merangkai cerita yang akan diuraikan, lalu melanjutkan: "Sayang
kepandaian Khong-kok-lan setingkat lebih rendah, dia terluka parah
oleh pukulan musuh. Melihat wajahnya ayu jelita, musuhnya itu
timbul nafsu birahinya, ketika dia hendak diperkosa, muncullah
seorang tokoh muda lainnya. Musuh berhasil dibunuh olehnya, maka
Khong-kok-lan dibawanya pergi, diobati dan dirawat dengan tekun
.........”
Biau-jiu Siansing pejamkan mata, suaranya meninggi: "Setelah
luka-luka Khong-kok-lan sembuh, disamping amat haru dan
berterima kasih akan perawatan dan pertolongannya, diapun
merasakan penolongnya ini seorang muda yang baik hati, malah
membujuk dan meminangnya berulang-ulang. Akhirnya dia menikah
dengan penolongnya itu .....”
Jantung Ji Bun berdebur, lekas dia menukas: "Siapakah
penolongnya itu?"
Membelalak kedua biji mata Biau-jiu Siansing, sahutnya: "Dia
adalah ayahmu Ji Ing-hong."
“O, bagaimana selanjutnya?"
"Kira-kira tiga tahun kemudian, datang seorang menuntut balas
ke jit-sing-po, sekaligus terbongkarlah satu muslihat yang
menakutkan ........”
"Rahasia apakah yang terbongkar?"
Biau-jiu Siansing mengertak gigi, katanya dengan keren:
"Ternyata Hing-thian-kiam yang dipukul jatuh ke dalam jurang tiga
tahun yaog lalu itu, memang pembunuhan yang sudah direncanakan
........"
"Pembunuhan yang sudah direncanakan?" Ji Bun menegas pula.
"Ya, muslihat yang rendah dan hina dina tujuannya adalah
Khong-kok-lan .....”
Berat perasaan ji Bun, hampir dia tak berani mendengar lebih
lanjut, namun rasa ingin tahu tetap merangsang dihatinya, tanyanya
dengan gemetar:
"Muslihat siapakah itu?"
"Ayahmu!"
Bergidik Ji Bun seperti mendadak kecebur sumur es yang dingin,
teriaknya dengan histeris: "Tidak, ... tidak mungkin!"
"Kau harus menerima kenyataan ini dengan kepala dingin."
"Siapa bisa membuktikan?"
"Ji Bun, kau kira siapa yang menuntut balas ke Jit-sing-po?"
"Siapa?"
"Ji-susiokmu (paman guru kedua)! Sam-susiokmu dibunuh
ayahmu setelah Hing-thian-kiam berhasil dijerumuskan ke jurang."
Ji Bun mundur tiga langkah, mulutnya menggumam: "Betulkah
ayah macam orang demikian? Dia ..... ternyata .....”
"Watak Sam-susiokmu mirip dengan ayahmu, maka dialah yang
menjadi korban muslihat keji dan kotor itu."
"Lalu bagaimana dengan Ji-susiok?"
"Akhirnya iapun terbunuh oteh ayahmu."
"Oh, ini ..... ini sungguh menakutkan."
"Ibu tuamu Khong-kok-lan tahu kepandaian silatnya bukan
tandingan ayahmu, maka dia cari kesempatan, untuk turun
membalas kekejian ayahmu ........”
Terbayang oleh Ji Bun betapa dendam dan benci ibu tuanya
terhadap ayahnya, dia percaya ini pasti bukan bualan belaka,
perbuatan rendah dan hina dina yang diwariskan ayahnya ini,
betapapun takkan tercuci bersih, namun derita lahir batin ini takkan
bisa dilenyapkan untuk selamanya, tanyanya: "Dia berhasil menuntut
balas?"
"Tidak. Setelah ayahmu memperoleh Tok-keng, lebih-lebih tiada
kesempatan lagi."
"Bagaimana beliau bisa berada di gedung setan?"
"Secara suka rela aku menolong dan menerimanya."
"Siapakah bocah bernama Siao-po itu?"
Terunjuk rasa pilu pada sorot mata Biau-jiu Siansing, katanya
gemetar: "Itulah puteraku, waktu dilahirkan ibunya meninggal,
sekarang kuserahkan dia untuk merawat dan membimbingnya."
"Cianpwe memang sudah tahu sebelumnya akan peristiwa itu?"
"Tidak, belakangan ini, setelah kau mampir ke gedung setan itu,
ibumu menceritakannya padaku."
"Cianpwe mau menerima ibu tua disana, tentu ada sebabnya?
Bolehkah Wanpwe tahu?"
"Ini ..... ayahmu ada hubungan kental dengan keluarga Ciang,
betul tidak?"
"Itu memang kenyataan.”
"Karena itulah, Lohu mau menerimanya, karena Lohu juga punya
hubungan luar biasa dengan keluarga Ciang."
"Apakah ayahku almarhum tidak tahu?"
"Yang tahu sarang rahasiaku kau inilah orang pertama."
Tengah mereka berbincang, sekonyong-konyong bayangan
seorang bagai angin lesus melesat lewat di samping mereka, tanpa
sadar Ji Bun berteriak memuji: "Gerakan hebat, dapat dijajarkan
dengan Cianpwe."
Belum habis Ji Bun bicara, bayangan orang yang sudah lewat itu
tiba-tiba melesat kembali dan berhenti di hadapan mereka, kiranya
seorang Siucay (pelajar tua) yang berdandan seperti guru
kampungan, namun sorot matanya tajam menatap Biau-jiu Siansing,
katanya setelah mengawasi sekian lamanya: "Tuan ini adalah Thian-
gan-sin-jiu?"
Biau-jiu Siansing ngakak, sahutnya: "Memang akulah yang
rendah, ahli mengobati penyakit aneh, bisa meramal dan lain-lain,
saudara ........”
"Tuan juga adalah Biau-jiu Siansing, betul tidak?" tukas Siucay
tua dingin.
Agaknya Biau-jiu Siansing betul-betul terperanjat, matanya
melirik kepada Ji Bun, lalu balas bertanya: “Pandanganku mungkin
sudah kabur, maka mohon tanya saudara ini orang kosen
darimana?"
Berputar biji mata Siucay tua yang berkilau itu, katanya: "Tuan
tidak perlu tahu, kalau aku sembarangan menyebut sebuah nama,
tentunya tiada gunanya buat kau .......”
"Betul lalu saudara ada petunjuk apa?"
"Aku ingin mencari tahu seseorang."
"Siapa?"
"Jit-sing-po-cu Ji Ing-hong."
Berdebar hati Ji Bun. orang yang berdandan pelajar kampungan
ini entah darimana asalnya. Untuk apa pula mencari tahu jejak
ayahnya? Dari mana dia tahu asal usul Biau-jiu Siansing?
"Kenapa saudara mencari tahu jejak Ji Ing-hong kepadaku?"
"Karena kalian sekomplotan."
Tersirap darah Ji Bun. Sungguh tak pernah terpikir olehnya
bahwa Biau-jiu Siansing sekomplotan dengan ayahnya. Serta merta
dia melirik Biau-jiu Siansing dengan tatapan curiga, sejauh memang
dirinya belum berhasil melucuti wajah aslinya maling tua ini, yang
diketahui hanya Biau-jiu Siansing adalah duplikat Thian-gan-sin-jiu.
"Apa?" teriak Biau-jiu Siansing keras. "Ji Ing-hong sekomplotan
denganku?"
"Apa kau menyangkal?" tanya orang itu.
"Kau pasti punya dasar tuduhan ini? Coba jelaskan."
"Tuan bersama Ji Ing-hong menyaru jago Ngo-lui-kiong, ikut
membuat huru-hara ke Wi-to-hwe, benar tidak?"
"Darimana kau tahu?"
"Cukup asal kau mengaku saja, soal lain tak usah ditanya."
Semakin bergolak perasaan Ji Bun, sungguh tak nyana orang
baju putih yang mengacungkan Ngo-lui-cu di Tong-pek-san dan
dicegah Thong-sian Hwesio itu ternyata adalah ayahnya. Kenapa
Biau-jiu Siansing tidak pernah menyinggung soal ini? Memang waktu
Biau-jiu Siansing pernah memperingatkan dirinya supaya
meninggalkan gelanggang, kiranya ada sebabnya. Sepak terjang
Biau-jiu Siansing sungguh sukar diraba.
Biau-jiu Siansing terdiam sebentar, tanyanya: "Untuk apa saudara
mencari tahu jejaknya?"
Berkilat sinar mata Siucay tua itu, katanya: "Untuk menagih
utang lama."
"Kukira kau takkan bisa menagih utangmu itu. Jit-sing-pocu
sudah meninggal di jalan raya yang menuju ke Kay-hong."
Siucay tua terkekeh-kekeh dingin, katanya: "Maling tua, berani
kau mengatakan bahwa yang mati betul-betul Ji Ing-hong si keparat
itu?"
Mendengar orang memaki dan menghina ayahnya, Ji Bun naik
pitam, namun dia tekan amarahnya. Kata-kata orang juga
mengejutkannya, jenazah ayah dan dia sendiri yang mengubur.
Walau wajahnya sukar dikenali, namun dari barang-barang
peninggalan yang ada di kantong bajunya, jelas adalah milik
ayahnya. pakaiannyapun cocok dan tidak mungkin dipalsukan.
Cukong atau majikan Kwe-loh-jin pernah suruh orang berpesan
kepadanya bahwa ayahnya mati terbunuh oleh Thong-sian Hwesio.
Biau jiu Siansing juga melenggong sekian lama. Hati Ji Bun juga
dirundung kecurigaan, bukan mustahil peristiwa pembunuhan itu
juga merupakan muslihat belaka? Akhirnya Biau-jiu Siansing buka
suara nadanya rendah dingin: "Aku tidak mengerti apa maksud
saudara."
"Maling tua, dihadapan sang Buddha jangan kau bersembahyang
dengan dupa palsu, bicaralah terus terang saja."
"Saudara terlalu menghina dan pandang rendah orang lain."
"Sikapku ini terhitung memberi muka padamu."
Ji Bun tidak sabar lagi, segera ia menyeletuk dengan sinis:
"Kenapa tuan ini tidak berterus terang akan pribadi sendiri?"
Mengerlingpun tidak mata Siucay tua, hakikatnya dia anggap
tidak dengar ucapan Ji Bun, katanya melengking: "Buyung, tiada
urusanmu disini."
"Kenapa tidak?"
"Hm, apakah kau tahu di mana Ji ing-hong berada?"
"Mungkin aku tahu."
Tiba-tiba Siucay tua berputar menghadap Ji Bun, sorot matanya
bagai kilat tajam menatap anak muda itu. Ji Bun tidak gentar, ia
balas tatap orang, katanya: "Sekarang mohon tanya nama gelaran
tuan."
"Selamanya Lohu tidak suka mengagulkan diri."
"Kalau demikian, jangan harap tuan bisa mendapat jawaban."
"Kau congkak sekali, anak muda. Aku tidak sabar lagi,"
"Akupun tidak sabar untuk menggebahmu pergi.”
Lekas Biau-jiu Siansing menyela: "Berdasar apa kau bilang yang
mati di jalan raya Kay-hong itu bukan Ji Ing-hong?"
"Kenapa Ji Ing-hong dibunuh? Siapa yang menyaksikan? Dengan
bekal kepandaiannya, kukira jarang ada orang yang mampu
membunuhnya? Apalagi, dia pandai main racun?“
"Memang beralasan, tapi masih banyak orang pandai di kalangan
Kang-ouw."
"Meski demikian, masakah Ji Ing hong tidak mampu melarikan
diri, apalagi manusia berjiwa kerdil dan jahat seperti dia, tentu
sebelumnya dia sudah mengatur jalan mundur."
"Jangan saudara lupa, dia terbunuh setelah berhantam mati-
matian dengan lawan dan akhirnya gugur bersama."
"Kau sendiri tidak menyaksikan bukan? Kabar angin tidak boleh
dibuat bukti. Ketahuilah maling tua, korban itu mati lantaran
keracunan, tiada luka apa-apa di badannya, wajahnya dihancurkan
setelah jiwanya melayang, maka darah yang meleleh tidak banyak.
Luka-lukanyapun tiada sesuatu yang luar biasa. Cara mengelabuhi
orang begitu masakah bisa mengaburkan pandangan Lohu."
"Jadi tuan sendiri menyaksikan kejadian itu?" tanya Biau-jiu
Siansing.
"Aku datang kemudian, namun mayat-mayat mereka pernah
kuperiksa."
Goyah pendirian dan pendapat Ji Bun, jika betul begitu, maka
dalam peristiwa pembunuhan ini pasti ada latar belakangnya. Sudah
tentu ia harap ini jadi kenyataan, ia berharap ayahnya masih hidup.
Keja¬dian ini betul-betul merupakan keanehan. Maka ia ber¬kata:
"Agaknya tuan selalu menguntit jejak Ji-pocu."
"Ya, boleh dikatakan demikian."
"Soal mati hidupnya tak perlu diungkat lagi, perhitungan apa
yang hendak tuan tagih dari dia?"
"Anak muda, tadi kau bilang tahu jejaknya?”
"Ya, Cayhe tahu kalau dia sudah meninggal, malah aku sendiri
yang mengubur mereka, akupun mendapatkan tanda-tanda bukti
dari kantong bajunya, menandakan asal usul si korban."
“Apakah tidak terpikir olehmu bahwa itu muslihat Ji Ing-hong
untuk mengalihkan perhatian musuh terhadap jiwanya?"
"Tiada alasan kenapa aku harus berpikir demikian.”
"Bedebah, minggir kau, soal ini kau tidak usah campur."
Bangkit watak angkuh Ji Bun, dengusnya: “Cayhe justru ingin ikut
campur."
"Anak muda," desis Siucay tua, "Apa maksudmu?"
"Agaknya kau sudah bosan hidup?" ancam Siucay. "Jangan kau
paksa aku membunuhmu." Belum lenyap kumandang suaranya,
tangannya tiba-tiba terulur ke dada Ji Bun, gerakan cengkeraman ini
aneh dan cepat sekali. Ji Bun menggeram rendah, iapun bergerak
dalam waktu yang sama, telapak tangannya memapas pergelangan
tangan lawan.
Belum lagi gerakannya berhenti, tahu-tahu setengah tubuhnya
terasa kejang dan linu, tahu-tahu Jian-kin-hiat di pundak telah
terpegang oleh lawan, telapak tangannya juga berhasil menabas
pergelangan lawan.
Seketika Siucay tua menjerit kaget: "Tangan beracun!" pegangan
dilepas, kaki menyurut mundur, wajahnya berubah pucat.
Dingin Pandangan Ji Bun, dia tunggu reaksi namun Siucay tua ini
tidak terjungkal roboh, hanya mulutnya sedikit mengernyit seperti
menahan sakit. Seorang yang tidak gentar terhadap tangan beracun.
Terdengar Siucay tua barkata tertahan: "Kau inikah Te-gak
Suseng? Kenapa tidak mirip wajah yang pernah kudengar ..... oh,
ya, keluyuran bersama si maling, tentunya bukan wajahmu yang asli
......" hanya bicara beberapa patah kata ini, keringat sudah berketes-
ketes di jidat si Siucay. Kalau dia dapat melawan menjalarnya racun
dengan tenaga dalam, dapatlah dibayangkan betapa tinggi
Lwekangnya.
"Latihan Lwekang tuan memang amat mengejutkan, namun
racun tetap tidak akan bisa ditawarkan, paling-paling hanya
mengulur waktu saja."
"Ehm, bagus, anak muda, Lohu tak pernah pikir bakal kecundang
olehmu, mungkin memang sudah nasibku."
"Apakah tuan tidak takluk dan menyerah saja?"
"Kalau tahu kau ini Te-gak Suseng, tiada kesempatan bagimu
menggunakan racun."
"Mungkin, tapi sudah terlambat, menyerah saja."
Mendadak Biau-jiu Siansing berkata keras: "Berikan obat
penawarnya!"
"Kenapa?" tanya Ji Bun melengak.
"Nak, berikan kepadanya!" kata Biau-jiu Siansing tegas.
Ji Bun berpikir, mungkin Biau-jiu Siansing punya maksud tertentu,
maka tanpa bersuara segera dia keluarkan sebutir pil terus
diangsurkan. Lekas Siucay itu menerima dan ditelapnya, rasa derita
seketika sirna dari wajahnya. Katanya sambil membanting kaki:
"Selamat bertemu lagi"
Sekali berkelebat, bayangannya tahu-tahu sudah menghilang.
Begitu membalik badan, tahu-tahu Siucay tua itu sudah
berkelebat menghilang, kecepatan dan ketangkasannya ternyata
tidak di bawah Biau-jiu Siansing.
Dengan heran Ji Bun bertanya: "Kenapa harus memberi obat
penawar kepadanya?"
"Lohu .... curiga akan seseorang.”
"Siapa?"
"Lan Sau-seng."
"Orang macam apakah Lan Sau-seng itu?"
"Dia adalah adik ibumu."
"Pamanku? Apakah Cianpwe tidak yakin dia ini orangnya?"
"Tidak, sebab Lohu belum pernah melihat mukanya."
"Lalu kenapa Cianpwe curiga kalau dia ini paman ku?"
"Dulu, waktu ibumu Lan Sau-tin menikah dengan ayahmu,
pamanmu ini menentangnya secara keras, karena itu hubungan
kakak beradik menjadi putus. Dalam gusarnya pamanmu mengusir
ibumu dan bersumpah suatu ketika hendak membuat perhitungan
dengan ayahmu .....”
Ji Bun ketarik, inilah sekelumit riwayat hidup keluarganya yang
belum diketahuinya, maka dia bertanya gugup: "Kenapa dia
menentang pernikahan ibuku?"
"Karena ayahmu sudah menikah dengan ibu tuamu Khong-kok-
lan So Yan, jadi ibumu hanya seorang gundik."
“O, kiranya begitu, agaknya amat besar cinta ibu kepada ayah
dulu. Lalu berdasar apa Cianpwe menaruh curiga."
"Pertama, dia bilang hendak membuat perhitungan namun tidak
mau menyebut nama sendiri. Kedua, bahwa ayahmu sering
menyamar jadi orang berkedok berjubah sutera, hal ini jarang
diketahui orang di kalangan Kang-ouw, namun dia tahu. Ketiga,
gerak geriknya aneh dan cepat, menurut apa yang pernah dikatakan
ayahmu, pamanmu Lan Sau-seng memang ahli dalam Ginkang."
“O, kenapa tadi Cianpwe tidak tanya kepadanya?"
"Kalau salah bagaimana? Jumlah musuh tidak sedikit, sekali lena
dan gegabah, banyak buntutnya. Kelak kau masih punya banyak
waktu untuk menyelidiki hal ini."
Ji Bun manggut-manggut, katanya sungguh-sungguh: "Betul¬kah
ayah belum meninggal?"
Biau-jiu Siansing balas bertanya: "Apa kau sendiri berpendapat
hal ini mungkin?"
"Sesuai apa yang dikatakan Siucay tadi mungkin saja. Pertama,
ayah seorang ahli dalam permainan racun, tidak mungkin dia mati
keracunan. Kedua, bahwa dia gugur bersama dengan Jit-sing-kojin,
kenapa keduanya tidak nampak luka-luka? Ketiga, setelah jiwa
melayang baru kepala mereka dihancurkan, jelas peristiwa ini
memang, ada latar belakangnya."
"Jadi kau berpendapat ayahmu memang sengaja main muslihat?"
Ji Bun diam saja, sudah tentu dia berharap timbulnya suatu
kegaiban, bahwa yang terbunuh itu memang bukan ayahnya. Namun
dalam hati dia merasa malu diri, karena perbuatan seperti ini tidak
pantas dilakukan oleh seorang pendekar yang berjiwa ksatria.
Agaknya Biau-jiu Siansing sudah segan membicarakan hal ini, peti
segera dipanggul dan tangan menggoyang kelinting, katanya: "Lohu
harus segera berangkat, selamat bertemu lagi." lalu ia melangkah
pergi.
Dalam jangka setengah hari ini, banyak yang diperoleh Ji Bun
mengenai rahasia keluarganya. Dari rahasia keluarga yang diketahui
ini secara beruntun membongkar kedok dan kemunafikan ayahnya.
Hal ini sungguh sangat menusuk hatinya, diam-diam ia malu dan
berduka.
Kalau ayah tidak mati, bagaimana bisa menuduh Thong-sian
Hwesio sebagai pembunuh? Pula Thong-sian Hwesio tidak pernah
pakai racun, juga tak mungkin dia menghancurkan kepala orang
setelah membunuhnya? Sayang waktu dia mengubur kedua mayat
itu tidak memikirkan hal ini. Semua persoalan yang diajukan oleh
Siucay tua tadi sebetulnya bisa segera membuktikan kenyataan.
Semua perubahan yang bertambah rumit ini merupakan pukulan
yang menggoyahkan tekad Ji Bun untuk menuntut balas, apalagi
sepak terjang ayahnya dulu memang terlalu rendah dan hina.
Semakin dipikir semakin kalut.
Sekarang dia benar-benar merasa perlu untuk segera pergi ke
Kay-hong, hanya Ciang Wi-bin seorang yang sekarang bisa diajak
berunding. Bukan saja bisa meminjam tenaganya, iapun bisa diminta
saran untuk merancang penuntutan balas, maka tanpa banyak pikir
lagi Ji Bun segera mengayun langkah kembali ke kota Lam-cau.
13.39. Korban Ilmu Hian-giok-siu-hun
Masuk dari pintu barat tanpa sadar dia langsung menuju ke
rumah ayahnya. Dia pikir kalau pak jenggot sudah mau dibeli oleh
musuh dan menjadi kaki tangannya, pasti ada orang lain pula yang
menghuni rumah besar itu, mungkin ada jejak lain yang bisa
ditemukan di sana. Seumpama secara tidak terduga diperoleh
sumber, tentu tidak usah banyak membuang tenaga dan memeras
pikiran lagi. Hanya jejak dan keselamatan ibunya yang masih
mengganjel hatinya.
Dia melompat ke wuwungan rumah dari arah samping, kembali
dia menyelundup kedalam taman, setiba ruang depan, dilihatnya
mayat pak jenggot masih menggeletak di tempat semula. Sesaat dia
berdiri melongo, apa betul dalam rumah sebesar ini hanya dihuni
pak jenggot seorang? Jadi pak jenggot memang sudah lama
mendapat perintah untuk menjebak dirinya.
Pak jenggot adalah warga Jit-sing-po yang tertua, bahwa dia mau
menjadi kaki tangan dan mencelakai jiwa tuan mudanya, sungguh
suatu hal yang luar biasa?
Dengan seksama Ji Bun periksa seluruh isi rumah ini, namun
tiada sesuatu yang didapatkan. Walau ia amat dendam dan benci
kepada pak jenggot yang khianat ini, namun sebagai manusia
berhati luhur, Ji Bun menggotongnya keluar dan dikebumikan di
taman, di sinilah letak kebajikan Ji Bun.
Selesai mengubur mayat pak jenggot, haripun sudah mendekati
magrib, ia pikir harus segera pergi. Tapi baru saja timbul niatnya,
kesiur angin dari lambaian pakaian orang terdengar oleh kupingnya
yang tajam. Tergerak hati Ji Bun, cepat dia menyelinap ke balik
rumpun bunga.
Beberapa orang tampak melompat turun dari atap rumah, yang
terdepan adalah Bu-cing-so diiringi delapan laki-laki berseragam
hitam, segera Bu-cing-so angkat tangan memberi perintah: "Dua
orang satu kelompok, geledah dengan teliti, begitu menemukan apa-
apa, segera memberi tanda peringatan."
Serempak kedelapan orang mengiakan terus memencarkan diri.
Pelan-pelan Bu-cing-so pandang ke seluruh penjuru, mulutnya
mengguman sendiri: "Pernah ada orang bergebrak disini."
Ji Bun keheranan, apa tujuan Wi-to-hwe mengutus orang-
orangnya kemari? Dendam kembali membakar dadanya. "Berantas
satu persatu" itulah semboyan dalam rangka menuntut balas.
Sekarang dia yakin dengan bekal Lwekangnya, pasti cukup untuk
menghadapi Bu-cing-so bersama delapan anak buahnya. Begitu
nafsunya timbul segera dia berkelebat keluar.
Bu-cing-so kaget, tanpa sadar dia mundur selangkah, bentaknya:
"Siapa kau?"
Tujuan Ji Bun merenggut jiwa orang, dia kira tidak perlu banyak
mulut lagi. Secepat kilat tangan kanannya membelah ke depan
sementara tangan kiri ikut memotong miring melintang.
Tak pernah diduga Bu-cing-so bahwa laki-laki muka hitam ini
mendadak muncul lantas menyerang dirinya, malah serangannya
bukan olah-olah hebatnya. Secara refleks dia melompat ke belakang,
begitu kaki menginjak tanah, kedua tangan segera di dorong
kedepan.
"Blang", begitu pukulan saling bentur, Bu-cing-so tergetar
selangkah, tak pernah terbayang olehnya bahwa lawannya memiliki
Lwekang setinggi ini, maka tadi ia hanya mengerahkan enam bagian
tenaganya.
Gerakan tangan kanan Ji Bun hanya tipuan belaka, sebaliknya
tangan kiri mengerahkan seluruh kekuatannya, karena Bu-cing-so
tergetar mundur jaraknya agak jauh, sukar untuk melancarkan ilmu
beracun, namun demikian Bu-cing-so berhasil dipukul mundur ini
menandakan bahwa Lwekangnya lebih tinggi dari lawan.
Mimpi juga Bu-cing-so tidak pernah menduga dalam segebrak
meja dirinya sudah kecundang, bentaknya: "Sebutkan namamu."
Ji Bun tak pedulikan, tenaga dikerahkan, kedua tangan terus
menggempur lagi, damparan angin seketika menerjang ke depan.
Kali ini Bu-cing-so sudah kapok dan tak berani memandang rendah
musuh, iapun kerahkan seluruh kekuatannya menangkis. "Plak",
hawa bergolak bumi terasa bergoyang. Gerakan Ji Bun hanya
teralang sekejap, sebaliknya Bu-cing-so terdorong mundur tiga
empat langkah. Ji Bun tidak beri kesempatan lawan bernafas,
kembali telapak tangannya tegak menabas dengan gerak mendorong
lurus ke depan.
"Blang", di tengah gerungan tertahan, Bu-cing-so sempoyongan,
air mukanya berubah sama sekali. Tahu-tahu dua larik sinar pedang
meluncur datang, kiranya dua diantara anak buahnya memburu tiba
karena mendengar keributan di sini.
Ji Bun ayun tangan kanan, dia tangkis kedua pedang lawan,
berbareng kakinya berkisar kesamping dan memiringkan badan,
sebat sekali tangan kirinya mengebas.
"Waaah ...... waaaah ..... kedua ahli pedang ini menjerit dan
terbanting mampus.
Ji Bun membalik badan, desisnya beringas: "Bu-cing-so, tibalah
saat kematianmu."
Mendadak Bu-cing-so bergelak tertawa, tergetar hati Ji Bun, tiba-
tiba diingatnya lawan tengah melancarkan ilmu saktinya Thian-cin-ci-
sut. Lekas dia pergunakan ilmu yang diajarkan Thian-thay-mo-ki
untuk melawan getaran ilmu lawan, dengan langkah enteng dia
mendesak maju. Melihat ilmu saktinya tidak manjur, serasa terbang
sukma Bu-cing-so, gelak tertawanya seketika berhenti.
Beberapa kaki di depan lawan, Ji Bun angkat tangannya
menyerang pula. Tapi sebelum serangannya dilancarkan Bu-cing-so
sudah mendahului bergerak. Secepat kilat ia menyerang dengan
sengit, kekuatan dan latihannya yang sudah matang, sudah tentu
membawa tenaga yang dahsyat. Ia yakin hanya beberapa tokoh
yang mampu melawannya. Namun tujuan Ji Bun memang
memancing lawan turun tangan menyerangnya. Kalau tidak sulit
baginya untuk menggunakan tangan beracun, dengan tangan kanan
menangkis, secepat kilat tangan kiri terus menjojoh.
"Berhenti!" pada detik yang menentukan itu mendadak sebuah
bentakan menggelegar, berbareng segulung angin menyamber tiba.
Kedua orang sama tersiak mundur.
Tampak oleh Ji Bun seorang laki-laki setengah tua berdiri di
samping sana, mukanya dihiasi codet sebesar telapak tangan. Dia
bukan lain adalah Wi-to-hwecu Siangkoan Hong adanya. Berhadapan
dengan musuh, seketika menyala biji mata Ji Bun.
Kereng dan berat suara Siangkoan Hong: "Harap Hou-hoat
mundur dulu, biar aku tanya dia."
Tanpa bersuara Bu-cing-so lantas mengundurkan diri.
Kejap lain beberapa bayangan orangpun bermunculan, Siang-
thian-ong, Jay-ih-lo-sat Cui Bu-tok, dua orang tua dan seorang
pertengahan umur, hanya Thong-sian Hwesio yang tidak kelihatan.
Bahwa ketuanya datang sendiri, jelas urusan tentu cukup penting.
Ji Bun menerawang keadaan, dia yakin dengan Bu-ing-cui-sim-jiu
beberapa jiwa musuh pasti bisa diganyangnya, sudah tentu sasaran
utama adalah Siangkoan Hong.
Wi-to-hwecu adu pandang dengan Ji Bun dengan sengit dan
beringas, dalam hati sama-sama waspada dan saling menjajaki isi
hati masing-masing, suasana menjadi tegang.
Mendadak Cui Bu-tok menjerit: "Lapor Hwecu, kedua orang kita
ini mati karena racun penghancur jantung yang amat jahat."
Semua hadirin sama tersirap darahnya mendengar itu.
Memancar terang sinar mata Wi-to-hwecu, katanya dengan nada
berwibawa: "Sebutkan namamu."
Ji Bun mengertak gigi, dia balas bertanya: "Siangkoan Hong, apa
maksud kedatanganmu?"
Wi-to-hwecu mendengus, bentaknya: "Pernah apa kau dengan Ji
Ing-hong?"
Ji Bun melangkah setindak, katanya dingin tajam: "Akulah
penuntut balasnya."
"Bagus sekali, dimana Ji Ing-hong menyembunyikan diri?"
Tergetar hati Ji Bun, jadi Wi-to-hwe meluruk kemari lantaran
ayahnya, bukankah ayahnya mati terbunuh oleh Thong-sian Hwesio
di jalan raya Kay-hong, kenapa mereka malah tanya ayahnya? Naga-
naganya omongan laki-laki tak dikenal yang sehaluan dengan Kwe-
loh-jin itu hanya bualan belaka. Sesaat lamanya dia melenggong
entah apa yang harus dilakukannya.
"Saudara," bentak Wi-to-hwecu pula, "bicaralah terus terang."
Ji Bun menjengek: "Siangkoan Hong, Ji-pocu sudah mati di jalan
raya ke Kayhong ......”
"Ha ha ha, saudara, kau sendiri juga tahu bukan? Ji Ing-hong
belum mampus."
"Apa? Thong-sian Hwesio membunuh orang? Kau sedang
membual ya?"
"Memangnya bukan?"
"Kalau Thong-sian Hwesio membunuh tidak perlu pakai racun?"
Ji Bun tertegun, jawaban ini persis dengan apa yang dia dengar
dari Siucay tua itu. Seketika dia menjadi bingung dan hambar,
urusan semakin simpang siur dan susah diraba juntrungannya,
bahwa Thong-sian bukan pembunuh, si korban juga bukan ayahnya.
Menurut tuduhan malah perbuatan ayahnya sendiri yang sengaja
hendak mengalihkan perhatian lawan. Lalu kenapa selama ini
ayahnya tidak pernah kontak dengan dirinya? Memangnya beliau
tidak tahu bahwa dirinya mempertaruhkan jiwa raga demi menuntut
balas sakit hati keluarga? Maka dia menegas: "Lalu apa
kehendakmu?"
"Aku hanya mengejar Ji Ing-hong saja."
Berubah pikiran Ji Bun. pihak lawan belum tahu dirinya, maka dia
harus segera, membongkar rahasia kematian ayahnya, habis itu baru
bicara soal menuntut balas. Dia yakin kunci dari semua rahasia ini
berada di tangan Biau-jiu Siansing. Katanya kemudian: "Cayhe
sendiri juga sedang mencarinya."
"Apa, kau juga mencari?
"Ya, jika dia sudah mati, akulah yang akan menuntut balas
kematiannya, kalau belum meninggal, Cayhe akan selidiki duduk
persoalannya."
"Memangnya apa hubunganmu dengan Ji Ing-hong?"
"Erat sekali, tapi kau tidak perlu tahu."
"Kau kira kami mau percaya obrolanmu". Wi-to-hwecu mengejek,
"jangan kau menyesal kalau tidak mau menerangkan."
"Omong kosong, Cayhe selamanya tidak pernah kenal menyesal."
Tiba-tiba Wi-to-hwecu berkelebat kesana, dari seorang anak
buahnya dia rebut sebatang pedang. Sebat sekali sudah berdiri pula
di tempatnya semula, gerak-geriknya cekatan, cepat menakjubkan.
Lahirnya saja Ji Bun bilang tidak menyesal seharusnya dia tidak
memberi kesempatan kepada Siangkoan Hong untuk bersenjata.
Bicara soal Lwekang, diantara musuh yang hadir tiada satupun yang
menjadi tandingannya, namun terpautnya tidak jauh, yang menjadi
andalannya hanya tangan kirinya yang beracun, namun kalau
bertangan kosong, menghadapi senjata lawan, sulit sekali untuk
melancarkan serangan mematikan. Celaka kalau dirinya, dikeroyok
beramai-ramai. Urusan sudah selarut ini, dia tetap harus bertindak.
"Menurut apa yang kami ketahui," demikian kata pula Wi-to-
hwecu, "putera Ji Ing-hong meyakinkan ilma beracun ini. Ji Ing-hong
sendiri malah tidak, mungkin saudara tidak tahu, sekarang kau harus
membela diri, aku akan turun tangan segera.”
Tahu tak bisa menghindari bentrokan, Ji Bun segera melancarkan
serangan lebih dulu, ternyata keampuhan ilmu pedang Wi-to-hwecu
amat mengejutkan. Hanya sekali pedangnya bergerak miring dengan
garis melintang, gerakan Ji Bun tahu sudah terkunci. Keruan tercekat
hati Ji Bun, kembali dia lancarkan tipu serangan lain, kali ini
kerahkan sepenuh tenaganya. Dua orang segera tubruk menubruk
dan berhantam dengan sengit, betapa hebat pertempuran ini
sungguh sangat menggiriskan.
Ji Bun pusatkan seluruh pikiran dan semangat, dia selalu
waspada dan mencari lubang kesempatan untuk melancarkan
serangan maut dengan tangan beracun. Namun Wi-to-hwecu juga
tidak kalah tangkas dan selalu waspada juga dalam melancarkan
jurus-jurus tipu silatnya, semuanya sudah diperhitungkan dengan
tepat dan rapi. Pusaran angin pedang yang dimainkan begitu
kencang dan tajam sampai anak buahnya menyingkir jauh dari
gelanggang.
Dalam sekejap puluhan gebrak telah berlangsung, gerakan
pedang Wi-to-hwecu semakin mantap dan ganas. Walau Lwekang Ji
Bun amat tangguh, namun lawannya juga tidak lemah, malah
bersenjata, keadaan menjadi bertahan sama kuat alias setanding.
Dalam pandangan Bu-cing-so dan jago Wi-tohwe lainnya,
Lwekang dan kepandaian Ji Bun cukup mengejutkan, bahwa dia kuat
berhadapan dengan ketua mereka yang bersenjata dengan
bertangan kosong. Siapakah tokoh kosen dalam Bu-lim ini? Asal-usul
Ji Bun yang menyamar ini betul-betul membuat hati mereka tidak
tenteram dan tak habis terpikir oleh mereka. Siapakah diantara
tunas-tunas muda masa ini yang mempunyai kepandaian setinggi ini.
Ji Bun maklum, kalau bertempur berlarut-larut situasi akan
menyulitkan dirinya. Sebenarnya tidak sukar untuk mengundurkan
diri, namun hatinya tidak rela. Sekonyong-konyong dia kerahkan
setaker tenaganya beruntun melancarkan delapan kali pukulan
berantai. Angin membadai dengan suara gemuruh bagai samudera
mengamuk, tampak Wi-to-hwecu terdesak kian kemari seperti daun
yang dipermainkan badai, kakinya menyurut tiga langkah, Ji Bun
tidak mengendorkan serangannya, dibarengi dengan hardikan keras,
tangan beracun menyerang ........”
Walau terdesak dan terombang-ambing namun Wi-to-hwecu
tetap waspada, baru saja menyadari adanya lubang kelemahan
dirinya, sigap sekali dia melompat mundur beberapa kaki. Tangan
kiri Ji Bun jadi menyerang tempat kosong, sementara lengan kanan
menabas tegak.
Pertempuran tokoh silat kelas tinggi sering mengutamakan
sedetik kesempatan saja. Pada saat-saat gawat begini, sekali lena,
untuk mengalihkan posisi dirinya sudah sukar bagi Wi-to-hwecu
apalagi Lwekang Ji Bun masih lebih unggul.
"Bluk", dengan pukulan telapak Ji Bun mengenai sasarannya, Wi-
to-hwecu terpental sempoyongan, pedang kirinyapun tergentak ke
samping. Tangan beracun Ji Bun kembali dilancarkan.
Sejak permulaan Siang-thian-ong dan lain-lain sudah siaga di luar
gelanggang, begitu melihat Ji Bun menggerakkan tangan kiri, dia
tahu tangan orang ini tentu menyembunyikan sesuatu yang
berbahaya, pada saat Wi-to-hwecu sempoyongan itulah, serentak
jago-jago Wi-to-hwecu yang lain melancarkan pukulan Bik-khong-
ciang dari jarak jauh.
Gempuran dahsyat dari berbagai penjuru terpusat ke arah Ji Bun
seorang. Jika Ji Bun tidak urungkan serangan dan mundur
menyelamatkan diri, walau musuh terluka atau mati oleh tangan
beracunnya, dirinya sendiri juga pasti mampus hancur lebur
tergencet oleh pukulan gabungan lawan.
Tapi Ji Bun sudah nekat, serangan tetap diteruskan. Pada detik-
detik yang gawat itulah, sesosok bayangan orang laksana setan
tahu-tahu menyelinap masuk gelanggang menghadang di depan Wi-
to-hwecu, maka serangan tangan kiri Ji Bun dengan telak mengenai
bayangan orang ini. Namun Ji Bun sendiri juga terlempar pergi oleh
pukulan musuh yang beruntun mengenai dirinya, darah mendidih,
pandangan menjadi berkunang-kunang.
Pikirannya masih sadar bahwa musuh kedatangan bala bantuan
yang tangguh dan menakutkan, tak sempat dia pikir dan melihat
jelas siapa musuh yang baru datang dan membantu ini, tangkas
sekali badannya melejit berbalik menerjang ke arah Siang-thian-ong
yang berjarak paling dekat. Dia sudah bertekad untuk memberantas
lawan satu persatu sampai titik darah penghabisan.
Kepandaian silat Siang-thian-ong juga bukan olah-olah tingginya,
badannya yang buntak pendek seperti bola tiba-tiba menggelinding
pergi, berbareng tangannya yang pendek kecil menepuk balik.
Keruan Ji Bun menubruk tempat kosong, tepukan lawan malah
menyongsong dirinya, terpaksa dia menangkis. "Blang", kontan Ji
Bun melosot turun ke tanah, sedang Siang-thian-ong menggelinding
lebih jauh lagi.
Kini setelah berdiri tegak baru dia melihat jelas penolong jiwa Wi-
to-hwecu ternyata adalah perempuan rupawan yang berdandan
perlente, Siangkoan Hwi juga berada disampingnya.
Berkicau suara perempuan rupawan ini: "Diapun meyakinkan Bu-
ing-cui-sim-jiu."
Mencelos hati Ji Bun, kemampuan perempuan rupawan ini betul-
betul mengejutkan, dalam segebrak saja sudah tahu akan tangan
kirinya yang beracun, namun dalam hati dia memuji akan obat rias
Biau-jiu Siansing yang tetap berhasil mengelabui lawan, sehingga
wajah aslinya tidak konangan lawan.
Hadirin mengkirik mendengar ucapan perempuan rupawan, Bu-
ing-cui-sim-tok merupakan racun terlihay dan terganas pada jaman
ini. Sejak dua ratus tahun yang lalu, hanya seorang yang mampu
meyakinkan dan menciptakan ilmu ini. Namun sekarang beruntun
muncul dua orang yang mampu menggunakan ilmu beracun ini, dan
keduanya memiliki kepandaian silat dan Lwekang tinggi, tiada
diantara, mereka menduga bahwa lawan dihadapan mereka ini
adalah Te-gak Suseng Ji Bun.
Munculnya perempuan rupawan mengubah situasi. Cukup dia
seorang berkelebihan untuk menundukan Ji Bun dan kenyataan Ji
Bun memang mati kutu terhadap lawan yang satu ini.
Sorot mata Ji Bun menjelajah muka setiap hadirin, disaat
tatapannya tertuju ke wajah Siangkoan Hwi, serta merta bergoncang
perasaannya. Betapapun gadis ini pernah mengisi relung hatinya,
namun pikiran asmara ini hanya selintas saja. Sorot matanya
akhirnya berhenti pada muka perempuan rupawan. Dalam keadaan
terkepung dan menghadapi keroyokan musuh, tidak gampang untuk
mengundurkan diri, betapapun dia tidak rela menerima ajal begini
saja.
Lari, belum pernah terpikir olehnya, selama menghadapi musuh,
betapapun tangguhnya lawan, belum pernah dia mencawat ekor.
Namun sekarang situasi lain, sebelum mati hidup ayahnya
terbongkar dan jejak ibunya ditemukan, betapapun dia tidak rela
mati, sebab inilah dia merasa harus bertahan.
Agaknya kedudukan perempuan ini teramat agung dan tinggi di
antara hadirin. Sejak dia muncul semua orang berdiri tegak hormat
sambil menahan napas, tiada orang berani bergeming atau buka
suara, demikian pula Wi-to-hwecu.
Suara perempuan rupawan yang merdu tapi dingin berkata pula:
"Siapa kau? Mengakulah, jangan kau paksa aku gunakan siksaan
untuk mengompesmu?"
Ji Bun merinding dibuatnya mendengar suara perempuan nan
cantik jelita namun bersuara dingin kaku. Ji Bun yakin orang bukan
mengertak. Tapi rasa dendam dan benci menjalari benaknya,
sahutnya berani: "Aku tidak peduli cara apa yang hendak kau
gunakan terhadap diriku."
Dalam hati dia sudah merancang, tak jauh disamping sana berdiri
pohon besar setinggi puluhan tombak, dengan Ginkang gaya
pusaran mumbul ke atas yang berhasil diperajarinya dari orang tua
di jurang Pek-ciok-hong itu, yakin dirinya bisa meluncur ke pucuk
pohon dan melarikan diri. Hanya inilah satunya cara untuk
menyelamatkan diri.
Perempuan rupawan buka suara pula, nadanya tajam
mengancam: "Kuharap kau tidak berusaha melarikan diri."
Kata-kata ini amat menusuk hati Ji Bun, mungkinkah orang dapat
membaca isi hatinya? Diam-diam dia bergidik, waktu amat
mendesak, terpaksa dia harus bertindak cepat dan mencobanya.
Diam-diam ia kerahkan tenaganya. tanpa bersuara tiba-tiba
badannya menjulang tinggi mumbul keatas dengan badan
ber¬putar, gesit sekali dia sudah melenting ke pucuk pohon, di
bawah terdengar seruan kaget banyak orang, gerakan seaneh ini,
sungguh jarang terlihat dan amat mengejutkan.
Ditengah seruan kaget hadirin itulah, sesosok bayangan lain tiba-
tiba juga meluncur ke atas secepat kilat, begitu cepat sehingga
orang merasa pandangannya kabur, namun kecepatan luncuran
orang ini memperlihatkan gaya yang indah pula, hampir dalam
waktu yang sama iapun mumbul setinggi Ji Bun di pucuk pohon.
Baru saja kakinya menyentuh dahan pohon bagai burung elang
yang kelaparan mengejar mangsanya. Ji Bun melompat pula ke
pucuk pohon yang lain. "Bluk", terdengar erangan tertahan di udara
setinggi puluhan tombak. Di bawah orang bersorak kagum dan kaget
pula.
Dua bayangan orang beruntun anjlok ke bawah, Ji Bun terjatuh
lebih dulu, disusul luncuran tubuh gemulai seindah bidadari
melayang turun dari kahyangan, dia bukan lain adalah perempuan
rupawan tadi.
Ji Bun terbanting jatuh hampir semaput, sejenak dia geleng-
geleng kepala dan cepat melompat bangun, namun beruntun tiga
kali dia meronta baru bisa berdiri tegak. Perempuan cantik itu seperti
tidak terjadi apa-apa berdiri di depan sana, wajahnya dingin kereng.
"Lwekang Hujin sungguh membuka mata Lohu," demikian suara
Siang-thian-ong yang keras berkumandang seperti bunyi genta.
Perempuan rupawan menoleh sambil tersenyum manis, diam saja
tidak memberi tanggapan. Sebaliknya Ji Bun merasa gusar dan malu,
untung dia tidak jatuh semaput.
Hujin (nyonya)? Siapakah perempuan cantik rupawan ini? Serasa
tenggelam perasaan Ji Bun, sungguh tak nyana malam ini dia
terjungkal habis-habisan dihadapan sekian banyak musuh, cepat
atau lambat kedok aslinya pasti terhongkar, sungguh dia tidak berani
membayangkan akibat yang bakal menimpa dirinya.
Kaki tangannya lemas dan linu, dendam dan kebencian hampir
membuatnya gila, kedua biji matanya membara, kembali dia sapu
satu persatu setiap wajah para musuhnya. Keadaannya mirip betul
seekor singa jantan yang marah dan terluka, juga kelaparan dan
haus darah.
Perempuan rupawan berpaling ke arah Wi-to-hwecu, katanya:
"Bagaimana membereskan dia?"
"Suruhlah menerangkan jejak Ji Ing-hong," ujar Wi-to-hwecu
tajam.
"Bocah ini terlalu angkuh dan keras kepala, mungkin sulit
mengompes keterangannya."
"Hu-jin bisa menggunakan Hian-giok-siu-hun .......”
"Sejak berhasil meyakinkan ilmu ini, belum pernah kugunakan,
biarlah malam ini aku mencobanya."
Apakah Hian-giok-siu-hun itu, Ji Bun belum pernah mendengar,
namun dia menduga itulah suatu cara siksaan yang paling ganas
untuk mengompes keterangannya. Perempuan rupawan ini terang
adalah isteri kedua Siangkoan Hong. Siangkoan Hwi adalah puteri
mereka, tapi mungkinkah hal ini terjadi? Perempuan rupawan ini
kelihatan baru berusia dua puluhan, Siangkoan Hwi sendiripun sudah
berusia delapan belas.
Siangkoan Hong pernah menyatakan bahwa ayah Ji Bun pernah
membunuh isteri dan puteranya yang baru dilahirkan, kejadian
sudah berselang dua puluh tahun. Itu berarti Siangkoan Hwi belum
lahir waktu itu, tapi Siu-yan Loni bilang bahwa Siangkoan Hwi adalah
anak kandung Siangkoan Hong. Jadi terang anak dari isteri kedua,
mungkinkah kecuali perempuan rupawan ini Siangkoan Hong masih
punya gundik lagi?
Diam-diam Ji Bun geli dan malu sendiri, dalam keadaan seperti
ini, kenapa otaknya ngelantur memikirkan persoalan tetek-bengek
yang tiada sangkut paut dengan dirinya.
Wajah perempuan cantik itu semakin membesi kaku, katanya
kepada Ji Bun: "Sekarang saatnya kau membuka mulut?"
Benci dan dendam menjalari sanubari Ji Bun desisnya: "Sayang
sekali aku tak bisa menghancur leburkan kalian anjing laki
perempuan ini."
"Tutup mulutmu!" bentak perempuan rupawan, "memangnya kau
ingin disiksa?"
"Punya cara apa boleh kau gunakan saja," jengek Ji Bun,
"matipun orang she Ji takkan mengerut alis."
Maksud tujuannya memperkenalkan diri orang she Ji lantaran dia
tidak ingin berkorban sia-sia, paling tidak biar musuh tahu Kalau
dirinya gugur dalam menunaikan tugas menuntut balas, hal ini jauh
lebih jantan dari pada rahasia dirinya nanti terbongkar oleh mereka.
"Apa?" seru Wi-to-hwecu, "kau she Ji?"
"Betul," teriak Ji Bun beringas, "Aku inilah Te-gak Suseng Ji Bun,
sayang aku tak bisa membunuhmu ........”
Seluruh hadirin sama kaget setelah tahu siapa dia, kini Ji Bun
bicara dengan nada suaranya yang asli.
Wi-to-hwecu terkekeh dingin, katanya: "Sejak tadi seharusnya
aku sudah mengenalimu."
"Sekarang juga belum terlambat," Ji Bun menggertak gigi.
Lenyap suaranya, sigap sekali mendadak dia melesat ke arah Wi-to-
hwecu.
"Blang"
"Ngek", sekali kebas tangan, Ji Bun dipukul terpental oleh
perempuan rupawan, darah menyembur dari mulutnya, namun dia
keraskan hati, pelan-pelan ia meronta bangun, wajahnya beringas
dan buruk sekali.
"Ji Bun," kata Wi-to-hwecu serius, "sejak kini di antara kita sudah
tiada utang-piutang lagi."
"Betul, boleh silahkan kau turun tangan," tantang Ji Bun murka.
"Dimanakah sekarang ayahmu?"
"Mau bunuh boleh bunuh, aku orang she Ji tak becus meyakinkan
ilmu. Hari ini kecundang di tangan kalian, namun jangan harap
mendapatkan keterangan apapun dari mulutku."
Perempuan rupawan menggeram gusar, tiba-tiba jari telunjuknya
menyentik sekali, sejalur angin tajam mendenging membawa asap
putih melesat ke arah Ji Bun.
Ji Bun menjerit sejadi-jadinya dan roboh terguling, rasa sakit
yang teramat besar tiba-tiba merangsang ulu hati, tulang belulang
seperti copot, saking tak tahan dia bergelindingan di tanah, rambut
dijambak sendiri dan pakaian dicomoti sampai dedel dowel, darah
terus meleleh dari mulutnya, tapi dengan sekuat tenaga dia masih
berusaha meronta berdiri wajahnya seram seperti setan.
Gadis baju merah, Siangkoan Hwi, menjadi tidak tega, katanya:
"Bu!"
"Ada apa?" sahut Si perempuan rupawan.
"Bebaskan dia."
"Kenapa? Kau lupa ibu tuamu dirajang dan dimasak menjadi
hidangan?"
"Bu, aku utang budi padanya."
Sorot mata perempuan rupawan menyelidik ke muka Wi-to-
hwecu, agaknya mohon pendapatnya, sekilas Wi-to-hwecu melirik
Siangkoan Hwi, akhirnya ia memanggut dan berkata berat: "Baiklah,
turuti kehendak anak Hwi."
Sekali tangan menuding, beruntun perempuan rupawan itu
menutuk tiga kali, jerit lolong Ji Bun seketika berhenti, namun
napasnya sudan kempas-kempis, saking tersiksa badannya lemas
lunglai dan masih kejang dan gemetar.
"Ji Bun, sekarang mau buka suara bukan?" tanya Wi-to-hwecu.
Berkerutukan gigi Ji Bun, dia tetap tak mau buka suara.
14.40. Lelaki Penderita Tanpa Daksa
Merah muka Siangkoan Hong, matanya beringas, bentaknya
kereng: "Ji Bun aku ada cara lain untuk paksa kau buka mulut."
Dia memberi tanda kepada pengawal pribadinya, lalu katanya:
“Tabas dulu tangan kirinya, lalu gusur dia pulang ke markas."
Dua orang bersenjata pedang segera mengiakan dan melompat
maju, satu di antaranya angkat pedang terus menabas ke lengan kiri
Ji Bun. Mendadak Ji Bun meronta seraya menggembor keras, entah
darimana datangnya tenaga, sekali menggelinding, dia luputkan diri
dari tabasan pedang, pada saat badannya menggelinding itu, tangan
kirinya berhasil menutuk lutut penyerangnya.
Kontan si penyerang itu melolong panjang, badan terbanting dan
mampus seketika.
"Berani kau," bentakan ini sedetik terlambat dari jerit lolong tadi,
namun Ji Bun juga menguak sekali, badannya terlempar dua tombak
oleh pukulan Wi-to-hwecu, ia jatuh di antara semak-semak berduri,
darah terus menyembur dari mulut, pikirannya butek. Sudah
beberapa kali dia pernah merasakan kematian seperti ini.
"Yah, lepaskan dia saja," seru Siangkoan Hwi tidak tega.
"Apa katamu?" bentak Siangkoan Hong.
"Anak mohon supaya ayah suka membebaskan dia."
"Budak binal, jangan kau terlalu membawa keinginanmu sendiri."
"Selanjutnya anak tidak akan minta apa-apa lagi," demikian ujar
Siangkoan Hwi tegas. Daya pendengaran Ji Bun belum lenyap,
segera timbul suatu perasaan yang sukar dilukiskan dalam
benaknya.
"Tidak mungkin!" Wi-to-hwecu berkata kereng.
Pucat wajah Siangkoan Hwi, air mata bercucuran, kepala
tertunduk dan sesenggukan.
Perempuan rupawan tadi melirik penuh kasih sayang, katanya
kepada Wi-to-hwecu: "Turutilah keinginannya."
"Segala menuruti keinginannya," bentak Wi-to-hwecu, "kalau dia
tidak begini binal, mungkinkah terjadi peristiwa keparat she-Liok itu
........” sampai di sini dia berhenti.
Siangkoan Hwi menjerit sedih sambil putar tubuh dan berlari
pergi. Tapi perempuan rupawan lantas menghadang dan
memeluknya, serunya kereng: "Markas Cip-po-hwe sudah kuhancur-
leburkan, itu kan sudah cukup."
Agaknya Wi-to-hwecu juga merasakan kekasaran sikapnya tadi,
air mukanya tenang kembali, sorot mata yang mengandung
permintaan maaf tertuju kepada perempuan rupawan, ujarnya: "Ji
Ing-hong selicin belut dan selicik srigala, untuk menemukan
jejaknya, betapapun anaknya ini tidak boleh dilepaskan dia."
"Tujuanmu hanya menemukan Ji Ing-hong, ku kira tiada
halangan kau lepaskan."
"Aku tidak mengerti maksudmu."
"Akan kupunahkan ilmunya, lepaskan dia pergi, akhirnya toh dia
akan pergi mencari ayahnya ......”
"O," seru Wi-to-hwecu paham, katanya: "Memang Hujin lebih
cerdik pandai."
Walau dalam keadaan sekarat, namun percakapan orang masih
terdengar oleh Ji Bun, diam-diam ia membatin "Aku hendak
dijadikan umpan untuk memancing dan mencari jejak ayah,
bukankah maksud mereka hanya impian belaka, apalagi mati hidup
ayah masih teka-teki .......”
"Baiklah, kita putuskan begitu saja, Hujin," kata Wi-to-hwecu
kemudian.
Dari kejauhan perempuan rupawan angkat jarinya terus
menjentik beberapa kali, terasa oleh Ji Bun angin tajam sekuat
pukulan godam mengenai badannya merembes seluruh badan.
Hawa murni dalam badannya seketika buyar, badan lunglai tidak
bertenaga lagi. Tapi pikiran Ji Bun menjadi jernih malah.
"Mundur semua!" sekali aba-aba, beruntun terdengar kesiur
angin orang banyak berlompatan pergi, dalam sekejap suasana
kembali sunyi.
Ji Bun meriggerakkan badannya, terasa sekujur badan linu dan
sakit bukan main, tulang-tulang seperti copot dari ruasnya, sungguh
bukan kepalang siksa yang dialami kali ini. Dia mendongak
mengawasi bintang-bintang di langit, dalam sekejap ini dia
merasakan lebih sedih daripada mati, Lwekang lenyap kepandaian
punah. Hidup lebih sengsara daripada mati, segala cita-cita yang
diharapkan selama ini bakal menjadi impian kosong belaka, hanya
kebencian saja yang tetap menjalari sanubarinya.
Malam rasanya tak berpangkal dan tak berujung, derita batin
ditambah rasa sakit luka-luka dadanya yang terkena pedang tak
pernah reda sedetikpun, seolah-olah dirinya berada di neraka.
Tanpa terasa hari mendekati terang namun sinar terang seakan-
akan sudah lenyap bagi dirinya. Sejak kini dirinya akan terus hidup
dalam kegelapan, tanpa cita rasa, sampaipun sesuatu yang ingin
dipikirkanpun tiada sanggup lagi.
Punahnya ilmu silat menjadikan dirinya tak ubahnya manusia
awam umumnya, tinggal tangan kirinya yang tetap beracun, lalu apa
pula gunanya? Habis segalanya, tamat semuanya. Pentingkah dirinya
bertahan hidup?
Sekonyong-konyong sebuah suara timbul dalam relung hatinya
yang dalam: "Ji Bun, jangan kau pikirkan mati, belum saatnya, kalau
ayah benar-benar belum mati, kau akan melihat musuh terpenggal
kepalanya. Pula kau harus menemui ibumu sekali lagi."
Fajar menyingsing, hari sudah terang tanah, lekas sekali sinar
sang surya sudah menerangi jagat raya. Bagai sebuah impian
belaka, namun impian ini akan terus berlangsung.
Susah payah akhirnya ia berhasil meronta bangun, karena
Lwekang lenyap, untuk penyembuhan diri dengan kekuatan hawa
murni sudah tidak mungkin lagi, namun obat-obatan yang
dibawanya masih ada, jauh mencukupi untuk mempertahankan
hidup. Sebutir pil saja rasanya berat dan sukar untuk menelannya.
Sejam kemudian baru dia bisa bergerak leluasa, bagai semut
merambat dia mulai melangkah pergi ke empang yang ada dipojok
gardu sana mencuci muka dan membersihkan obat penyamarannya,
noda-noda darahpun dibersihkan, namun pakaiannya sudah tidak
keruan waktu dirinya tersiksa oleh tutukan Hian-giok-siu-hun tadi.
Dia menuju ke belakang, akhirnya ditemukan seperangkat
pakaian kaum bujang yang sudah butut, sekenanya dia ganti
pakaian, untung menemukan pecahan uang pula, semua itu milik
pak jenggot yang sudah tiada.
Kejap lain dia sudah beranjak di jalan raya, dia tahu Wi-to-hwe
pasti mengutus seseorang untuk membuntuti dirinya, karena mereka
kira ia akan mencari ayahnya, hanya Thian yang tahu apakah
ayahnya masih hidup atau sudah mati.
Seperti mayat hidup saja, dia meninggalkan kota Lam-cau
dengan langkah lemas bergontai. Ji Bun tidak tahu ke mana harus
pergi, segala persoalan sudah tak terpikir lagi olehnya.
"Adik!" teriakan mesra nan girang dan kaget tiba-tiba
berkumandang dari belakang.
Bergetar badan Ji Bun, dia tahu siapa yang memanggilnya, ingin
rasanya dia lari dan sembunyi masuk ke liang. Sejenak dia
melenggong, waktu dia angkat kepala, dilihatnya bayangan
semampai nan menggiurkan sudah berdiri dihadapannya, dia bukan
lain adalah Thian-thay-mo-ki.
Dengan tertegun penuh kejut dan tanda tanya Thian-thay-mo-ki
mengawasi Ji Bun, katanya kemudian penuh haru: "Adik, kenapa
kau?"
Ji Bun menjadi bimbang, ia lihat Thian-thay-mo-ki masih seperti
dulu, kecuali agak kurus, masih tetap cantik menggiurkan,
sebaliknya dalam semalam dirinya telah berubah menjadi seorang
lain yang tak berguna lagi.
Seperti ketemu anggauta keluarga, terharu hatinya dan tak
sanggup berucap, keadaan seperti ini, dia perlu hiburan dan
bujukan, perlu bantuan, dia tahu betapa besar dan murni cinta
Thian-thay-mo-ki kepadanya. Dalam keadaan apapun dia tetap
seorang pembantu yang dapat dipercaya, ingin rasanya memeluk
dan menciumnya. Ia ingin menangis, namun mendadak ia tersentak
sadar, kini dirinya bukan Te-gak Suseng yang dulu, sekarang dia
seorang awam, manusia, rasa rendah diri yang tebal merangsang
sanubarinya. Dasar wataknya memang angkuh dan tinggi hati, tanpa
terasa ia menjerit: "Minggir kau, jangan hiraukan aku!"
Dia menderita, namun dia rela menelan segala kegetiran hidup
ini. Dia tidak punya hak mengecap cinta kasih orang lain, bukan
kewajibannya pula untuk menerima cintanya, kenyataan ini cukup
kejam.
Agaknya Thian-thay-mo-ki amat terperanjat, sejenak dia
melenggong, katanya dengan gemetar: "Dik, kenapakah kau?"
Ji Bun tekan perasaannya yang menggelora, menahan kepedihan
yang tak terhingga, sekuatnya dia tahan emosi dan pura-pura
bersikap dingin: “Tidak apa-apa!"
"Tapi sikap dan air mukamu amat ganjil sekali?"
"Jangan kau hiraukan aku."
"Dik, kau ....." merah mata Thian-thay-mo ki dan mukanya
membesi hijau.
Remuk rendam hati Ji Bun melihat sikap dan wajah Thian-thay-
moki itu, namun dia harus tetap bersikap demikian. Hubungan
asrama mereka tidak mungkin dilanjutkan, ilmu silat sudah punah,
masa depan suram. Mungkinkah dirinya mengawini seorang gadis
untuk menyia-nyiakan masa remajanya? Dengan mengertak gigi, dia
tetap bersikap dingin: "Kupikir, hubungan diantara kita sudah harus
diakhiri sampai di sini saja."
Air mata Thian-thay-mo-ki bercucuran katanya dengan pilu: "Aku
mengerti, selama ini kau pandang, aku seumpama kembang
dipinggir jalan atau dikaki tembok yang tidak patut dipandang dan
dinikmati. Namun ..... aku ..... tak pernah, aku berbuat atau
melakukakan sesuatu yang membuatmu malu atau, merugikan kau
......”
Bak sekuntum kembang yang ditaburi air embun, Ji Bun hampir
saja menubruk dan memeluknya. Namun wataknya yang
mempertahankan sikapnya, sorot matanya memandang ketempat
jauh, katanya tawar. "Biarlah segalanya berakhir begini saja."
"Ji Bun, betulkah kau begini kaku, ketus dan kejam?”
Seperti ditusuk sembilu hati Ji Bun, dia banyak hutang budi,
namun tak pernah dirinya memberi apa-apa terhadapnya,
menyampaikan sepatah kata hiburanpun tiada, umpama betul Thian-
thay-mo ki terlalu jalang, namun cintanya yang luhur dan murni,
segala sepak terjangnya masa lalu patut dimaafkan. Sayang
kenyataan sekarang tak mungkin untuk menerima semua ini, tak
boleh ia bikin kapiran masa depan orang lain. Sesungguhnya inipun
merupakan suatu cara untuk menyatakan cinta, cuma secara diam-
diam dan diluar tahu orang yang bersangkutan.
Derita semakin bertambah, Ji Bun merasa tiada tempat bagi
dirinya untuk berpijak lagi di bumi ini, kata-kata yang terlalu
menyakiti tak sampai hati diucapkan.
Dengan segala kekuatannya, Ji Bun tekan emosinya yang
berkobar. Katanya mengeraskaa hati: "Tiada yang bisa dikatakan
lagi."
Sekian lamanya keheningan mencekam sanubari kedua insan
yang dirundung malang ini. Walau tiada yang bersuara, namun hati
keduanya sama-sama remuk seperti digerogoti oleh sesuatu sebab
yang timbul secara berlainan.
Akhirnya dengan suara yang menggetar sukma Thian-thay-mo-ki
bersuara. "Dik agaknya aku telah menjilat kata-kataku dulu ......
tidak pantas sikapku ini, pernah aku bilang, cukup asal di dalam
sanubarimu ada tempat bagi diriku, tiada sesuatu lebih besar yang
kuharapkan dari kau. Dulu kau kasmaran terhadap gadis baju
merah, sekarang kau berkiblat kepada Ciang Bing-cu, kenapa aku
tidak bisa mengendalikan rasa cemburuku. Dik, kawinlah dengan
wanita yang kau cintai, namun kuharap .... kau ti .... tidak
melupakan ..... diriku dan .... bersikap begini kepadaku. Pernah aku
ingin membencimu, namun aku selalu gagal, aku .... sungguh tidak
sampai hati ......" air mata segera berderai membasahi pipinya.
Setiap kalimat setiap kata mengandung cinta murni nan luhur,
namun terasa setajam duri pula yang menusuk ulu hati Ji Bun. Hati
Ji Bun serasa mengkerut, mengejang, ingin dia memeluknya,
menciumnya dengan kasih mesra, membeberkan hatinya secara
gamblang, namun tiada keberanian, karena dia harus memikirkan
buntut yang bakal timbul dengan akibat yang sukar dibayangkan.
Derita dan siksaan badaniah tidak menjadikan dia patah
semangat. Matipun terasa bukan soal baginya, namun tanggung
jawab dan beban batin membuatnya betul-betul sukar ditahan,
menimbulkan derita yang tak pernah dirasakan selama hidup.
"Cici," kata Ji Bun kemudian, "kau tahu kita tak mungkin .....”
"Aku tahu, aku tidak mengharapkan itu, aku hanya minta
hubungan kita selama ini jangan menjadi putus begini saja."
"Cici, kau harus mencari jodoh demi ......”
"Kecuali kau, tiada bahagia lagi bagiku.”
Tidak tega hati Ji Bun, air mata berlinang-linang di kelopak
matanya, tanpa sadar dia maju selangkah sembari ulur tangan
kanan. Semula Thian-thay-moki tertegun, namun lekas sekali dia
memahami maksud Ji Bun. Wajahnya nan sayu sedih seketika
mengulum senyum syahdu, bak sekuntum bunga yang mekar
ditimpa air hujan, tanpa pikir iapun beranjak mendekat.
Pada saat kedua insan ini hampir berpelukan, kesadaran Ji Bun
tiba-tiba menyentak sanubarinya, apa yang akan kulakukan?
Demikian dia bertanya kepada diri sendiri, pertanyaan ini membuat
pikirannya jernih, sekaligus mempertebal keyakinannya untuk lebih
baik kehilangan daripada membikin susah orang lain. Mendadak
tangan kanan yang sudah diulur diturunkan lagi, berbareng
menyurut mundur beberapa langkah.
Thian-thay-mo-ki melengak, senyum mekar di wajahnya seketika
membeku kelam, hati dan badan seketika terasa dingin dan kejang.
Bak secercah cahaya matahari yang baru muncul di balik gumpalan
awan, tiba-tiba terbenam pula dibalik mega mendung, serentak
timbul perasaan terhina dalam hatinya.
Tapi siapa yang tahu betapa derita hati Ji Bun? Dia perlu hiburan,
namun dia menolak, dia perlu perhatian dan simpatik orang lain,
namun dia menyingkir dari perhatian, kenapa? Dia sendiri tidak
tahu? Kalau tahu, lalu kenapa pula? Karena dia betul-betul sudah
jatuh cinta terhadap Thian-thay-mo-ki, karena cinta maka dia wajib
melindunginya, jangan karena demi ketenteraman dan mencapai
keinginan pribadi dia sampai mengorbankan kekasihnya. Itulah cinta
sejati, cinta murni, karena cinta itu sendiri perlu pengobanan, bukan
monopoli.
"Ji Bun, kau sengaja hendak menghinaku?” desis Thian-thay-mo-
ki geram.
Ji Bun diam saja, dia tidak menjelaskan, dia harus mengeraskan
hati menelan segala derita dan kegetiran hati, karena maklum, sekali
dia mengobarkan api asmara, dia akan mengalami keruntuhan total.
Laksana induk kijang yang sedang marah, sifat Thian-thay-mo-ki
yang lembut lenyap seketika, amarah dan dendam membara dalam
benaknya, teriaknya berjingkrak: "Ji Bun kau manusia berdarah
dingin."
Bergetar tubuh Ji Bun, namun dia tetap diam saja, sedapat
mungkin dia menekan emosinya yang bergolak.
Terangkat tangan Thian-thay-mo-ki, teriaknya beringas: "Ji Bun,
bunuhlah aku, atau aku yang membunuhmu."
Tanpa sadar, Ji Bun menyurut mundur. Dia tahu kalau Thian-
thay-mo-ki memukul sekuat tenaga dirinya yang lunglai kehilangan
ilmu silat pasti akan binasa seketika. Mulutnya sudah terpentang
hendak bicara, namun tiada kata-kata yang keluar.
Berkerutuk gigi Thian-thay-mo-ki, katanya: "Te-gak Suseng,
gunakan tanganmu yang beracun, membunuh orang tanpa banyak
membuang tenaga bukan?"
Ji Bun pejamkan mata, katanya: "Kau boleh turun tangan, aku
tidak akan membalas."
"Kau kira aku takut?"
"Tidak, aku ..... aku .......”
"Ji Bun, kau pandang diriku mirip kembang jalanan, kau anggap
cinta murniku bagai kotoran. Memang, aku sendiri tidak tahu diri,
aku tidak tahu malu, kenapa sebelum menyelami keaslian jiwamu,
tanpa tedeng aling-aling kucurahkan segala perasaanku."
Air matapun bercucuran semakin deras.
Dalam hati Ji Bun berteriak: "Cici, aku amat menyintaimu,
memang dulu aku pernah menghina dan memandang rendah dirimu,
namun sekarang aku memang betul-betul mencintaimu setulus
hatiku." Tapi lahirnya dia tetap bersikap kaku dingin seperti patung.
"Plak", disertai suara mengaduh, Ji Bun terpukul mencelat dan
jatuh terkulai di atas rumput di pinggir jalan, darah seperti sumber
air menyembur dari mulutnya.
Sudah tentu hal ini membuat Thian-thay-mo-ki tertegun, agaknya
tak pernah diduganya bahwa ia terima dihajar tanpa membalas atau
menghindar.
Tenaga untuk merontapun tiada lagi, terpaksa Ji Bun rebah diam
saja diatas rumput, perasaannya hambar, tidak merasa benci, marah
atau dendam. Ia pikir, mungkin inilah suatu cara untuk membayar
utang atas permainan asmara yang tiada berkeputusan ini.
Keadaannya sekarang lebih sengsara dari pada mati, kalau dirinya
mati ditangannya kan lebih baik?
Entah dendam atau benci Thian-thay-mo-ki, lama sekali baru ia
bersuara: "Kenapa kau tidak melawan?”
Ji Bun nekat, dia menyeringai, dengan seluruh kekuatannya yang
ada ia berteriak: "Thian-thay-mo-ki, bukankah kau hendak
membunuhku. kenapa tidak kau lanjutkan? Kau tidak berani?"
Berkobar pula amarah Thian-thay-mo-ki, wajahnya nan putih
molek kini menjadi hijau membesi, sorot matanya menyala, bagai
binatang buas yang kelaparan. "Ji Bun," desisnya tajam. "jangan
pura-pura lagi, atau kau akan menyesal setelah kasep."
"Aku tidak akan menyesal," sahut Ji Bun tegas.
"Baiklah, biar kau membenciku sepanjang masa!" ancam Thian-
thay-mo-ki sambil angkat tangannya terus membelah kedadanya.
Ji Bun diam saja tidak bergeming, ujung mulutnya malah
menyungging senyuman, dia siap untuk menyambut ajalnya. Tak
terduga di tengah jalan Thian-thay-mo-ki menghentikan gerakannya,
agaknya dia marah dan penasaran, tiada maksud sungguh untuk
membunuh Ji Bun.
"Ji Bun, kenapa kau tidak melawan?”
Cukup menjawab sepatah kata saja, mungkin situasi akan
berubah, namun Ji Bun sudah nekat dan mengeraskan hati, dia
malah menjengek dingin: "Kau tidak tega?"
Serba sulit bagi Thian-thay-mo-ki, tiada peluang untuk memilih,
umpama betul tidak tega, dalam keadaan kepepet seperti ini
terpaksa dia harus turun tangan, namun dia tahu watak Ji Bun. Dia
pasti tidak menggunakan akal muslihat, sikapnya yang tenang
menunggu kematiannya sungguh menimbulkan curiga, akhirnya dia
turunkan pula tangannya katanya dengan suara kalem: “Kenapa kau
berbuat demikian?"
"Tidak kenapa-kenapa, kalau mau boleh kau bunuh aku, atau
pergilah yang jauh, selamanya ..... tak usah ......”
"Ji Bun, jangan kau kira dirimu ini terlalu .......”
"Tidak pernah aku bilang aku ini gagah."
"Kenapa kau pura-pura lemas tak mau berdiri, memangnya
pukulanku tadi mampu melukai Te-gak Suseng yang terkenal itu?"
Kini terasa oleh Ji Bun luka-lukanya ternyata sudah sembuh diluar
tahunya tanpa minum obat, rasa sakit yang menyiksa tadipun sudah
lenyap, pelan-pelan dia berdiri, betapa heran hatinya sungguh sukar
dilukiskan, kini betul-betul dirasakan dan terbukti dalam keadaan
dirinya sudah sadar benar-benar, bahwa didalam tubuhnya
tersembunyi suatu kekuatan luar biasa yang terpendam, kekuatan ini
mampu menyembuhkan segala luka-luka dan penyakit, kekuatan itu
pula yang menyebabkan dirinva hidup kembali setelah mati
beberapa kali, kenapa demikian? Seingatnya dia belum pernah
makan atau minum sesuatu obat mujijat, sungguh aneh bin ajaib.
"Ji Bun, betulkah kau begini tidak kenal budi?"
"Tidak, aku terpaksa. Akan datang suatu ketika kaupun akan
mengerti."
"Bohong, alasan yang dibuat-buat belaka, Ji Bun, baru sekarang
aku mengenalmu ......" Dengan mendekap mukanya Thian-thay-mo-
ki terus berlari pergi.
Mengawasi bayangan orang yang semakin jauh dan akhirnya
lenyap di balik pohon, remuk rendam hati Ji Bun. Sekian lama dia
terlongong dan menggumam seorang diri: "Dia sudah pergi, aku .....
akupun harus pergi. Kemana aku harus menuju?”
Sekonyong-konyong dalam hutan tak jauh di sana beruntun
terdengar dua kali jeritan yang mengerikan. Mencelos hati Ji Bun,
secara refleks dia bersiaga hendak melompat ke sana, mendadak ia
sadar bahwa Lwekang dan kepandaian silatnya sekarang sudah
punah. seketika dia menjadi lesu dengan geleng-geleng kepala.
Kejadian bunuh membunuh sekarang sudah tidak menarik perhatian
lagi.
Mendadak diiihatnya sesosok bayangan orang yang melayang ke
depannya, waktu dia angkat kepala serta merta kakinya menyurut
mundur, tahu-tahu di situ berdiri seorang Siucay tua berusia
setengah umur, dandanan guru kampung dengan kain kasar ini tidak
asing lagi baginya. Dia bukan lain adalah Siucay yang pernah
terserang tangan beracunnya di luar kota Lam-cau tempo hari.
Dengan dingin Ji Bun pandang orang sejenak, katanya: “Tuan
ada petunjuk apa?"
Tajam pandangan Siucay tua ini, desisnya: "Tak nyana kau ini
anak Ji Ing-hong, kalau kedua penguntit Wi-to-hwe tadi tidak
mengaku, hampir saja aku menyia-nyiakan kesempatan baik ini.
Agaknya Thian memang maha pengasih ......." Jadi kedua jeritan tadi
adalah dua orang Wi-to-hwe yang ditugaskan menguntit dirinya,
keduanya sudah terbunuh oleh Siucay ini.
"Siapakah sebetulnya tuan?" tanya Ji Bun.
14.41. Moyang Perguruan Racun
"Kau akan tahu, kabarnya kau keras kepala dan angkuh, tahan
disiksa lagi, walau sekarang kau kehilangan kepandaian silat, namun
kita harus cari tempat lain untuk berbicara ......" sembari bicara dia
menyopot jubah luarnya, sekali gerak dia ikat tangan dan tubuh Ji
Bun terus dijinjingnya lari masuk ke dalam hutan. Hakikatnya Ji Bun
tidak kuasa melawan, maka dia diam saja menerima nasib, tujuan
orang menelikung kedua tangan dan mengikat badannya karena
takut tersentuh tangan kirinya, hal ini cukup dimengerti Ji Bun.
Setelah keluar dari hutan, Siucay tua ini tidak berhenti, dia terus
berlari-lari dengan kencang, begitu cepat, Ji Bun merasa seperti
meluncur secepat angin, lekas sekali mereka tiba ditepi sebuah
sungai besar, ombak bergulung-gulung, arus sungai cukup deras.
Setiba dipinggir sungai baru Siucay tua berhenti lari, tampak
sebuah perahu layar yang cukup besar sudah menunggu di sana.
Sekali lompat Siucay tua itu naik ke atas kapal, Ji Bun dilempar ke
dalam bilik, lalu ia membuka tali tambatan sehingga kapal ini hanyut
terbawa arus.
Entah berselang berapa lama, entah berapa jauh kapal ini sudah
berlaju, tahu-tahu kapal ini tak terasa terombang-ambing lagi.
Siucay tua masuk ke dalam bilik di mana Ji Bun menggeletak,
katanya setelah duduk: "Bangun, mari kita bicara."
Tanpa bersuara Ji Bun berdiri, dia duduk di kursi yang ada
disebelahnya.
"Kau putera Ji Ing-hong? Dimana sekarang dia berada?"
"Entah.”
"Betul kau tidak tahu?”
“Terserah kalau tidak percaya."
"Anak muda, cara yang kugunakan jauh lebih hebat daripada
Hian-giok-siu-hun, kuharap kau tahu diri."
Terbayang akan siksaan Hian-giok-siu-hun, Ji Bun bergidik,
namun sikapnya semakin tawar lagi, setelah Lwekang dan
kepandaiannya punah, hakikatnya hidup lebih sengsara daripada
mati, maka katanya dingin: "Cayhe maklum, paling-paling mati sekali
lagi."
"Jangan kau salah sangka, jangan kau kira gampang untuk mati,
kau akan sekarat, setengah mati setengah hidup. Lohu akan tutuk
beberapa Hiat-to sehingga kaki tanganmu lumpuh, mata bisa
memandang, kuping dapat mendengar, mulut tak bisa bicara, lalu
dengan semacam obat kubuat hilang ingatanmu. Kau akan lupa
pada dirimu sendiri, segala pengalaman dan semua milikmu akan
terlupakan. Lalu kulepas kau dikota yang ramai, sebagai manusia
umumnya kau akan berjuang untuk hidup, dan kau akan terlunta-
lunta sebagai pengemis yang cacat dan harus dikasihani ......”
"Tutup mulutmu!” bentak Ji Bun keras, serasa meledak dadanya.
Siucay tua tidak hiraukan reaksi Ji Bun, Dia tetap bicara dengan
acuh tak acuh: "Setiap tengah hari, kau akan terserang suatu
penyakit aneh, deritanya tentu lebih hebat daripada Hian-giok-siu-
hun ........”
Mendadak Ji Bun melompat berdiri terus menubruk maju, tangan
kiri bergerak. "Bluk", tahu-tahu sejalur angin kencang menekan dan
menyurungnya mundur terduduk pula dikursinya.
Siucay tua melanjutkan: "Sudah tentu, supaya tidak menimbulkan
bencana bagi masyarakat ramai, tangan kirimu yang beracun ini
harus dikutungi.”
Bukan kepalang benci Ji Bun, teriaknya: “Tuan mudamu
menyesal tempo hari memberikan obat pemunah padamu...."
"Umpama sepuluh kali kau berikan obat pemunah padaku juga
belum setimpal untuk menebus kejahatan ayahmu, dalam hal ini
Lohu tidak perlu menaruh belas kasihan, tidak perlu bicara soal
aturan Bu-lim segala."
Ji Bun terempas-empis menahan marah, teriaknya dengan serak:
"Ada permusuhan apa sebenarnya kau dengan ayahku?"
Terpancar sinar dendam dan kebencian pada mata Siucay tua,
giginya berkerutuk, sahutnya. "Dendam setinggi gunung dan
sedalam lautan, anak muda, sekarang katakan, dimana anjing tua itu
menyembunyikan diri?"
"Jangan harap kau bisa mendapatkan apa-apa dari tuan-mudamu
ini," bentak Ji Bun beringas.
"Anak muda, orang yang berbuat kejahatan, anak isterinya tidak
ikut berdosa, bicaralah terus terang, Lohu akan memberi
kesempatan hidup padamu."
"Jangan harap!"
"Kau akan mengaku, Lohu punya cara sehingga kau akan buka
mulut ........”
Ji Bun maklum siksaan yang di luar perikemanusiaan bakal
menimpa dirinya, kini dirinya lemas lunglai, tenaga untuk bunuh
diripun tak mampu, dia tidak takut mati, malah ingin cari mati.
Namun dia kuatir kalau kepalang tanggung, jika terjadi seperti apa
yang dikatakan Siucay tua ini, dirinya akan hidup merana terlunta
dengan badan cacat ......”
Mendadak sekilas ia melihat ujung sebatang paku yang menongol
keluar dari dinding papan kapal, panjangnya ada dua senti, letaknya
tepat mengarah Thay-yang-hiat dipelipisnya, jaraknya hanya
beberapa senti lagi, cukup asal dirinya miringkan kepala dengan
mengerahkan sedikit tenaga, tentu dengan mudah dapat menghabisi
jiwa sendiri. Penemuan ini seketika menentramkan hatinya, sekarang
dia harus cari akal untuk mengalihkan perhatian orang. Maka dia
berkata: "Apakah tuan she Lan?"
Sincay tua melengak, sahutnya ragu-ragu: "Aku ......”
"Tuan bernama Lan Sau-seng?" Ji Bun menegas.
"Aku bukan Lan Sau-seng, kalau masih hidup dia juga akan
bertindak seperti aku."
Agaknya paman atau adik ibunya, Lan Sau-seng, sudah
meninggal dunia, tahu siapakah Siucay tua ini? Soal ini tidak penting,
karena tujuan Ji Bun ingin mengalihkan perhatian orang dan mencari
kesempatan untuk bunuh diri.
Mendadak Siucay tua bersuara keras: "Anak muda, pernahkah
kau mendengar seorang yang bernama So Yan?”
Tanpa pikir Ji Bun berkata: "Bukan hanya mendengar, belum
lama ini ....." sampai di sini baru dia menyadari telah kelepasan
omong. Darimana Siucay tua ini dapat tahu nama ibu tuanya?
Kenapa tanya tentang dia? Siapakah Siucay tua ini?
Mendadak Siucay tua berjingkrak berdiri, suaranya menggerang
penuh emosi: "Kau pernah melihatnya?"
Sudah kadung omong terpaksa Ji Bun keraskan kepala: "Betul!"
sahutnya.
"Dia ...... dia belum mati?"
"Pernah apa tuan dengan So Yan?"
Tidak menjawab mendadak Siucay tua malah menangkap kedua
pundak Ji Bun serta digoyang-goyangkan, teriaknya: "Katakan,
dimana dia?"
Inilah kesempatan baik yang tak terduga, walau Lwekang sudah
punah, namun tangan kirinya yang berbisa masih mampu bekerja
dengan baik, cukup sedikit menyentuh badan orang dan lawan akan
keracunan. Tapi Lwekang Siucay tua ini sangat tinggi, meski
keracunan ia pasti sanggup bertahan untuk sekian lama lagi. Sedang
dirinya sendiri dalam keadaan lemas, obat penawar di dalam
kantong pasti dengan mudah dapat digeladah orang dan akibatnya
celaka lagi nasibnya nanti.
Hanya sekejap saja, agaknya Siucay tua juga tersentak sadar
lekas dia lepas tangan dan menyurut mundur. Kesempatan menjadi
sia-sia begitu saja. Terpaksa Ji Bun kembali pada rencananya
semula, membunuh diri dengan membenturkan kepala pada paku
yang menongol di dinding kapal.
Siucay tua itu masih dirangsang emosi yang meluap, mata
melotot badan gemetar, napas memburu, kulit mukanya berkerut,
bahwa seorang yang berkepandaian silat tinggi juga dirangsang
emosi begini meluap sehingga napas memburu, dapatlah
dibayangkan betapa besar pukulan yang menimpa sanubarinya.
"Anak muda, katakan, dimana kau bertemu dengan Khong-kok-lan
So Yan?”
Ji Bun bersikap acuh sambil angkat pundak, diam-diam ia sudah
mengincar dengan tepat, pelipisnya tepat diarahkan ke ujung paku,
jaraknya tinggal dua senti lagi, sekarang cukup dia gelengkan
kepala. segalanya akan beres.
Sudah tentu mimpipun Siucay tua itu tidak tahu rencana Ji Bun,
namun matanya masih melotot gusar menanti jawaban. Walau ibu
tuanya sudah putus hubungan dengan ayah, kini menjadi musuh
besar malah, namun Ji Bun tidak rela mengatakan jejaknya, karena
hal ini sekaligus bakal mendatangkan bencana bagi Biau-jiu Siansing.
"Katakan tidak?" bentak Siucay tua pula.
"Tidak!" jawab Ji Bun singkat.
"Agaknya sebelum disiksa kau tidak kapok ......"
Ji Bun mengertak gigi, baru saja hendak benturkan kepalanya ke
arah paku ...... sekonyong-konyong sebuah suara bentakan bagai
geledek berkumandang: "Ji Ing-hong, sekarang kau boleh unjukkan
diri."
Berubah roman Siucay tua, sigap sekali dia melompat keluar bilik.
Berdegup jantung Ji Bun, sesaat itu menjadi bingung apa yang
telah terjadi. Kenapa di luar orang menyebut nama ayahnya. Tanpa
pikir dia berdiri dan dorong jendela melongok keluar. Tampak tiga
buah perahu tengah laju mendatangi, perahu pertama berdiri jajar
Wi-to-hwecu Siangkoan Hong bersama si perempuan rupawan,
perahu kedua berdiri Siang-thian-ong dan Bu-cing-so, perahu ketiga
dinaiki Thong-sian Hwesio dan Jay-ih-lo-sat.
"Ji Ing-hong," terdengar Siangkoan Hong membentak dengan
suara kereng, "meski tumbuh sayap juga hari ini jangan harap kau
bisa terbang meloloskan diri."
Siucay tua terloroh-loroh, serunya: "Para saudara, di sini tiada Ji
Ing-hong."
Suara Siang-thian-ong bagai bunyi genta berkumandang: "Tutup
mulutmu, jangan menggonggong di sini, lekas suruh keparat tua itu
keluar."
Tergerak pikiran Ji Bun, seketika dia menjadi sadar dan mengerti
apa yang terjadi, setelah memunahkan Lwekang dan kepandaian
silatnya, perempuan rupawan membiarkan dirinya pergi, tujuannya
adalah untuk mengejar jejak ayahnya. Siucay tua ini telah
membunuh kedua anak buah Wi-to-hwe yang ditugaskan menguntit
dirinya, lalu membawa lari dirinya, kemungkinan ada penguntit lain
yang melihat, lalu memberi laporan ke pusat, maka cepat sekali
orang-orang Wi-to-hwe ini mengejar datang.
Tujuan kedua pihak sama mengejar ayahnya, setelah kedua
pihak bicara jelas dan terus terang akan duduk persoalannya, tentu
dirinya pula yang bakal ketiban pulung alias celaka. Waktu matanya
menjelajah sekelilingnya, dilihatnya mereka berada pada sebuah
telaga yang luasnya beberapa hektar. Telaga ini dikelilingi dinding-
dinding gunung yang tinggi mencuat ke langit, walau tengah hari,
namun cuaca di sini remang-remang dingin.
Tepat di tengah di depan sana adalah sebuah tebing batu besar
yang melintang di antara apitan dua dinding gunung, dari mana air
menerjun turun dengan deras, air muncrat keras jatuh di tabir batu
besar itu terus mengalir ke telaga ini. Air mengalir tenang keluar
kearah kanan, dimana saluran pintunya sempit sehingga air bergolak
dan berbuih, gemuruh air amat mengejutkan sekali.
Ji Bun bertindak dengan tegas dan bertekad lebih baik mati
karam di telaga daripada tertawan musuh dan disiksa. Kesempatan
baik sekarang jangan disia-siakan, maka dengan menggeremet
diam-diam ia menuju ke belakang, dan jendela dibuka lalu
merangkak keluar, tanpa mengeluarkan suara dia meluncur ke
dalam air.
Permukaan air kelihatan tenang mengalun, tak nyana begitu Ji
Bun masuk ke dalam air seketika dia tersedot oleh pusaran arus
yang deras. Karena tak pandai berenang, begitu tenggelam, Ji Bun
meronta-ronta dan tersedot ke bawah sampai kedasar telaga.
Karena kepandaian punah dan Lwekang lenyap, dengan sendirinya
dia tidak mampu mengerahkan tenaga untuk menahan nafas,
akhirnya air terus tercekok ke dalam tenggorokan.
Secara refleks Ji Bun meronta-ronta sekuatnya supaya dirinya
mengambang ke atas. Namun sedotan pusaran air di bawah ini amat
keras, usahanya sia-sia, malah tubuhnya semakin terseret turun.
Sekonyong-konyong badannya terombang ambing berputar terbawa
arus, seketika dia kehilangan kesadaran. Dalam keadaan setengah
sadar terakhir dia masih merasakan dirinya terbawa hanyut keluar
dari pintu sempit yang menjurus entah ke mana.
Rasa dingin dan sakit yang menusuk tulang tiba-tiba
menyentaknya bangun, waktu dia buka mata, bintang-bintang
tampak bertaburan di cakrawala, tabir malam menyelimuti jagat,
didapatinya dirinya rebah di atas batu cadas yang dingin, hembusan
angin malam nan sepoi-sepoi terasa amat dingin membeku.
Gemuruh air amat mengganggu pendengarannya. Sesaat itu ia sukar
membedakan dimana dirinya berada, entah masih hidup atau sudah
mati? Atau di alam mimpi?
Lama sekali setelah berhasil memulihkan sedikit tenaga baru dia
yakin bahwa dirinya masih hidup dan bernapas dengan teratur, rasa
sakit ditubuhnya merupakan bukti yang nyata. Maka dengan penuh
keheranan dia merangkak duduk, ia celingukan kian kemari,
dilihatnya dirinya rebah di atas batu yang terletak tiga kaki dipinggir
jurang, dibawahnya adalah jurang seratus tombak. Sungai yang
membawa keluar dirinya tampak berliku-liku di bawah sana mirip
seekor ular raksasa. Tempat apakah ini? Siapakah yang menolong
dirinya? Jelas dirinya tidak mati walau terjun ke telaga dengan
maksud bunuh diri, bagaimana mungkin kini bisa terbang ke atas
jurang yang tinggi ini?
Sekonyong-konyong sebuah suara serak tua berkumandang di
pinggir telinganya: "Suco berada di sini, kenapa tidak lekas
berlutut?"
Bukan kepalang kejut Ji Bun, tersipu-sipu dia merangkak bangun,
terlihat di depan sana di atas sebuah batu, duduk tersimpuh seorang
laki-laki tua bertubuh kurus kering seperti kayu, kedua matanya
tengah menatap dirinya dengan pandangan tajam berwibawa.
Suco? Dari mana datangnya Suco (kakek guru). Sejak kecil dia
belajar silat dari keluarga, belum pernah dia mengangkat seorang
guru. Namun kakek tua kurus yang aneh ini mengapa mengaku
dirinya sebagai kakek gurunya, bukankah aneh? Dengan kaget dan
heran Ji Bun menyurut mundur, tak mampu bicara karena
kebingungan.
Orang tua itu bersuara lagi: "Apakah gurumu tidak memberi
penjelasan padamu?"
Akhirnya Ji Bun menjawab terputus-putus: “Gu ..... guru?
Wanpwe tidak punya ....... guru."
Mencorong sinar mata orang tua kurus, kulit mukanya yang
tinggal kulit membungkus tulang kelihatan berkerut, bentaknya:
“Kau tidak punya guru?"
"Ya," Ji Bun mengiakan.
"Bagaimana kau bisa kemari?"
"Sebetulnya Wanpwe terjun ke air hendak bunuh diri. entah
bagaimana ..........”
Sinar mata si orang tua menyapu turun naik sekujur badan Ji
Bun, akhirnya dia membentak bengis: "Lalu siapakah yang
mengajarkan Bu-ing-cui-sim-jiu yang kau yakinkan itu?”
Jantung Ji Bun serasa melonjak keluar. Tampaknya orang tua ini
rada ganjil, sahutnya kemudian: "Ayahku almarhum"
"Apa, ayahmu almarhum, jadi dia sudah mati?"
Ji Bun mengangguk.
"Sebelum ajal dia yang suruh kau kemari bukan? Mana Tok-
keng?" tanya kakek itu.
Semakin kebingungan Ji Bun, pertanyaan yang susul menyusul ini
membuatnya garuk-garuk kepala tanpa tahu duduk persoalannya.
"Lo ...... Locianpwe adalah .......”
Berdiri alis putih si orang tua kurus, kepalanya geleng-geleng,
mulutnya menggumam: "Tidak beres, dia tidak akan berani
mendurhakai perguruan, namun berani menentang peraturan
dengan kawin dan punya anak, tapi ini ......" sampai di sini
mendadak ia membentak: "Kapan keparat itu mampus?"
"Keparat? Siapa?”
"Orang yang mengajar ilmu beracun padamu itu.”
"O, mendiang ayahku? Baru beberapa bulan yang lalu beliau
meninggal."
"Hm," mulut siorang tua kurus menggeram gusar, suaranya
dingin seram nadanya aneh lagi. Ji Bun merinding dan berdiri bulu
kuduknya, sungguh tidak habis mengerti, apa sebetulnya yang
pernah terjadi.
Sekian lama siorang tua kurus seperti menahan gejolak
amarahnya, akhirnya bersuara pula seperti bicara pada dirinya
sendiri: "Tidak menepati janji sepuluh tahun ..... cara bagaimana dia
mati?”
"Dicelakai para musuhnya, tapi ......”
"Tapi apa?"
"Akhir-akhir ini muncul gejala-gejala yang mencurigakan,
agaknya ...... ayah seperti masih hidup."
"Pernahkah dia menyinggung peraturan perguruan padamu?”
“Tidak, sahut Ji Bun menggeleng.
“Lalu bagaimana kau bisa berada di Kiu-coan-ho ini?”
“Wanpwe diculik orang, suatu ketika berhasil terjun ke air,
maksudku hendak bunuh diri saja ...... apakah Locianpwe yang
menolong diriku?”
Orang tua kurus diam sebentar, mulutnya menggumam:
"Lwekang anak ini tertutup, mungkin pikirannya terganggu dan
menjadi linglung. Kalau tidak mengapa jadi begini?”
"Lwekangnya tertutup", kata-kata ini amat menggetarkan hati Ji
Bun, yang jelas dia sendiri merasakan Lwekang dan kepandaian
silatnya sudah punah, namun orang tua kurus ini bilang hanya di
"tutup", betapa jauh bedanya antara "tutup" dan "punah" itu?
Secara tak disadarinya dia lalu himpun tenaga dan tarik napas
panjang. Mendadak hawa murni bagai air bah yang jebol dari
bendungan bergulung-gulung timbul dari sumbernya. Entah
bagaimana Lwekangnya ternyata sudah pulih kembali seperti
sediakala.
Betapa kejut dan tergetar hatinya sungguh bukan kepalang.
Orang tua ini bilang Lwekangnya di tutup, kini telah terbuka dan
lancar kembali. Jelas orang tua kurus ini yang membuka segelan
Lwekangnya, naga-naganya bukan sembarangan tokoh kosen kakek
kurus ini. Dia menyebut diri sebagai Suco, menyinggung tangan
beracun lagi, mungkinkah memang dia ini guru dari ayah?
Orang tua kurus menggapai padanya, katanya: "Mari masuk."
Bayangannya tiba-tiba lenyap, heran Ji Bun melototkan matanya,
didapatinya di balik batu di mana orang kurus itu bersimpuh tadi
adalah lubang batu, tadi karena teraling dan seluruh perhatiannya
tertumplek pada si orang tua, maka Ji Bun tidak melihat adanya
lubang gua ini.
Sejenak dia ragu-ragu, akhirnya melompat naik ke atas terus
melangkah ke dalam gua batu itu. Gua ini sempit, hanya tiba cukup
untuk satu orang keluar masuk, lorong gua gelap dan lembab, kira-
kira puluhan tombak kemudian baru pandangannya terbeliak pada
sebuah kamar batu yang luas, meja kursi dan perabot lainnya semua
terbikin dari batu, tepat di tengah sana terletak sebuah meja
pemujaan. Asap dupa mengepul tinggi menambah khitmadnya
suasana.
Orang tua kurus tampak berdiri di pinggir meja, begitu Ji Bun
melangkah masuk, segera dia berseru lantang: "Tempat semayam
Cosu (leluhur) ada di sini, lekas berlutut."
Sekilas Ji Bun tertegun. Waktu ia pandang ke arah meja
pemujaan, tampak sebuah papan batu panjang, ditengah-tengah
bertuliskan beberapa huruf yang berbunyi:
"Tempat semayam moyang racun Kwi-kian-jiu Le Bung".
Teringat oteh Ji Bun akan penuturan orang tua aneh di dasar
jurang Pek-ciok-hong dulu bahwa Bu-ing-cui-sim-jiu adalah ciptaan
seorang tokoh silat ahli racun yang bergelar Kwi-kian-jiu pada dua
abad yang lalu, ilmu ini sudah lama putus turunan, secara tidak
sengaja, agaknya dirinya telah ke sasar ke tempat asal
perguruannya sendiri yang asli.
Setengah kaget setengah girang, tersipu-sipu Ji Bun berlutut lalu
menyembah berulang kali, tak lupa iapun menyembah kepada si
orang tua kurus, serunya: "Ji Bun yang tidak berbudi, menghadap
Suco."
"Berdiri!” seru si orang tua kurus dengan badan gemetar.
Cepat Ji Bun berdiri, pandangannya heran penuh tanda tanya
kepada si orang tua aneh.
"Kau bernama Ji Bun?" orang tua itu bertanya penuh emosi.
Ji Bun mengiakan.
“Siapa nama ayahmu?"
"Beliau bernama Ji Ing-hong."
“Kau bukan murid perguruan kami!” kata si kakek tiba-tiba.
Ji Bun mundur tiga langkah, pandangannya sayu seperti
mendadak menjadi bodoh. Selama hidup belum pernah dia
mengalami kejadian seperti ini, begitu berhadapan orang tua ini
mengaku sebagai Suco. Kini bilang dirinya bukan murid
perguruannya, agaknya semua persoalan timbul lantaran dirinya
meyakinkan Bu-ing-cui-sim-jiu itu, dulu cara bagaimana ayahnya
memperoleh kitab pelajaran ilmu beracun ini?
Orang tua kurus duduk di atas kursi batu, sekian lama dia
pejamkan mata entah merenungkan apa dan begitu membuka mata
segera bertanya pula: "Pernah kau mendengar nama Ngo Siang?"
"Tidak pernah," jawab Ji Bun.
"Pernah melihat Tok-keng?"
"Juga tidak."
"Bagaimana kau bisa meyakinkan Bu-ing-cui-sim-jiu"
"Ayah yang mengajarkan secara lisan."
"Apakah ayahmu juga meyakinkan tangan beracun?"
"Menurut apa yang Wanpwe ketahui, agaknya tidak."
"Pernah dengar dia menyinggung soal Tok-keng?“
"Tidak pernah beliau menyinggung Tok-keng segala."
Untuk sekian lama pula si orang tua berdiam diri, suasana
menjadi hening. Ji Bun tidak tahu apa yang sedang dipikirkan si
orang tua. Entah vonis apa pula yang akan dijatuhkan atas dirinya,
namun nalarnya yakin bahwa dirinya tidak akan mengalami nasib
jelek, terutama Lwekang dan kepandaian silatnya sudah pulih, hal ini
menimbulkan gairah dan mengobarkan semangat, dia merasa
seperti hidup kembali setelah berkayun di neraka.
Sampai sekian lamanya kedua orang tiada yang buka suara, lama
kelamaan Ji Bun menjadi tidak sabar.
Mendadak orang tua kurus berdiri lalu berlutut di depan meja
sembahyangan, mulutnya bersabda: "Ban Yu-siong, murid generasi
ke-12 bersembah sujud di hadapan Suco, demi mengembangkan
perguruan supaya tidak putus turunan, Tecu memberanikan diri
memutuskan untuk menerima murid dan menurunkan ilmu, harap
dimaklumi dari unjuk periksa adanya!"
Habis bersabda ia berdiri di pinggir meja, katanya dengan suara
kereng dan serius: "Ji Bun, ayahmu adalah murid generasi 14 dari
perguruan kita, kini kau adalah generasi ke 15, sekarang pasang
dupa dan bersembahyang kepada leluhur."
"Heran dan tidak habis mengerti Ji Bun dibuatnya, tampaknya
tiada peluang baginya untuk berpikir panjang, entah berdasar apa
orang tua ini berani memutuskan bahwa ayahnya adalah murid
generasi ke 14, kalau toh sudah telanjur adanya ikatan ini, apa pula
yang harus dikatakan, yang terang budi orang tua ini memulihkan
dan membuka segel Lwekangnya. Sulit bagi dirinya untuk menolak
segala perintah dan permintaannya, maka dia lantas melangkah
maju mengambil tiga batang hio dan disulut terus berlutut di depan
meja pemujaan.
"Bersumpah!" seru orang tua itu.
Kembali Ji Bun tertegun, cara bagaimana harus bersumpah,
sekilas dia berpikir, lalu dia berseru lantang sesuai peraturan bagi
sesuatu aliran yang hendak memungut murid: "Ji Bun, murid
generasi ke-15, berkat keluhuran budi Suco yang sudi menerimanya
sebagai murid, dengan ini bersumpah untuk mendarma baktikan
jiwa raga bagi perkembangan dan kejayaan perguruan serta
bersumpah untuk mematuhi segala peraturan perguruan, kalau
melanggarnya, biarlah Thian menjatuhkan hukumannya."
"Dengarkan maklumat!” kembali si orang tua kurus berseru
lantang.
14.42. Murid Ban-tok-ci-bun
Ji Bun berlutut dan menyembah tanpa bersuara, hakikatnya
memang, dia sendiri tidak tahu apa yang harus dia lakukan untuk
mengiringi upacara ini. Lalu berkatalah Ban Yong-siang lebih lanjut
dengan nada kereng berwibawa. "Perguruan kita adalah Ban-tok-ci-
bun (perguruan selaksa racun). Berdiri dan berkembang demi
kesejahteraan manusia, hidup rukun saling membantu, membela
yang benar menindas kelaliman, membantu yang lemah menumpas
yang kuat dan jahat, takkan berbuat salah dan tidak menuntut
kegaiban. Dapatkah kau mematuhinya?”
"Hamba bersumpah akan patuh dan taat!"
"Dengarkan tata tertib!"
“Tecu siap mendengarkan."
"Pertama dilarang berbuat jahat dan cabul, kedua dilarang
mencuri atau merampok, ketiga dilarang membunuh tanpa berdosa,
keempat dilarang membantu kejahatan atau kelaliman. Dapatkah
kau mematuhi semua ini?"
Ji Bun mengiakan.
"Nah, sekarang dengarkan peraturan hukum. Mendurhakai
perguruan dan leluhur, hukumnya mati. Mengajarkan ilmu beracun
secara semena-mena dihukum gantung. Yang membocorkan rahasia
perguruan dihukum mati. Berbuat kejahatan dan melanggar
perikeadilan dihukum mati. Dapatkah kau mematuhi semua ini?"
Ji Bun mengangguk dan menyatakan patuh.
"Nah, sekarang kau boleh berdiri, nak."
Ji Bun berdiri lalu menghadapi Ban Yu-siong dan memberi
hormat.
"Tidak perlu banyak adat, berdirilah!" wajah orang tua itu
sekarang kelihatan welas asih penuh kasih sayang, sorot matanya
yang tajam tadi telah lenyap, katanya sambil menuding bangku batu
di sebelahnya: "Duduklah, kuingin bicara dengan kau."
"Terima kasih," ucap Ji Bun sambil duduk.
"Tuturkan riwajat dan asal usulmu."
"Tecu Ji Bun, keturunan Jit-sing pang Pangcu Ji Ing-hong, anak
tunggal dan mewarisi ajaran keluarga, tidak pernah berguru pada
aliran lain."
"Baiklah, nak, dengarkan dengan cermat. Perguruan kita
bernama Ban-tok-ci-bun, cikal-bakal kita adalah Kwi-kian-jiu yang
tersohor sejak ratusan tahun hingga sekarang. Beliau bernama Le
Bong. Perguruan kita diwariskan dari satu generasi kepada generasi
yang lebih muda, setiap generasi , hanya menerima seorang murid,
inilah peraturan yang diwariskan oleh cikal bakal kita dan pantang
dilanggar, oleh karena itu ada larangan barang siapa yang
melanggar aturan dan sembarangan mengajarkan ilmu beracun
kepada orang lain, harus dihukum mati."
"Pernahkah Suthayco berkelana di Kang-ouw?"
"Sudah enam puluh tahun aku menyepi diatas gunung.“
"Lalu generasi yang lalu ......”
"Cosuya (Cikal bakal) kita mewariskan aturan cara untuk
mendapatkan murid, ini boleh dibilang sebagai rahasia perguruan
kita pula. Pada dua ratus tahun yang lalu Cosuya secara tidak
disengaja menemukan gua rahasia yang tersembunyi di celah-cela
Kiu-coan-ho ini, maka sejak itu beliau lantas bersemayam dan
mengasingkan diri di sini. Setelah menggembleng diri selama 60
tahun, bukan saja ilmu silatnya mencapai puncak yang tiada taranya,
yang lebih penting beliau berhasil menyelami ajaran Tok-keng yang
paling mendalam. Tiba-tiba timbul nalarnya yang luhur, jika ilmu-
ilmu ciptaannya sampai putus turunan dan lenyap terbawa mati, kan
amat sayang, namun beliau sudah bersumpah untuk mengasingkan
diri, tak mungkin melanggar sumpah untuk keluar mencari murid
......"
Sampai disini dia berhenti sebentar, lalu menyambung, "Oleh
karena itu Cosuya mendapatkan akal secara untung-untungan bagi
yang berjodoh mendapatkan rejeki, beliau mencatat semua ciptaan
ilmunya pada dua buah kitab, pada jilid pertama diterangkan, bagi
seorang yang menemukan buku itu harus mempelajarinya dengan
tekun dan rajin. Dalam jangka 10 tahun, jika mencapai hasil, boleh
kemari untuk angkat guru dan memperdalam pelajaran jilid kedua.
Jilid pertama dan keterangannya itu oleh Cosuya dimasukkan ke
dalam sebuah gelembung kulit terus dilempar ke sungai biar terbawa
arus, kemungkinan memang buku itu tidak akan ditemukan orang
dan akan lenyap tak keruan parannya. Namun cita-cita Cosuya ini
memang hanya dipertaruhkan kepada orang-orang yang kebetulan
punya jodoh saja ......”
Asyik sekali Ji Bun mendengarkan cerita ini, akhirnya tak tahan ia
bertanya, "Tentu bungkusan itu ditemukan orang, lalu bagaimana?"
Ban Yu-siong manggut-manggut, katanya: "Ya, kalau tidak
masakah perguruan kita bisa bertahan turun temurun sampai
sekarang."
“Harap Suthayco melanjutkan kisah ini."
"Enam tahun kemudian, suatu hari ketika Cosuya sedang
memancing ikan di tepi sungai, mendadak dilihatnya sesosok tubuh
manusia terhanyut dibawa arus, cepat beliau menolongnya ke atas,
untung orang itu belum meninggal. Pada badannya ternyata ada
kitab Tok-keng jilid pertama. Setelah ditolong dan diobati, baru
diketahui bahwa orang ini memang hendak menghadap kepada
guru, sayang ia kesasar dan terpeleset jatuh ke sungai ......"
"Hah!" Ji Bun bersuara dalam mulut.
"Waktu itu bukan kepalang senang hati Cosuya, segera orang itu
diangkat jadi murid dan mulai mendirikan sebuah perguruan yang
dinamakan Ban-tok-bun. Sejak itu keluarlah aturan perguruan. Di
samping itu mengingat ajaran ilmu beracun tidak sama dengan
pelajaran ilmu silat, sekali salah tangan pasti mengakibatkan
tewasnya orang, jika anak murid sendiri tidak dibatasi gerak
geriknya, kelak bisa menimbulkan petaka bagi dunia persilatan, oleh
karena itu ditentukan setiap generasi hanya boleh menerima seorang
murid saja .......”
"Memang bajik dan bijaksana sekali Cosuya," ujar Ji Bun.
"Orang itu adalah Suco dari generasi kedua bernama Hoan Goan-
liang, karena pengalaman Hoan-suco ini, maka Cosuya menyadari
suatu cara untuk menjajaki jiwa manusia. Setiap orang yang
memperoleh Tok-keng jilid pertama dan menjadi murid
keturunannya, dia harus menceburkan diri di hulu Kiu-coan-ho,
setelah mengalami ujian berat dengan mempertaruhkan jiwa raga ini
baru dia setimpal dan punya bobot untuk diangkat menjadi murid
secara resmi ......"
"Jika orang itu hilang terbawa arus, lalu bagaimana?" tanya Ji
Bun.
"Tidak mungkin, arus air dibawah bukit itu memang aneh, setiap
orang yang ceburkan diri ke sungai akhirnya pasti akan terlempar ke
atas daratan, disamping itu Cosuya juga memasang jala besar,
setiap benda yang terhanyut kesana pasti terjala, boleh dikata
segala kemungkinan sudah dipikirkan dengan matang ......."
"O," demikian kata Ji Bun, "pantas datang-datang tadi engkau
orang tua lantas mengaku diri sebagai Suco, jadi engkau kira Tecu
juga menceburkan diri ke air demi masuk perguruan."
"Ya, nak, itulah yang dinamakan jodoh.”
"Maaf akan kelancangan mulut Tecu, jika diantara sekian banyak
generasi itu kehilangan kitab pusaka, bukankah ajaran akan terputus
juga?”
"Pertanyaan bagus, itulah yang Suco katakan sebagai
menyenggol rejeki, kalau memang tidak berjodoh, sudah tentu
perguruan kita akan putus di tengah jalan."
"Kalau yang menemukan seorang jahat dan membuat petaka
Bulim, dan orang itu hakikatnya tiada tujuan hendak masuk
perguruan, lalu bagaimana jadinya?"
Orang tua kurus tersenyum, ujarnya : "Suco tetap punya cara
untuk mengatasinya, tiga tahun setelah kitab diturunkan, generasi
yang terdahulu harus turun gunung mengadakan pemeriksaan,
karena ajaran racun merupakan ilmu sampingan, setiap orang
mendapatkan ilmu ini pasti akan tenar dan berkecimpung di Bu-lim,
maka tidak sukar untuk menemukan jejaknya. Kalau murid itu orang
jahat, dia akan dihukum menurut peraturan serta merebut kembali
Tok-keng, lalu mencari calon murid yang lain. Setelah diselidiki
dengan baik, maka dia harus pulang gunung dan menunggu
datangnya generasi yang akan tiba, dia wajib menurunkan pelajaran
yang tertera pada jilid dua, begitulah seterusnya."
"Kalau demikian, sudah menjadi ketentuan adanya dua generasi
yang harus tinggal di atas gunung untuk mempelajari ilmu ciptaan
Cosuya bersama .......”
“Ya, begitulah kenyataannya."
"Mohon tanya, siapakah generasi ke-13?"
"Murid generasi ke-13 bernama Ngo Siang, tiga tahun kemudian
setelah dia nyenggol rejeki jodoh itu, dia mendapat perintahku turun
gunung untuk mencari calon murid generasi mendatang, mungkin
orang yang berjodoh adalah ayahmu Ji Ing-hong, dia terhitung
generasi ke-14, Ngo Siang mungkin mengalami sesuatu bencana,
sehingga sekian tahun tidak kunjung pulang, kini ayahmu dicelakai
orang lagi, beruntung Thian sudah mengatur segalanya dan kaulah
yang dituntun kemari."
Bergidik Ji Bun dibuatnya, analisa orang tua kurus ini agaknya
tepat, namun ayahnya lebih dari 10 tahun mendapatkan Tok-keng,
agaknya dia sengaja tidak mau masuk perguruan, malah sepak
terjangnya justeru melanggar pantangan yang paling besar dari
aturan perguruan. Jika Ngo Siang generasi ke-13 itu masih hidup di
dunia ini, suatu hari pasti akan mengadakan pembersihan.
Terdengar Ban Yu-siong berkata pula: "Ayahmu melanggar
aturan, mengajarkan ilmu perguruan terhadapmu. Jika dia masih
hidup, dia pasti dikejar oleh hukuman. Dan kau, setelah meyakinkan
ilmu beracun itu pernahkan kau sembarangan membunuh?”
"Tecu yakin tidak pernah membunuh secara serampangan," sahut
Ji Bun tegas.
"Bagus, bagus sekali."
"Masih ada satu hal, ingin Tecu bertanya?"
"Boleh, soal apa?"
"Menurut cerita beberapa sesepuh Bu lim, bahwa Bu-ing-cui-sim-
jiu selama ratusan tahun ini hanya Suco seorang saja yang berhasil
meyakinkan."
"Itu memang benar."
"Jadi diantara puluhan generasi itu tiada .......”
"Tidak demikian halnya, ajaran Bu-ing-cui-sim-jiu dimuat pada
jilid pertama dan sukar dipahami. Setiap generasi yang pulang
keperguruan sesuai batas 10 tahun itu, jarang yang berhasil
meyakinkan dengan baik, sekalipun ada dua tiga orang, tapi kalau
tidak dipergunakan, maka kaum Bu-lim tentu tiada yang tahu.
Setelah berada dalam perguruan, meski berhasil dengan gemilang,
waktupun sudah berlarut terlalu lama dan tiba saatnya dia harus
menerima jabatan sebagai ahli waris. Hakikatnya dia tiada
kesempatan berkelana di Kang-ouw untuk mengembangkan ilmu ini,
karena tujuannya turun gunung yang kedua kalinya adalah mencari
calon murid. Umpamanya kau, lain dari yang lain, rasanya sukar
terjadi pada generasi yang mendatang."
"Jika kurang hati-hati, sehingga Tok-keng hilang dan terjatuh ke
tangan orang lain?"
"Orang yang menemukan buku itu akan mati mengenaskan."
"Kenapa?"
"Buku itu mengandung racun yang jahat, begitu tangan
menyentuh buku ia akan keracunan dan dalam seratus hari jika tidak
diobati pasti mati."
Ji Bun merinding, tanyanya pula: "Tapi bagaimana dengan orang
pertama yang mendapatkan, buku itu?"
"Di dalam buku ada suatu lembar keterangan di mana dijelaskan
cara untuk menawarkan racun, penjelasan itu harus segera dibakar
sambil berlutut setelah dia memperoleh buku itu. Oleh karena itu
tidak mungkin ada orang kedua yang menjadi murid generasi yang
sama, lebih tidak mungkin ada orang luar yang bisa belajar ilmu
perguruan kita."
Ji Bun tunduk dan kagum lahir batin terhadap cikal bakal yang
memikirkan segala ini sedemikian cermat, jika demikian halnya, jadi
ayah bukan orang kedua yang sama-sama mendapatkan buku
pelajaran itu, kalau benar, bukankah dia sudah mati keracunan, ini
membuktikan bahwa ayahnya adalah calon murid yang dipilih oleh
Ngo Siang, tapi perbuatannya jauh melanggar peraturan perguruan,
jika ........ Ji Bun tak berani membayangkan lebih lanjut. Karena
celaka, dirinya sekarang malah ketiban rejeki, secara aneh dan luar
dugaan dirinya pulang kandang perguruan asalnya, seperti
pengalaman dalam mimpi saja rasanya.
Tiba-tiba terangkat alis putih si orang tua, katanya: "Nak, ketika
membuka tutukan Lwekangmu yang disegel tadi kudapati
Lwekangmu begitu kuat dan mengejutkan, rasanya tidak memadai
dengan usiamu, mungkin kau .....”
"Tecu mendapat saluran Lwekang dari seorang Locianpwe yang
bergelar Ciok-bin-hiap Cu Kong-tam"
"Kau mengangkatnya jadi guru?"
"Tidak, kami bertemu di dasar jurang, dia berpesan kepada Tecu
untuk menyelesaikan suatu urusan, maka dia salurkan Lwekangnya
kepadaku untuk lolos dari tempat itu."
"Ah, kiranya begitu, hawa murnimu mencapai latihan puluhan
tahun, dengan landasan yang kau miliki sekarang, kira-kira cukup
setahun saja pasti berhasil mempelajari ilmu tingkat tertinggi dari
perguruan kita."
"Setahun?"
"Kenapa nak, kau kira terlalu lama? Setiap Ciangbun dari generasi
terdahulu, sedikitnya berlatih lima tahun, ada yang sampai puluhan
tahun."
"Maaf akan kelancangan Tecu."
"Dalam keluarga jangan terlalu banyak menggunakan adat,
jangan kau bersikap demikian."
"Konon setiap orang yang berhasil meyakinkan Bu-ing-cui-sim-jiu,
selama hidupnya tak bisa dipunahkan, apakah betul demikian?”
"Nak, itu hanya dasarnya, tingkat permulaan, jika dilatih sampai
tingkat terakhir, racun dapat kau gunakan sesuai keinginan hatimu.
Keadaan tak ubahnya seperti orang biasa, semua ini tak perlu kau
tanyakan, kelak kau akan tahu sendiri. Sekarang kau boleh mulai
kerja bakti, kamar batu sebelah kanan adalah dapur, kamar kedua
itu boleh buat tempat tinggalmu, kamar pertama disebelah iri adalah
tempat tinggal Suco, kamar kedua adalah tempat latihan, pergilah
kau membuat makanan dulu, besok pagi boleh kau mulai belajar."
Sampai detik ini Ji Bun masih merasa dirinya seolah-olah di alam
mimpi, karena pengalamannya ini teramat aneh, sukar dipercaya,
kalau betul ada kejadian ajaib di dunia pengalamannya inilah
buktinya.
Di dalam gua tidak kenal hari, bulan dan tahun. Sang waktu
berjalan tanpa terasa. Ji Bun lupa makan lupa tidur, rajin belajar giat
menggembleng diri. Ada kalanya beberapa hari dia tidak makan dan
tidak tidur. Hari itu dia kembali ke kamar latihan langsung
menghampiri si orang tua dan teriaknya girang: "Suthayco, aku
sudah berhasil."
Dari pergaulan hari ke hari ini, setiap saat mereka berdampingan.
Hubungan mereka kini tak ubahnva seperti kakek dengan cucu
sendiri, maka sikap dan gerak gerik serta tutur kata keduanya sudah
tidak dibatasi oleh aturan-aturan yang mengekang lagi.
Si orang tua mengelus jenggotnya yang ubanan, katanya tertawa
lebar: "Nak, kuucapkan selamat padamu, setengah tahun kau lebih
dini berhasil dari perhitungan semula.”
Ji Bun sendiri sudah lupa waktu dan memperhitungkan hari,
iapun merasa heran dan tidak percaya, "Apa, setengah tahun?"
"Ya, setengah tahun kurang sehari. Nak, besok pagi kau boleh
turun gunung."
"Besok pagi?"
Wajah si orang tua yang berseri girang tiba-tiba dihapus oleh
rasa sedih. Ji Bun melihat perubahan roman mukanya, dalam hati
juga timbul rasa berat untuk berpisah, namun dia tahu tidak
mungkin tidak meninggalkan tempat ini. Selama ini tidak pernah
dirasakannya, kini setelah berhasil meyakinkan ilmu, dendam yang
tersekam itu seketika berkobar lagi.
"Nah, setelah turun gunung, ada beberapa tugas yang harus kau
kerjakan," demikian kata si orang tua.
"Anak Bun siap mendengarkan petuah."'
"Pertama, usahakan untuk menemukan kembali Tok-keng,
sekaligus carilah calon penggantimu untuk ahliwaris angkatan ke-16
yang akan datang. Kedua, selidikilah jejak dan kabar kakek gurumu,
Ngo Siang. Ketiga, carilah sebab musababnya kenapa setelah
mendapatkan Tok-keng, ayahmu tidak kembali ke gunung."
Berdetak jantung Ji Bun, namun dia menjawab dengan hormat:
"Anak Bun mengingatnya dengan baik, Suthayco ada pesan apa
lagi?"
"Sekarang segala racun tidak akan mempan pada dirimu, namun
demi mendarma baktikan dirimu bagi masyarakat umumnya, kau
perlu membawa beberapa macam obat, di atas rak obat, kau boleh
ambil secukupnya dan pilih mana saja yang kau rasa perlu. Dalam
jangka sepuluh tahun kau harus kembali ke sini, murid perguruan
kita tidak dilarang menikah, tapi ilmu kita dilarang diajarkan kepada
anak cucu sendiri, kau tetap harus melaksanakan peraturan yang
telah diwariskan leluhur kita, dengan cara 'rejeki tiban' itu, kau
hanyalah satu-satunya orang yang teristimewa di antara sekian
murid-murid yang pernah terjadi sejak perguruan kita berdiri.
Untunglah kau sendiri juga sudah mengalami petaka di dalam air."
"Terima kasih atas budi Suthayco."
"Tok-jiu-sam-sek (tiga jurus tangan berbisa) terlalu ganas, kalau
lawanmu tidak setimpal mati, jangan sekali-kali kau gunakan.
Disamping itu di atas rak pada kotak pertama dibaris teratas
terdapat sebotol Hoat-wan (pil maut pelaksana hukum), hasil buatan
dan peninggalan Suco, kau boleh membawa sebutir."
Bergetar tubuh Ji Bun, namun dia mengiakan. Dia pikir, kalau
ayah masih hidup, memang dia setimpal diberi Hoat-wan ini untuk
bunuh diri, namun sebagai seorang anak, mungkinkah .......
"Puncak gunung ini dikelilingi air dan dipagari dinding gunung
yang curam, hanya ada sebuah jalan rahasia di belakang gunung,
sekarang kau boleh melihatnya ......." dengan jari telunjuk dia
menggores sebuah peta sambil menerangkan cara bagaimana Ji Bun
harus keluar dan masuk, Ji Bun mengingatnya dengan baik.
"Sekarang kau boleh mengundurkan diri."
Ji Bun menyahut terus mengundurkan diri ke kamar sendiri,
hatinya gundah dan resah, dengan bekal yang dipelajarinya
sekarang, pasti tugas menuntut balas kali ini akan bisa terlaksana
dengan baik. Pengalaman selama setengah tahun ini, kembali dia
ulang dalam pikiran, terasa masih banyak liku-liku yang masih gelap
baginya, terutama sepak terjang dan keselamatan jiwa ayahnya
menjadi topik pemikirannya.
Dia berdoa semoga ayahnya masih hidup, ini jamak, namun
iapun ingat betapa kerasnya aturan perguruan, bagaimana kelak
dirinya harus bertindak? Ngo Siang pejabat generasi ke 13 sudah
lenyap puluhan tahun, dunia seluas ini, ke mana dia harus
mencarinya? Tok-keng pasti masih ada di tangan ayah, kalau dia
belum mati, bagaimana harus merebutnya .......”
Tiba-tiba dia ingat akan racun, Giam-ong-ling yang pernah
dipergunakan Kwe-loh-jin, sekarang baru dia tahu bahwa racun ini
juga salah satu dari ciptaan perguruannya, mungkinkah Tok-keng
terjatuh ke tangannya? Ini mungkin sekali, tapi kenapa dia tidak
mati keracunan setelah memperoleh buku itu, sungguh sukar
diselami.
Kecuali seseorang yang pernah meyakinkan Kim-kong-sin-kang
yang kebal terhadap racun Bu-ing-cui-sim-jiu, tiada orang yang kuat
menahannya, kecuali diberi obat penawar perguruannya. Tapi Kwe-
loh-jin dan beberapa orang lainnya ternyata tidak gentar dan kebal
juga terhadap racun ganas ini, terang mereka belum mencapai
tingkat Kim-kong-sin-kang, memangnya mereka memiliki obat
penawarnya? Lalu dari mana diperoleh obat penawar itu? Inilah soal
yang mencurigakan dan sukar dipecahkan.
Diapun teringat pada Biau-jiu Siansing, orang ini juga tidak takut
racun, betapapun teka teki ini harus secepatnya dibongkar.
Waktu berjalan cepat sekali, hari kedua pagi-pagi benar Ji Bun
sudah pamitan kepada kakek gurunya terus menyusuri jalan rahasia
di belakang gunung. Tanpa susah dia keluar dari lingkungan gunung
terus menempuh perjalanan menuju ke Kay-hong.
Banyak persoaian besar yang ingin, dia minta penjelasan dari
Biau-jiu Siansing, perjanjian setahun tempo hari, kini sudah berjalan
setengah tahun mungkin Ciang Wi-bin ayah dan anak sudah tidak
sabar menanti. Setengah tahun cukup lama, tapi juga terlalu cepat
berlalu, entah apa pula yang telah terjadi selama ini dikalangan
Kangouw?
Hari itu, dia tiba di Bik-su, dia cari hotel terus ganti pakaian,
sekarang tidak perlu main sembunyi dengan menyamar segala,
dibelinya seperangkat dan kipas, topi serta keperluan lainnya, dia
berdandan lagi sebagai seorang pelajar yang berwajah cakap.
Semu hijau yang dulu selalu timbul di antara kedua alisnya, sejak
dia meyakinkan ilmu tingkat tinggi perguruannya, kini tidak kelihatan
lagi. Namun setiap kali dia mengerahkan hawa murni menurut
ajaran perguruan, sorot matanya pasti mencorong kehijauan, inilah
keistimewaan ilmu perguruannya.
Malamnya seorang diri dia makan minum di kamarnya. Mendadak
dari kamar sebelah luar sama terdengar suara ribut-ribut, seseorang
berteriak kaget dan ketakutan, tamu-tamu sama berlari keluar,
terdengar seorang berkata: "Apa yang terjadi?"
"Entah kenapa tua bangka ini mati, yang muda genit itu entah
lenyap ke mana?”
Kematian seseorang, bagi setiap insan persilatan sudah biasa dan
bukan soal besar. Ji Bun tidak tertarik, ia tetap makan minum
seenaknya. Tapi kupingnya mendengarkan keributan diluar.
Terdengar seseorang berseru pula: "Eh, barang apakah ini?"
"Sebuah cincin kok ada tiga lubangnya?"
"Itulah cincin batu jade dengan tiga lubang jari?" Ji Bun terjingkat
dikamarnya, sebat sekali dia memburu keluar terus berlari ke kamar
tetangga sana, dilihatnya orang banyak berkerumun di depan pintu,
pemilik hotel melongo di serambi sambil menjublek kehilangan akal.
Ji Bun langsung menyelinap masuk ke kamar. Seketika dia
berseru kaget. Di atas lantai dalam kamar rebah celentang seorang
perempuan tua berpakaian hijau, darah berceceran, di samping
mayat menggeletak sepotong batu jade berlubang tiga, itulah cincin
tiga lubang yang dibicarakan orang banyak.
Ji Bun menjemputnya dan diperiksa, ia kenal inilah Sam-cay-ciat
yang biasa dipakai oleh Thian-thay-mo-ki. Dari dandanan orang tua
ini, Ji Bun yakin dia pasti Sam-cay Lolo, guru Thian-thay-mo-ki. Di
mana Thian-thay-mo-ki? Orang bilang kamar ini dihuni dua orang
tua dan muda, yang muda genit pasti Thian-thay-mo-ki adanya.
Waktu Ji Bun berdiri dan membalik badan, pandangannya
menjadi canang. Dinding di pinggir jendela sana terlihat ada
beberapa lubang yang tak terhitung jumlahnya. tiga lubang menjadi
satu kelompok, itulah bekas-bekas yang ditinggalkan oleh ilmu Sam-
cay-cui-hun kebanggaan Sam cay Lolo.
Sam-cay Lolo cukup tenar dan merupakan tokoh kosen kelas
wahid. Kepandaiannya hanya setingkat di bawah Thong-sian Hwesio.
Golongan hitam putih sama jeri berhadapan dengan Sam-cay-cui-
hun. Lalu siapakah yang mampu membunuh pendekar aneh
perempuan tua di hotel ini? Apa pula tujuannya?
Ji Bun membatin: "Kejadian ini pasti sebelum aku masuk ke hotel
ini, kelihatan mereka juga bertempur lebih dulu, kalau tidak masakah
dirinya tidak mendengar apa-apa, lalu siapakah pembunuhnya,
hanya beberapa gelintir jago silat saja yang mampu membunuhnya."
Sam-cay Lolo terbunuh, bagaimana nasib Thian-thay-mo-ki dapat
dibayangkan. Keruan hati Ji Bun gelisah, dia merasa terlalu banyak
utang budi kepada Thian-thay-mo-ki, perbuatan sendiri setengah
tahun yang lalu juga keterlaluan.
Mendadak seorang tua berpakaian hitam melongok sekali ke
dalam kamar, seketika mukanya pucat pias. dia menghampiri pemilik
hotel serta berbisik: "Jangan ribut-ribut, lekas dikebumikan, tak usah
lapor kepada yang berwajib, supaya hotelmu tidak mengalami
gangguan."
Habis berkata dia menyurut mundur terus tinggal pergi.
"Berhenti!" Ji Bun menghardik.
Laki-laki baju hitam menoleh, dilihatnya cuma seorang pemuda
berdandan pelajar, nyalinya menjadi besar, namun mimiknya yang
kaget dan takut masih kelihatan, suaranya gemetar: "Siau-hiap ini
ada petunjuk apa?"
"Siapa yang membunuh di sini?"
"Ini ..... ini .......”
"Lekas katakan."
"Apakah Siau-hiap tidak melihat cap pupur di atas dinding itu
.......”
Baru sekarang Ji Bun sempat memeriksa keadaan kamar,
dilihatnya di dinding memang terdapat sebuah cap sebesar telapak
tangan, bentuknya mirip sekuntum bunga Bwe, keruan dia heran
dan tak mengerti, tanyanya: "Cap kembang Bwe, memangnya
kenapa?"
"Masakah Siauhiap tidak tahu?"
"Kalau tahu buat apa tanya padamu."
"Ini .... ini .... aku tidak berani menjelaskan," mendadak dia putar
tubuh terus menyelinap pergi di antara orang banyak, lekas sekali
bayangannya sudah lenyap.
Pertanda apakah cap bunga Bwe ini? Ji Bun tidak habis pikir,
kenapa orang tua itu begitu ketakutan? Kalau bukan tanda khas
seseorang yang ditakuti pasti merupakan tanda pengenal dari suatu
perkumpulan rahasia. Sekian lama dia menjublek, akhirnya dia
mencari daya untuk menyelidiki pembunuhan ini, maka dia memberi
uang kepada pemilik hotel serta menyuruhnya mengubur mayat
Sam-cay Lolo. Lalu dia masukkan Sam-cay-ciat ke dalam kantong.
Menghadapi hidangan di kamarnya, Ji Bun tiada selera makan
lagi, otaknya memikirkan peristiwa aneh ini. Kebetulan pelayan
masuk membereskan mangkok piring dan berkata dengan cengar-
cengir: "Siangkong, di dalam kamar begini gerah, kenapa tidak cari
angin di luar?"
Tiba-tiba timbul ilham Ji Bun, segera ia merogoh uang dan
berkata: "Siau-jiko, 10 tail ini berikan kepada majikanmu untuk
ongkos penguburan, beberapa uang receh ini kuberikan kepadamu,
pergilah ke toko belikan sebatang kipas lempit berwarna, hitam
legam."
"Kipas Hitam?”
"Ya, kipas lempit warna hitam polos, jangan yang bergambar
atau sudah ada tulisannya, cukup yang bertulang bambu saja."
"Kipas tulang bambu cukup murah, uang sebanyak ini .....”
“Sisanya boleh kau miliki."
"Terima kasih Siangkong, sebentar kuambilkan sepoci air teh
dulu, segera kubelikan kipas ke toko sebelah."
Seorang diri Ji Bun mondar-mandir di dalam kamarnya, dia
merancang akal supaya lebih matang sesuai dengan rencananya
untuk mengejar jejak si pembunuh. Tidak lama menunggu pelayan
itu telah kembali dengan berseri tawa, tujuh delapan kipas lempit dia
taruh di atas meja.
"Kau pandai bekerja. kalau perlu nanti kupanggil kau lagi," kata Ji
Bun.
15.43. Misteri Perkumpulan Ngo-hong-kau
Pelayan itu mengundurkan diri sambil menutup pintu dari luar.
Sekenanya Ji Bun jemput sebatang kipas terus dibeber, dengan
handuk basah dia basahi permukaan kipas hitam itu lalu menyelinap
masuk ke kamar sebelah. Kipas hitam yang basah segera dia tempel
dan tekan pada cap kembang pupur di atas dinding itu. Cap pupur
kembang itu segera mengecap balik di atas kipasnya. Sekembali di
kamarnya dia keringkan kipasnya, lalu kipas itu dilempitnya pula,
kemudian ia berjalan keluar.
Di jalanan Ji Bun sengaja pentang kipas hitamnya, bagian yang
ada cap kembang sengaja dia unjuk ke depan, sambil jalan dia
goyang-goyang kipas seperti pelajar umumnya, dia mondar mandir
di jalan raya yang banyak dilalui orang.
Di antara sekian banyak orang-orang yang lewat tidak sedikit
kaum persilatan. Begitu melihat cap kembang di kipasnya, berubah
air muka mereka dan cepat menyingkir pergi. Seperti tidak terjadi
sesuatu, Ji Bun putar kayun lalu mampir di sebuah warung teh yang
berloteng. Sambil menikmati air teh, sering dia gunakan kipas untuk
menghilangkan rasa gerah badannya. Aneh sekali, tamu lain satu
persatu juga mengundurkan diri.
Ji Bun menunggu dengan sabar, didapatinya seorang tua baju
hitam bersama seorang laki-laki kekar lainnya baru datang dan
mengunjuk mimik heran dan kaget pada dirinya. Mereka bisik-bisik
sambil melirik ke arahnya, diam-diam girang hati Ji Bun, segera dia
buka suara dan bersenandung. Bait-bait syair yang dibawakan dalam
senandungnya tidak serasi satu sama lain, namun laki-laki baju
hitam itu berubah air mukanya, bergegas aia berdiri menghampiri Ji
Bun, katanya sambil menyengir: "Bolehkah Lohu duduk di sini?”
"Kenapa boleh?" Ji Bun menyilakan.
Setelah duduk orang ini mengawasi Ji Bun dengan curiga, lalu
berkata dengan suara lirih sekali, "Apakah kau duta pusat?"
Berdebar jantung Ji Bun, mungkin syair-syair senandungnya tadi
secara tidak sengaja tepat mengenai sandi-sandi rahasia
perkumpulan mereka. Dari sini dia menarik kesimpulan bahwa cap
kembang ini pasti merupakan tanda pengenal dari suatu
perkumpulan di Bu-lim, maka dengan wajah serius dia mengiakan.
Terunjuk sikap gelisah pada wajah orang baju hitam, serunya
tersipu-sipu: "Hamba Tio Wi-kong, pejabat Hiangcu dari anak
cabang kedua, tidak tahu kedatangan yang mulia, harap dimaafkan
akan keteledoran ini," sembari bicara iapun berdiri.
"Duduklah!"
"Hamba tidak berani ......”
"Aku yang suruh kau duduk"
"Kalau begitu, hamba memberanikan diri, maaf."
Otak Ji Bun bekerja cepat, orang pandang dirinya utusan dari
markas pusat. Ia menduga perkumpulan yang menggunakan tanda
pengenal cap kembang ini pasti teramat besar dan mewah,
kedudukan duta dari pusat juga teramat tinggi, maka dia cari daya
untuk mengorek keterangannya dari mulut orang ini, namun dia
harus hati-hati supaya tidak mengunjuk tanda-tanda yang
mencurigakan.
Beberapa kali mulut Tio Wi-kong sudah terbuka hendak bicara,
tapi selalu urung. Ji Bun diam saja, ia pikir, gunakan titik kelemahan
orang, mungkin bisa dikorek sedikit keterangan dari mulutnya. Maka
dia mencobanya: "Apakah Tio-hiangcu ada waktu senggang?"
Serius wajah Tio Wi-kong, sahutnya: "Mana berani, hamba
bertanggung jawab terhadap semua mata telinga yang disebar di
sini."
"Ehm, tugasmu cukup berat dan besar artinya, Hiangcu harus
bekerja baik dan hati-hati."
"Ya, ya, mohon petunjuk."
Tidak tahu Ji Bun dengan cara apa dia harus mengorek
keterangan orang, terpaksa sekenanya dia bicara: "Mengenai
peristiwa di hotel itu ........” sampai disini dia berhenti sambil
mengawasi mimik muka orang, betul juga orang baju hitam tertegun
sebentar, seperti sangsi dan heran, lalu sahutnya tergagap: "Apakah
duta tidak mengetahui ........”
Tahu pertanyaannya meleset dan menimbulkan curiga orang,
lekas Ji Bun unjuk senyuman, katanya tawar. "Tidak, hanya kutanya
sekenanya saja, karena ......." sengaja tidak dia lanjutkan, supaya
tidak salah omong.
Sudah tentu Tio Wi-kong tidak berani tanya lagi, sekenanya ia
berkata: "Apakah Duta sudah bertemu dengan pimpinan anak
cabang?"
"O, belum, aku tidak akan menemuinya, ada tugas lain yang
harus kukerjakan."
"Apakah Duta tidak sejalan dengan kedua orang yang ditugaskan
menggusur perempuan itu?"
Senang hati Ji Bun, tanpa ditanya orang menyinggung
kepersoalan yang ingin diketahuinya, ia pura-pura bersikap penuh
rahasia, katanya: "Sudah tentu sejalan, namun aku ada tugas lain
lagi, karena ......." kata-kata ini melanjutkan ucapannya tadi "karena
pusat mensinyalir adanya seseorang yang mencampuri urusan ini,
maka aku ditugaskan untuk menyelidiki."
Bualannya memang tepat dan masuk akal, maka Tio Wi-kong
tidak menaruh curiga, katanya: “Entah siapakah ....?”
Dengan serius Ji Bun berkata: "Te-gak Suseng "
Kaget Tio Wi-kong, laki-laki berbaju hitam ini, serunya:
"Bukankah Te-gak Suseng sudah mati di Tong-pek-san?"
Ji Bun menggertak gigi, katanya: "Siapa bilang, memangnya Te-
gak Suseng gampang mati, kuburannya itu palsu."
Melotot biji mata Tio Wi-kong, melenggong karena ucapan Ji Bun,
sesaat baru dia berkata: “Urusan ini cukup genting, hamba harus
segera menyebar kaki tangan ........”
"Jangan hal ini kau bocorkan."
Tio Wi-kong mengiakan sambil munduk-munduk.
"Oleh karena itu, eh, ya, untung bertemu dengan kau,
beritahukan rencana gerakan pihak sini supaya aku tidak susah-
susah putar kayun lagi."
Tio Wi-kong melirik sekelilingnya dulu, setelah jelas tiada orang
memperhatikan, lalu dengan suara lirih ia berkata: “Kaucu sendiri
yang turun tangan .........”
Sedikit berubah air muka Ji Bun. Kaucu? Kaucu dari mana?
Apakah Bwe-hoa-kau? Jadi Sam-cay Lolo mati di tangan Kaucu
mereka. Tiba-tiba ia tersentak sadar, orang sedang mengawasi
wajahnya, tahu dirinya telah mengunjuk gejala-gejala yang
mencurigakan, maka cepat ia berkata; "Coba lanjutkan.”
"Ya, karena perjalanan cukup jauh, maka sementara digusur ke
cabang, baru saja dua Duta datang, kata mereka mendapat tugas
untuk menggiringnya besok pagi ke markas pusat, pihak kami cukup
menyediakan sebuah kereta saja."
Ji Bun manggut-manggut, otaknya bekerja, tiba-tiba pikirannya
tergerak, terpikir olehnya majikan yang pernah dikatakan Kwe-loh-jin
itu mungkin adalah Kaucu ini? Inilah kesempatan baik untuk
menyelidiki, sekali-kali jangan diabaikan saja. Ia coba tanya:
"Apakah Hiangcu ada di tempat sekarang?"
Agaknya Tio Wi kong merasa bangga karena berkesempatan
menjilat kepada utusan dari pusat, lekas ia menjawab: "Hamba
sekalian siap menunggu perintah."
Ji Bun pura-pura berpikir, katanya kalem: "Sebetulnya tiada
urusan apa-apa, cuma Hiangcu orang sini apal seluk beluk, ada
urusan kecil perlu bantuan ........”
"Tidak berani, silakan Duta katakan saja."
"Siapakah orang itu?" tanya Ji Bun sambil menunjuk dengan
gerakan bibir ke arah laki-laki yang semeja dengan Tio Wi-kong tadi.
"O, dia seorang Thaubak pembantu hamba."
"Baik, kalian berdua boleh keluar kota .......”
"Apakah ke Lam-seng?"
"Betul, aku akan berangkat lebih dulu," Ji Bun lantas berdiri
sambil merogoh saku.
"Silakan Duta berangkat saja, rekeningnya biar hamba yang
bayar."
"Baiklah, kalian harus segera datang, jangan beritahu orang lain."
Setelah meninggalkan warung teh, Ji Bun langsung menuju ke
selatan, memangnya dia tidak membawa bekal apa-apa, maka tidak
perlu kembali ke hotel, baru saja dia membelok ke jalan besar,
seorang pengemis tua mata satu tiba-tiba mendatangi dengan
langkah terserot-serot. "Eh, kau!" tiba-tiba pengemis itu berseru dan
melotot, berhenti dan mencegat di depan Ji Bun.
Ji Bun melengak, dilihatnya pengemis tua ini tidak pernah
dikenalnya. “Tuan ..... tuan ada perlu apa?” tanyanya.
Pengemis tua itu unjuk senyum lebar, katanya "Hiante, masa kau
tidak kenal suaraku lagi? Setengah tahun lamanya, hampir kedua
kakiku patah mencari kau.”
Seketika berkobar semangat Ji Bun, tak pernah disangkanya di
sini dia bakal bertemu dengan Sian-tian-khek Ui Bing murid Biau-jiu
Siansing.
"Siaute mohon maaf," Ji Bun berkata penuh sesal.
"Guruku mengerahkan puluhan orang, minta bantuan pihak Kay-
pang pula," demikian Ui Bing menjelaskan, "jejakmu dicari di segala
pelosok, gelagatnya kau malah, adem ayem saja, dimana kau
selama setengah tahun ini?"
"Toako, sekarang aku ada urusan, nanti saja kita bicara lagi!"
Seorang pengemis tua yang kotor, berbicara dengan seorang
pelajar yang berpakaian bersih dan cakap di tengah jalan raya,
sudah tentu menarik perhatian banyak orang.
Ui Bing tahu diri lekas dia berbisik; "Baiklah, kau berangkat lebih
dulu.” Sambil bertopang tongkat Pak-kau-pang, dengan terserot-
serot dia melangkah pergi.
Ji Bun mempercepat langkahnya, lewat jalan kecil yang lebih
dekat, ia langsung menuju ke pintu selatan, ia menyusur jalan
kampung terus naik ke atas gundukan tanah tinggi. Saat mana
menjelang kentongan ketiga, kalau di dalam kota masih ramai, di
luar kota sebaliknya sudah sepi, tidak kelihatan ada bayangan orang.
Baru saja Ji Bun tiba di atas bukit, Ui Bing juga lantas tiba,
memang tidak malu dia dijuluki Sian-tian-khek, namun bagi
pandangan Ji Bun sekarang yang telah mempelajari ilmu tingkat
tinggi Ban-tok-bun, kepandaian orang hanya biasa saja, tiada yang
perlu dibanggakan.
Setiba di atas bukit Ui Bing segera bertanya: "Ada apa Hiante?”
“Aku menunggu orang."
“Siapa?"
“Aku belum tahu siapa mereka, yang jelas dia adalah seorang
Hiangcu dari pimpinan sebuah anak cabang dari suatu ‘Kau’ entah
apa namanya."
Ui Bing tampak kaget, katanya: "Apakah mereka menggunakan
tanda kembang Bwe?"
"Ya, kenapa? Toako tahu perkumpulan mereka?"
"Namanya Ngo-hong-kau, baru beberapa bulan ini timbul di
kalangan Kangouw, namun gerakan, mereka sudah menggemparkan
Bu-lim."
"Ngo-hong-kau? Siapakah Kaucunya?"
"Belum diketahui, kabarnya orangnya yang berhasil merebut
Hud-sim."
"Bagaimana bisa diketahui bahwa Ngo-hong-kaucu adalah adalah
orang yang berhasil merebut Hud-sim?"
"Masa kau belum tahu, Bu-lim sudah geger, memangnya di mana
saja kau selama ini?"
Karena aturan perguruan yang keras, tidak mungkin Ji Bun
menjelaskan rahasia Ban-tok-bun, maka ia menjawab seenaknya
saja: "Siaute mengalami hal yang aneh, terpaksa menyepi setengah
tahun."
Lalu dia alihkan pembicaraan: "Toako, anting-anting yang kutitip
padamu untuk dikembalikan kepada keluarga Ciang, bagaimana
akhirnya?"
"Aku dicaci maki oleh Ciang-lothau, masakah tanda pertunangan
boleh sembarangan dikembalikan ........”
"Bagaimana reaksi Ciang Bing-cu?"
"Waktu itu dia hendak mencukur rambut menjadi Nikoh, untung
berhasil dibujuk," lalu dengan nada prihatin ia menyambung,
"Hiante, begitu besar dan luhur cinta nona Ciang, jangan kau
menyia-nyiakan harapannya."
"Soal ini kelak dibicarakan saja, apakah yang terjadi belakangan
ini, kenapa Bu-lim sampai geger?"
"Petaka di Bu-lim mulai bersemi, agaknya sukar dihindari bakal
terjadi bencana berdarah ini," ujar Ui Bing. "Tiga bulan yang lalu,
beruntun terjadi peristiwa besar di Bu-lim, semua yang terbunuh
adalah tokoh-tokoh kenamaan dari aliran baik, di tempat yang
ditinggalkan cap bunga Bwe, tak lama kemudian lantas muncul
perkumpulan yang bernama Ngo-hong-kau ........”
"Langkah pertama mereka mencaplok Sin-eng-pang dan dijadikan
cabang ketiga, disusul Ngo-lui-kong yang kini dinyatakan sebagai
cabang utama dari Ngo-hong-kau, yang lain-lain umpamanya It-
kiam-hwe, Ang-eng-pang dan sindikat-sindikat kecil lain, semua
ditelan mentah-mentah."
"Tidak kecil ambisi mereka?"
"Ya, sampai keluarga Ciang di Kay-hong juga dirampok habis-
habisan, untung paman Ciang dan puterinya sempat menyingkir."
Tergetar hati Ji Bun, tanyanya: “Bagaimana selanjutnya?”
"Markas Wi-to-hwe diserbu, ratusan anak buahnya gugur, Bu-
cing-so dan Jay-ih-lo-sat gugur, Thong-sian Hwesio terluka parah,
untung isteri Wi-to-hwecu segera tiba, dengan gigih dia tempur Ngo-
hong-kaucu, kalau tidak tentu Wi-to-hwe sudah ditumpas habis, tapi
Ngo-hong-kau pasti tidak akan tinggal diam."
Jantung Ji Bun berdebar keras, Bu-cing-so dan Jay-ih-lo-sat
berkepandaian tinggi, jiwa merekapun melayang, maka dapatlah
dibayangkan betapa tinggi kepandaian Ngo hong-kaucu, sungguh
amat menakutkan. Untunglah Wi-to-hwecu dan Thong-sian Hwesio
masih hidup, kelak masih sempat dia cari kesempatan untuk
menuntut balas.
"Kini tinggal Kay-pang dan beberapa aliran besar saja yang belum
diusik."
"Toako tahu, Sam-cay Lolo juga sudah mati dan Thian-thay-mo-ki
diculik mereka."
"Ya, bagaimana tindakan Hiante?"
"Aku akan menolongnya.”
"Kukira amat sulit."
“Siaute akan pertaruhkan jiwa raga."
"Di mana kira-kira sekarang dia disekap?"
"Ada, hubungannya dengan orang yang kujanjikan kemari ini.
Toako tahu di mana letak markas cabang mereka di kota ini?.''
"Aku sendiri belum menemukan, tapi tidak sulit untuk
menyelidiki."
"Nah, itulah mereka datang, Toako tak usah ikut bicara.”
Dua bayangan orang tampak berlari naik ke atas bukit, gerak-
gerik mereka cukup cekatan, agaknya berkepandaian lumayan.
Begitu tiba di bawah bukit, Hiangcu yang bernama Tio Wi-kong
segera bersuara "Apakah Duta ada di atas?”
"Ya, aku di sini, kalian boleh kemari," Ji Bun mengiakan.
Begitu tiba di atas bukit Tio Wi-kong berdua tertegun melihat
kehadiran Ui Bing. Lekas Ji Bun berkata dengan angkuh, ”Orang
sendiri, tidak usah kuatir."
Tio Wi-kong bersama anak buahnya segera memberi hormat
kepada Ji Bun, dengan lirikan curiga dan tidak tenteram dia pandang
Ui Bing yang menyamar jadi pengemis tua bermata satu, lalu Tio Wi-
kong berkata penuh hormat: "Duta ada perintah apa, silakan pesan
saja."
Tujuan Ji Bun mengundang kedua orang ini adalah untuk
mendapatkan keterangan supaya lebih leluasa menolong Thian-thay-
mo-ki. Sekilas dia melirik Ui Bing, lalu pandang laki-laki baju hitam di
depannya dan katanya: "Kau, siapa namamu?”
Seperti takut tapi juga senang sikap laki-laki ini dengan munduk-
munduk sahutnya tergagap: "Tecu ...... seorang Thaubak di bawah
pimpinan Tio-hiangcu, bernama Ci Tay-khing, mohon Duta suka
memberi bimbingan."
"Ehm," dengus Ji Bun, lalu berkata dengan nada lebih kereng:
"Agaknya kau pintar dan cekatan bekerja, kelak pasti ada harapan
ditarik ke markas pusat."
Laki-laki baju hitam munduk-munduk lagi, suaranya gemetar
senang: "Semua berkat bantuan Duta."
Ji Bun menunjuk Ui Bing, katanya: "Dia ini Duta rahasia dari
pusat. Dia ingin berhadapan langsung seorang diri dengan ketua
cabang kalian, baru pertama kali dia kemari, belum tahu jalan dan
seluk beluk di sini, supaya tidak terlalu banyak orang tahu jejaknya,
kaulah yang ditugaskan menunjuk jalan baginya."
Laki-laki baju hitam mengiakan, lalu dia memberi hormat kepada
Ui Bing, katanya: "Silakan ikut hamba."
Sikap Ui Bing lebih sombong, tongkat penggebuk anjing di
tangannya terangkat, suaranya keluar dari hidung. "Ya, tunjukkan
jalan."
Dengan langkah tergopoh-gopoh laki-laki baju hitam putar tubuh
terus lari turun bukit kecil ini. Ui Bing sedikit mengangguk, pertanda
bahwa dia tahu maksud Ji Bun, lekas sekali dia melompat turun ke
bawah pula.
Setelah kedua orang tak kelihatan bayangannya, sorot mata Ji
Bun tiba-tiba mencorong, dengan suara dingin ia mendesis: "Kau
tahu siapa aku?”
Agaknya Tio Wi-kong belum tahu persoalan apa yang ditanyakan,
seketika dia melenggong, sahutnya ragu-ragu: "Entah siapakah
nama Duta yang terhormat .......”
"Aku inilah Te-gak Suseng."
"Hah!" Tio Wi-kong kaget setengah mati, mukanya pucat terus
putar tubuh hendak lari.
"Jangan bergerak," bentak Ji Bun, "kau takkan bisa lolos,
sekarang katakan, siapa Kaucu kalian? Dimana letak markas
pusatnya?"
"Ini ....... tidak tahu."
Ji Bun berkata pula, suaranya bengis berwibawa: "Orang she Tio,
bicaralah terus terang .......”
Serta merta Tio Wi-kong menyurut mundur, wajahnya yang
semula kelihatan pucat ketakutan kini berubah menyeringai, jari-jari
tangannya mengusap ke mulut, katanya: “Kau mau apa?"
"Jawab pertanyaanku."
"Te-gak Suseng, yang kau andalkan hanya Bu-ing-cui-sim-jiu, nah
kau boleh coba atas, diriku."
Ji Bun tertegun malah, apakah orang ini tidak takut terhadap
racun? Kalau dia ini sekomplotan dengan Kwe-loh-jin dan lain-lain,
maka tidak perlu dibuat heran. Kini dia menjadi paham, jari-jari
tangan orang mengusap mulut tadi mungkin menelan obat
penawarnya, maka dia berani bicara besar dan garang. Namun Ji
Bun sekarang bukan Ji Bun setengah tahun yang lalu, katanya: "Aku
takkan menggunakan tangan beracun, kalau kau mampu melawan
sejurus saja, kau boleh pergi sesukamu."
"Memangnya kau mampu menahanku di sini?” jengek Tio Wi-
kong.
"Nah, cobalah," ujar Ji Bun, sebelah tangannya terus memotong
miring ke depan, kelihatannya gerakan tangan ini enteng dan tidak
menggunakan tenaga, namun kekuatannya dahsyat luar biasa. Tio
Wi-kong memutar kedua tangan turun naik menyerang sambil
bertahan. Dinilai permainannya, memang dia terhitung jago kelas
tinggi dikalangan Kang-ouw. Baru saja serang menyerang kedua
pihak berlangsung, tenaga yang dikerahkan telapak tangan Ji Bun
tiba-tiba dimuntahkan, kekuatannya sungguh hebat dan tidak
terbendungkan.
"Huuuuaaaah!" ditengah jeritan ngeri Tio Wi-kong muntah darah,
kakinya mundur beberapa langkah, akhirnya jatuh terduduk.
Sesosok bayangan melayang turun dengan enteng, kiranya Sian-
tian-khek yang menyaru jadi pengemis telah putar balik.
"Bagaimana Toako?” tanya Ji Bun.
"Jalan menuju ke markas cabang sudah kuketahui."
"Mana orang itu?''
"Sudah kuantar dia pulang ke neraka. Lihay juga dia, pandai main
racun. Kalau aku tidak segera turun tangan, hampir saja aku
dikibuli."
"Seeeer!" tiba-tiba sejalur api menyala menjulang tinggi ke
angkasa. Kiranya melihat gelagat tidak menguntungkan, dikala
kedua orang bicara, diam-diam Tio Wi-kong menyambitkan panah
berapi ke udara untuk minta bala bantuan.
Ji Bun mendengus sekali, tahu-tahu tubuhnya melejit tinggi,
badannya berputar secepat kitaran, mumbul laksana roket meluncur,
melampaui luncuran panah berapi dan mengebasnya jatuh di tengah
angkasa, maka berpijarlah kembang api beterbangan di udara dan
berjatuhan. Cepat sekali dan seenteng kipas Ji Bun meluncur turun
pula. Lwekang tingkat tinggi yang berhasil dipelajarinya dari
perguruan Ban-tok-bun dia kombinasikan dengan Ginkang pusaran
angin lesus yang dia pelajari dari orang tua aneh Giok-bin-hiap Cu
Kong-tam di dasar jurang itu, sekaligus dia demonstrasikan.
"Hiante," seru Ui Bing terbelalak, "terbuka mataku malam ini.
Guruku terkenal oleh Ginkangnya yang tinggi, agaknya beliau takkan
lebih unggul dari pada kau."
Ji Bun geleng-geleng, sahutnya: "Ah, kau terlalu memuji.”
Tio Wi-kong berdiri menjublek, sukmanya serasa terbang dari
raganya, mulut melongo, mata terbeliak, hampir dia tidak percaya
bahwa ini kenyataan.
Ji Bun putar badan dan berkata dengan bengis: "Sekarang
jawablah beberapa pertanyaanku."
Tio Wi-kong menyurut mundur dengan ketakutan, namun dia
masih bandel: "Tiada yang harus kujelaskan."
Ji Bun mengertak gigi, katanya: "Pernah kau pikir cara bagaimana
kematianmu nanti?"
Gemetar Tio Wi-kong melihat sorot mata Ji Bun: "Kuterima nasib.
Jangan kau paksa aku."
"Memaksamu? Ha ha ha, sebaliknya sudah lama aku menahan
diri, baru sekarang aku menemui sasaran yang tepat untuk
menagihnya."
"Aku utang apa terhadapmu?"
"Boleh kau tanya Kaucu kalian."
"Apa yang hendak kau lakukan terhadapku?"
"Kau bicara terus terang, kuampuni jiwamu."
"Anak didik Ngo-hong-kau tidak gentar diancam dan disiksa, mau
bunuh atau disembelih silakan lekas, pasti ada orang yang akan
membuat perhitungan padamu nanti."
"Memangnya tulang-tulangmu sekeras besi?"
Tio Wi-kong balas dengan mendengus tanpa menjawab.
"Hiante," sela Ui Bing, "jangan membuang waktu, gerak gerik
Ngo-hong-kaucu serba misterius. Anak buahnya sendiri tiada yang
pernah melihat wajah aslinya. Kalau kita menemui ketua cabang
mungkin bisa berhasil."
15.44. Duta Istimewa Ngo-hong-kau
"Darimana kau bisa berpendapat demikian?" tanya Ji Bun.
"Ada seorang Tongcu dari Ngo-hong-kau yang tertawan oleh Wi-
to-hwe, meski dikorek, hasilnya tetap nihil."
Ji Bun sudah angkat tangan hendak membunuh Tio Wi-kong,
namun tiba-tiba dia ingat akan pantang perguruan, apakah ini juga
termasuk membunuh secara semena-mena? Yang terang orang ini
memang belum setimpal dihukum mati, maka gerakan tangan yang
membelah dia ubah jadi tutukan, ilmu orang dia punahkan, ditambah
tutukan jalan darah menidurnya, lalu katanya kepada Ui Bing:
"Toako, berapa lama lagi akan kentongan kelima, marilah kita
tunggu saja di sekitar luar pintu kota."
"Menunggu apa?" tanya Ui Bing.
"Mereka hendak menggusur Thian-thay-mo-ki ke markas pusat,
antara kentongan kelima akan keluar dari pintu selatan."
“O, Hiante, kukira kita tidak perlu turun tangan tergesa-gesa."
"Kenapa?"
"Kuntit mereka, supaya tahu di mana letak markas mereka."
"Ya, akal bagus. Marilah!" mereka turun dari bukit langsung
menuju ke selatan dan sembunyi di semak-semak.
Ayam sudah berkokok, lekas sekali fajar telah menyingsing, asap
dapur sudah mengepul tinggi dari rumah-rumah penduduk dalam
kota, namun sejauh ini tidak tampak sebuah keretapun yang keluar
kota.
Ji Bun gugup dan naik pitam, dia merasa telah dikibuli, hawa
marahnya menjadi berkobar, katanya kepada Ui Bing: "Tunggulah
sebentar di sini!"
Sekali lompat dia meluncur balik ke arah bukit kecil tadi, namun
setiba di tempat, seketika dia menjadi lesu. Tio Wi-kong yang
ditutuknya tadi sudah tidak kelihatan bayangannya. Setelah ilmu
silatnya punah, di tutuk lagi sehingga tidur pulas, untuk siuman juga
perlu berselang dua jam kemudian, agaknya dia telah ditolong
orang.
Dengan adanya kejadian ini, sudah tentu pihak musuh akan
berubah siasat, sebaliknya dirinya bersama Ui Bing menunggu angin
secara sia-sia. Diam-diam ia menyesal kenapa tadi bertindak kurang
tegas, kalau Tio Wi-kong dibunuh, mungkin situasi tidak akan
berubah, kejadian ini betul-betul ibarat "menyingkap rumput
mengejutkan ular", urusan akan semakin rumit dan sukar
dibereskan.
Ui Bing bilang Kaucu Ngo-hong-kau adalah orang yang berhasil
rebut Hud-sim, namun menurut apa yang dia tahu Hud-sim akhirnya
terjatuh ke tangan Kwe-loh-jin, ini membuktikan bahwa Ngo-hong-
kaucu pasti majikan Kwe loh-jin dan laki-laki tak dikenal yang pernah
membunuhnya tempo hari, maka persoalan sekarang bertambah
ruwet. Bukan saja harus menolong Thian-thay-mo-ki, ibunyapun
berada di tangan mereka, mati hidupnya sukar diramal. Keruan
giginya berkerutuk saking gemas dan geram, hatinya panas dan
gelisah seperti semut di dalam wajan.
Hari sudah terang tanah, lalu lintas sudah ramai di jalan raya.
Tak lama kemudian Ui Bing juga menyusul ke atas bukit. Keduanya
hanya saling pandang dengan melongo.
Sekonyong-konyong sebuah suara melengking dingin
berkumandang: "Te-gak Suseng, tibalah sekarang saat
kematianmu."
Ji Bun dan Ui Bing kaget dan sama-sama menoleh, tampak dari
balik pohon di belakang bukit sana muncul dua orang, ternyata dua
pemuda berbaju sutera yang bermuka tirus dan kejam, usianya
sekitar likuran tahun, satu diantaranya berhidung betet, matanya
jalang sadis, seorang lagi kulit mukanya kasar dan beringas,
keduanya tampak cekatan, langkahnya enteng.
Ji Bun menyapu pandang, jangeknya: "Kalian pasti anak buah
Ngo-hong-kau?"
Pemuda berhidung betet menjawab dengan suara sumbang:
"Betul, kami adalah Ngo-hong-su-cia."
"Ada petunjuk apa?"
"Akan memenggal batok kepalamu."
"Kalau kalian mampu, boleh ambil saja."
Ngo-hong-su-cia yang bermuka kasar ikut bicara: "Te-gak
Suseng, ada pesan apa lekas katakan kepadaku saja."
Terpancar sinar cemerlang dari biji mata Ji Bun, tanya garang:
"Dimana Thian-thay-mo-ki yang kalian tawan itu?"
"Kau ingin tahu? Sekarang dia sudah menjadi teman seranjang
Kaucu kami."
Darah seketika tersirap ke atas kepala Ji Bun, hardiknya: "Ingin
mampus kau!"
Telapak tangannya segera tegak dan menabas, utusan Ngo-
hong-kau yang bicara tadi memapak maju, dia menyambut secara
kekerasan. Sementara temannya melompat menyingkir.
"Bluk!" suara menggelegar, keduanya sama-sama bertolak
mundur setapak, hati Ji Bun mencelos, walau dirinya belum
kerahkan seluruh kekuatan, namun musuh kuat melawan. Betapa
tinggi kepandaian anak muda ini sungguh amat mengejutkan.
Tampaknya tidak lebih lemah dari pada Siang-tian-ong dan lain-lain,
tak heran Ngo-hong-kau berani bersimaharaja di Bu-lim.
Tapi kejut orang itu lebih besar, Lwekang Ji Bun agaknya di luar
perhitungannya. Cepat sekali keduanya sudah saling tubruk dan
serang menyerang, pertempuran amat sengit dan dahsyat, dalam
waktu singkat susah dibayangkan pihak mana bakal menang.
“Pengemis tua,” ujar utusan yang lain, “biar kau kubereskan lebih
dulu."
Tanpa banyak komentar segera dia menyerang Ui Bing. Hanya
tiga gebrakan saja Ui Bing sudah terdesak keripuhan, malah
kemampuan untuk balas menyerangpun tiada, julukannya Sian-tian-
khek, mestinya gerak-geriknya cukup hebat, maka begiitu melihat
gelagat jelek, selicin belut segera dia menyelinap keluar gelanggang.
"Gerakan bagus, tapi jangan harap kau bisa lolos!" seru orang itu,
tahu-tahu badannya berkelebat, Ui Bing dipukul mundur pula oleh
gerakan lawan yang lihay, kalau dalam keadaan biasa, mungkin Ui
Bing sudah lari, tapi Ji Bun masih berhantam dengan musuh,
betapapun dia tidak tega lari seorang diri, namun kepandaian lawan
teramat tangguh bagi dirinya, hanya sedetik dia bimbang dan
meleng badannya sudah terpukul sekali.
Dengan menguak darah muntah dari mulut Ui Bing, tongkat
ditangannyapun mencelat, terbang entah ke mana, maklum dia
bukan orang Kay-pang, tongkat itu hanya pelengkap dari
penyamarannya, hakikatnya tongkat itu bukan senjata andalannya.
Di sebelah sana kelihatan Ji Bun lebih unggul menghadapi orang
itu, lawan didesaknya mundur berulang-ulang, namun untuk
menamatkan jiwanya tidak mungkin dilakukan dalam dua tiga
gebrakan saja. Melihat Ui Bing terluka, hati Ji Bun gelisah.
Terdengar orang yang berhadapan dengar, Ui Bing tengah
membentak: "Pengemis tua, rebahlah kau!"
Jeritan ngeri segera bergema di lembah pegunungan menyusul
suara bentakan tadi, Ui Bing terguling-guling roboh.
Ji Bun betul-betul kaget, kini tiada pilihan lagi, seraya
menghardik, jurus pertama Kian-ciau-kwi-cau (burung terbang balik
kesarang) dari Tok-jiu-sam-sek segera dia lancarkan.
Ban-Yu-siong, kakek gurunya itu pernah berpesan bahwa Tok-jiu-
sim-sek terlalu ganas, sekali-kali tidak boleh dilancarkan kalau tidak
terpaksa, kini demi menolong jiwa Ui Bing, terpaksa dia berlaku
tegas melancarkan ilmu dahsyat ini.
Baru pertama kali ini Tok-jiu-sim-sek sejak diciptakan betul-betul
digunakan untuk menyerang musuh, sampai di mana kehebatan dan
keganasannya, Ji Bun sendiripun belum tahu.
Dengan gerakan aneh dan cepat menakjubkan tangan
beracunnya tahu-tahu menembus bayangan pukulan lawan yang
rapat tanpa setitik lubangpun, langsung mengincar ulu hati. "Ngek"
gerungan tertahan terdengar, suaranya rendah tapi menyayat hati,
utusan itu terhuyung-huyung terus jatuh celentang, darah
membasahi dadanya, jiwanya seketika melayang.
Ji Bun sendiri seketika berdiri menjublek melihat hasil keganasan
serangannya. Bu-ing-cui-sim-jiu sudah terampuh tiada duanya dalam
dunia ini, apalagi kerjanya racun amat pesat, begitu racun bekerja di
dalam badan, dewapun takkan bisa menolongnya.
Orang yang lain pecah nyalinya. dengan ketakutan tanpa buka
suara segera ia ngacir sipat kuping.
Ji Bun lari ke sana memapah Ui Bing tanyanya: "Bagaimana
Toako?"
Ui Bing sendiri juga melongo melihat kehebatan Ji Bun
membunuh orang yang melukai dirinya itu sekian lama dia
terlongong tidak mampu menjawab.
Terpaksa Ji Bun mengulangi pertanyaannya, Ui Bing baru
tersentak dan tertawa getir, katanya: "Jangan kuatir, aku takkan
mati."
Dengan kedua tangan Ji Bun pegang kedua pundak Ui Bing, tiba-
tiba Ui Bing berteriak kaget dan ngeri: "Hiante, tangan kirimu .......”
"O," ujar Ji Bun "tidak apa-apa!"
"Apakah ilmu beracunmu itu sudah punah?"
"Tidak."
"Wah, jiwaku bisa melayang?”
Ji Bun ragu-ragu sejenak, katanya: "Tanganku ini sekarang bisa
membedakan musuh dan kawan sendiri, kau takkan terluka, tidak
usah kuatir."
"Ini ....... mungkinkah?"
"Toako, aku takkan menipumu, namun tak mungkin kujelaskan
apa sebabnya, kuharap kau tidak tanya soal ini."
“Jadi ada hubungannya dengan rejeki nomplok yang pernah kau
katakan itu? Agaknya jerih payah guruku akan sia-sia."
"Jerih payah gurumu apa maksudmu?"
"O, tidak, aku salah omong, maksudku jerih payah calon
mertuamu Ciang Wi-bin ........”
"Jerih payah paman Ciang bagaimana?"
"Bukankah beliau pernah kirim kabar melalui guruku bahwa dia
sudah mendapatkan resep untuk memunahkan ilmu beracunmu itu?"
"Ya, gurumu pernah menyinggung soal ini, kenapa?"
"Di dalam sejilid kitab kuno yang hampir rusak, Ciang Wi-bin
memperoleh resep obat yang khusus untuk memunahkan macam
racun, namun untuk lima macam di antara obat yang harus
diraciknya, dia harus merogoh kantong membayar tiga ribu tahil
uang emas, uang bagi dia tidak soal, tiga laksa tahil emas juga
mampu dibayarnya .........”
"O," tidak tenteram hati Ji Bun.
Berkata Ui Bing lebih lanjut: "Demi perjodohanmu dan puterinya,
Ciang Wi-bin betul-betul sudah mempertaruhkan segala dayanya
......."
"Toako, hampir lupa kutanya padamu. Apa saja kerugian
keluarga Ciang setelah dirampok oleh Ngo-hong-kau?"
"Beberapa pembantu keluarganya gugur, tapi mereka ayah
beranak sempat menyingkir, sayang semua barang-barang antik dan
barang-barang berharga lainnya telah dikuras habis."
"Dimana sekarang nona Ciang?"
"Entahlah, Ciang Wi-bin punya banyak tempat rahasia yang
tersebar di mana-mana."
"Ehm, sampai di mana cerita Toako tadi?"
"Untuk melengkapi usahanya menolong kau, seorang diri beliau
menuju ke barat naik ke Cong-lam-san."
Ji Bun merasa kikuk dan menyesal sekali, begitu besar perhatian
orang terhadap dirinya, sebaliknya dirinya bersikap tawar. Tanpa
terasa jidatnya dibasahi keringat dingin tanyanya: "Obat apa yang
hendak dicari paman Ciang di Cong-lam-san?'
"Namanya Kim-sian-jau-koh, kecuali orang-orang yang ahli dalam
bidang pengobatan tiada yang tahu bila di dunia ini ada buah
bergaris emas ini, konon hanya tumbuh dan berbuah di Cong-lam-
san di tepi 'danau iblis'. Sudah tiga bulan ia pergi, sampai sekarang
belum kunjung pulang. Danau iblis hanya pernah kudengar dalam
dongeng. Apakah beliau bisa menemukan tempat itu serta
memperoleh buah yang diharapkan, hanya Thian yang tahu."
Gelisah perasaaan Ji Bun, katanya haru: "Sudah tiga bulan beliau
belum kembali?"
Ui Bing meringis menahan sakit, darah masih mengalir dari luka-
lukanya, segera Ji Bun hendak menolongnya, tapi Ui Bing menolak,
ia duduk di atas batu dan mengeluarkan obat-obatan yang
diperlukan, lalu membalut lukanya sendiri.
JI Bun tak bersuara, dengan siaga dia berdiri di sampingnya,
pikirannya kusut, hati tidak tenteram. Selagi dia terlongong, tiba-tiba
dilihatnya beberapa bayangan orang berlari-lari mendatangi dari
beberapa arah, tujuan ke bukit ini.
Ji Bun menoleh, dilihatnya Ui Bing tengah bersimpuh
mengerahkan hawa murni untuk berobat diri memulihkan kekuatan.
Cepat Ji Bun menerawang situasi sekelilingnya. Cepat dia mundur
dua tombak, dipilihnya posisi yang lebih enak dengan membelakangi
tanah tandus yang meninggi di sebelah belakang. Dari sini dia lebih
leluasa bergerak, sekaligus untuk mengawasi Ui Bing dan memberi
pertolongan bila perlu.
Orang-orang itu cepat sekali sudah berdatangan dan berdiri
membundar dari lima tombak jauhnya, yang terdepan adalah
seorang tua berwajah putih tidak berjenggot, mukanya segi tiga,
bentuknya mirip kepala ular berbisa. Disampingnya berdiri Ngo-
hong-su-cia berhidung betet yang tadi melarikan diri. Agaknya
kedudukan orang tua ini lebih tinggi, yang lain-lain semuanya
berseragam hitam. Terlebih dulu laki-laki tua ini pandang mayat
Ngo-hong-su-cia yang masih menggeletak di tanah berumput sana,
sorot matanya yang tajam segera menatap muka Ji Bun. Suaranya
yang serak seperti gembreng pecah lantas berkata: "Te-gak Suseng,
berani kau membunuh Duta kami, memangnya kau sudah bosan
hidup?"
"Siapa kau, sukalah perkenalkan diri?" tanya Ji Bun.
"Aku Duta istimewa Ngo-hong-kau Kian Ceng-san yang berkuasa
di daerah barat ini."
Sudah tentu Ji Bun belum pernah kenal namanya. "Kau meluruk
kemari dengan sekian banyak orang, apa maksudmu?"
"Te-gak Suseng, sudah tahu jangan pura-pura tanya segala.
Walau belum lama Ngo-hong-kau berdiri, namun belum pernah
melepaskan seorang musuhpun.”
"Kau begitu takabur. Kalau mampu, hayolah maju, tapi
sebelumnya aku ingin tanya beberapa hal?"
"Coba katakan."
"Ada orang bernama Kwe-loh-jin, apakah dia anggota kalian?"
"Kwe-loh-jin? Belum pernah dengar."
Ji Bun melenggong, lalu tanya pula: “Di mana sekarang Thian-
thay-mo-ki yang tertawan kalian? Kian Ceng-san menyeringai lebar,
gelak tawanya sengaja dibikin keras bagai srigala melolong, katanya
"Dia, kini sudah menjadi isteri Kaucu kami.”
Seperti disambar geledek kepala Ji Bun, rasa sakit hati seketika
membakar dada, sorot matanya juga mencorong menakutkan,
desisnya: "Baik, akan kubuat perhitungan dengan Kaucu kalian."
“Memangnya kau setimpal?” desis orang itu.
"Masih ada sebuah pertanyaan, betulkah Kaucu kalian menahan
seorang nyonya yang bernama Lan Giok-tin?"
Berubah hebat air muka Kian Ceng-san, "Untuk apa kau tanya
ini?" suaranya gemetar.
"Kau tidak perlu tahu, aku ingin mengunjungi Kaucu kalian, di
mana letak markas pusat kalian?"
"Apa kau bermimpi. Sekarang kau tidak punya kesempatan."
"Kau mampu berbuat apa atas diriku?"
"Tidak perlu putar lidah, sekarang serahkan jiwamu,” sembari
mengancam Kian Ceng-san meloncat tinggi ke atas, laksana burung
elang tiba menukik menubruk ke arah Ji Bun, jari-jari kedua
tangannya terpentang laksana cakar.
Ji Bun gerakkan kedua tangannya, hawa seketika bergolak
dengan kekuatan bagai gugur gunung menerjang ke arah Kian
Ceng-san. Gerakan Kian Ceng-san seketika terbendung dan anjlok
turun. Kini keduanya berdiri berhadapan sejauh dua tombak, malah
Ui Bing hanya delapan kaki disampingnya, keadaan amat berbahaya,
bila tujuan lawan mencelakal jiwa Ui Bing, pasti dengan mudah
dapat dikerjakannya.
Oleh karena itu Ji Bun tidak berani ayal, kaki melangkah,
sekaligus dia lancarkan Kian-ciau-kui-cau, jurus pertama Tok-jiu-
sam-sek, bagai kilat menyamber tangannya memotong ke depan.
Duta berhidung betet segera berseru memperingatkan: "Awas
serangan ganas!”
Kepandaian Kian Ceng-san memang hebat. Hampir bersama
dengan peringatan temannya, sebat sekali dia sudah mencelat
mundur setombak lebih. Ji Bun dibuat kaget malah, setiap kali jurus
Tok-jiu-sam-sek dilancarkan pasti melukai musuh namun lawan yang
satu ini berhasil meloloskan diri tanpa kurang suatu apa, terpaksa
dia ulangi serangan yang pertama pula, Kian Ceng-san kembali
menyurut mundur, namun dia sudah terdesak dan tak mampu balas
menyerang.
Sementara itu, si hidung betet secara diam-diam menubruk ke
arah Ui Bing yang masih duduk bersimpuh.
Perhatian Ji Bun tidak pernah kendor, mungkin karena dia harus
membagi perhatian sehingga Tok-jiu-sam-sek tidak bisa membawa
hasil seperti yang diharapkan. Begitu melihat Duta hidung betet
bergerak, tangan kanan segera menghantam dengan kekuatan
cukup keras. "Blang", si hidung betet terpukul telak dan terlempar
bergulingan. Tapi dalam waktu yang sama, angin pukulan Kian
Ceng-san juga menggulung ke arah Ji Bun.
Lekas Ji Bun tarik tangan menutup diri, namun hanya terpaut
setengah detik, kontan dia terdorong empat langkah, terasa olehnya
Lwekang Kian Ceng-san tidak lebih lemah daripada Thong-sian
Hwesio. Jantungnya seketika mengencang, dia maklum bahwa
pertempuran kali ini cukup berbahaya dan amat menentukan
langkah usaha selanjutnya.
Tatkala itu Ji Bun tergentak sempoyongan dan Duta hidung betet
belum berdiri tegak, tiga laki-laki yang berdiri di atas tanah tinggi
sana mengira punya kesempatan turun tangan, serentak mereka
melompat menubruk Ui Bing.
Sedikit kerahkan tenaga, kaki Ji Bun menutul, bagai percikan api
cepatnya tubuhnya berputar setengah lingkaran, tahu-tahu dia
sudah berdiri ditempat semula. "Bluuuk, huaaah!" jeritan secara
beruntun. Ketiga laki-laki itu satu persatu tersungkur roboh, jiwa
melayang seketika. Kejadian ini betul-betul amat mengejutkan
semua hadirin, semuanya berdiri terbeliak.
"Te-gak Suseng," bentak Kian Ceng-san, "kau memang lihay dan
bandel." Kedua tangan bertepuk terus meraih membundar, dengan
gerakan aneh tenaga serangannya bergulung-gulung dengan hebat.
Semakin tajam sorot mata Ji Bun. Segera dia songsong pukulan
lawan dengan kekerasan, diam-diam ia amat kaget karena Kian
Ceng-san kebal akan racun Bu-ing-cui-sim-jiu.
Sudah tentu Duta hidung betet tidak mau membuang
kesempatan. Begitu Ji Bun berhantam dengan Kian Ceng-san, segera
dia lontarkan Bik-khong-ciang, pukulan jarak jauh ke arah Ui Bing.
Kaget dan berubah air muka Ji Bun, jurus pertama Tok-jiu-sam-
sek kembali dia lancarkan. Kian Ceng-san sudah kapok dan tahu diri,
lekas dia menyingkir, namun Ji Bun hanya bergerak setengah jalan,
sebat sekali dia putar balik dan kebetulan menyongsong pukulan si
hidung betet yang menerjang ke arah Ui Bing, pukulan angin ini
cukup dahsyat. "Blang". Dengan badannya Ji Bun menerima pukulan
ini secara mentah-mentah. Keruan saja dia sempoyongan dan
mulutnya menggerung kesakitan, namun jiwa Ui Bing telah
diselamatkan. Kini dia harus ubah cara menghadapi lawan, dia
mengadang di depan Ui Bing menghadapi kedua musuh tangguh.
Orang lain sementara tidak dihiraukan, yang terang kepandaian
mereka hanya sedang saja dan tak mungkin menimbulkan gara-
gara.
Ditengah hardikan mengguntur, Kian Ceng-san bersama si hidung
betet serempak menyerang. Ji Bun mengertak gigi, dia
menyongsong maju, tangan kanan menahan si hidung betet dan
tangan kiri menggunakan jurus kedua dari Tok-jiu-sam-sek yang
bernama Tok-liong-cam-kau (naga beracun membunuh ular).
"Hek," Kian Ceng-san terhuyung sambil meraba dada, mukanya
pucat pasi. Sementara Ji Bun dan si hidung betet sama-sama
mundur setapak. Dalam gebrakan ini, karena Ji Bun harus memencar
kekuatan, maka jiwa Kian Ceng-san tidak sampai melayang. Tapi hal
ini sudah cukup membuat Kian Ceng-san jera, sekali ulap tangan
segera dia mendahului lari mencawat ekor, agaknya luka-lukanya tak
ringan, si hidung betet juga tidak berani bertahan, segera dia
memberi aba-aba, cepat iapun mendahului melesat pergi, sudah
tentu anak buahnya seperti anjing yang ketakutan lari pontang
panting.
Nafsu Ji Bun masih berkobar, sekali jejak kakinya ia melambung
tinggi meluncur beberapa tombak dan turun di antara rombongan
orang-orang yang tengah berlari. Di mana kaki tangan bergerak,
jeritan saling susul, dalam sekejap puluhan orang telah rebah tak
bernyawa.
Karena menguatirkan keselamatan Ui Bing, dia tidak berani
mengejar lebih lanjut dan kembali ke atas bukit. Ternyata Ui Bing
sudah selesai semadi dan luka-lukanya banyak sembuh, melihat
sekelilingnya, dia berdiri menjublek.
"Toako, kau tidak apa?" tanya Ji Bun.
"Hiante," ujar Ui Bing terharu dan berterima kasih, "syukur atas
pertolonganmu. Siapakah mereka tadi?"
"Disamping pemuda yang lolos tadi, dia membawa Duta istimewa
yang berkuasa di daerah barat sini bernama Kian Ceng-san."
"Hah, Kian Ceng-san?" seru Ui Bing.
"Toako kenal orang ini?”
"Julukannya 'ulat menggeragot mayat', semula dia diangkat
sebagai Bengcu kalangan hitam, namun karena bertangan keji, tidak
sedikit anak buah sendiri yang dibunuhnya, sehingga menimbulkan
rasa dendam khalayak ramai. Akhirnya dia kabur ke luar daerah, tak
tahunya sekarang telah menjadi antek Ngo-hong-kau."
"Tampangnya memang kejam menakutkan."
"Hiante, bagaimana langkah kita selanjutnya?”
"Beritahukan saja alamat markas cabang mereka padaku."
"Tidak, aku saja yang bawa kau ke sana."
"Jago-jago Ngo-hong-kau yang berkedudukan tinggi hampir rata-
rata tidak gentar terhadap racun, hal ini akan kuselidiki dan Toako
jangan ikut menempuh bahaya."
"Aku akan tunggu di luar saja dan memberi bantuan apabila
perlu."
Ui Bing berpikir sejenak, lalu katanya pula: "Begini saja, kau
tunggu sebentar." Lalu dia lompat ke semak-semak dalam hutan,
hanya sebentar saja. Pengemis tua mata satu tahu-tahu sudah
berubah jadi seorang pelayan rumah makan dan berdiri dihadapan Ji
Bun sambil membungkuk seraya berkata dengan tertawa:
"Siangkong, hamba unjuk hormat."
Ji Bun betul-betul kagum akan kepintaran orang menyamar.
"Hiante," kata Ui Bing kemudian, "nah, perhatikan, di sini letak
cabang markas mereka. Kanan-kiri sama-sama ada jalan tembus,
biar aku tunggu kau di sini." Sembari menjelaskan Ui Bing mencoret-
coret dengan ranting kayu di atas tanah, lalu diusap dengan telapak
kakinya. "Nah, aku berangkat lebih dulu," sekali berkelebat
bayangannya lenyap di balik bukit sana.
Ji Bun membetulkan pakaian yang kotor dan kusut, diapun berlari
turun langsung menuju ke markas cabang Ngo-hong-kau yang
ditunjuk Ui Bing tadi. Banyak orang memperhatikan dirinya
sepanjang jalan, tapi Ji Bun tak ambil pusing.
Kedatangannya ini ada tiga tujuan, pertama untuk membuktikan
apakah Thian-thay-mo-ki masih disekap di markas cabang ini.
Kedua, mencari tahu meski harus secara kekerasan, di mana letak
markas pusat mereka dan menolong ibunya. Ketiga, dia berharap
bisa bertemu dengan Kwe-loh-jin atau orang-orang lain yang pernah
turun tangan terhadap dirinya.
15.45. Lorong Rahasia Ngo-hong-kau
Kira-kira semasakan air dia sudah tiba di tempat yang ditunjuk
oleh Ui Bing. Pintu besar tertutup rapat, suasana sunyi tidak
kelihatan jejak manusia, mungkinkah markas cabang Ngo-hong-kau
ada di sini? Ji Bun menjublek di tempatnya. Mungkin Ui Bing tertipu?
Tapi dia cukup cerdik dan cekatan, tak mungkin dikibuli orang.
Sesaat lamanya Ji Bun kebingungan, maju mundur serba salah.
Tampaknya gedung ini tempat tinggal keluarga besar, mungkinkah
suatu cabang perkumpulan berada digedung yang sepi dan tidak
terjaga ini. Dilihatnya jalan raya ini hanya terdapat dua gedung
besar dan luas.
Selagi Ji Bun berdiri bingung, tiba-tiba pintu besar yang bercat
hitam itu pelan-pelan terbuka, seorang laki-laki tua reyot menongol
keluar. Begitu melihat Ji Bun berdiri di depan pintu, kepalanya lantas
miring-miring mengamatinya sekian lama, tanyanya dengan suara
serak: "Kongcu ini mencari siapa?"
Serba susah Ji Bun menjawabnya, laki-laki tua ini tidak mirip
seorang persilatan, namun tak mungkin dia tidak menjawab
pertanyaan orang, maka dia berkata: "Cayhe mohon bertemu
dengan majikanmu."
"Majikanku? Apakah Kongcu tidak salah alamat?"
"Kukira tidak, betul gedung ini."
"Kongcu she apa? Pernah apa dengan majikan kami?"
"Setelah bertemu dengan majikanmu, dia tentu tahu."
"Majikanku takkan tahu untuk selamanya."
"Apa maksudmu?”
"Majikan sudah meninggal tiga tahun yang lalu, kini tinggal
majikan perempuan dan puterinya berdua, siapa yang hendak
Kongcu temui?"
Ji Bun menjublek tak bisa bicara lagi. Laki-laki tua itu segera
menarik kepalanya sambil menggerutu. "Blang", dengan keras dia
menutup daun pintu.
Ji Bun jadi geli sendiri, segera ia berlari-lari menuju ke tempat
yang dijanjikan untuk bertemu dengan Ui Bing. Setiba di lorong jalan
sana dia putar ke kanan, dipengkolan jalan dilihatnya Ui Bing sedang
berdiri di depan sebuah rumah berloteng. Melihat Ji Bun lari
mendatangi segera dia memberi isyarat kedipan mata, sebat sekali
dia menyelinap masuk ke rumah. Ji Bun langsung memburu masuk,
serunya: "Salah alamat!"
Ui Bing berhenti di sudut yang gelap, katanya heran: "Apa
katamu?"
Dengan lesu Ji Bun ceritakan pengalamannya tadi.
"Ai." Ui Bing membanting kaki. "kau tidak tahu seluk beluk dunia
persilatan, tempat itu tidak akan salah, mungkin di dalam markas
cabang itu tiada jago yang mampu menghadapi kau, terpaksa
mereka main kucing-kucingan."
Sungguh malu dan gusar Ji Bun dibuatnya, kejadian apapun
pernah dialaminya. Kini dirinya masih begini gegabah, kenapa mau
percaya obrolan orang begitu saja. Tanpa bersuara segera dia berlari
kencang menuju ke tempat semula.
"Hiante, jangan tergesa-gesa, marilah bicaralah dulu," teriak Ui
Bing.
Ji Bun anggap tidak dengar, secepat kilat dia berlari ke lorong
jalan sana. Pintu besar bercat hitam masih tertutup rapat, suasana
tetap sunyi senyap tidak kelihatan bayangan orang, namun keadaan
Ji Bun berbeda dengan datangnya semula. "Brak”, begitu tiba
langsung dia angkat tangan menghantam ke arah pintu. Suara
gemuruh bergema di lorong jalan yang sepi ini.
Pintu segera terbuka, yang muncul adalah laki-laki tua kurus tadi,
dengan suara gemetar dia memaki, "Memangnya kalau janda dan
yatim boleh dihina dan dipermainkan begini?"
Ji Bun menubruk maju, laki-laki tua mengkerut sambil menutup
pintu, namun sudah terlambat, tahu-tahu lengan kirinya terpegang
kencang oleh Ji Bun. Biji mata si orang tua yang semula pudar tiba-
tiba berkilat tajam, sekuat tenaga dia meronta, namun sia-sia, tiba-
tiba telapak tangannya menjojoh, jelas kepandaiannya cukup
tangguh. Namun sedikit menggerakkan jari telunjuknya, lengan
kanan si orang tua seketika lemas. Wajahnya yang tua keriput
menjadi pucat kelabu.
"Anjing tua, kau sudah bosan hidup?" desis Ji Bun garang.
"Siau-hiap ..... ada urusan ..... apa ....?" suara si orang tua
tergagap menahan kesakitan.
"Jangan cerewet," bentak Ji Bun, "bawa aku menemui pimpinan
cabang kalian."
"Apa, cabang apa ..... aku ..... tidak tahu."
"Berani kau membual, kurobek mulutmu." Ji Bun segera
menjinjingnya masuk ke dalam. Suara di luar sudah cukup gaduh,
namun tetap tidak kelihatan ada orang lain muncul. Lekas sekali Ji
Bun sudah menyusuri serambi panjang memasuki sebuah ruang
tamu yang dipajang amat megah, barang-barang antik merupakan
pajangan utama di gedung ini. Memang tidak mirip sebuah markas
cabang suatu perkumpulan.
Ji Bun tampar orang tua tawanannya itu dan bentaknya beringas:
"Bawa aku menemui pimpinanmu."
"Siau-hiap ...... jangan kau ..... salah paham, gedung ini
ditempati keluarga baik-baik."
Berkobar nafsu Ji Bun, sekali injak dia bikin lengan si orang tua
patah dan remuk, keruan si orang tua berkaok-kaok kesakitan. Ji
Bun mendesis berapi-api: "Kau tidak akan kubunuh, tapi jangan kau
pura-pura atau tangan kananmu akan kubuntungi."
Tiba-tiba air hujan beterbangan dari atap rumah, setiap tetes air
yang menyentuh lantai seketika menimbulkan kepulan asap tebal,
itulah cairan beracun yang amat jahat. Si orang tua mengeluarkan
jeritan yang mengerikan. Tubuhnya berkelejetan sebentar lalu tak
bergerak. Cepat sekali badan yang utuh itu luluh menjadi cairan
darah yang mengeluarkan bau amis. Pakaian Ji Bun berlubang-
lubang seperti sarang tawon. Kecuali merasa sedikit gatal, Ji Bun
tidak kurang suatu apa. Ini membuktikan bahwa segala racun tidak
mempan atas dirinya, namun situasi betul-betul amat mengejutkan.
Setelah hujan cairan beracun ini, suasana tetap sunyi. Amarah Ji
Bun berkobar, namun dia tidak menemukan sasaran untuk
melampiaskan dendamnya. Sekilas dia berpikir, matanya menjelajah
sekelilingnya, lalu mundur keundakan sana. Tenaga di kerahkan,
kedua tangan terus menghantam ke arah belandar yang terletak di
tengah.
"Blang", seluruh gedung besar ini bergetar. Genteng sama rontok
berjatuhan, belandarpun ikut sempal. Mungkin tiga kali pukulan
cukup untuk meruntuhkan seluruh gedung. Keadaan inilah akan
menimbulkan reaksi yang diharapkan Ji Bun.
Maka terdengarlah sebuah suara dingin menusuk telinga
berkumandang di sebelah dalam: "Te-gak Suseng, takabur benar
kau ini!"
"Hayo menggelinding keluar!" bentak Ji Bun.
Bayangan seorang tiba-tiba muncul, ternyata Duta istimewa di
daerah barat Kian Ceng-san adanya, mukanya yang pias
menyeringai sadis. Di belakang dan sekeliling gedung serempak
muncul bayangan orang banyak. Ji Bun terkepung. Setiap orang
yang muncul membawa senjata dan menggengam senjata rahasia.
Duta hidung betet juga muncul di samping Kian Ceng-san mengiringi
seorang pemuda lain berpakaian jubah sutera.
Pemuda jubah sutera ini buka suara lebih dulu: "Te-gak Suseng,
apa maksudmu kemari?"
"Sebutkan dulu namamu," desis Ji Bun kereng.
"Aku inilah pimpinan cabang di sini, Kiang Giok."
"Bagus sekali, lekas serahkan Thian-thay-mo-ki dan katakan
dimana letak markas pusat kalian."
"Kau kira kami akan luluskan tuntutanmu?”
"Kalau tidak markasmu ini akan kusapu bersih dengan darah
kalian."
Kian Ceng-san terloroh-loroh, katanya menyeringai: "Te-gak
Suseng, akulah yang akan menyobek dan meleburkan badanmu,
kalau tidak belum terlampias dendamku."
"Kau ini ulat busuk pemakan bangkai, hari ini bangkaimu yang
akan dimakan ulat," balas Ji Bun.
Berubah air muka Kian Ceng-san, tak pernah diduganya bahwa Ji
Bun bisa menyebut nama julukannya, keruan dia mencak-mencak
gusar, teriaknya: "Anak keparat, hatimu akan kutelan mentah-
mentah."
"Selama sisa hidupmu ini jangan kau harap," jengek Ji Bun
menghina.
“Hm, serang!" ditengah aba-aba itu, Kian Ceng-san dan Kiang
Giok segera menyerang dengan kedua tapak tangan. Dua jalur angin
pukulan berkisar menjadi badai yang dahsyat menerpa datang, di
samping itu berbagai senjata rahasia yang tak terhitung banyaknya
serempak beterbangan dari berbagai penjuru, bagai hujan lebat
mengincar Ji Bun.
Betapa hebat dan mengerikan kekuatan serangan gabungan ini,
dari luncuran senjata rahasia yang mendenging kencang itu dapat
dinilai bahwa semua orang, yang hadir sama berkepandaian tinggi.
Betapapun tinggi kepandaian seseorang, kalau tergencet oleh sekian
banyak serangan, kalau tidak mati seketika juga pasti terluka parah.
Ji Bun bertindak tegas dan cepat meloncat. Ia kembangkan
Ginkang pusaran angin lesus, badannya mumbul ke atas berputar
seperti kitiran, empat tombak tingginya badan terapung. Semua
senjata rahasia berseliweran lewat di bawah kakinya, ditengah udara
badan Ji Bun berputar dua lingkaran, sekali kali memancal,
badannya segera melesat ke arah serambi di luar sana. Sasarannya
menubruk ke arah Kian Ceng-san dan Kiang Giok yang sudah
menyingkir keluar rumah lebih dulu.
Kiang Giok dan Kian Ceng-san berpencar ke samping, belum lagi
badan Ji Bun meluncur turun, keduanya sudah melontarkan pukulan
maut. Pertempuran yang menentukan mati hidup kedua pihak,
serangan mereka ini sungguh teramat lihay.
Ji Bun nekat, dia tidak hiraukan serangan Kiang Giok di sebelah
kiri, dengan jurus kedua dari Tok-jiu-sam-sek dia sambut serangan
Kian Ceng-san.
Lolong yang mengerikan sebelum ajal tiba seketika
menggetarkan sanubari setiap orang yang hadir, tampak Kian Ceng-
san roboh tengkurap dengan batok kepala remuk.
Punggung Ji Bun menerima pukulan Kiang Giok mentah-mentah,
badannya terhuyung lima langkah baru berdiri tegak kembali, dua
jalur darah meleleh dari ujung mulutnya.
Hanya sekali gebrak Kian Ceng-san sudah mampus, keruan Kiang
Giok ketakutan setengah mati. Dia berdiri menjublek lupa
melancarkan serangan pula. Tiba-tiba Ji Bun berputar
menghadapinya, matanya memancarkan sinar yang tajam menyedot
sukma orang. Anak buah Ngo-hong-kau yang mengelilingi tak
pernah melihat peristiwa sehebat ini, serasa copot nyali mereka.
Sebat sekali Ji Bun menubruk maju, sekali raih ia cengkeram
pergelangan tangan Kiang Giok. Anak buahnya sama berseru kaget,
namun tiada yang berani bergerak. Sedikit kerahkan tenaga, kelima
jari Ji Bun ambles ke pundak Kiang Giok, darah segera meleleh dari
sela-sela jarinya.
Pucat selebar muka Kiang Giok, sedikitpun dia tidak mampu
bergerak lagi.
"Kiang Giok, sekarang kaulah yang harus buka mulut!" desis Ji
Bun mengancam.
Sebagai pimpinan cabang meski kaget dan ketakutan, betapapun
dia tetap ingin mempertahankan wibawa dan keangkerannya, jawab
Kiang Giok dengan mengertak gigi. "Tiada yang bisa kukatakan."
Saking marah Ji Bun hampir gila dibuatnya, sikapnya mirip
malaikat yang kebakaran jenggot saja. Setiap patah katanya tegas
dan sekeras baja: "Orang she Kiang, aku bisa membesetmu secara
hidup-hidup."
Memang untuk membunuh Kiang Giok semudah Ji Bun membalik
telapak tangan sendiri, namun tujuannya bukan membunuh orang,
tapi menolong Thian-thay-mo-ki dan mencari jejak ibunya. Kalau
Kiang Giok dibunuh, demikian pula semua anak buahnya, urusan
tetap tidak akan beres.
Kiang Giok sudah dibekuk, namun dia bandel tak mau mengaku,
keruan hatinya gelisah dan risau. Pada saat dia kebingungan itulah,
tiba-tiba dilihatnya Kiang Giok mengangkat tangan kirinya ke arah
mulutnya sendiri, air mukanya seketika pula berubah.
Ji Bun menjengek dingin: "Kau hendak menelan racun bunuh diri?
Dihadapanku, jangan kau harap bisa berbuat sesuka hatimu."
Sembari bicara beruntun dia menutuk tiga Hiat-to di dada orang,
lalu merogoh sebutir pil dan dijejalkan ke mulut Kiang Giok.
Kiang Giok betul-betul mati kutu, ingin hidup sukar
dipertahankan, minta mati juga tidak bisa. Ji Bun kerahkan
tenaganya pula, Kiang Giok segera merintih kesakitan, Hiat-to di
pundaknya yang tercengkeram seketika melelehkan darah pula.
Betapa siksaan ini membuat keringat dinginnya gemerobyos, ototnya
merongkol keluar, kulit mukanyapun berkerut berubah bentuknya.
"Jangan harap ada keajaiban muncul di sini, kecuali mengaku
terus terang, tiada jalan lain yang bisa kau tempuh."
"Te-gak Suseng, aku tetap tidak akan tunduk padamu.”
"Baiklah rasakan permainanku."
Pada saat itulah tiba-tiba di antara gerombolan anak buah Ngo-
hong-kau tampil keluar seseorang yang mengempit seorang yang
empas-empis. Begitu mata Ji Bun melirik, seketika jantungnya
hampir pecah, yang datang ternyata Duta hidung betet yang sempat
melarikan diri itu. Orang yang empas-empis dan dikempit di bawah
ketiaknya adalah Sian-thian-kek Ui Bing.
Bahwa Ui Bing terjatuh ke tangan lawan, sungguh tak pernah
terduga oleh Ji Bun.
"Te-gak Suseng," Duta hidung betet menyeringai kejam, "kau
kenal dia bukan?”
"Lepaskan dia!" bentak Ji Bun murka.
"Kau kira begitu mudah?"
“Kau ingin mampus?"
"Dia yang akan mati lebih dulu!" jengek Duta hidung betet sambil
menuding kepala Ui Bing. Telapak tangannya mengarah tepat di
ubun-ubun kepala Ui Bing, "tidak sukar untuk mengepruk remuk
batok kepalanya, betul tidak?”
Gigi Ji Bun berkeriutan, tidak sukar baginya untuk menubruk ke
arah Duta bidung betet serta membinasakannya. Tapi jiwa Ui Bing
juga pasti melayang.
Ji Bun hampir gila dibuatnya, ibunda, kekasih dan sekarang
teman yang terdekat menjadi tawanan musuh lagi, betapa dia
takkan naik pitam? Tegakah dia mengorbankan Ui Bing? Tidak, kalau
ibun¬da dan kekasihnya belum ajal kelak masih ada kesempatan
untuk menolongnya. Namun mati hidup Ui Bing hanya bergantung
pada pendiriannya.
Sikap Ji Bun yang ragu-ragu sudah terasakan oleh Duta hidung
betet. Namun dia kuatir kalau Ji Bun berlaku nekat, tentu semua
orang yang ada di sini bisa dibunuh seluruhnya, maka dia jambak
rambut Ui Bing serta ditariknya mendongak, serunya: "Te-gak
Suseng sudah ambil putusan?"
Ji Bun membanting kaki, katanya mengertak gigi: "Baik, sekali ini
kalian beruntung, bisa lolos dari tanganku."
Duta hidung betet segera memberi aba-aba: "Semua mundur!"
Seperti lolos dari renggutan el-maut, buru-buru anak buah Ngo-
hong-kau berlari sipat kuping dan dalam sekejap saja sudah bersih.
Hampir meledak dada Ji Bun, namun dia tak bisa berbuat apa-apa.
Setelah anak buahnya mundur semua baru Duta hidung betet
berkata pula pada Ji Bun: "Te-gak Suseng, sekarang kau boleh
lepaskan dia."
"Kau dulu yang harus melepasnya."
"Dihadapanmu yang jelas berkepandaian begini tinggi,
memangnya aku bakal mungkir?"
"Betapapun aku tidak percaya padamu."
"Memangnya kau sendiri dapat dipercaya?"
"Te-gak Suseng selamanya tidak pernah melakukan perbuatan
rendah dan kotor."
Sekilas Duta hidung betet berpikir, Ui Bing diturunkannya di atas
lantai, lalu mundur tiga tombak, agaknya dia takut kalau Ji Bun tiba-
tiba menyergap. Begitu menyentuh lantai Ui Bing tampak menggeliat
sambil merintih, kalau Hiat-to tidak tertutuk, tentu dia terluka dalam
yang cukup parah.
"Orang she Kiang,"' ujar Ji Bun, "hari ini kau yang beruntung."
Lalu dia lepaskan Kiang Giok dan melompat kesamping Ui Bing,
dengan teliti dia memeriksa, ternyata Hiat-to Ui Bing memang
tertutuk, lekas dia membebaskan tutukan itu. Ui Bing mengeluh
sekali, kemudian katanya: "Hiante, aku menggagalkan usahamu
........”
"Toako," ujar Ji Bun tertawa getir, "syukurlah kalau kau selamat,
kesempatan masih ada lain kali."
Waktu dia menoleh, orang she Kiang dan Duta hidung betet
sudah tak kelihatan lagi bayangannya, gedung sebesar ini diliputi
keheningan.
"Toako, bagaimana kau bisa .....”
"Sungguh harus disesalkan, memang akulah yang ceroboh. Dikala
kau kembali menemui aku tadi jejakku dengan sendirinya sudah
konangan mereka. Kalau aku segera pindah tempat, tentu takkan
terjadi begini, namun kepandaianku memang bukan tandingan
lawan, untung dia tidak turun tangan secara keji."
"Marilah kita geledah gedung ini."
"Nanti dulu, jangan gegabah, bukan mustahil mereka pasang
perangkap di sini."
"Betul, Toako telan dulu obat ini, dia angsurkan sebutir pil kepada
Ui Bing, dalam jangka setengah jam, segala racun tidak akan
mempan terhadapmu."
Ui Bing menerima terus ditelan, berendeng mereka masuk ke
ruang pendopo. Begitu tiba diserambi yang menembus ke dalam,
tiba-tiba Ui Bing menyurut mundur seraya berseru kaget. Ternyata
diserambi sana menggetetak kerangka manusia yang tinggal tulang
belulang saja, kulit dagingnya sudah luluh menjadi cairan merah
kental berbau amis dan busuk. Kiranya mayat Kian Ceng-san pun
dibubuhi racun yang meluluhkan mayatnya, betapa jahat racun yang
digunakan lawan sungguh amat mengerikan.
Menuding kerangka tulang itu Ji Bun berkata: “Toako, itulah
kerangka Kian Ceng-san, Bengcu kalangan hitam dari Kwan-gwa."
Ui Bing bergidik ngeri, "Kejahatan orang ini memang sudah
kelewat batas, akhirnya dia memperoleh ganjaran yang setimpal.”
Mereka melangkah masuk lebih jauh, geledah sana cari sini,
tetapi tiada sesutu yang mereka temukan, bangunan gedung ini
terdiri tiga lapis deretan ke belakang, sebelah samping kanan kiri
juga terdiri bangunan yang terdapat banyak kamar, namun gedung
sebesar ini tak kelihatan bayangan orang, banyak kamar kosong
berdebu dan dihiasi sawang melulu, pertanda sudah lama tidak
ditempati, memangnya ke mana penghuni gedung ini?
Menyesal tapi juga marah, Ji Bun terpaksa mereka harus
membebaskan musuh yang telah ditawannya karena harus
meugutamakan jiwa Ui Bing. Kuatir Ui Bing berduka, sudah tentu
sedapat mungkin dia bersikap biasa dan wajar.
Sebagai murid Biau-jiu Siansing, gembongnya maling, sudah
tentu Ui Bing mempunyai kepandaian khusus dalam bidangnya. Pintu
yang tertutup rapatpun bisa ditembusnya, demikian pula segala alat
rahasia dengan mudah bisa dipecahkan, seperti anjing pelacak saja
dengan teliti dari satu tempat ke lain tempat dia memeriksa, sesuatu
barang yang mencurigakan tidak lepas dari perhatiannya, entah
diketuk, dipukul, diraba dan diputar ........
Akhirnya dia bersorak girang dengan penuh emosi. "Nah, inilah di
sini."
Tatkala itu mereka berada disudut sebuah gardu yang terletak di
taman belakang. Ui Bing sedang sibuk membongkar sebuah pintu
angin yang cukup besar dan lebar.
Pintu angin ini berdiri di antara pintu kamar dan gardu,
kelihatannya tidak menunjukkan sesuatu yang mencurigakan, keruan
Ji Bun bertanya keheranan: "Toako, apa yang kau temukan?"
"Mulut sebuah jalan rahasia."
"Darimana kau bisa menemukannya?"
“Lihatlah jejak kaki yang semrawut ini, semua berhenti di depan
pintu angin ini?"
Mulut bicara tangan bekerja, dengan pelan dan hati-hati jari-
jarinya meraba-aba. Dikala jarinya menyentuh kepala seekor burung
yang terpahat di atas pintu angin, seketika terdengar suara
keresekan.
Terbangkit semangat Ji Bun. Waktu dia menoleh, dilihatnya
dinding sebelah kiri bergerak-gerak dan tampak sebuah lubang
merekah diantara sudut dinding itu. Segera dia maju mendekat,
dilihatnya di belakang pintu rahasia terdapat undakan batu yang
menjurus ke bawah. Ada puluhan undakan banyaknya, lorong
rahasia ini entah menembus ke mana. Lebarnya cukup untuk dua
orang jalan berdampingan. Karena terlalu gelap, kekuatan mata Ji
Bun tak kuasa melihat terlalu jauh.
Ui Bing mendekat, katanya: "Kalau tempat ini bukan kamar
rahasia di bawah tanah, tentu lorong rahasia yang menembus ke
suatu tempat."
"Mari kita periksa ke dalam," ajak Ji Bun.
"Hati-hati terhadap alat-alat rahasia," kata Ui Bing. Sekenanya dia
tarik kain gardu yang tebal dan berat terus dilempar ke dalam lorong
sana, tapi tidak menimbulkan reaksi apa-apa.
"Marilah masuk, lorong ini tentu dibangun oleh pemilik gedung
ini. Kalau dia bukan golongan persilatan, tak mungkin membangun
jalan rahasia ini. Agaknya karena baru saja berdiri, maka Ngo-hong-
kau menggunakannya ala kadarnya, sehingga belum diperbaiki dan
dipasangi perangkap."
Segera Ji Bun mendahului berlari turun, Ui Bing mengikuti dari
belakang. Setiba di ujung undakan, mereka langsung menuju ke
lorong datar yang gelap gulita, betapapun tajam pandangan orang
kelima jari sendiri juga tidak kelihatan, hawa lembab dan berbau
apek. Untung Ji Bun sudah digembleng oleh kakek gurunya, namun
dia hanya mampu melihat sejauh lima tombak. Lekas Ui Bing
keluarkan ketikan api lalu menyulut sebuah obor kecil. Agaknya tidak
sedikit perlengkapan yang selalu dibekalnya.
Kini ganti Ui Bing yang jalan di depan, mereka terus maju ke
depan menyusuri lorong panjang ini, lorong ini seperti tak berujung.
Setelah belak-belok sekian lamanya, tetap tidak menemukan
ujungnya, semakin dalam lorong ini ternyata malah lurus
memanjang.
Sambil jalan Ui Bing berkata: “Diukur dari kecepatan kita berjalan
dan jauhnya lorong ini, agaknya kita sudah berada di luar kota."
"Luar kota?" Ji Bun heran.
Tengah bicara tiba-tiba mereka dihadang tiga cabang lorong,
seketika mereka menjublek bingung, ke arah mana mereka harus
pilih? Sementara itu Ui Bing sudah mengganti sebuah obor lain,
dengan seksama dia memeriksa jejak-jejak kaki di tanah. Lorong
yang menembus kekanan kiri memang ada jejak kaki, namun
tapaknya jelas hanya dilewati dua tiga orang, lain dengan jejak kaki
orang banyak yang menuju ke lorong tengah ini.
"Toako, tunggu sebentar," seru Ji Bun, "coba lihat sebelah kiri
......"
Pada dinding yang menjurus ke kiri tergantung sebuah papan
yang bertuliskan beberapa huruf warna merah darah berbunyi:
"Tempat terlarang, hukuman mati bagi yang melanggarnya."
"Maksud Hiante .........”
"Tujuan kita mencari orang, bukan mengejar jejak mereka,
umpama berhasil menyandak mereka belum tentu ada manfaatnya,
maka daerah terlarang ini jangan dilewati begini saja, betapapun
harus kita selidiki."
Ji Bun mendahului menyusuri lorong ke kiri, tiga tombak
kemudian, mereka membelok ke kanan dan dihadang sebuah pintu
besi yang kelam, di atas pintu bertuliskan juga beberapa huruf
merah darah yang berbunyi sama. Ji Bun maju mendorong dengan
tangan, segera dia berseru: "Hebat, pintu ini dilumuri racun jahat."
Ui Bing kaget, katanya: "Agaknya Ngo-hong-kau pandai juga
main racun."
Sudah tentu kata-kata ini menusuk perasaan Ji Bun, dirinya kini
adalah Ciangbunjin generasi ke-15 dari Ban-tok-bun, gembongnya
golongan beracun. Entah berapa banyak aliran dan perguruan yang
pandai menggunakan racun di seluruh jagat ini? Hanya yang
diketahui cuma Cui Bu-tok dari Wi-to-hwe juga pandai dalam bidang
ini, entah siapa lagi. Jika ayahnya bukan calon pewaris generasi ke-
14, maka beliau dari aliran lain, namun dari kepandaian Bu-ing-cui-
sim-jiu, ini jelas bahwa ayahnya juga dari aliran yang sama. Lalu
Ngo-hong-kau termasuk aliran mana? Sembari berpikir kembali dia
mendorong dengan mengerahkan setaker tenaga, namun pintu besi
ini tidak bergeming sedikitpun.
"Tang!" tiba-tiba diatas pintu terbuka lubang bundar, sebuah
suara yang cukup mendirikan bulu kuduk orang berkata: "Siapa
berani melanggar daerah terlarang ini?”
Ui Bing padamkan obornya, sahutnya: "Utusan dari pusat datang
menginspeksi."
Dari lobang bundar ini muncul sepasang mata yang bersinar hijau
tajam, di belakangnya remang-remang menyorotkan secercah sinar
pelita. Di balik pintu tentu terpasang lampu, dengan sendirinya di
luar gelap di dalam menjadi terang, maka Ji Bun berdua dapat
melihat agak jelas. Suara orang dibalik pintu kedengaran agak
curiga: "Duta mana telah tiba?"
Ji Bun menyingkir ke samping, dia tiru suara Kian Ceng-san dan
menjawab dengan nada dingin berwibawa: "Di sini Kian Ceng-san."
Gertakan ini ternyata berhasil, segera terdengar suara berkeret,
pelan-pelan pintu besi tebal itu lantas terbuka.
Di belakang pintu adalah sebuah kamar batu, di mana di pasang
sebuah lentera minyak, maka keadaan di sini cukup terang. Seorang
laki-laki bertubuh besar dengan telanjang dada, tampak bulu
dadanya lebat menghitam, kulit dagingnya berotot keras bagai
badak, dengan bertolak pinggang dia berdiri di ambang pintu. Begitu
melihat wajah Ji Bun berdua segera dia menggerung murka:" Siapa
kalian? Berani menyaru .......”
Cepat Ji Bun menyelinap masuk, mulutnya menjawab: "Akulah
Te-gak Suseng!”
Wajah laki-laki kekar itu menegang, bentaknya: "Cari mampus!"
Telapak tangannya yang sebesar kipas terus menabok ke arah Ji
Bun.
Ji Bun angkat tangannya, sekali raih dengan mudah dia pegang
pergelangan tangan orang. Tapi laki-laki besar itu meronta
sekuatnya sehingga Ji Bun terseret maju sempoyongan. Diam-diam
dia terkejut akan kekuatan raksasa lawan, kelima jarinya memegang
dengan lebih kencang. Kontan laki-laki itu berkaok kesakitan.
Ji Bun pandang ke dalam kamar, di sisi kanan sana terdapat
sebuah pintu kecil, di pojok terdapat sebuah balai yang dilembari
kulit binatang, mungkin tempat tinggal laki-laki besar ini. Sebaliknya
pintu besi di sebelah kiri terkunci dengan gembok besar, rahasia
pasti ada di belakang pintu itu. Diam-diam Ji Bun membatin:
”Mungkinkah ibu atau Thian-thay-mo-ki yang terkurung di dalam
sana?" Segera dia membentak kepada laki-laki itu: "Siapa yang
dikurung di dalam?"
Karena pergelangan tangan terpegang, laki-laki ini mati kutu
tiada tenaga untuk meronta lagi, namun sorot matanya ber-api-api
sebuas binatang. “Apa tujuan kalian?" tanyanya.
"Buka pintu itu. Kalau membangkang kubunuh kau."
"Kalau aku mati, kalian kelinci cilik ini jangan mengira bisa
hidup."
Membara amarah Ji Bun, ia sungkan adu mulut lagi, sekali kepruk
dia pukul pecah batok kepala laki-laki besar itu serta menendang
mayatnya ke samping.
Di tempat ini Ui Bing kembali memperlihatkan keahliannya, entah
dari mana dia sudah mengeluarkan sebatang kunci, segera dia maju
kesana membuka gembok besar itu, begitu pintu terbuka, serentak
Ui Bing didampar segulung angin kencang.
16.46. Siapa Murid Angkatan-13 Ban-tok-bun ??
Begitu besar terjangan angin ini sampai Ui Bing tergentak
mundur menubruk Ji Bun yang berada dibelakangnya. Cepat Ji Bun
menahan punggungnya, namun dorongan kekuatan begitu dahsyat
sampai mereka sama tersurut tiga langkah lagi, maka dapatlah
dibayangkan betapa hebat kepandaian orang yang menyerang.
Belum lagi hilang rasa kejut mereka, tampak di belakang pintu
adalah sebuah kamar kurungan persegi, seorang tua baju hitam
tengah melongo mengawasi mereka. Tampak oleh Ji Bun, di
belakang kamar sana terdapat pula sebuah pintu besi yang terkunci.
Terang laki-laki tua baju hitam ini adalah penjaganya. Begitu besar
dan ketat penjagaan orang ini, tentu di balik pintu sana tersembunyi
sesuatu yang cukup penting artinya.
"Kalian mau apa ke sini?" tanya laki-laki baju hitam itu sambil
menyeringai.
"Mau mencabut nyawamu!" desis Ji Bun. Belum habis bicara tiba-
tiba dia menubruk maju seperti harimau menerkam mangsanya,
jurus Tok-jiu-sam-sek yang pertama dilancarkan, kontan laki-laki
baju hitam menjerit sekali terus roboh binasa. Ji Bun langsung lari ke
arah pintu. Untung pintu yang satu ini tidak terkunci, maka dengan
mudah dia menariknya terbuka, di dalam adalah terali besi, sebuah
kerangkeng. Berkat sinar api dari luar, terlihat oleh Ji Bun di dalam
kerangkeng meringkuk seorang laki-laki beruban. Jadi bukan orang-
orang yang diperkirakan oleh Ji Bun semula, keruan hatinya menjadi
dingin.
Ui Bing ikut melongok ke dalam, katanya: "Entah siapa yang
dikurung di sini, kenapa sampai dijaga begini kuat dan ketat?"
"Ya, harus diselidiki biar terang persoalannya. Toako, tolong
ambilkan obor itu," lalu dia maju mendekat dan puntir putus rantai
yang melingkar di antara jeruji-jeruji besi ini. Bayangan orang yang
meringkel di pojok sana tidak bergerak sama sekali. Kini dia melihat
lebih jelas, kiranya seorang tua kurus kering tinggal kulit
membungkus tulang. Ji Bun mendekatinya, tanyanya: "Siapakah
tuan ini?"
Orang tua itu bergerak sedikit, terdengar suaranya yang lemah,
namun mengandung kebencian: "Keparat, kau akan mendapatkan
ganjaran setimpal"
Ji Bun tertegun, dia menoleh sekejap pada Ui Bing, lalu katanya:
"Cayhe bukan orang Ngo-hong-kau, silakan tuan bangun untuk
bicara."
Dengan tangan menyanggah tanah pelan-pelan orang tua kurus
itu meronta bangun, pandangannya pudar dan lesu. Ji Bun berdua
hampir menjerit kaget melihat wajah orang yang rusak tak
menyerupai bentuk manusia. "Siapakah tuan?" tanyanya.
"Kau ...... kau siapa pula?"
"Cayhe digelari Te-gak Suseng di kalangan Kangouw."
"Apakah keparat itu yang menyuruh kalian kemari?"
"Siapakah keparat itu? Cayhe mengejar seseorang masuk kemari,
entah apa maksudmu?"
Pandangan orang tua yang redup kembali mengawasi wajah
mereka sekian lamanya, suaranya dingin: "Mau menolong Lohu
keluar dari sini, betul tidak?"
"Sudah tentu," sahut Ji Bun tanpa pikir, "kalau sudah. kepergok
olehku, masakah aku harus berpeluk tangan."
"Ada syaratnya?"
"Syarat? Ah, omongan apa ini."
"Masakah tanpa syarat?"
"Tidak pernah terpikir olehku. Siapakah tuan, tolong beri tahu
lebih dulu."
"Kau ..... betulkah bukan utusan keparat itu untuk menyiksa
diriku?"
"Siapakah keparat yang kau maksud?"
"Muridku!" desis orang tua itu dengan gemas.
"O," Ji Bun bersuara heran, "kau dikurung oleh muridmu sendiri?
Kenapa?"
"Tentu karena kepandaian dan rahasia pelajaranku."
Tak tertahan Ji Bun mengumpat: "Durhaka terhadap guru,
manusia terkutuk dan pantas disamber geledek."
Dengan mendelik gusar, orang tua itu berkata: "Lohu bertahan
hidup sampai sekarang, memangnya ingin menunggu dia
mendapatkan ganjaran itu, sayang, ai .... mungkin takkan tercapai
maksudku.“
"Siapakah nama murid durhaka tuan?"
"Lohu tidak tahu."
"Apa tidak tahu?" sungguh berita aneh yang paling lucu di dunia
ini, masakah seorang guru tidak tahu nama muridnya.
Orang tua mengertak gigi, mukanya yang kurus kering tidak
mengunjukkan mimik apapun, hanya, biji matanya yang pudar tiba-
tiba memancarkan rasa kebencian yang berkobar. "Ya, sampai
sekarang masih belum kuketahui namanya."
"Tapi asal-usulnya mungkin diketahui?"
"Yang terang dia adalah pemilik gedung ini."
"Pemilik gedung ini, itulah Kiang Giok pimpinan cabang Ngo-
hong-kau di sini."
"Dia ..... dia bernama Kiang Giok? Kalian musuhnya?"
"Boleh dikatakan demikian."
Kedua biji mata orang tua yang cekung tiba-tiba meneteskan air
mata, katanya penuh kepedihan: "Kepandaian Lohu sudah
dipunahkan, tidak ubahnya dengan sesosok mayat hidup yang bisa
bernapas saja, aku tak ingin melihat sinar matahari lagi, cuma
matipun aku takkan meram, sayang aku tak bisa memberi
pertanggungan jawab bagi perguruan ........."
"Tuan dari perguruan mana?"
"Terbatas oleh peraturan perguruan, maaf tidak boleh
kukatakan."
Ji Bun mengerut kening, katanya: "Jadi nama dan gelaran tuan
juga tak boleh diperkenalkan?"
Orang tua kurus itu mengangguk-angguk.
Ji Bun menepekur sejenak, katanya: "Bagaimana kalau tuan ikut
kami keluar saja? Cayhe masih ada urusan penting yang harus
segera dibereskan, tak bisa lama di sini. Bicara terus terang, akupun
sedang mengejar jejak murid tuan.
"O," orang tua kurus menatap tajam Ji Bun, sorot matanya
berubah tak menentu, ini menandakan bahwa orang tua ini
dirundung perasaan yang bergolak.
Semula Ji Bun berharap di dalam kamar tahanan ini ada disekap
ibu atau Thian-thay-mo-ki, sekarang kenyataan telah
menumbangkan harapan itu. Sudah tentu pikirannya menjadi
gundah dan melayang ke tempat jauh, terasa sedetikpun tak kuasa
lagi tinggal di sini. Menolong orang tua ini hanya sambil lalu saja
disamping merasakan adanya kewajiban bagi seorang persilatan
yang harus menolong sesamanya. Kalau tidak, menghadapi sikap si
orang tua yang serba bimbang dan seperti menyembunyikan sesuatu
ini, sejak tadi dia tentu sudah tinggal pergi.
Ui Bing yang berpengalaman luas dalam seluk beluk kehidupan
malah dapat bersabar, katanya kalem: "Cianpwe, setiap urusan pasti
ada beda ringan dan berat, sering pula terjadi perubahan, kau harus
lekas ambil keputusan. Kalau kami tidak kebetulan menerobos
kemari, bagaimana pula nasib Cianpwe? Urusan aliran dan
perguruan orang luar memang tidak boleh tahu, tapi kalau Cianpwe
merasa perlu minta bantuan kami, tentu kami akan bekerja sekuat
tenaga."
Ji Bun sudah tak sabar lagi, tanyanya: "Tuan sudah berpikir?"
Tiba-tiba orang tua itu geleng kepala, katanya: "Lohu sudah
berkeputusan tidak akan meninggalkan tempat ini "
Ji Bun melengak, tanyanya tak mengerti: ”Tuan tidak mau
meninggalkan penjara seperti neraka ini?"
Nada si orang tua tegas: "Ya, Lohu sudah berpikir masak, kecuali
mati demi pertanggungan jawab kepada perguruan, tiada jalan lain
yang harus kutempuh, hanya matiku ini tetap membuatku
penasaran."
"Kalau kau tidak rela mati demikian saja, kenapa tidak mau
meninggalkan tempat ini?"
"Aku mati penasaran tidak berarti takut mati, Soalnya tugas
perguruan teramat berat."
Tugas berat apa, Ji Bun ingin tanya, namun melihat sikap si
orang tua yang begitu patuh dan tunduk terhadap peraturan
perguruannya, maka ia telan pertanyaannya. Sebentar kemudian
baru orang tua itu berkata pula: "Urusan ini menyangkut peraturan
perguruan, ada sesuatu tapi Lohu tidak bisa bicara terus terang .....
"
"Sulit kalau begitu," ujar Ui Bing menghela napas, "apakah
Cianpwe ada saudara seperguruan, kami bisa mengirim kabar
kepada mereka?"
Orang tua diam saja, agaknya dia tenggelam dalam pemikiran,
mungkin dia sedang berpikir secara mendalam cara bagaimana
harus ambil keputusan.
Hati Ji Bun seperti dibakar, seperti semut dalam kuali panas, tak
tahan ia berkata pula: "Tuan, kami akan segera berangkat."
Dengan gerakan lemah tak bertenaga orang tua itu angkat
tangannya, katanya: "Nanti dulu, Lohu ada sebuah permintaan."
"Silakan bicara," jawab Ji Bun.
"Kuharap saudara cilik suka wakilkan aku mencari keparat itu,
bunuh dia untuk mencuci nama baik perguruanku .......”
"Membersihkan nama baik perguruanmu? Apakah tugas berat ini
boleh diwakilkan kepada orang luar?"
"Tiada jalan lagi, perguruan kami memiliki sebuah Pit-kip (kitab
pusaka) yang terjatuh ke tangan keparat itu, harap rebutlah kembali
........"
"Apa betul murid tuan bernama Kiang Giok, pimpinan cabang
Ngo-hong-kau di sini?"
"Lohu hanya tahu dia pemilik gedung ini."
"Baiklah, untuk membuktikan asal usulnya, Harap tuan suka
memberikan keterangan mengenai ciri-cirinya ......”
"Ciri-cirinya, dia ..... dia pandai menggunakan racun."
"Ya, Cayhe sendiri pernah merasakannya, hampir saja jiwaku ini
melayang."
"Ya, tidak akan salah kalau begitu."
"Setelah Pit-kip perguruanmu itu berhasil direbut kembali, lalu
kepada siapa harus kuserahkan?"
"Ini ....... entah saudara dari aliran mana?"
"Hal ini sukar kujawab.”
"Baiklah, di sini Lohu meninggalkan pesan tertulis dalam lipatan
kertas ini, semoga setelah Pit-kip itu direbut kembali kau bisa
bekerja menurut petunjuk yang tertera di kertas ini."
"Boleh saja."
Dari tumpukan rumput kering di bawah tubuhnya, si orang tua
mengeluarkan secarik kertas tebal yang sudah kuning dan kotor,
dengan hati-hati dan penuh prihatin dia sodorkan kepada Ji Bun,
katanya: "Inilah, kalau saudara bisa membereskan urusan ini, di
alam baka Lohu akan istirahat dengan tenteram."
"Soal membersihkan perguruanmu itu ......"
"Sudah diterangkan di dalam tulisan ini. Saudara baru boleh
membuka lempitan kertas ini setelah berhasil rebut kembali Pit-kip
itu."
Ji Bun menerimanya, tanyanya: "Tuan betul-betul sudah
berkeputusan tak mau keluar? Untuk ini Cayhe mohon sukalah tuan
memperkenalkan diri, ini tak melanggar aturan perguruanmu,
bukan?"
"Baiklah, Lohu bernama Ngo Siang."
Ji Bun berjingkat kaget, mulutnya ikut berteriak: "Ngo .....
Siang?"
"Betul saudara .........”
Berubah hebat air muka Ji Bun, katanya berpaling kepada Ui
Bing: "Toako, maaf, silakan kau tunggu sebentar di luar."
Dengan heran dan tak habis mengerti Ui Bing mengawasi Ji Bun,
namun dia menurut, obor dia tancap di dinding pinggir pintu lalu
melangkah keluar.
Orang tua yang bernama Ngo Siang juga mengunjuk keheranan
dan kaget, tanyanya: "Saudara, kenapakah kau?"
Dengan rasa haru dan penuh emosi Ji Bun berkata: "Apakah guru
tuan she Ban bernama Yu-siong?"
Muka si orang tua yang kurus keriputan itu kelihatan gemetar,
bibirnya bergetar, matanya terbeliak, lama sekali baru dia kuasa
mengendalikan emosinya, katanya tergagap: "Kau .... kau .....
darimana bisa tahu?"
Ji Bun segera bertekuk lutut, serunya terharu: "Murid generasi
ke-15 Ji Bun, menghadap Suco."
"Apa? Kau ....... kau?"
"Tecu Ji Bun, berkat kemurahan hati dan kebajikan Suthayco
telah diangkat sebagai penerus dari generasi ke-15.”
"Ini .... mana ..... mana mungkin? Hah, Cosuya maha kuasa dan
bermurah hati, Cosuya .....” kata orang tua alias Ngo Siang itu
dengan terharu.
Setelah menyembah, Ji Bun segera bersimpuh dan berkata:
"Harap Suco suka dengarkan liku-liku persoalan ini."
Tubuh Ngo Siang bergetar, inilah keajaiban yang tak pernah
dimimpikan, kejadian yang terlalu mendadak, begitu aneh dan nyata
sehingga orang sulit percaya dalam waktu sesingkat ini, mulutnya
melongo, suaranya lemah hampir tidak terdengar, "Kau ....... baiklah
...... katakan .......”
Segera Ji Bun ceritakan semua pengalamannya, tiba-tiba Ngo
Siang menjatuhkan diri berlutut, matanya yang cekung mengalirkan
air mata, teriaknya serak: “Tecu tak berbudi ...... Tecu tidak becus
.........”
Ji Bun segera membujuk: "Suco, harap suka memperhatikan
kesehatan sendiri."
Ngo Siang merangkak bangun dan duduk kembali ke tempatnya,
lama dia menepekur dengan pandangan terlongong, katanya
kemudian: "Berikan kertas itu, tak berguna lagi."
Ji Bun segera merogoh lempitan kertas tadi serta diangsurkan
dengan kedua tangan.
Ngo Siang lantas membebernya, ternyata lapisan dalam dari
lipatan kertas ini adalah selembar kain sutera yang amat tipis, di
atas kain yang sudah butut ini terdapat noktah darah yang sudah
mengering, huruf-huruf yang tertulispun menggunakan tinta darah.
Ngo Siang menyobek kertas kain ini, lalu menjemput sebuah
buntalan kain kecil dan ditimang-timang di telapak tangan, katanya
setelah menghela napas: “Aturan yang harus dilakukah bagi setiap
murid angkatan kita dengan tulisan dalam kertas lipatan ini tentu
kau sendiri juga sudah tahu, maka tugas selanjutnya untuk
menumpas murid durhaka itu terpikul di atas pundakmu.”
"Tecu menerima setiap petunjuk Suco."
"Generasi ke-14 tidak diangkat secara resmi oleh perguruan,
karena dia juga telah mengkhianati perguruan, maka kau tidak perlu
pandang dia sebagai angkatan yang lebih tua. Lebih penting kau
melaksanakan aturan perguruan untuk menumpasnya dengan cara
apapun. Demikian saja kata-kataku."
"Cucu murid ingin membawa Suco keluar dari sini, biarlah kita
berusaha .......”
"Tidak usahlah."
"Bagaimana kehendak Suco?" tanya Ji Bun melengak.
Lemah tapi tegas setiap patah kata Ngo Siang: "Suco tidak
berbakti, sejauh ini tidak mampu melaksanakan tugas yang kupikul,
sehingga ajaran perguruan hampir putus di tanganku ....... maka kau
harus dengar kata-kataku. Sesuai peraturan, waktu aku turun
gunung mencari calon pengganti yang harus ikut juga digembleng
dalam kebiasaan 'menyenggol rejeki’, ternyata usahaku sia-sia
belaka. Setiap pelosok Kang-ouw sudah kujelajahi, namun tetap tak
berhasil kuperoleh seorang calon yang memenuhi syarat. Begitulah,
dari tahun ke tahun sehingga aku akhirnya berpendapat bahwa Tok-
keng jilid pertama kemungkinan tidak terjatuh ke tangan seseorang,
namun aku tetap menunggunya dengan sabar, siapa tahu kalau
terjadi suatu kemungkinan ........”
Setelah menghela napas dan berhenti sebentar Ngo Siang
melanjutkan ceritanya: "Tiga tahun yang lalu, karena terpaksa aku
sengaja mendemonstrasikan ilmu perguruan kita, maksudku untuk
mencari jejak apakah betul jilid pertama dari buku pelajaran
perguruan kita itu sudah berada ditangan seseorang. Betul saja,
tidak lama kemudian aku lantas menemukan dia. Semula aku
hendak menyelidiki watak dan mencari tahu asal-usulnya secara
diam-diam, tak tahunya malah dia mengenali asal-usulku lebih dulu.
Dia berkata bahwa ada seseorang sakit keras dan berpesan padanya
supaya mencarikan orang-orang seperguruannya. Katanya ilmu
beracun yang dia pelajari didapat dari orang sakit itu. Karena kurang
teliti, aku percaya begitu saja. Dia membawaku ke sebuah kamar
rahasia di bawah tanah, sehingga aku terjebak ke perangkapnya.
Bukan saja ilmuku dipunahkan aku disekap di sini pula. Sering
keparat itu datang kemari menyiksa aku supaya menyerahkan atau
mengajarkan ilmu tingkat tinggi perguruan kita .......”
Ji Bun naik pitam, katanya gusar: "Tecu membakal Hoat-Wan,
aku bersumpah akan menghukumnya sesuai hukum perguruan."
"Ya, tadi kau menceritakan pengalamanmu, katamu kau sudah
mempalajari Bu-ing-cui-sim-jiu, apa betul kau diajar ayahmu secara
lisan?”
Ji Bun mengiakan.
"Dari mana pula ayahmu bisa mendapatkan buku pelajaran ilmu
rahasia perguruan kita?"
"Mati hidup ayahku sekarang masih merupakan teka teki, biarlah
setelah berhasil membekuk Kiang Giok, pasti bisa membongkar
rahasia ini."
Diam-diam Ji Bun amat bersyukur, semula dia berpendapat
bahwa orang yang memperoleh jilid pertama Tok-keng itu adalah
ayahnya, sedang dirinya harus menjalankan tugas membersihkan
perguruan dari anasir penghianat, memangnya dia sebagai anak
harus membunuh ayah kandung sendiri? Kini sudah terbukti bahwa
Kiang Giok adalah orang yang memperoleh buku itu. Persoalan ini
akan lebih mudah dibereskan. Soal bagaimana ayahnya bisa
mendapatkan pelajaran ilmu beracun, mungkin Kiang Giok sengaja
hendak menjadi penghianat maka dia sengaja mengajarkan ilmu
beracun itu kepada orang luar sehingga terjadilah buntut yang
berlarut-larut ini.
Ngo Siang bertanya, "Apa pula hubungan ayahmu dengan Kiang
Giok?"
"Cucu muridpun tidak tahu."
"Siapa tahu kalau ayahmu justeru orang yang pegang rol di
belakang layar?"
Tersirap darah Ji Bun, betul, ini bukan mustahil, maka dia
mengertak gigi, katanya: "Cucu murid akan menyelidikinya."
"Kalau kelak terbukti bahwa orang pertama yang memperoleh
Tok-keng adalah ayahmu, bagaimana kau akan ambil tindakan?"
Terkesiap hati Ji Bun, katanya setelah berpikir: "Cucu murid akan
bekerja sesuai dengan hukum perguruan, demi kebenaran dan
kebesaran nama baik perguruan, meski terhadap ayah sendiripun,
aku akan tetap ambil tindakan."
"Bagus sekali semoga kenyataan tidak demikian," ujar Ngo Siang.
Tiba-tiba terlihat oleh Ji Bun orang tua itu tengah menggelinding
sebutir pil Merah darah yang menyolok sekali, seketika dia berteriak
kaget: "Hoat-wan.”
"Benar," kata Ngo Siang, "memang Hoat-wan, pil ini kubawa
waktu aku disuruh turun gunung oleh Suco, sekarang tiba saatnya
aku akan menggunakannya."
Saking gugup tanpa sadar Ji Bun ulur tangan hendak
mengambilnya, mulutpun berteriak: "Jangan Suco!"
"Jangan bergerak," tiba-tiba Ngo Siang menghardik dengan
bengis. Kata-katanya begitu keras berwibawa, sehingga tanpa sadar
Ji Bun menarik pula tangannya. Dalam sekejap itulah Ngo Siang
sudah menjejalkan pil merah itu ke dalam mulut terus di telan.
Tak pernah terpikir oleh Ji Bun bahwa Ngo Siang akan bertindak
setegas ini, serasa pecah jantung Ji Bun. Hoat-wan adalah obat
warisan cikal bakal perguruan mereka yang digunakan untuk
menghabisi nyawa sendiri, sejak diciptakan tak pernah dibuat obat
penawarnya, maka setiap orang yang telan pil racun ini takkan
tertolong lagi. Itupun berarti sudah menunaikan bakti terhadap
perguruan, umpama ada obat penawarnya juga tidak boleh ditolong.
Gaya duduk Ngo Siang sekarang berubah setengah berlutut,
sorot matanya tenang dan tenteram. Lekas Ji Bun juga berlutut, air
mata lantas bercucuran, waktu dia angkat kepala pula, Ngo Siang
sudah mangkat untuk selamanya.
Semua kejadian dan pengalaman ini bagai mimpi belaka, obor
kecil milik Ui Bing sudah mulai guram, mungkin minyaknya sudah
hampir habis. Maka Ji Bun menoleh keluar serta memanggil: "Toako,
kau boleh masuk."
Tiada penyahutan, kembali ia berseru dengan suara lebih keras,
namun tetap tiada reaksi. Keruan hatinya gugup, mungkin Ui Bing
mengalami sesuatu? Bergegas dia melompat keluar, beruntun dia
melewati dua kamar batu. Setiba diujung lorong ini, tetap tidak
kelihatan bayangan Ui Bing. Sesaat dia berdiri melongo tak tahu apa
yang harus dia lakukan? Tak mungkin Ui Bing pergi tanpa sebab
kecuali terjadi sesuatu. Lekas dia berlari kembali ke dalam kamar
mengambil obor, tapi baru saja dia putar balik hendak mencari Ui
Bing pula ....
sekonyong-konyong suara gemuruh dengan getaran hebat.
Seluruh kamar batu itu bergoncang seperti dikocok oleh kekuatan
yang dahsyat. Bau belerang dan asap putih yang tebal seketika
bergulung-gulung masuk ke dalam kamar. Semua obor yang tersulut
di dalam kamar seketika padam, keadaan menjadi gelap.
Saking kaget serasa terbang sukma Ji Bun. Lama sekali baru dia
berhasil menenteramkan hatinya. Dia tidak tahu apa yang terjadi,
lama sekali baru dia pelan-pelan menggeremet maju, dimana jari
tangannya meraba. Seketika dia mengeluh, ternyata lorong bawah
tanah sudah tertimbun tanah dan buntu, batu-batu besar
menyumbat mulut lorong. Dia putar balik memeriksa lorong sebelah
dalam, ternyata juga telah tersumbat, ternyata hanya kamar batu
dimana dia berada saja yang masih utuh tidak ikut runtuh. Sayang
jenazah Suco telah terkubur disebelah dalam.
Sungguh suatu keberuntungan di dalam bencana ini. Kalau
dirinya tidak kebetulan balik ke kamar batu ini, mungkin dirinya juga
terkubur hidup-hidup di lorong tadi. Tapi dalam keadaan seperti ini,
apa pula bedanya kalau dirinya tidak terkubur hidup-hidup di dalam
kamar ini? Panjang lorong ini ada beberapa tombak, cukup asal
sebagian diledakkan, dewapun takkan bisa meloloskan diri, kamar
batu ini dilapisi batu-batu tebal. Entah berapa dalamnya letak kamar
batu ini dari permukaan bumi, harapan untuk keluar dari timbunan
tanah ini jelas nihil.
Siapakah yang meledakan lorong ini? Tentunya orang-orang Ngo-
hong-kau. Adakah sangkut paut dengan menghilangnya Ui Bing?
Atau mungkin Ui Bing sendiri sudah terkubur juga ditempat lain?
16.47. Dua Generasi Terkubur ....... ??!!
Ji Bun betul-betul merasa putus harapan. Kalau dia tidak bertemu
dengan Suco Ngo Siang, sejak tadi tentu dia sudah pergi bersama Ui
Bing. Kini dua generasi terkubur sekaligus di dalam liang yang sama.
Dia pernah berulang kali mengalami bencana kematian namun
kali ini dia betul-betul putus asa, kejadian gaib tak mungkin terjadi
lagi. Manusia, memangnya mungkin dia keluar dengan menerobos
bumi. Dengan lunglai dia duduk mendeprok di atas tanah, tiada yang
dipikirkan lagi karena dia tahu berkelebihan untuk memikirkan
sesuatu dalam keadaan seperti ini. Tanpa merasa jari-jari tangannya
meraba juga buntalan di kantongnya, dimana Hoat-wan pemberian
Suthayco Ban Yu-siong dia simpan. Dalam hati dia sudah
berkeputusan bila dirinya tak tahan menghadapi siksaan hidup ini
biarlah menghabisi jiwa sendiri dengan pil racun ini.
Nasib manusia memang sukar diramalkan, siapa pernah menduga
dikala kepandaian silatnya sekarang sudah mencapai taraf yang
sedemikian tinggi, harapan menuntut balas tinggal soal waktu saja,
ternyata dia harus mengalami peristiwa tragis ini. Dari seorang yang
sudah putus asa, semua perasaan cinta, benci, suka duka sudah
kehilangan arti sama sekali.
Waktu berjalan tanpa mengenal kasihan rasa lapar dan dahaga
mulai merangsang dirinya. Apalagi dalam keputus-asaan seperti ini,
rasa lapar dan dahaga itu lebih terasa lagi. Tak lama, ia tidak tahan
lagi, ia pikir, nyawa sendiri bakal berakhir, lebih menderita juga tidak
menjadi soal.
Beberapa kali dia hendak menelan Hoat-wan namun rasa ingin
hidup tetap bertahan dalam sanubarinya. Selama hayat masih
dikandung badan, betapapun manusia harus tetap bertahan hidup.
Siksa derita lambat laun berubah pati rasa. Ini membuktikan bahwa
dirinya sudah cukup lama terkurung di dalam kamar batu ini.
Mendadak timbul sesuatu pikiran, ia lihat kamar batu ini dibawah
tanah, lorong sudah buntu, semestinya untuk bernapaspun menjadi
persoalan setelah terkurung sekian lama, namun sedikitpun dia tidak
merasa sesak dan sumpek. Mungkinkah ada celah-celah atau tempat
untuk memasukkan hawa kedalam kamar ini? Bergegas Ji Bun
melompat bangun, penemuan inilah seperti selarik sinar harapan
baginya untuk cari hidup.
Ia mulai bekerja dengan teliti, setiap tempat, celah-celah atau
lekukan dinding dia raba dan diendus dengan hidung. Setiap senti
jengkal mulai diperiksanya dengan seksama, namun sedemikian jauh
ia tidak menemukan apa-apa, tiada sesuatu tempat yang terasa
membawa masuk hawa ke dalam kamar ini. Tapi kenyataan hawa di
dalam kamar ini tetap segar, tidak mungkin tiada sebabnya. Maka ia
putar otak, ia teringat akan atap kamar. Maka dia melompat ke atas
sambil sebelah tangan terulur ke atas, ternyata tangan meraba
sebuah celah yang cukup besar. Lekas jari tangannya berpegang
pada batu-batu yang menonjol, sehingga dia bergelantung sedikit
mengerahkan tenaga dia berusaha menempelkan badannya pada
atap batu, jadi seperti cecak saja tubuhnya bergelantung. Kembali
hidungnya mengendus-ngendus, lalu menarik napas panjang.
Ternyata hawa segar mengalir di antara celah-celah ini.
Keruan senangnya bukan main, harapan hidup seketika berkobar.
Segera ia melayang turun ke bawah, kalau celah-celah ini ada hawa
segar mengalir masuk, tentu kamar batu ini tidak terlalu dalam dari
permukaan bumi. Lalu tindakan apa yang harus dia lakukan
sekarang? Rasa senang luar biasa membuatnya gemetar, namun
juga kebingungan seperti kehilangan akal. Pikir punya pikir, hanya
ada satu jalan untuk lolos keluar, yaitu menjebol atap dinding ini,
namun dia juga harus mengambil resiko. Kalau atap dinding ini
runtuh, berarti dirinya akan terkubur seketika. Daya tarik hidup
betapapun !ebih besar dari pada resiko apapun yang harus
dihadapinya. Kalau tidak berani menyerempet bahaya bagaimana
mungkin dirinya bisa hidup. Lalu dia menggeremet mundur ke pintu
besi, pintu besi ini sudah jebol dan miring keterjang batu sehingga
merupakan suatu lubang yang cukup besar. Jika atap kamar ini nanti
ambruk, ke lubang besar di samping pintu besi inilah dia akan
menyelinap dan menyelamatkan diri.
Maka dia berjongkok memasang kuda-kuda, kepalanya
mendongak. Setelah napas teratur dan tenaga penuh, mendadak dia
berdiri tegak serta memukul, dengan kedua tangan ke atas, "Blang",
tak kalah keras dari pada ledakan pertama tadi. Batu pasir dan debu
sama rontok berjatuhan, pandangan matanya menjadi terganggu,
terasa debu pasir sama berjatuhan menguruk tubuhnya, badannya
tertimbun setinggi dada.
Setelah pikiran tenang dan pelan-pelan membuka mata, seketika
dia berteriak kegirangan. Tampak sebuah lubang cukup besar di atas
atap yang tergempur pukulannya tadi. Sinar sang surya menyorot
masuk sehingga pandangannya menjadi silau. Dinilai dari tebalnya
lubang besar ini, diperkirakan kamar batu ini terletak dua tombak di
bawah permukaan bumi. Sungguh suatu keajaiban yang betul-betul
sukar dipercaya. Waktu ia mengawasi sekelilingnya, kecuali guguran
tanah yang tebal, tiada barang lainnya lagi. Jika lubang di atas atap
yang gugur lebih banyak lagi, pasti dirinya ikut terkubur hidup-hidup.
Namun demikian batu-batu saka yang menyanggah atap toh sudah
bergoyang, mungkin tersentuh sedikit saja akan ambruk seluruhnya
sungguh ngeri sekali.
Sekali lagi dia terhindar dari malapetaka, pelan-pelan dia meronta
naik dari timbunan tanah, sekali melejit lagi dia melesat keluar dari
lubang besar di atas atap itu. Waktu pandangannya menjelajah
sekelilingnya, didapati dirinya berada di tanah pekuburan yang liar
dan sepi, namun tanah pekuburan ini berada tak jauh dari kaki
tembok kota. Tak jauh di sebelah sana tampak jalan raya, rumah-
rumah penduduk pun tampak dikejauhan sana.
Waktu dia mendongak, sekarang kira-kira sudah menjelang
tengah hari, ia pikir sedikitnya dirinya sudah sehari semalam
terkurung di bawah tanah. Sekarang tugas penting, yang harus dia
bereskan adalah mengisi perut serta ganti pakaian, maklum bajunya
sudah hancur tinggal beberapa carik kain yang masih bergelantung
dibadannya, kotor lagi. Kalau ketemu orang tentu dirinya dikira
mayat hidup yang bangkit dari liang kubur. Untung barang-barang
miliknya yang tersimpan di kantong pinggang serta obat-obatan
tidak hilang, demikian pula Sam-cay-ciat milik Thian-thay-mo-ki yang
dipungutnya di hotel juga masih ada.
Untuk mengeduk jenazah Ngo Siang dari urukan tanah yang
begini tebal, jelas tidak mungkin lagi, maka dia berlutut dan
menyembah kearah lubang, tak lupa iapun berdoa, lalu berdiri dan
berlari menuju ke salah sebuah rumah yang berdiri menyendiri dari
kelompok rumah yang lain.
Rumah yang didirikan dekat pekuburan ini terdiri tiga petak
rumah atap, sekelilingnya dipagari tembok tanah yang sudah
berlubang dan banyak yang gugur. Hanya beberapa kali lompatan
saja Ji Bun sudah berada di luar tembok, sejenak dia berpikir lalu
menghampiri pintu dan berkaok: "Ada orang di dalam?"
Beruntun tiga kali dia berkaok-kaok, tetap tidak ada sahutan. Ji
Bun jadi ragu-ragu, mungkin rumah kosong yang tidak dihuni orang?
Tapi asap tampak mengepul dari cerobong dapur, dikaki tembok
sana juga tampak tumpukan kayu kering, di atas gala bambu yang
melintang di sana juga dijemur pakaian orang, tak mungkin rumah
ini kosong, kecuali orangnya sedang keluar semua. Sekilas dia
berpikir, lalu memberanikan diri mendorong pintu melangkah masuk,
serunya sekali lagi. "He, ada orang tidak?"
Mulut berkaok kaki melangkah masuk, setiba di ambang pintu dia
melongok ke dalam, pemandangan ngeri dan seram seketika
terpampang dihadapannya, hampir saja dia menjerit kaget. Tampak
darah menggenang di situ, diantara genangan darah rebah empat
sosok manusia, satu perempuan tiga laki-laki. Darah masib belum
membeku, ini pertanda bahwa empat orang ini belum lama
terbunuh.
Pantas tiada sahutan orang, ternyata penghuninya terbunuh
seluruhnya. Siapakah pembunuh keluarga ini? Musuh besarnya atau
perampok biasa? Ji Bun tak banyak pikir, tujuannya mencari pakaian
untuk ganti, kalau pemiliknya sudah mati, tidak perlu kuatir apa lagi,
langsung dia memasuki kamar di sebelah kiri sana. Dari sebuah
almari dia menemukan sebuah jubah hijau, ikat kepala. Waktu dijajal
ternyata pas dengan perawakan tubuhnya. Dari dalam laci yang lain
dia mengeluarkan pula sebuah celana sutera, langsung dia berganti
dan berdandan ala kadarnya, lalu masuk dapur cari makanan dan
mencuci muka. Baru sekarang dia betul-betul merasa segar dan
nyaman.
Sekonyong-konyong sejalur angin kencang terasa menerjangnya
dari belakang.
Ji Bun agak kaget, kaki menggeser dan tangan bekerja. "Hah,
kau?" kedua orang sama-sama berteriak kaget dan girang. Ji Bun
menarik tangannya, Ui Bing juga menurunkan pedangnya, keduanya
saling berpandang sekian saat.
"Hiante," kata Ui Bing, "kau ....... tidak mati?"
"Ya, tidak mati, Toako bagaimana ...."
"Bukankah kau terpendam di bawah lorong itu?"
"Benar tapi Thian masih memberi berkah hidup padaku, kembali
aku lolos dari renggutan maut."
"Lalu kau ..... bagaimana bisa keluar?"
“Menjebol atap kamar batu, itulah letaknya di tanah pekuburan
sana."
"O, sungguh terima kasih kepada langit dan bumi, sekian
lamanya aku menjadi kuatir dan kebingungan, bagaimana Hiante
bisa berada di sini?"
"Mencari baju untuk ganti pakaian."
"Orang tua dalam kamar tahanan itu?"
"Sudah meninggal!"
Ui Bing tidak tanya Lebih lanjut, malah Ji Bun balas bertanya:
"Toako, kenapa kau mendadak menghilang dari bawah lorong itu?"
Ui Bing menghela napas, katanya. "Kau minta aku menyingkir
sementara, maka aku keluar menuju kamar batu di sebelah luar.
Tidak lama kemudian kudengar langkah orang mendatangi, segera
aku lari keluar. Setiba dipersimpangan jalan, kulihat dua bayangan
orang berlari balik menuju ke lorong semula.
Baru saja aku hendak mengejar kesana, mendadak kucium bau
bahan peledak yang terbakar, ku tahu gelagat berbahaya, namun
tidak berhasil kutemukan di mana letak bahan peledak itu dipendam,
terpaksa aku berlari balik. Namun baru beberapa tombak, dinamit itu
sudah meledak, lorong yang menuju kekurungan orang tua
seluruhnya menjadi buntu. Aku sendiri hampir saja mampus teruruk
tanah waktu itu, aku kebingungan, tak tahu apa yang harus
kulakukan. Aku juga kuatir kepergok musuh, kau tahu, jago-jago
Ngo-hong-kau semua berkepandaian tinggi, aku jelas bukan
tandingan mereka."
Ji Bun menuding keempat sosok mayat, tanyanya: "Toako yang
membunuh sekeluarga ini?“
"Ya, aku yang membunuhnya."
"Kenapa Toako bunuh mereka?"
"Kau kira siapa mereka? Kaki tangan Ngo-hong-kau! Mulut lorong
di bawah tanah itu terletak di bawah meja dalam ruang tamu di bilik
sebelah sana. setelah terjadi ledakan di bawah tanah itu, aku lalu lari
keluar dan tiba di sini. Cukup payah juga aku membunuh keempat
orang ini, untung aku tidak kepergok dengan Kiang Giok dan
rombongannya."
Ji Bun manggut-manggut mengerti, tanyanya: "Ke mana
rombongan Kiang Giok itu?"
"Entah, dari salah seorang mereka yang kukompes
keterangannya, setelah keluar dari sini, katanya mereka lantas
berpencar."
"Terpaksa kita harus geledah gedung mereka itu?"
"Begitupun baik, mari kita masuk kota, tetap masuk dari pintu
besar gerak-gerik harus lebih cekatan, lubang ini harus kita timbun
dulu."
Keduanya lalu keluar, dengan pukulan beberapa kali, tiga rumah
atap ini mereka pukul sampai ambruk, pagar tanahpun mereka
gempur dan kebetulan untuk menyumbat mulut lorong di bawah
meja.
"Toako", ujar Ji Bun setelah selesai bekerja, "kukira kau tidak
usah pergi, agak berbahaya bagimu."
"Hiante, kenapa kau bilang demikian."
"Toako, terus terang, persoalan ini menyangkut urusan dalam
perguruanku, kuharap Toako maklum.”
"Kalau urusan menyangkut perguruanmu, aku tak bisa bilang
apa-apa, kepandaianmu memang cukup berlebihan untuk
mempertahankan diri, namun pengalamanmu masih cetek, ini
menguatirkan."
"Terima kasih akan perhatian Toako, Siaute akan bertindak hati-
hati."
Urusan perguruan umumnya tidak boleh dicampuri orang lain, hal
ini Ui Bing cukup maklum, karena Ji Bun tidak menjelaskan maka Ui
Bing juga tidak berani tanya, meski dalam hati ingin tahu, terpaksa
dia berkata dengan rikuh: "Baiklah, tapi ingat, setelah urusanmu
selesai, datanglah ke hotel itu, kutunggu di sana. Cukup katakan
hendak mencari seorang tua, pemilik hotel akan tahu."
"Baiklah, oya, Siaute masih ingin tanya, di manakah gurumu
sekarang?"
Ui Bing melengak, sahutnya: "Guruku pergi ke suatu tempat yang
jauh, dalam waktu dekat sukar kembali, ada apa?"
“Gurumu pernah berjanji untuk bertemu di rumah keluarga Ciang
di Kay-hong sebulan kemudian, banyak persoalan rumit yang hendak
dijelaskan padaku. Tak nyana karena kebentur suatu urusan aku
pergi sampai setengah tahun sehingga tidak dapat menepati janji
..........”
"Guruku pernah menyinggung soal ini, terpaksa kau harus
menunggu beliau kembali."
"Baiklah, Siaute mohon diri sekarang."
"Jangan lupa setelah urusanmu beres, carilah aku."
Ji Bun mengiakan, sekali lompat dia berlari-lari menuju ke tanah
pekuburan, sebentar dia berdiri celingukan, tiada bayangan orang
lain, langsung dia lari masuk kota menuju gedung cabang Ngo-hong-
kau. Pintu besar yang bercat hitam hanya tertutup separo, keadaan
di luar tetap sunyi. Tanpa pikir dengan langkah lebar dia beranjak
masuk.
"Siapa?" tiba-tiba sebuah bentakan berkumandang seorang laki-
laki baju hitam muncul, melihat Ji Bun, tiba-tiba dia menjerit seram
seperti melihat setan di siang bolong. Cepat dia putar tubuh lari sipat
kuping, tapi sekali berkelebat Ji Bun tangkap kuduk laki-laki itu,
katanya dingin: "Di mana pimpinan kalian?"
Saking ketakutan pecah nyali laki-laki itu, mana dia sanggup
bicara, kuatir Kiang Giok mendengar suara gaduh dan melarikan diri,
Ji Bun tidak banyak tanya lagi, dia tutuk Hiat-to orang. Laki-laki itu
menjerit sekali, terus roboh menggeletak tak bernyawa. Ji Bun
berlari masuk dan langsung menuju ke ruang pendopo, dilihatnya di
dalam banyak bayangan orang tanpa mengeluarkan suara secepat
kilat tiba-tiba dia menerjang ke dalam. Agaknya kedatangannya
terlalu mendadak, di samping gerak geriknya yang tarlalu cepat,
tiada yang melihat jelas wajahnya. Begitu tubuhnya berdiri tegak
barulah orang-orang disekelilingnya sama menjerit kaget: "Te-gak
Suseng!"
Maksud Ji Bun semula hendak langsung membereskan orang-
orang Ngo-hong-kau, tapi sekilas pandang, seketika dia berdiri
melongo, karena keadaan dalam ruang besar ini agak ganjil. Puluhan
orang berkelompok menyendiri di sebelah sana, tampak Kiang Giok
dibekuk oleh dua orang laki kekar, di sampingnya lagi berdiri Thong-
sian Hwesio, Siang-thian-ong dan Siucay tua yang menggusur ke
atas perahu itu. Kalau demikian laki-laki baju hitam yang dia bunuh
di luar tadi ternyata anak buah Wi-to-hwe. Bahwa Siucay tua ini
akhirnya masuk kelompok orang-orang Wi-to-hwe, hal ini sungguh di
luar dugaan Ji Bun. Seluruh perhatian dan pandangan hadirin dalam
ruang pendopo ini tertuju ke arah Ji Bun.
Segera Ji Bun tahu apa yang telah terjadi di sini, agaknya Kiang
Giok mengira dirinya sudah mampus tertimbun di lorong bawah
tanah, maka dia balik ke gedungnya ini, tak nyana pihak Wi-to-hwe
mendadak menggerebek tempat ini sehingga dia tertawan oleh jago-
jago Wi-to-hwe yang berkepandaian tinggi.
Siucay tua segera melangkah maju dan berdiri mengadahg pintu,
katanya sambil tertawa dingin kepada Ji Bun: "Te-gak Suseng, kau
belum mampus?"
"Kalau Cayhe mati, bukankah para cecunguk bakal merajalela?"
"Kebetulan kau kemari, Lohu tidak perlu membuang waktu
mencarimu."
"Akupun hendak mencarimu, perlakuanmu setengah tahun yang
lalu, memangnya harus kutelan.”
"Takabur sekali kau, dengan cara apa kau hendak membalas
diriku?"
"Gampang saja, kucabut nyawamu!"
Siucay tua itu mendengus, jengek: "Anak serigala, boleh kau
mencobanya."
"Baik, sambut pukulanku!" ditengah seruannya, Tok-jiu-it-sek
dilontarkan.
Betapa dahsyat serangan ini, Siucay tua tahu datangnya bahaya,
serasa terbang sukmanya, bukan saja dirinya tidak mampu membela
diri, kesempatan untuk menyingkirpun tiada. Thong-sian Hwesio
menjerit kaget, pandangannya lebih tajam. Dia lihat serangan Ji Bun
ini betul-betul lihay, untuk membantu jelas tidak sempat lagi, dalam
gugupnya timbul akalnya, sekali tangan bergerak sejalur angin
kencang halus dan lunak membikin Siucay tua terdorong
sempoyongan dua langkah. Terpaut beberapa senti saja jiwanya
hampir direnggut oleh serangan Tok-jiu-it-sek yang hebat.
Selama setengah tahun Ji Bun digembleng dan ditempa sehingga
ilmu yang dipelajarinya sudah mencapai taraf tertinggi.
Kepandaiannya dapat digunakan sesuka hati, sebelum tenaga
murninya dia salurkan, serangan hebat itu sudah ditariknya kembali.
Namun demikian Siucay tua itu sudah pucat pias mukanya saking
jera, tak pernah terpikir olehnya dalam jangka setengah tahun saja
Te-gak Suseng sudah mencapai sukses yang demikian besar dan
mengejutkan. Siang-thian-ong sendiri juga kaget dan ciut nyalinya.
Sorot mata Thong-sian terang tajam, wajah Ji Bun ditatapnya sekian
saat, katanya dengan suaranya berat: "Kelihatannya hari ini Pinceng
harus membunuhmu.”
Setengah tahun yang lalu dia berkata demikian bukanlah
membual. Namun sekarang keadaan sudah jauh berbeda sejak
mempelajari ilmu tingkat tinggi dari Ban-tok-bun. Kepandaiannya
sekarang boleh dikatakan sudah sukar dicari tandingannya.
"Thong-sian Hwesio hendak membunuh aku," jengek Ji Bun,
"kukira sukar terlaksana."
"Biarlah kenyataan akan membuktikan omonganku."
"Thong-sian Hwesio, ada beberapa pertanyaan kuharap kau suka
menjawab sejujurnya."
"Coba katakan."
"Jit-sing-pocu Ji ing-hong, apa benar kau yang membunuhnya?"
"Apa? Darimana kau ........”
"Dua orang berkedok yang mati dipinggir jalan Kay-hong itu."
"Apakah itu Ji Ing-hong?"
"Ya, seorang yang lain adalah Jit-sing-ko-jin. Kau mengaku?"
"Omong kosong belaka. Jit-sing-ko-jin adalah duplikat ayahmu
sendiri."
Ji Bun menyurut kaget, serunya gemetar: "Thong-sian, kaulah
yang membual."
"Ayahmu menyamar jadi Jit-sing-ko-jin, sekongkol dengan Biau-
jiu Siansing dan merebut Sek-hud, belakangan dia menyamar jadi
murid Ngo-lui-kiong dan membuat huru hara ke Tong-pek-san,
semua ini kenyataan."
"Lalu siapa yang terbunuh di jalanan menuju Kay-hong itu?"
"Kau sendiri tentu tahu lebih jelas."
"Aku tidak tahu."
"Sulit dipercaya."
Ji Bun merasa bingung, apa yang diucapkan Thong-sian agaknya
memang benar namun kalau betul Jit-sing-ko-jin duplikat ayahnya,
kenapa dia berusaha membunuh dirinya? Adakah seorang ayah tega
membunuh puteranya sendiri? Tidak mungkin. Tanpa sadar Ji Bun
menggembor sekeras-kerasnya: ”Tidak mungkin!"
"Thong-sian," setelah tenangkan diri Ji Bun berkata pula,
"katakan saja, apakah kau yang membunuh kedua orang berkedok
itu?"
"Bukan."
"Lalu berdasarkan apa kau berani mengatakan Jit-sing-ko-jin
adalah duplikat ayahku?"
"Semua kenyataan hanya bisa mengelabuhi orang sementara,
Pinceng kenal betul perawakan, sepak terjang dan kepandaian
silatnya."
"Kau .... jadi kau hanya berdasar beberapa dugaanmu ini?"
"Kedua orang yang mati itu terkena racun, sedang ayahmu
seorang ahli dalam bidang ini."
"Ayahku bukan seorang ahli racun."
"Lalu bagaimana pendapatmu?"
“Ayahku bukan Jit-sing-ko-jin, tapi kenyataan bahwa kedua orang
tuaku dicelakakan."
Terbayang sorot bimbang pada pandangan Thong-sian, dia cukup
berpengalaman, dari nada bicara dan mimik Ji Bun, dia yakin Ji Bun
tidak membual, kalau betul apa yang dikatakan Ji Bun bahwa Ji Ing-
hong belum mati, tidak mungkin Ji Bun mengawasinya dengan
pandangan begitu benci dan dendam terhadap dirinya. "Ji Bun,"
katanya kemudian, "Katakan kenapa Jit-sing-ko-jin bukan ayahmu?"
"Karena Jit-sing-ko-jin pernah mencelakai aku."
Semakin tebal bayangan ragu dan bimbang pada pandangan
Thong sian.
Dengan suara lantang Ji Bun melanjutkan: "Siangkoan Hongkah
yang membantai orang-orang Jit-sing-po?"
"Bukan," jawab Thong sian.
Otak Ji Bun seperti dibalut kabut tebal, beruntun dirinya mencari
balas kepada Wi-to-hwe, tapi kenyataan semuanya meleset dari
dugaan dan analisa yang pernah dirangkainya, betapa rumit dan lika
liku persoalan ini? "Katamu, kau punya kesan mendalam terhadap
ayahku? Coba jelaskan."
"Betul, memang kau harus tahu, tentunya kau masih kenal cerita
yang pernah dikisahkan Siangkoan Hong kepadamu bukan?"
Teringat akan cerita itu, bukan kepalang derita hati Ji Bun karena
kesalahan memang terletak pada ayahnya. Bukan saja rebut isteri
orang, anaknya dibunuh pula, akhirnya daging isteri orang dimasak
buat hidangan menyuguhi suaminya pula. Perbuatan diluar
perikemanusiaan ini seakan-akan bukan dilakukan oleh manusia
sehat. Namun sebagai seorang anak, betapapun jahat dan salah
ayahnya, tidak mungkin dia mencercahnya, apalagi kini ayahnya
sudah mati, maka dengan mengertak gigi dia manggut-manggut,
sahutnya: "Masih ingat, kenapa?"
"Dulu Siangkoan Hong terpaksa merusak wajahnya sendiri
menyelundup ke Jit-sing-po dan diangkat sebagai salah seorang Jit-
sing-pat-ciang. Tujuannya adalah untuk bertemu dengan isterinya
yang direbut dan anak yang dikandung isterinya. Celakalah karena
rahasianya terbongkar, jejaknya konangan ayahmu, maka isterinya
dibunuh ........”
"Tidak usah kau lanjutkan," tukas Ji Bun dengan suara serak.
16.48. Silat Tinggi .... Cetek Pengalaman
Thong-sian Hwesio tertegun sebentar, lalu melanjutkan. "Ayahmu
mengutus tertua dari Jit-sing pat-ciang mengantar Siangkoan Hong
keluar benteng, yang terang ayahmu memerintahkan Ciu Tay-lian
untuk memenggal kepalanya. Namun Ciu Tay-lian sendiri sadar akan
semua perbuatan ayahmu yang kelewat jahat, malah dia bersimpatik
terhadap Siangkoan Hong, akhirnya mereka minggat bersama .......
(baca pembukaan cerita ini)."
"Siapa bisa membuktikan bahwa ceritamu ini berdasar
kenyataan?" tanya Ji Bun.
"Pinceng sendiri. Karena pinceng menyaksikan semua peristiwa
ini."
"Thong sian, kejadian ini mungkinkah disaksikan orang luar?"
"Kau tahu nama asli Pinceng?"
"Siapa kau?"
"Pinceng adalah tertua dari Jit-sing-pat-ciang yang dahulu she Ciu
bernama Tay-lian."
"Kau ......" kepala Ji Bun seperti dipukul godam, badannya
limbung dan sempoyongan. Mimpipun tak pernah dia bayangkan
bahwa Thong-sian Hwesio yang memiliki Lwekang dan kepandaian
silat setinggi ini, dulu adalah tertua dari Pat-ciang yang menjadi
andalan ayahnya.
"Ji Bun," tiba-tiba Thong-sian berseru lantang, "sudah tiada yang
perlu diomongkan lagi, sekarang Pinceng mau turun tangan."
Ji Bun menyurut mundur, katanya: "Thong-sian, lebih baik kau
tidak turun tangan, kau bukan tandinganku."
''Mungkin, tapi sebagai seorang insan persilatan, demi membela
kebenaran, meski gugur juga terasa bangga."
“Aku tidak ingin membunuhmu."
“Tapi Pinceng justeru akan membinasakan kau demi
ketenteraman Bu-lim umumnya."
Ji Bun mundur lagi sampai keluar undakan, katanya: "Boleh kau
mencobanya?”
Thong-sian juga melangkah keluar, kedua orang berhadapan di
serambi luar yang luas. Suasana seketika menjadi tegang dan
mencekam.
"Silakan turun tangan!” tantang Ji Bun.
"Ji Bun, mestinja Pinceng tidak boleh menyerangmu, namun
kenyataan memaksa ....."
"Tidak perlu kau pura-pura welas asih."
"Lihat pukulan!" tiba-tiba Thong-sian menghardik, berbareng
lengan jubahnya mengebas. Segulung angin kencang seketika
menungkup ke arah Ji Bun.
Ji Bun mengertak gigi, iapun ayun kedua tangan menyambut
serangan. "Plok", seperti suara baja yang pecah berkeping-keping
kedua orang tergentak mundur. Bayangan kedua orang hanya
berpencar sekejap terus saling tubruk dan serang menyerang
dengan seru. Ketika Ji Bun mengerahkan sepenuh tenaganya,
ditengah suara yang memekak telinga, Ji Bun tergeliat sedikit,
sebaliknya Thong-sian Hwesio mundur dua tindak. Semua hadirin
sama terbelalak pucat.
Thong-sian menggerung rendah, bayangan tangannya bergulung-
gulung dan berlapis-lapis dari pukulan jarak jauh, kini dia menyerang
sesungguhnya dengan kekuatan kepalannya. Ji Bun juga berseru
melengking. Jurus Tok-jiu-it-sek tahu-tahu menembus bayangan
telapak tangan orang yang berlapis-lapis dan langsung menjojoh ulu
hati orang.
Di tengah jeritan kaget orang ramai, tahu-tahu Thong-sian
menyurut lima langkah, wajahnya tampak jera dan ngeri. Sebelum
dia sempat bertindak lebih lanjut, Ji Bun sudah berkelebat maju
pula, kini dia lancarkan Tok-jiu-ji-sek yang bernama To-liong-jan-
kiau.
Jeritan orang banyak kembali membuat suasana tegang semakin
mencekam, hawa seolah-olah membeku dalam waktu sesingkat itu,
setelah lenyap suara jeritan, keadaan menjadi sunyi senyap. Telapak
tangan Ji Bun berhenti mendadak kira-kira tiga senti di atas, Hian-ki-
hiat di tubuh Thong-sian. Telapak tangan malah sudah menempel
ubun-ubun kepala Thong-sian yang gundul. Jelas ketika jiwa Thong-
sian hampir terenggut oleh serangan Ji Bun itu mendadak dia
menghentikan serangan. Semua hadirin sama melihat jelas, kalau
gerakan tangannya tidak direm tepat pada waktunya, jiwa Thong-
sian pasti sudah melayang.
Terbayang perasaan ngeri dan seram pada wajah Thong-sian
yang jiwanya telah berada ditepi jurang kematian, selebar mukanya
pucat pasi. "Bunuhlah, Pinceng menyerahkan jiwa ragaku."
Ji Bun menarìk tangan, katanya dingin: "Aku pernah utang budi
sekali padamu, sekarang utangku sudah kubayar, selanjutnya kita
tiada utang piutang lagi."
Thong-sian menghela napas dengan lesu, dia tidak bicara lagi.
Ji Bun mundur dua langkah, sorot matanya tertuju ke ruangan
menatap Kiang Giok tanpa berkesip. Kiang Giok tertunduk, dia tahu,
peduli Te-gak Suseng atau Wi-to-hwe, jiwanya bakal tak tertahankan
lagi.
Ji Bun tiba-tiba berpaling ke arah Thong-sian, katanya: "Serahkan
dia padaku."
"Kukira tidak mungkin."
"Apa yang telah kukatakan tidak boleh ditentang."
"Te-gak Suseng," semprot Siang-thian-ong, "terlalu takabur kau!"
Tanpa melirik sedikltpun, Ji Bun menjengek: "Bukan urusanmu,
jangan cerewet."
"Anak srigala," desis Siaucay tua penuh kebencian, "kau ingin
membawanya pergi, bunuh dulu semua hadirin di sini "
"Kalau perlu bisa saja kulakukan."
"Ji Bun," lekas Thong-sian bersuara, "apa tujuanmu membawa
pergi?"
"Pertama, menyelidiki di mana letak markas pusat Ngo-hong-kau.
Kedua ada urusan pribadi yang harus kubereskan."
"Tujuan pertama sejalan dengan maksud kedatangan kami, untuk
ini ingin mengadakan perjanjian secara laki-laki ..........”
"Perjanjian apa?” tanya Ji Bun.
"Bahan-bahan yang kau dapat dari mulutnya mengenai Ngo-
hong-kau, pihak kami harus diberitahu juga," agaknya Thong-sian
bersedia mengalah.
Kini semakin jelas bahwa pihak Wi-to-hwe sebetulnya tiada
permusuhan yang mendalam dengan dirinya, kini setelah kesannya
jauh berubah, sudah tentu dia tidak ingin mengikat permusuhan lagi,
maka dia manggut-manggut: "Soal ini dapat kuterima.”
"Baik, boleh kau membawanya pergi, yang lain-lain akan
membereskan mereka."
Tujuan Ji Bun hanya Kiang Giok seorang, karena dia adalah murid
murtad perguruannya, dirinya harus menjalankan perintah dan
aturan mencuci nama baik perguruan, tentang orang-orang Ngo-
hong-kau yang lain tidak perlu diurus.
Siucay tua dan Siang-thian-ong meski tidak terima, namun tiada
seorangpun hadirin yang menjadi tandingan Ji Bun. Kalau main
kekerasan, akibatnya tentu fatal. Thong-sian sebagai pimpinan
dalam operasi ini sudah memberikan persetujuan kepada Ji Bun,
sudah tentu mereka tidak enak menentangnya, meski hati uring-
uringan dan mata mendelik, namun tidak berani banyak omong lagi.
Otak Ji Bun bekerja, ke mana dia harus membawa Kiang Giok? Ia
pikir lebih tepat dibereskan di tempat ini juga, maka ia berkata:
"Thong-sian, Kiang Giok ditinggalkan saja, yang lain terserah kalian
hendak menghukumnya, silakan mundur dari ruangan ini."
Thong-sian berpikir sebentar, lalu mengulap tangan memberi
perintah: "Semua mundur, orang-orang ini gusur keluar!"
Murid-murid Wi-to-hwe bergegas keluar semua.
"Te-gak Suseng," ancam Siucay tua sebelum pergi, "urusanmu
denganku belum selesai bukan?"
"Setiap saat aku menunggu kau," tantang Ji Bun.
Setelah semua orang pergi, kini tinggai Kiang Giok bersama Ji
Bun, dengan pandangan ngeri ketakutan dia mengawasi Ji Bun.
Ji Bun memasuki ruangan, sorot matanya setajam pisau seterang
nyala bara, katanya menatap Kiang Giok: "Kiang Giok, marilah kita
bicara beberapa persoalan dulu baru membereskan urusan pokok,
kuharap kau bicara terus terang dan blak-blakan, jangan kau paksa
kugunakan siksaan untuk mengompes keteranganmu."
Kiang Giok jelas tertutuk Hiat-tonya, tak nampak gejala-gejala
ingin melawan, wibawanya yang angker sudah sirna tak membekas,
jauh berbeda dengan sikapnya semula waktu mereka berhadapan
pertama kali.
Hening sekian lamanya, baru Ji Bun baka suara: "Siapa yang
membunuh Sam-cay Lolo di dalam hotel itu?"
"Kaucu sendiri yang turun tangan."
"Lalu di mana gadis itu?"
"Sudah di bawah ke markas pusat."
"Di mana letak markas pusat kalian?"
"Aku tidak tahu."
"Kau ingin merasakan siksaanku?”
"Penggal kepalaku juga tetap kubilang tidak tahu."
"Baik, soal ini kesampingkan dulu. Siapakah Kaucu kalian?"
"Entahlah."
Ji Bun naik pitam, hardiknya murka: "Sekali lagi kau jawab tidak
tahu, Awas!”
"Te-gak Suseng," kata Kiang Giok mengertak gigi: "Tak
beruntung aku jatuh ke tanganmu, mau kau bunuh dan sembelih
boleh, silakan. Ketahuilah, kau sendiri tidak akan berumur panjang,
akan datang orang-orang kita mencari balas padamu."
"Kaucumu maksudmu?"
“Kau belum setimpal dihadapan beliau."
Hampir meledak dada Ji Bun, sekali ulur dia hendak tutuk orang,
namun pikirannya tiba-tiba tergerak, dia hentikan gerakannya, Kiang
Giok adalah murid generasi perguruan yang lebih tinggi dari dirinya,
dia harus bertindak menurut undang-undang perguruan, kalau
sampai menggunakan siksaan, itu sudah keluar dari batas-batas
ketentuan, lawan belum tahu asal usul dirinya, kalau hubungan
kedua pihak dia beber, tentu orang tidak bisa mungkir dari segala
tanggung jawab lagi. Maka dengan wajah kereng katanya tajam:
"Kiang Giok, sebutkan nama perguruanmu."
Kiang Giok diam saja, tidak perdulikan pertanyaannya.
"Dengan cara keji kau mengurung orang tua di bawah tanah itu,
tahukah kau telah melanggar tata tertib?"
"Tata tertib apa?"
"Mendurhakai moyang menyalahi guru, mati hukumannya."
"Durhaka terhadap moyang dan berbuat salah terhadap guru?"
Kiang Giok menegas.
"Memangnya kau masih mau mungkir?”
Sekonyong-konyong sebuah suara yang seram mendirikan bulu
kuduk berkumandang dari arah pintu: "Anak muda, memangnya kau
telan empedu biruang dan makan hati harimau, berani kau mencari
setori pada Ngo-hong-kau?"
Waktu Ji Bun berpaling, seketika dia merinding, tampak di depan
pintu berdiri mahluk yang lebih menyerupai setan daripada manusia,
rambutnya merah panjang menjuntai kepundak, codet besar
melintang di mukanya dari arah jidat kirinya mencoreng ke mulut
kanan. Mata kiri dan separo hidungnya lenyap tinggal lobang-lobang
besar yang mengerikan, kulitnya hitam legam, badannya kurus
seperti bambu, tak ubahnya seperti mayat hidup. Mata kanannya
memancarkan sinar hijau yang menyedot sukma orang, pakaiannya
serba hitam, bunkan saja longgar juga kedodoran, mirip sekali
dengan orang-orangan rumput yang tergantung di tengah sawah.
Ji Bun tenangkan diri, katanya: "Tuan ini siapa."
"Akulah Hu-kaucu (wakil ketua) Ngo-hong-kau, Jit-sat-sin Jiu
Jing."
"Kemari mengantar jiwa?"
"He he he, anak muda, Lohu akan membeset kulitmu hidup-
hidup."
"Dengan tampangmu yang seram ini?"
"Anak muda, menggelinding keluar sini!"
Ji Bun tutuk Kiang Giok lebih dulu, katanya: "Kiang Giok, aku
mendapat perintah dari Suco agar mengadakan pembersihan, kau
tunggu di sini saja."
Pelan-pelan dia beranjak keluar. Berkedip mata satu Jit-sat-sin Jiu
Jing bergema suaranya yang pecah gemeratak: "Anak muda, kau
hendak mencuci nama baik perguruan mana?"
Ji Bun berhenti dihadapan orang, sahutnya dingin: "Peduli apa
dengan kau."
"Anak muda," tanya Jit-sat-sin Jiu Jing, "kau seperguruan dengan
Kiang Giok? Tapi menurut apa yang kutahu, Kiang Giok tidak punya
saudara seperguruan, kau anak muda .........”
"Tutup mulutmu, aku tiada tempo mengobrol dengan kau, jawab
sepatah kata pertanyaanku, siapa Kaucu kalian?"
"Kau belum setimpal menanyakan beliau."
"Bagus sekali, kali terakhir inilah kau bisa membuka mulut,"
dengan mengerahkan segenap tenaganya, kedua tangan segera
membelah ke depan. Ji Bun sudah bertekad di dalam tiga gebrakan
jiwa lawan harus ditamatkan untuk selanjutnya mengompes Kiang
Giok. Betapa hebat kepandaian silat Ji Bun sekarang, serangannya
sungguh bukan olah-olah lihaynya.
Jit-sat-sin Jiu Jing melengking aneh, seperti gasingan tiba-tiba
tubuhnya berkisar ditempatnya, meski damparan angin pukulan
sekeras gugur gunung, dia tetap mendesak maju. Sepuluh jari
tangannya yang kurus bagai cakar mengincar ulu hati dan muka Ji
Bun. Gerakan ini sungguh merupakan suatu ilmu mujijat yang jarang
ada di dunia persilatan sehingga lawan yang diserang seakan-akan
takkan mungkin membela diri atau meyingkir apalagi balas
menyerang.
Ji Bun terkejut, sigap sekali kakinya melangkah minggir tiga kaki
selicin belut. Tapi gerakan jit-sat-sin seperti bayangan saja terus
mengikuti, serangannya tetap membadai. Tapi hanya memperoleh
kesempatan sedetik menyingkir tadi, Ji Bun sudah dapat kesempatan
untuk balas menyerang. Tok-jiu-it-sek laksana kilat menggaris ke
arah musuh, dengan menyerang dia hadapi serangan lawan pula.
Kini ganti Jit-sat-sin yang berteriak kaget sambil melejit mundur
beberapa kaki, serangan ajaib dan kelihatannya mustahil ini sungguh
membuat jantungnya bergetar kaget. Ji Bun tidak beri kesempatan
lawan ganti napas dan menempatkan diri pada posisi yang
menguntungkan, Tok-jiu-ji-sek segera dilontarkan pula secara
berantai.
"Ngek!" terdengar Jit-sat-sin Jiu Jing mengeluh tertahan,
suaranya tenggelam dalam tenggorokan seperti anjing keselak
tulang dikerongkongannya. Badannya limbung sempoyongan
beberapa tindak, dia mundur sampai di bawah serambi, rambut
kepalanya yang gondrong merah seakan-akan berdiri, wajahnya
yang buruk seram begitu beringas buas, terutama codet yang
menakutkan itu bertambah mengerikan kelihatannya, hanya sekali
melejit ia melambung tinggi ke wuwungan rumah terus berkelebat
lenyap entah kemana.
Ji Bun juga terperanjat, sungguh tak nyana, lawan hanya terluka
sedikit dan tidak roboh meski terkena serangan Tok-jiu-ji-sek, ini
membuktikan bahwa Lwekang dan taraf kepandaian Jit-sat-sin betul-
betul amat mengejutkan, naga-naganya masih lebih unggul
dibandingkan Thong-sian Hwesio atau Kian Ceng-san yang
dibunuhnya itu, tiada minatnya untuk mengejar. Pikirannya tertuju
kepada Kiang Giok sebagai murid murtad perguruannya. Cepat ia lari
masuk ke ruangan, namun seketika dia melongo, ternyata Kiang
Giok sudah tidak kelihatan bayangannya.
Hiat-to Kiang Giok tertutuk, kalau tiada orang lain menolongnya
tak mungkin dia bisa menjebol tutukan dan melarikan diri. Ini
membuktikan bahwa pihak lawan masih menyembunyikan jago-jago
yang cukup diandalkan di dalam gedung ini. Saking gusar dan
gemas, serasa hampir meledak dada Ji Bun. Jenazah Suco Ngo Siang
belum lagi dikebumikan dengan semestinya, petuahnya bagai masih
mengiang di tepi telinga, setimpalkah dia membiarkan murid
durhaka itu bebas berbuat jahat lagi di luaran.
Sekali pukul dia bikin remuk pintu angin, tetap tidak kelihatan
bayangan orang, setiap pintu kamar digempurnya runtuh, dari
sekian banyak pintu-pintu kamar tiada satupun yang utuh, namun
bayangan orang tetap tidak nampak.
Memuncak rasa gusarnya, namun tiada sasaran untuk
melampiaskan murkanya. Bahwa Kiang Giok berhasil lolos, itu berarti
segala upaya bakal sia-sia belaka. Nama baik perguruan tetap tak
berhasil dia cuci bersih, nasib Thian-thay-mo-ki dan ibundanya tetap
merupakan tanda tanya besar. Ngo-hong-kau tidak menggunakan
kode-kode rahasia khusus, kecuali mereka mencari setori pada
dirinya, kalau tidak sulit menemukan jejak mereka. Ji Bun jadi serba
susah, maju mundur serba salah.
Kalau Ui Bing ada di sampingnya, tentu urusan tidak sampai
runyam seperti ini, namun mengingat urusan perguruan sendiri
betapapun pantang diketahui orang luar, maka dia berkeras tidak
mengikut sertakan Ui Bing dalam melaksanakan tujuannya kali ini.
Sekarang baru betul-betul dia menyadari kesempitan pikiran dan
ceteknya pengalaman, kalau tidak, urusan tidak akan gagal
serunyam ini.
Sekian lamanya nuraninya diamuk emosi, lambat laun tenang
juga pikirannya, diam-diam ia menerawang sikap dan tindakan apa
yang harus segera dilaksanakannya.
Pertama, dia merasa penting untuk mengetahui letak markas
pusat Ngo-hong-kau baru urusan lain bisa diselami satu persatu
secara berantai, namun usahanya ini terang teramat sulit, dia hanya
pasrah kepada nasib dan keberuntungan belaka. Maka dengan lesu
lunglai dia meninggalkan gedung ini, tanpa disadari dia telah keluar
dari kota Bik-su.
Di jalanan dia keluntungan tanpa arah menentu, pikirannya selalu
dikocok oleh usaha membalas dendam dan menumpas kejahatan.
Tiba-tiba pikirannya tergerak. Menurut Ui Bing, Sin-eng-pang sudah
dicaplok oleh Ngo-hong-kau, kini sudah dijadikan cabang kedua dari
Ngo-hong-kau. Kalau sekarang dia menuju ke markas Sin-eng-pang
dulu, bukan mustahil disana bakal menemukan sesuatu yang
diharapkan. Maka dia percepat langkah menuju ke tempat Sian-eng-
pang.
Hari ketiga, tidak lama setelah fajar menyingsing, Ji Bun tiba di
Ciam-liong-kok, di mana markas Sin-eng-pang dulu didirikan. Ciam-
liong-kok (lembah naga sembunyi) adalah sebuah selat yang diapit
gunung gemunung, kalau tidak apal jalannya sulit menemukan
lembah ini.
Ji Bun berhenti di mulut lembah, sekian saat dia celingukan
memeriksa sekelilingnya, tidak nampak ada sesuatu gerakan yang
mencurigakan, diam-diam hatinya menggerutu. Agaknya Ngo-hong-
kau memang sebuah perkumpulan serba misterius, yang anggotanya
bergerak seperti setan gentayangan. Sejenak dia berpikir, lalu dia
melangkah masuk ke dalam lembah.
Jalanan tidak lebar, sebuah jalanan lika-liku yang berputar kian
kemari di antara tumpukan batu-batu aneh, Ji Bun menyusuri jalan-
jalan lika-liku ini terus maju kedepan. Kira-kira seratus tombak
kemudian, tiba-tiba telinganya mendengar suara gemeretak yang
cukup keras dan mencurigakan. Waktu dia menoleh, dilihatnya asap
tebal bergulung-gulung membubung tinggi ke angkasa, ternyata
mulut lembah dari mana tadi dia masuk telah ditutup dan disumbat
dengan kobaran api yang teramat besar.
Ji Bun maklum bahwa pihak lawan telah siaga, kedatangannya
sudah direka oleh lawan, maka mereka memasang perangkap untuk
menjebak dirinya, namun sikapnya tak acuh, langkahnya tetap maju
ke depan.
Tiba-tiba asap tebal tampak berkobar pula disebelah depan, lekas
sekali "jago merah" sudah menyala besar sekali sehingga depan dan
belakang tersumbat atau terkurung oleh kobaran api yang
mengganas. Dedaunan dan rumput-rumput kering dalam lembah
memang banyak, maka cepat sekali api merambat seperti mengejar
mangsa. Apalagi pihak lawan agaknya memang sudah sengaja
mengatur sehingga dalam sekejap api sudah menjalar kian kemari.
Suhu panas dalam lembah seketika juga naik, lembah ini diapit
tebing gunung yang tinggi dan curam. Terkepung ditengah kobaran
api seperti ini, agaknya nasibnya bakal terbakar hangus.
Keadaan cukup gawat, Ji Bun harus berusaha menyelamatkan
diri. kalau orang lain mungkin tak bisa berbuat apa-apa kecuali
menanti ajal saja. Tapi Ji Bun sudah siaga, walau menghadapi mara
bahaya sedikitpun tidak menjadi gugup, pikiran tetap tenang dan
jernih. Giok-bin-hiap Cu Kong-tam, siorang tua aneh didasar jurang
dulu pernah mengajarkan Ginkang pusaran lesus sehingga tubuhnya
bisa melayang mumbul ke atas. Jurang ratusan tombak di belakang
Pek-ciok-hong dulupun bisa dicapai dengan mudah, apalagi tebing
gunung di depannya ini, walau amat berbahaya, namun dia yakin,
tingginya takkan melebihi jurang di belakang Pek-ciok-hong dulu.
Untuk meloloskan diri jelas bukan soal baginya, apalagi sekarang dia
sudah ketambahan ilmu dari Ban-tok-bun.
Setelah melihat keadaan memang tak boleh tertunda lama lagi,
segera ia menarik napas mengerahkan hawa murni, tenaga
dikerahkan, kedua kaki lalu menjejak sekuatnya, seketika tubuhnya
meluncur ke atas terus mengambang, dan berputar terus naik ke
udara semakin tinggi, hanya sekejap saja, tempat dimana tadi dia
berada sudah termakan jago merah menjadi lautan api.
Ji Bun menarik napas sekali lagi untuk menambah kekuatan
sehingga tubuhnya seenteng bulu. Cukup tujuh kisaran lagi, dia
sudah berhasil tancap kaki di puncak gunung. Waktu dia melongok
ke bawah, lembah sesempit itu sudah merupakan lautan api yang
mengganas, asap tebal bergulung-gulung menjulang tinggi ke langit.
Diam-diam Ji Bun merinding seram dan bersyukur bahwa jiwanya
tidak sampai melayang.
Namun perasaan syukur ini lekas sekali dirangsang oleh dendam
dan kebencian yang memuncak nafsunya berkobar tak kalah
dahsyatnya dari kobaran api di dasar lembah itu. Sekilas dia
menerawang sekelilingnya, lalu berlari-lari mengikuti pinggiran
jurang ke arah utara, lautan api kira-kira sepanjang satu li lebih.
Lekas sekali lembah yang dimakan api sudah dia tinggalkan di
belakang. Dari atas memandang ke bawah, karena adanya cahaya
kobaran api dari lembah sebelah depan sana sehingga keadaan
lembah di sebelah dalam remang-remang kelihatan. Bayangan
manusia tampak bergerak-gerak, rumah-rumah tampak
mengepulkan asap dari dapur. Jelas di sinilah letak markas pusat
Sin-eng-pang dulu.
Bentuk Ciam-liong-kok ini depan sempit dalam lebar seperti botol
yang panjang lehernya. Sebentar dia mengukur keadaan di sini serta
letak dirinya, kembali dia empos semangat dan hawa murninya. Lalu
seperti seorang atlit loncat indah dia terjun dengan kepala di bawah
dan kaki ke atas, seperti elang menukik menerkam mangsa. walau
tubuhnya dapat menahan sebagian daya luncurannya, namun
tubuhnya tetap anjlok ke bawah dengan cepat. Kecuali Ji Bun, siapa
berani menempuh bahaya dengan badan hancur lebur kalau terjatuh
ke bawah, asal sedikit lena dan meleset mengatur napas, bukan saja
jiwa melayang, badanpun pasti hancur luluh.
Untunglah dia selamat mencapai bumi, di mana dia tancap kaki
dekat kaki gunung, seluruh perhatian orang dalam lembah tertuju ke
arah kobaran api di sebelah depan sana. Tiada yang menduga
bahwa musuh yang hendak mereka bakar mati justeru telah
melayang turun dari langit, jiwa mereka sendiri bakal menjadi bulan-
bulanan musuh malah.
Ji Bun menyembunyikan diri di balik batu besar, matanya yang
tajam dengan seksama menyapu ke arah rombongan orang banyak
sejauh puluhan tombak sana. Tampak orang-orang itu sudah tidak
mengenakan seragam Sin-eng-pang, kini mereka berganti seragam
hitam. Ini membuktikan bahwa mereka betul-betul sudah dicaplok
dan dijadikan anak buah Ngo-hong-kau. Dengan teliti dia
menjelajah, namun tak kelihatan ada bayangan Sin-eng-pangcu Ko
Giok-hwa.
Kobaran api di depan lembah sudah mulai mereda, sinar sang
surya yang baru menyingsing menggantikan kobaran api yang tadi
menyala terang. Lembah yang tadi gelap, pelan-pelan mulai remang-
remang dan lekas sekali menjadi terang benderang. Bagai dedemit
yang menunggu mangsa, Ji Bun tetap sembunyi di belakang batu.
Dia harus mencari sasaran yang tepat baru akan unjuk diri, kalau
mengusik rumput mengejutkan ular, urusan tentu akan berantakan.
Api sudah padam, tinggal asap masih mengepul. Seorang tua
baju putih tampak berlari mendatangi, rombongan baju hitam segara
berpencar memberi jalan, sebentar celingukan melihat keadaan
rombongan besar ini. Si orang tua segera berseru memberi perintah:
"Bersihkan dan sapu lembah di depan, temukan abu tulang
belulangnya!"
Sekonyong-konyong sebuah suara dingin berkumandang:
"Jangan repot-repot, aku ada di sini."
Serempak rombongan orang banyak itu menjerit kaget, tanpa
sadar mereka sama berlari mundur, laki-laki tua baju putih menjadi
pucat mukanya, kakinya seperti terpaku di tanah, mata terbelalak,
mulut melongo lebar, suaranya tergagap: "Kau ...... kau ......"
"Aku inilah Te-gak Suseng adanya!"
"Kau .... kau tidak .... tidak terbakar mampus?"
"Kalau gampang dibakar mati, bukankah sia-sia saja aku punya
julukan Te-gak Suseng?"
"Kau ...... apa maksud kedatanganmu?"
"Pertama, kau harus sebutkan dulu siapa gelaranmu?"
Baru sekarang laki-laki tua ini menyurut mundur, sahutnya
dengan suara galak: "Lohu ketua hukum dari anak cabang di sini,
Ang Jit."
"Aku hendak bertemu dengan ketua cabang kalian"
"Kau ingin bertemu dengan aku?" sebuah suara serak kasar
berkumandang dari arah samping sana. Waktu Ji Bun menoleh, tiga
tombak di sebelah sana berdiri seorang muda sebaya dirinya,
berpakaian sutera dan menyoreng pedang, wajahnya diliputi nafsu
sadis, namun kelihatan juga rasa kaget dan jerinya.
Dandanan pemuda ini mirip sekali dengan para duta Ngo-hong-
kau yang pernah dihajarnya pontang panting dulu itu. Dia mengaku
sebagai ketua cabang di sini, lalu di mana Ko Glok-wa? Dibunuh atau
..... tapi tujuannya bukan ini. Ji Bun segan berpikir panjang, sekilas
dia memandangnya, lalu bertanya: "Kau ketua cabang di sini?"
"Memang jabatanku bisa dipalsukan?"
"Sebutkan namamu?"
"Kho Tay-seng!"
"Dimana Ko Giok-wa?"
"Kau bermusuhan dengan dia?"
"Hanya kutanyakan sambil lalu saja."
"Orang she Ko itu bernasib jelek dan pendek umur, kini sudah
mangkat."
"Membunuh orang dan merebut kedudukannya, memangnya
perbuatan kalian orang-orang Ngo-hong-kau serba kotor dan hina
dina, kejam dan keji."
"Karena itu kau kemari?" tanya Kho Tay-seng menyurut mundur.
"Memangnya kau kira aku ini suka iseng dan ingin mencampuri
urusan ini?"
"Lalu untuk apa kau kemari?"
"Aku ingin menemui Kaucu kalian."
"Kau ingin bertemu dengan Kaucu? Kau belum setimpal."
"Kho Tay-seng," desis Ji Bun dingin, "berani sekali lagi kau
berkata demikian ..........”
Pemuda baju sutera terpengaruh oleh ancaman dan tatapan mata
Ji Bun yang menyala berwibawa, kembali dia menggeremet mundur,
katanya: "Lalu kenapa?"
"Ciam-liong-kok akan kucuci dengan darah kalian, ayam anjing
seekorpun takkan hidup."
"Kau mampu berbuat demikian?"
"Kenyataan akan menjawabnya nanti."
Pemuda baju sutera mundur semakin jauh, "sret", dia melolos
pedang. Sekali gerak dan bergetar, ujung pedangnya seperti mekar
dan berbintik-bintik cahaya. Terang bahwa latihan ilmu pedangnya
sudah cukup sempurna, serentak anak buahnya berkaok-kaok sambil
melolos senjata dan memasang panah di busur, siap untuk
bertempur.
Rasa murka yang menggelora di dada Ji Bun sungguh tak
terkendali lagi, maklumlah, kalau tidak mengandalkan sinkang
tingkat tinggi yang mujijat itu, sejak tadi dirinya sudah terkubur
menjadi abu di lembah sana. Walau dalam tata tertib perguruannya
dilarang setiap muridnya melakukan pembunuhan, namun di
samping persoalan pribadi yang penuh dendam, perbuatan orang-
orang Ngo-hong-kau ini memang terlalu kejam. Mereka merupakan
anasir-anasir jahat yang kelewat batas bagi insan persilatan
umumnya, maka setimpal kalau dihukum mati. Karena keyakinan
inilah, pelan-pelan dia menghimpun kekuatan pada kedua
lengannya. Sorot matanyapun menyala semakin benderang, siapa
saja yang menghadapinya pasti bergidik ketakutan.
17.49. Pembantaian Di Lembah Ciang-liong-kok
"Hiaaat!," ditengah lolong panjang dari mulut Kho Tay-seng,
pedang di tangannya berkelebat bagai kilat menyambar Ji Bun.
Ji Bun mendengus pendek, Tok-jiu-it-sek bergerak dengan
kecepatan yang sama tingginya menembus lingkaran cahaya pedang
lawan. Keruan bukan kepalang kaget dan takut Kho Tay-seng, lekas
dia tarik pedang seraya melejit mundur sambil memberi aba-aba:
"Maju semua!"
Pertama-tama ketua hukum Ang Jit bersama empat anak
buahnya ahli pedang merangsak bersama. Nafsu Ji Bun sudah tak
terbendung lagi, telapak kanan tegak membelah miring ke arah Ang
Jit yang menyerang tiba itu, sementara telapak tangan kiri
menggaris ke arah keempat orang bersenjata pedang. Walau
gerakan tangan kiri dan kanan saling susul, namun kecepatan
geraknya sungguh seperti dilancarkan bersamaan.
Ang Jit menggeram rendah, keempat ahli pedang menguik
seram, darah menyembur dari mulut Ang Jit yang terpukul terbang
ke tengah udara dan terbanting, keempat ahli pedang itu lebih
celaka. Belum lagi pedang mereka dilancarkan, satu persatu sudah
roboh terkapar tak bernyawa lagi. Keruan semua anak buah Ngo-
hong-kau yang hadir sama takut luar biasa, mereka mendelik
dengan mulut melongo.
Ji Bun tidak berhenti begitu saja, tiba-tiba kakinya menggeser
miring, tubuh berkelebat ke samping pula, tahu-tahu telapak tangan
kanan sudah bekerja. "Huaaak", Ang Jit yang baru bangun kena
sekali pukulan pula, badannya kembali mencelat dan terbanting
dengan keras, jelas jiwanya takkan tertolong pula.
Kho Tay-seng menjerit kalap, seperti banteng ketaton dengan
nekat dia ayun pedang, jaraknya delapan kaki, namun ayunan
pedangnya menerbitkan sinar pedang yang memanjang sejauh tujuh
kaki. Jarak ini cukup tiba untuk menggal kepala Ji Bun, betapa bebat
lihay permainan ilmu pedangnya, sungguh aneh, keji dan ganas
sekali. Memangnya siapa yang pernah dan mampu melawan ilmu
pedang yang luar biasa ini. Apalagi serangan ini menggunakan
setaker tenaga dan seluruh perbendaharaan ilmu yang pernah dia
yakinkan, tekadnya hendak mengadu jiwa lagi. Keruan Ji Bun dibikin
kaget juga, lekas dia mundur setapak. "Cret", baju di depan dada tak
urung tergores sobek sepanjang satu kaki.
Mendapat angin, Kho Tay-seng bertambah beringas, sebat sekali
gerak geriknya seperti bayangan, secepat kilat sekaligus dia
lancarkan serangan membadai, setombak sekitar gelanggang,
merupakan sasaran empuk bagi tajam pedangnya.
Ji Bun dipaksa mundur tujuh kaki, demikian pula anak buah Ngo-
hong-kau yang berkepandaian lebih tinggi juga menyurut mundur
setapak, namun lekas sekali mereka sudah merubung maju, karena
dikira mendapat peluang untuk mengerubut bersama.
Hampir meledak dada Ji Bun, di saat lawan berhenti setelah habis
melancarkan delapan belas kali serangan pedang, secepat kilat dia
mendesak maju selicin belut menyelinap ke dalam liang, dia
lancarkan Tok-jiu-ji-sek.
"Aduh ........" pekik kesakitan yang mengerikan terdengar,
pedang terlempar, Kho Tay seng sendiri terjungkir balik. Namun
pada waktu yang sama, berbagai senjata tajam juga serempak
menyambar ke arah Ji Bun selebat hujan badai.
Mendadak Ji Bun melambung tinggi ke tengah udara, maka
terdengarlah suara berdering senjata yang beradu di bawah kakinya,
di tengah udara tubuhnya terputar sambil meliuk, dengan gaya
menukik dia menyerang dari atas, kekuatan serangan ini sungguh
lihay luar biasa.
Jeritan menyayat hati memekak telinga, tujuh delapan orang
kontan roboh mandi darah. Begitu tubuh meluncur turun dan
menancapkan kaki, segesit kera dia terus menubruk ke arah orang
yang bergerombol lebih banyak, di mana kaki tangannya bergerak,
seketika terjadilah pembantaian besar-besaran. Pekik seram saling
susul menegangkan urat syaraf. Keruan anak buah Ngo-hong-kau
yang masih hidup menjadi ketakutan, bagai tikus lari sipat kuping.
Nafsu Ji Bun sudah menggila, orang-orang Ngo-hong-kau ini tak
ubahnya ayam dan anjing dalam pandangannya. Di mana tangannya
bergerak, di situ manusia terbabat roboh tak bernyawa. Hanya
sekejap saja suasana gaduh dari jerit tangis manusia seketika sirap.
Manusia bergelimpangan memenuhi lembah, semua tubuh sudah tak
bernyawa lagi, untuk pertama kali inilah sejak Ji Bun mengembara di
dunia persilatan membunuh orang sedemikian banyaknya.
Nafsu Ji Bun sudah kadung membara, tekadnya melampiaskan
dendam masih belum padam, maka dia berlari ke arah rumah-rumah
di belakang lembah sana. Rumah-rumah di sini dibangun dengan
dinding batu, pendek bangunannya dan amat kokoh. Yang tengah
dibangun cukup megah dengan ruang pendopo, di sini letak pusat
pemerintahan cabang Ngo-hong-kau yang berkuasa penuh dilembah
ini. Di kanan kira pendopo merupakan deretan kamar berbentuk
bundar, bangunan lain terletak di belakang ruang pendopo ini,
dengan bentuk yang teratur dan rapi.
Begitu banyak dan luas bangunan rumah-rumah ini, tapi
sekarang tidak kelihatan bayangan seorangpun. Tentunya kekuatan
mereka tadi tidak ditumplek seluruhnya untuk menghadapi dirinya,
bukan mustahil ada yang menyembunyikan diri. Tepat di tengah
pendopo yang membelakangi tempat duduk kebesaran, di atas
dinding dihiasi setabir sutera berwarna dasar hitam bersulam
sekuntum kembang Bwe warna putih yang menyolok sekali, itulah
pertanda khas dari Ngo-hong-kau.
Di bawah tabir besar ini adalah sebuah meja panjang, setabung
panji segitiga kecil warna-warni menghiasi di atas meja, di
belakangnya berderet tiga kursi kebesaran yang dilapisi kulit
harimau, di kanan kiri sebelah luarnya masing-masing berderet lima
kursi kayu cendana. Agaknya susunan pimpinan cabang Ngo-hong-
kau di sini tak ubahnya seperti perkumpulan Kang-ouw lainnya.
Ji Bun menerobos terus ke dalam, setelah melewati tujuh lapis
bangunan, tetap tidak melihat bayangan seorangpun. Keruan
darahnya semakin mendidih, kedatangannya kali ini bukan saja
hampir dihanguskan, boleh dikata tujuannya menjadi sia-sia pula,
keruan hatinya amat dongkol dan uring-uringan. Thian-thay-mo-ki
dan ibunya berada di tangan mereka, mati hidup masih merupakan
tanda tanya. Menurut apa yang dia selidiki dari sepak terjang Kwe-
loh-jin, jelas pihak Ngo-hong-kau yang membantai habis semua
penghuni Jit-sing-po. Sekarang dia merasa, menyesal kenapa tiada
satupun yang dia tinggalkan hidup untuk dikompes keterangannya,
kini sumber yang diharapkanpun telah putus.
Kiang Gok, si murid murtad pengkhianat perguruan juga lolos.
Ngo Siang, sang Suco terkubur di kamar tahanannya, di alam baka
tentu dia takkan bisa meram. Semakin dipikir semakin gemas
hatinya, namun kenyataan sekarang dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Namun dia tahu, tak mungkin Ciang-liong-kok ini hanya orang-orang
yang terbunuh di luar tadi, lembah ini tiada jalan keluar lainnya,
terang mereka menyembunyikan diri, entah di kamar rahasia atau di
tempat lain yang tersembunyi.
Serang dengan api. Pikiran ini berkelebat di benaknya. Api pasti
dapat paksa mereka yang sembunyi itu terbirit keluar. Maka dia
mulai mencari ketikan api, dari luar ke dalam, setiap tempat dia
menyulut kain jendela atau barang-barang lain yang mudah
terbakar. Setelah api yang disulutnya mulai berkobar semua, baru
dia keluar ke lapangan rumput di sebelah depan sana sejauh jarak
panahan, di sini dia berpangku tangan menanti reaksi.
Cepat api berkobar, jago merah mengamuk hebat, segala benda
dilalapnya tanpa ampun. Bangunan-bangunan yang terdiri dari kayu
itu walau kokoh, namun mudah terbakar, sebentar saja seluruh
bangunan berlapis itu sudah terjilat api.
Betul juga, sesuai dugaan Ji Bun, hanya dalam sekejap,
bayangan orang mulai tampak berseliweran lari kian kemari. Ji Bun
sudah ambil keputusan lihat satu bunuh satu, kepergok dua bunuh
sepasang. Maka di tengah kobaran api yang gemuruh itu diselingi
suara jerit tangis, pekik teriakan campur aduk, suasana menjadi
kacau balau. Laki-laki yang berlarian kian kemari saling terjang dan
hantam sendiri demi menyelamatkan jiwa, namun mereka menjadi
makanan empuk bagi Ji Bun.
Akhirnya bermunculan juga perempuan yang menyeret anak-
anak. Betapapun besar murka Ji Bun, terhadap kaum lemah dan
anak-anak yang tidak berdosa ini, dia tidak tega turun tangan,
segera dia mundur ke samping. Dengan tajam dia awasi setiap
orang yang muncul. Dia harus mencari sasaran di antara sekian
banyak orang untuk didengar keterangannya.
Seorang kakek tua beruban dengan langkah, sempoyongan jatuh
bangun ikut berlari keluar di antara rombongan perempuan dan
anak-anak itu, sekian kelihatannya sudah loyo dan lemah karena
usianya yang sudah lanjut. Anak-anak berjerit tangis, kaum ibu sibuk
mencari putera puterinya yang lari entah ke mana, terketuk juga hati
nurani Ji Bun.
Sekonyong-konyong, tampak kakek ubanan itu berpaling sekilas
sambil melirik ke arah Ji Bun. Cukup lirikan, mata ini sudah memberi
peringatan kepada Ji Bun bahwa kakek tua yang pura-pura loyo ini
sebetulnya adalah seorang silat yang tinggi kepandaiannya.
"Hai, kau kemari!" gerakannya Ji Bun lebih cepat dari ucapannya,
kata-kata terakhir baru diucapkan, bayangannya sudah menghadang
di depan si kakek.
Kakek itu tiba-tiba angkat kepala, wajahnya yang penuh keriput
seketika menarik tegang, mulutnya tergagap: "Kau ...... orang tua
loyo seperti akupun tidak kau lepaskan ..........”
"Kau memang tua, tapi tidak loyo. Kemarilah!" dengus Ji Bun,
gerakannya cepat sekali, tahu-tahu pergelangan tangan si orang tua
sudah dipegangnya terus diseret ke samping, di mana terdapat batu-
batu yang berserakan, setiba di tempat sepi dan tersembunyi, dia
lepaskan pegangannya, dengan suara dingin gemetar diliputi emosi,
dia hertanya: "Tua bangka, bicaralah singkat, sebutkan dulu
namamu!"
Bibir si orang tua yang kering tampak gemetar, sekian lama dia
megap-megap tak mampu bicara. Ji Bun mengancamnya dengan
nada bengis: "Bicaralah terus terang atau kubunuh lebih kejam dari
orang lain.”
Si kakek ubanan manggut-manggut.
Ji Bun bertanya: "Belakangan ini adakah orang yang lari kemari?"
"Ke mana maksud kata-katamu itu?"
"Umpamanya ada jago-jago kalian dari cabang lain yang
berkepandaian tinggi, atau ada menggusur orang luar kemari ......”
"Ya, memang ada."
"Siapa?"
"Pimpinan cabang kedua dari perkumpulan kami, yaitu Kiang
Giok."
"Hm, Kiang Giok. Di mana dia sekarang?"
"Di dalam kamar rahasia di bawah lembah yang terlarang sana."
Berkobar semangat Ji Bun, agaknya perjalanan hari ini tidak sia-
sia, kalau Kiang Giok si murid murtad dapat dibekuk, sebagian sudah
tercapai tujuannya segala teka-teki bakal terbongkar seluruhnya,
maka dengan suara haru dia bertanya: "Letaknya di belakang
barisan rumah-rumah itu?"
"Ya, tepat di bawah kaki bukit, di mana ada sebuah bangunan
mungil, ada tanda papan yang menyatakan tempat itu terlarang bagi
orang luar."
"Baik kau boleh pergi."
"Kau ....... tidak membunuhku?"
"Jiwamu kuampuni!"
Si kakek menyeringai, katanya: "Te-gak Suseng, kau melepaskan
Lohu, tapi Lohu tidak dapat mengampuni jiwa sendiri, tamak hidup
tunduk kepada musuh, betapa aku harus berhadapan dengan para
saudara yang sudah mendahuluiku di alam baka" ........ "plak" tiba-
tiba tangannya terayun mengepruk pecah batok kepala sendiri,
memang tidak malu kakek tua ini sebagai insan persilatan yang
berjiwa kesatria, setelah sadar akan kesalahan, lebih baik mati dari
pada hidup menjadi cercahan orang lain.
Ji Bun geleng-geleng kepala sambil menghela napas panjang,
segera dia meluncur ke belakang kobaran api, dengan menerjang
gulungan asap tebal yang mengadang jalan, dia terus melesat ke
belakang, kakinya sedikit menutul, sekali lompat beberapa tombak
jauhnya. Lekas sekali dia sudah tinggalkan tempat kebakaran dan
masuk ke dasar jurang.
Betul juga di antara bayang-bayang hutan di sebelah dalam sana
lapat-lapat kelihatan sebuah bangunan mungil, di luar hutan berdiri
sebuah papan batu yang bertuliskan "Daerah terlarang". Letak
rumah kecil ini terpaut beberapa puluh tombak dengan tanah lapang
yang cukup luas, seluruhnya merupakan tanah yang berlapiskan
batu cadas yang dibikin rata mengkilap, tiada rumput dan
pepohonan tumbuh di sini, maka kobaran api meski teramat besar di
sebelah depan, hutan di belakang lembah ini sedikitpun tidak terjilat
api.
Jantung Ji Bun berdebur semakin ketas, dengan langkah mantap
dia memasuki daerah terlarang. "Siapa berani terobosan di daerah
terlarang?” tiba-tiba berkumandang peringatan dari balik batu sana,
dua orang baju putih segera muncul mengadang.
Tanpa buka suara, dengan langkah cepat Ji Bun menubruk maju,
di mana tangan beracun bergerak, belum lagi kedua orang ini
melihat jelas siapa yang datang, tahu-tahu sudah mengaduh terus
roboh terkulai dan melayang jiwanya.
Bau khas yang merangsang hidung meyakinkan Ji Bun bahwa di
dalam hutan terlarang ini ada ditaburi racun jahat yang tidak
berwarna, namun Ji Bun yang sudah mempelajari ilmu tingkat tinggi
Ban-tok-bun sudah kebal segala racun. Sekali tendang ia singkirkan
mayat kedua orang terus beranjak menyusuri jalan batu menjurus ke
rumah kecil itu.
Rumah ini di kelilingi hutan, merupakan suatu pekarangan
tersendiri dengan dipagari tembok batu, tepat di tengah dibuat pintu
bundar, di dalam pintu dipajang beberapa perabot yang terbuat dari
batu dan bambu. Begitu Ji Bun tiba di pintu, empat orang baju putih,
terdiri seorang tua dan tiga muda tahu-tahu menubruk tiba. Pikiran
Ji Bun hanya ingin selekasnya membekuk Kiang Giok si murtad,
maka dia tidak peduli siapa orang-orang ini. Kedua tangan segera
bergerak menyongsong kedatangan orang-orang itu. Segulung angin
keras menerpa ke depan. Keempat, orang bagai daun kering yang
tersapu angin puyuh terjungkal sungsang sumbel. Tanpa hiraukan
mati hidup mereka, Ji Bun langsung menghampiri rumah mungil itu.
"Kau ..... " di tengah teriakan kaget, sesosok bayangan orang
jumpalitan keluar dari balik jendela dengan gemetar. Dia bukan lain
adalah Kiang Giok.
Terpencar cahaya kelam dari biji mata Ji Bun, suaranya kereng
berwibawa: "Kiang Giok, agaknya Suco memberkahi usahaku untuk
menumpas kau."
Kiang Giok menyurut ke belakang bersandar dinding, wajahnya
membesi kelabu, kelihatan dia terluka oleh Sian-thian-sin-kang
Thong-sian Hwesio sampai sekarang belum lagi sembuh. "Te-gak
Suseng," ujarnya, "apa sebetulnya yang kau bicarakan?"
"Kiang Giok, bicara soal tingkatan, kau memang lebih tinggi dari
padaku, namun, aku membawa pesan dan perintah Suco, maka aku
harus menunaikan tugas melaksanakan tata tertib dan hukum
perguruan secara tegas."
"Hukum perguruan? Apa maksudnya?"
"Menghadapi hukum perguruan ini, memangnya kau masih belum
bertobat dan menyesal? Hm, Kiang Giok, aku .........”
"Terus terang, aku tidak tahu soal apa yang kau obrolkan?" kata
Kiang Giok diliputi rasa heran, takut dan tak habis mengerti.
Sikapnya ini menambah semangat Ji Bun malah, bentaknya:
"Berlututlah, terima pelaksanaan hukum perguruan ini.”
Bergetar badan Kiang Giok, semakin tebal rasa bingung dari sorot
matanya. "Te-gak Suseng," desisnya, "kau ini orang apa, siapa pula
aku dari mana kau hendak melaksanakan hukum perguruan atas
diriku?"
"Kau masih berani mungkir?"
"Seorang laki-laki sejati berani berbuat berani tanggung jawab,
aku terjatuh ke tanganmu, memang nasibku soal mungkir aku tidak
sampai sepengecut itu."
"Baik, jawablah pertanyaanku, siapakah orang tua yang kau
kurung di bawah tanah di gedungmu itu."
"Dia ..... siapa dia?"
"Aku justru tanya kau?"
"Aku tidak tahu?"
"Kentut! Kau murid durhaka menghadapi kematian masih belum
mau bertobat."
Mulut Kiang Giok terpentang lebar, sikapnya hambar dan
penasaran, jelas kelakuan ini bukan pura-pura belaka. Keruan Ji Bun
menjadi bimbang dan sangsi, mungkinkah dalam persoalan ini ada
liku-liku yang sulit dijajaki pula?
"Kiang Giok, betulkah kau tidak tahu asal usul orang tua itu?"
"Tidak tahu."
"Lalu dari mana kau mempelajari ilmu beracun itu? Kenapa kau
mengatur jebakan dan mengurung beliau, memaksanya
mengajarkan ilmu dan hendak merebut kitab pelajarannya pula?”
"Pelajaran ilmu dari perguruanmu? Kau dari mana?"
"Jawab dulu pertanyaanku."
"Uh ........" tiba-tiba Kiang Giok-mengeluh seram, badannya
tersungkur berkelejetan sebentar terus tak bergerak, jiwanya
melayang seketika.
Kaget sekali Ji Bun, cepat dia membalik badan, di mana matanya
memandang, darah seketika terbawa nafsunya membunuh membara
pula. Tampak seorang berdiri di ambang pintu, dia bukan lain
daripada Kwe-loh-jin, musuh besarnya. "Kwe-loh-jin." desis Ji Bun.
''sungguh kebetulan kau muncul sendiri."
Kwe loh-jin terkekeh dingin, jawabnya: "Anak muda, agaknya
nyawamu serap duabelas, sudah beberapa kali kau lolos dari
kematian, kini pasti kuhancurkan kepalamu, ingin kulihat apakah
betul kau memang tak dapat mati?"
Ji Bun tahan perasaannya, banyak persoalan yang harus dia
tanyakan dulu sebelum bertindak. “Kwe-loh-jin, jadi kau juga
anggota Ngo-hong-kau?"
"Ya, tidak salah."
"Jadi majikan yang kau maksudkan itu ialah Ngo-hong-kaucu?”
"Tepat sekali," sahut Kwe-loh-jin.
"Dan apa alasanmu selalu ingin membunuhku?"
"Pokoknya kau harus mati, tentang alasannya, kau tidak perlu
tahu."
“Siapa sebenarnya Kaucu kalian?"
"Selama hidupmu kau takkan memperoleh jawaban."
"Kwe-loh-jin, agaknya semua pertanyaan tidak akan kau jawab
dengan baik?"
"Terserah keadaan."
"Baik, sebuah pertanyaan lagi, kuingin bertemu dengan Kaucu
kalian, sudilah kau membawaku kepadanya?"
"Kau hanya bercita-cita kosong belaka, ketahuilah Ciang-liong-kok
ini bakal menjadi tempat kuburan."
"Tentunya kau juga ikut membantai orang-orang Jit-sing-po?“
Terpancar cahaya aneh dari mata Kwe-loh-jin, beberapa kali air
mukanya berubah, lama sekali baru dia berkata dingin: "Apakah
Siangkoan Hong tidak memberi jawaban padamu?"
"Kau memfitnah mereka, apa tidak merasa malu dan hina?"
"Memfitnah? Anak muda, perlukah aku berbuat demikian?"
"Kenapa kau tidak berani mengaku?”
"Kenyataan memang begitu."
Kembali Ji Bun menghadapi pertentangan batin siapakah
sebetulnya musuh besarnya? Ngo-hong-kau atau Wi-to-hwe? Karena
kedua pihak sama tidak mau mengaku, namun kedua pihak sama
patut dicurigai.
Dianalisa dari permulaan peristiwa ini, memang pihak Wi-to-hwe
yang dipimpin Siangkoan Hong amat mencurigakan, ditambah pesan
ayahnya waktu terakhir kali mereka berjumpa bahwa musuh besar
keluarganya adalah komplotan Siangkoan Hong.
Tapi perkembangan selanjutnya dari berbagai kejadian yang
dialaminya sendiri, satu persatu menumbangkan keyakinannya
semula, berbalik dia yakin bahwa Ngo-hong-kaulah yang membantai
seluruh penghuni Jit-sing-po. Kematian ayahnya, ibunya diculik,
beberapa kali peristiwa terbunuhnya diri sendiri, ketambahan Kiang
Giok yang berselubung, teka teki bersama ayahnya, lebih menambah
kerumitan persoalan ini. Tujuan Kwe-loh-jin membunuh Kiang Giok
jelas karena hendak menutup mulutnya, tapi kenapa? Persoalan
yang sudah hampir terang kini menjadi gelap dan terselubung pula.
Pengalaman menambah pengetahuan. Kini Ji Bun betul-betul
menyadari, kalau mau main selidik, mencari bukti dan menguber
sumber kejadian dari segala teka teki ini, dia harus menggunakan
cara ganas dan kejam, kalau tidak dia akan selalu menghadapi jalan
buntu alias gagal total.
Karena itu, watak angkuhnya yang sudah lenyap sekian lama, kini
mulai bersemi pula, hawa gelap meliputi kedua alisnya, dengan
suara geram dia berkata: "Kwe-loh-jin, kenapa ibundaku kalian
tawan?”
"Sederhana saja, untuk merajai Kangouw, maka aku harus
bertindak tidak kenal kasihan, walau cara keji, kejam dan kotor juga
harus dihalalkan."
"Dan bagaimana dengan Thian-thay-mo-ki?"
"Sama juga alasannya."
"Kiang Giok, kaubunuh apa juga dengan alasan yang sama?
Memangnya kau ini manusia?"
"Anak muda, tidak perlu putar lidah lagi ...... Sekonyong-konyong
Ji Bun melompat maju sambil membentak. "Agaknya sikapku
terhadap kalian selama ini adalah kesalahan besar."
Kwe-loh-jin merasa jeri, tanpa terasa ia menyurut mundur.
“Kwe-loh-jin, sebelum melihat peti mati, agaknya air matamu
takkan bercucuran," bentak Ji Bun seraya mendekat.
Cepat Kwe-loh-jin melompat mundur keluar rumah sambil
terloroh-loroh, serunya: "Anak muda, marilah sini!"
Ji Bun melejit keluar, belum lagi dia berdiri tegak, Kwe loh-jin
sudah menyerangnya lebih dulu. Telapak tangan kiri menggempur,
jari-jari kanan mencengkeram, enam Hiat-to mematikan di dada
menjadi sasaran. Betapa ganas dan lihay serangannya ini sungguh
amat mengejutkan.
Dalam keadaan kepepet Ji Bun lancarkan jurus Tok-jiu-it-sek.
Kontan Kwe-loh-jin berseru heran, serangannya berubah di tengah
jalan. Ji Bunpun berdiri tegak di atas tanah.
17.50. Bukan ......... Murid Angkatan 14
"Anak muda, nasibmu memang mujur, jiwa anjingmu berulang
kali lolos dari renggutan elmaut, agaknya belakangan ini kau
memperoleh pelajaran baru!"
Jelas yang dimaksud adalah jurus Tok-jiu-it-sek yang lihay ini.
Memang sejak membekal ilmu mujijat ini Ji Bun belum pernah
berhadapan dengan lawan tangguh yang betul-betul setimpal jadi
tandingannya.
Tanpa hiraukan ocehan orang, Ji Bun menghardik: "Serahkan
nyawamu!" dengan kekuatan membadai Tok-jiu-ji-sek dilontarkan.
Kembali Kwe-loh-jin bersuara heran, dengan suatu gerakan yang
aneh dan gesit, tiba-tiba dia berkelebat menyingkir. Bahwa Kwe-loh-
jin dapat menghindarkan diri dari rangsakan Tok-jiu-ji-sek, hal ini
betul-betul membuat Ji Bun terperanjat, agaknya dalam setengah
tahun ini pihak lawan juga memperoleh tambahan ilmu yang tinggi.
Kalau dinilai dari kepandaiannya dulu, tak mungkin Kwe-loh-jin
mampu selamat dari serangan Tok-jiu-ji-sek.
"Sambut sejurus lagi!” teriak Ji Bun, kembali Tok-jiu-ji-sek
dilontarkan.
Kwe loh-jin menyingkir lagi dengan gerakan semula dari posisi
yang tidak menguntungkan, namun mulutnya menggeram aneh,
badan meliuk sambil balas menyerang sekali. Gerakan serangan ini
sungguh menakjubkan, siapapun yang melihatnya pasti melelet lidah
dan kagum sekali, karena semua tempat-tempat yang berbahaya di
bagian depan menjadi sasaran. Jalan mundur dan kesempatan untuk
balas menyerangpun tersumbat, sungguh bukan main serangannya
ini.
Beruntung Ji Bun juga memperoleh rejeki nomplok, di dalam
detik-detik yang gawat itu, ilmu tingkat tinggi yang dipelajarinya
baru-baru ini memperlihatkan kemujijatannya. Dalam posisi yarg
terdesak itu, terpaksa dia lintangkan kedua telapak tangan terus
bergerak melingkar. Inilah gerak pertahanan yang paling hebat
betapapun ganas rangsakkan lawan pasti dapat ditandingi sama
kuat.
"Plok, plok, plok ......" benturan secara berantai terjadi dalam
sekejap mata, telapak tangan kedua orang saling adu kekuatan
sebanyak lima puluhan kali, betapa tinggi tingkat kepandaian silat
Kwe-loh-jin dapatlah dibayangkan dari tingkat permainannya ini.
Masing-masing pihak maklum, taraf kepandaian mereka kira-kira
setanding, umpama ada perbedaan, terpautnya juga terbatas.
Ji Bun tak habis pikir, dalam jangka setengah tahun ini entah dari
mana Kwe-loh-jin memperoleh ilmu kepandaian yang begini
mengejutkan. Sebaliknya Kwe-loh-jin juga kagum dan heran pula
bahwa kepandaian Ji Bun entah betapa tingkat lebih tinggi dibanding
setengah tahun yang lampau.
Kwe-loh-jin saja sudah setinggi ini kepandaiannya, tentu
kepandaian Ngo-hong-kaucu jauh lebih luar biasa pula. Mau-tidak
mau Ji Bun rada keder dan patah semangat, sebetulnya dia yakin
dengan kepandaian terakhir yang diperolehnya sudah cukup untuk
menuntut balas. Siapa nyana, satu jengkal kepandaian sendiri
bertambah, satu depa pula ilmu musuh bertingkat. Untuk menuntut
balas, menolong ibu dan kekasihnya, agaknya bakal sia-sia belaka.
Hanya setengah tahun saja, namun tingkat kepandaian Kwe-loh-
jin betul-betul melampaui taraf kepandaian Thong-sian Hwesio yang
tak terukur itu, bukankah perubahan ini amat menakutkan. Mau tak
mau pikirannya mengingatkan Hud-sim yang pernah direbut
lawannya ini, bukan mustahil Kwe-loh-jin sudah berhasil mendapat
inti rahasia pelajaran silat yang terkandung di dalam hati Buddha itu.
Kemungkinan ini amat besar, sayang awak sendiri terlalu asing
terhadap permainan silat Pek-ciok Sinni. Kalau tidak dirinya tentu
tidak akan melawan musuh secara meraba-raba, karena itu tanpa
terasa mulutnya berteriak: " Kwe-loh-jin, ilmu yang terkandung di
dalam Hud-sim sungguh bukan kepalang hebatnya?"
Kwe-loh-jin melenggong sebentar, lalu katanya sinis: "Betul, jagat
seluas ini, memangnya siapa yang mampu melawanku lagi?"
"Belum tentu, akulah lawanmu!” seru Ji Bun. Tok-jiu-sam-sek
(jurus ketiga) akhirnya dia lontarkan dengan dilandasi sepenuh
tenaga. Inilah senjata terakhir yang paling diandalkannya,
merupakan puncak tertinggi dari segala gemblengan yang pernah
dialaminya. Kalau senjata terakhir ini juga tidak mampu merobohkan
musuh, segala persoalan tidak perlu dibicarakan lagi.
Jurus ketiga ini dinamakan Giam-ong-yan-khek (raja akhirat
menjamu tamu). Sesuai dengan namanya, merupakan jurus
serangan mematikan yang melampaui segala ilmu silat yang pernah
berkembang di kalangan Bu lim. Begitu jurus ini dilontarkan, sorot
mata Kwe-loh-jin seketika mengunjuk rasa ketakutan, boleh
dikatakan tanpa banyak pikir lagi bergegas dia berkelebat mundur.
"Ngek!" tak urung mulutnya mengerang kesakitan, badanpun
sempoyongan tujuh delapan langkah jauhnya, darah meleleh dari
mulutnya.
Berkobar semangat Ji Bun, sebat sekali dia bergerak pula. Tapi
sekali melejit dan jumpalitan ke belakang, tahu-tahu Kwe-loh-jin
sudah melenting ke dalam hutan dan lenyap.
“Lari ke mana?” bentak Ji Bun sambil mengundak, namun
bayangan Kwe-loh-jin sudah lenyap di balik hutan. Marah dan benci
mengaduk hatinya hampir gila Ji Bun dibuatnya saking gemas,
menghadapi musuh yang, licik, licin dan kejam ini. Ji Bun betul-betul
menyadari bahwa tindakannya masih kurang tegas. Dengan lolosnya
Kwe-loh-jin kali ini, pihak Ngo-hong-kau pasti mengerahkan segala
kekuatannya untuk menghadapi dirinya. Untuk mencari tahu letak
markas pusatnya, tentu akan lebih sukar lagi.
Kematian Kiang Giok paling menyakiti hatinya, pesan dan tugas
perguruan yang dibebannya terang sudah gagal. Murid murtad tak
bisa dihukum sesuai peraturan yang berlaku. Betapapun dia belum
mencapai tujuan untuk membersihkan nama baik perguruan.
Dia meiangkah balik ke bilik bambu itu, berdiri melongo
mengawasi jenazah Kiang Giok. Tiba-tiba matanya terbeliak,
didapatinya tubuh Kiang Giok masih bergerak, napasnya belum
putus, kaki tangan masih bisa bergerak. Sungguh girangnya seperti
putus lotre, bergegas dia jongkok dan menopang kepala. Ji Bun lalu
salurkan tenaga dalam ke tubuh orang sehingga menambah harapan
hidup Kiang Giok, meski itu hanya sementara saja.
Lekas sekali nyawa Kiang Giok sudah diseret kembali dari
perjalanan menuju ke akhirat, pelan-pelan dia membuka mata.
Dalam hati Ji Bun sudah berkeputusan, untuk menolong jiwanya
terang tiada harapan, tapi cukup puas kalau dapat menunaikan
tugas perguruan saja.
Ji Bun tekan urat nadi Kiang Giok, hawa murni disalurkan dengan
tenaga yang cukup besar, dia tahu tipis kesempatan untuk
menolongnya supaya bicara. Sekali cekalan tangan dilepas, jiwa
orang pasti melayang, sebaliknya hawa murni tersalur melampui
batas, orang juga tidak akan tahan, bahwa Kiang Giok masih kuat
bertahan hidup untuk kesekian detik lamanya sudah merupakan
suatu keajaiban. Sedetikpun tak boleh terbuang percuma, maka
segera ia bertanya: "Kiang Giok, kau tahu apa dosamu?"
Gemetar bibir Kiang Giok, suaranya lirih seperti bunyi nyamuk:
"Tidak ..... tahu ......."
Beringas dan mendelik Ji Bun, katanya: "Sudah mendekati ajal
kau tetap tidak bertobat?"
"Ber ..... bertobat ...... karena apa?”
"Durhaka terhadap leluhur dan menipu guru, kau melanggar
banyak pantangan perguruan ......”
"Mungkin ... kau yang salah, kau ..... dari perguruan ...... mana?"
Mulut Ji Bun sudah terbuka, namun dia urungkan kata-katanya,
tak boleh dia sembarangan menyebut nama perguruannya, inipun
salah satu larangan, maka ia ganti cara mengajukan pertanyaan.
"Di mana Tok-keng yang kau peroleh?"
"Apa? ........ Tok-keng apa?"
"Ya, katakan, di mana kau simpan?"
"Aku tidak tahu."
Gemes dan mendongkol Ji Bun, hardiknya bengis: "Darimana
ilmu beracun yang kau yakinkan?"
"Diajarkan ...... oleh Kaucu sendiri."
Bergetar hati Ji Bun, perkembangan ini lagi-lagi di luar
dugaannya, kalau demikian murid murtad perguruan, Ngo-hong-
kaucu adanya, sungguh mengerikan dan sukar dibayangkan. Ia
harus cepat menggunakan kesempatan terakhir yang masih ada
untuk mencari sumber yang tepat. maka dia bertanya gugup:
"Katamu diajarkan oleh Kaucu? Siapa Kaucumu?"
"Entah...... tiada yang tahu."
"Kiang Giok, orang-orang seperguruanmu tidak segan turun
tangan menamatkan jiwamu untuk menutup mulutmu, kenapa kau
masih menyimpan rahasia ini."
"Aku betul-betul tidak tahu. Kau ..... Kaucu amat misterius .......”
"Di mana markas besar Ngo-hong-kau?"
"Di belakang puncak ...... Siong-san ...... Aok!" tiba-tiba suaranya
terputus seperti tenggorokan tersumbat, laksana lampu kehabisan
minyak, jiwanya telah melayang.
Ji Bun berdiri, dia menarik napas panjang, beruntung telah
diperoleh sedikit keterangan. betapapun luasnya daerah pegunungan
di belakang puncak Siong-san, akhirnya pasti dapat diselidiki dan
ditemukan, setelah ada tujuan tertentu, tak perlu dia bekerja secara
serampangan lagi.
Ia pikir agaknya Suco memberikan berkahnya sehingga Kiang
Giok masih sempat dikorek keterangannya. Kalau tidak murid murtad
perguruan akan bebas berbuat kejahatan tanpa ada yang dapat
menumpasnya. Celakanya dirinya salah menuduh dia sebagai murid
pengkhianat, ia sudah mati, segala persoalanpun himpas.
Ji Bun tenangkan pikiran, kembali dia merangkai rencana, bahwa
Ngo-hong-kaucu adalah orang yang mendapatkan Tok-keng. Ini
jelas tak salah, jadi dia pulalah murid generasi tingkat ke-14 yang
dipenujui Ngo Siang sebagai calon penggantinya yang harus
melakukan tugas rutin menyerempet bahaya untuk mendapatkan
rejeki nomplok. Sayang Ngo Siang ditipu dan dibikin cacat, dipaksa
menyerahkan ilmu perguruan, semua ini adalah perbuatan dan dosa
Ngo-hong-kaucu.
Sudah puluhan tahun yang lalu ayahnya memperoleh ilmu
beracun ini, sebaliknja Ngo-hong-kau baru berkembang dalam
beberapa tahun terakhir ini, mungkin ayahnya dulu punya hubungan
luar biasa dengan Ngo-hong-kaucu ini. tentang kematian ayahnya,
dan beruntun dirinya mengalami pembunuhan, tentu Ngo-hong-
kaucu sendiri yang bisa memberikan jawaban.
Dengan analisa yang meyakinkan ini, maka pihak yang
membantai orang-orang Jit-sing-po terang adalah pihak Ngo-hong-
kau, tapi kenapa ayahnya tempo hari mengatakan pihak Wi-to-hwe?
Ayahnya terang tidak akan membela musuh yang menghancurkan
keluarganya sendiri. Namun kenyataan justru bertentangan satu
sama lain, sungguh sukar diselami. Mau tidak mau dia lantas teringat
pada Biau-jiu Siansing, paling tidak maling sakti ini pasti dapat
membongkar teka teki ini.
Biau-jiu Siansing dapat mengubah diri dengan samaran beratus
rupa, gerak geriknya sukar dijajaki, kecuali dia unjuk diri sendiri,
biasanya sukar mencarinya.
Sudah tentu nasib ibunda dan Thian-thay-mo-ki tetap merupakan
topik pemikirannya, gelisahpun tak berguna. Perkembangan terakhir
ini juga di luar dugaan semula, yang terang usahanya kali ini sedikit
banyak telah mendapatkan hasil yang cukup besar artinya bagi
usaha selanjutnya untuk menyelusuri jejak musuh.
Tanpa sadar kakinya bergerak pergi dan lekas sekali ia sudah
berada di luar Ciang-liong-kok. Setelah menentukan arah, ia siap
menuju ke Siong-san, namun pikirannya tiba-tiba teringat suatu hal
cukup penting pula. Ui Bing pernah bilang bahwa pamannya Ciang
Wi-bin sedang pergi ke Cong-lam-sam mencarikan obat untuk
menawarkan racun Bu-ing-cui-sim-jiu, supaya dirinya bisa kembali
menjadi manusia awan umumnya. Danau setan yang dituju dan
dicarinya itu hanya ada di dalam dongeng. Di sana katanya bisa
memperoleh buah rumput bergaris emas, namun sudah tiga bulan
lamanya beliau belum kunjung pulang.
Sudah tentu tujuan utama Ciang Wi-bin dalam usahanya ini
adalah demi kebaikkan puterinya yang dijodohkan pada dirinya,
namun kebaikan dan budi ini takkan bisa dihapus demikian saja, jika
orang mengalami sesuatu, selama hidup ini jiwanya pasti tertekan.
Tujuan mencari Ngo-hong-kau tidak boleh ditunda, tapi
perjalanan ke danau setan juga tidak boleh terlambat. Sudah sekian
lama Thian-thay-mo-ki terjatuh ke tangan Ngo-hong-kau, nasib apa
yang menimpanya, sukar diramalkan, kalau terjadi sesuatu yang
merugikannya, selama hidup ini dirinya pun akan merana. Siong-san
terletak di timur laut, sebaliknya danau setan terletak di Siamsay, itu
berarti dia harus menuju ke barat, arah yang berlawanan.
Dari sini ke Cong-lam-san, paling cepat satu bulan baru dapat
mencapai tempat tujuan, dalam sebulan ini perubahan apa yang
akan dialami ibunda dan Thian-thay-mo-ki? Tapi demi dirinya,
paman Ciang telah menempuh perjalanan sejauh itu, menempuh
mara bahaya lagi, keluarga sendiri dirampok habis-habisan juga
tidak dipedulikannya, mati hidupnya masih sukar diramalkan, relakah
dia berpeluk tangan tanpa bertanggung jawab? Ia jadi bingung,
maju mundur serba susah baginya.
Siong-san hanya ratusan li saja dari sini, menurut
perhitungannya, kalau dia tempuh perialanan ini dengan kecepatan
tinggi, paling-paling dua hari dua malam sudah mencapai tujuan.
Setelah dipertimbangkan secara masak, dia berkeputusan pergi ke
Siong-san lebih dulu.
Entah berapa jauh ia berlari-lari, lambat laun terasa perut mulai
lapar, baru sekarang dia sadar sudah sehari semalam dia tidak
makan sebutir nasipun, rangsum kering yang dibawanya sudah habis
dimakan sebelum dia memasuki Ciang-liong-kok.
Selepas mata memandang, hanya gunung gemunung yang serba
liar dan belukar yang belum terinjak manusia. Agaknya untuk
mencapai tempat yang ada penduduk atau perkampungan harus
menempuh perjalanan sehari paling cepat. Walau kekuatan badan
masih kuat bertahan, namun rasa lapar perutnya sungguh tidak
enak. Dalam keadaan kepepet dia berpikir minum air gunung untuk
menahan lapar juga mending, maka dia lantas berlari ke selokan di
bawah jurang sebelah depan sana.
Sekonyong-konyong sesosok bayangan semampai berkelebat dan
tahu-tahu sudah meluncur dihadapannya. Lekas Ji Bun mengerem
langkahnya. Waktu dia melihat jelas, kiranya seorang gadis belia
berusia tujuh belas tahun, berwajah jelita, namun di antara lirikan
matanya nampak wataknya yang genit dan pasti pandai main
asmara, terang gadis ini bukan perempuan baik-baik. Apalagi gadis
secantik ini muncul di gunung belukar yang tidak pernah diinjak
manusia, tentu dia bukan permpuan sembarangan, bukan mustahil
sebangsa siluman atau dedemit.
Sekian lamanya gadis baju hijau ini mengawasi Ji Bun, akhirnya
ia unjuk senyum manis mesra, suaranya merdu: „Siauhiap ini siapa
namanya?"
Ji Bun terlongong, sahutnya: „Cayhe she Ji."
Gadis itu cekikikan, katanya dengan gaya yang memikat: „Ji-
siauhiap, apa kau tidak kesasar?”
Ji Bun melengak, serunya: "Apa, aku salah arah? Apa
maksudmu?"
"Tentu saja salah arah, ke timur adalah arah untuk keluar
gunung, seharusnya kau menuju ke selatan."
Seperti digerujuk air dingin kepala Ji Bun, bahwasanya dia tidak
tahu apa maksud perkataan gadis baju hijau ini, jawabnya ingin tahu
: „Kenapa aku harus menuju ke selatan?"
„Ji-siauhiap, terus terang aku bermaksud baik memberi petunjuk
kepadamu."
„Nona tahu kemana Cayhe hendak pergi? Apa pula tujuanku?"
„Sudah tentu aku tahu .......”
Kaget dan heran Ji Bun, gadis ini muncul secara mendadak, kata-
katanya pun mengandung arti yang sukar diselami. Sungguh luar
biasa gadis ini.
Gadis baju hijau melirik genit, katanya pula dengan gaya aleman
"Ji-siauhiap, kau tidak percaya?"
Ji Bun menjadi mual menghadapi sikap genit ini, suaranya dingin:
"Darimana nona bisa tahu?"
Gadis baju hijau mendekat dua langkah, sepasang biji matanya
sebening kaca berkedip-kedip pada Ji Bun, seperti seekor kucing
yang mengincar ikan asin, katanya cekikikan: "Bukankah kau hendak
bersembah sujud kepada San-lim-li-sin?"
Ji Bun tertegun, tanyanya tidak mengerti: "Apa itu San-lim-li-sin
(perempuan sakti pegunungan)."
Bertaut alis gadis baju hijau, ganti dia yang mengunjuk rasa
heran, katanya: Masakah bukan ke sana tujuanmu?"
"Selamanya belum pernah Cayhe mendengar nama San-lim-li-sin
segala,"
"Lalu untuk apa kau berada di atas gunung ini? "
"Aku kebetulan lewat saja."
"Inilah pertemuan aneh yang dinamakan ada jodoh, kuharap
Siauhiap tidak menyia-nyiakan kesempatan baik ini?"
Kata-kata ini menimbulkan daya tarik bagi hati Ji Bun, tanyanya:
"Siapakah sebenarnya San-lim-li-sin?"
"Sssst!" lekas gadis baju hijau angkat jari ke depan mulut
mencegah Ji Bun bicara lebih lanjut, katanya: "Kalau dia sudah
disebut sakti bagai malaikat, jangan kau menyebutnya sebagai
manusia biasa, kata-kata Siauhiap barusan terlalu semberono."
"Nona," ujar Ji Bun tertawa lebar, "walau Cayhe ini orang awam
yang kasar, tapi pernah juga membaca buku, soal setan dan
malaikat segala, apa betul ada di dunia ini?"
"Soal ada atau tidak boleh kau buktikan sendiri. Nah, Siauhiap
melihat puncak tunggal yang mencakar langit itu?"
"Ya, kenapa?"
San-lim-li-sin bersemayam di puncak itu, sebulan yang lalu,
mendadak beliau memperlihatkan kesaktiannya, siapapun boleh naik
kesana mengagungkan beliau, kalau nasibmu baik, mungkin kau bisa
ditarik menjadi dewa gunung, betapa banyak orang-orang yang
berduyun-duyun kemari tak terhitung jumlahnya."
Dalam hati Ji Bun geli, namun lahirnya tetap wajar, katanya:
"Kalau orang sudah diangkat jadi dewa gunung, lalu bagaimana?"
"Tentunya banyak sekali manfaat yang bakal diperolehnya."
"Manfaat apa?"
"Kabarnya demikian saja, sampai di mana manfaatnya aku sendiri
belum tahu."
"Menurut pendapat nona apakah Cayhe ini bakal diterima oleh
San-lim-li-sin?”
"Siauhiap begini tampan, berbakat lagi, pasti kau bakal ketiban
rejeki."
"Bicara sejauh ini, masih belum kutanya nama harum nona?"
"Aku bernama Liu Gim-gim."
"Pernah apa nona Liu dengan San-lim-li-sin itu?"
"O, tidak. Siauhiap jangan menduga yang bukan-bukan akupun
mengikut orang banyak kemari hendak sembah sujud kepada beliau,
kulihat Siauhiap kesasar kemari, karena iseng sengaja kususul dan
..... ah, mungkin aku terlalu bawel ..........”
Ji Bun menduga dalam hal ini tentu ada latar belakangnya,
munculnya gadis ini tentu punya tujuan dan ada sebabnya, namun
dia pura-pura tidak tahu, katanya: "Kalau begitu Cayhe jadi ketarik
hendak membentur rejeki ..........”
"Semoga Siangkong berhasil mendapatkan rejeki!“ baru
terdengar suaranya, tahu-tahu Ji Bun merasa pandangannya kabur,
bagai bayangan setan saja gadis baju hijau sudah berkelebat hilang.
Keruan jantungnya berdebar keras sekali, mulut terpentang dan
mata terkesima, sungguh kejadian aneh luar biasa. Di siang hari
bolong, seorang masakah bisa lenyap tanpa bekas dari pandangan
mata, malah hidungnya masih mengendus bau harum semerbak,
mungkinkah ini hanya impian belaka?
Ji Bun celingukan, suasana di atas gunung sepi, sinar matahari
mencorong terang, namun bayangan apapun tiada dilihatnya. Ia
menjublek di tempatnya sampai sekian lama.
Betulkah ada setan dan malaikat di dunia ini? mungkin gadis ini
memang diutus untuk memberi petunjuk kepadaku? Waktu kecilnya
memang sering mendengar dongeng dari mak inang, katanya sang
dewi sering menampakkan diri terhadap orang-orang yang berjodoh,
lalu bayangannya tiba-tiba lenyap setelah timbul pusaran angin
lembut, betulkah ada kenyataan ini? Tanpa terasa pandangannya
tertuju ke puncak gunung yang jauh di selatan sana, rasa ingin
tahunya semakin berkobar. Rasa lapar sudah terlupakan, tanpa
sadar segera ia berlari menuju puncak di selatan itu.
Kira-kira semasakan air mendidih, dia sudah tiba di bawah
gunung, waktu dia memandang ke atas, dilihatnya bentuk puncak
tunggal ini memang luar biasa, berbeda dari pada keadaan gunung
umumnya. Puncak gunung ini besar dan luas, sebaliknya bagian
bawahnya semakin mengecil, mirip benar dengan sebuah menara
yang diputar balik letaknya. Tingginya tak terukur, puncaknya
berselubung mega, memang bentuk dan keadaannya mirip sekali
dengan gunung kediaman malaikat dewata.
Tatkala itu bayangan seorang tampak sedang bergerak-gerak di
lamping gunung, waktu ditegasi, kiranya seorang tua, setiap langkah
kakinya pasti menyembah sekali, cara begitulah dia terus
menggeremet ke atas gunung, betapa sujud dan khidmatnya, jelas
kelihatan dari tingkah lakunya.
Tatkala Ji Bun mengawasi dengan melenggong, tampak
bayangan seorang tiba di bawah kaki gunung pula, kiranya seorang
Busu berusia 30-an, namun sikap Busu ini juga sangat sujud,
prihatin dan amat berhati-hati. Sekian lama dia mendongak
mengawasi puncak gunung, tiba-tiba dia membuka ikatan pedang di
pinggang dan terus dibuang begitu saja di tanah, setelah
membetulkan pakaian, iapun tinggalkan kantong rangsumnya.
Melihat rangsum ini segera rasa lapar Ji Bun bergolak pula, cepat
ia maju menyapa: “Saudara, bolehkah Cayhe mohon sedikit rangsum
keringmu ini?"
Busu itu seperti tidak mendengar, tidak berpaling dan tidak
melirik, bersuarapun tidak, tahu-tahu dia lempar kantong rangsum
itu ke arahnya. Lekas Ji Bun menerimanya, sikapnya rada kikuk,
baru saja dia hendak menyatakan terima kasih, Busu itu sudah
berlutut dan menyembah, lalu mulai naik ke atas gunung, setiap tiga
langkah menekuk lutut menyembah tiga kali, begitulah seterusnya.
Ingin Ji Bun tertawa, namun tak bisa tertawa, tanpa sungkan-
sungkan segera ia mendekati kantong rangsum itu, setelah dibuka
ternyata makanan yaag dibawa Busu ini sangat lezat. Isinya adalah
setengah ekor kelinci panggang, kira-kira setengah kilo dendeng sapi
dan sebuah bakpao yang besarnya satu piring. Setelah dimakan
seluruhnya, perutpun sudah kenyang, waktu dia angkat kepala.
dilihatnya Busu tadi baru tiba kira-kira setengah li. Ji Bun lari
kepinggir sungai untuk minum menghilangkan dahaga. Manusia itu
besi, dan nasi adalah baja, setelah perutnya kenyang, semangatnya
menyala.
Dalam hati Ji Bun merasa heran dan curiga, betapapun dia tidak
percaya adanya ''Malaikat perempuan" segala. Memang dunia
persilatan ini banyak diliputi serba-serbi keanehan, namun semua itu
hanyalah permainan orang-orang persilatan itu sendiri yang ingin
angkat nama atau mempermainkan orang lain. Setelah bimbang
sebentar, akhirnya Ji Bun meleset ke atas puncak.
Lekas sekali Busu tadi telah disusulnya, tampak Busu itu
mengawasinya dengan pandangan kaget heran, geleng-geleng
kepala, lalu melangkah dan menyembah lagi. Sekaligus Ji Bun
berlari-lari sejauh tiga li, jaraknya dengan puncak sudah tidak jauh
lagi, pemandangan disinipun sudah jauh berubah.
Setelah dekat keadaan lebih jelas, puncak ini menjulang tinggi
mencakar langit sukar diukur karena puncaknya yang tertinggi
diselubungi awan yang bergulung-gulung. Bagian bawah yang
semakin mengecil dari kaki bukit ini tampak bagian tengah dibuatkan
undakan batu yang lurus ke atas. Entah berapa undakan itu, kecuali
jalan undakan yang di buat ditengah lekukan alam ini, tiada tempat
lain yang dapat dibuat naik ke atas, karena begitu curam, kerapun
takkan mungkin manjat kesana.
17.51. Malaikat Perempuan Penunggu Gunung
Tempat di bawah undakan batu adalah sebidang tanah yang
miring seluas puluhan tombak, di sini orang-orang yang bergiliran
naik keatas puncak menunggu dengan sabar, kira-kira ada puluhan
orang yang berlutut di sana sini, setiap orang begitu sujud dan
patuh sekali, mengawasi puncak yang tidak tampak bayangannya.
Diam-diam Ji Bun berpikir: "Cukup seorang yang memiliki dasar ilmu
silat berjaga di sebelah atas, betapapun tinggi Lwekang seorang
juga pasti sukar naik ke atas dengan selamat."
Kebetulan diiihatnya bayangan seorang beranjak turun dari
undakan batu, kelihatan lesu dan bergontai langkahnya, terus turun
gunung, agaknya dia tidak berjodoh untuk mendapat berkah dari
"Malaikat Perempuan."
Tampak seorang yang berlutut disebelah kiri depan menyembah
tiga kali, bergegas dia melangkah kearah undakan batu dengan
munduk-munduk, lalu manjat ke undakan itu.
Orang-orang yang berada dilapangan ini sama menoleh kearah Ji
Bun, sikap Jr Bun angin-anginan dan tidak menampakkan sikap
menghormat, semua merasa heran dan kaget. Kebetulan bagi Ji
Bun, iapun awasi setiap orang yang berada di sekitarnya, ternyata
kebanyakan anak-anak muda dari golongan persilatan.
Tiba-tiba pandangannya tertarik pada seorang pengemis yang
meringkuk di sebelah kanan, agak jauh di sana, pengemis ini sedang
tidur dengan mengorok keras. Melihat pengemis ini hampir saja Ji
Bun tertawa, karena dia bukan lain samaran Sian-tian-khek Ui Bing.
Walau sudah berubah bentuk lain, namun Ui Bing tetap mengenakan
pakaian lama waktu dia menyamar pengemis tua mata satu,
buntalan kain yang berbentuk bundar dan persegi di atas
punggungnya merupakan tanda yang khas, karena kedua buntalan
bundar persegi inilah maka sekilas pandang Ji Bun lantas
mengenalinya.
Agaknya Ui Bing sedang mimpi muluk, dia tidak melihat
kedatangan Ji Bun. Pelan-pelan Ji Bun menghampiri dan duduk di
samping Ui Bing. Tiba-tiba Ui Bing membuka mata dan berteriak
tertahan: "He, kaupun kemari?"
Ji Bun manggut-manggut sambil tersenyum, katanya: "Tak nyana
bertemu disini."
"Kaupun ingin bersujud pada Malaikat perempuan?"
"Anggaplah begitu, Toako kira .......”
"Sama-sama, hal ini tak usah dibicarakan."
"Apakah paman Ciang Wi-bin sudah ada kabarnya?"
"Tiada, mungkin mengalami sesuatu."
"Setelah menyelesaikan suatu persoalan, Siaute akan
menyusulnya ke Cong-lam-san. Bagaimana gurumu?"
"Beliau juga tiada kabar ceritanya."
"Apa yang akan Toako lakukan di sini?"
Ui Bing menuding dengan ujung bibirnya ke arah undakan,
katanya: "Aku tidak berjodoh, belum lagi sampai di atas sudah
dipukul mundur lagi."
"O, jadi ada yang jaga di atas sana?”
"Kira-kira demikian, dari atas menyerang ke bawah, posisinya
jauh lebih menguntungkan, kemampuanku amat terbatas, tak bisa
berbuat apa-apa."
“Agaknya jago lihay yang berjaga diatas. Bagaimana
keadaannya?"
"Entahlah, tiada yang tahu."
"Biarlah Siaute mencobanya?"
"Orang-orang ini sudah mendapatkan nomor, yang datang duluan
lebih dulu naik ke atas, kau mungkin harus tunggu sampai besok
pagi."
ji Bun mengerut kening, matanya menyapu sekelilingnya,
katanya: "Ada jalan lain?"
"Mana mungkin, tiada tempat berpijak ........."
"Siaute yakin bisa mencobanya."
"Kukira tidak setimpal kau menempuh bahaya," ujar Ui Bing
menatap Ji Bun sekian lama, "mungkin kau bisa berhasil namun aku
khawatir ada serangan yang membokong."
Perhatian yang tulus hati ini betul-betul mengetuk sanubari Ji
Bun, katanya sungguh-sungguh: "Toako, Siaute akan berhati-hati."
Pelan-pelan ia lantas berdiri.
Tiba-tiba Ui Bing menarik Ji Bun terus diseret ke belakang sebuah
pohon. Ji Bun kaget, tanyanya: "Ada apa?"
"Ada orang datang, jangan kau menampilkan diri lebih dulu."
"Siapa yang datang?"
"Ngo-hong-su-cia."
Dari celah-celah dedaunan Ji Bun mengintip ke sana, betul juga
dilihatnya seorang pemuda berbaju sutera, seperti tiada orang lain
disekitarnya langsung berlenggang ke arah undakan.
Memuncak amarah Ji Bun, desisnya geram: "Biar kubunuh
manusia keparat ini."
Lekas Ui Bing menariknya, bujuknya: "Hiante, jangan terburu
nafsu, biar dia membuka jalan, pasti akan ada tontonan yang
menyenangkan."
Sementara itu Ngo-hong-su-cia tadi langsung telah menuju ke
undakan, seorang laki-laki muka merah yang berlutut di bawah
undakan seketika menggerung gusar: "Anak muda, apa yang hendak
kau lakukan?"
Ngo-hong-su-cia berhenti memutar badan, katanya dingin
menghadapi laki-laki muka merah yang berlutut: "Mulutmu harus
bicara yang bersih tahu!”
Laki-laki muka merah mengertak gigi, agaknya dia menekan
perasaan, namun suaranya mengandung kemarahan yang meluap:
"Anak keparat, segala urusan harus menurut aturan, kau datang
belakangan harus antri, sikapmu ini sungguh kurangajar .......”
"Memangnya peduli apa dengan kau?”
"Bapakmu ini ingin mengajar adat padamu," belum habis dia
berbicara, "Plak", disusul suara jeritan keras, laki muka merah itu
terguling roboh sejauh delapan kaki, darah bercucuran dari
mulutnya, mukanya yang merah menjadi kelam, pipinya bengap
sebesar mangkok.
Ji Bun sudah hendak memburu ke luar, namun Ui Bing menekan
pundaknya.
Perbuatan kasar semena-mena Ngo-hong-su-cia menimbulkan
kemarahan umum, tujuh delapan orang kontan berjingkrak gusar
sambil mengepal tinju. Ngo-hong-su-cia malah bertolak pinggang,
wajahnya tersenyum sinis.
Seorang laki-laki berbadan besar seperti kerbau tiba-tiba
menggeram gusar: "Anak kelinci, biar tuan besarmu mengajar adat
.........." sambil mengayun tinjunya sebesar mangkok terus menjojoh
ke dada pemuda baju sutera, begitu keras ayunan tinjunya sampai
mengeluarkan deru angin, betapa dahsyat pukulannya ini sungguh
amat mengejutkan.
"Blang," dibarengi pekik mengerikan, tahu-tahu raksasa itu
sendiri yang terpental roboh celentang, jiwanya seketika melayang.
Tidak kelihatan Ngo-hong-su-cia bergerak, kedua tangan masih
bertolak pinggang, hanya dada yang dibusungkan menerima pukulan
secara telak, namun sikapnya seperti tidak terjadi suatu apa. Keruan
kejadian ini membikin seluruh hadirin melongo kaget dan jeri,
mereka yang tadi menggulung lengan siap mengajar pemuda kurang
ajar ini menjadi kuncup nyalinya.
Dengan pandangan menghina Ngo-hong-su-cia menyapu seluruh
hadirin, lalu sambil menjengek dia putar tubuh terus manjat ke atas
undakan. Kelihatannya dia melangkah lamban, namun kenyataan
tubuhnya melayang seperti anak panah meluncur, hanya sekejap
mata bayangannya sudah lenyap ditelan awan.
Suasana tanah lapang menjadi sunyi, namun kini ketambahan
sesosok mayat manusia yang tidak terurus. Hampir melotot biji mata
Ji Bun menyaksikan kekejaman pemuda baju sutera tadi, sayang dia
di tahan oleh Ui Bing, sehingga tak terlampias rasa gusarnya.
"Cobas lihat!" kata Ui Bing lirih.
Segulung bayangan tiba-tiba bergelinding turun dari atas
undakan, akhirnya terbanting diam di bawah kaki undakan. Kiranya
Ngo-hong-su-cia yang tadi manjat keatas jiwanya kini sudah
melayang, punggungnya ketambahan beberapa huruf merah yang
menyolok dan mengejutkan: "Mati bagi yang kurang ajar."
Sama berubah rona muka hadirin, Ji Bun sendiri juga terkejut,
kepandaian silat Ngo-hong-su-cia pernah dilawannya, dan terhitung
kelas wahid. Namun hanya sekejap mata dia sudah mampus
dibuatnya, peduli yang membunuhnya di atas bukit tadi manusia
atau malaikat, yang terang kejadian ini cukup seram dan
mengerikan. Kalau puncak ini tempat semayam para malaikat, tiada
alasan untuk menyebar kabar angin mengundang sekian banyak
orang untuk membuat onar di sini. Jikalau manusia, apa pula tujuan
dari permainan ini?
Sebetulnya dengan Ginkang "pusaran angin" yang dimiliki Ji Bun
bukan soal sulit untuk manjat ke atas puncak tanpa melalui undakan
langit ini. Namun sekarang dia ganti haluan semula, dia ingin manjat
ke atas lewat undakan ini, dia ingin tahu bahaya apa yang
mengancam setiap insan yang naik ke sana. "Toako," katanya, "biar
aku mencobanya."
"Hiante harus berhati-hati."
"Siaute tahu," sebat sekali dia melompat dan melesat ke arah
undakan, karena adanya peristiwa yang dialami Ngo-hong-su-cia,
maka tiada orang lagi yang merintangi Ji Bun. Mereka tinggal diam
saja mengawasi Ji Bun dengan penuh perhatian.
Ji Bun menghimpun hawa murni, badannya seringan burung
walet, dengan enteng dia melayang naik melalui undakan. Kelihatan
sikapnya wajar dan tenang-tenang saja, namun hatinya merasa
gundah dan jantungnya dak-dik duk. Kekuatan Lwekangnya sudah
dikumpulkan siap menunggu segala perubahan yang mungkin
menimpa dirinya.
Undakan ini lurus lempeng menanjak curam ke atas, lebarnya
hanya empat kaki, kedua sisinya dipagari dinding batu gunung yang
licin mengkilap laksana kaca, kera pun takkan mampu manjat ke
atas, hanya undakan satu-satunya jalan untuk naik ke atas.
Ji Bun terus berlari-lari dengan tangkas dan enteng, lekas sekali
dia sudah hampir mencapai puncak, jaraknya tinggal puluhan
tombak lagi. Waktu ia mendongak, tampak undakan alam ini seolah-
olah sudah bertautan dengan langit, sebuah papan batu yang besar
sekali berdiri di ujung undakan. Empat huruf besar dengan tulisan
gaya kuno berjajar melintang "Tempat semayam malaikat
perempuan". Kecuali keempat huruf ini tiada kelihatan apa-apa lagi.
Sekilas Ji Bun menghentikan langkahnya, ia bimbang apakah harus
menerjang terus ke atas atau bersuara mohon bertemu. Tiba-tiba
dari atas puncak sana berkumandang suara: "Malaikat perempuan
memanggil Ji-siauhiap.”
Mendengar "Ji-siauhiap", Ji Bun lantas tahu pembicara adalah
seorang jago silat dari Bu-lim, seketika bangkit nyali Ji Bun, namun
hatinya merasa heran pula, bahwa nama dirinya sudah diketahui, ini
sungguh membingungkan.
Segera dia mengenjot kaki melayang maju pula dengan beberapa
kali lompatan. Akhirnya dia tiba di bawah papan batu besar, di mana
matanya menjelajah, seketika mengkirik bulu kuduknya. Tampak
dua kakek yang berbentuk aneh, laksana dua patung raksasa,
masing-masing berduduk di kanan kiri undakan, keduanya
memejamkan mata bersimpuh tak bergerak. Kedatangan Ji Bun
seperti tidak diketahui oleh mereka.
Ji Bun tenangkan diri, waktu dia memandang ke depan, kiranya
luas puncak bukit ini kira-kira ada satu hektar. Batu-batu aneh
tersebar dimana-mana, pohon-pohon cemara bertebaran. Tepat di
tengah sana berdiri sebuah bangunan berloteng, atapnya dihiasi
naga dan burung hong, bentuknya tak ubahnya seperti kelenteng,
tapi megahnya tidak kalah daripada istana raja.
Bayangan seorang semampai tampak berdiri di jalanan kecil yang
menuju ke loteng megah itu. Ji Bun disonggong dengan senyuman
manis. Begitu melihat orang ini lebih yakin dan mantap hati Ji Bun
akan dugaan semula, karena orang yang menunggu dirinya ini
bukan lain adalah gadis baju hijau yang mengaku bernama Liu Gim-
gim, serunya segera: "Nona Liu!"
Tidak nampak lagi sikap genit Liu Gim-gim. Sahutnya setelah
memberi hormat: "Atas perintah Li-sin, silakan Siauhiap masuk
menghadapnya."
"Apa betul Cayhe ada jodoh?" tanya Ji Bun geli dan mengada-
ada.
"Mungkin, silakan ikut hamba," ujar Liu Gim-gim dengan tertawa
manis.
"Silakan tunjuk jalan," kata Ji Bun.
Liu Gim-gim langsung membawa Ji Bun naik ke loteng, setelah
melewati serambi berpagar batu putih, mereka tiba di depan pintu
sebuah ruangan besar. Empat gadis baju hijau dengan sikap hormat
berbaris di depan pintu, masing-masing memegang kebutan,
pedang, mistar, dan alat tabuhan.
Bentuk luar bangunan ini sudah megah, ternyata pajangan dan
perabot yang ada di dalam jauh lebih mewah lagi. Dari luar tak
kelihatan ada bayangan orang di dalam.
Liu Gim-gim berhenti beberapa langkah di luar pintu, katanya
penuh hormat: "Ji-siauhiap mohon bertemu."
Liu Gim-gim menyingkir memberi jalan, keempat, gadis baju hijau
tadi juga berpencar ke kanan kiri. Hati Ji Bun menjadi tegang,
karena mengikuti rasa ingin tahunya saja dia meluruk ke tempat ini.
Tujuan yang pasti tiada, juga tiada maksud-maksud tertentu,
soalnya dia tidak tahu siapa sebetulnya orang yang tersembunyi
dibalik semua kejadian ini. Namun dalam hati ia tetap yakin bahwa
tiada "malaikat" segala di dunia ini, kehadiran Liu Gim-gim sudah
merupakan bukti bahwa orang di belakang layar pasti juga seorang
persilatan, cuma dari keadaan yang dihadapinya ini, jelas dia pasti
bukan orang sembarangan.
Pelahan-lahan dia melangkah masuk, lalu berdiri tegak sambil
berpangku tangan menghadap kain gorden. Terdengar suara merdu
yang menarik di belakang tabir berkumandang pula: "Ji Bun, apa
maksudmu kemari?"
Ji Bun kaget bukan main, sekali buka mulut orang sudah
menyebut namanya, jelas sudah tahu asal usul dirinya, pula suara
orang ini tidak terasa asing baginya. Namun dalam waktu singkat ini
sukar dia memikir di mana pernah dengar suaranya, sejenak dia
ragu-ragu, lalu katanya: "Anak buahmu sendiri yang membawaku
kemari."
"Jadi karena ketarik dan ingin tahu saja?"
"Ya, boleh dikatakan demikian."
"Apa pula permintaanmu sekarang."
"Ingin melihat pamor malaikat perempuan yang sebenarnya."
"Hanya itu saja? Ketahuilah, manusia biasa mana boleh
berdekatan dengan malaikat, masakah begitu mudah terlaksana
keinginanmu?"
"Jadi kau masih tetap mengagulkan diri sebagai malaikat segala?"
"Apa maksudmu?”
"Tiada maksud apa-apa, walau Cayhe orang bodoh, tidak pernah
kupercaya adanya malaikat segala."
"Jadi kau anggap aku ini manusia biasa?"
"Malah sebelum ini kita pernah berkenalan, bukan?"
"Bagus, tahukah kau, apa maksudku menyuruh Liu Gim-gim
membawamu kemari?"
"Mohon diberi keterangan."
"Kalau kau menjadi sandera di sini, memangnya Ji Ing-hong tidak
akan keluar?"
Terkesiap hati Ji Bun. "Siapakah kau? Betulkah ayahku masih
hidup?''
"Mungkin saja Ji Ing-hong licik dan licin, tipu muslihatnya
masakah dapat mengelabui mata seorang ahli, mungkin kau
memang tidak tahu dan dikelabui ayahmu sendiri."
Perasaan Ji Bun tergerak pula, jelas orang ini pasti musuh.
apakah betul ayahnya belum mati? Mana Mungkin? Jari tangan
sendiri yang menggali liang lahat dan mengubur jenazahnya.
Barang-barang peninggalan ayahnya juga dia temukan pada jenazah
itu, sayang wajah si korban remuk dan tidak bisa dikenali lagi,
memangnya di sinikah letak persoalannya? Dia tidak habis mengerti,
namun dia berdoa, semoga hal ini memang betul. Maka dia berkata
dingin: "Kau bermusuhan dengan ayahku? Biarlah aku yang
bertanggung jawab memikul semua perbuatannya."
"Kau tidak akan mampu memikulnya. Ji Bun, kau kira siapa aku
ini?"
''Kenapa tidak kau keluar menampakkan dirimu?”
Pelan-pelan kain gorden tersingkap, muncul bayangan semampai
seorang perempuan jelita.
Ji Bun menjerit kaget dan menyurut mundur. Kiranya orang yang
muncul ini bukan lain adalah perempuan rupawan yang disebut
Siancu oleh orang-orang Wi-to-hwe itu. Sungguh tak pernah terpikir
olehnya bahwa hari ini dirinya bakal masuk perangkap orang-orang
Wi-to-hwe pula. Memangnya apa tujuan orang menjunjung diri
sebagai San-lim-li-sin dan membuat keonaran ini? Tentunya bukan
melulu ditujukan kepada ayah dan dirinya, karena dirinya hanya
kebetulan lewat di sini.
Dahulu dia bukan tandingan perempuan rupawan ini, tapi
sekarang mungkin dia mampu melawannya sama kuat. Tanyanya
segera: "Apakah kau ini betul-betul Siangkoan-hujin?"
"Ya, ada apa?"
"Kenapa harus pura-pura jadi malaikat segala untuk menipu
orang banyak?"
"Ji Bun, kau salah, San-lim-li-sin adalah ibuku, berdasar apa kau
mengatakan kami menipu orang?”
"Yang terang dalam Bu-lim belum pernah kudengar nama julukan
ini."
"Itu karena pengetahuanmu yang terlalu cetek,” sahut
perempuan rupawan itu, lalu menambahkan: "Memang baru-baru ini
saja orang-orang berduyun-duyun kemari."
"Apa tujuannya?"
"Baiklah kuberitahu. Demi membela kebenaran."
"Membela kebenaran?"
"Tempat ini merupakan perangkap bagi kaum bejat dan sampah
persilatan, kau tahu?"
Ji Bun mengertak gigi, wajahnya unjuk rasa gusar, sesuai
perkataan orang, dirinya jadi termasuk sampah persilatan. Namun
dia segan berdebat, katanya dingin: "Memang tidak sedikit orang-
orang munafik dalam dunia Kang-ouw, jahat lurus sukar dibedakan.
Lalu maksud Hujin memancingku kemari hendak menjadikan diriku
sandera karena permusuhan Siangkoan-Hwecu dengan ayahku itu?"
"Ya, permusuhan ini harus dibereskan sendiri oleh Ji Ing-hong."
"Tapi bagaimana dengan peristiwa hancurnya Jit-sing-po?"
"Wi-to-hwe tidak bertanggung jawab dalam peristiwa itu."
"Memangnya siapa pang harus bertanggung jawab?"
"Sudah tentu orang yang berbuat, pihak yang melakukan."
"Siapa yang melakukan?"
"Tidak usah aku menjawab pertanyaan ini."
"Tatkala peristiwa itu terjadi, betulkah Siangkoan Hong sendiri
juga menuntut balas?"
"Ya, tapi sasaran yang dicarinya hanya ayahmu seorang."
"Dapatkah ucapanmu ini dipercaya? Bagaimana kalau aku
menuduh Siangkoan Hong yang menjadi biang keladi dari
pembantaian besar-besaran itu?"
"Aku tidak bisa, melarang kau mengajukan pendapatmu."
"Jadi kau mengakui tuduhanku ini?"
"Aku tidak ingin berdebat denganmu, sejak sekarang, kau sudah
menjadi tawananku."
Bangkit nafsu Ji Bun, serunya gusar: "Kukira tiada orang yang
mampu menahanku di sini."
"Boleh kau mencobanya?" habis berkata bayangan perempuan
cantik itupun menghilang bagai setan, kain gorden hanya sedikit
bergeming.
Rasa benci dan dendam membara di dada Ji Bun, kesan dan
tindaknya di Ciang-liong-kok seketika timbul dalam benaknya. Kalau
tidak menggunakan cara keras dan keji, jangan harap tercapai cita-
citanya untuk menuntut balas. Alasan menjadikan dirinya sebagai
sandera untuk memancing ayahnya keluar bukan mustahil hanya
alasan kosong belaka? Entah apa tujuan yang tersembunyi balik
penahanan dirinya ini?
Segera dia angkat tangan memotong ke arah kain gorden, di
tengah suara robeknya kain gorden, entah kemana perginya
perempuan rupawan tadi.
Sesaat dia melenggong, entah sejak kapan pintu keluar ternyata
juga sudah tertutup oleh sebuah jaring besar, sekali melejit dia
menerjang ke arah pintu, sekuatnya tangan menarik dan menyendal,
seketika ia terkesiap, jaring ini entah terbuat dari bahan apa. Betapa
pula besar kekuatannya sekarang, namun tarikannya sedikitpun
tidak bisa memutuskan jaring itu.
Keempat gadis baju hijau tetap berdiri di luar pintu, salah
seorang yang memegang mistar tiba-tiba berpaling sambil berkata
tertawa: "Te-gak Suseng, tenangkanlah dirimu, jaring benang ulat
sutera ini takkan putus dibacok dan dipotong dengan senjata tajam,
dibakarpun tidak akan luluh. Betapapun besar kekuatanmu hanya
sia-sia belaka, dan atap rumah ini dibangun dengan lapisan besi,
kuharap kau tidak membuang-buang tenaga."
Dingin perasaan Ji Bun, namun nafsunya semakin berkobar
malah, di mana tangannya terayun, beberapa jalur angin kencang
meluncur ke arah empat gadis yang berdiri di luar pintu. Sebat sekali
keempat gadis itu melompat terpencar, segesit kera tahu-tahu
mereka sudah berdiri pula di tempatnya semula, gerakannya aneh
dan tangkas.
Saking murka, Ji Bun himpun tenaganya menggempur ke arah
dinding. "Blang!” suaranya menggelegar, malah diri sendiri terpental
mundur oleh tenaga sendiri, gema dari pukulannya sampai sekian
lama berkumandang, begitu keras suaranya sampai kuping sendiri
serasa pekak. Mau tak mau dia harus percaya apa yang diucapkan si
gadis baju hijau tadi. Umpama kepandaian setinggi langit juga akan
sia-sia belaka, tapi rasa benci, dendam, marah betul-betul hampir
membuatnya gila, dia menggerung dengan suara bergetar:
"Perbuatan hina dan rendah ini, memangnya kalian tak malu
mengagulkan diri sebagai penegak kebenaran?"
Terdengar suara perempuan rupawan yang berkumandang entah
dari mana. Suaranya hampa mengalun di tengah udara: "Ji Bun,
tidak kugunakan kekerasan terhadapmu, itu terhitung aku
menggunakan cara yang paling baik."
"Kalau kau mengaku sebagai insan persilatan, kenapa tidak
dibereskan dengan kepandaian ilmu silat?" tantang Ji Bun.
"Tentu, cuma waktunya belum tiba."
"Sehari Ji Bun tidak mampus, aku bersumpah akan menumpas
habis seluruh Wi-to-hwe."
"Asal kau mampu, kutunggu sampai Ji Ing-hong mengunjuk diri.
Ketahuilah kehadiran kau di sini sudah tersebar luas di dunia
persilatan." Habis berkata suasana menjadi hening.
Bagai harimau yang terkurung dalam kerangkeng, Ji Bun mondar
mandir dengan mengepal tinju, hatinya murka dan penasaran,
namun tak berdaya untuk meloloskan diri.
Lima hari sudah Ji Bun terkurung. Lima hari, namun bagi
perasaan Ji Bun seperti lima tahun. Selama lima hari ini yang sering
dilihat dan bertemu muka hanya Liu Gim-gim seorang, walau dirinya
dikurung namun pelayanan terhadap dirinya cukup baik, Liu Gim-gim
selalu memberikan segala keperluan yang dia butuhkan. Diam-diam
Ji Bun gegetun dan dongkol pula terhadap gadis yang satu ini, kalau
bukan gara-gara cewek dirinya pasti takkan terkurung. Setiap kali
muncul dihadapannya, sikap Liu Gim-gim amat menantang lagi.
Tengah hari itu, seperti biasa Liu Gim-gim datang membawa
rangsum, satu persatu dia masukkan hidangan yang dibawanya
melalui sebuah lubang khusus. Wajahnya selalu bersenyum manis
mesra, lalu dia menunggu di luar jaring sambil berdiri dengan gaya
menantang. Entah sengaja atau tidak, dia sering menggerakkan
pinggang dan pinggul, membusungkan payu dara yang baru mekar
dan hanya terlindung oleh bajunya yang tipis.
Kali ini Ji Bun tidak mau menyiksa diri, makanan yang dibawakan
untuknya disikatnya habis, dengan lahap dia makan sambil
menunduk kepala, hati juga bekerja merancang cara dan akal untuk
meloloskan diri.
Dengan pandangan pesona Liu Gim-gim mengawasi Ji Bun, jejaka
bak arjuna yang meluluhkan hati setiap insan lawan jenisnya,
senyuman mesra dan genit wajahnya bertambah mekar. Entah apa
yang tengah dipikirkan? Selama lima hari ini, Ji Bun sudah mual
kalau tidak mau dikata jijik menghadapi tingkah pola cewek yang
jalang ini, selama ini belum pernah dia memberi hati kepada orang,
melirikpun dia tidak sudi.
Dengan suara aleman memikat tiba-tiba Liu Gim-gim berkata "Ji-
siauhiap, apakah tidak pernah kau merasa kuatir akan masa
depanmu sendiri?"
Ji Bun tetap sibuk menyikat makanannya, sedikitpun tidak
menghiraukan ocehan orang.
“Siauhiap seorang berbakat, laki-laki sejati, pribadimu tentu jauh
berbeda dengan orang kebanyakan, kesabaran dan ketekunanmu,
serta harkat dirimu sungguh membuatku takluk."
Tergerak hati Ji Bun, perempuan ini pandai membual, berjiwa
munafik dan pintar memikat, kenapa tidak kuperalat dia saja? Maka
lekas dia turunkan mangkok dan sumpit, dimasukkan nampan terus
didorong keluar, katanya dingin sambil berdiri: "Nona Liu ada
petunjuk apa terhadapku?"
Biji mata Liu Gim-gim yang jeli bening memancarkan sinar aneh,
katanya aleman: “Ji-siauhiap berada di dalam kurungan, namun
masih bersikap begini tenang dan wajar, sungguh mengagumkan.”
"Memangnya aku ini seorang persilatan ynag harus berani
mempertaruhkan jiwa raga, kenapa harus gentar menghadapi ujian
hidup."
"Karena itulah hamba tadi bilang amat kagum akan kebesaran
jiwa Siauhiap."
"Ah, kau terlalu memuji."
Sekian saat Liu Gim-gim menepekur sambil gigit ujung jari, lalu
katanya dengan suara lirih: "Apakah Siauhiap tidak ingin lolos?"
"Kalau dikatakan ingin, kenyataan tidak mungkin."
"Jadi Siauhiap ingin lolos?"
"Sudah tentu, manusia mana yang tidak ingin bebas merdeka?
Demikian juga aku ini.”
"Akan tetapi, apa pula rencana Siauhiap setelah bebas?"
"Mungkin nona bisa memberi petunjuk?”
Diam sebentar, akhirnya Liu Gim-gim berkata pula "Dua hari yang
lalu, majikan kami telah turun gunung." Kata-kata ini tiada
juntrungannya, namun mengandung maksud tertentu bagi
pendengaran Ji Bun, tidak mungkin tanpa sebab nona ini bicara soal
ini.
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar