jubah sutera tahu-tahu sudah berdiri tidak jauh di belakangnya,
maka dia mengejek dingin: "Ngo-hong-su-cia?"
Mungkin baru sekarang pemuda ini dapat mengenali Ji Bun,
seketika ia berteriak kaget dan seru:
"Te-gak Suseng!"
"Betul, inilah aku!" dingin dan mengancam suara Ji Bun.
Tanpa menunggu Ji Bun habis bicara, tiba-tiba pemuda baju
sutera itu putar badan terus meluncur ke tempat gelap. Agaknya dia
tahu diri, tak berani bentrok secara langsung dengan Ji Bun. Tapi Ji
Bun sudah kadung benci terhadap musuh, mana dia mau tinggal
diam. Sebat sekali badannya berkelebat, tahu-tahu dia berkisar dari
arah samping, begitu cepat laksana gerakan setan, baru lima tombak
Ngo-hong-su-cia itu bergerak. Ji Bun sudah menghadang di
depannya.
"Kau mau lari?” Ji Bun mendesis geram. Tok-jiu-it-sek segera
dilancarkan, baru saja Ngo-hong-su-cia sempat melolos pedang,
mulutnya menguak, tubuhpun roboh binasa.
Suara suitan bersahutan dari sana sini. Ji Bun bergerak cepat
menubruk ke arah suara suitan itu, tetap musuh di ganyangnya
habis-habisan, jerit dan pekik seram menyayat hati memecah
kesunyian malam. "Gedung setan” ini memang terkenal angker dan
seram, kini betul-betul menjadi gedung setan sungguhan.
Kira-kira satu jam kemudian, suasana kembali hening, mayat-
mayat malang melintang di mana-mana yang ketinggalan hidup
sudah tentu sejak tadi ngacir. Berapa jumlah anak buah Ngo-hong-
kau yang gugur, agaknya pihak mereka sendiri juga tidak tahu.
Kembali Ji Bun mengadakan pemeriksaan satu lingkaran, baru
kembali ke hutan bambu di tengah empang dan masuk ke ruang
bawah tanah, ternyata Ciang Wi-bin sudah menunggu
kedatangannya.
"Paman, bagaimana muridmu itu .........?”
"Luka dalamnya sangat parah, jiwanya tak tertolong lagi."
Dia pulang dalam situasi seburuk ini ........”
"Ya, dia pulang karena ada urusan penting."
"Urusan penting apa?"
"Seratusan murid Kay-pang ditahan orang-orang Ngo-hong-kau di
dalam hutan sepuluh li di luar kota, sebelum fajar menyingsing
mereka akan dibantai bersama ......”
"Kenapa orang-orang Kay-pang sampai tersangkut urusan
dengan pihak Ngo-hong-kau?"
"Ngo-hong-kau menuntut Kay-pang agar menyerahkan seorang
pengemis bermata satu ......."
"O," Ji Bun teringat akan penyamaran Ui Bing sebagai pengemis
mata satu tempo hari. Tak nyana samarannya itu malah
mendatangkan petaka bagi pihak Kay-pang.
"Urusan ini menyangkut Ui Bing ......”
"Siautit tahu. Biar Siautit pergi membereskan persoalan ini."
"Ya, terpaksa kau harus membantu ......”
"Kenapa paman omong demikian, inilah kesempatan baik untuk
mengikis kekuatan Ngo-hong-kau, waktu amat mendesak, sekarang
juga Siautit mohon diri."
"Selesai urusanmu Hiantit harus kembali untuk berunding lebih
lanjut ......“
Belum habis Ciang Wi-bin bicara, bayangan Ji Bun sudah tidak
kelihatan. Dia maklum soal apa yang hendak dirundingkan dengan
dirinya. Sejak mendengar kabar kematian Thian-thay-mo-ki, duka
cita membangkitkan amarah dan dendam Ji Bun semakin
memuncak, sedetikpun tak tahan lagi.
Cap-li-lim terletak di luar kota Cinyang, kegelapan masih
menyelimuti alam semesta. Di dalam hutan gelap gulita, jari
sendiripun tak terlihat, namun di luar hutan tampak bayangan orang
mondar mandir.
Tiba-tiba dalam hutan menyala empat batang obor besar, di
bawah pantulan sinar obor ini, kelihatan seratusan pengemis dangan
pakaian compang camping sama berduduk di dalam hutan. Ada tua
muda, tinggi besar kurus gemuk, semuanya mendelik gusar, tapi
tiada yang buka suara. Di empat penjuru berdiri puluhan Busu
berpakaian ketat, setiap lima seragam hitam berdiri pula seorang
berpakaian sutera hijau. Suasana hening dan tegang mencekam
perasaan setiap orang.
Dari desa yang jauh letaknya di sebelah utara sana, sayup-sayup
terdengar suara kokok ayam. Seorang tua berjenggot putih kelihatan
muncul, matanya menyapu pandang ke arah para pengemis,
suaranya dingin tajam: "Waktu yang ditentukan akan tiba, kalau
Kay-pang tetap tidak menyerahkan orang yang kami tuntut, kalian
harus siap menjadi korban."
Seorang pengemis tua ubanan dari deretan paling depan segera
berdiri, teriaknya dengan beringas: "Ngo-hong-kau merajalela
berbuat kejahatan di Bu-lim, kaum persilatan yang tidak berdosa di
bunuh secara kejam, hukum alam pasti akan mengganjar kalian
.......”
"Tutup mulutmu!" bentak si orang tua jenggot putih, "Nyo-
huthocu, sekarang bukan saatnya kau memberi khotbah di sini.
Begitu terang tanah, batas waktu yang kami tentukan sudah habis,
awas jiwa kalian."
"Hm, kalau markas pusat kalian tidak lekas menyerahkan
pengemis mata satu yang kami tuntut, kami masih mampu
mengumpulkan seratus jiwa yang kedua dan ketiga dan seterusnya
sampai pihak kalian menyerahkan orangnya, betapapun banyak
anggota Kay-pang, akhirnya tentu habis juga terbunuh."
"Hakikatnya tiada orang yang kalian tuntut di dalam Kay-pang
kami."
"Omong kosong belaka," jengek si orang tua.
Fajar telah menyingsing, sinar obor menjadi guram. Seorang
Busu berbaju sutera segera berteriak lantang: "Lapor komandan.
Batas waktu telah tiba!"
"Siap!" laki-laki tua berjenggot putih segera berteriak.
"Sreng," serentak semua Busu Ngo-hong-kau melolos senjata
masing-masing.
Seratus orang Kay-pang juga serempak berdiri, sebentar saja
suasana agak ribut, namun lekas sekali tenang kembali, walau
semua orang sama mendelik gusar. namun sebelum pimpinan
mereka memberi perintah, tiada seorangpun yang berarti bertindak.
Ini menandakan anggota Kay-pang sangat berdisiplin, sekaligus
memperlihatkan keluarbiasaan murid-murid Kay-pang yang patuh
kepada pimpinannya.
Dalam saat-saat tegang dan hening itulah, sekonyong-konyong
sebuah suara berkumandang dari tempat gelap di belakang
gerombolan pohon sana: "Ih Ciau, kau ingin mampus dengan cara
apa?"
Ternyata orang tua berjenggot ini adalah Busu dari markas pusat
Ngo-hong-kau yang ditugaskan menyerbu gedung setan, yaitu Ih
Ciau adanya.
Berubah air muka si orang tua alias Ih Ciau, bentaknya marah:
"Sahabat dari mana, silakan keluar!"
Semua busu yang telah menyoreng pedang sama kaget dan
berubah pula air mukanya, tanpa berjanji semua orang memandang
kearah datangnya suara.
Orang-orang Kay-pang juga kaget dan melongo, menurut dugaan
mereka, tempat di mana mereka ditawan ini cukup dirahasiakan
sehingga pimpinan pusat Kay-pang pun tidak tahu letaknya. Di
samping itu tiada jago sekosen ini di dalam Kay-pang, apalagi
datang seorang diri untuk menolong mereka yang sekian banyak ini.
Bayangan seorang laksana setan melayang muncul dari balik
pohon, ternyata seorang pemuda pelajar berjubah hijau dan
berwajah tampan.
Enam jago pedang segera menubruk maju menghadang. Tapi
sekali pemuda pelajar itu ayunkan tangannya hanya sekejap saja
keempat jago pedang itu menjerit ngeri terjungkal mampus. Dua
yang masih hidup melompat mundur dengan ketakutan.
"Te-gak Suseng," Ih Ciau menghardik dengan murka. Suaranya
terdengar agak gentar pula, suara ini mendatangkan bayangan
kabut gelap bagi orang-orang Ngo-hong-kau. Sebaliknya merupakan
pancaran sinar harapan bagi murid-murid Kay-pang yang berada di
ambang kematian. Tanpa diperintah orang-orang Ngo-hong-kau
segera mundur berkumpul sambil siaga.
Ji Bun mendekati Ih Ciau, katanya: "Semalam kau berhasil lolos,
beberapa jam kau bertambah hidup, sekarang habislah riwayatmu."
"Anak keparat, jangan takabur, siapa yang akan mampus, belum
tentu?" teriak Ih Ciau murka. Kedua tangan segera bergerak dengan
gempuran sekuat tenaga. Sebagai komandan busu dari markas
pusat, tentu kepandaian Ih Ciau bukan olah-olah lihaynya. Apalagi
menghadapi mati dan hidup, mau tidak mau dia harus kerahkan
setaker kekuatannya, maka dapat dibayangkan betapa dahsyat
serangan kedua tangannya ini.
Tidak berkelit juga tidak menghindar? Ji Bun malah menyongsong
pukulan lawan dèngan gerakan maju pula. "Plak" ditengah benturan
keras, tampak kedua orang terpental mundur setapak. Pada saat Ji
Bun terpental mundur itulah puluhan pedang dari sepuluhan orang
baju sutera yang punya kepandaian tinggi tiba-tiba menyerang dari
berbagai arah dengan gencar dan ketat.
Mendengar samberan angin, sebat sekali Ji Bun membalik badan
seraya geraki tangannya. Dua orang menjerit roboh, namun tiga
pedang berhasil menggores luka badan Ji Bun. Rasa sakit dan perih
menambah nafsu dan amarah Ji Bun, Tok-jiu-ji-sek segera
dilancarkan. Dua orang terjungkal mampus lagi. Tanpa menimbulkan
suara tiba-tiba Ih Ciau menubruk maju dan menyerang dari
belakang, telapak tangan kiri dan cengkeraman jari-jari tangan
kanan serentak menghantam dan menutuk ke Hiat-to mematikan
dipunggung orang.
"Blang," sambil mengerang tertahan badan Ji Bun tersungkur ke
depan. Walau terkena pembokongan, namun kedua tangan Ji Bun
tidak berhenti bekerja, tiga jago pedang baju sutera berhasil
dirobohkan lagi.
"Serahkan jiwamu!" mulut menghardik, gerakan Ji Bun laksana
kilat berkelebat, dia membalik menyambut pukulan Ih Ciau yang
kedua. "Plak", darah seketika menyembur dari mulut Ih Ciau, sambil
menguak kesakitan tubuhnya sempoyongan ke belakang. Untung
serangan pedang lain menghentikan serangan kepada Ji Bun lebih
lanjut.
Tangan kiri melingkar, tangan kanan menggenjot, Ji Bun
menggempur balik semua pedang yang menyerang dirinya dengan
angin pukulan yang dahsyat, gesit sekali seperti harimau menerkam
mangsanya, tahu-tahu dia melompat ke depan mencengkeram si
orang tua berjenggot, Ih Ciau.
Ih Ciau mengerahkan sekuat tenaga dan meronta untuk
melepaskan diri, ternyata usahanya berhasil, segera ia angkat
langkah seribu.
"Berdiri!" bentakan Ji Bun laksana geledek berkumandang di tepi
telinga Ih Ciau. Tahu-tahu orangnya sudah menghadang di
depannya, seketika pucat pasi muka Ih Ciau, dengan ketakutan dia
menyurut mundur.
Sementara itu si pengemis tua beruban telah memberi aba-aba
kepada anak murid Kay-pang, serentak mereka angkat senjata
menyerbu maju.
Jago-jago pedang seragam hitam yang sejak tadi berbaris di luar
garis hanya berjaga dan siaga saja, kini mereka terpaksa angkat
senjata membendung serbuan para pengemis yang berontak dan
melawan secara mati-matian. Di hadapan Ji Bun mereka seperti telur
menumbuk batu, tapi terhadap anak murid Kay-pang mereka
laksana harimau kelaparan. Murid Kay-pang yang menyerbu diobrak-
abrik hingga kacau-balau. Hanya sekejap kedua pihak bentrok,
banyak korban telah berjatuhan di pihak Kay-pang.
Sementara itu hari telah terang tanah, entah sejak kapan
oborpun telah padam. Pertempuran besar secara membabi buta
berlangsung terus dengan sengit di dalam hutan yang masih
diselimuti keremangan kabut pagi. Beberapa jago pedang baju
sutera masih mengelilingi ajang pertempuran Ji Bun yang
menggasak Ih Ciau itu dan siap terjun membantu pimpinan mereka.
Agaknya murid-murid Kay-pang juga tahu betapa kemampuan
jago-jago pedang baju sutera ini, maka mereka hanya menggasak
jago-jago pedang baju hitam saja. Tiada yang berani mengusik jago-
jago pedang baju sutera, oleh karena itu korban yang jatuh di pihak
mereka bisa dikurangi.
Mata Ji Bun sudah membara, amarahnya tidak terkendali lagi, ia
menggerung seperti singa kelaparan, dia tetap menggunakan Tok-
jiu-ji-sek. Ih Ciau diserangnya pontang-panting seperti kucing
mempermainkan tikus.
"Huuuaaah!" di tengah teriakan panjang yang ngeri, Ih Ciau
terlempar roboh binasa.
"Mundur!" salah seorang dari jago pedang baju sutera memberi
aba-aba.
Ji Bun yang sudah telanjur marah, nafsunya sudah terkendali
lagi. Hanya sekali putar tubuh, pemuda baju sutera yang memberi
aba-aba tadi seketika disapunya roboh binasa, menyusul seorang
lagi tubuhnya mencelat dan menyungsang diatas pohon karena
pukulan Ji Bun yang dahsyat.
Luluh semangat tempur para Busu baju hitam tanpa diperintah
mereka berlomba ngacir menyelamatkan jiwa masing-masing. Tapi
murid-murid Kay-pang yang berjumlah lebih banyak telah
mengerubut dengan ketat, dalam keadaan satu melawan lima orang
atau lebih. Betapapun tinggi kepandaian mereka, akhirnya banyak
juga berguguran di antara mereka. Lebih celaka lagi, setiap tangan Ji
Bun bergerak tentu jiwa orang menjadi korban.
Sekilas Ji Bun menyapu gelanggang. Busu tingkat baju sutera
sudah tiada satupun yang ketinggalan hidup. Busu tingkat baju
hitam yang masih bertahan mati-matian juga tinggal dua puluhan
orang saja. Murid-murid Kay-pang yang berlipat jumlahnya tentu
berkelebihan membabat mereka. Cepat dia menjejak kaki meluncur
pergi meninggalkan gelanggang, di dalam hutan dia menemukan
sebuah sungai kecil. Di sini ia membersihkan noda darah ditubuhnya
serta membubuhi obat pada luka-lukanya, sekejappun Ji Bun tidak
membuang waktu, bergegas dia berlari kencang menuju ke Siong
san.
Kematian Thian-thay-mo-ki betul-betul menimbulkan pukulan
yang amat hebat pada lahir batinnya, betapa dendam sakit hati
sungguh tak terlampiaskan.
Dalam setengah hari dia sudah menempuh seratus li lebih.
Kibaran panji kuning yang bertulisan huruf "arab" dari sebuah
warung makan menimbulkan selera makannya, memang perutnya
sedang keroncongan. Dia pikir, perut perlu diisi, setelah kenyang
baru menempuh perjalanan pula.
Maka dia mampir ke warung makan ini, dipesannya sepiring
daging rebus, seekor ayam goreng, dan dua poci arak. Seorang diri
dia habiskan masakan dan minuman yang dipesannya. Arak yang
masuk perutnya semakin mengobarkan dendam sakit hatinya.
Semula dia ingin sekedar istirahat dulu di warung makan ini, kini dia
malah perlu arak lebih banyak. Beberapa poci telah ditenggaknya,
pikirannya kini semakin butek, pandangannyapun menjadi kabur.
Dengan ketajaman kuku jarinya dia coba menusuk kulit mukanya,
terasa dan pati rasa, inilah pertanda taraf yang telah mendekati
mabok. Tiba-tiba bayangan Than-thay-mo-ki nan semampai
berkelebat di depan matanya. Ingin dia menjerit tangis sepuas-
puasnya, dia ingin bunuh seorang untuk melampiaskan rasa
penasaran ini, dia ingin melihat darah, darah merah menyolok dari
badan para musuhnya.
Tiba-tiba pandangannya yang kabur melihat sesosok bayangan
orang, seorang yang berkedok berjubah sutera biru. Dia kira
bayangan ini hanya dalam khayal belaka, setelah kucek-kucek mata,
bayangan itu tetap tidak lenyap. Arak yang masuk perutnya seketika
gemerobyos keluar menjadi keringat dingin, dengan menahan meja
dia berjingkrak berdiri, biji matanya melotot, mukanya beringas
diliputi nafsu membunuh. Suaranya yang kereng gemetar sepatah
demi sepatah tercetus dari mulutnya: "Murid murtad. kalau tidak
kuleburkan tubuhmu, aku bersumpah tidak jadi manusia."
Seluruh perhatian tamu-tamu yang lain seketika tertuju
kearahnya. Lekas pelayan memburu maju, katanya dengan
menyengir kecut: "Tuan tamu, harap bersabar, warung kami kecil
........”
"Minggir!" bentak Ji Bun sambil mendorong. Pelayan itu
sempoyongan mundur kepojok sana dan berdiri dengan melongo.
Suara yang telah amat dikenal serta diharapkan siang dan
malam, tiba-tiba tercetus dari mulut orang berkedok jubah biru:
"Nak, kau ..... kenapa?" Suaranya penuh diliputi rasa sedih dan
kasihan.
Bergetar sekujur badan Ji Bun, nafsu membunuh yang sudah
menyala seketika padam. Kini hatinya berganti haru penuh emosi.
"Yah, kaukah ini?" serunya.
"Nak, masakah diriku tidak kau kenal lagi?"
"Betulkah kau ini?"
"Nak, marilah bicara di luar saja."
Semula Ji Bun curiga akan perbuatan Ngo-hong Kaucu yang licik
dan licin itu. Kini terbukti orang yang berdiri dihadapannya betul-
betul adalah ayahnya, saking haru kaki tangan terasa lunglai tanpa
terbendung air mata bercucuran.
Orang berkedok merogoh keluar pecahan uang perak dan ditaruh
di meja sebagai pembayaran makan minum Ji Bun. lalu putar badan
mendahului keluar.
Seperti di dalam mimpi saja, dengan langkah bergontai Ji Bun
ikut keluar.
Konon ayahnya dikurung di markas Ngo-hong-kau, cara
bagaimana mendadak dia bisa lolos dan muncul di sini?
Berjalan tidak lama, akhirnya ia memasuki hutan di pinggir jalan.
Berhadapan dengan sang ayah yang berulang mengalami petaka ini,
rasa curiga dan waspadanya tidak pernah lenyap, pengalaman getir
beberapa kali yang telah terjadi menimbulkan syak dalam benaknya.
"Yah, bukankah kau terkurung di markas Ngo-hong-kau?"
tanyanya kemudian.
"Ya, untung aku berhasil meloloskan diri."
"Bagaimana ibu?"
"Nak aku akan berusaha menolongnya."
"Apakah beliau tidak mengalami siksaan dan derita?"
"Di sana aku tidak pernah melihatnya."
"Yah, siapakah sebetulnya Ngo-hong Kaucu itu?"
"Ini ...... ayah sendiri juga tidak tahu."
"Ayah seharusnya tahu?"
"Kenapa aku harus tahu?"
"Darimana dulu ayah mendapat pelajaran ilmu beracun?"
"O, soal ini? ..... ayah belajar dari Ngo-hong Kaucu ....."
Ji Bun semakin heran dan curiga, suaranya gemetar: "Tapi ayah
bilang tidak kenal siapa dia?"
21.62. Ibumu .... Tok-keng .... Paderi Siau-lim ....
"Nak, dengarlah penjelasanku. Waktu itu tanpa sengaja aku
berjumpa dengan dia. Dia seorang misterius, tak pernah mau
memperlihatkan wajah aslinya, demikian juga asal usulnya tetap
dirahasiakan sampai sekarang."
"Lalu kenapa dia mengurung kau?"
"Hendak menarik balik ilmu yang ia ajarkan padaku," sembari
bicara pelan-pelan tangan orang berkedok menepuk pundak Ji Bun
serta menambahkan dengan sedih: "Nak tentunya kau banyak
menderita selama ini?"
Sudah tentu bergetar jantung Ji Bun, namun terasa oleh
nalurinya bahwa tepukan tangan orang orang tidak bermaksud
jahat, maka timbul rasa penyesalan dalam lubuk hatinya. Entah
sudah berapa lamanya, tak pernah dia diraba lagi oleh tangan-
tangan ini, sebesar ini tak pernah pula dia memperoleh bujuk dan
kata-kata halus yang sedemikian besar perhatiannya. Sejak lama dia
mengira selama ini takkan bertemu pula dengan ayah kandung
sendiri, sungguh tak nyana secara ajaib hari ini dia berjumpa pula
dengan beliau. Rasa duka seketika merangsang hatinya, tak tertahan
air mata berlinang-linang. Banyak kata-kata yang ingin dilimpahkan,
banyak persoalan yang ingin dia tanyakan. tapi kejadian ini benar-
benar di luar dugaan sehingga dia tak tahu dari mana dia harus
mulai bicara, entah soal apa pula yang harus dibicarakan.
Berkata orang berkedok dengan suara lembut: "Nak, kabarnya
kepandaianmu sekarang teramat hebat, apakah kau ketiban rejeki?"
Ji Bun hanya manggut-manggut.
"Bisakah kau jelaskan kepada ayahmu?"
"Yah, dilarang oleh aturan perguruan, maaf anak tidak bisa
menjelaskan," bukan kepalang sesal hati Ji Bun. Betapapun dia tak
boleh membocorkan rahasia Ban-tok-bun, walau terhadap ayah
kandung sendiri, aturan perguruan lebih penting. Demi
menghilangkan rasa canggung, cepat dia mengalihkan pembicaraan
ke persoalan lain: "Yah, dulu kau bilang yang membantai orang-
orang Jit-sing-po kita adalah Siangkoan Hong dan orang-orangnya."
"Memang, kenapa?"
"Anak sudah menyelidiknya."
"Siapa pelakunya?"
"Hing-thian-it-kiam Gui Han-bun."
Orang berkedok menyurut mundur, teriaknya kaget: "Mana
mungkin? Dia ..... masih hidup?"
"Dia sendiri yang mengatakan kepadaku!"
"Di mana dia sekarang?"
"Di Wi-to-hwe."
"Kau tidak membunuhnya?"
"Ada sebab-sebab khusus terpaksa anak melepas dia, kelak pasti
akan kuganyang dia ...."
Selama ini tangan orang berkedok masih berada di atas pundak Ji
Bun, katanya setelah menghela napas panjang: "Nak, perbuatan
ayah dulu memang terlalu, aku ...... amat menyesal ......"
Inilah kata-kata yang diharap-harapkan oleh Ji bun, kini
mendengar ayahnya mengaku salah dan bertobat, keruan hatinya
amat terharu, katanya: "Kejadian sudah berselang, tak perlu
dibicarakan lagi."
"Nak, seorang hanya hidup sekali, jangan kau berbuat salah,
sekali salah menyesal untuk selama-lamanya."
"Yah, tanggalkan kedokmu, biar aku melihat wajahmu?"
"Nak ......"
Tiba-tiba Ji Bun merasakan Bing-bun-hiat terkena tutukan jari
yang amat keras, rasa sakit seketika merangsang badan dan
menusuk ulu hati. Belum lagi dia sempat berpikir apa yang terjadi,
seketika dia menggerung roboh.
"Huaahaha..." orang berkedok tiba-tiba tertawa, suaranya
bergelombang seperti bunyi kokok-beluk di malam sunyi, seperti
serigala melolong kelaparan di malam hening, suaranya menusuk
telinga.
Sebelum lenyap kesadaran Ji Bun, dada terasa seakan meledak
saking gusar dan gemas. Segalanya telah habis, sedikitpun ia tidak
pernah menduga kesalahan yang pernah terjadi kini terulang
kembali atas dirinya. Hari ini dia betul-betul terjungkal di tangan
musuh yang satu ini. Sekuat tenaga dia berontak mempertahankan
diri, namun dia tersungkur roboh pula, terasa bumi berputar, kepala
pusing tujuh keliling.
Bagaimana mungkin orang bisa menyaru begini mirip ayahnya?
Mata Ji Bun beringas, suaranya serak: "Kau ..... kau ...... hina dina
........”
"Nak," ujar orang berkedok ketawa sinis, "jiwamu memang
rangkap dua belas, mati dapat hidup kembali, tapi hari ini keajaiban
itu takkan terulang lagi ......”
"Tutup mulutmu, Ngo-hong Kaucu, kau sendiri akan memperoleh
ganjaran setimpal."
"Ganjalan apa? Nak, ha ha ha ha ........"
Menyesal dan kebencian sekaligus menyiksa batin Ji Bun, kalau
ayahnya betul sudah tertawan musuh, mana mungkin bisa melarikan
diri dengan mudah? Dan dirinya begini gampang ditipu oleh musuh
yang licik dan licin, memang keajaiban takkan terulang kembali. Kali
ini dia betul-betul roboh habis-habisan. Segala dendam dan budi
akau lenyap ditelan masa dan dibawa ke liang kubur. Satu hal yang
membuatnya amat penasaran adalah Ban-tok-bun bakal putus
turunan di tangannya dan ilmu beracun bakal menjadi alat terampuh
bagi murid murtad ini untuk merajalela dengan segala kejahatan di
Kang-ouw. Para Suco dari beberapa generasi terdahulu akan
menyesal di alam baka.
"Anak muda," kata orang berkedok sinis dingin, "sudah
kuperintahkan untuk menukar ayah bundamu dengan batok kepala
Siangkoan Hong beserta isterinya dan kau sengaja membangkang
malah berusaha melawan, terpaksa aku harus bersiasat
menamatkan riwayatmu."
Sedapat mungkin Ji Bun pertahankan hawa murni dalam
tubuhnya yang sudah mulai buyar, teriaknya beringas: "Semoga
para Suco menjatuhkan sumpah dan kutukannya di alam baka, kelak
kau akan mendapat ganjaran yang setimpal."
"Suco? Hehehe! Hahaha! Ji Bun, tak nyana bahwa kau telah
masuk parguruan Ban-tok-bun, maka kau harus mampus lebih cepat
lagi."
"Aaaaah ....." rasa sakit yang tak kepalang membuat Ji Bun
menjerit sejadi-jadinya, darahnyapun menyembur dari mulutnya,
begitu hawa buyar seketika dia jatuh semaput. Betapapun
penasaran dan kebencian masih mempertahankan daya hidupnya,
dia tidak rela mati begini saja, dengan cepat ia sudah siuman
kembali cuma keadaannya lemas lunglai.
Ngo-hong Kaucu terkekeh-kekeh, lalu herkata: "Nak, demi
hidupku, maka kau harus mati, ini merupakan hukum alam yang
adil, mungkin takdir memang menghendaki nasibmu sejelek ini."
Ji Bun mencucurkan air mata berdarah. Untunglah pada detik-
detik yang gawat ini, beberapa bayangan orang tiba-tiba muncul
bersama, lapat-lapat dia masih mengenali. bayangan yang berlari
mendatangi adalah Wi-to-hwecu Siangkoan Hong, Hun-tiong Siancu
dan Thong-sian Hwesio, demikian pula orang dalam tandu Toh Ji-
lan, masih ada pula yang tak dikenalinya lagi dan .... akhirnya dia
kehilangan kesadaran.
Entah berapa lama kemudian, pelan-pelan dia siuman kembali,
bayangan orang banyak berkelebatan di depan matanya. Lama
sekali pandangannya yang semula remang-remang mulai jernih dan
terang, dilihatnya orang-orang yaag mengelilingi dirinya ternyata
adalah rombongan Siangkoan Hong. Jadi dirinya tertolong oleh
musuh? Dengan menggertak gigi ia mendesis dan tanya: "Mana
Ngo-hong Kaucu?
"Sayang dia berhasil lolos lagi," ujar Hun-tiong Siancu gegetun.
Ji Bun pejamkan mata memulihkan tenaga dan memusatkan
pikiran, dia maklum, kalau dalam tubuhnya tiada darah Thian-thay-
mo-ki, setelah Bing-bun-hiat tertutuk, walau jiwa sendiri rangkap
dua belas juga sudah lama mati. Untunglah rombongan Siangkoan
Hong keburu datang, kalau tidak hari ini pasti jiwanya betul-betul
sudah melayang oleh kekejian Ngo-hong Kaucu. Dia coba
mengerahkan tenaga dan menyalurkan hawa murni yang telah
buyar, syukurlah Lwekangnya masih ada, cuma teramat lemah.
Waktu ia membuka mata pula, dia berkata dengan tertawa getir:
"Kenapa kalian menolong aku?"
Dingin suara Wi-to-hwecu Siangkoan Hong: "Anggaplah kita
menghadapi musuh bersama."
Dengan mengertak gigi Ji Bun gunakan kedua tangannya
menahan tanah, pelan-pelan dia meronta bangun.
Setajam pisau pandang kilat Siangkoan Hong menyapu tubuh Ji
Bun, katanya: "Ji Bun, aku punya seratus alasan untuk
membunuhmu."
"Lalu kenapa kau tidak turun tangan?" jengek Ji Bun.
"Memalukan jika kubunuh dalam keadaanmu sekarang, kaum
persilatan akan mencercah perbuatanku dan lagi ..... maukah kau
bekerja sama dengan kami?"
"Kerja sama apa?"
"Sementara kesampingkan dulu permusuhan pribadi antara kita,
marilah kita bersama melenyapkan bisul dunia persilatan lebih dulu."
"Tidak!"
"Kau tidak mau?"
"Aku akan bertindak sendiri."
Hun-tiong Siancu mendengus, jengeknya: "Ji Bun, mati hidup
jiwamu sendiri kau tidak kuasa lagi?"
"Kalau kalian mau turun tangan, aku tidak gentar mati," tantang
Ji Bun.
"Ji Bun, angkuh dan sombong tak berguna bagimu."
"Aku tidak pernah pikirkan soal guna atau tidak berguna."
"Kau tahu betapa banyak orang yang ingin mencabut nyawamu?"
"Cayhe maklum, kebaikan kalian hari ini akan selalu terukir dalam
benakku."
"Pendek kata saja. Kau mau bekerja sama?"
"Tak mungkin aku mengubah pendirianku."
"Kalau demikian, lekaslah pergi kau, aku tidak ingin
membunuhmu sekarang."
"Terima kasih, selamat bertemu!" dengan langkah gontai Ji Bun
melangkah ke dalam hutan. Tujuannya ingin mencari tempat sepi
dan tersembunyi untuk berusaha berobat diri. Dalam keadaannya
sekarang, kalau kebentur salah seorang jago Ngo-hong-kau, pasti
jiwanya bisa celaka. Tapi baru beberapa langkah, tiba-tiba terdengar
suara Wi-to-hwecu berkata di belakang: "Tunggu sebentar!”
Ji Bun menoleh, tanyanya: "Hwecu menyesal melepas aku pergi?
Atau ada petunjuk apalagi?"
"Racun yang kau gunakan, agaknya mirip dan satu sumber
dengan Ngo-liong Kaucu?"
Mencelos hati Ji Bun, tidak boleh mengaku, namun juga sulit
menyangkal. Sesaat dia melenggong lalu berkata: "Betapa banyak
manusia yang menggunakan racun di dunia ini, satu sama lain
memang hampir mirip."
Wi-to-hwecu manggut-manggut, katanya pula dengan suara
berat: "Tentunya kau tidak menyangkal kalau Ngo-hong Kaucu
merupakan bibit bencana bagi kaum persilatan? Oleh karena itu
sebagai ketua Wi-to-hwe aku mengajukan permohonan padamu
......”
"Mengajukan permohonan kepada Cayhe?" Ji Bun melengak.
"Ya, kalau Te-gak Suseng hidup demi kesejahteraan umat
persilatan umumnya, kuharap kau menerima permohonanku ini."
"Coba Hwecu katakan?"
"Kuminta kau sudi memberitahu cara untuk mencegah
keracunan."
Hal ini amat di luar dugaan, bahwa Wi-to-hwecu mengajukan
permohonan kepada dirinya, berdiri di atas garis persilatan. Demi
jiwa beratus insan persilatan yang tidak berdosa, dia harus
menerima permintaan ini, akan tetapi pemohon adalah musuh
besarnya.
Berkata Wi-to-Hwecu lebih lanjut: "Permohonanku ini kuajukan
demi keadilan dan kebaikan insan persilatan umumnya, takkan
menyangkut kepentingan pribadi."
Ji Bun berpikir, Ngo-hong Kaucu adalah murid murtad
seperguruannya, kalau dia menggunakan racun mencelakai jiwa
orang banyak, jelas melanggar aturan dan larangan perguruan.
Betapapun dirinya sebagai pejabat Ciangbun pantang berpeluk
tangan, oleh karena itu segera ia mengangguk dan berkeputusan,
katanya: "Boleh!"
"Syukurlah, terlebih dulu kuucapkan banyak terima kasih."
"Tidak perlu. Tapi satu hal harus kutandaskan lebih dulu,
pertikalan pribadi antara kita tetap harus diperhitungkan?"
"Sudah tentu, tadi juga sudah kukatakan, permohonan ini tidak
menyangkut kepentingan pribadi."
Ji Bun merogoh obat-obatan pemberian kakek gurunya waktu dia
mau turun gunung, ia lemparkan ke arah Siangkoan Hong, katanya:
"Sebutir saja masuk mulut, kasiatnya dapat menawarkan seratus
macam racun.”
Siangkoan Hong menerimanya, katanya: "Kaum persilatan akan
berterima kasih akan kesucian hatimu ini."
Tindakan dan sikap Ji Bun betul-betul membuat semua orang
yang hadir ini amat terharu dan berterima kasih. Sekilas Ji Bun
menyapu pandang ke arah mereka baru pelan-pelan putar badan,
tak keruan perasaannya. Dia pernah menolong jiwa Siangkoan Hong
dan puterinya, tapi Siangkoan Hong juga pernah menolong jiwanya.
Kelak dalam pertemuan yang akan datang, pihak sana tidak akan
memberi keringanan sedikitpun terhadap ayahnya. Sudah tentu
sebagai putera yang harus berbakti terhadap orang tua, dirinya tidak
boleh berpeluk tangan, permusuhan pribadi kaum persilatan
memang luar biasa.
Ia dapat menemukan sebuah lubang dahan pohon besar, segera
dia menyelinap masuk. Ia mengerahkan hawa murni dan
menjalankan penyembuhan menurut ajaran perguruan. Kalau orang
lain setelah Bing-bun-hiat ditutuk tentu sejak lama jiwanya sudah
melayang, bahwa Ji Bun mampu bertahan hidup selama ini adalah
karena darah yang mengandung "getah naga batu" yang disalurkan
oleh Thian-thay-mo-ki. Esoknya, pagi-pagi benar Ji Bun berhasil
menyembuhkan diri.
Keluar dari lubang pohon dia menggeliat badan lalu menyapu
pandang ke sekelilingnya, tiba-tiba dia menjerit kaget. Tampak lima
sosok mayat bergelimpangan tak jauh dari lubang pohon di mana
semalam ia bersemadi. Kelima mayat itu berpakaian sutera, dari
seragam ini jelas bahwa mereka adalah anggota Ngo-hong-kau
setingkat dengan Duta. Bagaimana kelima orang ini bisa mati di sini?
Semalam suntuk dirinya sibuk bersemadi menyembuhkan luka-luka
dalam sendiri, sedikitpun tidak merasakan adanya kegaduhan di luar.
Kalau kelima orang ini mencari jejaknya, itu berarti jiwanya telah
lolos dari lubang jarum pula. Lalu siapakah orang yang membantu
secara diam-diam?
Kepandajan jago seragam sutera ini termasuk kelas wahid dalam
kalangan persilatan, tak mungkin dibunuh oleh sembarangan orang,
apalagi mereka berlima. Lalu siapakah orang yang telah membunuh
mereka? Rombongan Siangkoan Hong?
Mendadak satu di antara kelima mayat tampak bergerak.
Agaknya jiwanya belum melayang. Sekilas Ji Bun terbeliak, cepat dia
menubruk maju, begitu jongkok segera ia memeriksa, pemuda yang
belum putus napasnya ini. Ternyata keadaannya jauh lebih parah
dan mengerikan daripada keempat mayat yang lain. Sebatang
pedang menembus punggung ke depan dadanya, tubuhnya penuh
luka-luka, sebaliknya empat mayat yang lain utuh tidak sesuatu luka
apapun.
Dengan seksama dia memeriksa, kembali ia meloncat kaget,
ternyata keempat mayat yang lain ini mati karena keracunan.
Sungguh luar biasa, mungkinkah yang menolong dirinya ahli racun?
Terbukti bahwa dugaanya semula meleset, karena Siangkoan Hong
dan lain-lain tiada yang pandai menggunakan racun. Walau Cui Bu-
tok seorang ahli dalam bidang ini, tapi jago racun ini tiada dalam
rombongan Siangkoan Hong, dan lagi dia hanya menyembuhkan
orang-orang yang keracunan, tak pernah menggunakan racun untuk
mencelakai jiwa orang. Lalu siapakah yang melakukan ini? Segera
dia memeriksa lagi pemuda yang badannya tertembus pedang serta
membalik tubuhnya.
"Haah!" tiba-tiba Ji Bun berteriak kaget, bulu romanya berdiri,
napaspun terasa berhenti seketika. Oh Thian, pemuda baju sutera
yang tertusuk pedang dadanya ternyata adalah kakak angkatnya,
Sian-tian-khek Ui Bing yang ditugaskan oleh gurunya menyelundup
ke dalam Ngo-hong-kau itu, luka pedang yang begini parah, jelas
jiwanya tak tertolong lagi. Tubuh Ji Bun sampai limbung saking
terpukul hatinya, sekian lamanya dia berdiri mematung.
Kaki tangan Ui Bing tampak bergerak-gerak, "Toako, toako," Ji
Bun berteriak-teriak dengan pilu. Lekas dia tutuk beberapa Hiat-to
ditubuh Ui Bing, lalu dia tekan urat nadinya dan salurkan tenaga ke
tubuh orang. Lambat laun wajah Ui Bing yang pucat bersemu merah,
napaspun bertambah keras dan mulai teratur. Kalau Ji Bun sedikit
lena dan kurang berhati-hati jiwa Ui Bing pasti akan melayang
seketika. Dengan bercucuran air mata, dengan sabar dan tekun Ji
Bun terus salurkan tenaga murninya. Kira-kira setengah jam
kemudian, pelan-pelan Ui Bing membuka mata, sorot matanya kuyu
dan redup.
"Toako, Toako, aku Ji Bun, keraskan hatimu!" teriaknya sambil
menggoyang pundak orang. Pandangan Ui Bing yang redup akhirnya
berhenti di wajah Ji Bun. Lama sekali seolah-olah dia tak mengenali
orang di depannya. Kulit mukanya tampak bergerak, sekuatnya dia
menggerakkan bibir, mungkin ingin bicara, namun suaranya tidak
keluar, sorot matanya menampilkan penderitaan yang luar biasa.
Ji Bun terus salurkan tenaga murninya, dia berharap sedikitnya Ui
Bing meninggalkan sesuatu pesan sebelum ajal. Tak lama kemudian,
tenggorokan Ui Bing mulai bersuara, namun kata-katanya lemah dan
lirih seperti bunyi nyamuk, hampir tidak terdengar apa yang
dikatakan. Ibumu .... ibumu ....."
Mendengar ibunya disinggung, mengencang jantung Ji Bun,
napaspun menjadi sesak, katanya dengan cemas, "Toako,
bagaimana ibuku? Kenapa ibuku?"
Ui Bing tampak meronta, dia sedang berusaha sekuat tenaga,
akhirnya beberapa patah kata tercetus pula dari mulutnya: "Tok-
keng ....... paderi Siau-lim ......”
Hampir melonjak keluar jantung Ji Bun, Tok-keng adalah kitab
pusaka perguruannya, kini dirinya mengemban tugas perguruan
untuk mencari pusaka ini, maka cepat dia mendesak: "Tok-keng
kenapa? Apakah terjatuh ke tangan paderi Siau-lim ......”
Tak terduga tiba-tiba kepala Ui Bing lantas doyong ke samping,
jiwapun melayang.
Bagai terpeleset dan kejeblos ke jurang es yang dingin, sekujur
badan Ji Bun seketika menggigil. Ui Bing telah mangkat, namun
meninggalkan teka-teki yang tak terpecahkan.
Dua murid Biau-jiu Siansing Ciang Wi-bin secara beruntun gugur
dalam menunaikan tugas, mereka mati demi keselamatan kaum
persilatan yang lain.
Entah berselang berapa lamanya barulah Ji Bun menangis
gerung-gerung, untuk pertama kali sejak berkelana di dunia
persilatan. Dia menangis dengan pilu, sekaligus melampiaskan duka
hatinya selama ini, namun tangis ini tidak bisa sekaligus
melenyapkan penderitaan batinnya.
Belum genap setahun berkenalan dan angkat saudara dengan Ui
Bing, namun Ui Bing tak ubahnya seperti saudara sekandung sendiri
bagi Ji Bun.
Siapakah pembunuhnya? Kalau pembunuh bertujuan menolong
dirinya dan tidak mengetahui asal-usul Ui Bing, maka kematiannya
sungguh terlalu penasaran. Itu berarti kematian Ui Bing secara tidak
langsung disebabkan dirinya pula. Sudah tentu di samping sedih
hatinyapun menyesal pula, derita hatinya bertambah getir.
Apapun yang terjadi, sebab dari semua peristiwa ini adalah akibat
kejahatan yang dilakukan Ngo-hong Kaucu. Satu jam Ji Bun berdiri
terlongong baru dia menyeka air mata. Di tempat itu juga dia
menggali liang lahat mengebumikan jasad Ui Bing dengan jari
tangan dia mengukir batu sebagai nisan.
Kuatir jenazah Ui Bing mengalami kerusakan karena diganggu
orang, maka Ji Bun juga mengubur keempat mayat yang lain di
tempat itu, tapi tidak membuat batu nisan, cukup ditutupi dengan
dedaunan serta gundukan tanah tinggi saja. Selesai bekerja dia
berlutut dan memberi penghormatan terakhir di depan pusara Ui
Bing, lalu dia duduk tenggelam dalam renungan yang mendalam.
"Ibumu ...... Tok-keng .... paderi Siau-lim ....." Apa maksudnya?
Mungkinkah ibunya telah lolos dari cengkeraman jari-jari iblis serta
membawa lari Tok-keng? Lalu apa pula maksudnya "paderi Siau-
lim"? Tempat ini jauh dari Siong-san, bukan lingkungan yang
dikuasai oleh orang-orang Siau-lim pula, apalagi pihak Siau-lim-pay
selamanya tak pernah ikut berkecimpung dalam pertikaian orang-
orang persilatan, murid-muridnya amat patuh pada peraturan
agama.
Begitulah pikirannya hanya berputar dalam lingkaran ketiga
persoalan ini. Paderi Siau-lim? Tok-keng? Ya, maksudnya tentu Tok-
keng terjatuh ke tangan paderi Siau-lim. Sebagai murid tertua Biau-
jiu Siansing, sudah tentu kepandaiannya dibidang teramat tinggi,
umpama dia berhasil mencuri Tok-keng. Kemudian Tok-keng itu
terjatuh pula ke tangan paderi Siau-lim, ini mungkin sekali, mereka
berlima mengalami bencana sehingga jiwa melayang, kebetulan
paderi lewat, begitu melihat Tok keng, tentu saja mereka lantas
mengambilnya.
Kemungkinan pula paderi itu adalah pembunuh kelima orang
tujuannya merebut Tok-keng. Beruntung dirinya sembunyi di dalam
lubang pohon, malam gelap lagi sehingga jejaknya tidak diketahui
orang. Betapapun untuk membongkar rahasia ini harus mulai dari
paderi-paderi Siau-lim, betapapun juga Tok-keng pantang jatuh ke
tangan orang lain.
Tentang, ibunya yang disinggung Ui Bing, sejauh ini Ji Bun masih
belum mampu memecahkan soalnya. Biarlah hal ini ditunda setelah
rahasia tentang Tok-keng dibongkar dari mulut paderi Siau-lim,
bukan mustahil kunci dari semua perisiwa ini terletak di tangan
paderi Siau-lim itu. Namun paderi Siau-lim yang dimaksud hanya
seorang atau ada beberapa orang, hal ini sukar diraba.
Menuju ke Siau-lim-si. Dalam hati Ji Bun sudah berkuputusan.
Tujuan perjalanan kali ini sebetulnya menagih utang darah terhadap
Ngo-hong-kau, markas Ngo-hong-kau ada di belakang puncak Siong-
san, sedang Siau-lim-si berada di depan. Jadi seperjalanan, sekaligus
dia bisa menyelesaikan kedua persoalan ini.
Bergegas dia berdiri, di depan pusara Ui Bing ia menggumam:
"Toako, tenanglah istirahat aku akan pergi, persoalan akan kuselidiki
supaya kau mati dengan tenteram ......" Tak kuasa Ji Bun
melanjutkan kata-katanya, air mata membuat pandangannya burem,
duka cita membuat tenggorokannya tersumbat.
Tak lama kemudian Ji Bun sudah keluar dari hutan dan
menempuh perjalanan ke arah timur. Karena kepedihan yang luar
biasa dan terangsang oleh pukulan lahir batin ini, Ji Bun sampai lupa
tidak merasakan lapar dan dahaga. Sehari semalam dia menempuh
perjalanan tanpa istirahat, tidak berani berhenti, dia kuatir dirinya
bisa gila dibuatnya.
Hari itu, menjelang magrib, Ji Bun tiba di depan gunung di mana
Siau-lim-si berada. Dua paderi setengah baya segera muncul
menghadang, seorang merangkap tangan menyapa: "Entah ada
keperluan apa Sicu berkunjung ke biara kami?"
"Cayhe minta bertemu dengan Ciangbunjin kalian," jawab Ji Bun
dingin.
"Menemui Ciangbunjin? Tolong tanya ada keperluan apa?"
"Soal itu kau tidak perlu tahu."
Terunjuk rasa kuatir pada roman kedua paderi itu, salah satu
paderi itu buka suara pula: “Lalu bagaimana Siauceng harus
memberi lapor?"
"Katakan saja, aku Te-gak Suseng mohon bertemu."
21.63. Pertanggungan Jawab Paderi Siau-lim-si
Berubah hebat air muka kedua paderi itu, tanpa berjanji mereka
menyurut mundur berbareng sikapnya kelihatan kaget dan jeri.
Duka dan kebencian telah terlebur dalam benak Ji Bun, tapi dia
masih ingat dirinya sebagai pejabat Ciangbunjin dari suatu aliran,
maka dia perlu menggunakan tata krama, mohon bertemu dengan
cara umum, walaupun dalam hati dia tidak sabar lagi. Maka segera
dia menambahkan: "Cayhe tidak sabar menunggu terlalu lama."
Kedua paderi tak berani banyak bicara lagi, keduanya putar
badan terus berlari ke atas gunung dengan cepat bagai terbang. Ji
bun melangkah pelan-pelan menaiki undakan batu yang memanjang
ke arah pintu biara besar. Tepat pada saat dia tiba di depan pintu
biara, seorang paderi tua kebetulan menyongsong keluar. Melihat
paderi tua ini, Ji Bun lantas mengenalnya, yaitu It-sim Taysu ketua
Lo-han-tong, waktu Wi-to-hwe berdiri dahulu mereka pernah
bertemu sekali. Cepat ia merangkap tangan memberi hormat:
"Selamat bertemu Taysu!"
Dengan kaget dan sangsi It-sim pandang Ji Bun sebentar, lalu
iapun merangkap kedua telapak tangan di depan dada, suaranya
berat: "Sicu berkunjung, entah ada petunjuk apa?"
"Untuk memecahkan sebuah persoalan umum, terpaksa mohon
bertemu dengan Ciangbun kalian.”
"Persoalan umum? Mari silakan duduk di dalam sambil menikmati
secawan air teh," lalu ia menggeser ke samping memberi jalan.
Kembali Ji Bun bersoja, katanya: "Taysu silakan tunjukkan jalan."
Lalu dengan langkah tegap sambil menegakkan kepala Ji Bun
melangkah ke dalam biara. Mereka langsung menyusuri pendopo Wi-
tho-tian, paderi penyambut tamu segera menyambut. Sekilas dia
memandang It-sim Taysu, lalu menuding ke kamar kiri sana,
katanya: "Silakan Sicu menunggu di kamar tamu."
Otak Ji Bun bekerja, kadatangannya bukan bertamu, maka
dengan dingin dia berkata: "Tidak usah, urusan ini amat penting, tak
bisa aku tinggal terlalu lama di sini."
It-sim Taysu melangkah setindak, katanya: "Maksud Sicu ...."
"Sekarang juga Cayhe mohon bertemu dengan Ciangbunjin."
"Bolehkah Sicu beritahu dulu persoalannya, kalau dapat
kupertanggung jawabkan, kukira tidak perlu mengganggu
ketenangan Ciangbunjin lagi?"
"Aku yakin Taysu takkan berani bertanggung jawab dan ambil
keputusan."
Berubah rona muka It-sim Taysu, katanya mendesak: "Coba Sicu
katakan saja."
"Ada orang pihak kalian telah membunuh serta mencuri pusaka
kami."
It-sim Taysu kaget sekali, tanpa terasa dia menyurut dua
langkah, serunya gemetar. "Membunuh dan mencuri? Barang apa
yang dicuri? Siapa pula yang dibunuh?"
"Yang dicuri adalah Tok-keng jilid pertama, yang dibunuh adalah
lima duta Ngo-hong-kau."
"Hah, adakah kejadian ini ...... sicu saksikan sendiri?"
"Boleh dikata demikian, salah seorang korban membeber
peristiwa ini sebelum ajal."
"Kenapa sedikitpun aku tidak tahu akan kejadian ini?"
"Maka itulah aku ingin bertemu dengan Ciangbunjin."
Sejenak It-sim Taysu menepekur akhirnya dia mengulap tangan
kepada paderi penyambut tamu, katanya: "Laporkan kepada
Ciangbunjin." Setelah paderi penyambut tamu berlalu, It-sim berkata
pula kepada Ji Bun: "Harap tunggu sebentar!"
Lekas sekali paderi penyambut tamu sudah berlari keluar pula,
serunya: "Lapor susiok, Ciangbunjin sedang menunggu akan
kedatangan tamu."
It-sim berdehem sekali lalu berkata: "Silakan Sicu."
Setiba di Tay-hiong-po-tiam (pendopo agung) tampak suasana di
sini amat khidmat. Seorang paderi tua yang mengenakan kasa
kuning emas tampak duduk dengan angkernya. Di belakangnya
berdiri berjajar 12 paderi bertubuh tegap kereng, agaknya para
pelindung pribadi Siau-lim Ciangbun.
It-sim memburu maju serta menjura sekali terus mundur ke
samping. Ji Bun mendekat serta memberi hormat, serunya: "Ji Bun
angkatan muda dari Bu-lim, menyampaikan salam hormat pada
Ciangbunjin yang mulia."
Suara Siau-lim Ciangbun nyaring seperti genta bertalu, katanya:
"Sicu tak usah banyak adat, silakan terangkan maksud
kedatanganmu.”
"Beberapa hari yang lalu, di jalan raya Cu-ping, terjadi
perampokan dan pembunuhan. Salah seorang korban yang belum
mati menerangkan, bahwa yang melakukan kejahatan adalah murid
perguruan kalian, maka sengaja aku kemari mohon penjelasan,
harap Ciang-bunjin mengadakan penyelidikan tentang kejadian ini."
Berkerut alis ketua Siau-lim-si itu katanya: "Apakah Sicu itu tidak
salah dengar obrolan orang ......”
"Pasti tidak, "jawab Ji Bun dingin, "Cayhe yakin apa yang
dikatakan sang korban seratus persen dapat dipercaya."
"Sebagai Ciangbunjin aku berani mengatakan dengan tegas
bahwa murid perguruan kami takkan berani melakukan kejahatan
seperti itu."
"Ciangbunjin tidak terlalu yakin terhadap diri sendiri?"
"Beberapa hari belakangan ini, tiada murid kami yang keluar
pintu ........"
"Mungkinkah tiada yang di luar?"
"Sudah tentu ada, yaitu Go-goan Taysu, tertua dari Houhoat
Tianglo, mungkinkah dia melakukan kejahatan ini?"
"Sulit dikatakan."
Berubah rona muka Siau-lim Ciangbun, bentaknya keras: "Sicu
tidak percaya?"
"Apakah Go-goan Taysu sudah pulang?" tanya Ji Bun.
"Baru tadi dia pulang."
"Bolehkah mengundangnya keluar untuk bicara?"
Sedikit angkat sebelah tangan, salah seorang paderi dibelakang
Ciangbunjin segera membungkuk badan terus mengundurkan diri.
Tak lama kemudian dia kembali bersama seorang paderi tua beralis
putih, bertubuh tinggi dan berpundak lebar. Dari kejauhan dia
mengawasi Ji Bun, lalu memberi hormat kepada Ciangbunjin,
katanya: "Entah ada keperluan apa Ciangbunjin mengundangku
kemari?”
Siau-lim Ciangbun mengulangi tuduhan Ji Bun, tampak Go-goan
Taysu menyebut Buddha, katanya: "Tecu tidak tahu menahu tentang
kejadian ini."
Amarah membakar dada Ji Bun. Omongan Ui Bing tidak akan
salah, pula Go-goan Taysu kebetulan baru tadi kembali ke biara.
Waktunya tepat satu sama lain, namun mereka mungkir secara
tegas. Maka dengan dingin dia berkata: "Lalu bagaimana keputusan
Ciangbunjin terhadap peristiwa ini?"
Siau-lim Ciangbun tampak kurang senang oleh pertanyaan ini,
katanya: "Lalu bagaimana aku harus bertindak menurut pendapat
Sicu?"
"Serahkan dulu Tok-keng."
"Tok-keng? Darimana aku harus menyerahkan?"
"Tanyakan kepada Ciangbunjin sendiri."
Betapapun sabar hati Siau-lim Ciangbun akhirnya naik pitam juga,
bentaknya kereng: "Agaknya Sicu kemari sengaja hendak mencari
gara-gara?"
Dengan garang Ji Bun balas melotot, jengeknya: "Memangnya
kenapa kalau cari gara-gara."
It-sim Taysu, ketua Lo-han-tong berwatak keras, segera ia
membentak gusar: "Apa tujuan Sicu harap terangkan secara blak-
blakan saja, jangan menggunakan alasan kosong ......”
"Taysu berkata begitu, kau kira aku sengaja cari perkara tanpa
sebab?"
"Sicu sendiri yang mengerti."
"Mungkinkah seorang yang sudah dekat ajalnya sengaja
memfitnah kalian?”
"Tadi Sicu bilang yang jadi korban adalah jago-jago dari tingkat
Duta Ngo-hong-kau."
Beringas muka Ji Bun, katanya: "Taysu tentu dapat
membayangkan akibatnya."
Siau-lim Ciangbun mencegah It-sim bergerak, lalu berkata
dengan suara kereng penuh wibawa: "Biarlah akan kupanggil semua
murid kami untuk berkumpul, akan kuselidiki secara seksama,
bagaimana kalau besok kuberikan jawaban?"
"Kalau tiada murid kalian yang pernah keluar, untuk
menyelidikinya sekarang juga bisa segera dilakukan, kenapa harus
menunggu sampai besok?”
Yang kumaksud adalah murid-murid tingkatan tinggi dan lulus
ujian, bagi tingkatan yang masih rendah, sudah tentu takkan pernah
keluar."
Ji Bun ragu-ragu, tak tahu apa yang harus dia lakukan. Ucapan
orang memang beralasan, tapi bukan mustahil dalam waktu sehari
semalam ini akan terjadi sesuatu di luar dugaan, betapapun Tok-
keng pantang terjatuh ke tangan orang lain, lebih penting lagi
menurut pesan Ui Bing, hal ini secara langsung juga menyangkut
ibunya.
Pada saat itulah, paderi penyambut tamu tampak berlari datang
dengan langkah gopoh. Setelah memberi hormat terus memberi
lapor kepada Ciangbunjin: "Ada seorang Sicu yang bergelar Thian-
gan-sin-jiu mohon bertemu."
Kaget Ji Bun, bagaimana mungkin Ciang Wi-bin juga meluruk ke
Siau-lim-si?
Sejenak Siau-lim Ciangbun ragu-ragu, lalu katanya: "Dia bilang
hendak menemui aku? Sudah kau tanya apa keperluannya?"
"Katanya ada urusan penting hendak disampaikan."
"Baik sebentar hendak kutemui dia."
Segera Ji Bun bersuara: ''Thian-gan-sin-jiu ini kukenal dengan
baik mungkin dia kemari karena persoalan ini pula ......”
Dengan nanar Siau-lim Ciangbun pandang Ji Bun sekejap,
katanya: "Silakan dia masuk!"
Paderi penyambut tamu mengiakan, terus mengundurkan diri, tak
lama kemudian dia sudah masuk pula membawa seorang tabib
kelilingan, tangan memegang kelincingan, kotak obat dipanggul
dipunggungnya, tapi di ketiak kiri mengempit sebuah buntalan
panjang besar, dengan langkah bergontai berjalan masuk.
Sekali pandang Ji Bun mengenalinya, memang Thian-gan-sin-jiu
salah satu penyamaran Biau-jiu Siansing Ciang Wi-bin. Begitu
melihat Ji Bun disitu, Ciang Wi-bin juga bersuara heran tertahan,
tanyanya bingung; "Kenapa kaupun disini?"
Sudah tentu Ji Bun tidak suka membongkar samaran orang, dia
merangkap tangan memberi hormat, katanya tawar: "Ada keperluan
penting disini, selamat bertemu!"
Ciang Wi-bin tidak banyak bicara lagi, dia meletakkan buntalan
besar itu lalu memberi hormat kepada Ciangbun: "Yang rendah
Thian-gan-sin-jiu, memberi hormat kepada Ciangbunjin."
"Sicu tak usah banyak adat, entah ada petunjuk apa?" tanya
ketua Siau-lim-si.
"Ada suatu hal amat penting dan besar pengaruhnya, mohon
Ciangbunjin suka memberi penjelasan."
"Silakan Sicu katakan."
"Harap Ciangbunjin lihat ini dulu,” lalu dia buka buntalan besar
itu.
"Hah!" semua paderi Siau-lim yang hadir sama menjerit kaget.
Ternyata dalam buntalan adalah jenazah seorang Hwesio. Berubah
hebat wajah Siau-lim Ciangbun, katanya dengan suara haru
tertekan: "Sicu, apa maksudnya ini?"
Dingin suara Ciang Wi-bin: "Silakan Ciangbunjin memeriksanya,
apakah dia murid kalian?”
Kepala Houhoat Go-goan Taysu segera tampil ke depan, dia
memeriksa dengan seksama, lalu katanya dengan suara gemetar:
"Lapor Ciangbun, inilah Liau-khong, murid angkatan ketiga-belas."
Siau-lim Ciangbun menyebut nama buddha, sorot matanya
berkilat menatap Ciang Wi-bin, katanya kemudian: "Harap Sicu sudi
menerangkan."
Sebagai ahli racun sekilas pandang Ji Bun lantas berteriak kaget:
"Mati keracunan!"
Semua orang terbeliak kaget. Ciang Wi-bin melirik ke arah Ji Bun,
katanya: "Betul, dia mati keracunan.”
Semua paderi Siau-lim yang hadir sama melotot kepada Ciang
Wi-bin. Dengan dingin Ciang Wi-bin balas menyapu pandang
mereka, lalu berkata kepada Ciangbunjin dengan nada berat:
"Kebetulan semalam aku menginap di Ciang-ling-si di luar kota
Hong-seng. Murid kalian ini juga menginap di kuil itu. Tengah malam
secara diam-diam dia mencuri lihat sebuah sampul surat rahasia, ini
......”
"Sicu boleh teruskan saja."
"Untuk ini kumohon keterangan lebih dulu dari Ciangbunjin,
apakah Clangbunjin menugaskan si korban untuk menyampaikan
surat rahasia itu?"
Sepucuk surat ..... coba panggil Kam-si (pengawas biara)
kemari," seru ketua Siau-lim-si.
Seorang Hwesio muda mengiakan terus mengundurkan diri.
Suasana menjadi hening dan tegang. Tak lama kemudian seorang
Hwesio bermuka kereng bundar seperti muka harimau datang
dengan langkah cepat. "Go-tin, pejabat Kam-si, menghadap
Ciangbunjin yang mulia.”
"Ya, apakah kau menugaskan Liau-khong keluar? Coba lihat itu!"
Go-tin berputar dan memandang mayat yang menggeletak di
lantai, tak tertahan dia menjerit kaget: "Liau-khong, dia ........”
Ciangbunjin menarik muka, katanya kereng: "Go-tin, kau belum
memberi penjelasan."
Go-tin putar tubuh seraya meluruskan kedua tangan, katanya:
"Dua bulan yang lalu, Tecu memang mengutus Liau-khong pergi ke
biara cabang Poh-tian di Hok-kian ........”
"Apa betul dua bulan yang lalu?"
Go-tin mengiakan.
“Tapi Thian-gan-sin-jiu ini bilang semalam Liau-khong mencuri
baca surat rahasia di kuil Ceng-ling-si .....”
"Lapor Ciangbunjin, kalau dihitung waktunya, memang tepat
pulangnya dia menunaikan tugas."
"Tapi surat rahasia bukan berisi surat agama," jengek Ciang Wi-
bin.
"Lalu apa isinya?" tanya Siau-lim Ciangbun melengak.
"Sejilid kitab pusaka yang dilumuri racun jahat, justeru dia mati
karena mencuri baca kitab pusaka itu."
Cemberut wajah Ciangbun, paderi yang lain sama bersuara
kaget. Biji mata Ji Bun juga mendelik menahan perasaan.
Berkata Ciang Wi-bin lebih lanjut: "Oleh karena itu aku yang
rendah memberanikan diri datang kemari, harap Ciangbunjin
menerangkan asal usul kitah pusaka beracun itu."
Dengan pandangan heran dan curiga Ciangbunjin melirik Go-tin,
lalu berkata dengan sungguh-sungguh: “Pit-kip (kitab pusaka) yang
berlumur racun? Apa nama Pit-kip itu?"
Dari kotak obatnya Ciang Wi-bin mengeluarkan sebuah
bungkusan kulit kambing yang tebal, katanya sambil mengangkatnya
tinggi di atas kepala: "Tok-keng!"
"Tok-keng?" semua hadirin serempak berpadu suara dengan
kaget.
Bergetar badan Ji Bun, tanpa sadar dia berteriak penuh emosi:
"Paman, serahkan kitab itu kepadaku."
Ciang Wi-bin menoleh dan menatap Ji Bun penuh keheranan.
Sejenak barulah dia lemparkan buntalan kulit kambing itu ke arah Ji
Bun. Begitu menangkapnya Ji Bun lantas membuka buntalan itu
dengan tangan gemetar. Buntalan itu berisi sejilid buku tipis yang
sudah kuno, di atas sampulnya bertuliskan huruf kuno pula yang
berbunyi "TOK-KENG" dan di bagian bawahnya dengan huruf lebih
kecil tertulis "Jilid ke-1."
Selamanya belum pernah dia melihat buku pusaka peninggalan
cikal-bakal perguruannya ini. Namun dari bentuk dan kertasnya yang
sudah menguning jelas buku ini memang milik perguruannya.
Setelah membalik beberapa halaman dan membaca isinya, dia
tambah yakin lagi. Cepat dia masukkan kitab itu ke dalam kantong
baju.
"Paman," kata Ji Bun kepada Ciang Wi-bin yang tengah
mengawasinya dengan melongo, “Karena Tok-keng inilah Siautit
meluruk ke Siau-lim-si ini."
"Karena Tok-keng itu? Jadi kau sudah tahu kajadian ini?"
"Bukan, tapi ......” Tapi apa dia tak kuasa melanjutkan,
kerongkongannya seperti disumbat, tak tertahan air mata
bercucuran.
"Apakah sebetulnya yang terjadi?" tanya Ciang Wi-bin.
Sambil menahan tangis dan menekan perasaan duka Ji Bun
berkata: "Ui Bing Toako, dia ..... sudah meninggal."
Seperti digodam Ciang Wi-bin tergentak mundur beberapa tindak,
matanya mendelik, teriaknya beringas: "Ui Bing sudah mati?"
"Sudah mati dengan mengenaskan sekali .... dia tewas dengan
dada ditembus pedang."
"Di ....... mana?"
"Di jalan raya Cu-ping ..... Siautit yang menguburnya."
Ciang Wi-bin terguguk-guguk, badannya gemetar saking sedih,
tak tertahan air mata berlinang membasahi pipi.
Semua paderi Siau-lim sama berdiri menjublek mengawasi kedua
orang yang bertangisan ini, tiada satupun yang buka suara.
"Bagaimana kejadiannya?" tanya Ciang Wi-bin menyeka air mata.
Ji Bun lantas menuturkan kejadiannya. Terpencar sinar buas dan
dendam dari mata Ciang Wi-bin, jarang terlihat sikapnya sedemikian
garang dan beringas selama Ji Bun kenal calon mertuanya ini.
Sebagai seorang maling sakti, biasanya ia bertingkah jenaka dan
supel, banyak akal lagi.
Ji Bun menghadapi Siau-lim Ciangbun, katanya: "Sekarang
Ciangbunjin bisa memberi penjelasan bukan?"
Siau-lim Ciangbun tersentak, katanya: "Apa yang harus
kujelaskan?"
"Dari mana Liau Khong bisa membawa Tok-keng ini?"
"Dia sudah mati karenanya, akan kusuruh menyelidiki hal ini."
"Menyelidiki apalagi? Bukti sudah jelas, keempat Sucia dari Ngo-
hong-kau mati karena keracunan, dan seorang lagi adalah saudara
angkatku, dia terbunuh dengan badan ditembus pedang. Sebelum
ajal dia menerangkan bahwa yang melakukan adalah murid Siau-lim.
Liau-khong ini juga mati keracunan, jelas dia tidak mampu
melakukan pembunuhan dan merebut Tok-keng itu. Dalam kejadian
ini pasti ada latar belakang yang rumit dan semua lika-liku ini, harap
Ciangbunjin suka memberi penjelasan." Habis bicara serta merta
matanya melirik ke arah tertua Houhoat, Go-goan Hwesio.
Baru pagi ini Go-tin kembali ke biara, kebetulan waktunya tepat
dengan kejadian, dinilai tingkat kepandaiannya, dia cukup mampu
membunuh Ui Bing.
"Clangbunjin," kata Ciang Wi-bin mengancam, "Ui Bing adalah
muridku, dia kuutus menyelundup ke dalam Ngo-hong-kau.
Sekarang dia terbunuh dengan penasaran sebelum menunaikan
tugasnya. Ini terang merupakan pembunuhan yang direncanakan."
"Pembunuhan yang direncanakan?"
"Memangnya bukan?”
Go-tin segera mendamprat: "Sicu jangan kurang ajar."
Saking dukanya, Ciang Wi-bin yang biasanya supel dan penuh
akal telah terangsang oleh emosi, cemoohnya dengan gusar:
"Kurangajar? Kalau hari ini urusan tidak dibereskar, tempat suci ini
akan banjir darah!"
Kata-katanya merubah air muka semua paderi yang hadir, semua
melotot gusar, namun karena patuh aturan dan disiplin, tiada yang
buka suara atau bertindak.
"Ciangbunjin," Ji Bun menambahkan, "lekaslah kau
berkeputusan?”
"Sicu jangan bertingkah, kau kira kami ini kaum kroco?"
"Tidak berani, Cayhe hanya menagih jiwa terhadap orang yang
melakukannya."
"Mayat murid kami sudah menggeletak di depan kalian
memangnya jiwanya harus melayang percuma?'`
"Cayhe tidak wajib menjawah soal ini."
"Bagaimana Sicu hendak menyelesaikan soai ini?"
"Lebih dulu berikan pertanggungan jawab atas perampokan dan
pembunuhan ini."
"Sebelum duduk persoalannya jelas, bagaimana aku harus
memberi pertanggungan jawab."
"Kalau begitu jangan menyesal kalau Te-gak Suseng bertindak
kejam ........"
"Kau berani bertindak apa?” Houhoat tertua Gi-goan mengejek.
"Kubunuh kalian," desis Ji Bun dengan geram.
Semua paderi Siau-lim sama menggerung bersama. Siau-lim
Ciangbun menyebut Buddha, katanya: "Sang Buddha bijaksana,
sejak biara ini didirikan, belum pernah darah mengalir dalam biara
ini.”
"Tapi hari ini akan terjadi banjir darah disini," seram kedengaran
ancaman Ji Bun.
It-sim Taysu, ketua Lo-han-tong segera merangkap tangan,
katanya: "Harap Ciangbun ambil keputusan."
Tanpa ada angin jubah kuning Siau-lim Ciangbun bergoyang
melembung, jelas iapun amat marah. Lo-han-tong wajib melindungi
dan menjaga keselamatan seluruh warga biara. Kini ketuanya mohon
putusan, itu berarti minta izin untuk tampil ke medan pertempuran,
dan akibat dari semua ini tentu mengerikan. Sejak lama Siau-lim-si
menutup diri dari percaturan Bu-lim. Namun apapun yang terjadi
dan berlangsung di dunia Kang-ouw dapat mereka ketahui dengan
baik. Belakangan ini nama Te-gak Suseng sudah menggetarkan Bu-
lim, hal inipun mereka ketahui, terutama tangannya yang beracun
amat ditakuti. Lalu siapa di antara tokoh-tokoh Siau-lim yang mampu
menghadapinya?
Bertaut alis Ciangbunjin, kulit mukanya yang sudah keriput
bergetar. Bagaimana dia harus menghadapi situasi yang gawat ini?
Suasana tegang diliputi hawa angkara murka.
Ciang Wi-bin terloroh-loroh, serunya: "Hari ini aku tak kuasa
membalas sakit hati muridku, kubersumpah takkan turun dari Siau-
sit-san ini.” Tiba-tiba dia melompat maju ketengah pelataran.
Semua murid Siau-lim bersiaga, terutama It-sim, Go-goan dan
Go-tin, tiga tokoh yang paling tinggi kedudukannya serempak
menghadang di depan Ciangbun mereka.
Lekas Ji Bun melompat maju mengadang di depan Ciang Wi-bin,
katanya: "Paman, serahkan kepada Siautit untuk membereskannya."
Dengan pandangan berkilat dia pandang Siau-lim-sam-ceng, lalu
katanya: "Kalau Cayhe turun tangan, pasti ada yang terluka atau
mampus, kalian bertiga maju bersama atau siapa maju lebih dulu?"
Tantangan yang takabur ini sungguh menggetar nyali siapapun
yang mendengarnya. Memang semua hadirin maklum tiada yang
kuat melawan tangan beracun Ji Bun, karena racun tak mungkin
dilawan dengan Lwekang sembarangan. Tapi ketua Lo-han-tong
melangkah maju setapak, kata-katanya tegas: "Akulah yang akan
hadapi tantangan demi kebesaran dan kemurnian Siau-lim-si.”
"Silakan mulai!"
"Kami tuan rumah, Sicu silakan mulai dulu."
“Baik sambut seranganku," kontan Ji Bun menyerang dengan
jurus Tok-jiu-it-sek sepenuh kekuatannya.
Taysu mengebas lengan baju, seperti menutup laksana
membendung, dia melakukan pertahanan yang kokoh kuat, namun
serangan balasannyapun tidak kalah dahsyatnya. Dinilai dari gerakan
tipu serangan, permainan kedua pihak sama-sama lihay dan
menakjubkan.
"Plok," Tok-jiu-it-sek ternyata berhasil dipunahkan. Dalam
menggunakan racun Ji Bun sudah dapat menguasai sesuka hati,
jurus pertama ini dia tidak mengerahkan racunnya, seluruhnya
menggunakan kekuatan murni yang ampuh. Kalau tidak, begitu
tangan bersentuh tangan, jiwa lt-sim Taysu pasti melayang seketika.
Berhasil menahan serangan lawan, maka berkobarlah semangat
dan keyakinan It-sim Taysu akan diri sendiri. Dia kira kepandaian Te-
gak Suseng juga cuma demikian saja. Sembari membentak segera
dia lancarkan salah satu ilmu ampuh dari 72 jenis ilmu silat Siau-lim
yang hebat, yaitu Cui-pi-ciang (pukulan penghancur pilar). Pukulan
ini mengutamakan kekuatan besar yang luar biasa, siapapun akan
melelet lidah melihat dahsyatnya.
Namun dia berhadapan dengan Ji Bun, pemuda yang berwatak
keras, angkuh dan tinggi hati, kedua tangan bergerak terus
menyongsong ke depan. Kali ini dia tetap tidak mengerahkan
kekuatan racun, ingin dia mengukur betapa tinggi kepandaian silat
ketua Lo-han-tong yang paling diagulkan mempunyai kekuatan luar
biasa ini dengan tenaga murni sendiri.
"Duum!" benturan dahsyat menggetar hingga genteng terasa
holeng, debu berhamburan, tiga tombak sekitar gelanggang
terjangkit angin keras mem¬bumbung ke angkasa. Orang-orang
yang berdiri di pinggir gelanggang sama terdorong mundur semua.
Di tengah suara erangan tertahan tampak It-sim Taysu
sempoyongan mundur, badannya bergontai hampir roboh. Ji Bun
sendiri juga tertolak mundur oleh benturan dahsyat ini, batu marmer
di bawah kakinya sampai retak.
Gebrak kedua ini menambah ketegangan semua hadirin. It-sim
Taysu adalah ketua Lo-han-tong. Kepandaiannya termasuk kelas
tinggi diantara penghuni biara Siau-lim-si, namun dia tidak kuasa
melawan gebrak kedua ini. Dari sini dapat dinilai bahwa kemampuan
Ji Bun masih lebih unggul, jelas It-sim Taysu sudah asor.
Dengan suara dingin Ji Bun berkata: "Mengingat tempat suci ini,
Cayhe tidak bermaksud jahat. Kedua gebrakan ini, Cayhe tidak
menggunakan racun. Sekarang terpaksa aku melanggar pantangan,
hal ini perlu kuperingatkan lebih dulu."
Bicara soal racun, Siau-lim Ciangbun ikut terbeliak dan pucat
mukanya.
"Hiantit," seru Ciang Wi-bin murka, "jangan menaruh kasihan,
ganyang saja!"
Houhoat tertua Go-goan Taysu menyebut Buddha dengan enteng
dia tampil ke muka menggantikan kedudukan It-sim Taysu.
wajahnya nan tua putih tampak membesi hijau, suaranya bergetar :
"Sicu boleh turun tangan!"
Ji Bun yakin Go-goan Taysu pasti ada sangkut paut dengan Tok-
keng dan kematian Ui Bing, maka tekadnya lebih besar lagi untuk
membalas sakit hati. Biji matanya tiba-tiba mendelik, serunya sambil
angkat kedua tangan: "Go-goan, aku ingin kau mampus dalam satu
gebrak."
Wajah Go-goan berubah menjadi kelam, kedua biji matanya
melotot besar, jubah yang dipakainya tiba-tiba melembung dan
bergoyang-goyang tanpa tertiup angin. Kiranya dia kerahkan seluruh
kekuatan Lwekangnya. Semua hadirin menjadi tegang, jantung
berdebur dengan kencang.
Pucat dan kaku wajah Siau-lim Ciangbun, sorot matanya
menampilkan perasaan hatinya.
Disaat ketegangan semakin memuncak, tiba-tiba berkumandang
suara bentakan gema dari dalam pendopo agung: "Su-co-hud
datang."
Seketika seluruh hadirin Siau-lim-si sama menegak sambil
merangkap kedua tangan di depan dada. Wajah semua orang
menampilkan rasa girang, kaget serta prihatin dan khidmat, di
tengah iringan suara mantra, beramai-ramai paderi yang berdiri di
pelataran sama mundur dan berbaris di pinggir menjadi dua barisan.
Go-goan Taysu yang sudah tampil di tengah gelanggangpun ikut ke
dalam barisan.
"Tang! Tang!" gema genta bertalu-talu, suasana tegang yang
diliputi hawa angkara murka tadi seketika lenyap seperti terusir oieh
kekuatan gema genta itu.
22.64. Hampir ... Mengotori Kuil Suci
Tanpa terasa Ji Bun juga menyurut mundur ke samping Ciang Wi-
bin, matanya melirik penuh tanda tanya.
Tampak seorang paderi tua bertubuh kurus kering dan beralis
putih, wajahnya bersih dan agung. Kedua matanya terpejam, duduk
bersimpuh di atas kasur bundar yang dipikul oleh empat Hwesio
bertubuh tinggi besar. Pelan-pelan mereka muncul dari dalam
pendopo sana. Seluruh paderi sama bersabda serta membungkuk
hormat menyambut kedatangannya.
Kasur bundar itu diturunkan di depan undakan, dengan laku
hormat, keempat Hwesio pemikulnya lantas mundur dan berdiri
berjajar di belakang. Dengan perasaan kebat-kebit Siau-lim
Ciangbun maju memberi hormat: "Tecu tidak becus, sampai
mengejutkan Suco yang mulia."
Paderi tua beralis putih berbadan kurus sedikit angkat tangan,
namun tetap tidak bersuara. Suasana kembali menjadi hening, suara
gentapun telah berhenti.
"Tak nyana bangkotan tua ini masih hidup," demikian gumam
Ciang Wi-bin, "pantas pihak Ngo-hong-kau tidak berani mengusik
Siau-lim-si.”
Menegas alis Ji Bun, tanyanya: "Bagaimana penyelesaiannya?"
Ciang Wi-bin menepekur sebentar, katanya: "Terserah bagaimana
keinginan mereka, yang terang peristiwa ini harus segera
dibereskan."
Maka berkatalah paderi tua beralis putih tadi, suaranya tidak
keras, namun setiap patah katanya tajam berisi, anak telinga peka
tergetar: "Paderi tua Hoan-ceng, sudah tiga puluh tahun tidak
pernah ikut campur urusan duniawi, tak terduga hari ini terseret juga
ke dalam pertikaian Bu-lim. Tempat suci dan bersih ini pantang
dikotori, apakah kedua Sicu tidak keterlaluan?"
Baru saja Ciang Wi-bin hendak buka mulut, Ji Bun sudah
mendahului menjawab: "Apakah Lo-siansu sudah tahu sebab
musabab dari pertikaian ini?”
“Ya, aku sudah tahu."
"Mohon tanya bagaimana Lo-siansu hendak menyelesaikan soal
ini?"
"Apa yang terjadi harus diselidiki, Sicu berdua harap mundur
dulu, tunggulah jawaban kami."
"Wanpwe berharap sekarang juga hal ini dibicarakan."
"Tidak mungkin, paling tidak harus makan waktu beberapa hari."
"Wanpwe tidak bisa terima."
"Lalu apa yang Siau-sicu ingin lakukan?"
"Sebelum urusan ini beres, Wanpwe tidak akan pergi dari Siau-
lim-si."
Kedua mata paderi tua yang terpejam mendadak terpentang, dua
jalur sorot mata yang berkilau laksana kilat menatap muka Ji Bun.
Jantung Ji Bun seperti terpukul, serta merta kakinya menyurut
mundur setindak. Dari pancaran sinar mata paderi tua ini Ji Bun
dapat mengukur betapa tinggi taraf kepandaian silat dan Lwekang
paderi tua ini. Suasana kembali tenggelam dalam keadaan tegang
dan mencekam.
Tiba-tiba paderi tua beralis putih itu memejamkan mata dan
bergumam: "Sang Buddha maha bijaksana, tiga puluh tahun Tecu
bersemadi menghadap tembok, namun tetap mempunyai pikiran
kusut dan terbuai oleh perasaan keduniawian ......"
Mendadak Siau-lim Ciangbun berlutut dan menyembah, serunya:
"Dosa Tecu beramai memang terlalu besar."
Sudah tentu murid-murid Siau-lim yang lain mengikuti perbuatan
Ciangbunjin, mereka ikut berlutut dan menyembah berulang-ulang,
suasana yang semula tegang berubah menjadi khidmat.
"Paman," kata Ji Bun memandang Ciang Wi-bin, "bagaimana
baiknya?"
Pikiran Ciang Wi-bin sudah tenang kembali, katanya: "Marilah kita
selesaikan dulu urusan besar lain yang lebih penting."
"Urusan besar?'' Ji Bun menegas. "Baiklah."
Dengan suara berat Ciang Wi-bin berkata kepada paderi tua alis
putih: "Siansu adalah paderi agung, terpaksa melanggar pantangan
demi menjernihkan suasana, biarlah Wanpwe berdua mundur secara
teratur. Tapi demi keselamatan umat persilatan umumnya, harap
dalam jangka lima hari dapat memberi jawaban pasti kepada kami,
sekarang Wanpwe berdua sementara mohon diri."
Setelah memberi hormat, dia tarik Ji Bun terus lari keluar. Paderi-
paderi sama bersabda Buddha dan memanjatkan mantra.
Setiba di bawah gunung, segera Ji Bun bertanya: "Paman,
siapakah paderi alis putih itu?"
"Dia Suheng Ciangbunjin dari generasi yang dahulu, usianya
sudah lebih seabad, gelarannya Bu-siang. Enam puluh tahun yang
lalu dia termasuk tokoh nomor satu dari Siau-lim-pay, tabiatnya
amat aneh, kejahatan dipandangnya sebagai musuh utama. Setiap
insan persilatan sama kagum dan menaruh hormat kepada beliau,
maka dia pernah dianugerahi gelar Sin-ceng (paderi sakti)."
"Urusan besar apa yang paman maksudkan?" tanya Ji Bun
kemudian.
"Ya, karena urusan inilah sengaja kususul kemari, Bing-cu juga
ikut kemari."
"O, lalu di mana dia ........"
"Menunggu di bawah gunung. Menurut aturan Siau-lim, kaum
wanita dilarang masuk biara."
"Apa yang dimaksud paman dengan urusan besar?"
"Wi-to-hwe mengerahkan seluruh kekuatannya menyerbu Ngo-
hong-kau ........"
Bergetar jantung Ji Bun, teriaknya: "Kapan?"
"Peristiwa yang menyangkut Tok-keng ini kupergoki secara
kebetulan, maka sengaja kuputar balik kemari, mengingat Tok-keng
ada bubungan erat dengan ayahmu, kemungkinan juga menyangkut
pihak Ngo-hong-kau, maka di tengah jalan kudengar kabar bahwa
pagi hari ini orang-orang Wi-to-hwe akan memasuki pegunungan
belakang Siong-san ........”
"Jadi sekarang mungkin kedua pihak sudah mulai bentrok?"
"Mungkin, urusan menyangkut petaka kaum persilatan, akupun
termasuk orang yang tertimpa musibah ini, maka aku ingin
mengorbankan sedikit tenaga demi persoalan ini. Tak tersangka ......
ai, Ui Bing sudah mendahului mengalami bencana."
Sampai di sini tak tertahan air matanya bercucuran, dari sini
dapatlah kita bayangkan betapa erat hubungan antara guru dan
murid ini.
Sebaliknya darah bergolak di rongga dada Ji Bun, hatinya gelisah,
Ngo-hong Kaucu adalah murid murtad perguruannya. Betapapun dia
tidak boleh berpeluk tangan membiarkan pihak Wi-to-hwe
mendahului dirinya memberantas pengkhianat itu walau pihak mana
yang bakal unggul sukar diramalkan. Namun ayah bundanya masih
disekap di tangan orang-orang Ngo-hong-kau, apalagi Siangkoan
Hong dan orang-orang Wi-to-hwe yang lain bermusuhan dengan
ayahnya. Kalau Wi-to-hwe berhasil, maka dapatlah dibayangkan
bagaimana nasib ayahnya nanti. Umpama sekarang dirinya menyusul
kesana juga pasti sudah terlambat. Karena itulah hatinya semakin
gundah, ingin rasanya bisa terbang ke sana secepat mungkin.
"Hiantit," tiba-tiba Ciang Wi-bin menghentikan langkah, "mungkin
kita yang salah."
"Salah, apanya yang salah?"
"Kau bilang bahwa sebelum ajal Ui Bing sempat mengucap
beberapa patah kata yang terputus-putus bukan? Semula kuanjurkan
Ui Bing berusaha menyelundup ke Ngo-hong-kau dengan tiga
tujuan. Pertama, menyelidiki asal-usul Ngo-hong Kaucu serta riwayat
hidupnya, kedua berusaha mencuri Hud-sim dan ketiga mendarma
baktikan keluhuran jiwa kita demi kesejahteraan insan persilatan
umumnya. Oleh karena itu ada satu kemungkinan, yaitu waktu Ui
Bing berusaha mencuri Hud-sim dan tidak berhasil, sebaliknya Tok-
keng berhasil dia ambil. Keempat Duta itu terang mengudak Ui Bing
dan memperebutkan Tok-keng itu sehingga mereka mati keracunan.
Secara kebetulan pula peristiwa ini kepergok oleh murid Siau-lim
sehingga timbul ketamakan mereka untuk merebutnya pula ......"
"Lalu bagaimana dengan kematian Ui-toako?”
"Kini sudah kuduga, bahwa dia mati oleh salah seorang dari
Duta-duta itu, karena hanya mereka yang bersenjata pedang.
Setahuku pihak Siau-lim-pay tiada murid yang pernah menggunakan
pedang sebagai senjata dan itu berarti waktu paderi Siau-lim berebut
Tok-keng, Ui Bing sendiri sudah terluka parah namun belum putus
napasnya."
Ji Bun manggut-manggut, katanya: "Analisa paman memang
masuk akal."
"Tapi masih ada kemungkinan lain.”
"Kemungkinan apa?”
"Ui Bing tahu bahwa jiwanya tak tahan hidup lebih lama lagi,
maka dia serahkan dan titipkan Tok-keng itu kepada paderi Siau-lim.
Sayang paderi Siau-lim itu juga telah meninggal."
"Ya, ini juga mungkin, tapi kenapa Ui-toako menyinggung soal
ibuku lebih dulu."
"Mungkin dia sudah bertemu dengan ibumu, dia ingin memberi
kabar tentang ibumu, namun tenaga sudah habis. Pada hal dia tahu
soal Tok-keng juga tidak boleh terbengkalai, maka sekuatnya dia
hanya sempat mengatakan tiga patah kata yang terputus-putus itu."
Ji Bun menepekur sebentar, katanya kemudian: "Bila bisa
bertemu dengan ibu, soal ini tentu bisa terjawab seluruhnya."
Pandangannya tertuju ke depan nan jauh sana, katanya
menambahkan: "Paman tahu jalan pendek yang langsung menuju ke
belakang gunung?"
"Ada, tapi jalanan dari sini lebih berbahaya, bukan lebih dekat,
kau akan memakan waktu lebih lama malah.”
"Jalan sukar dan berbahaya tidak jadi soal bagiku, biarlah Siautit
berangkat lebih dulu, silakan paman menjemput adik Bing-cu."
"Baiklah, kau boleh berangkat lebih dulu. O, hai, tunggu sebentar
....."
"Paman ada pesan apa?"
"Dulu pernah kau melihat Tok-keng itu?"
"Belum, tapi ilmu beracun yang tertera di dalam buku cocok
dengan apa yang pernah kupelajari waktu kecil, tadi sempat kubaca
beberapa halaman."
"Aku masih menaruh curiga akan satu hal."
"Hal apa?"
"Ayahmu pasti ada sangkut pautnya dengan Ngo-hong Kaucu."
"Kuduga demikian juga, syukurlah tak lama lagi hal ini dapat
dibuktikan."
"Baiklah, lekas kau berangkat, aku segera menyusul bersama
Bing-cu."
Ji Bun mengiakan, dengan cepat ia meluncur turun ke bawah
gunung. Seluruh kekuatan dikerahkan untuk mengembangkan ilmu
ringankan tubuh, setiap detik amat berharga, apalagi untuk
mengejar waktu yang telah ketinggalan. Tapi betapapun cepatnya
dia "tancap gas" toh kekuatan manusia ada batasnya. Dalam
perjalanan melalui gunung gemunung yang berbahaya ini, sedikitnya
Ji Bun harus menempuh tujuh delapan puluh li jauhnya, bahwa dia
menempuhnya dalam waktu dua jam sudah terhitung luar biasa.
Tengah dia ayun langkah dengan cepat, tiba-tiba dilihatnya
bayangan seorang yang sempoyongan mendatangi dari depan. Serta
merta Ji Bun mengerem langkahnya. Tampak yang mendatang
adalah seorang paderi, keadaannya serba runyam dan
mengenaskan, timbul sesuatu pikirannya, teriaknya: “Berdiri!"
Paderi itu berusaha menghentikan langkah sambil menengok ke
arah Ji Bun, mendadak "bluk", tubuhnya tersungkur jatuh, buih
meleleh dari mulutnya, napasnya menggeros seperti sapi hendak
disembelih. Agaknya dia kehabisan tenaga karena baru lari
sekuatnya. Ji Bun pikir, dirinya tiada waktu mencampuri urusan tetek
bengek lagi, maka dia melencing ke depan pula.
Tiba-tiba beberapa bayangan orang tampak berlari-lari ke
arahnya. Paderi Siau-lim itu meronta bangun sambil menoleh ke
belakang, tapi baru lari beberapa langkah sudah jatuh tersungkur
pula.
Mau tidak mau kejadian ini menarik perhatian Ji Bun, segera ia
hentikan larinya. Bayangan orang banyak sudah meluncur dekat,
kiranya empat orang laki-laki seragam hitam ketat, satu di antaranya
terdengar berteriak: "Di mana kepala gundul itu?"
Empat orang seragam hitam sama berhenti, semuanya melotot
gusar, satu di antaranya menghardik bengis: "Anak muda, kau ingin
mampus?"
Sementara seorang temannya menubruk ke arah Paderi yang
kehabisan tenaga itu.
Tanpa menoleh tiba-tiba badan Ji Bun berkelebat, tahu-tahu
bayangannya sudah berada di tempat semula seakan-akan tidak
pernah bergerak sedikitpun. Tapi laki-laki yang menubruk ke arah
paderi Siau-lim itu menjerit ngeri terus roboh binasa, keruan tiga
temannya berjingkat kaget.
"Sebutkan siapa kalian?" bentak Ji Bun.
Gemetar suara orang seragam hitam: "Peronda gunung dari Ngo-
hong-kau .....”
Belum habis dia bicara Ji Bun sudah turun tangan, cukup dia
mengulap tangan, ketiga orang seragam hitam segera menungging
roboh binasa. Sampai jiwa melayang mereka tidak tahu cara
bagaimana nyawa mereka ditamatkan.
Ji Bun melangkah balik mendekati Paderi Siau-lim, tanyanya:
"Kau murid Siau-lim?"
"Ya," sahut paderi itu mengangguk. "Sicu, kau, apakah kau .......
Te-gak Suseng?"
Ji Bun melenggong, tanyanya: "Betul, kenapa?"
Hwesio itu bergegas berdiri dengan sempoyongan, serunya
penuh haru: "Omitohud! Sang Buddha maha bijaksana. Siau-ceng
memang sedang mencari Sicu."
"Apa?" teriak Ji Bun kaget, "mencari Cayhe ......."
"Siau-ceng bergelar Liau-ing, sungguh kebetulan pertemuan ini."
"Untuk apa kau mencari Cayhe?"
“Beberapa hari yang lalu, tanpa sengaja, di jalan raya Cui-ping
kupergoki sebuah pembunuhan tragis, lima jago baju sutera dari
Ngo-hong-kau saling baku hantam sendiri. Satu di antaranya meski
terluka parah masih belum ajal. Kebetulan melihat Siau-ceng lewat,
maka dia titip sesuatu barang untuk diserahkan kepada Sicu ....."
Berubah air muka Ji Bun, tanyanya gemetar: "Dan selanjutnya?"
Dengan was-was Liau-ing mengawasi Ji Bun sejenak, katanya:
"Karena ada keperluan lain Siau-ceng menyerahkan barang itu
kepada Sute Liau-Khong untuk dibawa pulang dulu ke Siau-lim-si
...."
"Hah," Ji Bun menyurut mundur tiga langkah, air mukanya pucat.
Sikapnya yang luar biasa ini membikin Liau-ing kaget dan curiga,
kata-katanya terhenti.
Salah paham ini sungguh sangat mengerikan. Kalau Bu-siang
Siansu tidak muncul, mungkin darah sudah banjir di kuil suci yang
diagungkan insan persilatan itu, dan kenyataan ternyata tepat
seperti dugaan Ciang Wi-bin. Sungguh beruntung sekali tidak sampai
terjadi petaka yang tidak inginkan ini. Maka dengan haru dia
bertanya: "Pesan apa pula yang diberikan?"
"Tiada, dia hanya bilang barang itu harus berusaha diserahkan
pada Te-gak Suseng, dan lagi kami dilarang menyentuh barang yang
ada di dalam buntalan itu, karena berlumuran racun jahat, habis
berkata dia terus ........"
"Dari mana Taysu tahu kalau aku ini Te-gak Suseng?"
"Gelaran tangan beracun Sicu menggoncangkan dunia persilatan.
Siapa yang tidak tahu akan namamu?"
Sesal tak kepalang hati Ji Bun, katanya: "Mohon Taysu lekas
kembali ke Siau-lim dan laporkan kepada Ciangbunjin akan
permintaan maaf sebesar-besarnya dari wanpwe. Perjanjian lima
hari dibatalkan saja, kelak Cayhe pasti datang untuk minta maaf dan
terima hukuman."
Liau-ing kebingungan, katanya: "Siau-ceng tidak tahu, apa
maksud Sicu?"
Tak sempat memberi penjelasan, sekenanya Ji Bun berkata:
"Setiba di Siau-lim-si, Taysu akan tahu duduk perkaranya, maaf aku
tidak dapat menunda waktu, selamat bertemu?"
Habis memberi hormat, bergegas dia lari pergi bagai terbang.
Setengah jam kemudian Ji Bun sudah tiba di belakang gunung
Siong-san. Sesuai petunjuk Ui Bing tempo hari dia langsung
memburu ke markas Ngo-hong-kau yang letaknya tersembunyi di
dalam lembah.
Begitu memasuki lembah, dilihatnya mayat bergelimpangan di
sana-sini. Ini menandakan bahwa Wi-to-hwe sudah menyerbu
datang. Keruan hatinya semakin gugup. Semakin dekat mayat-mayat
yang menggeletak semakin banyak, dari seragam pakaian mereka
jelas tampak yang menjadi kurban kebanyakan anggota Ngo-hong-
kau.
Lekas sekali Ji Bun sudah berada di jalan yang memasuki perut
gunung. Tiba-tiba bayangan beberapa orang menubruk keluar
menghadang, yang terdepan adalah seorang laki-laki setengah baya
berpakaian biru, dia ternyata Wi-to-hwe Congkoan Ko Ling-jin
adanya. Bahwa Ko Ling-jin memimpin anak buahnya berjaga di sini
itu menandakan bahwa serbuan pihak Wi-to-hwe berhasil dengan
gemilang.
Langsung Ji Bun menyapa dengan dingin: "Ko-congkoan, selamat
bertemu!"
Ko Ling-jin merangkap kedua tangan, katanya tertawa lebar:
"Kebetulan Siau-hiap telah datang, silakan masuk!”
Habis berkata dia lantas menyingkir kesamping.
Tanpa banyak pikir Ji Bun segera menerjang ke dalam lorong
panjang yang guram cahayanya. Sepanjang lorong mayat bertumpuk
semakin banyak, bau darah semakin keras. Agaknya cukup banyak
pengorbanan pihak Wi-to-hwe untuk menjebol pertahanan lorong ini.
Setelah melewati lorong panjang yang guram ini, tiba-tiba
pandangan mata menjadi terang. Kini Ji Bun tiba di dalam lembah.
Suara gaduh dari pertempuran orang banyak gegap gempita.
Selepas mata Ji Bun memandang, lembah yang berbentuk aneh dari
ciptaan alam ini dikelilingi dinding gunung yang tinggi sehingga
bentuknya mirip sebuah perigi. Di bagian dalam sana bangunan
rumah berlapis-lapis dan bertingkat membelakangi dinding gunung.
Bayangan orang bergerak-gerak di berbagai tempat, teriakan dan
gempuran senjata bersahutan dimana-mana, sinar senjata
berkilauan berkelebatan sehingga suasana dalam lembah menjadi
kacau balau.
Sejenak Ji Bun memandang, segera ia meluncur ke tengah arena.
Warna darah yang menyolok, mayat-mayat yang bergelimpangan
dengan badan tidak utuh lagi, senjata patah berserakan. Semua ini
menjadi pemandangan yang menyolok dan mengerikan.
Pertampuran sengit terus berlangsung, laksana air mendidih di
dalam kuali, siapapun tiada yang memperhatikan kehadiran Ji Bun,
elmaut yang bakal merenggut jiwa setiap orang yang menjadi
incarannya.
Ji Bun langsung menerjang ke tengah pertempuran, tampak
Siangkoan Hong suami isteri menghadapi Ngo-hong Kaucu. Baku
hantam ketiga orang ini terhitung yang paling dahsyat di antara
sekian banyak pasangan yang tengah berhantam. Sementara orang
dalam tandu, yaitu Toh Ji-lan, Siang-thian-ong, Thong-sian Hwesio,
Cui Bu-tok dan jago-jago kelas tinggi Wi-to-hwe yang lain satu lawan
satu menghadapi jago Ngo-hong-kau yang semuanya berseragam
sutera. Sementara yang berkepandaian rendah juga baku hantam di
luar lingkaran. Semua orang bertempur dengan beringas, mata
berapi dan buas. Semua orang sama mandi darah.
Yang menjadi perhatian Ji Bun kecuali pasangan Siangkoan Hong
yang menggasak Ngo-hong Kaucu, iapun selalu mengawasi ke arah
sana, dimana ibu tuanya, Khong-kok-lan bersama Hing-thian-it-kiam
Gui Han-bun masing-masing menghadapi seorang jago Ngo-hong-
su-cia. Gaya pedang Hing-thian-it-kiam berkelebat laksana
lembayung, lawan dirangsak dengan gencar hingga kerepotan.
Sebaliknya Khong-kok-lan So Yan terdesak hebat oleh serangan
lawan yang gencar, gerak geriknya sudah kacau.
Pikiran Ji Bun bekerja cepat, melihat gelagatnya, pihak Wi-to-hwe
berada di bawah angin. Namun dalam jangka pendek, keadaan tidak
akan memburuk, yang penting sekarang dirinya harus selekasnya
berusaha menolong ayah bundanya. Maka dia menerobos lewat
medan pertempuran langsung menuju ke deretan rumah di belakang
sana.
Dikala dia lewat disamping Khong-kok-lan yang tengah
berhantam dengan musuh, sekenanya tangannya melayang ke arah
musuh "Huuaaah!" Pemuda baju sutera kontan menjerit roboh.
Sudah tentu Khong-kok-lan menjadi melongo kaget oleh kejadian
yang tak terduga ini. Sementara Ji Bun sudah menyelinap ke sana di
antara orang-orang yang tengah bertempur.
Seperti berjalan di tanah lapang layaknya, setiap kali tangan Ji
Bun bargerak, puluhan jiwa melayang ditangannya, maka dengan
leluasa dia melampaui arena pertempuran ini. Yang dikuatirkan
hanya keselamatan ibunya, maka ia langsung menerobos masuk ke
dalam rumah. Dari satu bilik dia geledah ke bilik yang lain, namun
bayangan seseorangpun tidak diketemukan. Agaknya seluruh
kekuatan Ngo-hong-kau telah dikerahkan untuk membendung
serbuan pihak Wi-to-hwe.
Tiba-tiba Ji Bun sadar perbuatannya ini terlalu bodoh. Kalau Ngo-
hong-kau membangun markas di tempat tersembunyi seperti ini,
tentu juga dia membangun tempat-tempat rahasia yang tak mungkin
terlihat oleh mata telanjang. Apalagi ayah bundanya disekap musuh,
tentu dikurung di kamar rahasia yang sulit diketahui, orang. Kalau
mencari secara semberono seperti dirinya sekarang bukankah hanya
membuang waktu dan tenaga belaka, lebih penting orang Ngo-hong-
kau dan Kaucunya dibereskan lebih dulu. Maka bergegas dia lari
keluar pula.
Hanya dalam sekejap situasi gelanggang pertempuran sudah jauh
berbeda. Anggota Ngo-hong-kau karena dikandang sendiri, maka
mereka bertempur dengan gigih. Kecuali jago-jago yang
berkepandaian tinggi, orang-orang Wi-to-hwe yang menyerbu
datang kebanyakan sudah gugur, jelas sekali kekuatan kedua pihak
berbeda amat menyolok.
Tiba-tiba sebuah jeritan ngeri berkumandang dari sebelah sana,
Thong-sian Hwesio berhasil merobohkan lawannya. Menyusul Siang-
thian-ong juga berhasil mengganyang musuhnya. Kedua jago
kawakan ini segera menubruk ke dalam pertempuran pula. Anak
buahnya yang sudah terdesak menjadi bangkit semangatnya karena
mendapat bantuan yang kuat dan tangguh ini.
Tanpa bersuara Ji Bun langsung memasuki arena pertempuran
mendekati Ngo-hong Kaucu.
"Te-gak Suseng!" entah siapa yang berteriak, suasana menjadi
gempar dan menambah kabut gelap di hati setiap anggota Ngo-
hong-kau.
Kalau Ngo-hong Kaucu tidak berhasil meyakinkan ilmu mujijat
yang tertera di dalam Hud-sim, jelas dia bukan tandingan Siangkoan
Hong suami isteri. Apalagi bertahan sekian lamanya dengan sama
kuat.
Mendengar teriakan kuatir anak buahnya baru Ngo-hong Kaucu
sempat melirik ke arah Ji Bun yang sudah berada di luar lingkaran.
Pertempuran jago silat kelas tinggi pantang lena dan terpecah
perhatiannya, karena sedikit melengos ini berarti memberi
kesempatan kepada lawan, "Blang, blang, blang!" Kontan Ngo-hong
Kaucu mengerang tertahan, badannya sempoyongan darahpun
menyembur dari mulutnya. Tiga pukulan telak, satu dari pukulan
Siangkoan Hong dan dua pukulan dari Hun-tiong Siancu tepat
mengenai tubuhnya. Sebat sekali kedua lawan lantas menubruk
maju pula.
Hebat sekali gerak gerik Ngo-hong Kaucu. Belum lagi berdiri
tegak, tubuhnya bergerak aneh dan berkelebat menyingkir keluar
lingkaran dari jangkauan serangan kedua musuhnya. Sekali
tubuhnya jumpalitan mundur ke belakang terus meluncur ke arah
markas di belakang sana. Tapi dalam waktu yang sama sesosok
tubuh meluncur pula ke tengah udara dan tepat menungkup dari
atas membawa damparan angin pukulan yang dahsyat sekali.
"Ngek!" kembali Ngo-hong Kaucu mengeluh tertahan, badannya
terpental balik ke tengah gelanggang. Sosok bayangan yang lainpun
melayang turun dengan ringan, kiranya Te-gak Suseng Ji Bun
adanya.
Kini kedua orang berdiri berhadapan, dengan kaget dan seperti
ketakutan Ngo-hong Kaucu menyurut dua langkah. Sorot mata Ji
Bun menyala penuh kebencian, ia mendesak maju dengan beringas.
Hun-tiong Siancu menggerakkan badan, pelan-pelan dia tegakkan
telapak tangan terus menabas miring ke belakang punggung Ngo-
hong Kaucu.
"Tahan!" tiba-tiba Ji Bun menghardik.
Tangan Hun-tiong Siancu terhenti di tengah jalan, dia menoleh
dan memandang heran kepada Ji Bun. Ngo-hong Kaucu berdiri dan
tak mundur lagi, sorot matanya tampak gentar dan panik.
Dengan menggertak gigi, Ji Bun membentak beringas: “Sekarang
tibalah saatnya kau menyerahkan jiwamu."
Ngo-hong Kaucu terkekeh-kekeh suaranya aneh, katanya: "Ji
Bun, kalau kau ingin jiwa raga ayah bundamu, sekarang belum
terlambat melaksanakan janjimu dulu ........”
Melotot biji mata Ji Bun, teriaknya: "Tutup mulutmu, kau
bermimpi."
"Kau kira aku sudah kalah? Kau kira Ngo-hong-kau bakal hancur
berantakan? Ketahuilah, anak muda, kalau demikian pikiranmu, kau
keliru!”
"Di mana ayah bundaku kau kurung?”
"Kau ingin bertemu dengan mereka? Gampang saja, tepatilah
janjimu dulu."
Ingin rasanya Ji Bun membesek kulit dan menelan daging orang
mentah-mentah. Tok-keng sudah berada di tangannya, tugas
beratnya sekarang hanya berusaha, menolong ayah bundanya, lalu
melaksanakan tugas perguruan untuk menghukum murid murtad ini.
Sementara pertempuran orang banyak masih terus berlangsung
dengan sengitnya. Siangkoan Hong suami isteri berdiri siaga di
samping menghadapi Ngo-hong Kaucu dan Ji Bun. Sementara orang
dalam tandu, Toh Ji-lan, juga sudah membereskan lawannya dan
kini sedang mendekati ke arah sini, segera dia menjengek: "Ngo-
hong Kaucu, serahkan Hud-sim kepadaku!"
Pandangan Ngo-hong Kaucu yang penuh kelicikan melirik Toh Ji-
lan sekejap, katanya: “Tentu, kalau kau punya kepandaian, boleh
kau ambil sendiri!"
Toh Ji-lan ayun tangan menampar ke arah Ngo-hong Kaucu. Ji
Bun maju menghadang sembari berseru: "Siapapun dilarang turun
tangan."
Toh Ji-lan menarik tangan, serunya geram: "Ji Bun, apa
maksudmu?"
"Akulah yang harus membekuk dan menghukumnya," sahut Ji
Bun tanpa menoleh.
"Ji Bun," sela Siangkoan Hong, "kau harus tahu betapa besar arti
kehadirannya dan merupakan ancaman bagi setiap insan persilatan
umumnya."
"Cayhe mengerti," sahut Ji Bun.
"Dengan cara apa kau hendak membekuk dan menghukum dia?"
Sudah tentu Ji Bun tidak dapat membocorkan rahasia perguruan,
sekilas berpikir dia menjawab: "Siangkoan Hwecu, menurut
pendapatku, kau harus lekas mengakhiri pertempuran ini baru
membereskan soal lain, urusan di sini akulah yang, bertanggung
jawab."
Kata Wi-to-hwecu ragu-ragu: "Pihak kami sudah Mempertaruhkan
imbalan cukup besar. Dapatkah kau menegakkan keadilan dan
kebenaran kaum persilatan?"
"Secara pribadi aku bertanggung jawab."
22.65. Akal Bulus Ngo-hong Kaucu
“Baik, sementara kuserahkan padamu untuk membereskan," kata
Siangkoan Hong lalu dia memberi tanda gerakan tangan kepada
Hun-tiong Siancu dan orang dalam tandu, Toh Ji-lan. Mereka lantas
bantu anak buahnya menggasak orang-orang Ngo-hong-kau yang
masih bertahan mati-matian.
“Ji Bun," sinis suara Ngo-hong Kaucu, "kau sekongkol dengan
musuhmu sendiri, dendam keluarga kau abaikan demikian saja
........”
"Itu bukan urusanmu," dengus Ji Bun.
"Tidakkah kau berpikir kalau dirimu diperalat untuk
menghancurkan kita, lalu dengan cara keji apa pula mereka akan
mengganyangmu?"
"Itu urusanku dan aku mampu menanggulanginya."
"Kau rela mengorbankan jiwa ayah-bundamu?"
"Apapun yang kau katakan hanya isapan jempol belaka. Hari ini
kau harus terima hukuman setimpal dengan perbuatanmu menurut
aturan perguruan.”
Ngo-hong Kaucu menyurut mundur, katanya: "Berulang kali kau
bicara soal aturan perguruan segala, urusan apakah itu?"
Melihat sekelilingnya tiada orang, dengan menekan suara
serendah mungkin Ji Bun berkata: "Pengkhianat! Ketahuilah aku
sudah diangkat sebagai Ciangbunjin Ban-tok-bun dari generasi ke-
15, sekarang kau sudah mengerti?"
Mendelik biji mata Ngo-hong Kaucu, serunya serak: "Kau ..... kau
diangkat oleh Ngo Siang?"
"Salah, aku dianugerahi langsung oleh Thay-suco dan
diperintahkan membersihkan perguruan dari anasir-anasir jahat."
"Kau .... mendapat perintah .... dari Thay ..... Thay-suco?"
"Katakan dulu, dimana ayah bundaku disekap?"
"Lebih baik tidak kukatakan ...."
"Kenapa?"
"Siangkoan Hong suami isteri, Hing-thian-it-kiam, Khong-kok-lan,
apakah mereka mau membiarkan dia begitu saja?"
Ji Bun melenggong, hal ini memang benar, ibunya tidak jadi soal,
tapi sekali ayahnya muncul, tentu para musuhnya itu akan menuntut
balas padanya, tapi tegakah dia membiarkan ayah bundanya disekap
musuh dalam keadaan yang belum diketahui nasibnya?
Sebelum melihat mereka, betapapun hatinya masih sangsi akan
keselamatan beliau? Maka dengan menggertak gigi dia berkata:
"Soal mereka menuntut balas adalah urusan lain, katakan saja di
mana kau mengurung beliau?"
"Tempat kurungan itu amat tersembunyi, kecuali aku, tiada orang
lain yang tahu ...."
"Maka kau sendiri yang harus mengatakan?"
"Biar kukatakan juga takkan bisa kau temukan, kecuali aku
sendiri yang menunjukkan tempatnya."
"Urusan sudah larut begini, kau masih mau main apa lagi?
Memangnya sampai mati kau tidak akan bertobat?"
Ngo-hong Kaucu menyeringai, ujarnya: "Siapa bilang aku akan
mati? Kalau aku mati, semua orang yang ada di sini juga harus
mengiringi kematianku!"
Ancaman ini sungguh membuat merinding setiap orang yang
mendengarnya.
Beringas Ji Bun dibuatnya, desisnya: "Kalau hari ini kau bisa lolos
dari tanganku, aku akan segera bunuh diri."
"Baiklah, lekas kau siap bunuh diri saja."
"Kau ...... memang tidak berperikemanusiaan?”
"Ha ha ha! Anak muda, perikemanusiaan atau berhati binatang,
berapa sih perbedaannya?"
Ji Bun tekan nafsunya yang sudah berkobar, katanya geram:
"Biarlah kita bereskan urusan pribadi saja, dengan berbagai bentuk
samaran, berulang kali kau membokong aku .......”
"Dan kau tidak mampus, agaknya umurmu memang panjang.”
"Thian-thay-mo-ki kau perkosa sampai membunuh diri ........"
"Memang nasibnya yang jelek."
Ji Bun berteriak kalap serta mengayun tangan menampar. Kedua
tangan Ngo-hong Kaucu menolak ke depan. Pukulan dahsyat Ji Bun
itu dengan mudah dipunahkan.
Ji Bun kaget luar biasa, dalam waktu sesingkat ini agaknya orang
telah berhasil memulihkan tenaga, hal ini membangkitkan
kewaspadaan Ji Bun, tanpa pikir dia terus melancarkan serangan
Tok-jiu-sam-sek.
Ji Bun maklum, hanya jurus yang satu ini kira-kira masih kuat
menundukkan lawan, jurus pertama dan kedua terang sudah tak
berguna lagi. Gempuran kali ini dilandasi seluruh kekuatannya,
betapa ganas dan hebat serangan ini, terang tiada tandingannya di
kolong langit.
"Hek!" terdengar Ngo-hong Kaucu bersuara tertahan, tubuhnya
sempoyongan, tiba-tiba dia melesat ke samping ........
"Lari kemana?" ditengah hardikan menggelegar, beberapa jalur
angin pukulan keras membikin tubuh Ngo-hong Kaucu yang
terapung di udara itu anjlok kembali ketempatnya, yang menyerang
ternyata adalah Siangkoan Hong suami isteri dibantu jago-jago lain
yang berjumlah delapan orang.
Baru sekarang Ji bun menyadari bahwa pertempuran besar sudah
berakhir. Pihak Ngo-hong-kau sudah diganyang habis-habisan,
mayat bertumpuk, darah mengalir seperti sungai. Jago-jago kelas
tinggi Wi-to-hwe sekarang merubung di pinggir gelanggang, maka Ji
Bun dan Ngo-hong Kaucu berdua terkurung di tengah.
Sorot mata Ngo-hong Kaucu bertampak panik dan liar. Ji Bun
tahu jiwa orang sangat kejam dan buas, kalau tidak dibekuk dan
ditundukkan, kelak pasti menimbulkan banyak kesulitan dan itu
berarti keselamatan ayah bunda dan perintah perguruan sukar
dibereskan.
"Rebahlah kau!" kembali Ji Bun melancarkan Tok-jiu-sam-sek.
Pekik ngeri diseling erang kesakitan. Seluruh hadirin sama
mengkirik dan berubah air mukanya. Tampak Ngo-hong Kaucu
terdorong mundur terus jatuh terduduk, darah menyembur dari
mulutnya, pakaian di depan dadanya berlepotan darah. Ji Bun
sendiri juga mengerang tertahan dan terpental mundur tiga langkah
baru bisa berdiri tegak.
"Apapun yang terjadi, biar kupunahkan dulu Lwekangnya," teriak
Siang-thian-ong sambil menubruk maju.
"Jangan sentuh dia!” bentak Ji Bun.
"Apa maksudmu?" semprot Siang-thian-ong dengan melotot.
"Kalian tidak punya hak menyentuh dia, desis Ji Bun sambil
menggertak gigi menahan sakit.
"Anak muda jangan kau takabur ......”
"Kalau kau tidak percaya, boleh silakan turun tangan?"
Siang-thian-ong sudah pasang kuda-kuda hendak menyerang,
lekas Wi-to-hwecu tampil ke muka, katanya: "Houhuat, silakan
mundur saja."
Sebetulnya Siang-thian-ong jeri juga berhadapan dengan Ji Bun,
kebetulan dia bisa mundur teratur, namun dia masih pura-pura
menggerutu.
Setelah mengatur napas sebentar, dengan badan limbung Ngo-
hong Kaucu merangkak bangun pula sambil menyeka darah di
mulutnya. Ji Bun mendesak selangkah, Ngo-hong Kaucu menyurut
mundur dengan jeri, katanya gemetar: "Urusan kita tak boleh
dibereskan di depan umum."
"Aku tahu," ujar Ji Bun sambil mengangguk.
"Ji-siauhiap," Thong-sian Hwesio yang sejak tadi diam saja tiba-
tiba bersuara dengan nada serius, "urusan ini tak boleh diselesaikan
secara pribadi, kau harus memberikan pertanggungan jawab yang
adil terhadap kaum persilatan umumnya?"
Serba susah juga Ji Bun dibuatnya, Ngo-hong Kaucu
menimbulkan petaka dunia persilatan. Tak terhitung kaum Bu-lim
yang celaka oleh kekejamannya, memang dia harus menebus
kejahatannya ini kepada kaum persilatan. Tapi membersihkan
perguruan dari anasir jahat merupakan persoalan pribadi dalam
perguruannya, hal ini tidak boleh diselesaikan secara terbuka.
Setelah dipikir matang, akhirnya dia berkata tegas: "Terhadap
sesama kaum persilatan pasti akan kuberikan partanggungan jawab
yang adil."
"Bagaimana kau hendak memberikan pertanggungan jawab?"
"Penjelasan tidak perlu kuberikan, tapi kuberjanji pasti
memberikan pertanggungan jawab."
Dengan pandangan liar Ngo-hong Kaucu menatap Thong-sian
Hwesio, teriaknya bengis: "Ciu Tay-han, kaum keroco seperti
tampangmu yang ingkari majikan dan berkhianat terhadap aliran
masih berani jual lagak di sini?"
Kaget dan melenggong Thong-sian Hwesio, sungguh dia tak
habis pikir darimana Ngo-hong Kaucu bisa tahu sejelas ini mengenai
pribadinya? Serta merta matanya ke arah Siangkoan Hong.
"Banyak juga yang kau ketahui," ujar Siangkoan Hong.
"Siangkoan Hong, apa yang kutahu jauh lebih banyak dari yang
kau duga."
"Maksudmu tentang perintah Ji Ing-hong yang tidak dia
laksanakan dulu?"
"Memang kau paling jelas dalam hal ini. Dan jangan kau bersorak
dalam hati, jangan kau kira aku sudah kalah? Ha ha ha ......" gelak
tawa Ngo-hong Kaucu menggiriskan dan seram.
"Hwecu," seru Siang-thian-ong dengan suara lantang, "harap kau
ambil keputusan tegas, jangan meninggalkan bibit bencana kelak."
Seruan ini mendapat sambutan dari orang banyak, sorot mata
hadirin tertuju kepada Siangkoan Hong. Hanya Ji Bun tetap bersikap
dingin, katanya tegas: "Dengan hormat kuperingatkan, siapapun
dilarang menyentuh dia."
Hadirin sama menggeram gusar, kata-kata Ji Bun menimbulkan
reaksi dalam hati semua orang. Ngo-hong Kaucu adalah musuh
bersama setiap insan persilatan, korban tak terhitung jumlahnya. Wi-
to-hwe pun telah memberikan imbalan yang cukup besar artinya.
Sementara Ji Bun tidak pernah menegaskan kedudukan dan
pendiriannya. Selama ini tidak mendapatkan simpatik orang banyak.
Wi-to-hwecu Siangkoan Hong berusaha meredakan suasana,
katanya: "Ji Bun, aku percaya kau pasti bisa memberikan
pertanggungan jawab tapi dia harus menerangkan dulu tentang dua
hal."
"Dua hal apa?" tanya Ji Bun.
"Pertama nama dan asal-usulnya harus dia jelaskan lebih dulu!"
Tuntutan yang masuk akal, Ji Bun sendiri juga ingin selekasnya
tahu hal ini. maka dia beralih kepada Ngo-hong Kaucu, katanya:
"Tuan sudah mendengar bukan, berilah jawaban."
Ngo-hong Kaucu menyeringai seram, ujarnya: "Aku tidak sudi
memberi jawaban."
"Apa maksudmu sebenarnya?" dengus Ji Bun murka.
Benar-benar durjana yang kelewat kejam, Ngo-hong Kaucu
bersifat tak acuh, katanya pula: "Ji Bun, kukira jawabanku tidak akan
membawa keuntungan bagi dirimu."
Ji Bun ragu-ragu oleh jawaban ini, dia tidak habis mengerti apa
maksud perkataan orang, apa boleh buat, dia berpaling kepada Wi-
to-hwecu, katanya: "Coba silakan Hwecu katakan pula tuntutanmu
yang kedua?"
"Serahkan Jit-sing-pocu Ji Ing-hong kepada kami!" kata
Siangkoan Hong.
Berubah air muka Ji Bun, belum dia buka suara, Ngo-hong Kaucu
sudah terloroh-loroh, katanya: "Jika Ji Ing-hong unjuk diri, mungkin
akan kalian koyak-koyak menjadi pergedel?”
Memang tepat ucapannya, tapi nadanya berolok dan mengadu
domba lagi. Ji Ing-hong adalah ayah Ji Bun, kalau Siangkoan Hong
dan lain-lain menuntut balas, Ji Bun terang tidak akan peluk tangan
maka dapatlah dibayangkan apa akibat dari bentrokan ini. Walau
jumlah orang-orang Wi-to-hwe lebih banyak, tapi mereka juga tahu
sampai dimana tarap kepandaian Ji Bun, sebaliknya Ji Bun sendiri
sungkan mencari parkara sebelum perguruan sendiri dibereskan
lebih dulu.
Disamping itu, mereka juga tetap merasa was-was, maklum
berada di dalam sarang Ngo-hong-kau, walau Ngo-hong Kaucu
sudah terluka parah. Anak buahnya sudah dibabat habis tapi bukan
mustahil masih banyak jago-jago lihay mereka yang sembunyi dan
menunggu kesempatan untuk menyergap secara keji dan licik. Jika Ji
Bun sampai berhantam dengan pihak Siangkoan Hong, itu berarti
memberi kesempatan kepada Ngo-hong Kaucu untuk memungut
keuntungan.
Semua hadirin adalah bangkotan Kangouw yang berpengalaman,
sudah tentu soal untung rugi ini sudah dalam pemikiran mereka.
Oleh karena itu, kata-kata Ngo-hong Kaucu walau cukup tajam,
namun semua orang tetap prihatin, tiada yang berani sembarang
bergerak atau angkat bicara.
Lama sekali baru Ji Bun membuka kesunyian: "Biarlah
kuselesaikan dulu persoalanku sendiri dengannya, kedua tuntutan
Hwecu akan kuberi jawaban nanti."
Dua sosok bayangan tiba-tiba meluncur datang dan turun di luar
kalangan, seorang adalah tabib keliling, seorang lagi adalah gadis
belia cantik molek. Mereka bukan lain adalah Biau-jiu Siansing
bersama puterinya, Ciang Bing-cu.
Mendadak Ngo-hong Kaucu terkial-kial. serunya: "Bagus, betul-
betul semua orang gagah telah berkumpul seluruhnya di sini. urusan
jadi akan lebib mudah diselesaikan."
Sebetulnya Ngo-hong Kaucu mirip katak dalam tempurung,
namun dia masih berlagak pongah. Hal ini betul-betul membuat
semua hadirin merasa merinding dan seram.
Cukup lama Ciang Wi-bin menatap Ngo-hong Kaucu, sesaat
kemudian mulutnya berseru penuh kaget dan heran: "He, kau .......
Kau apa ......”, Dia tidak melanjutkan, namun seruan kaget ini sudah
menarik perhatian hadirin, termasuk juga Ji Bun.
Terpencar sinar mata buas Ngo-hong Kaucu, bentaknya beringas:
"Aku kenapa?“
Ciang Wi-bin melirik pada Ji Bun, lalu katanya dengan rasa berat:
"Sungguh tak terduga ......”
"Apa yang tak terduga?" tanya Ji Bun.
"Ilmu tata rias memang tidak membedakan aliran atau golongan,
tapi toh tetap dapat dibedakan juga. Apakah dia seorang ahli atau
hanya petualangan belaka, walau Kaucu sudah berubah suara, tapi
dari dandanan dan samaranmu ini aku masih bisa membedakan
siapa sebenarnya kau ini?"
Nyata secara tidak langsung dia memberitahu kepada hadirin
bahwa Ngo-hong Kaucu dihadapan mereka ini adalah seorang yang
telah merias diri dalam bentuk lain, jadi bukan wajah aslinya.
"Siapa dia?" teriak Ji Bun keras.
"Anak muda," Ngo-hong Kaucu terloroh dingin, "marilah kita
pindah tempat untuk menyelesaikan persoalan pribadi kita ........”
"Ji Bun," Ciang Wi-bin menyela, "aku setuju usulnya."
Ji Bun tatap Ciang Wi-bin dengan penuh tanda tanya, dia tahu
ucapan orang pasti ada latar belakangnya. Namun sulit juga dia
menjawab usul ini dihadapan orang banyak, karena rahasia pribadi
Ciang Wi-bin serta asal usul dirinya pantang dibocorkan dihadapan
umum. Maka ia berkata kepada Ngo-hong Kaucu: "Dibereskan di
mana?"
“Boleh kau ikut aku ...."
Segera Ciang Wi-bin angkat sebelah tangan, katanya: "Aku
calonkan diriku sebagai saksi"
"Boleh," tahut Ngo-hong Kaucu tegas.
Ji Bun melirik pada Ciang Wi-bin katanya: "Urusanku ini tidak
perlu pakai saksi, kurang leluasa pula untuk diselesaikan dihadapan
orang ketiga."
Ciang Wi-bin angkat pundak, apa boleh buat, dia tidak bicara lagi.
"Mari silakan," ujar Ji Bun menggerakkan tangan.
Ngo-hong Kaucu segera beranjak keluar lingkaran. Ji Bun
mengikuti di belakangnya secara ketat. Kebetulan mereka menuju
kearah barat, di mana kebetulan Siang-thian-ong dan orang dalam
tandu berjaga. Kedua orang melotot gusar sambil bertolak pinggang,
naga-naganya mereka tidak mau menyingkir memberi jalan.
Mencorong biji mata Ji Bun, desisnya: "Harap minggir!"
Seolah-olah terpengaruh oleh tatapan tajam Ji Bun dan menjadi
jeri, tanpa sadar mereka melangkah ke pinggir. Cepat sekali Ngo-
hong Kaucu sudah keluar dari kepungan diikuti Ji Bun, langsung
menuju ke deretan rumah di belakang sana.
Sejenak mengawasi bayangan kedua orang, Wi-to-hwecu lantas
memberi perintah: "Harap para Houhat dan Tongcu mengawasi
bangunan markas ini dengan ketat, para Tecu yang lain harap
segera membersihkan tempat ini."
Serempak semua orang mengiakan. Puluhan orang segera
mengepung gedung besar di bagian tengah, sementara puluhan
orang lain sibuk menyingkirkan mayat.
"Yah," kata Ciang Bing-cu gelisah pada ayahnya, "Apakah dia
tidak akan mengalami bahaya?"
"Ai, sungguh tidak nyana, tragedi ini akan terjadi dengan
mengenaskan."
"Tragedi apa?" Ciang Bing-cu menegas. "Ayah tahu siapa dia
sebenarnya?"
"Jangan banyak tanya, Nak. Tunggulah dengan sabar apa yang
bakal terjadi nanti, yang jelas dia tidak akan mengalami mara-
bahaya."
Lekas sekali tabir malam telah menyelimuti jagat raya tanpa
terasa. Keadaan lembah menjadi semakin sunyi, seluruh perhatian
hadirin tertuju ke dalam markas. Karena mengingat aturan
Kangouw, tiada seorangpun yang berani sembarang bertindak atau
menerobos masuk ke dalam.
Lagi ditunggu sekian lamanya, keadaan tetap tenang dan hening,
tidak kelihatan ada reaksi apa-apa dari dalam.
Sementara itu Ji Bun yang mengintil di belakang Ngo-hong Kaucu
telah memasuki ruang pendopo. Ji Bun meningkatkan kewaspadaan
dan siaga, bentaknya dingin: "Berhenti disini saja!"
Ngo-hong Kaucu membalik badan, keduanya berdiri berhadapan
di tengah ruangan.
"Sekarang kau boleh bicara," kata Ji Bun sambil menahan gejolak
hati.
Tenang-tenang saja sikap Ngo-hong Kaucu, ujarnya: "Berilah
kesempatan kuajukan beberapa persoalan ...."
"Boleh saja, soal apa?"
"Apa betul secara resmi kau telah diangkat sebagai murid Ban-
tok-bun?"
"Ya, tidak salah."
"Juga mendapat ajaran tunggal perguruan? Lalu apa nama jurus
yang kau lancarkan?”
"Ilmu itu sudah kupelajari dan apa namanya kau tidak perlu
tahu," kata Ji Bun, tangannya merogoh kantong mengeluarkan Hoat-
hoan pemberian Thaysuco, ternyata pil beracun jahat peranti bunuh
diri ini tidak hilang, maka legalah hatinya.
Tiba-tiba Ngo-hong Kaucu merintih sambil mendekap dada, darah
menyembur dari mulutnya, badannya limbung sempoyongan,
katanya gemetar: "Kau diperintahkan membersihkan perguruan?”
"Betul, sebelum kulaksanakan hukum perguruan, kau harus
menjelaskan beberapa persoalan.”
"Boleh.... bolehkah aku bicara sambil duduk?"
Melihat luka orang cukup parah, Ji Bun yakin orang tidak akan
mampu banyak ulah lagi, maka dia mengangguk.
Ngo-hong Kaucu melangkah dengan berat, dia menghampiri
deretan kursi yang membelakangi dinding di sebelah sana lalu
duduk.
Ji Bun melangkah maju, suaranya berubah kereng: “Di mana
sebetulnya ayah-bundaku?"
“Ayahmu Ji Ing-hong sudah mampus!"
Melotot hampir pecah biji mata Ji Bun, mukanya menjadi buas
dan kalap, teriaknya: "Kau pernah bilang, beliau kau kurung?
Bagaimana dia bisa meninggal?"
Sekonyong-konyong sebuah ledakkan dahsyat seperti bumi
kiamat menggelegar menggoncangkan tanah dan bangunan gedung,
pintu dan jendela sama berkeriutan, genteng beterbangan. Berubah
hebat air muka Ji Bun, serunya: "Apa yang terjadi?”
Mendadak Ngo-hong Kaucu terbahak-bahak, katanya: "Tidak apa-
apa hanya jalan keluar lembah telah tersumbat oleh ledakkan itu.
Tadi aku sudah bilang, Ngo-hong-kau tidak gampang putus asa dan
ludes demikian saja, kalah menang belum bisa diramalkan."
"Kubunuh kau!" desis Ji Bun.
"Sudah terlambat. Ha ha ha!"
Jari tangan Ji Bun secepat kilat mencengkeram. Tak nyana kursi
duduk Ngo-hong Kaucu tiba-tiba menjeplak anjlok ke bawah, keruan
cengkeraman Ji Bun mengenai tempat kosong. Lekas sekali kursi itu
naik kembali ke tempat asalnya, tapi bayangan Ngo-hong Kaucu
sudah tidak kelihatan lagi.
Sekilas ia merasakan firasat jelek, dalam hati dia mengeluh, sebat
sekali ia melesat keluar dari jendela yang terdekat. “Duk", tahu-tahu
Ji Bun rasakan punggungnya kesakitan, mata seketika menjadi
gelap, badanpun roboh tersungkur, debu dan asap merangsang
hidung sehingga napas menjadi sesak, kejap lain dia sudah tak ingat
diri lagi.
Entah berapa lama, lambat laun dia mulai sadar. Pikiran pertama
yang menyentuh perasaannya adalah tanda tanya "Apakah aku tidak
mati?" Sekelilingnya sunyi senyap, dalam kegelapan dia melihat
bintang-bintang bertaburan di angkasa luas.
Dia coba menggerakkan badan, namun sedikit bergerak saja
tulang belulang terasa sakit. Waktu tangannya meraba, didapatinya
sebuah belandar besar menindih badannya. Kalau mau bangun
harus menyingkirkan dulu belandar besar ini. Dia coba meneliti
keadaan, ternyata ujung lain dari belandar ini terpendam di bawah
reruntuhan gedung yang ambruk, beratnya tentu ada ribuan kati.
Ia coba menerawang, kejadian apa sebetulnya yang telah
menimpa dirinya. Untung dirinya bisa bertindak cepat, kalau tidak
tentu jiwanya sudah amblas dan raganya terpendam di bawah
runtuhan rumah atau hancur kena ledakan. Agaknya pada saat
tubuhnya meluncur ke arah jendela, ledakanpun terjadi sehingga
punggungnya kejatuhan belandar yang runtuh dan dia jatuh
semaput, beruntung badannya tidak terpendam di bawah
reruntuhan. Kalau tidak tentu jiwanya sudah melayang.
Mengingat betapa licik dan licinnya Ngo-hong Kaucu, sungguh
gusar Ji Bun bukan kepalang, saking gegetun giginya sampai
gemeratak. Diam-diam Ji Bun menyesal, kenapa dirinya kurang
cerdik menghadapi akal orang yang licik dan dirinya kena dirugikan
karena kelalaian sendiri. Kalau sejak mula dia punahkan dulu
Lwekang dan ilmu silat Ngo-hong Kaucu, tragedi ini tentu tidak akan
terjadi.
Dari kejadian ledakan yang menjumbat jalan keluar lembah, hal
ini membuktikan bahwa kekuatan Ngo-hong-kau masih cukup
tangguh dan tersembunyi, mereka bergerak menurut gelagat, tak
heran sikap Ngo-hong Kaucu tetap tenang tanpa jeri sedikitpun.
Apakah pertempuran sudah berakhir? Di mana Ngo-hong Kaucu?
Ke mana pula orang-orang Wi-to-hwe? Mungkinkah mereka juga
terbunuh seluruhnya? Hatinya menjadi cemas. Ia coba menghimpun
tenaga murni, tenaga memang masih ada, sayang luka-luka
dalamnya tidak ringan. Untuk meronta dan mendorong belandar
besar itu, sekarang jelas tidak mungkin.
Waktu dia melihat sekelilingnya, ruang pendopo besar di mana
tadi dia bicara dengan Ngo-hong Kaucu sudah hancur lebur,
bangunan yang lainpun sudah porak poranda tidak utuh lagi,
anehnya sudah sekian lamanya tetap tidak terlihat bayangan
seorangpun muncul, sinar api tidak kelihatan, alam gelap gulita
seperti berada di neraka.
Harus segera membebaskan diri, inilah yang menjadi pikiran Ji
Bun. Untuk bebas dia harus bekerja mengandal kekuatannya sendiri
pula, dan untuk itu dia perlu selekasnya memulihkan tenaga, maka
dengan badan setengah terbaring dia mulai semadi mengerahkan
hawa murni sesuai ajaran ilmu tingkat tinggi perguruannya.
Malam semakin berlarut, sang waktu berlalu tanpa terasa, hari
sudah remang-remang mendekati fajar, baru Ji Bun selesai
mengobati diri dan pulih seluruh tenaganya. Pelan-pelan dia mulai
mendorong dan mengangkat belandar besar itu, begitu belandar
terdorong ke samping segera dia melompat keluar dan berdiri.
Suara keresekan dari langkah orang yang menyentuh dedaunan
kering membuat Ji Bun waspada dan mendekam pula. Maka
terdengar suara seorang berkata: "Para keroco itu agaknya nekat,
hari sudah hampir terang tanah, pertempuran besar mungkin akan
berlangsung lagi."
Seorang lain segera bicara pula: "Sayang Ngo-Lui-cu sudah habis
terpakai, kalau tidak mereka tentu sudah dibereskan seluruhnya."
"Memangnya mereka seperti ikan dalam jala, musuh bebuyutan
kita Te-gak Suseng juga telah hancur lebur tanpa bekas, demikian
pula Siang-thian-ong, Hing-thian-it-kiam Gui Han-bun dan Cui Bu-tok
sudah mati kena ledakan. Kekuatan lawan sudah jauh berkurang."
Ji Bun berdiri terus melompat menyergap. Kedua orang yang
asyik bicara itu bersuara kaget, gerak-gerik mereka cukup cekatan.
22.66. Tabir Misterius Terbuka Lebar
“Siapa?" bentaknya bersama. Tapi suara mereka berubah
erangan tertahan. Satu diantaranya roboh terkulai, sementara orang
yang bersuara tadi lantas ngacir ke tempat gelap hendak lari. Tapi
seperti elang menyamber ayam, sekali raih dan cengkeram Ji Bun
jinjing baju kuduknya terus ditarik balik.
Merasa tengkuknya dipegang dan badan tertarik mundur, orang
itu jadi nekat dan membalik, pedang terus menusuk. Gerakannya
cukup tangkas dan lihay pula serangannya. Ji Bun tidak menduga
bila orang membawa pedang, reaksinyapun cepat dan cekatan lagi,
tahu-tahu hawa pedang yang dingin dan kemilau sudah menusuk ke
dadanya. Saking kaget Ji Bun lepaskan cengkeramannya sambil
abitkan tubuh orang ke samping, sementara kaki menggeser, "cret",
ujung pedang merobek bajunya, serambut saja hampir melukai
kulitnya. Saking gusar serta merta dia baliki telapak tangannya terus
menampar.
"Plok", orang itu seketika menjerit ngeri, pedang terlempar,
tubuhpun terkulai, namun mulutnya masib sempat menjerit serak:
"Te-gak Suseng!” tapi jiwanya lantas melayang. Ji Bun jadi
menyesal, semula ia hendak menangkapnya hidup-hidup untuk
dikompes keterangannya, kini urusan mennjadi gagal.
Setelah keluar dari tumpukan puing itu, Ji Bun menghirup hawa
segar, ia memikirkan tindakan selanjutnya. Tiba-tiba dari arah luar
lembah sana terdengar suara bentakan, disusul berdentingnya
senjata yang ramai. Lekas Ji Bun memburu ke tempat pertempuran
itu.
Cuaca sudah mulai terang, fajar telah menyingsing, cepat sekali Ji
Bun sudah dapat melihat bayangan orang banyak di kejauhan sana,
barisan orang seragam baju sutera mengelilingi sebuah arena besar.
Diam-diam Ji Bun mengumpat akan kelicikan Ngo-hong Kaucu,
ternyata dia masih menyembunyikan sekian banyak jago-jagonya
yang tangguh. Mulut lembah diledakkan dan disumbat, tujuannya
terang hendak membabat seluruh musuh yang menyerbu datang.
Cepat sekali Ji Bun tiba di luar lingkaran, sejenak dia meneliti
keadaan terus melompat ke atas sebuah batu yang menonjol di
dinding gunung. Dari tempat tinggi dengan jelas dia dapat
menyaksikan pertempuran di tengah gelanggang.
Puluhan orang tengah berhantam dengan sengitnya. angin
seperti lesus berpusar dan berderai keluar, suaranya menderu bagai
hujan badai, sinar pedang dan golok berseliweran, pertempuran
cukup sengit dan dahsyat. Ratusan pemuda seragam sutera dengan
senjata terhunus siap pula berkeliling di luar arena.
Sebentar mulai terdengar jerit dan lolong orang-orang yang
terluka atau binasa, yang roboh jadi korban adalah anak buah Wi-to-
hwe dari tingkatan rendah yang tinggal beberapa jiwa saja, satu
persatu mereka berguguran. Kalau keadaan seperti ini berjalan
terus, kekuatan Wi-to-hwe tak lama lagi tentu terkikis habis itu
berarti leburnya barisan pembela keadilan kaum persilatan ini.
Darah Ji Bun mendidih, setelah selarut ini, dia tidak bisa berpeluk
tangan, maka dia melejit tinggi ke atas, di tengah udara dia menukik
seraya membentak, "Berhenti!" Suaranya menggeledek menggema
angkasa. Orang-orang yang lagi berbaku hantam itu serentak
melompat mundur menghentikan pertempuran. Bayangan Ji Bun
segera meluncur ke tengah-tengah mereka. Baru saja kakinya
menyentuh tanah dan berdiri tegak, karena memperoleh bintang
penolong, tanpa berjanji orang-orang Wi-to-hwe sama bersorak
kegirangan.
“Anak keparat!" umpat Ngo-hong Kaucu, "kau .... kau tidak
mampus?"
Sekilas Ji Bun menyapu pandang ke sekelilingnya, memang
bayangan Siang-thian-ong, Cui Bu-tok dan Hing-thian-it-kiam Gui
Han-bun tidak kelihatan, apa yang dibicarakan kedua orang Ngo-
hong-kau tadi ternyata memang benar, ketiga orang ini semalam
sudah gugur di medan laga.
Sorot mata Ji Bun beralih ke muka Ngo-hong Kaucu, lama sekali
tatapan matanya semakin menyala, rona mukanya berubah
bergantian, akhirnya berwarna kelabu, ini menandakan nafsunya
sudah merangsang tak terkendali lagi. Semua jago-jago Ngo-hong-
kau yang hadir sama mengkirik seram melihat mimik wajahnya ini.
Bahwa Te-gak Suseng tidak mati, ini berarti rencana Ngo-hong
Kaucu telah gagal total.
Ngo-hong Kaucu pun mengunjuk rasa kaget dan heran, lalu
berubah bengis dan penasaran seolah-olah binatang buas yang
kelaparan dan ingin mengkeremus mangsanya.
Walau kebencian dan dendam merusak sanubarinya, namun
pikiran Ji Bun tetap tenang dan dingin, pengalaman telah
menggembleng dan memupuk ketahanan lahir batinnya. Dia tidak
ingin ada pihak kedua mencampuri pertikaian dirinya dengan Ngo-
hong Kaucu, maka dia berpaling kepada Siangkoan Hong, katanya:
"Hwecu, maaf, semalam aku tak bisa menepati janji, iblis keparat ini
serahkan saja kepadaku, silakan kalian babat habis kaki tangannya."
Kata-kata Ji Bun sekaligus membereskan kesulitan yang dihadapi
pihak Wi-to-hwe. Walau mereka amat benci terhadap Ngo-hong
Kaucu, namun tiada satupun di antara mereka yang kuat
menandinginya. Hanya Hun-tiong Siancu saja kira-kira yang
setanding, tapi untuk mengalahkannya apalagi membunuhnya
terang tidak mungkin. Celakanya pihak Ngo-hong-kau masih banyak
jago-jago yang siaga di luar gelanggang. Anak buah Wi-to-hwe dari
kelas dua dan tiga sudah hancur gugur seluruhnya. Tahu akan
gelagat yang serba runyam ini, apa boleh buat Siangkoan Hong
menyambut saran Ji Bun. Maka pertempuran lantas berlangsung
pula.
Tiada kata-kata yang bisa diucapkan lagi oleh Ji Bun kepada Ngo-
hong Kaucu, ia harus menundukkan dan membekuknya lebih dulu
baru bicara di belakang.
"Ji Bun," desis Ngo-hong Kaucu penuh benci, "Anak haram, akan
kulebur tubuhmu menjadi abu dan kutaburkan ke mana-mana”
Ji Bun menggeram rendah dalam kerongkongan, terus menubruk
dengan serangan Tok-jiu-sam-sek. Ngo-hong Kaucu juga balas
menyerang, keduanya serang menyerang dengan sengit seperti
orang kalap.
Singkat dan cepat sekali serang menyerang ini terjadi, segera
darah sudah meleleh dari mulut Ngo-hong Kaucu, langkahnyapun
sempoyongan. Ji Bun sendiri juga terkena delapan kali pukulan oleh
serangan nekat lawannya, darah sudah bergolak dalam rongga
dadanya. Pertempuran dahsyat antara naga dan harimau yang
jarang terjadi selama ratusan tahun dalam Bu-lim ini, sayang tiada
orang yang menikmatinya. Orang-orang kedua pihak sedang sibuk
menggasak lawannya untuk mempertahankan jiwanya sendiri-
sendiri, tiada seorangpun yang mengikuti pertempuran besar ini.
Kedua orang terpental mundur, keduanya sama-sama istirahat
sedetik mengatur napas dan menghimpun kekuatan. Biji mata Ji Bun
seolah-olah mencolot keluar, katanya dengan menyeringai: "Yang
kulancarkan tadi adalah Giam-ong-yan-khek, jurus ketiga dari Tok-
jiu-sam-sek ajaran perguruan kita. Nah, pengkhianat, hari ini kau
barus mampus binasa oleh jurus ciptaan Cosuya."
Ngo-hong Kaucu mundur beberapa langkah, mendadak kakinya
menjejak tanah, badan meluncur keluar gelanggang, secepat
terbang.
"Lari kemana!" Ji Bun membentak, segera iapun mengejar
dengan kencang. Beberapa tombak di luar lingkaran, Ji Bun
mengerahkan seluruh tenaganya dan melompat maju
memperpendek jaraknya dengan musuh seraya mendorongkan
telapak targannya ke depan.
Sambil menjerit kesakitan Ngo-hong Kaucu terdorong
sempoyongan dua tombak jauhnya. Pelan-pelan dia putar balik
badannya.
Ji Bun mendekat di dekat orang, desisnya dengan gigi
gemerantak: "Masih mau lari?”
Ngo-hong Kaucu setengah jongkok, kedua telapak tangannya
seperti menekan ke bawah, jubah hitam yang longgar tiba-tiba
semakin melembung membesar seperti berisi angin, tak ubahnya
layar berkembang tertiup angin kencang, uap tampak mengepul di
atas kepalanya, mata terpejam mulut mengancam pelahan: "Aku
mati kaupun jangan harap bisa hidup."
Mencelos hati Ji Bun, entah lawan hendak mengerahkan ilmu
jahat apa, maka iapun siaga, seluruh kekuatan Lwekangnya ia
kerahkan.
Tiba-tiba bayangan seorang meluncur datang, begitu dekat
seketika dia menjerit kaget: "Awas, dia .... dia telah berhasil
menyakinkan Kian-kun-sut-biat (semesta alam sunyi senyap) yang
tertera di dalam Hud-sim ....." yang memberi peringatan adalah
orang dalam tandu, Toh Ji-lan, atau adik kandung Pek-ciok Sin-ni,
pemilik Hud-sim. Dari suaranya yang ngeri menakutkan dapatlah
dibayangkan bahwa keadaan amat gawat dan mendesak.
Jantung Ji Bun serasa hampir meledak, dia tidak tahu apa itu
Kian-kun-sut-biat, tapi tiada sedikitpun maksudnya hendak mundur,
dia tidak gentar.
"Ciiiaaat ......” di tengah pekik panjang ini, kedua tangan Ngo-
hong Kaucu yang semula menekan ke bawah mulai terangkat. Tiba-
tiba laksana kilat membalik terus mendorong ke depan. Ji Bun juga
lontarkan pukulan Tok-jiu-sam-sek dengan seluruh kekuatannya.
Toh Ji-lan lekas melompat mundur sejauhnya. Angin kencang
setajam pisau berderai ke empat penjuru, hawa udara seperti
meledak mengeluarkan suara rentetan letusan panjang. Dua lawan
yang baku antam sama terjungkal roboh sambil menjerit seram.
Muka Ji Bun putih seperti kertas, darah menyembur dari mulut,
dalam sekejap ini seakan-akan dia kehilangan kesadaran. Di sana
Ngo-hong Kaucu rebah mendekam di atas tanah, darah membanjir
keluar diantara mukanya yang menyentuh bumi. Toh Ji-lan
menjublek ditempatnya.
Lama sekalibaru kelihatan Ji Bun bergerak, agaknya mulai siuman
dan sadar kembali, dalam hatinya berteriak-teriak: "Ji Bun, kau
jangan mati, kau tidak boleh mati. Hayo bangkit keraskan hatimu!"
Sementara itu, Toh Ji-lan beranjak mendekati Ngo-hong Kaucu.
Keruan Ji Bun menjadi gugup, lekas dia kerahkan tenaganya, suara
serak keluar dari kerongkongannya: "Jangan sentuh dia!"
Tanpa kendali darah menyemhur sebanyak-banyaknya. Kepala
seketika pusing, pandangan pun berkunang-kunang, namun dia
sudah mencegah tindakan Toh Ji-lan.
Keyakinan dan kekerasan hatinya menimbulkan semacam
kekuatan pada diri Ji Bun. Pelan-pelan dia berdiri, wajahnya yang
pucat begitu seram dan mengerikan siapapun akan mengkirik
melihatnya. Cukup lama baru dia kuasa pertahankan dirinya yang
limbung. Dengan suara serak dan samar-samar dia menggumam:
"Dia tidak mampus begini saja, dia harus mati di bawah ..... hukum
perguruan yang berlaku, banyak urusan yang harus dia ......”
Dengan mendelong Toh Ji-lan awasi Ji Bun, ia tidak mengerti apa
yang dimaksudkan.
Sementara pertempuran masih berlangsung dengan gaduh,
korban berjatuhan saling susul.
Tiba-tiba Ngo-hong Kaucu menggerakan kaki tangan kepalapun
terangkat pelan-pelan.
"Dia belum mati!" gemetar suara Toh Ji-lan.
Dengan sabar Ji Bun menunggu, sayang tenaga sendiri juga
sudah ludes, paling-paling cuma mampu untuk berdiri saja.
Selekasnya dia mengerahkan hawa murni dan bersemadi dengan
ilmu perguruannya, dia harap dalam waktu singkat berhasil
memulihkan kekuatannya.
Dua permuda baju sutera tiba-tiba berlari ke arah sini, begitu
melihat keadaan di sini, mereka menjerit kaget, serentak tanpa
berjanji kedua pemuda ini memburu ke arah Ji Bun.
Orang dalam tandu, Toh Ji-lan, segera pentang kedua tangan
menyambut kedatangan mereka. Hanya sekali puntir dan mengipat,
jiwa mereka kontan dibikin tamat. Sementara pertempuran masih
tetap berlangsung, cuma keadaan sudah tidak segaduh tadi.
Agaknya pertempuran besar sudah menjelang akhir.
Pelan-pelan Ngo-hong Kaucu mulai merangkak dan berduduk.
Sinar mentari menyorot masuk dari celah lembah menyinari suasana
lembah yang suram itu. Bayangan orang berlari saling kejar, yang
kalah melarikan diri berusaha menyelamatkan jiwa, sudah tentu
pihak yang menang tidak memberi ampun, maka terjadilah kejar
mengejar.
Tiba-tiba Ji Bun berkata kepada "orang dalam tandu”: "Harap
Cianpwe suka mundur sebentar!"
"Kenapa?" tanya Toh Ji-lan.
"Wanpwe akan menyelesaikan sesuatu secara rahasia."
"Pinni harus mengambil kembali "Hud-sim"
"Wanpwe akan mengembalikannya nanti."
Dengan heran dan apa boleh buat, akhirnya "Orang dalam tandu”
Toh Ji-lan menyingkir.
Sementara itu Ji Bun sudah berhasil menghimpun tiga bagian
tenaganya. Didengarnya Ngo-hong Kaucu sedang sesambatan: "O,
Thian, agaknya engkau sengaja hendak menumpasku ...."
"Ganjaran setimpal dengan perbuatanmu!" jengek Ji Bun sambil
mendekat.
Dua bayangan tampak meluncur datang dari lembah sana yang
lebih rendah letaknya, ternyata Ciang Wi-bin dan puterinya. "Se-
heng" teriak Ciang Bing-cu kegirangan sebelum tiba, "kau tidak apa-
apa bukan?"
Ji Bun sambut kedatangan mereka dengan pandangan haru dan
penuh simpatik.
"Ji Bun", kata Ciang Wi-bin begitu tiba, "kau tak boleh
membunuhnya."
"Kenapa?"' tanya Ji Bun.
Serba susah Ciang Wi-bin menjawab, tapi dia menggertak gigi,
akhirnya katanya dengan serak gemetar: "Kau boleh menyingkap
kedok dan ikat kepalanya."
Heran dan curiga Ji Bun. agaknya Ciang Wi-bin sudah tahu siapa
sebetulnya Ngo-hong Kaucu ini, kata-katanya juga mengandung
maksud tertentu. Memang sejauh ini tiada peluang bagi Ji Bun untuk
banyak pikir. Segera dia gerakkan jari tangan menutuk dari
kejauhan, lengan kanan Ngo-hong Kaucu seketika lemas. Mulutnya
menyuarakan pekik serak dan putus asa yang menggila: "Ji Bun .....
kau .... lekas kau bunuh aku saja."
Ji Bun terus mencengkeram ikat kepala dan merenggut kedok
mukanya.
"Hah," tiba-tiba dia berteriak histeris dan mundur sempoyongan.
"Bluk" akhirnya jatuh terduduk. Kulit mukanya berkerut-kerut,
hampir saja dia jatuh semaput.
Sedetik itu, dunia seakan-akan kiamat, rasanya seperti badan
dirobek-robek, otaknya hampa dan badan lunglai. Lama sekali baru
mulutnya mengeluarkan keluhan putus asa, sambatnya: "Tidak.... ini
tidak mungkin! Terlalu kejam, O, Thian ......."
Ngo-hong Kaucu ternyata ayahnya, yaitu Jit-sing-pocu Ji Ing-
hong.
Mimpipun tak pernah terbayang dirinya bakal menghadapi
kenyataan yang sukar diterima dengan akal sehat ini. Orang
berkedok berjubah sutera, Jit-sing-ko-jin, laki-laki muka hitam tak
dikenal, Kwi-loh-jin duplikat orang-orang yang pernah menyerang
dan mencelakai dirinya, kini satu persatu terpampang di depan
matanya. Codet panjang miring disamping kepala Ji Ing-hong
setajam pisau menggores sanubarinya. Tanpa mengenal belas
kasihan dengan berbagai cara keji dan licik ayah kandungnya
berusaha membunuh dirinya, malahan menculik ibunya untuk
memeras dan menindas dirinya. Thian-thay-mo-ki, kekasih yang
dlcintainya diperkosa sampai bunuh diri, lebih celaka lagi diapun
berani mendurhakai guru dan melanggar aturan perguruan.
Remuk radam hati Ji Bun, betapa hebat derita yang dialaminya
sekarang sukar dilukiskan dengan kata-kata. Kedua jari tangan
meremas rambut kepala sendiri, mulutnya sesambatan: "O,Thian,
kenapa bisa begini? Kenapa ........ kenapa?" Begitu sedih memilukan
suaranya, tidak mirip suara manusia lagi.
Ciang Wi-bin pun mencucurkan air mata, katanya pilu: "Saudara
Ing-hong, kenapa kau sampai berbuat begini rupa?”
Ji Ing-hong menengadah, mukanyapun berkerut dan gemetar,
dia diam saja.
Mendadak Ji Bun berdiri, segera dia putar badan berlari keluar.
Lekas Ciang Wi-bin memburunya, katanya sesenggukan: "Ji Bun kau
tidak boleh pergi demikian saja, apakah Siangkoan Hong dan teman-
temannya mau memberi ampun kepadanya?"
Baru sekarang Ji Bun menangis tergerung-gerung, katanya
terputus-putus: "Paman, aku ..... bagaimana .... baiknya ....”
"Hadapilah kenyataan ini dengan tabah, bereskan dulu persoalan
di depan mata ini, soal lain boleh dibicarakan nanti."
"Tapi ..... bagaimana Siautit bisa menyelesaikan soal ini? Aku .....
rasanya lebih baik mati saja ..... "
Puluhan orang berlari-lari mendatangi ke arah sini. Mendadak
seorang berteriak: "Ji Ing-hong! He, ini Ji Ing-hong!"
Lekas Ciang Wi-bin menyeret Ji Bun mendekati Ji Ing-hong.
Mendadak Siangkoan Hong mendongak sambil bergelak tertawa
dengan sedih dan beringas, serunya:"`Ji Ing-hong, sungguh tidak
terduga, agaknya Thian memang berkehendak begini. Ha ha ha ha
.......!”
Bayangan seorang tiba-tiba menubruk ke arah Ji Ing-hong. Tanpa
pikir Ji Bun segera menghadang maju sambil ayun tangan. Bayangan
itu dipukulnya mundur pula. Penyerangnya ternyata adalah ibu
tuanya, Khong-kok-lan So Yan atau isteri ayahnya yang resmi.
"Ji Bun," teriak Siangkoan Hong gusar, "kau mau
melindunginya?”
Gemetar bibir Ji Bun, sekian lamanya baru dia kuasa bicara,
"Kalau kalian mau turun tangan, boleh bunuh aku lebih dulu."
"Ji Bun," teriak Khong-kok-lan So Yan kalap, "kalau kau
melindungi dia, kaupun harus bunuh kami semua yang hadir di sini."
Betapa sedih hati Ji Bun sukar terlampias, apapun dia adalah
putera kandung ayahnya. Dia tidak bisa berpeluk tangan melihat
orang hendak merenggut jiwanya. Namun iapun insyaf ayahnya
merupakan musuh bersama kaum persilatan, di samping sebagai
pengkhianat perguruannya. Iapun harus menegakkan dan
melaksanakan hukum perguruan atas ayahnya sendiri. Maka dia tak
kuasa menjawab pertanyaan Khong-kok-lan So Yan. Jalan satu-
satunya agaknya ayah beranak gugur bersama karena dia tidak
mungkin membunuh ayahnya sendiri, namun ayahnya harus mati
menebus dosanya.
Dan mana ibunya? Teringat kepada ibundanya, ingin rasanya dia
menangis sepuas-puasnya, dia tidak berani tanya jejak ibunya
kepada ayahnya, iapun tak berani berpaling mengawasi wajah
bapaknya yang telah berubah bentuknya menjadi sedemikian buruk.
Ji Bun merasa malu diri, malu berhadapan dengan kaum persilatan,
tapi sekarang dia harus berani memikul semua ini. Dia tidak mungkin
menyingkir dari tanggung jawab yang timbul karena adanya sebab
dan akibat ini.
Seorang laki-laki baju hitam lari mendekati Siangkoan Hong serta
memberi hormat, katanya: "Lapor Hwecu, Cui-ciangling dan Gui-
houhoat bersama tiga .......”
"Kenapa?" Siangkoan Hong menegas.
"Ditemukan sudah gugur di gedung yang runtuh itu."
"Han-bun sudah mati?" tiba-tiba Khong-kok-lan melengking
beringas.
Hun-tiong Siancu segera memapah dan pegang pundak orang,
tiba-tiba Khong-kok-lan terloroh-loroh kalap, gelak tawanya lebih
seram dari orang menangis.
Tak tahan menghadapi tekanan lahir batin, mendadak Ji Bun juga
menjerit sekeras-kerasnya: "Baiklah, kalian boleh turun tangan!"
Khong-kok-lan So Yan meronta dari pegangan Hun-tiong Siancu
terus menubruk maju seraya membentak: "Ji Bun, minggir!"
"Tidak," teriak Ji Bun kalap, "kau boleh turun tangan
terhadapku."
"Aku tidak akan membunuhmu ........."
"Aku tetap tidak akan menyingkir."
'"Lihat pukulan!”
"Plak", dengan telak Ji Bun terlempar setombak lebih, darah
menyembur dari mulutnya. Dia tidak balas menyerang, juga tidak
mengerahkan Lwekang melindungi badan. Para hadirin itu adalah
jago-jago silat, mereka tahu Ji Bun sengaja mencari kematian, maka
dia tidak melawan.
Keruan Khong-kok-lan melenggong, namun rasa benci dan
dendam kematian Gui Han-bun menghantui sanubarinya, tekatnya
membunuh Ji Ing-hong takkan tergoyahkan oleh tekanan apapun.
Sementara Ji Ing-hong sendiri insaf takkan berhasil bunuh diri, luka-
lukapun teramat parah, ia tahu dirinya takkan lolos dari tuntutan
umum. Akhirnya dia pejamkan mata dan anggap tak melihat dan tak
mendengar.
"Ji Bun," Siangkoan Hong menegas dengan suara berat, "lebih
baik kau menyingkir saja."
Ji Bun meronta bangun, dengan langkah tertatih-tatih iapun
kembali ke tempatnya, mulutnya menjawab tegas: "Tidak bisa!"
Ciang Wi-bin mengosok kedua telapak tangan, pertanda iapun
kebingungan dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Mendadak dengan pilu sedih Khong-kok-lan So Yan berkata:
"Apakah pedang Gui-houhoat ...."
Seorang laki-laki baju hitam yang lain segera tampil ke depan
sambil mengangsurkan sebatang pedang dengan kedua tangan,
serunya: "Inilah."
Khong-kok-lan langsung menghunus pedang itu, sarung pedang
dibuang, sekali membalik pergelangan tangan, baru saja ia hendak
........
Tiba-tiba dilihatnya bayangan seorang berbaju hitam melayang
turun di tengah orang banyak. Kiranya seorang perempuan setengah
baya yang masih kelihatan sisa-sisa kecantikannya di masa muda
dahulu. Sayang alisnya berkerut dirundung kesusahan, wajahnyapun
pucat pasi.
"Ibu!" mendadak Ji Bun menjerit sambil menubruk maju dan
memeluk kaki orang, maka pecahlah tangisnya sejadi-jadinya.
Perempuan baju hitam ini ternyata adalah isteri Ji Ing-hong yang
kedua atau ibu kandung Ji Bun.
Air mata Lan Giok-tin berlinang-linang katanya kepada Ji Bun:
"Nak, jangan menangis, bangunlah!"
Mana bisa Ji Bun membendung rasa rindu dan kepedihan hatinya,
tangisnya malah semakin keras. Lan Giok-tin memegangi sebuah
kotak persegi yang terbungkus kain sutera, katanya; "Inilah Hud-
sim, siapa yang akan menerimanya?"
Toh Ji-lan menyebut Buddha, katanya: "Serahkan kepadaku!"
Setelah terima kotak itu, dia mundur ke samping.
"Ing-hong," kata Lan Giok-tin tiba-tiba sambil berpaling kepada Ji
Ing-hong yang bersimpuh di tanah, "urusan sudah selarut ini,
terpaksa aku harus bicara?"
Terpentang kedua biji mata Ji Ing-hong, sinar buas masih
menyala, tapi lekas sekali tertunduk pula, katanya lesu:
"Katakanlah!"
Lan Giok-tin tarik Ji Bun, katanya dengan terguguk: "Nak,
bangunlah, dengarkan penuturanku."
Ji Bun menyeka air mata sambil berdiri, sekujur badannya
gemetar.
Thong-sian Hwesio merangkap kedua tangan, katanya kepada
Lan Glok-tin, "Ji-hujin, Pinceng adalah Ciu Tay-han, tertua Jit-sing-
pat-ciang dulu."
"Aku tahu," Lan Giok-tin mengangguk.
"Bu!" seru Ji Bun pula dengan sedih,
Lan Giok-tin menarik napas panjang, dia kesut air mata yang
hampir meleleh, mendadak rona wajahnya berubah, seperti bertekad
ambil putusan, lalu katanya: "Aku bukan ibumu!"
"Apa katamu?" teriak Ji Bun gemetar sambil melangkah mundur.
Lan Giok-tin melirik ke arah Siangkoan Hong, lalu berkata pula
dengan suara yang menggetarkan hati orang: "Ji Ing-hong juga
bukan ayah kandungmu."
Terbelalak mata Ji Bun, mulutpun melongo, lama baru keluar
suara gemetar dari kerongkongannya yang kering: "Aku ...... apakah
aku masih hidup? Aku sedang mimpi? Atau .....”
"Nak, ini bukan mimpi, tapi kenyataan. Ayah kandungmu adalah
dia!" tiba-tiba tangannya menunjuk Siangkoan Hong.
Berubah hebat air muka Siangkoan Hong, kaget dan melongo dia
awasi Lan Giok-tin.
Dengan kepalan tangan Ji Bun menjotos kepala sendiri,
teriaknya: "Aku tidak tahan, aku ....... aku tidak tahan. O, Thian,
apakah yang terjadi ini?"
Kata Lan Giok-tin lebih lanjut sambil menatap Siangkoan Hong:
"Siangkoan Hong, Ji Bun ini, adalah putera yang dilahirkan isterimu
Cu Yan-hoa dulu. Tiga hari sebelumnya kebetulan aku juga
melahirkan anak perempuan, sayang dua hari kemudian dia
meninggal. Semula Ing-hong hendak mencekiknya mati, akulah yang
mencegahnya karena tidak tega. Sejak itu dia kuasuh dan
kubesarkan seperti anakku sendiri. Kukira rahasia ini tidak di ketahui
orang lain sampai sekarang, maka sebenarnya anak ini bernama
Siangkoan Bun. Kini tibalah saatnya dia kembali keharibaan ayah
kandungnya sendiri."
Sudah tentu hadirin sama bingung dan melongo akan kejadian
ini. Dalam sedetik ini, Ji Bun baru betul-betul sadar dan mengerti,
pantas Ji Ing-hong yang semula dianggap ayah kandung sendiri
berulang kali berusaha membunuhnya, karena sebab inilah, sungguh
mengerikan, aneh dan mustahil, tapi toh nyata. Malah dia pernah
bersumpah menuntut balas dengan kedua tangan sendiri terhadap
musuh itu dan dia ternyata adalah ayah kandungnya sendiri.
Mendadak Siangkoan Hong memburu maju memeluk Ji Bun alias
Siangkoan Bun, air mata bercucuran, sepatah katapun tak kuasa dia
ucapkan.
Lekas Siangkoan Bun bertekuk lutut menyembah kepada ayah
kandungnya, teringat akan kematian ibu kandungnya, Cu Yan-hoa
yang mengenaskan, tiba-tiba dia angkat kepala dan mendelik murkra
ke arah ...... Ji Ing-hong.
Dengan penuh kebencian dan dendam Ji Ing-hong berteriak:
"Lan Giok-tin ...... kau ........ bagus .....”
"Nak, dengarkan aku bicara," kata Lan Giok-tin tanpa hiraukan
seruan Ji Ing-hong, "kusuruh seorang yang bernama Ui Bing antar
Tok-keng padamu, kau sudah menerimanya?"
Mendadak Ji Bun angkat kepala, sahutnya sedih: "Sudah
kuterima, Ui-toako sudah ... sudah meninggal."
Terbukti sudah bahwa Ui Bing terbunuh oleh kawanan Duta Ngo-
hong-kau yang berjumlah empat orang itu, tapi akhirnya merekapun
mampus keracunan. Sementara paderi Siau-lim mendapat titipan Ui
Bing sebelum ajal, namun Hwesio itupun mati keracunan sehingga
hampir saja menimbulkan salah paham.
"Nak, Thian-thay-mo-ki pernah menolong jiwamu dengan
darahnya, itu kusaksikan sendiri, sekarang dia ....... sudah mati."
Ji Bun manggut-manggut, perempuan baju hitam yang misterius
seperti yang pernah diceritakan oleh Thian-thay-mo-ki dulu ternyata
adalah Lan Giok-tin.
"Beberapa kali Ji Ing-hong hendak membunuhmu, tapi gagal.
Sebetulnya dia harus insaf dan menghentikan niat jahatnya, karena
rahasia riwayatmu tiada orang lain yang tahu. Tapi karena codet di
kepalanya itu tak bisa hilang, terpaksa dia nekat, dan aku harus
malu dan menista perbuatannya, betapapun aku adalah isterinya.
Sekarang aku mengingkarnya demi kebenaran, maka sejak kini
putuslah hubungan suami isteri, aku ..... .." belum habis dia bicara,
tiba-tiba ia roboh binasa, dia bunuh diri dengan memutus urat nadi
sendiri.
Mendadak Ji Bun melompat ke depan Ji Ing-hong, telunjuknya
menuding Hoat-wan di telapak tangan yang lain, bentaknya bengis:
"Ji Ing-hong, kau pantas dicincang, demi menegakkan ....... aturan
perguruan, telanlah ini untuk mengakhiri hidupmu."
Ji Ing-hong menarik napas, dia terima Hoat-wan tanpa bicara
terus ditelan kontan iapun roboh telentang dan amblas jiwanya.
Khong-kok-lan menjerit pilu, ia menubruk maju dan ayun pedang
memenggal kepala Ji lng-hong, lalu berteriak: "Han-bun, tunggulah
aku!"
Tahu-tahu pedangnya menggorok leher sendiri, gerakkannya
terlalu cepat dan tak terduga, orang lain tak sempat mencegah atau
menolongnya lagi.
Hun-tiong Siancu maju mendekat, Siangkoan Hong tarik
Siangkoan Bun ke dekatnya, katanya: "Nak, inilah ibu muda. Dulu
kebetulan ayah bersua dengan Pek-ciok Sinni, kepada beliau aku
belajar silat dan berhasil. Akhirnya aku menikah dengan ibumu ini
dan melahirkan adikmu Ci-hwi...."
"O, mana adik?"
"Ai, nasibnya memang jelek, sekarang berada di atas gunung,
mengasuh anaknya yang tak berdosa itu."
Ji Bun diam saja, sungguh tak nyana bahwa gadis baju merah
yang dulu memikat hatinya itu ternyata adalah adiknya dari lain ibu,
sungguh luar biasa.
Siangkoan Hong segera memerintahkan anak buahnya menolong
yang terluka dan mengubur yang mati.
Pada suatu kesempatan Ciang Wi-bin tarik Siangkoan Hong
menyingkir dari orang banyak. Entah soal apa yang mereka
bicarakan dengan bisik-bisik, lalu Siangkoan Hong panggil Siangkoan
Bun: "Nak, bagaimana persoalanmu dengan nona Bing-cu.”
Thian-thay-mo-ki telah meninggal, tiada alasan lagi yang dapat
Siangkoan Bun katakan, terpaksa ia menjawab: "Terserah kepada
putusan ayah."
"Baiklah, kita putuskan," ujar Siangkoan Hong kepada Ciang Wi-
bin, "sebulan lagi kami ayah dan anak akan berkunjung ke rumahmu
untuk mengajukan lamaran."
Ciang Wi-bin tergelak-gelak, katanya senang: "Baiklah, sekarang
aku mohon diri."
Ciang Wi-bin lantas berangkat sambil menggandeng tangan Ciang
Bing-cu.
Siangkoan Bun bertanya dengan tak mengerti: "Bukankah selat
lembah sana sudah diledakan dan buntu?"
"Dari Lan Giok-tin, Ciang Wi-bin sudah mendapat tahu jalan
rahasia lain," tutur Siangkoan Hong.
Setelah semua orang bekerja keras, haripun sudah hampir
magrib, dengan langkah berat rombongan Siangkoan Hong ramai-
ramai meninggalkan lembah itu melalui jalan rahasia.
TAMAT
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar