Cersil : Rahasia Istana Terlarang 4 [Serial Kunci Wasiat]

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 07 Oktober 2011

Kecuali Shen Bok Hong
seorang diri yang memiliki obat penawar tersebut, dikolong langit boleh dibilang tiada obat
yang bisa menolong aku lagi.”
“Oow…. Shen Bok Hong benar-benar manusia keji berhati binatang” seru Siauw Ling.
“Kalau memang obat itu dibuat oleh siraja obat bertangan keji, seharusnya Tok chiu yok
ong tahu akan bahan obat penawarnya.”
“Sayang sekali Tok chiu Yok ong sudah tak ada disini” sambung Soen Put shia.
“Sekalipun dia berada disini, belum tentu obat penawar itu bisa dibuat seketika itu
juga” bicara sampai disini, perempuan ini kelihatan lelah sekali, ia segera pejamkan
matanya dan tertidur pulas.
Boe Wie Tootiang segera memberi tanda kepada Siauw Ling agar jangan mengganggu
dirinya. perlahan-lahanmereka mengundurkan diri dari ruangan tersebut.
Siauw Ling tahu toosu ini tentu ada urusan hendak disampaikan kepadanya, maka
iapun ikut keluar.
Setibanya diluar ruangan, Boe Wie Tootiang berbisik lirih, “Siauw thayhiap, benarkah
kau hendak menolong jiwanya?”
“Tentu saja aku harus menyelamatkan jiwanya.”
“Kalau kau ingin menolong jiwanya, kita harus menempuh bahaya.”
“Bagaimana maksudmu?”
“Luka yang ia derita sebetulnya tidak begitu serius, cuma disebabkan ia kurang
beristirahat setelah terluka ditambah pula harus melakukan perjalanan jauh, maka
darahnya membeku kedalam isi perut. Bukan pinto snegaja menyombongkan diri, pinto
yakin didalam tiga hari sanggup membuyarkan darahnya yang membeku didalam isi perut,
dalam lima hari pulihkan kembali kesehatannya seperti semula. namun persoalannya yang
paling memusingkan kepala saat ini bukanlah luka yang ia derita, melainkan racun Shen
Bok Hong yang mengeram didalam tubuhnya.”
“Apakah tootiang mempunyai cara untuk memusnahkan racun itu?”
“Pinto tidak tahu racun keji apakah yang digunakan Shen Bok Hong untuk mencelakai
Kiem Hoa Hujien, sekalipun tahu tidak mungkin bagiku untuk mempersiapkan obat
pemusnah itu dalam tiga lima hari.”
“Jadi maksud tootiang lebih baik membiarkan dia kembali keperkampungan Pek Hoa
San cung sesuai dengan waktunya?”

“Sekalipun besok siang ia bisa tinggalkan tempat ini dan tiba diperkampungan Pek Hoa
San cung tepat pada saatnya, namun perjalanan sejauh ratusan li ini suda cukup untuk
mencabut selembar jiwanya!”
“Aaai…. bicara pulang pergi tootiang belum berhasil juga menemukan suatu cara yang
tepat.”
“Cara sih ada satu, cuma sukakah Siauw heng menerimanya?”
“Apa caramu itu?”
“Pinto akan memusnahkan ilmu silatnya dengan tusukan jarum emas….”
“Sekalipun ilmu silatnya dipunahkan, aku rasa jiwanya sama saja akan tetap melayang.”
“Pinto mempunyai satu cara menghilangkan racun dengan cara yang paling keji, yaitu
musnahkan dahulu ilmu silatnya kemudian masukan tubuhnya kedalam kukusan dan
mengukus racun yang mengeram dalam tubuhnya dengan cuka kwalitas nomor satu.”
“Racunnya pasti hilang?”
“Seandainya pinto tidak punya keyakinan tidak nanti kutawarkan cara ini kepadamu.”
“Setelah racun yang mengeram dalam tubuhnya lenyap, apakah ilmu silatnya bisa pulih
kembali seperti sedia kala?”
“Tidak bisa” toosu tua itu segera menggeleng. “Selama ia masih hidup dikolong langit
tak mungkin lagi ilmu silatnya pulih seperti sedia kala.”
“Tidak ada cara lain?”
“Pinto tidak mempunyai cara lain lagi kecuali cara tersebut.”
Siauw Ling termenung sejenak, kemudian baru berkata, “Urusan ini menyangkut masa
depan seseorang, cayhe tidak berani mengambil keputusan secara gegabah.”
“Memang lebih baik Siauw thayhiap rundingkan dahulu masalah ini dengan Kiem Hoa
Hujien, biar dia sendiri yang menentukan pilihannya.”
“Aaaai…. aku rasa dewasa ini memang cuma jalan ini saja yang bisa ditempuh!” seraya
menghela napas panjang, pemuda itu masuk kembali kedalam ruangan.
Kiem Hoa Hujien duduk bersandar diatas pembaringan, sepasang matanya melotot
besar namun air mukanya menunjukkan keletihan hebat.
Rupanya perempuan itu berusaha untuk mempertahankan kesadarannya menyaksikan
Siauw Ling berjalan masuk ia lantas tersenyum dan menegur, “Apa yang sedang kalian
bicarakan?”

“membicarakan keadaan luka dari cici.”
“Sudahlah tak usah dibicarakan lagi, besok siang aku harus tinggalkan tempat ini atau
kecuali Boe Wie Tootiang sanggup menyembuhkan lukaku sebelum tengah hari besok?”
JILID 14
Bibir Siauw Ling bergetar mau bicara, namun ia batalkan niat itu.
“Saudaraku, apa yang hendak kau katakan?” Kiem Hoa Hujien segera menegur.
“Karena hendak menolong aku, kau jadi begini. Aaaai…. suruh aku bagaimana buka
suara?”
“Tidak mengapa, katakanlah apa yang ingin kau utarakan!”
“Boe Wie Tootiang mempunyai satu cara yang bagus….”
“Bukan cara bagus, boleh dibilang caraku itu adalah cara yang paling bodoh” tukas Boe
Wie Tootiang.
“Walaupun cara ini bisa menolong jiwa cici” Siauw Ling melanjutkan. “Tapi ilmu silat
yang kau miliki harus dimusnahkan lebih dahulu. Entah bagaimana menurut pendapat
cici?”
“Memusnahkan ilmu silat bagiku jauh lebih parah daripada kehilangan selembar jiwaku.
Lebih baik tak usah saja!”
“Oleh sebab itulah cayhe tidak berani ambil keputusan dan mempersilahkan cici untuk
menentukan sendiri pilihan ini.”
Kiem Hoa Hujien tertawa.
“Aku tidak ingin mati tapi akupun tidak ingin kehilangan ilmu silatku. Maka dari itu
sebelum tengah hari besok aku harus tinggalkan tempat ini dan kembali keperkampungan
Pek Hoa San cung, dengan menggunakan kesempatan selama setengah malam serta
setengah hari besok, aku ingin duduk bersemedi dan berusaha memulihkan kembali
sedikit tenagaku.”
“Sayang sudah terlambat, pada saat ini bukan saja hujien tak dapat melakukan
perjalanan, bahkan mengatur pernapasanpun akan mengakibatkan keadaan lukamu akan
semakin bertambah parah. Satu-satunya jalan yang paling baik pada saat ini adalah tidur
dengan tenang.”
“Benarkah ucapanmu itu?” mendadak Kiem Hoa Hujien bangun berdiri.
“Bukankah pada saat ini hujien merasakan badanmu kian lama kian merasa lelah?”

“Sedikitpun tidak salah.”
“Kalau begitu ucapan pinto tadi tidak salah lagi!”
Mendadak Kiem Hoa Hujien mengempos tenaga dan berkata, “Kalau memang demikian
adanya, malam ini juga aku harus berangkat.”
“Hujien tunggu dulu, menurut pemeriksaan pinto atas denyutan nadi hujien, sulit
bagimu untuk melawan seratus li, sebab luka kamu akan kambuh dan ada kemungkinan
bisa mencabut nyawamu.”
“Sekalipun bagitu, aku harus mencobanya dengan menempuh bahaya!”
“Kalau tidak akan mempunyai kesempatan sepersepuluh untuk hidup, tak usah
bertaru!”
“Tootiang, seandainya kita menggunakan sebuah pembaringan lunak dan membiarkan
dia tidur diatasnya lalu kita gotong keperkampungan Pek Hoa San cung, terhadap luka
yang dideritanya mendatangkan gangguan?” sela Siauw Ling.
“Itu sih tidak mengapa.”
“Kalau begitu, harap cici tunggu sejenak, akan kuhantar dirimu pulang….”
“Kau hendak pergi keperkampungan Pek Hoa San cung?” tanya Soen Put shia
menegaskan.
“Aku hanya akan mangantar dia sampai sepuluh li dari perkampungan, setelah itu aku
segera kembali.”
“Siauw thayhiap, aku telah melupakan satu persoalan.”
“Persoalan apa?”
“Siauw thayhiap baru saja sembuh dari luka parah, kau belum mampu untuk melakukan
perjalanan jauh.”
Kiem Hoa Hujien yang mendengarkan pembicaraan itu, tiba-tiba tertawa terkekehkekeh.
“Saudara Siauw, dalam hati aku sudah merasa sangat berterima kasih atas perhatianmu
yang mendalam terhadap diriku, memang betul seandainya kau yang menghantar diriku,
perjalanan ini terlalu bahaya. Kau harus tahu Shen Bok Hong punya mata-mata yang
tersebar luas dimana-mana, seandainya kejadian ini sampai diketahui olehnya, bukan saja
kau akan repot aku sendiripun bakal celaka.”
“Tapi…. cici! bukankah kau tak dapat melakukan perjalanan….”
“Tidak mengapa. Asal aku mampu berjalan sejauh seratus li, sekalipun akhirnya
menggeletak. Mungkin diriku bakal ditemukan oleh mata-mata Shen Bok Hong. Pada saat

ini ia masih amat membutuhkan tenagaku. Aku rasa ia pasti akan berusaha untuk
menyelamatkan jiwaku….”
Bicara sampai disitu ia merandek sejenak, kemudian dengan nada sedih tambahnya,
“Kau harus baik-baik berjaga diri, cici akan pergi. Semoga saja dikemudian hari kita masih
punya kesempatan untuk saling berjumpa muka!”
Bicara sampai disitu, tanpa berpaling lagi ia enjotkan badan dan melayang keluar dari
ruangan.
Siauw Ling ingin mengejar keluar, namun ia segera dihalangi oleh Soen Put shia.
“Saudara Siauw, apa yang dikatakan Kiem Hoa Hujien sedikitpun tidak salah….”
katanya. “Seandainya kau yang mengantar dirinya, bukan saja bakal mencelakai diri
sendiri bahkan akan mencelakai pula dirinya.”
Mendadak terdengar Lok Kian Thay berkata sambil melangkah kearah pintu, “Budakpun
harus berangkat pulang, sebab kalau perbuatanku ini sampai diketahui oleh Coen cu,
niscaya jiwaku bakal melayang.”
“Kalau memang jiwamu terancam, mengapa kau hendak pulang lagi kesana?”
“Aaai…. peraturan dari istana es kami amat ketat, apabila ada orang berani melarikan
diri, dia pasti akan dikejar dan dibunuh, maka dari itu bagaimanapun juga budak harus
segera kembali.”
Sinar matanya beralih keatas wajah Siauw Ling dan menambahkan, “Apabila
dikemudian hari Siauw siangkong berhasil berjumpa dengan nona kami, harap suka baikbaik
melayani dirinya.”
Iapun enjotkan badan dan berlalu dari sana menyusul dibelakang Kiem Hoa Hujien.
Memandang kearah bayangan punggung Lok Kian Thay yang mulai lenyap dari
pandangan, Soen Put shia menghela napas.
“Aaai…. hati kaum wanita, memang sulit diduga…. sampai-sampai aku sipengemis
tuapun jadi tidak habis mengerti!”
Boe Wie Tootiangpun menghembuskan napas panjang pula, perlahan dia berpaling
kearah Siauw Ling dan bertanya, “Siauw thayhiap, bagaimana keadaan lukamu?”
“Hawa dingin telah lenyap dari badan, kekuatan dalamkupun mulai terkumpul kembali
aku rasa sebagian besar kesehatanku telah pulih kembali.”
“Aaai…. kalau begitu bagus sekali, dengan demikian pintopun dapat melepaskan satu
tanggung jawab yang maha besar.”
“Tootiang!” mendadak Soen put shia menyela. “Apakah kau bersiap sedia hendak
melangsungkan pertarungan mati-matian dengan Shen Bok Hong ditempat ini?”

Boe Wie Tootiang termenung berpikir sejenak kemudian baru menjawab, “Pinto
menyadari bahwasanya dengan andalkan kekuatan Bu tong pay kami saja, jangan harap
bisa menandingi kekuatan perkampungan Pek Hoa San cung. Sekalipun kita sudah
mendapatkan bantuan dari dua tiga orang sahabat, keadaan kita tetap bagaikan telur
membentur batu, sulit untuk mencari kemenangan. Tetapi situasi yang terbentang
didepan mata kita dewasa ini amat mendesak, apabila kita tidak bangkit untuk melawan,
satu-satunya jalan untuk cari selamat hanyalah menyerah saja.”
“Bukankah tootiang telah mengurus orang untuk menghubungi orang-orang dari sebilan
partai besar dan mohon mereka kirim orang unutk membantu diri tootiang?”
“Aaai…. memang benar! meski kekuatan Shen Bok Hong amat kuat, seandainya
sembilan partai besar suka mengirim jago-jagonya, sekalipun tak bisa menang paling
sedikit kita bisa mengimbangi kekuatan mereka. Tapi sayang….” berbicara sampai disitu
mendadak ia membungkam.
“Kenapa? apakah sembilan partai besar tidak mau kirim jago-jagonya untuk membantu
kita?”
“Sekalipun permintaanku tidak sampai ditolak namun bantuan merekapun tidak
sungguh-sungguh. Aaai…. sembilan partai hanya memikirkan keselamatan diri sendiri,
bukankah tindakan mereka itu justru merupakan apa yang diharapkan oleh Shen Bok
Hong? bila demikian terus keadaannya, sembilan partai satu demi satubakal dihantam oleh
mereka hingga hancur lebut….”
“Ehmm, ucapan ini sedikitpun tidak salah lalu apa cara tootiang untuk mengatasi
persoalan ini?”
“Walaupun selama seratus tahun belakangan, antara anggota sembilan partai besar
tidak pernah terjadi peristiwa bentrokan besar, bentrokan kecil tak bisa dihindari sering
terjadi. Disamping itu dari antara partai tidak pernah muncul seorang manusia berbakat
yang bisa dihormati partai lain. Hal ini mengakibatkan hubungan antara partai besar kian
lama kian bertambah adem dan jauh. Terutama sekali partai Siauw Lim, boleh dibilang
selama berhubungan dengan partai-partai lain….”
“Menurut apa yang aku pengemis tua ketahui” sela Soen put shia. “Tootiang
mempunyai hubungan pribadi yang sangat intim sekali dengan ciangbunjien dari partai
Siauw lim dewasa ini, apakah berita kangouw ini tidak betul.”
“Sekalipun pinto mempunyai hubungan pribadi yang intim dengan Siauw lim
ciangbunjien tidak berani mengambil tindakan secara menyendiri….” ia merandek sejenak,
lalu terusnya. “Bagaimanapun juga hubungan pribadi, setelah menjumpai keadaan kritis
yang amat serius, pinto rasa hubungan pribadi tak bisa mengatasi hal ini.”
Saking sedihnya, habis berkata ia menghela napas panjang.
“Sembilan partai besar sama-sama menutup diri dan tidak mau saling membantu,
bukankah tindakan ini sama halnya mencari kehancuran buat diri sendiri.”

“Tak usah kita bicarakan persoalan itu” sela Siauw Ling. “Persoalan paling penting pada
saat ini adalah bagaimana caranya menghadapi musuh tangguh.”
Ia merandek sejenak, kemudian terusnya, “Ada satu persoalan, cayhe merasa kurang
begitu jelas, dapatkah tootiang memberi petunjuk?”
“Persoalan apa?”
“Darimana Kiem Hoa Hujien bisa sampai disini?”
Boe Wie Tootiang berpikir sejenak, akhirnya ia ceritakan kisah yang sebenarnya kepada
si anak muda itu.
“Apa sebabnya Shen Bok Hong bisa membubarkan para jagonya secara mendadak….”
tanya Siauw Ling keheranan setelah habis mendengarkan kisah tersebut.
“Aku sipengemis tuapun merasa tidak mengerti!”
“Menurut dugaan pinto, satu-satunya hal yang patut dicurigai adalah irama musik itu,
Shen Bok Hong kelihatan amat terperanjat setelah mendengar irama musik itu, begitu
gugup dia sampai semangat tempurnya rontok dan buru-buru melarikan diri.”
“Tootiang, bukankah kau pandai dalam hal ilmu musik? dapatkah kau bedakan irama
musik itu berasal dari alat musik apa?”
“Mirip seruling tapi kalau didengar lagi tidak, rupanya irama itu berasal dari gabungan
dua jenis alat musik….”
“Sungguh aneh sekali, aku pengemis tua sudah putar otak tetapi belum berhasil juga
menemukan seornag jago Bulim yang bisa memukul mundur musuhnya dengan irama
musik!”
“Peristiwa ini memang rada aneh!” Siauw Ling mengangguk. “Sewaktu cayhe masih
belajar silat tempo dulu, banyak persoalan yang mengenai para jago Bulim telah
kudengar, namun belum pernah kudengar ada jago yang bisa memukul mundur
musuhnya dengan irama musik.”
“Pada saat dan tempat seperti ini tidak pantas bagi kita untuk membicarakan persoalan
ini, kita harus pulang dan melihat keadaan!”
Siauw Lingpun tidak banyak bicara lagi, ia ambil keluar sekeping emas murni dan
diletakkan diatas meja. Setelah memadamkan api lilin ia berlalu terlebih dulu, dari ruangan
itu.
Soen Put shia segera menyusul dari belakang si anak muda itu, seraya mencekal
pergelangan tangan kirinya ia tertawa dan berkata, “Kesehatan badan saudara Siauw
belum pulih seperti sedia kala, lebih baik aku pengemis tua bantu dirimu!”

Siauw Lingpun tidak menolak, sepanjang perjalanan ia melakukan perjalanan cepat.
Sebab telah mengetahui ada orang yang bisa pukul mundur Shen Bok Hong dengan irama
musik, dia lantas menguatirkan keselamatan kedua orang tuanya.
Setibanya ditepi telaga, terlihatlah Im Yang cu dengan membawa empat orang toosu
berusia setengah baya telah menantikan kedatangan mereka disitu.
“Apakah sudah terjadi perubahan lain?” tanya Boe Wie Tootiang setibanya disamping
sutenya itu.
“Semuanya aman, tidak nampak ada musuh menyerang kemari lagi!”
“Apakah tootiang telah berjumpa dengan ayah, ibuku?” sela Siauw Ling cemas.
“Pinto mengerti akan pentingnya kedua orang tua itu bagi Shen Bok Hong, maka
sebelum terjadinya peristiwa tadi pinto telah mohon bantuan Tiong Chiu Siang Ku serta
Suma Kan sekalian melindungi ayah ibumu untuk bersembunyi disuatu tempat yang aman
diatas gunung.”
“Mereka sudah kembali?”
“Belum, mungkin masih ada diatas gunung.”
Siauw Ling mendehem perlahan, tanpa banyak bicara lagi tubuhnya meloncat naik
keatas perahu.
Boe Wie Tootiang, Soen Put shia serta Siauw Ling menggunakan sebuah sampan yang
sama, sedangkan Im Yang cu dengan keempat toosu lainnya naik sampan lain.
Selama ini Siauw Ling terus mengkuatirkan keselamatan kedua orang tuanya, ingin
sekali ia cepat-cepat menjumpai ayah serta ibunya. Maka itu meskipun sampan bergerak
cepat tapi ia merasa kurang, bahkan turun tangan sendiri untuk mendayung sampan
tersebut.
Setibanya ditepi daratan, tanpa menunggu Soen Put shia lagi si anak muda itu langsung
lari menuju kekamar orang tuanya.
Tampak pintu terbuka lebar, suasana dalam ruangan gelap gulita tidak terlihat sedikit
sinarpun.
“Ada orang didalam?” Siauw Ling segera menegur.
“Siauw siangkong yang ada diluar?” siara Kim Lan berkumandang keluar dari dalam
ruangan.
“Tidak salah, apakah orang tuaku belum kembali?”
Cahaya lampu berkilat dalam ruangan disusul munculnya Kim Lan dengan pakaian
ringan serta menyoren pedang dari balik kegelapan.

“Looya serta hujien telah bersembunyi diatas gunung dibawah perlindungan Sang ya
serta Tu ya sekalian.” sahutnya.
“Tahukah kau asat ini mereka berada dimana?”
Kim Lan menggeleng.
Siauw Ling segera berpaling kebelakang, saat itu Soen Put shia serta Im Yang cu berdiri
berjajar diluar pintu. Segera tanyanya kembali, “Apakah tootiang tahu?”
“Harap Siauw thayhiap legakan hatimu” kata Im Yang cu sambil tertawa. “Pinto
tanggung kedua orang tuamu berada dalam keadaan sehat walafiat tanpa kekurangan
sedikit apapun juga.”
“Cayhe mengerti betapa teliti dan cermatnya tootiang bekerja, namun sebelum bertemu
sendiri dengan kedua orang tuaku. Cayhe tetap merasa tidak tenteram.”
“Pinto sudah kirim orang untuk melepaskan tanda rahsia dan memanggil mereka
kembali.”
“Apabila tootiang tahu letak tempat persembunyian itu, lebih baik bawalah cayhe
kesitu!”
“Untuk mewujudkan kebaktian Siauw thayhiap terhadap orang tuamu, sepantasnya
pinto tidak menampik permintaanmu itu, tapi menurut perhitungan pinto, pada saat ini
Tiong Chiu Siang ku semestinya sudah menerima tanda kemudian membawa kedua
orabng tuamu turun gunung. Seandainya kita harus naik sendiri kesitu dan bila sampai
salah jalan, bukankah keadaan malahan sebaliknya?”
Mendengar perkataan itu akhirnya Siauw Ling menghela napas panjang.
“Baiklah! kalau bagitu kita tunggu saja disini. Tapi beberapa waktu harus mereka
butuhkan untuk sampai disini?”
“Paling banter tidak sampai melewati satu jam.”
Perlahan-lahan Siauw Ling berjalan masuk kedalam kamar kedua orang tuanya,
menyulut lilin dan duduk termangu-mangu disitu.
Im Yang cu mengerti keadaan orang, setelah dua kali orang tuanya ditawan si anak
muda ini jadi ketakutan setengah mati. Maka iapun tidak banyak bicara dan duduk
membungkam disitu.
Sebatang lilin sudah hampir habis, namun Tiong Chiu Siang Ku serta Siauw thayjien
suami istri yang ditunggu-tunggu belum kunjung datang juga. Kim Lan muncul untuk
menggantika lilin yang hampir padam dengan sebatang lilin baru, kemudian perlahanlahan
mengundurkan diri kesamping pintu.
Siauw Ling berusaha menahan sabar, namun akhirnya ia tak kuat menunggu lebih jauh,
tiba-tiba tanyanya, “Tootiang sudah berapa lama kita menunggu?”

“Belum sampai satu jam!”
Siauw Ling mendehem, bibirnya bergerak seperti mau bicara namun akhirnya ia
batalkan kembali niat tersebut.
Diluar Im Yang cu bicara ringan padahal dalam hati diapun merasa keadaan tidak
beres, sambil bangun berdiri ujarnya, “Harap Siauw thayhiap duduk sejenak disini, pinto
akan pergi menanyakan persoalan ini kepada petugas penyampai berita.”
Tidak menunggu jawaban dari Siauw Ling lagi ia segera meloncat dari ruangan.
Baru saja Im Yang cu tiba didepan pintu, sesosok bayangan manusia bagaikan seekor
burung langsung menyusup masuk kedalam sehingga hampir saja bertumbukan dengan
toosu tersebut.
Dengan sabar Im yang cu mengepos kemsaping, kemudian tangannya bergerak cepat
mencengkeram pergelangan kiri orang itu.
Siauw Ling pun dengan cepat meloncat bangun, sinar matanya melotot kearah orang
itu dengan sinar tajam.
Ternyata orang yang baru saja datang bukan lain adalah seorang toosu Bu tong pay
menyoren pedang.
“Ada urusan apa? mengapa kau datang tergesa-gesa?” tegur Im Yang cu sambil
melepaskan pergelangan orang itu.
Toojien itu menjura lebih dahulu kepada Im Yang cu kemudian menjawab, “Teecu
datang datang membawa perintah kilat, karena harus berlari cepat sepanjang perjalanan
kesadaran teecu jadi agak berkurang, keteledoran tadi harap suka susiok maafkan.”
“Ada urusan apa? cepat katakan!” seru Siauw Ling sambil meloncat kemuka.
“Teecu mendapat tugas untuk menjaga disuatu sudut gunung….”
“Apakah kedua orang tuaku ditawan orang!”
“Teecu mendapat tugas berjaga diatas gunung tapi entah apa sebabnya jalan darahku
tahu-tahu sudah ditotok orang.”
“Lalu bagaimana selanjutnya?” tanyanya dengan wajah berubah hebat. “Bagaimana
caranya kau lepaskan diri dari pengaruh totokan?”
“Tecu dibebaskan dari pengaruh totokan oleh ciangbun suhu, setelah bertanya atas
peristiwa yang sudah terjadi beliau perintahkan tecu untuk melaporkan kejadian ini
kepada susiok serta Siauw thayhiap, setelah itu beliau naik keatas gunung!”

Perubahan yang terjadi secara tiba-tiba ini membuat kegelisahan Siauw Ling malahan
berbalik jadi tenang, bisiknya kepada orang itu, “Sepanjang perjalanan kau harus berlari
cepat, badanmu tentu merasa amat payah. Beristirahatlah lebih dahulu!”
Toojien itu mengangguk, setelah memberi hormat kepada Im Yang cu serta Siauw Ling
ia segera mengundurkan diri.
Sepeninggalnya toosu tadi, Im Yang cu mendongak keatas memandang awan yang
bergerak lalu menghela napas panjang.
“Aaaai…. sungguh tak nyana betul-betul telah terjadi perubahan. peristiwa ini amat
membuat pinto merasa menyesal.”
“Kejadian sudah jadi begini, tootiangpun tak usah terlalu menyesali diri, bagaimana
kalau kita naik kegunung untuk melihat kesana?”
Im Yang cu mengangguk, ia segera berlari lebih dahulu meninggalkan ruangan itu.
Ilmu peringan tubuh yang dimiliki kedua orang ini amat sempurna, dalam sekejap mata
tujuh delapan li sudah dilewati tanpa terasa. Waktu itu fajar telah menyingsing,
pemandangan disekeliling tempat itu dapat terlihat dengan amat jelas.
Mendadak Im Yang cu menghentikan langkahnya dan mengalihkan pandangan
ketengah semak belukar disisi jalan.
“Apakah tootiang sudah salah jalan?” tanya Siauw Ling.
Im Yang cu geleng kepala ia melangkah kearah semak dan menggusur keluar seorang
toojien setengah baya, setelah diperiksa sejenak telapaknya langsung menepuk punggung
itu.
Terdengar toojien tadi menghela napas panjang dan perlahan-lahan membuka mata
tatkala menjumpai Im Yang cu ada disitu buru-buru ia meronta bangun memberi hormat.
“Tak usah banyak adat” tukas Im Yang cu dengan nada berat. “Ceritakan peristiwa
yang terjadi?”
“Tecu mendapat tugas berjaga-jaga disini siapa duga jalan darahku tertotok, untuk
susiok telah datang menolong tecu.”
“Siapa yang telah menotok jalan darahmu?”
“Tecu hanya mendengar ujung baju tersampok angin, belum sempat berpaling jalan
darah tecu sudah tertotok.”
Im Yang cu termenung sejenak, kemudian berpaling kearah Siauw Ling dan berkata,
“Siauw thayhiap, rupanya orang yang melancarkan serangan totokan itu sama sekali tiada
maksud melukai orang, terbukti dari totokannya yang ringan, berbicara dari kenyataan ini
pinto duga orang itu pasti bukan Shen Bok Hong.”

“Aaaai…. justru yang aneh kecuali Shen Bok Hong, siapa lagi yang ada menangkap
orang tua cayhe?”
Im Yang cu ulapkan tangannya kearah toojien itu seraya berkata, “Disini tiada
urusanmu lagi, turunlah kebawah sana.”
Toojien mengiakan, ia segera putar badan dan berlalu.
Sepeninggalan toosu tersebut, Im Yang cu segera berpaling kearah Siauw Ling dan
melanjutkan, “Biasanya perbuatan orang-orang perkampungan Pek Hoa San cung keji dan
telengas, tidak mungkin mereka ampuni jiwa murid partai kami. Ehm kejadian ini memang
rada aneh.”
Sementara mereka masih bercakap-cakap, tampaklah Boe Wie Tootiang dengan
membawa Tiong Chiu Siang Ku serta siperamal sakti dari Tng hay, Suma Kan buru-buru
lari mendekat.
Setelah menyaksikan sepasang pedagang dari siong chiau beberapa dalam keadaan
sehat walafiat, Siauw Ling merasakan hatinya rada lega.
Tiong chiu Siang Ku langsung menghampiri anak muda itu, mendadak mereka
menjatuhkan diri berlutut dan berseru, “Siauwte sekalian patut dihukum mati, harap toako
suka menjatuhkan hukuman!”
“Harap saudara berdua cepat berdiri, ceritakan sejelasnya peristiwa yang telah terjadi”
buru-buru Siauw Ling membangunkan mereka.
Sang Pat menghela napas panjang ujarnya, “Siauwte membawa dua orang tua
bersembunyi didalam sebuah goa batu, setelah itu siauwte berjaga didalam goa sedang
Tu heng berjaga diluar goa. Ketika tengah malam telah tiba mendadak siauwte dan Tu
heng jatuh roboh ketanah, siauwte segera menerjang keluar dari dalam goa. Sedikitpun
tidak salah, diluar goa berdirilah seorang manusia berkerudung memakai baju berwarna
hitam. Jalan darah saudara Tu telah tertotok dan menggeletak disisi jalan.”
“Kau sempat bertarung dengan orang itu?”
“Perubahan yang terjadi secara tiba-tiba ini membuat siauwte jadi gugup dan kaget,
siauwte hanya mencurahkan seluruh perhatian kearah musuh didepan, siapa sangka dari
belakang mendadak datang serangan bokongan, bukan saja serangan itu cepat juga lihay
sekali. Sebelum siauwte sempat melawan, jalan darahkupun ikut tertotok.”
Siauw Ling segera mengalihkan sinar matanya kearah Tu Kioe dan bertanya, “Apakah
saudara Tu sempat melihat jelas wajah orang itu?”
“Aaaaai kalau dibicarakan sungguh menyesal sekali, jalan darah siauwte kena tertotok
oleh senjata rahasia lawan.”
“Kepandaian tersebut jelas merupakan ilmu totok dengan biji kedelai yang sangat lihay,
seandainya tenaga kweekang yang dimiliki tidak sempurna, tidak nanti bisa menggunakan.
Apalagi ia turun tangan terhadap Tu heng yang lihay.”

Siauw Ling alihkan sinar matanya kearah Suma Kan dan bertanya, “Apakah Suma heng
berhasil menyaksikan bentuk musuh yang datang menyerang?”
“Aaai…. kalau dibicarakan sungguh memalukan sekali. Siauwte berjaga dibelakang Sang
heng. Tatkala Sang heng keluar dari goa siauwte sudah waspada dan mempersiapkan
diri….” ia menghela napas panjang lalu melanjutkan. “Dalam dugaan siauwte, sekalipun
Sang heng dan Tu heng telah bertemu dengan musuh tangguh, paling sedikit mereka
bakal melangsungkan pertarungan sampai puluhan gebrakan, siapa duga pihak lawan
ternyata aneh dan tangguh. Siauwte hanya menyaksikan sesosok bayangan manusia
melayang masuk, semula aku masih mengira Sang heng yang masuk baru saja
menyangka tahu-tahu pihak lawan dengan menggunakan petunjuk suara siauwte tadilah
mengayunkan tangannya menyambit beberapa batang senjata rahasia, walaupun siauwte
berhasil menghindarkan diri dari beberapa batang senjata rahasia, namun akhirnya aku
roboh juga….”
“Kalau begitu Suma hengpun roboh karena terhantam senjata rahasia yang dilepaskan
dengan ilmu Ta lip Ta hiat.”
“Mungkin disebabkan suasana dalam goa terlalu gelap, kurang tepat ia mengarah jalan
darahku. Dengan demikian meski siauwte kena terhajar tapi jalan darahku tak sampai
terkena, aku masih punya kemampuan buat bertempur….”
“Jadi Suma heng sempat bergebrak melawan orang itu?”
“Baru bertarung dua jurus, halan darah siauwte telah kena ditotok orang.”
“Suma heng terluka lebih dahulu oleh senjata rahasia lawan, kemudiam baru
bertempur, kerugian ini kau derita lebih dahulu tentu saja keadaanmu yang tidak
menguntungkan.”
Suma Kan tertawa getir.
“Meski demikian, tetapi ilmu silat yang dimiliki orang itu betul-betul sangat lihay, ini
alasan yang kuat bagi kemenangannya. Siauwte yakin dikolong langit belum tentu ada
beberapa orang yang sanggup menotok jalan darahku dalam dua gebrakan belaka.”
“Apakah kedua orang tuaku ditawan orang?” tanya Siauw Ling setelah termenung
sejenak.
“Setelah jalan darah siauwte tertotok, goa itu tidak ada yang menjaganya lagi. Sudah
tentu ayah serta ibunya….”
“Ketika pinto tiba didalam goa itu, bukan saja kedua orang tua itu sudah lenyap,
bahkan Giok Lan pun ikut hilang” sambung Boe Wie Tootiang.
“Apakah tootiang berhasil mendapatkan senjata rahasia yang digunakan orang itu.”

Perlahan-lahan dari dalam sakunya Boe Wie Tootiang ambil keluar dua butir senjata
rahasia sebesar kacang kedele, sambil diangsurkan kemuka ujarnya, “Apakah Siauw
thayhiap kenal dengan senjata rahasia semacam ini?”
“Tidak kenal!” sahut si anak muda itu setelah dipandang sejenak.
“Benda ini disebut Paouw ti cu, sejenis senjata rahasia yang khusus digunakan untuk
menotok jalan darah!”
“Tahukah tootiang jagoan manakah yang dewasa ini yang sering menggunakan benda
ini sebagai senjata rahasia?”
“Menurut ingatan pinto dalam dunia persilatan memang ada orang yang biasanya
menggunakan benda tersebut sebagai senjata rahasia, namun orang itu sudah terkurung
didalam istana terlarang….”
“Istana terlarang belum terbuka, tentu saja orang itu tidak mungkin bisa muncul
kembali didalam dunia persilatan.”
“Justru disebabkan persoalan inilah, pinto merasa bimbang dan ragu.”
“Apakah orang itu punya murid?”
“Menurut pengetahuan pinto, orang itu belum pernah menerima murid….”
Ia merandek sejenak kemudian sambungnya lebih lanjut, “Masih ada satu persoalan
lagi yang cukup membuat pusing kepala, rupanya tujuan dari orang itu hanya ayah serta
ibunya belaka, terhadap murid-murid partai kami yang disekeliling tempat ini sama sekali
tidak turun tangan keji, meski ada tujuh orang yang kena ditotok jalan darahnya namun
mereka sama sekali tidak terluka. jelas perbuatan ini bukan dilakukan oleh orang-orang
dari perkampungan Pek Hoa San cung.”
“Masih ada satu persoalan lagi yang cukup aneh” Suma Kan menambah dari samping.
“Darimana orang itu bisa tahu kalau kita bersembunyi didalam goa batu itu.”
Boe Wie Tootiang segera berpaling kearah Im Yang cu dan bertanya, “Kecuali kau serta
aku yang tahu letak goa batu tersebut, siapa lagi diantara anggota Bu tong pay kita yang
mengetahui hal ini?”
“Mungkin sam te juga tahu akan letak tempat ini.”
“Selain sam te?”
“Selain sam te cuma dua orang bocah yang mendampingi toa suheng saja yang tahu
urusan ini.”
“Siauw heng tidak percaya kalau mereka bisa membocorkan rahasia ini pada orang
lain.”

“Tootiang” tiba-tiba Siauw Ling menyela. “Dalam hati cayhe terdapat satu persoalan
yang rasanya tidak enak kalau tidak kuutarakan kelkuar.”
“Silahkan Siauw thayhiap utarakan persoalanmu itu.”
“Shen Bok Hong telah menyusupkan mata-matanya kedalam tubuh setiap partai besar,
menurut apa yang cayhe ketahui partai kalianpun tidak terkecuali.”
“Apa? benarkah ada kejadian seperti ini?” tanya Boe Wie Tootiang tertegun.
“Aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri, tentu salah tak bakal salah lagi.”
“Pinto akan segera kumpulkan segenap anggota partai kami, apakah Siauw thahyhiap
dapat menunjukkan siapa orang itu?”
Dengan cepat Siauw Ling menggeleng.
“Tatkala Shen Bok Hong mengumpulkan mereka waktu itu terjadi ditengah malam buta,
sebagai sam cung cu dari perkampungan Pek Hoa san cung, cayhe mendapat kesempatan
untuk menemui mereka, cuma sayang setiap orang yang hadir dalam pertemuan itu pada
memakai kain kerudung, sehingga cayhe mesti tahu peristiwa ini sukar untuk
menunjukkan orangnya.”
“Apakah Siauw thayhiap tahu akan nama-nama mereka?” tanya toosu tua itu lagi
setelah termenung sejenak.
“Tidak tahu!”
Sementara mereka masih bercakap-cakap terlihatlah Soen Put shia laksana kilat
cepatnya meluncur datang.
“Jika perkataan Siauw thayhiap tidak salah mata-mata tersebut bukan baru sehari dua
hari menyusup kedalam tubuh partai Bu tong kita” kata Im Yang cu. “Toa suheng tak
perlu gelisah, setelah kita mengetahui akan kejadian ini, asal dikemudian hari kita
bertindak lebih hati-hati rasanya tidak sulit untuk menemukan jejaknya!”
Terdengar ujung baju tersampok angin, sambil berseru Soen Put shia telah tiba
dihadapan beberapa orang itu.
“Perbuatan ini pasti bukan dilakukan oleh orang-orang dari perkampungan Pek Hoa San
cung.”
“Apakah loocianpwee berhasil menemukan titik terang?”
“Coba kalian lihat dulu benda ini, kemudian baru aku pengemis tua ceritakan
kejadiannya” sahut Soen Put shia seraya ambil keluar secarik kertas dalam saku.
Boe Wie Tootiang terima kertas itu dan membaca isinya.

“Shen Bok Hong selalu berdaya upaya hendak menangkap dua orang tua itu agar
dikemudian hari bisa digunakan untuk memaksa Siauw Ling tunduk pada perintahperintahnya,
Agar kesemuanya ini teratasi dan demi keselamatan dari kedua orang itu,
untuk sementara waktu mereka kusembunyikan disuatu tempat yang aman. Semoga
kalian mengetahui.”
Tulisan itu awut-awutan, jelas ditulis dalam keadaan tergesa-gesa.
Boe Wie Tootiang angsurkan surat tadi ketangan Siauw Ling, kemudian tanyanya,
“Loocianpwee dapatkan surat ini darimana?”
“Tatkala cuwi sekalian memeriksa goa batu itu, aku pengemis tua naik keatas puncak
yang tertinggal disekitar tempat itu untuk memeriksa keadaan empat penjuru, sedikitpun
tidak salah kulihat sesosok bayangan manusia sedang lari kearah selatan. Setelah
menyaksikan titik terang ini dengan kerahkan segenap tenaga aku pengemis tua segera
mengejar.”
“Loocianpwee berhasil menyusul orang itu?” tanya Siauw Ling.
“Kalau dibicarakan dari ilmu peringan tubuh yang dimiliki orang itu, sebenarnya aku
pengemis tua tak akan mampu mengejar, masih untung dia tidak menyadari bahwa aku
pengemis tua sedang membuntuti dibelakangnya. Menanti ia merasakan hal ini, aku
pengemis tua telah berada lima tombak dibelakang tubuhnya.”
Im Yang cu tahu sampai dimana kepandaian silat yang dimiliki pengemis ini, tak tahan
ia bertanya, “Dengan tenaga kweekang yang dimiliki loocianpwee, setelah berhasil
menyusul sampai lima tombak dibelakangnya, tentu orang itu tak berhasil meloloskan diri,
bukan?”
“Setelah ia mengetahui bahwa aku mengejarnya, ia segera mempercepat larinya. Aku
tak sudi melepaskan mangsaku begitu saja. Maka dalam sekejap mata enam tujuh bukit
telah kami lalui. Ilmu peringan tubuh orang-orang itu betul-betul luar biasa, walaupun aku
sudah mengejarnya hingga melewati delapan buah bukit, jarak kami masih tetap terpaut
sampai beberapa tombak.”
“Apakah loocianpwee kemudian melepaskan dia setelah dia melepaskan surat ini
kepadamu?” Boe Wie Tootiang nyeletuk.
Soen Put shia menggeleng.
“Melihat keadaan tak menguntungkan, aku main gertak, aku bilang: “Walaupun kau lari
sampai keujung langit dasar samudra, naik turun kebumi aku pengemis tua akan terus
mengejar dirimu, walaupun harus mengejar selama delapan sepuluh tahunpun aku tidak
akan ambil perduli!” mungkin orang itu belum lama terjunkan diri kedalam dunia
persilatan, setelah mendengar ancamanku itu mendadak ia berhenti.”
“Lalu loocianpee bergebrak dengan dirinya?”
“Tarung sih sudah tarung, tapi cuma beberapa puluh gebrakan belaka.”

“Orang itu berhasil loocianpwee bunuh?” Im Yang cu menyela.
“Eeeei…. kalau kalian tanya ini itu terus menerus, bagaimana aku pengemis tua itu bisa
menjawab?”
“Perkataan loocianwpee sedikitpun tidak salah. Nah, berceritalah perlahan-lahan.”
“Tujuan aku pengemis tua memang ingin bergebrak dengan dirinya. Menyaksikan dia
berhenti tentu saja aku lantas menubruk kedepan sungguh tak nyana jurus ilmu
pedangnya amat lihay dan telengas, hampir-hampir saja aku sipengemis tua kena
dikecundangi, semula aku ingin sekali merampas senjatanya lebih dulu lalu baru
menangkap dirinya siapa sangka keinginanku sukar terkabulkan. Ah…. kemunculanku
kedalam dunia persilatan kali ini benar-benar sudah berjumpa dengan banyak jagoan
muda.”
Nadanya amat sedih, jelas ia merasa pedih setelah mengingat kejadian yang telah
dialami selama ini.
“Apakah loocianpwee berhasil melihat tampang muka orang itu?” Siauw Ling bertanya.
“Tidak!”
“Kenapa?”
“Sebab ia memakai sebuah topeng yang menutupi wajah sebenarnya.”
“Kemudian? bagaimana selanjutnya?”
“Kami saling bertempur sampai beberapa puluh gebrakan, namun aku pengemis tua itu
belum juga berhasil menemukan titik kelemahan dalam permainan ilmu pedangnya.
Karena keadaan memaksa aku siap turun tangan keji, pasa saat itulah tiba-tiba muncul
kembali seorang sahabatnya, ia melemparkan secarik kertas kepadaku setelah itu mereka
berdua sama-sama pergi.”
“Loocianpwee melepaskan mereka dengan begitu saja?” sela Tu Kioe dengan suara
dingin.
“Hahaha…. hahaha…. kau anggap aku orang yang suka menyudahi persoalan secara
gampang? setelah kusambut kertas tersebut, kuteruskan pengejaranku. Rekannya yang
baru datang tadipun memakai topeng diwajahnya tapi perawakan tubuhnya kurus kecil.
Menurut perasaanku orang yang datang belakangan ini mirip seorang perempuan.
Menanti kami saling bergebrak kembali, dugaanku segera terbukti, orang itu betul-betul
seorang perempuan. Tetapi keganasan ilmu pedangnya jauh diatas sang pria, kerja saja
permaian pedang mereka betul-betul luar biasa, aku pengemis tua sadar bahwa
kekuatanku tak mungkin bisa menangkan mereka, terpaksa kubiarkan mereka melarikan
diri.”
“Menurut pendapat pinto, jumlah musuh yang datang tidak banyak tapi mereka
semuanya merupakan jago-jago lihay yang memiliki ilmu silat yang sangat tinggi.”

“Begitulah pengalaman yang kualami, apakah cuwi sekalian mempunyai akal untuk
mengejar jejak mereka?”
“Sayang kedua ekor anjingku berada dibawah gunung” Sang Pat berseru. “Kalau ada
binatang-binatang itu mungkin kita berhasil menemukan jejak mereka.”
Siauw Ling yang mengalami kejadian ini merasa amat sedih, sambil menahan isak
gumamnya, “Keadaan demikian jauh lebih baik ditawan oleh Shen Bok Hong, sedikit
banyak kita masih punya tujuan untuk merebutnya kembali. Kini orang-orang itu bagaikan
seekor naga yang kelihatan kepala tak kelihatan ekornya. Kemana kita harus
mencarinya?”
Suma Kan yang selama ini diam saja, mendadak menyela, “Siauw heng, perhatikanlah
gaya tulisan surat itu. Coba lihat apakah kau kenal?”
“Sama sekali tak kukenal!”
Kalau menurut kebiasaan orang Bulim dibawah setiap surat yang ditinggalkan pasti
dicantumkan nama atau tanda pengenal, tapi orang ini tak meninggalkan suatu apapun
jua.”
“Dilihat dari tulisannya yang ruwet dan tergesa-gesa ia sudah lupa mencantumkan
namanya” Im Yang cu memberikan pendapat.
“Tiada guna kita membicarakan persoalan yang tak berguna ini” tukas Tu Kioe dengan
nadanya yang khas. Dingin. “Kita kongkow sambil berpeluk tangan, lebih baik kubawa
kemari kedua anjing harimau tersebut!”
“Betul, aku pengemis tua sudah tahu kearah mana mereka pergi, asal kedua ekor
anjing yang kalian pelihara bisa berguna, rasanya tidak sulit untuk menemukan jejak
mereka.”
“Bagus! kalau begitu kalian menanti disini, biarlah aku orang she Sang berdua pergi
mengambil anjing.”
Sepeninggalnya Sang Pat dan Tu Kie, Boe Wie Tootiang perlahan-lahan mendekati
Siauw Ling lalu ujarnya, “Siauw thayhiap, orang budiman selalu dilindungi Thian. Kedua
orang tuamu mempunyai raut wajah rejeki dan panjang umur, tidak mungkin mereka
jumpai mara bahaya yang mengancam jiwa. Pinto harap kau suka bangkitkan lagi
semangatmu, kami segenap anggota Butong pay pasti akan membantu usaha pencarian
ini dengan sekuat tenaga.”
“Peristiwa ini tak bisa salahkan diri tootiang!” sahut Siauw Ling terharu.
“Seandainya pinto tak punya pikiran begitu dan mengantar kedua orang tua itu
bersembunyi diatas gunung, mungkin tidak akan terjadi peristiwa semacam ini.”
“Mereka datang dengan membawa rencana, meskipun tidak naik kegunung keadaan
sama saja….”

Dibawah sorotan sinar matahari, tampak dua butir air mata berlinang dipipinya, ia
menyambung, “Cayhe merasa sedih karena kedua orang tuaku bukanlah orang kangouw
tapi mereka bisa terseret kedalam persoalan Bulim yang penuh dengan balas membalas,
bunuh membunuh ini.”
“Meskipun saudara Siauw belum lama terjun kedalam dunia persilatan, tapi takdir
menentukan namamu harus tersohor kedalam dunia persilatan dalam waktu yang
singkat.”
“Kau harus tahu, setiap manusia mempunyai kesulitan masing-masing maka aku
pengemis tua harap kau suka bangkitkan kembali semangatmu itu, sekalipun kini aku
sipengemis tua sudah mengundurkan diri dari keramaian dunia kangouw, tetapi aku rela
mempertaruhkan selembar jiwa tuaku ini untuk membantu dirimu menciptakan satu
perbuatan yang besar…. perbuatan yang mulia bagi seluruh umat Bulim. Sebab bila aku
bisa berbuat demikian matipun aku bisa mati meram….”
Ia merandek sejenak, lalu tambahnya, “Bukan begitu saja, aku pengemis tuapun
hendak menggunakan sedikit nama serta kedudukan ini untuk mendatangkan beberapa
orang pembantu bagimu, aku hendak perintahkan segenap anggota Kay pang untuk
membantu dirimu.”
Ucapan ini menggetarkan hati Siauw Ling buru-buru ia menjura.
“Kemampuan serta kepandaian apakah yang boanpwee miliki? mana berani boanpwee
terima semua kebaikan dari loocianpwee?”
“Haaa…. haaa…. kalau dibicarakan seolah-olah bantuanku ini memang kutujukan
kepadamu, padahal aku berbuat demikian adalah demi kebaikan serta kebahagiaan
seluruh umat Bulim. Bicara terus terang, aku sipengemis tua bukanlah membantu dirimu,
sebaliknya malah menyeret kau terjun kedalam air.”
“Ucapan loocianwpee terlalu serius!”
“Persoalan paling penting yang kita hadapi pada saat ini adalah menemukan kembali
kedua orang tuamu, kemudian berusaha mencari suatu tempat yang aman. Tempat yang
tersembunyi dan rahasia letaknya bagi kedua orang tuamu, setelah urusan ini beres
saudara Siauw baru bisa mencurahkan segenap perhatian serta tenaganya demi
kebahagiaan umat Bulim.”
“Ucapan loocianpwee sedikitpun tidak salah” Boe Wie Tootiang membenarkan.
Sinar mata Soen Put shia dialihkan keatas wajah Siauw Ling, lalu ujarnya lagi, “Ditinjau
dari pertarungan yang telah berlangsung antara aku sipengemis tua dengan mereka, jelas
membuktikan bahwasanya kedua orang itu bukanlah manusia-manusia dari
perkampungan Pek Hoa san cung.”
“Peristiwa ini benar-benar membuat cayhe jadi keheranan setengah mati, selain orangorang
dari perkampungan Pek Hoa San cung, siapa lagi hendak menangkap kedua orang
tuaku?”

“Mungkinkah perbuatan dari Su Hay Koen cu?” mendadak Soen Put shia berseru.
“Tidak salah, kalau bukan perbuatan Shen Bok Hong, peristiwa ini pasti hasil karya dari
Su hay Koen cu.”
“Kalau perbuatan ini benar-benar hasil karya dari Su hay Koen cu, waah…. kita bakal
mengalami kesulitan untuk menemukan mereka kembali.”
“Pinto rasa tujuan orang-orang itu menculik kedua orang tua siauwhiap sama sekali
tidak bermaskud jahat.”
“Seandainya tidak bermaksud jahat, apa sebebanya mereka gunakan cara yang
demikian rendah untuk menculik mereka?”
“Pinto tidak berhasil menebak latar belakang dari perbuatan mereka itu, tapi pinto rasa
dugaan tidak akan terpaut jauh.”
“Dengan dasar alasan apa tootiang berkata begitu?”
“Setiap anggota partai Bu tong kami yang bertugas disekeliling tempat ini pada roboh
tertotok jalan darahnya, tetapi tak seorangpun yang menderita luka. Seandainya
pemimpin mereka tak memebri pesan wanti-wanti, tidak nanti peristiwa bisa berlangsung
seperti ini.”
“Persoalan seperti ini lebih baik tak usah diributkan lebih dahulu. Mari kita coba dulu
apakah kedua orang anjing dari Tiong chiu Siang ku bisa menemukan jejak mereka atau
tidak” tukas Soen put shia.
Kurang lebih sepertanak nasi kemudian dengan badan basah kuyup oleh keringat Tiong
chiu Siang ku muncul kembali disitu diiringi kedua ekor anjingnya yang besar.
Soen Put shia melirik sekejap kedua ekor anjing itu, tatkala dilihat binatang itu kosen
dan gagah segera ia berkata, “Aku lihat kedua ekor anjing ini kosen dan gagah, tapi
dapatkah mereka dimintai bantuannya untuk menemukan jejak musuh?”
“Dengan mengandalkan kedua ekor anjing ini sudah banyak persoalan yang
memusingkan kepala berhasil kami atasi, cuma saja dari kemarin malam hinga ini hari
sudah banyak orang yang berlalu lalang disini, mungkin hal ini bisa mempengaruhi
penciuman mereka. berhasilkah menemukan jejak mereka sukar dibicarkan, lebih baik kita
lihat nasib saja….”
“Persoalan tak boleh diundur lagi, bagaimana kalau kita suruh anjing-anjing itu mulai
mencari?”
“Baiklah” Sang Pat mengangguk. “Tapi terpaksa kita harus mohon bantuan Soen
Loocianpwee untuk membawa jalan.”
“Kalau aku pengemis tua tahu kemanakah mereka lari, buat apa kuminta bantuan dari
kedua ekor anjingmu?”

“Harap loocianpwee jangan menaruh salah paham” sela Tu Kioe ketus. “Kami hanya
mohon kepada loocianpwee agar suka membawa menuju ketempat dimana kalian saling
bergebrak tadi, kami hendak suruh anjing-anjing ini mencium dahulu bekas hawa badan
orang itu, dengan dasar inilah mereka baru bisa melakukan pencarian.”
“Ooouw…. kiranya begitu!”
Demikianlah dibawah pimpinan Soen Put shia, para jago segera berlari melewati
beberapa buah bukit, akhirnya sampailah mereka disuatu tempat lapang. Sambil berhenti
pengemis itu berkata, “Disinilah kami saling bergebrak!”
“Harap loocianpwee periksa lebih dulu dengan seksama” ujar Sang Pat. “Sebab kalau
kita salah mengenali tempat, kesalahan ini bisa mengakibatkan kita tersesat sampai ribuan
li jauhnya.”
“Aku sipengemis tua masih ingat benar dengan tempat ini, coba lihat disitu ada
sebidang tanah berumput tak bakal salah lagi.”
Mendengar perkataan itu Sang Pat lantas berjongkok kepada kedua ekor anjingnya ia
perlihatkan beberapa gerakan, melihat gerak tangan majikannya anjing-anjing segera lari
kearah tanah berumput itu dan mencium disekeliling sana. Kemudian dia tiba-tiba
menubruk kearah Soen Put shia.
“Loocianpwee, jangan takut mereka hanya menciumi bau badanmu saja” buru-buru Tu
Kioe menjelaskan.
“Kalau cuma dua ekor anjing sih, aku sipengemis tua tidak akan ambil perduli.”
Tampak kedua ekor anjing itu mencium seluruh tubuh Soen Put shia beberapa saat
lamanya kemudian angkat kepala dan menggonggong. Sang Pat bersuit rendah, kedua
ekor anjing tersebut kembali lari kesisi majikannya.
Kembali terlihat Sang Pat menggerak-gerakkan tangannya memberi kode, tiba-tiba
kedua ekor anjing itu putar badan dan lari kedepan.
Sang Pat serta Tu Kioe dengan cepat mengejar-ngejar dibelakang kedua ekor
anjingnya.
Boe Wie Tootiang buru-buru meninggalkan pesan kepada Im Yang cu, tosu yang
terakhir ini mengiakan dan turun kebawah gunung sedang Boe Wie Tootiang serta Siauw
Ling dari Soen Put shia segera menyusul dibelakang Sang Pat.
Pada saat ini Siauw Ling merasakan hatinya amat gelisah, ia lari mendekati Sang Pat
bertanya, “Menurut pandangan, berhasilkah kita temukan jejak mereka?”
“Asal tempat yang ditunjuk Soen loocianpwee tidak salah, arah yang dituju kedua ekor
anjing pada saat ini bukan lain adalah arah orang itu melarikan diri.”
Tampaklah kedua ekor anjing raksasa itu sambil lari kedepan tiada hentinya mencium
permukaan tanah.

“Ehmm…. rupanya kedua ekor anjing ini mempunyai kegunaan besar” ujar Soen Put
shia pada Boe Wie Tootiang.
“Pinto pernah dengar orang berkata, bahwasanya dalam Bulim terdapat seorang thaysu
yang pandai mendidik burung, orang itu bisa membuat kawanan burung tunduk pada
perintahnya dan jual nyawa buat tuannya. Kepandaian mencari jejak dengan
menggunakan binatang sudah menjadi kebiasaan sejak dahulu kala….”
“Betul. Orang yang tootiang maksudkan bukan lain adalah siraja burung. Sayang ia
telah terkurung didalam istana terlarang. Kepandaiannya mendidik burungpun ikut
terkubur bersama raganya diistana tersebut.”
“Apakah loocianpwee pernah bertemu dengan siraja burung itu?”
“Aku pernah minum arak bersama dia” ia menghela napas panjang. “Kepandaiannya
mendidik burung merupakan kepandaian luar biasa. Aku pernah menyaksikan ia
memerintahkan tiga ekor burung rajawali untuk mengirim sekeranjang buah Too dari jarak
seribu li. Kehebatan orang ini sungguh patut dikagumi.”
Sementara pembicaraan masih berlangsung tiba-tiba terdengar gonggongan anjing
berkumandang datang.
Kiranya kedua ekor anjing raksasa itu telah berhenti ditepi sebuah hutan lebat,
memandang kedalam hutan tersebut kedua ekor anjing itu menyalak tiada hentinya.
Siauw Ling segera cabut keluar pedangnya. “Harap cuwi sekalian tunggu diluar hutan,
akan cayhe periksa dahulu keadaan sana.”
“Toako, tunggu sebentar” dengan cepat Sang Pat menghalangi niat Siauw Ling.
“Kenapa?”
Sang Pat ulapkan tangannya, kedua ekor anjing itu segera berhenti menggonggong,
kemudian ia baru berkata, “Mungkin mereka telah siapkan jebakan didalam hutan tersebut
dan sengaja memancing kita agar masuk perangkap.”
“Sekalipun hutan rimba ini merupakan gunung golok atau hutan tombak, akan
kuperiksa juga keadaan disana….”
“Tentu saja hutan itu harus kita periksa, namun bagaimanapun juga kita harus bikin
persiapan terlebih dahulu!”
“Persiapan bagaimana maksudmu?”
“Loo jie” kata Sang Pat sambil berpaling kearah Tu Kioe. “Kau tuntunlah seekor anjing
dan berjaga diluar hutan, biar aku serta toako masuk dalam hutan melakukan
pemeriksaan.”
Tu Kioe menurut dan menuntun seekor anjing, katanya….

Jilid 15
“Seandainya kalian bertemu dengan musuh tangguh atau tanda yang mencurigakan,
harap segera kirim tanda kepadaku agar siauwte bisa mempersiapkan bantuan.”
Sang Pat mengangguk kepada Siauw Ling bisiknya, “Siauwte dengan membawa anjing
ini akan masuk kedalam hutan lebih dahulu, harap toako suka menyusul dibelakangku.”
Siauw Ling kerutkan dahinya, bibirnya bergerak mau bicara namun tak sepatah katapun
sempat dilontarkan keluar.
Sang Pat pun tidak menanti Siauw Ling menjawab segera ulapkan tanganya, dengan
membawa anjing raksasa miliknya menerobos kedalam hutan lebih dahulu.
Dari sakunya Siauw Ling merogoh keluar dua biji mata uang dan digenggaman sebagai
senjata rahasia, siap-siap menghadapi segala kemungkinan yang menimpa mereka.
Hutan tersebut amat lebat sekali, ranting bersambungan dengan ranting pohon
berdempetan dengan pohon lain, begitu lebatnya daun sampai-sampai sedikit sekali
cahaya yang berhasil masuk.
Sang Pat salurkan hawa murninya mengelilingi seluruh badan, mengikuti dibelakang
anjingnya telapak kanan dipersiapkan menghadapi segala kemungkinan.
Pedang panjang ditangan kanan Siauw Ling tiada hentinya berkelebat membabat dahan
serta ranting yang menghalangi jalan, tapi hutan ini memang betul-betul lebat. Bagi Siauw
Ling yang harus membabat ranting bukanlah suatu pekerjaan gampang. Sedikit pecah
perhatian saja ia sudah ketinggalan beberapa tombak dari Sang Pat, terpaksa ia simpan
kembali senjatanya dan buru-buru mengejar kedepan.
Kurang lebih setengah jam mereka menerobos kesana kemari, entah berapa jauh
sudah dilewati, tiba-tiba anjing itu berhenti. Dihadapan mereka kini terbentang sebuah
kolam air yang luasnya mencapai tiga tombak, cahaya air berkilauan menusuk pandangan.
Jalan lurus kedalam hutanpun terpotong sampai disitu.
Siauw Ling memandang kolam itu, lalu berbisik: “Saudara Sang, sebenarnya apa yang
telah terjadi?”
“Sungguh aneh sekali!” jawab Sang Pat sambil memandang air kolam. “Aku sendiripun
tak mengerti apakah orang itu berdiam didalam air?”
“Luas kolam ini mencapai beberapa tombak, sekelilingnyapun merupakan hutan yang
amat lebat, sekalipun ada orang berdiam disini tak mungkin ia berdiam didalam air.”
“Siauwtepun merasa rada aneh! tidak mungkin tanpa alasan anjing ini membawa kita
kemari!”

Perlahan-lahan Siauw Ling alihkan sinar matanya kearah kolam. Ia lihat air kolam itu
berwarna hijau, sekilas pandang suka melihat dasarnya, dalam hati iapun merasa
keheranan.
“Mungkinkah didalam kolam yang kecil masih terdapat hal-hal yang aneh?”
Pluuuung….! mendadak titik air muncrat keangkasa membasahi angkasa. Kiranya Sang
Pat telah menyambitkan sebuah batu kedalam kolam.
“Saudara Sang” ujar Siauw Ling kemudian setelah menghela napas panjang. “Menurut
pendapat siauw heng tidak mungkin orang itu berdiam didalam kolam, mungkin kita sudah
terperangkap oleh siasat musuh.”
“Kecuali sebelumnya orang itu sudah tahu kalau kita punya anjing yang bisa mengintip
jejak mereka. Mungkin mereka sengaja menghilangkan jejaknya ditepi kolam itu.”
“Mereka bisa temukan goa batu itu, kenapa tidak bisa mengatur siasat ini?”
“Ucapan toako sedikitpun tidak salah….” ia merandek sejenak lalu tambahnya: ”
Seandainya orang itu bisa berpikir demikian seksama ia benar-benar seorang musuh
tangguh.”
Tiba-tiba terdengar suatu gelak tertawa yang sangat aneh berkumandang datang.
Sang Pat segera berpaling memeriksa keadaan disekeliling tempat itu, ia lihat disisi
kolam ada tanah kosong seluas beberapa depa, seandainya sampai terjadi pertarungan
maka mereka cuma bisa berkutik disekeliling sana belaka.
Dengan kencang Siauw Ling genggam mata nangnya, ia mendongak keatas. Tampaklah
dari atas sebuah pohon yang tinggi besar tiba-tiba muncul seutas tali rotan yang amat
panjang. Disusul munculnya seorang lelaki kekar berbaju hitam meluncur turun lewat
rotan tadi.
Sang Pat takut Siauw Ling tidak kuat menahan sabar segera turun tangan keji buruburu
bisiknya, “Toako jangan tergesa-gesa turun tangan kita bicarakan dahulu persoalan
ini hingga jelas.”
Siauw Ling mengangguk, ia lantas berpaling kearah orang berbaju hitam tadi.
Rotan itu terkulai kearah tengah kolam, tatkala sepasang kaki orang berbaju hitam itu
sambil menempel diatas permukaan air, tiba-tiba ia mengayun rotan tersebut kemudian
lepas tangan dan melayang ketepi daratan.
Sejak turun dari rotan hingga berdiri ditepi daratan, orang itu selalu berdiri
membelakangi Siauw ling. Oleh sebab itu baik si anak muda itu maupun Sang Pat tak
dapat menjumpai raut wajahnya.
Masing-masing pihak berdiri membungkam hampir seperminum teh lamanya, siapapun
tidak buka suara, sedang orang itupun tidak pernah menoleh.

Si sie poa emas Sang Pat tak dapat menahan sabar lagi, ia mendehem dan menegur,
“Sahabat, sungguh hebat kesabaranmu! apakah kau tidak takut kami sekalian turun
tangan membokong dirimu?”
“Coba saja membokong aku!” jengek orang itu dingin, kepalanya sama sekali tidak
berpaling.
Sang Pat melirik sekejap kearah Siauw Ling, lalu berkata, “Sahabat, besar benar
bacotmu! seandainya kami hendak membokong dirimu, mungkin pada saat ini mayatmu
sudah mengapung ditengah kolam.”
“Hmmm! untung kalian tidak sampai membokong aku, kalau kalian berbuat begitu
mungkin mayat yang mengapung ditengah kolam pada saat ini bukan aku melainkan diri
kalian.”
“Seorang lelaki jantan, pria sejati berani berbuat berani menanggung, buat apa kau
lakukan tindak tanduk yang tersembunyi? setelah berani menampakkan diri, kenapa tidak
berpaling kearah kami?”
“Hal ini disebabkan napsu membunuh dalam hati loohu belum berkobar.”
“Sungguh aneh!” batin Siauw Ling. “Sebelum napsu membunuhnya berkobar kenapa ia
tak sudi berpaling?”
Segera tanyanya, “Maksud dari ucapan sahabat sukar diterima dalam pikiran kami,
dapatkah kau jelaskan lebih jauh?”
“Kalian ingin tahu?”
“Dengan senang hati kami dengarkan penjelasanmu.”
“Sejak loohu berdiam disini aku telah angkat sumpah, barang siapa yang berjumpa
dengan loohu tidak kulepaskan dia pergi dalam keadaan hidup-hidup, semuanya akan
kubunuh sampai habis.”
Sinar mata Siauw Ling perlahan-lahan menyapu sekeliling tempat itu, tampaklah
diantara pepohonan yang lebat kecuali kolam tersebut boleh dibilang tiada tempat yang
bisa digunakan untuk berdiam diri. Dalam hati kembali ia berpikir: “Tempat semacam ini
hanya sesuai digunakan sebagai sarang ular dan harimau, mana mirip tempat jagoan
lihay?”
Dalam hati ia berpikir begitu, diluar ia menyahut, “Kini sahabat telah menampakkan diri,
hal ini berarti kita sudah saling bertemu.”
“Sebelum kalian berjumpa dengan wajah asliku, tentu saja pertemuan ini tak boleh
diartikan sebagai suatu perjumpaan.”
“Ingin sekali aku menyaksikan wajahmu yang sebenarnya” Sang Pat berseru. “Tapi
kamipun tak ingin dibunuh. Apakah kau punya cara lain untuk mengatasi hal ini?”

“Caranya sih ada, cuma kemungkinan besar kalian tak punya kemampuan untuk
melakukannya.”
“Coba katakanlah caramu itu!”
“Cuma ada satu jalan, yaitu kalian harus menangkan diri loohu terlebih dahulu.”
“Baik. Kita tentukan dengan sepatah perkataanmu itu. Sahabat. Harap kau suka
berpaling.”
Orang berbaju hitam itu tertawa dingin, perlahan-lahan ia putar badannya menghadap
kearah Sang Pat berdua.
Mata Siauw Ling dan Sang Pat dengan tajam mengawasi wajah orang itu, tetapi
dengan cepat hati mereka tergetar keras, pikirnya, “sungguh jelek dan menyeramkan
wajah orang ini.”
Kiranya diatas pipi orang itu masing-masing tumbuh sebuah bisul beracun sebesar
kepalan tangan, dari bisul yang sebelah kiri darah segar mengucur terus tiada hentinya,
sedangkan dari bisul yang sebelah kanan menetes keluar nanah yang kental dan busuk
sekali baunya.
“Loo heng” Sang Pat segera menjura. “Sudah lamakah kau tinggal disini?”
Napsu membunuh berkobar dari sepasang mata orang berbaju hitam itu, sambil
menuding kearah Siauw Ling katanya, “Mungkin lebih lama dari usia bocah ini!”
“Ingin sekali kami mencari tahu satu persoalan dari loo heng.”
“Aku lihat lebih baik kau tak usah mencari tahu persoalan lain lagi.”
“Persoalan ini mempunyai sangkut paut yang amat besar dengan kami sekalian. Bila
kau suka memberi tahu, kami sangat berterima kasih sekali.”
“Apakah kalian telah melupakan sumpah dari loohu? kalian sebentar lagi akan mati.
Sekalipun persoalan yang akan datang bisa diketahui tapi apa gunanya?”
“Aku harus memaklumi keadaannya, tentu saja ia jadi malu bertemu dnegan orang
karena dipipinya tumbuh dua bisul yang bau dan jelek. Biarlah aku mengalah saja”
pikirnya.
Berpikir demikian dengan tenang katanya, “Antara Loocianpwee dengan kami berdua
belum pernah terikat permusuhan tidak bersungguh-sungguh ingin membinasakan kami
berdua.”
“Selama berdiam disini loohu telah membunuh delapan belas orang, bersama kalian
dua orang jumlahnya tepat dua puluh orang. Orang-orang yang telah kubunuhpun sama
halnya dengan kalian tidak pernah terikat permusuhan apapun dengan cayhe.”

“Sungguh keji dan kejam hati orang ini. Tidak sepantasnya kubiarkan manusia seperti
ini tetap hidup didunia untuk mencelakai sesama manusia” pikir Siauw Ling lagi.
Sementara itu Sang Pat tertawa terbahak-bahak.
“Kami telah memasuki daerah terlarang milik loo heng sudah sepantasnya kalau kami
dibunuh mati, tapi sebelum kami menemui ajal dapatkah loo heng menjawab terlebih
dahulu satu persoalan? sehingga seandainya mati ditangan loo heng pun tidak sampai jadi
menyesal!”
“Baik, tanyalah.”
“Tahukah loo heng kemarin malam ada orang yang telah melewati daerah terlarang
milik loo heng?”
“Kalau ada orang berani melewati tempat ini, dia pasti sudah mati binasa….”
“Sekalipun orang itu sudah mati, mayatnya tentu masih ada bukan?”
Namun orang berbaju hitam itu segera menggeleng.
“Sejak lima tahun berselang, kalian berdua baru saja merupakan orang pertama yang
mendatangi tempat ini.”
Sang Pat jadi tertegun.
“Bicara terus terang kami bisa sampai ditempat ini karena sedang mengejar beberapa
orang penjahat, sepanjang perjalananpun ada anjing ini sebagai pencari jalan, seandainya
tiada orang yang pernah melewati tempat ini, tidak nanti anjing kami membawa kami
sampai disini. Kita berdua adalah sama-sama orang Bulim. Harap loo heng suka memberi
petunjuk buat kami.”
“Jangan ajak loohu bersilat lidah” teriak orang itu marah. “selama hidup loohu belum
pernah bersahabat dengan orang lain.”
Siauw Lingpun dibikin naik pitam oleh sikap orang itu, bentaknya pula, “Kami sekalian
tiba disini atas petunjuk anjing kami, cayhe rasa kami tidak salah mencari. Sekarang anda
berusaha membohongi jelas kamupun komplotan dari mereka!”
“Bagus…. bagus sekali!” saking gusarnya seluruh tubuh orang berbaju hitam itu
bergetar keras. “Sungguh besar nyalimu bocah, berani benar bicara kurang ajar dengan
loohu!”
Tiba-tiba ia membentak keras, tangannya diayun mengirim sebuah serangan dahsyat.
Siauw Ling tidak gentar, ia ayun pula telapak kirinya menyambut datang serangan itu
dengan keras lawan keras.
Bentrokan sepasang telapak menimbulkan suara ledakan dahsyat, kedua belah pihak
sama-sama mundur selangkah kebelakang.

“Sungguh dahsyat kekuatan kakek ini, aku tak boleh pandang enteng dirinya….” pikir
Siauw Ling.
Sementara kakek itupun memandang wajah Siauw Ling dengan mata melotot, setelah
tertegun beberapa saat serunya, “Bocah cilik, hebat juga kepandaian silatmu! semenjak
loohu berdiam disini selama puluhan tahun dan membinasakan delapan belas orang yang
berani mendekati kolam ini. Belum pernah ada orang yang sanggup menahan dua buah
pukulan loohu.”
“Ooouw ya? maaf kalau aku telah mengejutkan dirimu.”
“Loo heng!” Sang Pat pun berkata sambil tertawa. “Telapakmu berwana merah darah,
rupanya ilmu yang kau yakini adalah ilmu Ang Sah Ciang!”
“Tidak salah, selama puluhan tahun belum pernah ada orang yang berhasil lolos dalam
keadaan selamat dari ancaman ilmu Ang San Ciangku!” seraya berkata orang berbaju
hitam itu kembali ayun telapak kanannya siap melancarkan serangan.
“Tahan!” buru-buru Sang Pat berseru.
“Perkataan apa lagi yang hendak kau ucapkan?”
“Dalam membinasakan kedelapan belas korbanmu, Loo heng selalu mengirim pukulan
hanya satu jurus belaka, sebaliknya pukulanmu yang pertama pada saat ini bukan saja
tidak berhasil mendapatkan korban bahkan sama sekali tak dapat melukai toako kami.
Apabila pertarungan ini dilanjutkan terus, siapa menang siapa kalah masih sukar untuk
diduga, seandainya kami sekalian terbunuh yah sudahlah…. tapi jikalau Loo henglah yang
terluka ditangan kami, bukankah hal ini akan merugikan dirimu?”
“Loohu percaya tidak nanti sampai terluka ditangan kalian!” sahut kakek jelek itu dingin
tanpa banyak bicara lagi telapak kanannya langsung diayun menghantam dada Siauw
Ling.
Menyaksikan tingkah laku orang berbaju hitam itu, dalam hati Siauw Ling segera
berpikir, “Rupanya sebelum aku berhasil tundukkan orang ini, tidak nanti ia mau bicara
terus terang….”
Laksana kilat tangan kanannya segera menotok keluar mengancam urat nadi orang tua
itu sementara tangan kirinya mengirim satu pukulan dahsyat.
Meski wajah orang berbaju hitam itu amat jelek dan memuakan, ilmu silatnya tidak
lemah, sepasang telapak mengirim serangan berbareng, bukan saja gencar dan cepat
bahkan hebatnya luar biasa.
Siauw Ling tak mau tunjukan kelemahannya iapun saling merebut menyerang dengan
andalan ilmu pukulan kilat berantal.
Dalam sekejap mata dua puluh jurus telah lewat, Siauw Lingpun berhasil merebut posisi
diatas angin.

Rupanya orang berbaju hitam itu sama sekali tidak mengira kalau ilmu telapak yang
dimiliki pemuda ini begitu dahsyat dan ampuh, hatinya terperanjat sekali. Setelah
bergebrak beberapa jurus lagi ia mulai tak sanggup menerima datangnya serangan lawan,
gerak geriknya mulai bingung dan kacau rupanya sebentar lagi ia bakal roboh.
Siauw Ling sendiripun tidak ingin bertempur lebih lama, diam-diam ia siapkan ilmu
totok Siauw loo sim cienya yang sakti. Ditengah pertempuran mendadak ia menyentil
keluar.
Dalam pada saat itu sikakek tua berbaju hitam tadi sudah mulai kehabisan tenaga dan
terdesak hebat. Berada dalam keadaan seperti ini tidak mungkin lagi baginya untuk
menjaga serangan lawan. Sentilan Siauw Ling dengan cepat menghantam jalan darah
Chiang Bun Hiat diatas iganya.
Kehebatan ilmu jari Siauw Ling luar biasa hebatnya, kakek tua itu merasakan iganya
jadi kaku, tanpa dapat diketahui lagi kakinya jadi lemas dan jatuh terjengkang diatas
tanah.
“Selama ini kau telah membinasakan delapan belasan orang, rupanya saat pembalasan
bagi perbuatanmu telah tiba pada hari ini!” seru Sang Pat. ia cekal baju orang dan
diangkat keatas. “Kalau kau ingin membunuh dua orang lagi sehingga jumlah korbanmu
genap jadi dua puluh orang, sekarang hanya bisa terpenuhi dengan satu cara saja!”
“Apa caramu itu?”
“Jawablah setiap pertanyaan yang cayhe ajukan secara jujur dan tepat, kalau kau
berani bicara bohong barang sepatah kata, jika sampai ketahuan oleh cayhe…. awas akan
kusiksa badanmu.”
Rupanya sekalipun watak kakek itu dingin dan sombong, namun ia sangat takut
menghadapi kematian. Buru-buru sahutnya, “Cepatlah ajukan pertanyaanmu, asal loohu
tahu pasti akan kujawab sejujurnya.”
“Dari kemarin hingga pagi ini, apakah ada orang yang lewat ditempat ini?”
Kakek berbaju hitam ini menggeleng.
“Barang siapapun yang melewati tempat ini pasti akan diketahui loohu….”
“Siapa saja orang terakhir yang melewati tempat ini? dan kearah mana mereka pergi?”
“Sejak tiga tahun berselang belum pernah ada orang yang melewati tempat ini….” sinar
matanya menyapu sekejap kearah Siauw Ling serta Sang Pat. “Kalian berdua adalah orang
terakhir yang mengunjungi tempat ini.”
“Hmm! rupanya sebelum kau merasakan sedikit penderitaan kau tidak mau bicara
terang” jengek Sang Pat. Jari telunjuknya segera menotok keatas bisul besar pada pipi
sebelah kirinya.

Kakek berbaju hitam itu mendengus berat, keringat dingin mengucur keluar membasahi
diseluruh tubuhnya, jelas bisul yang terlemah darinya, sehingga cuma sentilan
perlahanpun sudah cukup membuat dia menderita.
“Kau mau bicara tidak?”
“Aku betul-betul tidak pernah berjumpa dengan orang yang berusaha lewat disini….”
teriak kakek itu berulang kali sambil menahan rasa sakit.
Kontan Siauw Ling mengerutkan alisnya.
“Kami punya anjing yang membawa jalan, seandainya orang itu tidak lewati tempat ini
tidak nanti ia membawa kami sampai disini.”
“Kalau soal bau, hal ini dikarenakan didaerah sekitar sini terdapat seekor binatang aneh
yang bisa menyiarkan bau harum semerbak, anjingmu itu datang kemari karena tertarik
oleh bau tadi.”
“Binatang aneh apa yang bisa menyiarkan bau harum yang begitu wangi?”
“Loohu sendiripun tak tahu namanya, tapi tempat yang dilalui olehnya pasti menyiarkan
suatu bau harum yang aneh, setiap kali ia keluar dari sarangnya, bau harum itu pasti
memancing kehadiran harimau, macan tutul dan lain-lainnya. Hanya saja binatang ini
jarang sekali meninggalkan goanya.”
“Kini binatang aneh itu berada dimana?”
Orang berbaju hitam kemak kemik namun tak sepatah katapun diutarakan keluar.
“Bagus…. bagus sekali. Rupanya kau ingin main setan dengan aku?” teriak Sang Pat.
Tangan kanannya diayun, kembali ia totok bisul besar diatas pipinya.
“Jangan…. jangan…. akan loohu terangkan akan loohu terangkan!”
Menyaksikan tingkah laku kakek itu, dalam hati Sang Pat merasa amat geli, pikirnya,
“Waktu berjumpa pertama kali tadi, aku masih menyangka dia lihay sekali, tak tahunya
orang inipun takut akan kematian.”
Sebaliknya Siauw Ling yang menyaksikan dua bisul besar diatas pipinya, dimana yang
satu mengeluarkan darah sedang yang lain mengeluarkan nanah, timbul rasa kasihan dari
dalam hatinya.
“Lepaskan dia, biarlah dia berbicara perlahan-lahan!” ujarnya cepat.
Sang Pat menurut dan melepaskan cengkeramannya.
“Kalau kau berani main gila dan bicara bohong lagi, akan kukorek kedua bisul besar
diatas wajah itu!”
Orang itu menghela napas panjang.

“Binatang itu berdiam dalam sebuah goa hitam kurang lebih sepuluh li dari sini….”
“Mengenai asal usul gua hitam ini loohu rada kurang begitu jelas, tetapi diatas batu
peringatan didepan goa tadi memang tertulis Goa Hitam, dua patah kata itu. Oleh sebab
itulah loohu sebut saja goa itu sebagai Goa Hitam.”
“Baiklah! lanjutkan ceritamu!”
“Dibawah batu peringatan tersebut terdapat sebuah goa, dalam hutan rimba yang
memangnya jarang kena sinar membuat itu makin gelap gulita hingga sulit menemukan
dasarnya, baru masuk beberapa depa saja suasana sudah amat gelap hingga sukar
melihat jari tangan sendiri.”
“Kau pernah pergi kesitu?”
Kakek tua itu mengangguk.
“Seandainya loohu tidak pernah pergi kesitu tidak nanti tumbuh dua buah bisul besar
diatas pipiku.”
“Aaah! sebenarnya apa yang telah terjadi?”
“Kejadian ini sudah berlangsung puluhan tahun berselang, ketika loohu mengejar
binatang aneh itu dan masuk kedalam gua hitam. Baru saja masuk beberapa tombak jalan
darahku telah ditotok orang….”
“Jadi kalau begitu dalam goa hitam itu berdiam seseorang?” tanya Siauw Ling cepat.
“Masihkah orang itu berdiam didalam gua hitam, loohu tidak berani memastikan. Tetapi
setelah jalan darahku tertotok rasanya aku dengar ada dua orang sedang berbicara, jelas
mereka adalah satu pria satu wanita….”
“Jadi kalau begitu bisul yang ada diatas wajahmu baru ada sejak waktu itu?”
“Tidak salah, bisul beracun yang tertinggal diatas pipi loohu adalah hasil karya dari
kedua orang laki perempuan itu, entah mereka sudah mengusapkan bubuk racun apa
keatas wajahku beberapa hari kemudian muncullah dua bisul-bisul beracun ini. Kalau
mengikuti maksud sang pria, dia ingin membinasakan diriku tetapi yang perempuan
ngotot hendak menahan nyawaku, maka akupun lantas disuruh menjaga kolam air ini….”
“Bagaimanakah raut muka lelaki dan wanita itu?”
“Selama ini loohu belum pernah menyaksikan sendiri raut muka serta potongan badan
mereka.”
“Kenapa kau tidak melarikan diri?”
“Diatas pipiku tumbuh dua buah bisul racun yang setiap hari mengucurkan darah
kental, darimana aku berani berjumpa dengan orang lain? lagipula setiap tiga bulan sekali

aku harus menelan obat penawar, apabila obat itu tidak ditelan maka bisul racun ini akan
semakin membesar, sakitnya sampai menusuk sumsum, meski terhitung aku tidak malu
bertemu dengan orang dan lari dari sini, seandainya bisul ini kambuh dan tiada obat yang
bisa menyembuhkan, bukankah jiwaku bakal melayang?”
“Ooouw…. kiranya begitu!”
“Itu berarti setiap tiga bulan sekali dari sana ada ornag yang datang mengantarkan
obat penawar bagimu?” Sang Pat bertanya.
“Tidak salah, cuma yang mengantarkan obat itu bukan manusia.”
“Kalau bukan manusia yang mengantarkan obat itu apa setan?”
“Obat itu dikirim oleh seekor monyet putih.”
Siauw Ling melirik sekejap kearah Sang Pat. Tiba-tiba ia kebaskan jalan darah orang
tua itu, ujarnya, “Kau berbuat demikian karena dipaksa orang. Karena keadaanmu
memang patut dikasihani, tapi selama kau berada disini delapan belas nyawa sudah
hilang, perbuatanmu sedikit banyak keterlaluan sekali.”
“Loohu berbuat demikian karena dipaksa oleh keadaan. Pemilik goa hitam itu
memerintahkan cayhe untuk membunuh setiap manusia yang berani memasuki daerah
sekitar tombak dari kolam ini. Apabila loohu tidak menuruti perintahnya, ia tidak
memberikan obat penawar itu kepadaku.”
“Tahukah kau jalan menuju kegoa hitam?”
“Aku tahu, tapi aku tak berani pergi kesitu lagi.”
“Bawalah kami kesana, keselamatanmu pasti kami lindungi.”
Biji mata orang tua berbaju hitam itu berputar memperhatikan sekejap kedua orang itu
kemudian katanya, “Keahlian silat orang itu amat lihay, mungkin kalian masih bukan
tandingan dari pemilik goa hitam!”
Sang Pat tertawa dingin.
“Memang harus pergi, kalahpun harus pergi. Kalau kau tidak ingin minum arak
kehormatan, baiklah akan kami berikan arak hukuman kepadamu.”
“Seandainya kalian bertemu dengan lelaki perempuan itu dan kehilangan nyawa, loohu
yang ikut kesitu bukankah akan mati konyol juga?”
“Kau hidup sebagai budak, lebih baik mati saja. Kau lebih bebas dan tidak terikat oleh
siapa-siapa?”
“Aaah betul juga ucapanmu” seru orang itu rada melengak. “Selama belasan tahun ini,
kenapa loohu tak pernah berpikir sampai kesitu?”

“Sekarang kau sudah dapat berpikir sampai kesitu bukan?”
“Berkat teguran anda, kini aku telah mendusin dari impian.”
“Jadi kamu suka membawa kami pergi kesitu kan?”
“Baiklah, paling-paling kalau kamu berdua kalah, aku ikut korbankan selembar jiwaku.”
Mendadak Sang Pat maju dan menjura kepada orang berbaju hitam itu.
“Loo heng, siapakah namamu? dapatkah diutarakan?”
“Siauwte Ong Hong….”
“Aaaa…. haaa…. kiranya simacan tutul berkepala sembilan Ong Hong.”
“Sedikitpun tidak salah dan saudara adalah?”
“Sie poa emas Sang Pat.”
“Ouw kiranya sepasang pedagang dari Tiong chiu….”
“Tidak salah cayhe adalah Loo toa dari Tiong chiu Siang Ku. Ong heng!! kau jarang
bergaul dengan orang Bulim. Selamanya berkelana seorang diri. Sungguh tak nyana
kaupun kenal dengan nama kami berdua.”
“Aaai…. selama hidup cayhe paling tidak suka bersahabat, ditambah pula berdiam
selama puluhan tahun dalam hutan lebat ini, tentu saja tabiatku makin lama berubah jadi
makin aneh. Bila aku sudah berbuat salah pada kalian tadi, harap kamu berdua suka
memaafkan….”
“Laaa…. laaa…. coba lihat. Bukankah sikapmu halus dan ramah sekali? kenapa tak bisa
bersahabat dengan orang lain?”
“Aaaai…. selama hidup cayhe belum pernah punya sahabat, biasanya aku berkeliaran
seorang diri didalam Bulim. Itu masih tidak seberapa. Sejak pemilik goa hitam mempolesi
pipi loohu dengan racun sehingga mengakibatkan tumbuhnya dua bisul yang
mengucurkan darah serta nanah kental. Ditambah pula harus berdiam dalam hutan lebat
yang tiada berpenghuni selama puluhan tahun, setiap kali teringat kejadian lampau, loohu
merasa tiada satu persoalaanpun yang patut dikenang, bahkan seorang manusiapun tak
ada yang bisa kukenang….”
“Haaa…. haaa…. oleh sebab itu Ong heng ingin bersahabat dengan kami?”
“Siauwte merasa rendah diri. Bila saudara tidak menampik….”
“Ong heng tak usah bicara sungkan, siauwya senang sekali mengikat tali persahabatan
dengan Ong heng.”
“Sungguh?”

“Setiap perkataan yang kuucapkan keluar dari hati sanubariku.”
Sementara Ong Hong hendak menjawab, tiba-tiba terdengar serentetan suara yang
sangat aneh berkumandang datang.
“Suara apa itu?” tanya Siauw Ling.
Tampaknya anjing raksasa yang berada didepan Sang Pat menggonggong keras
kemudian lari kemuka.
“Sang heng!” buru-buru Ong Hong berseru. “Cepat halangi perjalanan anjingmu,
binatang aneh tersebut segera akan menampakkan diri.”
Sepasang tangan Sang Pat dengan cepat ditempelkan keatas mulut dan
memperdengarkan suitan panjang yang rendah dan berat.
Sungguh aneh sekali anjing yang sedang lari kemuka itu tiba-tiba berhenti, putar badan
dan balik kesisi majikannya.
“Entah suara gonggongan anjing barusan telah mengejutkan binatang aneh itu atau
tidak?” bisik Siauw Ling.
“Setiap tiga hari sekali binatang aneh itu tentu akan datang kekolam ini untuk mandi,
ini hari adalah saatnya pergi mandi. Ayo kita cepat sembunyikan diri.”
Sang Pat segera bopong anjingnya dan bersembunyi dibelakang sebuah pohon besar.
Siauw Ling serta Ong Hong pun cepat menyembunyikan diri.
Baru saja beberapa orang itu menyembunyikan diri, terciumlah serentetan bau harum
yang sangat aneh berhembus datang.
“Binatang aneh itu segera akan menampakkan diri” bisik Ong Hong yang berada disisi
Siauw Ling.
Si anak muda itu alihkan sinar matanya tampak dari balik hutan lebat disebelah barat
lambat-;ambat muncul seekor binatang aneh berbulu putih yang mirip kidang namun
bukan, mirip pula seperti kambing namun bukan kambing.
Tampak binatang itu perlahan-lahan berjalan kesisi kolam, ia pandang sekejap air
didalam kolam kemudian terjun kebawah.
“Apa gunanya binatang aneh ini?” bisik Siauw Ling.
“Menurut apa yang cayhe ketahui, pemilik Goa Hitam itu sangat menyayangi binatang
ini sedang mengenai apa gunanya siauwte kurang begitu jelas….”

Suatu ingatan berkelabat dalam benak Siauw Ling, “Seandainya kita berhasil
menangkap binatang aneh ini. Pemilik Goa Hitam pasti akan datang mencari kita.
Bukankah dengan begitu kita tak usah pergi ke Goa Hitamnya?”
“Tentang soal ini siauwte tak berani mengambil keputusan, rasa sayang pemilik Goa
Hitam terhadap binatang aneh inipun berkat pengamatan siauwte selama puluhan tahun
ini. Namun selama puluhan tahun pemilik Goa Hitam tak pernah tinggalkan goanya barang
selangkahpun jua, sekalipun kita berhasil menangkap binatang aneh itu, berhasilkah
memancing dia keluar dari goanya masih merupakan sebuah tanda tanya besar.”
Sementara mereka berbicara, mendadak terdengar suara auman yang amat keras
berkumandang datang dari balik hutan.
“Suara apa itu?” tanya Siauw Ling dengan sepasang alis berkerut.
“Oouw…. itu suara seekor singa jantan! setiap kali binatang aneh itu pergi mandi,
binatang buas serta binatang-binatang lain seringkali terpancing datang kemari. Walau
selama banyak tahun siauwte merasa kesepian namun banyak pengalaman serta
pengetahuan yang telah kudapat, banyak burung serta binatang aneh yang telah aku
jumpai.”
Pada saat itu kembali terdengar pekikan aneh berkumandang datang dari tengah
udara.
Siauw Ling yang bersembunyi dibalik hutan segera mendongak, tampaklah seekor
burung raksasa yang berbulu warna warni terbang rendah diatas kolam dan hinggap
diatas sebuah pohon.
“Burung merak tersebut adalah seekor burung jantan” ujar Ong Hong. “Semula mereka
berpasangan, tapi entah kenapa sudah banyak waktu burung merak betina itu tidak
nampak, mungkin saja ia sedang bertelur, sudah hampir setengah bulan ia tidak datang
kemari.”
Ucapan ini mengherankan hati Siauw Ling, pikirnya, “Mungkinkah bau harum yang
disiarkan binatang aneh itu bisa begini lihay? bukan saja burung-burung aneh bahkan
binatang buaspun pada berkumpul disini.”
Terdengar suara auman keras kembali berkumandang datang, seekor singa yang amat
besar perlahan-lahan berjalan kearah kolam dan merebahkan diri diatas rerumputan.
Diam-diam Siauw Ling mengempos tenaga tangan kirinya merogoh kedalam saku ambil
sebiji mata uang, asalkan singa tadi menunjukkan gerak gerik yang tidak menguntungkan,
ia akan segera menghajarnya.
“Harap Siauw heng suka legakan hati” bisik Ong Hong. “Keanehan binatang tersebut
justru terletak pada sikap binatang lain yang begitu halus serta lunak terhadap dirinya,
siapapun tak akan melukai dirinya.”
“Ouw begitu!!”

Sementara mereka masih bercakap-cakap, mendadak binatang aneh berbulu putih itu
loncat keluar dari dalam kolam dan lari kearah barat.
“Aduuh celaka!” teriak Ong Hong. “Meski binatang aneh itu tidak takut pada binatang
buas atau burung ganas, tapi sangat jeri terhadap manusia bahkan telinga serta matanya
amat tajam, mungkin dia telah mendengar pembicaraan kita!”
“Kalau begitu ayo cepat kita kejar!” seru Siauw Ling sambil loncat keluar dari
persembunyiannya.
Pada saat itu Sang Patpun loncat keluar dari balik pohon, anjing yang berdiri disisinya
segera meloncat kemuka diiringi gonggongan keras binatang itu menubruk kearah singa
yang sedang berbaring disisi kolam. Dengan gusar singa itu mengaum keras iapun
melompat bangun menyongsong kedatangan anjing tadi.
Pada waktu itu Siauw Ling telah tiba ditepi seberang, menyaksikan singa itu melotot
dengan amat gusar. Ia takut anjing milik Sang Pat bukan tandingannya, tangan kanannya
segera diayun menyambitkan mata uang yang digenggamnya tadi kearah singa.
Serangannya kuat dan tepat, mata uang tadi dengan telak menghajar mata kiri singa
itu. Sang singa mengaum kesakitan diiringi dengusan yang berat binatang itu putar badan
dan melarikan diri.
Terdengar suara burung terbang keangkasa, berpuluh-puluh ekor burung aneh yang
lagi bertengger diatas pohon sama-sama melarikan diri mencari keselamatan.
Begitulah dipimpin oleh Siauw Ling yang segera disusul oleh Sang Pat serta Ong Hong,
mereka sama-sama mengejar binatang aneh tersebut, walaupun hutan rimba yang lebat
amat mempengaruhi kecepatan gerak mereka.
Untung sekali daya cium anjing yang mereka bawa amat tajam, dengan petunjuk sisa
bau harum yang tertinggal mereka terus kemuka.
Beberapa li kembali sudah lewat, tiba-tiba pemandangan dihadapan mereka berubah,
ditengah hutam rimba yang lebat muncul sebuah tanah lapang yang luas dan cerah
tersorot cahaya sang surya.
Sang Pat memperhatikan sekejap tanah lapang itu, luasnya kurang lebih ada sepuluh
tombak. Rumput nan hijau dan lembut laksana permadani yang menutupi permukaan
bumi, suasana disitu jauh berbeda dengan keadaan didalam hutan rimba tadi.
“Tempat apakah ini?” tanya Siauw Ling sambil berpaling kearah Ong Hong.
“Soal ini…. soal ini…. cayhe sendiripun kurang begitu jelas….!”
“Tempat ini bukan Goa Hitam?”

“Bukan! Goa Hitam letaknya berada dibawah sebuah pohon siong yang besar. Meskipun
didepannya terdapat sebidang tanah namun tempat itu tertutup oleh dedaunan yang
lebat, tiada cahaya matahari yang bisa menyoroti sisinya….”
“Kalau begitu kita lepaskan lagi anjing kita, biar dia yang menunjukkan tempat
persembunyian binatang aneh itu.”
“Jangan keburu napsu!” cegah Siauw Ling. Ia berjongkok dan cabut segenggam
rumput, setelah diperhatikannya beberapa saat ia berkata, “Ong heng kau telah berdiam
puluhan tahun didalam hutan rimba ini, pernahkah kau jumpai rerumputan yang begitu
lunak dan halus?”
“Belum pernah kutemui!”
Sang Pat pun berjongkok dan mencabut segenggam rumput, ia rasakan rumput itu
lunak bagaikan kapas, segera serunya pula, “Aaah betul juga. Rumput ini halus dan
empuk!”
“Persoalan terletak disini, ditengah hutan rimba yang lebat dan seram darimana bisa
muncul rumput halus yang begitu lunak? jelas ada orang sengaja memeliharanya disini.”
“Pendapat toako sedikitpun tidak salah, tempat ini memang rada sedikit kukoay!”
“Kecuali tanah berumput seluas puluhan tombak ini, tempat lain penuh ditumbuhi hutan
belukar yang saling bersambungan. Oleh sebab itu aku rasa tempat yang paling
mencurigakan adalah daerah sekitar sepuluh tombak ini….”
“Tidak salah, hanya dari daerah sekitar sepuluh tombak ini saja kita dapat membongkar
rahasia ini.”
Siauw Ling putar badannya siap menggali tanah diujung tanah lapang berumput itu,
belum sampai ia bertindak mendadak terdengar suara peringatan yang bernada berat
berkumandang datang.
“Dibawah tanah berumput ini terpelihara makhluk yang paling berbisa dikolong langit
dewasa ini, sekalipun kalian memiliki ilmu silat yang sangat lihay, jangan harap bisa
menghadapi beribu-ribu bahkan berjuta-juta ekor binatang beracun ini!”
Peringatan tersebut muncul secara mendadak membuat Siauw Ling serta Sang Pat
sama-sama tertegun dibuatnya.
Tatkala mereka mendongak, tampaklah sebuah kursi beroda perlahan muncul dari balik
hutan!
Kursi beroda itu aneh sekali bentuknya disekeliling karena terpancang bambu-bambu
diempat penjuru, sedang disekeliling bambu terpancang kain kelambu berwarna hijau.
Seorang lelaki berusia pertengahan dengan wajah yang pucat pias bagaikan mayat dan
memakai baju warna biru duduk dalam kursi roda tadi.

“Orang ini sungguh aneh” bisik Siauw Ling kepada Sang Pat dengan nada tercengang.
“Kenapa ia pasang kelambu disekeliling kursi rodanya?”
“Rupanya dalam hutan rimba yang sangat lebat ini banyak terdapat urusan aneh dan
manusia aneh, kita harus bertindak lebih hati-hati.”
Tampak orang itu mendorong roda kursinya dengan melewati sisi tanah rumput itu
mendekati kearah Siauw Ling sekalian dan berhenti kurang lebih satu tombak dihadapan
mereka.
“Orang ini tidak berjalan diatas rumput melainkan memutar disampingnya, aku lihat
dibalik sosoknya itu terdapat sedikit persoalan” bisik Sang Pat.
“Ehmm, tidak salah!” Siauw Ling mengangguk. Sinar matanya dialihkan keatas tubuh
orang setengah baya diatas kursi roda itu, tapak lututnya ditutupi dengan sebuah selimut
warna merah, disisi badannya terletak sebuah jaring, dandanan semacam ini kelihatan
menyolok dan aneh sekali.
“Sahabat, apakah kau berdiam disini?” tegur Sang Pat memberi hormat.
Mula-mula orang itu geleng kepala namun kemudian mengangguk sambil menghela
napas panjang jawabnya, “Boleh dibilang begitulah!”
“Sebetulnya apa yang terjadi? sahabat! dapatkah kau bicara lebih jelas lagi?”
“Tempat ini bukan tempat tinggalku tapi aku sudah berdiam selama lima tahun disini,
menurut pandanganmu tempat ini boleh dikatakan sebagai tempat kediamanku atau
bukan?”
“Haaa…. haaa…. betul ucapanmu memang cengli.”
Menyaksikan sikap orang itu ramah dan berbeda dengan watak kukoay dari Ong Hong
tadi, Siauw Ling maju kedepan dan menjura.
“Sahabat, tolong tanya siapa namamu?”
“Cayhe she Thio bernama Kie An.”
“Oh, kiranya Thio heng. Cayhe Siauw Ling.”
“Aaaai….! cuwi sekalian adalah manusia pertama yang kujumpai selama lima tahun
belakangan, pada hari-hari biasa cayhe cuma dapat menyaksikan binatang buas, burungburung
serta cengkerik!”
“Ditinjau dari nada ucapan Thio heng rupanya kau tinggal disini bukan karena kehendak
sendiri.”
“Sepasang kakiku dibelenggu orang diatas kursi roda. Setengah langkahpun tak bisa
berpisah dari kursi ini, darimana aku bisa tinggalkan hutan rimba yang lebat dan susah
dilalui semacam ini?” ujar Thio Kie An sambil membuka selimut merah diatas lututnya.

Ketika Siauw Ling berpaling tampaklah sepasang kaki orang itu dibelenggu orang
dengan otot kerbau, mungkin dikarenakan kaki itu sudah lama dibelenggu maka bukan
saja kakinya jadi pucat pias bahkan otot kerbau itu sendiripun sudah berubah jadi hitam
pekat.
Dalam hati lantas ia berpikir, “Otot kerbau macam itu sih memang kuat, namun bagi
orang yang pandai bermain silat cukup didalam tiga sampai lima hari sudah dapat
memutuskan semua otot-otot tersebut….”
Berpikir begitu maka ia berkata, “Waktu sudah lewat sangat lama, mengapa Thio heng
tidak berusaha memutuskan otot-otot kerbau yang membelenggu dirimu itu?”
Thio Kie An memperhatikan sejenak wajah Siauw Ling lalu tertawa terbahak-bahak.
“Rupanya Siauw heng sekalian adalah jago-jago lihay dari dunia persilatan?”
“Kami cuma bisa sedikit ilmu silat cakar ayam!” jawab Sang Pat cepat.
“Dalam pandangan cuwi sekalian, otot kerbau yang membelenggu kaki cayhe ini
mungkin dianggap tidak seberapa, tapi bagi seorang manusia lemah yang tidak punya
tenaga untuk menjagal seekor ayam macam diriku, memutuskan otot kerbau semacam itu
bukanlah suatu pekerjaan yang sangat gampang.”
“Aaai…. kalau memang Thio heng bukan orang Bulim, apa sebabnya kau dicelakai
orang sampai macam begini? keadaanmu saat ini bukanlah hasil balas dendam seperti apa
yang terjadi pada umumnya.”
“Hal ini harus disalahkan karena cayhe punya rasa ingin tahu yang amat tebal, sejak
kecil aku suka sekali membaca buku-buku yang berisikan segala macam pengetahuan
serta ilmu yang aneh, lama kelamaan kebiasaanku ini jadi terbiasa sehingga dimanapun
aku mencari kitab-kitab kuno. Setiap hari kerjaku cuma membaca buku melulu” ia angkat
kepala dan menghela napas panjang, sambungnya: “Kurang lebih sepuluh tahun
berselang, aku berhasil membeli sebuah kitab kuno yang berasal dari melaikat lukisan si
Thian Too. Diatas kitab tersebut terdapat tulisan tangannya dan entah secara bagaimana
akhirnya berhasil kubeli. Sejak membaca kitab itu boleh dibilang aku jadi lupa makan lupa
tidur, setiap hari semua perhatian kucurahkan untuk mempelajari isi kitab tadi.”
“Kitab apakah yang berhasil Thio heng dapatkan? kepandaian apa saja yang termuat
dalam kitab itu sehingga memancing perhatian Thio heng untuk membaca siang malam?”
sela Sang Pat.
“Kitab itu adalah sejilid kitab kuno, entah siapa pengarangnya cayhe sendiripun kurang
tahu. Isi kitab itu antara lain adalah ilmu pertabiban, resep, ilmu membuat racun,
memusnahkan racun serta memelihara pelbagai makhluk berbisa.”
“Oooh kalau begitu kitab tersebut adalah sejilid kitab ilmu pertabiban….!”

“Tak dapat dikatakan sebagai kitab ilmu pertabiban sebab isi dari kitab itu amat luas,
terutama sekali bagian yang memuat cara-cara membuat racun, memusnahkan racun
serta cara memelihara binatang berbisa, kepandaian aneh semacam itu merupakan
kepandaian yang belum pernah dijumpai didunia selama ini. Aaai….! Pengarang kitab
tersebut bukan saja memiliki pengetahuan yang luas serta membaca berlaksa jilid buku
bahkan ia sudah melakukan perjalanan berlaksa-laksa li mengelilingi seantero jagad,
dalam kitab itu tercatat pula cara menangkap berpuluh-puluh jenis binatang berbisa serta
dimana binatang itu terdapat.”
“Pernah kau praktekkan kepandaian tersebut?”
“Karena terlalu kesemsem oleh kepandaian itu maka timbul rasa ingin tahu didalam
hatiku, maka pada suatu hari setelah mempersiapkan diri dan membawa seorang
pembantu cayhe pergi jauh kepropinsi In Lam, dengan mengikuti cara yang termuat
dalam kitab itulah cayhe berhasil menangkap tiga belas jenis ular aneh yang amat
beracun.”
“Ah, benarkah ada kejadian seperti ini?”
“Sedikitpun tidak salah” Thio Kie An mengangguk. “Dengan mengikuti cara melarikan
binatang beracun yang termuat dalam kitab itu, bukan saja cayhe berhasil menangkap
ketiga belas macam ular berbisa itu bahkan dapat menjinakan mereka dan melaksanakan
semua perintahku!”
“Waduh…. waduh…. aku benar-benar belum pernah mendengar ada kejadian seperti
ini” puji Sang Pat tiada hentinya.
“Setelah menyaksikan kepandaian menjinakan ular mendatangkan hasil yang
memuaskan. Dalam hatiku kembali timbul rasa ingin tahu. Setahun kemudian dengan
mengikuti keterangan didalam kitab itu kembali aku masuk kehutan. Perjalananku kali ini
telah berhasil pula menangkap beberapa jenis makhluj beracun, tapi dengan adanya
kejadian ini maka kemampuanku menaklukkan makhluk berbisa jadi tersebar luas
diseluruh dusun dan karena itu pula mendatangkan banyak kesulitan bagiku sendiri.”
“Apakah ada banyak orang ingin menyaksikan binatang berbisamu?”
“Kesulitan paling besar yang kualami adalah disebabkan suatu ketidak sengajaanku
menyembuhkan bisul racun seorang tetanggaku dengan cara racun lawan racun, sungguh
tidak dinyana, karena keberhasilanku itu nama besarku jadi semakin cemerlang, satu
kabarkan sepuluh dan sepuluh kabarkan seratus, orang yang datang minta pertolongan
kian lama kian bertambah banyak. Sampai-sampai orang yang tinggal beberapa ratus
lipun berduyun-duyun datang mencari aku.”
“Menolong sesama manusia adalah suatu perbuatan mulia, mengapa Thio heng malah
merasa tidak senang hati?”
“Siauwte sendiri sama sekali tidak mengerti ilmu pertabiban, apa yang kulakukan itu
adalah menulis resep menurut catatan dalam buku. Tapi sungguh aneh, resep-resep itu
ternyata sangat manjur. Semua penyakit bagaimana parahnya segera sembuh setelah
minum obat itu. Makin cayhe tampik semakin banyak orang yang datang mohon

pertolongan, akhirnya karena keadaan terpaksa cayhe buat satu peraturan yakni barang
siapa yang tidak menderita parah atau nyawanya terancam maut cayhe tak mau
menolong mereka. Dengan adanya kejadian ini maka keadaanpun sedikit dapat dikuasai.
Namun namaku sudah terlanjur tersiar sampai dimana-mana. Lima tahun berselang pada
suatu malam yang gelap cayhe ditangkap orang dan dibelenggu diatas kursi, sejak itulah
aku dipaksa oleh mereka untuk memelihara beberapa macam binatang beracun dan
kejadian itu berlangsung hingga kini!”
“Dibawah tanah berumput ini!”
“Binatang beracun apa yang kau pelihara?”
“Semula cayhe memelihara beberapa puluh jenis binatang, tapi setelah mengalami
masa perjuangan selama banyak tahun akhirnya hingga kini cuma tinggal dua binatang
beracun saja.”
“Binatang-binatang itu tentu punya nama bukan? apa saja kedua jenis makhluk beracun
itu?”
“Yang satu bernama Lalat Darah sedang yang lain adalah Kelabang Bersayap Emas!”
“Kalau kelabang bersayap emas sih sering cayhe dengar orang membicarakannya,
sedang Lalat Darah belum pernah kudengar.”
“Kalau kedua jenis binatang itu dibandingkan maka racun Lalat Darah jauh lebih ganas
dari pada Kelabang Bersayap Emas.”
Sinar matanya perlahan-lahan menyapu wajah beberapa orang itu, lalu sambungnya,
“Binatang itu banyak terdapat dipropinsi Sin Kiang bagian selatan. Dalam Bulim memang
banyak orang suka menggunakan binatang beracun tapi jarang sekali ada orang yang
berani menangkap lalat darah.”
“Sesuai dengan namanya cayhe rasa binatang itu tentu punya bentuk badan yang
hampir sama dengan lalat biasa, bukan begitu?” tanya Siauw Ling. Thio Kie An
mengangguk.
“Kalau dibicarakan dari bentuknya memang tiada berbeda dengan lalat biasa, cuma
perawakannya jauh lebih besar bahkan punya jarum keras yang tajam dan panjang ujung
sabetan depan. Yang dimaksudkan sebagai Lalat Darah adalah lalat yang gemar mengisap
darah.”
“Kalau cuma begitu sih belum terhitung sebagai binatang berbisa” sela Sang Pat sambil
tersenyum.
“Kalau kemampuannya cuma begitu saja nanti mereka gunakan banyak pikiran dan
tenaga menyuruh aku menangkap binatang tersebut dan pelihara disini.”
“Lalu berapa banyak jumlah kelabang bersayap emas serta lalat darah yang ada
didalam tanah saat ini?”

“Kalau kelabang bersayap emas mungkin jumlah diantara ribuan ekor, sedangkan lalat
darah sukar sekali dihitung jumlahnya, mungkin diantara laksaan ekor.”
“Siapa yang suruh kau melihara barang terkutuk macam begini?”
“Kalau dibicarakan sungguh memalukan sekali hingga kini aku masih belum pernah
bertemu muka dengan majikanku itu, setiap kali ia hendak berbicara dengan diriku tentu
memilih ditengah malam yang tak berbulan, bahkan jarak mereka berdiri amat jauh
dariku. Hanya saja aku berani memastikan bahwa mereka dalah sepasang laki
perempuan.”
“Aaah, kalau begitu mereka tentu adalah pemilik Goa Hitam” sela Ong Hong dari
samping.
Jilid 16
“Thio heng” ujar Siauw Ling. “Cayhe punya beberapa patah kata yang rasanya tidak
pantas untuk diutarakan. Setelah kuucapkan nanti harap Thio heng jangan marah.”
“Siauw heng ada urusan apa silahkan tuturkan keluar.”
“Ia paksa kau untuk memelihara binatang beracun seperti ini sudah jelas orang itu
punya maksud-maksud tertentu yang keji, demi menghindarkan umat manusia dari
ancaman bahaya, cayhe ingin memusnahkan binatang-binatang terkutuk tersebut, entah
bagaimana menurut pendapat Thio heng?”
“Bagaimana kalau aku putuskan dahulu otot-otot kerbau yang membelenggu kaki Thio
heng?” ujar Sang Pat sambil keluarkan sebilah pisau belati dari dalam sakunya.
“Tak usah, setelah dibelenggu selama banyak tahun kakiku telah mengering dan darah
didalam kakiku mungkin sudah mengering pula sekalipun otot-otot kerbau itu kalian
potong, belum tentu aku bisa jalan sendiri.”
“Tidak mengapa, seandainya Thio heng tidak dapat jalan akan cayhe gendong dirimu.”
Thio Kie An angkat kepala dan menghembuskan napas panjang.
“Maksud baik saudara sekalian akan cayhe terima didalam hati….”
Belum habis ia berbicara, mendadak terdengar teguran yang sangat dingin
berkumandang, “Thio Kie, kau lagi berbicara dengan siapa?” air muka Thio Kie An berubah
hebat buru-buru ia ulapkan tangannya seraya berseru, “Harap cuwi sekalian
menyembunyikan diri, ada orang datang.”
“Haaa…. haaa…. haaa…. kamu semua masih ingin menyembunyikan diri?”

Siauw Ling dengan cepat berpaling kearah mana berasalnya suara tadi, tampak seorang
manusia berbaju hitam dengan wajah dibungkus oleh kain hitam perlahan-lahan muncul
dari balik hutan.
Rupanya orang itu tidak menyangka kalau disitu telah hadir begitu banyak orang
setelah bertemu dengan Siauw Ling sekalian ia nampak radaan tertegun.
“Jangan biarkan dia, lebih baik kita tangkap dia dalam keadaan hidup-hidup” bisik
Siauw Ling. Sang Pat mengiakan, ia maju kedepan menjura dan menegur, “Hai apa kabar?
sudah lama kita tak pernah saling berjumpa, apakah looko selama ini berada dalam
keadaan baik-baik saja?”
“Siapa kau? cayhe tidak pernah merasa kenal dengan dirimu, kenapa kau sebut saudara
dengan diriku?”
“Empat saudara kuanggap semua sebagai saudara seandainya cayhe sebut kau sebagai
looko rasanya tidak salah bukan.”
“Hmm, kalau memang tidak saling mengenal, buat apa kau panggil aku dengan
sebutan begitu mesra.”
Sementara itu Sang Pat telah berada beberapa tombak dihadapannya, tiba-tiba
bentaknya, “Kau beri arak kehormatan tak mau diminum, lebih baik arak hukuman saja
kupanggil kau dengan sebutan looko kau tidak senang hati…. baiklah akan kupanggil
dirimu sebagai cecunguk saja.”
Orang itu melengak, sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu dengan gerakan burung
elang menubruk kelinci Sang Pat telah menerkam kearahnya.
Ilmu silat yang dimiliki orang berbaju hitam itu tidak lemah juga, menyaksikan Sang Pat
menerkam tiba-tiba mendadak tangan kanannya membalik. Tahu-tahu sebilah pisau
pendek telah dihujamkan keatas.
“Keparat cilik, lumayan juga ilmu silatmu” puji Sang Pat, telapak kirinya membabat
keluar mengunci datangnya serangan belati tersebut, sementara tangan kanannya dengan
ilmu mencengkeram menyambar pergelangan orang itu.
Dengan cepat orang berbaju hitam itu putar pisaunya menciptakan selapis cahaya
untuk melindungi badan.
Sang Pat mengempos tenaga, badannya merendek kebawah lalu putar telapak dengan
ilmu merampas senjata yang dikembangi ilmu cengkeraman ia layani orang itu dengan
suatu serangan sengit.
Namun ilmu golok orang itu lihay sekali, beruntun sampai dua kali Sang Pat nyaris kena
tusuk. Hal ini membuat si sie poa emas jadi kaget, heran bercampur gelisah pikirnya,
“Kalau aku tak bisa tangkap orang ini dalam keadaan hidup-hidup, bagaimana aku bisa
bertanggung jawab dihadapan toako nanti?”

Berpikir begitu permainan telapaknya segera berubah, tangan kiri menghantam kemuka
dengan jurus Genta emas dipalu nyaring, sedang tangan dengan gerakan Serat Emas
mengikat pergelangan menyodok pergelangan tangan orang itu dengan keras lawan
keras.
Dalam keadaan gelisah serangan tangan kiri amat dahsyat sekali, orang berbaju hitam
itu ingin putar pisaunya untuk menyelamatkan diri namun serangan Sang Pat memaksa
pisaunya terayun diluar garis, pada saat itulah tangan kanan musuhnya nyelonong masuk
lewat tengah dan mencengkeram pergelangan kirinya.
“Haaa…. haaa…. haaa…. keparat cilik” seru Sang Pat sambil tertawa terbahak-bahak.
“Kau bisa layani serangan aku orang she Sang sampai puluhan jurus, ini berarti ilmu
silatmu lumayan juga, ayo cepat buang pisaumu keatas tanah.”
Sembari berbicara kelima jarinya ditambahi dengan sebagian tenaga. Orang berbaju
hitam itu menurut sekali, tanpa banyak bicara ia buang senjatanya keatas tanah.
Sang Pat ayun tangan kirinya ambil senjata lawan dari atas tanah, tangan kanan
mencengkeram tubuh orang berbaju hitam dan mengangsurkannya kehadapan Siauw
Ling.
Menyaksikan kepandaian silat Sang Pat yang berhasil menangkap orang berbaju hitam
itu dengan bertangan kosong, Thio Kie An merasa kagum, gumamnya, “Aaai….
seandainya tempo dulu cayhepun belajar ilmu silat, ini hari aku tidak nanti sampai
ditangkap orang dan diperintah sekehendak hatinya.”
Mendengar perkataan itu diam-diam Sang Pat merasa geli, pikirnya, “Kau anggap
belajar silat itu gampang? sekalipun kau belajar ilmu silat selama tiga sampai lima tahun,
sama saja dirimu bakal kena ditangkap orang juga, bahkan keadaannya akan bertambah
runyam….”
Pada saat itu Siauw Ling telah alihkan sinar matanya kearah orang berbaju hitam itu.
“Coba lepaskan kain hitam yang menutupi wajahnya!” tiba-tiba ia memerintahkan.
Sang Pat tersenyum.
“Sahabat, dengan secarik kain hitam kau tutupi wajahmu, sebenarnya apa maksudmu?
apakah kau punya bagian tubuh yang tak boleh dilihat orang?”
Sementara bicara tangan kirinya sudah bekerja cepat dan melepaskan kain hitam yang
menutupi wajah orang itu.
Tapi dengan cepat semua orang berdiri tertegun, kiranya wajah orang berbaju hitam itu
terdapat sebuah lubang besar, ternyata ia tidak punya batang hidung.
“Aaai…. perbuatan pemilik goa hitam sungguh kejam sekali, kekejiannya tidak berada
dibawah orang-orang perkampungan Pek Hoa San tjung” ujar Siauw Ling sambil menghela
napas, ia pandang sekejap wajah orang itu lalu menambahkan: “Apakah hidungmu
dipapas orang?”

Sebenarnya wajah orang berbaju hitam itu menunjukkan sikap keras kepala, tapi
setelah mendengar ucapan Siauw Ling ia menghela napas panjang.
“Tidak salah memang dipapas orang!”
“Cayhe adalah Siauw Ling, harap heng thay jangan takut, asalkan kau suka
memberitahukan jejak pemilik goa hitam itu pada cayhe, aku akan bertanggung jawab
membawa kau meninggalkan tempat ini dengan selamat.”
“Aaai…. sayang…. sudah terlambat!” orang itu menggeleng.
“Kenapa?”
Terdengar orang itu mendengus berat, ia muntah darah kental dan roboh binasa.
Melihat orang itu mati, Siauw Ling berpaling kearah Sang Pat seraya berseru,
“Perbuatan pemilik goa hitam amat keji sekali, kita tak boleh duduk sambil berpeluk
tangan belaka. Kita harus berusaha mendongkel sarang mereka, menggusur mereka
keluar dan menghancurkannya, dari pada selain perkampungan Pek Hoa San tjung
bertambah pula seorang bibit bencana yang akan mencelakai umat manusia.”
“Aaai…. hawa pembunuhan yang meliputi dunia persilatan dewasa ini boleh dibilang
merupakan saat yang paling gelap selama ratusan tahun belakangan. Awan gelap telah
menyelimuti seluruh jagat sedang toako merupakan rembulan ditengah kegelapan,
harapan umat Bulim tertumpah dipundakmu semua.”
Sementara mereka masih bercakap-cakap mendadak terdengar suara dengusan nyaring
berkumandang datang.
“Harap cuwi sekalian cepat masuk kedalam kelambu ini. Lalat darah segera akan
munculkan diri!” teriak Thio Kie An dengan cemas.
Sang Pat bersuit rendah, secara tiba-tiba anjing yang berada disisinya lari kemuka.
Pada saat itu Ong Hong telah menyingkap kelambu dan menerobos masuk kedalam.
Rupanya dalam hati Siauw Ling merasa tidak puas seluruh perhatiannya dipusatkan jadi
satu. Sambil memandang kearah tanah rerumputan ia siap sedia menghadapi segala
sesuatu.
Melihat sikap toakonya, cepat-cepat Sang Pat mendorong pemuda she Siauw itu masuk
kedalam kelambu, ujarnya, “Toako, cepat masuk kedalam kelambu, tak usah kita
menempuh bahaya dengan sia-sia!”
“Aku tak percaya Lalat darah serta Kelabang bersayap emas itu benar-benar sangat
lihay sehingga dapat makan manusia.”
“Harap cuwi berdua cepat masuk kemari” terdengar Thio Kie An berteriak lagi. “Kalau
terlambat, keadaan akan tidak menguntungkan bagi kalian!”

Siauw Ling yang didorong Sang Pat masuk kedalam kelambu, baru saja ia berdiri tegak
tampaklah dari tengah tanah rerumputan yang luas mendadak muncul sebuah lubang
sebesar tiga depa lebih disusul terbangnya beribu-ribu ekor serangga hitam yang
panjangnya mencapai satu coen.
Buru-buru Thio Kie An berseru kembali, “Ada orang sengaja melepaskan Lalat darah,
harap cuwi sekalian bertindak hati-hati, perhatikan sekeliling kelambu itu, dalam lambung
lalat darah mengandung racun yang amat keji barang siapa yang kena tergigit oleh
mereka, jiwanya tak dapat ditolong lagi.”
Sementara ia mengucapkan beberapa patah kata itu, berjuta-juta ekor lalat darah telah
terbang menyelimuti seluruh angkasa. Suara dengusan yang nyaring sangat memekikkan
telinga.
Dengan seksama Siauw Ling memperhatikan binatang itu, ia temui seluruh tubuh Lalat
darah itu berwarna hitam kehijau-hijauan daya terbangnya sangat kuat lagi pula cepat
laksana sambaran petir, begitu banyak jumlah makhluk berbisa tadi sehingga angkasa
terasa jadi gelap.
“Binatang berbisa yang sangat lihay” bisik Thio Kie An sambil menghela napas panjang.
Mendengar gumamnya itu Siauw Ling tersentak kaget, sebab iapun dapat saksikan
diatas mayat yang menggeletak diatas tanah rerumputan itu sudah dipenuhi dengan lalat
darah. Terlihatlah mayat itu dengan cepat menyusut jadi kecil dan dalam sekejap mata
telah tinggi kulit pembungkus tulang belaka.
“Thio heng” ujar Sang Pat. “Lalat darah ini betul-betul ganas dan keji, apakah kau
punya cara untuk menaklukkan mereka.”
“Pada saat serta keadaan seperti ini kendati cayhe punya cara menaklukkan mereka
yang paling baguspun percuma saja, terpaksa kita harus menunggu mereka sampai
masuk kembali kedalam sarangnya, melepaskan api dan bakar mereka musnah.”
“Aaah, Lalat darah itu sudah datang!” mendadak terdengar Ong Hong berseru tertahan,
tangannya diayun siap-siap melancarkan serangan.
Kiranya ada berpuluh-puluh ekor Lalat darah yang menyiarkan bau buruk sedang
melayang kearah kelambu.
“Jangan turun tangan” buru-buru Thio Kie An mencegah. “sekalipun seranganmu itu
berhasil membinasakan beberapa ekor lalat darah namun seandainya kelambu itu sampai
robek maka mereka akan terbang masuk kedalam. Kita berempat jangan harap bisa hidup
lebih lanjut.”
“Seandainya mereka berkumpul makin lama makin banyak sehingga kelambu ini jebol,
bagaimana keadaan kita?”
“Tidak mengapa, kelambu ini dibuat dari sejenis serat marang yang berkualitas paling
tinggi, tidak nanti binatang itu bisa menembusinya.”

Pada saat kedua orang itu sedang melangsungkan tanya jawab, Lalat darah yang
berkumpul diluar kelambu kian bertambah banyak dalam sekejap mata seluruh tempat
kosong sudah dipenuhi oleh binatang tersebut hingga menutupi cahaya.
Laksana kilat Siauw Ling mengenakan sarung tangan kulit naganya, lalu berkata,
“Saudara Sang kau jaga bagian bawah, jangan sampai ada lalat darah yang menerobos
masuk kedalam kelambu. Ong heng kau jagalah bagain atas!”
“Jangan kalian sentuh lalat darah itu dengan tangan, agar tubuh kalian tidak sampai
keracunan” Thio Kie An memperingatkan.
Sang Pat ambil keluar pisau belati dan diserahkan ketangan Ong Hong pesannya, “Ong
heng didalam kelambu tidak leluasa bagimu menggunakan senjata panjang. Gunakan
pisau ini untuk membinasakan lalat darah yang berhasil menerobos masuk kedalam!”
Ong Hong tidak menampik, ia terima pisau belati itu.
Sang Pat yang punya pengalaman sangat luas ketika hendak masuk kedalam kelambu
tadi sudah mempersiapkan sebatang ranting panjang beberapa depa. Saat ini ia cekal
benda itu bersiap sedia.
Pada waktu itulah lalat darah telah mengelilingi seluruh kelambu. Bau busuk yang amat
menusuk hidung berhembus masuk tiada hentinya.
Makin banyak lalat darah yang berkumpul diluar kelambu, semakin gelap suasana
dalam kelambu tersebut hingga keadaan disitu bagaikan terkurung didalam sebuah kamar
gelap.
Sambil mengerahkan pandangannya memeriksa keadaan kelambu, Sang Pat berbisik
kepada Thio Kie An, “Thio heng, kau tahu cara memelihara lalat darah tentu tahu pula
cara mengundurkan mereka bukan? terkurung terus didalam kelambumu bukanlah
sesuatu jalan yang tepat.”
Sebelum Thio Kie An sempat menjawab tiba-tiba terdengar lagi suara teguran yang
amat dingin berkumandang datang.
“Kalian semua telah terkurung oleh lalat darah. Asal cayhe melepaskan sebuah senjata
rahasia saja yang merobek kelambu kalian. Lalat darah itu akan segera menerobos masuk
kedalam kelambu dan cuwi sekalian bakal mati konyol terhisap darahnya oleh lalat darah
tersebut. jumlah binatang itu mencapai berlaksa-laksa ekor banyaknya. Meski ilmu silat
yang cuwi miliki lihaypun jangan harap bisa melawan.”
“Thio heng siapa orang itu?” tanya Siauw Ling.
“Mirip dengan suara majikan!”
“Tidak salah. Suara ini memang suara dari pemilik Goa hitam” Ong Hong
menambahkan.

“Ehmm! Sang heng coba kau dengarkan dengan cermat beberapa kauh jaraknya dari
sini?”
“Kurang lebih dua tombak!”
“Benar dengan dugaanku….” bisik Siauw Ling. Ia alihkan sinar mata kearah Thio Kie An
dan menambahkan: “Kenapa ia tidak takut dengan Lalat darah?”
“Aku pikir kalau bukan ia sudah polesi tubuhnya dengan obat penawar sehingga
menyebabkan Lalat darah tidak berani mendekati tubuhnya, tentu diapun bersembunyi
didalam kelambu!”
“Apa? jadi ada sejenis obat yang dapat menaklukan Lalat darah?”
“Campuran beberapa macam bahan obat-obatan akan mengakibatkan timbulnya sejenis
bau harum yang sangat aneh, setelah Lalat darah itu mencium bau harum mereka akan
jauh-jauh menghindar dan tidak berani mendekat.”
“Aaai…. seandainya ia bersembunyi pula didalam kelambu, mungkin cayhe masih punya
cara untuk menghadapi dirinya, seandainya ia sudah polesi badannya dengan sejenis obat
rada sulit untuk menghadapinya.”
“Thio heng!” tiba-tiba Sang Pat teringat sesuatu. “Dapatkah kau buat obat tersebut?”
“Cara membuat obat itu tercatat sangat jelas dalam kitab pusaka itu, cuma saja ada
dua jenis bahan obat utama yang sulit didapatkan, meski cayhe bisa membuatnya tapi
sulit mendapatkan bahannya.”
Sementara itu terdengar suara yang dingin tadi kembali berkumandang, “Aku rasa apa
yang cayhe ucapkan tadi sudah cuwi dengar. Saat ini bagi kalian semua cuma ada dua
pilihan saja. Pertama, akan kubuka kelambu itu agar Lalat darah masuk kedalam dan
menghisap darah kalian, kedua, menyerah kepadaku masuk jadi anggota perguruan Goa
Hitam dan mendengar perintahku.”
Siauw Ling tertawa dingin, baru saja ia mau buka suara Sang Pat telah goyangkan
tangannya mencegah.
“Menghadapi manusia keji macam dia tak usah kita bicarakan soal peraturan Bulim lagi”
bisiknya. “Kita harus menggunakan siasat untuk mengelabui orang itu, serahkan saja
kepada Siauwte….”
Ia merandek sejenak kemudian teriaknya, “Siapakah anda?”
“Cayhe adalah pemilik Goa Hitam.”
“Pemilik Goa Hitam? cayhe sudah jelajahi seantero jagat, kenapa belum pernah
kudengar namamu?”
“Hingga kini cayhe belum pernah munculkan diri didalam dunia persilatan, suatu kali
aku tampilkan diri, seluruh dunia pasti gempar dan sama-sama tunduk padaku.”

“Hanya dengan mengandalkan kekuatan Lalat darah ini?” jengek Siauw Ling.
“Lalat darah serta kelabang bersayap emas cuma dua jenis binatang racun peliharaan
cayhe, itu masih belum terhitung makhluk yang lihay, meski begitu bukan suatu pekerjaan
yang sangat gampang bagi cuwi sekalian untuk meloloskan diri dari ancaman mereka.”
“Setelah kami sekalian masuk anggota Goa Hitam kalian, apa yang hendak kau lakukan
terhadap kami semua?”
“Gampang sekali, seandainya cuwi sekalian suka menjadi anggota Goa Hitam, asal
kamu telan sebutir pil lalu memapas salah satu dari panca indra kalian, misalnya hidung
atau telinga maka secara resmi kalian sudah menjadi anggota perguruan Goa Hitam
kami.”
“Ciss…. peraturan apa itu?” maki Sang Pat didalam hati, sementara diluaran ia
bertanya, “Tahukah kamu akan nama kami semua?”
“Haaaah…. haaah…. kalau orang yang kuhadapi adalah manusia kurcaci, tidak nanti
cayhe bisa bersikap ramah terhadap kalian.”
“Dapatkah kau sebutkan nama kami?”
“Kalau penglihatanku tidak salah, kau adalah Lootoa dari Tiong Cho Siang Ku yang
disebut orang sebagai si sie poa emas Sang Pat.”
Sang Pat melengak, dengan cepat tanyanya, “Lalu siapa yang satunya lagi?”
“Bukankah Siauw Ling yang punya nama besar?”
Sang Pat melirik sekejap kearah Siauw Ling dan bisiknya, “Aku rasa dia memang
sengaja mancing kita sampai disini, tapi siauwte belum pernah mendengar ada orang
yang disebut Pemilik Goa Hitam, dibalik peristiwa ini mungkin masih ada latar belakang
lain.”
“Sekali tebak ia dapat menyebutkan nama kita kejadian ini sangat mencurigakan hati.”
Pada saat itu terdengar pemilik Goa Hitam berkata-kata, “Ong Hong! kau berani
mengkhianati diriku. Hukuman mati takkan lolos dari dirimu.”
Ong Hong mengkeret, sambil melirik sekejap kearah Sang Pat bisiknya, “Kalau kita
sampai kena ketangkap olehnya siksaan yang paling hebat pasti akan menanti diriku,
cayhe lebih suka melawan sampai titik darah penghabisan dari pada terjatuh kembali
ketangannya.”
Siauw Ling mengangguk, ia ulurkan tangannya kedepan dan ujarnya kepada Ong Hong,
“Bagaimana kalau kau pinjamkan pisau belati itu kepadaku?”
Sejak tadi Ong Hong sudah dibikin ketakutan setengah mati, tanpa membantah ia
angsurkan pisau belati itu ketangan Siauw Ling.

Dengan tangan kanan si anak muda itu mencekal pisau belati, ujarnya lirih, “Selama
hidup aku orang she Siauw tidak pernah membokong orang, tapi keadaan pada saat ini
sangat berbeda, terpaksa aku harus bertindak demikian.”
“Kita terpancing lebih dulu oleh siasat lawan kemudian terkurung ditempat ini,
sekalipun kita melancarkan balasan dengan cara apapun, perbuatan kita tak dapat disebut
sebagai suatu pembokongan.”
“Baik! coba kau ajak kembali dia bercakap-cakap, aku hendak mencari tahu tempat
dimana ia berada.”
Kiranya diluar kelambu dimana beberapa orang itu terkurung telah dipenuhi oleh lalat
darah, sehingga sulit bagi si anak muda itu untuk menyaksikan pemdangan diluar.
Dengan suara lantang Sang Pat segera berteriak, “Loo heng menyebut diri sebagai
Pemilik Goa Hitam bahkan berdiam didalam hutan rimba yang gelap tak bersinar, aku pikir
kau tentulah seorang manusia yang dapat bertemu dengan sinar matahari.”
Pemilik Goa Hitam tertawa dingin.
“Ilmu silat yang cayhe pelajari berbeda dengan orang lain, aku rasa siapapun bisa
memahami keadaanku ini.”
Sementara itu Siauw Ling telah salurkan hawa kweekangnya, setelah berhasil
menentukan letak pemilik Goa Hitam itu berada, mendadak ia ayunkan tangan kanannya,
diiringi cahaya tajam sinar belati tadi segera meluncur kedepan.
Sinar berkilauan memancar keempat penjuru. Berpuluh-puluh ekor lalat darah kena
tersambar dan hancur berantakan.
Tetapi dengan adanya kejadian ini maka kelambu itupun terobek kena sambaran pisau
belati itu, dua ekor lalat darah dengan cepat menerobos masuk kedalam.
Siauw Ling telah bersiap sedia, ia ayunkan tangan kanannya memencet kedua ekor lalat
darah tadi sampai mati sementara tangan kirinya dengan cepat menutup celah robekan
diatas kelambu itu.
Gerakan tubuhnya sangat cepat, Thio Kie An yang sebenarnya hendak memperingatkan
agar ia jangan sentuh lalat darah itu dengan tangan telanjang belum sempat kata-katanya
meluncur keluar, Siauw Ling telah berhasil membinasakan kedua ekor lalat darah itu dan
menutup kembali lobang diatas kain kelambu.
Dengan cepat berpuluh-puluh batang patuk lalat berbentuk jarum menusuk keatas
tangan Siauw Ling lewat celah-celah kelambu.
“Siauw heng jangan biarkan tanganmu terpatuk lalat!” teriak Thio Kie An sangat
terperanjat.
“Tidak mengapa, cayhe mengenakan sarung tangan.”

“Patuk lalat darah amat kuat dan tajam sekalipun kau pakai sarung tangan belum tentu
tanganmu bisa selamat dari patukan mereka.”
“Tak usah kuatir, sarung tangan milik cayhe ini jauh berbeda dengan sarung tangan
biasa, meski golok atau pedang yang bagaimana tajampun tidak nanti bisa melukai
diriku.”
Ketika dilihatnya Siauw Ling sedikitpun tidak menunjukkan reaksi apapun kendati
berpuluh-puluh ekor lalat mematuk telapak tangannya Thio Kie An pun tidak berbicara
lagi.
Sang Pat sendiripun tahu bagaimana lihaynya ilmu pusaran dari Siauw Ling dalam hati
pikirnya, “Semoga saja sambitan pisau belati tadi berhasil melukai pemilik goa hitam,
dengan begitu kitapun bisa pusatkan segenap perhatian untuk menghadapi lalat darah
ini….”
Siapa sangka walaupun sudah ditunggu sangat lama, namun sama sekali tidak
kedengaran sedikit suarapun.
Pada waktu itu keempat orang yang berada didalam kelambu sama-sama berdiri sambil
pusatkan seluruh perhatiannya, seperminum teh sudah lewat dengan cepat namun suara
dari pemilik Goa Hitam tak pernah kedengaran lagi.
Tampak terasa Sang Pat mengerutkan dahinya.
“Sungguh aneh!” gumamnya. “Apakah pemilik Goa Hitam telah mengundurkan diri
secara diam-diam.”
“Kita tak boleh terkurung terlalu lama dalam kelambu ini. Kita harus mencari akal untuk
tinggalkan tempat ini.”
“Mungkin pemilik Goa Hitam sudah kena terhajar oleh pisau toako yang disambit
dengan ilmu Hwie sian to dan segera diam-diam mengundurkan diri….” kata Sang Pat.
Sinar matanya berbalik kearah Thio Kie An lalu tambahnya: “Thio heng apakah kau
mempunyai cara yang bagus untuk mengundurkan lalat darah diluar kelambu?”
Sekalipun Thio Kie An cuma seorang pelajar, namun pandangannya terhadap soal mati
hidup sangat hambat, dengan wajah yang tenang ia tertawa hambar.
“Satu-satunya jalan yang paling bagus dewasa ini hanyalah menunggu sampai malam
menjelang tiba dan hawa mulai mendingin, dengan sendirinya mereka akan membubarkan
diri!”
“Kenapa? apakah lalat darah ini takut dengan hawa dingin?”
“Lalat darah mempunyai dua keistimewaan yaitu pertama kekuatan makannya luar
biasa, didalam dua belas jam kalau mereka tidak diberi makan maka sayap dan kaki akan
menjadi lemas. Pada saat itu mereka tiada kekuatan lagi untuk melukai orang, kedua
mereka takut kena sinar matahari terlalu lama.”

“Apakah kita harus menunggu selama berapa jam dalam keadaan seperti ini?” tanya
Siauw Ling.
“Kecuali menunggu sampai mereka membubarkan diri sendiri, cayhe tidak mempunyai
cara lain lagi.”
“Sekalipun kita bisa menanti dengan menyabarkan diri, belum tentu pemilik Goa Hitam
itu memberi kesempatan kepada kita untuk menunggu lebih lanjut, dari pada kita
terkurung didalam kelambu dan dibunuh orang jauh lebih baik kita terjang keluar dari sini
dan adu jiwa dengan mereka.”
“Kau tidak akan mempunyai kesempatan untuk berbuat begitu” ujar Thio Kie An seraya
menggeleng. “Begitu kalian keluar dari kelambu ini, maka lalat darah itu akan menyerang
kalian dari empat arah delapan penjuru. Asal tubuh kalian satu kali saja maka didalam
seperminum teh kemudian racun yang mengeram didalam tubuh akan segera bekerja
seluruh badan akan jadi kaku dan segenap ilmu silat yang dimiliki jadi punah. Pada waktu
itu tubuh kalian jadi lemas dan darah seluruh tubuhmu akan dihisap mereka sampai
kering….”
Ia merandek sejenak, tiba-tiba tambahnya, “Kecuali kau dapat menyembunyikan
seluruh tubuhmu dibalik pakaian yang kebal terhadap bacokan senjata dan tusukan
tombak.”
Sementara Siauw Ling hendak menjawab tiba-tiba plaaak! sementara cahaya biru
meluncur kearah kelambu.
Siauw Ling bertindak cepat, tangan kanannya yang memakai sarung tangan berkulit
naga dengan cepat berkelebat menerima cahaya tadi yang ternyata bukan lain adalah
sebilah golok terbang.
“Criiit! criiit” ranting kayu ditangan Sang Pat menyambar kesana kemari, dengan
gerakkan kilat iapun berhasil menghajar mati dua ekor lalat darah yang menerobos masuk
kedalam kelambu dengan menggunakan kesempatan itu.
Tetapi lalat darah itu tidak takut mati, tercium bau hawa manusia dengan ganasnya
mereka menerjang kearah kelambu. Setiap ada ruang kosong yang ditemui dengan cepat
mereka menerobosnya.
Buru-buru Siauw Ling buang golok terbang yang dicekalnya lalu dengan tangan kanan
ia cekal kelambu yang robek terkena sambitan senjata tadi.
Pada saat ini kedua belah tangannya pemilik Goa Hitam melancarkan serangan senjata
rahasia lagi sehingga salah satu bagian lain dari kelambu itu robek, niscaya lalat darah itu
akan menerobos masuk dan menghisap darah keempat orang itu.
Tapi sungguh aneh sekali, setelah orang itu melepaskan sebilah golok terbang lama
sekali suasana tetap berada dalam keadaan hening dan tenang.

Kesunyian menjelang suatu kematian yang mengerikan membuat Sang Pat yang sudah
banyak pengalamanpun dibikin sedikit gelagapan, ia tengok sekejap kearah Thio Kie An
dan bertanya, “Sebenarnya apa yang sudah terjadi?”
“Tentang soal ini dari mana cayhe bisa tahu?”
Ditengah kesunyian yang sangat menjemukan itulah, mendadak terdengar suara
seorang perempuan berkumandang datang, “siapakah yang terkurung disitu?”
Begitu suara wanita ini berkumandang datang, Siauw Ling serta Sang Pat sama-sama
tersentak kaget.
“Toako, bukankah itu suara dari Kiem Hoa Hujien?” bisik Sang Pat.
“Tidak salah, dia kok bisa sampai kesini. Apakah pemilik Goa Hitam punya hubungan
dengan Djen Bok Hong?”
Sementara itu terdengar suara seorang pria menjawab, “Orang yang terkurung disitu
adalah Sang Pat salah seorang dari Tiong Cho Siang Ku serta Siauw Ling!” jelas orang
yang menjawab adalah pemilik Goa Hitam.
“Haaah…. haaah…. Siauw Ling? aku adalah orang yang paling suka cari gara-gara
dengan mereka ini hari seandainya mereka berhasil kau tawan peristiwa ini betul-betul
merupakan suatu kejadian yang patut digirangkan dikemudian hari kejadian ini akan
menggetarkan dunia persilatan.”
“Watak orang yang bernama Siauw Ling itu benar-benar keras kepala. Ia tak sudi
masuk menjadi anggota perguruan Goa Hitam kami. Rupanya terpaksa aku harus robek
kelambu mereka agar lalat darah itu berpesta pora!”
“Aaah kalau digitukan aku rasa sayang” seru Kiem Hoa Hujien keras. Rupanya ia ada
maksud agar Siauw Ling sekalian dapat mendengar suaranya.
“Apa yang patut disayangkan?”
“Tahukah kau akan nama besar Siauw Ling dalam dunia persilatan dewasa ini?”
“Selama banyak tahun aku jarang meninggalkan Goa Hitam. Nama Siauw Lingpun
hanya kudengar dari mulut orang lain. Keadaan yang sedalamnya aku kurang begitu jelas.
Hanya saja kalau terhadap Tiong Cho Siang Ku dimasa yang silam aku pernah berjumpa
sekali dengan mereka, kedua orang itu memang jago-jago kenamaan!”
“Orang itu pernah bertemu denganku!” pikir Sang Pat. “Siapa dia? kenapa aku tak
dapat mengingatnya?”
Terdengar Kiem Hoa Hujien telah berkata kembali, “Walaupun Siauw Ling belum lama
munculkan diri didalam dunia persilatan, tapi nama besarnya telah menggetarkan seluruh
Bulim, seandainya kau biarkan darahnya dihisap oleh lalat darah. Sekalipun dikemudian
hari kau ceritakan kisah ini kepada orang lain, orang belum tentu mau percaya.”

“Kenapa?”
“Sebab nama Siauw Ling sangat tersohor, seandainya kau benar-benar membunuh
dirinya, jangan dibilang orang lain tidak percaya sekalipun aku Kiem Hoa Hujien yang
belum pernah jumpa dengan diapun tidak percaya kalau ia benar-benar dapat terkurung
oleh lalat darahmu.”
“Haaa…. haaa…. kalau begitu aku tak boleh membiarkan Siauw Ling mati karena lalat
darah itu.”
“Tidak salah, asal kau bisa tangkap dia dalam keadaan hidup-hidup maka nama
besarmu segera akan tersohor diseluruh kolong langit!”
“Benarkah begitu?”
“Semua perkataanku muncul dari hati sanubariku, tak sepotong katapun aku
membohongi dirimu kalau kau tidak percaya juga…. yaah apa boleh buat!”
“Tetapi watak Siauw Ling terlalu keras kepala ia tak mau masuk jadi anggota perguruan
Goa Hitam kami, menahan dirinya sama berarti meninggalkan bibit bencana bagiku
dikemudian hari.”
“Kau kalau ingin menangkap dirinya dalam keadaan hidup-hidup maka kita harus
menggunakan sedikit akal, biarkan mereka berada dalam keadaan begini lebih lamapun
tidak mengapa karena Siauw Ling…. karena Siauw Ling….” mendadak suaranya jadi
rendah hingga sukar ditangkap.
Terdengar pemilik Goa Hitam memuji tiada hentinya, “Perkataan Hujien sedikitpun tidak
salah, pendapatmu sungguh membuat cayhe merasa kagum.”
“Toako!” bisik Sang Pat segera. “Kiem Hoa Hujien pasti sedang berusaha
menyelamatkan jiwamu.”
“Hati perempuan ini sukar diduga, siapa tahu kalau ia sedang main setan dengan kita?”
“Kalau dilihat keadaannya mungkin tidak salah lagi, terhadap orang lain ia bisa
bertindak kejam tapi sikapnya terhadap dirimu jauh berbeda.”
Beberapa saat kemudian sudah lewat, tiba-tiba dari balik celah diatas tanah rerumputan
berkumandang suara suitan yang sangat aneh, lalat-lalat darah yang berkumpul diatas
kelambu tiba-tiba terbang keangkasa setelah mendengar suara tadi dan kembali semua
kedalam celah.
Sinar mataharipun mulai memancar kembali kedalam kelambu, waktu tengah hari baru
saja lewat.
Siauw Ling hendak menyingkap kelambu dan berjalan keluar, namun dengan cepat
Thio Kie An telah berseru, “Siauw heng, harap tunggu sebentar lagi.”
“Kenapa?”

“Pemilik Goa Hitam mempunyai sebuah kurungan hitam untuk menyimpan lalat
darahnya, apabila ia bersembunyi dibelakang pohon dan menunggu sampai kau keluar
dari kelambu kemudian melepaskan lalat darahnya kembali pada saat itu mungkin kau
tidak akan sempat lari balik kedalam kelambu lagi.”
Siauw Ling termenung sejenak lalu menjawab, “Sekalipun harus bertemu dengan mara
bahaya, aku rasa jauh lebih baik daripada terkurung terus didalam kelambu ini.”
Ia singkap kelambu dan segera meloncat keluar.
“Cepat mundur kembali kedalam kelambu!” terdengar suara lirih yang amat lembut
berkumandang datang.
Tak usah dipikir lagi Siauw Ling dapat mengenali suara itu sebagai suara dari Kiem Hoa
Hujien yang memberi peringatan dengan ilmu menyampaikan suara. Tidak sempat berpikir
panjang lagi ia loncat kebelakang dan masuk kembali kedalam kelambu.
“Kenapa?” tanya Sang Pat segera. “Apakah diluar kelambu ada jebakan lain?”
“Tidak ada, Kiem Hoa Hujien memperingatkan aku agar segera kembali kedalam
kelambu dengan menggunakan ilmu menyampaikan suaranya.”
“Nah, kalau begitu beres sudah!” seru Sang Pat tersenyum.
“Apa yang beres?”
“Kalau ia tak punya rencana yang matang tidak nanti Kiem Hoa Hujien suruh kau
kembali kedalam kelambu.”
“Dari mana kau bisa tahu?”
“Kiem Hoa Hujien adalah manusia cerdik lagi pula semua sakunya penuh dengan
makhluk berbisa, dengan wataknya yang keras cara apapun bisa ia dapatkan, seandainya
ia benar-benar ada maksud menolongmu, maka akalnya pasti akan digunakan.”
Sementara mereka masih bercakap-cakap terdengar gelak tawa Kiem Hoa Hujien yang
merdu berkumandang datang, “Saudara Siauw, kau tidak terluka kan?”
“Aku sangat baik.”
“Sekarang kau boleh keluar” kembali Kiem Hoa Hujien berkata sambil menyingkap
kelambu itu.
Siauw Ling segera loncat keluar dari kelambu disusul Sang Pat dibelakangnya, dibawah
sorotan sinar matahari tampaklah air muka Kiem Hoa Hujien pucat seperti mayat,
rambutnya kusut seakan-akan baru saja bangun dari tidur.

Rupanya kesehatan wanita ini belum pulih kakinya lemas dan tak kuat menahan daya
berat badannya, baru saja maju beberapa langkah badannya sempoyongan dan hampir
saja jatuh tengkurap keatas tanah.
Dengan cepat Siauw Ling sambar badan Kiem Hoa Hujien lalu dipayangkan.
“Cici, apakah lukamu radaan baik?”
“Tidak mengapa, mungkin jiwaku takkan melayang.”
Dari mulut Boe Wie Tootiang, ia sudah banyak mendengar akan jerih payah Kiem Hoa
Hujien untuk menolong jiwanya, sebetulnya dalam hati ia kepingin mengucapkan
beberapa patah kata untuk menyampaikan terima kasihnya tetapi dia bingung apa yang
harus diucapkan akhirnya sambil menghela napas panjang tanyanya, “Dimana pemilik Goa
Hitam itu!”
“Ia kena kubokong dan roboh terpagut ular berbisa, sekalipun ilmu silat yang ia miliki
sangat lihay jangan harap jiwanya bisa tetap hidup selama dua belas jam!”
“Didalam Goa Hitam itu semuanya berdiam dua orang” tiba-tiba Ong Hong menyela.
“Majikan lelaki kalau terluka, majikan perempuan pasti akan melakukan pengejaran!”
“Oleh karena itulah kita harus cepat-cepat melarikan diri” sambung Kiem Hoa Hujien.
“Menurut apa yang kuketahui, dalam Goa Hitam itu mungkin masih berdiam berpuluhpuluh
orang jago Bulim yang berkepandaian tinggi!”
“Darimana cici bisa kenal dengan pemilik Goa Hitam itu?”
“Kalau diceritakan amat panjang sekali. Tempat ini bukan tempat yang baik untuk
berbicara. Mari kita cari tempat untuk menyembunyikan diri. Nanti kuceritakan
kepadamu!”
“Seandainya pemilik perempuan Goa Hitam itu mengejar kita dengan membawa
sesangkar lalat darah, mungkin dikolong langit tiada tempat yang bisa digunakan kalian
untuk menyembunyikan diri” sela Thio Kie An.
Mendengar perkataan itu Kiem Hoa Hujien tertawa dingin.
“Sekalipun lalat darah sangat lihay, namun dalam pandangan aku Kiem Hoa Hujien
masih belum terhitung suatu makhluk yang sangat lihay, tahukah kau bahwa setiap
makhluk beracun yang ada dikolong langit pasti ada tandingannya?”
“Menurut apa yang cayhe ketahui hanyalah laba-laba berwajah manusia dari wilayah
Biauw saja yang dapat menaklukkan lalat darah itu.”
“Sedikitpun tidak salah! rupanya pengetahuanmu tentang makhluk beracun lihay juga
jangan kuatir dalam sakuku sekarang telah tersedia laba-laba yang berwajah manusia dari
daerah Biauw!”

“Kalau begitu kau harus cepat-cepat tinggalkan tempat ini! seandainya pada saat dan
keadaan seperti ini pemilik perempuan Goa Hitam itu melepaskan lalat darahnya,
sekalipun kalian punya laba-laba berwajah manusiapun percuma.”
“Perkataan orang ini sedikitpun tidak salah kita harus cepat-cepat pergi mencari suatu
tempat persembunyian yang strategis!”
“Baik! mari kupayang diri cici.”
“Toako, apakah kita pergi membawa serta diri Thio heng ini?” tanya Sang Pat
mendadak.
“Tidak usah” tampik Thio Kie An cepat. “Sepasang kaki cayhe sudah cacat, untuk
jalanpun tidak leluasa, lebih baik kalian cepat-cepat melarikan diri!”
Tiba-tiba Sang Pat maju selangkah kemudian dan ayun telapak tangannya, diiringi
suara bentrokan dahsyat kursi kayu yang diduduki Thio Kie An sudah hancur separuh
termakan oleh serangan tadi.
“Cayhe akan bopong diri Thio heng untuk melanjutkan perjalanan.”
Tidak menunggu jawaban dari Thio Kie An lagi bersama separuh kursi yang masih
diduduki ia gendong orang itu dan melangkah pergi dengan tindakan lebar.
“Biarlah siauwte buka jalan” seru Ong Hong sambil busungkan dada.
Mula-mula orang ini bersikap sangat hormat terhadap pemilik Goa Hitam, namun
sekarang timbul semangat memberontak dalam hatinya.
Begitulah dengan dipimpin oleh Ong Hong yang berjalan dipaling depan, Sang Pat
sambil menggendong Thio Kie An menyusul dibelakangnya dan diakhiri oleh Siauw Ling
sambil memayang Kiem Hoa Hujien.
Namun sepasang kaki Kiem Hoa Hujien lemas tak bertenaga, sulit baginya untuk
melanjutkan perjalanan, dalam keadaan apa boleh buat terpaksa Siauw Ling membopong
perempuan itu untuk meneruskan perjalanan.
“Saudaraku” seru Kiem Hoa Hujien sambil tersenyum. “Kau bopong aku dengan begitu
kencang, apakah kau tidak takut ada orang merasa cemburu….”
“Cici tidak leluasa untuk berjalan. Sudah sepantasnya kalau siauwte membopong
dirimu” jawab Siauw Ling sambil tertawa hambar. Sementara dalam hati pikirnya, “Dalam
saat serta keadaan seperti inipun kau masih punya kegembiraan untuk bergurau.”
“Kalau kalian masih ingat dengan jalan secepatlah lari lewati jalan itu. Kita harus
mencari sebuah goa untuk menyembunyikan diri.”
Kelihayan sie poa emas Sang Pat dalam mengingat-ingat jalan tiada tandingannya
dikolong langit, tak usah disuruh ia sudah berulang kali berseru memberi petunjuk kepada
Ong Hong.

Kurang lebih setengah jam kemudian, sampai juga beberapa orang itu ditepi hutan.
Ketika mereka mendongak keatas terlihatlah langit yang biru tampak sangat cerah,
sebuah tebing yang amat curam memotong jalan pergi mereka selanjutnya.
Menyaksikan keadaan itu. Sang Pat menghela napas panjang.
“Aaai…. akhirnya kita salah juga” bisiknya.
Tiba-tiba Siauw Ling teringat kembali akan Soen put shia serta Boe Wie Tootiang
sekalian, hatinya serentak kaget.
“Aduuuh celaka, kita harus cepat-cepat kembali ketempat semula.”
“Kenapa?” tanya Thio Kie An. “Mara bahaya yang dihadapi belum saja hilang. Kenapa
kalian hendak menghantarkan diri lagi kemulut harimau?”
“Saudaramu Sang Pat!” kata Siauw Ling sambil pandang wajahnya. “Sekalipun kita
berhasil melepaskan diri dari mara bahaya, tetapi Boe Wie Tootiang serta Soen put shia
tidak tahu akan kelihayan racun lalat darah seandainya mereka masuk kehutan untuk
mencari kita niscaya semua bakal terluka ditangan pemilik Goa Hitam.”
“Apa? mereka semua telah datang kemari?” tanya Kiem Hoa Hujien.
“Tidak salah, mereka semua pada menunggu diluar hutan sedang aku serta Sang heng
dengan petunjuk anjing mengejar masuk kedalam hutan….”
“Saudaraku, siapa yang sedang kalian kejar?”
“Orang tuaku” ia merandek sejenak dan tambahnya: “Cici tentu kenal dengan pemilik
Goa Hitam bukan? apakah kau melihat mereka ada menawan orang asing?”
…. (ooo0ooo)
Kiem Hoa Hujien geleng kepala.
“Aku tidak begitu tahu tentang keadaan Goa Hitam!”
“Lalu apa sebabnya kau ditolong olehnya?”
“Tatkala aku jatuh tidak sadarkan diri ditepi jalan. Orang-orang dari perkampungan Pek
Hoa San tjung segera menolong diriku mungkin Djen Bok Hong merasa bahwa tenaga cici
masih sangat dibutuhkan maka ia utus jago-jagonya untuk membawa obat pemusnah
datang mencari aku. Aaa…. mungkin memang takdir tak menghendaki aku mati. Akhirnya
jejakku berhasil mereka temukan.”
“Lalu bagaimana caramu masuk kedalam Goa Hitam?”

“Dalam keadaan tidak sadar cici diantar mereka kemari, maka dari itu lantas aku
menduga ada kemungkinan besar antara Goa Hitam dengan perkampungan Pek Hoa San
tjung terkait dalam suatu hubungan yang sangat erat.”
“Aaah, benar…. benar….!” tiba-tiba Sang Pat menyela sambil depak kakinya keatas
tanah.
“Apanya yang benar?”
“Menurut apa yang siauwte ketahui, sewaktu para jago lihay dari seluruh dunia
persilatan mengejar jejak Djen Bok Hong pada masa yang silam, tiba-tiba saja jejak iblis
itu lenyap ditengah hutan lebat. Pastilah dia bersembunyi didalam Goa Hitam.”
Ucapan ini membuat Siauw Ling jadi tertegun.
“Kalau begitu, Goa Hitam adalah sarang Djen Bok Hong yang sebenarnya?” serunya.
“Ruangan didalam goa itu amat luas sekali tapi gelapnya bukan kepalang” ujar Kiem
Hoa Hujien. “Menurut perasaan cici, dibalik kegelapan terbentang banyak sekali pintupintu
rahasia….”
“Aaai…. kalau begitu tak usah diragukan lagi kedua orang tua cayhe pasti dikurung
dalam Goa Hitam itu!”
“Seandainya orang tua toako benar dikurung dalam Goa Hitam, peristiwa itu tentu yang
berlangsung tengah malam tadi atau paling lambat pada kentongan pertama” Sang Pat
memberikan pendapatnya. Bicara sampai disitu ia lantas berpaling kearah Kiem Hoa
Hujien dan bertanya lebih lanjut: “Hujien, pada jam berapa kau mendusin?”
“Belum lama! setelah sadar aku lantas berusaha menjajaki sekeliling Goa Hitam tadi.
Aku rasa meski lorong jalan didalam goa amat rumit dan acak-acakan tapi tempat dimana
aku ditinggal tidak jauh jaraknya dari mulut goa, maka akhirnya aku berhasil menerobos
keluar!”
“Kau kenal dengan pemilik goa itu?”
Kiem Hoa Hujien tertawa.
“Manusia macam apakah cicimu ini? meskipun aku tidak kenal dirinya tapi aku bisa
menebak kedudukan didalam goa, apalagi ia tidak kenal akan diriku!”
“Jika didengar dari nada Hujien, rupanya tidak tahu kalau orang tua Siauw thayhiap
telah ditawan orang?”
“Tidak tahu. Begitu keluar dari Goa Hitam lantas aku temukan peristiwa kalian yang
dikurung oleh lalat darah!”
“Apakah Goa Hitam adalah suatu goa besar yang menjorok jauh kedalam tanah?”
Siauw Ling bertanya.

“Benar! goa itu menjorok jauh kedalam permukaan, entah berapa banyak pintu rahasia
yang terbentang disana dan entah berapa dalam lorong yang membentang kebawah itu.
Barang siapa yang tidak paham dengan situasi disana kalau berani masuk kedalam Goa
Hitam, kalau bukan tertawan oleh mereka pasti akan mati karena dibokong!”
Siauw Ling mengerutkan keningnya sehabis mendengar penuturan itu, ia berkata,
“Apakah didalam goa itu telah dipasang alat-alat rahasia yang sangat lihay?”
“Benarkah telah dipasang alat-alat rahasia yang lihay cici kurang begitu tahu. Yang
jelas kegelapan menyelimuti goa itu melebihi kegelapan ditengah malam buta, dengan
ketajaman mata yang bagaimana lihaypun jangan harap bisa menembusi pemandangan
sekitar tiga depa didepannya. Jangan dibilang alat jebakan, cukup serangan bokongan dari
pihak mereka saja sudah lebih dari cukup untuk mencabut selembar jiwa manusia.”
“Apakah dalam goa itu terdapat banyak orang?”
“Selama berada didalam Goa Hitam aku tak pernah bertemu dengan seorang
manusiapun, tapi didalam perasaanku seakan-akan terdapat banyak sekali orang ditempat
itu.”
“Ada satu persoalan siauwte merasa kurang begitu mengerti.”
“Persoalan apa?”
“Apakah orang-orang yang berada didalam Goa Hitam dapat menyaksikan keadaan
disekelilingnya?”
Kiem Hoa Hujien termenung berpikir sebentar kemudian baru menjawab, “Belum
pernah cici dengar ada suatu kepandaian yang bisa melihat ditempat kegelapan maka aku
tak berani sembarangan bicara, tapi menurut dugaanku bilamana seseorang berdiam
selama puluhan tahun lamanya ditempat kegelapan maka lambat laun sinar matanya
dapat menyesuaikan diri dengan tempat yang gelap dan melihat benda disekitarnya.”
“Betul!” Sang Pat membenarkan. “Sekalipun mereka tidak berhasil melatih matanya
untuk melihat ditempat kegelapan, paling sedikit mereka telah hapal dengan situasi dari
goa itu. Menyerang dari tempat kegelapan memang merupakan suatu ancaman bahaya
yang sukar diduga.”
Tiba-tiba terdengar Thio Kie An menimbrung, “Alangkah baiknya kalau cuwi sekalian
segera mencari tempat yang bisa digunakan untuk melawan serangan lalat darah itu
seandainya dari pihak Goa Hitam mengirim jago-jagonya untuk mengejar kita, berada
ditengah tanah lapang yang terbuka seperti ini hanya kematian saja yang bakal kita
peroleh.”
Kiem Hoa Hujien setuju dengan pendapat orang itu, maka ia melongok sekejap
kebawah sebuah tebing curam lalu berkata, “Saudaraku, dapatkah kau menuruni tebing
curam ini?”
Siauw Ling segera berpaling dan memeriksa sekejap keadaan sekeliling tempat itu,
kemudian ia manggut.

“Mungkin saja dapat.”
“Seandainya dibawah tebing curam itu tiada goa untuk bersembunyi, kita gunakan saja
sudut buntu-buntu dibawah tebing sana sebagai tempat pertahanan guna melawan
serangan lalat darah” kata perempuan itu sambil menuding sebuah sudut buntu dibawah
tebing.
Sang Patpun lantas turunkan Thio Kie An keatas tanah, ia lepaskan jubah panjangnya
lalu dirobek dan dibuat seutas tali kain yang panjang lagi kuat. Setelah itu ujarnya,
“Hujien, harap kau turun kebawah tebing lebih dahulu….” sinar matanya beralih sekejap
kearah Siauw Ling dan menambahkan, “Toako, kaupun tak usah terlalu menempuh
bahaya!”
Kiem Hoa Hujien tersenyum, ia cekal ujung tali kain tadi lalu mulai merosot kebawah
tebing.
Setelah perempuan itu turun, Siauw Ling sambil membopong Thio Kie An menyusul
dibelakangnya, dan terakhir si sie poa emas Sang Pat.
Dibawah tebing curam itu terdapat sebidang tanah datar seluas beberapa tombak, tiga
penjuru sekeliling tanah lapang tadi merupakan dinding-dinding tebing yang curam dan
tinggi menjulang keangkasa untuk pergi kesitu cuma ada satu jalan saja yang bisa dilalui.
Jilid 17
Setibanya disitu sinar mata Kiem Hoa Hujien mulai bekerja keras mencari tempat yang
dianggapnya strategis, namun sudah setengah harian lebih dia mencari tanpa berhasil
menemukan goa atau lubang bisa digunakan untuk menyembunyikan diri. Terpaksa ia
pilih sebuah sudut buntu dan duduk disana.
“Hujien, apakah tempat ini bisa digunakan untuk menahan serangan Lalat darah?”
terdengar Sang Pat bertanya sambil melirik sekejap kearah perempuan itu.
“Mungkin saja dapat!”
“Baiklah! kalau begitu kitapun boleh kasih kabar buat Boe Wie Tootiang sekalian untuk
sama-sama berkumpul disini!”
Seraya berkata ia lantas bersuit panjang. Suaranya keras dan nyaring laksana pekikkan
naga, tinggi dan lengking membumbung ketengah angkasa.
Lewat sepertanak nasi kemudian, tiba-tiba terdengar suara gonggongan anjing yang
santar berkumandang datang.
“Aaah, mereka berhasil menemukan jejak kita” teriak Sang Pat kegirangan. Kembali ia
mendongak dan bersuit panjang.

Beberapa saat kemudian tampaklah seekor anjing besar berlari cepat menuju ketepi
tebing tersebut dibelakang anjing tadi mengikuti Tu Kioe serta Suma Kan.
“Saudara Tu, toako berada disini. Cepat kau datang kemari” teriak Sang Pat.
Tu Kioe dan Suma Kan mengiakan mereka segera merambat turun kebawah tebing
untuk bergabung dengan rekan-rekan lainnya.
“Dimana Soen loocianpwee serta Boe Wie Tootiang?” Siauw Ling menegur tatkala ia
tidak menjumpai kedua orang tokoh silat itu ada bersama mereka.”
“Dibawah petunjuk anjing yang lain mereka telah masuk kedalam hutan untuk mencari
jejak kalian” jawab Tu Kioe.
“Aduh celaka, seandainya mereka sampai bertemu dengan orang-orang dari Goa Hitam,
niscaya mereka tak bisa menghindarkan diri dari serangan lalat darah itu.”
“Lalat darah? binatang apakah itu?”
“Pada saat keadaan seperti ini tak ada waktu untuk menerangkan persoalan ini
kepadamu, kau tunggulah disini menemani toako, dengan andalkan kekuatan anjing ini
biarlah kukejar mereka untuk kembali.”
“Menurut pendapat cayhe” sela Thio Kie An. “Percuma saja pergi kesana, seandainya
mereka bertemu dengan lalat darah. Sekalipun kau berada disitu apa yang bisa kau
lakukan?”
“Thio heng, kau tidak mengerti dengan urusan orang-orang Bulim!” tukas Sang Pat. Ia
segera loncat bangun dan menepuk kepala anjingnya. “Kali ini terpaksa aku harus
merepotkan dirimu lagi!”
“Sang heng berhenti!” mendadak terdengar Ong Hong membentak keras.
“Ada urusan apa?”
“Lalat darah telah tiba?”
Dengan cepat Sang Pat pasang telinga untuk mendengarkan dengan cermat, sedikitpun
tidak salah ia dengar ada suara dengusan yang amat nyaring dan ramai berkumandang
datang.
“Aaah tidak salah, suara Lalat darah!” serunya kemudian dengan alis berkerut.
Dengan cepat ia bopong anjingnya dan loncat balik kedalam rombongan.
Kiem Hoa Hujien segera bangun berdiri, kepada rekan-rekan yang lain ia berseru,
“Harap kalian semua segera mengundurkan diri kesudut tebing sebelah sana!”
Siauw Ling sekalian mengerti akan kelihayan lalat darah tersebut, maka begitu
mendengar seruan tadi mereka sama-sama menyembunyikan diri kesudut tebing.

Tu Kioe serta Suma Kan tidak tahu macam apakah makhluk yang disebut lalat darah itu
namun menjumpai Siauw Ling sekalian telah mengundurkan diri kesudut tebing maka
merekapun sama-sama ikut mundur.
Perlahan-lahan dari dalam sakunya Kiem Hoa Hujien ambil keluar sebuah kotak
porselen. Ia buka tutup kotak itu kemudian mendorongnya kemuka. Empat ekor laba-laba
sebesar buah Thio yang berwarna hijau muda segera meloncat keluar dari dalam kotak
itu.
Disekitar sudut tebing itu penuh tumbuh pohon pendek. Tampaklah keempat ekor labalaba
itu berputar beberapa kali disekeliling sana dan dalam sekejap mata saja sekitar
tempat itu sudah dilapisi oleh sarang laba-laba yang tebal.
Melihat sarang laba-laba itu sudah berbentuk. Kiem Hoa Hujien baru tersenyum dan
berseru, “Saudara Siauw, kendati sarang laba-laba ini amat rapat namun jumlah lalat
darah itu sangat banyak. Tak urung satu dua ekor binatang itu pasti berhasil menerobos
masuk kedalam. Kalian harus hati-hati memperhatikannya!”
Semua orang harus mengiakan. Ong Hongpun lantas mematahkan sebuah ranting kayu
dan dicekalnya erat-erat siap menghadapi segala kemungkinan.
Sang Pat sendiri tak berani gegabah, diapun mengikuti jejak rekannya mematahkan
ranting kayu untuk dicekal sebagai senjata.
Tu Kioe serta Suma Kan saling bertukar pandangan, mereka tetap berdiri tak berkutik
ditempatnya masing-masing.
Setelah semua orang siap Kiem Hoa Hujien baru ambil tempat duduk dan pejamkan
matanya, ia berpesan kembali, “Kalian harus berhati-hati, jari tangan kalian jangan sampai
menyentuh sarang laba-laba itu.”
“Kenapa?” tanya Sang Pat. “Apakah diatas sarang laba-laba itupun mengandung racun
yang keji?”
Semangat Kiem Hoa Hujien telah layu, air mukanya pucat pias bagaikan mayat namun
ia tetap tersenyum simpul, seolah-olah soal mati hidup dirinya sudah tidak dipikirkan lagi
didalam hatinya.
Terdengar ia tertawa terkekeh-kekeh, lalu menyahut, “Meskipun daya kerja racun yang
terkandung diatas sarang laba-laba itu tidak parah, namun sentuhan kalian akan
memberikan perasaan yang tajam bagi laba-laba beracun itu asal kalian sentuh sarang
laba-laba maka laksana sambaran kilat laba-laba beracun itu akan menubruk datang.
Tatkala jari tangan atau kulit tubuh kalian menyentuh sarang laba-laba tadi, badanmu
akan jadi linu dan kaku. Dan disaat itu kau kehilangan daya rasa jadilah laba-laba beracun
itu akan menggigit dirimu.”
“Seandainya tergigit oleh laba-laba beracun itu, apakah masih ada harapan untuk
ditolong?”

Kiem Hoa Hujien termenung sejenak, kemudian menjawab, “Racun yang terkandung
dalam lambung laba-laba beracun itu luar biasa kejinya, seandainya kau sampai tergigit
olehnya mungkin tipis sekali harapannya untuk ditolong!”
“Jadi maksudmu jiwanya tiada harapan lagi untuk diselamatkan?”
“Kecuali didalam waktu yang relatif amat singkat aku dapat memberikan obat-obatan
yang bisa mencegah menjalarnya daya kerja racun tersebut, tapi kesempatan untuk
berbuat demikian kecil sekali. Maka dari itu barang siapa yang tergigit oleh laba-laba
beracun itu, jiwanya niscaya akan melayang!”
Mendengar sampai disitu. Sang Pat segera berseru dengan suara lantang, “Aku rasa
cuwi sekalian sudah dengar dengan jelas bukan uraian dari Hujien? hati-hati jangan
sampai menyentuh sarang laba-laba itu bila kalian masih sayang dengan jiwa kamu
semua.”
Demikian dengan penuh kewaspadaan dan hati kebat kebit Siauw Ling serta Sang Pat
sekalian menantikan serangan dari Lalat darah, siapa sangka walaupun sudah ditunggu
seperminum teh lamanya belum nampak juga ada lalat darah yang menyerang mereka.
Sedangkan sarang laba-laba disekeliling tempat itu makin lama makin tebal dan makin
rapat.
“Eeeeei…. kenapa tidak nampak lalat darah itu menyerang datang?” seru Tu Kioe
dengan suaranya yang dingin.
Ong Hong segera memperhatikan situasi disekeliling sana dengan seksama, sedikitpun
tidak salah suara dengusan yang terdengar tadi kini sudah lenyap tak berbekas. Seakanakan
lalat darah itu sudah terbang kembali setelah mendekati beberapa orang.
“Aduh celaka!” mendadak Siauw Ling berteriak. “Mungkin lalat darah itu sudah
berjumpa dengan Soen Loocianpwee serta Boe Wie Tooiang. Kita harus segera memberi
kabar kepada mereka berdua!”
“Aaaaai….! tidak sempat lagi” sahut Thio Kie An sambil menghela napas panjang.
“Seandainya mereka berdua telah berjumpa dengan lalat darah mungkin pada saat ini
darah mereka telah kering dan daging mereka telah hancur, bahkan mayat mereka sukar
dikenal lagi.”
“Apakah kita hendak pergi mencari mereka berdua atau tidak, itu bukan persoalan”
sambung Tu Kioe dengan nada hambar. “Bagaimanapun juga toh kita dapat bersembunyi
terus didalam kepungan sarang laba-laba yang makin lama semakin tebal dan rapat.
Jangan-jangan sebelum dipagut lalat darah kita sudah mati lebih dulu disini. Sekalipun
tidak mati kesempatan mungkin akan mati kelaparan. Lebih baik kita coba menempuh
bahaya!”
“Soal ini harap cuwi sekalian tak usah kuatirkan, menanti malam telah menjelang tiba
kita boleh segera melanjutkan perjalanan.”
Dalam hati Siauw Ling merasa amat sedih, ia menghela napas dan berkata, “Sungguh
tak kunyana seorang lelaki sejati macam aku harus terkurung oleh kawanan lalat darah

yang ganas dan harus minta perlindungan laba-laba beracun untuk menyelamatkan
jiwaku. Aaaai….! peristiwa ini benar-benar memalukan sekali.”
“Saudara Siauw, kau tidak usah menyesal atau sedih karena persoalan kecil seperti itu.
Kau harus tahu persoalan yang ada dikolong langit tidak semuanya harus mengandalkan
ilmu silat untuk membereskannya. Contohnya seperti cici, sepanjang hidupnya paling suka
mengumpulkan makhluk berbisa, aku percaya kepandaianku menggunakan racun
sekalipun belum bisa disebut nomor satu dalam dunia. Tapi racun yang dilepaskan Djen
Bok Hong kedalam tubuhku, bukan saja cici tak dapat dapat punahkan bahkan walaupun
sudah kugunakan segenap pikiran dan tenaga untuk menyelidiki belum berhasil juga
kutemukan racun apakah yang telah dia gunakan.”
“Jika kudengar ucapan Hujien, rupanya kau tidak berhasil mendapatkan bahan racun
yang digunakan Djen Bok Hong untuk mencelakai orang?” sela Sang Pat.
“Tidak salah, aku berusaha mencari obat racun yang digunakan Djen Bok Hong namun
gagal kuperoleh perincian mengenai bahan apa yang sudah dia gunakan, maka hingga kini
akupun belum berhasil menciptakan bahan obat untuk memusnahkan racun tersebut” ia
merandek sejenak untuk tukar napas, kemudian tambahnya lagi, “Menurut apa yang
kudengar, katanya dikolong langit dewasa ini kecuali Djen Bok Hong yang bisa membuat
obat penawar racun itu. Hanya siraja obat bertangan keji saja yang bisa.”
“Aaai…. sayang siraja obat bertangan keji telah mengasingkan diri bersama putrinya.
Untuk menemukan jejak orang itu mungkin bukan suatu urusan gampang.”
Kiem Hoa Hujien tidak meneruskan ucapannya mengenai masalah itu lagi. Ia alihkan
sinat matanya keatas wajah Thio Kie An dan bertanya, “Apakah kau berani memastikan
bahwa lalat darah itu tidak akan munculkan diri lagi dalam satu jam mendatang?”
“Sudah banyak tahun cayhe memelihara lalat darah serta kelabang bersayap emas,
tentu saja aku berani memastikan!”
“Baik! kalau begitu aku turuti saja omonganmu itu. Seandainya lalat darah muncul lagi
secara mendadak maka akan kujagal dirimu lebih dulu untuk diberikan kepada lalat
darah.”
“Hujien tak usah kuatir, cayhe tidak menghadapi kematian!”
“Hujien!” Sang Pat berseru. “Makin lama sarang laba-laba ini mengurung kita semakin
rapat sampai waktunya bagaimana mungkin kita bisa keluar dari sini?”
Mendengar perkataan itu Kiem Hoa Hujien tertawa.
“Tentang soal ini harap cuwi sekalian tak usah kuatirkan. Kendati cara menggunakan
racun dari Raja Obat Bertangan Keji jauh lebih lihay dari pada aku Kiem Hoa Hujien,
namun dalam kepandaian memelihara makhluk beracun belum tentu ia bisa menangkan
diriku.”

“Aaaai….! perebutan nama bagi orang-orang Bulim memang terlalu penting….” pikir
Siauw Ling. “Dalam keadaan serta situasi macam beginipun, perempuan ini masih punya
kegembiraan untuk mengunggulkan kepandaian sendiri….”
Terdengar Kiem Hoa Hujien berkata lagi sambil tertawa, “Lahir ada tempat mati ada
tanah. Itulah perkataan yang seringkali diucapkan kalian bangsa Han. Bukankah cuwi
semua dalah seorang lelaki sejati yang tulen? kenapa begitu jeri menghadapi kematian?
bukan begitu saja bahkan keberanianpun tidak menang dari aku Kiem Hoa Hujien yang
berasal dari suku bangsa liar….”
“Bukan cayhe merasa takut menghadapi kematian, yang penting adalah berharga atau
tidakkah kematian yang akan kami dapatkan. Seandainya kami harus mati terhisap
darahnya oleh lalat-lalat darah itu atau mati karena tergigit oleh laba-laba beracun milik
cici, bukankah mekatian itu akan membuat kami mati dengan mata tidak meram?”
“Soal itu kau tak usah kuatir. Harapan bagi kita untuk hidup sudah besar sekali. Sudah
sepantasnya kalau kita rayakan kemenangan ini sambil tertawa terbahak-bahak.”
Habis berkata perempuan itu mulai tertawa lebih dulu dengan kerasnya.
Mendengar Kiem Hoa Hujien tertawa, Sang Pat tidak mau kalah diapun pentang
mulutnya tertawa keras.
“Sedikitpun tidak salah” serunya. “Sebagai seorang lelaki jantang, lelaki sejati.
Sekalipun mati harus harus mati dengan hati lapang….”
Dalam sekejap mata suara gelak tertawa berkumandang saling susul menyusul. Para
jago sama-sama tertawa keras kecuali Tu Kioe dengan wajahnya yang adem ayem serta
Siauw Ling yang pejam mata sambil duduk bersila.
Waktu berlalu dengan cepatnya, tidak lama kemudian malam haripun menjelang tiba.
“Thio heng!” seru Sang Pat tiba-tiba sambil memandang udara. “Bintang mulai
berhamburan diangkasa, apakah kita boleh segera berangkat!”
“Boleh, segera kita berangkat!”
Sang Pat lantas berpaling kearah Kiem Hoa Hujien dan berkata, “Hujien, bukankah
jaring sarang laba-laba ini!”
Kiem Hoa Hujien tersenyum.
“Tidak bakal salah bukan?” katanya sambil memandang kearah Thio Kie An.
“Tidak bakal salah!”
Dari dalam sakunya Kiem Hoa Hujien ambil keluar sebuah kotak kumala, kemudian ia
berseru, “Siapakah diantara cuwi yang membawa korek api?”

“Cayhe ada!” sahut Suma Kan. “Apakah Hujien hendak melepaskan api, membakar
sarang laba-laba ini?”
“Tak dapat kita bakar dengan api. Gerak gerik laba-laba beracun itu sangat cepat.
Seandainya mereka sampai melarikan diri maka orang bakal jatuh korban. Maka kita harus
musnahkan lebih dulu keempat ekor laba-laba beracun itu kemudian baru membakar
sarang laba-labanya.”
“Lain dengan sara apakah Hujien akan melenyapkan keempat ekor laba-laba beracun
itu?”
“Silahkan cuwi sekalian menikmati suatu keajaiban alam!” seraya berkata perempuan
itu lantas membuka kotak pualamnya dan menggetarkan sang pergelangan kemuka.
Sekilas cahaya putih meluncur kemuka dan langsung menyambar laba-laba beracun
yang ada didalam sarangnya.
Tatkala para jago memandangnya lebih seksama maka mereka lihat bahwasannya
cahaya putih yang menyambar kedepan tadi kiranya adalah seekor ular kecil berwarna
putih.
Begitu berjumpa dengan ular putih, keempat ekor laba-laba beracun itu secara tiba-tiba
bersama-sama meluncur kearah ular putih tadi, bahkan langsung masuk kedalam mulut
ular kecil itu.
Suma Kan yang angkat tinggi obornya membuat suasana disana jadi terang benderang,
dengan sendirinya para jagoanpun dapat menyaksikan peristiwa tadi dengan hati kaget
bercampur tercengang.
Perawakan tubuh ular putih itu kecil lagi pendek, sehabis menelan empat ekor laba-laba
beracun bagian lambungnya segera melembung besar sekali.
Tampak Kiem Hoa Hujien angkat kembali kotak pualamnya. Ular tadi segera putar
kepala dan menyusup balik kedalam tempatnya semula.
Perlahan-lahan Kiem Hoa Hujien menutup kembali kotaknya, setelah itu ia baru
berseru, “Sekarang kalian boleh bakar sarang laba-laba itu hingga habis.”
Suma Kan mengiakan, dalam sekejap mata sarang laba-laba disekeliling tempat itu
terbakar musnah dan lenyap tak berbekas.
Begitu sarang itu lenyap, para jago sambil menghembuskan napas panjang serentak
berjalan keluar, mereka rasakan sekujur badan jadi lega dan segar.
Sang Pat lantas menggendong tubuh Thio Kie An seraya berseru, “Thio heng, kau tidak
leluasa untuk bergerak sendiri, lebih baik siauwte bopong dirimu untuk meneruskan
perjalanan!”
Pada saat itu Siauw Ling pun sudah bangkit berdiri, kepada Kiem Hoa Hujien tanyanya,
“Cici, apakah kau bisa berjalan sendiri.”

“Tidak bisa!” sahut Kiem Hoa Hujien sambil menggeleng. “Paling sedikit aku harus
beristirahat tiga hari lebih dulu sebelum meneruskan perjalanan, rupanya terpaksa aku
harus merepotkan saudara untuk membopong diriku.”
Teringat akan budi pertolongan yang telah diberikan perempuan itu kepada dirinya,
tanpa banyak bisara lagi Siauw Ling bongkokkan badan dan membopong tubuh Kiem Hoa
Hujien.
Begitulah, dibawah pimpinan Tu Kioe mereka segera berjalan keluar dari tebing buntu
itu dan naik keatas.
Ditengah perjalanan tiba-tiba Siauw Ling berhenti lalu berseru, “Saudara Tu, biarlah
mereka berjalan lebih dulu, kau temani aku pergi mencari jejak dari Soen Loocianpwee
serta Boe Wie Tootiang!”
Selamanya nada suara Tu Kioe tidak enak didengar, kepada siapapun dia merasa tidak
takluk, tetapi terhadap Siauw Ling sikapnya amat menghormat. Mendengar seruan itu ia
lantas mengiakan.
Siauw Ling kembali berpaling kearah Suma Kan.
“Suma heng, terpaksa siauwte harus merepotkan dirimu untuk….”
“Kau hendak suruh dia menggendong aku untuk meneruskan perjalanan?” Tukas Kiem
Hoa Hujien tiba-tiba.
“Siauwte memang bermaksud begitu.”
“Tidak bisa jadi! aku mau tetap tinggal disini untuk membantu dirimu!”
“Cici, gerak gerikmu tidak leluasa mana mungkin bisa membantu diriku? aku takut
malahan siauwtelah yang harus merawat dirimu.”
“Walaupun gerak gerikku tidak leluasa tetapi sekujur badanku penuh dengan binatang
berbisa, seandaianya kau berjumpa lagi dengan lalat darah mungkin saja laba-laba racun
yang kumiliki bisa menghadapinya, aku lebih baik bawalah serta diriku.”
“Ilmu silat yang dimiliki Ling touw toako cayhe amat lihay, seandainya dia harus
menggendong dirimu mana bisa hadapi serangan musuh tangguh….” sambung Tu Kioe
ketus. “Apabila hujien bersikeras hendak ikut, terpaksa aku harus menodai dirimu.”
“Apa yang kau maksudnya dengan menodai diriku?”
“Cayhe harus menggendong dirimu, bukankah itu seperti juga harus menodai dirimu?”
“Ah, kalau soal itu sih tidak mengapa?”
Tu Kioepun tidak sungkan-sungkan lagi, ia maju kedepan untuk menggendong Kiem
Hoa Hujien kemudian sambil memandang kearah Suma Kan pesannya, “Suma heng,

bawalah mereka berlalu dari sini dan tunggulah kami dibawah sepasang pohon-pohon Pak
sepuluh li dari sini.”
Suma Kan mengiakan, dengan membawa Sang Pat sekalian ia berlalu lebih dulu.
Sepeninggalnya mereka. Siauw Ling menghembuskan napas panjang dan mengeluh.
“Bagaimana mungkin kita bisa temukan jejak mereka berdua?”
“Menurut pendapat siauwte, lebih baik kita bertahan disuatu tempat kemudian biarlah
siauwte dnegan membawa anjing raksasa itu pergi mencari jejak mereka.”
Siauw Ling termenung sejenak, akhirnya ia mengangguk.
“Baiklah! kalau begitu kuturuti saja pendapatmu!”
Sambil membopong Kiem Hoa Hujien dan menggandeng anjingnya Tu Kioe berjalan
keatas sebuah bukit kecil, tiba-tiba ia berjongkok sambil menepuk anjingnya dan bersuit
rendah.
Tiba-tiba anjing itu menggonggong, laksana kilat ia lari kedepan.
Sungguh cepat lari anjing itu, dalam sekejap mata bayangan tubuhnya sudah lenyap
tak berbekas.
Kurang lebih seperminum teh kemudian, mendadak terdengar suara gonggongan anjing
berkumandang.
“Aaaah, sudah ada kabar beritanya” seru Tu Kioe.
“Kabar berita soal apa?”
“Dua ekor anjingku telah saling berjumpa, anjing itu berada dalam keadaan sehat itu
berarti baik Soen loocianpwee maupun Boe Wie Tootiang berada dalam keadaan sehat
walafiat pula.”
“Sungguh?”
“Siauwte tidak berani membohongi toako.”
Seperempat jam kemudian dari kegelapan segera terlihatlah beberapa sosok bayangan
hitam laksana kilat meluncur datang.
Pertama-tama dua ekor anjing itulah yang tiba lebih dulu disusul Soen Put Shia serta
Boe Wie Tootiang dibelakangnya.
Buru-buru Siauw Ling maju menyongsong sambil menegur, “Apakah kalian berdua tidak
berjumpa dengan lalat darah?”
“Kau maksudkan makhluk berbisa seperti tawon raksasa itu?” sahut Soen Put Shia.

“Waduuuh…. lihay! lihay….! sungguh luar biasa…. seandaianya Boe Wie Too heng tidak
miliki otak yang encer, mungkin selembar jiwa aku sipengemis tua telah musnah ditangan
makhluk terkutuk itu….!”
Didengar dari nada ucapan tersebut Siauw Ling yakin kedua orang tokoh besar dunia
persilatan ini telah berjumpa dengan lalat darah, namun ketika dilihatnya mereka berada
dalam keadaan sehat tanpa kekurangan sesuatu apapun, dalam hatinya heran.
Terdengar Boe Wie Tootiang telah berkata, “Kalau bukan loocianpwee melepaskan dua
buah pukulan yang maha dahsyat, mungkin kami berdua tidak punya kesempatan untuk
menghindari serangan maut lalat-lalat darah itu….” ia merandek dan menghela napas
panjang. “Aaaai…. sungguh kasihan dua orang manusia yang melepaskan lalat darah itu,
mereka mati konyol terhisap darahnya oleh lalat itu sendiri….”
“Apanya yang patut dikasihani?” mereka hendak habisin nyawa kita berdua, syukur
kalau mereka sendirilah yang akhirnya harus mati konyol” gerutu Soen Put Shia.
“Mereka semua sedang menantikan kedatangan cianpwee berdua” tukas Siauw Ling.
“Mari kita berjalan sambil bercerita!”
Tu Kioe membenarkan pendapat toakonya, maka ia bergerak lebih dulu meninggalkan
tempat itu.
Ditengah perjalanan Soen Put Shia berpaling kearah Siauw Ling dan menegur sambil
tertawa, “Bagaimana? apakah kalianpun telah berjumpa dengan lalat darah?”
“Aaaai! kalau dibicarakan sungguh panjang sekali, sekarang boanpwee sedang hidup
dengan nyawa cadangan!” maka diapun segera menceritakan kisah pengalamannya yang
telah ia alami selama ini.
Selesai mendengar cerita itu, dengan alis berkerut Soen Put Shia berkata, “Jika
demikian adanya, Kiem Hoa Hujien telah melepaskan jalan yang sesat dan kembali kejalan
yang benar?”
“Pendapat pinto jauh berbeda!” seru Boe Wie Tootiang sambil tersenyum.
“Bagaimana menurut pendapatmu?”
“Berulang kali Kiem Hoa Hujien menolong kita semua. Hal ini bukan lain disebabkan
karena Siauw Ling….”
Ia berpaling memandang sekejap kearah si anak muda itu, lain sambungnya, “Sejak
banyak tahun berselang pinto sudah banyak mendnegar tentang nama besar Kiem Hoa
Hujien, orang ini bukan saja kejam dan sadis diapun berhati racun, separuh hidupnya
sebagian besar dihabiskan untuk membuat keonaran dan kejahatan. Seandainya Djen Bok
Hong tidak memahami betul-betul tabiat serta sepak terjangnya, bagaimana mungkin dia
undang perempuan itu untuk hadir ditengah daratan Tionggoan.”

“Tapi Djen Bok Hong telah melepaskan racun keji kedalam tubuhnya” seru Siauw Ling
dari samping.
“Gembong iblis tersebut bisa berbuat begini hal ini bukan lain karena dia punya
hubungan yang erat dengan Siauw thayhiap….”
“Djen Bok Hong punya rasa curiga yang luar biasa terhadap setiap orang” kata si anak
muda itu. “Semua orang dicurigainya bahkan sampai-sampai siraja obat bertangan kejipun
sudah diracun pula. Aku rasa setiap insan manusia yang hidup dalam perkampungan Pek
hoa San tjung, tak seorangpun yang lolos dari tangan jahatnya.”
“Meskipun ucapanmu itu benar, tetapi seandainya Djen Bok Hong tidak saksikan sikap
Kiem Hoa Hujien yang istimewa terhadap diri Siauw thayhiap, meski dia turun tangan
jahat, tidak nanti sekeji dan sedalam itu, apalagi memberitahukan hal ini secara terangterangan
kepadanya.”
Siauw Ling masih ingin coba membantah, namun Soen Put Shia sudah keburu tertawa
tergelak.
“Haaa…. haaa…. haaa…. Siauw thayhiap tak usah coba mungkir lagi, aku pengemis
tuapun dapat merasakan betapa kasih dan sayangnya Kiem Hoa Hujien terhadap dirimu.
Perempuan ini sudah lama angkat nama, kalau dihitung-hitung usianya mungkin sudah
setengah abad lebih” mendadak ia rasakan ucapan selanjutnya terlain kasar didengar,
cepat-cepat ia membungkam.
Siauw Ling takut mereka membicarakan persoalan itu lebih mendalam, buru-buru ia
tukas ditengah jalan.
“Cianpwee berdua belum menceritakan kisah perjalanan kalian. Boanpwee pingin
mendengarnya!”
Soen Put Shia tersenyum dan mengangguk.
“Kami jauh masuk kedalam hutan untuk mencari saudara Siauw sekalian. Tapi sudah
setengah lamanya kami berputar kayuh disini tanpa berhasil menemukan sesuatu jejak
apapun, suatu ketika rupanya anjing itu mencurigakan, tiba-tiba ia putar badan dan lari
keluar hutan. Aku serta tootiang sama-sama tidak paham bagaimana caranya memanggil
balik anjing itu. Maka terpaksa kami ikuti saja anjing kemuka….”
Dia menghembuskan napas panjang, sesudah merandek sejenak sambungnya lebih
jauh, “Setibanya diluar hutan, aku sipengemis tua saksikan anjing itu mendekam diatas
tanah tanpa berkutik barang sedikitpun, sepasang matanya memandang kemuka dengan
mata melotot. Aku sipengemis tua yang selamanya berangasan kali ini bisa tenangkan
hati, mungkin itulah takdirku untuk mati. Aku cepat-cepat berhenti dan segera ikut
menengok kemuka….”
Bicara sampai disitu ia melirik sekejap kearah Boe Wie Tootiang lalu tambahanya, “Pada
saat itulah kebetulan Boe Wie Too heng tiba disana!”

“Benar. Waktu itu kebenaran pinto tiba disana, menyaksikan sikap loocianpwee yang
aneh. Maka pinto segera pertingkat kewaspadaan terhadap keadaan disekeliling tempat
itu.”
Soen Put Shia tertawa terbahak-bahak.
“Haaa…. haaa…. lama sekali aku sipengemis tua perhatikan keadaan dimuka, tapi tidak
berhasil menemukan sesuatu walau sudah kuperiksa disitu berulang kali….”
“Kenapa?”
“Ternyata orang itu pada memakai baju berwarna hitam serta memakai kain kerudung
berwarna hitam pula. Berdiri ditengah kegelapan malam keadaan mereka tak ada bedanya
dengan pepohonan.”
“Oooooooow, kiranya begitu.”
“Seandainya Boe Wie Too heng tidak patahkan sebatang ranting kemudian disambit
sebagai senjata rahasia. Aku pengemis tua masih tidak sadar kalau disitu berdiri manusia!”
“Dan seandaianya bukan pinto melepaskan senjata rahasia itu hingga merubuhkan
salah satu diantaranya mungkin orang itu tidak akan melepaskan lalat darah” sambung
Boe Wie Tootiang.
“Boe Wie Too heng berhati ramah dan penuh welas kasih. Kendati ia timpuk orang itu
dengan ranting kayu namun serangannya enteng sekali hingga luka yang diderita tidak
terlalu parah, siapa sangka pada saat itulah orang tadi putar badan sambil melepaskan
lalat darah. untung aku sipengemis tua merasakan situasi tidak menguntungkan, buruburu
kulepas dua buah pukulan dahsyat untuk membendung serangan lalat darah itu, saat
itulah Boe Wie Too heng menyeret aku sipengemis tua mengundurkan diri kedalam.
Sementara itu segerombolan lalat darah sudah mengejar sampai, suara dengusan mereka
amat keras memekikkan telinga….”
Ia sapu sekejap anjing raksasa disisinya lain menyambung lebih jauh, “Aaaai…. kalau
dibicarakan ternyata kecerdasanku kalah dengan cerdiknya anjing, rupanya anjing itu
merasa bahwa makhluk kecil yang sedang menyerang datang adalah makhluk berbisa,
dengan cepat ia lari masuk kedalam sebuah pohon kering. Menyaksikan hal itu aku
sipengemis tua serta Boe Wie Too heng pun buru-buru ikut bersembunyi disitu sambil siap
melancarkan serangan untuk menahan serangan lalat darah itu.”
“Ditengah malam yang buta suasana remang-remang tidak jelas lagipula gerakan lalat
darah itu sangat cepat, mereka berdua tidak sampai terluka oleh lalat darah itu boleh
dibilang merupakan suatu keberuntungan” pikir Siauw Ling.
Terdengar Soen Put Shia lanjutkan ceritanya, “Pada saat itu aku sipengemis tua telah
dapat menyaksikan bentuk makhluk yang terbang mendekat itu menyerupai tawon
raksasa bahkan terbangnya sangat cepat melebihi binatang lain, bukan begitu saja makin
lama jumlahnya semakin banyak. Dalam sekejap mata ribuan ekor sudah berkumpul
disekitar situ. Meskipun aku sipengemis tua untuk sementara bisa memaksa mereka
menjauh dengan angin pukulan, tapi lama kelamaan pasti akan roboh kehabisan tenaga.

Untunglah pada saat yang kritis Boe Wie Too heng telah melepaskan dua bilah pisau belati
melukai dua orang musuh yang melepaskan lalat darah itu. begitu mencium bau darah,
lalat-lalat darah itu segera berganti arah dan mengerubuti kedua orang itu. Dalam sekejap
mata darah mereka dihisap sampai kering. Menggunakan kesempatan dikala lalat-lalat
darah itu sedang berpest. Boe Wie Too heng segera tarik aku sipengemis tua serta anjing
itu dengan gerakan yang tercepat melarikan diri dari hutan tersebut.”
Bicara sampai disitu ia menghembuskan napas panjang, tambahnya, “Pengalaman yang
kujumpai hanya begini sederhana namun mara bahaya yang kualami saat itu betul-betul
amat kritis bila kukenang kembali…. Hiiiii…. badanku jadi merinding dan bulu kuduk pada
bangun berdiri. Aaaai….! sepanjang hidupku entah berapa banyak kejadian seram yang
kualami, berapa banyak makhluk berbisa yang kejumpai namun belum pernah kutemui
ada orang menggunakan lalat darah semacam itu untuk melukai musuhnya.”
Tatkala ia menyelesaikan ceritanya, beberapa orang itupun sudah dibawah pohon Pak.
“Kalian berdua tentu mengalami kejadian yang mengejutkan bukan?” tegurnya.
Soen Put Shia tidak langsung menjawab sinar matanya berputar menyapu sekejap
kearah para jago kemudian serunya, “Bagus sekali! bukan saja tak seorangpun diantara
kalian terluka, bahkan malah bertambah lagi dengan dua orang.”
“Hey pengemis tua! kenapa kau tidak sekalian menghitung diriku? bukankah terangterangan
tambah tiga orang? mengapa kau bilang cuma dia orang?” tegur Kiem Hoa
Hujien.
Soen Put Shia tertawa hambar.
“Aaah sungguh sempit dunia ini, sungguh tak disangka kita harus berjumpa lagi disini.”
Kiem Hoa Hujien tertawa terkekeh.
“Eeei, pengemis tua. Setelah nyaris lolos dari kerubutan lalat darah, aku nasehati dirimu
lebih baik jagalah baik-baik selembar jiwa tuamu. Aku dengar Djen Bok Hong telah
bersumpah, dalam tiga bulan mendatang dia akan tebas batok kepalamu untuk kemudian
dipamerkan didepan umum.”
“Selama hidup belum pernah aku pengemis tua takut digertak orang. Terima kasih atas
peringatanmu itu.”
“Hmm! kalau Djen Bok Hong merasa tidak punya keyakinan, tidak nanti dia ucapkan
kata sesumbar seperti itu, aku lihat kau harus lebih berhati-hati.”
Untuk sesaat suasana jadi sunyi senyap tak terdengar sedikit suarapun…. tiba-tiba
terdengar Boe Wie Tootiang berseru, “Soen Loocianpwee. Coba kau dengar suara apa
itu.”
Para jago sama-sama pasang telinga dan mendengarkan dengan seksama. Secara
lapat-lapat mereka dengar irama musik mengalun dengan merdunya ditempat kejauhan.

Suara itu aneh sekali, seperti seruling tapi tidak mirip seruling, seperti suara khiem tapi
tidak mirip khiem. Tatkala didengar lebih jauh irama musik itu seolah-olah merupakan
gabungan dari dua jenis alat musik.
“Suaranya mirip sekali dengan irama musik yang pernah mengundurkan Djen Bok
Hong!” seru Soen Put Shia.
“Sedikitpun tidak salah, pintopun punya perasaan seperti itu.”
“Biarlah cayhe pergi memeriksa manusia macam apa dia itu” seru Siauw Ling tiba-tiba
loncat bangun.
Gerakan tubuhnya sangat cepat, dalam sekejap mata dia sudah berada kurang lebih
dua tombak dari tempat semula.
“Tootiang harap kau tetap tinggal disana. Aku sipengemis tua akan ikuti diri saudara
Siauw!” seru Soen Put Shia cepat.
“Loocianpwee, kau harus hati-hati, lebih baik jangan bentrokan dengan orang lain!”
“Eeei…. apa yang telah terjadi?” tegur Kiem Hoa Hujien.
Boe Wie Tootiang menghela napas panjang.
“Aaai…. kalau dibicarakan sungguh membuat orang merasa tidak percaya, seandainya
pinto tidak saksikan sendiri, mungkin tidak akan kupercaya ada kejadian seperti itu.
Sungguh tak kunyana dikolong langit benar-benar terdapat kejadian seaneh ini….”
“Tootiang, kau tak usah putar kayuh lebih jauh, terangkanlah sejelas-jelasnya!”
“Pada suatu malam Djen Bok Hong dengan memimpin para jago-jago lihaynya dari
perkampungan Pek Hoa San tjung mengurung pinto serta Soen Loocianpwee sekalian.
Kalau dibicarakan dari situasi pada saat itu. Seandainya sampai terjadi pertarungan pinto
maupun Soen Loocianpwee pasti akan mati atau tertawan oleh kerubutan para jago
dibawah pimpinan Djen Bok Hong itu. Disaat suasana diliputi ketegangan itulah tiba-tiba
berkumandang datang suara irama musik yang sangat aneh, begitu mendengar irama
musik itu dengan hati gugup dan gelisah Djen Bok Hong segera tarik seluruh jagonya dan
melarikan diri dari sana. pertarungan sengitpun bisa terhindar dan nyaris pinto dan Soen
Loocianpwee mati ditangan mereka.”
Terdengar Kiem Hoa Hujien tertawa terkekeh-kekeh memutuskan ucapan Boe Wie
Tootiang yang belum selesai diutarakan.
“Apa yang kau tertawakan?” tegur Tu Kioe ketus.
“Kalau didengar cerita itu mirip dengan igauan disiang hari bolong. Sungguh membuat
orang sukar untuk mempercayainya.”

“Pinto alami sendiri kejadian itu, tidak nanti aku bicara bohong! kalau Hujien tidak
percaya, pintopun tak bisa berbuat apa-apa…. untung disaat itu berlangsung, kecuali pinto
masih ada Soen Loocianpwee ikut hadir ditengah kalangan.”
“Dalam kolong langit memang seringkali terjadi peristiwa yang aneh dan tidak masuk
diakal” ujar Sang Pat sambil menghela napas. “Contohnya saja toako kami. Pada lima
tahun berselang dia masih merupakan seorang pemuda yang lemah dan berpenyakitan
tapi lima tahun kemudian dia sudah menjadi seorang pahlawan. Seorang enghiong dan
pemimpin yang bertanggung jawab atas keselamatan dunia persilatan.”
Untuk sementara waktu kita tinggalkan dulu Sang Pat sekalian, marilah kita ikuti Siauw
Ling yang berlari menuju kearah berasalnya suara musik tadi dengan gerakan cepat.
Dalam sekejap mata lima lie sudah terlampaui dan tiba didepan sebuah rumah gubuk.
Cahaya lampu lapat-lapat menyorot keluar dari balik rumah gubuk itu, sementara suara
musik yang aneh tadi sudah sirap dan tidak terdengar lagi.
Dengan langkah perlahan dan hati-hati Siauw Ling maju beberapa langkah lagi kedepan
kemudian berhenti dan awasi rumah gubuk itu dengan seksama.
Terdengar ujung baju tersampok angin berkumandang tiba disusul munculnya Soen Put
Shia disisi pemuda itu.
“Saudara Siauw, apakah sudah berhasil menemukan sesuatu?” bisiknya.
“Jika dianalisa dari dengusan suara irama musik itu, rupanya musik aneh tadi berasal
dari rumah gubuk ini.”
“Kalau memang begitu, mengapa tidak kita periksa isi gubuk tersebut?”
“Baik! mari kita ketuk pintu untuk mohon berjumpa dengan tuan rumah gubuk ini.”
Gubuk itu berdiri menunggal ditengah hutan alas yang sunyi dan terpencil, empat
penjuru merupakan rumput alang-alang setinggi lutut sepintas lalu kelihatan sekali betapa
seram dan liarnya tempat itu.
Pintu gubuk itu tertutup rapat, perlahan-lahan dengan langkah waspada kedua orang
itu maju mendekat kemudian memeriksa dengan seksama, namun dari balik ruangan
sama sekali tidak kedengaran suara apapun jua.
“Adakah orang didalam?” terdengar Soen Put Shia menegur sambil menggaplok pintu
rumah dengan telapaknya. Pengemis tua ini meski usianya telah lanjut namun tabiatnya
yang berangasan dan tidak sabaran tak dapat berubah juga.
“Siapa? kenapa tak tahu adat?” suara sahutan yang dingin lagi ketus menyahut dari
dalam.
Soen Put Shia ingin mengumbar napsunya, tapi seraya pikirannya tidak bergerak, diamdiam
ia berpikir, “Aaah, aku tak boleh bertindak gegabah, apalagi kalau orang yang
berada didalam gubuk itu adalah manusia yang mainkan alat musik aneh tadi. Aku harus

bertindak semakin hati-hati” karena berpikir ia lantas mendehem dan menyahut, “Cayhe
adalah Soen Put Shia.”
“Kau laki-laki atau perempuan?” kembali pertanyaan yang bernada dingin lagi ketus
berkumandang keluar.
“Kurang ajar orang ini….” batin sang pengemis tua dalam hati kecilnya. “Sekalipun
generasi yang muda muncul dalam dunia persilatan dewasa ini sebagian besar tidak kenali
aku orang she Soen. Semestinya nama ini pernah mereka dengar dari angkatan yang lebih
tua, atau paling sedikit ia seharusnya bisa membedakan aku adalah seorang lelaki sejati
dari suaraku yang serak lagi kasar….”
Berpikir begitu, dengan hati mendongkol ia lantas berseru, “Haaah masa untuk
membedakan aku adalah laki-laki atau perempuanpun kau tidak sanggup.”
Orang didalam gubuk itu segera tertawa dingin.
“Hemm, coba kau dengar suaraku? terkalah aku adalah lelaki atau seorang
perempuan?”
Ucapan ini membuat Soen Put Shia seketika ini juga berdiri tertegun, pikirnya didalam
hati, “Jika didengar dari nada jelas dia adalah seorang lelaki tulen, tapi apa sebabnya ia
ajukan pertanyaan seperti ini?”
Kendati pengetahuan serta pengalaman Soen Put Shia amat luas, untuk sesaat ia
dibikin bingung juga oleh pertanyaan itu. Akhirnya ia berpaling kearah Siauw Ling dan
bertanya: “Saudaraku, menurut pandanganmu dia adalah seorang pria atau seorang
wanita?”
“Rupanya seorang lelaki!”
“Lookiauw hoa (Aku pengemis tuapun) merasa begitu!” sahut Soen Put Shia dia lantas
pertinggi suaranya dan menyambung: “Aaah, bukankah terang-terangan suara anda
adalah suara seorang laki-laki?”
“Hmmm! dugaanmu sama sekali meleset!”
“Tapi…. jika didengar dari nada suaramu barusan, terang kau adalah seorang pria.
Masa dugaanku meleset?” teriak sipengemis tua dengan alis berkerut.
Tangan kanan mengerahkan tenaga dan segera melepaskan pukulan satu pukulan
dahsyat…. Bium! palang pintu terhantam patah menyebabkan pintu gubuk itupun segera
terpentang lebar.
Melihat pukulannya berhasil pengemis tua itu segera bertindak maju kedepan, namun
sebelum ia sempat melangkah masuk kedalam pintu segulung angin pukulan yang maha
dahsyat menggulung keluar.

Angin pukulan yang menggulung datang itu bukan saja luar biasa hebatnya bahkan
cepat laksana sambaran kilat. Sebelum Soen Put Shia sempat melihat jelas pemadangan
dalam ruangan itu, pukulan sudah melanda tiba.
Dalam keadaan gugup dan terpopoh-popoh tidak sempat lagi pengemis tua itu untuk
berpikir lebih jauh sebisanya diapun melancarkan sebuah pukulan untuk membendung
datangnya ancaman.
Blumm…. dua angin pukulan yang maha dahsyat saling bertemu ditengah udara
menimbulkan pusaran angin puyuh yang hebat. Soen Put Shia merasakan sekujur
badannya bergetar keras. Tanpa bisa dikuasai lagi ia terdorong mundur kebelakang.
Braak! pintu besar gubuk itupun secara tiba-tiba menutup kembali.
Siauw Ling yang menyaksikan berlangsungnya peristiwa itu dari samping meski tidak
sambut serangan lawan secara langsung, namun dengan mata kepala sendiri ia saksikan
Soen Put Shia seorang tokoh maha sakti dari dunia persilatan terdorong mundur
kebelakang, dalam hati ia lantas berpikir, “Entah jagoan dari mana yang punya
kepandaian serta tenaga kweekang begitu dahsyat.”
Dalam hati berpikir begitu, diluaran ia lantas menegur, “Loocianpwee, berhasil melihat
wajah musuh?”
“Tidak….!” suaranya berubah jadi lirih. “Saudaraku rupanya kita sudah berjumpa
dengan musuh tangguh, lebih baik kita jangan turun tangan secara gegabah.”
“Apakah kita harus mengundurkan diri dengan begini saja?”
“Tentu saja tidak!” dengan suara lantang ia lanjutkan. “Aku sipengemis tua mempunyai
satu persoalan mohon petunjuk saudara, apakah kau suka membantu?”
“Persoalan apa?” suara dingin ketus tadi kembali berkumandang keluar dari dalam
gubuk.
“Tadi lookiauw hoa mendengar adanya suara irama musik yang sangat aneh, apakah
irama musik tadi adalah hasil karyamu?”
“Bukan, orang yang memainkan irama musik itu sudah pergi meninggalkan tempat ini
sejak tadi.”
“Kemanakah ia pergi?”
“Jagad begitu luas, siapa tahu ia pergi kemana?”
Perlahan-lahan Siauw Ling mengulurkan tangannya meraba pintu gubuk itu, sedang
dalam hati pikirnya, “Dengan kekuatan angin pukulan dari Soen loocianpwee, ia berhasil
menghancurkan pintu kayu ini. Kecuali orang yang ada didalam ruangan itu bisa
melepaskan angin pukulan yang seimbang dengan kekuatanku rasanya pintu ini masih
bisa dipertahankan. Tapi orang itu begitu hebat, ia bisa menyesuaikan diri dengan
keadaan disekelilingnya aku tak boleh pandang enteng dirinya….”

Pada saat itu Soen Put Shia pun rupanya telah merasakan bahwa dia telah berjumpa
dengan musuh paling tangguh selama hidupnya setelah kejadian tadi ia tidak melepaskan
serangan lagi. Lama sekali pengemis tua termenung akhirnya ia berkata, “Tenaga pukulan
saudara benar-benar hebat dan jarang sekali ditemui dalam kolong langit, meski begitu
lookiauw hoa rasa kaupun tak usah unjukkan tindak tanduk yang aneh dan kukoay. Atau
mungkin anggap aku sipengemis tua belum sesuai untuk berjumpa dengan tokoh lihay
macam kau….”
Jelas maksud sipengemis tua ini adalah memanaskan hati orang dalam gubuk itu agar
dia membuka pintu dan mempersilahkan mereka masuk. Siapa tahu bukan saja tiada
gerak gerik apapun bahkan setelah ditunggu lamapun tidak kedengaran suara jawaban
berkumandang keluar.
Soen Put Shia tak dapat menahan sabar lagi, dengan gusar teriaknya, “Hey….! saudara
betul-betul terlalu menghina orang lain!”
Blam! sebuah pukulan dahsyat segera dilepaskan menghantam pintu kayu itu.
Diiringi suara gemuruh yang amat keras, pintu rumah gubuk kayu itu terhantam hancur
oleh angin pukulan Soen Put Shia yang lihay dan berantakan diatas tanah.
Kejadian ini sungguh berbeda diluar dugaan kedua orang jago itu. Untuk sesaat mereka
berdiri tertegun, tapi sebentar kemudian Siauw Ling sudah mendusin, dia segera loncat
masuk kedalam ruangan gubuk itu.
Suasana dalam ruangan sunyi senyap tak kedengaran sedikit suarapun. Bahkan tidak
nampak sesosok bayangan manusiapun ada disitu jelas penghuninya telah melarikan diri.
Soen Put Shia segera pasang lampu untuk menerangi seluruh ruangan, tiba-tiba
mereka saksikan adanya secarik kertas menggeletak diatas meja.
Dengan cepat Siauw Ling menyerbu kedepan mengambil kertas tadi dan dibacanya
dibawah sorotan cahaya lampu.
Terbacalah surat itu berbunyi demikian, “Dipersembahkan kepada Siauw thayhiap.”
“Djen Bok Hong adalah gembong iblis yang kejam dan mempunyai ketajaman mata
serta pendengaran yang luar biasa. Demi keselamatan ayah ibumu maka bagaimanapun
juga terpaksa kami harus merahasiakan jejak kami.”
Membaca sampai disitu Siauw Ling tertegun dan berdiri termangu-mangu.
“Rupanya dia adalah jago lihay yang berdiri dipihak kita” gumamnya seorang diri.
“Benar” Soen Put Shia menyahut. “Djen Bok Hong memang manusia yang punya
banyak akal licik, sebelum mengetahui duduknya perkara kita tak boleh percaya seratus
persen.”
“Ucapan loocianpwee sedikitpun tidak salah.”

Maka diapun menernakan membaca isi surat itu.
“Ayah ibumu sudah tua, tidak mungkin bagi mereka berdua untuk melakukan
perjalanan lagi, untuk menghindari segala kemungkinan yang tidak diinginkan maka kami
harus mencari suatu tempat yang cocok dan sesuai bagi mereka untuk beristirahat, tapi
situasi terus menerus mendesak. Jari tangan iblis Djen Bok Hong telah alihkan keatas
tubuh dua orang tua yang tidak mengerti akan ilmu silat itu. Untuk menyelamatkan jiwa
mereka terpaksa kami harus bertindak cepat. Djen Bok Hong mempunyai mata-mata yang
luas dipelbagai tempat, posisimu berada ditempat terang sedang dia berada ditempat
kegelapan. Dalam pertarungan ini jelas kau sudah menderita rugi terlebih dahulu. Dalam
keadaan seperti ini tentu kau tidak punya kekuatan untuk melindungi kedua orang tuamu
lagi bukan? untuk membantu meringankan bebanmu, serahkan saja tanggung jawab ayah
ibumu kepada kami, kami jamin kesehatan serta keselamatan kedua orang tuamu tidak
kekurangan sesuatu apapun juga.”
“Sehabis membaca surat ini bakarlah sampai hancur. Suatu saat bila kau ingin
berjumpa dengan mereka. Aku pasti kirim orang untuk mencari dirimu. Sekianlah harap
kau legakan hati.”
Dibawah surat itu tidak nampak ada nama orang atau tanda tangan sipenulis surat itu.
“Apakah kau hendak menyimpan surat itu?” tanya Soen Put Shia.
Siauw Ling berpikir sebentar kemudian geleng kepala.
“Aku lihat tak usah!” sahutnya.
Surat itu segera dibakar dan dalam sekejap mata telah hancur jadi abu.
“Kalau didengar dari nada surat itu, agaknya dia kenal sekali dengan dirimu” ujar sang
pengemis kemudian.
“Tidak salah, tapi aku tidak bisa menduga siapakah orang itu meski sudah putar otak
sekian lama.”
“Berbicara lagi situasi yang kita hadapi sekarang ini, agaknya tak mungkin lagi bagi kita
untuk menemukan jejak ayah ibumu.”
“Aaaai…. ia tidak tinggalkan nama, tidak jelaskan pula kedudukan serta asal usulnya.
Darimana cayhe berlega hati tidak memikirkan persoalan itu?”
“Saudara Siauw, lookiauw hoa terpaksa harus menasehati dirimu dengan beberapa
patah kata. Dalam keadaan serta situasi seperti ini kendati kau gelisah dan cemas macam
apapun rasanya percuma saja. Seandainya tujuan orang itu menawan kedua orang tuamu
adalah hendak memaksa kita memenuhi sesuatu permintaannya. Isi hati mereka pasti
telah dicantumkan dalam surat tersebut, atau paling sedikit mereka tentu akan
menyinggungnya sepintas lalu. Tapi dalam suratnya barusan lookiauw hoa sama sekali
tidak menemukan sepatah atau dua patah kata yang bernada kearah situ maka menurut
pengalamanku, orang itu pasti tidak mengandung maksud jahat.”

Sementara itu obor yang dibawa Soen Put Shia telah padam, suasana dalam ruang
gubuk itupun jadi gelap kembali.
Siauw Ling angkat kepalanya dan menghembuskan napas panjang.
“Aaaai…. hingga kini, akhirnya kita berhasil bikin terang satu persoalan!”
“Persoalan apa?”
“Orang yang mukul mundur Djen Bok Hong dengan irama musiknya serta orang yang
menculik ayah ibu boanpwee kiranya adalah hasil perbuatan seseorang yang sama.”
“Haaa! sedikitpun tidak salah, enghiong memang kebanyakan kaum muda. Lookiauw
hoa benar orang yang bodoh, kenapa aku tidak bisa berpikir sampai kesitu….”
Jilid 18
“Sekalipun berhasil kita pikirkan, lalu apa gunanya?” ujar Siauw Ling sambil tertawa
getir.
“Tentu saja penting sekali artinya, misalnya saja berbicara mengenai situasi yang kita
hadapi malam itu, lukamu sangat parah dan tak sanggup bangun. Sedang aku sipengemis
tua serta Boe Wie Tootiang terkurung disisi telaga oleh jago-jago lihay Djen Bok Hong
yang begitu banyak, seandainya pada saat yang kritis tidak muncul irama musik yang
aneh, kejadiannya pasti hebat.”
“Pertarungan sengit tak terhindar dan kemungkinan besar aku sipengemis tua serta Boe
Wie Tootiang bakal mati konyol ditangan mereka. Bukan begitu saja bahkan Im Yang cu
beserta sekalian partai Bu tong, Bo Boen Hwie dan teman-teman lainnya tak akan
terhindar dari bencana-bencana. Jadi menurut pikiranku seandainya orang yang dipukul
mundur Djen Bok Hong dengan irama musiknya adalah seseorang yang sama, jelas ia
tidak bermaksud jahat terhadap diri kita semua!”
Ucapan ini sedikit banyak melegakan hati Siauw Ling ia menghela napas panjang.
“Loocianpwee apa yang harus kita perbuat saat ini?” akhirnya dia bertanya.
“Aku rasa Boe Wie Tootiang sekalian sudah tidak sabar menunggu kehadiran kita maka
kupikir lebih baik kita kembali dulu kebawah pohon Pak. Setelah berkumpul dengan
mereka semua kita baru menyusun rencana kembali!”
“Ehmm!aku rasa kita memang sudah seharusnya berbuat begini!”
Begitulah mereka berdua lantas keluar dari rumah gubuk dan kembali melalui jalan
semula.

“Saudara Siauw!” Ditengah jalan Soen Put Shia memperingatkan: “Sesudah bertemu
dengan Boe Wie Tootiang nanti, lebih baik kita tak usah ungkap lagi persoalan ini.”
“Kenapa?”
“Awan gelap telah menyelimuti jagad dunia persilatan sedang kau, saudara Siauw
adalah rembulan ditengah awan hitam. Sejak pertempuran dalam perkampungan Pek Hoa
San cung tempo dulu, bukan saja namamu meloncat tinggi bahkan kau telah dipandang
sebagai simbol kekuatan untuk melawan gerombolan Djen Bok Hong, mungkin kau masih
belum tahu bahwa secara lapat-lapat kau telah menjadi pemimpin orang Bulim. Justru
karena itulah Djen Bok Hong berdaya upaya dengan segala kemampuannya untuk
menangkap ayah ibumu maksudnya bukan lain paksa untuk tunduk pada perintahnya,
agar kau tidak berani membangkang dan lawan dirinya, dalam hati kecilnya ia paham
bahwa mulai itu hanya kaulah yang punya kemampuan serta keberanian untuk
menyelenggarakan suatu kekuatan Bulim untuk menentang dirinya. Maka dari itu demi
keselamatan ayah ibumu serta keberhasilan kita untuk menghancurkan kekuatan Djen Bok
Hong berusahalah merahasiakan jejak orang yang tahu akan kejadian ini semakin
menguntungkan dirimu sendiri.”
Siauw Ling segera mengangguk.
“Perkataan loocianpwee sedikitpun tak salah. Tapi apa yang harus kau jawab
seandainya mereka bertanya nanti?”
“Jawablah sebagian saja dari kejadian yang sesungguhnya.”
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki kedua orang itu telah berhasil mencapai puncak
kesempurnaan. Sesaat kemudian mereka berdua dibawah pohon Pak.
Dalam pada itu Boe Wie Tootiang serta Tiong Cho Siang Ku sekalian beberapa orang
sedang menanti dengan hati cemas, melihat kedua orang itu sudah kembali buru-buru
mereka maju menyongsong.
“Hei. Apakah kalian sudah berhasil menjumpai peniup seruling itu?” terdengar Kiem
Hoa Hujien yang belum sembuh dan bersandar disisi pohon berteriak keras.
“Hanya kami dengar suaranya saja, sedang macam orangnya tak berhasil kita temui.”
“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Boe Wie Tootiang.
Soen Put Shia takut Siauw Ling terlanjur bicara selalu, maka ia segera tertawa
terbahak-bahak dan menyambung, “Aku sipengemis tua serta saudara Siauw telah
mengejar suara itu hingga tiba didepan sebuah rumah gubuk, kiranya suara seruling itu
muncul dari dalam rumah gubuk tadi….”
“Apakah kalian tidak masuk dan memeriksa keadan didalam gubuk itu….” sela Kiem
Hoa Hujien.

“Menggunakan kesempatan ketika ajak sipengemis tua berbicara, orang itu telah
melarikan diri lewat jendela kebelakang, sehingga tatkala aku serta saudara Siauw berhasil
masuk kedalam rumah gubuk itu, ternyata orang tadi sudah lenyap tak berbekas.”
“Kalau begitu dia tidak sudi bertemu muka dengan kalian?”
“Mungkin saja begitu!”
Sang Pat melirik sekejap kearah Siauw Ling lalu berkata, “Toako meskipun daya cium
anjing kita tajam namun setelah adanya kejadian ini tidak mungkin berhasil kita kejar
jejak dirinya lagi.”
“Aaaaa…. agaknya mereka sudah memperhitungkan segala sesuatunya dengan cermat
meski kita kejarpun rasanya tak berguna, sekarang urusan sudah jadi begini, sekalipun
gelisah juga percuma, lebih baik tak usah dikejar lagi.”
“Lalu bagaimana rencana Siauw thayhiap selanjutnya?” tanya Boe Wie Tootiang.
“Anak murid partai Bu tong serta Bo Boen Hwie sekalian sedang menanti kita ditepi
telaga. Bagaimana kalau kita kembali dulu kesana?”
Tingkah laku Siauw Ling yang berubah seratus delapan puluh derajat ini
mencengangkan hati Boe Wie Tootiang. Diam-diam pikirnya, “Sungguh aneh sekali sikap
si anak muda ini apa sebabnya ia berubah pikiran secara mendadak? bukannya mencari
jejak ayah ibunya malahan diajak kembali….”
Tetapi sebagai seorang yang cermat dan mengutamakan tata kesopanan sekalipun
dalam hati menaruh curiga, kecurigaan itu tidak sampai diutarakan keluar.
Terdengar Tu Kioe berkata dengan suara dingin, “Siauwte sekalian tak berguna
sehingga mengakibatkan kedua orang tua diculik orang, sekalipun harus mengejar sampai
keujung langit kedasar samudra kami pasti harus temukan kembali mereka berdua!”
“Aaaai….! aku mengerti akan maksud hati Tu heng dalam hati siauwte merasa sangat
berterima kasih tetapi situasi yang kita hadapi sekarang telah berubah, kita tak boleh
tinggalkan begitu banyak sahabat-sahabat Bulim yang menderita luka.”
“Sedikitpun tidak salah” sambung Soen Put Shia. “Aku sipengemis tuapun berpikir
demikian, seandainya kita lama sekali tinggalkan tempat itu dan misalnya Djen Bok Hong
kirim jago-jagonya lagi untuk menyerang, sekalipun jago-jago Bu tong, namun aku tetap
merasa bahwa sepasang tangan tidak nanti bisa menangkan empat buah tangan.”
Mendadak Kiem Hoa Hujien bangun berdiri.
“Kalau memang cuwi sekalian mau kembali ketempat semula, aku tak bisa menyertai
kalian lagi….”
Sinar matanya beralih keatas wajah Siauw Ling dan menambah, “Saudara Siauw baikbaiklah
menjaga diri, cici mau pergi dulu.”

“Cici” seru Siauw Ling dengan cemas, ia segera loncat kedepan menghalangi jalan pergi
perempuan itu. “Lukamu belum sembuh, mana mungkin kau sanggup melakukan
perjalanan seorang diri.”
Anda sedang membaca artikel tentang Cersil : Rahasia Istana Terlarang 4 [Serial Kunci Wasiat] dan anda bisa menemukan artikel Cersil : Rahasia Istana Terlarang 4 [Serial Kunci Wasiat] ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/10/cersil-rahasia-istana-terlarang-4.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil : Rahasia Istana Terlarang 4 [Serial Kunci Wasiat] ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil : Rahasia Istana Terlarang 4 [Serial Kunci Wasiat] sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil : Rahasia Istana Terlarang 4 [Serial Kunci Wasiat] with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/10/cersil-rahasia-istana-terlarang-4.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar