Cersil Kitab Pusaka 3

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Selasa, 11 Oktober 2011

Ternyata ramalan dari sastrawan tua itu tepat sekali, apa

yang dikatakan memang tepat dan benar.

Sebenarnya lima hari lagi kakek Lim akan genap berusia

empat puluh sembilan tahun, tapi, siapa sangka kalau datang

bencana yang merenggut selembar jiwanya?

Melibat kakek Lim terbunuh, Kang Jin hoo merasa tidak

terima, dia segera berjalan men dekati lelaki bercambang itu,

kemudian tegur nya dengan suara lantang:

"Saudara, tolong tanya mengapa kau besikap begitu keji

dan sama sekali tak berperikemanu siaan? Kau toh telah

mengerti bahwa orang

itu bertubuh lemah dan sudah lanjut usia? Se kalipun dia

telah menyalahi saudara, toh tidak seharusnya kau bunuh

dirinya? kau toh tahu bahwa jiwa manusia itu berharga sekali?

Sia pa membunuh orang dia harus membayar pula dengan

nyawa sendiri, ayo ikut kami menuju ke pengadilan!"

Mendengar ucapan tersebut, lelaki bercambang itu segera

tertawa seram, disusul kemudian ke tiga orang lelaki buas

lainnya turut terbahak-bahak pula.

Selesai tertawa, lelaki buas itu berkata lagi:

"Tampaknya sepasang matamu sudah buta? Mengapa,

tidak kau tanya-tanya dulu siapakah Thong tiu tay siu (Tay-siu

berkepala tembaga) Oh Si-thian? Hendak menyeret ku ke

pengadilan? Hmmmm.... sungguh menggelikan se kali,

tampaknya toaya perlu untuk mengirim kau menuju ke akhirat

seperti juga tua bangka tadi, agar dia tahu bagaimanakah

akibatnya bila suka mencampuri urusan orang"

Selasai berkata, dia lantas menangkap tubuh kang Jin hoo

dan mengangkatnya tinggi-tinggi seperti lagi menangkap

seekor anak ayam saja, kalau dilihat dari sikapnya, dia seperti

hendak melemparkan pula tubuh kang Jin hoo ketengah jalan.

Mendadak terdengar seseorang membentak keras:

"Hohan, tunggu sebentar!"

Tampak sastrawan rudin itu berlarian menuju kehadapan

Tay sui berkepala tembaga Oh Si thian, kemudian rengeknya

dengan wajah memelas:

"Hohan, kumohon kepadamu agar jangan melukainya, dia

adalah tuan penolong dari aku si tua rudin, berbuatlah

kebaikan dan ampuni lah selembar jiwanya!"

Tay sui berkepala tembaga Oh Si thian tidak ambil perduli

ucapan tersebut, mendadak ia membentak gusar:

"Enyah kau dari sini!"

Serta merta dia melemparkan tubuh Kang Jin hoo ke

tengah jalan.

Menyaksikan kejadian tersebut, si sastrawan rudin itu tahu

akan bahaya, dia siap menggerakkan tubuhnya untuk

melakukan terkaman ke arah depan....

Mendadak tampak sesosok bayangan manusia meluncur ke

sisi tubuh Kang Jin hoo dengan kecepatan luar biasa, tahu-

tahu tubuh Kang Jin hoo sudah diterima oleh seorang pemuda

tampan.

00O00 00O00

SAKING kagetnya mungkin Kang Jin hoo sampai jatuh

pingsan, ternyata dia sama seka li tak tahu bagaimana

ceritanya sehingga dia dapat diselamatkan orang lain, menanti

dia merasakan tubuhnya sedang berada dalam rang kulan

seorang pemuda, dia bahkan mengira sedang bermimpi

disiang hari bolong.

Ketika sastrawan rudin itu menyaksikan Kang Jin hoo sudah

tertolong, hatinya menjadi sangat lega, maka sambil berlagak

terperanjat dia berjalan menghampiri pemuda itu, lalu

serunya:

"Oooh, terima kasih kepada langit, terima kasih kepada

bumi, saudara cilik, untung kau

datang tepat pada waktunya, kalau tidak tuan penolongku

ini pasti sudah mati, terima kasih langit, terima kasih saudara

cilik....!"

Tay sui kepala tembaga Oh Si thian menjadi tak senang

hati setelah dilihatnya buruannya ditolong orang, dengan

kening berkerut dia melompat ketengah jalan raya, lalu

bentaknya keras-keras:

"Bocah keparat! Siapakah kau? Berani benar bermain gila

dengan taysui ya mu, Hmmm. Lebih baik jangan cari penyakit

buat diri sendiri, ayoh cepat serahkan dia kepadaku!"

Pelan-pelan pemuda itu menurunkan Kang Jin hoo keatas

tanah, kemudian sambil tersenyum dia menuding kearah

kakek Lim yang sudah putus nyawa itu, lalu tanyanya:

"Apakah kematian orang ini merupakan hasil karyamu?"

"Betul, memangnya kau tak puas?" jengek taysui kepala

tembaga Oh Si thian dengan angkuh.

"Dendam sakit hati apakah yang terjalin antara kau dengan

dirinya....?" kembali pemuda itu bertanya.

"Masa untuk membunuh orang pun harus terikat dulu oleh

dendam sakit hati? Omong kosong, hei bocah keparat, terus

terang toaya memberitahukan kepadamu, asal toaya merasa

tidak berkenan dihati, semuanya harus dibikin mampus. Jika

kaupun ingin mencampuri urusan ini, kaupun akan

kumasukkan dalam hitungan"

Taysui kepala tembaga Oh Si thian memang sudah terbiasa

berbuat semena-mena dan membunuh orang tanpa berkedip,

dia terhitung seorang gembong iblis yang disegani banyak

orang.

Begitu selesai berkata, dia segera maju kedepan

menghampiri Kang Jin hoo, saudagar itu sudah merasakan

sukmanya seraya meninggalkan raganya, apalagi menyaksikan

Taysui kepala tembaga Oh Si thian selangkah demi selangkah

mendekatinya, dia merasa semakin ketakutan sehingga pucat

pias selembar wajahnya.

Pemuda tersebut segera menarik lengan Kang Jin hoo dan

membawanya kebelakang punggung

nya, kemudian dengan sikap yang amat tenangia berdiri

dihadapan Oh Si thian, katanya dengan suara dingin:

"Kalau toh kau boleh membunuh orang se cara

sembarangan, hal ini lebih bagus lagi, selama ini sauya

mengira hanya seseorang yang mempunyai dendam kesumat

saja yang boleh membunuh seseorang, jadi akupun boleh

mem bunuh orang secara sembtrangan bukan?"

Taysui barkepala tembaga tidak menjawab, dia masih maju

ke depan selangkah demi selangkah, hanya kali ini dia

mendekati Suma Thian yu. Sepasang matanya yang

memancarkan cahaya bengis dan keji seakan-akan hendak

menelan si anak muda itu bulat- bulat.

Si anak muda segara merentangkan tangan nya dengan

sikap yang angker, bentaknya nyaring:

"Kau tak boleh maju lagi, kalau tidak, kau sendiri yang akan

menjidi roh gentayangan di akhirat!"

Dengan angkuhnya Tay sui berkepala tembaga Oh Si thian

mendongakkan kepala sambil tertawa seram.

"Heeeh...heeeh...heeeh... jangan mengigau se perti orang

bodoh, toaya akan menjadi peran tara untuk mengantarmu

pulang ke langit, jum pai saja raja akherat yang kau cintai

itu!"

Sebuah bacokan keras yang disertai dengan tenaga

dahsyat segera dilontarkan ke tubuh pe muda tersebut.

Si pemuda itu tertawa dingin, pada hakekatnya dia tak

memandang sebelah matapun ter hadap taysui kepala

tembaga, ejeknya agak sinis:

"Bagus sekali kedatanganmu, ayo seranglah lebih hebat!"

Tubuhnya berputar secara tiba-tiba seperti gasingan,

sementara tangannya menyambar tubuh Kang Jin hoo yang

berada dibelakang tubuhnya keluar dari sisi arena, setelah itu

dia melompat kembali ketengah arena pertarungan.

Gerakannya pergi maupun datang, semuanya dilakukan

dengan kecepatan luar biasa.

Pemuda itu melayang ke tanah dengan enteng, kemudian

ujarnya kepada Kang Jin hoo:

"Sudah pernah melihat joget ketek (monyet)" Aku adalah

ahli didalam mendidik monyet bermain, saksikan saja dari

samping, bila kurang menarik harap kau sudi memaafkan"

Selesai berkata, dia lantas melirik kearah Taysui kepala

tembaga sambil mengejek lagi:

"Hei, kau tak usah sungkan-sungkan, keluarkan saja

segenap kekuatan yang kau miliki, bila ada jurus tangguh,

silahkan dicobakan ke tubuh sicu coutiong mu, jangan lupa

aku akan menyuruhmu berjoget seperti monyet...." Taysu

kepala lembaga adalah seorang manusia bengis yang

mempunyai nama besar di seputar ham leng, menyinggung

soal Oh Si-thian, siapapun tak berani membangkang

perintahnya.

Sejak terjun ke dunia persilatan hingga kini, belum pernah

ia jumpa anak muda yang berani mencabut kumis harimau

seperti apa yang diakukan si anak muda tersebut sekarang.

Tak heran kaiau dia menjadi naik darah setelah mendengar

perkataan itu, cambangnya pada berdiri kaku seperti sebuah

sikap, matanya melotot penuh kegusaran, dengan suara

menggeledek segera bentaknya:

"Bocah keparat, rupanya kau sudah makan empedu

beruang? Jadi kau kepingin mencoba kelihayaaku? Bagus, lihat

serangan!"

Selesai berkata, dengan jurus Hek coa jut tong (ular keluar

dari gua), dia langsung melancarkan sebuah bacokan ke arah

depan.

Si anak muda itu segera menggerakkan sepasang bahunya

dan menyelinap ke belakang tubuh Taysui kepala tembaga

sekalian dihembusnya segulung udara ke belakang tengkuk

lawan.

Taysui kepala tembaga hanya merasakan bayangan

manusia berkelebat lewat, tahu-tahu tengkuknya terasa

dingin, serta merta dia membalikkan tubuhnya sambil

melancarkan sebuah serangan kedepan, teriaknya penuh

amarah:

"Manusia yang tak tahu diri, keparat sialan, kau ingin

mampus rupanya....."

Si anak muda itu tertawa cekikikan, sekali lagi dia

mengegos ke belakang tubuh Oh Si thian lalu menowel

pantatnya keras-keras. Mungkin karena kegelian, kontan saja

Oh Si thian mencak-mencak macam monyet lagi berjoget,

tentu saja tindak tanduknya itu menimbulkan gelak tertawa

orang banyak.

Sambil tertawa mengejek, pemuda itu berseru lagi:

"Bagaimana? Enak bukan? Kau memang monyet yang

lincah dan pandai berjoget!"

Taysui kepala tembaga Oh Si thian benar-benar naik pitam

karena dipermainkan orang, secara beruntun dia melancarkan

tiga buah se rangan dahsyat yang semuanya di sertai dengan

desingan angin pukulan yang menderu-deru, dia mengurung

seluruh tubuh pemuda ter sebut rapat-rapat.

Anak muda itu tertawa, dia tetap tersenyum dikulum

sementara tubuhnya bergerak ke sana kemari dengan lincah,

pada hakekatnya sama sekali tidak memandang sebelah

matapun terhadap jurus mematikan dari lawannya.

Sembari mengegos ke samping, serunya ke mudian sambil

tertawa:

"Aduh mak... monyet ini memang tak bisa tenang, mari,

mari... bagaimana kalau ke tiga orang rekannya turut serta

pula dalam pesta joget ini?"

Agaknya Taysui kepala tembaga cusup memahami keadaan

situasi yang sedang dihadapinya, mendengar ucapan mana,

buru-buru dia memberi tanda kepada ke tiga orang lelaki

bengis lainnya agar terjun pula dalam pertarungan tersebut.

Ke tiga orang itu mengiakan dan masing-masing

meloloskan senjata sambil membentak nyaring, kemudian satu

dari kiri, satu dari kanan dan yang lain dari tengah bersama-

sama menyerbu ke dalam arena dan mengepung si anak

muda itu rapat-rapat.

Walaupun dikerubuti banyak orang, pemuda itu tidak

menjadi gentar, malah sebaliknya tertawa terbahak-bahak.

"Haaah... haaah... haaah... begini baru benar! Empat ekor

monyet bermain bersama-sama, nah ini baru ramai namanya!"

Berbicara sampai disitu, dia lantas berpaling kearah para

hadirin diseputar sana dan serunya lagi:

"Coba kalian perhatikan baik-baik, aku menginginkan ke

empat monyet ini berbaringbersama-sama!" Selesai berkata,

tubuhnya segera melompat dan berkelebat seperti kupu-kupu

ditengah aneka bunga, empat kali jeritan kesakitan segera

berkumandang memecahkan keheningan, bagaikan kena

tenung saja tahu-tahu keempat lelaki bengis itu sudah roboh

terjungkal keatas tanah.

Pemuda itu melayang balik ke tengah arena, memandang

empat lelaki bengis yang tergeletak ditanah, serunya kepada

para saudagar itu sambil bertepuk tangan:

"Coba kalian saksikan, bukankah keadaanya mirip sekali

dengan monyet?"

Agaknya sastrawan rudin itu sudah melupakan mara

bahaya yang berada dihadapan matanya, dia segera bertepuk

tangan sambil berteriak:

"Bagus sekali! Permainan yang menyenangkan! Engkoh cilik

kau memang seorang ahli di dalam mendidik monyet berjoget,

mereka memang mirip sekali dengan monyet-monyet ingusan"

Mendengar tepuk tangan tersebut, anak muda tersebut ikut

merasa gembira, dengan cepat dia menepuk bebas jalan

darah dari beberapa orang itu, ke empat lelaki bengis itu pun

segera sadar kembali, rupanya jalan darah mereka telah

tertotok.

Amarah yang meluap-luap agaknya membuat Taysui kepala

tembaga Oh Si thian menjadi lupa segala-galanya, diapun

tidak memikirkan sampai dimanakah kelihayan lawan, begitu

jalan darahnya terbebas, kontan saja dia membentak gusar:

"Bocah keparat, kau benar-benar seorang manusia yang

tak tahu diri, taysui akan beradu jiwa denganmu!"

Sepasang kepalannya digetarkan kencangdan segera

mengembangkan serangkaian serangan gencar.

Si anak muda itu masih tetap bersikap amat santai, serunya

sambil tertawa terbahak-bahak.

"Haaah...haaaah...haaah, mana ada monyet bisa berbicara?

Waah, betul-betul suatu kejutan bagi dunia persilatan!"

Sembari berkata, btubuhnya bergerak lagi kian kemari

dengan mengerahkan ilmu silat maha saktinya, secara

beruntun dia berhasil menghindarkan diri dari tiga buah

serangan dahsyat.

Menyaksikan gerakan tubuhnya yang dapat berubah-ubah

dengan begitu hebatnya, si taysui kepala tembaga Oh Si thian

segera teringat akan sesuatu, kemudian bentaknya keras-

keras:

"Bocah keparat, bila kau punya keberanian, ayoh cobalah

untuk merasakan kepandaian menerjang dengan batok

kepalaku ini!"

Mendengar perkataan itu, sang pemuda agak tertegun,

kemudian tanyanya dengan keheranan:

"Apa sih kegunaan batok kepalamu itu?"

Taysui berkepala tembaga segera tertawa.

"Heeeh...heeeh...heeh...asal kau dapat menyambut tiga kali

terjangan toayamu dengan batok kepala ini, toaya akan

mengaku kalah"

Sekarang si anak muda itu baru menyadari akan sesuatu,

mendadak sifat kekanak-kanakkannya muncul kembali, dia

tertawa dan manggut-manggut.

"Yaa, memang sebuah ide yang bagus sekali, suatu

rencana yang sangat jitu, sauya memang ingin mencoba batok

kepalamu yang konon sekeras tembaga ini"

Perlu diketahui, taysui kepala tembaga memiliki sebuah

ilmu kebal yang dapat mengubah kepalanya sekeras baja,

sebuah pohon sebesar pelukan akan roboh menjadi dua

apabila kena ditubtuk oleh kepalanya itu.

Karena kehebatannya inilah maka orang persilatan

menyebutnya sebagai Taysui berkepala tembaga.

Oh Si thian merasa amat gembira setelah

menyaksikan anak muda itu menyanggupi tantangannya,

dia segera berpikir:

"Bocah busuk, lihat saja nanti! Toaya akan menumbuk

perutmu sampai jebol!"

Berpikir demikian, sambil berpekik nyaring tubuhnya

melesat kedepan bagaikan anak panah yang terlepas dari

busurnya dan langsung menerjang tubuh pemuda tersebut.

Sambil bertolak pinggang, pemuda itu menyambut

datangan serangan tersebut sambil membusungkan dada.

"Blaammm..." suatu benturan keras terjadi.

Batok kepala Taysui berkepala tembaga tahu-tahu sudah

menumbuk di atas lambung anak muda tersebut secara telak.

Siapa tahu, baru saja kepala itu menumbuk di atas

lambung, dengan cepat Oh Si thian merasakan kalau gelagat

tidak menguntungkan, dia seperti menumbuk diatas segumpal

kapas yang sangat empuk, sama sekali tidak berkekuatan apa-

apa.

Menyusul kemudian daya tekanan yang muncul semakin

lama semakin bertambah kuat, kepalanya yang keras seperti

tembaga itu seakan-akan terhisap kuat-kuat diatas perut

pemuda tersebut sehingga sama sekali tidak bisa berkutik lagi.

Taysui berkepala tembaga menjadi sangat terperanjat, dia

berusaha untuk membetot kepalanya dengan sepenuh tenaga,

sayang sekali kendatipun dia telah mengerahkan segenap

kekuatan yang dimiliki pun, kepalanya seolah-olah berakar

disana, sama sekali tak mampu dilepaskan kembali.

Menyaksikan pola musuhnya, si anak muda itu tertawa

terbahak-bahak.

"Haaah...haaah...haah...sauya masih mengira kau betul-

betul seorang manusia berkepala tiga berlengan enam, tak

tahunya cuma bisa ilmu silat kucing kaki tiga saja! Mari!

Silahkan kalian menyaksikan semua, aku akan menyuruh

monyet ini memanggilku yaya"

Sembari berkata pemuda tersebut segera menjepit

kepalanya itu lebih keras lagi.

Kontan saja Taysui berkepala tembaga menjerit kesakitan,

suara jeritannya seperti ayam yang akan disembelih, keringat

jatuh bercucuran dengan derasnya.

Setelah menyiksanya setengah mati kembali pemuda itu

berkata sambil tersenyum.

"Ayo cepat memanggil yaya kepadaku dan minta ampun

kalau tidak, sauya tak akan kenal ampun lagi dan menghancur

lumatkan batok kepalamu itu"

Sudah puluhan tahun lamanya Taysui berkepala tembaga

Oh Si thian malang melintang dalam dunia persilatan tanpa

menjumpai musuh tangguh, hal tersebut menimbulkan

kesombongan hatinya.

Bayangkan saja, bagaimana mungkin dia akan bersedia

minta ampun terhadap seorang pemuda ingusan yang masih

berbau tetek itu?

Melihat kebandelan musuhnya, si anak muda itu tertawa

dingin, kembali dia mengerahkan dalamnya untuk menjepit

batok kepala orang itu, kontan Oh Si-thian menjerit ngeri,

karena kesakitan luar biasa...

Melihat pemimpinnya di siksa, tiga orang lelaki lainnya

segera mengayunkan golok masing-masing dan menerjang ke

arah si anak muda itu.

Menghadapi serangan dari ke tiga lawan-nya, pemuda itu

tertawa panjang, mendadak dia menghentakkan perutnya ke

depan

Tubuh si Taysu berkepala tembaga Oh Si thian segera

meluncur ke depan bagaikan arak panah yang terlepas dari

busurnya.

Kalau di bilang kebetulan, peristiwa tersebut memang

kebetulan sekali, tubuh Oh Si thian yang meluncur ke muka

seperti anak panah itu segera menerjang ke atas tubuh para

lelaki buas yang sedang menerjang datang itu.

"Blaaam!" lelaki buas yang berada dipaling depan tak

mampu untuk menghindarkan diri dan segera tertumbuk

secara telak.

Jeritan ngeri yang menyayatkan hati berku mandang

memecahkan keheningan, mampuslah manusia laknat

tersebut dalam keadaan mengerikan.

Oh Si thian sendiripun tewas dengan kepalanya hancur

berantakan, isi benaknya berceceran di tanah.

Berakhirlah riwayat dari gembong iblis yang sudah banyak

melakukan kejahatan dan membunuh orang tanpa berkedip

ini.

Jild : 20

SIAPA MENANAM kebajikan dia akan memetik buah

kebajikan, siapa menanam benih kejahatan, dia akan

mamperoleh buah kejahatannya.

Melihat pemimpin dan rekannya sudah tewas seketika, dua

orang lelaki buas lainnya menjadi ketakutan setengah mati,

serasa sukma meninggalkan raga saja, mereka tak berani

berdiam lebih lama lagi disitu, serentak kedua orang itu

melompat naik ke atas pelana kuda dan melarikan diri terbirit-

birit.

Ular tanpa kepala tak akan berjalan, dan lagi bagi manusia

kurcaci seperti itu, begitu ketemu batunya, mereka segera

melarikan diri terbirit-birit untuk menyelamatkan diri.

Melihat kawanan penjahat itu sudah kabur, dengan

perasaan lega sastrawaa rudin itu tertawa terbahak-bahak,

serunya:

"Agung, agung, engkoh cilik ini telah berbuat kebajikan

untuk umat manusia, budi kebaikan ini pasti akan dibalas

dengan kebaikan pula... lohu tanggung umur dan rejekimu

pasti akan bertambah, haah... haah... haah ulat dalam perutku

sudah mulai kambuh lagi, waah... celaka, celaka...

Kepada Kang Jin hoo dia lantas berseru:

"Saudara, ucapan lohu betul bukan? Kini hawa hitam yang

menyelimuti wajahmu telah hilang, mulai kini kau akan sukses

dan lancar selalu. Tentang jenazah kakek Lim, suruh si

pelayan untuk menguburnya"

Kang Jin hoo sesera menurut dan menyuruh orang untuk

membereskan jenasah orang-orang itu.

Seusai melakukan semua pekerjaan itu, sastrawan rudin itu

kembali berkata:

"Dia tak percaya kalau tak bisa hidup melebihi usia empat

puluh sembilan tahun, coba kau lihat bagaimana akhirnya?

Kalau selama hidupnya banyak melakukan kebaikan, sudah

pasti bencana akan berubah menjadi rejeki. Hiih...hiih...

saudara Kang, mana araknya?"

Sastrawan rudin itu memang betul-betul berhati keras

seperti baja, walau pun baru saja menyaksikan pembunuhan

seram berlangsung didepan matanya ternyata niatnya untuk

minum arak sama sekali tak berkurang.

Kang Jin hoo yang baru lolos dari kematian tentu saja amat

bersyukur dengan nasibnya yang beruntung, buru-baru dia

menjura sambil mengucapkan terima kasih kepada sastrawan

rudin itu, kemudian berterima kasih pula kepada si anak muda

itu:

"Terima kasih banyak atas bantuan dari siauhiap, budi

kebaikan ini tak akan kulupakan untuk selamanya, bagaimana

kalau kuhormati siauhiap dengan secawan arak?"

Pemuda itu tersenyum dan mengangguk, dia masuk

kedalam kedai dan mencari tempat duduk. Sementara itu

sastrawan rudin tadi sudah mengambil tempat duduk,

mengangkat poci arak dan meneguk dengan lahapnya.

Dengan sangat hormat Kang Jin hoo memenuhi sebuah

cawan arak, kemudian setelah meneguk habis isinya, dia

bertanya:

"Siauhiap, tolong tanya siapa namamu?"

"Aku she Suma bernama Thian yu!" Mendengar nama

tersebut, mendadak sastrawan rudin menggebrak meja sambil

berteriak.

"Aduuuh celaka, telah bertemu dengan binatang pembunuh

kecil...!"

Mendengar seruan mana, Kang Jin hoo serta Suma thian yu

segera berpaling dengan wajah tercengang.

Tempak sastrawan rudin itu meneguk araknya lebih dulu,

kemudian bergumam lagi:

"Perjalanan menuju ke Tibet penuh dengan harimau buas

dan srigala lapar, bila si anak domba hendak kesana.... sudah

pasti banyak bahaya dan bencana sepanjang jalan, bila aku,

lebih baik tak usah dikerjakan, pulang ke rumah jauh lebih

enakan!"

Kang Jin hoo tidak memahami arti dari perkataan itu, dia

menganggap ucapan tersebut sebagai perkataan orang gila.

Lain halnya dengan Suma Thian yu ucapan tersebut

didengar olehnya sebagai guntur yang membelah di siang hari

bolong, sekujur tubuhnya bergetar keras dan paras mukanya

berubah hebat.

"Lotiang, tolong tanya siapa namamu?" tegurnya kemudian.

Sastrawan rudin itu memicingkan matanya, kemudian

tertawa cekikikan.

"Harimau buat apa berkulit, manusia kenapa mesti

bernama, aku si rudin tak punya nama"

Selesai berkata, kembali dia meneguk arak dengan

rakusnya.

Menyaksikan kesemuanya itu, Suma thian yu segera

berpikir dalam hati:

"Heran, mengapa perkataan dari kakek ini begitu aneh,

seakan-akan dia tahu kalau aku hendak pergi ke See ih. Masa

dia benar-benar mempunyai kemampuan untuk meramal hal-

hal yang akan datang?"

Berpikir sampai disitu, mendadak satu ingatan melintas

dalam benaknya, buru-buru dia bertanya lagi:

"Lotiang, tadi kau mengatakan kalau aku telah melakukan

suatu kebajikan, apa sih yang kau maksudkan?"

Sastrawan rudin itu berlagak seperti menghitung dengan

jari tangannya, lantas sahutnya:

"Sebenarnya Oh Si thian dan konco-konconya hendak

membegal harta kekayaan dari mereka berempat, tapi kau

telah membereskan dirinya, ini berati kau telah menolong tiga

lembar jiwa manusia. Sebaliknya bila kau lepaskan Oh Si thian,

maka puteri seorang kepala kampung yang bernama Ing kit

ceng didekat sini pasti akan ternoda olehnya"

"Bayangkan saja, sekalipun telah melakukan sebuah

pekerjaan kebajikan, sudah pasti dalam perjalananmu

selanjutnya hanya ada rasa kaget tanpa bahaya maut"

Suma Thian yu menjadi makin kaget dan tertegun, buru-

buru dia bertanya lagi:

"Lotiang pandai menghitung rahasia langit, bersediakah kau

memberi petunjuk kepadaku?"

Tampaknya sastrawan rudin itu tak berani menerima pujian

tersebut, ia segera tertawa terbahak-bahak.

"Haaah... haaah... haah... kau menganggapku sebagai

dewa? Waa sungguh menggelikan, kalau kau ingin

menanyakan soal masa depan mu, maka aku hanya bisa

bilang banyak bencana banyak kesulitan, persoalan yang di

hadapi bertumpuk-tumpuk, hanya dengan keteguhan hati

yang besar dan keteguhan jiwa yang perkasa, semua bencana

itu baru bisa diatasi, kalau tidak bencana akan datang bertubi-

tubi dan kau bisa pergi tak akan kembali lagi"

Setiap perkataan dari sastrawan rudin itu seakan-akan

penuh makna yang mendalam, ketika Suma thian yu

memikirkan dalam-dalam, hatinya serasa makin terperanjat

lagi.

Tentu saja ucapan tersebut tak akan dipahami oleh

manusia seperti Kang Jin hoo dan rekan-rekannya...

Terdengar Suma Thian yu berkata lagi:

"Bagaimana pula penjelasanmu dengan perjalanan menuju

Tibet penuh harimau buas dan serigala kelaparan?"

"Haaaahhh... haaaaah itu mah rahasia langit yang tak boleh

dibocorkan dengan begitu saja...."

Tiap kali berbicara, sastrawan rudin itu seakan-akan seperti

menunjukkan asal usuknya, sayang Suma thian yu hanya

memperhatikan soal misinya menuju ke Tibet kali ini, sehingga

soal tersebut tak terpikirkan sama sekali olehnya.

Begitu selesai berbicara, sastrawan rudin itu bangkit berdiri

dan berjalan dengan gontai karena mabuk, tiba diluar warung,

dia berhenti sejenak, disamping seekor kuda kemudian

berkata:

Perjalanan masih jauh, punakan kuda untuk menggantikan

kaki, lohu akan berangkat dulu" Selesai berkata, seperti orang

gila dia ber jalan pergi meninggalkan tempat itu, ternyata arah

yang dituju adalah arah yang sama dengan perjalanan yang

bakal ditempuh Suma Thian yu.

Memandang bayangan punggungnya yang menjauh, Suma

Thian yu menggelengkan kepalanya berulang kali sambil

bergumam:

"Manusia aneh, manusia aneh.....entah siapakah dia...?"

"Yaa, aku pun belum pernah menjumpai tukang ramal yang

begitu hebat sepertu ini, jangan-jangan ada dewa yang

sedang turun dari kahyangan?" sambung Kang Jin hoo dari

samping.

Ucapan itu segera mengingatkan Suma Thian yu akan

sesuatu, dia segera bangkit berdiri, kemudian melompat ke

atas kuda dan berlalu dari sana, tapi baru berapa langkah, dia

menarik kembali tali les kudanya dan membalikkan arah.

Pemuda itu balik kembali kedepan warung, kemudian

menerkam jenazah dari Oh Si thian berdua ke atas kuda yang

lain, setelah itu buru-buru berangkat meninggalkan tempatitu

sambil menuntun kuda lain yang mengangkut jenazah.

Tak selang berapa saat kemudian, sampailah pemuda itu di

sebuah bukit.

Bukit itu bernama Wi san, keadaannya amat gersang dan

tak nampak sedikit tumbuhan pun, kendaannya tak jauh

berbeda dengan kepala botak seorang kakek.

Dengan menelusuri jalan kecil, Suma Thian yu berjalan

terus menuju ke atas puncak bukit, disitulah dia menurunkan

jenazah Oh Si thian dengan berhati-hati sekali.

Mendadak, diri belakang tubuhnya berkumandang suara

tertawa dingin, dengan perasaan terkesiap Suma Thian yu

berpaling, ia saksikan seorang penebang kayu berambut putih

telah muncul disana.

Mengetahui kalau hanya penebang kayu, Su ma Thian yu

merasa agak lega, dia tidak mem perdulikan orang itu dan

melanjutkan pekerjaannya untuk menurunkan jenasah ke dua.

Mendadak terdengar penebang kayu tua itu membentak

keras:

"Bocah muda, di siang hari bolong begini membawa

jenasah ke atas bukit, sudah pasti kau adalah sebangsa

pencoleng, jangan kubur jenasah itu di sini!"

Kembali Suma Thian yu berpaling dan melihat tukang

penebang kayu itu sekejap.

Ia merasa orang itu berwajah gagah dan alim, tangannya

membawa sebuah kampak kecil dan menimbulkan kesan

simpatik bagi yang memandangnya.

Maka dengan hormat dia menyahut:

"Aku hanya mendapat titipan orang untuk mengubur

mereka disini, jangan salah paham, aku bukan orang jahat"

Penebang kayu tua itu tertawa terbahak-bahak.

"Haah... haah... haah... soal itu mah lohu tidak ambil

perduli, kalau ingin mengubur jenazah, silahkan untuk

berpindah ketempat lain"

"Mengapa?"

"Tidak mengapa, bukit ini adalah wilayahku"

Buru-buru Suma Thian yu mengangkat jenazah itu ke atas

pelana kuda lagi.

Mendadak terdengar penebang kayu itu berkata lagi:

"Lohu bersedia untuk membicarakan suatu barter

denganmu, apakah kaupun bersedia?"

"Barter? Barter apa?"

"Soal ini tergantung apakah kau bersedia atau tidak?"

"Asalkan masuk diakal dan bisa diterima, maka aku

bersedia....."

"Kau serahkan kedua sosok mayat itu kepadaku, lohu akan

menghadiahkan semacam mestika kepadamus bahkan

mewariskan pula satu ilmu silat kepadamu"

Suma Thian yu menjadi tercengang setelah mendengar

perkataan itu, segera tanyanya dengan wajah keheranan:

"Buat apa kau minta kedua jenasah tersebut?"

"Soal ini tak usah kau ketahui, cukup kau jawab bersedia

tidak untuk melakukan barter ini?"

"Maaf, bila kau tidak menjelaskan, akupun tak dapat

memenuhi harapanmu itu" jawab Suma Thian yu tegas.

Mendadak Penebang kayu tua itu berkerut kening,

kemudian bentaknya penuh kegusaran:

"Tampaknya kau tak mau diberi arak kehor matan

sebaliknya memilih arak hukuman, padahal bila lohu

menginginkan kedua sosok mayat tersebut, bisa kuperoleh

seperti merogoh barang dalam saku sendiri, bila kau tak

menyerahkannya kepadaku jangan harap kau bisa

meninggalkan bukit gundul ini setengah langkahpun...."

Suma Thian yu segera tahu kalau dia telah bertemu dengan

gembong iblis, tak mungkin persoalan hari ini bisa diselesaikan

secara mudah.

Diam-diam ia menjadi gelisah sekali, katanya kemudian:

"Biarlah aku menguburnya ditempat lain, buat apa mesti

menjadi marah hanya dikarenakan persoalan kecil?"

Penebang kayu tua itu tertawa seram.

"Heeeh...heeeh...heeeh...terlambat bila sekarang akan

pergi, selamanya ucapan yang sudah lohu utarakan tak

pernah dijilat kembali, tiada orang yang berani pula

memenangkanku, bila kau ingin hidup, cepat enyah dari sini,

kalau sampai menunggu aku berubah pikiran, jangan harap

kau bisa pergi lagi dari tempat ini"

Suma Thian yu tentu saja bukan seorang manusia yang

takut urusan, tapi oleh karena dia selalu memikirkan tentang

sastrawan rudin yang misterius maka dia tak ingin mencari

banyak urusan.

Coba kalau menuruti wataknya yang tidak takut

menghadapi kesulitan, sudah pasti tantangan dari penebang

kayu itu akan dihadapi dengan kasar.

Begitu selesai menaikkan kembali kedua sosok mayat

tersebut, dia segera putar badan dan beranjak pergi dari situ.

"Bocah keparat, rupanya kau ingin mampus" bentak

penebang kayu tua itu sambil tertawa dingin.

"Belum tentu" jengek Suma Thian yu.

Kakek penebang kayu itu segera menggerakan bahunya,

tanpa menggeserkan sepasang kakinya, tahu-tahu dia sudah

menghadang jalan pergi anak muda tersebut.

kemudian sambil mengayunkan kapak kecilnya dan

mencorongkan sinar hijau dari balik matanya, dia menatap

wajah Suma Thian yu lekat-lekat, serunya:

"Eeeh, keparat, tahukah kau apa hubungan lohu dengan

taysui berkepala tembaga itu?"

"Biar dia anak mu juga, aku tak ambil peduli!"

"Telur busuk!" bentak kakek penebang kayu itu gusar.

Mendadak dia menerjang ke muka, kampaknya langsung

diayunkan ke depan membacok tubuh Suma Thian yu.

Bagi seorsng ahli silat, dalam sekali gebrakan saja akan

mengetahui berisi atau tidak, jangan di lihat kakek penebang

kayu itu sudah lanjut usia, ternyata gerak geriknya masih

lincah, jurus serangannya lihay.

Walaupun serangan yang dilancarkan olehnya itu kelihatan

biasa tanpa suatu keanehan, namun bacokan kapaknya justru

disertai dengan tenaga bacokan yang luar biasa.

Suma Thian yu adalah seorang pemuda yang tinggi hati,

kendati pun dia tahu kalau musuhnya lihay, namun dia tetap

mendengus dingin dan melancarkan sebuah gerakan untuk

menghindar kesamping.

Betapa gembiranya kakek penebang kayu itu melihat

gerakan mana, dia merasa bocah itu masih cetek kepandaian

silatnya dan gampang dibekuk.

Maka sambil tertawa seram, kesepuluh jari tangannya

dipentangkan lebar-lebar dan meng gunakau ilmu Eng jiau

kang yang sangat lihay tersebut, dia segera mencengkeram

tubuh Suma Thian yu.

"Aduuh, habis sudah nyawaku!" teriak Suma Thian yu

dengan perasaan kaget.

Sepasang tangannya segera digerakkan keatas untuk

menangkis, sementara tubuhnya mundur beberapa lamgkah

dengan sempoyongan.

Kakek penebang kauu itu makin gembira lagi, dengan

mengerahkan tenaganya dia ma ju menyerang lagi, bentaknya

keras-keras:

Bocah keparat, siapa yang telah membunuh Oh Si thian?"

Sekali lagi Suma Thian yu mundur beberapa langkah ke

belakang, kemudian sahutnya:

"Seorang temanku!"

"Siapa? Ayo bilang!" desak kakek penebang, kayu itu

sambil maju ke depan.

"Orang itu tak bernama, dia hanya memakai baju

sastrawan yang sudah robek-robek, berusia tujuh puluh

tahunan...."

"Aaaah, rupanya makhluk tua itu, bocah keparat,

kemanakah dia telah pergi?"

"Aku sendiripun tak tahu!" Sungguh menggelikan sekali,

ternyata iblis tua itu tidak menyadari kalau dirinya telah di tipu

habis-habisan.

Yaa, hal ini tak bisa menyalahkan diri, dalam anggapannya

Suma Than yu ibaratnya seekor burung yang belum lengkap

bulu sayapnya, untuk menghindari serangannya amat payah,

bagaimana mungkin pemuda semacam ini bisa berilmu

tinggi?"

Setelah mengetahui kalau murid kesayangannya mati

ditangan sastrawan rudin itu, kakek penebang kayu itu tidak

melancarkan serangan gencar lagi.

"Bocah keparat" katanya kemudian, "cepat beritahu

kepadaku, makhluk tua itu sudah menampakan diri dimana?"

Menyaksikan orang itu bertanya setengah mencelah, Suma

Thian yu seeera merasakan ha tinya tergerak, sahutnya cepat:

"Aku berjumpa dibawah bukit sana, setelah menghabisi

nyawa Oh Si thian diapun pergi entah kemana"

Paras muka kakek penebang kayu itu berubah hebat,

buru-buru dia bertanya lagi:

"Sungguhkan perkataanmu itu?"

"Ehmm...!" jawab Suma Thian yu dingin.

Mendadak....

Dari tengah udara berkumandang suara gelak tertawa yang

amat nyaring, disusul kemudian terdengar seseorang berseru

dengan sua ranya yang parau:

"Bocah cilik, kau harus mampus! Berani betul membohongi

orang dan memfitnah lohu. Tahu kalau hatimu jahat, sejak

tadi lohu sudah membacokmu sampai mampus"

Bersamaan dengan berkumandangnya ucapan tersebut,

diatas pucuk bukit itu telah muncul seorang kakek mabuk

yang berjalan mendekati arena pertarungan dengan langkah

sempoyongan.

Begitu menyaksikan kehadiran orang itu, si kakek penebang

kayu tersebut merasa amat terkejut, buru-buru dia melompat

keluar dari arena pertarungan sambil membentak:

"Makhluk tua, ternyata kau tidak melupakan janji kita pada

dua puluh tahun berselang, hal ini menandakan kalau tenaga

dalammn selama dua puluh tahun terakhir ini mengalami

kemajuan pesat, kionghi, kionghi...."

Orang yang barusan munculkan diri itu tidak lain adalah si

sastrawan rudin yang dijumpai di warung siang tadi.

Sambil menggelengkan kepala dan tertawa terkekeh-kekeh,

sastrawan rudin itu berkata:

"Bisa melihat sobat lamaku masih segar bugar, lohu merasa

gembira sekali, bila daya ingatanku masih bagus, bukankah

hari ini adalah saat perjanjian kita?"

"Haaah...haah...haah... kau memang memiliki daya ingatan

yang mengagumkan, benar, memang hari ini. Sejak pagi tadi

lohu sudah menantikan kedatanganmu dirumah, siapa tahu

muridku yang berbuat keonaran diluaran telah mati dibunuh

dan jenasahnya akan dikubur disini, bagi lohu peristiwa ini

benar-benar rupakan suatu kejadian aib bagiku"

"Hei makhluk tua, aku ingin bertanya kepadamu, apa

dendam sakit hati muridku padamu? Mengapa kau begitu tega

membunuhnya?"

Ketika mengucapkan perkataan tersebut, wajah kakek

penebang kayu itu diliputi kegusaran dan emosinya berkobar-

kobar.

Sastrawan rudin itu memicingkan matanya, kemudian

tertawa terbahak-bahak.

"Haaahh... haaah... haaah... berhutang nyawa dia harus

membayarnya dengan nyawa pula, kejadian semacam ini

sudah lumrah dan sewajarnya. Muridmu Oh Si thian telah

membunuh seorang saudagar tanpa sebab musabab, dosanya

amat besar, sudah sepantas nya kalau dia mumpus untuk

menebus dosa-dosanya itu...."

Kakek penebang kayu itu makin naik pitam, ia tertawa

seram dengan kerasnya, suaranya seperti jeritan setan

ditengah malam buta, sehingga membuat bulu kuduknya pada

bangun.

Begitu selesai tertawa, dia segera melotot gusar kearah

sastrawan rudin itu, kemudian sambil menuding ke arah mayat

muridnya, dia berkata:

Makhluk tua, mau memukul anjing lihat dulu pemiliknya,

kau toh sudah tahu kalau dia adalah murid kesayanganku,

sekalipun perbuatan-nya tak benar, juga tidak seharusnya kau

membinasakan dirinya. Baik! kalau toh kau melupakan

dendam sakit hatimu dulu, hari ini lohu akan melayanimu

sampai dimana pun jua."

Sastrawan rudin itu segera tertawa dengan penuh

kegembiraan, serunya:

"Hal ini harus disalahkan muridmu cuma gentong nasi yang

tidak berguna, tombak dari lilin yang tak mampu menahan

diri, kalau sudah kena di banting orang sampai mampus, kau

harus menyalahkan siapa lagi?"

Kakek penebang kayu itu tampak tertegun sehabis

mendengar ucapan itu, tanyanya cepat:

"Menurut perkataanmu itu, siapa yang telah

membunuhnya?"

Mendapat pertanyaan ini, si sastrawan rudin itu baru

merasa kalau ia telah salah berbicara, hatinya menjadi amat

sedih.

Baru saja akan menjawab, mendadak Suma Thian yu yang

berada disampingnya telah berkata:

"Akulah yang telah membunuhnya!"

Dengan cepat kakek penebang kayuitu berpaling, dari balik

matanya yang memerah telah mencorong keluar sinar tajam

yang menggidikkan hati, bentaknya segera dengan gusar:

"Kau? Kau yang membunuhnya? Lobu tak percaya, kau tak

usah memikul dosa orang lain!"

"Tidak, memang akulah yang telah membinasakan

muridmu, ketika muridmu itu menubruk perutku dengan

kepalanya, aku pun menghen-takan perut ku, siapa tahu dia

lantas mampus dengan begitu saja. Bila kau tidak percaya

silahkan kau periksa keadaan lukanya"

Sekali lagi Kakek penebang kayu itu tertawa seram.

"Heeehh...heeeh...heeeh... bocah keparat, dengan

tampang seperti kau pun bisa mengalahkan muridku? Hmm,

siapa yang percaya? Sekali lagi lohu peringatkan kepadamu,

bila kauingin mencari penyakit buat diri sendiri, lohu pasti

akan memenuhi keinginanmu itu"

Mendadak sastrawan rudin itu menjengek dari samping,

katanya sambil tertawa tergelak:

"Tua bangka celaka, kau memang pandai mengucapkan

kata-kata yang tak sedap didengar, memangnya kau anggap

murid kesayanganmu itu berbobot? Huuh sudah tak becus

belagak jadi Hohan lagi?"

"Tutup bacotmu..!" bentak kakek penebang kayu itu gusar.

Aai bocah keparat ini mampu untuk menyambut pukulan

lohu, pasti aku percaya dengan perkataannya, kalau tidak....

hmm... terpaksa hutang berikut bunganya ini harus kutagih

dari tanganmu!"

"Tiga pukulan?" sastrawan rudin itu berlagak kaget.

"Wah... aku saja tak mampu untuk menerimanya, apa lagi

dia? Bukankah kau hendak menyuruh dia mencari kamatian

buat diri sendiri?"

"Bagaimana? Sepasang mata lohu belum kemasukan pasir

bukan?" jengek gakek penebang kayu itu sambil tertawa

berkakak seram.

"Mahkluk tua, kau harus membayar ganti atas selembar

nyawa muridku itu"

Suma thian yu merasa dirinya dipandang rendah oleh

lawannya, mendadak serunya lantang:

"Aku sanggup menerima dua pukulanmu!"

Begitu ucapan tersebut diutarakan, bukan cuma kakek

penebang kayu itu saja yang tercengang, bahkan sastrawan

rudin itupun merasa terperanjat.

"Kau? Kau sibocah sudah edan? Kau tahu siapakah dia? Dia

adalah Jit Tok siu (Kakek tujuh racun) Kwa Lun yang

termashur itu. Dengan modal apa kau hendak menyambut

pukulan Jit tok ciangnya yang maha dahsyat itu?"

Begitu mendengar nama Jit tok siu, sekujur badan Suma

thian yu bergetar keras, paras mukanya berubah hebat, diam-

diam dia mengeluh didalam hati:

"Jit tok siu Kwa Lun gembong iblis paling beracun dalam

dunia persilatan, bukan saja tenaga dalam maupun tenaga

luarnya sudah tingkatan yang paling sempurna, ilmu pukulan

Jit tok ciang yang di milikinya cukup membuat paras muka

orang berubah hebat.

Sekarang, Suma Thian yu baru merasa agak menyesal,

menyesal karena tindakannya yang terlalu terburu-buru.

Sementara dia masih memutar otak untuk mencari akal

guna menghadapi serangan lawan, Jit tok siu Kwa Lun telah

berjalan menuju ke hadapan Suma Thian yu, bahkan sambil

memandang anak muda tersebut ia tertawa seram nada

hentinya.

Sekali lagi Suma Thian yu mengawasi wajah Jit tok siu

lekat-lekat, dia merasa wajah orang ini mencerminkan

seseorang yang lurus, tapi mengapa hatinya justru begitu keji

dan buas?

Tak salah kalau orang mengetahui, apabila ingin menilai

seseorang, janganlah hanya menilai dari wajahnya.

Sementara itu si sastrawan rudin itu pun ikut merasa

sangat gelisah sekali setelah di lihatnya ke dua orang itu yang

telah saling berhadapan muka, tanpa sadar dia menggeserkan

tubuhnya pelan-pelan kesamping Suma Thian yu, kemudian

bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan yang tak

diinginkan.

Dengan cepat Suma Thian yu berhasil mengendalikan

pikiran dan perasaannya, walaupun berhadapan dengan

musuh tangguh, dia masih kelihatan gagah dan tenang.

Mau tak mau sikap gagahnya ini menimbulkan, perasaan

kagum juga hati sastrawan rudin itu, ia malai berpikir, jangan-

jangan si anak muda ini memang memiliki ilmu silat tingkat

tinggi?

Mendadak Jit tok siu tertawa seram, kemudian ujarnya

dengan suara yang menggidikan hati:

"Sebelum pertarungan dimulai, aku hendak berkata dulu

kepadamu, asal kau mampu untuk menyambut seranganku

ini, maka lohu akan menghadiahkan sebuah benda mustika

dan mewariskan satu jurus ilmu silat kepadamu, sebaliknya

bila kau mampus secara mengerikan, jangan salahkan kalau

aku tertindak keji"

"Tak usah banyak bicara lagi, silahkan kau lancarkan ketiga

buah pukulanmu itu!" seru Suma thian yu cepat.

Jit tok siu tertawa seram:

"Kalau begitu, sambutlah!"

Telapak tangannya segera di lontarkan kedepan, segulung

hawa pukulan yang panas sukar ditahan bagaikan baranya api

langsung berhembus ke tubuh Suma Thian yu.

Dibalik baranya api yang menggelora inilah sesungguhnya

terkandung tujuh macam racun yang sangat jahat.

Menyaksikan itu, sastrawan rudin tersebut segera berteriak

berulang kali:

"Racun! Racun! Racun!"

Baru saja Suma Thian yu hendak melawan pukulan itu

dengan telapak tangan kanannya, begitu mendengar

peringatan dari sastrawan rudin tersebut, satu ingatan dengan

cepat melintas dalam benaknya, cepat-cepat dia menarik

kembali telapak tangan kanannya lalu menyongsong pukulan

musuh dengan telapak tangan kirinya.

"Kembali!" bentaknya pendek.

Sungguh aneh sekali, begitu angin pukulan dari Suma

Thian yu berhembus lewat, pukulan beracun dari Jit tok siu itu

seakan-akan bertemu dengan tandingannya, seketika lenyap

tak berbekas.

Jit tok siu Kwa Lun menjadi terkejut sekali, mendadak ia

mengayunkan kembali telapak tangannya ditengah udara

segera muncul desingan angin tujuh warna, seakan-akan

pelangi di angkasa, secepat kilat menyerbu tubuh Suma Thian

yu.

Seperti juga pertama kali tadi, dengan menghimpun dua

bagian tenaga murninya kedalam telapak tangan kiri, dia

sambut datangnya serangan itu keras-keras.

"Blaaaaaamm!"

Ketika dua gulungan angin pukulan itu bertemu diudara,

pusaran angin berpusin segera menyambar ke empat penjuru,

sedangkan cahaya tujuh warna itupun lenyap tak berbekas.

Dua kali serangan beruntunnya menemui kegagalan, hal

mana membuat Jit tok siu Kwa Lun menjadi malu bercampur

gusar, segera bentaknya keras-keras:

"Bocah keparat, serahkan selembar nyawamu!" Mendadak

ditengah udara berkumandang sua ra mencicit yang sangat

aneh, kemudian muncul beribu cahaya merah yang

menyambar tubuh Suma Thian yu bagaikan hujan deras.

Sastrawan rudin itu tahu lihaynya serangan itu, mendadak ia

menjerit kaget:

"Aaah... ulat beracun! Cepat mundur!"

ooo^^ooo

Dalam keadaan begini, Suma Thian yu hanya ingin

menghindarkan diri dari mara bahaya saja, dengan cepat dia

menambahi tenaga pukulan pada tangan kirinya dengan dua

bagian tenaga lagi, kemudian dengan menghimpun tenaga

pada tangan kanan, dia lepaskan sebuah pukulan dengan ilmu

Sian po hwee ajaran Cong liong Lo sianjin.

Dua gulung angin pukulan seperti sapuan angin puyuh

menderu-deru di angkasa, ketika dua gulung kekuatan

tersebut saling membentur, segera berkumandanglah suara

ledakan yang memekikkan telinga.

Suma Thian yu memang cekatan, begitu sepasang telapak

tangannya melepaskan pukulan, tubuhnya menggunakan

kesempatan tersebut menghindar kebelakang dan meloloskan

diri dari lingkaran cahaya yang berbahaya itu.

Mimpipun Jit tok siu tak pernah menyangka kalau Suma

thian yu mampu untuk menghadapi tiga buah pukulannya,

bahkan melancarkan sebuah serangan balasan yang

mengetarkan sukma.

Menanti dia menyadari apa yang telah terjadi, seluruh

tubuhnya sudah terlempar ke udara dan meluncur ke belakang

seperti layang-layang putus tali.

Masih untung Jit tok siu adalah seorang jago silat

keramaan, kendtipun sedang berada dalam bahaya, dia tak

sampai gugup.

Dengan cepat dia berjumpalitan beberapa kali ditengah

udara, kemudian melayang turun ke atas tanah dengan

selamat.

Namun, setelah adanya pelajaran ini mau tak mau Jit tok

siu Kwa lun harus memperbaharui penilaiannya terhadap

Suma Thian yu, di samping itu diapun yakin kalau muridnya

memang tewas ditangan si anak muda ini.

Selama hidup belum pernah sastrtwan rudin itu pernah

menyaksikan gerakan tubuh sede mikian indahnya, terutama

sekali kesanggupan Suma Thian yu untuk melawan racun, hal

tersebut membuatnya menjadi gelagapan.

Berbicara sesungguhnya, sastrawan rudin sendiripun masih

mengandalkan semacam ilmu silat barunya untuk menghadapi

Jit tok siu kalau tidak ingin menderita kekalahan, siapa sangka

kalau pemuda itu malah bisa menghadapi lawannya secara

begitu mudah.

Dua puluh tahun berselang, mereka sudah pernah

bertarung selama tiga hari tiga malam, waktu itu si sastrawan

rudin tersebut kalah satu gebrakan dari lawannya, masih

untung Jit tok siu sendiripun sudah kehabisan tenaga hingga

selembar jiwanya bisa lolos dari ancaman.

Sesungguhnya dia memang seorang pendekar dunia

persilatan, oleh sebab dia pandai meramal dan lagi sikapnya

ugal-ugalan, maka orang persilatan menyebutnya sebagai Sin

sian siang su (Peramal dewa).

Si peramal dewa ini she Yu bernama Seng si, tiada orang

yang mengetahui asal usulnya, namun kepandaian silatnya

amat hebat.

Belum sampai dua tahun dia berkelana dalam dunia

persilatan, namanya menjadi tenar dan jarang ada yang bisa

menandingi kepandaian silatnya itu.

Karena itulah ketenarannya menimbulkan kemarahan dari

Jit tok siu Kwa Lun yang waktu itu merupakan seorang

gembong iblis dari golongan Liok lim, dia menentang si Dewa

peramal itu untuk bertarung.

Namun hasil dari pertarungan itu, si Dewa peramal

dikalahkan oleh lawannya dalam suatu pertarungan yang alot.

Sebelum pergi, Dewa peramal menentang untuk bertarung

lagi dua puluh tahun mendatang.

Kebetulan hari ini sudah saatnya untuk bertarung lagi

melawan Jit tok siu.

Kebetulan pula sebelum berangkat kemari, si Dewa peramal

telah bertemu dengan Cong liong Lo siancu dan mengetahui

kalau tokoh sakti ini mempunyai seorang murid yang bernama

Suma Thian yu sedang dalam perjalanan menuju Tibet.

Cong liong Lo siansu berpesan kepadanya agar sepanjang

jalan melindungi muridnya ini.

Oleh sebab pesan itu pula, ketika Dewa peramal berhasil

menjumpai Suma Thian Yu, diapun memberi petunjuk dengan

kata- katanya. Dalam pada itu, Jit tok siu dibikin malu

bercampur gusar setelah kekalahannya, ia segera berkata

agak tersipu:

"Bocah keparat, kau memang hebat dan mampu menerima

tiga buah pukulan lohu, pa dahal jarang ada orang yang

mampu berbuat demikian. Seperti apa yang telah kukatakan

tadi, aku akan menghadiahkan sebuah benda mestika

kepadamu, sedang soal jurus silat, aku pikir dengan

kepandaianmu sekarang, hal ini tak usah lagi"

Sembari berkata dia mengambil sebutir mutiara kecil dari

sakunya dan disodorkan kehadapan Suma Thian yu.

Ketika pemuda itu mencoba mengamati, mutiara tersebut

amat tajam, karenanya sambil menggeleng katanya:

"Terima kasih banyak, aku...."

Belum selesai dia berkata, Dewa peramal telah menukas:

"Bocah, terimalah, orang lain toh menghadiahkan benda itu

dengan hati tulus."

Suma Thian yu masih kelihatan sangsi untuk menerima.

Si Dewa peramal segera menegur lagi:

"Eeeh, mengapa masih sangsi?"

Mendengar ucapan tersebut, Suma Thian yu mengira watak

Jit tok siu memang aneh dan tak boleh ditampik

pemberiannya, maka dia segera menerima mutiara tersebut

seraya berkata:

"Terima kasih banyak!"

Kemudian dimasukkan kedalam sakunya.

Si Dewa peramal Yu Seng si segera berpaling ke arah Jit

tok siu, kemudian katanya seraya tertawa:

"Babak berikutnya adalah peraturan diantara kita berdua!"

"Apakah dia adalah muridmu?" Jit tok siu Kwa Lun segera

menuding ke arah anak muda itu.

"Bukan!"

Mengetahui kalau Suma thian yu bukan muridnya si Dewa

peramal, Jit tok siu Kwa Lun baru merasakan hatinya lega,

sambil tertawa dia lantas manggut-manggut.

"Bagaimana jika seperti cara kita pada dua puluh tahun

berselang?"

"Boleh sih boleh, hanya waktunya terlalu lama, kita harus

satu cara, sekarang kau boleh mengajukan satu persoalan dan

kita saling ber gantian mengajukan soalnya, bagaimana?"

Mendengar perkataan itu si Dewa Peramal Yu Seng si

segera tertawa terbahak-bahak. "haaah...haaah...haah...

bagaimana kalau kita beradu racun saja?"

Ucapan mana kontan membuat Jit tok siu tertegun, dia

saama sekali tidak menyangka kalau musuhnya akan beradu

racun dengannya. Kontan saja dia mendonggakkan kepalanya

dan tertawa terbahak-bahak.

"Hei mahkluk tua, kau ada maksud untuk mengejekku?

Bertanding racun denganku sama saja mencari penyakit buat

diri sendiri, lebih baik yang serius saja, jangan sok

menganggap pertarungan ini seperti mainan kanak-kanak!"

SI Dewa peramal Ya Seng si sama sekali tidak tergetar

hatinya, malah ujarnya lagi sambil tertawa:

"Kau mengira lohu sedang bergurau? Kau adalah raja racun

di dunia ini, sedang lohu akan menantangmu dengan racun

pula, bukan kah hal ini sangat adil?"

Hampir saja Jit tok siu Kwa Lun tidak percaya dengan

pendengaran sendiri, kembali dia bertanya:

"Bagaimana cara pertarungan itu akan langsungkan?"

"Aku membawa dua botol teh racun Ban tek cha, setiap

orang harus minum sebotol, coba kita saksikan siapa yang

akan keracunan lebih dulu. Bagaimana? Permainan ini sangat

mencocoki selera mu bukan?"

Mula-mula Jit tok siu Kwa Lun agak tertegun, menyusul

kemudian dia tertawa terbahak-bahak seperti orang gila:

"Haah...haah...haah... sudab edan rupanya dirimu itu?

Dengarkanlah nasehat lohu, lebih baik jangan dicoba, teh Ban

tok cha merupakan racun paling ganas di dunia ini dan tiada

obat yang bisa menawarkan racun tersebut, bila teh beracun

itu diminum maka kita semua akan mampu mampus, boleh

saja kalau kau sudah bosan hidup, tapi lohu masih belum ingin

mampus dengan begitu cepat....!"

Mendengar perkataan ini, Si Dewa Peramal segera

mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.

"Haaah...haaah...haaahh... katanya saja kau adalah cikal

bakalnya racun, tak tahunya takut minum teh beracun Ban tok

cha....! Huuh, asal kau mau mengaku kalah, kita hapus

pertarungan ini"

Jit tok siu Kwa Lun tertawa seram.

"Omong kosong, asal kau berani meneguk, lohupun berani

pula untuk meneguk racun itu"

Dari dalam sakunya si Dewa peramal Yu Seng si

mengeluarkan dua buah bool kecil yang sama bentuknya,

kemudian sambi1 menyodorkan kedua botol itu kedepan Jit

tok siu, katanya:

"Silahkan kau untuk memilihnya dulu!" Jit tok siu Kwa Lun

mengambil sebuah diantaranya, kemudian berseru:

"Harap kau dulu yang minum!"

Tanpa sangsi si Dewi peramal Yu Seng si membuka

penutup botol itu dan meneguk isinya sampai habis, paras

mukanya sama sekali tidak berubah.

Menanti si Dewa peramal telah menghabiskan botol teh

beracun itu, jit tok siu Kwa Lun baru tertawa licik.

"Makhluk tua, kau tertipu, lohu tak lebih hanya

menganjurkan kepadamu untuk menghabiskan isi racun itu

agar selekasnya berangkat ke akhirat"

Menyaksikan perbuatan munafik dari lawannya itu, Si Dewa

peramal Si Seng yu menjadi gusar bukan main, mendadak alis

matanya berkernyit dan sekujur tubuhnya gemetar keras,

wajahnya menunjukkan perasaan tersiksa yang luar biasa.

Menyaksikan hal ini, Jit tok siu Kwa Lun tertawa tergelak,

dengan bangganya dia menjengek:

"Mahkluk tua, siapa membunuh orang, dia harus membayar

pula dengan nyawanya, lohu akan mengambil nyawamu

sebagai ganti nyawa muridku, bukankah itu adil namanya?"

Selesai berkata kembali dia tertawa terbahak-bahak dengan

gembiranya.

Suma thian yu sambil membentak keras, ia meloloskan

pedangnya, kemudian membacok tubuh Jit tok siu dengan

mengunakan jurus Gwat gi seng sia (rembulan bergeser

bintang beralih).

"Wahai setan tua!" dia membentak nyaring, "kau jangan

keburu merasa bangga lebih dulu, giliran selanjutnya adalah

kau!"

Agak tertegun juga Jit tok siu Kwa Lun ketika melihat Suma

Thian yu maju melancarkan serangan, ia tidak menangkis

maupun berkelit sambil mundur berapa langkah dan

memungut kembali kapak kecilnya, ia tertawa licik.

"Bocah keparat, silahkan kau pun pergi mampus!"

Kapaknya dengan jurus Ciu siu gan Siu (tukang kayu

menebang pohon) balas menyerang ketubuh Suma Thian yu.

Jangan dilihat gerak serangan itu amat kaku dan

sederhana, pada hal dibalik kesederhanaan tersebut justru

mengandung tenaga dalam yang luar biasa.

Belum lagi serangan kapak itu tiba, dihadapan tubuh Suma

Thian yu telah diliputi selapis hawa dingin yang luar biasa.

Suma Thian yu mengira Jit tok siu akan memancarkan

tujuh racunnya di balik serangan kapak tersebut, tanpa terasa

hatinya menjadi bergetar keras.

Cepat-cepat dia memutar pedang Kit hong kiamnya,

menciptakan suatu pertahanan yang amat tebal untuk

menciptakan suatu pertahanan yang tangguh, dengan cara itu

dia hendak mem bendung serangan dari Jit tok siu.

Mendadak terdengar si Dewa peramal berpekik nyaring,

tubuhnya berkelebat lewat bagaikan sambaran petir, lalu

menerjang ketengah antara kedua orang itu.

Sepasang telapak tangannya dilontarkan kemuka

dan...."Blammm!" ditengah suatu ledakan keras yang

memekikkan telinga, Jit tok siu maupun Suma thian yu sama-

sama kena dipaksa untuk mundur sejauh beberapa langkah.

"Haaah...!" begitu Jit tok siu Kwa Lun tahu kalau orang

tersebut adalah Dewa peramal, dia menjerit kaget.

Dengan nada menyindir, si Dewa peramal Ya Seng si

berseru sambil tertawa terbahak-bahak:

"Kau merasa terperanjat bukan? Kwa Lun, yang tertipu

bukan aku, melainkan kau si bajingan tua yang rendah dan

tak tahu malu."

"Betul-betul mengejutkan" seru Jit tok siu Kwa Lun sambil

menyeringai seram, "Jadi kau ini belum mampus?"

"Tentu saja tak akan mampus, masa minum air bisa

mampus? Jangan nakut-nakuti orang!

"Aaah, jadi isi botol itu cuma air?" Jit tok siu Kwa Lun

makin terperanjat.

Begitu selesai berkata, si Dewa peramal segera tertawa

terbahak-bahak, sedangkan Suma thian yu juga ikut merasa

lega, sehingga ia tertawa terpingkal pingkal.

Sudah barang tentu Jit tok siu Kwa Lun tak percaya dengan

begitu saja, tapi diapun cukup mengetahui tentang kelihayan

dari racun Bak tok cha tersebut, andaikata si Dewa peramal

benar-benar meneguknya, sudah pasti dia akan mampus.

Namun kenyataannya, dia masih mampu untuk

melancarkan serangan dengan begitu dahsyat, dari sini bisa

disimpulkan kalau dia memang cuma minum air biasa.

Semakin dibayangka, Jit tok siu merasa hatinya merasa

makin tak karuan, seolah-olah bocah yang merasa salah

sehingga tak sepatah katapun mampu diucapkan.

Untuk sesaat lamanya suasana diarena menjadi hening,

lama kemudian, akhirnya Jit tok siu Kwa Lun membanting

kapak kecilnya keatas tanah, lalu dengan wajah tersipu karena

malu dia berkata:

"Aku mengaku kalah, baik soal kecerdasan maupun tenaga

dalam, lohu kalah semua dari mu. Tiga tahun kemudian, lohu

pasti akan datang minta petunjuk lagi!"

Selesai berkata, dia membalikan badan dan berlalu dari

situ, hanya didalam beberapa kali lompatan saja, bayangan

tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata.

Menanti Jit tok siu Kwa Lun sudah pergi jauh, Suma thian

yu berdua baru menggali liang dan menguburkan dua sosok

jenazah tersebut.

Kemudian, Suma Thian yu baru memberi hormat kepada si

Dewa peramal sembari berkata:

"Locianpwe, maafkanlah boanpwe yang punya mata tak

berbiji sehingga tidak mengenali diri cianpwe.."

"Haah...haah... haah... bocah cilik, lohu paling benci

dengan segala adat istiadat serta tata cara kesopanan,

sebagai seorang lelaki sejati, sudah seharusnya bersikap

terbuka dan tidak terikat adat"

Buru-buru Suma Thian yu mengiakan dengan hormat.

Dewa peramal Yu Seng si kembali mengamati Suma Thian

yu beberapa saat lamanya, kemudian berkata lagi:

"Jika di lihat dari tampangmu jelas kau adalah seorang

pemuda yang jujur dan berperasaan halus, tapi kau harus

tahu, perjalananmu menuju tibet kali ini penuh dengan

kesulitan dan rintangan, aku berharap kau bersikaplah lebih

bijaksana dan jangan terlalu melakukan pembunuhan. Sayang

lohu masih ada urusan penting sehingga tak dapat menemani

kau sepanjang jalan, nah, aku hendak berangkat duluan"

Begitu selesai berkata, bagaikan sambaran kilat cepatnya,

ia berlalu dari situ.

Jangan dilihat gerak-geriknya semacam orang mabuk,

dalam sekejap mata bayangan tubuhnya sudah lenyap dari

pandangan mata. Suma Thian yu segera turun dari gunung

dan menemukan kembali kudanya, kemudian melanjutkan

perjalanan lagi menuju ke arah barat.

Dari sini sampai di Tibet, perjalanan masih amat jauh dan

mercapai berpuluh laksa li, jangankan dia sedang memikul

tugas berat, bagi mereka yang berpesiar pun akan merasa

jemu. Apalagi setelah mendengar peringatan dari Dewa

peramal, perasaannya makin berat dan masgul...

Sekalipun ia tak tahu apa yang harus di la kukan olehnya di

wilayah Tibet, namun dia percaya Cong liong Lo sian jin pasti

mempunyai sesuatu maksud tertentu, atau mungkin sedang

mencoba keuletannya, atau mungkin juga ia sedang di

perintahkan untuk melakukan suatu perjalanan untuk

mencari pengalaman.

Suatu hari, sampailah Suma thian yu disuatu daerah dalam

Propinsi San say yang bernama Liong swan kwan.

Tiba-tiba kaki depan kuda tungganggannya menjadi lemas

dan terperosok kedepan.

Dengan perasaan terperanjat Suma Thian yu melompat dari

atas pelana kudanya dan melayang turun keatas tanah.

Mendadak dari samping jalan berkumandang suara pujian

keras:

"Ilmu gerakan tubuh yang bagus!"

Begitu melayang turun ketanah, Suma thian yu segera

berpaling, tampak olehnya seorang pengemis tua sedang

duduk lebih kurang dua kaki dihadapannya, waktu itu si

pengemis tersebut sedang mengangkat buli-buli araknya dan

meneguk dengan lahap.

Begitu mengetahui siapakah pengemis tersebut, Suma

thian yu segera bersorak gembira:

"Wi locianpwe, rupanya kau orang tua pun berada disini!"

Bertemu dengan sobat sekampung memang merupakan

obat rindu bagi seorang pengembara, rasa gembira yang

mencekam perasaan Suma Thian yu saat ini boleh dibilang tak

terlukis kan dengan kata-kata.

Selama hampir setengah bulan ini, dia selalu menempuh

perjalanan seorang diri, dia seolah-olah berubah menjadi bisu

saja karena tak ada orang yang bisa diajak berbicara.

Tapi sekarang, secara tiba- tiba saja dia bertemu dengan

Siau yau kay Wi Kian, keadaan ini ibaratnya orang yang

menemukan pedang hijau ditengah gurun pasir.

Siapa tahu paras muka Siau yau kay Wi Kian amat serius

dengan sorot mata yang dingin seperti es dia menatap wajah

anak muda itu lekat-lekat.

Suma Thian yu menjadi tertegun, segera pikirnya:

"Aaah... keadaan tidak beres, apa yang telah terjadi?

Jangan-jangan terjadi lagi kesalahan paham?"

Sementara dia masih berpikir-pikir, mendadak terdengar

Siau yau kay Wi Kian membentak gusar:

"Kemari, kau manusia berhati binatang!" Suma Thian yu

menjadi sangat gelisah, dia tahu kalau manusia berwatak

aneh ini kembali menaruh kesalahan paham terhadapnya.

Dalam keadaan demikian, dia tak berani berayal lagi,

dengan cepat dia berjalan menuju kehadapan Siau yau kay,

kemudian tanya-nya dengan hormat:

"Wi locianpwe, tolong tanya boanpwe telah melakukan

kesalahan apa?"

Dengan wajah penuh amarah, Wi Kian membentak keras:

"Kau telah membawa Wan pek lan kemana? Ayo cepat

jawab sejujurnya"

"Ooooh, rupanya karena dia"

"Apa? Kau bilang apa?"

"Rupanya locianpwe sedang marah karena nona Wan tidak

melakukan perjalanan bersama boanpwe?"

"Benar, aku ingin bertanya kepadamu, sekarang dia bereda

di mana?"

"Di rumah Heng si Cinjin!"

"Telur busuk! Kau berani mengelabuhi aku? Aku si pingemis

tua tidak gampang di tipu tahu? Hmmm! Benar-benar tahu

orangnya tahu wajahnya tak tahu hatinya, tidak kusangka kau

berwajah bagus tapi berhati busuk seperti iblis. Bocah muda,

anggap saja aku si pengemis tua telah salah melihatmu"

Untuk sesaat Suma Thian yu benar-benar kebingungan dan

tidak habis mengerti, cepat tanyanya dengan kegerahan:

"Locianpwe, apa sih maksud dari perkataanmu itu?

Boanpwe benar-benar tidak habis mengerti"

Kontan saja Siau yau kay wi Kian melototkan sepasang

matanya dengan gusar, mendadak dia melompat bangun

dan segera meng

ambil sepucuk sampul surat dari sakunya, kemudian sambil

disodorkan kehadapan pemuda itu, dia berseru:

"Coba kau lihat, benda apakah ini?" Suma Thian yu

menerima sampul tersebut dan untuk sesaat merasa sangsi

dan tak berani membuka sampul itu.

"Buka sampul itu, didalamnya berisi semua bukti dari

perbuatan jahatmu itu!" bentak Siau yau kay lagi.

Buru-buru Suma Thian yu membuka sampul surat itu,

ternyata isi sampul itu adalah se gumpal rambut dan beberapa

lembar kuku.

Dengan perasaan tidak habis mengerti, kembali Suma

Thian yu bertanya:

"Apa hubungannya benda-benda tersebut dengan diri

boanpwe...?"

"Bocah keparat benda itu adalah rambut dan kuku Wan Pek

lan.....!” umpat pengemis itu lagi dengan marah.

“ Benarkah itu? Buat apa dia mengirimkan benda-benda itu

kepada locianpwe?

Apakah dia telah mencukur rambut menjadi pendeta

perempuan?"

Mendengar ucapan tersebut, Siau yau kay Wi Kian benar-

benar amat gusar, dengan mata melotot dan wajah berubah

menjadi merah membara, dia membentak gusar.

"Bocah keparat, kau tak usah berlagak pilon, akan kulihat

kau bersedia mengaku atau tidak!"

Begitu ucapan terakhir diutarakan, angin pukulan sudah

menyambar datang dengan kecepatan tinggi.

Sebenarnya Suma Thian yu ingin berkelit kesamping, tapi

setelah berpikir sejenak, dia merasa dirinya tidak bersalah,

mengapa harus menghindarkan diri dari pukulan itu?

Karena berpendapat demikian, maka dia urungkan niatnya

untuk berkelit dan menyong song datangnya pukulan tersebut

dengan begitu saja.

“ Plaaaaak!”

Sebuah tamparan keras bergema memecahkan keheningan,

pipi Suma thian yu sudah kena dihajar telak sehingga

kepalanya pusir tujuh keliling dan pandangan matanya

berkunang kunang, sebuah bekas lima jari tangan yang merah

membengkak muncul diatas wajahnya.

Menyaksikan hal ini, Siau yau kay menjadi tak tega sendiri,

dia tidak melancarkan serangan lebih lanjut, bahkan berdiri

dengan wajah kebingungan.

Rupanya oleh karena pemuda itu tidak menghindar dan

dipukul diam saja, hal tersebut membuat kemarahan dari Siau

yau kay wi Kian berkurang setengah.

Setelah kemarahan pengemis tua itu mereda, Suma Thian

yu baru berkata:

"Sudah pasti locianpwe menaruh salah paham, hubungan

boanpwe dengan nona Wan sangat baik dan cocok, tidak akan

mungkin dia akan mencukur rambutnya menjadi Pendeta"

"Siapa yang bilang kalau dia menjadi pendeta? Tanda

tersebut merupakan lambang dari kematian, mengerti kau?"

"Apa? Suma thian yu menjerit kaget, dia telah mati? Tidak

mungkin, sewaktu boanpwe meninggalkan dia, gadis itu masih

segar bugar bahkan masih bergurau dengan nona Tosn dan

saling menyebut saudara, mana mungkin dalam sebulan yang

singkat dia telah ketimpa bencana?"

"Kau berani menjamin?"

"Yaa, kalau dia tertimpa musibah, sudah seharusnya dua

bersaudara Thia pun mengalami nasib yang sama!"

Berbicara sampai disini, secara ringkas Suma Thian yu

menceritakan keadaan yang dialaminya waktu itu kepada Siau

yau kay, bahkan mengatakan pula bahwa dua bersaudara Thia

berjanji akan melindungi keselamatan dari Wan pek lan.

Seusai mendengar penuturan tersebut, Siau Yau kay

menjadi setengah percaya setengah tidak, dengan sorot mata

yang tajam dia mengawasi wajah Suma Thian yu lekat-lekat

seakan-akan ingin tahu apakah pemuda itu jujur atau tidak.

Rupanya setelah meninggalkan Suma Thian yu dan Wan

pek lan tempo hari, Siau yau kay Wi Kian melanjutkan

pengembaraannya menjelajahi dunia persilatan, berapa hari

berselang mendadak ia menerima sepucuk surat yang

didalamnya tercantum secarik kertas, dimana diterangkan

kalau Bi hong siancu Wan pek lan telah tertimpa musibah,

pembunuhnya adalah Suma Thian yu.

Mendenar berita buruk itu, hampir saja Siau yau kay Wi

Kian jatuh semaput saking gusarnya, kontan saja dia mencaci

maki Suma Thian yu habis-habisan, bahkan pada saat itu juga

berangkat ke wilayah Tibet dan bermaksud mencegat ditengah

jalan.

Kebetulan pula Suma thian yu memang sedang dalam

perjalanan melewati tempat itu, hingga bertemulah mereka

berdua.

Mereka berdua segera saling menuturkan pengalaman

masing-masing, pada saat itulah Suma thian yu baru tahu

kalau ada orang sengaja hendak mencelakainya. Sudah

barang tentu Siau yau kay tidak percaya perkataan Suma

Thian yu dengan begitu saja, namun dia pun tak berani

menuduh dialah pembunuhnya, untuk beberapa saat dia

menjadi bingung dan diletakkan dalam posisi yang serba

runyam.

Begitulah, untuk beberapa saat mereka ber dua hanya

berdiri saling berhadapan disitu dengan mulut membungkam,

untung saat itu mendekati senja sehingga tiada orang yang

menempuh perjalanan disitu, dengan demikian sikap mereka

pun tak sampai memancing perhatian orang lain.

Lama kemudian, tampaknya Siau yau kay telah mengambil

suatu keputusan, katanya kemudian kepada Suma Thian yu

dengan suara dingin:

"Jangan lupa, kau tak akan lolos dari tanganku, bila Wan

pek lan benar-benar mengalami sesuatu, kau lah yang harus

bertanggung jawab!"

"......"Suma Thian yu merasa pikirannya amat kalut, untuk

sesaat lamanya ia tak mampu mengucapkan sepatah katapun.

Mendadak terdengar Siau yau kay membentak keras:

"Siapa?"

Menyusul bentakan itu, tubuhnya melesat ke dalam hutan

di tepi jalan sana.

Menanti Suma Thian yu menyadari akan hal itu, pengemis

tua itu sudah memasuki hutan.

Dalam keadaan demikian, anak muda itu tak berani berayal

lagi, dia pun segera membuntuti dibelakangnya.

Baru saja tubuhnya tiba di tepi hutan, mendadak tampak

sebuah benda disambit keluar dari dalam hutan langsung

diarahkan ke atas wajahnya. Serta merta Suma Thian yu

menerima beda itu, ternyata benda tersebut tak lain adalah

sampul surat tadi.

Suma Thian yu tak sempat memeriksa isinya lagi, kembali

dia melesat ketengah udara. Mendadak dari dalam hutan

berkumandang suara tertawa dari Siau yau kay:

"Bocah muda, lohu telah bertemu dengan sobat karibku

dan akan berangkat lebih dulu, aku minta kau cari jejak Wan

Pek lan, sampai ketemu."

Ketika ucapan terakhir diutarakan, mungkin orangnya

sudah berada setengah li dari situ.

Suma Thian yu menjadi masgul, murung dan tak karuan

perasaannya. Sebab tanpa sebab tanpa musabab dia telah

bertemu dengan Siau yau kay di situ, baru saja dia bergembira

karena akan memperoleh teman seperjalanan, siapa tahu

yang diperoleh hanya rasa yang memurungkan hatinya saja.

Meninggalkan kota Liong Swan kwan, didepan sana

terbentang pegunungan Ngo tay San. Waktu itu hari sudah

malam, Suma Thian yu yang dibebani dengan berbagai

persoalan yang memusingkan kepala itu menjadi kemalaman

di tengah jalan.

Kuda yang diperoleh dari warung makan tempo hari, kini di

tinggal di kota Liong swan kwan karena tak mampu

melanjutkan perjalanan lagi, terpaksa dia harus menelusuri

kegelapan dengan berjalan kaki.

Belum lama dia meninggalkan kota Liong Swan kwan,

perjalanan anak muda itu sudah dikuntil orang.

Jilid : 21

SEBAGAI SEORANG jagoan yang berilmu tinggi, sudah

baraag tentu penguntilen tersebut tak akan lolos dari

ketajaman pende ngarannya, sayang pikiran dan perasaannya

waktu itu sedang kalut, sehingga bal ini sama sekali tak

diketahui olehnya.

Si anak muda itu masih saja melanjutkan perjalanannya

dengan kepala tertunduk dan pikiran kalut.

Diri kejauhan sana terdengar suara auman harimnu yang

amat nyaring, di tengah kegelapan malam begini, suara

tersebut mendatang kan perasaan bergidik bagi siapa pun

yang men dengarnya.

Bukit Ngo tay san memang tersohor sebagai penghasil

harimau di daratan Tionggoan, itu berarti suara auman

harimau tersebut ber kumandang dari bukit di depan sana.

Suma Thian ya agak sangsi, kendatipun dia memiliki ilmu

silat yang sangat lihay, bukan suatu pekerjaan yang gampang

untuk menda-tangi bukit Ngo tay san seorang diri, tapi untuk

menuju ke daerah Shia say, orang harus melalui jalanan

tersebut, karena hanya jalan ini yang tersedia.

Sementara dia masih sangsi dan tak tahu apa yang harus

dilakukan, mendadak dari arah belakang terasa bergemanya

suara desingan angin tajam.

Begitu mendengar suara tersebut, dengan sigap Suma

Thian yu miringkan badannya kesamping, segulung angin

dingin segera menyambar tiba.

Suma Thian yu memang berilmu tinggi, ke tajaman

pendengarannya luar biasa, sepasang matanya juga dapat

melihat dalam kegelapan, dengan suatu gerakan jumpalitan, ia

menyambut datangnya sambaran angin tajam tersebut,

rupanya sebatang peluru tembaga.

Dari arah belakang berkumandang lagi sua ra pekikan

nyaring seperti pekikan monyet, dengan perasaan terkejut

Suma Thian yu ber paling, dia menyaksikan ada sesosok

bayangan hitam sedang meluncur datang dari arah belakang

dengan kecepatan luar biasa.

Menyaksikan kehadiran orang tersebut, Suma Thian yu

merasakan hatinya terkesiap, belum sempat ia menegur pihak

lawan telah ber seru lebih dulu:

"Kau yang bernama Suma Thian yu?"

"Benar!" jawab pemuda yang ditanya itu.

Sambil menjawab, Suma Thian yu menga mati pendatang

tersebut dengan seksama.

Dia adalah seorang kakek berusia delapan puluh tahunan

yang memakai jubah panjang berwarna-warni, mukanya bulat

seperti rembulan yang sedang penuh, keningnya tumbuh

sebuah bisul besar, sorot matanya tajam berkilat, siapapun

akan mengetahui bahwa ia adalah seorang jago lihay yang

berilmu tinggi.

Setelah mendehem beberapa kali, orang itu menegur

kembali:

"Kau yang mengundang aku kemari?"

"Tidak!" cepat Suma Thian yu menggeleng, aku sama sekali

tidak kenal denganmu, kenapa mesti mengundangmu

kemari?"

Dari sakunya tiba-tiba kakek itu mengeluarkan sepucuk

surat, lalu serunya lebih lanjut:

"Bukankah surat ini adalah surat tantangan bertempur

darimu?"

Lagi-lagi sepucuk surat, Suma Thian yu merasa dirinya sial,

sial delapan turunan.

Baru saja dia ribut dengan Siau yau kay gara-gara sepucuk

surat, sekarang kakek tersebut mengeluarkan kembali sepucuk

sampul surat yang persis sama dengan surat pertama, jangan-

jangan isi surat itu pun berisi rambut dan kaku perempuan?

Sementara pikirannya berputar, dia menyahut dengan

cepat:

"Aku tak pernah menulis surat kepada siapa pun, tidak

kuketahui apa yang lotiang maksud kan"

"Omong kosong, bukankah kaupun sedang meremas

sepucuk surat? Tak usah kau terang kan lagi, lohu juga tahu

kalau sampul surat tersebut persis sama dengan surat yang

kau tunjukan kepadaku"

Sekali lagi Suma Thian yu merasakan hatinya bergetar

keras, sekarang dia baru sadar kalau tangannya masih

meremas surat dari Siau yau kay tersemu, buru-buru dia

membantah.

"Surat ini bukan milikku, orang lain yang menyerahkan

kepadaku"

"Bawa kemari!" bentak makhluk tua itu dingin, "lohu akan

memeriksanya..."

Tanpa terasa Suma Thian yu menyodorkan surat tersebut

ketangannya, makhluk tua tersebut membandingkan kedua

sampul tersebut dengan seksama, kemudian seteiah tertawa

seram serunya:

"Bocah muda! Kau masih ingin menyangkal? Sudah jelas

benda ini milikmu, hei, aku ingin bertanya sekali kepadamu,

sudah lama lohu tak pernah mencampuri urusan dunia

persilatan lagi, sudah empat puluh tahun aku hidup

mengasingkan diri dan belum pernah ada orang berani

menantangku bertempur, nyali mu benar-benar besar sekali,

berani betul kau menyuruh orang menghantar surat tersebut

kepadaku dan menyuruhku menunggu di kaki bukit Ngo tay

san, bukankah kejadian ini menggelikan sekali?"

Suma Thian yu semakin kebingungan lagi se tuduh

mendengar perkataan tersebut, tak kuasa lagi dia menghela

napas panjang, diam-diam dia hanya mengeluh akan nasib

sendiri yang kurang beruntung.

Sejak turun gunung hingga sekarang rasanya belum pernah

dijumpainya suatu peristiwa yang bisa berkenan dalam

hatinya. Maka dengan suara nyaring dia bertanya:

"Bolehkan aku tahu siapa namamu?"

"Bocah muda, pandai benar kau berlagak pilon?

Bagaimana? Setelah bertemu dengan lohu lantas mangkerat

dan ketakutan?"

"Terus terang saja aku tidak mengengetahui tentang surat

tantangan tersebut, lagipula aku pun tidak mengenalmu,

bagaimana mungkin bisa mengirim surat untuk

menantangmu? Bukankah kejidan ini sangat aneh dan aneh

dan tidak sesuai dengan keadaan pada umumnya? Apalagi

surat tersebut juga bukan tulisanku."

Mahkluk tua itu segera tertawa dingin.

"Hmmm, lohu sudah terbiasa menganggur hingga malas

untuk menggerakkan badan, coba kalau murid ku tidak keluar

rumah, malam ini kau akan cukup merasakan penderitaan."

Berbicara sampai disini, makluk tua tersebut berhenti

sejenak, kemudian sambungnya lebih jauh:

"Kalau toh kau berani menantangku untuk bertarung,

sekarang, mengapa malah mundur ketakutan? Orang bilang:

Yang datang tidak bermaksud baik yang bermaksud baik tak

akan datang. Bocah muda, aku tahu kau pasti memiliki

kepandaian silat yang luar biasa tapi lohu tak ingin

menganiaya kaum muda, apalagi melancarkan serangan

secara sembarangan. Begini saja, lohu akan duduk disini,

sedangkan engkau bolehlah menyerang sekehendak hati mu

sendiri, kau pun tak usah berbelas kasihan, lakukan saja

seranganmu dengan sepenuh tenaga, tapi kau harus tahu,

malam ini adalah malam terakhir dari perjalananmu di dunia

ini!"

Selama hidup belum pernah Suma Thian yu menghadapi

situasi seperti ini, tapi kalau didengar dari nada pembicaraan

makhluk tua tersebut dapat diketahui kalau dia adalah seorang

jago lihay yang memiliki kepandaian silat sangat tinggi.

Hanya saja, selama ini dia tak mau mengerti, mengapa ia

bisa menyalahi makhluk tua tersebut?

Maka sekali lagi dia bertanya dengan hormat:

"Tolong tanya siapa nama cianpwe? Aku pikir, diantara kita

berdua tentu sudah terjadi kesalahan paham"

"Salah paham? Tak mungkin, orang yang menghantar surat

itu masih berada disekitar sini, dia pun sudah jelas

memberitahukan ke pada lohu kalau kau akan tiba disini

malam ini juga!"

"Dapatkah kau mengundangnya kemari?"

"Tentu saja dapat, tapi hal ini bisa dilakukan setelah kita

selesai bertarung"

"Aku tak berani"

"Tak berani? Bocah muda, kau anggap lohu ini manusia

macam apa? Sembarang bisa dipermainkan orang dengan

begitu saja?"

"Aku sama sekali tak bermaksud untuk mem permainkan

cianpwe, kalau tak percaya, pertemukan aku dengan si

penghantar surat tersebut, persoalan pasti akan menjadi beres

dengan sendirinya"

Mendengar perkataan tersebut, makhluk tua itu tertawa

terbahak-bahak, kemudian sambil duduk bersila diatas tanah,

ujarnya dingin:

"Segera lepaskan seranganmu, kalau tidak, lohu akan

menghancur lumatkan tubuhmu!"

Suma Thian yu menghela napas panjang, perasaannya

seperti di tindih dengan sebuah batu cadas yang berat sekali,

dia merasa amat murung dan kesal, banyak kesulitan yang

rasanya sukar untuk diutarakan keluar.

Akhirnya dia mengambil suatu keputusan kepada makhluk

tua itu, katanya:

"Bila kau bersikeras menuduhku, yaa... apa boleh buat,

kesalahan paham ini tak mungkin bisa dibuat jelas hanya

dengan sepatah dua patah kata saja. Aku bersedia menuruti

permintaanmu itu, cuma sebelum pertarungan berlangsung,

bolehkah aku mengetahui siapa nama besar mu?"

Sekali lagi makhluk tua itu mendongakkan kepa1anya

sambil tertawa seram.

"Heeeh...heeh... tampaknya sebelum melihat peti mati kau

tak akan menitikkan air mata, baiklah, lohu akan

memberitahukan kepadamu, agar kau bisa mampus dengan

mata yang meram kencang."

Kemudian setelah mengamati Suma Thian yu sekejap,

pelan-pelan dia berkata:

"Lohu bernama Pi... Ciang... Hay."

Begitu mendengar nama Pi Ciang Hay, paras muka Suma

Thian yu berubah amat hebat, tercekat perasaannya dan

tanpa terasa dia men jerit kaget dengan suara keras:

"Kau.... kau adalah Sip hiat jin mo (manusia iblis pengisap

darah) yang termashyur namanya itu?"

Rupanya kakek aneh itu bukan lain adalah gemboang iblis

yang paling tersohor namanya dalam dunia persilatan, sip hiat

jin mo Pi Ciang hay adanya.

Sejak enam puluh tahun berselang, iblis tersebut sudah

termashur sekali namanya dalam dunia persilatan, kejahatan

serta kekejiannya sudah tersiar luas sampai ketempat

kejauhan.

Semasa masih mudanya dulu, dia paling gemar melakukan

perbuatan menghisap darah dengan jarum perak, perbuatan

tersebut sedemikian keji dan buasnya, sehingga banyak umat

persilatan yang membencinya.

Dengan jarum perak untuk mengisap darah korbannya, iblis

tersebut memanfaatkan darah manusia untuk memupuk

kekuatannya guna menyempurnakan ilmu pukulan Pek lek si

hun ciang (pukulan geledek pembetot sukma) yang di

yakininya.

Setelah ilmu tersebut dapat dikuasai, kehebatannya makin

menjadi-jadi, hampir boleh dibilang seluruh dunia persilatan

telah dikuasai olehnya.

Pada saat yang hampir berurusan, di dalam dunia

persilatan muncul pula seorang gembong iblis yang bernama

mayat hidup Ciu Jit hwee. Kemunculan iblis ini segera menim

bulkan suasana yang makin kalut dalam dunia persilatan,

belum sampai dua tahun kemunculannya dalam dunia

persilatan, nama busuknya sudah jauh melebihi Sip hiat jin

mo.

Ilmu silat yang dimiliki kedua orang ini sama-sama

lihaynya, kalau ilmu pukulan pek-lek si hun Ciang lebih

mengutamakan kekuatan yang bersifat keras, maka ilmu

pukulan Hu si im hong ciang dari si mayat hidup Ciu Jit Hwe

lebih mengutamakan sifat dingin yang lembut.

Kedua orang ini sudah pernah saling bentrok satu sama

lainnya, alhasil kekuatan mereka berdua berimbang, cuma

kalau berbicara dalam hal kekejiannya, maka teranglah ilmu

pukulan angin dingin pembusuk mayat atau Ho si im hong

siang masih jauh lebih mematikan orang.

Pertarungan yang berakhir seri ini membuat kedua orang

iblis tersebut menjadi sahabat, tapi persahabatan antar

sesama gembong iblis tentu saja bukan persahabatan yang

sejati, yang benar mereka saling memanfaatkan kesempatan

yang ada untuk saling merobohkan lawan.

Selama hidupnya, manusia iblis penghisap darah Pi Ca hui

hanya menerima seorang murid, yakni Hit cha cui cu si rasul

garpu terbang kiong Lui.

Dibawah bimbingan yang seksama dari iblis tersebut, Kiong

Lui berhasil menguasani enam tujuh bagian ilmu silat dan Sip

hiat jin mo tersebut....

Hanya sayangnya Kiong Lui tidak memiliki bakat yang

terlalu bagus, sehingga kepandaian-nya tak bisa mencapai

tingkat kesempurnaan, disaat iblis tersebut mengetahui kalau

muridnya hanya kayu lapuk yang berukir berukir indah,

hatinya benar-benar sengsara dan gusar, sayang sekali

menyesal tak ada gunanya, diapun hanya bisa menyesali diri

sendiri.

Demikianlah, ketika Suma Thian yu mengetahui siapakah

musuhnya ini, dia merasa amat terkesiap, diam-diam pekiknya

dihati:

Banyak kejadian didunia ini memang aneh rasanya,

membuat orang sukar untuk menduganya, sesungguhnya

Suma Thian yu sedang berangkat menuju ke Tibet, siapa tahu

banyak persoalan justru dijumpai disaat seperti ini, bahkan

musuh yang dijumpai pun kebanyakan adalah gembong iblis.

OOWOO

TIBA-TIBA Suma Thian yu teringat akan sesuatu, bukankah

dia hendak mencari Sip hiat jin mo ini untuk membuktikan soal

kematian orang tuanya? Tak disangka sama sekali, orang yang

hendak dicarinya itu kini bisa muncul didepan mata.

Sudah jelas kejadian ini bukan suatu kebetulan saja,

melainkan sudah diatur oleh seseorang, justru karena Sip hiat

jin mo Pi ciang hay mendapat surat pemberitahuan dari

seseorang, maka dia mengetahui dengan jelas akan jejak anak

muda tersebut.

Terdengar Sip hiat jin mo Pi Ciang hay tertawa seram, lalu

ujarnya dengan suara lantang:

"Bocah keparat, kau tak usah berlaga pilon lagi, bila kau

tidak kenal dengan lohu, mengapa menantangku untuk

berduel disini?"

"Aku benar-benar tidak kenal denganmu, selain itu aku pun

tak pernah bermaksud menantangmu bertarung, tapi

kebetulan sekali, aku memang ada maksud menyambangmu

sekalian meminta petunjuk darimu"

"Meminta petunjukku?" Manusia iblis penghisap darah Pi

Ciang hay tertawa terbahak bahak, "mengapa tidak kau

katakan ingin minta petunjuk ilmu silat dari ku?"

"Tidak, aku hanya minta keterangan kepadamu untuk,

membuktikan suatu berita" jawaban dari Suma Thian yu amat

tegas.

Ucapan tersebut segera menarik perhatian si Manusia iblis

pengisap darah tersebut, dengan kening berkerut dia berseru:

"Membuktikan tentang suatu berita?"

"Aku she Suma bernama Thian yu, ayahku Tiong lo, tolong

tanya kenalkah kau dengan ayahku?"

Dengan cepat Manusia iblis pengisap darah Ti Ciang hay

menggelengkan kepalanya berulang kali, tanyanya agak

tercengang:

"Buat apa kau menanyakan tentang persoalan ini? Lohu

hanya dikenal orang, selamanya tak pernah mengenal orang

lain"

Sungguh jawaban ini merupakan suatu jawaban yang

sangat takabur. Maksudnya dia tak mau kenal dengan orang

lain saja.

"Kalau begitu, bajingan keparat itulah yang sengaja menipu

aku" seru Suma Thian yu kemudian.

"Hei bocah muda, kau tak usah bergumam melulu, bila ada

persoalan, katakan saja dengan cepat, kalau tidak, lohu sudah

tak sabar unuk menunggu lebih jauh!" bentak Manusia iblis

penghisap darah Pi Ciang hay tak sabar.

"Tolong tanya, apakah Suma Tiong ko tewas di tanganmu?"

Sekali lagi Manusia iblis penghisap darah Pi Ciang hay

mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.

"Orang yang mampus di tanganku sudah tak terhitung

jumlahnya, kalau suruh kuingat satu per satu, waah sulit

sekali! Bocah muda, seandainya lohu yang membunuhnya,

apa yang hendak kau lakukan?"

Sepasang mata Suma Thian yu melorot besar dan

memancarkan sinar yang amat tajam, katanya dengan cepat.

"Kalau begitu kau mengakui kalau ayahku mati di

tanganmu? Kau juga yang menghancurkan gedung keluarga

ku serta menghadiahkan lencana emas kepada si Ular berekor

nyaring?"

Mendengar ucapan mana, Sip hat jin mo Pi Ciang hay

kembali menjadi tertegun dan kemudian serunya agak

tercengang:

"Hei lencana emas apa yang kau maksudkan? Lohu tak

mengerti, apalagi lohu hanya membunuh orang, tidak pernah

membakar rumah atau menghadiahkan sesuatu pada orang

lain"

Suma Thian yu segera mendongakkan kepalanya dan

tertawa terbahak-bahak, katanya:

"Kalau begitu kau telah ditipu dan dibodohi orang lain

dengan seenaknya, benar-benar suatu berita yang luar biasa,

seorang gembong yang tersohor namanya dalam dunia

persilatan ternyata dipermainkan orang."

Tutup mulutmu! Jangan kau lanjutkan olok-olokmu itu,

cepat kau katakan siapa yang berani mencabuti kumis

harimau itu?"

Dia adalah si ular berekor nyaring Bian pun ci yang

bernama amat tersohor dalam dunia persilatan."

Suma Thian yu memang berniat adu domba, maka dia

sengaja menyebutkan nama "si ular berekor nyaring" itu

dengan suara yang amat nyaring.

Betul juga, Marusia iblis penghisap darah itu segera naik

darah, rupanya gembong iblis ini memiliki sebuah kelemahan

yakni dia suka dirinya berada dikedudukan paling tinggi, dia

tidak berharap ada orang yang melebihi dirinya, apalagi kalau

sudah dilangkahi orang, seringkali hal tersebut akan

menimbulkan ambisinya yang menyala-nyala.

Terdengar dia bertanya dengan gelisah:

"Siapakah Bian Pun ci itu? Cepat beritahu kepadaku!"

Diam-diam Suma Thian yu merasa amat kegirangan setelah

menyaksikan kemarahannya memuncak, namun dia berlagak

hambar, sahutnya pelan:

Dia mah seorang jagoan yang amat tersohor, asal kau

berkelana didalam dunia persilatan, siapa saja tentu akan

mengenali dirinya...."

Belum selesai dia berkata, Manusia iblis penghisap darah

telah membentak lagi dengan gusar:

"Omong kosong, kau tak usah mengucapkan kata-kata

yang tak terguna lagi, cepat beritahu kepadaku, sekarang

berada dimana dia?"

Kau lupa dengan orang yang menghantarkan surat

kepadamu itu? Dia adalah pembantu Bian pun ci. Asal kau

menanyakan persoalan ini kepadanya, maka segala

sesuatunya akan menjadi terang"

Pemuda ini memang hebat, apalagi tindakannya yang balik

mengigit orang betul-betul rupakan suatu langkah yang jitu.

Dengan begitu selain ia dapat menghilangkan kesalah

pahaman Manusia iblis penghisap darah dengannya, diapun

bisa mengetahui siapakah yang telah mempermainkan dirinya

ini.

Dengan sorot mata buas, Manusia iblis Penghisap darah Pi

ciang hay menoleh sekejap kearah Suma thian yu, kemudian

serunya:

"Kau jangan meninggalkan tempat ini secara sembarangan,

aku percaya kau tak bakal bisa lolos dari cengkeramanku!"

Dalam sekali berkelebat saja bayangan tubuhnya tahu-tahu

sudab lenyap dari pendangan mata.

Menyaksikan kesempurnaan ilmu meringankan tubuhnya

ini, Suma thian yu harus menjulurkan lidahnya sambil berpikir:

"Benar-benar sebuah ilmu meringankan tubuh yang amat

lihay, nama besar orang ini sungguh bukan nama kosong

belaka"

Tentu saja dia tak akan pergi dengan begitu saja, karena

dia ingin tahu siapakah pengacau yang telah menfitnah dirinya

berulang kali.

Tak selang berapa saat kemudian, Manusia iblis penghisap

darah Pi Ciang hay telah balik kembali dengan mengapit

seseorang dibawah ketiaknya, dia langsung melayang turun

dihadapan Suma Thian yu.

Suma Thian yu mencoba mengamati orang itu, ternyata

sama sekali tidak di kenal.

Sementara dia masih termenung dengan wajah tertegun,

orang itu sudah dilepaskan oleh Manusia iblis pengisap darah

dari kempitannya.

Apa yang dilakukan orang muda itu? Ternyata dia

merangkak ke hadapan Suma Thian yu, kemudian sambil

berlutut, seraya merengek-rengek:

"Sauya, tolonglah hambamu, hamba telah menyampaikan

surat tersebut kepadanya, tapi dia malah menahan diri hamba,

ooooh sauya tolonglah hamba dan balaskan sakit hati hamba

ini"

Mendengar ucapan tersebut, Suma Thian yu menjadi amat

terkesiap, bajingan ini sungguh amat licik, ternyata dia pun

pandai melimpahkan bencana ke tubuh orang.

Saking tertegunnya, untuk beberapa saat Suma Thian yu

jadi tergagap dan tak sanggup mengucapkan sepatah kata

pun.

Manusia iblis pengisap darah Pi Ciang hay pun agak

tertegun sesudah mendengar perkataan tersebut, menyusul

kemudian teriaknya dengan suara menyeramkan:

"Bocah keparat! Apa lagi yang hendak kau katakan

sekarang? Heeeh, heeeh, hari ini bila aku tidak mencincang

tubuhmu sehingga hancur berkeping-keping, sulit rasanya

untuk melampiaskan rasa mangkel dalam hatiku"

"Eeeh, eeeh, tunggu dulu." seru Suma Thian yu sambil

menggoyangkan tangannya berulang kali, "aku sama sekali

tidak mengetahui siapakah orang ini!"

Baru selesai dia berkata, tiba-tiba orang tersebut sudah

berteriak kembali.

"Sauya, tegakah kau mengorbankan hamba? Dalam hal

apakah hamba telah berbuat salah kepada sauya? Ooh sauya!

Mengapa kau tak bersedia menolongku? Sauya, berbuatlah

baik hati."

"Keparat sialan! Siapa yang menjadi sauya mu? Aku ingin

bertanya kepadamu, siapa yang suruh kau mengantarkan

surat tersebut?"

"Sauya, mengapa kau pelupa? Bukankah kau yang suruh

suruh aku mengantarkan kemari?" seru orang itu keras-keras.

Menyaksikan kelicikan orang itu, Suma Thian yu benar-

benar merasa gusar bercampur mendongkol, kalau bisa, dia

ingin sekali menghajar lawannya tersebut sampai mampus.

Sementara itu, Manusia iblis penghisap darah Pi Ciang hay

juga mulai tidak percaya dengan Suma Thian yu, dengan

gusar ia membentak nyaring:

"Bocah keparat! Bagus sekali perbuatanmu, ayo cepat

serahkan selembar nyawamu!"

Seusai berkata dia lantas maju ke muka sambil melepaskan

sebuah bacokan ke tubuh Suma Thian yu.

Jangan dilihat serangan yang dilancarkan olehnya ini

kelihatannya sederhana dan lembut padahal kekuatan yang

disertakan di dalam serangan tersebut benar-benar amat

dahsyat.

Dengan cekatan Suma Thian yu melompat mundur sejauh

satu kaki lebih, kemudian cegahnya:

"Eeeei, tungu dulu! Kesalahan pahammu kelewat

mendalam, selain itu kau pun sudah tertipu"

"Betul, aku memang tertipu, tertipu oleh aksi licik kau si

bocah keparat!" bentak Manusia iblis pengisap darah sambil

menerjang maju lebih kedepan.

Sembari berkata, telapak tangannya segera diayunkan

keatas siap melancarkan serangan.

Mendadak, dari sisi jalan dibalik hutan, berkumandang

suara jenggekan seseorang diiringi suara tertawa dingin:

"Heeeh... heeehh... heeehh... kalau orang sudah tua, maka

semakin tua semakin, bertambah pikun, tua bangka she Pi,

aku lihat makin tua kau semakin tak becus saja"

Manusia iblis pengisap darah Pi Ciang hay menjadi tertegun

setelah mendengar perkataan itu, dia urungkan niatnya untuk

melancarkan serangan dan segera berpaling, ternyata disisi

jalan telah berdiri seorang pengemis tua.

Orang yang munculkan diri itu bukan lain adalah Siau yau

kay Wi Kian adanya.

Melihat datangnya bintang penolong, Suma thian yu

menjadi kegirangan setengah mati.

Sementara itu, Siau yau kay Wi Kian telah berjalan

menghampiri Manusia iblis penghisap darah, lalu sambil

tertawa terkekeh-kekeh katanya:

"Sudah empat puluh tahun kita tak bersua, rupanya sobat

masih segar seperti sedia kala, cuma kalau sedang

menghadapi persoalan lebih baik diselidiki dulu sampai jelas,

jangan sembarangan menuduh orang lain, perbuatanmu

sekarang sungguh menggelikan, sungguh mengenaskan!"

Setelah menyaksikan kemunculan Siau yau kay Wi Kita,

mendengar pula perkataan tersebut, Manusia iblis penghisap

darah menjadi naik darah, teriaknya keras-keras:

"Lagi-lagi kau yang mencampuri urusan kami, hmmm! Apa

sih yang kau pahami?"

Pengemis tua itu tertawa terkekeh-kekeh lagi.

"Aku paling paham tentang persoalan ini, terus terang saja

aku si pengemis tua pun hampir tertipu oleh cucu kura kura

ini, aku pun hampir saja salah menuduh orang baik"

Sembari berkata dia lantas menuturkan pengalamannya

dimana dalam sampul surat di beri kuku dan rambut

perempuan.

Setelah itu, sambil mencengkeram orang tadi, ujarnya:

"Ayo jawab siapa yang menitah kau melakukan perbuatan

ini? Kalau kau bersedia menjawab dengan sejujurnya, berarti

kau akan mengurangi hukumannya, kalau tidak, hmmm!

Malam ini kau akan merasakan penderitaan yang paling

hebat!"

"Sauya kami yang suruh!" teriak orang itu sambil menuding

ke arah Suma Thian yu.

"Ploook!" Siau yau kay Wi Kian menempeleng orang itu

keras-keras, kemudian umpat nya:

"Siapa bilang dia punya rumah dan menjadi sauya? Ayo

jawab, siapa yang suruh?"

"Dia yang suruh, mengapa kalian tak mau mempercayai

aku?" seru orang tersebut sambil menangis.

"Baik! Kalau memang begitu, coba kau sebutkan, siapakah

nama sauya mu itu?"

Orang tersebut menjadi tertegun setelah mendengar

ucapan mana, dia melongo dan tergugup, tak sepatah kata

pun yang sanggup diuta-rakan keluar.

Manusia iblis penghisap darah Pi Ciang hay yang

menyaksikan kejadian tersebut menjadi termanggu sendiri,

pikirannya juga turut berguncang keras.

"Plaaakk!" sekali lagi Siau yau kay Wi Kian menghajar

orang itu keras-keras.

"Bukankah dia adalah sauya mu? Mengapa kau tidak

mengenali namanya?" ia membentak, "bajingan keparat anjing

busuk, aku si pengemis tua harus memberi pelajaran lebih

dulu kepadamu"

Seraya berkata, dia tangkap lengan kanan lelaki tersebut,

kemudian ditariknya keras-keras. Jeritan ngeri yang

memilukan hati segera berkumandang memecahkan

keheningan, lengan tangan lelaki itu segera tertarik hingga

patah.

Peluh sebesar kacang kedelai segara jatuh bercucuran

membasahi seluruh wajahnya, dia nampak amat menderita.

Manusia iblis penghisap darah pun sudah menyadari akan

ketidakberesan persoalan tersebut, dia pasti tahu ada orang

yang sedang bermain gila dengannya.

Maka dengan amarah yang memuncak, dihampirinya orang

itu, lalu bentaknya keras:

"Siapakah kau? Apa hubunganmu dengan si Ular berekor

nyaring Bian Pun Ci?"

Sambil menggigit bibir menahan rasa sakit lelaki itu

bungkam seribu bahasa.

Manusia iblis penghisap darah Pi Ciang hay segera

menggetarkan tangannya, orang itu menjerit kesakitan lagi,

suaranya keras bagaikan ayam hendak disembelih, hijau

membesi, hampir saja dia akan jatuh tak sadarkan diri.

“ Ayo bicara!" bentak Manusia iblis penghisap darah lagi

dengan sorot mata memancar kan suatu sinar kebuasan,

"akan lohu lihat, kau bersedia menjawab atau tidak?"

Sambil berkata, dia bersiap sedia membetot tubuhnya lagi.

"Jangan, jangan...! Aku akan menjawab, aku akan

menjawab! Dia adalah majikan hamba! seru lelaki itu

ketakutan.

"Sekarang dia berada di mana?"

"Dia berada bersama-sama dengan si Mayat hidup Ciu Jit

hwee locianpwee!"

Nama "si Mayat hidup" tersebut segera di terima oleh

Manusia Iblis penghisap darah bagaikan tiga bilah pisau belati

yang menancap di ulu hatinya, dia segera meraung gusar:

"Rupanya orang itu adalah ahli waris bajingan tua tersebut,

anjing keparat! Kau tak bisa diampuni!"

Telapak tangannya segera diayun ke depan.

"Blaamm!" tak sempat menjerit kesakitan lagi, lelaki kasar

itu mampus dengan batok kepala hancur dan benaknya

tercecer di mana-mana, karena dari itu tentu saja selembar

jiwanya melayang keakhirat untuk melapor diri kepada raja

akhirat.

Manusia iblis penghisap darah benar-benar merupakan iblis

yang membunuh orang tanpa berkedip, selesai menghabisi

nyawa lelaki tersebut, dengan sikap seakan-akan tak pernah

terjadi suatu apapun, ia berpaling kepada Suma Thian yu

seraya berkata:

"Bocah, hampir saja kau menjadi setan penasaran...!"

Suma Thian yu merasa sangat tidak puas dengan

perkataan itu, dihati kecilnya dia men damprat:

"Omong kosong, kau bedebah tua kelewat sombong,

memangnya kau anggap sauya takut kepadamu?"

Sekalipun dalam hatinya berpikir demikian, tentu saja

perkataan tersebut tidak sampai di utarakan keluar, maka

diapun hanya membungkam dalam seribu bahasa.

Menyaksikan duduknya persoalan sudah jelas, Siau yau kay

Wi kian tahu kalau berada disitu kelewat lama, sama sekali tak

ada manfaatnya, maka sambil menarik tangan Suma Thian yu,

serunya:

"Ayo berangkat, mau apa lagi mengendon disini?

Memangnya menunggu digebuk?" Selesai berkata, dia lantas

berpamitan dengan Manusia iblis penghisap darah, kemudian

sambil menarik tangan Suma Thian yu ber lu dari situ...

Ternyata Manusia iblis penghisap darah sama sekali tidak

menghalangi kepergian mereka, gembong iblis ini memang

berwatak sangat aneh, asal orang lain takut kepadanya, hal ini

sudah cukup, tapi jangan sekali-kali mencoba untuk

mengancamnya, diapun tidak akan sembarangan mengusik

orang lain.

Disiniiah letak kebaikan atau kelebihannya, sepanjang

hidup dia selalu tergila-gila oleh ilmu silat, berusaha untuk

melatih diri dengan sebaik- baiknya, tentu saja sasaran yang

diincar kursi pemimpin dunia persilatan.

Walaupun ambisinya itu mendekati kekejaman, namaun hal

inipun mengurangi napsunya untuk membunuh orang.

Berbeda dengan si mayat hidup Ciu Jit hwee, dia

mengandalkan ilmu silatnya untuk menekan orang, menerima

murid secara besar-besaran dan mencari komplotan untuk

memperluas pengaruhnya, walaupun tujuannya tak berbeda

dengan Manusia iblis penghisap darah, tapi cara yang

digunakan justru berbeda.

Siau yau kay Wi kian cukup memahami wataknya ini, dia

segera menarik tangan Suma thian yu sambil berkata:

"Mahkluk tua itu tak boleh diusik, bila kau berjumpa lagi

dengannya dikemudian hari,kalau bertemu berusahalah cepat-

cepat pergi, kalau tidak, sepuluh orang macam kau pun akan

habis juga ditangannya"

Suma thian yu menjadi curiga sekali, dengan cepat dia

bertanya:

"Memangnya dia mempunyai tiga kepala enam lengan?

Murid kesayangannya pun tak lebih hanya begitu saja,

memangnya dia memiliki kemampuan seberapa hebatnya?"

"Bocah,kau tahu apa?" damprat Siau yau kay, "kau anggap

Pi Ciang hay hanya berbernama kosong belaka? Suhumu Put

Gho cu pun paling-paling hanya bisa bertarung seimbang

dengan-nya, itupun terjadi pada lima puluh tahun berselang,

apalagi aku si pengemis tua..."

"Tapi dia nampaknya tidak memiliki sesuatu yang melebihi

orang biasa, masa kepandaian silatnya amat dahsyat?"

Siau yau kay Wi Kian segera tertawa terbahak-bahak.

"Haaah...haahh... haaah... mau percaya atau tidak terserah

padamu, tapi kalau perangaimu tidak di rubah, dikemudian

hari masih banyak penderitaan yang kau alami. Anak muda

memang begitulah, wataknyn tak takut langit tak takut bumi,

tapi kau harus ingat, setinggi-tingginya gunung, masih ada

yang lebih tinggi lagi, sehebatnya manusia masih ada yang

masih ada yang lebih hebat lagi, dunia begini luas, dunia

persilatan begitu lebar, orang pintar berada dimana-mana, bila

kau hendak menilai orang dari tampang wajahnya, sudah jelas

perbuatan itu keliru besar. Kau harus perhatikan, bukan

manusia yang bertubuh kasar saja yang hebat, seringkali

hebat juga mereka yang bertampang aneh dan dan sama

sekali tak sedap dipandang"

Ucapan tersebut benar-benar merupakan suatu pelajaran

yang amat berharga dan bernila tinggi, dengan seksama dan

penuh ketekunan dia menerima pelajaran mana, wajahnya

nampak terharu sekali.

Ketika ia mencoba untuk mengingat kembali semua tokoh

aneh yang pernah dijumpainya, memang tak salah lagi, apa

yang diucapkan memang benar, seperti misalnya Wi san siang

gi, Sin sian siancu dan Siau yau kay sekalian, semuanya

bertampang jelek dan tak sedap dalam pandangan, tapi

mereka semua justru merupakan jago-jago kenamaan dalam

dunia persilatan.

Ketika mereka berdua tiba dibawah bukit Ngo tay san,

kabut kegelapan telah menyelimuti seluruh jagad.

Tiba-tiba Siau yau kay Wi Kian berkata:

"Bukit ini tidak baik dilewati, ada baiknya kita mengambil

jalan berputar saja"

"Mengapa? tanya Suma Thian yu terperanjat"

"Aaaahh, kau ini selalu pingin bertanya, masa aku si

pengemis tua akan mempermainkan dirimu?"

"Oooh, tidak, tidak, boanpwe hanya bertanya karena rasa

ingin tahu saja"

"Baiklah, kalau memang begitu ambillah keputusan sendiri!"

Selesai berkata dia membalikkan badannya sambil

melayang ke tengah udara, menanti Suma Thian yu sadar

kembali, bayangan tubuh si pengemis tersebut sudah lenyap

tak berbekas"

Suma Thian yu memang seorang pemuda yang keras

kepala, melihat Siau yau kay sudah berlalu, dia pun berpikir.

"Walaupun orang bilang Ngo tay san penuh dengan

binatang buas, engapa aku harus takut dengan binatang

binatang tersebut?"

Karena berpendapat demikian, dia pun melanjutkan

perjalanannya memasuki hutan yang lebat tersebut.

Waktu itu hari sudah gelap, angin berhembus lewat

membawa suara pekikan binatang buas.

Daun dan ranting bergoyang kian kemari menimbulkan

suara gemerisik, batuan cadas yang berserakan dimana-mana

seakan-akan berubah menjadi setan yang sedang

mementangkan cakarnya.

Dalam keadaan begini, walaupun dihari-hari biasa dia

bernyali besar, sekarang toh merasa bergidik juga.

Suasana disekeliiing tempat itu gelap gulita, malam yang

pekat telah menyelimuti seluruh jagad.

Tiba-tiba muncul setitik cahaya lirih dari balik celah-celah

ranting dan daun.

Walaupun hanya setitik cahaya saja, namun Suma Thian yu

seakan-akan menemukan harta karun, gembiranya bukan

main, dengan cepat dia melesat menuju ke arah mana

berasalnya cahaya tersebut.

Setelah menembusi hutan belukar, di depan sena muncul

sebuah api unggun, tapi Suma Thian yu tidak berani maju

mendekat ketempat itu, dengan cekatan dia melompat keatas

pohonu dan menengok ke arah api unggun tadi. Dengan cepat

dia menyaksikan disisi api unggun duduk seorang pemuda....

Binatang buas takut dengan cahaya api, rupanya pemuda

itu menggunakan kobaran api untuk mengusir binatang buas,

diam-diam Suma Thian yu mengagumi akan kecerdasan nya.

Tempat di mana Suma thian yu menyembunyikan diri

sekarang persis dibelakang punggung pemuda itu.

Begitu mendekati pemuda disisi api unggun tadi, Suma

thian yu semakin berhati-hati lagi dalam tindak tanduknya.

Dalam keheningan yang mencekam seluruh jagad itulah,

tiba-tiba terdengar pemuda itu seperti bergumam seorang diri.

"Setelah sampai disini, mengapa sang tamu tidak turun

untuk berbincang-bincang dan mengusir keheningan?"

Suma Thian yu amat terperanjat, pekiknya dihati.

"Sempurna amat tenaga dalam yang dimiliki orang ini,

tampaknya pemuda ini memiliki kepandaian silat yang sangat

lihay"

Berpikir sampai disitu, dia lantas melayang turun dari atas

pohon, begitu mencapai tanah segera ujarnya kepada pemuda

tersebut sembari menjura.

"Permisi saudrara, aku sedang tersesat jalan sehingga

mengganggu ketenangan saudara, untuk itu harap kau sudi

memaafkan"

Sambil berkata, dia memperhatikan pemuda itu sekejap,

tampak anak muda tersebut mempunyai wajah yang tampan

dengan bibir merah dan gigi putih bersih, matanya jeli, alis

mutanya lentik usianya dua puluhan dan memakai baju model

sastrawan, dandanan itu mudah menimbulkan kesan baik bagi

siapapun.

Pemuda itu memejamkan matanya rapat-rapat kendatipun

Suma Thian yu telah berada dihadapannya, dia pun tidak

membuka mata nya, hanya ujarnya hambar:

"Silahkan duduk, bila pelayananku ditengah gunung kurang

baik, harap kau sudi memaafkan"

"Aaaah, mana, mana. Boleh aku tahu siapa nama saudara?"

“ Aku bernama Chin Siau dan saudara?"

Sewaktu berbicara ia masih tetap memejamkan mata rapat-

rapat, hal ini membuat Suma Thian yu segera berpikir:

"Jangan jangan dia buta?" Berpikir demikian, buru-buru dia

menjawab.

"Aku she Suma bernama Thian yu, harap saudaraka sudi

memberi banyak petunjuk"

Ketika mendengar nama "Suma Thian yu", mendadak

pemuda sastrawan itu membuka matanya lebar-lebar dan

memperhatikan Suma Thian yu sekejap, kemudian sahutnya

dingin:

"Oooh, rupanya Suma siauhiap, sudah lama kudengar

nama besarmu...."

"Aaah, saudara kelewat sungkan, dimanakah rumah

saudara?"

"Aku tak punya rumah, empat samudra adalah rumahku"

jawaban dari Chin Siau ini dingin sekali dan kaku.

"Ooohh, begitu pula denganku"

Suma thian yu merasakan pula hatinya amat sedih, dia

merasa timbulnya suatu perasaan "senasib sependeritaan"

dengan pemuda ini.

Sejak awal sampai sekarang, sikap maupun paras muka

Chin Siau tetap kaku dan dingin, kecuali sedang berbicara,

pada hakekatnya tiada anggota badan lainnya yang bergerak,

seakan-akan dia mengenakan topeng kulit, sudah pasti orang

ini merupakan manusia berdarah dingin.

Setelah mendengar perkataan dari Suma thian yu itu, paras

muka Chin Siau sama sekali tidak menunjukkan perubahan

apapun, katanya dingin:

"Ooooh, kau pun tiada rumah? Tentunya hatimu merasa

sedih dan murung bukan?"

Pertanyaan yang diucapkan sangat tiba-tiba ini aneh sekali

nadanya, sehingga menimbulkan suatu perasaan yang aneh

pula bagi siapa pun yang mendengar.

"Yaa, aku merasa sedih, murung sehingga pada hakekatnya

tak bergairah untuk hidup" "Perasaan Suma siauhiap persis

seperti apa yang kualami, tolong tanya bencikah kau dengan

musuh yang telah menyebabkan kematian orang tuamu dan

musnahnya keluargamu?"

"Tentu saja dendam kesumat itu lebih dalam dari samudra,

siapa pun akan merasa bencinya sampai menusuk ketulang

sumsum"

Mendadak mencorong sinar tajam dari balik mata Chin

Siau, dengan suara yang dingin, kembali dia bertanya:

"Kalau memang begitu mengapa kau harus membunuh

orang lain dan merasuk kedalam keluarga lain?"

"Aku?" dengan terkejut Suma Thian yu balik bertanya,

"kapan sih aku melakukan perbuatan keji itu?"

Dengan sorot mata setajam sembilu, Chin Siau mengawasi

Suma thian yu lekat-lekat, kemudian tegurnya:

"Coba kau lihat kuburan siapakah itu?"

Mengikuti arah yang ditunjuk Suma Thian yu berpaling,

sebuah gundukkan tanah baru berada dua kaki didepan mata.

Semenjak makan daun Jin Sian kiam lan, sepasang mata

Suma Thian yu bisa dipakai untuk melihat dalam kegelapan,

maka walaupun kuburan tersebut berjarak dua kaki, dia masih

dapat membaca tulisan yang tertera diatas batu nisan

tersebut:

"Disini disemayamkan ayah tercinta Chin Ki kim"

Di bawahnya tertulis:

"Yang berduka cita anak yang tak berbakti, Chin Siau"

Selesai, membaca tulisan itu, dengan pandangan bingung

dan tidak habis mengerti Suma thian yu menengok ke wajah

Chin Siau, kemudian tanyanya agak ragu:

"Kuburan ayahmu?"

Chin Siau berpekik nyaring dengan nada suara yang amat

sedih, mencorong sinar penuh benci dari balik matanya,

dengan gusarnya dia membentak keras:

"Dia kan korban diujung pedangmu, masa kau hendak

menyangkal?"

Mendenger perkataan itu bergetar keras, perasaan Suma

thian yu, buru-buru dia menggoyangkan tangannya berulang

kali, serunya:

"Kau, kau salah paham, aku tak kenal dengan ayahmu Chin

Ki kim, apalagi akupun tidak pernah membunuh orang yang

tidak bersalah!"

Mendadak Chin Siau melompat bangun, lalu diambilnya

sebilah pedang dari tanah, ketika tangannya menarik gagang

pedang tersebut... "Cring!" di iringi suara nyaring dan

pancaran sinar tajam keempat penjuru, pedang itu sudah

tertarik setengah depa dari sarung.

"Pedang bagus!" Suma Thian yu menjerit kaget setelah

menyaksikan senjata tersebut.

Kemudian sambil menggoyangkan tangannya berulang kali,

serunya lagi:

"Tunggu dulu, jangan mencabut pedangmu lebih dulu,

kalau ada urusan lebih baik kita bicarakan secara baik-baik"

"Bagaimana? Kau takut? heeeh, heeeh, malam ini akan ku

suruh engkau rasakan bagaimana hebatnya ilmu pedang Bu

bok kiam hoat (ilmu pedang tanpa mata).

Mendengar nama ilmu pedang Bu bok kiam hoat, terkesima

hati Suma Thian yu, dia menjerit kaget:

"Jadi kau adalah ahli waris dari Bu bok ceng (pendeta tak

bermata)?"

Chin Siau tertawa angkuh.

"Heeeh...heeh...heeeh...benar, tak nyana kena1 juga

dengan Pendeta tak bermata, aku rasa disaat kau sedang

membantai keluarga Chin tempo hari, tentunya tak pernah

menyangka bukan kalau dia masih mempunyai putra yang

berhasil lolos dari musibah tersebut?"

"Chin heng, jangan kelewat kukuh dengan pendirian yang

salah" kata Suma Thian yu dengan wajah serius, kalau ingin

melakukan sesuatu, haruslah pandai membedakan mana yang

benar dan mana yang salah, bila membunuh orang baik-baik,

kau bisa menyesal sepanjang masa"

Berbicara sampai disitu, dia berhenti sejenak, lalu

sambungnya kembali lebih jauh:

"Andaikata aku benar-benar telah melakukan pembunuhan

tersebut, masa aku akan takut menghadapi pembalasan

dendammu?"

"Kalau begitu, cabut pedangmu!" seru Chin Siau sambil

tertawa dingin tiada hentinya.

Dengan cepat Suma Thian yu menggelengkan kepalanya

berulang kali.

"Aku tidak mempunyai ikatan dendam itu atau sakit hati

dengan saudara, mengapa kita mesti bertarung menggunakan

kekerasan? Bila ada persoalan, mari dibicarakan secara baik-

baik, suatu ketika urusan toh akan beres dengan sendirinya"

Chin Siau berkerut kening, mendadak dia mencabut keluar

pedangnya, tampak cahaya tajam berkilauan memenuhi

angkasa, pedang yang berada ditangannya telah menyambar

di udara membiaskan cahaya tajam.

Setelah menghumus pedangnya, dia membentak lagi

dengan suara sedingin salju:

"Toaya akan menghitung sampai tiga, bila kau belum juga

mencabut pedang, jangan salahkan toaya akan membunuh

orang yang tak bersenjata!"

"Satu... dua..."

Dia berhenti sejenak sambil memandang kearah musuhnya,

menyaksikan Suma Thian yu masih tetap berdiri tak bergerak,

dia segera berseru lagi:

"Tiga!"

Begitu selesai berseru, cahaya tajam berkilauan di angkasa,

secepat sambaran kilat dia melepaskan sebuah tusukan ke

tubuh Suma Thian yu. Siapa tahu, pada saat itulah menda dak

terdengar Suma Thian yu tertawa panjang, ujung bajunya

berkibar terhembus angin dan tahu-tahu bayangan tubuhnya

sudah lenyap dari pandangan mata.

Chin Siau menjadi tertegun, cepat dia memandang sekejap

sekeliling arena, tapi tak nampak sesosok bayangan manusia

pun disitu.

Kejadian ini membuat hatinya tertegun, diam-diam dia

lantas berpikir:

"Jangan-jangan dia telah melarikan diri?"

Mendadak dari belakang tubuhnya berkumandang suara

pekikan nyaring, mendengar suara tersebut, Chin Siau menjadi

terkesiap, dengan perasaan bergidik ia membentak gusar:

"Pingin mampus rupanya kau!"

Dengan jurus Huan si cian ciau (membalikkan badan

membabat ular) dia memutar badan sambil melancarkan

bacokan, cahaya kilat segera berkelebat lewat dan membabat

ke arah mana berasalnya suara Suma thian yu.

Untuk kesekian kalinya Suma thian yu mengeluarkan

kembali ilmu langkah Ciok liong loan poh nya untuk

menghindarkan diri.

Tampak sepasang bahunya bergerak, tahu-tahu dia sudah

menyusup kehadapan Chin Siau, bentaknya keras-keras:

"Kau betul-betul keras kepala dan tak bisa di didik, padahal

aku bermaksud baik tapi nyatanya cuma serangan amarah

darimu.... sekalipun kau menyaksikan dengan mata sendiri

pun, tidak seharusnya kau bertindak begitu gegebah!"

Gagal dengan ke dua serangannya, Chin Siau terperanjat

sekali, namun setelah sorot matanya terbentur dengan

kuburan ayahnya yang berada tak jauh dari situ, amarahnya

segera berkobar kembali, sambil berpekik nyaring dia

menerjang maju ke muka.

Pedangnya dengan jurus Lu im si gwat (awan lewat

menutup rembulan) secara beruntun melancarkan tiga buah

tusukan kilat mengancam tiga buah jalan darah penting

ditubuh Suma thian yu.

Tanpa sebab tanpa musabab Suma thian yu harus

menghadapi gangguan seperti ini, kemarahannya kontan

memuncak, mendadak dia berpekik nyaring, pedangnya

dicabut keluar, lalu dengan memainkan tiga jurus pertolongan

dari ilmu pedang Bu beng kiam hoat ajaran Cong liong lo sian

jin, dia melakukan perlindungan diri.

Seketika itu juga tampak cahaya tajam memancar kemana-

mana, bunga pedang mencapai beribu kuntum bagaikan

selembar kabut pedang yang amat besar menghadang lima

depa dihadapannya dan membentuk kabut tebal yang begitu

rapat sehingga tidak tertembusi.

"Traaangg... traaangg...!" tiba-tiba berkumandang suara

benturan nyaring yang memekikkan telinga.

Ketika cahaya tajam lenyap, ke dua orang itu sama-sama

melompat mundur sejauh tiga ltlangkah lebih, kemudian

dengan wajah agak masgul, pekiknya dihati:

"Betul-betul ilmu pedang bagus!"

Usia mereka berdua hampir seimbang, tampangnya juga

sama-sama ganteng, lagipula ilmu pedang yang digunakan

masing-masing memiliki keistimewaan sendiri, kesemuanya ini

membuat Suma Thian yu menaruh perasaan sayang

terhadapnya.

Agaknya Chin Siau mempunyai perasaan yang sama, dari

tingkah laku serta cara Suma Thian berbicara, dia dapat

merasakan kejujuran dan kemuliaan hati orang.

Akhirnya dengan perasaan ragu ia menegur:

"Kau benar-benar tidak melakukan perbuatan tersebut?"

"Tentu saja, apakah kau anggap aku adalah seorang

manusia yang gemar membunuh? Suma thian yu balik

bertanya.

"Tahu orangnya tahu wajahnya belum tentu tahu hatinya,

siapa tahu kalau kau memang seorang manusia buas yang

gemar memubunuh manusia!"

Suma Thian yu manggut-manggut.

"Yaa, masuk diakal, memang masuk diakal, aku tidak

berharap kau bisa memahami perasaanku, tapi paling tidak

harus memahami dulu hal ikhwal dari persoalan ini, bila kau

percaya denganku, harap kau membeberkan semua peristiwa

tersebut kepadaku"

Dengan sorot mata tajam, Chin Siau mengwasi Suma Thian

yu beberapa saat lamanya, kemudian berkata dengan suara

dingin:

"Duduk! Sewaktu aku berbicara nanti, kau tak usah

nimbrung!"

Pelan-pelan pemuda itu duduk bersila, lalu menuturkan

riwayat hidupnya.

Sejak berusia sembilan tahun Chin Siau sudah

meninggalkan rumah, dia dibawa pergi oleh seorang pendeta

agung dari dunia persilatan yakni Bu bok ceng.

Sejak meninggalkan rumah, sepuluh tahun sudah lewat

tanpa terasa.

Ramahnya terletak didusun Pek siang cun, hanya tiga li dari

bukit Ngo tay san.

Baru dua hari berselang dia pulang Kerumah, ketika sampai

di depan pintu rumahnya, segala sesuatu yang berada disana

telah berubah.

Gedung yang semula megah ketika dia meninggalkan

rumah dulu, kini telah berubah jadi setumpukan puing-puing

yang berserakan, mayat bergelimpangan dimana-mana,

keadaan itu mengenaskan sekali.

Waktu itu Chin Siau sempat muntah darah dan jatuh tak

sadarkan diri, setelah sadar kembali baru dia mengubur

keluarganya lalu dengan mengikuti pesan dari ayahnya dulu,

dia mengubur jenazah ayahnya dibukit Ngo say san.

Sebetulrya dia bermaksud untuk berjaga disisi kuburan

ayahnva selama tiga hari, malam ini merupakan malam yang

pertama, tak tahunya dia telah berjumpa dengan Suma Thian

yu.

Ketika diketahui kalau pemuda yang muncul bernama

"Suma Thian yu", hatinya menjadi tercekat, dia lantas teringat

kembali dengan pesan ayahnya sebelum ayahnya mati....

Suma Thian yu merasa amat terharu sesudah mendengar

penuturan tersebut, dengan wajah serius tanyanya kemudian:

"Jadi saudara Chin bersikeras menuduh kalau peristiwa

berdarah yang terjadi saat itu merupakan hasil karyaku?"

Di sisi jenasah ayahku tertinggal kata peringatanmu, itulah

sebabnya aku tahu kalau kau yang melakukan kesemuanya

ini" sahut Chin Siau dengan air mata membasahi wajahnya.

"Aaah, masa ada kejadian seperti ini?" Suma Thian yu

menjerit kaget dengan wajah tercengang, sudah jelas

perbuatan

ini merupakan perbuatan busuk orang yang sengaja

menfitnah orang lain...."

"Yaa, bisa jadi demikian"

"Aku dengan ayahmu tak pernah saling mengenal, dulu

tiada dendam, belakangan inipun tiada sakit hati, lagipula hari

ini baru sampai ditempat ini, bagaimana mungkinperistiwa

yang terjadi beberapa hari berselang ada sangkut pautnya

dengan diriku?"

"Inikan menurut perkataanmu tanpa saksi, bagaimana

mungkin aku dapat mempercayainya dengan begitu saja?"

"Hingga sekarang, apakah saudara Chin masih mencurigai

diriku?"

"Lebih baik percaya daripada sama sekali tidak!"

Sikap dari Chin Siau ini sungguh membuat hati orang jadi

sedih, tapi kalau keluarganya yang terbunuh, kesedihan yang

mencekam perasaan hatinya betul-betul tak akan tertahan

oleh siapa saja.

Dengan kening berkerut, Suma thian yu menghela napas

panjang, katanya kemudian:

"Kalau memang saudara Chin berpendapat demikian,

akupun tak akan membantah, silahkan saja kau turun tangan

apabila ingin membalas dendam bagi kematian orang tuamu"

Chin Siau tertawa tergelak.

"Haaah...haaahh...haah...siapa yang berani menghalangi

niatku untuk membalas dendam? Bila masa berkabungku

selama tiga hari sudah lewat, aku bisa menyelidiki peristiwa ini

sampai tuntas, apabila kaulah pembunuhnya, hmm! Aku akan

menyuruh kau merasakan siksaan yang terkeji didunia ini"

"Setiap saat kunantikin petunjukmu" kata Suma Thian yu

cepat.

Kemudian setelah menyarungkan kembali pe dangnya dan

menjura, dia berkata lebih jauh:

"Berhubung aku masih ada urusan, maaf kalau harus minta

diri dulu, sekembaliku dari Tibet nanti, pasti akan kulewati lagi

tempat ini dan sampai waktunya aku akan menuruti saja

keinginanmu"

"Bagus sekali, sampai waktunya akan kutunggu

kedatanganmu di tempat ini"

Suma thian yu tidak memperdulikan lawannya lagi, dia

membalikkan badan dan segera berlalu dari situ.

Sepeninggal Suma Thian yu, Chin Siau merasa hatina serba

salah, jalan pemikirannya saling bertentangan, bagaimana pun

juga dia tetap nmenaruh curiga, sebab dilihat dari penampilan

Suma Thian yu, sudah jelas dia tidak mirip dengan seorang

gembong iblis yang membunuh orang tanpa berkedip....

Tapi diapun merasa kalau Suma thian yu merupakan orang

yang paling dicurigai, sebab seandainya tiada suatu urusan,

bagaimana mungkin dia akan melewati tempat itu? Dengan

pikiran kacau dia duduk terpekur disisi api unggun sambil

memejamkan matanya rapat-rapat.

Mendadak....

Dari belakang tubuhnya berkumandang suara gemersak

yang keras seolah-olah ada ular yang sedang menggeser

mendekat.

Sebagai seorang jago yang berilmu tinggi, Chin Siau sama

sekali tidak dibikin ketakutan, tubuhnya sama sekali tidak

bergerak. Konon pendeta tak bermata adalah seorang pendeta

yang berasal dari negeri asing, ilmu pedang yang dipelajarinya

bukan Kung fu dari daratan Tionggoan, melainkan dari negeri

Hu siang (kini Jepang).

Seperti namanya si Pendeta tak bermata adalah seorang

pendeta buta, namun ilmu silat nya sangat lihay, terutama

sekali permainan ilmu pedang butanya, hakekatnya menjagoi

se luruh dunia persilatan.

Berhubung dia memang berbakat lagipula amat cerdik,

setibanya didaratan Tionggoan dia segera mempelajari ilmu

pedang dari pelbagai aliran yang ada didaratan Tionggoan,

kemudian meleburnya menjadi satu dan digabungkan dengan

ilmu pedang asalnya.

Dengan kepandaian seperti ini, tak heran kalau kemajuan

yang berhasil dicapainya amat pesat.

Umat persilatan hanya mengetahui kalau di daratan

Tionggoan telah muncul seorang jago pedang bernama

Pendeta tak bermata, cara kerjanya jujur, bijaksana dan selalu

membantu kaum lemah, oleh sebabitu banyak jago

menyebutnya sebagai Pendeta berjiwa pendekar.

Namun orang yang mengetahui asal usulnya yang

sebenarnya boleh dibilang sedikit sekali. Selama hidup,

Pendeta tak bermata hanya menerima seorang murid saja,

yakni Chin Siau.

Semenjak berumur sembilan tahun, Chin Siau sudah ikut

belajar ilmu silat, sepuluh tahun lamanya dia mendalami

kepandaian gurunya, kini boleh dibilang ia telah berhasil

menguasai delapan sembilan bagian dari kepandaian gurunya.

Dengan kepandaiannya itu, dia berhasil menempatkan

dirinya sebagai seorang jago pilihsn diantara angkatan muda.

itulah sebabnya dia merasa amat terperanjat setelah

melangsungkan pertarungan sengit melawan Suma thian yu,

pemuda itu merupakan satu-satunya musuh tangguh yang

pernah dijumpainya sejak dia turun gunung.

Dalam pada itu, suara gemercik yang datang dari arah

belakang terdengar makin bertambah nyaring, bahkan makin

lama suaranya semakin mendekati dirinya.

Chin Siau memperhatikan suara itu dengan seksama,

setelah menentukan arahnya dengan tepat, mendadak ia

membentak keras, cahaya kilat berkelebat lewat, Chin Siau

telah mengayunkan pedangnya melepaskan bacokan maut

kearah mana berasalnya suara tersebut.

Jerit kesakitan berkumandang memecahkan keheningan.

Ternyata bukan ular besar yang sedang ber jalan

mendekati, melainkan seorang manusia.

Dengan cepat Chin Siau membalikkan badan nya, kurang

lebih empat kaki di belakang tubuhnya tergeletak sesosok

tubuh manusia, dia adalah seorang lelaki setengah umur yang

se pasang kakinya sudah putus, darah bercucuran keras, dan

tubuhnya bergulingan ke sana kemari menahan rasa sakit.

Chin Siau menjadi tertegun setelah menyaksikan kejadian

tersebut, dia menira ada seekor ular besar yang sedang

mendekatinya, ternyata suara tersebut berasal dari langkah

kaki seorang penyamun.

Pelan-pelan dia bangkit berdiri dan berjalan mendekati

orang tersebut, kemudian sambil menatap lelaki bergolok yang

sedang berguling-guling diatas tanah kesakitan, bentak nya

penuh amarah:

"Siapah kau? Mengapa menyusup kebelakang tubuh sauya?

Rupanya kau ingin mencelakai sauya?"

Dengan sepasang kaki terpapas kutung, lelaki itu hanya

mengerang kesakitan sambil berguling kian kemari, dalam

keadaan begini, tentu saja dia tak mampu menjawab

pertanyaan tersebut.

Menyaksikan kejadian itu, dari sakunya Chin Siau

mengekuarkan sebuah bungkusan obat dan ditaburkan

disekitar mulut luka pada kakilelaki yang terpapas kutung itu.

Obat itu sungguh amat mujarab, tak selang beberapa saat

kemudian darah telah berhenti mengalir dan rasa sakitpun

jauh berkurang. Melihat musuhnya sudah dapat berbicara,

Chin Siau baru mengajukan pertanyaannya lagi:

"Siapa yangg menitahkan kau untuk mencelakai sauya?"

"Maaf, aku telah salah mengincar orang" sahut lelaki itu

sambil menatap muka lawannya.

"Salah mengincar orang?" Chin Siau bertanya dengan

wajah tercengang.

"Benar! Toaya mengira kau adalah bocah keparat she

Suma"

"Oooh..." Chin Siau semakin tertegun, "mengapa kau

hendak membunuh Suma Thian yu?"

"Aku bersumpah hendak membunuh anjing keparat

tersebut, bagaimanapun juga, sebelum aku berhasil

mencingcang tubuhnya sehingga hancur berkeping-keping

belum puas rasanya hatiku untuk melampiaskan rasa dendam

sakit hatiku"

Mendengar ucapan tersebut, Chin Siau segerara merasakan

hatinya bergetar keras, api amarah yang semula sudah hampir

padam kini berkobar kembali, buru-buru dia bertanya:

"Beritahu kepadaku, perbuatan jahat apakah yang telah

dilakukan olehnya?"

Menyaksikan mimik wajah Chin Siau tersebut, diam-diam

lelaki kekar itu tertawa seram, buru-buru sahutnya:

"Keparat itu memperkosa istriku, membunuh seluruh

anggota keluargaku... "

Jilid : 22

BELUM HABIS DIA berkata, tiba-tiba Chin Siau telah

membentak dengan penuh kegusaran:

"Apa? Sungguhkah perkataanmu itu?"

"Sungguh, buat apa aku mesti membohongi mu?" jawab

lelaki tersebut sambil berlagak amat sedih.

Hawa amarah segera membara didalam dada Chin Siau,

kontan saja dia menyumpah:

"Oooh Thian, aku Chin Siau telah tertipu" Orang she Suma,

bila aku tidak berhasil mencincang tubuh mu sehingga hancur

berkeping-keping, aku bersumpah tak akan hidup sebagai

manusia!"

Mendadak perkataanya itu terhenti oleh isak tangis yang

menyedihkan dari lelaki tersebut.

Dengan perasaan tercengang Chin Siau segera bertanya:

"Hei, mengapa kau menangis?"

Dengan air mata bercucuran lelaki itu mengeluh:

"Oooh... sepasang kakiku... aku tak dapat membalas

dendam lagi....uuuh.... uuhhh.... uuuhhh...."

Sembari berkata, kembali dia menangis tersedu-sedu.

Chin Siau menjadi ikut bersedih hati setelah menyaksikan

kejadian itu, hatinya menjadi sakit seperti diiris-iris dengan

pisau tajam, dengan cepat dia cengkeram bahu lelaki itu,

kemudian berseru dengan suara yg terharu:

“ Toako, maafkanlah aku, semuanya ini memang aku yang

salah sehingga melukaimu, tapi kau tak usah kuatir, aku Chin

Siau bertekad akan memenggal batok kepala bocah keparat

itu untuk menebus dosa-dosaku ini...."

Mendengar janji tersebut, buru-buru lelaki itu tertawa

gembira, serunya cepat:

"Oooh, sungguh? Aku benar-benar berterima kasih sekali

kepada mu..."

Kembali Chin Siau menghibur lelaki tersebut dengan kata-

kata yang halus, kemudian dengan mengurungkan niatnya

untuk menunggui kuburan selama tiga hari, dengan membawa

pedangnya dan menjuru kepada lelaki tersebut, dia segera

melakukan pengejaran kearah mana perginya Suma Thian yu

tadi.

Lelaki tersebut memandang bayangan punggung Chin Siau

sehingga lenyap tak berbekas kemudian baru tertawa

terbahak-bahak.

"Haahh... haaahh... haaah... bocah keparat she Suma, kali

ini mampus kau"

Mendadak dari belakang tubuhnya berkumandang suara

tertawa merdu seseorang, disusul seseorang berkata:

"Kho Gi, bagus sekali perbuatanmu, sekembalinya ke

markas nanti aku harus baik-baik memberi hadiah kepadamu,

sepasang kakimu juga berusaha disembuhkan kembali"

Ternyata lelaki itu bernama Kho Gi, segera berpaling,

tampak seorang perempuan muda cantik yang kehilangan

sebuah telinga serta berambut pendek karena terpapas

pedang telah berdiri dibelakang tubuhnya...!

"Terima kasih banyak hujin" buru-buru Kho Gi berseru,

"sekalipun sepasang kaki Kho Gi kutung, hal ini tak perlu

dipikirkan, asal selanjutnya hujin bersedia mengangkat diriku

keatas, selama bidup Kho Gi sudah berterima kasih sekali

kepadamu"

Sesungguhnya perempuan muda yang berparas cantik itu

bukan orang lain, dia adalah perempuan berhati keji bagaikan

ular berbisa Siau hu yong (hu yong tertawa) Chin Lan eng.

Tampak Chin Lan eng kegirangan setengah mati, sambil

tertawa terbahak-bahak dia berseru:

"Haah...haah...haah dengan demikian, nyonya besar akan

duduk menonton harimau berkelahi, menyaksikan mereka

saling gontok-gontokan sendiri

haaah...haaah...haaah...haaaah...."

Rupanya semenjak rambutnya dipapas dan telinganya

dikutungi oleh Suma thian yu, Siau Hu yong Chin lan eng

membenci pemuda itu sehingga merasuk ketulang sum-sum,

selama ini dia selalu mengawasi gerak-gerik Suma thian yu

secara diam-diam.

Pertarungan di telaga Tong ting, jebakan dari bukit Kun sau

sebagian besar adalah hasil rencana busuk dari Siau hu yong

Chi lan eng.

Menyusul kemudian ketika mereka saksikan Suma Thian yu

meninggalkan bukit Kun san, Siau hu yong dan si Ular berekor

nyaring Biau Pun ci segera menyusun rencana busuk lain-nya

untuk menghajar Suma Thian yu habis-habisan.

Mereka sengaja mengirim surat kepada Siau yau kay Wi

Kian serta Manusia iblis penghisap darah dengan harapan ke

dua orang tokoh persilatan itu bisa membunuh pemuda

tersebut, namun usaha mereka mengalami kegagalan total.

Akhirnya timbul rencana mereka untuk mempergunakan

siasat menyiksa diri, tentu saja pembicaraan antara Suma

thian yu dengan Chin Siau berhasil disadap pula oleh Siau hu

yong sehingga dia lantas memerintahkan Kho gi untuk

melakukan serangan terhadap Chin Siau.

Kasihan Kho gi, dia tak lebih hanya merupakan seorang

korban demi ambisi orang lain.

Sebagai pemuda yang kurang pengalaman dan gampang

percaya dengan perkataan orang lain, Chin Siau tak berpikir

panjang lagi setelah mendengar perkataan tersebut, dia

segera berangkat mencari Suma thian yu untuk dibunuhnya.

Dalam pada itu, Kho gi sedang merasa gembira sekali

setelah mendengar pujian dari Chin lan eng, dia seolah-olah

lupa kalau sepasang kakinya telah terpapas kutung dan

menjadi cacad untuk selamanya.

"Hujin, kita tak usah mengejar bocah keparat itu lagi?"

serunya kemudian.

"Toh sudah ada si tolol itu! Memangnya bocah keparat itu

bisa terbang kelangit?"

Baru selesai Siau Hu yong Chin lan eng berkata, mendadak

seseorang membentak penuh kegusaran:

"Perempuan rendah, harimau lebih keji daripada ular

berbisa, kau perempuan laknat, perempuan rendah berhati

busuk!"

berbarengn dengan seruan tersebut, tampak bayangan

manusia meluncur datang ketengah arena dengan kecepatan

bagaikan sambaran petir.

Paras muka Siau Hu yong Chin lan eng berubah hebat

setelah mngetahui siapa yang datang, tiba-tiba teriaknya

tertahan:

"Aaah.....kau"

Orang itu berusia enam puluh tahunan dan berjubah

panjang warna biru, ia berjenggot hitam dan berwajah gagah,

dalam sekilas pandangan saja dapat dikenali kalau dia adalah

pemilik rumah makan Kun eng lo yang disebut orang Tay Hoa

kitsu (pertapa dari Tay hoa) Chin leng hui adanya.

Begitu tampil ditengah lapangan, Chin leng hui segera

menuding Siau Hu yong sambil mengumpat:

"Perempuan rendah, dalam keluarga Chin bisa tumbuh

tumor ganas macam kau, kejadian tersebut sungguh

merupakan aib bagi leluhur kita, ayo cepat berlutut dan minta

ampun!"

Siau hu yong Chin Lan eng mendengus dingin, katanya

dengan nada sombong:

"Hmmm, hubungan kekeluargaan diantara kita telah putus,

kau tidak berhak untuk mencampuri urusanku lagi, lebih baik

jangan berkaok-kaok lagi disini!"

Chin Leng hui tertawa seram saking gusarnya, tiba-tiba ia

merasa napasnya menjadi sesak, dadanya sakit sekali,

tampaknya darah yang mengalir telah tersumbat.

Tak ampun dia muntah darah segar, kemudian agak

sempoyongan dia mundur sejauh beberapa langkah.

Timbul perasaan iba dalam hati kecil Siau Hu yong Chin lan

eng setelah menyaksikan keadaan itu, ditariknya tangan Kho

gi sembari berkata:

"Mari kita pergi saja! Jangan menggubris orang gila ini

lagi!"

Sepasang kaki Kho gi telah kutung, dia tak mampu

bergerak sendiri, maka Siau Hu yong Chin lan eng segera

menghampirinya dan pelan-pelan berlalu dari situ.

Anak yang berani dengan orang tuanya merupakan suatu

kejadian yang tragis, apalagi bagi orang tua yang

mengalaminya bisa di bayangkan betapa hancurnya perasaan

Tay hoa kitsu menyaksikan ulah putrinya.

Melihat perempuan itu beranjak pergi, segera bentaknya

dengan amat gusar:

"Berhenti, jangan meninggalkan tempat ini!" Siau hu yong

Chin lan eng berhenti, kemudian sambil berpaling tegurnya

dingin:

"Mau apa kau? Tak usah berlagak pilon lagi, maksudku toh

sudah cukup kau pahami"

"Lohu mengerti, kau memang binatang yang berhati buas,

aku menghendaki nyawamu!" seru Tay hoa kitsu Chin Leng

hui sambil tertawa mengenaskan.

Sewaktu mengucapkan perkataan itu, air mata bercucuran

membasahi wajah Chin leng hui, betapa hancurnya orang itu

melihat ulah putrinya.

Chin Leng eng bermaksud untuk membantah ucapan mana,

namun secara tiba-tiba ia mendengar bergemanya suara lirih

dari balik kegelapan, niat tersebut segera diurungkan, katanya

kemudian dingin:

"Tak ada manfaatnya banyak berbicara dengan kau, sampai

jumpa lain kesempatan!"

Dia segera mengempit tubuh kho gi dan segera terbang

berlalu dari situ, dalam waktu singkat bayangan tubuhnya

telah lenyap dari pandangan mata.

Tay hoa kitsu Chin leng hui meraung gusar, ia menjejakkan

kakinya ke atas tanah lalu melejit ke udara, dia berniat untuk

menyusul di belakang tubuh Chin Lan eng.

Mendadak bayangan manusia berkelebat lewat, seorang

pengemis tua tahu-tahu sudah berdiri menghadang

dihadapannya.

Dalam sekilas pandangan saja, Chin Leng hui segera

mengenali orang itu sebagai Siau yau kay Wi kian, amarahnya

langsung saja ber kobar, tanpa banyak berbicara segera

hardiknya:

"Hei, mengapa kau menghadang jalan pergi ku?"

Siau yau kay tertawa terbahak-bahak, dia berkelit ke

samping sambil ujarnya:

"Oooh kalau begitu salah! Silahkan kau meneruskan

pengejaran mu, aku si pengemis tua pasti tak akan

menghalangi niatmu ini"

Tay hoa Kitsu Chin Leng hui sama sekali tidak menggubris

Siau yau kay, dia benar-benar bermaksud untuk meneruskan

pengejaran terhadap Siau hu yong.

Melihat hal ini, Siau yau kay Wi Kian segera tertawa

terbahak-bahak.

"Haaahh... haaah... haaahh... bila kau sudah bosan hidup,

lebih baik menggorok leher sendiri saja dengan pedangmu tak

usah membuat malu didepan orang lain"

Tay hoa Kitsu Chin Leng hui tertegun, lalu dia merasa

sangat tidak puas dengan sindiran dari Siau yau kay tersebut

tegurnya ketus:

"Apa maksudmu berkat demikian?"

Siau yau kay Wi kian menggelengkan kepalanya berulang

kali lalu menghela napas panjang.

"Mepersembahkan tubuh yang berguna untuk santapan

harimau dan srigala, apakah tindakan semacam itu benar?

Chin lote, kau jangan mengira putri kesayanganmu itu tak

mampu melakukan perbuatan semacam itu, lebih-lebih jangan

kau anggap karena mempunyai hubungan darah dengan mu

maka dia akan berbelas kasihan kepadamu! Dia sedang

mempersiapkan jebagan agar kau masuk perangkap, bila kau

ingin mengorbankan dirimu, pergi sajalah kesana!"

Tay hoa kitsu sadar kembali dari impian setelah mendengar

perkataan itu, semakin dipikir dia merasa semakin

mendongkol, makin mendongkol hatinya pun makin

mendendam, buru-buru tanyanya:

"Memangnya kau suruh aku membiarkan dia berfoya-foya

dan bersenang-senang terus sekehendak hati sendiri?"

"Ya, kecuali begini memang tiada cara lain, bila kau ingin

memberi pelajaran kepadanya, lebih baik nantikan saja hingga

kedatangan Suma siauhiap dari Tibet!"

"Mengapa?"

"Rahasia langit tak boleh dibocorkan, bila saatnya telah

datang segala sesuatunya akan terwujud sendiri"

"Bagaimana sekarang? Apa yang kulakukan?"

Kasihan si pendekar dari Bu tong pay ini, saking dibuat

pusingnya oleh ulah putrinya, sampai-sampai dia sendiripun

tak tahu apa yang barus diperbuat.

Siay yau kay tertawa terbahak-bahak.

"Hah... hah... hah... kembali saja ke bukit Tay hoa san, bila

saatnya membutuhkan tenagamu telah tiba, aku pasti akan

mengundang mu untuk turun gunung"

"Tapi...."

"Apakah kau belum puas? Atau ada sesuatu yang belum

selesai kau laksanakan?" tukas Siau yau kay Wi Kian cepat.

"Tidak! Aku cuma menguatirkan keselamatan Suma

siauhiap, aku kuatir dia akan menjumpai banyak kesulitan!"

Kembali Siau yau kay Wi kian tertawa panjang setelah

mendengar perkataan itu.

"Haaah... haaaah... haaaah orang budiman akan selalu

dilindungi Thian, soal ini tak perlu kau kuatirkan!"

Tay hoa kitsu Chin leng hui tidak bicara apa-apa lagi, dia

mengikuti saran dari Siau yau kay dan bebar-benar kembali ke

Tay hoa san untuk bertapa.

oooo0oooo

SETELAH meninggalkan Chin Siau, Suma thian yu

menempuh perjalanan siang malam melewati bukit Ngo tay

san dan menuju kearah Tibet.

Sepanjang jalan dia merasakan hatinya amat risau dan

berat, yaa memang begitulah bila banyak kejadian tragis

menimpa seseorang seringkali sikap maupun perasaannya

akan turut berubah juga.

Terutama sekali pengalaman yang dialami Suma thian yu

amat istimewa, kecuali dendam kesumat dari keluarga sendiri,

diapun harus memikul tanggung jawab dari pamannya yakni

Kit hong Kiam kek Wan liang serta semua kejadian besar yang

sedang berlangsung didalam dunia persilatan sekarang.

Pelbagai macam peristiwa yang menimpanya membuat

pengalamannya turut bertambah pula, sudut pandangannya

terhadap pelbagai masalah dan watak manusia ikut pula

berubah, satu satunya yang tidak turat berubah hanya lah

budinya yang luhur.

Hari ini, tibalah dia dikota Hak li seng, ko ta ini kecil sekali

dan terletak dibawah kaki bukit Gou ciok san, sebab tempat

yang boleh di ibararkan sarang naga gua harimau.

Meskipun kota itu kecil, penduduknya amat banyak, kota

tersebut merupakan kota perda gangan yang amat ramai.

Kebetulan hari ini merupakan hari besar untuk kota

tersebut, suasana disana bertambah ramai, manusia yang

berlalu lalang banyak sekali.

Ketika Suma Thian yu tiba dikota tersebut, yang tampak

olehnya adalah lelaki perempuan yang berpakaian warna-

warni, dengan dandanan yang mencolok, seakan-akan wayang

dalam panggung opera.

Rumah-rumah dihiasi dengan indah, orang-orang yang

berada disitu pun berseri, penuh dengan dihiasi senyuman.

Suma Thian yu segera mengerti, rupanya di kota itu sedang

diselenggarakan pesta besar.

Sebagai seorang pemuda macam dia, tentu saja perasaan

ingin tahu menyelimuti hatinya, niatnya untuk melanjutkan

perjalanan

segera diurungkan, dia mengambil keputusan untuk

menginap dirumah penginapan kota itu semalaman. Baru saja

berpaling untuk beristirahat, pelayan muncul didepan pintu

sambil menegur:

"Kek koan, apakah kau tidak kekota untuk melihat

keramaian?"

Sambil tertawa Suma thian yu menggeleng.

"Aku masih lelah setelah menempuh perjalanan jauh,

sekarang hanya ingin beristirahat dahulu"

"Begitupun baik juga, pulihkan dulu kondisi badan, malam

nanti baru menonton panggung Lui tay"

"Panggung Lui tay?" dengan perasaan kaget bercampur

keheranan Suma Thian yu mengulangi perkataan itu.

Tampaknya pelayan itu berhasil mendapat kesempatan

untuk mencari uang persen, dia segera mengandalkan

selembar bibirnya yang pandai bicara untuk menarik perhatian

orang, katanya kembali:

"Aaah, rupanya kau belum tahu? Hari ini adalah hari

peringatan kota kami, diluar kota depan kuil Hui bong si telah

didirikan panggung lui tay untuk mengadakan pertandingan

ilmu silat seperti juga tahun berselang, yang mengikuti

perlombaan ini banyak sekali, sehingga diluar kuil orang pada

berjubel. Kek koan kedatanganmu memang kebetulan sekali,

tanggung kau bakal menonton sampai puas!"

"Yaa betul, aku memang bernasib mujur sahut Suma Thian

yu hambar.

Kembali pelayan itu tertawa cekikikan.

"Cuma kau harus memesan tempat bila ingin kebagian

tempat duduk, cuma kau tak usah kuatir, soal ini mah bukan

masalah, asal kek koan bersedia mengeluarkan sedikit uang,

sudah tentu hamba akan mencarikan tempat duduk paling

depan, hiih...hiih...hiiih..."

Sembari berkata, dia lantas menunjukan sikap menanti

persen.

Mendengar itu, Suma thian yu tertawa terbahak-bahak.

"Haaah... haaah... haaah... kalau soal itu mah tentu saja

tak ada persoalan, aku pasti akan memberi persen untukmu"

Pelayan itu bertambah semangat, wajahnya berseri,

senyuman menghiasi wajahnya, dengan cepat ceritanya

kembali:

"Tahun lalu toa kongcu dari Thio wangwee dihajar orang

sampai menjadi cacad, konon tahun ini ji kongcu yang akan

naik ke panggung lui tay menggantikan kedudukannya, malah

dia telah mempersiapkan jago-jago dari luar untuk membalas

dendam atas aib yang di derita keluarganya tahun berselang,

maka aku yakin tahun ini suasananya tentu bertambah ramai"

Suma Thian yu hanya mengiakan.

"Hamba ingin mengajukan satu permohonan, apakah kek

koan bersedia memenuhinya?" kembali pelayan itu berkata.

"Soal apa? Katakan saja"

Sambil tertawa cekikikan pelayan itu berbisik:

"Kek koan! Kau tidak tahu, meski hamba bekerja sebagai

pelayan disini, sesungguhnya pernah pula belajar silat, hamba

paling suka menyaksikan pertandingan silat semacam itu, bila

kek koan tidak menampik, malam ini hamba bersedia

mendampingimu, sekalian menjadi penunjuk jalan bagimu..."

"Kebetulan sekali!"

"Sungguh? Ooh, bagus sekali, cuma....."

Berbicara sampai disini sengaja dia berhenti sejenak dan

memandang sekejap kearah Suma thian yu dengan licik.

"Masih ada soal apa lagi?" tanya pemuda itu cepat.

"Majikan hamba melarang hamba untuk meninggalkan

rumah penginapan ini...."

"kalau begitu, kau tak usah ikut"

"Aaah, mana boleh jadi? Asal kek koan bersedia mintakan

ijin untuk hamba, tauke pasti akan mengabulkan"

"Kalau begitu, siapa yang bertugas di dalam rumah

penginapan ini.....?"

"Masih ada orang lain, Kek koan tak usah kuatir"

"Bila mereka semua seperti kau, bukankah berabe jadinya"

"Soal ini...."

Pelayan itu menjadi terpojok dan tak mampu untuk

menjawab lagi....

Suma thian yu segera tertawa terbahak-bahak, sambil

memukul pantat pelayan itu, serunya:

"Sudahlah, keluar sana! Pokoknya nanti malam kau pasti

akan kuajak"

Dengan wajah berseri, pelayan itu segera berlalu

meninggalkan tempat itu.

Setelah beristirahat cukup, semua rasa lelah ditubuh Suma

thian yu pun menghilang, setelah bersantap malam dan

menyampaikan pesan kepada pemilik penginapan, dia

mengajak pelayan itu menuju keluar kota.

Pelayan itu amat gembira, sambil menempuh perjalanan,

tiada hentinya dia mengisahkan keadaan tentang panggung lui

tay tersebut kepada Suma thian yu, dengan begitu si anak

muda itupun banyak mengetahui tentang peristiwa tersebut.

Tiba didepan kuil Hui hong si, betul juga mereka saksikan

sebuah panggung lui tay yang tingginya satu kaki dengan

lebar sepuluh kaki terbentang didepan mata, pada kedua

belah sisi panggung diberi pagar yang memanjang.

Di atas panggung terbentang sebuah papan nama yang

bertuliskan:

GI BU HUI YU

artinya: Dengan ilmu silat menjalin persahabatan.

Tulisan itu ditulis dengan gaya tulisan yang kuat dan indah,

dalam sekilas pandangan saja orang akan tahu kalau tulisan

itu berasal dari penulis kenamaan.

Sementara dikedua belah sisinya tergantung sepasang

"Lian", yang berada disebelah kanan bertuliskan:

KUN TA THIAN HEE ENG HIONG

artinya: Dengan tinju menjumpai orang gagah didunia.

Nadanya latah, gampang buat orang naik darah.

Suma thian yu bertanya kepada pelayan itu:

"Manusia macam apa sih ji kongcu dari Thio Wangwee itu?"

"Rupanya kek koan adalah katak dalam air, masa nama thio

suhu, Thio cu dari kota Hek seng jin saja tidak kenal?"

"Thio cu? Aku belum pernah mendengar nama orang ini!"

Pelayan itu segera menggelengkan kepalanya sambil

menghela napas, katanya kemudian:

"Aaaii...tak heran kalau kau tak tahu, dilihat dari

dandananmu macam pelajar, bagaimana mungkin bisa

mengetahui urusan dalam dunia persilatan? kau tahu, Yhio cu

adalah seorang tokoh silat yang mempunyai asal usul luar

biasa, dikota ini saja mempunyai murid sebanyak lima ratus

orang.

Berbicara sesudahnya, hambapun pernah berlatih ilmu silat

selama tiga tahun dibawah bimbingannya, bukan hamba

sengaja mengibul, sepuluh orang lelaki macam kek koan pun

tak akan hamba pandang sebelah matapun"

"Ooooh...tentu saja, tentu saja...." Suma thian yu tertawa.

Mendengar sanjungan tersebut, si pelayan semakin

bangga, dengan wajah berseri dia berkata lagi:

"Thio suhu kami ini disebut orang Hui Thian hou (harimau

terbang dari luar angkasa), kepandaian, silatnya seperti

harimau buas sungguhan, siapa pun merasa takut bila bersua

dengan-nya, terutama sekali kepandaian silat yang di miliki

ayahnya, konon dalam sekali gebukan saja seekor harimau

dapat dihajar sampai mampus, katanya dia mempelajari ilmu

sebangsa Thi cah ciang"

"Oooh... sungguh lihay, apakah malam nanti dia pun akan

naik ke atas panggung?"

"Coba kau lihat, bukankah mereka telah datang?" tiba-tiba

pelayan itu menunjuk kearah pintu kuil.

Ketika Suma Thian yu mengalihkan sorot matanya ke

depan, betul juga, dari balik pintu kuil berjalan keluar

serombongan manusia di antaranya terdapat pendeta, tosu,

lelaki perempuan, tua maupun muda, jumlahnya hampir

mencapai tiga puluhan orang.

Yang berjalan paling depan adalah seorang kakek berusia

enam puluh tahunan mengenakan jubah seorang hartawan,

dia beralis tebal, mata besar, hidung besar, mulut lebar,

wajahnya menampilkan kelicikan serta hawa sesat.

Pelayan itu segera berbisik:

"Orang itulah Thio Wangwee, sedangkan orang yang

berjalan dibelakangnya adalah suhu hamba, si harimau

terbang Thio cu!"

Suma Thian yu mencoba untuk mengawasi orang tersebut,

tampak si harimau terbang Thio Cu mengenakan pakaian

ringkas dengan mantel berwarna merah, wajahnya

menunjukan kelicikan dan hawa sesat, usianya tiga puluh

tahun, gerak geriknya membikin orang mau muntah

rasanya.....

Rombongan tersebut langsung menuju ke barak sebelah

timur, mereka berjalan sambil bergurau, sikapnya amat santai.

Mungkin lantaran waktunya belum tiba, maka barak

sebelah barat masih berada dalam keadaan kosong.

"Hei, mengapa barak sebelah barat masih kosong

melompong?" dengan keheranan Suma thian yu segera

menegur.

"Barak itu dipersiapkan bagi orang-orang Hok siu cun,

tahun lalu putra sulung Thio wang wee menderita kekalahan

ditangan putrinya kepala dusun Hok siu cun"

"Seorang lelaki kalau sampai menderita kekalahan ditangan

seorang wanita, apakah hal ini tidak sangat memalukan?"

"Sttt!" buru-buru pelayan itu menempelkan jari tangannya

ke atas bibir, kemudian setengah berkisik peringatnya, "kalau

berbicara semaunnya sendiri, salah-salah nyawamu pun akan

ikut melayang"

Suma thian yu tidak banyak bicara lagi, bersama pelayan

itu mereka duduk dikursi yang telah disediakan bagi penonton.

Lambat laun penonton yang menyaksikan jalannya

pertandingan berbondong-bondong memenuhi lapangan.

Mendadak terdengar pelayan itu berseru:

"Aaah, sudah datang, mereka sudah datang! Oooh,

mengapa begini banyak yang mereka ajak tahun ini?"

Ketika Suma thian yu berpaling, tampaklah dari sudut

lapangan bermuncullan serombongan lelaki kekar yang

bersenjata sangat lengkap, sebagai pemimpinnya adalah

seorang gadis cantik bercelana hijau dan menyoren pedang

dipunggung, rambutnya yang panjang terurai sepundak

hingga mendatangkan kesan manis.

Tanpa terasa timbul kesan baik dalam hati Suma thian yu

terhadap nona itu.

Sambil memimpin anak buahnya gadis itu langsung menuju

kebarak sebelah barat dan mengambil tempat duduk.

Beberepa waktu kemudian berkumandang suara genta

yang amat nyaring, suara tersebut berasal dari panggung

lonceng di belakang kuil Hui hong si.

Bersama dengan berkumandangnya suara genta itu, Hui

thian hoa berjalan keluar dari barak timur, setelah melepaskan

mantel merah nya, dia menuju ketengah panggung, lalu

sambil mnenjura kepada para hadirin, katanya dengan

lantang:

"Untuk kesediaan saudara sekalian..... untuk menghadiri

pertemuan kali ini, aku Thio Cu mengucapkan banyak-banyak

terima kasih.

Tahun yang lalu, nasib dari kami Hong seng tinkurang

beruntung sehingga menderita kekalahan ditangan pihak Hok

siu ceng, untuk kekalahan mana kami akan berusaha untuk

merebutnya kembali ditahun ini, untuk hal mana kami mohon

dulungan sert semangat dari hadirin sekalian"

Kemudian setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan:

"Tahun ini berbeda sekali dengan tahun kemarin, aku orang

she Thio sengaja mengundang beberapa orang sahabat dari

luar dusun untuk ikut meramaikan suasana disini, oleh se bab

itu selain pertarungan kami dengan pihak Hok siu cun, bila di

antara kalian ada yang berkepandaian, silahkan untuk naik

kepanggung luy tay serta turut menyemarakkan pertandingan

ini. Bagi yang berhasil unggul akan disediakan hadiah sebesar

lima puluh tahil emas, semoga saudara sekalian tidak menyia-

nyiakan kesempatan baik ini."

Selesai berpidato, dia lantas berpaling kebarak sebelah

barat dan serunya:

"Hohan manakah dari pihak Hok siu cun yang akan tampil

untuk bertarung Dengan cepat muncul seorang lelaki setengah

umur dari barak sebelah barat, setelah melompat ke atas

panggung, sahutnya:

"Aku bernama Oh Hui hou, kali ini khusus kemari untuk

memohon petunjuk dari Thio suhu"

"Suatu keberuntungan bagi aku orang she Thio bila Oh

suhu bersedia memberi petunjuk" kata Hui tian hou tertawa

nyaring.

Pelan-pelan dia maju menghampiri Oh hui hou, lalu

serunya:

"Silakan!"

"Suhu!" tiba-tiba dari barak timur melompat seseorang,

"untuk membunuh ayam mengapa meski memakai golok

kerbau, biar tecu saja yang memeri pelajaran kepadanya!"

Orang itu hanya seorang lelaki kekar yang berusia masih

muda. Pelayan yang duduk di samping Suma Thian yu segera

berbisik:

"Kek koan! Orang ini murid tertua dari Thio Suhu"

Suma thian yu manggut-manggut lalu mengawasi orang itu

sekejap, lalu pikirnya:

"Orang ini sembrono dan takabur, sudah pasti berada

dipihak yang kalah!"

Belum habis ingatan itu melintas, pertarungan tengah

berlangsung diatas panggung.

Suma thian yu benar-benar tidak tertarik untuk

menyaksikan jalannya pertarungan, sebab pertarungan yang

berlangsung itu, dalam pandangannya seperti kucing yang

berkelahi, sedikitpun tiada daya tariknya.

Berbeda sekali dengan pelayan itu, dia asyik mengikuti

jalannya pertandingan,

saban kali tangannya yangmengepal ikut membuat

gerakan, ketika ditemuinya Suma thian yu memejamkan

matanya rapat-rapat, ia segera menegur dengan keheranan:

"Kek koan, kau benar-benar kutu buku, mengapa tidak

menonton jalannya pertandingan?"

"Aaahh, ngeri, aku tidak berani melihat."

Mendengar itu, si pelayan segera tertawa.

"Haah...haah...haaah dasar... aai..!"

Tiba-tiba dari atas panggung Lui Tay berkumandang jerit

kesakitan yang memilukan.

Cepat-cepat pelayan itu mendongakan kepalanya,

kemudian dengan terkejut serunya:

"Aduh celaka! Sungguh menggemaskan!"

Ternyata Oh Hu hou telah berhasil mengajar lelaki kekar itu

sehingga terpelanting dari atas parggung lui tay, setelah

muntah darah, orang itu tak sadarkan diri.

Dengan demikian kemenangan berhatil diraih oleh pihak

Hok siu cun yang berada dibarak sebelah barat, tepik sorak

yang gegap gempira sepera mengiringi kemenangan tersebut.

Sebaliknya paras muka Hui thian hou Thio cu berubah amat

tak sedap setelah menyaksikan murid tertuanya dipukul jatuh

dari panggung lui tay, dengan cepat dia melompat kedepan

Oh hu hou kemudian bentaknya amat gusar:

"Bagus sekali Kung fu mu, lhatlah pelajaran dari toayamu!"

Dengan jurus Hek Hok to sim (harimau hitam mencari hati)

dia jotos hidung Oh hu hou.

Sambil mendengus, Oh hu hou mengegos kesamping,

begitu lolos dari ancaman, segera teriaknya:

"Aku bernama Hu hou (penakluk harimau), sejak dilahirkan

memang berkemampuan menghajar harimau, sebentar lagi

akan kubuat si ahrimau terbang berubah menjadi anjing

buduk-kan yang merangkak ditanah"

Mendengar ejekan mana, Hui thian hou Thio cu berkoak-

kaok gusar, segenap tenaganya segera dikerahkan, sambil

meraung gusar dia mainkan jurus Sian jin ci tok (dewa sakti

menunjuk jalan), tetapi sampainya ditengah jalan segera

merubah kepalan-nya menjadi serangan jari, dengan sebuah

totokan kilat dia menotok jalan darah tam liong hiat di tubuh

Oh hu hoa.

Rupanya saking amarahnya dia telah menunjukkan

kepandaian silat yang sesungguhnya.

Melihat hal itu, Suma Thian ya segera bergumam:

Memang lumayan juga kepandaiannya, sayang tak akan

berhasil mencapai kemenangan"

"Aah, kau ini mengerti apa? Jangan sembarangan

berbicara" tegur pelayan itu tak senang hati.

Suma Thian yu tertawa terbahak-bahak, sambil menepuk

bahu pelayan itu serunya:

Cepat lihat, suhumu berhasil meraih kemenangan!"

Cepat-cepat pelayan itu mendongakkan kepalanya, namun

ia segera menjerit kaget:

"Aah! Habis sudah kali ini!"

Rupanya Hui thian hou Thio Cu telah terkurung di tengah

lapisan bayangan dari Oh Hui hoa sehingga posisinya sangat

kritis, tak heran kalau pelayan itu menjerit kaget.

Sambil tersenyum Suma Thian yu berseru:

"Buat apa kau mesti gelisah? Suhumu pasti akan unggul"

Sementara pelayan itu masih ragu mendadak dari atas

panggung kedengaran orang berseru:

"Maaf!"

Ternyata Oh Hu hou terhajar sehingga terjungkal dari atas

panggung Lui tay.

Pelayan itu menjadi kegirangan setengah mati, dia segera

melompat bangua sambil bertepuk tangan dan bersorak sorai.

Berhasil memenangkan pertarungan itu, dengan angkuhnya

Hui tian hou Thio Cu berseru ke arah barak sebelah barat:

"Aku orang she Thio mohon petunjuk dari nona Yap"

Baru selesai dia berkata dari barak sebelah barat nampak

sesosok bayangan manusia berwarna hijau melayang ke

tengah udara.

Sementara semua orang masih terkejut bercampur

keheranan, tahu-tahu diatas panggung telah bertambah

dengan seorang gadis yang cantik dan bertubuh ramping.

Sambil mendengus dingin pelayan itu berseru:

"Sok amat gaya dari lonte itu, hmmm, tahun ini dia bakal

merasakan kegetiran"

Sementara itu Suma Thian yu pun sedang mengawasi gadis

itu lekat-lekat, dia merasa nona itu memancarkan sinar

kegagahan dan kejujuran, sudah jelas kalau dia memiliki ilmu

silat lihay.

Ternyata nona ini adalah putri kesayangan dari kepala

kampung Hok siu cun yang bernama Yap Cai cui, tentang asal

usul perguruan-nya, amat jarang yang mengetahui.

Menyaksikan nona Yap sudah tampil keatas panggung, Hui

thian hou Thio Cu mengerutkan alis matanya yang tebal,

kemudian setelah tertawa dingin katanya:

"Tahun lampau kakak ku telah menerima sebuah hadiah

pukulan dari noan, atas pemberian tersebut aku orang she

Thio tak pernah melupakannya, maka dari ini, mumpung ada

kesempatan yang sangat baik, aku ingin menuntut keadilan

dari nona"

Yap Cui cui tertawa ringan.

"Bila pertarungan berlangsnng, soal luka atau mampus

adalah sesuatu kejadian lumrah, bila mana Thio suhu mampu

mengalahkan aku, sudah pasti akupun tak akan menggerutu

kepadamu, sudahlah, tak usah berbicara lagi, silakan turun

tangan!"

Hui thian hou Thio cu meraung keras, sepasang telapak

tangannya segera digerakkan bersama, satu menyerang tubuh

bagian atas sementara yang lain meraih ke arah 'rahasia'

diantara belahan paha si nona....belahan paha si nona.

Serangan yang cabul dan tak tahu malu ini segera

memancing siulan dan teriakan marah penonton.

Yap Cui cui sendiripun sangat mendongkol setelah

menyaksikan serangan tersebut, dia segera mengegos

kesamping, lalu dengan jurus Siang liong pau cu (Sepasang

naga memeluk tiang) menangkis datangnya ancaman mana.

Gagal dengan jurus serangan yang pertama, Hui thian hou

memutar pergelangan tangannya menggunakan jurus Suit tee

lau gwat (mendulang rembulan didasar air).

Jurus serangan ini lebih cabul dan tak tahu malu lagi,

karena sementara telapak tangan kanannya menyerang tubuh

bagian atas, maka telapak tangan kirinya mencengkeram

bagian 'rahasia' dari si nona di bawah tubuh.

Seorang jago silat yang tulen tidak akan menggunakan

jurus serangan semacam ini untuk menghadapi kaum wanita.

Tapi Hui thian hou Thio Cu memang dasarnya seorang

lelaki hidung bangor yang suka bermain perempuan, oleh

sebab itu meski sedang bertempur, ia tak pernah melupakan

watak cabulnya itu.

Melihat hal mana, Yap Cui cui melotot besar, kemudian

bentaknya keras-keras:

"Pingin mampus rupanya kau!"

Tidak nampak gerakan apa yang dipakai, ujung bajunya

saja yang terlihat terhembus angin lalu terdengar Hui thian

hou Thio Cu menjerit kesakitan, seluruh tubuhnya terlempar

ketengah udara bagaikan layang-layang putus benang,

tubuhnya terlempar keluar dari atas punggung lui tay

langsung terjauh ketengah para penonton.

Suasana diarena menjadi sangat gaduh, menyusul

kemudian meledak tempik sorak yang gegap gempita.

Menggelikan sekali keadaan Hui thian hou Thio Cu waktu

itu, dia telah berubah menjadi anjing terbang yang mencium

tanah.

Dari barak sebelah timur segera melompat keluar dua

orang manusia, seorang segera melompat turun dari

panggung memburu ke arah mana Hui thian hou Thio Cu

terjerembab, sedangkan yang lain menuju ketepi panggung

dan menjura kepa Yap Cui cui tambil berseru:

"Hebat sekali kepandaian silat nona, aku Mao san it tim

ingin sekali memohon petunuk dari nona"

Begitu mendengar nama 'Mao san it tim' Suma thian yu

segera mendonggakkan kepalanya, betul juga, orang itu

adalah It tim tojin.

Tampaknya yap Cui cui terparanjat juga setelah mengerti

kalau lawannya adalah It tim tojin, sambil tertawa paksa

segera ujarnya:

"Totiang ingin bermain tangan kosong atau bermain

pedang?"

It tim tojin segera tertawa seram.

"Haaah...haah...haah... ini namanya sudah tahu masih

berpura-pura tanya" ejeknya, "masa kau tidak tahu dengan

mengandalkan apakah Mao san pay bisa menggetarkan dunia

persilatan? Tentu saja mempergunakan ilmu pedang"

Sewaktu mengucapkan perkataan tersebut, sikapnya

sangat congkak dan takabur, seolah-olah dialah seorang

jagoan lihay yang tak terkalahkan dari dunia persilatan.

Hal ini tak bisa disalahkan, sebab bila seorang jagoan

macam It tim tojin harus muncul disebuah dusun macam Hok

seng cun, sudah barang tentu kepandaian silatnya bisa

dianggap sebagai nomor wahid.

Namun dia lupa kalau diantara hadirin masih terdapat pula

jago-jago lihay, ucapannya yang kelewat takabur itu kontan

saja menimbulkan perasaan geli dihati mereka.

Yap Cui cui tertawa merdu kemudian sambil berlagak

terkejut, serunya tertahan:

"Ooh...! Rupanya totiang ingin beradu pedang, wah, malah

kebetulan kalau begitu! Baiklah, boanpwe akan mengiringi

keinginan mu itu....!"

"Cabut pedangmu!" bentak It tim totiang dengan suara

dingin, sedang ia sendiri pun segera meloloskan pedangnya

dari punggung.

Yap Cui cui tidak sungkan-sungkan lagi, cepat dia

meloloskan pedangnya lalu membentak keras:

"Boanpwee akan menyerang dulu!"

Dengan jurus Cong liong ji hay (naga sakti masuk samudra)

dia menggetarkan bunga pedangnya dan langsung menusuk

jalan darah Tiong hong hiat.

It tim tojin tertawa seram, dengan posisi kaki senaknya, dia

berdiri menanti, tatkala ujung pedang sudah tinggal satu depa

dihadapannya, tiba-tiba saja pedangnya berubah menjadi

jurus Ya ma hun si (kuda liar mementangkan bulu suri), pelan-

pelan menangkis ancaman musuh, menyusul kemudian

dengan jurus Cu to hui liong (menerjang sampai disarngnya)

menusuk jalan darah Ki bun hiat dibawah buah dada si nona.

Merah dadu selembar wajah Yap Cui cui karena jengah,

segera bentaknya dengan gusar:

"Pingin mampus rupanya kau....!"

Sembari berseru dia mundur setengah langkah, menyusul

kemudian menyerobot kedepan sambil melepaskan serangkain

serangan.

"Sreet! Sreet! Sreet!" secara beruntun dia melancarkan tiga

jurus serangan pedang, semuanya digunakan jurus serangan

yang mematikan.

Sekalipun It tim totiang terhitung jagoan pedang kelas satu

dari Mao san pay, toh terdesak juga sehingga mundur sejauh

tiga langkah, terdengar ia berpekik aneh lalu tertawa seram,

sambil mengembangkan ilmu pedang Mao san pay, serentak

serangan balasan segera dilancarkan kembali.

Pelayan yang berada dibawah panggung menjadi berdebar

ketakutan, dengan tegang ia menarik tangan Suma thian yu

sambil berseru:

"Kek koan, kau takut?"

"Takut sekali! Tentu saja aku takut!

Tidak kah kau lihat seluruh tubuhku sedang gemetar?"

Betul juga, sekujur tubuhnya sedang gemetar.

Dengan sepasang gigi yang saling beradu, pelayan itu

berkata kembali:

"Menurut pendapatmu siapa yang bakal memenangkan

pertarungan kali ini?"

"Tentu saja tosu yang dikirim oleh suhumu itu!"

"Darimana kau bisa tahu?" dengan perasaan tidak habis

mengerti pelayan itu bertanya.

Suma Thian yu merasa dia telah salah bicara, maka buru-

buru serunya:

"Tentu saja, coba kau lihat bukankah usianya jauh lebih

tua?"

Alasan tersebut segera berhasil mengelabuhi si pelayan itu,

mengetahui kalau It tim totiang bakal merebut kemenangan,

dia nampak jauh lebih tenang.

Sementara itu pertarungan yang sedang berlangsung

ditengah panggung sudah mencapai puncaknya, menang

kalah segera akan diketahui dalam beberapa saat lagi.

Sekalipun Cui cui memiliki kepandaian silat yang luar biasa,

bila dibandingkan dengan It tim totiang yang berpengalaman

tentu saja masih terpaut lebih jauh.

Kini dia hanya bisa menangkis belaka dengan bersusah

payah, pada hakekatnya tidak berkepandaian untuk

membalas, keringat telah membasahi seluruh tubuhnya

sedang napasnya pun terengah-engah.

It tim totiang memang tak malu disebut sebagai jagoan

lihay dari Mao san pay, semakin bertarung dia nampak

semakin perkasa, jurus-jurus serangan yang dipergunakan

juga sema kin ganas tak berperi kemanusiaan, hampir

semuanya ditujukan kejalan darah penting ditubuh lawan.

"Bocah perempuan" ejeknya kemudian, "menginggat kau

masih muda, wajahmu cantik lagi, aku sengaja berbalas

kasihan kepadamu, asal kau bersedia mengikuti toaya pulang

ke rumah, tanggung kau akan terjamin hidupmu dan melewati

kehidupan yang paling berbahagia di dunia ini...."

Yap Cui cui gusar sekali sampai seluruh tubuhnya gemetar

keras, sambil membentak gusar cahaya pedangnya digetarkan

keluar, setetika itu juga bayangan pedang menyelimuri seluruh

angkasa, serangan yang dahsyat itu bersama-sama tertuju ke

tubuh It tim totiang.

Menyaksikan hal ini, It tim totiang mendengus dingin,

pedangnya segera memainkan jurus Hong cuan-jian im (angin

berhembus membuyarkan awan) menyerang tubuh Yap Cui

cui yang sedang menerjang kemuka.

Tiba-tiba saja Yap Cui cui merasakan cahaya pedang

dirinya menjadi lenyap kemudian serentetan hawa pedang

yang menusuk tulang sudah menyergap kearah

tenggorokannya.

Tak terlukisan perasaan terkejutnya menghadapi ancaman

semacam ini, segera pekiknya:

"Mampus aku kali ini..!"

Dia memejamkan matanya siap menantikan ajalnya.

Disaat yang kritis itulah....

Tiba-tiba dari bawah panggung berkumandang suara

pekikan nyaring, kemudian tampak sesosok bayangan manusia

meluncur meluncur keatas panggung dengan kecepatan

bagaikan sambaran kilat, sambil meluncur ke atas, serunya

keras:

"Berbelas kasihanlah diujung pedangmu!"

Mendengar pekikan tadi, It tim totiang menjadi tertegun

sehingga gerakan pedangnya melamban, belum sempat dia

berbuat sesuatu tahu-tahu segulung angin lembut sudah

mendorong tubuhnya sahingga mundur sejauh beberapa

langkah.

Dengan cepat dia mendongakkan kepalanya tahu-tahu

diatas panggung telah bertambah dengan seorang pemuda

berpakaian sastrawan.

Waktu itu, sebenarnya Yap Cui cui mengira dirinya pasti

akan tewas, siapa tahu dari tengah udara muncul seorang

bintang penolong yang telah menyelamatkan jiwanya.

Setelah rasa kagetnya hilang, dia melihat penolongnya

adalah seorang pemuda yang berwajah amat tampan, tergetar

keras pedangnya, sambil menjura katanya kemudian:

"Atas pertolongan anda, budi kebaikan ini tak akan

kulupakan untak selamanya"

Kemudian agak tersipu-sipu dia kembali kearah barak

sebelah barat....

Suma Thian yu yang berada dibawah panggungpun merasa

sangat terkejut setelah menyaksikan kemunculan pemuda

sastrawan itu, tanpa terasa gumamnya:

"Mengapa dia pun bisa muncul disini? Jangan-jangan dia

khusus datang kemari untuk mengejarku?"

Si pelayan yang mendengar gumaman ini segera

menimbrung dengan rasa tercengang:

"Kek koan, apa kau bilang? Dia mengejarmu? Apakah kau

kenal dengan dirinya?"

Suma Thian yu menggelengkan kepalanya sambil

membungkam dalam seribu bahasa, maka pelayan itupun

tidak bertanya lagi.

Ternyata orang yang berada diatas panggung sekarang

adalah Chin Siau, tampak dia berdiri disitu dengan amat

gagahnya.

Dengan dandanannya sebagai seorang pelajar ditambah

pula dengan tingkah lakunya yang halus dan teratur, siapa

pun tak akan menyangka bahwa pemuda selembut ini memiliki

kepandaian silat tinggi.

Akan tetapi kenyataan telah terbentang didepan mata,

cukup dari gerakan tubuhnya saja, setiap orang sudah dibuat

kagum setengah mati.

Yaa, siapakah diantara mereka yang hadir sekarang dapat

melakukan gerakan macam ini?

It tim tojin yang menyaksikan penampilan pemuda tersebut

membuat daging gemuk yang sudah hampir berada dimulut

terlepas kembali, jadi naik darah, bagaimana mungkin dia bisa

tahan membiarkan hal semacam itu terjadi?

Dengan suara yang menyeramkan dia lantas membentak:

"Bocah muda, kau terlalu suka mencampuri urusan orang

lain, kau harus tahu, banyak mencampuri urusan orang hanya

akan menimbul kan bencana kematian bagi diri sendiri, Toaya

menasehati kepadamu lebih baik janganlah mengorbankan diri

demi seorang wanita, terlalu besar kerugian mu itu...."

Chin Siau bersikap dingin dan kaku, setelah mendengar

ucapan mana, sahutnya hambar:

"Bukankah tujuan mendirikan panggung lui tay ini untuk

saling menguji kepandaian?" Tapi bagaimanakah

kenyataannya? Totiang berusaha untuk membinasakan

lawanmu, apakah beginikah peraturan dari di dirikannya

panggung lui tay?"

"Kurang ajar, darimana kau bisa tahu jika toaya bermaksud

hendak membinasakan dia?" bentak It tim totiang dengan

gusar.

Chin Siau mendengus dingin.

"Hmmm! Sudah lama kukagumi kelihayan dari ilmu pedang

aliran Mao san pay, sungguh beruntung aku bisa menyaksikan

sendiri, hal ini, apabila totiang tidak menampik, tolong berilah

sedikit petunjuk kepadaku sehingga maksud hatiku dapat

terpenuhi"

Begitu ucapan tersebut diutarakan, para hadirin berbisik-

bisik memperbincangkan kejadian ini.

Sang pelayan pun berkata pula sambil menghela napas:

"Mungkin sastrawan itu terkena penyakit kurang beres

pikiran nya, apa dia sudah bosan hidup sehingga pingin

mencari kematian bagi diri sendiri? Mau berguru mah boleh

saja, tapi jangan sembarangan macam dia itu"

Suma Thian yu tertawa terbahak-kahak.

"Haaah...haahh...hei pelayan, bagaimana kalau kita

bertaruh? Aku tebak pemuda itu pasti dapat menangkan

pertarungan ini"

"Boleh boleh saja, cuma aku tak ingin merebut keuntungan

dari mu kek koan, aku lihat kita tak usah bertaruh saja nanti

kalau aku menang, orang akan menuduhku membohongimu!"

Sekali lagi Suma Thian yu tertawa terbahak-bahak.

"Haah... haah... haaah... asal aku senang siapa yang dapat

menghalanginya?"

Kemudian sambil memperlihatkan jari tangannya, dia

berseru:

"Bagaimana kalau bertaruh lima tahil perak saja?" Kali ini

sang pelayan yang tertawa tergelak.

"Haaahh... haaahh... haaahh.... lima tahil perak? Sepuluh

kali lipat lebih pun aku berani, kek koan, bagi kalian yang

berduit, lima tahil bukan seberapa, tapi kalau ingin kalahpun

harus kalah dengan puas, jika tahu sudah pasti akan kalah

tapi tetap bertaruh, itu mah namanya..."

"Sudahlah, jangan banyak berbicara lagi, cepat kau lihat!"

Sementara itu It tim tojin sudah mengangkat pedangnya

sambil bersiap sedia melakukan serangan, wajahnya

menyeringai seram, sekulum senyuman angkuh menghiasi

bibirnya, kemudian pedang itu digerakan kedepan, nampaknya

seperti melamban tapi sesungguhnya mengandung suatu

perubahan yang luar biasa.

Sebagaimana diketahui, Chin Siau belum lama turun

gunung, sedikit sekali jago persilatan yang mengenali dirinya,

oleh karena itu baik jagoan di barak sebelah timur maupun

yang berada disebelah barat merasa kuatir juga bagi

keselamatan jiwanya.

Padahal tujuan Chin Siau sejak turun gunung adalah angkat

nama dan menggetarkan dunia perrsilatan.

Oleh sebab itu dia bersikap amat tenang meski

menyaksikan It tim tojin mengerakkan pedangnya, ia sama

sekali tak berkutik, serunya sambil tertawa dingin.

"Totiang, maaf kalau aku akan berbicara takabur, sekarang

aku hendak merebut tusuk konde mu itu"

It tim totiang membentak gusar, pergelangan tangannya

segera diputar lalu melancarkan sebuah tusukan dengan

kecepatan bagaikan sambaran kilat, umpatnya:

"Bocah keparat, kau kelewat kurang ajar!"

"Hmmmm...hmmmm... buktikan saja kekurang ajaran ku

ini!" jengek Chin Siau sambil tertawa sinis.

Begitu habis berkata, cahaya tajam berkelebat lewat dari

punggungnya, kemudian setelah cahaya pedang berputar

ditengah gelak tertawa nyaring Chin Siau telah mundur

kembali ke belekang.

It tim totiang hanya merasakan pangdangannya menjadi

kabur, lalu pihak lawan sudah mundur kembali. Sesudah agak

tertegun, ia lantas membentak gusar:

"Bocah keparst, kau ketakutan? Jangan kabur dulu, agar di

kemudian hari jangan suka mencampuri urusan orang lain

lagi!"

Chin Siau segera mendonggakkan kepalanya lalu tertawa

terbahak-bahak.

"Haaah...haah...haaah.. totiang, kau suka bergurau, lihat

saja dulu rambutmu!"

Mendengar ucapan mana, It tim totiang segera memeriksa

ikatan rambutnya, siapa tahu begitu tersentuh, rambutnya

segera terurai berantakan....

Gelak tertawa yang sangat ramai dengan cepat meledak

dan memecahkan keheningan, sebagian diantaranya ada yang

mengumpat:

"Dasar tosu bau yang tak tahu malu!"

Suma Thian yu berpaling kearah pelayan itu lalu tegurnya

pula sambil tertawa:

"Bagaimana? Mengaku kalah saja, serahkan lima tahilmu!"

Tidak bisa, menang kalah toh belum ketahuan, kejadian ini

tidak bisa masuk hitungan" seru sang pelayan mendongkol.

"Kalau begitu, mari kita saksikan kejadian selanjutnya!"

Tiba-tiba dari atas panggung terdengar suara bentakan

marah dari It tim totiang:

"Aku akan beradu jiwa denganmu!"

Pedangnya langsung dibacok kemuka secara garang, jurus

serangan dari Mao san kiam hoat turut dikembangkan pula

melancar- kan serangkaian serangan gencar.

Menghadapi kekalapan orang, kembali Chin Siau tertawa

tergelak:

"Haaah...haaah... kau tahu diri, tampaknya aku harus

membuat mu malu, hati-hati dengan jubah pendetamu....!"

Bersama dengan selesainya ucapan itu, kembali cahaya

takam menyambar lewat, tahu-tahu jubah pendeta yang

dikenakan It tim tojin telah robek menjadi dua bagian.

Sorak sorai berkumandang lagi memecahkan keheningan.

It tim totiang sangat penasaran, kejadian yang

menimpanya berulang kali membuatnya semakin panas hati,

ia mulai berkaok-kaok macam anjing menyalak, kemudian

secara ganas mengayunkan pedangnya berulang kali.

"Sreet! sreet! sreet! secara beruntun dia melepaskan

serangan berantai.

Amat sayang serangan itu tak berhasil mengenai

sasarannya, bahkan menyentuh ujung rambut orang pun tak

mampu, sebaliknya justru bertambah marah lagi.

"Totiang!" sambil tertawa Chin Siau lantas bersrru,

"Bagaimanah kalau kau ganti dulu jubahmu sebelum kita

melanjutkan pertarungan ini? Kesannya aku telah menangkan

kau kalau keadaan seperti ini dibiarkan berlangsung lebih

lanjut"

Sejak keluar dari kandungan ibunya, belum pernah It tim

tojin mendapat hinaan seperti ini, tak heran kalau amarahnya

meledak-ledak, tubuh berikut pedangnya segera menerjang

kembali kearah Chin Siau.

Serta merta Chin Siau mengegos kesamping setelah

melihat orang itu menerkam macam anjing gila, kemudian

pedangnya diputar dan mengetuk bahu tosu itu dengan

gagang pedangnya.

Tak ampun lagi It tim totiang menjerit ke-sakitan, tubuhnya

segera roboh terjengkang dan tak sanggup berkutik lagi.

Dengan demikian Chin Siau berhasil meraih kemenangan,

suatu kemenangan yang diperoleh dengan santai, gembira

dan tidak usah mengucurkan setitik keringat pun.

Langsung saja Suma Thian yu menyodorkan tangannya

kehadapan pelayan penginapan itu sambil berseru:

"Mana uangnya, lima tahil perak persis, setengah pun tak

boleh kurang!"

Padahal gaji pelayan itu sebulan belum mencapai enam

tahil, menyaksikan Suma Thian yu menyodorkan tangannya

menagih janji, dengan bermuram durja, terpaksa merogoh

kedalam sakunya dan mengeluarkan lima tahul perak.

Sembari diserahkan ke tangan orang, dia mengeluh:

"Huuuh....dasar lagi sial, ditambah lagi tosu bau itu cuma

gentong nasi yang tak becus, huuuh.... tahu kalau dia tak

mampus, aku tak akan menjagoi dia!"

Suma Thian yu tertawa terbahak-bahak, tanpa sungkan

diambilnya uang tersebut, kemudian pikirnya sambil tertawa

geli:

"Inilah pelajaran baginya kalau banyak mulut, akan ku lihat

lain kali dia berani banyak bacok lagi atau tidak...."

Sementara itu, dengan robohnya It tim tojin dari atas

panggung, dari barak sebelah timur segera melompat naik

seorang nenek berambut putih.

Nenek ini berusia enam puluh tahun tua renta dengan

wajah yang peyot, pelan-pelan dia menghamniri It tim tojin

lalu membimbingnya mundur kebarak sebelah timur, setelah

itu sambil menghampiri Chin Siau katanya:

"Engkoh cilik, kepandaianmu sungguh hebat, lo nio ingin

meminta pelajaran darimu"

Chin Siau cukup berhati-hati, walaupun ia tidak melihat

nenek itu membawa senjata, namun dari sorot matanya yang

tajam bagaikan sembilu ia tahu kalau nenek tersebut

merupakan seorang jagoan yang berilmu sangat tinggi.

Terkesiap juga hatinya menghadapi tantangan itu, buru-buru

sehutnya dengan cepat:

"Permintaanmu pasti akan kuturuti, tolong tanya kau ingin

bertarung dengan pedang ataukah...."

"Tentu saja bertarung dengan pedang!"

"Tapi kau...."

"Kau tak usah kuatir seru nenek berambut putih itu sambil

tertawa.

Sembari berkata, dia lantas mengambil pedang milik It tim

tojin dari atas tanah, kemudian ujarnya:

"Bukankah ini pedang?"

"Bolehkah aku tahu siapa nama mu?"

Nenek berambut putih itu tertawa terbahak-bahak.

"Haah... haah... haaa... lo nio tak punya nama, tapi aku

berdiam bukit Ci san, orang-orang menyebutku sebagai Jian

jiu lo sat (iblis wanita bertangan seribu)"

Agak tertegun Chin Siau sesudah mendengar nama

tersebut, tanpa terasa serunya:

"Oooh, rupanya kau adalah satu di antara Ci san su mo

(empat iblis dadi bukit Ci san) si iblis wanita bertangan seribu,

sudah lama kukagumi nama besarmu, sungguh beruntung kita

dapat bersua pada hari ini"

Setelah mengetahui kalau nenek berambut putih itu adalah

iblis wanita bertangan seribu Siau Bwee ci, hatinya malahan

terasa tenang, sebab gurunya pernah berkata, asal dia dapat

mengalahkan satu satu saja diantara empat iblis bukit Ci san

maka namanya akan tersohor dengan cepat.

Sementara dia masih termenung, Jin jiu lo sat Siau Bwee ci

telah berkata sambil tertawa dingin:

"Tak usah berkerut kening, selama hidup lo nio paling benci

dengan manusia yang belum apa-apa sudah minta ampun,

lebih baik kita tentukan menang kalah diujung senjata"

"Silakan!" sahut Chin Siau cepat.

Kemudian ia pejamkan matanya rapat-rapat sambil berdiri

seenaknya sendiri, pedangnya diluruskan ke depan dan siap

menunggu serangan dari musuh.

Melihat musuhnya berdiri sambil memejam kan mata, Jian

jiu lo sat Siau Bwee ci menganggap kejadian ini sebagai sikap

memandang rendah musuh terhadap dirinya, membara

amarah didalam dadanya, dengan gusar bentaknya keras-

keras:

"Lihat serangan!"

Dengan jurus Wan hong tiau yang (burung hong

menghadap matahari) dia tusuk tubuh Chin Siau.

Menghadapi datangnya ancaman tersebut, chin Siau

bersikap tenang, ia menunggu sampaipedang musuh hampir

menempelditubuhnya, kemudian baru mengegos ke samping

untuk meloloskan diri dari ancaman tersebut.

Sementara itu, pelayan penginapan yang berada dibawah

panggung jadi mendongkol sekali melihat sikap jumawa Chin

Siau, langsung umpatnya:

"Bajingan ini sungguh takabur, mana berkelahi sambil

memejamkan mata.... haah....! Mampus baru rasa..."

"Bagaimana kalau kita bertaruh lagi?" tiba-tiba kata Suma

Thian yu sambil tertawa.

"Bagus sekali!" sorak sang pelayan dengan gembira,

"bagaimanah kalau kali ini kita bertaruh sepuluh tahil?"

"Sepuluh tahil?" Suma thian yu menjulurkan lidahnya

sambil membuat muka setan, kemudian sambil tertawa getir

terusnya, "aahh, aku jadi sungkan, bila kau sampai kalah lagi

kan berabe jadinya?"

"Aaah, kalau cuma sepuluh tahil mah bukan apa-apa

bagiku" seru pelayan itu sambil mencoba meyakinkan lawan

taruhannya.

Sementara itu pertarungan diatas panggung lui tay telah

berlangsung dengan sengitnya, Ci san su mo sudah lama

termashur, mereka pernah menggetarkan sungai telaga

semenjak empat puluh tahun berselang, kendatipun, pada

akhirnya dibikin keok oleh "Put Gho cu, namun kekalahan

mana tidak mempengaruhi pamor mereka dimata umat

persilatan lainnya.

Dengan mengandalkan sebilah pedang, dia betul-betul

memperlihatkan kelihayannya, dimara serangannya

dilancarkan, angin serangan segera menderu-deru.

Dengan waktu singkat seluruh panggung lui tay tersebut

telah dilapisi oleh hawa pedang yang amat tebal.

Tak selang berapa saat kemudian, yang terlihat ditengah

arena tinggal dua gulung cahaya putih yang sebentar kekiri

sebentar ke kanan, sebentar ke atas sebentar lagi ke bawah,

angin serangan yang menderu-deru membuat keadaan

sungguh menegangkan.

Terbelalak mata para hadirin yang ikut menyaksikan

jalannya pertarungan itu, saking terpesonanya mereka sampai

melongo, untuk sesaat mereka tak dapat membedakan mana

yang Jian jiu lo sat dan mana yang Chin Siau.

Diantara sekian banyak penonton, si pelayan penginapan

itu yang terhitung paling tegang, sepuluh tahil perak bukan

suatu jumlah yang kecil bagi pandangannya.

Tiba-tiba Suma Thian yu menyodorkan kembali tangannya

ke hadapan pelayan itu:

Dengan gugup sang pelayan segera berseru:

Jilid : 23

"Mau apa kau?"

"Uang, mana uangnya? Sepuluh tahil perak"

"Omong kosong" seru sang pelayan cepat, "atas dasar apa

kau menagih uang dariku? Toh Jian jiu lo sat belum kalah?"

"Atau kita lipat gandakan jumlah taruhannya menjadi dua

puluh tahil perak?"

"Boo,aaii, jangan.. Jangan!"

Baru habis si pelayan itu berkata,Chin Siau yang berada

diatas panggung telah berseru sambil tertawa panjang:

"Maaf, maaf!"

Jian jiu lo sat Siau Bwee ci dengan rambut putih yang

awut-awutan tak karuan mundur beberapa langkah dengan

langkah sempoyongan,

wajahnya hijau membesi sementara diatas lengan-nya

bertambah dengan sebuah mulut luka yang memanjang,

darah kental bercucuran keluar dengan amat derasnya.

Dengan sorot mata memancarkan sinar buas, dia berseru

kemudian sambil menggertak lagi:

"Bocah keparat, tinggalkan namamu, selama hayat masih di

kandung badan, lo nio pasti akan membalas dendam atas sakit

hati hari ini"

Chin Siau tersenyum.

"Aku she Chin bernama Siau, setiap saat akan kunantikan

petunjuk saudara"

Pelan-pelan jian jiu lo sat mengundurkan diri dari atas

panggung.

Sementara Suma Thian yu yang berada di bawah panggung

segera menengok ke arah sang pelayan yang bermuram durja

sambil berkata:

"Kasihan aku melihat keadaanmu, bayar saja satu tahil

perak"

"Ooh, tuan, kasihanilah hambamu, kini dalam sakuku hanya

tinggal satu tahil, masa kau tak tahu? kata sang pelayan

sambil tertawa getir.

"Mau kau bayar atau tidak terserah, aku bisa memotongnya

dari uang persen nanti"

"Betul.. betul.. memang paling baik kalau dipotong dari

persenku nanti" seru sang pelayan dengan gembira.

Mendadak ia teringat akan sesuatu, kembali tanyanya:

"Tuan mengapa kau bisa menduga hal-hal yang belum

terjadi..?"

"Karena aku pandai meramal, orang menyebutku poan sian

(setengah dewa), aku dapat melihat hal yang sudah lewat

maupun akan datang, apakah kaupun ingin meramalkan nasib

mu?"

"Terima kasih banyak, aku tidak mempunyai uang untuk

berbuat begitu"

Sementara dua orang itu masih berbicara dengan asyik,

dari barak sebelah timur telah berjalan keluar seseorang.

Setelah melirik sekejap kearah wajah orang itu, sang

pelayan segera bersorak gembira:

"Hooree...akhirnya Thio Wengwee menampilkan diri"

Suma Thian yu memperhatikan sekejap wajah Thio

Wangwee, kemudian ujarnya.

"Tua bangka ini lebih-lebih tak becus lagi"

"Darimana kau bisa tahu?"

"Mau percaya atau tidak terserah kepadamu, bila kurang

puas kita boleh bertaruh lagi"

"Oooh, Poan sian ya, hamba tidak berani lagi.." seru sang

pelayan dengan wajah memelas.

Sementara itu Thio wangwee telah berjalan menuju keatas

panggung, setelah menjura dia berkata:

"Chin siauhiap memang luar biasa sekali, kesempatan baik

semacam ini jarang bisa kujumpai, lohu ingin sekali memohon

petunjukmu"

Dengan cepat Chin Siau menggeleng.

"Aku ingin sekali meminjam panggung ini untuk mengajak

seorang teman bertanding, sedang pertarungan diantara kita

lebih baik ditunda dulu, toh diantara kita tak ada dendam

kesumat ataupun perselisihan apapun jua"

"Boleh saja!" Thio wangwee tertawa sambil manggut-

manggut, "tapi siapakah yang hendak Chin siauhiap tantang

untuk bertarung?"

Dengan suara lantang Chin Siau segera berseru kearah

para hadirin:

"Orang yang kutantang untuk bertarung adalah dia!"

Sembari berkata, dia lantas menuding kearah Suma Thian

yu yang duduk dibawah panggung.

Ucapan tersebut dengan cepat menimbulkan kegaduhan

yang luar biasa, serentak semua orang berpaling kearah Suma

Thian yu.

"Aku?" Suma Thian yu berseru pula sambil menunjuk

keujung hidung sendiri, "ini... ini... tidak mungkin, tidak

mungkin ...masa aku harus mengorbankan selembar jiwaku

sendiri?"

Dalam pada itu, suasana dalam arena pun telah terjadi

kegaduhan, sedangkan pelayan penginapan itu tertawa

terbahak-bahak pula sembari berseru:

"Haaah... haaaha.... kejadian ini benar-benar merupakan

suatu peristiwa yang lucu, dia toh tak pandai silat, masa diajak

bertanding!"

Chin Siau yang berada diatas panggung segera berseru lagi

sambil tertawa:

"Heeeh... heeh... heee... memangnya kau hendak

menunggu sampai sauya turun ke bawah menyeretmu

kemari?"

Berubah hebat paras muka pelayan itu setelah mendengar

perkataan tersebut, cepat dia menarik tangan Suma Thian yu

sembari berkata:

"Bagaimana baiknya sekarang? Kau tak mampu bersilat,

kepergianmu kesitu sudah pasti akan mati, aaaai.... mengapa

sih kau membuat gara-gara dengannya?"

"Ssstt, bukankah kau pernah belajar ilmu silat selama tiga

tahun?" bisik Suma Thian yu kemudian, "bagaimana kalau kau

saja yang mewakiliku? Kuberi hadiah seratus tahil perak"

"Waaah, tidak bisa....tidak bisa. Nyawaku tak bernilai

seratus tahil perak."

Mendengar itu, Suma Thian yu menghela napas panjang.

"Aaiii... baiklah, kalau orang lagi susah memang susah

mencari teman, baiklah, aku memang lagi bernasib buruk!"

Dia lantas beranjak dan pelan-pelan mendekati panggung,

kemudian dipandangnya sekejap panggung yang tingginya

satu kaki lebih itu, kemudian serunya agak gelisah:

"Waah begitu tinggi panggung ini, bagaimana caraku untuk

naik keatas?"

Ucapan ini segera disambut gelak tertawa nyaring oleh

semua hadirin, tapi ada pula yang berkeringat dingin

menguatirkan jiwanya.

Pelayan itu segera berlari menghampirinya, kemudian

berseru:

"Naiklah dengan tangga, jangan gugup, dia tak bakal

membinasakan dirimu"

Suma Thian yu menurut dan memanjat dengan anak

tangga, ini semua membuat sang pelayan jadi ketakutan,

serunya dihati:

"Oooh Thian, bisa mampus dia kali ini..."

Sementara itu Suma Thian yu sudah naik keatas panggung.

Begitu melihat musuhnya sudah naik, Chin Siau segera

tertawa dingin sambil berseru:

"Kau tak usah berlagak pilon lagi, memangnya kau anggap

caramu ini bisa menarik simpatik orang?"

Suma Thian yu tersenyum.

"Cepat amat langkah kaki saudara Chin, ternyata kau bisa

menyemarakkan pula keramaian disini, tolong tanya ada

urusan apa kau mengundangku kemari?"

"Tidak usah banyak omong!" hardik Chin Siau sambil

melotot penuh kegusaran, "cabut pedangmu dan kita tentukan

siapa diantara kita berdua lebih jagoan!"

Cepat-cepat Suma Thian yu menggelengkan kepalanya

berulang kali.

"Apa salah pahammu belum juga mereda?"

Chin Siau mendengus dingin.

"Hmmm! Memperkosa anak Istri orang, membantai

keluarga petani, kau manusia jahanam sampah masyarakat,

hari ini aku orang she Chin sengaja kemari untuk menegakkan

keadilan dan kebenaran bagi dunia persilatan"

Suma Thian yu tertegun setelah mendengar ucapan itu,

tanpa terasa ia bertanya:

"Saudara Chin, apa yang sebenarnya kau maksudkan?"

"Lebih baik kau berterus terang saja, kenalkah kau dengan

manusia yang bernama Kho Gi?"

"Tidak kenal!" Jawab Suma Thian yu tegas.

"Baik kalau toh kalau tidak mengenal siapa-siapa, tentunya

cukup kenal dengan pedang sauya ini bukan?"

"Yaa aku kenal sekali benda tersebut merupakan pedang

mestika milik Bu bek ceng (pendeta buta).

Chin Siau segera mendongakkan kepalanya dan tertawa

terbahak-bahak tiada hentinya .

"Haaaah... haaah... kalau memang begitu kau boleh mati

dengan mata meram serta menjadi sukma yang hilang diujung

pedang kenamaan!"

"Saudara Chin kau jangan selalu memojokan posisi orang,

ketahuilah aku Suma Thian yu bukanlah seorang lelaki

pengecut yang takut menghadapi kematian, apabila kau

mendesak diriku terus menerus, jangan salahkan kalau

kesabaranku akan hilang"

"Memang inilah yang kunantikan, cabut pedangmu!"

Suma Thian yu merasa sedih sekali karena difitnah orang

tanpa bisa membantah, namun peristiwa tersebut sudah

berkembang lebih jauh, enggan bertarung pun sukar rasanya,

pelan-pelan dia meloloskan pedang Kit hong kiamnya dari

belakang punggung.

Beribu pasang mata yang berada dibawah punggung Lui

tay bersama-sama ditujukan ke tubuh mereka, apalagi disaat

Suma Thian yu meloloskan pedangnya, beribu-ribu buah

jantung berdebar dengan kerasnya, perasaan tak tenang

mencekam hati mereka.

Setelah menyaksikan Suma Thian yu meloloskan

pedangnya, Chin Siau segera berkata sambil tertawa dingin:

"Heeh...heeh...heeeh... hari ini hanya ada seorang diantara

kita yang boleh hidup, kalau bukan kau yang mampus, akulah

yang mati!"

"Buat apa sih pertarungan diantara kita mesti menjurus ke

pertarungan serius? Toh diantara kita tiada ikatan dendam

ataupun sakit hati apa pun? Bukankah tujuan Pi bu

(bertanding ilmu silat) hanya unuk menjalin persahabatan?"

Chin Siau sama sekali tidak menegubris ucapan lawan,

mendadak ia berpekik nyaring, pedangnya dengan jurus Siau

ci lam san (Sambil tertawa menuding Lam san) secepat kilat

menusuk ketubuh Suma Thian yu.

Suma Thian yu bersikap tenang sekali, ketika dilihatnya

ujung pedang sudah semakin mendekat, dia menggerakan

kepalanya mengegos ke samping, kemudian dengan

menggunakan ilmu gerakan tubuh Luan tek luan poh dia

menghindarkan diri.

Siapa tahu tujuan Chin Siau melancarkan serangan tersebut

hanya bermaksud memancing lawan, begitu melihat Suma

Thian yu berkelit, mendadak saja pedangnya melancarkan

serangan dengan jurus To tnian huan jit (mencuri hari

berganti waktu).

Diiringi desingan angin tajam, dia membabat pinggang

pemuda kita.

Agak tertegun Suma Thian yu menyaksikan kejadian ini,

sekuat tenaga dia melejit ketengah udara.

"Weeess...!" pedang Chin Siau menyambar lewat persis

dibawah kakinya, boleh dibilang ancaman itu nyaris membabat

kutung sepasang kakinya.

Lompatan Suma Thian yu ketengah udara tersebut tak

dapat disangkal lagi memberikan kesempatan kepada lawan

untuk menempati posisi yang lebih menguntungkan.

Sudah barang tentu Chin Siau tidak menyia-nyiakan

kesempatan baik tersebut dengan begitu saja, mendadak

pedangnya memainkan jurus serangan Sian tong siau hio

(Bocah dewa memasang hio) ia langsung membabat tubuh

Suma Thian yu yang masih berada ditengah udara .

Mimpi pun si pelayan rumah penginapann tersebut tak

pernah menyangka kalau Suma Thian Tu merupakan pendekar

muda yang memiliki ilmu silat sangat lihay, begitu dilihatnya

pemuda itu sanggup bertarung dengan hebatnya, ia menjadi

terbelalak dan duduk melongo seperti patung.

Waktu itu, Suma Thian yu sedang merasa amat terperanjat

setelah menyaksikan datangnya tusukan Chin Siau yang begitu

hebat, berada diudara mustahil bagi jago kita untuk berkelit,

dalam keadaan begini ia berpekik dihati:

"Habis sudah riwayatku kali ini!"

Kalau orang berada dalam ancaman bahaya maut biasanya

akan timbul suatu kekuatan tak terduga yang kadang kala

diluar pemikiran manusia sehat, keadaan tersebut bisa disebut

kekuatan indera ke enam dari manusia.

Sementara itu, pedang Chin siau sudah ditusuk ke atas

persis menyongsong datangnya tubuh Suma thian yu yang

sedang meluncur ke bawah, seandainya serangan tersebut

sampai mengenai sasarannya dengan telak, niscaya isi perut

Suma Thian yu akan berhamburan kemana-mana dan

sukmanya melayang.

Berada dalam keadaan berbahaya, tiba-tiba Suma Thian yu

menarik napas panjang, dengan mengeluarkan ilmu

meringankan tubuh Liu im ti (tangga awan berjalan) yang

merupakan semacam kepandaian sakti yang sudah lama

punah dari dunia persilatan, tiba-tiba saja dia melayang naik

ke udara dua depa lebih tinggi.

Oleh sebab perubahban ini dilakukan mendadak, otomatis

serangan Chin Siau yang nampaknya pasti akan berhasil

menembusi tubuh lawan-nya itu menjadi mengenai sasaran

kosong.

00O00 ooOoo

Sama Thian yu tertawa nyaring, tubuhnya berjumpalitan

berulang kali ditengah udara lalu melayang turun ke atas

tanah, meski amat berbahaya namun keindahannya luar biasa.

Kontan saja gerakan tersebut memancing tempik sorak

yang gegap gempita dari semua hadirin dibawah panggung.

Tempik sorak dan tepuk tangan yang gegap gempita

tersebut tak disangka lagi merupakan suatu sindiran dan

ejekan bagi Chin Siau, dengan amarah yang semakin

membara, segera bentaknya:

"Anjing geladak, serahkan jiwa anjingmu!"

Diiringi bentakan nyaring, pedangnya melepaskan serangan

lagi dengan jurus Hong sau lok yap (angin berhembus daun

berguguran), secepat kilat langsung membacok ke tubuh

musuh.

Setelah ada pengalaman pertama, Suma Thian yu tak

berani melambung lagi ketengah udara, pedang Kit hong

kiamnya di getarkan kesamping untuk menangkis ancaman

itu, lalu bersiap sedia mempergunakan ilmu pedang Bu beng

kiam hoat untuk meraih kemenangan.

Mendadak satu ingatan melintas dibenaknya, ia berpikir

demikian:

"Bila Chin Siau kurobohkan, sudah pasti kesalahan paham

ini akan semakin mendalam, yaa, mengapa tak kumanfaatkan

kesempatan baik ini untuk kabur dari sini? Buat apa aku mesti

ngotot terus? Kalau sampai terperangkap oleh siasat musuh

kan berabe?"

Berpikir demikian hawa murni yang semula telah dihimpun

tiba-tiba di buyarkan, serunya kemudian:

"Chin heng, ilmu pedangmu sangat hebat, aku menyerah

kalah saja, bila dilain saat ada kesempatan, kita boleh berduel

kembali."

Dengan cepat dia melejit ketengah udara kemudian

melayang turun dari panggung, dengan suatu gerakan yang

cekatan dia menyelinap diantara kerumunan orang banyak

dan lenyap tak berbekas.

Tentu saja Chin Siau tidak akan membiarkan dia kabur

dengan begitu saja, sambil membentak gusar dia turut melejit

keudara dan siap melakukan pengejaran.

Siapa tahu dari barak sebelah timur muncul belasan orang

lelaki kekar yang segera menghadang jalan perginya, salah

seorang diantarsnya yang berdandan pendeta membentak

dengan suara keras seperti geledek:

“ Orang she Chin, tidak gampang untuk kabur, dengan

begitu saja, kau mesti tahu kota Hok seng tin bukan tempat

yang bisa di datangani dan ditinggalkan semau sendiri, kalau

ingin pergi boleh saja, tapi tinggalkan dulu beberapa jurus

kepandaian saktimu"

Ucapan tersebut semakin mengobarkan hawa amarah Chin

Siau, jauh-jauh berangkat dari bukit Ngo tay san, tujuannya

adalah untuk mengamati Suma thian yu.

Padahal tujuannya merobohkan It tim tojin dan Jian jiu lo

sat tadi bukan lain adalah untuk memancing Suma Thian yu

naik ke psnggung, kini Suma Thian yu sudah kabur, apa

gunanya dia tetap tinggal disana?

Sekarang dia dikepung oleh kawanan manusia tersebut,

kejadian ini sama artinya dangan memberitahukan kepadanya

bahwa Suma Thian yu berasal dari satu golongan dengan

mereka.

Pandangan semacam ini menyebabkan dia semakin yakin

kalau Suma Thian yu adalah manusia sebangsa kawanan

sampah masyarakat tersebut.

Apa lagi penghadangan dari orang-orang itu sekarang bisa

diartikan pula sebagai pembelaan terhadap pemuda itu serta

memberi kesempatan kepadanya untuk melarikan diri.

Ya, kesalahan paham yang terjadi didunia ini kadangkala

memang terbentuk karena suatu keadaan yang kebetulan.

Chin Siau amat membenci Suma Thian yu, maka hawa

amarahnya segera dilampiaskan pada kawanan manusia

tersebut.

Tanpa sangsi lagi pedangnya segera diputar, secepat angin

puyuh dan secepat kilat menyerang hweesio tersebut.

Sebenarnya kepandaian silat yang dimiliki pendeta itu

cukup tangguh, namun serangan yang dilancarkan lawan

kelewat cepat, tidak sempat lagi baginya untuk

menghindarkan diri, tahu-tahu batok kepalanya sudah

berpisah dengan badan.

Berhasil dengan serangannya, Chin Siau me nyerang lebih

jauh seperti banteng terluka, pedangnya menari kian kemari

seperti naga sakti yang sedang bermain d udara, dimana

cahaya perak berkelebat lewat, jeritan ngeri yang menyayat

hati segera berkumandang susul menyusul.

Setelah Chin Siau berhasil membinasakan beberapa orang

jagoan tersebut, rekan-rekan lainnya dari komplotan itu mulai

jeri, serentak mereka mundur kebelakang dan berusaha untuk

menyelamatkan diri.

Setelah belasan orang itu sudah kabur semua, Chin Siau

baru berlalu dari sana, tapi tatkala dia sudah keluar dari kuil

Hut hong si, bayangan tubuh dari Suma Thian yu sudah tak

tampak lagi.

Untuk beberapa saat lamanya dia berdiri termenung,

kemudian sumpahnya dihati.

"Biarpun kau akan kabur ke ujung langit, aku Chin Siau

bersumpah akan mengejarmu sampai dapat!"

Pertarungan dipanggung Lui tay yang diselenggarakan di

kota Hok Seng tin setahun se kalipun berakhir dalam suasana

yang tidak gembira, pihak Hok seng tin di barak sebelah timur

untuk kesekian kalinya menderita kembali kekalahan secara

mengenaskan.

000o000 000o000

MUSIM GUGUR sudah berlangsung, angin puyuh yang amat

kencang berhembus di daratan tinggi Tibet.

Kuil Buddha disebelah timur laut kota Lhasa berada dalam

keadaan tertutup rapi, dinding pekarangan setinggi beberapa

kaki dikelilingi pepohonan cemara yang lebat, semuanya

seolah-olah gemetar karena kedinginan.

Waktu itu senja sudah menjelang tiba, matahari senja yang

memancarkan sinar kemerah-merahan sudah mulai

menyembunyikan diri di balik daratan tinggi Tibet.

Kegelapan malam yang seram mulai menyelimuti angkasa,

angin pvyuh yang berhembus menderu-deru menggoncangkan

pohoncemara raksasa dan menggugurkan dedaunan yang

mulai layu.

Kesemuanya itu mendatangkan suasana seram dan ngeri

disekitar kuil Budhala si.

Tiga kali dentingan genta bergema membelah kegelapan

yang hening....

Tampaknya para pendeta yang berdiam diri dalam kuil

tersebut sedang bersembahyang malam.

Dalam keadaan seperti inilah, dari sudut ruangan sana

muncul seseorang yang berjalan mendekati pintu kuil dengan

langkah amat lambat.

Ketika mencapai tiga langkah lagi dari depan pintu kuil,

mendadak orang itu roboh terjengkang keatas tanah.

Ketika dialamati lebih seksama, maka dapat diketahui

bahwa dia adalah seorang pemuda yang menyoren sebilah

pedang dipunggungnya dia baru berusia delapan sembilan

belas tahunan.

Sungguh aneh, mengapa diwilayah Tibet yang terpencil

bisa muncul seorang pemuda semacam ini? Kemunculanuya

sendiri sudah menarik perhatian orang, apalagi muncul

didepan kuil Buddhala si, hal ini lebih mengherankan lagi.

Dengan menggunakan sepenuh tenaga yang dimilikinya

pemuda itu merangkak ke depan pintu kuil, lalu dengan

kepalanya yang lemas tak bertenaga dia mengetuk pintu kuil

beberapa kali, lalu ia roboh ke tanah dan tidak berkutik lagi.

Daun kering berguguran dari tengah udara dan menutupi

tubuh pemuda tersebut, tidak selang berapa saat kemudian

seluruh badan pemuda itu sudah tertutup oleh daun kering.

Mendadak dari tempat kejauhan sana terdengar suara

langkah kaki manusia yang berjalan mendekat, lalu tak selang

berapa saat kemudian didepan pintu kuil telah muncul

rombongan peronda.

Sebagai pemimpin dari rombongan itu adalah seorang

pendeta berjubah putih yang berusia empat puluh tahunan.

Tatkala ia menjumpai seseorang terkapar d depan pintu

kuil tertutup daun kering, dia menjerit kaget dan buru-buru

membangunkan pemuda tersebut.

Tampak paras muka pemuda itu pucat pias, napasnya amat

lirih dan keadaannya sangat lemah.

Buru-buru ia memanggil para anak buahnya untuk

menolong pemuda itu sambil membukakan pintu.

Mendadak salah seorang diantara pendeta itu berkata

kepada pemimpinnya:

"Toan suheng, asal usul orang ini tidak jelas, kita jangan

sembarangan membawanya masuk, kalau sampai hongtiang

menegur nanti bagaimana jadinya?"

Dengan wajah serius pendeta itu menjawab:

"Menolong selembar nyawa sama artinya dengan berbuat

kebajikan tujuh puluh kali, apalagi kita sebagai murid Buddha

mengutamakan welas asih, entah siapapun orangnya yang

penting kita mesti selamatkan dulu nyawanya"

Selesai berkata ia membuka pintu dan memerintahkan agar

pemuda tersebut di gotong masuk.

Pendeta itu bernama It hok taysu, dia adalah murid

angkatan ketiga dari kuil Buddhala si, sebagai seorang

pendeta senior, hatinya bajik dan penuh perasaan welas asih,

dia pun cukup memahami perasaan setiap orang yang

dihadapinya, maka ia cukup di segani orang.

It hok taysu langsung membawa pemuda itu menuju ke

ruang tamu kemudian setelah menutup pintu ia beranjak

menuju ke ruangan hongtiang.....

Tak lama sstelah kepergian It hok taysu, mendadak

pemuda itu melompat bangun dan berguman sambil tertawa

rendah:

"Salah siapa kalau bertindak kurang hati-hati? Kali ini kalian

akan terkena perangkapku, Suma Thian yu"

Dengan cepat dia menyelinap kedepan pintu dan menengok

kekiri kanan, tatkala ada orang mendekati ruangan itu buru-

buru dia kembali keruang dalam dan berlagak setengah mati.

Rupanya sejak meninggalkan kota Hok seng tin, siang

malam Suma Thian yu menempuh perjalanan tiada hentinya,

sehingga tiga hari berselang ia sudah tiba dikota Lhasa.

Sesampainya dikota tersebut setiap malam ia pasti

melakukan pengintaian disekitar kuil Buddhala si, namun oleh

sebab penjagaan disekitar tempat itu sangat ketat ibaratnya

sarang naga dan harimau, terpaksa ia mesti menahan diri

berulang kali.

Dasar memang cerdas, akhirnya dia berhasil menemukan

siasat untuk berlagak seolah-olah setengah mati, ternyata

siasat ini termakan dan dia berhasil memasuki kuil tersebut.

Begitulah, baru saja Suma Thian yu membaringkan diri, It

hok taysu sudah berdiri di depan pintu.

Pendeta itu segera berjalan menghampiri Suma Thian yu.

mengguruti sebentar seluruh badannya dan memeriksa

dengusan napasnya, setelah itu dia baru membangunkan anak

muda tersebut.

Pelan-pelan Suma Thian yu membuka matanya dan

memandang sekejap ke arah It hok taysu dengan pandangan

terkejut, kemudian serunya tertahan:

"Aaah, mengapa aku bisa berada disini?"

It hok taysu tertawa ramah.

Pinceng justu ingin bertanya kepada sicu, siapakah

namamu dan ada urusan apa datang kemari?"

Suma Thian yu pura-pura mengawasi It hok taysu

beberapa saat lamanya, lalu agak sangsi dia berkata:

"Tolong tanya toa suhu, kuil manakah ini?"

"Buddhala si!"

Wajah Suma Thian yu segera berseri, serunya kegirangan:

"Terima kasih langit, terima kasih bumi, akhirnya aku

sampai juga ditempat tujuan!" Seraya berkata ia bangkit dari

pembaringan dan siap turun.

Buru-buru It hok taysu membimbingnya bangun seraya

berkata:

"Sicu, kau belum sembuh dari sakitmu, lebih baik jangan

sembarangan bergerak, bila ada persoalan, dibicarakan

dengan berbaring pun tak mengapa "

Suma Thian yu segera makan siasat tersebut dengan begitu

saja, dengan duduk ditepi pembaringan ia berkata:

"Toa suhu aku tidak mengapa, terima kasih atas kebaikan

hatimu yang bersedia menolong ku, bila suatu waktu ada

kesempatan, budi kebaikanmu ini pasti akan ku balas"

It hok taysu tersenyum.

Sicu tak usah sungkan-sungkan, sudah menjadi kewajiban

seorang pendeta untuk menolong sesama manusia! apalagi

pertolongan ini tak seberapa, kau tak usah memikirkannya

dihati. Cuma sincu belum menjawab pertanyaan tadi"

"Oohh, aku she Tan bernama Thian yu, berasal dari wilayah

Shoa say"

It hok taysu menggut-mangut.

"Jika kudengar dari nada pembicaraanmu serta keadaanmu

yang mengenaskan, agaknya ada sesuatu hal yang

mengganjal dihatimu, bolehkah aku mengetahuinya?"

Suma Thian yu segera menghela napas panjang, dengan

wajah memelas dia berkata:

"Aku dicelakai orang, seluruh anggota keluargaku dibunuh

orang dan tak bisa hidup aman didaratan Tionggoan, oleh

sebab itu terpaksa aku mesti kabur kemari dengan harapan

hong-tiong suka menerimaku ditempat ini. Sewaktu datang

tadi, bahkan aku dihadang dan dikejar-kejar musuh, harap

taysu sudi melindungi aku"

Sambil berkata dia bersiap sedia untuk menjatuhkan diri

berlutut...

It hok taysu segera membimbingnya bangun dan

mencegah dia berlutut, ujarnya sambil menggelengkan

kepalanya berulang kali.

"Sicu tak boleh berbuat demikian, bila pinceng telah

berjumpa dengan hongtiang nanti, pasti akan kuusahakan

agar keinginanmu terkabul!"

Sembari berkata dia mengeluarkan sebuah botol Kecil dan

menuang tiga butir pil hitam yang segera diberikan kepada

Suma Thian yu, katanya:

Sekarang, harap sicu menelan ketiga butir ini lebih dulu,

beristirahatlah semalam, nanti pinceng akan mengajakmu

untuk bersua dengan hongtiang"

Sepeninggal It hok taysu, Suma Thian yu mulai merasa

tidak tenteram, perasaannya saling bertentangan dan

menderita sekali. Penampilan dari It hok taysu amat ramah

dan bijaksana, selain ramah orangnya pun saleh, padahal dia

datang dengan membawa maksud tertentu, tindakan tersebut

dirasakan olehnya sebagai tindakan yang rendah dan

memalukan.

Tapi cong liong lo sinjin telah berpesan wanti-wanti bahwa

perjalanannya kali ini akan berpengaruh terhadap keamanan

dalam dunia persilttan dimasa mendatang.

Akhrnya setelah termenung beberapa saat lagi, dia

menelan ke tiga butir pil itu lalu duduk bersila sambil

mengatur pernapasan.

Entah berapa lama sudah lewat, dari luar sana terdengar

dua kali kentongan, menyusul kemudian suasana dicekam oleh

keheningan yang luar biasa.

Suma Thian yu kembali berpikir:

"Mungkin saat ini para pendeta sudah naik ke pembaringan

untuk beristirahat, inilah saat yang terbaik bagiku untuk

segera bertindak..."

Buru-buru dia bangun dari pembaringannya dan siap untuk

kebawah.

Mendadak terlihat olehnya ada sesosok bayangan marusia

berkelebat lewat didepan jendelanya kemudian lenyap dari

pandangan.

Suma Thian yu sangat terkejut, sebenarnya dia ingin

menyembunyikan diri ke belakang pembaringan, tapi ia

berpikir kembali, tindakkan semacam itu malah justru

gampang menimbulkan kecurigaan orang....

Akhirnya dia mengambil keputusan untuk membuka pintu

dan berjalan keluar.

Betul juga, dibelakang pohon sana berdiri seorang pendeta

yang sedang mengawasi gerak-geriknya dengan seksama.

"Ooooh, sungguh berbahaya..!" pekik Suma Thian yu dalam

hati, "seandainya aku bertindak gegabah tadi, sudah pasti

semua rahasia penyaruan ku akan terbongkar"

Berpikir demikian, dia sengaja berjalan menuju ke tempat

persembunyian pendeta itu, lalu dengan wajah ramah

tanyanya:

"Taysu, bolehkah aku tahu dimana letak kakus?"

Mula-mula pendeta itu agak tertegun ketika menyaksikan

suma Thian yu berjalan mendekatinya, ia baru merasa lega

setelah mendengar pertanyaan itu.

Di sana...!" sahutnya agak tersipu-sipu.

Selesai menjawab dia pun berlalu dari situ, mungkin

merasa rikuh karena perbuatannya mengawasi gerak-gerik

orang tertangkap.

SUma Thian yu melangkah ke arah kakus, melihat pendeta

itu sudah pergi, diam-diam ia merasa gelisah sekali, kembali

pikirnya:

"Mungkin sulit bagiku untuk berhasil pada malam ini, aai,

mengapa aku mesti berdiam terus disini? Seandainya

rahasiaku ketahuan, mungkin akan sulit sekali bagiku untuk

pergi meninggalkan tempat ini."

Pikir punya pikir akhirnya dia mengambil keputusen, entah

apapun yang terjadi, malam ini dia harus menemukan pagoda

tempat penyimpanan kitab.

Masalahnya sekarang tinggal bagaimana caranya

memanfaatkan kesampatan yang ada dengan sebaik-baiknya,

sehingga perjalanan kali ini tidak pulang dengan tangan

kosong.

Berpikir demikian, ia menjadi nekad untuk mempertaruhkan

jiwanya. Dari kakus ia tidak kembali kekamarnya melainkan

secara diam-diam menguntil di belakang hweesio tersebut.

Untung sekali ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya

sangat sempurna, sehingga gerak-geriknya sama sekali tidak

menimbulkan sedikit suara pun.

Pendeta itupun sama sekali tidak merasa kalau dirinya

sedang dikintil, ia masih melanjutkan perjalanannya dengan

tenang.

Dengan sepasang matanya yang tajam, Suma Thian yu

mencoba mengawasi sekejap sekeliling tempat itu, kemudian

setelah yakin kalau disekitar sana tak ada orang, dia

melompat ke belakang pendeta itu dan segera menotok jalan

darah bisunya.

Kemudian dia menyerat hwesio itu menuju ke kamarnya

dan dibaringkan diatas pembaringan lalu setelah

membebaskan jalan darah bisunya dan menekan lehernya, ia

bertanya:

"Beritahu kepadaku, dimanakah tempat penyimpanan

kitab!"

Pendeta itu sama sekali tidak nampak gugup atau cemas,

malah dengan tenangnya ia menuding ke luar jendela sambil

menyahut:

"Diatas pagoda sana, di bawah gardu genta, persisnya

ruangan yang masih bercahaya lentera"

Kemudian setelah mengawasi tubuh Suma Thian yu dengan

seksama, ia berkata lagi:

"Namun jangan harap kau bisa memasukinya, kalau Cap

pwee lohan si dalam kuil Siau lim si termashur sebagai kuil

yang paling sukar di tembusi, maka ruang penyimpan kitab

dari kuil kami merupakan lembah kematian. Apa bila kau

sudah bosan hidup, silahkan saja mencoba, cuma, janganlah

menyesal setelah nasi menjadi bubur nanti."

Suma Thian yu mendengus dingin, ia menotok jalan darah

tidur pendeta itu, melepaskan jubahnya dan menutupi badan

hweesio itu dengan kain selimut.

Sedang dia sendiri segera mengenakan jubah pendeta

tersebut dan beranjak pergi.

Waktu itu semua cahaya lentera di dalam kuil sudah

padam, tinggal setitik cahaya lemah dari ruang penyimpan

kitab yang masih berkedip, memandang dari kejauhan, cahaya

tersebut mirip dengan sebuah bintang.

Agaknya sinar itu sengaja di dipasang untuk memancing

perhatian Suma Thian yu.

Dengan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pemuda

tersebut, tanpa mengalami kesulitan, ia sudah berada di

depan gardu genta.

Tak selang berapa saat kemudian pemuda itu sudah melejit

ke udara naik ke atap gardu genta itu seperti seekor kucing,

begitu mencapai puncaknya, dengan jurus Hee to kim kou

(kaitan emas jungkir kebawah) sepasang kakinya segera

menggaet pinggiran atap rumah dan mengintip kedalam ruang

penyimpanan kitab.

Dalam ruangan waktu itu hanya tampak seorang pendeta

tua berbaju pendeta berwarna emas sedang duduk

mengantuk di situ.

Memandang berbagai macam kitab yang memenuhi

ruangan itu, diam-diam Suma Thian yu tertawa geli, pikirnya:

"Hwesio itu kelewat membual, masa ruangan semacam

inipun di samakan dengen ruang Cap pwee lohan si dari kuil

Siau Lim si, apa tak membual selangit? Bila aku Suma Thian

yu tidak berhasil memperoleh kitab terebut, percuma saja aku

hidup didunia ini"

Berpikir demikian, diam-diam dia mengerahkan tenaga

dalamnya keujung jari kemudian melepaskan sebuah sentilan

dari kejauhan.

Pendeta tua yang selang mengantuk ini seperti kena

disambar aliran listrik bertegangan tinggi, setelah tubuhnya

bergetar keras, ia segera tertidur nyenyak.

Suma Thian yu segera melepaskan kaitannya dan melayang

masuk kedalam ruang penyimpanan kitab itu.

Siapa tahu baru saja sepasang kakinya mencapai

permukaan tanah, mendadak terdengar suara tertawa digin

yang rendah dan berat bergema memecahkan keheningan.

Dengan terkejut Suma Thian yu berpaling, tampak olehnya

pendeta tua yang sudah ditotok jalan darah tidurnya tadi, kini

sedang duduk disitu sambil memandang kearahnya dengan

senyum dikulum.

Bahkan sambil tertawa pendeta tua itu menegur:

"Engkoh cilik, besar amat nyalimu, kau tadi meminjam nyali

siapa sih?"

Suma Thian yu merasakan hatinya terkesiap dan diam-diam

menarik napas dingin, jelas kalau pendeta tua tersebut sudah

ditotok jalan darah tidurnya, mengapa ia dapat membebaskan

pengaruh totokan tersebut? Mungkinkah ilmu silat yang

dimiliki pendeta tua itu sudah mencapai pada puncak

kesempurnaan.

Sementara dia masih termenung dengan perasaan kaget,

terdengar pendeta tua itu membentak lagi:

"Hei, kau ini tuli? Atau bisu? Mengapa tidak mendengarkan

perkataan lolap?"

Agak terkejut juga Suma thian yu, buru-buru dia

menjawab:

"Kedatangankn kemari sama sekali tidak bermaksud jahat

toa suhu...."

Pendeta tua berbaju kuning itu mendengus dingin,

tukasnya dengan cepat:

"Tidak bermaksud jahat? Menyerang orang dari belakang

pun tidak termasuk perbuatan jahat?"

"Aku kan cuma menotok jalan darah dari toa suhu, tak

berniat untuk melukaimu...."

"Haahaahahaa... berani menyelundup masuk, baik, sebagai

lelaki sejati, kuanjurkan kepada mu tidak usah beralasan

terus, berani berbuat beranilah bertanggung jawab, lolap

sebagai seorang pendeta yang mengutamakan welas kasih

boleh saja membuka sebuah jalan kehidupan kepadamu, kalau

tidak, dengan mengandalkan kepandaian silatmu itu, jangan

harap bisa meninggalkan kuil ini dengan leluasa!"

Suma Thian yu merasa sangat tidak puas, dia berseru:

"Kalau tiada kepentingan, orang tidak akan mengunjungi

Sam poo tian dengan susah payah, aku berangkat dari

daratan Tionggoan, dengan melewati jalan yang jauh dan

kesukaran yang tak sedikit sampai kemari, bila tidak

berkeyakinan bisa keluar masuk dari kuil ini dengan leluasa,

mengapa aku kemari?"

Ketika mendengar ucapan tersebut, pendeta tua itu segera

mendongakkan kepalanya dan berpekik nyaring.

Bigitu keras suara pekikan tersebut sehingga menggetarkan

lubang telinga orang, dari sini dapat disimpulkan kalau tenaga

dalam yang di miliki pendeta tua ini paling tidak sudah

mencapai seratus dua puluh tahun hasil latihan.

Dingin separuh hati Suma Thian yu setelah mendengar

suara pekikan tersebut ia tahu kalau sekarang tidak turun

tangan, mau menunggu sampai kapan lagi?

Baru saja ingatan tersebut melintas lewat, mendadak

terdengar suara gemuruh yang amat keras berkumandang

memecahkan keheningan, tahu-tahu dari atas ruangan muncul

sebuah terali besi yang mengurung ruangan penyimpanan

kitab tersebut secara ketat.

Selesai tertawa tergelak, pendeta tua itu membentak lagi

penuh kegusaran:

"Sicu, bila ada persoalan, debatlah besok pagi saja!"

Sehabis berkata, dia mengebaskan sepasang ujung bajunya

ke muka, dua gulung angin pukulan yang sangat kuat segera

menyambar keatas tubuh Suma Thian yu.

Serta merta Suma Thian yu menghindarkan ke belakang

dan mengundurkan diri ke tepi jendela, ia tahu usahanya

malam ini menemui kegagalan total, maka dia memutuskan

untuk meninggalkan kuil tersebut lebih dulu kemudian baru

mencari kesempatan lagi di masa mendatang.

Berpikir demikian, ia pun mengundurkan diri dari jendela

dan melompat naik keatas atap.

Tapi baru saja kakinya melayang keatas atap rumah,

kembali hatinya terkesiap.

"Habis sudah nyawaku kali ini!" pekiknya dihati.

Entah sejak kapan, ternyata seluruh kuil itu sudah

bermandikan cahaya lentera, diatas atap rumah dimana ia

berada sekarang, tampak beratus-ratus orang pendeta berdiri

disitu dengan golok terhunus ditangan.

Menyaksikan pemandangan semacam itu, Suma Thian yu

sadar bahwa pertahanan musuh tangguh bagaikan dinding

baja, jangan lagi manusia, burungpun sukar untuk melewati

tempat tersebut.

Tanpa terasa ia menghela napas panjang dan melepaskan

jubah kependetaannya, lalu serunya keras keras:

"Aku menyerah kalah!"

Seorang lelaki yang pintar adalah seorang lelaki yang bisa

mengetahui keadaan, kalau ditinjau dari situasi yang

terbentang didepan mata sekarang, dapat disimpulkan kalau

pihak lawan telah mempersiapkan penjagaan secara matang

terperinci dan menurut perencanaan yang sempurna.

Berada dalam keadaan seperti ini, seandainya dia sampai

berani berbuat secara gegabah lagi, niscaya jiwanya akan

turut melayang dalam ruangan tersebut.

"Yaa, mengapa aku tidak memakai siasat untuk meloloskan

diri dari ancaman bahaya untuk kemudian mencari

kesempatan lain untuk turun tangan?” demikian ia berpikir.

Sementara dia masih berpikir, tampak dua orang pendeta

sudah menyerobot kehadapanya, Suma Thian yu mengenali

seorang diantara nya sebagai It hok taysu.

Dengan wajah diliputi amarah, It hok taysu segera

mendamprat begitu sampai didepan anak muda itu:

"Tan siahiap, pinceng sudah tahu kalau kau adalah seorang

mata-mata, besar amat nyalimu, mengapa tidak kau tanyakan

dulu kepada orang lain kuil Buddha ini adalah tempat apa! Kau

betul-betul tidak tahu diri, ketahuilah kau sudah menelan tiga

butir pil yang merupakan obat pemabuk berkadar paling

tinggi, apabila kau mengerahkan hawa murnimu maka daya

kerja obat tersebut akan menyebar ke seluruh badan yang

berakibat kau akan tertidur pulas. Hamm... sekarang kau

sudah mengerti bukan kuil Budhala si adalah tempat yang

rawan bagi manusia sebangsa kau!"

Suma Thian yu merasakan badannya sangat menderita

setelah mendegar perkataan dari pendeta itu, hingga kini dia

baru menyadari kalau pengalamannya kelewat rendah, tapi

harus bersukur karena tidak memberikan perlawanan dengan

kekerasan, kalau tidak entah bagaimana akibatnya.

Dengan suara dingin ia lantas berkata:

"Oooh, tampanya toa suhu cuma seorang manusia yang

berlagak sok alim dan mulia, kalau begitu aku telah salah

menduga orang baik..."

It hok taysu segera tertawa terbahak-bahak.

"Haahaahaahaa... gunakanlah cara yang sama untuk

menghadapi orang yang sama, ini menurut nasehat para

ulama dulu. Kau berniat jahat dengan mengincar kitab pusaka

milik kami, haruskah kami melayanimu dengan segala

hormat?"

Bantahan ini kontan saja membungkamkan Suma Thian yu

sehingga tak mampu berkata-kata lagi, ia mengakui kesalahan

memang berada dipihaknya, orang lain berbuat demikinu pun

demi kepentingan sendiri, jadi tak dapat sembarangan

menuduh sebagai berniat tak baik kepada dirinya.

Berpikir demikian, diam-diam ia menggertak gigi dan

memejamkan matanya tanpa berkutik lagi.

It hok taysu berjalan ke sisi Suma Thian yu sambil

menggenggam lengan pemuda itu, katanya:

"Setiap keputusan hanya ditentukan oleh Hongtiang,

sedangkan pinceng tak mampu mengambil keputusan,

terpaksa Tan siauhiap harus menemani pinceng untuk

menghadap Hongtiang. Turutilah perkataan pinceng, tak usah

memberikan perlawanan, karena berbuat demikian cuma akan

menggali kuburan bagi diri sendiri"

Suma Thian yu yang menyaksikan situasinya sangat tidak

menguntungkan bagi dirinya, tentu saja tidak akan melakukan

perlawanan, bahkan boleh dibilang ingin melawanpun tak ada

gunanya, terpaksa dia mengikuti It hok taysu melayang turun

keatas permukaan tanah lalu masuk ke ruangan hongtiang.

Dibelakang mereka berdua mengikuti pula serombongan

pendeta yang berjubah kuning, merah, abu-abu dan putih,

semuanya memasuki ruangan Hongtiang dengan wajah serius.

Begitu masuk ke ruangan hongtiang, Suma Thian yu segera

menyaksikan seorang pendeta tua berjubah cerah, beralis

putih dan berwajah keren bercahaya duduk ditengah ruangan.

Pendeta tua ini tidak lain adalah ketua kuil Buddhala si di

Tibet yang disebut orang Keng sim taysu.

Suma Thian yu masuk kedalam ruangan di iringi para

pendeta, tampak kawanan padri ini segera menyebarkan diri

dan mengurung sekeliling ruangan rapat-rapat, kini cuma

Suma Thian yu seorang yang berdiri tegak ditengah ruangan.

Setelah semua pendeta itu duduk, Keng sim taysu segera

merangkap tangannya didepan dada sambil memuji

keagungan Buddha, pujian ini disambut pula oleh para

pendeta lainnya dengan hal yang sama.

Kacau balau tak karuan perasaan Suma Thian yu setelah

menyaksikan kejadian ini, dia merasa seperti seorang murid

yang mendapat hukuman, atau seorang tertuduh yang sedang

menantikan keputusan pengadilan, hatinya murung, sedih dan

menderita dan tak terlukiskan lagi dengan kata-kata.

Agaknya mereka hendak menunggu sampai datangnya

sang fajar sebelum memulai dengan pemeriksaan, Coba

bayangkan saja waktu yang begitu panjang dan lama harus

dilewati dengan perasaan apa.....

Mendadak dari depan pintu berjalan masuk seorang

pendeta tua berjubah kuning, sewaktu Suma Tnian yu

berpaling, ternyata pendeta itu tak lain adalah pendeta tua

yang ditemui dalam ruang penyimpanan kitab tadi...

Tampak pendeta itu berjalan menuju kehadapan Keng sim

taysu, kemudian lapornya:

"Omintohud, lapor hongtiang, sukhong telah mendusin, ia

sama sekali tidak cedera kecuali jalan darah tidurnya yang

tertotok"

Keng sim taysu menggerakkan matanya yang lembut dan

menggangguk tersenyum.

"Keng ken taysu, kau boleh mundur dulu!"

Pelan-pelan dia mengalihkan sorot matanya kewajah Suma

Thian yu, setelah mengawasinya beberapa saat, dengan nada

serius dia mulai menegur:

"Sicu, sesungguhnya apa maksudmu memasuki kuil kami?

Kalau dilihat dari gerak-gerikmu, nampaknya bukan kemari

untuk menuntut balas, lalu apa maksud tujuanmu? Lolap tidak

habis mengerti dengan perbuatan mu ini, atau mungkin kau

berniat mencuri kitab pusaka dari kuli kami?"

"Betul!" jawab Suma thian yu, "terus terang saja, aku

memang kemari untuk mencuri kitab pusaka"

Begitu pengakuan tersebut diberikan, semua pendeta yang

berada dalam ruangan itu sama-sama menjadi terperanjat,

semenjak kuil buddhala si di dirikan, belum pernah ada orang

yang memiliki nyali sebesar ini untuk datang mencuri kitab,

bahkan berani mengakui maksud tujuannya secara berterus

terang.

Mencorong sinar tajam dari balik mata Keng sim taysu

setelah mendengar perkataan itu, ditatapnya Suma thian yu

sekejap, kemudian bertanya lagi:

"Kejujuran sicu benar-benar patut dihargai, kau berani

datang kemari untuk mencuri kitab pusaka, tentu ada yang

kau andalkan bukan? Siapakah gurumu?"

Suma Thian yu mendongakkan kepalanya balas menatap

wajah Keng sim taysu, walaupun empat mata saling bertemu,

namun pemuda tersebut sama sekali tidak terpengaruh oleh

kewibawaan dan kekerenan pendeta tua itu.

Keberanian serta kegagahan semacam ini, mau tak mau

membuat Keng sim taysu merasa kagum sekali.

Pelan-pelan Suma Thian yu menjawab:

"Guruku adalah Put gho cu!"

"Put gho cu? Ehmm...sebuah nama yang sangat kukenal!"

keng sim taysu manggut-manggut, "namun lolap sudah tak

bisa menginggat kembali siapakah dia, apakah sicu datang

mencuri kitab atas perintah dari gurumu?"

"Tidak! Guruku sudah lama tidak mencampuri urusan

keduniawian lagi, aku datang kemari sebenarnya atas perintah

dari Cong liong lo sian jin!"

Begitu mendengar nama "Cong liong lo sian jin", paras

muka Keng sim taysu berubah hebat, hatinya terasa bergetar

keras, dengan cepat ia bertanya:

"Dia orang tua masih hidup didunia ini? Kau tidak

membohongi lolap...?"

"Tidak, aku tak pernah berbohong!"

Lama sekali Keng sim taysu mengamati wajah pemuda itu

tanpa berkedip, kemudian ia baru berkata:

"Cong liong locianpwee memang mempunyai hubungan

yang cukup akrab dengan kuil kami, mengapa dia tak datang

sendiri kemarih melainkan mengutusmu untuk melakukan

pencurian? Aku rasa hal ini tak mungkin terjadi. Petugas,

tangkap pencuri kecil yang berbohong ini.

Baru selesai Keng sim taysu berkata, tiga orang pendeta

tua berjubah kuning telah menggurung Suma Thian yu dalam

posisi segitiga.

"Tunggu dulu!" bentak Suma Thian yu setelah menyaksikan

kejadian ini, "kalian tak boleh memfitnah orang semaunya

sendiri tanpa membedakan mana yang benar dan mana yang

salah!"

Keng seng taysu beserta dua orang pendeta tua berjubah

kuning lainnya merupakan tiga orang pelindung kuil Buddhala

si, bersama Keng sim taysu terhitung saudara seperguruan.

Kalau berbicara soal urutannya, maka setelah Keng seng

taysu adalah Keng khong tayu dan paling akhir adalah Keng

ken taysu.

Terdengar Keng seng taysu membentak dengan suara

sedingin salju:

"Siau sicu asal kau mampu untuk menembusi barisan dari

kami bertiga maka apapun yang kau inginkan akan segera kau

peroleh, kalau tidak, disinilah tempat tinggalmu yang

terakhir!"

Suma thian yu segera berpekik nyaring:

"Baik aku akan menuruti perintah!"

Seraya berkata, telapak tangannya segera diayunkaa

kedepan, diam-diam dia sertakan pula empat bagian tenaga

pukulan Hai po sian hong cian kearah Keng ken taysu.

Angin pukulan yang menderu segera berputar seperti angin

berpusing yang menyapu jagad, dengan membawa tenaga

angin tajam langsung menerjang tubuh Keng ken taysu.

Mungkin Sama Thian yu menganggap usia Keng ken taysu

paling muda, maka dialah yang paling gampang dihadapi.

Bagi Keng ken taysu, tindakkan tersebut boleh dibilang

merupakan suatu penghinaan, tidak jauh-jauh, cukup pukulan

yang dilancarkan ke arahnya saja paling tidak menandakan

bahwa musuh menganggapnya sebagai pihak yang terlemah.

Tampak Keng ken taysu tertawa nyaring, telapak

tangannya diayunkan pula kedepan melepaskan sebuah

pukulan untuk menyongsong datangnya serangan lawan.

Menyusul kemudian, tubuhnya ikut menerjangke depan

sambil melancarkan sebuah pukulan lagi, kali ini dia

menghantam ke ubun-ubun pemuda tersebut.

Tujuan Suma Thian yu menang untuk memancing musuh,

dia yakin dengan ilmu langkah Ghok liong loan poh cap lak

poh nya Siau yau kay, ia masih sanggup untuk menghindari

serangan ke tiga orang tersebut.

Maka gerakan tubuhnya segera berubah, kali ini dia

menyelinap ke sisi Keng khong taysu lalu membacok tubuhnya

dengan jurus Ha hou ciang liong (mengandalkan harimau

menaklukan naga).

Keng khong taysu tertawa nyaring, ia tidak menghindar

atau pun berkelit, sepasang telapak tangannya dipergunakan

berbareng satu dari atas yang lain dari bawah serentak

diayunkan kemuka melepaskan dua gulung angin pukulan

yang sangat keras.

Dengan cepat suma Thian yu melayang kembali ke

hadapan Keng ken taysu, telapak tangan kirinya melepaskan

sebuah pukulan udara kosong, kemudian sambil membalikkan

badan ia melancarkan serangan kembali kearah keng ken

taysu dengan jurus Tiau hou ji san (memancing harimau

meninggalkan bukit).

Siasat suara ditimur menghantam kebarat ini segera

mendatangkan hasil yang diharapkan.

Tiba-tiba Keng seng taysu tertegun, kemudian sambil

miringkan badan, sepasang telapak tangannya dipakai

bersama untuk melancar-kan serangan balasan.

Begitulah, Suma Thian yu seorang diri harus bertarung

melawan tiga orang sekaligus, disamping mempergunakan

ilmu langkahnya yang sakti, dia pun menandingi serangan

musuh dengan jurus-jurus yang tersembunyi.

Dalam waktu singkat, dua puluh gebrakan sudah lewat,

namun kedua belah pihak masing-masing tetap bertarung

seimbang.

Keng sim taysu yang mengikuti jalannya pertandingan itu,

diam-diam hatinya merasa terperanjat, terutama sekali setelah

menyaksi-kan sang pemuda lemah yang bertarung melawan

ketiga orang pelindung hukumnya, ternyata makin bertarung

semakin gagah dan perkasa.

Mendadak terdengar suara Keng seng teysu berpekik

nyaring, sepasang lengannya diputar membentuk gerakan

melingkar ditengah udara kemudian secepat burung yang

terbang diudara menyerang ke arah Suma Thian yu.

"Sicu, hebat amat kepadaianmu, terpaksa lolap mesti

memper-gunakan ilmu silat yang lebih hebat" serunya keras-

keras.

Benar juga, angin pukulan yang dilancarkan kali ini benar-

benar disertai tenaga serangan yang menggidikkan hati.

Suma Thian yu segera mengambil keputusan pula dihati,

dengan mengerahkan ilmu Hwee po sian hong ciang ajaran

Cong liong lo sian jin, dia sambut datangnya serangan lawan.

"Blaaammm... blaaammmm...”

Ledakan keras yang menggetarkan seluruh ruangan

bergema memecah keheningan, seluruh tiang dalam ruangan

hongtiang itu bergoncang keras, atap beterbangan dan angin

puyuh yang maha dashyat langsung menggulung ke tubuh

tiga orang pendeta tersebut.

Mendadak terdengar Keng sim taysu membentak keras:

"Cepat kabur!! Hui po sian hong ciang tak boleh dilawan

dengan kekerasan!"

Begitu ucapan tersebut diutarakan, tampak tiga sosok

bayangan manusia meluncur keudara.

Serentak semua pendeta yang berada didalam ruangan itu

kabur keluar ruangan untuk menghindarkan diri.

Suatu ledakan keras yang memekikkan telinga segera

bergema memecahkan keheningan, sebagian dinding

ruangang Hongtiang tersebut jebol sehingga muncul sebuah

lubang besar, angin puyuh itu hilang lenyap setelah berada

diluar ruangan.

Serangan yang dilancarkan Suma Thian yu kali ini telah

pergunakan tenaga dalam hasil latihannya selama sepuluh

tahun, dia baru berbuat demikian karena merasa jiwanya

terancam.

Namun setelah serangan di lepaskan, mendadak ia merasa

penat sekali, semangatnya bertambah merosot, kakinya

menjadi lemas dan setelah sempoyongan akhirnya roboh

terungkal ketanah.

ooo0ooo

SEBAGAIMANA di ketahui, dia sudah dicekoki tiga butir pil

oleh It hok taysu yang ternyata adalah obat pemabuk, oleh

sebab dia harus mengerahkan tenaga dalamnya, maka

sebagai akibatnya daya kerja obat itu menyebar keseluruh

tubuhnya yang menyebabkan dia roboh tak sadarkan diri.

Entah berapa jam kemudian, ketika dia membuka matanya

kembali, ternyata ia menemukan dirinya sudah berbaring

didalam kamar tidurnya semula.

Sedangkan disamping pembaringannya berdiri It hok taysu

beserta dua orang pendeta setergah umur yang mengenakan

jubah berwarna putih....

Melihat pemuda itu mendusin, It hok taysu dengan

senyuman dikulum segera berkata:

"Sicu, apakah kau sudah merasa agak enakan dengan

kesehatan tubuhmu?"

"Terima kasih banyak atas perhatian mu, aku sudah

sembuh dan tidak kekurangan sesuatu apa pun"

"Hongtiang senantiasa menantikan kedatangan sicu" ucap

It hok taysu lagi sambil tertawa.

Suma Thian yu segera berpaling kejendela seraya berseru:

"Hei, jam berapa sekarang? Apakah Hongtiang belum

beristirahat?"

It hok taysu segera tertawa terbahak-bahak.

"Haaahaahaaaa...... beberapa saat lagi fajar akan

menyingsing, sicu sudah tidur seharian penuh, justru karena

Hongtiang menguatirkan keselamatanmu, ia belum beristirahat

sampai sekarang!"

Cepat Suma thian yu melompat bangun dan membereskan

bajunya, lalu bersama It hok taysu menuju ruangan

Hongtiang.

Kali ini dalam ruangan hanya hadir empat orang pendeta

tua, selain Keng sim taysu cuma tiga orang penting lainnya

yang hadir...

Dengan perasaan berat dan masgul, Suma Thian yu

berjalan menuju kehadapan Keng sim taysu, lalu dengan

wajah serius berkata:

"Taysu, harap kau suka memaafkan kecerobohanku!"

"Sicu memang benar-benar murid Cong liong locianpwee"

ucap Keng sim taysu dengan senyum dikulum, "semalam aku

memang sengaja menitahkan ketiga orang sesepuh ini untuk

membuktikan kebenaran tersebut!"

Suma Thian yu baru memahami duduknya persoalan

setelah mendengar perkataan itu, yaa, bagaimanapun juga

semakin tua jahe akan terasa semakin pedas.

Maka dengan sikap yang menghormat dia menjawab:

"Aku tidak berniat berbohong, sesungguhnya aku kemari

karena masalahnya menyangkut suatu musibah besar yang

akan terjadi tak lama kemudian, dan musibah tersebut sangat

ber pengaruh terhadap kehidupan umat persilatan pada

umumnya. Oleh sebab keadaan yang makkn mendesak,

terpaksa aka mesti menempuh cara yang berbahaya ini.

Padahal aku tidak berniat merampok atau mencuri, maksudku

hanya ingin menyelidiki nasib dari sejilid kitab pusaka"

"Sebetulnya nasib kitab pusaka apa yang sedang sicu

selidiki?" tanya Keng sim taysu sambil tersenyum.

"Kitab pusaka Kun tun kan kun huan siu cin keng!"

Ucapan itu segera mengundang seruan kaget dari Keng sim

taysu beserta ketiga orang pelindung hukumnya.

"Kitab pusaka Kun tun kan kun huan siu cin keng?" Keng

sim taysu mengulang, "jadi sicu kemari karena kitab

tersebut?"

"Betul"

Keng sim menghela napas.

"Aaai, sia-sia saja sicu menempuh perjalanan jauh dengan

susah payah kemari, sebab kitab pusaka yang dibuat oleh toa

supek ku Ku hay sinsu sebetulnya tidak disimpan dalam kuil

kami!"

"Sungguh tidak keliru perkataan Toa suhu?" Suma Thian yu

bertanya kaget, semangatnya yang semula berkobar-kobar

seketika menjadi lenyap seperti terguyur air sebaskom.

"Kitab pusaka itu sudah berada didaratan Tionggoan,

mengapa sicu tidak mencarinya di daratan Tionggoan saja?

Datang kemari cuma membuang waktu saja dengan percuma"

Segera timbul kecurigaan dihati Suma Thian yu setelah

mendengar perkataan itu, agak tercengang ia balik bertanya:

"Toa suhu, kalau toh kitab pusaka itu sudah beredar di

daratan Tianggoan, mengapa toa suhu tidak mengirim orang

untuk mencarinya kembali?"

Keng sim taysu menghela napas panjang, katanya berterus

terang:

"Lebih baik jangan ditanya lagi, pulang saja ke Tionggoan,

lolap beserta segenap pendeta dari kuil ini memberi jaminan

dengan kehormatan kami bahwa kitab tersebut sudah tidak

berada dalam kuil kami lagi, soal lain maaf tak dapat

kukatakan"

"Toa suhu, tahukah kau kalau kitab tersebut terbagi

menjadi dua bagian, satu yang asli dan satu lagi yang palsu?"

desak Suma thian yu lebih lanjut.

"Tidak, kitab pusaka itu cuma sejilid saja"

"Sejilid? bukan selembar?"

Dengan wajah serius dan bersungguh-sungguh, keng sim

taysu segera berkata:

"Apakah sicu curiga kalau lolap sedang berbohong?"

"Ooohh, tidak....tidak...! Aku tak berani menuduh demikian,

sebab kitab itu sebetulnya sudah kudapatkan, kemudian

lantaran karena kitab itu palsu, maka kuserahkan kepada Sam

yap koay mo, adapun kedatanganku kemari tidak lain adalah

untuk membuktikan kebenaran dari kitab tersebut!"

Keng sim taysu segera menanyakan lebih jauh tentang

keadaan yang sebenarnya.

Dengan berterus terang, Suma thian yu menceritakan

semua pengalaman yang dialaminya mengenai kitab pusaka

tersebut kepada Keng sim taysu.

Tiba-tiba Keng sim taysu berteriak keras:

"Aaaah, kalau begitu sicu tertipu! Kitab tersebut sebetulnya

kitab yang asli!"

"Dari mana kau bisa tahu?" agak tegang Suma Thian yu

bertanya.

Keng sim taysu berpaling dan serunya kepada Keng Khong

taysu:

"Keng Khong sute, ambil kemari botol air Biau heng sui!"

Setelah Keng Khong taysu berlalu untuk melaksanakan

perintah, Keng sim taysu baru berpaling ke arah Suma Thian

yu, dia berkata lebih jauh:

"Lembar kertas kulit itu halus dan licin, sedemikian licinnya

sehingga tak bisa ditulis dengan tinta bak, tapi dengan pisau

kecil, tulisan dapat diukir diatas lembaran kertas tadi, lalu

pada lapisan depannya diberi selembar kertas putih yang

diberi tulisan yang kacau dan dilapisi pula dengan lilin.

"Justru karena kekacauan-nya itu orang tidak akan melihat

sebuah tulisan pun disana, tapi jika lilinnya dibuang maka

akan terbacalah huruf-hurufnya. Mungkin karena hal itu Wu

san siang gi siu mengira kitab itu palsu, padahal kitab tersebut

adalah kitab yang asli!"

Bagaikan disambar guntur disiang hari bolong, Suma Thian

yu meraskan hatinya hilang separuh dan hampir saja jatuh

semaput, serunya tak tahan:

"Oooh, bagaimana baiknya ini? Thian, aku telah mencelakai

orang banyak...."

Tanpa terasa titik air mata jatuh berlinang membasahi

pipinya, sedang tubuhnya gontai tak menentu, nampaknya

pemuda tersebut mendapat pukulan batin yang sangat berat.

Keng seng taysu menjadi sangat terperpanjat setelah

menyaksikan kejadian ini, sambil membimbingnya ia terseru:

Jilid : 24

"SICU tak perlu kuatir, sebab segala sesuatu yang terjadi di

dunia ini sudah diatur oleh takdir, sejak dulu barang mestika

hanya akan diperoleh bagi mereka yang berjodoh, sekalipun

Sam yap koai mo berhasil memperoleh kitab pusaka tersebut,

oleh karena dia tidak mengetahui rahasianya, maka benda

tersebut sama artinya dengan benda yang tak berguna,

kecuali memusnahkan-nya, tak mungkin ada cara lain yang

dapat di tempuh."

Suma Thian yu mengira ucapan itu hanya kata-kata

menghibur dari Keng ken taysu, karenanya penderitaan serta

rasa masgulnya sama sekali tidak berkurang.

Keng sim taysu yang bermata jeli dapat menebak hati

Suma Thian yu, namun dia tidak menegur atau menghiburnya,

seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu apapun, ia duduk

tenang disamping.

Tak lama kemudian Keng Khong taysu sudah muncul

kembali didalam ruangan.

Dengan wajah berseri Keng sim taysu segera berkata:

"Sicu, kecurigaanmu kini sudah hilang, nah, Keng Khong,

berikan botol air Biau heng sui tersebut kepada siauhiap"

Keng khong taysu menyodorkan botol kecil itu kehadapan

Suma Thian yu, kemudian katanya:

"Harap kau suka menyimpannya baik-baik sebab air obat ini

dapat membantumu untuk memperoleh kepandaian sakti"

Seraya bertata, dia pun mengajarkan bagaimana caranya

mempergunakan air tersebut.

Air didalam botol kecil itu nampaknya saja biasa tapi bila

dibubuhkan diatas kertas, maka kertas itu akan robek

sehingga terlihat tulisan yang tertinggal didalamnya.

Suma Thian yu menerima air Biau heng sui itu dengan

perasaan terharu, sambil menjura dalam-dalam pada Keng sim

taysu, katanya:

"Terima kasih banyak toa suhu, budi kebaikan ini entah

sampai kapan baru dapat terbalas"

Setelah berhenti sejenak, mendadak ia seperti teringat

akan sesuatu, tanyanya:

"Toa suhu, bila kitab pusaka tersebut berhasil kuperoleh,

apakah harus kukembalikan kemari?"

Keng sim taysu tertawa terbahak-bahak.

"Benda mestika hanya akan diperoleh bagi mereka yang

berjodoh, lolap merasa tak punya jodoh dengan benda itu dan

tak berani memikirkannya. Apalagi toa supek lolap Ku hay

siansu pernah berpesan agar kami tidak terlibat dalam

perebutan tersebut, karena nya sicu boleh memperoleh benda

mana sebagai hadiah"

Sekali lagi Suma Thian yu menjura dalam-dalam kemudian

baru berpamitan.

Gara-gara ulahku, kuil taysu sudah kubuat tak tenang,

untuk itu mohon maaf yang sebesar-besarnya, dan budi

kebaikan kalian tak pernah akan kulupakan"

Diiringi It hok taysu, berangkatlah pemuda itu

meninggalkan kuil Budhala si.

Dengan perasaan minta maaf It hok taysu berkata secara

tiba-tiba:

"Tan siauhiap, apakah kau masih mendendam kepada

pinceng karena sudah memabukkan dirimu?"

Suma Thian yu merasa tidak enak hati sendiri karena sudah

berbohong selama ini cepat-cepat ujarnya:

"Lapor taysu, aku she Suma bukan she Tan, bila selama ini

sengaja kurahasiakan namaku, harap taysu sudi memaafkan"

Mendengar ucapan mana, It hok taysu segera tertawa

terbahak-bahak.

"Haa... haa... haaa... siapa yang tidak tahu dia tak

bersalah, kita tak ada yang berhutang kepada siapa.... !"

Suma Thian yu pun mendongakkan kepalanya sambil

tertawa terbahak-bahak, sambil menggenggam tangan It hok

taysu dengan terharu serunya:

"Taysu kau terlalu baik, Kebesaran jiwamu membuatku

terharu, Thian yu pasti akan berusaha mengambil kebaikanmu

demi kesejahteraan umat persilatan"

Sambil tertawa It hok taysu menggelengkan kepalanya

berulang kali, sahutnya:

"Suma siauhiap tak usah menempeli emas diwajah pinceng,

apakah perbuatanmu ini tidak akan membuatku kehilangan

muka,

kemudian sambil memandang ke tempat kejauhan, dia

menghela napas sedih sembari berkata lagi:

"Sinar fajar sudah mulai menyingsing, pinceng harus segera

melakukan sembahyang pagi, biar kuhantar siauhiap sampai di

sini saja, moga-moga kau dapat menjaga diri baik-baik"

"Harap taysu baik-baik pula menjaga diri" kata Suma Thian

yu pula sementara air matanya bercucuran membasahi

seluruh wajahnya.

Cepat-cepat dia berpaling ke arah lain dan segera

berangkat meninggalkan kuil Budhala si.

Menanti bayangan punggung pemuda itu sudah lenyap dari

pandangan mata, It hok taysu baru kembali ke kuil.

Sepanjang jalan Suma Thian yu merasa hatinya girang tak

terlukiskan sebab per jalanannya kali ini tidak sia-sia, selain

memperoleh sebotol air Biau heng sui, dia pun banyak

memperoleh penjelasan tentang kitab pusaka Kun tun kan kun

huan siu cin keng.

Paling tidak ia merasa berlega hati sebab kitab tersebut di

tangan Sam yap koay mo hanya ibarat kertas tak berguna,

bayangkan saja tanpa air biau heng yok sui, bagaimana

mungkin dia dapat memperoleh isi dari kitab pusaka tersebut!

Dengan membawa perasaan yang gembira dan

mengayunkan langkah yang ringan ia berjalan keluar dari

pintu kota Lhasa.

Diluar kota Lhasa terbentang sebuah hutan yang lebat,

jalan raya disitu memang diapit oleh pepohonan yang sangat

lebat.

Sambil bersiul dan menikmati keindahan alam, Suma Thian

yu menempuh perjalanan nya dengan santai.

Yaaa, saat ini perasaan Suma thian yu memang diliputi

kegembiraan yang luar biasa, terutama sekali sesudah

mengetahui kalau kulit kertas tersebut adalah sebuah kitab

pusaka yang dicari, ia semakin gembira lagi.

Menurut rencana, setibanya di daratan Tionggoan nanti, dia

akan mencari sam yap koay mo serta Coa tau jin mo

kemudian merebut kembali kitab pusaka itu. Jika kepandaian

silat yang berada di dalam kitab pusaka itu sudah berhasil

dipelajari, bukan saja dendam sakit hatinya akan terbalas,

sakit hati pamannya pun akan dilunasi.

manusia memang mahkluk yang aneh, sewaktu berangkat

dari Tionggoan menuju ke Tibet, Suma thian yu merasa

perjalanan amat jauh dan tidak sampai sampai, sebab dia

merasa tidak memiliki keyakinan dengan keberhasilan

perjalanannya, dia kehilangan rasa percayanya pada diri

sendiri serta harapan.

Berbeda sekali dalam perjalanan kembalinya dari Tibet ke

tionggoan, kali ini dia membawa pengharapan yang besar,

pulang dengan perasaan gembira, maka perjalanan pun terasa

jauh lebih cepat.

Mosha adalah nama suatu tempat terpenting yang harus

dilewati bagi orang dalam perjalanan Tibet menuju ke

Kimkhong.

Suatu hari, sampailah Suma thian yu di kota Mosha.

Sewaktu memasuki pintu kota, tiba-tiba dari arah depan

sana muncul seorang pemuda.

Dengan ketajaman mata yang dimiliki Suma Thian yu,

dalam sekilas pandangan saja dapat mengenali pemuda

tersebut sebagai Chin Siau, terkesiap hatinya, buru-buru dia

membalikkan badannya dan mengurangkan niatnya masuk

kedalam kota.

Siapa tahu pihak lawan telah mengetahui jejaknya, baru

saja Suma Thian yu membalikan badan, mendadak terdengar

Chin Siau membentak keras:

"Bocah keparat, jangan kabur dulu!"

Suma thian yu sama sekali tidak jeri kepadanya, melainkan

kuatir kalau kesalahan paham tersebut tak dapat dihilangkan

sehingga mengakibatkan terjadinya pembunuhan yang tak

berguna.

Apalagi dia sudah terlalu banyak menanamkan bibit

permusuhan, jika dia mesti menghadapi si pendeta buta lagi,

berarti dia mesti menghadapi seorang musuh yang amat

tangguh.

Bukan begitu saja, bahkan kesalahan paham orang

persilatan terhadap dirinya akan semakin sukar dihilangkan.

Oleh karena itu kecuali menyingkir rasanya tiada cara lain

yang bisa dipergunakan lagi.

Tanpa berpaling dia menelusuri jalan ke cil dan buru-buru

menjauhi tempat tersebut.

Bagaikan sepotong besi semberani saja, dengan ketat Chin

Siau mengejar tiada hentinya dibelakang pemuda itu, bahkan

sambil mengejar teriaknya berulang kali:

"Bocah keparat! Kalau kau memang bernyali jangan kabur,

saat kematianmu sudah tiba, pokoknya kau mesti membayar

nyawa sekeluarga yang telah kau bunuh itu!"

Suma Thian yu sama sekali tidak menggubris, malah kabur

semakin cepat.

Begitulah, yang satu kabur yang lain mengejar, mereka

saling berkejar kejaran ba gaikan bermain petak umpat.

Lambat laun ujung jalan kecil sudah sampai, dihadapan

mereka terbentang sebuah hutan belukar yang sangat lebat.

Suma thian yu yang berlarian dimuka kelihatan agak sangsi

sejenak, namun akhirnya dia menerobos masuk ke dalam

hutan dengan kecepatan tinggi. Chin Siau yang mengejar

dibelakangnya pun seakan-akan sudah lupa atas pantangan

untuk mengejar ke dalam hutan, tanpa berpikir panjang dia

mengejar masuk. Di dalam keadaan begini, Suma Thian yu

tidak memilih arah lagi, dia hanya tahu pergi secepatnya

menjahui musuh.

Mendadak pandangan matanya menjadi terang, didepan

mereka terbentang sebuah bukit yang gundul dengan batuan

karang yang tajam, bentuknya seperti kuburan sedangkan

batuan yang mencuat ke sana ke mari bagaikan batu

nisannya.

Suma thian yu berhenti sejenak untuk memperhatikan

sekeliling tempat itu, mendadak ia jumpai batu peringatan

yang terpasang disebelah kanan.

Ketika diamati, maka tampak olehnya batu peringatan

tersebut berbunyi demikian:

"Lembah lebah beracun, pendatang harap berhenti!"

Suma Thian yu tertawa terbahak-bahak, dengan cepat dia

menjejakkan kakinya menerobos masuk kedalam tanah

perbukitan tersebut.

Chin Siau yang menyusul dari belakang serentak

menghentikan langkahnya di tepi hutan sambil berteriak

keras:

"Hei bocah keparat! Mengapa kau lebih suka mampus

diujung sengatan lebah beracun daripada mati diujung pedang

aku orang she Chin?"

Suma Thian yu segera menghentikan langkahnya, lalu

sembari berpaling dan tertawa terbahak-bahak jengeknya:

"Saudara Chin, diantara kita belum pernah terjalin

permusuhan apapun, hari ini tanpa sebab tanpa musabab

mengapa kau mengejar diriku terus menerus? Thian yu bukan

manusia yang takut urusan, tapi aku tak ingin melakukan

pembunuhan yang tak berguna, bersediakah kau untuk

mendengarkan perkataanku?"

"Orang she Suma, kau tak usah banyak berbicara yang

bukan-bukan, jemu aku mendengarnya, bila punya

keberanian, ayo keluar dari dari sana dan kita bereskan

dengan pertarungan" bentak Chin Siau penuh kegusaran.

Suma Thian yu segera menghela napas panjang.

"Aai.....kalau toh urusan ini tak bisa diselesaikan secara

baik-baik, silahkan saudara Chin masuk kemari."

"Hmm, kau anggap lembah lebah beracun bisa membuat

aku orang she Chin menjadi takut?"

Begitu selesai berkata, dia lantas melejit ke udara dan

melompat kehadapan Suma thian yu sambil meloloskan

pedangnya.

Pelan-pelan Suma Thian yu meloloskan pula pedangnya,

kemudian sambil tertawa getir ia berkata.

"Saudara Chin sampai hari ini apakah kau masih tetap

menuduh aku sebagai musuh besar pembunuh ayahmu? Kau

keliru besar, kekeliruan yang runyam, aku berani bersumpah

tak pernah melakukan perbuatan yang merugikan orang

banyak, bila kau ingin berduel boleh saja, andaikata aku

sampai tewas diujung pedangmu nanti, aku harap kau suka

menyelidiki masalah ini bagiku hingga duduknya persoalan

menjadi jelas"

"Inikah pesan terakhir mu?" tanya Chin Siau dengan suara

sedingin salju.

"Betul! Harimau mati meninggalkan kulit, manusia mati

meninggalkan nama, bagi orang persilatan, nama adalah

masalah yang amat penting melebihi segala-galanya.

Seandainya aku adalah manusia yang benar-benar rendah

seperti apa yang kau bayangkan, buat apa aku mesti

merengek kepadamu?"

"Sebab kau takut mati, hanya jalan merengek baru bisa

membebaskan dirimu dari kematian" Chin Siau seperti

binatang berdarah dingin saja, menjawab dengan ketus.

"Ooh, kalau begitu kau menganggap aku takut kepadamu?"

seru Suma thian yu kemudian sambil tertawa nyaring.

"Kalau bukan begitu, mengapa kau harus menghindar dan

memohon pengampunan dariku?"

Tanpa terasa Suma thian yu mendongakkan kepalanya dan

tertawa nyaring, suaranya keras memekikkan telinga sehingga

seluruh angkasa mendengung keras dan menggema sampai

dimana-mana.

Selesai tertawa, dengan sorot mata yang memancarkan

cahaya tajam, dia menatap wajah Chin Siau lekat-lekat,

kemudian serunya:

"Saudara Chin, silahkan kau lancarkan seranganmu, tak

usah sungkan-sungkan, silahkan menyerang seluruh bagian

mematikan tubuhku, dalam sepuluh gebrakan mendatang aku

akan membuatmu takluk...".

Chin Siau meraung gusar, pedangnya disodokkan datar

kemuka dengan jurus jit gwat cing kong (matahari rembulan

berebut cahaya), sedemikian cepatnya serangan ttersebut

bagaikan serentetan cahaya tajam yang menembusi angkasa.

Suma Thian yu merasakan pandangan matanya menjadi

kabur, tahu-tahu dia merasa cahaya pedang lawan yang

berhawa dingin sudah menyentuh pundaknya.

Dalam terkesiapnya dia mengegos kesamping lalu meluncur

ke arah luar arena.

Kepandaian silat andalan dari Chin Siau adalah ilmu pedang

Tay hap kok dan ilmu silat negeri asing, gurunya Bu bok ceng

merupakan seorang jago pedang kenamaan, dia adalah

pencipta ilmu pedang mata buta yang termasyur.

Disaat hendak melancarkan serangannya Chin Siau selalu

memejamkan matanya rapat-rapat, dia selalu mempergunakan

pen dengarannya yang tajam untuk mengawasi gerak-gerik

lawannya.

Berbicara dari tenaga dalam yang dimilikinya sekarang,

entah seekor nyamuk, entah selembar daun yang lewat

disisinya, tak pernah ada yang terlepas dari pengawasan-nya.

Ilmu pedang semacam ini boleh dibilang merupakan sejenis

ilmu pedang yang maha dahsyat dan luar biasa.

Suma Thian yu sudah terlanjur mengatakan akan

menaklukan musuhnya dalam sepuluh gebrakan, dia tak

berani berayal lagi, dengan mengembangkan ilmu pedang Bu

beng kiam hoat ajaran Ciong liong lo sianjin, ia lancarkan

beberapa serangan balasan.

Cahaya tajam memancar kemana-mana, angin serangan

menderu-deru, dua lapis cahaya pedang yang menyilaukan

mata sebentar kedepan sebentar lagi kebelakang, sebentar

kekiri sebentar lagi kekanan, hanya didalam sekejap mata saja

delapan jurus serangan telah dilancarkan.

Melihat tinggal dua jurus lagi, Chin Siau segera tertewa

terbahak-bahak.

"Haa...haaa...haaa...tinggal dua jurus lagi, bocah keparat,

rupanya kaupun punya gentong nasi belaka”

Suma Thian yu tertawa nyaring, mendadak seluruh

tubuhnya melejit ketengah udara, pedangnya bergetar keras

dan mengembangkan cahaya yang amat menyilaukan mata,

bagaikan titiran hujan deras senjata tersebut mengurung

seluruh tubuh Chin Siau.

"Hanya satu jurus inipun sudah cukup untuk merenggut

nyawamu...!" seru Thian yu nyaring.

Betapa terkesiapnya Chin Siau setelah menyaksikan

datangnya ancaman tersebut, ternyata dibalik selapis cahaya

pedang terselip pula kekuatan maha dahsyat yang menekan

kearahnya.

Terdesak oleh keadaan, Chin Siau segera mengeluarkan

jurus Ki hwee liau thian (mengangkat obor membakar langit),

diam-diam segenap tenaga dalamnya disalurkan keujung

pedang lalu digetarkan kearah depan.

Bentrokan nyaring bergema memecahkan keheningan,

menyusul kemudian terdengar jerit kesakitan.

Chin Siau mundur dengan sempoyongan.

Pakaian pada bahu kirinya robek besar dan muncul sebuah

mulut luka sepanjang tiga inci, darah segar mengucur keluar

tiada hentinya.

Pada saat yang bersamaan Suma Thian yu melayang turun

pula keatas tanah, katanya sambil menjura:

"Terima kasih atas kebesaran jiwa Chin heng!"

Mimpi pun Chin Siau tidak menyangka kalau Suma thian yu

memiliki ilmu pedang yang tiada tandingannya di kolong

langit, dengan kekalahannya yang begini tragis ini, maka dia

merasa tak punya muka lagi untuk hidup terus disitu.

Setelah tertawa sedih, dia menyimpan kembali pedangnya

dan kabur kearah lembah.

Menyaksikan pemuda itu bukan menuju keluar lembah,

sebaliknya malahan memasuki lembah terlarang tersebut,

dengan terkejut Suma Thian yu berseru:

Saudara Chin, jangan masuk lebih kedalam, tempat

tersebut adalah lembah lebah beracun!"

Sayang sekali keadaan sudah terlambat, karena Chin Siau

sudah tidak nampak lagi bayangan tubuhnya.

Suma Thian yu tak berani berayal, cepat dia menjejakkan

kakinya ketanah, kemudian secepat kilat meluncur masuk juga

kedasar lembah tersebut. Tatkala tiba didasar lembah, tiba-

tiba seluruh udara dipenuhi oleh suara dengungan

yang amat nyaring, ketika Suma Thian yu mendongakkan

kepalanya, terlihat ada sekelompok lebah beracun sedang

menerjang kearahnya dengan dahsyat.

Serentak Suma Thian yu meloloskan pedangnya,

menjumpai datangnya terjangan dari kawan lebah tersebut, ia

membentak keras, pedangnya digetarkan menciptakan selapis

cahaya tajam dan menyambar kawanan lebah tersebut.

Didalam waktu singkat puluhan ekor lebah beracun telah

berguguran ditanah.

Suma Thian yu sangat menguatirkan keselamatan jiwa Chin

Siau, memanfaatkan kesempatan tersebut dia melirik

kesamping. Tampak olehnya Chin Siau sedang maju

sempoyongan kearah lapisan hutan yang amat lebat itu,

keadaannya tidak berbeda dengan orang yang sedang mabuk

arak.

Dari situ dapat diketahui bahwa dia sudah terluka oleh

sengatan lebah beracun.

Suma Thian yu segera berpekik nyaring, dia melejit

keudara sambil memutar pedangnya menciptakan selapis

kabut pedang yang berkilauan, sementara telapak tangan kiri

nya melepaskan pula segulung pukulan yang maha dahsyat.

Dalam waktu singkat serombongan besar lebah-lebah

beracun itu sudah pada mati di ujung pedangnya, ada pula

yang takut oleh tenaga pukulanya yang maha dahsyat,

serentak membubarkan diri.

Dengan cepat Suma Thian yu mengeluarkan ilmu

meringankan tubuh Pat poh kan sian (delapan langkah

mengejar comberet) nya yang lihay, cukup didalam berapa

kali lompatan saja ia sudah berhasil mengejar kehadapan Chin

Siau.

Rupanya Chin Siau yang menerobos masuk kedasar lembah

bertindak kurang cermat dan terlampau gegabah sehingga tak

ampun tubuhnya tersengat lebah beracun.

Racun yang ganas dan cepat menyebar seluruh badannyn

dan menggerogoti per tahanan tubuhnya, lambat laun dia

menjadi lemah dan kehabisan tenaga.

Menyadari ancaman bahaya yang mengincar keselamatan

jiwanya, dengan sekuat tenaga Chin Siau mengerahkan sisa

kekuatan yang dimilikinya untuk meloloskan diri.

Baru saja dia bersyukur karena berhasil lolos dari

pengejaran kawanan lebah beracun itu, mendadak tampak

olehnya Suma Thian yu melayang turun tepat dihadapan

mukanya.

Merasa jalan perginya terhadang, meluap hawa amarah

Chin Siau, dengan sorot mata membara dan menggertak gigi

menahan benci, umpatnya keras-keras:"Bocah keparat, kau

enggan melepaskan aku?"

Tanpa menjawab sepatah katapun jua se cepat kilat Suma

Thian yu menotok tiga buah jalan darah penting di tubuh Chin

Siau, kemudian sambil menggertak gigi lagi masuk kedalam

hutan lebat itu.

Setibanya didalam hutan, Suma Thian yu mencari suatu

tempat yang kosong dan se cepatnya membaringkan Chin

Siau ketanah, tangan kirinya cepat ditempelkan ke atas mulut

luka bekas sengatan lebah beracun, dan menghisapnya

dengan tenaga dalam.

Kalau dibicarakan memang aneh kedengarannya,

berbareng dengan hisapan tersebut, segumpal darah kental

yang membawa bau busuk yang sangat amis menyembur

keluar dari tubuh Chin Siau, tatkala menyentuh telapak tangan

kiri Suma Thian yu, segera berubah menjadi segumpal air

hitam dan meleleh ketanah.

Dengan berhati-hati sekali Suma Thian yu mengobati

lukanya itu, lebih kurang seperminum teh kemudian paras

muka Chin Siau berubah menjadi memerah kembali.

Melihat usaha pertolongan mulai berhasil, Suma Thian yu

pun membebaskan kembali pengaruh totokannya.

Ketika Chin iau mendusin, orang pertama yang terlihat

olehnya adalah Suma thian yu, mendadak dia melompat

bangun sambil berteriak gusar:

"Bocah keparat, bagus amat perbuatanmu? Kalau kau

memang jantan, bunuhlah aku!"

"Eeh...aku toh sudah menyelamatkan jiwa saudara Chin,

kenapa kau malah mengumpatku?" Suma Thian yu tersenyum.

"Bocah keparat yang tak tahu diri, kau tak usah membuat

pahala untukku, percuma aku orang she Chin tak sudi

menerima budi kebaikanmu itu!"

"Plaaak!" Suma Thian yu menampar wajah Chin Siau keras-

keras, lalu bentaknya gusar:

"Kau manusia yang tak punya liangsim, seandainya aku

berniat membunuhmu, hal ini bisa kulakukan dengan mudah

sekali bagaikan membalikan telapak tangan, buat apa jiwamu

mesti kuselamatkan? Dengarkan Perkataanku baik-baik, orang

yang membunuh ayahmu adalah orang-orang dari Hek bin

pang yang sedang merajalela dalam dunia persilatan dewasa

ini, dan kau telah dibodohi mereka untuk bermusuhan dengan

Bila kau adalah manusia yang pintar dengan pikiran yang

wajar, semestinya segala persoalan kau pikirkan tiga kali

sebelum bertindak, mengapa kau percaya dengan perkataan

orang dengan begitu saja?"

"Kau mempunyai bukti apa yang menunjukkan bahwa pihak

Hek bin pang yang melakukan pembunuhan ini?" bantah Chin

Siau.

"Justru karena duduk persoalannya belum jelas, maka aku

selalu berusaha menghindarimu, sebelum masalahnya menjadi

je las aku tak ingin berbicara denganmu"

"Kalau toh demikian, bagaimana pula dengan masa ah

perkosaan yang kau lakukan terhadap perempuan-perempuan

muda dari keluarga Kang serta menghabisi seluruh anggota

keluarganya?"

"Keluarga Kang? Keluarga Yang mana?"

Chin Siau tertawa seram, "orang she Suma, kau tak usah

berlagak pilon, permainan semacam itu sudah ku kenali, buat

apa mesti kau ulangi taktik yang sama?"

Secara ringkas dia lantas menceritakan bagaimana dia

mengalami pelbagai kejadian setelah kepergian Suma Thian

yu dari bukit Ngo tay san tempo hari....

Setelah itu dia balik bertanya:

"Bagaimana kau hendak membantah?"

Dengan wajah serius Suma Thian yu meng gelengkan

kepalanya berulang kali, sahut nya sambil menghela napas:

"Aaai, nasibku benar-benar sangat buruk, dimana-mana

selalu difitnah orang, aku tak ingin membantah apapun, sebab

aku memang tak kenal dengan manusia she Kang tersebut."

Chin Siau segera bangkit berdiri, setelah melototi Suma

Thian yu sekejap, dia berseru:

"Hadiah tusukanmu pada hari ini... tidak pernah akan

kulupakan, selama gunung nan hijau, air tetap mengalir, bila

kita bersua kembali, saat itulah kematianmu akan tiba!"

Kemudian tanpa berpaling lagi dia turrun dari bukit

tersebut.

Memandangi bayangan punggungnya, Suma Thian yu

kembali merasakan hatinya seakan-akan diselubungi selapis

bayangan hitam, dia lupa memanggil Chin Siau, padahal

memanggilpun percuma karena kesalah pahaman kedua belah

pihak kelewat mendalam dan tak mungkin bisa diselesaikan

dengan sepatah dua patah kata saja.

Saat ini, dia seakan-akan sudah kehilangan kegembiraan,

api harapan yang baru saja timbul seketika padam oleh

perkataan dari Chin Siau tersebut, dia merasa terbuai kembali

ketepi jurang keputus asaan.

Entah berapa lama dia termenung, dalam pandangan

matanya seolah olah muncul banyak sekali iblis berwajah

seram yang me narik, meraung dan mengejek dihapannya, dia

benci, dia amat membenci.

Akhirnya ia tak kuasa menahan diri lagi, pedang Kit hong

kiam nya segera diloloskan.

Pekikan nyaring yang menusuk pendengaran memancar

keluar dari mulutnya menyusul kemudian terdengar dia

meraung gusar:

"Setan iblis, aku akan beradu jiwa dengan kalian!"

Ditengah gelak tertawa yang menyeramkan,pedangnya

diputar kencang dan membelah bayangan semu yang muncul

dihadapan mukanya.

Tapi bayangan bayangan semu yang mengelilingi

sekitarnya masih saja berteriak, menjerit sambil tertawa

seram.

Kesedihan yang melampaui batas membuat kesadaran

Suma Thian yu menjadi kalut dan menghilang.

Pada mulanya bayangan semu yang menari-nari

dihadapannya hanya berapa gelintir, namun lambat laun

semakin bertambah hingga akhirnya bayangan yang muncul

dihadapannya hanyalah bayangan dari musuh-musuhnya.

Suma Thian yu mengembangkan permainan Kit hong kiam

hoatnya dengan membacok kekanan membabat ke kiri,

mencukil keutara menyayat keselatan.

Tapi semua bayangan tersebut tidak pernah membuyar,

ketika ia mendesak kemuka bayangan itu mundur ke

belakang, lambat laun dia mulai menyerbu masuk kedalam

hutan belantara.

Setiap babatan pedang Kit hong kimm di lancarkan,

sebatang bambu segera roboh ke tanah, bayangan semu yang

muncul dihadapan-nya juga turut lenyap sebuah.

Akhirnya Suma Thian yu peroleh kemenangan, disaat

semua bayangan semu dihadapan matanya lenyap,

kesadarannya pulih kembali, tetapi semua tulang belulangnya

terasa linu dan sakit, saking lelahnya dia sampai roboh

terjengkang keatas tanah.

Saat itulah dia baru menemukan dirinya telah balik kembali

kesisi lembah lebah beracun.

Selisihnya hanya sedikit sekali, asal Suma Thian yu maju

selangkah lagi dan masuk kedalam lembah maka

pemandangan yang semakin aneh akan bermunculan.

Empat sekeliling merupakan pepohonan besar yang berusia

ribuan tahun dengan bukiit karang ditengahnya, antara bukit

dan hutan merupakan sebuah selat sempit yang mungkin

dulunya berupa sebuah sungai, tapi air surgai yang mengering

membuat tempat tersebut berubah menjadi sebuah lembah.

Didalam lembah tersebut berdiam beribu ekor lebah

beracun, yang paling aneh lagi lebah-lebah beracun itu selalu

hidup didalam lembah dan tak pernah terbang ke luar hutan

atau terbang kebukit karang yang gundul.

Suma Thian yu duduk diantara perbatasan antara lembah

dengan hutan, disitu dia tak usah kuatir diserang lebah

beracun.

Adakalanya seregu kecil lebah beracun melintas dihadapan

matanya, namun tak seekorpun yang menyerang pemuda itu.

Bayangkan saja, bukankah hal ini aneh sekali?

Ketika pikiran dan kesadaran Suma thian yu menjadi jernih

kembali, dia baru menemukan bahwa baru saja dia mendapat

impian yang menakutkan dan berakibat dia kehabisan tenaga

dan lemas.

Serta merta pemuda itu duduk bersilah di lantai sambil

mengatur pernapasan, berapa saat kemudian kekuatan

tubuhnya baru pulih kembali sedia kala.

Ingatan demi ingatan baru mulai melintas di dalam

benaknya, dia mulai memperhatikan lebah-lebah beracun yang

terbang melintas di hadapan mukanya.

Ketika ia jumpai lebah-lebah beracun dalam lembah itu tak

pernah berani terbang melewati perbatasan lembah, dengan

wajah berseri segera guman-nya:

"OOhh, rupanya di dalam lembah ini berdiam seorang

gembong iblis, akan kulihat manusia macam apakah yang

memiliki kepandaian sedemikian hebatnya sehingga dapat

mengendalikan lebah-lebah beracun tersebut....."

Dengan pedang Kit hong kiam terhumus, dia menelusuri

sisi hutan dan selangkah demi selangkah memasuki lembah

itu, tiba-tiba ia jumpai serombongan besar lebah beracun

bergerombol disitu bagaikan selapis awan hitam.

Dengan cepat Suma Thian yu menghentikan langkahnya

sambil melongok sekejap ke dalam lembah, lebih kurang dua

kaki dihadapannya ia saksikan ada seorang manusia setengah

telanjang sedang berbaring di situ.

Melihat kejadian terseeut, Suma Thian yu menjadi sangat

terkejut, timbul kembali sifat ksatrianya untuk menyelamatkan

orang tersebut dari ancaman, tanpa berpikir panjang dia

langsung menerjang kearah orang itu.

Siapa tahu baru saja dia melangkah masuk ke dalam

lembah, kawanan lebah beracun yang berada di angkasa itu

memisahkan diri menjadi dua rombongan dan disertai suara

berisik satu rombongan menyerang Suma thian yu sementara

rombongan lain melayang ketubuh kakek setengah telanjang

itu.

Berpuluh ribu ekor lebah beracun bersama-sama menempel

ditubuh kakek itu sehingga tinggal sepasang matanya saja

yang nampak.

Suma Thian yu ingin menolong orang itu secepatnya,

sambil berpekik panjang pedangnya diputar menciptakan

berlapis-lapis cahaya sinar yang menciptakan selapis jaring

pedang yang melindurgi seluruh badannya, kemudian dengan

suatu kecepatan luar biasa menyerang kawanan lebah

beracun itu.

Ketika kawanan lebah beracun itu menyerang hingga

kehadapannya, binatang-binatang tersebut segera terhenti

diluar la pisan cahaya pedang itu.

Mengetahui bahwa kawanan lebah tersebut tak sanggup

menyerang kedalam, Suma Thian yu melejit kedepan dan

menerjang ke sisi si kakek yang sedang berbaring diatas tanah

itu sembari teriaknya:

"Jangan bergerak, akan kubantu kau untuk membebaskan

diri dari kurungan"

Pedang Kit hong kiam nya dibabat mendatar kedepan

membuat beratus-ratus ekor lebah menempel di tubuh kakek

itu rontok ketanah, menyusul kemudian sebuah pukulan angin

dingin yang menusuk tulang menerjang ke depan dada kakek

setengah telanjang tersebut...

Dalam waktu singkat kawanan lebah beracun itu tersapu

bersih oleh angin serangannya itu.

Suma Thian yu menjadi girang serengah mati, cepat dia

berjongkok disamping tubuh kakek itu berniat menariknya

bangun.

Siapa tahu pada saat itulah terdengar suara tertawa itu

berasal dari sikakek setengah telanjang tersebut.

Betapa terkejutnya Suma Thian yu, dengan cepat dia

menahan diri sambil melom pat mundur sejauh beberapa

langkah.

Sambil tertawa seram kakek yang berbaring ditanah itu

melompat bangun, matanya yang hijau tajam nampak

mengamati wajah Suma thian yu tanpa berkedip.

"Manusia liar dari mana yang berani mencari gara-gara

dilembah lebah beracun?" hardiknya sambil menyeringai, "ayo

cepat berlutut untuk menerima kematian!"

Suma thian yu hanya menjerit kaget, dia menjerit bukan

lantaran ucapan si kakek setengah telanjang tersebut,

melainkan kekebalan si kakek terhadap sengatan lebah

beracun. Apakah dia tak takut lebah? Betul-betul suatu

kejadian yang sangat aneh.

Tanpa terasa dia memperhatikan sekejap kakek setengah

telanjang itu, dia berusia tujuh puluh tahunan, berwajah

penuh codet, berewok dan rambutnya kaku, bulu dadanya

tebal, potongannya selain aneh juga menyeramkan.

Mendadak kakek setengah telanjang itu merentangkan

tangannya ketengah udara, serombongan lebah beracun

segera terbang hinggap diatas telapak tangannya itu.

Menyaksikan hal mana, Suma thian yu menjadi paham,

rupanya kakek aneh tersebut tak lain adalah Raja lembah

lebah beracun.

Berpikir demikian, diapun mengamati kawanan lebah

beracun tersebut dengan lebih seksama akhirnya dia berhasil

menyaksikan sesuatu kejanggalan.

Mendadak terdengar kakek setengah telanjang itu berseru

sambil tertawa seram:

"Manusia liar, ayo cepat berlutut, kau anggap masih bisa

keluar dari lembah ini dalam keadaan hidup?"

"Aku hanya secara kebetulan lewat disini" ujar Suma Thian

yu dengan wajah serius, "justru karena melihat nyawamu

terancam dan tak tega membiarkan tubuhmu disengat lebah

beracun, aku khusus kemari untuk menolongmu, siapa tahu

kau tak cuma mem balas air susu dengan air tuba, hendak

membunuhku lagi. Bayangkan sendiri, sebenarnya kau ini

manusia atau hewan?"

Kakek setengah telanjang itu tertawa seram.

"Anak jadah aku adaIah dewa yang turun dari kahyangan

untuk menguasahi lembah lebah beracun, entah manusia

entah hewan, asal berani melangkah masuk kedalam lembah

ini maka dia tak boleh dibiarkan hidup terus. Barusan kau

telah membunuh beribu ekor anak buahku, hanya dengan

jalan melumat tubuhmu dan memberikannya seba gai mangsa

lebah baru dapat melampiaskan, rasa benciku"

Suma Thian yu memperhatikan kakek itu dengan seksama,

semakin dipandang dia merasa kakek itu semakin tak mirip

dengan orang jahat, akhirnya sambil tertawa hambar dia

berkata:

"Tolong tanya cianpwee, apakah kau masih punya

peraturan lain yang bisa mengampuni kesalahanku yang tak

disengaja ini?"

"Tidak ada!" kakek setengah telanjang itu menggeleng.

Suma thian yu adalah pemuda yang cerdik dan cekatan,

menghadapi manusia liar seperti ini dia hanya boleh

menghadapi dengan sikap menghormat dan mengalah,

dengan begitu dia baru lolos dari ancaman bahaya.

Maka ujarnya sambil tersenyum:

Seandainya aku bisa melakukan suatu pekerjaan untuk

menebus dosa atau menukar dosa dengan sesuatu benda

misalnya?"

"Tidak ada!"

Sikap kakek setengah telanjang itu masih tetap seperti

sedia kalah, angkuh dan kaku seakan-akan dia memang

benar-benar dewa dari kahyangan.

Suma Thian yu tertawa terbahak-bahak:

"Haaa... haaa... haaa... aku benar-benar sudah

dipecundangi, tak disangka telah salah melihat orang!"

"Hei, apa yang kau tertawakan?" bentak kakek setengah

telanjang itu keheranan, "kematian sudah berada didepan

mata, apa lagi yang perlu kau tertawakan?"

"Katanya saja dewa dari kahyangan yang di tugaskan

menjadi Tay ong (Raja) di lembah lebah beracun, nyatanya

tidak bisa membuat peraturan, apakah hal ini tidak lucu?"

Mendengar perkataan tersebut, si kakek setengah telanjang

itu tertegun, kemudian setelah termenung

sejenak dia tertawa tertawa terbahak-bahak:

"Haaaa... haa... haaa... benar, sebagai tay ong memang

dapat membuat pe raturan, peraturan apa yang harus

kubuat?"

Suma Thian yu semakin geli lagi setelah menyaksikan

ketololan si kakek tersebut pikirnya:

"Manusia liar ini benar-benar menggelikan sekali, baru saja

sikapnya garang dan mengerikan, tapi sekarang dia malahan

jinak dan halus.... nampaknya ucapan Khong cu memang

benar bila kita bersikap manis budi, biar manusia biadap pun

bisa di bikin takluk...."

oOoooooooooo

BERPIKIR demikian, diam-diam pemuda itu membuat suatu

tekad, dia hendak manfaatkan kesempatan tersebut untuk

menjinakkan manusia liar tersebut.

"Tay ong" katanya kemudian sambil tersenyum, "kalau toh

kau sanggup memimpin begitu banyak panglima langit lebah

beracun, sudah jelas kau adalah seorang manusia yang pintar

dan hebat, sayang sekali kawanan panglima langit tersebut

hanya bisa men celakai orang dan tak bisa menolong orang,

akibatnya orang hanya akan mengumpat tay ong dan tiada

yang bersedia menghormati mu"

"Apa? Siapa yang berani mengumpat aku?"

Suma Thian yu tertegun dan diam-diam mengeluh:

"Aduh celaka, seandainya sampai menggusarkan manusia

liar ini, entah bagaimanakah akibatnya...?"

Berpikir demikian, buru-buru katanya:

"Ketika aku datang kemari, sepanjang jalan kudengar

banyak penduduk yang mengeluh dan mengomel, katanya

lebah bera cun milik Tay ong itu banyak mencelakai orang"

Ucapan itu tidak saja menggusarkan kakek setengah

telanjang itu, sebliknya dia malah tertawa terbahak-bahak:

"Haaah... haaa... haa... hahahaa... sunggahkah

perkataanmu itu? Ada orang menyebut Tay ong kepadaku?

Haa... hahah... aku harus meninggalkan tempat ini, aku

hendak menguasai mereka semua!"

Sambil berteriak dan menari-nari dia mencak-mencak

dalam lembah tersebut.

Suma Thian yu semakin gelisah setelah mendengar orang

itu hendak meninggalkan lembah tersebut, cepat teriaknya:

"Tay ong, jangan, kau jangan meninggalkan lembah ini"

Serentak si kakek setengah telanjang itu menghentikan

tariannya, sambil menunjukkan wajah gusar, bentaknya keras:

"Siapa berani membangkang perintahku harus dibunuh!"

Seraya berkata telapak tangannya dihadapkan ke langit,

seketika itu juga nampak dua rombongan lebah berkumpul

dan berterbangan disekeliling tempat itu.

Dengan pandangan gusar kakek setengah telanjang itu

berseru kembali:

"Anak jadah, asal kau dapat menjelaskan maksud dari

perkataanmu itu, aku bersedia mengampuni jiwamu, kalau

tidak, cukup sebuah komando dariku, kulit badanmu tak akan

ada yang utuh"

Muak rasa hati Suma Thian yu menyaksikan kakek aneh

yang wataknya luar biasa ini, tapi ingatan lain segera melintas

lewat dia merasa bila manusia aneh ini bisa dibawa ke jalan

yang benar, niscaya hal ini merupakan suatu kebahagiaan bagi

semua orang, maka diapun menyabarkan diri.

Maka sambil tertawa paksa dia berkata:

"Seandainya tay ong sampai meninggalkan lembah ini,

semua panglima langit mu akan kehilangan pemimpin dan

berkelana kemana-mana, bisa jadi mereka akan mengigit

orang dan merugikan masyarakat, seandainya peristiwa ini

sampai terjadi, niscaya nama besarmu akan hancur, itulah

sebabnya harap Tay ong sudi berpikir tiga kali sebelum

bertindak!"

"Tak usah banyak berbicara, ayo cepat berlutut untuk

menerima kematian!" bentak kakek setengah telanjang itu

gusar.

Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, lebah-lebah

beracun yang bergerombol ditengah udara itu menukik

kebawah dengan kecepatan tinggi dan menyerang batok

kepala Suma Thian yu.

Suma Thian yu membentak keras, pedang Kit hong

kiamnya diputar menciptakan selapis bunga pedang.

Kali ini lebah-lebah beracun tersebut bersikap cukup cerdik,

seolah-olah mengetahui akan kelihayan dari ilmu pedang

musuhnya, serentak mereka menyebar keempat penjuru

kemudian membalik arah dan menyerang kembali.

Bila Suma Thian yu sampai teledor dalam keadaan seperti

ini, atau cahaya pedang nya sedikit teledor, segera

rombongan lebah beracun itu menerjang masuk.

Dengan demikian, Suma Thian yu menjadi kerepotan sekali,

disamping harus meng hadapi serbuan kawanan lebah

tersebut, ia pun harus berjaga-jaga terhadap sergapan si

kakek telanjang yang mungkin akan memanfaatkan

kesempatan tersebut.

Dalam keadaan demikian si anak muda itu segera

menjejakkan kakinya ketanah dan kabur meninggalkan

lembah lebah beracun tersebut.

Kalau dibicarakan memang sangat aneh, kawanan lebah

beracun itu hanya mengejar sampai perbatasan lembah

mereka, tak seekorpun diantaranya yang berani terbang

melewati batas tersebut.

Suma Thian yu segera berdiri ditepi hutan itu sambil

serunya kepada kakek setengah telanjang tersebut:

"Tay ong lebah beracun, kau cuma panas disebut raja

dalam lembahmu, bila ke luar dari sini maka keadaanmu

seperti harimau masuk kota, mengenaskan sekali keadaannya"

Kakek setengah telanjang itu berjalan maju kedepan dan

berhenti lima langkah dihadapan Suma Thian yu, kemudian

sambil tertawa terbahak-bahak katanya:

"Oh... betapa gagahnya gayamu bisa masuk keluar dari

lembah lebah beracun seperti memasuki daerah tak bertuan

saja, tapi pernahkah kau pikirkan bahwa lembah lebah

beracun adalah tempat kuburan mu?"

Suma Thian yu tidak memahami apa arti dari ucapan kakek

setengah telanjang itu, dia balik bertanya dengan nada

tercengang:

"Apakah kau hendak keluar dari lembah mu untuk

membekukku kembali?"

Kakek selengah telanjang itu tertawa seram, dia

mengalihkan sorot matanya kearah belakang Suma thian yu,

kemudian sambil menyeringai seram katanya:

"Tentu saja ada orang yang akan menghantar domba

gemuk kehadapanku, asal kau berpaling segala persoalan

akan menjadi jelas dengan sendirinya"

Bergidik hati Suma Thian yu setelah mendengar perkataan

tersebut, dia kuatir kakek setengah telanjang itu memakai tipu

daya, cepat dia berpaling, tapi paras mukanya segera berubah

hebat, jeritnya kaget:

"Aaaa........!"

Apa yang sebenarnya telah terlihat olehnya sehingga

pemuda itu sangat terkejut.

Rupanya dibelakang tubuhnya sekarang telah bertambah

dengan seorang kakek berambut kusut yang mempunyai bulu

tebal diseluruh badannya, disisi kakek itu mendekam seekor

harimau belang yang sedang mengawasi gerak-geriknya

dengan buas.

Memandang perubahan wajah dari Suma Thian yu tersebut,

si kakek setengah telanjang tersebut kembali tertawa

terbahak-ba hak.

"Bagaimana anak jadah? Lebih baik melangkah masuk

kedalam lembah lebah beracun saja, kalau tidak...

heeh...heheh.... aku lihat si harimau belang di belakangmu

kebetulan lagi kelaparan"

Baru saja kakek setengah telanjang itu menyelesaikan kata-

katanya, mendadak terdengar si kakek aneh yang berada di

belakang tubuhnya telah membentak dengan suara yang

menyeramkan"

"Hei bocah, kau jangan mencoba untuk meloloskan diri,

setelah berada di daerah kekuasaanku, kau harus menuruti

segala perintahku..."

Agak lega Suma thian yu setelah mendengar perkataan

tersebut, dia mengira kakek aneh tersebut berniat menolong

dan melindungi jiwanya, dengan girang dia berseru:

"Kau bersedia menolongku?"

Kakek menyeramkan itu kembali tertawa keas:

"Dalam kamus hidupku tak pernah mengenal arti kata

menolong, aku hanya tahu lebih baik seseorang mati diterkam

harimau daripada mati disengat lebah beracun, oleh sebab itu

kau tak usah kesitu, kalau toh harus mati, lebih baik mati

didalam perut harimauku saja."

Sekali lagi Suma Thian yu merasakan hatinya tegang, dia

mendongkol bercampur ge lisah, akhirnya setelah menghela

napas panjang, diputuskan akan beradu jiwa saja.

Mendadak satu ingatan melintas lewat dalam benaknya,

kemudian sambil tertawa ia berkata:

Kalian berdua tak perlu berebut sendiri aku bersedia mati,

hanya saja........"

"Hanya saja kenapa?" ke dua orang kakek itu bertanya

bersama.

Suma Thian yu memandang sekejap lebih dulu ke arah

kakek setengah telanjang itu, kemudian menatap pula kearah

si kakek aneh sebelum pelan-pelan berkata:

"Seekor kuda mustahil mempunyai dua pelana, seorang

gadis tidak mungkin menikah dengan dua orang pria, aku

hanya mempunyai sesosok tubuh, padahal kalian berdua

sama-sama menginginkannya, bagaimana ini persoalan bisa

diselesaikan?"

Baru selesai Suma Thian yu berkata, kedua manusia aneh

tersebut telah menyahut bersama sambil tertawa terbahak-

bahak:

Haaah...haah.....haah..., soal itu mah tidak perlu kau

risaukan, kita bagi seorang setengah kan urusan menjadi

beres"

Tergetar keras perasaan Suma Thian yu setelah mendengar

ucapan itu, diam-diam dia mengeluh.

Semula dianggapnya kedua orang itu tak lebih cuma

manusia liar yang bodoh dan tak punya otak, dengan dua tiga

patah kata hasutan saja dia sudah dapat mengadu domba

mereka,

sedang dirinya akan duduk sambil menyaksikan dua

harimau saling bertarung. Siapa sangka kedua orang manusia

aneh itu tidak mudah terperangkap, malahan gelagatnya

semakin merugikan pihaknya.

Terpaksa dia menggeserkan tubuhnya kesamping sambil

memperkokoh posisinya, lalu katanya sambil tersenyum dia

berkata:

"Siapakah di antara kalian berdua yang akan maju lebih

dulu?"

Kakek setengah telanjang itu memandang sekejap kearah

si kakek aneh, kemudian bertanya:

"Hu hou sia san (dewa sesat penakluk harimau), locu boleh

menyebrangi perbatasanmu?"

Manusia aneh berambut kusut dan berbulu yang bernama

dewa sesat penakluk ha rimau itu segera membentak gusar:

"Tak bisa! Siapapun dilarang menginjak kan kakinya

diwilayahku, tunggu saja sampai kubunuh dirinya baru kita

bagi mayatnya menjadi dua bagian!"

Mendadak dari tengah udara bergema suara pekikkan

nyaring, ditengah pekikkan tersebut terdengar seseorang

berseru dengan suara yang nyaring:

"Hitung aku dalam bagian, kita bertiga bagi rata si bocah

tersebut."

Dari kejauhan nampak sesosok bayangan manusia

meluncur datang dengan kecepatan luar biasa dan melayang

turun tepat di hadapan Suma thian yu.

Tiga orang tersebut sama-sama terkejut, tapi begitu

mengetahui siapa yang datang, Suma Ihian yu segera berseru

dengan girang:

"Cianpwee, rupanya kau?"

Pendatang tersebut mengenakan pakaian compang-

camping dengan model seorang sastrawan, wajahnya rudin

dan mengenaskan, tak salah lagi dia adalah Sin sian siang su

(peramal dewa) Yu Seng si.

Sebagaimana diketahui, tokoh aneh dari dunia persilatan ini

mendapat tugas dari Ciong liong losianjin untuk melindungi

Suma Thian yu, tapi dia datang terlambat sehingga belum

tahu kalau perjalannya ke Tibet telah berhasil dengan sukses.

Tak terlukiskan rasa gusar Dewa sesat penakluk harimau

ketika melihat munculnya orang ketiga dalam kesempatan

tersebut, bentaknya-keras keras:

"Setan malaikat dari mana yang berani membuat keonaran

disini? Ayo cepat berlutut minta ampun, kau ingin mampus

rupa nya?"

Sin sian siangsu tertawa terkekeh-kekeh.

"Heeeh...heeeh...heeeh... apakah san tayong berdua tidak

merasa menurunkan gengsi dan martabat sendiri dengan

saling berebut mangsa disini? Aku si orang perantauan

mempunyai sebuah cara yang baik untuk menyelesaikan

persoalan ini, entah bagaimana pendapat kalian?"

Tergerak hati si Dewa sesat penakluk harimau maupun

pemilik lembah lebah beracun sotelah mendengar ucapan itu.

Dari gusar si Dewa sesat penakluk hari mau menjadi

gembira, katanya:

"Harap kau jelaskan caranya, aku pasti akan

menyetujuinya"

"Bagaimana kalau kita bagi tiga saja korban tersebut?

batok kepala bocah ini buat harimau, tubuhnya buat lebah

beracun sedang sepasang kakinya untukku"

"Tutup mulut!" tukas Dewa sesat penakluk harimau dengan

gusar, "sekali lagi kau berani berbicara kurobek mulut

busukmu itu..!"

"Baik...baiklah, tak boleh bicara yaa sudah, bila kalian

berdua memang keberatan, lebuh baik hadiahkan saja

seutuhnya kepadaku"

Kakek setengah telanjang itu jadi naik pitam, sambil

berpaling kearah rekannya dia berseru:

"Rupanya kakek celaka ini berniat mencari gara-gara, Dewa

sesat, lebih baik dia pun sekalian ditahan"

Sebelum Dewa sesat penakluk harimau sempat menjawab,

Sin sian siangsu telah berkta lagi sambil tertawa terbahak-

bahak.

"Betul, betul, aku mengerti, bocah itu dihadiahkan kepada

lebah beracun sedang kan aku si tua bangka untuk harimau,

dengan begitu kedua belah pihak sama-sama peroleh hasil

dan sama-sama gembira, kesulitan yang dihadapi tay ong

berduapun akan beres dengan sendirinya?"

Sementara Suma Thian yu masih tercengang oleh

perkataan tersebut, mendadak dari sisi telinganya terdengar

ada suara bi sikan seperti suara nyamuk:

"Hiantit, kedua orang siluman tua ini sama-sama

merupakan manusia pengacau masyarakat dan pengracun

dunia, mereka tak boleh dibiarkan hidup, sebentar kau boleh

pusatkan semua perhatianmu untuk mengawasi gerak-gerik si

kakek setengah telanjang itu, selain lebah beracun hasil

pemeliharaannya, kepandaian silat yang dimiliki biasa saja, tak

ada yang perlu dikuatirkan.

Suma Thian yu baru memahami duduk persoalan setelah

mendengar bisikan dari Sin sian siangsu yang berbicara

dengan mempergunakan ilmu menyampaikan suara tersebut.

Mendadak terdengar suara auman harimau dari sisi si Dewa

sesat penakluk hari mau.

Dengan cepat Sin sian siangsu berpaling lalu serunya

sambil tertawa terbahak-bahak:

"Bagaimana? Mengapa tidak turun tangan degan segera?

Aku sudah tak sabar untuk menanti terus"

Sembari berkata, dia berlagak seakan-akan siap

meninggalkan tempat tersebut.

Siapa tahu si Dewa sesat penakluk hari mau malahan

tertawa terbahak-bahak:

Haaa...haaa...kalau ingin pergi, silahkan pergi, asal kau

dapat berjalan melebihi seratus langkah, kamu berdua boleh

meninggalkan tempat ini dengan selamat"

Mendadak Sin sian siangsu menghentikan langkanya,

sambil melejit ketengah udara, dalam sekali lejitan tiga kaki

sudah dicapainya, kemudian sambil menarik napas panjang,

sepasang tangannya diayunkan ke muka menyerang kedua

ekor harimau belang yang mendekam disisi Dewa sesat

penakluk harimau.

Serangan yang dilancarkan oleh Sin sian siangsu kali ini

telah mempergunakan tenaga dalam sebesar sepuluh bagian,

semula Dewa sesat penakluk harimau mengira serangan

tersebut ditujukan ke arahnya, dia baru terkejut setelah

mengetahui bahwa serangan mana ditujukan kearah sepasang

harimaunya.

Dengan perasaan gelisah ia lantas membentak:

"Terkam!"

Mendapat perintah tersebut kedua ekor harimau itu

mengaum gusar dan menerjang ke muka dari kiri dan kanan.

Baru saja kedua ekor harimau itu mementangkan cakarnya,

angin serangan dari Sin sian siangsu sudah mengenai

tubuhnya secara telak. Diiringi rintihan kesakitan kedua ekor

harimau itu bergulingan ke atas tanah tapi dengan cepat telah

melejit kembali sambil melancarkan terjangan berikut.

Dewa sesat penakluk harimau segera mengejek sambil

tertawa seram:

"Tua bangka celaka, kau jangan belagak sok pintar,

percuma saja kelicikan otakmu itu. Sepasang panglimaku ini

sudah berpengalaman dalam beratus kali pertempuran, kalau

hanya angin pukulan biasa mah tak akan mengapa-apakan

mereka. Heee... heehe... inilah yang dinamakan mencari

penyakit buat diri sendiri!"

Beberapa kali Sin sian siansu berhasil menyarangkan

pukulannya ketubuh sepasang harimau tersebut, tapi saban

kali tak mendatangkan hasil apapun kecuali harimau-harimau

itu terdorong mundur, mereka tak menderita cedera sama

sekali.

Suma Thian yu yang menyaksikan kejadian ini segera dapat

menangkap gelagat kurang baik, tiba-tiba ia berteriak keras:

"Cianpwe, kalau ingin menangkap bajingan, lawan dulu

pentolan-nya, kau hadapi saja siluman tua itu, biar aku yang

menghadapi sepasang harimaunya.

Dengai cepat dia melompat kemuka dan menerobos dari

samping Sin sian siangsu untuk menggantikan kedudukannya.

Sementara itu, seekor harimau buas telah melompat

keudara dan menerkam kearahnya dengan ganas.

Sesungguhnya Suma Thian yu sendiripun hanya bermaksud

mencoba-coba, dia sendiripun tak mempunyai keyakinan

untuk berhasil.

Telapak tangan kirinya dengan menghimpun tenaga

sebesar delapan bagian mendadak melepaskan pukulan

dengan ilmu Hui poo sian hong ciang, serangan yang tajam

segera meluncur kemuka.

"Blaaammm...!" suatu benturan keras terjadi, menyusul

kemudian harimau itu terbanting keras-keras ketanah,

napasnya mendengus ngos-ngosan dan empat kakinya

menghadap kelangit.

Suma thian yu tidak berani berayal lagi, begitu pukulan

dilepaskan, tangan kanan-nya meloloskan Kit hong kiam dari

sarungnya sambil meluncur kemuka secepat kilat.

Begitu tiba dimuka harimau yang terbaring tadi, pedangnya

langsung ditusukan kedepan.

Harimau tersebut meraung kesakitan, perutnya segera

robek dan usus serta darah berhamburan kemana-mana.

Pada saat itulah, harimau yang lain telah menerkam dari

belakang tubuhnya.

Tak terlukiskan rasa kaget Suma Thian yu ketika

merasakan datangnya sergapan dari belakang, pedangnya

yang digenggam erat-erat mendadak terasa seperti terhisap

oleh sesuatu kekuatan sehingga sama sekali tak mampu

bergerak.

Dengan perasaan tergetar keras dia membuang pedang

sambil melejit kesamping, kemudian sambil membalikan

telapak tangan dia lepaskan sebuah serangan dengan jurus

Jiau hui pie pa (mengayun alat pie pa) yang disertai tenaga

sebesar delapan bagian.

Berhubung jarak harimau tersebut terlampau dekat, ayunan

tangannya itu persis menghantam benak harimau tersebut.

Suma thian yu merasakan telapak tangan-nya menjadi kaku

dan buru-buru ditarik kembali, lalu cepat-cepat dia berpaling.

Sungguh aneh sekali, harimau itu seperti tertidur secara

tiba-tiba, tanpa mengeluarkan sedikit suarapun tahu-tahu

sudah roboh diatas tubuh harimau pertama.

Dalam waktu singkat Suma Thian yu berhasil membunuh

dua ekor harimau buas, bukan cuma Sin sian siangsu saja

yang terperanjat, si Dewa sesat penakluk harimau sendiripun

dibikin sampai terbelalak dengan mulut melongo, untuk

beberapa saat dia seperti lupa untuk naik darah.

Padahal Suma Thian yu sendiripnn tidak habis mengerti

dengan keadaan tersebut, dia tak tahu darimanakah

datangnya kekuatan dan keberanian tersebut.

Ketika dilihatnya dua ekor harimau tersebut sudah

tergeletak kaku ditanah, dia baru bisa bersyukur dihati.

Sin sian siangsu menjadi sangat gelisah terutama setelah

melihat Suma thian yu menerbitkan bencana besar. Dengan

cepat dia melompat kesisi pemua itu, kemudian bisiknya lirih:

"Cepat bereskan pedangmu dan meninggalkan tempat ini,

kalau sampai terlambat bisa jadi kita tak dapat pergi!"

"Kenapa?"

"sekarang jangan banyak bertanya, cepat laksakan saja

menurut apa yang aku ucapkan!"

Menyaksikan kecemasan orang, Suma thian yu segera

menendang bangkai harimau, mengambil kembali pedangnya

dan segera siap berlalu dari tempat kejadian.

Siapa tahu pada saat itulah terdengar si Dewa sesat

penakluk harimau berpekik nyaring.

Sin sian siangsu segera menarik tangan sang pemuda

sambil berseru lagi dengan gugup:

"Ayo cepat pergi, apakah kau ingin berdiam disitu sambil

menunggu saat kematian?"

Tanpa berpikir banyak, dia menarik tangan Suma Thian yu

dan diajak melarikan diri dari situ.

Sambil tertawa seram si Dewa sesat penakluk harimau

berteriak nyaring:

Sayang terlambat sudah, sekeliling hutan ini sudah

terkepung rapat-rapat, kalau ingin pergi, silahkan saja terbang

kelangit!"

Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, dari balik

hutan bergema suara lolongan srigala dan auman singa yang

makin lama semakin mendekat, agaknya suara-suara tersebut

sedang mengepung mereka dari empat penjuru.

Dalam terdesaknya Suma Thian yu peroleh akal bagus, dia

menarik tangan Sin sian siangsu sambil berseru:

Mari kita terjang dari lembah lebah beracun!"

Sin sian singsu tertegun dan tidak menjawab.

Menyaksikan sikap serba salah dari rekan-nya, buru-buru

Suma Thian yu berseru lagi:

"Kau cukup menghadapi siluman tua setengah telanjang

itu, sedang lebah beracun-nya biar aku yang hadapi"

Sembari berkata mereka berdua melompat masak kedalam

lembah tersebut.

Dari arah belakang kedengaran si Dewa sesat penakluk

harimau berseru sambil tertawa terbahak-bahak:

"Haaa...haaa. ..percuma, jalan kesitupun hanya merupakan

jalan kematian"

Ketika mereka berdua menerjang masuk kedalam lembah,

si kakek setengah telanjang telah menghadang dihadapan

mereka.

Sin sian siangsu tertawa terkekeh-kekeh, dia melejit

kesamping dan menerobos kesisi tubuh kakek setengah

telanjang itu, sebuah sodokan segera dilancarkan.

Jilid : 25

PADA DASARNYA SI KAKEK setengah telanjang itu hanya

seorang manusia biasa, dia terpaut jauh sekali bila dibandingkan

dengan lawannya, tidak heran kalau dalam satu gebrakan saja sudah

tertotok.

Walaupun kakek setengah telanjang itu sudah roboh, namun lebah

beracun yang tak terhitung jumlahnya itu tetap berdatangan secara

bergerombol, mereka menyerang secara ganas dan mengerikan.

Suma Thian yu bergerak lebih dulu, dengan pedang ditangan kanan,

pukulan yang dahsyat ditangan kiri, semua perintang di sapu

serentak.

Perlu di ketahui, telapak tangan kiri pernah direndam dalam

cairan

mestika sian kiam lan, itulah sebabnya betapapun beracun lebah-

lebah tersebut, tak satupun yang bisa mengapa-apakan dirinya.

Sin sian siangsu yang mengikuti dibelakangnya, di samping

melepaskan pukulan untuk mengusir lebah, diam-diam diapun ter

kejut atas kelihayan ilmu silat Suma Thian yu.

Hingga mereka keluar dari perbatasan lembah, lebah-lebah beracun

tersebut baru menghentikan pengejarannya.

Kedua orang itu menghembuskan napas lega, ketika berpaling

tampak oleh mereka kawanan binatang buas peliharaan si Dewa sesat

penakluk harimau telah melintasi daerah perbatasan dan memasuki

wilayah lembah.

Siapa sangka begitu kawanan binatang buas itu melewati

perbatasan,

kawanan lebah beracun yang berada di wilayahnya segera

melancarkan serangan secara besar-besaran.

Tak ampun lagi banyak korban berjatuh di kedua belah pihak.

Suma Thian yu segera bertepuk tangan sambil berteriak:

Bagus, bagus sekali, ini namanya saling bunuh membunuh, mari kita

saksikan pertunjukkan bagus ini, kesempatan semacam ini jarang

bisa dijumpai, kita tak boleh kehilangan kesempatan sebaik ini."

Sin sian siangsu yang berpengalaman lebih luas mendadak berteriak

kaget:

"Aduh celaka, andaikata kakek setengah telanjang itu sudah di

sadarkan kembali mungkin sulit bagi kita untuk meloloskan diri!"

Mendengar perkataan tersebut Suma Thian yu segera berpaling,

betul

juga, si Dewa sesat penakluk harimau telah membebaskan pengaruh

totokan pada kakek setengah telanjang tersebut.

Seandainya jalan darah kakek setengah telanjang itu sudah bebas,

niscaya diakan bekerja sama dengan dewa sesat penakluk harimau

untuk menggabungkan binatang peliharaan mereka guna menyerang

bersama.

Dalam serangan gabungan antara manusia dengan binatang ini, biar

ada seratus orang Suma Thian yu maupun Sin sian siangsu pun

jangan harap bisa lolos dari hutan seratus binatang dan lembah

lebah

beracun ini dalam keadaan selamat.

Menyadari betapa gawatnya keadaan tersebut, Suma Thian yu segera

mengajak Sin sian siangsu untuk kabur dari lingkungan daerah

tersebut dan kabur menuju ke jalan semula.

Baru saja dua orang itu memasuki hutan, suara auman yang gegap

gempita telah bergema dari belakang, agaknya seratus ekor hewan

buas tersebut sudah mulai melancarkan pengejaran.

Dalam keadaan seperti ini, kedua orang itu semakin tak berani

tinggal lebih lama mereka kabur makin kencang dan akhirnya

berhasil lolos dari pengejaran.

Sin sian siangsu tidak berhenti meski mereka sudah lolos dari

wilayah berbahaya, malahan langkahnya semakin dipercepat lagi.

Lebih kurang tiga li kemudian mereka baru memperlambat larinya,

kemudian sambil menggelengkan kepala dan menghela napas

panjang gumamnya:

"Oooh, sungguh berbahaya, untung kedua lembar jiwa kita masih

bisa dipungut kembali dari pintu neraka."

Suma Thian yu tertawa ringan.

"Aah, tak mungkin sedemikian parah, mengapa boanpwee tidak

merasakan sama sekali kalau baru lolos dari bahaya maut?"

Sekali lagi Sin siau siangsu menghela napas panjang:

"Tahukah kau mengapa aku masuk hutan lebat?"

"Mungkin kau tahu kalau boanpwee sedang menjumpai mara

bahaya?"

Sin sian siangsu cepat menggeleng, sambil menuding ke arah sebuah

dusun tak jauh dari situ dia berkata:

"Semalam aku menginap di dusun itu, dari orang dusun kuperoleh

keterangan tentang segala sesuatu diseputar hutan itu, mendengar

cerita mana aku jadi gembira, maka sejak fajar tadi aku

tinggalkan

dusun itu dan melakukan penyelidikan kesini"

"Bukankah kau bisa masuk ke sana dengan lancar dan kembali

dengan selamat?" Apa sih yang menakutkan?" tukas Suma Thian yu

tidak habis mengerti.

Sin sian siangsu segera tertawa.

"Kau hanya tahu satu tak tahu dua, sesungguhnya lembah lebah

beracun mau pun hutan seratus binatang bukan daerah aman”

"Apa sih yang menakutkan?" tegurnya.

"Hmm, kau terlalu polos, ketahuilah di dalam hutan ini berdiam

lima

orang kakek khas yang berhati kejam dan berperangai aneh, yang

baru saja kita jumpai hanya dua diantaranya, bila tiga orang

lainnya

munculkan diri pula, kita pasti akan mampus!"

"Masih ada tiga orang? Tiga orang yang mana?" tanya Suma Thian

yu keheranan.

"Bila hari sudah gelap, ke tiga orang lainnya akan segera

menampakkan diri, bukit gundul dimana kau berdiri tadi adalah Tok

coa nia atau Tebing ular berbisa, seringkali ular beracun

bermunculan bila malam hari sedang hutan lebat yang kita telusuri

barusan adalah Tok go kong lim (hutan kelabang beracun),

sedangkan hutan lebat disebelah barat adalah Tok ci cu lim atau

Hutan laba laba beracun, pokoknya setiap sudut dari wilayah

tersebut

ditempati oleh seorang gembong iblis!"

Berubah paras muka Suma Thian yu setelah mendengar perkataan

itu, badannya jadi dingin separuh, sekarang dia baru memahami

betapa rawannya keadaan mereka waktu itu.

Menyaksikan perubahan wajah Suma Thian yu, Sin sian siangsu

segera tertawa terbahak-bahak.

"Haaah...haaah...haaah... kau ingin sekali lagi menyerempet

bahaya?"

Suma Thian yu mendongakkan kepalanya memandang langit yang

mendekati senja, buru-buru sahutnya:

"Tidak usah...tidak usah.. "

"Haaah...haah...haah... sekarang kau baru merasa takut?"

"Kalau dipikirkan kembali, bergidik rasanya hatiku, sampai

sekarang

pun bulu kudukku masih pada berdiri!"

Suma Thian yu memang 1agi kesepian dalam perjalannya, bisa

bersua dengan manusia macam Sin sian siangsu, boleh dibilang

banyak duka mestapa yang bisa dihilang kan.

Malam itu mereka habiskan dalam perjalanan diiringi sendang gurau

dan pem bicaraannya yang asyik.

Keesokan harinya...

Mereka berdua telah tiba dibawah bukit Jit yang san.

Sambil menuding kearah tanah perbukitan didepan sana, Sin sian

siangsu berseru:

"Kau ingin mendaki bukit itu untuk menyaksikan pemandangan

indah...?"

"Apa sih yang indah?"

"Di atas bukit itu ada gua air, gua itu penuh dengan misteri dan

sudah banyak umat persilatan yang mengunjungi tempat itu tapi

banyak pula yang lenyap setelah melakukan penyelidikan"

Mendengar cerita itu, Suma Thian yu segera menerima tawaran

tersebut.

Terdengar Sin sian siangsu berkata lagi:

"Aku tahu kalau kau sangat tertarik oleh ceritaku, tapi ingat

setibanya disana maka kita harus bertindak menurut keadaan, tak

boleh gegabah, sebab sudah beratus-ratus jago yang menemui

ajalnya ditempat itu.

Dengan langkah berhati-hati berangkatlah mereka ke arah bukit.

Baru tiba di kaki bukit, mereka menyaksikan sebuah tugu

peringatan

didirikan orang dengan tulisan tulisan besar yang amat menyolok

dipandang:

"Gua air Jit yang tong adalah gua siluman, harap para pelancong

berhati-hati!"

Mungkin peringatan tersebut didirikan oleh penduduk disekitar

bukit

tersebut setelah banyak korban berjatuhan disana.

Suma Thian yu mendengus dingin, tanpa banyak bicara dia

meneruskan langkahnya menuju ke atas bukit.

Sin sian siangsu yang menjumpai sikap anak muda tersebut menjadi

cemas, dengan ketat dia mengikuti terus dibelakangnya.

Jalan bukit itu amat sempit dan sukar dilalui, tapi kedua orang

itu

sebagai jago lihay dunia persilatan bukan merupakan masalah,

dengan muda semua perjalanan dapat ditempuh.

Baru saja menaiki subuah tebing, mendadak Suma Thian yu

menghentikan langkahnya sambil menjerit kaget:

"Aaaaii!!"

Dengan cepat dia meluncur naik keatas sebuah pohon yang tumbuh

dihadapannya.

Ternyata diatas pohon itu tergantung secarik kain putih, diatas

kain

itu masih nampak noda darah.

"Apa yang kau temukan?" Sin sian siangsu segera menghampirinya

sambil menegur.

"Chin Siau pasti berada disekitar tempat ini!" seru Suma Thian yu

setelah meneliti kain tersebut.

"Chin Siau? Siapakah Chin Siau itu?"

"Dia adalah seorang jago lihai dari Bong kok kiam jiu (aliran

pedang

bermata buta)"

Secara ringkas dia lantas menceritakan pengalamannya bersama

Chin Siau di bukit Ngo tay san.

Sin sian siangsu tertawa nyaring.

"Berdasarkan secarik kain kau bisa menduga akan dia, hal ini

menunjukkan kalau kau memang seorang yang cermat, cuma...."

"Pakaian yang dikenakan pernah tertusuk oleh pedangku,

berdasarkan hal ini aku lantas menduga kalau dia berada disini"

Selesai berkata, dia lantas menarik tangan Sin sian siangsu untuk

melanjutkan perjalanan mendaki bukit.

Sebuah tebing kembali sudah dilalui, selama ini Suma Thian yu

selalu memperhatikan keadaan disekelilingnya, jangan-jangan masih

ada kain seperti itu yang tertinggal. Apa yang diduga ternyata

tidak

salah, di samping tebing dia jumpai secarik kain yang sama, hanya

gumam Suma thian yu kemudian sambil memungut cuwilan kain itu

dari atas tanah.

Sin sian siangsu tertawa panjang.

"Aku lihat, kau kelewat membayangkan yang bukan-bukan,

seandainya dia memang sudah terkena musibah, darimana dia punya

waktu untuk meninggalkan kainnya sebagai tanda? Aku lihat, bisa

jadi hal ini merupakan bagian dari rencana busuknya untuk

memancing kau masuk perangkap!"

Meskipun dalam hatinya Suma Thian yu tidak setuju pada pendapat

tersebut, tetapi dia juga tidak membantah, maka berangkatlah

kadua

orang itu meneruskan perjalanan-nya.

Ketika mencapai tebing yang ketiga, Sin sian siangsu kembali

berkata:

"Hati-hati, tebing di depan sana adalah gua air yang termasyur

dalam

dunia persilatan"

Sebenarnya ucapan mana dimaksudkan untuk memberi peringatan

agar pemuda itu waspada, siapa tahu Suma Thian yu justru tertawa

panjang sambil melejit ke muka dengan kecepatan tinggi.

Sin sian siangsu yang menyaksikan kejadian ini, terpaksa harus

mengikuti dibelakangnya sambil berteriak:

"Jangan bertindak gegabah, pikirlah tiga kali sebelum bertindak

dalam segala hal!"

Belum habis perkataan ini diutarakan, Suma Thian yu telah tiba di

atas puncak tersebut dan tiba-tiba saja terdengar ia menjadi

kaget:

"Aaaah! Cepat kemari..."

Sing sian siangsu segera melejit ke tengah udara dan meluncur ke

depan dengan kecepatan luar biasa, tapi dengan cepat dia menjerit

pula dengan nada kaget:

"Aaaah!"

Rupanya diatas tebing itu tumbuh berderet pepohonan besar,

jumlahnya mencapai dua puluhan batang lebih, waktu itu, diatas

setiap batang pohon tergantung sesosok mayat.

Diantara mayat mayat tersebut ada kaum lelaki, ada kaum wanita,

ada yang tua ada pula yang muda, tapi semuanya mengenakan

pakaian ringkas dan bersenjata, jelas orang-orang persilatan.

Memandang adegan yang terbentang di depan mata, tanpa terasa

kedua orang itu menghembuskan napas dingin.

Sambil menggelengkan kepala serta menghela napas dalam-dalam

Sin sian siangsu berkata:

"Aaai, kalau manusia sudah bejat moral, dia selalu membantai

orang

seperti membantai binatang, betul-betul neraka ditengah alam

manusia, hiantit, menurut perkiraanku disini pasti hidup seorang

iblis

yang suka membunuh orang seperti membabat rumput dan dapat

membunuh orang tanpa berkedip mata"

Suma Thian yu mencoba untuk memeriksa mayat-mayat tersebut

dengan seksama, dia mencoba untuk mendapat tahu apakah Chin

Siau terdapat diantara korban korban pembunuhan itu, ternyata

tidak

ada, Chin Siau bukan termasuk korban pembunuhan keji.

Sambil menuding kebelakang deretan pepohonan itu Sin sian siangsu

berkata:

Didepan sana adalah gua air, bisa jadi sahabatmu itu sudah

menyerempet bahaya dan masuk kesana.

Habis sudah kesabaran Suma Thian yu setelah mendengar perkataan

ini, cepat-cepat serunya:

"Cianpwee, mari kita segera masuk, aku kuatir dia telah tertimpa

bencana!"

Baru selesai perkataan itu diucapkan, mendadak....

Ditengah keheningan yang mencekam sekeliling tempat itu,

berkumandang suara pekikan nyaring yang amat menggidikkan hati,

suaranya seperti jeritan kuntilanak ditengah malam buta membuat

bulu kuduk orang pada bangun berdiri, menyeramkan.

Baik Sin sian siangsu maupun Sama Thian yu kedua duanya sama-

sama merasa terkejut, ditengah gugupnya cepat mereka

membalikkkan badan dan berusaha menahan gerak laju mereka

secara paksa.

Tiba-tiba pandangan matanya terasa kabur dan...Sreeet,

sreeet...."

tiga sosok bayangan manusia berkelebat lewat dihadapan mereka.

Ternyata mereka terdiri dari dua orang lelaki dan seorang wanita

yang berdandan sangat aneh.

Orang pertama merupakan seorang kakek berusia enam puluhan

yang telanjang bagian atasnya, dia kurus sekali sehingga tinggal

kulit

yang membungkus tulang, namun di tangannya memegang sebuah

tongkat dengan diujung tongkat itu berukirkan sebuah kepala ular.

Orang kedua juga seorang kakek, usianya hampir sebaya yaitu enam

puluh tahunan, bagian rawan dari tubuhnya saja yang di tutup

dengan

beberapa lembar daun, dia membawa pula sebuah tongkat, hanya

pada ujungnya berukir seekor kelabang.

Orang ketiga adalah seorang nenek, dia berusia lima puluh tahunan

dengan perut yang buncit, tubuh bagian atasnya ditutup dengan

selembar kain sutra yang tipis sementara didalam genggamannya

membawa sebuah kipas bambu, diatas kipas menempel sepasang

laba laba.

Sin sian siangsu yani cukup berpengalaman dalam dunia persilatan

kuatir kalau Suma thian yu tidak mengenali asal usul beberapa

orang

itu, buru-buru serunya ke mudian sambil tertawa tergelak.

"Ooh...rupanya tay ong bertiga yang sudah lama termashur namanya

dalam dunia persilatan tapi, heran, mengapa kalian ber tiga bisa

muncul dibukit Jit yang san ini?"

Si kakek bertongkat kepala ular itu menjawab dingin:

"Kami khususnya datang untuk menyambut kalian! Kalau toh kalian

berdua sang gup memasuki lembah lebah beracun dan hutan seratus

binatang, hal mana membuktikan kalau kepandaian silat yang kau

miliki cukup hebat, sayang kami bertiga kebetulan tak hadir

disana,

itulah sebabnya kami tak bisa turut menyambut, harap sudi

dimaafkan.

Sin sian siangsu tertawa terbahak bahak:

Haaa... haaaa...ucapan kalian bertiga terlalu serius, kami berdua

tak

lebih hanya kuli silat kasaran yang kebetulan saja lewat disini,

kami

000O000sedang menyesal lantaran tak bisa menjumpai kalian

memang

bertiga, setelah perjumpaan hari ini terbukti sudah bahwa apa

TERNYATA si kakek yang membawa tongkat terkepala ular itu

yang

adalah pemimpin dari Tok coa benar"

kami dengar selama ini memangnia (tebing ular beracun) yang

disebut

orang sebagai Tok coa mo ong (Raja iblis ular beracun).

Kakek kedua yang membawa tongkat berkepala kelabang adalah

pemimpin dari Go kong lim (hutan kelabang) yang disebut orang Go

kong mo ong (Raja iblis kelabang), Sedangkan si nenek tak lain

adalah Ci cu mo poo (Nenek iblis laba laba).

Ketiga orang gembong iblis ini bersama Pek siu ong (Raja seratus

binatang) dari hutan Pek siu lim yaitu Hu hon sia sian dan Tok

hong

mo ong (Raja iblis lebah beracun) disebut orang Khong ciong mo

ong (lima raja dari pedalaman) sedangkan orang persilatan

menyebut

mereka sebagai Mang huang ngo mo (lima iblis dari daerah liar).

Mereka termashur karena peliharaannya yang beracun, setiap orang

memiliki sejenis binatang peliharaan yang selain beracun juga

amat

jahat dan berbahaya.

Seperti misalnya si Raja iblis lebah beracun, didalam lembahnya

terdapat beribu-ribu ekor lebah beracun yang semuanya berada

dalam kendali dirinya.

Begitu pula dengan ke empat rekannya, mereka semua merupakan

orang-orang pedalaman yang masih liar dan gemar sekali melakukan

kejahatan.

Yang beruntung adalah kelima orang ini tak pernah bersatu, mereka

masing-masing berusaha untuk menjadi raja dan tak mau saling

bekerja sama, coba kalau mereka saling bersatu padu, niscaya

dunia

persilatan akan dibikin obrak-abrik.

Adapun binatang andalan mereka adalah Lebah beracun, laba laba

beracun, ular be racun, kelabang beracun dan macan kumbang hitam.

Tapi kalau dibicarakan kembali memang cukup aneh, sebab binatang

tandingan dari ular beracun sesungguhnya adalah kelabang, sedang

tandingan dari kela bang adalah macan kumbang hitam, sebaliknya

tandingan dari macan kumbang hitam adalah lebah beracun, tapi

lebah beracun sendiri takut dengan laba laba, sedang laba laba

takut

dengan ular beracun dan begitu seterusnya.

Ketika semalam Suma Thian yu memasuki hutan wilayah mereka,

kebetulan sekali Raja iblis ular beracun dan raja iblis kelabang

beracun sedang menyambangi nenek iblis laba laba beracun dihutan

sebelah utara, oleh sebab itu dia hanya menjumpai raja iblis

seratus

binatang dan raja iblis lebah beracun, coba kalau bukan demikian

tak

bisa dibayangkan bagaimanakah nasib dari Suma Thian yu serta Sin

sian siangsu.

Menanti ketiga raja iblis itu mendapat laporan kalau hutan mereka

diserbu orang dan segera berangkat kebukit Jit yang san yang

memang bersatu dengan hutan sebelah utara, waktu itu Sin sian

siangsu dan Suma Thian yu sedang menuju pula kesitu, akibatnya

mereka saling berjumpa disini.

Sementara pembicaraan berlangsung, sorot mata si raja iblis ular

beracun mengawasi wajah Suma Thian yu tiada hentinya. Sebab dari

mulut Hu hou sia sian yang baru saja diselamatkan, dia mendapat

tahu kalau kepandaian silat yang dimiliki anak muda tersebut

lihay

sekali.

Itulah sebabnya begitu saling berjumpa pun mengawasi anak muda

tersebut dengan seksama.

Dasar anak muda yang masih berdarah panas, merasa diamati terus

oleh orang lain, timbal perasaan muak dan kesal dihati Suma

Thian

yu, dengan cepat dia menegur:

"Hei, bila kalian bertiga ada maksud tertentu untuk menghadang

jalan pergi kami, ayo cepat diutarakan sekarang juga, kalau

tidak,

lebih baik menyingkir saja, aku masih ada urusan lain harus

segera

berangkat ke gua Jit yang tong"

Raja iblis ular beracun tertawa seram.

"Bocah keparat kau datang mencari kematian atau mengiringi

kematian? Kau tahu, siapakah pemilik gua Jit yang tong itu?

Kalau

ingin menghantar kematianmu disitu, lebih baik tinggalkan dahulu

kepandaianmu sebelum terkubur selamanya digua air tersebut!"

Mengetahui kalau gua air tersebut mempunyai pemilik lain, sekali

lagi Suma Thian yu merasakan hatinya bergetar keras, apa bila

terbayang Chin Siau kena dibekuk pemilik gua air tersebut,

hatinya

bertambah gelisah.

Tiba-tiba terdengar Sin sian siangsu berkata:

"Kalian bertiga semuanya adalah jago-jago yang merajai suatu

daerah, buat apa sih mesti ribut dengan kami? Apalagi kedatangan

kami kemari hanya untuk mencari seorang teman saja, buat apa

kalian mesti memojokkan orang lain?"

Mendengar perkataan mana, si Raja iblis ular beracun segera

membuat sebuah garis lurus diatas tanah dengan tongkat kepala

ularnya, setelah memberi tanda kepada kedua orang rekannya,

mereka bertiga sama-sama mundur kebelakang garis lurus tadi.

Kemudian sambil tertawa seram dia baru berkata:

"Barang siapa tidak takut, ayo maju dan langkahi garis lurus

yang

kubuat ini."

Sin sian siangsu mengerutkan dahinya dan ragu sejenak, sebelum

ia

sempat berbuat banyak barang sesuatu hal, Suma Thian yu tertawa

nyaring dan melangkahi garis lurus tersebut.

Sin sian siangsu menjadi tertegun, tetapi dengan cepat dia

menyusul

Setelah tertawa seram, Raja iblis ular beracun segera

mengacungkan

ibu jari sembari berkata:

"Punya nyali, benar-benar punya nyali, aku sangat kagum, aku

kagum sekali, biar aku yang memberi pelajaran dulu padamu!"

Tongkat kepala ularnya segera diayunkan kedepan, diiringi deruan

angin serangan yang maha dahsyat dia langsung menyerang jalan

darah Yu bun hiat di bawah tetek Sin Sian siangsu.

Sesungguhnya Sin sian siangsu termasuk seorang jago yang banyak

humor dan berwatak aneh, dihari-hari biasa dia paling segan

melakukan pembunuhan, lagipula orangnya sabar dan bersedia

mengalah kepada siapa saja.

Walaupun demikian, kesabaran orang itu ada batas-batasnya,

setelah

didesak dan dipojokkan berulang kali, habis juga akhir nya

kesabaran

orang ini.

Sambil tertawa dingin dia balas maju ke depan, sepasang lengannya

digerakkan kekiri dan kanan melepaskan serangan dan tangkisan

bersama kemudian, dengan kecepatan bagaikan kilat, kepalan

kanannya menyodok kedada si raja iblis ular beracun.

Betapa terkejutnya si raja iblis ular beracun setelah menghadapi

ancaman itu, tongkatnya ditarik dengan cepat sambil buru-buru

mundur kebelakang, menyusul kemudian dia memutar tongkatnya

melakukan per tarungan pertarungan keras melawan keras.

Di pihak lain, si nenek iblis laba laba beracun tidak menganggur

pula, sambil menggoyangkan kipas bambunya dia menerjang

kehadapan Suma Thian yu, lalu katanya sambil tertawa terkekeh

kekeh:

"Hei bocah, biar lo nio menemanimu bermain-main sebentar!"

Kipas bambunya segera dikebaskan kemuka, segulung hawa panas

yang menyengat badan cepat berhembus keatas wajah Suma Thian

yu.

Sejak berpengalaman di lembah lebah beracun dan hutan seratus

binatang, Suma thian yu sudah cukup mengerti tentang ke mampuan

ke lima iblis tersebut, dalam per tarungan asal dia bisa berhati-

hati

dalam mengawasi jurus serangan, maka kemenangan tentu berhasil

diraih dengan mudah.

Itulah sebabnya ketika melihat serangan pertama dari si nenek

iblis

laba laba beracun ditujukan hendak melukainya dengan racun, ia

Tiba-tiba tangan kirinya dibalik keatas, kelima jari tangannya

membentuk kaitan dan memancarkan segenap tenaga dalamnya

melewati ujung ujung jari itu.

Tangan kanannya tidak menganggur pula, dengan cepat dia

meloloskan pedang Kit hong kiamnya.

Begitu senjata tersebut dicabut dari sarungnya bergemalah suara

dentingan nyaring disusul pancaran sinar biru ke empat penjuru,

dalam waktu singkat sebuah serangan telah dilepaskan.

Mimpipun si nenek iblis laba laba beracun tidak menyangka kalau

lawannya seorang pemuda ingusan bisa melancarkan serangan

sedemikian cepatnya, dalam waktu singkat dua jurus serangan telah

dilepaskan berbareng dengan kekuatan yang maha dahsyat.

Ketika ia merasakan hawa beracunnya terbendung, tahu-tahu cahaya

tajam sudah menyambar tiba.

Untung saja si nenek iblis laba laba beracun bukan termasuk

manusia

lemah, kipas bambunya cepat dikibaskan kekiri dan kanan.

"Weesss... weeess... weesss..."

Secara beruntun dia lepaskan pula tiga buah serangan berantai

yang

kesemuanya ditujukan keatas jalan darah penting ditubuh Suma

Thian yu.

Menghadapi ancaman yang begitu berbahaya, Suma Thian yu sama

sekali tidak gugup ataupun gelisah, pedangnya diputar membentuk

lingkaran cahaya berwarna biru dan serentak berhasil mematahkan

keti ga serangan kipas dari nenek iblis laba laba beracun itu.

Menyusul kemudian pedangnya diputar sambil mendesak kedepan,

memaksa si nenek iblis tersebut harus mundur dua langkah dari

posisi semula.

"Hei nenek peot!" seru pemuda itu kemudian sambil menarik

kembali serangannya, “apakah aku cukup berhak untuk mengunjungi

gua air Jit yang tong?"

Agaknya si nenek iblis laba laba beracun masih tertegun karena

kena

didesak mundur oleh pemuda itu, mendengar pertanyaan mana, tanpa

disadari dia menyahut:

"Cukup, cukup!"

"Kalau begitu, aku tidak akan melayani dirimu lebih jauh" seru

sang

pemuda sambil menjura.

Kepada Sin sian siangsu masih terlibat dalam pertarungan dia

"Cianpwee, kita harus segera berangkat!"

Belum selesai dia berkata, mendadak terdengar raja iblis kelabang

beracun telah membentak nyaring:

"Bocah keparat, masih ada yayamu yang belum kau layani!"

Tubuhnya bergerak secepat angin, didalam waktu singkat dia sudah

menerobos maju kehadapan Suma Thian yu.

pada saat itulah si nenek iblis laba laba beracun baru mendusin

kembali dari lamunannya, melihat sikapnya yang memalukan tanpa

mengucapkan sepatah katapun dia menyusul dibelakang raja iblis

kelabang beracun menuju kehadapan anak muda tersebut kemudian

serunya:

"Lo nio belum mau menganku kalah, tidak gampang kau ingin pergi

dari sini"

Memandang kebandelan kedua orang musuhnya, Suma Thian yu

hanya bisa tertawa getir, apalagi bila teringat keliaran dan

kebuasan

manusia-manusia buas tersebut, dia ingin sekali memberi pelajaran

yang setimpal kepada orang-orang itu!

Dengan sorot mata yang tajam, diawasinya sekejap kedua orang itu,

kemudian dia memandang pula kearah Sin sian siangsu dan raja

iblis

ular beracun yang sedang bertarung sengit.

Segera terlihat olehnya betapa cepatnya gerak serangan dari

gembong iblis itu, semua serangannya dilancarkan seperti orang

kalap, namun sayang tiada bermanfaat.

Cukup dalam sekilas pandangan, Suma Thian yu telah memahami

kemampuan dari makhluk-makhluk tua tersebut, diam-diam ia

tertawa geli. Bentaknya kemudian dengan lantang:

"Tahan! cianpwee mundur dulu... aku mempunyai sebuah usul yang

sangat bagus!"

Pada dasar Sin sian siangsu memang tak bertindak keji terhadap

kawanan manusia liar itu, ia banyak menggunakan segala kelincahan

tubuhnya saja untuk memberi peringatan kepada mereka, mendengar

seruan tersebut, dengan cepat dia melompat mundur dari arena

pertarungan.....

Menanti semua orang sudah menghentikan serangannya, Suma Thian

yu baru berkata dengan lantang:

"Bila aku kelewat takabur, harap tay ong bertiga jangan marah,

agar

lebih berhemat waktu, silahkan kalian bertiga menyerang bersama

saja, andaikata aku sampai kalah, biar aku pun cepat menyerah.

Dengan pertarungan seperti ini, pasti suasananya akan bertambah

ramai, entah bagaimana dengan pendapat tay ong bertiga?"

Racun iblis ular beracun mendengus dingin, biji mata sesatnya

berputar kian ke mari, lalu jawabnya:

"Bagus sekali, cuma sampai waktunya nanti kau jangan menuduh

kami bertiga orang tua mempermainkan seorang bocah, yang minta

begini adalah kau sendiri....."

"Oooh, jangan kuatir, aku berbicara atas dasar kemauan sendiri,

tentu

saja aku tak bakal menyalahkan siapa pun" kata Suma thian yu

sambil tertawa terbahak-bahak.

Sin sian siansu menjadi sangat gelisah setelah menyaksikan

kejadian

ini, cepat timbrungnya dari samping:

"Hiantit, kau....."

Sebelum ucapan tersebut selesai diutarakan, Suma Thian yu kembali

telah menukas:

"Ciaupwee tak usah kuatir, aku sudah mempunyai rencana yang

cukup matang"

Menyaksikan kekerasan kepala pemuda itu, Sin sian siangsu hanya

bisa menggelengkan kepalanya sambil menghembuskan napas

panjang, dia segera mengundurkan diri dari arena.

Si raja iblis kelabang beracun sungguh merasa mendongkol sekali,

sepasang giginya sampai menggertak keras, sepasang matanya

memancarkan sinar mata berapi-api dan mengawasi Suma Thian yu

dengan penuh amarah dan tak berkedip.

Tiga orang gembong iblis ini biasanya malang melintang ditakuti

orang, belum pernah mereka dicemooh bahkan dipandang rendah

seperti hari ini.

Bisa dibayangkan sampai dimanakah amarah mereka bertiga setelah

bertemu de ngan jago muda yang tidak takut langit tidak takut

bumi

ini, kalau bisa mereka ingin sekali menggigit dan menelan suma

Thian yu ke dalam perut.

Dalam pada itu, si raja iblis ular be racun telah membisikkan

sesuatu

ke sisi telinga raja iblis kelabang beracun, kemudian bentaknya

kepada Suma Thian yu:

"Anak muda, aku mempunyai sebuah usul bagus, bersediakah kau

untuk menerimanya?"

"Asalkan kalian bertiga mengusulkan, aku pasti akan menyanggupi

Begitu ucapan tersebut diutarakan keluar, Sin sian siangsu yang

berdiri diluar arena merasakan tubuhnya bergetar keras, pekik nya

tanpa terasa dihati:

"Aduh celaka, habis sudah kali ini."

Si Raja iblis ular beracun mendongakkan kepalanya sambil berpekik

nyaring, begitu selesai berpekik, dari sakunya dia mengeluarkan

seekor ular kecil yang berwarna kuning emas.

Menyaksikan ular kecil ini, tiba-tiba saja Suma Thian yu teringat

kembali dengan ular kecil berwarna emas yang pernah di jumpa

dipuncak di im hong tempo hari, gelisah hatinya. Sebab dari

gurunya

Put gho cu dia mendapat tahu akan kelihayan ular emas kecil ini.

Si raja iblis ular beracun segera tertawa bangga setelah

menyaksikan

paras muka Summa Thian yu berubah menjadi pucat pias, katanya

setengah mengejek:

"Bagaimana? Kau merasa takut? Hei, bocah keparat, aku merasa

bertanding ilmu silat kurang merangsang napsu, mari kita beradu

racun saja, pasti pertandingan ini lebih merangsang dan gembira!"

Suma Thian yu berusaha keras mengendalikan rasa ngerinya, dengan

menunjukan sikap acuh tak acuh dia bertanya:

"Bagaimana cara kita bertanding?"

Raja iblis ular beracun tertawa seram.

"Bila kau beranggapan cara bertanding ini kurang adil, tentu saja

kau

tak perlu memaksakan diri"

Suma Thian yu tertawa terbahak:

"Haaa...haaa...kalau hanya seekor ular emas yang begitu kecil mah

tak akan bisa menakuti aku, cuma sauyapun mempunyai sebuah

syarat"

"Apa syaratmu?"

"Kita harus bertanding dua babak, babak pertama diusulkan kalian

bertiga sedang babak kedua haruslah aku yang mengajukan

persoalan, ini baru adil namanya, entah bagaimana pendapat kalian

bertiga?"

"Boleh sih boleh saja, pokoknya kami setuju"

Tentu saja mereka bertiga setuju, karena dalam perkiraan mereka,

baru dalam babak pertama saja Suma Thian yu sudah bisa dibikin

mampus, mana mungkin dia berkesempatan untuk bertarung pada

babak yang kedua atau selanjutnya?

Suma Thian yu tertawa misterius, ujarnya kemudian:

"Pembicaraan telah usai, silahkan kalian mengajukan

pertanyaan...!"

Raja iblis ular beracun tertawa seram, ular emas kecilnya

diletakkan

ditangan ki rinya dan membiarkan tangan tersebut di pagut satu

kali,

kemudian dengan wajah tak berubah dia berkata sambil tertawa

seram.

"Sekarang tiba giliranmu"

Sin sian siangsu yang menyaksikan kejadian mana, merinding

sekujur badannya buru-buru dia berkata:

"Hiantit, jangan bertindak gegabah"

Suma thian yu tertawa terbahak-bahak, dia tidak menggubris

nasehat

dari rekannya itu malah menyambut ular emas tadi dengan tangan

kirinya.

Memandang tingkah laku pemuda itu, Raja iblis ular racun

memperdengarkan gelak tertawa seramnya yang penuh dengan

kebanggaan.

Mendadak ular kecil itu melejit kedepan dan memagut telapak

tangan kiri Suma thian yu.

Pemuda itu hanya merasakan telapak taegan kirinya menjadi kaku,

menyusul kemudian sama sekali tak menunjukkan gejala apa-apa.

Sepanjang kejadian tersebut berlangsung si raja iblis ular

beracun

hanya membelalakan matanya sambil mengawasi setiap perubahan

yang terjadi.

Dikala ular itu menggigit lengan lawan, dia tak dapat membendung

rasa girang dihatinya, sehingga tertawa terbahak-bahak. Tapi

gelak

tawa tersebut segera terhenti ditengah jalan dan berganti menjadi

pekikan aneh yang menyerupai isak tangis.

Ternyata ular emas yang menggigit lengan kiri Suma Thian yu itu

segera mengejang keras dan tak berkutik lagi.

Suma Thian yu melirik sekejap ke arah ular kecil tersebut dengan

pandangan sinis lalu menyodorkan bangkai itu kehadapan raja iblis

ular beracun sembari berkata:

"Benar-benar tak berguna, aku pikir ular emas ini ular palsu

barang

kali, masa begitu tak dapat, hanya menggigit sekali sudah tak

Berkutik?"

"Apa sudah mati?"

Sambil menjerit kaget raja iblis ular beracun menerima kembali

ular

emasnya, ke mudian menangis tersedu-sedu seperti anak kecil.

Suma Thian yu sama sekali tak menggubris ulah musuhnya, sambil

berpaling kearah Raja iblis kelabang beracun, dia berkata:

"Tay ong, apakah kau ingin memperlihatkan pula kelihayanmu?"

Dengan sorot mata kaget bercampur heranan si raja iblis kelabang

beracun mengawasi wajah anak muda itu tanpa berkedip, sementara

dihati kecilnya dia berpikir:

"Entah setan atau manusiakah dia? Kalau setan mengapa dia

berbentuk manusia? Kalau manusia, mengapa mempunyai kepadaian

yang begitu dahsyat? Hmm mungkin saja dia memang kebal

terhadap racun ular...kelabang adalah tandingan ular beracun bila

kau

tidak takut ular, tentu kau takut dengan kelabang"

Berpendapat demikian dari sakunya dia lantas mengeluarkan seekor

kelabang berkaki seratus. Kelabang dari jenis ini meru pakan

kelabang yang beracun sekali, barang siapa terpagut niscaya akan

tewas seketika.

Sejak dilahirkan hingga begini dewasa, belum pernah Suma Thian yu

menyaksikan kelabang berkaki seratus yang begini aneh dan

mengerikan hati, merinding sekujur badan nya karena seram, hawa

dingin nerambat ketubuhnya membuat bulu kuduknva pada bangun

berdiri.

Tadi, dia berhasil menahan racun ular karena telapak tangan

kirinya

mengandug cairan mestika Jio sian kiam len ci tapi sekarang dia

tidak tahu apakah cairan mestika itu masih mampu untuk menahan

racunnya si kelabang beracun atau tidak.

Raja iblis kelabang beracun tertawa dingin, pikirnya lagi dengan

nada amat bangga:

"Nah, ini dia, bocah keparat ini tentu jeri dengan kelabang,

heeh,

heeh, heeh, bila aku berhasil kali ini, pasti aku akan menjadi

pemimpin semua orang!"

Berpikir denemikian, dengan mengikuti cara yang semula, dia mem

biarkan kelabang tersebut menggigit tubuhnya sendiri, kemudian

baru menyodorkan kehadapan Suma Thian yu.

Diam-diam Suma Thian yu berdoa, kemudiua menyalurkan segenap

hawa murninya ke telapak tangan kiri guna berjaga-jaga terhadap

segala kemungkinan yang bisa terjadi, andaikata cairan Jin sian

kiam

lan ci tidak manjur, dia akan mempergunakan tenaga dalam nya yang

Raja iblis kelabang beracun tertawa seram dia letakkan kelabang

beracun itu ke atas telapak tangan Suma Thian yu.

Dengan gesit kelabang tadi melompat keatas telapak tangan pemuda

itu dan menggigitnya.

Suma Thian yu sama sekali tidak bergerak, sorot matanya yang

tajam

mengawasi kelabang diatas tangannya tanpa berkedip, sementara

peluh sebesar kacang kedelai jatuh bercucuran dengan derasnya.

Raja iblis kelabang beracun sendiripun mengikuti perkembangan

selanjutnya dengan perasaan tegang, jantungnya berdebar keras

serasa mau melompat keluar dari rongga dadanya....

Dalam pada itu, si raja iblis ular beracun telah menghentikan

pula

isak tangisnya, dia turut mengawasi adegan tersebut dengan

perasaan

berdebar.

Mendadak......

Suma Thian yu memperdengarkan suara pekikan yang nyaring

sekali.

Semua orang terperanjat, pekikan itu ibarat guntur yang membelah

bumi disiang hari bolong, serentak semua orang mengalihkan sorot

matanya ke arah telapak tangak Suma Thian yu.

Mendadak terdengar raja iblis kelabang beracun menjerit keras,

dengan cepat tubuhnya menerjang ke depan Suma Thian yu

sementara kepalanya langsung diayunkan ke tubuh pemuda tersebut.

"Bocah keparat" teriaknya gusar "ayo ganti seekor kelabang untuk

ku!"

Agaknya kelabang beracun berkaki seratus andalannya telah

menyusul nasib dari ular emas kecil tadi mampus ditangan lawan.

Suma Thian yu tertawa sambil berkelit kesamping, dia menyodorkan

bangkai kelabang tersebut ke depan Raja iblis kelabang beracun,

kemudian ujarnya:

"Jangan terburu napsu, bukankah di dalam hutan kelabangmu penuh

dengan kelabang, apa sih artinya kematian seekor kelabang mengapa

kau tidak berpikir, aku Suma Thian yu hanya ada satu didunia ini,

bila mati tak bakal muncul lagi ke duanya....."

Lalu kepada nenek iblis laba laba beracun dia berkata pula:

"Hei si nenek, sekarang tiba giliranmu, apakah kau mempunyai

permainan baru?"

"Betul!" si nenek mengangguk.

"Apakah pelajaran yang diterima ke dua orang itu masih belum

cukup sebagai contoh soal bagimu?" kembali Suma Thian yu

tertawa.

Nenek iblis laba beracun mendengus dingin, umpatnya:

"Setan cilik, kau tak usah takabur, lo nio sudah mengetahui

siasat

busukmu itu, dua kali pertarungan tadi kau selalu menghadapi

serangan dengan telepak tangan kiri, ini menunjukkan kalau

telapak

tangan kirimu telah di rendam dengan obat penawar racun. Mari,

mari, lo nio akan menukar dengan cara lain saja"

Dari atas kipas bambunya dia menangkap seekor laba laba, kemudian

ujarnya sambil terkekeh-kekeh:

"Lihatlah permainanku ini!"

Suma Thian yu dibuat terkejut juga setelah mendengar ucapan dari

si

nenek iblis itu, diam-diam pikirnya:

"Lihay amat nenek ini!"

Dalam pada itu, si nenek iblis laba laba beracun telah

menggenggam

laba labanya dan diiringi tertawa seram dia telan laba laba

tersebut

kedalam perut, sebagai bukti, dia malah memperhatikan mulutnya

kepada anak muda tersebut.

Muak perut Suma Thian yu menyaksikan adegan tersebut, nyaris isi

perutnya ikut tumpah keluar.

Pemuda itu segera menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya

kemudian:

"Dalam babak ini aku mengaku kalah saja, berbicara sesungguhnya,

aku tidak mempunyai keberanian untuk menelan laba laba tersebut.

Maaf, permainan orang pedalaman yang liar seperti ini tak berani

kucoba ikuti"

Nenek iblis laba laba beracun segera mendongakkan kepalanya dan

tertewa seram, suaranya mengerikan seperti jeritan setan, buat

siapapun yang mendengarkan merasakan hatinya jeri dan tak enak.

Seusai tertawa, sambil menuding ke arah Suma Thian yu kembali dia

berkata:

"Setan cilik, aku akau melanggar kebiasaan ku, asal kau bersedia

berlutut dan menyembah tiga kali kepadaku, akan kuijinkan kau

untuk meninggalkan bukit Jit yang san ini, kalau tidak, hmmmm...!

Semenjak berhasil menangkan dua babak pertama, kepercayaan

Suma Thian yu terhadap diri sendiri semakin bertambah kuat,

sesungguhnya dia tidak menandang sebelah matapun ter hadap laba

laba beracun itu, namun kalau dia disuruh menelannya, ia benar-

benar tak berani untuk mencobanya.

"Hei si nenek, kau jangan kelewat memojok kan orang" kata Suma

Thian yu kemudian, "aku bukannya takut dengan laba labamu itu,

hakekatnya aku tak ingin mencari gara-gara denganmu, bila kau

menginginkan aku telan binatang, biar kita ambil jalan tengah

dengan menyudahi pertarungan ini dengan seri saja, toh lebih baik

kita sudahi saja masalah ini sampai disini saja!"

"Tidak bisa, kau masih belum berhak untuk mengajukan usul! bentak

nenek iblis laba laba beracun sambil menggelengkan kepalanya

berulang kali.

"Kalau begitu, aku harus melaksanakan janjiku?"

"Benar!" jawaban dari si nenek iblis ini teramat tegas.

Tak kuasa lagi Suma Thian yu mendongakkan kepalanya dan tertawa

nyaring, dengan cepat dia mengangsurkan tangan kirinya ke hadapan

nenek iblis tersebut.

Dari atas kipas bambunya nenek iblis menangkap seekor laba laba

dan diserahkan ke tangan anak muda itu, tanpa ragu Suma Thian yu

segera memencet laba laba itu sampai mati lalu setelah diletakkan

berapa saat diatas telapak tangan kirinya, menanti kadar racun

sudah

berkurang, ia baru menelannya.

Namun ketika sorot matanya membentur dengan gumpalan laba laba

itu, dia menjadi ragu kembali.

Memandang sikap dari Suma thian yu, si nenek iblis laba laba

beracun tertawa penuh kebanggan.

Dia mensanggap hal ini merupakan kemenangan baginya, dia

mengira inilah penampilannya yang melebihi orang lain, paling

tidak

ia sanggup membuat lawan mengalami kesulitan. Suma Thian yu

mendongkol sekali menyaksikan kesombongan lawan, segera

pikirnya.

"Hutan golok, kuali berisi minyak mendidih pun sanggup kulakukan,

masa aku tak berani menelan seekor laba laba kecil yang sudah di

punahkan kadar racunnya?"

Berpikir, demikian, tanpa ragu-ragu lagi dia lantas menelan laba

laba

tersebut kedalam perut.

Nenek Iblis laba laba beracun menjadi tertegun setelah

menyaksikan

kejadian mana, sebelum ia sempat berbicara sesuatu, Suma Thian ya

permintaan kalian, dan menangkan semua pertarungan ini, sekarang

tiba giliran sauyamu untuk mengajukan persoalan"

Ketiga orang gembong iblis itu segera berdiri tertegun belaka

sambil

mengawasi Suma thian yu, mereka menganggap pemuda ini sebagai

malaikat yang baru turun dari kahyangan.

Yang lain jangan dibicarakan, seandainya si raja iblis ular

beracun

disuruh menelan laba laba beracun, atau si nenek iblis laba laba

beracun disuruh menerima gigitan dari kelabang beracun niscaya

mereka akan tewas dengan segera.

ATau dengan perkataan lain ketiga orang itu sama-sama tak akan

mampu untuk menyelesaikan pertarungan ini, tapi pemuda yang

berada dihadapan mereka sekarang sanggup menyelesaikan semua

tugas itu secara baik, jelss hal semacam ini diluar kemampuan

orang

biasa.

Raja iblis ular beracun benar-benar takluk, terdengar ia berkata

dengan cepat:

"Terima kasih" serunya kemudian.

"Masuklah kedalam, orang yang hendak kau cari belum mati"

SiapaThian si Raja iblis kelabang berseru secara tiba-tiba:

Suma tahu yu gembira sekali mendengar perkataan itu.

"Bocah keparat, kau jangan pergi dulu, kalau akan pergi, bayar

dulu

kerugian yang kami derita"

"Hah! ganti rugi apa?" tanya Suma thian yu kaget.

"Seekor ular emas, seekor kelabang berkaki seratus dan dua ekor

laba laba beracun!"

Mendengar perkataan tersebut Suma thian yu segera mendongakkan

kepalanya dan tertawa terba hak-babak:

"Seandainya selembar jiwaku sampai melayang, siapa pula yang

akan membayar ganti rugi kepadaku?"

Kemudian sambil mengalihkan pandangan matanya ke wajah nenek

iblis laba laba beracun, dia bertanya:

"Apakah kau minta ganti rugi dariku?"

"Tentu Saja!"

Suma thian yu segera berpaling pula kearah raja iblis ular

beracun

sambil bertanya lagi:

"Dan kau?"

Raja iblis ular beracun nampak agak ragu, akhirnya dia menjawab

agak tergagap:

"Ter.....terserah...."

Suma Thian yu manggut-manggut.

"Kalau toh kalian bertiga begitu liar, terpaksa aku harus

membayar

ganti kerugian kepada kalian, nah siapa yang akan maju duluan?"

Raja iblis kelabang beracun melompat kedepan Suma Thian yu,

telapak tangan-nya di silangkan didepan dada, sementara

tongkatnya

membuat gerakan setengah lingkaran diudara lalu dihantamkan

kearah kepala lawan sambil membentak gusar:

"Setan cilik, locu akan mencabut nyawamu!"

Amarah Suma Thian yu benar-benar sudah mencapai pada

puncaknya, pedang Kit hong kiamnya diputar menciptakan selapis

cahaya bianglala biru yang amat menyilaukan mata, kemudian....

"Kraaakkk!" tongkat berkepala kelabang milik raja iblis kelabang

beracun sudah terpapas kutung menjadi dua bagian.

Suma Thian yu memang berniat untuk menghabisi nyawa musuhnya,

dengan cepat pedang Kit hong kiamnya diputar menggunakan jurus

Ciong liong hong ji hay (naga masuk samura) secepat sambaran

petir

menusuk keperut musuh.

Jeritan ngeri yang memilukan hati segera berkumandang dari mulut

raja iblis kelabang beracun, perutnya robek dan ususnya mengalir

keluar, toyanya yang tinggal separuhpun terjatuh ke tanah.

Sambil memegangi perutnya yang robek dan wajah pucat pias,

sekujur badannya gemetar keras, akhirnya dia roboh, dia tak

pernah

bangun kembali.

Sehabis membereskan 1awannya, Suma Thian yu berpaling ke arah

nenek iblis laba laba beracun, lalu bentaknya lagi:

"Apakah kau masih bermaksud untuk menuntut ganti rugi?"

Bergidik sekujur badan nenek iblis itu selesai melihat keampuhan

sang pemuda yang menghabisi nyawa raja iblis kelabang beracun

dalam sekali ayunan pedang, dia tak berani banyak berkutik lagi.

Suma Thian yu tidak memberi kesempatan lagi kepada lawannya,

dengan cepat dia menerobos kedepan nenek iblis, pedang Kit hong

kiamnya dengm jurus Tui san tiam hay (mendorong bukit

membendung samudra) membacok ke muka.

Cahaya biru berkelebat lewat, sebelum si nenek iblis sempat

melakukan sesuatu tindakan, tahu-tahu sebuah lengannya sudah

terpapas kutung menjadi dua bagian.

Diiringi jerit kesakitan yang memilukan

hati, nenek itu segera membalikkan badannya dan melarikan diri

terbirit-birit.

Suma Thian yu menarik kembali pedangnya, kepada si raja iblis

ular

beracun katanya:

"Kau boleh pergi! Tapi ingat dengan pelajaran yang kau saksikan

hari ini, bila dikemudian hari sikapmu masih tetap kejam dan tak

berperikemanusiaan, inilah contoh yang paling baik untukmu"

Pada mulanya si raja iblis ular beracun mengira Suma Thian yu

tidak

akan melepaskan pula dirinya setelah terdengar ucapan tersebut

hatinya baru merasa lega.

Buru-buru dia menjura kepada Suma Thiah yu, kemudian

membalikkan badan dan berlalu dari situ, dalam waktu singkat

bayangan tubuh nya sudab lenyap dari pandangan mata.

Memandang bayangan punggung orang itu, Suma Thian yu

menghela napas panjang seraya berguman:

"Moga-moga saja si raja iblis lebah beracun dan Ha hou sia sian

dapat meniru sikap raja iblis ular beracun.

Belum habis dia bergumam, terdengar Sin sian siangsu yang benda

dibelakangnya telah menukas:

"Hiantit, kau telah melanggar sebuah pantangan besar, masa

depanmu selanjutnya akan banyak menjumpai bahaya maut"

"Maksud ciaopwee...." tanya Suma Thian yu tercengang.

"Aaai..." Sin sian siangsu menghela napas panjang, "menghadapi

manusia liar seperti mereka kau hanya boleh menaklukan hati

mereka dengan kata-kata, bukan dengan kekerasan. Mereka adalah

manusia tak berbudaya yang tidak memandang penting arti

kehidupan, dengan dibiarkannya mereka berlalu, itu berarti kau

telah

mengundang banyak kesulitan dikemudian hari"

"Mengapa?" Suma Thian yu balik bertarya, "bukankah sewaktu

berlalu tadi, si raja iblis ular beracun telah menunjukkan sikap

yang

begitu munduk dan hormat?"

"Haaaah... haah.... haaah...ini merupakan suatu firasat yang

salah dari

hiantit, tahukah kau mengapa aku enggan melakukan pembunuhan?

Misalkan saja, ketika aku menghadapi dua ekor harimau milik Hu

hou sia sian dilembah lebah beracun serta dalam menghadapi si

Raja

iblis ular beracun tadi, aku selalu berusaha untuk mempertahankan

suatu selisih jarak dengan tidak mau mencelakai mereka.

Bahkan terhadap binatang peliharaan mereka pun aku sama saja

enggan mengusiknya, mengertikah kau?"

"Boanpwee bodoh dan tidak memahami teori tersebut"

"Daerah dimana kita berada sekarang merupakan daerah kekuasaan

mereka"

Manusia memang makhluk yang aneh, asalkan saja seorang ibu yang

mengetahui anaknya berbuat kesalahan, andaikata anaknya di hukum

mati, mereka pasti akan penasaran dan berusaha membelanya.

Demikian juga dengan keadaan mereka, sekalipun raja iblis ular be

racun sekalian terhitung manusia liar toh mereka mempunyai

hubungan batin satu sama lainnya, apakah mereka rela membiarkan

rekan nya diusik orang? Bila kejadian tersebut sampai menimbulkan

amarah mereka sehingga turun tangan bersama, biar ada sayappun

mungkin sulit bagi mu untuk melepaskan diri, mengerti?"

"Aku mengerti"

"Bagus sekali, kalau begitu mari kita berangkat, mumpung mereka

belum sempat melakukan pengejaran kemari"

"Chin Siau masih berada diangan orang, kita harus menolongnya

secepat mungkin, bisa jadi selembar jiwanya terancam bahaya maut.

Apa lagi bila kita tidak memasuki sarang harimau bagaimana

mungkin bisa berhasil dengan sukses"

Mendengar ucapan mana, diam-diam Sin sian siangsu mengagumi

keberanian pemuda ini, diapun semakin kagum dengan kegagahan

dan kesetiaan kawan-nya.

"Hiantit, aku benar-benar takluk kepadamu" kata Sin sian siangsu

kemudian sambil manggut-manggut, "terus terang saja, biarkan

harus

mengorbankan selembar jiwa tua ku, aku takkan menampik maksud

baikmu itu, ayo berangkat, kita terjang kedalam!"

Kedua orang itu segera menembusi hutan dan masuk kedalam sebuah

rimba yang lebat.

Anehnya hutan itu sangat teratur, bahkan besar kecilnya pun tidak

jauh berbeda.

Mendadak Sin sian siangsu menarik tangan Suma Thian yu sambil

berbisik.

"Hiantit, tunggu dulu, jangan sampai tersesat, kalau sampai

terjebak

oleh perangkap musuh, bisa berabe kita"

Suma Thian yu dapat merasakan juga kalau keadaan rada kurang

beres, dengan cepat dia amati sekejap sekeliling tempat itu,

mendadak pada jarak tiga kaki disebelah kiri terlihat sebuah kain

panjang yang berkibar terhembus angin.

Tanpa berpikir panjang lagi dia melejit dan meluncur ke situ

dengan

kecepatan bagai kan anak panah yang terlepas dari busur.

"Cianpwe, cepat kemari" teriaknya keras-keras, "gua air tersebut

terletak didepan sana!"

Dalam dua kali lompatan saja Sin sian siangsu sudah tiba didepan

Suma Thian yu, mengikuti arah yang ditunjuk oleh pemuda itu,

benar

juga, dia saksikan sebuah gua muncul di tengah hutan.

Dengan seksama Sin sian siangsu memperhatikan sekejap keadaan

disekeliling itu, lalu sambil menggelengkan kepalanya dia

berkata:

"Kita sudah tertipu, gua itu bukan Jit yang sui tong!"

"Dari mana kau bisa tahu?" tanya Suma thian yu dengan wajah

tercengang.

"Sederhana sekali, didepan gua Sui yang jit tong semestinya

berdiri

sebatang pohon siong, gua itu berada persis pada bagian

akarnya...."

"Mengapa cianpwee bisa mengetahui begitu jelas?" pemuda itu

bertanya sambil tertawa hambar.

Pertanyaan itu segera menimbulkan kesan kurang baik bagi Sin sian

siangsu, dia merasa Suma Thian yu kelewat cerewet, segera

tegurnya

dengan marah:

"Bila kau tidak percaya, turun saja sendiri untuk membuktikan

keberaran dari perkataanku"

Suma Thian yu tahu, pertanyaan yang ber lebihan darinya telah

menimbulkan amarah dari kakek tersebut, maka diapun lantas

bertanya:

"Harap cianpwee sudi memberi petunjuk, bila kita tidak bertindak

cepat, sampai terlambat Chin Siau bisa terancam bahaya"

"Ikutilah aku, sepanjang jalan tak usah banyak bertanya, kedua,

bila

menjumpai kejadian apapun harus minta persetujuan dariku sebelum

melakukan suatu tindikan"

Suma Thian yu mengiyakan berulang kali, dia tak berani berayal

lagi

dan berdua memasuki hutan menuju kearah gua.

Siapa tahu, biarpun sudah berjalan dua jam lamanya, mereka masih

belum berhasil juga menemukan mulut masuk menuju ke gua Jit

yang sui tong itu.

Suma Thian yu jadi habis ke sabarannya, tapi dia enggan banyak

menimbrung, apa lagi selama ini Sin sian siangsu membungkam

terus tanpa berbicara, terpaksa dia harus menahan diri sambil

mengikutinya.

Tapi lama kelamaan habis sudah kesabaran Suma Thian yu,

mendadak dia bertanya:

"Ciancwee, bukankah kau bilang mulut masuk menuju ke gua

terletak pada bagian akar pohon siong?"

"Ehmm...!" jawab Sin sian siangsu sekenanya, dia seperti lagi

memusatkan segenap pikirannya untuk menemukan jalan tembus.

"Aku lihat hutan ini seperti diaturr menurut berisan Pat kwa,

susunannya sangat teratur"

"Hmmm, memang benar"

Kalau kita mesti berjalan terus dengan cara ini harus berjalan

sampai

kapan? Padahal senja telah tiba, bila malam sudah menjelang, mana

mungkin kita bisa melanjutkan perjalanan?"

"Dicoba saja, aku pikir tak menjadi soal" kembali jawaban dari

Sin

sian siangsu acuh tak acuh.

"Mengapa kita tidak berusaha mencari jalan lain?"

"Cara apa? Kecuali memecahkan barisan apakah meski memasuki

tanah...!" Sin sian siangsu nampak amat kesal.

"Biarpun masuk ketanah mustahil, kita kan bisa terbang

kelangit...?"

"Hei, jangan bergurau saja, masa dalam keadaan beginipun kau

masih berniat untuk bergurau?"

Biar kecil orangnya, besar sekali otak licik Suma Thian yu,

sekali

lagi dia tertawa.

"Pohon siong yang berusia seribu tahun pasti tinggi menjulang ke

angkasa, kalau kita menuju kepuncaknya, bukankah dengan cepat

tempat tersebut akan ditemukan?"

Mendengar perkataan itu Sin Sian Siansu segera berseru tertahan.

"Aah, benar, suatu siasat yang bagus, suatu pemikiran yang sangat

jitu"

Dia lantas menepuk bahu Suma Thian yu sambil barkata lagi:

"Hiantit, kau memang punya aksi bagus, yang tua begini memang

sungguh tak becus, mengapa tidak kau katakan dari tadi? Bikin aku

menjadi gelisah saja"

"Aah, boanpwe hanya teringat secara tidak sebgaja saja...." Sin

sian

siangsu tidak banyak berbicara lagi, buru-buru dia menjejakkan

kakinya ke tanah dan melejit ke puncak pohon dengan gerakan It

ciong thian (burung bangau ter bang ke udara)

Betul juga, tak jauh dari tempat itu, mereka menyaksikan sebuah

pohon siong yang amat besar.

"Itu dia!" Sin sian siangsu segera barteriak kegirangan, "disitu

pohon

yang kita cari, ayo cepat turun!"

Tapi Suma Thian yu menggelengkan kepalanya

berulang kali, ceegahnya: "Cianpwee, kita tak perlu turun, kalau

kita

berjalan melewati puncak pohon, bukankah keadaannya akan lebih

gampang?"

Sin sian siangsu yang mendengar perkataan ini menjadi kagum

sekali

atas kecerdasan otak pemuda itu.

Begitulah, mereka berdua segera mergerahkan ilmu meringankan

tubuh Cau sang hui (terbang diatas rumput) dan meluncur kearah

pohon siong tadi dengan melalui puncak pohon.

Suatu ketika, mendadak Suma Thian yu menjerit kaget:

"Aah, tahan!"

Bagaikan burung elang yang menyambar kelinci, dengan kecepatan

bagaikan sambaran kilat dia segera meluncur kebawah.

Sin sian siangsu dengan mengerahkan pula ilmu meringankan tubuh

ceng sah lok eng (burung manyar hinggap dipasir) melompat turun

pula keatas tanah.

Ternyata mereka saksikan seorang kakek sedang bersiap sedia

membunuh seorang pemuda, dan pemuda itu bukan lain adalah

musuh Suma Thian yu, Chin Siau.

Ketika mendengar bentakan tadi, si kakek tersebut kelihatan kaget

dan berdiri melongo, saat itulah dua sosok bayangan manusia telah

meluncur turun dengan kecepatan tinggi.

Begitu mencapai permukaan tanah, Suma Thian yu langsung berjalan

menuju kehadapan Chin Siau.

Waktu itu sepasang tangan Chin Siau terikat kencang dan

kesadarannya hampir punah, secepat kilat Suma Thian yu

membebaskan belenggunya, membebaskan totokan jalan darahnya

dan mengeluarkan dua butir pil sambil melancarkan peredaran

darahnya.

Chin Siau membuka matanya lebar-lebar, ketika menjumpai Suma

thian yu, mendadak dia mencaci maki:

Jilid : 25

PADA DASARNYA SI KAKEK setengah telanjang itu hanya

seorang manusia biasa, dia terpaut jauh sekali bila

dibandingkan dengan lawannya, tidak heran kalau dalam satu

gebrakan saja sudah tertotok.

Walaupun kakek setengah telanjang itu sudah roboh,

namun lebah beracun yang tak terhitung jumlahnya itu tetap

berdatangan secara bergerombol, mereka menyerang secara

ganas dan mengerikan.

Suma Thian yu bergerak lebih dulu, dengan pedang

ditangan kanan, pukulan yang dahsyat ditangan kiri, semua

perintang di sapu serentak.

Perlu di ketahui, telapak tangan kiri pernah direndam dalam

cairan mestika sian kiam lan, itulah sebabnya betapapun

beracun lebah-lebah tersebut, tak satupun yang bisa

mengapa-apakan dirinya.

Sin sian siangsu yang mengikuti dibelakangnya, di samping

melepaskan pukulan untuk mengusir lebah, diam-diam diapun

ter kejut atas kelihayan ilmu silat Suma Thian yu.

Hingga mereka keluar dari perbatasan lembah, lebah-lebah

beracun tersebut baru menghentikan pengejarannya.

Kedua orang itu menghembuskan napas lega, ketika

berpaling tampak oleh mereka kawanan binatang buas

peliharaan si Dewa sesat penakluk harimau telah melintasi

daerah perbatasan dan memasuki wilayah lembah.

Siapa sangka begitu kawanan binatang buas itu melewati

perbatasan, kawanan lebah beracun yang berada di

wilayahnya segera melancarkan serangan secara besar-

besaran.

Tak ampun lagi banyak korban berjatuh di kedua belah

pihak.

Suma Thian yu segera bertepuk tangan sambil berteriak:

Bagus, bagus sekali, ini namanya saling bunuh membunuh,

mari kita saksikan pertunjukkan bagus ini, kesempatan

semacam ini jarang bisa dijumpai, kita tak boleh kehilangan

kesempatan sebaik ini."

Sin sian siangsu yang berpengalaman lebih luas mendadak

berteriak kaget:

"Aduh celaka, andaikata kakek setengah telanjang itu

sudah di sadarkan kembali mungkin sulit bagi kita untuk

meloloskan diri!"

Mendengar perkataan tersebut Suma Thian yu segera

berpaling, betul juga, si Dewa sesat penakluk harimau telah

membebaskan pengaruh totokan pada kakek setengah

telanjang tersebut.

Seandainya jalan darah kakek setengah telanjang itu sudah

bebas, niscaya diakan bekerja sama dengan dewa sesat

penakluk harimau untuk menggabungkan binatang peliharaan

mereka guna menyerang bersama.

Dalam serangan gabungan antara manusia dengan

binatang ini, biar ada seratus orang Suma Thian yu maupun

Sin sian siangsu pun jangan harap bisa lolos dari hutan

seratus binatang dan lembah lebah beracun ini dalam keadaan

selamat.

Menyadari betapa gawatnya keadaan tersebut, Suma Thian

yu segera mengajak Sin sian siangsu untuk kabur dari

lingkungan daerah tersebut dan kabur menuju ke jalan

semula.

Baru saja dua orang itu memasuki hutan, suara auman

yang gegap gempita telah bergema dari belakang, agaknya

seratus ekor hewan buas tersebut sudah mulai melancarkan

pengejaran.

Dalam keadaan seperti ini, kedua orang itu semakin tak

berani tinggal lebih lama mereka kabur makin kencang dan

akhirnya berhasil lolos dari pengejaran.

Sin sian siangsu tidak berhenti meski mereka sudah lolos

dari wilayah berbahaya, malahan langkahnya semakin

dipercepat lagi.

Lebih kurang tiga li kemudian mereka baru memperlambat

larinya, kemudian sambil menggelengkan kepala dan

menghela napas panjang gumamnya:

"Oooh, sungguh berbahaya, untung kedua lembar jiwa kita

masih bisa dipungut kembali dari pintu neraka."

Suma Thian yu tertawa ringan.

"Aah, tak mungkin sedemikian parah, mengapa boanpwee

tidak merasakan sama sekali kalau baru lolos dari bahaya

maut?"

Sekali lagi Sin siau siangsu menghela napas panjang:

"Tahukah kau mengapa aku masuk hutan lebat?"

"Mungkin kau tahu kalau boanpwee sedang menjumpai

mara bahaya?"

Sin sian siangsu cepat menggeleng, sambil menuding ke

arah sebuah dusun tak jauh dari situ dia berkata:

"Semalam aku menginap di dusun itu, dari orang dusun

kuperoleh keterangan tentang segala sesuatu diseputar hutan

itu, mendengar cerita mana aku jadi gembira, maka sejak

fajar tadi aku tinggalkan dusun itu dan melakukan

penyelidikan kesini"

"Bukankah kau bisa masuk ke sana dengan lancar dan

kembali dengan selamat?" Apa sih yang menakutkan?" tukas

Suma Thian yu tidak habis mengerti.

Sin sian siangsu segera tertawa.

"Kau hanya tahu satu tak tahu dua, sesungguhnya lembah

lebah beracun mau pun hutan seratus binatang bukan daerah

aman”

"Apa sih yang menakutkan?" tegurnya.

"Hmm, kau terlalu polos, ketahuilah di dalam hutan ini

berdiam lima orang kakek khas yang berhati kejam dan

berperangai aneh, yang baru saja kita jumpai hanya dua

diantaranya, bila tiga orang lainnya munculkan diri pula, kita

pasti akan mampus!"

"Masih ada tiga orang? Tiga orang yang mana?" tanya

Suma Thian yu keheranan.

"Bila hari sudah gelap, ke tiga orang lainnya akan segera

menampakkan diri, bukit gundul dimana kau berdiri tadi

adalah Tok coa nia atau Tebing ular berbisa, seringkali ular

beracun bermunculan bila malam hari sedang hutan lebat

yang kita telusuri barusan adalah Tok go kong lim (hutan

kelabang beracun), sedangkan hutan lebat disebelah barat

adalah Tok ci cu lim atau Hutan laba laba beracun, pokoknya

setiap sudut dari wilayah tersebut ditempati oleh seorang

gembong iblis!"

Berubah paras muka Suma Thian yu setelah mendengar

perkataan itu, badannya jadi dingin separuh, sekarang dia

baru memahami betapa rawannya keadaan mereka waktu itu.

Menyaksikan perubahan wajah Suma Thian yu, Sin sian

siangsu segera tertawa terbahak-bahak.

"Haaah...haaah...haaah... kau ingin sekali lagi

menyerempet bahaya?"

Suma Thian yu mendongakkan kepalanya memandang

langit yang mendekati senja, buru-buru sahutnya:

"Tidak usah...tidak usah.. "

"Haaah...haah...haah... sekarang kau baru merasa takut?"

"Kalau dipikirkan kembali, bergidik rasanya hatiku, sampai

sekarang pun bulu kudukku masih pada berdiri!"

Suma Thian yu memang 1agi kesepian dalam perjalannya,

bisa bersua dengan manusia macam Sin sian siangsu, boleh

dibilang banyak duka mestapa yang bisa dihilang kan.

Malam itu mereka habiskan dalam perjalanan diiringi

sendang gurau dan pem bicaraannya yang asyik.

Keesokan harinya...

Mereka berdua telah tiba dibawah bukit Jit yang san.

Sambil menuding kearah tanah perbukitan didepan sana,

Sin sian siangsu berseru:

"Kau ingin mendaki bukit itu untuk menyaksikan

pemandangan indah...?"

"Apa sih yang indah?"

"Di atas bukit itu ada gua air, gua itu penuh dengan misteri

dan sudah banyak umat persilatan yang mengunjungi tempat

itu tapi banyak pula yang lenyap setelah melakukan

penyelidikan"

Mendengar cerita itu, Suma Thian yu segera menerima

tawaran tersebut.

Terdengar Sin sian siangsu berkata lagi:

"Aku tahu kalau kau sangat tertarik oleh ceritaku, tapi ingat

setibanya disana maka kita harus bertindak menurut keadaan,

tak boleh gegabah, sebab sudah beratus-ratus jago yang

menemui ajalnya ditempat itu.

Dengan langkah berhati-hati berangkatlah mereka ke arah

bukit.

Baru tiba di kaki bukit, mereka menyaksikan sebuah tugu

peringatan didirikan orang dengan tulisan tulisan besar yang

amat menyolok dipandang:

"Gua air Jit yang tong adalah gua siluman, harap para

pelancong berhati-hati!"

Mungkin peringatan tersebut didirikan oleh penduduk

disekitar bukit tersebut setelah banyak korban berjatuhan

disana.

Suma Thian yu mendengus dingin, tanpa banyak bicara dia

meneruskan langkahnya menuju ke atas bukit.

Sin sian siangsu yang menjumpai sikap anak muda tersebut

menjadi cemas, dengan ketat dia mengikuti terus

dibelakangnya.

Jalan bukit itu amat sempit dan sukar dilalui, tapi kedua

orang itu sebagai jago lihay dunia persilatan bukan merupakan

masalah, dengan muda semua perjalanan dapat ditempuh.

Baru saja menaiki subuah tebing, mendadak Suma Thian yu

menghentikan langkahnya sambil menjerit kaget:

"Aaaaii!!"

Dengan cepat dia meluncur naik keatas sebuah pohon yang

tumbuh dihadapannya.

Ternyata diatas pohon itu tergantung secarik kain putih,

diatas kain itu masih nampak noda darah.

"Apa yang kau temukan?" Sin sian siangsu segera

menghampirinya sambil menegur.

"Chin Siau pasti berada disekitar tempat ini!" seru Suma

Thian yu setelah meneliti kain tersebut.

"Chin Siau? Siapakah Chin Siau itu?"

"Dia adalah seorang jago lihai dari Bong kok kiam jiu (aliran

pedang bermata buta)"

Secara ringkas dia lantas menceritakan pengalamannya

bersama Chin Siau di bukit Ngo tay san.

Sin sian siangsu tertawa nyaring.

"Berdasarkan secarik kain kau bisa menduga akan dia, hal

ini menunjukkan kalau kau memang seorang yang cermat,

cuma...."

"Pakaian yang dikenakan pernah tertusuk oleh pedangku,

berdasarkan hal ini aku lantas menduga kalau dia berada

disini"

Selesai berkata, dia lantas menarik tangan Sin sian siangsu

untuk melanjutkan perjalanan mendaki bukit.

Sebuah tebing kembali sudah dilalui, selama ini Suma Thian

yu selalu memperhatikan keadaan disekelilingnya, jangan-

jangan masih ada kain seperti itu yang tertinggal. Apa yang

diduga ternyata tidak salah, di samping tebing dia jumpai

secarik kain yang sama, hanya kain tersebut tidak dinodai oleh

percikan darah.

"Jangan-jangan saudara Chin sudah menjumpai bahaya

maut!" gumam Suma thian yu kemudian sambil memungut

cuwilan kain itu dari atas tanah.

Sin sian siangsu tertawa panjang.

"Aku lihat, kau kelewat membayangkan yang bukan-bukan,

seandainya dia memang sudah terkena musibah, darimana dia

punya waktu untuk meninggalkan kainnya sebagai tanda? Aku

lihat, bisa jadi hal ini merupakan bagian dari rencana

busuknya untuk memancing kau masuk perangkap!"

Meskipun dalam hatinya Suma Thian yu tidak setuju pada

pendapat tersebut, tetapi dia juga tidak membantah, maka

berangkatlah kadua orang itu meneruskan perjalanan-nya.

Ketika mencapai tebing yang ketiga, Sin sian siangsu

kembali berkata:

"Hati-hati, tebing di depan sana adalah gua air yang

termasyur dalam dunia persilatan"

Sebenarnya ucapan mana dimaksudkan untuk memberi

peringatan agar pemuda itu waspada, siapa tahu Suma Thian

yu justru tertawa panjang sambil melejit ke muka dengan

kecepatan tinggi.

Sin sian siangsu yang menyaksikan kejadian ini, terpaksa

harus mengikuti dibelakangnya sambil berteriak:

"Jangan bertindak gegabah, pikirlah tiga kali sebelum

bertindak dalam segala hal!"

Belum habis perkataan ini diutarakan, Suma Thian yu telah

tiba di atas puncak tersebut dan tiba-tiba saja terdengar ia

menjadi kaget:

"Aaaah! Cepat kemari..."

Sing sian siangsu segera melejit ke tengah udara dan

meluncur ke depan dengan kecepatan luar biasa, tapi dengan

cepat dia menjerit pula dengan nada kaget:

"Aaaah!"

Rupanya diatas tebing itu tumbuh berderet pepohonan

besar, jumlahnya mencapai dua puluhan batang lebih, waktu

itu, diatas setiap batang pohon tergantung sesosok mayat.

Diantara mayat mayat tersebut ada kaum lelaki, ada kaum

wanita, ada yang tua ada pula yang muda, tapi semuanya

mengenakan pakaian ringkas dan bersenjata, jelas orang-

orang persilatan.

Memandang adegan yang terbentang di depan mata, tanpa

terasa kedua orang itu menghembuskan napas dingin.

Sambil menggelengkan kepala serta menghela napas

dalam-dalam Sin sian siangsu berkata:

"Aaai, kalau manusia sudah bejat moral, dia selalu

membantai orang seperti membantai binatang, betul-betul

neraka ditengah alam manusia, hiantit, menurut perkiraanku

disini pasti hidup seorang iblis yang suka membunuh orang

seperti membabat rumput dan dapat membunuh orang tanpa

berkedip mata"

Suma Thian yu mencoba untuk memeriksa mayat-mayat

tersebut dengan seksama, dia mencoba untuk mendapat tahu

apakah Chin Siau terdapat diantara korban korban

pembunuhan itu, ternyata tidak ada, Chin Siau bukan

termasuk korban pembunuhan keji.

Sambil menuding kebelakang deretan pepohonan itu Sin

sian siangsu berkata:

Didepan sana adalah gua air, bisa jadi sahabatmu itu sudah

menyerempet bahaya dan masuk kesana.

Habis sudah kesabaran Suma Thian yu setelah mendengar

perkataan ini, cepat-cepat serunya:

"Cianpwee, mari kita segera masuk, aku kuatir dia telah

tertimpa bencana!"

Baru selesai perkataan itu diucapkan, mendadak....

Ditengah keheningan yang mencekam sekeliling tempat itu,

berkumandang suara pekikan nyaring yang amat

menggidikkan hati, suaranya seperti jeritan kuntilanak

ditengah malam buta membuat bulu kuduk orang pada

bangun berdiri, menyeramkan.

Baik Sin sian siangsu maupun Sama Thian yu kedua duanya

sama-sama merasa terkejut, ditengah gugupnya cepat mereka

membalikkkan badan dan berusaha menahan gerak laju

mereka secara paksa.

Tiba-tiba pandangan matanya terasa kabur dan...Sreeet,

sreeet...." tiga sosok bayangan manusia berkelebat lewat

dihadapan mereka.

Ternyata mereka terdiri dari dua orang lelaki dan seorang

wanita yang berdandan sangat aneh.

Orang pertama merupakan seorang kakek berusia enam

puluhan yang telanjang bagian atasnya, dia kurus sekali

sehingga tinggal kulit yang membungkus tulang, namun di

tangannya memegang sebuah tongkat dengan diujung

tongkat itu berukirkan sebuah kepala ular.

Orang kedua juga seorang kakek, usianya hampir sebaya

yaitu enam puluh tahunan, bagian rawan dari tubuhnya saja

yang di tutup dengan beberapa lembar daun, dia membawa

pula sebuah tongkat, hanya pada ujungnya berukir seekor

kelabang.

Orang ketiga adalah seorang nenek, dia berusia lima puluh

tahunan dengan perut yang buncit, tubuh bagian atasnya

ditutup dengan selembar kain sutra yang tipis sementara

didalam genggamannya membawa sebuah kipas bambu,

diatas kipas menempel sepasang laba laba.

Sin sian siangsu yani cukup berpengalaman dalam dunia

persilatan kuatir kalau Suma thian yu tidak mengenali asal

usul beberapa orang itu, buru-buru serunya ke mudian sambil

tertawa tergelak.

"Ooh...rupanya tay ong bertiga yang sudah lama termashur

namanya dalam dunia persilatan tapi, heran, mengapa kalian

ber tiga bisa muncul dibukit Jit yang san ini?"

Si kakek bertongkat kepala ular itu menjawab dingin:

"Kami khususnya datang untuk menyambut kalian! Kalau

toh kalian berdua sang gup memasuki lembah lebah beracun

dan hutan seratus binatang, hal mana membuktikan kalau

kepandaian silat yang kau miliki cukup hebat, sayang kami

bertiga kebetulan tak hadir disana, itulah sebabnya kami tak

bisa turut menyambut, harap sudi dimaafkan.

Sin sian siangsu tertawa terbahak bahak:

Haaa... haaaa...ucapan kalian bertiga terlalu serius, kami

berdua tak lebih hanya kuli silat kasaran yang kebetulan saja

lewat disini, kami memang sedang menyesal lantaran tak bisa

menjumpai kalian bertiga, setelah perjumpaan hari ini terbukti

sudah bahwa apa yang kami dengar selama ini memang

benar"

000O000

TERNYATA si kakek yang membawa tongkat terkepala ular

itu adalah pemimpin dari Tok coa nia (tebing ular beracun)

yang disebut orang sebagai Tok coa mo ong (Raja iblis ular

beracun).

Kakek kedua yang membawa tongkat berkepala kelabang

adalah pemimpin dari Go kong lim (hutan kelabang) yang

disebut orang Go kong mo ong (Raja iblis kelabang),

Sedangkan si nenek tak lain adalah Ci cu mo poo (Nenek iblis

laba laba).

Ketiga orang gembong iblis ini bersama Pek siu ong (Raja

seratus binatang) dari hutan Pek siu lim yaitu Hu hon sia sian

dan Tok hong mo ong (Raja iblis lebah beracun) disebut orang

Khong ciong mo ong (lima raja dari pedalaman) sedangkan

orang persilatan menyebut mereka sebagai Mang huang ngo

mo (lima iblis dari daerah liar).

Mereka termashur karena peliharaannya yang beracun,

setiap orang memiliki sejenis binatang peliharaan yang selain

beracun juga amat jahat dan berbahaya.

Seperti misalnya si Raja iblis lebah beracun, didalam

lembahnya terdapat beribu-ribu ekor lebah beracun yang

semuanya berada dalam kendali dirinya.

Begitu pula dengan ke empat rekannya, mereka semua

merupakan orang-orang pedalaman yang masih liar dan

gemar sekali melakukan kejahatan.

Yang beruntung adalah kelima orang ini tak pernah

bersatu, mereka masing-masing berusaha untuk menjadi raja

dan tak mau saling bekerja sama, coba kalau mereka saling

bersatu padu, niscaya dunia persilatan akan dibikin obrak-

abrik.

Adapun binatang andalan mereka adalah Lebah beracun,

laba laba beracun, ular be racun, kelabang beracun dan

macan kumbang hitam. Tapi kalau dibicarakan kembali

memang cukup aneh, sebab binatang tandingan dari ular

beracun sesungguhnya adalah kelabang, sedang tandingan

dari kela bang adalah macan kumbang hitam, sebaliknya

tandingan dari macan kumbang hitam adalah lebah beracun,

tapi lebah beracun sendiri takut dengan laba laba, sedang laba

laba takut dengan ular beracun dan begitu seterusnya.

Ketika semalam Suma Thian yu memasuki hutan wilayah

mereka, kebetulan sekali Raja iblis ular beracun dan raja iblis

kelabang beracun sedang menyambangi nenek iblis laba laba

beracun dihutan sebelah utara, oleh sebab itu dia hanya

menjumpai raja iblis seratus binatang dan raja iblis lebah

beracun, coba kalau bukan demikian tak bisa dibayangkan

bagaimanakah nasib dari Suma Thian yu serta Sin sian

siangsu.

Menanti ketiga raja iblis itu mendapat laporan kalau hutan

mereka diserbu orang dan segera berangkat kebukit Jit yang

san yang memang bersatu dengan hutan sebelah utara, waktu

itu Sin sian siangsu dan Suma Thian yu sedang menuju pula

kesitu, akibatnya mereka saling berjumpa disini.

Sementara pembicaraan berlangsung, sorot mata si raja

iblis ular beracun mengawasi wajah Suma Thian yu tiada

hentinya. Sebab dari mulut Hu hou sia sian yang baru saja

diselamatkan, dia mendapat tahu kalau kepandaian silat yang

dimiliki anak muda tersebut lihay sekali.

Itulah sebabnya begitu saling berjumpa pun mengawasi

anak muda tersebut dengan seksama.

Dasar anak muda yang masih berdarah panas, merasa

diamati terus oleh orang lain, timbal perasaan muak dan kesal

dihati Suma Thian yu, dengan cepat dia menegur:

"Hei, bila kalian bertiga ada maksud tertentu untuk

menghadang jalan pergi kami, ayo cepat diutarakan sekarang

juga, kalau tidak, lebih baik menyingkir saja, aku masih ada

urusan lain harus segera berangkat ke gua Jit yang tong"

Raja iblis ular beracun tertawa seram.

"Bocah keparat kau datang mencari kematian atau

mengiringi kematian? Kau tahu, siapakah pemilik gua Jit yang

tong itu? Kalau ingin menghantar kematianmu disitu, lebih

baik tinggalkan dahulu kepandaianmu sebelum terkubur

selamanya digua air tersebut!"

Mengetahui kalau gua air tersebut mempunyai pemilik lain,

sekali lagi Suma Thian yu merasakan hatinya bergetar keras,

apa bila terbayang Chin Siau kena dibekuk pemilik gua air

tersebut, hatinya bertambah gelisah.

Tiba-tiba terdengar Sin sian siangsu berkata:

"Kalian bertiga semuanya adalah jago-jago yang merajai

suatu daerah, buat apa sih mesti ribut dengan kami? Apalagi

kedatangan kami kemari hanya untuk mencari seorang teman

saja, buat apa kalian mesti memojokkan orang lain?"

Mendengar perkataan mana, si Raja iblis ular beracun

segera membuat sebuah garis lurus diatas tanah dengan

tongkat kepala ularnya, setelah memberi tanda kepada kedua

orang rekannya, mereka bertiga sama-sama mundur

kebelakang garis lurus tadi.

Kemudian sambil tertawa seram dia baru berkata:

"Barang siapa tidak takut, ayo maju dan langkahi garis

lurus yang kubuat ini."

Sin sian siangsu mengerutkan dahinya dan ragu sejenak,

sebelum ia sempat berbuat banyak barang sesuatu hal, Suma

Thian yu tertawa nyaring dan melangkahi garis lurus tersebut.

Sin sian siangsu menjadi tertegun, tetapi dengan cepat dia

menyusul dibelakangnya.

Setelah tertawa seram, Raja iblis ular beracun segera

mengacungkan ibu jari sembari berkata:

"Punya nyali, benar-benar punya nyali, aku sangat kagum,

aku kagum sekali, biar aku yang memberi pelajaran dulu

padamu!"

Tongkat kepala ularnya segera diayunkan kedepan, diiringi

deruan angin serangan yang maha dahsyat dia langsung

menyerang jalan darah Yu bun hiat di bawah tetek Sin Sian

siangsu.

Sesungguhnya Sin sian siangsu termasuk seorang jago

yang banyak humor dan berwatak aneh, dihari-hari biasa dia

paling segan melakukan pembunuhan, lagipula orangnya

sabar dan bersedia mengalah kepada siapa saja.

Walaupun demikian, kesabaran orang itu ada batas-

batasnya, setelah didesak dan dipojokkan berulang kali, habis

juga akhir nya kesabaran orang ini.

Sambil tertawa dingin dia balas maju ke depan, sepasang

lengannya digerakkan kekiri dan kanan melepaskan serangan

dan tangkisan bersama kemudian, dengan kecepatan

bagaikan kilat, kepalan kanannya menyodok kedada si raja

iblis ular beracun.

Betapa terkejutnya si raja iblis ular beracun setelah

menghadapi ancaman itu, tongkatnya ditarik dengan cepat

sambil buru-buru mundur kebelakang, menyusul kemudian dia

memutar tongkatnya melakukan per tarungan pertarungan

keras melawan keras.

Di pihak lain, si nenek iblis laba laba beracun tidak

menganggur pula, sambil menggoyangkan kipas bambunya

dia menerjang kehadapan Suma Thian yu, lalu katanya sambil

tertawa terkekeh kekeh:

"Hei bocah, biar lo nio menemanimu bermain-main

sebentar!"

Kipas bambunya segera dikebaskan kemuka, segulung

hawa panas yang menyengat badan cepat berhembus keatas

wajah Suma Thian yu.

Sejak berpengalaman di lembah lebah beracun dan hutan

seratus binatang, Suma thian yu sudah cukup mengerti

tentang ke mampuan ke lima iblis tersebut, dalam per

tarungan asal dia bisa berhati-hati dalam mengawasi jurus

serangan, maka kemenangan tentu berhasil diraih dengan

mudah.

Itulah sebabnya ketika melihat serangan pertama dari si

nenek iblis laba laba beracun ditujukan hendak melukainya

dengan racun, ia menjadi sangat mendongkol.

Tiba-tiba tangan kirinya dibalik keatas, kelima jari

tangannya membentuk kaitan dan memancarkan segenap

tenaga dalamnya melewati ujung ujung jari itu.

Tangan kanannya tidak menganggur pula, dengan cepat

dia meloloskan pedang Kit hong kiamnya.

Begitu senjata tersebut dicabut dari sarungnya bergemalah

suara dentingan nyaring disusul pancaran sinar biru ke empat

penjuru, dalam waktu singkat sebuah serangan telah

dilepaskan.

Mimpipun si nenek iblis laba laba beracun tidak menyangka

kalau lawannya seorang pemuda ingusan bisa melancarkan

serangan sedemikian cepatnya, dalam waktu singkat dua jurus

serangan telah dilepaskan berbareng dengan kekuatan yang

maha dahsyat.

Ketika ia merasakan hawa beracunnya terbendung, tahu-

tahu cahaya tajam sudah menyambar tiba.

Untung saja si nenek iblis laba laba beracun bukan

termasuk manusia lemah, kipas bambunya cepat dikibaskan

kekiri dan kanan.

"Weesss... weeess... weesss..."

Secara beruntun dia lepaskan pula tiga buah serangan

berantai yang kesemuanya ditujukan keatas jalan darah

penting ditubuh Suma Thian yu.

Menghadapi ancaman yang begitu berbahaya, Suma Thian

yu sama sekali tidak gugup ataupun gelisah, pedangnya

diputar membentuk lingkaran cahaya berwarna biru dan

serentak berhasil mematahkan keti ga serangan kipas dari

nenek iblis laba laba beracun itu.

Menyusul kemudian pedangnya diputar sambil mendesak

kedepan, memaksa si nenek iblis tersebut harus mundur dua

langkah dari posisi semula.

"Hei nenek peot!" seru pemuda itu kemudian sambil

menarik kembali serangannya, “apakah aku cukup berhak

untuk mengunjungi gua air Jit yang tong?"

Agaknya si nenek iblis laba laba beracun masih tertegun

karena kena didesak mundur oleh pemuda itu, mendengar

pertanyaan mana, tanpa disadari dia menyahut:

"Cukup, cukup!"

"Kalau begitu, aku tidak akan melayani dirimu lebih jauh"

seru sang pemuda sambil menjura.

Kepada Sin sian siangsu masih terlibat dalam pertarungan

dia berseru pula:

"Cianpwee, kita harus segera berangkat!"

Belum selesai dia berkata, mendadak terdengar raja iblis

kelabang beracun telah membentak nyaring:

"Bocah keparat, masih ada yayamu yang belum kau

layani!"

Tubuhnya bergerak secepat angin, didalam waktu singkat

dia sudah menerobos maju kehadapan Suma Thian yu.

pada saat itulah si nenek iblis laba laba beracun baru

mendusin kembali dari lamunannya, melihat sikapnya yang

memalukan tanpa mengucapkan sepatah katapun dia

menyusul dibelakang raja iblis kelabang beracun menuju

kehadapan anak muda tersebut kemudian serunya:

"Lo nio belum mau menganku kalah, tidak gampang kau

ingin pergi dari sini"

Memandang kebandelan kedua orang musuhnya, Suma

Thian yu hanya bisa tertawa getir, apalagi bila teringat

keliaran dan kebuasan manusia-manusia buas tersebut, dia

ingin sekali memberi pelajaran yang setimpal kepada orang-

orang itu!

Dengan sorot mata yang tajam, diawasinya sekejap kedua

orang itu, kemudian dia memandang pula kearah Sin sian

siangsu dan raja iblis ular beracun yang sedang bertarung

sengit.

Segera terlihat olehnya betapa cepatnya gerak serangan

dari gembong iblis itu, semua serangannya dilancarkan seperti

orang kalap, namun sayang tiada bermanfaat.

Cukup dalam sekilas pandangan, Suma Thian yu telah

memahami kemampuan dari makhluk-makhluk tua tersebut,

diam-diam ia tertawa geli. Bentaknya kemudian dengan

lantang:

"Tahan! cianpwee mundur dulu... aku mempunyai sebuah

usul yang sangat bagus!"

Pada dasar Sin sian siangsu memang tak bertindak keji

terhadap kawanan manusia liar itu, ia banyak menggunakan

segala kelincahan tubuhnya saja untuk memberi peringatan

kepada mereka, mendengar seruan tersebut, dengan cepat

dia melompat mundur dari arena pertarungan.....

Menanti semua orang sudah menghentikan serangannya,

Suma Thian yu baru berkata dengan lantang:

"Bila aku kelewat takabur, harap tay ong bertiga jangan

marah, agar lebih berhemat waktu, silahkan kalian bertiga

menyerang bersama saja, andaikata aku sampai kalah, biar

aku pun cepat menyerah. Dengan pertarungan seperti ini,

pasti suasananya akan bertambah ramai, entah bagaimana

dengan pendapat tay ong bertiga?"

Racun iblis ular beracun mendengus dingin, biji mata

sesatnya berputar kian ke mari, lalu jawabnya:

"Bagus sekali, cuma sampai waktunya nanti kau jangan

menuduh kami bertiga orang tua mempermainkan seorang

bocah, yang minta begini adalah kau sendiri....."

"Oooh, jangan kuatir, aku berbicara atas dasar kemauan

sendiri, tentu saja aku tak bakal menyalahkan siapa pun" kata

Suma thian yu sambil tertawa terbahak-bahak.

Sin sian siansu menjadi sangat gelisah setelah menyaksikan

kejadian ini, cepat timbrungnya dari samping:

"Hiantit, kau....."

Sebelum ucapan tersebut selesai diutarakan, Suma Thian

yu kembali telah menukas:

"Ciaupwee tak usah kuatir, aku sudah mempunyai rencana

yang cukup matang"

Menyaksikan kekerasan kepala pemuda itu, Sin sian siangsu

hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil menghembuskan

napas panjang, dia segera mengundurkan diri dari arena.

Si raja iblis kelabang beracun sungguh merasa mendongkol

sekali, sepasang giginya sampai menggertak keras, sepasang

matanya memancarkan sinar mata berapi-api dan mengawasi

Suma Thian yu dengan penuh amarah dan tak berkedip.

Tiga orang gembong iblis ini biasanya malang melintang

ditakuti orang, belum pernah mereka dicemooh bahkan

dipandang rendah seperti hari ini.

Bisa dibayangkan sampai dimanakah amarah mereka

bertiga setelah bertemu de ngan jago muda yang tidak takut

langit tidak takut bumi ini, kalau bisa mereka ingin sekali

menggigit dan menelan suma Thian yu ke dalam perut.

Dalam pada itu, si raja iblis ular be racun telah

membisikkan sesuatu ke sisi telinga raja iblis kelabang

beracun, kemudian bentaknya kepada Suma Thian yu:

"Anak muda, aku mempunyai sebuah usul bagus,

bersediakah kau untuk menerimanya?"

"Asalkan kalian bertiga mengusulkan, aku pasti akan

menyanggupi tanpa berkerut kening"

Begitu ucapan tersebut diutarakan keluar, Sin sian siangsu

yang berdiri diluar arena merasakan tubuhnya bergetar keras,

pekik nya tanpa terasa dihati:

"Aduh celaka, habis sudah kali ini."

Si Raja iblis ular beracun mendongakkan kepalanya sambil

berpekik nyaring, begitu selesai berpekik, dari sakunya dia

mengeluarkan seekor ular kecil yang berwarna kuning emas.

Menyaksikan ular kecil ini, tiba-tiba saja Suma Thian yu

teringat kembali dengan ular kecil berwarna emas yang

pernah di jumpa dipuncak di im hong tempo hari, gelisah

hatinya. Sebab dari gurunya Put gho cu dia mendapat tahu

akan kelihayan ular emas kecil ini.

Si raja iblis ular beracun segera tertawa bangga setelah

menyaksikan paras muka Summa Thian yu berubah menjadi

pucat pias, katanya setengah mengejek:

"Bagaimana? Kau merasa takut? Hei, bocah keparat, aku

merasa bertanding ilmu silat kurang merangsang napsu, mari

kita beradu racun saja, pasti pertandingan ini lebih

merangsang dan gembira!"

Suma Thian yu berusaha keras mengendalikan rasa

ngerinya, dengan menunjukan sikap acuh tak acuh dia

bertanya:

"Bagaimana cara kita bertanding?"

Raja iblis ular beracun tertawa seram.

"Bila kau beranggapan cara bertanding ini kurang adil,

tentu saja kau tak perlu memaksakan diri"

Suma Thian yu tertawa terbahak:

"Haaa...haaa...kalau hanya seekor ular emas yang begitu

kecil mah tak akan bisa menakuti aku, cuma sauyapun

mempunyai sebuah syarat"

"Apa syaratmu?"

"Kita harus bertanding dua babak, babak pertama diusulkan

kalian bertiga sedang babak kedua haruslah aku yang

mengajukan persoalan, ini baru adil namanya, entah

bagaimana pendapat kalian bertiga?"

"Boleh sih boleh saja, pokoknya kami setuju"

Tentu saja mereka bertiga setuju, karena dalam perkiraan

mereka, baru dalam babak pertama saja Suma Thian yu sudah

bisa dibikin mampus, mana mungkin dia berkesempatan untuk

bertarung pada babak yang kedua atau selanjutnya?

Suma Thian yu tertawa misterius, ujarnya kemudian:

"Pembicaraan telah usai, silahkan kalian mengajukan

pertanyaan...!"

Raja iblis ular beracun tertawa seram, ular emas kecilnya

diletakkan ditangan ki rinya dan membiarkan tangan tersebut

di pagut satu kali, kemudian dengan wajah tak berubah dia

berkata sambil tertawa seram.

"Sekarang tiba giliranmu"

Sin sian siangsu yang menyaksikan kejadian mana,

merinding sekujur badannya buru-buru dia berkata:

"Hiantit, jangan bertindak gegabah"

Suma thian yu tertawa terbahak-bahak, dia tidak

menggubris nasehat dari rekannya itu malah menyambut ular

emas tadi dengan tangan kirinya.

Memandang tingkah laku pemuda itu, Raja iblis ular racun

memperdengarkan gelak tertawa seramnya yang penuh

dengan kebanggaan.

Mendadak ular kecil itu melejit kedepan dan memagut

telapak tangan kiri Suma thian yu.

Pemuda itu hanya merasakan telapak taegan kirinya

menjadi kaku, menyusul kemudian sama sekali tak

menunjukkan gejala apa-apa.

Sepanjang kejadian tersebut berlangsung si raja iblis ular

beracun hanya membelalakan matanya sambil mengawasi

setiap perubahan yang terjadi.

Dikala ular itu menggigit lengan lawan, dia tak dapat

membendung rasa girang dihatinya, sehingga tertawa

terbahak-bahak. Tapi gelak tawa tersebut segera terhenti

ditengah jalan dan berganti menjadi pekikan aneh yang

menyerupai isak tangis.

Ternyata ular emas yang menggigit lengan kiri Suma Thian

yu itu segera mengejang keras dan tak berkutik lagi.

Suma Thian yu melirik sekejap ke arah ular kecil tersebut

dengan pandangan sinis lalu menyodorkan bangkai itu

kehadapan raja iblis ular beracun sembari berkata:

"Benar-benar tak berguna, aku pikir ular emas ini ular palsu

barang kali, masa begitu tak dapat, hanya menggigit sekali

sudah tak Berkutik?"

"Apa sudah mati?"

Sambil menjerit kaget raja iblis ular beracun menerima

kembali ular emasnya, ke mudian menangis tersedu-sedu

seperti anak kecil.

Suma Thian yu sama sekali tak menggubris ulah musuhnya,

sambil berpaling kearah Raja iblis kelabang beracun, dia

berkata:

"Tay ong, apakah kau ingin memperlihatkan pula

kelihayanmu?"

Dengan sorot mata kaget bercampur heranan si raja iblis

kelabang beracun mengawasi wajah anak muda itu tanpa

berkedip, sementara dihati kecilnya dia berpikir:

"Entah setan atau manusiakah dia? Kalau setan mengapa

dia berbentuk manusia? Kalau manusia, mengapa mempunyai

kepadaian yang begitu dahsyat? Hmm mungkin saja dia

memang kebal terhadap racun ular...kelabang adalah

tandingan ular beracun bila kau tidak takut ular, tentu kau

takut dengan kelabang"

Berpendapat demikian dari sakunya dia lantas

mengeluarkan seekor kelabang berkaki seratus. Kelabang dari

jenis ini meru pakan kelabang yang beracun sekali, barang

siapa terpagut niscaya akan tewas seketika.

Sejak dilahirkan hingga begini dewasa, belum pernah Suma

Thian yu menyaksikan kelabang berkaki seratus yang begini

aneh dan mengerikan hati, merinding sekujur badan nya

karena seram, hawa dingin nerambat ketubuhnya membuat

bulu kuduknva pada bangun berdiri.

Tadi, dia berhasil menahan racun ular karena telapak

tangan kirinya mengandug cairan mestika Jio sian kiam len ci

tapi sekarang dia tidak tahu apakah cairan mestika itu masih

mampu untuk menahan racunnya si kelabang beracun atau

tidak.

Raja iblis kelabang beracun tertawa dingin, pikirnya lagi

dengan nada amat bangga:

"Nah, ini dia, bocah keparat ini tentu jeri dengan kelabang,

heeh, heeh, heeh, bila aku berhasil kali ini, pasti aku akan

menjadi pemimpin semua orang!"

Berpikir denemikian, dengan mengikuti cara yang semula,

dia mem biarkan kelabang tersebut menggigit tubuhnya

sendiri, kemudian baru menyodorkan kehadapan Suma Thian

yu.

Diam-diam Suma Thian yu berdoa, kemudiua menyalurkan

segenap hawa murninya ke telapak tangan kiri guna berjaga-

jaga terhadap segala kemungkinan yang bisa terjadi,

andaikata cairan Jin sian kiam lan ci tidak manjur, dia akan

mempergunakan tenaga dalam nya yang sempurna untuk

mendesak keluar sisa racun dari tubuhnya.

Betitulah, selesai mengerahkan hawa murni nya dengan

sangat berhati-hati dia menerima kelabang beracun itu.

Raja iblis kelabang beracun tertawa seram dia letakkan

kelabang beracun itu ke atas telapak tangan Suma Thian yu.

Dengan gesit kelabang tadi melompat keatas telapak

tangan pemuda itu dan menggigitnya.

Suma Thian yu sama sekali tidak bergerak, sorot matanya

yang tajam mengawasi kelabang diatas tangannya tanpa

berkedip, sementara peluh sebesar kacang kedelai jatuh

bercucuran dengan derasnya.

Raja iblis kelabang beracun sendiripun mengikuti

perkembangan selanjutnya dengan perasaan tegang,

jantungnya berdebar keras serasa mau melompat keluar dari

rongga dadanya....

Dalam pada itu, si raja iblis ular beracun telah

menghentikan pula isak tangisnya, dia turut mengawasi

adegan tersebut dengan perasaan berdebar.

Mendadak......

Suma Thian yu memperdengarkan suara pekikan yang

nyaring sekali.

Semua orang terperanjat, pekikan itu ibarat guntur yang

membelah bumi disiang hari bolong, serentak semua orang

mengalihkan sorot matanya ke arah telapak tangak Suma

Thian yu.

Mendadak terdengar raja iblis kelabang beracun menjerit

keras, dengan cepat tubuhnya menerjang ke depan Suma

Thian yu sementara kepalanya langsung diayunkan ke tubuh

pemuda tersebut.

"Bocah keparat" teriaknya gusar "ayo ganti seekor kelabang

untuk ku!"

Agaknya kelabang beracun berkaki seratus andalannya

telah menyusul nasib dari ular emas kecil tadi mampus

ditangan lawan.

Suma Thian yu tertawa sambil berkelit kesamping, dia

menyodorkan bangkai kelabang tersebut ke depan Raja iblis

kelabang beracun, kemudian ujarnya:

"Jangan terburu napsu, bukankah di dalam hutan

kelabangmu penuh dengan kelabang, apa sih artinya kematian

seekor kelabang mengapa kau tidak berpikir, aku Suma Thian

yu hanya ada satu didunia ini, bila mati tak bakal muncul lagi

ke duanya....."

Lalu kepada nenek iblis laba laba beracun dia berkata pula:

"Hei si nenek, sekarang tiba giliranmu, apakah kau

mempunyai permainan baru?"

"Betul!" si nenek mengangguk.

"Apakah pelajaran yang diterima ke dua orang itu masih

belum cukup sebagai contoh soal bagimu?" kembali Suma

Thian yu tertawa.

Nenek iblis laba beracun mendengus dingin, umpatnya:

"Setan cilik, kau tak usah takabur, lo nio sudah mengetahui

siasat busukmu itu, dua kali pertarungan tadi kau selalu

menghadapi serangan dengan telepak tangan kiri, ini

menunjukkan kalau telapak tangan kirimu telah di rendam

dengan obat penawar racun. Mari, mari, lo nio akan menukar

dengan cara lain saja"

Dari atas kipas bambunya dia menangkap seekor laba laba,

kemudian ujarnya sambil terkekeh-kekeh:

"Lihatlah permainanku ini!"

Suma Thian yu dibuat terkejut juga setelah mendengar

ucapan dari si nenek iblis itu, diam-diam pikirnya:

"Lihay amat nenek ini!"

Dalam pada itu, si nenek iblis laba laba beracun telah

menggenggam laba labanya dan diiringi tertawa seram dia

telan laba laba tersebut kedalam perut, sebagai bukti, dia

malah memperhatikan mulutnya kepada anak muda tersebut.

Muak perut Suma Thian yu menyaksikan adegan tersebut,

nyaris isi perutnya ikut tumpah keluar.

Pemuda itu segera menggelengkan kepalanya berulang

kali, katanya kemudian:

"Dalam babak ini aku mengaku kalah saja, berbicara

sesungguhnya, aku tidak mempunyai keberanian untuk

menelan laba laba tersebut. Maaf, permainan orang

pedalaman yang liar seperti ini tak berani kucoba ikuti"

Nenek iblis laba laba beracun segera mendongakkan

kepalanya dan tertewa seram, suaranya mengerikan seperti

jeritan setan, buat siapapun yang mendengarkan merasakan

hatinya jeri dan tak enak.

Seusai tertawa, sambil menuding ke arah Suma Thian yu

kembali dia berkata:

"Setan cilik, aku akau melanggar kebiasaan ku, asal kau

bersedia berlutut dan menyembah tiga kali kepadaku, akan

kuijinkan kau untuk meninggalkan bukit Jit yang san ini, kalau

tidak, hmmmm...!

Semenjak berhasil menangkan dua babak pertama,

kepercayaan Suma Thian yu terhadap diri sendiri semakin

bertambah kuat, sesungguhnya dia tidak menandang sebelah

matapun ter hadap laba laba beracun itu, namun kalau dia

disuruh menelannya, ia benar-benar tak berani untuk

mencobanya.

"Hei si nenek, kau jangan kelewat memojok kan orang"

kata Suma Thian yu kemudian, "aku bukannya takut dengan

laba labamu itu, hakekatnya aku tak ingin mencari gara-gara

denganmu, bila kau menginginkan aku telan binatang, biar

kita ambil jalan tengah dengan menyudahi pertarungan ini

dengan seri saja, toh lebih baik kita sudahi saja masalah ini

sampai disini saja!"

"Tidak bisa, kau masih belum berhak untuk mengajukan

usul! bentak nenek iblis laba laba beracun sambil

menggelengkan kepalanya berulang kali.

"Kalau begitu, aku harus melaksanakan janjiku?"

"Benar!" jawaban dari si nenek iblis ini teramat tegas.

Tak kuasa lagi Suma Thian yu mendongakkan kepalanya

dan tertawa nyaring, dengan cepat dia mengangsurkan

tangan kirinya ke hadapan nenek iblis tersebut.

Dari atas kipas bambunya nenek iblis menangkap seekor

laba laba dan diserahkan ke tangan anak muda itu, tanpa ragu

Suma Thian yu segera memencet laba laba itu sampai mati

lalu setelah diletakkan berapa saat diatas telapak tangan

kirinya, menanti kadar racun sudah berkurang, ia baru

menelannya.

Namun ketika sorot matanya membentur dengan gumpalan

laba laba itu, dia menjadi ragu kembali.

Memandang sikap dari Suma thian yu, si nenek iblis laba

laba beracun tertawa penuh kebanggan.

Dia mensanggap hal ini merupakan kemenangan baginya,

dia mengira inilah penampilannya yang melebihi orang lain,

paling tidak ia sanggup membuat lawan mengalami kesulitan.

Suma Thian yu mendongkol sekali menyaksikan kesombongan

lawan, segera pikirnya.

"Hutan golok, kuali berisi minyak mendidih pun sanggup

kulakukan, masa aku tak berani menelan seekor laba laba

kecil yang sudah di punahkan kadar racunnya?"

Berpikir, demikian, tanpa ragu-ragu lagi dia lantas menelan

laba laba tersebut kedalam perut.

Nenek Iblis laba laba beracun menjadi tertegun setelah

menyaksikan kejadian mana, sebelum ia sempat berbicara

sesuatu, Suma Thian ya telah berkata lebih dulu:

"Hei si nenek, sauyamu telah berhasil menyelesaikan ketiga

permintaan kalian, dan menangkan semua pertarungan ini,

sekarang tiba giliran sauyamu untuk mengajukan persoalan"

Ketiga orang gembong iblis itu segera berdiri tertegun

belaka sambil mengawasi Suma thian yu, mereka

menganggap pemuda ini sebagai malaikat yang baru turun

dari kahyangan.

Yang lain jangan dibicarakan, seandainya si raja iblis ular

beracun disuruh menelan laba laba beracun, atau si nenek

iblis laba laba beracun disuruh menerima gigitan dari kelabang

beracun niscaya mereka akan tewas dengan segera.

ATau dengan perkataan lain ketiga orang itu sama-sama

tak akan mampu untuk menyelesaikan pertarungan ini, tapi

pemuda yang berada dihadapan mereka sekarang sanggup

menyelesaikan semua tugas itu secara baik, jelss hal semacam

ini diluar kemampuan orang biasa.

Raja iblis ular beracun benar-benar takluk, terdengar ia

berkata dengan cepat:

"Masuklah kedalam, orang yang hendak kau cari belum

mati"

Suma Thian yu gembira sekali mendengar perkataan itu.

"Terima kasih" serunya kemudian.

Siapa tahu si Raja iblis kelabang berseru secara tiba-tiba:

"Bocah keparat, kau jangan pergi dulu, kalau akan pergi,

bayar dulu kerugian yang kami derita"

"Hah! ganti rugi apa?" tanya Suma thian yu kaget.

"Seekor ular emas, seekor kelabang berkaki seratus dan

dua ekor laba laba beracun!"

Mendengar perkataan tersebut Suma thian yu segera

mendongakkan kepalanya dan tertawa terba hak-babak:

"Seandainya selembar jiwaku sampai melayang, siapa pula

yang akan membayar ganti rugi kepadaku?"

Kemudian sambil mengalihkan pandangan matanya ke

wajah nenek iblis laba laba beracun, dia bertanya:

"Apakah kau minta ganti rugi dariku?"

"Tentu Saja!"

Suma thian yu segera berpaling pula kearah raja iblis ular

beracun sambil bertanya lagi:

"Dan kau?"

Raja iblis ular beracun nampak agak ragu, akhirnya dia

menjawab agak tergagap:

"Ter.....terserah...."

Suma Thian yu manggut-manggut.

"Kalau toh kalian bertiga begitu liar, terpaksa aku harus

membayar ganti kerugian kepada kalian, nah siapa yang akan

maju duluan?"

Raja iblis kelabang beracun melompat kedepan Suma Thian

yu, telapak tangan-nya di silangkan didepan dada, sementara

tongkatnya membuat gerakan setengah lingkaran diudara lalu

dihantamkan kearah kepala lawan sambil membentak gusar:

"Setan cilik, locu akan mencabut nyawamu!"

Amarah Suma Thian yu benar-benar sudah mencapai pada

puncaknya, pedang Kit hong kiamnya diputar menciptakan

selapis cahaya bianglala biru yang amat menyilaukan mata,

kemudian.... "Kraaakkk!" tongkat berkepala kelabang milik

raja iblis kelabang beracun sudah terpapas kutung menjadi

dua bagian.

Suma Thian yu memang berniat untuk menghabisi nyawa

musuhnya, dengan cepat pedang Kit hong kiamnya diputar

menggunakan jurus Ciong liong hong ji hay (naga masuk

samura) secepat sambaran petir menusuk keperut musuh.

Jeritan ngeri yang memilukan hati segera berkumandang

dari mulut raja iblis kelabang beracun, perutnya robek dan

ususnya mengalir keluar, toyanya yang tinggal separuhpun

terjatuh ke tanah.

Sambil memegangi perutnya yang robek dan wajah pucat

pias, sekujur badannya gemetar keras, akhirnya dia roboh, dia

tak pernah bangun kembali.

Sehabis membereskan 1awannya, Suma Thian yu berpaling

ke arah nenek iblis laba laba beracun, lalu bentaknya lagi:

"Apakah kau masih bermaksud untuk menuntut ganti rugi?"

Bergidik sekujur badan nenek iblis itu selesai melihat

keampuhan sang pemuda yang menghabisi nyawa raja iblis

kelabang beracun dalam sekali ayunan pedang, dia tak berani

banyak berkutik lagi.

Suma Thian yu tidak memberi kesempatan lagi kepada

lawannya, dengan cepat dia menerobos kedepan nenek iblis,

pedang Kit hong kiamnya dengm jurus Tui san tiam hay

(mendorong bukit membendung samudra) membacok ke

muka.

Cahaya biru berkelebat lewat, sebelum si nenek iblis

sempat melakukan sesuatu tindakan, tahu-tahu sebuah

lengannya sudah terpapas kutung menjadi dua bagian.

Diiringi jerit kesakitan yang memilukan

hati, nenek itu segera membalikkan badannya dan

melarikan diri terbirit-birit.

Suma Thian yu menarik kembali pedangnya, kepada si raja

iblis ular beracun katanya:

"Kau boleh pergi! Tapi ingat dengan pelajaran yang kau

saksikan hari ini, bila dikemudian hari sikapmu masih tetap

kejam dan tak berperikemanusiaan, inilah contoh yang paling

baik untukmu"

Pada mulanya si raja iblis ular beracun mengira Suma Thian

yu tidak akan melepaskan pula dirinya setelah terdengar

ucapan tersebut hatinya baru merasa lega.

Buru-buru dia menjura kepada Suma Thiah yu, kemudian

membalikkan badan dan berlalu dari situ, dalam waktu singkat

bayangan tubuh nya sudab lenyap dari pandangan mata.

Memandang bayangan punggung orang itu, Suma Thian yu

menghela napas panjang seraya berguman:

"Moga-moga saja si raja iblis lebah beracun dan Ha hou sia

sian dapat meniru sikap raja iblis ular beracun.

Belum habis dia bergumam, terdengar Sin sian siangsu

yang benda dibelakangnya telah menukas:

"Hiantit, kau telah melanggar sebuah pantangan besar,

masa depanmu selanjutnya akan banyak menjumpai bahaya

maut"

"Maksud ciaopwee...." tanya Suma Thian yu tercengang.

"Aaai..." Sin sian siangsu menghela napas panjang,

"menghadapi manusia liar seperti mereka kau hanya boleh

menaklukan hati mereka dengan kata-kata, bukan dengan

kekerasan. Mereka adalah manusia tak berbudaya yang tidak

memandang penting arti kehidupan, dengan dibiarkannya

mereka berlalu, itu berarti kau telah mengundang banyak

kesulitan dikemudian hari"

"Mengapa?" Suma Thian yu balik bertarya, "bukankah

sewaktu berlalu tadi, si raja iblis ular beracun telah

menunjukkan sikap yang begitu munduk dan hormat?"

"Haaaah... haah.... haaah...ini merupakan suatu firasat

yang salah dari hiantit, tahukah kau mengapa aku enggan

melakukan pembunuhan? Misalkan saja, ketika aku

menghadapi dua ekor harimau milik Hu hou sia sian dilembah

lebah beracun serta dalam menghadapi si Raja iblis ular

beracun tadi, aku selalu berusaha untuk mempertahankan

suatu selisih jarak dengan tidak mau mencelakai mereka.

Bahkan terhadap binatang peliharaan mereka pun aku

sama saja enggan mengusiknya, mengertikah kau?"

"Boanpwee bodoh dan tidak memahami teori tersebut"

"Daerah dimana kita berada sekarang merupakan daerah

kekuasaan mereka"

Manusia memang makhluk yang aneh, asalkan saja seorang

ibu yang mengetahui anaknya berbuat kesalahan, andaikata

anaknya di hukum mati, mereka pasti akan penasaran dan

berusaha membelanya. Demikian juga dengan keadaan

mereka, sekalipun raja iblis ular be racun sekalian terhitung

manusia liar toh mereka mempunyai hubungan batin satu

sama lainnya, apakah mereka rela membiarkan rekan nya

diusik orang? Bila kejadian tersebut sampai menimbulkan

amarah mereka sehingga turun tangan bersama, biar ada

sayappun mungkin sulit bagi mu untuk melepaskan diri,

mengerti?"

"Aku mengerti"

"Bagus sekali, kalau begitu mari kita berangkat, mumpung

mereka belum sempat melakukan pengejaran kemari"

"Chin Siau masih berada diangan orang, kita harus

menolongnya secepat mungkin, bisa jadi selembar jiwanya

terancam bahaya maut. Apa lagi bila kita tidak memasuki

sarang harimau bagaimana mungkin bisa berhasil dengan

sukses"

Mendengar ucapan mana, diam-diam Sin sian siangsu

mengagumi keberanian pemuda ini, diapun semakin kagum

dengan kegagahan dan kesetiaan kawan-nya.

"Hiantit, aku benar-benar takluk kepadamu" kata Sin sian

siangsu kemudian sambil manggut-manggut, "terus terang

saja, biarkan harus mengorbankan selembar jiwa tua ku, aku

takkan menampik maksud baikmu itu, ayo berangkat, kita

terjang kedalam!"

Kedua orang itu segera menembusi hutan dan masuk

kedalam sebuah rimba yang lebat.

Anehnya hutan itu sangat teratur, bahkan besar kecilnya

pun tidak jauh berbeda.

Mendadak Sin sian siangsu menarik tangan Suma Thian yu

sambil berbisik.

"Hiantit, tunggu dulu, jangan sampai tersesat, kalau sampai

terjebak oleh perangkap musuh, bisa berabe kita"

Suma Thian yu dapat merasakan juga kalau keadaan rada

kurang beres, dengan cepat dia amati sekejap sekeliling

tempat itu, mendadak pada jarak tiga kaki disebelah kiri

terlihat sebuah kain panjang yang berkibar terhembus angin.

Tanpa berpikir panjang lagi dia melejit dan meluncur ke situ

dengan kecepatan bagai kan anak panah yang terlepas dari

busur.

"Cianpwe, cepat kemari" teriaknya keras-keras, "gua air

tersebut terletak didepan sana!"

Dalam dua kali lompatan saja Sin sian siangsu sudah tiba

didepan Suma Thian yu, mengikuti arah yang ditunjuk oleh

pemuda itu, benar juga, dia saksikan sebuah gua muncul di

tengah hutan.

Dengan seksama Sin sian siangsu memperhatikan sekejap

keadaan disekeliling itu, lalu sambil menggelengkan kepalanya

dia berkata:

"Kita sudah tertipu, gua itu bukan Jit yang sui tong!"

"Dari mana kau bisa tahu?" tanya Suma thian yu dengan

wajah tercengang.

"Sederhana sekali, didepan gua Sui yang jit tong

semestinya berdiri sebatang pohon siong, gua itu berada

persis pada bagian akarnya...."

"Mengapa cianpwee bisa mengetahui begitu jelas?"

pemuda itu bertanya sambil tertawa hambar.

Pertanyaan itu segera menimbulkan kesan kurang baik bagi

Sin sian siangsu, dia merasa Suma Thian yu kelewat cerewet,

segera tegurnya dengan marah:

"Bila kau tidak percaya, turun saja sendiri untuk

membuktikan keberaran dari perkataanku"

Suma Thian yu tahu, pertanyaan yang ber lebihan darinya

telah menimbulkan amarah dari kakek tersebut, maka diapun

lantas bertanya:

"Harap cianpwee sudi memberi petunjuk, bila kita tidak

bertindak cepat, sampai terlambat Chin Siau bisa terancam

bahaya"

"Ikutilah aku, sepanjang jalan tak usah banyak bertanya,

kedua, bila menjumpai kejadian apapun harus minta

persetujuan dariku sebelum melakukan suatu tindikan"

Suma Thian yu mengiyakan berulang kali, dia tak berani

berayal lagi dan berdua memasuki hutan menuju kearah gua.

Siapa tahu, biarpun sudah berjalan dua jam lamanya,

mereka masih belum berhasil juga menemukan mulut masuk

menuju ke gua Jit yang sui tong itu.

Suma Thian yu jadi habis ke sabarannya, tapi dia enggan

banyak menimbrung, apa lagi selama ini Sin sian siangsu

membungkam terus tanpa berbicara, terpaksa dia harus

menahan diri sambil mengikutinya.

Tapi lama kelamaan habis sudah kesabaran Suma Thian yu,

mendadak dia bertanya:

"Ciancwee, bukankah kau bilang mulut masuk menuju ke

gua terletak pada bagian akar pohon siong?"

"Ehmm...!" jawab Sin sian siangsu sekenanya, dia seperti

lagi memusatkan segenap pikirannya untuk menemukan jalan

tembus.

"Aku lihat hutan ini seperti diaturr menurut berisan Pat

kwa, susunannya sangat teratur"

"Hmmm, memang benar"

Kalau kita mesti berjalan terus dengan cara ini harus

berjalan sampai kapan? Padahal senja telah tiba, bila malam

sudah menjelang, mana mungkin kita bisa melanjutkan

perjalanan?"

"Dicoba saja, aku pikir tak menjadi soal" kembali jawaban

dari Sin sian siangsu acuh tak acuh.

"Mengapa kita tidak berusaha mencari jalan lain?"

"Cara apa? Kecuali memecahkan barisan apakah meski

memasuki tanah...!" Sin sian siangsu nampak amat kesal.

"Biarpun masuk ketanah mustahil, kita kan bisa terbang

kelangit...?"

"Hei, jangan bergurau saja, masa dalam keadaan beginipun

kau masih berniat untuk bergurau?"

Biar kecil orangnya, besar sekali otak licik Suma Thian yu,

sekali lagi dia tertawa.

"Pohon siong yang berusia seribu tahun pasti tinggi

menjulang ke angkasa, kalau kita menuju kepuncaknya,

bukankah dengan cepat tempat tersebut akan ditemukan?"

Mendengar perkataan itu Sin Sian Siansu segera berseru

tertahan.

"Aah, benar, suatu siasat yang bagus, suatu pemikiran

yang sangat jitu"

Dia lantas menepuk bahu Suma Thian yu sambil barkata

lagi:

"Hiantit, kau memang punya aksi bagus, yang tua begini

memang sungguh tak becus, mengapa tidak kau katakan dari

tadi? Bikin aku menjadi gelisah saja"

"Aah, boanpwe hanya teringat secara tidak sebgaja saja...."

Sin sian siangsu tidak banyak berbicara lagi, buru-buru dia

menjejakkan kakinya ke tanah dan melejit ke puncak pohon

dengan gerakan It bok ciong thian (burung bangau ter bang

ke udara)

Betul juga, tak jauh dari tempat itu, mereka menyaksikan

sebuah pohon siong yang amat besar.

"Itu dia!" Sin sian siangsu segera barteriak kegirangan,

"disitu pohon yang kita cari, ayo cepat turun!"

Tapi Suma Thian yu menggelengkan kepalanya

berulang kali, ceegahnya: "Cianpwee, kita tak perlu turun,

kalau kita berjalan melewati puncak pohon, bukankah

keadaannya akan lebih gampang?"

Sin sian siangsu yang mendengar perkataan ini menjadi

kagum sekali atas kecerdasan otak pemuda itu.

Begitulah, mereka berdua segera mergerahkan ilmu

meringankan tubuh Cau sang hui (terbang diatas rumput) dan

meluncur kearah pohon siong tadi dengan melalui puncak

pohon.

Suatu ketika, mendadak Suma Thian yu menjerit kaget:

"Aah, tahan!"

Bagaikan burung elang yang menyambar kelinci, dengan

kecepatan bagaikan sambaran kilat dia segera meluncur

kebawah.

Sin sian siangsu dengan mengerahkan pula ilmu

meringankan tubuh ceng sah lok eng (burung manyar hinggap

dipasir) melompat turun pula keatas tanah.

Ternyata mereka saksikan seorang kakek sedang bersiap

sedia membunuh seorang pemuda, dan pemuda itu bukan lain

adalah musuh Suma Thian yu, Chin Siau.

Ketika mendengar bentakan tadi, si kakek tersebut

kelihatan kaget dan berdiri melongo, saat itulah dua sosok

bayangan manusia telah meluncur turun dengan kecepatan

tinggi.

Begitu mencapai permukaan tanah, Suma Thian yu

langsung berjalan menuju kehadapan Chin Siau.

Waktu itu sepasang tangan Chin Siau terikat kencang dan

kesadarannya hampir punah, secepat kilat Suma Thian yu

membebaskan belenggunya, membebaskan totokan jalan

darahnya dan mengeluarkan dua butir pil sambil melancarkan

peredaran darahnya.

Chin Siau membuka matanya lebar-lebar, ketika menjumpai

Suma thian yu, mendadak dia mencaci maki:

Jilid : 26

BOCAH KEPARAT, mau apa kau datang kemari? Enyah,

cepat enyah dari sini, aku orang she Chin tak sudi menerima

kebaikanmu itu, aku tak sudi menerima uluran tanganmu...."

Belum habis dia berkata, mendadak....

"Plaaak!" sebuah tamparan yang amat keras telah

membuat kepala Chin Siau pening dan pipinya membengkak

besar

"Siapa kau?" teriak Chin Siu dengan mata melotot, "atas

dasar apa kau memukulku?"

"Binatang bedebah! Kau manusia berhati binatang yang tak

tahu budi, dengan susah payah orang lain mengorbankan

segala sesuatunya untuk datang menolongmu, kau malah

membalas air susu dengan air tuba. Manusia keparat, kau

pernah mendengar nama Yu Seng-see belum?"

Itulah aku!

Paras muka Chin Siau bebulah hebat, kepalanya tertunduk

rendah-rendah dan tak berani diangkat kembali.

Ternyata dari gurunya "Bu bok ceng" ia pernah mendapat

tahu tentang Sin sian siangsu. Konon dia mempunyai

hubungan yang amat akrab dengan perguruannya, berbicara

soal tingkatan, Chin Siau semestinya menyebut "Susiok" atau

paman guru kepadanya.

Melihat Chin Siau sudah tak berbicara lagi, Sin sian siangsu

baru membalikkan badan sambil mengawasi kakek itu.

Sementara si kakek itu sudah mundur kesisi pohon siong

dan duduk bersila disitu, sikapnya acuh tak acuh seakan-akan

tidak ambil peduli terhadap orang yang hadir.

Jelas terlihat tadi bahwa dia bersikap seakan-akan

membunuh Chin Siau, mengapa setelah kehadiran kedua

orang itu, bukan saja kakek itu tidak gusar, malahan mundur

ke samping dan bersemedi?

Suma Thian yu merasa tercengang sehingga tanpa terasa

memandang sekejap lebih lama, dia lihat kakek itu berusia

lima puluh tahunan, panca inderanya utuh, wajahnya tampan,

jenggot hitamnya sepanjang dada dan mengenakan pakaian

rapi, wajah alim tidak mirip kaum penjahat, tapi anehnya

mengapa berhati kejam dan buas?

Sin sian siangsu segera bertanya:

"Siapakah kau? Apakah kau Jit yang san sin (dewa gunung

Jit yang)....?"

Dengan mata masih terpejam rapat, kakek itu menjawab

dingin:

"Jit yang san sin adalah guruku, aku sendiri bernama Jit

yang sian ang (dewa sakti Jit yang) Bun Thian lui. Kalian

berdua berani memasuki daerah terlarang, berarti kalian

adalah orang kenamaan, ayo cepat sebutkan nama kalian

untuk menerima kematian."

Baru saja Sin sian siangsu hendak menjawab, Chin Siau

yang berada di belakang nya telah membentak nyaring:

"Dia adalah saudara Tee, kalian jangan tertipu!"

"Jadi dia adalah kakak seperguruanmu yang memberi

pelajaran silat kepadamu? Kau tidak bohong?" tanya Sin sian

siangsu sambil berpaling.

"Aku tidak bohong kata Chin Siau bersungguh-

sungguh"coba kau linat saja sepasang matanya buta, dia

adalah murid pertama guruku"

Sin sian siangsu menjadi tertegun dan berdiri bodoh, sudah

lama dia bersahabat dengan Bu bok ceng namun belum

pernah mendengar kalau dia mempunyai murid, mengapa saat

ini bisa muncul seorang muridnya...?"

Jit yang sian ang Bun Thian lui tertawa dingin.

"Benar, aku adalah murid pertama dari Bu bok ceng, cuma

ini sudah berjalan lama sekali, lebih baik kalian tak usah

menanyakan lebih jauh daripada menyesal dikemudian hari!"

Tiba-tiba Sin sian siangsu mendongakkan kepalanya dan

berpekik panjang:

"Oooh, rupanya kau adalah murid penghianat dari Bu bok

ceng yang lari kesini untuk menjadi muridnya Jit yang san sin,

kalau begitu Jit yang san sin sudah tidak ada didunia lagi?"

"Naco belo, dia orang tua masih menutup diri untuk melatih

semacam kepandaian yang maha tinggi"

"Mendengar itu, Sin sian siangsu tertawa terbahak-bahak.

"Haaa.. haaa.. kau si anjing bedebah, selama Jit yang san

sin masih hidup didunia ini, belum pernah dia membunuh

orang dengan sembarangan, jelas dia sudah mati terbunuh

olehmu, kau anggap tipu dayamu masih dapat mengelabuhi

orang banyak?"

Jit yang sian ang Bun thian hui menjadi tertegun, kemudian

bentaknya keras:

"Hei, siapa kau si setan tua?"

Sin sian siangsu tertawa terbahak-bahak.

"Haaa... haaa... aku she Yu, orang menyebutku sin sian

siangsu, kepandaianku bisa meramalkan kejadian dimasa

mendatang dan bisa tahu pula peristiwa yang sudah lewat"

Kemudian setelah maju dua langkah, katanya lebih jauh:

"Kalau dilihat dari jidatmu yang berwarna hijau, matamu

yang merah darah, jelas banyak sudah kejahatan yang telah

kau lakukan, pembunuhanpun sering kau lakukan ini

mengakibatkan jalan kematianmu semakin dekat..."

Belum habis perkataan itu diutarakan, Jit yang sian ang

Bun Thian lui sudah membentak gusar, mendadak ia

melompat bangun, telapak tangannya dilontarkan kedepan

melepaskan sebuah pukulan dengan angin pukulan yang maha

dahsyat.

Tampaknya Sin sian siangsu sudah menduga sampai kesitu,

padahal dia memang sengaja berkata begitu untuk

membangkitkan amarah lawan, begitu melihat datangnya

ancaman, ia lantas mengegos kesam ping dan berkata sambil

tertawa:

"Bun Thian lui, sukma-sukma penasaran didepan hutan

sedang memanggilmu, coba kau lihat apa yang sedang

mengepungmu dari empat penjuru...?"

Jit yang sian ang Bun Thian lui adalah manusia licik, dia

segera tertawa seram, sepasang telapak tangannya di

lontarkan bersama ke depan, dua gulung angin pukulan

segera bergabung menjadi satu dan menyambar ke tubuh Sin

sian siangsu.

Sejak berjumpa dengan Sin sian siangsu, belum pernah

Suma Thian yu menyaksikan kemampuan dari orang itu,

sewaktu bertarung melawan orang-orang pedalaman tadi,

diapun merasa penampilan dari Sin sian siangsu kurang

gagah, selalu menjaga diri sehingga tidak mencerminkan

kegagahan seorang pendekar besar dari dunia persilatan.

Mungkinkah dia menpunyai kesulitan yang tak bisa

diutarakan? Ambil contoh ketika dia memasuki hutan tadi serta

caranya memecahkan barisan, tidak seharusnya seorang

pendekar menunjukkan penampilan seperti ini.

Pokoknya, penampilan dari Sin sian siangsu amat

sederhana tanpa suatu keistimewaan, bahkan banyak hal

menunjukkan kelemahan.

Dan sekarang merupakan kesempatan yang paling baik

baginya untuk menguji kemampuan orang ini, Suma thian yu

berharap dengan memanfaatkan kesempatan ini ia dapat

menyaksikan kelihayan dari Yu seng see.

Sayang sekali, dia hanya menghindarkan diri terus, meski

kadangkala melepaskan serangan balasan, tapi tidak terlihat

suatu keistimewaan apapun, hal mana membuat pemuda ini

makin menggerutu.

Jit yang sian ang Bun Thian lui memang buta sepasang

matanya, ternyata hal itu tidak mempengaruhi gerak-geriknya,

seringkali serangan-nya dilancarkan secara tepat dan jitu.

dalam waktu singkat, kedua orang itu sudah bertarung

sebanyak dua puluh gebrakan tanpa diketahui siapa unggul

siapa kalah.

Sementara itu Jit yang sian ang makin bertarung makin

bertambah kosen, sebaliknya keadaan dari Sin sian siangsu

tidak jauh berbeda, dia masih tetap bergerak selincah kupu

lupu yang terbang diantara aneka bunga, saban kali

menempuh bahaya, tiba-tiba dia sudah lolos dari tekanan.

Makin dipandang, Suma thianyu makin paham, akhirnya dia

berhasil melihat keadaan yang sebenarnya, hal ini segera

menimbulkan rasa kekaguman.

Perlu diketahui, setiap jurus serangan yang dilancarkan Jit

yang sian ang hampir semuanya merupakan jurus-jurus

mematikan, bila berganti orang lain, sudah pasti orang tua

terluka sedari tadi.

Tapi SIn sian siangsu tetap santai seperti sedia kala, dari

sini dapat disimpulkan bahwa dia memang memiliki

kemampuan yang melebihi siapapun.

Mendadak Jit yang sian ang Bun thian lui membentak keras

lalu mundur beberapa langkah, setelah itu dari punggungnya

dia meloloskan sebilah pedang mestika. Terdengar dia

membentak dengan penuh kegusaran:

"Orang she yu, ayo kita tentukan kehebatan kita di ujung

senjata....!"

Sin sian singsu tertawa hambar.

"Buat apa sih?" katanya, "senjata tidak bermata, terluka

bahkan tewas bisa terjadi setiap saat, buat apa kita musti

saling ngotot sehingga tak karuan?"

Jit yang siang ang Bun Thian lui mendengus dingin.

"Hmmm! Aku orang she Bun tak sudi mendengarkan

obrolanmu yang palsu itu, ayo cepat loloskan senjatamu"

Didesak terus menerus, akhirnya Sim sian siangsu

menghela napas panjang, gumannya:

"Yaa, kalau tetap keras kepala percuma saja aku mesti

bersusah payah"

Berguman sampai disini, mencorong sinar tajam dari balik

matanya, di tatapnya Jit yang sian ang Bun Thian lui dengan

penuh amarah, kemudian sambil menggertak gigi, bentaknya:

"Kalau kesalahan yang tak disengaja bisa dimaafkan kalau

kesalahan yang disengaja tak boleh diampuni, Bun Thian lui,

kau gemar membunuh, maka hari ini akan merupakan saat

terakhir bagimu untuk melaku kan kejahatan, aku terpaksa

harus memenuhi keiginanmu, nah, lancarkan serangan mu!"

"Selamanya aku orang she Bun tak akan menghabisi nyawa

orang yang tak bersenjata!" Jit yang sian ang Bun thian lui

tertawa seram.

"Kali ini kau boleh membuat pergecualian, aku memang tak

pernah bersenjata, sekalipun bertangan telanjang, aku yakin

masih dapat menaklukkan dirimu" Begitu perkataan tersebut

diutarakan, bukan

hanya Jit yang sian ang Bun thian lui yang terkejut

bercampur tercengang, bahkan Chin Siau dan Suma Thian yu

pun turut terkejut.

Bayangkan saja ilmu silat dari Chin Siau pun bisa dibilang

setaraf dengan Suma Thian yu, sebagai kakak

seperguruannya, sudah pasti Bun Thian lui memiliki

keistimewaan tersendiri.

Tapi kenyataannya, Sin sian siangsu berani menghadapinya

dengan tangan kosong belaka, seandainya dia belum gila,

keberanian orang ini benar-benar mengagumkan.

Terdengar Jit yang sian ang Bun Thian lui membentak

keras:

"Kalau toh kau bosan hidup, jangan salahkan aku lagi!"

Begitu selesai berkata, cahaya perak berkelebat lewat dan

secepat kilat menusuk ketubuh Sin sian siangsu.

Kali ini Sin sian siangsu tidak menghindar lagi, dia bergeser

sambil mengawasi pedang lawan, sampai ujung pedang lawan

hampir menyentuh tubuhnya, tiba-tiba tangannya balik

mencengkeram,dua jari tangan kirinya dengan mengerahkan

sepuluh bagian ilmu Lim kong ci khi menjepit gagang pedang

lawan, semenara jari tangan kanannya secepat petir menotok

jalan darah sian ki hiat ditubuh musuh.

"Lepas tangan!" hardiknya.

Mendadak terdengar Jit yang sian ang Bun Thian lui

mendengus tertahan, pergelangan tangannya menjadi kaku

dan pedang nya terlepas dari pegangannya. Menjepit pedang,

menotok jalan darah, merampas senjata, semuanya dilakukan

Sin sian singsu dengan cepat dan serentak, belum lagi orang

melihat jelas, tahu-tahu peristiwa nya telah berlangsung

hingga selesai.

Sim sian siangsu menyambut pedang pusaka lalu

munculnya di tengah udara, jalan darah Jit yang sian ang

yang tertotok pun segera dibebaskan kembali.

Jit yang siang ang yang secara tak sadar dibuat tak

berkutik, seolah-olah baru saja mendapat impian yang buruk,

begitu jalan darahnya dibebaskan, kontan saja dia mencaci

maki kalang kabut:

"Bajingan tua, kau hanya pandainya mengunakan ilmu

sihir, mengapa tidak sekalian kau bunuh diriku?"

Sin sian siangsu tertawa terbahak-bahak:

"Haaahh... haaahh... haaahhh... membunuh orang paling-

paling cuma mengedip kan mata apanya yang luar biasa? Aku

ingin melihat sampai dimanakah kemampuan yang kau miliki,

nih, sambutlah pedang tersebut"

Sambil berkata, dia lantas melemparkan pedang itu ke

depan.

Jangan dilihat sepasang mata Jit yang sian ang buta,

ternyata ia pandai sekali membedakan datangnva suara, sekali

menyambar, pedang tersebut sudah digenggam olehnya.

Tiba-tiba terdengar Sin sian siangsu berkata lagi:

"Kau boleh menusuk jalan darah dise luruh tubuhku secara

bebas sekehendak hati mu dengan batas sepuluh jurus, aku

hendak membuat kau kalah secara benar-benar puas"

Baru sslesai perkataan itu diuatakan, mendadak terdengar

Jit yang sian ang meraung gusar, pedangnya dengan jurus

perselisihan langit dan bumi menciptakan beribu-ribu titik

hujan pedang yang semuanya mengurung seluruh tubuh Sin

sian siangsu.

Menyaksikan hujan pedang yang menyelimuti seluruh

angkasa itu Sin sian siangsu malah tertawa keras, kemudian

bentaknya nyaring:

Jurus pertama, hati-hati dengan telinga mu!"

Begitu ucapan terakhir diutarakan, bayangan tubuhnya

seketika hilang lenyap dari arena sementara Suma Thian yu

masih tertegun karena keheranan, mendadak terdengar Jit

yang sian ang menjerit kelakitan, lalu sambil memutar badan

pedang nya dimainkan semakin ketat lagi untuk mengurung

seluruh badan Sin sian siangsu.

"Bajingan tua, serahkan jiwa anjingmu!" umpatnya keras-

keras.

Ditengah gelak tertawa keras yang menggema lagi di

angkasa, untuk kedua kalinya terdengar Jit yang sian ang

menjerit kesakitan.

Anehnya, kedua orang pemuda yang mengikuti jalannya

pertarungan dari sisi arena itu hampir tak pernah melihat

bayangan tubuh dari Sin sian siangsu.

Diam-diam Suma Thian yu menggerutu didalam hatinya:

"Jangan-jangan dia memang benar-benar pandai ilmu sihir

atau ilmu untuk melenyapkan badan? Kalau tidak, mengapa

bayangan tubuhnya sama sekali tidak terlihat?"

Dalam tertegun serta rasa herannya, tiba-tiba dia jumpai

bayangan tubuh dari Sin sian siangsu sebentar nampak

sebentar 1enyap dibalik kabut pedang yang menyelimuti

angkasa itu.

Kejadian mana dengan cepat menyadarkan Suma Thian yu

akan apa yang sebenarnya telah terjadi, rupanya ia

sudahmempelajari semacam ilmu gerakan tubuh yang benar-

benar luar biasa.

Dengan begitu Suma Thian yu menjadi sama sekali paham,

bisa melihat ilmu simpanan dari Sin sian siangsu, dia merasa

kagum disamping amat puas.

Pikirnya kemudian dalam hati kecilnya:

"Pertarungan semacam ini baru bisa dibilang suatu

pertarungan yang benar-benar asli, ooah... benar-benar puas

melihat kejadian tersebut...."

Mendadak dari tengah arena berkumandang suara gelak

tertawa yang amat keras, menyusul kemudian kedengaran Sin

sian siangsu berteriak keras:

"Jurus kesepuluh, Bun tayhiap, kau mesti berhati-hati

dengan pedang mestikamu!"

Jit yang sian ang membentak penuh amarah, pedangnya

diputar membentuk lingkaran cahaya bianglala berwarna

perak yang melindungi seluruh tubuhnya, ia berusaha

mempertahankan diri mati-matian pada jurus yang terakhir

itu.

Mendadak terdengar suara bentakan keras menggelegar

ditengah udara:

"Lepas tangan!"

Bayangan manusia nampak berkelebat lewar, Sin sian

siangsu dengan senyuman dikulum telah mengundurkan diri

kembali keposisi semula, malah dalam tangannya

mencengkeram sebilah pedang.

Ketika memandang pula kearah Jit yang sian ang, dia

seperti ayam jago yang kalah beradu, tubuhnya berubah

menjadi marah karena darah yang mengucur keluar tiada

hentinya, sepasang telinganya sudah terpapas kutung

sehingga keadaannya sungguh mengenaskan.

Melihat keadaan musuhnya itu, Sin sian Siangsu menjadi

tak tega sendiri, ia serahan kembali pedang itu ketangan Jit

yang sian ang, kemudian hiburnya:

"Menang atau kalah adalah suatu kejadian yang lumrah

dalam setiap pertarungan aku cuma berharap kau bisa

bertobat serta kembali ke jalan yang benar, kembalilah

kegurumu Bu bok ceng serta menyesali perbuatan mu dimasa

lampau, aku tahu kau memang seorang lelaki yang gagah

perkasa.

Jit yang sian ang menerima kembali pedangnya dengan

sepasang tangan gemetar keras, sepasang matanya yang

pada dasarnya sudah berwarna merah, kini semakin merah

membara.

Ketika selesai berkata tadi, Sin sian siangsu segera

membalikkan badan dan menghampiri Suma thian yu.

Tiba-tiba Suma thian yu menjerit kaget:

"Tahan!"

Sin sian singasu mengira Jit yang sian ang melancarkan

sergapan dari belakang, serentak dia membalikkan badan

sambil bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan yang

tidak di inginkan.

Namun dengan cepat dia mendapat tahu bahwa dugaannya

tidak benar, sebab ditemuinya Jit yang sian ang sedang

mundur sempoyongan, pedangnya telah menembusi perutnya

sehingga darah dan usus berceceran dimana-mana, kemudian

dia roboh terjengkang dan mati seketika....

Sin sian siangsu berniat untuk memberi pertolongan,

sayang sekali tindakannya terlambat selangkah, dengan

perasaan sedih ia segera menghampiri korban serta

membangunkan tubuhnya, sayang sekali jiwa nya telah

melayang.

"Huuuh, tolol!" akhinya Sin sian siangsu hanya bisa

mengumpat sambil menggigit bibir.

Sementara hati kecilnya merasa sakit seperti ditusuk

dengan jarum tajam, ia menyesal dan amat sedih.

Suma Thian yu telah menghampiri pula Jit yang sian ang,

sambil menggelengkan kepala dan menghela katanya

kemudian:

"Orang ini memang tak malu disebut seorang lelaki sejati,

begitu kalah lantas merobek perut untuk bunuh diri, heran,

mengapa sih jalan pemikiran orang ini tak bisa terbuka?"

Sin sian singsu menghela napas panjang.

"Perguruan yang dipimpin oleh pendeta buta Bu bok ceng

memang mempunyai peraturan yang sangat ekstrim, barang

siapa ilmu silatnya kalah dari orang dan mengakibatkan dirinya

malu atau terhina, hanya kematian baru bisa menebus

kejadian itu, gara-gara lupa akan hal ini, membuat aku jadi

menyesal sekali. Aaaiii....biarpun aku tidak membunuh pek jin,

pek jin justru mati karena aku, dosa..dosa.."

Setelah mendengar perkataan tersebut, Suma thian yu jadi

teringat kembali dengan Chin Siau, dia segera berpaling, tapi

sayang bayangan tubuh Chin Siau sudah tak nampak lagi.

Didalam gelisahnya, tanpa sadar Suma thian yu berteriak

keras sekali.

"Saudara Chin... saudara Chin...."

"Dia sudah pergi, diteriakan sampai tenggorokanmu serak

juga percuma" seru Sin sian siangsu sama sekali tanpa

berpaling.

"Cianpwe, darimana kau bisa tahu kalau dia sudah pergi

meninggalkan kita?"

"Apa susahnya? Kesalahan paham diantara kalian toh

belum beres, mau apa dia tetap tinggal di sini?"

"Jadi kalau begitu, dia masih membenci ku?"

"Tentu saja, masa tidak kau lihat pancaran sinar amarah

dibalik sorot matanya?"

"Aaah, kalau begitu tindakan bunuh diri yang dilakukan Jit

yang sian ang, tentu semakin mengobarkan amarahnya,

bagaimana baiknya sekarang? Andaikata gurunya main tuduh

tanpa melakukan penyelidikan, bukankah berarti kita akan

mendapat musuh baru?"

"Betapapun besarnya masalah itu, biar aku si peramal nasib

yang memutuskan, tanggung tak bakal terjadi masalah" kata

Sin sian siangsu kemudian sambil tertawa, tampaknya ia

sudah mempunyai suatu rencana yang matang.

Lalu setelah berhenti sejenak, terusnya:

"Mari kita kubur dulu jenasahnya sebelum berbicara lebih

jauh!"

"Mengapa tidak kita taruh dalam gua pohon disana? Kan

lebih menghemat waktu dan tenaga?" seru Suma Thian yu

kemudian sambil menunjuk gua yang berada dibagian batang

pohon besar.

"Suatu ide yang bagus sekali, hianit, aku paling suka

dengan otakmu yang encer itu"

Batang pohon siong yang berusia ribuan tahun itu besarnya

mencapai dua puluh rangkulan manusia, pada dasar akar

dengan batang terdapat sebuah gua setinggi manusia, gua

inilah yang dinamakan gua air Jit yang sin tong.

Memandang lubang pohon itu, Suma Thian yu kembali

berkata:

Orang persilatan memang suka sok aneh, sudah jelas gua

itu merupakan sebuah lubang pohon, tapi mereka justru

mengatakan sebagai gua air, sudah jelas gua ini sederhana

tanpa sesuatu yang aneh, mereka justru mengatakan sebagai

tempat yang berbahaya sekali, betul-betul membingungkan

orang. Hari ini kita sudah berkunjung sendiri kemari, hitung-

hitung sebagai penambah pengalaman saja"

Kemudian setelah memandang sekejap kearah Sin sian

siangsu, terus lanjutnya:

"Kalau dibilang sejak seratus tahun yang lampau tiada jago

persilatan yang bisa ke luar dalam keadaan hidup, jelas itu

omong kosong, aku sudah mencoba kemampuan Jit yang sian

ang, ilmu silatnya sama sekali tiada yang aneh atau luar biasa,

masakah orang-orang yang mampus disini mati di tangan Jit

yang sian ang?"

Perkataan itu seakan-akan diutarakan sebagai gumanan,

padahal tujuannya hendak menyindir rekannya Sin sian

siangsu.

Sebagai seorang yang berpengalaman luas, tentu saja Sin

sian siangsu dapat menangkap arti lain dibalik perkataan itu.

Ia cuma tertawa hambar saja menanggapi sindiran mana,

malah sama sekali tak memberikan tanggapannya.

Suma thian yu berjalan menuju kedalam gua ditengah

batang pohon itu serta melongok kedalam, suasana disitu

gelap gulita dan tidak nampak sesuatu apapun.

Maka kepada Sin sian siangsu katanya"

"Gua ini begini kecil lagi sempit, bagaimana cara Jit yang

sian ang melanjutkan hidupnya?"

"Darimana kau bisa tahu?" sahut Sin sian siangsu tak sabar.

"Benar-benar menghilangkan kegembiraan aku orang"

kembali Suma thian yu berkata sambil menggelengkan

kepalanya berulang kali, "tahu begini, buat apa kita mesti

menyerempet bahaya datang kemari?" Yu cianpwe, "ayo

secepatnya kita letakkan jenazah Jit yang sian ang disitu lalu

meninggalkan tempat ini selekasnya".

Sin sian siangsu menganggap pemuda ini polos, lincah dan

menarik, ada kalanya bahkan bersifat kekanak-kanakan, tapi

cara kerjanya justru cekatan dan amat teratur.

Dalam pergaulannya selama beberapa hari ini, Sin sian

siangsu boleh dibilang sudah dapat meraba watak sebenarnya

dari Suma thian yu, dia merasa pemuda ini berbakat baik,

cerdas dan hatinya putih bersih seperti selembar kertas, setitik

noda pun belum mengotori hatinya. Kalau dibilang dia

mencelakai orang dengan siasat untuk kejadian semacam ini

benar-benar suatu fitnahan yang keji.

Begitulah, Sin sian siangsu segera membopong jenasah Jit

yang sian ang dan masuk ke dalam gua pohon, Suma Thian

yu mengikuti dibelakangnya.

Sebagai penerangan, dia mengeluarkan mutiara Ya beng

yu, dengan ketajaman matanya yang bisa melihat dalam

kegelapan pun ternyata kali ini gagal menyaksikan sesuatu.

Dengan keheranan Suma Thian yu segera bertanya:

"Cianpee, bagaimana mungkin Jit yang sian ang bisa hidup

dalam gua yang begini gelap?"

Tolol, sepasang mata Jit yang sian ang sudah buta, baginya

gelap gulita atau terang benderang adalah sama saja, sama

sekali tidak berpengaruh baginya.

Suma Thian yu mengangkat mutiaranya tinggi-tinggi,

suasana dalam ruang gua itu menjadi terang benderang

seperti siang hari.

Menggunakan cahaya itu, sang pemuda memeriksa sekejap

sekitar situ, namun ia segera tertegun.

Rupanya keadaan didalam ruang gua itu sangat lebar,

keempat dindingnya terbuat dari batu granit, sedang

dihadapannya terbentang sebuah lorong yang entah

berhubungan sampai dimana?

Segulung angin kencang berhembus lewat dari dalam

lorong gua tersebut, udara menjadi sangat dingin dan

mendirikan bulu roma....

Sin sian siangsu segera menurunkan jenazah Jit yang sian

ang keatas tanah, lalu ujarnya kepada Suma thian yu:

"lorong ini tembus sampai kemana, hingga kini belum

diketahui siapa pun, sebab pernah pernah ada orang yang

berhasil menembusinya. Tatkala Jit yang san sin menemukan

gua ini dulu, untuk mencegah orang lain menyerempet

bahaya, maka ia pun berdiam disini sambil berusaha

membujuk orang lain agar tahu diri dan mengundurkan diri

tetapi masih ada juga yang membandel, enggan menuruti

nasehat dan nekad menyerempet bahaya, akhirnya mereka

pun pergi untuk tak kembali lagi”

"Apakah ujung lorong tersebut adalah gua air Jit yang sui

tong?"

"Menurut penyelidikan, lorong ini memang merupakan jalan

utama menuju ke gua air Jit yang sui tong, bisa jadi ujung

lorong tersebut adalah sungai perak!"

Kata terakhir dari Sin sian siangsu itu tak lebih hanya kata-

kata gurauan belaka namun Suma Thian yu menganggapnya

sebagai sungguhan, pelan-pelan dia mulai bergeser menuju

kearah lorong itu.

Tiba-tiba terasa lagi segulung angin puyuh berhembus

lewat membuat kulit tubuhnya terasa sakit.

Terdorong oleh rasa ingin tahunya, Suma Thian yu

meneruskan perjalanannya menuju kedalam lorong itu, dia

ridak ingin pulang tanpa hasil setelah bersusah payah datang

kesitu.

Mendadak terdengar Sin sian siangsu menegur dengan

marah:

"Keponakan, kau sudah bosan hidup rupanya?"

Suma Thian yu membuat wajah setan sambil membalikkan

badan, ketika dia balik kesisi Sin sian siangsu dan

mendongakkan kepaknya, mendadak dilihatnya dia atas

dinding terdapat ukiran huruf.

Cepat dia mengangkat tinggi mutiaranya dan berseru:

"Cianpwee, cepat kau lihat, disini ada tulisan!"

"Lebih baik kau jangan membaca tulisan itu, banyak orang

yang telah menjadi korban gara-gara tulisan tersebut!" sahut

Sin slan siangsu lagi dengan suara hambar.

Suma Thian yu menjadi keheranan, segera pikirnya:

"Sungguh aneh, masa tulisan pun bisa mencelakai orang,

sungguh suatu lelucon besar, sayang aku justru tak akan

percaya dengan kata-kata tersebut"

Berpikir demikian, tanpa terasa ia mengangkat kepalanya

dan memperhatikan tulisan itu dengan seksama.

Diatas dinding tertera empat baris kalimat yang

kesemuanya diukir dengan gaya tulisan yang kuat dan

bertenaga, sudah jelas tulisan yang dibuat seorang jago

persilatan dengan ilmu jari Kim kong ci.

Bila dilihat dari ukiran kalimat yang mendesak sampai

kedalam dinding batu tersebut dapat diketahui kalau tenaga

dalam yang dimiliki orang tersebut amat sempurna.

Adapun kalimat kalimat tersebut berbunyi begini:

Dalam gua Jit yang tersimpan matahari dan rembulan.

Matahari bersembunyi rembulan bergeser air mengalir. Bila

ingin memperdalam ilmu dewa. Silahkan menyerempet bahaya

menemui dewa"

Dibawahnya tertanda "Wan wan cu" tiga huruf.

Sementara Suma Thian yu masih mencoba untuk

memikirkan arti yang sebenarnya dari kalimat diatas,

mendadak terdengar Sin sian siangsu menjelaskan:

"Yang dimaksud 'Dalam gua Jit yang tersimpan matahari

dan rembulan' adalah didalam gua ini tersimpan sebilah

pedang mestika yang dinamakan pedang matahari rembulan

yakni pedang mestika yang berada ditangan Jit yang sian ang

tersebut, sedang kalimat kedua mungkin mengartikan didasar

lorong ini terdapat sebuah sumber air yang sangat dalam,

barang siapa bisa memasuki sumber air itu, maka dia akan

peroleh ilmu silat yang tinggi"

oooOooo

SUMA THIAN YU merasa gembira sekali sesudah

mendengar penjelasan tersebut, buru-buru serunya:

"Cianpwee, harap kau menunggu disini, biarboanpwe

memasuki lorong tersebut untuk mmeeriksa keadaan yang

sebenarnya"

"Jangan, hal ini tidak dapat kau lakukan!" teriak Sin sian

siangsu sambil melototkan matanya penuh amarah.

Suma Thian yu segera memutar otak dan mencari akal,

tubuhnya segera meluncur keluar dari gua itu tak selang

berapa saat kemudian ia masuk kembali kedalam gua, hanya

didalam tangannya telah bertambah dengan seutas tali rotan

sepanjang sepuluh kaki.

Tali rotan itu disambung-sambung satu dengan lainnya,

sambil menyerahkan ujung yang satu kehadapan Sin sian

singsu, ujar si anak muda tersebut:

"Cianpwee, harap kau mengikat ujang yang satu itu disini,

biar boanpwe menelusuri lorong tersebut sampai kedalam, jika

menemui bahaya, aku akan menarik tali itu untuk memohon

pertolongan, pada saat itu, kau boleh menarik tali tersebut,

aku pikir dengan cara begini bisa terhindar dari segalamusibah

yang tak diinginkan.

Melihat ketidak puasan anak muda tersebut, Sin sian

siangsu merasa mendongkol disamping geli, terpaksa dengan

perasaan apa boleh buat dia menghela napas panjang serta

menerima ujung tali rotan itu, kemudian katanya:

"Hiantit, kau mesti berhati-hati, andaikata sampai terjadi

sesuatu kesalahan, bagaimana aku bisa mempertanggung

jawabkan diri terhadap Cong liong lo siansu?"

"Boanpwee mengerti"

Kemudian ia membuat lingkaran tali simpul pada ujung

rotan yang lain yang mengikatnya diatas pinggang sendiri,

kemudian dengan tangan kiri membawa mutiara Ya beng cu

dia memasuki lorong tersebut selangkah demi selangkah....

Akan tetapi, ketika ia melihat dasar lorong yang rasanya

begitu dalam dan tak berdasar, tiba-tiba muncul perasaan

seram di dalam hati kecilnya.

Segulung angin kencang seperti hembusan angin dingin

yang menggidikan hati menerjang wajahnya yang

menimbulkan rasa sakit seperti ditusuk dengan jarum yang

amat tajam.

Tapi operkataan seorang lelaki sejati yang telah diucapkan

harus dilaksanakan, bila ia mundur dalam keadaan begini,

sudah jelas perbuatannya itu akan ditertawakan orang.

Tentu saja pemuda itu tak ingin dicemooh orang lain, maka

tanpa ragu-ragu lagi, pelan-pelan dia melanjutkan

perjalanannya menerobo lorong rahasia tersebut.

Tiba-tiba.....

Segulung angin kencang kembali berhembus lewat

menyeret badan bagian bawahnya, begitu kencang angin itu

berhembus sehingga tubuhnya bagaikan mengambang di

udara dan tak dapat meluncur ke bawah lagi.

Tak terlukiskan rasa gelisah Suma Thian yu menghadapi

kejadian tersebut, buru-buru dia pergunakan ilmu bobot seribu

untuk memaksa badannya merosot jatuh kebawah.

Namun hembusan angin makin lama semakin kencang, kini

pendengaran pemuda itu sudah dipenuhi oleh suara gemuruh

yang memekikkan telinga, membuat dia seakan-akan

kehilangan perasaan.

Perasaan ngeri dan tak tenang mulai mencekam perasaan

Suma Thian yu, ia mencoba untuk mendongakkan kepalanya,

satu kaki di kejauhan sana terlihat olenhya awan hitam yang

amat tebal, ketika diperiksa ke bagian bawah disitupun hanya

kegelapan yang gulita.

Hawa dingin mulai menyusup masuk lewat sepasang

kakinya serta menimbulkan rasa sakit seperti ditusuk-tusuk

dengan jarum, begitu hebatnya rasa dingin itu, membuat

sekujur badannya gemetar keras.

Seketika itu juga perasaan ngeri dan seram menyelimuti

seluruh perasaannya, dia mulai menyesal mengapa tidak

menuruti nasihat da ri Sin sian siangcu.

Dalam keadian begini, sekali lagi terlintas ingatan untuk

mengundurkan diri dari situ.

Namun sebelum ingatan tersebut menjadi padam, ingatan

yang lain kembali menyerang didalam benaknya. Belakangan

di menggeretak gigi dan bertekad untuk melanjutkan

usahanya untuk melakukan penyelidikan lebih jauh.

Tiba-tiba saja hembusan angin puyuh terhenti secara tiba-

tiba.

Seketika juga Suma Thian yu tak dapat menahan tubuhnya

lagi, bagaikan bintang yang jatuh, secepat kilat dia meluncur

menuju kearah bawah.

Mendadak tubuhnya terhenti, agaknya rotan pemikat

tubuhnya sudah habis digunakan padahal dia belum mencapai

ujung dari lorong tersebut.

Dengan demikian tubuhnya jadi bergelantungan ditengah

udara.

Suma Thian yu segera mengerti bahwa usahanya telah

menemui kegagalan total, maka dia pun menarik tali rotan

dengan maksud memberi tahu kepada Sin sian siangsu yang

berada diatas agar mengereknya naik keatas.

Tali rotan itu mulai bergerak, tubuh Suma Thian yu pelan-

pelan ikut terderek naik pula keatas.

Mendadak dari balik lorong itu berkumandang suara

hembusan angin yang amat ken cang, Suma Thian yu segera

merasakan segulung tenaga hisapan yang sangat kuat

menahan tubuhnya yang sedang bergerak naik.

Kejadian tersebut membuat hatinya bergetar keras, sekuat

tenaga dia menggoncang-goncangkan tali tersebut,

maksudnya hendak memberitahukan kepada Sin sian siangsu

agar mempercepat tarikannya.

Sin sian siangsu yang berada diatas, agaknya sudah

mendapat tanda bahaya tersebut, dengan cepat Suma thian

yu tertarik lebih tinggi ke udara.

Tapi sayang tenaga hisapan yang muncul dari balik lorong

tersebut makin lama semakin bertambah kuat.

"Tarik.....!"

Mendadak dari balik lorong berkumandang suara yang

amat nyaring. Rupanya tali rotan itu sudah putus menjadi dua,

putus persis pada bagian tali simpulnya.

Dengan begitu tubuh Suma thian yu pun kehilangan

keseimbangan tubuhnya, tak ampun lagi tubuhnya segera

merosot jatuh kebawah.

Jeritan kaget yang penuh rasa kejut dan ngeri segera

bergema dalam lorong itu, dari keras menjaidi kecil dan

akhirnya hilang lenyap tak berbekas.

Sin sian siangsu yang berada diatas lorong menjadi sedih

sekali hatinya, dia berpekik panjang sementara air matanya

jatuh bercucuran membasahi wajahnya.

Sementara itu tubuh Suma Thian yu telah meluncur

kedalam jurang dengan kecepatan luar biasa.

Dalam kejut dan ngerinya, pemuda tersebut segera terjatuh

tak sadarkan diri.

Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba saja Suma Thian

yu merasakan sekujur badan-nya terasa dingin dan ia menjadi

sadar kembali dari pingsannya.

Sewaktu membuka matanya kembali, pemuda itu

menemukan dirinya berbaring di dalam air.

Pada mulanya dia masih mengira hal tersebut merupakan

suatu impian belaka, namun setelah merasakan bagaimana tali

rotan masih melilit pada punggungnya, dia baru sadar bahwa

jiwanya telah selamat dari kematian.

Tak kuasa lagi dia menghela napas panjang sambil

bergumam:

"Sungguh berbahaya! Untung saja ujung lorong ini terdapat

air, coba kalau tidak, sudah dapat dipastikan tubuhku akan

hancur berantakan tak karuan lagi wujudnya"

Ternyata dasar dari lorong tersebut adalah sebuah sungai

besar dibawa tanah, hembusan angin kencang tadi timbul

karena desakan tekanan udara akibat pasangnya air sungai

tersebut, dengan surutnya permukaan air sungai, dengan

sendirinya hembusan angin puyuh itu pun merosot kebawah

sehingga berubah menjadi tenaga hisapan.

Apa yang dialami Suma Thian yu barusan tidak lain adalah

gejala alam yang normal, pemuda itu hanya merasa bahwa

sungai di bawah tanah ini membentang bagaikan samudra

luas, sekilas pandangan tak nampak tepian, hal tersebut

membuat perasaannya amat tak tenang...

Dalam tubuhnya sekarang, selain tali rotan yang telah

putus itu sudah tidak terdapat lagi benda lainnya, bila ia

diharuskan berenang sampai ditepi daratan situ, dengan ilmu

berenangnya yang baru mencapai taraf permulaan, jelas hal

ini tak mungkin bisa dilakukan olehnya.

Mendadak....

Seekor ikan besar berenang siap menerkam tubuhnya.....

"Mampus aku kali ini!" pekik Suma thian yu dengan perasan

gelisah.

Buru-buru dia membalikkan badannya berusaha untuk

melarikan diri, siapa sangka baru berenang sejauh depa lebih

tiba-tiba ia merasakan gerakan tubuhnya menjadi sangat

berat.

Serta merta dia berpaling, rupanya ikan besar tadi telah

berhasil mengigit ujung tali rotan yang masih melilit diatas

pinggangnya itu.

Peluh dingin segera jatuh bercucuran membasahi

tubuhnya, dia semakin ngeri lagi menghadapi kejadian seperti

itu.

Andaikata dia berada didarata, jangankan seekor ikan

besar, biarpun sedang menghadapi sepuluh ekor harimau

buas pun, dia masih mampu untuk melarikan diri.

Tapi setelah didalam air, dia hanya bisa pasrahkan nasib

pada kemauan takdir.

Setelah menghela napas panjang, anak muda itu segera

mengendorkan segenap kekuatan yang dimilikinya dan

menyerahkan nasib pada kemauan ikan besar tadi.

Ikan tersebut panjangnya mencapai dua kaki dan beratnya

luar biasa, sambil menggigit ujung tali rotan tadi, dia

membalikkan badan sambil berenang kedepan, dengan

menyeret tubuh Suma thian yu, ikan tesebut meluncur ke

muka dengan kecepatan luar biasa.

Sepanjang tubahnya terseret, Suma thian yu hanya bisa

menongolkan kepalanya untuk menarik napas, sekarang dia

sudah menyerahkan soal mati hidupnyakepada takdir.

Anggapannya, toh bagaimanapun dia mencoba meronta,

mustahil keadaan yang berbahaya ini bisa diatasi olehnya.

Dalam keadaan begitu, dia hanya bisa menanti

perkembangan selanjunya, sebab banyak berpikir malah akan

mendatangkan bibit bencana bagi diri serdiri.

Matahari sudah tenggelam 1agi dibalik air, senja yang

merah menyelimuti ketengah angkasa.

Setelah seharian penuh dicekam perasaan tegang, Suma

thian yu mulai terlelap tidur tanpa terasa.

Sebaliknya ikan besar itu malah bergerak semakin lincah,

kecepatan berenangnya bukan saja tidak berkurang, malah

kian lama Kian bertambah cepat.

Kini perasaan Suma Thian yu sudan semakin tenang,

menurut pengamatannya selama satu harian itu, ikan besar

yang menyeretnya itu hanya berenang terus ke depan tanpa

menunjukkan gejala atau sikap yang tidak menguntungkan

baginya.

Bukan cuma begitu, atas perlindungan si ikan, banyak mara

bahaya yang justru dapat ter atasi olehnya.

Setiap kali terdapat ikan pemakan manusia berusaha

mendekati tubuhnya, setelan melihat ikan besar tadi, si ikan

ikan buas itu malah melarikan diri terbirit-birit.

Hal tersebut membuat si ikan besar tanpa terasa sudah

berubah menjadi sang pelindung keselamatan anak muda

tersebut.

Satu-satunya yang membuat ia menderita adalah tubuhnya

yang mesti berendam sehari penuh didalam air, hal mana

membuat tubuh bagian bawahnya menjadi kaku dan

kesemutan.

Selain itu, dia pun kuatir akan nasibnya setelah ini,

samudra begitu luas, kemanakah dia hendak diseret oleh ikan

besar tersebut,kalau seandainya ikan tersebut menyeretnya

terus menerus, bukankah pada akhirnya dia bakal tewas juga.

Matahari sudah mulai lenyap dibalik air, malampun

mencekam seantero jagad.

Angin malam berhembus kencang, ombaknya makin

membesar, kian lama suasana kian bertambah mengerikan.

Suma thian yu mencoba untuk memperhatikan keadaan di

sekitar situ, tapi semuanya gelap gulita sekali, dia merasa

seolah-olah sedang menghadapi dunia yang hampir kiamat.

Mendadak.......

Hembusan angin malam yang menyapu lewat membawa

suara pekikkan panjang yang sangat nyaring, suara itu guntur

yang menembusi angkasa, luas, begitu keras, nyaring dan

memekikan telingga.

Sungguh aneh, begitu mendengar suara pekikan tersebut,

Suma Thian yu segera merasakan semangatnya bangkit

kembali, rasa mengantuk yang semula mencekam

perasaannya seketika hilang lenyap tak berbekas.

Ketika si ikan besar tersebut mendengar suara pekikan

tersebut, binatang itu segera timbul dari permukaan air dan

menggerakkan ekornya dengan riang gembira, kemudian

dengan gerakan cepat bergerak menuju ke arah mana

berasalnya suara itu.

Suma Thian yu menjadi tertegunmenghadapi keadaan

begitu, satu ingatan segera melintas dalam benaknya, tanpa

terasa pemuda itu berpikir dihati:

"Jangan-jangan ikan besar itupun hasil pemeliharaan

orang?"

Sementara dia masih termenung, tiba-tiba terasa lagi

segulung angin puyuh berhembus lewat disusul suara pekikan

burung bangau yang keras.

Dengan perasaan terkejut Suma Thian yu mendongakkan

kepalanya, ternyata ada seekor burang bangau raksasa

berwarna putih keperak-perakan sedang menukik kebawah.

"Habi sudah riwayatku kali ini, bisa mampus aku bila

diserang burung itu!" pekiik Suma Thian yu terkejut.

Sepasang matanya segera dipejamkan rapat-rapat siap

menerima kematian.

Tahu-tahu punggungnya terasa amat sakit,

sepisang cakar yang amat tajam mencengkeram

pakaiannya dan membetotnya ketengah udara.

Bersamaan itu pula si ikan besar yang menggigit ujung tali

rotan tadi segera melepaskan gigitannya dan menyelam

kedalam air, hanya sekejap saja bayangan tubuhnya sudah

lenyap dari pandangan mata.

Suma Thian yu merasa dirinya dibawah terbang bangau

raksasa tadi, dalam keadaan begini dia hanya bisa berdiam diri

saja pasrah kepada nasib, berapa kali dia mencoba untuk

meronta, namun niat tersebut segera diurungkan kembali.

Tak selang beberapa saat kemudian, bangau raksasa itu

sudah berpekik keras sambil meluncur kebawah dan hinggap

ditengah hutan yang lebat, begitu melepaskan anak muda ter

sebut diatas tanah, burung bangau itu terbang kembali

keudara dan lenyap dibalik awan.

Suma Tnian yu cepat bangkit berdiri, namun sebelum ia

sempat melakukan sesuatu, mendadak dari balakang

tubuhnya terdengar seseorang tertawa tergelak dengan suara

yang amat nyaring.

Dengan perasaan terkejut Suma Thian yu membalikkan

badan, ternyata dibelakang tubuhnya sudah berdiri seorang

kakek berjenggot panjang berwarna perak.

Kakek itu mempunyai sepasang mata yang memancarkan

sinar tajam, sambil mengawasi anak muda itu dari atas sampai

kebawah, pelan-pelan dia menegur:

"Hei bocah cilik, siapa namamu?"

"Aku She Suma bernama Thian yu, boleh aku tahu siapa

nama besar locianpwee?"

"Aku bernama Wan Wan cu"

Begitu mendengar nama Wan Wan cu, Suma Thian yu

segera merasakan hatinya menjadi tegang, dia segera teringat

kembali dengan bait syair yang tertera diatas dinding Jit yang

sui tong tadi, bukankah si pembuat itu pun mengaku bernama

Wan Wan cu?

Mungkinkah si kakek yang berada dihadapannya sekarang

adalah Wan Wan cu si pembuat syair? Kalau memang begitu,

sungguh aneh sekali, kalau toh dia berdiam di sini, mengapa

pula harus meninggalkan syair nya di atas bukit Jit yang san?

Agaknya kakek itu dapat menebak suara hati Suma Thian

yu, setelah tertawa dingin segera ujarnya:

"Hei bocah, apakah kau datang kemari karena melihat

tulisan yang ditinggalkan aku?"

Sebenarnya Suma Thian yu hendak membenarkan, namun

setelah menyaksikan sikap engkuh, dingin dan takabur dari si

kakek tersebut, timbul perasaan antipati dalam hati kecilnya.

"Bukan" jawabnya kemudian.

Jawaban tersebut nampaknya sama sekali diluar dugaan si

kakek berjenggot perak itu, dia tertegun beberapa saat, lalu

bentaknya lagi:

"Lantas, mengapa kau harus menyerempet bahaya?"

"Aku hanya terdorong oleh perasaan ingin tahu, lain tidak!"

Ternyata kakek berjenggot perak ini tak lain adalah Wan

Wancu, seorang manusia aneh yang disegani manusia diri

golongan putih maupun hitam dalam dunia persilatan enam

puluh tahun berselang.

Kakek ini berasal dari Khong tong pay, kepandiaan silatnya

berasal dari aliran Khong tong pay yang kemudian secara

kebetulan memperoleh pennemuan luar biasa, dimana ia

berhasil mendapatkan sejilid kitab pusaka pe ninggalan

seorang gembong iblis.

Hanya sayangnya orang ini berwatak aneh dan berjiwa

kejam, dia tak pernah berkedip bila membunuh orang.

Karenanya, pembunuhan demi pembunuhan yang seringkali

dilakukan olehnya lama kelamaan menimbulkan amarah bagi

umat persilatan, akhirnya dalam suatu serangan yang tiba-tiba

ia kena diusir dari keramaian dunia, waktu itu Wan Wancu

melarikan diri ke bukit Jit yang san dan menemukan gua

tersebut, dia sengaja menimbulkan syair diatas dinding gua

mana dengan harapan kejadian ini bisa memancing datangnya

kawanan jago lihay ke tempat tinggalnya.

Dan dia sendiri segera memanfaatkan kesem patan yang

sangat baik itu untuk membunuh mereka satu per satu

sebagai rangka pembalasan dendamnya.

Titik kelemahan dari umat persilatan adalah kemaruk akan

ilmu silat atau benda mestika serta sebangsanya, menurut

kebiasaan pada umumnya, bila disuatu tempat terdapat

memacam mestika, maka berbondong-bondong mereka akan

mendatangi tempat tersebut dan berusaha untuk

mendapatkannya, entah secara halal maupun tidak.

Wan wancu justru telah mempergunakan titik kelemahan

ini sebagai umpannya untuk memancing kedatangan kawanan

manusia tersebut.

Wan Wan cu benar-benar merasa tercengang dan diluar

dugaan setelah melihat orang yang ditawan bangau

raksasanya hari ini tak lebih hanya seorang pemuda, terutama

seka1i setelah mendengar perkataannya, dia semakin

bertambah curiga.

Dari dalam sakunya diapun mengeluarkan sejilid kitab kecil

berwarna kuning kemudian sambil diiming-imingkan

dihadapan pemuda itu, katanya lagi sambil tertawa licik:

"Bocah, aku tak menyangka kalau kau bisa sampai disini

dalam keadaan selamat. Coba kau lihat, kitab kecil ini

berisikan Ilmu silat yang luar bisa sekali, biar kuhadiahkan

saja kepadamu sebagai tanda mata perjumpaan kita hari ini"

"Terima kasih banyak atas kebaikan mu, sahut Suma Thian

yu sambil menggelengkan kepalanya, "biarlah maksud baikmu

kuterima didalam hati saja. Ilmu sakti tiada gunanya bagiku,

yang kupersoalkan sekarang adalah bagaimana caranya untuk

kembali ke daratan Tionggoan, harap cianpwe sudi memberi

petunjuk"

"Bocah, kau benar-benar tidak menghendaki kitab pusaka

ini?" tanya Wan Wancu dengan wajah menyelidik.

"Tidak, aku tidak membutuhkan benda itu"

"Aaah..aaaah, sungguh aneh!" Wan Wancu menggelengan

kepalanya berulang kali sambil menyatakan keheranannya.

Suma Thian yu tertawa.

"Pusaka ilmu silat atau pedang mestika hanya kan

diperoleh mereka yang berbudi luhur, sedang aku sama sekali

tidak berbudi, sedang dengan aku pun hanya berjumpa begini

saja, orang kuno bilang: Tiada pahala tak akan menerima

balas jasa, apa sih yang perlu diherankan?"

Wan Wancu segera tertawa terbahak:

"Haah...haah...haah....haah... bagus sekali!, memang tanpa

jasa jangan menerima pahala. Hei bocah, aku lihat kau pasti

pernah belajar silat, siapa sih nama gurumu?"

"Guruku adalah Put Gho chu" jawab pemuda itu tanpa

berpikir panjang lagi.

"Put Gho cu? dari Bu tong pay? tanya Wan Wancu dengan

wajah diliputi selapis hawa dingin.

Suma Thian yu sama sekali tak memperhatikan perubahan

tersebut, kembali sahutnya:

"Yaa betul, dia memang guruku!"

Sekali lagi Wan Wan cu men dongakkan kepalanya sambil

tertawa terbahak-bahak, suaranya begitu keras dan nyaring

membuat seluruh bukit terasa bergoncang keras.

Suma Thian yu merasa jantungnya berdebar keras oleh

gelak tertawa ini, diam-diam pikirnya:

"Sempurna amat tenaga dalam orang ini, agaknya

kepandaian silat yang dimilikinya tidak berada dibawah

kepandaian guruku"

Ketika selesai tertawa, mencorons sinar buas di balik mata

Wan Wancu, bagaik ular berbisa yang siap memagut

mangsanya, dia mengawasi wajah Suma Thian yu lekat-lekat,

kemudian serunya lagi:

"Bocah, kau pernah mendengar nama ku ini? Dulu gurumu

pernah memimpin kawanan manusia dari golongan putih

untuk mengerubutiku dan memaksa aku hingga tak dapat

menancapkan kaki lagi di daratan Tionggoan sehingga harus

mengungsi disini. Beruntung sekali Thian telah mengirim kau

kehadapanku hari ini, hmm, hmm, terpaksa kau harus

mewakili gurumu untuk menerima hukuman!"

Tiba-tiba saja Suma Thian yu merasakan sekujur badannya

bergetar keras tanpa sadar dia mundur beberapa langkah

kebelakang.

Sambil tertawa seram kembali Wan Wancu berkata:

"Hei bocah, kau jangan mencoba untuk melarikan diri.

Sejak dulu hinngga sekarang belum pernah ada seorang

manusia pun yang dapat lolos dari bukit bangau putih ini

dalam keadaan selamat. Percuma saja kau mencoba

melakukan perlawanan, sebab hal semacam ini hanya akan

menambah siksaan saja bagi dirimu"

Suma Thian yu segera meraba gagang pedangnya sambil

bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan yang tak

diinginkan, sorot matanya yang tajam mengawasi setiap

gerak-gerik Wan Wancu tanpa berkedip, bilamana perlu, dia

berniat melepaskan serangan yang mematikan untuk

mengajak lawannya beradu jiwa.

Wan Wancu tertawa seram, dengan sikap yang angkuh dia

maju kedepan, sementara sekulum senyuman dingin

menghiasi ujung bibirnya.

"Lepaskan tanganmu, percuma kau lakukan kegiatan yang

tak bermanfaat, sebab biarpun gurumu yang hadir sendiri

ditempat ini pun, dia akan segera kutumpas, apalagi kau? Bila

kau memang pintar, ayo cepat berlutut minta ampun, siapa

tahu aku masih bersedia memberikan kematian yang

memuaskan bagimu"

Sembari berkata, selangkah demi selangkah dia maju terus

kedepan....

Mendadak terdengar Suma Thian yu membentak keras:

"Jangan sembarangan bergerak, bila kau berani maju lagi,

sauya akan bertindak tegas kepadamu!"

Wan Wancu mendengus dingin sambil maju melangkah lagi

kedepan, dengan wajah menyeringai seram, serunya:

"Cabut saja pedangmu, disaat pedangmu sebelum lolos dari

sarung nanti, aku hendak menotok tiga buah jalan darah

penting diatas tubuhmu!"

Suma Thian yu segera menekan tombol rahasia pedangnya,

diiringi kiluauan cahaya biru pedang tersebut sudah tercabut

keluar, bersamaan waktunya dengan saat Wan Wancu

menyelesaikan perkataannya. Orang kuno bilang: Diri gerakan

seseorang, dapat diketahui apakah dia berilmu atau tidak.

Wan Wancu menjadi tertegun setelah melihat cara Suma

Thian yu meloloskan senjata nya, mau tak mau dia harus

menilai kembali kemampuan anak muda tersebut.

Sambil tertawa dingin, Suma Thian yu berkata lagi:

"Kalau masalahnya sudah terjadi lama sekali, biarkan saja

masalah itu mengalir lewat dengan begitu saja, buat apa sih

kau masih memikirkannya dalam hati? Guruku sudah enam

puluh tahan lamanya meninggalkan dunia persilatan dan hidup

mengasingkan diri, jika cianpwe masih saja teringat akan

dendam lama, tidakkah kau merasa bahwa cara pemikiranmu

itu terlalu sempit?"
Anda sedang membaca artikel tentang Cersil Kitab Pusaka 3 dan anda bisa menemukan artikel Cersil Kitab Pusaka 3 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/10/cersil-kitab-pusaka-3.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil Kitab Pusaka 3 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil Kitab Pusaka 3 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil Kitab Pusaka 3 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/10/cersil-kitab-pusaka-3.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 1 komentar... read them below or add one }

Cara Cepat Sembuhkan Penyakit Diabetes Melitus mengatakan...

ceritanya panjang bener ya gan, haruh dak

Posting Komentar