Cersil Bayangan Berdarah 1: Serial Kunci Wasiat

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Senin, 03 Oktober 2011

Rahasia Kunci Wasiat

Karya: Khu Lung
Terjemahan: Tjan ID

Jilid 1
Pada bulan kedelapan permulaan musim rontok air sungai Liang Kiang mengalir dengan
perlahannya memenuhi danau Tiang Pek Auw di pinggiran dusun Tan Kwee Cung.
Malam hari semakin larut cuma terlihat bayangan rembulan memancarkan sinarnya di
tengah kejernihan air telaga.
Pohon pohon Kwi Ci yang tumbuh di tepi telaga secara samar-samar menyebarkan bau
harum yang semerbak….
Tiba-tiba suasana yang amat sunyi senyap itu dipecahkan oleh suara air yang
memecahkan kesamping, tampak sebuah perahu dengan amat perlahannya berlayar dari
arah sebelah timur.
Pada ujung perahu duduklah seorang lelaki tua yang memakai pakaian singsat dengan
mengenakan sebuah topi yang terbuat dari bulu di atas kepalanya, di samping lelaki tua
itu duduklah seorang perempuan cantik yang kira-kira berusia empat puluh tahunan
memangku seorang bocah cilik yang baru berusia sebelas tahunan.

Angin malam yang amat dingin berhembus tak henti hentinya membuat keadaan terasa
membeku, terlihatlah perempuan berusia pertengahan itu segera membuka mantel yang
dikenakannya kemudian diselimutkan ke atas badannya bocah tersebut, jelas sekali
kecintaan sang ibu kepada anak jauh mengalahkan segalanya.
Dengan perlahan kakek tua itu mengambil cawan air teh di atas sebuah meja kemudian
meneguknya satu tegukan, lantas ujarnya kepada perempuan itu.
“Leng jie apa sudah tertidur?”
“Ehmm… sudah!” Sahut perempuan cantik itu tersenyum kemudian tundukkan
kepalanya memandang sekejap ke arah bocah yang sudah tertidur pulas di dalam
pangkuannya
Dengan perlahan si orang tua itu bangkit berdiri sambil mendongakkan kepalanya
memandang sang rembulan yang memancarkan sinar terang jauh di tengah awang-awang
dia menghela napas panjang.
“Heeeey…. sia-sia saja jasaku yang aku perbuat bagi negara selama tiga puluh tahun
ini.
Suaranya berat dan amat sedih, secara samar-samar memperlihatkan keperihan hati
dari seorang enghiong yang baru saja menemui kekecewaan.
“Eeeei malam sudah larut mari kita pulang saja!” potong perempuan berusia
pertengahan itu sambil tersenyum, “nanti Ling jie akan kedinginan dan masuk angin….”
Si orang tua itu segera mengangguk, baru saja dia orang mau memerintahkan si
tukang perahu untuk putar perahunya kembali tiba-tiba dari arah depan muncul sebuah
perahu besar yang amat terang benderang berlayar dengan lajunya ke arah perahu
mereka.
Agaknya perahu besar itu sudah kehilangan kemudinya, dengan mengikuti tiupan angin
ia bergerak maju terus menubruk ke arah perahu yang ditumpangi sang kakek tua beserta
anak istrinya itu.
Tukang perahu di atas perahu kecil itu agaknya adalah seorang yang berpengalaman
luas, tanpa menanti perintah dari majikannya dia segera membanting kemudinya
menghindar ke arah samping.
Sedangkan tukang perahu lainnya dengan terburu buru lari ke ujung perahu sambil
goyang goyangkan tangannya membentak keras, “Hey kawan, matamu sudah kau taruh
dimana??…”
Walaupun dia sudah berteriak berulang kali suasana masih tetap sunyi senyap, tak
terdengar suara balasan dari atas perahu besar tersebut.
Si tukang perahu itu menjadi cemas hatinya dengan cepat dia goyangkan galanya
menutul ke arah perahu besar itu.

Waktu itu angin yang bertiup di tengah telaga sudah amat lemah sekali, begitu sang
perahu besar terkena tutulan gala posisinya segera terpukul nyaring kesamping, pada saat
yang bersamaan pula kedua perahu itu sudah saling berpapasan di samping.
Selama ini sang kakek tua itu masih tetap menggendong sepasang tangannya berdiri
tenang terhadap peristiwa mengerikan yang baru saja akan terjadi dia orang sama sekali
tidak tergentar hatinya air mukanya tetap tenang bagaikan jernihnya air telaga.
Silaki kasar yang melihat hampir-hampir saja perahu besar itu mau menubruk perahu
yang ditumpanginya tak tertahan lagi segera berteriak kembali,
“Hey! Masih adakah manusia yang hidup disana?”
Biar dia sudah memaki dengan kata kata apapun dari atas perahu besar itu tetap tak
terdengar suara sahutan.
Luas telaga Tiang Pek Auw ada ratusan hektar, di sekelilingnya penuh ditumbuhi alangalang
yang lebat karena tutulan galah tadi yang membuat posisi perahu besar itu menjadi
miring membuat perahu tersebut kini terjerumus ke dalam tumbuhan alang alang yang
lebat.
Si orang tua yang selama ini berdiri di ujung perahu tanpa mengucapkan sepatah
katapun ketika melihat tak terdengar adanya suara sahutan dari dalam perahu tak terasa
hatinya merasa curiga juga, pikirnya, “Eeeh jika dari situasi perahu tersebut agaknya tidak
ada orang yang mengemudikan apakah di atas perahu itu memangnya tak berpenghuni?”
Tetapi jika dilihat dari suasana yang terang benderang jelas sekali ada manusia yang
berdiam di dalam perahu itu, hatinya terasa semakin heran lagi…
“Cepat geserkan perahu kita kesamping perahu besar itu!” perintahnya kepada si
tukang perahu.
Agaknya si perempuan berusia pertengahan itu bermaksud hendak mencegah tapi
akhirnya dia membatalkan kembali niatnya tersebut.
Si tukang perahu segera putar kemudi menggerakkan perahunya mendekati perahu
besar yang sudah terjerumus ke dalam tumbuhan alang-alang itu dan akhirnya berhenti
tepat di samping perahu tersebut.
Dengan perasaan penuh tanda tanya si orang tua itu memandang ke arah perahu yang
terang benderang tersebut. Dia agak rahu ragu lalu berpikir pula beberapa waktu lamanya,
akhirnya kepada si tukang perahu yang berdiri di ujung perahu perahu perintahnya,
“Perahu ini sedikit mencurigakan coba kau naik ke atas perahu untuk lihat-lihat sebentar!”
Si tukang perahu segera bungkukkan badannya memberi hormat dan berlalu untuk
melaksanakan perintah tersebut.
Sesudah meletakkan galahnya kesamping perahu dia mulai memanjat naik ke atas
perahu misterius itu.
Si orang tua dengan menggendong tangan tetap berdiri di ujung perahu memandang
sang rembulan yang ada di atas awang-awang, air mukanya sedikitpun tidak berubah.

Mendadak… suatu jeritan yang amat keras bergema dari atas perahu misterius itu
disusul tubuh sang tukang perahu dengan terhuyung huyung berlari keluar dan meloncat
ke tengah telaga.
Orang tua berjubah lebar itu mengerutkan alisnya, ujung bajunya dikebut dengan cepat
meloncat naik ke atas perahu.
Si bocah cilik yang sedang tertidur dengan amat nyenyaknya di dalam pelukan
perempuan berusia pertengahan itupun segera dibuat sadar kembali oleh jeritan yang
amat keras tadi, dia segera bangkit berdiri dari pelukan ibunya.
Saat itu orang tua berjubah lebar tersebut sudah berada di atas perahu, dengan
langkah perlahan dia mulai berjalan menuju ke dalam bilik.
Angin malam yang bertiup sepoi-sepoi secara samar-samar disertai bau amis darah
yang memuakkan.
Dia segera menghentikan langkahnya.
“Adakah orang disana?” tanyanya dengan suara berat.
Sinar matanya yang amat tajam dengan perlahan berputar memandang keadaan di
sekeliling tempat itu, mendadak pandangannya tertunduk dengan sebuah gagang pedang
berwarna kuning yang bergoyang tertiup angin, ujung pedang tersebut sudah menancap
di atas dada seorang berpakaian perlente sehingga tembus sampai dadanya! keadaannya
sangat mengerikan sekali.
Di bawah sorotan sinar lilin yang bergoyang tertiup angin tampaklah orang berpakaian
perlente itu bukan lain adalah seorang pemuda yang usianya masih amat muda sekali.
Wajahnya yang pucat pasi sukar untuk menutupi ketampanan mukanya yang menarik itu.
Dengan perlahan si orang tua itu menghela napas panjang kemudian melanjutkan
langkahnya menuju ke dalam bilik.
Di tengah sebuah ruangan perahu yang mewah sekali tampaklah suatu pemandangan
yang sangat mengerikan, meja kursi berantakan darah segar berceceran memenuhi
seluruh lantai. Tidak jauh di depan pintu ruangan itu terlentanglah mayat seorang lelaki
berusia pertengahan yang batok kepalanya sudah hancur remuk.
Sekali lagi si orang tua itu menghela napas panjang gumamnya, “Sungguh
menyeramkan pemandangan disini!”
Pandangan matanya dengan perlahan berputar kembali, tidak jauh dari sebuah jendela
yang terbentang lebar berdirilah seorang lelaki berjubah hitam yang kesepuluh jarinya
dengan kencang-kencang tertancap ke dalam dinding papan.
Di dalam sekali pandang kelihatannya dia sedang memegang dinding tetapi sesudah
dipandang lebih teliti lagi barulah diketahui kalau orang itu sudah lama binasa, badannya
kaku cuma saja badannya tidak sampai rubuh karena kesepuluh jarinya dengan kencang
terpantek di atas dinding.

Pada seluruh tubuh orang ini tidak terlihat tanda-tanda terluka, cuma saja dari hidung
serta mulutnya mengeluarkan darah kental tak putus-putusnya.
Di bawah sorotan sinar lampu lilin terang benderang, tampaklah keadaan dari ketiga
sosok mayat itu amat menyeramkan sekali membuat suasana begitu menakutkan…
membuat hati bergidik bulu roma… pada berdiri.
Angin malam bertiup dengan perlahannya membawa hawa yang amat dingin serasa
menusuk tulang walaupun nyali kakek tua itu amat besar tak urung merasa bergidik juga
melihat suasana disana, dia menggelengkan kepalanya kemudian menghela napas panjang
dengan perlahan mulai berjalan mengundurkan diri dari dalam ruangan.
Sekonyong-konyong dari pojokan ruangan perahu itu berkumandang suara rintihan
yang amat lemah sekali.
Walaupun suar rintihan itu amat lemah tetapi di dalam pendengaran orang tua itu
serasa guntur yang membelah bumi, saking terperanjatnya dia menghentikan badannya
dan berdiri mematung beberapa saat lamanya disana.
Dengan perlahan dia putar badannya memandang ke seluruh ruangan dengan
pandangan tajam dia berusaha mencari tahu dari mana suara rintihan tadi berasal.
Terasa olehnya keadaan dari ketiga sosok mayat itu semakin dilihat semakin
menyeramkan. Tak tertahan lagi seluruh bulu kuduknya pada berdiri, baru saja dia hendak
meninggalkan tempat itu. Sekali lagi suara rintihan tersebut berkumandang datang.
Si orang tua menjadi agak ragu-ragu, sebentar alisnya dikerutkan rapat-rapat lama
sekali dia berdiri tertegun gumamnya kemudian, “Orang yang menanti saat sekaratnya ada
di depan mataku. Bagaimana Loohu begitu tega tidak turun tangan memberi
pertolongan???
Dia mengebutkan ujung jubahnya dan berjalan kembali ke dalam ruangan perahu itu.
Terlihatnya di tempat kegelapan dari pojok ruangan perahu itu tergeletak tubuh wanita
berbaju biru, rambutnya yang panjang terurai awut-awutan dan seluruh tubuhnya
bermandikan darah kini dia orang sudah setengah sekarat bersandar pada dinding papan
itu.”
Melihat keadaan yang amat mengerikan itu tak terasa lagi perasaanku iba memenuhi
hati si orang tua dia segera berlari keluar ruangan memanggil kedua orang tukang
perahunya untuk membantu menggotong perempuan yang luka parah itu keluar dari
ruangan.
Di bawah sorotan sinar lilin terlihatlah wajahnya amat pucat pasi. Sepasang matanya
dipejamkan rapat-rapat sedang perahu bajunya sudah basah kuyup oleh ceceran darah
segar.
Tiba-tiba dia mulai menggerak-gerakkan kelopak matanya sedikit bergoyang disertai
suara rintihan yang amat berat…

Pada waktu tubuhnya sedikit berputar itulah tangannya secara tidak sengaja sudah
menyamplok lampu minyak yang ada di pinggirnya.
Lengan yang sebenarnya sudah penuh dengan luka karena gerakannya yang memaksa
ini membuat mulut luka mereka kembali, darah segar dengan derasnya mengucur keluar…
Dengan menggigit kencang bibirnya dia paksakan diri menahan perasaan sakit yang
amat sangat itu perlahan-lahan dia pejamkan matanya cuma peluh dengan derasnya
mengucur keluar membasahi wajahnya yang pucat pasi itu.
Baru saja kedua orang tukang perahu itu berhasil menggotong tubuh si perempuan
luka itu ke dalam perahu mereka. Mendadak dari dalam ruangan perahu besar itu
mengepul asap yang amat tebal disertai jilatan api yang berkobar-kobar membakar
seluruh barang yang ditemuinya, dengan adanya angin malam yang mulai memancar.
Seperti mulai menjalan keseluruh tempat di dalam sekejap saja perahu besar itu sudah
tenggelam di dalam lautan api.
“Cepat mendayung perahu, kita sedikit menjauh!” terdengar si kakek tua itu memberi
perintah dengan nada berat sesudah memperhatikan sebentar lautan api itu.
Dengan tergesa-gesa kedua orang perahu itu meletakkan perempuan itu kemudian
dengan sekian tenaga mendayung perahunya menyingkir dari sana.
Dengan perlahan perempuan berbaju biru itu membuka matanya melihat lautan api
yang menghabiskan seluruh-seluruh perahu dia berusaha melegakan hatinya. Tapi
dikarenakan luka yang dideritanya amat parah ditambah darah yang mengucur keluarpun
amat banyak tak kuasa lagi dia jatuh tak sadarkan diri.
Ketika dia sadar dari pingsannya, didapat dirinya sudah berbaring di dalam kamar yang
sangan indah sekali.
Di atas pembaringan kayu dimana dia berbaring terbentanglah kasur yang amat empuk
di sekelilingnya tertutup dengan hordin sutera. Di atas meja tiolet terletaklah sebuah
cermin yang sebesar dua depa, sedang pada samping kanan dekat pojokan ruangan
tergantunglah sebuah lampu lentera yang cuma ada di dalam istana.
Sekali pandang saja dia sudah merasa kalau keluarga ini tentulah suatu keluarga yang
kaya raya.
Tiba-tiba, hordin yang menutupi bilik pintu terbentang dan berjalanlah masuk seorang
perempuan berusia pertengahan dengan dandanan amat sederhana, pada tubuhnya
mengenakan baju berwarna hijau muda tetapi tidak menutupi kecantikan wajahnya.
“Aaaah! Kau sudah sadar?” ujar perempuan itu dengan wajah kaget, dengan perlahan
dia berjalan mendekati pembaringan itu.
Terdengar perempuan berbaju biru itu menghela napas panjang.
“Heeey… terima kasih atas pertolongan nyonya, aku disini mengucapkan terima kasih
dulu atas budi pertolongan kalian!”
Selesai berbicara dia berusaha untuk meronta bangun.

Siapa tahu karena sedikit gerakannya ini membuat mulut lukanya tergelar sehingga
terasalah sangat sakit sekali, tak kuasa lagi dia mengerutkan alisnya rapat-rapat.
“Beee! Seluruh badanmu penuh dengan luka bekas bacokan golok, lebih baik jangan
bergerak dulu!” cegah perempuan berusia pertengahan itu sembari terburu-buru
goyangkan tangannya.
“Hee! jikalau bukannya Hujien turun tangan menolong diriku mungkin nyawaku sudah
habis sejak dari tadi. Budi yang amat besar ini aku orang tidak akan melupakan untuk
selamnya, aku akan mengukir budi ini di dalam hatiku!”
“Aduh, aduh, tidak usah berbicara perkataan begitu lagi!” Potong perempuan berusia
pertengahan itu sambil gelengkan kepalanya berulang kali. “Angin dua awan siapa yang
bisa menduga, bencana dan rejeki siapa yang bisa menolak?? di dalam hidupnya seorang
manusia tentu ada beberapa kali memenuhi bencana. Kau boleh beristirahat dengan
berlega hati, segala kebutuhan yang kau inginkan bolehlah kau minta dengan tanpa rikuriku,
sekalipun kami bukanlah orang kaya tapi kiranya masih bisa untuk memenuhinya.”
“Siapakah nama besar Hujien??” Sambung perempuan berbaju biru itu kemudian.
“Aku orang she Siauw…”
“Oooh Siauw Hujien!”
dengan perlahan Siauw Hujien gelengkan kepalanya.
“Jangan kau orang memanggil aku dengan sebutan itu, mungkin aku cuma lebih tua
beberapa tahun saja dari usiamu, lebih baik kau panggil aku dengan sebutan cici saja.”
Perempuan berbaju biru itu termenung sebentar akhirnya dia menjawab, “Hujien begitu
pandang tinggi diriku, mana aku orang berani menerimanya?”
Dengan perasaan gusar dan bimbang perempuan berbaju biru itu terdiam pikirnya
dalam hati, “Akan kuingat selalu atas kebaikan budi Siauw Hujien ini…”
Tiba-tiba Siauw Hujien berkata dengan suara nada yang halus, “Heeey… luka Moaymoay
amat parah sekali untuk sementara janganlah berbicara sembarangan, suamiku
sudah berangkat ke dalam kota untuk belikan obat kuat kau.”
Perempuan berbaju biru itu benar-benar merasa terharu oleh kebaikan budi sang,
perempuan berusia pertengahan itu. Titik-titik air mata tak kuasa lagi mengucur keluar
membasahi pipinya.
“Kita belum saling mengenal tapi hujien mau berbuat begitu baik terhadap aku orang,
budi kebaikan ini aku tidak akan melupakan untuk selama-lamanya.”
Perlahan-lahan sepasang matanya dipejamkan, dua titik air mata kembali menetes
keluar dari ujung kelopaknya.
Tiba-tiba dia teringat kembali akan sesuatu peristiwa yang amat penting sekali,
sepasang matanya yang baru saja dipejamkan mendadak dibentangkan lebar-lebar.

“Tolong tanya apakah perahu yang aku orang tumpangi masih berhenti ditengahtengah?”
“Heeey… sudah terbakar habis!” Seru Siauw Hujien sambil gelengkan kepalanya.
“Rejeki datang tidak berkawan, bencana pergi tidak sendirian jilatan api yang amat
dahsyat itu bukan saat sudah membakar habis perahu besarmu, bahkan sampai tumbuhan
alang-alang yang penuh tumbuh ditepi telaga juga ikut musnah. Yang paling kasihan lagi
beberapa buah perahu nelayan yang sedang buang sauh disekitar tempat itu banyak rewel
ikut terbakar musnah. Api itu sudah padam pada tengah malam tadi mungkin perahumu
itu kini sudah terbakar ludas tak berbekas…”
Mendengar berita itu perempuan berbaju biru itu cuma menggoyang-goyangkan biji
matanya, dia tetap membungkam dalam seribu bahasa.
Siauw Hujien yang melihat perubahan wajah dia orang segera mengira sang
perempuan sudah merasa sedih, atau kehilangan perahunya itu, lalu hiburnya, “Harta
benda bisa dicari kembali tapi nyawa sukar untuk dicarikan gantinya, buat apa kau
bersusah hati? lebih baik kau berdiam saja disini dengan tenang.”
“Terima kasih atas kebaikan budi hujien,” segera ujarnya…
“Pada tubuhmu terdapat sembilan tempat luka yang amat parah tetapi ternyata masih
bisa mempertahankan nyawamu, hal ini sungguh berada diluar dugaan loohu.”
“Terima kasih hujien sudah menolong nyawaku lolos dari bahaya kematian ini.”
Si orang tua gelengkan kepalanya seraya berkata dengan penuh semangat.
“Walaupun Loohu sedikit mengerti tentang ilmu obat-obatan tapi luka yang demikian
parahnya benar-benar membuat aku merasa bingung sekali jika keadaanmu yang sampai
saat ini masih bisa mempertahankan hidupmu kelihatan sekali tidak ada bahaya buat
nyawamu. Menanti sesudah luka-luka ini menutup kembali dan beristirahat beberapa
waktu lagi mungkin kesehatanmu akan pulih kembali seperti biasa.”
Sekali lagi Siauw Hujien memandangi luka bekas bacokan yang memenuhi tubuhnya
itu, dengan sedih dia gelengkan kepalanya kemudian mengundurkan diri dari dalam
kamarnya.
Air muka perempuan berbaju biru yang penuh diliputi oleh perasaan sakit pada saat ini
terlintaslah suatu senyuman setelah itu dia baru pejamkan matanya tidur.
Ketika sadar kembali untuk kedua kalinya, hari sudah larut malam.
Di dalam ruangan yang sangat mewah itu selain hadir Siauw Hujien yang amat cantik
kini sudah bertambah dengan seorang tua berjubah hijau yang sangat berwibawa sekali.
Di bawah tempat lilin itu terletaklah secawan obat yang masih mengepulkan uap panas.
Ketika si orang tua berwajah angker itu melihat perempuan berbaju biru itu sadar
kembali dari pulasnya.

“Obat yang ada di atas meja itu sudah membuang banyak tenagaku untuk
membuatnya, sesudah kau orang minum obat tersebut harap kau jangan memikirkan
banyak urusan lagi. Baik-baiklah kau tidur satu malaman soal-soal yang lain biarlah besok
pagi aku periksa kembali urat nadimu.”
Selesai berkata sambil membopong tangannya dengan perlahan dia berjalan keluar dari
dalam ruangan.
Siauw Hujien segera mengambil cawan obat itu dan berjalan mendekati samping
pembaringan.
“Suamiku jadi orang berhati dingin dan sikapnyapun amat kaku sekali harap moaymoay
jangan sampai tersinggung oleh sikapnya yang tanpa sungkan-sungkan itu.”
Bisiknya dengan perlahan.
“Aaah Hujien bicara terlalu berlebihan!” bantah perempuan berbaju biru itu dengan
cemas. “Budi pertolongan ini sudah sedalam sekalipun mati aku tetap akan membalasnya.”
Siauw Hujien segera tersenyum.
“Moay-moay tidak usah banyak bicara lagi ayo minum obat ini!”
“Aku orang adalah seorang manusia gelandangan, mana berani berada di dalam satu
tingkatan dengan Hujien, namaku adalah Im Kauw harap Hujien memanggil dengan
sebutan namaku saja.”
Sekali lagi Siauw Hujien tersenyum.
“Walaupun moay-moay sudah terluka parah tapi sinar wajahmu masih amat cemerlang,
jikalau dugaanku tidak salah tentu moay-moay bukanlah seorang sembarangan!”
Dengan perlahan Im Kauw menghela napas panjang dia tidak banyak bicara lagi segera
diterimanya mangkok obat itu dan diteguknya hingga habis.
Setelah mendapatkan perawatan selama beberapa hari lamanya akhirnya sebagian
besar dari luka Im Kauw sudah menutup kembali sedang dia sendiripun sudah dapat turun
dari tempat pembaringan.
Dari mulut Siauw Hujien dia sudah banyak mengetahui kisah yang telah dialami oleh
mereka sekeluarga.
Sekiranya Siauw thay Hujien adalah seorang pembesar negeri yang bersifat jujur, tetapi
diantara banyak pembesar curang banyak yang tidak suka padanya yang kemudian
bersama-sama turun tangga mencelakai dirinya sehingga satu keluarga pada masuk dalam
penjara.
Untung saja pada suatu malam mereka berhasil ditolong oleh seorang jagoan dari
Badim yang membantu mereka meloloskan diri dari dalam penjara, sejak saat itu mereka
mengasingkan diri di tempat sunyi. Setiap hari kecuali memancing ikan, menanam bunga
dan menikmati keindahan alam mereka berdiam tak unjukkan diri.
Beberapa tahun kemudian akhirnya keluarga dikaruniai seorang anak lelaki.

“Heeeeeeeey… demikianlah untuk menghindarkan diri dari kejaran kaum pembesar
laknat kami sekeluarga terpaksa mengasingkan diri di tempat itu……”
Demikianlah Sauw Hujien mengakhiri kisahnya.
Satu bulan lewat dengan cepatnya, kini semua luka yang diderita Im Kauw pun sudah
sembuh. Karena pergaulannya selama beberapa hari ini dengan Siauw Hujien membuat
perhubungan persahabatan diantara mereka makin rapat. Tetapi selama ini juga dia orang
tidak pernah menceritakan asal usulnya sendiri, bahkan terhadap perahunya yang sudah
terbakar musnah itupun dia tidak pernah menganggapnya kembali, agaknya peristiwa itu
sudah terlupakan sama sekali.
Jumlah anggota keluarga Siauw ini amat sedikit sekali, kecuali suami istri beserta
anaknya cuma ada Siauw Hok itu pelayan tua yang sudah mengikuti keluarga Siauw
berpuluh-puluh tahun lamanya serta seorang pelayan dan seorang budak perempuan.
Kiranya perahu berwarna putih yang ditumpangi Siauw thay Hujien tempo hari juga ikut
terbakar oleh amukan api yang menghebat sedangkan kedua orang tukang perahunyapun
sudah mengundurkan diri dari pekerjaan.
Kini di tengah halaman rumah yang amat luas kecuali seorang pelayan yang
membersihkan lantai serta menyirami bunga tak ada orang lain yang muncul di tempat itu.
Karena sebab itulah suasana di tengah halaman sunyi dan tenang sekali.
Pada suatu hari setelah makan siang tiba-tiba Im Kauw berkata kepada Siauw Hujien,
“Lukaku kini sudah sembuh benar-benar sedang setiap hari tidak punya pekerjaan rasanya
amat senggang sekali. Baiknya putramu kirim kepadaku saja untuk aku kasih pelajaran
ilmu surat, dengan demikian akupun bisa melenyapkan kemurungan hatiku ini…”
Siauw Hujien termenung sebentar, akhirnya dia tertawa.
“Kalau memangnya moay-moay punya maksud begitu, aku takut malah sudah buang
banyak tenagamu dengan percuma…”
Im Kauw tahu dalam hatinya sedang ragu-ragu, karenanya dia tidak banyak mendesak
lagi.
Pada keesokan harinya Siauw Hujien dengan membawa anaknya datang menyambangi
dirinya kembali, walaupun Im Kauw sudah menolak beberapa kali akhirnya si bocah cilik
itu menjalankan penghormatan juga kepadanya.
Sekalipun Siauw Thayjien sudah amat lama sekali mengasingkan diri dari dunia ramai
tetapi terhadap peraturan rumah dia mempertahankan dengan kerasnya.
Walaupun dari mulut Siauw Hujien dia sudah mendengar kalau keluarga Siauw
mempunyai seorang anak tunggal tetapi sejak dia sadar dari pingsannya hingga saat ini
belum pernah bertemu muka sang bocah.

Menurut ingatannya sendiri Siauw Thayjien sendiripun, selama beberapa bulan ini cuma
menjenguk satu kali saja, selama ini dia selalu ditemani oleh Siauw Hujien serta seorang
budak-budak perempuan yang baru berusia delapan sembilan belas tahunan.
Setelah Siauw Hujien menyuruh anaknya memberi hormat kepada Im Kauw segera
menarik tangannya sambil berkata dengan mesra.
“Moay-moay, bakat bocah ini sangat bagus ingatannyapun amat tajam sekali cuma
sayang tubuhnya amat lemah harap Moay-moay mau sedikit memperhatikan dirinya…”
“Cicikan harap berlega hati, aku bisa memperhatikan dirinya seperti kau memperhatikan
dia orang.”
Tak tertahan lagi Siauw Hujien menghela napas panjang.
“Moay-moay, harap kau jangan salah paham atas maksud hatiku, jikalau kau orang
mau pukul pukullah sesuka sesukamu, jika harus dimaki makilah sesuka hatimu, ada
paparan yang mengatakan pisau jika tidak diasah tak akan tajam…”
“Cici harap kau berlega hati,” sambung Im Kauw sambil melirik ke arah bocah tersebut.
“Aku lihat bakatnya amat bagus otaknyapun amat tajam pada kemudian hari
kecerdasannya tidak akan di bawah suamimu!”
“Heeeey… suamiku selalu kukuh pada pendirian sehingga sudah banyak membuat
kesalahan kepada kaum pembesar. Terpaksa kami harus lari dan mengasingkan diri di
tengah dusun Tad Kwee ini. Biar orang sudah sumpah untuk tidak akan mendidik anaknya
menjadi seorang pembesar negeri, ilmu suart yang biasanya diajarkan kepada sang bocah
tidak ada sebuahpun yang menyangkut soal negara. Nyangkut soal negara, jika bukannya
syair sejak nyanyian perbintangan kitab suci dan kitab-kitab lainnya dia menyandarkan
juga apa yang dia pikirkan pada waktu itu, sehingga seorang bocah yang baru berusia dua
belas tahun sudah dibuatnya memiliki macam-macam ilmu pengetahuan yang aneh.”
“Suamimu sedikitpun tidak salah,” ujar Im Kauw kemudian sambil tertawa. “Tidak
perduli pada kemudian hari bocah ini mau menjabat sebagai pembesar negeri atau tidak
ilmu-ilmu pengetahuan itu memang seharusnya diketahui.”
Siauw hujien pada saat itu agaknya sudah merasa waktunya telah cukup bercakapcakap
kepada puteranya lalu dia berpesan, “Ling jie kau harus baik-baik mendengar
nasehat bibi Im.”
Dia segera putar badan meninggalkan tempat itu.
Im Kauw juga tidak menahan lebih lama. Dia segera menghantar Siauw hujien keluar
pintu kemudian menutup pintu kamarnya.
Di dalam kamar buku itu kecuali terdapat seperangkat alat minum saja. Jendela di
samping kamar tepat menghadap ke arah kebun bunga yang secara samar-samar
memancarkan bau harum yang semerbak.
Dengan pandangan amat tajam Im Kauw memperhatikan bocah itu dari atas kepala
hingga ke ujung kakinya, terlihatlah pada kulitnya yang berwarna kuning secara samarsamar
mengandung warna hijau kebiru-biruan tak terasa lagi dia menghela napas panjang

pikirnya, “Untung sekali bocah ini sudah bertamu dengan aku kalau tidak umurnya tidak
akan lebih dari dua puluh.”
Lalu katanya, “Aku bernama Siauw Ling!”
“Nama ini amat bagus sekali, semoga saja pada kemudian hari kau berhasil
mencermelangkan nama keluargamu.”
Tapi Siauw Ling cepat-cepat gelengkan kepalanya.
“Tia pernah memeriksa urat nadiku, dia orang tua bilang usiaku tidak akan lebih dari
dua puluh tahun asalkan aku berhasil sedikit belajar ilmu pengetahuan dua tahun
kemudian dia mau membawa aku berpesiar kesemua tempat yang punya pemandangan
indah sekalipun kemudian hari aku harus mati dalam usia muda juga tidak akan sampai
merasa kecewa.”
Mendengar perkataan itu Im Kauw menjadi melengak. Tapi sebentar kemudian dia
sudah tertawa.
“Perkataan ini apakah kau pernah memberitahukan kepada ibumu?”
“Tidak! tia sudah berpesan wanti-wanti kepadaku untuk jangan sampai menceritakan
urusan ini kepada ibu. Tia bilang kalau ibu tahu akan urusan ini, dia pasti akan menangis
sedih.”
Sekali lagi Im Kauw tersenyum.
“Ling jie, kau takut mati tidak?” tanyanya
“Tidak takut! Tia bilang mati hidup berada di tangan Thian, siapapun tidak akan bisa
mengubahnya.”
“Tetapi kematian adalah suatu pekerjaan berat seberat gunung Thay-san, ringan
seringan bulu angsa… Walaupun mati hidup seseorang ada di tangan Thian, tetapi setiap
orang harus memiliki keinginan untuk hidup lebih lama lagi.”
Dengan perlahan Siauw Ling tundukkan kepalanya, lalu ujarnya dengan sedih, “Aku
tidak ingin melihat Tia merasa sedih karena aku…”
Air muka Im Kauw seketika itu juga berubah amat serius. Sekilas hawa dingin yang
amat kaku menyelimuti seluruh wajahnya lalu ujarnya sepatah demi sepatah, “Bocah bila
kau orang mau mendengarkan omonganku maka kau tidak akan mati…”
“Sungguh?” teriak Siauw Ling sambil membelalakan matanya.
“Hemm… cuma ada satu hal yang harus kau ingat. Apa yang kau pelajarkan kepadamu
kau orang tidak boleh memberitahukan kepada ayah ibumu.”
“Baiklah!” sahut Siauw Ling kemudian sesudah termenung sejenak.
Waktu berlalu dengan amat cepatnya, di dalam sekejap mata dua bulan sudah berlalu
kembali.

Tidak ada seorangpun tahu ada yang sudah dikerjakan Im Kauw serta Siauw Ling yang
bersembunyi di dalam kamar buku yang tertutup rapat itu selama dua bulan ini.
Tetapi ada satu hal yang membuat Siauw hujien merasa lega, tubuh Siauw Ling yang
semula amat lemah kini sudah menjadi bertambah sehat sedang sinar kemerah-merahan
pun mulai melampisi air mukanya.
Siauw thay cien yang hatinya amat tawar walaupun melihat puteranya Siauw Ling
memperlihatkan perubahan yang amat cepat tapi dia tidak mau ambil berduli, sebaliknya
Siauw hujien yang melihat puteranya semakin hari semakin sehat menjadi amat girang,
dia mana mau tahu sebenarnya Siauw Ling sudah belajar apa dari diri Im Kauw.
Hari itu, bulan dua belas tanggal dua puluh tiga baru saja Siauw hujien selesai
berdandan tampaklah olehnya Siauw Ling dengan tergesa-gesa berlari masuk ke dalam
kamar sambil berteriak, “Mama… bibi Im sudah pergi!”
“Apa?” Teriak Siauw Hujien terkejut.
“Bibi Im sudah pergi secara diam-diam dia orang cuma meninggalkan sepucuk suart
buat kita.”
Dengan terburu-buru Siauw hujien menerima surat itu dan dibaca isinya, “Buat Siauw
hujien yang baik!”
“Budi pertolongan dari kalian sekeluarga terutama cinta kasih hujien kepadaku
sebenarnya tidak’ah sepantasnya aku pergi tanpa pamit.”
“Aku merasa amat sayang tidak bisa melanjutkan memberi pelajaran kepada Ling jie
untuk membalas budi yang amat besar itu, tapi apa boleh buat. Siauw moay mempunyai
urusan penting yang harus diselesaikan secepat mungkin.”
“Sebetulnya Siauw moay mau berpamit kepada cici sekalian. Berhubung takut kalau cici
menahan aku lebuh lama lagi terpaksa dengan meninggalkan sepucuk surat ini aku pergi
secara diam-diam harap cici sekalian suka memaafkan kesalahan ini.”
“Tapi cici jangan kuatir, budi yang amat besar ini pada suatu hari pasti akan kubalas.”
Selagi membaca surat ini Siauw Hujien segera berteriak, “Bagaimana ini bisa jadi? dia
adalah seorang perempuan lemah apa lagi di tengah musim salju yang demikian
derasnya.”
Tiba-tiba terdengar suara langkah manusia yang berjalan masuk dengan tergesa-gesa
Siauw Thay jin dengan menyingkap hordin sudah berjalan masuk kedalam.
Waktu itu dihari Siauw Hujien benar-benar merasa cemas sekali melihat suaminya
berjalan masuk segera ujarnya dengan cepat, “Lho ya coba kau lihat, Im Kauw sudah
meninggalkan tempat ini dengan hanya meninggalkan sepucuk surat saja.”
“Tidak usah dilihat lagi! Di dalam hal ini tentu ada urusan,” ujar Siauw Thayjien sambil
gelengkan kepalanya.

Dia segera menyambut surat itu kemudian disobek-sobek dan memasukkannya kembali
ke dalam saku.
“Kau berbuat apa?” Teriak Siauw Hujien tertegun,
“Surat ini tak bisa dia simpan lagi.”
“Kenapa?”
Siauw Thay jin menghela napas panjang.
“Kita harus berjaga-jaga terhadap peristiwa yang tidak diinginkan, urusan yang sudah
berlalu biarkanlah berlalu kita tidak usah mengungkapnya kembali.”
Si orang tua yang berhati tawar ini sekalipun tidak tahu urusan yang sudah terjadi di
dalam Bulim tetapi dia kurang punya pengalaman amat luas secara samar-samar sudah
merasakan kalau urusan ini sedikit tidak beres.
Siauw Ling yang dengan termangu-mangu melihat tindak tanduk ayahnya mendadak
tertawa ringan.
“Menurut pendapatku bibi Im pasti akan kembali lagi,” ujarnya perlahan. “Cepat atau
lambat aku pasti bisa bertemu kembali dengan dia orang.”
Air muka Siauw Thay jin segera berubah membesi.
“Bocah cilik, tahu apa???” makinya.
Tetapi tidak perduli ayahnya bagaimana memaki dirinya di dalam hati bocahnya dia
merasakan suatu keteguhan hatinya yang amat aneh sekali. Dia merasa Im Kauw tidak
akan meninggalkan begitu saja, pada suatu hari dia tentu akan bertemu kembali dengan
dirinya.
Usianya yang masih muda ini membuat apa yang sudah dirasakan mantap di dalam
hatinya tidak akan diubah kembali untuk selamanya.
Mulai saat itu setiap hari dia terus menanti-nanti di depan pintu tidak perduli bagaimana
dinginnya hawa saat itu dia tetap melototkan sepasang matanya memperhatikan jalan
raya yang sudah memutih tertutup oleh salju.
Kadang kali Siauw Hujien menariknya ke dalam rumah tetapi begitu pengawasannya
kendor dia lari kembali keluar, karenanya semua isi rumah sudah tau akan kebiasaannya
ini sehingga tidak ada yang berani buka mulut mencegah.
Musim salju yang sangat dingin merupakan hari yang cepat berlalu, siang jauh lebih
pendek dari malam harinya di dalam sekejap saja lima hari sudah berlalu dengan amat
cepatnya.
Beberapa hari menjelang tahun baru seperti biasa dengan menggunakan mantel
berbulu yang tebal memakai topi berbulu pula dia berdiri di depan pintu memandang salju
nan putih yang menutupi seluruh permukaan.

Tiba-tiba terdengar suara helaan napas panjang berkumandang dari belakang tubuhnya
disertai beberapa patah kata, “Majikan cilik pulang saja! Salju yang begitu tebal sudah
menutupi permukaan tidak akan ada orang yang berani melakukan perjalan dalam waktu
seperti ini.”
Siauw Ling segera menoleh. Entah sejak kapan Siauw Hok itu pelayan tuanya sudah
berdiri di belakang tubuhnya. Tak heran lagi, dia mengerutkan alisnya rapat-rapat
kemudian ujarnya dengan amat gusarnya, “Siapa yang suruh kau ikut campur dalam
urusanku. Cepat pulang!”
Mendadak sesosok bayangan manusia dengan menempuh tiupan angin serta hujan
badai berlari mendatang. Hatinya menjadi amat girang sekali teriaknya, “Aaaah…. sudah
datang, sudah datang, aku sudah menduga dari dulu bibi Im tidak akan meninggalkan
aku…..!”
Nada suaranya penuh disertai perasaannya yang amat girang.
Siauw Hok menjadi tertegun, diapun mengikuti arah pandangan majikan ciliknya
memandang ke arah depan. Ternyata tidak salah dari antara tumpukan salju itu tampaklah
sesosok bayang manusia berjalan mendatang. Jika dilihat dari potongan dadanya yang
amamt ramping jelas sekali dia adalah seorang perempuan.
Di dalam musim yang demikian dinginnya setiap orang yang memakai pakaian tebalpun
merasa kedinginan tetapi perempuan itu cuma memakai pakaian singsat yang amat tipis
lagi pula compang camping di tengah tiupan angin yang amat dingin uung bajunya
berkibar tak hentinya.
Bayangan manusia itu semakin lama semakin mendekat, saat itulah baru jelas terlihat
kalau orang itu bukan lain adalah seorang gadis berbaju hijau yang baru berusia enam,
tujuh belas tahunan rambutnya yang panjang terurai ke bawah wajahnya pucat
menghijau, wajahnya di tengah tiupan angin taupan gemetar dengan amat kerasnya jelas
sekali dia tak bisa menahan rasa dingin yang menyerang badannya.
Air muka Siang-Siang yang semula penuh diliputi oleh senyuman kegembiraan kini
sudah lenyap kembali berganti dengan perasaannya yang amat kecewa, dia menghela
napas panjang.
Baru saja tubuhnya hendak meninggalkan tempat itu mendadak terdengar gadis itu
menjerit keras, tubuhnya sudah terluyung-luyung maju dua langkah ke depan lalu rubuh
ke atas permukaan salju.
Pemandangan pada saat itu amat menyedihkan sekali di atas permukaan salju yang
begitu tebal di tengah tiupan angin yang dingin seorang perempuan muda berpakaian
amat tipis menggeletak tak sadarkan diri di atas tanah.
Dengan amat sedihnya Siauw Ling menghela napas panjang.
“Sungguh kasihan bocah itu!”
Walaupun pada nada suaranya mengandung penuh perasaan kasihan tetapi orangnya
masih tetap berdiri di tempat semula sama sekali tidak bergerak.

Salju turun bagaikan bulu angsa di dalam sekejap mata itulah sebagian besar tubuh
gadis berbaju hijau yang menggeletak di atas tanah sudah terpendam di dalam tumpukan
salju.
Siauw Ling ragu-ragu sebentar akhirnya dengan langkah lebar dia berjalan mendekati
tubuh sang gadis dan membersihkan salju yang menutupi sebagian besar tubuhnya itu.
“Hey, kau bangunlah!” teriaknya sembari menarik tangannya sigadis berbaju hijau itu.
“Biar aku bimbang kau masuk kerumah untuk menghindarkan diri dari amukan salju…”
Melihat tingkah laku dari majikan mudanya dengan hati cemas Siauw Hok berjalan
mendekat.
“Heeey… Thay Souw ya di tengah tiupan angin yang demikian dingin serta curahan
salju yang demikian lebat mungkin dia orang sudah mati beku,” ujarnya cepat-cepat.
“Hmm! Sekalipun sudah mati kitapun seharusnya membantu dia orang menguburkan
mayatnya.”
“Tapi selama dua hari ini Loo-ya serta Hujien sedang murung hati!” seru Siauw Hok
sembari tertawa pahit. “Bilamana mereka melihat kau orang menggotong nona ini
kerumah mungkin Loo-ya dia orang…”
“Loo-ya kenapa?” teriak Siauw Ling sambil melototkan matanya. “Tia bukanlah manusia
berhati kejam yang tidak mau menolong orang di dalam keadaan susah. Cepat gotong
nona ini ke dalam rumah, bila ada urusan aku yang menanggung semua!”
Ketika dia dapat melihat wajah dari gadis ini dalam hatinya entah dikarena apa segera
merasakan kalau wajahnya sangat dikenal olehnya, tanpa terasa lagi dari dalam hatinya
timbul perasaan simpatik, oleh karenanya dengan kokoh dia ingin membawa sang nona
kembali kerumah.
Dia orang yang sudah mengikuti sang majikan berpuluh-puluh tahun lamanya sudah
mengenal benar-benar sifatnya sang Loo-ya, dia tau dalam beberapa hari ini Loo-ya
maupun Hujien sedang dibuat murung oleh peristiwa Im Kauw dalam hati dia benar-benar
tidak ingin ada urusan lagi yang mengganggu karenanya dengan diam-diam dia membawa
tubuh gadis ke belakang rumah.
Siapa tahu baru saja sampai di tengah halaman justru pada saat itu telah bertemu
dengan Siauw Hujien, tak kuasa lagi hatinya terasa tergetar amat keras, terpaksa ujarnya
sambil bungkukkan diri memberi hormat.
“Nona ini dengan menempuh hujan salju sudah melakukan perjalanan mungkin karena
tidak kuat menahan hawa dingin dia orang sudah rubuh tak sadarkan diri di atas
permukaan salju, nanti biarlah aku orang beri beberapa stel pakaian kepadanya kemudian
suruh dia melanjutkan perjalanan kembali.”
Dengan sinar mata penuh kasih sayang Siauw Hujien memandang beberapa kejap ke
arah wajah sang gadis, mendadak dia menghela napas panjang.

“Bocah perempuan ini sungguh amat kasihan hawa demikian dingin dia cuma memakai
baju begitu tipis… Heeeey! Biarlah dia orang menginap beberapa hari saja disini, sesudah
hujan salju ini berhenti baru kita baik-baik lepaskan dia untuk melanjutkan perjalannya
kembali.”
Terpaksa Siauw Hok menyahut sambil menganggukkan kepalanya berulang kali.
Pada saat yang bersamaan pula Siauw Ling tiba-tiba muncul dari mereka, sambil
merangkul lengan Siauw Hujien ujarnya tertawa, “Dari tadi Lingjie sudah tahu kalau mama
menyalahkan diriku…”
Seharian ini hujan salju turun tak henti-hentinya membuat hawa semakin dingin, pada
saat Siauw Ling menemani orang tuanya duduk menghangatkan tubuh dipinggir api
unggun mendadak tampak banyangan manusia berkelebat gadis berbaju hijau itu dengan
langkah perlahan berjalan masuk.
Sesudah beristirahat seharian penuh tenaganya kini pulih kembali. Di bawah sorotan
sinar lilin tampaklah wajahnya yang memerah seperti buah apel dengan rambutnya yang
hitam panjang terurai ke bawah, walaupun baju yang dipakai amat kasar tapi tidak
menutupi kecantikan wajahnya yang sangat menggiurkan itu.
Dia menggibaskan salju yang melekat pada badannya kemudian berjalan masuk ke
dalam ruangan. Dari kejauhan kepada Siauw Thayjien suami istri jatuhkan diri memberi
hormat.
“Siauw li mengucapkan banyak terima kasih atas budi pertolongan aku orang…”
“Heeey… nona silahkan bangun,” terdengar Siauw Thayjien menghela napas panjang.
“Terima kasih Loo-ya Hujien.”
Siauw Hujien yang amat menarik itu membuat hatinya betul-betul gembira.
“Bocah, kau kemarilah,” ujarnya sambil menggapai.
Gadis berbaju hijau itu menurut dan berdiri di samping Siauw Hujien tanyanya dengan
suara lembut, “Entah Hujien punya petunjuk apa???”
Semakin melihat Siauw Hujien semakin tertarik cepat-cepat dia menarik tangannya.
“Bocah, cepat duduklah, siapa namamu? Kenapa melakukan perjalanan seorang diri di
tengah tiupan angin dan curahan hujan salju yang lebat ini?”
“Siauw li she Gak bernama Siauw-cha kini menempuh perjalanan jauh sedang mencari
buku yang entah sudah pergi kemana,” ujarnya sambil meneteskan air mata dengan amat
derasnya. “Bilamana bukannya Loo-ya serta Hujien turun tangan menolong mungkin Siauw
li sudah terkubur di bawah curahan hujan salju.”
Nada suaranya amat lembut bahkan mengabung kesedihan ditambah pula gerakgeriknya
yang membuat orang lain merasa beriba hati membuat Siauw Hujien menghela
napas panjang tak henti-hentinya.

Sebaiknya wajah Siauw Thay-jien tetap angker tanyanya dengan perlahan, “Jejak
ibumu apakah nona sudah tahu?…”
“Arah yang ditempuh itu adalah empat penjuru jauh di ujung langit dekat di depan
mata.”
“Ehmm….. ehmmm…. nona sungguh patut dikasihani.”
“Siauw li masih mengharapkan Loo-ya mau memberi nasehat kepadaku…”
Siauw Ling yang sejak Gak Siauw-cha masuk ke dalam ruangan terus menerus
memperhatikan wajahnya mendadak dia menyela, “Ooooooh…. Tia…. moay-moay ini mirip
sekali dengan bibi Im.”
“Bocah cilik jangan omong sembarangan!” Segera bentak Siauw Thayjien dengan keras.
Siauw Ling tidak berani berbicara lagi, cepat-cepat dia orang menutup mulutnya
kembali.
Siauw Hujien yang mendengar perkataan puteranya secara diam-diam lalu
memperhatikan lebih teliti wajah sang gadis, ternyata sedikitpun tidak salah wajahnya
memang amat mirip sekali dengan Im Kauw, dia menjadi tertegun.
“Perkataan dari Ling jie sedikitpun tidak salah, nona Gak ini memang benar-benar ada
tujuh bagian mirip dengan wajahnya Im Kauw.”
“Heeeey… kalian bercakap-cakaplah dahulu! Aku mau kembali ke kamar buku,” ujarnya
Siauw Thayjien perlahan lalu dengan perlahan bangkit berdiri dan berlalu dari sana.
Siauw Ling yang melihat ayahnya meninggalkan ruangan tak merasa lagi nyalinya
semakin besar. Sambil memandang Gak Siauw-cha ujarnya, “Sayang sekali bibi Im sudah
pergi pada enam, tujuh hari yang lalu. Heeeeey… jika kau seorang datang beberapa hari
dan sebelumnya mungkin sekali kau langsung bisa bertemu dengan bibi Im ku itu, saat itu
kau baru akan tahu kalau perkataanku sendiripun tidak salah.”
Dia berhenti sebentar, lalu sambungnya, “Tapi aku percaya pada suatu hari pasti akan
kembali.”
“Semoga saja perkataan dari kongcu sedikitpun tidak salah?”
“Jika kau tidak ada tempat yang dituju lebih baik untuk sementara tinggal di rumahku
ini dulu nanti sesudah bibi Im kembali lagi kau akan tahu perkataanku bukanlah bohong
belaka.”
“Heey. Jika kalian mau menerima, Siauw li mau menjadi budak untuk melayani Hujien
serta kongcu.”
“Tidak bisa, tidak bisa!” teriak Siauw Ling goyangkan tangannya berulang kali. “Aku
sudah begini besarnya buat apa dijaga orang lain lagi, kau cukup melayani mama seorang
saja.”

Dengan perlahan sinar mata Gak Siauw-cha menoleh ke arah Siauw Hujien kemudian
jatuhkan diri berlutut.
“Terima kasih atas kemurahan hati Hujien mau menerima Siauw li disini,” ujarnya
dengan perlahan.
“Jumlah keluarga kami amat sedikit sekali. Jikalau nona mau tinggal disini tentu saja
aku merasa sangat gembira.”
Cuaca di dalam seharian saja sudah berubah kembali, awan tebal tersapu bersih
berganti dengan munculnya sang surya memancarkan sinar terang memenuhi seluruh
permukaan. Suatu pagi yang memancarkan sinar terang memenuhi seluruh permukaan
suatu pagi cerah muncul di depan mata.
Dengan memakai seperangkat baju Siauw Ling keluar dari dalam kamar sejak dia
memperoleh cara bersemedi untuk belajar ilmu kwe kang dari Im Lauw bukan saja
badannya yang lemah kini menjadi sehat bahkan secara tidak disadari olehnya dia sudah
memperoleh sadar untuk belajar silat.
Sesampainya di tengah halaman terlihatlah olehnya Gak Siauw-cha yang memakai baju
hijau itu sedang membersihkan tumpukan salju yang mengotori halaman dalam.
Gerak-geriknya amat lincah dan cepat sekali, di dalam sekejap mata tumpukan salju
yang ada di tengah halaman sudah disapunya hingga amat bersih.
Dengan perlahan dia menoleh ke belakang. Ketika dilihatnya Siauw Ling berdiri disana
dia segera tertawa.
“Kongcu, selamat pagi,” ujarnya sembari berjalan mendekati.
Di bawah sorotan sinar matahari tampaklah pipinya yang merah serta kulit tubuhnya
yang putih bagaikan salju yang membuat wajahnya semakin kelihatan cantik dan menarik
sekali.
Siauw Ling yang melihat lebih tegas lagi kalau wajah serta bentuk tubuhnya sangat
mirip dengan diri bibi Im nya, dia dibuat tertegun kembali.
“Kongcu kenapa kau terus menerus memandangi diri budakmu?” tanyanya kemalumaluan
ketika dilihatnya Siauw Ling memandang terus wajahnya dengan termangumangu.
“Heey, wajahmu mirip sekali dengan bibi Im; jika umurmu bertambah lagi beberapa
tahun waktu itu tidak akan bisa membedakan lagi siapakah kau dan siapakah bibi Im.”
Air muka Gak Siauw segera berubah amat berat tetapi di dalam sekejap saja wajahnya
kembali berubah tenang kemudian putar badannya dan berlalu dari sana.
Selama beberapa hari ini sejak pagi Siauw Ling sudah berlari ke depan pintu untuk
menanti kembalinya diri bibi Im. Di dalam hati kecilnya dia terus menerus menganggap
kalau Im Kauw pada suatu hari pasti akan kembali. Dia orang tidak mungkin mau
meninggalkan dirinya.

Tetapi kini dia mulai merasakan hatinya kecewa wajah yang cantik dari Gak Siauw-cha
serta suar tertawanya yang merdu walaupun tidak kalah dari Im Kauw tetapi semuanya itu
tidak dapat menggantikan rasa cinta kasih yang diberikan Im Kauw kepadanya, di dalam
hati kecilnya dia mulai merasa rindu dan murung.
Dengan pikiran kosong dia berjalan kembali ke dalam kamar bukunya.
Tempat ini sudah ada beberapa hari lamanya Siauw Ling masuk, barang-barang yang
ada di dalam ruangan masih tetap seperti semula tapi Im kauw tetap tak ada kabar
beritanya.
Di tempat inilah dia menerima kasih sayang dari Im Kauw, di tempat ini juga Im Kauw
memberi pelajaran dasar ilmu kweekang tersebut tetapi dia tahu bahwa badannya yang
semula lemah mendadak menjadi sehat sekali semuanya ini adalah pemberian dari Im
Kauw. cinta kasih yang begitu besarnya ini sudah terukir dalam-dalam di dalam hatinya.
Saking sedih hatinya tak tahan lagi, perlahan-lahan mulai memejamkan matanya dan
berlatih sesuai dengan petunjuk dari Im Kauw.
Entah lewat beberapa saat lamanya mendadak dia dibuat sadar oleh suara pecahnya
barang di atas sana.
Cepat-cepat dia membuka mata, terlihatlah wajah Gak Siauw-cha berubah amat pucat.
Sepasang matanya yang jeli dengan termangu-mangu memperhatikan sesuatu di atas
jendela sedang nampan cawan yang ada ditangannya sudah jatuh ke atas tanah sehingga
hancur lebur.
Siauw Ling menjadi tertegun.
“Kau kenapa?” tanyanya.
Seperti baru saja sadar dari impian Gak Siauw-cha membereskan rambutnya yang
terurai ke bawah, dengan perlahan dia putar badannya.
“Bibi Im yang hilang itu apakah dulu tinggal di kamar buku itu?” tanyanya tiba-tiba.
Walaupun dia berusaha untuk menyimpan golakan hatinya yang amat keras tak urung
suaranya rada gemetar juga. Jelas sekali dia sedang merasa sangat sedih.
Walaupun Siauw Ling merasa beberapa patah katanya ini ditanyakan secara mendadak
dia gelengkan kepalanya.
“Bibi Im tidak tinggal disini tapi di tempat inilah dia memberi pelajaran ilmu surat
kepadaku!”
“bagaimana sikap bibi Im terhadap dirimu?”
“Sangat baik, maka aku selalu rindu kepadanya. Heee! Semoga saja dia bisa kembali
secepatnya.”
“Semoga saja demikian,” jawab Gak Siauw-cha kemudian dengan hati perih.

Segera dia punguti cawan yang pecah kemudian dengan sedih mengundurkan diri dari
dalam kamar.
Siauw Ling yang jadi orang amat cerdik ketika melihat sikap dari Gak Siauw-cha amat
aneh hatinya menjadi amat curiga, dengan diam-diam dia bangkit berdiri kemudian
berjalan mendekati jendela tersebut dan memeriksanya dengan teliti.
Lama sekali dia mengadakan pemeriksaan tetapi sedikitpun tidak tampak hal-hal yang
mencurigakan hatinya, saking murungnya dia segera membuka jendela itu.
Tampaklah seluruh kebun penuh dilapisi oleh salju nan putih, beberapa batang pohon
Bwee tetap tumbuh diantara tumpukan salju dan menyiarkan bau harum yang semerbak.
Tiba-tiba sesosok bayangan manusia berkelebat kemudian dengan amat cepatnya
bersembunyi dibalik pepohonan diantara tumpukan salju itu.
Hanya di dalam satu kali pandang saja sudah bisa melihat bayangan itu bukan lain
adalah diri Gak Siauw-cha.
Perasaan ingin tahu segera meliputi hatinya dengan tergesa-gesa berlari keluar dan
mengadakan pengejaran.
Tampaklah bekas-bekas telapak kaki yang tertinggal di atas salju dengan mengikuti
bekas-bekas telapak kaki itu Siauw Ling mengadakan pengejaran terus.
Sesudah mengitari pepohonan yang lebat sampailah pada pojokan kebun itu, mendadak
jejak kaki yang ada di atas permukaan salju lenyap tanpa bekas.
Siauw Ling segera menghentikan langkahnya terlihatlah langit biru yang bersih disertai
sang surya yang memancarkan sinar terang menerangi seluruh permukaan tapi tak
tampak apapun disana! kemana sebetulnya diri Gak Siauw-cha?
Tak tertahan gumamnya seorang diri, “Sungguh aneh sekali, sebenarnya dia lari
kemana?”
Mendadak sinar matanya terbentur dengan sebuah lubang kecil seluas tiga depa yang
ada di atas permukaan salju kurang lebih empat lima depa di samping badannya sekarang.
Itulah sebuah sumur kuno! menurut ingatan Siauw Ling itu sudah lama kering dan tidak
pernah dipakai lagi.
Tempat itu merupakan pojokan kebun dari keluarga Siauw yang paling sepi, selain
tukang kebun yang mengurasi kebun tersebut jarang sekali ada orang yang sampai di
tempat itu.
Suatu keinginan yang amat aneh membuat diri Siauw Ling tanpa sadar sudah berjalan
menuju ke arah sumur tersebut.
Tiba-tiba… suara tangisan yang menyayatkan hati berkumandang keluar dari dalam
sumur.

Siauw Ling menjadi amat terperanjat. Cepat-cepat dia melongok melihat dasar sumur
tersebut.
Di bawah sorotan sang surya terlihatlah secara samar-samar ada barang yang sedang
bergerak pada dasar sumur itu.
Terlihatlah sesosok bayangan manusia sedang berjongkok dan menangis dengan
sedihnya disana. Suara tangisan itu begitu menyedihkan membuat hati orang lain terasa
sangat tidak enak.
Dengan seluruh kekuatan Siauw Ling berusaha memandang ke arah sumur. Lama sekali
dia baru bisa melihat orang itu bukan lain adalah dari Gak Siauw-cha di depan tubuhnya
terlihatlah sesosok manusia duduk bersila tak bergerak sedikitpun, terhadap suara
tangisan dari Gak Siauw-cha ini, dia sama sekali tidak ambil perduli. Suara tangisan itu
semakin lama semakin sedih, semakin lama semakin menyayatkan hati…
Secara samar-samar di tengah suara tangisan itu terdengar seruan yang terputusputus,
“Ooooh… ibu putrimu… putrimu sudah datang terlambat… aku tidak bisa, tidak
bisa, tidak bisa bertamu lagi dengan kau, ooooh mama… Oooooh…”
Saking terharunya Siauw Ling ikut menangis dua titik air mata menetes keluar
membasahi pipinya, dengan perlahan dia angkat ujung bajunya untuk mengusap.
Siapa tahu sepasang tangannya yang tadi digunakan untuk menahan badannya di atas
permukaan salju membuat tangannya itu menjadi kaku, baru saja dia angkat tangannya ke
atas segera terasalah badannya menjadi berat tak kuasa lagi tubuhnya terpeleset masuk
ke dalam sumur kering tersebut.
Di dalam keadaan amat gugup dengan ajak-ajakan Siauw Ling berusaha untuk
merambat barang apa yang didapatinya di pinggiran sumur tersebut.
Pada saat yang amat kritis itulah mendadak Siauw Ling merasakan badannya tersebut
tersedot oleh suatu tenaga hisapan yang amat lunak menahan badannya disusul bau
harum semerbak yang menyerang hidungnya.
Ketika dia sadar apa yang sudah terjadi terlihatlah dirinya kini sudah ada di dalam
pelukan Gak Siauw-cha, sepasang matanya yang jeli tetap tak henti-hentinya meneteskan
air mata.
Dengan gugup Siauw Ling meloncat berdiri. Tiba-tiba sinar matanya terbentur dengan
orang yang sedang bersila ini!
Tubuhnya dengan cepat menubruk ke depan.
Tapi dengan cepat tubuhnya sudah tertahan oleh sebuah tangan halus yang melintang
di depan dadanya.
“Kongcu, kau jangan sembrono, ibuku sudah meninggal dunia!” terdengarlah suara Gak
Siauw-cha yang sedih berkumandang masuk ke dalam telinganya.

Siauw Ling cuma merasakan dadanya seperti dipukul dengan sebuah martil yang amat
berat, darahnya bergolak amat keras sedang seluruh wajahnya berubah menjadi merah
padam.
Perubahan yang amat mengejutkan ini benar-benar membuat Siauw Ling termangumangu.
Lama sekali dia baru berhasil menguasai hatinya.
“Bibi Im adalah ibumu??” Tanyanya sembari memandang sekejap ke arah Gak Siauwcha.
“Benar, dialah ibu kandungku!” Sahut Siauw-cha sembari melelehkan air mata.
Dengan perlahan Siauw Ling menoleh kembali ke arah diri Im Kauw, terlihatlah pada
saat Im Kauw sedang duduk bersila dengan amat tenangnya wajahnya yang memerah
serta pakaiannya yang rajin persis seperti orang hidup, hal ini membuat perasaan gusar
meliputi hatinya.
“Kau orang jangan omong kosong!” makinya keras. “Kau kira aku seorang bocah cilik
yang belum pernah melihat orang mati?? Bibi Im sering duduk bersemedi seperti ini, maka
mungkin dia sudah meninggal??”
“Kongcu mana kau orang tahu?” Sela Gak Siauw-cha sambil gelengkan kepalanya.
“Tenaga dalam ibuku amat tinggi bahkan diapun sudah menelan pil sakit untuk
mempertahankan jenasahnya, karena itu badannya tidak akan rusak.”
“Aku tidak percaya omonganmu, bibi Im masih segar bugar mana mungkin bisa mati di
dalam sumur kering ini. Bibi Im… bibi Im…”
Sekalipun dia sudah berteriak-teriak seberapa kali Im Kauw tetap berdiam diri tak
menjawab.
Dengan adanya gangguan dari Siauw Ling ini kesadaran Gak Siauw-cha pun pulih
beberapa bagian, jawabnya dengan sedih, “Untuk selamanya kau orang tidak akan
memperoleh jawabnya Heeey! Kongcu kau yang dididik dalam ilmu surat saja tidak akan
paham urusan yang sudah terjadi di dalam Bulim. Untuk memberi penjelasan yang sejelasjelasnya
kepadamu.” Dia berhenti sebentar kemudian sambungnya,
“Lebih baik kongcu bisa sedikit menenangkan pikiran, janganlah sampai mengejutkan
orang-orang lain.”
“Bibi Im apa benar-benar sudah meninggal?” Tanya Siauw Ling dengan pandangan
penuh ragu dan curiga.
Dengan paksakan diri menahan kesedihan yang menyerang hatinya Gak Siauw-cha
mengangguk.
“Benar! jika aku bisa datang beberapa hari lebih pagi mungkin masih sempat untuk
bertemu muka dengan ibuku.”
Sekali lagi Siauw Ling mengalihkan pandangannya ke arah Im Kauw.

“Tapi bibi Im sedikitpun tidak mirip sudah mati!” Serunya ngotot dengan tidak percaya
dia mengeluarkan tangannya mencoba memeriksa napas dari bibinya.
Tangannya ada rasa sedikit gemetar sedangkan air mukanya penuh perasaan terkejut
bercampur curiga yang amat besar.
Gak Siauw-cha sendiripun tidak mencegah dirinya lagi cuma matanya dengan amat
tajam memperhatikan tangannya yang mulai mendekati mayat ibunya. Dia takut Im Kauw
akan rusak oleh sentuhan tersebut.
Dengan perlahan tangan Siauw Ling tersentuh dengan wajah Im kauw yang sudah
dingin kaku bagaikan es itu. Saat itulah dia baru percaya kalau bibi Im nya memang
benar-benar sudah binasa.
Sesudah melengak beberapa saatnya tak kuasa lagi dia menangis tersedu-sedu.
“Kongcu harap kau jangan menangis keras-keras hal ini tidak boleh sampai diketahui
oleh orang-orang lain!” seru Gak Siauw-cha setengah berbisik.
“Bibi Im betul-betul sudah meninggal, aku mau memberitahukan hal ini kepada Tia
serta Mama agar mereka bisa mengusahakan sesuatu upacara penguburan yang lebih
bagus.”
“Tidak bisa, tidak bisa jadi…” Cepat Gak Siauw-cha membantah. “Peristiwa ini tidak bisa
mengejutkan orang tuamu aku tak mau mengirim mayat ibuku secara diam-diam.”
“Kau mau membawanya kemana?”
“Menurut surat wasiat ibumu dia minta mayatnya dipindahkan ke suatu tempat yang
sudah ditentukan.”
“Semakin dipikir pikiranku semakin linglung,” ujar Siauw Ling gelengkan kepalanya,
“Bukankah bibi Im dalam keadaan baik-baik saja bagaimana secara mendadak dia bisa
meninggal? Heeey, aku tahu bahwa bibi Im tidak akan seorang diri tapi aku sama sekali
tidak menduga kalau dia bisa meninggal di dalam sumur ini!”
“Di dalam surat wasiatnya ibuku sudah jelaskan kalau budi kebaikan kalian kepada dia
orang tua amat besar sekali. Dia orang tua tidak ingin menyusahkan kalian dia minta aku
secara diam-diam kirim jenasahnya ke suatu tempat yang aman.”
“Dimana?” desak Siauw Ling dengan cepatnya.
“Kongcu tidak paham akan urusan dunia kangouw. Juga tidak kenal nama-nama dari
jagoan Bulim sekalipun aku memberitahukan kepadamu kaupun tidak akan tahu.”
“Lalu cici akan berangkat sekarang juga?”
Gak Siauw-cha mengangguk.
Jilid 2

“Aku mau menghantarkan jenazah ibuku menuju ke tempat yang sudah ditujukan
olehnya.”
“Aku ikut pergi!” Tiba-tiba Siauw Ling berseru tanpa berpikir lagi.
“Tidak bisa! tidak bisa!” teriak Siauw-cha berseru kaget. “Perjalanan ini sangat jauh
sekali apabila penuh dengan bahaya maut yang setiap saat bisa mengancam, kongcu kau
orang tidak boleh ikut aku pergi menempuh bahaya.”
Siauw Ling tidak mau tahu, dengan ngotot dia menjerit-jerit, “Tidak, aku mau ikut, aku
mau ikut… bibi Im sangat baik memperlakukan diriku, kini dia meninggal apakah tidak
seharusnya aku ikut menghantarkan jenazahnya? Cici… aku tetap mau ikut… aku mau
ikut…”
Tak kuasa lagi Siauw Ling menangis tersedu-sedu.
“Terima kasih atas maksud baik dari kongcu budakmu disini mengucapkan banyak
terima kasih.”
Begitu selesai dia berkata tanpa sungkan-sungkan lagi dia jatuhkan diri memberi
hormat.
Siauw Ling menjadi cemas, dengan cepat diapun jatuhkan diri berlutut dihadapan
jenazah Im Kauw, ujarnya, “Bibi Im memang aku seperti putra kandungnya sendiri dan
amat sayang padaku tak kalah seperti ibu kandung sendiri…. nona kau boleh dikata adalah
ciciku, heeey lain kali kau jangan memanggil aku dengan sebuta kongcu lagi.”
“Lalu budakmu harus memanggil dengan sebutan apa?”
Siauw Ling berpikir sebentar.
“Aku kecil beberapa tahun dari kau, baiknya kau panggil aku sebagai adik saja.”
“Soal ini budakmu tidak berani.”
“Apanya yang tidak berani? Kau boleh besar dari aku kau harus panggil aku dengan
sebutan adik, hal ini merupakan peraturan yang sudah terbiasa.”
Melihat sikapnya yang tulus ikhlas dari Siauw Ling, Gak Siauw-cha tidak tega untuk
menolaknya kembali, dia menghela napas panjang.
“Kalau kongcu berbicara begitu, baiklah aku menurut perintah saja.”
Sejenak suasana menjadi hening. Siauw Ling dongakkan kepalanya termenung sedang
Gak Siauw-cha pun sedang memandang jenazah ibunya dengan amat sedih, mendadak
suara dari Siauw Ling memecah kesunyian, “Cici, bawalah serta diriku!”
“Adik cepatlah kau keluar dari sini, soal itu tidak bisa diambil secepatnya.”
“Apa mungkin cici benci diriku?”

“Siapa yang bilang? budi pertolongan dari orang tuamu terhadap diriku sudah membuat
hatiku sangat berterima kasih!”
“Lalu mengapa kau orang tidak mau membawa aku ikut serta dalam perjalanan ini?”
“Perjalanan kali ini amat jauh sekali bahkan diliputi oleh suasana yang sangat
membahayakan, apalagi kau adalah putra tunggal dari keluarga Siauw , jika aku
membawa kau serta bukanlah kedua orang tuamu akan merasa cemas?”
Dengan perlahan Siauw Ling bangkit berdiri dia pandang wajah Im Kauw yang masih
segar itu dengan terpesona, lama sekali dia termenung.
“Dia bilang usiaku tidak akan lebih dari dua puluh tahun, dia orang tua tidak akan
banyak mengurusi diriku, sedang ibuku sangat cinta padaku. Mungkin dia tidak akan rela
membiarkan aku melakukan perjalanan seorang diri.”
“Dia sering mempelajari ilmu meramal, ilmu obat-obatan, kitab suci, syair dan lain-lain
bahkan dalam niatnya dia sudah bermaksud untuk membawa aku berpesiar kesemua
tempat terkenal kini bilamana dia orang tahu kalau aku hendak ikut cici melakukan
perjalanan jauh bukan saja tidak akan menghalangi ini aku mungkin akan mencarikan satu
cara agar ibuku menjadi lega hati.”
“Kalau begitu kau pulanglah dulu,” ujar Gak Siauw-cha kemudian sambil memandang
cuaca. “Untuk berangkat akupun harus sedikit mengadakan persiapan,” berkata Gak
Siauw-cha.
Diam-diam Siauw Ling berpikir di dalam hati, “Asalkan aku secara diam-diam
memeriksa sumur tua ini dia tidak akan bisa membawa jenazah bibi Im berlalu secara
diam-diam sepengetahuanku, waktu itu dia tidak akan lolos dari pengawasanku lagi.”
Dia segera mengangguk tanda setuju.
Tapi mendadak pada ingatannya berkelebat suatu ingatan, tinggi sumur itu ada satu
kaki lebih sedangkan di sekeliling tempat itu tiada tempat untuk taruh kaki, bagaimana
mereka bisa keluar dari sana? Dengan hati murung ujarnya, “Cici, jika ada orang yang
menaruh tali di atas sumpa kita baru bisa keluar dari sumur ini.”
Walaupun dia adalah seorang bocah yang cerdik tapi tetap merupakan seorang bocah
yang tidak tahu urusan Bulim, tentang hal-hal yang aneh dia orang sama sekali tidak
mengerti.
Mendengar perkataan tersebut Siauw-cha segera tertawa.
“Kau pejamkan matamu. Aku bisa hantar kau ke atas!”
Siauw Ling menjadi ragu-ragu, dinding sumur yang demikian tingginya bagaimana bisa
dipanjati? mungkin kecuali mempunyai sayap tidak akan bisa lolos lagi dari sana walaupun
begitu dia orang tidak mau banyak tanya. Segera dia tutup matanya.
Kiranya di dalam hati kecil dia sudah ambil keputusan untuk melihat dengan cara
bagaimana Siauw-cha hendak mengantar tubuhnya keluar dari sumur setinggi tiga kaki ini.

“Adik Ling hati-hatilah?” terdengar Siauw-cha sudah berseru.
Sepasang tangannya ditekankan ke bawah ketika Siauw Ling kemudian serunya kembali
dengan perlahan, “Jangan takut!”
Siauw Ling cuma terasakan segulung angin kencang yang amat keras mengalir keluar
dari kedua ketiaknya membuat seluruh tubuhnya terangkat sama sekali ke atas!
Di dalam sekejap saja dia merasakan hawa dingin dari salju di depan sumur, kiranya dia
orang sudah berada di atas permukaan tanah kembali.
Gak Siauw-cha pun ikut melayang tubuh Siauw Ling,
“Adik Ling kau takut?” tanyanya perlahan.
“Sedikit takut, cuma sekarang sudah tidak.”
Perlahan-lahan sinar matanya berhenti di atas wajah Siauw-cha ujarnya dengan serius,
“Bibi Im sangat baik memperlakukan diriku, hatiku sampai kini terus menerus masih
merindukan dirinya, tapi kini bibi Im sudah meninggal aku harus menghantarkan jenazah
ke tempat tujuan perjanjian diantara kita baiknya diputuskan demikian saja, “Cici! kau
jangan menipu aku, kau tidak boleh berangkat seorang diri!”
Gak Siauw-cha menjadi melengak.
“Bilamana adik Ling sungguh-sungguh mau ikut aku pergi, bukankah akan membuat
orang tuamu merasa kuatir?”
“Tidak, sesudah jenazah bibi Im dikubur aku akan segera pulang, nanti malam pada
kentongan ketiga aku akan pergi cari kau.”
Setelah itu barulah Siauw Ling putar badannya meninggalkan tempat tanpa menoleh
lagi.
Gak Siauw-cha yang melihat bayangan punggung Siauw Ling lenyap dibalik pepohonan,
hatinya benar-benar merasa terharu pikirnya, “Pada waktu dia pergi sekali menolehpun
tidak, hal itu membuktikan kalau dia benar-benar percaya padaku, walaupun di dalam
surat wasiatnya ibu memesan kepadaku agar aku menjaganya baik-baik tetapi sama sekali
tidak pernah mengatakan bolehkah aku membawa dia keluar rumah, keluarga Siauw
begitu baiknya terhadap aku orang, aku sendiri juga tidaklah seharusnya meninggalkan
Siauw Ling begitu saja. Hey jika aku benar-benar membawa dia pergi bukankah hal ini
membuat kedua orang tuanya bersedih hati?”
Semakin berpikir hatinya semakin kacau tak terasa lagi dia menghela napas panjang.
Sekembalinya di dalam kamar dengan tergesa-gesa Siauw Ling menulis sepucuk surat
buat ayah ibunya, kemudian membereskan sedikit pakaian yang dibungkus ke dalam
sebuah buntalan dan disembunyikan di bawah pembaringan. Walaupun dia belum pernah
melakukan perjalanan jauh tetapi dia sering mendengar ayahnya menceritakan bagaimana
waktu hendak mengadakan perjalanan.

Dia mengharapkan sang surya cepat lenyap di arah barat, dia mengharapkan malam
hari cepat menjelang. Teringat akan perjalanannya kali ini entah sampai kapan baru
kembali, sampai kapan baru bisa bertemu kembali dengan ayah ibunya. Hatinya serasa
amat sedih, tapi mengingat dia akan melihat pemandangan-pemandangan indah yang
belum pernah ditemuinya, hatinyapun merasa amat gembira.
Saking banyaknya pikiran yang berputar di dalam otaknya tak terasa lagi Siauw Ling
sudah tertidur pulas.
Mendadak dia dikejutkan oleh suara panggilan yang amat perlahan sekali di pinggir
tubuhnya, “Adik Ling, cepat bangun!”
Siauw Ling menjadi terkejut, cepat-cepat dia melompat bangun dari atas pembaringan
dan menyambar buntalan yang disembunyikan di bawah pembaringannya.
Tidak salah lagi, Gak Siauw-cha sudah ada disana dan sedang berdiri dengan
tenangnya.
Dia orang segera menerima buntalan dari Siauw Ling dan katanya, “Adik Ling, mari aku
bawa kau pergi dari sini!”
Dengan memeluk pinggangnya dia segera melayangkan badannya meninggalkan
tempat itu. Siauw Ling yang melihat kepandaiannya amat tinggi seperti seekor burung saja
hatinya semakin kagum lagi, pikirnya, “Pada suatu hari aku harus bisa berlatih ilmu seperti
cici ini.”
Gerakan tubuh Gak Siauw-cha amat cepat sekali, dalam sekejap mata dia sudah berada
di tengah pegunungan yang sunyi.
Malam ini merupakan suatu malam yang amat gelap, semua permukaan tanah cuma
terlihat salju yang amat putih, angin dingin bertiup amat kencangnya membuat setiap
orang merasa menggigil.
Siauw Ling yang kedinginan tak terasa lagi sudah menyusupkan kepalanya ke dalam
pangkuan Gak Siauw-cha.
Mendadak Gak Siauw-cha menghentikan larinya.
0000000
“SIAUW LING, kau naiklah ke dalam kereta,” ujarnya halus.
Tampaklah oleh Siauw Ling di atas permukaan salju berdirilah sebuah kereta
berkerudung hitam amat angker sekali kelihatannya.
Gak Siauw-cha segera membuka pintu kereta dan memasukkan tubuh Siauw Ling ke
dalamnya. “Aku sudah siapkan selimut buat kau disana, bilamana kau merasa lelah
tidurlah senyenyak-nyeyaknya.” Katanya.
“Ehmmmm…”

Kain kerudung hitam itu segera diturunkan kembali membuat suasana di dalam kereta
terasa hangat sekali.
Tapi keadaannya semakin gelap sehingga sukar untuk melihat lima jarinya sendiri.
Siauw Ling segera berteriak, “Cici, kau tidak ikut masuk kesini?”
“Aku harus mengemudikan kereta, kau baik-baiklah beristirahat seorang diri!” terdengar
suara dari Gak Siauw-cha dari luar.
Selesai bicara segera terdengar suara putaran roda yang amat ramai disertai sedikit
goncangan di dalam kereta tersebut, dengan secepatnya kereta berkerudung hitam itu
berlari menuju ke arah depan.
Siauw Ling pejamkan matanya beristirahat sebentar, ketika membuka matanya kembali
dia bisa melihat keadaan di dalam kereta itu secara lebih jelas lagi.
Jenazah dari Im Kauw yang tertutup oleh kain putih tidak lain terletak pojok kanan dari
dirinya.
Im Kauw masih tetap pada gayanya semula, sepasang matanya dipejamkan dan
bersandar pada dinding kereta, keadaannya begitu tenang sedikitpun tidak
memperlihatkan perubahan-perubahan aneh dari seorang yang sudah mati.
“Adik Ling! Kau sedikitlah berhati-hati.” Tiba-tiba terdengar suara dari Gak Siauw-cha
berkumandang masuk ke dalam telinganya, “Kau orang jangan sampai membentur
jenazah bibi Im…”
Dia berhenti sebentar, kemudian tanyanya lagi. “Kau takut yaaah?”
“Tidak, keadaan dari bibi Im seperti dia masih hidup.”
Gak Siauw-cha menghela napas panjang, dia tidak bicara lagi dan mendadak
mempercepat larinya kuda melanjutkan perjalanan ke arah depan.
Tubuh Siauw Ling yang lemah sekalipun mendapatkan latihan dari Im Kauw tetapi
dikarenakan rejekinya yang tidak ada membuat latihannya mogok di tengah jalan, susah
payah dari Im Kauw selama beberapa bulan dulu tidak lebih cuma berhasil sedikit
menguatkan badannya saja.
Kini dia harus bersusah payah semalaman sejak tadi badannya terasa lemas, tak terasa
lagi dia sudah tertidur pulas.
Entah beberapa saat kemudian dia dikejutkan oleh suara berbisik tangisan yang amat
menyayatkan hati, dia orang yang amat cerdik dan pikirannya tajam segera pura-pura
masih tertidur, dia tidak membuat itu terkejut oleh dirinya.
Tampaklah Gak Siauw-cha sedang berlutut di hadapan jenazah Im Kauw dan menangis
dengan sedihnya, cuma saja suara tangisnya amat perlahan sekali agaknya dia takut
sampai menyadarkan diri Siauw Ling.
Di samping badannya terletaklah sepucuk surat. Dengan meminjam serentetan sinar
sang surya yang memancar masuk ke dalam kereta Siauw Ling bisa membaca beberapa

patah kata, ”…… Jangan sampai dia membiarkan dia menangis, tertawa keras, hatinya
merasa terharu dan goncang…”
Tulisan selanjutnya dia tidak bisa mengetahuinya karena sudah tertutup oleh selimut di
atas tubuhnya.
Beberapa kalimat yang tidak diketahui artinya ini segera membuat hati Siauw Ling
berputar, pikirnya, “Kalau dilihat dari tulisan itu agaknya tulisan dari bibi Im, apakah itulah
yang dimaksud dengan surat wasiatnya?”
Tak terasa lagi dia angkat kepalanya memandang, siapa tahu dengan gerakannya ini
segera membuat Gak Siauw-cha sadar kembali dari sedihnya walaupun hatinya sedang
susah tapi pendengarannya maupun penglihatannya masih tetap tajam. Cukup sedikit
tubuh Siauw Ling bergoyang saja dia segera tahu kalau dia orang sudah bangun dari
tidurnya.
Dengan gugup dia menyambar surat wasiat itu dan dimasukkan ke dalam sakunya,
kemudian mengusap kering bekas air mata di pipinya.
“Eeeh… kau pasti tertidur dengan pulas bukan?” ujarnya sambil memperlihatkan
tertawa paksa.
Dia yang sedang bersedih hati karena kematian ibunya, tetapi berusaha menekan rasa
sedih itu dari wajahnya, membuat Siauw Ling yang melihat senyumnya yang dipaksa
hatinya merasa sedih.
Siauw Ling mendadak merangkak bangun dan jatuhkan diri berlutut di depan jenazah
Im Kauw.
Melihat hal itu dengan cepat Gak Siauw-cha mencegah.
“Adik Ling, kau mau berbuat apa?”
“Aku mau memberi hormat kepada mayatnya Bibi Im!”
“Tidak usah!” cegah Siauw-cha gelengkan kepalanya, “Jika kau orang berbuat demikian
hal ini malah mendatangkan keperihan hatiku saja, kini hari sudah siang aku kira perutmu
juga sudah lapar, mari kita turun dari kereta untuk bersantap.”
Tidak menunggu Siauw Ling memberi jawaban dia sudah menyingkap hordin kereta
dan menarik Siauw Ling turun dari kereta.
Sang surya memancarkan sinarnya amat terang sekali sehingga menyilaukan mata,
terdengar suara mengalirnya air memecahkan kesunyian.
Kereta kencana itu berdiri di tengah hutan yang amat lebat, di samping sebuah pohon
siong yang besar terdapatlah tiga buah batu yang di atasnya tertumpang sebuah kuali
besi, bau harum yang semerbak tidak henti-hentinya meniup mendatang.
Gak Siauw-cha menarik tangan Siauw Ling untuk bersama-sama duduk di atas akar
pohon yang besar, ujarnya sambil tertawa, “Sewaktu ibuku masih hidup dia orang tua
sering mengajari aku cara memasak, bagaimana kalau kau merasakan kepandaian diri

cicimu ini??”
Kiranya Gak Siauw-cha takut keretanya yang memuat mayat dari Im Kauw diketahui
oleh orang-orang Bulim sehingga mendatangkan banyak kesulitan, dia orang tidak berani
mencari makan di dalam rumah-rumah makan.
Dengan tergesa-gesa mereka berdua bersantap dengan lahapnya, Siauw Ling memuji
tak henti-hentinya kehebatan atas cara memasak dari Siauw-cha ini.
Padahal santapan yang dimasak dengan bahan-bahan yang tak komplit apalagi
bahannyapun sangat sederhana, walaupun dikata Gak Siauw-cha memiliki kepandaian
memasak yang amat tinggi belum tentu pada saat ini bisa memasak sehingga betul-betul
lezat.
Sudah tentu pujian dari Siauw Ling ini sepatutnya adalah sedang mencari muka
separuhnya lagi karena tertarik.
Setelah menyimpan kembali kuali besi tersebut Gak Siauw-cha segera menuntun Siauw
Ling naik ke atas kereta kembali, setelah membuat beberapa tanda gambar di atas pohon
siong tersebut mereka baru melanjutkan perjalanan kembali.
Siauw Ling yang dapat melihat tanda yang dibuat olehnya itu tulisan tak mirip tulisan
gambaran tidak mirip gambaran, membuat orang sulit untuk mengetahui maksudnya
walaupun di dalam hati, dia menaruh rasa curiga tetapi tak sepatah kata ditanyakan.
Mereka melanjutkan kembali perjalanannya selama beberapa hari lamanya hari itu
sewaktu udara menunjukkan siang hari… sampailah mereka di sebuah kota besar.
Tampak kereta serta manusia yang berlalu lalang amat ramai sekali yang kadang kala
diiringi suar hiruk-pikuk yang memekakkan telinga.
Siauw Ling merasakan perutnya amat lapar sekali, selama beberapa hari ini dia selalu
bersantap dengan sembarangan di tengah hutan walaupun perutnya merasa tidak sesuai
tetapi diapun tidak berani mengemukakan hal itu kepada Gak Siauw-cha.
Saking laparnya dia tidak bisa tahan lagi mendadak dia menjerit dan jatuh terlentang di
atas tanah.
Melihat hal itu Gak Siauw-cha mengerutkan alisnya rapat-rapat.
“Adik Ling!” ujarnya perlahan. “Kita makan dulu kemudian baru melanjutkan kembali.”
Mendengar perkataan itu Siauw Ling menjadi amat girang.
“Bagus… sejak tadi aku memang sudah merasa lapar!” serunya keras.
Mereka berdua segera menjalankan kudanya mencari sebuah rumah penginapan,
setelah memesan kepada pengurus rumah penginapan itu untuk baik-baik mengurus
kudanya, bersama-sama dengan Siauw Ling dia mencari tempat duduk di dekat jendela.
Mendadak…

Suara derapan kuda amat ramai sekali berkumandang datang, tampaklah dua ekor
kuda dengan amat cepatnya berkelebat datang.
Kedua orang lelaki kasar yang ada di atas kuda itu masing-masing pada pinggangnya
tersoren sebilah senjata. Walaupun saat ini sedang musim dingin tetapi dua ekor kuda itu
kelihatan basah kuyup oleh keringat.
Mendadak tampaklah lelaki yang menunggang kuda di depan menarik tali les kudanya
membuat kuda yang sedang berlari cepat seketika itu juga berhenti dan meringkik sambil
mengangkat kedua kakinya seketika.
Orang di daerah Kang Lam memang kebanyakan paling suka melihat kuda, saat ini
melihat kepandaian menunggang kuda yang demikian sempurnanya dari orang itu tidak
tak terasa lagi pada bersorak memuji.
Belum habis suara pujian itu bergema mendadak menyusul suara teriakan kaget yang
amat keras sekali.
Kiranya penunggang kuda yang ada di belakang sama sekali tak menduga kalau kuda
yang ada di depannya menghentikan tunggangannya karena tiba-tiba sehingga kudanya
yang sedang berlari keras tidak sempat ditarik kembali sehingga dengan amat kerasnya
menerjang ke depan.
Terlihatlah lelaki yang ada di depan dengan amat tenangnya melancarkan satu tenaga
dorong memukul ke arah kuda yang menubruk ke arahnya.
Semua orang jadi terkejut dan pada menjerit, ternyata kuda yang ada di belakangnya
itu berhasil ditahan oleh tenaga dorongannya tadi sehingga berhenti.
Di tengah suara tepukan yang amat keras kedua orang lelaki kasar itu pada meloncat
turun dari kudanya dan melirik sekejap ke arah kereta berkerudung kain hitam yang
berhenti di depan rumah penginapan tersebut.
“Ehmm… disini!” terdengar salah satu lelaki berseru.
Dengan cepat dia melepaskan tali les kudanya lalu dengan langkah lebar berjalan
masuk ke dalam rumah penginapan tersebut dia langsung menuju ke depan Gak Siauwcha
sambil merangkap tangannya menjuru.
Air muka Gak Siauw-cha segera berubah agak tenang. Dia sedikit mengerutkan alisnya.
“Kalian kenapa begitu tergesa-gesa?” serunya kurang senang.
Agaknya lelaki itu segera merasa kalau tindak tanduknya terlalu ceroboh, dengan cepat
dia tertawa memperlambat langkahnya.
“Kami sudah melihat tanda rahasia yang nona tinggalkan di tempat-tempat tertentu
lantas cepat-cepat mengejar kemari…,” ujarnya dengan suara lirih.
“Ada urusan kita bicarakan nanti saja!” Tiba-tiba potong Gak Siauw-cha sambil
mengulapkan tangannya.

Agaknya di dalam hati lelaki itu mempunyai banyak urusan yang hendak disampaikan,
mendengar perkataan tersebut segera dia berbatuk-batuk ringan dan dengan paksakan
diri menahan sabar.
Waktu itu lelaki kasar yang lainpun sudah menambat kedua ekor kuda itu di depan
kuda lalu ikut masuk ke dalam rumah penginapan tersebut.
Dia pun dengan amat hormatnya memberi hormat kepada diri Gak Siauw-cha.
Diam-diam Siauw Ling memperhatikan diri kedua orang lelaki itu, tampaklah lelaki itu
usianya kurang lebih ada diantara tiga puluh tahunan, seperangkat baju hijau yang singsat
membungkus tubuhnya dengan sebilah golok tersoren pada punggungnya dan lelaki yang
lain mempunyai senjata Pan Koan Pit menghiasi pinggangnya, sikapnya agak gagah dan
berwibawa sekali, tetapi lucunya terhadap Gak Siauw-cha yang lemah lembut ternyata
sangat menghormati.
Lelaki bersenjatakan golok yang masuk ke dalam ruangan itu terlebih dulu agaknya
sudah tidak dapat menahan sabar lagi, ujarnya dengan suara pelan, “Nona! Jejak kita
sudah bocor, musuh-musuh tangguh sudah pada menguntit kemari.”
Walaupun di dalam ruangan itu ada beberapa orang tamu yang tertarik oleh kejadian
ini tetapi melihat sikap lelaki yang bersenjata tajam itu angker dan menyeramkan cepatcepat
sudah pada melengos tidak heran melihat lebih lama lagi.
Mendengar berita itu air muka Gak Siauw-cha segera berubah amat hebat, sepasang
matanya yang besar bulat berkelebat sekejap lalu perintahnya dengan suara perlahan,
“Kalian cepat bersantap, lalu dengan secepat mungkin berlalu dari.”
Agaknya kedua orang lelaki itupun merasa perutnya agak lapar, segera dia orang
mengambil sayur dan bersantap dengan lahapnya.
Dengan tergesa-gesa akhirnya santapannyapun selesai setelah membayar rekening
mereka melanjutkan kembali perjalanannya dengan tergesa-gesa.
Lelaki kasar bersenjatakan golok itu lantas menggantikan kedudukan dari Gak Siauwcha
untuk mengemudikan kereta, sedangkan lelaki yang bersenjatakan Pan Koan Pit
mengikuti dengan kencangnya dari belakang kereta. Suasana amat tegang sekali.
Selama beberapa hari ini Siauw Ling selalu berada seorang diri di dalam kereta. Kini
melihat Gak Siauw-cha pun berada di dalam satu kereta dengan dirinya tidak terasa lagi ia
memandang dirinya lebih tajam.
Tampak wajahnya yang cantik agak murung alisnya dikerutkan rapat-rapat sedangkan
pandangannya amat sayu, jelas sekali satu urusan penting yang sudah membingungkan
hatinya.
Suara berputar roda semakin santar menunjukkan kereta itu pun larinya semakin cepat
tidak selang lama, kemudian kereta tersebut sudah keluar dari kota.
Mendadak Gak Siauw-cha angkat kepalanya memandang tajam wajah Siauw Ling yang
tampan menarik itu.

“Adik Ling!” serunya.
“Ada apa?” tanya Siauw Ling melengak.
“Jejak kita sudah bocor, kemungkinan sekali sebentar lagi bakal terjadi satu
pertempuran yang amat sengit dan membahayakan jiwa kita. Adik Ling, kau orang
bukanlah manusia dari kalangan Bulim sudah seharusnya jangan mencampuri urusan kami
yang sangat membahayakan keselamatanmu. Maksud cici lebih baik untuk sementara
waktu aku kirim kau ke suatu tempat yang aman, entah bagaimana maksud dari adik
Ling?”
“Tetapi tempat ini aku merasa paling aman.” Bantah Siauw Ling cepat.
“Hai, usiamu masih amat kecil dan tidak mengerti urusan yang terjadi di dalam Bulim,”
ujar Siauw-cha sambil menghela napas panjang. “Sekarang akupun tidak bisa menjelaskan
urusan ini kepadamu, kau tak mengerti ilmu silat lagi pula cuma seorang bocah cilik,
asalkan tidak melakukan perjalanan bersama-sama kita bahaya apapun tidak bakal
mengancam dirimu lagi.”
“Tidak bisa jadi!” seru Siauw Ling sambil gelengkan kepalanya. “Aku mau bersamasama
dengan cici sekalipun ada bahaya mengancam aku juga tidak takut. Hai, ayahku
sudah beritahu padaku kalau aku orang sukar hidup lebih dari dua puluh tahun. Kini aku
sudah berusia dua belas tahun, tak lebih tak kurang, aku cuma bisa hidup delapan
tahunan lagi. Mati sekarang atau mati dikemudian hari aku rasa sama saja.”
Sebetulnya Gak Siauw-cha kepingin memaksa diri Siauw Ling untuk meninggalkan
dirinya tetapi ketika secara tiba-tiba dia teringat kembali akan pesan terakhir yang ditulis
ibunya dimana kurang lebih begini, “Kau baik-baiklah menjaga dirinya, bocah ini usianya
tidak panjang, sekalipun aku sudah berhasil memberikan pelajaran Sim Hoat kepadanya
tetapi masih belum bisa juga menyembuhkan penyakitnya hanya di dalam waktu singkat,
di dalam dua tahun ini kau janganlah sekali-sekali membuat dia merasa sedih, merasa
gembira sehingga menggocangkan hatinya.”
“Setelah lewat dua tahun diaman dasar tenaga dalamnya sudah cukup kuat waktu
itulah kau orang berusaha untuk menolong jiwanya, tapi janganlah menggunakan cara
yang kasar sehingga membuat hatinya sedih dan nyawanya sukar untuk dipertahankan
lagi.”
“Pesanku ini janganlah kau langgar.”
Siauw Ling yang melihat lama sekali Siauw-cha memandang dirinya tanpa
mengucapkan sepatah katapun tidak kuasa lagi dia sudah bertanya, “Cici, kau sedang
memikirkan apa?”
“Adik Ling, jika kau mau ikuti diriku terus, kau harus menyanggupi dulu dua syarat.”
“Syarat apa?”
“Tidak perduli sudah terjadi peristiwa yang bagaimana bahayanyapun aku melarang kau
untuk ikut campur atau banyak bicara.”

“Baiklah, sampai waktunya aku tidak akan ngomong juga tidak akan bergerak, harap
cici berlega hati.”
“Masih ada satu urusan lagi,” sambung Gak Siauw-cha selanjutnya. “Tidak perduli kau
orang sudah bertemu dengan urusan yang bagaimana sedih atau gembiranya kaupun
tidak boleh menangis sedih atau tertawa keras.”
“Kenapa?” tanya Siauw Ling keheranan.
“Kau janganlah bertanya mengapa!” Potong Gak Siauw-cha dengan cepat. “Jikalau kau
orang tidak mau menyanggupi syarat ini aku akan kirim segera orang untuk mengantar
dirimu pulang.”
“Baiklah aku meluluskan permintaanmu itu!” seru Siauw Ling dengan cepat.
“Kalau begitu, sekarang kau harus duduk dan beristirahat,” perintah Gak Siauw-cha
selanjutnya setelah itu dia menyingkap hordin dan meloncat keluar dari dalam kereta.
Terdengar dari luar kereta segera berkumandang datang suara percakapan yang amat
lirih sekali, saking lirihnya suara itu sehingga Siauw Ling cuma merasakan larinya kereta
itu semakin lama semakin cepat, goncangan yang terasapun semakin keras, agaknya
kereta itu sedang melakukan perjalanan melalui sebuah jalan gunung yang banyak
berbatu.
Mendadak kereta berkuda itu berhenti, Gak Siauw-cha meloncat masuk ke dalam
ruangan kereta dan menggendong keluar mayat dari Im Kauw kepada Siauw Ling ujarnya
dengan suara yang lirih, “Adik Ling, cepat ikuti diriku.”
Siauw Ling dengan cepat meloncat turun dari kereta, tampaklah puncak gunung yang
menembus awan berdiri sejajar dihadapannya. Tidak jauh disana di tengah hutan bambu
yang amat lebat berdirilah sebuah rumah gubuk.
Dengan tergesa-gesa Gak Siauw-cha berlari menuju ke arah rumah gubuk tersebut,
Siauw Ling pun mengerahkan seluruh tenaganya menguntil di belakang Gak Siauw-cha
setelah melewati sebuah hutan bambu yang lebat sampailah mereka di depan gubuk itu.
Suasana di sekeliling tempat itu amat sunyi sekali, pintu rumah tertutup rapat bahkan
tidak tampak sesosok bayangan yang muncul di depan.
Dengan perlahan Gak Siauw-cha mengetuk tiga kali keras pintu rumah gubuk itu lalu
dengan hormatnya berdiri menanti.
Kurang lebih seperminuman teh kemudian dari dalam rumah gubuk itu terdengarlah
berkumandangnya suara yang amat tua berat dan serak sekali.
“Siapa?” tanyanya.
“Boanpwee Gak Siauw-cha.”
Dari dalam rumah gubuk itu segera bergema kembali suara helaan napas panjang yang
amat menyedihkan.

“Aku orang tua sudah ada sepuluh tahun lamanya tidak menerima tetamu sekalipun
kau adalah putri dari seorang teman lamaku tetapi aku tidak ingin melanggar peraturan
ini. Kau pulanglah!” ujarnya perlahan.
Gak Siauw-cha menjadi amat cemas.
“Tetapi ibu dari boanpwee sudah menemui ajalnya!” serunya dengan cepat.
“Jenazahnya kini sudah ada di depan rumah, harap Locianpwee mau melihat sekejap ibuku
yang sudah meninggal dan melanggar peraturan itu satu kali.”
Suara suitan yang amat keras mendadak berkumandang dan memotong pembicaraan
Gak Siauw-cha yang belum selesai.
Dari dalam rumah gubuk itu segera bergema suara terbenturnya tongkat kayu di pintu
rumah gubuk itu dengan perlahan-lahan terbuka.
Siauw Ling dengan cepat mengalihkan pandangannya ke arah itu, tampaklah seorang
nenek tua yang rambutnya sudah berubah dengan mencekal sebuah tongkat bambu
berdiri di depan pintu.
Wajahnya sudah penuh dengan keriput. Sepasang matanya dipejamkan rapat-rapat
sedang perawakannya kurus kering bagaikan lidi.
Gak Siauw-cha segera meletakkan jenazah dari Im Kauw ke atas tanah lalu dengan
sangat hormatnya dia memberi hormat kepada nenek tua itu.
“Boanpwee menghunjuk hormat kepada diri Locianpwee.”
Sejak munculnya nenek tua itu dia orang terus menerus berdiri mematung disana tanpa
mengucapkan sepatah katapun. Terhadap Gak Siauw-cha yang jatuhkan diri berlutut
dihadapannya dia sama sekali tidak ambil perduli.
Melihat hal itu di dalam hati kecilnya diam-diam Siauw Ling berpikir, “Huuh… sungguh
sombong benar nenek tua ini!”
Tampak nenek tua itu dengan perlahan-lahan mengulurkan keluar jari tangannya yang
amat kurus itu dan dengan lambat-lambat mendorong pintu rumahnya.
“Ehmm… bukankah sekarang aku sudah menemui dirimu?” ujarnya tawar.
“Locianpwee sudi melanggar peraturan yang berlaku dengan munculkan dirinya,
boanpwee merasa sangat berterima kasih sekali.”
“Tadi kau ingin bertemu dengan aku sekarang bukankah kau sudah bertemu muka?”
Potong nenek itu dengan dingin. “Kenapa belum pergi juga kau dari sini? Kau mau tunggu
apa lagi?”
“Boanpwee masih ada satu urusan yang ingin minta bantuan, harap Locianpwee mau
mengabulkannya!” ujar Gak Siauw-cha dengan sangat hormatnya.
Air muka nenek tua itu berubah semakin dingin lagi dia berdiri tegak disana tanpa
mengucapkan sepatah katapun.

Dengan nada yang amat sedih Gak Siauw-cha melanjutkan kembali kata-katanya,
“Ibuku menderita luka yang amat parah dan kini sudah menemui ajalnya, di dalam surat
wasiatnya dia orang itu memerintah boanpwee untuk membawa jenazahnya ke rumah
seorang kawannya di atas gunung Heng-san…”
Nenek tua itu tetap dengan tenangnya berdiri di tempat itu, dia tidak bergerak juga
tidak mengucap sepatah katapun.
Gak Siauw-cha yang melihat dia tidak memberikan komentar, segera sambungnya lagi,
“Di dalam ingatan boanpwee, Locianpwee adalah salah satu kawan ibuku semasa
hidupnya, pada setahun yang lalu ibuku pernah membawa boanpwee datang kemari untuk
menyumpang, tetapi dikarenakan Locianpwee sedang tutup pintu dan tak menerima tamu
lagi maka kami tidak berani mengganggu, ibuku lalu membawa boanpwee meninggalkan
tempat ini.”
“Ini hari ibuku sudah meninggal dunia, boanpwee terpaksa menuruti petunjuknya
dengan membawa jenazah datang ke gunung Heng-san, siapa sangka di tengah jalan aku
sudah memancing datangnya musuh tangguh yang membuntuti boanpwee terus menerus.
Boanpwee sendiri tidak takut untuk menerima kematian, tetapi takut sudah mengganggu
jenazah dari ibuku maka itu boanpwee sangat mengharapkan kalau locianpwee mau
melanggar peraturan sekali ini saja dengan menerima jenazah ini untuk sementara waktu,
dengan demikian boanpwee bisa menghadapi musuh-musuh dengan lega hati.”
Air muka nenek tua yang amat dingin itu kelihatan sedikit bergerak, agaknya dia dibuat
terharu juga oleh perkataan Gak Siauw-cha ini.
Pintu rumah gubuknya yang semula mulai menutup kinipun dipentang kembali.
“Memandang wajah ibumu yang sudah meninggal, aku mengijinkan jenazahnya
berdiam disini selama tujuh hari,” ujarnya.
“Budi dari Locianpwee akan boanpwee ingat untuk selama-lamanya…,” ujar Gak Siauwcha
dengan sangat haru. Mendadak matanya menyapu sekejap ke arah Siauw Ling lantas
sambungnya, “Boanpwee ingin sekalian menitip bocah cilik untuk merawat jenazah
ibuku…”
“Gubuk pencuci dosaku ini, selamanya melarang bocah cilik untuk memasukinya,”
potong nenek tua dengan nada dingin.
Melihat sikap nenek tua yang amat dingin dan ketus itu sejak tadi Siauw Ling sudah
merasa gemas sekali, cuma saja dia tak berani memperlihatkannya diluaran, kini dia orang
tak bisa menahan sabar lagi, teriaknya dengan keras, “Cici, aku tak mau berdiam disini!”
Nenek tua itu tak mau menggubris mereka berdua lagi, dengan perlahan dia putar dan
masuk ke dalam rumah.
“Adik Ling, kau jangan keburu nafsu dulu keadaan kita sangat berbahaya,” bisik Gak
Siauw-cha dengan cepat, “Orang-orang yang menguntit datangpun semuanya memiliki
kepandaian silat yang amat lihay. Untuk melindungi diri cici sendiri saja tidak punya
pegangan yang kuat… mana aku bisa bantu melindungi dirimu?”

“Cici tak usah khawatir, aku tidak akan takut” sahut Siauw Ling dengan cepat sambil
membusungkan dadanya.
Gak Siauw-cha yang melihat sikapnya amat kukuh dan gagah sekali bahkan sama sekali
tak takut mati tak terasa lagi dibuat tertegun juga dia segera menggendong jenazah dari
Im Kauw untuk dibawa masuk ke dalam rumah gubuk itu dan cepat-cepat balik ke dalam
hutan tempat semula.
Siauw Ling pun dengan kencang menguntil dari belakang Gak Siauw-cha terus
menerus.
Kereta berkuda yang dikerudungi kain hitam itu masih tetap berhenti ditepi jalan
gunung itu, tampaklah kedua orang lelaki kasar yang menjaga kereta tersebut sedang
menanti kedatangan mereka dengan cemas.
Gak Siauw-cha segera menarik tangan Siauw Ling untuk meloncat naik ke dalam kereta
kuda, setelah itu tangannya diulap sambil berseru, “Ayoh berangkat!”
Kereta berkuda itu dengan segera dilarikan amat cepat sekali melanjutkan
perjalanannya ke arah depan.
Baru saja kereta berkuda itu lari, sejauh seratus kaki mendadak terdengarlah suara
bentakan yang amat keras laksana menggelegarnya suara geledek yang membelah bumi
berkumandang keluar dari arah belakang.
“Hey berhenti!”
Gak Siauw-cha tetap duduk bersila di dalam kereta melakukan latihannya, terhadap
datangnya suara bentakan yang amat keras itu dia orang sama sekali tidak ambil perduli.
Tidak tertahan lagi Siauw Ling merasa ketarik juga, dengan cepat ia menyingkap hordin
dan mengintip ke belakang.
Terlihatlah tiga ekor kuda dengan cepat bagaikan sambaran kilat mengejar dari
belakang hanya di dalam sekejap dia sudah berada di belakang kereta mereka.
Siauw Ling dapat melihat ketiga ekor kuda itu sudah basah dengan peluh. Jelas-jelas
sekali baru saja mereka melakukan perjalanan yang amat jauh tanpa berhenti.
Penunggang kuda yang paling depan melarikan kudanya semakin cepat lagi, hanya
sekejap saja dia sudah berada kurang lebih satu kaki dari belakang kereta.
Mendadak orang itu meninggalkan kuda tunggangannya dan meloncat ke tengah udara
dan bersalto beberapa kali di tengah angkasa, di dalam sekejap saja dia sudah berhasil
melewati kereta berkuda itu dan meloncat turun ke atas permukaan tanah menghadang
jalan pergi kereta berkuda itu.
Tangan kanannya dengan cepat berkelebat membacok ke arah lelaki kasar yang tengah
mengemudikan kereta berkuda itu.
Lelaki yang mengendalikan kereta itu bukan lain adalah si lelaki yang bersenjatakan
golok itu, tampak tangan kirinya dengan cepat menarik tali les kuda menghentikan kereta

berkuda yang sedang lari dengan cepatnya itu. Cambuk panjang yang ada di tangan
kanannya mendadak dikebutkan ke depan mengancam lengan kanan dari orang yang
menghalangi perjalanan mereka.
Siauw Ling yang memandang ke arah depan dengan amat cermatnya segera bisa
melihat orang yang menghalangi perjalanan mereka itu bukan lain adalah seorang kakek
tua berjubah hitam pekat yang pada janggutnya memelihara jenggot kambing yang putih
sepanjang empat lima coen.
Tampak tubuhnya dengan cepat berkelebat mengundurkan diri sejauh delapan depa
dengan amat mudahnya dia berhasil menghindarkan diri dari serangan cambuk lelaki itu
tanpa meninggalkan kedudukan semula.
Siauw Ling yang melihat pertempuran yang dianggapnya amat sengit itu sudah
berlanggung hatinya tidak terasa lagi menjadi tertarik. Rasa takutpun sudah tersapu bersih
dari benaknya.
Semakin dia orang menonton jalannya pertempuran itu dengan perhatian mendadak
tampaklah sebuah tangan yang halus meluncur keluar dari dalam kereta menarik tangan
kanan dari Siauw Ling dan terpaksa dia masuk kembali ke dalam kereta.
“Cici! Pertempuran itu sangat bagus sekali!” seru Siauw Ling dengan cepat sambil
melirik sekejap ke arah Gak Siauw-cha. “Gerakan mereka sangat cepat sekali sehingga
membuat pandanganku menjadi berkunang-kunang. Gerakan mereka makin lama semakin
tidak jelas.”
Dengan perlahan-lahan Gak Siauw-cha menghela napas panjang.
“Pertempuran yang menentukan mati hidup seseorang, apanya yang bagus untuk
dilihat?” ujarnya perlahan. “Kau jangan mengintip lagi…”
Mendadak mendengar suara bentakan yang amat keras bergema dari arah ke belakang
kereta disusul suara getaran yang amat keras sekali. Agaknya ada benda senjata besi yang
terbentur satu sama lain.
Kecepatan dari kereta kuda itu pun menjadi semakin berkurang, di tengah suara
bentakan manusia, ringkikan kuda serta bentrokan senjata tajam yang ramai membuat
suasana seketika sangat kacau dan penuh diliputi oleh suara hiruk-pikuk yang memekikkan
anak telinga.
Gak Siauw-cha yang bersandar di dalam kereta tetap memejamkan matanya tidak
bergerak. Agaknya dia sedang memikirkan satu urusan yang amat berat sekali sehingga
sama sekali tidak punya niat untuk mencampuri pertempuran yang sedang berlangsung
diluar kereta itu.
Di dalam hati Siauw Ling segera menggambarkan sendiri bagaimana keadaan
pertempuran di tempat luaran itu, kereta berkuda beserta para lelaki yang melindungi
keretanya tentu sedang bertempur dengan amat serunya dengan tiga orang pengejar itu.
Di depan kereta maupun di belakang kereta tampak bayangan senjata tajam berkelebat
memenuhi angkasa, keadaan amat menarik sekali.

Beberapa kali dia ingin menongolkan kepalanya untuk mengintip keluar tetapi diapun
merasa takut kalau sampai Gak Siauw-cha memaki dirinya lagi terpaksa dengan menindas
kembali rasa ingin tahunya dia duduk tidak bergerak.
Sepasang mata dari Gak Siauw-cha sedikit berkedip tetapi sebentar kemudian sudah
dipejamkan kembali.
Siauw Ling tidak bisa menahan rasa ingin tahunya lagi. Tangannya dengan cepat
menyingkap hordin untuk mengintip keluar.
Terlihatlah lelaki yang mengemudikan kereta tadi sudah mencabut keluar goloknya dan
meloncat turun dari atas kereta, kini dia orang sedang bertempur dengan amat sengitnya
dengan si kakek tua berjenggot kambing itu.
Sebaliknya kakek tua itu walaupun pada punggungnya ada tersoren senjata tajam
tetapi dia orang sama sekali tidak menggunakan tangan kosong dia memberikan
perlawanan sengit terhadap serangan-serangan gencar dari lelaki bersenjatakan golok itu
mereka berdua saling serang menyerang dengan amat sengit ramainya, sungguh
merupakan suatu pertempuran yang amat sengit sekali.
Siauw Ling tidak mengerti akan ilmu silat. Dia yang melihat golok di tangan lelaki itu
dimainkan sehingga membentuk sinar putih dan mengurung seluruh tubuh kakek tua
diam-diam merasa amat kagum sekali.
Kepalanya segera ditoleh ke belakang, pertempuran yang berlangsung di belakang
kereta jauh lebih seru dan ramai sekali.
Lelaki yang melindungi kereta dari belakang itu pada saat itu sudah mencabut keluar
senjata Pan Koan Pitnya yang tersoren di pinggang dan melawan kedua orang musuhnya
dengan amat gigih.
Kedua orang musuhnya itu bersenjatakan cambuk panjang yang terbuat dari serat
emas sebuah senjata aneh yang mirip golok tetapi mirip juga pedang, mereka berdua
dengan rapatnya menggenjot musuhnya dengan serangan-serangan yang mematikan
membuat lelaki itu jadi kerepotan dipaksa berada di bawah angin.
Tampaklah sinar terang yang menyilaukan mata dengan dahsyatnya menghajar lelaki
bersenjatakan Pan Koan Pit sehingga seluruh tubuhnya terkurung di dalam seranganserangan
musuh, terpaksa dia cuma bisa menangkis datangnya serangan itu dengan
sepenuh tenaga.
Sebaliknya Gak Siauw-cha yang ada di dalam kereta tetap duduk bersila dengan amat
tenangnya tanpa memperlihatkan sedikit gerakan apapun.
Semakin lama dalam hati Siauw Ling merasa semakin ragu-ragu juga, pikirnya,
“Pertempuran diluar kereta berlangsung dengan demikian sengitnya. Sebaliknya, Gak cici
malah enak-enak duduk di dalam kereta saja, tentunya kepandaian silat dari Gak cici tidak
bisa memadai musuh-musuhnya sehingga dia tidak sanggup untuk turun tangan memberi
bantuan dan seperti juga aku terpaksa duduk di dalam kereta menunggu.”

“Hai……! Jika kali ini kita memang masih tidak mengapa, jikalau tidak untuk menderita
kalah? Jika dilihat dari sikap ketiga orang yang menyerupai malaikat iblis ini mana mereka
mau melepaskan kita.”
Sedang enaknya dia berpikir mendadak terdengar suara bentakan yang amat keras
memecahkan kesunyian, lelaki kasar yang bersenjatakan golok itu berhasil kena hajar
pundak kirinya oleh kakek tua bertangan kosong itu sehingga tubuhnya tergetar mundur
beberapa langkah ke belakang.
Dengan mundurnya tubuh lelaki kasar itu dengan sendirinya terbanglah satu jalan buat
kakek itu untuk mendekati kereta berkuda tersebut.
Sebetulnya lelaki itu dengan taruhan nyawa sudah bertahan jangan sampai kakak tua
itu berhasil mendekati kereta, akhirnya dikarenakan ilmu silatnya tidak memadai dan
terkena satu pukulannya membuat dengan demikian terbukalah satu jalan buatnya.
Melihat kejadian itu Siauw Ling jadi terperanjat sekali.
“Aduuuh… sungguh aneh!” serunya.
Agaknya lelaki kasar bersenjatakan golok itu merupakan seorang yang keras kepala
setelah terkena pukulan sehingga mundur ke belakang dia menarik hawa murni dan
menerjang maju kembali, goloknya diobat abitkan di depan kereta tersebut.
Kakek tua itu segera tertawa dingin.
“Bagus… bagus sekali. Kamu orang tidak ingin hidup lebih lama lagi bukan?” teriaknya
gusar.
Tangan kanannya dengan menggunakan jurus “Hwee Pah Ciong Cong” atau terbang
melayang menumbuk genta menghajar ke atas wajahnya.
Mendadak Gak Siauw-cha membuka matanya kembali lalu menyingkap hordin dan
menyapu sekejap ke arah situasi pertempuran baik di depan kereta maupun di belakang
kereta.
“Apa yang lucu?” tanyanya kepada Siauw Ling dengan mata yang amat lirih.
“Kakek tua itu kelihatannya sudah terkurung oleh sinar golok yang amat rapat,
bagaimana dia secara tiba-tiba dia bisa merebut kemenangan dan berhasil memukul Toa
siok itu!”
Kiranya dia melihat lelaki bersenjatakan Pan Koan Pit yang ada di belakang kereta
dimana dia orang dikeroyok oleh dua orang sekaligus menurut anggapannya tentu
terdesak dan keadaannya sangat berbahaya sekali, siapa duga lelaki bersenjatakan golok
di depan kereta yang kelihatannya memang sama sekali tidak terduga sudah terkena
dihajar oleh kakek tua itu.
“Adik Ling kau tidak mengerti ilmu silat sudah tentu tak mengetahui juga keadaan yang
sesungguhnya,” sahut Gak Siauw-cha.

Mendadak “Bluuurr!” sekali lagi tubuh lelaki bersenjatakan golok itu kena hajar
sehingga golok yang ada di tangannya terpental ke tengah udara oleh pukulan yang
dahsyat tangan kakek tua itu.
Agaknya nafsu untuk membunuh sudah meliputi diri kakek tua itu, tangan kirinya
bersamaan dengan gerakan tangan kanannya mendadak menepuk ke depan menghajar
dada lelaki itu.
Sang lelaki yang semula sudah menderita luka gerakannya tak begitu gesit lagi,
kelihatannya dia tak sanggup untuk menghindarkan diri dari serangan ini.
Siauw Ling jadi sangat terkejut sekali mendadak tampak bayangan hitam berkelebat di
depan matanya, Gak Siauw-cha secara tiba-tiba sudah berkelebat keluar lalu kirim satu
pukulan yang mematikan menghajar kakek tua itu.
Perubahan yang terjadi di depan mata ini berlangsung hanya di dalam sekejap saja,
sebelum Siauw Ling sempat melihat lebih jelas lagi telinganya sudah mendengar suara
dengusan berat yang mengerikan, kakek tua yang berjenggot kambing itu mendadak
mundur ke belakang dengan sempoyongan, tangan kirinya dengan lemas bergantungan ke
bawah.
“Apa lukamu berat?” terdengar suara dari Gak Siauw-cha sedang bertanya pada lelaki
bersenjatakan golok itu.
“Sedikit luka saja tidak terlalu berat!” sahut lelaki bersenjatakan golok itu dengan air
muka kecewa.
Walaupun pada mulutnya dia berbicara begitu tetapi Gak Siauw-cha bisa melihat kalau
lukanya tak ringan, walaupun tidak sampai membahayakan jiwanya tetapi harus
beristirahat juga dengan cukup.
Dia segera memungut kembali goloknya yang terjatuh di atas tanah lantai diletakkan
kereta serunya dengan suara perlahan, “Kau naiklah ke dalam kereta untuk beristirahat
sebentar, nanti kita harus melakukan perjalanan kembali.”
Selesai berkata tubuhnya dengan amat gesitnya bergerak maju ke depan melancarkan
serangan kembali ke arah kakek tua itu.
Jalan darah “Chi Tie Hiat” pada lengan kiri kakek tua itu sudah berhasil ditotok oleh Gak
Siauw-cha sehingga tangan tersebut tak mau mendengar perintahnya lagi tetapi
kesadarannya masih penuh.
Melihat datangnya serangan dari Gak Siauw-cha itu tangan kanannya dengan cepat
dibabat ke depan mengirim satu pukulan gencar.
Gerakan Gak Siauw-cha amat cepat laksana bertiupnya angin malam, jurus
serangannyapun amat cepat bagaikan kilat, lima jari tangan kanannya mendadak diubah
menjadi serangan bacokan mengancam jalan darah “Sian Khie Hiat” dari kakek tua itu
sewaktu melihat datangnya babatan dari kakek tua itu mendadak diubah menjadi
serangan bacokan mengancam pergelangan tangan kanannya.

Si kakek tua yang sudah kena hajar satu kali sehingga gerakannya tak leluasa segera
mengetahui kalau kepandaian silatnya bukan tandingan dia orang, pergelangan tangan
kanan dengan terburu-buru ditekan ke bawah bersamaan pula tubuhnya mundur ke
belakang siap-siap melepaskan senjata tajamnya untuk menghadapi serangan musuh.
Siapa sangka jari dari Gak Siauw-cha yang ditekuk separuh itu mendadak disentilkan ke
depan, terasalah beberapa gulung angin serangan yang sangat tajam menerjang dengan
dahsyatnya.
Kakek tua itu cuma bisa merasakan pergelangan tangannya menjadi kaku, seluruh
tenaga dalam yang ada di dalam tubuhnya menjadi lenyap tak berbekas, dengan demikian
pun gerakannya jadi semakin lambat.
Di dalam sekejap mata itulah Gak Siauw-cha sudah mendekati badannya, tangan
kanannya berturut-turut berkelebat menotok empat buah jalan darah.
Siauw Ling yang melihat kecepatan gerak dari Gak Siauw-cha sewaktu melancarkan
serangan-serangan mengalahkan musuhnya tadi di dalam hati merasa sangat kagum
bercampur girang, pikirnya, “Aah, kiranya dia mempunyai kepandaian silat yang demikian
tingginya, kiranya tadi dia sengaja memejamkan mata tidak menggubris dikarenakan tidak
ingin turun tangan melawan orang-orang semacam itu.”
Sewaktu pikirannya sedang berputar itulah Gak Siauw-cha sudah melayang ke belakang
kereta membentak mundur lelaki kasar yang bersenjatakan Pan Koan Pit itu, tubuhnya
meloncat ke atas kembali dengan menggunakan tangan kosong dia memberikan
perlawanan yang sengit terhadap kedua orang itu.
Diantara ketiga orang itu si kakek tua itu bertindak sebagai pimpinannya, kini mereka
berdua melihat pimpinannya sudah menggeletak di atas tanah, membuat pikirannya
menjadi kacau, apalagi serangan yang dilancarkan oleh Gak Siauw-cha pun amat cepat
sekali, tidak selang empat, lima jurus, kemudian kedua orang itupun sudah rubuh pula
terkena totokan.
Siauw Ling yang melihat kejadian itu di dalam hati diam-diam merasa sangat girang
sekali.
“Hoooreee… kepandaian cici sangat hebat sekali…” teriaknya sambil berjingkrak
kegirangan.
Mendadak terdengar suara yang amat nyaring bergema memenuhi angkasa tampaklah
seekor burung dara dengan amat cepatnya meluncur ke tengah udara dan terbang dengan
cepatnya menuju ke arah belakang.
Melihat hal itu Gak Siauw-cha segera mengerutkan alisnya rapat-rapat sinar matanya
dengan cepat dialihkan ke atas wajah laki-laki bersenjatakan Pan Koan Pit, ujarnya, “Jejak
kita sudah bocor, sebelum pihak lawan mengetahui keadaan kita lebih jauh dan berhasil
memperoleh hasil mereka tidak akan berpeluk tangan.”
“Cici, kepandaian silatmu demikian tingginya kenapa nyalimu begitu kecil,” timbrung
Siauw Ling tiba-tiba. “Sekalipun ada orang yang datang mengejar bukankah cici masih
menahan serangan mereka?”

Gak Siauw-cha segera tertawa.
“Adik Ling kau tidak tahu menahu urusan tentang dunia Kangouw, kepandaian cicimu
sekarang ini tidak lebih cuma kunang-kunang di tengah lampu lentera, ibuku yang
kepandaian silatnya sepuluh kali lipat lebih dahsyat dari akupun tidak lolos dari terluka
dalam sehingga menemui ajalnya apalagi aku?”
“Apa? Bibi Im mati karena terluka dalam?” Teriak Siauw Ling tertegun, “Kapan dia
berkelahi dengan orang? kenapa aku sedikitpun tidak tahu?”
Gak Siauw-cha tidak menjawab, dia segera memerintahkan lelaki bersenjatakan Pan
Koan Pit itu untuk mengikat ketiga orang itu lalu menotok lagi beberapa jalan darahnya
dan dilemparkan ke dalam tanah gersang yang ada di sekitar tempat itu.
Dari ketiga ekor kuda jempolan yang tertinggal dia memilah seekor lagi yang paling
bagus untuk menggantikan kudanya sendiri.
Setelah semuanya selesai dia baru menuding ke atas puncak gunung yang tinggi di
depannya.
“Jalanan ke bawah puncak yang tinggi itu!” Serunya dengan perlahan.
Diapun segera meloncat naik ke dalam kereta.
Di dalam hati lelaki bersenjatakan Pan Koan Pit walaupun merasa terheran dan raguragu
tetapi dia tidak berani banyak bertanya segera kereta tersebut dijalankan menuju ke
arah depan.
Dari dalam sakunya Gak Siauw-cha mengambil keluar dua butir pil dan diserahkan
kepada lelaki kasar itu untuk ditelan setelah semuanya selesai dia baru menghela napas
panjang, ujarnya kepada Siauw Ling dengan suara yang lirih, “Walaupun ibuku berhasil
ditolong oleh ayahmu tetapi yang sebenarnya dia orang sudah menderita luka dalam yang
amat parah sekali.”
“Sungguh aneh!” potong Siauw Ling keheranan. “Bibi Im tinggal dirumahku ada
beberapa bulan lamanya tetapi dia orang sama sekali tidak menunjukkan gejala-gejala
yang aneh. Jikalau dia benar-benar terluka dalam mana mungkin dia bisa hidup beberapa
bulan lamanya.”
“Tenaga dalam ibuku ini sangat sempurna sekali.” Gak Siauw-cha menerangkan.
“Setelah dia orang tua mendapatkan pertolongan dari ayahmu dengan paksakan diri dia
menyalurkan hawa murninya untuk menutupi rasa sakit dan mempertahankannya hanya
dengan sebotol pil mujarab yang digembolnya, gerak-geriknya sekalipun tidak melebihi
orang biasa padahal setiap hari harus menanggung derita rasa sakitnya dan kambuhnya
luka dalam itu. Jikalau aku bisa datang sebelumnya kemungkinan aku orang masih bisa
bantu dia orang tua untuk menyembuhkan luka dalamnya atau paling sedikit bisa
melindungi dia untuk meninggalkan rumahmu dan mencari seorang tabib sakti untuk
mengobati luka dalamnya itu.”
“Saat itu kepandaian silatnya sudah punah, jikalau disuruh dia seorang diri melakukan
perjalanan jauh sebetulnya tidak mungkin terlaksana, sungguh tidak disangka karena

keterlambatan selama beberapa hari saja urusan ternyata sudah jadi berantakan, sukar
bagiku untuk bertemu kembali dengan ibu.”
“Tapi bibi Im bisa mempertahankan diri selama beberapa bulan lamanya mengapa tidak
bisa menunggu beberapa hari lagi?” tanya Siauw Ling lagi.
“Luka dalam yang dideritanya amat parah sekali dia orang tidak sampai menemui
ajalnya semuanya ini dikarenakan mengandalkan kemujaraban dari obat yang dibawanya
sehingga hawa murninya tidak sampai buyar, setelah kegunaan dari obat itu lenyap sudah
tentu sukar baginya untuk mempertahankan hidupnya lebih lanjut, karena itu dia baru
menulis surat wasiat dan secara diam-diam bersembunyi di dalam sumur tua itu untuk
menantikan saat ajalnya!”
Siauw Ling yang teringat kembali akan kebaikan budi dari Im Kauw tidak tertahan lagi
hatinya merasa sangat sedih, dua titik air mata dengan derasnya mengucur keluar
membasahi pipinya.
“Benar..!” ujarnya sambil menghela napas panjang. “Karena bibi Im takut kita merasa
sedih setelah mengetahui kematiannya maka sengaja dia menulis surat perpisahan agar
kita salah menduga kalau dia ada urusan sudah meninggalkan tempat itu.”
“Selain itu tidak orang tua juga takut memancing datangnya kesulitan buat kalian,”
sambung Gak Siauw-cha cepat.
“Cici, aku ada satu urusan yang tidak begitu paham!”
“Urusan apa?” tanya Gak Siauw-cha heran.
“Dunia begitu lebarnya, bagaimana cici bisa mencari dia orang tua sampai dirumahku?”
“Sejak semula ibuku sudah meninggalkan tanda rahasia diluar dusun Tan Kwee
Cungcuma saja tidak ada orang yang mengenalnya.”
“Lalu bagaimana ibuku sudah meninggalkan bersembunyi di dalam sumur kering
dirumahku itu? cici apa mengetahui dari tanda rahasia yang ditinggalkan bibi Im di dalam
kamar bacanya?”
Dengan perlahan Gak Siauw-cha gelengkan kepalanya.
“Ibuku cuma meninggalkan tanda rahasia kematian di dalam kamar bacamu itu dan
bukannya meninggalkan tanda rahasia yang menunjukkan tempat penyimpanan
jenazahnya maka itu sewaktu aku menemukan tanda tersebut tanpa terasa lagi aku sudah
menjatuhkan cawan sehingga hancur.”
Dengan perlahan dia menghapus kering butiran air mata yang menetes keluar
membasahi pipinya itu, lantas sambungnya,
Jilid 3
“Di dalam surat wasiatnya ibuku membicarakan tentang adik Ling juga walaupun kau
sudah memperoleh pelajaran mengatur ilmu pernapasan dari ibuku tetapi belum bisa

mengetahui benar rahasianya jikalau latihanmu salah bukan saja sukar untuk
menghilangkan penyakit yang ada di dalam tubuhmu dan menembus saat kematianmu
pada usia dua puluh tahun, bahkan kemungkinan sekali malah mempercepat kematianmu,
saat itu bukanlah sama saja ibuku sudah membalas air susu dengan air tuba? karenanya di
dalam surat wasiatnya diapun memerintahkan aku untuk memberi petunjuk selanjutnya
kepadamu, jika itu bukannya dikarenakan perintah ibuku ini sekalipun kau memohon
secara bagaimanapun aku juga tidak berani membawa kau untuk melakukan perjalanan
bersama-sama.”
“Kenapa?” bantah Siauw Ling setelah mendengar perkataan itu. “Tidak urung akupun
tidak bisa hidup lebih lama lagi di dalam dunia.”
“Masa mendatang sekalipun pendek tapi masih ada tiga empat tahun lamanya, tetapi
jika kau mengikuti aku untuk melakukan perjalanan yang sangat berbahaya ini keadaan
jadi sukar untuk diduga, kemungkinan sekali cuma ini haripun sukar untuk meloloskan
diri.”
Mendadak terdengar suara dengusan napas yang memburu dan ngos-ngosan
berkumandang datang.
Dengan cepat mereka palingkan kepalanya, tampaklah lelaki kasar yang sedang
menyembuhkan lukanya saat ini sedang bernapas dengan amat sesaknya, air mukanya
menjadi berubah merah padam agaknya napasnya sudah tersumbat di tenggorokan
sehingga sukar untuk dikeluarkan.
Gak Siauw-cha dengan cepat mengeluarkan jalan darah di belakang punggung lelaki
itu.
Tampak dia menghembuskan napas panjang, napas yang memberat semakin lama
semakin menghilang sedangkan air muka yang memerahpun dengan perlahan-lahan
membayar kembali.
“Gak cici, dia mengapa?” tanya Siauw Ling keheranan.
“Sewaktu menyalurkan hawa murninya untuk menyembuhkan luka dia sudah salah
melanggar urat nadi.” Sahut Gak Siauw-cha menerangkan. “Bilamana bukannya aku cepatcepat
turun tangan membantu dia untuk menotok jalan darah pentingnya, hari ini
sekalipun dia tidak menemui ajalnya paling sedikit juga akan menjadi cacat.”
“Aah, kiranya berlatih silatpun ada macam-macam kerepotan?” seru Siauw Ling sambil
menjulurkan lidah.
Tampaklah lelaki kasar itu dengan perlahan-lahan membuka matanya kembali.
“Terima kasih atas pertolongan nona sebanyak dua kali ini,” ujarnya perlahan.
Dalam hati Gak Siauw-cha sedang murung, dia cuma tertawa tawar saja tanpa
mengucapkan sepatah katapun.

Suasana di dalam ruangan kereta menjadi amat sunyi sekali, cuma terdengar suara
berputarnya roda memecahkan kesunyian yang mencekam di sekeliling tempat itu.
Entah berapa saat lamanya mendadak berputarnya roda berhenti secara tiba-tiba
kemudian terdengar sebuah suara yang amat kasar berkumandang masuk dari luar kereta.
“Nona, kereta sudah sukar untuk maju lagi!” ujarnya.
Gak Siauw-cha segera menyingkap hordin dan meloncat turun dari atas kereta tampak
sang surya sudah lenyap dibalik gunung magrib pun datang menjelang.
Siauw Ling pun meloncat turun dari atas kereta dan memandang keempat penjuru,
tampaklah rentetan pegunungan sambung menyambung di tempat kejauhan, puncak yang
satu lebih tinggi dari puncak yang lain mirip sekali dengan seekor naga yang sedang tidur.
Sinar pantulan sang surya mengenai puncak gunung memantulkan suatu sinar
lembayung yang amat indah sekali. Hal ini membuat hatinya terasa amat tenang dan
gembira. Tidak kuasa lagi dia tertawa terbahak-bahak.
“Suatu pemandangan yang amat indah sekali!” pujinya dengan suara keras.
Gak Siauw-cha yang melihat kegembiraannya sama sekali tidak lenyap bahkan tidak
mengetahui kalau mara bahaya sudah berada dihadapan mata, hatinya merasa sangat
pedih, pikirnya, “Orang tuanya memberikan budi kepadaku, jikalau aku tidak dapat
melindunginya hanya sekalipun hidup di dunia akupun merasa amat malu sekali.”
Tidak terasa lagi semangatnya berkobar kembali setelah memandang sekejap sekeliling
tempat itu cepat-cepat serunya dengan nyaring, “Kita tinggalkan kereta itu dan
melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.”
Selesai berkata dia segera melanjutkan langkahnya ke depan.
Siauw Ling sendiri di bawah bimbingan serta bantuan dari kedua orang lelaki besar itu
tanpa terasa lagi sudah melewati beberapa buah puncak gunung.
Beberapa saat kemudian Gak Siauw-cha berhenti kembali di samping sebuah jurang
yang amat curam sekali, ujarnya, “Malam ini kita menginap di tempat ini kalian pergilah
membersihkan salju di tempat ini, aku mau pergi sebentar.”
Dengan cepat tubuhnya meloncat sejauh satu kaki dan sebentar kemudian lenyap dari
pandangan.
Di dalam perjalanan tadi walaupun Siauw Ling dibimbing orang lain tetapi diapun harus
pusatkan perhatiannya untuk memanjat atau menuruni tebing. Saat ini setelah berhenti
bergerak tidak terasa lagi dengan hati girang dia memperhatikan keadaan di sekeliling
tempat itu.
Tampaklah tempat dimana mereka berhenti merupakan sebuah tempat yang
keadaannya sangat membahayakan sekali. Di sebelah depan berdirilah sebuah puncak
gunung yang amat tinggi ribuan kaki, di sebelah kanannya merupakan sebuah jurang yang
dalamnya ratusan kaki keadaannya sangat mengejutkan sekali kecuali sebuah jalan usus

kambing yang teramat sempit yang menghubungkan tempat itu dengan tempat luaran
tidak ada jalan lagi yang nampak.
Sinar matanya dengan perlahan berputar kembali, akhirnya pandangannya berhenti di
atas tubuh kedua orang lelaki yang membantu dirinya tadi, terlihatlah napas mereka
berdua memburu dengan amat cepatnya sedang keringat mengucur keluar dengan amat
derasnya.
Siauw Ling memandang sekejap ke arahnya lantas tanyanya, “Toa siok berdua,
siapakah nama kalian?”
“Kongcu memanggil kami dengan sebutan tersebut hamba tidak berani menerimanya,
nama hamba adalah Thio-kan!” sahut lelaki bersenjatakan golok itu.
“Aku bernama Hoo-kun, tolong tanya siapakah nama dari Si heng?” ujar lelaki
bersenjatakan Pan Koan Pit itu.
“Aku bernama Siauw Ling!” sahut Siauw Ling sambil tertawa. “Toa siok berdua
sebetulnya ada hubungan apa dengan Gak ciciku itu?”
“Kami adalah bawahan dari nona Gak,” sahut Thio-kan dengan suara yang serak. “Lain
kali jikalau kongcu ada urusan silahkan perintah saja kepada kami, kami segera
melaksanakannya.”
“Eeeai… sebetulnya Gak ciciku itu?”
Thio-kan serta Hoo-kun pada saling bertukar pandangan sekejap, lalu bersama-sama
sahutnya, “Tentang soal ini lebih baik kongcu tanyakan sendiri dengan nona Gak.”
Sewaktu mereka sedang berbicara itulah tampak Siauw-cha dengan membawa seikat
ranting kayu sudah berjalan kembali.
“Adik Ling,” ujarnya dengan halus terhadap diri Siauw Ling. “Pertempuran sengit tadi
tentunya kau melihat dengan mata kepalamu sendiri bukan?”
“Benar!” sahut Siauw Ling sambil mengangguk. “Kepandaian silat dari cici sangat tinggi
sekali Siauw te merasa amat kagum.”
“Tetapi mereka-mereka itu tak lebih cuma beberapa tentara kecil yang dipasang di
depan garis pertempuran, musuh yang tangguh-tangguh sebentar lagi bakal datang.
Mereka mempunyai burung dara yang membuntuti kita tidak lama kemudian mereka tentu
akan tiba disini, kemungkinan sekali malam ini bakal terjadi suatu pertempuran yang amat
sengit sekali.”
“Cici, kau jangan merasa kuatir” hibur Siauw Ling. “Mati atau hidup ada di tangan
Thian, orang budiman tentu dilindungi terus oleh Thian, walaupun Siauw te tidak paham
ilmu silat tetapi hatiku sedikitpun tidak takut.”
“Ehmm… besar juga nyalimu.” puji Gak Siauw-cha sambil tertawa.

“Sekalipun tidak ada urusan ini akupun tidak bisa hidup beberapa tahun lagi. Cici
bilamana mau membawa aku meluaskan pandangan sekalipun harus mati lebih cepat
hatiku juga sudah puas.”
“Jikalau bukannya dikarenakan hendak melindungi keselamatan dari adik Ling, kitapun
tidak akan memilih suatu tempat yang demikian bahaya untuk menahan serangan musuh,”
ujar Gak Siauw-cha dengan nada serius. “Jika kau tidak mau mendengar omonganku, kau
orang tidak usah turut kami lagi.”
“siapa yang bilang aku tidak mau mendengarkan omongan cici?” seru Siauw Ling
dengan cemas.
“Kalau begitu baiklah,” ujar Gak Siauw-cha kemudian sambil mengangguk. “Nanti
jikalau ada musuh yang mengejar sampai disini, kau tidak boleh lari secara sembarangan,
kau harus sembunyi di belakang batu besar tersebut. Bilamana sukma ibu yang ada di atas
melindungi kita dan malam ini kita berhasil membasmi musuh tangguh, kemungkinan
sekali kita akan segera melanjutkan perjalanan kembali.”
“Pihak musuh mempunyai burung dara untuk memberi jejak,” ujar Thio-kan tiba-tiba,
“Sekalipun kita bersembunyi kemanapun jejak kita bakal diketemukan juga oleh mereka.
Jikalau kita hendak bermaksud menghilangkan jejak seharusnyalah mencari sebuah akal
untuk membereskan burung dara itu terlebih dahulu.”
“Menurut dugaanku, pimpinan dari kaum pengejar selama ini paling lambat nanti
malam pasti sudah tiba disini.” kata Gak Siauw-cha. “Jikalau malam ini kita berhasil
menyingkirkan musuh-musuh yang menyerang malam ini, urusan akan mendekati sedikit
beres, sekalipun mereka mempunyai burung dara yang bisa mencari jejak, paling cepat
tiga, lima hari kemudian mereka baru akan tiba disini.”
“selamanya dugaan nona selalu tepat, sudah tentu urusan tidak meleset dari dugaan
tersebut.” sambung Thio-kan kemudian.
“Tetapi cayhe ada satu urusan yang tidak paham, harap nona mau memberi
penjelasan.” tiba-tiba sela Hoo-kun.
“Ada urusan apa? Bicaralah!”
“Tadi nona melarang aku untuk membinasakan orang pengejar itu bahkan mereka
hidup lebih lanjut bukankah hal ini cuma memberikan satu keuntungan buat lawan?”
“Sekalipun kita binasakan mereka bertiga belum tentu persoalan bisa beres dengan
sendirinya, lebih baik kita tinggalkan kehidupan buat mereka agar mereka mewakili kita
memberikan berita-berita yang membingungkan pihak musuh.”
Dia berhenti sebentar, kemudian dengan perlahan sinar matanya menyapu sekejap ke
arah Thio-kan serta Hoo-kun tambahnya, “Untuk menghadapi pertempuran sengit nanti
malam, seharusnya sekarang kalian beristirahat secukupnya.”
“Nonapun harus baik-baik menyimpan tenaga buat nati malam.” sahut Thio-kan dan
Hoo-kun berbareng. “Kiranya musuh-musuh yang bakal mengejar kemari bukanlah
manusia-manusia tidak becus.”

Gak Siauw-cha segera angkat kepalanya menghembuskan napas panjang.
“Adik Ling! Kau baik-baiklah beristirahat!” katanya kemudian kepada Siauw Ling dengan
suara yang amat perlahan. “Jikalau nanti musuh tangguh sudah datang maka
pertempuran sengit bakal berlangsung, saat itu sekalipun kau amat lelah juga tidak bakal
bisa tidur.”
Beberapa perkataannya ini amat halus, ramah dan menaruh perhatian yang khusus
terhadap dirinya, lagaknya mirip dengan cinta kasih seorang ibu terhadap anaknya sendiri.
Siauw Ling merasakan sikapnya terhadap dia ada kalanya sangat halus dan ramah
sekali ada kalanya pula dingin, kaku sukar diduga membuat dia orang menaruh rasa
hormat juga takut terhadap dirinya, dengan cepat dia pejamkan matanya untuk mengatur
pernapasan.
Malam semakin kelam… suasana ditanah pegunungan sunyi senyap… suara auman
srigala yang memanjang bercampur dengan suara pekikkan burung malam dari tempat
kejauhan menambah keseraman dan kengerian dimalam itu.
Mendadak suara-suara siutan panjang yang memekikan telinga memecahkan kesunyian
menembus awan.
Dengan cepat Siauw Ling membuka matanya terlihatlah sinar bintang berkedip jauh
diangkasa puncak gunung yang tinggi dan menjulang keangkasa kelihatan jauh lebih
mengerikan, tidak terasa lagi hatinya terasa sedikit bergidik.
“Adik Ling!” tiba-tiba terdengar suara yang amat halus dari Gak Siauw-cha
berkumandang masuk ke dalam telinganya, “Musuh sudah pada datang, kau cepatlah
bersembunyi di belakang batu cadas yang kasar itu.”
Siauw Ling amat penurut sekali, dia segera bangun berdiri dan berjalan menuju ke
belakang batu cadas yang amat besar itu.
Baru saja berjalan dua langkah mendadak terasalah sebuah telapak tangan yang amat
halus sudah mencekal pergelangan tangan kanannya, disusul tercium bau wangi yang
semerbak masuk ke dalam hidung.
Dengan cepat dia menoleh ke belakang terlihatlah Gak Siauw-cha dengan wajah yang
amat murung sedang memandang dirinya.
Dia jadi melengak.
“Cici, ada urusan apa?” tanyanya heran.
“Adik Ling, musuh yang bakal datang memiliki kepandaian yang amat tinggi sekali
masing-masingpun mempunyai yang amat kejam dan ganas sekali,” ujar Gak Siauw-cha
dengan sedih, “Adik Ling sekalipun kau masih amat kecil dan tidak mengerti ilmu silat
tetapi jikalau sampai terjatuh ketangan mereka tentu bakal sukar untuk lolos dari
kematian. Sewaktu nanti cici melawan musuh, kemungkinan sekali waktu itu aku tidak bisa
mengurus dirimu lagi. Tidak perduli bagaimana seru sengitnya jangan munculkan diri

untuk menonton, lebih kau sembunyilah serapat mungkin sehingga tidak sampai diketahui
musuh.”
“Aku akan mengingat-ingatnya semua, cici kau harap berlega hati.” sahut Siauw Ling
dengan cepat.
Setelah itu dengan langkah yang lebar dia berjalan menuju ke belakang sebuah batu
besar.
Setelah Gak Siauw-cha melihat Siauw Ling sudah bersembunyi dengan amat rapat lalu
kepada Thio-kan serta Hoo-kun baru berkata, “Pertempuran yang bakal terjadi malam ini
tidak sama dengan pertempuran yang terjadi biasanya di dalam Bulim, pertempuran
malam ini menyangkut mati hidup masing-masing. Kalian turun tanganlah sekejam
mungkin, lebih banyak melukai seorang musuh berarti pula mengurangi satu bagian
bahaya buat keselamatan kita.”
“Nona harap berlega hati.” sahut Thio-kan serta Hoo-kun bersama-sama. “Malam ini
bukannya pihak musuh yang menemui ajalnya tentulah kami bersaudara yang binasa.”
Mendadak terdengarlah suara tawa aneh yang menyeramkan sekali berkumandang
datang dari tempat berpuluh-puluh kaki jauhnya, suara tawa itu amat mengerikan sekali
mirip dengan suara pekikan burung malam, bagkan dengan amat cepatnya bergerak
mendatang.
Hanya di dalam sekejap saja suara itu sudah di bawah tebing jurang itu.
Sejak semula Gak Siauw-cha sudah menyusun satu cara untuk menghadapi musuhmusuhnya
itu, tangan kanannya dengan cepat diulapkan, Thio-kan serta Hoo-kun segera
pada meloncat mengambil tempat kedudukan masing-masing.
Mereka bertiga dengan mengikuti keadaan di dalam tebing itu berpencar menjadi segi
tiga bersama-sama menghadapi serangan musuh.
Dengan cepat Gak Siauw-cha merogoh ke dalam sakunya meloloskan sebuah pedang
lemas yang panjangnya empat depa delapan cun dengan luas dua jari tangan, dengan
perlahan dia berjalan mendekati tepi tebing sedangkan tangan kirinya merogoh ke dalam
sakunya meraup segenggam jarum perak yang amat halus sekali.
Terdengar dari bawah tebing itu berkumandang kembali suara yang berat, serak dan
amat dingin sekali.
“Heee… heee… budak-budak rendah! teriaknya.
“Kalian sekarang sudah kami kepung rapat-rapat. Keadaan kalian mirip seekor burung
yang berada di dalam sangkar, mirip pula dengan seekor binatang buas yang ada di dalam
kandang, heee… heee… jangan salahkan loohu akan turun tangan kejam terhadap kalian!”
Selama ini Thio-kan paling menghormati dia Gak Siauw-cha, mendengar orang yang
ada memaki dirinya tidak terasa lagi dia jadi sangat gusar sekali.
“Cucu kura-kura janganlah beraninya memaki orang jika punya nyali ayo turun
bergebrak dengan aku!” bentaknya dengan keras.

Segera terdengar suara aneh yang amat seram memekikan telinga bergema datang
sesosok bayangan manusia bagaikan seekor kera dengan amat gesitnya sudah meluncur
ke bawah tebing.
Kiranya orang itu sekalipun berhasil mengetahui sampai disini tapi dikarenakan keadaan
cuaca yang amat gelap sekali tidak tahu Gak Siauw-cha sekalipun, sengaja dia memaki
dengan kata-kata kotor untuk memancing balasan dari pihak lawan sehingga dengan
demikian bisa diketahui tempat kedudukan lawan. Thio-kan yang tidak mengetahui akan
siasat ini ternyata sudah berhasil kena pancing siasat musuh.
Gak Siauw-cha yang melihat gerakan tubuh dari orang itu amat gesit sekali dalam hati
segera mengetahui kalau kepandaian silat musuh tidak lemah.
Nafsu membunuhnya segera berkobar memenuhi benaknya, dia berdiri tegak di atas
tebing tanpa bergerak sedikitpun, menanti orang itu hampir mencapai tanah mendadak
pergelangan tangan kirinya diayun ke depan segenggam senjata rahasia yang amat
dahsyatnya menyambar ke arah depan.
Jarak diantara mereka berdua amat dekat sekali apalagi kekuatan menyambit dari Gak
Siauw-cha pun menggunakan tenaga yang amat dahsyat sekali, seharusnya menurut
perkiraan orang itu tidak bakal bisa menghindarkan diri dari serangan tersebut.
Siapa sangka ilmu silat dari orang itu ternyata amat tinggi sekali diluar dugaan diri Gak
Siauw-cha, tampak orang itu di dalam keadaan yang tergesa-gesa miringkan badannya
kesamping lalu melancarkan satu pukulan ke depan.
Perbuatan yang dilakukan oleh orang itu amat cepat sekali, hanya di dalam sekejap
saja dia sudah berhasil menghindarkan diri dari sambitan senjata rahasia Gak Siauw-cha.
Beberapa batang jarum perak tersebut dengan amat tajamnya berkelebat melewati atas
kepalanya sedangkan sisanya berhasil dipukul miring arahnya oleh tenaga pukulan dari
orang itu sehingga pada berjatuhan di atas tanah.
Melihat keadaan itu di dalam hati Gak Siauw-cha merasakan hatinya bergidik, pikirnya,
“Cukup dilihat dari caranya melayang turun dari atas tebing serta gerakan dari tubuhnya di
dalam menghindarkan diri dari serangan jarum perak sudah cukup membuktikan dia
adalah seorang musuh yang amat tangguh sekali…”
Mendadak terdengarlah suara bentakkan keras dari Thio-kan disusul suara beradunya
senjata tajam yang amat ramai sekali, dengan tergesa-gesa Gak Siauw-cha menoleh
kesamping.
Terlihatlah waktu Thio-kan sedang memutarkan goloknya melancarkan serangan
bertubi-tubi menyerang seorang lelaki berbaju hitam.
Tampak pada tangan manusia berbaju hitam itu memancarkan sinar yang berkilauan
ternyata dia menggunakan sebuah senjata swaatika yang aneh sekali itu “Liang Hien Ban
Ci Loh” yang merupakan senjata tandingan dari golok yang ada di tangan Thio-kan itu.

Cukup membicarakan hal senjata tajam saja Thio-kan sudah kalah di bawah angin
apalagi orang yang bisa mempergunakan senjata semacam itu biasanya memiliki
kepandaian tunggal yang amat lihay sekali sudah tentu dia orang semakin terdesak lagi.
Tetapi Thio-kan memberikan perlawanan dengan amat gigih sekali, dia melancarkan
serangan dengan penuh tenaga membuat sinar golok berkelebat memenuhi seluruh
angkasa, goloknya sebentar menusuk semuanya menggunakan jurus-jurus serangan yang
paling dahsyat membuat manusia berbaju hitam itu untuk sementara waktu tidak bisa
mengapa apakan dirinya.
Waktu itu tempat penjagaan dari Hoo-kun dan sudah mulai terdengar suara desiran
angin serangan angin yang amat gencar, tampak seorang kakek tua yang botak dan kurus
kering seperti bambu entah sejak kapan sudah menerjang masuk ke dalam tebing
tersebut. Tampaklah dia orang dengan menggunakan sepasang kepalannya yang laksana
besi menyambut datangnya serangan Pan Koan Pit dari Hoo-kun.
Walau pun kakek tua botak itu cuma menggunakan serangan kepalan saja, ilmu yang
digunakan olehnya bukan lain adalah ilmu cakar elang yang dicampur dengan kepandaian
merebut senjata tajam yang amat lihay, di tengah kegelapan malam yang amat sunyi
terlihatlah jenggotnya yang putih berkibar tak henti-hentinya di tengah kalangan, kelihatan
ilmu silatnya jauh berada di atas manusia berbaju hitam tadi.
Hanya di dalam sekejap saja sudah ada dua orang musuh tangguh yang merebut turun
dari tebing, sinar mata Gak Siauw-cha dengan cepatnya berkelebat di tengah kalangan,
tampaklah orang yang tadi berhasil menghindarkan diri dari serangan senjata rahasia itu
dengan amat cepatnya sudah menubruk kehadapannya.
Pedang panjang yang ada di tangan Gak Siauw-cha dengan cepat digetarkan hingga
timbullah pelangi perak yang menyilaukan mata.
Diantara berkelebatnya sinar pedang muncullah bunga-bunga pedang yang amat
banyak menghajar pihak musuh.
Orang itu segera tertawa dingin, sepasang tangannya direntangkan kesamping dari
ujung bajunya mendadak berkelebat keluar dua gulung sinar lingkaran yang hitam.
Ternyata senjata itu bukan lain adalah sepasang gelang “Siauw Hauw Siang Huan” yang
terbuat dari besi baja.
Sepasang gelang bajunya ini sejak semula sudah disembunyikan dibalik jubah, saat ini
begitu tangannya digetarkan segera terlihatlah sepasang gelang itu berkelebat dengan
amat cepat menutupi seluruh serangan pedang-pedang dari Gak Siauw-cha.
Criiiing…!! bagai pekikan naga sakti, pedang serta sepasang gelang baja itu bentrok
satu sama lainnya sehingga terlihatlah bunga api memancar keluar memenuhi angkasa,
pedang panjang di tangan Gak Siauw-cha yang semula lurus bagaikan sebuah pit
mendadak ditekuk kesamping, diantara berkelebatnya sinar yang menyilaukan mata
bagaikan kilat cepatnya membabat ke arah sepasang tangan dari pihak lawan yang
mencekal sepasang gelang baja itu.
—————————
http://ecersildejavu.wordpress.com/

————————————-
Haruslah diketahui pedang panjang adalah sebuah senjata yang diantara keras
membawa kelembutan, diantara kelembutan itu membawa kekuatan dahsyat, perubahan
yang terjadi secara mendadak ini sudah tentu berada diluar dugaan pihak lawan.
Orang yang menggunakan sepasang gelang baja itu semula bermaksud hendak
menutup datangnya serangan pedang dari pihak musuh lalu dengan meminjam
kesempatan ini maju melancarkan serangan.
Siapa sangka pedang lemas dari Gak Siauw-cha ternyata bisa menekuk lalu berputar
arah, di dalam keadaan yang amat terperanjat dia sempat berganti jurus lagi sambil
melepaskan gelangnya dengan cepat tubuhnya meloncat ke atas udara lalu bersalto
beberapa kali dan meluncur kembali ke atas tebing.
Di tengah kegelapan yang mengaburkan pandangan terlihatlah butiran darah segar
dengan mengikuti melayangnya tubuh menjauhi tempat tersebut menetes keluar
membasahi permukaan tanah, jelas sekali urat nadi pada pergelangan tangannya sudah
berhasil dibabat robek oleh serangan dari Gak Siauw-cha tadi.
Gak Siauw-cha sendiripun hampir-hampir tidak mau percaya kalau serangannya tadi
berhasil mendesak seorang musuh yang tangguh untum melayang turun kembali ke
bawah tebing, tidak terasa dia menjadi tertegun.
Pada saat itulah mendadak dari bawah tebing melayang kembali seorang bayangan
manusia yang mempunyai perawakan amat tinggi besar yang bagaikan kilat cepatnya
menubruk datang.
Dengan cepat Gak Siauw-cha menggerakkan tangannya, sepasang gelang baja yang
semula masih tergantung di atas ujung pedangnya dengan cepat disambitkan ke arah
dada serta lambang dari bayangan manusia sedang menubruk ke arahnya itu.
Gerakannya ini sebetulnya tak bermaksud untuk melukai orang, dia hanya ingin
meminjam kesempatan ini untuk berebut kedudukan, baru saja sepasang gelangnya
disambit keluar pedangnya dengan amat cepat sudah menotok pula ke arah depan.
Siapa tahu baru saja tubuhnya bergerak sepasang gelang baja tadi ternyata sudah
terpukul balik oleh pukulan angin serangan yang amat gencar dari pihak lawan.
Dalam hati Gak Siauw-cha merasakan hatinya bergidik, dengan cepat tubuhnya
berputar kesamping untuk menghindarkan dia dari serangan tersebut.
Terdengar suara desiran angin serangan yang amat tajam di tengah kegelapan malam
tampak berkelebatnya sesosok bayangan hitam laksana ular licin dengan menembus
angkasa berkelebat mendatang. Kiranya benda itu adalah sebuah cambuk lemas berkepala
ular yang amat aneh sekali.
Pedang emas di tangan Gak Siauw-cha dengan cepat digetarkan keluar diantara
berkelebatnya sinar keperak-perakan dengan gerakan menyerang dia balas melancarkan
serangan.

Baru saja lewat tiga jurus Gak Siauw-cha sudah merasakan kepandaian silat dari orang
itu amat tinggi sekali, perubahan yang terjadi pada cambuk lemas ditangannyapun amat
aneh dan sukar untuk diduga sebelumnya.
Dengan cepat pedang lemas ditangannya dikebutkan ke depan, seketika itu juga
tampak sinar yang amat dingin berkelebat memenuhi angkasa, bunga-bunga pedang
dengan amat santernya mengurung seluruh ruangan. Kiranya Gak Siauw-cha tahu
pertempuran malam ini harus diselesaikan secepat mungkin, asal pimpinan dari
pengejaran malam ini bisa dilukai olehnya maka untuk meloloskan diri akan jauh lebih
mudah lagi, karena itu baru saja pertempuran itu dimulai dia sudah mengeluarkan seluruh
jurus serangannya yang paling dahsyat.
Tetapi kepandaian silat dari orang itu amat lihay dan tinggi sekali. Cambuk lemas
berkepalakan ular yang ada ditangannya bukan saja mempunyai perubahan yang amat
banyak sehingga sukar diduga bahkan tenaga pergelangannyapun amat dahsyat setiap
serangannya tentu disertai sambaran angin.
Walaupun serangan-serangan yang dilancarkan oleh Gak Siauw-cha amat gesit dan
ganas tetapi untuk sementara waktu mereka tidak bisa mengapa apakan pihak lawan yang
amat lihay ini.
Sinar matanya dengan amat cepat beralih ke atas wajahnya, tampaklah orang itu
dengan menggunakan sebuah kain sutera hitam mengerudungi wajahnya sehingga cuma
kelihatan munculnya sepasang mata yang memancarkan sinar tajam. Serangan-serangan
yang dilancarkan dengan menggunakan cambuk berkepalakan ular itupun semakin aneh
dan merupakan jurus-jurus serangan yang belum pernah dijumpai.
Diam-diam dalam hati Gak Siauw-cha merasa amat heran.
“Orang ini kalau memangnya sengaja mengejar diriku apalagi ilmu silat yang dimilikipun
amat tinggi sekali, kenapa dia orang tak mau menemui aku dengan wajahnya yang
sesungguhnya? Apakah di dalam hal ini masih ada rahasia yang tak boleh diketahui orang
lain…”
Pada saat pikirannya berputar itulah terdengar suara bentakan yang amat dingin sekali
bergema mendatang.
Lepas tangan diikuti suara benturan yang amat nyaring, agaknya ada senjata tajam
yang terlepas dari tangan di atas tanah.
Dengan gugup Gak Siauw-cha menoleh kesamping terlihatlah senjata Pan Koan Pit
yang ada ditangan, diri Hoo-kun sudah terpukul lepas oleh datangnya serangan kakek
botak yang kurus kering seperti bambu itu.
Saat ini dengan mengandalkan senjata Pan Koan Pit yang ada di tangan kanannya dia
melancarkan serangan dengan mati-matian.
Tetapi serangan telapak dari kakek tua botak itu semakin gencar dan semakin lama
semakin cepat, Hoo-kun yang pada mulanya bersenjatakan sepasang “Pan Koan Pit” pun
tak berhasil mempertahankan serangannya yang gencar apalagi kini senjatanya cuma
tertinggal sebuah saja, keadaannya benar-benar sangat terdesak sekali bahkan dirinyapun
sudah berada di dalam situasi yang mengkhawatirkan.

Sinar matanya cepat berputar kembali ke arah yang lain, terlihatlah Thio-kan yang
bertempur dengan lelaki bersenjatakan swastika itu walaupun bergerak dengan amat
sengitnya tapi untuk sementara waktu masih bisa mempertahankan diri sehingga tak
terkalahkan, tak terasa hatinya merasa sedikit lega.
Pergelangan tangannya berturut-turut melancarkan tiga buah serangan dahsyat ke
depan, seketika itu juga sinar yang menyilaukan mata bagaikan kilat cepatnya memenuhi
angkasa, bunga-bunga pedang dengan membentuk sebuah dinding yang amat kuat
mendesak ke arah manusia berkerudung itu membuat dia orang sakit tak tahannya
berturut-turut mundur tiga langkah ke belakang.
Saat itu si kakek botak itu berturut-turut sudah melancarkan kembali seranganserangan
yang mematikan mendesak Hoo-kun yang terpaksa harus menghindar kekiri
meloncat kekanan meloloskan diri dari bahaya maut serangan-serangan gencar si orang
tua botak itu, tetapi dia orang yang tak mempunyai niat untuk mengadu jiwa walaupun di
dalam keadaan yang amat kritis dia selalu mengingat-ingat jangan sampai membiarkan
musuhnya berhasil menerjang dirinya sehingga keadaan dari Gak Siauw-cha semakin
berbahaya.
Oleh sebab itulah dengan mati-matian dia mempertahankan tempat kedudukan itu
tanpa mau mengalah barang setindakpun.
Tapi ilmu silat dari masing-masing pihak terpaut sangat banyak sekali, apalagi
pertempuran ini sekali tak seimbang, sekalipun untuk sementara waktu Hoo-kun berhasil
mempertahankan diri dari serangan yang dahsyat dari pihak musuh tetapi setelah waktu
makin panjang akhirnya dia tak kuat juga untuk menahan serangan gencar pihak
lawannya.
Apalagi setelah senjata di tangan kirinya berhasil disampok jatuh oleh pihak lawan dia
semakin dibuat gelagapan lagi kelihatan sebentar lagi dia akan terbinasa di tangan musuh.
Mendadak terdengarlah suara bentakan yang amat nyaring memecahkan kesunyian
disusul berkelebatnya sinar yang amat menyilaukan mata menusuk ke arah kakek botak
tersebut.
Kepandaian silat dari diri kakek tua berkepala botak itu ternyata lihay juga, di tengah
kegelapan mata ternyata dia bisa membedakan juga datangnya serangan senjata tajam.
Sebelum tubuhnya berputar telapak tangannya dengan cepat sudah dihantamkan ke
depan, segera terasalah segulung angin pukulan dahsyat menghajar datangnya serangan
pedang, tadi sedang tubuhnya dengan meminjam kesempatan itu meloncat mundur
beberapa kaki ke belakang.
Gak Siauw-cha yang harus melancarkan serangan dahsyat untuk menolong Hoo-kun
meloloskan diri dari bahaya maut kini keadaannya malah berbalik kena terdesak.
Kiranya dengan mengambil kesempatan itu si manusia berkerudung tadi telah
melancarkan serangan gencar kembali dengan menggunakan cambuk berkepala ular itu
untuk mendesak dirinya.

Sebetulnya keadaan dari mereka berdua adalah seimbang, masing-masing selalu
berhati-hati di dalam melancarkan serangannya menghadapi musuh bahkan tidak
seorangpun diantara mereka yang berani menggunakan serangan itu terlalu lama takuttakut
digunakan kesempatan ini oleh pihak musuh sehingga keadaannya semakin
memburuk dan terluka dipihak lawan. Karena itu sampailah saat ini mereka sama sekali
tidak berani menggunakan jurus-jurus serangan yang paling dahsyat itu untuk
menghadapi musuhnya.
Tetapi kini Gak Siauw-cha harus dipecahkan perhatian untuk menolong Hoo-kun, hal ini
justru memberikan kesempatan baik bagi manusia berkerudung itu untuk melancarkan
serangannya yang paling dahsyat.
Terasa desiran angin serangan yang amat tajam muncul dari ujung cambuk lalu secara
mendadak memencar kesamping sehingga menimbulkan suara teriaknya yang amat aneh
sekali.
Pedang lemas yang ada di tangan Gak Siauw-cha ada empat depa delapan coen
panjangnya, sebaliknya cambuk lemas dari manusia berkerudung itu ada tujuh depa
panjangnya, begitu serangannya dilancarkan maka tempat seluas satu kaki lebih sudah
berada di bawah kurungan bayangan cambuk yang menyilaukan mata, itu saat dia yang
berhasil merebut kedudukan yang lebih baik lagi sudah tentu serangan yang dilancarkan
pun semakin lama semakin dahsyat.
Dengan sekuat tenaga Gak Siauw-cha memainkan menangkis datangnya semua
serangan pihak musuh di tengah berkelebatnya bayangan cambuk yang memenuhi
angkasa, hawa pedang bagaikan kilat cepatnya menerjang setiap kurungan yang
mendesak tubuhnya, tidak sampai sepuluh jurus kemudian dia sudah berhasil memperbaiki
kedudukannya.
Segera terdengarlah manusia berkerudung itu menghela napas panjang.
“Haaai… ilmu pedang dari keluarga Gak ternyata sangat dahsyat sekali…”
Suaranya mendadak terputus sampai diseparuh jalan, agaknya secara tiba-tiba dia
sudah teringat akan suatu urusan.
Semangat diri Gak Siauw-cha segera berkobar kembali, pedang panjangnya dengan
menggunakan jurus “Pek Hoo Kay Jong” atau sungai es retak merekah digetarkan dengan
amat kerasnya sehingga berbentuklah tiga kuntum bunga pedang yang secara terpisah
mengancam tiga buah jalan darah penting pada tubuh manusia berkerudung itu.
Datangnya serangan itu amat ganas sekali dan sukar untuk dihindari. Manusia
berkerudung itu cuma merasakan datangnya serangan dari Gak Siauw-cha itu seperti
menotok seperti juga sedang membabat membuat cambuk lemasnya seketika itu juga
dipukul keluar dari kalangan sehingga sulit untuk ditarik kembali, di dalam keadaan yang
amat tergesa-gesa dengan cepat dia menjatuhkan diri bergulingan ditanah dengan
menggunakan gerakan jembatan baja, dia berhasil juga menghindarkan diri dari
datangnya serangan pedang itu.

Gak Siauw-cha yang melihat serangannya mendapatkan hasil segera merebut posisi
utama, mana dia orang mau memberikan kesempatan buat musuhnya untuk melancarkan
serangan balasan lagi?
Jurus pedangnya bagaikan menggulungnya ombak di tengah tiupan angin topan
dengan tak henti-hentinya mengalir keluar di dalam sekejap saja hawa dingin mengitari
seluruh tubuh dari manusia berkerudung itu jadi kalang kabut tidak karuan, tubuhnya
yang masih terlentang di atas tanah untuk sementara waktu tidak berhasil bangkit berdiri.
Tetapi kepandaian silat yang dimiliki manusia berkerudung itupun bukan termasuk
lemah, sekalipun punggungnya yang menempel di atas permukaan tanah berguling
kekanan kekiri tak henti-hentinya tetapi tangannya tidak mau berhenti sampai disitu dia
babat ke depan segera dibarengi dengan tendangan kaki yang amat keras.
Dengan meminjam tenaga tendangan itulah tubuhnya bagaikan kitiran berputar dengan
amat cepat di atas tanah, di dalam keadaan seperti ini sekalipun Gak Siauw-cha
melancarkan berpuluh-puluh serangan sekaligus tetapi tidak berhasil juga melukai dirinya.
Walaupun begitu bunga-bunga pedang yang mengikuti gerakan pedangnya berkelebat
memenuhi dengan amat rapatnya melayang turun ke bawah tanah, walaupun tidak
berhasil melukai manusia berkerudung itu barang sedikitpun tetapi manusia berkerudung
itupun tidak berhasil pula memecahkan bunga-bunga pedang yang menderak tubuhnya
dengan amat rapat itu.
Dengan sangat paksakan diri manusia berkerudung itu mempertahankan dirinya lagi
beberapa waktu lamanya, mendadak dia mengendorkan tangannya membuang cambuk
lemas itu.
Tangan kanannya dengan cepat merogoh ke dalam sakunya mencabut keluar sebilah
pisau belati, di tengah suara bentakan yang amat keras pisau belati itu dengan
memancarkan sinar kehijau-hijauan yang menyilaukan mata menutup datangnya seluruh
serangan pedang tersebut kemudian dengan tergesa-gesa melompat bangun.
Serangan dari Gak Siauw-cha semakin mengencang, mana dia orang mau membiarkan
seluruh musuh menyerang keluar dari kalangan? Dia orang-orang segera tertawa dingin.
“Kalau memangnya berani mencari gara-gara dengan diriku, kenapa kau tidak berani
bertemu dengan wajahmu yang sebenarnya? Beberapa kali aku sudah mengampuni
jiwamu bilamana kau orang masih tebal muka dan tidak mau memperlihatkan wajah juga
janganlah menyalahkan aku akan turun tangan kejam terhadap dirimu.”
Kiranya secara samar-samar dari nada ucapannya serta gerakan jurus serangannya Gak
Siauw-cha sudah merasakan kalau orang ini amat dikenal olehnya cuma saja dia masih
tidak mempunyai pegangan yang kuat sehingga tidak berani membongkar rahasia secara
langsung.
manusia berkerudung itu sembari menggerakkan pisau belatinya melancarkan serangan
bertubi-tubi menangkis datangnya serangan musuh dalam hati dia terus menerus berpikir
hendak memungut kembali cambuk lemasnya ynag menggeletak di atas tanah, tetapi
dikarenakan serangan dari Gak Siauw-cha semakin lama semakin gencar membuat dirinya
untuk sesaat tidak berhasil mewujudkan niatnya.

Kurang lebih beberapa saat kemudian mendadak situasi di dalam kalangan berubah
kembali, terdengar suara dengusan yang amat berat Hoo-kun dengan sempoyongan
mundur beberapa langkah lalu jatuh tertunduk di atas tanah.
Kiranya setelah Gak Siauw-cha membantu dia mendesak mundur kakek berkepala botak
itu dengan meminjam kesempatan tersebut Hoo-kun sudah memungut kembali senjata
Pan Koan Pit nya yang terjatuh.
Dengan sepasang senjata yang berada kembali semangatnya pun berkobar kembali,
sekali lagi dia melancarkan serangan-serangan gencarnya mendesak kakek berkepala
botak itu.
Di dalam ilmu silat mereka berdua mempunyai perbedaan yang amat jauh sekali,
beberapa jurus serangan yang semula kelihatan sedikit dahsyat setelah lewat lima jurus
kembali jadi kacau sehingga sekali lagi dia terdesak oleh serangan kakek tua botak itu dan
memaksa tubuhnya mundur terus ke belakang.
Mendadak kakek itu berturut-turut melancarkan beberapa kali serangan dahsyat
menghantar sepasang Pan Koan Pit nya sehingga miring kesamping, dengan meminjam
kesempatan itulah tangan kiri dari kakek botak itu kembali kirim satu pukulan maut yang
dengan tepatnya menghajar di atas pundak Hoo-kun.
Pukulan ini mengenai tubuhnya dengan amat berat sekali membuat Hoo-kun tidak kuat
berdiri lebih lama dengan sempoyongan tubuhnya mundur ke belakang lalu terjatuh ke
atas tanah, lengan kirinya terasa menjadi kaku tidak terangkat kembali, dengan sendirinya
senjata Pan Koan Pit terjatuh kesamping tubuhnya.
Gak Siauw-cha dengan cepat putar kepalanya memandang ke arah mana, saat itu si
kakek tua botak itu sudah angkat tangan kirinya siap dibabatkan ke depan.
Pada waktu itu Gak Siauw-cha sendiripun sedang menghadapi musuh yang amat
tangguh sekali sekalipun turun tangan juga tidak punya tenaga untuk berbuat membikin
hatinya menjadi amat bingung.
Mendadak terdengar suara bentakan yang amat keras mendadak Hoo-kun
menyambitkan Pan Koan Pit yang ada di tangan kanannya ke arah orang itu.
Di dalam keadaan yang kepepet dan membahayakan jiwanya dengan sekuat tenaga dia
melancarkan serangan tersebut, tampak senjata Pan Koan Pit itu dengan disertai suara
sambaran yang amat tajam sekali meluncur ke arah si kakek tua botak itu.
Si orang tua botak yang melihat musunya hampir menemui binasa di bawah
serangannya, di dalam hati merasa amat girang, siapa tahu Hoo-kun ternyata
menggunakan senjatanya sebagai senjata rahasia menyambit ke arahnya membuat dia
jadi tertegun.
Di dalam waktu yang bersamaan pula tangan kiri Gak Siauw-cha merogoh ke dalam
sakunya meraup segenggam jarum perak kemudian diayunkan ke arahnya.
Mendadak tekanan yang menindih dirinya jauh berkurang disusul suara yang amat
nyaring berkumandang masuk ke dalam telinganya.

“Cepat pergi tolong orang.”
Sekali mendengar saja Gak Siauw-cha sudah tahu suara itu berasal dari manusia
berkerudung tersebut, segera tanpa banyak berpikir lagi mendadak tubuhnya meloncat ke
depan diantara berkelebatnya sinar keemas-emasan dia melancarkan serangan gencar
menusuk kakek tua botak itu.
Si kakek tua botak yang baru saja berhasil menghindarkan diri dari serangan dari Hookun
sama sekali tidak menyangka Gak Siauw-cha bisa menyambit jarum emas kepadanya.
Senjata rahasia itu amat kecil bobotnya pun tidak seberapa, di tengah malam yang
amat gelap ini sulit sekali buatnya untuk menghindar, segera terasalah lengan kiri serta
pundak kanannya teramat sakit, kiranya dia sudah terhajar dua batang jarum.
Dalam hati dia merasa amat terkejut, belum sempat pikirannya dipusatkan sekali lagi
serangan pedang dari Gak Siauw-cha sudah melanda datang.
Ternyata kepandaian silat dari orang itu tak jelek, walaupun sudah terkena senjata
rahasia tetapi pikirannya tak kacau, tubuhnya dengan cepat menyingkir kesamping
menghindarkan diri dari tusukan pedang.
Dengan mengikuti gerakkan pedangnya, Gak Siauw-cha segera meloncat ke depan
melancarkan satu tendangan yang tepat ke arah lambung dari si kakek tua botak itu.
Suara jeritan ngeri yang menyayatkan hati segera berkumandang keluar memenuhi
seluruh angkasa, diikuti tubuh sang kakek botak yang kurus kering itu melayang ke tengah
udara meluncur jatuh ke dalam jurang.
Baru saja dia dapat berhembus lega mendadak terasa kembali adanya desiran angin
serangan yang melanda datang, cambuk berkepalakan ular itu dengan amat dahsyatnya
sudah menerjang kembali mengancam badannya.
Gak Siauw-cha dengan cepat balik badan menangkis datangnya serangan tersebut
kemudian diantara bergetarnya pedang dia balas melancarkan serangan.
“Cepat bantu Thio-kan bunuh orang itu jangan biarkan seorangpun hidup!” terdengar
suara dari si orang berkerudung itu bergema lagi masuk ke dalam telinganya Gak Siauwcha.
Gak Siauw-cha yang mendengar dia menyebut nama dari Thio-kan di dalam hati segera
dia mengerti kalau apa yang diduga sedikitpun tidak salah.
Pedangnya dengan menggunakan jurus “Kie Hong Hen Ciauw” atau membangunkan
Hong mengikat ular menerjang keluar dari kurungannya cambuk yang rapat itu lalu
langsung menerjang ke arah selelaki yang bersenjatakan swastika perak itu.
Hawa pedang menembus angkasa di tengah kegelapan terlihatlah serentetan sinar
keperak-perakan meluncur ke depan.
Thio-kan yang bertempur melawan lelaki itu walaupun di dalam hal ilmu silat dia orang
sudah mempunyai niat untuk beradu jiwa maka setiap kali dia menghadapi keadaan yang

berbahaya dia lantas sengaja membuka satu lobang kelemahan mengajak adu jiwa
dengan pihak lawannya.
Sudah tentu pihak lawan tak mau menerima ajakkan adu jiwanya ini, karena itu untuk
sementara waktu keadaan tetap seimbang saja.
Ketika lelaki itu mendengar datangnya serangan dahsyat dari Gak Siauw-cha dengan
cepat dia paksa mundur dari Thio-kan, tangannya membalik melancarkan jurus “Lek Ping
Shian Lam” atau tenaga raksasa langit selatan memutar senjatanya melindungi seluruh
tubuh dan menangkis datangnya serangan dari Gak Siauw-cha.
Gak Siauw-cha yang serangannya berhasil ditangkis olehnya, telapak kirinya bagaikan
kilat cepatnya segera kirim satu pukulan menghajar badannya sedang kaki kanannya itu
melayangkan satu tendangan mengancam ke arah lambung.
Dengan cepat lelaki itu miringkan badan kesamping setelah bersusah payah akhirnya
dia berhasil juga menghindarkan diri dari kedua buah serangan itu.
Sebentar saja dia sudah dapat melihat lelaki berkerudung yang bersenjatakan cambuk
berkepala ular itu berdiri tak bergerak disana, hatinya jadi menaruh curiga.
“Ling Siauw Cu!” bentaknya keras.
“Bagaimana? Kau sudah menaruh curiga padaku?” Sambung orang berkerudung itu
tertawa dingin.
Serangan dari Gak Siauw-cha semakin mengencang, berturut-turut dia melancarkan
tiga serangan sekaligus membuat lelaki itu jadi kalang kabut dan tidak ada kesempatan
untuk berbicara.
Terdengar orang berkerudung itu sudah membentak kembali dengan suaranya yang
adem, “Heee… heee… sayang kau mengetahui hal ini sudah rada terlambat!”
Lelaki itu melihat keadaan sudah berantakan semangat untuk bertempurpun jadi
mengendor.
Serangan Gak Siauw-cha amat dahsyat dan gencar sekali, walaupun dia tadi melakukan
perlawanan dengan seluruh perhatiannya tetapi tidak memperoleh kemenangan apalagi
saat ini pikirannya sudah bercabang sedikit tidak waspada lengan kirinya sudah tertusuk
pedang sehingga darah segar mengucur keluar dengan derasnya.
Mengambil kesempatan ini Gak Siauw-cha segera membalikkan telapak tangannya
menggaplok ke arah punggungnya.
Tusukan serta gaplokkan ini walau tidak sampai mematikan tetapi sedikit membuat dia
orang terluka parah, tubuhnya segera sempoyongan dan jatuh duduk ke atas tanah.
“Orang ini sudah mengetahui rahasiaku, jangan dibiarkan hidup lagi!” terdengar orang
berkerudung itu berkata lagi.
Thio-kan yang mencekal golok dan berdiri di sampingnya segera menyahut dan
mengayunkan goloknya ke atas badannya.

Tubuh lelaki itu seketika itu juga terbabat jadi dua bagian membuat darah segar
muncrat membasahi permukaan tanah.
Dia lantas kirim kembali satu tendangan melemparkan mayat itu ke dalam jurang.
Setelah itu Gak Siauw-cha bungkukkan badannya dan memberi hormat kepada orang
berkerudung.
“Terima kasih atas pertolongan dari saudara,” ujarnya halus.
Dengan perlahan orang berkerudung itu mencopotkan kain hitam yang menutupi
wajahnya itu kemudian menghela napas panjang.
“Nona Gak apakah kau masih kenal dengan aku?” tanyanya dengan suara berat.
Di bawah sorotan sinar rembulan tampaklah orang itu mempunyai bentuk wajah yang
lebar dengan jenggot panjang terurai ke bawah, dan pipi sebelah kirinya jelas membekas
satu codet yang amat panjang.
“Akh, kiranya tidak salah memang Liauw Locianpwee adanya, boanpwee tadi sudah
menduga akan diri cianpwee setelah melihat cambuk dari Locianpwee itu,” ujar Gak
Siauw-cha dengan cepat.
“Heeei, kata-kata Locianpwee ini cayhe tidak berani terima,” ujar orang itu sambil
meraba codet yang membekas di atas pipinya. “Bilamana nona tidak memandang rendah
dari cayhe, lebih baik kau memanggil namaku saja.”
Mendadak tampaklah Thio-kan sambil melemparkan golok yang ada ditangannya dia
berlari mendatangi.
“Pey Bun Khie Heng, kita sudah ada berpuluh-puluh tahun lamanya tidak bertemu.”
Teriaknya.
“Benar! Sudah ada sepuluh tahun lamanya tidak bertemu!” sambung Hoo-kun pula dari
kejauhan. “Tidak disangka ini malam kita bisa bertemu kembali di tengah gunung yang
amat sunyi ini.”
Agaknya luka yang diderita tidak ringan sekalipun batang badannya berhasil bangun
berdiri tetapi tidak dapat berjalan.
Dengan perlahan Liauw Bun Khie menghela napas panjang.
“Saudara berdua harap jangan bicara keras-keras, disaat dan keadaan seperti ini lebih
baik kita sedikit berhati-hati,” ujarnya memberi peringatan.
Sinar mata Gak Siauw-cha dengan perlahan berputar memandang tajam atas wajahnya,
lalu ujarnya dengan suara yang berat.
“Berkat pertolonganmu malam ini kami merasa sangat berterima kasih sekali.”

Dia berhenti sejenak kemudian sambungnya lagi, “Agaknya kedudukanmu di dalam
perkumpulan Sin Hong Pang tidak rendah!”
“Benar sekali cayhe menjabat sebagai siangcu di dalam perkumpulan Sin Hong Pang.”
“Tempo hari ibuku sudah usir kau dari perguruan, tetapi ini hari kau bisa melupakan
dendam lama dengan membantu kami.”
“Nona lebih baik jangan mengangkat kembali peristiwa yang sudah terjadi pada masa
lalu,” potong Liauw Bun Khie dengan serius. “Karena kesemua itu adalah kesalahan dari
cayhe itu sebenarnya memang diriku patut dihukum mati, tetapi ibumu berwelas asih dan
tidak tega membiarkan aku binasa di bawah tusukan pedang… hei… budi kebaikan ini
benar-benar amat besar sekali.”
Dengan perlahan dia angkat kepalanya memeriksa keadaan cuaca kemudian baru
sambungnya lagi, “Sejak perpisahan kita apa yang sudah aku alami sangat panjang sekali
kalau diceritakan, keadaan saat ini sangat berbahaya sekali dan sukar untuk diceritakan
kepada nona harap nona suka memaafkan!”
Selesai berkata dengan sangat hormatnya dia menjura memberi hormat.
Gak Siauw-cha segera menghela napas panjang.
“Ibuku tidak untung sudah meninggal, peristiwa yang sudah terjadi tempo haripun
sudah lewat pergi, kau sudah ada sepuluh tahun lamanya meninggalkan kami keluarga
Gak, ini hari kau tidak usah begitu hormatnya lagi terhadap diriku.”
“Bilamana bukannya kelonggaran hati dari ibumu tempo hari, mana mungkin cayhe
masih bisa hidup…” Seru Liauw Bun Khie sedih. “Keadaan pada saat ini aman. Sedetik
waktu berharga laksana emas, urusan tetek bengek ini lebih baik jangan dibicarakan lagi,
apalagi akupun tidak dapat lama berdiam disini, ada beberapa urusan penting aku hendak
cepat-cepat beritahu kepada nona.”
“Urusan apa?” tanya Gak Siauw-cha sambil membenahi rambutnya yang awut-awutan
tertiup angin.
“Menurut apa yang cayhe ketahui, kecuali perkumpulan Sin Hong Pang masih ada
berpuluh-puluh jago Bulim yang mengejar-ngejar diri nona.”
Gak Siauw-cha menghela napas panjang dia menggerakkan bibirnya hendak
mengucapkan sesuatu tapi kemudian dibatalkan.
“Walaupun saat ini nona sudah memperoleh seluruh kepandaian ilmu pedang dari
ibumu,” sambung Liauw Bun Khie lebih lanjut, “Tetapi dengan kekuatan seorang saja
kiranya tidak bakal bisa sanggup menahan kerubutan dari jago-jago Bulim lagi yang begitu
banyaknya, lebih baik nona cepat-cepat mengatur diri.”
Sinar matanya dengan cepat berkelebat memeriksa keadaan sekeliling tempat itu
kemudian dia dengan memperendah suaranya dia berkata kembali, “Sore tadi cayhe
memperoleh berita yang dikirim lewat burung merpati, katanya Sin Hong Pangcu itu
dengan membawa keempat orang pelindung hukum sudah mengejar datang sendiri,
agaknya terhadap urusan ini dia menaruh perhatian khusus.”

Selama ini Gak Siauw-cha cuma pusatkan perhatiannya mendengar apa yang
dibicarakan olehnya tanpa pernah menimbrung barang sekejappun.
Liauw Bun Khie batuk-batuk lagi dengan perlahan.
“Barang siapa yang berani membocorkan rahasia pangcu Sin Hong sebenarnya dia
orang bakal menerima siksaan digigit dengan beribu-ribu ular beracun, tetapi mengingat
budi kebaikan dari ibumu tempo hari terpaksa cayhe harus menempuh bahaya ini…,”
ujarnya lagi.
Mendadak Thio-kan nyeletuk dari samping, “Perkumpulan Sin Hong Pang munculkan
diri di dalam Bulim tidak lebih baru sepuluh tahun saja tetapi nama besarnya sudah
menggetarkan seluruh pelosok dunia persilatan, entah macam apakah pangcu dari Sin
Hong Pang itu?”
“Heei, kalau dibicarakan sungguh mengecewakan sekali,” jawab Liauw Bun Khie dengan
perlahan. “Walaupun cayhe sudah ada sepuluh tahun lamanya menjadi anggota
perkumpulan Sin Hong Pang mereka tetapi selama ini cayhe belum pernah bertemu muka
sendiri dengan pangcu, tetapi keempat pelindung hukum itu mempunyai kepandaian silat
yang amat tinggi sekali, Heei…! bilamana sungguh-sungguh Sin Hong Pangcu mengejar
datang sendiri cayhe rasa aku tidak dapat membantu kalian lagi.”
Mendadak suara suitan nyaring yang menggetarkan seluruh lembah berkumandang dari
tempat kejauhan.
Air muka Liauw Bun Khie segera berubah sangat hebat, tetapi dia berusaha untuk
menenangkan pikirannya, ujarnya lagi, “Ilmu menguntit dengan menggunakan merpati Sin
Hong pang tiada tandingannya di dalam Bulim, bilamana nona ingin menghindarkan diri
dari kejaran orang-orang Sin Hong pang maka pertama-tama nona harus menghindarkan
dulu dari pengamatan merpati-merpati tersebut…”
Berbicara sampai disini mendadak dari sepasang matanya memancarkan sinar yang
amat tajam sekali dan menoleh ke arah diri Thio-kan.
“Thio-kan!” ujarnya perlahan. “Tolong kau hadiahi aku dengan satu bacokan, aku mau
pergi.”
“Apa?” Tanya Thio-kan melengak.
Mendadak tampak pergelangan tangan Gak Siauw-cha digetarkan, pedang panjangnya
disertai dengan sinar keemas-emasan yang menyilaukan mata berkelebat melukai lengan
kiri dari Liauw Bun Khie.
Darah segar segera memancur keluar dengan derasnya membasahi seluruh
pakaiannya.
“Bagaimana? Apa terlalu berat?” tanya Gak Siauw-cha segera sambil menarik kembali
pedangnya.
Liauw Bun Khie sekejap ke arah luka lengan kirinya lantas dia memperlihatkan satu
senyum yang pahit.

“Bilamana lukanya terlalu ringan sukar buatku untuk mengelabui penglihatan mereka,
nona kau harus baik-baik berjaga diri cayhe permisi dulu.”
Selesai berkata dia meloncat ke atas kemudian melayang turun dari bukit tersbut dan
berlalu di tengah kegelapan.
Dengan termangu-mangu Gak Siauw-cha memperhatikan bayangan punggung dari
Liauw Bun Khie lenyap di tengah kegelapan mendadak dia menghela napas panjang dan
angkat kepalanya memandang bintang yang menghiasi angkasa, pikirnya dengan cepat
sudah terjerumus ke dalam lamunan-lamunan yang membingungkan.
Thio-kan serta Hoo-kun pun termangu-mangu berdiri di samping, mereka tidak berani
mengganggu dirinya.
Mereka berdua tahu setiap kali Siauw-cha menemui kesukaran-kesukaran yang
membingungkan hatinya dia tentu akan memperlihatkan sikap seperti ini, mendongakkan
kepala sambil berpikir tanpa berbicara.
Kurang lebih seperminum teh kemudian agaknya Gak Siauw-cha mengambil keputusan
di dalam hatinya, sinar matanya dengan perlahan beralih ke atas tubuh Hoo-kun.
“Bagaimana keadaan lukamu?” tanyanya.
“Sesudah beristirahat sebentar tentu akan sembuh dengan sendirinya,” sahut Hoo-kun
dengan cepat.
“Apa bisa melanjutkan perjalanannya?”
“Dapat!” jawab Hoo-kun kembali sambil menggigit kencang bibirnya.
“Baiklah! Kau telan dulu kedua butir obat ini, setelah itu kita segera berangkat,” ujar
Gak Siauw-cha kemudian sambil merogoh ke dalam sakunya mengambil keluar sebuah
botol porselen dan mengeluarkan dua butir pil.
Hoo-kun segera menerima pil tersebut dan ditelannya, kemudian dia baru pejamkan
matanya untuk bersemedi.
Gak Siauw-cha lantas menggulung kembali pedang lemasnya dan berjalan menuju
belakang batu besar itu.
Tampak Siauw Ling dengan duduk bersandar di belakang batu besar pada saat ini
sedang pejamkan matanya bersemedi.
“Adik Ling!” panggilnya kemudian dengan suara perlahan.
Siauw Ling dengan perlahan membuka matanya dan memandang sekejap ke arah Gak
Siauw-cha kemudian baru tertawa.
“Apakah orang-orang itu sudah cici usir semua?”

“Benar! Sudah aku usir semua, apa kau tidak merasa takut dengan pertempuran tadi?”
ujar Gak Siauw-cha tertawa pahit.
“Tadi secara diam-diam aku mengintip dari celah-celah batu, aku melihat kepandaian
silat dari cici sangat lihay sekali bahkan berhasil pukul jatuh orang ke dalam jurang…
waah… cici kau pintar benar?”
“Heei… dirumah kau dimanja dan disayang, buat apa kau memaksa ikut merasakan
penderitaan yang selalu dirasakan?”
“Aku merasa amat gembira, aku sedikitpun tidak takut” sahut Siauw Ling sambil bangkit
berdiri.
Gak Siauw-cha yang melihat seluruh tubuhnya gemetar dengan keras, dia segera tahu
karena badannya amat lemah pada saat ini ia tidak kuat menahan hawa yang amat dingin
ini. Dalam hati Siauw-cha merasa amat kasihan.
“Adik Ling? kau merasa dingin?” tanyanya sambil memegang tangannya erat-erat.
“Kaki dan tanganku memang merasa rada dingin.”
“Kita segera mau berangkat, kita harus melakukan perjalanan malam, kau lelah tidak?”
tanya Gak Siauw-cha lagi dengan penuh perhatian.
Jilid 4
“Aaaaah… bagus sekali! Berlari-lari malah bisa menghangatkan badan… bagus sekali!”
seru Siauw Ling dengan girang.
“Jalan pegunungan ini amat curam dan terjal, salju yang tebalpun menutupi seluruh
permukaan, sekalipun seorang yang memiliki kepandaian silatpun belum tentu bisa
melewati tempat itu dengan cepat, maka itu bagaimana kalau aku suruh Thio-kan
menggendong dirimu?”
Siauw Ling yang tahu kalau jalan pegunungan itu memang amat curam dan sukar
untuk dilalui karenanya dia tidak menyahut dan berdiam diri.
Gak Siauw-cha segera melepaskan tali angkin yang ada di pinggangnya untuk mengikat
badan Siauw Ling dengan badan Thio-kan.
“Adik Ling, kau tidak usah takut,” ujarnya dengan suara yang amat lirih, “Ada urusan
apapun biar cici yang bereskan.”
“Cici… aku sudah begini besarnya aku tidak akan takut terhadap apapun!” sahut Siauw
Ling sambil mengangguk.
Walaupun pada mulutnya Gak Siauw-cha menghibur diri Siauw Ling padahal di dalam
hati dia merasa sangat murung sekali.

Dia tahu perjalanannya kali ini sangat bahaya sekali, sedikit meleset saja maka jiwanya
akan segera melayang.
Waktu itu Hoo-kun sudah selesai bersemedi, dia segera buka matanya dan bangkit
berdiri setelah melihat sekejap keadaan di sekeliling tempat ini, ujarnya kemudian, “Thio
heng biar aku orang bukakan jalan buat kalian.”
“Tidak!” Bantah Gak Siauw-cha dengan cepat. “Kalian mengikuti saja dari belakangku,
kau lebih baik melindungi keselamatan dari Siauw Kongcu.”
Selesai berkata dia segera berlalu terlebih dahulu ke depan.
Dengan mencekal erat-erat sepasang Pan Koan Pitnya Hoo-kun mengikuti terus dari
belakang Thio-kan, walaupun dia sudah mengatur pernapasannya dan menelan juga dua
butir pil mujarab dari Gak Siauw-cha tetapi lukanya masih terasa pada sakit. Gerakannya
pada saat inipun jadi tidak leluasa.
Ilmu meringankan tubuh dari Gak Siauw-cha walaupun amat tinggi dan bisa melewati
permukaan salju itu dengan cepat, tetapi dikarenakan Thio-kan harus menggendong tubuh
Siauw Ling dan luka dari Hoo-kun belum sembuh terpaksa diapun harus memperlambat
langkahnya untuk menanti kedua orang tersebut.
Siauw Ling yang digendong Thio-kan sepasang matanya dengan amat tajam menoleh
dan memperhatikan keadaan di sekeliling tempat itu.
Dia melihat keadaan disekitar sana amat gelap sekali, secara samar-samar tampaklah
puncak gunung yang tinggi menembus awan berdiri berjajar dihadapannya.
Pemandangan seperti ini terasa amat mengerikan sekali tapi menarik juga buat diri
Siauw Ling membuat dia orang sekalipun merasakan badannya menggigil kedinginan tapi
wajahpun masih memperlihatkan senyumannya.
Dengan dipimpin oleh Gak Siauw-cha mereka berempat menuruni tebing itu dan
memasuki sebuah lembah gunung.
Thio-kan tahu nona majikannya ini sangat cerdas sekali. Setiap gerak-geriknya tentu
ada kegunaannya karena itu diapun tak banyak bertanya.
Angin yang bertiup dalam lembah itu jauh berkurang jika dibandingkan dengan sewaktu
ada di atas tebing, dengan sendirinya hawa dingin yang mencekam di sekeliling tempat
itupun jauh berkurang.
Sesudah melakukan perjalanan beberapa saat lamanya mendadak Gak Siauw-cha
menghentikan gerakannya kemudian sengaja jalan berputar di sekeliling tempat itu
sehingga di atas permukaan salju yang putih seketika itu juga dipenuhi dengan bekas
telapak kaki yang amat banyak.
Siauw Ling yang melihat tindak tanduk dari cicinya ini jadi keheranan.
“Cici, kau sedang berbuat apa?” tanyanya tak tertahan lagi.
“Sedang membingungkan penglihatan musuh.”

“Oooouw… aku sekarang paham!” seru Siauw Ling kemudian setelah berpikir sebentar.
“Kau mau meninggalkan banyak telapak kaki yang amat kacau disini sehingga membuat
para pengejar tidak berhasil menemukan kita.”
“Melakukan perjalanan di atas gunung yang bersalju tidak bakal lepas dari bekas
telapak kaki, aku sengaja mengacaukan bekas-bekas kaki inipun tidak lebih cuma mau
mengaburkan sebentar penglihatan mereka, untuk lolos dari kejaran musuh tidaklah
mudah untuk melakukannya.”
Beberapa orang itu kembali melakukan perjalanannya menuju ke arah depan,
mendadak sekali lagi Gak Siauw-cha menghentikan perjalanannya, dari samping jalan dia
memungut dua batang bambu lalu ujarnya kepada anak buahnya, “Kalian beristirahatlah
sebentar disana.”
Sehabis berkata dia putar badan balik lagi kejalan semula lantas dengan menggunakan
tangannya menghapus bekas telapak kaki yang membekas di atas permukaan salju itu.
Setelah menghapus beberapa kali jauhnya dia baru menempelkan bambu tadi ke atas
permukaan tanah dan melayang keangkasa, kemudian dengan menggunakan tongkat itu
pula dia ke atas tanah melanjutkan perjalanannya ke depan.
Dengan gerakannya ini dengan sendirinya di atas permukaan salju tidak tampak lagi
adanya bekas telapak kaki.
Siauw Ling dari tempat kejauhan melihat gerakan dari Gak Siauw-cha yang begitu
lincah dan entengnya tidak terasa lagi sudah menghela napas panjang.
“Eeeei adik Ling, kenapa kau menghela napas panjang?” tanya Gak Siauw-cha yang
baru saja melayang turun kehadapannya.
“Kepandaian silat dari cici ini benar-benar membuat orang merasa sangat kaget sekali.”
“Bagaimana kau ingin sungguh-sungguh belajar, dengan kecerdasan dan bakat yang
kau miliki dikemudian hari mungkin malah melebihi diriku. Soal ini bukanlah satu persoalan
yang sulit bagi dirimu,” ujar Gak Siauw-cha sambil tertawa.
“Cuma sayang aku hanya hidup sampai umur dua puluh tahun saja. Heee!” gumam
Siauw Ling sambil menghela napas panjang kemudian dengan sedihnya menundukkan
kepalanya.
Melihat akan hal ini mendadak di dalam hati Gak Siauw-cha teringat akan sesuatu
pikirnya, “Di dalam surat wasiatnya ibu pernah memberitahu kalau dia menderita satu
penyakit aneh. Kedua urat nadi serta ketiga jalan darahnya buntu sehingga darah tidak
bisa mengalir dengan lancar di dalam tubuhnya, walaupun ibu sudah mewariskan ilmu
Khie Kang Thay Ih Khie kepadanya tetapi sebelum memperoleh dasar yang kuat dia tidak
diperkenankan merasa amat sedih atau merasa terlalu gembira bila mana menangis
dengan sedih atau tertawa dengan gembira maka nyawanya akan terancam bahaya…”
Teringat akan keseluruhannya itu tidak terasa lagi dia sudah menghibur dengan yang
halus, “Adik Ling, kau tidak usah kuatir asalkan kau suka mendengarkan perkataan dari

cicimu, jangan dikatakan dua puluh tahun sekalipun seratus tahun bukanlah satu urusan
yang sangat menyulitkan.”
Air mukanya mendadak berubah jadi amat keren kemudian baru sambungnya lagi
dengan perlahan.
“Tetapi jikalau kau tidak mau mendengarkan perkataan dari cici, bukan saja kau tidak
dapat hidup sampai dua puluh tahun malah ada kemungkinan sudah mensia-siakan jerih
payah dari bibi Im.”
“Lalu apakah aku boleh berlatih ilmu silat??” tanya Siauw Ling ragu-ragu.
Sebelum memberikan jawabannya diam-diam Gak Siauw-cha berpikir dulu di dalam
hatinya, “Pada saat dan keadaan seperti ini aku harus mengorbankan dulu semangatnya
sehingga membuat di dalam hati mempunyai kemauan yang besar.”
Dia lantas tersenyum manis.
“Tidak salah!” sahutnya halus. “Di dalam surat wasiat dari ibuku beberapa kali dia
mengungkap kalau bakat dan kecerdikanmu luar biasa asalkan kau suka belajar dengan
rajin dan bersungguh-sungguh, maka bagimu untuk memiliki ilmu silat yang tinggi
bukanlah satu pekerjaan yang sulit.”
Mendengar perkataan tersebut Siauw Ling jadi teramat girang pada wajahnyapun
segera terlintas satu senyuman yang amat menggembirakan sekali hatinya.
Thio-kan serta Hoo-kun yang sudah beristirahat sebentar semangatnyapun sudah pulih
kembali seperti biasa.
Sinar mata dari Gak Siauw-cha segera menyapu sekejap ke arah mereka kemudian
dengan suara yang amat lirih tanyanya, “Luka kalian berdua apakah sudah baikan? Apakah
bisa memanjat tebing??”
“Tidak mengapa!” sahut Thio-kan serta Hoo-kun hampir berbareng.
“Bagus sekali! mari kita segera berangkat” sahut Gak Siauw-cha kemudian dengan
cepatnya dia mulai memanjat sebuah tebing curam yang ada dihadapannya.
Thio-kan serta Hoo-kun adalah manusia yang sudah lama berkelana di dalam dunia
kangouw, pengetahuannya yang diperolehpun sudah amat luas sekali. Sekalipun demikian
tetapi untuk menghadapi tindakan dari Gak Siauw-cha yang aneh ini benar-benar
membuat mereka berdua menemui kesulitan.
“Dia membawa aku sekalian memasuki lembah untuk menghindari kejaran musuh.
Kenapa malah sekarang mau memanjat tebing ini lagi??” Pikir mereka bersama-sama di
dalam hati.
Walaupun dalam hati mereka menaruh curiga dan ragu-ragu tetapi tidak berani terlalu
banyak bertanya, dengan kencangnya mereka mengikuti terus dari belakang tubuh Gak
Siauw-cha untuk memanjati tebing tersebut.

Tebing itu ada ribuan kaki tingginya ditambah lagi tertutup oleh salju yang amat tebal
membuat keadaan disana amat curam dan sukar untuk didaki. Gak Siauw-cha yang
memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf kesempurnaan masih tidak
merasa terlalu sukar, tetapi Thio-kan yang harus menggendong tubuh Siauw Ling serta
Hoo-kun yang baru saja sembuh dari lukanya merasa badannya benar-benar tersiksa.
Ketika tiba di atas puncak tersebut seluruh tubuhnya sudah dibasahi oleh peluh yang
mengucur keluar dengan amat derasnya napasnya tersengkal-sengkal dadanya naik turun
dengan amat derasnya.
Puncak tebing itu tidak lebih cuma ada empat kali persegi dan penuh berserakan batubatu
cadas yang aneh dengan dilapisi oleh salju yang tebal.
Gak Siauw-cha memilih satu tempat yang terlindung dari tiupan angin, sambil
membersihkan salju yang menutupi tempat tersebut ujarnya kepada Siauw Ling, “Adik
Ling, dipuncak yang tinggi ini badannya amat menggigilkan, badannyapun amat lemah
lebih baik pakai saja mantel ini.”
Sambil berkata dia mengambil keluar sebuah mantel yang halus dan dirangkapkan ke
atas badan Siauw Ling.
Siauw Ling yang melihat Gak Siauw-cha bersikap begitu baik terhadap dirinya bahkan
memberikan pula sebuah mantel kepadanya untuk melawan hawa dingin di dalam hati dia
merasa sangat berterima kasih.
“Cici, kau sungguh baik sekali terhadap diriku?”
Gak Siauw-cha tersenyum, sinar matanya dengan perlahan menyapu sekejap ke arah
Thio-kan dan Hoo-kun kemudian ujarnya kepada mereka.
“Dengan meminjam kesempatan ini, kalianpun harus bersemedi, mungkin sesudah
terang tanah kita akan menghadapi lagi satu pertempuran yang sengit…”
Dia berhenti sebentar untuk tukar napas kemudian sambutnya lagi, “Di atas ada
merpati yang mencari jejak sedang di bawah ada musuh yang membuntuti kita. Buat
meloloskan diri dari kejaran mereka aku rasa bukanlah satu pekerjaan yang mudah heeei,
untuk sementara lebih baik kita menggunakan keadaan yang berbahaya dari tebing ini
untuk bersembunyi dari pencarian mereka. Bilamana beruntung kita bisa memancing pihak
musuh menjauhi tempat ini hal ini sudah tentu jauh lebih baik lagi, kalau tidak terpaksa
kita harus menggunakan tempat diketinggian ini untuk mengamati keadaan dari musuh
kemudian baru mengatur suatu siasat untuk pukul mundur pihak musuh.”
“Nona selalu cerdik dalam mengatur, kami sekalian menanti perintah selanjutnya dari
nona”ujar Hoo-kun serta Thio-kan dengan cepat.
“Musuh yang mengejar kita kecuali Sin Hong Pang masih ada lagi berpuluh-puluh orang
jago, kita harus berusaha untuk memancing mereka saling bunuh membunuh sendiri,
sedang kita mengeruk keuntungan dari tengah,” ujar Gak Siauw-cha lagi dengan suara
yang perlahan.
Thio-kan serta Hoo-kun sekalipun sudah lama berkelana di dalam Bulim tetapi lamanya
mereka berdua tidak mengerti akan siasat untuk menghadapi musuh mendengar
perkataan tersebut terpaksa mereka bungkam diri saja.

Malam semakin kelam… angin serta salju bertiup semakin mengencang.
Siauw Ling berdampingan dengan Gak Siauw-cha untuk mula-mula bersemedi sesuai
cara yang diberikan Im Kauw kepadanya.
Walaupun dia tidak tahu ilmu semedi yang diturunkan kepadanya oleh Im Kauw itu
adalah ilmu tenaga “khie kang thay ih khie kang” tetapi secara samar-samar dia merasa
setiap kali dia berlatih maka hawa dingin yang mencekam badannya dengan perlahanlahan
mulai lenyap. Karena itu semakin berlatih dia semakin giat seluruh perhatiannya
dipusatkan pada satu arah dan bersemedi dengan rajinnya.
Gak Siauw-cha yang melihat dia mersemedi hingga berada dalam keadaan lupa akan
segala-galanya di dalam hati diam-diam merasa amat girang, dengan perkembangan serta
kemajuan yang didapatnya ini tidak sampai setahun lamanya Siauw Ling sudah dapat
terhindar dari bahaya maut.
Entah lewat beberapa saat lamanya sinar terang mulai muncul diufuk sebelah timur,
haripun mulai terang tanah.
Dengan perlahan Gak Siauw-cha memperhatikan keadaan dari Thio-kan serta Hoo-kun
setelah beristirahat setengah malam saat ini tenaga maupun semangat merekapun sudah
pulih kembali delapan bagian.
Sekonyong-konyong… suara gonggongan anjing memecahkan kesunyian dipagi hari
yang buta itu.
Mendengar suara itu dalam hati Gak Siauw-cha merasa hatinya sedikit tergerak.
Di tengah pagi buta apalagi di atas puncak gunung bersalju yang demikian dinginnya,
dari mana datangnya suara gonggongan anjing itu.
Pada saat itulah dia mendengar pula suara sayap burung merpati yang terbang
menyampok angin.
Dengan cepat Gak Siauw-cha meloncat bangun, kepada Thio-kan serta Hoo-kun
serunya perlahan, “Kalian baik-baik melindungi dirinya.”
Tubuhnya bagaikan burung walet dengan gesit dan lincahnya sudah melayang ke atas
batu puncak tersebut.
Ketika dia pandang lebih teliti lagi keadaan di sekeliling tempat itu terlihatlah di bawah
sorotan sinar sang surya yang mulai menampak dua ekor burung merpati dengan
cepatnya melayang dari puncak gunung menuju ke dalam lembah tersebut.
Terdengar suara gonggongan anjing kembali berkumandang datang. Ketika dia angkat
kepalanya kembali terlihatlah di bawah puncak gunung di atas permukaan salju yang putih
berkelebat datang tiga sosok bayangan manusia dengan amat cepatnya.
Tenaga dalam Gak Siauw-cha dilatihnya hingga mencapai taraf kesempurnaan,
ketajaman matanyapun melewati orang lain.

Secara samar-samar dia bisa melihat dua ekor anjing hitam yang amat besar dengan
cepatnya amat berlari, sedangkan di belakang kedua ekor anjing itu berkelebatlah sesosok
banyangan manusia.
Kedua ekor anjing serta sesosok bayangan manusia itu bergerak dengan amat cepatnya
hanya di dalam sekejap saja mereka sudah tiba di bawah puncak tebing tersebut.
Saat ini cuaca sudah terang benderang sinar keemas-emasan mulai muncul dari ufuk
sebelah timur.
Gak Siauw-cha dapat melihat orang itu memakai jubah panjang berwarna biru langit,
usianya masih muda dengan kepalanya memakai topi berwarna hijau yang menutupi
hampir separuh bagian wajahnya.
Kedua ekor anjing hitam itupun mempunyai badan yang luar biasa besarnya, tinggi
badannya bila berdiri kurang lebih hampir sama dengan tinggi badan orang berbaju biru
itu.
Tampak sepasang anjing itu mendongakkan kepalanya ke atas agaknya mereka hendak
menaiki tebing tersebut tetapi orang berbaju biru itu dengan kencangnya menahan tali
kulit yang mengikat kedua anjing tersebut.
Mendadak terdengar suara suitan yang amat nyaring bergema datang dari dalam
lembah kembali muncul dua sesosok bayangan manusia yang berkelebat datang dengan
amat cepatnya.
“Entah dari aliran manakah orang berbaju hitam itu??” pikir Gak Siauw-cha di dalam
hati.
“Jika ditinjau dari keadaannya serta kedua ekor anjing hitam yang dibawa jelas mereka
sudah mengetahui tempatku bersembunyi, tetapi kenapa dia tidak mau menaiki puncak
ini??”
Ketika dia berpikir sampai disitu terlihat sesosok bayangan hitam yang berkelebat
datang itu sudah hampir mendekati puncak tersebut. Terlihatlah mereka berdua bukan lain
adalah dua orang lelaki kasar yang memakai baju singsat dengan menggembol senjata
tajam pada punggungnya.
Orang berbaju biru yang membawa anjing itu tepat berdiri di tengah jalan dari lembah
itu, kulit yang mengikat sepasang anjing tersebut amat panjang sekali dengan melintang
di tengah jalan menghalangi perjalanan dari kedua orang itu.
Ketika kedua orang itu melihat perjalanan mereka dihalangi dengan pandangan yang
tajam segera memperhatikan sekejap ke arah orang berbaju biru itu, tetapi kemudian
sikapnya sudah jadi lebih halus agaknya mereka tahu kalau orang yang ada dihadapannya
bukanlah manusia yang mudah diganggu.
“Kawan kau orang harap suka menyingkir sebentar!” serunya sambil merangkap
tangannya menjura.”
Gak Siauw-cha yang ada di tempat atas dapat melihat seluruh gerak-gerik mereka itu
dengan sangat jelas.

Tampak dengan perlahan orang berbaju biru itu menoleh dan memandang sekejap ke
arah kedua orang itu dengan pandangan yang sangat dingin, mendadak dia
menggerakkan tali kulitnya memerintahkan kedua ekor anjingnya untuk menyerang.
Suara gonggongan yang amat ramai segera berkumandang keluar memecahkan
kesunyian dengan amat ganasnya kedua ekor anjing itu bersama-sama menubruk ke arah
kedua orang laki-laki tersebut.
Dengan gugup mereka berdua terburu-buru mencabut keluar goloknya dan memainkan
satu sinar yang menyilaukan mata melindungi seluruh tubuh kemudian mengundurkan diri
ke belakang.
Mendadak orang berbaju biru itu menggetakan kembali tali kulitnya kedua ekor anjing
yang sedang menubruk maju ke depan segera menghentikan gerakannya dan
membungkuk ke bawah menghindarkan diri dari sambaran golok kedua orang itu
kemudian secara mendadak saja kedua ekor anjing itu meloncat bangun dan mencakar
wajah mereka…
Dengan cepat kedua orang lelaki menghindar kesamping, kedua bilah golok besarnya
dengan disertai desiran angin yang tajam membacok ke arah bawah.
Dengan cepatnya di atas permukaan salju di bawah puncak itu terjadilah suatu
pertempuran yang amat sengit sekali diantara dua ekor anjing dengan dua orang manusia.
Kedua ekor anjing hitam itu di bawah komando orang berbaju biru itu maju mundur,
bertahan menyerang dengan sangat teratur sekali bahkan secara samar-samar
mengandung serangkaian ilmu silat yang amat lihay memaksa kedua orang lelaki
bersenjatakan golok itu sedikit kewalahan juga dibuatnya.
Kurang lebih seperempat jam kemudian mendadak orang berbaju biru itu melepaskan
tali kulit yang ada ditangannya.
Setelah tidak mendapatkan rintangan kedua ekor anjing itu menubruk ke depan
semakin ganas lagi, sekalipun bayangan golok dari mereka berdua berkelebat dengan
amat cepatnya tetapi tidak berhasil juga memaksa kedua ekor anjing itu untuk
mengundurkan dirinya ke belakang.
Gak Siauw-cha yang melihat kejadian itu diam-diam mengerutkan alisnya rapat-rapat.
“Hmm! Kedua ekor anjing yang tidak mirip dengan anjing ini walaupun amat ganas
sekali tetapi mereka tidak lain cuma seekor anjing yang tidak berakal, mereka yang dapat
bertempur dengan begitu serunya dengan jagoan Bulim jelas ini hal merupakan satu hal
yang luar biasa.” Pikirnya di dalam hati. “Sebetulnya siapakah orang berbaju biru itu?
Bagaimana dia orang berhasil melatih kedua ekor anjingnya sehingga begitu lihaynya?”
Sewaktu dia berpikir sampai disitu mendadak terlihat golok yang ada di tangan kedua
lelaki itu berhasil memaksa mundur kedua ekor anjing itu ke belakang kemudian dengan
tergesa-gesa mengundurkan diri dari dalam kalangan.
Walaupun mereka belum sampai menderita kalah di bawah serangan anjing itu tetapi
jelas mereka mengerti kalau kepandaian mereka pada saat ini masih belum dapat

mengalahkan kedua ekor anjing itu karenanya dengan mengambil kesempatan ini cepatcepat
mereka melarikan diri.
Mendadak orang berbaju biru itu bersuit rendah kedua ekor anjing yang semula sedang
menubruk ke depan dengan cepat mengubah gerakannya dari mengejar kedua orang
lelaki itu dengan amat ganasnya, hanya di dalam sekejap saja dua orang manusia dan dua
ekor anjing itu sudah lenyap dibalik tikungan.
Setelah itulah si orang berbaju biru baru melirik sekejap ke atas puncak tebing
kemudian melayangkan tubuhnya meloncat setinggi dua kaki lebih dan dengan sangat
entengnya berkelebat ke atas puncak.
Gerakannya amat aneh dan cepat sekali hanya di dalam sekejap saja dia sudah berada
dekat sekali dengan puncak tebing itu.
Gak Siauw-cha yang tidak kenal dengan orang itu untuk beberapa saat lamanya dibuat
bingung juga untuk turun tangan mencegah kedatangannya.
Pada saat hatinya sedikit ragu-ragu itulah orang berbaju biru itu sudah tiba di atas
puncak.
“Apakah kau orang nona Gak???” tanyanya dengan nada yang amat dingin sambil
memperhatikan diri Gak Siauw-cha.
Thio-kan serta Hoo-kun yang melihat secara tiba-tiba di atas puncak tebing itu sudah
kedatangan orang, dengan gesitnya mereka melompat bangun kemudian dengan
mencekal kenang-kenangan senjata tajamnya pada berlari mendatang.
“Kalian cepat mundur!” Perintah Gak Siauw-cha dengan cepat sambil mengulapkan
tangannya.
Mereka berdua segera menyahut dan mengundurkan diri sejauh satu kaki.
Agaknya orang berbaju biru itu punya maksud untuk menutupi mukanya sendiri. Dia
menarik topinya semakin rendah lagi sehingga menutupi hampir separuh bagian dari
wajahnya, waktu ini cuma kelihatan matanya yang sebelah kiri saja muncul keluar.
“Cayhe pernah punya jodoh untuk bertemu satu kali dengan nona, entah nona masih
ingat tidak denganku?” ujarnya dengan suara yang amat dingin dan tawar.
Gak Siauw-cha menundukkan kepalanya termenung dan berpikir sebentar di dalam
hatinya dia tidak paham kapan dirinya pernah bertemu dnegan manusia aneh semacam
dia orang dengan dandanan serta tindak tanduknya yang misterius ini bilamana dikatakan
pernah bertemu dia tidak akan terlupakan kembali untuk selamanya.
Terdengar orang berbaju biru itu melanjutkan kembali kata-katanya dengan amat
dingin.
“Nona masih ingat dengan aku atau tidak hal ini tidak terlalu penting, kedatangan
cayhe kali ini hanyalah hendak mengajak nona untuk membicarakan suatu perdagangan!”

“Topi bulu dari saudara menutupi muka terlalu rendah,” ujar Gak Siauw-cha mencela.
“Kalau memangnya kita pernah bertemu mengapa kau tidak berani memperlihatkan
wajahmu yang sesungguhnya.”
“Tidak perlu!” sahut orang berbaju biru itu dengan cepat. “Separuh wajahku yang lain
tidak boleh dilihat orang, lebih baik kau tidak usah melihat…”
Dia berkata sejenak, kemudian ujarnya lagi, “Untung saja aku cuma mau
membicarakan soal dagangan saja dengan nona, kenal atau tidak dengan diriku dengan
urusan dagangan ini tidak ada sangkut pautnya.”
“Dagangan apa??” tanya Gak Siauw-cha ingin tahu.
“Nona Gak tentunya tahu keadaan dirimu sendiri bukan? Kecuali dari pihak Sin Hong
Pang yang membuntuti dirimu terus menerus masih ada lagi berpuluh-puluh orang jagoan
Bulim yang saling susul menyusul datang kemari, cayhe rasa nona sudah tahu jelas bukan
tentang soal ini?”
“Terima kasih atas petunjukmu itu, aku disini banyak terima kasih terlebih dulu.”
“Walaupun keluarga Gak merupakan satu keluarga jago pedang yang amat terkenal di
dalam Bulim tetapi satu lengan tidak dapat menahan empat pukulan, anghiong boo-han
tidak bakal bisa menahan kerubutan orang banyak,” ujar orang berbaju biru itu lebih
lanjut. “Nona cuma seorang diri saja bahkan harus melindungi pula seorang bocah cilik
yang tidak mengerti ilmu silat. Keadaanmu benar-benar sangat berbahaya sekali.”
“Kecuali nona seorang, apa kau kira kami bukan manusia??” tiba-tiba Thio-kan nyeletuk
dengan amat gusarnya.
“Perkataanmu sedikitpun tidak salah” sahut ornag berbaju biru mengangguk. “Kalian
berdua kalau jadi kusir kereta memang boleh dikata jauh lebih tinggi dari orang-orang lain,
tetapi jikalau harus bergebrak dengan jago-jago kelas satu dari Bulim yang mengejar
datang, bukannya cayhe pandang hina kalian berdua aku rasa bilamana kalian harus juga
maju bergebrak tidak lebih cuma menghantarkan nyawa saja dengan percuma.”
Mendengar perkataan tersebut Thio-kan serta Hoo-kun benar-benar sangat gusar
dibuatnya baru saja mereka mau mengumbar hawa amarahnya mendadak tampaklah Gak
Siauw-cha sudah menggoyangkan tangannya mencegah mereka.
“Jangan kita ini kita harus bicarakan dengan cara apa?? kau minta harga berapa??”
tanyanya kemudian.
Orang berbaju biru itu tersenyum.
“Nona! kau jadi orang ternyata menyenangkan sekali. Bilamana cayhe harus
membicarakan soal harga pula dengan diri nona bukanlah hal itu sedikit keterlaluan?
Begini saja, aku bantu nona untuk meloloskan diri dari mara bahaya tetapi kau harus
menghantar aku untuk menemui ibumu.”
“Aaaah, sayang sudah terlambat,” ujar Gak Siauw-cha dengan cepat. “Ibuku sudah
meninggal.”

“Heee, heee, bilamana dia masih hidup di dunia ini cayhe mana berani pergi menemui
dirinya?” Sambung orang berbaju biru itu dengan cepat.
“Apa maksudmu?”
“Aku cuma mau melihat sebentar jenazah dari ibumu.”
“Orang yang sudah mati apanya yang bagus dilihat?” balik tanya Gak Siauw-cha dengan
hati yang keheranan.
“Waktu yang ada dihadapan mata sedikitpun berharga laksana emas. Waktu ini tidak
ada kesempatan lagi untuk membicarakan soal tersebut nona. Kau sanggup menerima
dagangan ini atau tidak sempat katakan!” ujar orang berbaju biru itu tergesa-gesa.
“Baiklah!” sahut Gak Siauw-cha kemudian menyanggupi. “Bilamana kau bisa bantu aku
untuk meloloskan diri dari mara bahaya ini aku akan patuhi permintaanmu itu tetapi jika
tidak berhasil?”
“Nona, kau boleh berlega hati, aku orang selamanya berdagang tidak pernah minta
uang ganti!”
Mendengar perkataan tersebut dalam hati Gak Siauw-cha sedikit tergerak.
“Begini saja, kau boleh melihat sebentar jenazah ibuku tapi tidak boleh memegang
barang yang ada dibadannya,” ujarnya kemudian.
Orang berbaju biru itu termenung berpikir sebentar kemudian tertawa dingin.
“Cayhe bantu nona untuk meloloskan diri dari mara bahaya ini boleh dikata mempunyai
resiko mengikat permusuhan dengan berpuluh-puluh orang jago dari Bulim, bilamana
dagangan yang aku dapatkan cuma begitu saja bukankah aku merasa rugi?”
Walaupun pada mulutnya Gak Siauw-cha mengajak orang berbaju biru itu berbicara
padahal di dalam hati dia terus menerus sedang memikirkan asal usul orang ini, jika
didengar dari nada ucapannya agaknya dia mengetahui amat jelas sekali terhadap seluruh
gerak-geriknya.
Saat ini keadaan amat berbahaya sekali, tetapi jika dilihat dari gerak-gerik orang ini
jelas sekali dia memiliki kepandaian silat yang amat tinggi, yang paling menakutkan adalah
kedua ekor anjing hitam itu mereka mempunyai keahlian di dalam pencarian jejak bahkan
jauh melebihi burung merpati dari Sin Hong Pang. Bilamana sampai bentrok dengan
dirinya jelas hal ini sangat tidak menguntungkan dirinya.
Terdengar suara yang amat dingin dan tawar dari orang berbaju biru itu berkumandang
lagi, “Orang yang berjual beli selamanya membicarakan soal keuntungan,” ujarnya lagi.
“Cuma saja wajahnya dari cayhe ini tumbuh sedikit tidak sedap dipandang sehingga sukar
untuk mendapatkah rasa simpatik dari pemilik barang. Tetapi jangan kuatir aku orang
paling mengutamakan kepercayaan. Sekali aku berkata selamanya tidak akan aku tarik
kembali kata-kata tersebut. Bilamana nona suka bekerja sama dengan cayhe di dalam
perdagangan ini walaupun aku bisa mendapat sedikit keuntungan tetapi nonapun bisa
lolos pula dari bahay dengan tanpa kekurangan sesuatu apapun, dan bilamana nona tidak

mau, coba bayangkan dengan mengandalkan sebilah pedang apakah kau rasa bisa
berhasil meloloskan diri dari kepungan para jago yang begitu banyaknya?”
“Tidak salah, keadaanku saat ini walaupun sangat berbahaya tetapi paling banter juga
menemui ajal di dalam satu pertempuran yang sengit.” seru Gak Siauw-cha dengan
mantap.
“Tahukah nona apa tujuan mereka datang kemari dari tempat ribuan li jauhnya dengan
menempuh badai salju yang begitu derasnya?” tanya orang berbaju itu.
Mendadak Gak Siauw-cha teringat kembali dengan kata-kata yang ditulis di dalam surat
wasiat ibunya. Bisa minta dirinya bertindak sesuai dengan keadaan dan jangan terlalu
kokoh di dalam pendirian.
Tampak orang berbaju biru itu berdiam sebentar lalu sambungnya lagi, “Orang itu ada
kemungkinan sebagian besar tidak mengetahui kalau ibumu sudah meninggal, oleh karena
itu orang-orang yang mengejar datang bukan saja cukup untuk menghadapi nona Gak
bahkan sampai ibumu sendiripun bukan tandingannya, asalkan jejak dari nona terbocor ke
dalam Bulim maka satu pertempuran yang mengerikan bakal berlangsung bagaimana
sesudahnya?? heeee heee tentu kau tahu sendiri bukan??”
Mendadak terdengar suara tiupan yang amat rendah dan berat berkumandang datang
memotong pembicaraan selanjutnya dari orang berbaju biru itu.
Air muka Gak Siauw-cha segera berubah menjadi hebat dia lantas alihkan
pandangannya ke tempat kejauhan.
Sebaliknya orang berbaju biru itu segera memperlihatkan rasa kegirangan.
“Nona Gak, kau tidak usah kuatir. Orang yang datang bukanlah pihak musuh,” ujarnya
tersenyum.
Dari dalam sakunya dia segera mengambil sebuah terompet yang terbuat dari tanduk
kerbau kemudian ditiupnya tiga kali.
Diam-diam Gak Siauw-cha mengerutkan alisnya melihat tindakannya itu pikirnya,
“Hmm! orang itu jahat sekali. Dengan suara terompetnya ini bukan saja sudah
mengundang kawannya bahkan memancing pula kedatangan pihak musuh. Hmm!
Agaknya dia memang bermaksud untuk menciptakan satu suara yang tegang sehingga
aku bisa dipaksa untuk menerima dagangannya itu…”
Begitu suara terompet itu sirap dari tengah udara maka suasana di sekeliling puncak
bersalju kembali berubah menjadi sunyi senyap tak terdengar sedikit suarapun.
Dengan perlahan orang berbaju biru itu berputar badannya memandang ke arah
puncak gunung yang ada dikejauhan. Punggungnya menghadap ke arah diri Gak Siauwcha
agaknya dia sama sekali tidak menaruh rasa kuatir terhadap bokongan dari Gak
Siauw-cha.
Pikiran Gak Siauw-cha pada saat ini benar-benar bingung sekali. Jika ditinjau dari
keadaannya sekarang ini dia tidak seharusnya menyalahi orang itu tetapi diapun tidak

ingat menyanggupi permintaannya sekalipun seluruh pikirannya sudah diperas habishabisan
tetapi tidak mendapatkan juga jawabnya
Tiba-tiba terdengar orang berbaju biru yang sedang memandang ke tempat kejauhan
itu berbatuk-batuk ringan.
“Nona Gak!” ujarnya perlahan. “”Loo toa kami sudah datang. Soal jual beli dia jauh
lebih mengerti dari aku orang lebih baik nona Gak bicarakan sendiri saja dengan dirinya…”
Mendadak di dalam pikiran Gak Siauw-cha terbayang akan dua orang cepat-cepat
serunya, “Locianpwee apakah Tiong Cho Ji ku..”
“Tidak salah” sahut orang berbaju biru itu menoleh lagi. “Cayhe adalah Leng Bian Thian
Pit atau sijago pit besi berwajah Tu Kiu.”
Baru saja dia selesai berbicara mendadak terdengar suara tertawa terbahak-bahak yang
amat nyaring berkumandang datang dari bawah tebing mendadak terlihatlah sesosok
bayangan manusia dengan amat ringannya bagaikan seekor burung melayang datang.
Orang itu mempunyai potongan wajah yang bundar dan gemuk, diantara wajah putih
muncul warna semu merah, perutnya besar seperti perut Ji Lay Hud. Pada tubuhnya
memakai sebuah jubah besar berwarna hijau dengan wajah yang terus menerus dihiasi
oleh senyuman.
Begitu sampai di atas puncak tebing dia lantas merangkap tangannya menjura.
“Aku orang sudah datang sedikit terlambat harap nona suka memaafkan,” ujarnya.
Sehabis berkata dia tertawa terbahak-bahak kembali dengan kerasnya.
“Kedatangan Toa ko sungguh cepat sekali.” sambung sijagoan pit besi berwajah dingin
Tu Kiu sambil berbatuk-batuk.”Dengan ini sulit sekali dikerjakan. Lebih baik Toa ko sendiri
saja yang membicarakan harganya dengan nona Gak.”
“Bagus… bagus sekali… kalau begitu kita kurangi sedikit keuntungan kita…” sahut orang
itu sambil tertawa terbahak-bahak.
Setelah dia lantas merangkap tangannya memberi hormat kepada diri Gak Siauw-cha.
“Cayhe adalah Kiem Siepoa atau Siepoa emas Sang Pat adanya!”
“Atas kedatangan dari Tiong Cho Ji Ku disini Siauw moay mengucapkan terima kasih
terlebih dulu,” sahut Gak Siauw-cha sambil menjura.
“Bagus… bagus sekali.” seru Siepoa emas Sang Pat lagi sambil tertawa terbahak-bahak.
Sebagai pedagang setiap orang paling mengutamakan keramah tamahan, saudaraku ini
selamanya cuma bekerja sebagai penagih utang saja sehingga tidak pandai membicarakan
soal jual beli, bilamana ada perkataan darinya yang kurang menyenangkan harap nona
suka memaafkan.”

Sebetulnya tadi Siauw Ling sedang bersemedi dengan mengikuti petunjuk yang
diperoleh dari Im Kauw, tetapi setelah mendengar suara tiupan terompet dari Leng Bian
Thian Pit tadi dia jadi terbangun.
Semakin dilihatnya dandanan serta potongan yang amat aneh dari Leng Bian Thian Pit
dalam hati dia merasa rada benci sehingga dia sudah melengos tidak mau melihat.
Tetapi sewaktu melihat wajah serta bentuk badan dari si Kiem Siepoa Sang Pat yang
penuh dengan senyuman ramah tamah itu dia lantas menaruh rasa simpatik kepadanya.
Tampaknya Kiem Siepoa Sang Pat merangkap tangannya memberi hormat kepada
semua orang yang ada disitu kemudian baru tertawa.
“Saudara-saudara sekalian!” ujarnya dengan ramah. “Terimalah penghormatan dari aku
orang ini.”
Dengan perlahan sinar matanya beralih ke atas wajah Gak Siauw-cha. Ujarnya kembali
sambil tertawa terbahak-bahak, “Cayhe yang bekerja sebagai pedagang selamanya tidak
pernah memeras orang lain dan dapat dipercaya bilamana nona suka mengadakan jual
beli dengan kami maka nanti nona akan tahu kalau perkataan dari cayhe bukanlah kosong
belaka.”
Gak Siauw-cha mengerutkan alisnya lantas angkat sedikit bahunya.
“Cienpwee berdua pandai mempermainkan orang-orang di dalam kalangan Bulim hal ini
sudah terkenal sekali diseluruh sungai telaga,” ujarnya dingin. “Ini hari Boanpwee bisa
bertemu muka sendiri dengan kalian berdua hal ini sungguh membuat hatiku merasa
sangat beruntung sekali…”
————————–
http://ecersildejavu.wordpress.com
————————————————————–
“Kami bersaudara jadi orang paling bisa dipercaya,” ujar Kiem Siepoa Sang memuji
dirinya sendiri. “Berkat bantuan kawan-kawan maka perdaganganku makin besar.
Beberapa tahun ini boleh dikata sangat mujur sekali!”
Diam-diam Gak Siauw-cha berpikir di dalam hati, “semasa hidupnya ibu pernah
mengungkap pula soal Tong Cao Ji Ku ini, katanya ilmu silatnya amat lihay sekali tetapi
sifatnya ada diantara lurus dan jahat apalagi paling suka ikut campur di dalam urusan
orang lain… walaupun mereka berdua tidak pernah berbuat jahat tetapi sikapnya yang
seperti pedagang itu sungguh membuat aku tidak sedap.”
Baru saja dia berpikir sampai disitu terdengar Kiem Siepoa Sang Pat sudah melanjutkan
kembali perkataannya, “Kami berdua bersaudara selamanya cuma membicarakan soal
dagang saja, tetapi kamipun tidak mau menggunakan kesempatan sewaktu orang berada
di dalam keadaan bahaya memaksa orang lain untuk menerima jual beli tersebut sekalipun
begitu nona perlu ketahui juga kalau keadaanmu pada saat ini benar-benar berbahaya
sekali. Baru saja aku mendapat berita katanya sampai pangcu dari Sin Hong Pang

mengejar datang sendiri kecuali itu ratusan li di sekeliling tempat ini sudah tersebar
berpuluh-puluh orang jago kelas satu dari Bulim yang punya maksud menculik nona.”
“Omong terus terang saja kecuali kami dua bersaudara sekalipun nona menaikan harga
yang lebih tinggipun tidak bakal ada orang yang berani menerima jual beli ini.”
Orang ini sungguh menyenangkan sekali dan jadi orangpun suka berterus terang dia
berbicara dengan lantangnya sehingga ludahnya melayang keluar hampir di sekeliling
tempat itu.
“Dengan kekuatan dari nona seorang diri apakah kau merasa bisa menahan serangan
gabungan dari jago-jago Bulim yang begitu banyaknya?” sambungnya lagi. “Bilamana kau
sampai menderita luka maka siapa yang akan pergi melindungi jenazah dari ibumu? Nona
harus tahu pada saat dan keadaan seperti ini nona benar-benar berada di dalam keadaan
terdesak jual beli ini lebih baik kau terima saja!”
Gak Siauw-cha tahu perkataanya yang diucapkan sedikitpun tidak salah di dalam
keadaan seperti ini memang seharusnya menerima jual beli ini.
Si Kiem Siepoa Sang Pat tertawa terbahak-bahak.
“Nona Gak!” ujarnya sambil tertawa.
“Setelah kau berhasil meloloskan diri dari mara bahaya kami cuma minta diperseni
dengan sebuah benda yang disimpan ibumu, persen ini boleh dikata sangat murah sekali,
daripada nona terluka oleh musuh kemudian untuk melindungi jenazah dari ibumu tidak
sanggup bukankah jauh lebih baik kau terima jual beli ini?”
Mendengar perkataan tersebut air muka Gak Siauw-cha mendadak berubah sangat
keren.
“Barang peninggalan ibuku bagaimana aku boleh persenkan kepada orang lain dengan
begitu gampang? maksud baik dari cianpwee berdua aku terima saja dihati kecilku.”
“Haaa… haaa… tidak mengapa, tidak mengapa,” ujar Kiem Siepoa Sang Pat sambil
tertawa. “Penawaran jadi bayar di tempat dagangan tidak akan jadi marah… haa.. haa
kami berdua tidak akan memaksa perdagangan ini baiklah kalau begitu cayhe permisi
dulu.”
Berbicara sampai disini dia segera menggapai adiknya.
“Loo ji, ayo kita pergi saja!” serunya. “Barang dagangan ini tidak cocok?”
Selesai berkata dia berkelebat terlebih dulu menuruni tebing tersebut.
Si Leng Bian Thian Pit Tu Kiu menyahut dan segera mengikuti dari belakang badan
Sang Pat untuk menuruni tebing tersebut.
Gerakan tubuh mereka berdua amat gesit dan lincah sekali berjalan diantara tebingtebing
yang curam yang dilapisi salju itu seperti sedang berlari di tempat datar saja, hanya
di dalam sekejap saja mereka berdua sudah tiba di bawah tebing.

Setelah melihat kedua sosok bayangan manusia itu lenyap dari pandangan Hoo-kun
baru menghembuskan napas panjang.
“Hee, nama besar dari Tiong Cho Ji Ku sungguh bukanlah satu nama kosong belaka.”
“Hmm,” dengus Thio-kan dengan dingin. “Kita orang-orang Bulim bilamana bukannya
berkelana di dalam dunia persilatan untuk mencari pengalaman tentu mengasingkan diri di
atas pegunungan tidak mencampuri urusan dunia luar. Manusia seperti mereka berdua ini
sungguh tidak menyenangkan sekali payah-payah mereka melakukan perjalanan jauh
untuk membicarakan soal jual beli demi mendapatkan keuntungan, sekalipun
kepandaiannya jauh lebih tinggipun tidak akan mendatangkan rasa hormat dari orang
lain.”
Di dalam sekejap itu pula tubuh Tiong Cho Ji Ku sudah melayang di atas permukaan
salju di bawah tebing kemudian dengan cepatnya lenyap dari pandangan.
Gak Siauw-cha yang melihat bayangan kedua orang itu lenyap dari pandangan tidak
terasa lagi dia menghela napas panjang.
Ketika dia menoleh ke belakang, tampaklah Siauw Ling membelalakan matanya lebarlebar
sedang memperhatikan dirinya, wajahnya yang mantap dan tenang itu menunjukkan
kalau dia sudah menaruh rasa percaya yang penuh terhadap dirinya teringat pula
penderitaan bocah ini selama di dalam perjalanan yang penuh bahaya ini tidak terasa lagi
dia sudah berjalan mendekati dan ujarnya dengan suara yang halus, “Adik Ling, kau
sungguh patut dikasihani! Usiamu masih begitu muda bukan saja harus menderita siksaan
dari angin dan salju yang amat dingin bahkan harus menempuh bahaya pula diantara
perebutan yang terjadi diBulim kau suruh aku bagaimana bisa berlega hati??”
“Tidak mengapa!” sahut Siauw LIng sambil tertawa. “Bukankah kepandaian yang cici
miliki sangat tinggi sekali??? orang-orang itu pasti bukankah tantangan dari cici cukup aku
bisa bersama-sama dengan cici sekalipun ada selaksana tentara menerjang datang
sekalipun berada dihutan golok juga tidak bakal takut.”
“Bilamana cici terluka dan menemui ajalnya di tangan musuh sehingga tidak bisa
melindungi dirimu lagi, bukankah hal ini malah mencelakai nyawamu??” ujar Gak Siauwcha
dengan termangu-mangu.
“Tidak mungkin…” seru Siauw Ling perlahan, setela menghela napas panjang
tambahnya, “Kalau semisalnya cici mati, akupun tidak ingin hidup seorang diri!”
Dia orang adalah seorang bocah cilik yang belum tahu apa-apa. Ketika mendengar
perkataan dari Gak Siauw-cha itu di dalam benaknya segera teringat akan cerita sehidup
semati yang pernah dibacanya dari buku karenanya tanpa dia sadari diapun menirukan
kata-kata tersebut tanpa mengertikan yang lebih mendalam lagi.
Tetapi Gak Siauw-cha yang mendengar perkataan ini hatinya benar-benar terasa sangat
terharu, dia merasa hatinya amat sedih sekali…
Mendadak suara sayap burung merpati tang tersampok angin berkelebatnya datang
tampaklah dua ekor merpati dengan amat cepatnya berkelebat melalui atas puncak tebing
tersebut.

Gak Siauw-cha segera memungut sebuah kerikil gunung dan disambit ke arahnya.
Seekor burung merpati segera terkena hajaran btu gunung itu dan roboh binasa ke atas
tanah, sedangkan yang lain mendadak menutup sayapnya kembali kemudian meluncur ke
bawah dan lenyap dibalik lembah di bawah tebing tersebut.
Thio-kan serta Hoo-kun agaknya sudah merasa kalau satu pertempuran yang amat
sengit bakal terjadi dihadapan mata, mereka segera menoleh ke arah Gak Siauw-cha.
“Nona!” ujarnya perlahan. “Jejak kita sudah diketahui oleh pihak musuh, dari pada
duduk disini menanti kematian lebih baik dengan tenaga kita berusaha untuk menerjang
keluar dari kurungan ini.”
“Sayang sudah terlambat!” jawabnya Gak Siauw-cha dengan lirih. “Aku lihat pihak
musuh sudah mengetahui tempat persembunyian kita.”
“Pihak musuh sekalipun memiliki ilmu silat yang amat tinggi tetapi sebagian besar
belum sampai disini!” bantah Thio-kan lagi. “Apalagi keadaan di atas gunung ini amat
terjal dan banyak gua. Kita bisa maju ke depan untuk mencari tempat persembunyian
yang baru nona Gak! bagaimana kalau kita berangkat sekarang juga??”
Dengan perlahan Gak Siauw-cha gelengkan kepalanya.
“Orang yang mengejar kita bukan saja memiliki kepandaian silat yang amat tinggi
bahkan sudah mempunyai niat untuk mendapatkan barang yang dicari. Kita tidak mungkin
bisa hidup di dalam kejaran musuh terus menerus kita mau lari kemana untuk
menghindarkan diri dari kejaran tersebut??”
“Cici!” tiba-tiba Siauw Ling nyeletuk dari tengah. “Di dalam hatiku aku mempunyai satu
persoalan yang membingungkan hatiku, dapatkah cici memberi jawabannya??”
“Kau bicaralah!” sahut Gak Siauw-cha sambil tertawa. “Mungkin usia kita sudah tidak
berapa lama lagi!”
“Orang-orang yang disebut sebagai jago-jago kelas satu dari Bulim itu kenapa terus
menerus mengejar kita??” tanya Siauw Ling dengan keheranan.
“Karena ibuku!”
“Eeei! bukankah bibi Im sudah meninggal??” tanya Siauw Ling kebingungan. “Sekalipun
orang-orang itu mempunyai dendam sakit hati dengan bibi Im tetapi setelah beliau
meninggal sudah seharusnya merekapun melepaskan rasa sakit hati itu. Kenapa mereka
terus menerus mengejar kita??”
Dikarenakan pertemuan yang tidak disengaja dan penderitaan yang bersama-sama
mereka alami membuat Gak Siauw-cha menaruh rasa sayang terhadap Siauw Ling bocah
cilik yang lahir dari keluarga kaya ini.
“Adik Ling, kau tidak tahu soal kekejaman yang terjadi di dalam Bulim,” ujarnya dengan
halus. “Walaupun diantara orang-orang ini ada beberapa orang yang merupakan musuh
buyutan dari ibuku tetapi sebagian besar mereka tidak ada ikatan sakit hati apapun
dengan dia orang tua.”

“Kalau memangnya tidak mempunyai sakit hati apa-apa, kenapa mereka terus menerus
mengejar kita?” tanya Siauw Ling lagi kebingungan.
Gak Siauw-cha termenung berpikir sebentar, akhirnya dia menjawab juga dengan
perlahan, “Karena mereka ingin mendapatkan sebuah barang peninggalan dari ibuku.”
“Oooh kiranya begitu,” sahut Siauw Ling sambil mengangguk.
Mendadak Gak Siauw-cha meloncat bangun dan menggendong badan Siauw Ling
meloncat sejauh beberapa depa kemudian meletakkan badan Siauw Ling ke arah sebuah
batu cadas yang besar dan menonjol keluar itu.
“Adik Ling hati-hati!” serunya.
Tubuhnya dengan cepat berkelebat kembali melayang ketepi tebing tersebut.
Saat ini Thio-kan serta Hoo-kun pun agaknya sudah merasa suasana tidak beres,
dengan tergesa-gesa mereka meloncat bangun kemudian sambil mencabut keluar senjata
tajamnya masing-masing meloncat ketepi tebing.
Mendadak terdengar suara bentakan nyaring dari Gak Siauw-cha berkumandang datang
disusul suatu jeritan ngeri yang menyayatkan hati bergema memenuhi angkasa.
Ketika Siauw Ling melongok ke arah luar tampaklah sesosok bayangan manusia
berkelebatnya dan terjatuh ke bawah tebing.
Saat ini pedang panjang dari Gak Siauw-cha sudah dicabut dari sarungnya, dengan
gagahnya dia berdiri ditepi tebing.
Angin gunung bertiup dengan kencangnya menyapu jatuh rontokan salju yang ada di
atas batu dan mengenai wajah dari Siauw Ling.
Dengan cepat Siauw Ling angkat kepalanya menghapus bekas salju yang mengenai
pipinya itu.
Mendadak tampak seorang lelaki kasar dengan bersenjatakan golok tanpa
mengeluarkan sedikit suarapun sudah berjalan naik ke atas tebing dan mendekati badan
Gak Siauw-cha.
Dia jadi sangat terkejut sekali.
“Cici awas di belakang ada orang!” teriaknya dengan keras, gerakan dari lelaki kasar itu
amat cepat sekali. Mendadak sepasang telapak tangannya menekan dinding batu
kemudian berjampalitan melayang ke arah diri Siauw Ling.
Siauw Ling cuma merasakan sesosok bayangan manusia berkelebat dihadapan matanya
bagaikan seekor burung elang dengan menukik dari angkasa menerkam dirinya.
Di dalam hati dia benar-benar merasa sangat terkejut sekali, untuk menghindar dia
tidak mengerti juga pandangan melongo dia memandang dirinya.

Mendadak tampak bayangan putih berkelebat disertai hawa pedang yang amat dingin
sekali, bekum sempat Siauw Ling melihat apa yang sudah terjadi telinganya segera
mendengar satu jeritan ngeri yang mendirikan bulu roma bergema datang kemudian
disusul tampaknya sesosok bayangan hitam melayang ke tengah udara dan terjatuh ke
dalam jurang.
Ketika dia memandang lebih jelas lagi tampaklah Gak Siauw-cha dengan gagahnya
berdiri disisi badannya. Pedang yang ada ditangannya secara samar-samar masih kelihatan
bekas darah segar.
Dengan perlahan-lahan Gak Siauw-cha berjongkok dan membimbing pundak Siauw
Ling.
“Adik Ling, kau kaget??” tanyanya dengan penuh perhatian.
“Gerakan cici sangat cepat sekali, dimana orang itu?” tanya Siauw Ling sambil
menghembus napas panjang.
“Sudah aku tusuk mati!”
“Tapi mana mayatnya??”
“Aku tendang keluar dari tebing ini. Heeei… jika ditinjau dari keadaan seperti ini
agaknya ini hari kita tidak bakal terhindar lagi dari satu pertempuran berdarah. Terpaksa
cici harus turun tangan kejam terhadap diri mereka. Setiap kali cici berhasil membunuh
seorang musuh berarti pula aku sudah kekurangan seorang musuh…”
Pada saat itulah mendadak terdengar suara bentrokan senjata tajam yang sangat ramai
sekali, kiranya Thio-kan serta Hoo-kun sudah bertempur dengan dua orang lelaki yang
berhasil menaiki tebing tersebut.
Agaknya Gak Siauw-cha sudah mengambil keputusan untuk mencari kehidupan dari
keadaan yang sangat berbahaya ini karena itu sikapnyapun jadi rada lapang kembali
mendadak tangannya merogoh ke dalam saku meraup segenggam jarum emas.
“Adik Ling!” ujarnya tertawa. “Coba kau lihat ilmu menyambit senjata rahasia dari
cicimu.”
Pergelangan tangannya segera diayunkan ke depan, tampaklah berpuluh-puluh batang
jarum emas dengan memancarkan sinar yang berkilauan tertimpa sinar matahari bagaikan
kilat cepatnya meluncur ke depan.
Suara jeritan ngeri segera bergema saling susul menyusul, kedua orang lelaki yang
sedang bergebrak dengan Thio-kan serta Hoo-kun masing-masing sudah terhajar dua
batang jarum emas.
Gerakan kakinya jadi agak terlambat, pada saat itulah dengan mengambil kesempatan
yang sangat bagus itu Thio-kan melancarkan satu tendangan kilat menghajar mati
musuhnya. Sebaliknya Hoo-kun menggerakkan senjata Pan Koan Pitnya menotok jalan
darah kematian dari musuhnya sehingga diapun rubuh binasa ke atas tanah.
Siauw Ling yang melihat demontrasi itu merasa sangat kagum sekali.

“Cici!” serunya memuji. “Ilmu menyambit senjata rahasia dari cici sungguh dahsyat
sekali.”
Baru saja suara pujian itu diucapkan keluar mendadak terdengar suara tertawa panjang
yang amat nyaring berkumandang datang.
“Ilmu menyambit senjata rahasia semacam itu buat apa kau merasa keheranan,”
ujarnya dingin. “Bagaimana kalau kau coba juga senjata Ci Bo Sin Tan dari loohu?”
Gak Siauw-cha dengan cepat meloncat menghalangi di depan tubuh Siauw Ling, ketika
angkat kepalanya memandang dia dapat melihat seorang kakek tua dengan perawakan
tinggi besar dan memelihara jenggot putih sepanjang dada sudah berdiri dengan amat
gagahnya dipinggir tebing tersebut pada punggungnya tersorenlah sepasang roda baja.
Cing Kang Jiet Gwat Loen, sedang pada sepasang tangannya masing-masing mencekal
sebuah peluruh besi yang berbentuk bulat sebesar telur ayam. Kelihatan sekali sikapnya
yang amat gagah.
Kedatangan dari orang ini sama sekali tidak menimbulkan sedikit suarapun. Ternyata
Gak Siauw-cha sekalipun sama sekali tidak mengetahui kapan dia tiba di atas puncak
tebing itu.
“Bagus sekali!” terdengar Thio-kan membentak dengan suara yang amat keras. “Tidak
kusangka Sin So Thiat Tan atau sitangan sakti peluruh besi Coe Koen San Coe Thai hiap
tuo merupakan manusia rendah yang beraninya mengambil kesempatan orang lagi
kesusahan!”
Sin So Thiat Tan Coe Koen San cuma merasakan air mukanya terasa jadi panas
sehingga pipinya jadi merah lama sekali dia termenung berpikir keras kemudian baru
ujarnya dengan perlahan, “Sekalipun Loohu tidak turun tangan tetapi saudara sekalianpun
tidak bakal bisa lolos dari bencana ini hari dari pada terjatuh ketangan orang lain lebih
baik aku sendiri saja yang turun tangan.”
Dia tertawa tergelak dengan amat kerasnya kemudian sambungnya lagi, “Apalagi
barang ini mempunyai sangkut paut yang sangat besar sekali dengan keselamatan Bulim
bilamana sampai terjatuh ketangan orang lain bukankah urusan jadi semakin berabe
lagi???”
Siauw Ling yang selama satu malam memiliki perubahan situasi yang saling susul
menyusul di dalam hati kecilnya secara samar-samar sudah merasa kalau orang-orang ini
agaknya sedang memaksa Gak Siauw-cha untuk menyerahkan semacam barang. Bahkan
barang tersebut mempunyai sangkut paut yang sangat erat sekali dengan kematian bibi
Im nya.
Terdengar Gak Siauw-cha tertawa dingin tak henti-hentinya.
“Lama sekali aku mendengar ilmu roda “Sah Cap Lak Cau Liong Hauw Loe Hoat” serta
lima butir peluru “Ci Bo Thiat Tan” dari Coe Thayhiap menjago seluruh Bulim. Ini hari aku
bisa bertemu muka sendiri sungguh hatiku merasa sangat beruntung sekali.”

Sin So Thiat Tan Co Koen San mendeham beberapa kali kemudian perlahan-lahan
menyimpan kembali pelurunya ke dalam saku setelah itu matanya dengan tajam
memperhatikan diri Gak Siauw-cha.
Gak Siauw-cha segera mengerutkan alisnya rapat-rapat dengan melintangkan
pedangnya di depan dada dia berdiri dengan angkernya.
Sekalipun pada saat ini hawa amarah meliputi seluruh wajahnya tetapi pikirannya tidak
kacau, jelas sekali dia orang sudah memiliki sebaliknya ilmu silat yang maha tinggi.
Ketika Coe Koen San teringat kalau dirinya merupakan seorang jagoan yang sama
besarnya sudah berkumandang diseluruh Bulim bilamana diharuskan bergebrak dengan
seorang nona cilik bukankah hal ini malah menurunkan derajat?? karena itu segera
tanyanya, “Nona, kau punya hubungan apa dengan Gak Im Kauw?”
“Dia adalah ibuku!” sahut Gak Siauw-cha singkat.
“Oooy, maaf kiranya nona Gak! Loohu punya kesempatan bertemu muka dengan ibumu
beberapa kali,” ujar Coe Koen San dengan cepat.
Gak Siauw-cha yang melihat beberapa perkataannya itu diucapkan dengan amat ramah
bahkan kelihatannya dia sudah menyesali sikapnya ini dalam hati diam-diam berpikir,
“Hmm! walaupun kedatangan orang ini tidak mengandung maksud baik, tetapi dia tidak
kehilangan sikapnya sebagai seorang Thayhiap.”
Dengan sendirinya hawa marah yang membakar di dalam hatinyapun jauh berkurang.
“Kalau memangnya Locianpwee kenal dengan ibuku maka harap memandang di atas
wajah ibuku yang sudah meninggalkan orang suka melepaskan boanpwee kali ini tanpa
diganggu,” ujarnya kemudian.
Coe Koen San segera mengelus-elus jenggotnya dan tertawa.
“Ilmu pedang dari ibumu Loohu tidak pernah menjajalnya sehingga hal ini merupakan
satu peristiwa yang patut disesalkan,” ujarnya dengan perlahan-lahan.
“Heeeei… cuma sayang harapan dari Locianpwee ini untuk selamanya tidak bakal
terlaksana karena ibuku sudah meninggal dunia,” sambung Gak Siauw-cha sambil
menghela napas panjang.
Coe Koen San tertawa terbahak-bahak.
“Haaa, haaa, haaa, nona Gak! mungkin orang lain bisa kau kibuli dengan kata-katamu
itu tetapi kau jangan harap bisa berhasil menyelimuti diri Loohu. Loohu cuma mau
bertemu saja dengan ibumu dan minta pelajaran beberapa jurus ilmu pedangnya,”
katanya.
Saat itulah Gak Siauw-cha jadi sadar kembali.
“Oooh, kiranya hatinya masih belum berubah ternyata dia orang karena memandang
kedudukannya jauh lebih tinggi dari diriku maka tidak ingin bergebrak melawan aku
orang.”

Hawa amarahnya jadi berkobar kembali.
“Peristiwa meninggalnya ibuku bilamana Locianpwee tidak percaya hal inipun tidak
penting,” ujarnya dengan dingin. “Tetapi bilamana kau benar-benar kepingin belajar kenal
dengan ilmu pedang keluarga Gak kami, Hmm boanpwee rasa dengan ketakutan
boanpwee masih bisa melayani.”
Coe Koen San termenung berpikir sebentar setelah itu dia baru berkata, “Dengan usia
dari Loohu yang sudah demikian tua, sebetulnya loohu malu untuk bergebrak melawan
nona.”
Gak Siauw-cha dalam hati tahu keadaan di sekelilingnya sudah sangat berbahaya sekali,
di sekeliling tebing itu entah sudah kedatangan berapa banyak jagoan berkepandaian
tinggi. Bilamana dia tidak melukai beberapa orang diantara hal ini benar-benar membuat
dia tidak dapat melampiaskan rasa mangkel di dalam hatinya.
Jilid 5
Karena itu pergelangan tangannya segera berkelebat mencabut keluar sebilah pedang
sepanjang empat depa delapan coen yang memancarkan sinar keperak-perakan.
“Locianpwee apakah benar-benar tidak sudi bergebrak melawan diriku??” ejeknya
“Dengan usia dari loohu yang sudah demikian lanjut bilamana sampai bergebrak
melawan dirimu jikalau berita ini sampai tersiar di dalam Bulim bukankah orang-orang lain
akan tertawa kegelian waah… wah putusan ini tidak dapat dipenuhi,” sahut Coe Koen San
sambil menyengir.
“Kau orang kalau memangnya tidak ingin bergebrak melawan diriku lalu buat apa kau
menempuh perjalanan sejauh ribuan li datang mencari diriku? bukankah waktumu sudah
kau buang dengan sia-sia?” teriak Gak Siauw-cha dengan gusar.
Coe Koen San segera gelengkan kepalanya.
“Menurut apa yang loohu ketahui! tenaga dalam dari ibumu sudah berhasil dilatih
hingga mencapai pada taraf kesempurnaan,” ujarnya dengan tenang.
“Apalagi ilmu pedang keluarga GAk pun merupakan satu ilmu meninggal di dalam dunia
persilatan. Jagoan dari long langit pada saat ini jarang sekali ada yang bisa melukai ibumu
karena itu loohu percaya penuh kalau ibumu masih tetap hidup di dalam dunia ini.”
“Orang ini sungguh dogol dan kukuh dengan pendiriannya sendiri,” pikir Gak Siauw-cha
kembali di dalam hatinya. Kelihatannya untuk berbicara sampai jelas dengan dirinya
bukanlah satu pekerjaan gampang..
Ketika dia sedang termenung itulah mendadak terdengar suara bentakan keras dari
Hoo-kun berkumandang datang kemudian menyusul sepasang Pan Koan Pitnya berkelebat
menubrak keluar.

Gak Siauw-cha dengan cepat menoleh ke arahnya, tampaklah dua orang lelaki kasar
berpakaian singsat berwarna hijau dengan masing-masing mencekal sebelah golok sudah
meloncat naik ke atas tebing tersebut.
Sementara itu Thio-kan serta Hoo-kun pun telah bertempur pula dengan musuh-musuh
yang baru datang.
Masing-masing pihak begitu bertemu segera melancarkan serangan dengan
menggunakan jurus-jurus yang mematikan sinar golok berkelebat memeningkan kepala.
Setiap serangan pun mengarah jalan darah mematikan dibadan musuhnya.
Gak Siauw-cha yang melihat pihak musuh amat lihay dan ada kemungkinan kedua
orang bantunya tidak kuat untuk menahan serangannya dalam hati mulai merasa gelisah.
Dia punya maksud untuk turun tangan membantu anak buahnya tetapi takut pula
mengambil kesempatan itu Coe Koen San melukai Siauw Ling hal ini membuat dia jadi
serba susah.
Agaknya Coe Koen San mengetahui isi hati dari Gak Siauw-cha itu, sembari mengelus
jenggotnya dia tertawa tergelak.
“Musuh-musuh nona yang baru datang kesemuanya adalah anggota-anggota
perkumpulan Sin Hong Pang dari kelas tiga, empat yang bisanya hanya melakukan
kejahatan. Bila mana nona bermaksud untuk turun tangan janganlah kuatir loohu tidak
akan mempersulit dirimu,” katanya.
“Ehmm… orang ini amat periang dan jarang ditemui dikolong langit apalagi sifatnya
yang aneh dan sukar ditebak keadaannya ini banyak kemiripannya dengan Tiong Cho Sian
Ku…”
“Ehmm! Aku akan menggunakan sifatnya yang periang ini untuk membasmi musuhmusuh
yang baru datang!” demikianlah pikirnya dihati.
Setelah hatinya mantap tanpa berpikir lebih jauh lagi pedangnya segera dikebaskan ke
depan menyambut datangnya serangan dari dua orang berbaju hijau itu.
Siauw Ling yang melihat encinya Gak Siauw-cha sudah pergi bertempur dengan musuh
dia lantas berjalan mendekati diri Coe Koen San dan merangkap tangannya menjura.
“Empek tua!” panggilnya…
“Saudara cilik, kau ada urusan apa?” tanya Coe Koen San sembari mengerutkan alisnya
rapat-rapat.
“Empek tua kenapa kau tidak percaya akan kata-kata enciku?” tanya Siauw Ling sambil
membusungkan dada berjalan mendekat dia sama sekali kelihatan takut.
“Siapa toh encimu?”
“Dia adalah enciku,” jawab Siauw Ling sambil menuding ke arah Gak Siauw-cha. “Dia
bilang bibi Im ku sudah mati. Hal ini memang benar-benar sudah terjadi.”

“Akal licik encimu itu ada kemungkinan bisa menipu diri loohu,” jawab Coe Koen San
sambil gelengkan kepalanya berulang kali. “Aku sudah melakukan perjalanan selama
puluhan tahun lamanya di dalam dunia kangouw dan menemui banyak orang jagoan
berkepandaian tinggi. Sepasang roda Jien Gwi Cing Kang Loan Ku ini saja sudah banyak
mencabut nyawa orang-orang jahat. Hee.. hee… asalkah para jagoan dari kalangan Lioe
Lio mendengar nama loohu mereka tentu akan melarikan diri terbirit-birit…”
Mendadak dia menjadi sadar kembali kalau orang yang sedang diajak berbicara ini tidak
lebih adalah seorang bocah yang baru berusia dua tiga belas tahun saja, mana bocah
sekecil itu bisa mengetahui urusan dunia kangouw?? tidak kuasa lagi dia sudah menghela
napas panjang.
“Hee!” sambungnya. “Urusan yang terjadi di dalam Bulim walaupun sudah aku
beritahukan kepadamu, kau orang tidak mungkin bisa memahaminya.”
Sejak kecil Siauw Ling sudah mendapat pelajaran campur dari ayahnya, ditambah pula
selama beberapa hari ini mengikuti Gak Siauw-cha merasakan bahayanya Bulim. Saat ini
kecerdasannya sudah berlipat ganda dia lantas tertawa.
“Kalau loopak sudah banyak membunuh orang jahat, tentu loopak adalah seorang yang
baik bukan?” tanya Siauw Ling pula.
“Hal itu sudah tentu!” jawab Coe Koen San setelah tercengang sebentar. “Diseluruh
Bulim asalkan orang-orang menyebut diri loohu mereka pasti akan menaruh hormat dan
memanggil Coe Thay hiap kepadaku!”
“Tapi jikalau loopak adalah seorang baik kenapa kau bermaksud untuk merebut
barangnya enciku?”
Mendengar perkataan tersebut Coe KOen San jadi melengak.
“Soal ini… soal ini…”
Dia yang jadi orang amat periang hatinya amat jujur sekali dan tidak pernah berbohong
kini ditanya secara demikian oleh Siauw Ling seketika itu juga dibuat gelagapan, selama
setengah harian lamanya dia tidak memberikan jawaban.
Siauw Ling yang melihat wajahnya berubah sangat kikuk dalam hati merasa amat
girang.
“Heeeeeeee…hiii…hiii… orang tua ini sungguh lucu, dari sikapnya yang jujur
menunjukkan kalau dia bukanlah seorang penjahat, aku akan bersahabat dengan dirinya,”
pikirnya dihati.
Berpikir sampai disitu dia lantas tersenyum ramah sekali.
“Loopak!” ujarnya halus. “Kelihatannya kau bukan seorang penjahat.”
“Hmm! Nama pendekar dari loohu sudah tersiar diseluruh dunia kangouw dan aku
sering menolong orang yang lemah sudah tentu loohu bukan seorang penjahat.”
“Lalu mengapa kau bermaksud untuk merebut barang milik enciku?”

Sekali lagi Coe Koen San dibuat melengak lama sekali dia termenung sambil mengeluselus
jenggotnya.
“Ehmm… karena barang itu sangat penting dan menyangkut mati hidupnya Bulim”
jawabnya kemudian. “Bilamana sampai terjatuh ketangan para penjahat atau jago-jago
dari kalangan Liok Lim maka dunia kangouw akan jadi kacau balau karena itu loohu akan
merebutnya sampai berhasil.”
“Jadi maksudmu enci Gak adalah seorang penjahat??”
Coe Kaoen San yang melihat dia orang masih kecil tapi pandai berbicara, nyalipun amat
besar tidak terasa dalam hati sudah timbul rasa sukanya.
“Hal ini tidak dapat dipastikan, karena enci Gakmu itu belum lama berkecimpung di
dalam Bulim untuk menentukan dia adalah seorang jahat atau baik masih sukar untuk
dibicarakan tetapi yang jelas ibunya Im Kauw adalah seorang yang patut dihormati,”
katanya.
“Kalau memangnya bibi Im adalah seorang yang baik sudah tentu enci Gak pun bukan
seorang penjahat” teriak Siauw Ling dengan cepat.
Walaupun Coe Koen San sudah mendekati setengah abad, kepandaian silatnya yang
dimilikinyapun amat tinggi dia merupakan seorang manusia yang tidak pernah
menggunakan otak. Mendengar perkataannya sangat masuk akal ini tidak terasa lagi dia
sudah mengangguk.
“Perkataanmu sedikitpun tidak salah” jawabnya. “Selama pohon yang baik tentu
menghasilkan buah yang baik pula, nama besar Gak Im Kauw di dalam Bulim amat bersih
dan cemerlang. Sudah tentu putrinya tidak akan jahat pula.”
“Haaa… haaaa… itulah bagus sekali!” seru Siauw Ling sambil tertawa kegirangan.
“Kalau memangnya enci Gak bukan seorang yang jahat, bilamana barang itu disimpan
olehnya bukankah sama saja?”
Mendengar jawaban itu Coe Koen San jadi melongo.
“Tidak bisa jadi… jadi… bisa jadi…” Teriaknya cepat-cepat. “Usianya nona Gak masih
kecil mana mungkin dia bisa melindungi barang pusaka yang sedemikian berbahayanya?”
“Loopak, sebetulnya barang macam apakah benda pustaka itu?” Tanya Siauw Ling
kemudian setelah berpikir sebentar. “Kenapa barang itu memancing datangnya orang yang
begitu banyak untuk saling rebut merebut? Heeei! Ayahku pernah beritahu kepadaku
bahwa mengimpikan istana adalah berdosa. Menyimpan barang pustaka mendatangkan
bencana kelihatannya perkataan ini sedikitpun tidak salah.”
Tidak tertahan lagi Coe Koen San tertawa terbahak-bahak.
“Haaa… haa… kita orang dari kalangan persilatan selamanya memandang harta
kekayaan seperti kotoran saja. Bilamana barang yang disimpan nona Gak adalah emas

atau permata jangan dikata loohu tidak akan datang untuk merebut sekalipun para jago
kalangan hitam dari perkumpulan Sin Hong Pang pun tidak akan mengikuti terus jejak
kalian datang begitu kencang dan bernafsunya.”
Mendadak serentetan suara jeritan ngeri yang menyayatkan hati memotong
pembicaraannya yang belum selesai seorang lelaki berbaju hijau sudah tertembus dadanya
oleh tusukan pedang Gak Siauw-cha dan jatuh terjungkal ke dalam jurang.
“Bilamana bukan emas intan. Lalu bencanakah itu?” Tanya Siauw Ling kemudian.
“Benda pusaka ini sangat tinggi bahkan merupakan satu benda yang harganya melebihi
sebuah kota.”
“Sebenarnya barang apa toh?” desak Siauw Ling tidak sabaran lagi.
“Cing Kong Ci Yau!” jawab Coe Koen San tegas (Cing Kong Ci Yau adalah anak kunci
istana terlarang).
“Cing Kong Yau… Cing Kong Yau…” seru Siauw Ling berulang kali dengan
gamblangnya.
“Tidak salah!” sahut Coe Koen San membenarkan. “Cing Kong Ci Yau adalah sebuah
benda pusaka yang diingini oleh setiap jagoan Bulim.”
“Sebetulnya apa guna anak kunci istana terlarang itu toh?”
Tua dan muda dua orang ini semakin bercakap-cakap semakin intim. Ternyata setiap
pertanyaan yang diajukan oleh Siauw Ling tentu dijawab oleh Coe Koen San dengan
sejujurnya.
Tampak sembari mengelus-elus jenggotnya dia menjawab, “Cing Kong Ci Yau itu
sebetulnya adalah sebuah anak kunci.”
oooo0oooo
“Hmm! Aku masih mengira Cing Kong Ci Yau itu adalah barang pusaka macam apa,
tidak kusangka cuma sebuah kunci saja, apanya yang aneh??” potong Siauw Ling dengan
cepat. “Bilamana kau menginginkan sebuah kunci aku masih ada beberapa buah!
bagaimana kalau aku berikan sebuah kepadamu??”
“Haaa…haaa…haaa…haaaaa…” Mendengar perkataan yang amat lucu dari Siauw Ling
itu, Coe Koen San segera tertawa terbahak-bahak tiada hentinya.
“Walaupun Cing Kong Ci Yau itu cuma sebuah anak kunci tetapi dengan kunci itu kita
bisa membongkar suatu rahasia Bulim yang maha besar dan sudah terpendam selama
puluhan tahun lamanya. Sudah tentu anak kunci ini jauh berbeda dengan anak kunci
biasa…”
“Adik Ling!” tiba-tiba terdengar suara yang merdu dari Gak Siauw-cha berkumandang
datang.
“Cepatlah kemari kita akan segera berangkat.”

Siauw Ling segera menengok ke arahnya, tampaklah olehnya pertempuran yang terjadi
di atas puncak itu sudah selesai. Saat ini sambil melintangkan pedangnya Gak Siauw-cha
berdiri kurang lebih satu kaki jauhnya dari tempat dia berada. Sepasang matanya melotot
lebar-lebar dan sedang memandangi dirinya tanpa berkedip, dari air mukanya jelas dia
merasa sangat kuatir sekali.
Dengan perlahan Siauw Ling segera tersenyum, tangannya dengan halus menyentil
sebentar jenggot putih dari Coe Koen San.
“Wah, enciku sudah panggil aku, kita ngomong-ngomong lagi dilain waktu saja.”
sahutnya kemudian.
Dia segera bangkit berdiri dan dengan langkah yang lebar berjalan menuju berhadapan
Gak Siauw-cha.
Belum jauh dia berjalan mendadak Siauw Ling memutar badannya kembali dan
memandang ke arah diri Coe Joen San.
“Loopak!” sambungnya lagi. “Aku mau memberitahu akan satu hal kepada dirimu
enciku sama sekali tidak menipu kau, bibi Im benar-benar sudah mati!”
Mendadak tampaklah Gak Siauw-cha membayangkan dirinya menuju kesisi badan
Siauw Ling, lalu dengan nada kuatir tanyanya, “Adik Ling, apakah dia menganiaya dirimu?”
“tidak!” sahut Siauw Ling dengan cepat. “Kita bicara dengan sangat baik sekali.”
Mendengar adik Lingnya dalam keadaan baik-baik saja Gak Siauw-cha lantas menghela
napas panjang.
“Kedudukan Coe Thay hiap di dalam dunia kangouw amat tinggi bahkan selamanya
melakukan pekerjaan dengan jujur dan terus terang, dia tidak mungkin bisa malukan
seorang bocah yang tidak mengerti ilmu silat seperti kau,” ujarnya. “Tetapi keadaan di
dalam Bulim amat bahaya sekali lain kali kau harus sedikit waspada dan jangan
sembarangan bicara dan berdekatan dengan orang asing yang belum kau kenal benar.”
Coe Koen San yang mendengar Gak Siauw-cha mengajukan pertanyaan kepada Siauw
Ling apakah dia dapat menganiaya dari dirinya dalam hati segera merasa amat gusar.
Baru saja dia mau mengumbar hawa amarahnya, mendadak mendengar pula Gak Siauwcha
memuji dan menyanjung dirinya, hawa amarah yang semula membakar hatinya
seketika itu juga tersapu bersih.
Sambil mengelus-elus jenggotnya dia tertawa.
“Perkataan dari nona Gak sedikitpun tidak salah!” Teriaknya keras.
“Dengan nama baik dan kedudukan yang begitu tinggi dari loohu mana mungkin aku
orang mau berani menganiaya seorang bocah cilik yang begitu lucu dan lincahnya.”
“Sifat orang ini periang dan kebocah-bocahan, apalagi sangat memandang tinggi gelar
kependekarannya dia tidak mungkin mau menurunkan derajatnya untuk bermusuhan

dengan aku. Ehmmm! Baiklah aku mau gunakan sifatnya yang konyol ini untuk
mengurangi seorang musuh tangguh” Pikir Gak Siauw-cha diam-diam.
Dengan hormatnya dia lantas berkata, “Locianpwee! ibuku sudah lama meninggal dan
sekarang Locianpwee tidak ingin berkelahi dengan boanpwee. Kalau begitu baiklah! Atas
kemurahan hati Locianpwee yang suka melepaskan boanpwee sekalian, disini boanpwee
mengucapkan banyak terima kasih terlebih dahulu.”
Selesai berkata dia segera bungkukan badannya memberi hormat.
Coe Koen San yang berburu diomongi oleh Gak Siauw-cha dengan kata-kata ini
beberapa saat tidak berbuat apa-apa sekalipun dia sangat tidak ingin lepas tangan begitu
saja dan menggilapkan maksud hatinya untuk memperoleh anak kunci ‘Cing Kong Ci Yau’
itu tetapi justru saat ini dia tidak bisa banyak berbicara.
Terpaksa sambil meringis-ringis dia menyahut, “Aaaa mana-mana… nona terlalu
merendah.”
“Kalau begitu boanpwee sekali disini mohon pamit dahulu,” sambung Gak Siauw-cha
dengan cepat kemudian sambil menggandeng tangan Siauw Ling dia mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya melayang turun dari atas puncak tebing itu.
Lama sekali Coe Koen San berdiri termangu-mangu memandang keempat sosok
bayangan yang mulai menjauh mendadak dia sadar kembali! Anak kunci Cing Kong Ci Yau
adalah sebuah benda yang amat berharga. Bagaimana boleh dia melepaskan dengan
begitu saja karena beberapa patah perkataannya? dengan cepat dia kerahkan ilmu
meringankan tubuhnya untuk mengejar.
Gak Siauw-cha yang berlari sambil menggandeng tangan Siauw Ling, berturut-turut dia
melanjutkan perjalanannya sejauh enam tujuh li setelah itu baru mulai memperlambat
langkahnya. Sewaktu menoleh ke belakang tampaklah Thio-kan serta Hoo-kun yang ada di
belakang sekalipun berusaha terus mengejar tetapi keringat dingin sudah membasahi
seluruh badannya.
“Nona! kita mau kemana?” Tanya Thio-kan tiba-tiba sembari menyeka keringat yang
membasahi keningnya.
“Keadaan kita pada saat ini amat berbahaya sekali kelihatannya untuk mendapat
kembali jenazah dari ibuku sukar untuk dilaksanakan demikian saja. Mulai sekarang kita
harus berjuang utnuk menerjang keluar dari tempat-tempat berbahaya ini kemudian
menuju kelembah Jen Yen Kuk.”
Mendadak dia merasa dirinya sudah keterlanjur berbicara dengan cepat dia menutup
mulutnya kembali dan matanya mulai berkeliaran memandang kesekeliling tempat itu.
“Tidak bisa jadi… tidak bisa jadi…” Bantah Hoo-kun yang berdiri di samping.
“Bagaimana mungkin jenazah dari ibu majikan kita tidak kita urus? Sekalipun harus
mengorbankan jiwa kita harus melindungi juga jenazah dari ibu majikan sampai di tempat
tujuan.”
“Hal itu tidak mungkin kita jalankan,” sahut Gak Siauw-cha gelengkan kepalanya.

“Pertama, seluruh perhatian pihak musuh sudah ditujukan kepada kita. Kedua, tempat
itu sangat aman, sekarang yang penting bagaimana kita harus berbuat untuk meloloskan
diri dari tempat berbahaya ini.”
“Kecerdasan dari nona sangat hebat dan melebihi kita semua, apa yang nona ucapkan
sudah tentu tidak bisa salah lagi,” sambung Thio-kan menurut.
Gak Siauw-cha segera mengenali dulu arah yang dituju ke arah Barat daya. Perjalannya
kali ini sengaja dia mencari jalan-jalan kecil yang sukar untuk dilalui dan sunyi guna
melindungi jejak mereka. Demikianlah walaupun mereka berempat sudah melakukan
perjalanan selama setengah harian lamanya tetapi tak tampak juga munculnya musuh
yang menghadang jalan.
Sang surya mulai condong ke arah Barat sinar yang kemas-emasan dengan hangatnya
yang penuh dengan salju nan putih, di tengah pegunungan yang amat sunyi mendadak
berkumandang datang suara suitan panjang yang amat nyaring.
Mendengar datangnya suara suitan itu Gak Siauw-cha segera menghentikan
perjalanannya dan bersembunyi di bawah sebuah dinding tebing yang amat besar.
“Cepat kita bersembunyi!” serunya dengan nada yang amat lirih. “Kelihatannya
pengaruh musuh amat luas dan seluruh pegunungan ini sudah disebari anak buahnya
ditambah lagi dari pihak perkumpulan Sin Hong Pang ada burung merpati yang menjadi
mata-mata kelihatannya untuk melakukan perjalanan disiang hari sambil menghindari
pengamatan musuh bukanlah satu pekerjaan yang gampang terpaksa kita harus
menunggu sampai hari menjadi gelap baru melanjutkan kembali perjalanan kita.”
“Perkataan nona sedikitpun tidak salah” sahut Thio-kan membenarkan.
Dia segera mengambil keluar rangsum yang dibawa kemudian dibagi-bagikan kepada
semua orang.
Diantara beberapa orang yang melakukan perjalanan siang malam terus menerus ini
kecuali Gak Siauw-cha yang tenaga dalamnya sudah mencapai pada taraf kesempurnaan
sehingga tidak terasa begitu lelah. Thio-kan serta Hoo-kun kini merasa betul-betul amat
capai dan membutuhkan istirahat yang cukup.
Sekalipun walaupun selama ini Siauw Ling setengah digendong oleh Gak Siauw-cha
tetapi hawa dingin laksana tusukan pedang membuat badannya jadi hampir kaku
dibuatnya.
Terhadap diri Siauw Ling jelas kelihatan Gak Siauw-cha menaruh rasa yang luar biasa
setelah berhenti berjalan dengan cepat dia memerintahkan diri Siauw Ling untuk
menjalankan semedinya bahkan tidak sayang-sayangnya menyalurkan hawa murninya
sendiri untuk membantu dia melancarkan jalannya aliran darah badannya.
Suara suitan panjang yang berkumandang diseluruh pegunungan semakin lama
semakin menjauh jelas pihak musuh sudah memutar kejalan yang lain.
Siauw Ling yang memperoleh bantuan tenaga murni dari Gak Siauw-cha , aliran darah
dibadannya kini sudah lancar kembali.

Tidak selang seberapa lama badannya yang semula kaki kini terasa menjadi hangat
kembali dia segera menarik napas panjang-panjang.
“Cici! Apakah Cing Kong Ci Yau itu benar-benar ada dibadanmu?” tanyanya mendadak.
Gak Siauw-cha jadi melengak, tapi sebentar dia sudah gelengkan kepalanya.
“Tidak!” sahutnya sambutnya tertawa. “Kau masih merasa kedinginan?”
“Sekarang sudah tidak merasa dingin lagi!” seru Siauw Ling sembari mengerakgerakkan
tangannya. “Heeei, selama puluhan tahun ini banyak sekali jagoan Bulim yang
datang mencari anak kunci Cing Kong Ci Yau itu, karena di atas kunci Cing Kong Ci Yau ini
sudah tersimpan satu rahasia yang maha besar.”
“Cici, dapatkah kau menceritakan kisah ini??” tanya Siauw Ling tertarik.
Dengan perlahan Gak Siauw-cha menghela napas panjang kemudian mengangguk.
“Ini bukan cerita, tetapi merupakan satu kejadian yang betul-betul telah terjadi,”
ujarnya dengan perlahan. “Banyak sekali kaum jago yang sudah terseret di dalam kancah
pergaulan yang maha dahsyat ini, bahkan sampai Siauw Lim, Butong, Go bie serta Hoa
san empat partai besarpun ikut terseret di dalam peristiwa ini.”
Dengan perlahan dia angkat kepalanya memandang ke atas puncak gunung di tempat
kejauhan, lalu dengan perlahan sambungnya, “Tahun berapa kejadian ini berlangsung aku
sudah agak lupa, tapi kira-kira pada empat puluh tahun yang lalu! waktu itu adalah saatsaat
santarnya jago-jago berbakat alam pada bermunculan dan sering sekali terjadi
perebutan nama di dalam dunia kangouw sampai akhirnya muncullah sepuluh orang aneh
yang memiliki kepandaian silat dahsyat ini ada seorang bukan saja memiliki kepandaian
silat yang sempurna bahkan mengerti pula ilmu bangunan.”
“Dikarenakan bakat kesepuluh orang aneh ini amat bagus memiliki kepandaian silat
yang berbeda pula bahkan semuanya sudah mencapai pada taraf kesempurnaan, dengan
sendirinya tidak luput pula dari perebutan nama diantara mereka sendiri.”
“Karena persoalan itulah maka mereka lantas menetapkan setiap tiga tahun sekali
mengadakan pertandingan untuk menentukan siapa menang siapa kalah berturut-turut
delapan belas tahun berlalu dengan seluruhnya mengadakan enam kali pertempuran tetapi
tidak berhasil juga untuk menemukan siapa yang lebih jagoan.”
Siauw Ling yang sedang mendengar kisahnya sampai ramai-ramai mendadak melihat
Gak Siauw-cha menutup mulutnya kembali dalam hati jadi cemas, Gak Siauw-cha tertawa
sedih, sambungnya kemudian, “Mereka yang sudah mengalami pertandingan selama
delapan belas tahun tanpa memperoleh hasil dalam hati masing-masing segera
mengetahui kalau kepandaian silat mereka adalah imbang.”
Mendadak dia menutup mulutnya dan pasang telinga memperhatikan sesuatu, sebentar
kemudian dia sudah meloncat bangun.
“Ada orang datang” serunya cepat-cepat.

Baru saja dia selesai berbicara mendadak terdengarlah suara gonggongan anjing yang
amat santar berkumandang datang disusul munculnya dua ekor anjing hitam yang tinggi
badannya melebihi manusia.
Dengan gesitnya Gak Siauw-cha melepaskan pedang lemas yang dililitkan di
pinggangnya siap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Kedua ekor anjing hitam itu sewaktu berada beberapa kali kaki dari antara beberapa
orang itu mendadak menghentikan langkahnya disusul munculnya suara tertawa terbahakbahak
dari belakang sang anjing hitam tersebut.
Seorang lelaki berwajah bulat, pendek dan gemuk dengan pakaian berwarna hijau
munculkan dirinya disana, orang itu bukan lain adalah Loo toa dari Tiong Cho Jie Ku, si
Siepoa emas Sang Pat adanya.
Melihat munculnya orang itu alis yang lentik dari Gak Siauw-cha segera dikerutkan
rapat-rapat, belum sempat dia mengucapkan sesuatu Sang Pat itu manusia cebol sudah
keburu merangkap tangannya memberi hormat.
“Haa, haa, aku sedang mencari-cari diri nona tidak kusangka nona sudah ada disini!”
serunya melucu.
Thio-kan serta Hoo-kun yang melihat munculnya Sang Pat diam-diam merasa gusar
pula mencabut keluar goloknya mereka pencarkan diri siap-siap turun tangan.
“Buat apa kau datang kemari mencari diriku??” tanya Gak Siauw-cha dengan dingin.
Sekali lagi si sie emas Sang Pat tertawa terbahak-bahak.
“Kami sebagai pedagang sudah tentu hendak membicarakan soal dagangan dengan
nona,” sahutnya sambil tertawa haha hihi.
“Maksud baikmu aku terima saja dihati. Aku lihat lebih baik perdagangan ini tidak usah
dibicarakan lagi.”
“Cayhe selamanya tidak pernah melepaskan barang dagangan yang sudah aku penuhi,”
ujar Sang Pat lagi sambil tertawa. “Jadi…”
“Bagaimana?” seru Gak Siauw-cha dengan wajah yang berubah hebat, “Kau ingin turun
tangan menggunakan kekerasan?”
“Oo, tidak, tidak!” sahut Sang Pat dengan gugup sembari berulang kali goyangkan
tangannya, “Orang yang berdagang selamanya mengutamakan kepercayaan, nama baik
yang sudah kami pupuk selama puluhan tahun lamanya bagaimana berani cayhe
hancurkan di dalam sekejap? Bilamana kami menggunakan cara-cara kekerasan bukankah
sama saja dengan merusak nama baik dari Tiong Cho Siang-ku??”
“Jikalau demikian adanya silahkan kau orang berlalu saja. Aku tidak akan
membicarakan soal dagangan itu lagi.”
Si Siepoa emas Sang Pat lantas mendehem beberapa kali.

“Cayhe cuma mau sampaikan dua tiga patah kata saja,” ujarnya lagi. “Menurut apa
yang cayhe ketahui, kecuali perkumpulan Sin Hong Pang para jago-jago dari daerah
sekitar Kang Lam Siauw Ling pay, Bu-tong-pay sudah kirim jago-jagonya datang kemari.
Jika ditinjau dari keadaan ini orang-orang yang datang bukannya semakin berkurang
malah sebaliknya bertambah. Uang pokok daganganku inipun semakin lama semakin besar
bilamana nona tidak mau menerima dagangan ini mungkin lain kali akan merasa
menyesal.”
“Sayang aku tidak mau menerima dagangan itu,” potong Gak Siauw-cha sambil tertawa
dingin.
Sang Pat segera tertawa terbahak-bahak.
“Kami orang-orang dari kaum pedagang lamanya tidak memaksa orang untuk
melakukan jual belinya, kalau begitu cayhe mohon diri dulu.”
Segera dia bertepuk tangan memberi tanda buat kedua ekor anjing hitamnya diantara
suara gonggongan yang keras dia segera melayang pergi mengikuti dari belakang kedua
ekor anjing hitamnya. Hanya di dalam sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak
berbekas.
Gak Siauw-cha memandang hingga bayangan tubuh dari si Siepoa emas dari
pandangan, setelah itu baru gumamnya seorang diri, “Tiong Cho Siauw Jie memiliki
sepasang anjing yang pandai mencari jejak kelihatannya untuk melepaskan diri dari
pengejaran mereka bukanlah satu pekerjaan yang mudah.”
“Nona tidak usah kuatir walaupun sifat Tiong Cho Siang-ku amat ku koay asalkan nona
tidak menerima dagangannya mereka berdua tidak akan menggunakan kekerasan….”
hibur Thio-kan dengan perlahan.
“Jika ditinjau dari keadaannya jelas mereka mudah mengandung maksud pasti
memperoleh benda itu sekalipun mereka tidak akan menggunakan cara kekerasan tetapi
dengan menggunakan sepasang anjingnya yang dapat mencari jejak kita mereka bisa
menunjukkan tempat kita kepada pihak musuh agar orang lain turun tangan mendesak
kita di dalam keadaan terdesak dia menginginkan agar kita mau terima jual beli yang dia
tawarkan.”
“Perkataan ini sedikitpun tidak salah…” Sahut Thio-kan tidak terasa, karena tidak
memperoleh kata-kata untuk menghibur terpaksa dia menutup mulutnya kembali.
Dengan perlahan Siauw Ling berjalan keluar dari balik batu cadas itu.
“Cici!” serunya. “Apakah orang-orang yang terus menerus mengejar kita inipun punya
maksud untuk merebut anak kunci Cing Kong Ci Yau itu?”
“Bocah cilik kau tahu apa. Jangan banyak ikut campur di dalam urusan ini,” jawab Gak
Siauw-cha dengan gusar.
Siauw Ling yang melihat dia menjawab dengan nada gusar tidak terasa lagi sudah
dibuat tertegun.
“Cici, kau jangan marah lain kali aku tidak akan tanya lagi,” ujarnya dengan cepat.

Dengan perlahan Gak Siauw-cha menoleh memandang ke arahnya, terlihatlah
wajahnya yang halus menarik itu sudah membengkak tertiup angin dingin. Walaupun air
muka mulai mengucur keluar dari matanya tapi senyuman tetap menghiasi bibirnya tak
kuasa lagi rasa sayangnya muncul kembali dihatinya.
Dengan perlahan dia menarik tangan Siauw Ling untuk didekatkan dengan badannya
sendiri, lalu ujarnya dengan halus, “Adik Ling hati cicimu saat ini lagi kusut.
Perkataankupun rada kasar, harap kau jangan memikirkan dihati.”
“Aku tahu, lain kali aku tidak akan banyak bicara lagi.”
Sekali lagi Gak Siauw-cha menghela napas panjang.
“Dimanakah kunci Cing Kong Ci Yau itu pada saat ini, encimu pun tidak tahu,” katanya.
Agaknya Siauw Ling mau menanyakan sesuatu, tetapi baru saja bibirnya sedikit
bergerak dia sudah membatalkan kembali maksudnya.
Gak Siauw-cha bisa merasa apa yang hendak dia tanyakan, ia lantas tersenyum.
“Ada kemungkinan memang berada dibadan ibuku, tetapi encimu masih tidak begitu
jelas” tambahnya kemudian.
“Eeeehmmm… orang-orang itu sungguh jahat sekali, tanpa bertanya lebih jelas lagi
mereka sudah menuduh anak kunci Cing Kong Ci Yau itu cuma ada di tangan cici.”
Gak Siauw-cha cuma tersenyum tidak memberi komentar apa-apa.
“Mari kita berangkat?” ujarnya kemudian.
Dengan langkah yang lebar dia segera melanjutkan perjalanan sembari menggandeng
tangan Siauw Ling.
Saat ini dia tahu untuk menghindarkan diri dari pengamatan pihak musuh bukanlah
suatu pekerjaan yang gampang dari pada harus bersembunyi terus menerus lebih baik
melanjutkan perjalanan dengan busungkan dada.
Beberapa ekor burung merpati kembali menyangkar di atas kepala mereka kemudian
terbang menjauh.
Thio-kan serta Hoo-kun dengan gugup dongakkan kepalanya sambil menuding-nuding
tetapi Gak Siauw-cha pura-pura tidak melihat, dengan tangannya dia melanjutkan
perjalanannya ke depan.
Setelah melewati dua buah puncak gunung, terlihatlah di tengah jalan gunung tiba-tiba
muncul kembali tiga orang lelaki berpakaian singsat dengan mencekal senjata tajam
berdiri sejajar menghalangi perjalanan mereka.
Gak Siauw-cha pura-pura tidak melihat, setelah melepas tangan Siauw Ling dia berjalan
menyambut mereka.

“Menyingkir!” Bentaknya dengan dingin.
Ketiga orang lelaki berpakaian singsat yang melihat dia orang berjalan dengan begitu
tenang tanpa memandang sekejappun ke arah mereka, bahkan mendekati mereka tanpa
mencabut keluar senjata tajamnya dalam hati diam-diam merasa amat kagum sekali.
“Sungguh besar nyali bocah perempuan ini,” pikirnya dalam hati mereka.
Begitu mendengar suara bentakan yang amat nyaring itu tanpa terasa lagi mereka
sudah pada menyingkir kesamping.
Tetapi sebentar saja mereka sudah sadar kembali, tiga bilah golok bersama-sama
dipalangkan ke depan menghalangi perjalanan dari Gak Siauw-cha.
Gak Siauw-cha yang lagi jengkel nafsu membunuh sudah meliputi dihatinya, sepasang
tangannya segera diayunkan ke depan menyambitkan dua genggam jarum emas ke arah
mereka.
Ketiga lelaki itu sama sekali tidak menyangka kalau Gak Siauw-cha turun tangan secara
begitu cepat diantara berkelebatnya sinar keemas-emasan masing-masing orang sudah
kena terhajar beberapa batang jarum emas itu.
Gak Siauw-cha tidak berhenti sampai disitu saja, bagaikan angin cepatnya kembali dia
melancarkan terdengar kilat menotok jalan darah ketiga orang itu sehingga senjata tajam
yang ada ditangannya terpental lepas jatuh kesamping jalan.
“Adik Ling,” ujarnya kemudian sambil menoleh ke belakang. “Cepat kemari kita harus
cepat-cepat melakukan perjalanan!”
Siauw Ling yang melihat encinya di dalam sekejap mata berhasil merubuhkan tiga
orang musuh dalam hati benar-benar merasa teramat kagum.
“Heeei… entah sampai kapan aku baru berhasil memiliki kepandaian silat seperti apa
yang dimiliki enci Gak sekarang ini?” pikirnya.
Sang surya sudah lenyap dibalik gunung malampun mulai menjelang datang.
Siauw Ling di dalam gandengan Gak Siauw-cha melakukan perjalanan dengan amat
cepatnya melalui jalan raya yang telah ditutupi oleh salju.
Entah beberapa lama mereka berjalan, sang rembulanpun sudah menerangi seluruh
jagat dari tengah awang-awang.
Di tengah tiupan angin malam yang dingin baik Thio-kan maupun Hoo-kun sembari
berlari tiada hentinya menyeka keringat yang membasahi wajahnya.
Setelah mengitari sebuah kaki gunung, pemandangan yang ditemuipun sudah berubah.
Di tengah suara mengalirnya air selokan dihadapan mereka terbentanglah sebuah
lembah yang amat luas dengan pohon Siong tumbuh sejajar di samping jalan, hawa dingin
mulai mengurang bahkan membawa rasa hangat yang samar-samar itu dengan
panjangnya.

Mendadak… dari balik sebuah pohon Siong yang tinggi besar berkumandang keluar
suara pujian kepada Buddha yang amat nyaring disusul munculnya seorang hweesio
berjubah berwarna keabu-abuan. Pada tangan kanannya mencekal sebuah toya sedang
pada tangan kirinya disilangkan ke depan dada.
“Li sicu yang baru datang apakah benar Gak Im Kauw?” tanyanya sembari
membungkukkan badannya menjura.
“Loo suhu ada urusan apa? Gak Im Kauw adalah sebutan ibuku!” jawab Gak Siauw-cha.
Si hweesio gede itu lantas tersenyum.
” Pinceng jarang sekali berkecimpung di dalam dunia kangouw sehingga tidak kenal
dengan nona, cara nona suka memaafkan kesalahan dari pinceng itu,” katanya.
“Tiong Cho Siang-ku merupakan jagoan yang punya nama besar di dalam Bulim” Pikir
Gak Siauw-cha diam-diam. “Mereka tidak akan menipu diriku munculnya hweesio ini
secara tiba-tiba tentunya disebabkan oleh karena kunci Cing Kong Ci Yau itu pula.”
Segera ujarnya, “cuma urusan kecil tidak perlu diingat-ingat di tengah malam buta
begini toa suhu menghalangi perjalanan kami entah punya maksud apa?
“Omitohud!” Seru hweesio itu memuji keagungan Buddha. “Pinceng adalah Ci Kuang
dari kuil Siauw Lim si di atas gunung Siong tan kali ini sengaja datang untuk bertemu
muka dengan ibumu.”
“Ibuku sudah menuju kealam baka bilamana Toa suhu ada urusan sampaikan saja
padaku.”
“Omitohud! kedatangan pinceng sungguh tidak mujur!” seru Ci Kuang Thaysu perlahan.
Mendadak dia dongakkan kepalanya memandang sekejap ke arah diri Gak Siauw-cha,
lantas tambahnya, “Soal anak kunci Cing Kong Ci Yau yang disimpan ibumu semasa
hidupnya tentu li sicu mengetahunya bukan??”
“Tidak tahu!”
Ci Kuang Thaysu jadi melengak.
“Anak kunci Cing Kong Ci Yau itu ada sangkut pautnya yang amat besar sekali dengan
kuil kami bilamana li sicu sengaja menyimpannya pinceng rasa hal itu tidak ada
kegunaannya,” katanya.
“Nama kuil Siauw Lim si sudah amat terkenal dan dihormati oleh semua jago Bulim,
apakah Toa suhu mau mengandalkan akan hal itu untuk memaksa diriku?” Tanya Gak
Siauw-cha jengkel.
Ci Kuang Thaysu yang disemprot tajam seketika itu juga dibuat bungkam diam-diam
pikirnya dihati, “Perkataan dari bocah perempuan ini sedikitpun tidak salah, di dalam kuil
Siauw Lim si aku termasuk di dalam salah satu dari delapan jago pelindung ruangan “Tat
Mo” bagaimana aku boleh bisa berkelahi dengan seorang bocah cilik seperti dia? Apalagi

anak kunci Cing Kong Ci Yau itupun belum tentu ada ditangannya bilamana aku memaksa
juga bukankah itu amat berdosa?”
Karena berpikir akan hal ini, lama sekali dia termenung tidak bisa mengucapkan katakata.
Semasa ibunya msih hidup Gak Siauw-cha sering sekali mendengar persoalan yang
menyangkut dunia kangouw kalau bicara tentang Siauw Lim pay ini diapun mengetahui
sedikit-sedikit.
Dia tahu sekalipun selama dua ratus tahun ini dari pihak Siauw Lim pay berkali-kali
mengalami kemunduran sehingga namanya hampir-hampir merosot tetapi pada masa
mendekati ini jago-jagonya mulai bermunculan kembali. Pengaruh serta kedudukan yang
semula mulai lenyap itupun sekarang mulai berdiri kembali. Golongan ini bukankah satu
partai yang mudah diganggu.
Karena hal itulah selama ini Gak Siauw-cha selalu saja berusaha untuk menghindarkan
diri dari bentrokan dengan hweesio Siauw Lim pay.
Lewat beberapa saat kemudian Cing Thaysu baru berkata lagi.
“Dengan usia pula loolap yang sudah lanjut bilamana harus menggunakan ilmu silat
untuk paksa kau menyerahkan anak kunci Cing Kong Ci Yau itu, ini memang rada
keterlaluan, tetapi anak kunci Cing Kong Ci Yau itu merupakan barang yang dicari oleh
partai kami apalagi kali ini pinceng datang dengan membawa perintah khusus bilamana
hanya dikarenakan seberapa patah kata dari li sicu ini saja pinceng harus mundur,
bagaimana nantinya pinceng harus bertanggung jawab dihadapan Ciangbunjien.”
“Lalu sekarang kau mau apa??” tantang Gak Siauw-cha dengan hati mendongkol.
“Peristiwa matinya ibumu belum pernah tersiar di dalam Bulim, pinceng cuma ingin
melihat sebentar jenazah dari ibumu…”
“Apa kau kira aku sengaja mengharapkan ibuku cepat mati?” sambung Gak Siauw-cha
semakin mendongkol.
“Sekalipun ibumu benar-benar sudah mati, pinceng harap nona suka menghantar diriku
untuk melihatnya sebentar.”
“Jenazah ibuku sudah dikubur apalagi antara lelaki dan perempuan ada batasnya maaf
aku orang tidak dapat menerima permintaanmu itu.”
Dengan perlahan Ci Kuang Thaysu menghela napas panjang.
“Peraturan dari kuil Siauw Lim si kami amat ketat, sekalipun perkataan yang li sicu
ucapkan merupakan kata-kata yang beralasan tetapi pinceng tidak berani mengambil
keputusan sendiri…” katanya.
“Lalu kau mau apa?” sambung Gak Siauw-cha dengan cepat.
“Harap li sicu suka mengikuti pinceng pergi sebentar ke gunung Siong san.”

“Bilamana aku tidak mau??”
Dengan perlahan Ci Kuang Thaysu mundur dua langkah ke belakang kemudian
melintangkan toyanya di depan dada.
“Terpaksa pinceng harus menjajal kepandaian silat yang dimiliki li sicu, bilamana li sicu
berhasil menangkan permainan toya dari pinceng, maka aku segera akan kembali kekuil
untuk menerima hukuman.”
Gak Siauw-cha yang melihat keadaan tidak bisa diajak damai diapun tidak ingin
berdiam lama-lama lagi, pedang lemasnya segera digetarkan ke depan.
“Toa suhu merupakan seorang pendeta beribadat tinggi perkataan yang sudah
diucapkan jangan dimungkiri lagi loo!” ujarnya.
“Orang beribadat selamanya tidak pernah membohong. Bilamana li sicu benar-benar
bisa menangkan permainan toya dari pinceng ini, pinceng pasti tidak akan mengganggu
dirimu lagi.”
“Kalau begitu aku terima perintah saja, toa suhu silahkan terima serangan.”
Pedangnya dengan menggunakan jurus “To Ping Han Ye” atau mencekal gagang
membabat rembulan menusuk dengan dahsyatnya ke depan.
Dia orang yang kepingin cepat0cepat melanjutkan perjalanan begitu turun tangan
segera menyerang dengan menggunakan jurus-jurus serangan yang paling dahsyat.
Dengan gesitnya Ci Kuang Thaysu menyilangkan toyanya menangkis datangnya
serangan pedang itu, tetapi dia tidak melancarkan serangan balasan.
Gak Siauw-cha tahu dia bermaksud untuk mengalah beberapa jurus kepadanya dalam
hati lantas pikirnya, “Ehmmm… partai Siauw Lim jauh lebih jujur kelihatannya dari pada
jago-jago lainnya di Bulim.”
Pedang ditangannya dengan cepat dibabat ke depan dengan menggunakan jurus-jurus
serangan yang lebih aneh, berturut-turut dia melancarkan tiga serangan sekaligus.
Kembali Ci Kuang Thaysu menggerakkan toyanya menangkis datangnya tiga serangan
berantai itu, diam-diam dalam hati dia merasa terperanjat juga melihat kelihayan dari
musuhnya.
“Kelihatan ilmu pedang dari keluarga Gak bukanlah nama kosong belaka, usia bocah
perempuan ini masih kecil tetapi sudah memperoleh seluruh kepandaian keturunannya,
aku tidak boleh memandang rendah dirinya,” pikirnya.
Toyanya dengan disertai angin serangan yang amat tajam segera balas melancarkan
serangannya ke depan.
Kekuatan tangannya sungguh mengejutkan sekali, toya yang sebesar telur ayam di
dalam permainannya segera membawa serta angin serangan yang menderu-deru.

Sejak dilahirkan Siauw Ling belum pernah melihat permainan toya yang demikian
hebatnya. Dalam hati dia merasa amat terperanjat, dia merasa amat kuatir atas
keselamatan diri Gak Siauw-cha.
Tampak mereka berdua semakin bertempur semakin seru semakin lama semakin
mendebarkan, pedang lemas di tangan Gak Siauw-cha diputar bagaikan angin tetapi
selama ini tidak berhasil juga meloloskan diri dari kurungan bayangan toya dari hweesio
itu.
Siauw Ling yang melihat jalannya pertempuran itu lama kelamaan merasakan matanya
mulai kabur. Dia cuma bisa melihat berputarnya bayangan toya diselingi menyambarnya
sinar keperak-perakan yang menyilaukan mata, untuk membedakan kedua sosok
bayangan itu mana si hweesio mana enci Gak nya dia sudah tidak sanggup lagi.
Sekonyong-konyong… suara bentakan yang amat nyaring bergema memenuhi angkasa.
Siauw Ling yang ada di samping segera merasakan hatinya tergetar amat keras.
“Aduh, celaka!” teriaknya sembari memejamkan mata rapat-rapat.
Di dalam anggapannya Gak Siauw-cha tentu sudah menderita luka di bawah serangan
toya hweesio tua itu.
Terdengar suara yang nyaring dan merdu kembali berkumandang datang.
“Toa suhu terima kasih atas petunjukmu.”
Dengan perlahan Siauw Ling membuka matanya kembali, terlihatlah mereka berdua
masih baik-baik saja berdiri di bawah sorotan sinar rembulan dan kini pertempuran pun
sudah berhenti.
Dalam hati dia mulai merasa ragu-ragu dan bingung, dia tidak tahu siapa yang sudah
kalah.
Ci Kuang Thaysu segera menarik kembali toyanya dan menyingkir kesamping.
“Ilmu pedang dari keluarga Gak sungguh dahsyat sekali. Li sicu silahkan berangkat!”
katanya. Gak Siauw-cha lantas menjura kemudian sambil menggandeng tangannya Siauw
Ling dia melanjutkan kembali perjalanannya dengan langkah lebar.
Thio-kan serta Hoo-kun pun dengan cepat mengikuti dari belakang Gak Siauw-cha
meninggalkan itu tempat dengan terburu-buru.
Perkataan dari Ci Kuang Thaysu ternyata bisa dipercaya, dengan angkernya dia berlari
disana memandang beberapa orang itu berlalu.
Lewat beberapa saat kemudian Siauw Ling tidak bisa menahan sabar lagi, tanyanya
dengan suara yang lirih, “Cici, kau menang?”
“Ehmm… kepandaian silat dari hweesio tua itu sungguh lihay sekali encimu mujur
berhasil menangkan satu jurus darinya.”

“Aku lagi merasa kuatir cici tidak berhasil menangkan dirinya. Siapa tahu cici bisa
menang dengan begitu cepat” kata Siauw Ling sambil tertawa terbahak-bahak.
“walaupun dia sudah menderita kekalahan satu jurus dariku tetapi sama sekali tidak
terluka, bilamana dia tidak mengaku kalah dan meneruskan pertempuran itu, dengan
tenaga dalam yang begitu sempurna darinya lama kelamaan aku bisa menemui kekalahan
juga.”
Soal ilmu silat Siauw Ling tidak beberapa mengerti, karenanya dia cuma mendengarkan
saja tanpa banyak komentar.
Beberapa orang itu kembali melanjutkan perjalanannya keluar dari lembah sempit itu.
Sinar rembulan mulai bergeser ke arah Barat waktupun menunjukkan lewat tengah
malam.
Sembari memandang ke arah sinar rembulan tidak terasa lagi Gak Siauw-cha menghela
napas panjang, diam-diam pikirnya, “Heeei… musuh tangguh yang mengejar datang amat
banyak sekali bilamana aku harus menerjang dan membunuh terus menerus entah harus
sampai kapan baru bisa berhenti.”
Tiba-tiba, suara tertawa tergelak yang amat keras bergema datang memtuskan
lamunannya di bawah tebing mulut lembah itu mendadak muncul tujuh, delapan orang.
Kiranya beberapa orang itu mengeluarkan sedikit suarapun sudah duduk menanti di
bawah remang-remangnya cuaca walaupun Gak Siauw-cha memiliki ketajaman mata yang
melebihi orang tetapi karena kurang berhati-hati maka dia tidak sampai menemukan diri
mereka.
Siauw Ling yang melihat secara tiba-tiba muncul kembali musuh dalam jumlah yang
begitu banyak dalam hati segera berpikir, “Sebenarnya enci Gak bisa melakukan
perjalanan melalui puncak yang berbahaya, tetapi karena membawa aku dia terpaksa
harus melakukan perjalanan melalui tempat ini. Aku tidak boleh menyusahkan dirinya lagi,
biarlah cici Gak meloloskan dirinya terlebih dahulu.”
“Cici, kalian pergilah dulu, jangan urusi aku lagi.”
“Apakah kau merasa sakit???” tanya Gak Siauw-cha dengan sedih.
“Aku sama sekali tidak takut, aku cuma tidak ingin menyusahkan cici lagi.”
“Adik Ling, kau tidak usah banyak pikir yang benar encilah yang sudah menyusahkan
dirimu,” ujar Gak Siauw-cha tertawa.
Tangan kirinya segera menyambar menggandeng diri Siauw Ling sedang tangan
kanannya menggerakkan pedangnya menerjang ke arah musuh-musuhnya.
Thio-kan serta Hoo-kun pun bersama mencabut keluar senjata tajamnya kemudian dari
samping kanan dan samping kiri Gak Siauw-cha bersama-sama menerjang ke depan.
Angin serangan dari Gak Siauw-cha berkelebat bagaikan angin taupan, jurus serangan
yang dilancarkanpun amat panas di dalam sekejap saja dia sudah berhasil melukai dua
orang.

Siauw Ling yang berada di dalam pelikan Gak Siauw-cha. Hidungnya lantas menangkap
bau harum yang amat aneh sekali membuat hati kecilnya berdebar-debar keras, tetapi dia
tidak mau perduli akan hal itu matanya dengan amat tajam memperlihatkan hawa pedang
yang berkelebat di sekeliling tubuhnya diselingi bayangan golok laksana salju.
Di tengah pertempuran yang amat sengit itulah mendadak Gak Siauw-cha membentak
keras. Pedang panjangnya tiba-tiba dibacok ke depan.
Suara jeritan yang mengerikan segera bergema memenuhi angkasa, kembali seorang
musuh terkena tusukannya sehingga rubuh binasa di atas tanah.
Beberapa orang lelaki penghalang jalan yang lain sewaktu melihat Gak Siauw-cha amat
gagah dan ganas dalam hati merasa amat terperanjat, walaupun mereka bermaksud untuk
mengundurkan diri tetapi ketika teringat akan siksaan yang bakal diterima oleh bilamana
membangkang perintah membuat orang-orang tidak berani melaksanakan niatnya
tersebut.
Begitu seorang kawannya rubuh ke atas tanah kembali ada orang lainnya yang maju
menerjang.
Gak Siauw-cha melancarkan serangannya semakin ganas lagi. Pedang lemas
ditangannya seketika itu juga berubah jadi bunga-bunga pedang yang amat banyak.
Dari antara delapan orang pengahalang jalan itu kini sudah ada lima orang yang rubuh
terkena tusukan pedang. Tetapi sisanya tiga orang bukannya jadi jera sebaliknya malah
menyerang semakin ngotot lagi.
Walaupun tiga orang itu melancarkan serangan dengan tanpa memikirkan keselamatan
sendiri tetapi mereka sudah tidak ada tenaga untuk menghalangi Gak Siauw-cha lebih
lama mereka benar-benar terdesak kesamping oleh sampokan bunga-bunga pedang yang
bercampur salju itu.
Gak Siauw-cha yang melihat darah sudah berceceran di atas tanah dan mayat mulai
bergelimpangan agaknya tidak bermaksud membunuh lebih banyak lagi. Pinggangnya
mendadak ditekuk pergelangan tangannya dikebaskan bersamaan waktunya dia
menggunakan jurus ‘Liong Hat It Su’ menerjang dari dalam kalangan.
Thio-kan serta Hoo-kun pun tidak mau membuang waktu dengan percuma, golok serta
senjata Pan Koan Pitnya segera dibabat ke depan dengan dahsyatnya kemudian dengan
mengikuti dari belakang tubuh Gak Siauw-cha menerjang keluar dari kepungan.
Siauw Ling yang berda dalam gendongan Gak Siauw-cha cuma merasakan angin
kencang menderu-deru di samping telinganya, hanya di dalam sekejap saja mereka sudah
mengitari dua buah puncak gunung.
Akhirnya Gak Siauw-cha berhenti juga berlari. Sambil menurunkan Siauw Ling yang ada
di dalam pelukannya dia menghela napas panjang.
“Pertempuran sengit yang bakal terjadi mempengaruhi keselamatan kita selanjutnya,”
ujarnya perlahan. “Adik Ling! kau lahir di tengah keluarga kaya, aku rasa menghadapi
urusan ini tentunya kau merasa terkejut sekali bukan??”

Siauw Ling dengan perlahan mengusap keringat yang membasahi kepalanya, dia
menjawab, “Jikalau dibicarakan pada saat ini hal itu memang rada menakutkan tetapi
sewaktu aku melihat kegagahan dan kelihayan dari ilmu pedang cici, rasa takut yang
mencekam hatiku seketika itu juga lenyap tak berbekas.”
“Bilamana kita berhasil melewati tempat ini dengan selamat aku lihat lebih baik untuk
sementara waktu kita mencari sebuah tempat yang tenang untuk berdiam selama setahun
terlebih dulu,” ujar Gak Siauw-cha sambil tertawa pedih. “Menanti tenaga Khie kang dari
adik Ling sudah mempunyai dasar yang baik, aku mau hantar kau pulang dan berkumpul
kembali dengan orang tuamu.”
“Tidak, aku tidak mau pulang” potong Siauw Ling sembari gelengkan kepalanya
berulang kali.
‘Kau tak suka pulang kerumah??”
“Aku mau ikut cici berkelana keseluruh penjuru dunia, aku mau iktu cici menaiki gunung
serta tebing yang paling tinggi, melihat awan yang melayang diangkasa, melihat
munculnya sang surya dari tengah samudra melihat ganasnya angin taupan di tengah
gurun pasir.”
“Mana mungkin hal ini bisa terjadi kau…”
“Tidak mengapa!” potong Siauw Ling dengan cepat. “Menanti sesudah aku berhasil
meraih ilmu silatku, aku bisa ikut cici pergi kesana kemari waktu itu aku tidak usah minta
cici untuk menggendong aku lagi…”
Serentetan suara suitan yang tinggi melengking kembali berkumandang datang
memusatkan pembicaraan Siauw Ling yang belum habis dibicarakan.
Air muka Gak Siauw-cha segera berubah sangat hebat.
“Adik Ling!” serunya dengan cemas. “Ada orang yang mengejar datang lagi mari aku
gendong kau saja.”
“Tidak bisa… tidak bisa, bilamana enci harus menggendong aku lagi bukankah hal ini
sangat merepotkan diri cici saja!”
Mendadak Gak Siauw-cha melancarkan serangannya menotok jalan darah tidur dari
Siauw Ling kemudian melepaskan handuk untuk mengikat badannya di atas punggung.
Di dalam sekejap saja musuh-musuh tangguh sudah berdatangan. Gak Siauw-cha
lantas mengobat abitkan pedang panjangnya.
“Siapa yang berani menghalangi aku mati!” bentaknya dengan nyaring.
Tanpa banyak cakap lagi dia lantas memimpin terlebih dulu di depan untuk menerjang
ke arah musuh-musuhnya.

Siauw Ling yang perkataannya belum selesai diucapkan mendadak ditotok jalan
darahnya oleh Gak Siauw-cha segera merasakan badannya jadi kaku kemudian jatuh tidak
sadarkan diri.
Menanti dia jadi sadar kembali, dia menemukan dirinya berada di tengah sebuah
lembah gunung yang amat sunyi. Sang surya kembali sudah condong ke arah sebelah
barat malam haripun mulai menjelang di depan mata.
“Adik Ling, apa kau sudah bangun??” tiba-tiba terdengar suara yang amat halus dari
Gak Siauw-cha berkumandang datang.
Dengan hati yang tergetar amat keras Siauw Ling segera menoleh ke arahnya.
Tampak Gak Siauw-cha bersandar di atas sebuah batu gunung yang besar. Wajahnya
kelihatan amat lelah sekali tubuhnya penuh dengan noda-noda darah sedang rambutnya
awut-awutan tidak karuan. Air mukanya pucat sekali bagaikan mayat, setelah tersenyum
ke arah Siauw Ling dia lantas menutup kembali matanya.
Sewaktu melihat pula ke arah diri Thio-kan tampaklah tubuhnya rebah di atas tanah
dengan berlumuran darah, tangannya sudah terpotong sebelah dan saat ini sudah
memejamkan matanya rapat-rapat sambil mencekal goloknya dengan tangan yang lain
agaknya dia sudah tertidur pulas.
Hoo-kun pun duduk di samping kawannya, dia kelihatan amat lelah dan kini bersandar
di atas batu. Sekalipun belum tertidur benar-benar tetapi sudah lelap sukar membuka
matanya kembali.
Pemandangan yang terbentang dihadapan mata Siauw Ling pada saat ini benar-benar
mengenaskan sekali…
Siauw Ling segera terasa hatinya seperti disayat-sayat. Dia sama sekali tidak mengerti
apa yang terjadi, dia cuma teringat kemarin malam dia masih berbicara dengan Gak
Siauw-cha kemudian kedatangan musuh dia masih ingat dirinya ditotok rubuh, setelah itu
dia sama sekali tidak tahu lagi dia jatuh tidak sadarkan diri.
Ketika menoleh kembali kesamping terlihatlah Gak Siauw-cha sudah tertidur dengan
nyeyaknya.
Kiranya sejak semula Gak Siauw-cha sudah merasa kelelahan sehingga sukar ditahan
tetapi dikarenakan dia masih kuatir akan diri Siauw Ling yang belum sadar juga dari
pulasnya, walaupun jalan darah yang tertotok sudah dibebaskan maka dengan paksakan
diri dia menanti terus, menanti aliran darah Siauw Ling sudah lancar sekali dia membuka
matanya dia lalu tersenyum dan memejamkan matanya untuk tidur.
Lama sekali Siauw Ling duduk termenung di atas tanah setelah itu dengan perlahan dia
baru bangkit berdiri dan berjalan menuju ke arah Thio-kan.
Walaupun saat ini Hoo-kun amat lelah sekali tetapi dikarenakan selalu memikirkan
keselamatan dari Thio-kan membuat dia orang tidak bisa beristirahat dengan nyenyak.
Baru saja Siauw Ling tiba di samping dada Thio-kan mendadak Hoo-kun sudah merasa.

“Siapa???” Bentaknya dengan keras.
Tangan kanannya dengan kecepatan luar biasa melancarkan satu cengkraman ke
depan bersamaan pula dia membuka matanya lebar-lebar.
Walaupun dia bisa melihat orang yang datang adalah Siauw Ling tetapi dikarenakan
serangan yang dilancarkan terlalu cepat untuk ditarik kembali sudah tidak sempat lagi.
Siauw Ling segera kena dicekal tangannya sehingga badannya tidak kuasa lagi jatuh
terjungkal di atas tanah.
Walaupun Hoo-kun tidak sempat menarik kembali serangannya tetapi dia berusaha pula
untuk menolong diri Siauw Ling tangan kirinya dengan cepat disambar ke depan menahan
badan Siauw Ling yang hendak menubruk ke arah batu cadas.
“Oooooh kiranya kongcu, apa kau merasa kaget??” tanyanya dengan menyesal.
Jilid 6
“Aku sangat baik,” jawab Siauw Ling sembari menyeka keringat yang mengucur di atas
kepalanya.
“Heeei…! bilamana kongcu menjadi kaget hamba tentu akan menerima makian dari
nona.”
Siauw Ling lantas menoleh memandang sekejap ke arah diri Thio-kan.
“Paman Thio ini kenapa? Apakah lukanya amat berat?” tanyanya.
“Lengannya kena dibacok hingga putus. Bilamana bukannya nona cepat-cepat memberi
pil mujarab yang dibawa untuk menghentikan darah mungkin dia sudah menemui
ajalnya.”
Sekali lagi Siauw Ling menghela napas panjang.
“Orang yang menderita luka begitu berat harus menderita pula di tengah pegunungan
itu sunyi tanpa memperoleh perawatan yang benar, hal ini sungguh merupakan satu
peristiwa yang mengerikan sekali.”
“Kongcu yang lahir dan dibesarkan di dalam keluarga kaya mana mengerti akan
kehidupan di dalam dunia kangouw?” ujar Hoo-kun sambil menghela napas panjang pula.
“Jangan dikata kehilangan sebuah lengan, sekalipun kehilangan sepasang kaki bilamana
ada waktu tentu melanjutkan perjalanan dengan menggunakan sepasang tangan.”
“Aaah, peristiwa semacam itu sungguh menyedihkan sekali.”
“Kongcu yang tertidur dipunggung nona sudah tentu tidak mengetahui bagaimana
hebatnya pertempuran yang sudah terjadi tadi. Sampai cayhe sendiripun yang sudah
separuh umurku berkelana di Bulim juga baru menemui satu kali pertempuran yang begitu
dahsyatnya,” seru Hoo-kun, mendadak dia pukul kakinya sendiri dan sambungnya,

“Walaupun pertempuran ini amat seru dan bahaya sekali tetapi boleh dikata merupakan
satu pengalaman yang benar-benar berharga. Nona dengan mengandalkan sebilah
pedangnya yang amat tajam berturut-turut menerjang hancur dua puluh delapan buah
penghalang dan melukai empat puluh orang musuh dia orang yang menggendong kongcu
dan bertempur pula terus menerus tanpa berhenti sungguh merupakan seorang jagoan
yang memiliki daya tahan yang benar-benar luar biasa.”
“Heeei… semuanya adalah disebabkan aku yang sudah melelahkan diri cici,” ujar Siauw
Ling dengan nada kesal.
Hoo-kun yang sudah bercerita sampai titik kegembiraan segera melanjutkan kembali
kisahnya.
“Untung sekali jalan darah kongcu sudah ditotok oleh nona, bilamana kau harus melihat
sendiri pertempuran berdarah yang berlangsung selama satu malaman itu mungkin saking
ketakutannya kau akan terkencing-kencing.”
“Kalian berdua yang membantu enci Gak menghadapi musuh dan berhasil membantu
dia meloloskan diri dari bahaya boleh dikata jasamu amat besar sekali,” sambung Siauw
Ling segera.
“Sungguh menyesal sekali, bukan saja kami tidak berhasil membantu nona bahkan
malah merepotkan dirinya saja yang harus pecahkan perhatian untuk membantu kami
sewaktu ibu majikan kami masih hidup dengan kemashuran dari ilmu pedang keluarga Gak
kami jarang sekali ada orang dari kalangan Hek to maupun dari kalangan Pek to yang
mengganggu kami di bawah lindungan nama besar dari ibu majikan belum pernah kami
menemui pertempuran tang begitu mengejutkannya.”
“Kongcu, terus terang saja pertempuran darah yang berlangsung tadi itu merupakan
pengalaman pertama bagiku sejak terjunkan diri ke dalam Bulim. Nona Gak dengan
mencekal pedang dan menerjang musuh selama semalaman bahkan berhasil menghajar
tubuh pula berpuluh-puluh orang jago bilamana berita ini lain hari tersiar di dalam Bulim
nama nona tentu akan segera membumbung tinggi.”
Dia menoleh ke arah Gak Siauw-cha yang tertidur nyenyak di samping batu, kemudian
dengan sedihnya menghela napas panjang.
“Heeei, karena pertempuran yang amat sengit inilah nona Gak jadi kecapaian, sekalipun
seorang yang terbuat dari bajapun tidak mungkin bisa menahan penderitaan semacam
ini.”
Mendadak Siauw Ling mengerutkan alisnya rapat-rapat, lalu serunya, “Enci Gak sudah
kehilangan ibunya yang tercinta. Kenapa orang-orang itu masih terus-terusan mengejar
dia. Hmmm! Aku harus cepat-cepat berlatih ilmu silat sehingga bisa membantu enci Gak
untuk mengusir musuh-musuhnya.”
Selesai berkata dia segera duduk bersila dan pejamkan matanya untuk mulai mengatur
pernapasan.
Melihat sikap serta tindak tanduk yang aneh dari Siauw Ling itu tidak terasa Hoo-kun
tersenyum geli.

“Kongcu!” ujarnya. “Ilmu silat bukannya bisa berhasil dilatih hanya di dalam satu hari
atau satu bulan saja, buta apa kau begitu cemas??”
“Hoa Toa siok! Apakah kita sudah lolos dari bahaya maut??” tanya Siauw Ling secara
tiba-tiba sambil membuka matanya lebar-lebar.
“Kongcu!” seru Hoo-kun dengan cemas. “Kau tidak boleh panggil aku dengan sebutan
itu. Lain kali bilamana ada urusan panggil saja aku dengan sebutan Hoo-kun…”
Dia berhenti sebentar untuk tukar napas lalu baru sambungnya, “Orang-orang yang
menghalangi perjalanan kita kali ini boleh dikata termasuk juga para jago dari kalangan
Hak to serta kalangan Pek to, baik dari kalangan lurus maupun dari kalangan jahat pada
berkumpul jadi satu untuk bekerja sama. Aku lihay walaupun kita menghindarkan diri ke
ujung langitpun tidak bakal bisa lolos dari kejaran mereka.”
“Saat ini kekuatan dari cici Gak belum pulih, Thio-kan pun baru saja menderita luka.
Bilamana ada orang lagi yang datang mencari gara-gara entah siapa yang bisa menahan
serangan mereka??” kata Siauw Ling tiba-tiba.
“Jika dilihat dari sikap nona agaknya dia sudah punya perhitungan dalam hatinya. Saat
ini terpaksa kita harus menunggu setelah kesehatan nona pulih kembali dan luka Thio-kan
sembuh baru mengambil perhitungan.”
Baru saja dia selesai bicara mendadak terdengar suara tertawa yang amat dingin sekali
berkumandang datang dari ujung tebing muncullah dua orang lelaki berbaju hitam yang
berjalan mendatang dengan langkah yang perlahan, wajah mereka dingin kaku dan
menyeramkan sekali, perawakan badan tinggi kurus seperti gala.
Hoo-kun jadi amat terperanjat, dengan cepat dia menyambar senjata Koan Pitnya dan
melintangkan badannya di tengah jalan.
“Berhenti!” bentaknya keras.
Suara bentakan ini amat nyaring sekali, sehingga menggetarkan seluruh lembah
tersebut.
Walaupun kepandaian silat yang dimiliki Hoo-kun tidak tinggi tetapi dia orang yang
sudah lama berkelana di dalam Bulim membuat pengalamannya amat luas, sewaktu
dilihatnya orang yang datang itu sikapnya amat tenang dan langkahnya mantap, dia
segera mengerti kalau kepandaian silat yang dimiliki dua orang itu amat tinggi, karena itu
mengerti dirinya bukan tandingannya.
Maka dia ingin menggunakan suara bentakan suara yang keras itu untuk mengejutkan
Gak Siauw-cha. Kedua orang berbaju hitam itu saling berpandangan sekejap kemudian
bersama-sama menghentikan langkahnya dan memandang ke arah Hoo-kun dengan
dingin.
Ketika Hoo-kun menoleh ke belakang dan melihat ke arah Gak Siauw-cha masih tertidur
dengan amat nyenyaknya sedangkan Siauw Ling saat ini sudah bangkit berdiri dan
berjalan mendatangi, tidak terasa dalam hati merasa amat cemas sekali.

Tetapi pada saat dan keadaan seperti ini dia tidak dapat memperlihatkan rasa cemas
dan kuatirnya dengan cepat dia membentangkan sepasang Pitnya siap-siap menghadapi
serangan musuh.
“Saudara berdua berasal dari golongan mana!” teriaknya kembali.
“Sin Hong Pang!” sahut orang berbaju hitam yang ada disebelah kiri dengan suara yang
amat dingin.
Dari nada suaranya jelas kedengaran amat kaku dan tawar, sama sekali tidak mirip
suara manusia.
Hoo-kun merasakan hatinya sedikit bergidik cepat-cepat tanya lagi, “Saudara-saudara
dari Sin Hong Pang, aku sih sering mendengar orang membicarakannya tetapi entah
siapakah nama besar dari kalian berdua?”
Dia yang merasa urusan terlalu tegang bukanlah bisa dihadapi dengan menggunakan
tenaga sendiri terpaksa berusaha keras untuk mengulur waktu lebih lama lagi dia
mengharapkan Gak Siauw-cha bisa sadar kembali dari pulasnya karena itu setiap
perkataan yang diucapkan amat nyaring sekali.
Walaupun air muka kedua orang berbaju hitam itu amat kaku dingin dan menyeramkan
tetapi agaknya tidak sering berkelana di dalam Bulim terhadap maksud hati dari Hoo-kun
ini ternyata mereka sama sekali tidak merasa.
Terdengar si lelaki berbaju hitam yang ada di samping kiri menyahut dengan suara
yang amat dingin.
“Dua panglima pembuka jalan dari Sin Hong Pang, Tat Pan atau sipanglima Cuo Hwee.”
“Cayhe adalah Yen Hun atau sisukma sial Hong Heng.”
“Ooooh kalian berdua sungguh mirip sekali dengan sebutan!” seru Hoo-kun.
“Kami datang kemari untuk melaksanakan tugas tidak ada waktu yang luang bagi untuk
banyak cakap. ayo minggir!” Bentak Cuo Hwee dingin.
Tangan kirinya segera diayun mendatar menghajar badannya.
Hoo-kun yang melihat wajah kedua orang ini amat dingin dan menyeramkan tetapi
sama sekali tidak mengerti akan siasat yang digunakan sebenarnya ingin berbicara lagi
beberapa patah kata dengan dirinya untuk mengulur waktu lebih lama siapa sangka secara
tiba-tiba pihak musuh sudah turun tangan menghajar badannya.
“Di dalam keadaan yang tergesa-gesa senjata Pan Kuan Pitnya segera diputar menotok
jalan darah dipergelangan tangan Cuo Hwee.
Siapa sangka gerakan tangan dari sipanglima baja Cuo Hwee amat aneh dan cepat
sekali gesitnya dia menarik kembali telapak kaki kirinya disusul telapak kanannya didorong
ke depan menghajar pergelangan tangan kanan dari Hoo-kun, seketika itu juga senjata
Pan Koan Pit yang ada ditangannya terpental jatuh menubruk batu cadas.

Hoo-kun yang lagi lelah sejak semula sudah mengerti kalau dirinya bukanlah tandingan
dari pihak musuh, tetapi dia sama sekali tidak menyangka hanya di dalam sekejap saja
senjata Pan Koan Pit yang ada di tangan kanannya sudah terpental dalam hati dia terasa
amat terperanjat sekali.
Senjata Pan Koan Pit yang ada di tangan kiranya dengan menggunakan jurus “Hua Hun
Im Yang atau menggores atau memisahkan Im dan Yang” dengan nekadnya segera
ditusuk ke depan, sedangkan mulutnya berteriak keras.
“Nona cepat bangun…”
Sisukma sial Hong Heng yang berdiri disebelah mendadak miringkan badannya dan
berkelebat dari samping badan Hoo-kun menerjang ke arah diri Gak Siauw-cha.
Siauw Ling yang melihat kejadian itu dalam hati merasa amat cemas sekali.
“Jangan lukai enci Gak-ku!” bentaknya dengan keras, sedang tangannya segera
mencakar tangannya Hong Heng.
Hong Heng tertawa dingin, tangannya bagaikan sambaran kilat cepatnya dibalik ke
atas.
Siauw Ling segera merasakan pergelangan tangannya amat sakit sekali seperti dipukul
dengan tongkat besi saking sakitnya membuat seluruh tubuh tergetar kemudian terpental
jatuh kesamping.
Gak Siauw-cha dengan tenangnya masih tetap duduk di atas tanah, agaknya dia sama
sekali tidak mendengar adanya suara bentakan serta teriakan keras itu.
Dengan menahan rasa sakit ditangannya Siauw Ling segera bangkit berdiri lagi disertai
suara jeritan yang amat tinggi untuk kedua kalinya dia menubruk ke arah diri Hoo Heng.
Gerakan dari Hoo Heng yang menubruk ke depan dilakukan amat cepat sekali. Siauw
Ling hanya melihat tangan kanan dari Hoo Heng yang menyambar ke depan sudah hampir
mendekati batok kepala dari Gak Siauw-cha tetapi saat itu sang nona masih belum sadar
juga.
Saking cemasnya tidak kuasa lagi dia menjerit dan menangis.
“Oooh… cici…!” teriaknya.
Tetapi belum sempat jari tangan Hong Heng mencapai batok kepalanya mendadak dia
mendengus berat, sedang tubuhnya berturut-turut mundur beberapa depa ke belakang.
Sambil menggerakkan pedangnya mendadak Gak Siauw-cha bangun berdiri diantara
berkelebatnya sinar yang menyilaukan mata dia sudah melancarkan serangan gencar
menggencet musuhnya.
Kiranya sejak tadi dia sudah disadarkan oleh suara bentakan yang keras dari Hoo-kun,
sewaktu dia membuka matanya dan dapat melihat musuh yang sudah ada di depannya
memiliki kepandaian silat yang amat tinggi.

Dengan keadaan badan seperti ini dia merasa dirinya sukar untuk memperoleh
kemenangan karenanya dia pura-pura tidur terus, dia ingin menggunakan kesempatan
sewaktu musuh tidak siap sedia melancarkan serangan bokongan dengan menggunakan
jarum-jarum emas yang secara diam-diam sudah dipersiapkan itu.
Hoo Heng yang diganggu oleh suara bentakan dari Hoo-kun serta Siauw Ling sudah
tentu tidak melihat akan gerak-gerik Gak Siauw-cha yang mengambil keluar senjata
rahasia.
Tenaga dalam Gak Siauw-cha sudah dilatih hingga mencapai taraf kesempurnaan, dia
orang yang sudah beristirahat sebentar semangatnya pada saat iktu sudah pulih sebagian
kini begitu dia melancarkan serangannya maka jurus serangan yang dilancarkanpun
merupakan serangan yang mematikan.
Hoo Heng sama sekali tidak menduga akan hal ini. Apalagi jaraknya cuma beberapa
depa saja dengan dirinya. Diantara berkelebatnya sinar keemas-emasan sepasang lutut,
denagn serta beberapa buah jalan darahnya sudah kena hajar oleh datangnya serangan
jarum emas tersebut.
Kepandaian silat orang ini sungguh luar biasa sekali, walaupun beberapa buah jalan
darahnya sudah terhajar oleh jarum emas tetapi tubuhnya tidak sampai rubuh ke atas
tanah. Setelah menarik hawa murninya panjang-panjang tubuhnya segera meloncat
mundur beberapa depa jauhnya.
Hong Heng yang jalan darahnya terhajar oleh jarum emas dengan sendirinya untuk
menyalurkan tenaga dalamnyapun rasa terganggu, begitu ujung kakinya mencapai
permukaan tanah tubuhnya dengan terhuyung kembali mundur beberapa langkah,
hampir-hampir dia jatuh terjungkang.
Kini melihat sinar pedang Gak Siauw-cha dengan ganasnya menyerang ke arahnya
sehingga sukar untuk dihindari dalam hati merasa amat cemas bercampur gusar.
Ketika dia melihat Siauw Ling yang ada di sampingnya sedang menubruk ke arahnya
dengan cepat lengannya bergerak kesamping dan mencengkram tubuhnya lalu digunakan
sebagai senjata untuk menangkis datangnya serangan pedang dari Gak Siauw-cha.
Melihat kejadian itu Gak Siauw-cha lantas menjerit kaget pergelangan tangannya
dengan cepat ditarik ke belakang membatalkan serangannya.
Sifat kejam dari sisukma sial Hong Heng kembali muncul memenuhi seluruh benaknya
dia segera mengangkat badan Siauw Ling dan siap dibanting ke atas batu cadas yang
amat besar.
“Jangan dibanting!” tiba-tiba berkumandang datang suara seseorang yang membentak
dengan keras.
Di tengah suara bentakan itu tampaklah sesosok bayangan berkelebat datang
mencengkeram sepasang pergelangan tangan dari Hong Heng.
Orang yang baru saja datang ini mempunyai wajah yang bulat, berbadan pendek dan
gemuk perutnya yang besar menonjol keluar dari antara pakaiannya yang berwarna hijau,

orang itu bukan lain adalah Loo toa dari Tiong Cho Siang-ku, si Siepoa emas Sang Pat
adanya.
Lima jari tangan Sang Pat sekalipun dengan amat kencangnya mencengkeram
sepasang pergelangan tangan dari Hong Heng tetapi dia tidak bermaksud merebut Siauw
Ling yang masih ada ditangannya, sebaliknya sambil tertawa terbahak-bahak menoleh ke
arah diri Gak Siauw-cha.
“Haaa… haa… orang hidup kok dimana-mana terus ketemu. Nona Gak bagaimana?
baik-baik bukan! haa… haa… sekali lagi kita bertemu muka…”
Saat ini dengan mengandalakan senjata Pan Koan Pitnya yang tinggal sebuah dengan
sekuat tenaga Hoo-kun melancarkan serangannya menahan diri sipanglima baja Cuo
Hwee.
Tetapi baru saja lewat tiga empat jurus jalan darah “Ci Ti Hiat” dilengan kirinya kembali
kena ditabok oleh jurus Hwee Kuang Huan Cau dari Cuo Hwee sehingga senjata Pit yang
ada di tangan kirinya itupun terpukul lepas. Disusul tubuh Cuo Hwee mendesak satu
langkah ke depan siap menabok jalan darah “Cian Leng” di atas ubun-ubun Hoo-kun.
Hoo-kun yang kekuatannya belum pulih benar kini harus menghadapi musuh tangguh
pula sejak semula tenaganya sudah habis digunakan ditambah lagi pergelangan tangan
serta sikut kirinya berhasil dilukai oleh pihak lawan membuat pukulan dari Cuo Hwee yang
amat cepat ini sukar baginya untuk menghindari lagi.
Mendadak sebuah tendangan berkelebat datang mengejar tiga dari Cuo Hwee.
Datangnya tendangan itu amat cepat dan tidak menimbulkan sedikit suarapun
membuat semua orang merasa amat terkejut.
Cuo Hwee terburu-buru melancarkan satu pukulan dengan menggunakan telapak
kanannya sedang badannya menyingkir kesamping satu langkah, sewaktu dia menoleh ke
belakang tampaklah seorang lelaki dengan perawakan tinggi kurus memakai baju biru dan
topi bulunya menutupi hampir separuh wajahnya sudah berdiri dengan dinginnya kurang
lebih tiga depa dari tempat dimana dia berdiri.
“Siapa kau???” bentaknya sambil tertawa dingin.
Hoo-kun yang belum selang lama pernah bertemu dengan orang itu sudah tentu masih
ingat kalau dia orang bukan lain adalah “Leng Thiat Pit Tu Kiu” salah satu anggota dari
Tiong Cho Siang-ku. Tetapi dia orang bukankah berdiri sebagai musuh dengan pihaknya.
Bagaimana secara tiba-tiba bisa turun tangan memberi pertolongan.
Terdengar dengan suara yang amat dingin Tu Kiu sudah memberikan jawabannya,
“Cayhe adalah seorang pedagang yang suka berterus terang dan tidak pernah merugikan
orang lain bilamana dagangan kami kali ini tidak berhasil juga cayhe berdua segera akan
berlalu dari sini. Urusan selanjutnya boleh kalian lakukan semuanya.”
Suaranya amat dingin dan tawar tetapi nadanya ramah.
Cuo Hwee yang pengalamannya tidak luas tentu sudah tidak kenal dengan Tiong Cho
Siang-ku ini mendengar perkataan tersebut dengan gusarnya dia membentak keras,

telapak tangannya dengan disertai desiran angin pukulan yang amat tajam segera
menyambar ke arah depan.
Terlihatnya hanya sedikit Tu Kiu menggoyangkan pundaknya dia sudah bergeser tiga
empat depa jauhnya.
“Kaum pedagang cuma gemar mencari keuntungan saja, soal berkelahi heee, hee,
cayhe tidak punya minat” sahutnya cepat.
Untuk sesaat lamanya Cuo Hwee tidak mengerti tentang apa yang dimaksud oleh
perkataannya itu dengan gusarnya dia segera membentak, “Buat apa kau banyak omong?”
Telapak tangannya kembali dibabat ke depan dengan amat dahsyatnya.
Sekali lagi Tu Kiu meloncat kesamping untuk menghindarkan diri dari serangan itu.
“Cayhe sudah bilang selamanya aku paling tidak suka berkelahi!” serunya dengan
keras. “Bilamana kami turun tangan maka harus ada keuntungan buat imbalannya.
Bilamana kau mau berkelahi tunggu saja sebentar.”
Walaupun Cuo Hwee jarang sekali berkelana seorang diri di dalam dunia kangouw
sehingga pengalaman yang didapat amat cetek, tetapi dari cara menghindar yang baru
diperhatikan orang itu dia bisa tahu kalau kepandaian silat orang itu tidak lemah
karenanya dia tidak berani berlaku terlalu gegabah lagi diam-diam tenaga murninya mulai
disalurkan untuk siap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Ketika dia menoleh ke belakang tampaklah Hong Heng sedang mengangkat seorang
bocah cilik tetapi sepasang urat nadi pada tangannya sudah dicengkeram oleh seorang
yang gemuk pendek sehingga tidak bisa bergerak dalam hati diam merasa terkejut
bercampur gusar.
Di tengah suara bentakannya yang amat keras tubuhnya segera menubruk ke arahnya.
Tetapi kembali pandangannya jadi kabur Tu Kiu yang semula berdiri kurang lebih satu kaki
dari dirinya mendadak kembali sudah menghalangi perjalanannya Cuo Hwee yang sedang
menerjang ke depan sama sekali tidak menyangka akan kedatangan Tu Kiu yang
mendadak itu, tidak bisa terhindar lagi tubuh mereka berdua sehingga terbentur satu
sama lainnya.
Tu Kiu masih tetap berdiri tidak bergerak sebaliknya tubuh Cuo Hwee terpental mundur
satu langkah ke belakang oleh tubrukan tersebut tidak terasa lagi dalam hati merasa
bergidik.
Dia tahu saat ini sudah menemui musuh tangguh untuk memperoleh kemenangan
agaknya bukanlah satu pekerjaan yang gampang.
Terdengar Tu Kiu tertawa terbahak-bahak dengan amat kerasnya.
“Haaa… haaa… nona Gak” serunya.
“Selamat berjumpa kembali… selamat bertemu bagaimana?? dagangan kita ini mau
dibicarakan kembali atau tidak? Bilamana jadi maka tanggung kedua belah pihak tidak

bakal memperoleh kerugian tetapi bila nona menolak… haaahaaa… kami kaum pedagang
terpaksa cuma bisa menonton keramaian saja dari samping.”
Gak Siauw-cha sembari melintangkan pedangnya diam-diam mengerahkan hawa
murninya siap-siap menghadapi sesuatu lama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun.
Melihat Gak Siauw-cha tidak mengucapkan sepatah katapun Tu Kiu lantas mengerutkan
alisnya rapat-rapat.
“Selama puluhan tahun cayhe melakukan perdagangan walaupun belum bisa dikatakan
selama mencapai sukses tapi selamanya belum pernah menemui orang yang sukar diajak
berdagang seperti nona ini!” serunya kesal.
Sewaktu dilihatnya Gak Siauw-cha bermaksud untuk berbicara dia cepat-cepat
menyambung kembali, “Asalkan cayhe melepaskan sepasang tangannku ini maka nyawa
kecil dari saudara ini akan terbanting mati?”
Sehabis berkata dia mundur satu langkah ke belakang. Agaknya dia bermaksud untuk
melepaskan tangannya.
Gak Siauw-cha tidak bisa menahan sabar lagi dia segera membentak keras, “Kau tolong
dulu nyawa adikku itu setelah itu kita baru membicarakan soal dagangan antara kita!”
teriaknya.
“Haa… haa tidak bisa, tidak bisa,” ujar Sang Pat sembari tertawa terbahak-bahak.
“Bilamana cayhe tidak mencekal baik-baik kesempatan ini jika nanti nona Gak mungkir
bukankah dagangan dari cayhe ini akan menderita kerugian yang amat besar!”
“Heeeei… cepat katakan kau mau membicarakan soal dagangan apa?” seru Gak Siauwcha
kemudian sambil menghela napas panjang dengan sedihnya.
“Haaa… haaa… bagus, bagus sekali! Asalkan nona Gak bersungguh-sungguh untuk
melakukan jual beli ini cayhe tanggung nona pasti tidak akan menemui kerugian.”
“Adikku ini tidak mengerti ilmu silat dia sudah lama sekali dicengkeram orang mungkin
sebentar lagi dia bakal tidak tahan, baiklah aku kabulkan permintaanmu itu, sekarang
cepat tolong dulu nyawa adikku itu!”
“oooouw… jangan keburu! jangan keburu!” ujar Sang Pat lagi sembari tertawa tergelak.
“Sebelum perdagangan ini kita bicarakan baik-baik kalian berdua semuanya adalah
langgananku.”
Mendengar perkataan tersebut Gak Siauw-cha lantas merasakan hatinya bergidik.
“Hmmm! tidak kusangka Tiong Cho Siang-ku yang namanya sudah terkenal diseluruh
Bulim tidak lebih merupakan manusia-manusia rendah…” serunya dengan dingin.
Sang Pat sama sekali tidak menjadi marah akan makian itu dia malah tertawa semakin
keras.

“Orang-orang Bulim ada siapa yang tidak kenal dengan kami Tiong Cho Siang-ku???”
ujarnya. “Selamanya kami cuma kenal akan keuntungan tanpa mengenal orangnya,
asalkan perdagangan kita berhasil maka menggunakan cara yang bagaimanapun pasti
akan kami lakukan.”
Gak Siauw-cha benar-benar terdesak dia tidak dapat berbuat apa-apa lagi terpaksa
dengan sedihnya menghela napas panjang.
“Kau bicaralah, kalian menginginkan apa?” tanyanya kesal.
“Sebetulnya tidak perlu cayhe katakan di dalam hati tentunya nona sudah mengerti,”
sela Tu Kiu dari samping. “Bukankah sebegitu banyaknya jago-jago Bulim pada mencari
nona hanya dikarenakan kunci Cing Kong Ci Yau itu? jika ditinjau dari situasi ini cayhe rasa
kalian tidak mungkin berhasil melindungi anak kunci Cing Kong Ci Yau itu lebih lama lagi.
Heeee… heee… dari pada terjatuh ketangan orang lain lebih baik kita saling tukar menukar
saja.”
“Tetapi aku sama sekali tidak mengetahui dimana anak kunci Cing Kong Ci Yau itu
berada??” Teriak Gak Siauw-cha dengan lemas.
Sepasang biji mata dari Sang Pat berputar-putar sebentar, lalu tertawa tergelak dengan
kerasnya.
“Cayhe sebagai pedagang selamanya tidak pernah mungkir, asalkan nona suka
menerima dagangan ini maka kita akan anggap dagangan ini berhasil.”
“Aku sungguh-sungguh tidak tahu dimana anak kunci Cing Kong Ci Yau itu…” seru Gak
Siauw-cha lagi.
“Tidak mengapa!” timbrung Sang Pat kemudian. “Bilamana anak kunci Cing Kong Ci
Yau itu betul-betul tiada di tangan nona maka kami akan menanggung kerugian ini, cuma
saja… hee… harap nona suka menuliskan secara bukti buat cayhe dengan demikian kami
bisa berbicara dengan ibumu dikemudian hari.”
“Baiklah! Aku terima permintaanmu!” jawab Gak Siauw-cha akhirnya dengan sedih.
“Tu Lao jie!” teriak si Siepoa emas Sang Pat kemudian dengan keras.
“Perdagangan kita dengan nona Gak sudah berhasil.”
Di tengah suara bentakan yang keras mendadak dia menyalurkan tenaga dalamnya ke
arah tangan sedang kaki kanannya bagaikan kilat cepatnya melancarkan satu tendangan
ke arah depan.
Suara dengusan berat segera bergema memenuhi angkasa. Tubuh Hong Heng yang
tinggi kurus itu mendadak melayang keangkasa dan terjatuh kurang lebih tujuh delapan
depa jauhnya.
Siauw Ling yang semula ada di tangan kini sudah berhasil direbut kembali oleh Sang
Pat.

Cuo Hwee yang secara diam sedang mengerahkan tenaga dalamnya untuk menunggu
saat yang baik menerjang ke arah Tu Kiu kini secara mendadak mendengar suara
dengusan berat berkumandang datang dari samping badannya dia cepat-cepat menoleh
kesamping.
Terlihatnlah olehnya Hong Heng sudah menggeletak di atas tanah dengan sepasang
mata yang dipejamkan rapat-rapat agaknya luka yang diderita amat parah sekali.
Tanpa perduli diri Tu Kiu lagi dengan cepat dia meloncat ke depan dan menyambar
badan Hong Heng lalu melarikan diri terbirit-birit dari tempat tersebut.
“Toako,” seru si Leng Bian Thiat Pit Tu Kiu kemudian sembari melirik sekejap ke arah
Cuo Hwee yang lagi melarikan diri terbirit-birit dari situ. ” Perlukah kita tawan kembali
kedua orang bocah?”
“Haaa… haaa… tidak perlu, tidak perlu!” cegah Sang Pat sambil tertawa. “Kita harus
cepat-cepat membicarakan urusan penting dengan nona Gak.”
Tu Kiu lantas berjalan mendatang sedang tangannya dengan amat gesit menyambar
Hoo-kun yang ada di samping, satu pukulan yang ringan dengan amat tepatnya
menghajar jalan darah “Ming Bun Hiat” dipunggungnya.
“Kawan baik-baiklah kau beristirahat” serunya.
Setelah melepaskan kembali dari Hoo-kun dia segera berjalan kesamping badan Sang
Pat.
Hoo-kun yang jalan darah “Ming Bun Hiat” nya kena terhajar satu kali segera
merasakan peredaran darah di dalam badannya menjadi lancar kembali. Semangat yang
mulai loyo kini serentak bangun kembali.
————————http://ecersildejavu.wordpress.com/—————————–
Gak Siauw-cha yang melihat Siauw Ling berhasil lolos dari ancaman bahaya maut
dengan cepat berlari kehadapannya.
“Adik Ling, bagaimana rasamu?” tanyanya cemas.
Sewaktu Sang Pat merebut diri Siauw Ling dari tangan musuh tadi secara diam-diam
dia sudah menyalurkan hawa murninya ke dalam sang bocah sehingga boleh dikata
peredaran darah di dalam Siauw Ling saat ini sudah lancar benar-benar.
Dengan perlahan Siauw Ling membuka matanya dan memandang wajah Gak Siauw-cha
yang penuh diliputi oleh rasa kuatir itu dia tersenyum.
“Cici, kau tidak usah kuatir, aku sangat baik sekali,” katanya.
Sehabis berkata dengan gagahnya dia bangkit dari dalam pelukan Gak Siauw-cha.
“Haa… haaa… untung… untung sekali adikmu itu tidak sampai terluka!” Tukas Sang Pat
tiba-tiba sambil tertawa terbahak-bahak.

“Sungguh sayang benar aku tidak tahu dimana anak kunci Cing Kong Ci Yau itu
berada,” ujar Gak Siauw-cha dingin. “Dan aku sendiripun belum pernah melihat bagaimana
bentuk dari benda itu, aku rasa di dalam perdagangan kita kali ini kalian berdua harus
menanggung rugi.”
“Cayhe sudah mengalami angin taupan berulang kali tetapi selamanya belum pernah
menderita perahu terbalik. Soal ini harap nona suka berlega hati,” jawab Sang Pat
tersenyum.
“Kami dua bersaudara selamanya berdagang dengan uang tunai dan selamanya belum
pernah menemui tunggakkan,” sambung Leng Bian Thiat Pit Tu Kiu pula dengan dingin.
“Cuma saja karena barang dagangan dari nona Gak ini terlalu besar maka untuk kali ini
kami melanggar kebiasaan tersebut, tapi kalau cuma ucapan kosong saja tidak kuat
buktinya lebih baik nona tulis secarik bukti hutang saja.”
Sehabis berkata dari dalam pinggangnya dia melepaskan sebuah buntalan kecil
berwarna kuning isinya bukan lain adalah sebuah kitab tebal berwarna putih dengan alatalat
tulis menulisnya.
Selama ini Leng Biat Thiat Pit Tu Kiu berdiam terus tanpa banyak buang waktu dia
segera membuka buntalan kitab hutangnya dan meletakkan pit serta tinta baknya ke
depan siap-siap menunggu Gak Siauw-cha untuk mengisinya.
Dengan pandangan tajam Sang Pat memandang diri Gak Siauw-cha beberapa saat
lamanya kemudian tertawa terbahak-bahak.
“Harap nona suka memaafkan tindakan kami ini kami percaya nona Gak sebagai
seorang jagoan yang berasal dari satu perguruan terkenal tidak bakal membohongi kami,
setiap perkara serta tulisan yang nona ucapkan kami tidak akan menaruh curiga lagi.”
“Tetapi aku sama sekali tidak pernah menemui anak kunci Cing Kong Ci Yau itu.
Bilamana kalian tetap tidak percaya yah apa boleh buat,” ujar Gak Siauw-cha sambil
kerutkan alisnya rapat-rapat.
“Sejak tadi cayhe sudah bilang, setiap perkataan yang nona ucapkan kami
mempercayainya penuh.”
“Kalau memang sudah percaya akan perkataanku. Lalu buat apa kau banyak bertanya
lagi???”
“Para jago-jago Bulim yang pada berdatangan mengejar diri nona itu sungguh
menggelikan sekali haaaa, haaa mereka masih mengira anak kunci Cing Kong Ci Yau itu
disimpan nona…” kata Sang Pat tertawa.
“Apanya yang menggelikan. Bukankah kalianpun sama saja??” sambung Gak Siauw-cha
mendongkol.
“Sudah tentu sama sekali berbeda!” teriak Sang Pat lagi mendadak dia menarik
senyuman yang biasanya menghiasi bibirnya itu lalu tanbahnya, “Anak kunci Cing Kong Ci
Yau itu tidak berada di tangan nona tetapi disimpan oleh ibumu.”
“Tetapi ibuku sudah meninggal” sambung Gak Siauw-cha dengan cepat.

“Soal inipun cayhe percaya,” jawab Sang Pat sambil mengangguk dia berhenti sebentar
untuk kemudian secara tiba-tiba tertawa keras.
“Haaa, haaa, nona Gak! Asalkan kau orang suka mencatatkan nama di dalam buku
hutang kami maka perdagangan kita ini boleh dikata sudah resmi.”
Si Pit besi berwajah dingin Tu Kiu yang dengan tangan kiri memegang tinta bak dau Pat
tangan kanan membawa buku hutang segera menyambung lagi dengan suara yang dingin,
“Setelah kedua orang setan pembuka jalan dari Sin Hong Pangcu itu menderita sedikit
kekalahan mereka pasti tidak akan berhenti sampai disitu saja. Sebentar lagi para jagojago
kelas satu dari Sin Hong Pang tentu akan pada berdatangan semua, saat ini waktu
berharga bagaikan emos lebih baik nona tidak usah banyak mengulur waktu lagi.”
“Lalu kalian suruh aku menulis apa di dalam buku hutang yang ada ditangannya.”
Senyuman ramah mulai menghiasi kembali wajah si Siepoa emas Sang Pat.
“Soal itu mudah sekali,” jawabnya menyengir. “Nona tulis saja seperti apa yang cayhe
katakan.”
Gak Siauw-cha segera tersenyum dingin. Dengan perlahan dia mulai mengangkat
pitnya.
Si Kiam Siepoa Sang Pat termenung berpikir sebentar, setelah itu baru ujarnya dengan
nyaring, “Aku Gak Siauw-cha berjanji sendiri hendak menyerahkan anak kunci Cing Kong
Ci Yau yang disimpan ibuku kepada…”
Baru saja Gak Siauw-cha mau menulis kata-kata itu ke dalam buku hutang tersebut
mendadak dia membatalkan niatnya.
“Tunggu dulu!” teriaknya.
“Ada urusan apa?”
“Bilamana aku mengikuti perkataanmu itu dan menulis kata-kata tersebut di atas buku
hutang, kalian mau membayar berapa kepada kami?”
“Soal ini pasti tidak akan merugikan diri nona selain emas murni seribu kati, kain sutera
seratus kodi, mutiara sepuluh butir ditambah lagi dengan sebilah golok pusaka yang amat
tajam bahkan bertanggung jawab pula melindungi nona serta adikmu ini meninggalkan
tempat berbahaya hingga selamat.”
“Berpuluh-puluh jagoan Bulim termasuk pula para dari Siauw Lim pay serta Bu-tong-pay
tanpa sebab membuntuti terus jejakku, walaupun dunia ini lebar ada tempat mana lagi
merupakan tempat aman bagi aku Gak Siauw-cha??”
“Tenang hal ini nona tidak usah kuatir, para jago Bulim pada mengejar nona
kesemuanya dikarenakan anak kunci Cing Kong Ci Yau tersebut. Menanti setelah barang
itu cayhe terima dan melakukan persiapan-persiapan tentu cayhe akan mengumumkan
kepada seluruh Bulim kalau anak kunci Cing Kong Ci Yau sudah kami simpan, setelah
berita ini tersiar maka nona tidak bakal menemui kesulitan lagi.”

“Bilamana kalian berdua tidak berhasil mendapatkan anak kunci Cing Kong Ci Yau itu??”
tanya Gak Siauw-cha kemudian.
“Kami bermaksud sudah mengadakan penyelidikan dengan amat jelas sekali,” tukas si
Leng Bian Thiat Pu Tu Kiu dengan perlahan-lahan. “Anak kunci Cing Kong Ci Yau itu
benar-benar sudah didapatkan ibumu, kecuali nona punya maksud untuk merusak
perjanjian ini tidak mungkin benda itu bisa lolos kembali dari tangan kami.”
“Barang ini menyangkut keselamatan dari partai-partai benar serta berpuluh-puluh
orang jagoan dari Bulim. Nona menyimpannya terus juga tiada ada gunanya,” sambung
Sang Pat pula.
Siauw Ling yang selama ini berdiam terus saat ini tidak bisa menahan sabar lagi
tukasnya, “Kalau memangnya anak kunci Cing Kong Ci Yau itu tiada gunanya, lalu buat
apa kalian terus menerus mendesak enci Gak ku untuk menyerahkannya barang itu
kepada kalian???”
“Saudara cilik, kami bukannya meminta tapi membayar dan memberi dengan satu
jumlah yang amat besar sekali…” jawab Sang Pat sembari melirik sekejap ke arah Siauw
Ling.
“Nona Gak, waktu sudah mengijinkan lagi silahkan nona mulai menulis kata-kata itu ke
dalam buku hutang ini!” timbrung Tu Kiu secara tiba-tiba.
Mendengar perkataan tersebut Gak Siauw-cha segera melototi sekejap wajah Tu Kiu
kemudian tegurnya, “Walaupun aku adalah seorang perempuan tetapi kata-kata yang
telah aku ucapkan selamanya tidak bakal dipungkiri kembali tetapi sebelum kata-kata itu
aku tulis di dalam buku hutangmu seharusnya urusan dibikin jadi tenang dulu.”
“Ooooh, sudah tentu, sudah tentu.” sahut Sang Pat dengan cepat. “Nona masih ada
petunjuk apa silahkan berbicara sepuasnya cayhe tentu akan mendengarkan semua
perkataan nona dengan senang hati.”
“untuk menyuruh aku tulis kata-kata itu ke dalam buku hutang sih boleh-boleh saja,
tetapi ada dua syarat yang harus kalian penuhi!”
“Syarat apa itu???”
“Pertama: Jika nanti setelah kalian berdua periksa pada ibuku ternyata anak kunci Cing
Kong Ci Yau tidak berada padanya hutang ini harus dianggap lunas!”
Sang Pat termenung sebentar, tetapi sesaat kemudian dia sudah mengangguk.
“Asalkan dari tengah-tengah nona tidak menyingkirkannya terlebih dulu kami akan
penuhi permintaanmu itu. Sekarang silahkan untuk mengucapkan syarat yang kedua!”
“Kedua: Anak kunci Cing Kong Ci Yau itu sebenarnya adalah barang milik ibuku yang
sudah kalian rampas…”
“Eeeeeh, eeeeeh, nanti dulu, nanti! perkataanmu salah besar” teriak Sang Pat sambil
goyangkan tangannya berulang kali. “Selama Tiong Cho Siang-ku tidak pernah merampas

maupun memaksa orang untuk melakukan jual beli ini perdagangan kita kali ini adalah
nona sendiri yang menyetujuinya.”
“Tidak perduli kalian berdua mau berapa banyaknya aku sama sekali tidak bermaksud
untuk menjual anak kunci Cing Kong Ci Yau itu kepada kalian, emas murni serta mutiara
maaf aku orang tidak berani menerimanya…”
“Apakah pedang pusaka yang berusia ratusan tahun nona juga tidak menerima???”
“Tidak mau! Aku cuma ingin diberi hak untuk menuntut kembali benda tersebut dari
kalian!”
“Soal ini mudah sekali,” jawab Sang Pat sambil tertawa. “Asalkan kami berdua
bersaudara belum mati dan istana terlarang belum terbuka maka harga diri anak kunci
Cing Kong Ci Yau itu tidak bakal merosot, setiap waktu nona boleh mencari kami dua
bersaudara untuk dituntut kembali, tetapi perkataan harus kita jelaskan terlebih dulu!
Bilamana nona ingin menuntut kembali anak kunci Cing Kong Ci Yau itu maka nona harus
dapat mengalahkan terlebih dulu ilmu silat kami dua bersaudara. Waktu itu bukan saja
nona boleh meminta kembali anak kunci Cing Kong Ci Yau tersebut bahkan boleh
membuka harga juga untuk minta bunga selama ini kepada kami.”
“Baiklah! kalau begitu kita putuskan demikian saja kepandaian silat kalian berdua
sangat tinggi sudah tentu tidak bakal kalian berdua memandang tinggi aku si perempuan
lemah.”
Dia segera menggerakkan pitnya mulai menulis di atas buku hutang tersebut.
“Aku Gak Siauw-cha rela menjual sebuah kunci Cing Kong Ci Yau milik ibuku…”
“Eeei, bagaimana kelanjutannya??” tanyanya kemudian sambil berhenti menulis.
Sang Pat garu kepalanya sebentar, kemudian baru sahutnya, “Tulis saja dibawahnya:
Dijual kepada Tiong Cho Siang-ku dengan terima uang muka berupa sepuluh butir
sedangkan sisanya uang emas seribu kati, kain sutera seratus kodi dan sebilah pedang
pusaka berusia seratus tahun akan disusul setelah menerima anak kunci Cing Kong Ci Yau
tersebut.”
“Tidak bisa jadi!” bantah Gak Siauw-cha setelah mendengar perkataan itu. “Aku tidak
mau menerima barang-barang itu sudah tentu hal-hal yang tetek bengek itu tidak perlu
ditulis.”
“Ooo tidak boleh, tidak!” seru Sang Pat dengan cemas sekali. “Nona boleh tidak
menerima barang-barang itu tetapi kami berdua tidak boleh tidak harus mengeluarkannya
juga.”
Terpaksa Gak Siauw-cha menuliskan juga sesuai dengan apa yang diucapkan oleh Sang
Pat itu.
“Begitu???” tanyanya kemudian.
“Masih harus ditambah lagi dengan dua patah kata,” sambung Sang Pat kemudian.
“Perkataantidak dipenuhi buku hutang sebagai bukti.”

Terpaksa Gak Siauw-cha menulis juga kedua patah itu.
“Sudah selesai,” ujarnya kemudian dengan dingin.
“Baiklah! terima kasih atas bantuan nona.”
Si Leng Bian Thiat Pit Tu Kiu pun segera menyimpan kembali buku hutang, pit serta
tinta bak itu ke dalam bungkusannya semula.
“Setelah ada tulisan ini maka dikemudian hari cayhe bisa menuntut barang itu dari
tangan nona,” katanya.
Dalam hati Gak Siauw-cha merasa amat kesal dia tidak perduli kedua orang itu lagi
sembari menggandeng tangan Siauw Ling dengan cepatnya segera berjalan menuju
kesamping sebuah batu besar dan duduk disana untuk istirahat.
Gak Siauw-cha yang masih badannya amat lemah harus melakukan pertempuran pula
saat ini badannya benar-benar terasa lemas. Begitu memejamkan matanya dia segera
tertidur ke dalam impian yang indah.
“Loo toa! Apakah kitapun harus berjaga-jaga disini?” tanya si Leng Bian Thiat Pit Tu Kiu
kepada toakonya Sang Pat.
“Nona Gak adalah seorang pendekar wanita sejati, apa yang sudah diucapkan tidak
bakal disesali lagi. Coba kau ambil keluar pil mujarab di dalam botol porselen itu untuk
dibagikan kepada saudara cilik dan kedua orang kawannya itu setiap orang sebutir.
Merekapun harus menggunakan kesempatan ini untuk beristirahat” kata Sang Pat sambil
tertawa.
Tu Kiu segera menyahut dan mengambil keluar sebuah botol porselen kemudian
mengeluarkan tiga pil berwarna merah dan dibagikan kepada Hoo-kun serta Thio-kan.
“Kedua butir pil mujarab ini mempunyai khasiat yang luar biasa. Kau telanlah sebutir
dan yang sebutir lagi berikanlah kepada kawan yang baru saja kehilangan sebuah lengan
itu,” katanya.
Tanpa menanti jawaban dari Hoo-kun lagi dia sudah menyerahkan kedua butir pil
mujarab tersebut kepadanya. Setelah itu baru berjalan mendekati diri Siauw Ling.
“Saudara cilik, kaupun telanlah pil mujarab ini,” ujarnya dengan dingin.
“Aku tidak mau!” jawab Siauw Ling sambil angkat kepalanya memandang sekejap ke
arah pil yang ada di tangan Tu Kiu itu.
Tiga patah kata yang diucapkan baru-baru ini amat tegas dan atos sekali.
Tu Kiu jadi melengak.
“Cepat telanlah pil ini. Karena ia akan membantu menyegarkan kembali badanmu,”
ujarnya.

“Tidak , aku tidak mau! Aku tidak akan menerima pemberian pilmu itu. Sekalipun diberi
burung hong atau daging naga yang bisa memperpanjang usia manusiapun aku tidak mau
akan menerimanya!” teriak Siauw Ling sambil gelengkan kepalanya.
Tu Kiu segera menggoyang-goyangkan pil merah yang ada ditangannya, lalu dengan
tawar katanya lagi, “Bilamana saat ini kau tidak suka menerima pil ini maka dikemudian
hari kau bakal merasa menyesal.”
“Hmm! Sekalipun setelah ditelan usiaku bisa mencapai seratus tahunpun sama saja aku
tidak mau terima cepat kau menyingkirlah dari sini.”
Tu Kiu yang berulang kali ketanggor batu dalam hati merasa keki bercampur geli juga
pikirnya, “Bocah cilik ini sungguh gagah sekali nyalipun amat besar! Ehhmm… sungguh
mengagumkan.”
Dia tidak mau memaksa lagi pil merah itu lalu dimasukkan kembali ke dalam sakunya
dan mengundurkan diri dari sana.
Cuaca mulai menjadi gelap kembali, sang rembulan dengan memancarkan sinar
keperak-perakan jauh tergantung diawang-awang, puncak yang tinggi menjulang
memantulkan sinar putih yang menyilaukan mata, angin dingin bertiup sepoi-sepoi
menambah kesunyian yang mencekam di sekeliling tempat itu.
Setelah beristirahat cukup lama semangat dari Gak Siauw-cha pun telah pulih kembali.
Sewaktu dia membuka matanya terlihatlah Tiong Cho Siang-ku masih ada disana.
Yang satu lagi duduk bersila mengatur pernapasan sedang yang lain berdiri bersandar
di atas batu. Tidak terasa lagi dalam hati pikirannya, “Mereka adalah pendekar yang
disegani di dalam dunia kangouw, cuma sayang yang dipikirkan cuma keuntungan melulu
sehingga banyak sudah mengikat permusuhan dengan orang-orang Bulim. Heeee harta
kekayaan yang dimiliki mereka mungkin bisa menandingi kekayaan satu negara cuma
sayang yaa sayang… mereka tidak mendasarkan akan sifat kependekaran!”
Sang Pat yang sedari tadi memejamkan matanya untuk beristirahat mendadak
membuka matanya lebar-lebar lalu tertawa terbahak-bahak.
“Haaa… haa… nona Gak! Apa kau sudah bangun?”
“Hmm, kalian berdua tentu sudah lama menunggu bukan?” seru Gak Siauw-cha sambil
tertawa dingin.
Dia segera jalan mendekati diri Siauw Ling terlihatlah pada saat itu dia sedang
pejamkan matanya untuk mengatur pernapasan.
Hawa dingin di tengah malam benar-benar menggigilkan badan walaupun Siauw Ling
sudah salurkan hawa murninya untuk melawan hawa dingin tersebut tetapi agaknya tidak
berhasil juga. Tampaklah dengan badan menggigil keras dia berusaha juga untuk
mnegatur pernapasan. Hal ini membuat Gak Siauw-cha yang melihatnya segera menaruh
rasa kasihan.
“Adik Ling, apakah kau kedingingan?” tanyanya sambil menghela napas panjang.

Dengan perlahan Siauw Ling membuka sepasang matanya kembali dan memandang
sekejap ke arah Gak Siauw-cha.
“Aku tidak takut dingin!” sahutnya.
“Haaa… haaa… soal itu tidak perlu kuatir,” ujar si Kiem Siepoa Sang Pat sambil berjalan
mendekat dengan langkah lebar. “Cayhe memiliki sebuah mantel berbulu binatang yang
dapat menghangatkan badan bilamana adik nona membutuhkan cayhe hadiahkan
kepadanya.”
“Aku tidak mau… aku tidak mau! Sekalipun mati kedinginan aku juga tidak akan
memakai pakaianmu!” teriak Siauw Ling dengan ketus.
“Haaa…haa… saudara cilik ini sungguh bersemangat… sungguh bersemangat! cayhe
betul-betul kagum” puji Sang Pat tersenyum.
Dengan pandangan yang amat dingin Gak Siauw-cha memandang sekejap ke arah
Sang Pat lalu ujarnya, “Tiong Cho Siang-ku sudah ada puluhan tahun lamanya
mengangkat nama di dalam Bulim setiap hari berdagang dan mengumpulkan harta
kekayaan saja tentu hasil yang kalian peroleh amat banyak bukan!”
Sebenarnya kata-kata yang diucapkan olehnya ini bernadakan sindiran tetapi didengar
di dalam telinga Kiem Siepoa Sang Pat rada berbeda. Terdengar dia segera tertawa
terbahak-bahak.
“Haaa… haaa… harta kekayaan yang berhasil cayhe kumpulkan sekalipun tidak bisa
dibandingkan dengan satu negara tetapi kawan-kawan Bulim pada waktu ini tiada yang
bisa menandingi diri kami.”
Mendengar kata-kata itu Gak Siauw-cha mengerutkan alisnya rapat-rapat.
“Hmmm! orang ini sungguh tidak tahu malu,” pikirnya dihati. “Aku sengaja mengolokolok
dia sebaliknya dia malah menerima kata-kataku dengan begitu girang.”
Dia tidak mau berbicara lagi, sambil menarik tangan Siauw Ling dia menoleh sekejap ke
arah Thio-kan.
“Apakah lukamu sudah sembuh??” tanyanya.
“Mengalirnya darah sudah berhenti, rasa sakitpun jauh berkurang, sekarang kita boleh
melanjutkan perjalanan lagi,” jawab Thio-kan sambil meloncat bangun dan memungut
kembali goloknya.
“Baiklah! kalau begitu kita segera berangkat” perintah Gak Siauw-cha kemudian.
Sambil menggandeng tangan Siauw Ling dia memimpin jalan terlebih dulu.
Hoo-kun yang menerima pemberian pil mujarab dari Tu Kiu setelah ditelan dan
mengatur pernapasan semangatnyapun sudah berkobar kembali. Dalam hati pikirannya,
“Kelihatan bukan saja Tiong Cho Siang-ku berhasil mengumpulkan harta kekayaan saja
bahkan pil mujarabpun disimpan pula. Ehm sungguh hebat sekali pekerjaan mereka.”

Dia lantas pungut kembali senjata Pan Koan Pitnya dan mengikuti dari belakang Thiokan.
Mendadak Si Leng Bian Thiat Pit Tu Kiu menggeserkan badannya kesamping
menghalangi perjalanan pergi dari Gak Siauw-cha.
“Nona Gak! Apakah kau sudah lupa akan perjanjian kita?” tanyanya.
“Bukankah kalian ingin menemui jenazah dari ibuku?”
“Tidak salah! pergi mencari ibumu untuk menerima anak kunci Cing Kong Ci Yau yang
sudah nona jual kepada kami.”
“Hmmm! Sedikitpun aku belum lupa,” jawab Gak Siauw-cha tawar. Tubuhnya miring
kesamping dan melanjutkan kembali langkahnya menuju ke depan.
“Bilamana nona Gak masih mengingat-ingat urusan itu hal tersebut jauh lebih bagus
lagi,” ujar Tu Kiu dengan cemas. “Lebih baik nona suka menjelaskan kepada kami dimana
jenazah ibumu berada, agar kamipun bisa membereskan perdagangan kita kali ini.”
“Kaum pengejar dari perkumpulan Sin Hong Pang sebentar lagi bakal tiba menanti
sesudah aku berhasil meloloskan diri dari bahaya baru aku ceritakan lagi kepada kalian.”
“Haaa… haaa perkataan ini sedikitpun tidak salah” sakut Kiem Siepoa Sang Pat
membenarkan. “Nona Gak adalah pemilik barang, Hey Loo jie lebih baik kita sedikit
berlaku sungkan.”
Diantara suara bentakannya yang amat keras tubuhnya sudah berebut melayang keluar
dulu dari sisi badan Gak Siauw-cha kemudian dengan nyaringnya dia bersuit panjang.
Terdengar beberapa kali suara gonggongan anjing, terlihatlah kedua ekor anjing
berwarna hitam itu sudah berlari mendatang.
Kedua anjing-anjing itu melihat Sang Pat sembari menggoyang-goyangkan ekornya
segera berdiri di samping badannya.
Dengan mengikuti dari belakang badan Sang Pat akhirnya Gak Siauw-cha sekalian
berjalan keluar juga dari lembah tersebut. Setelah memperhatikan sekejap keadaan di
sekeliling tempat itu mereka melanjutkan kembali perjalanannya menuju ke arah sebelah
barat.
“Loo jie, kau lindungilah nona Gak sekalian, aku mau berangkat dulu ke depan untuk
mencari tahu keadaan musuh,” ujar si Kiem Siepoa Sang Pat kemudian di tengah jalan.
“Asalkan berhasil menghindarkan diri dari Sin Hong Pangcu serta beberapa orang
siluman tua yang paling sukar dihadapi urusan bakal menjadi beres.”
“Sehari anak kunci Cing Kong Ci Yau itu tidak muncul di dalam Bulim maka Gak Siauwcha
tidak bakal berhasil meloloskan diri dari kejaran musuh. Apakah kita benar-benar mau
melindungi dirinya selama hidup?” kata Tu Kiu.

“Tidak mengapa, asalkan kita berhasil meloloskan diri dari kepungan para jago-jago
kelas satu maka urusan dikemudian hari mudah untuk dikerjakan.”
Ketika dia mendongak dan melihat Gak Siauw-cha serta Hoo-kun sekalian sudah berada
kurang lebih sepuluh kaki jauhnya dengan cepat dia tepuk-epuk pundak Tu Kiu,
tambahnya, “loo jie, cepat kau kejar mereka.”
Sehabis berkata dengan cepat bagaikan kilat dia berkelebat terlebih dahulu melewati
Gak Siauw-cha sekalian.
Kedua ekor anjing hitam itupun dengan cepat mengikuti dari belakang Sang Pat.
Gerakan merekapun cepat bagaikan sambaran angin bersalju.
Si Leng Bian Thiat Pit cepat-cepat memperkencang larinya mengejar diri Hoo-kun
sekalian.
Gak Siauw-cha yang selama ini memandang gerak-gerik dari Tiong Cho Siang-ku dan
melihat tindak tanduk mereka amat tergesa-gesa seperti lagi menghadapi musuh tangguh
tidak terasa dalam hati merasa keheranan. Dia pingin sekali pada saat dan keadaan seperti
ini sehingga Tiong Cho Siang-ku menderita kerugian besar.
Di bawah bokongan Gak Siauw-cha, Siauw Ling melanjutkan perjalanannya melewati
dua puncak gunung, hawa dingin mulai mencekam seluruh badannya sewaktu dia
menoleh ke belakang tampaklah Tu Kiu dengan topi berbulunya hampir menutupi separuh
bagian wajahnya masih tetap mengikuti terus dari belakang Hoo Koe. Hal ini membuat
diam-diam dia berpikir, “Walaupun orang ini memiliki wajah yang amat jelek tetapi
kepandaian silatnya amat tinggi, dia ada kemungkinan sedang membantu enci Gak
menahan musuh tangguh.”
Belum habis dia berpikir terdengarlah suara gonggongan anjing kembali bergema
datang disusul munculnya sesosok bayangan manusia.
Dengan cepat Gak Siauw-cha menarik badan Siauw Ling ke belakang punggungnya,
pedangnya dicabut keluar dan siap-siap menhadapi sesuatu.
“Eeeei nona Gak jangan salah paham” terdengar orang itu mendehem beberapa kali.
“Cayhe adalah Sang Pat?”
Di tengah suara pembicaraannya itu dia sudah muncul kembali dihadapan Gak Siauwcha.
Di bawah sorotan sinar rembulan tampak di atas wajahnya yang bulat gemuk tiada
hentinya menguap asap yang tebal, sekali pandang sudah diketahui kalau dia baru saja
melakukan perjalanan dengan mengerahkan seluruh tenaganya.
Kedua ekor anjing hitamnyapun dengan kencang ikut munculkan dirinya belakang
badan sang majikan.
Ujung bibir Gak Siauw-cha sedikit bergerak hendak mengucapkan sesuatu. Tetapi
belum sampai diucapkan keluar mendadak dia menelan kembali kata-katanya, lalu dengan
pandangan dingin memperhatikan Sang Pat.

Air muka si Kiem Siepoa Sang Pat walaupun niat ini sudah berubah rada tegang tetapi
senyuman tetap menghiasi dibibirnya.
“Waaaduh, celaka, celaka!” ujarnya sambil melirik sekejap ke arah Gak Siauw-cha.
“Agaknya dagangan kita dengan nona Gak ini bakal menderita kerugian.”
“Jagoan yang bisa dianggap Tiong Cho Siang-ku sebagai musuh tangguh tentunya
bukan manusia sembarangan??” ejek Gak Siauw-cha dari samping.
“Perkataan nona sedikitpun tidak salah,” jawab Sang Pat tertawa. “Baru saja cayhe
melihat munculnya dua orang jagoan Bulim yang sulit untuk dihadapi, selamanya mereka
paling tidak suka berebut nama jelas kemunculannya kali ini bertujuan untuk ikut merebut
anak kunci Cing Kong Ci Yau tersebut.”
“Apa kalian merasa takut??”
“Haaa, haaa takut?? di dalam kolong langit pada saat ini sukar sekali untuk mencari
keluar beberapa jago yang ditakuti cayhe berdua, cayhe bicara demikian kesemuanya
adalah demi kebaikan nona sendiri dari pada menemui satu urusan lebih baik kita
menghindari saja, buat apa sengaja menjadi gebuk, betul tidak??” kata Si Kiem Siepoa
Sang Pat tertawa.
“Lalu apa maksudmu??”
“Maksud cayhe lebih baik jalan berputar saja untuk menghindari pertemuan dengan
kedua orang tua itu.”
“Kau sudah berbicara setengah harian tetapi belum menyebutkan juga siapakah
mereka??”
“Mereka berdua sudah mempunyai nama besar yang amat cemerlang di dalam Bulim,
sekalipun nona belum pernah menemuinya ada kemungkinan pernah mendengar juga dari
ibumu!”
“Siapa??”
Mendadak Kiem Siepoa Sang Pat berbelok ke arah Utara dan melanjutkan kembali
perjalanannya.
“Sembari melakukan perjalanan kita-kita meneruskan pembicaraan kita saja!” serunya.
Ketika dia menoleh ke belakang dan melihat Gak Siauw-cha masih tetap berdiri di
tempat semula tidak terus alisnya dikerutkan rapat-rapat.
“Nona Gak bilamana kau ingin meloloskan diri dari kepungan para jago tanpa
kekurangan sesuatu apapun lebih baik suka bekerja sama dengan cayhe berdua,” katanya.
Sinar matanya dengan perlahan menyapu sekejap ke arah Siauw Ling ujarnya lagi,
“Sekalipun nona tidak pikirkan keselamatan diri sendiri dan mati hidup kedu orang anak
buahmu tetapi seharusnya memikirkan pula bagi keselamatan adikmu itu, bilamana
sampai terjadi pertempuran sengit sulit baginya untuk menghindarkan diri.”

Beberapa perkataannya ini segera menggerakkan hati Gak Siauw-cha tanpa banyak
cakap lagi sembari menggandeng tangan Siauw Ling dia melanjutkan perjalanannya
menuju ke arah utara.
“Haaa, haaa, bilamana nona suka bekerja sama dengan cayhe berdua, untuk
meloloskan diri dari kepungan musuh bukanlah satu urusan yang sukar” kata Sang Pat
sambil tertawa.
Gak Siauw-cha yang teringat kembali akan perbuatan mereka memaksa dirinya untuk
menulis perjanjian dibuku hutangnya dalam hati seperti juga api yanh kena bensin hawa
amarahnya semakin berkobar.
“Hmmm! kepandaian silat kalian berdua memang sangat lihay tetapi perbuatan kalian
yang rendah bukanlah satu pekerjaan yang cemerlang makanya dengan nama serta
kedudukan Tiong Cho Siang-ku seharusnya setelah mendengar perkataan yang sangat
menghina ini sedikit-sedikitnya akan menjadi marah, tetapi bukannya si Kiem Siepoa Sang
Pat tidak jadi gusar sebaliknya malah tertawa melucu.
“Perkataan dari nona Gak sedikitpun tidak salah,” jawabnya menyengir-menyengir.
“Selamanya kami berdua paling tidak suka akan nama kosong asalkan ada keuntungan
itulah kami tuju, hiii…hii… coba kau lihat harta kekayaan yang sudah aku kumpulkan
sebegitu banyaknya sehingga sukar dihitung mau apa kita bisa punya apa bukankah hal ini
menyenangkan sekali?”
“Hmmm! Apa gunanya emas intan dan harta kekayaan itu? Setelah mati tidak bakal
dibawa serta dalam peti mati!”
Kiem Siepoa Sang Pat agak melengak mendengar perkataan itu, ujarnya kemudian,
“Setiap manusia ada kesenangan yang berbeda, tidak perduli orang lain menganggap
emas intan bagaikan kotoran manusia tetapi cayhe merasa amat senang sekali dengan
barang-barang itu sehingga selamanya tiada bosan-bosannya.”
Dia dongakan kepalanya lantas tertawa terbahak-bahak.
“Oooh… hampir saja cayhe lupa memberi tahukan nama dari kedua orang jagoan yang
sukar dilayani itu,” katanya kemudian.
Walaupun di dalam hati Gak Siauw-cha tidak ingin berbicara dengan kedua orang yang
dianggapnya manusia-manusia laknat ini, tetapi rasa ingin tahu dihatinya membuat dia
orang tanpa terasa lagi sudah mengajukan pertanyaan.
“Siapakah orang itu??”
“Ada kemungkinan mereka berdua merupakan jago yang paling dikagumi oleh nona,”
jawab Sang Pat sambil tertawa. “Mereka suka berkelana di dalam Bulim dan sering
menolong yan g lemah menindas yang kuat, memandang harta bagaikan kotoran akan
bilamana dibandingkan dengan kami kaum pedagang jauh berbeda sekali.”
“Hmmm! bilamana kau niat berbicara katakanlah terus terang, bilamana tidak suka
bicara yaa sudalah buat apa sengaja berputar-putar membuat hati orang merasa kesal!”
tegur Gak Siauw-cha dengan nada yang dingin.

Walaupun kegemaran dari Kiem Siepoa Sang Pat cuma mencari keuntungan saja, tetapi
jadi orang amat sabar sekali walaupun Gak Siauw-cha sudah menyindir atau mengolokolok
dirinya dengan cara apapun tetap tidak berhasil membuat dia lemah.
Tampak dia kembali tertawa, sahutnya, “Apakah nona pernah mendengar akan nama
Ciu Ceng atau si pendeta pemabok serta Fan Kay atau si pengemis kelaparan dua
orang??”
Mendengar disebutnya nama-nama itu dalam hati Gak Siauw-cha merasa rada
berdebar, pikirnya,
Jilid 8
Si Toosu kecil yang ada di belakang tubuhnya sama sekali tidak mengucapkan sepatah
katapun.
Siauw Ling yang melihat setelah toosu itu duduk bersila sepasang matanyapun
dipejamkan rapat-rapat diam-diam lantas berpikir kembali, “Toosu ini membawa pedang,
aku rasa diapun merupakan seorang jagoan yang memiliki kepandaian silat! Apakah dia
kenal dengan si pendeta pemabok serta si pengemis kelaparan itu? kalau tidak kenal
merekapun ikut berdiam di dalam kuil ini? tetapi jikalau kenal kenapa dia tidak menyapa
mereka berdua…?”
Pada saat itulah dari luar kuil kembali berkumandang datang suara tertawa terbahakbahak
yang amat keras sekali.
“Haaa, haaa, haaa, kuil ini masih bagus keadaannya. Mari kitapun beristirahat sebentar
didalam!!”
Suara itu berkumandang datang dari tempat kejauhan, tetapi baru saja perkataan
tersebut selesai diucapkan tubuh orang tersebut sudah ada di dalam ruangan kuil.
Pada saat ini Siauw Ling sudah tidak memikirkan keselamatan dirinya lagi sehingga
hatinyapun terasa amat tenang.
Ketika sinar matanya menoleh ke depan terlihatlah di dalam ruangan kuil itu sudah
bertambah lagi dengan dua orang yang satu merupakan seorang pemuda berdandan
siucay yang usianya baru kurang lebih dua puluh tahunan dengan wajah yang bersih dan
tampan dibelakangnya berjalanlah mendatang seorang lelaki yang hitam, pendek dan
berwajah hitam bagaikan arang.
Agaknya mereka berdua sama seklai tidak menduga kalau di dalam kuil tersebut sudah
kedatangan begitu banyak orang, sinar matanya dengan cepat menyapu sekeliling
ruangan tersebut setelah itu dengan langkah yang perlahan baru bertindak masuk
kedalam.
“Kuil ini penuh dikotori dengan debu dan sarang laba-laba biasanya saja sudah sukar
saat orang masuk untuk duduk ini sekali datang sudah muncul tujuh orang entah adalah
orang Sin yang datang kembali???” pikir Siauw Ling.

Tampaklah si siucay berjubah amat longgar itu memandang sekejap ke arah si Toosu
berusia pertengahan itu, mendadak sambil tertawa ujarnya, “Haa, haa, Too heng jarang
sekali turun gunung, tidak disangka kali ini ternyata sudah turun gunung sendiri.”
Dengan langkah yang kalem dia melanjutkan kembali perjalanannya.
Si Toosu yang semula sedang memejamkan matanya itu segera membuka matanya
kembali.
“Jan heng hidup dengan mewah dan mencampuri urusan Bulim. Tidak disangka ini hari
kitapun bisa berjumpa disini!” sahutnya sambil tertawa.
Si siucay berjubah hitam itu segera tertawa tergelak.
“Cayhe sejak semula sudah menduga asalkan anak kunci Cing Kong Ci Yau tersebut
muncul di Bulim maka di dalam dunia kangouw segera akan terjadi satu pergolakan yang
amat dahsyat… hahaha, ha, tidak kusangka dugaanku ternyata sedikitpun tidak melesat
baru saja berita tentang munculnya kembali anak kunci itu tersiar di dunia persilatan
ternyata sudah ada begitu banyak jagoan yang telah berkumpul disini.”
“Pinto menerima perintah untuk melaksanakan tugas ini. Hal ini memaksa pinto mau
tidak mau harus menjalankannya,” jawab Toosu itu.
Si siucay berjubah hitam itu segera melirik sekejap ke arah si pengemis kelaparan serta
si pendeta pemabok, lalu sambil tertawa tanyanya lagi, “kedua orang itu datang sebelum
kedatangan Tootian? Ataukah setelah kedatangan Tooyang di dalam kuil ini?”
“Sebelum kedatangan pinto,” jawab Toojiu itu perlahan.
Sebelumnya si pengemis kelaparan ingin berpura-pura terus dan tidak menggubris akan
kedatangan beberapa orang itu, tetapi akhirnya dia tidak kuat untuk menahan sabar lagi.
Sambil mengulet dia membuka matanya kembali dan tertawa terbahak-bahak.
“Haa, ha, sungguh ramai, sungguh ramai sekali! haa haa, hweesio, Toosu, siucay
ditambah dengan aku si pengemis tua haa, haa, sungguh merupakan satu pertempuran
yang amat menggembirakan.”
Dengan perlahan siucay berjubah hijau itu menyingkap jubahnya yang pangjang dan
mengambil keluar sebuah botol porselen putih yang panjangnya ada lima coen lalu sambil
tertawa, ujarnya, “Haaa haa Shen heng selamat bertemu!”
Dengan perlahan dia membuka penutup botol itu sehingga terciumlah bau arak yang
amat harum sekali, sambungnya, “Cayhe sudah membawakan sebotol arak wangi…”
“Aaah arak bagus, arak bagus!” tiba-tiba terdengar si pendeta pemabok mementangkan
matanya lebar-lebar dan berteriak-teriak seperti orang kesurupan.
“Arak Bwee Hoa Lok dari cayhe ini sudah ada seratus tahun usianya,” terdengar si
siucay berbaju hijau itu berkata sambil tersenyum. “Walaupun Too heng mempunyai
julukan sebagai si pendeta pemabok dan tidak akan mabok sekalipun minum arak seribu
cawan tetapi untuk arak ini tidak akan bisa minum lebih banyak.”

Bau arak yang tersiar di dalam ruangan kuil itu semakin sangat menebal dan semakin
keras, si pendeta pemabok Pan Ciat kali ini benar-benar terpengaruh oleh baunya arak
tersebut, sepasang matanya yang bulat bersinar itu tiada hentinya memandang ke atas
botol porselen putih yang ada di tangan siucay berjubah hijau itu, dari wajahnya kelihatan
dia benar-benar tertarik oleh arak itu.
Tampak si siucay berbaju hijau itu mengambil keluar sebelah cawan porselen dari
dalam sakunya lalu menuangkan arak Bwee Hoa Loknya ke dalam cawan.
Sambil melirik sekejap ke arah si pendeta pemabok dia lantas meneguk habis isinya
dalam satu tegukan.
Sambil melirik si pendeta pemabok Pan Ciat selalu saja terjerumus di dalam keadaan
setengah sadar setengah tidak oleh pengaruh arak dan selamnya belum pernah mencoba
harumnya arak seperti kali ini, sewaktu melihat si siucay berbaju hijau itu meneguk arak
Bwee Hoa Lok dengan sedapnya tidak kuasa lagi dengan paksaan diri dia menahan rasa
keinginannya itu mendadak sambil bangkit berdiri dia berjalan mendekati si siucay itu
dengan langkah lebar.
“Bagaimana kalau pinceng pun ingin mengikat satu persahabatan dengan Jan hong?”
“Haa, haa, apakah kau menginginkan arak Bwee Hoa Lok yang ada di tangan cayhe
ini?” tanya si siucay berbaju hijau itu sambil tertawa.
“Tidak salah, entah sukakah Jan heng menghadiahkan kepadaku?” seru si Pan Ciat
dengan muka yang merem melek.
Waktu itu ayah si siucay berbaju hijau itu sudah berubah memerah karena pengaruh air
kata-kata tersebut dia segera menoleh sekejap ke arah si Toosu berusia pertengahan itu.
“Kekuatan minum Too heng amat kurang dan tiada bandingannya dikolong langit pada
saat ini,” jawabnya. “Sedang arak Bwee Hoa Lok yang ada di tangan cayhe pun cuma
tinggal separuh saja. Bilamana mengharuskan cayhe menghadiahkan yang separuh lagi ini
kepada Too heng bukankah orang yang lain tidak akan berhasil mencicipi rasanya arak
ini??”
Dia menundukkan kepalanya untuk memandang sekejap botolnya itu setelah itu
sambungnya lagi, “Cayhe jarang sekali berkelana di Bulim kali ini sewaktu cayhe berkelana
kembali di dalam Bulim dan bisa bertemu muka dengan saudara-saudara sekalian sebagai
jagoan berkepandaian tinggi yang memiliki nama besar disungai telaga membuat hatiku
merasa amat girang, cuma sayang sewaktu cayhe meninggalkan rumah tidak membawa
arak dalam jumlah yang lebih banyak. Bagaimana kalau sekarang cayhe menghadiahkan
masing-masing orang secawan arak dulu kemudian sisanya baru diberikan semua kepada
Too heng ini?”
“Waaah… tidak bisa… tidak bisa… tidak bisa…” seru Pan Ciat Thaysu sambil
memandang sekejap ke arah botol tersebut. “Sisa arak yang masih ada di dalam botol itu
sangat terbatas, bilamana setiap orang yang ada di dalam ruangan ini harus meneguk satu
cawan, aku rasa arak itupun bakal kekurangan!”
“Haaa… haaa… kau janganlah kuatir dulu,” jawab si siucay berbaju hijau itu sambil
tertawa. “Bukannya cayhe sengaja berbicara sombong. Orang-orang yang hadir di dalam

ruangan kuil pada saat ini kecuali Too heng seorang, yang lain kiranya tidak bakal ada
yang bisa menandingi kekuatan cayhe. Bilamana orang yang belum pernah minum arak
cukup dikasih baru sebentar saja sudah terlebih dari cukup.”
“Pinto adalah orang beribadat. Selamanya pantang minum arak, kebaikan budi dari Jan
heng ini bioarlah pinto terima dihati saja,” tiba-tiba terdengar si Toojien berusia
pertengahan itu berkata dengan suara yang perlahan.
Si siucay berbaju hijau itu lantas tersenyum dia berdiri dan menuangkan secawan arak
kemudian dengan perlahan berjalan ke depan Toosu berusia pertengahan itu.
“Bilamana Too heng tidak suka meneguk bagaimana kalau menciumnya sebentar saja?”
ujarnya, “bukannya cayhe sengaja berbicara sombong, di dalam dunia pada saat ini
kiranya tidak akan terdapat arak yang lebih harum dari arak Bwee Hoa Lok dari cayhe ini?”
Agaknya si toosu berusia pertengahan itu merasa tidak enak untuk menolaknya, dia
lantas menerima cawan itu dan diciumnya beberapa saat setelah itu pujinya, “Hem…
benar-benar merupakan arak bagus, walaupun pinto tidak pernah minum tetapi harumnya
arak ini benar-benar menyegarkan badan… sungguh-sungguh merupakan arak yang
berharga.”
“Bilamana aku si hweesio bisa mencium pula maka segera akan pinceng ketahui
benarkah perkataanmu itu?” timbrung Pan Ciat Thaysu dari samping.
“Haaa… haaa… Too heng jangan gugup dulu!” seru si siucay berbaju hijau itu sambil
tertawa. “Perkataan yang sudah cayhe ucapkan selamanya tidak dapat dipungkiri, sisa
arak ini tentu cayhe hadiahkan kepadamu.”
Siauw Ling yang melihat beberapa orang itu dikarenakan sebotol arak sudah saling
dorong saling menolak dalam hati merasa rada heran.
Si pendeta pemabok Pan Ciat bermaksud meminta tetapi si siucay berbaju hijau itu
justru tidak memberi. Sebaliknya si toosu berusia pertengahan yang menolak sebaliknya
dipaksa terus oleh siucay berbaju hijau itu.
Tampak dengan perlahan si Toosu berusia pertengahan itu mengembalikan lagi cawan
arak itu kepada si siucay lalu ujarnya, “Sekalipun ada arak bagus dihadapan mata sayang
pinto tidak berani meneguknya.”
Sisisucay berbaju hijau itu segera menerima cawan itu dan diangsurkan kepada si
Toosu cilik berjubah hitam itu.
“Hey Toosu cilik, kaupun cobalah merasakan barang bagus ini!” katanya.
Dengan gugup si Toosu berbaju hitam itu melengos kesamping.
“Tidak, siauwte tidak kuat mencium bau arak……” tolaknya.
Si siucay berbaju hijau itu segera tertawa terbahak-bahak.
“Haaa… haaa… peraturan perguruan dari Bu-tong-pay ternyata benar-benar amat
deras!” pujinya.

Setelah itu dengan langkah lebar dia berjalan mendekati si pengemis kelaparan.
Semasa Im Kauw masih hidup sering sekali dia menceritakan keadaan di dalam Bulim
kepada Siauw Ling, di dalam ingatannya Bu-tong-pay adalah kumpulan dari orang-orang
baik, kini melihat keadaan dari toosu amat gagah dan berwibawa tidak terasa dalam hati
merasa amat kagum sekali.
Setelah mendekati tubuh si pengemis kelaparan siucay berbaju hijau itu segera
mengangsurkan arak itu kehadapannya.
“Pada masa mendekat ini cayhe jarang sekali berkelana di dalam Bulim tetapi nama
besar dari Shen heng sudah lama cayhe dengar…” katanya.
“Cuma sayang aku si pengemis tua selamanya suka makan tetapi pantang terhadap
arak maksud baik ini biarlah aku si pengemis tua terima dihati saja,” ujar si pengemis
kelaparan sambil melirik sekejap ke arah cawan tersebut.
Air muka si siucay berbaju hijau itu segera berubah sangat hebat.
“Arak Bwee Hoa Lok dari cayhe ini termasuk arak yang paling terkenal dikolong langit
pada saat ini. Bilamana Shen heng melewatkan kesempatan yang baik ini mungkin
selamnya bakal tidak bisa merasakan kembali!” serunya.
“Kalau begitu biarlah bagian dari si pengemis tua diberikan pada Pan Ciat To heng,”
ujar si pengemis kelaparan kemudian setelah itu dia pejamkan matanya kembali.
Mendengar perkataan tersebut si pendeta pemabok dengan langkah yang lebar segera
berjalan mendekat.
“Haaa… haaa kalau menjual arak seharusnya menjual pada orang yang membutuhkan…
haaa… haaa… haaa… selamanya si pengemis tua itu berpandangan arak sehidung kerbau
itupun untuk menjaga nama dan kedudukan tidak sua minum, kelihatannya cuma aku si
hweesio tua saja yang suka arak seperti nyawanya sendiri… haaa… haaa asalkan ada arak
bagus sekalipun di dalam arak itu sudah diberi racun pemutus usus aku si hweesio tetap
akan meneguknya sampai habis, sekalipun setelah itu harus mati. Haaa… haaa matipun
dengan mata meram” katanya.
Si siucay berbaju hijau itu lantas termenung sebentar, akhirnya sambil tertawa keras
diapun mengangguk.
“Tidak salah!” sahutnya. “Untuk menjual arak seharusnya menjual pada yang
membutuhkan, biarlah arak Bwee Hoa Lok ini sampai cawan dan botolnya cayhe
hadiahkan semua kepadamu.”
Si pendeta pemabok segera menerima arak dan diteguknya sampai habis.
“Haaa… haaa… arak bagus, arak bagus” pujanya tiada hentinya.
Si siucay berbaju hijau itu tidak memperdulikan akan pujian dari si pendeta pemabok
itu lagi, lantas duduk bersila dan menghembuskan napas panjang.

“Saudara-saudara sekalian tidak suka merasakan arak Bwee Hoa Lok dari cayhe apakah
kalian takut di dalam arak sudah aku beri racun???” katanya dengan kesal.
Beberapa patah kata perkataannya seperti lagi bergumam seorang diri seperti juga
sedang menjelaskan kepada orang lain akan kemangkelan hatinya.
Mendadak tampaklah si toosu berusia pertengahan itu bangkit berdiri sepasang
matanya yang sangat tajam tiada hentinya memperhatikan wajah Siauw Ling.
“Siauw sicu,” ujarnya dengan perlahan. “Apakah kau lagi tidak enak badan???”
Siauw Ling yang sudah menaruh simpatik terhadap dirinya segera mengangguk.
“Sedikit tidak enak badanku!” sahutnya.
“Pinto paham di dalam ilmu pengobatan bagaimana kalau pinto bantu menyembuhkan
sakit dari Siauw sicu itu!” kata si Toosu berusia pertengahan itu sambil tertawa.
Sehabis berkata dia melirik sekejap ke atas wajah si pengemis kelaparan itu untuk
memeriksa perubahan air mukanya.
Walaupun Siauw Ling amat pintar tetapi dia tidak paham akan kelicikan yang ada di
dalam dunia kangouw, tanpa perduli apakah toosu itu kawan atau lawan dia lantas
menyahut, “Bagus sekali! Aku harus mengucapkan terima kasih dulu kepada Tootiang!”
Tetapi si toosu berusia pertengahan itu masih tetap duduk tidak bergerak, apa yang
sedang dia nantikan??
Terdengar si pengemis kelaparan itu sembari menghela napas panjang sudah berkata,
“Bocah ini sudah membuang tenaga murni aku si pengemis tua selama satu hari satu
malam lamanya, tetapi sakitnya belum benar-benar sembuh. Bilamana Tootiang suka
turun tangan memberi bantuan, sudah tentu aku si pengemis tua merasa sangat berterima
kasih sekali.”
“Aaaah… sicu jangan berbicara demikian,” ujar si toosu berusia pertengahan itu sambil
tertawa. “Pinto tidak lebih cuma mengerti akan sedikit ilmu pengobatan saja. Menurut apa
yang pinto lihat dari wajah bocah itu pinto rasa sakit yang diderita Siauw sicu ini sudah
dideritanya sejak kecil ditambah lagi luka yang diderita di dalam beberapa hari ini
mengakibatkan dia benar-benar terluka dalam.”
“Tidak salah?” sambung si pengemis kelaparan itu dengan cepat. “Jalan darah Thay He
Piat didekat usus dua belas jarinya sudah terkena totok sehingga mengakibatkan uraturatnya
menjadi berubah tempat aliran darahnya membeku. Bilamana tidak ditolong maka
di dalam tujuh hari tentu akan menemui ajalnya atau paling sedikit akan jadi cacat untuk
selamanya… hee… aku si pengemis tua tidak mengerti akan ilmu pengobatan perkataanku
itupun menurut dugaan yang apa aku ketahui saja.”
“Perkataanku itupun tidak salah” jawab si Toosu berusia pertengahan itu sembari
tertawa. “Yang membuat pinto kecewa adalah tidak berhasilnya memulihkan dia seperti
sedia kala. Bilamana Shen heng suka menyerahkan dirinya untuk pinto bawa pergi maka
sekarang juga pinto bermaksud membawanya kembali ke Bu-tong-pay.”

“Setelah itu memohon agar Ciangbun suheng suka turun tangan menyembuhkan
lukanya ilmu pengobatan dari ciangbun suheng yang melebihi dari pinto sepuluh kali lipat,
pinto rasa lukanya tentu bisa disembuhkan olehnya.”
Mendadak si pengemis kelaparan membuka sepasang matanya lebar-lebar sinar
matanya yang amat tajam dengan terpesonanya memperhatikan wajah Toosu tersebut.
“Im Yang Cu!” terdengar dia berkata kembali sepatah demi sepatah. “Aku si pengemis
tua sudah setengah abad melakukan perjalanan di dalam sungai telaga dan mengalami
dahsyatnya, apakah kau suruh aku membalikkan perahu di tengah sungai??”
Im Yang Cu segera tersenyum.
“Sekalipun pinto mempunyai maksud hati yang lain, tetapi kau janganlah kuatir, pinto
pasti berhasil menyembuhkan lukan yang diderita olehnya.”
“Kalau begitu baiklah, kau bawalah dia pergi dari sini,” ujar si pengemis kelaparan
kemudian sambil pejamkan matanya. Im Yang Cu lantas meloncat bangun sambil
menggandeng tangan si toosu cilik berbaju hitam itu dia meloncat kesamping tubuh Siauw
Ling kemudian menggendongnya dan meloncat keluar dari kuil tersebut.
“Hee, hee, Im Yang Too heng, tunggu dulu!” terdengar si siucay berbaju hijau itu
membentak dengan suara yang amat dingin.
Tangan kirinya segera diulapkan ke depan seorang cebol berbadan hitam yang ada di
belakang badannya mendadak meloncat ke depan menghalangi perjalanan pergi dari si
toosu cilik berbaju hitam itu.
Kembali pundak Im Yang Cu sedikit bergerak dengan gerakan yang amat cepat dia
sudah berada dihadapan si toosu cilik berbaju hitam itu kembali.
“Jan heng, apakah kau hendak menyusahkan diri pinto??” bentaknya dengan dingin.
“soal ini cayhe rasa aku tidak punya nyali yang begitu besar,” ujar si siucay berbau
hijau itu sambil tertawa-tawa. “Haaa. haa di dalam dunia persilatan siapa yang tidak kenal
dengan nama besar dari Im Yang Too heng?”
Siauw Ling yang melihat beberapa orang itu ternyata sudah saling memperebutkan
dirinya dakam hati sekali lagi merasa keheranan bercampur geli.
“Eeei, eei bagaimana sampai aku Siauw Lingpun dipandang begitu pentingnya??”
pikirnya dihati.
Tampak Im Yang Cu mengebutkan hut tim yang ada ditangannya kesamping.
“Kalau memang Jan heng tidak bermaksud untuk menyusahkan diri pinto lebih baik
janganlah berlaku demikian kasar” katanya.
Si siucay berbaju hijau itu segera tertawa dingin.

“Walaupun cayhe tidak bermaksud untuk menyusahkan diri Im Yang Too heng, tetapi
sama sekali tidak merasa ngeri terhadap nama besar dari Bu-tong-pay apalagi pedang di
tangan Im Yang Too heng itu!” katanya seram.
Im Yang Cu segera mengerutkan alisnya, pundaknya sedikit bergerak hendak
melancarkan serangan tetapi akhirnya dia bersabar kembali.
“Lalu Can heng ada petunjuk apa?” tanyanya. “Aku tentu akan mendengarkan semua
perkataanmu itu.”
Sepasang mata yang amat tajam dari siSin berbaju hijau itu dengan tiada hentinya
putar di tubuh Siauw Ling, lama sekali serunya kembali, “Im Yang Too heng tidak sayang
melakukan perjalanan sejauh ribuan li apakah sungguh-sungguh bermaksud hendak kirim
saudara cilik ini ke gunung Bu-tong-pay untuk disembuhkan sakitnya?”
“Tidak salah.”
“Ada pepatah mengatakan: menolong orang bagaikan menolong api. Kalau memangnya
saudara cilik ini menderita sakit yang amat parah apakah di bisa mempertahankan dirinya
akan penderitaan selama melakukan perjalanan sejauh ribuan li ini??”
“Soal ini pinto sudah ada rencana yang tersendiri Jan heng tidak perlu
menguatirkannya!”
“Apanya yang tidak perlu??”
“Walaupun cayhe tidak pandai dan tidak mengerti ilmu pengobatan tetapi cuma hanya
untuk menyembuhkan sakit dari saudara cilik ini tidaklah perlu melakukan perjalanan
sejauh ribuan li untuk kembali ke gunung Bu-tong.” kata si siucay itu dingin.
“Pinto sudah memperoleh persetujuan dari Shen heng, kini Jan heng sengaja
menentangi maksudku, entah kau mempunyai maksud hendak berbuat apa?” seru Im
Yang Cu mendongkol.
Si siucay berbaju hijau itu segera tertawa-twa.
“Untuk menolong nyawa orang lain, cayhe tak akan ragu-ragu untuk turun tangan
sendiri,” jawabnya.
Siauw Ling yang mendengar perkataan tersebut hatinya merasa semakin keheranan
lagi.
“Aaah… sungguh lucu sekali!” pikirnya “kiranya mereka beribut sendiri karena hendak
berebutan untuk menyembuhkan sakitku haa kiranya orang yang hendak berbaik hatipun
tidak sedikit jumlahnya!”
Air muka Im Yang Cu segera berubah sangat hebat.
“Pinto merasa ilmu pengobatanku tidak berada di bawah kepandaian dari Jan heng,”
ujarnya dengan dingin. “Aku sendiripun merasa tidak ada kekuatan untuk menyembuhkan
sakit diri Siauw sicu ini apalgi dengan mengandalkan sedikit ilmu pengobatan yang Jan

heng miliki itu… hm!! hmmm! pinto rasa lebih baik kau janganlah terlalu menyombongkan
diri!”
“Haaa… haaa cayhe di dalam Bulim disebut sebagai Pek So Cian Ih atau sitabib sakti
bertangan seratus apakah gelar inipun cayhe dapatkan sebagai nama kosong belaka?” ujar
si siucay berbaju hijau itu sambil tertawa.
“Pinto cuma mendengar Jan heng memiliki gelar sebagai Pek So suseng atau
sisastrawan bertangan seratus, tetapi belum pernah mendengar kaupun memeliki gelar
sebagai sitabib sakti bertangan seratus!”
“Hal itu dikarenakan Too heng jarang sekali melakukan perjalanan di dalam dunia
persilatan sehingga pengetahuannya rada cetek” jawab si siucay sambil tertawa terbahakbahak.
Dia berhenti sebentar untuk kemudian sambungnya lagi, “Kalau memangnya Too heng
tidak percaya terhadap ilmu pengobatan yang cayhe miliki sanggup untuk memberikan
sedikit demontrasi dihadapan diri Too heng bagaimana?”
“Hmm! Selama hidup seorang manusia di dalam dunia ini cuma mengalami sekali
kematian peristiwa yang amat besar ini bagaimana boleh digunakan sebagau percobaan?”
Seru Im Yang Cu sambil tertawa dingin.
Si siucay berbaju hijau itu melirik sekejap ke arah si pendeta pemabok yang sudah
berada di dalam alam mimpi sambil memeluk botol yang berisikan arak Bwee Hoa Lok itu
nyalinyapun saat ini jadi bertambah besar.
“Hmmm…! cayhe mau tanya. Apakah saudara cilik ini adalah anak murid dari Bu-tongpay
tetapi pinto menerima titipan dari orang lain, soal ini bagaimanapun harus pinto
selesaikan sampai mencapai hasil.”
“Kau menerima titipan dari siapa?” tanya si siucay itu sambil tertawa.
Agaknya Im Yang Cu tidak ingin bentrok dengan si Pek So suseng sehingga menahan
sabar katanya, “Bukankah Jan heng melihat dengan mata kepala sendiri kalau pinto
menerima titipan dari Shen Thay hiap? Dia minta pinto untuk mengirim Siauw sicu ini
kembali ke gunung Bu-tong-pay lalu menyembuhkan sakitnya!”
“Kalau memangnya begitu maka bilamana Shen heng setuju maka kaupun bisa
meninggalkan satu dara cilik disini.”
Im Yang Cu cuma mendengus dengan dinginnya dia mengucapkan sepatah katapun.
Sengaja si siucay berbaju hijau itu mempertinggi suaranya, lantas ujarnya lagi,
“Bilamana Shen heng percaya dengan ilmu pengobatan yang cayhe miliki maka sekarang
juga cayhe akan turun tangan menyembuhkan luka serta sakit yang diderita saudara cilik
ini.”
Dengan pandangan yang amat teliti Siauw Ling segera memperhatikan si siucay berbaju
hijau itu, walaupun panca indranya sangat sempurna, kulitnya halus bagaikan salju tetapi
dari sepasang matanya memancar keluar cahaya yang amat menyeramkan dari antara

alisnyapun secara samar-samar diliputi oleh selapis hawa hitam yang amat tebal, hatinya
jadi merasa rada bergidik.
Tanpa menanti jawaban dari si pengemis kelaparan lagi dia sudah berteriak dengan
kerasnya.
“Empek Shen, aku tidak mau diobati oleh dia orang, aku mau ikut Tootiang saja.”
Sepasang mata siucay berbaju hijau segera berkelebat dengan amat seramnya
memandang tajam wajah sang bocah kecil mungil itu.
“Jarak dari sisi gunung Bu-tong-pay amat jauh sekali. Hmmm! Sebelum tiba digunung
Bu-tong-pay mungkin kau sudah mati terlebih dahulu,” ujarnya dengan dingin.
“Sekalipun aku mati ada sangkut paut apa dengan dirimu?” tantang Siauw Ling dengan
kesal.
Si siucay berbaju hijau itu segera mengerutkan alisnya rapat-rapat, agaknya dia hendak
mengumbar hawa amarahnya.
Tiba-tiba terdengar si pengemis kelaparan sudah berkata dengan suara yang amat
dingin sekali.
“Bocah cilik itu adalah aku si pengemis tua yang menitipkannya kepada Im Yang
Tooheng untuk dibawa kembali ke gunung Bu-tong-pay. Bilamana dari tengah ada orang
yang bermaksud menghalangi maka orang itu sama saja bermaksud hendak mencari garagara
dengan kami si pendeta pemabok serta si pengemis kelaparan!”
Air muka si Pek So suseng segera berubah sangat hebat. Hawa hitam yang meliputi di
atas alisnyapun semakin menebal, tetapi hanya di dalam sekejap saja sudah lenyap
kembali.
“Haaa… haaaa… haaa…! kalau memangnya Shen heng bermaksud demikian maka
cayhe tidak akan menghalangi lagi,” sahutnya sambil tertawa terbahak-bahak. “Heeei…
cuma sayang nyawa saudara cilik ini harus lenyap di tangan Im Yang Too heng yang
bermaksud baik ini.”
Im yang Cu yang jadi orang amat tenang segera tertawa tawar.
“Soal ini Jan heng tidak usah mewakili pinto merasa kuatir…” Katanya dia berhenti
sebentar untuk kemudian sambungnya lagi, “Bagaimana kalau Jan heng memberi jalan
buat pinto?”
“Heee… heee semoga Too heng bisa selamat bila selama di dalam perjalanan,” sindir
Pek So suseng sambil tertawa dingin.
Dia lantas mengulapkan tangannya mengundurkan si lelaki cebol itu.
Im Yang Cu segera di depan melindungi si toosu cilik berbaju hitam yang menggendong
Siauw Ling untuk mengundurkan diri dari ruangan kuil tersebut.

Walaupun usia Toosu cilik itu tidak begitu besar tetapi kecepatan geraknya sangat gesit
sekali.
Siauw Ling cuma merasakan telinganya tersampok amgin yang menderu hawa dingin
dengan amat tajamnya menyampok badan membuat dia sukar untuk bernapas, terpaksa
sambil menyembunyikan wajah ke belakang leher toosu cilik itu dia berdiam diri.
Entah lewat bebrapa saat kemudian mendadak Siauw Ling mersakan Toosu cilik itu
menghentikan gerakan tubuhnya. Sewaktu dia angkat kepalanya memandang terlihatlah
tempat dimana dia berada ada di bawah sebuah puncak gunung yang amat tinggi.
Im Yang Cu sambil mengobat abitkan hut timnya berdiri kurang lebih empat lima depa
dari dirinya. Sambil tersenyum dia lantas berkata kepada Toosu cilik itu dengan suara yang
perlahan, “Turunkan dirinya, mari kita makan dulu kemudian baru melanjutkan kembali
perjalanan.”
“Suhu!” ujarnya si Toosu cilik berbaju hitam itu sambil menyeka keringat yang
membasahi wajahnya?”
“Dapatkah Pek So suseng itu mengejar datang??”
“Walaupun mereka punya maksud untuk mengejar kemari, tetapi aku menduga Shen
Cong si pengemis kelaparan itu akan turun tangan menghalang-halangi dirinya.”
Dengan perlahan si Toosu cilik itu baru meneurnkan tubuh Siauw Ling yang
dipanggulnya itu ke atas tanah lalu menghembuskan napas panjang-panjang, agaknya
setelah melakukan perjalanan jauh ini badannya terasa amat lelah.
Dari dalam sakunya Im Yang Cu lantas mengeluarkan rangsum keringnya, kepada
Siauw Ling ujarnya sambil tertawa.
“Saudara cilik, kau jangan takut, pinto pasti tidak akan merugikan dirimu.”
Siauw Ling menerima pembagian rangsum kering itu dan bersama-sama kedua orang
Toosu itu bersantap, setelah beristirahat sebentar akhirnya mereka kembali melanjutkan
perjalanan.
Seperti keadaan semula kembali dia digendong si Toosu cilik berbaju hitam itu untuk
melanjutkan perjalanan.
Siauw Ling yang berotak cerdik apa lagi sejak kecil banyak mempelajari buku
pengetahuan.
Ditambah pula selama beberapa hari ini mengikuti Gak Siauw-cha merasakan
bahayanya dunia kangouw membuat di dalam hatinya lebih mengerti lagi terhadap
kelicikan dan kekejaman dunia ini.
Di dalam hati dia mengerti kalau si Toosu yang gagah dan berwibawa ini bukanlah
hendak menyembuhkan sakitnya secara kesungguhan hati, di samping hal itu tentu
mempunyai maksud yang tertentu cuma saja Siauw Ling tidak mengetahui apakah maksud
yang sebenarnya dari Toosu ini.

Pertanyaan ini selalu saja berpaut di dalam otaknya membuat dia mulai menggerakkan
akalnya memikirkan cara-cara untuk menyelamatkan diri.
Mereka kembali melakukan perjalanan selama satu harian penuh dan akhirnya deretan
pegunungan yang amat panjang itu berhasil dilalui tanpa rintangan apapun.
Setelah itulah siauw Ling melakukan perjalanan tidak digendong lagi oleh Si Toosu cilik
itu, mereka memasukkan Siauw Ling ke dalam kereta untuk melanjutkan perjalanan.
Pada saat-saat itulah Siauw Ling merasakan badannya terjadi perubahan. Penyakit yang
semula mengeram di dalam badannya setelah mengalami luka ini mulai kambuh kembali,
seluruh tubuhnya amat panas, anggota badannya terasa amat berat dan sukar diangkat
cuma kesadarannya saja masih tetap penuh.
Kelihatannya Im Yang Cu amat gelisah sekali dengan sekuat tenaga dia berusaha untuk
menyembuhkan sakit dari Siauw Ling ini, tiada hentinya dia memeriksa urat nadinya
kemuian menyalurkan hawa murninya ke dalam tubuh sang bocah.
Tetapi keadaan sakit dari Siauw Ling sama sekali tidak mengalami perubahan,
kesadarannyapun berangsur-angsur punah.
Bocah cilik itu cuma merasakan secara samar-samar dia harus meminum obat berulang
kali.
Hari itu kesadaran Siauw Ling mendadak pulih kembali ketika dia membuka matanya
terlihatlah Im Yang Cu ad disisinya sedang si Toosu cilik berbaju hitam itu sambil
memegang sebuah mangkok obat sedang memandangi dirinya dengan hati gelisah.
Kini melihat dia sadar kembali dengan wajah yanga amat girang segera berseru,
“Apakah kau merasa baikan?”
“Hatiku terasa panas seperti dibakar. Aku rasa nyawaku tidak akan lama lagi hidup di
dunia,” sebut Siauw Ling sambil gelengkan kepalanya.
“Tidak mengapa! kita sudah hampir tiba digunung Bu-tong-pay,” ujar si Toosu cilik itu.
“Too supekku pandi sekali di dalam ilmu pengobatan, dan punya kepandaian untuk
menghidupkan kembali orang yang sudah mati, asalkan kita bisa tiba digunung Bu-tongpay
maka dengan cepatnya kau bakal sembuh kembali dari sakitmu.”
“Heeei… kenapa kalian begitu merasa kuatir terhadap mati hidupku!” tanya Siauw Ling
secara tiba-tiba sambil menghela napas panjang.
Si Toosu cilik itu jadi melengak.
“Karena… karena…”
Dia tidak terbiasa berbicara bohong, maka untuk beberapa saat lamanya dia orang
dibuat gelagapan tidak sanggup untuk mengucapkan sepatah katapun.
“Aku tahu!” terdengar Siauw Ling tertawa sedih. “Kalian bukanlah bersungguh-sungguh
hendak menyembuhkan diriku dari sakit, kalian cuma ingin membawa aku ke gunung Butong-
pay…”

“Heeei… lukamu amat parah, penyakit lama yang tidak pernah diobati ditambah pula
dengan luka dalam yang parah membuat badanmu jadi lemah.” sambung Han Yang Cu
secara tiba-tiba. “Kini harus terkena pula angin dingin membuat penyakit itu jadi mulai
bekerja… heee… sekarang bermacam-macam penyakit itu sudah bergabung menjadi satu,
kecuali Too suhengku seorang mungkin pada saat ini ada orang lain yang bisa
menyembuhkan sakitmu itu.”
“Soal itu tidak mengapa. Aku tidak takut” Seru Siauw Ling perlahan.
Agaknya Im Yang Cu sama sekali tidak menyangka kalau dia bisa mengatakan
perkataan tersebut, tidak kuasa lagi hatinya jadi melengak.
“Walaupun kau menderita luka dan sakit yang parah tetapi wajahmu menunjukkan
bukankah orang yang berusia pendek” hiburnya sambil tertawa. “Ilmu pengobatan dari
Toa Suheng amat lihay sekali, untuk menyembuhkan sakitmu itu pinto rasa bukanlah satu
pekerjaan yang sukar sekali.”
Mendadak siauw Ling bangun berdiri agaknya dia bermaksud untuk duduk, siapa tahu
baru saja dia kerahkan sedikit tenaga sepasang matanya jadi menggelap badannya amat
sakit sekali sehingga tidak kuasa lagi dia sadarkan diri.
Entah lewat beberapa saat lamanya Siauw Ling cuma merasakan adanya dua buah
telapak tangan yang amat panas bergerak dan meraba diseluruh tubuhnya setelah itu
badannya terasa agak segar dari pada keadaan semula.
Dengan perlahan dia membuka matanya kembali terlihatlah seorang Toosu yang
rambutnya sudah berwarna putih dengan wajah yang angker sedang mengurut dan
memijit seluruh tubuhnya, dimana jari tangannya menyentuh segera terasalah segulung
aliran yang amat panas meresap masuk ke dalam badannya.
Di belakang Toosu berambut putih itu berdirilah Im Yang Cu dengan wajah yang amat
serius, didekat pembaringan terletak sebuah hiooloo berwarna hitam yang amat cantik.
Dari hiooloo tersebut mengepullah asap putih yang berbau harum.
Terdengar Toosu tua itu menghembuskan napas panjang-panjang lalu dengan perlahan
menarik kembali sepasang telapak tangannya.
Lama sekali dia memandang diri Siauw Ling dengan termangu-mangu. Kemudian pada
wajahnya yang angker terlintaslah satu senyuman yang amat ramah sekali.
“Bocah cilik, kau merasa baikan?” tanyanya halus.
“Benar… aku merasa rada baikan,” jawab Siauw Ling sambil mengangguk. “Loo
Tootiang sudah tentu adalah suheng dari Im Yang Tootiang ciangbunjin dari Bu-tong-pay
bukan?”
Si Toosu berambut putih itu segera tersenyum.
“Pinto adalah Bu Wie. Keadaan sakit dari siauw sicu amat parah dan kini pun aliran
darah baru saja lancar, lebih baik janganlah banyak membuang tenaga untuk berbicara,

untuk bercakap-cakap waktu dikemudian hari masih panjang, kini lebih baik kau
beristirahat telebih dahulu.”
Mendadak Siauw Ling menghela napas panjang.
“Heeei…, Enci Gak ku entah pada saat ini ada dimana?” keluhnya.
Setelah itu dengan perlahan dia memejamkan matanya kembali.
Im Yang Cu dengan hormatnya lantas menjura terhadap Bu Wie Tootiang setelah itu
dengan cepat mengundurkan diri dari situ.
Agaknya Bu Wie Tootiang merasa agak payah, begitu Im Yang Cu sudah
mengundurkan diri dari ruangan tersebut diapun segera pejamkan matanya untuk
mengatur pernapasan.
Suasana di dalam kamar seketika itu juga berubah menjadi amat sunyi, saking sunyinya
sampai terjatuh jarumpun bisa kedengaran.
Setelah tidur dengan puas semangat dari Siauw Ling pun jauh pulih seperti sedia kala
sewaktu dia membuka matanya kembali terlihatlah si Toosu tua itu masih tetap duduk
bersila dengan amat tenangnya di samping pembaringan. Saat ini waktu sudah
menunjukkan tengah malam, suasana di dalam kamar itu gelap gulita cuma terpecik
sedikit cahaya biru dari dalam Hiooloo kuno tersebut, seluruh benda yang ada di dalam
kamar setelah terkena sinar kebiru-biruan tersebut secara samar-samar segera
memantulkan cahaya hijau yang amat tipis.
Siauw Ling segera sedikit menggoyangkan badannya, lalu dengan perlahan-lahan
bangun duduk.
Baru saja dia bermaksud molor dari atas pembaringan mendadak Boa Wie Tootiang
yang ada di sampingnya sudah membuka matanya lebar-lebar.
“Bocah di tengah malam buta kau tidak boleh berjalan-jalan diluar kamar” tegurnya
sambil tertawa. “Tetapi bilamana kau ingin jalan-jalan bolehlah kau berjalan di dalam
kamar pembuat obat ini saja karena dengan demikian terhadap obat yang baru saja kau
telan memberikan bantuan yang amat berharga.”
Kedudukan ciang bunjin dari Bu-tong-pay amat dihormati sekali di dalam Bulim kali ini
dia bersikap begitu ramahnya terhadap Siauw Ling hal ini boleh dikata merupakan satu
perisatiwa yang patut dibanggakan.
Tetapi Siauw Ling sama sekali tidak merasa dia dengan langkah yang perlahan segera
berjalan mendekati hiooloo kuno yang memancarkan sinar kebiru-biruan itu.
Dengan perlahan Boa Wie Tootiang menghela napas panjang, dia tidak ambil perduli
dirinya lagi Siauw Ling yang berjalan kesamping hiooloo kuno itu segera merasakan satu
tekanan yang keras memaksa dirinya, kejadian ini segera membuat dalam hati dia merasa
keheran-heranan.
“Entah barang apa yang sedang dimasak di dalam hioolo itu, kenapa pengaruhnya
begitu besar?” pikirnya dihati.

Ketika dia menengok kedalam, tampaklah diantara membaranya api berwarna kebirubiruan
itu terletaklah sebuah kotak sebesar kepalan, entah kotak itu terbuat dari bahan
apa saat ini ternyata sudah dibakar sehingga memancarkan warna merah membara.
Secara samar-samar diapun dapat melihat adanya bahan berwarna hijau yang mengalir
keluar dari antara kotak yang merah membara tersebut.
Api yang berwarna kebiru-biruan itu mengepulkeluar dari beberapa lubang sebesar jari
di bawah kotak kecil itu. Tetapi Siauw Ling tidak dapat mengetahui bahan apakah itu yang
sedang terbakar di bawah hiooloo tersebut.
Mendadak di dalam pikiran Siauw Ling teringat kembali akan ayahnya yang pernah
membuat pil, sehingga tidak kuasa lagi dia lantas bertanya, “Loo Tootiang, kau lagi
membuat pil??”
“Benar lagi membuat semacam obat kuat dirimu!” sahut Bu Wie Tootiang sambil
tertawa.
“Bikin obat buat diriku??” tanya Siauw Ling keheranan.
Bu Wie Tootiang tertawa.
“Mungkin lewat tiga hari tiga malam kemudian api itu bisa padam sendirinya, waktu
itulah obat tersebut boleh diambil untuk dimakan,” katanya.
Dengan sedihnya Siauw Ling menghela napas panjang. lalu dengan langkah perlahan
berjalan kehadapan pembaringan kayu itu.
“Loo Tootiang,” ujarnya. “Kita tidak saling mengenal, kenapa kau bersikap sangat baik
terhadapku??”
Sekali lagi Bu Wie Tootiang tersenyum.
“Orang beragama selalu mengutamakan kebajikan, pinto yang sudah tahu kalau
didadamu menderita sakit yang amat parah bagaimana berani tidak mengurus…” katanya.
Dia berhenti sebentar untuk kemudian tambahnya, “Apalagi ketika urat nadimu yang
membeku karena semacam penyakit bukanlah bisa disembuhkan oleh setiap orang.”
Dengan perlahan Siauw Ling mendekati pembaringan dan duduk kembali, setelah
termenung beberapa saat lamanya dia berkata kembali, “Aku tidak percaya kalau Loo
Tootiang menolong aku dikarenakan kebajikan!”
Agaknya Bu Wie Tootiang sama sekali tak menyangka kalau secara tiba-tiba dia bisa
mengungkap urusan ini. Bahkan perkataannya diucapkan secara terus terang, tidak kuasa
lagi dia jadi melengok dibuatnya.
Setelah termenung beberapa saat lamanya dengan perlahan dia baru berkata, “Pinto
yang menahan dirimu digunung Bu-tong-pay ini kemungkinan sekali memang ada maksud
tertentu tetapi membantu dirimu untuk menyembuhkan penyakit yang kau derita adalah
merupakan sebab utama yang paling penting…”

Berbicara sampai disini mendadak dia memutuskan kata-katanya.
“Siapa?” bentaknya dengan keren.
Terdengar dari luar kamar berkumandang masuk suara dari seseorang yang rendah dan
berat.
“Tecu ada urusan yang hendak dilaporkan.”
Sepasang alis yang merah dari Bu Wie Tootiang sedikit dikerutkan, tetapi dia tetap
duduk bersila di tempat semula.
“Masuklah!” perintahnya.
Pintu dengan perlahan dibuka dan masuklah seorang Toosu berusia pertengahan yang
mempunyai perawakan tinggi besar dengan jenggot hitam terurai ke bawah.
Jika ditinjau dari usianya jelas tidak berada di bawah usia Im Yang Cu tetapi gerakgeriknya
terhadap Bu Wie Tootiang jauh lebih menghormat lagi.
Dari tempat kejauhan dia sudah merangkap tangannya memberi hormat setelah itu
berjalan mendekati pembaringan.
“Ada orang yang melakukan perjalanan malam menaiki gunung…” sambungnya dengan
sangat hormat.
“Siapakah orang itu?” tanya Bu Wie Tootiang dengan agak berubah.
“Kepandaian silat dari orang itu tidak lemah Im Yang susiok sudah memberi perintah
agar kelima pelindung hukum dari kuil bersama-sama turun tangan menyelidiki urusan ini
sampai jelas, karena takut sampai mengganggu ketenangan dari suhu maka sengaja
memerintah tecu untuk melaporkan hal ini kepada suhu.”
Air muka Bu Wie Tootiang kembali berubah jadi amat tenang, tangan kirinya segera
diulapkan mengundurkan Toosu tersebut.
“Ehmmmm… sudah tahu!”
Toosu berusia pertengahan itu segera merangkap tangannya di depan dada memberi
hormat, setelah itu dengan sangat berhati-hati menutup kembali pintu kamar itu.
Selama ini Siauw Ling tidak mengucapkan sepatah katapun setelah termenung sebentar
diapun mendadak meloncat turun dari atas pembaringan lalu dengan langkah lebar
berjalan keluar.
“Bocah, kau ingin pergi kemana?” tegur Bu Wie Tootiang sambil mengerutkan alisnya
rapat-rapat.
“Akupun ingin pergi keluar, aku mau lihat yang datang apakah enci Gak ku?”
Selesai berkata dengan cepat dia membuka pintu kamar dan dengan langkah lebar
berjalan keluar. Ketika dia dongakkan kepalanya terlihatlah bintang tersebut laksana

semut, malam ini adalah suatu malam yang gelap tak terlihat adanya rembulan, segulung
angin dingin bertiup datang. Tidak kuasa lagi Siauw Ling bersin beberapa kali.
Mendadak dari samping badannya berkumandang datang suara seseorang yang amat
rendah dan berat.
“Angin malam sangat dingin sekali, lebih baik siauw sicu kembali saja ke dalam kamar!”
tegurnya. Siauw Ling segera menoleh kesamping entah sejak kapan di samping badannya
sudah berdiri seorang Toosu muda yang menyoren pedang pada punggungnya.
“Tidak. Aku tidak mau kembali,” sahutnya setelah memenangkan hatinya.
Toosu muda itu baru berusia delapan, sembilan belas tahunan, wajahnya bersih dan
tampan. Sebilah pedang tersoren di belakang punggungnya dengan jubah yang berkibar
tertiup angin.
Dia memandang diri Siauw Ling beberapa saat lamanya, setelah itu dengan amat dingin
ujarnya, “Tempat dan keadaan disini tidak akan memperkenankan kau untuk sembarang
menerjang bilamana siauw sicu tidak suka kembali dengan sendirinya maka terpaksa pinto
akan bantu kau melaksanakan pekerjaan ini!”
Sewaktu berbicara dia sudah mengulur tangannya mencengkeram pergelangan tangan
dari Siauw Ling.
Dengan terburu-buru Siauw Ling segera menarik kembali pergelangan tangannya ke
belakang.
Toosu muda itu melancarkan serangannya cepat bagaikan kilat, Siauw Ling mana
mungkin menghindarkan dirinya.
Dia cuma merasakan tangan kirinya jadi kaku, urat nadi pada pergelangan tangan
kirinya sudah berada di dalam cekalan Toosu muda tersebut.
Terdengar suara helaan napas yang amat panjang berkumandang keluar disusul suara
yang tua dan serak dari Bu Wie Tootiang bergema datang.
“Jangan paksa dia kembali. Biarkanlah dia berlalu!” perintahnya.
Dengan terburu-buru Toosu muda itu segera melepaskan cekalannya pada pergelangan
kiri Siauw Ling sambil menyahut dengan cepat dia mengundurkan dirinya kembali ke
bawah sebuah pohon siong.
Siauw Ling segera melepaskan dulu pergelangan tangannya yang terasa kaku, setelah
itu dengan langkah lebar dia melanjutkan kembali perjalanannya menuju ke depan.
Secara samar-samar dia bisa melihat dihadapannya merupakan sebuah bunga yang
amat luas.
Di bawah tiupan angin malam yang dingin secara samar-samar tersiarlah bau harum
yang semerbak. Dedaunan pohon siong yang menghijau tumbuh diantara berbagai bunga
yang beraneka warna membuat pemandangan disitu kelihatan amat indah sekali.

Pertama, karena gelapnya keadaan membuat pandangan Siauw Ling kurang begitu
jelas, kedua dia tidak bermaksud untuk menikmati keindahan bunga tersebut, dengan
langkah yang lebar dia langsung berjalan menuju ke arah pintu.
Halaman itu sangat luas sekali. Siauw Ling yang tidak kenal dengan keadaan disana
walaupun sudah berjalan sangat lama tetapi tidak berhasil juga keluar dari kumpulan
tanaman bunga tersebut.
Tetapi sifat yang amat kukuh membuat dia pantang mundur, walaupun saking dingin
seluruh tubuhnya sudah gemetar keras dia tetap tidak bermaksud kembali, setelah
menentukan satu arah tanpa jerinya dia berjalan terus ke arah depan.
Beberapa saat kemudian terlihatlah olehnya dua ekor burung bangau putih berdiri
diantara kebun bunga itu, sekalipun Siauw Ling lewat di sampingnya tetapi kedua ekor
burung bangau itu sama sekali tidak melarikan diri.
Keadaan yang amat aneh ini sama sekali tidak memancing rasa keheran-heranan dari
Siauw Ling di dalam hatinya dia cuma ingin cepat-cepat bertemu dengan Gak Siauw-cha
tentu enci Gaknya.
Di dalam hati dia percaya Gak Siauw-cha tentu lagi mencari dirinya sehingga tidak
kuasa lagi dia lantas berteriak keras, “Enci Gak, enci Gak, aku disini. Aku Siauw Ling!”
Sekalipun dia sudah berteriak dengan sekuat tenaga tetapi tidak kedengaran juga suara
jawaban yang ada tidak lebih cuma pantulan suara teriakannya sendiri.
Di tengah menderunya angin malam yang kencang dengan tiada hentinya dia berjalan
ke depan.
Setelah melewati sebuah kebun bunga yang amat luas, akhirnya sampailah dia di
samping sebuah tembok pekarangan yang terbuat dari batu hijau.
Sebuah pintu yang berbentuk bundar sejak semula sudah terbuka. Siauw Ling yang
badannya masih lemah dengan napas memburu keringat mengucur keluar meneruskan
perjalanannya ke depan.
Selewatnya dari pintu dia berhenti sebentar untuk menyeka keringat yang membasahi
tubuhnya. Dia dapat melihat dihadapannya terbentang sebuah jalan kecil yang beralaskan
batu putih, secara samar-samar diapun bisa melihat adanya sebuah bagunan berloteng
berdiri dengan angkernya di tengah kegelapan malam.
Siauw Ling memperhatikan sebentar keadaan disitu setelah itu dengan memilih arah
yang lapang dia melanjutkan kembali langkahnya ke depan.
Waktu ini keadaannya sudah seperti orang gila, sambil berjalan dengan sekuat tenaga
tiada hentinya dia berteriak dan memanggil-manggil enci Gaknya.
Di tengah malam yang amat sunyi, suara teriaknya yang mengandung rasa cinta kasih
ini laksana mengamuknya ombak di tengah samudra menggetarkan seluruh kuil Sam Yan
Koan yang angker itu.

Entah berlari lagi beberapa waktu lamanya, saking lelahnya Siauw Ling merasakan
napasnya ngos-ngosan pandangan matanya jadi kabur. Dia merasa enci Gaknya sudah
berubah jadi seorang perempuan cantik yang berdiri dihadapan matanya… dia merasa
hatinya semakin bergolak, dengan sekuat tenaga tiada hentinya dia lari terus ke arah
depan.
Dia berlari terus, berlari sampai badannya merasa amat lemah baru berhenti, keringat
mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya.
Saat ini Siauw Ling tidak sanggup untuk maju selangkah lagi, pandangannya jadi
berkunang-kunang darah panas bergolak dengan amat kerasnya di dalam dada, sepasang
kakinya jadi amat lemas sehingga tidak kuasa lagi dia jatuh ke atas tanah tidak sadarkan
diri.
Entah lewat beberapa saat lamanya mendadak Siauw Ling jadi sadar kembali karena
tajamnya sinar surva yang menyoroti matanya.
Dengan perlahan dia membuka matanya tampaklah kurang lebih beberapa depa dari
dirinya berada duduklah bersila Im Yang Cu sedang dirinya pada saat ini sedang berbaring
di atas tanah rumput yang lunak dan halus. Sedang di sekelilingnya tumbuhlah pepohonan
siong dengan amat lebatnya.
Kurasa lebih beberapa kaki dari tempat dimana dia berada terdepatlah sebuah tebing
yang dalamnya beratus-ratus kaki air terjun dengan derasnya memancar ke bawah
sehingga menimbulkan suara yang memekikkan telinga.
“Bocah, kau sudah bangun??” Tanya Im Yang Cu dengan wajah tersenyum ramah.
Sambil mengucak-ucak matanya Siauw Ling bangun duduk.
“Dimanakah tempat ini?” tanyanya.
“Inilah gunung sebelah belakang dari kuil Yan Yan Koan,” jawab Im Yang Cu sambil
tertawa.
Ketika Siauw Ling dongak kepalanya terlihatlah kurang lebih tiga empat li dari tempat
itu berdirilah sebuah kuil dengan amat angkernya.
Ketika teringat akan pengalamannya semalam, dia mulai merasakan sepasang kakinya
linu dan sakit sekali.
Dengan perlahan Im Yang Cu bangkit berdiri dan berjalan ke arah samping badannya.
“Kau merasa bersedih hati?” tanyanya sambil tertawa.
Siauw Ling menghembuskan napas panjang-panjang, dia merasa darahnya mengalir
dengan amat derasnya kecuali tulangnya merasa rada sakit tempat-tempat lain sama
sekali tidak merasa aneh.
“Aku sangat baik” sahutnya kemudian, “Heei! Tootiang! Apakah kau pernah melihat
enci Gak ku?”

“Tidak!” jawab Im Yang Cu sambil tertawa. “Bilamana encimu pun rindu padamu aku
rasa tidak lama kemudian dia bakal datang untuk mencari dirimu.”
“Lalu yang kemarin datang kemari bukan enci Gak?”
“Bukan!” sahut Im Yang Cu tertawa. “Bocah ciangbun suhengku itu walaupun memiliki
ilmu pengobatan yang amat lihay dan berilmu tinggi tetapi selamanya suka menyepi
sekalipun anak murid dari kuil sendiripun jarang bisa bertemu muka dengan dirinya. Heei…
kau yang bisa disembuhkan olehnya boleh dikata merupakan satu keuntungan yang luar
biasa…”
“Hal itu ada apanya yang lucu,” sambung Siauw Ling dengan cepat.
“Enci Gak pun bisa bantu aku menyembuhkan penyakit ini.”
Mendengar perkataan tersebut Im Yang Cu lantas tertawa.
“Sekalipun dia bisa membantu kau untuk menyembuhkan penyakit ini tetapi jeleknya
pada saat ini tidak terang, bahkan mungkin jauh di ujung langit, untuk beberapa saat
lamanya bagaimana mungkin kita bisa mencari dirinya??”
Dengan perlahan Siauw Ling menundukkan kepalanya tidak beebicara lagi.
“Bilamana kau tidak suka mendengar perkataanku dan sebelum penyakit tersebut benar
sembuh sudah berjalan-jalan, bukan saja susah payah dari Cianbun suheng akan berlalu
bagaikan air bahkan ada kemungkinan penyakitmu itu bakal kambuh kembali, sampai saat
itu sekalipun enci Gak mu datang juga tidak akan dapat berjumpa lagi dengan dirimu.”
Beberapa perkataan ini seketika itu juga hati Siauw Ling rada bergerak.
“Aaah benar!” pikirnya. “Bilamana aku mati karena sakit, maka selamanya tidak bakal
bisa bertemu dengan enci Gak.”
Berpikir sampai disitu tidak terasa lagi dia lantas berkata, “Bilamana menginginkan aku
suka mendengarkan nasehatmu, hal ini tidaklah terlalu sukar tetapi kaupun harus mau
menerima satu permintaanku.”
“Kau bicaralah!” ujar Im Yang Cu dengan perlahan. “Asalkan pinto bisa
melaksanakannya, tentu akan aku lakukan tanpa membantah.”
Haruslah diketahui Bu-tong-pay merupakan salah satu partai yang terbesar di dalam
Bulim dan menerima penghormatan dari semua jago.
Bu Wie Tootiang maupun Im Yang Cu pun merupakan jago-jago yang berbakat paling
aneh selama ratusan tahun ini, bukan saja kepandaian silat mereka amat dahsyat melebihi
beberapa orang Too tiang pada angkatan semula bahkan kecerdikannya pun amat
sempurna. Tidak disangka karena ingin menggunakan seorang bocah cilik yang masih
tidak mengerti urusan untuk mencapai sesuatu maksud kini harus berbuat demikian
ramahnya terhadap diri Siauw Ling.

“Aku berdiam diri disini sih boleh,” ujarnya Siauw Ling setelah berpikir sebentar. “Tetapi
bilamana enci Gak ku datang maka kalian harus memberitahukan berita ini kepadaku dan
membiarkan aku pergi meninggalkan tempat ini bersama-sama dengan dirinya.”
“Baiklah! pinto kabulkan permintaanmu itu,” sahut Im Yang Cu setelah berpikir
sebentar.
Dengan perlahan Siauw Ling berjalan maju ke depan, sembari berjalan gumamnya
seorang diri, “Aku tahu, enci Gak ku tentu akan datang kemari untuk mencari aku!”
Im Yang Cu yang mendengat perkataan itu diam-diam menghela napas panjang.
Setelah itu sambil mempercepat langkahnya dia menggendong tubuh Siauw Ling.
“Bocah!” ujarnya sambil tertawa.
“Kemarin malam kau sudah berlari satu malaman hingga pingsan, setelah
mengorbankan tenaga murni pinto selama beberapa jam lamanya aku baru berhasil
menolong kau lolos dari lobang kematian. Sekarang kekuatan badanmu belum sembuh,
mari biarlah pinto yang membopong pulang.”
Siauw Ling yang baru saja berjalan beberapa langkah segera merasakan sepasang
kakinya jadi lemas segera mengetahui kalau perkataan dari Toosu itu sedikitpun tidak
salah, tanpa membantah lagi dia membiarkan Im Yang Cu menggendong tubuhnya.
Dengan cepatnya Im Yang Cu lantas melakukan perjalanan, kurang lebih seperminum
teh kemudian dia sudah masuk ke dalam kuil.
Siauw Ling yang berada di atas pundak Im Yang Cu dapat melihat banyak sekali Toosu
yang berjalan bolak balik dijalan kecil yang terbuat dari batuan hijau itu, begitu bertemu
dengan Im Yang Cu mereka lantas merangkap tangannya memberi hormat dan menyingkir
kesamping memberi jalan. Dari sikap mereka yang sangat menghormati jelas
membuktikan kalau kedudukan dari Im Yang Cu ini di dalam Bu-tong-pay amat tinggi
sekali.
Setelah melewati beberapa buah ruangan yang benar, terlihatlah sebuah tembok
pekarangan yang terbuat dari batu hijau menghalangi perjalannya.
Sambil mengeendong Siauw Ling, Im Yang Cu lantas berja;an masuk melalui pintu yang
berbentuk bulat.
Mendadak tampaklah seorang Toosu cilik berbaju hijau berkelebat menghalangi
perjalannya.
“”Susiok harap berhenti, ciangbun suhu lagi menerima tamu,” ujarnya dengan suara
perlahan.
“Tamu siapa? Kenapa sampai aku pun harus menyingkir?” tanya Im Yang Cu sambil
memandang wajah Toosu cilik berbaju hijau itu.
“Tecu tidak kenal” sahut si Toosu cilik berbaju hijau setelah termenung sebentar.
“Tetapi Ciangbun suhu sangat hormat sekali menghadapi dirinya, suhu memerintahkan

aku berjaga disini untuk melarang siapapun berjalan masuk. Bilamana Susiok ada urusan
tunggulah sebentar, biar tecu masuk ke dalam untuk memberikan laporannya.”
“Tidak usah, biarlah sebentar lagi aku kembali,” jawab Im Yang Cu kemudian.
Sambil menggendong tangan Siauw Ling dia lanats berjalan pergi dari situ.
Haruslah diketahui biasanya Im Yang Cu sangat menaruh rasa hormat terhadap
suhengnya, Bu Wie Tootiang yang suka hidup menyendiri dari gangguan urusan
selamanya selalu saja menyerahkan semua urusan kepada Im Yang Cu. Selama puluhan
tahun ini tidak perduli urusan apapun selalu Im Yang Cu lah yang membereskannya, siapa
tahu ternyata terhadap kedatangan tetamu ini dai suhengnya sudah mengharuskan dia
untuk menyingkir.
Im Yang Cu segera mengajak Siauw Ling berjalan masuk ke dalam sebuah halaman kuil
yang kecil dan amat sunyi sekali.
“Bocah!” terdengar Im Yang Cu berkata sambil membawa Siauw Ling masuk ke dalam
ruangan tersebut. “Kau duduklah disini, setiap benda yang ada di dalam ruangan ini boleh
kau lihat tetapi janganlah sekali-kali memegangnya!”
Sinar mata Siauw Ling dengan perlahan menyapu sekejap kesekeliling tempat itu,
terlihatlah di atas dinding tergantunglah sebilah pedang serta sebuah kantungan kain di
atas meja pada dinding sebelah dalam terletak tiga batang anak panah emas yang
panjangnya ada tujuh, delapan coen. Di sampingnya terdapatlah dua buah cawan pualam
putih yang ditutupi dengan jain putih, entah barang apa yang terdapat didalamnya.
Agaknya Im Yang Cu merasa amat lelah tanpa memperdulikan diri Siauw Ling lagi dia
lantas duduk di atas pembaringan untuk semedi.
“Hmmm…! Barang-barang yang ada di dalam ruangan ini apanya yang heran? Aku tidak
akan melihat barang-barang itu dari pada harus dipandang hina oleh orang lain,” pikirnya.
Diapun lantas memejamkan matanya dan bersandar dikursi.
Tetapi bagaimanapun sifat kebosanannya masih ada akhirnya diatidak kuasa untuk
menahan rasa ingin tahu yang semakin mencekam hatinya.
Semakin dia tidak ingin melihat maka rasa ingin tahu semakin besar.
Akhirnya tidak kuasa lagi dia segera berdiri dan berjalan mendekati meja tersebut.
Terlihatlah di depan ketiga batang anah panah emas itu masing-masing terukirlah
sebuah lukisan yang amat indah sekali.
Diam-diam lantas berpikir.
“Orang yang menggunakan pedang emas tentunya seorang jagoan yang berkepandaian
tinggi tetapi kenapa pada anak panah itu terukir lukisan yang begitu indahnya?”
Sinar matanya dengan perlahan beralih ke atas cawan yang ditutupi kain putih itu,
disanapun terukir juga sebuah lukisan yang amat indah.

“Entah apakah isi dari cawan itu?” pikirnya lagi.
“Kenapa diatasnya harus ditutupi dengan kain putih?? Biarlah aku sedikit menyingkap
kain putih itu untuk melihat apa isi dari cawan tersebut.”
Berpikir sampai disini dia segera mengulu tangan kanannya untuk coba membuka kain
putih yang menutupi cawan tersebut.
“Jangan dipegang!” terdengar suara bentakan yang amat dingin berkumadang datang.
Dengan terkejut Siauw Ling menarik kembali tangan kanannya lalu menoleh ke
belakang.
Jilid 9
Terlihatlah seorang Toosu cilik berusia lima, enam belas tahunan yang berdiri di depan
pintu dengan wajah yang angker, sepasang matanya melotot lebar, dan dengan tajamnya
memperhatikan dirinya.
Pada saat itu Im Yang Cu pun sudah membuka matanya.
“Bocah!” ujarnya sambil tersenyum. “Di dalam cawan yang tertutup oleh kain putih itu
berisikan racun yang berbahaya, aku larang kau untuk memegangnya adalah bermaksud
baik.”
Siauw Ling segera merasakan wajahnya jadi panas, dengan perlahan dia
mengundurkan dirinya kembali ke tempat duduknya semula.
Toosu cilik itupun segera merangkap tangannya dari depan ruangan.
“Ciangbunjien ada perintah mengundang suhu untuk bertemu!” lapornya.
“Apakah tetamu itu telah pergi?”
“Tecu cuma mendapat laporan dari Cing Hok Suheng yang mengatakan suhu diundang
oleh Ciangbunjien, tentang apakah tamu itu sudah pergi atau belum Cing Hok Suheng
sama sekali tidak mengungkapnya.”
Im Yang Cu segera menoleh dan memandang ke arah Siauw Ling, belum sempat dia
mengucapkan sepatah katapun terdengar si Toosu cilik itu sudah menyambung kembali
kata-katanya.
“Ciangbunjien mengundang suhu untuk bertemu dengan membawa serta Siauw sicu
ini.”
Im Yang Cu segera mengangguk dan membawa serta Siauw Ling keluar. Mereka
berdua dengan cepatnya segera menuju kamar pembuat pil dari Bu Wie Tootiang.

Tampaklah pada saat itu sambil bergendong tangan Bu Wie Tootiang lagi berdiri di
depan biolop tersebut, sepasang matanya dengan terpesona sedang memandang api
berwarna hijau yang mengepul naik keangkasa itu, jelas wajahnya amat murung sekali.
Melihat akan hal itu Im Yang Cu segera merasakan hatinya tergetar.
“Menghujuk hormat buat Ciangbun suheng,” ujarnya kemudian sambil merangkap
tangannya memberi hormat.
Dengan perlahan Bu Wie Tootiang mengangkat kepalanya memandang sekejap ke arah
Im Yang Cu, setelah itu sahutnya, “Sore tidak usah banyak adat, silahkan duduk.”
Im Yang Cu tidak berani membantah, dia segera duduk di atas kursi yang sudah
tersedia di dalam kamar itu.
“Ciangbun suheng sengaja mengundang pinto ada urusan apa?” tanyanya.
O X O
Dari sepasang mata serta perubahan wajah dari Bu Wie Tootiang ini dia sudah dapat
melihat kalau urusan ini sangat penting dan berbahaya sekali.
Dengan perlahan Bu Wie Tootiang mengalihkan sinar matanya ke atas tubuh Siauw
Ling.
“Bocah!” ujarnya dengan perlahan. “Sembilan partai besar dari seluruh Bulim beserta
para jagi dari sungai telaga tidak seorangpun yang tidak mengharapkan bisa memperoleh
anak kunci Cing Kong Ci Yau tersebut untuk membuka rahasia dari istana terlarang.
Walaupun pinto sendiripun mempunyai keinginan tersebut tetapi pinto tidak ingin
dikarenakan urusan ini mengakibatkan timbulnya satu pembunuhan masal di dalam
Bulim.”
Dia berhenti sebentar untuk tukar napas sesudah itu sambungnya lagi, “Walaupun anak
kunci untuk pembuka istana terlarang itu merupakan satu benda pusaka yang diinginkan
oleh setiap jago tetapi merupakan juga satu bibit bencana yang bakal mendatangkan
kehancuran buat dirinya sendiri. Tidak perduli siapapun yang menyimpan anak kunci Cing
Kong Ci Yau itu maka semua jago di Bulim akan mengalihkan seluruh perhatian
kepadanya, sekalipun kawan baik sendiri mungkin karena urusan inipun bakal menjadi
musuh! Heeei nama serta kedudukan sungguh mendatangkan bencana saja.”
“Apa sangkut pautnya urusan ini denganku?” diam-diam pikir Siauw Ling dalam hati.
Tiba-tiba tampaklah wajah Bu Wie Tootiang sudah berubah jadi amat serius sekali,
gumamnya kembali, “Walaupun pinto tidak bermaksud untuk memperoleh barang pusaka
yang ada diistana terlarang tersebut, tetapi dari Socouw mau tidak mau harus pinto bawa
kembali.”
“Walaupun pinto tidak ingin mencampuri urusan dunia kangouw lagi tetapi di dalam
peristiwa ini mau tidak mau pinto terpaksa harus ikut campur, aku ingin kau sebagai
majikannya mengambil keputusan sendiri karena pinto tidak ingin memaksa orang.”

“Suruh aku mengambil keputusan?” tanya Siauw Ling dengan wajah penuh
kebingungan.
“Tidak salah, aku suruh kau orang mengambil keputusan!”
“Tapi, suruh mengambil keputusan apa?”
Dengan perlahan Bu Wie Tootiang menghela napas panjang.
“Baru saja pinto menerima beberapa orang jagoan berkepandaian tinggi dari Bulim
beserta dengan orang pendeta beribadat tinggi dari kuil Siauw Lim si.”
“Apa tujuan mereka datang kemari?” sela Im Yang Cu dengan wajah berubah hebat.
Dengan perlahan sinar mata Bu Wie Tootiang menyapu sekejap ke arah Siauw Ling.
“Heeei… soal Siauw sicu ini.”
“Hmm! Bagus… bagus sekali!” seru Im Yang Cu sambil mendengus dingin.
“Mereka tidak berhasil memperoleh jejak dari Gak Im Kauw serta Gak Siauw-cha kini
sudah mengalihkan perhatiannya terhadap bocah cilik ini!”
“Soal ini tak dapat menyalahkan diri mereka,” ujar Bu Wie Tootiang sambil tertawa.
“Coba bayangkan anak kunci Cing Kong Ci Yau mempunyai sesuatu rahasia yang amat
besar, bukan saja istana terlarang tersebut sudah disimpan barang pusaka dari empat
partai besar, masih ada pula pusaka dari enam orang jagoan sakti beserta berita mati
hidup dari puluhan cianpwee dari dalam Bulim. Barang siapa yang mempunyai hubungan
atau sangkut paut dengan kesepuluh orang jagoan Bulim ini dengan membawa semangat
serta keberanian mereka tentu pergi mencari berita dari anak kunci Cing Kong Ci Yau
tersebut.”
“Tetapi bocah ini sama sekali tiada sangkut pautnya dengan soal anak kunci Cing Kong
Ci Yau itu, bukan saja tidak mengerti ilmu silat bahkan di dalam badannyapun sudah
bersarang satu penyakit yang sudah amat berat, kita tidak boleh berpeluk tangan saja
membiarkan mereka menyiksa bocah ini.”
“Heeei, jagoan di dalam Bulim kebanyakan bersifat kejam dan telengas, bilamana bocah
ini sampai terjatuh ketangan mereka, maka dengan menggunakan keselamatan dari Siauw
Ling mereka tentu akan memaksa Gak Im Kauw serta Gak Siauw-cha untuk munculkan
diri. Kau menukarkan nyawa-nyawa bocah ini dengan anak kunci Cing Kong Ci Yau
tersebut, soal ini kita tak boleh mengabulkannya.”
Sekali lagi Bu Wie Tootiang menghela napas panjang.
“Karena itu di dalam urusan ini seharusnya Siauw Ling mengambil keputusan sendiri,
bilamana ia tak suka tinggal disini buat apa kita paksa dia untuk tetap berada disini.”
Im Yang Cu tahu sifat dari suhengnya ini amat tawar, jujur tegas dan bersifat adil,
karena itu tidak banyak membantah lagi. Sinar matanya dengan perlahan menyapu
sekejap ke arah diri Siauw Ling ujarnya, “Bocah! Asalkan kau sudah mengambil keputusan

dihati bilamana kau ingin meninggalkan tempat ini kami tidak akan memaksa. Jikalau kau
ingin tetap berada disini kami orang-orang dari Bu-tong-pay tentu akan melindungi dirimu
dengan seluruh tenaga, kami tidak akan membiarkan ada orang mengganggu dirimu.”
“Cara bekerja dari orang-orang Bu-tong-pay sebagai satu partai sungguh berbeda
dengan cara bekerja dari Tiong Cho Siang-ku,” pikir Siauw Ling.
Sinar matanya dengan cepat berputar, terlihatlah olehnya sepasang mata Bu Wie
Tootiang serta Im Yang Cu dipentangkan lebar-lebar dan lagi memperhatikan dirinya
tajam-tajam sedang pada wajah Im Yang Cu sendiri sudah penuh diliputi oleh penuh
harapan besar.
Pikiran Siauw Ling dengan cepat berputar terus untuk beberapa saat lamanya dia tidak
dapat mangambil keputusan.
Dia merasa sikap Bu Wie Tootiang serta Im Yang Cu terhadap dirinya sangat baik jauh
lebih baik tetap tinggal disini, tetapi iapun merasa takut setelah dia berada disini
dikemudian hari bilamana Gak Siauw-cha datang mencari dirinya, Im Yang Cu dan Bu Wie
Tootiang tidak menyanggupi untuk melepaskan dirinya pergi.
Walaupun dia mengikuti Gak Siauw-cha hanya sebentar saja tetapi apa yang dilihat di
dalam dunia kangouw sudah amat banyak sekali, sehingga dalam hati kecilnya sudah
timbul kewaspadaan.
Walaupun dia bisa mendengar dari nada perkataannya Im Yang Cu serta Bu Wie
Tootiang jauh lebih baik dari Tiong Cho Siang-ku tetapi di dalam hati dua orang tidak
berani percaya dengan begitu saja.
“Bocah, apa kau sudah mengambil keputusan?” Tanya Im Yang Cu dengan halus.
“Aku lagi berpikir” sahut Siauw Ling.
“Bocah!” seru Bu Wie Tootiang pula dengan ramah. “Jangan terlalu dipaksakan, apa
yang sedang kau pikirkan katakan saja.”
“Bilamana aku menyanggupi untuk tetap tinggal disini, dikemudian hari bilamana enci
Gak datang mencari aku apakah waktu itu aku boleh ikut dia pergi?”
Agaknya Bu Wie Tootiang serta Im Yang Cu sama sekali tidak menyangka kalau dia bisa
mengajukan pertanyaan tersebut tak kuasa mereka jadi melengak dibuatnya.
Tampat Siauw Ling mengeluskan alisnya rapat-rapat wajahnya diliputi oleh keteguhan
hatinya.
“Tootiang berdua adalah orang dari kaum beragama sudah tentu dengan orang-orang
jahat itu tidak ada miripnya, perhatian yang kalian berikan kepadaku selama beberapa hari
ini dalam hati aku merasa sangat berterima kasih sekali, bilamana kalian ingin aku
mengabulkan urusan ini harap Tootiang berdua suka menyanggupi dulu satu urusan!”
“Bocah baik, kau ingin mengajukan syarat?” seru Bu Wie Tootiang sambil tertawa.
“Baiklah coba kau katakanlah…”

Sifat yang tawar dan welas kasih membuat dia orang sama sekali tidak tersinggung
oleh perkataan dari Siauw Ling yang amat bernafsu itu.
Sepasang mata Siauw Ling dipentangkan lebar-lebar wajahnya berubah jadi amat serius
sekali.
“Bilamana kalian menyanggupi untuk lepaskan aku pergi bilamana dikemudian hari enci
Gak datang mencari aku maka aku suka tetap tinggal disini. Bilamana tidak mau,
biarkanlah aku dibawa pergi oleh orang lain.”
“Bocah, tahukah orang lain tidak bakal bersikap ramah seperti kami?” tegur Im Yang Cu
memberi peringatan.
“Aku tahu kalau hal itu tidak mungkin, tetapi soal itu tidak penting, asalkan aku bisa
menemukan cara untuk mati maka mereka tak akan bisa mengapa-apakan diriku dan
menggunakan au orang untuk mengancam enci Gak.”
“Bocah cilik sungguh keras dihatimu,” puji Bu Wie Tootiang sambil tertawa. “Sifatmu
benar-benar mengagumkan sekali, baiklah pinto kabulkan permintaanmu itu.”
Siauw Ling benar-benar merasa terharu, titik air mata mulai menetes keluar dari
sepasang matanya, dengan cepat dia jatuhkan diri berlutut dan jalankan penghormatan
besar.
“Tootiang berhati welas kasih, sekali pandang saja aku sudah tahu kalau kau adalah
seorang yang teramat baik. Tootiang sama sekali berbeda dengan Tiong Cho Siang-ku
yang amat jahat itu.”
Walaupun usianya masih muda tapi pikiranya tajam, beberapa perkataannya itu
diucapkan keluar dari dasar hati kecilnya.
Bu Wie Tootiang tersenyum, dia lantas menoleh ke arah Im Yang Cu dan berkata,
“Kalau memangnya Siauw sicu suka tinggal disini maka di dalam kuil harus mengadakan
persiapan-persiapan, coba kau perintahkan seluruh anak murid yang ada di dalam kuil
untuk mengadakan penjagaan yang ketat, bilamana ada orang ddatang berkunjung
dengan mengikuti aturan laporkan dulu kepadaku.”
Di dalam ingatan Im Yang Cu selamanya belum pernah dia melihat suhengnya merasa
begitu tegang tidak perduli menghadapi peristiwa yang bagaimanapun Bu Wie Tootiang
paling banter cuma tertawa tawar saja dan tak terpikirkan di dalam benaknya.
Sekarang secara tiba-tiba melihat dia orang sudah merasa begitu tegang terhadap
beberapa orang pengunjung tersebut dalam hati lantas mengerti kalau musuh-musuhnya
bukanlah orang sembarangan.
Ia tak berani berlaku ayal lagi dengan cepat tubuhnya bangun berdiri dan berlalu
keluar.
Setelah dilihatnya Im Yang Cu keluar dari ruangan Bu Wie Tootiang baru mengalihkan
sinar matanya ke atas wajah Siauw Ling.

“Bocah!” ujarnya dengan serius. “Tahukah kau ornag bahwa pada saat ini dirimu sudah
menjadi incaran dari para jago-jago berkepandaian tinggi dari Bulim?”
“Aku ada beberapa hal merasa tidak paham!” seru Siauw Ling kurang tahu.
Air muka Bu Wie Tootiang berubah semakin serius lagi, ujarnya dengan perlahan,
“Selama puluhan tahun ini pinto selalu melarang anak murid Bu-tong-pay untuk mencari
gara-gara dan mengikat permusuhan dengan dunia kangouw, tapi demi siauw sicu bukan
saja kami dari Bu-tong-pay sudah ikut tersangkut di dalam urusan perebutan kunci wasiat
yang terjadi di dalam sungai telaga bahkan sampai pinto sendiripun sudah terseret pula di
dalam kancah pergolakan ini.”
Baru saja Siauw Ling bermaksud untuk mangatakan sesuatu terdengarlah genta dipukul
berlalu-lalu.
Air muka Bu Wie Tootiang segera berubah sangat hebat.
“Siapa lagi yang sudah datang?’ serunya.
Siauw Ling yang melihat kejadian itu tiba-tiba menghela napas panjang, pikirnya,
“Sungguh tak tersangka olehku seorang bocah yang tidak mnegerti ilmu silat seperti
akupun dicari-cari dan dikejar-kejar oleh jago-jago berkepandaian tinggi dari Bulim. Heeei”
Suara gema dengan perlahan berhenti sudah, mendadak terlihatlah sesosok Toosu cilik
berbaju hijau berlari masuk dengan langakh tergesa-gesa, sambil merangkap tangannya
memberi hormat, lapornya, “Kang Lam Su Kongcu datang menyambangi Ciangbun suhu.”
Air muka Bu Wie Tootiang kembali berubah hebat, tetapi hanya di dalam sekejap saja
sudah berubah kembali tenang seperti sedia kala.
“Persilahkan tetamu untuk minum teh dipendopo. Sebentar lagi aku datang bertemu!”
perintahnya sambil mengulap tangan.
Toosu cilik itu menyahut dan mengundurkan diri dari sana.
Dengan wajah yang amat serius Bu Wie Tootiang segera menoleh ke arah Siauw Ling.
“Bocah!” ujarnya halus. “Selama hidup pinto tidak pernah ikut campur di dalam urusan
orang lain oleh karena itu dihadapan para enghiong hoohan kau harus menjawab dengan
sejujurnya, kalau kau rela berada dikuil Sam Yuan Koan tanpa paksaan urusan lainnya biar
pinto sendiri yang mengambil tindakan.”
“Aku akan ingat-ingat terus!” sahut Siauw Ling mengangguk.
“Baiklah! Mari kita berangkat,” ujar Bu Wie Tootiang kemudian sambil bangkit berdiri.
“Kau boleh ikut sekalian untuk menambah pengetahuanmu tentang Su Kongcu yang
namanya sudah menggetarkan seluruh Bulim itu.”
Setelah pergaulannya selama beberapa hari dengan Gak Siauw-cha mengalami kejadian
yang mengerikan, nyalinya pada saat ini bertambah besar. Sambil busungkan dada dia
lantas berjalan ke depan dengan langkah lebar.

Bu Wie Tootiang yang melihat sikapnya yang amat gagah itu tidak terasa sudah
menganggukkan kepalanya.
“Bocah bagus” katanya “Kang Lam Su Kongcu masing-masing memiliki kepandaian silat
yang tinggi walaupun pinto sendiri belum pernah menemui mereka berempat tetapi
menurut berita yang tersiar kepandaian silat dari mereka berempat sudah mencapai pada
taraf melukai orang dengan bunga, kau orang sama sekali tak berilmu demi
keselamatanmu sendiri maka sewaktu bertemu keempat orang itu janganlah meninggalkan
tubuh pinto sejauh tiga depa, sehingga bilamana waktu kepepet pinto dapat turun tangan
menolong.”
“Aku tak takut mampus, namun aku dapat mendengarkan perkataan Tootiang.”
“Bocah! Nyalimu sungguh amat besar.”
Sambil menggandeng tangan Siauw Ling mereka lantas keluar meninggalkan ruangan
tersebut.
Siauw ling dengan kencangnya mengikuti terus dari belakang tubuh Bu Wie Tootiang
sewaktu dia berjalan melewati jalan kecil yang berasalkan batu putih terasa olehnya
pemandangan disekitar tempat itu sudah amat berbeda.
Para Toosu yang hilir mudik melalui jalanan kecil itu kini sudah tidak tampak lagi, tetapi
disetiap jalanan maupun tempat-tempat yang strategis pasti ada seorang Toosu yang
menyoren pedang dan memegang hut tim melakukan penjagaan.
Tojin-tojin itu menaruh rasa hormat yang berlebihan terhadap diri Bu Wie Tootiang.
Beberapa kaki, sebelum ciangbunjinnya tiba mereka sudah tiba merangkap tangannya
memberi hormat dan tundukkan kepalanya rendah-rendah.
Setelah melewati dua buah ruangan, pemandangan kembali berubah. Terlihatlah di
tengah kebun bunga yang amat luas berdirilah sebuah loteng yang berwarna merah. Di
atas sebuah pilar terpancanglah sebuah papan nama yang bertuliskan “Pendopo tenang.”
Empat penjuru penuh ditumbuhi pohon Siong, air mengalir dengan amat tenangnya
waktu itulah Siauw Ling baru bisa melihat kalau di sekeliling pendopo tersebut dikelilingi
dengan sebuah sungai yang airnya amat tenang dengan di sampingnya tumbuh pohon
Liauw yang ramping semampai. Sebuah jembatan berwarna merah menghubungkan
tempat tersebut dengan pendopo itu.
Dua orang Toosu cilik berbaju hijau dengan masing-masing berdiri dikedua belah sisi
jembatan melakukan penjagaan.
Sewaktu dilihatnya Bu Wie Tootiang telah tiba disana mereka pada merangkap
tangannya menjura dan menyambut kedatangannya.
Tidak menanti Bu Wie Tootiang mengajukan pertanyaan Toosu cilik yang ada disebelah
kiri sudah berkata terlebih dahulu.
“Tetamu sudah tiba, saat ini lagi menanti dalam ruangan pendopo dengan dikawani
oleh Im Yang susiok.”

“Bocah, ingat!” ujar Bu Wie Tootiang lagi kepada Siauw Ling sambil menaiki jembatan
tersebut.
“Janganlah sekali-kali kau meninggalkan diriku sejauh tiga depa.”
“Baik!”
Selesai melewati jembatan yang panjang tiga kaki itu mereka berdua masuk ke dalam
ruangan pendopo.
Terlihatlah suasana di dalam ruangan pendopo tersebut amat bersih dan diatur sangat
indah. Waktu itu Im Yang Cu lagi mengawani empat orang pemuda perlente untuk
bercakap-cakap.
Melihat munculnya Bu Wie Tootiang disana Im Yang Cu terburu-buru bangun berdiri
dan memberi hormat kepada ciangbunjiennya. “Mengunjuk hormat buat suheng” serunya.
Keempat orang pemuda perlente itupun lantas pada bangun berdiri memberi hormat,
tetapi empat pasang mata dengan tanpa terasa sudah dialihkan ke atas tubuh Siauw Ling.
Bu Wie Tootiangpun dengan cepat merangkap tangannya membalas hormat.
“Maaf pinto dapat menyambut sendiri atas kedatangan dari kalian berempat, silahkan
duduk, silakan duduk,” ujarnya sambil tertawa.
Keempat orang pemuda perlente itupun lantas tertawa.
“Kami sekalian sudah lama mengagumi nama besar dari Tootiang. Kunjungan kita kali
ini harap Tootiang suka menerima dengan hati terbuka.”
“Pinto sudah lama tidak berkelana di dalam Bulim, terhadap banyak jago-jago anehpun
jarang bertemu ini hari bisa bertemu dengan saudara berempat hal ini benar-benar
merupakan satu peristiwa yang amat menyenangkan sekali.”
Sehabis berkata dia lantas duduk disisi Im Yang Cu.
“Tootiang!” terdengar sipemuda perlente yang duduk dipaling ujung sebelah kiri
tertawa. “Kau adalah seorang pendeta beribadat tidak seperti kami manusia-manusia
kasar yang setiap hari cuma bergaul di dunia kangouw saja.”
“Aaah, mana… mana!” seru Bu Wie Tootiang tersenyum.
Dia mendehem beberapa kali, kemudian sambungnya lagi, “Walaupun pinto amat
jarang berkelana di dalam dunia kangouw tapi terhadap nama besar dari Kang Lam Su
Kongcu sudah lama mendengarnya cuma aku belum tahu nama-nama dari…”
Sinar matanya segera dialihkan ke arah Im Yang Cu.
“Sute! Cepat kau perkenalkan kepadaku.”
“Tidak usah!” potong orang yang di ujung kiri.

“Biarlah kami perkenalkan diri sendiri saja! Cayhe adalah It Cang Hong atau segulung
angin Thio Ping!”
“Cayhe adalah Ngo Tok Hoa atau siracun lima bunga Ong Kiam” sambung yang lain.
Pemuda perlente yang ketiga lantas tersenyum, sambungnya pula, “Cayhe adalah Lak
Gwat Soat atau enam bulan salju Lie Poo!”
“Dan cayhe adalah Han Kiang Gwat atau rembulan di tengah telaga Cau Kuang” seru
pemuda perlente yang keempat dingin.
“Selamat bertemu… selamat bertemu!” seru Bu Wie Tootiang sambil tertawa.
Dengan perlahan sirembulan di tengah telaga angkat kepalanya memandang ke atas
atap rumah lalu dengan suara yang amat dingin ujarnya, “Kedatangan kita empat
bersaudara ini hari adalah bertujuan ingin menanyakan satu urusan kepada diri Tootiang!”
“Silahkan bicara, pinto akan mendengarkan.”
“Keadilan dan keramahan dari Tootiang sudah pujian dari semua orang,” ujar
sisegulung angin Thio Ping sambil tertawa. “Sudah tentu terhadap nama besar kami
berempat pernah mendengar bukan?”
“Tentu… tentu…”
“Di dalam dunia kangouw banyak menyiarkan kalau kami bersaudara melakukan
pekerjaan paling kejam dan telengas.” sambung sienam salju Lie Poo tanpa menunggu
jawaban dari Bu Wie Tootiang lagi. “Tetapi menurut pandangan kami bersaudara,
kesemuanya ini hanyalah berita jempolan saja.”
Wajah Bu Wie Tootiang masih kelihatan amat ramah, dia tersenyum.
“Nama besar dari saudara-saudara sekalian sudah menggetarkan seluruh dunia
kangouw, siapa yang tidak tahu.”
Sisegulung angin Thio Ping tertawa nyaring memutuskan pembicaraan dari Bu Wie
Tootiang sambungnya, “Berita yang tersiar di dalam dunia kangouw tak dapat dipercaya,
ini hari kita bersaudara sengaja berkunjung kemari dikarenakan telah lama mengagumi
nama besar dari Tootiang sehingga kami sengaja datang hendak menyambungi kami
dengar sewaktu Im Yang Too heng berkelana kedaerah selatan pulangnya telah membawa
seorang jaminan manusia, entah benarkah urusan ini?”
Perkataan yang diucapkan oleh orang ini amat tajam dab keras membuat Im Yang yang
mendengar tak kuasa lagi sudah mengerutkan alisnya rapat-rapat, wajahnya berkerut
sedang bibirnya sedikit bergerak hendak mengatakan sesuatu.
Tetapi perbuatannya ini berhasil dicegah oleh kedipan mata dari Bu Wie Tootiang.
Sinar mata dari Ngo Tok Hoa atau siracun lima bunga Ong Kiam dengan amat tajamnya
menyapu sekejap diri Siauw Ling.

“Tootiang adalah seorang ciangbunjien dari satu partai besar, apa yang diucapkan
olehmu sudah tentu kami berdua akan mempercayainya.”
Beberapa perkataan ini jelas bernadakan menyindir, dia tidak memberi kesempatan
buat Bu Wie Tootiang untuk menyingkir dari jawaban tersebut.
“Perkataan dari saudara-saudara sekalian terlalu berat” jawab Bu Wie Tootiang sambil
tertawa tawar. “Sute dari pinto memang pernah membawa datang seorang bocah yang
berpenyakitan tetapi bukannya barang tanggungan!”
“Lalu tahukah Tootiang apakah orang itu?” tanya sirembulan di tengah telaga Cau
Kuang dengan dingin.
“Pinto siap mendengarkan penjelasan dari saudara.”
“Hahahahaha… kami empat saudara selamanya mondar mandir tak pernah jual lagak.
Tahukah Tootiang akan Gak Im Kauw?” tanya sienam bulan salju sambil tertawa.
“Ilmu pedang keluarga Gak sudah terkenal diseluruh kolong langit, walaupun pinto
tidak pernah menemui diri Gak Im Kauw tetapi sudah lama mendengar nama besarnya.”
“Lhaaa… dialah putra dari Gak Im Kauw itu.”
————-http://ecersildejavu.wordpress.com/———————-
“Siapa yang bilang? Aku bernama Siauw Ling!” teriak sang bocah busungkan dadanya.
Empat pasang mata dari Kang Lam Su kongcu bersama-sama segera dialihkan ke atas
tubuh Siauw Ling.
“Kau bernama Siauw Ling?’ tanyanya.
“Sedikitpun tidak salah!”
Lalu Gak Siauw-cha itu apamu?” desak simanusia racun.
“Dia adalah enciku.”
“Hmmm! kau she Siauw sedang dia she Gak bagaimana bisa jadi dia adalah encimu?”
Siauw Ling yang usianya masih amat muda dan belum mengerti banyak urusan kini
didesak oleh perkataan tersebut seketika itu juga dibuat kelabakan untuk sesaat lamanya
dia berdiri termangu-mangu disana.
Terdengar sisegulung angin Thio Ping tertawa kembali.
“Tidak perduli kau she Siauw atau bernama Gak Ling, pokoknya yang jelas kau orang
mempunyai sangkut paut serta hubungan yang amaterat dengan Gak Im Kauw, bukankah
begitu?”
Angin, bunga, salju, serta rembulan emapt orang kongcu yang sudah lama bergaul satu
sama lainnya saat ini hati masing-masing sudah saling tembus, tak perduli di dalam ilmu

silat, perkataan atau gerakan mereka mempunyai kerja yang amat bagus sekali. Satu
dingin, satu panas yang lain maju dan yang lainnya mundur sehingga membentuk satu
kerja sama yang sukar untuk ditembusi.
“Hahahaha… terdengar simanusia lima racun tertawa terbahak-bahak kembali. “Dari
pihak orang-orang sembilan partai besar selalu saja menganggap kami empat orang
bersaudara melupakan orang-orang dari kalangan Hek to sebaliknya dari kawan-kawan
Hek to menganggap kami sebagai orang-orang dari golongan Pek to, ada kemungkinan
dikarenakan pada kebiasaannya kami berempat kurang bergaul sehingga dimusuhi oleh
kedua belah pihak… waaah… karena itu kami terpaksa harus memperbaiki kedua belah
pihak.”
Beberapa perkataan ini kedengarannya amat biasa bahkan secara samar-samar
memperdengarkan kesusahan mereka. Padahal yang sesungguhnya secara diam-diam dia
lagi memberi peringatan kepada Bu Wie Tootiang kalau mereka bersaudara bisa lurus bisa
hitam, bisa kawan bisa musuh selamanya melakukan pekerjaan tanpa memandang bulu
sehingga baik itu dari kalangan Hek to maupun dari kalangan Pek to asalkan berbuat salah
kepada mereka maka urusan selanjutnya bakal panjang.
Bu Wie Tootiang yang sudah memiliki latihan mental yang amat kuat walaupun
mendengar perkataan itu tidak lebih dia cuma tersenyum saja, sebaliknya Im Yang Cu
tidak kuasa untuk menahan hawa amarahnya lagi, dia segera tertawa dingin.
“Perkataan dari Ong heng terlalu panjang dan ruwet membuat orang sukar untuk
mengerti, lebih baik kalau bocara sedikit lebih jelas lagi sehngga kami bisa mengerti
maksudnya.”
“Haaa, haaa, haa, maksud kami bersaudara tujuan kita kali ini berkunjung di atas
gunung adalah dikarenakan persoalan bocah cilik ini saja, tanpa mempunyai sesuatu
maksud hati yang lain,” jawab sienam bulan salju Lie Poo sambil tertawa terbahak-bahak.
Orang ini amat licik dan banyak akal, perkataannya jelas bernadakan tajam tetapi tidak
ingin sampai melukai orang.
“Ada apa dengan bocah cilik ini?” tanya Im Yang Cu pura-pura berlagak pilon.
“Kalau tidak ada urusan kami empat bersaudara tidak akan menyambangi kuil Poo
Thian, apalagi nama besar Bu-tong pun sudah amat terkenal di dalam Bulim, bilamana
karena soal ini sehingga mengikat satu bibit bencana bukankah hal ini cuma
mendatangkan kerepotan saja dikemudian hari?” seru sirembulan di tengah telaga Cau
Kuang.
“Bilamana Too heng berdua sudi mengabulkan permintaan kami untuk membawa pergi
Siauw Ling, bocah ini maka permusuhan bisa kita punahkan sampai disini saja bahkan
diantara kita bakal mengikat suatu tali persahabatan yang erat.”
Baru saja Im Yang Cu hendak mengumbar hawa amarahnya kembali berhasil dicegah
oleh Bu Wie Tootiang.
“Maksud baik dari kalian berempat disini pinto ucapkan terima kasih terlebih dahulu.
Cuma…” mendadak terdengar suara langkah manusia yang amat tergesa-gesa bergema

datang dari pintu luar pendopo tersebut, kemudian tampak seorang memberi hormat dan
angsurkan sebuah kartu merah yang besar.
Melihat kartu merah tersebut Bu Wie Tootiang segera mengerutkan alisnya dengan
perlahan diua membuka dan mulai dibacanya.
“Choe Koen San dari daerah Chow Choe mohon bertemu.”
Dia lantas mengulapkan tangannya mengundurkan Toosu cilik itu, ujarnya, “Menerima
seorang tetamu terhormat lagi ada baiknya juga, cepat kau undang dia kemari, katakan
saja pinto sedang menanti di dalam pendopo.”
Toosu cilik itu menyahut dan dengan tergesa-gesa berlalu dari sana.
Si Kang Lam Su Kongcu, walaupun tidak mengetahui siapakah yang sudah datang,
tetapi mendengar ciangbunjien dari Bu Wie Tootiang ini mempersilahkan dia masuk hal ini
membuktikan kalau kedudukan orang tersebut di dalam Bulim amat tinggi, tidak kuasa lagi
mata mereka mulai melirik kekartu merah itu.
Siapa tahu sejak semula Bu Wie Tootiang sudah menduga kalau Hong, Hoa, Soat serta
Gwat empat orang kongcu itu bisa melakukan perbuatan tersebut, karena sewaktu
meletakkan kartu merah tersebut dia sengaja menaruh terbalik.
Di dalam hati segulung angin Thio Ping tahu keadaan pada saat ini kurang
menguntungkan bagi mereka apalagi kini sudah kedatangan seorang lagi, hatinya jadi
mulai merasa ragu-ragu.
“Bu Wie Tootiang di dalam kuil sudah kedatangan jago kepandaian tinggi dari mana
lagi?” tanyanya.
“Kalian berempat boleh menunggu, sebentar lagi orang itupun muncul disini, buat apa
kalian merasa cemas.” sahut Bu Wie Tootiang sambil tertawa.
Sirembulan di tengah telaga Cau Kuang mendadak mengangkat tangannya menggapai
kartu merah yang terletak di atas meja disisi Bu Wie Tootiang itu secara mendadak saja
melayang ke tengah udara meluncur ketangannya.
“Kami bersaudara selamanya memiliki sifat yang cepat ingin tahu,” katanya. “Biarlah
kami lihat dulu kartu merahnya baru melihat orangnya sehingga untuk menyapapun lebih
leluasa,” katanya penuh kesombongan.
Bu Wie Tootiang dengan amat tenang dan seriusnya duduk tak bergerak di tempat
semulaterhadap perbuatannya itu dia orang sama sekali tidak mengambil perduli.
Sebaliknya Im Yang Cu diam-diam merasa amat terkejut, pikirnya “Berita yang tersiar di
dalam Bulim mengatakan bahwa kepandaian silat dari Hong, Hoa, Soat, serta Gwat empat
orang Kongcu amat lihay sekali kelihatannya perkataan tersebut sedikitpun tidak salah
cukup gapaiannya tadi untuk menghisap kartu nama jelas menunjukkan tenaga dalamnya
sudah dilatih hingga mencapai pada taraf yang amat sempurna, agaknya suheng tidak
suka mencegah jaga dikarenakan hal ini.”

Tiba-tiba manusia lima racun Ong Kiam mengulapkan tangan kanannya pula ke depan,
kartu nama yang lagi melayang sampai di tengah perjalannya sudah kena direbut olehnya.
“Haaah, haaah, aku kira jagoan dari mana, tidak tahunya dia orang adalah Coe Koen
San,” ujarnya tertawa setelah melirik sekejap ke atas kartu tersebut.
“Apakah sitangan besi peluru sakti Coe Loen San?” Sambung sienam bulan salju Lie
Poo.
“Bukan dia lalu ada siapa lagi?”
“Hm! Sinar kunang-kunang juga ingin berebut dengan sinar sang surya! Sungguh tak
tahu diri!” ejek Cau Kuang dengan dingin.
“Haaah, haah, tapi permainan ketiga puluh enam jurus ilmu Liong Hauw Loen Hoa nya
masih tidak jelek juga,” sambung sisegulung angin Thio Ping pula.
“Hm. Aku lihat cuma pelurunya saja yang mengerikan orang. Bilamana membicarakan
soal senjata rahasia maka senjatanya adalah paling lihay.”
Bu Wie Tootiang yang mendengar mereka saling mengejek tidak mau ambil perduli, dia
tetap tersenyum-senyum saja.
Sebaliknya Im Yang Cu sendiri walaupun merasa kurang puas terhadap sikap empat
orang tersebut tapi berhubung ada dihadapan suhengnya dia terpaksa menahan sabar.
Beberapa saat kemudian tampaklah seorang Toosu cilik berbaju hijau dengan
memimpin seorang kakek tua berbadan tegap dengan jenggot putih terurai sepanjang
dada dan menyoren sepasang senjata roda Jie Gwat Loen berjalan masuk ke dalam
dengan langkah lebar, orang itu bukan lain adalah Coen Koen San adanya.
Di tangan kanan orang ini membawa dua buah peluru besi. Langkahnya tegap
membuat sikap serta keadaannya amat gagah sekali.
“Coe Tayhiap, angin apa yang sudah meniup dirimu datang ke atas gunung yang sungyi
ini? Silahkan duduk! Silahkan duduk!”
“Haaah, haaah, terima kasih! Kunjungan dari cayhe yang mengganggu ketenangan
Tooheng harap suka dimaafkan.”
Sinar matanya dengan cepat berputar dan memperhatikan diri Siauw Ling.
“Eei, kau benar-benar ada disini,” tegurnya.
“Empek Coe, apa kau baik-baik saja?” sapa Siauw Ling sambil tertawa.
“Aku baik, aku sangat baik.”
“Hey tua bangka she Coe, bagus sekali. Kau sudah lupa dengan kami empat
bersaudara?” teriak sehulung angin Thio Ping dengan suara keras.

Lima jari tangan Coe Koen San dengan cepatnya disentil sehingga membuat kedua butir
peluru itu saling berputar dengan amat kerasnya dan menimbulkan suara berdentingan
yang amat nyaring, sinar matanya dengan perlahan menyapu sekejap ke atas wajahnya
Kang Lam Su Kongcu itu.
“Oow, kiranya Hang, Hoa, Soat, serta Gwat empat orang kongcu!” serunya kemudian.
“Tidak salah!” sambung Ong Kiam.
“Tentu kau orang masih ingat dengan kami empat bersaudara bukan?”
“Heee, heee, loohu memang pernah mendengar orang membicarakan kalian
berempat.”
“Hmm! Tua bangka, kalau bicara lebih baik sedikit hati-hati!” bentak Cau Kuang.
Saking khekinya seluruh tubuh Coe Koen San gemetar amat keras, jenggotnya
berwarna putih berkibar tiada hentinya.
“Kau berani memaki loohu?” bentaknya dengan gusar sambil menuding diri Cau Kuang.
“Agaknya kau hendak memaksa loohu untuk kasih sedikit hajaran padamu.”
Sinar mata dari sisegulung angin Thio Ping berputar tiada hentinya, satu pikiran
berkelebat di dalam benaknya.
“Hmm! Coe Koen San inipun merupakan seorang jagoan yang terkenal di dalam dunia
kangouw. Bilamana kami berempat bisa membunuh Coe Koen San hanya di dalam satu
hajaran, pertama bisa menyelesaikan urusan ini kedua bisa kasih sedikit peringatan pula
bagi Toosu-Tooosu hidung kerbau dari Bu-tong-pay demikianlah pikirnya dihati.”
Dia lantas tertawa dingin kemudian bangun berdiri.
“Coe Koen San!” serunya dingin. “Selamanya barang siapa saja yang berani berlaku
kurang ajar dihadapan kita berempat maka itu orang akan tak bernyawa lagi, kau sudah
berkali-kali menyebut sebutanmu sendiri dengan loohu. Soal ini boleh dikata merupakan
satu sebab yang kuat kami untuk bunuh dirimu.”
Saking khekinya air muka Coe Koen San berubah jadi hujau membesi. sepasang
matanya melotot lebar-lebar, lain dengan langkah lebar berjalan mendekati diri Kang Lam
Su Kongcu, agaknya dia orang siap-siap hendak turun tangan memberi peringatan kepada
mereka berempat.
Siapa tahu justru tindakannya inilah merupakan satu kesalahan besar, ia tak
menyangka kalau pihak lawan sudah mengadakan persiapan dan mengharapkan dalam
dua tiga jurus bisa membinasakan dirinya guna diperlihatkan terhadap Toosu-Toosu dari
Bu-tong-pay.
Di dalam pendopo yang tenang dan sunyi seketika itu juga diliputi oleh nafsu
membunuh yang amat besar.

Coe Koen San segera mengalihkan peluru besinya ketangan kiri, sedang tangan
kanannya dengan disertai tenaga dalam yang amat dahsyat siap-siap melancarkan
serangan.
Tetapi sewaktu dilihatnya di sekeliling dinding pendopo tersebut dipenuhi dengan
lukisan-lukisan serta tulisan-tulisan bakan di atas meja bambu terdapat pula berpuluhpuluh
cawan antik membuat dia orang diam-diam lantas berpikir, “Bilamana aku harus
saling bertukar satu pukulan dengan Kang Lam Su Kongcu dan menimbulkan hawa
pukulan yang keras, bukankah barang-barang antik yang ada di dalam pendopo ini akan
hancur berantakan.”
Dia jadiorang paling polos dan jujur, berpikir sampai disitu maka dia dengan
membatalkan serangannya dan mengundurkan diri dengan langkah lebar.
Sejak semula sisegulung angin Thio Ping salurkan hawa murninya sebesar dua belas
bagian ke arah tangannya, dia sudah bersiap sedia asalkan Coe Koen San memperlihatkan
sedikit gerak-gerik yang mencurigakan maka dengan sekuat tenaga dia akan balas
melancarkan serangan balasan.
Dia percaya walaupun pukulan berhawa dinginnya ini tidak berhasil memukul luka Coe
Koen San tetapi sedikit-dikitnya bisa memaksa dia untuk rubuh terluka parah.
Kini melihat Coe KOen san secara mendadak mengundurkan dirinya kemabli, hal ini
membuat sisegulung angin Thio Ping merasa urusannya berbeda diluar dugaannya, tak
terasa dia jadi melengak dibuatnya.
“Coe Koen San kenapa kau tidak turun tangan?” ejeknya.
“Pendopo ini adalah ruangan untuk menerima tetamu dari partai Bu-tong. Bagaimana
aku merasa tega untuk merusak barang-barang yang ada disini? bilamana kau sungguhsungguh
bermaksud untuk berkelahi baiknya kita mencari tempat kosong diluar saja.”
“Haaaah… haaaah…boleh dihitung kau masih tahu kekuatanmu sendiri,” ejek Thio Ping
lebih lanjut.
“Loohu bukannya takut kepadamu cuma saja aku orang tidak ingin merusak barang
milik orang lain,” jawab Coe Koen San tegas.
Bu Wie Tootiang yang melihat perkataan maupun perbuatannya amat terus terang,
jujur dan polos membuat dalam hatinya lantas timbul rasa simpatik, pikirnya dalam hati,
“Wajar Kang Lam Su Kongcu sudah kelihatan amat aneh, nafsu membunuhnyapun sudah
meliputi wajah. Bilamana dia orang bermaksud turun tangan tentu akan menemui
kerugian.
Karenanya dia lantas angkat bicara, “Saudara-saudara sekalian semuanya adalah
tetamu yang datang dari jauh,” ujarnya. “Tidak perduli apa maksud kalian bilamana baru
bertemu sudah berkelahi bukankah hal ini hanya merusak pandangan saja.”
“Perkataan dari Tooheng sedikitpun tidak salah” sahut Coe Koen San membenarkan.
Walaupun sifatnya polos dan kekanak-kanakan tapi dia paling tidak suka kehilangan
panorama sebagai jagoan, perkataannya ini benar-benar diucapkan dengan amat gagah.

Sisegulung angin Thio Ping yang melihat siasatnya tak termakan, saking jengkelnya ia
tertawa dingin tiada hentinya.
“Bagus… bagus sekali! Kiranya sitangan sakti peluru besi Coe Koen San tidak lebih
adalah manusia yang takut mati.”
Coe Koen San yang di dalam hati sudah mengambil keputusan bulat tidak suka
terganggu lagi oleh hal-hal yang tidak dinginkan, walaupun saat ini Thio Ping mengejek
dan menantang dirinya dengan cara bagaimanapun dia orang sampai kena dipancing.
Melihat sikapnya itu sienam bulan salju Lie Poo dengan menggunakan ilmu untuk
menyampaikan suara segera berkata kepada Thio Ping.
“Toako, Coe jie ini adalah seorang jagoan berkeras kepala yang sudah terkenal di
dalam sungai telaga, kalau dia sudah bilang tidak mau turun tangan di dalam pendopo
maka dia tak akan tergerak hatinya walaupun mendengar perkataan apapun, bilamana
kau benar-benar suka iuti saja perkataannya untuk keluar dari pondopo ini?”
Thio Ping tersenyum kemudian dengan perlahan bangun berdiri.
“Hei tua bangka she Coe, apakah kau benar-benar ingin turun tangan dilapangan
kosong diluar pendopo?” tanyanya.
“Bilamana saudara ingin turun tangan tentu loohu akan melayaninya.”
“Baiklah kalau begitu aku akan ikut saja permintaanmu itu.”
Sehabis berkata demikian lantas meninggalkan tempat duduknya dan berjalan keluar
dari dalam pendopo diikuti simanusia lima racun Ong Kiam, sienambulan salju Lie Poo
serta sirembulan di tengah Cau Kuang.
Pada saat itulah mendadak terasa adanya sesosok bayangan manusia berkelebat
datang, tampak kembali ada seorang Toosu cilik berbaju hijau berlari mendatangi sambil
membawa dua lembar kartu nama merah darah.
Melihat akan hal itu sisegulung angin Thio Ping segera merasakan hatinya rada
tergerak, pikirnya, “Entah manusia dari mana lagi yang sudah datang? lebih baik aku
batalkan dili pertempuran dengan tua bangka she Coe ini?”
Karenanya dia lantas menghentikan langkahnya dan berkata, “Coe Koen San di atas
gunung Bu-tong san kembali datang tetamu terhormat, kita tidak boleh melenyapkan rasa
hormat terhadap majikan yang hendak menerima tetamunya, aku lihat lebih baik kita
undurkan sampai nanti saja.”
Coe Koen San termenung berpikir sebentar, akhirnya dia mengangguk dan
mengundurkan dirinya kembali ke tempat semula.
Bu Wie Tootiang menerima kartu nama itu dan dilihatnya sebentar, kemudian sambil
dikerutkan alisnya rapat-rapat dia tertawa.

“Bagus… bagus sekali! Tidak disangka ini hari kuil kami sudah kedatangan begitu
banyak jago-jago, silahkan tetamu untuk masuk” serunya keras.
Toosu cilik itu menyahut dan dengan langkah lebar mengundurkan diri dari pendopo.
“Tootiang! tolong tanya kali ini sudah kedatangan jagoan dari mana lagi?” tanya
simanusia lima racun Ong Kiam sambil melirik sekejap ke arah kartu nama tersebut.
“Ooooh kedua orang ini?” seru Bu Wie Tootiang sambil tersenyum manis.
“Nama besar mereka tidak ada di bawah nama Hong, Hoa, Soat serta Gwat empat
kongcu!”
Dengan menggunakan kesempatan inilah sirembulan dengan telaga Cau Kuang
mengulapkan tangannya.
“Dapatkah kartu nama itu diberikan kepada kami untuk melihatnya sebentar?” katanya.
Segulung tenaga sedotan yang amat keras dengan cepatnya menerjang ke depan.
Air muka Bu Wie Tootiang berubah hebat.
“Hmmm! Bilamana sicu benar-benar ingin melihat tidak usahlah menggunakan cara
yang demikian kasarnya!” serunya sambil tertawa dingin.
Ujung jubahnya segera dikebutkan ke depan, dengan mengerahkan tenaga dalamnya
yang amat keras kedua lembar kartu nama itu satu di depan yang lain di belakang
mendadak mempercepat daya luncurnya bagaikan kilat cepatnya melayang ke arah diri
Cau Kuang.
Cau Kuang yang berilmu tinggi dan bernyali besar segera mendengus dengan
menggunakan jari tangan kanannya dia menjepit datangnya kartu nama yang pertama.
Tetapi pada saat jari tangannya bersiap-siap hendak menjepit datangnya kartu nama
itulah mendadak kecepatan daya luncur dari kedua lembar kartu nama tersebut melambat
dari keadaan semula.
Pada saat itulah Cau Kuang baru bisa melihat kalau datangnya lembar kartu nama itu
dengan gerakan memutar, hatinya jadi amat terkejut.
Tetapi kini dia sudah mengulurkan tangannya siap menerima, untuk menarik kembali
serangan malu karena dengan paksaan diri dia menyambar juga kartu itu.
Siapa tahu baru jarinya menempel kartu itu mendadak gerakannya dipercepat kembali.
sreeet…! dengan cepatnya lembaran kertas itu meluncur dari sisi jarinya.
Simanusia lima racun Ong Kiam yang melihat kejadian itu segera mengerutkan alisnya
rapat-rapat, tangan kirinya membalik dengan cepat dia terus mengerahkan tenaga
murninya yang amat dahsyat dia menahan datangnya daya putaran kartu tersebut.
“Haaa, haaa, gerakan yang amat bagus!”

Tangan kanan dari sisegulung angin Thio Ping mendadak menyambar ke depan
merebut datang kartu tersebut.
Kartu nama yang semula melayang dengan disertai tekanan daya tahan dari pukulan
Ong Kiam walau tidak seluruh kekuatan tersebut berhasil dipunahkan tetapi tenaganya
sudah amat lemah, karena itu sewaktu Thio Ping menyambar kartu tersebut dengan amat
mudahnya dia berhasil menangkapnya.
Sirembulan di tengah telaga yang baru saja menemui kepahitan saat ini jari tangannya
secara samar-samar merasa amat sakit, kini lihat kartu nama kedua meluncur datang dia
orang tidak berani berlaku ayal lagi, tangan kanannya dengan cepat berputar dan
melancarkan satu pukulan dahsyat menahan datangnya sambaran kartu itu kemudian lima
jari tangan kirinya mencengkeram ke depan.
Siapa sangka kartu nama tersebut setelah kena ditahan oleh pukulannya ini mendadak
berputar setinggi tiga depa ke atas kemudian dengan kecepatan luar biasa melayang
kembali ke tempat semula.
Sienam bulan salju Lie Poo segera mendengus dingin, telapak tangan kanannya
diayunkan ke depan melancarkan satu pukulan yang amat aneh dan sangat dahsyat.
Dia bermaksud dengan daya pukulan itu hendak memukul kartu tersebut hingga miring
kesamping dan melayang keluar pendopo.
Im Yang Cu yang melihat maksud hatinya itu lantas kebutkan ujung jubahnya ke
depan. Segulung angin pukulan dengan amat cepatnya menghajar kartu nama tersebut
sehingga tertahan balik.
Coe Koen San segera tertawa terbahak-bahak, telapak tangannya dipentangkan ke
depan mengirim satu pukulan yang amat tajam menerjang kartu yang melayang ke
arahnya.
Orang lain melancarkan pukulan dengan menggunakan ujung jubah sedang angin
pukulanpun amat halus sehingga hampir-hampir boleh dikata tak bersuara sebaliknya dia
orang ternyata melancarkan pukulan dengan telapak bahkan menimbulkan suara menderu
keras.
Kartu nama yang terkena hantaman serta hajaran dari tenaga pukulan beberapa orang
itu dengan cacatnya berputar dan menyambar di tengah udara kini setelah terkena hawa
pukulan yang menderu-deru dari Koen San laksana dedaunan kering yang terkena tiupan
angin taupan denga cepatnya berputar menjauh.
Bu Wie Tootiang dengan cepat menggapai tangannya ke depan.
“Haaa, haaa, haaa, sudah cukup bukan permainan diantara kalian!” serunya.
Bagaimana burung walet yang kembali ke dalam sarang kartu nama tersebut dengan
menuruti gapaian dari Bu Wie Tootiang berkelebat kembali ketangannya.

Adu tenaga dalam yang terjadi baru-baru ini walaupun semua orang tidak berbocara
namaun dihati pada megerti bila pertandingannya kali ini adalah Bu Wie Tootiang yang
sudah memperoleh kemenangan.
Bu Wie Tootiang yang berhasil menangkan kembali kartu nama itu segera
meletakkannya ke atas meja di sampingnya sedang dia sendiri duduk tidak bercakap lagi.
Sisegulung angin Thio Ping walaupun berhasil merebut selembar kartu nama tetapi
dikarenakan sambaran kartu yang kedua berhasil melukai ketiga orang saudaranya dan dia
sendiri harus turun tangan pula untuk memberi pertolongan kepada saudara-saudaranya
membuat dia orang tak sempat untuk melihat kartu tersebut.
Kini setelah Bu Wie Tootiang menarik kembali kartu nama yang kedua baru punya
waktu membuka kartu nama itu.
Terlihatlah di atas kertas tersebut bertuliskan beberapa patah kata “Ie Bun Han To dari
daerah Ci Kiang mohon bertemu!”
Tulisan ini laksana menggelegarnya geledek disiang hari bolong seketika itu juga
membuat sisegulung angin Thio Ping tak dapat mengucapkan sepatah katapun.
“Toako, siapa yang sudah datang?” tanya simanusia lima racun Ong Kiam sambil
kerutkan alisnya rapat-rapat.
Sienam bulan salju Lie Poo, sirembulan di tengah Cau Kuang segera pada merubung
datang tetapi sebentar kemudian Kang Lam Su Kongcu sudah terjerumus di dalam
keadaan termangu-mangu.
Pada saat itulah tampak sesosok Toosu cilik dengan membawa dua orang
berdandankan siucay berjalan masuk ke dalam pendopo.
Bu Wie Tootiang segera tersenyum dan merangkap tangannya memberi hormat, si
siucay berjalan paling depan.
“Yang datang tentunya Ie Bun heng bukan? lama seklai pinto mengagumi nama
besarmu.”
“Too heng sendiri tentunya Bu Wie Tootiang!” sahut siucay berusia pertengahan itu
sambil mengangguk.
“Gangguan dari cayhe kali ini mengharapkan Too heng suka memaafkan!”
Orang ini memakai jubah berwarna biru langit dengan jenggot hitam terurai sepanjang
dada wajahnya merah bercahaya laksana seorang bocah cilik, sikapnya gagah dan keren.
Ditangnnya membawa sebuah peti emas yang panjangnya tiga depa dengan lebar dua
depa.
Dibelakangnya ikut datang seorang sincay berwajah bersih tanpa kumis, dialah si “Pek
so suseng” atau sisastrawan bertangan seratus Jan Ing adanya.
“Jan heng! Sungguh cepat sekali kedatanganmu,” sapa Im Yang Cu sambil tertawa
dingin.

Pek So suseng menyapu sekejap ke arah Kang Lam Su Kongcu serta Coe Koen San
setelah itu tertawa keras.
‘Hahahaha… boleh dikata begitu, boleh dikata begitu, cuma cayhe tetap kalah satu
langkah dengan orang lain.”
Dengan perlahan-lahan Ie Bun Han To meletakkan kotak emas tersebut ke atas tanah.
“Cayhe sudah lama berdiam diperkampungan Sian Khie Su Lok dan jarang sekali
berkelana di dalam Bulim,” ujarnya sambil tertawa. “Ini hari datang berkunjung kekuil dari
Too heng boleh dikata merupakan perjalananku yang pertama kali sejak sepuluh tahun
yang lalu.”
“Perjalanan pertama dari Ie Bun heng meninggalkan Sang Yang adalah menuju kekuil
pinto hal ini membuat pinto benar-benar merasa amat bangga.”
“Perkataan Bu Wie Tootiang terlalu beraT,” ujar Ie Bun Han To sambil tertawa. “Aku Ie
Bun Han To tidak lebih cuma seorang siucay miskin dari tanah pegunungan. Nama serta
kedudukanku sukar untuk ditandingkan dengan jago-jago berkepandaian tinggi lainnya.
Apalagi Tootiang adalah seorang ciangbunjien dari satu partai besar.”
Dia berhenti sebentar untuk kemudian membuka kotak emasnya dan mengambil
sebuah kotak pualam sambungnya, “Untuk itu cayhe merasa amat berterima kasih, sedikit
kado harap Kongcu suka menerimanya!”
Bu Wie Tootiang yang mendengar perkataannya itu segera mengerutkan alisnya.
“Tentang soal ini pinto tidak berani menerimanya,” jawabnya sambil merangkap tangan
memberi hormat. “Kunjungan dari sicu sudah terlebih dari cukup bagaimana.”
“Tak usah sungkan-sungkan lagi!” potong Ie Bun Han To sambil tertawa. “Bilamana
Tooheng tidak suka menerimanya hal ini sama saja dengan tidak pandang sebelah mata
terhadap diriku.”
Pada sepuluh tahun yang lalu orang itu pernah munculkan dirinya di dalam dunia
persilatan tidak kurang dari setengah tahun lamanya, tetapi nama besarnya sudah tersiar
luas sehingga diketahui oleh semua jagoan baik dari kalangan Hek to maupun dari
kalangan Pek to, siapa saja yang mendengar namanya itu kepalanya tentu akan dibuat
pusing tujuh keliling.
Walaupun sudah lewat sepuluh tahun lamanya tetapi nama serta kejayaannya masih
ada di dalam dunia kangouw, karenanya sewaktu Kang Lam Su Kongcu dapa melihat
nama di dalam kartu nama itu dalam hati lantas merasa rada bergetar.
Walaupun Bu Wie Tootiang sendiri tidak pernah melakukan perjalanan di dalam dunia
kangouw tetapi terhadap nama besar dari Ie Bun Han To sudah pernah mendengar.
Kini melihat itu mengangsurkan sebuah kotak pualam kepada dirinya dia jadi serba
susah, bilamana tak menerima hal ini tak ada kesopanan tetapi sewaktu teringat akan
sempitnya pikiran orang tersebut dalam hati Tootiang bukan barang yang biasa.

Terpakasa sambil kerahkan hawa murninya diam-diam mengadakan persiapan, dia
menerima juga pemberian kotak pualam tersebut.
Begitu kotak pualam itu diterima terasa olehnya dari dalam kotak sesuatu yang sedang
bergoyang dalam hati Bu Wie Tootiang lantas mengetahui kalau di dalam kotak tersebut
tentu sudah disimpan seekor binatang yang masih hidup membuat hatinya semakin
waspada lagi.
Tenaga murninya dengan cepat disalurkan ketangan siap-siap menghadapi sesuatu.
Ie Bun Han To yang melihat Bu Wie Tootiang sudah menerima kotak pualam itu
wajahnya segera berubah keren.
“Ing jie!” serunya kemudian sambil menoleh ke arah Pek So Suseng ada di sampingnya.
“Coba kau katakanlah maksud kedatangan kita kali ini.”
Dengan amat hormatnya si Pek So Suseng Jang Ing menyahut, “Terima perintah dari
susiok!” serunya.
Dengan cepat kepalanya didongakkan menyapu sekejap ke arah ruangan kemudian
sambil tertawa ujarnya, “Kali ini cayhe bersama-sama dengan Ie Bun susiok datang
mengunjungi Bu-tong san sebenarnya ingin merundingkan satu urursan besar dengan
ciangbunjien serta Im Yang Tooheng.”
Bu Wie Tootiang yang lagi memegang kotak pualam itu sepasang matanya dipejamkan
rapat-rapat agaknya dia sedang mendengarkan dengan seluruh perhatiannya tetapi apa
yang diucapkan oleh Jan Ing tadi tak sepatah katapun yang bisa didengar olehnya saat ini
dia orang sedang duduk pusatkan tenaga menghadapi sesuatu.
Ie Bun Han To dengan dinginnya mendengus, belum sempat dia mengucapkan sesuatu
mendadak terdengarlah Im Yang Cu sudah berkata, “Ooouw… kiranya Jan heng adalah
keponakan murid dari Bun heng, maaf, maaf pinto kurang berlaku hormat.”
“Heee… heee, apakah di dalam hati kecil Im Yang Tooheng merasa kurang puas
terhadap cayhe?” seru Jan Ing sambil tertawa dingin.
“Tidak berani, tidak berani, pinto cuma merasa heran Jan heng yang tak bisa kalahlan
Ciu ceng serta Fan Kay bagaimana bisa alihkan perhatian ini ke gunung Bu-tong san
kami.”
Baru saja Jan Ing siap membalas makian tersebut mendadak terdengar Ie Bun Han To
sudah berkata dengan suara yang dingin.
“Ing jie, selesaikan dulu perkataanmu, orang lain boleh tidak menerima asalkan
perkataan sudah kita ucapkan dengan jelas.”
Dengan amat hormatnya Jan Ing bungkukkan diri memberi hormat.
“Kalau memangnya Tootiang berdua tidak suka mendengar perkataan dari cayhe ini
maka biarlah cayhe perpendek saja perkataanku maksud hati dari susiokku adalah ingin
bekerja sama dengan Bu-tong-pay untuk mencari dapat anak kunci Cing Kong Ci Yau
tersebut.”

“Haaa, haaa, aku rasa urusan ini tidak terlalu mudah” sela Coe Koen San sambil tertawa
terbahak-bahak.
“Bagaimana? Apakah Coe heng ingin ikut ambil bagian di dalam urusan ini?”
“Hmmm, masih ada kami empat bersaudara,” timbrung sisegulung angin Thio Ping.
Jan Ing segera tertawa dingin, sinar matanya dialihkan ke atas tubuh Im Yang Cu.
“Im Yang Tooheng, apa kau sudah dengar jelas?” tanyanya. “Manusia-manusia rakus
yang ada di dalam dunia kangouw tak ternilai jumlahnya. Bilamana partai Bu-tong-pay
tidak suka bekerja sama dengan susiokku, cayhe rasa…”
Mendadak Bu Wie Tootiang mementangkan matanya lebar-lebar, dua rentetan sinar
yang amat dingin bagaikan listrik dengan cepatnya menembusi wajah Jan Ing.
“Cuma sayang partai Bu-tong-pay kami sama sekali tidak memiliki anak kunci Cing Kong
Ci Yau tersebut,” ujarnya dengan tawar. “Maksud baik dari kalian berdua biarlah pinto
terima dihati saja.”
Sinar mata Jan Ing yang amat seram segera menyapu sekejap ke arah Siauw Ling yang
ada disisi si Toosu tua tersebut.
“Bocah yang ada di samping tubuh Tootiang bukankah merupakan suatu barang
jaminan yang amat bagus? Asalkan orang ini dikata tahan terus disini maka Gak Siauw-cha
pasti akan antarkan dirinya sendiri kemari!”
“Apakah terhadap seorang bocah cilik yang tidak mengerti ilmu silatpun kalian tidak
suka melepaskannya?” seru Bu Wie Tootiang dengan amat dingin.
“Demi berhasilnya tujuan kita untuk pancing Gak Siauw-cha sehingga termasuk ke
dalam perangkap dan menyerahkan anak kunci Cing Kong Ci Yau tersebut mau tidak
mau…”
Mendadak…
“Haaa… haaa… haaaa… siapa yang ingin memperoleh anak kunci Cing Kong Ci Yau?
Cuma sayang barang itu sudah kami pesan terlebih dulu!” terdengar suara yang amat
keras diselingi suara tertawa terbahak-bahak berkumandang masuk dari luar pendopo.
Begitu perkataan tersbut selesai diucapkan dari pintu depan pendopo berjalanlah masuk
seorang lelaki yang gemuk pendek dengan wajah yang bulat dan perut yang besar. Saat
ini dia orang memakai jubah berwarna hijau dengan gaya yang amat lucu berjalan masuk
ke dalam pendopo.
Orang itu bukan lain adalah lootoa dari Tiong Cho Siang-ku. si Kiem Siepoa Sang Pat
adanya.
Di belakang tubuh Snag pat dengan kencangnya mengikuti seorang lelaki
berperawakan kurus kering dengan topi bulu yang dipakai rendah-rendah, orang itu bukan
lain adalah si Leng Bian Thiat Hit Tu Kiu.

Dengan menggunakan matanya yang sebelah kanannya Tu Kiu menyapu sekejap
kesekeliling tempat itu, lalu ujarnya dingin, “Heeee… heeee… kawan-kawan Bulim sudah
pada berkumpul disini, selamat bertemu! Selamat bertemu!”
Tidak menanti orang lain berbicara Sang Pat sudah melanjutkan kembali perkataannya
sambil merangkap tangannya memberi hormat.
“Kedatangan cayhe terlalu cepat satu langkah sehingga berbuat suatu kesalahan harap
saudara-saudara suka memaafkan.”
Siauw Ling yang melihat munculnya Tiong Cho Siang-ku hatinya merasa bergolak amat
kerasnya.
“Heeei kalian sudah membawa enci Gak ku pergi kemana?” teriaknya dengan keras.
Sang Pat segera tertawa terbahak-bahak.
“Saudara cilik, kau tidak usah cemas” sahutnya. “Encimu sekarang lagi bersembunyi
disuatu tempat yang aman dan rahasia untuk mengobati lukanya. Dihati dia selalu
merindukan dirimu karena itu saat ini sengaja ia kirim kami untuk menyambut
kedatanganmu.”
“Kenapa enci Gak ku terluka?” tanya si bocah dengan sangat terkejut.
“Sedikit luka ringan tidak sampai menggangggu keselamatannya, cukup beristirahat
beberapa hari akan jadi sembuh dengan sendirinya.”
“Heeee, heeee, kalau begitu dagangan dari tauke berdua sangat laris sekali bukan?’
ejek Pek So Suseng sambil tertawa dingin.
Jilid 10
Sinar mata Sang Pat dengan cepat berputar melirik sekejap ke arah Jan Ing, baru saja
dia bermaksud untuk mengejek dengan beberapa patah kata yang tajam mendadak
matanya sudah duduk seorang siucay berusia pertengahan dengan jenggot hitam terurai
sepanjang dada, wajahnya menyerupai bocah dan berwarna merah bercahaya.
Melihat hal itu Sang Pat yang mempunyai pengetahuan amat luas segera mengetahui
kalau tenaga dalam dari orang sudah berhasil dilatih hingga mencapai pada taraf
kesempurnaan.
Sewaktu dilihatnya pula peti dari emas uang ada disampignya mendadak pikirannya
berkelebat akan satu ingatan cuma saja dia tidak ingat siapakah dia orang.
Karenanya sambil mendehem beberapa kali, ujarnya, “Jan heng terlalu memuji,
dagangan dari cayhe saja yaa pokoknya sehari tiga kali makan!”

Si Leng Biam Thiat Pit Tu Kiu paling tidak sabaran melihat mereka beribut tiada
hentinya dengan suara yang amat dingin lantas menegur diri Siauw Ling.
“Heei ayo cepat kemari sebentar lagi kita akan berangkat.”
Walaupun Bu Wie Tootiang sangat jarang berkelana di dalam dunia kangouw tetapi
dengan kedudukannya sebagai seorang ciangbunjien sebuah partai besar yang namanya
telah menggetarkan seluruh sungai telaga memaksa Tu Kiu yang bersifat dinginpun tidak
berani berbuat terlalu gegabah dihadapannya.
Kini sekalipun melihat Siauw Ling ada disisinya dia tidak berani datang menarik
tangannya.
Siauw Ling yang memangnya selalu merindukan diri Gak Siauw-cha, mendengar ajakan
tersebut hatinya lantas berdebar.
“Apakah aku boleh ikut mereka pergi dari sini?” tanyanya sambil melirik sekejap ke arah
Bu Wie Tootiang.
Bu Wie Tootiang yang berkedudukan sebagai seorang ciangbunjien suatu partai besar
sudah tentu tidak bisa memberi jawaban maupun menahannya terpaksa dia cuma
pejamkan matanya sambil pura-pura tidak mendengar.
Terdengar Im Yang Cu tertawa tawar.
“Bilamana encimu benar-benar merindukan dirimu, kenapa dia tidak datang sendiri
untuk menjemput kedatanganmu?” katanya.
Beberapa perkataan ini kedengarannya amat tawar padahal keadaan yang
sesungguhnya mengandung arti menaruh rasa curiga terhadap perkataan dari Tiong Cho
Siang-ku tersebut.
Siauw Ling yang mendengar perkataan itu hatinya jadi rada tergerak, pikirnya, “Enci
Gak selamanya paling benci dengan Tiong Cho Siang-ku, bagaimana dia dapat merasa
begitu tega suruh mereka yang mencari diriku?”
Berpikiran hal ini dia lantas gelengkan kepalanya berulang kali.
“Kecuali enci Gak ku datang sendiri perkataan siapapun aku tidak suka
mempercayainya!” jawabnya kemudian.
“Kami dua bersaudara sudah datang kemari sudah tentu tidak akan mengundurkan diri
dengan tangan kosong, kau percaya atau tidak harus ikut juga dengan kami untuk pulang”
seru Tu Kiu sambil tertawa dingin.
Siauw Ling yang selamanya tidak pernah menaruh rasa simpatik terhadap dirinya
mendengar perkataan itu jadi gusar.
“Aku justru sengaja tidak mau turun gunung kau mau apa?” tanyanya.
“Saudara cilik” hibur Sang Pat terburu-buru. “Kau jangan salah paham dulu, kami
datang atas permintaan dari encimu.”

“Lalu kenapa enci Gak tidak sekalian ikut datang?”
“Pertama lukanya masih belum sembuh sehingga harus membutuhkan waktu yang
lama untuk beristirahat, kedua pada saat ini incaran para jago Bulim terletak pada dirinya.
Bilamana dia munculkan dirinya kembali di dalam dunia kangouw bukanlah hanya
memancing datangnya berbagai kesulitan saja.”
Siauw Ling segera memutarkan biji matanya.
“Kalau memangnya enci Gak ku suruh kalian datang menjemput diriku, lalu manakah
surat pribadinya?”
“Dengan merek emas dari Tiong Cho Siang-ku buat apa butuhkan surat kepercayaan
segala?”
Ie Bun Han To yang sudah lama tidak mengucapkan sepatah katapun mendadak
tertawa dingin.
“Merek emas dari kalian berdua ada kemungkinan ini hari akan hancur berantakan.”
“Hmm! Sungguh besar omonganmu!” seru Tu Kiu sambil dengan perlahan menoleh ke
arahnya.
“Apakah kalian berdua tidak percaya?” tantang Ie Bun Han To sambil tertawa tawar.
Sepasang matanya yang amat tajam dari Sang Pat dengan tiada hentinya
memperhatikan terus diri si siucay berusia pertengahan itu. Di dalam ingatannya dia rasa
seperti pernah mengerti akan orang ini.
“Hmm! Selama cayhe paling tidak takut keanehan, siapakah namanya??” tanya Tu Kiu
kembali.
“Perkampungan Siang Yang Ping, Ie Bun Han To adanya!”
Mendengar disebutnya nama tersebut Kiem Siepoa Sang Pat segera merasakan hatinya
bergetar. Tetapi sebentar kemudian dia sudah tertawa terbahak-bahak.
“Ooow… kiranya Ie Bun heng, maaf…”
“Tidak usah sungkan-sungkan lagi, bilamana kalian berdua sudah mengerti akan nama
dari cayhe masih mengharapkan kalian berdua suka sekalian memberi tahu jejak dari Gak
Siauw-cha.”
“Haa, haa, manusia mati karena harta, burung mati karena makanan, kami Tiong Cho
Siang-ku.”
“Kegemaran saudara untuk mengumpulkan harta kekayaan sudah aku dengar sejak
dahulu,” potong Ie Bun Han To dengan cepat. “Didalama perkampungankupun masih ada
beberapa macam barang pusaka, cayhe suka menyerahkan barang-barang tersebut
kepada kalian.”

Kang Lam Su Kongcu yang melihat Ie Bun Han To sedang menggunakan akal hendak
bekerja sama dengan Tiong Cho Siang-ku dalam hati merasa rada cemas, mereka tahu
cukup Tiong Cho Siang-ku saja sukar untuk dihadapi apalagi bilamana mereka suka
bekerja sama.
Baru saja mereka hendak mengucapkan sesuatu mendadak terdengar Bu Wie Tootiang
sudah tertawa terbahak-bahak.
Suara tertawa itu amat nyaring laksana lengkingan naga pekikan rajawali membuat
para jago dengan cepat kerahkan tenaga dalamnya untuk bertahan.
Dengan perlahan Bu Wie Tootiang menarik kembali suara tertawanya, lalu ujarnya
dengan perlahan, “Kedatangan saudara-saudara sekalian pada ini hari benar-benar
membuat pinto merasa amat gembira, tetapi kuil Sam Yuan Koan dari partai Bu-tong ini
bukanlah suatu kalangan tempat berebut, maka itu pinto merasa keberatan untuk kalian
gunakan sebagai tempat bertempur.”
Sinar matanya dengan perlahan dialihkan Ke atas tubuh Ie Bun Han To, lalu
sambungnya, “apalagi sumbangan dari Ie Bun Han To ini benar-benar membuat pinto
merasa tidak enak.”
“Haa, haa sedikit hadiah buat apa kongcu pikirkan dihati?”
“Banyaknya benda pusaka di dalam perkampunganmu pinto sudah lama mendengar,”
ujar Bu Wie Tootiang dengan wajah serius.
“Pinto rasa barang yang ada di dalam kotak pualam inipun merupakan satu benda yang
sangat berharga sekali, pinto ingin membukakan dihadapan umum agar semua orang bisa
ikut mengetahui, entah Ie Bun heng merasa setuju tidak??”
“Haaa, haa, aku rasa barang yang tak berharga itu malah mendatangkan tertawakan
dari orang lain.”
“Ie Bun heng terlalu merendah.”
Dia berhenti sejak lama tiba-tiba dengan serius bentaknya, “Saudara-saudara harap
berhati-hati.”
Dengan tangan kirinya memegang kotak tangan kanannya membuka penutup tersebut
dengan perlahan.
Seluruh perhatian para jago ditujukan ke atas jari tangan dari Bu Wie Tootiang yang
sudah berubah memerah itu.
Tampaklah Bu Wie Tootiang dengan sepasang mata terpentang lebar-lebar
memandang tajam kotak pualam yang ada ditangannya tanpa berkedip, tenaga dalamnya
siap-siap disalurkan menghadapi sesuatu.
Sewaktu kotak itu terbuka, tampaklah dua titik sinar hijau yang berkilauan memancar
keluar dari balik kotak tersebut dengan perlahan muncullah kepala seekor kelabang yang
berwarnakan keemas-emasan.

“Haaa? Kelabang emas?” teriak Kiem Siepoa Sang Pat dengan sangat terkejut.
“Haa, ha, ha tidak salah, kelabang emas!” sahut Ie Bun Han To sambil tertawa
terbahak-bahak.
Seluruh perhatian para jago segera dicurahkan kesatu titik, tanpa berkedip mereka
memandang tajam kotak tersebut.
Tampaklah kelabang emas itu dengan perlahan menentangkan sayapnya lalu dengan
diserupai suara desiran yang amat tajam mulai terbang keangkasa.
“Ie Bun heng, sungguh berharga sekali hadiahmu ini!” seru Bu Wie Tootiang dengan
amat dingin, dengan perlahan dia meletakkan kembali kotak tersebut ke atas meja.
“Aaah, terlalu memuji,” jawab Ie Bun Han To sambil tertawa.
“Walaupun kelabang emas ini cuma ada di daerah Biauw Cing tetapi jarang sekali
ditemui, cayhe punya hubungan persahabatan yang agak erat dengan seorang manusia
aneh yang kegemarannya mencari binatang-binatang beracun di daerah Biauw tempo hari
dia sudah hadiahkan seekor buat cayhe, menurut perkataannya kelabang emas adalah
satu binatang berbisa yang sukar sekali untuk ditemui!”
“Simanusia aneh dari daerah Biauw yang baru saja Ie Bun heng maksudkan apakah
Kiem Hoa Hujin adanya?”
“Sedikitpun tak slah, memang dia orang apakah kau kenal dengan dia orang?” tanya Ie
Bun Han To dengan wajah berubah amat serius.
“Orang lain adalah manusia agung, kami sebagai kaum pedagang mana punya jodoh
untuk berkenalan dengan dirinya heeeheee kami cuma mendengar namanya saja,” jawab
Sang Pat sambil tertawa.
Ie Bun Han To segera mendengus dingin, mendadak tangannya bertepuk dua kali
sedangkan dari mulutnya mengeluarkan suara suitan yang rendah dan sangat berat.
Secara samar-samar di dalam suara suitan itu mengandung nada yang mengartikan
sesuatu.
Begitu suara suitan itu bergema memenuhi angaksa mendadak kelabang emas itupun
terbang semakin lama semakin cepat mengitari seluruh ruangan pendopo, hanya di dalam
sekejap saja cuma kelihatan sinar keemas-emasan yang terbang memenuhi angkasa
sehingga terasa menyilaukan mata.
Dengan pandangan yang amat tajam Bu Wie Tootiang memperhatikan terus sinar
keemas-emasan yang terbang mengelilingi seluruh ruangan itu.
“Kelabang emas merupakan binatang beracun yang sangat berbahaya, harp kalian
berjaga-jaga!” teriaknya dengan keras.
Mendadak Ie Bun Han To bersuit panjang kembali lalu angkat lengan kirinya ke atas,
dengan mengikuti suara suitan tersebut kelabang emas lantas menutup sayapnya kembali
dan hinggap di atas pundaknya tak bergerak lagi.

Melihat kejadian itu sudah berakhir Bu Wie Tootiang baru menggapai ke arah luar
tampaklah seorang Toosu cilik berjubah hijau segera berlari mendatang.
“Menanti perintah dari suhu,” ujarnya dengan sangat hormat.
Bu Wie Tootiang melirik sekejap ke arah kelabang emas yang ada di atas pundak Ie
Bun Han To lalu baru ujarnya, “Sediakan perjamuan!”
Toosu cilik itu menyahut dan berlalu dari sana dengan langkah tergesa-gesa.
“Haa… haha… kami tidak berani mengganggu Too heng terlalu banyak” seru Ie Bun
Han To cepat-cepat sambil tertawa tawar.
“Inilah keharusan dari pinto sebagai tuan rumah.”
“Too heng suka mengasingkan diri di tempat yang sunyi tanpa ikut campur di dalam
urusan apapun bahkan memerintahkan pula seluruh anak murid untuk tidak bentork
dengan orang lain, hal ini aku rasa rada sedikit berbeda dengan diri cayhe.”
“Pinto harus berbuat bagaimana untuk menandingi Ie Bun heng?” tanya Bu Wie
Tootiang tertawa dingin.
“Bilamana orang-orang Bulim yang tidak tahu akan sifat dari Tootiang yang suka
menyendiri ini ada kemungkinan sudah mengecap Tootiang takut banyak urusan haaa…
haaa… hal ini membuat cayhe merasa amat disayangkan!”
“Urusan di dalam kolonh langit mengutamakan budi dan pikiran, pinto cuma
menginginkan tidak berbuat jahat saja, bilamana ada orang yang ingin mengatakan
sesuatu terhadap diri pinto soal itu tak terpikirkan dihatiku.”
“Haaa…haaa perkataan dari Tooheng ini benar-benar membuat pandangan cayhe jadi
rada terbuka..,” ujar Ie Bun Han sambil tertawa.
Sinar matanya dengan perlahan dialihkan ke atas wajah Kang Lam Su Kongcu serta
Tiong Cho Siang-ku, lalu dengan nada-nada yang amat dingin sambungnya lagi,
“Walaupun Too heng lapang dada ditepi di dalam dunia kangouw masih banyak terdapat
manusia-manusia laknat yang berhati licik, cuma bisa beberapa jurus kembangan dan
memiliki sedikit nama saja sudah memandang hina semua orang, mereka tidak mau tahu
tingginya langit dan tebalnya bumi… jika dilihat keadaan saat ini cayhe rasa perkataan dari
Tooheng itu ada baiknya…”
“Hmmm…! Hmmm! Sungguh besar omonganmu,” dengus si Leng Bian Thiat Pit Tu Lioe
dengan amat dinginnya.
Ie Bun Han To sama sekali tidak melirik sekejappun ke arah Tu Kiu, sambungnya
kembali katanya, “Walau Tooheng belum pernah berbuat nama dengan orang-orang lain
tetapi soal anak kunci Cing Kong Ci Yau ini sangat luar biasa sekali.”
“Walaupun imamku tidak dapat setenang apa yang Too heng latih selama puluhan
tahun inipun belum pernah meninggalkan perkampungan Sian Khie Su Lu.”

“Tetapi kini persoalan anak kunci Cing Kong Ci Yau sudah semakin santar, mau aku
harus terjun kembali ke dalam dunia kangouw untuk melakukan pemeriksaan, siapa
sangka dimana saja aku berada dimana tentu ada banyangan setan dari manusia-manusia
rakus, heeei… terpaksa aku harus ikut campur di dalam urusan ini, dan kedatangan kali ini
justru ingin mengajak Too heng untuk bekerja sama dan bersama-sama melindungi anak
kunci Cing Kong Ci Yau itu dari rebutan manusia-manusia rendah dari kolong langit.”
Sungguh bersemangat…! Sungguh gagah!” puji Thio Ping sisegulung angin sambil
tertawa terbahak-bahak.
“Haaa… haaa… benar, bersaudara memang manusia rendah, manusia yang cuma bisa
sedikit kembangan dan nama kosong haa… haa… makan ini sungguh luar biasa
ganasnya,” sambung simanusia lima racun Ong Kiam dengan cepat.
“Hati Suma Cay siapapun tahu,” ujar Lie Poo pula dengan dingin.
“Justru dia ingin menggunakan sepasang mata menutupi mata para jago, bukankah hal
ini sangat menggelikan sekali.”
“Tempat ini tempat… maaf saat ini waktu apa… bilamana bisa menggerakkan hati Bu
Wie Tootiang sehingga suka bantu dia jadi pembuka jalannya hal inilah yang benar-benar
dinamakan manusia laknat,” ujar sirembulan di tengah telaga Cau Kuang dengan dingin.
Kang Lam Su Kongcu berturut-turut saling berbicara mengeluarkan pendapatnya
membuat Ie Bun Han To yang berhati licikpun jadi marah juga dibuatnya, dengan amat
dinginnya dia melirik sekejap ke arah keempat orang kongcu tersebut.
“Nama kalian berempat sudah terkenal akan kejelekannya, dosa yang kalian
perbuatpun sudah bertumpuk-tumpuk, ada seharusnya cepat-cepat dibasmi dari muka
bumi.”
“Aaakh terlalu sungkan, terlalu sungkan. Kami masih belum cukup bermain lebih lama
masih ingin hidup tiga, lima puluh tahun lagi!” ejek sisegulung angin Thio Ping sambil
tertawa.
“Tetapi sayang sekali nama kalian berempat sudah kena didaftar oleh raja Giam Loo
Ong mungkin tidak bisa hidup lebih lama lagi,” ejek Ie Bun Han To sambil tertawa.
Tangan kanannya dengan cepat menepuk tangan kirinya, kelabang emas itu mendadak
terbang ke atas udara lalu dengan cepatnya menerjang ke arah sisegulung angin Thio
Ping.
Kang Lam Su Kongcu sudah lama berkelana di dalam dunia kangouw, pengetahuanpun
amat luas sejak semula mereka sudah memperhatikan terus kelabang emas yang ada di
tangan Ie Bun Han To tersebut.
Kini melihat dia menepuk terbang kelabang emas tersebut dengan cepat pedang
panjangnya pada dicabut keluar.
Kecepatan terbang dari kelabang emas itu benar-benar luar biasa sekali, begitu
sayapnya dipentangkan bagaikan sambaran kilat cepatnya sudah terbang meluncur ke
arah tubuh sisegulung angin Thio Ping.

Belum sempat Thio Ping mencabut keluar pedangnya kelabang emas tersebut sudah
menyambar kehadapannya.
Thio Ping jadi benar-benar sangat terperanjat pikirnya, “Hmm! Sungguh cepat sekali
gerakannya.”
Pedangnya dengan cepat digerakkan, dengan membentuk berpuluh-puluh bahkan
beratus-ratus bunga perak yang amat tajam dia melindungi seluruh tubuhnya dari
serangan kelabang emas tersebut.
“Brraakk…!” laksana menubruk batu cadas saja, sinar emas yang baru saja menerjang
datang mendadak mundur ke belakang, agaknya dia sudah terkena serangan pedang dari
Thio Ping itu.
Melihat serangan kelabang emas itu gagal, Thio Ping segera tertawa dingin.
“Aku tidak percaya cuma seekor kelabang emas saja bisa mau nyawa dari aku orang
she Thio.”
Tetapi belum habis perkataannya diucapkan mendadak dia menutup mulutnya kembali.
Kiranya kelabang emas yang menurut pikirannya terdiri dari daging dan darah
walaupun merupakan binatang yang sangat beracun, tapi binatang terkena serangan
pedangnya pasti akan mati, atau sedikit-dikitnya terluka parah.
Siapa sangka begitu rubuh ke atas tanah sinar keemas-emasan itu kembali berkelebat
mendatang membuat pandangannya jadi kabur.
Hatinya jadi tergetar amat keras, pikirnya, “Tusukan pedangku tadi paling sedikit ada
seratus kali beratnya, bagaimana, bagaimana seekor kelabang emas yang demikian
kecilnya tak sampai dibikin mati? Apakah kelabang itu terbuat dari besi ataukah kelabang
itu terbuat dari baja?”
Padahal bukan cuma Thio Ping seorang saja yang merasa kaget, bahkan seluruh orang
yang berada dalam ruangan pendopo itupun dibuat benar-benar amat tercengang.
Mereka sama sekali tidak menduga kalau seekor kelabang emas begitu kecil bisa kuat
menahan serangan pedang yang begitu dahsyat tanpa mengalami cedera sedikitpun.
Tampaklah kelabang emas itu semakin terbang semakin cepat, hanya di dalam sekejap
saja berubah menjadi sinar keemas-emasan yang disertai suara dengusan serta suitan
tajam.
Sinar emas memenuhi angkasa membuat pandangan jadi kabur, diantara lewatnya
sinar yang menyilaukan mata tersebut segera tersebarlah asap hitam yang amat tipis
berbau amis menusuk hidung.
Para jago yang hadir di dalam ruangan tersebut kebanyakan merupakan jago-jago
kawakan. Begitu melihat adanya hawa hitam yang tersebar memenuhi angkasa dalam hati
lantas menaruh rasa curiga, apalagi kini tercium bau busuk yang menusuk hidung mereka

cepat-cepat pada menutup pernapasan dan kerahkan tenaga dalam dan siap-siap
menghadapi sesuatu.
Simanusia lima racun Ong Kiam, sienam bulan salju Lie Poo serta sirembulan di tengah
sungai Cau Kuang yang melihat badan kelabang emas itu amat kuat laksana baja dalam
hati merasa amat kuatir sekali atas keselamatan dari Thio Ping. Masing-masing orang
lantas pada mencabut keluar pedangnya dan berdiri sejajar di samping Thio Ping
membentuk satu barisan pedang yang berbentuk sebuah lingkaran.
Sebenarnya barisan ini adalah barisan pedang yang digunakan Kang Lam Su Kongcu
untuk menghadapi musuh tangguh. Kini mereka terpaksa harus menggunakannya pula
untuk menghadapi seekor kelabang, hal ini membuktikan tinggi serangan dari kelabang
itu.
Tampaklah hawa hitam yang disebarkan oleh kelabang emas itu semakin lama semakin
banyak dan dari tipis semakin menebal, bau amis semakin menusuk hidung.
Dengan wajah yang amat serius sekali Ie Bun Han To berdiri tak bergerak, sepasang
matanya melotot lebar-lebar tidak berkedip sedang air mukanya berubah amat tegang.
Mendadak terdengar Siauw Ling berteriak keras.
“Aduuuh… kepalaku amat pening…”
Dengan menimbulkan suara yang amat keras tubuhnya segera terjatuh ke atas tanah.
Kiranya para jago yang ada disana pada memikirkan dirinya sendiri untuk kerahkan
tenaga dalam berjaga sedang perhatianpun sudah dicurahkan ke atas tubuh kelabang
emas itu, sehingga hampir boleh dikata mereka telah melupakan Siauw Ling yang tak
mengerti ilmu silat.
Menanti setelah mendengar suara jeritan dari Siauw Ling semua orang baru menaruh
perhatian terdengar suara tersampoknya ujung kayu terkena angin. Beberapa sosok
bayangan manusia dengan amat cepatnya menubruk kerah Siauw Ling yang rubuh ke atas
tanah itu.
Bu Wie Tootiang segera tertawa dingin mendadak dia bangun berdiri ujung jubahnya
yang mebar dikebut ke depan sehingga terasalah segulung angin pukulan yang amat keras
melanda ke arah depan.
Para jago yang lagi menubruk ke arah Siauw Ling terpaksa menahan kembali tubuhnya.
Masing-masing orang mengayunkan sebuah pukulan menahan datangnya angin pukulan
tersebut kemudian tubuhnya meloncat ke belakang kembali ke tempatnya semula.
Orang yang menubruk ke arah Siauw Ling bukan lain adalah sitangan sakti peluru besi
Coe Koen San, si Pit besi berwajah dingin Tu Kiu serta sisastrawan bertangan seratus Jan
Ing.
Karena itu tanpa sepakat lagi mereka berdua dengan gerakan yang amat cepat lantas
menubruk maju ke depan.

Sebaliknya sitangan sakti peluru besi Coe Koen San yang berhati polos dan jujur,
dikarenakan tempo hari sewaktu ada di atas puncak perbah bercakap-cakap dengan amat
senangnya dengan Siauw Ling dia merasa hatinya cocok dengan bocah itu.
Kini melihat ada musuh yang hendak merampas dirinya, dalam hati jadi merasa sangat
cemas, tanpa pikir panjang lagi diapun lantas menubruk ke depan untuk menolongnya.
Tetapi mereka bertiga dengan amat cepatnya sudah berhasil kena dihajar oleh Bu Wie
Tootiang sehingga tergetar mendur ke belakang, karena tahu kepandaian silat dari Toosu
tua ini sangat lihay maka tanpa terasa lagi merekapun balik kembali ke tempat semula.
Bu Wie Tootiang yang di dalam satu jurus berhasil mengundurkan tiga orang musuhmusuhnya
segera menyumbar tubuh Siauw Ling dan jejalkan sebutir pil ke dalam
mulutnya.
“Ie Bun heng! Sungguh kejam perbuatanmu!” seru Kiem Siepoa Sang Pat dengan suara
yang amat keras. “Diluarnya kau lagi menghadapi Kang Lam Su kongcu padahal yanga
sebenarnya kau bermaksud hendak mencelakai seluruh orang yang ada di dalam seluruh
pendopo ini, kau ingin kami mati karena keracun sehingga mudah bagi dirimu untuk
tangan menjajal. Heeee… heee… sungguh bagus sekali siasatmu itu!”
“Ha… ha… Sang heng terlalu menaruh curiga kepadaku,” sahut Ie Bun Han To sambil
tertawa terbahak-bahak. “Bagaimana mungkin aku bisa bermaksud untuk melukai semua
orang?”
Mendadak dia mengeluarkan satu suitan rendah yang amat aneh sekali.
Secara mendadak kelabang emas itu terbang kembali ke atas pundak kiri dari Ie Bun
Han To dan tidak bergerak lagi.
Tetapi sebentar kemudian… tampak kembali dia ayunkan tangan kanannya dan ditepuk
ketangannya yang sebelah kiri, bagaikan kilat cepatnya sekali lagi kelabang emas itu
menerjang ke arah Kang Lam Su Kongcu dengan amat ganas.
Haruslah diketahui kelabang emas walaupun merupakan binatang beracun yang amat
cerdik tetapi dia bukanlah manusia sehingga untuk menggunakan akal tak mungkin bisa.
Simanusia lima racun Ong Kiam sewaktu melihat kelabang emas itu menubruk datang
dengan amat dahsyatnya dia lantas tertawa dingin.
“Hee, hee, hee… aku tidak percaya, kalau binatang ini benar-benar terbuat dari baja
yang tidak bisa mempan senjata, pedang pusaka pasti bisa menebas putus badannya.”
Dengan dipimpin sendiri olehnya dia membabatkan pedangnya ke depan dengan amat
dahsyat menyambut datangnya serangan tersebut.
Siapa tahu mendadak kelabang emas itu menarik kembali sayapnya sehingga sang
tubuh merendah ke bawah, dengan menempel permukaan tanah dia menubruk ke arah
Ong Kiam.

Diluar dugaan dari Kang Lam Su Kongcu mereka sama sekali tidak menyangka kalau
binatang itu dapat bergerak demikian gesitnya.
Yang tak pernah mereka pikirkan adalah binatang itu setelah terkena ganjaran yang
pahit kini malah bisa mengerti cara untuk menghindarkan diri dari serangan pedang.
Saat ini bagaikan kilat cepatnya kelabang emas itu sudah menubruk ke arah tubuh Ong
Kiam. Padahal gerakan pedang dari keempat orang Kongcu inipun hanya ditujukan pada
dua jurusan yaitu atas dan tengah, kini melihat serangan tersebut datangnya dari bawah
seketika juga semua orang dibuat kelabakan.
Sienam bulan salju Lie Poo dengan cepat melancarkan satu pukulan dahsyat
menggetarkan tubuh kelabang emas itu hingga miring kesamping. Dengan mengambil
kesempatan itulah Ong Kiam meloncat maju ke depan bergeser sejauh tiga depa dari
tempat semula.
Sirembulan di tengah telaga Cau KUang yang berada disisi Ong Kiam dengan cepat
membabatkan tangannya ke depan tetapi mendadak kelabang emas itu miring kesamping
dan menerjang terus ketubuhnya.
Dalam hati Cau Kuang merasa amat terperanjat, dia tidak menyangka kalau kelabang
emas itu bisa menghajar pergelangan tangan kanannya yang lagi mencekal pedang.
Perubahan yang terjadi secara tiba-tiba ini membuat Cau Kuang yang memiliki
kepandaian silat amat tinggipun dibuat kelabakan dia tidak sempat menarik kembali
pedangnya di dalam keadaan tergesa-gesa telapak tangannya yang sebelah segera
melancarkan satu pukulan ke depan.
“Plaaak…” dengan amat tepat pukulan tersebut bersarang di atas tubuh kelabang emas
itu.
Pukulan yang dilancarkan dalam keadaan tidak bersiap itu malah kelihatan amat
dahsyat, kelabang emas yang kena hajaran tersebut segera terpental sejauh tujuh delapan
depa ke depan.
Tetapi sebentar kemudian sudah terpentangkan sayapnya terbang kembali menerjang
ke arah depan.
Sisegulung angin Thio Ping serta sienam bulan salju Lie Poo bersama-sama lantas
menggerakkan sepasang pedangnya membentuk satu barisan pedang untuk menghalangi
jalan maju dari kelabang emas tersebut.
“Saudara, sungguh cepat pukulanmu tadi…” simanusia lima racun Ong Kiam dengan
suara yang lirih.
Tetapi sebentar kemudian matanya bisa menangkap kalau di atas jari kelingking serta
jari manis dari Cau Kuang sudah jadi hitam menggelap bahkan semakin lama
membengkak semakin besar tidak terasa dia jadi melengak dibuatnya.
“Aaa… aku… aku sudah terkena racun……” seru si rembulan di tengah telaga Cau
Kuang dengan gugup.

“Tidak salah memang sudah terkena racun,” sambung Ie Bun Han To sambil
tersenyum! Haruslah kau ketahui kelabang emas ini adalah seekor binatang yang sangat
beracun bahkan seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu tajam yang kuat laksana baja.
Tangannya sudah menyampok badannya dan itu salahmu sendiri inilah yang dinamakan
mencari gara-gara buat dirinya sendiri.”
Ong Kiam yang melihat hawa hitam yang ada dikedua belah jari tangan Cau Kuang
semakin lama semakin menjalar sehingga menggetarkan seluruh tangannya dia lantas
berseru keras.
“Racun aneh yang amat lihay!”
Pedang panjangnya dengan cepat berkelebat, darah segar muncrat mengotori seluruh
lantai… kedua buah jari tangan Cau Kuang yang terkena racun tadi sudah dibabat putus
keakar-akarnya.
Saking sakitnya sirembulan di tengah telaga mendengus dingin.
“Terima kasih Ong heng sudah bantu Siauw te ubtuk tebas putus jari tangan yang
terkena racun,” serunya.
Baru saja Ong Kiam bermaksud untuk menjawab, kelabang emas itu ternyata sudah
berhasil menerobos bayangan hawa pedang yang dibentuk oleh tenaga gabungan antara
Thio Ping serta Lie Poo dan kini menubruk mendatang.
Ong Kiam tidak sempat untuk berbicara lagi, pedangnya dengan cepat digoyangkan
membentuk sinar keemas-emasan yang menyilaukan mata menghadang tubrukan diri
kelabang emas tersebut.
Sisegulung angin Thio Ping yang sudah terbebas dari serangan kelabang emas matanya
lantas memandang dan sekejap ke atas jari-jari tangan yang terpapas putus di atas tanah
itu, kini jari-jari itu sudah mulai berubah menghitam, hatinya jadi amat terperanjat.
Pedang panjang di tangan kanannya diperkencang lagi membentuk sinar pedang yang
menyilaukan mata sedang tubuhnya mulai bergeser mendekati kesisi Cau Kuang.
“Cepat balut bekas luka tersebut,” ujarnya dengan suara yang perlahan.
Lie Poo pun dengan cepat menggeserkan kedudukannya bersama-sama dengan Thio
Ping serta Ong Kiam membentuk satu barisan segitiga yang amat kuat.
Tiga bilah pedang berkelebat tiada hentinya memenuhi seluruh angkasa dan
membentuk satu jaringan hawa pedang yang amat kuat melindungi diri Cau Kuang yang
terluka.
Sirembulan di tengah segera mengambil keluar obat luka dan dibubuhkan ke atas mulut
luka lalu membalutnya dengan kencang.
“Saudara bertiga, silahkan sedikit bergeser untuk kasih aku satu tempat kedudukan!”
serunya kemudian sambil getarkan pedang yang ada di tangan kanannya.
“Tidak mengganggu?” tanya Thio Ping kuatir.

“Sedikit luka dijari tidaklah terlalu penting.”
Ong Kiam lantas geserkan badannya kesamping memberikan satu tempat kedudukan
buat Cau Kuang.
Mereka berempat segera bersatu padu dan sama-sama menggerakkan pedangnya
menghajar kelabang emas tersebut.
Terasalah hawa pedang memenuhi angkasa, sinar keemas-emasan menyilaukan mata…
temapt seluas satu lie sudah terjerumus ke dalam kurungan sambaran pedang yang amat
tajam itu.
Tetapi memang emas itupun semakin cepat, hanya terlihat satu titik sinar yang
berputar dan menyambar tiada hentinya diantara sinar pedang keempat orang itu.
Para jago yang ada di dalam ruangan pendopo sewaktu melihat kejadian ini pada
merasa terkejut, mereka tidak menyangka kalau kelabang emas itu sangat beracun dan
merupakan seekor binatang yang gesit lincah dan bisa bergerak cepat, bahkan sampai
Kang Lam Su Kongcu yang namanya telah menggetarkan seluruh Bulim pun bisa dibuat
kalang kabut dan kelabakan oleh serangannya.
Saat ini hawa yang memenuhi ruangan pendopo dengan perlahan mulai lenyap sedang
bau amis yang menusuk hidungpun dengan perlahan mulai menjadi tawar dan hilang
lenyap di tengah angkasa.
Dengan perlahan Bu Wie Tootiang menundukkan kepalanya sekejap ke arah Siauw
Ling.
Tampaklah diantara alis matanya secara samar-samar sudah timbul hawa hitam yang
tebal, hatinya jadi terasa amat cemas.
“Kelihatannya bocah ini sudah terkena racun amat berat” pikirnya.
“Aku harus cepat-cepat berusaha untuk menyembuhkannya.”
Sinar matanya kembali berputar memandang ke arah Ie Bun Han To yang lagi
menonton pertempuran antara Kang Lam Su Kongcu dengan kelabang emas itu sambil
bergendong tangan, sedang wajahnya tetap dingin tak berperasaan.
“Orang ini berhati kejam bertindak telengas dan jauh lebih ganas dari pada Kang Lam
Su Kongcu,” pikirnya kembali. “Bilamana pertempuran lebih lama lagi maka Kang Lam Su
Kongcu pasti akan terluka atau menemui kematian di tangan dia orang, aku tidak akan
terluka atau menemui ajalnya di tangan dia orang, aku tidak akan membiarkan dia
sembarangan melukai orang lain di atas gunung Bu-tong san ini.”
Berpikir sampai disitu tidak tertahan lagi mendadak bentaknya keras, “Ie Bun heng
harap cepat-cepat tarik kembali kelabang emas itu, pinto ada perkataan yang hendak
diucapkan.”
“Too heng ada petunjuk apa silahkan berbicara cayhe akan mendengarkannya dengan
penuh perhatian,” sahut Ie Bun Han To ketus.

“Kedahsyatan dari racun yang ada di tubuh kelabang emas milik Ie Bun heng itu
sungguh luar biasa sekali, pinto benar-benar merasa kagum.”
“Jadi maksud Too heng meminta aku orang supaya suka mengampuni keempat orang
manusia sombong itu??” sambung Ie Bun Han To dengan cepat.
“Ehhmmmm! pertama pinto ada urusan yang hendak dibicarakan. Kedua setiap orang
yang mendatangi gunung Bu-tong san kami adalah tetamu pinto tidak ingin menimbulkan
banjir darah di dalam kuil Sam Yuan Koan ini.”
“Perintah dari Tooheng pasti akan cayhe lakanakan!” jawab Ie Bun Han To kemudian
sambil tertawa.
Dia lantas bersuit rendah, kelabang emas yang lagi berputar dan menyambar-nyambar
diantara berkelebatnya sinar pedang itu dengan cepat menarik kembali serangannya dan
terbang kembali ke atas pundak kirinya.
“Saat kematian kalian berempat sudah ada diambang pintu,” ujarnya kembali.
“Walaupun ini hari ada Bu Wie Tootiang yang buka mulut mintakan ampun buat kalian hal
itu juga percuma saja, kalian tidak lebih bakal hidup beberapa jam lagi sesata kalian
berempat meninggalkan gunung Bu-tong san ini waktu itulah saat kematian buat kalian.”
Nama besar dari Kang Lam Su Kongcu di dalam Bulim tidaklah kecil, siapa disangka
untuk menghadapi seekor kelabang emas yang kecil harus mengakibatkan terpapas
putusnya kedua jari tangan sirembulan di tengah telaga. Hal ini membuat keberanian dari
mereka berempat benar-benar terpukul.
Tetapi mereka berempat yang selama puluhan tahun berkelana di dalam Bulim belum
pernah mendapatkan malu. Ini hari mana suka menerima penghinaan tersebut dengan
begitu saja.
Mendadak terdengar sisegulung angin Thio Ping tertawa terbahak-bahak dengan amat
kerasnya.
“Haa… haaa, sejak kami berempat terjunkan diri ke dalam dunia kangouw selamanya
belum pernah menerima penghinaan seperti ini hari, dendam dan hutang ini kami
bersaudara tidak bakal melupakan untuk selamanya!”
“Apalagi mencari kemenangan dengan menggunakan binatang beracun juga, bukan
merupakan satu pekerjaan yang gemilang” sambung simanusia lima racun Ong Kiam
dengan cepat. “Kami empat bersaudara sangat mengharapkan bisa minta beberapa
petunjuk dari ilmu silat yang sebenarnya dari majikan Sian Lhie Su Lu!”
Mendengar perkataan itu Ie Bun Han To segera tertawa dingin.
“Bilamana kalian berempat masih tidak suka menyerah juga sudah tentu akan cayhe
layani. Pokoknya aku akan membuat kalian benar-benar puas dan mati dengan hati
tenang” katanya.
Saat itulah emapt orang Toosu berbaju hijau sudah berjalan masuk dan
menghidangkan sayur dan arak di atas meja.

Bu Wie Tootiang menoleh memandang sekejap ke arah diri Siauw Ling, tampak
sepasang mata bocah itu dipejamkan rapat-rapat agaknya dia sudah terkena racun terlalu
mendalam.
Tetapi dia orang yang beriman tebal walaupun menemui urusan yang menguatirkan
tetapi wajahnya masih tetap tenang-tenang saja.
Mendadak dia tersenyum dan ujarnya, “saudara-saudara sekalian bilamana bukannya
jagoan dari satu daerah sedikit-dikitnya adalah jago kelana di dunia kangouw, ini hari
datang berkunjung kekuil pinto membuat aku sebagai majikan harus baik-baik menjamu
kalian, mulai saat ini pinto harap saudara-saudara suka melenyapkan ganjalan hati untuk
sementara waktu bilamana hendak bergebrak nanti saja dibicarakan kembali, dan
sekarang silahkan bersahabat!”
Tampaklah beberapa orang Toosu cilik berbaju hijau berjalan hilir mudik tiada hentinya
mempersiapkan meja perjamuan. Sewaktu Bu Wie Tootiang selesai berbicara maka meja
perjamuanpun sudah selesai dipersiapkan.
Mendadak tampaklah Ie Bun Han To meninggalkan tempat duduknya dan berjalan
mendekati.
“Tadi Toohengkatanya hendak membicarakan sesuatu ada petunjuk apa yang
sebenarnya???” tanyanya sambil tersenyum.
Walaupun mulutnya lagi berbicara dengan Bu Wie Tootiang tetapi sepasang matanya
terus menerus memperhatikan wajah Siauw Ling.
Bu Wie Tootiang yang takut secara diam-diam dia orang turun tangan jahat melukai
Siauw Ling dengan cepat kerahkan tenaga dalamnya membentuk satu perisai tak terwujud
dihadapan tubuhnya untuk melindungi sang bocah.
“Pinto kepingin meminta petunjuk akan satu persoalan,” jawabnya.
Ie Bun Han To yang baru saja berjalan kehadapannya segera terasalah olehnya
segulung hawa khi kang yang amat kuat laksana sebuah tembok baja, hal ini membuat
hatinya jadi terperanjat.
“Hmm! Sihidung kerbau ini sungguh memiliki kemampuan yang mengejutkan hati,”
pikirnya. “Kiranya dia berhasil kumpulkan tenaga khi kangnya untuk melindungi tubuh.”
Dengan cepat diapun kerahkan hawa murninya yang disalurkan ketelapak tangan.
“Tootiang ada petunjuk apa silahkan dibicarakan,” ujarnya sambil secara tiba-tiba
menjura.”Asalkan cayhe kuat untuk melaksanakannya sudah tentu cayhe lakukan tanpa
membantah.”
Dengan meminjam kesempatan sewaktu menjura itulah diam-diam dia kerahkan hawa
murninya melalui lima jari bagaikan lima batang anak panah tidak berwujud dengan
jujurnya menghantam ke depan.

Bu Wie Tootiang lantas merasakan adanya lima gulung hawa pukulan jari yang maha
dahsyat mendesak datang hatinyapun diam-diam merasa kaget.
“Kelihatannya majikan Sian Khie Su Lo ini adalah manusia yang benar-benar lihay. Aku
tak boleh terlalu pandang rendah dirinya,” pikirnya dihati.
Dengan cepat ujung jubahnya dikebutkan ke depan menambahi dengan dua bagian
tenaga dalam lagi.
“Pinto ingin menanyakan kepad diri Ie Bun heng bagaimanakah caranya untuk
memusnakan racun dari kelabang emas ini???” tanyanya.
Masing-masing orang dengan menggunakan kebutan ujung baju mauoun menjura
untuk saling mengadu tenaga dalam hal ini benar-benar kelihatnnya amat dahsyat sekali.
Tenaga dalam mereka berdua sudah pada dilatih sehingga mencapai pada taraf yang
tinggi sudah tentu pertandingan ini terjadi dengan amat serunya.
Tampak seluruh jubah yang dipakai oleh Bu Wie Tootiang sudah berubah menjadi
gelembung-gelembung besar kecil laksana ombak tapi wajahnya masih tersenyum dan
berdiri tak bergerak di tempat semula.
Sebaliknya air muka Ie Bun Han To berubah sangat hebat, jenggot di depan dadanya
bergoyang-goyang tak kuasa lagi sudah mundur dua langkah ke belakang.
Masing-masing lantas saling menarik kembali tenaga dalamnya tetapi dengan demikian
dihati kedua orang itupun sudah mempunyai perhitungan sendiri.
Terdengar Ie Bun Han itu menghembuskan napas panjang dan tertawa.
“Apakah Tooheng hendak pula bebaskan racun yang bersarang di dalam tubuh saudara
cilik ini?” tanyanya.
Sembari berkata dia memungut kembali kotak pualam yang ada disisi tubuh Bu Wie
Tootiang lalu bersuit dua kali dengan suara yang rendah.
Kelabang emas yang ada dipundaknya pun dengan cepat segera terbang kembali ke
dalam kotak pualam tersebut.
“Pinto tidak berani merepotkan Ie Bun heng untuk turun tangan sendiri, asalkan Ie Bun
heng suka memberitahukan cara untuk memusnakan racun tersebut pinto sudah merasa
sangat berterima kasih sekali,” kata Bu Wie Tootiang lagi.
Dengan termangu-mangu Ie Bun Han To termenung berpikir beberapa saat lamanya,
setelah itu dia baru mengangguk.
“Menurut sahabat karib dari cayhe yang ada di daerah Biauw Hiang itu dia bilang
kelabang emas adalah seekor binatang yang sangat beracun sekali di dalam dunia pada
saat ini.”

“Walaupun cayhe sedikit mengerti tentang cara untuk memusnahkan racun tersebut
tetapi terhadap binatang beracun yang amat ganas ini cayhe akui bukanlah suatu
pekerjaan yang mudah.”
“Untung saja sewaktu kawan karibku yang ada di daerah Biauw tersebut menyerahkan
kelabang emas itu kepada cayhe sekalian sudah memberi juga tiga butir pil pemusnahnya,
tetapi sewaktu cayhe melatih kelabang emas ini tidak untung kena digigit sekali sehingga
pil itu kini tinggal dua butir saja.”
“Baiklah demikan saja! bersama-sama dengan kelabang emas ini aku sekalian
hadiahkan buat Too heng sebagai tanda mata dari cayhe.”
Sehabis berkata dari dalam sakunya dia mengambil keluar sebuah botol porselen yang
kecil lalu diletakkan di samping kotak yang berisikan kelabang emas tadi.
Bu Wie Tootiang lantas menerima botol porselen itu dan mengambil keluar sebutir pil.
“Terima kasih atas pemberianmu itu, pinto cukup mengambil sebutir saja buat saudara
cilik ini, sedang sisa yang sebutir bersama-sama dengan kelabang emas itu pinto tidak
berani untuk menerima, lebih baik Ie Bun Kiam menyimpannya sendiri,” katanya sambil
tertawa.
Para jago yang ada di dalam ruangan itu sewaktu melihat kelihayan dari kelabang emas
tersebut dalam hati pada merasa kagum, tetapi setelah mendengar Bu Wie Tootiang
menolak pemberian tersebut tidak kuasa merekapun ikut merasa sayang.
Sampai Im Yang Cu sendiripun rada merasa keheranan, dengan bingungnya dia
memandang sekejap ke arah suhengnya.
“Sekalipun kau tidak suka dengan binatang yang demikian beracunnya juga tidak
seharusnya mengembalikannya kembali kepada dia orang, bagaimana kalau Ie Bun Han
To menggunakannya lagi untuk melukai orang?” omelnya diam-diam dihati.
“Tootiang sebagai seorang pemuda dari satu partai besar dengan hati yang welas kasih
sudah tentu tidak akan menyukai binatang beracun seperti ini.” Terdengar Ie Bun Han To
berkata sambil tertawa. “Kalau memangnya begitu cayhepun tak akan memaksa lebih jauh
lagi.”
Dengan langkah yang perlahan dia mengundurkan dirinya ke belakang membuka peti
emas itu dan memasukkan kembali kotak pualam tersebut ke dalam peti emas itu.
Sedangkan Bu Wie Tootiang dengan perlahan bangkit berdiri dengan sepasang
telapaknya disilangkan di depan dada dia mengambil temapt duduk dimeja perjamuan
tersebut,
Walaupun Kang Lam Su Kongcu baru saja mendapatkan kerugian yang amat besar
sehingga mendapat malu tetapi kerakusannya belum hilang juga, dengan tebalkan muka
mereka ikut mengambil tempat duduk pula di sekeliling meja perjamuan tersebut.
di tengah perjamuan itu Tiong Cho Siang-ku tiada hentinya memperhatikan diri Siauw
Ling terus menerus, ketika dilihatnya bocah itu pejamkan matanya terus menerus dalam
keadaan tidak sadar diri hatinya mulai merasa amat kuatir.

Mereka mulai merasa cemas melihat keadaan Siauw Ling yang berada di dalam pelukan
Bu Wie Tootiang tetapi sama sekali tidak melihat Toosu tua itu turun tangan
menyembuhkan sakitnya.
Setelah meneguk tiga cawan arak akhirnya si pit besi berwajah dingin Tu Kiu tidak
dapat menahan sabar lagi.
“Tootiang! bilamana kau orang tidak suka menyembuhkan luka dari bocah cilik itu,
bagaimana kalau serahkan saja kepada cayhe untuk dibawa pergi??” ujarnya dengan
dingin.
“Apa kalian berdua mempunyai kepercayaan untuk dapat menyembuhkan racun yang
bersarang di dalam tubuhnya itu?” ejek Ie Bun Han To sambil tertawa.
“Hmm! Soal ini tidak perlu saudara kuatirkan,” jawab si pit besi berwajah dingin Tu Kiu
sambil mendengus.
Tiba0tiba tampaklah Bu Wie Tootiang dengan wajah yang berubah amat serius bangkit
berdiri, ujarnya perlahan, “Saudara-saudara datang dari tempat kejauhan pinto sebagai
ketua partai Bu-tong-pay cuma bisa mengadakan sedikit perjamuan saja buat saudarasaudara
sekalian.”
“Haa, haa, bagaimana?? Tootiang mau mengusir para tetamu??” Timbrung Sang Pat si
Siepoa emas sambil tertawa terbahak-bahak.
“Pinto masih ada urusan yang harus diselesaikan setelah kalian kenyang bersantap
sudah seharusnya cepat-cepat turun gunung.”
Si pit besi berwajah dingin Tu Kiu lantas tertawa dingin tiada hentinya.
“Hee… hee… apa kau kira kedatangan kami dua bersaudara dari tempat kejauhan
hanya dikarenakan untuk bersantap nasi serta arakmu?” teriaknya.
“Entah saudara ini mempunyai petunujk apa lagi?” sela Im Yang Cu dari samping.
“Nama besar partai Bu-tong-pay sudah amat cemerlang sekali di dalam dunia persilatan
sudah tentu kalian tidak ingin bukan kalau di belakang nama Bu-tong-pay ditambahi
dengan partai tukang merebut barang milik orang lain?” sindir si Kiem Siepoa Sang PAt
dengan ketus. “Kami dua bersaudara mendapat titipan dari orang lain untuk memapak
Siauw Ling pulang.”
“Kalian sudah menerima titipan dari siapa?” sambung Im Yang Cu tidak menanti dia
menyelesaikan kata-katanya.
“Gak Siauw-cha! kami dua bersaudara mempunyai perjanjian dengan dua orang
mengharuskan kami mencari kembali diri Siauw Lung” kata Tu Kiu dengan dingin.
“Bilamana Tooheng benar-benar tidak bermaksud untuk ikut memperebutkan barang milik
orang lain maka cayhe rasa terhadap perkataanku inipun kalian akan mampercayainya!”
“Heeey tauke berdua!” tiba-tiba Ie Bun Gan To menimbrung dari samping mereka.
“Apakah janji kalian dengan Siauw-cha adalah hendak menolong bocah cilik ini?? haa…

haaahh tidak kusangka… tidak kusangka Tiong Cho Siang-ku pun sudah menjadi pedagang
manusia… haaahh… haahh.”
“Soal ini kau orang tidak usah ikut campur” Sang Pat dengan suara yang ketus. “Kami
sebagai kaum pedagang cuma mengerti cara untung yang sebanyak-banyaknya,
selamanya tidak pernah membicarakan macam barang dagangan tersebut.”
Sebenarnya Ie Bun Han To bermaksud hendak menyindir lagi dengan beberapa
perkataan yang tajam untuk menimbulkan hawa amarah mereka berdua dengan pihak Butong-
pay, tetapi sewaktu teringat kalau mereka berduapun merupakan kalangan yang
telah lama berkelana di dalam dunia kangouw dan pengetahuan mereka-mereka luar biasa
hatinya jadi ragu-ragu, ia perkataannya membuat berdua jadi marah terhadap dirinya dan
menyerang dia sendiri terlebih dahulu. Bilamana demikian adanya bukankah sebaliknya
pihak Bu-tong-pay yang bakal menerima keuntungan?
Sebetulnya dia adalah seorang yang berpikir tajam teringat akan hal tersebut dialantas
mendehem beberapa kali dan tidak becakap-cakap lagi.
Sie Siepoa emas Sang Pat melirik sekejap ke arah Bu Wie Tootiang, lalu ujarnya,
“Cayhe sangat mengharapkan Too heng bisa memandang pada wajah kami Tiong Cho
bersaudara untuk serahkan Siauw Ling si bocah cilik itu untuk kami bawa pergi.”
“Sekalipun Sang heng benar-benar mempunyai janji dengan diri Gak Siauw-cha tetap
perkataanmu itu bukankah terlalu enteng?” seru Im Yang Cu.
“Haaahh… haaahh… kami orang kaum pedagang sudah tentu mengerti akan
keuntungan, bilamana partai kalian suka serahkan orang tanpa memperoleh sedikit
keterlaluan… jangan kuatir… jangan kuatir, sudah tentu kami akan membagi bagian
kepada partai kalian,” ujar Sang Pat sambil tertawa terbahak.”
Bu Wie Tootiang yang mendengar perkataan itu agak mengerutkan alisnya tetapi masih
bisa menahan pergolakan dihatinya.
Dari dalam sakunya Sang Pat segera mengambil keluar kentongan yang terbuat dari
sutera sambungnya, “Di dalam kentongan ini berisikan sedikit hadiah dari kami berdua,
barang yang tidak berharga ini harap Tootiang menerimanya.”
Im Yang Cu yang melihat diantara kening suhengnya sudah dikerutkan rapat-rapat
mana berani menerima barang itu lagi. Dia segera mendengus dingin.
“Pinto dengan saudara sekalian tidak berjalan disatu jalan yang sama, maaf kami tidak
berani menerima barang tersebut.”
“Loo toa!” tiba-tiba terdengar si pit besi berwajah dingin Tu Kiu berteriak sambil
mendorong meja perjamuan itu kesamping.
“Perundingan tidak berhasil terpaksa kita harus menggunakan kekerasan untuk
merebut barang tersebut…! Hmmm! Bilamana kalian berdua punya kekuatan untuk
merebutnya kenapa tidak dicoba?” seru Bu Wie Tootiang dengan dingin.
“Akh… tidak bisa jadi,” ujar Sang Pat sambil menggoyang-goyangkan tangannya
berulang kali.

“Kami bersaudara naik gunung dengan mengirim kartu nama terlebih dulu sedang
Tootiang menerima dengan hormat, sekalipun misalnya hendak menggunakan kekerasan
saat ini rasanya masih belum waktunya untuk bergerak.”
“Bagus sekali, setiap saat pinto pasti akan melayani kemauan kalian, tidak saja kalian
berdua pokoknya barang siapa yang naik ke gunung pada ini hari bilamana merasa punya
pegangan untuk rebut pergi bocah cilik ini boleh turun tangan untuk mencobanya.”
“Kalau begitu kami bersaudara mohon pamit dulu!” ujar si Kiem Siepoa kemudian
sambil menarik tangan Tu Kiu.
Mereka lantas putar tubuh berjalan keluar dari ruangan pendopo dan berlalu dengan
langkah lebar.
Kang Lam Su Kongcu pada bangkit berdiri untuk menjura.
“Terima kasih atas pelajaran dari Tootiang” serunya berbareng.
“Mana… mana… kelihatannya kalian berempatpun mempunyai kesenangan untuk
mencoba-coba akukan?” ujar Im Yang Cu.
“Kang Lam Su Kongcu selamanya tidak pernah ketinggalan!” jawab si Bu Wie Tootiang
lantas mengangguk.
“Kalian berempat selamat jalan, pinto tidak menghantar lagi!” serunya.
“Tidak berani mengganggu!”
Mereka berempat bersama-sama lantas meninggalkan ruangan pendopo itu dan berlalu.
Setelah semuanya pergi Ie Bun Han To naru melirik sekejap ke arah sitangan sakti
peluru besi Coe Koen San.
“Hey orang tua! kaupun sudah kenyang bersantap dan minum arak, apa yang kau
tunggu lagi di tempat ini??”
“Kau berani mengurusi loohu??” teriak Coe Koen San dengan gusar.
“Apa kau rada tidak percaya?” ejek Ie Bun Han To sambil tertawa.
Mendadak tubuhnya bergerak maju ke depan, dengan kecepatan dahsyat tangannya
melancarkan serangan menotok tubuh Coe Koen San.
Sitangan sakti peluru besi Coe Koen San sama sekali tak menduga kalau dia berkata
hendak menyerang lantas datang menyerang bahkan kecepatannya luar biasa, untuk
beberapa saat lamanya dia dibuat kelabakan juga sehingga terdesak mundur sejauh lima
langkah ke belakang.
Ie Bun Han To yang melancarkan satu serangan dan berhasil mendesak mundur Coe
Koen san ke belakang mana suka membiarkan dia balas menyerang dirinya.

Dengan cepat tubuhnya meloncat ke belakang dan kembali ke tempat semula.
Saking kekinya Coe Koen San lantas berteriak dan berkaok-kaok tiada hentinya, telapak
tangan kanannya diayunkan ke depan menerima datangnya pukulan itu.
“Hmm! hanya dengan mengandalkan sedikit kepandaian silat ini kau bermaksud hendak
berkelahi dengan susiokku? lebih baik cayhe saja yang melayani beberapa jurus dengan
dirimu!” ejeknya dengan dingin. Kakinya dengan cepat melancarkan satu tendangan ke
depan.
Coe Koen San semakin dibuat gusar telapak tangannya dimiringkan kesamping laksana
sebilah golok dengan cepatnya dibabat ke depan.
Jan Ing tertawa dingin, tubuhnya meloncat ke atas sedang kakinya berturut-turut
melancarkan tiga kali tendangan kilat memaksa Coe Koen San harus mundur dua langkah
ke belakang.
Bu Wie Tootiang yang melihat diantara mereka berdua terjadi pertempuran hatinya jadi
kurang senang, ujung jubahnya segera dikebutkan ke depan mendorongkan satu pukulan
yang maha dahsyat mendesak mundur dari Jan Ing.
“Bilamana kalian berdua sungguh-sungguh mau berkelahi lebih baik cepat-cepat
tinggalkan kuil Sam Yuan Koan ini saja!” usirnya.
Ie Bun Han To lantas tersenyum.
“Cayhe masih ada beberapa perkataan penting yang hendak dibicarakan dengan Too
heng,” ujarnya perlahan. “Bilamana ada si orang tua disini malah ada kemungkinan
mengganggu pembicaraan kita saja lebih baik biarkanlah dia bermain-main beberapa jurus
dengan Ing jie.”
“Bagus!” Teriak Coe Koen San dengan gusarnya setelah mendengar suara ejekan
tersebut. Kau berani begitu menghina diri Loohu!”
Tubuhnya miring kesamping loalu meloncat ke tengah udara dan menubruk ke arah diri
Ie Bun Han To.
Pada saat yang bersamaan Bu Wie Tootiang segera mengirim satu kebutan ke depan
segulung hawa murni yang amat dahysat dengan cepatnya mengalir ke depan
menghalangi perjalanan selanjutnya dari Coe Koen San, lalu dengan menggunakan ilmu
untuk menyampaikan suara, ujarnya, Coe Thay hiap bukannya pinto memandang hina
dirimu terus terang saja pinto katakan kalau dirimu masih bukan tandingan dari Ie Bun
Han itu, dia lambat-lambat tidak turun tangan jahat terhadap dirimu hal ini bukanlah
karena dalam hati menaruh rasa jeri terhadapmu, di dalam keadaan dan situasi seperti ini
harap kau orang suka sedikit bersabar.”
Haruslah diketahui nama besar dari Coe Koen San amat terkenal di dalam Bulim karena
kebajikannya walaupun Bu Wie Tootiang jarang sekali turun gunung tetapi urusan tentang
dunia kangouw dia sering sekali memperoleh laporan dari anak buahnya, karena itu
terhadap bagaimana sikap serta sifat dari setiap jago dia mengetahuinya dengan amat
jelas.

Saat ini walaupun di dalam hati Coe Koen San merasa sangat tidak puas tetapi diapun
tidak mau menyia nyiakan maksud baik dari Bu Wie Tootiang itu karenanya dia orang
lantas merangkap tangannya menjura
“Kalau begitu Loolap mohon diri dulu,” ujarnya kemudian setelah itu dengan langkah
lebar dia berjalan keluar dari ruangan pendopo tersebut.
Saat ini yang ada di dalam ruangan pendopo tinggal Bu Wie Tootiang, Im Yang Cu, Ie
Bun Han To serta Jan Ing empat orang.
Bu Wie Tootiang menoleh dan memandang sekejab ke atas tubuh Siauw Ling yang ada
di dalam pelukannya lalu ujarnya, “Luka yang diderita bocah sangat parah sekali dan tidak
bisa mengulur waktu lebih banyak lagi, bilamana Ie Bun heng ada petunjuk silahkan
dibicarakan selekasnya.”
“Cayhe ingin bertanya kepada Tooheng apakah Tooheng percaya dengan kekuatan
partai Bu-tong-pay bisa mempertahankan keselamatan dari anak kunci Cing Kong Ci Yau
tersebut?” ujar Ie Bun Han To dengan dingin.
“Kau orang jangan salah paha,” seru Bu Wie Tootiang sambil tersenyum ramah “Partai
Bu-tong-pay kami sama sekali tidak menyimpan anak kunci Cing Kong Ci Yau tersebut,
tetapi bilamana memangnya para jago dikolong langit sudah salah paham kalau anak
kunci tersebut ada di tangan kami pihak Bu-tong-pay, pinto pun tidak bisa berbuat apa
apa lagi.”
“Perjalanan cayhe kali ini meninggalkan daerah Sang Yang Peng perkampungan Sian
Khie Su Lu sebenarnya masih ada satu urusan yang jauh lebih penting lagi,” ujar Ie Bun
Han TO sambil tertawa.
“Dan di dalam urusan ini cayhe ingin sekali mengajak Tootiang untuk berunding. Terus
terang saja soal anak kunci Cing Kong Ci Yau tersebut tidak lebih cuma topeng yang cayhe
gunakan untuk menipu orang lain sehingga rasa curiga dari para jago Bulim lainnya bisa
dihindari.”
Mendengar perkataan tersebut air muka Bu Wie Tootiang segera berubah jadi amat
keren.
“Pinto paling tidak terbiasa dengan cara main kayu, lebih baik Ie Bun heng bicara
urusan ini dengan terus terang saja!” ujarnya perlahan.
Ie Bun Han To lantas kirim satu senyuman yang amat misterius sambungnya perlahan,
“Seluruh jago Bulim pada saat ini kebanyakan memuji dan mengagumi partai Siauw lim
pay sebagai pimpinan dari sembilan partai besar lainnya tetapi cayhe sebaliknya malah
mengagumi atas ilmu silat dari partai Tootiang yang lebih mengutamakan kelunakan dan
tenaga dalam yang dahsyat.
“Ie Bun heng terlalu memuji, partai kami tidak kuat untuk memikul pujian tersebut.”
Air muka Ie Bun Han To dengan perlahan berubah jadi amat keren, tiba-tiba dia
bungkukkan badannya menjura kepada Bu Wie Tootiang.

“Kali ini cayhe menerima titipan dari seorang untuk mengajak Tooheng mengadakan
satu pertemuan puncak para jago,” katanya sambil tertawa.
“Pertemuan puncak apa?” tanya Bu Wie Tootiang keheranan.
“Bilamana Tooheng menyetujuinya cayhe baru berani bicara langsung”
Bu Wie Tootiang termenung berpikir sebentar, lama sekali dia baru menjawab, “Lebih
baik Ie Bun heng bicarakan dulu soal ini, sehingga pinto pun bisa menimbang nimbang
dulu”
“Urusan ini menyangkut satu peristiwa yang amat besar, bilamana Tooheng tidak
menyetujuinya cayhe pun tidak akan berani berbicara sembarangan”
Dia berhenti sebentar, sambungnya, “Tetapi cayhe bisa memberi sedikit keterangan
buat Tootiang, bila Tooheng setuju untuk memimpin pertemuan itu, tidak sampai setahun
keadaan di dunia kangouw bakal terjadi satu perubahan besar.
Mendengar kata itu Bu Wie Tootiang tak mengucapkan sepatah katapun, matanya
memandang keluar pendopo, agaknya dia memikirkan satu peristiwa maha penting.
“Urusan ini besar dan berat, lebih baik Tooheng pikirkan beberapa hari untuk didengar
jawaban,” ujar Ie Bun Han To tiba-tiba lalu berdiri dan menjura.
Setelah itu sambil senyum dia berlalu,
Si Pek So Suseng Jan Ing dengan cepat mengikuti dari belakang Ie Bun Han To.
Im Yang Cu memperhatikan hingga mereka lenyap, lalu tanyanya perlahan, “Suheng,
tahukah apa yang diucapkannya?”
“Agaknya menyangkut satu siasat yang besar dan berat, aku sendiri tak mengerti,”
katanya.
Jilid 11
Dia menoleh dan memandang sekejap keatas tubuh bocah tersebut, lalu dengan wajah
berubah amat serius katanya, “Coba kau kirim perintah, dua tiga ratus orang anak murid
dari dua angkatan harus digerakan semua untuk baik-baik menjaga di sekeliling kuil,
malam ini ada kemungkinan musuh tangguh bakal menyerang gunung.”
Im Yang Cu sangat jarang melihat wajah yang serius dan berat seperti suhengnya hari
ini, dalam hati walaupun diliputi oleh pelbagai urusan yang mencurigakan dia tidak berani
banyak bertanya.
Dia lantas menyahut dan dengan langkah yang tergesa-gesa berjalan keluar ruangan
pendopo tersebut.
Bu Wie Tootiang pun segera ikut berjalan keluar dari ruangan pendopo itu dan kembali
keruangan belakang.

Dia mengambil keluar pil pemusnah racun pemberian dari Ie Bun Han To itu lalu
ditelitinya dengan tajam, walaupun di dalam keadaan kepepet dia tidak berani
menggunakannya. Akhirnya dengan hati berat dia meletakkan diri Siauw Ling keatas
pembaringan dan menotok beberapa buah jalan darahnya, setelah itu gumamnya seorang
diri, “Bocah kau sungguh amat kasihan sekali, sekarang beristirahatlah kau sebentar. Pinto
tidak berani menggunakan pil pemusnah racun ini untuk dengan perlahan-lahan memaksa
racun dibadanmu mengalir keluar.”
“Suheng!” tiba-tiba terdengar suara yang berat berkumandang masuk dari luar
ruangan. “Terhadap seorang bocah cilik saja kenapa kau begitu murung. Janganlah
berbuat keterlaluan.”
Bersamaan dengan selesainya perkataan itu dari luar ruangan berjalan masuk seorang
pemuda tampan berbaju biru dengan gagahnya.
“Kepandaian silatmu sungguh mendapatkan kemajuan yang amat pesat,” ujar Bu Wie
Tootiang sambil tertawa-tawa. “Kau kapan tiba di depan ruangan? Kenapa aku sama sekali
tidak mendengarnya?”
“Baru saja siauwte bertemu muka dengan Jie suheng,” ujar pemuda berbaju biru itu
lagi sambil tertawa tawar. “Dan melihat pula dia membawa anak murid dari kuil untuk
diatur disetiap tempat yang strategis, keadaannya sangat repot sekali. Apakah di dalam
kuil Sam Yuan Kuan kita sudah terjadi suatu perubahan?”
Dengan perlahan-lahan Bu Wie Tootiang mengangguk.
“Kali ini kau tutup pintu berlatih diri sudah mendapatkan kemajuan seberapa banyak?”
“Akh, Cuma tujuh bagian kesempurnaan saja, masih mengharapkan bimbingan dari
suheng.”
Sikap Bu Wie Tootiang terhadap sutenya yang gagah dan tampan ini bukan saja amat
ramah bahkan sangat menghormat. Dengan kedudukannya sebagai ciangbunjien boleh
dikata merupakan satu peristiwa yang amat mengherankan.
Tampak dia tersenyum, lalu katanya, “Kau bisa melatih tenaga dalammu mencapai
tujuh bagian kesempurnaan. Hal ini sudah lebih dari cukup.”
Pemuda berbaju biru itu tersenyum, kepalanya dengan perlahan ditoleh memandang
sekelap keatas tubuh Siauw Ling yang menggeletak di atas pembaringan.
“Apakah bocah ini sudah keracunan?” tanyanya.
“Tidak salah, tetapi untung saja racunnya tidak terlalu berat sekalipun tidak usah
menggunakan obat pemusnahnya juga bisa ditolong.”
“Menggunakan tenaga dalam untuk mengusir racun yang bersarang di tubuh walaupun
hal ini bisa dilakukan tetapi suheng bakal banyak kehilangan tenaga, sekalipun tenaga
dalam dari suheng amat tinggi lebih baik jangan dicoba dengan sembarangan.”

“Sebelum dalam hati aku merasa rada ragu-ragu, tetapi sekarang hatiku malah jauh
lebih mantap lagi. Aku pasti akan mencobanya,” sambung Bu Wie Tootiang dengan cepat.
“Kenapa hari ini setiap saat ada kemungkinan musuh tangguh menyerang gunung. Aku
lagi merasa kuatir dengan kekuatan Im Yang suhengmu dia tidak bakal kuat menerima
seluruh penjagaan ini kini sudah ada kau yang muncul hatiku jadi lega.”
“Entah jagoan dari mana yang hendak mengacau gunung” tiba-tiba tanya pemuda
berbaju biru itu sambil tertawa nyaring.
“Heeeei, itulah jago-jago berkepandaian tinggi yang sudah lama memiliki nama besar di
dalam Bulim, sute selamanya tidak pernah terjun diri ke dalam dunia kangouw sekalipun
aku beritahukan kepadamu juga percuma saja.”
Pemuda berbaju biru itu masih belum kehilangan sikap yang polos dan kekanakkanakan.
Setelah termenung beberapa saat lamanya mendadak tanyanya, “Eeei tahun ini
aku umur berapa?”
Bu Wie Tootiang yang ditanya begitu jadi melengak. Dia termenung berpikir beberapa
saat lamanya.
“Tahun ini kau berusia dua puluh tiga tahun,” sahutnya kemudian.
“Lalu aku sudah berlatih ilmu silat selama berapa tahun?”
“Sejak umur tiga tahun…” mendadak ia mengubah kata-katanya.
“Sedikitpun tidak kurang dari dua puluh tahun lamanya.”
“Dua puluh tahun bukanlah satu waktu yang pendek tetapi entah bagaimana dengan
kepandaian silat yang aku miliki pada saat ini?”
“Kau sejak kecil berlatih ilmu silat pikiran tidak dikacaukan dengan berbagai urusan,
gemblengan dan susah payah selama tiga tahun ditambah lagi setiap tahun menutup diri
tiga kali kecuali kekurangan pengalaman sewaktu menghadapi musuh tangguh
kedahsyatanmu sudah jauh berada di atas Jie suhengmu itu!”
Agaknya secara tiba-tiba pemuda berbaju biru itu sudah teringat akan sesuatu urusan
yang penting. Alisnya dikerutkan rapat-rapat.
“Toa suheng! Siauw te ada beberapa perkataan yang selama ini selalu tersembunyi di
dalam hati belum pernah dinyatakn pada ciangbun suheng. Entah bolehkah siauw te
menanyakan?”
“Asalkan aku mengetahui tentu akan aku jawab sekuruh pertanyaanmu itu,” jawab Bu
Wie Tootiang sambil tertawa.
“Sejak kematian suhu hingga saat ini sudah ada berapa tahun lamanya?”
“Delapan belas tahun!”

“Jumlah total aku Cuma belajar ilmu silat selama dua puluh tahun lamanya sedang suhu
sudah mati selama delapan belas tahun waktu itu walaupun aku masih seorang bocah
yang berumur lima enam tahun tetapi perbuatan suhu yang memberi pelajaran ilmu silat
kepadaku seharusnya masih ada sebagian besar teringat di dalam benakku. Tetapi kenapa
sekarang aku tidak mengingatnya semua? Menurut rasa-rasaku Toa suhenglah yang selalu
memberi pelajaran kepadaku.”
Mendengar perkataan itu Bu Wie Tootiang lantas tertawa.
“Aku tidak lebih Cuma mewakili suhu untuk memberi pelajaran ilmu silat kepadamu,
waktu itu suhu lagi sakit dan tidak bisa bangun sehingga tidak mungkin bagi beliau untuk
turunkan sendiri kepandaian silatnya kepadamu.”
“Justru yang membuat aku jadi keheranan adalah persoalan ini, kalau memangnya Toa
suheng yang memberi pelajaran ilmu silat kepadaku bagaimana aku bisa angkat suhu
sebagai guru?”
Haruslah diketahui dengan usianya pada saat ini sekalipun menjadi anak murid dari Bu
Wie Tootiang juga tidak terhitung besar, karena anak murid dari Toosu tua ini kebanyakan
sudah berusia tiga puluh tahunan. Jadi bilamana dibandingkan dengan usianya masih ada
terpaut puluhan tahun.
Bu Wie Tootiang kembali tertawa tawar.
“Peratuaran di dalam Bulim paling mengutamakan soal tingkatan, kau adalah suhu yang
menyanggupi untuk terima sebagai murid Bu-tong-pay. Sekalipun dikemudian hari akulah
yang memberi pelajaran ilmu silat kepadamu tetapi akupun tidak dapat memandang
rendah soal tingkatanmu.”
Agaknya pemuda berbaju biru itu masih tidak demikian mengerti soal perkataan itu,
baru saja dia bermaksud untuk berbicara mendadak maksud itu dibatalkan kembali. Sambil
dongakkan kepalanya dia menghela napas panjang.
“Toa suheng!” ujarnya. “Kalau memangnya aku orang tak berpengalaman di dalam
menghadapi musuh, kalau begitu akupun harus berlatih terus menerus?”
“Soal itu sudah tentu.”
Semangat pemuda tersebut jadi timbul kembali. “Siauwte yang sudah ada dua puluh
tahun lamanya belum pernah berkelahi dengan orang lain, ini hari saja aku keluar dengan
pengasingan dan di dalam kuil Sam Yuan Koan tadi ada urusan, inilah satu kesempatan
yang sangat baik buat diriku. Entah maukah ciangbunjien suheng memberi ijin kepada
Siauwte untuk menggunakan kepandaian silat dari musuh.”
“Bagus kalau begitu kau harus bertanggung jawab untuk melindungi ruanganku ini,”
sahut Bu Wie Tootiang sambil tertawa.
Agaknya pemuda berbaju biru rada tidak mau. “Tapi suheng, ruangan ini adalah tempat
terlarang. Orang lain tidak mungkin akan menyerbu kemari.”

“Bilamana dugaanku tak salah maka kecuali ruangan ini tidak ada tempat yang lebih
penting lagi. Justru bagian para jago naik ke gunung Bu tong san adalah bertujuan pada
ruangan ini.”
“Kalau demikian adanya hal ini amat bagus sekali!” teriak pemuda berbaju biru ini
kegirangan. “Biarlah aku pergi dulu ke dalam gua di belakang gunung untuk mengambil
sedikit barang setelah itu baru kemari lagi.”
Tidak menanti jawaban dari Bu Wie Tootiang lagi dia lantas putar tubuh dan meloncat
pergi sejauh dua tiga kali kemudian hanya di dalam sekejap saja ia sudah lenyap ditelan
gerumbulan bunga. Gerakannya amat cepat laksana kilat yang menyambar.
Bu Wie Tootiang segera menghembuskan napas panjang. Dia membimbing tubuh
Siauw Ling untuk bersandar pada dinding sedang dirinya bangkit berdiri dan jalan bolak
balik di dalam ruangan tersebut.
Hanya dalam beberapa saat saja dari atas batok kepalanya sudah mulai mengepul asap
putih yang makin lama semakin menebal, jelas dengan menggunakan gerakan jalan
pulang pergi itu dia lagi menyalurkan hawa murninya.
Mendadak ia menghentikan tubuhnya dan angkat jarinya menotok keatas tubuh Siauw
Ling yang menggeletak di atas pembaringan. Segulung asap putih yang tawar dengan
mengikuti arah yang dituding menyambar ke depan menghajar jalan darah “Tiong Khiek
Hiat” diurat nadinya.
Tubuh Siauw Ling yang bersandar pada dinding segera gemetar dengan amat keras,
agaknya ada segulung tenaga pukulan yang keras tepat bersarang ke dalam tubuhnya lalu
mengikuti aliran darah dibadannya berputar mengelilingi seluruh tubuh.
Dengan kejadian itulah tubuhnya jadi gemetar dan bergoyang tiada hentinya Cuma saja
tempat kedudukan masih tetap pada keadaan semula.
Setelah Bu Wie Tootiang melancarkan totokan tersebut, uap putih yang mengepul dari
atas batok kepalanya mulai membuyar. Air mukanya kelihatan amat lelah dan murung,
dengan perlahan ia berjalan mendekati pembaringan, membaringkan tubuh Siauw Ling
lalu dia sendiri duduk bersila untuk mengatur pernapasan.
Kurang lebih satu jam kemudian rasa kesal dan kecapaian yang meliputi Bu Wie
Tootiang mulai kelihatan luntur.
Saat ini cuaca sudah mulai menggelap, sewaktu Bu Wie Tootiang membuka matanya
kembali tampaklah di depan pintu ruangan sudah berdiri berjajar dua orang.
Mereka adalah Im Yang Cu serta pemuda berbaju biru.
Im Yang Cu segera maju ke depan menjura ujarnya, “Anak murid angkatan kedua dan
ketiga dari kuil sudah digerakkan semua. Setiap tempat yang penting sudah dipasangi
barisan pedang Ngo Heng Kiam Tio untuk menghalangi serbuan musuh. Apakah suheng
bermaksud untuk memeriksanya sendiri?”
“Tidak perlu,” kata Bu Wie Tootiang sambil tertawa tawar.

“Coba kau sampaikan lagi perintahku, sebelum menerima perintah suara genta emas
tetap anak murid yang berjaga-jaga dilarang meninggalkan tempat tugasnya untuk
mengejar musuh. Mereka cukup berjaga ditempatnya masing-masing untuk menahan
serangan dari pihak musuh.”
“Jadi maksud ciangbun suheng, bilamana ada musuh yang berhasil meloloskan diri dari
penjagaan biarkan mereka masuk kedalam?” seru Im Yang Cu sambil mengerutkan alisnya
rapat-rapat.
Dengan perlahan Bu Wie Tootiang lantas mengengguk.
“Kebanyakan orang-orang yang datang bakal menyerbu gunung pada malam ini adalah
jago-jago dari seluruh dunia kangouw. Walau sejak aku menerima jabatan sebagai
ciangbunjien pernah memerintahkan setiap anak murid untuk tidak mengikat permusuhan
dengan orang lain. Tapi nama besar serta kewibawaan dari Bu-tong-pay yang sudah
dipupuk sejak ratusan tahun yang lalu harus tetap dijaga. Aku rasa jikalau bukannya
orang-orang tidak tahu diri tidak bakal mereka mencari gara-gara buat dirinya sendiri.”
‘Orang-orang itu kebanyakan adalah jago-jago kenamaan dari Bulim dan macamnyapun
amat banyak terdiri dari pelbagai partai maupun aliran sedangkan anak murid dari kuil
Sam Yuan Koan kebanyakan tak berpengalaman dalam pertempuran daripada keadaan
nanti jadi kacau lebih baik kau orang pilihkan lima belas orang jagoan yang berkepandaian
tinggi untuk membentuk jadi tiga kelompok dan masing-masing kelompok membentuk
barisan Ngo Heng Tin khusus menghadapi musuh-musuh tangguh.”
“Uraian dari suheng memang benar. Biarlah siauwte segera pergi melaksanakannya,”
jawab Im Yang Cu kemudian. Dia lantas silangkan telapak tangannya di depan dada untuk
memberi hormat dan mengundurkan diri dari sana.
Sedang pemuda berbaju biru itu masih tetap memakai jubahnya yang berwarna biru. Di
tangan kanannya sudah mencekal sebilah pedang pada tangan kirinya mencekal sebuah
sabuk yang pada ujungnya terdapat tujuh buah sarung yang masing-masing tersoren
sebilah pedang pendek sepanjang delapan koma dua coen.
Bu Wie Tootiang memandang sekejap keatas sabuk yang tersorenkan tujuh bilah
pedang pendek itu. Air mukanya berubah jadi amat keren dan serius sekali.
“Sute! Tahukah kau orang pedang pendek yang ada di dalam sarung tersebut dari apa?’
“Aku tahu, pedang itu terbuat dari besi baja yang sudah berusia ribuan tahun.”
“Kalau kau sudah tahu itulah teramat bagus, pedang itu amat tajam sekali bahkan
emaspun bisa ditembusi dengan mudah ditambahi lagi pada setiap ujung pedang itu
terdapat dua buah ujung yang amat runcing khusus digunakan untuk memecahkan hawa
khie kang tidak perduli bagaimana tingginya kepandaian silat dari orang itu mereka tidak
bakal bisa bertahan terhadap serangan tersebut. Benda ini sangat dahsyat sekali, lebih
baik kau jangan menggunakannya sembarangan.”
“Siauwte akan mengingat-ingatnya selalu,” sahut pemuda berbaju biru itu
mengangguk.
Bu Wie Tootiang segera tersenyum.

“Apakah kau mengetahui juga nama ketujuh bilah pedang pendek tersebut?” tanyanya.
“Menurut ingatan siauwte agaknya pedang ini bernama Chiet Siu Kiam!”
“Lalu tahukah kau kenapa pedang tersebut dinamakan Chiet Siu?” Tanya Bu Wie
Tootiang lagi dengan wajah serius.
Kiranya pemuda berbaju biru bukan saja dengan rajinnya belajar ilmu silat bahkan
terhadap ilmu sastrapun memahami dengan amat pasih.
Tampak dia termenung berpikir sebentar, lalu ujarnya, “Jika ditinjau dari perkataan
Chiet Siu dua kata ini agaknya mengandung tujuh buah arti yang berlainan. Agaknya baik
tujuh rasa cinta maupun enam nafsu bilamana bertemu dengan pedang ini pasti akan jadi
lenyap dengan sendirinya, entah penjelasan dari siauwte benar atau tidak?”
“Kau Cuma berhasil menerangkan separuh saja, pedang ini dinamakan Chiet Siu kecuali
mengartikan kekejaman dari pedang tersebut. Bahkan mempunyai arti untuk
memperingatkan setiap orang.”
“Sewaktu suhu menjelang kematiannya dia pernah memberi pesanan agar pedang
Chiet Siu Kiam ini diserahkan buat sute untuk menggunakannya. Aku rasa tentunya dia
orang tua ada maksud tertentu. Pesan terakhir suhu bagaimana aku berani melanggar.
Tapi benda itu amat ganas, harap sute suka menggunakannya dengan sangat berhatihati?”
“Siauwte akan selalu mengingat perkataan dari suheng” sahut pemuda berbaju biru itu
dengan sangat hormat. “Bilamana bukannya bertemu dengan orang yang benar-benar
ganas dan kejam, siauwte pasti tidak akan menggunakan pedang ini.”
Mendengar perkataan itu Bu Wie Tootiang lantas mengangguk.
“Bilamana kau bisa demikian mencintai barang peninggalan suhu, aku sudah tentu bisa
berlega hati…” katanya.
Mendadak dia mengulapkan tangannya mengundurkan dia orang dan katanya lagi, “Kau
bantulah aku untuk menjaga keselamatan diriku?”
Sehabis berkata kembali dia berjalan kembali mengitari seluruh ruangan. Beberapa saat
kemudian dari atas kepala toosu tua itu mulai mengepul uap putih yang semakin lama
semakin menebal.
Setelah berjalan bolak balik beberapa kali akhirnya dia menghentikan langkahnya lalu
mengayunkan jari tangannya ke depan.
Segulung asap putih dengan mengikuti gerakan tersebut menghajar tubuh Siauw Ling.
Serangannya kali ini ternyata sudah menghajar jalan darah Sia Khek Hiat di bawah
jalan darah semula.
Haruslah diketahui dua urat nadi penting di dalam tubuh manusia adalah Im hiat dan
Yang hiat yang saling bersambungan dengan jalan darah Tiong Khek, Cing Kwan Yuan Sik

Bun, Khie Hay, Im Ci, Sin Kwan, Swie Hun, Shia Wan, Ci Kong, Hoa Kay dua puluh empat
jalan darah.
Sedang bagian atas tubuh manusia menghubungkan jalan darah pusat dengan jalan
darah Shia Khek Cing Ming Bun, Uang Kwan, Lek Coe, Cian Tiong, Tiong An, Kauw Cuang
dua puluh jalan darah.
Terlihatlah seluruh tubuh Siauw Ling kembali terjadi pergolakan yang ringan, sedang
uap putih yang berkumpul di atas kepala Bu Wie Tootiang pun secara mendadak lenyap
tak berbekas.
Kali ini jelas kelihatan dia jauh lebih lelah, di atas batok kepalanya sudah dipenuhi
dengan keringat sebesar butiran kedelai.
Melihat akan keadaan dari suhengnya pemuda berbaju biru itu segera mengerutkan
alisnya.
“Bocah jangan bergerak dulu, biarlah pinto bantu kau untuk paksa keluar racun yang
bersarang di dalam tubuhmu. Bilamana kau merasa tubuhmu tak enak cepatlah
beritahukan kepada pinto.”
Secara samar-samar Siauw Ling masih teringat akan bau amis yang amat keras
sewaktu ada diruangan pendopo dan setelah itu dia jatuh tak sadarkan diri dan apapun
tidak mengetahui.
Kini mendengar pertanyaan dari Bu Wie Tootiang dia lantas menyahut, “Aku merasa
didadaku amat sumpek dan sesak untuk bernapas, rasanya ingin muntah!”
“Kalau begitu sangat bagus sekali. Bilamana kau ingin muntah maka biarkanlah muntah
keluar, jangan sekali0kali ditahan!”
Diam-diam lantas menyalurkan hawa murninya keatas telapak tangan lalu dengan
melalui jalan darah Sian Khie Hiai dia salurkan hawa murninya ke dalam tubuh dan
menerjang keseluruh urat nadi.
“Semoga saja pinto berhasil gunakan kekuatan dari tenaga kweekang ini untuk sekalian
menerjang bobol ketiga buah jalan darah kematianmu,” katanya perlahan.
Siauw Ling tidak mengerti apa yang dimaksud sebagai tiga jalan kematian tersebut itu
tetapi pemuda berbaju biru itu segera melirik sekejap ke arah Bu Wie Tootiang yang lagi
bersemedi di atas pembaringan lalu bisiknya dengan suara yang amat lirih, “Bilamana ada
bahaya cepat beritahu kepadaku.”
Kedua orang toosu cilik itu segera menyahut dan mengundurkan diri dari ruangan.
Api tungku di dalam ruangan berkobar-kobar memancarkan cahaya kehijau-hijauan
yang amat menyeramkan.
Walaupun pemuda berbaju biru itu berusaha untuk menggunakan kesempatan sebelum
terjadinya angin taupan serta hujan badai untuk memikirkan cara-cara sewaktu
menghadapi musuh tetapi hatinya tidak berhasil juga untuk menjadi tenang.

Di tengah suasana pikiran kacau tidak terasa lagi waktupun menunjukkan kentongan
kedua tengah malam. Mendadak di tengah kesunyian malam itulah terdengarlah suara
genta dibunyikan bertalu-talu.
Dalam hati pemuda berbaju biru itu segera mengetahui kalau kuil Sam Yuan Koan
sudah kedatangan musuh tangguh.
Dengan cepat dia meloncat bangun mengikat pedang Chiet Siu Kiam itu baik-baik dan
sambil menenteng pedang berjalan keluar dari ruangan tersebut.
Di tengah tiupan angin malam yang menderu-deru serta goyangan pohon serta
dedaunan secara samar-samar di tengah kegelapan tampaklah berkelebatnya sinar pedang
yang menyilaukan mata.
Terdengar suara genta kembali berbunyi bertalu-talu sebanyak tujuh kali, inilah tanda
dari kuil Sam Yuan Koan yang mengerti keadaan sangat genting dan pihak musuh sudah
menerjang masuk ke dalam kuil Sam Yuan Koan.
Siauw Ling sibocah cilik yang lagi berbaring di atas pembaringan setelah memperoleh
bantuan tenaga murninya dari Bu Wie Tootiang untuk menerjang Jie serta Tok. Dua buah
urat nadinya saat ini aliran darah ditumbuhi sudah lancar kembali sedang jalan darah yang
tertotokpun telah terbebas.
Mendadak dia pentangkan matanya lebar-lebar lalu meronta untuk bangun duduk.
Melihat gerak-gerik dari sang bocah, Bu Wie Tootiang dengan cepat mengulur tangan
kirinya menekan jalan darah Sian Khie di atas tubuh Siauw Ling rapat-rapat, mendadak ia
maju satu langkah ke depan dan menempelkan telapak tangannya keatas punggung dari
Bu Wie Tootiang.
“Mari, biarlah siauwte bantu suheng!”
“Tidak perlu bantu diriku lagi!” cegah Bu Wie Tootiang dengan suaranya yang rendah
dan berat. “Malam ini kau masih harus bersiap sedia untuk menghadapi musuh tangguh.”
Dengan perlahan pemuda berbaju biru itu menghela napas panjang lalu menarik
telapak tangannya yang menempel di atas punggung Bu Wie Tootiang itu.
Sedang Bu Wie Tootiang dengan perlahan berjalan kesamping pembaringan lalu duduk
bersemedi dan pejamkan matanya rapat-rapat.
Sang pemuda berbaju biru yang pertama kalinya hendak bertemu dengan musuh
tangguh dalam hati rada merasa tegang juga, tangannya dengan cepat digape ke depan
ruangan.
Dua orang toosu cilik dengan cepat berlari mendatang.
“susiok ada perintah apa?” tanya mereka berbareng sambil luruskan tangannya ke
bawah.
Siauw Ling merasakan di dalam tubuhnya ada dua tempat yang terasa sakit dan linu
seperti ada jalan darah yang mengumpul jadi satu sehingga sukar untuk ditembusi.

Penyakit itu sejak dia mengerti akan urusan sudah begitu bahkan sakit tersebut
selamanya belum pernah dipikirkan dihati.
Tetapi sejak memperoleh cara untuk mengatur pernapasan dari Gak Im Kauw agaknya
urusan semakin memberat. Setiap kali dia mengadakan semedi satu kali maka tempat
yang amat sakit itu pasti kembuh kembali selama seperminum teh lamanya.
Tetapi aliran hawa panas menerjang keluar dari telapak tangan Bu Wie Tootiang
bukannya semakin lemah bahkan semakin mengeras menembusi seluruh jalan darahnya
dan mengasahi keempat buah anggota badannya.
Sebentar kemudian ia sudah merasa adanya satu hawa yang bertentangan yang
mengalir keluar menahan datangnya aliran hawa panas menerjang masuk ke dalam
tubuhnya itu.
Bu Wie Tootiang jadi melengak.
“Bocah, apakah kau pernah belajar ilmu silat?”
‘Tidak! Heee, sebenarnya bibi Im hendak wariskan aku ilmu silat tidak disangka dia
sudah menemui ajalnya.”
Baru bicara sampai disitu agaknya merasa dirinya sudah ketelanjur berbicara dengan
terburu-buru lantas menutupi mulutnya kembali.
Dengan perlahan-lahan Bu Wie Tootiang menarik telapak tangan kanannya dari jalan
darah Sian Khie Hiat paha tubuh Siauw Ling.
“Bocah sekarang apakah kau ingin muntah?” tanyanya dengan penuh perhatian.
“Tidak, aku Cuma merasa bau amis yang memualkan di dalam dada kini sudah lenyap
dengan sendirinya.”
“Heeeei… bocah! Ketiga buah urat nadi kematianmu sudah hampir membeku, bilamana
seluruhnya jadi keras maka sekalipun ada jin berumur seribu tahun tiada gunanya lagi
untuk menyuembuhkan lukamu itu…”
Dengan menggunakan tangan kanan menekan pinggiran pembaringan Siauw Ling
segera bangun duduk.
“Aku sejak kecil sudah memperoleh nasehat dari Tia,” katanya dengan cepat.
“Sekalipun aku sukar untuk hidup lebih lama lagi tetapi walaupun seratus tahun lagi
manusiapun akan mati, mati sekarang atau mati kemudian sebenarnya bukan satu soal
yang penting.”
Bu Wie Tootiangjadi melengak, dia sama sekali tidak menyangka kalau bocah yang baru
berusia sangat muda ini ternyata sudah dapat memandang kematian bagai pulang saja,
tak kuasa lagi dia lantas mengangguk.

“Tetapi ketiga buah jalan darah kematian itu belum sampai membeku benar-benar,”
ujarnya sambil tertawa. “Sudah tentu untuk menolongnya masih ada cara, tapi bilamana
harus menggunakan tenaga dalam dari pinto saja hal ini membutuhkan waktu yang amat
lama setelah melewati hujan badai malam ini biarlah pinto gunakan tusukan jarum saja
untuk menyembuhkan lukamu itu, coba kita lihat, apakah berhasil atau tidak. Baru saja
dengan menggunakan tenaga dalam aku sudah mendesak racun itu untuk berkumpul jadi
satu dala dua belas jam ini tak bakal dapat terjadi perubahan apapun.’
“Malam ini akan terjadi hujan badai?” tanya Siauw Ling keheranan.
“Oouw… ada banyak jagoan Bulim yang datang kemari untuk memperebutkan dirimu!”
“Apakah orang-orang yang kita temui tadi siang? Hmm! Aku tahu, mereka bukannya
lagi memperebutkan aku. Mereka Cuma ingin menggunakan diriku untuk paksa supaya tak
menyerahkan anak kunci Cing Kong Ci Yau tersebut.”
Bu Wie Tootiang lantas tertawa tawar.
“Pinto sudah sanggupi untuk melindungi dirimu sekalipun ada jagoan yang bagaimana
lihaynya pun pada berkumpul digunung Bu tong san ini pinto juga bakal melanggar janji.”
Dia berhenti sebentar, lalu tambahnya, “Bocah apakah Gak Im Kauw benar-benar
sudah mati!”
“Ehmm! Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, dia memang benar-benar sudah
mati!”
“Kau bilang dia binasa karena terluka tahukah kau dia orang terluka di tangan siapa?”
“Soal ini aku tidak tahu,” jawab Siauw Ling sambil gelengkan kepalanya.
Baru saja dia selesai berbicara mendadak terdengarlah suara tertawa panjang yang
menusuk telinga bergema datang.
Suara tertawa ini agaknya berasal dari tempat kejauhan tetapi amat menusuk telinga
membuat Siauw Ling yang mendengar suara tersebut tidak terasa lagi sudah bergidik.
“Bocah, kau harus ingat, baik-baiklah berada di tempat ini. Sebelum memperoleh ijin
dari pinto janganlah meninggalkan ruangan itu sembarangan!” kata Bu Wie Tootiang
dengan suara perlahan.
Dengan mata kepala sendiri Siauw Ling sudah melihat bagaimana dahsyat dan serunya
pertempuran, di bawah berkelebatnya bayangan goloj mati hidup setiap saat bisa
ditentukan, dan dalam sekejap mata itu pula seseorang yang tidak mengerti ilmu silat ikut
campur bukan saja tidak membantu sebaliknya hanya akan menyeret orang lain saja.
Karenanya dia lantas mengangguk.
“Boanpwee pasti akan mengingat-ingatnya terus!”

Ketika mendongakkan kepalanya terlihatlah seorang pemuda berbaju biru dengan
mencekal pedang berjalan masuk dengan langkah lebar. Air mukanya amat keren dan
serius.
Begitu masuk ke dalam ruangan pemuda itu lantas menjura kepada Bu Wie Tootiang.
“Suheng apakah mendengar suara tertawa panjang tadi?”
“Ehmm, kepandaian silat orang itu sangat tinggi.”
Mendadak kembali terdengar suara bentakan orang amat keras berkumandang datang.
Pemuda berbaju biru itu dengan cepat putar tubuhnyalaksana menggulungnya asap dia
sudah meloncat keluar dari ruangan tersebut.
Walaupun bocah ini tak berkepandaian silat serta badannya lemah tetapi nyalinya
benar-benar sangat mengagumkan, ia tidak takut menghadapi kematian.
Tampaklah dua orang menoleh ke arah Bu Wie Tootiang kemudian ujarnya, “Aku ingin
menonton orang lagi berkelahi boleh bukan?”
“Pertempuran hanya mendatangkan bahaya apa yang baik untuk dilihat?” seru Bu Wie
Tootiang sambil kerutkan alisnya rapat-rapat.
“Aku bisa bersembunyi dibalik pintu, aku tak akan meninggalkan ruangan barang
selangkahpun.”
“Siapa?” tiba-tiba terdengar suara bentakan yang amat keras memecahkan keheningan
yang mencekam dimalam buta. “Kurang ajar siapa yang menyerbu kuil Sam Yuan Koan?
Bilamana sungguh-sungguh bernyali ayo cepat unjukkan diri, buat apa main sembunyi
seperti anak kura-kura?”
“Heee, heee, Cuma mengandalkan usiamu yang masih begitu muda berani juga
menanyakan nama loohu?” sahut seseorang.
Siauw Ling memandang sekejap ke arah Bu Wie Tootiang, sewaktu dilihatnya dia orang
tidak turun tangan mencegah dengan tebalkan nyali dia meloncat turun dari atas
pembaringan dan melongok keluar.
Di tengah malam buta terlihatlah dua orang Toosu cilik itu sambil mencekal pedangnya
erat-erat berdiri sejajar menghalangi seorang lelaki berbaju hitam yang berperawakan
tinggi besar.
Orang itu menggunakan secarik kain hitam membungkus wajahnya sehingga hanya
tampaklah sepasang matanya yang memancarkan sinar berkilauan.
Saat ini orang lagi berbicara dengan orang berbaju hitam itu bukan lain adalah
sipemuda berbaju biru.
Agaknya pemuda berbaju biru itu sudah dibuat gusar oleh perkataan orang itu,
terdengar dia tertawa dingin tiada hentinya.

“Saudara bisa menghentikan penghalang-penghalang di depan boleh dikata
kepandaianmu tidak lemah, cayhe ingin minta beberapa petunjuk dari dirimu.”
Tangan kanannya dengan cepat berkelebat mencabut keluar pedang pusaka yang ada
disarungnya.
“Heeei… kau masih tidak memadai untuk berbicara dengan loohu, lebih baik suruh Bu
Wie Tootiang saja untuk keluar menemui diriku,” ujar orang berbaju hitam itu tetap
dengan suaranya yang amat dingin kaku.
“Kalian cepat menyingkir!” bentak pemuda berbaju biru itu dengan amat gusar.
Pedangnya dengan cepat ditebaskan ke depan membentuk dua kuntum bunga pedang.
“Bilamana saudara bisa menangkan pedangku nantipun belum terlambat untuk bertemu
muka dengan suhengku!”
Selama ini Bu Wie Tootiang duduk bersila terus menerus tanpa mengucapkan sepatah
katapun, terhadap kegaduhan serta ketegangan yang terjadi di tempat luaran sama sekali
tidak mangambil gubris.
“Apa? Kau adalah sute dari Bu Wie Tootiang. Kenapa loohu belum mendengar kalau
Cing Jan sitoosu tua itu mempunyai ahli waris macam kau?”
Cing Jan Tootiang adalah suhu dari Bu Wie Tootiang dan merupakan ciangbunjien dari
angkatan yang terdahulu, perkataan dari orang ini sangat tidak sopan dan tidak
menghormat suhunya, membuat sipemuda berbaju biru itu semakin gusar sekali.
“Kau berani menghina suhuku?” teriaknya.
———————–http://ecersildejavu.wordpress.com/————————–
Di tengah suara suitan yang amat keras pedangnya dengan amat dahsyat melancarkan
tusukan kedep.
Di tengah kegelapan malam terlihatlah sinar keperak-perakan menembusi angakas
membentuk bunga-gunga pedang yang amat banyak.
“Jurus Thian Li San Hoa yang amat bagus” puji orang yang berbaju hitam itu.
Ujung bajunya segera dikebutkan ke depan menimbulkan segulung angin pukulan yang
amat dahsyat menghalangi datangnya serangan dari pedang tersebut. Diikuti tanyanya,
“Hei bocah cilik, siapakah namamu?”
“Can Jap Cing! Terimalah kembali seranganku,” ujar pemuda tersebut.
Sembari berbicara pedang ditangannya berturut-turut berkelebat ke depan melancarkan
delapan serangan sekaligus. Terlihatlah sinar yang menyilaukan mata segera memenuhi
angkasa.

Ujung jubah orang berbaju hitam itu kembali berkelebat dan menotok tiada hentinya
delapan buah serangan yang dilancarkan dengan amat dahsyat itu seketika itu juga
terhadang kembali.
Can Yap Cing yang untuk pertama kalinya menghadapi musuh sudah menemui lawan
yang demikian tangguhnya dalam hati merasa terkejut bercampur gusar dengan
menggunakan seluruh tenaganya dia kembali melancarkan serangan gencar.
Mendadak orang berbaju hitam itu meloncat mundur lima langkah ke belakang.
“Tenaga dalam, kelincahan semuanya tak berada di bawah Jie suhengmu Cuma sayang
pengalaman di dalam menghadapi musuh masih terlalu cetek,” ujarnya.
Perkataannya amat halus dan sedikitpun tidak membawa nada permusuhan.
Pada saat itulah terdengar suara dari Bu Wie Tootiang sudah berkumandang keluar.
“Sute jangan berlaku kurang ajar lagi terhadap Tiam Thay hiap. Cepat tarik kembali
pedangmu.”
Sembari berkata dia sudah berjalan keluar dari ruangan untuk menyambut kedatangan
orang itu. Dengan tangan kanannya dirangkap ke depan dada Bu Wie Tootiang tersenyum.
“Angin apa yang sudah meniup saudara datang kemari? Kita sudah ada puluhan tahun
tidak bertemu muka bukan?” katanya.
“Bagus… bagus sekali!” seru orang berbaju hitam itu pula sambil menuding ke arah Bu
Wie Tootiang. “Kau ternyata masih enak-enakan saja, musuh tangguh sudah di depan
mata kau masih enak-enakan duduk di dalam ruangan saja.”
“Haaa, haaa, pinto sudah tahu kalau Tiam heng pasti akan datang maka urusan tidak
bakal jadi kacau lagi.”
“Hmmm. Kau tidak usah melolohi aku dengan kuah pemabok, aki Tiam Loo jie
selamanya tidak suka dengan kuah tersebut.” seru orang berbaju hitam itu sambil
mendengus dingin.
Sembari berkata dengan langkah lebar dia berjalan masuk ke dalam ruangan.
Can Jap Cing yang melihat sikap sombong dari orang itu lantas mengerutkan keningnya
rapat-rapat, pikirnya, “Orang itu amat jumawa sekali. Terhadap ciangbun suhengpun
bertindak begitu kurang ajar. Hmm! Ada satu hari aku harus kasih hajaran kepadanya.”
Haruslah diketahui kedudukan seorang ciangbunjien partai Bu tong adalah sangat tinggi
sekali dan dihormati oleh setiap jago yang ada di dalam dunia kangouw.
Walaupun Bu Wie Tootiang jadi orang amat ramah dan sabar tetapi setiap anak murid
partai Bu-tong-pay memandangnya sebagai dewa yang dipuja-puja.
Kini sikap orang berbaju hitam itu ternyata tidak memandang kesopanan dan sama
sekali tidak menaruh hormat kepada Bu Wie Tootiang, melihat hal ini walaupun dalam hati

Can Jap Cing merasa tidak puas tetapi mulutnya dia mengikuti dari belakang tubuh Bu Wie
Tootiang untuk berjalan masuk ke dalam ruangan.
Orang yang berbaju hitam tersebut tidaj menanti Bu Wie Tootiang mempersilahkan dia
untuk mengambil tempat duduk, pantatnya sudah dijatuhkan keatas sebuah kursi.
“Aku Tiam Loo jie sewaktu melakukan perjalanan lewat daerah Ang si dengan mata
kepala sendiri sudah melihat banyak orang Bulim yang berduyun-duyun mendatangi
gunung Bu tong san,” katanya. “Waktu itu aku tidak tahu sudah terjadi peristiwa apa di
tempat ini. Karenanya dengan tergesa-gesa aku lantas berangkat kemari. Tetapi tidak
kusangka maksud hatiku kali inipun bakal mendapatkan hasil yang sia-sia belaka.”
Bu Wie Tootiang tersenyum.
“Sepuluh tahun tidak bertemu sifat dari Tiam heng masih saja berangasan, sedikitpun
tidak berubah” katanya.
“Haaa, haaa, selamanya aku tidak berubah.”
Dia berhenti sejenak untuk kemudian sambungnya lagi, “Hei, loosu tua hidung kerbau,
kau jangan terlalu memandang enteng urusan, bilamana manusia yang datang hanya
kucing kecil atau anjing kecil yang tidak berguna aku Tiam Loo Jien tidak bakal melakukan
perjalanan cepat untuk memberitahukan urusan ini kepadamu, haruslah kau ketahui bukan
saja mereka adalah para jago Bulim yang berkepandaian tinggi bahkan diantaranya
terdapat pula beberapa orang iblis tua yang telah mengasingkan diri. Jika dibicarakan soal
nama serta kepandaian silatnya ada kemungkinan tidak berada di bawah kepandaian kau
si toosu tua hidung kerbau. Heee, heee, bilamana kau berani berlaku gegabah maka
urusan akan jadi runyam. Hmm, waktu itu walupun kau menyesal juga tak berguna.”
“Ada kau, Tiam Thay hiap disini sudah tentu aku tidak perlu murung lagi,” sambung Bu
Wie Tootiang dengan wajah masih diliputi oleh senyuman.
Dengan lemasnya orang berbaju hitam itu lantas menggelengkan kepalanya berulang
kali.
“Hm, kau sihidung kerbau selamanya seperti Loo toa saja, sekalipun dunia mau ambruk
hatinya masih tenang-tenang saja.”
Bu Wie Tootiang segera mengulapkan tangannya, segera terlihatlah dua orang toosu
cilik berlari masuk dengan membawa sebuah nampan berisikan teh harum.
Orang berbaju hitam lantas menarik lepas kain hitam yang membungkus mukanya, lalu
mengambil cawan air teh itu dan diteguknya sampai habis.
Dengan mengambil kesempatan itulah Siauw Ling alihkan pandangannya ke arah orang
itu.
Terlihatlah olehnya wajah orang berbaju hitam itu penuh ditumbuhi cabang, matanya
besar bulat dengan wajah persegi, alisnya tebal hidungnya mancung kelihatannya sangat
angker dan berwibawa sekali.
Bilamana dibandingkan dengan perawakan tubuhnya jelas rada tidak sesuai.

Bu Wie Tootiang segera menoleh ke arah Can Jap Cing dan tertawa.
“Sute cepat kau datang memberi hormat, dialah Tiam Jie hiap dari Tiong Lam Jie Hiap
yang namanya telah menggetarkan seluruh dunia persilatan!”
“Kepandaian silat dari Tiam heng benar-benar sangat luar biasa, siauwte merasa amat
kagum!” ujar Can Jap Cing kemudian sambil menjura.
“Tak usah banyak adat” cegah Tiam Loo jie sambil goyangkan tangannya berulang kali.
“Aku, Tiam Loo jie paling takut soal beginian, kalau suheng hidung kerbaumu ini
keadaannya persis seperti keadaan Loo toa kami, kalau bertemu muka, waaah… apapun
dibicarakan sehingga tiga hari tiga malam tak ada hentinya, dikarenakan sikap kecut
mereka yang sedikit keterlaluan, aku Tiam Loo jie sudah ada sepuluh tahun lamanya tidak
pernah menaiki gunung Bu tong san kalian…”
Dengan pandangan yang tajam dia memperlihatkan diri Can Yap Cing lalu sambungnya,
“Hey! Toosu tua… sejak kapan kau mempunyai seorang sute yang demikian mudanya?
Kenapa sedikitpun aku tidak tahu?”
Bu Wie Tootiang tersenyum.
“Menurut pesan terakhir dari suhu dia harus melihat lagi beberapa macam ilmu silat
sehingga selama itu selalu tinggal di belakang gunung dan jarang unjukkan muka bukan
saja kau yang tidak kenal bahkan anak murid Bu-tong-pay sendiri tak mengetahui mereka
masih mempunyai seorang Sam Susiok.”
Cah Yap Cing yang mendengar perkataan dari Tiam Loo jie mulai pembukaan sampai
akhirnya pembicaraan selalu saja menyebut suhengnya dengan sebutan sihidung kerbau,
sitoosu tua hatinya merasa tidak senang, pikirnya, “Suhengku bagaimana adalah seorang
ciangbunjien dari satu partai besar, dia meneriakkan sihidung kerbau sitoosu tua sungguh
kurang sedap didengar… orang ini kurang ajar sekali!”
Tetapi sewaktu dilihatnya air muka Bu Wie Tootiang masih tetap tenang-tenang saja
diapun tidak berani mengumbar hawa amarahnya.
Sinar mata Tiam Loo jie dengan perlahan dialihkan keatas tubuh Siauw Ling sibocah
cilik itu.
“Lalu siapakah bocah cilik ini? Hahaha…justru tujuan para jago pada mendatangi
gunung Bu tong san pada malam ini dikarenakan dia orang.”
Sepasang mata Tiam Loo jie segera dipentangkan lebar-lebar, dia memperhatikan
beberapa kejap ke arah diri Siauw Ling.
“Karena dia? Apakah bocah cilik ini mempunyai ikatan dendam kesumat dengan para
jago di Bulim…”
00 X 00

Bilamana Cuma ada ikatan dendam kesumat saja dengan orang-orang Bulim hal ini
tidak bakal memancing datangnya berbagai kesulitan yang memusingkan kepala.
“Hey hidung kerbau! Kau tidak usah jual mahal lagi, cepat beritahu urusan ini kepadaku
sejelas-jelasnya!” teriak Tiam Loo jie kemudian dengan amat kerasnya saking tidak bisa
menahan sabar lagi.
Air muka Bu Wie Tootiang segera berubah jadi amat serius dan keras sekali lagi dia
menceritakan kisahnya bagaimana bocah cilik ini terseret di dalam persoalan anak kunci
Cing Kong Ci Yau yang lagi diperebutkan oleh para jago Bulim.
Selesai mendengarkan kisah itu nampak Tiam loo jie termenung sebentar, lalu ujarnya
dengan perlahan, “Persoalan anak kunci Cing Kong Ci Yau ini bakal menyeret suatu
peristiwa yang amat besar, Loo toa kami pernah bilang bilamana ingin menjaga
ketenangan dan ketenteraman dunia kangouw maka urusan pertama haruslah cepat-cepat
memusnahkan anak kunci tersebut. Tidak disangka ternyata dugaannya sedikitpun tidak
meleset.”
Dia berhenti sebentar untuk kemudian sambungnya, “Tetapi yang benar orang-orang
itu sedikit keterlaluan, bukannya pergi mencari Gak Siauw-cha serta Tiong Cho Siang-ku.
Bagaimana tujuan mereka bisa beralih ketubuh seorang bocah cilik yang sama sekali tak
bertenaga ini.”
Tiba-tiba terdengar suara bentakan yang amat keras berkumandang datang.
Dengan cepatnya Can Jap Cing menggerakkan badannya bagaikan kilat berkelebat
keluar ruangan.
“Kepandaian silat dari siauw sutemu itu tidak jelek, aku lihat lain kali ia bakal
memperoleh kemajuan yang amat pesat dan pasti tidak berada di bawah dirimu, Cuma
saja gerakannya terlalu terang-terangan. Menurut penglihatanku Tiam Loo jie, musuhmusuh
yang menyerbu gunung pada malam ini ada dua orang iblis yang paling sukar
untuk dilayani. Aku mau pergi menyambut kedatangannya.”
Tidak menunggu jawaban dari Bu Wie Tootiang lagi dia lantas gerakkan kakinya
berjalan keluar dari ruangan. Tiba-tiba terdengar Siauw Ling menghela napas panjangpanjang.
“Heei, aku harus belajar ilmu silat,” ujarnya dengan keras. “Hmm! Bilamana aku sudah
berhasil memiliki ilmu silat maka aku akan kasih sedikit hajaran kepada orang-orang itu.”
“Bagus! Semangatmu amat bagus sekali, tetapi tahukah kau?” seru Bu Wie Tootiang.
Mendadak terdengar suara seseorang yang dingin berat dan kaku berkumandang
datang dari tempat kejauhan.
“Loohu Pak Thin Coen cu (si rasul sakti dari langit utara) khusus datang kemari
disebabkan mendengar kemunculannya anak kunci Cing Kong Ci Yau di dalam Bulim dan
bocah yang ada di dalam ruangan itulah satu-satunya kunci untuk mendapatkan anak
kunci tersebut. Dahulu loohu terus menerus tutup diri dan mengasingkan diri sehingga
tidak pernah mengikuti suatu pertandingan ilmu silat. Kini aku mulai merasa menyesal.”

Berbicara sampai disini mendadak suaranya terputus.
Siauw Ling segera menoleh ke tempat luaran tetapi disana tak nampak sesosok
bayangan manusiapun, sewaktu menoleh kembali ke arah Bu Wie Tootiang terlihatlah air
muka yoosu tua itu sudah berubah sangat hebat, diataas keningnya secara samar-samar
sudah dibasahi oleh keringat dingin. Mendadak terasalah api di dalam tungku bergoyang
tiada hentinya, di tengah sambaran angin yang amat keras di dalam ruangan tersebut
sudah kedatangan tiga orang manusia.
Orang yang ada di tengah adalah seorang kakek tua berjubah sutera dengan
bersulamkan seekor naga, jenggotnya yang putih terurai memanjang hingga dadanya.
Sedang dua orang yang ada di sampingnya adalah siucay berusia pertengahan yang
memakai baju berwarna putih.
Dengan cepat Bu Wie Tootiang meloncat bangun lalu merangkapkan tangan memberi
hormat. “Tidak mengetahui akan kedatangan dari Coen cu maaf pinto tidak menyambut
dari kejauhan.”
Sikakek tua yang berdiri di tengah itu lantas tertawa.
“Loohu hanya lewat disini saja karena mendengar anak kunci Cing Kong Ci Yau kembali
muncul dalam dunia kangouw dan karena tidak turut di dalam pertemuan puncak para
jago tempo hari dalam hatiku selama puluhan tahun ini merasa amat menyesal.”
Dua rentetan sinar mata yang amat dingin dan menyeramkan dengan cepat dialihkan
keatas tubuh Siauw Ling, lalu sambungnya, “Walaupun loohu tidak merasa tertarik
terhadap harta pusaka yang ada di dalam istana tersebut tapi sangat mengharapkan dapat
ikut memasuki istana terlarang itu untuk memeriksa apakah kawan serta sahabat-sahabat
karibku tempo hari masih hidup atau sudah mati.”
Dengan wajah yang amat serius Bu Wie Tootiang berdiri tak bergerak, diam-diam dia
mulai menyalurkan hawa khie kangnya yang dilatih selama puluhan tahun ini untuk siap
menghadapi serangan musuh.
Pak Thian Coen cu yang melihat Bu Wie Tootiang sama sekali tidak mengucapkan
sepatah katapun, air mukanya segera berubah dengan amat hebatnya.
“Tetapi kunci emas pembuka istana rahasia itu bagaikan batu di tengah samudera,
selama puluhan tahun ini Cuma terdengar beritanya saja yang tersiar di dalam Bulim.
Loohu sudah ada tiga kali memasuki daerah Tionggoan untuk menyelidiki jejak dari kunci
wasiat tersebut tetapi selama ini tak ditemui juga.”
“Kali ini aku dengar berita yang mengatakan kunci emas pembuka istana terlarang itu
ada disini karena itu sengaja loohu datang kemari untuk mengecek kebenarannya, tetapi
jika ditinjau dari banyaknya jago-jago Bulim yang pada berkumpul digunung Bu tong san
ini aku rasa berita itu pastilah benar.”
Setelah lewat beberapa saat Bu Wie Tootiang pun baru bisa menenangkan kembali
hatinya. Dia tertawa tawar dan memandang sekejap ke arah Siauw Ling sibocah cilik itu.

“Menurut berita yang tersiar di dalam Bulim maka satu-satunya kunci untuk
memperoleh anak kunci pembuka istana terlarang adalah bocah ini,” ujarnya tawar.
“Dengan ketajaman mata dari Locianpwee tentunya kau orang bisa tahu apakah bocah ini
pernah berlatih ilmu silat atau tidak. Locianpwee janganlah kau suka percaya terhadap
berita yang tersiar di dalam dunia kangouw, karena berita tersebut sengaja disiarkan
untuk menimbulkan suatu gelombang di dalam dunia kangouw.”
Dengan perlahan Pak Thian Coen cu mengelus jenggot putihnya yang sepanjang dada
dengan telitinya dia lantas memeriksa sekejap bocah itu.
Mendadak dari sepadang matanya memancar keluar sinar yang amat tajam dingin, lalu
ujarnya dengan serius, “Tahukah kau orang apa akibatnya bilamana berani mengelabuhi
diri loohu?”
“Soal ini pinto tidak tahu,” sahut Bu Wie Tootiang dengan hati bergetar.
“Seluruh perguruan akan dibasmi habis, anjing dan ayam tidfak tertinggal seekorpun
lain hari bilamana loohu berhasil mengetahui kalau di dalam persoalan ini ada hal-hal
mengandung siasat maka partai Bu-tong-pay jangan harap tancapkan kakinya kembali di
dalam dunia kangouw. Kini loohu mohon diri terlebih dulu?” seru Pak Thian Coe cu.
Sepasang mata Siauw Ling yang terbelalak lebar-lebar kini melotot semakin besar lagi.
Dia sama sekali tak dapat melihat dengan jelas bagaimana caranya ketiga orang itu pergi
dari sana.
Matanya terasa kabur dan dalam sekejap mata saja ketiga orang itu sudah lenyap tak
berbekas yang membuat dalam hati dia merasa amat kagum, pikirnya, “Kepandaian ilmu
silat dari beberapa orang ini sungguh hebat sekali. Hei. Bilamana aku berhasil melatih
ilmuku sedahsyat itu maka enci Gak tidak perlu pikirkan untuk melindungi diriku lagi, di
samping itu akupun dapat membantu dia untuk membalas dendam bibi Im.”
Terdengar Bu Wie Tootiang menghela napas panjang dan berjalan keluar dari kamar
dengan langkah perlahan.
Siauw Ling hanya merasakan darah panas didadanya mendadak bergolak amat keras,
dengan cepat dia lari mengikuti dari belakang Bu Wie Tootiang, lalu serunya, “Tootiang,
kau tidak usah menghela napas panjang, semua bencana yang dialami partai Bu-tong-pay
hanyalah muncul dikarenakan aku Siauw Ling saja, asalkan aku tinggalkan tempat ini
maka mereka tak akan mencari gara-gara lagi kesini.”
“Bocah sungguh kukuh hatimu!” seru Bu Wie Tootiang tak tahan lagi sambil menoleh
memandang sekejap ke arah bocah itu.
Mendadak dia meloncat keluar dari ruangan dan membentak keras, “Siapa?”
Telapak tangannya dengan cepat mengirim satu pukulan dahsyat ke depan.
Dari tempat kegelapan dibalik pepohonan segera meloncat keluar sesosok bayangan
manusia yang menggerakkan tangan kanannya menyambut datangnya serangan dari Bu
Wie Tootiang ini, sedang tubuhnya dengan meminjam kesempatan itu meloncat sejauh
dua kaki lebih.

“Hmm! Nama besar ciangbunjien Bu-tong-pay ternyata bukan nama kosong belaka,
sungguh dahsyat tenaga dalammu!” puji orang itu dengan suara dingin.
Sehabis berkata tubuhnya segera melesat ke tengah udara dan berkelebat lenyap dari
pandangan.
Bu Wie Tootiang pun tidak melakukan pengejaran lebih lanjut. Tangan kanan serta
kirinya sedikit didayung ke belakang tubuhnya sudah meloncat balik ke dalam ruangan
semula.
Ketika Siauw Ling dapat melihat kelas apa yang terjadi tampaklah dikedua belah tangan
Bu Wie Tootiang sudah membawa dua orang toosu cilik berjubah hijau yang menyoren
pedang pada punggungnya.
Cuma saja pada saat ini mereka sama sekali tidak berkutik, jelas jalan darahnya sudah
keburu ditotok.
Dengan telitinya Toosu tua itu memeriksa di sekeliling tubuh toosu cilik itu mendadak
sepasang tangannya bersama-sama digerakkan ke depan masing-masing menepuk di atas
jalan darah In Bun Hiat pada pundak kanannya.
Terdengar kedua orang toosu cilik itu menghembuskan napas panjang dan mulai
menggoyangkan biji matanya. Setelah memandang sekejap mata ke arah Bu Wie Tootiang
pada paras mukanya segera tertulis rasa menyesal yang bukan kepalang.
Mendadak mereka menjatuhkan diri berlutut di atas tanah dan berseru, “Kepandaian
silat tecu tak becus sehingga menimbulkan rasa malu buat perguruan, harap ciangbun
suhu turun tangan memberi hukuman.”
“Ayo bangun, aku tidak akan menyalahkan kalian. Kedahsyatan dari musuh yang
muncul malam ini berada diluar dugaan pinto!” seru Bu Wie Tootiang sambil gelengkan
kepalanya.
Dalam hati dia tahu kedua orang toosu cilik itu kena ditotok jalan darahnya oleh Pak
Thian cu, dengan kepandaian silat yang demikian dahsyatnya dari si rasul sakti dari langit
utara sekalipun Bu Wie Tootiang sendiripun belum tentu tandingannya apalagi kedua
orang muridnya.
Mendengar perkataan dari ciangbunjiennya ini kedua orang toosu cilik itu segera
berlutut mengucapkan terima kasih.
“Terima kasih suhu suka mengampuni dosa kami!” serunya berbareng.
“Sudahlah” seru Bu Wie Tootiang sambil mengulapkan tangannya diantara pepohonan.
“Diluar ruangan ada kemungkinan sudah bersembunyi berpuluh orang jagoan Bulim, kalian
berjaga-jagalah satu kaki diluar ruangan ini, asalkan orang-orang yang bersembunyi
dibalik pepohonan itu tidak menyerbu ke dalam ruangan maka janganlah urusi diri
mereka.”
Kedua orang toosu cilik itu lantas menyahut mencabut keluar pedangnya dan bersamasama
berlalu dari sana.

Mereka berdua sesudah mengalami kerugian kali ini tidak berani berlaku gegabah lagi,
sambil mencekal pedang dan punggung menempel mereka melakukan perondaan dan
penjagaan terhadap jejak musuh yang mulai memenuhi sekeliling tempat itu.
Di atas wajah Bu Wie Tootiangpun dengan perlahan terlintas perasaan yang amat
murung, sinar matanya dengan termangu-mangu memandang keatas percikan api
berwarna hijau di atas tungku.
Siauw Ling yang melihat kemurungan diri Bu Wie Tootiang memberi peringatan segera
berkecamuk di dalam benaknya peristiwa yang telah lewat kembali berkelebat dihatinya
diam-diam dia berpikir, “Aku, Siauw Ling kenapa begitu membawa sial? Sewaktu aku
dilahirkan ayahku kena difitnah oleh pembesar laknat sehingga meletakkan jabatannya,
bibi Im bersikap sangat baik terhadap diriku diapun mati di dalam sumur kering, kemudian
enci Gak begitu cinta padaku kini mati hidupnya tidak jelas akhirnya aku datang ke gunung
Bu tong san ini tetapi tidak sampai tiga hari sudah mendatangkan gara-gara buat pihak
Bu-tong-pay…”
Semakin dipikir hatinya semakin pedih, tidak terasa lagi darah panas bergolak dengan
amat derasnya di dalam dada.
Mendadak dia berteriak amat kerasnya, “Aku adalah manusia pembawa sial. Ini
siapapun jangan mengurusi aku lagi!”
“Bocah, kau kenapa?” tanya Bu Wie Tootiang tertegun sewaktu dilihatnya sikap bocah
itu sangat aneh.
“Tootiang! Aku mau tanya tentang beberapa hal kepadamu tetapi kau jangan menipu
lho?” seru Siauw Ling dengan paras amat serius.
Bu Wie Tootiang hanya merasa dari sinar matanya mengandung rasa golakan hati yang
keras tidak terasa lagi dia sudah mengerutkan alisnya rapat-rapat.
“Bocah, kau bertanyalah?”
“Kau pernah berjanji, bilamana aku hendak meninggalkan tempat ini kau tidak akan
menghalangi niatku ini. Bukankah begitu?”
“Tidak salah!”
Mendadak Siauw Ling si bocah cilik itu menjatuhkan diri berlutut di atas tanah dan
memberi hormat dengan tulusnya.
“Budi kebaikan Tootiang terhadap diriku, aku Siauw Ling tidak akan melupakan untuk
selamanya. Bilamana aku masih bisa hidup di dunia dan berhasil belajar ilmu silat lain hari
tentu akan kubalas budi kebaikan ini.”
“Bocah kau hendak berbuat apa?” tanya Bu Wie Tootiang kebingungan.
“Aku mau meninggalkan tempat ini!”

“Heeei… kini jejak musuh meliputi seluruh penjuru, nafsu membunuh sudah
mengelilingi seluruh kuil Sam Yuan Koan ini, apa lagi kau adalah seorang bocah yang
lemah dengan racun yang belum benar-benar punah dari badanmu, kau hendak pergi
kemana?” seru Bu Wie Tootiang lagi sambil menghela napas panjang.
“Kau tidak usah ikut campur!”
Sehabis berkata dengan langkah lebar segera berjalan keluar dari ruangan tersebut.
“Bocah!” seru Bu Wie Tootiang terburu-buru sambil berkelebat menghalangi di depan
tubuhnya. “Bilamana kau benar-benar ingin belajar ilmu silat pinto dengan rela akan
mengerahkan tenaga yang ada untuk penuhi keinginanmu.”
Dengan perlahan-lahan Siauw Ling menggelengkan kepalanya.
“Maksud baik dari Tootiang biarlah aku terima dihati saja. Aku tidak ingin mengangkat
kau sebagai guru, biarlah aku pergi saja.”
Mendadak terasa segulung angin berkelebat, seorang pemuda berbaju biru dengan
menenteng pedang sudah menghalangi di depan pintu kamar dan mencegat perjalanan
dari Siauw Ling.
Darah yang menempel di atas pedang belum kering keringat mengucur dengan
derasnya jelas baru saja dia orang terseret di dalam satu pertempuran yang amat sengit.
Siuaw Ling melirik sekejap ke arah pemuda itu kemudian sambil membusungkan dada
dia melanjutkan kembali perjalanannya dengan langkah lebar.
Dengan cepat pemuda berbaju biru itu mencengkeram tubuh Siauw Ling dan menegur.
“Hai bocah yang tidak tahu diri, dengan kedudukan ciangbunjien dari But tong pay
ternyata dia orang suka menerima kau sebagai murid. Hal ini boleh dikata merupakan
suatu keuntungan bagimu.”
“Heeeei…” terdengar Bu Wie Tootiang menyambung dengan suara yang ramah.
“Karena nafsu rakus muncul dihatiku membuat akal jadi tertutup. Selama puluhan
tahun ini pinto selalu melarang setiap anak murid Bu-tong-pay untuk mencari gara-gara
dengan orang-orang Bulim, tidak disangka akhirnya menjadi rumit persoalan ini tak bisa
terhindar lagi suatu badai taupan bakal melanda partai Bu-tong-pay kami.”
“Urusan timbul karena diriku, bilamana aku meninggalkan gunung Bu tong san ini
sudah tentu mereka tidak akan mencari kekuil Sam Yuan Koan lagi,” sambung Siauw Ling
dengan cepat.
“Walauoun perkataan itu tidak sedikitpun salah, tetapi…”
“Tetapi apa? Apakah Tootiang hendak menggunakan aku sebagai umpan untuk
memancing kedatangan dari enci Gak ku dan memaksa dia untuk menyerahkan anak kunci
istana rahasia itu?”

Karena selama beberapa waktu ini berturut-turut dia mengalami kekejaman serta
kelicikan orang-orang kangouw sehingga membuat pandangan serta pengetahuannya
bertambah tajam dan tambah luas.
“Walaupun pinto mempunyai nafsu rakus untuk memiliki anak kunci tersebut tetapi
sama sekali tak bermaksud untuk menggunakan dirimu sebagai umpan.”
“Lalu mengapa Tootiang tidak mengijinkan aku pergi?”
“Waktu ini dikuil Sam Yuan Koan sedang berkecamuk suatu pertempuran yang amat
sengit, kau tidak berkepandaian silat bagaimana bisa lolos dari tempat ini?”
“Sekalipun para jago yang mendatangi tempat ini amat banyak tetapi tujuan mereka
adalah menawarkan aku untuk dijadikan umpan mereka tak akan melukai diriku,” sahut si
bocah.
“Bilamana kau suka masuk menjadi anggota Bu-tong-pay maka pinto tak akan sayangsayangnya
mengasingkan diri selama tiga bulan untuk menyembuhkan ketiga urat nadimu
yang tersumbat itu.”
Bu Wie Tootiang menarik napas berulang kali.
“Kau memiliki tulang serta bakat yang amat baik” sambungnya. “Tidak sukar bagimu
untuk mewarisi seluruh kepandaian silat dari pinto.”
Sepasang mata Siauw Ling dipentangkan semakin lebar.
“Lalu bagaimana jikalau kepandaianmu dibandingkan dengan Pak Thian Coen cu itu?”
“Sute lepaskan dirinya!” tegur Bu Wie Tootiang sambil mengulapkan tangannya.
Walaupun dia didalama hati pemuda berbaju biru itu tidak suka tetapi diapun tidak
berani melanggar perintah dari suhengnya dengan hati berat tangan kiri terpaksa
dikendorkan melepaskan diri Siauw Ling dari cengkeramannya.
Lengan kanan Siauw Ling yang kena dicekal oleh pemuda berbaju biru itu sekalipun tak
menggunakan tenaga besar tetapi siauw Ling merasakan aliran darahnya tidak lancar
sedang lengannya secara samar-samar terasa amat sakit.
Dengan cepat dia gerak-gerakan tangannya lalu bertindak maju untuk meninggalkan
tempat itu.
Jilid 12
Mendadak terdengar ujung baju tersampok angin, tahu-tahu dihadapannya sudah
berkelebat datang beberapa sosok bayangan manusia yang pada berdiri sejajar
dihadapannya.
Dua orang yang ada disebelah kiri adalah majikan dari Sian Kie Su Lu di daerah Kiang
Pak Ih Bun Han To adanya sedang di sampingnya adalah Pek So Suseng Jan Ing.

Dua orang berdiri disebelah kanan adalah Tiong Cho Siang-ku, saat ini di tangan
mereka berdua sudah pada mencekal senjata tajam.
Di tangan kiri Sang Pat mencekal Siepoa emas yang memancarkan cahaya tajam,
sedang di tangan kiri dan kanan Tu Kiu mencekal gelang Hu So Gien Cian serta pit
besinya.
Melihat munculnya orang-orang itu mendadak pemuda yang berbaju biru itu menukuk
lutut dan menubruk ke depan dengan kecepatan bagaikan kilat, diantara berkelebatnya
sinar pedang terlihat bunga-bunga pedang memenuhi angkasa.
“Kembali!” bentak Bu Wie Tootiang dengan suara rendah.
Pemuda berbaju biru itu segera menyahut dan berkelebat kembali lagi ke tempat
semula.
Pulang pergi hanya dilakukan dalam sekejap mata tapi dalam waktu yang singkat itu
pula dia sudah melancarkan tiga tusukan dahsyat ke arah Tiong Cho Siang-ku yang Sang
Pat serta Tu Kiu bersama-sama menggerakkan senjatanya untuk memusnahkan datangnya
serangan tersebut.
Agaknya dalam hati pemuda berbaju biru itu merasa sangat tak puas.
“Suheng” serunya pada Bu Wie Tootiang dengan suara berat. “Bilamana malam ini kita
biarkan beberapa orang ini meninggalkan tempat ini dalam keadaan hidup-hidup, bilamana
berita ini sampai tersiar di dalam dunia kangouw bukankah hanya akan merusak nama
baik dari Bu-tong-pay kita?”
Baik Ie Bun Han To maupun Tiong Cho Siang-ku agaknya pada tidak ingin mengikat
permusuhan dengan pihak Bu-tong-pay walaupun mendengar perkataan dari pemuda
berbaju biru itu amat sombong dan mereka tidak membantah barang sekejappun.
Air mkuka Bu Wie Tootiang berubah amat keren, diapun tidak ambil perduli terhadap
perkataan dari pemuda berbaju biru itu.
Sepasang matanya dengan dingin dan amat tajam menyapu sekejap ke arah Ie Bun
Han To serta Tiong Cho Siang-ku lalu sambungnya, “Saudara-saudara sekalian sudah
berhasil menerjang segala rintang di bawah pengawasan yang ketat dari anak murid Butong-
pay kami. Hal ini menunjukkan kalau kepandaian kalian sungguh luar biasa sekali.”
“Haaaa, haaa, Tootiang terlalu merendah” sahut Sang Pat sambil tertawa terbahakbahak.
“Bilamana bukannya anak murid Bu-tong-pay turun tangan setengah-setengah,
bagaimana mungkin cayhe dua bersaudara bisa melewati halangan tersebut.”
“Perkataan ini memang tidak salah” sambung Ie Bun Han To pula. “Bilamana anak
murid Bu-tong-pay yang tersebar diseluruh penjuru mengadakan perlawanan dengan
sepenuh tenaga, cayhepun tidak mungkin bisa menerjang halangan tersebut dengan
demikian mudahnya.”

Bu Wie Tootiang hanya tertawa tawar, ujarnya, “Kepandaian silat dari saudara-saudara
sekalian lihay sekali, pintopun tahu kalau dengan kekuatan anak murid kami tidak bakal
bisa menghalangi kalian dengan tenaga dalam kalian yang tinggi tentunya sudah banyak
murid kami yang terluka di tangan kalian bukan?”
Berbicara sampai disitu sinar matanya yang amat tajam segera berkelebat memandang
beberapa kali ke arah beberapa orang itu.
Kembali si Siepoa emas Sang Pat tersenyum.
“Walaupun beruntung cayhe dua bersaudara berhasil menerjang lolos dari ketiga
cegatan yang dipasang partai Bu tong kalian tetapi senjata kami tak membekas darah,
kami sama sekali tak membunuh maupun melukai anak murid Tootiang” katanya.
“Cayhepun hanya metotok luka tiga orang anak murid Bu-tong-pay” sambung Ie Bun
Han To. “Tetapi urusan ini sudah terjadi karena berada dalam keadaan terpaksa, cayhe
tidak bisa membiarkan Ngo Kiam bersatu padu sehingga barisan pedang Ngo Kiam Sin
yang amat terkenal diseluruh langit itu terbentuk.”
Terdengar suara bentakan gusar berkumandang datang dengan ramainya, jelas sekali
ada banyak tempat yang lagi terjadi pertempuran-pertempuran sengit.
Bu Wie Tootiang dengan perlahan berubah jadi tenang kembali, dia menghela napas
panjang.
“Heeei, orang yang datang malam ini tak sedikit jumlahnya, dan merupakan suatu
peristiwa yang belum pernah dialami kami pihak Bu-tong-pay sejak ratusan tahun yang
lalu.”
“Kami orang yang melakukan pekerjaan dagang masih untung tidak sampai mati
datang kemari,” sambung Sang Pat tersenyum.
“Entah sukakah Too heng memberi sedikit penghargaan kepada kami orang yang
berdagang untuk membawa pergi bocah tersebut.”
“Heee, heee, apakah Sang heng tidak merasa perkataanmu itu terlalu ringan?” seru Ie
Bun Han To sambil tertawa dingin.
“Kini cayhe ada disini bilamana kau hendak membawa pergi bocah tersebut dengan
begitu ringan bukankah sama saja dengan tidak memandang sebelah mata kepada cayhe.”
“Hmmm! Hmmm! Ie Bun heng, bilamana kau hendak ikut serta di dalam dagangan ini
maka kitapun terpaksa harus mengambil caranya tersendiri!” seru si Leng Bian Thiat Pit Tu
Kiu dengan tawar.
“Haaaa, haaaa, urusan ini menyangkut modal selembar jiwa. Agaknya kami dua
bersaudara tidak kuat melakukan perdagangan ini,” sambung sang sambil tertawa
terbahak-bahak.
“Langit dan bumi amat luas, dimanapun terdapat gunung nan hijau untuk mengubur
tulang-tulang kalian. Bilamana saudara bermaksud mengadu jiwa lebih baik jangan

dilakukan di dalam kuil Sam Yuan Koan kami ini!” tiba-tiba tegur pemuda berbaju biru itu
dengan amat dingin.
“Bilamana dugaan pinto tidak salah, sebentar lagi bakal muncul jago-jago Bulim lebih
baik kalian berenpat bersabar dan tunggu sebentar lagi,” ujar Bu Wie Tootiang pula.
Baru saja selesai berkata mendadak telinganya dapat menangkap suara tersampoknya
ujung baju terkena udara, tiga sosok bayangan manusia dengan cepat bagaikan kilat
berkelebat datang.
Tiong Cho Siang-ku serta Ie Bun Han To pada menengok ke arah dimana datangnya
bayangan manusia itu.
Tampaklah orang itu memakai pakaian singsat abu-abu keperak-perakan dengan kain
hitam membungkus kepala sehingga cuma kelihatan sepasang matanya yang dingin dan
amat tajam sedang ditangannya menenteng sebilah pedang panjang.
Cukup ditinjau dari gerakan tubuh mereka bertiga yang amat gesit, beserta kelebatan
sinar mata yang dingin dan tajam itu tidak sulit untuk menduga kalau mereka semua
adalah jago-jago berkepandaian tinggi yang memiliki tenaga dalam yang luar biasa.
Diam-diam Bu Wie Tootiang merasa hatinya rada bergidik.
“Jika ditinjau dari kepandaiannya. mereka bertiga tentulah jagoan lihay dari suatu
daerah tetapi dari manakah asalnya? Begitu lihay dia orang sehingga berhasil menerobos
halangan-halangan yang ketat dari murid-murid Bu-tong-pay” pikirnya.
Belum habis dia berpikir tampaklah dua sosok bayangan sudah meloncat datang
dihadapannya.
Dandanan dari kedua orang itu sangat aneh sekali. Orang yang ada disebelah kiri
memakai jubah berwarna merahdarah dengan di depan dadanya terukir sebuah obor yang
disulam dengan benang emas pada punggungnya tergantung sebuah pipa tembaga
sebesar lengan dengan panjang tiga depa delapan coen. Ditangannya mencekal sebuah
tongkat perak yang khusus digunakan untuk menotok jalan darah.
Usianya kira-kira empat puluh tahunan. Wajahnya berbentuk paras kuda dengan
jenggot yang pendek seperti kawat, sepasang matanya berbentuk segitiga yang amat
aneh dan memancarkan cahaya terang, perawakannya tinggi besar dan sebuah mahkota
terbuat dari emas menghiasi kepalanya.
Sedang orang yang ada dikanan memakai jubah berwarna putih dengan seikat tali rami
terikat pada pinggangnya, rambut yang panjang terurai sepanjang pundak, tangan
mencekal sebuah tongkat berkepala ular.
Begitu mereka berdua muncul di tengah kebun dengan langkah yang lebar lantas
melanjutkan gerakannya menuju ruangan, terhadap beberapa orang yang ada di sekeliling
tempat itu mereka sama sekali tidak ambil gubris, sekejappun tidak.
Tiong Cho Siang-ku serta Ie Bun Han To yang melihat munculnya kedua manusia aneh
itu lantas bertukar pandangan sekejap dan mengundurkan diri dua langkah ke belakang
tanpa mengucap sepatah katapun.

Bu Wie Tootiang yang beriman kuat diam-diam pun mulai menyalurkan tenaga
kwekangnya siap sedia menghadapi sesuatu tetapi pada paras mukanya sama sekali tidak
berubah terhadap munculnya kedua orang ini diapun pura-pura tidak melihat.
Sebaliknya pemuda berbaju biru itu tidak kuasa untuk menahan rasa gusar dihatinya,
pedang ditangannya dengan cepat dikebaskan ke depan sedang tubuhnya maju tiga
langkah ke depan.
Diantara berkelebatnya pergelangan tangan tampaklah bunga-bunga pedang menghiasi
angkasa menghalangi perjalanan pergi dari dua orang itu.
“Berhenti!” bentaknya dengan dingin.
Si orang berbaju putih dengan rambut terurai panjang itu segera angkat tongkat
berkepala ularnya menangkis datangnya pedang tersebut.
“Loohu adalah Sam Im So (si tangan pencabut nyawa) Tiauw Cian adanya!” serunya
dingin.
Pemuda berbaju biru itu yang belum pernah berkelana di dalam dunia kangouw, kecuali
dua suhengnya maka belum pernah ia kenal dengan orang lain, sekalipun nama besar dari
Tiauw Can lebih terkenal sepuluh kalipun belum tentu membuat dia orang jadi jeri.
Pedangnya kembali digetarkan membentuk cahaya tajam yang dingin dan menyilaukan
mata.
“Sekalipun kau adalah Im So Yang So setelah dikuil Sam Yuan Koan ini jangan harap
bisa bertingkah semaunya.”
Bu Wie Tootiang melirik sekejap ke arah sutenya diapun tidak membentak untuk
mencegah perbuatannya itu.
Jelas sekali Bu Wie Tootiang memiliki batin yang kuat ini sudah mengerti kalau situasi
macam ini sangat penting sekali dan tidak terhindar dari satu pertempuran yang amat
seru. Dia tahu sekalipun dirinya mencegah sutenya untuk jangan bergebrak belum tentu
pertempuran malam ini bisa terhindar dengan begitu saja.
Tampak Im SO Tiauw Cian sedang memutar-mutar biji matanya yang aneh itu.
“Bocah. Sungguh tidak kecil nyalimu. Kau anak murid siapa? Ayo cepat sebutkan
namamu!”
“Anak murid Bu-tong-pay, Can Jap Cing” sahut pemuda berbaju biru itu dingin.
Kembali Tiauw Cian tertawa dingin.
“Kau orang bukanlah tandingan dari loohu. Bilamana benar-benar ingin bergebrak cepat
undang keluar Ciangbun suhumu!” serunya.
Dia yang melihat usia Can Jap Cing paling tidak baru dua puluh dua tahun di dalam
anggapannya dia orang tentulah anak murid dari Bu Wie Tootiang.

“Ciangbun suheng dari cayhe ini mempunyai kedudukan yang amat tinggi sekali,” ujar
Can Jap Cing dengan dingin.
“Dengan kedudukannya yang sangat terhormat, beliau tidak akan sembarangan
unjukkan diri. Bilamana kau benar ingin bertemu dengan suhengku, heeee, heeee,
mudah… mudah saja asalkan kau orang bisa menangkan pedang ditanganku ini.”
“Akh…! Bu Wie Tootiang adalah suhengmu?” teriak Tiauw Cian rada tergerak.
“Tidak salah, kenapa?”
“Kalau begitu loohu sudah memandang terlalu rendah akan kedudukan,” tongkat
berkepala ular di tangan segera ditotokan ke arah depan dengan dahsyatnya.
Pedang panjang di tangan Can Jap Cing segera digerakkan dan menyalurkan hawa
murninya ke dalam tubuh pedang.
Diantara berkelebatnya cahaya yang menyilaukan mata pedang tersebut sudah melesat
dari samping tongkat berkepala ular itu lalu menangkis datangnya serangan tersebut.
Bentrokan senjata yang terjadi baru-baru ini sama sekali tidak menimbulkan sedikit
suarapun, padahal diantara bentrokan itulah masing-masing pihak sudah mengadu tenaga
kwekang dengan dahsyatnya.
Walaupun Can Jap Cing berhasil menangkis datangnya serangan tongkat berkepala ular
dari Tiauw Cian tidak urung lengan kanannya terasa linu, diam-diam dia merasa amat
terperanjat sekali.
“Aaah, tidak disangka tenaga dalam siluman tua ini amat dahsyat. Aku tidak boleh
memandang terlalu rendah” pikirnya.
Sebaliknya si Sam Im So Tiauw Cian pun diam-diam merasa terperanjat, pikirnya,
“Tidak disangka bocah yang masih amat muda ini memiliki tenaga dalam yang demikian
sempurna, kiranya nama besar dari Bu-tong-pay yang tersiar dalam Bulim bukanlah nama
kosong belaka.”
Dengan bentrokan tadi maka di dalam hati mereka berduapun semakin waspada lagi,
siapapun tak ada yang berani memandang rendah pihak musuhnya.
Terdengar Tiauw Cian mendengus dingin.
“Hmm! Nama besar dari Bu-tong-pay kiranya bukan nama kosong belaka. Malam ini
loohu ingin minta beberapa petunjuk dari ilmu silat simpanan dari partai Bu tong.”
Tongkat kepala ularnya didororng ke depan lalu menotok kesamping, hanya di dalam
sekejap saja dia sudah melancarkan tiga serangan gencar mengancam tiga buah jalan
darah penting di tubuh Can Jap Cing.
Can Jap Cing yang sudah saling bentrok satu kali dengan dirinya di dalam hati mengerti
bagaimana dahsyatnya tenaga dalam orang tersebut diapun mengerti dengan senjata

ringan bilamana hendak menangkis tongkatnya yang merupakan senjata berat tentu akan
menderita kerugian.
Maka hawa murninya ditarik panjang-panjang kemudian dengan gesitnya menghindar
dari serangan tersebut sedang pedangnya dengan cepat membabat dari samping.
Perubahan yang terjadi secara mendadak ini sangat berada diluar dugaan manusia
aneh tersebut seketika itu juga Tiauw Cian kena desak mundur satu langkah ke belakang.
Tiauw Cian yang melihat dirinya kena didesak mundur satu langkah oleh pemuda
tersebut dihadapan umum dari rasa malu dia jadi amat gusar sekali. Tongkat berkepala
ular ditangannya mendadak digetarkan ke depan dan melancarkan serangan gencar.
Hanya di dalam sekejap saja bayangan tongkat berkelebat memenuhi angkasa disertai
suara sambaran angin yang menderu-deru.
Can Jap Cing segera bersuit nyaring. Pedang pusaka ditangannya dengan cepat
digerakkan membentuk serentetan pelangi berwarna keperak-perakan meluncur masuk
diantara menggulungnya bayangan tongkat itu.
Suatu pertempuran sengit yang jarang terjadi di dalam dunia kangouw segera
terbentang di depan mata, tampaklah bayangan tongkat berkelebat laksana gunung
sehingga menimbulkan cahaya putih yang memasuki mata.
Sepasang mata yang tajam bagaikan kilat dari Bu Wie Tootiang dengan tak penuh
perhartian tercurah ke tengah kalangan pertempuran diam-diam tebaga murninya sudah
dikerahkan mencapai sepuluh bagian dikedua belah tangannya ia bersiap sedia bilamana
sutenya tidak kuat bertahan lagi maka dengan sepuluh tenaga dia akan melancarkan
serangan menolong.
Simanusia aneh bermahkota emas, dengan jubah berwarna merah darah itupun dengan
melototnya sepasang matanya yang berbentuk segitiga memperhatikan terus ke tengah
kalangan pertempuran dengan wajah melengak. Agaknya dia sama sekali tidak
menyangka kalau di dalam partai Bu tong kecuali Bu Wie Tootiang serta Im Yang Cu masih
ada seorang jagoan lihay yang demikian mudanya.
Ie Bun Han To serta Tiong Cho Siang-ku yang selama ini menonton jalannya
pertempuran tanpa mengucapkan sepatah katapun setelah melihat kejadian itu dalam hati
merasa terkejut juga, mereka sama sekali tidak menyangka kalau seorang pemuda yang
tak bernama dari Bu-tong-pay ini bisa bergebrak dalam keadaan seimbang dengan diri
Sam Im So Tiauw Cian yang merupakan iblis sakti dari dunia kangouw.
Bayangan tingkat bergoyang silih berganti cahaya pedang berputar-putar memeningkan
kepala. Hanya di dalam sekejap itu saja mereka berdua sudah bergebrak sebanyak tiga
puluh jurus dengan serunya tapi keadaan masih seimbang tanpa ada yang menang dan
tanpa ada yang kalah.
Si manusia aneh berbaju merah itupun agaknya semakin lama semakin merasa tidak
sabar, sambil menggoyang-goyangkan tongkat penotok jalan darahnya yang terbuat dari
perak dia memandang ke arah Bu Wie Tootiang dengan pandangan dingin.
“Siapa saudara? Apa punya kesenangan untuk melayani beberapa jurus dengan cayhe?”
tantangnya.

Dengan perlahan Bu Wie Tootiang mengebutkan ujung jubahnya lalu berjalan maju
dengan langkah perlahan.
“Biarlah pinto melayani beberapa jurus!” sahutnya.
“Suheng, tunggu dulu, biarlah siauwte yang menemui dirinya!” terdengar suara
bentakan keras berkumandang datang.
Ketika para jago pada menengok kebelakanh maka terlihatlah Im Yang Cu sambil
mencekal pedang melayang datang dengan gerakan yang amat cepat. Dibelakangnya
menyusul datang dua belas orang toosu berusia pertengahan dengan wajah yang serius
dan masing-masing pada mencekal sebilah pedang berjalan mendatang.
Gerakan tubuh Im Yang Cu ini amat cepat sekali, hanya di dalam sekejap mata dia
sudah berada kurang lebih empat lima depa dari manusia aneh berbaju merah itu dan
menghentikan gerakannya.
“Pinto anak murid dari Bu-tong-pay, Im Yang Cu adanya mohon petunjuk beberapa
jurus dari saudara,” ujarnya dengan keren sambil melintangkan pedangnya di depan dada.
“Cayhe adalah Tok Hwee (si api beracun) Chin Gak,” ujar manusia aneh berbaju merah
itu dengan suara yang dingin menyeramkan.
“Lama sekali pinto mendengar nama besar dari Chin heng. Malam ini bisa bertemu
muka sungguh beruntung sekali, silahkan saudara mulai turun tangan.”
Si api beracun Chin Gak tertawa dingin.
“Bu-tong-pay merupakan sebuah partai lurus yang selamanya membicarakan soal
peraturan Bulim, maaf cayhe adalah seorang manusia kasar yang bersifat berangasan dan
tidak mengerti akan soal tersebut.”
Tongkat penotok jalan darahnya dengan menggunakan jurus “Thian Wa Lay Im” atau
alar langit muncul mega, dengan cepatnya mengancam jalan darah “Siap Thii” di atas
tubuh Im Yang Cu.
Serangannya amat ganas, kejam dan mengancam tempat kematian dari manusia.
Melihat datangnya serangan yang amat ganas itu Im Yang Cu segera menggerakkan
pedangnya dengan menggunakan jurus Kiem si Can Wan atau serat emas melingkari
pergelangan menghajar pergelangan tangan kanan dari Chin Gak, yang memaksa dia
orang terpaksa harus menarik kembali serangannya itu.
“Hmm! Ilmu pedang yang bagus!” seru si api beracun Chin Gak sambil mendengus
dingin.
Telapak tangan kanannya ditekan ke bawah menghindarkan diri dari datangnya
serangan tersebut sedeang telapak kirinya didorong ke depan bersamaan waktunya pula
dia maju ke depan, tongkat perak penotok jalan darahnya menggunakan jurus Wan Teh
Huan Im atau mengobrak abrik dengan tangan dari arah bawah menggulung keatas
dengan cepatnya.

Im Yang Cu segera menggoyangkan pedangnya membentuk berpuluh-puluh kuntum
bunga pedang yang menyilaukan mata, tubuhnya berturut-turut mundur tiga langkah ke
belakang.
Tetapi sebentar kemudian dia sudah maju kembali ke depan menyerang sisi tubuh
musuh, gerakan pedangnya tiada putus diarahkan ke depan.
Tampaklah cahaya terang berkelebat menyilaukan mata disertai bunga pedang hanya di
dalam sekejap mata dia sudah melancarkan tusukan berantai.
Serangan yang gencar dan berantai ini seketika itu juga memaksa si api beracun Chin
Gak terdesak mundur ke belakang.
Tetapi begitu delapan serangan berantai dari Im Yang Cu ini berlalu maka Chin Gakpun
lantas melancarkan serangan tongkat perak jalan darahnya bagaikan seekor ular beracun
berkelebat tiada hentinya dengan berbagai perubahan yang aneh dan ganas setiap
serangannya mengancam jalan darah kematian dari toosu tersebut.
Dengan penuh perhatian Im Yang Cu terus menerus menggerakkan pedangnya laksana
titiran roda kereta, cahaya terang berkelebat menyilaukan mata dengan ketatnya dia
menutup seluruh titik-titik kelemahannya.
Sinar mata Ie Bun Han To berkelebat tiada hentinya mendadak dia merangkap
tangannya menjura kepada Bu Wie Tootiang.
“Too heng apakah kau membutuhkan bantuan dari cayhe?” tanyanya sambil tertawa.
“Terima kasih, pinto tak begini merepotkan dirimu,” tolak Bu Wie Tootiang sambil
tertawa-tawa.
Waktu itulah kedua belas orang toosu berusia pertengahan yang mengikuti dari
belakang Im Yang Cu kini sudah menyebarkan diri membentuk dua buah berisi Ngo Heng
Kiam Tin siap-siap menanti serangan musuh.
Barisan pedang Ngo Heng Kiam Tin dari Bu-tong-pay serta barisan Loo Han Tin dari
Siauw Lim pay merupakan barisan terkenal dikolong langit dan jarang sekali ada orang
yang bisa meloloskan diri dalam keadaan selamat dari kurungan barisan tersebut.
Kedua belas orang Toosu yang dibawa Im Yang Cu pada saat ini merupakan anak
murid Bu-tong-pay pilihan diantaranya angkatan pertama. Setiap orang bukan saja
memiliki ilmu pedang yang amat lihay apalagi dengan dua puluh tahun latihan pula
terhadap barisan Ngo Heng Kiam Tin itupun sangat hafal sekali.
Kini kedua buah barisan pedang tersebut sudah dibentuk maka sama saja dengan suatu
dinding baja sudah terbentuk disana.
Si Leng Bian Thiat Pit Tu Kiu yang melihat semakin bertempur situasinya semakin
tegang bahkan pihak Bu-tong-pay sudah mengerahkan seluruh tenaga yang ada untuk
melindungi diri Siauw Ling dalam hati mulai merasa amat cemas.

“Loo toa,” bisiknya kepada si Kiem Siepoa Sang Pat. Walaupun orang yang sudah
datang pada malam ini tidak sedikit jumlahnya tetapi belum tentu bisa menahan serangan
dari Bu-tong-pay yang amat kuat ini. Apakah kita baru turun tangan setelah mereka
berhasil menentukan siapa menang siapa kalah?”
“Orang yang bisa menyerbu kemari boleh dikata bukan termasuk manusia
sembarangan saja,” ujar Sang Pat. “Bilamana kita turun tangan terlalu pagi ada
kemungkinan malah menjadi arah perhatian orang banyak. Kitapun belum tahu siapakah
ketiga orang berpakaian singsat warna abu-abu keperak-perakan dengan kain hitam
pembungkus kepala itu, lebih baik untuk sementara waktu kita tunggu dulu sampai
merekapun ikut turun tangan, dengan mengambil kesempatan sewaktu keadaan amat
kacau itulah kita baru turun tangan merebut bocah tersebut. Ingat kau yang merebut sang
bocah sedang aku pembuka jalan setelah berhasil mendapatkan bocah itu jangan sampai
terkurung di dalam barisan pedang Ngo Heng Kiam Tin.”
Mereka berdua merundingkan urusan itu dengan masing-masing menggunakan ilmu
untuk menyampaikan suara walaupun perhitungan dia sedikit tak salah cuma sanyang
mereka tidak menyangka kalau ketiga orang berbaju keperak-perakan itupun mempunyai
maksud yang sama dengan mereka.
Sejak muncul dirinya disana mereka sama sekali tidak bercakap-cakap bahkan berdiri
dengan membentuk kedudukan segitiga.
Waktu itu pertempuran sengit antara Can Jap Cing dan Tiauw Cianpun sudah mencapai
pada taraf tegang-tegangnya tongkat berkepala ularnya, pedang panjang semakin panas
dan semakin dahsyat.
Can Jap Cing menang di dalam kegesitan dari perubahan jurus pedang sedang Tiauw
Cian menang di dalam kesempurnaan ilmu kwekangnya karena itu keadaan mereka
seimbang tak ada yang menang tak ada yang kalah.
Pertempuran antara Im Yang Cu serta si api beracun Chin Gak pun seimbang tanpa ada
yang bisa rebut kemenangan.
Sejak semula Im Yang Cu sudah mengenal sekali nama besar api beracun ini, ia tahu
bilamana sampai membiarkan dia orang mengeluarkan ilmu kepandaian api beracunnya
maka malam ini dirinya pasti akan menderita kerugian yang amat besar. Pedangnya
melancarkan serangan kencang lagi sedikitpun dia tidak memberi kesempatan bagi Chin
Gak untuk mengeluarkan senjata rahasia api beracunnya tersebut.
Dengan perlahan Ie Bun Han To mengangkat kepala memandang cuaca sewaktu
dilihatnya waktu sudah menunjukkan kentongan ke tempat dalam hatinya kelihatan mulai
cemas.
Kedatangannya malam ini sama sekali bukan dikarenakan Siauw Ling karena itu dia
orang tidak terlalu memperhatikan bocah tersebut. Kini melihat Im Yang Cu dan Can Jap
Cing sudah terlihat di dalam suatu pertempuran yang amat sengit dalam hati lantas tahu
pertempuran itu tidak bakal bisa diselesaikan di dalam ratusan jurus.
Apalagi orang yang sedang dinantikan tak kunjung datang pula hatinya semakin dibuat
cemas lagi.

Dengan cepat dia menyapu sekejap ke arah tiga orang berpakaian singsat itu.
“Apakah kedatangan kalian bertiga juga dikarenakan anak kunci Cing Kong Ci Yau?”
Dalam hati dia tahu Tiong Cho Siang-ku sukar dilayani, apalagi Sang Pat menjadi orang
amat licik dan amat cerdik sekali. Ada kemungkinan malah dia sendiri yang kena
diselomoti. Karena itu bukannya mencari gara-gara dengan Tiong Cho Siang-ku sebaliknya
dia coba mencari gara-gara dengan ketiga orang lelaki berpakaian singsat dan menutupi
wajahnya dengan kain hitam itu.
Seketika itu juga orang berpakaian singsat itu dengan dinginnya mengalihkan enam
buah matanya keatas tubuh Ie Bun Han To.
“Kalau memangnya benar kau mau berbuat apa?” seru orang pertama dengan suara
dingin.
“Kalau memangnya sudah berani memandangi gunung Bu tong san ini dan menerjang
rintangan yang dipasang tentunya termasuk manusia punya nama buat apa kalian
bersikap sembunyi hmm! Apakah tidak merasa terlalu memalukan nama kalian sendiri.”
“Urusan dari kami bersaudara tidak usah kau banyak cerewet” seru orang itu lagi.
“Heee… hee… cuma sayang cayhe harus melihat bagaimanakah wajah yang sebetulnya
dari kalian begitu!” teriak Ie Bun Han To sambil tertawa dingin.
Dan tangan kanannya bagaikan kilat cepatnya diayun ke depan kelima jari tangannya
laksana kuku elang dengan cepat menyambar keatas kain hitam yang menutup wajah
lelaki tersebut.
Lelaki itu dengan cepat menggerakan pedangnya membabat ke arah depan dengan
menggunakan jurus Lin Cian Su Hong atau angin berat menggulung tikar kecepatan
geraknya benar-benar berada diluar dugaan dari Ie Bun Han To.
Dengan hati terperanjat buru-buru Ie Bun Han To meloncat mundur untuk
mengundurkan diri dari serangan pedangnya itu.
Lelaki itu tetap berdiri di tempat semula tidak melakukan pengejaran lebih lanjut.
Melihat kejadian itu Bu Wie Tootiang diam-diam mengerutkan alisnya rapat-rapat.
“Dari manakah asalnya ketiga orang itu?” pikirnya. “Cukup dilihat dari gerakan
pedangnya itu sudah dapat diketahui kalau kepandaian silatnya pasti tidak ada di bawah si
api beracun Chin Gak serta sitangan pencabut nyawa Tiauw Cian.”
Terdengar Ie Bun Han To tertawa terbahak-bahak dengan amat kerasnya.
“Haaa, haaa, sungguh cepat gerakan pedangmu, cukup mengandalkan kecepatan dari
seranganmu tadi cayhe seharusnya minta beberapa petunjuk dari dirimu.”
Telapak tangannya dengan disertai tenaga pukulan yang amat dahsyat segera
membabat ke depan.

Kembali lelaki itu menggerakkan pedangnya menyambut datangnya angin pukulan yang
laksana mengamuknya ombak di tengah samudera itu.
Diantara berkelebatnya angin pukulan yang membuat ujung baju lelaki itu berkibar
tampak serentetan sinar pedang berkelebat memenuhi angkasa.
Lelaki itu sama sekali tidak jadi terpukul mundur oleh dahsyatnya pukulan itu.
Sebaliknya Ie Bun Han To kena didesak mundur oleh ketajaman dari desiran hawa
pedang pihak lawan. Hatinya semakin terperanjat lagi.
“Akh, tidak kusangka bocah cilik ini bisa juga menyalurkan hawa kwekangnya ke dalam
serangan pedangnya itu,” pikirnya diam-diam di dalam hati.
Kembali sepasang telapak tangannya segera dibabatkan bersama-sama ke depan,
tenaga kwekang ini laksana ambruknya gunung Thay-san segera menekan ke arah lelaki
berpakaian singsat yang baru saja menerima datangnya angin pukulan dari Ie Bun Han To
itu walaupun pada luarnya sama sekali tidak menunjukkan reaksi apa-apa padahal dalam
hatinya terjadi suatu pergolakan yang amat keras dia merasa tenaga kwekang dari orang
itu benar-benar amat dahsyat dan merupakan satu-satunya musuh tangguh yang baru
ditemuinya selama ini.
Kini melihat dia orang kembali melancarkan serangan dengan begitu dahsyatnya dalam
hati lantas sadar kalau pukulan tersebut tidak dapat diterima dengan keras lawan keras,
maka telapak kirinya dengan cepat diayunkan ke depan menyambut datangnya angin
pukulan dari Ie Bun Han To tersebut sedang tubuhnya sudah menyingkir kesamping.
Kedua orang lelaki berpakaian singsat ini sewaktu melihat kawannya mulai bergeser
kesamping, agaknya merekapun mengerti apa yang dimaksud.
Tampaklah kedua orang itu dengan amat cepatnya berputar membentuk kedudukan
segitiga dan masing-masing mengulurkan tangan kirinya untuk ditempelkan pada pundak
kawannya.
Kiranya mereka bertiga hendak menggunakan ilmu penyaluran hawa kweekang tingkat
atas untuk bersama-sama menerima datangnya angin pukulan dari Ie Bun Han To itu
dengan keras lawan keras.
Dua gulung angin pukulan yang amat dahsyat begitu terbentur satu sama lainnya
segera terjadilah suatu angin taupan yang amat dahsyat sekali.
Pada saat mereka berempat sedang mengadakan tenaga kwekang itulah Tiong Cho
Siang-ku segera bersama-sama turun tangan.
Sang Pat dengan mencekal Siepoa emasnya yang memancarkan cahaya keemasemasan
menubruk ke arah Siauw Ling.
Melihat datangnya serangan tersebut dengan amat gusarnya Bu Wie Tootiang
mengebutkan ujung jubahnya ke depan.
“Kalian berdua benar-benar tidak suka memberi muka kepada kami Bu-tong-pay?”
bentaknya keras.

Segulung angin pukulan dahsyat dengan cepatnya sudah menggulung ke arah depan.
Terburu-buru Sang Pat mendorongkan Siepoa emasnya ke depan, tampaklah cahaya
terang memenuhi angkasa diselingi suara tik tak tik yang membisingkan telinga.
“Hahah… hahaha, sungguh dahsyat tenaga pukulan dari Tootiang ini…..” serunya
sambil tertawa terbahak-bahak.
Tubuhnya bergoyang kesamping, dengan keras lawan keras dia menerima datangnya
serangan tersebut.
Leng Bian Thiat Pit Tu Kiu yang selama ini mengikuti terus di belakang tubuh Sang Pat
begitu melihat kakaknya menerima pukulan dari Bu Wie Tootiang dengan keras, maka
mengambil kesempatan itu lantas meloncat ke depan, dengan menggunakan pit besi di
tangan kanan untuk melindungi tubuh, tangan kirinya menyambar tubuh Siauw Ling
kemudian enjotkan tubuhnya melarikan diri dari tempat itu.
Mendadak tampak cahaya terang menyilaukan mata. Sang Pat dengan menggunakan
gaya Cian Liong Sin Thin atau naga sakti melayang keangkasa tubuhnya bersalto ke
tengah udara sedang Siepoa emasnya didorong ke depan.
Di dalam keadaan gusar Bu Wie Tootiang membentak keras, tangan kanannya dengan
menggunakan jurus So Hwee Ngo Sian atau sapuan tangan lima jurus mengejar jedepan.
Sang Pat dengan cepat membalikkan badannya Siepoa emasnya dengan menggunakan
jurus Nin Swee Sing Tan atau melanggar air menjalankan perahu menyambut kembali
serangan dari Bu Wie Tootiang dengan kekerasan pula.
Terdengarlah suara bentrokan yang amat keras memenuhi angkasa dan terlihatlah
tubuh Sang Pat terlempar sejauh enam tujuh depa dan jatuh di atas tanah.
Bu Wie Tootiangpun ikut terjatuh di atas tanah setelah terjadi bentrokan ini karena
hawa murninya terbuyar kembali.
Terdengar sang Pat menghela napas panjang.
“Heeei, tenaga dalam dari Ciangbunjien dari Bu-tong-pay sungguh luar biasa sekali.
Cayhe bukanlah tandingannya.”
“Hmm! bilamana sungguh-sungguh kami membiarkan kalian merebut orang dari tangan
kami maka akan kemanakah wajah Bu-tong-pay kami? Apakah dikemudian hari Bu-tongpay
kami masih bisa tancapkan kakinya lagi di dalam dunia kangouw?” seru Bu Wie
Tootiang dengan dingin.
Di tengah suara bentakan yang amat keras itu tubuhnya sudah menubruk ke arah Sang
Pat. Lima jari tangan kanannya dipentangkan lebar-lebar bagaikan cakar burung elang
menyambar dadanya.
Walaupun tubuh Sang Pat amat gemuk dengan perut yang menonjol keluar tetapi
gerakannya amat gesit sekali, tubuhnya dengan cepat berputar menghindarkan diri dari
serangan Bu Wie Tootiang ini.

“Tootiang! berhubung urusan ini memakai modal selembar jiwa kami bersaudara maka
mau tak mau kita harus keraskan hati mengambil tindakan.”
“Kini tangan kanan dari Tootiang sudah terkena racun jahat, bilamana Tootiang
paksakan diri kerahkan tenaga untuk menggebrak maka sebelum sepuluh jurus racun
tersebut akan mulai bekerja.”
Bu Wie Tootiang yang serangannya berhasil memaksa Sang Pat mundur dua langkah ke
belakang segera angkat tangan kanannya untuk diperiksa, sedikitpun tidak salah, telapak
tangannya tampak sudah dipenuhi dengan bintik-bintik hitam yang amat banyak.
“Sejak semula cayhe sudah tahu kalau kepandaian silat Tootiang amat tinggi dan
tenaga dalamnya pun amat sempurna maka racun-racun biasa saja tidak bisa melukai diri
Tootiang” sambung Kie Siepoa Sang Pat lebih lanjut. “Karena itu terpaksa cayhe harus
korbankan sedikit modal untuk pasang jarum beracun Hua Hiat Tok Cam diantara senjata
Siepoa ku ini, jarum-jarum ini berasal dari aliran Thian Ban di daerah Si Ih yang terbuat
dari besi ribuan tahun dan di tempat jadi benang halus bukan saja mengandung racun
yang amat ganas bahkan luar biasa sekali reaksinya sudah tentu Tootiang pernah
mendengarkan hal ini bukan?”
Bu Wie Tootiang yang melihat warna hitam di atas telapak tangannya semakin lama
menjalar semakin keatas sehingga dalam sekejap saja pergelangan tangannya sudah
menghitam semua, buru-buru ia kerahkan tenaga dalamnya untuk menutup seluruh aliran
darah sedang tangan kirinya dengan cepat menotok beberapa buah jalan darah di
tubuhnya.
“Heee, heee, pinto bisa potong lengan kanan ini dari pada harus mendengarkan
desakan serta tuntutan dari kalian Tiong Cho Siang-ku.”
Sang Pat yang melihat Tu Kiu dengan menggendong tubuh Siauw Ling serta pit besinya
tiada hentinya berkelebat menyerang kesana kemari dengan serunya lantas tahu kalau dia
orang sudah kena dikurung di dalam pedang Ngo Heng Kiam Tin yang amat lihay itu
dalam hati merasa mata terperanjat.
Tetapi dia orang yang sudah sering melakukan perjalanan di dalam dunia kangouw dan
memiliki pengalaman yang luas maka walaupun kini dalam hatinya merasa amat cemas
paras mukanya masih tetap tenang saja.
“Nama besar dari Bu-tong-pay serta kuil Sam Yuan Koan di atas gunung Bu tong san ini
diketahui oleh setiap orang di dalam kolong langit” katanya sambil tersenyum. “Sekalipun
malam ini kau berhasil menahan diri Siauw Ling disini tetapi sejak kini pula jago-jago Bulim
yang mendatangi tempat ini akan mengalir tiada hentinya, tak seperti cayhe berdua yang
bisa menyembunyikan jejak dan berkelana keujung langit apalagi anak kunci Cing Kong Ci
Yau itu sama sekali tidak berada di tangan Siauw Ling. Kami berbuat demikian tidak
lebihkarena cayhe pernah menyanggupi Gak Siauw-cha untuk melindungi keselamatan diri
Siauw Ling akan mempertemukan mereka kakak beradik. Perkataan yang sudah diucapkan
berat laksana gunung dan kamipun tak ingin merusak merek kami yang sudah punya
nama.”
“Berita yang tersiar di dalam Bulim walaupun seolah-olah mengatakan siapa yang bisa
menawan Siauw Ling maka anak kunci Cing Kong Ci Yau bisa didapatkan dengan mudah

sebenarnya adalah salah besar, coba Tootiang bayangkan kini Gak Siauw-cha sudah
terjatuh di tangan kami lalu apa gunanya mendapatkan kembali Siauw Ling sibocah cilik
itu? Coba Tootiang pikir tiga kali perkataan dari cayhe ini dan rasakan cengli tidak?”
“Walaupun perkataan sedikitpun tidak salah tetapi pinto sudah menyanggupi untuk
melindungi diri Siauw Ling, aku orang tidak suka melanggar janji bahwa dikarenakan
kuatir atas keselamatan diri sendiri,” kata Bu Wie Tootiang dingin.
“Tootiang!” tiba-tiba ujar Sang Pat lagi sambil menarik kembali senyuman. “Kami dua
saudara cuma suka akan harta benda. Padahal harta yang berhasil kami kumpulkan sudah
banyak sekali dan kamipun mengerti kalau benda-benda tersebut tak bisa dibawa mati,
setelah kami mati maka barang-barang tersebut akan ikut musnah cuma saja dengan rasa
rakus serta cari nama ini membuat diri kami tanpa merasa sudah menerima perdagangan
ini.”
“Walaupun cara kami berdagang selalu menggunakan akal tetapi selamanya tidak
pernah merebut barang orang lain dengan main paksa dan selamanya cayhe tidak bakal
melanggar perkataan ini. Malam ini cayhe ada sedikit janji buat Tootiang. Bilamana
dikemudian hari anak kunci Cing Kong Ci Yau itu berhasil kami Tiong Cho Siang-ku
dapatkan dan berhasil membuka istana terlarang itu, maka kami pasti akan memberi satu
bagian buat Tootiang!”
“Heeee, heeee, bilamana pinto menyanggupi janjimu itu bukankah sama saja dengan
menurunkan derajat dari partai kami.” seru Bu Wie Tootiang sambil tertawa dingin.
“Kami dua bersaudara hanya rakus dengan harta tetapi sama sekali tidak mengingini
nyawa orang lain.”
Mendadak terdengar suara teriakan ngeri yang menyayatkan hati berkumandang
datang si Sam Im So Tiauw Cian mendadak menarik kembali tongkat berkepala ularnya
dan meloncat pergi.
Si api beracun Chin Gak yang begitu mendengar suara teriakan ngeri dari Tiauw Cian
dalam hati merasa bergidik mendadak dia melancarkan dua buah serangan menahan
datangnya serangan pedang dari Im Yang Cu sedang tubuhnya meloncat sejauh tiga kaki
dan melepaskan tabung hijau yang ada pada punggungnya itu.
Im Yang Cu tahu isi dari tabung hijau itu adalah api beracun yang mangangkat nama
Chin Gak di dalam dunia kangouw keganasan dari api ini luar biasa sekali. Di dalam
keadaan cemas itulah dia lantas membentak keras.
“Kawanan tikus, kau berani menggunakan api beracun!”
Hawa murninya ditarik panjang-panjang tubuhnya dengan cepat meluncur ke arah
depan.
Walaupun gerakannya amat cepat tetapi tak urung terlambat satu tindak juga, si api
beracun Chin Gak sudah melepaskan tabung hijau yang tergantung pada punggungnya
itu.
Pada saat yang amat kritis itulah mendadak segulung angin pukulan yanmg dahsyat
menggulung ke depan.

Terdengar Chin Gak mendengus berat tubuhnya mundur ke belakang dengan
sempoyongan sedang tabung hijau yang ada ditangannyapun ikut terjatuh keatas tanah.
Sewaktu ia hendak memungut kembali itulah pedang Im Yang Cu dengan disertai
bunga-bunga pedang berwarna perak mengurung seluruh tubuhnya.
Kini si api beracun Chin Gak tidak sempat lagi memungut kembali tabung hijau itu,
terburu-buru tubuhnya melayang sejauh tujuh depa ke belakang.
Pada saat itulah terdengar Sam Im So Tiauw Cian sudah berseru dengan suaranya yang
berat dan dingin .
“Selama gunung masih berdiri tidak takut kehabisan kayu bakar, ayo kita pergi!”
Seorang toosu berusia pertengahan yang begitu melihat kedua iblis itu hendak
melarikan diri dengan cepat ia gerakan pedangnya membabat ke depan tetapi tubuhnya
segera kena dihantam oleh saru pukulan dingin dari Tiauw Cian sehingga tubuhnya
menggigil keras, dengan terhuyung-huyung dia terdorong mundur ke belakang.
Kaki kiri Im Yang Cu dengan gesitnya menyontek tabung hijau yang menggeletak
ditanah kemudian dicekal di tangan kirinya dan pedangnya digigit dimulut serta tangan
yang kanan membimbing tubuh toosu berusia pertengahan yang mundur terhuyunghuyung
oleh pukulan Tiauw Cian itu.
“Cepat duduk dan kerahkan tenaga dalam untuk mengobati luka,” bisiknya dengan
cepat.
Ketika dia mendongakkan kepalanya kembali si api beracun Chin Gak serta Tiauw Cin
dengan mengambil kesempatan itu sudah melarikan diri dari sana dan lenyap di tengah
kegelapan.
Kini si Siepoa emas Sang Pat yang melihat situasi sudah berubah amat besarnya, dari
dalam sakunya dia lantas mengambil keluar sebutir pil dan diserahkan kepada Bu Wie
Tootiang.
“Tootiang! obat ini bisa memusnahkan racun Hua Hiat Tok Ciam itu harap kau orang
suka menelan cepat-cepat lalu menggunakan hawa khe kang masuk keluar jarum tersebut
dan terhisap keluar dengan besi sembrani dengan kedahsyatan dari tenaga dalam
Tootiang paling banter cuma beristirahat dua hari seluruh tubuhnya bakal pulih kembali.”
“Dan pukulan tenaga dalam tidak berwujud yang baru lancarkan untuk pukul jatuh
tenaga milik si api beracun Chin Gak . Dia sudah membantu racun dari jarum tersebut
merembes masuk ke dalam jalan darah yang kau tutup tadi.”
Bicara sampai disini ia lantas memperendah suaranya.
“Hati-hatilah terhadap Ie Bun Han To, walaupun Tootiang jarang sekali melakukan
perjalanan di dalam dunia kangouw tetapi urusan terjadi sangat kebetulan sekali dengan
terjadinya pertempuran sekait malam ini nama besarmu akan bertambah kesohor lagi
melampaui kecermelanganmu tempo hari tetapi kau orang jangan terlalu pandang remeh
nyawamu sendiri, perkataan tadi cayhe cukup sampai disini, aku pergi dulu.”

Dia menggerakkan Siepoa emas ditangannya lalu menerjang ke arah barisan pedang
Ngo Heng Kiam Tin tersebut.
Im Yang Cu segera menggetarkan pedangnya ke depan dengan disertai berkibarnya
ujung jubah dan berkelebatnya cahaya terang pedangnya menotok ke arah punggung
Sang Pat.
Sang Pat segera membabatkan Siepoa emasnya ke belakang, diantara bentrokan
senjata yang amat keras serta percikan bunga api dia sudah berhasil menangkis
datangnya serangan pedang dari Im Yang Cu itu.
Im Yang Cu merasakan lengan kanannya rada linu juga membuat hatinya jadi
terperanjat pikirnya, “Nama besar dari Tiong Cho Siang-ku ternyata bukan nama kosong
belaka, tenaga dalamnya berhasil dilatih jauh di atas tenaga dalam dari si api beracun Chin
Gak.”
Walaupun di dalam hati dia berpikir tetapi tangannya tidak berhenti sampai disitu saja
hanya di dalam sekejap saja berturut-turut dia sudah melancarkan kembali ketiga
serangan mematikan.
Kembali Sang Pat menggerakan Siepoanya ke depan, di tengah suara tik tak yang
membisingkan telinga kembali dia menangkis datangnya serangan pedang dari Im Yang
Cu dengan keras lawan keras.
Bu Wie Tootiang yang diberi obat oleh Sang Pat dengan termangu-mangu dia
memandang pil tersebut pikirannya berputar tiada hentinya mendadak dia memasuki pil
tersebut ke dalam mulutnya lalu membentak keras, “Sute, bubarkan barisan pedang Ngo
Heng Kiam Tin dan bebaskan diri mereka pergi!”
“Im Yang Cu jadi melengak, tetapi dia tidak berani membantah lagi diantara
berkelebatnya sinar pedang barisan Ngo Heng Kiam Tin itu sudah membubarkan diri.
“Tooheng terima kasih!” bisik Sang Pat dengan suara perlahan, dengan cepat dia
melintangkan Siepoa emasnya di depan dada dan membuka jalan terlebih dulu menerjang
keluar dari kepungan musuh.
Hanya di dalam sekejap saja tubuh mereka berdua sudah lenyap di tengah kegelapan.
Di dalam kuil Sam Yuan Koan sekalipun sudah dipasangi penghalang yang rapat, tetapi
dengan kelihayan ilmu silat mereka berdua ditambah pula anak murid Bu-tong-pay sudah
mendapat perintah untuk tidak melawan dengan mengadu jiwa maka tidak sampai
sepertanak nasi lamanya mereka berdua sudah berhasil meloloskan diri dari kuil Sam Yuan
Koan tersebut.
Sekeluarnya dari kuil Sam Yuan Koan si Leng Bian Thiat Pit Tu Kiu baru
menghembuskan napas panjang-panjang.
“Heeei… barisan pedang No Heng Kiam Tin dari hidung kerbau si toosu tua itu sungguh
dahsyat sekali!” serunya.

Sang Pat pun dengan kesalnya menghela napas panjang.
“Loojie, sehabis melakukan jual beli ini kitapun seharusnya cuci tangan mengundurkan
diri dari pekerjaan,” katanya.
Sehabis berkata dia lantas mengebutkan ujung baju, menyimpan kembali Siepoa
emasnya dan jalan ke depan dengan langkah lebar.
Mereka berdua dengan cepatnya melakukan perjalanan menuruni gunung tersebut
sewaktu hari mulai terang tanah merekapun sudah tiba dikaki gunung Bu tong san.
Mendadak Sang Pat menghentikan larinya.
“Loojie! Bagaimana dengan bocah itu? Kenapa tidak kedengaran sedikit suarapun?”
tanyanya sambil menoleh.
“Jalan darahnya sudah kutotok!”
Kiranya Siauw Ling yang kena disambar Tu Kiu meronta terus tiada hentinya, di bawah
serangan musuh tangguh dan keadaan yang amat kritis terpaksa Tu Kiu menotok jalan
darahnya.
Mendengar perkataan tersebut Sang Pat lantas berjalan balik dan turun tangan
membebaskan jalan darah yang tertotok pada tubuh Siauw Ling itu.
Terdengar bocah cilik itu menghembuskan napas panjang dan membuka matanya
dengan perlahan-lahan.
Waktu itu cuaca sedang terang tanah, sang suryapun dengan perlahan sudah muncul
diujung langit sebelah barat, sehingga setiap pemandangan bisa dilihat dengan jelas.
Siauw Ling memutar biji matanya sebentar lalu memandang sekejap ke arah orang itu.
“Apakah kalian berdua yang membawa aku datang kemari?” tanyanya dingin.
Nada ucapannya amat kasar dan sedikitpun tidak mengindahkan kesopanan.
“Hmm! Apa kau kira beberapa orang toosu tua hidung kerbau itu benar-benar bisa
menghalangi diri kami?” tegur Tu Kiu.
“Hmm! kini kalian mau bawa aku kabur kemana?”
“Sudah tentu menemui enci Gak mu!” sahut Sang Pat dengan cepat.
“Kepandaian silat kalian tentu amat tinggi kalau tidak mungkin bisa merebut diriku lolos
dari kuil Sam Yuan Koan itu.”
“Lalu apa kau anggap merek emas dari Tiong Cho Siang-ku yang berhasil dipupuk
selama puluhan tahun ini mudah dirusak dengan begitu saja?” sela Tu Kiu dingin.

“Hehehe… cuma sayang walaupun kepandaian silat kalian amat lihay tetapi tindak
tandusnya amat keras dan main paksa seperti perampok jadi orangpun buas, kejam dan
telengas.”
“Setan cilik kau berani memaki orang!” teriak Tu Kiu dengan gusar, tangannya segera
diangkat siap digaplokkan ke depan.
Terburu-buru Sang Pat melintangkan tangannya menangkis datangnya gaplokan dari
Tu Kiu itu.
“Hahahaha… bocah cilik kau orang sungguh bernyali.” pujinya.
“Hmm! kalau mau pukul ayo cepat pukul” teriak Siauw Ling sambil membusungkan
dadanya. “Paling banter juga tidak akan lolos dari kata-kata mati!”
“Akh! bocah kau sungguh bernyali!” seru Sang Pat melengak.
“Hmm! bocah cilik apakah kau pernah merasakan bagaimana enaknya mati atau tidak
bisa hiduppun susah?” sambung Tu Kiu.
“Apa yang perlu ditakutkan?” tantang Siauw Ling dengan gusarnya pula. “Dibacok satu
kali juga mati dibacok seribu kali akhirnya juga mati. Kau kira aku benar-benar takut
dengan beberapa bacokan golokmu? hehehe, jangan harap kau bisa membuat aku orang
jadi takut.”
Sejak kecil dia sering membaca dan belajar ilmu kepandaian yang bermacam-macam, di
dalam benaknya pada saat ini sudah dipenuhi dengan berpuluh-puluh kisah cerita yang
tidak diketahui maksud sebenarnya. Beberapa perkataannya itupun diucapkan dengan
dada yang dibusungkan lagaknya benar-benar dia menunjukkan suatu sikap semangat
jantan yang sedikitpun tidak takut menghadapi maut.
“Hmmm! bagus sekali!” seru Tu Kiu dengan dingin, sinar matanya berkelebat dengan
buasnya. “Ini hari aku mau suruh kau orang merasakan sedikit penderitaan, kalau tidak
begitu kau bocah cilik tentu tidak mengerti seberapa tinggi langit itu dan seberapa
tebalnya bumi.”
Dan jari tangannya segera dipentangkan siap-siap melancarkan satu totokan ke depan,
tetapi baru saja jari tangannya itu menempel tubuh sang bocah mendadak dia menarik
kembali serangannya dan menghela napas panjang.
“Bilamana aku Tu Kiu harus mencari gara-gara dengan seorang bocah cilik seperti kau
dikemudian hari mana aku punya muka lagi untuk tancapkan kaki di dalam dunia
kangouw.”
“Hahaha… hahaha… bocah cilik kami sama sekali tidak bermaksud untuk mencelakai
dirimu mari biar aku gendong kau untuk melanjutkan perjalananmu!” kata Sang Pat
kembali sambil tertawa terbahak-bahak.
“Apa kau kata?” teriak Siauw Ling sambil melototkan sepasang matanya lebar-lebar.
“Aku punya sepasang kaki, aku bisa jalan sendiri.”

Sehabis berkata dengan langkah lebar dia melanjutkan perjalanan menuju ke depan.
Tu Kiu yang melihat keputusan serta sifat keras kepala dari bocah itu di dalam hati rada
mendongkol, tangan kanannya lantas menyambar hendak mencengkeram pundaknya,
tetapi keburu dicegah oleh Sang Pat.
“Hahahaha… biarlah dia berjalan sendiri,” katanya sambil tertawa.
Dengan membawa rasa mangkel sekejap saja Siauw Ling sudah melakukan perjalanan
sejauh tujuh delapan li. tetapi badannya yang masih lemah itu tidak bisa menahan terlalu
lama lagi, semakin berjalan semakin lemah. Keringat mengucur bagaikan curahan hujan
membuat seluruh tubuhnya basah kuyup, dan akhirnya kakinya terasa jadi lemas dan
rubuh di atas tanah.
Terburu-buru Sang Pat menyambar tubuh Siauw Lingagar jangan sampai terjatuh.
“Bocah apa kau sudah lelah?” tanyanya tertawa.
“Hmm! lepaskan aku!” serunya sambil meronta dan dengan ujung bajunya dia
mengusap keringat diwajahnya.
Melihat sikap tersebut Tu Kiu kembali mengerutkan alisnya rapat-rapat.
“Loo toa, bocah ini terlalu keras kepala, aku lebih baik kita totok jalan darahnya saja
kemudian membawanya pergi.”
Tidak menanti jawaban dari Sang Pat lagi dia lantas menotok jalan darah tidur di atas
tubuh Siauw Ling.
Seketika itu juga bocah tersebut jatuh tidak sadarkan diri.
Entah lewat berapa waktu lamanya, sewaktu pikirannya jadi jernih kembali
didapatkannya dirinya sudah berbaring di atas pembaringan kayu sedang telinganya
menangkap suara air yang amat berisik.
Menanti dia menoleh kesamping tampaklah Sang Pat sambil tersenyum sedang berdiri
disisi pembaringan tersebut.
“Bocah, kau sudah bangun?” tanyanya sewaktu melihat Siauw Ling membuka matanya.
“Apakah kau orang suka makan sedikit?”
Siauw Ling tidak menjawab sebaliknya dengan cepatnya meloncat bangun dari tempat
tidurnya.
“Dimanakah tempat ini?” tanyanya.
“Di tengah sungai Tiang Kang, kita berada di atas sebuah perahu besar.”
Siauw Ling merasakan kepalanya berat dan kakinya terasa amat ringan dengan
kepalanya amat pening dan berkunang-kunga tetapi dia paksakan diri juga turun dari
pembaringan tersebut dan berjalan keluar dari ruangan perahu tersebut.

Sang Pat segera menyingkir kesamping memberi jalan buatnya.
Dengan mencekal dinding ruangan Siauw Ling paksakan diri keluar dari ruangan perahu
itu juga tiupan angin sungai yang sampai itu membuat kesadarannya semakin pulih.
Sang surya itu memancarkan sinarnya di tengah awang-awang langit nan biru bersih
dari awan, dengan termangu-mangu dia memandang keatas gulungan ombak yang saling
susul menyusul di samping bayangan layar perahu di tempat kejauhan membuat dadanya
terasa amat lega.
Saat ini dia berdiri di atas perahu layarnya yang amat besar dan sedang berlayar di
tengah sungai yang luas.
“Bocah! Angin amat besar. Kau baik-baiklah berdiri disana,” terdengar suara yang halus
dari Sang Pat berkumandang datang.
Siauw Ling menoleh memandang sekejap ke arah Siepoa emas itu, dia termenung dan
bungkam seribu bahasa.
Sang Pat yang melihat sinar matanya berubah terus tiada hentinya seperti lagi
memikirkan sesuatu tak terasa sudah tersenyum.
“Eeeei, bocah kau lagi pikirkan urusan apa?” tanyanya.
‘Aku lagi berpikir walaupun aku tidak suka akan sifat kalian yang buruk itu tetapi
kalianpun tidak termasuk manusia-manusia yang sangat jahat, lain hari bilamana aku
berhasil melatih ilmu silatku maka aku orang tidak akan membinasakan diri kalian!”
Mendengar perkataan tersebut Sang Pat segera tertawa terbahak-bahak.
“Hahahaha… kau hendak belajar ilmu silat dari siapa?”
Mendadak dari pintu ruangan berkelebat datang sesosok bayangan tubuh manusia si
Leng Bian Thiat Pit Tu Kiu tahu-tahu sudah muncul di atas geladak terdengar dia tertawa
dingin tiada hentinya.
“Hehehehe… bocah, dikolong langit pada saat ini kiranya tidak bakal kau orang berhasil
mendapatkan seorang suhu yang bisa mempelajari ilmu silat yang cukup untuk membunuh
orang kami.”
Mendadak di dalam benak Siauw Ling terbayang kembali sikap tegang dari Bu Wie
Tootiang setelah mendengar nama dari Pak Thian Coen cu, kini begitu mendengar ejekan
itu dia lantas menyahut dengan cepat, “Lalu bagaimana dengan Pak Thian Coen cu itu?”
Sang Pat jadi melengak.
“Pak Thian Coen cu? dari mana kau mendengar nama sebutan ini hahaha…”
“Bukan saja mendengar nama besarnya bahkan pernah bertemu dengan orangnya!”
seru Siauw Ling tidak mau kalah.
Tu Kiu segera mendengus dingin.

“Hmmm, bocah cilik kau pandai benar berbohong” katanya dengan suaranya yang
dingin. “Pak Thian Coen cu sudah mati sangat lama sekali apa mungkin sukmanya bisa
menjelma kembali?”
“Oooouw. Jadi kau tidak percaya?”
“Sudah tentu tidak percaya.”
“Baiklah, kalau kau tidak percaya sudahlah.”
“Bocah apakah kau orang benar-benar sudah bertemu dengan Pak Thian Coen cu?”
tanya Sang Pat lagi setelah berpikir sejenak dengan wajah amat serius.
“Sudah tentu sungguh buat apa aku menipu dirimu.”
Mendadak terdengar suara air sungai yang terbelah kesamping. Sebuah perahu kecil
dengan menerjang ombak bergerak mendekati perahu besar tersebut disusul melayangnya
sesosok bayangan manusia menubruk ke arah Siauw Ling.
Dengan gusarnya Sang Pat membentak keras, satu pukulan dahsyat segera dilancarkan
ke depan.
Siauw Ling pada saat itu masih lemah, kini terkena tekanan hawa pukulan dari Sang Pat
membuat kakinya jadi gontai.
Tak tertahan lagi tubuhnya lantas jatuh rubuh ke dalam sungai dengan ombak yang
amat deras itu.
Melihat kejadian itu bayangan manusia yang lagi melayang ke arah perahu besar itu
mendadak bersalto beberapa kali di tengah udara dan meluncur pula ke dalam sungai
yang amat deras itu.
Tiong Cho Siang-ku walaupun memiliki kepandaian silat yang amat lihay akan tetapi
mereka berdua tidak mengerti ilmu dalam air, begitu melihat orang itu menyelam ke
dalam air dan lenyap tak berbekas mereka cuma bisa melototkan matanya lebar-lebar
tanpa bisa berkutik.
Jilid 13
Dengan cepat mereka mengalihkan pandangannya dengan sebuah penutup kepala
lebar yang lagi duduk dibelakangnya buritan perahu kecil itu, saat ini orang itu duduk
membelakangi mereka sehingga tidak dapat dilihat dengan jelas bagaimana wajahnya.
Tangannya yang satu memegang kemudi sedang yang lain mendayung perahunya di
tengah gulungan ombak, walaupun angin bertiup amat santar tetapi perahunya tetap
menjaga suatu jarak yang tertentu dengan perahu besar itu.
“Loo toa!” bisik Tu Kiu dengan cepat setelah melihat hal tersebut.

“Orang itu asal usulnya tidak beres biarlah aku pergi menawan dirinya.”
“Loo jie jangan…”
Tetapi gerakan dari Tu Kiu jauh lebih cepat. Baru saja Sang Pat membuka mulut dia
orang sudah meloncat setinggi satu kaki dan meluncur keatas perahu kecil itu.
Lima jari tangan kanannya segera dipentangkan mencengkeram keatas tubuh lelaki
tersebut.
Kelihatannya lima jari tangannya bakal mengenai pundak lelaki tersebut. Mendadak
orang itu membungkukkan badannya menghindarkan diri dari serangan itu lain dengan
mengambil kesempatan tersebut meloncat ke dalam sungai yang amat deras itu.
Jurus “Hwee Ing Poh Toh” atau elang sakti menangkap kelinci dari Tu Kiu ini boleh
dikata sudah dilatih hingga mencapai kesempurnaan sewaktu meloncat dan melancarkan
serangan tadi sama sekali tidak membawa sedikit suarapun. Tidak disangka lelaki itu
ternyata berhasil juga menghindarkan diri dari serangan tersebut, hal ini menunjukkan
kalau pendengaran orang itu amat tajam sekali.
Tu Kiu lantas merasa kalau dirinya kini sudah ketemu dengan musuh tangguh hawa
murninya ditariknya panjang-panjang. Sepasang lengannya dipentangkan dan melayang
turun dari perahu dengan tenangnya.
Selama hidupnya dia orang paling tidak mengerti ilmu di dalam air, saat ini dalam hati
dia merasa takut bilamana lelaki itu mendadak munculkan dirinya dari permukaan air dan
mengambil kesempatan tersebut memukul jatuh dirinya ke dalam air karena itu dia tidak
berani berhenti di atas perahu kecil tersebut, dengan cepat ilmu kwekangnya Thay Lit Cian
Kiem Coe dikerahkan keluar.
Dimana tubuhnya menahan perahu tersebut lantas tenggelam ke dalam sungai, air
dikedua belah sisinya bagaikan air mancur memancar ke depan dan kesamping dengan
dahsyatnya.
Dengan meminjam kesempatan itulah Tu Kiu lantas meloncat ke tengah udara dan
bersalto beberapa kali kembali keatas perahu besar.
Walaupun mereka menanti kembali seperminum teh lamanya bukan saja jejak dari
Siauw Ling tak ditemukan, sampai kedua orang lelaki yang terjun ke dalam sungaipun tak
nampak munculkan dirinya kembali.
Sang Pat serta Tu Kiu terpaksa hanya saling bertukar pandangan dengan wajah amat
terperanjat.
“Loo toa!” terdengar Tu Kiu bertanya dengan suara berat. “Coba kau lihat mereka
bertiga yang menyelam ke dalam air kenapa kita tidak berhasil melihat mereka munculkan
dirinya kembali??”
“Kita dua bersaudara bukanlah orang buta bagaimana mungkin bisa tidak melihat,”
jawab Sang Pat tersenyum.

“Kalau memangnya begitu jelas hal ini menunjukkan kalau mereka masih keluar dari
dalam air.”
Dia termenung sebentar untuk kemudian sambungnya lagi, “Mereka berdua datang
kemari dengan membawa persiapan sudah tentu kepandaian menyelam dari mereka
berdua amat sempurna sekali tetapi Siauw Ling tidak mengerti akan ilmu di dalam air
setelah berada di dalam sebegitu lama apakah dia bisa begitu kuat ikut berada di dalam
air??”
“Mereka tidak naik kitapun tidak bisa turun kalau begitu kita masing-masing saling
menunggu saja! Kita lihat siapa yang lebih kuat mereka atau kita,” kata Sang Pat.
Mendadak paras mukanya berubah memberat dan menutup mulutnya kembali.
Senyuman serta sikapnya yang ramah walaupun menghadapi musuh tangguh kini
sudah lenyap dari wajahnya, hal ini menunjukkan kalau dia orang benar-benar sudah
menemui suatu urusan yang membingungkan.
Tu Kiu sudah amat lama berkumpul dengan dirinya, sudah tentu mengerti juga akan
sifatnya kini melihat Loo toanya berubah amat keren diapun lantas membungkam diri.
Tampaklah Sang Pat termenung beberapa saat lamanya kemudian baru ujarnya dengan
suara perlahan, “Loo jie, kau orang cepat turun dari perahu untuk melakukan pemeriksaan
bilamana mereka membawa Siauw Ling mendarat ketepi pantai dengan jalan menyelam
bukankah kita akan menantinya dengan sia-sia saja di tempat ini.”
“Aah… tidak salah…” teriak Tu Kiu dengan hati tergetar.
Tubuhnya yang sudah bertindak maju mendadak dihentikan kembali.
“Eeeeei kau tunggu apa lagi?”
“Air sungai menggulung begitu besarnya sehingga sulit untuk melancarkan ilmu
meringankan tubuh, kau suruh aku menggunakan cara apa menuju ketepian!”
“Bagaimana menghadapi musuh tangguh adalah urusan Loo toa, bagaimana caranya
melaksanakan adalah urusan Loo jie!”
Tu Kiu jadi melengak, tapi sebentar kemudian dia sudah berseru, “Siauwte terima
perintah!”
Sehabis berkata tubuhnya kembali meloncat ke depan.
Terlihatlah tubuhnya bagaikan seekor burung walet dengan amat gesitnya melayang
diangkasa dan meloncat turun di atas perahu kecil itu.
Waktu itu perahu kecil tersebut sudah terbalik dengan dasar perahu menghadap keatas
sehingga sulit untuk didayung, walaupun begitu keadaan jauh lebih mantap lagi dari pada
keadaan semula.
Sang Pat yang melihat tubuhnya berhasil melayang turun di atas perahu tersebut dia
lantas tersenyum.

“Kau pergilah!” serunya sambil mengirim satu tenaga pukulan ke depan.
Angin pukulan tersebut kelihatannya tidak sebegitu keras tetapi kekuatannya luar biasa
sekali sukar untuk dipercaya.
Perahu kecil tersebut setelah terkena angin pukulan ini bagaikan sebatang anak panah
dengan cepatnya meluncur mengikuti aliran sungai.
Tu Kiu lantas tersenyum, hawa murninya disalurkan ke arah tangan diapun
melancarkan satu pukulan keatas permukaan sungai di belakang perahu tersebut, diantara
menggulungnya sang ombak kembali perahu tersebut bergerak ke depan.
Demikianlah dengan menggunakan cara yang sama dia menjalankan perahunya
mengikuti arus sungai.
Dengan kerennya Sang Pat berdiri diujung perahu, walaupun perahu kecil itu sudah
meluncur dengan cepatnya ke depan tetapi sepasang matanya tak berani mengendor, dia
terus menerus mangawasi keadaan di sekeliling tempat itu.
Sejak semula dia sudah memerintahkan para kelasi untuk melepaskan kemudi dan
membiarkan perahu tersebut berputar di tengah sungai, asalkan kedua orang lelaki itu
berani munculkan dirinya maka senjata tajam serta angin pukulan dari Sang Pat telah
menanti mereka untuk kirim satu serangan mematikan.
Mendadak di atas sungai meluncur datang sebuah perahu layar dengan cepatnya Sang
Pat segera merasa semangatnya berkobar kembali, sepasang matanya laksana mata
burung elang memperhatikan keadaan tempat itu lebih teliti dia berpikir bilamana kedua
orang lelaki itu hendak menggunakan kesempatan tersebut untuk meloncat naik keatas
perahu tanpa ditenui olehnya hal ini merupakan satu urusan yang sulit melebihi sulitnya
menaiki langit.
Kedatangan perahu tersebut sudah bersisipan lalu menjauh dan akhirnya berubah jadi
titik hitam.
Tetapi di atas permukaan sungai tidak nampak sedikit gerakanpun, di tengah
menggulungnya ombak serta tiupan angin hanya terasa keadaan yang sunyi sekali…
Air mata Sang Pat semakin lama berubah semakin memberat, sepasang alisnya
dikerutkan rapat-rapat.
Menanti senja hampir tiba Tu Kiu baru kelihatan muncul kembali disana mereka berdua
saling bertukar pandangan, lama sekali tak ada yang mengucapkan sepatah katapun.
Wajah Tu Kiu kelihatan amat murung dan lelah sekali, jelas dia orang sudah kehabisan
tenaga sewaktu menjalankan perahu tadi.
“Tidak ada!” sahutnya singkat dengan nada kesal.
Sang Pat pun tahu kalau dia orang lagi lelah karenanya ia tidak bertanya lebih lanjut.

Lewat beberapa saat lamanya Tu Kiu tak bisa menahan rasa herannya lagi, dia
menghela napas panjang bergumam seorang diri.
“Aneh… aneh… apakah mereka sudah memasuki istana di bawah air.”
Dengan perlahan dia dongakkan kepalanya dan berkata, “Loo toa, apakah kau sudah
menduga dari mana asal usul kedua orang lelaki itu?”
“Heee… bukan saja aku tidak tahu akan asal usul mereka berdua sekalipun bagaimana
lihaynya kepandaian silat merekapun aku tidak bisa mengambil kesimpulan, dari cara
menghindarkan dari serangan “Hwee Ing Poh Toh” mu tadi aku lihat tapi dia memiliki
kepandaian yang amat tinggi tapi kalau memangnya begitu mana mungkin bisa terdesak
sehingga jatuh ke dalam air?”
Bicara sampai disitu mereka berduapun pada bungkam kembali selama beberapa tahun
mereka berdua melakukan perjalanan di dalam dunia kangouw walaupun dengan tidak
bisa dikatakan setiap urusan pasti berhasil sesuai dengan apa yang diinginkan tetapi
kejadian yang dialami hari ini benar-benar luar biasa sekali.
Perahu bergerak mengikuti aliran sungai beberapa kali nelayan tersebut melongoklongokan
kepalanya terakhir dengan memberanikan diri dia lantas maju bertanya,
“Saudara berdua mau menepi dimana?”
Dengan dinginnya Sang Pat mendengus, tangannya diayun menghajar permukaan
sungai.
Seketika permukaan sungai timbullah suatu gelombang yanga amat besar disusul
munculnya suatu pancaran air yang amat besar.
Melihat kejadian itu sipemilik perahu jadi amat terperanjat, buru-buru dia menarik
kembali kepalanya dan bungkam seribu bahasa.
Terdengar Sang Pat tiba-tiba tertawa panjang dengan amat nyaring. Suaranya laksana
pekikan naga menembus tengah awan, lama sekali dia menarik suara tertawanya.
“Loo jie!” serunya dengan wajah amat serius. “Merek emas yang telah kita pupuk
selama puluhan tahun ini tak disangka telah hancur di tangan dua orang manusia yang
tidak diketahui nama maupun asal usulnya.”
“Air sungai menggulung dengan begitu kerasnya ada kemungkinan mereka berdua
bersama-sama dengan Siauw Ling telah mati didasar sungai,” sambung Tu Kiu dengan
cepat.
“Heei… perduli Siauw Ling kini masih hidup ataupun mati, kita orang yang tidak berhasil
membawa dia kembali apakah masih ada muka untuk menemui Gak Siauw-cha?” kata
Sang Pat sembari menghela napas panjang.
“Urusan sudah amat terdesak, apakah kita tak dapat melakukan pekerjaan sesuai
dengan keadaan.”

“Apa? kau bicara apa?” bentak Sang Pat dengan keras matanya mendelik bulat-bulat.
“Apakah kita harus menghancurkan peraturan yang sudah kita buat sendiri selama
puluhan tahun ini?”
Biasanya dia selalu tersenyum, perduli sudah terjadi yang bagaimana besarnyapun
selamanya tidak pernah marah-marah, tetapi kini dia mirip dengan seorang yang lagi
kalap.
Wajahnya yang bulat tembem itu terlintas warna merah itu yang membawa sepasang
matanya mendelik lebar hatinya sedih terharu dan gemas.
“Lalu apa rencana Toako selanjutnya??” Buru-buru bisik Tu Kiu dengan suara perlahan.
Mendengar pertanyaan itu Sang Pat tertawa pahit.
“Selama puluhan tahun ini kita selalu mengutamakan janji dan selamanya
tidak pernah berubah tetapi kini kita tidak sanggup membawa Siauw Ling untuk
diserahkan kepada Gak Siauw-cha sudah tentu tidak punya muka lagi untuk memenuhi
dirinya demikian juga terhadap para jago serta enghiong di dalam dunia kangouw apalagi
untuk memaksa orang serahkan anak kunci Cing Kong Ci Yau?”
Tiong Cho Siang-ku yang selama di dalam dunia kangouw walaupun dimana saja
mereka telah berusaha untuk kepentingan diri sendiri tetapi selamanya belum pernah
ingkar janji setiap perkataan yang telah diucapkan selamanya tidak bakal berubah dan
para jago-jago Bulim kebanyakan sudah memahami akan sifat mereka yang tak pernah
melanggar janji ini. Asalkan perkataan yang diucapkan oleh Tiong Cho Siang-ku tidak
mungkin kena dibohongi.
Kedua orang itu dengan mengambil keuntungan ini mencari kesana dan kemari dengan
mendapatkan merek emas yang amat terkenal.
Kini Siauw Ling tenggelam di dalam sungai dan lenyap. Mati hidupnya tidak jelas hal ini
membuat Sang Pat tidak berhasil menepati janjinya dengan Gak Siauw-cha, dengan
kejadian yang amat memalukan dan menyinggung ini sudah tentu bagi Sang Pat tidak ada
muka lagi untuk terjunkan diri di dalam kangouw kembali.
Terdengar Tu Kiu menghela napas panjang.
“Heeei… urusan sudah jadi begini, lebih baik toako jangan terlalu menyalahkan diri
sendiri.”
Mendadak Sang Pat mendongakkan kepalanya, sepasang matanya yang bulat itu
memancarkan sinar tajam dan memandang wajah Tu Kiu tak berkedip.
“Loo jie!” sambungnya dengan cepat.
“Kita dua bersaudara sudah bekerja sama dan boleh dikata hubungan kita sudah sangat
akrab melebihi saudara sekandung. Tidak disangka nama besar serta kepercayaan yang
kita pupuk selama puluhan tahun ini sudah hancur di dalam sekejap saja, kini cayhe sudah
punya rencana bagi kehidupan selanjutnya dan aku tidak ingin memaksa kau ikut
bersama-sama aku menjalankan tindakan ini.”

“Toako bagaimana kau bocah bicara begitu!” seru Tu Kiu sangat terharu.
“Tiong Cho Siang-ku laksana timbangan dengan ukurannya. Toako! Silahkan kau orang
sebutkan jalan yang bagaimana kita harus tempuh, bilamana aku sebagai saudara
mengerutkan alisnya setelah mendengar perkataan itu malu aku bukanlah seorang lelaki
sejati!”
“Bagus sekali!” teriak Sang Pat kegirangan.
“Kini merek kita sudah rusak yang berarti kita sudah tidak punya muka untuk berkelana
kembali di dalam dunia kangouw, mulai saat ini juga di dalam Bulim tidak bakal ada nama
kita dua bersaudara lagi dan sejak kini pula kita tidak usah mengungkap kembali persoalan
yang menyangkut Gak Siauw-cha, aku mau pergi menyamar dan menyelidiki keadaan
Siauw Ling selanjutnya sehari tidak berhasil mendapatkan Siauw Ling maka sehari pula
nama Tiong Cho Siang-ku lenyap dari kalangan dunia persilatan.”
“Bilamana Siauw Ling sudah mati tenggelam?”
“Haaahh… haaahh. Berarti pula nama besar kita Tiong Cho Siang-ku akan ikut
tenggelam pula mengikuti tubuh Siauw Ling yang jatuh ke dalam air dan mengalir
mengikuti arus sungai,” jawab Sang Pat sambil tertawa terbahak-bahak.
Dengan perlahan Tu Kiu menghela napas panjang.
“Heeei. Bilamana Siauw ling masih hidup di dalam dunia berarti pula kita bersaudarapun
masih ada harapan untuk pulihkan kembali nama besar kita bukan?” serunya.
“Asalkan kita berhasil membawa Siauw Ling untuk diserahkan kepada Gak Siauw-cha
sehingga sudah memenuhi janji kita maka nama Tiong Cho Siang-ku pun baru bisa muncul
lagi di dalam dunia kangouw!”
“Baiklah!” sahut Tu Kiu kemudian sambil mengangguk.
“Bagaimanapun juga kita belum pernah berjanji waktu dengan Gak Siauw-cha entah itu
delapan tahun atau sepuluh tahun kemudian masih belum terhitung mengingkari janji!”
Sang Pat yang sudah berhasil mengambil ketetapan di dalam hatinya perasaan sedih
serta murung yang mencekam hatipun sudah jauh berkurang.
“Rapatkan perahu kepantai!” serunya kemudian sambil menyapu sekejap ke arah
pengemudi tersebut.
Sang pengemudi perahu yang semula sudah dapat melihat kelihayan dari ilmu silat
mereka berdua saat ini sama sekali tidak berani mengucapkan sepatah katapun. Walaupun
di dalam hati mengerti kalau di tempat tersebut bukan merupakan pelabuhan yang bisa
dirapati perahu apalagi tempatnya sangat berbahaya tetapi dengan paksaan diri dia
menjalankan juga perahunya untuk menepi.
Agaknya Sang Pat sudah keburu hendak naik kedarat, maka sewaktu perahunya berada
kurang lebih dua kaki dari tepi pantai mendadak dia sudah enjotkan badannya laksana
seekor burung raksasa dengan cepatnya melayang keatas darat.

Tu Kiu yang begitu melihat tindakan dari toakonya itu dari dalam saku dia lalu
mengambil keluar sekeping emas yang dilemparkan keatas geladak lalu dengan
kencangnya mengikuti dari belakang Sang Pat meloncat keatas daratan.
Daratan yang disinggahi mereka saat ini adalah sebuah tempat yang amat sunyi dan
gersang, batuan cadas tersebar memenuhi permukaan tanah di samping tanah berpasir
yang amat luas, beberapa li jauhnya dari tempat itu tak tampak sebuah dusunpun.
Tiga batang pohon Liuw yang tua dan tinggi besar tumbuh menjadi satu di samping
tepi sungai.
Dengan termangu-mangu Sang Pat memperhatikan sekejap ketiga batang pohon Liuw
itu, lalu dengan perlahan dia berjalan mendekat sambil mengerahkan tenaga dalamnya ia
mulai mengukir beberapa kata di atas batang pohon tersebut dengan menggunakan
kekuatan jarinya.
“Jan Hua tahun kesebelas bulan dua belas tanggal dua, Siauw Ling jatuh di dalam
sungai sekitar tempat ini. Tertanda Tiong Cho Siang-ku.”
Walaupun Sang Pat ini mempunyai pikiran yang cerdas dan akal yang licik tetapi dia
tidak banyak membaca buku, maka setelah menulis perkataan tersebut di dalam hatinya
merasa amat puas sekali sehingga tak kuasa lagi dia tertawa terbahak-bahak.
************http://ecersildejavu.wordpress.com/***************
“Haa… haa… tulisan ini anggap saja tanggung jawab kita dua bersaudara terhadap Gak
Siauw-cha dan membuat pula sebuah teka-teki membingungkan buat para kawan-kawan
Bulim yang bermaksud untuk mendapatkan anak kunci Cing Kong Ci Yau,” katanya.
“Tidak salah!” sambung Tu Kiu sembari mengangguk.
“Kitapun harus mencari kawan yang lebih banyak lagi untuk bantu kita dua bersaudara
mencari jejak serta berita mati hidupnya dari bocah itu.”
Dengan termangu-mangu Sang Pat dongakkan kepalanya memandang sang surya yang
mulai tenggelam diufuk barat, mendadak dia bersuit nyaring dan putar badan berlalu dari
tempat itu.
Kini balik pada Siauw Ling yang kena terpukul oleh angin pukulan yang dihasilkan oleh
Sang Pat sehingga ia terjatuh ke dalam sungai.
Bocah itu hanya merasakan badannya mendadak jadi amat dingin dan tenggelam terus
kedasar sungai. Hatinya benar-benar amat cemas sekali.
“Aduuh… celaka!” teriaknya diam-diam.
Walaupun badannya sangat lemah tetapi hatinya keras dan mempunyai ketetapan yang
teguh maka di dalam keadaan kritis yang mempengaruhi mati hidupnya ini dia tidak
bingung. Buru-buru pernapasannya ditutup dan sambil mengikuti aliran air sungai yang
menggulung tiada hentinya ia sebentar tenggelam sebentar muncul kembali mengalir terus
ke depan.

Lama kelamaan diapun mulai merasakan napasnya jadi sesak, dadanya terasa amat
panas, hatinya mulai bingung apa yang harus diperbuat waktu itu??
Mendadak tubuhnya terasa disambar oleh seseorang disusul sebuah tabung bambu
yang dimasukkan ke dalam mulutnya.
Siauw Ling yang sedang kehabisan napas itu dengan cepat melepaskan
kesumpakannya tersebut melalui tabung bambu itu, iapun merasakan tubuhnya mulai
diseret seorang untuk berenang ke arah depan.
Berenang di dalam air sungai yang berombak besar membuat bocah itu tak kuasa untuk
membuka matanya dan dengan demikian diapun tidak mengetahui tindakan orang
tersebut. Tetapi yang jelas kini napasnya tidak sesak lagi karena dia dapat bernapas
melalui tabung bambu yang ada dimulutnya itu.
Tiong Cho Siang-ku walaupun sudah lama sekali berkelana di dalam dunia kangouw
dan pengetahuannyapun amat luas tetapi mereka berdua yang tidak mengerti akan ilmu di
dalam air sudah tentu tidak pernah berpikir juga kalau orang masih bisa menggunakan
tabung bambu untuk bernapas di dalam air sehingga nyawa Siauw Ling bisa dipertahankan
lebih lanjut.
Air sungai mengalir dengan ombak yang besar sedang tabung bambu itu amat kecil
sekali bentuknya, walaupun berada di atas permukaan air tetapi sulit sekali untuk bisa
dilihat dengan jelas.
Siauw Ling yang tubuhnya kena dirangkul oleh seseorang berendam terus di bawah
permukaan air entah lewat beberapa saat lamanya bocah itu hanya merasakan badannya
semakin lama terasa semakin dingin, tangan kakinya mulai jadi kaku sehingga se4waktu
muncul kembali dipermukaan air seluruh tubuhnya sudah tak bisa berkutik kembali.
Tetapi kesadarannya masih penuh, dia hanya merasa badannya dibaringkan disebuah
pembaringan dan pakaiannya yang basah itupun dilepaskan lalu badannya ditutupi dengan
selimut yang amat tebal untuk memulihkan kembali kehangatan tubuhnya.
Matanya dengan perlahan menyapu sekejap sekeliling tempat itu, tampaklah saat
ruangan perahu yang kecil, cuaca sudah amat gelap sedang di dalam ruangan perahu
hanya diterangi dengan sebuah lilin yang kecil.
Seorang kakek tua yang memakai pakaian rumput dengan usia lima puluhan tahun dan
memelihara jenggot kambing sedang duduk minum arak dan seorang lelaki memakai
pakaian hitam pekat.
Sayur dari mereka itu sangat sederhana sekali. Sepiring ikan asap, sepiring kacang
goreng dan sepoci arak.
Siauw Ling yang melihat sikap serta tindak tanduk dari mereka berdua amat dingin
pikirannya mulai berputar.
“Hmm, kelihatannya kedua orang inipun bukan manusia baik-baik. Ada delapan bagian
mereka pasti lagi mencari anak kunci Cing Kong Ci Yau tersebut!”

Berpikir akan hal itu dia lantas melengos tidak suka melihat lebih lanjut.
Kedua orang itupun tidak terlalu banyak berbicara dengan diri Siauw Ling, sehabis
bersantap merekapun mulai menjalankan perahunya.
Ombak menggulung dengan besarnya diselingi dengan suara angin yang bertiup
menderu-deru diantara suara percikan air yang amat ramai itu dengan perlahan perahu itu
mulai bergerak ke arah depan.
Tubuh Siauw Ling yang memangnya sudah lemah apalagi sudah berendam beberapa
jam lamanya di dalam air saat ini merasa amat lelah sekali, tanpa terasa dia sudah jatuh
pulas dengan nyenyaknya sehingga sang surya muncul kembali menerangi seluruh jagat.
Sikakek tua memakai pakaian rumput itu tampak berjalan masuk dengan membawa
semangkuk nasi dan sayur, dia memandang sekejap ke arah bocah itu, lalu meletakkan
sayur dan nasi di atas meja dan putar badannya berjalan keluar dari ruangan.
Sejak tadi Siauw Ling sudah merasa amat lapar tanpa memperduli lagi suasana
disekitarnya dia sudah bangun dan menyikat habis santapan tersebut.
Itu hari mereka berdua hanya masuk sekali saja ke dalam ruangan untuk menengok diri
Siauw Ling tetapi selama ini tak sepatah katapun yang diucapkan keluar.
Haripun dengan perlahan menggelap kembali diudara penuh tersebar berjuta-juta
bintang, sang rembulan memancarkan sinarnya remang-remang di tengah angkasa.
Pada saat itulah tiba-tiba tampil si lelaki kasar tua berjalan dan masuk ke dalam
ruangan perahu.
“Ayolah mendarat!” serunya singkat.
Tanpa menanti jawaban dari Siauw Ling lagi dia sudah menyambar tubuhnya untuk
digendong dan meloncat dari dalam perahu.
Dengan meminjam cahaya rembulan yang remang-remang tampaklah orang itu dengan
amat gesitnya meloncat dan merangkak menaiki sebuah tebing yang amat terjal dan
curam dengan dibawahnya terbantang sungai berombak besar.
“Aaah… habis sudah” pikir Siauw Ling diam-diam. “Dia mau mengirim aku keatas
puncak gunung yang demikian curam sudah mempunyai suatu maksud tertentu.”
Gerakan dari orang itu benar-benar amat cepat sekali, hanya di dalam sepertanakan
nasi lamanya dia telah berhasil mendekati puncak tersebut, mendadak tubuhnya meloncat
kekiri lalu menikung kekanan dan berjalan masuk ke dalam sebuah gua itu yang amat
gelap.
Sejak dahulu Siauw Ling sudah tidak pikirkan keselamatan serta mati hidupnya,
walaupun dua merasa dirinya tetap tenang sedikitpun tidak gugup.
Terasa orang itu berlari semakin lama semakin cepat, dan sebentar menikung kekiri
sebentar membelok kekanan beberapa saat kemudian dia baru berhenti dan mendorong
sesuatu ke depan.

“Kraaak…!” pandangannya mendadak jadi amat terang.
Waktu itulah lelaki tersebut baru turunkan diri Siauw Ling keatas tanah, sambil
membereskan pakaiannya.
Dengan sinar mata yang tajam Siauw Ling mulai menyapu dan memandang sekejap ke
arah sekeliling tempat itu, tampaklah di dalam ruangan batu yang luas itu hanya ada dua
buah kamar saja dan sebuah lampu lentera tergantung di atas dinding-dinding ruangan itu
bercahaya laksana pualam dan di dalam ruangan tersebut kecuali sebuah kursi kayu benda
apapun tidak kelihatan.
Dalam hati dia jadi keheranan pikirnya, “Apa maksud orang ini membawa aku datang
kemari??”
Sewaktu dia lagi termenung itulah mendadak terdengar suara mendehem, dan dari
ujung ruangan batu itu terbuka sebuah pintu dan berjalan masuk seseorang pemuda
berbaju hijau.
Melihat munculnya sipemuda berbaju hijau itu buru-buru lelaki berbaju hitam itu
bungkukkan badannya menjura.
“Hamba memenuhi perintah dari kongcu dan membawa bocah ini datang kemari!”
ujarnya.
Pemuda berbaju hijau itu segera mengulapkan tangannya, lelaki itupun lantas
mengundurkan diri dan menutup kembali pintu batu tersebut.
Saat ini di dalam ruangan cuma tinggal Siauw Ling serta pemuda berbaju hijau itu dan
tampaklah pemuda tersebut menggape dan berseru dengan suara perlahan.
“Saudara cilik jangan takut.”
“Aku tidak takut” sahut Siauw Ling sambil busungkan dadanya.
Pemuda berbaju hijau itu agak dibuat melengak sejenak lalu dia tertawa tawar.
“Nyalimu sungguh amat besar, ayahku sengaja mengundang kau datang kemari tidak
lebih hanya hendak menanyakan suatu urusan dengan dirimu. Asalkan kau suka
menjawab dengan sejujurnya kami tidak akan mengganggu dirimu,” katanya.
“Kalau begitu kau boleh mulai bertanya!”
“Saudara cilik silahkan ikuti aku!” ujar pemuda berbaju hijau itu sambil menggape.
Siauw Ling dengan mengikuti pemuda itu lantas berjalan melewati pintu batu itu.
Ruangan yang ada dibalik pintu ini jauh lebih besar beberapa kali lipat dari ruangan
depan. Didekat dinding batu tampaklah sebuah pembaringan yang beralaskan kulit macan,
di atas pembaringan berbaring seorang tua yang badannya ditutupi selimut tebal,
kelihatannya dia sedang menderita sakit.

“Ayah…” panggil pemuda berbaju hijau itu sambil berjalan mendekat pembaringan.
Si orang tua yang berbaring di atas pembaringan kayu itu tampak menghembuskan
napas panjang, dengan perlahan putar badannya.
“Bimbing aku bangun!” pintanya.
Pemuda berbaju hijau itupun segera membantu si orang tua itu duduk dan menarik
selimut untuk menutupi badannya.
Dengan pandangan yang tajam Siauw Ling memperhatikan orang itu, terlihatlah orang
tua itu amat kurus sekali hanya tinggal kulit pembungkus tulang saja tetapi perawakannya
amat kasar dan besar tentunya sebelum sakit badannya amat kekar sekali.
Sinar mata si orang tua yang amat tajam itu dengan terpesonanya memperhatikan diri
Siauw Ling lalu tanyanya dengan suara yang serak, “Bocah! Apa kau kenal dengan Gak Im
Kauw?”
Mendengar perkataan tersebut Siauw Ling jadi ragu-ragu pikirnya, “Apa maksudnya
mengungkap bibi Im secara tiba-tiba?”
Walaupun dalam hati merasa ragu-ragu akhirnya ia menjawab juga dengan lantang.
“Sudah tentu aku kenal, karena dia adalah bibiku!”
“Siapakah namamu??” tanya si orang tua kurus itu lagi sambil mengerutkan alisnya.
“Aku bernama Siauw Ling.”
“Berita di dalam dunia kangouw yang mengatakan bahwa Gak Im Kauw telah
memperoleh anak kunci pembuka istana terlarang apakah hal ini sungguh-sungguh
terjadi??”
“Sudah tentu sungguh-sungguh.”
Jawaban yang diucapkan secara terus terang dan lantang ini benar berada diluar
dugaan sikakek tua berbadan kurus itu, diapun jadi melengak dibuatnya.
“Setelah memperoleh anak kunci Cing Kong Ci Yau berarti pula dia telah menjadi
musuh dari seluruh jagoan kolong langit, lalu dimanakah sekarang dia berada?” tanyanya
lagi.
“Mati…” jawab Siauw Ling sambil menghela napas sedih.
“Apa? dia sungguh-sungguh sudah mati? Berita yang tersiar di dalam Bulim apakah
sungguh-sungguh?” teriak si orang tua itu dengan paras berubah hebat.
“Benar! tetapi sekalipun bibi Im sudah mati tetapi wajahnya masih bagus seperti sedia
kala kecuali dia tidak bisa bicara dan bergerak lainnya mirip sekali sewaktu ia masih
hidup.”

Agaknya perasaan hati si orang tua kurus itu benar-benar sudah terkena pukulan yang
amat berat. Air mata mengucur keluar membasahi kedua pipinya kelihatan dia orang amat
sedih sekali.
“Bocah! Apakah Gak Im Kauw mempunyai seorang puteri??” tanyanya lagi dengan
suara perlahan.
“Ada dia seorang nona yang cantik.”
Dengan perlahan si orang tua itu mengangguk.
“Bocah sekarang kau harus beristirahat!” serunya itu kemudian sambil ulapkan
tangannya. “Keadaan di dalam dunia kangouw sangat berbahaya buat dirimu, karena para
jago mulai memasang jebakkan untuk mencari jejakmu tetapi di tempat ini kau boleh
bermain dengan senang hati lega mereka tidak bakal berani mencari gara-gara kemari!”
Dalam hati kecil Siauw Ling pada saat ini benar-benar diliputi banyak persoalan yang
mencurigakan sewaktu dia bermaksud hendak bertanya itulah mendadak pemuda berbaju
hijau itu sudah menarik pergelangan tangan kanan Siauw Ling dan mengajaknya berlalu
dari sana.
“Saudara cilik, mari aku hantarkan kau untuk beristirahat!” serunya.
Tidak menanti jawaban itu dari Siauw Ling dia lantas menarik tubuhnya berlalu dari
ruangan batu itu.
Gua rahasia di dalam lambung gunung ini separuh bagian adalah penjelmaan alam dan
sebagian lagi terbuat oleh tangan manusia. Dimana saja tampaklah ruangan-ruangan batu
yang tertutup dan terbuka.
Pemuda berbaju hijau itu membawa Siauw Ling berjalan mengelilingi beberapa buah
tikungan dan akhirnya sambil menuding ke arah sebuah ruangan batu, ujarnya, “Kamar
baru itu adalah tempatmu untuk beristirahat kau masuklah untuk melihat-lihat bilamana
ada urusan beritahu saja nanti orang yang datang sendiri untuk melayani!”
Agaknya pemuda berbaju hijau itu menaruh rasa benci dan mual terhadap diri Siauw
Ling tidak menanti jawaban dari bocah itu lagi dia sudah lantas putar badan dan berlalu
dari sana.
Sesampainya di depan pintu ruangan mendadak dia menghentikan kemabli langkahnya
dan menoleh ke belakang.
“Hey bocah cilik!” serunya memberi peringatan. “Lebih baik kau belajar tenang saja dan
janganlah sembarangan lari kemana-mana sehingga tidak sampai mendatang bencana
kematian buat dirimu sendiri.”
“Urusan apa?”
“Sekalipun aku beritahukan kepadamu kaupun tidak bakal paham. Asalkan kau ingatingat
saja kecuali benda yang di dalam ruanganmu ini perduli sudah melihat benda yang
bagaimana aneh dan kukoaynya jangan sekali-kali coba untuk memegang dan mencawil,
cukup itu saja kau harus perhatikan!”

Selesai berkata dia lantas putar badan dan berlalu dengan tergesa-gesa.
Dengan pandangannya termangu-mangu Siauw Ling memperhatikan bayangan
punggung pemuda itu yang mulai lenyap dari pandangan, dalam hati kecilnya timbullah
perasaan untuk melanggar, pikirnya, “Justru kau tidak boleh aku orang lihat, sengaja aku
mau pergi kemanapun untuk melihat-lihat.”
Sifatnya yang keras dan kepala batu itu membuat dia orang segera bertindak setelah
berpikir dengan perlahan dia meninggalkan ruangan batu itu dan berjalan ke dalam
melalui lorong yang ada.
Walaupun di dalam lambung gunung itu terdapat banyak ruangan maupun loronglorong
batu tetapi boleh dikata ruangan utamalah yang paling luas. Dengan langkah yang
perlahan Siauw Ling berjalan masuk kedalam, entah sudah lewat beberapa saat lamanya
dan tak tahu pula sudah melewati berapa banyak ruangan mendadak terdengar suara air
terjun yang amat dahsyat dan memekikkan telinga berkumandang datang.
Siauw Ling jadi keheranan, pikirnya, “Di dalam gua batu ini dari mana datangnya air
terjun yang demikian dahsyat?”
Dengan cepat dia pusatkan seluruh perhatiannya untuk mendengar, semakin didengar
semakin jelas agaknya dentuman air terjun tersebut muncul dari suatu tempat yang tak
jauh dihadapannya.
Waktu itulah Siauw Ling baru mulai merasakan kalau di dalam gua batu di tengah
lambung gunung ini mengandung kemisteriusan, agaknya di dalam setiap pintu itu yang
tertutup rapat tergantung suatu benda yang amat aneh, dan penuh kemisteriusan.
Pada saat dia lagi berpikir dan melamunkan akan hal-hal itulah sudah mencapai pada
ujung dari ruangan batu itu dan suara air terjun itupun kedengaran lebih jelas lagi
berkumandang keluar deari balik dinding batu tersebut.
Dengan perlahan bocah itu meraba dinding batu yang penuh ditumbuhi dengan lumut.
Bukan saja tempat itu tak pernah kedatangan manusia bahkan sangat lembab dan basah
sekali.
Mendadak tangannya terbentur dengan sebuah tonjolan batu yang berbentuk aneh
sedikit dia gunakan tenaga batu tersebut ternyata berputar dengan amat mudahnya.
Dalam hati Siauw Ling jadi kaget bercampur heran, tak terasa lagi tangannya
memutarnya semakin keras lagi.
“Kraaaak… kraaak…” dengan diiringi suara gesekan yang berat dan nyarinmg seluruh
dinding batu itu mulai bergoyang dan bergerak kesamping.
Dengan hati sangat terperanjat Siauw Ling buru-buru meloncat ke arah belakang.
Tiba-tiba serentetan cahaya terang menembus masuk kedalam, percikan air membasahi
wajahnya dari dinding dihadapannya muncullah sebuah pintu yang amat besar.

Siauw Ling sama sekali tidak menyangka kalau tonjolan batu yang berbentuk aneh itu
ternyata bukan lain adalah tombol untuk menggerakkan pintu rahasia tersebut.
Dibalik pintu yang terbuka lebar itu tampaklah sebuah air terjun yang amat besar dan
deras muncullah dihadapannya, seluruh pintu batu itu terbungkus oleh cahaya serta
percikan air terjun yang mana dahsyat sehingga kelihatan amat seram dan mengagumkan.
Lama kelamaan dari rasa tertarik bocah itu jadi kepingin tahu lebih jauh, maka dengan
hati rada berdebar-debar dia mulai berjalan maju ke depan.
Pintu batu itu luasnya kurang lebih hanya tiga depa, dan sambil bercekelan dinding
batu itu Siauw Ling melengok ke arah bawah.
Tampaklah sebuah tebing yang amat curam terbentang di samping pintu dengan
sebuah jurang yang tak kelihatan dasarnya menghiasi pandangan mata.
Air terjun itu terurai dari puncak kedasar jurang dengan daya luncur air yang amat
mengejutkan.
Di tempat itu kecuali disoroti dengan sedikit cahaya sang surya yang berhasil
menembus curahan air terjun itu yang tampak hanyalah kabut nan tebal serta percikan air
yang sangat dingin.
Siauw Ling benar-benar dibuat terpesona melihat pemandangan alam yang begitu
indahnya, diam-diam dalam hati berpikir, “Melakukan perjalanan selaksa li jauh lebih
mengagumkan daripada membaca selaksa jilid kitab perkataan ini benar-benar tidak salah,
tempat yang demikian curam dan berbahayanya ini tidak bakal bisa aku temui di dalam
kitab.”
Selagi bocah itu berdiri termangu-mangu itulah mendadak terdengar suara tertawa
yang amat seram berkumandang datang dari belakang tubuhnya.
“Heee… heee, kini kau sendiri yang mencari jalan mati…”
Belum sempat Siauw Ling menoleh untuk melihat dengan jelas siapakah orang yang
baru saja memperdengarkan suara itu, tahu-tahu badannya sudah kena didorong oleh
suatu tenaga pukulan yang maha dahsyat.
Tak kuasa lagi tubuhnya menerjang keluar pintu dan terjerumus ke dalam jurang yang
dalamnya selaksa kaki dengan dasar yang amat runcing itu.
Penggunaan tenaga dorongan itu amat tepat sekali, dia cuma mendorong tubuh Siauw
Ling keluar dari gua yang lalu merosot ke bawah dengan menempel pada dinding batu.
Air terjun dengan derasnya memecah didasar jurang dengan memercikkan kabut air
yang tebal, seluruh dinding batu diliputi oleh kelembapan dengan lumut tumbuh setebal
beberapa coen yang menambah licinnya dinding itu, jangan dikata Siauw Ling sebagai
seorang bocah cilik yang tidak mengerti akan ilmu silat, sekalipun yang memiliki
kepandaian silat yang amat lihaypun jangan harap bisa menahan dirinya dari luncuran
dengan menempel pada dinding batu yang berlumut itu.

Diam-diam Siauw Ling menghela napas panjang dengan hati yang amat sedih, pikirnya,
“Aaaah… habis sudah aku kali ini jurang yang begitu dalamnya akan menjadi tempat
kuburku untuk selamanya.”
Sejak kecil dia sudah menderita sakit yang amat aneh dan terhadap kematian selama
ini sama sekali tidak takut ditambah lagi dnegan pengalamannya selama beberapa hari ini
membuat dia orang memandang terlalu tawar terhadap soal kematian walaupun dalam
hati dia tahu kalau tubuhnya akan hancur setibanya didasar jurang tetapi dia sama sekali
tidak jadi jeri.
Setiap orang yang berada diambang kematian pastilah timbul kekuatan untuk mencari
keselamatan, walaupun Siauw Ling tahu kalau tindakannya ini bakal sia-sia belaka tetapi
sepasang tangannya tetap mencengkeram tiada hentinya.
Mendadak dia merasa ada sesuatu benda yang amat halus dan lunak menyangkut
badannya, cuma sayang benda tersbut tidak kuat untuk menahan terjangan badannya,
maka begitu terkena terjangannya benda tersbut patah dan ikut terjatuh ke dalam jurang.
Demikianlah berturut-turut badannya menyangkut dengan benda-benda yang lunak dan
halus itu sehingga pada patah dan jatuh ke dalam jurang tetapi dengan kejadian itupun
sudah membantu untuk mengerem daya luncur badannya yang sedang melayang ke
bawah itu.
Tiba-tiba badannya yang meluncur ke bawah itu tersentak dan membentur sesuatu,
kakinya terasa membentur pada sebuah benda yang amat berat sehingga tidak kuasa
sudah memantang dan berhentilah meluncur agaknya kini dia sudah terjatuh di atas
sebuah batuan yang amat dingin sekali.
Lama sekali Siauw Ling berdiam diri dengan pandangan mendelong, kemudian dengan
telitinya ia memperhatikan keadaan di sekeliling tempat itu.
Tampaklah tubuhnya pada saat ini sudah berada di atas sebuah tanah batuan yang
menonjol keluar dari dinding tebing, batu tersebut berada ditengah-tengah antara puncak
tebing dengan dasar jurang yang amat dalam itu, besarnya laksana sebuah mangkuk
dengan panjang tidak sampai tiga depa.
Di sekeliling batu itu tumbuh sejenis jamur berwarna putih yang amat banyak sekali,
jamur itu tingginya hanya kurang lebih tiga coen dengan tangkainya berwarna merah
tawar, bentuknya mirip dengan payung dan besarnya ada setelapak, batunyapun sangat
harum sekali.
Atas adalah tebing setinggi ribuan kaki dan bawah adalah jurang yang dalamnya
sampai kelihatan dasarnya, kecuali tumbuh jamur yang berwarna putih keperak-perakan
itu seluruh permukaan tebing hanyalah dipenuhi dengan lumut hijau yang amat tebal.
Tempat itu benar-benar merupakan suatu tempat yang ganjil atas tak terlihat langit
bawah tak terlihat tanah, sehingga merupakan suatu tempat yang sangat berbahaya
sekali.
Terjunlah air dari atas puncak mencapai daya terjuann yang amat luas di sekeliling itu,
sehingga kurang lebih ada satu kaki enam tujuh depa di sekeliling tempat tersebut sudah

dipenuhi dengan kabut air yang amat tebal, hanya di dalam sekejap itu saja seluruh tubuh
bocah itu sudah basah kuyup.
Dengan perlahanpun rasa terperanjat yang memenuhi hati Siauw Ling kini mulai lenyap
berganti dengan rasa keheranan pikirnya, “Aneh sekali! tebing ini mencapai luas ratusan
kaki kenapa di tempat lain tidak tampak tumbuhan apapun kecuali disekitar tempat ini saja
yang ada tumbuhan jamur putih itu?”
Kiranya tumbuhan jamur putih dengan tangkai merah itu hanya tumbuh diderah sekitar
tiga empat kaki dari tonjolan batu cadas itu.
Tangannya mulai meraba tanah didinding itu, dia merasa tempat itu sangat gembur
dan basah, hatinya jadi lantas jadi paham kembali.
“Aaah…! Benar tanah di sekeliling tebing sini pastilah amat subur sekali sehingga
jamur-jamur itu hanya tumbuh di sekeliling ini saja!” pikirnya.
Rasa heran yang semula mencekam hatipun dengan cepat ikut tersapu lenyap.
Cuacapun dengan perlahan mulai menggelap karena sang surya dibalik puncak yang
sangat tinggi itu.
Kini suasana jadi gelap, perutpun mulai keroncongan pikirnya dihati, “Tempat ini
tampak burung maupun binatang, dimalam hari tentulah sangat sunyi. Kelihatannya aku
orang tidak terbanting mati didasar jurang tapi harus menemui kematian karena kelaparan
dan kedinginan.”
Saking laparnya akhirnya ia tidak kuat lagi untuk mempertahankan dirinya, tangannya
mulai memetik jamur-jamur putih yang tumbuh disekitar tempat itu lalu dimasukkan
kemulutnya.
Setelah masuk ke dalam mulut terasa suatu rasa manis dan harum yang benar-benar
menusuk hidung tersebar keluar, jamur putih itu benar-benar sangat enak sekali.
Hanya di dalam sekejap saja Siauw Ling sudah menghabiskan tujuh delapan batang
sampai perutnya terasa sangat kenyang dia baru berhenti mengunyah dan mulai berpikir
kembali.
Soal makan untuk sementara waktu masih bisa di atas dengan jamur-jamur putih yang
bisa diambil dengan menggunakan tangan dan paling lama masih bisa bertahan dua tiga
hari lagi, tetapi bagaimana aku harus melawan rasa dingin dimalam hari dan cara
bagaimana pula untuk meninggalkan tempat ini!”
Bocah ini sama sekali tidak memikirkan siapakah orang yang sudah mendorong dirinya
sampai terjatuh ke dalam jurang, kepada diapun dalam hatinya tidak menaruh rasa
dendam yang dipikirkan waktu ini hanyalah dengan cara bagaimana bisa meninggalkan
tempat tersebut.
Malam yang dingin akhirnya menjelang tiba juga, kecuali suara air terjun yang bergema
memekikkan telinga hanyalah suara angin malam yang menderu-deru mengawani Siauw
Ling dimalam yang sunyi itu.

Keadaan yang sangat seram ini boleh dikata tak mungkin bisa diubah lagi dengan
kekuatan Siauw Ling, agaknya kecuali bila dia harus menemui kematian dengan meloncat
ke bawah dasar jurang hanyalah merasakan penderitaan sebelum menjelang kematiannya
di atas batu tersebut.
Sambil bersandar pada dinding bocah itu memejamkan matanya dan berlatih tenaga
dalam sesuai cara yang diajarkan Gak Im Kauw kepadanya, dia berharap dengan latihan
tersebut rasa dingin yang mencekam badannya itu bisa tertahan.
Suatu peristiwa ternyata berlangsung diluar dugaannya. Waktu itu dia tidak merasa
begitu dingin dan malam yang panjang itupun berlalu dengan cepatnya.
Haripun menjadi terang kembali, sinar keemas-emasan dari sang surya memancarkan
cahaya terang menerangi puncak tebing.
Kalau lapar Siauw Ling lantas memetik beberapa batang jamur untuk dimakan, setelah
itu menanti kembali munculnya malam berikut.
Demikianlah dengan menempuh penghidupan yang serba susah payah tiga hari sudah
berlalu dengan cepatnya.
Hari itu kembali Siauw Ling merasa sangat lapar sedang jamur putih yang ada di
sekelilingnya sudah termakan habis, walaupun di tempat yang lebih jauh masih amat
banyak tetapi tak terambil olehnya.
Di dalam keadaan yang amat terdesak itulah bocah tersebut mulai mencari akal untuk
menyambung hidup, maka dialah yang melepaskan pakaiannya untuk dibentuk tali dan
diikat diujung baju tersebut sedang ujung yang lain diikat pada pinggangnya.
Dengan menggunakan cara itulah dia meluncur ke bawah untuk mengambil beberapa
batang jamur untuk seterusnya naik kembali ke tempat semula.
Beberapa hari kembali lewat dengan cepatnya, jamur-jamur putih yang ada di bawah
tebing kembali habis dimakan sedang jamur-jamur yang tumbuh subur disebelah atas dan
samping kiri kanan tak tercapai olehnya, waktu itulah hatinya mulai cemas dan bingung.
Bilamana dihitung dengan jari maka bocah itu sudah berdiam selama sepuluh hari
sepuluh malam di tengah tonjolan batu yang tidak melihat langit dan melihat tanah itu.
Hari itu mendadak cuaca berubah hebat angin bertiup kencang diselingi hujan badai
yang amat dahsyat, petir menyambar tiada hentinya disertai suara halilintar yang
membelah bumi.
Walaupun selama beberapa hari ini Siauw Ling sama sekali tidak bersantap sehingga
perutnya terasa amat lapar tapi semangatnya masih tetap gagah, pakaian sebelah ataspun
sudah disobek untuk dibuat tali maka sekalipun kini berada dalam keadaan setengah
telanjang bocah itu sama sekali tidak merasa kedinginan.
Hujan badai yang disertai dengan tiupan angin kencang itu berlangsung selama emapt
lima jam lamanya, walaupun hanya beberapa jam tetapi bagi Siauw Ling yang merasakan
penderitaan itu, bagaikan selama beberapa tahun lamanya.

Hujan badai itu datangnya cepat perginyapun dalam sekejap hanya di dalam beberapa
saat saja angin berhenti, hujannyapun reda sinar sang surya mulai menampakkan dirinya
kembali.
Kembali perutnya mulai merasa sangat lapar, jamurpun tak berhasil didapatkan dan
sewaktu Siauw Ling berada di dalam keadaan serba bingung itulah mendadak tampak
sesosok bayangan dengan cepatnya menerjang datang.
Belum sempat bocah itu melihat dengan jelas tahu-tahu bayangan hitam itu sudah
melayang turun di atas batu cadas tersebut.
Walaupun bayangan hitam itu berhasil meluncur keatas batu tersebut tetapi badannya
bergoyang amat keras seperti mau jatuh dengan sebatnya Siauw Ling menyambar
bayangan tersebut dan ditariknya kencang-kencang.
Kiranya bayangan tersebut bukan lain adalah seekor burung yang amat besar.
Setelah memperoleh bantuan dari Siauw Ling burung itupun baru menutup sayapnya
dan berdiri tegak di atas batu itu.
Burung itu besarnya mencapai dada, dan bilamana mendogakkan kepalanya jauh lebih
tinggi dari dirinya. Siauw Ling yang sejak kecil sudah memperoleh pengetahuan campuran
yang amat luas sekali pandangannya lanatas sudah tahu kalau burung itu tentunya burung
rajawali seperti yang dikatakan dalam kitab, hatinya jadi amat girang.
“Aaah… bilamana aku tidak terkurung disini mana mungkin bisa melihat burung sebesar
ini,” pikirnya.
Pada waktu itulah dia menemukan kalau burung itu sedang memejamkan mata
menundukkan kepala, agaknya sedang menderita suatu penyakit.
Siauw Ling jadi keheranan terburu-buru dia menarik burung itu lebih mendekat lagi.
Tiba-tiba jamur putih yang dicekal ditangannya disambar oleh burung tersebut lalu ditelan.
Melihat akan hal itu timbullah rasa kasihan dihati Siauw Ling, pikirnya diam-diam,
“Ooouw… kiranya burung rajawali ini sedang lapar!”
Buru-buru dia mengambil lagi beberapa batang jamur yang baru saja dipetik itu untuk
dijejalkan ke dalam mulutnya.
Burung rajawali itu sesudah menghaboskan enam tujuh batang jamur putih itu
semangatnyapun berkobar kembali suara pekikkan memecahkan kesunyian menembus ke
tengah angkasa membuat Siauw Ling merasakan telinganya tergetar.
Diam-diam bocah itu jadi amat terperanjat kembali pikirnya, “Tidak disangka jamur
putih itu sungguh mujarab sekali. Burung raksasa yang tadi kelihatan mau mati setelah
menelan beberapa batang jamur semangatnya pulih kembali.”
Pikirannya yang cerdikpun segera bisa memecahkan kembali berbagai persoalan yang
selama ini mencekam hatinya. Tidak aneh kalau selama ini badannya tidak terasa
kedinginan maupun lelah, kiranya jamur putih tersebut sangat berkasiat untuk badan.

Setelah semangatnya pulih kembali burung rajawali itupun mulai mengibas-ibaskan
sayapnya siap terbang pergi.
Mendadak Siauw Ling merasakan hatinya rada tergetar.
“Burung ini setelah pergi dari sini entah kapan lagi baru kembali?? inilah kesempatan
yang baik bagiku untuk meloloskan diri dari sini, aku harus meminjam burung tersebut
untuk meninggalkan tempat itu!”
Berpikir akan hal tersebut hatinya jadi mantap, serunya dengan cepat, “Kakak rajawali,
kakak rajawali, tolong aku meninggalkan tempat ini.”
Tangan kanannya melepaskan kain yang mengikat di atas batu tebing itu sedang
badannya naik keatas punggung burung tersebut.
Diantara suara pekikan yang nyaring burung rajawali itu mulai mementangkan
sayapnya dan melayang ke tengah angkasa melewati air terjun tersebut menuju ke tengah
udara.
Siauw Ling yang ada di atas punggung rajawali itu hanya merasakan angin menderuderu
di samping telinganya dalam hati dia jadi terperanjat sedang sepasang tangannya
merangkul leher burung tersebut lebih kencang lagi.
Walaupun angin yang ditimbulkan oleh kebasan sayapnya amat menyeramkan tetapi
terbang burung tersebut amat mantap. Lama kelamaan Siauw Ling mulai berani lagi
matanya mulai dipentangkan dan melongok ke bawah dengan penuh rasa kagum.
Mendadak burung itu meluncur ke bawah dengan amat cepatnya hampir-hampir
melemparkan dirinya jatuh dari punggung burung. Buru-buru dia merangkul leher rajawali
tersebut lebih kencang.
Akhirnya burung itu menutup sayapnya kembali dan melayang turun disebuah lembah
yang amat curam.
Pohon siong tumbuh dengan rindangnya memenuhi permukaan rumput nan hijau
menghiasi tanah di samping berbagai ragam bunga mengeluarkan bau harum yang
semerbak pemandangan disekitar tempat itu benar-benar amat indah sekali.
Dengan langkah yang perlahan Siauw Ling berjalan ke depan melalui pohon siong yang
besar dan rindang itu. Akhirnya sampailah di bawah bukit dengan sebuah rumah kayu
berdiri disisi hutan.
Hatinya jadi amat girang, teriaknya, “Bagus sekali! Kiranya disini ada orang berdiam.”
Rumah kayu itu tertutup rapat-rapat dengan sekelilingnya tumbuh pohon siong yang
rendah tapi lebat, saking girangnya Siauw Ling segera menerjang masuk ke dalam dan
membuka pintu tersebut.
Setelah baru saja hendak melangkah masuk mendadak hatinya rada tertegun.
“Akh… bagaimana aku boleh bertindak gegabah???” pikirnya.

Dengan cepat dia berhenti lalu berseru dengan suara keras.
“Majikan rumah yang ada di dalam maaf boanpwee mengganggu ketenanganmu.”
Suasana di dalam rumah masih tetap tenang-tenang saja, sedikit suarapun tidak
kedengaran.
Siauw Ling jadi ragu-ragu, akhirnya dia melangkah masuk juga ke dalam ruangan
tersebut.
Tampaklah di dalam ruangan itu kecuali sebuah pembaringan kayu tidak tampak benda
yang lain di atas pembaringan kayu duduklah seorang yang memakai kerudung putih.
Selangkah demi selangkah Siauw Ling berjalan mendekati, walaupun begitu orang itu
masih tetap duduk tenang tanpa menunjukkan gerakan apapun juga.
Dalam hati Siauw Ling jadi rada mangkel, pikirnya, “sebenarnya orang itu masih hidup
atau mati?? Kenapa badannya seperti patung sedikitpun tidak bergerak?”
Berpikir akan hal itu dengan keras kembali teriaknya, “Boanpwee Siauw Ling telah
mengganggu ketenangan dari Locianpwee, disini aku minta maaf terlebih dulu.”
Orang itu tetap duduk tidak bergerak tegak dan kaku laksana sebuah patung malaikat
yang terbuat dari tanah liat.
Melihat perkataannya dua kali tidak memperoleh jawaban Siauw Ling jadi rada kheki,
pikirnya, “Bagus sekali… kau berpura-pura bisu dan tuli tidak memperdulikan diriku akupun
tidak akan menggubris dirimu lagi. Kita lihat siapa diantara kita yang berbicara terlebih
dulu!”
Dia lantas mengundurkan diri keujung ruangan dan bersila, sambil pejamkan matanya
dia mulai mengatur pernapasan sesuai dengan ajaran dari Gak Im Kauw.
Menanti dia selesai berlatih magribpun sudah menjelang datang, ketika bocah itu
menoleh kembali ke arah orang tersebut tampaklah dia masih tetap duduk bersila disana.
Siauw Ling jadi gemas juga, tanpa banyak cakap lagi dia lantas bertindak keluar dari
ruangan tersebut untuk mencari sedikit makanan guna menangsal perutnya yang sedang
lapar.
Lembah tersebut dalamnya tidak lebih hanya seratus kaki, tetapi hawanya sangat
nyaman. Disana sini tumbuhlah berbagai pohon buah-buahan dengan amat suburnya.
Tanpa banyak bicara lagi Siauw Ling memanjat pohon untuk memetik beberapa biji
buah dan dimakannya untuk menahan lapar.
Setelah itu dia kembali ke dalam ruangan itu bermaksud untuk menginap semalam
disana. Dengan hormatnya bocah itu menjura dan berseru kembali, “Boanpwee tersesat
dan tiba di tempat ini, karena tidak ada tempat yang lain untuk berteduh, malam ini
boanpwee bermaksud untuk meminjam ruangan dari Locianpwee ini untuk beristirahat.”

Orang itu membungkam tidak mengucapkan sepatah katapun, Siauw Ling pun tidak
mau ambil gubris dia lantas menguncurkan diri kepojokan ruangan dan tertidur dengan
pulasnya.
Selama beberapa hari ini dia belum pernah tidur dengan nyenyak, walaupun ruangan
tersebut amat jelek tetapi jauh lebih aman dibandingkan dengan batu di atas tebing tadi
karena hatinya lega diapun tertidur dengan pulasnya.
Sewaktu sadar kembali hari sudah terang sewaktu memandang pula ke arah manusia
berkerudung itu tampaklah dia masih duduk bersila tak bergerak, pikirnya kembali
berputar, “Hm! Kau tidak memperdulikan diriku akupun tidak akan mengajak kau berbicara
lagi.”
Sekeluarnya dari ruangan itu kembali dia mencari buah-buahan untuk menangsal perut
kemudian mencari mata air cuci muka.
Setelah itu dengan langkah yang perlahan dia mulai berjalan masuk ke dalam lembah
itu lebih dalam lagi.
Panjang lembah itu tidak lebih cuma seratus kaki. walaupun Siauw Ling berjalan
dengan amat perlahan tidak sampai selang lima dia sudah tiba pada ujung lembah
tersebut.
Terlihatlah dua buah puncak bertemu jadi satu di tempat itu, sebuah batu cadas
setinggi dua kaki menghalangi perjalanan selanjutnya.
Siauw Ling jadi amat tertarik melihat keadaan di tempat itu setelah mengitari batu
cadas mendadak muncullah sebuah pintu yang setengah terbuka setengah tertutup
hatinya jadi amat girang.
“Hore, bagus sekali! Kiranya di tempat inipun ada sebuah ruangan batu, dengan begitu
aku bisa berdiam disini saja dan tidak usah pinjam ruangan tadi.”
Pintu itu hanya terbuka tiga cun saja tidak cukup untuk dilalui seseorang dengan sekuat
tenaga Siauw Ling mendorong pintu itu kesamping pintu yang besar dan berat itupun
dengan perlahan terbentanglah.
Dalam keadaan tidak sadar tadi dia sudah makan jamur putih yang berusia ribuan
tahun tenaga kekuatan dibadannyapun sudah memperoleh kemajuan yang pesat cuma dia
sendiri sama sekali tidak merasa.
Jilid 14
Gua cadas alam itu tidak begitu dalam luasnya hanya sembilan depa dengan dalam dua
kaki di bawah sorotan sinar sang surya seluruh pemandangan di dalam ruangan tersebut
dapat dilihat dengan jelasnya.
Tiba-tiba Siauw Ling menjerit kaget dan mundur satu langkah ke belakang kiranya di
dalam gua itupun terdapat seorang yang memakai jubah berwarna kuning wajahnya
menghadap ke arah dinding sehingga tak dapat dilihat bagaimana bentuk mukanya.

Diam-diam dia menghela napas panjang, pikirnya, “Heee… tidak disangka di tempat
inipun ada orang yang mendiami.”
Sinar matanya kembali berputar memandang sekeliling tempat itu di atas dinding yang
rata dan bersinar itu terlukislah delapan buah gambar manusia ada yang sedang duduk
ada yang sedang berdiri ada pula yang sedang berbaring atau terlungkup bermacam gaya
itu terukir dengan amat jelas sekali agaknya dibuat dengan menggunakan golok atau
pedang.
Kecuali kedepalan buah gambar yang terpancang di atas dinding serta simanusia
berjubah kuning itu sebuah pembaringanpun tidak tampak di tempat itu.
Dengan perlahan Siauw Ling berjalan ke depan maksudnya ingin melihat bagaimana
rupa orang itu boleh dikata hampir menempel dinding, ujung hidungnya saling menempel
dengan batu kecuali baju serta badannya sama sekali tidak kelihatan yang lain.
Siauw Ling yang merasa tindakannya masuk ke dalam ruangan sangat tidak sopan.
Dengan perlahan Siauw Ling berjalan terburu-buru merangkap tangannya menjura.
“Boanpwee, Siauw Ling tanpa sengaja telah tiba di dalam ruangan Locianpwee… harap
suka dimaafkan.”
Orang berbaju kuning itu tetap duduk menghadap kedinding sedikitpun tidak bergerak
oleh perkataan itu.
Sekali lagi Siauw Ling merasa hatinya jengkel pikirnya, “Orang-orang di dalam lembah
ini ternyata merupakan manusia-manusia aneh yang tidak pakai aturan semua!”
Segulung angin gunung bertiup masuk ke dalam ruangan membuat jubah kuning dari
orang itu berkibar tiada hentinya.
Tetapi orang berjubah kuning itu tetap tak bergerak dari tempatnya.
Satu ingatan mendadak berkelebat di dalam benak bocah itu.
“Orang ini duduk di tempat ini tanpa makan tanpa minum dan tak kedengaran suara
bernapas, bahkan aku yang mendorong pintu masuk dan mendekati dirinya diapun tidak
merasa, bilamana dia manusia hidup maka seharusnya akan membuka mata, apa mungkin
mereka telah mati,” pikirnya.
Teringat akan hal ini kembali otaknya berputar.
Di dalam lembah gunung ini tentu ada semut serta binatang kecil bilamana mereka
sudah mati seharusnya mendatangkan semut serta binatang-binatang kecil lainnya.
Semakin berpikir Siauw Ling semakin bingung dia tidak mengerti apakah kedua orang
itu masih hidup ataukah sudah mati.
Mendadak di dalam benaknya teringat kembali akan keadaan dari Gak Im Kauw yang
mati dalam keadaan duduk bersila dengan wajah masih seperti sedia kala kini kedua orang
ini bisa tiba di tempat yang ditutupi gunung tinggi serta sunyi tak kelihatan manusia ini

mereka memiliki kepandaian silat yang tinggi dan bilamana mereka mati keadaanpun tentu
seperti Gak Im Kauw.
Walaupun dia amat cerdik tetapi tidak akan terlepas dari pikiran bocah teringat akan
kematian mereka yang ada di tengah gunung, sehinggalah seorangpun yang ikut bela
sungkawa hatinya jadi amat sedih.
“Empek tua!” serunya kemudian dengan suara serak. “Kau mati di dalam gunung yang
sesunyi ini dan setiap hari berada di dalam gua kecil ini sungguh kasihan sekali! Seorang
yang turut bela sungkawapun tak ada… dan di tempat inipun tak ada uang kertas buat
menghormati dirimu baiklah biar aku gunakan saja buah-buahan sebagai sesajen untuk
menghormati sukmamu.”
Sehabis berkata dia lantas lari keluar dari gua tersebut untuk mengambil beberapa biji
buah-buahan dan kemudian diletakkan di belakang tubuh si orang tua itu.
“Empek tua!” ujarnya sambil jatuhkan diri berlutut. “Aku Siauw Ling memberi hormat
buat dirimu.”
Sehabis berkata dia menjalankan tiga kali penghormatan besar.
Sebenarnya dia berbuat begitu hanya timbul dari dasar hati kecilnya tetapi teringat
diapun akan mati di dalam gunung yang amat sunyi dan terasing dari pergaulan manusia
sehingga tak mungkin bisa bertemu kembali dengan enci Gak nya maka dalam hati jadi
terasa amat sedih sekali.
Tak tertahan lagi ia menangis tersedu-sedu.
Si orang berjubah kuning yang duduk menghadap dinding bagaikan patung malaikat itu
sekalipun berhati keras laksana baja saat ini tergetar juga mendengar suara tangisan yang
demikian menyedihkan dari bocah tersebut akhirnya dia menghela napas panjang juga
jubahnya sedikit digetarkan dan menotok jalan darah “Shia Khei” di tubuh Siauw Ling.
Siauw Ling yang sedang menangis dengan sedihnya sejak semula sudah kehilangan
kesadarannya sekalipun orang berbaju kuning itu sudah menghela napas panjang dan
menoleh, dia masih tetap tidak merasa, tak kuasa lagi jalan darahnya kena ditotok secara
tidak sadar yang kemudian tertidur dengan pulasnya.
Si orang tua berbaju kuning itu setelah menotok jalan darah Siauw Ling lantas terpekur
berpikir beberapa saat lamanya, akhirnya setelah menghela napas panjang gumamnya
seorang diri, “Aku sudah menolong dirinya, seharusnyalah aku memperhatikan dirinya
terus.”
Tangannya mulai meraba seluruh tubuh dari Siauw Ling, setelah itu ujarnya lagi,
“Ternyata dia orang mempunyai bakat yang amat bagus sekali untuk belajar ilmu silat
cuma sayang ketiga buah urat nadinya ada sedikit gangguan…”
Dia meranjak sebentar lalu tertawa terbahak-bahak.
“Haahaahaaa… benar bilamana dia tidak ada sakit pada ketiga urat nadinya dengan
bakatnya yang begitu bagus sudah tentu diterima orang lain, bagaimana mungkin kini bisa
menemui lohu?”

Di dalam ruangan batu pada saat ini cuma dia serta Siauw Ling dua orang dan saat ini
bocah tersebut lagi tidak sadar jadi boleh dikata dia lagi berbicara seorang diri dan tertawa
tergeletak dengan senangnya.
Mendadak orang tua itu mengerutkan alisnya kembali pikirnya, “Kita sudah
mengadakan perjanjian untuk saling memperdalam ilmu silat bilamana aku menolong
bocah ini sudah tentu akan membuang waktu yang sangat banyak dengan begitu
kepandaianku tidak bakal bisa menangkan kepandaian mereka.”
Teringat akan hal ini kembali muncullah rasa benci serta gemasnya terhadap diri Siauw
Ling.
“Apakah mungkin mereka yang sengaja mencari bocah ini untuk mengganggu waktuku
di dalam berlatih limu silat??” pikirnya kembali. “Hmm! Siasat ini benar-benar amat kejam
dan ganas, bocah ini bermaksud untuk mengganggu latihan Siu Kang ku dia tidak boleh
tinggal lebih lama.”
Napas membunuh mulai menyelimuti wajahnya tepalak tangannya dengan perlahan
diangkat digaplokkan keatas tubuh Siauw Ling.
Pada saat telapak tangannya hampir menempel dengan jalan darah Thian Leng hiat di
atas ubun-ubun bocah itu kembali hatinya bergerak.
“Dia menangis dengan begitu sedihnya jelas hal ini tidak mungkin keluar karena purapura
dia sudah salah menduga aku sudah mati sehingga memetik banyak buah-buahan
untuk menyambangi diriku hati yang demikian ramah dan halusnya benar-benar luar biasa
sekali bilamana aku gaplok dia sampai mati bukankah hidupku akan terganggu dengan
rasa menyesal??”
Teringat kembali akan usianya yang sudah mencapai seratus tahun sekalipun
memahami ilmu silat yang lebih mendalampun tiada gunanya maka hatinya jadi goyah.
“Walaupun tidak ada hubungannya dengan orang ini tetapi bocah ini sangat baik
terhadap diriku, hatinyapun amat welas asih, lebih baik aku wariskan saja seluruh
kepandaian silatku kepadanya, dengan begitu kepandaiankupun tidak akan ikut terkubur
bersama hajatku.”
Dengan mengikuti perubahan di dalam hatinya wajah orang tersebut sebentar penuh
dilapisi nafsu membunuh sebentar kemudian amat ramah, sungguh kasihan Siauw Ling
yang berada di dalam keadaan tidak sadar, dia tidak tahu kalau nyawanya berulang kali
sudah berada dalam keadaan bahaya.
Akhirnya hawa jahat yang menghiasi wajah si orang berbaju kuning itu mulai luntur
berganti dengan senyuman yang ramah dia menengok ke arah Siauw Ling yang berbaring
disisi tubuhnya lalu berbisik, “Bocah, kau muncul di tempat ini sesaat sebelum aku berhasil
memahami tenaga sakti yang sedang aku yakini karenanya ilmu silatkupun menemui
kerugian. Loohu sendiri juga tidak tahu apakah ini yang dinamakan jodoh atau bencana?”
Tangannya mulai digerakkan mengurut seluruh tubuh bocah cilik itu.

Dimana jari tangannya tiba seluruh tulang dari Siauw Ling berbunyi menggerutuk
segulung asap putih dengan cepatnya mengepul keluar dari ujung jarinya.
Semakin lama asap putih itu semakin menebal, hanya di dalam sekejap saja sudah
mengurung tubuh Siauw Ling.
Kiranya si orang tua berbaju kuning itu telah menggunakan hawa murni hasil latihannya
selama puluhan tahun ini untuk melumerkan ketiga buat urat nadinya yang tersumbat itu.
Walaupun jalan darah dari Siauw Ling tertotok tetapi tenaga dalam yang berhasil dilatih
selama ini sama sekali tidak padam bahkan memberikan reaksi yang dahsyat seluruh
tubuhnya dengan mengikuti getaran jari tangan dari si orang tua berbaju kuning itu
bergetar tiada hentinya.
Kurang lebih sepertanak nasi kemudian wajah si orang tua itu mulai dibasahi dengan
keringat bagaikan curahan hujan, tetapi tangannya masih tidak berhenti juga.
Keringat yang membasahi jubah kuningnyapun segera menetes keatas tubuh Siauw
Ling.
Menanti napasnya mulai tersengal-sengal dia baru berhenti dan menghembuskan napas
panjang, lalu dari dalam sakunya dia mengambil keluar sebutir pil berwarna putih.
Lama sekali dia memandang ke arah pil putih yang ada ditangannya dengan rasa
sayang,lama sekali baru terdengar orang tua itu menghela napas panjang yang terpaksa
membuka mulut Siauw Ling untuk dimasukkan pil putih itu ke dalam mulutnya.
“Bocah… beristirahatlah baik-baik……” gumamnya seorang diri.
Telapak tangannya dengan cepat bergerak membebaskan jalan darah Siauw Ling yang
tertotok itu.
Mendadak Siauw Ling membuka matanya dan memandang sekejap ke arah si orang tua
itu, agaknya dia bermaksud untuk mengucapkan sesuatu tetapi rasa ngantuknya sukar
ditahan. Belum sempat mulutnya bergerak dia sudah jatuh pulas dengan nyenyaknya.
Menanti bocah itu sadar kembali untuk kedua kalinya pemandangan di dalam ruangan
batu sudah berubah.
Tampaklah disudut ruangan batu itu sinar api berapi, dua ekor daging ayam sedang
dipanggang di atas . Nyala api tersebut bau harum tersinar datang membuat perutnya
terasa amat lapar.
Si orang tua berjubah kuning dengan jenggot berwarna keperak-perakan yang ada di
sampingnya berwajah amat merah saat itu sedang memandang ke arahnya sambil
tertawa.
Siauw Ling segera menggerak-gerakkan kaki tangannya, terasa seluruh badannya amat
nyaman laksana baru berganti tulang saja.
Buru-buru dia merangkak bangun dan melototi si orang tua berjubah kuning itu dengan
tertegun.

“Aach kiranya dia belum mati??” pikirnya.
“Bocah, kau sudah bangun?” terdengar si orang tua berjubah kuning itu bertanya
sambil tertawa.
“Empek tua kau masih hidup yaaa?” seru bocah itu keheranan.
Teringat akan keadaannya sewaktu si orang tua itu duduk bersila menghadap ke arah
dinding batu walaupun saat ibi dia bisa melihat senyuman ramah menghiasi wajahnya dan
jelas si orang tua itu adalah seorang manusia hidup tetapi dalam hati tak berani terlalu
percaya.
“Sudah tentu masih hidup!” sahut si orang tua berjubah kuning sambil tertawa.
“Kau sudah lama hidup di dalam lembah yang sunyi ini?”
“Ehm… mungkin ada tiga puluh tahun.”
“Apa? tiga puluh tahun?” teriak Siauw Ling terperanjat. “Aah… sungguh panjang sekali
waktu itu?”
“Aai bocah! Siang malam sering berputar puluhan tahun lewat bagaikan sentilan kuku.
Sewaktu loohu masuk ke dalam lembah ini kau masih belum lahir tapi kini loohu sudah
tua… yaaa, tua sekali!” kata si orang tua berjubah kuning itu sambil menghela napas
panjang.
Mendengar perkataan itu dalam hati Siauw Ling lantas berpikir, “Manusia hidup takkan
terhindar dari kematian. Kau sudah hidup selanjut ini buat apa masih ingin hidup lebih
lama lagi?”
Karena di dalam tubuhnya telah menderita penyakit berat dan sukar untuk hidup lebih
dari dua puluh tahun. Maka sejak kecil dia sudah mendengarkan penjelasan dari ayahya
soal mati hidup, sejak semula dia sudah tahu kalau dirinya takkan hidup lebih lama lagi
karena itu terhadap soal kematian di dalam pandangannya merupakan satu urusan yang
amat kecil.
Si orang tua berjubah kuning yang melihat bocah itu memandang ke arahnya dengan
terpesona agaknya lagi memikirkan satu urusan yang sangat besar hatinya jadi heran.
“Bocah, kau lagi memikirkan apa??”
Dalam hari Siauw Ling jadi amat cemas pikirnya, “Urusan ini tidak boleh aku
beritahukan kepadanya biarlah aku beritahu kalau usianya amat panjang saja.”
Di dalam keadaan cemas itu mendadak teringat kembali olehnya akan si orang
berkerudung putih yang ada di dalam rumah kayu tadi maka dengan cepat ujarnya, “Kalau
memangnya Locianpwee belum mati maka orang yang ada di dalam rumah kayu itupun
pasti masih hidup.”
“Ooouw… kau sudah bertemu dengan dirinya.”

“Aku melihat dia duduk bersila di atas pembaringan kayu dengan wajahnya tertutup
oleh kain putih apakah dia masih bernapas atau tidak aku tidak tahu, tetapi kalau
memanganya kau kini belum mati tentunya dia orang belum mati juga.”
Si orang tua berjubah itu segera tertawa.
“Pikiranmu sedikitpun tidak salah! haruslah kau ketahui orang yang memiliki tenaga
dalam sempurna ditambah pula bila belajar ilmu kura-kura bernapas sekalipun menutup
seluruh saluran pernapasan selama beberapa jam pun bukanlah merupakan persoalan
yang sulit.”
“Aakh…! kiranya belajar silatpun ada kebaikannya!” puji Siauw Ling tidak kuasa lagi.
“Apakah kau kepingin belajar ilmu silat?”
“Ingin sih ingin belajar! Tetapi aku mau belajar ilmu silat nomor wahit di dalam kolong
langit pada saat ini,” sahut Siauw Ling setelah termenung sebentar.
“Haaa… haaa… kalau begitu kau sudah benar mencari orang, di dalam kolong langit
pada saat ini orang yang bisa menangkap diri loohupun hanya beberapa orang saja.”
Walaupun seluruh rambutnya telah memutih tetapi dikarenakan sudah amat lama
berdiam di dalam gunung seorang diri hatinya masih tetap bersifat polos.
“Bagaimana?” tanya seorang tua berjubah kuning itu. “Apakah kau rada tidak percaya
dengan perkataan yang loohu ucapkan.”
“Kau menyebut dirimu memiliki kepandaian silat yang amat lihay dan tanpa tandingan
dikolong langit…”
“siapa yang bilang tanpa tandingan. Aku cuma bilang tidak banyak…!” sombong si
orang tua itu buru-buru.
“Kalau begitu masih ada orang yang bisa menangkap dirimu?”
“Tidak benar, tidak benar paling bantu juga seimbang saja.”
“Bagaimana kepandaianmu jika dibandingkan dengan Pak Thian Coencu??” tiba-tiba
tanya bocah itu lagi.
Si orang tua berjubah kuning itu agak melengak sebentar kemudian dia baru
menjawab.
“Kepandaian silat dari siiblis tua itu benar luar biasa dan namanya terkenal…”
Jadi maksudmu kau tidak bisa menangkap dirinya?” sambung Siauw Ling dengan nada
kecewa.
“Siapa yang bilang??” seru si orang tua berjubah kuning itu sambil mengerutkan
alisnya. Walaupun loohu sudah nama besar dari siiblis tua itu tetapi selamanya belum
pernah bergebrak sendiri dengan dirinya, siapa menang siapa kalah siapapun tak bisa
menentukan.”

Si orang tua ini agaknya mempunyai nafsu untuk menang yang luar biasa besarnya dia
berhenti sebentar lalu tambahnya lagi, “Tetapi menurut pikiran loohu dia belum tentu bisa
menangkap diriku, paling banter ternyata seimbanglah!”
“Aaah…! Sungguh-sungguhkah perkataanmu?” seru Siauw Ling kegirangan.
“sudah tentu sungguh!”
Dengan cepat Siauw Ling dongakan kepalanya memandang ke arah si orang tua
berjubah kuning itu dari sinar matanya memancarkan keluar perasaan yang sangat bangga
dan kagum.
“Apakah kau suka menerima aku sebagai muridmu??” tanyanya kemudian.
Tidak bisa… aku tidak bisa menerima dirimu sebagai murid!” sahut si orang tua
berjubah kuning itu sambil goyangkan tangannya berulang kali.
Mendengar perkataan itu Siauw Ling tiba-tiba menghela napas panjang. Ujarnya,
“Apakah perkataan sudah menyinggung perasaan kau orang tua??”
Si orang tua berjubah kuning itu malah tertawa terbahak-bahak.
“Bilamana kau memang kepingin belajar ilmu silat kelas satu maka kau tidak boleh
mengengkat aku sebagai gurumu, tetapi bilamana kau hanya kepingin belajar ilmu silat
tingkat kedua maka cepatlah jalankan penghormatan besar untuk angkat aku sebagai
guru.”
Sekali lagi Siauw Ling dibuat melengak.
“Semakin dengar semakin tidak paham, empek tua! Sukakah kau orang menjelaskan
lebih terang lagi??”
“Haaa… haaa… rahasia langit tidak boleh dibocorkan, kalau tidak maka akan lenyap
kemanjurannya,” sahut si orang tua itu sambil tertawa terbahak-bahak, Kelihatannya dia
amat girang.
Siauw Ling untuk beberapa saat lamanya tidak tahu keistimewaan dari perkataan
tersebut dia hanya memegang kepalanya dan berpikir keras.
Si orang tua berjubah kuning itu setelah menghentikan suara tertawanya dengan
perlahan dia mengalihkan sinar matanya ke arah Siauw Ling lama sekali baru terdengar
dia berseru.
“Hey… bocah cilik, mari kita rundingkan satu persoalan bagaimana?”
“Empek tua, silahkan kau bicara!” kata Siauw Ling sambil angkat kepalanya.
“Bilamana kau kepingin belajar silat nomor wahid maka kau tidak boleh angkat aku
sebagai guru!”
“Benar boanpwee ini sedang kebingungan dan tidak paham!”

“Urusan ini kau tidak usah berpikir lagi, sekalipun kau pikirkan sampai botak kepalamu
pecahpun percuma saja, sekarang ada satu persoalan penting yang hendak dirundingkan
dengan dirimu kita bukan sanak bukan keluarga bilamana aku memberimu pelajaran ilmu
silat kepadamu bukankah aku jadi rugi??”
“Lalu bagaimana baiknya??”
“Biarlah loohu menerima sedikit kerugian dan menerima kau sebagai anak angkatku.”
Siauw Ling jadi melengak.
“Kau suka menerima aku sebagai anak angkat? tingkatan ayah terhadap anak serta
guru terhadap murid adalah seimbang mana mungkin kau merasa rugi??” pikirnya dihati.
Sikakek tua berjubah kuning itu melihat wajah Siauw Ling penuh diliputi oleh
kebingungan wajahnyapun segera terlintas suatu senyuman bangga.
“Haaaa, haaa, bilamana loohu tidak memberitahukan urusan ini kepadamu sekalipun
kau berpikir untuk selamanya jangan harap bisa paham” serunya sambil tertawa.
“Bilamana membicarakan dari tingkatan umur sekalipun loohu jadi kakekmu juga pantas
bilamana aku hanya menerima kau sebagai anak angkatku bukankah aku akan merasa
rugi besar??”
“Ooouw kiranya begitu!” pikir Siauw Ling sambil hanya tertawa. “Jika ditinjau dari
tingkatnya di dalam Bulim tentunya dia orang merupakan seorang Locianpwee angkatan
tua!”
Terdengar si orang tua berjubah kuning itu sambil tertawa menyambung kembali,
“Masih ada satu urusan kau harus menjawab dulu dengan sejujurnya setelah itu aku baru
bisa menerima dirimu sebagai putra angkat!”
“Bagus sekali untuk memperoleh ayah angkatpun harus menerima dulu banyak
peraturan,” pikirnya.
Walaupun begitu dia bertanya juga, “Urusan apa?”
“Setelah kau berhasil mempelajari kepandaian silat dari loohu, bila berkelana di dalam
dunia kangouw dikemudian hari perduli sudah bertemu dengan jagoan lihay yang
bagaimanapun juga asalkan dia masih hidup harus memandang dia sebagai satu tingkatan
dengan dirimu, kalau tidak loohu semakin rugi besar lagi.”
“Leng jie tentu akan mengingat-ingat sekali,” sahut Siauw Ling cepat sambil bangun
berdiri dan menjura.
Bocah ini memiliki otak yang cerdas, sewaktu dilihat orang tua itu sangat kukoay karena
takut sebentar lagi dia bakal mengubahnya kembali pendiriannya terburu-buru lantas
bangun dan jatuhkan diri berlutut menjalankan penghormatan besar.
Si orang tua berjubah kuning masih tetap duduk tak bergerak, setelah menerima
sembilan kali penghormatan dari Siauw Ling dia baru tertawa tergelak.

“Mulai sekarang kita harus memanggil dengan sebutan ayah beranak” katanya.
“Perkataan Gie hu memang benar!”
“Kau bocah sungguh cerdik sekali,” ujar si orang tua berjubah kuning itu kegirangan.
“Tak rugi loohu menggunakan hawa murni untuk tembusi ketiga buah urat nadimu
tersebut!”
“Ketiga buah urat nadiku sudah ditembusi?” tanya Siauw Ling seperti mengerti tapi
tidak paham.
“Sudah tentu sudah tembus kalau tidak buat apa aku menerima seorang anak angkat
yang berudia pendek?”
“Budi kebaikan dari Gie hu, Leng jie merasa amat berterima kasih sekali!” serunya
kemudian sambil jatuhkan diri berlutut.
“Bangun… bangun! Ayo cepat aku masih ada perkataan yang hendak kusampaikan
kepadamu!” kata si orang tua berjubah kuning sambil tertawa.
Dengan perlahan Siauw Ling bangun berdiri dan duduk di samping si orang tua itu.
“Gie hu ada petunjuk apa?”
Dia orang yang sedikit-dikit memanggil gie hu, membuat orang tua berjubah kuning itu
benar-benar kegirangan dan senyumanpun menghiasi seluruh wajahnya.
Dengan perlahan si orang tua berjubah kuning itu membelai rambut sang bocah yang
terurai, ujarnya, “Bocah ilmu yang gie hu pelajari saat ini adalah ilmu Tong Ci It Yen Kang
bilamana kau ikut aku mempelajari ilmu kwekang semacam ini maka selama hidup tak
boleh kawin dengan kata lain loohupun tak bakal menggendong cuan angkat!”
“Soal ini Leng jie tidak takut!”
“Tidak bisa jadi!” teriak si orang tua berjubah kuning itu mendadak dengan mata
melotot lebar-lebar. “Karena aku mempelajari ilmu kwekang Tong Ci It Yen Kang maka
sudah tertanam seorang musuh yang amat tangguh sekali. Sekalipun sudah bergebrak
selama puluhan tahun lamanya masih belum juga berhasil dibereskan apalagi ilmu silat ini
termasuk aliran Yang yang panas dan sukar aku tidak boleh menyelakai anak angkatku.”
Tetapi sebentar kemudian dia sudah merasa perkataan yang baru saja diucapkan ini
terlalu memandang rendah dirinya, tak tertahan lagi dia menyambung, “Sekalipun hawa
yang kasar rada tidak baik tetapi bilamana kasar bersatu dengan lunak hal itu akan luar
biasa sekali, cuma saja untuk mempelajari hingga mencapai pada taraf yang demikian
tingginya harus membutuhkan waktu sepuluh tahun latihan giat walaupun sepuluh tahun
lewat dengan cepat tetapi umur manusiapun ada batasnya, menanti tenaga kasarmu
timbul tenaga lunak dari seorang bocah akan berubah jadi seorang kakek tua yang kecil
karena itu kau tidak boleh mempelajari ilmu silat yang Gie hu pelajari selama ini.”
Mendengar perkataan itu Siauw Ling pun diam-diam merasa amat terperanjat, pikirnya,
“Bilamana mengharuskan aku belajar selama sepuluh tahun lamanya, waktu itu dirinya

benar-benar sudah tua , enci Gak pun sudah jadi nenek-nenek, orang-orang yang
mengganggu enci Gak pun kebanyakan sudah pada mati…”
Si orang tua berjubah kuning yang melihat Siauw Ling dibuat termenung tanpa
mengucapkan sepatah katapun tidak tertahan lagi segera tertawa terbahak-bahak.
“Bocah, kau takut?” serunya.
“Tidak! Leng jie tidak akan takut.”
Tiba-tiba paras muka si orang tua berjubah kuning itu berubah sangat keren, ujarnya,
“Mungkin loohu tidak bakal kuat hidup beberapa tahun lagi bocah.”
“Kini kau sudah anggap aku sebagai gie humu bilamana aku tidak sanggup untuk
menciptakan dirimu sebagai sekuntum bunga yang aneh dari Bulim bilamana dikemudian
hari kau mendapat hinaan sewaktu melakukan perjalanan di dalam Bulim bukankah aku
sebagai ayah angkatmu akan ikut ternoda nama baiknya?”
“Leng jie bodoh tidak memahami perkataan dari Gie hu!”
“Loohu tidak menyalahkan kau bodoh hanya menyalahkan loohu tidak bicara terus
terang” kata si orang tua berjubah kuning itu sambil tertawa.
“Di tengah lembah sunyi yang jauh terpisah dari pergaulan manusia ini kecuali Gie
humu masih berdiam dua orang jagoan lihay lainnya…”
ooo0ooo
“Aaach orang berkerudung putih yang ada di dalam rumah kayu itu!” seru Siauw Ling
tak tertahan.
“Tidak salah!” sambung si orang tua dengan cepat. “Dia orang mengutamakan ilmu
meringankan tubuh, senjata rahasia serta ilmu jari sehingga menjagoi seluruh Bulim.
Sedang tenaga dalam yang dipelajaripun termasuk suatu pelajaran yang luar biasa.”
“Bagaimana?? Apakah di dalam lembah sunyi yang terlepas dari keramaian dunia ini
masih ada orang ketiga?” tanya Siauw Ling dengan perasaan tercengang.
“Tidak salah diantara ketiga orang itu kau sudah bertemu dengan dua orang masih ada
seorang lagi yang berdiam disitu tempat amat kukoay bilamana tidak memperoleh
petunjuk dari diriku kau tidak bakal bisa menemukannya.”
Walaupun jenggot orang itu sudah pada memutih tetapi sewaktu berkata dan tertawa
masih membawa beberapa bagian sifat kekanak-kanakan yang amat polos.
Mendengar perkataan itu sifat ingin tahu segera meliputi hati Siauw Ling.
“Dia berdiam dimana?” tanyanya cemas.
“Bocah! coba kau terka.”

“Gie hu berdiam di dalam gua batu orang itu berdiam di dalam rumah kayu sedang
orang ketiga ini berdiam di tempat yang lebih kukoay tempat tersebut tentunya suatu
tempat yang tidak umum” pikirnya dihati.
Setelah termenung beberapa saat lamanya dia baru berseru, “Apakah dia orang
berdiam di atas pohon?”
“Tidak benar tidak benar dia berdiam di tengah udara!”
Karena takut Siauw Ling tidak mengerti apa yang sedang diartikan buru-buru menjawab
terlebih dulu.
“Berdiam di tengah udara?” seru Siauw Ling keheranan.
“Tidak salah” sahut si orang tua berjubah kuning itu sambil tertawa senang. “Kami
bertiga sudah berdiam puluhan tahun lamanya disini, setiap kali lewat beberapa waktu
tentu mengadakan satu kali pertandingan untuk menentukan kepandaian siapakah yang
lebih unggul, tetapi sekalipun sudah diulangi berulang kali keadaan tetap tidak berubah,
siapapun tidak bisa menangkan pihak lain.”
Sewaktu dia orang lagi bercerita dengan amat girangnya tiba-tiba terdengar orang tua
itu menghela napas panjang dan berseru dengan amat sedih.
“Bocah kau tahu tidak mengapa selama puluhan tahun ini aku tidak pernah
meninggalkan tempat ini selangkahpun?”
Mendadak Siauw Ling teringat kembali akan perbuatan dari para jago-jago Bulim yang
pada berebut anak kunci Cing Kong Ci Yau walaupun dimulut pada berkata hendak
mengetahui rahasia yang menyelimuti istana terlarang itu padahal yang sebetulnya pada
ingin memenuhi kebutuhan pribadi masing-masing, tentunya di dalam istana terlarang itu
sudah tertinggal berbagai macam ilmu silat peninggalan cianpwee-cianpwee terdahulu.
Kini mendengar perkataan dari si orang tua itupun lantas mereka merasa kalau
perbuatan dari gie hu nya yang berdiam selama puluhan tahun lamanya di dalam lembah
yang sunyi ini tentu ada sangkut pautnya dengan perbuatan nama serta kedudukan.
Teringat akan hal itu, ia lantas tersenyum.
“Gie hu berbuat begini tentunya dikarenakan memperebutkan nama besar serta
kedudukan bukan? Kalau tidak mana mungkin Gie hu berdiam selama puluhan tahun di
dalam lembah yang sunyi ini?”
“Bocah, kau hanya berhasil menebak benar separuh saja,” ujar sikakek tua berjubah
kuning itu sambil menghela napas panjang. “Hee…! kami mengasingkan diri selama
puluhan tahun lamanya, kecuali dikarenakan perebutan nama besar terikat pula di dalam
soal cinta. Peristiwa ini panjang sekali kalau dibicarakan, apalagi waktu untuk berkumpul
bagi kita ayah beranak dikemudian haripun masih banyak karena itu lebih baik kita
bicarakan besok saja. Baru sampai kau menangis tadi membuat aku tersadar kembali
kalau loohu masih belum sadar dari rintangan tersebut, tetapi sekarang aku telah
menyadari kembali akan semua urusan bahkan sampai soal yang menggembirakan dan
menyedihkan hatipun.”

Beberapa perkataan ini sebetulnya maksud yang mendaldam, Siauw Ling cerdik saat ini
tidak akan paham akan apa yang dimaksudkan oleh si orang tua berjubah kuning itu.
Tampak sikakek tua berjubah kuning itu mengelus-elus jenggotnya yang putih setelah
beberapa saat lamanya ia baru berkata kembali dengan nada serius, “Bocah, daripada
ribut lebih baik sekarang kita pergi mencari si siucay miskin itu.”
Selesai berkata ia menarik tangan Siauw Ling dan dengan langkah lebar berjalan keluar
ruangan.
Sang surya memancarkan sinarnya keperak-perakan, bunga-bunga tumbuh laksana
hiasan sutera. Air sungai mengalir dengan begitu tenangnya membuat pemandangan
disana benar-benar sangat indah sekali.
“Leng jie,kau sudah melihatnya bukan? itulah tempat tinggal dari si siucay miskin!” ujar
sikakek berjubah kuning sambil menuding ke arah timur lalu menghela napas panjang.
Dengan seluruh konsentrasinya Siauw Ling mengalihkan pandangannya ke depan,
diarah sebelah timur di atas sebuah tebing yang curam benar-benar tampaklah sesosok
bayangan hitam.
“Untuk belajar ilmu silat harus didahului oleh pelajaran tenaga dalam” kata sikakek
berjubah kuning itu sambil mengempit tubuh Siauw Ling. “Tenaga dalam yang dipelajari
oleh siucay miskin itu termasuk tenaga dalam aliran Budha yang lihay bilamana kau dapat
berhasil memperoleh pelajaran tenaga dalamnya terlebih dahulu kemudian baru
mempelajariilmu telapakku serta ilmu rahasia dari Liuw Sian Ci tak sampai lima tahun kau
sudah pasti dapat berkelana di dalam dunia kangouw.”
Gerakan tubuhnya amat cepat laksana sambaran kilat. Siauw Ling hanya merasakan
deruan angin menyambar lewat dari sisi telinganya, bunga-bunga pepohonan maupun
dinding tebing hanya berkelebat laksana kilat dan dalam waktu yang amat singkat itulah
mereka berdua telah tiba di bawah bayangan hitam yang sedang bergerak-gerak tadi.
Bocah itupun segera dongakan kepalanya keatas dan tampaklah bayangan hitam yang
bergerak-gerak itu bukan lain adalah sebuah ayunan yang terbuat dari tali rotan dengan
diatasnya secara samar-samar tampak seseorang lagi duduk bersila.
Kedua belah ujung dari ayunan rotan itu terikat pada dua sisi puncak yang saling
berhadapan di tengah tiupan angin gunung yang kencang ayunan rotan itu bergoyanggoyang
tiada hentinya.
Siauw Ling yang melihat kejadian itu didalama hatinya mengira-ngira kalau ayunan itu
ada tiga puluh kaki tingginya dari atas permukaan tanah dan bilamana sampai terjadi dari
atas ayunan tersebut jangan dikata mahkluk yang terbuat dari daging dan sekalipun
sekeras batu cadas yang sangat keraspun akan hancur berantakan.
“Gie hu!” tanyanya dengan perasaan kuatir. “Apakah siang malam ia tetap duduk di
atas ayunan rotan itu terus??”
“Bocah apakah kau merasa kuatir bilamana ia sampai terjatuh dari atas ayunan itu?”

Siauw Ling pun mengangguk dan tanyanya pula, “Bilamana menemui hujan deras dan
angin kencang apakah rotan panjang yang mengikat ayunan itu kuat untuk
mempertahankan dirinya?”
“Haaa… haaa… soal ini tidak perlu kau merasakan kuatir buat dirinya!” seru sikakek tua
berjubah kuning itu sambil tertawa terbahak-bahak. “Ia sudah duduk disana selama
sepuluh tahun lamanya tetapi selama ini belum pernah ia terjatuh ke bawah.”
Siauw Ling yang pernah hidup selama beberapa hari beberapa malam di atas tonjolan
batu pada dinding tebing yang curam, walaupun tempat itupun merupakan suatu tempat
yang tak dapat melihat langit dan tak bisa melihat bumi tetapi keadaannya jauh lebih
aman. Karena tonjolan batu itu kuat untuk menahan bobot badannya.
Sebaliknya ayunan rotan ini begitu lemas dan terombang ambing di tengah tiupan
angin seseorang bisa hidup selama sepuluh tahun lamanya, di tengah suatu keadaan yang
sangat berbahaya hal ini benar-benar luar biasa sekali.
“Hey siucay miskin apakah kau sudah berhasil menembusi ilmu sakti tersebut?” tegur
sikakek berjubah kuning itu secara tiba-tiba.
“Haaa… haaa… gimana? Apakah Lam heng sudah merasa tangan serta kakimu mulai
kegatalan?” sahut orang yang ada di atas ayunan rotan itu sambil tertawa nyaring.
“Haaa… haaa… anggap saja loohu tidak berhasil menangkan dirimu, dan sejak ini kita
tidak usah bertanding kembali.”
Agaknya perkataan ini benar-benar berada diluar dugaan orang yang ada di atas
ayunan rotan itu karena lama sakali baru terdengar orang itu menghela napas panjang.
“Heei! Sebetulnya kepandaian silat dari Lam heng tidak berada di bawah kepandaian
siauwte,” katanya.
Jarak ayunan rotan tersebut dengan permukaan tanah sangat tinggi sekali tetapi tanya
jawab yang dilakukan oleh kedua orang itu bisa kedengaran sangat jelas sekali, sampai
helaan napas panjangpun bisa terdengar amat jelas.
“Heey bocah” tiba-tiba si orang tua berjubah kuning itu membisik kesamping telinga
Siauw Ling dengan suara yang amat perlahan, “Sekali tenaga dalam dari siucay miskin itu
dahsyat sekali, diluar wajahnya ia kelihatan amat halus padahal hatinya sekeras baja,
nanti kalau bicara sedikitlah berhati-hati.”
“Leng jie akan mengingat-ingat terus pesan dari Gie hu!” sahut Siauw Ling sambil
mengangguk.
Sebetulnya si orang tua berjubah kuning ini bersifat sombong dan tidak suka
menyendiri tetapi karena perebutan nama besar ia telah berkorban diam selama sepuluh
tahun lamanya di dalam lembah terasing ini dan kali ini hanya demi Siauw Ling ia sudah
rela mengakui kalah terhadap lawannya.
Sekonyong-konyong tampaklah sebuah rotan yang amat panjang mendadak diturunkan
ke bawah dari atas ayunan itu diikuti berkemandangnya suara tertawa yang amat nyaring.

“Haa…haaa, Lam heng suka memberi muka kepada siauwte merasa sangat berterima
kasih sekali, dan suruhlah bocah cilik itu naik!”
“Maksud dari perkataan ini sangat jelas sekali, kau mengakui tak bisa menangkan
diriku, sudah tentu dikarenakan oleh sebab itu.”
Rotanpun segera diturunkan untuk mengundang Siauw Ling naik. Dengan kejadian ini
maka sama saja dengan sekali langsung membongkar rahasia hati si orang tua berjubah
kuning itu.
“Bocah, kau naiklah,” ujar si orang tua berjubah kuning itu kemudian dan sambil
tertawa sedih.
Sehabis berkata dengan perlahan ia putar badan dan berlalu.
Siauw Ling hanya merasakan senyuman dari Gie hu nya itu mengandung perasaan
sedih dan tekanan batin yang luar biasa hanya saja bocah itu tidak mengerti apa sebabnya
ia sampai bersikap demikian.
Dengan termangu-mangu bocah itupun memandang bayangan punggung dari si orang
tua berjubah kuning yang mulai lenyap dibalik pepohonan ia merasa si orang tua itu kini
kelihatannya jauh lebih tua lagi.
Menanti ia menoleh kembali tali rotan yang diturunkan ke bawah telah berada di atas
kepalanya. Dan dengan cepat ia menangkap tali rotan itu untuk memanjatnya keatas.
Secara tidak sengaja bocah itu telah makan jamur batu berusia ribuan tahun ditambah
lagi telah memperoleh bantuan tenaga murni dari si orang tua berjubah kuning yang
menembusi ketiga buah urat nadinya, tanpa ia rasa tangannyapun telah bertambah lipat
ganda.
Kini dengan kecepatan yang luar biasa ia memanjat ke arah atas, tidak selang beberapa
saat lamanya tubuhnya telah berada kurang lebih empat lima kaki tingginya.
“Pegang erat-erat!” tiba-tiba terdengar suara peringatan yang amat nyaring.
Tali rotan yang dicekalnya secara tiba-tiba ditarik keatas, Siauw Ling hanya merasakan
pandangan matanya jadi amat kabur bagaikan menunggang perahu yang terserang ombak
besar tahu-tahu tubuhnya sudah terjatuh di atas ayunan rotan itu.
Kiranya dia bukan lain adalah seorang siucay berusia pertengahan yang memakai jubah
berwarna biru muda sedang duduk bersila disana wajahnya penuh dengan senyuman dan
lagi memandang ke arahnya dengan ramah.
Teringat akan pesan dari ayah angkatnya tadi buru-buru Siauw Ling menjatuhkan diri
berlutut untuk memberi hormat.
“Siauw Ling menghunjuk hormat buat Locianpwee!”
“Dan duduklah!” ujar sisastrawan berusia pertengahan itu sambil tersenyum.

“Boanpwee berdiri juga sama,” sahutnya buru-buru sambil berdiri tegak kesamping dan
luruskan tangannya ke bawah.
“Haaa… haaa… tentunya Lam Ih Kong sudah memberitahukan sesuatu kepadamu,
kalau tidak mana mungkin kau bocah bisa begitu tahu adat.”
“Hmm! Sedikitpun tidak salah” pikirnya dalam hati. “Ayah angkatku bilang kau luarnya
lunak dalamnya keras dan minta aku bicara sedikit berhati-hati.”
Walaupun dalam hati berpikir demikian tetapi mulutnya tetap membongkah.
“Bocah,” ujar sastrawan berusia pertengahan itu lagi setelah memperhatikan Siauw Ling
beberapa saat lamanya. “Kau bisa sampai disini sudah merupakan suatu
keberuntunganmu apalagi kedatanganmu tepat pada waktunya.”
“Benar beruntung sekali boanpwee bisa bertemu dengan gie hu serta Locianpwee kalau
tidak mungkin aku terkurung sampai mati di dalam lembah yang amat sunyi ini.”
Apakah sebetulnya mereka bicarakan selama ini masing-masing tiada sangkut pautnya
dengan urusan mereka sendiri.
Mendadak sisatrawan berusia pertengahan itu tertawa nyaring.
“Haaa… haaa… gimana? Lam Ih Kong sudah menerima dirimu sebagai anak
angkatnya?”
Siauw Ling yang mendengar perkataan tersebut dalam hati dia diam-diam merasa amat
malu karena apakah nama dari ayah angkatnya ia sendiripun tidak tahu.
Karena terburu-buru ia menyahut sekenanya.
“Benar! itulah si orang tua yang mengantar aku datang kemari tadi.”
“Ooouw…! Si orang tua berjubah kuning itu bernama Lam Ih Kong” katanya perlahan.
Setelah berdiam beberapa saat kemudian ia baru berkata kembali, “Apakah kau tahu
apa sebabnya ia membawa dirimu datang kemari?”
“Ia meminta boanpwee mohon belajar ilmu kweekang serta ilmu pedang dari
Locianpwee.”
Sisastrawan berusia pertengahan itu segera termenung beberapa saat lamanya,
akhirnya ia tertawa.
“Bilamana aku tidak mengabulkan permintaanmu untuk mempelajari ilmu silat
kepadamu maka Gie hu mu pasti akan mengadu jiwa dengan diriku…”
“Locianpwee pun tidak perlu terlalu menyusahkan diri!” tak tertahan secara tiba-tiba
Siauw Ling berseru keras, karena darah dihatinya benar-benar telah bergolak.
“Bilamana menang bakat boanpwee tidak baik dan tidak punya kecerdikan untuk
belajar maka cianpwee pun tidak usah membuang waktu lagi.”

“Haaa… Haaa justru dikarenakan kau memiliki bakat yang melebihi orang lain inlah
yang membuat aku jadi merasa ragu-ragu harus mewariskan kepandaianku kepadamu?”
kata sisastrawan berusia pertengahan itu sambil tersenyum.
Walaupun Siauw Ling jadi orang amat cerdik melebihi orang lain tetapi bagaimanapun
juga ia cuma seorang bocah yang baru berusia sepuluh tahunan bagaimana mungkin
bocah sekecil itu bisa menangkap kata-kata yang berarti sangat mendalam ini. sehingga
beberapa saat lamanya ia jadi bangun dan kelabakan sendiri akhirnya dengan pandangan
melotot dan mulut melongo ia memandang ke arah sisastrawan tersebut.
“Heee… bocah kau tidak usah banyak berpikir lagi,” hibur sisastrawan berusia
pertengahan itu sambil menghela napas panjang. “Dengan usia yang sekecil dirimu
bagaimana mungkin bisa memahami banyak urusan.”
“Boanpwee tidak tahu harap Locianpwee suka banyak memberi pertunjuk yang
berguna,” sambung Siauw Ling.
Dari sepasang mata sisastrawan berusai pertengahan itu mendadak memancarkan
cahaya yang sangat tajam ujarnya kemudian dengan wajah keren serius, “Lam Ih Kong
sudah mengadakan pertandingan ilmu silat dengan diriku selama sepuluh tahun lamanya
tanpa ada yang berhasil memperoleh kemenangan maupun kekalahan. Heee…! Sebetulnya
ia… sebetulnya ia adalah seorang manusia yang gemar geguyon dan berpesiar, tetapi
dikarenakan hendak merebut nama kosong ternyata ia telah rela berdiam selama puluhan
tahun lamanya di dalam lembah yang sama sekali terasing dari pergaulan ini tanpa suka
meninggalkan lembah ini barang setapakpun. Walaupun di atas gunung tak tahu umur,
tapi waktu berjalan laksana lewatnya mega dilangit dan waktu sepuluh tahun di dalam
pandangan seorang manusia yang umurnya ada batas- batasnya bukanlah suatu waktu
yang singkat, kini ia telah rela melepaskan nafsu ingin menangnya dan mengaku kalah
terhadap diriku hanya dikarenakan dirimu, sekalipun hanya sekecap kata saja tetapi hal
tersebut jauh lebih menderita daripada terbunuh di tangan musuh.”
Dengan setengah mengerti setengah kebingungan Siauw Ling menganggukkan
kepalanya.
“Gie hu sangat mencintai diriku, hal ini Leng jie pun mengetahui!”
“Kini ia rela minta bantuan diriku jelas kalau Lam heng sudah membuang jauh nafsu
ingin menangnya, dan dengan cara yang sama iapun bisa pergi minta bantuan dari Liauw
Sian Ci!”
“Ehmm…! benar, Gie hu pun pernah membicarakannya dengan diriku.”
“Walaupun ilmu silat yang kita bertiga pelajari adalah berbeda tetapi masing-masing
orang tak berhasil menangkan siapapun,” kata sisastrawan berusia pertengahan itu lagi.
“Dan selama sepuluh tahun ini kita telah bersama-sama berdiam di dalam lembah yang
sunyi ini untuk memperdalam ilmu silatnya sendiri-sendiri, dengan harapan agar
dikemudian hari bisa menangkap pihak lawannya untuk meninggalkan lembah ini…”
“Bilamana kalian bertiga tak ada yang bisa menangkan pihak lawannya bukankah
selama hidup tak akan keluar lagi dari lembah ini?” timbrung Siauw Ling tiba-tiba.

“Sedikitpun tidak salah, sewaktu kita tiba di tempat ini masing-masing telah
mengucapkan sumpahnya sendiri-sendiri, barang siapa saja yang berhasil menangkan
kedua orang lainnya dialah yang boleh meninggalkan lembah ini duluan sedang sisanya
dua orang harus bertanding kembali hingga salah satu diantaranya memperoleh
kemenangan untuk meninggalkan tempat ini pula, tetapi hal ini baru boleh dilakukan
menanti orang pertama telah tiga tahun lamanya meninggalkan lembah tersebut.”
“Lalu orang yang menderita dua kali kekalahan apakah selamanya tidak diperkenankan
meninggalkan tempat ini?”
“Betul samapai tua dan sampai mati sekalipun tetap tidak boleh meninggalkan lembah
ini.”
Diam-diam Siauw Ling rada mengkirik mendengar cara bertanding seperti itu pikirnya,
“Cara bertaruh seperti ini benar-benar terlalu kejam karena yang kalah harus berdiam
seorang diri di dalam lembah yang sunyi dan jauh dari pergaulan manusia
penghidupannya sudah tentu sangat menderita dan tersiksa… heee… tidak aneh kalau
mereka masing-masing berusaha untuk memperdalam ilmu silatnya masing-masing.”
Terdengar sisastrawan berusia pertengahan itu kembali melanjutkan kisahnya, “Pada
beberapa tahun permulaan rasa ingin menang dihati kamki bertiga masih berkobar-kobar
setiap setengah tahun sekali tentu kami adakan pertandingan dan untuk menjaga adilnya
pertandingan tersebut maka setiap orang mendapat giliran untuk mengepalai satu
pertandingan sedang dua orang lainnya bertanding dengan amat serunya tetapi selama itu
kita tak ada yang bisa menangkan pihak yang lain. Gie hu mu pandai di dalam
menggunakan ilmu jari sedang aku lebih mengutamakan ilmu pedang oleh karena samasama
ngototnya itulah maka setiap kali bertanding kami bertiga tentu kehabisan tenaga
dan kecapaian.”
“Menanti lima tahun telah lewat kita sudah mengalami pertandingan sebanyak puluhan
kali, dan dihati kita masing-masing baru memahami untuk mengalahkan dua orang
lawannya benar-benar merupakan satu pekerjaan yang amat sukar karena itu kita lantas
menyetujui untuk mengubah cara pertandingan jadi setiap setahun sekali.”
“Kembali lima tahun lamanya telah lewat, waktu itu kami sudah mengubah waktu
pertandingan dari setahun sekali menjadi tiga tahun sekali heeei… dengan mengikuti
berlalunya sang waktu, rasa ingin menang dari kita bertigapun ikut berlalu begitu saja.”
Selesai mendengar perkataan itu kembali Siauw Ling berpikir keras dalam hatinya,
“Kalau memang tak bisa menentukan siapa yang kalah, buat apa kalian masih bertanding
terus??”
Dengan perlahan sisastrawan berusia pertengahan itu mendongakkan kepalanya keatas
lalu menghela napas panjang-panjang.
“Kita berdiam selama puluhan tahun lamanya di tempat ini sambil belajar ilmu silat
lebih giat, dengan tanpa terasa kepandaian kita masing-masingpun telah memperoleh
kemajuan. Banyak jurus serangan yang terpecahkan selama tahun-tahun yang lain kini
jadi paham sekali. Heei… bilamana kita munculkan kembali ke dalam dunia kangouw
mungkin segera bisa menjagoi seluruh Bulim.”

Ia berhenti sebentar untuk tukar napas baru kemudian sambungnya lagi dengan nada
sedih, “Tetapi saat ini kita bertiga sudah berada dalam keadaan yang membahayakan
pikiran dan kecerdikan selama puluhan tahun ini telah kami peras guna menciptakan jurusjurus
yang lebih lihay lagi dengan maksud untuk memenangkan pihak lawannya.
Walaupun tubuh kami tak bergerak tetapi pikiran terus bekerja laksana menggulungnya
ombak di tengah samudra. Selama sepuluh tahun ini pikiran kami belum pernah
memperoleh keterangan barang sekejappun hal ini merupakan suatu pelanggaran yang
amat besar terhadap kebiasaan untuk menjaga kesehatan badan.”
“Selama beberapa bulan akhir-akhir ini aku mulai merasakan tubuhku ada sedikit
perubahan, tetapi dikarenakan waktu buat bertanding telah mendekat maka aku tak
berani berhenti berlatih.”
“Sekalipun badanku tidak bisa menandingin tegapnya badan gie hu mu tetapi tenaga
dalam yang aku latih merupakan sim hoat tingkat teratas dari aliran Buddha, jikalau aku
betul-betul bisa baik-baik berjaga diri maka umurku bisa mencapai seratus tahun lebih.”
“Kini keadaanku sudah mirip dengan anak panah yang siap dibidikan, yang mau tak
mau harus dibidikan juga, keadaan demikian rasanya Gie hu serta Liauw Sian Ci pun telah
lama mempunyai perasaan seragam ini pula.”
Sepasang mata dari sisastrawan berusia pertengahn itu dengan amat tajam dialihkan
keatas wajah Siauw Ling kemudian ujarnya kembali, “Karena itu aku merasa
kedatanganmu sangat tepat pada waktunya karena bilamana kau datang lebih pagian
beberapa tahun saja dimana nafsu ingin menang pada hati kami masih berkobarkobarnya,
jangan harap nyawamu masih bisa dipertahankan. Sebaliknya bila kau datang
terlambat beberapa tahun lagi yang kau jumpai hanyalah sosok kerangka manusia saja.
heeeii! memang rejekimu ternyata kau bisa tepat datang pada saat nafsu kami sudah
padam untuk menjelang kematian.”
Segulung angin gunung bertiup datang membuat ayunan yang terbuat dari rotan itu
bergoyang tiada hentinya hati Siauw Ling jadi gugup tak kuasa lagi tubuhnya terjungkal
keluar dari ayunan itu.
Tetapi dengan cepat sisastrawan berusia pertengahan itu goyangkan tangannya, rotan
yang di tangan itu dengan cepat melayang keluar melihat tubuh Siauw Ling yang terjatuh
dan menyentaknya kembali keatas ayunan.
“Kau takut tidak?” tanyanya sambil tersenyum.
************http://ecersildejavu.wordpress.com/***************
“Ada sedikit takut juga.”
“Bilamana kau berhasil mempelajari silat dari kami bertiga maka dikolong langit pada
saat ini mungkin tak bakal ada yang bisa menangkan dirimu lagi, sebaliknya bilamana kau
terseret ke dalam aliran hitam maka kaulah satu-satunya bibit bencana yang paling besar.”
“Perkataan dari Locianpwee ini sedikitpun tidak salah, tetapi boanpwee harus berbuat
bagaimana?”

“Lewat tiga bulan lagi adalah saat kita bertiga untuk bertanding ilmu silat,” ujar
sisastrawan berusia pertengahan itu. “Sambil waktunya aku akan berunding dengan gie hu
mu untuk mencarikan satu akal menurunkan dasar-dasar belajar ilmu kweekang!”
“Menguasai diriku dengan berbuat sesuatu dibadanku?” pikir Siauw Ling dalam hati.
“Berita ini benar-benar sangat aneh sekali.”
Tetapi sisastrawan berusia pertengahan itu tidak berbicara lagi, ia hanya menurunkan
cara-cara dasar kweekang, setelah itu bangun berdiri dan meninggalkan tempat tersebut
dengan meloncat turun ke bawah.
“Ooow! Aku kira dia akan meloncat turun begitu saja, kiranya iapun meminjam
kekuatan dari tali rotan tersebut” kembali pikir bocah itu di dalam hati.
Haruslah diketahui jarak antara permukaan tanah dengan ayunan tersebut ada tiga
puluh kaki tingginya, sekalipun jagoan yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang
bagaimana lihaynyapun kiranya sukar juga untuk meloncat turun dengan begitu saja.
Gerakan dari sisastrawan berusia pertengahan itu amat gesit serta cepat laksana
sambaran kilat hanya di dalam sekejap saja ia telah lenyap dari pandangan.
Saat ini tinggal Siauw Ling seorang diri duduk di atas ayunan tersebut dalam hati ia
merasa takut bilamana ada angin gunung yang bertiup mendatang sehingga membuat
tubuhnya terjungkir jatuh, takut pula bilamana ayunan rotan itu tiba-tiba terputus.
Di tengah hati yang berdebar-debar penuh rasa kuatir itu bocah tersebut jadi
kebingungan dan kelabakan dengan sendiri tapi lama kelamaan membuat ia jadi tak bisa
dan mulai berlatih dasar kweekang sesuai dengan ajaran orang itu.
Menanti hari hampir mendekati jauh malam sisastrawan berusia pertengahan itu baru
balik keatas ayunan dengan membawa beberapa biji buah-buahan serta seekor ayam yang
telah dipanggang.
“Bocah inilah bahan makananmu untuk dua hari,” katanya sambil tertawa.
Selesai membicarakan bahan makanan itu kepada Siauw Ling iapun putar tubuh dan
berlalu dari sana.
Malam semakin kelam angin gunung bertiup semakin santar membuat ayunan tersebut
bergoyang tiada hentinya semakin lama semakin keras sehingga terasa amat mengerikan.
Dalam hati Siauw Ling merasa amat takut tetapi iapun tal dapat berbuat apa-apa
karena itu terpaksa kembali berlatih ilmu kweekangnya hingga berada pada keadaan lupa
segala-galanya.
Berturut-turut dua hari dua malam tak tampak sisastrawan berusia pertengahan itu
balik kembali. Siauw Ling yang melihat bahan makanan telah habis dan melihat pula
munculnya sang sastrawan tersebut hatinya mulai terasa bingung kembali.
Perut terasa keroncongan sukar tertahan sang suryapun mulai lenyap dibalik gunung
membuat cahaya yang memancar keatas salju memantulkan sinar yang menyilaukan
mata.

Semakin lama perhatian bocah itu mulai tersirap pada indahnya pemandangan
perutnya, yang laparpun perlahan-lahan mulai lenyap pikirnya, “Sungguh sayang sekali
pemandangan indah dari sang surya yang memantulkan cahayanya karena salju hanya
berlangsung sebentar saja suatu pemandangan yang begitu indah sebentar lagi bakal
musnah dari pandangan…”
Sewaktu ia sedang memandang ke depan dengan termangu-mangu itulah mendadak
dari balik puncak yang bersalju putih berkelebat datang setitik bayangan hitam.
Gerakan bayangan hitam itu amat cepat dan lincah hanya di dalam sekejap saja
bayangan tersebut telah tiba di dalam lembah itu.
Waktu itu secara samar-samar ia bisa menangkap bila titik hitam itu tidak lain adalah
burung rajawali besar yang membawanya datang ke tempat itu.
Melihat akan munculnya sang burung Siauw Ling jadi sangat girang.
“Engkoh rajawali engkoh cepat bawa aku turun dari sini untuk memetik beberapa biji
buah-buahan!” teriaknya dengan keras.
Ia merasa burung rajawali itu benar-benar luar biasa besarnya dan jarang sekali
ditemuinya dikolong langit, bahkan di atas kitab yang pernah dibacanyapun belum pernah
melihat adanya burung semacam rajawali ini.
Tetapi burung raksasa itu sama sekali tidak menggubris teriakannya hanya tiba-tiba
sayapnya ditutup kembali kemudian menukik melayang turun kedasar lembah.
Menurut perkiraan dari Siauw Ling tempat itu tentulah pohon siong besar yang tumbuh
didekat bangunan rumah kayu itu.
“Heeei bagaimanapun burung bukanlah manusia, mana mungkin ia mengerti perkataan
manusia?” pikir bocah itu diam-diam.
Sang surya mulai lenyap dibalik gunung sinar yang memancar keluarpun mulai sirat
berganti dengan udara gelap yang mencekam seluruh jagad, beribu-ribu bintang
memancarkan sinarnya yang berkedip menandakan malam telah menjelang, tetapi
sisastrawan berusia pertengahan itu belum juga kelihatan kembali.
Akhirnya Siauw Ling menghela napas panjang, dan mulai bergumam, “Kelihatannya
malam ini tak mungkin kembali! Heeeei!” dengan rasa kecewa ia menutup matanya rapatrapat
dan kembali berlatih dasar kweekangnya sesuai dengan ajaran yang pernah diterima
olehnya dari sastrawan tersebut.
Waktu lewat dengan cepatnya, hanya di dalam sekejap mata saja tiga hari telah
berlalu, Siauw Ling dengan menahan laparpun berhasil melewati tiga hari itu dengan hasil
yang tak terduga olehnya…
Karena jengkel harus menahan lapar bocah itu telah memusatkan perhatiannya untuk
berlatih ilmu kweekang, karena hanya berada dalam keadaan lupa diri saja yang bisa
membuat bocah itu melupakan rasa lapar diperutnya.

Walaupun ia mempunyai semangat bertahan yang melebihi orang lain dengan sifatnya
yang keras kepala pula tetapi siksaan tersebut benar-benar luar biasa sekali.
Setiap kali ia tersadar dari semedinya bocah itu segera merasa perutnya panas seperti
dibakar kecuali itu iapun harus menderita terjemur di bawah teriknya panas sinar
matahari.
Setiap kali menjelang berhasilnya untuk melupakan diri ia harus menderita dulu siksaan
yang maha berat.
Hari itu ketika ia tersadar kembali dari semedinya mendadak terciumlah bau harum dari
daging panggang yang menusuk hidung.
Buru-buru ia menoleh ke belakang tampaklah sisastrawan berusia pertengahan itu
sambil tersenyum telah berdiri dibalakangnya, seiris ayam panggang yang menyiarkan bau
semerbak tiada hentinya menyerang hidung Siauw Ling.
Lama kelamaan bocah itu tidak kuat menahan diri lagi kepingin sekali tangannya cepatcepat
menyambar ayam tersebut untuk disikat tanpa banyak sungkan-sungkan.
“Bocah, kau merasa tersiksa bukan?” tanyanya sisastrawan tersebut sembari angsurkan
ayam itu kepadanya.
Jilid 15
Teringat akan siksaannya selama beberapa hari ini untuk menahan rasa lapar dan
teriknya sinar sang surya kepingin sekali ia memaki tapi akhirnya ia tertawa tawar.
“Sedikit siksaan perut lapar masih belum terhitung apa-apa!” katanya.
Dengan cepat sisastrawan berusia pertengahan itu mengangguk.
“Untuk menjadikan seorang manusia yang kuat pertama-tama harus mempunyai tulang
yang kuat tahan siksaan dan harus bersabar. Bocah hasil yang kau peroleh betul-betul
berada diluar dugaanku semula cepat makanlah ayam ini dulu!” katanya.
Siauw Ling yang hampir-hampir saja menjadi lemas saking laparnya segera menerima
panggangan ayam itu dan menyikatnya sampai habis.
Ketika kepalanya didongakkan kembali untuk kedua kalinya sisastrawan tersebut telah
lenyap tak berbekas.
“Heee… kepergiannya kali ini entah sampai kapan baru kembali lagi?” pikir bocah itu
dihati, “Aku harus mengadakan persiapan guna menghadapi perut yang lapar!”
Di tempat yang naik tak sampai langit turun tak sampai ditanah ini satu-satunya yang
mengganggu dirinya hanyalah soal lapar saja tetapi kini telah mengetahui ilmu pelajaran
kweekang sehingga bisa juga menahan siksaan tersebut hatinya jadi rada tenteram.

Sedikitpun tidak salah, kepergian dari sisastrawan tersebut kali ini ternyata
membutuhkan waktu empat hari lamanya baru muncul kembali sambil membawa
panggangan ayam serta buah-buahan yang segar.
Tenaga dalam Siauw Ling memperoleh kemajuan yang sangat pesat. Semakin lama dia
bersemedi siksaan badan yang diterimapun semakin berkurang.
Selang berganti malam. Malam kembali kesiang, hanya di dalam sekejap mata tiga
bulan kembali lewat tanpa terasa.
Di dalam tiga bulan ini Siauw Ling telah merasakan pengalaman ngeri yang selamanya
belum pernah ia rasakan, curahan hujan kencang, kilatan guntur yang membelah bumi
serta tiupan angin yang kencang membuat ia yang berada di atas ayunan rotan merasa
dirinya seperti berada disebelah perahu kecil di tengah amukan ombak samudra yang
terserang taupan naik turun bergoyang kekiri kekanan tiada hentinya.
Dalam hati bocah itu hanya merasa takut bilamana dirinya tertiup jatuh oleh tiupan
angin taupan yang amat kencang atau tali rotan terikat pada kedua belah ujung tebing
secara tiba-tiba putus jadi dua.
Tetapi setiap kali ia berada dalam keadaan terkejut dan ketakutan itulah segera
menggunakan ilmu semedhinya untuk memaksa dirinya berada dalam keadaan lupa
segala-galanya.
Di dalam anggapan Siauw Ling cara inilah cara yang paling baik untuk menghindarkan
diri dari perasaan takut dan ngeri yang mencekam saat itu setelah melewati halangan itu
maka dengan lancarnya ia bakal meneruskan pelajarannya hingga tingkat teratas waktu
tiga bulan yang amat singkat itu sudah cukup baginya untuk memiliki dasar ilmu tenaga
dalam yang dahsyat.
Waktu itu ia baru saja tersadar dari semedhinya, terasa aliran darah dibadannya
beredar sangat lancarnya membuat tubuhnya terasa amat segar.
Tetapi satu keinginan yang anehpun ikut muncul dibenaknya kepingin sekali meloncat
turun ke bawah jurang yang ada dibawahnya perasaan itu begitu mendesak sehingga
hampir sukar tertahan.
Buru-buru dengan perasaan yang mantap dan sadar ia mencegah perasaan itu akhirnya
setelah bersusah payah selama beberapa saat hatinya baru terasa jadi tenang kembali.
Menanti ia tersadar kembali untuk kedua kalinya malampun telah menjelang sang
rembulan memancarkan cahayanya jauh di tengah awan-awan sedang sisastrawan berusia
pertengahan itu entah sejak kapan telah kembali di atas ayunan rotan tersebut.
Waktu itu dengan pandangan yang memancarkan sinar keheranan ia memandang terus
ke arah Siauw Ling lalu mengangguk sambil memuji, “Bocah bakatmu benar-benar luar
biasa sekali hatimu tenang bagaikan permukaan air telaga dan keras laksana baja baru
saja lolos dari suatu mara bahaya!”
“Mara bahaya apa?”

“Bukankah tadi kau punya perasaan ingin terbang dan meloncat turun dari atas ayunan
ini?”
“Aaah! Betul!” seru Siauw Ling keras. “Tetapi aku takut bilamana sampai terjatuh dari
atas ayunan itu maka dengan susah payah perasaan tersebut aku usahakan dihati.”
“Ehmmm…! dari perasaan jadi tenang itulah kunci rahasia dari pelajaran Sim Hoat ilmu
kweekang aliran kami,” sahut sisastrawan itu sambil tersenyum. “Bocah! tanpa kau sadari
rahasia tersebut telah berhasil kau dapatkan.”
“Soal ini boanpwee masih rada tidak paham” kata Siauw Ling sambil manggut-manggut.
“Heeei…!” sisastrawan berusia pertengahan itu menghela napas dan menengada keatas
langit.
“Kini tak ada waktu lagi untuk membicarakan soal ini dengan dirimu, mari kita pergi!”
“Ehmmm! Masih ada lagi Liuw Sian Ci.”
Tangannya tiba-tiba menyambar ke depan untuk mencengkeram tubuh Siauw Ling
kemudian dengan cepat meloncat turun dari atas ayunan itu dan melayang ke depan.
Siauw Ling hanya merasakan angin bertiup membukakan badan hatinya terasa bergidik
sehingga buru-buru memejamkan matanya rapat-rapat.
Terasa tubuhnya melayang di tengah udara kemudian dengan menentang angin
meluncur ke depan hatinya.
“Menemui Gie hu ku??” teriak Siauw Ling kegirangan karena saat ini bocah tersebut
sudah amat kangen dengan ayah angkatnya itu benar-benar merasa kuatir bilamana
sisastrawan berusia pertengahan itu salah menginjak sehingga jatuh ke dalam jurang.
Ketika berbagai pikiran lagi berkelebat dihatinya itulah mendadak tubuhnya telah
berhenti bergerak.
Kiranya saat itu mereka berdua sudah berhenti di atas sebuah puncak gunung yang
penuh tertutup oleh salju nan putih.
Luas puncak itu tidak lebih hanya dua kaki saja bening dan licin laksana kaca, di bawah
pantulan sinar rembulan memancarkan cahaya yang menyilaukan mata.
Kurang lebih tujuh depa disebelah kiri mereka duduk bersila seorang perempuan
berusia pertengahan dengan rambut yang terurai memanjang dan berwajah amat cantik
dialah tentunya Liuw Sian Ci itu.
Disebelah kanannya duduklah si orang tua berjubah kuning, Lam Ih Kong. Muka
mereka kelihatan begitu serius dan angkernya.
Perlahan-lahan sisastrawan berusia pertengahan itu meletakkan Siauw Ling keatas
tanah kemudian iapun duduk bersila dan memejamkan matanya.
Terhadap diri Siauw Ling ia tidak menggubrisnya kembali.

Siauw Ling yang telah diturunkan keatas salju segera merasakan tempat itu amat licin
dan sukar sekali untuk bergerak.
Belum sempat ia buka bicara terlihatlah Lam Ih Kong telah membuka matanya dan
memandang sekejap ke arah Siauw Ling.
“Cung heng, siauwte telah menyusahkan diri,” katanya sambil tersenyum.
“Untung saja tidak sampai kehilangan nyawa saat ini putramu telah memperoleh Sim
Hoat dari pelajaran ilmu kweekang aliranku, bilamana malam ini siauwte tidak mati, maka
tiga tahun kemudian siauwte pasti segera akan menurunkan seluruh kepandaianku.”
“Heee… heee… bilamana malam ini kita masih juga tidak berhasil menentukan menang
kalah aku rasa dilain waktu tak ada kesempatan lagi untuk bertanding” seru Liuw Sian Ci
tiba-tiba dengan suaranya yang dingin.
“Haaa… heee… siauwte pun mempunyai perasaan demikian,” sahut sisastrawan berusia
pertengahan itu sambil tertawa nyaring.
Tenaga dalam serta ilmu pedang dari Cung heng jauh melebihi siauwte satu tingkat,
aku merasa tak ada kekuatan untuk bisa menangkan diri,” sambung Lam Ih Kong.
“Heee… heee, kalau begitu kau bisa menangkan diriku bukan!” teriak Liuw Sian Ci
sambil tertawa dingin.
Tangan kanannya pun diayunkan melancarkan serangan jari, serentetan desiran
serangan dengan cepat menyambar ke arah dada Lam Ih Kong.
Tetapi telapak kiri dari Lam Ih Kong dengan cepat dikebaskan kesamping menyambut
datangnya serangan jari tersebut.
“Braaak…!” dengan menimbulkan suara getaran amat keras, tubuh mereka berdua
sama-sama bergoyang dan tak kuasa lagi pada mundur setengah depa ke arah belakang.
“Hmmm! Selama lima tahun ini kekuatan tenaga pukulanmu jauh lebih hebat beberapa
kali lipat” seru Liuw Sian Ci dengan dingin.
Tetapi sepasang telapaknya kembali melancarkan lima buah serangan totokan yang
amat dahsyat.
“Mana, mana… kekuatan serangan jari dari Liuw Sian Ci tidak berada di bawah
kekuatan siauwte,” seru Lam Ih Kong pula dengan suaranya yang tawar.
Sambil berbicara sepasang telapak berturut-turut menari di tengah udara melancarkan
pukulan-pukulan yang amat dahsyat laksana ambruknya gunung Thay-san untuk
memusnahkan kelima buah serangan jari tersebut.
Sebetulnya Siauw Ling sedang berjalan menuju ke arah Gie hunya tetapi berhubung
permukaan salju disana amat licin sehingga sulit untuk dilalui maka itu walaupun jaraknya
hanya beberapa depa saja tetapi sulit untuk dilalui.

Selagi ia berjalan sampai di tengah jalan Liuw Sian Ci telah bergebrak dengan Lam Ih
Kong, dimana serangan jari saling berbenturan dengan angin pukulan memaksa Siauw
Ling tidak kuasa untuk melanjutkan kembali langkahnya.
Terpaksa ia duduk bersila disana menonton jalannya pertempuran tersebut.
Sejak semula Lam Ih Kong telah memperhatikan dirinya, dengan sekuat tenaga si orang
tua itu segera memukul kesamping setiap serangan jari dari Liuw Sian Ci yang
mengarahnya.
Semakin bergebrak semakin seru, serangan jari dari perempuan itu tiada putusnya
menerjang ke arah si orang tua tersebut.
Sebaliknya Lam Ih Kong dengan posisi bertahan sepasang telapak tangannya
mendorong kekiri menghantam kekanan memusnahkan datangnya setiap serangan.
Sebenarnya Siauw Ling bermaksud hendak memanggil Gie hunya, melihat serangan
berdua semakin lama semakin lancar sehingga pertempuranpun semakin seru karena takut
mengganggu perhatian dari ayah angkatnya ia lantas batalkan maksudnya itu.
Ketika menoleh lagi ke arah sisastrawan berusai pertengahan itu, tampaklah dengan
tenangnya ia duduk bersila di atas tanah dan terhadap perempuan yang sedang
berlangsung sama sekali tidak ambil perduli.
Mendadak segulung angin pukulan yang amat keras menyambar batang menghantam
tubuh Siauw Ling yang sedang duduk dipinggir kalangan itu, maka tak kuasa lagi tubuhnya
menggelincir dan terjungkal ke bawah puncak tersebut.
Lam Ih Kong yang melihat Siauw Ling terpukul luka hatinya jadi teramat gusar.
Sehingga ia segera melancarkan dua buah serangan pukulan yang amat gencar menghajar
tubuh Liuw Sian Ci.
Walaupun ia mempunyai kekuatan untuk balas melancarkan serangan tetapi tak
memiliki kekuatan untuk memecahkan perhatian memotong diri Siauw Ling.
Terlihatlah sepasang tangan Siauw Ling menyambar secara serabutan untuk mencekal
apa saja yang tumbuh disana tetapi sayang tak sedikit bedapun yang bisa digunakan
olehnya.
Mendadak sisastrawan berusia pertengahan itu melancarkan satu cengkeraman ke
depan Siauw Ling hanya merasakan segulung tenaga hisapan yang luar biasa besarnya
menarik dirinya mentah-mentah ke arah belakang.
“Oooow… Locianpwee terima kasih atas pertolonganmu ini!” seru Siauw Ling dengan
suara rendah ujung bajunya tiada hentinya mengusap keringat yang mengucur keluar.
Tetapi sisastrawan berusia pertengahan itu tetap tidak berbicara matapun sama sekali
tak berkedip agaknya pada waktu ini sama sekali tak ada waktu baginya untuk bercakapcakap.

Perlahan-lahan Siauw Ling menoleh ke arahnya di bawah sorotan sinar rembulan
terlihatlah dari atas ubun-ubunnya secara samar-samar terlintas selapis kabut putih yang
membubung tinggi keangkasa wajahnya amat keren dan serius.
Melihat akan sikapnya itu bocah tersebut segera mengetahui kalau sastrawan tersebut
sedang mengatur pernapasannya mencapai pada taraf yang genting karena itu
mulutnyapun terpaksa membungkam kembali.
Siauw Ling merasa dirinya saat ini harus tenang dan tidak mungkin bisa bergerak
kesana kemari untuk mengganggu perhatian ayah angkatnya untuk melihat pertandingan
itu hatinya merasa kuatir makanya satu-satunya cara adalah menutup matanya rapatrapat.
Berpikir akan cara tersebut Siauw Ling lantas bersila dan mulai mengatur
pernapasannya hingga mencapai pada keadaan lupa segala-galanya.
Tetapi keadaannya kali ini jauh berbeda dengan keadaan biasanya ia merasa sulit untuk
pusatkan perhatiannya untuk mengatur pernapasan setiap kali matanya dipejamkan setiap
kali rasa kepingin membuka mata mendesak terus hatinya.
Waktu itu pertempuran antara Lam Ih Kong dengan Liuw Sian Ci tidak seseru
pertempuran tadi setelah saling berpandangan beberapa saat lamanya mereka baru saling
melancarkan satu serangan.
Tenaga serangan jari serta telapakpun tidak santer tadi kini semua serangan
menyambar tanpa menimbulkan sedikit suara.
Bocah itu mana mengetahui kalau pertempuran semacam ini justru merupakan
serangan yang terseru setiap serangan jari maupun telapak semuanya sudah
menggunakan seluruh tenaga bahkan masing-masing pihak harus menggunakan tenaga
dalamnya sendiri-sendiri untuk menekan dan menerima setiap serangan musuh.
Bilamana seseorang yang tidak memiliki tenaga dalam yang sempurna kontan pasti
akan terluka parah bahkan mungkin juga binasa.
Menanti tiga belas jurus telah berlalu mendadak mereka berhenti menyerang dan saling
mengatur pernapasannya sendiri-sendiri.
Entah sudah lewat beberapa saat lamanya walaupun rembulan telah condong
kesebelah barat mereka berdua belum juga mulai lagi melancarkan serangannya.
“Cung Sam Pek!” tiba-tiba terdengar “Liuw Sian Ci hendak menimbang-nimbang ilmu
pedang cayhe?” kata Cung San Pek sambil tersenyum.
“Sedikitpun tidak salah, cepat cabut keluar pedangmu!”
Cung Sam Pek pun segera merogoh ke dalam pedang pendek sepanjang lima enam
coen. Setelah mencabutnya dari dalam sarung lantas berpikir, “Pedang pusaka sebegitu
kecilnya apakah mungkin bisa melukai orang lain…”
Selagi ia merasa keheran-heranan itulah mendadak tampaklah Cung Sam Pek
menggetarkan pedang pendeknya lalu menyambitnya ke depan.

Pisau tersebut dengan cepat berputar setengah lingkaran di tengah udara kemudian
dengan dahsyatnya menyambar ke arah Liuw Sian Ci.
“Wooou, kiranya ia menggunakan pedang pendek tersebut sebagai senjata rahasia!”
pikir Siauw Ling kembali.
Liuw Sian Ci yang melihat datangnya serangan pedang itu dengan cepat mengayunkan
jari tangannya menotok ke arah pedang tersebut.
Begitu terkena totokan pedang pendek tersebut segera menggetar dan berputar
beberapa kali di atas udara kemudian sekali lagi menerjang ke arah Liuw Sian Ci.
Terlihatlah jari tangan Liuw Sian Ci menotok dengan tiada hentinya kesana kemari
tetapi pedang pendek itu bagaikan memiliki sayap saja selalu tidak mau mundur ke
belakang.
Kiranya Cung San Pek telah menggunakan tenaga hisapan ditelapaknya untuk
menguasai pedang pendek tersebut sehingga bisa berputar-putar dan menari-nari sesuai
dengan kehendaknya.
Kurang lebih setengah jam kemudian mendadak Cung San Pek mengulapkan tangan
kanannya ke arah sebelah barat.
serentetan cahaya putih laksana sambaran kilat menyambar ke arah mana disusul
dengan suara bentrokan yang amat keras bergema memenuhi angkasa.
Sebuah batu yang amat besar seketika itu juga terhajar patah menjadi dua bagian.
“Cung heng, ilmu pedang Ih Kiam Hoat mu benar-benar memperoleh kemajuan yang
amat pesat” kata Lam Ih Kong keras.
“Lam heng, kau terlalu memuji diri siauwte,” sahut Cung San Pek sambil ulapkan
tangannya menarik kembali pedang pendeknya.
“Hm, sekalipun ilmu pedang Ih Kiam hoatnya menjagoi Bulim pun tak bisa melukai aku
Liuw Sian Ci!” seru si perempuan tak terima.
“Hee… hee… urusan ini ada apanya yang patut diherankan, asalkan tidak bisa melukai
kau Liuw Sian Ci, siauwte percaya untuk melukai aku orangpun tidaklah mudah” sambung
Lam Ih Kong pula dengan cepat.
Mendadak Cun San Pek menghela napas panjang.
“Hei…! Perkataan dari kalian berdua sedikitpun tidak salah.”
“Sekalipun siauwte berlatih selama lima tahun lagipun sukar untuk menangkan kalian
berdua.”
Liuw Sian Ci serta Lam Ih Kong masing-masing pada termenung tidak berbicara
padahal hati mereka berdua benar-benar merasa kecewa.

Mereka bertiga telah bertanding selama puluhan tahun lamanya, diluaran sekalipun
tidak berhasil membedakan siapa yang menang, siapa yang kalah tetapi di dalam hati
mereka berdua pada mengerti kalau Cung San Pek sebetulnya jauh lebih hebat dari
mereka berdua.
Lama sekali baru terdengar Lam Ih Kong berkata kembali, “Cung heng tidak usah
merendah lagi sekalipun kau tak mudah mengalahkan cayhe tetapi siauwte mengakui
kalau di dalam hal tenaga dalam masih bukan tandingan dari diri Cung heng, bilamana
Thian mengijinkan kita bertiga untuk hidup sepuluh tahun lagi, aku rasa di dalam seribu
jurus ada kemungkinan Cung heng bakal berhasil mengalahkan siauwte!”
“Mana, mana… Lam heng terlalu memuji siauwte.”
“Hmm! Lam Ih Kong, jadi kau sudah mengalah” dengus Liuw Sian Ci dengan dingin.
“Perkataan dari siauwte adalah kata-kata yang sungguh-sungguh dan diucapkan
sejujurnya.”
“Tahukah kalian semua kalau kita sudah sukar untuk hidup lebih dari lima tahun lagi!”
seru Liuw Sian Ci kembali sinar matanya dengan perlahan menyapu sekejap ke arah Cun
San Pek kemudian sambungnya lagi, “Bilamana kita mati, sudah tentu Cung San Pek bakal
memperoleh kemenangan tanpa susah-susah lagi.”
Walaupun Liuw Sian Ci adalah golongan perempuan tetapi rasa ingin menang masih
amat besar dan melampaui orang-orang lelaki itu malu terdengar ia terdengus dengan
dinginnya.
“Walaupun ilmu khie kang dari Ih Kiam Hoatnya jauh melebihi kita tetapi di dalam ilmu
telapak serta ilmu jari ia masih kalah satu tingkat dari kita orang.”
“Haaa, haa, haa perkataan dari liuw Sian Ci sedikitpun tidak salah” sahut Cung San Pek
sembari tertawa. “Kita bertiga sudah ada puluhan kali mengadakan pertandingan tetapi
selalu diakhiri dengan hasil seimbang. Heei! kalian berdua pada merasa sukar untuk
bertemu kembali pada pertandingan lima tahun yang akan datang siauwtepun mempunyai
perasaan yang sama.”
Berbicara sampai disini ia berhenti sebentar, kemudian setelah hembuskan napas
panjang sambungnya lagi, “Pada beberapa bulan akhir-akhir ini siauwte merasa di dalam
tubuhku terjadi suatu perubahan yang sangat aneh, terus hingga kehabisan tenaga
sampai kelelahan mungkin kita bertiga tidak bakal bisa hidup tiga bulan lagi.”
“Tentang soal ini siauwtepun mempunyai perasaan yang sama,” ujar Lam Ih Kong
membenarkan.
Dan dengan pandangan sayu Liuw Sian Ci memandang sekejap ke arah Cung San Pek
serta Lam Ih Kong, akhirnya iapun menghela napas panjang.
“Heee… kalau begitu kalian berdua sudah tak ingin memperebutkan nama kosong
lagi??” katanya.
“Haaa… haaa, ilmu jari serta ilmu meringankan tubuh dari Liuw Sian Ci tanpa tandingan
dikolong langit, sekalipun siauwte belajar tiga puluh tahun lagi juga sukar untuk

mengimbangi kepandaianmu itu!” teriaknya Cung San Pek sembari tertawa terbahakbahak.
“Beberapa macam ilmu menyambit senjata rahasia dari Liuw sian Ci seperti Sam Yen
Lian Tie Man Thian Hoa Yu serta Ngo Hong Tiauw Yang, sudah cukup membuat siauwte
merasa amat kagum” sambung Lam Ih Kong pula.
Liuw Sian Ci yang mendengar perkataan tersebut segera menghela napas panjang
mendadak ia bangun berdiri, putar badan dan hanya di dalam sekejap saja telah lenyap
dari atas puncak bersalju itu.
“Lam heng!” ujar Cung San Pek setelah melihat bayangan perempuan itu lenyap dari
pandangan. “Sesaat itu menjelang kematian masing-masing ternyata telah berhasil
melepaskan rasa ingin menang dihati kita maka terhadap kita bertiga boleh dikata
merupakan suatu keuntungan atau paling sedikit juga memberi kesempatan buat kita
untuk hidup dua tahun lagi.”
Lam Ih Kong menghela napas panjang, perlahan-lahan ia menoleh ke arah Siauw Ling
katanya, “Cung heng, harap kau suka menjaga baik-naik anak angkat dari siauwte ini,
siauwte disini mengucapkan terima kasih dulu.”
Selesai berkata iapun bangun berdiri dengan langkah perlahan turun dari puncak
tersebut.
“Lam heng, kau tidak usah kuatir” sahut Cung San Pek sambil tersenyum pahit.
“Siauwtepun tidak ingin membawa mati seluruh kepandaian silat yang aku miliki dan susah
payah selama ini.”
“Gie hu!” tiba-tiba Siauw Ling berteriak kesana sambil bangun berdiri.
Kemudian dengan cepat ia mengejar dari belakang.
Tetapi karena puncak gunung itu dilapisi dengan salju yang amat tebal dan licin, maka
baru saja Siauw Ling berlari dua langkah tubuhnya sudah terjatuh keatas tanah, karena
tenaga larinya tadi maka tubuhnya yang terjatuh meneruskan daya luncurnya ke bawah
puncak.
Tangan kanan Lam Ih Kong buru-buru diulapkan ke depan, segulung tenaga yang amat
lunak tetapi kuat segera mendorong ke arah tubuh Siauw Ling yang sedang meluncur ke
bawah puncak itu.
Begitu tubuhnya terkena dorongan tersebut kontan segera terpental mundur ke
belakang.
Bersamaan itu pula terdengar suara dari Lam Ih Kong berkumandang ke dalam
telinganya.
“Bocah berlatih ilmu silat paling pantang adalah pecahnya perhatian karena urusan ini
mempengaruhi jadi tidaknya dirimu maka aku tidak ingin kau mengingat-ingat terus diriku
baiklah mengikuti empek Cung untuk belajar ilmu silat kau bocah yang bisa memperoleh
perhatiannya untuk mewarisi Sim Hoat dari ilmu kweekangnya sudah merupakan satu
keuntungan buat dirimu.”

Nada suara itu penuh disertai rasa kasih sayang yang luar biasa.
Siauw Ling hanya merasakan darah panas bergolak dengan amat kerasnya di dalam
dada sehingga tak kuasa lagi titik-titik air mata berlinang membasahi wajahnya menanti
dia mendongakkan kepalanya kembali bayangan dari Lam Ih Kong telah lenyap tak
berbekas.
“Bocah kau tenangkanlah hatimu.” tiba-tiba terdengar Cung San Pek memberi
peringatan sembari menekan tangan kanannya keatas jalan darah Ming Buru Hiat pada
punggung Siauw Ling.
Bocah itu hanya merasakan segulung tenaga yang amat mengalir keluar dari telapak
tangan Cung San Pek dan menyerang ke dalam jantung terus mengalir keseluruh anggota
badan, urat nadi serta jalan darahnya. Buru-buru iapun mengerahkan tenaganya untuk
mendampingi aliran tersebut.
“Bocah!” terdengar Cung San Pek berkata lagi, “Gie hu mu Lam Ih Kong selama ini
bersifat dingin sombong dan tidak suka bergaul, tempo hari dialah yang mengusulkan
untuk pergi kemari bertanding ilmu silat. Penghidupan selama puluhan tahun di atas
gunung ini ternyata telah membuat sifatnya sama sekali berubah tempo hari ia suka
membunuh setiap orang yang mengganggu dirinya atau sedikit-dikitnya membuat orang
itu jadi cacat sehingga orang yang mendengar namanya pasti menaruh rasa jeri tiga
bagian terhadap dirinya. Heei! tidak disangka pada masa tuanya ia sudah berubah sifat
dan dapat menunjukkan kasih sayangnya terhadap dirimu.”
“Bocah, maka janganlah kau sia-siakan pengharapannya itu bukan saja ia berharap
agar aku suka mewariskan seluruh kepandaianku kepadamu bahkan diapun berharap agar
kau bisa mewarisi kepandaian silat dari kami bertiga.”
Kembali ia menghela napas panjang beberapa saat kemudian tambahnya lagi,
“Walaupun cara berpikir dalam hatinya amat susah tetapi bilamana dibicarakan urusan ini
sangatlah mudah sekali. Dengan menggunakan sisa hidup kami bertiga dan dengan
sepenuh tenaga pasti membuat kau orang menjadi seorang yang bisa kau pelajari hal ini
tergantung pada bakat serta daya tangkapmu sendiri.”
Siauw Ling hanya merasakan suatu tenaga tak wujud yang amat panas dan terus
mengalir masuk ke dalam tubuh.
Waktu ini ia kepingin sekali mengucapkan sepatah dua patah kata tetapi ternyata sulit
baginya untuk memecahkan perhatian.
Sejurus kemudian terdengar Cung San Pek melanjutkan kembali kata-katanya,
“Sebenarnya aku ingin mengadakan pembicaraan dengan Gie hu mu. Ingin aku
menurunkan seluruh kepandaianku kepadamu boleh-boleh saja, tetapi asalkan salah satu
jalan darahmu kutotok mati sehingga selama hidup kau sulit untuk menembusi jalan darah
Jien serta Ci dua urat, hal ini berguna agar kesempurnaanmu ada batasnya dan bisa
mengurangi rasa sombong setelah menamatkan pelajaran. Aku semula mengira dengan
sifat dari Gie hu mu ia tentu tidak menolong.”
“Karena itu tadi aku sudah mengadakan perundingan dengan gie hu mu melalui ilmu
menyampaikan suara, tertapi ternyata kali ini ia menolak usulku ini. Ia berkata kali ini

sifatmu sangat baik dan menurut perhitungannya tidak bakal bisa mencelakai Bulim dia
berkata bahwa orang yang ia bunuh tempo dulu terlalu banyak, meskipun yang dibunuh
itu adalah orang-orang jahat tetapi sifatnya terlalu berangasan, oleh sebab itu maksud gie
hu mu sekarang ingin meminjamkan kekuatan serta kepandaianmu dikemudian hari untuk
banyak berbuat pekerjaan baik sehingga dosa-dosa dari Gie hu mu selama inipun bisa
tertebus, bocah! melihat maksud yang begitu baik dari Gie hu mu ini akhirnya akupun
tidak ngotot lagi.”
Walaupun Siauw Ling kepingin sekali memberi jawaban tetapi tenaga yang menyerang
masuk ke dalam tubuhnya laksana menerjang berlaksa ekor kuda membuat ia tak kuat
untuk menguasainya walaupun dengan menggunakan seluruh tenagapun sukar untuk
menguasainya apalagi hendak berbicara.
“Selama beberapa hari ini, hasil yang kau capai benar-benar berada diluar dugaanku
semula,” sambung Cung San Pek kembali. “Karena itu telah memancing rasa ingin tahu
dari diriku, aku ingin tahu bilamana dikolong langit dapat muncul seseorang yang memiliki
silat gabungan dari Gie hu mu, LIuw Sian Ci serta kepandaianku apakah masih ada orang
yang bisa menandinginya!”
Selama ini berbicara terus seorang diri. Karena Siauw Ling yang hanya bisa mendengar
sukar baginya untuk menjawab.
Lewat sejurus kemudian akhirnya Siauw Ling berhasil pula untuk menguasai tenaga
panas yang menyerang keseluruh tubuhnya itu.
Sekonyong-konyong Cun San Pek menghela napas panjang.
“Aku masih mempunyai suatu harapan pribadi yang mengharapkan setelah kepandaian
silatku berhasil kupelajari dapat mewakili aku untuk mencari dua orang itu yang satu
adalah engkohku sedang yang lain adalah kawan perempuanku…”
************http://ecersildejavu.wordpress.com/***************
Kini Siauw Ling bisa mengambil waktu untuk berbicara katanya, “Bilamana nanti
boanpwee berhasil keluar dari lembah ini tentu akan melaksanakan harapan Cianpwee
yang dimaksudkan.”
Ia rada merandek, kemudian tanyanya, “Hanya entah saat ini mereka ada dimana?”
“Heeei… urusan ini bila dibicarakan memang kelihatannya sangat mudah tetapi bila
dilaksanakan sebetulnya susah, karena ada kemungkinan mereka telah mati ada
kemungkinan juga kini sudah terkurung di dalam istana terlarang.”
Siauw Ling yang mendengar disebutnya istana terlarang hatinya jadi tergetar amat
keras, hampir-hampir tenaga dalamnya tercabang ke arah tiga bagian.
Cung San Pek yang memiliki tenaga dalam sangat sempurna segera dapat merasa
keadaan tersebut, maka buru-buru ia menarik napas panjang-panjang dan segulung aliran
panas yang lebih besar menerjang masuk ke dalam tubuh Siauw Ling membantu dirinya
untuk memusatkan kembali tenaga yang hampir bercabang itu.

“Bocah” katanya perlahan. “Pembicaraan kita selama berlatih merupakan pentangan
yang terbesar dari belajar ilmu kweekang, cepatlah buang pikiran yang tak berguna dan
kosong hati, aku hendak membantu dirimu untuk menyerang beberapa bagian urat nadi
yang masih sulit untuk ditembus oleh hawa murni.”
Siauw Ling hanya merasakan segulung hawa yang amat panas mengalir keluar dari
telapak tangannya kemudian menerjang masuk ke dalam tubuhnya dengan amat dahsyat.
Dalam hati ia lantas sadar kalau sedikit kurang berhati-hati saja sehingga dapat
membuat hawanya bercabang dan dapat melukai urat lain sekalipun tidak sampai mati
tentu akan terluka parah dan harus duduk bersemedi selama beberapa bulan baru bisa
sembuh.
Karena itu ia tak berani berlaku gegabah lagi, pikirannya dengan cepat dikosongkan
dan mulai mengatur pernapasan serta menggabungkan hawa panas yang dikirim masuk
dari luar tubuh itu.
Perlahan-lahan akhirnya bocah itu telah berada dalam keadaan yang lupa segalagalanya.
Menanti ia tersadar kembali sang suryapun telah memancarkan cahayanya ditengahtengah
kepala kiranya siang hari telah menjelang tiba.
Puncak gunung ini tingginya melebihi puncak-puncak yang lain walaupun setiap tahun
berada di bawah sorotan sang surya tetapi tebalnya salju ada beberapa depa yang telah
membeku selama ratusan bahkan ribuan tahun lamanya.
Sewaktu musim kemarau di bawah sorotan sang matahari yang amat panas saljuku
pada melumer tetapi bilamana sinarnya mulai lemah lumeran air itupun membeku kembali.
Ketika itu sang surya memancarkan sinarnya keatas permukaan salju sehingga
memantulkan cahaya keemas-emasan yang menyilaukan mata, hal ini membuat
pemandangan disana jadi amat indah.
Siauw Ling yang melihat akan hal tersebut saking girangnya segera berteriak keras,
“Locianpwee pemandangan di atas puncak bersalju ini benar-benar sangat indah sekali!”
Tetapi suasana tetap sunyi senyap tak kedengaran suara jawaban dari seorangpun,
sehingga membuat bocah itu buru-buru menoleh ke belakang dan terlihatlah bayangan
dari Cung San Pek telah lenyap tak berbekas.
“Aaakh… betul” pikir Siauw Ling dengan cepat. “Tempo hari ia tinggalkan aku seorang
diri di atas ayunan rotannya dengan maksud agar aku bisa berlatih dengan seluruh
perhatian, dan kini iapun tinggalkan aku seorang diri di atas puncak ini, sudah tentu
tindakannya ini mengandung maksud tentu.”
Kian mendekati siang hari sorotan sang surya pada waktu itu sampai salju yang
menutupi puncak yang amat tebal serta rasa dingin yang semakin menebal pula.
Di bawah sorotan sinar matahari yang amat panas serta di bawah lingkungan
menguapnya salju yang dingin, perasaan ini benar-benar sulit untuk dipertahankan.

Untuk melawan rasa dingin serta rasa panas yang mendesak kebadannya itu mau tak
mau Siauw Ling harus mengerahkan tenaga kweekangnya untuk melawan.
Walaupun ia sudah memperoleh pelajaran Sim Hoat dari ilmu kweekang aliran Cung
San Pek tetapi yang didapatnyapun tidak lebih hanyalah dasar-dasarnya saja sehingga
sampai saat ini ia masih belum mengetahui bagaimanakah caranya untuk mengerahkan
tenaga guna melawan serangan dari luar.
Tetapi di tengah desakan hawa panas serta dingin yang bercampur aduk, guna
mengurangi rasa siksaan dibadan sudah tentu dengan sendiri cara bagaimanakah untuk
mengatasi dan menahan serangan dari luar.
Malam akhirnya menjelang datang juga angin gunung bertiup laksana tiupan taupan
sehingga di atas puncak bersalju yang gundul tak ada tempat berlindung. Kini Siauw Ling
hanya merasakan badannya tersiksa sangat hebat di bawah tiupan angin yang sangat
dingin hatinya benar-benar merasa amat terperanjat.
“Angin bertiup begitu dahsyat dipuncak inipun gundul kelimis tak ada sesuatu apapun,
bukankah aku bisa tertiup jatuh ke bawah puncak?” pikirnya dihati.
Suatu keinginan untuk hidup dengan cepat muncul dihatinya, tanpa berpikir panjang
lagi ia segera memahami permukaan salju yang keras itu sehingga terbentuklah sebuah
liang kecil.
Akhirnya ia berjongkok di dalam liang kecil itu untuk melewati malam yang panjang.
Waktu berlalu laksana sambaran petir hanya di dalam sekejap saja Siauw Ling telah
hidup selama seratus hari lamanya di atas puncak salju yang gundul, selama seratus hari
ini baik pagi hari maupun malam hari ia harus merasakan sengatan panas matahari basah
kuyup kalau hujan tiupan angin taupan serta dinginnya salju.
Setiap beberapa hari sekali Cung San Pek selalu mendatangi puncak tersebut untuk
memberi beberapa petunjuk Sim Hoat dari ilmu kweekang serta mengirim sedikit rangsum
buatnya, tetapi selama ini ia belum pernah membicarakan soal turun dari puncak.
Siauw Ling yang keras kepala sudah tentu tidak suka bicara sendiri, iapun dengan
sabarnya berdiam terus disana.
Di tengah penghidupan yang sukar dan berbahaya di atas puncak bersalju ini memaksa
Siauw Ling untuk berusaha guna melawan panasnya sengatan matahari disiang hari serta
dinginnya tiupan angin bersalju dimalam hari.
Tetapi karena siksaan itu pula tenaga dalamnya telah memperoleh kemajuan yang
amat pesat.
Malam itu, udara bersih seperti baru saja dicuci, rembulan memancarkan sinarnya di
tengah tiupan angin gunung yang sepoi-sepoi terlihatlah Siauw Ling mengitari satu
lingakaran di atas puncak tersebut.
Melihat keindahan alam di sekeliling puncak tersebut membuat bocah ini merasa
semangatnya berkobar-kobar, tak kuasa lagi iapun bersuit panjang dengan nyaringnya.

Di tengah suara suitan yang amat nyaring itulah mendadak berkumandang datang
suara helaan napas perlahan.
“Heee seorang bocah yang benar-benar berhati keras.”
Mendengar suara tersebut Siauw Ling segera menoleh ke belakang, tampaklah kurang
lebih enam tujuh depa dari dirinya berdirilah seorang perempuan berusia pertengahan
yang memakai baju biru langit.
Pada seratus hari yang lalu dengan mata kepala sendiri ia melihat perempuan yang
terjadi diantara ketiga orang itu sehingga terhadap perempuan ini ia sudah menaruh
bayangan yang membekas di dalam hatinya.
Sekali pandang saja ia sudah mengenali kembali dia bukan lain adalah Liuw sian Ci
maka buru-buru Siauw Ling merangkap tangannya menjura.
“Boanpwee Siauw Ling menghunjuk hormat buat Liuw Locianpwee!” serunya.
“Bocah, kau sudah berapa lama tinggal di atas puncak bersalju ini??” tanya Liuw Sian Ci
tiba-tiba sambil tersenyum.
“Hingga tengah malam ini tepat seratus hari lamanya.”
“Hmm! Siucay miskin itu betul-betul sudah terkena racun dari Khong Hu Cu,” dengus
Liuw Sian Ci dengan dinginnya. “Apa itu gunanya menyiksa badan demi kesuksesan dan
meninggalkan kau seorang diri di atas puncak bersalju untuk menderita aku tidak percaya
kalau hanya dengan menahan siksaan tersengatnya panas matahari serta dinginnya salju
baru bisa memperoleh kepandaian silat yang lihay. Ayo jalan! ikuti aku turun puncak aku
mau suruh dia lihat bukan hanya dengan jalan menyiksa diri baru berhasil memperoleh
ilmu silat yang benar-benar lihay.”
Mendengar perkataan tersebut Siauw Ling segera merasa hatinya serba salah pikirnya,
“Gie hu ku berpesan agar aku suka belajar ilmu dari Cung Locianpwee walaupun aku tidak
mengangkat dia sebagai guru tetapi nyatanya aku mempunyai ikatan guru dan murid
dengan mana aku boleh meninggalkan tempat ini tanpa pamit.”
Selagi ia merasa kebingungan dan serba susah itulah mendadak di dalam telinganya
terdengar suara seseorang yang sangat lembut dan halus sekali.
“Bocah!” ujarnya. “Dari pada memohon orang lebih baik menanti orang siksaanmu
selama seratus hari ini boleh dikata tidak sia-sia belaka cepat ikutilah dirinya!”
Suara tersebut sudah sangat dikenal olehnya dan karena dia bukan lain adalah Cung
San Pek.
“Terima kasih atas maksud baik Locianpwee!” buru-buru Siauw Ling merangkap
tangannya memberi hormat.
“Hmm! Aku ingin menyuruh si siucay miskin itu mengetahui kalau tidak belajar tenaga
khie kang aliran Buddhapun bisa pula mencapai pada taraf kesempurnaan.” teriak Liuw
Sian Ci.

Semakin berbicara semakin panas, mendadak ia ayunkan jarinya menotok ke depan.
Segulung hawa serangan yang tak berwajud dengan cepat meluncur keatas permukaan
salju beberapa kali dari dirinya.
Sret! dengan menimbulkan suara yang amat keras, pecahan salju berhamburan
keempat penjuru kiranya permukaan salju yang keras bagaikan baja itu sudah kena
dihantam hingga mereka seluas satu depa persegi dengan membentuk sebuah liang
sedalam lima coen.
“Tenaga khie kang Kan Cing Kang Khie dari si siucay miskin itu ditambah pula dengan
pedang ditangannya belum tentu bisa menangkan ilmu jari sakti Siuw Loo Sin Cie ku,”
katanya kembali.
Tubuhnyapun segera melayang kesisi ketubuh Siauw Ling dan menyambar tubuh bocah
itu untuk diajak berlalu dari sana.
Ketika itu Siauw Ling telah mempunyai tenaga dalam yang bagus sekali nyalipun
bertambah besar melihat gerakan tubuh dari Liuw sian Ci yang melayang turun ke bawah
puncak laksana menyambarnya kilat dan hanya di dalam sekali. Dua kali loncatan saja
telah mencapai puluhan kaki dalam hati benar-benar ia merasa amat terperanjat.
Liuw Sian Ci langsung membawa Siauw Ling ke bawah lembah dan masuk ke dalam
rumah kayu di bawah pohon siong yang besar itu.
Keadaan dari ruangan rumah kayu itu kini sama sekali berbeda dengan keadaan tempo
dulu, kini tampaklah perabot diruangan tersebut diatur dengan begitu rapi dan megahnya.
“Bocah!” terdengar Liuw Sian Ci tersenyum manis. “Bukankah tempat ini jauh lebih
baikan dari pada keadaan di atas puncak gunung itu??”
“Benar!”
“Aku ingin mendidik ilmu silat yang lihay buat dirimu di tengah lingkungan yang
nyaman dan lebih terjamin.”
Demikianlah sejak saat itu Siauw Ling melewati penghidupan yang lebih nyaman dari
pada harus tersiksa di tengah puncak tetapi nafsu ingin menang dxari Liuw Sian Ci
sangatlah hebat sekali maka sekalipun penghidupan bocah itu nyaman tetapi disiplin serta
cara mendidik ilmu silat dari Liuw Sian Ci pun amat keras dan ketat sekali.
Satu tahun lewat dengan amat cepatnya dibwaha pengawasan serta didikan yang amat
keras dari Liuw Sian Ci ilmu jari sakti Siuw Loo Sin Cie dari Siauw Ling memperoleh
kemajuan yang amat pesat.
Di samping itu bocah itupun telah memperoleh warisan ilmu senjata rahasia serta ilmu
meringankan tubuh yang paling diandalkan oleh Liuw Sian Ci.
Selama setahun ini belum pernah bertemu muka dengan Gie hunya maupun dengan
Cung San Pek sekalipun jarak tempat itu dengan ke tempat kedua orang lainnya amat
dekat sekali.

Pagi itu selesai Siauw Ling berlatih ilmunya mendadak ia menemukan gie hunya Lam Ih
Kong sedang duduk berhadap-hadapan dengan seorang hweesio yang mengenakan lhasa
berwarna merah di depan rumah kayu itu. Telapak tangan kanan mereka berdua saling
bertempel amat keras agaknya sedang beradu tenaga dalam.
Keadaan dari hweesio itu masih tenang-tenang saja sebaliknya Lam Ih Kong sudah
dibasahi dengan keringat, keadaannya sangat berbahaya sekali.
Melihat kejadian itu Siauw Ling amat terperanjat, maka dengan cepat ia loncat kerumah
dan mendekati kalangan pertempuran itu.
Saat itu terlihatlah Cung San Pek sambil mencekal sebilah pedang pendek berdiri di
samping kalangan sedang memperhatikan jalannya pertempuran tersebut sedang Liuw
Sian Ci bersandar pada dinding rumah kayu itu dengan wajah yang amat aneh sekali.
Selama setahun ini kepandaian silat Siauw Ling memperoleh kemajuan yang amat
pesat, tahu-tahu bila bertindak sedikit gegabah malah bakal memecahkan perhatian dari
gie hunya dan mungkin mebuat Lam Ih Kong jadi terluka di tangan hweesio tersebut.
Oleh karena itu sekalipun dalam hati merasa terkejut dan cemas tetapi dengan sekuat
tenaga ia berusaha untuk menekan golakan dihatinya itu.
“Bocah! kau kemarilah” tiba-tiba terdengarlah suara yang amat halus bergema masuk
ke dalam terlinganya.
Walaupun ada setahun lamanya tidak bertemu tetapi Siauw Ling masih bisa
membedakan kalau suara itu berasal dari Cung San Pek.
Maka ia segera menoleh sekejap ke arah Liuw Sian Ci kemudian dengan langkah yang
amat perlahan berjalan mendekati Cung San Pek.
Walaupun waktu itu Liuw Sian Ci melihat Siauw Ling berjalan mendekati sisastrawan
tersebut tetapi ia sama sekali tidak menggubrisnya.
Dengan hati dipenuhi berpuluh-puluh persoalan yang mencurigakan hatinya Siauw Ling
mempercepat langkahnya menuju kehadapan Cung San Pek.
“Locianpwee, keadaan dari Gie huku sangat berbahaya, kau pergilah membantu
dirinya,” ujar bocah tersebut dengan suara yang lirih.
“Tenaga dalam Gie hu mu sangat sempurna. Ia masih bisa bertahan untuk beberapa
saat lagi!” sahut Cung San Pek dengan wajah serius.
Walaupun ia sedang berbicara dengan Siauw Ling tetapi sepasang matanya masih terus
memperhatikan diri Lam Ih Kong serta Hweesio itu tajam-tajam rasa kuatir mulai
menyelimuti wajahnya.
“Selama puluhan tahun Gie hu, Cung San Pek serta Liuw Sian Ci bertanding tetapi tak
berhasil menentukan siapa yang menang siapa yang kalah, bilamana Gie hu tak kuat
menahan serangan dari hweesio berbaju merah itu. Sudah tentu Cung San Pek serta Liuw
Sian Ci tidak bakal bisa menandinginya,” demikian pikir bocah itu dalam hatinya.

Sorotan sinar sang surya memancar masuk dari mulut lembah dan menyinari tubuh
Lam Ih Kong serta sihweesio berbaju merah itu. Di atas wajah sang hweesio berbaju
merah yang berperawakan tinggi besar itu tampaklah keringat mengucur keluar dengan
derasnya, sebaiknya keadaan dari Lam Ih Kong semakin mengenaskan lagi, jubahnya yang
berwarna kuning telah basah kuyup oleh keringatnya dingin mengucur amat deras.
Melihat kejadian itu Siauw Ling merasakan darah panas bergolak di dalam dadanya
maka mendadak dia menyambar pedang pendek yang ada di tangan Cung San Pek.
Cung San Pek yang berada dalam keadaan tidak bersiap sedia sehingga pedang segera
kena direbut tetapi kepandaian silat dari sisastrawan tersebut amat dahsyat sekali maka
tangan kanannya dengan kecepatan bagaikan kilat menyambar dan mencengkeram urat
nadi dari Siauw Ling.
“Bocah, kau ingin berbuat apa?” tanyanya.
“Aku mau bantu Gie hu untuk membunuh hweesio berbaju merah itu.”
“Heeei… bocah Gie humu sendiripun tidak bisa menangkan dirinya bilamana kau maju
bukankah hanya menghantar nyawa dengan percuma??” kata Cung San Pek sambil
menggeleng.
“Sekalipun aku tak berhasil menangkan dirinya, matipun tidak akan menyesal.”
“Bocah jangan terburu nafsu,” hibur sisastrawan berusia pertengahan itu lagi dengan
suara setengah berbisik. “Urusan ini timbul dikarenakan bermacam-macam peristiwa yang
terjadi pada puluhan tahun yang lalu bahkan mempunyai sangkut paut dengan Liuw Sian
Ci dan Gie hu mu. Walaupun kau mempunyai rasa bakti yang sangat mendalam tetapi
kepandaian silatmu tidak bisa menahan satu pukulan dari hweesio berbaju merah itupun
sebaliknya akupun tidak bisa turun tangan karena hal ini bisa menimbulkan rasa antipatik
dari Liuw Sian Ci.”
Sembari berkata tangan kanannya menambahi dengan beberapa bagian tenaga untuk
rebut kembali pedang pendek yang ada di tangan Siauw Ling itu.
“Lalu apakah kau ingin melihat Gie huku terluka di tangan sihweesio berbaju merah
itu??” tanya sang bocah itu setengah paham setengah tidak mengerti.
Wajah Cung San Pek pun berubah serius lagi.
“Selama setahun ini aku berdiam dengan Gie humu disebuah ruangan batu yang sama,”
ujarnya. “Hubungan diantara kita sudah amat erat sekali, bilamana keadaan memaksa aku
pasti akan turun tangan juga heee… mungkin darah segar bakal membanjiri di dalam
lembah ini…”
“Kenapa??” tanya Siauw Ling dengan hati tergetar keras. “Apakah Liuw Sian Ci bakal
membantu sihweesio berbaju merah itu?”
“Heeei…! Bagaimanakah perasaan dari Liuw Sian Ci pada saat ini aku sendiripun tidak
bisa menebak, tetapi di dalam setahun ini aku serta Gie humu telah mengubah
penghidupan kita, tidak lagi seperti dulu mati-matian berlatih ilmu silat sebaliknya malah
banyak bergurau bercakap-cakap dan menikmati penghidupan yang aman dan gembira,

hal yang tak terduga ternyata telah terjadi, kepandaian silat malah memperoleh kemajuan
yang lebih pesat dari pada bersusah payah berpikir dan berlatih keras. Heeei… urusan ini
tak bisa diterangkan hanya dalam sekejap saja…”
Mendadak ia menutup mulutnya rapat-rapat sedang dari sepasang matanya
memancarkan cahaya yang amat dingin dan tajam.
Siauw Lingpun segera menoleh tampaklah jubah berwarna kuming yang dikenakan oleh
Lam Ih Kong pada saat ini sudah mulai berkerut sedang tubuhnya mulai terdesak mundur
setengah depa ke belakang agaknya ia sudah merasa kepayahan untuk menahan
serangan tenaga dalam dari sihweesio berbaju merah itu.
Tak kuasa lagi bocah itu menjerit tertahan.
Mendadak Lam Ih Kong menoleh dan memandang sekejap ke arah Siauw Ling
tubuhnya yang terjengkang ke belakang kembali berdiri tegak kembali sedang sepasang
telapaknya mendorong semakin keras ke depan membuat keadaan jadi seimbang kembali.
Melihat kejadian itu Cung San Pek menghembuskan napas panjang.
“Gie humu tidak ingin melihat kau melihat dia orang menderita kekalahan di tengah
hweesio tersebut kini iapun mengerahkan tenaganya untuk balas melancarkan serangan,”
katanya.
“Semoga saja Gie hu bisa berhasil menangkan hweesio itu!” seru Siauw Ling dengan
hati kuatir.
Di dalam hati Cung San Pek mengetahui kalau dengan tindakan Lam Ih Kong ini maka
daya bertahannyapun jadi semakin berkurang diam-diam ia menghela napas panjang.
“Ling jie!” ujarnya kemudian. “Aku ada dua patah perkataan yang hendak
kuberitahukan kepadamu dan ingatlah baik-baik untuk dilaksanakan sesuai dengan pesan.”
“Urusan apa?”
“Begitu aku turun tangan kau harus segera kembali ke dalam batu Gie hu mu. Di dalam
ruangan tersebut aku telah menyediakan sejilid kitab yang baru aku tulis sendiri, dengan
kecerdikanmu serta hasil yang diperoleh sampai saat ini asalkan kau suka belajar dengan
sepenuh tenaga tidak susah untuk memperoleh seluruh warisan dari kepandaian Gie hu
mu serta kepandaianku…”
“Tahan!” Tiba-tiba terdengar suara jeritan melengking memecahkan kesunyian.
Liuw Sian Ci yang selama ini bersandar dekat pintu kayu tiba-tiba meloncat ke tengah
udara dan menerjang ke tengah kalangan.
“Aaah! Haaa… haaa, bagus sekali!” teriaknya Cung San pek dengan hati girang setelah
melihat kejadian itu. “Bilamana Liuw Sian Ci suka turun tangan…”
Belum habis ia berkata mendadak seluruh tubuh dari Lam Ih Kong sudah terpental
setinggi satu kaki ke tengah udara dan terlempar ke arah luar kalangan.

Sebenarnya pada waktu itu Liuw Sian Ci sedang menerjang ke arah tengah kalangan
tetapi belum sempat tubuhnya mencapai keatas permukaan tanah, ketika melihat
perubahan tersebut buru-buru ia menarik napas panjang tubuhnya bersalto di tengah
udara dan melayang ke arah tubuh Lan Ih Kong.
Ilmu meringankan tubuhnya menjagoi seluruh kolong langit diantara berkelebatnya
bayangan manusia tahu-tahu ia sudah memeluk tubuh Lam Ih Kong ke dalam pelukannya.
“Hweesio berhati binatang, kau membokong dengan menggunakan kesempatan orang
lain tidak siap macam enghiong apakah dirimu?” bentak Cung San Pek dengan gusar.
Di tengah suara bentakan yang amat keras terlihatlah serentetan cahaya putih
berkelebat dengan amat cepatnya langsung menubruk ke arah hweesio berbaju merah itu.
Kiranya hweesio berbaju merah itu sudah mendorongkan seluruh tenaganya ke arah
tubuh lawan dengan menggunakan kesempatan sewaktu Liuw Sian Ci membentak keras
dan Lam Ih Kong menarik kembali tenaga dalamnya.
Lam Ih Kong yang sama sekali tidak menduga akan perbuatannya itu kontan kena
digetarkan oleh tenaga dalamnya sehingga tubuhnya terpental ke belakang dan menderita
luka dalam.
Dalam keadaan gusar Cung San Pek telah melancarkan serangan kedahsyatan benarbenar
luar biasa. Belum saja tubuhnya tiba, hawa pedang yang amat hebat telah
menembus udara menghantam tubuhnya.
Si hweesio berbaju merah itu segera balikkan badan melancarkan satu pukulan yang
menggetarkan seluruh permukaan bagaikan kilat melintas datang.
Melihat datangnya angin pukulan yersebut Cung San Pek segera menekan hawa
murninya pada gusar, tubuhnya yang semula menerjang ke depan mendadak berhenti
sedang pedang pendek ditangannya bergoyang keras membentuk bunga-bunga pedang
yang menyilaukan mata.
“Braaak!” dengan cepatnya hawa pedang terbentur keras dengan hawa pukulan
tersebut sehingga menimbulkan suara getaran yang keras tubuh si hweesio berbaju merah
itu kena digempur mundur dua langkah ke belakang sebaliknya Cung San Pek sendiri tak
kuasa lagi iapun mundur satu langkah ke belakang.
“Heee… heee… mengandalkan jumlah banyak untuk mencari kemenangan. Hud ya
pamit diri terlebih dulu!” seru si hweesio berbaju merah itu sambil tertawa dingin.
Di tengah suara bentakan yang amat keras laksana sambaran kilat ia melayang pergi
dari sana.
Cung San Pek sama sekali tidak menduga kalau hweesio itu bisa putar badan melarikan
diri. Menanti ia tersadar dari keragu-raguannya sang hweesiopun telah berada tiga kaki
jauhnya, untuk mengejar tak bakal kecandak lagi.
Buru-buru ia mengerahkan tenaga murninya, tiba-tiba pedang pendek tersebut
meluncur keluar dari tangannya.

Serentetan cahaya putih laksana kilat menerjang ketubuh hweesio tersebut.
Mendadak sihweesio berbaju merah itu malah membalikkan tubuhnya sambil
melancarkan satu serangan.
Pedang pendek yang sedang meluncur ke depan tadi kontan kena dipukul miring
sehingga berputar di tengah udara dan terjatuh kesisi kalangan.
Sedangkan hweesio berbaju merah itu segera membungkukkan badan melarikan diri
cepat-cepat…
“Cun Locianpwee, hweesio itu melarikan diri!” teriak Siauw Ling dengan hati cemas
sewaktu dilihatnya hweesio berbaju merah itu melarikan diri.
Ketika kepalanya ditoleh, tampaklah ketika itu Cung San Pek sedang memejamkan
matanya rapat-rapat. Keringat sebesar kacang kedelai mengucur dengan derasnya
membasahi seluruh keningnya.
Melihat kejadian itu Siauw LIng jadi bergidik, kenapa? Apakah diapun menderita luka
parah? maka perlahan-lahan bocah itu berjalan mendekati sisastrawan tersebut.
“Cung Locianpwee, kau kenapa?” tanyanya.
“Aku sangat baik” sahut Cung San Pek sambil membuka matanya kembali dengan
perlahan-lahan. “Bocah! Sudah lihatlah bagaimana caranya aku melepaskan pedang tadi?”
ooo0ooo
“Sudah!” sahut siauw Ling singkat padahal dalam hati pikirnya, “Kau tak sanggup untuk
mengejar orang itu memang seharusnya menggunakan pedang tersebut sebagai senjata
rahasia!”
Terdengar Cung San Pek dengan nada serius berkata, “Bocah itulah Sim Hoat tingkat
teratas dari ilmu pedang Ih Kiam Hoat, cuma saja kesempurnaannya belum cukup
sehingga sukar untuk menyatukan pedang serta badan. Jarak yang bisa dicapaipun baru
lima kaki!”
Dalam hati walaupun Siauw Ling merasa kurang puas tetapi mulutnya tetap
membungkam.
“Menyambitkan senjata ke arah musuh adalah cara yang biasa, mana mungkin bisa
terhitung sebagai Sim Hoat tingkat teratas dari ilmu pedang” pikirnya dihati.
“Walaupun hweesio itu berhasil melukai Gie humu, tetapi ia sendiripun tidak
memperoleh kebaikan apapun,” sambung Cung San Pek lagi, Ketika ia menoleh dan
melihat Liuw Sian Ci sedang duduk bersila dan menempelkan telapak kanannya di atas
punggung Lam Ih Kong untuk bantu menyembuhkan lukanya, ujarnya, “Bocah, mari kita
menyingkir jauh, tenaga dalam dari Liuw Sian Ci amat sempurna disakunyapun memiliki
dua butir pil mujarab hadiah dari seorang Locianpwee. Ada dia yang turun tangan
tanggung Gie humu akan sehat kembali, mari! kita jangan ganggu mereka,” selesai
berkata ia menggandeng tangan Siauw Ling dan langsung menuju ke arah jatuhnya

pedang pendek tadi. Dalam hati Siauw Ling menguatirkan keselamatan dari Gie hunya ia
tidak berani membangkang perintah Cung San Pek terpaksa ia membiarkan dirinya pergi.
“Heeei! kepandaian silat hweesio itu benar-benar sangat lihay sekali,” ujar Cung San
Pek sambil menghela napas panjang dan memungut kembali pedang pendeknya.
“Serangan yang aku lancarkan dengan sepenuh tenaga tadi tidak lebih hanya berhasil
membabat putus dua buah jari tangannya.”
Mengikuti apa yang ditunjuk Siauw Ling menundukkan kepalanya. Sedikitpun tidak
salah di atas rumput terlihatlah dua buah jari tangannya yang masih berlumuran darah.
“Jari manis dan jari kelingking ini sungguh sayang” seru Cung San Pek lagi sambil
mencukil kedua buah potongan jari tangan itu dengan pedangnya.
“Apa yang patut disayangkan?”
“Sayang kesempurnaan belum tercapai dan kurang sedikit. Heee…! Asalkan tenagaku
mendapatkan kemajuan satu tingkat saja sihweesio berjubah merah itu sekalipun ini hari
berhasil meloloskan diri tetapi sedikit-sedikitnya harus meninggalkan sebuah tangannya.”
“Ilmu pedang terbang dari Locianpwee ini sudah mendapatkan beberapa bagian
kesempurnaan??”
“Aaakh masih terpaut amat jauh boleh dikata baru saja mencapai pada permulaannya.”
Bicara sampai disitu mendadak paras mukanya berubah semakin serius sambungnya
lagi, “Cuma sayang ilmu kepandaian semacam ini ada kemungkinan akan terputus sampai
ditanganku.
Siauw Ling hanya merasakan beberapa patah perkataannya ini mengandung maksud
yang lebih mendalam. Hanya saja untuk sesaat ia tak mengerti apakah maksudnya.
Tak kuasa lagi sambil kerutkan dahi ia berpikir keras.
Waktu itu Cung San Pek telah membawa Siauw Ling untuk memasuki kumpulan
pepohonan yang rindang dan ketika dilihatnya bocah itu sedang berpikir segera tanyanya,
“Bocah apa yang sedang kau pikirkan?”
“Aku sedang berpikir dengan cara bagaimana baru bisa mempertahankan ilmu pedang
itu tetap berada dikalangan kangouw?”
“Ilmu ini adalah suatu kepandaian yang luar biasa yang bukan bisa dipelajari oleh
setiap orang bilamana bakatmu tidak bisa kendati belajar seumur hiduppun hasil yang
tercapai hanya seperti apa yang aku dapatkan sekarang ini untuk melukai orang pada
jarak yang jauh sukar sekali untuk tercapai.”
“Bilamana aku ingin membantu enci Gak untuk melawan para jago-jago Bulim ada
seharusnya belajar ilmu silat yang maha lihay ini,” pikirnya secara tiba-tiba.
Berpikir akan hal itu tak terasa lagi ia sudah berkata, “Locianpwee dapatkah boanpwee
mempelajari ilmu kepandaian ini?”

“Aaa, haa, tulang-tulangmu bersih ditambah pula memiliki bakat alam, inilah bahan
yang paling bagus untuk mempelajari ilmu silat kita,” Cung San Pek sambil tertawa keras.
“Bilamana kau suka belajar giat di dalam sepuluh tahun tentu bakal memperoleh hasil
yang diinginkan.”
“Kalau begitu harap Locianpwee suka memperhatikan boanpwee.”
Perlahan-lahan Cung San Pek mendongakkan kepalanya memandang awan putih yang
melayang diangkasa lama sekali baru ujarnya, “Menurut apa yang aju ketahui ilmu pedang
terbang ini seharusnya merupakan hasil terbesar yang bisa dicapai dalam belajar ilmu
pedang. Bilamana misalnya di dalam belajar ilmu pedang ada ilmu kepandaian yang jauh
melebihi kepandaian ini maka anggap saja itu hanyalah berita sensasi yang tidak benar.”
“Gie hu memuji akan tenaga dalam serta ilmu pedang yang berhasil diyakinkan oleh
Locianpwee.”
“Perkataan dari Gie humu itu sedikitpun tidak salah” sambung Cung San Pek sambil
tertawa.
“Tetapi yang dimaksudkan olehnya hanyalah ilmu yang teringat dihatiku bukannya
mengartikan hasil yang dicapai karena keyakinanku.”
Kembali ia dongakkan kepalanya dan menghembuskan napas panjang.
“Pertama-tama bakatku sudah tidak baik dan ada batasnya ditambah lagi mulai belajat
silat pada saat lemah-lemahnya kesehatannku kendati telah memperoleh guru yang pandai
sekalipun sukar juga untuk memperoleh hasil yang sesuai dengan yang dicita-citakan oleh
suhuku pernah aku belajar dan berlatih mati-matian untuk menutupi kekurangankekurangan
tersebut heei… cuma sayang bakat ada batasnya sekalipun di bawah
bimbingan guru yang pandaipun tiada gunanya.”
Perlahan-lahan ia menoleh dan memandang wajah Siauw Ling dengan pandangan yang
tajam.
Jilid 16
“Bocah, kau mengerti maksud perkataanku?” katanya.
Pertama-tama Siauw Ling mengangguk terlebih dulu tetapi akhirnya ia menggeleng dan
sahutnya, “Aku tidak begitu mengerti!”
“Dendam terputusnya kedua buah jari ini sudah tentu akan dihitung oleh si hweesio
berbaju merah itu di dalam rekeningku.” kata Cung San Pek sambil menuding kedua buah
jari yang terputus di atas rumput itu. “Heeeei, walaupun selama puluhan tahun kita hidup
di dalam lembah terpencil ini tanpa berhasil menentukan yang menang dan kalah, tapi
pada mulanya di dalam hati kita masing-masing ada suatu perasaan ingin menang sendiri,
dalam hati kita pikir, kini kita bertiga tak berhesil menentukan siapa menang dan kalah
tetapi penghidupan selama puluhan tahun tentu akan mendatangkan rasa hormat dari
orang-orang Bulim tapi setelah pertempuran dengan hweesio baju merah, perasaan ini

kontan telah tersapu lenyap bahkan sudah mendatangkan musuh tangguh buat dirimu.
Ketika kau berkelana di dalam Bulim dikemudian hari si hweesio tentu tak akan
melepaskan dirimu.”
“Apakah Locianpwee tak sanggup untuk memukul rubuh dirinya?” kata Siauw Ling.
“Kali ini kita melarikan diri dengan membawa luka pertama-tama yang dikerjakan tentu
mencari suatu tempat tersembunyi untuk mengobati lukanya sekalipun kita ada maksud
untuk membasmi dirinyapun mungkin sukar untuk menemukan jejaknya tetapi aku merasa
ia tidak bakal berani datang lagi kelembah Sam Sin Kok ini setelah mendapatkan malu.”
“Akh! kiranya lembah ini bernama lembah tiga nabi, tentunya mereka sendiri yang
menamakannya!” pikir Siauw Ling.
Cung San Pek mendehem perlahan lalu sambungnya lagi, “Yang aku kuatirkan justru
bilamana dia mencari gara-gara dengan dirimu dikemudian hari.”
“Tidak mengapa, bilamana aku tak sanggup untuk merubahkan dirinya biarlah aku lari
kembali ke dalam lembah Sam Sin Kok ini.”
“Heeei, aku rasa kami bertiga tidak akan bisa hidup selama itu,” sambung Cung San
Pek dengan sedih.
Sewaktu berbicara sampai disitu mendadak terlihatlah Liuw Sian Ci berlari mendatang
dengan cepat.
“Bagaimana dengan keadaan luka dari Lam heng?” tanya Cung San Pek.
“Tidak mengapa!” jawab Liuw Sian Ci. “Aku sama sekali tidak menyangka kalau dia
adalah seorang manusia rendah, lain kali bilamana bertemu kembali dengan dirinya tentu
tidak akan kulepaskan kembali.”
Cung San Pek tersenyum.
“Dia masuk ke dalam kalangan beragama mungkin sengaja berbuat untuk
memperlihatkan kepadamu,” katanya. Ia merandak sebentar kemudian sambungnya.
“Tetapi demikianpun lebih baik walaupun Lam heng menderita sedikit luka tetapi bisa
memusnahkan sakit hati kesalah pahaman tahun dan lukanya ini sangat berbahaya sekali.”
“Hey siucay miskin!” ujar Liuw Sian Ci sambil alihkan pandangannya keatas tubuh
Siauw Ling. “Kau lihat bagaimanakah bakat dari Ling jie?”
“Bakat yang sangat bagus dan sukar ditemui selama puluhan tahun!”
“Lalu kenapa tidak kau latih dia?”
“Aku sudah menyanggupi Lam heng untuk mewariskan seluruh kepandaianku
kepadanya kenapa aku tidak melatih dirinya.”
“Kalau memangnya begitu memperhatikan dirinya, kenapa tidak sekalian menerimanya
sebagai murid?”

Sinar matanyapun segera dialihkan keatas wajah Siauw Ling dan sambungnya lagi,
“Bocah bodoh ayo cepat menghunjuk hormat kepada suhumu!”
Siauw Ling menyahut dan segera jatuhkan diri berlutut di atas tanah.
“Hiii…hiii… walaupun Ling jie adalah putra angkat dari Lam suhengku, diapun anak
muridmu, bilamana dikemudian hari dia tak sanggup untuk menangkan orang lain maka
kesalahan itu tentu terjatuh ditanganmu, karena pasti Cung San Pek tidak betul-betul
memberi pelajaran dan didikan!”
“Aaah, kalau begitu masih butuhkan Liuw Sian Ci suka memberi bantuan,” buru-buru
Cung San Pek merangkap tangannya menjura dengan wajah serius.
“Hiii… hiii… apa yang aku ketahui tentu tidak bakal kusembunyikan!” serunya.
Selesai berkata sambil tertawa ia meloncat pergi, hanya di dalam sekejap saja sudah
lenyap dari pandangan.
Menanti perempuan itu sudah pergi jauh sisastrawan baru goyang-goyangkan
kepalanya sambil menghela napas.
“Sewaktu mendendam bencinya sampai merasuk ke dalam tulang, sewaktu cinta
manisnya melebihi madu. Heeei, inilah sifat dari seorang perempuan.”
Kendati dalam hati Siauw Ling menaruh banyak persoalan yang mencurigakan tetapi
saat ini tak berani untuk banyak bertanya maka dengan paksaan diri bocah itu menyimpan
seluruh kemurungannya di dalam hati.
“Ayo jalan, kita tengok Gie hu mu,” ajak Cung San Pek.
Mereka berdua dengan langkah perlahan melamban berjalan menuju kerumah kayu
tersebut dan tampaklah Lam Ih Kong berbaring di atas pembaringan sedang Liuw Sian Ci
berdiri disisinya sembari kerahkan tenaga menguruti beberapa buah jalan darah di tubuh
orang itu.
Ketika melihat munculnya kedua orang itu dia hanya tersenyum saja tanpa
menghentikan gerakannya.
Cung San Pek menoleh serta memandang sekejap keatas wajah Lam Ih Kong kemudian
sambil tertawa ujarnya, “Sekalipun luka dari Lam heng sudah tidak mengganggu, tetapi
harus beristirahat dulu tiga lima hari dan biarlah untuk sementara waktu aku membawa
Ling jie untuk mendiami ruanga batu dari Lam heng itu.”
“Muris itu adalah milikmu, kau suka membawanya pergi kemana bawa saja kehendak
hatimu,” timbrung Liuw Sian Ci tersenyum.
Cung San Pek hanya tertawa, lalu ia membawa Siauw Ling meninggalkan tempat itu.
Lima hari kemudian tampaklah Lam Ih Kong serta Liuw Sian Ci bersama-sama
mendatangi ruangan batu itu, tetapi waktu itu Siauw Ling sedang berlatih silat baru akan
mencapai saat-saat yang penting sehingga walaupun ia tahu kalau Gie hunya masuk ke
dalam ruangan itu tetapi ia tetap tak menyambar.

Cung San Pek yang melihat kesehatan dari Lam Ih Kong sudah pulih kembali kini jauh
lebih muda, dalam hati lantas tahu kalau kesalah pahaman antara suheng moay berdua
selama puluhan tahun ini tentu telah punah. Hanya saja masa muda telah berlalu
sekalipun sudah rujuk, merekapun berusia setengah abad lebih. Lam Ih Kong yang melihat
Siauw Ling lagi berlatih dengan rajinnya dalam hati merasa girang. Maka dengan cepat dia
menarik tangan Liuw Sian Ci ujarnya, “Kita jangan mengganggu Cung heng yang lagi
mendidik muridnya. Kitapun tidak bisa mengganggu Ling jie yang sedang berlatih.”
Waktu berlalu laksana sambarab kilat, di bawah didikan yang keras dari suhu, Gie hu
serta Liuw Sian Ci bocah itu sudah mewarisi hampir seluruh kepandaian dari ketiga orang
itu.
Itu hari selagi Siauw Ling selesai berlatih ilmu pedang dan kembali keruangan batunya,
tampaklah Cung San Pek sedang menantikan kedatangannya sambil duduk bersila.
Dengan cepat Siauw Ling letakkan pedang pendeknya keatas tanah dan jatuhkan
dirinya berlutut.
“Suhu apakah kau orang tua ada petuah yang hendak disampaikan kepada tecu?”
tanyanya.
“Benar” sahut Cung San Pek sambil mengangguk. “Ling jie masih ingatkah kau sudah
ada berapa lama kau berdiam di dalam lembah gunung ini?”
“Lima tahun,” sahut bocah itu setelah termenung berpikir beberapa saat.
Selama beberapa waktu ini perduli hari terang mendung maupun hujan ia tetap terus
menerus berlatih ilmu silatnya sehingga untuk menjawab sudah berapa lama ia berdiam
dilembah itupun harus berpikir setengah harian lamanya.
“Sedikitpun tidak salah sudah ada lima tahun lamanya, kaupun kini harus mulai
berkelana di dalam dunia kangouw untuk mencari pengalaman bagi dirimu.”
Mendengar perkataan tersebut Siauw Ling jadi melengak.
“Tapi kepandaian silat tecu belum berhasil.”
“Belajar tiada batasnya!” potong Cung San Pek sembari menggeleng. “Sekalipun kau
harus tinggal disini lima tahun lagipun juga sama saja. Sebetulnya kini kau sudah berhasil
mewarisi seluruh kepandaian kami bertiga asalkan kau bisa berlatih lebih giat lagi tentu
akan memperoleh kemajuan yang lebih pesat.”
Dikarenakan repotnya belajar ilmu silat selama beberapa tahun ini Siauw Ling kurang
memperhatikan keadaan di sekelilingnya tetapi setelah diingat dengan teliti ia baru merasa
bila di dalam setengah tahun ini baik suhunya maupun Gie hu serta Liuw Sian Ci sudah
amat jarang sekali meninggalkan rumah kayu serta ruangan batu bahkan secara samarsamar
ia merasa kalau ketiga orang itu jauh lebih tua lagi, maka perlahan-lahan ia
mendongakkan kepalanya terlihatlah rambut Cung San Pek yang semula masih hitam kini
sudah memutih gerakannyapun jauh lebih loyo sehingga tak kuasa lagi hatinya bergolak
amat keras.

“Suhu…” teriaknya perlahan.
Mendadak Cung San Pek memandang ke arahnya dengan pandangan tajam lalu
bentaknya keras.
“Gie humu serta Liuw Sian Ci telah lama menanti dirimu di dalam rumah kayu itu
cepatlah kau pergi kesana untuk pamit dan nanti sebelum matahari turun gunung kau
harus sudah meninggalkan lembah ini.”
Beberapa perkataan ini diucapkan dengan sangat tegas, Siauw Ling sudah tentu tidak
berani banyak bicara lagi dan setelah memberi hormat buru-buru ia meninggalkan
ruangan batu itu menuju kerumah kayu.
Rambut maupun jenggot Lam Ih Kong pada saat ini sudah berubah menjadi keperakperakan
wajahnya kusut dan berwarna kuning, persis seperti orang tua yang baru sembuh
dari penyakit berat.
Sedang wajah yang cantik dan bercahaya dari Liuw Sian Ci kinipun telah mengalami
perubahan yang amat besar. Wajahnya pucat pasi dan terdapat banyak sekali guratan.
Cahaya tajam yang semula memancar keluar dari wajahnya kini telah punah tak berbekas.
Selama puluhan tahun lamanya mereka bertiga di dalam lembah yang sunyi ini untuk
bertanding ilmu, tetapi keadaan mereka masih segar bugar.
Walaupun rambut serta jenggot dari Lam Ih Kong sudah memutih laksana perak tetapi
wajahnya merah bercahaya bagaikan jejaka. Potongan siucay dari Cung San Pek membuat
orang mengira ia baru berusia empat puluh tahunan keadaan Liuw Sian Ci jauh lebih
cemerlang lagi, ia masih cantik bagaikan perempuan perawan lagi tersenyum
menggiurkan.
Tetapi, kini mereka bertiga jauh lebih tua lagi membuat merekapun mulai merasa kalau
saat-saat menjelang kematian telah hampir tiba.
Saking sedihnya tak kuasa lagi Siauw Ling mengucurkan air matanya.
“Bocah, kau jangan menangis lagi,” ujar Lam Ih Kong sambil menghela napas panjang.
“Dikolong langit tak akan ada perjamuan yang tak akan bubar. Kau sudah berdiam selama
lima tahun lamanya dilembah sunyi ini sehingga seharusnya kau berkelana diluaran untuk
mencari pengalaman…”
Sambil menuding ke arah sebuah buntalan kuning yang ada di atas pembaringan kayu
itu katanya lagi, “Bungkusan itu berisikan benda-benda kesayangan bibi Liuw Sian Ci
selama hidupnya kini sekalian dihadiahkan kepadamu sebagai bekal diperjalanan.”
“Gie hu, bibi Liuw selama lima tahun ini setiap hari Ling jie harus berlatih ilmu silat dan
belum pernah memperlihatkan kebaktian kepada kalian berdua orang tua!” seru Siauw
Ling dengan sedih. “Gie hu! biarlah Ling jie berangkat tiga hari lebih lambat untuk berbakti
kepada Gie hu serta bibi!”
“Bocah kau telah mempunyai perasaan begitu hal ini sudah sukar sekali,” ujar Liuw Sian
Ci sambil menggeleng. “Tetapi keputusan ini sudah kita ambil pada setengah tahun yang

lalu setelah mengalami perundingan yang cukup lama antara Gie humu, suhumu serta aku
sehingga kita baru putuskan untuk menahan kau sampai ini hari.”
“Heeei! bocah, kami sudah menggunakan kekuatan yang terakhir untuk menahan
dirimu. Semisalnya bisa menahan satu jam lagi akupun rela untuk membiarkan kau
berangkat terlambat satu jam lagi tetapi soalnya ini tidak perlu kau paksakan lagi.”
Dengan perlahan ia menghela napas panjang kemudian dengan nada penuh kasih
sayang sambungnya lagi, “Di dalam buntalan kuning itu ada sebuah peta yang dibuat
sendiri oleh suhumu. Di dalam peta itu jelas menerangkan jalan yang harus kau tempuh
untuk turun gunung. Nasih ada lagi sebuah sarung tangan yang terbuat dari kulit ular
naga yang bernama Cian Ciauw Pih So Tauw yang berguna untuk menahan serangan
pedang maupun golok. Benda itu adalah benda kesayanganku selama ini tetapi kau
bawalah untuk digunakan seperlunya.”
“Sedang kedua pil mujarab itu bisa bantu untuk menolong orang yang hampir
mendekati ajalnyapun kau baik-baiklah menyimpannya. Nah! Sekarang juga kau pergilah!”
Siauw Ling menurut dan mengambil bungkusan kuning itu, kemudian dengan rasa
berat diiringi air mata yang bercucuran ia memandangi kedua orang tua itu.
“Bocah bodoh, kenapa tidak lekas-lekas pergi? Apa yang hendak kau nantikan lagi?”
bentak Lam Ih Kong secara mendadak sambil melototkan matanya bulat-bulat.
Siauw Ling segera merasakan hatinya tergetar buru-buru ia menjura dengan sangat
hormatnya.
“Gie hu, bibi, baik-baiklah berjaga diri, Ling jie mohon pamit” selesai berkata dengan
langkah yang amat perlahan ia berjalan meninggalkan ruangan tersebut.
Baru saja ia keluar dari pintu mendadak Liuw Sian Ci ayunkan tangannya ke depan
pintu kayu itupun dengan keras segera menutup.
Dengan hati berat kembali Siauw Ling berlutut untuk menjalankan hormat ke arah pintu
rumah dan setelah itu baru bangun berdiri.
Baru saja berjalan beberapa tindak mendadak teringat olehnya kalau ia belum pamit
dengan suhunya, buru-buru Siauw Ling kembali ke dalam ruangan batu.
Tetapi ruangan batu itu telah kosong, bayangan Cung San Pek telah lenyap tak
berbekas.
Siauw Ling hanya merasakan kesedihan yang mencekam dihatinya setelah mengitari
satu kali seluruh ruangan tersebut ia baru berjalan meninggalkan tempat itu.
Pada saat ini ia sudah menjadi seorang jagoan Bulim yang amat lihay, keadaannya
sangat berbeda sekali dengan keadaan sewaktu mendatangi lembah tersebut.
Sambil kerahkan tenaga murninya dengan cepat ia berkelebat naik keatas tebing yang
tingginya ada ratusan kaki itu.

Permukaan salju di atas puncak itu masih seperti keadaan semula tetapi bayangan yang
timbul karena pantulan cahaya tersebut bukanlah keadaan diri Siauw Ling tempo dulu.
Siauw Ling pada waktu itu masih merupakan seorang bocah cilik yang tingginya tidak
sampai lima depa, tetapi kini ia sudah berubah menjadi seorang pemuda tampan yang
tingginya ada tiga depa.
Setelah mengitari seluruh puncak tersebut dan memandang pemandangan disana
dengan hati berat akhirnya ia membuka buntalan tersebut.
Sedikitpun tidak salah di dalam buntalan itu terdapatlah sebuah peta yang dengan
menerangkan seluruh keadaan di sekeliling tempat itu, di samping itu terdapat sebuah
sarung tangan berwarna kuning muda serta seperangkat pakaian.
Memandang ke arah pakaian tersebut Siauw Ling baru teringat kembali kalau dirinya
pada saat ini sama sekali tidak mengenakan pakaian kecuali sebuah celana yang amat
pendek.
Selesai mengenakan pakaian tersebut kembali Siauw Ling memandang ke arah lembah
Sam Sin Kok yang didiami selama lima tahun itu.
Tampaklah bunga tumbuh dengan suburnya diseluruh lembah, bau harum tersiar
datang menyegarkan selama lima tahun tak kuasa lagi diapun menghela napas.
Dengan cepat ia jatuhkan diri berlutut dan memberi hormat ke arah lembah tersebut
doanya “Ooh, Thian! Lindungilah ketiga orang tua itu agar mereka diberi usaia yang lebih
panjang.”
Sehabis menjalankan hormat, dengan mengikuti peta tersebut Siauw Ling baru
melakukan perjalanan turun gunung.
Dan lukisan pada peta yang dibuat oleh Cung San Pek ini benar-benar amat jelas, maka
dengan mengikuti peta tersebut Siauw Ling melakukan perjalanan selama setengah hari
lamanya, ketika pagi hari menjelang tiba ia telah meninggalkan deretan pegunungan
tersebut.
Angin bertiup kencang membuat air sungai itu bergelombang, tanpa terasa ia sudah
tiba ditepian sungai Tiang Kang.
Dengan termangu-mangu pemuda itu memandang deburan ombak yang saling
sambung menyambung. Hatinya terasa amat sedih.
Teringat peristiwa tempo dulu ketika dirinya terjatuh ke dalam sungai.
“Hanya di dalam sekejap saja lima tahun telah berlalu, di dalam penghidupan manusia
lima tahun tidaklah termasuk pendek, entah enci Gak saat ini masih sehat atau tidak?”
Teringat akan diri Gak Siauw-cha tak terasa lagi dia menengadah keatas dan bersuit
nyaring kemudian dengan langkah lebar melanjutkan perjalanannya.
Sang surya memancarkan sinarnya di tengah awang-awang, kiranya sang hari telah
tiba.

Siauw Ling yang melakukan perjalanan dengan langkah lebar tanpa terasa sudah tiba di
dalam sebuah kota yang amat ramai.
Anda sedang membaca artikel tentang Cersil Bayangan Berdarah 1: Serial Kunci Wasiat dan anda bisa menemukan artikel Cersil Bayangan Berdarah 1: Serial Kunci Wasiat ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/10/cersil-bayangan-berdarah-1-serial-kunci.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil Bayangan Berdarah 1: Serial Kunci Wasiat ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil Bayangan Berdarah 1: Serial Kunci Wasiat sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil Bayangan Berdarah 1: Serial Kunci Wasiat with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/10/cersil-bayangan-berdarah-1-serial-kunci.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar