Cersil Bayangan Berdarah 3: Serial Kunci Wasiat

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Senin, 03 Oktober 2011

“Heee…! kepandaian silat yang dimiliki Siauw heng benar-benar luar biasa hebatnya.
Selama hidup aku Sang Pat baru kali ini benar-benar terbuka sepasang matanya.”
Ia merandek, setelah menghela napas panjang lagi sambungnya, Selama hidup bukan
satu kali saja menderita kalah dalam adu kepandaian kali ini benar-benar sangat
mengenaskan. Ia lantas menoleh dan memandang sekejap ke arah Tu Kiu.
“Bagaimana dengan dirimu?” tanyanya lirih.

“Urusan apa?” untuk beberapa waktu Tu Kiu masih belum mengerti apa yang
dimaksudkan saudaranya.
Sang Pat mendehem perlahan. “Aku sudah menyanggupi jikalau sampai menderita
kalah di tangan Siauw Ling maka selama hidup harus mendengarkan seluruh perintahnya
tapi urusan ini jauh lebih berat dari kematian seseorang walaupun sudah aku sanggupi
tapi aku tidak ingin memaksa kaupun mengikuti tindakanku ini.”
Tu Kiu termenung tidak bicara tapi dari perubahan matanya menunjukkan bila dihatinya
sedang bergolak sangat keras, lama sekali ia baru menyahut, “Bagaimana menurut
pendapat Toako, apakah kau sungguh-sungguh hendak mengikuti dirinya dan selama
hidup mendengarkan perintahnya??”
“Perkataan yang sudah kuucapkan kapankah pernah diingkari kembali? tapi kau tidak
pernah menyetujui dengan mulut sendiri karena itu kau tak terhitung dalam perjanjian ini,
rasanya saat inilah merupakan satu-satunya jalan bagimu untuk melepaskan diri dari
belenggu.”
Di dalam hati Siauw Ling mengerti tindakan yang diambil kedua orang ini merupakan
keputusan terakhir yang mempengaruhi penghidupan seumur hidupnya, maka dari itu ia
tidak ikut menimbrung dalam perundingan tersebut.
Tu Kiu kelihatan sangat bersedih hati setelah berjalan bolak balik mengelilingi dua
lingkaran, akhirnya ia bertanya, “Apakah caramu itu?”
“Jikalau pada saat ini juga kau putuskan hubungan dengan diriku, mengurat tanah
memisahkan dunia dan sejak kini tidak saling mengurusi satu sama lain maka kau tidak
usah terikat lagi dengan perjanjian ini.”
Tampak Tu Kiu menegakkan kepala menghembuskan napas panjang, akhirnya ia
salurkan hawa murni mengelilingi seluruh tubuh dan berkelebat pergi dari tempat itu.
Gerakannya cepat laksana sambaran petir di dalam sekejap mata sudah lenyap dari
pendangan.
Perlahan-lahan Siauw Ling menghembuskan napas panjang.
“Perjanjian sepatah kata saja bisa mempengaruhi penghidupan seumur hidup, tidak
aneh kalau ia jauh-jauh meninggalkan dirimu,” katanya perlahan.
“Adik angkatku tak bakal jadi seorang manusia segoblok itu,” Sang Pat menggeleng
berulang kali. “Jikalau ia mau pergi maka ia bisa pergi dengan blak-blakan, dan tak
mungkin berlalu dengan menyeret lumpur membawa air. Tapi urusan ini meyangkut suatu
kejadian yang besar, untuk beberapa waktu, ia merasa susah untuk ambil keputusan.”
Ia merandek sejenak, kemudian tambahnya, “Cayhe ada satu urusan ingin mohon
bantuan dari Siauw heng!”
“Asalkan aku bisa laksanakan sudah tentu tak bakal kutolak.”

“Jikalau adikku ambil keputusan untuk putuskan hubungan dan memisahkan diriu
dengan diriku aku berharap Siauw heng dengan memandang di atas wajahku suka
melepaskan dirinya pergi tanpa diganggu.”
Tampak sesosok bayangan manusia laksana sambaran kilat meluncur datang, setelah
mengitari kedua orang itu dua kali kemudian berkelebat lagi dari tempat itu.
Siauw Ling dapat melihat jelas kalau orang itu bukan lain adalah Tu Kiu, sambil
busungkan dada segera menyahut, “Sang heng tidak usah terlalu bersedih hati , orangorang
Bulim memandang janji lebih berat daripada mati, tapi jika Sang heng ada sedikit
menyesal terhadap janji kita ini, sekarang juga kau berlalu dari sini.”
dari sepasang matanya tiba-tiba Sang Pat memancarkan cahaya yang bukan alang
kepalang tapi sebentar kemudian sudah lenyap tak berbekas ia menghela napas panjang
lagi.
“Selama hidup aku Sang Pat belum pernah mengingkari janji yang telah aku ucapkan
kawan-kawan Bulim bisa pandang tinggi Tiong Cho Siang-ku justru dikarenakan persoalan
ini dan aku orang she Sang pun mengandalkan hal ini merantau dalam dunia persilatan.
Semboyanku seumur hidup adalah kepala boleh putus darah boleh mengalir tapi
kepercayaan tak boleh dinodai.”
Tiba-tiba terdengar suara langkah manusia berkumandang datang. Tu Kiu muncul
kembali disana dan langsung berhenti dihadapan orang itu.
“Toako,” katanya lambat. “Siauwte telah lama berpikir dan akhirnya berhasil mengambil
keputusan.”
“Haaa haaa… aku sudah membicarakan persoalan ini dengan diri Siauw heng” potong
Sang Pat tertawa tergelak. “Ia berjanji tak akan menghalangi kepergianmu. Harta karun
yang kita berdua kumpulkan hampir separoh hiduppun mulai sekarang boleh dihitung
milikmu seorang.”
“Setelah siauwte pikir pulang balik akhirnya aku merasa jauh lebih baik mengikuti diri
Toako saja,” sambung Tu Kiu lebih lanjut. “Perduli pergi keujung langit atau sudut
samudra naik gunung golok hutan pedang selama hidup tak akan berpisah dengan
dirimu.”
“Kau tak pernah menyanggupi persoalan ini dengan mulutmu sendiri, dan kau masih
berhak untuk tinggalkan tempat ini, buat apa kau mencari susah dengan mendengarkan
perintah orang selama hidup? kau…” teriak Sang Pat dengan alis berkerut.
“Aku tahu tentang soal ini, tetapi setelah Toako menyanggupi bukankah sama halnya
pula dengan siauwte yang menyanggupi sendiri?”
Ucapan yang begitu bersahabat walaupun membawa hawa hangat bagi yang
mendengar, tapi kedengarannya tetap dingin pula yang meluncur keluar dari mulutnya.
Akhirnya Sang Pat menghela napas panjang.
“Kalau begitu akulah yang telah mencelakai dirimu?”

“Kalian berdua suka membantu aku mencari enci Gak, hatiku sudah merasa sangat
berterima kasih” tiba-tiba Siauw ling merangkap tangannya seraya menjura. “sejak ini ada
baiknya kita sebut masing-masing pihak sebagai saudara tak ada urutan kedudukan dan
tak perlu bicarakan soal turut perintah sepanjang hidup yang tak sedap didengar.”
Sang Pat mendongak dan tertawa terbahak-bahak.
“Haa haaa… usia Siauw heng tidak besar tapi kelapangan dadamu melebihi orang lain,
jikalau demikian adanya kami berduapun tidak akan menampik lagi, sejak detik ini Siauw
heng adalah Liong Tauw Toako kami.”
“Usia Siauwte masih sangat muda, mana boleh menjadi Liong Tauw Toako kalian.”
“Dalam kalangan Bulim siapa yang kuat dialah di atas tidak pernah urutan ditentukan
menurut usia. Toako terimalah satu penghormatan kami?” seru simanusia gemuk she Sang
inicepat.
Diikuti Tu Kiu mereka berdua jatuhkan diri berlutut dan menjalankan penghormatan
besar.
Buru-buru Siauw Ling balas memberi hormat dengan berlutut pula, dengan demikian
mereka berada saling berhadap-hadapan.
“Siauw Toako!” tiba-tiba Tu Kiu berseru. “Kami sebagai saudaramu ada beberapa patah
kata yang rasanya tidak sesuai diutarakan, entah bolehkah kuucapkan keluar?”
“Dalam soal pengalaman dunia kangouw diriku tak dapat menandingi kalian berdua,
dalam persoalan ini justru aku ingin mendapat banyak petunjuk dari kalian.”
“Toako terlalu memuji.”
Perlahan-lahan Tu Kiu mendongak memperhatikan bintang yang bertaburan diangkasa,
mendehem beberapa kali sambungnya, “Janji kita malam ini akan berlaku selama hidup
oleh sebab itu ada baiknya Siauwte bicara blak-blakan dulu sejak kini kami akan dengar
perintah Toako. Mengenai orang lain perduli ia mempunyai hubungan atau kedudukan
apapun dengan diri Siauw Toako kami tak suka jual muka buat mereka.”
“Ehmm, soal ini sih terserah kemauan kalian berdua,” kata Siauw Ling sesudh
termenung sejenak.
“Siauwtepun ada beberapa patah kata rasanya tidak enak bila tidak kuutarakan keluar”
sela Sang Pat pula dari samping. “Kepandaian silat yang Toako miliki saat ini apakah hasil
pelajaran dari sibayangan berdarah Jen Bok Hong?”
“Bukan! ketiga orang cianpwee yang memberi pelajaran silat kepadaku sudah lama
mengundurkan diri dari dunia persilatan kendati kuberitahukan belum tentu kalian berdua
tahu.”
Usia masih muda bila dibandingkan dua orang lelaki dihadapannya boleh dikata terpaut
berpuluh-puluh tahun lamanya. Ia merasa canggung untuk menyebut mereka dengan
sebutan adik.

“Haaa… haaa jika Toako punya kesulitan untuk memberitahukan soal ini kepada kami
biarlah kita sudahi saja omongan kita sampai disini, dan apabila tiada halangan bagaimana
kalau diberitahukan kepada Siauwte berdua?” Sang Pat tertawa terbahak-bahak.
Terhadap keberhasilan Sian Siauw memiliki ilmu silat yang maha dahsyat dalam lima
tahun saja hati mereka benar-benar tidak paham. Otak penuh dengan hal yang
mencurigakan hatinya.
“Setelah menjadi saudara berarti kita telah menjadi orang sendiri memberitahukan
selain kepada kalian berdua sudah tentu tiada halangan cuma kamu berduapun harus
berjanji tidak akan menceritakan persoalan ini kepada siapapun juga.”
“Toako boleh berlega hati!” seru Tu Kiu dengan cepat. “Siauwte berdua tak akan
sembarangan menceritakan asal usul Toako kepada siapapun juga.”
Nada suara orang ini selalu membawa rasa dingin dan ketus yang tidak sedap didengar
kendati ia sudah berusaha menghaluskan dan melemahkan suaranya tetap saja ucapannya
memberikan perasaan bergidik bagi siapapun juga.
“Seluruh kepandaian ilmu silatku ini kudapatkan dari tiga orang jagoan maha sakti
mereka adalah Giehu ku Lam Ih Kong, suhuku Cung San Pek serta nona Liuw Sian Ci.”
“Apa? mereka bertiga masih hidup dikolong langit?” teriak Sang Pat dengan mata
terbelalak.
“Benar mereka tinggal dilembah Sam Sin Kok” Teringat sewaktu perpisahannya dengan
ketiga orang tua itu Siauw Ling merasa hatinya kecut air mata hampir saja jatuh berlinang.
“Pengalaman aneh yang Toako temui benar-benar luar biasa berhasil mendapat
bimbingan serta didikan dari ketiga orang Locianpwee ini tidak aneh kalau dibandingkan
yang Toako miliki jauh melampaui aturan Bulim yang berlaku hingga sekarang.”
“Kejahatan-kejahatan yang dilakukan sibayangan berdarah Jen Bok Hong sudah
menggemparkan seluruh dunia kangouw pada sepuluh tahun berselang,” sambung Tu Kiu
pula. “Setelah Toako berhubungan dengan dirinya harap kau suka banyak berhati-hati.”
Jilid 22
“Benar Siauw Toako Jan Bok Hong Ciu Cau Liong merupakan manusia-manusia cilik
yang berhati keji telengas dan banyak akal mereka paling suka melakukan serangan
bokongan terhadap jago-jago golongan Pekto dan melakukan perbuatan-perbuatan
pengecut mereka suka bersahabat dan mengikat tali persaudaraan dengan Toako aku rasa
dibalik kesemuanya ini masih tersembunyi maksud-maksud lain. Aaai sebenarnya Toako
tak boleh siauwte ikut campur tapi persoalan ini menyangkutnya keselamatan Toako harap
Toako banyak berhati-hati.”
“Lebih baik Toako jangan ceritakan peristiwa yang terjadi malam ini kepada mereka
berdua, sehingga tidak sampai menimbulkan rasa curiga mereka terhadap dirimu,”
sambung Tu Kiu.

Belum sempat Siauw Ling membuka suara, Sang Pat sudah berebut bicara lagi.
“Agaknya pada beberapa hari ini dalam dunia kangouw sedang terjadi gelombang besar
hanya saja disebabkan perhatian Siauwte tercurahkan semua untuk menguntit dan
menyelidiki Lan Giok Tong dengan harapan bisa mendapatkan jejak nona Gak maka
terhadap persoalan lain tidak begitu kami perhatikan! Sekarang juga kami akan pergi
melakukan penyelidikan setelah ada kabar baru datang kembali untuk kasih kabar kepada
Toako.”
“Bagaimana?? Apakah antara Lan Giok Tong dengan enci Gak ku tersangkut suatu
hubungan tertentu?” sela Siauw Ling dengan hati cemas.
“Hingga detik ini belum berhasil kami dapatkan tanda-tanda, maka siauwte berdua tidak
berani berbicara sembarangan,” jawab Tu Kiu dengan serius. “Harap Toako suka bersabar
beberapa hari. Sesudah ada kabar tentu kami laporkan kepada Toako.”
Ia merandek sejenak untuk tukar napas setelah itu sambungnya lebih lanjut, “Lan Giok
Tong menyaru dengan menggunakan nama besar Toako baru berjalan satu tahunan
lamanya, tapi sudah cukup menggemparkan seluruh dunia persilatan. Asal usul ornag ini
masih penuh diliputi kemisteriusan, masih merupakan tanda tanya besar buat kita. Dalam
soal jurus pedangnya betul-betul keji, telengas dan dahsyat. Selama beberapa waktu ini
Siauwte belum pernah melihat dia orang bergebrak melawan musuhnya melampaui dua
jurus, begitu cabut pedang menyerang pihak lawan apabila bukan mati tentu terluka
parah. Toako dilain waktu apabila berjumpa dengan nona ditepi sungai sebelah sana, maaf
tak cepat lama menemani Toako serta Jie ko juga.”
Tubuhnya berputar lalu meloncat satu tombak kemuka kemudian dalam dua tiga kali
loncatan saja telah lenyap dibalik kegelapan.
“Sebelum berjumpa dengan Toako siauwte sekalian hanya pusatkan semua perhatian
untuk menyelidiki dan mencari tahu jejak nona Gak” kata Sang Pat sambil tertawa. “Tapi
mulai saat ini, siauwtepun harus ikut memperhatikan juga semua gerak-gerik serta situasi
dalam dunia persilatan kini Toako bergaul dengan manusia-manusia ganas, harap dalam
setiap gerakan suka berhati-hati, siauwtepun mohon diri terlebih dulu.”
“Eeei… tunggu sebentar dikemudian hari secara bagaimana kita saling berjumpa lagi?”
“Bila kami ada urusan penting sudah tentu bisa datang mencari Toako sendiri untuk
sampaikan berita sedangkan bila Toako yang ada urusan kau boleh tinggalkan kode
rahasia untuk memberi petunjuk kepada kami.”
Si Siepoa emas inipun lantas memberitahukan kode rahasia mereka kepada diri Siauw
Ling.
Orang ini benar-benar sangat teliti habis memberitahukan kode rahasia ia masih belum
juga merasa berlega hati sembari berpaling menuding ruangan sebelah timur
sambungnya, “Setelah dalam dunia persilatan terjadi suatu perubahan besar kemungkinan
besar kita bersaudara susah untuk mengadakan hubungan atau mungkin karena sulitnya
persoalan siauwte tak ada kesempatan untuk menemui Toako maka Toako boleh mencari
laporan siauwte sekalian dari dalam sebuah peti mati yang ada di dalam ruanga ersebut
menghadap ke arah selatan tapi Toakopun harus tahu cara hubungan macam begini

merupakan suatu tindakan yang sangat berbahaya pada hari-hari biasa jangan sekali-kali
digunakan Toako baik-baiklah kau berjaga diri.”
Sesudah menjura ia putar badan dan berlalu. Sembari memandang lenyapnya
bayangan Sang Pat dalam hatinya Siauw Ling merasa yang dilontarkan kedua orang itu
berulang kali kepada Siauw Ling mulai merasakan hatinya bimbang dan ragu.
Teringat situasi waktu tempo dulu Ciu Cau Liong sekalian memaksa ia angkat
bersaudara dirasakan situasinya kurang beres apalagi setelah terjebak dalam lingkaran
setan mereka.
“Tapi kini nasi sudah menjadi bubur menyesalpun telah terlambat asalkan mulai saat ini
bertindak lebih hati-hati mungkin keadaannya akan jauh lebih baikan.”
Setelah pikiran itu berkelebat lewat ia mulai merasa pengetahuannya agak mendadak
kemajuan ia mendongak dan menghembuskan napas panjang lalu berjalan meninggalkan
kuil bobrok itu kembali keperkampungan Pek Hoa Sanceng.
Malam semakin kelam angin dingin berhembus sepoi-sepoi selama perjalanan Siauw
Ling berlari cepat, menanti hampir tiba diperkampungan Pek Hoa Sanceng ia baru
perlambat langkah kakinya.
Mendadak tampak sesosok bayangan hitam laksana sambaran kilat berkelebat lenyap
dibalik kegelapan.
Melihat munculnya sesosok bayangan manusia disekitar tempat tersebut, Siauw Ling
merasakan hatinya rada bergerak.
“Siapakah orang itu?” pikirnya. “Di tengah malam buta melakukan perjalanan dengan
gugup bahkan tidak memilih jalan besar. Arah tujuanpun agaknya perkampungan Pek Hoa
Sanceng. Aku harus cegah dan awasi perbuatannya.”
Bayangan hitam yang muncul secara mendadak tadi kini telah berada kurang lebih lima
kaki di depan Siauw Ling bahkan gerakan tubuhnya sebat dan lincah, dalam sekali
kelebatan telah lenyap di tempat kegelapan.
Hatinya jadi ragu-ragu. Mendadak dari belakang tubuhnya kembali berkumandang
suara derapan kuda yang memecahkan kesunyian di tengah malam buta.
Ia menoleh sesosok bayangan kuda bagaikan sambaran kilat menerjang datang!
“Ooouw… sungguh cepat larinya kuda ini,” diam-diam pemuda she Siauw memuji.
Pikiran tadi baru saja berkelebat lewat kuda jempolan tadi sudah berada di depan mata.
Seorang lelaki berpakaian singsat warna hitam duduk di atas pelana dengan tegap dan
angkernya.
Belum sempat Siauw Ling melihat jelas siapakah orang itu, orang yang ada di atas kuda
telah keburu membentak terlebih dahulu.
“Siapa?”

Sreet! Sebuah serangan cambuk yang keras meluncur datang dengan dahsyatnya.
Melihat dirinya diserang Siauw Ling jadi naik pitam, pikirnya, “Kurang ajar! orang ini
benar-benar sangat gegabah sebelum tahu pihak lawan musuh atau kawan langsung
melancarkan serangan cambuk sedahsyatnya… aku harus kasih sedikit ajaran kepadanya.”
Tangan kiri diayun kesamping balas mencengkeram datangnya serangan cambuk dari
orang itu.
Kepandaian silat yang dimiliki simanusia berbaju hitam ternyata lumayan juga,
pergelangan tangan kanannya disendat cambuk tadi secara tiba-tiba ditarik kembali.
Larinya kuda jempolan tersebut sungguh mengejutkan sekali ketika orang tadi menarik
kembali serangan cambuknya kuda tunggangannya itu sudah lari dua tombak
menggagalkan Siauw Ling dibelakang.
Pemuda she Siauw yang tidak ada angin tiada hujan kena diserang orang hawa gusar
segera memuncak, hawa murni disalurkan mengelilingi seluruh tubuh siap menggunakan
ilmu meringankan tubuhnya melakkan pengejaran. Siapa nyana mendadak kuda tersebut
berputar kalangan kemudian meluncur datang lagi dengan tidak kalah cepatnya, cambuk
panjang sekali lagi menyambar datang.
Kali ini Siauw Ling sudah bikin persiapan, tidak memberi kesempatan orang itu menarik
kembali cambuknya tangan kanan dibalik keluar, dengan jurus Poh Im Ci Seng atau
memecah awan memetik bintang kelima jarinya merapat dan tahu-tahu cambuk tersebut
sudah kena dicekal olehnya.
Gerakan Siauw King yang cepat dan tepat pada sasarannya ini membuat si orang
berbaju hitam yang ada di atas pelana kuda merasa terperanjat ia mendengus dingin.
“Lepas tangan!”
Cahaya hitam berkilat dengan membawa desiran tajam membabat pergelangan kanan
Siauw Ling.
“Serangan yang dilancarkan orang ini amat cepat babatan pedangnya!” teriak Siauw
Ling dalam hati dengan perasaan terperanjat.
Tangan kanan menyentak ke bawah menarik cambuk tersebut makin mengencang,
tangan kiri dengan jurus Lan Siang An Song atau harum semerbak sebar meluas, kelima
jarinya separuh menekuk separuh menyentil membabat urat nadi orang itu.
Agaknya si orang berbaju hitam yang ada di atas kuda tahu dia lihay, walaupun tidak
sampai menjerit tertahan “Ilmu golok jalan darah Lan Hoa Hu Hiat” tangannya sudah
melepaskan sang cambuk diikuti badannya meloncat turun dari pelana.
Kaki kanan Siauw Ling diangkat merebut posisi Tiong Kong menerjang terus kemuka,
tangan kiri laksana sambaran petir membabatkan empat buah serangan ke arah seluruh
tubuh pihak lawan.

Ilmu pukulan kita “Lian Huan San Tien Ciang Hoat” dari Lam Ih Kong merupakan ilmu
silat terdahsyat dalam Bulim, kecepatan menyerang, keruwetan perubahan susah diikuti
dengan pandangan mata.
Keempat buah serangan itu memaksa si orang berbaju hitam kena terdesak dan
beruntun mundur empat depa ke belakang.
Sewaktu orang berbaju hitam itu meloncat turun dari punggung kudanya pedang
panjang sudah disilangkan di depan dada siap melancarkan serangan.
Siapa nyana gerakan Siauw Ling jauh lebih cepat sekali meloncat empat buah serangan
sudah meluncur keluar merebut posisi di atas angin si orang berbaju hitam itu kontan saja
kena terdesak bukan saja tiada bertenaga untuk melancarkan serangan balasan bahkan
untuk menangkispun tidak sanggup. Tapi bagaimanapun ilmu silat yang dimiliki tidak
lemah. Menanti keempat buah serangan Siauw Ling sudah lewat dan situasi ia mengendor
ia segera melancarkan serangan balasan.
Pedang panjang bergerak gencar cahaya tajam menyebar keempat penjuru teteran
pedang menciptakan bunga-bunga pedang mengurung seluruh tubuh pemuda itu
memaksa Siauw Ling terdesak mundur dua langkah ke belakang. Hawa gusar dalam dada
Siauw Ling makin memuncak.
“Kurang ajar!” pikirnya dihati. “Aku tidak saling mengenal dengan orang itu, tiada pula
dendam sakit hati tapi serangannya sangat keji dan ganas aku harus kasih sedikit ajaran
kepadanya.”
Ketika ia siap melancarkan serangan gencar, mendadak suara bentakan yang sangat
dikenal berkumandang datang, “Heei, kalian cepat berhenti! kalian berhenti, orang sendiri?
kita semua orang sendiri!”
Sesosok bayangan manusia dengan cepatnya berlari mendekat.
Pertama-tama si orang berbaju hitam itu meloncat mundur dulu ke belakang seraya
tarik kembali pedangnya dan berdiri serius.
“Tidak mengetahui kehadiran paman kedua, siauwtit mohon maas sebesar-besarnya.”
Sembari menjura penuh rasa hormat.
Siauw Lingpun berpaling, dilihatnya orang itu memakai baju perlente, sikapnya jumawa
sekali.
Orang itu bukan lain adalah Jie Cungcu dari perkampungan Pek Hoa SancengCiu Cau
Liong adanya.
Kelihatan Ciu Cau Liong sembari ulapkan tangannya ia tersenyum.
“Saudara ini adalah Siauw Sam siok mu, cepat beri hormat kepadanya.”
Dengan termangu-mangu si orang berbaju hitam itu memandang Siauw Ling lama
sekali ia baru menjura.

“Siauw tit Tan Siong Cang menghunjuk untuk paman Siauw sam siok.”
Dengan tajam diperhatikannya orang itu Siauw Ling temukan Tang siong Cang berusia
dua puluh empat lima tahunan, wajahnya hitam pekat bagaikan pantat kuali tapi
memancarkan sinar cemerlang. Matanya bulat besar dengan mulut yang lebar, sepasang
alisnya hitam lagi tebal, tampangnya benar keren.
Usia orang ini lebih besar beberapa tahun dari usia Siauw Ling kini ia memberi hormat
kepadanya dengan begitu hormat bahkan memanggil dirinya dengan sebutan paman
Siauw sam siok dalam hati Siauw Ling merasa sangat tidak enak.
Buru-buru ia memberi hormat. “Tidak… tidak berani Tan heng.”
“Tua muda ada urutannya tingkatan kedudukan ini tidak boleh dikacau balaukan samte
kau tidak usah sungkan-sungkan lagi!” teriak Ciu Cau Liong cepat.
Tan Siong Cang dengan membelalakkan sepasang matanya yang bulat besar
memperhatikan Siauw Ling terus menerus tidak berkedip.
Akhirnya Siauw Ling mendehem pelan.
“Tan Hian tit tidak perlu banyak hormat lagi!” serunya.
Ciu Cau Liongpun tersenyum.
“Tan Hian tit adalah murid kesayangan Toako yang dikirim keluar perbatasan pada dua
tahun berselang malam ini baru untuk pertama kali balik keperkampungan tidak aneh
kalau ia tahu akan diri Samte yang sudah angkat saudara dengan kita semua kesalahankesalahan
ini mohon Samte jangan pikirkan dalam hati.”
“Tindak tanduk Siauwte sendiri yang kasar dan berangasan hal ini tak dapat
menyalahkan Tan Hian tit.”
“Siauw tit tidak mengenal paman Sam siok semua dosa siauw tit rela menerima
hukaman kembali,” Tan Siong Cang menjura.
Merah padam selelmbar pipi Siauw Ling.
“Sudah, sudahlah, kesalahan terletak dikedua belah pihak, tidak usah kita ungkap lagi
persoalan ini.”
“Pepatah ada mengatakan siapa yang tidak tahu ia tidak salah, Hian titpun tidak perlu
menyesal lagi,” sambung Ciu Cau Liong dengan cepat seraya tertawa. “Kepandaian silat
paman Siauw Sam siok mu luar biasa sekali. Dikemudian hari kau harus banyak minta
petunjuk darinya.”
“Jie ko! kau tidak usah meninggi-ninggikan siauwte lagi, kepandaian silat yang dimiliki
Tan Hian tit tidak berada di bawah kepandaian siauwte.”
“Semuanya adalah orang sendiri, Samte tak usah terlalu merendahkan diri lagi.”
Sinar matanya perlahan-lahan dialihkan kepada Tan Siong Cang kemudian tambahnya.

“Setelah Hian tit memperoleh penghargaan dari suhumu perjalananmu keluar
perbatasan tentu berhasil peroleh hasil yang gilang gemilang bukan?”
“Soal ini sih bisa dikatakan, beruntung tidak kehilangan nyawa.”
Ia merandek sejenak, lalu ujarnya lagi, “Bagaimana dengan keadaan luka suhuku?”
“Hian tit tak usah kuatir keadaan gurumu lagi,” kata Ciu Cau Liong sambil tertawa.
“Bukan saja luka suhumu telah sembuh bahkan ilmu sakti Hiat Im Sin kang yang belum
juga berhasil dilatih setelah berjuang mati-matian selama puluhan tahun. Mengambil
kesempatan ini telah berhasil mencapai puncak kesempurnaan bahkan beberapa macam
ilmu silat yang maha lihaypun berhasil disempurnakan semua ditambah lagi adanya paman
Siauw Sam siokmu yang menggabungkan ciri serta keberhasilan Tan Hian tit dengan
tugasmu diluar perbatasan tanda perintah Kiem Hoa Ling dari perkampungan Pek Hoa
Sanceng kita segera akan merajai seluruh Bulim.”
“Sejak suhu menutup diri untuk menyembuhkan lukanya, maka dari itu semua urusan
dalam perkampungan dipikul paman Jie siok seorang, selama beberapa tahun ini paman
tentu amat menderita sekali bukan?”
“Aaah boleh dihitung semuanya aman tentram tak pernah terjadi suatu peristiwa
apapun.”
Tan Siong Cang mendongak dan perhatikan sejenak keadaan cuaca lalu ujarnya,
“Siauwte harus kembali keperkampungan terlebih dulu untuk melaporkan hasil tugasku
selama perjalanannya keluar perbatasan. Paman berdua silahkan berangkat ke belakang.
Maaf Siauw tit harus berlalu dulu.”
“Gurumu sedang menjamu tamu terhormat di atas loteng Wang Hoa Loo, karena tidak
berhasil menemukan Samte dimana-mana. Dari kampung telah dikirim delapan belas
orang jagoan dengan memencarkan diri untuk mencari jejaknya, tidak disangka ternyata
kalian paman dan keponakan sedang bergerak sendiri disini.”
Ia merandek sejenak lalu tertawa tergelak dan sambungnya, “Samte! karena Toako
tidak berhasil temukan dirimu dan tidak ingin pula menyalahi dirimu dan tidak pula
menyalahi tamu terhormat. Sekarang perjamuan sudah dimulai mari kita cepat-cepat
pulang.”
Dengan membawa Siauw Ling mereka lari balik ke dalam perkampungan.
“Jago-jago darimana yang telah datang?” bisik pemuda she Siauw lirih. “Tidak disangka
mereka dapat perlakuan baik dari Toako dan dijamu di atas loteng Wang Hoa Loo.”
“Sampai waktunya Toako akan perkenalkan tamu-tamunya kepada diri Samte apa
gunanya kau gelisah tidak karuan ayo! kita percepat dikit larinya.”
Tiga sosok bayangan manusia bagaikan kilat menyambar meluncur di tengah jalan raya
yang lurus dan lebar.

Walaupun Tan Siong Cang telah bergebrak beberapa jurus dengan Siauw Ling dan
merasakan kepandaiannya tidak lemah, tapi melihat usianya yang amat muda dalam hati
merasa rada tidak puas.
Diam-diam pikirnya dihati, “Suhu memang rada keterlaluan bila ingin mengundang
orang untuk menggabungkan diri seharusnya mencari seseorang yang berusia rada lanjut,
orang ini berusia sangat muda bila suruh aku menghormati dirinya sebagai seorang
angkatan tua dan melayani dirinya, sebagai paman benar-benar hatiku tidak puas.”
Karena mangkelnya menumpuk dalam dada dan susah disalurkan keluar ia ada maksud
mengalahkan Siauw Ling dalam hal ilmu meringankan tubuh sehingga rada mangkel tadi
bisa agak berkurang.
Ia lantas meninggalkan kudanya berlari kencang dalam sekejap mata ia sudah
melampaui Ciu Cau Liong serta Siauw Ling.
Ciu Cau Liong adalah seorang manusia sudah tentu iapun tahu maksud hati Tan Siong
Cang segera dilepasnya cekalan tangan Siauw Ling seraya berseru lirih, “Samte mari kita
berjalan lebih cepat”, dengan sekuat ia meluncur ke depan cepat bagaikan tiupan angin
taupan.
Ilmu meringankan tubuh Siauw Ling memperoleh didikan langsung dari Liuw Sian Ci
dan si Liuw Sia Ci ini merupakan jago Bulim nomor wahid tiada duanya dalam soal ilmu
meringankan tubuh. Kendati begitu Siauw Ling tidak ingin terlalu menonjolkan diri ia selalu
mengejar dari belakang Ciu Cau Liong.
Demikianlah masing-masing pihak dengan tetap menjaga posisi satu depa di belakang
pihak lain laksana sambaran kilat meluncur ke arah perkampungan Pek Hoa Sanceng.
Perjalanan ini tidak lebih dari lima lie melakukan dengan kecepatan tinggi tidak selang
beberapa waktu mereka bertiga telah tiba diperkampungan tersebut.
Mendadak Tan Siong Cang menarik kembali hawa murninya dan berhenti diam-diam ia
atur pernapasan lalu berpaling ke belakang.
Dilihatnya Ciu Cau Liong dan Siauw Ling berdiri sejajar dengan jarak tidak lebih dari
dua depa dibelakangnya.
Air muka Ciu Cau Liong merah padam bagaikan kebanyakan minum air kata-kata
bahkan secara lapat-lapat kedengaran napasnya memburu.
Sebaliknya Siauw Ling tetap tenang seperti belum pernah terjadi sesuatu peristiwa
apapun, hatinya merasa sangat terperanjat.
“Kelihatannya aku dengan paman Ciu Jie siok walaupun sudah berlari dengan sepenuh
tenaga paman Siauw Sam siok cuma mengejar seenaknya saja,” pikirnya dihati. “Untung
sekali perjalanan ini amat pendek dan susah ditentukan siapa menang siapa kalah bila
perjalanan yang harus dilalui sangat jauh bukankah melukis harimau jadinya anjing dan
mencari malu sendiri??”

Tidak terasa lagi rasa kagumnya terhadap Siauw Ling bertambahmenebal Ciu Cau Liong
yang sudah bagaimana dahsyatnya kepandaian silat yang dimiliki Siauw Ling sudah
pikirkan hal ini dalam hati, ia tersenyum.
“Perjalanan hian tit selama dua tahun keluar perbatasan membuat iolmu meringankan
tubuhmu memperoleh kemajuan yang pesat selamat.”
“Karena Siauw tit ada maksud buru-buru menghadap suhu guna menceritakan kisahku
selama bertugas diluar perbatasan maka siauwte harus berlari duluan harapan paman
berdua jangan menyalahkan diriku.”
“Haaa… haaa… melihat kepandaian silat hian tit memperoleh kemajuan pesat kami
sebagai pamannya untuk bergirang hatipun tidak sempat mana mungkin menyalahkan
dirimu lagi.”
Pertama-tama si Cungcu keluar dari perkampungan pek Hoa Sanceng melangkah dulu
keatas loteng Wang Hoa Loo.
Puncak teratas dari loteng Wang Hoa loo terang benderang oleh cahaya lampu secara
lapat-lapat kedengaran juga suaragelak tertawa yang riang gembira.
Ciu Cau Liong memasuki pintu loteng dipaling depan disusul Siauw Ling sedang Tan
Hong Cang mengalah dengan berjalan paling akhir.
Suasana dalam pintu loteng amat angker para penjaga keamanan dengan senjata
terhunus berdiri dan berjaga-jaga di sekeliling tempat itu, penjagaan sangat ketat sekali.
Melihat hal ini diam-diam Siauw Ling berpikir “Kelihatannya tamu yang berkunjung
datang mempunyai asal usul yang tidak rendah.”
Mereka bertiga langsung naik keloteng tingkat ketiga belas, waktu itu perjamuan sudah
dimulai empat orang dayang cantik berdiri dua dikanan dan dua dikir di tengah meja
perjamuan duduk seorang perempuan cantik berbaju putih bersih dengan ukiran bunga
emas di depan dadanya.
Orang kedua berusia empat puluh tahunan dengan jubah biru langit serta jenggot
hitam terurai sepanjang perut wajahnya merah padam bagaikan bocah.
Siauw Ling merasa wajah orang ini sangat dikenal olehnya seperti disuatu tempat ia
pernah berjumpa dengan dirinya.
Sinar mata berputar tiba-tiba ia temukan sebuah peti emas yang luasnya ada dua depa
tinggi tiga depa terletak disisi kakinya suatu ingatan dengan cepat berkelebat lewat.
“Aaaaakh! benar, bukankah orang ini adalah Ih Bun Han To simajikan rumah
pesanggrahan Siang Yang Peng yang berkedudukan dikeresidenan Ci Pak?”
Orang yang duduk dikursi paling tengah adalah Jan Bok Hong.
Buru-buru Ciu Cau Liong maju dua langkah kemuka, seraya menjura serunya, “Toako
siauwte telah berhasil menemukan Samte?”

Perlahan-lahan Jan Bok Hong berpaling memandang sekejap ke arah Siauw Ling
kemudian sembari menepuk kursi disisinya ia manggut.
“Mari, kau kemarilah duduk disini.”
Nada maupun peri kelakuannya menunjukkan kesriusan serta penuh kewaibawaan tidak
terasa lagi Siauw Ling maju mendekat dan duduk disisinya.
Ciu Cau Liong sendiri kebagian duduk dikursi yang terbawah.
“Tecu menghunjuk hormat buat suhu!” ketika itulah Tan Hong Cang berlutut memberi
hormat.
“Ooouw kau sudah pulang, bagaimana hasil perjalananmu keluar perbatasan itu?”
“Beruntung tidak sampai memalukan nama besar suhu dan kacaukan urusan.”
“Hmmm! Aku sudah tahu, sekarang kau boleh turun dari loteng dan beristirahat.”
Dengan penuh rasa hormat Tan Hong Cang mengundurkan diri hingga mencapai mulut
loteng kemudian menjura.
“Tecu mohon diri!”
Putar badan, lantas turun loteng.
Setelah lelaki tadi berlalu, Jan Bok Hong baru menuding siperempuan cantik berbaju
putih dan bersulamkan sekuntum bunga emas didadanya itu.
“Dialah Kiem Hoa Hujien yang datang jauh dari daerah Siauw Ciang, Samte cepat
hormati secawan arak kepadanya.”
Siauw Ling segera angkat cawan araknya.
“Siauwte Siauw Ling, mohon banyak petunjuk dari hujien!” sekali teguk ia habiskan isi
cawan.
Wajah Kiem Hoa Hujien penuh dihiasi dnegan senyuman manis.
“Telah lama kudengar didaratan Tiong goan banyak terdapat pemuda-pemuda ganteng
setelah perjumpaanku dengan kau malam ini aku berani percaya bila berita tersebut
ternyata benar-benar terbukti.”
Pergelangannya berputar menerima cawan arak yang ada dihadapannya lalu sekali
teguk menghabiskan isinya.
“Saudara cayhe yang paling kecil walaupun dalam hal ilmu silat berhasil memperoleh
kemajuan yang sangat pesat, tetapi pengalamannya masih cetek dikemudian hari masih
mengharapkan Hujien suka banyak memberi petunjuk tentang kepandaian daerah Biauw
Ciang kepadanya!” seru Jan Bok Hong menimbrung.

Sepasang bija mata Kiem Hoa Hujien berkedip-kedip dengan gerak-gerik penuh
kegenitan dan tertawa.
“Bila adikmu ini punya minat sudah tentu aku suka menurunkan ilmu silatku
kepadanya.”
Walaupun ucapan tersebut ditujukan kepada Jan Bok Hong tapi sepasang matanya
memperhatikan terus seluruh tubuh Siauw Ling.
“Ooouw sungguh besar benar lagaknya,” diam-diam pikir pemuda she Siauw dalam
hatinya, “Ucapan tadipun tidak lebih hanya kata-kata sopan belaka, apa kau kira aku
Siauw Ling benar-benar suka belajar ilmu silat darimu?”
“Aaakh kalau begitu cayhe harus mewakili Samte untuk mengucapkan terima kasih
kepada Hujien!” seru Jan Bok Hong kembali, sinar matanya perlahan-lahan dialihkan ke
arah Ih Bun Han To lanjutnya “Saudara ini adalah majikan rumah pesanggrahan Ih Bun
Han To sianseng.”
Sekali lagi Siauw Ling berdiri sembari menjura.
“Telah lama kukagumi nama besar sianseng ini hari kita bisa berjumpa sungguh
merupakan rejeki buat diriku.”
Ih Bun Han To angkat cawannya lantas tertawa.
“Siauw Ling terjunkan diri dalam Bulim tidak sampai setahun lamanya tapi nama
besarmu sudah menggeserkan seluruh dunia persilatan. setelah perjumpaan kita malam ini
akupun benar-benar merasa kagum.”
Walaupun sewaktu berada digunung Butong tempo dulu ia pernah berjumpa dengan
Siauw Ling, tapi Siauw Ling yang dulu hanya merupakan seorang bocah cilik penuh
penyakitan, lain dan jauh berbeda dengan Siauw Ling sekarang tidak aneh hanya
bayangan maupun dalam benaknya.
“Aaah! Ih Bun heng,” untuk membantah ucapannya.
Sedang pemuda she Siauw sendiripun tahu persoalan yang sudah dijelaskan ini kendati
dibantahpun percuma saja, oleh sebab itu setelah mendengar Jan Bok Hong mewakili dia
untuk menjawab ia sendiripun membungkam dalam seribu bahasa.
Perlahan-lahan Ih Bun Hant To meletakkan kembali cawan araknya di atas meja.
“Kepandaian silat Jen heng telah mencapai kesempurnaan,” katanya lambat-lambat.
“Kiem Hoa Hujien pun jauh-jauh dari daerah Biauw Ciang telah datang kemari, ini berarti
waktu yang dinantikan telah matang. Entah apa rencana selanjutnya dari Jen heng?”
“Walaupun siauwte telah memperoleh beberapa macam cara, tapi hingga kini belum
berani kulaksanakan, kedatangan kalian berdua sangat kebetulan sekali, siauwte justru
kepingin mendengarkan pendapat kalian yang tinggi.”

“Aku tinggal jauh di daerah Siauw Cang” kata Kiem Hoa Hujien perlahan. “Terhadap
situasi dalam Bulim terutama daratan Tionggoan tidak begitu paham, biarlah kudengarkan
saja pendapat kalian berdua.”
“Beberapa waktu ini Ih Bun heng telah menjelajahi pegunungan maupun daerah utara
serta selatan. Secara diam-diam beberapa kali menyelidiki situasi Bulim aku rasa tentunya
dihatimu sudah punya perhitungan yang masak bukan?”
“Ehmmm! dari semua partai maupun perguruan besar yang ada diBulim saat ini kecuali
Bu Wie Tootiang dari Butong pay, lainnya masih berada dalam dunia impian.”
“Beberapa kali Ih Bun sianseng mengunjugi Bu-tong-pay san, apakah kau belum
berhasil menaklukkan Bu Wie Tootiang agar suka berpaling kepada kita?” timbrung Kiem
Hoa Hujien.
“Kendati sihidung kerbau tua itu ada beberapa kali bicara dengan diriku, tapi selama ini
masih belum ada minat untuk berpaling dan bekerja sama dnegan kita. Setiap kali aku
bicarakan soal sesungguhnya ia pura-pura yang lain, siauwte tidak ingin maksud
pembicaraanku terlalu banyak yang diketahui olehnya maka dari itu walaupun beberapa
kali kita jumpa urusan belum juga berhasil.”
“Si Bu Wie hidung kerbau itu menganggap dirinya sebagai jago nomor wahid dari
perguruan golongan lurus, sudah tentu ia tak bakal suka bekerja sama dengan kita.” seru
Jan Bok Hong menyela.
Ih Bun Han To tersenyum.
“Tentang soal ini Jen hong harap berlega hati di dalam satu bulan mendatang aku duga
ia pasti akan datang keperkampungan Pek Hoa Sanceng kita untuk mohon bantuan.”
“Mohon bantuan?” teriak Jan Bok Hong tercengang.
“Sedikitpun tidak salah mohon bantuan sewaktu beberapa hari berselang ketika siauwte
berjumpa kembali dnegan Bow Wie Tootiang, secara diam-diam aku telah melepaskan
hadiah dari Kien Hoa Hujien. Racun ganas itu walaupun bekerja sangat lambat tapi
lihaynya luar biasa kecuali obat pemusnah menunggal dari Hujien sendiri tak bakal ada
obat lain yang bisa memusnahkan. Oleh sebab itu berani juga di dalam satu bulan
mendatang ia pasti datang untuk minta bantuan,” Jan Bok Hong tertawa hambar.
“Selama hidup Bu Wie terlalu memandang tinggi diri sendiri aku rasa ia jauh lebih suka
mati keracunan daripada datang minta bantuan dari kita orang perkampungan Pek Hoa
Sanceng”, tiba-tiba Kiem Hoa hujien menimbrung dari samping.
“Kecuali seluruh tubuh Bu Wie Tootiang terbuat dari besi baja yang tidak takut
menderita siksaan serta sakit yang luar biasa bila ia masih terdiri dari darah dan daging
maka ia pasti tak akan kuat nahan siksaan dari gigitan ular emas.”
Wajahnya masih penuh dihiasi senyuman hanya saja sikapnya jauh lebih dingin dan
menyeramkan sepasang matanya yang genit penuh daya rangsang melototi Ih Bun Han
To tak berkedip.

“Ih Bun heng apakah Bu Wie Tootiang sudah tahu bila ingin minta bantuan cukup
datang keperkampungan Pek Hoa Sanceng?”
“Soal ini hujien boleh berlega hati sebelum cayhe meninggalkan gunung Butong san,
secara diam-diam sudah kuberi bisikan kepada Bu Wie Tootiang.”
“Apakah kau kasih disikat bahwa secara diam-diam kau telah melepaskan ular
emasKu?” potong Kiem Hoa hujien tiba-tiba Ih Bun Han To tersenyum.
“Sekalipun cayhe bodoh juga tak berani ambil tindakan sebodoh ini aku hanya berkata
cuaca serta hawa udara beberapa hari ini kurang bagus kemungkinan besar badan bisa
terserang penyakit aneh, sekarnag untuk sementara cayhe berdiam diperkampungan Pek
Hoa Sanceng bila Too heng merasa kurang enak tiada halangan boleh kirim orang untuk
mendatangi perkampungan Pek Hoa Sanceng.”
“Mungkin waktu itu sihidung kerbau sudah merasakan atau mungkin ia benar-benar
masih belum tahu sewaktu aku berpamit mohon diri ia masih menghantar aku keluar dari
kamarnya tapi tidak mengucapkan sesuatu.”
Kiem Hoa Hujien termenung dan berpikir sejenak kemudian iapun ikut bertanya, “sejak
kau lepaskan ular emas untuk membokong Bu Wie Tootiang hingga ini hari sudah ada
berapa lama?”
“Bila ini haripun ikut dihitung maka sudah ada tujuh hari lamanya entah ular emasmu
itu kapan baru mulai bekerja? Bila dihitung seharusnya sudah mulai bekerja,” jawab Kiem
Hoa Hujien setelah berpikir sejenak.
“Sekalipun tenaga kweekang yang ia miliki sangat lihay dan dua hari sebelumnya masih
bisa bertahan tapi kemaren dulu seharusnya ia sudah roboh dan bila urusan ini cepat
diketahui ini hari sudah ada orang yang datang kemari.”
Ia merandek dan tiba-tiba tertawa tambahnya “Jika tiga hari kemudian belum ada juga
orang yang datang kemari, maka terpaksa kita harus urungkan niat untuk bekerja sama
dengan pihak Butong pay.”
“Maksud Hujien?” seru Jan Bok Hong, “Waktu itu partai Butong pay sedang sibuk
membereskan jenasah dari ciangbunjien mereka sudah tentu tiada niat sama sekali untuk
mencampuri urusan Bulim.”
Diam-diam Jan Bok Hong merasa sangat terperanjat, pikirnya “Sebelum persoalan ini
dilaksanakan jikalau harus mengorbankan dulu nyawa Bu Wie Tootiang kemungkinan
besar akan membangkitkan rasa gusar dari anak murid Butong pay dan merusak semua
rencana yang telah disusun…”
Dalam hati ia berpikir demikian, mulutnya tetap tersenyum ramah.
“Walaupun sudah lama cayhe mendengar akan kelihayan ilmu kepandaian daerah
Biauw Ciang, tapi belum jelas kuketahui sampai dimanakah kelihayan tersebut.”
Kiem Hoan Hujien sama sekali tidak kelihatan marah atau mengambek. Sinar matanya
berputar lalu tertawa terbahak-bahak.

Setelah seseorang memiliki kepandaian silat yang tinggi, kadang kala sifat ingin
menang susah dilepaskan dalam hati nalurinyja padahal jika harus mencari kemenangan
dengan andalkan ilmu silat yang sungguh-sungguh sering harus membuang banyak
tenaga dan waktu. Bukankah hal ini terlalu tidak berharga?
“Ia ngomong kekanan ngomong kekiri, yang dibicarakan cuma kata-kata kosong entah
apa maksudnya?” diam-diam pikir Siauw Ling dalam hati.
Ia mulai menaruh curiga terhadap mereka, karena secara lapat-lapat didengarnya
beberapa orang itu sedang membicarakan dan merundingkan sesuatu persoalan besar dan
Bu Wie Tootiang sebagai tokoh pembicaraan menanti didengarnya orang-orang itu hendak
mencelakai sitoosu tua ini ia baru terperanjat.
Mendadak terdengar suara bentakan keras segera lapat-lapat berkumandang datang
agaknya di atas loteng tingkat ketiga telah terjadi suatu peristiwa besar.
Mendadak Jan Bok Hong angkat cawan dan tertawa.
“Pendapat yang tinggi dari Hujien benar-benar sangat mengagumkan Samte tidak lama
berkelana dalam Bulim pengetahuannya masih sangat cetek, harap Hujien suka banyak
memberi petunjuk kepadanya, karena ini sangat menguntungkan baginya.”
Kiem Hoa Hujien tersenyum, ia menggerakkan pergelangan mengangkat cawan arak
lalu diangsurkan kehadapan Siauw Ling.
Mendapat penghormatan terpaksa Siauw Ling angkat cawan juga demikianlah mereka
bertiga saling mengeringkan secawan arak.
Beberapa orang ini pada bergurau dan minum arak dengan sikap yang tenang,
terhadap bentakan-bentakan keras yang bergema datang secara lapat-lapat sama sekali
tidak ambil perduli.
Kembali beberapa waktu lewat sudah mendadak Ih Bun Han To berkata, “Jan heng!
orang itu sudah berhasil menerobos keatas loteng tingkat ketujuh! ini berarti dia bukan
manusia sembarangan.”
Jan Bok Hong manggut lantas berpaling.
“Jie te? coba kau turun menengok bila yang datang utusan dari Butong pay ajaklah ia
kemari!”
Ciu Cau Liong segera letakkan cawan kemeja dan berlalu turun dari loteng, tidak selang
beberapa sat kemudian ia sudah balik kembali keruangan teratas dengan memimpin
seorang toosu gagah dan keren.
Jan Bok Hong berpaling ia segera mengenali kembali siapakah orang itu kendati orang
tadi sudah banyak berubah dan jenggot hitam panjang terurai mencapai dada.
Kiranya ia bukan lain adalah Im Yang Cu anak murid Butong pay yang sudah terkenal
diseluruh dunia persilatan.

Im Yang Cu adalah seorang jago Bulim yang amat terkenal sekali. Jan Bok Hong tidak
ingin kehilangan pamannya buru-buru ia bangun meninggalkan tempat duduknya.
“Aaakh aku kira siapa yang datang kiranya Im Yang Tooheng, maaf karena tidak tahu
akan kedatanganmu sehingga cayhe tidak jauh-jauh menyambut.”
Jan Bok Hong bangun menyahut Siauw Ling sebagai majikanpun ikut bangun berdiri
dan mengikuti dari belakang.
Sedang Ih Bun Han To yang memang sudah kenal lama dengan Im Yang Cu tidak ingin
memperlihatkan sikapnya, karena itu ia bangun menyambut. Kini hanya Kiem Hoa Hujien
seorang yang tetap tinggal dikursinya. Ia pura-pura tidak melihat.
Tampak Im Yang Cu maju dua langkah kemuka lalu menjura kepada Jan Bok Hong,
“Sejenak perpisahan sepuluh tahun sudah lewat dengan cepatnya kegagahan Jan Cungcu
masih tetap utuh seperti sedia kala kiong hie… kiong hie…”
Melihat wajahnya keren wajah tenang sedikitpun tidak menunjukkan perubahan apapun
kendati baru saja mengalami pertarungan sengit, di dalam hati Jan Bok Hong merasa
sangat kagum.
Mendengar perkataan itu ia tertawa tergelak.
“Saudara ini adalah Im Yang Tooheng dari Butong pay yang nama besarnya telah
terkenal diseluruh jagat Samte cepat maju menghunjuk hormat” buru-buru Siauw Ling
maju ke depan memberi hormat.
“Cayhe Siauw Ling menghunjuk hormat buat Tootiang, harap tootiang suka banyak
memberi petunjuk.”
Pada mulanya Im Yang Cu agak tertegun kemudian dengan cepat balas menjura.
“Oooow, kiranya Siauw Kongcu pun ada disini. Hampir-hampir pinto tidak mengenali
kembali.”
Mendadak ia berpaling dan ulurkan tangannya kemuka, serunya sambil tersenyum, “Ih
Bun sicu benar-benar ada disini, kalau begitu ciangbun suheng pinto ada ketolongan.”
Sembari berbicara ia keluarkan tangannya kemuka, menurut dunia kangouw maka ini
berarti ia ada maksud mengadu tenaga kweekang.
Ih Bun Han To merasa sedikit ada diluar dugaan melihat sikap toosu tersebut pikirnya,
“Apakah sihidung kerbau tua ini sedikit sinting sehingga mau cari gara-gara.”
Sudah tentu ia tak bakal jeri untuk menyambut tantangan tersebut, tangannya kontan
diulur menyambut angsuran tangan lawan.
“Sewaktu tempo dulu aku mengunjungi gunung Bu tong kalian. Kebetulan Tootiang
sedang pesiar keluar” katanya seraya tertawa tergelak. “Di tengah pembicaraan itu telapak
tangan kedua belah pihak sudah saling mencekal dengan eratnya, telapak tangan Im Yang
Cu panas bagaikan bara, tenaga kweekangnya benar-benar sangat luar biasa.

Meskipun begitu Ih Bun Han To masih bisa mempertahankan diri.
Agaknya Im Yang Cu merasa sudah cukup sampai disini ia tarik kembali tenaga
kweekang dan tepuk-tepuk pundak orang she Ih Boe tadi.
“Ciangbun suheng pinto merasa amat kagum terhadap sicu ia berpesan kepada pinto
agar secara baik-baik minta petunjuk dari sicu,” Jan Bok Hong mempersilahkan tamunya
sambil duduk sedang pikirannya diam-diam berputar.
Sungguh aneh sekali, baik nada ucapan maupun tindak tanduk sitoosu tua ini sangat
bertentangan dengan keadaan biasanya apakah ia sedang menggunakan akal licik?
Setelah semua orang ambil tempat duduk sikongcu dari perkampungan Pek Hoa
Sanceng baru menuding ke arah Kiem Hoa Hujien. “Saudara ini adalah seorang jago aneh
dari daerah Biauw Ciang. Kiem Hoa Hujien entah kenalkan tootiang dengan dirinya.”
Im Yang Cu silahkan tangannya di depan dada untuk memberi hormat seraya
jawabnya, “Tempo dulu pinti tiada berjodoh untuk berjumpa, tapi nama besar Hujien
sudah lama pinto dengar.”
Kiem Hoa Hujien tertawa hambar. “Bila didengar ucapan tootiang semula, apakah
kesehatan ciangbunjien kalian rada terganggu?”
“Dugaan Hujien sedikitpun tidak salah secara mendadak ciangbunjienkami telah
terserang oleh semacam penyakit aneh, berbagai macam obat susah menyembuhkan.
Karena teringat Ih Bun sian seng pernah berkata bila ada urusan suruh datang
keperkampungan Pek Hoa Sanceng untuk mohon bantuan dan kesehatan ciangbunjien
pinto sangat kritis, maka dengan memberanikan diri pinto datang mengganggu.”
“Haaa haaa haaa walaupun cayhe pandai melihat hawa udara dan mengetahui sedikit
banyak tentang nasib manusia, sungguh sayang tak kupunyai kepandaian untuk
menyembuhkan penyakit apalagi soal tusuk jarum ataupun obat-obatan!” seru Ih Bun Han
To seraya tertawa tergelak. “Cuma Tootiang boleh berlega hati, dalam perkampungan Pek
Hoa Sanceng dari Jen Cungcu ini sering kali dikunjungi jago lihay kesehatan Bu Wie
Tootiang tanggungkan saja di tangan aku Ih Bun Han To.”
Mendengar perkataan tersebut Im Yang Cu segera menjura.
“Ih Bun sicu suka turun tangan membantu pinto merasa sangat berterima kasih sekali.”
“Tootiang!” tiba-tiba Kiem Hoa Hujien menyela diiringi suara tertawa dinginnya yang
menusuk telinga. “Kedatanganmu kemari kecuali mohon bantuan obat, apakah tidak ada
urusan lainnya lagi?”
“Sebelum kedatangan pinto kemari memang pernah pinto tanyakan soal ini kepada
ciangbun suheng kami.”
“Dan apa pesan suhengmu itu?” tanya Ih Bun Han Ti cepat.
Im Yang Cu termenung sejenak, lalu menggeleng.

“Tidak ada! Suheng hanya berkata bila obat yang dimana diberi, sudah tentu amat
bagus sekali, bila tidak berhasil mendapatkan obat tersebut…”
Semua orang melihat ia ragu-ragu untuk berbicara, kontan dibuat melengak semua.
“Hmmm! bila obat tersebut tidak berhasil didapatkan!” jengek Kiem Hoa Hujien
mendengus.
“Bila obat tersebut tidak berhasil kuperoleh dengan cuma-cuma, maka terpaksa kita
harus gunakan sistem saling tukar menukar.”
“Oouw… dari partai Butong pay kalian masih punya barang pusaka apa sehingga bisa
digunakan untuk menukar nyawa seseorang” air muka Im Yang Cu berubah sangat serius.
Ia melirik dulu Jan Bok Hong lantas Ih Bun Han To dan akhirnya Kiem Hoa Hujien. “Sudah
tentu benda itu merupakan benda yang nilainya melebihi satu kota, tapi pinto harus
mendapat keterangan secara bagaimana menolong ciangbunjien kami lolos dari
kematian.”
Kiem Hoa Hujien tertawa dingin tiada hentinya.
“Asalkan pusaka tersebut bernilai melebihi sebuah kota, dan benar-benar cukup untuk
ditukar dengan demikian Bu Wie Tootiang sudah tentu kami bisa kasih obat untuk
menyembuhkan luka ciangbunjienmu, tapi bila barang pusaka itu tak bernilai, terpaksa
hanya dua jalan untuk kau pilih sendiri.”
“Apa saja caramu itu!”
“Pertama, perguruanmu harus digabungkan dengan perkampungan Pek Hoa Sanceng
kami lalu semua orang harus tunduk di bawah komando Jen Cungcu, dan cara kedua, kau
segera kembali ke gunung Butong san untuk mempersiapkan urusan terakhir dari
ciangbunjien kalian.”
Air muka Im Yang Cu berubah hebat, agaknya ia siap mengumbar hawa amarahnya.
Tapi dengan cepat golakan tersebut berhasil ditindak.
“Apakah tidak ada jalan yang ketiga!” tanyanya hambar.
“Tooheng kau tidak usah gelisah dulu berundinglah secara perlahan-lahan akhirnya kau
bakal peroleh jalan keluar yang paling bagus!” hibur Ih Bun Han To perlahan.
Kiem Hoa Hujien tertawa dingin tiada hentinya.
“Heee hee heee, heee kau tanyakan jalan ketiga? Ada akan kutengok dulu berapakah
nilainya barang berharga yang tootiang bawa itu.”
Mendadak ia menyingkap pakaiannya, merogoh ke dalam saku dan mengambil keluar
sebuah kotak berwarna kuning tawar lalu tangan diayun melemparkan kotak tadi ke depan
pintu sehingga hancur berantakan.
Tindakannya ini berada diluar dugaan semua orang bukan saja Im Yang Cu jadi
kebingungan dibuatnya bahkan Jen Bok Hong serta Ih Bun Han To pun pada dibuat
kebingungan setengah mati. Mereka cuma bisa duduk saling bertukar pandangan.

Ketika sinar mata semua orang dialihkan ke arah mana jatuhnya kotak tadi tiba-tiba air
mukanya pada berubah hatinya merasa amat bergetar.
Kiranya dari pecahan kotak warna kuning tadi muncul delapan ekor laba-laba warna
hitam pekat dan berlari menyebar keempat penjuru, dalam sekejap mata seluruh pintu
masuk yang ada hanya satu-satunya itu sudah dipenuhi dengan sarang laba-laba yang
tebal dan besar.
Di bawah sorotan cahaya lampu, tampak oleh semua orang dari atas jaring laba-laba
tersebut memancarkan cahaya kehijau-hijauan yang sangat menyeramkan.
Delapan ekor laba-laba dengan berdiri disekitar sarang tersebut siap berjaga-jaga diri.
Kiem Hoa Hujien angkat tangannya yang putih halus bagaikan salju untuk
membereskan rambutnya yang terurai ke bawah.
Setelah mengenali laba-laba hitam ini adalah binatang beracun yang sangat
menakutkan seharusnya tahu juga bukan cahaya hijau yang dipancarkan dari jaring labalaba
tersebut bukan barang sembarangan jangan dikata tergigit oleh binatang tersebut.
Cukup tertempel oleh jaringan laba-laba itupun sudah bisa menyebabkan kematian yang
sangat mengerikan.
Dengan penuh kebanggaan ia tertawa cekikikan setelah merandek beberapa waktu
sambungnya, “Jago-jago Bulim dideretan Tionggoan kebanyakan mengetahui perempuanperempuan
dari daerah Biauw Ciang paling pandai melepaskan racun keji tapi mereka
tidak tahu kecuali melepaskan racun keji kami masih bisa pula menggunakan beratus-ratus
macam racun lainnya.”
“Sekalipun jaringan laba-laba itu sangat beracun, aku rasa belum tentu bisa melukai
orang!” tiba-tiba Siauw ling menyela dari samping.
Bila ucapan tersebut diutarakan orang lain Kiem Hoa Hujien pasti naik pitam dan
mencak. Tapi lain halnya bila perkataan itu diucapkan ileh Siauw Ling.
Bukan saja Kiem Hoa Hujien tidak menjadi gusar bahkan ia perlihatkan satu senyuman
penuh kegenitan, “Siauw hengte berbicara begitu tentu ada pendapat lain entah apakah
pendapatmu yang tinggi itu.”
Sebetulnya Jan Bok Hong ada maksud menegur Siauw Ling jangan banyak bicara tapi
setelah melihat Kiem Hoa Hujien sama sekali tidak menunjukkan maksud untuk marah
iapun tidak mencegah lagi.
“Sekalipun laba-laba itu sangat beracun tapi gerak-gerik mereka amat lamban mana
mungkin bisa pergi mengejar manusia?” kata Siauw Ling penuh keseriusan, “Sedangkan
mengenai sarang laba-laba itu semakin tidak berbahaya lagi beberapa helai surat lendir
yang menciptakan sebuah jaring lemas cukup terkena angin atau hujanpun sudah hancur,
mana mungkin bisa menahan sebuah serangan kweekang seorang jagoan?”
Kiem Hoa Hujien tak dapat menahan rasa geli dihatinya lagi ia tertawa cekikikan.

“Sungguh bagus pertanyaanmu ini. Tidak malu kau bisa berpikir sedemikian cermatnya,
cuma sayang laba-laba beracun yang dihasilkan di daerah Biauw Ciang ini bukan saja amat
beracun bahkan daya hidupnya sangat luar biasa, sekalipun gerak-geriknya lamban sedikit
tapi setelah mereka berhasil membentuk sarang laba-labanya, maka keadaannya lain lagi,
jikalau saudara cilik tidak percaya bagaimana kalau kau coba mengirim satu pukulan
menghajar jaringan tersebut??”
“Tempo dulu Im Yang Cu pernah melepaskan budi menolong jiwaku, dan bila kutinjau
situasi ini hari, agaknya ia sudah terjerumus ke dalam keadaan yang sangat berbahaya
dan kepepet,” pikir Siauw Ling di dalam hati. “Jika aku tidak berusaha untuk menolong
dirinya lolos dari kepungan ini mungkin sulit baginya untuk meninggalkan loteng Wang
Hoa Loo dalam keadaan selamat.”
Terdengar waktu itu Jan Bok Hong sedang berseru minta maaf ujarnya, “Samteku
masih muda tak tahu urusan. Bila terlalu banyak menyinggung perasaan Hujien masih
mengharapkan kau suka memaafkan, sedang mengenai persoalan tersebut, lebih baik
hujien lakukan sendiri saja.”
Kiranya watak Jan Bok Hong amat licik dan banyak akal, walaupun ia berhasil
mengetahui sarang laba-laba itu sangat berlainan dengan sarang laba-laba biasa, tapi
teringat kesempurnaan tenaga kweekang yang dimiliki Siauw Ling dan karena takut
hantaman pemuda itu hancurkan sarang laba-laba tersebut atau melukai laba-laba hitam
sehingga Kiem Hoa Hujien kehilangan muka dan dari malu menjadi gusar, maka ia coba
alihkan tugas tersebut kepada orang lain.
Ia tahu kendati Kiem Hoa Hujien berusaha untuk menyesuaikan diri dengan cara hidup
bangsa Han tapi ia tetap merupakan seorang kelahiran bangsa Biauw yang terkenal
kelewat keji sudah tentu bagaimanapun ia mungkin dapat menyamai semua sifat bangsa
Han.
Terutama sekali laba-laba hitam itu merupakan binatang aneh jika kena dilukai oleh
Siauw Ling bukankah urusan jadi serba tidak enak, siapa nyana Kiem Hoa Hujien cuma
tertawa hambar.
“Kalau begitu silahkan Jan Toa kungcu turun tangan untuk mencoba sendiri
bagaimana?”
Jan Bok Hong tertegun mendengar kata itu, tapi reaksinyapun sangat cepat ia segera
berpaling ke arah Im Yang Cu.
“Kita semua adalah kawan searah setujuan bila dalam sekali hantam sarang laba-laba
itu tidak hancur kemungkinan besar Im Yang Tootiang merasa tidak puas,” katanya
sembari tertawa. “Menurut pendapat cayhe lebih baik percobaan ini diserahkan kepada Im
Yang Tootiang saja sekalipun bagaimana akhirnya semua orang rasanya bisa dibikin puas.”
Orang ini benar-benar berbahaya dan keji ia tidak ingin turun tangan mencoba sendiri
sebaliknya ingin mencelakai Im Yang Cu, sepasang biji mata Kiem Hoa Hujien mengerling
tajam, iapun ikut tertawa.
“Sedikitpun tidak salah biar sitoosu tua hidung kerbau ini yang mencoba agar iapun bisa
melek matanya.”

Teringat kesehatan ciangbun suhengnya mau tak mau Im Yang Tootiang harus
menahan rasa dongkol dalam hatinya ia mendongak dan melirik sekejap ke arah sarang
laba-laba itu kemudian perlahan-lahan mengangkat telapak tangannya keatas.
“Jikalau memang demikian adanya, terpaksa pinto ikuti saja permintaan kalian tanpa
membantah.”
Dengan kerahkan tenaga kweekang mencapai empat bagian telapak tangannya
perlahan-lahan diayunkan kemuka segulung hawa serangan yang maha dahsyat segera
meluncur keluar menghajar sarang laba-laba tadi.
Jangan dikata Im Yang Tootiang sekalipun semua orang yang ada dala ruanganpun
mempunyai pendapat yang sama yaitu sarang tersebut mana mungkin bisa pertahankan
kehancurannya terhadap hantaman angin pukulan sedemikian dahsyat? Siapa nyana
peristiwa terjadi diluar dugaan semua orang, sewaktu angin pukulan yang dilancarkan Im
Yang Tootiang menghajar di atas sarang laba-laba hitam yang menyear di sekeliling
sarangnya mendadak memencar keempat penjuru diikuti dari mulutnya menyemburkan
serat beracun yang langsung melayang ke tengah udara dan mengikuti arah datangnya
angin pukulan tadi menubruk ke arah Im Yang Tootiang.
Sedangkan sarang laba-laba itu sendiri di bawah hantaman angin pukulan yang sangat
keras hanya naik turun tiada hentinya sama sekali tidak mengalami kerusakan barang
sedikitpun.
Perubahan yang terjadi diluar dugaan ini bukan saja membuat Im Yang Tootiang
merasa amat terperanjat, bahkan air muka Jen Bok Hong pun berubah sangat hebat.
Kiem Hoa Hujien tertawa terkekeh.
“Tootiang kau harus hati-hati jangan sampai tertempel oleh serat beracun atau tergigit
oleh laba-laba itu. Kalau tidak maka keadaan lukamu itu akan jauh lebih parah daripada
luka suhengmu?”
Sewaktu ia mengucapkan kata-kata itu kedelapan laba-laba hitam tersebut sudah makin
memperbesar sarang laba-labanya sehingga memenuhi keempat dinding dan mencapai
atap ruangan.
Gerak-gerik laba-laba hitam tersebut kelihatannya amat lamban, tapi bergerak di atas
serat laba-laba tersebut benar-benar luar biasa cepatnya hingga susah diikuti dengan
pandangan mata.
Tampak serat beracun itu makin lama semakin memanjang dan akhirnya semakin
mendekati tubuh Im Yang Cu.
Dengan hati kebat kebit Im Yang Tootiang segera membalik pergelangan tangan
kanannya mencabut keluar pedang yang tersoren pada punggungnya.
“Jika Hujien tidak berusaha menguasai barang-barang beracun ini lagi, maka pinto
takut harus turun tangan melukai mereka.”
“Heee… heee… bila Tootiang percaya punya kesanggupan untuk melukai mereka.
Silahkan turun tangan sepuas hati,” sahut Kiem Hoa Hujien tertawa hambar.

“Kalau begitu terpaksa pinto harus mencoba!”
Melihat seekor laba-laba meluncur datang pergelangan kanannya kontan digetarkan,
pedang panjang meluncur keluar membabat tubuh binatang berbisa tersebut.
Mendadak Jan Bok Hong mengangkat tangan kanannya keatas segulung hawa pukulan
yang maha dahsyat meluncur keluar menotok ujung pedang dari toosu Butong pay ini.
Ujung pedang Im Yang Tootiang yang hampir mengenai sasarannya mendadak kena
diserang hatinya jadi bergetar keras tak kuasa lagi senjata yang ada di tangan kena
terhajar turun ke bawah bahkan hampir-hampir terlepas dari genggaman.
Terdengar suara Jan Bok Hong yang amat dingin berkumandang datang.
“Kedatangan Tootiang keperkampungan kami adalah bertujuan menolong jiwa
suhengmu ataukah ingin memamerkan kepandaian silatmu?”
Kena ditegur oleh sang Cungcu dari perkampungan Pek Hoa Sanceng ini Im Yang
Tootiang mulai berpikir, “Sudah lama dalam dunia persilatan tersiar kabar yang
mengatakan kepandaian silat sibayangan berdarah Jan Bok Hong sangat mengejutkan
sekali, kelihatannya dugaan itu sedikitpun tidak salah cukup ditinjau dari hawa sentilan tak
bersuara tak berwujud yang baru saja ia perlihatkan sudah luar biasa sekali.”
Sekalipun dalam hati ia berpikir demikian diluaran ia menyahut dengan nada dingin.
“Sentilan Jan Toa Cungcu yang baru saja dipertontonkan benar-benar luar biasa.”
Jan Bok Hong tidak menggubris omongan itu, sinar matanya dialihkan ke arah sarang
laba-laba yang makin lama semakin melebar dan meluas sehingga mencapai atap ruangan
perjamuan tersebut, lama kelamaan ia tidak tahan juga.
“Hujien! cepat kau berusaha untuk menguasai binatang-binatang beracun ini. Jangan
sampai membiarkan mereka menodai seluruh ruangan ini dengan jaringan beracun.”
Mendengar sang Cungcu dari perkampungan Pek hoa Sanceng meminta bantuannya
Kiem Hoa Hujien tersenyum penuh kemenangan.
“Walaupun laba-laba ini merupakan binatang yang sangat beracun tapi mereka tetap
bukan manusia,” katanya perlahan. “Asalkan Tootiang itu mundur dua langkah ke
belakang dan laba-laba tadi tidak berhasil temukan sasarannya ia bakal berhenti sendiri
dan tidak akan memperluas serangannya lagi.”
Ih Bun Han To pun pada waktu itu tertawa terbahak-bahak.
“Tootiang! bagaimana kalau kaupun menurut mundur dua langkah ke belakang! urusan
mati hidup seseorang jauh lebih besar. Apa gunanya mencari satroni dengan beberapa
gelintir laba-laba?”
Teringat masih suhengnya dalam keadaan kritis, dan kedatangannya kesana hendak
minta obat. Im Yang Tootiang tidak ingin karena urusan kecil berakibat besar dengan
menahan diri terhadap sindiran Ih Bun Han To ia mundur juga dua langkah ke belakang.

Waktu itu semua perhatian orang-orang yang hadir dalam ruangan rata-rata dipusatkan
keatas laba-laba hitam itu, sedikitpun tidak salah. Setelah Im Yang Tootiang mundur dan
laba-laba hitam tadi tak berhasil menemukan sasarannya mereka mulai berhenti
mengembangkan serat-seratnya guna pembentukan sarang mereka semakin besar.
“Hujien!” seru Jan Bok Hong setelah suasana menjadi tenang kembali. “Laba-laba
beracunmu ini betul-betul membuat kami terbuka matanya, dan membuat kami tahu bila
beracun merupakan senjata yang paling dahsyat cuma dalam perjamuan harus dikotori
dengan hadirnya beberapa ekor laba-laba beracun rasanya kurang sedap dipandang
bagaimana kalau hujien menariknya kembali.”
“Hii hii… penglihatan Toa Cungcu ternyata jauh lebih tinggi setingkat dari semua orang”
puji Kiem Hoa Hujien tertawa.
“Beberapa ekor laba-laba ini bukan saja racunnya ganas bahkan mereka amat pandai
jikalau ingin menghancurkan mereka bukanlah terlalu sayang.”
Mendengar perkataan itu seluruh tubuh Jan Bok Hong tergetar sangat keras, pikirnya
diam-diam, “Waahh celaka jaring beracun sudah merembet hampir menutupi seluruh
ruangan serta pintu loteng bila tidak dapat ditarik kembali bukankah ini berarti semua
bakal terkurung di atas loteng, hati perempuan paling keji kemungkinan besar
menggunakan kesempatan ini ia hendak membokong diriku.”
Sebagai seorang yang cerdik licik dan banyak akal kendati dalam hatinya sudah timbul
rasa curiga tapi air mukanya sama sekali tidak menunjukkan sikap tersebut ia tersenyum.
“Bagaimana? Apakah laba-laba beracunmu susah ditarik kembali? caranya sih ada dua
macam cuma aku bingung enaknya menggunakan cara apa yang paling tepat?”
“Silahkan hujien mengutarakan kedua cara tersebut agar akupun bisa ikut mengetahui
dan menambah pengetahuanku.”
“Cara pertama adalah menyuruh Pek Sian jienku menyikat mereka sampai habis tapi
bila berbuat demikian ini berarti sudah menyia-nyiakan jeri payahku selama hampir
sepuluh tahun untuk memusnahkan laba-laba beracun yang demikian bagus dan lihaynya
bukankah amat sayang sekali?”
“Apa yang kau maksud sebagai Pek sian jie?” seru Siauw Ling dengan penuh
keheranan, Kiem Hoa Hujien tertawa cekikikan.
“Apakah Siauw hengte ingin menambah pengetahuanmu!” serunya, dari dalam saku ia
mengambil sebuah kotak pualam yang panjanganya ada satu depa dengan lebar setengah
depa lantas sambungnya, “Nih benda tersebut ada disini!” Siauw Ling ulur tangannya
menerima kotak itu tapi dengan cepat Kiem Hoa Hujien sudah menarik kembali tangannya
dan menyimpan kembali kotak pualan tersebut.
“Bukannya aku tidak ingin kasih lihat kepadamu justru karena watak Pek Sian jie terlalu
berangasan jikalau sampai kau menderita luka bukankah berabe?”
“Apakah caramu yang kedua?” potong Jan Bok Hong cepat. “Untuk melepaskan genta
masih membutuhkan orang bekerja setelah tootiang ini menggusarkan mereka maka lebih

baik tootiang ini suka menghadiahkan beberapa macam benda untuk memberi makan
kepada mereka, barang apa itu?”
Kiem Hoa Hujien tersenyum.
“Lebih baik sebuah lengan atau bila tootiang ini tidak rela sedikit-dikitnya harus potong
ketiga jari tangannya, hmm bila pinto tidak mengabulkan permintaanmu itu?” dengus Im
Yang Tootiang dingin.
“Terpaksa aku harus menggunakan jantung atau isi perutmu untuk memberi makan
kepada mereka?”
Nada ucapan perempuan yang bernama Kiem Hoa Hujien ini tajam keji, buas dan
sangat mengerikan walaupun bagitu kata-kata tadi diutarakan dengan wajah yang masih
dihiasi penuh senyuman bagaikan belum terjadi sesuatu apapun.
Jan Bok Hong melirik sekejap ke arah Im Yang Tootiang. “Jauh kemari sebagai tamu.
Aku Jan Bok Hong sebagai tuan rumah tidak seharusnya bersikap begitu terhadap
tetamunya, biarlah tentang soal ini cayhe selesaikan sendiri!”
Habis berkata ia lantas bertepuk tangan beberapa kali.
Jilid 23
Seorang dayang cantik berbaju hijau mengiakan dan berjalan datang menghampiri
Cungcunya.
“Siapakah namamu?” tanya Jan Bok Hong.
“Budak bernama Hoo Hoa!”
“Aku orang ingin pinjam semacam barang entah sukakah kau mengabulkan?”
“Perintah Cungcu, budak tak berani menolak.”
“Bagus, bagus sekali sekarang kutungi lengan kirimu.”
Mendengar perintah tersebut Hoo Hoa rada melengak dan berdiri mematung.
“Sejak budak menerima perintah untuk datang keloteng Wang Hoa Loo rasanya belum
pernah melakukan sedikit kesalahanpun.”
“Soal ini sih aku tahu” sinar matanya perlahan dialihkan kearah Ciu Cau Liong. “Jie te!
kau membawa pisau belati?”
Buru-buru Ciu Cau Liong bangun berdiri lantas menjura dari dalam saku ambil keluar
sebilah pisau belati dan diangsurkan ketangan Toakonya dengan penuh rasa hormat.
Setelah menerima pisau belati itu Jan Bok Hong letakkan senjata tadi keatas meja.

“Sekarang turun tanganlah sendiri.”
Melihat seluruh kejadian yang berlangsung didepan mata lama kelamaan Siauw Ling
tidak tahan juga. Darah panas bergolak dalam dadanya dengan penuh rasa terharu
serunya, “Toako tanpa sebab mengapa kau suruh gadis ini mencacati badan sendiri?”
Jan Bok Hong keluarkan tangan kirinya untuk tepuk beberapa kali pundak pemuda she
Siauw ini kemudian jawabnya, “Soal ini Samte tidak usah ikut campur apakah kau benarbenar
ingin melihat Im Yang Tootiang mengutungi lengan sendiri?”
Agaknya Hoo Hoa mengerti bencana tak bakal terhindar dari dirinya, sembari
menggertak gigi ia terima pisau belati itu dari atas meja.
“Perintah cungcu budak tak berani membangkang” ujarnya penuh kesedihan.
“Nona tunggu sebentar, pinto ada beberapa patah kata hendak diucapkan!” tiba-tiba Im
Yang Cu menggetarkan pedangnya menghadang maksud dayang itu untuk memungut
pisau belati tadi dari atas meja.
“Tootiang perkataan apalagi yang hendak kau utarakan! sekarang silahkan
disampaikan” kata Jan Bok Hong.
“Setelah pinto yang ditimbulkan peristiwa ini, mana boleh dosa tersebut dipukul oleh
seorang gadis yang tidak tahu akan separuh jalannya peristiwa ini. Untuk mengurangi
sebuah lengan pinto sebetulnya bukan suatu pekerjaan yang terlalu susah dilaksanakan
asal Cungcu suka memberi obat pemusnah buat suheng kami.”
Kiem Hoa Hujien yang mendengar perkataan itu segera tertawa.
“Sekalipun obat pemusnah itu ada, cuma sayang tidak berada ditangan Cungcu!”
“Kalau begitu berada di Hujien?”
“Ehhmm! kecuali aku, rasanya dikolong langit tak ada manusia yang kedua lagi?”
“Bila ditinjau situasinya penyakit yang diderita ciangbun suheng tentu terkena oleh
racun yang kau lepaskan!”
“Oooouw, bila kau ingin tahu, akupun tiada halangan beritahukan semua kejadian ini
kepadamu.”
“Pinto akan pentang lebar-lebar telinga untuk mendengarkan!”
“Racun itu sih kepunyaan aku, cuma yang melepaskan benda itu adalah Ih Boen heng
sewaktu berkunjung kegunung Bu-tong san.”
Air muka Im Yang Tootiang dalam sekejap itu pula beruntun terjadi beberapa kali
perubahan, akhirnya dengan berusaha keras mempertahankan ketenangan hatinya ia
berkata, “Hujien! Bila kau suka menghadiahkan obat pemusnah buat ciangbun suhengku,
pinto rela menguntungi sebuah lenganku!”

“Urusan ini tiada sangkut pautnya dengan urusan lain, kau tak boleh mencampur
baurkan kedua urusan ini menjadi satu.”
“Craaaat” tiba-tiba darah panas muncrat membasahi empat penjuru, butiran darah
memancar menodai pakaian semua orang dan bersamaan itu pula sebuah lengan kiri Hoo
Hoa sudah terkutung dan jatuh keatas lantai.
Kiranya menggunakan kesempatan sewaktu Im Yang Tootiang bercakap-cakap dengan
Kiem Hoa Hujien sidayang cantik Hoo Hoa mendadak merebut pisau belati itu dari atas
meja lalu mengutungi lengan kirinya sendiri.
Sepasang mata Siauw ling dengan memancarkan cahaya tajam yang penuh hawa
bergidik memperhatikan wajah Kiem Hoa Hujien tajam-tajam lalu sindirnya, “Hmmm
selama hidup belum pernah kutenui ada laba-laba yang mendahar lengan manusia aku
takut hanya ada manusia yang sedang main gila…”
Tangan kanannya laksana kilat menyambar lewat menotokkan jalan darah disebelah kiri
Hoo Hoa untuk bantu ia menghentikan aliran darah yang mengucur keluar sangat deras.
Sedang Jan Bok Hong pungut kutungan lengan tadi lalu diserahkan ketangan Kiem Hoa
Hujien.
“Lengan ini entah dapatkah digunakan?”
“Ooouw sudah tentu bisa digunakan” sahut Kiem Hoa Hujien seraya menerima
angsuran kutungan lengan tersebut kemudian sinar matanya dialihkan kearah Siauw Ling.
“Saudara cilik bukankah kau ingin menambah pengetahuanmu? nah sekarang
perhatikanlah baik-baik.”
Tangan kanan diayun ia melemparkan kutungan lengan tadi kesarang laba-laba
beracun itu.
Kutungan lengan tersebut setelah membentur sarang laba-laba dengan berakibatkan
getaran keras segera berhenti dan tertempel erat-erat.
Delapan ekor laba-laba hitam laksana kilat berpaling kemudian sama-sama meluncur
kearah kutungan lengan tadi gerakan mereka cepatnya luar biasa didalam sekejap mata
kedelapan ekor laba-laba tadi sudah menempel diatas kutungan lengan itu.
Tampaknya lengan yang putih bersih bagaikan salju tadi perlahan-lahan ditarik
kebawah sedang darah yang tersisa diatas kutungan lengan tersebut hanya dala sedetik
saja telah dihisap kering oleh kedelapan ekor laba-laba hitam tersebut.
Air muka Siauw Ling berubah hebat sehabis melihat pertunjukkan tersebut, ia menghela
napas.
“Aakh! kiranya laba-laba penghisap darah!”
Kiem Hoa Hujien tertawa terkekeh-kekeh.

“Heee, heee, heee, tidak salah, memang laba-laba penghisap darah! inilah laba-laba
aneh yang susah ditemukan dalam kolong langit, saudara cilik! ini hari boleh dikata
otakmu betul-betul terbuka oleh suatu pertunjukkan yang sangat menarik hati.”
Walaupun didalam hati Siauw Ling merasa terperanjat bercampur ngeri tapi dihati
kecilpun timbul perasaan membenci terhadap Kiem Hoa Hujien ini diam-diam pikirnya,
“Watak perempuan ini benar-benar keji dan beracun bagaikan kantupan lebah atau
pagutan kalajengking”. Jan Bok Hong sebagai seorang jago yang susah diketahui
perubahan wajahnya baik gembira, gusar, murung maupun sedih sehabis melihat
pertunjukkan ini berubah juga air mukanya ia menghela napas panjang.
“sudah lama Siauwte mendengar kehebatan Kiem Hoa Hujien sebagai seirang jagoan
dalam menghadapi ratusan macam binatang beracun dari daerah Biauw Ciang ini hari
boleh dikata benar-benar terburu sepasang mataku.”
“Aakh, mana-mana Jen Toa Cungcu terlalu memuji” seru Kiem Hoa Hujien sembari
membereskan rambutnya yang terurai dan tertawa manis, “Walaupun aku jauh
mengasingkan diri diluar daratan tapi sering sekali berhubungan dengan jago-jago dari
daratan Tionggoan sudah lama dengar akan kelihayan ilmu silat yang dimiliki Jen Toa
Cungcu entah maukah? kaupun pertunjukkan beberapa macam kepandaian agar akupun
sedikit terbuka pengetahuanku yang picik!”
Walaupun dia suka Biauw tapi nada maupun bahasanya tidak kalah dari keluwesan
gadis Tionggoan.
o0o
Diam-diam Jan Bok Hong mulai berpikir “Ia paksa aku untuk pertunjukkan ilmu silat,
entah apa maksud sebenarnya? perempuan ini berwajah cabul sangat mempesonakan hati
semua orang apalagi seluruh badannya menggembol berbagai macam binatang beracun
yang aneh-aneh, sekalipun aku masih belum tahu seberapa hebatnya ilmu silat yang ia
miliki tapi ketajaman pikiran serta kecerdikan mencari akal jelas melebihi semua orang aku
harus berjaga-jaga maksudnya berbuat demikian.”
Setelah timbul perasaan dalam hatinya tetapi diluaran masih tetap tersenyum.
“Sedikit kepandaian siauwte yang becus kemungkinan besar hanya akan mengotori
pandangan mata Hujien. Dikemudian hari waktu masih banyak aku rasa pada suatu ketika
Hujien tentu akan melihat sendiri bagaimanakah kejelekan ilmu silatku, sekarang kita
sedang kedatangan tamu terhormat, mana boleh siauwte pamerkan kepandaian
dihadapan orang banyak.”
“Perkataan Jen Toa Cungcu sedikitpun tidak salah. Mari kita bicarakan persoalan yang
penting” Kiem Hoa Hujien tertawa hambar.
Ketika itu sekalipun Siauw Ling telah menotok jalan darah Hoo Hoa dan menghentikan
aliran darahnya tetapi rasa sakit sewaktu lengannya terbabat putus tadi susah dilupakan
dari lubuk hatinya air muka berubah pucat pasi bagaikan mayat, sedang keringat dingin
mengucur tak henti-hentinya.

Ia tahu bagaimana ketatnya peraturan dari perkampungan Pek Hoa Sanceng, sekalipun
kesakitan terpaksa ia harus gertak gigi sambil berdiri tenang tidak bergerak maupun
memperdengarkan sedikit suarapun.
Akhirnya Jan Bok Hong berpaling.
“Hoo Hoa kau boleh mengundurkan diri untuk beristirahat.”
Pada saat itu Hoo Hoa baru berani berbongkok menjura.
“Terima kasih atas kebaikan Cungcu.”
Setelah putar badan ia berlalu dari sana lambat-lambat.
Walaupun ia berusaha keras untuk mempertahankan ketenangannya dan berjalan
dengan langkah normal. Tak urung saking sakit hatinya seluruh tubuh gemetar keras
badan gontai tak menentu.
Melihat langkahnya yang gontai Im Yang Tootiang merasakan darah panas dalam
rongga dadanya bergolak keras, rasa duka menyelimuti hatinya.
Kedelapan ekor laba-laba beracun setelah menghisap habis darah dari kutungan lengan
itupun tak menunjukkan reaksi lagi mereka berdiam dan tak berkutik.
Perlahan-lahan Jan Bok Hong berpaling dan memandang sekejap kearah Im Yang Cu.
“Kedudukan partai Bu-tong dalam dunia kangouw sangat tinggi sekali dan kedudukan
Tootiang didalam perguruan Bu-tong-pay pun sedikit dibawah Boe Wie Tooheng tidak
datang sendiri kaupun bisa ambil keputusan bukan?” serunya sembari tertawa.
“Pinto memperoleh perintah dari Ciangbunjien untuk datang kemari membicarakan soal
tukar menukar obat pemusnah urusan lain pinto tak berani ambil keputusan sendiri.”
“Ehmm semisalnya tidak beruntung suhengmu menemui ajalnya bukankah dengan
sendirinya kedudukan ciangbunjien dari Bu-tong-pay akan terjatuh ditangan Tootiang?”
“Setiap perguruan mempunyai peraturan perguruan sendiri kedudukan ciangbunjien
hendak diwariskan kepada siapa pinto rasa soal ini tiada sangkut pautnya dengan orang
lain.”
Jan Bok Hong tertawa hambar.
“Semisalnya cayhe bantu Tooheng untuk mendapatkan kedudukan ciangbunjien dari
Bu-tong-pay itu entah bagaimana maksud Tooheng?”
Agaknya Sang Cungcu dari perkampungan Pek Hoa Sanceng ini mulai memasang
jebakannya.
“Dalam perguruan kami banyak terdapat manusia-manusia berbakat” kata Im Yang Cu
dengan wajah serius, “Sekaliun ciangbun suheng menemui ajalnya akibat keracunan
belum tentu kedudukan ciangbunjien tersebut terjatuh ke tangan pinto soal ini tak perlu
kalian repot-repot ikut memikirkannya.”

Melihat berbagai pancingan serta jebakan sudah menarik Im Yang Tootiang memihak
perkampungan Pek Hoa Sanceng air muka Jan Bok Hong segera berubah hebat.
“Baiklah!” akhirnya ia berseru. “Sekarang kita bicarakan dulu soal mati hidup
suhengmu.”
“Nah inilah tujuan yang terutama dari kedatangan pinto kemari dan hanya persoalan ini
saja yang berhak pinto bicarakan.”
Jan Bok Hong melirik sekejap kearah Kiem Hoa Hujien tiba-tiba dia berseru, “Tooheng
ini berwatak sombong, angkuh suka memandang tinggi diri sendiri ia tidak sesuai untuk
diajak berunding. Hujien? lebih baik kau sendiri yang menudingkan soal obat pemusnah ini
dengan dirinya.”
Kiem Hoa Hujien tertawa.
“Segala sesuatu biarlah Jan Toa Cungcu yang putuskan sendiri. Aku akan menurut
saja.”
“Hujien terlalu memuji” sinar matanya perlahan dialihkan kembali keatas tubuh Im
Yang Cu.
“Entah Tootiang hendak menggunakan benda apa ditukarkan dengan nyawa
suhengmu?”
“Pinto rasa bila benda itu hanya barang biasa saja, Cungcu tentu tak akan menyetujui!”
“Haaa… haaa… haaa…” tak kuasa Jan Bok Hong tertawa terbahak-bahak.
“Boe Wie Tootiang adalah ciangbunjien partai Bu-tong sudah tentu tak bakalan bisa
ditukar dengan barang-barang biasa.”
“Bagaimana kalau kita hargai dengan sejilid kitab pusaka Sam Khie Cin Boh?”
“Apa? kitab pusaka Sam Khie Cin Boh berada ditangan Bu-tong-pay?” seru Jan Bok
Hong rada tertegun.
“Walaupun benda tersebut berada ditangan pihak Bu-tong pay kami tapi menurut
suheng kami ilmu silat yang termuat dalam kitab tersebut tiada berkecocokan dengan ilmu
silat perguruan kami, keanehannya terlalu luar biasa oleh sebab itu tak seorangpun dari
anggota perguruan kami yang mempelajari isi kitab tersebut” kata Im Yang Cu penuh
keseriusan.
“Watak Boe Wie Tooheng keras kepala dan terlalu percaya dengan ilmu silat perguruan
sendiri, peraturan guru-gurunya tidak ingin mencampurkan ilmu silat lain kedalam ilmu
silat perguruan aku rasa tindakannya ini memang tidak salah.”
“Pinto hanya bertanya bagaimana nilai benda tersebut” desak Im Yang Cu kembali.
“Kitab pusaka Sam Khie Cin Boh sekalipun termasuk pusaka Bulim tapi bila digunakan
untuk menukar jiwa ciangbunjien kalian rasanya masih kurang cukup.”

Im Yang Cu termenung lama sekali akhirnya ia berkata lagi. “Jikalau ditambah dengan
sebuah lukisan Giok Sian Cu? Apa kau kata?” tiba-tiba Jan Bok Hong membelalakkan
sepasang matanya.
Dengan ketajaman pendengarannya ditambah pula suara Im Yang Cu cukup keras
orang lain bisa mendengar sangat jelas tidak mungkin kalau Jan Bok Hong tidak
mendengar.
Kendati begitu tak tertahan ia menjerit tertahan juga. “Lukisan Giok Sian Cu.”
Perlahan-lahan Jan Bok Hong menggeserkan sedikit badannya. “Entah aslikah barang
itu?” tanyanya lirih.
“Lukisan Giok Sian Cu hanya ada sebuah diseluruh kolong langit sudah tentu tak bakal
salah lagi.”
“Macam apakah Giok Sian cu itu?” tiba-tiba Kiem Hoa Hujien menimbrung dari samping.
“Mengapa hanya sebuah lukisan begitu berharga?”
“Hujien kau tidak tahu, lukisan Gio Sian cu ini merupakan salah satu benda pusaka
yang paling berharga dalam dunia Bulim menurut kabar yang pernah tersiar katanya
lukisan ini dibuat oleh dewa lukisan Thian To pada seratus tahun berselang lukisan orang
ini bukan saja luar biasa bahkan hidup sebagai kenyataan, hanya saja watak Thian To
amat kukoay. Ia tidak ingin tinggalkan seluruh lukisan yang berharganya dikolong langit.
Pada saat menjelang kematiannya ia telah membakar seluruh lukisan-lukisan berharganya
dan kini hanya tertinggal cuma separuh dikolong langit.”
Siauw Ling yang mendengar dengan terpesona mendadak menyela dari samping.
“Mengapa lukisan itu tinggal separuh??”
Jan Bok Hong tertawa.
“Karena sewaktu Thian To membakar lukisan-lukisannya hanya tertinggal separuh
lukisan Giok Sian Cu yang belum sempat terbakar musnah, inilah satu-satunya lukisan
yang masih ada dikolong langit. Sedang mengenai mengapa lukisan itu bisa selamat
beritanya adalah begitu.”
“Ketika lukisan tadi terbakar hingga tinggal separuh para jago Bulim yang bersembunyi
disekitar kediamannya segera turun tangan melancarkan satu pukulan dahsyat kearah
kobaran api itu sehingga lukisan tadi mencelat keluar rumah.”
“Tapi Thian To yang terkenal akan keindahan lukisannya merupakan seorang jago
berkepandaian tinggi pula dalam kalangan Bulim waktu itu sulit sekali baginya untuk temui
tandingan. Ketika Thian To melihat lukisannya yang belum habis terbakar mencelat keluar
rumah ia jadi gusar sekali dengan kumpulkan seluruh tenaga kweekang yang dimiliki ia
binasakan seluruh kawan Bulim yang tersembunyi disekeliling tempat itu.”
“Oooouw… sungguh aneh sekali watak orang ini” kembali Siauw Ling memotong
sembari menghela napas panjang… “Kenapa ia tidak suka tinggalkan hasil karyanya untuk
keturunan selanjutnya?”

Tak tahan lagi Jan Bok Hong mendongak tertawa terbahak-bahak.
“Haaa… haaa… haaa bila dikolong langit pada saat ini banyak lukisan hasil karya Thian
To lukisannya tak mungkin bisa dianggap sebagai benda yang sangat berharga.”
“Perkataan itu sedikitpun tidak salah” sambung Ih Boen Han To dari samping. “Tapi
menurut apa yang siauwte ketahui Thian To selama hidup menderita penyakit yang parah,
lukisan yang berhasil dibuatpun tidak lebih hanya sepuluh buah lukisan sekalipun
ditinggalkan dalam kolong langit semuapun tidak bisa terhitung banyak.”
“Haaa… haaaa…” kembali Jan Bok Hong tertawa tergelak. “Ih Boen heng tinggal di
pesanggerahan Sian Kie Su Lu membaca berjuta-juta jilid kitab dan mengarungi berlaksalaksa
lie perjalanannya, pengetahuannya sudah tentu jauh lebih dari Siauwte entah
lukisann apa yang ditinggalkan Thian To dalam keadaan tidak utuh ini?”
“Menurut apa yang siauwte ketahui, lukisan itu adalah sebuah lukisan yang melukiskan
sebuah rembulan dikerumuni bintang-bintang disekitarnya cuma sayang lukisan rembulan
yang paling membutuhkan banyak keringat dan tenaga dari Thian To telah terbakar
musnah kini hanya tersisa dua belas bintang!”
“Oooow pengetahuan Ih Boen heng betul-betul luar biasa, lukisan yang masih
tertinggal dikolong langit memang benar-benar lukisan rembulan dan bintang hanya yang
tidak cocok adalah bintang tersisa bukan dua belas tapi hanya sebelas butir setengah.”
“Waktu itu sesudah Thian To turun tangan membinasakan orang yang melancarkan
serangan dari tempat persembunyian kenapa tidak mau memungut juga separuh lukisan
tadi dari luar rumah?” tanya Siauw Ling kembali.
“Waktu itu Thian To sedang menderita penyakit yang amat parah. Napasnya sudah
sendat tunggu putusnya. Apalagi dalam keadaan gusar harus bergebrak pula melawan
orang-orang itu, penyakitnya menjadi kambuh kembali, sedang lukisan rembulan dan
bintang itu sudah terpental keluar ruangan tertiup oleh angin kencang. Sekalipun dia ada
maksud mengejar tapi kekuatan tak memadai menurut berita yang tersiar sewaktu
badannya baru melangkah keluar ajalnya sudah tiba. Sewaktu mati sepasang kakinya
masih tertinggal didalam pintu.”
“Semisalnya ia benar-benar ada maksud untuk memusnahkan seluruh hasil karyanya,
kenapa hanya tertinggal sebuah lukisan Giok Sian Cu saja yang tidak mau dibakar?”
“Lukisan Giok Sian Cu merupakan satu-satunya hasil karya yang paling indah diantara
lukisan lain. Sekalipun ia tidak rela lukisan tadi tertinggal dikolong langit iapun tidak tega
untuk memusnahkannya.”
“Menurut apa yang siauwte ketahui” tiba-tiba Ih Boen Han To menyambung. “Lukisan
Giok Sian Cu tersebut agaknya mengandung percintaan perempuan yang dilukis dalam
lukisannya benar-benar ada orangnya.”
Im Yang Cu yang kuatir akan keselamatan ciangbun suhengnya lama kelamaan tidak
dapat menahan sabar lagi akhirnya ia berseru, “Pendapat kalian berdua walaupun pinto
perhatikan sungguh-sungguh tapi nyawa suheng pinto berada dalam keadaan kritis
banyak mendengarkanpun tak ada gunanya bagaimana kalau kedua benda berharga itu

pinto tukar dengan obat pemusnah racun tersebut? harap Jen Toa Cungcu suka cepat
mengambil keputusan dengan demikian agar pinto bisa berlega hati.”
Jan Bok Hong mendongak dan memandang sekejap Kiem Hoa Hujien.
“Menurut pendapat cayhe, kitab pusaka Sam Khie Cin Hok serta lukisan Giok Sian Cu
sudah cukup untuk ditukar dengan keselamatan Boe Wie Tootiang entah bagaimana
pendapat Hujien?”
Kiem Hoa Hujien termenung berpikir sejenak kemudian sahutnya. “Aku punya suatu
permintaan yang tak pantas entah maukah Cungcu mengabulkan?”
“Hujien silahkan mengutarakan persoalan tersebut asal cayhe bisa melakukan tentu tak
kutolak.”
Kiem Hoa Hujien tersenyum. “Sebetulnya aku tidak membutuhkan apapun untuk
memberikan obat pemusnah tersebut kepada mereka. Asalkan kalian setuju tentu
kuserahkan obat tersebut hanya saja sehabis mendengar pembicaraan kalian berdua
tentang lukisan Giok Sian Cu yang dikatakan tak ada duanya dikolong langit, dari dasar
hatiku timbul rasa ingin tahu.”
Jan Bok Hong sebagai seorang cilik yang sudah diketahui gembira sedih marah
senangnya tak urung berubah juga air mukanya setelah mendengar perkataan itu.
“Apakah Hujien ada maksud menginginkan lukisan Giok Sian ku itu?”
“Sedikitpun tidak salah entah sukakah Cungcu mengabulkan permintaanku ini.”
Suasana dalam ruangan mendadak menjadi sunyi senyap tak terdengar sedikit
suarapun saking sunyinya sehingga detakan jantung setiap orang dapat terdengar jelas.
Melihat suasana berubah jadi sunyi tiba-tiba Kiem Hoa Hujien tertawa terkekeh-kekeh.
Sembari memandang Siauw Ling serunya, “Saudara cilik pernahkah kau menonton
kedahsyatan dari Pak Sian jie ku ini?”
Walau dihati Siauw Ling merasa muak dan benci terhadap perempuan ini tak urung
rasa ingin tahu yang muncul didasar hatinya susah ditahan.
“Apa yang dimaksudkan dengan Pak Sian jie?” tanyanya. Dari dalam sakunya Kiem Hoa
Hujien mengeluarkan sebuah kotak kumala sepanjang beberapa depa dengan lebar
setengah coen.
“Saudara cilik kau sudah melihat jelas?” serunya sembari tertawa. Tangannya
digetarkan cepat serentetan cahaya putih meluncur keluar dari balik kotak kumala tersebut
kemudian sesudah berputar kencang ditengah udara jatuh diatas meja perjamuan.
Setelah Siauw Ling memperhatikan lebih cermat ia temukan benda itu berwarna putih
badan bagian bawah melingkar membentuk sebuah lingkaran kecil sedang kepalanya
mendongak keatas lidah berwarna merah menjulur tiada hentinya sepasang mata melotot
keempat penjuru.

Dibawah sorotan yang menggidikkan hati para jago merasakan bulu roma bangun
berdiri tapi untuk menjadi kehormatan sendiri mereka berusaha menenangkan hatinya.
Dari sakunya kembali Kiem Hoa Hujien mengeluarkan sebuah kotak berwarna hijau
muda setelah dibuka penutupnya segera dilemparkan ke sisi sarang laba-laba tersebut dan
mulutnya memperdengarkan suara aneh yang rendah lagi berat.
Delapan ekor laba-laba hitam yang baru saja mengisap kering kutungan lengan itu
setelah mendengar suitan aneh tersebut mendadak menerobos masuk kedalam kotak satu
persatu.
Kini tinggal seekor laba-laba yang belum masuk kedalam kotak, tiba-tiba suitan Kiem
Hoa Hujien berubah nada.
Si laba-laba hitam yang belum sempat masuki kotak tersebut mendadak berhenti
bergerak dan tak berkutik ditempat semula.
Tampak cahaya putih berkelebat lewat, ular Pek Sian jie yang berada diatas meja
perjamuan mendadak laksana sambaran kilat menubruk kearah sarang laba-laba tersebut.
Laba-laba hitam yang belum sempat masuk kedalam kotak sebenarnya sedang
pentangkan kakinya yang panjang sehingga kelihatan sikap ganas dan gagah perkasa.
Tapi begitu berjumpa dengan ular putih itu. Mendadak dengan tanpa sadar telah
menarik kembali kakinya dan sembunyikan kepala ke belakang, sebentar saja badannya
sudah menyusut kecil sekali.
Lidah merah ular itu segera meluncur keluar menjilat badan laba-laba hitam itu dan
menggulungnya masuk kedalam mulut sekali telah musnahlah binatang beracun itu.
Melihat peristiwa pembunuhan yang dilakukan antara ular putih dengan laba-laba
hitam, air muka para jago sama-sama berubah menghebat.
Sekonyong-konyong Kiem Hoa Hujien meninggalkan tempat duduknya melangkah
kedepan, setelah menutup kotak besi berwarna hijau itu ia simpan ketujuh ekor laba-laba
hitam itu kedalam saku.
Sejak ular putih tadi menelan seekor laba-laba hitam mendadak kegagahannya makin
memuncak, dengan diiringi suara kokokan yang nyaring sisik putih diseluruh badannya
bermunculan memenuhi badan.
Kembali Kiem Hoa Hujien ulapkan tangannya keatas ular kecil warna putih itu
menyahut dan meloncat balik keatas meja perjamuan, sinar matanya berkeliaran keempat
penjuru. Lidah menjulur keluar masuk tiada hentinya siap menerjang mangsa selanjutnya.
Melihat semua peristiwa itu Siauw Ling merasa terperanjat, diam-diam pikirnya dihati,
“Kecepatan gerak dari ular kecil berwarna putih ini benar-benar luar biasa sekali sungguh
membuat orang susah menjaga diri.”
Sinar mata Jan Bok Hong menyapu sekejap wajah Kiem Hoa Hujien akhirnya ia
mengangguk.

“Cayhe menyetujui permintaan Hujien.”
“Hiii hiii Toa Cungcu sungguh amat sosial lain kesempatan nanti aku pasti akan
membalas budi kebaikan ini” Kiem Hoa Hujien tertawa terkekeh-kekeh.
Kotak pualamnya kembali diangkat seraya memperdengarkan suitan yang maha aneh,
ular kecil yang berwarna putih itu meluncur balik kedalam kotak.
Diatas selembar wajah Jan Bok Hong yang sesungging kembali satu senyuman.
“Im Yang Tooheng, kita tentukan saja pertukaran ini entah dimanakah kitab pusaka
Sam Kie Cien Boh serta lukisan Giok Sian Cu tersebut?”
“Pada saat ini benda-benda tersebut tidak berada di saku pinto” Jan Bok Hong tertawa
hambar.
“soal ini sih aku orang she Jan sudah menduga sebelumnya. Silahkan Tootiang ajukan
syarat pertukaran dan kita lakukan suatu jual beli yang adil.”
“Bilamana dalam dua belas kemudian suhengmu tidak diberi minum obat pemusnah”
sambungnya Kiem Hoa Hujien dengan cepat. “Maka racun keji ular emas itu akan
bersarang diseluruh perutnya sekalipun mendapat obat pemusnah juga percuma saja,
karena hal ini tak akan berguna untuk menolong jiwanya.”
“Jam berapakah saat ini?” tanya Im Yang Cu kemudian sambil alihkan sinar matanya
menyapu sekejap seluruh jago yang ada dalam ruangan itu.
“Kentongan keempat lewat sedikit, kentongan kelima belum sampai.
“Siang ini pinto akan menunggang sebuah sampan kecil menanti kedatangan saudara
sekalian didepan teluk Sam Liuw Wan ditengah sungai, masing-masing pihak tak boleh
terlalu banyak membawa orang dan masing-masing pihak dengan menunggang sebuah
sampan kecil saling bertukar syarat ditengah sungai.”
“Bagus, bagus sekali, entah berapa banyak orang yang boleh dibawa masing-masing
pihak?” kata Jan Bok Hong sembari tertawa.
“Paling banyak empat orang, lebih tak jadi.”
“Baiklah kita menurut saja dengan maksud hati Tootiang.”
Im Yang Tootiang angkat telapak tangannya keatas, lalu memandang sekejap diri Ih
Boen Han To dengan pandangan yang sangat dingin.
“Sikap suheng kami terhadap Ih Boen sianseng sangat ramah dan penuh kesopanan
tidak sangka ternyata Ih Boen sianseng begitu tidak tega untuk membokong dirinya.”
Ih Boen Han To tertawa serak. “Bertanding kecerdasan bertanding kekuatan sudah
lama terjadi dalam dunia kangouw masing-masing pihak harus mengandalkan kepintaran
dan kemampuan sendiri-sendiri. Walaupun suheng kalian bersikap amat baik kepadaku
itupun tidak bermaksud yang lebih mendalam jadi sikap suhengmu tak bisa dikatakan
bersahabat.”

“Hee, hee jika suheng kami terjadi sesuatu hal yang tidak beres maka Ih Boen
siansenglah pertama-tama yang harus menanggung seluruh dosa ini!” seru Im Yang
Tootiang sembari tertawa dingin.
“Aakh Tooheng terlalu memuji.”
Sinar mata Im Yang Tootiang perlahan-lahan dialihkan ke wajah Jan Bok Hong. “Pinto
berpamit dulu dan kita berjumpa nanti siang.”
Jan Bok Hong tidak menjawab sinar matanya dialihkan kearah Ciu Cau Liong.
“Harap Jie te suka mewakili aku mengantar Im Yang Tootiang keluar dari sini.”
Ciu Cau Liong mengiakan tangannya lantas merangkap memberi hormat. “Tootiang
silahkan.”
Im Yang Cu tidak banyak bicara lagi ia putar badan dan berlalu mengikuti dibelakang
Jie Cungcu.
“Tunggu sebentar” tiba-tiba Kiem Hoa Hujien membentak keras seraya bangkit berdiri.
“Racun yang berada diatas jaring laba-laba itu sangat ganas bila kalian berdua sampai
terbentur dengan racun itu kemungkinan besar sebelum Boe Wie Tootiang kalian sudah
mati terlebih dahulu.”
“Jikalau demikian harap Hujien suka menghantar mereka turun loteng” seru Jan Bok
Hong cepat.
Kiranya didepan pintu loteng masih banyak melingkar laba-laba yang menutup jalan
keluar mereka.
Kiem Hoa Hujien tertawa katanya, “Toa Cungcu kedudukanmu sangat terhormat bila
ada sarang laba-laba yang menutup pintu masuk bukankah memberi tambahan sebuah
jebakan bahaya untuk dirimu? mengapa harus dimusnahkan? bukankah terlalu sayang?”
Jan Bok Hong kerutkan alisnya lama sekali akhirnya ia tertawa.
“Perkampungan Pek Hoa Sanceng walaupun tidak terhitung sebuah benteng terdiri dari
tembok tembaga dinding baja tapi persiapan untuk menahan serangan musuh masih
cukup kuat maksud baik hujien biarlah cayhe terima dihati.”
“Jikalau demikian adanya akupun lebih baik terima perintah dan mewakili Toa Cungcu
untuk melenyapkan jaring laba-laba ini.”
Dengan langkah menggiurkan Kiem Hoa Hujien berjalan mendekati jaring laba-laba
tersebut.
Seluruh perhatian para jago yang hadir dalam ruangan tanpa disadari lagi bersamasama
dialihkan kesatu arah yang sama yaitu melihat dengan cara apa perempuan itu
hendak melenyapkan jaring laba-labanya.

Jan Bok Hong sebagai seorang manusia cilik berakal banyak tujuannya yang paling
terutama adalah melihat secara bagaimana perempuan itu melenyapkan jaring laba-laba
beracun itu sehingga dikemudian hari mendapat cara untuk memecahkannya.
Tampak Kiem Hoa Hujien memasukkan tangannya kedalam saku dan mengambil keluar
sebilah pedang pendek warna emas yang panjangnya tidak sampai satu depa dimana
tangannya menyambar serentetan cahaya biru berkelebat lewat menghajar sarang labalaba
tersebut.
Sreeet diiringi desiran tajam sarang tadi lenyap tak berbekas. Agaknya ia tidak ingin
para jago yang ada dalam ruangan melihat jelas senjata apa yang ia pergunakan dengan
kecepatan yang susah diikuti dengan pandangan mata pedang emas tadi dimakan kembali
kedalam sakunya lalu menoleh dan tertawa.
“Sekarang kalian berdua boleh berlalu.”
“Cayhe bawakan jalan buat Tootiang” Ciu Cau Liong berebut jalan selangkah terlebih
dahulu.
Dengan kencang Im Yang Cu mengikuti dari belakang Ciu Cau Liong berlalu dari loteng
dengan langkah lebar.
Sepeninggalan toosu tua dari Bu-tong pay perlahan-lahan Kiem Hoe Hujien balik
kembali kekursinya lalu tertawa.
“Kali ini apakah Toa Cungcu bersungguh-sungguh hendak tukar obat pemusnah
tersebut dengan benda pusaka yang mereka ajukan?” tanyanya perlahan.
“Sedikitpun tidak salah walaupun dalam dunia kangouw penuh diliputi kelicikan serta
akal busuk tapi janji yang telah kita setujui tak boleh dilanggar bila Im Yang Tootiang
benar-benar hendak gunakan kitab pusaka Sam Khie Cin Boh serta lukisan Giok Sian Cu
untuk ditukar dengan obat pemusnah kitab, sudah seharusnya kita tak boleh mengingkari
janji.”
“Jika aku gunakan obat lain untuk ditukar dengan benda itu?” Jan Bok Hong segera
tersenyum.
“Bu-tong pay bisa tancap kaki selama ratusan tahun. Dalam dunia kangouw sudah jelas
kekuatan mereka tidak lemah, apa kau kira mudah sekali buat kita untuk menghadapinya?
Hujien setelah mendengar segala sesuatu yang diatur Im Yang Tootiang dengan minta
sebuah sampan kecil dan pertukaran itu dilakukan ditengah telaga apakah masih belum
mengerti apa maksudnya yang benar?”
“Jikalau secara sembarangan aku mengambil keluar semacam obat dan kukatakan
inilah obat pemusnah dari ular emas itu. aku rasa Toa Cungcu sendiripun belum tentu bisa
membedakan!”
Pada mulanya Jan Bok Hong tertegun, akhirnya ia tertawa hambar.
“Hujien, kau terlalu pandang enteng jago-jago Bulim didaratan Tionggoan dan terlalu
pandang enteng bakat-bakat bagus dari Bu-tong-pay” tegurnya dingin.

Karena takut antara mereka berdua timbul cekcok, buru-buru Ih Boen Han To
menimbrung.
“Jan heng sudah memimpin kalangan Liok Lim didaratan Tionggoan sejak sepuluh
tahun berselang sedang Hujien merupakan pimpinan tertinggi sekitar daerah Biauw Ciang
masing-masing pihak mempunyai kekuasaan tersendiri.”
Ia merandek sejenak, kemudian sambil tertawa sambungnya, “Tapi keadaan pada saat
ini sangat berlainan kita butuh kerja sama yang erat dan sebenarnya masing-masing pihak
coba saling mengalah apalagi keadaan kita saat ini bagaikan menunggang diatas
punggung harimau, mau turunpun susah…”
Ia merandek sejenak dan menghela napas panjang, setelah memandang wajah Kiem
Hoa Hujien sekejap sambungnya lagi, “Dihadapan Im Yang Tootiang tadi Hujien sudah
mengaku kitalah yang membokong Boe Wie Tootiang tidak bisa diragukan lagi keadan kita
sudah berdiri pada posisi berlawan dengan pihak Bu-tong pay kau harus tahu Hujien,
pengaruh Bu-tong pay amat luas dan lebar bahkan dengan pihk Siauw Lim Go bie serta
Cing shia pun mengadakan saling tukar kabar berita dan mari kita saling membantu pihak
yang lain.”
“Bila peristiwa ini berekor makin membesar dan mulai tersebar dalam Bulim maka dari
pihak Siauw Lim pay, Go bie pay serta Cing Shia pay akan datang memberi bantuan
kepada mereka, jika Hujien dan Toa Cungcu tak dapat mulai bersatu sejak kini maka
kesempatan baik ini akan digunakan oleh pihak lawan untuk menggempur kita!”
“Pendapat Ih Boen heng sedikitpun tidak salah” Jan Bok Hong tertawa dan
mengangguk. “Siauwte betul-betul kagum.”
Sedangkan Kiem Hoa Hujien termenung berpikir sebentar setelah itu baru tertawa.
“Perkataanmu belum selesai diucapkan mengapa secara tiba-tiba membungkam
kembali?”
“Hujien benar-benar manusia yang sangat berbakat” seru Ih Boen Han To diiringi
deheman perlahan. “Maksud Siauwte dari antara Hujien dan Jen heng harus cari seorang
yang pegang tampuk pimpinan tertinggi dalam melaksanakan rencana sebesar ini
sehingga semua urusan bisa terpimpin.”
“Hujien datang dari ribuan lie jauhnya kau lebih patut untuk duduk sebagai pimpinan
kita” usul Jan Bok Hong cepat.
Lama sekali Kiem Hoa Hujien memperhatikan wajah Toa Cungcu dari perkampungan
Pek Hoa Sanceng ini, kemudian ia menyahut, “Toa Cungcu tidak usah sungkan lagi, tamu
tidak boleh bersikap menyolok dihadapan tuan rumah lebih baik Toa Cungcu saja yang
duduk sebagai pucuk pimpinan!”
Ketika itulah Ih Boen Han To tertawa dan mengemukakan pendapatnya, “Bila
dibicarakan dari kecerdasan, bakat serta kepandaiannya silat masing-masing pihak kalian
berdua sama-sama pantas duduk sebagai puncak pimpinan. Cuma menurut pendapat
siauwte lebih baik Jen heng saja yang duduk sebagai pimpinan! Walaupun kepandaian silat
hujien luar biasa kecerdasannya melebihi orang tapi berhubung sudah lama berdiam
didaerah Biauw Ciang rasanya bagimu kurang paham terhadap situasi didataran Tinggoan

jika dibandingkan dengan kemampuan Jen heng, Ehmm! benar akupun punya pandangan
demikian Jan Toa Cungcu kau tidak usah menampik lagi.”
“Jikalau kau berdua sama-sama berkata demikian siauwtepun menurut perintah saja
tapi ada satu persoalan harus siauwte utarakan terlebih dahulu, asalkan kalian berdua
suka mengabulkan siauwte baru berani menerimanya.”
Kiem Hoa Hujien berpaling dan memandang sekejap kearah Ih Boen Han To sedang
mulutnya tetap membungkam. “Jen heng punya pendapat tinggi apakah? Silahkan
diutarakan keluar.”
“Menguasai keadaan lapangan pertarungan melebihi menang seribu kali, didalam
melakukan komando tertinggi bakat siauwte terbatas dan susah mengambil keputusan
sendiri oleh sebab itu menghadapi setiap persoalan yang maha besar masih
mengharapkan kalian berdua suka bersama-sama melakukan perundingan.”
“Sudah seharusnya demikian” sahut Kiem Hoa Hujien cepat. Jan Bok Hong tertawa
hambar.
“Jikalau urusan sudah kita tentukan ini berarti tiada bantahan dari masing-masing pihak
lagi untuk suksesnya tujuan kita aku usulkan kita membentuk satu persekutuan dan
membuat sebuah panji persekutuan dimana panji tadi tiba setiap orang tak boleh
membantah.”
“Tapi rasanya soal lukisan Giok San Cu tidak termasuk dalam persekutuan ini bukan”
sindir Kiem Hoa Hujien sambil tertawa.
“Hujien suka bergurau setelah cayhe menyetujui untuk hadiahkan lukisan Giok San Cu
buat Hujien sudah tentu benda itu akan menjadi milikmu. Apakah kau bisa merasa
menyesal kembali?”
“Ucapan Jen heng sedikitpun tidak salah” seru Ih Boen Han To memberikan
tanggapannya. “Soal pembuatan panji persekutuan serahkan saja kepada siauwte untuk
membuatnya.”
“Baik siauwte segera kirim orang untuk mengundang beberapa orang sahabat lama
serta beberapa orang jagoan yang memiliki nama terkenal dalam dunia persilatan untuk
melangsungkan suatu pertemuan para enghiong hohan dan meminjam kesempatan ini
ajak pula mereka untuk bersama-sama menjadi anggota persekutuan.”
“Munculnya kembali Jan heng dalam dunia kangouw sudah cukup menggemparkan
seluruh dunia persilatan pertemuan enghiong hohan ini pasti akan memancing perhatian
partai-partai besar lainnya” seru Ih Boen Han To seraya tertawa.
“Ih Boen heng terlalu memuji. Pertemuan para enghiong hohan masih agak lama
jaraknya dari ini hari dan kita masih punya banyak waktu sama-sama merundingkannya”
sambung Kiem Hoa Hujien. “Dan kini didepan mata kita masih ada satu persoalan yang
belum mendapatkan keputusan dari Jan Toa Cungcu.”
“Apakah soal pertemuan nanti sore dengan Im Yang Cu?”

“Benar hidung kerbau itu hanya membatasi dengan sebuah sampan kecil dan empat
orang apakah Cungcu sudah pergi berpikir siapakah keempat orang yang hendak kita
kirim?”
“Bagaimana kalau Hujien ikut pergi didampingi oleh Ih Boen heng?”
Agaknya Ih Boen Han To diluar dugaan dengan perkataan dari Toa Cungcu
perkampungan Pek Hoa Sanceng ini.
“Apakah Jan heng sendiri tidak ikut pergi?”
“Siauwte tidak ikut pergi biarlah Jie te serta Sam te pergi mewakili diriku.”
“Rahasia perkampungan Pek Hoa Sanceng sudah bocor, setiap saat kemungkinan besar
perkampungan bisa kedatangan musuh tangguh. Toa Cungcu tetap berada dalam
perkampungan memang merupakan suatu keputusan yang amat tepat” puji Kiem Hoa
Hujien sambil tertawa.
“Kecerdikan serta bakat Hujien melebihi orang perjalanan kita kali ini pasti akan peroleh
hasil yang diharapkan cayhe akan hormati dulu Hujien dengan secawan arak.”
Seraya mengangkat cawan sendiri, sekali teguk ia habiskan isi araknya.
Kiem Hoa Hujien pun mengangkat cawan didepannya dan meneguk habis isi cawannya
lalu sembari tertawa ujarnya, “Moga-moga saja tidak mengecewakan harapan Cungcu!”
Sinar mata Jan Bok Hong berputar menyapu sekejap wajah Ciu Cau Liong serta Siauw
Ling lalu ujarnya, “Jie te, Sam te kalian boleh turun loteng untuk beristirahat nanti sore
kalian dengan mengikuti Hujien pergi kesungai untuk hadir dalam pertemuan.”
Siauw Ling bangun bendiri menjura lalu pertama-tama turun dulu dari atas loteng.
Berada dalam loteng Wang Hoa Loo setengah harian membuat pandangannya mulai
terbuka dan mebuat ia mulai merasa dirinya telah terjerumus kedalam satu jebakan yang
sangat keji.
Dengan membawa perasaan murung, kesal sedih ia balik kebangunan mungil Lan Hoa
Cing Si.
Kiem Lan serta Giok Lan dengan wajah penuh senyuman telah menanti kedatangannya
diluar bangunan Lan Hoa Cing Si tapi melihat kemurungan wajah pemuda tersebut
senyuman merekapun punah dengan mengintil dibelakang Siauw Ling bersama-sama
masuk kedalam.
Giok Lan ambilkan secawan teh perlahan-lahan mendekati diri Siauw Ling.
“Sam ya, apakah kau sedang marah dengan budak-budakmu?” tegurnya lirih.
Siauw Ling menggeleng dan hela napas panjang.
“Persoalan ini tiada hubungannya dengan kalian. Kamu berdua boleh undurkan diri, aku
mau duduk semedi sebentar.”

Kedua orang itu tahu bagaimanakah watak Sam ya nya mereka tak berani berdiam
disana lagi diam-diam merapatkan pintu dan mengundurkan diri.
Sepeninggalnya kedua orang dayang itu Siauw Ling padamkan lampu, lepas pakaian
dan berbaring tapi pikirannya amat kacau walaupun sudah bolak balik belum juga bisa
pejamkan mata.
Tiba-tiba serentetan suara teguran yang serak-serak basah bergema datang.
“Samte kau sudah tidur?”
Nada suara orang ini sangat dikenal sekali olehnya, mendengar teguran ini Siauw Ling
segera mengenali dia bukan lain adalah Jan Bok Hong.
“Ooouw Toako!” serunya sambil meloncat bangun.
Terdengar pintu didosong cahaya lampu menyorot masuk. Kiem Lan dengan membawa
lentera berjalan masuk kedalam membuka jalan. Jan Bok Hong sambil menggendong
tangan mengikuti dari belakang perlahan-lahan masuk kedalam ruangan.
“Sore ini Kiem Hoa Hujien akan bertindak sebagai pemimpin. Samte, kau harus
mendengarkan semua perintahnya!” ujarnya seraya tertawa.
“Soal ini siauwte tahu” Siauw Ling segera menjura.
“Lukisan Giok Sian Cu merupakan hasil kerja terkenal dari seorang ahli lukis Thian To
pada beratus-ratus tahun berselang, benda itu sangat berharga sekali dan apabila
dihitung-hitung harganya ada diatas kitab pusaka Sam Khie Cin Boh bila terjatuh ketangan
Kiem Hoa Hujien bukankah terlalu sayang?”
“Toako bukankah kau sudah menyetujui untuk berikan lukisan Giok Sian Cu buat Kiem
Hoa Hujien??” tanya Siauw Ling kebingungan sepasang matanya memandang Jan Bok
Hong tajam-tajam.
Perlahan-lahan Jen Toa Cungcu dari perkampungan Pek Hoa Sanceng ini mengangguk.
“Tidak salah walaupun aku sudah setuju untuk berikan kepadanya, tapi kau belum
menyetujuinya.” “Apakah Toako berharap Siauwte suka rebut kembali lukisan tersebut??”
“Dalam keadaan seperti ini kita sedang membutuhkan orang kepandaian silat Kiem Hoa
Hujien amat lihay terutama sekali binatang-binatang beracunnya dalam kolong langit
rasanya susah untuk temukan orang kedua macam dirinya. Ia benar-benar merupakan
seorang pembantu yang bagus untuk kita…!”
Mendengar perkataan itu Siauw Ling lantas kerutkan alisnya.
“Toako bilamana kau ada maksud mendapatkan lukisan Giok Sian Cu itu, kenapa tidak
biarkan Siauwte merebutnya dari tangan Kiem Hoa Hujien Toako! kau benar-benar
membuat Siauwte jadi kebingungan sendiri.”
Jan Bok Hong tersenyum.

“Kita tak boleh kehilangan lukisan Giok sian Cu itu tidak dapat pula merebutnya dari
tangan mendapatkan benda Kiem Hoa Hujien, apakah kau tak dapat mendapatkan benda
tersebut dengan menipu diri Kiem Hoa Hujien.”
“Menipu…” Siauw Ling agak tertegun.
“Setiap benda yang ada dalam kolong langit tentu ada lawannya. Kiem Hoa Hujien
terkenal sebagai seorang jagoan yang ahli dalam penggunaan berbagai macam racun,
memelihara binatang berbisa kecuali Samte seorang rasanya dikolong langit tak ada orang
kedua yang bisa menaklukan dirinya.”
“Toako kau jangan menggoda diri Siauwte lagi! Baik kecerdasan bakat perngetahuan
maupun pengalaman siauwte tidak bisa memadai Kiem Hoa Hujien, mana mungkin aku
bisa menipu lukisan-lukisannya?”
“Justru karena Samte tiada pengalaman Bulim, tidak membawa kelicikan merupakan
senjata yang paling mudah untuk mencundangi perempuan ini.”
Ia merandek sejenak lalu sambungnya, “Selama sejarah Bulim banyak muncul jagojago
perempuan yang memiliki kecantikan wajah yang luar biasa ketengasan serta
kekejaman diluar batas, kepandaian silat kecerdasan tidak berada dibawah kaum lelaki,
tapi coba kau lihat kebanyakan para enghiong yang berhasil menguasai Bulim mempunyai
satu kekurangan yang paling menyolok yaitu perempuan paling mudah terangsang oleh
rasa cinta kendati lelaki yang mereka mainkan sudah banyak tapi akhirnya ada satu kala
mereka akan terjirat sendiri oleh kobaran api yang mereka mulai dulu.”
Mendadak air mukanya berubah jadi amat serius setelah merandek sejenak
sambungnya, “Perempuan Siauw paling mudah jatuh cinta api asmara mereka jauh lebih
kuat dari bangsa Han asalkan Samte bisa mengobarkan kembali rasa cinta asmara
dihatinya tidak mudah bagimu untuk dapatkan kembali lukisan Giok San Cu tersebut.”
“Soal ini siauwte tidak becus……”
Jan Bok Hong mendehem perlahan memotong ucapan Siauw Ling yang belum selesai
diutarakan.
“Samte masih ingatkah kau orang sumpah yang kita ucapkan bersama-sama?”
“Siauwte masih ingat.”
“Ehmm bagus sekali perintah berat bagaikan gunung Thaysan sekalipun mati tak akan
menampik apalagi Kiem Hoa Hujien bukan manusia baik-baik. Aku mohon diri dulu.”
“Siauwte mengiringi Toako” baru pemuda she Siauw menjura.
Jan Bok Hong tertawa ia tepuk-tepuk pundak Siauw Ling seraya ujarnya. “Harapanku
terhadap kesuksesanku dikemudian hari sangat besar kaulah satu-satunya yang kujagakan
bisa meneruskan kedudukanku.”

Perlahan-lahan ia putar badan dan melangkah pergi dari sana. Dengan termangumangu
Siauw Ling memandang bayangan Jan Bok Hong yang jauh berlalu. Dalam
benaknya kembali bertambah dengan suatu persoalan yang memurungkan hatinya.
Sang surya telah berada diawang-awang seluruh bangunan mungil Lan Hoa Cing Si
penuh bermandikan cahaya keemas-emasan.
Dengan hati kesal, murung dan mangkel Siauw Ling berjalan-jalan ditengah tumbuhan
beraneka warna.
Dari tempat kejauhan Kiem Lan serta Giok Lan memandangi diri Siauw ling yang
sedang berjalan bolak balik diantara kerumunan bunga diam-diam mereka ikut merasa
kuatir dalam keselamatan dirinya.
Kedua orang dayang ini sejak kecil dibesarkan dalam perkampungan Pek Hoa Sanceng
terhadap segala kekejaman, kekejian, ketelengasan dan kebuasan yang sering dilakukan
dalam perkampungan tersebut sudah sangat dipahami dalam hati mereka. Justru sikap
Siauw Ling yang memperlihatkan wajah murung menanamkan bibit bencana kematian
buat diri sendiri.
Walaupun kedua orang dayang ini sama-sama dibesarkan dalam perkampungan
tersebut, hubungan mereka erat bagaikan kakak beradik, tapi dalam dasar hati mereka
masih saling curiga mencurigai, dalam keadaan seperti inipun mereka tidak berani
mengemukakan kekuatiran mereka terhadap diri Siauw Ling ini.
Akhirnya Kiem Lan menghela napas panjang.
“Samya agaknya kau sedang dimurungkan oleh suatu kejadian yang memberatkan hati”
tegurnya.
“Benar” sambung Giok Lan, mendadak mereka membungkam kembali dalam seribu
bahasa.
Tampak Ciu Cau Liong dengan memakai pakaian ringkas yang perlente berjalan datang
dengan langkah terburu-buru.
“Samte kau sudah bangun?” teriaknya lantang.
“Ehmm sudah bangun” Siauw Ling putar badan dan menjura. “Kiem Hoa Hujien serta Ih
Boen Sianseng telah siap menunggu kita didalam ruangan tengah Samte cepat bebenah
sebentar kita harus segera berangkat.”
“Tidak perlu mari kita pergi” ketika kedua orang itu melangkah masuk kedalam ruangan
Kiem Hoa Hujien serta Ih Boen Han To telah menanti disana.
Ih Boen Han To segera bangun berdiri seraya menjura, “Harus merepotkan Jie Cungcu
serta Sam Cungcu.”
“Aaakh kita sudah menjadi orang sendiri Ih Boen heng terlalu sungkan” seru Ciu Cau
Liong tersenyum.

Kali ini Kiem Hoa Hujien memakai pakaian ringkas berwarna putih bersih gaun putih.
Ikat kepala warna putih pula, dua kuntum emas bersulamkan didepan dada.
Walaupun usianya sudah mencapai empat puluhan, tapi dengan kesempurnaan ilmu
kweekangnya serta keahlian dalam merawat wajah, sekali pandang mirip seorang gadis
berusia dua pulun tahun.
Alisnya yang tipis melentik dengan pipi yang halus, hidung mancung bibir kecil
merekah, biji matanya menggiurkan boleh dihitung perempuan ini merupakan seorang
perempuan berwajah amat cantik.
Sekalipun didaratan Tionggoan sendiri belum tentu bisa temukan perempuan seayu ini.
Walaupun dalam hati Siauw Ling tidak sudi merayu perempuan ini untuk menipu lukisan
Giok Sian Cu nya tapi pesan terakhir dari Jan Bok Hong selalu mendengung dihatinya. Tak
kuasa lagi ia maju menjura kearah Kiem Hoa Hujien.
Sepasang biji mata Kiem Hoa Hujien berputar-putar dengan rata cara bangsa Han ia
balas memberi hormat kepada Siauw Ling lalu dengan genit tertawa cekikikan.
“Saudara cilik kau terlalu banyak adat kau suruh aku yang menjadi enci merasa malu.”
“Hmm, siapa yang kesudian menjadi adikmu, sungguh tidak tahu malu” maki pemuda
ini dalam hati.
Diluaran ia tersenyum ramah mulutnya membungkam dalam seribu bahasa.
Karena dirinya sudah terikat dalam persaudaraan dan perintah dari angkatan yang lebih
tua susah dibantah, tidak kuasa lagi ia bertindak sesuai dengan perintah Jan Bok Hong.
Ciu Cau Liong yang ada disamping segera tersenyum.
“Diluar telah tersedia kuda, silahkan Hujien dan Ih Boen heng segera berangkat.”
Keempat orang itu dengan jalan beriring keluar dari ruangan, empat orang lelaki kekar
telah siap berdiri didepan pintu dengan masing-masing orang mencekal seekor kuda.
Ciu Cau Liong meloncat terlebih dulu keatas pelana kuda, kemudian serunya, “Cayhe
akan membukakan jalan buat Hujien serta Ih Boen heng.”
Sembari menyentak tali les kuda, ia berangkat terlebih dulu menuju teluk Sam Liuw
Wan.
Kiem Hoa Hujien melarikan kudanya sejajar dengan juda Siauw Ling sepasang matanya
yang bulat besar tiada hentinya memperhatikan wajah maupun perawakan pemuda
tersebut.
Dibawah sorotan sinar sang surya tampaklah alisnya melentik dengan mata yang besar,
pipi semu merah, punggung dan badannya kekar diatas wajahnya yang tampan secara
samar-samar memperlihatkan sedikit rasa malu. Hal ini menambah mempesonakan
perempuan tersebut.

Tak terasa lagi pikirnya diam-diam, “Dikolong langit saat ini mungkin sulit untuk
temukan pemuda segagah ini.”
Empat ekor kuda berlari kencang diatas jalan raya kurang lebih sepuluh lie kemudian
mereka mulai mendengar suara deruan ombak menepi, kiranya keempat orang itu sudah
tiba ditepi sungai.
Ciu Cau Liong menarik tali les luda dan berhenti lalu sambil menuding bayangan pohon
ditempat kejauhan ujarnya sembari tertawa, “Tempat inilah yang dinamakan teluk Sam
Liuw Wan, dari sini kita naik sampan ikuti aliran sungai tidak selang sepertanak nasi sudah
tiba ditempat tujuan.”
Kiem Hoa Hujien melayang turun dari atas kuda dimana sinar mata berputar ia
temukan ditepi sungai tersedia sebuah sampan kecil dua orang lelaki kekar berdandankan
nelayan datang menyambut kepada Ciu Cau Liong sembari menjura ujarnya, “Sampan
telah tersedia apakah Jie Cungcu masih ada perintah yang lain?” “Kalian pergilah tak usah
menunggu lagi disini” Ciu Cau Liong ulapkan tangannya.
Kedua orang nelayan tersebut segera menjura lalu meloncat naik keatas perahu
nelayannya dan berlalu dari sana. Kiem Hoa Hujien menoleh dan memandang sekejap
kearah Siauw Ling kemudian tertawa.
“Saudara cilik perkampungan Pek Hoa Sanceng kalian benar-benar banyak tersebar
mata-mata ditempat luaran.”
“Terus terang hujien sekitar seratus lie dikeresidenan Koei Cho berada dalam
kekuasaan kami dimanapun banyak tersebar mata-mata dan pos-pos penjagaan pihak
perkampungan Pek Hoa Sanceng” buru-buru Ciu Cau Liong menyahut.
Kiem Hoa Hujien tertawa tawar badannya melengkung mendadak ia mencelat ketengah
udara dan melayang turun diatas sampan kecil itu.
Melihat kelihayan perempuan Biauw itu diam-diam Ciu Cau Liong merasa terperanjat
pikirnya, “Iblis perempuan ini sungguh amat susah diganggu gugat bukan saja ia pandai
dalam menggunakan beratus-ratus macam racun kepandaian silatpun sangat luar biasa
ditinjau dari geraknya yang sama sekali tidak menggunakan tenaga sewaktu melayang
keatas sampan cukup membuktikan ilmu meringankan tubuhnya telah mencapai puncak
kesempurnaan.”
Dimana sampan kecil itu berhenti masih terpaut beberapa tombak dari daratan
melayang keatas sampan walaupun bukan suatu pekerjaan yang tersulit justru yang sukar
adalah gerakan meloncat tanpa menekukkan kaki.
Bila seseorang tidak memiliki tenaga kweekang yang sempurna serta ilmu meringankan
tubuh yang istimewa susah untuk melakukannya.
diam-diam Siauw Ling salurkan hawa murninya mengelilingi seluruh tubuh mendadak
badannya berputar lalu mencelat ketengah udara dan bagaikan daun kering badannya
melayang turun keatas sampan.
“Saudara cilik, amat bagus ilmu meringankan tubuhmu” Tak kuasa lagi Kiem Hoa Hujien
berseru memuji.

“Membuat sampan, didepan seorang ahli masih mengharapkan petunjuk yang berharga
dari hujien.”
Pada waktu itu Ih Boen Han To serta Ciu Cau Liong pun sama-sama telah melayang
naik kesampan.
“Samte kau pegang kemudi biar aku yang mendayung!” seru Ciu Cau Liong kemudian
sembari memandang sekejap pemuda itu.
Siauw Ling menyahut dan berjalan ke buritan.
Sinar mata Kiem Hoa Hujien selama ini bergeser mengikuti gerakan badan Siauw Ling
melihat cara pemuda itu memegang kemudi tidak terasa lagi ia tertawa cekikikan.
“Saudara cilik, kau pernah pegang kemudi?”
“Belum.”
Pundak Kiem Hoa Hujien sedikit bergerak dengan menyiarkan bau harum dari badannya
ia telah melayang turun disisi Siauw Ling, ujarnya sambil tertawa, “Bagaimana kalau aku
yang jadi enci membantu dirimu??”
Walaupun dalam hati Siauw Ling merasa benci terhadap perempuan ini tapi pesan Jan
Bok Hong mendatangkan yang luar biasa besarnya dalam lubuk hatinya tanpa disadari lagi
ia mengangguk.
“Kalau begitu aku harus ucapkan banyak terima kasih kepada hujien.”
Kiem Hoa Hujien keluarkan tangannya yang halus dan ganti mencekal kemudian.
“Saudara cilik, kau tak usah sungkan-sungkan dikemudian hari banyak persoalan yang
membutuhkan kerja sama diantara kita asalkan saudara cilik tidak terlalu meremehkan aku
yang jadi enci, dikemudian hari tentu akan kuturunkan semua segala permainan yang
kudapatkan dari daerah Biauw.”
“Hmm! sungguh tidak tahu malu” maki pemuda she Siauw itu dalam hati. “Siapa yang
kemudian mempelajari permainan ularmu?”
Diluar ia tersenyum-senyum jawabnya, “Cayhe takut bakatku tidak becus sehingga
menyia-nyiakan harapan hujien.”
“Selamanya pandangan mata encimu tak bakal salah, asalkan kau berniat sungguhsungguh
untuk mempelajari permainan ini.”
“Tidak sampai tiga tahun encimu bakal kehabisan bahan untuk memberi pelajaran
kepadamu.”
Dibawah dayungan Ciu Cau Liong, sampan kecil itu dengan cepat meluncur tinggalkan
tepian.

Kiem Hoa Hujien segera putar kemudi sampan kecil itu dengan mengikuti aliran air
sungai perlahan-lahan bergerak kemuka.
Memandang gulungan ombak ditengah sungai Siauw Ling mengenang kembali
pengalamannya sewaktu lima tahun berselang terjatuh kedalam sungai, harinya merasa
terharu bercampur murung.
Sang surya memancarkan sinarnya memenuhi seluruh jagad, siang haripun telah
menjelang datang.
Perlahan-lahan Ciu Cau Liong menggerakkan dayung sampan kecil dengan tenang
meluncur diatas permukaan sungai teluk Sam Liuw Wan.
Kiem Hoa Hujien yang harus lama menunggu, lama kelamaan mulai tidak sabar lagi
teriaknya tiba-tiba, “Hidung kerbau ini sungguh kurang ajar berani benar mereka menghiur
waktu selama lamanya dan suruh kita menanti banyak waktu diatas permukaan sungai.
Nanti kita harus beri sedikit hajaran buat dirinya.”
“Hujien tak usah gelisah” hibur Ih Boen Han To sambil tertawa. “Urusan ini menyangkut
mati hidup Boe Wie Tootiang sihidung kerbau itu aku duga mereka tak akan mengingkari
janji, sekarang siang haripun belum sampai.”
Ucapan mendadak terputus oleh datangnya suara deburan ombak memecah tepian
disusul munculnya setitik sampan kecil dari tempat kejauhan.
Kedatangan sampan kecil itu sungguh cepat sekali dalam beberapa saat mereka telah
berada sangat dekat dengan pihak Pek Hoa Sanceng.
Diatas ujung perahu berdiri seorang tootiang berusia pertengahan yang menggembol
pedang pada punggungnya dia bukan lain adalah Im Yang Tootiang.
“Cepat sambut kedatangannya” perintah Kiem Hoa Hujien dingin seraya memutar
kemudi.
Ciu Cau Liong menyahut, sepasang tangannya diperkuat untuk mendayung sampan
kecil tadi bagaikan anak panah segera meluncur keluar menyambut kedatangan sampan
lawan.
Dua sosok sampan kecil, satu mendatang yang lain menyambut dengan cepatnya
segera berjumpa ditengah titik persimpangan.
Kiem Hoa Hujien segera putar kemudi dan sampan saling menyambar lewat kemudian
putar kalangan dan perlambat gerakannya.
Jilid 24
Im Yang Cu mendongak dan memeriksa sebentar keadaan cuaca, lalu ujarnya, “Maaf,
Cu wi harus menunggu beberapa waktu!”
karena melihat cuaca tepat siang hari sesuai yang dijanjikan, maka toosu ini hanya
mengucapkan kata-kata kesopanan belaka.

Kiem Hoa Hujien tertawa dingin.
“Heee… heee… heee… mau datang lebih pagian atau datang terlambat itu urusanmu
sendiri. Satu detik kalian datang terlambat berarti kematian ciangbunjien kalian satu
bagian lebih mendekat!”
Waktu itu sampan kecil masing-masing pihak hanya terpaut tiga depa saja, apalagi
tiada penutup disekitar sampan seluruh pemandangan dapat terlihat sangat jelas.
Siauw Ling alihkan sinar matanya menyapu sekejap seluruh pemandangan di atas
sampan lawan.
Di atas sampan itupun duduk empat orang kecuali Im Yang Tootiang berdiri diujung
perahu masih ada seorang pemuda berpakaian singsat yang berusia dua puluh tujuh
tahun, wajahnya ganteng dengan perawakan yang kekar di atas pinggangnya terikat
sebuah sabuk putih dengan tersoren tujuh bilah pedang kecil, pada punggungnya
menyoren sebilah pedang panjang dengan jambul merah pada ujung gagang pedang
setelah diperhatikan beberapa saat Siauw Ling mulai teringat kembali pemuda ini bukan
lain adalah Can Jap Cing yang pernah ditemuinya lima tahun berselang diruangan Bu Wie
Tootiang.
Kecuali dua orang ini, di belakang burian duduk pula dua orang satu di depan yang lain
dibelakang.
Orang yang ada di depan berambut dan bercabang pendek, kaku matanya bulat besar
dengan wajah persegi, wajahnya amat keren. Saat ini ia memakai pakaian ringkas warna
abu-abu tua.
Sedang orang yang ada di belakang berambut putih sepanjang dada pakaian warna
biru dandanan siucay, wajah putih bersih kelihatannya sangat lemah lembut tak
bertenaga.
Ih Bun Han To kerutkan alisnya disusul tertawa terbahak-bahak.
“Haaa… haaa… haaa… selamat berjumpa selamat berjumpa tidak nyana Tiong Lam Jie
Hiap pun punya minat untuk ikut menghadiri pertemuan ini.”
Watak orang ini benar-benar licik dan berbahaya ia menduga Kiem Hoa Hujien serta Ciu
Cau Liong tidak kenal dengan Tiong Lam Jie hiap maka terlebih dulu ia sebut nama kedua
orang pendekar itu sehingga dengan demikian memberi kesempatan buat Kiem Hoa
Hujien serta Ciu Cau Liong untuk mengetahui sudah kedatangan musuh tangguh dan
mulai melakukan persiapan.
Sikakek tua berjubah warna biru dengan gerak-gerik lemah lembut bagaikan siucay itu
tertawa hambar.
“Antara siauwte dengan Bu Wie Tootiang sudah mempunyai hubungan akrab selama
puluhan tahun lamanya. Hubungan kami erat susah dipisahkan, sudah tentu cayhepun tak
akan berpeluk tangan melihat kawan karib menderita siksaan.”

Sedangkan si lelaki kekar bercambang itu tertawa dingin tiada hentinya seraya
menyegir sindirnya, “Ih Bun Han To sikap Bu Wie Tootiang terhadap dirimu sangat hormat
dan penuh kesopanan tidak disangka kau adalah manusia berhati binatang, secara diamdiam
malah melepaskan binatang beracun untuk melukai dirinya.”
Di atas wajah Ih Bun Han To timbul perasaan malu perlahan-lahan ia menunduk
rendah.
“Eeei pertemuan kita siang ini bermaksud untuk saling tukar syarat ataukah hendak
pinjam kesempatan ini untuk mengadu kepandaian?” tiba-tiba Kiem Hoa Hujien menegur
dengan suara dingin.
“Heeee… heeee…. kedua-duanya sama saja kami tunggu keputusan.” sahut Can Jap
Cing cepat.
“Sute jangan banyak bicara,” Im Yang Tootiang segera membentak lirih perlahan-lahan
ia berpaling dan merangkap tangannya di depan dada.
“Pertemuan siang ini sudah tentu bermaksud untuk saling tukar syarat dengan Hujien.”
Waktu itu Kiem Hoa Hujien telah melepaskan kembali dan berjalan keujung sampan.
“Tootiang kitab pusaka Sam Khie Cin Boh serta lukisan Giok Sian Cu apakah sudah
dibawa serta?”
“Kitab pusaka Sam Khie Cin Boh serta lukisan Giok Sian Cu harus tootiang serahkan
dulu kepada kami, agar bisa kami periksa sungguh atau palsunya setelah itu obat
pemusnah baru bisa kami serahkan.”
Im Yang Tootiang termenung berpikir sebentar kemudian tanyanya dengan wajah
sungguh-sungguh, “Hujien apakah kau tidak merasa tindakkanmu ini kurang adil?”
“Heee… heee… jikalau kalian tidak ingin saling menukar barang. Sudahlah tak perlu
banyak bicara!” teriak Kiem Hoa Hujien sambil tertawa dingin ia berpaling lalu ulapkan
tangannya.
“Kita pergi…”
“Hmm! tahan…” tiba-tiba Can Jap Cing mendengus dingin. Pedangnya segera dicabut
keluar dari dalam sarung.
“Apa yang hendak kau lakukan?” bentak Kiem Hoa Hujien seraya berpaling.
“Jika tak ingin tinggalkan obat pemusnah tinggalkan nyawamu pun sama saja!”
Dengan sepasang mata yang tajam Kiem Hoa Hujien perhatikan sekejap wajah Can Jap
Cing dari atas hingga ke bawah pedang dalam hati diam-diam pujinya, “Tidak nyana dalam
Bulim didaratan Tionggoan betul-betul banyak terdapat pemuda tampan.”
Tapi hatinya sudah kecantol kegantengan Siauw Ling, terhadap Can Jap Cingpun
perhatiannya sudah banyak berkurang.

Mendengar perkataan pemuda jadi amat ketus air mukanya kontan berubah hebat.
“Hmmm! hanya mengandalkan beberapa jurus seranganmu itu?” jengeknya dingin.
Selagi Can Jap Cing siap membantah kembali keburu dicegah oleh Im Yang Tootiang.
“Jikalau Hujien ingin melihat dulu keaslian dari lukisan Giok Sian Cu serta kitab pusaka
Sam Khie Cin Boh sebetulnya bukan suatu urusan yang terlalu sulit.”
Dari dalam sakunya ia mengambil keluar sebuah gulungan kain putih lalu
membentangkannya lebar dan diangkat ke tengah udara.
“Hujien silahkan kau nikmati kecantikan dari lukisan Giok Sian Cu.”
Di bawah sorotan sinar sang surya seluruh pandangan dialihkan ke arah lukisan itu.
Tampaklah seorang gadis cantik yang luar biasa ayunya dengan wajah penuh senyuman
terbentang di depan mata.
Lukisan tersebut sungguh hidup, bahkan perempuan yang dilukiskan bagaikan manusia
sungguh-sungguh.
Diam-diam Kiem Hoa Hujien menunjuk memperhatikan bayangan wajah sendiri yang
tertera di atas permukaan air lalu dibandingkan dengan wajah perempuan dalam lukisan
itu, seketika timbullah rasa malu dan kecewa yang bukan kepalang.
Pada hari biasa ia mengagumi akan kencatikan sendiri yang tiada tandingan. Tapi bila
wajahnya dibandingkan dengan kecantikan perempuan tersebut, maka perbandingannya
sangat jauh sekali bagaikan langit dan bumi.
Ih Bun Han To serta Ciu Cau Liong yang melihat keayuan wajah perempuan dalam
lukisan tersebut pada berdiri melongo-longo dengan sepasang mata terbelalak lebar-lebar
bahkan Siauw Ling pun merasa kagum sekali sehingga dalam hatinya berseru tiada
hentinya.
“Enci bidadari enci bedadari…”
Can Jap Cing berpaling, sinar matanya tidak berani ditunjukkan ke arah lukisan Giok
Sian Cu tersebut.
Sedang Im Yang Cu yang mengangkat lukisan itu tinggi-tinggi berdiri dengan wajah
serius, sepasang matanya dipejamkan rapat-rapat.
Sejenak kemudian sikakek tua yang duduk dipaling ujung belakang mendehem berat.
“Sudah cukup, simpanlah kembali.”
Dengan cepat Im Yang Tootiang menyimpan kembali lukisan tadi lalu dimasukkan ke
dalam sakunya.
“Rasanya Cuwi sekalian melihat jelas bukan?” serunya.

“Nama besar sidewa melukis si Thian To benar-benar bukan nama kosong belaka.
Lukisan Giok Sian Cu sungguh boleh dihitung sebagai pusaka aneh nomor wahid dikolong
langit.”
“Kecantikan wajahnya susah mendapat tanding sejak kuno sebuah lukisan dibuat
kesemsem. Lukisan ini tentu membuat perempuan cantik diseluruh kolong langit jadi
menyesali wajah sendiri…” sambung Ciu Cau Liong.
Tiba-tiba Kiem Hoa Hujien mendengus dingin.
“Perduli kecantikan wajahnya sangat menggiurkan ataupun membuat kesemsem ia
tetap hanya sebuah lukisan mana bisa dibandingkan dengan manusia benar-benar!”
Kesadaran Ciu Cau Liong yang hampir punah segera dibikin terang kembali.
“Aaaakh! perkataan hujien sedikitpun tidak salah!”
Dari dalam sakunya Im Yang Cu mengeluarkan kembali sejilid kitab lalu diangkat pula
tinggi-tinggi.
“Kitab ini adalah kitab pusaka Sam Khie Cin Boh, rasanya kalian berempat tak akan
merasa kecewa bukan?”
Dia membalik kulit kitab terdepan yang berwarna kuning, kemudian diangkat lagi
keatas.
Ketajaman mata Kiem Hoa Hujien sekalipun telah mencapai kesempurnaan sekalipun di
tengah malampun bisa melihat jelas seluruh benda apalagi tulisan itu tidak terlalu kecil
dan disiang hari bolong pula beberapa orang itu dapat melihat tulisan di atas kitab tadi
dengan amat jelas.
Beberapa orang itu punya dasar kepandaian silat yang tinggi, sehabis melihat beberapa
baris kata yang tercantum dalam kitab tadi mereka segera merasakan bila kepandaian silat
itu benar-benar suatu kepandaian yang tinggi dan telengas.
Wajah Kiem Hoa Hujien bergetar, agaknya ia ada maksud meloncat kesampan lawan
dan turun tangan merebut pusaka tersebut tapi tindakannya ini keburu dicegah oleh Ih
Bun Han To dengan menggunakan ilmu menyampaikan suara.
“Hujien, jangan bertindak gegabah. Tiong Lam Jie Hiap mempunyai nama yang sangat
terkenal dalam Bulim. Mereka berdua merupakan jago yang susah dilawan apalagi bila
mereka turun tangan bersama-sama sekalipun belum tentu kita kalah mungkin susah
untuk merebut pusaka Sam Khie Cin Boh serta lukisan Giok Sian Cu tersebut mengapa
tidak hujien tipu dengan gunakan obat palsu saja??”
Tampak Im Yang Tootiang menyimpan kitab tadi ke dalam saku, kemudian ujarnya,
“Cuwi telah memeriksa kitab pusaka Sam Khie Cin Boh serta lukisan Giok Sian Cu tersebut
rasanya bisa mempercayai bukan bila perkataan pinto bukan kosong belaka?”
Dari dalam sakunya Kiem Hoa Hujien pun segera mengambil keluar botol porselen.

“Dalam botol ini berisikan tiga butir pil pemusnah racun ular emas setiap dua jam
ditelan sebutir setelah ketiga butir pil tadi habis maka racunpun bakal punah sendiri
sekarang boleh lemparkan kitab pusaka Sam Khie Cin Boh serta lukisan Giok Sian Cu
tersebut kemari, kita saling tukar barang dengan kontan.”
Im Yang Cu tertawa hambar. “Bukankah jual beli ini kurang adil?”
“Kau serahkan kitab serta lukisan sedang aku serahkan obat pemusnah apanya yang
tidak adil lagi?”
“Kitab pusaka Sam Khie Cin Boh serta lukisan Giok Sian Cu sudah Hujien periksa
keaslian benda tersebut dan sama sekali tidak palsu tapi obat pemusnah dari Hujien harus
pinto buktikan secara bagaimana untuk diketahui asli atau tidaknya?”
“Secara bagaimana kau baru suka mempercayainya??”
“Suheng pinto pada saat ini berada dalam sebuah rumah gubuk lima li dari sini harap
hujien suka mengikuti kami berangkat kesana. Asalkan obat pemusnah itu berhasil
menolong jiwa suheng pinto ini, maka pinto segera akan serahkan kitab serta lukisan itu.”
Ih Bun Han To segera tertawa tergelak tiba-tiba potongnya, “Haaa… haaa… haaa…
perkataan tooheng ini apakah tidak sedikit keterlaluan? Syarat kita bertemu di tengah
sungai untuk saling tukar kitab, lukisan dengan obat pemusnah serta masing-masing pihak
hanya membawa empat orangpun tooheng sendiri yang putuskan sekarang bukan saja
kau ingin kami menepi bahkan harus menunggu sampai suhengmu sadar dulu bari bisa
terhitung. Tooheng! Apakah kau tidak merasa ucapanmu yang plin plan ini akan
mempengaruhi nama besarmu di dalam dunia kangouw kemudian hari??”
“Asalkan Ih Bun Sianseng bisa mencarikan satu akal untuk membuktikan obat
pemusnah yang ada di dalam botol Kiem Hoa Hujien adalah obat pemusnah asli untuk
memusnahkan racun ular emas pinto segera akan serahkan kitab serta lukisan ini!”
“Soal ini…….” Ih Bun Han To dibikin bungkam seribu bahasa dan berdiri melengak.
Can Jap yang ada di samping segera tertawa dingin tiada hentinya.
“Heee… hee… heee… bila suhengku terjadi sesuatu yang tiada menguntungkan maka
Ih Bun sianseng adalah orang pertama yang harus bertanggung jawab!”
“Haa… haa… haa… Bu-tong pay bisa memandang tinggi aku Ih Bun Han To kejadian ini
sungguh merupakan suatu keberuntungan buat cayhe selama hidup.”
Agaknya Im Yang Tootiang sudah dapat menangkap diantara keempat orang itu adalah
Kiem Hoa Hujien yang duduk sebagai pimpinan seraya merangkap tangannya di depan
dada ia menjura.
“Setelah pinto ada maksud menggunakan kitab pusaka Sam Khie Cin Boh serta lukisan
Giok Sian Cu untuk ditukar dengan obat pemusnah kalian dengan mengandalkan
kepercayaan serta kecemerlangan nama Bu-tong pay selama ratusan-ratusan tahun tak
bakalan menggunakan siasat bukan untuk menjebak Hujien sekalian masuk perangkap.”
“Hmm sekalipun ada jebakan aku juga tidak takut” seru Kiem Hoa Hujien dingin.

Tiba-tiba Siauw Ling menyela dari samping. “Perkataan dari tootiang ini memang
sangat adil, kita harus berbuat demikian.”
“Saudara cilik apa yang kau katakan?” seru Kiem Hoa Hujien dengan alis melirik.
“Kita masing-masing pihak berdiri sebagai musuhan, tidak bisa disalahkan orang lain
tidak suka mempercayai kita.”
“Maksud saudara cilik kita seharusnya sungguh-sungguh menolong hidup Bu Wie
Tootiang. Hal itu sudah tentu perkataan yang sudah diutarakan susah ditarik kembali apa
lagi menggunakan akal busuk untuk menipu orang.”
Kiem Hoa Hujien tertawa terkekeh sehabis mendengar ucapan pemuda tersebut.
“Baiklah kita ikuti saja pendapat dari saudara cilik.”
Tangannya lantas diulapkan.
“Harap Tootiang suka membawa jalan.”
Dengan pandangan penuh berterima kasih Im Yang Tootiang melirik sekejap ke arah
Siauw Ling kemudian putar sampan dan bergerak ketepi sungai. Ciu Cau Liong terpaksa
mendayung sampan yang ditumpangi Im Yang Tootiang sembari mendayung diam-diam
bisik ke arah Siauw Ling, “Samte kedatangan kita kemari hanya mendengar perintah dari
Hujien seorang kau jangan mengambil usul sendiri.”
Siauw Ling ada maksud membantah tapi ucapan yang sudah meluncur keluar
mendadak ditelan kembali.
“Teguran Jieko sangat tepat lain kali siauwte tak akan banyak bicara.”
“Tidak mengapa, tidak mengapa,” tiba-tiba Kiem Hoa Hujien menoleh lagi seraya
tertawa.”Perduli ada perkataan apa utarakan saja keluar sekalipun juga tak mengapa.”
Dua sosok sampan dengan cepatnya bergerak mengikuti gulungan air sungai yang
deras tidak selang beberapa saat mereka sudah menepi. Setelah meloncat naik ketepi Im
Yang Tootiang putar badan lalu menjura dengan penuh keseriusan.
“Harap Hujien suka mengikuti kami.”
“Sekalipun Bu Wie Tootiang beristirahat disarang naga gua macan akupun sama berani
mendatangi.”
“Hmm sungguh besar amat lagaknya,” dengan tidak puas Can Jap Cing mendengus.
Sepasang biji mata Kiem Hoa Hujien yang jadi segera berputar.
“Bila kau tidak percaya bagaimana kalau kita coba. Sute jangan banyak bicara…”
bentak Im Yang Tootiang keras-keras.

Dengan wajah minta maaf ia menoleh kembali ke arah Kiem Hoa Hujien lalu diiringi
helaan napas katanya, “Hujien suka bergurau…”
Sijagoan lihay dari Bu-tong pay ini rela menelan semua sindiran yang pedas demi
keselamatan Ciangbun suhengnya yang berada dalam keadaan kritis.
Selama ini Tiong Lam Jie Hiap terus menerus membungkam mereka jarang buka suara.
Dimana rombongan itu mendarat merupakan sebuah daratan yang sunyi gersang dan
tak kelihatan sebuah rumah nelayanpun ada disana.
Dengan dipimpin oleh Im Yang Tootiang di depan mereka melewati sebuah hutan yang
lewat dan akhirnya tiba di depan sebuah gubuk terbuat dari bahan rumput serta alangalang.
Tiba-tiba Im Yang Cu berhenti.
“Suheng kami beristirahat dalam gubuk ini. Silahkan Hujien masuk” serunya
mempersilahkan.
Ia sendiri segera berkelebat menyingkir kesamping.
Kiem Hoa Hujien tidak sungkan-sungkan lagi, seraya menunduk ia berjalan masuk
terlebih dulu ke dalam gubuk tersebut.
Im Yang Cu segera melangkah terlebih dahulu melewati Ih Bun Han To dan mengikuti
dari belakang Kiem Hoa Hujien.
Gubuk tersebut didirikan disebuah pegunungan yang sunyi, diluar ruangan penuh
tumbuh alang-alang setinggi dada tapi ruangan dalam disapu amat bersih sebuah
pembaringan terbuat dari bambu membujur dalam ruangan tadi diatasnya berbaringlah
seorang Tootiang berjubah hitam yang pejamkan matanya rapat-rapat agaknya ia sudah
tertidur pulas.
Dua orang toosu cilik dengan menggembol pedang berdiri dikedua belah sisi
pembaringan wajah mereka kelihatan sangat berduka.
Memandang Bu Wie Tootiang yang berada dalam keadaan kritis Siauw Ling teringat
kembali peristiwa lima tahun berselang waktu itu jikalau bukannya Bu Wie Tootiang
melindungi dirinya dengan sepenuh tenaga mungkin ia sudah terjatuh Ih Bun Han To atau
Kanglam kongcu sekalian.
“Budi pertolongan berat bagaikan gunung Thaysan seorang lelaki sejati harusnya
membalas budi tersebut Siauw Ling yang melihat Bu Wie Tootiang tuan penolongnya
berada dalam keadaan bahaya mana suka berpeluk tangan belaka…”
Pikiran tersebut setelah berkelebat dalam benaknya dalam hati ia bulatkan tekad
kendati apapun yang terjadi ia harus menolong Bu Wie Tootiang hingga lolos dari mara
bahaya.
Walaupun ia baru beberapa bulan terjunkan diri dalam dunia kangouw tapi selama ini
orang yang ditemui dan digauli kebanyakan adalah iblis-iblis sakti yang paling menakutkan

dari Bulim melihat kelicikan kebusukan tak terasa pengetahuan serta pengalamannyapun
makin bertambah.
Walaupun beberapa bulan saja pengalaman pemuda she Siauw saat ini sudah melebihi
seorang jagoan yang berkelana puluhan tahun dalam dunia kangouw walaupun dihati
punya rencana tapi diluaran ia tetap bersikap tenang.
“Inilah ciangbun suheng dari pinto,” kata Im Yang Cu sambil menghadap di depan
pembaringan bambu. “Beliau sudah dua hari jatuh tidak sadarkan diri untuk
menyembuhkannya kami harus mengandalkan kemujaraban dari pil pemberian Hujien.”
Kiem Hoa Hujien tidak menunjukkan reaksi apapun. Perlahan-lahan dari sakunya ia
ambil keluar sebuah botol porselen dan mengeluarkan pil warna putih kemudian
diangsurkan ke depan.
“Nih! coba kau suruh dia telan dulu butiran pil ini!” katanya singkat.
Dengan amat cermat Im Yang Cu memperhatikan gerak-gerik lawannya selama
mengambil keluaran butiran obat tersebut ia temukan warna dari botol porselen yang
berada ditangannya saat ini berbeda dengan warna botol yang diberikan sewaktu yang
berada disungai tadi diam-diam ia pertingkat kewaspadaannya.
“Kiem Hoa Hujien adalah seorang jago Biauw Ciang yang berhati keji licik bagaikan ular
berbisa,” pikirnya dihati, “Entah benar atau tidak obat pemusnah yang berada di dalam
botol porselen ini?”
Tapi dengan hati ragu-ragu diterima juga angsuran tersebut.
“Hujien! Apakah kau tidak salah ambil obat ini?”
“Hmm, jadi kau tidak percaya?? bagus… kalau begitu jangan berikan obat itu kepada
suhengmu.”
Mendengar ucapan yang demikian ketusnya Im Yang Cu hanya tertawa hambar ia
harus mengalah dan bersabar dalam keadaan seperti ini.
“Hujien, pinto ada beberapa ucapan rasanya bila tak diutarakan seraya mengganjel
dalam tenggorokan, sungguh tidak leluasa rasanya…”
“Katakanlah?”
“Hujien kau harus ingat pil pemusnah racun ini sama sekali bukan pemberianmu kepada
kami secara cuma-cuma pil ini kami tukar dengan dua macam benda mustika yang nilainya
melampaui satu kota yaitu kitab pusaka serta lukisan kenamaan.”
“Tentang hal ini aku sudah tahu.”
“Tadi berada di tengah sungai. Hujien pernah mengeluarkan sebuah botol porselen
yang warnanya sama sekali berlawanan dengan warna botol ini mana yang benar pinto
tidak tahu hal ini bagaimana tidak memberikan rasa curiga dalam hati kecilku??”

Mendengar ketelitian sitootiang dari Bu-tong pay ini diam-diam Siauw Ling memuji ia
tidak menyangka Im Yang Cu yang terkenal diseluruh kolong langit ternyata bukan nama
kosong belaka. Bukan saja dalam ilmu silat berhasil memperoleh hasil yang luar biasa
bahkan dalam kecermatanpun sangat hebat.
Sebaliknya Ciu Cau Liong memaki kalang kabut di dalam hatinya.
“Keparat, sitoosu hidung kerbau ini sulit benar ditipu.”
Perlahan-lahan dari dalam sakunya Kiem Hoa Hujien mengambil keluar lagi dua botol
porselen yang sama bentuknya tapi lain warna lalu bersama-sama diletakkan di atas meja
kayu dihadapannya.
“Toosu hidung kerbau!” serunya dingin. “Walaupun punya kepandaian untuk melukai
orang dengan menggunakan beratus-ratus macam racun tetapi obat pemusnah untuk
racun tersebut hanya ada tiga macam ini saja sudah tentu diantara ketiga botol ini salah
satu diantaranya merupakan obat pemusnah racun ular emas tersebut. Sekarang bila kau
tidak mau mempercayai perkataanku nah pilihlah sendiri.”
Im Yang Cu melirik sekejap ke arah ketiga botol porselen tersebut kemudian
tersenyum.
“Bila pintopun mempersiapkan sejilid kitab pusaka Sam Khie Cin Boh yang palsu serta
lukisan Giok Sian Cu yang palsu agar Hujien mengadu rejeki sendiri entah bagaimana
pendapat dari Hujien?”
“Hmm kurang ajar sekali toosu tua hidung kerbau ini, ia mau gertak aku dengan
gunakan cara lain baik biar aku paksa ia untuk keluarkan kedua macam pusaka tersebut”
pikir Kiem Hoa Hujien dalam hati. Segera ujarnya lantang, “Bila Tootiang sungguhsungguh
telah mempersiapkan benda-benda itu, aku kepingin sekali menambah
pengetahuan coba keluarkan barang-barangmu itu.”
“Siasat licik malu main bokong hanya bisa digunakan satu kali, pinto tak berani
bertindak ceroboh lagi!” seru Im Yang Cu seraya melirik sekejap ke arah Ih Bun Han To.
Dari sakunya toosu ini mengambil keluar dua jilid kitab terbungkus kain kuning yang
besar maupun tebalnya sama kemudian mengeluarkan pula dua buah lukisan kulit
kambing yang berbentuk sama pula sambung, “Hujien apakah kau sungguh-sungguh ingin
mengadu untung dengan mendapatkan salah satu diantara barang-barang yang palsu dan
asli??”
Dengan pandangan tajam Kiem Hoa Hujien perhatikan kedua jilid kitab dengan lukisan
tersebut, ia merasa bentuk maupun keadaan benda tersebut satu sama lain persis tak ada
bedanya dan sulit sekali baginya untuk membedakan mana yang palsu dan yang asli.
Seketika itu juga ia dibikin bungkam dalam seribu bahasa.
Mendadak Siauw Ling gerakan badannya dengan langkah lebar berjalan maju ke depan.
Can Jap Cing yang melihat gerakan pemuda tersebut dalam hatinya salah menganggap
ia mau turun tangan merampas pundaknya sedikit bergerak sang tubuhpun ikut bergerak
menghadang di depan kitab serta lukisan tersebut.

Tetapi Siauw Ling tidak menuju ke arah mana ia berbelok dan mendekati ketiga botol
porselen tersebut.
“Hujien tolong tanya diantara ketiga buah botol porselen putih adalah obat yang asli
tapi mereka tidak mau percaya perkataanku hal ini membuat akupun tak dapat berbuat
apa-apa lagi.”
Sekali sambar Siauw Ling ambil botol porselen warna putih dan dicekalnya ditangan.
“Hujien apakah obat ini tidak salah?” sekali lagi pemuda ini bertanya.
Air muka Kiem Hoa Hujien kontan berubah hebat.
“Saudara cilik apa yang hendak kau lakukan?”
“Tujuan kedatangan kita kemari adalah ingin saling tukar menukar antara obat
pemusnah dengan kitab pusaka Sam Khie Cin Boh serta lukisan Giok San Cu tersebut
jikalau masing-masing pihak selalu saja bertempur saling tipu menipu siasat dilawan siasat
sampai kapankah urusan ini baru bisa diselesaikan? Oleh sebab itu aku minta masingmasing
pihak suka berlaku terus terang dan kini cayhe ingin agar Hujien suka
menghadiahkan dahulu obat pemusnah dari racun ular emas tersebut kepada pihak
lawan.”
“Bagus, bagus sekali,” Kiem Hoa Hujien tertawa senang. “Saudara cilik aku sebagai
encimu akan bantu untuk mendapatkan nama yang harum dan gagah bagimu dan
ambillah obat pemusnah yang berada dalam botol hijau disebelah kiri.”
“Aakh perempuan ini benar-benar kejinya luar biasa kurang sedikit saja pihak Bu-tong
pay kena tertipu,” pikir Siauw Ling di dalam hati.
Ia segera menukar obat pemusnah tadi dengan botol porselen disebelah kiri kemudian
diangsurkan ketangan Im Yang Cu.
“Tooheng tolong kau keluarkan sebutir pil dari botol ini kemudian berikan kepada
Ciangbunjien kalian.”
Karena dalam hatinya ia tidak percaya seratus persen terhadap ucapan dari Kiem Hoa
Hujien maka dalam perkataanpun ia tidak ingin menunjukkan keyakinannya.
Im Yang Cu sendiripun tahu bila urusan berlarut-larut terus bukankah suatu tindakan
yang menguntungkan seraya menerima angsuran botol porselen itu ia berkata, “Nama
besar Siauw Thayjien sudah tersohor dikolong langit. Pinto percaya atas ucapanmu.”
Dibalik ucapan tersebut ia mengartikan tanggung jawab yang berat mulai detik ini telah
dialihkan kepundak Siauw Ling.
Siauw Ling yang mendengar ucapan itupun hatinya terasa bergeser keras pikirnya,
“Karena mempercayai diriku Im Yang Cu suka memberikan obat pemusnah tersebut buat
Bu Wie Tootiang jikalau obat pemusnah inipun merupakan racun? bukankah Bu Wie
Tootiang bakal mati dalam sepatah kataku ini?”

Makin dipikir hatinya semakin tegang, tanpa terasa ia menoleh dan memandang
sekejap wajah Kiem Hoa Hujien.
Di atas selembar wajah Kiem Hoa Hujien yang cantik tersungging satu senyuman
manis.
“Saudara cilik. Apa yang kau lihat?” tegurnya. “Apakah kaupun tidak mempercayai
encimu?”
“Hmmm! kau sudah terbiasa melakukan kejahatan dan akal licikmu banyak bagaikan
gunung, siapa yang berani mempercayai ucapanmu?” Damprat pemuda she Siauw dalam
hatinya.
Kendati dalam hati berpikir begitu diluaran buru-buru serunya berulang kali, “Mana…
mana… mana…”
Ketika itulah Im Yang Tootiang membuka penutup botol, mengeluarkan sebutir pil
warna hijau dan dimasukkan ke dalam mulut Ciangbun suhengnya Bu Wie Tootiang.
Ciu Cau Liong yang diam-diam mendongkol karena Siauw Ling kembali turut campur di
dalam persoalan tersebut pada saat ini tak bisa berkutik karena berada dihadapan umum
ia merasa tidak enak untuk menegur pemuda tersebut secara terang-terangan. Oleh
karenanya terpaksa ia simpan saja rasa mangkel tadi di dalam hatinya.
Can Jap Cing, Tiong Lam Jiehiap serta Im Yang Cu empat orang delapan mata
bersama-sama dialihkan keatas tubuh Bu Wie Tootiang dengan hati berdebar mereka
menantikan reaksi selanjutnya sehabis menelan pil pemusnah tadi.
Suasana di dalam gubuk reyot tadi seketika itu juga diliputi kesunyian yang
mengandung ketegangan.
Tiong Lam Jiehiap, Im Yang Cu, Can Jap Cing, Ih Bun Han To serta Ciu Cau Liong diamdiam
salurkan hawa sinkangnya melakukan persiapan asalkan reaksi yang ditunjukkan Bu
Wie Tootiang setelah menelan obat pemusnah tersebut tidak beres maka suatu
pertarungan yang maha sengit dan maha seru segera akan berlangsung.
Kiem Hoa Hujien dengan otak yang tajam watak yang licik serta wajah yang cantik
jelita mendatangkan rasa ragu-ragu dihati masing-masing orang siapapun tidak mengerti
apa yang sedang ia pikir dalam hatinya saat ini semakin susah lagi bagi mereka untuk
menebak apa yang hendak ia lakukan.
Kurang lebih seperminum teh kemudian mendadak Bu Wie Tootiang menggerakkan
sepasang lengannya dan menghembuskan napas panjang.
Melihat gerakan yang ditujukan toosu tua itu diam-diam Siauw Ling merasa berlega hati
pikirnya, “Aaaakh! kiranya Kiem Hoa Hujien bukan sedang menipu aku. Obat pemusnah
tersebut adalah yang murni.”
“Saudara cilik!” ketika itulah mendadak terdengar suara yang halus tapi lembut
bagaikan suara bisikan semut berkumandang masuk ke dalam telinganya. “Berikan kedua
butir pil lainnya yang masih ada di dalam botol porselen itu untuk toosu tua hidung kerbau
dalam setengah jam kemudian ia akan sadar dengan sendirinya.”

Mendengar bisikan itu dengan sepasang mata yang tajam Siauw Ling berpaling dan
memeriksa keadaan diseluruh ruangan gubuk tersebut tapi apapun tidak ditemukan ia
lantas menyadari ucapan tadi tentulah disampaikan Kiem Hoa Hujien kepadanya melalui
ilmu menyampaikan suara.
“Cepat berikan sekalian kedua butir pil yang masih tersisa di dalam botol porselen itu?”
Tapi setelah ucapan itu meluncur keluar hatinya baru tersadar kembali, pikirnya,
“Benarkah ucapan dari Kiem Hoa Hujien itu?? kenapa aku begitu ceroboh? Sebelum
mengetahui benar tidaknya perkataan itu sudah kuutarakan.”
Tetapi ucapan sudah terlanjur diutarakan untuk ditarik kembalipun rasanya tak
gampang.
Im Yang Cu yang mendengar ucapan itu segera menengok sekejap Siauw Ling,
akhirnya ia mengeluarkan kedua butir pil sisanya dan dimasukkan semua ke dalam mulut
Bu Wie Tootiang.
Can Jap Cing yang berdiri di samping suhengnya kontan mengerutkan keningnya ketika
melihat tindakan Im Yang Cu yang begitu percaya atas ucapan Siauw Ling hatinya merasa
tidak puas cuma ketidak puasan ini tak sampai diutarakan keluar.
Suasana kembali jadi sunyi hening, tak kedengaran sedikit suarapun masing-masing
orang kembali burahkan seluruh perhatiannya keatas tubuh Bu Wie Tootiang si
Ciangbunjien dari Bu-tong pay ini.
Ketika itulah di tengah kesunyian mendadak terdengar suara derapan kaki kuda
berkumandang datang dari tempat kejauhan dan makin lama suara itu semakin mendekati
rumah gubuk tersebut.
Tiong Lam Siang hiap yang berdiri bersandar disisi pintu buru-buru menutup pintu
gubuk yang reyot setelah mendengar suara derapan kuda tadi.
Tetapi suara derapan kuda itu makin lama semakin mendekat agaknya kuda tersebut
sudah tiba diluar rumah gubuk dimana para jago sedang berkumpul.
Tempat itu adalah sebuah tanah pegunungan yang sunyi, jauh dari rumah penduduk
dan gubuk ini banyak tahun tak pernah digunakan. Pertama tidak dekat jalan raya dan
kedua dipegunungan terpencil, secara mendadak bisa muncul kuda yang dilarikan kencang
sudah tentu bukan suatu peristiwa yang biasa.
Tetapi para jago yang ada di dalam gubuk itu pada berdiri tegak tidak berkutik. Kecuali
Tiong Lam Jie Hiap yang berdiri bersandar di samping pintu.
“Kiam Tong!” terdengar orang yang ada diluar gubuk berseru dengan nada yang dingin.
“Coba kau masuk ke dalam rumah gubuk ini dan periksa apa isinya.”
Mendengar disebutnya nama orang itu Siauw Ling merasakan hatinya bergerak
pikirnya, “Apakah orang yang datang adalah Lan Giok Tong sipemuda baju biru yang
menyaru namaku? Akh! Agaknya kali ini Siauw Ling palsu serta Siauw Ling asli harus saling
berhadapan.”

Tampak bibir Can Jap Cing bergerak tiada hentinya, sedangkan Tiong Lam Toahiap
yang berjubah biru dan berjenggot putih mengangguk, hanya sapa tak terdengar sedikit
suarapun jelas mereka berdua sedang bercakap-cakap dengan menggunakan ilmu
menyampaikan suara.
Terdengar suara bentrokan keras bergema memenuhi angkasa, pintu reyot tertendang
buka dan muncullah seorang bocah cilik berbaju hijau yang berusia empat lima belas
tahunan melangkah masuk dengan mencekal sebilah pedang bocah itu sama sekali tak
menduga bila di dalam gubuk berkumpul begitu banyak orang agaknya terperanjat
menemui pandangan tersebut.
Para jago yang ada di dalam ruangan tersebut berdiri tak bergerak tak seorangpun
yang menggubris atas munculnya bocah itu.
Agaknya sibocah itu Kiem Tong inipun seorang yang berpengalaman luas dalam sekali
pandangan ia dapat menangkap bila jago lihay yang memiliki tenaga kweekang amat
sempurna dan hal yang paling membuat dia jadi tak paham adalah sikap semua jago yang
berdiri keadaan bersiap-siap.
Suatu ruang gubuk reyot yang hanya sebesar beberapa jengkal berisikan beberapa
orang jagi yang berdiri saling bersiap sedia. pemandangan yang sangat luar biasa.
Ketika itu kembali dari luar berkumandang datang suara teguran yang nyaring tapi
dingin ketus.
“Kiem Tong, apakah di dalam ruang ada orang?”
Kiem Tong mundur selangkah ke belakang dengan pedang melindungi badan ia
menyahut penuh kecemasan.
“Lapor siangkong di dalam gubuk ini penuh berisikan manusia, ruangan sesak dengan
manusia!”
Saking gugupnya, susunan katapun jadi kacau balau tidak karuan.
“Hmm! Siapa saja mereka itu?” dengus orang yang ada diluar ruangan dingin.
“Aku tak kenal… aakh! benar, orang yang kita temui itu ditepi sungai kemarin hari
Siauw…”
Mendadak bocah tersebut teringat kembali apabila majikannya pun sedang menyaru
sebagai Siauw Ling maka buru-buru nada suaranya berganti.
“Orang yang merebut Leng pay kita kemarin haripun ikut hadir disini.”
“Eeei kenapa kau ini hari? kenapa hanya berbicara pun jadi gugup tidak karuan!” tegur
orang diluar ruangan semakin dingin.
Baru saja ucapan itu meluncur keluar muncullah seorang pemuda tampan berjubah biru
menggembol pedang dipunggung berjalan mendekat dengan langkah lebar.

Tiong Lam siang hiap serta Ih Bun Han To sekalian yang berada dalam ruang gubuk
agaknya tak ada yang ingin bentrok terlebih dahulu dengan orang ini tak seorangpun
diantara mereka yang turun tangan menghadang.
Siauw Lingpun alihkan sinar matanya ke arah orang itu. Ia tak mengenali kembali
sipemuda berbaju biru tersebut sedikitpun tak bersalah Lan Giok Tong yang menyaru
sebagai dirinya.
Agaknya Lan Giok Tong sendiripun tidak menyangka di dalam sebuah ruangan gubuk
yang sunyi di tengah pegunungan terpencil bisa muncul sebegitu banyak orang ia agak
tertegun dibuatnya.
Sinar mata yang tajam kembali menyapu seluruh ruangan. Setelah menemukan jagojago
yang hadir disana rata-rata merupakan jago Bulim kelas wahid, hatinya semakin
tergetar lagi dibuatnya.
Kiem Hoa Hujien perlahan-lahan membereskan rambutnya yang kacau kemudian
berpaling sekejap ke arah Lan Giok Tong sedang hatinya sedikit bergerak juga setelah
melihat ketampanan pemuda itu.
“Sungguh tak nyana dalam daratan Tionggoan banyak terdapat pemuda-pemuda
setampan ini,” pikirnya.
Dengan nada merdu segera teguran, “Kelihatannya kalian tanpa sengaja sudah
memasuki tempat ini? Ada yang kau inginkan?”
Golakan dihati Lan Giok Tong perlahan-lahan saat mereka kembali jawabnya dingin,
“Jika kedatanganku adalah sengaja kau mau apa?”
“Kurang ajar, sungguh sombong benar keparat ini,” batin Ih Bun Han To dalam hati.
“Jika bukan ada musuh tangguh di depan mata sukup mengandalkan ucapan ketus ini
sudah seharusnya aku turun tangan untuk kasih sedikit peringatan kepadanya.”
Terdengar Kiem Hoa Hujien tertawa terkekeh-kekeh.
“Heee… heee… heee… sungguh besar lagakmu, aku rasa kau tentu seorang yang
punya asal usul tersohor, siapakah namamu?”
“Siauw Ling” jawab Lan Giok Tong seraya menyapu para jago dengan cahaya mata
tajam.
Ucapan tersebut mendatangkan rasa tertegun bagi smeua jago yang hadir di dalam
ruangan gubuk itu, beberapa pasang mata bersama-sama dialihkan keatas tubuh si orang
berbaju biru.
“Heee… heee namamu Siauw Ling! lucu sekali!” seru Kiem Hoa Hujien sambil tertawa
terkekeh-kekeh makin keras, “Sesungguhnya didaratan Tionggoan ada berapa orang yang
bernama Siauw Ling.”
“Keparat apa yang kau tertawakan?” teriak Lan Giok Tong naik pitam.
Tubuhnya bergerak langsung menerjang tubuh Kiem Hoa Hujien.

Melihat yang begitu sembrono Ih Bun Han To segera menggerakkan tangan kanannya
dengan jurus Thian Way Lay Im atau luar langit muncul mega menyambut kedatangan
tubuh lawan.
“Hmm bocah masih ingusan juga berani main terjang mengikuti emosi!” bentaknya
dingin.
“Braaak…” suara bentrokan keras bergema memenuhi angkasa Lan Giok Tong telah
menyambut datangnya serangan Ih Bun Han To dengan keras lawan keras.
Bentrokan ini mendatangkan getaran keras bagi seluruh jago yang ada dalam ruangan.
Kiranya Ih Bun Han To yang melancarkan serangan walaupun berhasil menahan
terjangan dari Lan Giok Tong. Tapi kuda-kuda manusia she Ih Bun inipun tergempur
sehingga badannya mundur dua langkah ke belakang.
Kecepatan Lan Giok Tong turun tangan serta kedahsyatan tenaga dalamnya bukan saja
membuat Ih Bun Han To merasakan hatinya tergetar keras sekalipun beberapa orang jago
yang berdiri di samping kalanganpun ikut merasa terperanjat.
Lan Giok Tong setelah menerima datangnya serangan lawan tubuhnya agak merandek
sejenak kemudian disusul kaki kiri menyambar kemuka dengan kecepatan luar biasa.
Pada dasarnya ruangan di dalam gubuk itu memang sempit sebuah meja serta sebuah
pembaringan bambu sudah makan tempat yang tidak sedikit ditambah pula ada beberapa
orang berdiri disana ini berarti ruangan kosong boleh dikata sangat minim sekali.
Ketika Lan Giok Tong melancarkan serangan ini maka tak kuasa lagi tubuhpun
menerjang ke arah mana Siauw Ling berdiri.
Semisalnya Siauw Ling tidak ingin menghindar atau berkelit maka tubuh kedua orang
itu akan saling bertumbukan tetapi semisalnya ia berkelit dan membuka sebuah jalan
keluar dagi Lan Giok Tong untuk taruh kaki posisinya akan berada sangat dekat sekali
dengan meja kayu tersebut ini berarti dalam sekali sambar saja ia akan berhasil meraup
kedua jilid kitab pusaka Sam Khie Cin Boh serta lukisan Giok Sian Cu.
Dalam waktu sangat singkat berbagai ingatan berkecamuk dalam benak Siauw Ling,
akhirnya ia ambil keputusan untuk menghadang dulu jalan pergi Lan Giok Tong sehingga
tidak memberi kesempatan baginya untuk merebut kitab pusaka Sam Khie Cin Boh serta
lukisan Giok Sian Cu tersebut, di samping jangan sampai mengejutkan Bu Wie Tootiang
yang masih berbaring.
Tenaga singkangnya disalurkan memenuhi seluruh tubuh badannya nyingkir kesamping
kemudian menerjang tubuh Lan Giok Tong.
Melihat dirinya ditubruk Lan Giok Tong tertawa dingin tiada hentinya kaki yang msih
berada di tengah udara tetap tak berubah dari posisi sedang tangan kanannya laksana
kilat menotok pundak kiri Siauw Ling.
Sejak semula pemuda she Siauw ini sudah bikin persiapan tubuhnya menyingkir
kesamping untuk meloloskan diri dari serangan lawan selagi ia melancarkan serangan

balasan mendadak tampak Kiem Hoa Hujien yang berdiri di samping menggerakkan badan
tangannya yang halus menyambar lewat kelima jari tangannya yang runcing membabat
urat nadi Lan Giok Tong.
Bagai seorang jago lihay cukup dalam sekali gerakan saja. Walaupun beberapa orang
yang melancarkan hanya jurus serangan yang sangat enteng sama sekali tidak
mendatangkan deruan angin serta tidak nampak keanehan dari jurus-jurus serangannya,
tapi melihat kecepatan gerakan masing-masing pihak sudah dapat diukur sampai seberapa
jauh dari kepandaian lawan.
Kaki kanan Lan Giok Tong yang diangkat keatas medadak menendang ke belakang
mengancam Ciu Cau Liong.
Tindakan ini datangnya sangat mendadak. Kaki kanan yang semula dipersiapkan untuk
menerjang kemuka tiba-tiba berubah posisi dengan menerjang ke belakang. Hal ini
mendatangkan kegugupan bagi Ciu Cau Liong, seketika itu juga ia kena terdesak untuk
menyingkir selangkah kesamping.
Kiranya dalam waktu yang amat singkat itulah Lan Giok Tong sudah menemukan
pertahanan yang sangat kuat diposisi Siauw Ling. Ia yakin untuk menjebolkan pertahanan
tersebut bukan suatu pekerjaan gampang.
Bahkan dari balik pertahanan pemuda she Siauw ia pun menemukan adanya
sekumpulan tenaga serangan yang luar biasa dahsyatnya.
Oleh karena itu ia menerima datangnya kebutan Kiem Hoa Hujien yang disusul dengan
serangan berantai di belakang pemuda she Lan ini segera menyadari posisinya yang
sangat berbahaya.
Untuk menghindarkan diri dari segala kemungkinan, terpaksa pemuda ini ambil
keputusan posisi yang menguntungkan setelah itu baru melancarkan serangan kembali ke
arah pihak lawan yang merupakan musuh paling tangguh selama hidupnya ini.
Berdasarkan prinsip inilah secara mendadak ia berubah posisi dan melancarkan
serangan ke arah Ciu Cau Liong.
Setelah Ciu Cau Liong menyingkir selangkah kesamping, kaki kanan Lan Giok Tong
buru-buru turun keatas tanah, tangan kanan dengan menggunakan jurus Ciauw Kouw Lian
Huan atau cekalan indah berantai mengunci datangnya serangan dari Kiem Hoa Hujien
kepala tanpa berputar tangan kirinya pada saat yang bersamaan menyerang pula ke
belakang mengunci tubuh bagian belakang dengan jurus Im Hong Wu Suo atau naga
menutup awan mengunci.
Sedikitpun tidak salah, Ciu Cau Liong merasa tidak terima karena dirinya didesak pada
saat tubuhnya bergeser tangan kanannya laksana sambaran kilat mengirim sebuah
serangan dengan jurus Lang Cong Ciauw Yen atau obat menumbuk batu karang.
Braaak terdengar suara bentrokan yang nyaring dari sepasang telapak tersebut tubuh
Ciu Cau Liong sekali lagi tergetar mundur dua langkah ke belakang.
Sedang tubuh Lan Giok Tong sendiri tergetar keras tapi ia masih berhasil
mempertahankan diri.

Jelas di dalam bentrokan kali ini masing-masing pihak telah menggunakan tenaga
singkangnya sehingga mencapai enam tujuh bagian.
“Heee… heee… heeee sungguh dahsyat sekali kepandaian silatnya!” seru Kiem Hoa
Hujien sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Pinggangnya yang ramping membengkok tangan kirinya kembali menyambdar kemuka.
Lan Giok Tong menggirimkan kening melihat datanganya serangan tersebut mendadak
sepasang tangannya dirangkap di depan dada.
Melihat posisi lawan serangan yang Kiem Hoa Hujien lancarkan serangan dahsyat
bagaikan kilat ditarik kembali ke belakang secepat yang menghiasi wajahnya kontan
lenyap tak berbekas dan berubah jadi tegang penuh keseriusan.
Ciu Cau Liong yang dua kali menderita kerugian besar dihadapan mata umum, rasa
malu yang muncul dalam hatinya susah dipertahankan lagi, tangan kanannya berbalik
segera mengeluarkan senjata Pek Giok Cinya.
Agaknya Ih Bun Han To pun dapat menduga sipemuda she Ciu ini tentu dari malu
menjadi gusar badannya buru-buru berputar menghadang di depan Ciu Cau Liong
kemudian dengan ilmu menyampaikan suara bisikannya, “Ciu heng jangan dikarenakan
urusan kecil mengacaukan urusan besar kepandaian silat yang dimiliki orang ini sangat
luar biasa bahkan diluar ruangan masih ada beberapa orang pembantunya jikalau kita adu
kekuatan dengan mereka bukankah hari ini akan mendatangkan keberuntungan bagi pihak
Bu-tong pay yang tindakannya menarik hati sebagai nelayan mujur?”
“Perkataan dari Ih Bun heng sedikitpun tidak salah biarlah kita lewatkan ini hari dan
mencari balas kembali dikemudian hari.”
Sebaliknya bagi Lan Giok Tong itu sendiri setelah mencoba beberapa jurus serangan
dari beberapa orang itu hatinya semakin terperanjat lagi dibuatnya ia tahu semua jago
yang hadir di dalam ruangan itu tak seorangpun merupakan lawan lemah.
Setelah menimbang-nimbang sejenak suasana di sekeliling tempat itu ia mulai merasa
agaknya masing-masing pihak lawan sedang berdiri dalam keadaan bermusuhan daripada
bergebrak pada saat ini ia memilih jauh lebih baik menanti berubah selanjutnya dengan
berdiri tenang.
Oleh sebab itu setelah Kiem Hoa Hujien menarik kembali serangannya iapun berdiri tak
berkutik.
Untuk sementara waktu suasana di dalam ruangan penuh diliputi kesunyian tetapi
dengan munculnya Lan Giok Tong disana maka suasana yang semula penuh dengan
ketegangan kini jadi kacau balau tak karuan.
Pada saat itulah dengan ilmu menyampaikan suara diam-diam Kiem Hoa Hujien
berbicara dengan diri Siauw Ling.
“Saudara cilik kepandaian silat yang dimiliki orang ini sangat luar biasa asalkan ia tidak
mengacau lagi untuk sementara waktu kita jangan mencari satroni.”

Kembali waktu berlalu dengan cepatnya kurang lebih seperempat jam kemudian
mendadak terdengar suara helaan napas panjang dari Bu Wie Tootiang yang berbaring di
atas pembaringan bambu sepasang matanya perlahan-lahan membuka kembali.
Can Jap Cing yang paling tidak tahan menahan golakan dalam hatinya tidak sabaran
lagi segera serunya tertahan, “Toa suheng…”
Tapi Im Yang Cu buru-buru kedipan tangannya mencegah Can Jap Cing berbicara lebih
lanjut.
Sepasang mata Bu Wie Tootiang yang masih sayu perlahan-lahan menyapu sekejap
diseluruh ruangan, akhirnya dipejamkan kembali.
“Eeeei… toosu hidung kerbau!” seru Kiem Hoa Hujien kemudian setelah melihat Bu Wie
Tootiang telah sadar. “Kini suheng kalian sudah sadar kembali kitapun tidak usah menanti
lebih lama.”
Tangan kanannya segera menyambar siap mengambil kitab pusaka Sam Khie Cin Boh
serta lukisan Giok Sian Cu yang diletakkan di atas meja.
Dengan jurus So Hwee Ngo Sian atau sapuan tangan lima busur, Can Jap Cing tiba-tiba
melancarkan serangan ke depan.
“Eeeei kenapa kau begitu gelisah? Apakah tak bisa menunggu sebentar lagi?” tegurnya.
Tangan kanan Kiem Hoa Hujien yang menyambar kemuka tetapi tak berubah posisi,
hanya secara mendadak kelima jarinya menekuk ke bawah kemudian laksana kilat
menyentil keluar.
Sentilan yang dipancarkan dari gerakan bertahan menjadi gerakan menyerang ini
dengan menimbulkan desiran angin tajam menyambar jalan darah Can Jap Cing.
Buru-buru Can Jap Cing tekan pergelangan tangan kanannya ke bawah, sentilan jari
serta desiran angin pukulan menyambut lewat dari sisinya sedangkan tangan kanan yang
menyapu keluar tidak ditarik kembali dengan jurus Ing Im Pang Jiem atau menyambut
mega menyanjung matahari diteruskan mencengkeram pergelangan tangan Kiem Hoa
Hujien.
Kedua orang itu sama-sama tidak mengubah posisinya tetapi sentilan jari sambaran
angin pukulan telah berubah berulang kali untuk berusaha merebut posisi yang lebih
menguntungkan.
Tiba-tiba Kiem Hoa Hujien membalikkan telapak tangannya ke bawah jari tangan
separuh ditekuk menyentil menghajar pihak lawan.
Untuk kali ini masing-masing pihak tak berhasil berubah jurus serangan lagi mau tak
mau serangan ini harus bentrok satu sama lain dengan kekerasan.
Mendadak cahaya tajam menyambar lewat diiringi desiran angin pedang yang
menggidikkan hati pedang panjang Im Yang Cu tahu-tahu sudah menyapu lewat sesaat
tangan kedua belah pihak akan saling berbentrokan satu sama lainnya.

Setelah berhasil memaksa kedua orang itu membatalkan niatnya untuk mengadu
kekerasan ujarnya, “Hujien untuk sementara waktu bersabarlah sejenak ucapan yang telah
pinto utarakan selamanya tak pernah ditarik kembali lukisan Giok Sian Cu serta kitab Sam
Khie Cin Boh telah menjadi milik Hujien buat apa kau merasa begitu tidak kuatir?”
Perlahan-lahan nafsu membunuh mulai menyelimuti seluruh wajah Kiem Hoa Hujien
sambil tertawa dingin tiada hentinya ia membungkam.
Jelas ia sudah naik pitam tetapi tidak ingin mencari banyak urusan pada saat ini
karenanya dengan paksaan diri menahan golakan dalam hatinya.
“Aaaakh lukisan Giok Sian Cu terdengar” Lam Giok Tong bergumam seorang diri.
Sepasang matanya mendadak memancarkan cahaya dingin yang tajam kemudian
dialihkan keatas kitab serta lukisan yang terletak di atas meja.
Kiem Hoa Hujien serta Im Yang Cu sekalian sama-sama melirik sekejap ke arah Lam
Giok Tong tapi siapapun tak ada yang ambil perduli terhadap dirinya.
Mendadak Bu Wie Tootiang yang menggeletak di atas pembaringan bambu
memperdengarkan suara rintihan yang lirih seluruh tubuhnya mulai gemetar sangat keras.
Air muka Can Jap Cing berubah hebat tangan kanannya membalik mencabut keluar
pedang yang tersoren di atas punggung.
Siauw Ling yang melihat kejadian ini pun mengerutkan keningnya.
“Aduuh celaka!” teriaknya di dalam hati. “Jikalau yang diberikan Kiem Hoa Hujien
adalah obat racun, bukankah dengan adanya peristiwa ini maka seluruh anggota partai
Bu-tong pay akan membenci diriku hingga merusak ke dalam tulang sumsum? Sebetulnya
aku hanya ingin membantu Bu Wie Tootiang secara diam-diam siapa sangka malah
mencelakai jiwanya iblis perempuan ini betul-betul beracun.”
Sewaktu dia berpikir keras, mendadak tampak Bu Wie Tootiang bangun berdiri dan
perlahan-lahan turun dari atas pembaringan.
Im Yang Cu sebagai seorang toosu yang beriman kuatpun pada detik ini susah
menehan golakan di dalam hatinya, dengan suara berat segera tanyanya, “Suheng
lukamu…”
“Jauh lebih baik” potong Bu Wie Tootiang dengan cepat. Sepasang matanya dengan
tajam dialihkan keatas wajah Ih Bun Han To lalu sambungnya, “Ih Bun heng, sejak
perpisahan apakah kau sehat walapiat?”
“Asalkan siauwte belum mati saja, setiap saat akan kunantikan petunjuk dari tootiang”
sahut Ih Bun Han To seraya tertawa hambar. Setelah melihat suhengnya sehat kembali Im
Yang Cu sebagai seorang toosu Bu-tong pay yang mempunyai nama besar dalam Bulim
tidak ingin mungkiri janjinya lagi dari dalam saku ia mengambil keluar sejilid kitab serta
segulung lukisan kemudian diangsurkan ketangan Kiem Hoa Hujien.

“Kedua jilid kitab serta lukisan yang terletak di atas meja kesemuanya adalah barang
palsu sekalipun tadi Hujien merampasnya juga percuma barang yang asli masih berada
ditanganku. Nah silahkan Hujien suka menerimanya.”
“Tootiang sungguh cerdik otakmu membuat aku merasa sangat kagum” tak kuasa lagi
Kiem Hoa Hujien berseru memuji seraya menerima angsuran kitab serta lukisan mustika
itu.
“Urusan terjadi karena terpaksa mau tak mau pintopun harus bersiap sedia dan sedikit
menggunakan akal licik.”
“Secara bagaimana pula kau hendak membuktikan bila lukisan serta kitab inipun bukan
barang palsu?” kini balik Kiem Hoa Hujien yang bertanya.
“Jikalau hujien masih belum percaya, silahkan kau periksa sekarang juga.”
Kiem Hoa Hujien berpaling dan memandang sejenak wajah Ih Bun Han To akhirnya ia
membentangkan lukisan tersebut untuk diperiksa setelah digulung kembali ia periksa pula
kitab pusaka Sam Khie Cin Boh tersebut setelah ditemukan memang barang-barang itu
adalah barang-barang asli ia baru masukan benda-benda itu ke dalam saku.
Selama ini Lam Giok Tong yang menyaru sebagai Siauw Ling sedang memandang kitab
pusaka serta lukisan yang berada di tangan Kiem Hoa Hujien dengan terpesona menanti
perempuan itu tengah menyimpan kembali barang-barang itu ke dalam saku ia baru
tertawa dingin tiada hentinya.
“Eeeeeiii! Apakah lukisan Giok Sian Cu itu hendak kau jual???” tegurnya dingin.
Kiem Hoa Hujien yang telah menyimpan kitab Sam Khie Cin Boh serta lukisan Giok Sian
Cu hatinya jadi lebih lega mendengar teguran tersebut ia hanya tertawa hambar.
“Kau anggap dengan tampangmu macam itupun punya kekuatan untuk membelinya.”
“Kau boleh buka harga.”
Mendengar pemuda she Lan itu berani menantang untuk buka harga Kiem Hoa Hujien
agak tertegun, akhirnya ia tertawa sinis.
“Aku menginginkan sepasang mata anjingmu agar kau tidak dapat melihat isi kitab Sam
Khie Cin Boh sekalipun buka serta lukisan ini berhasil kau dapatkan.”
“Hmm, sungguh besar bacotmu, jikalau kau tidak suka menjual, maka jangan salahkan
cayhe hendak turun tangan merampas.”
“Kalau begitu silahkan kau coba untuk merampasnya.”
“Hmm kau kira sungguh takut, ayo kita buktikan diluaran,” tanpa banyak cingcong lagi
pemuda ini putar badan dan berjalan keluar dari dalam ruangan.
Kiem Hoa Hujien sendiripun kuatir apabila dia sampai bentrok dnega orang ini maka
memberikan kesempatan yang sangat baik bagi pihak Bu-tong pay untuk turun tangan
terhadap dirinya karena itu dalam keadaan seperti ini dia tidak ingin cari urusan.

Kepada Ih Bun Han To serta Siauw Ling segera serunya.
Tidak menunggu lebih lama lagi ia melangkah keluar dari ruangan gubuk reyot tadi.
Sinar mata Siauw Ling menyapu sekejap keatas wajah Im Yang Cu serta Bu Wie
Tootiang bibirnya tampak bergerak seperti mau mengucapkan sesuatu tapi akhirnya ia
batalkan niatnya tersebut dan buru-buru mengikuti dari belakang Ciu Cau Liong.
“Ih Bun Han To, kau berhenti!” mendadak Can Jap Cing membentak keras.
Mendengar bentakan tersebut Ih Bun Han To berhenti dan putar badan.
“Can heng kau masih ada petunjuk apa lagi?”
“Kau masih ingin pergi?”
“Jikalau Can heng masih ingin memberi petunjuk beberapa jurus ilmu silat Bu-tong pay
sudah tentu siauwte akan mengiringinya.”
Pundak Can Jap Cing sedikit bergerak tahu-tahu ia sudah menerjang tiga depa ke
depan seraya melintangkan pedangnya di depan dada teriaknya sambil tertawa dingin,
“Ruangan ini terlalu sempit mari kita coba kepandaian diluar gubuk.”
“Bagus sekali!” seru Ih Bun Han To terima tantangan tersebut seraya mengacungkan
pati emas yang dijinjing di tangan kirinya biarlah siauwte gunakan peti ini untuk menjajal
kedahsyatan dari ilmu silat Bu-tong pay.”
Dengan langkah lebar ia melangkah keluar.
“Sute kau kembali!” belum sempat Can Jap Cing bertindak Im Yang Cu sudah
menghardik.
Terpaksa Can Jap Cing berhenti.
“Suheng ada perintah apa??”
“Biarlah orang lain yang tidak pegang janji kita sebagai anggota Bu-tong pay tak boleh
mengingkari janji sendiri maksud kita adalah saling barter tukar barang dan bukan untuk
bergebrak.”
Jilid 25
sinar matanya dialihkan keatas tubuh Ih Bun Han To lalu tambahnya, “Ih Bun heng
silahkan berlalu selewatnya ini hari tiap kali kita berjumpa akan kutuntut kembali hutang
piutang ini.”
“Haaa… haaa… bagus, bagus sekali siauwte setiap saat menanti petunjuk dari kalian!”
seru Ih Bun Han To sambil tertawa tergelak.

Dengan mengikuti dari belakang Kiem Hoa Hujien ia berjalan keluar dari gubuk itu
dengan langkah lebar.
Setibanya di tempat luaran Ciu Cau Liong baru maju beberapa langkah lebih cepat
sembari berbisik lirih, “Saat ini kita sedang menggembol barang mustika yang tak ternilai
harganya. Tidak menguntungkan untuk mencari satroni dengan orang lain. Bagaimana
menurut pandangan Hujien serta Ih Bun heng apabila kita cepat-cepat kembali
keperkampungan Pek Hoa Sanceng?”
“Bagaimana?” seru Kiem Hoa Hujien sambil tertawa terkekeh sangat kerasnya, “Kau
takut aku membawa pulang kitab pusaka Sam Khie Cin Boh serta lukisan Giok Sian Cu ini
kembali kedaerah Biauw Ciang??”
Mendengar ucapan itu Ciu Cau Liong merasakan hatinya tergetar keras, pikirnya,
“Perempuan ini betul-betul sangat licik, dan berbahaya. Urusan apapun bisa ia lakukan aku
harus lebih berhati-hati.”
Dihati berpikir demikian diluar ia tersenyum ramah.
“Aaaakh Hujien suka bergurau.”
“Kedatanganku kali ini kedaerah Tionggoan yang pertama ingin berpesiar mengunjungi
tempat-tempat kenamaan serta daerah berpemandangan indah dan kedua ingin mencoba
sampai dimanakah dahsyatan dari ilmu silat jago-jago dunia kangouw saudara Ciu Cau
Liong kau tidak usah kuatir. Sekalipun kau paksa aku kembali kedaerah Biauw Ciang pada
saat ini pun belum tentu aku mau, harap kau boleh berlega hati!” seru Kiem Hoa Hujien itu
kembali.
Walaupun ucapan tersebut diutarakan sangat halus dan penuh nada merdu padahal
artinya sangat menusuk perasaan Ciu Cau Liong sehingga hal ini mendatangkan rasa
mendongkol dihati Jie Cungcu dari perkampungan Pek Hoa Sanceng ini.
“Sungguh keparat perempuan ini awas kau pada suatu saat kaupun bakal merasakan
kelihayanku,” makinya dihati.
Tetapi diluaran ia masih tersenyum paksa.
“Hujien adalah seorang pahlawan perempuan yang semangat gagah sudah tentu Hujien
tak akan kembali sebelum mencoba kepandaian para jago-jago di dunia kangouw aku
tanggung dengan kepandaian yang dimiliki Hujien saat ini untuk angkat nama bukanlah
suatu pekerjaan yang terlalu sulit.”
Semua manusia dikolong langit tak ada yang tidak suka mendapat pujian tindakan Ciu
Cau Liong dengan memakai topi di atas kepalanya ini seketika membuat wajah Kiem Hoa
Hujien penuh dihiasi dengan senyuman manis.
“Ciu Je Cungcu kau terlalu memuji!” serunya merdu. “Aku dengar kecuali Jen Hoa
Cungcu telah menarik aku serta Ih Bun sianseng untuk menggabungkan diri dengan pihak
kalian diluar perbatasanmu kalian mengundang datang seorang jago lihay entah siapakah
orang itu?”

“Soal ini siauwte agak kurang jelas lagi sekembalinya ke dalam perkampungan kau
boleh langsung tanyakan persoalan ini dengan Toa Cungcu sendiri.”
Kiem Hoa Hujien tersenyum.
“Ciu Cien Cungcu, aku lihat kau dengan Jen Bok Hong diluaran saling menyebut sebagai
saudara padahal dalam kenyataan kau menghormati dirinya melebihi hormat seorang
murid terhadap gurunya, bukankah begitu?” mendengar ucapan ini Ciu Cau Liong merasa
sangat terperanjat, makinya dihati, “Sungguh cerewet benar perempuan ini. Keparat.”
Diluaran ia tersenyum ramah.
“Kami sebagai jago yang lahir didaratan Tionggoan, selamanya menganggap yang tua
lebih terhormat dari yang muda aku rasa sikap seorang adik terhadap kakaknya memang
sepatutnya sangat menghormat dan inipun tak bisa dibicarakan dengan kata-kata jeri atau
takut.”
“Saudara cilik…” mendadak Kiem Hoa Hujien berpaling ke arah Siauw Ling yang berada
disisinya. “Apakah kaupun takut sekali dengan Jen Bok Hong?”
“Sopan dan budi yang luhur diutamakan yang tua patut dihormati,” jawab pemuda she
Siauw dengan alis meletik.
“Bagus, bagus… situa memang patut dihormati…” seru Kiem Hoa Hujien sambil
tertawa.
Mendadak ia berhenti berjalan, mulutpun membungkam dalam seribu bahasa. Ketika
semua orang mendongak, maka tampaklah sipemuda berbaju biru yang tadi menerobos
masuk ke dalam gubuk kini berdiri menghadang di tengah jalan sepasang matanya
memang keangkasa sikapnya amat jumawa.
Dikedua belah sisinya masing-masing berdiri seorang lelaki berbaju hijau yang berusia
empat belas tahunan yang dikiri mencekal pedang dan yang ada dikanan membawa
Khiem.
“Hujien kau jangan bertindak gegabah” seru Ih Bun Han To dengan cepat. “Orang ini
bukan lain adalah Siauw Ling yang selama beberapa tahun ini menggemparkan seluruh
Bulim.”
Mendengar orang itupun bernama Siauw Ling, Kiem Hoa Hujien segera berpaling ke
arah Siauw Ling. “Mengapa begitu banyak orang yang bernama Siauw Ling.”
“Dikolong langit banyak orang yang mempunyai she serta nama yang sama apa yang
perlu diherankan tentang soal ini??”
Bagaikan kena ditusuk jarum mendadak tubuh pemuda berbaju biru itu tergetar keras,
sinar mata yang semula memandang angkasa kini dialihkan keatas wajah Siauw Ling.
“Apa? kaupun bernama Siauw Ling??”
“Tak salah siauwte adalah Siauw Ling yang asli barang tulen.”

Diluar ia bicara begitu sedang di dalam hati pemuda ini merasa kegelian pikirnya,
“Kemarin malam kau masih berlutut di depan meja sembahyang agar sukmaku suka bantu
pekerjaan baikmu, dan sekarang kau sudah bertemu dengan orangnya yang asli tetapi
sikapmu masih begitu sok…?”
Karena terbayang hal-hal yang menggelikan tak terasa senyuman menghiasi seluruh
wajahnya.
“Apa yang kau tertawakan?” teriak pemuda berbaju biru itu sangat gusar.
“Aduh apa tertawapun tidak boleh?”
“Tidak boleh, jika kau sungguh-sungguh bernama Siauw Ling, maka ini hari salah satu
diantara kita harus mati.”
“Wooouw mau ajak adu jiwa? kita kan tak terikat dendam sakit hati kenapa harus adu
jiwa?”
“Siapa yang suruh kau meniru nama besar kongcu kami?” sela sibocah yang ada
disebelah kiri tiba-tiba. “Hmm kematian sudah sepatutnya kau terima.”
“Bocah ini sungguh kurang ajar dan tidak kenal aturan,” batin Siauw Ling dalam hati.
“Yang ada kongcu mereka yang menyaru namaku sekarang malah mereka yang menuduh
aku menyaru nama kongcunya sungguh kurang ajar.”
Hawa amarahpun tak tertahan bergelora dalam dadanya seraya tertawa dingin segera
serunya, “Saat ini siapa yang bakal menderita kalah masih diduga buat apa kalian pentang
bacot sebesar-besarnya.”
Dengan langkah lebar ia berjalan maju ke depan.
Tapi belum sampai pemuda itu tiba dihadapan pemuda berbaju biru itu mendadak Ciu
Cau Liong sudah melayang ke depan menghadang di depan Siauw Ling bisiknya lirih,
“Samte harap bersabar.”
Ia berpaling ke arah sipemuda berbaju biru itu lalu menjura.
“Aku sudah tahu kau adalah Jie Cungcu dari perkampungan Pek Hoa Sanceng” potong
pemuda itu dengan nada yang dingin. “Beberapa orang saudara dari perkampungan kalian
telah terluka di bawah sambaran pedang siauwte, jika kau ingin membalaskan dendam
bagi mereka sekarang tiada halangannya kau boleh turun tangan bersama-sama Siauw
Ling.”
Melihat keputusan pihak lawan kening Ciu Cau Liong segera berkerut, pikirnya, “Orangorang
kangouw mengatakan ia adalah seorang manusia berwajah dingin berhati telengas,
kelihatannya cerita tersebut tidak salah…”
Sebagai seorang yang berhati licik ia tak ingin Siauw Ling palsu dan asli ini saling
bergebrak satu sama lainnya sambil menahan rasa gusar yang bergelora dalam dada ia
tertawa.
“Siauw Thayhiap terlalu sungkan…”

Mendadak suara derapan kuda yang santar berkumandang datang memotong
perkataannya yang belum selesai, seekor kuda laksana sambaran kilat menerjang datang.
Orang yang berada di atas kuda itu mencekal sebuah panji berukir bunga emas yang
diacungkan tinggi-tinggi.
“Toa Cungcu menurunkan perintah Kiem Hoa Leng untuk mengundang Cuwi cepatcepat
kembali ke dalam perkampungan!” seru orang itu keras-keras.
Di tengah suara teriakan keras kuda tersebut dengan cepatnya sudah menerjang
sampai di belakang punggung sang pemuda berbaju biru itu.
Anak buah perkampungan Pek Hoa Sanceng sudah terbiasa berbuat semau gue
walaupun mereka lihat di tengah jalan ada orang sedang berdiri tali lesnya tidak juga mau
ditahan bahkan membiarkan tunggangannya menerjang diri pemuda berbaju biru itu
keras-keras.
Selagi Ciu Cau Liong siap membentak waktu sudah terlambat.
Tampak pemuda berbaju biru itu putar tubuhnya ke belakang, tangan kanan diangkat
keatas disusul berkelebatnya cahaya tajam memenuhi angkasa.
Suara jeritan ngeri bercampur ringkikan panjang berkumandang memekikan telinga si
lelaki yang berada di atas kuda sama-sama binatang tunggangannya tahu-tahu sudah
terbabat putus jadi dua bagian dan roboh binasa ditepi jalan darah segar muncrat
membasahi seluruh permukaan.
Ketika menoleh ke arah sang pemuda berbaju biru itu lagi ia sudah bergendong tangan
seraya memandang keangkasa padanya telah tersoren kembali di dalam sarungnya
sedang air muka dingin kaku sama sekali tak kelihatan perubahan apapun.
Kecepatan orang itu mencabut pedang sungguh luar biasa dahsyatnya bukan saja Ciu
Cau Liong dibikin sangat terperanjat sekalipun Kiem Hoa Hujien, Ih Bun Han To serta
Siauw Lingpun dibikin terpesona oleh permainan serta kecepatan pihak lawannya.
Setelah waktu lewat beberapa saat Kiem Hoa Hujien baru berpaling ke arah Ih Bun Han
To.
“Berasal dari manakah ilmu pedang ini?”
“Sungguh aneh sekali cayhe belum pernah menjumpai ilmu pedang sedahsyat ini entah
ilmu tunggal dari perguruan mana?”
Siauw Ling tiba-tiba terdengar sipemuda berbaju biru itu berseru kembali. “Ayo keluar
apa kau takut? hmm sungguh mirip cucu kura-kura.”
Mendapat penghinaan yang demikian beratnya Siauw Ling tak dapat menahan diri.
“Jieko cepat menyingkir” serunya.

Sang tubuh bagaikan kilat berkelebat keluar setelah berputar setengah lingkaran di
tengah lingkaran di tengah udara ia meloncat keluar dari sisi tubuh Ciu Cau Liong.
Melihat pemuda itu hendak terjunkan diri ke dalam kalangan Ciu Cau Liong segera
menggerakkan tangannya menyambar tapi ia tidak berhasil menemui sasarannya.
“Ilmu gerakkan apakah ini?” teriaknya terperanjat kecepatannya laksana kilat
perubahan gerakannya susah diduga sungguh luar biasa.
Melihat hal tersebut Kiem Hoa Hujienpun kerutkan alisnya kepada Ih Bun Han To diamdiam
bisiknya lirih, “Kepandaian ilmu silat yang dimiliki Siauw Ling sangat dahsyat sekali
aku rasa Ciu Cau Liong bukan apa-apanya cukup ditinjau dari gerakan perputaran yang
cepat laksana kilat sudah membuktikan apabila tenaga sinkangnya telah mencapai taraf
kesempurnaan.”
Ih Bun Han To tersenyum.
“Agaknya Siauw Ling ini merupakan orang kesayangan dari Jen Bok Hong apabila ia
sampai terluka di bawah serangan pedang si Siauw Ling itu, aku terka Jen Bok Hong pasti
tak akan berpeluk tangan.”
“Sedikitpun tidak salah” sambung Kiem Hoa Hujien dengan cepat.
Mendadak pinggangnya bergoyang dengan jurus Hay Yen Lieh Poh atau burung walet
menerobos ombak yang melewati dari atas kepala Ciu Cau Liong dan melayang turun lima
empat depa di belakang Siauw Ling.
“Saudara cilik!” serunya cepat. “Kau boleh turun tangan dengan hati tega, encimu akan
menjaga bokongan dari manusia kurcaci.”
Siauw Lingpun telah dapat melihat kelihayan dari sipemuda berbaju biru itupun kini dia
pusatkan seluruh perhatiannya untuk menghadapi musuh.
Perlahan-lahan pedangnya dicabut keluar dari sarung kemudian disilangkan di depan
dada siap menerima serangan lawan, sekalipun ia dengar ucapan itu Kiem Hoa Hujien tapi
pemuda ini tak berani pecahkan perhatian untuk menjawab.
Sang pemuda berbaju biru itupun mulai menggerak kakinya, sedang sepasang matanya
dengan memancarkan cahaya tajam dan menggidikkan melototi diri Siauw Ling tak
berkedip selapispun hawa nafsu membunuh mulai meliputi seluruh wajahnya.
Lama sekali masing-masing pihak berdiri saling menanti, tetapi pemuda berbaju biru itu
masih belum juga mencabut keluar pedangnya.
Lama kelamaan Siauw Ling tak dapat menahan sabar lagi tiba-tiba serunya, “Mengapa
saudara belum juga mencabut pedang untuk melancarkan serangan??”
Sang pemuda berbaju biru itu tidak memperdulikan ucapan dari Siauw Ling, sepasang
matanya tetap melototi pihak lawan tajam-tajam.
Agaknya ia ingin mencari titik kelemahan dari pertahanan pedang Siauw Ling kemudian
sekali serang mencabut nyawa pemuda ini.

Siauw Ling yang tidak memperoleh jawaban hawa singkangnya kembali disalurkan
mengelilingi seluruh badan hingga akhirnya mencapai pada titik puncaknya tetapi
sipemuda berbaju biru itu masih belum juga mencabut keluar pedangnya untuk
melancarkan serangan.
Hanya saja air mukanya makin lama berubah makin menghebat, nafsu membunuhpun
makin hebat.
Agaknya Kiem Hoa Hujien sudah dapat melihat bila masing-masing pihak telah
menyalurkan hawa murninya hingga mencapai sepuluh bagian masing-masing pihak
sedang berusaha untuk mendapatkan titik kelemahan pihak lawan untuk kemudian sekali
serang mencapai hasil yang mutlak.
Tak terasa lagi perempuan ini merasa sangat terperanjat pikirnya, “Kiranya kedua orang
Siauw Ling ini sama-sama memiliki kepandaian silat yang luar biasa dahsyatnya sungguh
tidak kusangka.
Bagaimanapun juga pengalaman Siauw Ling di dalam menghadapi musuh masih sangat
berkurang apalagi menghadapi musuh tangguh ia masih belum mengerti bagaimana
mempertahankan diri sendiri setelah hawa murninya beberapa kali mengelilingi seluruh
badan masih juga melihat pihak lawannya turun tangan, lama kelamaan ia mulai ambil
keputusan untuk melancarkan serangan terlebih dahulu dengan menempuh bahaya.
Ia tahu semisalnya hawa murni yang dikumpulkan telah mencapai pada puncaknya dan
tidak segera disalurkan keluar maka ia sendirilah yang bakal menderita luka dalam.
Waktu berlalu dengan cepatnya di tengah kesunyian serta keheningan yang mencekam
rasa tegang menyelimuti hati semua orang sedang nafsu membunuhpun memenuhi
seluruh angkasa.
Masing-masing kembali bertahan selama seperminum teh lamanya mendadak seluruh
tubuh Siauw Ling gemetar sangat keras, wajahnya berubah jadi merah bagaikan kepiting
rebus.
Sedangkan air muka sipemuda berbaju biru itu sendiri makin lama berubah makin berat
dan semakin serius.
Agaknya kedua orang bocah pembawa Khiem serta pedang sudah dapat meninjau
keadaan yang tidak beres perlahan-lahan mereka mengundurkan dirinya ke belakang.
Hingga saat ini sekalipun Siauw Ling masih belum berhasil menemukan juga titik
kelemahan di dalam pertahanan sipemuda berbaju biru itu, tetapi dia tak dapat menahan
sabarnya lagi. Mendadak pedangnya digetarkan dengan menimbulkan bunga-bunga api
yang menyilaukan mata bersama-sama tubuhnya menerjang maju ke depan.
Tampak pemuda berbaju biru itu angkat lengannya keatas. Sekejap kilat dia cabut
keluar pedangnya dari dalam sarung.
Cahaya tajam saling menyambar hawa pedang berdesir memenuhi angkasa di tengah
berkelebatnya bayangan manusia suara bentrokan keras bergema memenuhi angkasa
diiringi percikan bunga-bunga api.

Bentrokan yang terjadi barusan dilakuakn dengan kecepatan laksana sambaran kilat
saking cepatnya sampai Ciu Cau Liong serta Ih Bun Han To sekalian susah mengikuti
dengan jelas.
Ketika mereka mengalihkan kembali sinar matanya ke tengah kalangan, tampaklah
kedua orang pemuda itu berdiri saling berhadap-hadapan dengan terpaut jarak sejauh
tujuh delapan depa.
Wajah Siauw Ling yang merah padam sekarang telah luntur dan berganti air muka yang
agak pucat, ditangannya mencekal sebuah kutungan pedang.
Sedangkan dipihak sipemuda berbaju biru itu pedang yang dicekal ditanganpun tinggal
sepotong hawa nafsu yang menyelimuti wajahnya lenyap tak berbekas sebagai gantinya
secara lapat-lapat kelihatan air mukanya diliputi keletihan.
Kiranya dalam bentrokan yang terjadi secara kilat itu masing-masing pihak telah
mengeluarkan jurus ilmu pedang yang terindah dan terlihay untuk coba merobohkan pihak
lawan.
Tetapi hasil yang diperoleh adalah setali tiga uang sebagai akibatnya pedang di tangan
masing-masing pihak putus jadi dua.
Perlahan-lahan sipemuda berbaju biru itu memandang sekejap ke arah Siauw Ling,
mendadak ia membuang kutungan pedangnya keatas tanah seraya ujarnya dingin, “Ilmu
pedang saudara sungguh luar biasa dalam setahun kemudian cayhe pasti akan
mengunjungi kembali perkampungan Pek Hoa Sanceng untuk minta petunjuk darimu.”
Ia berpaling ke arah sepasang bocah cilik itu.
“Ayo kita pergi.”
Dengan berjalan terlebih dahulu, buru-buru orang itu berlalu dari sana.
Sepasang bocah yang membawa pedang serta Khiem itupun dengan kencang
mengiringi dari belakang.
Melihat kepergian pemuda tersebut Ciu Cau Liong segera kerutkan alisnya, kepada Ih
Bun Han To diam-diam bisiknya, “Kepandaian silat orang ini tak lemah bilamana ini hari
kita lepaskan dia orang bukankah ini sama artinya melepaskan harimau pulang gunung.”
Agaknya Ih Bun Han To sudah terbiasa dengan ucapan dari Ciu Cau Liong ini maka
sekali mendengar ia sudah mengerti maksud hatinya.
Kontan ia tertawa dingin tiada hentinya.
“Ciu heng, kenapa kau tidak kejar saja orang itu untuk sekalian dibunuh, sehingga
orang itu tak mendatangkan bencana dikemudian hari.”
“Hmm bangsat keparat orang ini makin tua makin licik” diam-diam damprat Ciu Cau
Liong di dalam hatinya.

Ia tidak menggubris Ih Bun Han To lagi dengan langkah lebar ia melangkah ke depan
sambil pungut tanda perintah panji Kiem Hoa Leng.
“Cungcu telah turunkan tanda perintah Kiem Hoa Leng. Aku rasa tentu ada urusan
penting hendak dirundingkan mari kita cepat-cepat pulang” serunya cepat.
Tidak menanti jawaban dari yang lain ia segera putar badan dan buru-buru melakukan
perjalanan balik keperkampungan Pek Hoa Sanceng.
Kiem Hoa Hujien, Ih Bun Han To serta Siauw Lingpun tidak banyak bicara lagi mereka
salurkan tenaga murninya untuk tahan lama balik ke dalam perkampungan Pek Hoa
Sanceng dan langsung masuk keruangan tengah.
Di tengah ruangan besar pada saat itu sudah duduk banyak orang sibayangan berdarah
Jen Bok Hong duduk dikursi pertama.
Sewaktu melihat kembali keempat orang itu buru-buru ia bangun berdiri dan
menyambut kedatangan beberapa orang itu seraya menjura ke arah Kiem Hoa Hujien.
“Hujien serta Ih Bun Heng-sangat letih bukan?”
“Tidak usah sungkan-sungkan lagi,” sahut Kiem Hoa Hujien cepat.
“Hujien, apakah barang-barang tersebut berhasil ditukar?”
“Beruntung sekali jiwa kami tidak ikut lenyap.”
“Barusan saja Cuwi melakukan pekerjaan berat seharusnya pada saat ini beristirahat
terlebih dahulu, tapi berhubung adanya satu persoalan terpaksa aku harus undang Cuwi
untuk mengikutinya…”
Tiba-tiba ia temukan air muka Siauw Ling agak pucat, segera tegurnya, “Samte, kenapa
kau? keletihan?”
“Di tengah jalan telah berjumpa dengan seorang musuh tangguh” jawab Siauw Ling
setelah menghembuskan napas panjang. “Terpaksa kami bergebrak mati-matian, tetapi
karena melihat munculnya tanda perintah Kiem Hoa Leng dari Toako sebelum sempat
mengatur pernapasan aku berangkat kembali mungkin tenagaku belum pulih secara
keseluruhannya.”
“Siapa yang kau temui?”
“Siauw Ling?” sahut Ciu Cau Liong cepat.
“Dan bagaimana akhir pertandingan itu?”
“Pedang Samte serta pedang orang itu sama tergetar putus jadi dua bagian.”
“Aaakh kalau begitu kau harus beristirahat sebentar” seru Jen Bok Hong sambil
menoleh kembali ke arah Siauw Ling.
“Terima kasih toako.”

Tanpa banyak cakap lagi pemuda ini mencari satu tempat duduk disisinya dan
beristirahat.
Dengan wajah serius Jen Bok Hong segera mempersilahkan Kiem Hoa Hujien serta Ih
Bun Han To menduduki kursi atas setelah itu diapun kembali kekursinya sendiri.
Sambil tertawa sinar matanya perlahan-lahan menyapu sekejap seluruh ruangan
ujarnya, “Mereka datang dari tempat kejauhan dan tidak bisa berdiam diri terlalu lama
disini sedang cayhe setelah bekerja sama dengan Hujien sudah tentu tidak ingin
tinggalkan dirimu dalam menghadapi persoalan ini oleh sebab itu terpaksa tanda
perintahnya Kiem Hoa Leng aku gunakan untuk mengundang kalian cepat-cepat kembali.”
Kiem Hoa Hujien serta Ih Bun Han To sama-sama mengangguk sinar mata mereka
menyapu sekejap ke arah para jago yang duduk berderet-deret itu.
“siapakah mereka?” tanya kemudian.
Jen Bok Hong mendongak dan tertawa terbahak-bahak.
“Haaa… haaa… haaa… jikalau hanya orang-orang biasa saja sudah tentu cayhe tidak
akan mengundang Hujien untuk kembali.”
Ia merandek sejenak, lalu tambahnya, “Lebih baik kalian sebutkan sendiri asal usulmu.”
“Beberapa orang itu memakai pakaian ringkas semua kepalanya terbungkus kain hijau
dan wajahnya penuh debu sekali pandang saja siapapun dapat mengetahui bila mereka
benar-benar baru saja datang dari tempat kejauhan.”
Tampak orang yang duduk diujung paling kiri bangun berdiri, setelah menjura ia
memperkenalkan diri, “Pinceng Hoat Hwie, kini menduduki kursi ketiga di dalam ruangan
Lo Han Tong dari kuil Siauw lim sie.”
“Haaa haaa haaa haaa… untuk mengaku asal usul sendiri, siapapun bisa sembarangan
menyebutkan satu nama tertentu tetapi siapa yang suka mempercayai dengan begitu
saja?” tiba-tiba Kiem Hoa Hujien tertawa terkekeh.
“Baiklah,” ujar Jen Bok Hong kemudian setelah termenung sejenak. “Kalian masingmasing
boleh keluarkan semacam barang sebagai tanda bukti apabila ucapan kalian
berbohong.”
Lelaki kasar berbaju hitam yang menyebut dirinya sebagai Hoat Hwie hweesio segera
melepaskan kerudung hijau yang dikenakan pada kepalanya sehingga kelihatanlah
kepalanya yang gundul kelimis.
Setelah merangkap tangannya di depan dada ia duduk dan betulkan kembali kerudung
hijaunya.
Orang yang kedua bangun berdiri seraya memperkenalkan diri.
“Pinto datang dari Bu-tong pay.”

Sreeeet pedangnya dicabut keluar dari sarung, lalu dengan mencekal ujung pedang ia
angsurkan gagang pedang tadi kehadapan Kiem Hoa Hujien.
Ketika Kiem Hoa Hujien memeriksa pedang itu dengan teliti maka dilihatnya di atas
gagang tersebut terukirkan kata Bu-tong pay dengan jelasnya.
Ia lantas mengangguk sambil tersenyum.
“Ehhmmm sudah kelihatan.”
Orang itu simpan kembali pedangnya dan kembali ke tempat asalnya sedang pedang
tersebut disembunyikan.
Kini orang ketiga bangun berdiri untuk memperkenalkan diri.
“Pinceng Ci Ceng anak murid Gobie pay.”
Dari dalam sakunya ia mengambil keluar sebuah kantong dari kain kuning dan
mengeluarkan semacam barang yang kemudian dipegang dalam tangannya.
Ih Bun Han To yang melihat benda itu segera mengangguk.
“Tidak salah benda itu memang Sam Leng Coe Piauw merupakan senjata tunggal aliran
Gobie pay .”
Ci Ceng Hweesio tersenyum dan duduk kembali kekursinya setelah menyimpan piauw
tersebut terlebih dahulu, orang keempat bangun berdiri.
“Pinto adalah anak murid Cing Shia Pay ia memperkenalkan diri pinto tersebut Bok Jen.”
Tangan kanannya diayun ia mengacungkan sebilah pedang kecil yang lemas dan tipis
bagaikan daun pohon liuw.
“Inilah pedang Liuw Yap Kiem dari Cing Shia Pay” seru Ih Bun Han To lagi. “Kedudukan
Tooheng dalam partai Cing Shia sungguh tidak rendah.”
“Terima kasih atas pujian tuan,” perlahan-lahan ia duduk kembali.
Sekarang orang kelima bangun berdiri telapak kanannya melakukan gerakan
perputaran lalu didorong kemuka sedang telapak kiri mengikuti didorong pula ke depan.
“Cayhe, Kiem Koen Ngo mereka dari Kunlun pay.”
“Ehmm, kau menggunakan ilmu telapak Thian Kang Ciang Hoat dari Kunlun pay aku
rasa tak salah lagi.”
Dan kini giliran orang keenam yang berdiri.
“Cayhe bergumulan di dalam partai pengemis” serunya.
Ia mengacungkan sebuah uang emas tinggi-tinggi.

Pada mulanya Ih Bun Han To agak tertegun akhirnya ia berseru lantang.
“Maaf, maaf kiranya Heng thay adalah salah seorang diantara keempat orang
Tionggoan dari perkampungan Kay Pang.”
“Terima kasih” lelaki itu tersenyum hambar dan menyimpan kembali uang emas itu
serta duduk kembali.
Orang yang ketujuh adalah seorang manusia cebol yang tinggi badannya tidak
mencapai empat depa suaranya dingin dan hambar.
“Siauwte Pi Ceng San kini mendapat sebagai penguasa hukuman dalam partai Sin Hong
Pang.”
Sehabis berkata tanpa mengeluarkan tanda kepercayaan lagi ia duduk kembali
kekursinya.”
“Partai Sin Hong Pang belum lama munculkan diri di dalam dunia persilatan tindak
tanduk kalian penuh dilimuti kemisteriusan! Pi heng mengeluarkan tanda buktipun siauwte
belum tentu akan memahami!” seru Ih Bun Han To dingin.
Mendadak Jen Bok Hong mengulapkan tangan membiarkan orang yang lain
menyambung lebih lanjut, seraya bangun berdiri ujarnya, “Hujien rasanya sudah cukup
bukan?”
Kiem Hoa Hujien mengangguk.
“Kemampuan Jen Toa Cungcu sungguh luar biasa aku merasa kagum sekali. Sisanya
orang-orang ini aku pikir tentu anggota kita yang berhasil diselundupkan ke dalam
perguruan serta partai-partai diseluruh kolong langit bukan?”
“Tidak salah seluruh perguruan serta partai yang ada dikolong langit telah berhasil kami
selundupkan perduli bagaimanakah perubahan yang terjadi di dunia persilatan dan
bagaimana keadaan dimasing-masing perguruan aku sudah mengetahuinya bagaikan
melihat jari tangan sendiri,” ujar Jen Bok Hong penuh senyum kebanggaan.
Ia merandek sejenak, kemudian sambil ulapkan tangannya ia menambahkan, “Saat ini
badai serta angin kencang sudah mulai melanda diseluruh dunia persilatan. Kalian tidak
perlu berdiam terlalu lama lagi disini masing-masing kembalilah ke tempat asalmu.”
Mendengar ucapan itu para jago yang ada di dalam ruangan dengan beriring-iringan
mengundurkan diri dari ruangan dan di dalam sekejap mata tak seorangpun yang
ketinggalan dalam ruangan tersebut.
Kini di dalam sebuah ruangan yang sangat besar tinggal Jen Bok Hong, Ciu Cau Liong,
Kiem Hoa Hujien, Ih Bun Han Ti serta Siauw Ling lima orang.
Berkatalah Jen Bok Hong kepada diri Kiem Hoa Hujien, “Sekarang siauwte berhasil
menyelundupkan anggota kita diseluruh partai serta perguruan yang terbesar dikolong
langit, siapakah mereka-mereka itu kecuali aku seorang dikolong langit tak akan ada
manusia kedua yang mengetahuinya ini hari meminjam kesempatan sewaktu mereka
mengadaka pertemuan yang diadakan satu kali setiap tahun ingin kuperlihatkan semua

orang ini dihadapan Hujien serta Ih Bun heng agar kalian betul-betul berhati mantap di
dalam kerja sama dengan pihak kami.”
“Sejak puluhan tahun berselang Jen Toa Cungcu berpikiran untuk menyelundupkan
manusia-manusia itu keseluruhan perguruan serta partai rencana setelit dan secermat ini
sangat membuat aku jadi kagum” kata Kiem Hoa Hujien. “Dan kini mereka berhasil
merebut kedudukan yang penting di dalam partai serta perguruan masing-masing, aku
rasa hal ini tentu mendatangkan kegunaan yang sangat berharga bagi Jen Toa Cungcu.”
“Dan bagaimana pula terhadap Hujien? bukan sama saja menguntungkan?” sela Jen
Bok Hong sambil tersenyum.
Ia mendehem perlahan-lahan lalu sambungnya, “Barang-barang yang berhasil Hujien
tukar apakah sudah diperiksa dengan teliti?? Im Yang Cu adalah seorang manusia yang
berhati licik, kau jangan terlalu pandang enteng dirinya.”
Mendengar pertanyaan itu Kiem Hoa Hujien tertawa.
Sembari berkata dia mabil keluar kitab pusaka Sam Khie Cin Boh serta lukisan Giok Sian
Cu dari dalam saku lalu diangsurkan ke depan.
“Kitab ini adalah Sam Khie Cin Boh harap Jen Toa Cungcu suka menerimanya
sedangkan mengenai lukisan Giok Sian Cu.”
“Lukisan Giok Sian Cu telah aku berikan kepada Hujien, buat apa diungkap kembali…”
seru Jen Bok Hong dengan hati cemas.
Tangan kanannya diayun ia melemparkan kitab tersebut ke arah Siauw Ling.
“Samte baik-baiklah simpan kitab tersebut.”
Selama ini Siauw Ling pejamkan matanya terus menerus pura-pura atur pernapasan
padahal sewaktu Jen Bok Hong memerintahkan mata-mata yang disebar dalam tubuh
partai serta perguruan dikolong langit memperkenalkan diri tadi ia dapat menangkap
seluruh keterangan tersebut dengan sangat jelas.
Diam-diam hatinya tergetar keras ia sama sekali tidak menyangka kalau Jen Bok Hong
sebetulnya adalah seorang manusia yang demikian berbahayanya ambisi untuk menguasai
Bulim sangat luar biasa.
Menanti barusan Jen Bok Hong memanggil namanya ia baru membuka mata dan
menerima lembaran kitab Sam Khie Cin Boh tersebut.
Selagi ia siap menampik Jen Bok Hong sudah keburu berkata, “Kitab pusaka Sam Khie
Cin Boh adalah barang milik bersama antara kita dari pihak perkampungan Pek Hoa
Sanceng serta Hujien dan Ih Bun heng kau harus baik-baik menyimpan benda tersebut
jikalau sampai hilang aku minta pertanggungan jawabmu.”
Terpaksa Siauw Ling mengiakan dan menyimpan kitab pusaka tadi.
Sedangkan Kiem Hoa Hujien sendiripun perlahan-lahan menyimpan pula lukisan Giok
Sian Cu tadi ke dalam saku, kemudian sambil memandang tajam wajah Siauw Ling

ujarnya, “Saudara cilik tak kunyana sebenarnya kau adalah seorang jago lihay yang pandai
menyembunyikan ilmu silatmu ilmu pedang yang kau perlihatkan tadi sungguh luar biasa.”
“Aaaah benar” sela Jen Bok Hong pula. “Cayhe belum memperoleh laporan yang
lengkap atas terjadinya peristiwa tersbeut coba kalian ceritakan kisah itu padaku. Siapa
saja ikut hadir di dalam pertemuan tadi kecuali Im Yang Cu sendiri.”
“Ooouw Tiong Lam Jie Hiap pun ikut hadir di dalam pertemuan tersebut??”
“Tidak salah siauwte telah menasehati mereka berdua agar janga mengikuti campurkan
diri di dalam kancah pergolakan tersebut tapi mereka tak mau tahu kamipun tak bisa apaapa
bila mereka berisi keras secara begitu.”
“Bagaimana? Apakah Tiong Lam Jie hiap sangat lihay?”
“Tiong Lam Jie hiap pernah menggetarkan dunia persilatan hampir tiga puluh tahun
lamanya, nama mereka sangat tersohor sudah tentu ilmu silatpun luar biasa sekali cukup
ditinjau dari senjata khas Thiat Kut Hong Hwee San dari Ke Thian In yang tampangnya
seorang siucay, bukan saja jurus serangannya lihay, bahkan dibalik senjatanya
tersembunyi pula senjata rahasia baik api maupun air, selama tiga puluh tahun ia malang
melintang dikolong langit belum pernah kedua orang nemui musuh yang ampuh, jikalau
kedua orang itu sungguh sekuat tenaga, maka pihak kita jelas akan kelebihan dua orang
musuh tangguh pula.”
Kiem Hoa Hujien yang mendengar ucapan itu segera tertawa tiada hentinya.
“Heee, heee, hee, jika demikian adanya rasanya aku harus pergi mencari satroni
dengan diri mereka.”
Ia merandek sejenak, sinar matanya perlahan-lahan dialihkan keatas wajah Ih Bun Han
To.
“Ih Bun heng, bagaimana kalau aku minta bantuanmu dalam menghadapi satu
persoalan?”
Diam-diam Ih Bun Han To kerutkan keningnya ia tahu perempuan ini licik dan
berbahaya untuk menghadapi manusia seperti ini ia harus bertindak hati-hati.
“Asalkan cayhe bisa lakukan tentu akan kubantu,” jawabnya.
“Mengambil kesempatan sebelum mereka berlalu terlalu jauh tolong kau suka mewakili
aku untuk menyampaikan tantanganku kepada diri Tiong Lam Jie hiap katakan saja besok
pagi akan kunanti kau kedatangannya diluar perkampungan Pek Hoa Sanceng.”
“Hujien kenapa kau ingin tantangan diri Tiong Lam Jie hiap?”
“Karena ingin kurasakan bagaimanakah kehebatan kipas Thiat Kut Hong Hwee Sanya.”
“Hujien,” ujar Jen Bok Hong pula coba mencegah niat siperempuan yang berasal dari
daerah Biauw Ciang ini. “Persiapan kita belum orang yang kita undangpun belum hadir
semua bagaimana kalau Hujien suka bersabar sejenak.”

“Pandanganku kali ini berlainan dengan pandangan Jen Toa Cungcu saat ini kesehatan
Bu Wie Tootiang belum pulih dalam arti keseluruh perguruan Bu-tong pay pun tak ada
yang memimpin.”
“Asalkan di dalam pertempuran besok pagi aku berhasil merobohkan Tiong Lam Jie hiap
sekalian kita tangkap juga Bu Wie Tootiang sitoosu tua itu bukankah dengan sangat
mudah kita bakal berhasil paksa anak murid Bu-tong pay takluk di bawah pimpinan
perkumpulan Pek Hoa Sanceng.”
“Menurut apa yang cayhe ketahui…..” potong Jen Bok Hong sambil tertawa. “Bu Wie
Tootiang serta Im Yang Cu sekalian merupakan manusia-manusia berwatak tinggi hati,
sekalipun harus gusar mereka tak bakal suka takluk.”
“Kalau begitu menggunakan kesempatan yang sangat baik ini kita basmi dulu pentolanpentolan
dari Bu-tong pay asalkan ular tanpa kepala tak bakal bisa jalan burung tak
bersayap tak bakal terbang walaupun anak muridnya sangat banyak asalkan tidak
mendapatkan pimpinan yang koen mereka, merekapun bukan suatu halangan yang terlalu
berat buat kita untuk melenyapkannya asalkan partai Bu-tong rontok dan hancur maka
nama besar perkampungan Pek Hoa Sanceng pasti akan tersohor dan dikenal oleh setiap
orang dikolong langit.”
Siauw Ling yang selama ini hanya mendengarkan pembicaraan mereka saja ketika itu
tak dapat menahan getaran dalam hati lagi diam-diam pikirnya, “Perempuan ini sungguh
kejam dan telengas rasanya pepatah kuno yang mengatakan perempuan itu racun dunia
bukan kata-kata bohong belaka.”
Tampak Jen Bok Hong termenung sejenak lalu ujarnya, “Jikalau Hujien memang punya
keyakinan bisa menangkan Tiong Lam Jie hiap kedua orang jago lihay tersebut baiklah
biar aku ikuti saja pendapat Hujien dan melaksanakan usulmu itu tentang memberi kabar
kepada mereka aku rasa tak usah Ih Bun heng repot-repot harus berangkat sendiri biarlah
aku tulis sepucuk surat dan disampaikan oleh anak buahku.”
Melihat usulnya diterima Kiem Hoa Hujien jadi kegirangan setengah mati.
“Orang-orang Bu-tong agaknya sangat membenci Ih Bun heng hingga merasuk
ketulang sumsum semisalnya suruh ia yang menentang aku tanggung Im Yang Cu serta
Tiong Lam Jie hiap tak akan menampik terhadap tantangan tersebut” katanya sambil
tertawa.
“Aku rasa,” kata Jen Bok Hong menyambung. “Dengan nama besar yang dimiliki Tiong
Lam Jie hiap selama sepuluh tahun di dalam dunia persilatan asalkan ia terima tantangan
dari Hujien tak mungkin mereka berani menampik…”
Ia ulapkan tangannya seorang dayang cantik berbaju hijau jalan menghampiri lalu
menjura, “Toa Cungcu ada perintah?”
“Sampaikan perintahku kepada seluruh pos-pos penjagaan uang terbesar disekitar
perkampungan untuk mengawasi kemana perginya rombongan Bu Wie Tootiang sekalian.”
Dayang cantik itu mengiakan dan buru-buru berlalu.

Sejurus kemudian ia sudah kembali keruangan tengah untuk melaporkan hasil
pekerjaannya.
“Toa Cungcu delapan belas ekor kuda telah dikirim keluar guna menyampaikan perintah
dari Cungcu.”
Jen Bok Hong tersenyum dan mengangguk sahutnya, “Bagus sekali, dan kini harus
mewakili Hujien untuk menuliskan sepucuk surat tantangan bertempur terhadap diri Tiong
Lam Jie hiap.”
Kembali sidayang menyahut dan berlalu kemudian tidak sampai makan beberapa waktu
surat telah dipersiapkan.
Jen Bok Hong membaca sejenak surat itu lalu diserahkan ketangan Kiem Hoa Hujien
seraya berkata, “Hujien! harap kau membacanya terlebih dulu, jikalau tidak perlu berubah
lagi segera bisa dicantumkan tanda tanganmu kemudian aku akan kirim orang untuk
menyampaikan surat ini kepada mereka.”
Kiem Hoa Hujien menerima surat itu untuk kemudian dibacanya satu kali, setelah
dirasakan cocok maka ditanda tangannya surat tersebut.
Jen Bok Hong segera menyerahkan surat tadi ketangan sidayang cantik berbaju hijau
perintahnya, “Serahkan surat ini kepada sipenguasa perkampungan perintahkan
kepadanya agar sebelum tengah malam nanti surat ini harus sudah tiba di tangan Tiong
Lam Jie hiap. Kalau tidak jangan datang menghadap lagi.”
Sidayang cantik berbaju hijau mengiakan dengan menerima surat itu ia tergesa-gesa
mengundurkan diri seraya memandang bayangan punggung sang pelayan yang
mengundurkan diri dari ruangan perlahan-lahan Jen Bok Hong bangun berdiri.
“Hujien serta Ih Bun heng seharusnya pergi beristirahat sejenak cayhe tak ingin
mengganggu lebih lanjut.”
Tidak menunggu jawaban dari lawannya lagi ia melangkah tinggalkan ruangan tersebut.
Kita balik pada Siauw Ling sekembalinya kebangunan Lam Hoa Cing Si untuk
beristirahat Kiem Lan serta Giok Lan kedua dayang cantik sudah menantikan
kedatangannya diluar ruangan.
Setibanya di dalam kamar Siauw Ling mengambil keluar kitab pusaka Sam Khie Cin Boh
seraya jatuhkan diri berbaring di atas pembaringan dalam hati berpikir, “Jika kudengar dari
ucapan Kiem Hoa Hujien tadi, agaknya ia sudah memiliki perhitungan masak dalam
dadanya Bu Wie Tootiang pernah menyayangi diriku sedang Im Yang Cu punya budi
menolong jiwaku. Aku tak boleh berpeluk tangan melihat mereka menemui bahaya, aku
harus mencarikan atau sedikitnya memberi kamar kepada mereka sehingga bisa bikin
persiapan.”
Selagi ia melamun dan peras otak, tampak Giok Lan dengan membawa mangkok
porselen berjalan masuk ke dalam ruangan.
“Samya……” serunya manja. “Makanlah dulu semangkok jinsom ini.”

Pikiran Siauw Ling sedang kacau, sebetulnya ia ada maksud untuk menampik tapi
melihat Giok Lan berdiri dengan wajah patut dikasihani ia jadi merasa tidak tega untuk
menampiknya.
Seraya bersantap pujinya tiada hentinya, “Ehmm… sungguh enak sekali.”
Dapat memperoleh pujian dari Samya budak merasa amat puas.
Terlihat horden bergoyang Kiem Lan dan membawa nampan perak berjalan masuk
kedalam.
“Samya…..” serunya sambil tersenyum. “Rambutmu kacau tak karuan biarlah aku
sisirkan rambutmu.”
Mendengar ucapan ini Siauw Ling teringat kembali akan kenangan dahulu kala sewaktu
bibi Im menyisirkan rambutnya perlahan-lahan ia menghela napas panjang dan bungkam
dengan wajah sedih.
Kiem Lan melepaskan rambut Siauw Ling untuk disisir perlahan-lahan dan Giok Lan pun
dengan sendok menyuapi kuah jinsom ke dalam mulutnya.
Semangkok jinsom tak terasa telah habis di bawah sisiran rambut dari Kiem Lan.
Mendadak Siauw Ling teringat kembali dengan diri Tong Lam Kouw. Karena merasa
satu malam tak kelihatan dia muncul tak tertahan lagi angannya.
“Apakah nona Tong datang mencari aku??”
Giok Lan tertegun hampir saja mangkok ditangannya terlepas jatuh dari pegangan.
Ia hanya memandang wajah Siauw Ling dengan mulut membungkam.
“Eeeei kenapa mereka bersikap begitu takut kepada diriku?” pikir Siauw Ling
tercengang melihat sikap dayangnya begitu jeri. “Tentu sikapku terlalu galak kepada
mereka lain kali aku harus bersikap lebih halus lagi.”
Ia segera tersenyum.
“Tidak usah takut, lain kali aku tak akan marah lagi kepada kalian.” pemuda ini cepat
menghibur dayang-dayangnya.
“Budak beruda bisa mendapat perhatian dari Samya untuk melepaskan diri dari
penderitaan, sekalipun sepanjang masa menjadi budak dan menerima makian serta
pukulan dari Sam pun kami rela, hanya harapan kami sebagai pelayan dan jangan sekalikali
menampik diri kami dihadapan Cungcu asalkan Samya suka mengabulkan kami berdua
tentu merasa sangat berterima kasih…”
“Baiklah asalkan suatu hari aku berdiam diperkampungan Pek Hoa Sanceng, kalian
tetap akan berada di sampingku.”

“Terima kasih atas kebaikan Samya!” seru Giok Lan dengan wajah murung bercampur
kesal. “Jikalau Samya tinggalkan perkampungan dan bisa sekalian membawa serta
budakmu, hal ini sungguh jauh lebih baik lagi.”
“Aaah hal ini mana mungkin,” kata Siauw Ling tertawa. “Jikalau aku harus berkelana
dan membawa kalian dua orang nona, bukankah hal ini bisa membuat orang kegelian?”
“Tapi Samya asalkan kau tak suka kami berdandan sebagai perempuan budakmu bisa
menyaru sebagai kacung buku.”
“Baiklah.”
“Samya kau sudah mengabulkan bukan?” teriak Giok Lan tak bisa menahan golakan
dalam hati lagi. “Aku akan berlutut dihadapanmu.”
Ternyata budak ini sungguh-sungguh jatuhkan diri berlutut dan memberi hormat tiga
kali.
Melihat tindak tanduk yang aneh dari dayang-dayangnya ini Siauw Ling merasakan
hatinya rada bergerak pikirnya, “Selama ini aku jarang bersikap baik kepada mereka,
tetapi mereka sangat baik kepadaku, setelah kusetujui untuk tetap disisiku dan
membawanya berkelana dalam Bulim, tak aneh kalau mereka kelihatan begitu gembira.”
Mendadak teringat olehnya akan peristiwa terpotongnya sebuah lengan Hoo Hoa
sidayang yang melayaninya di atas loteng Wang Hoa Loo hatinya kontan jadi tersadar
kembali mengapa dayang-dayangnya ingin selalu berada disisinya.
Cepat-cepat ia bangunkan diri Giok Lan.
“Kalian boleh berlega hati setelah kusetujui, tak bakal aku menipu diri kalian lagi.”
Saking girangnya Giok Lan tak dapat menahan isak tangisnya lagi serunya kegirangan,
“Budak berdua akan sekuat tenaga melayani dan membuat Samya jadi senang.”
“Sudahlah kita tidak usah membicarakan soal ini lagi pernahkah nona Tong berkunjung
kemari?”
Sembari mengusap kering bekas air mata yang membasahi pipinya Giok Lan berpaling
ke arah Kiem Lan, sedang mulutnya tetap membungkam.
Melihat Giok Lan tidak berkata Kiem Lan menghela napas panjang jawabnya lirih,
“Baiklah, bila Giok Lan Moay-moay tidak berani bicara biarlah budak yang memberi tahu
nona Tong telah diangkat Toa Cungcu dan sekarang dijebloskan dalam penjara batu di
bawah tanah.”
“Kenapa?” teriak Siauw Ling sangat terperanjat. “Bukankah dia adalah tamu yang
diundang oleh Jie Cungcu?”
Melihat pemuda itu berseru keras, seluruh tubuh Kiem Lan gemetar keras saking
takutnya.
“Samya maukah kau sedikit perkecil suaramu?” buru-buru serunya tertahan.

Perlahan-lahan Siauw Ling berhasil menenangkan hatinya kembali.
“Sebetulnya apa yang telah terjadi?”
“Samya kau berbicaralah dengan enci Kiem Lan aku akan pergi menjaga diluar pintu,”
sebelum Kiem Lan bercerita, Giok Lan berseru terlebih dahulu.
Ia segera letakan mangkok tersebut keatas meja kemudian berkelebat keluar. Gerakgeriknya
lincah dan jelas meringankan tubuh yang dimilikinya tidak lemah.
“Keadaan yang lebih jelas budak tidak tahu,” ujar Kiem Lan setelah adiknya berlalu.
“Agaknya peristiwa ini mempunyai sangkut paut yang amat erat dengan diri Samya.”
“Ada sangkut pautnya dengan diriku?” seru Siauw Ling tertahan, air mukanya berubah
hebat. “Urusan ini harus kutanyakan sampai jelas?”
Ia lantas bangkit dan berlalu dari ruangan.
Melihat majikannya mau berlalu Kiem Lan semakin gelisah buru-buru ia menghadang di
depan Siauw Ling.
“Samya kau hendak menanyakan urusan ini dengan siapa?”
“Aku mau menemui Jie Cungcu.”
“Sekalipun telah kau ketahui apa yang hendak Samya lakukan? Jie Cungcu tidak berhak
untuk melepaskan dirinya.”
“Kalau begitu biar aku pergi menemui Toa Cungcu.”
Cepat-cepat Kiem Lan menggeleng.
“Setelah Toa Cungcu turunkan perintah untuk menjebloskan dirinya ke dalam penjara
jelas ia tak akan mengabulkan melepaskannya kembali bertanyapun saja.”
“Jika demikian adanya, bukankah aku bisa mengurusnya lagi?”
“Samya lebih baik kau tidak ikut campur dalam soal ini.”
“Tidak bisa jadi urusan ini aku harus mengurusnya sampai beres tanpa sebab menulis
surat untuk mengundang orang datang kenapa setelah tiba disini lantas menjebloskan
orang lain ke dalam penjara? dimana letak cenglinya?”
“Samya tahukah kau setiap orang yang telah berada di dalam perkampungan Pek Hoa
Sanceng tak seorangpun yang berani melanggar perintah Toa Cungcu.”
Mendadak dayang ini memperendah suaranya. “Sekalipun kau memperoleh kasih
sayang dari Toa Cungcu tetapi inipun tak berarti bisa membangkang terhadap
perintahnya.”

“Tentang soal ini akupun tahu dan terima kasih atas petunjukmu tetapi urusan ini
sedikit tak pakai aturan, aku harus bertanya sampai jelas” seru Siauw Ling dengan alis
berkerut.
“Kau tidak takut.”
“Apa yang perlu aku takutkan?” potong sang pemuda cepat. “Aku tidak percaya apabila
Toa Cungcu sama sekali tak pakai aturan.”
Melihat ketegasan pemuda itu Kiem Lan hanya bisa menghela napas panjang.
“sejak kecil budak dibesarkan dalam perkampungan Pek Hoa Sanceng banyak peristiwa
yang mengerikan sudah kudengar maupun kulihat dengan mata kepala sendiri. Samya bila
kau bersikap keras untuk menanyakan urusan ini kepada diri Toa Cungcu budakpun tak
berani melarang hanya kuharapkan Samya suka berhati-hati.”
“Aku tidak takut kau tak usah kuatirkan diriku.”
Air mata jatuh berlinang membasahi wajah Kiem Lan dengan sendih pesannya kembali,
“serangan terang-terangan mudah dikelit penuh bokongan susah dijaga Samya kau harus
berhati-hati.”
Siauw Ling termenung berpikir keras, “Selangkah aku bertindak salah maka tubuhku
akan terpendam di dalam lumpur” gumamnya.
Mendadak sesosok bayangan manusia berkelebat lewat dan Giok Lan tahu-tahu sudah
munculkan dirinya disana.
“Kiem Hoa Hujien Cin datang” serunya.
Buru-buru Siauw Ling menyembunyikan kitab pusaka Sam Khie Cin Boh ke dalam
sakunya.
“Saudara cilik apakah kau ada di dalam kamar?”
Sewaktu Siauw Ling siap menjawab bagaikan segulung angin kencang Kiem Hoan
Hujien sudah menerjang masuk kedalam.
Sepasang matanya dengan tajam menyapu empat penjuru kemudia memperhatikan diri
Kiem Lan dan Giok Lan tak berkedip.
“Nona berdua sungguh cantik wajahmu aakh saudara cilik kau sangat beruntung.”
“Hujien pandai bergurau budak sekalian tidak berani menerima pujian sebesar itu,”
bersama-sama menjura.
“Eeeei siapa yang lagi bergurau dengan kalian pujianku muncul dari dasar hatiku.”
Kedua orang dayang inipun tahu bila Kiem Hoa Hujien adalah tamu terhormat dari
perkampungan Pek Hoa Sanceng sudah tentu mereka tak berani membantah lebih jauh
setelah menghidangkan teh wangi buru-buru mengundurkan diri dari ruangan.

Sepeninggalnya kedua orang dayang itu Siauw Ling pun ikut bangun berdiri.
“Antara lelaki dan perempuan ada perbedaan bicara di dalam kamar rasanya kurang
sopan, mari kita bercakap-cakap diruangan luar saja.”
“Apa? lelaki dan perempuan ada perbedaan? lalu mengapa kedua orang dayang itu
boleh berada dalam kamarmu?” seru Kiem Hoa Hujien sambil tertawa. “Aku lihat tempat
ini sangat bagus kita bercakap-cakap disini saja.”
Siauw Ling tak bisa berbuat apa-apa terpaksa dia menurut.
“Kedatangan Hujien entah ada persoalan apa?”
“Sikapmu terhadap enci sendiri demikian sopan dan pakai segala tetek bengek tata cara
yang kolot apakah kau tidak merasa sedikit memandang asing diriku?”
Oleh ucapan tersebut untuk beberapa saat lamanya Siauw Ling tak dapat mengucapkan
sepatah katapun terpaksa ia membungkam.
Kiem Hoa Hujien tersenyum.
“Saudara cilik besok pagi enci akan menantang Tiong Lam Jie hiap untuk bergebrak
sudah tahu bukan?”
Sang pemuda mengangguk.
“Tadi aku dengar ucapan dari hujien sendiri.”
“Aaah kau jangan panggil aku dengan sebutan Hujien rasanya tidak enak didengar.”
“Lalu suruh aku panggil apa?”
“Aku sebut kau sebagai saudara rasanya kaupun tahu harus memanggil aku dengan
sebutan apa bukan.”
Siauw Ling tidak ingin memanggil dirinya dengan sebutan enci, suatu ingatan bagus
segera berkelebat di dalam benaknya.
“Apakah kau inginkan aku membantu dirimu dalam pertarungan besok pagi?” buru-buru
ia mengubah bahan pembicaraannya.
Kiem Hoa Hujien tertawa terkekeh-kekeh.
“Soal itu sih tidak perlu, enci percaya masih berkemampuan untuk menghadapi Tiong
Lam Jie hiap.”
Ia merandek sejenak kemudian sambungnya, “Tetapi kaupun harus tahu, dalam suatu
pertempuran kemungkinan terluka atau mati sangat besar sekali apalagi jika didengar dari
ucapan Toakomu serta Ih Bun Han To agaknya kepandaian silat Tiong Lam Jie hiap sangat
lihay senjata rahasiapun disembunyikan pada tempat-tempat yang berbahaya mau tak
mau enci harus bikin persiapan.”

“Entah kau mau cayhe membantu dalam soal apa?”
“Minta bantuan sih aku tidak berani hanya ingin kutitipkan semacam barang berharga
agar kau suka menyimpankan baik-baik.”
“Barang berharga apakah itu?”
“Lukisan Giok Sian Cu.”
“Tentang soal ini……” seru Siauw Ling tertegun.
“Tak usah kau katakan lagi soal itu lukisan Giok Sian Cu telah dihadiahkan sendiri
kepadaku oleh Jen Bok Hong ini berarti barang itu milikku pribadi jikalau dalam
pertarungan besok pagi tidak beruntung aku mati maka lukisan itu kuhadiahkan untukmu.”
“Kenapa ia tidak serahkan lukisan tersebut agar Jen Bok Hong yang simpankan
sebaliknya malah diserahkan kepadaku?” Siauw Ling mulai curiga dan keheranan.
Terdengar Kiem Hoa Hujien melanjutkan kembali kata-katanya.
“Terus terang saja kuberitahu kedua orang saudara angkatmu serta Ih Bun Han To
bukan manusia-manusia yang bisa dipercaya setelah kupikir bolak balik rasanya hanya kau
seorang yang bisa dipercaya.”
“Aaaaakh, hal ini belum tentu.”
Kiem Hoa Hujien tertawa.
“Sekalipun kau tidak ingin kembalikan lukisan tersebut kepadaku juga tidak mengapa.”
Ia merogoh ke dalam sakunya untuk mengambil keluar lukisan Giok Sian Cu kemudian
ujarnya lagi, “Saudara cilik coba kau buka dan periksalah apakah lukisan ini asli atau
palsu?”
“Aaaakh? Sudah tentu tidak mungkin palsu tak usah diperiksa lagi.”
“Kalau begitu baik-baiklah menyimpan lukisan tersbeut setelah pertarungan besok pagi
semisalnya aku lolos tidak sampai mati aku akan datang untuk minta kembali lukisan
tersebut.”
“Jikalau demikian adanya, cayhe akan menurtu perintah tanpa membantah” sinar mata
Kiem Hoa Hujien perlahan-lahan menyapu sekejap seluruh ruangan tiba-tiba bisiknya lirih,
“Apakah kedua orang budak itu Jen Bok Hong yang berikan kepadamu?”
“Mereka berdua adalah orang-orang perkampungan Pek Hoa Sanceng yang selamanya
melayani tamu dipesanggrahan Lan Hoa Cing Si ini.”
“Iiih…?” tiba-tiba Kiem Hoa Hujien berseru tertahan memotong ucapan Siauw Ling
selanjutnya. “Apakah kau belum lama menggabungkan diri dengan perkampungan Pek
Hoa Sanceng?”

Diam-diam Siauw Ling merasa terperanjat juga sehabis mendengar ucapan tersebut
pikirnya, “Kiem Hoa Hujien sungguh merupakan seorang jago yang tak boleh dipandang
ringan dengan ketetapan peraturan dalam perkampungan Pek Hoa Sanceng tak mungkin
ia tahu persoalan ini dari pemberitahuan orang lain…”
Jilid 26
Tak terasa lagi balik bertanya, “Bagaimana kau bisa tahu?”
“Dua hal apa saja!” seru sang pemuda she Siauw dengan hati tercengang.
“Pertama dari kepandaian silat yang kau miliki, sekalipun aku belum pernah melihat
bagaimanakah kepandaian silat yang dimiliki Jen Bok Hong tapi dari kepandaian Ciu Cau
Liong serta seluruh anak buah perkampungannya dapat kutarik kesimpulan apabila
kepandaian mereka berasal dari satu sumber lain halnya dengan kepandaianmu…”
“Kami bersaudara berasal dari perguruan yang tak sama sudah tentu dalam hal
kepandaian silat mempunyai perbedaan yang sangat besar?”
Kiem Hoa Hujien hanya tersenyum saja mendengar pembalasan pemuda itu.
Masih ada satu urusan lagi yang kurasa tak akan berhasil kau pungkiri.”
“Soal apa?”
“Barang menurut jenisnya binatang menurut kelompoknya Jen Bok Hong adalah
seorang yang keji ganas dan telengas sedang Ciu Cau Liong adalah seorang berwatak licik
banyak akal tetapi kau sama sekali tidak keji semakin tak bisa dikatakan licik dan banyak
akal keadaanmu jauh berbeda dengan keadaan mereka jikalau semisalnya kau telah lama
berdiam di dalam perkampungan Pek Hoa Sanceng dan sifatmu belum juga ia akan turun
tangan jabat untuk menguasai dirimu.”
Siauw Ling merasa bergidik setelah mendengar penjelasan itu mulutnya seperti terkunci
rapat-rapat tak sepatah katapun dapat diutarakan keluar.
Mendadak Kiem Hoa Hujien tertawa terkekeh-kekeh.
“Tetapi sekarang kau berlega hati kini Jen Bok Hong sedang membutuhkan bantuan
orang-orang lain sekalipun ia ada maksud-maksud membinasakan pun untuk sementara
waktu tak bakal turun tangan.”
Mendadak ia memperendah nada ucapannya.
“Yang terutama sekali kau harus berhati-hati dengan kedua orang dayang cilik itu.”
“Kenapa mereka ingin membinasakan diriku?”
“Ini hari ketika berada di dalam ruangan gubuk tadi, diluar kau sedang mewakili
perkampungan Pek Hoa Sanceng padahal diam-diam membantu Im Yang Cu untuk
menolong jiwa Bu Wie Tootiang dalam soal ini aku dapat melihatnya dengan sangat jelas
apalagi Ih Bun Han To serta Ciu Cau Liong sendiri? Sudah tentu aku sebagai encimu ikut

memikul tanggung jawab yang sangat berat itu dengan memberikan obat pemusnah yang
asli untuk Bu Wie Tootiang.”
Hati Siauw Ling tergetar keras, tetapi diluaran masih tetap mempertahankan
ketenangan hatinya.
“Orang yang melakukan perjalanan dalam Bulim paling mengutamakan kepercayaan,
setelah orang lain mengeluarkan kitab dan lukisan yang asli untuk ditukar dengan obat
pemusnah, sudah tentu kitapun seharusnya memberikan obat yang asli kepadanya, aku
rasa walaupun Jien Toako mengetahui hal inipun tak akan menyalahkan diriku.”
Ia merandek sejenak kemudian sambungnya, “Sedangkan mengenai suruh aku
perhatikan kedua orang dayang itu hal ini makin membuat hatiku tidak paham. Apakah
kedua orang dayang itu berani mencelakai diriku?”
“Kau sungguh polos dan masih berpikiran kekanak-kanakan,” goda Kiem Hoa Hujien
sambil tertawa. “Terhadap setiap manusia setiap urusan sama sekali tidak memberikan
kewaspadaan bila kau gunakan sikapmu semacam ini untuk berkelana di dalam dunia
kangouw maka keadaanmu sungguh menakutkan sekali. Sudah tentu kedua orang dayang
itu tidak berani mencelakai dirimu tetapi apakah toakomu Jen Bok Hong tidak berani
mencelakai kau?”
Mendadak ia merandek untuk pasang telinga mendengarkan sesuatu kemudian laksana
sambaran kilat loncat keluar dari ruangan, sebentar kemudian ia sudah balik keluar dan
sambungnya, “Jikalau dugaanku tidak salah, kedua orang dayang ini tentu menggunakan
tindakan-tindakan yang merangsang yang manja dan genit untuk merebut kepercayaanmu
agar kau tidak menaruh rasa curiga apapun terhadap mereka berdua.”
“Perkataan ini sedikitpun tidak salah” pikir Siauw Ling sembari membayangkan seperti
apa yang diucapkan perempuan itu. “Kedua orang dayang tersebut benar-benar berbuat
demikian.”
Terdengar Kiem Hoa Hujien melanjutkan kembali ucapannya, “Jen Bok Hong telah
memiliki dua orang mata-mata di samping memperoleh kepercayaanmu berada pula
disisimu setiap hari. Jikalau ia ingin turun tangan mencelakai kau rasanya walaupun kau
berjaga-jagapun masih mudah tertembusi. Encimu adalah seorang ahli dalam
menggunakan beratus-ratus macam racun sudah tentu pula bagaimana caranya
mencelakai seorang tanpa simangsa sendiri merasakan, semisalnya pada suatu hari Jen
Bok Hong temukan kau susah dikuasai atau diajak bersekongkolan, kemudian
memerintahkan kedua orang dayang itu untuk mencampuri racun berdaya kerja lambat di
dalam air teh atau santapanmu sehingga otakmu dikuasai dan hanya suka mendengarkan
perintahnya.”
Sekali lagi Siauw Ling teringat akan keganasan Jen Bok Hong sewaktu memerintahkan
dayangnya Hoo Hoa untuk memenggal lengan sendiri rasa bergidik memenuhi seluruh
benaknya.
“Perkataan ini sedikitpun tidak salah” pikirnya. “Jikalau Jen Bok Hong menemukan aku
adalah seorang yang susah diajak bersekongkol dan merasakan watakmu tak sesuai
dengan tindakan mereka kemungkinan besar mereka akan menggunakan racun untuk
mencelakai diriku.”

Belum lagi berbicara terdengar Kiem Hoa Hujien menyambung kembali kata-katanya,
“Waktu itu kau menyesalpun sudah terlambat maka dari itu enci berharap apa yang
pernah kuucapkan ingat-ingatlah selalu dan kau saudara cilik harus berpikir tiga kali dalam
soal ini lebih baik jangan terlalu dekat dengan orang dayang tersebut.”
Mendadak ia melepaskan sebatang tusuk konde kumala dari rambutnya seraya
diangsurkan kemuka tambahnya, “saudara cilik tusuk konde kumala ini adalah terbuat dari
batu giok hasil gunung Tian San simpanlah selalu dibadan bukan saja benda ini bisa
menghindar dirimu dan pengaruh kabut racun di samping itu bisa pula memeriksa, apakah
air teh santapan yang kau makan minum mengandung racun atau tidak semisalnya ada
racun maka tusuk konde kumala ini segera akan berubah bentuk jadi hitam kehijauhijauan.”
“Tapi benda ini sangat berharga sekali cayhe tidak berani menerimanya.”
Kiem Hoa Hujien tersenyum manis.
“Urusan ini menyangkut mati hidupmu bagaimana mungkin aku sebagai encimu tidak
merasa kuatir? cepatlah kau simpan.”
Perlahan-lahan Siauw Ling menyambut tusuk konde kemala itu dari tangan Kiem Hoa
Hujien.
“Pemberian serta budi kebaikan hujien membuat cayhe merasa sangat tak tenteram.”
“Asalkan kau tahu enci bersikap sayang dan cinta kepadamu itu sudah lebih dari
cukup.”
Perlahan-lahan ia bangun berdiri tambahnya, “Enci tak akan menganggu terlalu lama
lagi. Aku mohon diri lebih dahulu.”
Ia putar badan dan berlalu.
Siauw Ling merasakan hatinya bimbang ia ingin mengucapkan beberapa patah kata
rasa terima kasihnya kepada Kiem Hoa Hujien tetapi ucapan tersebut serasa sudah
diutarakan keluar maka dari itu ia membungkam terus.
“Di tengah lingkungan penuh kelicikan serta penuh keseraman ini”. Siauw Ling mulai
bimbang.
Baru pertama kali ia terjunkan diri ke dalam dunia kangouw telah tersangkut dalam
kancah pergolakan Bulim yang menyeramkan ia merasa dirinya mulai terjebak dan mulai
terseret di dalam pergolakan tersebut.
Mendadak terdengar suara deheman perlahan memecahkan kesunyian…
Ketika ia mendongak tampaklah Jen Bok Hong sambil bergandeng tangan telah berdiri
di samping pintu.
Hatinya kontan tergetar keras buru-buru ia menjura. “Tidak tahu atas kehadiran Toako
hal ini membuat siauwte tidak menyambut dari jauh.”

Jen Bok Hong tersenyum.
“Aku terka dalam hatimu tentu ada hal yang sedang kau risaukan sehingga
pendengaranmu kehilangan daya tangkapnya.”
Perlahan-lahan ia masuk ke dalam ruangan dan ambil tempat duduk sambungnya,
“Apakah Kiem Hoa Hujien sudah datang?”
“Baru saja berlalu tidak lama jikalau Toako datang lebih pagian tentu bisa menjumpai
dengan dirinya.”
“Soal itu sih tidak perlu…”
Mendadak senyuman yang menghiasi bibirnya lenyap tak berbekas sebagai gantinya
suatu keheranan serta keseriusan menyelimuti mukanya.
“Aduh celaka mungkin Giok Lan serta Kiem Lan benar adalah orang yang kirim datang
untuk mengawasi diriku,” pikir Siauw Ling dalam hatinya. “Tentu kedua orang dayang itu
sudah curi dengar pembicaraanku dengan Kiem Hoa Hujien lalu laporkan hal ini
kepadanya.”
“Samte,” tiba-tiba Jen Bok Hong menghela napas panjang. “pernahkah kau dengar
tentang cara pemeliharaan racun kecil yang keji dari daerah Biauw Ciang?”
“Tentang soal ini siauwte pernah mendengar orang bercerita.”
“Sewaktu ia masih berada di dalam lembah Sam Sin Kok dari Cung San Pek ia pernah
mendengar cerita tentang berbagai peristiwa aneh di dalam dunia kangouw tentang
pemeliharaan racun kecil yang keji dari suku Biauwpun pernah ia dapat keterangan.”
“Tahukah kau bahwa Kiem Hoa Hujien adalah seorang ahli melepaskan racun keji
tersebut” sambung Jen Bok Hong.
“Tentang soal ini siauwte sama sekali tidak tahu!” seru Siauw Ling sangat terperanjat.
“Kebanyakan orang melepaskan racun keji melalui air teh ataupun santapan tetapi Kiem
Hoa Hujien bisa melepaskan racun dengan hanya menyentuh kulitnya dengan kulitmu
saja. Aaai tentang hal ini aku menyesal sudah lupa memberitahukan kepadamu.”
Siauw Ling segera merasakan dadanya seperti dihantam dengan martil berat seluruh
hatinya tergetar keras lama sekali ia baru jadi tenang kembali.
“Setelah Kiem Hoa Hujien ada maksud bekerja sama dengan Toako untuk
menyelesaikan persoalan besar, mungkin dia bisa meracuni diri siauwte.”
“Tentang soal ini aku sama sekali tidak paham sehingga susah bagiku untuk melihat
tanda-tanda yang mencurigakan untung sekali di dalam tiga hari kemudian seorang tabib
sakti kawanku akan datang berkunjung kemari berbagai macam racun bisa dia bebaskan
bahkan untuk mempelajari menyembuhkan racun keji dari suku Biauw itupun ia pernah
berdiam selama sepuluh tahun lebih di daerah Biauw Ciang setelah ia tiba disini biarlah
aku mintakan dia untuk periksakan badanmu mungkin keracunan atau tidak.”

Ia merandek sejenak kemudian sambungnya, “Sebelum tabib sakti tiba disini aku
berharap kau suka berhati-hati. Nah sampai jumpa nanti.”
Ia bangun dan melangkah keluar.
“Toako tunggu sebentar” seru Siauw Ling tiba-tiba dengan hati cemas.
“Samte masih ada urusan?” tanya Jen Bok Hong sambil putar badan dan tertawa.
“Barusan saja Kiem Hoa Hujien datang berkunjung kemari dan menyerahkan lukisan
Giok Sian Cu agar siauwte suka menyimpannya.”
Di atas air muka Jen Bok Hong terlintaslah suatu senyuman yang menggidikkan tapi
dalam sekejap mata sudah lenyap tak berbekas.
“Mengapa ia suruh kau yang simpankan?”
“Ia berkata besok pagi mau bergebrak melawan Tiong Lam Jie hiap siapa yang mati
dan siapa yang hidup masih susah diramalkan mulai sekarang maka dari itu ia titipkan
lukisan Giok Sian Cu itu untuk sementara ditempatku. Jikalau besok pagi ia berhasil
menangkan Tiong Lam Jie hiap maka dia akan datang kemari untuk mengambil lukisan
tersebut jikalau semisalnya mati di tangan Tiong Lam Jie hiap maka lukisan Giok Sian Cu
akan dihadiahkan kepada siauwte.”
“Kalau begitu baiklah kau simpan benda tersebut setelah perjanjian besok pagi lewat
kembalikan saja kepadanya.”
Lelaki ini sungguh licik ia dengan sistim mundur dengan kata-kata yang mengharukan
hati Siauw Ling membawa pemuda yang baru saja munculkan diri di dalam dunia kangouw
dan tak banyak pengalaman ini selangkah demi selangkah terjebak di dalam
perangkapnya.
Sedikitpun tidak salah akhirnya Siauw Ling terjebak juga dalam perangkapnya tak
tertahan lagi ia berseru, “Saat ini lukisan tersebut berada disaku siauwte entah apa toako
mau melihatnya?”
“Lukisan tersebut merupakan hasil kerja dari Thian To seorang dewa lukis yang terkenal
masa yang silam dan satu-satunya lukisan yang masih utuh hanya lukisan ini saja
walaupun siauwte pernah melihat sisa lukisan bintang mengerumuni rembulan tetapi
belum pernah kulihat bagaimanakah bentuk lukisan Giok Sian Cu ini semisalnya tidak
mengapa biarlah aku lihat sejenak.”
Siauw Ling segera mengambil keluar lukisan Giok Sian Cu itu kemudian diangsurkan
ketangan Toakonya.
“Toako silahkan melihat sendiri.”
“Pada mulanya aku ingin agar kau suka menipu lukisan dari Kiem Hoa Hujien ini,” ujar
Jen Bok Hujien sambil menerima angsuran lukisan tersebut. “Tetapi sewaktu teringat akan
kelihayan dalam melepaskan racun hatiku merasa sangat tidak tentram buru-buru aku
datang kemari untuk beritahu kepadamu agar suka berhati-hati siapa nyana ia sudah
datang terlebih dahulu sekarang biarlah untuk sementara waktu lukisan ini aku simpankan

dahulu setelah Siauw heng mengaguminya semalaman besok pagi akan kusuruh orang
untuk kirim kembali.”
Mendengar ucapan itu Siauw Ling jadi tertegun.
“Toako hendak membawanya kembali keloteng Wang Hoa Loo?”
“Aku dengar lukisan Giok Sian Cu merupakan hasil kerja yang sangat bagus apabila
siauw heng sedang menikmati lukisan tersebut disini dan Kiem Hoa Hujien datang kemari
bukankah hal ini malah sedikit tidak leluasa jadinya.”
Perlahan-lahan ia melangkah keluar.
Mendadak satu ingatan baguspun berkelebat dalam benak Siauw Ling.
“Setelah Toako membawa lukisan itu keatas loteng untuk menghindarkan diri dari
munculnya kembali Kiem Hoa Hujien disini sehingga siauwte gelagapan lebih baik untuk
sementara waktupun siauwte pergi menghindar,” ujarnya.
Jen Bok Hong termenung sesaat akhirnya ia berkata, “Keadaan diluar perkampungan
Pek Hoa Sanceng pada saat ini sangat berbahaya lebih baik bersembunyi di dalam
perkampungan saja.”
“Tentang soal ini siauwte bisa berlaku hati-hati harap toako tak usah menguatirkan.”
Pada dasarnya Siauw Ling memang seorang pemuda yang sangat cerdik setelah
menyerahkan lukisan Giok Sian Cu tadi ia tahu dirinya kena terjebak ke dalam
perangkapnya.
Kini setelah lukisan tersebut terjatuh ketangan Jen Bok Hong ini berarti sulit baginya
untuk mintanya kembali. Oleh karena itu terpaksa ia harus mencari Tiong Cho Siang-ku
untuk bersama-sama merundingkan persoalan ini.
Terdengar Jen Bok Hong berkata, “Bila kau berjalan diluar perkampungan harap sedikit
berhati-hati cepat pergi agar aku jangan menguatirkan keselamatanmu.”
“Siauwte akan mengingat-ingat terus.”
Sepeninggalnya Jen Bok Hong dari pesanggrahan Lan Hoa Cing Si ia kembali ke dalam
ruangan untuk menyimpan kitab pusaka Sam Khie Cing Boh tersebut kemudian
meninggalkan perkampungan Pek Hoa Sanceng mengalih kesebelah utara.
Setelah melewati jalan raya ia berbelok kejalan kecil dan kerahkan ilmu meringankan
tubuhnya untuk bergerak kemuka.
Secara samar-samar ia masih teringat letak kuil bobrok dimana ia berjumpa dengan
Tiong Cho Siang-ku, setelah menentukan arah ia melakukan perjalanan cepat kesana.
Di bawah sorotan sinar sang surya juga ia di depan kuil bobrok tersebut.

Kuil ini separuh bagian sudah hancur, alang-alang serta rumput tumbuh setinggi lutut,
daun kering berserakan dimana-mana suasana terasa amat sunyi di samping keseraman
yang mencekam.
Setelah Siauw Ling bersembunyi dibalik pohon dan lama sekali mengintai sekitar tempat
itu salurkan hawa sinkangnya dengan ilmu Pat Poh Kan Can dalam beberapa kali loncatan
saja telah melewati tembok dan menerobos masuk ke dalam melewati ruangan tengah.
Suasana di sekeliling tempat itu masih seperti sedia kala di tengah rumput yang tinggi
muncul sebuah tanah kosong seluas tiga empat tombak.
Setelah mencocokkan ingatan dengan pemandangan dihadapannya, ia melangkah ke
arah bilik ruangan sebelah timur.
Pintu kayu diruangan timur telah lapuk dan penuh dengan debu, tetapi di samping kiri
kanannya masing-masing terletak sebuah peti mati.
Siauw Ling teringat dengan ucapan dari Sang Pat bilamana di dalam dunia kangouw
terjadi perubahan dan hubungan susah dilakukan datanglah kebilik kamar ini untuk
mengambil catatan yang diletakkan dipeti mati sebelah selatan.
Selama beberapa hari ia tidak pernah menemui tanda rahasia yang ditinggal Tiong Cho
Siang-ku dan keadaan dirinya di dalam perkampungan Pek Hoa Sancengpun makin hari
semakin berbahaya maka terpaksa ia harus datang kekuil ini untuk memeriksa adakah
surat yang ditinggalkan oleh Tiong Cho Siang-ku disana.
Dengan cepat ia memeriksa keadaan di sekeliling tempat itu kemudian berjalan kepeti
mati sebelah selatan dan perlahan-lahan dibukanya penutup peti mati itu.
“Kraaaak…!” dengan mudah sekali penutup tadi terbuka.
Tetapi sejenak kemudian ia sudah dibikin tertegun tampaklah di dalam peti mati itu
berbaring seseorang yang seluruh tubuhnya diselimuti dengan perawakan yang kecil dapat
diduga kalau bukan seorang gadis tentulah seorang bocah berusia belasan tahun.
Di tengah kuil kuno yang sunyi serta ruangan yang menyeramkan ternyata ditemukan
sesosok mayat di dalam peti mati itu sekalipun Siauw Ling adalah seorang yang
bernyalipun tak urung merasakan jantungnya berdebar keras lama sekali ia berdiri
tertegun.
Akhirnya ia menunduk mencium apakah ada bau busuk atau tidak tapi hasilnya nihil
dari mayat tadi sama sekali tidak tercium bau yang kurang sedap tak terasa lagi pikirnya,
“Aaakh! mayat ini kalau bukan sudah tinggal kerangka saja tentu baru saja meninggal.”
Tangannya bergerak siap membuka kain putih yang menutupi tubuh mayat tersebut
dan secara tiba-tiba hatinya agak bergerak pikirnya, “Bila mayat ini adalah sesosok mayat
gadis bukankah tindakanku ini sangat kurang ajar? kedatanganku kemari adalah untuk
mencari surat yang ditinggalkan Tiong Cho Siang-ku lebih baik aku tak usah mengganggu
mayat ini lagi.”

sinar matanya dengan cepat menyapu sekejap di sekeliling peti mati itu mendadak ia
temukan secarik kertas terletak diluaran kain putih itu hatinya jadi terkejut bercampur
girang.
Dengan cepat disambarnya kertas itu, siapa nyana belum sempat ia menyentuh kertas
tersebut mendadak terdengar suara bentakan dingin berkumandang memecahkan
kesunyian.
“Jangan ganggu dia.”
Walaupun bentakan itu tidak keras, tetapi setiap kata mengandung keseraman yang
menggidikkan Siauw Ling seketika itu juga merasakan bulu kuduknya pada bangun berdiri.
Tak kuasa lagi dia mundur dua langkah ke belakang.
Ketika kepalanya mendongak maka terlihatlah seorang lelaki kurus berbaju serba hitam
telah berdiri di depan pintu. Sepasang matanya melotot bulat memandang diri pemuda
tersebut tak berkedip.
Ilmu meringankan tubuh orang ini benar-benar sangat luar biasa sekali ternyata dengan
ketajaman pendengaran Siauw Ling sama sekali tidak mengetahui kapankah munculnya
orang itu disana.
Setelah rada kecut dapat ditekan Siauw Ling mulai salurkan hawa sinkangnya untuk
mempersiapkan diri.
“Mayat siapakah yang berada di dalam peti mati itu?”
“Soal ini kau tak usah turut campur!” bentak si lelaki kurus kering itu sambil melangkah
maju ke depan.
Suaranya tawar dan dingin.
Dalam sekali kelebatan tersebut ternyata orang itu telah berada kurang lebih tujuh
delapan depa di depan peti mati itu, kecepatan geraknya sangat luar biasa.
“Siapakah saudara?” akhirnya Siauw Ling merangkap tangannya bertanya.
Orang itu tidak ambil gubris mendadak ia melangkah lagi ke depan sehingga tiba disisi
peti mati dan menutup kembali peti mati tersebut.
Setelah dapat melihat jelas bilamana si orang berbaju hitam itu adalah manusia, nyali
Siauw Ling semakin besar bentaknya tiba-tiba sambil melototi lelaki itu tajam-tajam.
“Jikalau saudara berani mendesak maju lebih dekat jangan salahkan cayhe segera
turun tangan.”
Mendengar ancaman orang itu si orang berbaju hitam mendongak dan tertawa
terbahak-bahak.
“sungguh sayang kau sudah kehilangan kesempatan untuk menguasai diriku.”

“Kita belum saling bergebrak menang kalahpun masih susah diduga kapankah cayhe
kehilangan kesempatan untuk mengalahkan dirimu…”
Pemuda she Siauw ini merasa heran dan tidak mengerti apa maksud orang itu berkata
demikian.
“Jikalau kau tidak tinggalkan peti itu sekalipun aku punya kepandaian untuk
membinasakan dirimupun tak akan berani untuk turun tangan.”
“Apa toh pentingnya peti mati itu?” pikir Siauw Ling kemudian setelah mengertikan
ucapan lawan. “Oooouw… mungkin orang yang berada di dalam peti mati itu sangat
penting baginya? mungkinkah orang itu masih hidup?”
Berbagai persoalan yang mencurigakan hatinya makin lama membuat pikirannya makin
bingung.
“Eeeei… bocah muda kau ingin turun tangan sendiri atau aku yang turun tangan?”
terdengar si orang berseru dingin.
“Bagaimana yang kau maksudkan dengan turun tangan itu?”
“Jika kau ingin turun tangan sendiri, maka aku akan pinjamkan sebilah pisau beracun
yang akan mematikan dirimu di dalam sekali tusukan bahkan memberikan suatu kematian
yang utuh.”
“Dan apabila membiarkan kau yang turun tangan!” jengek Siauw Ling sambil tertawa
hambar ia berusaha untuk menahan hawa gusar yang bergelora di dalam dadanya.
“Bila demikian adanya maka kau bakal menerima penderitaan yang paling berat, kau
akan kutangkap terlebih dahulu kemudian setiap hari kuhadiahkan satu tusukan
dibadanmu tujuh hari kemudian baru sungguh-sungguh mati, aku rasa siksaan tersebut
tak akan ada yang tahan walaupun seorang yang memiliki tulang baja otot besipun.”
“Sungguh sayang, sungguh sayang, aku tidak ingin turun tangan sendiri juga tidak ingin
kau yang turun tangan bagiku. Lalu enaknya bagaimana?”
Mendadak selintas rasa girang berkelebat di atas wajah si orang berbaju hitam itu.
“Aku masih punya cara, kau sungguh yang amat cerdik.”
“Apa caramu itu?”
“Bila kulihat dari sikapmu, agaknya kau adalah seorang jagoan ini yang memiliki
kepandaian silat lihay.”
“Soal ini sih aku cuma tahu sedikit saja.”
“Makin tinggi tenaga kweekang yang dimilikinya orang itu kemanjurannya makin besar”
seru orang itu semakin keras.
Mendengar orang itu ngaco belo tidak karuan Siauw Ling makin kebingungan lagi tibatiba
bentaknya, “Eeeei… apa yang kau ucapkan? Sungguh membuat orang jadi bingung.”

“Setiap hari aku akan persiapkan makanan yang paling enak untuk dirimu, asalkan kau
suka bekerja sama dengan diriku maka aku berjanji tidak akan melukai jiwamu.”
“Hey apa yang sedang kau ucapkan?”
Mendadap sifat serta watak si orang berbaju hitam itu berubah halus sekali, seratus
delapan puluh derajat berubah dari sikapnya yang kasar tadi.
“Aku sudah pergi banyak tempat tetapi belum pernah kutemui manusia macam kau.
Asalkan kau suka bantu diriku maka ini berarti siauw jie ketolongan.”
“Ooouw… kalau urusan menolong orang sih cayhe suka membantu sekuat tenaga coba
kau jelaskan apa yang harus aku lakukan untuk membantu dirimu?”
“Siauwte telah terang semacam penyakit yang berbahaya ia sedang berbaring di dalam
peti mati. Aku rasa kau sudah melihatnya sendiri bukan?”
“Dia masih hidup?”
Perlahan-lahan si orang berbaju hitam itu mengangguk.
“Sewaktu penyakitnya kambuh, keadaannya jauh tiada berbeda dengan sesosok mayat,
aku harus menotok beberapa buah jalan darahnya untuk menjaga agar satu-satunya hawa
yang masih ada dalam tubuhnya tidak sampai buyar di samping melindungi pula denyutan
jantungnya setelah itu baru kurasakan untuk mengobati dirinya setiap kali ia masih
beruntung bisa lolos dari kematian.”
“Ooouw ada urusan begini? kalau begitu ilmu pertabiban sangat luar biasa sekali?”
“Bukannya loohu menyombongkan diri dikolong langit pada saat ini rasanya susah
untuk mendapatkan seorang tabib yang kepandaiannya jauh di atas kepandaian loohu.”
Siauw Ling yang mendengar ucapan itu tanpa terasa telah meneliti wajah orang itu.
Ia lihat kulit serta daging di atas wajahnya telah menjadi kaku kecuali sepasang
matanya masih bisa bergoyang-goyang dan mulutnya masih bisa berbicara boleh dikata
wajahnya tidak mirip manusia hidup lagi.
Pikiranpun tak terasa ikut berputar.
Manusia sekukoay inipun masih menyombongkan ilmu pertabibannya tiada
tandingannya dikolong langit jikalau ucapannya sungguh-sungguh hal ini benar-benar
sangat luar biasa.
Terdengar si orang berbaju hitam melanjutkan kembali perkataannya, “Kedatangan
loohu kemari sebenarnya ingin mngunjungi seorang kawan karibku tetapi berhubung
penyakit siauwte secara mendadak kambuh terpaksa loohu harus beristirahat dahulu dikuil
kuno ini untuk menolong dulu jiwa siauw li setelah itu baru pergi mengunjungi kawan
karibku itu.”

“Kau sudah bicara setengah harian masih belum juga memberitahukan bagaimana
pertolongan kau. Tetapi cayhe harus beritahu dulu terhadap ilmu pertabiban aku sama
sekali tidak mengerti.”
“Soal ini kau tidak perlu kuatir asalkan kau menyanggupi untuk menolong siauw li itu
sudah cukup.”
“Baiklah aku setuju.”
“Sungguh bagus sekali!” teriak si orang berbaju hitam itu kegirangan setengah mati.
Mendadak ia ambil keluar sebuah cawan kumala serta sebuah pipa besi yang berujung
tajam seraya angsurkan barang itu ketangan Siauw Ling, ujarnya, “Sekarang kau
keluarkan dulu secawan darah agar aku periksa dulu bagaimanakah warna darahmu serta
dapatkah digunakan atau tidak?”
“Harus mengeluarkan darah?” seru pemuda ini sangat terkejut.
“Bagaimana? bukankah kau sudah menyetujui? kau menyesal?”
“Akh tidak salah aku yang menyetujui sendiri sudah sepantasnya aku tidak pungkiri
janji sendiri,” pikirnya dihati.
Ia lantas menerima pipa besi itu untuk diperiksa ada racunnya atau tidak setelah itu
baru ujarnya, “Asalkan putrimu bisa ditolong hanya dengan secawan darah sudah tentu
aku orang she Siauw tak akan menyesal.”
Ia angkat pipa besi itu kemudian ditusukkan ke dalam lengan kiri sendiri darah segar
dengan cepat mengucur keluar mengalir ke dalam cawan.
“Sudah cukup, sudah cukup tak usah dikeluarkan lagi,” terdengar si orang berbaju
hitam itu berseru keras.
“Setengah cawan sudah cukup?” tanya Siauw Ling sambil cabut keluar pipa besi itu dan
angsurkan cawan kumala tadi ketangan si orang berbaju hitam ini.
Lelaki itu menerima cawan kumala tadi kemudian diangkatnya tinggi-tinggi untuk
diperiksa dengan teliti setelah itu ia mencelat sedikit darah tersebut.
Tiba-tiba tertawa tergelak.
“Darah bagus, darah bagus” pujinya tiada hentinya.
Melihat cara orang itu berbuat Siauw Ling merasa sangat bergidik.
“Darah manusia satu sama lain adalah sama apakah darahku sangat berbeda dengan
darah orang lain?”
Di atas wajah si orang berbaju hitam yang kaku tersungging satu senyuman
kegirangan.

“Sudah tentu tidak sama sudah tentu tidak sama. Dibalik hal ini masih terdapat
beberapa tahun aku berkelana mengarungi empat penjuru sudah banyak kulihat darah
manusia tapi belum pernah kutemui darah sebagus ini.”
“Apakah benar-benar ada urusan seperti ini?” pikir pemuda ini dihati.
Sekalipun dia adalah seorang cerdik tetapi pengalamannya di dalam Bulim sangat cetek.
Mendengar ucapan orang itu sangat kukoay timbullah rasa ingin tahu dihatinya.
“Aku lihat Locianpwee seperti seorang yang mengerti tentang ilmu pertabiban.”
“Haaa… haaa… bila dikatakan kepandaian ilmu pertabiban dari loohu, dikolong langit
tak seorang manusiapun yang dapat melampaui kepandaianku.”
“Maaf, maaf ternyata Locianpwee adalah seorang tabib yang dapat menghidupkan
kembali orang mati!” seru Siauw Ling seraya menjura.
Perlahan-lahan si orang berbaju hitam itu meletakkan cawan kumala dari tangannya
kemudian menghela napas panjang.
“Bilamana dibicarakan dari penyakit yang diderita Siauw li jikalau bukannya Loohu miliki
kepandaian pertabiban yang luar biasa sekalipun ia miliki seratus lembar jiwamu akan
habis semua dan kini ia masih bisa baik-baik hidup dikolong langit kesemuanya karena kau
andalkan ilmu pertabiban Loohu yang tinggi.”
“Jikalau Locianpwee memiliki kepandaian pengobatan sedemikian dahsyatnya kenapa
tak sekalian sembuhkan penyakit yang diderita putri kesayangmu ini?”
“Obat mujarab susah didapat walaupun Loohu memiliki kepandaian silat yang maha
dahsyatpun percuma saja.”
“Dengan membawa serta putrimu yang menderita penyakit berat kau berkelana
mengarungi empat penjuru apakah tujuanmu yang terutama adalah mencarikan obat
mujarab baginya.”
“Selama beberapa tahun mengaruni empat samudra hasilnya tetap nihil tapi akhirnya
aku berhasil juga menemukan obat mujarab bagi diri Siauw li.”
“Dimanakah obat tersebut?”
“Di dalam sebuah kuil kuno yang tak berpenghuni.”
Mendengar ucapan itu Siauw Ling segera memeriksa keadaan disekitar ruangan
tersebut.
“Sungguh tidak nyana kau berkelana keempat penjuru tidak juga berhasil dapatkan
obat mujarab itu, ternyata yang dicari justru berada di dalam kuil kuno ini.”
Si orang berbaju hitam itu tersenyum.
“Walaupun Siauw li berada dalam keadaan luka prah tetapi wajahnya masih tetap
cantik jelita. Asalkan kau suka mengabulkan untuk menghadiahi darahmu guna menolong

penyakitnya maka ini berarti kau adalah tuan penolongnya bagaimana kalau pandang
sebentar bagaimana kecantikan wajah Siauw li?”
Buru-buru Siauw Ling menggeleng.
“Tapi cayhe tidak tahu sudah mengganggu putrimu kini setelah tahu makin tak boleh
diganggu lagi lelaki perempuan ada batasnya aku rasa tak perlu dilihat lagi.”
“Ada loohu disini apa salahnya,” desak si orang berbaju hitam itu seraya membuka
tutup peti mati dengan lengan kirinya.
“Sungguh aneh sekali si orang kurus kering ini,” diam-diam pikir sang pemuda dalam
hatinya. “Kenapa ia paksa aku untuk menengok bagaimanakah kecantikan wajah
putrinya?”
Akhirnya ia melangkah juga ke depan dan menengok ke dalam peti mati tetapi…
Pada saat itulah mendadak jalan darah Cing Bun pada pinggangnya jadi kaku hatinya
sangat terperanjat tangan kiri buru-buru dibalik mengiringi satu pukulan.
Saat itulah jalan darah Thian Cing hiat Ci Tie hiat dilengan kirinya kembali tertotok
kemudian disusul Ngo Si Wie To dua jalan darahpun kena tertotok.
Lima buah jalan darah penting di tubuhnya kena tertotok dalam waktu yang bersamaan
sekalipun Cung San Pek atau Lam Ih Kong sendiripun tak tertahan.
Tubuh Siauw Ling bergoyang dengan sempoyongan lalu roboh keatas tanah.
Melihat pemuda itu roboh lelaki berbaju hitam tadi bertepuk tangan kegirangan.
“Orang muda sungguh dahsyat tenaga sinkangmu masih sungguh sayang sungguh
sayang.”
Walaupun kelima jalan darah tubuhnya kena tertotok tapi ada satu jalan darah belum
tertotok yaitu jalan darah bisunya oleh karena itu sekalipun tak dapat bergerak ia masih
bisa berbicara.
Dengan gusar segera bentaknya, “Seharusnya sejak tadi aku harus bersikap waspada
terhadap dirimu hmm dengan kata-kata indah menipu orang sehingga membuat orang
jatuh tercudang inikah cara tindakan seorang lelaki sejati?? Siapa yang perlu kau puji?”
Lelaki berbaju hitam itu tersenyum.
“Siauw li menderita penyakit yang sangat parah dikolong langit tak ada obat yang bisa
menolong kecuali Heng thay seorang disini loohu mengucapkan banyak terima kasih
terlebih dahulu.”
“Bila kau ingin agar aku menolong jiwa putrimu seharusnya urusan ini dirundingkan
secara baik-baik kenapa kau gunakan cara yang rendah untuk mencelakai diriku?”

“Urusan ini tak akan bisa beres bila dirundingkan,” kata si orang berbaju hitam itu
kembali tertawa. “Setelah saat ini kau berhasil dikuasai sekalipun kuberitahukan kepadamu
juga tidak mengapa.”
Ia mendehem perlahan sambungnya, “Loohu hendak mengalirkan darah dibadanmu ke
dalam tubuh putriku walaupun hal ini bisa menolong penyakit Siauw li jadi sembuh tetapi
kapanpun bakal mati karena kekurangan darah coba kau pikir terhadap urusan macam
begini apakah bisa dirundingkan? jikalau loohu rundingkan terlebih dahulu dengan kau
apakah kau suka mengabulkan?”
Kontan seketika itu juga Siauw Ling jadi melengak dibuatnya.
“Selama hidup belum pernah cayhe dengar ada cara penyembuhan penyakit dengan
menggunakan cara begini.”
“Kau jangan lupa loohu adalah seorang tabib nomor wahid diseluruh kolong langit
orang lain merasa pekerjaan ini sangat sulit tetapi bagi loohu mudah bagaikan
membalikkan telapak tangan sendiri.”
Ia mendongak dan tertawa terbahak-bahak, sambungnya, “Kau masih ada empat jam
ini loohu akan berusaha untuk menebusi seluruh urat nadi di tubuh Siauw li itu, akan
kubantu putriku untuk menghentikan seluruh darah di dalam tubuhnya walaupun akhirnya
kau bakal mati tetapi Siauw li dengan menggunakan darahmu akan tetap hidup sebagai
manusia normal bukankah matimu tak akan sia-sia belaka?”
Siauw Ling bungkam dalam seribu bahasa dalam hatinya dia mulai putar otak mencari
jalan keluar.
Tiba-tiba ia teringat akan pelajaran ilmu menembusi jalan darah yang dipelajari dari
gurunya asalkan ada satu jam saja dirinya tidak diganggu lagi maka jalan darah bakal
terbebas dengan sendirinya.
Apalagi ia membutuhkan empat jam untuk menembusi seluruh urat nadi di tubuh
putrinya sudah tentu waktu itu lebih dari cukup.
Dari garis kematian secara tiba-tiba menemukan kembali suatu kesempatan untuk
hidup pemuda ini jalan lebih terhibur.
Sambil mendengus dingin ia segera pejamkan mata tidak menggubris si orang baju
hitam itu lagi.
Terdengar si orang berbaju itu melanjutkan kembali kata-katanya, “Sebenarnya aku
masih punya satu cara yang lebih halus lagi yaitu loohu bikinkan semacam obat penambah
darah untuk kau makan setiap hari dan tujuh hari kemudian kan sama saja bisa menolong
nyawa Siauw li di samping tetap mempertahankan jiwamu tetapi sewaktu loohu menotok
jalanmu tadi secara samar-samar kutemukan bahwa kau telah berhasil memiliki hawa
khiekang pelindung badan jika aku membiarkan kau hidup lebih lanjut kemungkinan sekali
merupakan bibit bencana bagi kami dikemudian hari maka dari itu lebih baik kuhabiskan
sekalian jiwamu dari pada repot-repot dikemudian hari.”

“Untuk menggunakan darahku menolong jiwa putrimu hal ini takkan kusalahkan
dirimu!” seru Siauw Ling membuka matanya kembali. “Tetapi ingin sekalian membinasakan
diriku ini menunjukkan bahwa kau sitabib betul-betul berhati telengas.”
“Di dalam Bulim orang-orang menyebut loohu sebagai Tok So Yok Ong atau siraja obat
bertangan keji apakah kau kira nama ini hanya nama kosong belaka?”
Siauw Ling tertawa dingin dan tidak banyak bicara lagi. Diam-diam ia salurkan hawa
murninya siap menerjang jalan darahnya yang tertotok.
Mendadak dari dalam sakunya si orang berbaju hitam itu mengeluarkan sebatang jarum
perak lalu diangkatnya tinggi-tinggi.
“Sekalipun Loohu tidak mengerti asal usul perguruanmu tetapi aku tahu setelah kau
berhasil memiliki ilmu khiekang pelindung badan ini berarti kaupun pasti bisa melepaskan
diri dari totokan jalan darah…”
Seluruh tubuh Siauw Ling tergetar keras, mendadak ia pentangkan matanya lebarlebar.
Tampaklah di atas wajah si orang berbaju hitam itu tersungging satu senyuman ujarnya
kembali, “Aku adalah siraja obat bertangan keji apa kau anggap mudah ditipu orang?”
Jarum perak tadi segera ditusukkan ke dalam jalan darah Thian Tu di tubuh sang
pemuda kemudian ia tertawa terbahak-bahak.
“Jalan darah Thian Tu merupakan jalan darah yang mempunyai hubungan dengan nadi.
Setelah jarum ini kutancapkan kejalan darahmu itu maka itu kau telah kehilangan daya
untuk mengerahkan tenaga sinkangnya dengan begitu apa yang loohu ucapkan tak dapat
kau lawan kembali.”
Satu-satunya jalan hidup bagi Siauw Ling kini ikut musnah tak berbekas. Pemuda ini
hanya bisa menghela napas panjang saja tanpa bisa berkutik lagi.
“Tidak disangka aku Siauw Ling tidak mati dalam pertempuran melawan musuh
tangguh melainkan harus mati karena darahku dikeluarkan orang.”
Lelaki berbaju hitam itu mengeluarkan putrinya dari dalam peti mati kemudian
dibopong dan dibawanya keluar dari ruangan tersebut.
Beberapa saat kemudian ia sudah balik untuk membopong Siauw Ling kemudian
sekalian dibawa pindah ke dalam ruangan lain.
Ruangan tersebut terletak di samping ruangan semula sama lain hanya terpaut satu
tempat tetapi ruangan ini jauh lebih bagus keadaannya.
Agaknya si orang berbaju hitam itu telah membersihkan lantai ruangan tersebut selimut
ditaruh di bawah kemudian membaringkan putrinya di atas selimut itu, sedang Siauw Ling
diletakkan di atas tanah.
Setelah menutup pintu orang itu duduk bersila disisi tubuh putrinya untuk mulai
bekerja.

Melihat semua harapan telah punah Siauw Ling hanya bisa berharap dalam empat jam
kemudian Tiong Cho Siang-ku bisa datang kemari sehingga dirinya bisa ditolong bebaskan
dirinya dari pengaruh totokan.
Malam semakin kelam ruanganpun makin lama makin gelap apapun tak kelihatan.
Siauw Ling sebagai seorang jago lihay, bila pada hari biasa tentu saja keadaan seperti
itu tak akan mengganggu dirinya. Tetapi setelah jalan darahnya tertotok ketajaman
pandanganpun menemui gangguan.
Dengan meminjam sedikit cahaya yang menyorot masuk melalui jendela, ia temukan
siraja obat bertangan keji mengambil keluar sebuah kotak obat dari dalam sakunya
membuka penutupnya dan mengambil keluar dua buah pipa besi yang kecil dan tajam,
kedua pipa tadi disambung dengan sebuah pipa kulit.
Tampak Tok So Yok Ong berpaling untuk memandang sekejap ke arah Siauw Ling
kemudian tersenyum, ujarnya, “Jikalau kau menginginkan kematian yang lebih enak baikbaiklah
dengarkan perintah loohu jikalau ingin meronta maka ini berarti mencari penyakit
sendiri.”
Rasa gusar yang bergelora di dalam hati Siauw Ling susah ditahan lagi kepingin sekali
ia melompat bangun dan di dalam sekali hantaman membinasakan orang itu.
Tetapi jalan darahnya tertotok sekalipun dalam hati ada maksud apa daya kekuatan
tidak mencukupi terpaksa dengan mata terbelalak ia menantikan datangnya ajal.
Tok So Yok Ong pun mulai menguruti seluruh tubuh putrinya tampak tangannya
sebentar naik sebentar turun ke bawah sedang napas panjang pendek tak menentu jelas
pekerjaan tersebut membutuhkan tenaga yang sangat besar dan ngotot sekali.
Dengan kerahkan segala kemampuannya Siauw Ling alihkan sinar matanya ke arah
gadis tersebut ia lihat dara itu memakai baju warna gelap gosokan tangan Tok So Yok Ong
beberapa kali menjingkap pakaiannya sehingga kelihatan kulit badannya yang halus dan
putih bersih bagaikan salju.
Waktu berlalu dengan cepatnya dalam kesunyian yang mencekam Siauw Ling mulai
teringat kembali akan pengalamannya pada masa yang lalu.
Ia teringat kembali dengan orang tuanya yang sangat mencintai dia teringat bibi Im
yang menemui ajalnya serta Gak Siauw-cha yang selalu rindukan selalu diingat…
Mendadak terdengar suara rintihan lirih diikuti tarikan napas panjang bergema.
Kemudian disusul suara Tok So Yok Ong berseru, “Bocah setelah lewati malam ini
keadaanmu akan seperti manusia biasa lainnya Tia akan bawakan makanan yang paling
enak untukmu, membawa kau menaiki gunung mengarungi samudra untuk menikmati
pemandangan yang indah…”
Melihat kasih sayang yang diperlihatkan orang itu Siauw Ling mulai berpikir di dalam
hatinya, “Walaupun orang ini bersikap keji terhadap orang lain tetapi terhadap putrinya
sendiri ternyata begitu sayang…”

Terdengar suara rintihan tadi makin lama makin keras agaknya dara tersebut telah
sadar kembali.
Beberapa saat kemudian terdengarlah suara yang amat lemah lirih tapi merdu
berkumandang.
“Tia dimanakah ini?”
“Kita sedang menginap dirumah orang cepat salurkan hawa murnimu untuk
digabungkan dengan tangan murniku menanti setelah seluruh urat nadimu lancar aku
akan sembuhkan penyakitmu!”
“Tapi Tia kenapa tidak pasang lampu?” tanya dara itu kembali dengan suaranya yang
amat lirih.
“Tidak perlu pasang lampu lagi dengan ketajaman mata Tia sekalipun tidak pasang
lampu juga sama saja bisa menyembuhkan lukamu.”
Mendadak ia membungkam kemudian pasang telinga dnegan cermat.
“Apa mungkin ada orang yang datang?” diam-diam pikir Siauw Ling di dalam hatinya.
Iapun ikut pasang telinga sedikitpun tidak salah secara lapat-lapat ia dengar suara
pembicaraan manusia.
Hatinya jadi kegirangan setengah mati pikirnya, “Aaaakh perduli siapa yang datang
asalkan sudah dekat aku akan mulai berteriak keras-keras.”
Siapa sangka belum sempat ia berbuat jalan darah bisunya telah tertotok juga.
Kiranya Tok So Yok Ong sudah menduga Siauw Ling akan berteriak karena itu ia
mendahului dengan menotok jalan darah bisunya terlebih dulu.
Suara langkah manusia makin lama makin dekat kemudian suara itu berhenti dipintu
luar.
Serentetan suara yang dingin dan hambar berkumandang memecahkan kesunyian.
“Selama beberapa ini kita sudah berjalan bolak balik beberapa kali tapi tak sekalipun
berhasil berhubungan dengan Liong tauw Toako.”
Mendengar suara itu Siauw Ling segera dapat mengenali sebagai suara sipit besi
berwajah dingin Tu Kiu.
Suara yang lain segera menghela napas panjang.
“Aaaa Jen Bok Hong adalah seorang manusia yang licik dan keji pekerjaan apapun bisa
ia lakukan satu kali saja pernah bentrok maka ia tak akan mengingat-ingat lagi akan
hubungan persaudaraannya.”
Suara yang terakhir ini adalah suara dari si Siepoa emas Sang Pat.

Siauw Ling segera berpikir keras dalam hatinya, “Kedua orang ini berada diluar kamar
asalkan aku perdengarkan sedikit suara saja mereka berdua tentu akan terkejut dengan
ketelitian dari si Siepoa emas ia pasti akan masuk ke dalam ruangan ini untuk melakukan
pemeriksaan.”
Cuma sayang sekali ia ada kemauan mulut tidak dapat bicara badan tak dapat
bergerak.
Satu-satunya harapan saat ini adalah dara yang baru saja sadar dari pingsannya itu
bisa memperdengarkan suara napas yang berat atau mengeluarkan sedikit suara saja
sehingga memberitakan tanda buat Tiong Cho Siang-ku.
Tetapi ketika ia dengarkan lebih teliti kecuali samar-samar terdengar suara napas yang
lemah tak kedengaran suara lainnya lagi. Agaknya nona itupun telah ditotok jalan
darahnya oleh Tok So Yok Ong.
Satu-satunya harapan dari Siauw Ling pun lenyap tak berbekas karena ia tahu suara
napas yang dengan demikian lemahnya tak mungkin terdengar diluaran ruangan yang
tertutup sangat rapat.
Terdengar sipit besi berwajah dingin Tu Kiu berkata kembali, “Maksudmu si Jen Bok
Hong telah membinasakan Siauw Toako?”
“Sekalipun ia tidak sampai dibunuh kemungkinan besar telah dikuasai dengan cara yang
lain,” jawab Sang Pat penuh keseriusan. “Apalagi Jen Bok Hong punya banyak akal,
tindakkanpun keji dan telengas semua persoalan yang telah ia kerjakan tak bakal diketahui
siapapun juga tempo dulu dengan mata kepala sendiri aku pernah melihat ia pancing
empat orang hweesio Siauw lim untuk masuk jebakannya kemudian membinasakannya
dengan keji caranya turun tangan sangat rendah dan keji, dan rasanya tidak seharusnya
dilakukan oleh seorang manusia dengan kedudukan macam dia.”
“Kalau begitu kita harus cari guna mendapatkan berita tentang Siauw Toako?”
Mendengar ucapan yang kekuatirkan, pikir Siauw Ling, “Pada hari-hari biasa Tu Kiu selalu
kelihatan berwajah dingin ucapannya kaku dan hambar siapa sangka ternyata ia adalah
seorang yang sangat berperasaan dan terlalu menguatirkan saudara sendiri.”
“Aku rasa satu-satunya cara bagi kita untuk menyelidiki jejak Liong Tauw Toako adalah
menempuh bahaya menyelidiki perkampungan Pek Hoa Sanceng” kata Sang Pat tegas.
Mendengar kata-kata itu Siauw Ling jadi gelisah.
“Perkampungan Pek Hoa Sanceng adalah suatu tempat yang sangat berbahaya jikalau
mereka sampai pergi kesana bukankah hanya menghantar kematian sendiri?”
Makin dipikir ia makin cemas suatu keinginan untuk hidup segera berkobar dari dada
pemuda ini.
Diam-diam hawa murninya dipaksakan untuk berkumpul dan coba menjebolkan totokan
jalan darah tersebut.

Agaknya Tok so Yok Ong pun merasakan apabila Siauw Ling sedang berusaha untuk
meloloskan diri dari pengaruh totokan, mendadak tangan kanannya ditekan keatas jalan
darah Sien Khie di atas tubuh Siauw Ling dengan ilmu menyampaikan suara ujarnya,
“Jikalau kau coba untuk merontokkan lagi jangan salahkan dalam sekali hantamanku
hancurkan jantungmu.”
Siauw Ling segera merasakan segulung tenaga panas yang luar biasa dahsyatnya
menerjang masuk melalui kulitnya langsung menerjang tubuh. Hal ini membuat hawa
murni dalam pusatnya kontan jadi punah.
Hatinya jadi sangat terperanjat pikirnya, “Sungguh tak kusangka tenaga dalam yang
dimiliki Tok so Yok Ong ternyata tidak lemah.”
Pada saat itu terdengar sipit besi berwajah dingin Tu Kiu berkata kembali, “Biarkanlah
surat itu tetap berada di dalam peti semisalnya Liong Tauw Toako tiba disinipun agar dia
tahu dimanakah kita berada.”
Terdengar suara langkah manusia makin lama makin menjauh dan akhirnya lenyap dari
pandangan.
Setelah suasana menjadi sunyi kembali Tok so Yok Ong baru bangun berdiri bisiknya,
“Kau jangan coba sembarangan bergerak lagi. kalau tidak jangan salahkan Loohu akan
bertindak telengas.”
Ia putar badan membuka jendela belakang dan meloncat keluar.
Pada saat ini seluruh tubuh Siauw Ling ada tujuh enam buah jalan darahnya tertotok
sekalipun Tok so Yok Ong sudah berlalu ia tetap tak bisa berkutik maupun bergerak.
Berbareng saat kemudian Tok so Yok Ong sudah meloncat kembali ke dalam ruangan
seraya bergumam sendiri.
“Selamanya Tiong Cho Siang-ku bekerja sendiri tak pernah mereka suka teringat
dengan orang juga tidak ingin bekerja sama dengan orang tetapi darimana datanganya
seorang Liong Tauw Toako?”
Dalam hatinya Siauw Ling segera berseru, “Kau manusia konyol si Liong Tauw Toako
dari Tiong Cho Siang-ku bukan lain adalah cayhe.” Sudah tentu ucapan ini tak mungkin
diutarakan keluar karena jalan darah bisunya tertotok.
Terdengar Tok so Yok Ong menghembuskan napas panjang.
“Aaaai semoga saja malam ini tak ada orang yang datang mengganggu lagi.”
Ia duduk kembali untuk mengambil pipa besi itu lalu yang satu ditusukkan ke dalam
urat nadi Siauw Ling sedang pipa yang lainnya dimasukkan kelengan kanan gadis tersebut.
Siauw Ling hanya merasakan darah dalam tubuhnya dengan mengikuti aliran pipa besi
itu mengalir keluar, ia tak dapat berkutik hanya dalam hati menghela napas panjang.
“Dia ingin melepaskan darah dibadanku hingga habis dan akhirnya aku mati
kekeringan, cara ini sungguh keji sekali,” pikirnya.

Walaupun ia mempunyai semangat memandang kematian seperti berpulang, tapi
menghadapi peristiwa yang sangat mengerikan ini tak urung bergidik juga.
Mendadak Tok so Yok Ong mengeluarkan tangan kanannya untuk kemudian ditarik
keatas dada Siauw Ling ujarnya, “Jalan darahmu tertotok ini menyulitkan aliran darah
tubuhmu biarlah Loohu membantu kau?”
Segulung hawa murni yang sangat panas mengalir keluar dari telapak tangannya
menerjang masuk ke dalam jantung pemuda itu.
siauw Ling makin bergidik lagi secara lapat-lapat ia merasakan darah dalam tubuhnya
bagaikan sumber air saja mengalir keluar tiada hentinya ia ingin melawan tapi disebabkan
banyak jalan darahnya sudah tertotok maka tak sanggup baginya untuk kerahkan tenaga
murninya.
Beberapa saat kemudian mendadak Tok so Yok Ong melepaskan kembali telapak
tangannya yang ditekankan di depan dada Siauw Ling dari tengah jari telunjuk tangan
kanan gantian ditekankan keatas nadi pergelangan kanan dara tersebut, lalu berjongkok
dan mendengarkan detakan jantung didada gadis itu.
“Anakku sayang” gumamnya seorang diri. “Selama tujuh tahun selalu berada diambang
pintu kematian, banyak siksaan telah kau rasakan dan membuat aku selalu merasa kuatir,
bocah tahukah kau kemurungan yang aku derita jauh lebih tersiksa dari penderitaanmu?
Sekarang semuanya sudah beres, dengan darah orang ini kau bakal tertolong setelah
lewat malam ini keadaanmu seperti pula dengan manusia biasa, kau bisa bermain dan
hidup dikolong langit dengan bebas aku akan membawa kau berpesiar kesemua tempat
bersantap makanan paling lezat agar kau bsia hidup gembira di bawah perlindunganku.”
Siauw Ling yang ikut mendengar ucapan itu hanya bisa mendamprat di dalam hatinya,
“Sungguh kurang ajar orang ini sekalipun benar kau menyayangi putrimu sekian rupa
sebagai cinta kasih orang tua terhadap anaknya tetapi aku Siuaw Ling juga manusia, kau
suruh aku mati kekeringan demi diri putrimu…”
Tampak Tok so Yok Ong mengeluarkan kembali sebuah pipa besi lalu ditusuk ke dalam
lengan kiri dara tersebut katanya lagi, “Bocah aku akan mengisap keluar darah kotor yang
mengeram di tubuhmu agar darah yang baik mengalir di dalam jantung sehingga
memberikan penghidupan yang baik kepadamu…”
Ia mengisap pipa besi itu lalu menyemprot keatas tanah sehingga muncullah darah
kotor dari tubuh gadis itu berceceran ditanah.
Setiap kali Tok so Yok Ong mengisap keluar darah di dalam tubuh dara tersebut Siauw
Ling merasakan aliran darah yang mengalir keluar semakin deras lagi.
Ia tahu dirinya tak bakal tahan lebih lama lagi asalkan orang itu mengisap kembali
darah itu beberapa kali maka darah yang mengalir keluar melalui tubuhnya akan habis.
Mendadak…
suara bentrokan keras berkumandang memenuhi angkasa disusul ambruknya suatu
benda keatas tanah.

Diikuti suara yang nyaring dari seseorang berkumandang datang.
“Budak busuk jika kau bicara terus terang dalam sekali bacok akan kuhancurkan
badanmu.”
Suara itu bukan lain dari Kiem Hoa Hujien hal ini membuat Siauw Ling kadi kegirangan.
Tapi rasa girang itu hanya berlalu jalan darahnya telah tertotok jangan dikata bergerak
untuk bersuarapun tak mungkin, sudah tentu tidak mungkin pula baginya untuk
memperdengarkan suara sehingga mengejutkan Kiem Hoa Hujien.
Terdengar suara gadis lalu bergema pula memecahkan kesunyian.
“Hujien kau jangan menuduh budakmu yang bukan-bukan, budak hanya mendengar
laporan dari para penjaga di pos-pos penjagaan yang memberitahukan arah kepergian dari
Samya tetapi dimanakah ia pergi budak sendiri juga tidak tahu! Aaaaai… Samya adalah
seorang lelaki sejati, budak merasa berhutang budi kepadanya, jikalau ia sampai terjadi
hal-hal yang diluar dugaan budakpun tidak ingin hidup seorang diri.”
Ketika suara tersebut berkumandang masuk ke dalam telinga Siauw Ling pemuda ini
segera mengenali sebagai suara dari Giok Lan.
Terdengar Kiem Hoa Hujien tertawa tiada hentinya.
“Ooouw kiranya banyak persoalan yang telah kau ketahui sekrang aku mau bertanya
kepadamu apakah kau sangat suka dengan Samya kalian itu?”
“Kedudukan budak sangat rendah dan bilamana berani mempunyai pikiran demikian?
tetapi asalkan budak bisa selalu mengiringi Samya dan selama hidup bisa ikut melayani
dirinya, budak sudah merasa sangat puas.”
“Aku lihat harapan kalian ini tak akan terkabulkan lagi, sekalipun aku tidak binasakan
dirimu tapi akan kulaporkan hal ini kepada Toa Cungcu agar ia memilihkan seorang kakek
tua yang cacat untukmu bukankah kau ingin melayani orang? nah layani saja suami
tuamu?”
TAMAT
Anda sedang membaca artikel tentang Cersil Bayangan Berdarah 3: Serial Kunci Wasiat dan anda bisa menemukan artikel Cersil Bayangan Berdarah 3: Serial Kunci Wasiat ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/10/cersil-bayangan-berdarah-3-serial-kunci.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil Bayangan Berdarah 3: Serial Kunci Wasiat ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil Bayangan Berdarah 3: Serial Kunci Wasiat sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil Bayangan Berdarah 3: Serial Kunci Wasiat with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/10/cersil-bayangan-berdarah-3-serial-kunci.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar