamar tadi, sama terlempar keluar, semuanya rebah
tak bergerak.
Agaknya orang-orang Ngo-hong-kau tidak kenal jeri dan kapok,
mereka yakin dengan kekuatan yang dikerahkan malam ini dapat
mencapai tujuan. Sepuluhan bayangan orang tanpa diperintah
berlompatan pula ke arah pekarangan kecil ini, yang terdepan
adalah seorang tua baju sutera yang berjenggot uban, tentunya dia
inilah yang disebut komandan oleh kedua orang yang pertama
datang tadi.
Dengan suara kereng dan berat orang tua berjenggot panjang ini
berkata ke arah kamar, “Ciang Wi-bin, keluarlah dan jawab beberapa
pertanyaanku."
Tiada reaksi, ditunggu pula sesaat lamanya tetap tiada jawaban,
terpaksa laki-laki tua berjenggot mengulap tangan pada orang-orang
bertubuh jangkung yang bersenjata pedang di belakangnya:
"Terjang ke dalam!"
Kedua ahli pedang serempak menghardik, dengan pedang
melintang melindungi badan, sebelah tangan terangkat di atas
kepala, secepat anak panah mereka melesat ke dalam kamar.
Tak tersangka, begitu bayangan mereka lenyap, tidak terdengar
suara apa-apa lagi. Akhirnya laki-laki tua berjenggot perintahkan
enam orang bersenjata pedang memburu masuk pula ke dalam, tapi
aneh bin ajaib, seperti batu kecemplung laut, keenam orang inipun
lenyap tanpa suara. Keruan orang-orang yang di luar merasa
merinding, tapi juga gusar.
Melihat gelagat tidak menguntungkan, dengan suara gemetar si
orang tua berjenggot membentak: "Ciang Wi-bin, memangnya kau
tidak berani keluar dan suka mengkeret seperti kura-kura?"
Sekarang baru ada jawaban dari dalam kamar: "Tuan siapa,
sebutkan dulu namamu?"
"Komandan Busu dari markas pusar Ngo-hong-kau, Ih Ciau."
"Apa maksud kalian datang kemari?”
"Atas perintah Kaucu, kami ingin undang saudara ke markas
kami."
"Beginikah cara kalian mengundang tamu?"
"Lekas saudara keluar saja."
"Kalau aku tidak sudi keluar?"
"Gedung setan akan kami bumi hanguskan hingga rata dengan
tanah."
"Kau yakin dapat melakukan? Berapa banyak orang yang kau
kerahkan?"
"Tidak banyak, hanya seratus Busu saja."
"Ah, terlalu sedikit."
"Apa maksudmu?"
"Nafsuku sudah membara untuk membunuh, jiwa seratus orang
belum cukup untuk melampias angkara murkaku."
Orang berjenggot terloroh-loroh, katanya: "Ciang Wi-bin, jangan
membual, kalau tidak lekas keluar, akan kuperintahkan menyulut
api?"
"Orang she lh, kau yakin aku ini Ciang Wi-bin?"
"Jangan kau kira bisa mengelabui mata orang dengan
samaranmu, aku yakin tidak akan salah."
"Baiklah, biar kau berkenalan dengan cara permainanku ...."
ditengah-tengah kumandang kata-katanya, tampak delapan Busu
yang tadi menerjang masuk ke kamar beriring berjalan keluar, tapi
setiba di pekarangan, satu persatu mereka tersungkur roboh binasa.
Keruan kejadian ini cukup menggetar nyali semua orang.
Orang tua berjenggot segera maju memeriksa tiba-tiba dia
menjerit kaget: "Racun jahat penghancur jantung."
"lh Ciau" terdengar jengekan dari dalam kamar, "ternyata kau
juga kenal racun jahat ini,"
"Kau .... siapa kau sebetulnya?"
"Kenapa tidak omong-omong di dalam saja?"
Sejenak orang tua berjenggot melenggong, katanya: "Jangan
main teka-teki, aku sudah tidak sabar lagi."
"Memangnya kenapa kalau kau tidak sabar?”
"Kubakar habis seluruh gedung ini. Siap!" segera memberi aba-
aba.
Bayangan orang serempak bergerak mundur tiga tombak, tangan
setiap orang terangkat tinggi, jari masing-masing menyekal sebuah
benda bundar. Begitu si orang tua berjenggot bersuit, dari empat
penjuru segera suitan balasan. "Tunjukkan contohnyal"
Seorang Busu segera melemparkan benda bundar ditangannya ke
rumpun bunga di depan sana. "Dar!" Semak-semak yang lebat itu
segera berkobar terjilat api, seluruh pekarangan menjadi terang
benderang.
Ternyata bola hitam itu berisi belerang dan sebangsa obat
peledak, begitu meledak api segera menyala, entah berapa bekal
bola hitam musuh. Kalau setiap bola dilemparkan, gedung setan
pasti akan menjadi lautan api.
"Hebat juga cara kalian!" sebuah bayangan tiba-tiba berkelebat
keluar dari dalam kamar.
"Te-gak Suseng!” orang-orang yang mengepung itu sama
menjerit kaget. Orang tua berjenggot seketika pucat mukanya, sorot
matanya memancarkan sinar yang menakutkan, bentaknya beringas:
"Kiranya kau!"
"Ih Ciau," ejek Ji Bun dingin, "malam ini harus kutahan di sini.”
Laksana kilat menyambar ia menubruk ke arah si orang tua
berjenggot.
Agaknya lh Ciau komandan Busu Ngo-hong-kau ini maklum
bahwa dengan kekuatan seluruh anak buahnya terang takkan
mampu berhadapan dengan Te-gak Suseng yang terkenal kejam
tanpa kenal ampun ini, maka sejak tadi dia sudah bersiaga. Begitu Ji
Bun bergerak, sebat sekali iapun melompat ke tempat gelap dan
menghilang. Ji Bun menubruk tempat kosong, keruan tidak kepalang
penasaran hatinya. Celakalah anak buah Ngo-hong-kau yang lain, ke
mana kaki dan tangan Ji Bun bergerak, seperti membabat rumput
saja, beberapa jiwa segera melayang seketika.
Di tengah keributan itulah, entah siapa yang melempar bola
hitam. "Dar, dar!" jago merah segera menyala dan menjilat
pekarangan kecil sebelah kiri sana. Cepat sekali pekarangan kecil
serta bangunannya telah menjadi lautan api.
Serasa menguap kepala Ji Bun saking murka, segera ia
kembangkan kecepatan gerak tubuhnya, bayangan berkelebat setiap
orang yang kesamplok diganyang habis-habisan. Kepandaian para
Busu ini jauh lebih rendah dari pada tingkat para duta, jangan kata
melawan, melarikan diripun tak sempat lagi, tahu-tahu jiwa sudah
melayang di tangan Ji Bun. Di tengah suara gemeretak yang gaduh
dari api yang menyala-nyala itu, di sana sini berkumandang pula jerit
dan pekik orang-orang yang terenggut nyawanya. Tapi lebih banyak
jumlahnya yang sempat melarikan diri.
"Toako," mendengar seruan ini, mata Ji Bun yang sudah
membara melihat Siau-po melayang datang ke sampingnya, maka
dengan suara gugup dia bertanya: "Siau-po, ayahmu dan lain-lain
........?”
"Beliau tidak kurang sesuatu apa, meski ada kebakaran tiga
tahun juga tidak akan menjilat ke tempat sembunyi mereka.
"Tapi kebakaran ini tidak boleh dibiarkan menjalar ke tempat lain,
ini di dalam kota."
“Paling pekarangan kecil ini yang terbakar habis, sekelilingnya
tempat kosong, di sana terlindung oleh tembok tinggi lagi, cuma
bangunan loteng di belakang itu harus dirobohkan walau terpaut
satu gang kecil."
"Di mana?"
"Mari kutunjukkan tempatnya."
Waktu mereka tiba di belakang, api sudah menyala besar, loteng
kecil itupun sudah hampir terjilat api. Ji Bun segera memburu maju
seraya suruh Siau-po menyingkir. Tangan terayun segera dia
menggempur ke arah saka, untung bangunan itu sudah cukup tua.
Sekall pukul, seluruh bangunan loteng bergetar. Beruntun Ji Bun
memukul tiga kali ketiga tempat, loteng kecil itu segera ambruk
dengan mengeluarkan suara gaduh.
Siau-po tenang-tenang saja, segera ia tarik lengan Ji Bun,
katanya, "Toako, mari menemui ayahku."
Dengan menyeret Ji Bun, Siau-po berlari-lari kecil berputar kian
kemari tujuh delapan kali ke kanan dan ke kiri, akhirnya menyelinap
masuk ke tengah-tengah gunung buatan, di sini dia menekan sebuah
tombol membuka pintu rahasia terus lari masuk ke lorong gelap
yang menembus ke bawah. Ternyata ruangan di bawah tanah
dibangun dengan bentuk lain, pajangan di sini juga serba megah
dan mewah.
Belum jauh mereka melangkah di antara lorong panjang, tampak
Ciang Wi-bin menyongsong keluar, Ciang Bing-cu mengikuti di
belakangnya. Ciang Wi-bin tetap berdandan seperti hartawan kaya
raya yang berjenggot panjang seperti dulu. Setelah tergelak-gelak
lalu berkata: "Hiantit, kedatanganmu sudah kuperhitungkan dengan
tepat."
"Paman, sayang sekali, Siautit kurang becus, pemimpinnya
sempat melarikan diri."
"Peduli amat sama dia."
Ciang Bing-cu tampak sedikit kurus, namun pandangan matanya
masih begitu jernih, pipinya bersemu merah kemalu-maluan, sedikit
menekuk lutut memberi hormat, dia menyapa: "Selamat bertemu Ji-
seheng."
Panas muka Ji Bun, lekas dia balas menghormat dan menyapa.
"Marilah bicara di dalam," ujar Ciang Wi-bin.
Lorong ini cukup panjang dan lebar, tiga orang bisa jalan
berjajar, Ciang Bing-cu mengikuti di belakang, sejenak mereka
sudah tiba di sebuah kamar batu yang besar.
Tampak Khong-kok-lan So Yan, si ibu tua tengah duduk di atas
sebuah kursi besar berukir yang serba antik. Melihat orang, timbul
perasaan aneh dalam benak Ji Bun. Sebagai isteri tua ayahnya,
walau sekarang sudah jadi musuh, tata krama tidak boleh diabaikan,
segera ia beranjak maju menyapa: "Tay-bo (ibu tua) baik-baik saja
.........?"
Sikap Khong-kok-lan So Yan kaku dingin. "Tempo hari pernah
kuperingatkan, panggil aku Cianpwe saja."
20.60. Pemberian Thian-thay-mo-ki
"Selamat bertemu So-cianpwe.”
"Silakan duduk."
"Terima kasih."
Setelah semua orang mengambil tempat duduk, sesaat suasana
menjadi hening, karena adanya hubungan yang janggal antara Ji
Bun dengan So Yan, siapapun menjadi kikuk untuk buka suara lebih
dulu.
Setelah berdehem akhirnya Ciang Wi-bin membuka suara:
"Hiantit, kejadian apa yang kau alami di tengah jalan?"
"Di Sip-san, Siautit bersua dengan Ngo-hong Kaucu, sayang dia
sempat melarikan diri, dari mulutnya, Siautit mendapat kabar
tentang jejak ayah.”
Berubah rona muka Khong-kok-lan So Yan, tapi diam saja.
Ciang Wi-bin mengerut kening, tanyanya: "Di mana ayahmu?"
"Bersama ibu mereka ditawan di markas pusat Ngo-hong-kau."
"Ngo-hong Kaucu sendiri yang mengatakan padamu? Apa
maksudnya?"
"Sekarang belum diketahui, namun dia mengajukan syarat untuk
membebaskan mereka."
"Syarat apa?"
"Dia minta barter dengan batok kepala Siangkoan Hong suami
isteri."
"Hm, membunuh dengan pinjam tangan orang lain, muslihat
Ngo-hong Kaucu memang terlalu keji. Lalu rencana apa yang hendak
kau lakukan untuk memenuhi syarat ini?"
"Kukira sulit dilakukan."
"Ya, aku sudah mengatur rencana, kita harus mencari tahu asal
usul Ngo-hong Kaucu, kuyakin tak lama pasti berhasil kuselidiki."
"Gi-heng," tiba-tiba Khong-kok-lan So Yan buka suara, "bahwa Ji
Ing-hong masih hidup, tentunya kau tidak merintangi aku menuntut
balas padanya bukan?"
Panggilan "Gi-heng" atau kakak angkat baru pertama kali ini Ji
Bun mendengarnya. Jelas, secara langsung So Yan tidak akan peduli
lagi adanya hubungan lantara Ciang Wi-bin dengan Ji Ing-hong di
masa lalu, bagi pendengaran Ji Bun sudah tentu amat menusuk
kuping dan serba rikuh lagi.
Ciang Wi-bin melirik ke arah Ji Bun tanpa bersuara. Ji Bun sendiri
juga maklum, dalam pembicaraannya waktu pulang dari danau setan
tempo hari, Ciang Wi-bin telah menarik kesan buruk terhadap
perbuatan jahat ayahnya, malah ada maksud memutuskan
hubungan, maka dapatlah dibayangkan kalau kedudukan dirinya
sekarang menjadi serba susah.
Mendadak dia teringat kepada Hing-thian-it-kiam Gui Han-bun
yang tidak mati seperti dugaan banyak orang. Jit-sing-po pun telah
dihancur leburkan, tapi dendam ibu tua ini agaknya sudah terlalu
mendalam. Betapapun So Yan pernah menjadi isteri ayahnya, lalu
apa pula yang bakal terjadi bila satu sama lain berhadapan?
Maka Ji Bun berkata sambil menatap Ciang Wi-Bin. "Paman,
Siautit sudah menemukan biangkeladi yang membantai orang-orang
Jit-sing-po."
Tiba-tiba bercahaya biji mata Khong-kok-lan So Yan, rona
mukanya terunjuk senang dan kaget.
"Siapa?" Ciang Wi-bin bertanya kaget. Sepatah demi sepatah Ji
Bun menerangkan: “Hing-thian-it-kiam Gui Han-Bun."
Kata-kata Ji Bun laksana geledek manyambar kepala, Khong-kok-
lan berjingkat berdiri, mata mendelik dan mulut melongo, badannya
gemetar seperti orang kedinginan.
Ciang Bing-cu terbeliak kaget mengawasi Ji Bun, lalu memandang
So Yan. Ciang Wi-bin juga berdiri. "Siapa katamu?” tanyanya
menegas.
"Hing-thian-it-kiam Gui Han-bun."
"Ini ...... ini ..... mana mungkin?"
"Peristiwa itu tak sampai merenggut jiwanya .......”
"Jadi ...... jadi dia masih hidup?"
"Ya, dia adalah Siucay tua yang baru-baru ini masuk jadi anggota
Wi-to-hwe."
"Ah, sungguh di luar dugaan."
"Kau ..... apa yang kau lakukan atas dirinya?" tanya Khong-kok-
lan So Yan dengan tergagap, suaranya tertelan dalam tenggorokan.
"Aku tidak membunuhnya, dia masih hidup, sekarang berada di
Wi-to-hwe."
"Dari mana kau tahu dia adalah biangkeladi yang menghancurkan
Jit-sing-po?"
"Dia sendiri yang mengaku."
Berkaca-kaca mata Khong-kok-lan So Yan, berita gembira di luar
dugaan ini membuat hatinya senang, dan penuh emosi, dengan
lunglai dia menjatuhkan diri ke atas kursi, napasnya agak memburu.
Setelah sekian lamanya baru tiba-tiba dia berdiri pula, katanya
dengan suara gemetar kepada Ciang Wi-bin: "Selama beberapa
tahun ini, berkat budi kebaikan Gi-heng sehingga aku hidup
tenteram di sini, tak perlu kiranya aku banyak kata dengan ucapan
muluk-muluk, bila selama hayat masih dikandung badan, aku tak
bisa membalas kebaikan ini, biarlah pada penitisan ......"
"Gi-moay, buat apa kau bilang begini ........”
"Sekarang aku mohon diri ......"
"Kau hendak ke mana?”
"Mencari Gui Han-bun."
"Dik, berpikirlah dengan kepala dingin, apakah Siau-po hendak
kau tinggalkan?"
Dengan berlinang air mata Khong-kok-lan So Yan berkata: "Po-ji,
kelak kita pasti akan berkumpul lagi, sekarang kau sudah besar. Cici
dan ayahmu akan menemanimu."
Siau-po menangis tergerung-gerung. Ciang Bing-cu ikut
membujuk: "Gi-bo (ibu angkat), apa engkau harus pergi?"
"Bing-cu aku harus menemuinya .......”
Ji Bun kebingungan, tidak tahu apa yang harus diiakukan, dalam
keadaan demikian dia memang kehabisan akal dan tak dapat ikut
bicara.
"Gi-moay," ujar Ciang Wi-bin, "permusuhan lebih mudah di tanam
dari pada dilerai, maka kuharap setelah kau berkumpul dengan Han-
bun mungkinkah ........”
"Gi-heng," tukas Khong-kok-lan So Yan, "kau tahu tak mungkin
kubatalkan balas dendam terhadap Ji Ing-hong. Bagaimana nasib
kami selanjutnya entahlah Gi-heng, Bing-cu, Siau-po, selamat
tinggal!"
Habis berkata dia kipatkan tangan Siau-po terus berlari keluar.
Siau-po berjingkrak dan tangisnya gerung-gerung. Bing-cu
tersedu sedan. Ciang Wi-bin membanting kaki dan menghela napas
panjang sambil berkeluh kesah. Ji Bun membesi muka, mulut
terkancing dan mata melotot.
Untuk sesaat lamanya keadaan menjadi sunyi. Tiba-tiba Ciang
Wi-bin tarik lengan Siau-po, katanya gelisah: "Kaki tangan Ngo-
hong-kau pasti tidak ditarik seluruhnya, hayolah kita antar ibu
angkatmu."
Ayah beranak segera berlari keluar, sebelum pergi Ciang Wi-bin
menatap Ji Bun penuh arti.
Kini dalam kamar di bawah tanah yang serba mewah ini tinggal Ji
Bun dan Ciang Bing-cu berdua. Pandangan Ciang Wi-bin sebelum
berlalu tadi merupakan isyarat. Ji Bun maklum apa artinya, apa yang
dikatakan mengantar ibu angkat hanya alasan belaka, yang terang
tujuannya adalah memberi kesempatan pada dirinya untuk bicara
dari hati ke hati dengan Ciang Bing-cu. Seperti diketahui waktu
perjalanan pulang dari "danau setan" Ciang Wi-bin pernah berjanji
menjodohkan puterinya kepada Ji Bun.
Ji Bun menjadi kebingungan, sesaat lamanya dia sukar membuka
mulut. Ciang Bing-cu sendiri agaknya juga tahu akan hal ini,
wajahnya tampak malu-malu, kepalanya tertunduk dan kedua
tangannya mengucek ujung baju, mulut terkancing tak bicara.
Akhirnya Ji Bun keraskan kepala, katanya: "Adik Cu, kakak ada
beberapa patah kata yang muugkin terlalu sembrono untuk
kukatakan .......” sampai di sini dia berhenti, tak tahu kata-kata apa
pula yang harus diucapkan.
Ciang Bing-cu tetap menunduk, katanya dengan malu-malu: "Ada
omongan apa silakan kakak katakan saja."
"Betapa besar kasih sayang adik terhadap kakak, selama hidup
terukir dalam sanubariku, sayang aku ditakdirkan hidup dalam
keluarga yang terlibat dendam kesumat, bagaimana nasibku kelak,
sukar diramalkan, oleh karena itu kumohon adik maklum akan
keadaanku yang serba sulit ini, janganlah kau sia-siakan masa
remajamu sendiri .......”
Tiba-tiba Ciang Bing-cu angkat kepalanya, wajahnya diliputi rasa
marah dan penasaran, katanya sambil tertawa dingin: "Ji Bun, aku
tak pernah bilang harus menikah dengan kau."
Ji Bun tertegun, wajahnya merah dan tak dapat bicara lagi.
Suasana menjadi beku dan serba kikuk. Sambil mengebas lengan
baju Ciang Bing-cu berdiri, air mata berlinang, dengan langkah
lemas ia beranjak ke arah kamar.
Ingin Ji Bun memanggilnya, tapi gerahamnya terasa kaku, mulut
terpentang tapi tenggorokan seperti tersumbat. Dia tahu betapa
hancur luluh hati Ciang Bing-cu, malu lagi, akan tetapi Ji Bun tahu
dirinya tak kuasa menghindari kenyataan ini, budi dan cinta Thian-
thay-mo-ki sedalam lautan, kesetiaannya sekokoh gunung,
betapapun dia tidak rela menyia-nyiakan kebaikan orang terhadap
jiwa raga sendiri. Sekarang urusan menjadi berkepanjangan, apa
boleh buat, akhirnya dia menghela napas panjang.
"Hiantit, bagaimana hasil pembicaraan kalian?” tahu-tahu Ciang
Wi bin melangkah datang, namun Siau-po tidak ikut masuk, agaknya
sengaja disuruh jaga di luar.
Ji Bun tertawa getir, katanya: "Se-moay tidak memaklumi
keadaanku."
"Lahirnya dia lemah lembut, yang benar iapun berwatak keras,
aku yang jadi ayahnya pun tak kuasa membujuk dia. Tapi urusan
masa depan tak boleh dibuat main-main, kuharap Hiantit bisa
mempertimbangkan lagi."
Apa boleh buat Ji Bun menjawab sekenanya: "Siautit akan
berpikir lagi."
Ciang Bing-cu muncul pula, wajahnya tampak dingin kaku,
katanya dengan nada sedih: "Ayah, kenapa kau paksa orang, dia
punya kesulitan .......”
"Bing-cu," kata Ciang Wi-bin lembut, "jangan kau mengumbar
adat .......”
"Yah, puterimu bukan perempuan jalang dari kelas buangan, dia
suruh Ui-suheng mengembalikan anting-anting, itu sudah jelas
mengunjukkan sikapnya ........."
"Sebagai insan persilatan yang hidup di kalangan Kang-ouw,
memangnya setiap orang mungkin saja terlibat dalam urusan yang
sukar dimaklumi orang lain."
"Anak tidak senang menyinggung persoalan ini lagi."
"Se-moay," kata Ji Bun sambil menyengir, "kakak amat menyesal
......”
"Buat apa menyesal, Se-heng terlalu rendah hati."
Ciang Wi-bin mengulap tangan, katanya tegas: "Baik, sampai di
sini saja pembicaraan ini, sudah saatnya perut kita ditangsal."
Dalam keadaan yang serba kikuk ini, sebetulnya Ji Bun ingin
mohon diri, namun dia merasa kurang enak, itu akan menandakan
sikapnya kurang wajar, berjiwa dan berpikiran sempit. Apalagi
hubungan mereka tak mungkin dan tak boleh putus demikian saja.
Kalau sekarang dirinya tinggal pergi bila bertemu lagi kelak tentu
serba runyam, pula kedua ayah beranak ini begini baik terhadap
dirinya, keluhuran budi mereka tak boleh dihapus begini saja.
Maka sambil manggut-manggut ia beranjak keluar meninggalkan
kamar besar ini.
Seperti bangunan gedung umumnya, ruang bawah tanah inipun
ada pula kamar tidur, kamar makan dan kamar tamu. Semuanya
dipajang perabot serba antik dan mewah. Dari sini dapat dinilai
betapa besar jerih payah Ciang Wi-bin waktu membangun rumah
bawah tanah ini.
Hidangan sudah disiapkan di kamar makan, mereka tangsel perut
ala kadarnya, masing-masing jarang bicara, Siau-po pun jarang
bicara, hanya Ciang Wi-bin saja yang bercerita panjang lebar
tentang kejadian-kejadian di Kang-ouw masa silam, maksudnya
hendak menambah gairah makan dan memulihkan hubungan kedua
pihak. Ji Bun tak berminat mendengar cerita, otaknya senantiasa
berpikir cara bagaimana mencari daya untuk memecahkan persoalan
pelik ini?
Sekonyong-konyong sebuah bayangan berkelebat memasuki
kamar makan, itulah seorang pemuda berwajah putih cakap
berpakaian sutera.
"Ngo-hong-su-cia!" bentak Ji Bun sambil berdiri.
Pemuda baju sutera langsung memberi hormat kepada Ciang Wi-
bin, katanya: "Terimalah sembah sujud murid Suhu."
Mendengar suara orang, seketika Ji Bun melengong, yang datang
ternyata adalah Sian-thian-khek Ui Bing. Sungguh ia tak habis
mengerti, apa sebetulnya tujuan Ui Bing menyaru jadi Ngo-hong-su-
cia, guru dan murid ini memang serba misterius, sepak terjang
mereka sukar diselami.
Tak lupa Ui Bing menyapa Ciang Bing-cu dan Siau Po, lalu
berputar kepada Ji Bun, katanya: “Hiante, bagaimana keadaanmu?"
Ji Bun menjawab, "Tidak apa-apa, silakan duduk Toako,
minumlah sambil bercakap-cakap."
"Maaf, aku tidak punya waktu.”
"Bagaimana perkembangannya?" tanya Ciang Wi-bin serius.
"Belum ada tanda-tanda terang, cuma ada satu hal cukup
mencurigakan. Yaitu cara dia menggunakan tata rias, agaknya satu
sumber dengan aliran kita ........."
"Itu tak perlu dibuat heran, ilmu tata rias dari tiga aliran yang ada
di sini satu sama lain hanya sedikit perbedaannya, yang penting
adalah membongkar kedok aslinya atau cari tahu asal usulnya."
"Sungguh amat sulit dan serba susah, dia cukup licik dan licin,
banyak muslihatnya lagi, dengan kedudukan Duta, Tecu toh sukar
sembarangan bergerak di markas pusat mereka."
"Betapapun sukarnya tetap harus kau kerjakan."
Ui Bing mengiakan.
"Toako," Ji Bun menyeletuk. "Bagaimana kau bisa menyaru jadi
Ngo-hong-su-cia?"
"Kebetulan akhir-akhir ini Ngo hong kau mengadakan pemilihan
calon-calon Duta, syarat-syarat yang utama adalah bakat, kedua
muda usia, ketiga adalah kepandaian silatnya. Dengan dandananku
ini beruntung aku diterima disana."
"O, dari mana dapat dicari pemuda sebanyak itu, mana harus
berkepandaian silat lagi."
"Asal punya dasar dan bakat, Kaucu sendiri yang mengajarkan
ilmu silat, dalam jangka sebulan akan digembleng dengan hasil yang
gemilang."
"Sejauh ini Toako masih belum tahu wajah asli Ngo-hong-kaucu?"
"Belum, kukira hanya beberapa orang saja yang tahu "
"Kenapa sampai sedemikian misterius?"
"Itulah perbedaan adanya lurus dan sesat, dari kalangan lurus
yang diutamakan adalah keterus terangan dan kejujuran, sedang
orang-orang dari aliran sesat, yang diutamakan hanya tujuan. Meski
harus menggunakan cara kotor apapun, mereka tetap berani
bertindak secara sembunyi serta menggunakan muslihat."
"Bagaimana kalau Siaute memberi sedikit sumber penyelidikan."
"Sumber penyendikan apa?"
"Ngo-hong-kaucu adalah orang yang pernah beberapa kali
berusaha membunuh Siaute, yaitu Kwe loh-jin yang berhasil merebut
Hud-sim."
"Bagus!" teriak Ui Bing.
"Anak muda," Ciang Wi-bin menyambung, "Jangan semberono
sehingga menunjukkan belangmu sendiri. Ada urusan apa lagi lekas
katakan supaya segera kau dapat pergi"
"Hal ini ada hubungannya dengan Hiante," ujar Ui Bing menatap
Ji Bun.
"Ada hubungan dengan Siaute?" Ji Bun menegas.
"Ya, coba kau lihat ini," kata Ui Bing sambil mengulurkan sebuah
lipatan kertas. Ragu-ragu Ji Bun menerimanya dan dibuka, seketika
air mukanya berubah, kedua tangan gemetar, firasat jelek segera
menyentuh sanubarinya, kertas itu membungkus beberapa utas
potongan rambut. "Toako .... ini .... apakah ini?"
Dengan suara rawan Ui Bing berkata: "Itulah pemberian Thian-
thay-mo-ki untuk Hiante."
Badan Ji Bun limbung, suaranya gemetar: "Pemberiannya? Toako
sudah bertemu sama dia? Apakah dia baik-baik?"
Guram sorot mata Ui Bing tiba-tiba, katanya dengan menunduk
pilu: "Hiante, dia ..... dia sudah meninggal."
Seperti disamber petir Ji Bun tersentak mundur dan "bluk" jatuh
terduduk di atas kursi, mukanya bergetar seram sehingga merubah
bentuknya yang cakap, biji matanya melotot sebesar kelereng,
mulutnya bergumam serak: "Dia ..... sudah meninggal."
Ciang Bing-cu, Ciang Wi-bin, Siau Po sama pucat dan tegang. Ui
Bing melangkah maju, tangannya memegang, pundak Ji Bun,
suaranya penuh rasa iba dan simpatik: "Hiante, orang mati tak dapat
hidup kembali, kau harus tabah menghadapi kenyataan ini."
Mendadak Ji Bun berdiri, dengan kencang dia pegang kedua
pundak Ui Bing, bentaknya bengis: "Bagaimana dia bisa mati?”
Karena terlalu emosi, pegangannya begitu kencang, saking
kesakitan Ui Bing sampai mengertak gigi dan keringat dingin
berketes-ketes.
Dengan meringis Ui Bing menjawab: "Dia bunuh diri."
"Bunuh diri? Kenapa?"
“Karena kesuciannya dinodai oleh Ngo-hong Kaucu.”
"Keparat, kubunuh dia!" teriak Ji Bun kalap. Air mata meleleh dari
kelopak matanya yang melotot, betapa seram dan mengerikan
keadaannya, sungguh siapapun akan merinding dan kasihan pula.
Saking tak tahan karena pergelangan tangan diremas, terpaksa
Ui Bing menjerit kesakitan. Baru sekarang Ji Bun sadar, lekas dia
lepas pegangannya.
"Hiantit," ujar Ciang Wi-bin, "tenangkan pikiranmu."
Dengan jari-jari gemetar Ji Bun remas bungkusan rambut itu
serta mendekapnya di depan dada, air mata darah bercucuran
dengan deras. Dalam sekejap ini, hatinya serasa disayat-sayat,
sukmanya seperti dibetot secara mentah-mentah dari raganya.
Kepedihan dan kesedihan yang luar biasa membuat pikirannya
hampa. Cinta bertepuk sebelah tangan, budi belum terbalas,
ternyata si dia kini sudah pergi meninggalkan dunia fana ini, mati
secara mengenaskan sesudah dikotori tubuhnya, dapatkah dia pergi
dengan mata meram?
Kini dia sudah tiada, rambut peninggalan ini merupakan pertanda
betapa besar cinta kasihnya yang terbawa ke liang kubur. Tinggal
kenangan abadi akan selalu terukir di dalam lubuk hatinya. Hanya
satu cita-citanya semasa masih hidup, terangkap jodoh menjadi
suami isteri, dan cita-cita inipun tetap terkandung dalam hatinya
sampai akhir hayatnya.
Sebetulnya Ji Bun sudah bersumpah untuk tidak lagi
mengabaikan cinta murninya, akan tetapi semua ini sudah sirna,
hanyut terbawa sang waktu. Dia pergi membawa serta rasa
kebencian yang tak terlampiaskan, derita yang tak terperikan dan
jiwanya nan luhur, bagai bunga, sehalus sutera dan berakhir begitu
saja.
Hawa seperti membeku, tiada buka suara. Lama sekali, dengan
kaku baru Ji Bun angkat kepala, suaranya serak, tanyanya pada Ui
Bing: "Toako, bagaimana kejadiannya?"
Dengan suara rendah Ui Bing mulai bercerita: "Beberapa hari
yang lalu, kebetulan Kaucu sedang keluar, untuk pertama kali aku
ditugaskan berjaga di markas dalam. Sengaja aku cekoki para
petugas lain sampai mabuk, diam-diam aku menyelundup ke
belakang. Kudengar suara isak tangis seorang perempuan, waktu
kuintip, ternyata dia ........”
“Segera aku memperkenalkan diri, maka dia memotong ujung
rambutnya ini dan diberikan padaku dengan berpesan: Sampaikan
pesanku kepadanya, hidup ini tak tercapai cita-citaku, biarlah pada
penitisan mendatang kami hidup sebagai suami-isteri.
"Apa pula yang dikatakan?"
"Dia minta supaya, kau menjaga diri baik-baik, rambut ini
ditinggalkan untuk kenang-kenangan sepanjang masa. Dia bilang,
walau mati cintanya tetap takkan berubah, dan cinta itu tetap akan
terbawa ke liang kubur, lalu dia ....... putuskan urat nadi sendiri
membunuh diri."
Air mata darah kembali bercucuran, tiba-tiba Ji Bun menggembor
kalap: "Kau tidak berusaha mencegah dia bunuh diri?"
“Dia bilang, badan yang kotor ini tidak setimpal untuk menebus
kematiannya, bahwa dia bertahan hidup selama ini adalah untuk
mencari kesempatan mengirim kabar ini. Dia mengharap kau
menuntut balas bagi kematian guru dan murid."
“Maksudku kenapa kau tidak cegah dia bunuh diri?”
“Tidak, sempat lagi."
"Kau terlalu mementingkan dirimu sendiri.”
Ui Bing mundur setapak, katanya haru dan dongkol: "Kenapa
Hiante bilang begini, apakah aku orang demikian?"
Setelah berkata Ji Bun sadar telah kelepasan omong. Secara tidak
langsung kata-katanya merupakan pukulan batin dan penghinaan
terhadap Ciang Wi-bin dan puterinya. Namun untuk menarik balik
kata-katanya tadi sudah tak keburu lagi. Tapi rasa sesal ini hanya
sekejap saja, lain kejap hatinya sudah dirundung kepedihan yang tak
terperikan, katanya sesenggukan: "Kau tahu kalau dia bakal
menempuh jalan pendek, kenapa bilang tidak sempat?"
"Hiante, apakah aku harus membelah hatiku untuk diperlihatkan
kepadamu? Hiante, aku tahu bagaimana perasaanmu sekarang, aku
tidak menyalahkan kau."
“Di mana jenazahnya?" tanya Ji Bun.
"Sudah kukebumikan di hutan belakang markas."
“Di mana letak markas Ngo-hong-kau?"
“Kelukan ketiga yang terletak di belakang Siong-san, di sana ada
tiga pucuk pohon siong yang berdiri segi tiga, masuk ke dalam
kelukan terus menerobos ke dalam gua panjang, di sanalah
letaknya."
"Hiantit," kata Ciang Wi-bin kemudian, "hatikupun ikut sedih,
tiada yang bisa kukatakan cuma aku harap kau tenang. Thian-thay-
mo-ki memang bernasib malang, tapi masih banyak lagi insan
persilatan yang bernasib lebih jelek daripada dia. Dan tugasmu
sekarang adalah menumpas kelaliman dan kejahatan untuk
menolong mereka yang tertindas.”
Dengan kaku Ji Bun manggut-manggut, katanya menatap Ui
Bing: "Toako, adakah kabar ayahku?”
Ui Bing terbeliak, tanyanya: "Apakah ayahmu juga berada di Ngo-
hong-kau?"
"Tidak salah, Ngo-hong Kaucu sendiri yang bilang padaku."
"Setelah kembali nanti akan kuselidiki.".
"Sekarang lekas kau pergi," ujar Ciang Wi-bin, "jangan membuat
urusan menjadi berantakan.”
Ui Bing mengiakan, dia beri hormat kepada guru, lalu menjabat
tangan Ji Bun dengan kencang, katanya: "Hiante, kata-katamu
memang betul, seharusnya aku sadar akan kejadian itu, namun aku
lalai, hal ini akan menjadikan sesal selama hidupku, tapi kuharapkan
Hiante maklum. Aku tidak sengaja berpeluk tangan menyaksikan
drama itu berlangsung,"
"Berat kata-kata Toako, Siaute menjadi malu diri."
"Sampai bertemu lagi,” Ui Bing terus mengundurkan diri.
Sesaat kemudian baru Ciang Bing-cu memecah kesunyian: "Se-
heng, begitu besarkah cintamu terhadap Thian-thay-mo-ki?"
Ji Bun meliriknya sekejap, katanya sedih dengan cucuran air
mata: "Terlalu banyak yang kuterima dari dia, sebaliknya sedikitpun
tak pernah aku membalas kebaikannya."
“Dia sangat cinta kepadamu?”
"Tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, cinta yang murni, cinta
sejati, dia rela mengorbankan diri sendiri demi cinta. Semula sikapku
terlalu menghina kepadanya, belakangan baru kutahu keluhuran
budinya, kebesaran jiwanya, tapi ..... ai, semua itu sudah berakhir,
sudah terlambat, dia tidak patut mati dalam usia semuda ini, dia ......
kenapa harus, berbuat senekat itu? Umpama betul dia sudah
ternoda oleh durjana itu, sukma dan jiwanya, akan tetap suci dan
agung, memangnya aku harus pedulikan semua ini ......"
"Bisa memperoleh cinta balasanmu, kukira iapun dapat tenteram
di alam baka."
"Se-moay, dia tidak tahu, ha.... hatiku, aku tidak, pernah
utarakan isi hatiku. Selama ini cintanya hanya bertepuk sebelah
tangan, malah pertemuan kami yang terakhir terjadi pertengkaran
dan berpisah dengan marah dan penasaran. Siapa tahu ....
perpisahan ini berakhir untuk selamanya ......”
Jari-jari Ji Bun meremas rambut kepala sendiri, dia ingin
menyiksa badan sendiri untuk mengurangi penderitaan batinnya.
Haru dan kecut perasaan Ciang Bing-cu, bukankah dirinyapun
teramat mencintainya?
"Se-moay, kau harus tahu, tanpa dia mungkin aku takkan hidup
sampai sekarang.”
"Kenapa?"
"Suatu ketika aku dipukul luka parah oleh Ngo-hong Kaucu yang
menyamar seperti ayahku. Dengan gunakan darahnya dia telah
menolong jiwaku .....”
“Darahnya?"
“Ya, dia pernah minum getah naga batu (Ciok-liong-hiat-ciang).
Dalam darahnya mengandung obat mujarab yang dapat menunjang
nyawanya. Oleh karena itu, beberapa kali aku hidup kembali setelah
terpukul mati ......”
"Hah!" Ciang Wi-bin dan Ciang Bing-cu menjerit kaget,
berbareng, sungguh berita yang belum pernah tersiar di kalangan
Kang-ouw. Apakah sebenarnya Ciok-liong-hiat-ciang atau getah naga
batu itu, Ciang Wi-bin yang berpengalam luas cukup tahu, maka ia
manggut-manggut, katanya dengan nada simpatik: "Hiantit, aku
dapat memahami perasaanmu."
Ciang Bing-cu juga terketuk sanubarinya, namun seorang gadis
biasanya lebih kenal malu dari pada minta maaf, maka dia diam saja.
Namun sikapnya sudah menunjukkan bahwa hatinya menyesal dan
ikut berduka.
Setelah membeberkan segala rahasia dan memperoleh
pengertian mendalam dari Ciang Wi-bin dan puterinya, lega juga hati
Ji Bun. Namun dendam sakit hati ini harus selekasnya dibereskan.
Apalagi ayah bunda masih terbelenggu di tangan musuh, maka dia
segera mohon diri.
"Kemana kau hendak perg?" tanya Ciang Wi-bin.
“Akan kuluruk ke markas pusat Ngo-hong-kau."
“Jangan bertindak sembrono."
"Tapi sedetikpun Siautit tak sabar lagi."
"Betapa banyak jago-jago Ngo-hong-kau, seorang diri Hiantit,
menerjang sarang harimau ......”
"Siautit dapat berlaku hati-hati"
"Baiklah, aku akan berangkat bersamamu ....."
"Tidak," Ji Bun menggeleng.
Mendadak bayangan seorang tampak berlari masuk dengan
langkah sempoyongan dan "Bluk", jatuh tersungkur di lantai. Darah
muncrat kemana-mana. Siau Po menjerit kaget, Ciang Wi-bin ayah
beranak dan Ji Bun juga terperanjat serta memburu maju.
Pendatang adalah pemuda berjubah biru, napasnya tampak
empas-empis.
"Siapakah dia?" tanya Ji Bun kaget.
Sebat sekali Biau-jiu Siansing, memburu ke samping pemuda baju
biru, mulutnya menyahut: “Inilah muridku yang kedua, Si Ke-siu.”
Sembari bicara tangannya meraba urat nadi orang serta
memeriksa luka-lukanya, teriaknya kaget: "Terluka oleh pedang,
keluar darah terlalu banyak, mungkin ......."
21.61. Mati .... Bagi Pengikut Ngo-Hong-Kau
Ji Bun ikut berjongkok memeriksa, tubuh orang memang terluka
di banyak tempat, darah membasahi seluruh tubuh, kulit badan
boleh dikatakan sudah tiada yang utuh lagi, keadaannya amat
mengerikan.
Bercucuran air mata Ciang Wi-bin, ia sesenggukan tak mampu
bersuara.
Sementara itu Ciang Bing-cu bekerja dengan cekatan, lekas sekali
dia sudah membawakan obat dan diberikan kepada ayahnya.
"Celaka," tiba-tiba Ciang Wi-bin berteriak kaget.
"Apa yang celaka?” tanya Ji Bun heran.
"Mungkin Ke-siu terluka oleh jago-jago Ngo-hong-kau yang
dipasang di sekitar gedung setan ini, dengan luka-luka separah ini,
darahnya bertetesan lari kemari mungkin jejaknya akan konangan
musuh ......"
"Biar kukeluar memeriksanya?" kata Ji Bun.
"Siau Po, tunjukan jalan bagi Toako, kau sendiri jangan unjukkan
diri," Can Wi-bin berpesan.
Siau Po mengiakan, ia menarik tangan Ji Bun terus berlari keluar,
yang ditempuh bukan jalan masuk tadi, kiranya ruang di bawah
tanah ini masih ada jalan rahasia lain yang tidak sedikit jumlahnya.
Mereka dihadang oleh sebuah dinding, Siau Po entah gunakan
benda apa, dia tekan-tekan, tahu-tahu dinding batu setebal dua kaki
itu merekah di tengah selebar tiga kaki, segera Ji Bun menyelinap
keluar.
"Toako," kata Siau Po berbisik, "aku akan menengok keadaan Si-
suheng, sebentar aku menyambut kau di sini."
"Tak usahlah, aku bisa kembali sendiri."
"Toako, ganyang musuh sebanyak mungkin, jangan menaruh
kasihan terhadap mereka."
"Jangan kuatir, Te-gak Suseng bukan laki-laki yang berhati
lemah."
Setelah menyusuri lorong gelap sepanjang tiga tombak, Ji Bun
tiba di deretan hutan bambu warna hijau yang rimbun, pelan-pelan,
dia menyingkap dedaunan, tampak hutan bambu ini berada di
tengah gunung buatan yang terletak di tengah-tengah empang
besar, jaraknya ada empat tombak dari pinggir empang di seberang.
Diam-diam Ji Bun menghela napas lega dan kagum, pintu rahasia
yang dibangun di tempat tersembunyi seperti ini memang sukar
ditemukan orang biasa.
Di seberang empang sana tampak bayangan orang mondar
mandir. Dari kejauhan sayup-sayup terdengar suara kentongan
empat kali, masih banyak waktu untuk bekerja sebelum terang
tanah. Cepat Ji Bun mundur ke dalam hutan terus melompat ke atas
gunung buatan. Dari tempat ketinggian ini dia kembangkan ginkang
“angin lesus", tubuhnya berputar mumbul melayang dan seringan
daun melayang, tanpa mengeluarkan suara dia hinggap di seberang.
Sejenak dia berdiri menerawang sekelilingnya. Didapatinya anak
buah Ngo-hong-kau yang di pendam di sekitar gedung setan ini tak
terhitung banyaknya. Agaknya tekad musuh teramat besar untuk
membekuk dirinya dan Biau-jiu Sansing. Kobaran api di pekarangan
kecil sana sudah padam.
"Srek, srek!" dengan sengaja Ji Bun melangkah ke tanah lapang
sana dengan menerbitkan suara.
"Siapa itu? Di larang sembarangan bergerak!" agaknya orang
menyangka Ji Bun kawannya sendiri.
Tanpa pedulikan seruan orang, Ji Bun malah percepat
langkahnya. Segera tiga bayangan orang datang. Tanpa perhatikan
bagaimana bentuk rupa dan dandanan ketiga orang ini, kontan Ji
Bun sambut mereka dengan pukulan tangan beracun. "Plak, plak,
plak!" di tengah nyaringnya tamparan tangannya, ketiga orang sama
terjungkal roboh jiwa melayang tanpa sadar apa sebabnya.
Kegaduhan di sini mengejutkan orang-orang lain, orang yang
terpendam di tempat lain bergegas berlari kemari.
"Siapa?" bentakan kumandang dari berbagai arah. Kembali lima
bayangan orang melayang tiba dari tempat gelap. Dengan cara yang
sama, begitu musuh melayang datang, kelima orang inipun
ditamatkan jiwanya oleh Ji Bun.
"Kejam betul perbuatan saudara!" tiba-tiba sebuah suara
membentak.
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 1 komentar... read them below or add one }
Seperti biasa ciri khas Gu Long, tokoh pendekarnya,.muda, temperamental, angkuh, tapi gobloknya juga bukan main, cerobohnya bukan main, otaknya nggak dipake, sradag-srudug....payaaaahhhhh
Posting Komentar