CerSil : HATI BUDHA TANGAN BERBISA 2

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Senin, 03 Oktober 2011

"Apa, direbut orang? Ada orang berani merebut barang dari
tangan Te-gak Suseng memangnya dia sudah bosan hidup. Dik
siapakah dia?"
Berkilat laksana bintang kejora biji mata Ji Bun di dalam
kegelapan, dengan tajam ia tatap muka Thian-thay-mo-ki, seolah-
olah hendak menyelami hatinya, apakah sikapnya ini pura-pura
belaka atau bicara setulus hati, dengan dingin ia menjawab: "Gerak
gerik orang itu sangat mengejutkan, tidak sempat kulihat jelas
bagaimana bentuk bayangannya,"
Diliputi rasa kaget dan heran suara Thian-thay-mo-ki:
"Memangnya tokoh macam apakah dia? Mungkin ia sudah tahu
manfaat anting-anting itu, kalau tidak buat apa dia merebutnya."
"Tapi soal anting-anting itu tiada orang lain yang tahu."
"Jadi kau curiga akan perbuatan guruku?"
"Aku tidak mengatakan demikian."
"Untuk ini aku berani tanggung, guruku takkan sudi melakukan
perbuatan serendah ini."
Sikapnya yang sungguh-sungguh membuat Ji Bun percaya,
keduanya berdiam sesaat lamanya, akhirnya Thian-thay-mo-ki
bersuara pula: "Dik, apakah gerak-gerik bayangan itu teramat cepat
dan aneh?"
"Ya, seperti setan iblis layaknya."
"Mungkinkah ...... si dia?"
"Dia ......... siapa?"
Sejenak berpikir baru Thian-thay-mo-ki berkata: "Pernahkah
kaudengar nama Biau-jiu Siansing (si Tuan bertangan gaib)?"
"Pernah kudengar, kabarnya jejak orang ini pergi datang tidak
menentu, pandai menyamar, jarang orang melihat wajah aslinya
....."
"Dinilai kepandaiannya, mungkin hanya beberapa gelintir saja
yang sejajar dengan Biau-jiu Siansing di jaman ini, pula
kepandaiannya mencuri begitu hebat, seumpama memetik bintang
mengambil rembulan, Lweekangnya kabarnya juga teramat tinggi."
"Cici menyangka akan perbuatannya?"
"Ini hanya dugaan saja."
"Cara bagaimana kita bisa menemukan dia?"
"Sulit, tapi ....... " Thian-thay-mo-ki mengerut kening dan berpikir
sekian lama, lalu menyambung pula: "Untuk mencari dia memang
sesukar memanjat langit, terpaksa kita harus paksa dia sendiri yang
muncul.”
"Memaksa muncul bagaimana?"
"Kita tawan seseorang sebagai sandera untuk memancingnya."
"Apa, menawan orang sebagai sandera?"
"Selain itu tiada cara lain."
"Lalu siapa yang harus kita tawan?"
"Kau kira cara ini boleh dilakukan? Baiklah, biarlah kuberitahu
sebuah kisah rahasia dunia, persilatan kecuali aku mungkin tiada
orang kedua yang tahu. Biau-jiu Siansing punya seorang gundik,
tinggal di .........”
"Gundik! Jadi dia punya keluarga?"
"Dengarkan ceritaku, gundiknya itu tinggal di sebuah gedung di
dalam kota Cinyang, dari gundik ini dia mendapatkan seorang
putera, kira-kira berusia sepuluh, begitu besar kasih sayangnya
terhadap puteranya ini .......”
"Dari mana Cici mengetahui hal ini?"
"Dua tahun yang lalu, aku ada urusan ke Cinyang, karena
mengejar seorang musuh aku kesasar memasuki sebuah gedung
kuno. Kutemukan penghuni gedung kuno ini adalah seorang ibu dan
puteranya yang masih kecil, pembantunya semua adalah
perempuan. Namun gedung kuno itu dipajang dan dihias serba
mewah dan antik. Kebetulan seorang tua bungkuk melompat masuk
tidak melalui pintu tapi dari atas tembok belakang, gerakannya gesit
dan cepat sekali. Semula aku kira orang ini adalah maling atau
sebangsa panca longok, namun dugaanku ternyata meleset. Dari
pembicaraan mereka yang kucuri dengar, baru aku tahu bahwa
orang tua bungkuk kurus itu ternyata adalah Biau-jiu Siansing yang
tersohor di Kangouw ...........”
"Orang tua renta bungkuk?"
"Itu bukan wajah aslinya, waktu itu kupikir seorang gadis tak
enak mencuri dengar pembicaraan pribadi orang lain, maka secara
diam-diam aku mengundurkan diri. Namun pengalamanku yang tak
terduga itu, menimbulkan suatu ilham dalam benakku malah."
Ji Bun berkata: "Maksud Cici hendak menculik puteranya itu dan
dijadikan sandera? Kenapa tidak kita luruk saja ke gedung itu, kalau
kepergok kebetulan malah, kalau tidak ketemu boleh kita tunggu
sampai dia muncul ........”
"Terlalu rendah kau menilai Biau-jiu Siansing, duplikatnya teramat
banyak, pandai dan cerdik lagi. Jika tidak kau pegang
kelemahannya, jangan harap kau bisa berurusan sama dia."
"Baiklah, mari sekarang berangkat ke Cinyang."
"Nanti dulu."
"Cici masih ada urusan apa lagi?"
"Masin ingat tentang Sek-hud itu?"
"Sek-hud? Memangnya kenapa?”
"Pui Ci-hwi atau gadis baju merah itu sudah membeberkan
rahasia tempat penyimpanan Sek-hud itu kepada putera ketua Cip-
po-hwe yang bernama Liok Kin itu."
"Pemuda baju putih itu bernama Liok Kin? Memangnya kenapa
lagi?"
"Konon kabarnya Sek-hud merupakan benda pusaka yang tak
ternilai, kini bakal terjatuh tangan Cip-po-hwe .......”
"Kukira tidak mungkin!"
"Kenapa tidak mungkin?"
"Jago-jago kosen Wi-to-hwe masakah berpeluk tangan saja?"
"Bukan begitu soalnya, Lok Kin mengaku sebagai putera seorang
keluarga In di Jiciu, hakikatnya Pui Ci-hwi tidak tahu akan asal
usulnya, dengan segala daya dan akal licik Liok Kin berhasil
menggait dengan tujuan memperoleh Sek-hud itu. Kini mereka
sudah turun dari Tong-pek-san, bagaimana nasib Pui Ci-hwi
selanjutnya sulit diramalkan. Betapapun terlalu banyak jumlah jago-
jago kosen Wi-to-hwe, dalam waktu dekat ini kita mungkin sukar
bertindak."
Terbayang wajah molek dari gadis baju merah bak mutiara nan
cemerlang dalam benak Ji Bun. Dalam hati diam-diam ia
memperingatkan diri sendiri bahwa nona itu adalah musuh, mati
hidupnya tiada sangkut paut dengan dirinya.
Akan tetapi iapun menyadari bahwa sesuatu sedang menggelitik
di dalam lubuk hatinya, sehingga dia sukar mengendalikan
perasaannya lagi. Kekotoran jiwa dan kebejatan pemuda baju putih
Liok Kin membuatnya tak tahan untuk berpeluk tangan.
Akan tetapi dari jauh Thian-thay-mo-ki ke sini mencari dirinya
untuk memberi tahu hal ini, apa pula maksudnya? Semestinya dia
benci pada Pui Ci-hwi karena orang ini menjadi saingan beratnya.
Maka ia lantas bertanya: "Cici, maksudmu menghendaki aku
menolongnya dari cengkeraman Liok Kin yang kotor itu?”
"Betul, bukankah kau mencintainya?"
Ji Bun melengak, tanyanya: "Cici, kau tidak membencinya?"
"Kenapa aku harus membencinya? Aku kasihan padanya malah."
"Kasihan? Kenapa Cici malah kasihan padanya?"
"Karena gadis yang masih suci bersih tidak menyadari bahwa
dirinya dipermainkan orang."
Kata-kata ini seketika membakar rasa cemburu Ji Bun, memang
aneh perasaan manusia, dia kasmaran terhadap Pui Ci-hwi sampai
perintah orang tua yang menyuruhnya melamar puteri keluarga
Ciang di Kayhong dia batalkan begitu saja, namun kenyataan gadis
yang di kejar-kejar ini tidak membalas cintanya, kini malah
diketahuinya bahwa nona, itu adalah komplotan para musuhnya.
Kenyataan ini tidak kuasa menahan rasa cemburunya, hal ini
membuat Ji Bun sendiri tidak mengerti kenapa teraknir ini ia
kehilangan pegangan akan sifatnya dulu yang keras kepala.
Mungkinkah Thian-thay-mo-ki sengaja mengatur muslihat dengan
pura-pura "mundur untuk siap melangkah maju setindak," sekaligus
memperlihatkan kebesaran cintanya? Kalau dugaan benar, akal
muslihatnya ini sungguh lihay dan jitu. Karena ia tidak menaruh
perhatian terhadap Sek-hud, akhirnya ia bertanya: "Apa Cici ada
maksud mereebut Sek-hud itu?"
"Tidak. Bagaimana tindakanmu selanjutnya?"
"Kenapa Cici tidak beritahu kepada Wi-to-hwe supaya mereka
bereskan sendiri?”
"Aku tidak sudi berhubungan dengan mereka "
"Lalu kenapa kau beritahu kepadaku .........”
"Dik, jangan berbelit-belit, aku tahu cintamu hanya tertuju
kepada Pui Ci-hwi," sampai di sini tiba-tiba suaranya berubah rawan.
"Terhadapku, hakikatnya melirikpun kau tidak sudi, mungkin kau
pandang aku ini perempuan jalang, atau mungkin kau pandang aku
perempuan liar yang sudah kehilangan bentuk aslinya, bahwa
belakangan ini kau mau bergaul dengan aku hanyalah bermuka-
muka saja .......”
Diam-diam Bun mengakui akan kelihayan Thian-thay-mo-ki,
tukasnya: "Cici jangan salah paham."
"Dik, jangan kau menyangkal, tidak perlu memberi penjelasan.
Dengarkan, walau aku tahu akan hal ini, namun aku tetap senang
bersamamu, dulu aku pernah lancang mulut mengatakan kita adalah
sejenis, dari golongan sesat, anggaplah ucapanku itu hanya isapan
jempol belaka, yang betul kau bukan akupun bukan. Kau sudah
kupahami, bahwa cinta hakikatnya tidak boleh dipaksakan, tiada
yang kupinta dan tiada yang kuharapkan. Aku hanya mohon sukalah
kau tetap pandang aku sebagai teman biasa. Mungkin kau mengira
aku punya tujuan tertentu, namun aku ingin berterus terang
kepadamu, tidak sama sekali. Aku rela mengabulkan cita-citamu,
itulah sebabnya kenapa aku mau membeberkan semua rahasia ini
kepadamu, kuharap Pui Ci-hwi selanjutnya mau mengubah sikapnya
terhadap kau.”
Ji Bun betul-betul terharu, ia terpukul dan malu diri akan sikap
dan perlakuannya selama ini terhadap Thian-thay-mo-ki. Terang
sekali bahwa penilaiannya selama ini terhadap perempuan genit ini
memang salah sama sekali, yang betul dia ini seorang perempuan
yang patut dipuji dan perempuan teladan.
Namun pikiran lain segera menyangkal akan pikiran bajiknya ini,
sembilan diantara sepuluh orang perempuan dalam dunia ini
umumnya berjiwa cemburu, kecuali cinta jarang terjadi
persahabatan yang kental di antara laki dan perempuan, karena
biasanya persahabatan itu tidak akan bertahan lama, dinilai dari
nama julukan Thian-thay-mo-ki, siapapun sukar mau percaya bahwa
jiwanya begitu luhur.
Namun kenyataan, ia tidak kuasa mendebatnya. Dirinya tetap
tidak menaruh cinta terhadapnya, yang terang rasa kurang
senangnya jauh lebih menjalari sanubarinya, sehingga sedemikian
jauh ia tetap tidak mau percaya bahwa perempuan ini berjiwa
bersih. Namun ia toh harus menghadapi kenyataan ini, katanya:
"Cici, aku amat berterima kasih."
"Apa kau bicara setulus hatimu?"
Rada panas kulit muka Ji Bun, dengan suara lirih dia mengiakan.
"Baiklah, marilah kita berangkat!"
"Berangkat ke mana?"
"Kita harus mencegah Liok Kin membawa Pui Ci-hwi pulang ke
markas besar Cip-po-hwe."
Kalau Pui Ci-hwi betul-betul kejeblos ke dalam markas Cip-po-
hwe, maka hancurlah jiwa-raga Pui Ci-hwi, peduli bagaimana sikap
dan perasaannya sekarang terhadapnya, betapapun Ji Bun tak dapat
berpeluk tangan membiarkannya terjatuh ke tangan Liok Kin,
"Apakah masih ada waktu," tanyanya.
"Ada, kita langsung kejar ke markas besar Cip-po-hwe, pasti bisa
menyandaknya."
4.12. Kuil Mesum Siong-cu-am
Semula Ji Bun masih bimbang, apa manfaatnya? Kalau setengah
hari yang lalu ia mendengar berita ini, tanpa pikir tentu ia akan
mengejarnya, namun setelah bertemu dengan ayahnya dan tahu
siapa-apa musuhnya, maka pikirannya banyak berubah. Bahwa ia
pernah berbuat salah menolong jiwa Siangkoan Hong yang menjadi
musuh utama keluarganya, apakah kesalahan itu harus terulang
dengan menolong Pui Ci-hwi lagi. Namun sesuatu kekuatan yang
mengeram dalam sanubarinya seolah-olah menyetir pikirannya,
sehingga dia tak kuasa lagi mengendalikan diri. Akhirnya dia
manggut-manggut dan berkata: "Baiklah, mari berangkat."
Keduanya segera meluncur ditengah malam gulita, sekuat tenaga
mereka berlari. Sejam kemudian, sinar cemerlang sudah menongol
di ufuk timur sana, kokok ayampun sudah bersahutan. Setelah
terang tanah baru mereka mendapatkan sebuah kedai di pinggir
jalan, kedai udik ini umumnya menyediakan kue-kue kasar dan
terbuat dari bahan-bahan kasar pula. Walau masih terlalu pagi,
namun orang-orang desa yang membawa dagangannya ke kota
banyak yang mampir untuk tangsal perut dan melepaskan lelah
sekadarnya.
Mereka memilih tempat duduk menunggu sekian lamanya baru
dilayani oleh seorang laki-laki gemuk yang berlepotan minyak,
setelah manggut-manggut pelayan ini bertanya: "Tuan dan nyonya
hendak makan atau minum arak?"
Sekilas Ji Bun melirik kepada Thian-thay-mo-ki, katanya: "Ada
bubur?"
"Ada bubur beras menir, ada pula bakpau yang masih panas
......”
"Baik, sediakan pula nyamikan lain yang enak," pinta Ji Bun.
"Harap tunggu sebentar, segera kami siapkan," sahut pelayan
terus mengundurkan diri.
Di tengah keributan tamu-tamu yang makan minum itu,
terdengar seorang yang bersuara serak sedang berkata: "Baru saja
pergi sepasang, kini datang pula sepasang, kedua pasangan adalah
orang-orang yang mempesona, cuma sayang yang ........." Kata-
katanya tidak dilanjutkan, namun kata-katanya yang terakhir terang
ditujukan kepada Ji Bun, cepat Thian-thay-mo-ki berkata: "Nah kau
sudah dengar, mereka belum lagi pergi jauh, dalam satu jam lagi
pasti bisa menyandaknya."
Lekas mereka makan minum sekenyangnya terus melanjutkan
perjalanan dengan kecepatan lari mereka, lima puluh li kira-kira
sudah mereka tempuh, namun bayangan pemuda baju putih dan Pui
Ci-hwi tetap tidak kelihatan.
Ji Bun menjadi gelisah, katanya: "Mungkin kita kesasar ......”
Thian-thay-mo-ki menengadah melihat cuaca, katanya:
"Sekarang masih pagi, mari kita kejar lagi ke depan."
Mereka mempercepat langkah mengejar ke depan, tanpa terasa
hari sudah menjelang tengah hari, di depan sana membentang
hutan yang rimbun, di dalam hutan lapat-lapat kelihatan warna
merah seperti bangunan kelenteng.
Ji Bun menghentikan langkah, katanya: "Apa perlu masuk ke
kelenteng itu untuk memeriksanya, mungkin mereka sedang istirahat
di sana."
Tengah mereka bicara, tiba-tiba tampak sesosok bayangan
langsing berkelebat di dalam hutan. Tanpa banyak kata Ji Bun
segera melesat ke sana, sebuah kelenteng kecil mungil indah berdiri
di dalam hutan, pigura di atas pintu bertatahkan tulisan "Siong-cu-
am". Agaknya kelenteng ini memuja Siongcu-nio-nio. Ji Bun
langsung mendekati pintu, belum lagi ia mengetuk pintu, kebetulan
pintu kelenteng dibuka, seorang Nikoh muda yang memegang
kebutan muncul, dengan sebelah tangan ia memberi hormat serta
bertanya: "Sicu datang dari mana?"
Tampak Nikoh ini bersolek, alis lentik, bibir bergincu, pipinya
kemerahan dan tingkah lakunya agak genit. Ji Bun tahu kelenteng ini
pasti tempat mesum, maka menjawab dengan suara kasar dan kaku:
"Mencari orang!"
Nikoh itu unjuk rasa heran dan bingung, tanyanya: "Siapa yang
kau cari?”
“Seorang laki dan perempuan."
"Omitohud, kelenteng kami adalah tempat suci, mana ada laki
perempuan, mungkin Sicu ........”
"Cayhe harus memeriksanya ke dalam."
"Sicu, laki-laki dilarang masuk ke dalam kelenteng."
Thian-thay-mo-ki segera beranjak maju, katanya dengan tertawa
nyaring: "Kalau aku tidak jadi soal bukan?" sembari berkata
langsung melangkah masuk.
Nikoh muda ini segera melintangkan kebutnya, katanya: "Sicu ini
harap tahu diri."
"Kelenteng adalah terbuka untuk umum bagi yang ingin
menderma, Suhu cilik kenapa merintangi aku?”
“Sicu keliru, kelenteng kami tidak terima sumbangan."
"Kebetulan menghemat uangku," ujar Thian-thay-mo-ki terus
menerjang masuk.
Berubah air muka si Nkoh, serunya: "Sicu mau pakai kekerasan?"
"Boleh saja!" jengek Thian-thay-mo-ki tak acuh. Mulut bicara kaki
tetap melangkah badan langsung menumbuk ke arah kebutan si
Nikoh yang melintang. Sekali si Nikoh memutar pergelangan, benang
kebutan yang terbuat dari bulu ekor kuda tahu-tahu berubah keras
laksana kawat tajam menyongsong terjangan Thian-thay-mo-ki.
Gerakan ini cukup keji dan hebat, namun Thian-thay-mo-ki cukup
menyampuk sekali sambil membentak: "Beginikah tingkah seorang
beribadat?”
Sampokan ini membuat Nikoh muda itu sempoyongan mundur,
Thian-thay-mo-ki langsung berlari ke dalam. Dengan mendelik Nikoh
muda ini pandang bayangan Thian-thay-mo-ki menghilang dan tetap
mengadang di pintu. Lekas sekali terdengar suara gedebukan dan
suara bentakan dari dalam disusul jeritan kesakitan. Cepat Ji Bun
menerjang ke dalam.
"Berhenti, Sicu!" bentak si Nikoh muda.
"Ingin mampus kau?" jawab Ji Bun.
Nikoh muda itu menyurut menghadapi tatapan Ji Bun yang
berwibawa, cepat sekali Ji Bun melesat ke dalam, setelah membelok
ke kiri di belakang dinding tertampak rebah seorang gadis berbaju
hijau, di sebelah sana Thian-thay-mo-ki tengah berhadapan dengan
seorang Nikoh tua dan empat Nikoh muda yang mengepungnya.
Kedua pihak belum berhantam. Begitu Ji Bun berhenti, Nikoh muda
yang mengejar dari belakang sudah tiba, kebut terus menyabet
punggung Ji Bun.
Ji Bun berkelit membalik badan, katanya: "Kuperingatkan lagi
kepadamu, jangan cari mampus!" Kelima Nikoh di sebelah dalam
serempak alihkan pandangannya kemari.
Nikoh muda itu anggap tidak dengar peringatannya, begitu
kebutannya luput, kembali ia melangkah maju, telapak tangan kiri
secepat kilat menebas ke depan.
Membesi dingin muka Ji Bun, kali ini ia tidak bergerak dan tak
bersuara, diam saja membiarkan pukulan lawan mengenai tubuhnya.
"Huaaah!" jeritan tertahan keluar dari keluar mulut Nikoh muda itu
terus terguling dua kali dan tak bergerak lagi.
Berubah hebat air muka kelima Nikoh yang lain, terunjuk amarah
yang meluap pada muka Nikoh tua itu, desisnya gemetar: "Siapa
Sicu ini?”
"Aku yang rendah Te-gak Suseng."
Berubah bingung dan jeri muka Nikoh tua yang diliputi amarah,
keempat Nikoh muda itupun pucat dan ketakutan serta berlompatan
menyingkir kebelakang.
Segera Thian-thay-mo-ki berlari ke belakang.
"Cegat dia!" Nikoh tua memberi perintah, keempat Nikoh muda
itu serentak mengadang maju, namun tanpa berpaling Thian-thay-
mo-ki gerakkan kedua tangannya, di tengah suara keluhan tertahan,
keempat Nikoh muda itu tersentak mundur berputar-putar.
Sekali berkelebat lagi bayangan Thian-thay-mo-ki sudah lenyap
ke dalam pintu ini samping sana. Sambil menggerung gusar keempat
Nikoh muda itu beramai-ramai mengejar ke dalam.
Nikoh tua tuding Ji Bun, serunya: "Te-gak Suseng, apa
maksudmu kemari?"
"Mencari orang."
"Cari siapa?"
"Bocah she Liok."
"Kau terlalu mengbina, berani kau berlaku kasar dan membunuh
orang dalam kelenteng suci .......”
Ji Bun menunjuk gadis baju hijau yang tergeletak di pinggir
tembok sana, tanyanya: "Siapakah gadis yang mati itu?"
"Peduli siapa dia, kalian harus membayar hutang jiwa ini."
"Kuulangi perkataanku, apakah bocah she Liok dan gadis baju
merah ada di dalam kelenteng ini?”
"Te-gak Suseng, kelenteng adalah tempat suci, mana boleh kau
menghina dan bikin kotor di sini ......" saking murka badan Nikoh tua
sampai gemetar.
Ji Bun jadi rikuh akan sepak terjangnya, biarpun para Nikoh di
sini semua cabul dan tidak menjalankan ajaran agama semestinya,
namun tanpa sebab dan alasan dirinya tanya keterangan bocah she
Liok, padahal kemungkinan para Nikoh ini memang tidak tahu siapa
sebetulnya Liok Kin itu. Kini dua jiwa sudah menjadi korban, ia jadi
menyesal akan kebrutalannya.
Beruntun terdengar pula jeritan dari belakang, agaknya keempat
muda itu sudah dirobohkan Thian-thay-mo-ki. Tengah ia terlongong,
dilihatnya Nikoh tua dihadapannya menggerakkan ke dua tangan.
Baru saja Ji Bun hendak balas menyerang, tiba-tiba disadarinya
bahwa pukulan lawan tidak membawa gempuran tenaga atau
samberan angin, namun serangkum bau harum segera merangsang
hidungnya. Tanpa terasa ia bergelak tertawa, katanya: "Orang
beribadat ternyata juga pakai racun, sayang kau keliru berhadapan
dengan aku."
Seketika terunjuk mimik jeri dan ketakutan pada muka Nikoh tua,
suaranya. bergetar: "Kau kau tidak takut racun?"
"Bicara soal racun, kau, hanya bertingkah saja di hadapan
seorang ahli."
Nikoh tua melangkah mundur, tangan kanan pelahan bergerak
naik, waktu tangannya terangkat sejajar kepalanya, telapak
tangannya sudah berubah hitam legam, matanya beringas dan
menakutkan sekali.
Ji Bun mengejek dingin: "Hek-sat-jiu! Baru setengah sempurna!"
"Serahkan jiwamu!" ditengah bentakan yang menusuk kuping,
jari-jari tangan si Nikoh yang hitam bagai cakar, tahu-tahu
mencengkeram ke arah Ji Bun, gerakannya cepat, aneh dan ganas
sekali, agaknya kepandaian silat Nikoh tua ini tidak rendah.
Namun Ji Bun pandang serangan ini seperti sentuhan belaka
tanpa dihiraukan. Jari-jari lawan dibiarkan mencengkeram
pundaknya, kukunya yang runcing sampai mencakar kulit dagingnya.
Tapi Ji Bun tenang-tenang tanpa unjuk sesuatu katanya:
"Sebetulnya Cayhe tidak ingin membunuhmu."
Nikoh tua itu menyeringai, berbareng telapak tangannya
menabas tegak. Serangan ini diluar dugaan Ji Bun, namun reaksinya
cukup cepat, meski tidak sempat menangkis atau balas menyerang,
namun untuk menggunakan ilmu mujijatnya yang mematikan masih
cukup berkelebihan.
"Blang", diselingi keluhan tertahan, Ji Bun muntah darah dengan
badan terjengkang. Hampir dalam waktu yang sama, Nikoh tua
itupun sempoyongan ke belakang, tangannya yang gemetar
menuding Ji Bun yang sedang merangkak bangun, mulutnya
berteriak menakutkan: "Kau .... kau....." bayangan abu-abu tiba-tiba
berkelebat, melesat melampaui wuwungan rumah terus lenyap.
Ji Bun melengak, untuk kedua kalinya ilmu mujijatnya yang
mematikan gagal membunuh lawan yang pertama adalah orang
misterius yang merebut anting-anting itu, sejak dirinya berkelana
hanya dua kali kekecualian ini, selain tidak sempat menggunakan
ilmunya yang ganas itu, biasanya setiap korbannya pasti mampus.
Setelah terlongong sekian lamanya, baru dia teringat pada Thian-
thay-mo-ki yang sudah sekian lamanya melabrak ke dalam dan tiada
kedengaran suaranya, mungkinkah mengalami sesuatu. Maka
bergegas ia lari ke belakang, di antara bayang-bayang pepohonan
yang rimbun, di sana berderet tiga bangunan yang mungil, di
papiliun mungil itu menggeletak empat sosok mayat, suasana sunyi
senyap tak kedengaran suara apapun.
Sekali lompat Ji Bun tiba di serambi papiliun itu, dari jendela ia
melongok ke dalam, tampak kamar-kamar dipajang begitu indah dan
serba mewah, bahwa tempat ini tidak mirip tempat suci yang biasa
dihuni sebangsa Nikoh yang memeluk agama, mungkin kelenteng ini
hanyalah berkedok untuk berbuat mesum dan kejahatan lainnya.
Yang tengah adalah ruangan tamu, panjangnya tak ubahnya
seperti istana raja, kamar yang belakang adalah kamar tidur,
pajangan dan barang-barang yang ada mirip dengan kamar
pertama. Ketiga kamar ini semua kosong, tak tampak bayangan
orang.
Terkerut alis Ji Bun, sesaat ia kehilangan Thian-thay-mo-ki terang
takkan pergi begitu saja tanpa pamit, memangnya ke mana dia?
Kecerdikan dan kepandaian silatnya meyakinkan takkan mengalami
sesuatu di luar dugaan, namun ke mana dan di mana dia?
Tengah bingung dan mencari, tiba-tiba dilihatnya sebuah gambar
dewi Koan-im yang tergantung di dinding kamar tengah itu bergerak
pelahan, maka muncullah sebuah pintu sempit yang tiba cukup
untuk lewat seorang. Berdegup jantung Ji Bun, hatinya menjadi
tegang, disaat siap-siap bertindak, dilihatnya seseorang menerobos
keluar dari pintu gelap itu, kiranya Thian-thay-mo-ki adanya.
"He, apa yang telah terjadi?" tanya Ji Bun keheranan.
Dengan langkah gemulai Thian-thay-mo-ki bertindak keluar,
katanya sambil acungkan jempolnya ke belakang: "Kamar di bawah
tanah itu megah sekali, tak kalah dengan kamar puteri raja.”
"Apa yang kautemukan di sana?"
"Tempat ini adalah salah satu cabang Cip-po-hwe ......”
"Cabang Cip-po-hwe?" seru Ji Bun kaget.
"Dik, coba kau masuk melihatnya sendiri. Sebentar kau akan
paham.”
"Kalau benar tempat ini cabang Cip-po-hwe, bocah she Liok itu
pasti mampir kemari."
"Memang tadi dia kemari, kini sudah pergi pula."
"Lalu Pui Ci-hwi?"
"Masuklah dulu melihatnya."
Tak habis heran Ji Bun karena didesak untuk memeriksa kamar di
bawah tanah, namun rasa tertarik memang tak tertahan lagi, sekilas
ia melirik terus melangkah masuk.
Di belakang pintu sempit ini adalah sebuah lorong panjang yang
pakai undakan, di ujung loteng sana adalah jalanan datar halus yang
cukup lebar sepanjang puluhan tombak. Tiga kamar kembali berjajar
segitiga di ujung sana, sehingga di tengah-tengah ketiga kamar ini
merupakan pekarangan yang cukup luas. Kamar yang tengah
tertutup kerai dengan pintu tertutup rapat, dua kamar di kanan kiri
semua tertutup dan digembok dari luar.
Setelah bimbang sebentar Ji Bun menyingkap kerai mandorong
pintu dan melangkah masuk ke kamar tengah. Bahwa Thian-thay-
mo-ki menyuruh dirinya memeriksa kamar di bawah tanah ini, ia
menduga pasti ada apa-apa di dalam ketiga kamar ini.
Begitu melangkah masuk bau wangi segera merangsang hidung,
tampak pajangan berwarna warni, sampaipun meja kursi semua
terbuat dari barang-barang antik yang berukir indah dan hidup, jelas
semua ini adalah barang-barang peninggalan jaman dahulu kala.
Sebuah ranjang kayu cendana terletak di bagian dalam dengan kasur
tinggi dan seprei jambon, kelambu menjuntai turun, keadaan ini tak
ubahnva seperti kamar tidur seorang permaisuri raja.
Bahwa di dalam sebuah kelenteng dibangun kamar-kamar
seindah ini, maka dapatlah dibayangkan apa gunanya tempat-
tempat seperti ini. Tiba-tiba matanya bentrok dengan noda-noda
darah yang berceceran diatas ranjang darah kental yang belum
kering, jantungnya berdegup semakin keras, dengan langkah lebar ia
memburu maju serta menyingkap kelambu.
"Hah!" tiba-tiba ia menjerit tertahan dan menyurut mundur,
selebar mukanya merah jengah. Ternyata di atas ranjang
menggeletak dua sosok mayat, mayat yang di atas adalah seorang
perempuan gundul atau Nikoh muda yang cantik menggiurkan, yang
dibawah adalah laki-laki bercambang dan bertubuh kekar.
Keduanya saling tindih dan telanjang bulat, badan bagian atas
sudah terpisah. Namun keempat kaki mereka masih saling tindih,
dari badan merekalah darah itu mengalir ke bawah kasur.
Selama ini Ji Bun belum pernah melihat adegan yang memalukan
seperti ini, sekian lamanya ia tertegun di tempatnya. Lama sekali
baru ia sadar kembali, ia duga pada saat kedua laki perempuan ini
berbuat mesum kepergok oleh Thian-thay-mo-ki, lalu dibunuhnya.
Sebagai gadis perawan sudah tentu dia malu menjelaskan, maka dia
suruh dirinya turun kemari menyaksikan sendiri.
Ji Bun menggeram gusar, di mana kaki tangannya bergerak,
semua perabot di dalam kamar ini disapunya porak poranda, sudah
tentu perbuatannya ini tiada gunanya, mungkin hanya untuk
melampiaskan rasa sebal dari menghilangkan rasa malunya saja.
Cepat ia berlari keluar lalu menarik pintu kamar di sebelah kiri,
begitu pintu terbuka seketika dia berjingkat. Seorang gadis berbaju
hijau rebah tak bernapas di dalam kamar, dandanannya mirip
dengan gadis berbaju hijau yang mati di bawah tembok di luar tadi.
Seperti apa yang dikatakan Thian-thay-mo-ki, bahwa Siong-cu-
am ini adalah salah satu cabang Cip-po-hwe, kedua gadis baju hijau
ini terang adalah murid-murid yang datang dari markas pusat seperti
yang pernah dilihatnya tempo hari. Sayang sekali, Nikoh tua itu
sempat melarikan diri.
Kembali ia menarik pintu kamar terakhir, pajangan kamar ini tak
ubahnya seperti kamar di tengah, perabuan yang berbentuk
binatang terletak di atas meja masih mengepulkan asap dupa yang
wangi semerbak. Kelambu setengah terbuka, bantal guling dan
seprei morat marit, seperti baru saja di tiduri orang dan belum lama
meninggalkan tempat ini. Selain itu tiada apa-apa lagi yang patut
diperiksa, maka. Ji Bun lekas keluar meninggalkan kamar bawah
tanah itu.
"Bagaimana? " tanya Thian-thay-mo-ki tersenyum begitu dia
keluar.
"Tempat mesum yang kotor, bakar saja," kata Ji Bun dengan
uring-uringan.
"Demikian juga pikiranku," ujar Thian-thay-mo-ki.
"Darimana Cici tahu kalau tempat ini cabang Cip-po-hwe?"
"Kau sudah lihat mayat gadis baju hijau itu? Dialah yang
mengaku sebagai dayang-dayang Liok Kin, ke mana sang majikan
pergi, ke situlah pula mereka berada .......”
"Ada kabar Pui Ci-hwi?"
"Ada, satu jam yang lalu mereka sudah pergi pula," sahut Thian-
thay-mo-ki. "Dia sudah tergenggam di tangan Liok Kin .......”
Mendelu perasaan Ji Bun, memang aneh perasaan itu, ia sudah
tahu bahwa gadis berbaju merah adalah sekomplotan dengan
musuh, iapun sudah tegas memutuskan harapannya untuk
mempersuntingnya, kini setelah urusan mendesak, tak kuasa ia
mengendalikan diri sendiri, biasanya sikapnya dingin, angkuh dan
nyentrik, namun tali asmara ini begitu ulet dan kencang mengikat
sukma, tak kuasa dia memutuskan begitu saja.
"Hayolah Dik, kita kejar lagi," ajak Thian-thay-mo-ki.
"Kejar ke mana?"
"Ke mana mereka akan mendapatkan Sek-hud itu."
"Sek-hud?" hakikatnya Ji Bun tak punya minat terhadap Sek-hud,
maka reaksinya tawar saja, katanya: "Kukira kita tidak usah
bercapek lelah, tujuan Cip-po-hwe adalah mengumpulkan harta
benda yang serba antik, namun untuk tujuan kali ini pasti mereka
salah alamat, para bangkotan dari Wi-to-hwe itu cukup untuk
membikin mereka kocar kacir."
"Betul ucapanmu, namun jiwa Pui Ci-hwi sulit dipertahankan lagi
.............”
"Ada orang lain yang akan menagih jiwanya?."
"Memangnya apa pula maksud tujuan perjalanan kita ini?"
Setelah tertegun Ji Bun berkata: "Aku hanya ingin membantai
bocah she Liok itu."
"Marilah kita kejar, kalau tidak bisa terlambat."
"Kenapa tergesa-gesa, markas Cip-po-hwe memangnya bakal
pindah ke lain tempat?"
"Bukan markas Cip-po-hwe tujuan kita."
"Habis mau ke mana?"
"Biara nomor satu di kolong langit ini."
"Maksudmu Pek-ciok-am?” Ji Bun menegas, "apakah bocah she
Liok itu ........."
"Menurut pengakuan gadis baju hijau itu, Liok Kin sedang
menggusur Pui Ci-hwi ke sana untuk mengambil Sek-hud, ini sesuai
apa yang kucuri dengar waktu di Tong-pek-san. Pui Ci-hwi pernah
memberitahu kepada Liok Kin bahwa Sek-hud disembunyikan di
puncak Pek-ciok-hong di belakang Pek-ciok-am itu"
Berkerut alis Ji Bun, katanya: "Sek-hud adalah peninggalan
penting perguruan Pu.i Kenapa dia berani membocorkan rahasia ini
kepada orang luar?"
Thian-thay-mo-ki cekikikan, katanya: "Hubungan laki perempuan
memangnya amat lugu, terutama bagi seorang gadis yang baru
mekar, sulitlah dijelaskan."
Secara tidak langsung ia mau bilang bahwa hubungan kedua
muda mudi ini sudah melampaui batas kesusilaan, sudah tentu
menusuk bagi pendengaran Ji Bun, emosinya jadi sukar ditekan
lagi."
"Cici tahu di mana letak Pek-ciok-am itu?"
"Tahu saja, kalau siang malam menempuh perjalanan, besok pagi
kita bisa sampai di tempat tujuan."
"Hayolah kita susul ke sana."
"Bakar dulu sarang rase yang mesum ini."
Kain gordin penutup kain pemujaan disiram minyak lalu mereka
sulut dengan api lilin, cepat sekali api berkobar. Sebentar saja
kelenteng itu sudah menjadi lautan api. Setelah meninggalkan
Siong-cu-am, mereka menuju ke arah timur.
Fajar menyingsing, kabut pagi masih tebal, hawa terasa dingin
segar. Pada sebuah jalan pegunungan yang kecil berliku tampak dua
bayangan orang tengah mengayun langkah berlari bagai terbang,
mereka adalah Te-gak Suseng dan Thian-thay-mo-ki. Dari jauh
Thian-thay-mo-ki menuding puncak di depan sana yang tertampak
sebuah bangunan berwarna putih, katanya: "Itulah Pek-ciok-am
yang dipandang sebagai biara nomor satu di kolong langit ini."
Ji Bun hanya mengiakan saja tanpa bicara, cepat sekali mereka
sudah tiba di depan biara, pintu tertutup. Seluruh bangunan ini
serba putih dibangun dari kepingan batu putih.
"Mari kita langsung menuju ke belakang puncak!” ajak Thian-
thay-mo-ki.
Ji Bun mengawasi pintu biara, katanya: "Apa tidak masuk dulu
melihat keadaan di dalam?"
"Orang luar biasanya di larang masuk, walau (Nikoh sakti) sudah
wafat, namun peraturan ini masih tetap dipatuhi oleh segala
lapisan."
Pada saat itulah, sekilas terlihat oleh Ji Bun serombongan orang
sedang mendatangi dari bawah gunung mengiringi sebuah tandu,
katanya: "Orang dalam tandu! Tak nyana pihak Wi-to-hwe juga
sudah mendapat kabar dan meluruk kemari."
5.13. Perebutan Sek-hud
Beberapa kali Thian-thay-mo-ki menoleh ke bawah, katanya:
"Kalau mereka sudah datang, kita tidak usah turun tangan."
Ji Bun punya perhitungan tersendiri, ia tak mau berjumpa dengan
orang-orang Wi-to-hwe, lekas ia berkata: "Cici, bagaimana kalau kita
menyingkir dulu?"
Heran tak mengerti Thian-thay-mo-ki melirik kepada Ji Bun.
katanya: "Baiklah, kita sembunyi di dalam gerombolan bambu sana."
Segera mereka menyingkap dedaunan menyelinap ke dalam
semak-semak.
Tiba-tiba Ji Bun ingat sesuatu, tanyanya: "Cici, sebetulnya siapa
ketua Wi-to-hwe?"
"Bukankah kau diundang sebagai tamu terhormat dan duduk
semeja dengan dia?"
"Aku tidak tahu siapa dia, memangnya aku heran kenapa aku
dihormati begitu rupa."
Derap langkah rombongan orang, radi semakin dekat. Tampak
tujuh delapan bayangan orang berlompatan, meluncur ke depan
biara, tandu kecil itu cepat sekali juga sudah tiba. Dengan seksama
Ji Bun mengintip dari celah-celah dedaunan, tanpa terasa ia menjadi
heran, tandu kecil ini bukan tandu milik "orang dalam tandu," itu,
pengiring-pengiring tandupun tiada yang dikenalnya, rombongan
dari manakah orang-orang ini?
Tandu diturunkan menghadap ke pintu biara, tiga orang tua
pengiring dan lima laki-laki kekar segera berdiri sejajar meluruskan
tangan di samping tandu. Terdengar suara orang perempuan yang
seperti sudah dikenalnya dari dalam tandu: "Ho-tongcu, bawa
orangmu dan periksa, ke dalam biara."
Salah satu di antara ketiga orang tua yang bermuka lonjong
berdagu panjang dengan jenggot pendek dan segera mengiakan
sambil membungkuk, sahutnya: "Lapor Hwecu, selama puluhan
tahun ini, tiada seorangpun yang berani memasuki biara ini.”
Baru sekarang Ji Bun mengerti, ternyata Cip po hwe-cu yang
berada di dalam tandu ini, tak tersangka karena mengincar Sek-hud,
sekali ini dia turun tangan sendiri memimpin seluruh anak buahnya.
Dingin suara Cip-po hwe-cu: "Ho-tongcu, itulah perintahku!"
Ho-tongcu mengiakan sambil membungkuk pula. Sekali ulap
tangan, tiga laki-laki kekar segera tampil dan mengintil di belakang
orang she Ho ini dan melangkah ke arah biara.
Dengan rasa kebat-kebit Ho-tongcu melangkah ke depan pintu.
Setelah ragu-ragu sebentar segera ia nekat mendorong pintu, tak
terduga pintu biara hanya dirapatkan saja, sekali dorong lantas
terbuka.
Dari luar memandang ke dalam, tanaman kembang dan
pepohonan teratur rajin, undakan dan serambi panjang semuanya
serba putih bersih tanpa berdebu seakan-akan setiap saat selalu
dibersihkan orang. Namun suasana tetap hening.
Tepat mengadang pintu berdiri sebuah pilar batu persegi yang
ditatah beberapa huruf berbunyi:
“Tempat suci untuk membina diri, orang biasa dilarang masuk."
Sambil mengawasi batu pilar ini, Ho-tongcu dan ketiga laki-laki
kekar tak berani melangkah masuk.
Cip-po hwe-cu bersuara dari dalam tandu: "Ho-tongcu, Pek- ciok
Sin-ni sudah meninggal, memangnya apa yang kau takuti?"
Rasa takut kelihatan di roman Ho-tongcu, katanya sambil
menoleh dengan suara gemetar: "Hwecu, itu hanya kabar angin
.........”
"Kau berani menentang perintahku?" dengus Cip-po hwe-cu,
"Hm, Li-tongcu."
Seorang tua lain yang bermuka bentuk segi tiga segera
mengiakan dan tampil kemuka. "Kau masuk dan periksa," kata
Hwecu.
"Terima perintah," sahut Li-tongcu, membusung dada dan segera
melangkah lebar memasuki biara.
Mungkin demi gengsi atau. karena takut akan peraturan
perkumpulan, Ho-tongcu segera nekat mendahului melompat masuk
ke dalam.
"Hiiiaaaat!" jeritan ngeri tiba-tiba kumandang, tampak Ho-tongcu
yang melesat masuk itu terpental keluar dan "bluk" terbanting tak
bergerak lagi, Li-tongcu dan ketiga laki-laki kekar itu sama terbelalak
dan mematung.
Di tempat sembunyinya Ji Bun berpaling kepada Thian-thay-mo-
ki, bisiknya: "Apakah Pek-ciok Sin-ni masih hidup?”
Thian-thay-mo-ki menggeleng tanda tidak tahu, mukanya serius
dan curiga. Dari reaksi beberapa orang ini, agaknya Pek-ciok Sin-ni
memang seorang tokoh yang teramat disegani.
Berputar otak Ji Bun, tanyanya pula: "Cici, peduli siapa yang
berada di dalam Pek-ciok-am, Sek-hud adalah milik pribadi Sin-ni,
walau Liok Kin diberi petunjuk oleh Pui Ci-hwi, usahanya pasti akan
sia-sia, malah mungkin jiwapun bisa melayang."
"Memangnya, Pui Ci-hwi terbius dan tak kuasa akan diri sendiri,
kukira para bangkotan Wi-to-hwe itu sudah mengetahui."
Agaknya Cip-po hwe-cu juga kaget akan kejadian diluar dugaan
ini. Lama sekali dia tak bersuara, akhirnya dia berseru lantang:
"Tokoh kosen siapakah yang ada di dalam?”
Tiada reaksi atau penyahutan. Sementara itu, Ho-tongcu yang
terlempar keluar ternyata masih hidup dan sedang merangkak
bangun dengan lemas gemetar, suaranya tersendat: "Lapor Hwecu
....... hamba ........”
"Kau kenapa?"
"Kepandaian silat dan Lweekangku punah,"
"Apa kau lihat jelas siapa yang menyerangmu?”
"Tidak, baru saja hamba melangkah masuk, entah diterjang angin
dari arah mana tahu-tahu badan terpental keluar.”
Kembali Cip-po hwe-cu berseru: "Sahabat yang ada di dalam
biara kenapa tidak sudi keluar?"
Tetap tiada sahutan, suasana menjadi hening, dan mencekam.
"Li-tengcu, kalian mundur saja," Cip-po hwe-cu memberi aba-
aba. Seperti mendapat pengampunan, ke empat orang itu bergegas
berlari balik.
Cip-po hwe-cu mendengus, jengeknya: "Sahabat tidak perlu main
sembunyi, kalau malu dilihat orang, baiklah aku mohon diri saja."
Lalu ia perintahkan anak buahnya: "Ho-tongcu boleh bawa dua
orang turun gunung lebih dulu, yang lain ikut aku ke belakang
puncak."
Cepat sekah rombongan mereka lantas meninggalkan tempat ini.
"Kita bagaimana?" tanya Ji Bun, kepada Thian-thay-mo-ki.
"Marilah kita lihat tontonan ramai," ajak Thian-thay-mo-ki. Dari
arah samping yang berlawanan, mereka lantas menuju ke Pek-ciok-
hong, puncak bagian belakang itu.
Di mana-mana batu putih melulu, tiada rumput atau pepohonan
yang tumbuh di sini, hanya di ujung jurang sana tumbuh beberapa
pohon siong yang tua dan angker. Tepat di tengah-tengah serakan
batu putih itu terdapat sebuah panggung yang menyerupai kembang
teratai.
Di tengah panggung ini berdiri pula sebuah menara setinggi
beberapa tombak. Pada bagian muka menara ini ditatah sebuah
papan batu di mana terukir sebaris huruf yang berbunyi:
"Tempat semayam Pek-ciok Sin-ni nan abadi."
Kiranya di sinilah tempat kuburan jenazah Pek-ciok Sin-ni.
Di belakang panggung ini, menjulang kelangit sebuah puncak
yang menembus mega, begitu tinggi dan curam puncak ini, kira-kira
terpaut tujuh delapan tombak dengan Pek-ciok-hong disini, jurang di
bawahnya tak terlihat dasarnya.
Bayangan orang banyak bermunculan di Pek-ciok-hong,
jumlahnya tidak kurang 50an, agaknya demi mendapatkan Sek-hud,
kali ini Cip-po-hwe benar-benar mengerahkan seluruh kekuatannya.
Sambil mengendap dan menggeremet Ji Bun dan Thian-thay-mo-
ki terus merambat naik ke puncak, lalu menyembunyikan diri di
lekukan batu.
Setelah dekat, dilihatnya Liok Kin bersama Pui Ci-hwi duduk
berendeng di atas batu yang berbentuk menyerupai seekor naga.
Cip-po hwe-cu sudah keluar dari tandu, duduk diatas sebuah batu
yang mencuat keluar tak jauh dari anaknya, di belakangnya berderet
puluhan anak buahnya.
Di belakang panggung teratai sana, delapan laki-laki berotot
kekar berdiri dengan membawa cangkul, sekop, linggis dan martir
besar. Seorang tua baju hitam mondar mandir seperti sedang
mengukur, akhirnya dia berhenti lima tombak di belakang panggung
menara itu.
Liok Kin berpaling ke arah Pui Ci-hwi dan berkata dengan suara
halus dan ramah: "Adik Hwi, tidak salah lagi tempat itu?"
Dengan kaku seperti linglung Pui Ci-hwi mengangguk.
Liok Kin segera memberi perintah dengan suara lantang: "Lekas
keduk, harus bekerja cepat dan sekuat tenaga."
Maka ramailah suara berkerontangan bekerjanya cangkul, linggis
dan martir, batu-batu kerikil beterbangan muncrat kemana-mana.
Ji bun mengertak gigi, katanya: "Cici, agak Pui Ci-hwi memang
sudah terbius ......"
"Lalu apa yang hendak kau lakukan?"
"Akan kutamatkan dulu bocah she Liok itu.”
"Nanti dulu."
"Ada apa?"
"Kukira ada apa-apa yang kurang beres, peduli siapa orang dalam
biara yang memunahkan ilmu silat Ho-tongcu, yang jelas dia adalah
sepihak dengan Pui Ci-hwi, kenapa sejauh ini dia tetap menonton
saja. Adegan-adegan tegang masih akan menyusul."
"Cip-po hwe-cu sudah tahu bahwa maksudnya telah diketahui
orang, namun dia masih nekat pasti dia punya keyakinan."
Thian-thay-mo-ki manggut-manggut. Tapi kenyataan justeru di
luar dugaan, selama ini tiada orang yang muncul mencegah
pengedukan ini.
Sebuah papan batu akhirnya terbongkar keluar, disusul suara
kaget dan kegirangan: "Sek-hud!"
Cip-po hwe-cu segera membentak: "Minggir semua!"
Belum lenyap kumandang suaranya, bagai kilat dia sudah melesat
ke tempat galian. Delapan laki-laki yang gemerobyos keringat itu
segera mundur ke samping. Setelah mengawasi tempat galian
dengan seksama, akhirnya Cip-po hwe-cu menengadah sambil
terloroh-loroh riang.
Seluruh anggota Cip-po-hwe yang hadir sama menjulur leher
sepanjang mungkin dari tempatnya ingin melihat lubang galian.
Cip-po hwe-cu pelan-pelan membungkuk badan mengulur tangan
ke dalam lubang, dikeluarkannya sebuah patung Budha yang terbuat
dari batu putih setinggi satu kaki, agaknya patung Budha ini dibuat
dan diukir oleh seorang ahli sehingga dilihat dari kejauhan sungguh
elok dan hidup.
Ji Bun berkata gemetar: "Mereka berhasil."
"Kulihat ada yang janggal," kata Thian-thay-mo-ki.
"Apanya yang janggal?"
"Apa kau tidak lihat patung itu berlubang di bagian badannya,
kukira ada yang tidak beres."
"Pandangan Cici memang tajam, pengetahuanmu juga amat
tinggi."
Ji Bun memuji sejujurnya, sejak wataknya berubah, baru pertama
kali ini ia memuji orang lain.
Thian-thay-mo-ki membalas dengan senyuman riang, katanya:
"Apa kau bukan menyindirku, Dik?"
"Aku bicara setulus hati."
"Banyak terima kasih."
Sementara itu, tampak Cip-po hwe-cu tengah membolak-balik
patung Budha itu serta memeriksanya dengan teliti. Akhirnya dia
berpaling ke arah gadis baju merah dan bertanya dengan
keheranan: "Nona Pui, kenapa Sek-hud (patung Budha batu) ini
tidak berhati?"
Keadaan Pui Ci- hwi tetap linglung, sahutnya datar: "Entah aku
tidak tahu."
"Dulu waktu kau melihat Sek-hud ini apa demikian juga
keadaannya?"
"Ya, gadis baju merah itu mengiakan.
Sekonyong-konyong Cip-po hwe-cu menjerit kaget, patung yang
dipegangnya tahu-tahu lenyap. Tampak seorang laki-laki tua
bungkuk berdiri tiga tombak di ujung sana, patung Budha itu telah
berpindah ke tangannya.
Bagaimana orang tua bungkuk ini muncul dan cara bagaimana
dia merebut Sek-hud seluruh hadirin tiada yang tahu dan melihat
jelas.
"Siapakah si bungkuk ini?" tanya Ji Bun terperanjat.
Suara Thian-thay-mo ki rada gemetar: "Dari gerak-geriknya itu,
mungkin....”
Belum habis percakapan mereka di sini, di sana Cip-po hwe-cu
sudah membentak dengan bengis: “Biau-jiu Siansing, dari mencuri
kini kau berani terang-terangan main rebut?"
Orang tua bungkuk terkekeh-kekeh, katanya: "Kwik Un-hiang,
cara bagaimana kau bisa mengenalku sebagai Biau-jiu Siansing?"
"Panca longok macammu ini, memangnya ada orang duanya
dalam Kangouw?"
"Anggaplah kau menebak betul, tapi Kwik-hwecu, kau memakiku
panca longok, memangnya kau sendiri ini apa .....”
"Lebih baik kau kembalikan patung itu."
"Kalau tidak?"
"Aku bersumpah takkan melepaskanmu."
"Ah, aku tidak peduli."
Mendengar laki-laki bungkuk ini adalah Biau-jiu Siansing, si
maling sakti yang terkenal di Kangouw, seketika Ji Bun naik pitam,
tak usah diragukan lagi, orang yang merebut anting-anting giok dari
tangannya pasti dia orangnya. Dari caranya merebut patung tadi
terbukti sama dengan cara orang merebut anting-anting dari
tangannya, maka tanpa ragu segera ia melompat keluar.
"Te-gak Suseng!" teriak Cip-po hwe-cu kaget, mukanya seketika
beringas dan diliputi nafsu menmbunuh.
Ji Bun hanya melirik sekejap terus melangkah ke arah Biau-jiu
Siansing.
Berputar biji mata Biau-jiu Siansing, katanya :
"Te- gak Suseng, kau juga ingin merebut Sek- hud?"
"Cayhe tidak punya minat."
"Lalu apa kehendakmu?"
"Janganlah sudah tahu pura-pura tanya, dalam hatimu sudah
tahu apa maksudku."
"Agaknya Lohu belum pernah bermusuhan dengan kau?"
"Hm, ucapanmu ini menjadikan kau ini lebih rendah dari panca-
longok, maling yang hina dina ......."
"Tutup mulutmu, Te-gak Suseng, bicaralah yang sopan terhadap
Lohu."
"Sopan? Apa kau setimpal bicara soal kesopanan?"
Dengan penuh keheranan Biau-jiu Siansing menatap Ji Bun,
katanya kemudian: "Anak muda, ada urusan apa boleh
dikesampingkan dulu, biar Lohu bereskan urusan dengan mereka."
Menyala sinar mata Ji Bun, jengeknya dingin: "Jangan kau nanti
berusaha lari .......”
"Omong kosong, memang gelaran Biau-jiu Sian¬sing tidak
berharga seperti penilaianmu itu?"
"Baik, boleh kau bereskan dulu urusanmu."
Sorot mata Biau-jiu Siansing beralih ke arah Cip-po hwe-cu,
katanya berseri tawa: "Kwik Un-hiang, dalam sepuluh tahun ini kau
sudah tumbuh sayap, siluman kecil menjadi setan besar, malah
mendirikan perkumpulan, membuka markas segala, kini menjadi
ketuanya pula. Mencuri, menipu, merampok, membegal dan
merampas, semua itu dari satu sumber, apa kau masih tahu
aturan?”
Berubah air muka Cip-po hwe-cu, tanyanya: “Aturan apa?"
“Keluarga punya aturan, golongan punya disiplin, dikalangan
maling ada sumbernya yang terdiri delapan tingkat."
Mundur setapak Cip-po hwe-cu, seluruh anak buahnyapun
tersirap dan berubah air mukanya.
Maka terdengar Biau-jiu Siansing membentak dengan bengis:
"Dalam delapan tingkat itu, kau termasuk yang mana?"
Gemetar sekujur badan Cip-po hwe-cu, suaranyapun tersendat:
Geledek, kilat, angin, api, gunung, air, tanah dan kayu, aku
termasuk gunung dari tingkat bawah."
Biau-jiu Siansing terloroh-loroh, katanya: "Tingkatan dan
kemampuanmu masih terlalu jauh, ketahuilah aku termasuk tingkat
kilat dari tingkat atas."
Pucat keabu-abuan selebar muka Cip-po hwe-cu, katanya,
menunduk: "Maaf akan kelancangan Wanpwee."
"Kwik Un-hiang, bagaimana kalau kubawa Sek-hud ini?"
"Terserah, aku tak berani banyak mulut lagi."
"Aku tahu, dalam hati kau memberontak, biarlah kuberitahu. Pek-
ciok Sin-ni menjadi simbol yang diagungkan di seluruh lapisan
persilatan, Pek-ciok-am adalah tempat suci yang tak boleh dilanggar
oleh golongan manapun, kau berani paksa anak buahmu masuk ke
biara sini, betapa besar dosamu..."
Cip-po hwe-cu mengiakan sambil manggut-manggut.
"Dan lagi di pintu biara sudah kuberi tanda pengenalku
menandakan bahwa golongan kilat sudah mencampuri urusan ini,
tapi kau masih berani melanggarnya, malahan berani menantang
lagi, sungguh bodoh dan picikkan?"
Kembali Cip-po hwe-cu hanya mengiakan saja.
Berkata Biau-jiu Siansing lebih lanjut: "Sekarang lihatlah pertanda
yang ada di atas batu piramid itu."
"Hah!" waktu berpaling ke arah samping lubang yang digali anak
buahnya tadi, seketika dia menjerit kaget sambil mundur tiga
langkah.
Seperti mengajar dan memberi peringatan kepada bawahannya
saja Biau-jiu Siansing berbicara lebih lanjut: "Menurut undang-
undang kalangan kita, sesama golongan tidak boleh saling rebutan,
masing-masing tingkat ada perbedaan, untuk kali ini kau terhitung
melanggar undang-undang karena berani menentang tingkat yang
lebih tinggi."
Lenyap wibawa dan keangkeran Cip-po hwe cu, badannya
gemetar sampai perhiasan diatas kepalanya ikut bergoyang-goyang.
Biau jiu Siansing ulapkan tangan: "Mengingat kau bersalah tanpa
sengaja, biarlah kuampuni kali ini, pergilah!"
"Banyak terima kasih!" tersipu-sipu Cip-po hwe cu berkata
memberi hormat terus putar badan memberi perintah kepada anak
buahnya: “Turun gunung!"
Dengan menggandeng Pui Ci-hwi, Liok Kin berdiri hendak
melangkah pergi. Tapi Ji Bun lantas melesat ke depan Liok Kin,
jengeknya: "Tinggalkan dia!"
Pui Ci-hwi melerok sekali kepada Ji Bun tanpa memberi reaksi
apa-apa, keadaannya mirip sekali dengan Ciang Bing-cu tempo hari,
karena kesadarannya terpengaruh oleh obat bius.
Liok Kin mengertak gigi, desisnya: "Te-gak Suseng, apa hakmu?"
"Tanpa hak apa-apa, kalau kau masih ingin hidup lekaslah
menyingkir saja."
"Jangan takabur dan menghina orang, Te-gak Suseng, dia tidak
mencintaimu."
Kata-kata setajam sembilu menusuk ulu hati Ji Bun. Seketika
beringas wajahnya: "Kau ingin mampus?" hardiknya.
Cip-po hwe-cu menghampiri, katanya: ''Te-gak Suseng, tempo
hari kau berani bikin onar di markas kami, membunuh orang,
menculik tawananku lagi, biarlah perhitungan itu kita bereskan
sekalian."
Ji Bun berputar menghadapi Cip-po hwe-cu, tantangnya: "Bagus
sekali, cara bagaimana menyelesaikannya?"
"Utang jiwa bayar jiwa."
"Jiwa ragaku ada di sini, kalau kau mampu boleh kau renggutnya.
Hayolah mulai!"
Tongcu she Li dan seorang kawannya tiba-tiba menubruk maju,
puluhan anak buah yang lain serentak ikut merubung maju, semua
siap meraba senjata. Suasana menjadi tegang.
"Anak muda," seru Biau-jiu Siansing, "urusan kita biar
diselesaikan lain hari saja, aku tidak sabar menunggu di sini."
Ji Bun melompat mundur, teriaknya: “Tunggu sebentar ....."
belum habis perkataannya, tahu-tahu segulung angin keras menerpa
ke arahnya, ternyata secara licik Cip-po hwe-cu menyerang ketika
perhatian Ji Bun terpencar.
Ji Bun tidak menduga bahwa lawan akan turun tangan, tenaga
gerakan ditambah damparan pukulan dahsyat ini, maka tubuhnya
melayang kencang menerjang ke arah menara di panggung teratai
sana. Jika badannya sampai menubruk menara batu, pasti hancur
lebur.
Untunglah serangkum angin lembut tahu-tahu menghembus
enteng dari arah samping sana sehingga luncuran tubuhnya yang
kencang itu menjadi lambat. Pada detik-detik sebelum badannya
membentur menara, Ji Bun merasakan daya luncuran tubuhnya tiba-
tiba jauh berkurang.
Maka lekas dia kerahkan kekuatan memberatkan tubuh,
berbareng tangan menekan ke bawah, badan berputar lagi sehingga
dia berjumpalitan dan turun dengan enteng. Namun selebar
mukanya sudah berubah merah padam.
Orang yang menolongnya dengan dorongan serangkum angin
enteng tadi adalah Biau-jiu Siansing. Ji Bun tenangkan diri sebentar,
katanya kemudian: "Terima kasih akan bantuan tuan."
"Tidak usah, rase kecil yang datang bersamamu itu cukup baik
sekali latihannya, begitu sabarnya sampai sedemkian jauh masih
belum mau muncul." Yang dimaksud jelas Thian-thay-mo-ki. Ji Bun
menjadi kikuk dan risi.
Sebuah tawa nyaring tiba-tiba berkumandang, Thian-thay-mo-ki
terpaksa unjuk diri, tubuhnya yang gempal dan padat laksana
segumpal bara yang menyala, membuat semua laki-laki yang hadir
terbeliak. Biau-jiu Siansing nienatap Ji Bun, katanya: "Anak muda,
sebetulnya ada persoalan apa diantara kita?"
Belum Ji Bun menjawab, tiba-tiba gelombang gelak-tawa yang
keras menusuk telinga menggetar bumi bergema dari kejauhan,
cepat sekali tahu-tahu sudah dekat di bawah bukit, hawa di atas
puncak seketika seperti bergolak hebat.
"Bu-ciang-so datang," Thian-thay-mo-ki berteriak tertahan.
Semua hadirin memang gemetar dengan muka pucat
terpengaruh oleh gelombang tawa yang hebat ini, hanya Biau-jiu
Siansing saja yang kelihatan masih tenang-tenang seperti tidak
terpengaruh sama sekali. Serta merta Ji Bun kerahkan kekuatannya
menurut ajaran Thian-thay-mo-ki untuk menolak pengaruh Thian-
cin-ci-sut ini, betul juga napas yang tadinya memburu dan darah
yang mendidih seketika tertekan kembali.
Hanya dalam waktu sekejap saja, para anak buah Cip-po-hwe
yang berkepandaian dan Lwekangnya rendah, satu persatu meringis
kesakitan sambil mendekap kuping serta menungging. Untunglah
gelombang tawa itu cepat sekali sirap, tahu-tahu dua orang sudah
muncul dihadapan orang banyak, kedua orang aneh ini adalah Bu-
cing-so dan Siang-thian-ong.
Membara dendam dan sakit hati Ji Bun, namun lahirnya dia tetap
tenang, ia insaf bahwa dirinya bukan tandingan kedua bangkotan
aneh ini.
Dalam pada itu, Siang-thian-ong dan Bu-cing-so langsung
meluruk ke arah Biau-jiu Siansing serta berdiri dikanan-kirinya,
agaknya kedua bangkotan tua inipun sengaja datang hendak
merebut Sek-hud di tangan Biau-jiu Siansing itu.
5.14. Sam-Cay-Ciat ..... Penyelamat
Lekas Cip-po hwe-cu memberi tanda, bersama anak buahnya,
beramai mereka mengundurkan diri turun gunung tanpa bersuara
lagi. Liok Kin tetap menggandeng tangan Pui Ci-hwi, di tengah
iringan anak buahnya, merekapun ikut mengundurkan diri.
"Orang she Liok," seru Ji Bun, "jangan harap kau bisa pergi
begini mudah."
Segera ia menubruk maju pula, Li-tongcu dan seorang Tongcu
yang lain segera mengadang sambil melontarkan pukulan telapak
tangan, kali ini Ji Bun sudah waspada, sembari berkelit dari
damparan pukulan lawan, ia berkisar terus balas memukul.
"Plak, plok," disusul jeritan ngeri, seketika kedua orang ini
terjungkir balik dan tak bergerak lagi, jiwanya melayang.
Cip-po hwe-cu menggerung gusar menubruk ke arah Ji Bun,
kedua telapak tangannya menghantam dengan seluruh kekuatannya.
Sebagai seorang ketua dari suatu perkumpulan, sudah tentu
Lweekangnya bukan olah-olah hebatnya. Serangan yang dilandasi
kemarahan ini, boleh dikata sedahsyat gugur gunung.
Betapapun lihay Ji Bun, tak urung dia terpental juga oleh
gempuran sengit ini, dengan sempoyongan akhirnya punggungnya
menumbuk cagak batu darah seakan-akan bergolak di rongga
dadanya.
Sementara itu, Liok Kin sudah menarik Pui Ci-hwi berlari lebih
dulu diiringi anak buahnya.
"Minggir!" tiba-tiba Thian-thay-mo-ki membentak, sebelah
tanganpun bekerja menghamburkan segenggam So-li-sin-ciam
(jarum sakti gadis suci), maka terdengar jerit dan keluh orang
banyak saling susul, puluhan anak buah Cip-po-hwe terguling
menjadi korban, sebat sekali tahu-tahu Thian thay-mo-ki sudah
mencegat di hadapan Liok Kin.
"Orang she Liok, lepaskan dia!"
"Tidak bisa!"
"Pihak Wi-to-hwe pasti akan mengobrak-abrik sarangmu."
Sambil memicingkan kedua matanya, Liok Kin mengawasi Thian-
thay-mo-ki dengan penuh gairah, Thian-thay-mo-ki segera unjuk
senyum genit se¬mekar kembang dimusim semi, katanya dengan
kemayu: "Siau-hwecu, agaknya kaupun amat romantis."
Liok Kin tertawa lebar, katanya: "Nona secantik bidadari, siapa
yang takkan terpesona?"
Semakin manis tawa Thian-thay-mo-ki, begitu menggiurkan
dengan gerak-gerik yang menarik lagi, katanya sambil melangkah
maju: "Siau-hwecu, agaknya kaupun pintar menilai dan memilih."
Tegak alis Liok Kin, katanya: "Sudah tentu, memangnya kau kira
aku ini seperti anak keparat sedingin batu itu."
"Bagus sekali," ujar Thian-thay-mo-ki, tiba-tiba ia bergerak
secepat kilat mencengkeram pergelangan tangan Liok Kin.
Lekas Liok Kin miringkan tubuh seraya menarik Pui Ci-hwi untuk
menghadang di depannya, jengeknya dingin: "Thian-thay-mo-ki,
jangan kau kira aku ini sebodoh kerbau."
Gerakan Thian-thay-mo-ki begitu cepat, baru saja Liok Kin buka
mulut, jari-jari tangannya sudah menyentuh pundak Pui Ci-hwi.
"Blang" tahu-tahu sekenanya Pui Ci-hwi menamparkan tangannya.
Kontan Thian-thay-mo-ki digamparnya mundur tiga langkah.
Bahwa dalam keadaan linglung Pui Ci-hwi bisa menyerang, sungguh
di luar dugaan Thian-thay-mo-ki, sunguh heran dan gemas pula
hatinya.
Disebelah sana Ji Bun tengah melabrak Cip-po hwe-cu dengan
sengit, Cip-po hwe-cu tahu bahwa serangan Ji Bun hanya bisa
dilancarkan dalam jarak dekat, maka dia tetap mempertahankan
jarak tertentu dengan serangan Bik-khong-ciang (pukulan dari jauh),
dalam waktu dekat keduanya masih sama kuat alias setanding.
Sementara Bu-cing-so dan Siang-thian-ong tanpa berkedip
mengawasi Biau-jiu Siansing, maling sakti yang menjagoi seluruh
dunia dengan gerak geriknya yang luar biasa. Selama itu kedua
pihak masih sama bertahan dalam kewaspadaan tanpa bicara,
namun dalam hati masing-masing cukup mengetahui bila menilai
kepandaian silat dan Lwekang, kedua bangkotan tua ini cukup
berkelebihan untuk membunuh Biau-jiu Siansing.
Bahwa kedua jago kosen ini masih mengulur waktu, karena
mereka tidak berani gegabah. Sekali meleset perhitungan orang
pasti dapat melarikan diri, atau mungkin ada soal-soal lain yang
dikuatirkan pula.
"Orang she Liok," teriak Thian-thay-mo-ki, "mampuslah kau!"
Sekonyong-konyong, seorang nenek tua ubanan berpakaian
warna-warni muncul segesit setan melayang. Begitu aneh dan
mendadak munculnya nenek ubanan ini, sehingga tiada orang yang
menyadari kehadirannya, seakan-akan sejak tadi memang dia sudah
berada di situ.
Tanpa terasa Thian-thay-mo-ki melenggong. Begitu sorot
matanya bentrok dengan pandangan orang, seketika dia bergetar
seperti kena aliran listrik, serta merta dia menyurut mundur. Tatapan
mata nenek tua ini seakan-akan memiliki daya magnit yang
menyedot sukma sehingga orang yang dipandang merasa dirinya,
terlalu kecil, terpencil dan patah semangat.
Sorot mata nenek tua itu menyapu ke arah Liok Kin, bibirnya
yang kering tiba-tiba bergerak, katanya dingin: "Anak kelinci, lekas
lepaskan dia!"
Liok Kin patuh, cepat ia lepaskan pegangannya, seakan-akan
sorot mata dan perkataan nenek tua ini mempunyai kekuatan yang
tak mampu dilawannya, lekas dia mundur ke belakang.
Berkata pula nenek berpakaian warna-warni ini: "Nenek tua hari
ini tidak ingin membunuhmu, jiwa anjingmu sementara biar
kutinggalkan!"
Habis berkata dia tarik dan kempit Pui Ci-hwi terus berkelebat
menghilang entah ke mana.
Thian-thay-mo-ki masih terlongong, mulutnya menggumam:
"Diakah? Ya, pasti dia! Tak nyana dia juga menjadi anggota Wi-to-
hwe ........”
Lamunan Thian-thay-mo-ki buyar dikejutkan suara seseorang
yang mengerang menahan sakit, waktu ia berpaling, dilihatnya Ji
Bun terhuyung-huyung sambil muntah darah, keruan serasa remuk
hatinya. Tersipu-sipu dia melompat ke sana sambil bertanya dengan
penuh perhatian: "Bagaimana keadaanmu, Dik?"
Ji Bun mengertak gigi, dengan tangannya dia menyeka darah
yang meleleh di mulutnya, sahutnya kemudian: "Ah, tidak apa-apa."
Dalam waktu sekejap, Cip-po hwe-cu dan anak buahnya sudah
lari turun gunung secepat terbang, puluhan mayat anak buahnya
ditinggalkan begitu saja.
Ji Bun mendesis penuh dendam: "Sakit hati ini pasti kubalas. Cici,
mana Pui Ci-hwi?"
Berubah air muka Thian-thay-mo-ki, hatinya kecut dan mendelu,
namun sikapnya tetap halus dan ramah: "Sudah dibawa pergi orang
mereka sendiri.”
Terpukul batin Ji Bun, ia sendiri tak mengerti kenapa dirinya
masih perihatin terhadap keselamatan si nona? Bukankah dia
sehaluan dengan musuh?
Pikiran bekerja matapun melirik ke arah sana, dilihatnya Bu-cing-
so dan Siang-thian-ong masih mengawasi Biau-jiu Siansing saja.
Sedikitpun tak pernah kendur perhatian mereka.
Sorot mata Biau-jiu Siansing lambat laun mengunjuk perasaan
gelisah. Maklumlah ditatap, diawasi dan dijaga oleh dua bangkotan
silat yang lihay ini. Betapapun aneh dan lihay gerak geriknya, juga
tak berani sembarang bergerak. Sekali salah langkah dan tak
berhasil meloloskan diri, nama besar dan ketenarannya bakal runtuh
total.
Beberapa kejap pula, tiba-tiba Siang-thian-ong buka suara:
"Sahabat, tinggalkan Sek-hud, kau boleh pergi sesuka hatimu."
Biau-jiu Siansing ngakak, katanya: "Kalau aku yang rendah ini
turun gunung dengan bertangan kosong, apakah tidak malu
terhadap nenek moyang, sendiri?"
"Memangnya kau mampu membawanya pergi?"
"Mungkin saja."
"Boleh, silakan coba," jengek Bu-cing-so. "Lohu tak sabar
menunggu lagi."
"Kenapa kalian tidak turun tangan saja?" tantang Biau-jiu
Siansing malah.
Bergeming badan Siang-thian-ong yang bulat tambun bagai bola
itu, katanya:" Sahabat, hati kita masing-masing sama tahu bukan?"
Dengam bingung sekilas Ji Bun melirik Thian-thay-mo-ki,
maksudnya ingin tanya apa sebetulnya yang sedang dilakukan ketiga
orang ini, kenapa selama ini mereka bertahan dan mempersoalkan
siapa lebih dulu yang harus turun tangan.
Thian-thay-mo-ki tahu maksudnya, ia geleng-geleng bahwa
dirinyapun tidak tahu.
Biau-jiu Siansing angkat Sek-hud di tangannya itu, katanya
menyeringai: "Apa kalian tidak memberi keringanan kepadaku?"
"Kecuali kau tinggalkan Sek-hud itu!"
"Baiklah kutegaskan sekali lagi, barang yang sudah berada di
tanganku tak mungkin kulepaskan pula."
"Jadi perlu bertahan secara berlarut-larut begini?"
"Kalau kalian punya hobby demikian, biarlah aku iringi saja."
"Jika Lohu melancarkan Thian-cin-ci-sut sekuat tenaga,
sementara saudara Siang-thian-ong menyerang dengan Siang-thian-
sin-ciang, kau tahu apa akibatnya bagi dirimu?"
"Cayhe yakin pasti dapat gugur bersama dengan salah satu di
antara kalian."
"Umpama benar begitu, lalu apa yang dapat kau peroleh?"
"Memangnya apa pula yang bisa kalian dapatkan?"
Ji Bun benar-benar bingung dan tak mengerti akan percakapan
mereka. Mungkinkah Biau-jiu Siansing memiliki ilmu mematikan yang
masih disimpannya. Begitu hebatkah ilmunya itu sampai dia tidak
gentar menghadapi kedua lawan tangguh ini?
Firasat lain membuat Ji Bun semakin bingung dan tak habis
mengerti pula. Barusan dia terpukul luka parah sampai muntah
darah oleh Bik-khong-chiang Cip-po hwe-cu. Namun sekarang dia
rasakan dadanya longgar, darah mengalir seperti biasa tiada tanda-
tanda terluka.
Belum lagi dia minum obat, juga tidak mengerahkan tenaga
murni untuk berobat, namun luka-luka dalamnya sembuh sendirinya,
apa pula yang terjadi atas dirinya? Sudah tentu dia tidak bisa
mengemukakan perasaannya ini, hanya dalam hati saja ia bertanya-
tanya.
"Maling cilik," kata Siang-thian-ong kuatir, apa kau ingin gugur
bersama Sek-hud?"
Sahut Biau-jiu Siansing tanpa pikir: "Betul, namun satu diantara
kalian atau keduanya juga pasti ikut menjadi korban."
"Memang aku sudah bosan hidup, tak jadi soal jika aku iringi
kematianmu,” ujar Siang-thian-ong.
"Ha ha ha ha, setimpal, aku yang rendah ini mendapat iringan
seorang gembong silat masuk liang kubur, matipun takkan
menyesal."
"Nah, siaplah, Lohu akan turun tangan!"
Pada saat itulah tiba-tiba sebuah suara serak dengan nada yang
kuat berkata: "Orang mati meninggalkan nama, kalau maling tua
harus mampus secara demikian, memang tenteramlah arwahmu di
alam baka!"
Suara lenyap orangnyapun muncul, kiranya seorang laki-laki
berpakaian pelajar warna biru sepasang matanya memancar terang,
namun roman mukanya rada pucat sehingga berlawanan dengan
sorot matanya, tangannya memegang kipas yang besar, di
punggungnya menggemblok sebuah kantong atau tas pelajar.
Biau-jiu Siansing melirik kepada pendatang ini, katanya: “Saudara
ini orang kosen dari mana?"
Pelajar pertengahan umur itu membentang kipasnya serta
melingkupkan pula, katanya: "Cayhe adalah Jit-sing-ko-jin (orang
lama dari Jit-sing)."
"Apa? Jit-sing-ko-jin?" seru Biau-jiu Siansing.
"Belum pernah kudengar."
"Maling tua, kau bisa mencuri segala benda di dunia ini, namun
belum tentu mengenal semua tokoh-tokoh tenar di jagat ini."
"Ehm, ya, memang betul."
Mendengar pelajar ini menyebut dirinya sebagai “orang lama dari
Jit-sing", bergetar badan Ji Bun. la dilahirkan di Jit-sing-po, sedang
ayahnya adalah Jit-sing po-cu. Bahwa orang ini mengatakan dirinya
juga orang dari Jit-sing, memangnya dia ada hubungan dan sangkut
paut dengan Jit-sing-po? Dengan cepat dan cermat otaknya bekerja,
membayangkan kembali bayangan orang ini, apakah pernah dilihat
atau dikenalnya, namun tiada membawa hasil.
Yang terbayang justeru tragedi yang mengerikan dengan
pembantaian besar-besaran dari seluruh penghuni Jit-sing-po itu,
betapa dendam hatinya. Kini ibunyapun belum diketahui parasnya,
hati terasa pilu dan sedih. Musuh besar dihadapan, namun ia tidak
mampu berbuat apa-apa, sampai asal usul diri sendiri juga harus
dirahasiakan.
Betapa derita siksa batin ini sungguh tak terlukiskan dengan kata.
Ini hanya perubahan pikiran batinnya, sudah tentu Thian-thay-mo-ki
tidak tahu akan hal ini, karena dia tidak tahu riwayat hidup Ji Bun.
Sorot mata Jit-sing-ko-jin yang tajam itu sekilas melirik juga ke
arah Ji Bun. Begitu saling ber¬adu mata, serta merta bergetar
perasaan Ji Bun, didapatinya sinar mata yang berkilat ini sayup-
sayup mengandung nafsu membunuh yang membara.
Tatapan orang sudah beralih, namun jantung Ji Bun masih
berdebur keras, diam-diam ia bertanya, dalam hati kenapa pelajar
pertengahan umur ini menatap dirinya sedemikian rupa?
"Dik, kau tahu asal usul orang ini?" Thian-thay-mo-ki berbisik di
sampingnya.
"Entah, aku tidak kenal."
"Orang ini kelihatannya bukan orang baik-baik."
"Kurasa memang demikian."
Jit-sing ko-jin tertawa lebar, katanya:"Siapapun berhak mendapat
bagian di dalam memperoleh benda-benda mestika, agaknya
kedatanganku ini tidak akan sia-sia."
Tanpa berjanji Siang-thian-ong dan Bu-cing-so melirik ke arah Jit-
sing-ko-jin, sorot matanya merasa sebal, jijik dan menghina.
"Jit-sing-ko-jin," kata Biau-jiu Siansing. "pertaruhan apa yang kau
siapkan?"
"Pertaruhan?"
"Ya, memangnya ada orang bisa memperoleh sesuatu tanpa
mengeluarkan pengorbanan?"
"Bagaimana pendapat tuan, apa yang harus kupertahankan?"
"Lebih baik mengundurkan diri saja."
"Kalau tidak?"
"Tuan akan menyesal setelah kasip."
"Selamanya aku tak pernah mengenal arti menyesal."
"Hari ini kau akan meresapinya."
"Maling tua, bicara terus terang, keadaanmu sekarang seumpama
naik di punggung harimau. Ingin memiliki Sek-hud, juga ingin
mempertahankan jiwa, betul tidak?"
"Kata-kata saudara setajam jarum menusuk ulu hatiku."
"Maka kunasehati kamu untuk menyerahkan barang itu saja."
"Ucapan saudara tidak enak didengar."
"Jadi kau ingin gugur bersama Sek-hud?"
"Kalau ada orang lain ingin mengiringi kematianku, Lohu tidak
akan menolak."
Pandangan Jit-sing-ko-jin beralih ke arah Bu-cing-so, katanya
dingin: "Cianpwe adalah tokoh yang berbudi luhur dan terpandang,
hitam dan putih jarang ikut campur, apakah kau juga kepingin
memiliki Sek-hud?"
"Disini tiada hakmu ikut bicara," sela Bu-cing-so sambil mengulap
tangan. "Lebih baik kau lekas pergi saja."
Jit-sing-ko-jin mendengus dingin, katanya: “Cianpwe kalau bicara
harap sopan sedikit. Selamanya aku tak sudi diancam atau diusir.
Manusia boleh dibunuh pantang dihina."
"Jangan kau jual tampang dihadapanku, dalam kalangan Bulim
mengutamakan tingkatan dan menunjung tinggi peradaban, kau ini
kurangajar terhadap orang yang lebih tua."
"Tahu diri untuk dihormati yang lebih muda, Cianpwe sendiri
kemaruk akan Sek-hud, jelas sudah kehilangan harga dirimu."
"Berani kau memperingatkan aku orang tua? siapa gurumu?"
"Kukira tak perlu kukatakan."
"Kau memang perlu dihajar adat."
"Aku tidak akan menyingkir."
Saking marah seolah-olah berdiri rambut Bu-cing-so. Telapak
tangannya segera mendorong ke arah Jit-sing-ko-jin. Segulung angin
bagai gelombang segera mendampar ke arah Jit-sing-ko-jin, begitu
lihay pukulan ini, sayup-sayup seperti terdengar bunyi gemuruh.
Jit-sing-ko-jin segera memapak dengan pukulan. “Pyaaar!"
ditengah ledakan yang dahsyat, hawa panas menjadi bergolak.
Kekuatan yang saling ber¬hantam laksana guntur menggetar bumi,
kontan Jit-sing-ko-jin tergentak mundur dua langkah.
Ji Bun dan Thian-thay-mo-ki sama-sama tersirap kaget, bahwa
Jit-sing-ko-jin mampu mengadu kekuatan pukulan dengan Bu-cing-
so tanpa terluka sedikitpun. Betapa tinggi Lwekangnya rasanya sukar
dicari jago-jago kosen setinggi ini di dalam Bulim.
Bu-cing-so terkekeh, katanya: "Tak nyana kau punya kepandaian
juga, tak heran kau bersikap garang dan tidak tahu aturan. Nah,
sambut lagi pukulan ini," kembali ia kerjakan tangannya, damparan
angin pukulan bagai gugur gunung laksana sambaran halilintar
menggulung ke arah Jit-sing-ko-jin. Kekuatan pukulan kedua ini
terang jauh lebih hebat dan mengejutkan daripada pukulan pertama.
Bayangan biru berkelebat, tahu-tahu Jit-sing-ko-jin berkisar dan
menyingkir ke samping, gerakannya aneh seperti setan, betapa gesit
dan cepat gerak tubuhnya, sungguh mengejutkan.
Dalam waktu yang sama, terdengar Siang-thian-ong membentak:
"Lari ke mana!"
Waktu Ji Bun berpaling, bayangan Biau-jiu Siansing sudah tidak
kelihatan lagi. Betapa cepat gerakan si maling tua ini, sungguh tiada
bandingan di dunia ini.
Demikian pula Siang-thian-ong juga lenyap dalam sekejap itu,
Bu-ciang-so meninggalkan Jit-sing-ko-jin dan ikut mengejar ke
bawah gunung. Kini tinggat Jit-sing-ko-jin, Ji Bun dan Thian-thay-
mo-ki bertiga dengan puluhan mayat anak buah Cip-po-hwe.
Hati Ji Bun mendelu dan masgul, sebetulnya ia hendak tanya
tentang anting-anting batu pualam yang direbut orang itu kepada
Biau-jiu Siansing. Namun orang yang dicarinya sekarang sudah
pergi, untuk menemukan pula tentu amat sulit karena maling tua ini
pandai menyamar dan merubah diri, ginkangnya tinggi Lwekangnya
hebat, umpama betul-betul bersua juga belum tentu dirinya bisa
mengenalinya.
Apalagi siapa dia dan bagaimana asal usulnya, mungkin tiada
seorangpun dalam bulim ini yang tahu. Untuk mengejarnya, jelas
tidak mungkin.
"Dik," kata Thian-thay-mo-ki lesu, "marilah pergi."
"Nanti dulu," tiba-tiba Jit-sing-ko-jin bersuara hambar.
Tergerak hati Ji Bun, katanya dengan suara lebih dingin: "Tuan
ada petunjuk apa?"
Beberapa kali sorot mata setajam kilat dari Jit-sing-ko-jin
menatap Ji Bun, katanya sekata demi sekata: "Kau inikah Te-gak
Suseng? Kabarnya orang yang kau bunuh tidak meninggalkan bekas-
bekas luka?"
"Apa maksud tuan?"
"Aku ingin mencobanya."
"Tuan mempertaruhkan jiwa sendiri?"
"Anggaplah begitu."
"Aku tidak ingin membunuh orang tanpa alasan."
"Anak muda, jangan takabur dan mengagulkan diri."
Selama beberapa hari ini, memangnya Ji Bun selalu uring-
uringan, rasa dendam dan kebenciannya tidak terlampias, karena
tantangan Jit-sing-ko-jin ini seketika terbakar amarahnya, katanya
mendesis: "Tuan agaknya sengaja mencari perkara?"
Acuh dan dengan nada menghina Jit-sing-ko-jin berkata:
"Mencari perkara? Hm, kau belum setimpal, aku hanya ketarik dan
ingin menjajal saja, biar kuuji sampai di mana kemampuanmu."
Watak nyentrik Ji Bun yang terpendam dan ditekan selama ini tak
tertaharkan lagi, katanya mendelik: "Sekali lagi kunyatakan, jangan
tuan main-main dengan jiwamu.”
"Ha ha ha, si tua Bu-cing-so bangkotan itu toh tak mampu
berbuat apa-apa terhadapku, kau ini terhitung apa?"
"Jadi kau ini betul-betul ingin mampus?"
"Hayolah coba!"
Tak tahan lagi, Ji Bun melejit maju, secepat kilat ia menerjang
lawan sambil melancarkan ilmu mujijat yang mematikan itu. Jit-sing-
ko-jin memperdengarkan tawa dingin, tidak menyingkir tidak
menangkis.
Ternyata ilmu mujijat yang dilancarkan Ji Bun kali ini kehilangan
daya keampuhannya terhadap orang yang satu ini, keruan darahnya
tersirap. Kembali ada seorang yang gentar dan kebal terhadap
ilmunya yang ditakuti itu, seketika dia melenggang.
“Blang," dada Ji Bun malah kena di hantam hingga jungkir balik,
dengan mengerang keras Ji Bun terpental menumbuk batu besar
belakang sana. Badannya membal pula, terus terguling-guling, darah
mengucur dari hidung dan menyembur dari mulut.
Thian-thay-mo-ki memekik kuatir, kedua tangannya segera
merogoh saku. Namun Jit-sing-ko-jin bergerak lebih cepat, sambil
menyeringai tahu-tahu ia sudah pegang dan tutuk Hiat-to Thian-
thay-mo-ki dengan lemas Thian-thay-mo-ki roboh terkulai. Sekali
lompat Jit-sing-ko-jin menghampiri Ji Bun serta mencengkeram
dadanya terus dibawa lari ke jurang di belakang sana. Dari jauh ia
ayun tangan terus dilemparkan Ji Bun sekuatnya.
Hiat-to Thian-thay-mo-ki tertutuk, badan lunglai tak mampu
bergerak, tapi ia melihat Ji Bun dilempar ke jurang. Matanya seketika
mendelik, hatinya remuk rendam, dendam dan gusar seketika
merangsang perasaannya. "Huuuuab!” sekumur darah tersembur
dari mulutnya.
Jit-sing-ko-jin lompat kembali ke tempatnya, dengan nanar dan
penuh nafsu ia pandang tubuh Thian-thay-mo-ki, sekejap ia berdiam
diri, sorot matanya semakin liar diliputi nafsu binatang.
Dari sorot mata orang, Thian-thay-mo-ki sudah merasakan firasat
jelek, jalan pikiran orang sudah dapat dirabanya, namun ia tak
mampu melawan, tahu-tahu pandangan menjadi gelap, hampir saja
ia jatuh semaput, badan tak mampu bergeming, namun mulutnya
masih bisa bersuara, teriaknya dengan suara memekik: "Kau .........
apa yang kau inginkan?"
Mulut Jit-sing-ko-jin terpentang lebar sambil ngakak kegirangan,
namun dalam pendengaran Thian-thay-mo-ki, gelak tawa orang
laksana setan iblis yang penuh nafsu, amat menakutkan sekali.
"Bret," baju di depan dadanya tiba-tiba dirobek, dada seketika
terasa dingin, "bukit" halus nan licin montok seketika terpampang di
depan mata.
"Ha ha ha! He he he!" Jit-sing-ko-jin bergelak-tawa sepuasnya,
"hidangan senikmat ini, kenapa disia-sia kan, tak percuma
perjalananku ini."
Seolah-olah manusia yang dibeset kulitnya hidup-hidup, demikian
perasaan Thian-thay-mo-ki saat itu, sukma serasa terbang ke
awang-awang. Jari-jari iblis mulai merogoh celananya. Seumpama
kematian yang paling sadis, juga tidak lebih menakutkan dari
kenyataan yang sedang dihadapi Thian-thay-mo-ki ini.
Lidahnya serasa kaku tak mampu bersuara pula, mukanya pucat
pias, bibirnya bergetar menahan isak tangis, jantung terasa hampir
meledak. Sepasang matanya yang biasa suka melerok genit
menawan sukma laki-laki, kini mendelik sebesar kelereng seakan-
akan melotot keluar.
Pada saat-saat kritis itulah, tiba-tiba Jit-sing-ko-jin menarik
tangan seraya mundur, dengan tertegun dia awasi sebuah cincin tiga
lubang yang terikat di pinggang Thian-thay-mo-ki, terdengar
mulutnya menggumam: "Sam-cay-ciat. Dia ini muridnya .......”
Sorot matanya berubah dan berubah lagi, agaknya dia berat
meninggalkan daging gemuk yang nikmat dan dapat dilalapnya
dengan mudah ini, namun dia kuatir dan jeri ........
Thian-thay-mo-ki kerahkan seluruh kekuatannya dengan
kepandaian khas perguruannya untuk menjebol Hiat-to yang
tertutuk. Walau usahanya ini mungkin gagal dan sia-sia, namun bagi
seseorang yang sudah kepepet di jalan buntu, setitik harapanpun
takkan dilepaskan begitu saja. Begitu merasakan perubahan sikap
dan rona muka orang, segera dia berkata: "Jangan kau memburu
nafsu binatang saja, kelak kau akan mendapat pembalasan
setimpal."
Jit-sing-ko-jin tenggelam dalam pemikiran, tanpa berkata pula,
tiba-tiba dia tutul kakinya terus melayang pergi.
Seumpama lolos dari renggutan elmaut, Thian-thay-mo-ki
menarik napas lega, sukma yang sudah terbang melayang seperti
kembali pula keraganya. Usaha menjebol tutukan Hiat-to segera
dipergencar, kira-kira segondokan air, pelahan Hiat-tonya mulai
lancar seperti biasa. Dia merangkak bangun sambil menutupi
dadanya, air mata tak tertahankan lagi bercucuran dengan deras.
Dia teringat akan nasib Ji Bun, sungguh tak nyana begitu
mengenaskan kematiannya. Begitu besar dan murni cintanya kepada
Ji Bun, selama ini ia mengharapkan imbalan cinta yang sama dari
perubahan sikap Ji Bun yang selama ini bersikap dingin terhadapnya.
Sekarang harapannya menjadi impian kosong belaka.
Mengangkat langkah rasanya seberat ribuan kati, pelahan dia
menghampiri pinggir jurang, bukan kepalang rasa pilu dan sedih
hatinya, ia duduk, di atas batu, mata mendelong mengawasi jurang
yang tidak kelihatan dasarnya itu, hatinya semakin luluh, pikirannya
menjadi butek dan kosong.
Air mata sudah membasahi pakaiannya, hembusan angin
melambaikan rambutnya yang awut-awutan. Entah berapa lama dia
melamun seorang diri memikirkan nasibnya.
Tiba-tiba sebuah suara serak yang kuat berkata disampingnya:
"Apakah nona ini Thian-thay-mo-ki?"
Thian-thay-mo-ki tersentak dari lamunannya, dengan kaget ia
berpaling, "Hah!" Mulutnya menjerit kaget, serta merta badannya
melejit mundur beberapa kaki.
5.15. Kakek Aneh Di Dasar Jurang
Ternyata dihadapannya entah sejak kapan sudah berdiri seorang
berkedok berjubah sutera. Orang inilah yang pernah turun tangan
dan memukul Ji Bun. Dengan senjata rahasia Jit-swan-hwi-jim tempo
hari ia pernah melukai kepala orang ini, namun Ji Bun tidak percaya
akan ceritanya itu.
Apakah orang ini pula? Dengan tajam ia awasi orang
dihadapannya ini, pandangannya terakhir berhenti di atas kepala
orang. Namun karena tertutup kerudung tak mungkin ia bisa
melihatnya apakah ada codet bekas luka di atas kepala orang ini.
Terdengar orang berkudung itu berkata pula : "Apakah nona
adalah Thian-thay-mo-ki?"
Terpaksa Thian-thay-mo-ki menjawab dengan suara gagap:
"Betul, tuan ....”
“Nona kenal Te-gak Suseng?" potong orang berkerudung.
Remuk rendam hati Thian-thay-mo-ki, tanpa sadar tangannya
merogoh kantong senjata rahasianya, sahutnya: "Kenal, tuan ada
perlu apa?"
"Aku sedang mencarinya."
"Apa? Tuan ...... mencarinya?"
"Ya, kudengar orang mengatakan dia bersama nona menuju
kemari, maka kususul ke sini."
Thian-thay-mo-ki mengertak gigi, tanyanya: "Apa maksud tuan
mencarinya?"
Sejenak orang berkedok berpikir, lalu katanya dengan nada
serius: "Apakah nona tahu hubungannya dengan Lohu?"
Tergerak hati Thian-thay mo-ki, tanyanya: "Mohon diberitahu."
"Kami adalah ayah beranak."
Bergetar sekujur badan Thian-thay-mo-ki, ia menegas dengan
suara gemetar: "Ayah beranak?”
"Ya, di mana dia sekarang?"
"Dia ..... sudah meninggal."
“Apa?" teriak orang berkedok beijingkrak seperti orang gila,
"katakan sekali lagi."
Dengan menahan isak tangis dan kepiluan hatinya, Thian-thay-
mo-ki mengulang sekali lagi "Dia sudah meninggal."
Terhuyung badan orang berkedok, teriaknya seperti orang kalap:
"Bagaimana dia bisa mati?"
Sebetulnya Thian-thay-mo-ki amat heran dan curiga, namun rasa
sedih sudah merasuk perasaannya sehingga pikirannya tidak jernih,
katanya dengan geram: "Dia terpukul luka parah oleh seorang yang
mengaku sebagai Jit-sing-ko-jin, lalu dilempar ke jurang."
Bergoyang gontai badan orang berkedok, seperti hampir
tersungkur jatuh, dengan berlinang air mata ia mengawasi bawah
jurang. Lama sekali baru tercetus kata-kata dari mulutnya: "Orang
macam apakah Jit-sing-ko-jin itu?"
"Entahlah, di kalangan Kangouw belum pernah kudengar nama
julukan orang ini."
"Bagaimana perawakan dan raut wajahnya?"
"Berpakaian jubah biru mirip pelajar berusia setengah umur,
mukanya pucat, sorot matanya tajam buas, sorot mata dan rona
wajahnya amat berbeda, mudah dikenali, namun ..........”
"Namun bagaimana?"
Menurut penglihatanku, agaknya dia mengenakan kedok muka
atau menyamar dengan obat-obatan!"
"Oh," orang berkedok bersuara dengan mulut melongo, lalu
katanya pula: "Lohu akan perhatikan, dia takkan lolos dari tanganku,
aku bersumpah menuntut balas kematian puteraku. Nona, belum
lama ini anakku itu memberitahu kepadaku, katanya ada orang
menyaru diriku dan menurunkan tangan jahat kepadanya, tentunya
nona tahu akan kejadian ini?"
Tanda tanya yang selama ini mengganjel hati Thian-thay-mo-ki
kini disinggung oleh orang berkedok, naga-naganya seperti dugaan
Te-gak Suseng, memang ada seseorang yang menyaru ayahnya
untuk mempermudah turun tangan membunuhnya, maka dia
mengangguk, sahutnya; "Ya, malah kusaksikan sendiri."
Kembali orang berkedok tepekur sekian lama, katanya kemudian
dengan setengah terisak: "Apakah nona barusan bergebrak dengan
orang?"
Bahwa dirinya hampir diperkosa orang sudah tentu malu
diceritakan, namun rasa kebencian masih menjalari nuraninya,
katanya dengan geram; "Ya, orang yang mengaku sebagai Jit-sing-
ko-jin itulah."
"Mana dia?"
"Belum lama dia pergi."
"Sampai keujung langitpun kubersumpah akan mencarinya untuk
membayar utang jiwa puteraku, Nona, agaknya kau menaruh hati
terhadap puteraku?"
Tersentuh perasaan Thian-thay-mo-ki, hampir saja ia menangis
gerung-gerung, ia hanya manggut-manggut saja, tenggorokan
seperti tersumbat sesuatu, sepatah kata pun tak kuasa
diucapkannya.
Orang berkedok menghela napas, katanya rawan: "Begini besar
dan suci murni cinta nona, sayang anakku itu tak berumur panjang.
Karma menghendaki demikian, apa pula yang bisa Lohu katakan."
Tak tertahan bercucuranlah air mata Thian-thay-mo-ki.
Orang berkedok berkata pula dengan mengertak gigi: "Maaf
nona, pikiran Lohu amat kusut, biarlah kita, bertemu lain
kesempatan saja.
Lohu harus segera berusaha menemukan jenazahnya...." belum
habis bicara ia sudah lari turun ke bawah gunung, langkahnya
kelihatan sempoyongan.
Tiba-tiba Thian-thay-mo-ki ingat kenapa tadi lupa tanya nama
gelaran orang. Ia amat mencintai Ji Bun, kini orang yang dicintai
sudah meninggal, namun bagaimana asal usulnya sedikitnya ia tidak
tahu, tak ubahnya seperti orang asing yang tidak dikenalnya sama
sekali, sampaipun siapa she dan namanyapun dia tidak tahu,
sungguh lucu dan tragis pula.
Pelahan ia duduk kembali di tempatnya tadi, dengan kaku ia
tetap mengawasi bawah jurang. Dasar jurang yang tidak kelihatan
diliputi kabut nan gelap, pikirannyapun semakin butek dan kosong
pula ...........
o0o
Kini marilah kita ikuti nasib Ji Bun yang terpukul luka parah dan
dilempar ke jurang oleh Jit-sing-ko-jin itu.
Pada detik-detik gawat waktu badannya melayang-layang di
udara itulah, setitik sinar terang yang masih sempat merasuk
pikirannya adalah bahwa dirinya bakal terbanting hancur lebur di
dasar jurang. Begitu parah sekali luka-lukanya sampai tenaga untuk
bergerakpun tak mampu, maka ia tinggal terima nasib saja
membiarkan dirinya meluncur ke bawah, akhirnya iapun kehilangan
kesadaran.
Entah berapa lama kemudian, tiba-tiba kupingnya mendengar
seruan kaget. Dalam keadaan sadar tak sadar, seruan kaget itu
terdengar jelas dalam hati Ji Bun, namun reaksinya begitu lembut
laksana angin menghembus permukaan air sehingga cuma
menimbulkan sedikit gelembung air belaka, lalu lenyap dalam
sekejap mata.
"Ternyata dia masih hidup .........” Kembali kupingnya mendengar
perkataan ini, dalam keadaan setengah sadar lambat laun pikirannya
menjadi sedikit jernih. Ia ingin membuka mata, namun kelopak
matanya rasanya seberat ribuan kati, sekuat tenagapun tak mampu
ia membukanya, namun kini ia sudah mulai sadar betul-betul.
"Apakah aku tidak mati?" demikian pikir Ji Bun, entah betapa
lama lagi, hawa murninya yang semula keruh pelan-pelan mulai
jernih dan mengalir lancar pula. Baru sekarang dia kuat membuka
sedikit kelopak matanya, sinar terang yang remang-remang cukup
menyilaukan matanya.
Agak lama pula baru dia bisa menyesuaikan keadaan terang dan
bisa melihat jelas. Itulah dinding batu yang licin mengkilap
mengelilingi sekitarnya. Akhirnya iapun menyadari bahwa dirinya
berada di dalam sebuah gua batu.
"Aku ..... masih hidup!" ia berteriak kegirangan seperti putus
lotre, namun suaranya begitu lemah sampai ia sendiri tak
mendengarnya. Ia hanya merasa bahwa dirinya barusan sudah
berteriak sekeras-kerasnya.
"Buyung, takdir belum menentukan kau mampus, hampir mati
tapi belum meninggal."
Dia jelas mendengar perkataan ini, suara serak tua dan
bertenaga, dengan seluruh tenaga ia coba berpaling, di mana sorot
matanya memandang, seketika jantung serasa meloncat keluar.
Ternyata di atas tanah hanya beberapa kaki jauhnya dari tempatnya
rebah, duduk bersimpuh "seekor" makhluk aneh, rambut ubanan
panjang menyentuh bumi, sampaipun jambangnya juga sudah
ubanan dan panjang menutupi selebar mukanya.
Hanya sepasang mata berkilat yang menembus keluar dari balik
rambutnya. Jika makhluk aneh ini tidak bersuara, sungguh Ji Bun
takkan mau percaya bahwa makhluk ini adalah manusia.
Kini Ji Bun sudah yakin bahwa dirinya memang masih hidup, rasa
senang di luar dugaan merangsang hatinya sehingga mendatangkan
kekuatan luar biasa. Sekuat tenaga ia membalik badan terus
merangkak bangun dengan kedua tangan me¬nahan tanah, walau
badan bergoyang gontai dan gemetar, akhirnya ia dapat berduduk
juga.
Lama sekali ia terlonggong mengawasi orang aneh ini, akhirnya
baru bersuara setelah tenangkan diri: "Apakah Locianpwe yang
menolong Wanpwe?"
Suara orang aneh yang menggetar telinga berkata; "Buyung,
malah Locu yang hampir saja mampus ditanganmu."
Ji Bun melongo, tanyanya tak mengerti: “Ini..... ini .... bagaimana
mungkin?"
"Tanganmu yang beracun itulah!"
Tersirap darah Ji Bun, baru sekarang Ji Bun betul-betul sadar
bahwa tangan kirinya yang selama ini ia sembunyikan di dalam baju
kini sudah terjulur, dengan tertegun ia mengawasi orang aneh ini
tanpa bersuara lagi.
Untuk pertama kali inilah rahasia dirinya betul-betul terbongkar.
Tangan berbisa, tangan kirinya yang beracun jahat ini sejak mula ia
sembunyikan di dalam baju, dibagian ketiak dia bikin sebuah lubang,
dibagian luar terselubung oleh lengan baju yang menjuntai kosong,
maka orang-orang yang tidak tahu mengira dirinya seorang buntung.
Di waktu ia bergebrak melawan musuh, jika ada kesempatan
mendekat, tangannya itu bisa menjulur keluar melalui lubang baju
dan cukup menyentuh sedikit badan lawan saja segera akan
merenggut jiwa orang. Selama ini rahasia ini belum diketahui
siapapun, dan yang penting semua korban itu tidak kelihatan terluka
juga tidak nampak keracunan.
Orang aneh itu berkata pula: "Buyung, kalau dugaan Locu tidak
meleret, racun yang lengket di tanganmu itu adalah Bu-ing-cui-sim-
jiu (tangan penghancur hati tanpa bayangan) yang paling ganas
masa kini."
Kaget dan heran pula Ji Bun dibuatnya, katanya gemetar:
"Memang tepat dugaan Locianpwe, memang betul inilah Bu-ing-cui-
sim-jiu."
Terpancar sorot mata dingin yang berkilauan dari kedua biji mata
orang aneh, katanya dengan suara berat: "Kau bisa meyakinkan ilmu
beracun yang sudah lenyap ratusan tahun dari Bu-lim, jelas kau
bukan orang baik-baik, seharusnya Locu membunuhmu ......”
Hampir pecah nyali Ji Bun, dengan ketakutan ia meronta berdiri
sambil mundur mepet dinding, bayangan kematian melingkupi
sanubarinya pula.
Pandangan orang aneh beralih mengikuti gerak geriknya,
tatapannya tertuju kemukanya, lama sekali, baru terdengar dia
menggumam: “Kulihat kau ini berbakat dan cerdik pandai tak mirip
orang jahat atau kaum durjana......"
Ji Bun diam saja, dengan melongo ia balas pandang orang,
namun hatinya bekerja mencari daya, agaknya orang aneh ini tadi
sudah menyentuh tangan kirinya, namun dia tidak apa-apa, malah
bisa menguraikan asal usul ilmu beracun yang dia yakinkan itu,
terang orang aneh ini adalah tokoh yang luar biasa. Untuk
merenggut jiwanya, tentunya segampang membalikkan telapak
tangan belaka. Kalau memang demikian nasibnya, laripun tiada
gunanya.
"Anak muda, kau dari perguruan mana?"
Ji Bun berpikir-pikir, katanya kemudian: "Jit-sing-pang"
"Pernah apa kau dengan Jit-sing-lo-jin?"
"Beliau adalah kakekku."
"Sekarang siapa yang menjabat sebagai Ciangbunjin?"
"Ayahku sendiri."
"Menurut apa yang kutahu. Jit-sing-lo-jin adalah seorang jujur
dan luhur budi, berjalan lurus tak pernah melakukan kejahatan, apa
lagi menggunakan racun lalu dari mana kau mempelajari ilmu
beracun ini?"
"Di ...... di.... diajarkan oleh ayah."
Orang aneh ini terpekur sekian lamanya pula, akhirnya berkata
dengan nada sunggguh-sungguh: "Menurut apa yang kuketahui, bisa
Bu-ing-cui-sim-jiu ini teramat jahat dan paling beracun diseluruh
jagat. Orang yang terkena tidak menunjukkan tanda-tanda
keracunan, namun begitu racun menyentuh badan, segera
menyerang jantung. Dan orang yang sempurna meyakinkan Bu-ing-
cui-sim-jiu ini hanya seorang tokoh yang bernama Kwi-kian-jiu
(setanpun sedih melihatnya) yang hidup dua ratus tahun yang lalu.
Konon Kwi-kian-jiu akhirnya terbakar binasa dan tidak punya murid
keturunan, apakah ayahmu mendapatkan Tok-keng (kitab racun)
peninggalannya?"
Ji Bun mengiakan dengan rasa was-was.”
"Tahukah kau bagi setiap insan yang meyakinkan Bu-ing-cui-sim-
jiu ini selama hidupnya takkan bisa disembuhkan lagi?"
"Ini ..... entahlah .........”
"Agaknya bapakmu itu manusia yang tak kenal perikemanusiaan,
dia membiarkan dan menurunkan ilmu beracun yang jahat ini
kepada putera sendiri, masa depanmu tentu amat suram."
"Tapi Wanpwe selalu membawa obat penawarnya," ujar Ji Bun.
"Obat itu hanya bisa menawarkan orang lain yang terkena
racunmu, namun racun yang mengeram dalam tubuhmu sendiri tak
mungkin ditawarkan lagi."
"Ah, mana mungkin?"
"Lohu hanya dengar cerita ini dan belum pernah menyaksikan
Tok-keng itu, menurut cerita para orang tua, bila Bu-ing-cui-sim-jiu
sempurna diyakinkan racun dan jiwa raga orang yang meyakinkan
akan terlebur menjadi satu, kecuali kalau kau kutungi tanganmu
sendiri, selama hidup racun ini takkan tawar dari tak bisa
disembuhkan."
Seperti kejeblos ke dasar lautan yang dalam dan dingin, perasaan
Ji Bun serasa membeku. Jika kenyataan memang demikian,
hidupnya ini boleh terhitung sia-sia belaka, tiada masa depan yang
bisa dia harapkan, namun mungkinkah seorang ayah kandung tega
merusak dan menjerumuskan darah daging sendiri? Atau mungkin
ayah sendiri tidak tahu akibat dari meyakinkan ilmu beracun ini?
Memang sejak dia mayakinkan ilmu ini, belum pernah ia dengar
ayahnya membicarakan soal ini, hanya pernah diberitahu, bila ilmu
ini berhasil diyakinkan, tiada orang lagi di kolong langit ini yang bisa
menandingi dirinya. Namun ia pernah diperingatkan untuk tidak
saling bersentuhan kulit dengan siapa saja, dan kenyataan
membuktikan ilmunya ini tidak seperti apa yang dikatakan ayahnya
yakni tiada bandingannya di jagat.
Kalau menghadapi seorang jago silat yang memiliki Lweekang
tinggi, jika tidak saling gebrak, Tok-jiu atau tangan beracunnya itu
pasti kehilangan daya ampuhnya. Buktinya tadi ia dilukai dan
terlempar ke dalam jurang ini.
Jika sang ayah sudah tahu akibat yang akan timbul setelah
meyakinkan ilmu ini, namun dirinya masih disuruh pergi ke Kayhong
untuk melamar puteri keluarga Ciang, lalu apa pula maksud
tujuannya? Tanpa sebab dan tak karuan juntrungan, ditengah jalan
dirinya malah kepincut kepada Pui Ci-hwi, bukankah sepak
terjangnya belakangan ini terlalu brutal dan menggelikan?
Pikirannya lantas mengenang kembali pada masa-masa diwaktu
dirinya berlatih ilmu beracun ini masih segar dalam ingatannya.
Waktu itu dia baru berusia delapan tahun, setiap hari dia rendam
tangannya di dalam air obat, lalu menelan obat pemunahnya setiap
jangka waktu tertentu, pada waktu-waktu tertentu pula bersemadhi
mengerahkan hawa murni sesuai apa yang dipelajari dari penuturan
ayahnya.
Sepuluh tahun penuh dia berlatih dengan giat baru ilmunya itu
berhasil diyakinkan. Namun selama ini belum pernah mendapat
penjelasan dari ayahnya cara bagaimana dia harus memunahkan
racun dan Lwekang dari ilmu yang dipelajarinya ini. Apakah
kenyataan memang sesuai apa yang diuraikan orang aneh ini? Hal
ini bukan saja menakutkan, malah boleh dikatakan terlalu kejam dan
diluar perikemanusiaan.
"Buyung, kau tidak percaya?"
"Bukan ....... bukan tidak percaya," sahut Ji Bun tergugup,
"namun sukar percaya ........"
"Ya, kelak kau boleh mencobanya."
"Kenapa Locianpwe sendiri tidak takut terhadap racunku ini?"
"Lohu sudah berhasil meyakinkan Kim-kong-sin-kang, seratus
macam racun juga tidak mempan terhadap diriku."
Kejut dan tersirap darah Ji Bun, sungguh tak kira orang aneh
dihadapannya ini ternyata berhasil meyakinkan Kim-kong-sin-kang,
ilmu mujijat yang pernah didengarnya di dalam dongeng, mungkin di
dalam Bu-lim masa kini, orang tua aneh ini sudah tiada tandingan
lagi, namun dalam hati ia tetap tak mengerti.
"Racun ini tak berwarna dan tak berbau, darimana Locianpwee
bisa tahu?"
"Walau racun ini tak berwarna dan tak berbau namun pasti ada
reaksinya bagi setiap orang yang terkena racun ini."
"Oh, ya, mohon tanya siapa nama gelaran Locianpwe yang
mulia?"
"Nama gelaranku sudah lama, kulupakan."
"Wanpwe dilempar ke dasar jurang ini, bagaimana Cianpwe bisa
menolongku sehingga tidak terjatuh hancur dari atas?"
"Akar-akar rotan menjalar di dinding gunung itulah yang
menolong jiwamu dan tiada sangkut pautnya dengan Lohu,
anggaplah nasibmu yang belum ditakdirkan menemai ajal. Namun
daya luncurmu meski teralang oleh akar rotan baru kemudian
terbanting jatuh dan terhindar dari hancur lebur. Kenyataan waktu
itu kau betul-betul sudah mati, denyut nadimu sudah berhenti, ini
sudah kuperiksa dengan seksama. Tak kira sejam kemudian, kau
dapat bernapas kembali dan bergerak-gerak, kejadian ini belum
pernah Lohu alami selama hidup ..........”
"Apakah Locianpwe pernah memberikan pertolongan padaku?"
"Tidak, karena kenyataan kau memang sudah mati. Anak muda,
apakah kau pernah makan obat-obat yang mujarab?"
"Tidak," sahut Ji Bun tegas sambil menggeleng, beberapa kali ia
sudah pernah mati namun akhirnya hidup kembali, entah kenapa?
Semakin dipikir hal ini semakin membingungkan dan tak habis
dimengerti, peristiwa aneh yang tak mungkin terjadi.
"Anak muda," ujar orang tua itu, "bagaimana kau sampai
dilempar ke dasar jurang ini?"
"Aku diserang orang."
"Berapa banyak jiwa yang telah menjadi korban tangan
berbisamu ini?"
"Kalau tidak terpaksa, Wanpwe tak pernah memakai tangan
berbisa, aku yakin tak pernah membunuh orang yang tak berdosa."
"Lohu kurang percaya?"
"Maksud Locianpwe ...........”
"Tadi sebetulnya Lohu sudah akan bikin cacat tanganmu untuk
mengurangi bencana bagi kaum persilatan, namun mengingat
kakekmu Jit-sing-lojin dulu pernah bertemu muka beberapa kali
denganku, akhirnya kuubah niatku, maka tangan berbisamu ini tak
kuusik sama sekali."
Enak saja orang tua aneh ini mengeluarkan kata-kata, namun
bagi pendengaran Ji Bun bagai geledek menyambar dipinggir
kupingnya. Sifatnya yang nyentrik dan angkuh seketika kambuh, tak
terbayang rasa ingin minta ampun sedikitpun, maka dengan
mengertak gigi ia berkata: "Locianpwe boleh menamatkan jiwa
Wanpwe, namun untuk mengutungi lenganku ini ...”
"Kenapa?"
"Jangan harap!"
"Anak muda, membunuhmu bagiku sama saja seperti memitas
seekor kutu."
Beringas muka Ji Bun, katanya mendelik: "Boleh silakan turun
tangan."
Orang tua aneh mengulur jari-jari tangannya yang kurus
bagaikan kulit membungkus tulang, cukup sekali angkat saja,
seketika terasa oleh Ji Bun adanya daya sedot keras luar biasa,
sehingga dirinya terseret maju kehadapan orang tua.
Sekali raih pasti dirinya kena dipegang olehnya, sungguh sukma
serasa copot dari raganya. Dengan kepandaian setinggi ini, kalau
orang menginginkan dirinya mati, walau jiwa sendiri rangkap dua
belas juga sudah melayang sejak tadi.
"Jadi kau rela mati daripada kutung lenganmu?"
"Tidak salah."
"Sudah kau pikirkan?"
"Tenaga dan kemampuanku tak kuasa melindungi jiwa raga
sendiri, buat apa aku harus banyak pikir."
"Agaknya kau amat angkuh?" ujar orang tua aneh, lalu dia
miringkan kepala menepekur. Tiba-tiba tangannya menepuk bumi
seraya berkata: "Hampir. saja Lohu lupa sebuah hal penting. Anak
muda, kau berada di Pek-ciok-hong, tentunya tadi kau lewat Pek-
ciok-am bukan?"
Tergerak hati Ji Bun, tanyanya:" Ya, kenapa?"
"Bertemu dengan Nikoh busuk itu tidak?"
"Nikoh busuk siapa?"
"Yang menyebut dirinya Pek-ciok Sinni itu."
"Sudah lama jiwanya melayang ke sorga."
Bergetar badan orang tua aneh, mendadak dia berjingkrak
bangun, sekali cengkeram dia pegang pergelangan Ji Bun, teriaknya
beringas: " Maksudmu dia sudah mati?"
Ji Bun terperanjat dan manggut-manggut sebagai jawaban.
"Apa benar dia sudah mati?" si orang tua menegaskan pula.
"Agaknya Wanpwe tidak perlu berbohong."
"Ha ha ha ha, he he he he, hi hi hi hi ... " ditengah gelak-tawa
seperti orang kerasukan setan, orang tua aneh kembali meloso jatuh
terduduk. Lambat laun, gelak-tawanya berubah menjadi gerung
tangis yang keras, begitu keras gelak tawa dan gerung tangisnya
menjadi perpaduan suara yang bergema bagai bunyi genta besar
yang bertalu-talu secara bergelombang di gua batu itu.
Kuping Ji Bun sampai pekak dan berdiri mematung mengawasi
tiagkah laku orang yang lucu dan aneh. Ia kehabisan akal dan tak
tahu apa yang harus dilakukan. Lama sekali baru isak tangis orang
aneh ini mulai mereda, akhirnya menggumam seorang diri :"Dia
sudah mati, sudah mampus lebih dulu, puluhan tahun penantianku
di sini menjadi sia-sia belaka ........"
Timbul rasa ketarik dan ingin tahu Ji Bun, pikirnya, agaknya
orang tua aneh ini mempunyai hubungan yang luar biasa dengan
Pek-ciok Sinni, yang satu berada di puncak depan sana dan yang lain
di dasar jurang di belakang gunung, agaknya sudah sekian puluh
tahun tak pernah berjumpa, sungguh aneh dan tak masuk diakal.
Maka tak tahan ia lantas bertanya:" Locianpwe, kenapa kau begini
emosi?"
"Pergi, enyah dari sini!" ujar orang tua aneh dengan mengulap
tangan, "urusan Lohu tak usah kau banyak mulut."
Suatu kesempatan bagi Ji Bun, tanpa bicara lagi bergegas dia
putar tubuh terus lari keluar gua.
"Hai, kembali!"
Tanpa kuasa Ji Bun menghentikan langkah.
"Hm, Anak muda, enak saja kau hendak pergi? Selama hidupmu
jangan harap kau bisa keluar dari sini."
"Apa maksud Locianpwe?"
"Kecuali badanmu tumbuh sayap dan bisa terbang, kalau tidak
jangan harap- kau bisa keluar dari tempat terasing dan buntu ini.
Ketahuilah, sarang setan ini dalamnya ribuan tombak, dikelilingi
tebing gunung yang terjal lagi, orang hutanpun tak mampu
memanjat ke atas, kalau tidak, memangnya aku orang tua ini sudi
bersemayam di sini selama puluhan tahun.”
Ji Bun melengak, katanya tertawa kecut: "Tadi Locianpwe hendak
mengutungi lengan kiriku, apakah niatmu ini tidak berkelebihan,
kalau aku tak bisa keluar dari sini, memangnya tangan berbisaku ini
bisa berbuat apa?"
"Omong kosong, aku orang tua tentu mempunyai perhitungan
sendiri."
"Wanpwe mohon keterangan."
6.16. Dari Celaka Dapat Rejeki Nomplok
"Anak muda, sekarang Lohu sudah berubah pikiran, biarlah
tanganmu itu tetap melengket di badanmu, tapi ada syarat-syarat
yang harus kau patuhi."
"Mohon dijelaskan syarat-syarat apakah"
"Kau harus sumpah berat, setelah muncul kembali di kalangan
Kangouw, kau takkan menggunakan tangan berbisa itu untuk
melukai orang-orang yang tidak berdosa."
"Untuk hal ini Locianpwe tidak usah kuatir, selamanya Wanpwe
tidak pernah melukai orang tanpa sebab."
"Sekarang bersumpahlah."
"Locianpwe, soal jahat dan kebajikan hanya terpaut segaris
dalam pikiran manusia, sumpah segala hanya akan mengekang
seorang Kuncu (lelaki ksatria) tapi takkan membatasi tingkah laku
seorang Siaujin (manusia rendah)."
"Hm, memang betul, tapi apakah kau bisa berbuat demikian?"
Untuk ini Wanpwe akan mematuhinya."
"Baiklah, Lohu percaya untuk pertama kali ini, akan kuusahakan
supaya kau bisa keluar dari lembah maut ini, namun kau harus
berusaha mencarikan seseorang ...........”
Seketika terbangkit semangat Ji Bun, katanya:
"Silakan memberi petunjuk."
Tahu-tahu guramlah pandangan orang tua aneh itu, ujarnya:
"Mungkin orang yang harus kaucari sudah tiada lagi di dunia ini,
namun sebelum Lohu mendapat bukti nyata bahwa dia betul-betul
sudah meninggal, betapapun aku takkan putus asa."
"Orang macam apakah dia?"
"Seorang perempuan."
"Perempuan?"
"Ehm, perempuan, perempuan cantik jelita. Ha ha ha, asmara
tetap asmara, si jelita masa lalu entah bagaimana keadaannya
sekarang? Loyo? Seperti kuntilanak? Nenek reyot? atau mungkin
sudah menjadi tulang belulang.............."
Ji Bun menghirup napas panjang, tanyanya
"Siapakah dia?"
Wajah si orang tua seperti kehilangan semangat, katanya dengan
melamun:
"Dia bernama Toh Ji-lan, Ji-lan, Ji-lan, ayu jelita, ratu
kecantikan.......,” suaranya semakin lirih, pandanganpun mendelong,
agaknya ia tambah terkenang pada masa mudanya dahulu.
Dengan bingung dan keheranan Ji Bun mengawasi orang tua
yang serba misterius ini, ingin bersuara namun merasa rikuh.
Untunglah setelah sekian lama dibuai emosi, lekas sekali orang tua
aneh ini tenang kembali dan berkata pula sambil menggerakkan
tangan:
"Duduklah, dengarkan petunjukku,"
Ji Bun lantas duduk mendeprok di atas tanah, terpancar sinar
terang yang aneh dari kedua biji mata si orang tua, berhenti sejenak
baru ia berkata dengan kalem seperti menekan perasaan:
"Puluhan tahun yang lalu, muncullah sepasang kembang kakak
beradik di dunia Kangouw, yang tua bernama Toh Ji-hwi, adiknya
bernama Toh Ji-lan kecantikan dan kepandaian ilmu silat mereka
menjagoi jagat, sehingga menimbulkan banyak huru-hara dan sering
menggegerkan dunia persilatan, tak terhitung jumlah pemuda yang
sama mengejar dan kepincut oleh kepandaian dan kecantikan
mereka. Di antara sekian banyak pemuda yang menjadi pemujanya,
ada seorang ahli pedang yang berpandangan tinggi angkuh, pada
suatu kesempatan yang tak terduga, jago pedang ini berkenalan
dengan sepasang kakak beradik ini, jago pedang itu akhirnya jatuh
cinta kepada sang adik, hubungan semakin intim dan akhimya
mereka bersumpah setia, sehidup semati. Sayang sang Taci secara
diam-diam juga jatuh cinta kepada jago pedang itu .......”
Sampai disini ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan,
"dari cinta sepihak, cinta yang hanya dipendam di dalam hati
akhirnya sang kakak menjadi kerasukan iblis, namun dia tetap sadar,
tak mungkin ia merebut kekasih adiknya, maka akhirnya, dia rela
mencukur rambut menjadi Nikoh (biarawati)."
"O," lapat-lapat dalam hati Ji Bun sudah meraba makna dari
rangkaian cerita ini, maka tanpa sadar mulutnya bersuara.
Orang tua aneh melirih sekejap padanya, lalu melanjutkan
ceritanya
"Sejak kecil kedua kakak beradik ini tumbuh bersama tanpa
asuhan orang tua, mereka hidup berdampingan, sang adik amat
berduka karena sang Taci rela mengasingkan diri menjadi pemeluk
agama yang asih, namun ia tidak tahu isi hati dan perasaan sang
Taci, demikian pula jago pedang itupun tidak tahu ......... Tak lama
kemudian, sang Taci mendapat suatu rejeki nomplok secara tidak
terduga, dia menemukan sebuah Sek-hud peninggalan orang aneh
pada jaman kuno.
"Ah!" Ji Bun berseru kejut, inilah kisah rahasia yang tak mungkin
diketahui oleh kaum persilatan.
Orang tua aneh tetap melanjutkan ceritanya:
"Akhimya dia berhasil meyakinkan kepandaian silat yang tiada
taranya, kaum persilatan menjunjungnya sebagai Sin-ni (Nikoh
sakti), walau dia sudah menjadi biarawati, namanya tenar diagulkan,
namun cinta asmara yang terpendam di dalam sanubarinya temyata
masih terukir amat mendalam. Suatu hari, karena ingin lekas
menikah dan berdampingan dengan kekasihnya, sengaja jago
pedang itu berkunjung ke biara tempat semayam sang Taci, di situ
sang Taci mengajukan syarat, kecuali jago pedang itu menjadi jago
silat nomor satu diseluruh kolong langit ini, kalau tidak jangan harap
bisa mempersunting adiknya ...........”
"Jago pedang itu minta petunjuk, cara bagaimana untuk
menjadikan dirinya jago silat tanpa tandingan, maka sang Taci
mengeluarkan selembar daun bodi, katanya di atas daun bodi itu
dimuat pelajaran Kim-kong-sin-kang dari aliran Hud yang tertinggi,
untuk meyakinkan harus memiliki tubuh kuat dan perjaka lagi, kalau
berhasil, seluruh jagat pasti tiada tandingannya ....
"Setiap orang yang gemar meyakinkan ilmu silat umumnya pasti
tergila-gila terhadap ilmu yang dilatihnya, coba bayangkan, tanpa
sebab dan secara mudah memperoleh ilmu sakti nan mujijat setelah
berhasil bukan saja menjagoi dunia, cita-citanya untuk
mempersunting sang kekasihpun akan tercapai, betapa takkan
tertarik batinnya? Sudah tentu jago pedang itu amat terharu dan
berterima kasih, dengan riang dan setulus hati ia menerimanya."
"Segalanya berjalan lancar karena diatur oleh sang Taci,
belakangan dia diantar ke sebuah tempat yang amat tersembunyi
untuk berlatih dan meyakinkan ilmu sakti itu, setelah menggembleng
diri sekian lamanya, kemudian ia menyadari adanya sesuatu yang
kurang beres, yakni pada tingkat tertentu latihannya hawa murninya
selalu mengalami jalan buntu dan aliran darahnya selalu
menyimpang, hampir saja dia Cau-hwe-jip-mo (kelumpuhan),
setelah diselami dan diyakini berulang kali dan tetap tidak berhasil,
akhimya dia ingin keluar menemui sang Taci untuk mohon petunjuk
dan menyelidiki bersama, tapi didapatinya pintu rahasia satu-satunya
yang bisa dilalui untuk keluar itu sudah tertutup buntu.
"Jago pedang itu berteriak dan menggembor sejadi-jadinya,
sesambatan dan mengamuk, namun siapa yang tahu akan
keadaannya yang terkurung di bawah tanah itu. Baru sekarang dia
menyadari bahwa dirinya terjeblos ke dalam perangkap yang
agaknya memang sudah direncanakan sebelumnya, selama hidup ini
agaknya takkan bisa melihat langit dan hidup bebas lagi, dirangsang
oleh emosi dan rasa dukanya, hampir ia menjadi gila. Kiranya karena
sang Taci patah arang, cintanya tak terbalas, hatinya menjadi benci
dan dendam, maka diaturlah rencana keji itu, dia yakin sang adikpun
tidak tahu akan peristiwa tragis ini ..... "
Sampai di sini berlinang-linanglah air mata orang tua aneh itu.
Alis Ji Bun bertaut lebih kencang, diam-diam ia berpikir: apakah
ini mungkin?
"Dalam keadaan putus asa itu," demikian orang tua menyambung
ceritanya, "jago pedang itu sedapatnya berpikir ke arah yang baik, ia
berharap semua ini bukan kenyataan, kemungkinan setelah ia
berhasil meyakinkan ilmu mujijat itu sang Taci akan membuka pintu
rahasia itu. Maka kembali ia menekuni pelajaran yang termuat di
atas daun bodi itu. Begitulah dari tahun ke tahun, akhimya
didapatinya bahwa teori pelajaran yang termuat pada daun bodi itu
ternyata sebenarnya sudah diubah, tak heran dia selalu mengalami
jalan buntu dalam latihannya, darah mengalir balik dan bersimpang-
siur .............”
“Demi berkumpul kembali dengan pujaan hati yang, amat
dicintainya, maka dia harus berjuang, dan bertahan hidup, dia
percaya dan yakin akan keenceran otaknya, dengan tekun ia
mempelajari dan menyelidiki di mana letak kesalahan dari teori ilmu
mujijat ini, selama sepuluh tahun dari hasil latihan dan
ketekunannya akhimya dia dapat meyakinkan Kim-kong-sin-kang itu
dengan sempuma, pada waktu itu dia berusaha pula untuk menjebol
pintu rahasia yang tertutup itu, baru saat itu dia betul-betul
menyadari dan mengerti bahwa semua ini memang muslihat yang
telah direncanakan. Bahwasanya jalan itu sudah buntu, untuk keluar
jelas takkan ada harapan lagi, maka pikirannya lalu beralih ke
dinding jurang yang terjal dan tinggi itu, dengan seluruh hasil
kekuatan latihannya selama puluhan tahun ia melompat dan
mengitari tebing, namun dia tetap tak berhasil, kenyataan kembali
menghancurkan setitik harapannya yang terakhir, sayang karena
dalam tahap permulaan meyakinkan ilmu mujijat itu dia sudah
melakukan kesalahan, sehingga urat nadi kakinya mengkeret dan
menjadikan lumpuh total, dikala dia mengerahkan hawa murni dan
mencapai batas tertentu, setiap kali pasti mengalami gangguan
mendadak, sehingga kepandaian Ginkang yang tiada taranya itu tak
dapat melampaui taraf yang dicapainya.”
"Kini dia betul-betul sudah putus harapan, namun dia harus tetap
hidup, dia mengharap suatu ketika sang kekasih dapat membongkar
muslihat ini dan datang menolongnya, atau mungkin pula sang Taci
insaf dan bertobat akan dosa-dosanya, mau menolong keluar untuk
melihat dunia ramai pula, oleh karena itu, dalam keadaan kepepet
dan putus asa itu, dia terus bertahan hidup dalam serba kekurangan
dan menderita sampai sekarang."
Habis cerita si orang tua aneh, sorot matanyapun semakin suram
namun diliputi nafsu kebencian dan putus harapan.
Terketuk hati sanuhari Ji Bun, hatinya amat terharu, ia amat
simpatik akan nasib orang tua aneh yang sengsara ini.
Seorang jago pedang yang muda belia harus hidup merana di
lembah maut diliputi keputus asaan sampai menjadi orang tua
ubanan yang cacat lagi, sungguh teramat kejam dan tragis sekali.
Jelas bahwa jago pedang di dalam cerita itu adalah si kakek tua
aneh dengan rambut dan jenggot ubanan yang terurai panjang
menyentuh bumi ini, sang Taci yang dimaksud dalam cerita itu
adalah Pek-ciok Sin-ni. Siapa akan mengira, Pek-ciok Sin-ni yang
diagulkan dan dipandang sebagai biarawati nan suci dan agung
temyata sampai hati melakukan perbuatan nan culas diluar
perikemanusiaan ini. Memangnya beginilah sepak terjang
kebanyakan tokoh-tokoh kosen yang menamakan dirinya pendekar
pada jaman ini diluar tahu khalayak ramai.
Betapa mengerikan dan menakutkan liku-liku kehidupan dunia
persilatan ini, sungguh siapapun takkan bisa membayangkan.
Sampai di sini tiba-tiba Ji Bun sadar akan keadaan dirinya pula
bahwa orang tua aneh ini tak berhasil keluar dari tempat ini meski
sudah berusaha puluhan tahun, bukankah dirinyapun takkan ada
harapan? Mau-tak-mau ia berdiri gemetar dan lemas lunglai,
keringat dingin gemerobyos.
Setelah menunduk dan menepekur sekian lama, tiba-tiba orang
tua aneh angkat kepala dan berkata dengan nada serius:
"Buyung, kau harus berjanji, apapun yang terjadi, kau harus
bekerja untuk Lohu menemukan dan mencari kabarnya Toh Ji-lan?"
"Baik, Wanpwe berjanji, tapi .........
"Tapi apa?"
"Bagaimana aku bisa keluar dari sini?"
"Itu soal mudah. Lohu akan bantu kau menjebol jalan darah mati
hidupmu, lalu seluruh Lweekang dan hawa murniku akan kusalurkan
pula ke dalam tubuhmu, kutambah pelajaran ilmu Ginkang lagi, kau
akan melayang 'terbang' keluar dari sini.”
"Untuk ini terpaksa Wanpwe tidak bisa menerima," kata Ji Bun,
"tiada alasan buat Cianpwe untuk mengorbankan jiwa raga kepada
Wanpwe."
"Bukankah Lohu menyuruhmu melakukan sesuatu?"
"Ya, tapi setelah Locianpwe salurkan Lweekang dan hawa murni
ke dalam tubuhku, bagaimana pula akibat yang harus kau alami?"
"Tidak seluruhnya, hanya delapan bagian saja, dua bagian yang
tersisa cukup untuk bekalku mempertahankan hidup di sini."
"Menurut pendapat Wanpwe yang bodoh, lebih baik cari jalan lain
saja."
"Hahaha, buyung, karena ketulusan dan kejujuranmu ini,
sekarang, Lohu betul-betul mau percaya seluruhnya padamu.
Ketahuilah, kecuali caraku itu, tiada jalan lain lagi, mari duduk
membelakangi Lohu.”
Menghadapi keadaan di luar dugaan ini, Ji Bun menjadi bingung,
mulutnya tergagap :
"Locianpwe. Kukira ..........
"Buyung, kau tidak berkuasa lagi," tahu-tahu angin keras
menggulung Ji Bun hingga berkisar maju tanpa daya, mendeprok di
atas tanah setelah badannya terseret berputar-putar, kenyataan tak
memberi kesempatan baginya untuk ragu-ragu lagi, terpaksa ia
duduk bersimpuh, segulung arus panas tahu-tahu merembes melalui
Bing-bun-hiatnya. Tenaga luar bergabung hawa murninya, lekas
sekali bersatu padu menjadi arus kuat bagai air bah yang tak
terbendung lagi, terus menerjang kejalan darah Hian-koan, jalan
darah mati- hidupnya.
Sekali dua kali dan tiga kali, jalan darah mati hidupnya akhimya
keterjang jebol, kerena terjangan yang teramat keras ini, sehingga Ji
Bun tergeletak semaput. Entah berapa lamanya, dikala dia sadar
kembali, terasakan sejalur tenaga hangat masih merembes melalui
Pek-hwe-hiat masuk ke badannya, setelah menyusup dan menerjang
kian kemari keseluruh Hiat-to dan urat nadi, badan terasa panas
seperti dipanggang keringat mengalir deras membasah kuyup.
Cuaca dalam gua dari terang menjadi gelap dan dari gelap
kembali terang. Akhimya Ji Bun sadar kembali setelah digembleng
sehari semalam, dilihatnya orang tua aneh itu duduk mendeprok
lemas dibelakangnya, sorot matanya yang tajam mengkilat kini
sudah pudar. Sungguh menyesal dan terima kasih pula hati Ji Bun,
tersipu-sipu ia memberi sembah dan tak sanggup mengeluarkan
kata-kata saking terharunya, ia pikir budi kebaikan ini biarlah kuukir
di dalam hati sanubari saja.
Sehari semalam telah lampau pula, selama ini dia berhasil
mempelajari pula sejurus kepandaian Swan-kong-hwe-seng-sin-hoat
(gerakan terbang mumbul dengan berputar di udara) dari si orang
aneh, gerakan Ginkang tingkat ini berlandaskan sekali emposan
hawa murni, sehingga badannya seenteng asap melesat mumbul
dengan berputar seperti kitiran, dengan meminjam tenaga tutulan
kaki di dinding gunung, badannya bisa melayang naik ke atas.
Dari celaka Ji Bun malah memperoleh rejeki nomplok, sungguh
mimpipun tak pernah terbayang sebelumnya.
Hari ketiga, di kala fajar menyingsing, orang tua aneh itu
menyuruhnya berangkat meninggalkan tempat itu. Kumpul selama
dua hari dua malam menyebabkan hatinya merasa iba dan berat
meninggalkan orang tua aneh ini, sudah tentu perasaan ini timbul
karena dia merasa utang budi.
Orang tua itu mengeluarkan sebuah tusuk kundai yang terbuat
dari emas, dia berpesan dengan wanti-wanti:
"Buyung, inilah tanda perkenalanku, bila kau menemukan
perempuan yang bernama Toh Ji-lan itu ...... ah, tidak kini dia
tentunya sudah berubah menjadi nenek tua ubanan juga, keluarkan
tanda pengenalku ini, beritahukan apa yang kau alami dan kau
saksikan di sini kepadanya."
Dengan laku hormat Ji Bun terima tusuk kundai itu terus
disimpan dalam sakunya, katanya:
"Locianpwe, sukalah kau memberitahu gelaranmu?”
Orang tua itu menggeleng :
"Tidak perlulah, cukuplah kalau dia mengenali tusuk kundai ini."
"Wanpwe mempunyai pendapat bodoh, apakah Cianpwe suka
terima usulku ini?"
"Soal apa?"
"Setelah Wanpwe keluar dari sini, akan kucari tali, panjang untuk
menolong Cianpwe."
"Jangan, jurang ini sedalam ribuan meter!”
"Ribuan meter hanya ukuran perkiraan saja, untuk
mengusahakan tali sepanjang itu kukira bukan soal sulit."
"Biarlah Lohu menunggu beritamu di sini saja, setelah kau keluar
sukalah segera kau kerjakan pesanku itu."
"Kenapa Locianpwe tak mau keluar saja?"
"Pek-ciok Sin-ni sudah mampus, kepada siapa aku harus
melampiaskan dendamku ini, kekasihku dimasa muda entah apakah
masih hidup, usia Lohu sudah seabad, sudah dekat ajal, yang
kunanti hanyalah pengharapan terakhir untuk melihatnya sekali lagi
atau mendengar beritanya, rasanya masa hidupku sudah mencapai
ujung pangkalnya apa lagi yang kuharapkan, lekaslah kau pergi."
Ji Bun amat pilu dan tidak tega, tak tertahan dia bercucuran air
mata, inilah watak pembawaannya yang bijaksana, memperlihatkan
budi pekertinya yang sejati, selama hidupnya, untuk pertama kali
inilah dia mencucurkan air mata untuk orang lain. Orang aneh tua
itupun agaknya amat emosi, namun dia tekan perasaannya, katanya
sambil ulap tangan berulang kali:
"Pergi, lekas pergi! Seorang jago silat, kenapa harus bertele-tele
seperti orang perempuan."
Tanpa bicara Ji Bun menyembah pula terus keluar dari gua,
waktu dia angkat kepala, tampak dinding gunung begitu terjal dan
tegak lurus selicin kaca, ujung puncak dari gunung terjal ini seakan-
akan menyundul langit, dia menjadi bimbang dan tidak yakin akan
gerakan ginkang yang baru dipelajarinya itu, apakah mampu
"terbang" keluar dari tempat ini dengan, selamat. Tapi baru melihat
keadaan begini saja, hatinya merasa dak-dik-duk. Segera dia duduk
bersemadi, hawa murni dipusatkan di pusar terus dituntun
berkeliling menyusup kesetiap urat nadi dan merembes keluar ke
seluruh pori-pori kulitnya, sehingga badannya seperti terselubung
kabut putih, dalam semasakan air, Ji Bun sudah merasakan
badannya segar nyaman dan enteng sekali.
Diam-diam ternyata orang tua aneh itu telah merayap di
belakangnya, katanya dengan suara berat:
"Keluarkan seluruh tenaga, hawa jangan sampai terhenti
bangkit."
“Hiiiiaaaaaaat ......!" dengan teriakan melengking untuk
menambah semangat dan mengobarkan kekuatannya, Ji Bun
gentakkan kedua kakinya, badannya segera meluncur ke atas bagai
roket, sekali lompat mencapai sepuluh tombak lebih, di tengah udara
badannya lantas bergerak melintang berbareng kakinya, menutul
didinding gunung, meminjam daya tutulan ini kembali badannya
berkisar mumbul pula, satu tingkat demi satu tingkat, sedikitpun dia
tidak berani mengalihkan perhatian mengendurkan tenaga, cepat
sekali dia sudah terbang berputar tiba di atas puncak, hampir dia
tidak berani mempercayai kenyataan ini, namun kenyataan kini ia
sudah berada di atas.
Sejak dia berdiri menghimpun semangat dan memusatkan
pikiran, lalu menghirup napas panjang beberapa kali, dengan lengan
baju ia usap keringat di atas jidatnya, kembali dia sembunyikan
lengan kirinya ke dalam baju, sehingga lengan bajunya yang kiri
tetap kosong melambai.
Dalam waktu sekejap ini timbul beberapa kali perubahan pikiran
dalam benaknya. Teringat olehnya akan orang berkedok yang dua
kali turun tangan terhadap dirinya, demikian pula Jit-sing-kojin yang
begitu kejam melempar dirinya ke dalam jurang tanpa sebab dan
alasan yang meyakinkan. Diapun tak lupa akan para musuh buyutan
Wi-to-hwe. Sang ayah yang terpisah, demikian pula sang ibu yang
lenyap.
Setelah memperoleh saluran tenaga dalam orang tua aneh di
bawah jurang itu, entah sampai di mana tingkat kekuatannya sendiri
sekarang? Entah cukup mampu untuk bekal menuntut balas kepada
para musuhnya itu? Sudah tentu, soal ini lekas sekali akan
memperoleh jawabnya.
Dunia seluas ini, ke mana dia dapat mencari perempuan yang
bernama Toh Ji-lan sesuai pesan si orang tua aneh itu? Secara
langsung dia teringat kepada Pui Ci-hwi, sebagai murid Pek-ciok Sin-
ni tentunya gadis ini tahu di mana Susioknya berada sekarang.
Tiba-tiba waktu dia berpaling ke sana, dilihatnya di ujung batu di
pinggir jurang sebelah sana duduk melamun seorang perempuan
yang mematung. Setelah dia perhatikan dengan seksama, hatinya
seketika tergoncang, batinnya: "Kiranya dia, tiga hari telah
berselang, mungkinkah dia belum tinggal pergi?" Bergegas dia
memburu kesana seraya berteriak:
" Cici!"
Perempuan itu temyata adalah Thian-thay-mo-ki, tampak dia
berpaling dengan lesu, tiba-tiba matanya terbeliak, rona mukanya
yang semula pucat berubah hebat, mulutnya melongo tanpa
bersuara, sikapnya hambar, kaget dan merasa aneh serta
keheranan.
"Cici, kenapa kau?" tanya Ji Bun.
Sekali lompat Thian-thay-mo-ki melayang turun memapak
kedatangannya, serunya dengan gemetar:
"Kau...... dik, kau tidak mati?”
Haru dan terpukul sanubari Ji Bun menghadapi sikapnya ini,
katanya sambil mendekat dua langkah:
"Cici, aku tidak mati!"
"Apa betul? Atau hanya mimpi?" ujar Thian-thay-mo-ki tersendat.
"Dik," tiba-tiba ia menggerung tangis seraya menubruk maju dan
membuka kedua tangan hendak memeluk Ji Bun.
Lekas Ji Bun menyingkir seraya berteriak,
"Jangan sentuh aku!"
Lekas Thian-thay-mo-ki mengerem gerakkannya sambil berpaling
melengong, air mata seketika bercucuran, sorot matanya
memancarkan perasaan cinta kasih nan tebal seperti pandangan
seorang ibu yang amat prihatin terhadap kesehatan puteranya.
Ji Bun melihat jelas bahwa muka si nona kelihatan pucat dan
agak kurus.
"Cici, selama ini kau belum pergi?"
6.17. Tabib Keliling Thian-bak-sin-jiu ......
"Dik, aku ....... beberapa kali aku hampir terjun ke bawah
menyusulmu," dengan malu-malu Thian-thay-mo-ki menunduk,
mukanya yang pucat menjadi merah.
Inilah limpahan isi hati yang murni, cinta sejati. Ji Bun amat
menyesal, dia merasa tidak patut menerima cinta murni ini, tiada
apa-apa yang pernah dia berikan kepadanya, malahan rasa cinta
sedikitpun tiada, bahwa belakangan ini ia mau bergaul sama dia
hanya ingin memperalatnya demi mencapai tujuan menuntut balas
keluarganya. Kini Ji Bun betul-betul malu diri ia merasa bahwa
perbuatan dan tujuannya teramat hina dan kotor, ia ingin membeber
kenyataan ini dan mohon maaf. Malah iapun ingin memeluknya,
serta membisiki bahwa untuk selanjutnya ia akan memberi balasan
setimpal akan cinta kasih besarnya.
Akan tetapi ia tidak berbuat sejauh itu, pikiran lain lekas sekali
membuatnya tenang kembali, yaitu lengan kirinya itu, tangan
berbisa, jika benar apa yang dikatakan si orang tua aneh, maka
selama hidup dirinya takkan ada kesempatan lagi untuk main cinta
dengan perempuan.
Seperti disayat dan ditusuk sembilu rasa hatinya, sungguh ia
tidak habis mengerti kenapa semua ini bisa terjadi, apakah ia harus
menyalahkan ayahnya?
"Dik, bagaimana kau bisa tetap hidup?" tanya Thian-thay-mo-ki
kemudian.
Ji Bun lantas ceritakan pengalamannya, namun soal tangan
kirinya tetap dia rahasiakan. Lalu dia bertanya:
"Cici, kau pernah dengar orang yang bernama Toh Ji-lan?"
"Belum pernah dengar, tapi bisa kita selidiki.”
"Kemana Jit-sing Kojin?”
Thian thay-mo-ki mengertak gigi, katanya :
"Hampir saja aku diperkosa olehnya, untung tanda perguruanku
menyelamatkan aku.” Ia lantas menceritakan kejadian terakhir yang
dialaminya. Lalu katanya pula. "Dik, menurut hematku, Jit-sing kojin
pasti sekongkol dengan Biau-jiu Siansing."
"Mengapa kau berpendapat demikian??”
"Kenyataan amat jelas, Bu-cing-so dan Siang-thian-ong telah
mengawasi Biau-jiu Siansing dengan ketat, betapapun tinggi
Ginkangnya jangan harap bisa lolos dari pengawasan kedua
bangkotan lihay itu, namun Jit-sing-kojin justeru muncul pada saat
yang menentukan, dia sengaja memancing kemarahan Bu-cing-so
untuk melabraknya sehingga Biau-jiu Siansing mendapat
kesempatan untuk lari."
"Analisamu memang masuk akal, namun kedua bangkotan tua itn
sama-sama tak berani turun tangan secara gegabah, agaknya
merekapun menguatirkan sesuatu, sebetulnya gabungan kekuatan
mereka cukup berlebihan untuk membereskan seorang Biau-jiu
Siansing, namun mereka tetap ragu-ragu, dari percakapan mereka
agaknya rela untuk gugur bersama Sek-hud, terang sekali di dalam
hal ini ada latar belakang, yang tidak kita ketahui.”
"Ya, akupun, seperasaan, cuma kita tak habis. pikir."
"Menurut pendapatmu, dapatkah kedua bangkotan itu
menyandak Biau-jiu Siansing?"
"Tidak mungkin, Ginkang Biau-jiu Siansing tidak bernama
kosong."
"Menurut kabar Sek-hud menyimpan rahasia pelajaran ilmu silat,
Biau-jiu Siansing kalau berhasil mempelajarinya, ditambah
kepandaian sendiri yang, sudah begitu tinggi, mungkin tiada jago
kosen yang dapat menandinginya."
"Mungkin, namun pihak Wi-to-hwe tidak akan berpeluk tangan,"
dengan cekikikan Thian-thay-mo-ki lalu menambahkan: "Dik, marilah
kita turun gunung mencari makanan."
Baru sekarang Ji Bun juga merasakan perutnya keruyukan,
laparnya setengah mati, sahutnya:
"Ya, tiga hari tidak makan, perutkupun sudah berontak."
Mereka lantas berlari turun dari Pek-ciok-kong, di bawah gunung
ada sebuah kampung di mana mereka mendapatkan sebuah warung
lalu pesan makanan ala kadarnya.
"Dik," kata Thian-thay-mo-ki penuh perhatian, "kemana tujuan
kita selanjutnya?"
Berpikir sebentar baru Ji Bun menjawab:
"Kita menuju ke Cinyang saja."
"Mencari Biau-jiu Siansing maksudmu?"
"Disamping minta kembali anting-anting, sekaligus kita cari jejak
Jit-sing-kojin."
"Ya, jadi bekerja menurut rencana semula?"
"Kukira secara hormat kita mohon bertemu dulu, jelaskan maksud
kedatangan, kalau mereka sengaja main gila baru kita pakai
kekerasan."
"Baiklah, kita bekerja menurut keadaan nanti."
o0o
Pada jalan raya di selatan kota Cinyang berdiri sebuah gedung
kuno yang angker. Hari itu, dua muda-mudi mendatangi gedung
kuno yang jarang dikunjungi orang karena terkenal sebagai rumah
setan, mereka adalah Te-gak Suseng dan Thian-thay-mo-ki.
Menghadapi daun pintunya yang tertutup rapat itu Ji Bun mengerut
kening, katanya :
"Cici, gedung ini tak salah lagi?"
"Tak salah, aku masih ingat betul."
Ji Bun segera maju menggedor pintu, namun lama sekali tak
terdengar penyahutan dari dalam, kemball Ji Bun menggedor pintu
dengan gelang besi yang tergantung di pintu itu, begitu keras
suaranya, kecuali orang tuli saja yang tidak mendengar. Namun
tetap tiada reaksi.
Setelah ditunggu lagi sebentar, tiba-tiba sebuah suara bertanya:
"Kalian mau apa?"
Waktu Ji Bun berpaling, dilihatnya orang yang bicara adalah laki-
laki yang berpakaian kasar dengan jubah kusut, tangan memegang
kelintingan, di punggung menggeblok sebuah peti obat, di atas peti
obat tertancap sebuah panji kecil di mana tertulis sebaris huruf yang
berbunyi "mengobati berbagai penyakit yang sukar disembuhkan",
kiranya orang ini adalah tabib kelilingan.
Thian-thay-mo-ki lantas menjawab:
"Kami hendak mengunjungi pemilik rumah ini."
Terbelalak biji mata tabib kelilingan itu, katanya:
"Apa, kalian hendak mengunjungi pemilik gedung ini?"
“Tidak salah!" sahut Ji Bun.
"Kalian kenal baik dengan pemilik gedung ini, atau ....”
"Ya, kenalan lama," kata Ji Bun.
"Ha ha ha ha "tiba-tiba tabib kelilingan itu terkial-kial sampai
terbungkuk-bungkuk, sambil membunyikan kelintingnya, tabib itu
terus putar badan dan tinggal pergi.
Melihat kelakuan tabib keliling ini agak ganjil, Ji Bun tahu urusan
pasti tidak beres, sekali gerak segera dia memburu ke depan dan
mengadang, katanya:
"Tunggu sebentar sahabat!"
Dengan kaget dan melongo tabib kelilingan itu menyurut
selangkah, tanyanya:
"Apa-apaan kau ini?"
"Kenapa saudara tertawa?"
"Tadi tuan bilang kenal baik dengan penghuni gedung ini, maka
aku merasa geli."
"Memangnya apanya yang lucu?"
"Sudah lama gedung ini tiada penghuninya, di kota Cinyang
gedung ini sudah terkenal sebagai rumah setan .....”
Berubah air muka Ji Bun, teriaknya:
"Apa? Rumah setan?"
Dengan rasa jeri tabib kelilingan itu ke pintu gedung kuno itu,
katanya:
"Betul, rumah setan. Setelah matahari terbenam, yang bernyali
kecil tiada yang berani lewat jalanan.”
“Omong kosong, di dunia ini mana ada setan atau memedi
segala, itu hanya pandangan dan pendapat orang-orang bodoh
belaka."
"Tuan, agaknya kau orang sekolahan, dalam ajaran Nabi toh
tidak dikatakan beliau menyangkal adanya setan, beliau hanya
mengatakan tidak suka berbincang tentang setan, barusan tuan ada
bilang kenal baik dengan pemilik gedung ini, lalu bagaimana kau
harus memberi penjelasan?"
Ji Bun kememek tak mampu menjawab, katanya kemudian
setelah melenggong:
"Terus terang Cayhe berkunjung kemari karena mendengar
ketenarannya, baru pertama kali ini aku ke kota ini."
Mendapat angin tabib kelilingan tidak memberi kelonggaran,
katanya mendesak:
"Mendengar ketenarannya, ketenaran nama siapa?"
Akhirnya Ji Bun naik pitam, katanya dingin:
"Apa saudara hendak mengorek keterangan dariku?"
Tabib itu terbahak-bahak, katanya:
"Terlalu berat ucapan tuan, Cayhe sudah biasa keluntang ke
utara dan kelantung ke selatan, semua berkat bantuan para sahabat,
pengetahuan dasar seorang kelana sudah kupahami betul, mungkin
ucapanku tadi memang salah, harap dimaafkan, maksudku bahwa
mungkin tuan salah alamat, terus terang seluruh kota Cinyang ini
tiada yang tidak kukenal, jangan kata rumah, sampai siapa dan
berapa banyak penghuninyapun sudah apal diluar kepalaku,
mungkin bisa kubantu mencarikan siapa sebetulnya yang hendak
tuan kunjungi?"
Baru saja Ji Bun hendak menjawab, tiba-tiba Thian-thay-mo-ki
menyeletuk:
“Kalau demikian tuan tentu bukan orang sembarangan, mohon
tanya siapa gelaran tuan?"
"Aku yang rendah sering dipanggil Thian-bak-sin-jiu (tangan sakti
bermata dewa), seorang kroco belaka, harap nona tidak
mentertawakan."
"Thian-bak-sin-jiu?"
"Betul, apa nona pernah dengar gelaranku ini?”
"Baru pertama kali ini."
"He he he, hi hi hi, sudah kukatakan aku ini kaum kroco, mana
mungkin Lihiap ini tahu akan gelaranku."
"Jadi tuan punya pandangan tajam untuk menentukan penyakit
orang, sekali periksa serta raba, penyakit orang pasti dapat
disembuhkan?"
"Ah, tidak, tidak, penglihatanku hanya menen¬tukan nasib orang,
soal kesaktian tanganku ini me¬mang sulit untuk menyembuhkan
orang."
"Jadi pandanganmu juga bisa melihat nasib orang,"
"Ya, betul, di samping seorang tabib, aku yang rendah ini juga
bisa meramal, he he, kepandaian rendah dan nama kosong belaka."
Thian-thay-mo-ki cekikikan, katanya:
"Bagus sekali, kami kakak beradik tak menemukan orang yang
kami cari, tentunya tuan juga bisa meramalnya dengan baik?"
"Ai, ai, itu soal nujum, tapi aku bisa juga melakukannya."
"Baiklah, coba lihat nasib kami dengan nujummu," ujar Thian-
thay-mo-ki, lalu ia mendekati undakan batu dan duduk di tempat
yang teduh di bawah pohon.
Sebetulnya Ji Bun merasa sebal melihat tingkah laku Thian-thay-
mo-ki yang jalang ini, mungkin itulah sebabnya kenapa selama ini
tak pernah timbul rasa simpatik apalagi cinta terhadap perempuan
yang satu ini.
Thian-bak-sin-jiu menjinjing peti obatnya terus meletakkannya di
atas undakan batu, lalu mendudukinya sebagai kursi, katanya
kemudian dengan sungguh-sungguh:
"Cukup asal nona katakan siapa orang yang kalian cari, tanpa
kuramalkan, mungkin aku bisa memberi petunjuk."
Ji Bun tidak sabar, selanya:
"Cici, masih ada urusan lain yang harus kita kerjakan.”
Thian-bak-sin-jiu mengerling sambil tertawa penuh arti, katanya:
"Tuan ini, bukan ku suka membual, untuk menjelaskan urusan
apapun, bila bertemu dengan aku, pasti semua urusan akan beres."
Dengan kedipan mata Thian-thay-mo-ki memberi isyarat, kepada
Ji Bun supaya sabar, lalu dengan riang ia berkata:
"Kalau demikian, sungguh beruntung kami dapat bertemu dengan
tuan. Ada dua soal mohon, diberi petunjuk."
"Boleh nona katakan saja."
"Pertama mencari orang, kedua mencari barang!"
Dengan jari-jarinya Thian-bak-sin-jiu mengelus jenggot-
kambingnya, katanya sambil geleng-geleng lalu memutar kepala:
"Harap katakan satu persatu saja."
"Berapa ongkosnya untuk ramalanmu?"
"ltu bergantung dari orang yang kau cari dan barang apa yang
hendak kau temukan."
"Jadi taripnya disesuaikan dengan sesuatu yang hendak
diramalkan itu?"
"He he, begitulah .......”
"Kalau tuan bisa nujum, nah silakan meramalkan apakah orang
yang hendak kami cari bisa diketemukan?"
Thian-bak-sin-jiu menarik tangannya ke dalam dengan bajunya
yang longgar, mulutnya berkomat-kamit, mata melek-merem, sesaat
lamanya baru dia berkata:
"Yang dicari laki-laki atau perempuan?"
"Laki-laki!"
"Em, soal mencari orang, ..... kalian harus menuju ke arah barat,
kira-kira 10-an li jaraknya, orang yang dicari pasti dapat
diketemukan."
"Jadi dalam kota Cinyang ini, kami tak bisa menemukan orang
yang dicari itu?"
"Menurut ramalan memang demikian."
"Apa tepat dan dapat dipercaya?"
"Ramalanku selamanya tepat seratus persen, belum pernah
meleset."
"Baiklah, berapa harus kubayar!".
"Sepuluh tahil perak, tiada mahal bukan?"
“Tidak, murah sekali.”
Ji Bun tidak sabar lagi, dia berpaling ke arah lain.
Thian-bak-sin-jiu tertawa lebar, katanya pula:
"Ramalan kedua, soal mencari barang?”
"Betul, tolong usahakan, apakah barang, yang hilang itu bisa
ditemukan kembali?”
Kembali Thian-bak-sin-jiu melek-merem dan tekuk-tekuk jarinya
sambil komat-kamit, setelah sekian lama, tiba-tiba dia, berseru
heran:
“He. Aneh!”
Alis Thian-thay-mo-ki menegak, tanyanya:
"Apanya yang aneh?"
"Menurut ramalan, barang yang hilang itu bukan milik nona."
Tergerak hati Ji Bun, pikirnya, mungkin tabib ini memang pandai
meramal, anting-anting itu memang bukan milik Thian-thay-mo-ki,
hal ini ditebaknya dengan tepat.
Thian-thay-mo-ki tersenyum, ujarnya:
"Tebakan tuan memang betul, manjur benar ramalan tuan,
apakah barang itu bisa diminta kembali?"
"Barang itu sudah ketemu pemiliknya, tak usah dicari lagi."
"Apa, sudah dimiliki orang?"
"Ya, aku hanya bilang menurut ramalanku."
"Jadi barang itu sudah tak bisa kami temukan lagi?"
"Ramalanku tak pernah meleset, kalau salah sejak kini aku
mengasingkan diri saja."
"Tuan memang pandai meramal, mohon tanya siapa nama besar
tuan?"
Thian-bak-sin-jiu terkekeh-kekeh, katanya:
"Nona hanya bergurau saja."
Ji Bun tak sabar lagi, tukasnya,
“Cici, hayolah pergi saja."
Thian-bak-sin-jiu tiba-tiba menghadapi Ji Bun, sambii miringkan
kepala dia melirik beberapa kali, akhirnya ia unjuk rasa prihatin, lalu
katanya:
"Tuan ini, maaf kalau aku bicara terus terang, tuan kejangkitan
penyakit jahat yang sukar diobati."
Ji Bun tersirap, Thian-thay-mo-ki berjingkat kaget. Ji Bun kaget
karena ahli nujum ini tahu akan penyakit tangan berbisanya, sedang
Thian-thay-mo-ki hanya melongo karena tidak tahu duduk persoalan.
Ji Bun pura-pura tenang, katanya dingin:
"Perkataan tuan sukar dipercaya, aku sehat walafiat, segar bugar
tidak merasakan apa-apa, dari mana datangnya penyakit?"
"Tuan sendiri maklum, kenapa harus berpura-pura."
"Sungguh aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan."
"Selamanya kuyakin pada pandangan kedua biji mataku ini,
malah aku berani bilang, kalian bukan kakak dan adik kandung,
benar tidak?"
"Pengetahuan cetek begini tak perlu dibuat heran.”
"Tapi penyakit yang mengeram dalam tubuh tuan ini,
menentukan nasib hidup tuan dimasa depan, tuan harus terus
membujang kalau ingin hidup lama.”
Sudah tak kuasa Ji Bun menahan perasaannya roman mukanya
berubah, agaknya perkataan orang tua aneh dibawah jurang Pek-
ciok-hong itu memang benar, hatinya menjadi hambar, bahwa tabib
ini sekali pandang lantas tahu akan rahasia dirinya, hal ini sungguh
amat aneh, namun juga menakutkan, apalagi kalau rahasia dirinya
ini bocor dan menjadi rahasia umum, akibatnya tentu amat besar,
mungkinkah orang ini punya maksud tertentu dengan mengatur
muslihat bohong belaka?
Dengan pandangan penuh tanda tanya Thian-thay-mo-ki
mengawasi Ji Bun, dari sikap dan perubahan air muka Ji Bun, ia
yakin bahwa ucapan tabib kelana ini memang bukan bualan, keruan
hatinya ikut hampa, bingung dan tak habis mengerti, betulkah tabib
kelana ini pandai meramal atau hanya ......”
Thian-bak-sin-jiu berdiri sambil memanggul peti obatnya, katanya
kepada Thian-thay-mo-ki:
"Nona, seluruhnya 20 tahil perak."
Cemberut muka Thian-thay-mo-ki, katanya:
"Tuan betul-betul minta uang?"
"Penghidupanku memangnya dari hasil ini."
"Usaha hidupmu pasti tidak hanya tukang nujum saja bukan?"
"Ya, obatku inipun sudah dikenal oleh segenap penduduk kota
Cinyang ini."
Terpaksa Thian thay-mo-ki keluarkan sekerat emas sambil
berkata: "Nah, tuan terimalah," dengan mengerahkan sedikit tenaga
ia lemparkan uang emasnya itu.
Tergopoh-gopoh Thian-bak-sin-jiu maju menerimanya, tapi tiba-
tiba ia menjerit keras terus mendeprok jatuh terduduk, uang emas
itu terbuang jauh, dengan merintih-rintih dia memijat telapak
tangannya, lalu dengan menggelundung sambil merangkak ia
menghampiri uang emas itu, setelah berdiri lagi dengan
menyeringai, tawa tidak meringis tidak dia berkata kepada Thian-
thay-mo-ki: "Terima kasih nona!”
Sikapnya mirip sekali dengan orang-orang melarat umumnya
yang dapat rejeki, cepat sekali dia sudah berubah sikap dan berkata
kepada Ji Bun:
"Tuan, tiada penyakit yang tidak tersembuhkan di dunia ini,
semua itu tergantung jodoh dan Hokki, selamat bertemu pada lain
kesempatan."
Habis berkata sambil menggoyang-goyang kelintingannya segera
ia melangkah pergi.
Bayangan orang sudah lenyap di pengkolan sana, namun dalam
telinga Ji Bun masih terkiang kata "tiada penyakit yang tak terobati
di dunia ini, semua itu bergantung jodoh dan Hokki saja"
mungkinkah tabib kelana ini pandai menawarkan racun? Gerak-gerik
orang ini memang tak ubahnya seperti tabib kelilingan, namun tutur
katanya sangat mencurigakan.
"Dik, tabib ini amat mencurigakan," demikian kata Thian-thay-
mo-ki, "kukira dia sendiri penyamaran Biau-jiu Siansing."
"Ya, mungkin sekali, kenapa tadi kubiarkan dia pergi."
''Marilah kita menuju ke barat menemuinya seperti ramalannya
tadi," Thian-thay-mo-ki berpen¬dapat, "kalau dia betul Biau-jiu
Siansing adanya, tentu dia menunggu kita disana "
"Kalau dia hanya menipu saja?" tanya Ji Bun. "Belum terlambat
kita kembali ke sini dan geledah gedung setan ini.”
Begitulah mereka lantas keluar menuju ke barat, kira-kira sepuluh
li jauhnya, tempat yang ditunjuk ternyata adalah tegalan liar yang
tak dihuni manusia, hanya sebuah jalan kecil lurus langsung ke arah
barat. Sekian lama mereka celingukan tak melihat bayangan
seorangpun, setelah berunding, akhirnya mereka maju lagi puluhan
tombak jauhnya, namun tetap tidak melihat bayangan seorangpun.
"Agaknya kita memang ditipu," ujar Ji Bun gegetun.
"Ah, kenapa kau begini tak sabar, tuh lihat, bukankah di atas
gundukan tanah sana ada orang?"
"Belum tentu dia orang yang hendak kita cari."
Sementara itu jarak mereka sudah semakin dekat. Nah, itulah
dia, orang tua bungkuk!" teriak Ji Bun, semangatnya seketika
berkobar. "Hayolah cepat."
Dua sosok bayangan melesat bagai panah meluncur. Memang
betul orang yang duduk di atas gundukan tanah adalah orang tua
bungkuk yang pernah mereka lihat di Pek-ciok-hong yaitu Biau-jiu
Siansing.
Dari kejauhan Ji Bun menyapa sambil angkat sebelah tangan:
"Maaf, tuan menunggu terlalu lama."
Biau-jiu Siansing tertawa, katanya:
"Ah, tidak, Lohu juga baru datang."
"Tuan memang tabib kelilingan yang pintar...."
"Pujian, pujian! Kalian bisa mencariku ke gedung setan di kota
Cinyang, patut dipuji juga."
"Marilah kita bicara soal itu, tentunya kau sudah tahu maksud
kedatangan kami?"
"Karena sek-hud bukan?"
"Aku sendiri tiada minat mendapatkan sek-hud, tuan tak usah
mungkir dengan urusan lain."
“Ucapanmu bikin Lohu heran dan tak mengerti."
Ji Bun mendengus, jengeknya:
"Cayhe kagum akan gerak gerik dan kepandaian silatmu.........”
"Hal itu tak perlu kau katakan, aku tidak suka dipuji ....”
"Lekaslah tuan kembalikan saja, tiada keinginan lain kecuali
kuminta kembali barangku itu?"
“Em, kau semakin ngelantur, sebetulnya barang apa yang kau
minta?"
"Anting-anting batu pualam itu."
Bergetar sekujur badan Biau-jiu Siansing, teriaknya dengan
penuh haru:
"Apa? Apa katamu?"
"Anting-anting batu pualam itu."
"Kan....anting-anting itu hilang?" ucapan ini amat lucu, Ji Bun
melengak malah.
Cepat Thian-thay-mo-ki menyela:
"Apa maksud perkataan Cianpwe barusan?"
Biau-jiu Siansing tergelak-gelak, sahutnya:
"Bukankah dia memperbincangkan anting-anting pualam itu?"
"Betul, tuan menegas anting-anting itu hilang, apa maksudmu?"
"Kalau tidak hilang, kenapa dicari kian kemari, bukankah
persoalannya cukup jelas?"
"Jadi kau juga tahu akan anting-anting itu?"
"Orang sebagai diriku, barang berharga apa yang tidak
kuketahui?"
"Cayhe memohon dengan hormat," tukas Ji Bun, "harap kau suka
kembalikan."
"Apa, anak muda, kau kira Lohu yang mencurinya?" teriak Biau-
jiu Siansing. "Berdasar apa kau berani menuduh Lohu?"
Ji Bun tertegun bahwasanya bayangan yang merebut anting-
anting dari tangannya itu tidak dilihatnya jelas bentuknya, hanya
menurut dugaan dan rabaan Thian-thay-mo-ki saja sehingga dia
mencari Biau-jiu Siansing yang gerak-geriknya memang mirip
dengan pencuri itu, terang persamaan ini belum meyakinkan untuk
dibuat tuduhan, memang tidak sedkit orang yang mungkin memiliki
Ginkang sehebat itu, namun kepandaian mencuri setinggi itu rasanya
sukar dicari keduanya. Maka Ji Bun lantas menjawab:
"Berdasarkan gerakan dan caranya."
"Cara bagaimana anting-anting itu lenyap?
"Direbut dari tanganku."
"O, rada ganjil kejadian ini."
"Tuan tak usah mungkir, lekaslah kembalikan, demi mengejar
kembali anting-anting itu, aku takkan segan-segan turun tangan
dengan keji."
"Bicara soal cara dan kepandaian, kau anak muda ini belum apa-
apa dibandingkan aku, dihadapan Lohu jangan kau takabur,
ketahuilah, dengan kedudukan dan ketenaran Lohu, tidak sudi aku
melakukan cara serendah itu, apalagi mungkir."
"Tapi barusan kau bilang tahu akan seluk anting-anting itu?"
"Kenapa harus heran, bukankah kau pernah menolong puteri
keluarga Ciang dari Kayhong yang ditawan Cip-po-hwe, karena
merasa hutang budi, dia memberi anting-anting sebagai tanda mata
.......”
Kejut dan berubah air muka Ji Bun. "Kau juga tahu akan hal itu?"
suaranya gemetar.
6.18. Puteri dari Istana Ngo-lui-kiong
"Ya, kebetulan hari itu aku memergoki kejadian,” kata Biau-jiu
Siansing, "di tanganmu anting-anting itu adalah benda pusaka,
namun di tangan orang lain tak ubahnya seperti barang rongsokan
belaka."
"Kenapa?" Ji Bun heran dan tidak mengerti.
Berkata Biau-jiu Siansing sungguh-sungguh:
“Tanda kepercayaan Ciang Wi-bin untuk mengambil hartanya
bukan terdiri dari anting-anting itu saja, malah ada aturannya pula.
Kalau dia berikan anting-anting itu pada seseorang, seluruh cabang
perusahaannya juga diberitahu kepada siapa dia berikan tanda
kepercayaan itu, hanya dengan tanda kepercayaan saja tak mungkin
bisa ambil uang, harus tanda kepercayaan dan orang yang
membawanya cocok satu sama lain sesuai laporan dari pusat. Kalau
tidak, betapa besar kekayaan Ciang Wi-bin, apa tidak bakal bangkrut
kalau hartanya boleh sesuka hati diambil orang?”
Hal ini memang tak pernah terpikir oleh Ji Bun, kedengarannya
juga masuk akal.
Berkata Biau-jiu Siansing lebih lanjut:
"Persoalannya tidak terletak pada nilai dan manfaat dari anting-
anting itu, tapi pada maksud dan tujuan dari pemberian anting-
anting kepadamu, betul tidak?”
Cep-kelakep, Ji Bun tak mampu menjawab, agaknya persoalan
semakin rumit, peduli kemana maksud tujuan Ciang Bing-cu
memberi anting-anting itu, betapapun dirinya harus bertanggung
jawab.
Tiba-tiba Thian-thay-mo-ki cekikikan, ujarnya:
“Ditangan orang lain mungkin anting-anting itu tak berarti lagi,
namun kalau terjatuh ditangan tuan, dengan kepandaian tuan
menyamar.. ."
Terguncang hati Ji Bun, kepandaian Biau-jiu Siansing merias diri
dan menyamar juga tiada bandingannya dalam Bu-lim, selama ini
tiada orang yang pernah melihat muka aslinya, jika anting-anting itu
terjatuh di tangannya, betapa dia takkan menyaru sebagai dirinya
untuk melepaskan nafsu tamaknya, maka ia manggut-manggut
mendengar ucapan Thian-thay-mo-ki.
Biau-jiu Siansing terloroh-loroh, serunya:
"Orang maling juga ada aturannya, kau kira orang macam apa
Lohu ini?"
"Menurut caramu merebut Sek-hud, persoalan apa pula yang tak
bisa kau lakukan?"
Mendelik mata Biau-jiu Siansing, katanya:
"Harta benda dan Sek-hud merupakan persoalan yang berbeda
bagi Bulim, betapa tenar dan tinggi kedudukan Bu-cing-so dan
Siang-thian-ong, mereka toh sekongkol hendak merebut Sek-hud
itu?" kata-kata yang tajam ini membuat Ji Bun mati kutu tak dapat
mendebat lagi.
Tapi kecerdikan Thian-thay-mo-ki lebih tinggi daripada Ji Bun,
segera ia menanggapi:
"Sesuai apa yang kau katakan, untuk sementata biar kami
percaya omonganmu, tapi di puncak Pek-ciok-hong kau pernah
membeberkan asal usul sendiri sebagai seorang pentolan maling
yang bertingkat tinggi. Hilangnya anting-anting itu bukan mustahil
karena dicuri oleh orang golonganmu, sesuai kedudukan dan
tingkatanmu, apakah sudi tolong menyelidiki persoalan ini?"
Biau-jiu Siansing menepekur sebentar, sahutnya kemudian:
''Nah, kan harus begitu bicaranya. Baiklah, akan kubantu
mencarinya."
Masgul hati Ji Bun, perjalanan kali ini terhitung sia-sia, ucapan
Biau-jiu Siansing tidak meyakinkan dirinya, namun ia tak berani
berkukuh menuduhnya, agaknya memang sulit untuk menemukan
anting-anting itu. Maka segera Ji Bun buka suara:
"Cayhe masih mohon keterangan darimu."
"Soal apa?"
"Tentang Jit-sing kojin yang bersekongkol dengan tuan."
"Sekongkol denganku?" tukas Biau-jiu Siansing dengan mata
melotot.
„Kejadian di Pek-ciok-hong itu, siapapun tahu apa latar belakang
yang tersembunyi di balik peristiwa itu."
"Ha ha, anak muda, jangan kau kira otakmu paling pintar
sendiri."
"Aku hanya ingin tahu jejak Jit-sing kojin.”
"Lho, memangnya kau tidak kenal dia? untuk apa kau cari Jit-sing
kojin?"
"Untuk membuat perhitungan utang jiwa."
Kaget sambil menyurut mundur Biau-jiu Siansing, teriaknya
terbeliak:
"Hutang jiwa siapa?"
Ji Bun menggertak gigi, tanyanya:
"Tuan sudi memberitahu jejaknya?"
Biau-jiu Siansing menggeleng, katanya dengan suara tawar:
"Aneh bahwa kau punya perhitungan dengan dia, kau menuntut
balas sakit hati orang lain?"
Tanpa menjawab pertanyaan, Ji Bun, malah mendesak dengan
suara berat:
“Ucapanmu membuktikan bahwa kau berhubungan erat dengan
dia, harap kau suka beritahu di mana dia sekarang?"
"Aneh .....” gumam Biau-jiu Siansing, "teka-teki apa yang telah
dia lakukan?"
"Tuan tidak menolak perintahku?”
"Lohu akan sampaikan hal ini kepadanya, biar dia sendiri yang
membereskan perhitungan ini dengan kau."
"Cayhe harap bisa segera bertemu dengan dia."
"Tidak mungkin, jejaknya tidak menentu, tak punya tempat
tinggal tetap lagi."
"Apa tuan betul-betul bisa menyampaikan kabar padanya?"
"Sudah tentu, masakah aku mesti ingkar janji padamu yang lebih
muda."
Dengan demikian maksud semula untuk mencari Biau-jiu Siansing
menjadi gagal, demikian pula anting-anting pualam itu tetap tidak
diketahui parannya, jejak Jit-sing kojin juga tak bisa diketahui,
sungguh Ji Bun amat penasaran. Tiba-tiba pikirannya tergerak,
timbul suatu akal yang mengilhami benaknya, akalnya ini akan bisa
membuktikan apa betul Biau-jiu Siansing ini adalah orang yang rebut
anting-anting pualam dari tangannya, yaitu tangan kirinya yang
beracun dan pernah menyentuh penyerobot itu tapi tanpa
menimbulkan reaksi apa-apa.
Maka tanpa bicara lagi, seperti kilat mendadak ia menerjang ke
arah Biau-jin Siansing, sejak jalan darah mati-hidupnya ditembus
oleh orang tua aneh dibawah jurang Pek-ciok-hong, ditambah hawa
murninya sendiri, Lwekangnya sekarang sungguh teramat tinggi,
betapapun lihay dan tinggi kepandaian Biau-jiu Siansing, tak pernah
dia menduga bakal diserang secara mendadak.
Hanya sekali berkelebat, sebat sekali tahu-tahu Ji Bun sudah
melayang kembali ketempatnya semula, tangan kirinya yang
beracunpun berhasil menutul badan orang.
"Te-gak Suseng," teriak Biau-jiu Siansing gemetar dengan
menyurut mundur selangkah, "apa sih maksudmu?"
Thian-thay-mo-ki, terkesiap kaget dan melongo karena tindakan
Ji Bun yang aneh serta mendadak ini, sudah tentu ia tidak mengerti
maksud tujuan Ji Bun, soalnya dia tidak tahu menahu tentang
rahasia tangan berbisanya itu.
Berubah membesi kaku rona muka Ji Bun, katanya tandas:
"Nah, kenyataan sudah membuktikan. tidak usah mungkir lagi,
serahkan anting-anting itu padaku."
"Kenyataan apa?" tanya Biau-jiu Siansing melengak keheranan.
"Terlalu sedikit orang yang mampu bertahan dari seranganku,
kenyataan ini bukan kebetulan?"
''Maksudmu orang yang menyerobot anting-anting dari tanganmu
itu juga lolos tanpa kurang suatu apa meski terpukul tanganmu yang
berbisa?"
"Kan kau sudah tahu, kenapa tanya pula?"
"Hm, cukup menarik juga persoalanmu,” ujar Biau-jiu Siansing.
"Baiklah, apa yang pernah kuucapkan pasti kutepati, bertanggung
jawab dan takkan berubah."
"Cayhe takkan percaya begitu saja."
"Memangnya kau bocah ini bisa berbuat apa?" Biau-jiu Siansing
mengejek, "kecuali tanganmu itu, kuingin tahu ada apalagi
kemampuanmu yang lain?"
"Kukira kau takkan kecewa. Nah, rasakan pukulanku ini!" sembari
bicara Ji Bun lantas kerahkan tenaga ke tangan kanannya, sejak
mendapat saluran tenaga dari orang tua aneh, terasakan oleh Ji Bun
bahwa kekuatan yang ia kerahkan kali ini terasa amat keras dan
dahsyat, di tengah suara hardikan terakhir, tangan kananpun
menjotos dengan kekuatan hebat.
Blau-jiu Siansing angkat sebelah tangan, sikapnya acuh tak acuh,
namun sebelum kedua kekuatan saling bentrok, terasakan olehnya
tekanan pukulan Ji Bun begitu keras dan besar. Tahu gelagat jelek,
lekas dia menahan gerakannya, berbareng kaki menggeser cepat ke
samping, namun demikian damparan angin kencang yang dahsyat
bagai gunung meledak membuat dirinya terguncang sempoyongan.
Betapa tinggi dan dalam kepandaian silat dari Lwekang Biau-jiu
Siansing, toh tidak berani melawan secara kekerasan, hal ini
membuat Ji Bun sendiri amat kaget, disadarinya bahwa Lwekangnya
sekarang betul-betul sudah terlampau hebat daripada tingkat yang
pernah dia bayangkan sebelumnya.
Biau-jiu Siansing mengunjuk heran dan kaget, serunya
dirangsang emosi:
"Buyung, kau...... tak mungkin memiliki Lwekang setinggi ini?"
kedengarannya amat lucu perkataan ini.
Thian-thay-mo-ki sudah tahu akan pengalaman Ji Bun yang
ketiban rejeki didasar jurang itu, walau merasa diluar dugaan,
namun tidak heran dan kaget.
"Terlampau banyak kejadian yang tak mungkin dibayangkan di
dunia ini," jengek Ji Bun,"Nah, rasakan pukulanku lagi ........”
Dikala tangannya terangkat, tiba-tiba Biau-jiu Siansing juga
bergerak, hanya sekali berkelebat, tahu-tahu tubuhnya sudah
menggeser 10 tombak jauhnya, begitu cepat sehingga sulit diikuti
oleh pandangan mata.
Tapi kepandaian Ji Bun sekarang sudah bukan olah-olah
hebatnya. "Lari kemana!" sembari membentak, secepat terbang
iapun bergerak mengejar, maka tertampaklah dua sosok bayangan
orang berkelebat saling susul meluncur bagai meteor, dalam waktu
singkat bayangan mereka lantas lenyap.
Thian-thay-mo-ki melenggong sekejap, segera ia ikut mengejar
ke arah sana, namun kedua bayangan orang di depan sudah
menjadi dua titik hitam yang melayang bagai asap terbang, sebentar
lagi sudah tak kelihatan.
Dalam pada itu Ji Bun telah mengerahkan seluruh kekuatannya
sambil tancap gas mengejar dengan kencang, gerakannya seenteng
burung walet, ternyata Biau-jiu Siansing yang tersohor memiliki
Ginkang tiada bandingan ini dapat dikejarnya dalam jarak tertentu
untuk sekian lamanya. Akan tetapi nama Biau-jiu Siansing memang
bukan gelaran kosong, hanya terpaut selangkah saja, betapapun Ji
Bun tak mampu menyandaknya.
Jurusan mereka menuju ke barat laut. Tak jauh di depan sana
adalah pegunungan yang turun naik, hutan lebat membentang di
beberapa tempat, hanya sekali menyelinap terus membelok lagi ke
kanan, tiba-tiba bayangan Biau-jiu Siansing sudah lenyap ditelan
semak-semak.
Dengan gemas Ji Bun terpaksa menghentikan pengejarannya,
walau tak berhasil menyandak lawan, tapi bisa mempertahankan
dalam jarak tertentu dengan Biau-jiu Siansing yang memiliki Ginkang
paling top itu, hal ini sudah cukup melegakan hatinya.
Cepat sekali, sang surya sudah condong ke barat tanpa terasa. Ji
Bun sudah putar balik hendak menemui Thian-thay-mo-ki, namun ia
merandek serta berpikir sekejap, lalu ia ubah niatnya semula.
Setelah menerawang keadaan sekitarnya, segera ia tahu bahwa
tempat di mana dia berada termasuk pegunungan Tong-pek-san.
Dalam perjamuan berdirinya Wi-to-hwe tempo hari. Wi-to hwe-cu
pernah menyatakan padanya akan menyambut kedatangannya
setiap waktu, kini ia pikir Lwekang dan kemampuan silatnya
sekarang kiranya cukup berkelebihan untuk bekal menuntut balas,
kenapa tidak langsung meluruk ke Tong-pek-san saja dan bertindak
menurut gelagat, kalau gelagat tidak menguntungkan boleh pura-
pura menanyakan keselamatan Pui Ci-hwi, sekaligus untuk mencari
tahu jejak Toh Ji-lan, untuk menunaikan pesan orang tua aneh itu.
Setelah berketetapan, segera ia berlari menuju ke arah Tong-
pek-san. Bayangan Biau-jiu Siansing masih selalu mengganggu
pikirannya, ia yakin anting-anting itu pasti terjatuh ke tangan maling
sakti itu, yang paling mengerikan adalah orang tidak jeri
menghadapi tangannya yang berbisa, malah waktu menyamar tabib
kelilingan, orangpun mengorek rahasia pribadinya, hal ini sungguh
amat luar biasa, kecuali ayahnya rasanya tiada orang lagi selain
orang tua aneh dalam jurang itu yang tahu, lalu dari mana Biau-jiu
Siansing bisa tahu pula? Orang ini pandai menyamar diri, sulit
ditemukan, terutama dirinya harus memberi pertanggungan jawab
kepada Ciang Bing-cu, lebih celaka kalau keluarga Ciang mengalami
kebangkrutan harta benda, bukankah ia malu berhadapan dengan
mereka.
Semakin dipikir semakin membuat hatinya masgul, liku-liku
kehidupan Kangouw sungguh serba berbahaya, malah kepandaian
silat tinggipun takkan berguna, bekal pengalaman dan pengetahuan
umum adalah yang terpenting.
Sejak keluarganya mengalami bencana, sifatnya memang sudah
jauh berubah, kini setiap menghadapi persoalan dia cukup tabah
untuk berpikir dan mengendalikan diri, watak aslinya yang
tersembunyi selama ini, baru sekarang mulai terhalau dan berubah
semua sepak terjangnya, karena perubahan itu sendiri timbul dari
nuraninya yang murni, maka sifat brutalnya selama ini menjadi
berubah tabah dan terkendali.
Karena alam pikirannya terus bekerja, sehingga tanpa terasa
gerak badannya sedikit lamban. Magrib sudah berlalu, tabir
malampun menjelang, jagat raya kini sudah menjadi gelap gulita.
Sinar pelita di perkampungan di depan nan jauh sana sudah mulai
tampak.
Sekonyong-konyong dari belakangnya berkumandang sebuah
suara nyaring enteng:
"Berhenti tuan!"
Ji Bun tersentak kaget dari lamunannya, segera ia berhenti,
waktu ia berpaling dilihatnya seorang gadis berpakaian ketat warna
putih berdiri di depannya, malam gelap remang-remang, namun
bayangan yang serba putih jelas kelihatan.
"Nona siapa?" tanya Ji Bun.
Tanpa menjawab gadis haju putih itu maju mendekat sambil
mengamat-amati Ji Bun, katanya :
"Agaknya Siangkong (tuan muda) adalah Te-gak Suseng?"
Gadis ini masih asing bagi Ji Bun, namun ia mengiakan juga.
"Sungguh beruntung dapat bertemu di sini."
"Apa, kenapa beruntung?”
"Aku mendapat perintah majikan untuk ngundang Siangkong ke
sana."
Heran Ji Bun, tanyanya dengan menegakkan alis,
"Siapakah majikanmu?"
"Setelah berhadapan tentu Siangkong akan tahu."
Ji Bun berpikir pulang pergi, ia kira orang mungkin dari aliran
yang tidak genah, daripada tersangkut banyak urusan lebih baik
tidak, kunjungannya ke Wi-to-hwe untuk menyelesaikan pribadinya
lebih penting. Maka ia menjawab tawar:
"Harap beritahu kepada maiikanmu, aku sendiri ada urusan
penting, terpaksa menolak undangannya."
"Tapi ada seseorang ingin betul bertemu dengan Siangkong."
"Siapa?"
"Thian- thay-mo-ki."
"Apa? Dia ......”
"Dalam detik-detik kehidupannya yang terakhir, ia ingin melihat
Siangkong."
“Melihat yang terakhir? Apa maksudmu?"
"Setelah sampai di tempat tujuan, Siangkong akan jelas
seluruhnya,"
Baru dua jam sejak Ji Bun mengejar Biau-jiu Siansing berpisah
dengan Thian-thay-mo-ki, kata-kata yang memancing dari gadis baju
putih ini rada ganjil, walau dirinya tidak pernah menaruh cinta
terhadap perempuan yang disebut itu, namun selama bergaul
belakangan ini timbul juga rasa persahabatannya, keselamatan
jiwanya tak boleh tidak diperhatikan sama sekali, maka ia berkata:
"Baiklah, mari tunjukkan jalannya."
"Silakan ikut diriku," ujar gadis berbaju putih sambil putar tubuh
terus berlari ke arah selatan, setelah berlari cukup lama, mereka
membelok ke timur memasuki sebuah hutan. Kepandaian Ji Bun kini
sudah tinggi, nyalinyapun besar, walau merasa curiga, ia tak gentar.
Tak jauh mereka memasuki hutan, tahu-tahu menyala sebarisan
lampu-lampu gantung berderet memanjang menuju ke depan
sebuah kelenteng kecil, di depan kelenteng berdiri berjajar di kanan-
kiri delapan laki-laki berseragam putih, sikapnya garang dan kereng,
begitu Ji Bun muncul mereka sama mengunjuk rasa tegang.
Memang nama Te-gak Suseng sudah cukup menggetarkan nyali
setiap insan persilatan, apalagi pukulan tangannya yang jahat,
membunuh orang tanpa meninggalkan bekas luka sedikitpun,
mungkin hal inilah yang menciutkan nyali mereka.
Memasuki pintu besar, mereka tiba di sebuah ruang pendopo
yang amat luas, di depan bagian pinggir, empat gadis berpakaian
ketat warna putih masing-masing berdiri di kanan kiri, dua lampion
besar warna merah tergantung di emperan, suasana terasa
mencekam. Dari pintu besar sudah kelihatan jelas keadaan ruang
pendopo yang diterangi lampion warna kehijauan, sehingga keadaan
di belakang sana rada remang-remang, asap mengepul tinggi,
namun tidak kelihatan bayangan seorangpun.
Gadis yang menunjuk jalan membalik serta berkata:
"Harap Siangkong tunggu sebentar." lalu dia berlari ke belakang,
tak lama ia keluar kembali dan gerakan tangan: "Silakan masuk!"
Tanpa curiga dan tidak ragu sedikitpun, dengan langkah tegap Ji
Bun lantas masuk. "Hah!" tiba-tiba ia menjerit tertahan waktu
memandang sana, di lantai ruang pendopo ternyata terbaring 13
mayat orang berseragam putih, noda-noda darah belum kering,
agaknya mereka terbunuh dalam waktu dekat ini.
Selagi dia melenggong, bau harum tiba-tiba merangsang hidung,
tampak seorang gadis muda belia tak ubahnya seorang puteri raja
dengan pakaian serba putih berjalan keluar dari belakang tabir kain
sari, di belakangnya mengiring seorang laki-laki tua berjubah putih
dan berperawakan tegap kekar.
Begitu meihat laki-laki tua jubah putih ini, Ji Bun lantas tahu
siapa mereka orang ini. Orang Ngo-lui-kiong.
Laki-laki jubah putih bertubuh tinggi besar ini adalah komandan
patroli Ngo-lui-kiong, yaitu Pek-sat-sin The Cun yang pernah
dilihatnya waktu memperebutkan Sek-hud tempo hari, Thian-thay-
mo-ki pernah melukainya dengan Soh-li-sin-ciam.
Dengan langkah gemulai puteri jelita berpakaian serba putih ini
menuju ke tengah terus duduk di kursi kebesaran yang berlapis kulit
harimau, Pek-sat-sin tetap mengiringi disebelahnya.
Berkulit putih bersih rambut hitam mengkilap, bibir merah
laksana delima merekah, mengenakan pakaian serba putih, begitu
cantik jelita puteri ini hingga menyiiaukan pandangan rasanya.
Tanpa terasa Ji Bun menelan air liur. Kelihatannya gadis berbaju
putih ini lebih cantik dari gadis baju merah Put Ci-hwi, sikapnya lebih
agung dan suci, lembut dan ramah.
Dengan mata melotot Pek-sat-sin pandang Ji Bun, katanya:
"Te-gak Suseng, majulah menghadap Kiong-cu (puteri) kami."
Tergerak hati Ji Bun, tak diduganya bahwa puteri Ngo-lui-kiong
akhirnya terseret juga ke percaturan dunia persilatan, peduli
kedudukan dan asal usulnya, apalagi dia seorang perempuan,
betapapun dirinya tak boleh berlaku gegabah dan tidak tahu aturan,
maka ia segera mengangguk, katanya:
"Cayhe menyampaikan hormat."
Puteri baju putih mendehem, lalu menjawab:
"Tuan tak usah banyak adat!" suaranya semerdu kicauan burung
kenari, walau sikapnya dingin, namun kedengarannya nyaring.
"Ada persoalan apa nona mencariku?" tanya Ji Bun.
"Tentunya tuan tidak lupa utang tujuh jiwa anak buah kami
bukan?
"Cayhe tidak pernah menyangkal, sebagai insan persilatan yang
berkelana di Kangouw, golok selalu berlumuran darah, jika aku tidak
bunuh orang kepalaku sendiri yang bakal terpenggal, kalau kedua
pihak sudah saling bertentangan, mati-hidup atau luka-luka
merupakan kejadian jamak, tentunya nona tahu juga akan hal ini.”
Puteri baju putih itu tertawa tawar, katanya:
"Memang betul juga, namun caramu membunuh mereka kukira
terlalu rendah."
"Jadi untuk hal inikah nona mengundangku kemari?"
"Agaknya tuan amat tabah dan sabar memangnya kau kira aku
tidak punya pekerjaan dan hanya ingin mengobrol dengan kau?”
"Lalu apa maksudmu, jelaskan saja."
"Tuan sudah melihat ke 13 mayat itu? itulah buah karya Thian-
thay-mo-ki."
Berdegup hati Ji Bun, belum lama dirinya berpisah dengan Thian-
thay-mo-ki, bagaimana mungkin dia membunuh orang-orang ini?
Dari pergaulannya belakangan ini ia tahu bahwa Thian-thay-mo-ki
tidak bersifat kejam dan suka membunuh orang, maka dengan sikap
tak acuh ia berkata:
"Apakah mereka anak buahmu? Pandai betul mereka mencari
kematian?"
Berubah rona muka puteri baju putih, katanya mendesis dengan
mata setengah memicing:
"Tuan pandai putar lidah, namun menurut aturan Kang¬ouw,
setiap utang jiwa harus bayar jiwa ....”
"Tanpa diselidiki dulu sebab musababnya dan pihak mana yang
salah?"
"Terhadap orang-orang sebangsa tuan, kukira tidak perlu
mempersoalkan siapa salah siapa benar."
Ji Bun naik pitam, mukanya membesi, katanya sambil mengernyit
kening:
"Nona sendiri yang mengatakan demikian, bagus sekali, kalau
begitu aku leluasa turun tangan."
"Te-gak Suseng," jengek puteri berbaju putih dengan nada
mencemooh, "malam ini jangan harap kau bisa bertingkah di sini."
"Agaknya nona amat yakin, apa kehendakmu?"
"Marilah ikut aku ke belakang," dengan gerakan bergontai ia
berdiri terus menuju ke belakang deretan patung pemujaan, begitu
gemulai gerak-geriknya sungguh amat menawan hati. Ji Bun
mengikut di belakangnya, di balik deretan patung-patung mereka
diadang sebuah pintu tengah. Begitu memasuki pintu tengah ini,
nafsu membunuh seketika merangsang hati Ji Bun.
Menyusuri serambi panjang yang terbuat dari papan-papan batu
marmer, akhirnya mereka tiba di sebuah pekarangan, di empat
penjuru tergantung lampu-lampu kaca yang membuat tempat ini
terang benderang, tepat di tengah-tengah pekarangan, berdiri dua
cagak kayu, seorang perempuan tampak terbelenggu di cagak
sebelah kanan, dia bukan lain adalah Thian-thay-mo-ki, tertampak
kedua matanya guram, darah meleleh dari hidung dan mulutnya,
rambutnya awut awutan, pakaiannya kusut masai, kalau bukan
terluka parah waktu berhantam, tentunya dia disiksa dengan kejam.
Empat laki-laki berbaju putih berjajar di belakang cagak, dua
diantaranya masing-masing mengacungkan pedang ke Hiat-to
mematikan dibadan Thian-thay-mo-ki.
Begitu melihat Ji Bun muncul, tiba-tiba terpancar cahaya aneh
pada kedua biji mata Thian-thay-mo-ki namun cepat sekali lantas
lenyap pula, terunjuk senyuman getir pada wajahnya.
Puteri berbaju putih tadi beranjak ke kanan dan berdiri di pinggir
sana, Pek-sat-sin The Gun tetap mengiringi di belakangnya.
Sementara empat orang laki-laki tua berjajar di sebelah kiri, agaknya
kepandaian dan kedudukan keempat orang ini tidak rendah.
Muka Ji Bun sudah membesi gelap, sekali melejit dia meluncur ke
tengah pekarangan, katanya dengan suara gemetar kepada Thian-
thay-mo-ki :
“Cici, apa yang telah terjadi?"
Kata Thian-thay-mo-ki sayu:
"Tujuanku mengejarmu, di tengah jalan kepergok mereka,
akhirnya tertawan .......”
"Kau terluka?"
"Ya, malah disiksa pula."
Mendadak Ji Bun putar badan, teriaknya beringas kepada puteri
berbaju putih:
"Lepaskan dia!"
Dingin suara puteri baju putih :
"Cagak yang satu itu sudah kusiapkan untukmu, tuan! Pintu
neraka sudah terbuka menyambut kalian."
Betapa sabar Ji Bun juga tak tertahan lagi, apalagi yang dihadapi
adalah Ngo-lui-kiong, kenapa ia harus sungkan-sungkan terhadap
golongan rendah ini, saking gusar ia malah terbahak-bahak, serunya
:
''Bagaimana kalau yang berkuasa di neraka juga takut menerima
kedatanganku?"
"Kukira pikiranmu yang keblinger!”
"Nona masih muda dan cantik rupawan, apakah kau sudah bosan
hidup?"
Tiba-tiba salah seorang berbaju putih di belakang cagak melolos
sebilah badik terus diacungkan di depan muka Thian-thay-mo-ki.
Puteri baju putih berkata pula:
"Betapa cantik rupanya itu, apa kau senang melihat mukanya
berhias?"
Agaknya Thian-thay-mo-ki sudah nekat, serunya:
"Dik, jangan hiraukan aku, kau tahu apa yang harus kau
lakukan."
Badik di tangan laki-laki itu tiba-tiba menggores ke muka Thian-
thay-mo-ki yang cantik itu dan meninggalkan sejalur luka
memanjang yang berdarah.
Ji Bun mengertak gigi, tenaga sudah dipusatkan pada telapak
tangan kiri. Mukanya merah padam dilumuri nafsu yang membara,
namun sedapat mungkin ia tekan perasaannya. Dengan tajam ia
pandang Thian-thay-mo-ki, pandangan yang menyatakan bahwa ia
telah berlaku gegabah, membalas budi kebaikan dengan kebrutalan.
Thian-thay-mo-ki pejamkan mata, dua titik air mata membasahi
pipinya.
"Te-gak Suseng, jangan kau tidak tahu diri, menyerahlah saja!"
ejek puteri baju putih.
Mendelik sebesar kelereng biji mata Ji Bun, badannya gemetar
menahan emosi, seluruh urat nadinya terasa hampir meledak saking
gusar dan gugup.
"Su-lo (empat tertua)," puteri baju putih memberi perintah,
"tangkap dia!"
Serentak keempat laki-laki tua yang berdiri di sebelah kiri
mengiakan, dengan langkah rapi dan teratur, mereka bergerak
pelahan menghampiri Ji Bun, bahwa pihak musuh mulai bergerak
sebetulnya malah kebetulan bagi Ji Bun, namun jiwa Thian-thay-mo-
ki terancam di ujung pedang musuh. Menangkap perampok harus
menawan pentolannya.
Begitu timbul pikiran ini, cepat sekali ia menubruk ke arah puteri
berbaju putih itu.
Agaknya puteri baju putih sudah menduga dan siaga, begitu Ji
Bun berkelebat segera ia gerakkan kedua tangannya memapak, ia
berduduk sambil melontarkan pukulannya, namun kekuatannya
sungguh hebat luar biasa.
"Blum!" di tengah suara dasyat ini, gerak-gerik Ji Bun sedikit
terganggu, Pek-sat-sin yang siap dari samping segera menghantam.
Hebat sekali Ji Bun mematahkan serangan orang dengan telapak
tangan kanan. Sejak Lwekangnya berlipat ganda, setiap gerak-
geriknya membawa desir angin kencang. Dua kekuatan saling
bentrok mengeluarkan angin yang berderai ke empat penjuru,
tampak Pek-sat-sin terhuyung-huyung, darah menyemprot dari
mulutnya, puteri baju putih menjerit kaget karena tidak menduga
bahwa Ji Bun memiliki kekuatan yang luar biasa ini.
Dalam pada itu keempat laki-laki tua serba putih juga lantas
melompat maju mengurung Ji Bun, setiap kali menubruk dan
menerjang, setiap kali serangan Ji Bun selalu gagal dan kandas, ia
tetap terkepung oleh empat lawannya. Semua ini terjadi dalam
sekejap saja. Tanpa bersuara, cukup dengan isyarat kedipan mata
serempak keempat laki-laki tua itu dapat bergerak bersama dan
menggempur.
Dapatkah Thian-thay-mo-ki diselamatkan oleh Ji Bun?
Siapakah sebenarnya si pencuri anting-anting milik Ji Bun dan
dapatkah ditemukan kembali?
7.19. Racun Paling Dikenal, Jarang Dan ... Sama
Angin pukulan dahsyat bersimpang siur menerjang dan
menggencet semakin kencang. Dalam waktu singkat benturan-
benturan keras bagai halilintar menggetar bumi merontokkon debu
di atas wuwungan rumah.
Gerak-gerik Ji Bun kelihatan semakin semrawut, seperti
terombang ambing oleh damparan kekuatan delapan jalur pukulan
musuh, keruan tersirap darahnya, teringat pelajaran tempo dulu
waktu dirinya terkepung oleh The Gun, cepat-cepat ia menghimpun
semangat memusatkan pikiran, lambat-laun gerak langkahnya mulai
terkendali, sekali menggerakkan tangan, ia serang laki-laki tua yang
berdiri tepat di hadapannya.
"Blang", pukulan dahsyat ini dilandasi tambahan damparan
kekuatan lawan sehingga menambah perbawa serangannya, lekas ia
berputar secara berlawanan dari pusaran kekuatan musuh, sehingga
serangan para lawannya sebagian besar dapat dipunahkan.
Ji Bun nekat, ia menggeser badan terus mendorong dengan
seluruh kekuatannya. Suara keras kembali berdentuman, salah satu
dari Su-lo tampak tergentak mundur jatuh terduduk, tiga yang lain
sempoyongan mundur. Darah tampak meleleh dari ujung mulut Ji
Bun. Gempuran kekerasan ini boleh dikata sedahsyat ledakan
gunung. Semua hadirin sama berteriak kaget.
Napsu membunuh Ji Bun semakin berkobar, darah tak kuasa
ditekan lagi, beberapa kali berkelebat, terdengarlah salah satu dari
Su-lo menjerit roboh binasa. "Huuuaaah!" seorang lagi jatuh
terkapar tak bernyawa.
"Berhenti!" hardikan nyaring seolah-olah mempunyai wibawa
yang besar, tanpa terasa Ji Bun menghentikan serangan dan
memutar badan. Muka puteri berbaju putih membesi berdiri di
belakang Thian-thay-mo-ki, sorot matanya beringas memantulkan
sinar yang mengerikan. Beberapa laki-laki baju putih itu juga sama
mundur berderet di belakang cagak kayu. Air muka Pek-sat-sin The
Gun berkerut berubah bentuk, agaknya dia tersiksa oleh rasa sakit
dalamnya.
"Te-gak Suseng," bentak puteri baju putih, "agaknya terlalu
rendah aku menilaimu."
Ji Bun menggeram, katanya: "Lepaskan dia, akan ku beri
kesempatan hidup kalian."
"Jangan kau mimpi, sebelum aku mati, dia akan mampus lebih
dulu," ancam puteri baju putih.
Baru saja Thian-thay-mo-ki hendak membuka suara, puteri baju
putih segera menutuk lehernya, seketika badannya mengejang dan
merontah-rontah, mulut terbuka tapi tak keluar suara, wajahnya
yang cantik menyeringai seram seperti drakula.
Ji Bun semakin beringas, teriaknya kalap. "Ingin mampus kau!"
Segera ia menerjang ke arah cagak.
"Berdiri!" puteri baju putih membentak, jari-jari tangannya yang
halus mengancam batok kepala Thian-thay-mo-ki.
Dengan mengertak gigi terpaksa Ji Bun menghentikan aksinya,
sungguh dia tidak tega melihat Thian-thay-mo-ki gugur di depan
matanya secara mengenaskan. Dua orang tua yang masih hidup
segera menubruk bersama.
Lekas puteri baju putih mencegah.
"Ji lo harap mundur!"
Dengan mendelik gemas terpaksa ke dua orang tua mundur
tanpa bersuara. Dua mayat orang tua yang lain segera digotong ke
samping oleh empat laki-laki baju putih.
"Sekali lagi kuperingatkan, lepaskan dia!" ancam Ji Bun.
Berkilauan biji mata puteri baju putih, setelah menepekur
sebentar baru berkata:
"Lepaskan boleh, tapi ada syaratnya."
"Syarat apa?"
"Terangkan asal usul dan aliran perguruan kalian, perhitungan ini
boleh kita selesaikan kelak."
"Soal perhitungan ini selalu kutunggu tuntutanmu di Bulim, soal
asal usul jangan harap kau mengetahui."
"Tapi inilah syaratku."
"Tak dapat kuterima."
Pada saat itulah dua kali lolong jeritan berkumandang dari pintu
kelenteng, semua orang termasuk Ji Bun sama terperanjat, Pek-sat-
sin The Gun segera berlari masuk ke dalam kelenteng, cepat sekali
terdengar benturan keras, agaknya dalam segebrak Pek-sat-sin juga
kena dibereskan oleh si pendatang.
"Blak, bluk," tahu-tahu dua sosok mayat terlempar ke luar jatuh
di tengah pekarangan.
Kiranya mayat kedua laki-laki baju putih, setelah mampus
mayatnya di lempar keluar.
Pucat beringas muka puteri baju putih. Sesosok bayangan
berkelebat seenteng, setan melayang keluar dan berdiri tegak di
tengah lapangan.
Kedua orang tua baju putih segera menghadang maju, seorang di
antaranya membentak:
"Sahabat orang kosen dari mana?"
Waktu Ji Bun berpaling, dilihatnya yang datang seorang laki-laki
pertengahan umur bermuka hitam, kedua matanya menyorot terang,
Ji Bun merasa pernah melihat sorot mata orang ini, namun tak
teringat di mana dan kapan pernah melihat wajah seperti ini.
Pandangan laki-laki muka hitam menyapu ke seluruh gelanggang,
katanya dingin:
"Seratus li disekeliling daerah Tong-pek-san ini dilarang
membunuh orang, apakah kalian tidak tahu aturan ini?”
Tergerak hati Ji Bun. Seorang tua baju putih yang lain segera
membuka suara:
"Sahabat, perkenalkan dirimu."
"Akulah komandan ronda Wi-to-hwe."
"Komandan ronda Wi-to-hwe?" puteri baju putih menegas.
"Betul, nona ini tentunya puteri kesayangan Ciangbunjin Ngo-lui-
kiong In Giok-yan?"
"Ya, memang aku inilah."
"Kenapa nona membunuh orang di tempat terlarang kami?"
"Pihak kalian tak pernah mengumumkan bahwa daerah ini
terlarang."
"Peraturan ini sudah diketahui oleh umum."
"Lalu bagaimana komandan harus bertanggung jawab atas kedua
jiwa orang kami?"
"Orang-orangmu tak mau memperkenalkan diri, malah
menyerang lebih dulu, mereka memang harus menerima
ganjarannya."
Kedua orang tua baju putih menggeram gusar, kata salah
seorang: "Sahabat menghina orangkarena merasa berkepandaian
tinggi?"
"Kalau benar kau mau apa?" jengek laki-laki muka hitam.
"Kau harus membayar dengan jiwamu."
"Boleh, kalau kalian yakin bisa menagih kepadaku."
"Jangan bertingkah!" kedua orang tua ini barusan sudah
terjungkal di tangan Ji Bun, hatinya penasaran dan tidak terlampias,
kini mereka mendapatkan sasarannya, serempak mereka
menyerang.
Laki-laki muka hitam mengekeh dingin, katanya: "Biar aku
menjajal sampai di mana kehebatan Ngo-lui-kang."
Mulut bicara tangan bergerak, kaki berkisar maju, kedua
tangannya terangkat masing-masing menghadapi seorang tua baju
putih.
"Daar, pyaar!" dua kali suara keras, seketika kedua orang tua
baju putih tergeliat, laki-laki pertengahan umur muka hitam juga
tersurut mundur setindak.
Ji Bun mundur dan menonton sambil berpeluk tangan, Wi-to-hwe
adalah musuhnya, orang-orang Nga-lui-kiong inipun memusuhinya,
biarlah mereka berhantam mati-matian, hal ini akan menguntungkan
dirinya.
Karena lebih banyak seorang, sudah tentu kedua orang tua baju
putih semakin berkobar semangat tempurnya, ditengah gerungan
panjang, kembali mereka ayun tangan, menghadapi damparan angin
pukulan sedahsyat gugur gunung ini, laki-laki muka hitam hanya
melayangkan kedua tangannya saja dari jauh, belum lagi kekuatan
pukulan kedua orang tua itu dilontarkan, mendadak mereka
terhuyung mundur sendiri dan sama menjerit: "Racun!" keduanya
lantas terjungkal bersama, setelah berkelejetan, lalu tak bergerak
lagi.
Mencelos hati Ji Bun, tak kira laki-laki muka hitam inipun pandai
main racun, dari kematian kedua orang tua baju putih ia dapat
meraba racun yang digunakan laki-laki muka hitam bukan
sembarang racun.
In Giok-yan atau puteri baju putih tampak pucat. ''Nona In," ujar
laki-laki muka hitam," aku tidak ingin membunuh kau, kau boleh
lekas pergi. Sambil gigit bibir sekian lamanya ln Giok-yan menatap
laki-laki muka hitam, mendadak tangannya terangkat hendak
mengepruk kepala Thian-thay-mo-ki.
"Berani kau!" bentak Ji Bun dengan gemetar.
"Jangan melukainya," dalam waktu yang sama laki-laki muka
hitam juga membentak.
In Giok-yan melengak, hanya serambut telapak tangannya
hampir mengenai batok kepala Thian-thay-mo-ki, kalau tenaga dia
kerahkan, batok kepala Thian-thay-mo-ki pasti pecah berantakan.
"Jangan kau melukainya, perkumpulan kami sedang mencarinya,”
ujar laki-laki muka hitam lebih lanjut.
"Aku harus menuntut balas bagi orang-orangku yang menjadi
korban keganasannya."
"Pihak kami inginkan dia hidup."
"Maaf tidak bisa ........."
"Jangan kau paksa aku membunuhmu?"
Berkeriut gigi In Giok-yan, katanya penuh kebencian: "Sejak kini
Ngo-liu-kiong akan membuat perhitungan kepada Wi-to-hwe.. ..... "
"Itu soal lain. Kapan saja kalian boleh menuntut balas."
Setelah sekian lamanya, secara diam-diam Thian-thay-mo-ki
sudah berhasil menjebol tutukan Hiat-tonya, maka ia bersuara
tertahan: "Dik, lihatlah kulit kepalanya, dia inilah orang berkedok
yang pernah turun tangan jahat kepadamu."
Bergetar pula badan laki-laki muka hitam, sorot matanya seketika
beringas buas.
Ji Bun sendiri juga tersentak kaget, waktu ia pandang kepala
orang, memang betul, diatas telinga kanan laki-laki muka hitam ini
ada bekas codet memanjang, walaupun ditutupi rambut, namun
sebagian masih kelihatan jelas, kalau Thian-thay-mo-ki tidak
memberitahu, musuh yang misterius ini mungkin akan dibiarkan
begitu saja. Tak nyana bahwa orang yang menyaru ayahnya dan
turun tangan dua kali secara keji terhadap dirinya ternyata adalah
orang Wi-to-hwe pula. Kenapa dia ingin membunuhku? Mungkinkah
pihak mereka sudah tahu rahasia pribadiku? Berdiri bulu kuduk Ji
Bun, terasa olehnya seolah-olah sekeliling dirinya sudah diawasi oleh
orang-orang mereka.
Laki-laki muka hitam mendadak menghampiri Ji Bun malah. Ji
Bun mendesis geram sambil mengertak gigi:
"He he, agaknya Thian memang sudah mengatur pertemuan kita
malam ini."
"Anak keparat, rupanya nyawamu masih panjang?"
"Perbuatanmu sungguh rendah dan memalukan."
"He he he he, anak keparat, malam ini kau pasti mampus!"
Amarah membakar dada Ji Bun, kebencianpun meresap pada
sendi-sendi tulang dan di dalam aliran darahnya, namun ia menekan
sekuatnya, ia harus bikin terang persoalannya lebih dulu, perbuatan
orang ini pasti mempunyai latar belakang, maka ia berkata:
"Tuan turun tangan dengan segala cara yang rendah dan kotor,
dua kali jiwaku hampir tamat karena pembokonganmu, kenapa?"
Laki-laki muka hitam menyeringai sadis, ujarnya:
"Karena aku ingin kau mampus."
"Kau, ingin aku mampus? Kita belum pernah kenal, tidak
bermusuhan lagi bukan?"
"Kukira tiada perlunya kuberi penjelasan."
"Di balik semua peristiwa ini pasti ada orang yang
mengendalikan, siapa yang suruh kau berbuat jahat kepadaku?"
"Terserah bagaimana dugaan dan pikiranmu?"
"Siapa yang menyuruhmu?" Ji Bun menegas pula.
"Jangan mengoceh saja, setelah mampus kau akan mengerti."
Ji Bun tak kuasa mengendalikan emosinya lagi, bentaknya: "Akan
kubikin kau hancur!" Di tengah hardikannya, telapak tangan kiri
dikerahkan sepenuh tenaganya, telapak tangan kanan juga
menabas.
Laki-laki baju hitam tidak gegabah, iapun angkat tangan
menyambut dengan kekerasan, ditengah suara gemuruh yang
menggetar bumi, hawa panas serasa pecah berderai ke empat
penjuru, lampu-lampu kaca yang bergantungan sama pecah
berjatuhan, Ji Bun tergeliat, sementara laki-laki muka hitam
terpental mundur empat langkah.
Lekas In Giok-yan memberi isyarat kepada anak buahnya,
beberapa orang di belakangnya segera maju, seorang segera
melepas tali-tali yang membelenggu Thian-thay-mo-ki.
Laki-laki muka hitam tertawa sinis, tahu-tahu badannya berkisar
satu lingkaran ke sana, tiba-tiba bayangannya berkelebat ke
tempatnya semula pula, di sana terdengar suara gedebukan, empat
orang anak buah In Giok-yan sama terjungkal roboh tak bernyawa,
yang masih hidup sama terpaku gemetar.
Ji Bun sendiri bergidik melihat kehebatan gerakan ini, untung dia
mendapat saluran Lwekang orang tua aneh, betapapun dia masih
bukan tandingan musuhnya. Begitu cepat gerakan laki-laki muka
hitam, tanpa berhenti tiba-tiba dia menubruk kearah Ji Bun seraya
mencengkeram dadanya, kecepatannya laksana kilat menyamber.
Kebetulan bagi Ji Bun, tidak berkelit dia malah memapak maju,
telapak tangannya tegak menebas ke dada lawan pula. Dua keluhan
keluar dari dua mulut. Jubah Ji Bun tercengkeram robek tak keruan
sehingga lengan kirinya yang disembunyikan di dalam baju
kelihatan. Namun tangan kiri beracun. Ji Bun inipun berhasil
memukul dada lawan.
"Tangan!"
Thian-thay-mo-ki dan In Giok-yan menjerit bersama tanpa
berjanji.
Setelah terhuyung dua langkah, laki-laki muka hitam lantas
terkapar celentang. Ji Bun memburu maju terus mencengkeram baju
dada orang serta menjinjingnya, teriaknya beringas:
"Matipun takkan kubiarkan badanmu utuh ....." belum habis dia
berkata, tiba-tiba telapak tangan laki-laki muka hitam menggenjot ke
dada Ji Bun.
Mimpipun Ji Bun tidak menyangka lawan bakal pura-pura terluka
parah oleh racunnya dan secara mendadak membokongnya pula,
betapa keras genjotan jarak dekat ini, apalagi lawan memang sudah
siap dan menghimpun setaker tenaganya.
Thian-thay-mo-ki dan ln Giok-yan sama menjerit kaget. Dengan
muntah darah Ji Bun terlempar beberapa tombak jauhnya. Laki-laki
muka hitam mendongak sambil tergelak-gelak. Sebaliknya hancur
luluh hati Thian-thay-mo-ki, dengan menjerit kalap segera ia
meronta sehingga tali yang meringkusnya itu putus berkeping-
keping.
Tak pernah terpikir oleh In Giok-yan bahwa Thian-thay-mo-ki
mampu menjebol Hiat-to yang tertutuk, perubahan ini terjadi secara
mendadak pula sehingga membuatnya tertegun kaget.
Gerak gerik laki-laki muka hitam sungguh laksana kilat, belum
lagi Thian-thay-mo-ki berlari mencapai tujuannya, beruntung ia
melontarkan tiga kali pukulan, kontan Thian-thay-mo-ki terpental,
darah meleleh dari mulut dan hidungnya. Sebelum badannya
tersungkur jatuh ke tanah, sebat sekali laki-laki muka hitam melejit
maju sambil ulur tangan mencengkeramnya.
In Giok-yan masih melenggong ditempatnya, iapun mati kutu.
Kata laki-laki muka merah sambil melirik kepada In Giok-yan:
"Sebelum pikiranku berubah ingin membunuhmu, lekas kau enyah
dari sini, orang-orangmu di luar masih hidup, hanya Hiat-tonya saja
tertutuk."
In giok-yan membanting kaki, serunya: "Sejak kini kami
bersumpah takkan hidup sejajar dengan Wi-to-hwe!"
Habis berkata ia gerakkan tangan terus bergegas keluar, anak
buahnya yang masih tersipu-sipu mengintil di belakangnya, mayat
teman-temannya pun tak sempat diurus lagi.
Sambil menyeret Thian-thay-mo-ki, laki-laki muka hitam
mendekati Ji Bun. "Apa yang hendak kau lakukan?" teriak Thian-
thay-mo-ki serak.
Laki-laki muka hitam menyeringai seram, katanya.
"Tangan bocah keparat ini beracun, hatinya jahat lagi, badannya
harus dileburkan supaya tidak menimbulkan bencana bagi orang
lain."
"Baik, menjadi setanpun takkan kuampuni kau!" desis Thian thay-
mo-ki.
"Ha ha ha, nona ayu, kau takkan menjadi setan!" sorot matanya
semakin jalang, nafsu birahinya tampak berkobar.
Karena urat nadi tangannya terpegang. Thian-thay-mo-ki tak
mampu meronta, apalagi Lwekang laki-laki muka hitam jauh lebih
tinggi, umpama dia tidak tertawan juga takkan mampu melawan.
Laki-laki muka hitam angkat tangannya terus mengepruk ke
batok kepala Ji Bun. Thian-thay-mo-ki pejamkan mata dan menjerit
tertahan, serasa sukmanya ikut terbang bersama nyawa Ji Bun yang
sudah tamat. "Blang", hancur luluh hati Thian-thay-mo-ki. terasa
badannya ikut terseret mundur gentayangan.
"0-mi-to-hud (Amitha Budha)," sekonyong-konyong seseorang
bersabda dengan suara lantang. "Wi-to-hwe hanya namanya saja
membela keadilan dan menegakkan kebenaran, namun anak
buahnya ternyata melakukan perbuatan serendah dan sekotor ini."
Suara yang keras berisi ini membuat Thian-thay-mo-ki tersentak
sadar dari kepedihannya, waktu dia angkat kepala, dilihatnya pujaan
hatinya masih rebah tak bergerak, tidak nampak tanda terluka,
namun di depan sana tahu-tahu berdiri seorang Hwesio besar yang
kereng berwibawa.
Jari-jari laki-laki muka hitam yang memegangi Thian-thay-mo-ki
terasa rada gemetar, ini membuktikan bahwa hatinya agak jeri.
"Siapakah Toa-hwesio ini?" tanyanya.
"Pinceng Thong-sian," sahut hwesio itu, tiba-tiba kedua biji
matanya memancarkan sinar terang, bentaknya menatap tajam laki-
laki muka hitam: "Lepaskan perempuan ini!"
"Cayhe hanya bertindak menurut perintah."
“Perintah siapa?"
"Sudah tentu Hwecu (ketua) kami."
"Pinceng suruh kau melepaskan dia, kalau tidak terpaksa Pinceng
melanggar pantangan."
Berputar biji mata laki-laki muka hitam, katanya:
"Silakan Toa-hwesio unjukkan dulu kepandaian, supaya Cayhe
ada alasan untuk memberi laporan?"
Tong-sian berpikir sebentar, tiba-tiba bibirnya mencebir, segulung
angin segera meniup dari mulutnya ke arah lampu gelas yang
tergantung lima tombak diemperan sana. "Cret", lampu gelas itu
tahu-tahu berlubang sebesar jari, sinar apipun seketika padam.
Bergetar suara laki-laki muka hitam: "Sian-thian-cin-kin, hebat
betul Lwekang Toa-hwesio," lenyap pujiannya, mendadak ia lempar
Thian-thay-mo-ki ke arah Thong-sian, sebat sekali ia terus melesat
keluar.
Thong-sian bersabda sekali lagi, kaki kanan berkisar ke samping
sehingga tubuhnya ikut menyingkir, sebetulnya ia tak mau
bersentuhan dengan tubuh perempuan. Tak nyana daya luncuran
tubuh Thian thay-mo-ki yang terlempar ini sungguh kencang,
sehingga luncurannya bertambah jauh ke sana dan jatuh terguling di
tanah, mulutnya masih sempat berpekik: "Racun!" Badannya terus
lunglai tak bergerak lagi.
"Amitha Budha." Thong-sian bersabda pula, "perbuatan kejam
dan keji. Pinceng salah hitung dan dikelabui." Cepat ia melangkah
maju serta meraba pernapasan Thian-thay-mo-ki katanya
membanting kaki: "Celaka!" Tiba-tiba badannya melenting tinggi
terus melayang bagat seekor bangau, mengejar ke sana.
Tak lama setelah Thong-sian melesat terbang mengejar musuh,
tiba-tiba Ji Bun merintih sekali terus membuka mata, sekejap dia
celingukan terus geleng kepala, dengan cepat pikirannya lantas
sadar dan jernih kembali, semua kejadian segera terbayang di dalam
benaknya. setelah menghirup napas panjang ia berkata:
"Jiwa manusia begini culas, kenapa aku selalu kena diselomoti?"
Di mana matanya menyapu pandang, tiada seorang hidup yang
dilihatnya, dua lampu kaca masih menyala menerangi mayat-mayat
yang bergelimpangan di tanah. Pelan-pelan dia berdiri, tiada rasa
kesakitan sedikitpun, ia coba mengempos semangat, Lwekangnya
masih penuh berisi, dalam hati diam-diam ia amat kaget, jelas tadi
dadanya terpukul serangan dahsyat yang mematikan, namun kenapa
sekarang tidak merasakan sakit atau luka-luka, bukan sekali ini saja
kejadian demikian berlangsung. Kenapa?
Matanya menjelajah sekelilingnya ia ingin memperoleh jawab
akan pertanyaan hatinya. "Haya!" tiba-tiba ia berpekik mengawasi
Thian-thay-mo-ki yang menggeletak tak bergerak di atas tanah.
Apakah sudah mati? Demikian ia membatin, segera iapun memburu
maju, begitu tangannya meraba tubuh orang, seketika ia bergidik
gemetar, tanganpun ditarik.
Ternyata karena gugup dan gelisahnya, tangan yang diulur
hendak meraba adalah tangan kirinya yang beracun jahat. Kini dia
ganti tangan kanan, cepat ia raba urat nadi, terasa denyutnya amat
lemah, tiada daya hidup sedikitpun. Lekas dia membalik jazad orang,
baju didepan dadanya yang robek tersingkap, payudaranya yang
montok menongol keluar, tertampak sebutir buah anggur merah
menghiasi bukit tandus nan putih licin ini, seketika semangat Ji Bun
seperti terbang keawang-awang, darah seketika bergejolak,
mukapun terasa panas. Cepat ia pejam mata, setelah tenangkan diri,
ia buka mata pula terus meraba pernapasannya, lalu memeriksa
kelopak matanya juga. “Racun," gumamnya, "aneh betul"
Yang membuatnya heran dan kaget bukan lantaran Thian-thay-
mo-ki terkena racun, asal daya hidupnya masih kuat bertahan, racun
jahat macam apapun ia masih sanggup menawarkannya, namun
racun yang ini adalah racun yang paling dikenal, juga racun yang
jarang terdapat di dunia ini, sungguh tak pernah terpikir olehnya,
kecuali ayah dan dirinya, masih ada orang lain yang pandai pula
menggunakan racun ini?
Tiba-tiba ia teringat akan Cui Bu-tok, si ahli racun sakti yang kini
berada di Wi-to-hwe. Kalau laki-laki muka hitam itu adalah
komandan ronda dari Wi-to-hwe, bukan mustahil dia adalah murid
didik Cui Bu-tok, tidaklah heran kelak tidak takut racun malahan juga
pandai menggunakan racun.
7.20. Bu-lim-siang-koay
Lekas ia ke!uarkan obat penawat racun terus dijejalkan ke mulut
Thian-thay-mo-ki, seiring dia tutuk pula beberapa Hiat-to
dibadannya. Kira-kira segodokan air mendidih, pelan-pelan Thian-
thay-mo-ki mulai bergerak lalu membuka mata, setelah melihat
keadaan sekitarnya, segera ia meloncat bangun, katanya dengan
penuh haru: "Dik, kau masih hidup? betapa besar perhatiannya,
sungguh tak terlukiskan dengan kata-kata.
Ji Bun juga amat terharu, katanya, "Cici juga tidak apa-apa?"
"Aku tidak apa-apa. Mana Hwesio gede yang bergelar Thong-sian
itu? Untung dia muncul tepat pada waktunya, kalau tidak pasti kau
sudah binasa di tangan komandan ronda Wi-to-hwe tadi."
"Waktu aku siuman keadaan sunyi senyap tak kelihatan
seorangpun."
Thian-thay-mo-ki merasa dadanya dingin, waktu ia menunduk,
seketika mukanya menjadi merah, cepat ia membetulkan bajunya
yang sobek dan berkata: "Dik, tanganmu ternyata tidak cacat?”
Karena rahasia sudah terbongkar, terpaksa Ji Bun bicara terus
terang: "Cici, soalnya tanganku teramat beracun .....”
"Apa, teramat beracun?" Thian-thay-mo-ki menegaskan dengan
kaget.
"Benar, setelah aku meyakinkan semacam ilmu beracun yang
sudah lama putus turunan, siapa saja bila tersentuh kulitnya, segera
racun akan menyerang jantung dan kematian, sang korban tak
memperlihatkan tanda yang mencurigakan, namun bagi orang yang
mengerti soal racun dengan cepat akan dapat diketahuinya."
"Pantas kau melarang orang menyentuhmu. O ya. sekarang
kuingat seseorang, selama ini kulupa memberitahu padamu.”
“Siapa?" tanya Ji Bun.
"Seorang nyonya berpakaian hitam yang berwajah welas asih."
Tegak alis Ji Bun, katanya heran dan bingung: "Nyonya berbaju
hitam, siapa namanya?"-
“Entahlah, dia tidak memperkenalkan diri, kukira kau
mengenalnya,” lalu Thian-thay-mo-ki menceritakan kejadian yang
dialaminya dulu.
Serius dan penuh perhatian rona muka Ji Bun, lama sekali baru
dia bersuara dengan penuh emosi: "Wajahnya welas asih?"
"Ya, secerah sinar surya di pagi hari pada musim semi."
Perawakannya sedang? Mungkinkah .......
"Siapakah dia?"
"Ibuku!" jawab Ji Bun. "Tapi, ah, tak mungkin dia meninggalkan
diriku terkapar begitu saja. Lalu apa pula yang dikatakannya?"
"Tidak ada, dia tidak berkata apa-apa lagi."
Ji Bun tenggelam dalam alam pikirannya, ia kecuali ayahnya
hanya ibunya saja yang tahu akan rahasia tangannya vang beracun,
namun ibunya tak pernah memakai baju hitam, begitu besar kasih
sayangnya terhadap dirinya, umpama dia salah periksa dan
menyangka dirinya sudah mati, tak mungkin dia berpesan kepada
orang lain untuk mengurus jenazahnya, lalu siapakah dia? Suatu
teka teki yang meresahkan hati pula. Setelah berpikir pula sebentar,
tetap tidak menemukan jawabannya, terpaksa dia, berkata dengan
rawan:
"Sudahlah, sementara tak urus persoalan ini, Cici, untuk
sementara biarlah kita berpisah di sini saja."
Berubah wajah Thian-thay-mo-ki, suaranya gemetar: "Dik, kau
hendak berpisah dengan aku? Kau tak sudi berteman denganku
lagi?"
"Tidak, Cici jangan salah paham, aku ada urusan penting .......”
"Apa aku tak bisa membantu."
"Tidak, buat apa kau menempuh bahaya."
"Menempuh bahaya? Aku malah ingin ikut. Ke mana?
Menyelesaikan urusan apa?”
Serba susah Ji Bun dibuatnya, sikap dan kesannya terhadap
Thian-thay-mo-ki sudah jauh berubah, setelah bergaul sekian lama
ini, disadarinya bahwa kesan buruknya dulu ternyata tidak berdasar
sama sekali, berbagai peristiwa telah menjalin hubungan mereka
semakin dekat dan intim.
Sesuai apa yang dinamakan "cinta timbul setelah bergaul yang
lama, meski asmara Ji Bun hanya timbul di dalam relung hatinya
yang paling bawah, namun kata-kata dan sikapnya sekarang adalah
tulus, ia tidak ingin Thian-thay-mo-ki ikut menempuh bahaya.
"Dik," kata Thian-thay-mo-ki, "katakan, apa yang hendak kau
lakukan?"
Ji Bun menggeleng-geleng tanpa menjawab.
"Jangan serba susah dik, kau pergilah."
Dengan rasa iba dan penuh penyesalan Ji Bun menatapnya
dalam-dalam, ingin dia berbincang beberapa kata, namun tak kuasa
diucapkan, sorot mata nan pilu dan syahdu membuat hatinya
terguncang. akhirnya ia mengeraskan hati, katanya: "Maafkan Cici,
ada kesulitan yang tak bisa kuterangkan, jika aku tidak mati, kita
pasti akan bertemu lagi."
Setelah berkata ia terus berlari pergi ditelan kegelapan.
Dikala malam berganti pagi, Ji Bun tiba di puncak utara Tong-
pek-san, di sinilah tempo hari peresmian berdirinya Wi-to-hwe
diadakan, dari sini ke lembah sana akan langsung menuju ke markas
besar Wi-to-hwe.
Semula kedatangannya dirangsang emosi yang berkobar untuk
menuntut balas, setiba di tempat tujuan, hatinya menjadi bimbang,
karena belum memperoleh langkah-langkah yang dirasa baik untuk
menjalankan aksinya. Dia perlu berpikir pula dengan kepala dingin,
maka ia berlari sepuluh li ke arah yang berlawanan, akhirnya
berhenti disebuah hutan yang berhawa sejuk nyaman dan sunyi,
setelah memilih tempat yang tersembunyi, dia lalu duduk bersimpuh
dan mulai putar otak.
Situasi mengubah dirinya menjadi tabah dan pendiam, wataknya
nyentrik yang dulu sudah tersapu bersih, serupa seorang setan judi,
disaat menyadari bahwa modalnya bertaruh kurang banyak,
terpaksa taruhannya harus cermat dan teliti.
Dia menilai Lwekangnya sendiri, sekarang untuk melawan satu
persatu dengan tokoh-tokoh kosen macam Siang-thian-ong masih
cukup mampu, namun kalau melawan orang di dalam tandu dan Wi-
to-hwecu masih merupakan tanda tanya besar, tapi kalau
menghadapi keroyokan mereka, betapa akibatnya dia tak berani
membayangkan. Kalau Menggunakan akal, dikuatirkan asal usul
sendiri sudah terbongkar oleh pihak sana, dalam keadaan yang
serba salah ini tentu sukar turun tangan baginya, dan yang
terpenting, bila dirinya memperkenalkan diri dan menantang untuk
menuntut balas secara terus terang, pihak musuh pasti akan turun
tangan keji dengan tanpa mengenal kasihan. Situasi agaknya
menyudutkan dirinya untuk berlaku nekat secara untung-untungan.
Sejauh ini ayahnya tidak pernah muncul dan mengadakan kontak
pula, hal ini menyebabkan dia harus bertindak secara diam-diam
seorang diri.
Disaat hatinya risau dan gundah tak bisa ambil putusan, tiba-tiba
kupingnya mendengar suara isak tangis perempuan yang sayup-
sayup terbawa kesiur angin. Siapa yang menangis di hutan belukar
yang sepi ini?
Sebetulnya ia tak ingin ambil peduli, namun gejolak perasaannya
tak bisa dikendalikan, akhirnya ia berdiri dan melangkah ke arah
datangnya suara tangisan. Semakin dekat isak tangispun semakin
terang dan keras. Mendadak bayangan merah sesosok tubuh orang
muncul di depan. Seketika Ji Bun berdiri tertegun, sungguh di luar
dugaannya bahwa orang yang menangis ini ternyata adalah gadis
berbaju merah, Pui Ci-hwi.
Karena apa dia begitu sedih? Kenapa berkeluh kesah seorang diri
ditempat sunyi ini? Seperti bara api di bawah sekam, asmara yang
sudah hampir padam direlung hatinya tiba-tiba berkobar pula,
namun sebuah pikiran lain segera menyangkal alam pikirannya ini
nona itu adalah komplotan musuh.
Pui Ci-hwi menggelendot dibatang pohon, ke dua pundaknya
tampak gemetar, isak tangisnyapun begitu pilu, memang kaum
perempuan suka menangis, tapi bagi seorang perempuan persilatan,
kalau tidak kebentur suatu peristiwa yang betul-betul mengetuk hati
sanubarinya, orang takkan menangis begitu sedih.
Inilah kesempatan baik, segera timbul ilham dalam benak Ji Bun,
cari keterangan Toh Ji-lan kepadanya untuk menunaikan pesan
orang tua aneh sebagai imbalan budinya yang telah menyalurkan
Lwekang kepada dirinya. Tanya pula siapa saja yang ikut serta
dalam pembantaian besar-besaran di Jit-sing-po yang menimbulkan
korban begitu banyak dan mengerikan, apa pula sebab dan alasan
mereka turun tangan sekeji itu, mengorek pula keterangan, apakah
mereka sudah tahu akan asal usul diriku, hal inilah yang paling
penting. Demikianlah Ji Bun sudah berketetapan, disaat dia hendak
bertindak ..........
Sekonyong-konyong sesosok bayangan berkelebat, tahu-tahu
seorang nenek berpakaian warna-warni bagai setan berkelebat
muncul disamping Pui Ci-hwi, lekas Ji Bun tarik kakinya yang sudah
terangkat hendak melangkah itu, serta menyelinap ke belakang
pohon. nenek ini pernah muncul di Pek-ciok-hong waktu terjadi
perebutan Sek-hud tempo hari, pasti dia inilah yang merebut Pui Ci-
hwi dari tangan Liok-Kin.
Tentunya nenek ini juga salah seorang anggota Wi-to-hwe.
Terdengar nenek itu berkata dengan nada kereng berwibawa:
"Budak usil, hayo pulang."
Pui Ci-hwi membalik serta angkat kepala, suaranya tegas dan
tandas: "Lolo (nenek), aku tidak mau pulang" Air matanya
bercucuran membasahi mukanya, wajahnya sayu penuh kepedihan,
begitu iba dan memelas sekali keadaannya, hati Ji Bun ikut terharu.
Nenek itu mendengus geram, katanya: "Berani kau bertingkah
dengan adatmu."
Tiba-tiba Pui Ci-hwi tekuk lutut, katanya dengan isak tangis yang
memilukan: "Lolo, maafkan anak Hwi yang tidak berbakti ini ......"
kata-kata selanjutnya tertelan dalam tenggorokan.
"Lalu apa keinginanmu?"
"Aku ...... aku .... hanya ingin mati."
"Apa-apaan ucapanmu, budak bodoh."
"Lolo, tak berarti hidupku ini."
Ji Bun yang mencuri dengar menjadi keheranan, entah apa
hubungan antara tua dan muda ini? Kenapa pula dia mengucapkan
kata-kata yang begitu putus asa.
Setelah menghela napas, nenek itu berkata dengan suara lebih
lembut: "Anak bodoh, sebetulnya apa sebabnya kau sampai berpikir
sependek ini?"
Pui Ci-hwi menunduk sambil menangis gerung-gerung, sama
sekali dia tak dapat bicara.
Nenek itu mengelus rambutnya, seperti membujuk anak kecil saja
ia berkata: "Anak bodoh, siapa yang telah menyalahi kau, katakan,
Lolo akan melampiaskan kedongkolanmu?"
Semakin keras isak tangis Pui Ci-hwi mendengar bujukan ini, tiba-
tiba nenek itu mendengus sekali, tahu-tahu dia putar tubuh terus
melompat pergi, lekas sekali dia sudah putar balik, tangannya
menjinjing seorang berpakaian putih. "Bluk", ia banting orang itu ke
tanah, orang baju putih itu mengeluh kesakitan.
Waktu melihat orang baju putih ini, berdegup jantung Ji Bun,
ternyata orang ini bukan lain adalah putera Cip-po-hwecu, yaitu Liok
Kin adanya, dengan cara rendah dan kotor, Liok Kin berhasil
mengorek keterangan rahasia Sek-hud dari mulut Pui Ci-hwi,
sehingga Sek-hud terjatuh ke tangan Biau-jiu Siansing, ternyata
pemuda bergajul ini masih berani kelayapan di Kang-ouw, memang
pemuda yang tidak tahu diri.
Sambil menuding Liok Kin nenek itu berkata: "Budak, bocah
inikah yang menyakiti hatimu? Kenapa tadi kau mohon ampun
baginya?"
Tersipu-sipu Liok Kin merayap bangun, katanya penuh nada sedih
kepada Pui Ci-hwi: "Adik Hwi, memang akulah yang ceroboh sampai
berbuat tidak senonoh terhadapmu, aku tahu matipun takkan
setimpal menebus dosaku, maka sengaja aku susul kau kemari, aku
tidak ingin mohon pengampunan, aku hanya ingin mati ditanganmu
.....” lalu ia berlutut dan menyembah, air matapun bercucuran.
Dengan mengertak gigi Pui Ci-hwi melotot kepada Liok Kin,
desisnya penuh kebencian: "Akan Kubeset kulitmu dan kulebur
badanmu."
Sekali angkat seperti menjinjing anak ayam saja si nenek
mengangkat Liok Kin tinggi-tinggi, bentaknya bengis: "Bocah
keparat, akan kucincang kau."
"Adik Hwi, selamanya aku mencintaimu, semoga pada penitisan
mendatang kita berkumpul lagi!" seru Liok Kin.
Tak keruan rasa hati Ji Bun, dia heran dan bingung, apa betul
bocah she Liok ini menaruh cinta secara murni? Sungguh
meragukan.
Si nenek melempar Liok Kin ke atas terus menangkap kedua
kakinya, tangannya sudah bergerak terentang ke dua samping .......
"Lolo!" Pui Ci-hwi memekik dengan suara serak. Terpaksa si
nenek menghentikan gerakannya.
"Budak, apa sih maksudmu sebetulnya?"
"Harap Lolo suka membebaskan dia."
"Apa? membebaskan dia? bukankah kau ingin membeset
tubuhnya? Budak, jangan kau terkibul oleh mulut manisnya, pemuda
berhati serigala macam ini, memangnya kau belum cukup
menderita? Masa kau belum melihat watak bejat bocah bergajul ini?"
"Lolo, harap engkau ..... suka mengampuninya."
"Ai," nenek itu berkeluh terus ayun badan Liok Kin serta
melemparnya pergi. "Blum," Liok Kin menjerit jatuh dua tombak
jauhnya, kebetulan dia terlempar ke arah tempat sembunyi Ji Bun,
jaraknya hanya beberapa kaki saja. Sebetulnya ingin Ji Bun
menghantamnya mampus, namun ia masih dapat bersabar.
Sekian lama setelah rasa kesakitan lenyap baru Liok Kin mampu
merangkak berduduk, katanya dengan muka sedih dan mewek-
mewek: "Adik Hwi, sukalah kau sempurnakan diriku saja."
"Enyahlah kau!" bentak Pui Ci-hwi beringas.
Setelah menghela napas, dengan nada yang penuh iba Liok Kin
barkata: "Adik Hwi, sekali salah langkah, aku tahu selama hidup ini
takkan bisa mempersunting dirimu lagi, apa pula faedah hidup dalam
dunia ini, aku hanya ingin mati untuk menebus dosaku, sukalah adik
mengabulkan keinginanku."
Pui Ci-hwi membanting kaki sambil menutup muka dengan kedua
tangannya, bentaknya: "Enyahlah kau!"
Suaranya jauh lebih lemah dan tidak sebengis tadi.
Liok Kin berkata pula: "Adikku yang terkasih, aku bersumpah
kepada Thian, selama hidupku hanya adiklah yang terisi dalam
kalbuku."
Si nenek menjadi tidak sabar, bentaknya dengan mendelik:
"Keparat, jangan jual lagak kalau ingin hidup lekas menggelinding
pergi, kalau tidak kubunuh kau."
Liok Kin menatap Pui Ci-hwi terakhir kali, katanya mohon
kasihan: "Adikku tercinta, selamat berpisah, maaf kalau tidak
kuucapkan selamat berjumpa lagi."
Habis kata-katanya segera ia putar badan terus berlari
sekencang-kencangnya, Pui Ci-hwi sudah membuka mulut hendak
berteriak, namun suaranya tidak keluar, air mata kembali berderai.
Ada keinginan Ji Bun mengejar Liok Kin dan membunuhnya,
namun pikiran lain membatalkan niatnya, ia harus mencari
kesempatan untuk bicara dengan Pui Ci-hwi, banyak persoalan yang
harus mendapatkan jawaban dari mulutnya, hal ini jauh lebih baik
dari pada dia main teka teki sendiri, cuma yang dia kuatirkan adalah
nenek berpakaian warna warni ini.
Tengah ia berpikir-pikir, tiba-tiba didengarnya si nenek mengejek
dingin: "Siapa itu, tidak lekas menggelinding keluar sendiri,
memangnya perlu dipersilakan keluar?"
Bergetar hati Ji Bun, ia kira jejaknya sudah konangan, baru saja
ia hendak keluar, tiba-tiba terdengar suara tawa dingin yang berat,
bayangan seorang berperawakan besar tiba-tiba muncul dari semak-
semak dedaunan sana. Diam-diam Ji Bun merasa lega, ternyata
yang dimaksud bukan dirinya. Waktu ia mengintip ke sana,
dilihatnya yang muncul adalah seorang Thauto atau imam piara
rambut yang sudah ubanan dengan rambut terikat gelang perak di
atas kepalanya. Tangannya menjinjing sebatang sekop besar,
beratnya mungkin ada seratusan kati.
Agaknya nenek itu juga merasa diluar dugaan, teriaknya dengan
terbeliak: "Oh, kau?"
Tak acuh sikap Thauto itu melangkah ke depan si nenek,
setombak jauhnya baru berhenti, katanya dengan cengar-cengir:
“Tidak sangka bukan?"
"Hm," si nenek menggeram, "Pek-siu-thay-swe, memang tidak
kusangka, kukira kau sudah lama mampus dan tinggal tulang
belulangmu saja."
Hati Ji Bun betul-betul amat terkejut, tak nyana bahwa Thauto ini
adalah salah satu dari Bu-lim-siang-koay (dua orang aneh dari Bu-
lim) yang pernah dia dengar dari cerita ayahnya. Jika begitu, jadi si
nenek ini adalah Jay-ih-lo-sat tentunya. Kedua orang aneh ini sama-
sama bertabiat miring dan menyendiri, kejam dan keji. Puluhan
tahun yang lalu, tokoh-tokoh dari aliran putih dan golongan hitam
sama lari terbirit-birit bila mendengar nama mereka, kabarnya kedua
orang aneh ini akhirnya gugur bersama setelah saling berhantam
sengit, mayat mereka yang terjatuh ke dalam jurang tak ditemukan,
agaknya berita yang didengarnya itu jauh menyimpang dari
kenyataan, buktinya kedua orang aneh ini sekarang muncul
berhadapan pula di sini.
Terdengar Pek-siu-thay-swe menyeringai seram menunjukkan
gusinya yang ompong: "Jay-ih-lo-sat, kalau aku mampus, siapa yang
akan membereskan mayatmu?"
Si nenek menarik muka, dengusnya: "Katakan terus terang, apa
maksud kedatanganmu?"
"Tentunya membuat perhitungan lama itu."
"Dengan cara apa kau hendak membuat perhitungan?"
"Pertempuran di puncak Kim-ting di gurun Gobi pada 30 tahun
yang lalu tadinya kukira bakal menentukan siapa unggul dan asor di
antara kita, tak nyana kini kau masih tetap hidup ........”
"Jadi maksudmu ingin menyelesaikan persoalan itu sampai salah
satu pihak menemui ajal."
"Memangnya kau kira bisa hidup lagi?"
“Baik, silakan turun tangan."
"Nanti dulu peraturan lama tak boleh dilanggar, selama kita
bergebrak aku tidak ingin ada orang ketiga hadir di sini."
Jay-ih-lo-sat mengulap tangan kepada Pui Ci-hwi, katanya:
"Budak, pergilah kau, pulang saja.”
"Lolo," sahut Pui Ci-hwi tertegun, "aku tak mau pulang."
"Kau mau ke mana? Berani kau tidak patuh pada omonganku?"
Rawan pandangan Pui Ci-hwi. Bibirnya bergerak, namun urung
bicara, akhirnya ia membungkuk memberi hormat terus beranjak ke
luar hutan.
Terbangkit semangat Ji Bun, inilah kesempatan baik, dari mulut
Pui Ci-hwi dia akan berhasil membongkar segala persoalan yang
selama ini mengganjal hatinya. Pada saat ia hendak menggeremet
mundur untuk mengejar Pui Ci-hwi, tiba-tiba Pek-siu-thay-swe
berseru: "Anak muda, menggelinding keluar!"
Karena jejaknya sudah konangan, sudah tentu Ji Bun tak bisa
ngeloyor pergi, cepat ia sembunyikan lengan kirinya ke dalam baju
terus melangkah keluar.
Tanpa bicara Pek-siu-thay-swe angkat sekop terus mengepruk
kepala Ji Bun.
"Tahan!” bentak Jay-ih-lo-sat.
"Apa maksudmu?" Pek-siu-thay-swe menghentikan gerakkannya
sambil menoleh.
"Kau dilarang menyentuhnya."
"Siapa sih dia?"
"Teman Hwecu kami."
"Hwecu. Ha ha ha, hampir aku lupa bahwa Jay-ih-lo-sat sekarang
juga membela keadilan menegakkan kebenaran segala, sungguh
berita gembira dalam Bu-lim sepanjang masa ......”
"Kenapa harus ditertawakan, jahat dan baik hanya terpaut
segaris saja, taruhlah golokmu dan sembahlah pada Buddha."
"Jay-ih-lo-sat sudah telanjur kotor dan bau darah kedua
tangannya, memangnya juga bisa diterima menjadi murid Buddha?"
"Tak perlu banyak cerewet!" sahut si nenek.
"Baiklah, kulanggar kebiasaanku sekali ini, lekaslah enyah, anak
muda!"
"Dia justeru harus tetap di sini, sebagai wasit dan menjadi saksi."
"Berita aneh, berita aneh! Ha ha! Nenek tua renta seperti kau ini
juga memerlukan wasit dan saksi segala ......”
"Hm, sebagai seorang anggota Wi-to-hwe, meski untuk
menyelesaikan urusan pribadi juga tidak ditertawa orang."
"Apa dia setimpal jadi saksi?"
"Kenapa tidak setimpal?"
"Nenek cerewet, kau paksa aku melanggar kebiasaan, baiklah,
biar dia di sini supaya bisa mengurus mayatmu nanti, daripada Lohu
sendiri yang bekerja, tapi ada syaratnya."
"Syarat apa?"
"Dia harus mampu melawan sekali pukulan Lohu."
"Pek-siu-thay-swe, jangan takabur, memangnya kau bermaksud
membunuhnya bukan?"
Ji Bun menjadi gregeten, sebetulnya ia tidak mau jadi wasit atau
saksi segala, siapa hidup atau mati toh tiada sangkut pautnya
dengan dirinya, namun ia ingin mendapat kesempatan menyaksikan
kepandaian silat dan Lwekang kedua orang aneh ini, bahwa Jay-ih-
lo-sat adalah salah satu anggota Wi-to-hwe, iapun merupakan salah
satu musuhnya yang tangguh pula, di dalam melaksanakan
rencananya menuntut balas, betapapun ia perlu menyelami sampai
di mana tingkat kepandaiannya, di samping itu ia merasa penasaran
karena di ejek, dicemooh oleh Pek-siu-thay-swe, bukankah nama
gelaran Te-gak Suseng cukup cemerlang bagi telinga kebanyakan
orang. Maka dengan dingin ia segera menyeletuk: "Kalau begitu,
Cayhe jadi kepingin menjadi saksi."
Dengan temberang Pek-siu-thay-swe berkata: "Anak muda, apa
kau sudah tahu bahwa menjadi saksi itu tidak gampang?”
Jay-ih-lo-sat segera menanggapi: "Kenapa kau harus menjajal dia
dengan pukulanmu?"
"Ingin kulihat apa dia setimpal menjadi saksi atau tidak?"
"Tiada persoalan setimpal atau tidak! Nenek bawel, kau sendiri
yang main-main mengajukan saksi segala?”
"Kau suruh dia menghadapi pukulanmu, terang kau bermaksud
tidak baik."
Ji Bun mengelutuk tawar: "Tidak jadi soal, aku siap menghadapi
pukulannya."
Melotot mata Jay-ih-lo-sat, katanya: "Buyung, kau adalah tamu
agung Hwecu kami, bagaimana aku harus memberi keterangan
kepada Hwecu nanti?"
Ji Bun tertawa geli dalam hati, tamu agung segala, bukan
mustahil di balik semua ini ada latar belakangnya, betulkah begini
besar perhatiannya? Dua jiwanya hampir tamat oleh serangan gelap
Komandan ronda perkumpulan itu, semua peristiwa yang saling
bertentangan ini, sungguh sukar diraba, maka ia berkata dengan
kukuh: "Biarlah, Cayhe betul-betul ingin menjajal pukulan Cianpwe
ini."
"Kutarik pernyataanku tadi, tidak perlu pakai saksi segala,
Buyung, kau pergilah."
Pek-siu-thay-swe mendengus: "Kau ini plintat-pelintut, Lohu tidak
akan menjilat lidah sendiri, kalau dia mau pergi juga harus menerima
pukulanku dulu."
"Memangnya membunuh orang sebagai hobimu?"
"Nenek bawel, kenapa hatimu menjadi begini baik? Ha ha ha ha
...........”
Ji Bun tahu bahwa Jay-ih-lo-sat kuatir dirinya tidak kuat
menghadapi pukulan Pek-siu-thay-swe, karena tujuan Pek-siu-thay-
swe memang hendak memukul mampus dirinya untuk
mempertahankan kebiasaannya. Tapi kenapa Jay-ih-lo-sat begitu
getol membela dirinya, hal ini merupakan tanda-tanda tanya pula,
segera ia maju dua langkah dengan membusung dada, serunya:
"Silakan memberi petunjuk."
7.21. Racun Bu-ing-cui-sim-jiu
Apa boleh buat Jay-ih-lo-sat mundur ke samping, katanya:
"Kesatria boleh dibunuh pantang dihina, secara sukarela Cayhe
menerima gemblengan ini."
Pek-siu-thay-swe pindah sekopnya ketangan kiri, lalu berkata
dengan suara berat: "Sambut pukulan ini!"
Kedua lutut rada ditekuk dan setengah jongkok, telapak tangan
kanan tiba-tiba mendorong ke depan, segulung angin kencang
seketika menerjang ke arah Ji Bun.
Sedikitpun Ji Bun tak berani lena, ia kerahkan sepenuh
kekuatannya, begitu menarik napas, mulut berteriak ia songsong
pukulan lawan.
“Daaar!" dahsyat luar biasa pasir berterbangan dan batu
berloncatan, dan pohon sama berhamburan, beberapa tombak
sekeliling gelanggang pepohonan sama tergetar, sungguh hebat dan
mengejutkan bentrokan kedua kekuatan yang luar biasa ini.
Kontan Ji Bun merasakan pandangan berkunang-kunang, darah
mengalir balik ke atas hampir menyembur dari mulutnya, namun ia
tetap tak bergeming di tempatnya berdiri sekokoh gunung.
Sebaliknya Pek-siu-thay-swe tergeser empat kaki dari kedudukan
semula, kulit daging mukanya berkerut, matanya memancarkan
sinar-sinar tajam yang mengerikan, keringat bertetes-tetes, lama
sekali baru dia kuasa berbicara: "Habis ludes! Lohu memang cari
penyakit dan memungut malu sendiri, sejak kini gelar Pek-siu-thay-
swe kuhapus dari permukaan bumi.”
Sekali berkelebat, badannya melejit tinggi dan lenyap di dalam
hutan.
Jay-ih-lo-sat sebaliknya berdiri melongo untuk sekian lamanya
tanpa bersuara, hasil adu kekuatan ini sungguh di luar dugaannya,
mimpipun tak pernah dia duga bahwa penilaiannya terhadap Ji Bun
meleset begitu jauh.
Ji Bun sendiri juga amat haru, diam-diam ia meyakinkan diri
sendiri dari hasil ujian barusan, ia percaya bahwa kemampuannya
sudah cukup berkelebihan untuk bekal menuntut balas kepada
musuh-musuhnya.
Dengan melongo Jay-ih lo-sat berkata: "Sahabat muda,
Lwekangmu jauh di atas dugaanku."
"Ah, terlalu memuji," mulut Ji Bun menjawab, namun dalam hati
ia membatin: "Memang masih banyak persoalan yang berada di luar
dugaanmu."
Setelah tertegun lagi sejenak Jay-ih-lo-sat berkata: "Sahabat
muda hendak kemana, atau kebetulan lewat di sini?"
Tergerak hati Ji Bun, sahutnya: "Cayhe ada urusan, sengaja
hendak mengunjungi Hwecu kalian."
"O, kalau begitu marilah kuantar," langsung mereka terus berlari
menuju ke markas Wi-to-hwe. Dalam hati Ji Bun rada kecewa karena
tak sempat menguntit gadis baju merah Pui Ci-hwi sesuai
rencananya tadi kesempatan itu mungkin sukar diperoleh lagi, kalau
tidak menggunakan akal, apa lagi hendak membongkar semua teka-
teki yang selama ini mengganjel hatinya, namun urusan sudah
kadung berlarut, biarlah cari kesempatan lain saja.
Sepanjang jalan, diam-diam Ji Bun memperhatikan sekelilingnya,
didapatinya bahwa situasi sekarang sudah jauh berbeda dengan
pertama kali dia datang tempo hari, mulut lembah untuk memasuki
markas besar kini sudah didirikan pos penjagaan, sepanjang jalan
banyak tersebar pula petugas ronda, di sekitar markas besar tidak
sedikit pula didirikan rumah-rumah gedung dengan denah yang
cukup luas.
Agaknya Jay-ih-lo-sat mempunyai kedudukan tinggi di dalam
perkumpulan, tanpa memberi laporan lebih dulu, dia langsung
membawa Ji Bun masuk ke ruang pendopo. Setelah Ji Bun
dipersilakan duduk, Jay-ih-lo-sat lantas mengundurkan diri.
Pikiran Ji Bun cepat bekerja, sebentar lagi ia harus mengorek
keterangannya. Belum berhasil pikirannya menemukan putusan,
tahu-tahu Wi-to-hwecu sudah muncul dari pintu sana.
Lekas Ji Bun berdiri menyambut, katanya sambil membungkuk
hormat: "Cayhe menghadap Hwecu."
Wi-to-hwecu tertawa lantang, katanya riang: "Sahabat muda tak
perlu banyak adat, silakan duduk."
"Terima kasih," sahut Ji Bun. Setelah masing-masing duduk,
seorang pelayan kecil muncul menyuguhkan teh.
Wi-to-hwecu berkata pula: "Syukurlah sahabat muda suka
berkunjung kemari lagi, aku senang sekali."
Tutur katanya ramah dan rendah hati lagi, ini menandakan
bahwa dia sangat menghargai kedatangan Ji Bun, namun bagi
penerimaan Ji Bun justeru kebalikannya, semakin dipikir ia merasa
tingkah orang teramat ganjil, entah muslihat keji apa pula yang
tersembunyi di balik keramah-tamahan ini, maka ia berdiri dan
berkata: ''Kunjunganku yang tiba-tiba ini harap Hwecu tidak berkecil
hati." Ia sudah berkeputusan untuk bicara blak-blakan, maka
melanjutkan: "Hwecu, Cayhe mempunyai suatu permintaan yang
mungkin kurang patut diajukan."
"Ada persoalan apa, silakan saudara katakan saja," sambut Wi-to-
hwecu tersenyum.
"Cayhe ingin bertemu dengan komandan ronda perkumpulan
kalian untuk bicara beberapa patah kata."
“Khu In maksudmu? Saudara kenal dia?"
"Pernah bertemu sekali."
"Itu gampang," kata Wi-to-hwecu lalu ia memukul genta kecil di
samping tempat duduknya. Seorang laki-laki berpakaian hitam
segera muncul di ambang pintu, serunya: "Ong Cap-yang berdinas
siap menerima perintah."
"Panggil komandan Khu untuk menghadap!"
Laki-laki itu mengiakan sambil membungkuk terus mengundurkan
diri. Tidak lama seorang laki-laki berperawakan sedang bermuka
hitam memasuki ruang pendopo. Serunya: "Hamba Khu In
menghadap hwecu!"
"Kemarilah."
Laki-laki muka itu mengiakan dan maju berdiri di depan sang
Hwecu dengan tangan lurus kebawah.
Seketika Ji Bun dirangsang nafsu membunuh namun sekuatnya ia
tekan gejolak hatinya sehingga lahirnya tetap kelihatan tenang dan
wajar.
"Hwecu memanggil entah ada tugas apa?" tanya orang itu.
"Siauhiap ini ingin bertemu dengan kau.”
"O," Khu In bersuara dalam mulut dengan nada heran,
pandangannya pun penuh tanda tanya menatap Ji Bun, Kebetulan
sorot mata Ji Bun juga menatapnya, terasakan sinar mata orang ini
rada berbeda, namun bentuk dan perawakan tubuh serta
dandanannya mirip sekali.
"Siauhiap ingin bertemu dengan aku?" tanya Khu In "Entah ada
persoalan apa?"
Pelan-pelan Ji Bun berdiri meninggalkan tempat duduknya,
katanya dengan suara berat dan prihatin
"Sengaja aku kemari untuk menyatakan terima kasih akan hadiah
yang kau berikan semalam."
"Apa?" Khu In melengak kaget, mukanya yang hitam menjadi
semakin gelap dan mengunjuk rasa bimbang.
Ji Bun menarik muka, katanya dingin: "Perbuatanmu sungguh
amat mengagumkan, sayang caranya kurang bisa dihargai."
Kedua biji mata Wi-to-hwecu memancarkan sinar yang
berwibawa, katanya sekata demi sekata: "Komandan Khu, sebetul
apa yang telah terjadi?"
Dengan heran dan bingung Khu In mundur selangkah, katanya:
"Hamba tidak tahu apa yang dikatakan Siauhiap ini."
Ji Bun menyeringai tawar, katanya: "Hm, seorang laki-laki berani
berbuat harus berani bertanggung jawab, kalau sudah berkepala
harimau kenapa jadi berekor ular, aku yakin selamanya tak pernah
bermusuhan denganmu, perbuatanmu kemarin tentu ada maksud
tujuannya, maka sengaja aku kemari mohon penjelasan."
Wi-to-hwecu membentak bengis: "Komandan Khu, jangan kau
lupa akan kedudukanmu dan peraturan perkumpulan, tiada
persoalan yang harus dirahasiakan, sebetulnya apa yang pernah kau
lakukan?"
Bertaut alis Khu In, katanya bingung: "Hamba betul-betul tidak
tahu apa-apa."
"Masakah begitu?" sang Hwecu menegas.
"Kalau ada yang kurahasiakan, hamba rela dihukum sesuai
peraturan perkumpulan."
"Saudara muda, persoalan ini tidak sulit untuk diselidiki dan
dibikin terang, silakan duduk, mari bicara secara blak-blakan saja."
Ji Bun mendongkol, namun ia duduk kembali ke tempatnya, rasa
benci dalam dadanya hampir saia meledak, kalau ia tidak kuatir akan
situasi sekelilingnya, mungkin sejak tadi sudah melabrak muka hitam
ini.
Kata Wi-to-hwecu lebih lanjut: "Saudara muda, sukalah kau
ceritakan terus terang apa yang pernah kaualami, mungkin aku bisa
bertindak menurut keadaan?"
"Belum lama berselang," demikian tutur Ji Bun, "Cayhe disergap
seorang misterius berpakaian jubah sutera mengenakan kedok,
hampir saja jiwaku melayang ....”
Bergetar tubuh Wi-to-hwecu, serunya: "Orang berkedok berjubah
sutera?"
Dengan nanar Ji Bun pandang muka orang, seolah-olah dia ingin
meraba isi hati atau jalan pikiran Hwecu yang misterius ini, dari sorot
matanya ia hendak meraba rasa kaget yang merangsang
sanubarinya setelah mendengar keterangannya, agaknya persoalan
takkan meleset terlalu jauh dari yang diduganya semula, maka dia
menambahkan: "Betul, seorang berkedok yang mengenakan jubah
sutera warna hijau. Apa Hwecu kenal dia?"
"Silakan saudara lanjutkan ceritamu."
"Setelah itu, di dalam hotel, kembali aku diserangnya secara
menggelap, jiwaku hampir direnggut elmaut, penyerang gelap ini
tetap orang berkedok berpakaian jubah sutera itu."
Serta merta matanya melirik kearah Khu In.
"Hah ..... dan selanjutnya?"
"Kemarin malam, di sebuah kelenteng kira-kira seratus li dari sini,
aku mengalami serangan ketiga yang hampir menamatkan jiwaku
pula."
"Penyerangnya tetap orang berkedok berjubah sutera itu?"
"Kali ini bukan, tapi komandan ronda itu she Khu inilah.”
Khu In mundur dua langkah dengan mata terbeliak dan mulut
terbuka lebar, suaranya tidak terdengar, mukanya yang hitam
menjadi merah padam.
Sejenak Wi-to-hwecu menepekur, lalu katanya: "Hal ini tidak
mungkin."
Ji Bun tertawa dingin, katanya: "Tentu Hwecu punya alasan
dalam hal ini.”
"Ya. ada dua alibi untuk menyangkal tuduhanmu. Pertama,
kemarin malam komandan Khu menghadiri sebuah rapat yang
kupimpin sendiri, setapakpun dia tidak meninggalkan sidang, sudah
tentu tak mungkin dia pergi ke kelenteng sejauh seratus li untuk
membunuh Siauhiap. Kedua, menurut laporan Jay-ih-lo-sat yang
membawa Siauhiap kemari, katanya Siauhiap kuat beradu pukulan
dan mengalahkan Pek-siau-thay-swe, ini membuktikan bahwa
kepandaian silat Siauhiap jauh lebih tinggi dari komandan Khu,
terang komandan Khu takkan mampu menyerang saudara bukan?"
Kedua alasan ini kedengarannya masuk akal, namun Ji Bun
sendiri sudah mempunyai pendapat dan bukti-bukti yang nyata,
maka iapun tak mau mundur, katanya dingin: "Apa Hwecu sudi
mendengar bukti-bukti yang akan kuajukan?"
"Ya, sudah tentu, silakan terangkan."
"Pertama, sebelum turun tangan orang itu memperkenalkan diri
sebagai Komandan ronda perkumpulanmu, apalagi perawakan dan
bentuk rupanya sama. Kedua, ada saksi dan korban lain pada waktu
itu."
"Siapa?"
"Para korban itu adalah murid: Ngo-liu-kiong, yang menjadi saksi
adalah Thian-thay-mo-ki dan Thong-sian Hwesio."
"Siapa itu Thong-sian Hwesio?"
"Aku sendiri belum tahu."
Wi-to-hwecu mengawasi Khu In, namun Khu In menggeleng
dengan kebingungan, setelah menepekur pula sejenak akhirnya Wi-
to-hwecu berkata kepada Ji Bun: "Saudara muda, mungkin ada
orang yang menyamar komandan Khu?"
Pihak sana menyangkal tuduhannya dengan berbagai alasan, Ji
Bun menjadi tidak sabar lagi, mendadak ia berdiri, katanya penuh
emosi: "Cayhe masih punya bukti-bukti lain."
"Saudara masih ada bukti?" Wi-to-hwecu menegas.
"Ya, buktinya ada di tubuh komandan Khu ini.”
"Di badanku?" teriak Khu In melongo sambil menuding hidung
sendiri.
Wi-to-hwecu juga berdiri, katanya serius: “Bukti apa, coba
tunjukkan,"
"Harap komandan Khu tanggalkan ikat kepalanya."
Seketika Khu In unjuk rasa gusar, namun dihadapan sang Hwecu
ia tidak berani marah. Wi-to-hwecu memberi isyarat pelahan.
Apa boleh buat, Khu In melepas ikat kepalanya.
Ji Bun terbelalak dan tertegun di tempatnya, ternyata di atas jidat
dan pinggir kuping komandan Khu tiada kelihatan codet bekas luka-
luka, masih segar dalam ingatannya, laki-laki muka hitam yang
memperkenalkan diri sebagai komandan ronda Wi-to-hwe ini pernah
panik waktu Thian-thay-mo-ki membongkar kedoknya sebagai orang
berkedok yang menyaru ayahnya dan ingin membunuhnya itu, di
atas kuping sampai jidatnya ada codet luka memanjang yang
kelihatan jelas, namun codet itu sekarang sudah lenyap. Sungguh
kejadian aneh luar biasa.
"Saudara muda, silakan tunjukkan di mana?" tanya Wi-to-hwecu.
Ji Bun tidak menjawab, codet itu bisa saja ditutupi dengan
keahlian seseorang yang pandai merias, tapi satu hal tak mungkin
dipalsukan, yaitu laki-laki muka hitam itu pernah kena serangan
tangannya yang beracun tanpa kurang suatu apa, dan kini tibalah
saatnya dia membongkar segala persoalan. Kalau langkah terakhir
ini berhasil, walau menyadari dirinya berada di dalam sarang
harimau, terpaksa dia harus berjuang mati-matian mempertahankan
hidup. Secepat kilat mendadak ia menerjang ke arah Khu In serta
melancarkan serangannya yang jahat beracun.
Wi-to-hwecu tidak menduga Ji Bun bakal turun tangan, ia
berteriak kaget, "He, kau?"
Ditengah teriakan kaget inilah, "blang," Khu In jatuh terkapar,
kaki tangan berkelejetan sebentar terus lemas lunglai tak bergerak
lagi.
"Saudara berani membunuh orangku di sini?” bentak Wi-to-
hwecu.
Kalut pikiran Ji Bun, semua harapannya gagal total, kenyataan
komandan khu ini tidak kuat menahan serangannya, apakah dirinya
harus berterus terang untuk menuntut balas? Ataukah menolong
jiwanya untuk mengatur rencana lebih lanjut? Cepat sekali ia ambil
berkeputusan, obat penawar dikeluarkan terus dijejalkan kemulut
komandan Khu, lalu menutuk beberapa Hiat-to lagi, baru kemudian
berkata dengan mengertak gigi: "Dia tidak bakal mati, Cayhe hanya
menjajalnya untuk yang terakhir."
Setajam pisau sorot mata Wi-to-hwecu menatap muka Ji Bun,
sekian lama dia diam saja. Ji Bun menduga orang mungkin bisa
turun tangan namun orang tetap berpeluk tangan saja, hal ini
membuatnya bingung malah.
Kini sudah terbukti bahwa Khu In bukan orang yang beberapa
kali membokong dirinya, apakah asal usul sendiri sudah diketahui
pihak lawan, masih merupakan teka teki pula. Memang siapakah
orangnya yang menyaru Khu In? Apa tujuannya hendak membunuh
dirinya?
"Saudara muda, tiada persoalan lagi bukan?" tanya Wi-te-hwecu
penuh kesabaran.
Ji Bun menarik napas panjang, sahutnya: "Cayhe amat menyesal
dan mohon maaf."
"Syukurlah kalau urusan bisa selekasnya dibikin terang, kejadian
ini tak perlu dipersoalkan."
"Terima kasih akan keluhuran Hwecu."
"Tadi saudara ada menyinggung orang berkedok? Apa sangkut
pautnya dengan komandan Khu?"
"Pembunuh kemarin malam yang memperkenalkan diri sebagai
komandan ronda itu, di pinggir jidatnya ada bekas luka yang mirip
benar dengan codet di jidat orang berkedok itu, oleh karena itu
Cayhe terpaksa harus menjajalnya."
"O, kiranya begitu, baiklah, kutanggung didalam waktu singkat
teka teki ini pasti dapat dibongkar."
Tergerak pikiran Ji Bun, katanya: "Apakah Hwecu sudah tahu
siapa orang berkedok itu?"
"Sedikit banyak sudah dapat kuraba juntrungannya."
Berdegup jantung Ji Bun, salah satu dari orang berkedok itu
adalah ayah kandungnya, seorang yang lain adalah samaran, lalu
siapa yang dimaksud dengan ucapan Wi-to-hwecu dari kedua orang
itu? Kalau dirinya bertanya lebih lanjut, mungkin menimbulkan curiga
orang.
Sementara itu Khu In sudah mulai siuman sambil merintih lemas,
tak lama kemudian pelan-pelan dia merangkak bangun.
"Komandan Khu," kata Wi-to-hwecu sambil mengulap tangan,
tiada persoalan, kau boleh silakan istirahat."
Khu In melirik ke arah Ji Bun, setelah memberi hormat. ia
mengundurkan diri.
Setelah berhadapan langsung dengan musuh besarnya, sungguh
berat rasa hati Ji Bun untuk tinggal pergi begitu saja, betapapun dia
harus mencari keterangan sebagai ancang-ancang untuk rencananya
yang akan datang, namun bagaiman ia harus berkata? Setelah
dipikir bolak balik, akhirnya ia mendapat akal, tanyanya: "Hwecu,
bolehkah Cayhe mengajukan sebuah pertanyaan lagi?"
"Boleh saja, ada persoalan apa, boleh saudara utarakan. Silakan
duduk."
Kembali mereka duduk menyanding meja, setelah menghirup
seteguk air teh, pelan-pelan Ji Bun berkata: "Cayhe seorang keroco
dalam Bulim, namun di sini Hwecu menyambutku sebagai tamu
terhormat, hal ini sungguh membingungkan diriku."
Wi-to-hwecu tergelak-gelak, katanya: "Saudara, mungkin inilah
yang jodoh, terus terang aku amat mengagumi watak dan kepolosan
hatimu."
"Gelaranku terlalu jelek didengar, orangpun anggap sepak
terjangku nyeleweng badanku cacad lagi .......”
"Saudara, badaniah jangan disejajarkan dengan hatiniah, soal
nama dan gelarankan hanya sebutan kosong belaka. Yang penting
perbuatan atau prilaku."
"Dalam hal ini, Cayhepun teramat rendah untuk dikatakan
berperilaku baik, sungguh tak berani aku terima pujian Hwecu yang
berkelebihan ini .....”
"Saudara terlalu rendah hati .....”
Percakapan ini berarti sia-sia, Wi-to-hwecu memang pandai
berdiplomasi, dirinya terang takkan unggul berdebat, mungkinkah ia
memang belum tahu asal usul dirinya?
Tapi persoalan lain seketika menggejolak sanubarinya pula,
dengan sikap wajar segera ia bertanya: "Apakah Hwecu kenal orang
yang bernama Siangkoan Hong?"
Bergetar badan Wi-to-hwecu, matanya menatap Ji Bun sekian
lamanya, katanya: "Kenal, bukankah dia pernah mendapat
pertolongan saudara, setiap waktu setiap saat dia tidak pernah
melupakan budi kebaikanmu itu."
Kembali diluar dugaan Ji Bun, terus terang pembicaraan secara
blak-blakan ini meyakinkan dirinya bahwa orang memang belum
tahu akan asal usul dirinya. Maka ia bertanya lebih lanjut: "Harap
tanya, di manakah dia sekarang?"
"Karena ada kesulitan maka sementara dia harus mengasingkan
diri, untuk hal ini harap saudara suka maklum."
"O, tentunya dia juga seorang anggota Wi-to-hwe?"
"Betul, dia seorang anggota kehormatan."
"Kabarnya isterinya direbut dan puteranya dibunuh oleh Jit-sing-
pocu Ji Ing-hong, apa benar?"
Terpancar sinar kebencian yang menyala dari mata Wi-to-hwecu,
namun cepat sekali sudah lenyap pula, katanya sambil manggut-
manggut: "Betul, memang ada kejadian itu."
"Belakangan ini kudengar berita yang tersiar di kalangan Kang-
ouw, kabarnya Jit-sing-po sudah hancur berantakan?"
"Saudara kira itu perbuatan Siangkoan Hong?"
"Setelah tahu ikatan permusuhan kedua pihak, mau tak mau
Cayhe harus berpikir demikian."
"Apa maksud dan tujuan saudara menanyakan hal ini?"
"Hanya tanya sambil lalu saja."
Berpikir sebentar, Wi-to-hwecu berkata: "Bicara sejauh ini, biarlah
kuberitahu kepada saudara, bahwa saudara dipandang tamu
terhormat oleh perkumpulan kami, juga karena ada hubungannya
dengan Siangkoan Hong."
"O," baru sekarang Ji Bun paham, soal tamu terhormat sudah
terjawab sekarang, cuma kedudukan Siangkoan Hong terang cukup
tinggi di dalam Wi-to-hwecu, bila perlu biarlah kelak memaksanya
keluar untuk membuat perhitungan.
Kembali Wi-to-hwecu berkata: "Selain itu boleh kujelaskan juga,
bahwa sasaran Siangkoan Hong hanya Ji Ing-hong saja, tiada
sangkut paut orang lain ....!”
Ji Bun melengak, tanyanya tak sabar: "Jadi maksud Hwecu, yang
menghancur leburkan Jit-sing-po bukan Siangkoan Hong?"
"Ya, memang bukan."
"Kepandaian Jit-sing pocu dan Jit-sing-pat-ciang anak buahnya itu
semua tinggi, memangnya siapa yang mampu membunuh mereka?"
"Sampai detik ini, peristiwa itu masih teka-teki, tapi Ji Ing-hong
memang harus menerima ganjarannya setimpal dengan perbuatan-
perbuatan jahatnya, tidak sedikit dia menanam permusuhan."
Ji Bun mengumpat dalam hati.
Tiba-tiba sebuah suara serak tua yang kuat terdengar berkata
dari ambang pintu: "Bu-ing-cui-sim-jiu."
Kaget dan berubah air muka Ji Bun, mendadak ia melonjak
berdiri. Dilihatnya seorang laki-laki tua kurus kering muncul di depan
pintu, dia bukan lain adalah Cui Bu-tok yang pegang kekuasaan
hukum di Wi-to-hwe, pernah semeja dalam perjamuan tempo hari
dengan Ji Bun.
Tiada racun yang tidak dikenal, dan tiada racun yang tak bisa
ditawarkan oleh Cui Bu-tok, ia merupakan tokoh dan ahli dibidang
permainan racun masa kini, namun selama hidup ia tidak pernah
mencelakai orang dengan racunnya.
Wi-to-hwecu mengerut alis, tanyanya: "Cui-ciangling, ada
keperluan?"
Latihan batin Ji Bun masih belum matang, terlalu gampang
dirangsang emosi, lekas dia tenangkan diri dan duduk kembali di
tempatnya.
Cui Bu-tok memberi hormat, katanya: "Lapor Hwecu, bolehkah
hamba duduk berbicara dengan Ji-siauhiap ini?"
"Boleh saja, silakan masuk."
Dengan langkah lebar Cui Bu-tok memasuki ruang pendopo,
setelah dekat ia angkat tangan memberi hormat kepada Ji Bun,
katanya: "Siauhiap, selamat bertemu."
"Sama-sama," sahut Ji Bun memanggut, "Tuan ada petunjuk
apa?"
"Cui-ciangling, apa tadi yang kau serukan?" tanya Wi-to-hwecu
dengan tatapan tajam.
"Hamba tadi bilang Ji-siauhiap ini telah berhasil meyakinkan Bu-
ing-cui-sim-jiu yang hanya pernah kudengar dalam dongeng."
"O, Bu-ing-cui-sim-jiu?" sorot mata Wi-to-hwecu yang memancar
tajam ke arah Ji Bun.
Hati Ji Bun amat kaget, kecuali orang aneh dibawah jurang Pek-
ciok-hong dan orang yang menyaru Khu In, kini tambah seorang lagi
yang mengetahui rahasia dirinya. Urusan sudah sejauh ini, berdebat
tiada artinya, maka dia manggut-manggut sambil mengiakan.
Kata Cui Bu-tok sambil mengawasi Ji Bun: "Ada beberapa patah
kata ingin kusampaikan, harap Siauhiap tidak berkecil hati."
"Ada omongan apa, silakan berkata."
"Murid-murid kita yang menjadi korban di Jing-goan-si tempo
hari, semua juga terkena racun Bu-ing-cui-sim-jiu."
Tersirap darah Ji Bun, katanya: "Jadi kau menyangka ......”
"Tidak, tidak," sahut Cui Bu-tok goyang tangan, "Siauhiap jangan
salah paham, semua korban di Jing-goan-si itu terbunuh oleh racun
yang dicampur dalam makanan, malah bukan semuanya, terbunuh
oleh Bu-ing-cui-sim-jiu, namun .......”
"Namun bagaimana?"
"Racun yang khusus hanya merangsang jantung ini, adalah
ramuan dari resep yang telah lama lenyap, sulit untuk meracik racun
hebat ini ternyata Siauhiap malah sudah meyakinkan Bu-ing-cui-sim-
jiu, sungguh merupakan keajaiban."
"Kabarnya tiada racun yang tidak bisa kau tawarkan?"
"Kecuali racun yang satu ini," sahut Cui Bu-tok. "Bolehkah
Siauhiap perkenalkan nama perguruanmu?"
Sejenak Ji Bun terdiam, lalu menjawab: "Untuk ini maaf tidak bisa
kuterangkan."
Mendadak seorang laki-laki setengah umur berpakaian jubah biru
tergopoh-gopoh datang dan berdiri di luar pintu, suaranya
kedengaran gugup gemetar,
"Congkoan Ko Ling-jin ada urusan penting memberi laporan
kepada Hwecu."
Wi-to-hwecu memandang ke arah Ko Ling-jin, katanya: "Ada
urusan penting apa?"
"Ada serombongan orang menyerbu ke atas gunung?”
"Apa, ada orang menyerbu kemari?"
"Betul."
Mendadak Wi-to-hwecu berdiri, Cui Bu-tok ikut berdiri.
"Orang-orang macam apa mereka?"
"Ngo-lui-kiong-cu, Tin-kiu-thian In Ci-san memimpin 50-an anak
buahnya datang menuntut balas .......”
"Menuntut balas? Selamanya perkumpulan kita tidak bermusuhan
dengan Ngo-lui-kiong, permusuhan apa yang mereka tuntut?"
"Mereka datang dengan garang, pos terdepan sudah bobol,
murid-murid kita sudah ada puluhan yang gugur ........”
Dingin sorot mata Wi-to-hwecu, serunya bengis: "Apakah Tio-
tongcu tidak kuat menghadapi mereka?"
"Tio-tongcu sudah gugur pada saat pos terdepan dibobol musuh."
"Apa, Tio-tongcu telah gugur?"
"Ya, semua murid-murid yang bertugas di sana seluruhnya
gugur."
"Begitu gawat?"
"Kedua Ho-hoat agung (pelindung) juga sudah datang
membantu, namun tetap tak dapat membendung serbuan musuh."
"Berapa sih kemampuan Tin-kiu-thian In Ci-san?"
"Ada dua orang yang memiliki kepandaian luar biasa diantara
anak buahnya ......”
"Hm. Cui-ciangling," seru Wi-to hwecu.
Cui Bu-tok melangkah maju seraya memberi hormat, sahutnya:
"Hamba siap menerima tugas."
"Perintahkan untuk siap tempur, kumpulkan untuk kelompok
bendera merah putih dengan seluruh hulubalangnya untuk maju ke
depan laga bersamaku, yang lain tetap bertugas di pos masing-
masing."
Cui-ciangling mengiakan dan segera mengundurkan diri, sebelum
pergi dia melirik sekilas ke arah Ji Bun.
"Ko-congkoan," seru sang Hwecu pula.
8.22. Dalang Penyerangan Wi-to-hwe
"Hamba siap di sini!" jawab Ko Ling-jin.
"Penjagaan dan mempertahankan markas besar kuserahkan
kepadamu untuk memimpinnya."
"Hamba terima perintah," setelah memberi hormat Ko Ling-jin
segera mengundurkan diri pula.
Pikiran Ji Bun bekerja cepat, ia menduga kedua Hou-hoat yang
dimaksud mungkin adalah Bu-cing-so dan Siang-thian-ong, kedua
bangkotan tua itu, kalau betul, kekuatan Ngo-lui-kiong sungguh
amat mengejutkan, kesempatan ini cukup baik bagi dirinya untuk
menuntut balas kepada musuh-musuh besar ini?
Dalam hati dia sudah tahu kenapa pihak Ngo-lui-kiong meluruk
kemari menuntut balas, tentu karena anak buahnya yang dipimpin
Ngo-lui-kiongcu In Giok-yan terbasmi oleh laki-laki muka hitam yang
menyamar sebagai Komandan ronda Wi-to-hwe di kelenteng itu.
Dalam pada itu, sikap Wi-to-hwecu tetap tenang saja, katanya:
"Saudara muda, sukalah duduk lagi sebentar, biar aku keluar
sejenak untuk membereskan persoalan ini."
Lekas Ji Bun berdiri, sahutnya: "Cayhe ingin ikut Hwecu untuk
menghadapi musuh yang menyerbu itu."
"Kalau demikian, marilah kita keluar bersama!" Sekeluar ruang
pendopo, mereka sudah ditunggu dua orang tua dan enam laki-laki
berpakaian ketat yang siap dengan senjata lengkap berjajar di luar
pintu, mungkin mereka inilah pimpinan kelompok bendera merah
putih beserta para hulubalangnya. Di sana bayangan orang banyak
juga bergerak, agaknya mereka mulai siap siaga suasana menjadi
tegang.
Sambil mengulap tangan Wi-to-hwecu segera pimpin anak
buahnya berlari keluar, Ji Bun mengiringinya, dibelakangnya kedua
Hiangcu dari kelompok bendera merah putih. Setelah melewati
lapangan luas dan mengitari lembah, sayup-sayup sudah terdengar
suara pertempuran yang riuh rendah.
Lekas sekali mereka sudah berada di mulut gunung yang
bertanah lapang, tertampak di tengah tanah lapang dua orang tua
ubanan bertubuh tinggi dan cebo! sedang bertempur sengit
melawan dua orang berbaju putih, begitu hebat jalannya
pertempuran ini sampai orang-orang yang menonton mundur cukup
jauh dari arena, puluhan orang berdiri sejajar disebelah sana, di
depan barisan orang-orang berbaju putih ini berdiri seorang laki-laki
tinggi berbaju putih, tentunya dia inilah Ketua Ngo-liu-kiong, Tin-kui-
thian In Ci-san. Beberapa mayat sudah menggeletak di sana sini,
yang terluka parah merintih-rintih mengenaskan.
Wi-to-hwecu bersama Ji Bun dan lain-lain langsung memasuki
gelanggang.
Dalam Bu-lim masa ini, tokoh-tokoh kosen yang kira-kira
setanding dengan Bu-cing-so dan Siang-thian-ong dapat dihitung
dengan jari, namun kedua orang berbaju putih anak buah Ngo-lui-
kong ini termasuk jago yang berkepandaian paling tinggi, mereka
kuat bertahan menghadapi kedua bangkotan tua ini, maka betapa
tinggi kepandaian Ngo-liu-kiong-cu In Ci-san, sungguh sukar
dibayangkan.
Bu-cing-so memiliki ilmu Thian-cin-ci-sut, kenapa ilmu sakti ini
tidak dia gunakan? Demikian pula ilmu pukulan Siang-thian-ong juga
merupakan kepandaian yang tiada taranya, namun dia juga tak
dapat mengalahkan lawannya.
"Berhenti!" begitu tiba Wi-to-hwecu segera berseru dengan suara
menggeledek, empat orang sedang bertempur segera melompat
mundur, tertampak oleh Ji Bun, kedua anak buah Ngo-lui-kiong itu
kira-kira berusia empat puluhan, muka tidak merah, napas tidak
memburu, sebaliknya Bu-cing-so dan Siang-thian-ong sama
mengunjuk rasa lelah, setelah mundur mereka diam saja sambil
menunduk lesu.
Wi-to-hwecu berkata dengan nada berat: "Harap kalian mundur
dan istirahat, biar kubereskan mereka."
Tegak alis Bu-cing-so, katanya uring-uringan: "Mereka bisa main
racun, syukur Lohu berdua mampu bertahan, kalau tidak akibatnya
sukar dibayangkan."
Tergerak hati Ji Bun. Wi-to-hwecu manggut-manggut, katanya
lantang: "Silakan In-ciangbun maju bicara."
Laki-laki tinggi besar berjubah putih beranjak ke depan
menghadapi Wi-to-hwecu.
Wi-to-hwecu segera angkat tangan serta menyapa: "In-ciangbun
meluruk datang dengan anak buah sebanyak ini, tentunya ada
alasan yang bisa diberikan kepada kami?"
In Ci-san terkekeh dingin, katanya: "Perkumpulanmu
mengagulkan diri sebagai Wi-to (menegakkan keadilan), namun
sepak terjangnya amat kotor dan memalukan, ketahuilah kami
datang untuk menuntut balas."
"Menuntut balas apa, In-ciangbun mempunyai bukti-bukti yang
nyata?"
"Sudah tentu, delapan puluh tujuh murid kami beruntun terbunuh
oleh Wi-to-hwe kalian ........."
"Aku sendiri tidak tahu, bukankah kejadian ini amat aneh?"
"He he, utang darah bayar darah, banyak mulut takkan berguna."
"Kenapa tidak kau jelaskan duduk perkara yang sebenarnya?"
"Tanyakan kepada dirimu sendiri, aku tak sudi banyak omong
lagi."
"Sebetulnya apa maksud tujuanmu?"
"Tiada lain menuntut balas bagi murid-murid kita yang gugur."
Wi-to-hwecu menggeram gusar, katanya: "In Ci-san, jangan
bertingkah dan main bunuh di daerahku, perbuatanmu ini terlalu
menghina, kalau tidak memberikan tanggung jawab, jangan harap
kau bisa turun dari Tong-pek-san."
Ngo-lui-kiongcu menyeringai, katanya: "Hwecu bermulut besar,
jangan kau menggertak orang, justru pihak kamilah yang akan
mencuci bersih To-pek-san dengan darah."
"Azas berdirinya perkumpulan kami demi menegakkan keadilan
dan kebenaran, segala persoalan harus diselidiki dulu supaya jelas
duduknya perkara.''
"He he, merdu sekali kata-kata Hwecu, coba jawab, kalian
meresmikan perkumpulan dan mendirikan markas dengan simbol
menegakkan keadilan segala, namun sepak terjangnya kotor dan
rendah. Kau sendiri menyembunyikan asal-usul dan tidak
mengumumkan nama sendiri kepada kaum persilatan, maka kami
ingin mendengar penjelasanmu."
Terbangkit semangat Ji Bun, pertanyaan ini sudah lama juga
menjadi teka-teki didalam benaknya.
Maka terdengar Wi-to-hwecu berkata dengan aseran: "Suatu
perkumpulan berdiri dan berkecimpung dalam Bu-lim, asal dia tidak
melanggar 'Bu-to' (aturan persilatan), tidak mengingkari azas
tujuannya, tidak perlu malu hidup berjajar dengan sesamanya. Soal
asal-usul dan namaku kan termasuk urusan pribadi seseorang,
diumumkan atau tidak kan tidak melanggar peraturan."
"Itu pembela diri yang menyimpang dari kebenaran, seluruh
kaum persilatan dari golongan lurus pasti tidak menerimanya."
"Orang she In, tidak usah kau mencari alasan dan mengoceh,
marilah kita bicarakan urusan yang sebenarnya."
Tiba-tiba sorot mata Tin-kui-thian In Ci-san menatap ke arah Ji
Bun, serunya: "Dia ini Te-gak Suseng bukan?"
"Betul!" sahut Wi-to-hwecu.
"Ternyata dia juga salah seorang algojo dari Wi-to-hwe, diapun
utang puluhan jiwa orang-orang kami."
Wi-to-hwe-cu berpaling ke arah Ji Bun. Tentu saja Ji Bun tahu
apa yang dimaksud oleh ucapan In Ci-san tadi, dalam situasi seperti
sekarang tak berguna dia membela diri dan menjelaskan duduk
persoalannya, namun bahwa dirinya dianggap sebagai anggota
perkumpulan yang menjadi musuh besarnya, hal ini harus segera
dijelaskan, maka ia menjengek, katanya: "Cayhe bukan anggota Wi-
to-hwe, In ciangbun harap tahu akan hal ini."
"Maksudmu, anak muda, kau hendak bertanggung jawab seorang
diri?"
"Ya, boleh silakan," jawab Ji Bun.
"Bagus sekali," kata Ngo-lui-kiongcu.
"Saudara muda," Wi-to-hwecu, segera menyela, "kau adalah
tamu kami, tidak boleh sembarangan turun tangan, menjadi
tanggung jawab kami untuk melindungi keselamatanmu."
Dalam hati Ji Bun mengumpat, namun mulutnya menjawab
tawar: "Terima kasih, tapi Cayhe tidak menolak segala tantangan."
Tatapan dingin tajam Wi-to-hwecu menyapu ke arah Ngo-lui-
kiongcu, katanya tandas: "Orang she In, katakan caranya untuk
menyelesaikan persoalan ini?”
Ngo-lui-kiongcu menyeringai seram, katanya: "Perlu apa pakai
cara segala, kedatangan kami bukan untuk mengadu kepandaian,
biarlah puluhan, jiwa orang-orang Ngo-lui-kiong gugur di Tong-pek-
san atau Wi-to-hwe kalian yang hancur lebur?"
Wi-to-hwecu mengertak gigi, serunya: "Tanpa pikirkan
akibatnya?"
"Itulah tujuan kedatangan kami!”
"Baik, sekali lagi kuperingatkan, belakangan, ini sudah kami
selidiki adanya manusia-manusia licik dan licin yang menyaru
menjadi anggota kami serta melakukan kejahatan di luar, jelas
tujuannya untuk merusak nama baik kami, untuk ini harap kau suka
berpikir sekali lagi."
"Hanya anak kecil yang mau percaya pada omonganmu ini."
Wi-to-hwecu dan seluruh Hiangcu dan Tongcu yang hadir sama
menggeram gusar, mata melotot gigi berkerutuk menahan marah.
Saat itu, penguasa hukum markas pusat Cui Bu-tok sudah memburu
tiba dengan membawa dua puluhan anak buahnya, segera dia
memberi pertolongan kepada Bu-cing-so dan Siang-thian-ong yang
terkena racun.
Hasrat Ji Bun untuk menuntut balas sudah berkobar dalam
benaknya, jika kedua pihak mulai berhantam, seluruh jago-jago Wi-
to-hwe pasti terlibat dalam pertempuran sengit secara terbuka,
maka tibalah saatnya dia langsung menghadapi Wi-to-hwecu,
setelah itu baru meruntuhkan yang lain satu persatu, tidak sulit
rasanya mencapai cita-cita yang selama ini dinantikan, meski
perbuatannya ini termasuk mengail di air keruh, namun demi
menuntut balas ratusan jiwa orang-orang Jit-sing-po, segala carapun
boleh dilakukan.
Suasana semakin tegang dan mencekam perasaan seluruh
hadirin. Dengan bekal Lwekang Ji Bun sekarang serta tangannya
yang berbisa, kalau secara mendadak melancarkan serangan, maka
dapatlah dibayangkan bagaimana nasibnya yang bakal menimpa
pihak Wi-to-hwe. Sudah tentu tiada orang lain yang tahu akan jalan
pikiran Ji Bun.
Bergetarlah suara Wi-to-hwecu: "in Ci-san, berulang kali sudah
kujelaskan, itu berarti aku sudah memberikan pertanggungan-jawab
kepada kaum persilatan, maka segala akibat yang bakal terjadí
menjadi tanggung-jawabmu."
Acuh sikap Ngo-lui-kiongcu, katanya: "Bagaimana jalan pikiranmu
semua orang juga dapat menebaknya, kulitnya saja kalian
mengagulkan diri sebagai penegak keadilan, namun kenyataan
membuat onar dan melakukan kejahatan di Bulim, perbuatan rendah
dan kotor ini sungguh amat memalukan."
"Baik buruk akhirnya akan diputuskan oleh kesimpulan umum,
sudahlah, tak usah banyak cerewet."
Ngo-lui-kiongcu segera angkat tangan dan memberi aba-aba
dengan bentakan menggeledek: "Maju!"
Puluhan orang berbaju putih itu serempak menerjang maju. Wi-
to-hwecu juga segera memberi tanda kepada anak buahnya untuk
menyambut serbuan musuh, pertempuran sengit segera berlangsung
dengan gegap gempita.
Setelah memberi aba-aba, In Ci san segera menubruk maju ke
dapan Wi-to-hwecu sambil melayangkan telapak tangannya yang
segede kipas. Sementara Bu-cing-so dan Siang-thian-ong tetap
melayani kedua orang baju putih yang menjadi lawan mereka tadi.
Yang lain-lain saling baku hantam dengan sasaran masing-masing.
Ji Bun menonton di pinggir gelanggang sambil berpeluk tangan.
Dilihatnya orang-orang Ngo-lui-kiong kecuali kedua orang berbaju
putih yang melawan Bu cing-so dan Siang-thian-ong itu, selebihnya
berkepandaian rendah, maka gerak-gerik kedua orang baju putih itu
kelihatan menonjol. Orang yang melawan Siang-thian-ong
berperawakan tinggi, setiap jurus, setiap pukulan berhantam dengan
cara keras lawan keras, kekuatan kedua pihak seimbang, yang
berperawakan pendek menghadapi Bu-cing-so, gerak-geriknya amat
gesit dan enteng, gerak langkahnya amat aneh, dia main sergap dan
bertempur dengan putar-memutar.
Di sebelah sini, setiap kali melontarkan pukulannya, In Ci-san
membarengi suara bentakan bergemuruh seperti suara guntur,
namun Wi-to-hwecu menghadapinya dengan tenang dan seenaknya,
jelas Lwekang dan kepandaiannya masih lebih unggul daripada
lawannya, disinilah letak perhatian Ji Bun. Wi-to-hwecu beserta
orang dalam tandu yang belum muncul merupakan dua jago
terkosen yang paling sukar dihadapi, sementara Jay-ih-lo-sat kira-
kira bisa ditimbang dari kekuatan Pek-siu-thay-swe yang pernah
kecundang ditangannya, jadi kira-kira dirinya cukup mampu
menghadapinya, kalau jago-jago Wi-to-hwe hanya beberapa gelintir
orang ini, harapan untuk menuntut balas menjadi lebih meyakinkan.
Pertempuran semakin memuncak, jeritan benturan senjata dan
teriakan membangkit semangat, terbawa hanyut oleh desiran angin
gunung yang menghembus santer sehingga menjadi paduan suara
yang seram mengerikan.
Situasi sudah semakin kentara, kecuali Wi-to-hwecu bersama Bu-
cing-so, Siang-thian-ong dan Cui Bu-tok serta beberapa jago-jago
kosen lainnya harus roboh, tujuan Ngo-lui-kiong hendak mencuci
bersih Tong-pek-san dengan darah jelas takkan mungkin terlaksana,
sebaliknya, kekuatan Wi-to-hwe masih segar, bala bantuan di
belakang masih cukup banyak, ratusan orang yang mempertahankan
markas pusat merupakan kekuatan yang tak boleh dipandang
enteng, hal ini tidak menguntungkan Ngo-lui-kiong, kalau
pertempuran ini terus dilanjutkan, bagaimana akibatnya sudah bisa
diramalkan.
Ji Bun tetap berdiri sekokoh batu karang yang didampar amukan
ombak ditengah ajang pertempuran yang sengit itu, gejolak hatinya
ikut memuncak menyertai perobahan yang mulai kentara di tengah
gelanggang.
Dia berpikir, kalau saat ini ayahnya muncul, sungguh merupakan
kesempatan terbalk yang sukar dicari. Jika sekarang juga dirinya ikut
terjun ke dalam ajang pertempuran, situasi pasti akan segera banyak
berubah.
"Ngek! Huuuaa!" tampak Ngo-lui-kiongcu mengerang kesakitan,
dadanya terpukul Wi-to-hwecu, darah menyembur dari mulutnya,
tapi tenaga pukulan Ngo-lui-ciang sekeras guntur itu tetap hebat dan
tidak menjadi asor karenanya.
Puluhan jiwa sudah melayang, mayat bergelimpangan. Rambut
dan jenggot ubanan Siang-thian-ong beterbangan, badannya yang
pendek buntak menggelinding pergi-datang seperti bola yang
ditendang kian kemari, gelagatnya dia mulai terdesak oleh
rangsakan orang berbaju putih yang ganas, sedang partai Bu-cing-so
kelihatan masih setanding alias sama kuat.
Segara turun tangan atau menanti kelanjutannya? Demikian Ji
Bun bertanya-tanya dalam hati. Dia menghadapi suatu pilihan yang
menentukan. Ia maklum pihak musuh lebih banyak dan kuat, sekali
turun tangan ia pantang mundur dan harus berhasil, kalau tidak, aksi
untuk menuntut balas selanjutnya bakal sulit dan berbahaya.
Sampai sekarang hatinya masih bimbang dan bertanya-tanya,
apa betul Wi-to-hwecu adalah durjana yang menghancur leburkan
Jit-sing-po, namun ayahnya jelas menuduh pihak Wi-to-hwe yang
menjadi algojo-algojonya. Siangkoan Hong yang menjadi biang
keladi dari pembantaian besar-besaran itu sampai sejauh ini belum
pernah muncul, memangnya siapa saja yang menjadi musuh-musuh
besarnya yang sejati sampai sekarang dia masih belum berhasil
mengumpulkan data-data yang menyakinkan, kalau bergerak secara
membabi buta, sudah tentu tidak menguntungkan? Kecuali dia
berhasil membekuk Wi-to-hwecu?
Baru saja hasrat ini berkelebat dalam benaknya, sekonyong-
konyong jeritan seram saling susul kumandang dari sana sini, orang
berbaju putih sama roboh binasa. Tampak bayangan warna warni
berkelebat pergi datang bagai seekor naga yang memainkan ombak
di tengah samudera raya, tahu-tahu Jay-ih-lo-sat sudah berada di
tengah gelanggang. Di belakang menyusul beberapa bayangan
orang lagi, sehingga seluruh gelanggang seperti dipagari oleh
barisan manusia. Pelan-pelan sebuah tandu atau joli berhias dipikul
memasuki arena.
Berdegup hati Ji Bun, hasrat turun tangan yang sudah berkobar
seketika diurungkan. Joli itu langsung menuju ke arah Siang-thian-
ong yang sedang berhantam dengan orang berbaju putih.
"Berhenti!" orang dalam tandu membentak enteng, suaranya
tidak keras, namun kedengarannya setajam jarum menusuk kuping,
seluruh hadirin yang lagi bertempur tiada yang tidak mendengarnya,
ini pertanda bahwa Lwekang orang dalam tandu sudah mencapai
taraf yang tiada taranya.
Dalam waktu yang sama, Ngo-lui-kiongcu kembali kena sekali
pukulan Wi-to-hwecu, darah kembali menyemprot dari mulutnya,
jubahnya yang putih berlepotan darah, langkahnyapun
sempoyongan hampir jatuh. Untung Wi-to-hwecu tidak menambahi
serangan, dia mundur dan menghentikan serangan. Yang lain segera
menghentikan pertempuran dan mundur ke barisan masing-masing.
Puluhan mayat sudah berjatuhan sehingga darah mengalir
berceceran. Murid-murid Ngo-lui-kiong merupakan jumlah yang
terbesar di antara mayat-mayat yang bergelimpangan.
Walau sudah berhenti dan mengundurkan diri, namun Siang-
thian-ong masih melotot beringas, rambut dan janggutnya bergerak-
gerak.
Terdengar orang dalam tandu bersuara tajam: "Tuan ini jago
kosen dari mana?"
Orang berbaju putih berperawakan tinggi yang bertempur
melawan Siang-thian-ong terkekeh dingin, katanya: "Apakah
pertanyaanmu ini tidak berkelebihan, sudah tentu aku ini anak buah
Ngo-lui-kiong."
Murid Ngo-lui-kiong yang masih hidup beramai-ramai kumpul di
belakang Tin-kiu-thian In Ci-san, pihak Wi-to-hwe sudah menguasai
suasana.
Dalam hati Ji Bun amat menyesal, kesempatan baik tadi sudah
disia-siakan, kalau sejak tadi dia mau turun tangan, situasi tentu
jauh berubah, namun hatinya masih was-was, kedua orang baju
putih itu berkepandaian lebih tinggi dari Ketua Ngo-lui-kiong In Ci-
san, hal ini sungguh luar biasa. Maka seluruh perhatiannya kini ia
tujukan ke arah orang dalam tandu itu.
Didengarnya orang dalam tandu tertawa dingin, katanya:
"Sahabat, jangan menyembunyikan kepala tapi memperlihatkan
ekor, kau dan temanmu yang satu ini pasti bukan anak buah Ngo-
lui-kiong, pertama, ilmu silat kalian tidak serasi, kedua, anak buah
biasa mana mungkin berkepandaian lebih tinggi dari pemimpinnya."
Dengan kaget orang berbaju putih menyurut mundur, katanya:
"Kenapa kau tidak keluar saja, memangnya kau ini kura-kura yang
malu dilihat orang."
"Kurangajar," segulung angin tahu-tahu melanda dari dalam
tandu menerjang orang berbaju putih, seketika ia tergetar mundur
empat langkah.
Tersirap darah Ji Bun, kepandaian orang baju putih barusan
sudah disaksikan sendiri, namun dia tidak kuasa melawan damparan
angin si orang dalam tandu. apakah dirinya kuat menandinginya
masih sukar diraba juga.
Terdengar orang dalam tandu berkata pula: “Sahabat, katakanlah
asal usulmu?"
"Kenapa tidak yang mulia dulu memperkenalkan diri?"
"Akulah yang tertua dari para Hou-hoat Wi-to-hwe."
"Tentunya kau punya nama dan gelaran."
"Kau melanggar daerah terlarang dan main bunuh ditempat kami,
undang-undang Bu-lim sudah kau injak-injak, terus terang aku tidak
ingin membunuh orang yang tidak kukenal."
Di sebelah sana Wi-to-hwecu juga sedang mengajukan
pertanyaan kepada Ketua Ngo-lui-kiong Tui-kiu-thian In Ci-san:
"Sebagai ketua suatu aliran, tentunya kau berani bertanggung jawab
bukan?"
Ngo-lui-kiongcu mendehem geram, katanya: "Selama air mengalir
dan gunung menghijau pasti akan datang saatnya untuk
memberikan pertanggungan jawab."
"In Ci-san," desis Wi-to-hwecu, "kukira kau takkan bisa turun
gunung hari ini."
"Takabur sekali kau."
"Kenyataan akan membuktikan."
Disebelah sini, orang dalam tandu memberi peringatan terakhir:
"Sahabat, kau tidak mau memperkenalkan diri, terpaksa kupandang
kau sepihak dengan musuh ......”
"Terserah!" sahut orang berbaju putih tak acuh.
Pada saat itulah, sesosok bayangan orang tahu-tahu meluncur
datang dan hinggap di pinggir gelanggang, seketika Ji Bun mengerut
alis, karena yang datang adalah Thian-thay-mo,ki, katanya aseran:
"Cici, kenapa kaupun kemari?"
Thian-thay-mo-ki tersenyum kecut, tanyanya: "Kau tidak
senang?"
Lekas Ji Bun menyangkal: "Tidak, tiada maksudku demikian."
"Dik, tahukah kau siapa baju putih yang berdiri di sebelah kanan
Ngo-lui-kiongcu itu?"
"Siapa dia?" tanya Ji Bun sambil memandang orang berbaju putih
yang tadi bertempur melawan Bu-cing-so.
Thian-thay-mo-ki melirihkan suaranya: "Tanpa sengaja aku
mencuri dengar pembicaraan mereka bahwa pihak Ngo-lui-kiong
berani meluruk kemari mencari setori lantaran dihasut dan didukung
oleh kedua orang baju putih itu, mereka mengenakan kedok dan
merias diri, menyaru jadi anak buah Ngo-lui-kiong, si baju putih yang
itu bukan lain adalah Biau-jiu Siansing yang kau cari-cari itu."
Seketika merah padam muka Ji Bun, sorot matanya membara,
katanya gugup: "Apa benar?"
"Kau tidak percaya pada Cicimu ini?"
"Lalu siapa laki-laki baju putih yang lain itu?"
"Entahlah, tapi sayup-sayup seperti kudengar mereka
menyinggung Jit-sing-kojin."
8.23. Jiwa Kesatria Tak Gentar Elmaut
Ji Bun mengertak gigi, katanya: "Kemungkinan mereka
sekomplotan, bukan mustahil orang yang menyaru dengan kedok
hijau dan berjubah sutera itupun komplotan mereka."
Habis berkata segera ia melejit maju ke depan orang berbaju
putih, secara reflek si baju putih menyurut mundur sambil berjaga,
sorot matanya hambar dan kaget, seluruh hadirin juga terkejut
terhadap perbuatan Ji Bun yang mendadak ini.
Ji Bun terkekeh dingin, sapanya: "Selamat bertemu tuan!"
Orang baju putih melengak, katanya: "Te-gak Suseng, persoalan
kita kukira kurang leluasa dibereskan disini dan sekarang juga."
"Untuk menemukan jejakmu terlalu sulit, mumpung kepergok di
sini, tentunya kau harus memberi pertanggungan jawab kepadaku."
Ngo-lui-kiongcu tiba-tiba beranjak maju, katanya, dengan
mendelik: "Anak muda, kebetulan kau menampilkan diri, utangmu
pada pihak kami biar dibereskan sekarang juga," belum habis bicara,
telapak tangannya yang segede kipas itu segera melayang
menghantam Ji Bun
Ji Bun mendengus geram, sedikit miring sebelah tangannya
bergerak menangkis, "Plak", seluruh hadirin tergetar oleh benturan
dasyat ini, kontan Ngo-lui-kiongcu sempoyongan mundur tiga
langkah, luka dalamnya seketika kambuh, darah kembali meleleh
dari mulutnya. Sisa kekuatan benturan membuat pasir debu
beterbangan memenuhi angkasa.
Ji Bun melirik ke arah Ngo-lui-kiongcu dan tetap menghadapi
orang berbaju putih tadi, katanya dengan suara rendah: "Bagaimana
kau?"
"Kenapa tidak bersabar sebentar, setelah urusan di sini selesai
saja?"
"Untuk apa membuang-buang waktu, nasib orang-orang Ngo-lui-
kiong sudah jelas, jangan harap kau dapat turun dari Tong-pek-san."
"Belum tentu, boleh kau buktikan sendiri."
Tengah percakapan berlangsung, mendadak Wi-to hwecu
menjerit kaget seraya berteriak: "Ngo-lui-cu!"
Dengan kaget Ji Bun berpaling, dilihatnya Ngo-lui-kiongcu sudah
mundur dua tombak di sebelah sana, tangan kanannya
menggengam sebuah bola warna merah sebesar kepalan, menyusul
kedua orang baju putih itupun turut melejit mundur seraya
mengacungkan bola bundar warna merah yang sama bentuk dan
besarnya.
Lekas Thian-thay-mo-ki melompat maju ke samping Ji Bun serta
menarik lengannya teriaknya gugup: "Lekas mundur!"
"Ada apa?" tanya Ji Bun tak mengerti.
"Kau belum pernah dengar Ngo-lui-cu (mutiara guntur)?"
"Benda apa sih Ngo-lui-cu itu?"
"Pusaka pelindung Ngo-lui-kiong, namanya saja mutiara, yang
betul merupakan granat yang seketika meledak bila dilemparkan,
betapa tinggi kepandaianmu juga sukar terluput dari sasarannya."
"Jadi Ngo-lui-cu sama seperti Bik-lik-tan (granat halilintar)?”
"Betul, lekas kau mundur Dik," tanpa banyak bicara lagi segera ia
seret Ji Bun mundur beberapa tombak.
Ji Bun terbelalak bingung, sungguh perubahan yang tak pernah
dia bayangkan sebelumnya, tiga butir Ngo-lui-cu kiranya cukup
berlebihan untuk merobohkan Wi-to-hwecu dan seluruh anak
buahnya. Sisa anak buah Ngo-lui-kiong akan lebila leluasa
menerjang ke atas dan menyerbu markas dan mendudukinya,
dibantu kedua orang baju putih lagi, seluruh anggota Wi-to-hwe
akan ditumpas habis-habisan.
Apakah dirinya harus tinggal pergi demikian saja? Kalau tetap
berada di sini, bukan mustahil dirinya bakal ikut menjadi korban.
Sementara itu, Ngo-lui-kiongcu dan kedua orang baju putih yang
masing-masing mengacungkan Ngo-lui-cu berpencar ke tiga arah,
jarak antara ketiganya kira-kira dua tombak, itu berarti sepuluh
tombak disekitar mereka dapat mereka capai dengan sekali
timpukan granat yang mematikan itu.
Pucat dan berubah air muka orang-orang Wi-to-hwe, tandu
berhias itupun menyurut mundur setombak lebih. Rambut ubanan
Bu-cing-so dan Siang-thian-ong sempat bergerak-gerak berdiri,
agaknya mereka teramat murka.
Ngo-lui-kiongcu tertawa gelak-gelak seperti orang kesurupan,
katanya: "Wi-to-hwe akan tamat hari ini, kalian masih ada pesan apa
lagi?"
Tajam tatapan Wi-to-hwecu, namun suaranya masih mantap dan
kuat: "ln Ci-san, kau memang licik dan keji, boleh kau coba
timpukan senjatamu itu."
In Ci-san menyeringai, katanya: "Tadi sudah kukatakan kalau
bukan aku yang gugur di sini, maka akulah yang akan mencuci tanah
Tong-pek-san ini dengan darah kalian ini."
Orang berbaju putih yang dituding sebagai Biau-jiu Siansing oleh
Thian-thay-mo-ki tadi mendadak berpaling ke arah Ji Bun, katanya:
"Anak muda, kalau kau tidak ingin mampus, lekas tinggalkan tempat
ini."
Ji Bun menjadi serba susah, kata-kata orang berbaju putih ini
terasa mengandung arti mendalam namun sukar ditebak, kalau
dirinya sampai ikut jadi korban ledakan Ngo-lui-cu. bukankah
keinginannya bakal tercapai malah? Tapi dia justeru menganjurkan
dirinya lekas pergi, apa sih maksudnya? Tak tertahan ia bertanya:
"Apa maksud tuan?"
"Aku tidak ingin kau mampus di sini," kata orang itu.
“Kau kira dengan menanam kebajikan padaku, lantas dapat
merubah sikapku kepadamu?"
Thian-thay-mo-ki juga menarik muka, sikapnya rada gelisah,
katanya: "Bagaimana?"
Tegas kata-kata Ji Bun: "Dalam hal ini pasti ada muslihatnya, aku
takkan ditipu mentah-mentah, kalau mau pergi aku bisa segera
berangkat, tidak mungkin lataran aku seorang dia melemparkan
Ngo-lui-cu, lagi kepandaian orang-orang ini, orang di dalam tandu,
belum tentu mereka takkan mampu menyelamatkan diri, aku justeru
ingin melihat akhir dari pertempuran di sini."
"Dik, ketiga orang yang membawa Ngo-lui-cu berkepandaian
tinggi, keadaan ini jangan kau remehkan, memang tidak sulit bagi
Wi-to-hwecu dan lain? yang berkepandaian tinggi untuk
menyelamatkan diri, namun bagaimana kelanjutannya? Urusan
belum beres, yang celaka adalah mereka yang berkepandaian
rendah, memang markas ini harus dikosongkan."
Lahirnya Wi-to-hwecu tenang-tenang saja, namun hatinya tegang
dan gelisah, keadaan seperti ini takkan bisa dikuasai hanya dengan
kekuatan Lwekang atau kepandaian silat, memang tiada cara lain
yang tepat untuk mengatasinya, urusan sekarang bukan saja
merupakan persoalan mati hidup jiwa orang-orang yang hadir, juga
mengenai nama dan kebesaran Wi-to-hwe yang harus tetap
diperjuangkan, sekali salah langkah, Wi-to-hwe akan lenyap dan tak
bisa lagi berdiri di kalangan Bu lim.
"Te-gak Suseng," orang baju putih samaran Biau-jiu Siansing
bicara lagi. "kau ingin menghadap Giam-lo-ong?"
Ji Bun mengertak gigi tanpa menjawab, dalam hati ia sudah
berkeputusan tidak akan berpihak kepada musuh, namun bila Wi-to-
hwecu dan lain-lain semua mampus karena ledakan Ngo-lui-cu maka
gagal harapannya untuk menuntut balas, betapa hati takkan
menyesal dan malu kepada para arwah yang telah mendahuluinya.
Kembali dia menghadapi satu pilihan. Sebaiknya sekarang dia
bertindak secara mendadak membekuk Wi-to-hwecu dan
meninggalkan tempat ini, peduli apa yang bakal terjadi di sini.
Maka ia lantas berbisik kepada Thian-thay-mo-ki: "Cici, lekas kau
pergi "
"Tidak, mati hidup aku tetap berdampingan dengan kau."
"Kau bisa menggagalkan rencana besarku," ucap Ji Bun sambil
membanting kaki.
Baru saja Thian-thay-mo-ki hendak membuka mulut, tiba-tiba
rombongan orang yang berjaga dimulut gunung sana seperti
tersibak ombak sama menyingkir ke samping, tampak seorang
Hwesio bertubuh besar melayang tiba seperti awan mengembang.
Suasana menjadi hiruk-pikuk.
Ngo-lui-kiongcu berpaling sambil membentak lantang: "Hwesio
keparat, berhenti di situ!"
Seperti tidak mendengar, Hwesio itu tetap melangkah maju
dengan enteng. Keruan Ngo-lui-kiongcu naik pitam, bentaknya:
"Tangkap dia!"
Dua laki-laki memegang pedang segera menubruk maju, aneh
sekali, entah menggunakan gerakan apa, tahu-tahu Hwesio itu
berkelebat sekali, bayangannya tahu-tahu lenyap, kedua orang itu
menubruk tempat kosong, hampir saja mereka jatuh tersungkur,
sementara Hwesio gede sudah berada di tengah arena.
Gerakan Hwesio ini seketika mengejutkan setiap hadirin. Tiba-tiba
Thian-thay-mo-ki berseru dengan suara haru tersendat: "Dik, itulah
dia!"
Ji Bun garuk-garuk kepala, tanyanya: "Dia siapa?"
"Thong-sian Hwesio yang pernah menolong kita itu."
Begitu tiba Thong-sian menyapu pandang ke seluruh gelanggang,
akhirnya pandangannya berhenti pada Ji Bun dan Thian-thay-mo-ki,
masih segar dalam ingatannya, bahwa Ji Bun dan Thian-thay-mo-ki
waktu itu sudah mati betul-betul.
Lekas Ji Bun tampil kemuka sembari memberi hormat: "Banyak
terima kasih atas pertolongan Siansu tempo hari.”
"Apa, jadi kalian ......”
"Kami berdua lolos dari elmaut."
"Amitha Budha!" Thong-sian bersabda, lalu dia berpaling kepada
Ngo-lui-kiongcu, katanya: "In sicu, simpanlah Ngo-lui-cu itu."
"Siapakah gelaran Toa-hwesio?" tanya Ngo-lui-kiongcu, suaranya
hambar.
"Pinceng Thong-sian."
"Orang beribadat kenapa mencampuri urusan duniawi?"
"Omitohud, kebajikan adalah pangkal ajaran Budha, mendarma
baktikan kebijaksanaan demi menolong sesamanya adalah kewajiban
setiap insan."
"Sekali lagi kuulangi, lekaslah Toa-hwesio pergi saja."
"Memang Pinceng harus datang kemari dengan sia-sia."
"O, memangnya Toa-hwesio berdiri di pihak mana?"
"Di pihak yang benar."
"Pihak mana yang benar?"
"Pinceng harap Sicu menyimpan Ngo-lui-cu dan mundur lima
tombak."
"Cukup dengan sepatah katamu saja?"
"Kukira cukup berkelebihan."
"Lekas Toa-hwesio mengambil sikap, ke mana kau berpihak,
kalau tidak, aku tidak kenal ajaran bajik atau bijak segala."
Terpancar sinar terang jernih pada mata Thong-sian Hwesio,
dengan tajam dia tatap muka Ngo-lui-kiongcu, begitu tenang dan
berwibawa sekali sorot matanya, tanpa terasa In Ci-san menyurut
mundur dengan keder.
Wi-to-hwecu dan lain-lain saling adu pandang dengan heran,
tiada seorangpun yang tahu asal-usul Hwesio ini, kawan atau lawan
juga belum jelas.
Orang baju putih yang ada di sebelah kiri tiba-tiba berbisik: "In-
ciangbun, baiknya kita mundur saja sementara."
In Ci-san amat angkuh dan terlalu menjaga gengsi, demi nama
baiknya, mana dia mau takluk kepada seorang Hwesio yang belum
diketahui asal-usulnya, maka dia menggeleng, katanya: "Toa-
hwesio, apa sih maksudmu sebetulnya?"
Dengan angker berwibawa Thong-sian Hwesio berkata: "Aku
kemari demi menegakkan keadilan bagi Bu-lim."
Orang baju putih di sebelah kiri itu mendadak berseru tertahan,
kakinya menyurut beberapa langkah, agaknya dia mengenali siapa
Hwesio gede ini, sorot matanya seketika memancarkan nafsu keji,
tiba-tiba kakinya menjejak tanah, badannya melejit mundur,
berbareng tangannya terayun ke depan, Ngo-lui-cu ditangannya itu
dia timpukkan kepada Thong-sian Hwesio. Padahal saat itu Thong-
sian Hweesio berdiri di tengah antara kedua pihak.
Perbuatan nekat orang berbaju putih yang diluar dugaan ini
sungguh mengejutkan seluruh hadirin termasuk Ngo-lui-kiongcu
sendiri, sekali meledak, Kekuatan Ngo-lui-cu dapat mencapai lima
tombak jauhnya, dalam jarak sejauh ini, tiada seorangpun yang bisa
lolos dari renggutan elmaut.
Di tengah teriakan orang banyak mereka sama melompat mundur
sejauh mungkin. Jarak Ji Bun dan Thian-thay-mo-ki hanya setombak
lebih dengan Thong-sian Hwesio, untuk berkelit atau menyingkir
jelas tidak mungkin lagi.
Untunglah pada detik-detik yang menegangkan itu, tiba-tiba
tangan Thong-sian terangkat sambil melambai, seperti orang
bermain sulap saja tahu-tahu Ngo-lui-cu yang hampir jatuh
menyentuh bumi itu berhenti di tengah udara terus meluncur
kesamberan tangan Thong-sian.
Rasa kejut semua orang masih belum hilang, tapi mereka tak
lupa berseru memuji.
Ji Bun dan Thian-thay-mo-ki saling berpandangan dengan
tertawa getir, keringat dingin sudah membasahi badan mereka.
Sebaliknya rona muka Ngo-lui-kiongcu berubah tidak menentu,
kedua biji matanya terbelalak.
Sorot mata Thong-sian setajam golok seterang bintang kejora
menatap ke arah si orang berbaju putih tadi, katanya: "Kenapa Sicu
turun tangan sekeji ini kepada Pinceng?"
Nafsu jalang siorang baju putih yang terpancar dari sorot
matanya berubah rasa jeri dan ketakutan, tanpa bersuara lagi dia
melirik memberi tanda kepada Biau-jiu Siansing, serempak keduanya
lantas melejit tinggi dan meluncur turun ke lamping gunung, gerak-
geriknya aneh secepat kilat lagi, dalam sekejap sudah lenyap dari
pandangan mata.
Setelah Ji Bun sadar kembali dari lamunannya katanya sambil
membanting kaki: "Kembali dia lolos."
Dengan ditinggal pergi kedua orang baju putih yang menjadi
tulang punggungnya, Ngo-lui-kiongcu menjadi patah semangat,
seperti burung yang patah sayapnya, keruan dia menjadi bingung
dan gelisah, Ngo-lui-cu tak bermanfaat lagi. apalagi anak buahnya
juga patah semangat dan banyak yang terluka.
Wi-to-hwecu masih berdiam diri tanpa bertindak untuk menunggu
reaksi Thong-sian Hwesio selanjutnya. Tampak Thong-sian menarik
tangan menyimpan Ngo-lui-cu rampasan dalam lengan bajunya, lalu
katanya kepada Wi-to-hwecu sambil melangkah maju: "Sicu ini
adalah Hwecu?"
"Ya, Toa-hwesio ada petunjuk apa?"
"Pinceng membawa firman Thian untuk menunaikan darma bakti
demi keserasian hidup kaum persilatan, untuk ini harap Sicu
selekasnya membubarkan Wi-to-hwe."
Sudah tentu seluruh hadirin terperanjat mendengar ucapan ini.
Tidak malu Wi-to-hwecu sebagai seorang pemimpin, terlebih dulu
dia membalas hormat lalu berkata. dengan sewajarnya: "Ucapan
Taysu ini tentu punya dasar dan alasannya?"
"Sepak terjang anak buahmu di luar tentunya Sicu sendiri juga
tahu, apa yang dinamakan menegakkan keadilan, tak ubahnya
melanggar kemanusiaan belaka, ini jelas tidak boleh dibenarkan."
"Taysu mendengar omongan orang atau menyaksikan sendiri?"
Thong-sian menuding Ji Bun berdua. katanya: "Kedua Sicu muda
ini adalah salah dua korban dari kekejaman anak buahmu."
Berkata Wi-to-hwe-cu dengan nada serius: "Di kalangan Kang-
ouw sudah disinyalir adanya orang-orang yang menyaru murid-murid
kami dan melakukan kejahatan di luaran, untuk ini kami sudah
mengerahkan tenaga untuk menyelidikinya, dalam waktu dekat pasti
kami dapat memberikan pertanggungan jawab kepada Bulim."
"Omitohud! Seorang Buddhis pantang berbohong, Pinceng tak
dapat percaya begini saja."
"Lalu bagaimana pendapat Taysu?"
"Bubarkan saja perkumpulanmu."
"Tidak mungkin," sahut Wi-to-hwecu tegas.
Berkilat biji mata Thong-sian Hwesio, katanya dengan suara
kereng, "Pinceng terpaksa harus melanggar pantangan."
Bu-cing-so, Siang-thian-ong dan Cui Bu-tok serempak melompat
maju sambil menggerung gusar, suasana kembali memuncak
tegang. Tandu berhias itupun segera melayang datang, kata orang
di dalam tandu itu: "Taysu dari aliran dan perguruan mana?"
"Pinceng tidak punya aliran, melainkan pendeta sebatang kara
dari kelenteng bobrok belaka."
"Gerakan Taysu waktu menangkap Ngo-lui-cu tadi jelas adalah
Sian-thian-chin-khi?"
Anda sedang membaca artikel tentang CerSil : HATI BUDHA TANGAN BERBISA 2 dan anda bisa menemukan artikel CerSil : HATI BUDHA TANGAN BERBISA 2 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/10/cersil-hati-budha-tangan-berbisa-2.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel CerSil : HATI BUDHA TANGAN BERBISA 2 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link CerSil : HATI BUDHA TANGAN BERBISA 2 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post CerSil : HATI BUDHA TANGAN BERBISA 2 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/10/cersil-hati-budha-tangan-berbisa-2.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar