yang dikatakan memang tepat dan benar.
Sebenarnya lima hari lagi kakek Lim akan genap berusia
empat puluh sembilan tahun, tapi, siapa sangka kalau datang
bencana yang merenggut selembar jiwanya?
Melibat kakek Lim terbunuh, Kang Jin hoo merasa tidak
terima, dia segera berjalan men dekati lelaki bercambang itu,
kemudian tegur nya dengan suara lantang:
"Saudara, tolong tanya mengapa kau besikap begitu keji
dan sama sekali tak berperikemanu siaan? Kau toh telah
mengerti bahwa orang
itu bertubuh lemah dan sudah lanjut usia? Se kalipun dia
telah menyalahi saudara, toh tidak seharusnya kau bunuh
dirinya? kau toh tahu bahwa jiwa manusia itu berharga sekali?
Sia pa membunuh orang dia harus membayar pula dengan
nyawa sendiri, ayo ikut kami menuju ke pengadilan!"
Mendengar ucapan tersebut, lelaki bercambang itu segera
tertawa seram, disusul kemudian ke tiga orang lelaki buas
lainnya turut terbahak-bahak pula.
Selesai tertawa, lelaki buas itu berkata lagi:
"Tampaknya sepasang matamu sudah buta? Mengapa,
tidak kau tanya-tanya dulu siapakah Thong tiu tay siu (Tay-siu
berkepala tembaga) Oh Si-thian? Hendak menyeret ku ke
pengadilan? Hmmmm.... sungguh menggelikan se kali,
tampaknya toaya perlu untuk mengirim kau menuju ke akhirat
seperti juga tua bangka tadi, agar dia tahu bagaimanakah
akibatnya bila suka mencampuri urusan orang"
Selasai berkata, dia lantas menangkap tubuh kang Jin hoo
dan mengangkatnya tinggi-tinggi seperti lagi menangkap
seekor anak ayam saja, kalau dilihat dari sikapnya, dia seperti
hendak melemparkan pula tubuh kang Jin hoo ketengah jalan.
Mendadak terdengar seseorang membentak keras:
"Hohan, tunggu sebentar!"
Tampak sastrawan rudin itu berlarian menuju kehadapan
Tay sui berkepala tembaga Oh Si thian, kemudian rengeknya
dengan wajah memelas:
"Hohan, kumohon kepadamu agar jangan melukainya, dia
adalah tuan penolong dari aku si tua rudin, berbuatlah
kebaikan dan ampuni lah selembar jiwanya!"
Tay sui berkepala tembaga Oh Si thian tidak ambil perduli
ucapan tersebut, mendadak ia membentak gusar:
"Enyah kau dari sini!"
Serta merta dia melemparkan tubuh Kang Jin hoo ke
tengah jalan.
Menyaksikan kejadian tersebut, si sastrawan rudin itu tahu
akan bahaya, dia siap menggerakkan tubuhnya untuk
melakukan terkaman ke arah depan....
Mendadak tampak sesosok bayangan manusia meluncur ke
sisi tubuh Kang Jin hoo dengan kecepatan luar biasa, tahu-
tahu tubuh Kang Jin hoo sudah diterima oleh seorang pemuda
tampan.
00O00 00O00
SAKING kagetnya mungkin Kang Jin hoo sampai jatuh
pingsan, ternyata dia sama seka li tak tahu bagaimana
ceritanya sehingga dia dapat diselamatkan orang lain, menanti
dia merasakan tubuhnya sedang berada dalam rang kulan
seorang pemuda, dia bahkan mengira sedang bermimpi
disiang hari bolong.
Ketika sastrawan rudin itu menyaksikan Kang Jin hoo sudah
tertolong, hatinya menjadi sangat lega, maka sambil berlagak
terperanjat dia berjalan menghampiri pemuda itu, lalu
serunya:
"Oooh, terima kasih kepada langit, terima kasih kepada
bumi, saudara cilik, untung kau
datang tepat pada waktunya, kalau tidak tuan penolongku
ini pasti sudah mati, terima kasih langit, terima kasih saudara
cilik....!"
Tay sui kepala tembaga Oh Si thian menjadi tak senang
hati setelah dilihatnya buruannya ditolong orang, dengan
kening berkerut dia melompat ketengah jalan raya, lalu
bentaknya keras-keras:
"Bocah keparat! Siapakah kau? Berani benar bermain gila
dengan taysui ya mu, Hmmm. Lebih baik jangan cari penyakit
buat diri sendiri, ayoh cepat serahkan dia kepadaku!"
Pelan-pelan pemuda itu menurunkan Kang Jin hoo keatas
tanah, kemudian sambil tersenyum dia menuding kearah
kakek Lim yang sudah putus nyawa itu, lalu tanyanya:
"Apakah kematian orang ini merupakan hasil karyamu?"
"Betul, memangnya kau tak puas?" jengek taysui kepala
tembaga Oh Si thian dengan angkuh.
"Dendam sakit hati apakah yang terjalin antara kau dengan
dirinya....?" kembali pemuda itu bertanya.
"Masa untuk membunuh orang pun harus terikat dulu oleh
dendam sakit hati? Omong kosong, hei bocah keparat, terus
terang toaya memberitahukan kepadamu, asal toaya merasa
tidak berkenan dihati, semuanya harus dibikin mampus. Jika
kaupun ingin mencampuri urusan ini, kaupun akan
kumasukkan dalam hitungan"
Taysui kepala tembaga Oh Si thian memang sudah terbiasa
berbuat semena-mena dan membunuh orang tanpa berkedip,
dia terhitung seorang gembong iblis yang disegani banyak
orang.
Begitu selesai berkata, dia segera maju kedepan
menghampiri Kang Jin hoo, saudagar itu sudah merasakan
sukmanya seraya meninggalkan raganya, apalagi menyaksikan
Taysui kepala tembaga Oh Si thian selangkah demi selangkah
mendekatinya, dia merasa semakin ketakutan sehingga pucat
pias selembar wajahnya.
Pemuda tersebut segera menarik lengan Kang Jin hoo dan
membawanya kebelakang punggung
nya, kemudian dengan sikap yang amat tenangia berdiri
dihadapan Oh Si thian, katanya dengan suara dingin:
"Kalau toh kau boleh membunuh orang se cara
sembarangan, hal ini lebih bagus lagi, selama ini sauya
mengira hanya seseorang yang mempunyai dendam kesumat
saja yang boleh membunuh seseorang, jadi akupun boleh
mem bunuh orang secara sembtrangan bukan?"
Taysui barkepala tembaga tidak menjawab, dia masih maju
ke depan selangkah demi selangkah, hanya kali ini dia
mendekati Suma Thian yu. Sepasang matanya yang
memancarkan cahaya bengis dan keji seakan-akan hendak
menelan si anak muda itu bulat- bulat.
Si anak muda segara merentangkan tangan nya dengan
sikap yang angker, bentaknya nyaring:
"Kau tak boleh maju lagi, kalau tidak, kau sendiri yang akan
menjidi roh gentayangan di akhirat!"
Dengan angkuhnya Tay sui berkepala tembaga Oh Si thian
mendongakkan kepala sambil tertawa seram.
"Heeeh...heeeh...heeeh... jangan mengigau se perti orang
bodoh, toaya akan menjadi peran tara untuk mengantarmu
pulang ke langit, jum pai saja raja akherat yang kau cintai
itu!"
Sebuah bacokan keras yang disertai dengan tenaga
dahsyat segera dilontarkan ke tubuh pe muda tersebut.
Si pemuda itu tertawa dingin, pada hakekatnya dia tak
memandang sebelah matapun ter hadap taysui kepala
tembaga, ejeknya agak sinis:
"Bagus sekali kedatanganmu, ayo seranglah lebih hebat!"
Tubuhnya berputar secara tiba-tiba seperti gasingan,
sementara tangannya menyambar tubuh Kang Jin hoo yang
berada dibelakang tubuhnya keluar dari sisi arena, setelah itu
dia melompat kembali ketengah arena pertarungan.
Gerakannya pergi maupun datang, semuanya dilakukan
dengan kecepatan luar biasa.
Pemuda itu melayang ke tanah dengan enteng, kemudian
ujarnya kepada Kang Jin hoo:
"Sudah pernah melihat joget ketek (monyet)" Aku adalah
ahli didalam mendidik monyet bermain, saksikan saja dari
samping, bila kurang menarik harap kau sudi memaafkan"
Selesai berkata, dia lantas melirik kearah Taysui kepala
tembaga sambil mengejek lagi:
"Hei, kau tak usah sungkan-sungkan, keluarkan saja
segenap kekuatan yang kau miliki, bila ada jurus tangguh,
silahkan dicobakan ke tubuh sicu coutiong mu, jangan lupa
aku akan menyuruhmu berjoget seperti monyet...." Taysu
kepala lembaga adalah seorang manusia bengis yang
mempunyai nama besar di seputar ham leng, menyinggung
soal Oh Si-thian, siapapun tak berani membangkang
perintahnya.
Sejak terjun ke dunia persilatan hingga kini, belum pernah
ia jumpa anak muda yang berani mencabut kumis harimau
seperti apa yang diakukan si anak muda tersebut sekarang.
Tak heran kaiau dia menjadi naik darah setelah mendengar
perkataan itu, cambangnya pada berdiri kaku seperti sebuah
sikap, matanya melotot penuh kegusaran, dengan suara
menggeledek segera bentaknya:
"Bocah keparat, rupanya kau sudah makan empedu
beruang? Jadi kau kepingin mencoba kelihayaaku? Bagus, lihat
serangan!"
Selesai berkata, dengan jurus Hek coa jut tong (ular keluar
dari gua), dia langsung melancarkan sebuah bacokan ke arah
depan.
Si anak muda itu segera menggerakkan sepasang bahunya
dan menyelinap ke belakang tubuh Taysui kepala tembaga
sekalian dihembusnya segulung udara ke belakang tengkuk
lawan.
Taysui kepala tembaga hanya merasakan bayangan
manusia berkelebat lewat, tahu-tahu tengkuknya terasa
dingin, serta merta dia membalikkan tubuhnya sambil
melancarkan sebuah serangan kedepan, teriaknya penuh
amarah:
"Manusia yang tak tahu diri, keparat sialan, kau ingin
mampus rupanya....."
Si anak muda itu tertawa cekikikan, sekali lagi dia
mengegos ke belakang tubuh Oh Si thian lalu menowel
pantatnya keras-keras. Mungkin karena kegelian, kontan saja
Oh Si thian mencak-mencak macam monyet lagi berjoget,
tentu saja tindak tanduknya itu menimbulkan gelak tertawa
orang banyak.
Sambil tertawa mengejek, pemuda itu berseru lagi:
"Bagaimana? Enak bukan? Kau memang monyet yang
lincah dan pandai berjoget!"
Taysui kepala tembaga Oh Si thian benar-benar naik pitam
karena dipermainkan orang, secara beruntun dia melancarkan
tiga buah se rangan dahsyat yang semuanya di sertai dengan
desingan angin pukulan yang menderu-deru, dia mengurung
seluruh tubuh pemuda ter sebut rapat-rapat.
Anak muda itu tertawa, dia tetap tersenyum dikulum
sementara tubuhnya bergerak ke sana kemari dengan lincah,
pada hakekatnya sama sekali tidak memandang sebelah
matapun terhadap jurus mematikan dari lawannya.
Sembari mengegos ke samping, serunya ke mudian sambil
tertawa:
"Aduh mak... monyet ini memang tak bisa tenang, mari,
mari... bagaimana kalau ke tiga orang rekannya turut serta
pula dalam pesta joget ini?"
Agaknya Taysui kepala tembaga cusup memahami keadaan
situasi yang sedang dihadapinya, mendengar ucapan mana,
buru-buru dia memberi tanda kepada ke tiga orang lelaki
bengis lainnya agar terjun pula dalam pertarungan tersebut.
Ke tiga orang itu mengiakan dan masing-masing
meloloskan senjata sambil membentak nyaring, kemudian satu
dari kiri, satu dari kanan dan yang lain dari tengah bersama-
sama menyerbu ke dalam arena dan mengepung si anak
muda itu rapat-rapat.
Walaupun dikerubuti banyak orang, pemuda itu tidak
menjadi gentar, malah sebaliknya tertawa terbahak-bahak.
"Haaah... haaah... haaah... begini baru benar! Empat ekor
monyet bermain bersama-sama, nah ini baru ramai namanya!"
Berbicara sampai disitu, dia lantas berpaling kearah para
hadirin diseputar sana dan serunya lagi:
"Coba kalian perhatikan baik-baik, aku menginginkan ke
empat monyet ini berbaringbersama-sama!" Selesai berkata,
tubuhnya segera melompat dan berkelebat seperti kupu-kupu
ditengah aneka bunga, empat kali jeritan kesakitan segera
berkumandang memecahkan keheningan, bagaikan kena
tenung saja tahu-tahu keempat lelaki bengis itu sudah roboh
terjungkal keatas tanah.
Pemuda itu melayang balik ke tengah arena, memandang
empat lelaki bengis yang tergeletak ditanah, serunya kepada
para saudagar itu sambil bertepuk tangan:
"Coba kalian saksikan, bukankah keadaanya mirip sekali
dengan monyet?"
Agaknya sastrawan rudin itu sudah melupakan mara
bahaya yang berada dihadapan matanya, dia segera bertepuk
tangan sambil berteriak:
"Bagus sekali! Permainan yang menyenangkan! Engkoh cilik
kau memang seorang ahli di dalam mendidik monyet berjoget,
mereka memang mirip sekali dengan monyet-monyet ingusan"
Mendengar tepuk tangan tersebut, anak muda tersebut ikut
merasa gembira, dengan cepat dia menepuk bebas jalan
darah dari beberapa orang itu, ke empat lelaki bengis itu pun
segera sadar kembali, rupanya jalan darah mereka telah
tertotok.
Amarah yang meluap-luap agaknya membuat Taysui kepala
tembaga Oh Si thian menjadi lupa segala-galanya, diapun
tidak memikirkan sampai dimanakah kelihayan lawan, begitu
jalan darahnya terbebas, kontan saja dia membentak gusar:
"Bocah keparat, kau benar-benar seorang manusia yang
tak tahu diri, taysui akan beradu jiwa denganmu!"
Sepasang kepalannya digetarkan kencangdan segera
mengembangkan serangkaian serangan gencar.
Si anak muda itu masih tetap bersikap amat santai, serunya
sambil tertawa terbahak-bahak.
"Haaah...haaaah...haaah, mana ada monyet bisa berbicara?
Waah, betul-betul suatu kejutan bagi dunia persilatan!"
Sembari berkata, btubuhnya bergerak lagi kian kemari
dengan mengerahkan ilmu silat maha saktinya, secara
beruntun dia berhasil menghindarkan diri dari tiga buah
serangan dahsyat.
Menyaksikan gerakan tubuhnya yang dapat berubah-ubah
dengan begitu hebatnya, si taysui kepala tembaga Oh Si thian
segera teringat akan sesuatu, kemudian bentaknya keras-
keras:
"Bocah keparat, bila kau punya keberanian, ayoh cobalah
untuk merasakan kepandaian menerjang dengan batok
kepalaku ini!"
Mendengar perkataan itu, sang pemuda agak tertegun,
kemudian tanyanya dengan keheranan:
"Apa sih kegunaan batok kepalamu itu?"
Taysui berkepala tembaga segera tertawa.
"Heeeh...heeeh...heeh...asal kau dapat menyambut tiga kali
terjangan toayamu dengan batok kepala ini, toaya akan
mengaku kalah"
Sekarang si anak muda itu baru menyadari akan sesuatu,
mendadak sifat kekanak-kanakkannya muncul kembali, dia
tertawa dan manggut-manggut.
"Yaa, memang sebuah ide yang bagus sekali, suatu
rencana yang sangat jitu, sauya memang ingin mencoba batok
kepalamu yang konon sekeras tembaga ini"
Perlu diketahui, taysui kepala tembaga memiliki sebuah
ilmu kebal yang dapat mengubah kepalanya sekeras baja,
sebuah pohon sebesar pelukan akan roboh menjadi dua
apabila kena ditubtuk oleh kepalanya itu.
Karena kehebatannya inilah maka orang persilatan
menyebutnya sebagai Taysui berkepala tembaga.
Oh Si thian merasa amat gembira setelah
menyaksikan anak muda itu menyanggupi tantangannya,
dia segera berpikir:
"Bocah busuk, lihat saja nanti! Toaya akan menumbuk
perutmu sampai jebol!"
Berpikir demikian, sambil berpekik nyaring tubuhnya
melesat kedepan bagaikan anak panah yang terlepas dari
busurnya dan langsung menerjang tubuh pemuda tersebut.
Sambil bertolak pinggang, pemuda itu menyambut
datangan serangan tersebut sambil membusungkan dada.
"Blaammm..." suatu benturan keras terjadi.
Batok kepala Taysui berkepala tembaga tahu-tahu sudah
menumbuk di atas lambung anak muda tersebut secara telak.
Siapa tahu, baru saja kepala itu menumbuk di atas
lambung, dengan cepat Oh Si thian merasakan kalau gelagat
tidak menguntungkan, dia seperti menumbuk diatas segumpal
kapas yang sangat empuk, sama sekali tidak berkekuatan apa-
apa.
Menyusul kemudian daya tekanan yang muncul semakin
lama semakin bertambah kuat, kepalanya yang keras seperti
tembaga itu seakan-akan terhisap kuat-kuat diatas perut
pemuda tersebut sehingga sama sekali tidak bisa berkutik lagi.
Taysui berkepala tembaga menjadi sangat terperanjat, dia
berusaha untuk membetot kepalanya dengan sepenuh tenaga,
sayang sekali kendatipun dia telah mengerahkan segenap
kekuatan yang dimiliki pun, kepalanya seolah-olah berakar
disana, sama sekali tak mampu dilepaskan kembali.
Menyaksikan pola musuhnya, si anak muda itu tertawa
terbahak-bahak.
"Haaah...haaah...haah...sauya masih mengira kau betul-
betul seorang manusia berkepala tiga berlengan enam, tak
tahunya cuma bisa ilmu silat kucing kaki tiga saja! Mari!
Silahkan kalian menyaksikan semua, aku akan menyuruh
monyet ini memanggilku yaya"
Sembari berkata pemuda tersebut segera menjepit
kepalanya itu lebih keras lagi.
Kontan saja Taysui berkepala tembaga menjerit kesakitan,
suara jeritannya seperti ayam yang akan disembelih, keringat
jatuh bercucuran dengan derasnya.
Setelah menyiksanya setengah mati kembali pemuda itu
berkata sambil tersenyum.
"Ayo cepat memanggil yaya kepadaku dan minta ampun
kalau tidak, sauya tak akan kenal ampun lagi dan menghancur
lumatkan batok kepalamu itu"
Sudah puluhan tahun lamanya Taysui berkepala tembaga
Oh Si thian malang melintang dalam dunia persilatan tanpa
menjumpai musuh tangguh, hal tersebut menimbulkan
kesombongan hatinya.
Bayangkan saja, bagaimana mungkin dia akan bersedia
minta ampun terhadap seorang pemuda ingusan yang masih
berbau tetek itu?
Melihat kebandelan musuhnya, si anak muda itu tertawa
dingin, kembali dia mengerahkan dalamnya untuk menjepit
batok kepala orang itu, kontan Oh Si-thian menjerit ngeri,
karena kesakitan luar biasa...
Melihat pemimpinnya di siksa, tiga orang lelaki lainnya
segera mengayunkan golok masing-masing dan menerjang ke
arah si anak muda itu.
Menghadapi serangan dari ke tiga lawan-nya, pemuda itu
tertawa panjang, mendadak dia menghentakkan perutnya ke
depan
Tubuh si Taysu berkepala tembaga Oh Si thian segera
meluncur ke depan bagaikan arak panah yang terlepas dari
busurnya.
Kalau di bilang kebetulan, peristiwa tersebut memang
kebetulan sekali, tubuh Oh Si thian yang meluncur ke muka
seperti anak panah itu segera menerjang ke atas tubuh para
lelaki buas yang sedang menerjang datang itu.
"Blaaam!" lelaki buas yang berada dipaling depan tak
mampu untuk menghindarkan diri dan segera tertumbuk
secara telak.
Jeritan ngeri yang menyayatkan hati berku mandang
memecahkan keheningan, mampuslah manusia laknat
tersebut dalam keadaan mengerikan.
Oh Si thian sendiripun tewas dengan kepalanya hancur
berantakan, isi benaknya berceceran di tanah.
Berakhirlah riwayat dari gembong iblis yang sudah banyak
melakukan kejahatan dan membunuh orang tanpa berkedip
ini.
Jild : 20
SIAPA MENANAM kebajikan dia akan memetik buah
kebajikan, siapa menanam benih kejahatan, dia akan
mamperoleh buah kejahatannya.
Melihat pemimpin dan rekannya sudah tewas seketika, dua
orang lelaki buas lainnya menjadi ketakutan setengah mati,
serasa sukma meninggalkan raga saja, mereka tak berani
berdiam lebih lama lagi disitu, serentak kedua orang itu
melompat naik ke atas pelana kuda dan melarikan diri terbirit-
birit.
Ular tanpa kepala tak akan berjalan, dan lagi bagi manusia
kurcaci seperti itu, begitu ketemu batunya, mereka segera
melarikan diri terbirit-birit untuk menyelamatkan diri.
Melihat kawanan penjahat itu sudah kabur, dengan
perasaan lega sastrawaa rudin itu tertawa terbahak-bahak,
serunya:
"Agung, agung, engkoh cilik ini telah berbuat kebajikan
untuk umat manusia, budi kebaikan ini pasti akan dibalas
dengan kebaikan pula... lohu tanggung umur dan rejekimu
pasti akan bertambah, haah... haah... haah ulat dalam perutku
sudah mulai kambuh lagi, waah... celaka, celaka...
Kepada Kang Jin hoo dia lantas berseru:
"Saudara, ucapan lohu betul bukan? Kini hawa hitam yang
menyelimuti wajahmu telah hilang, mulai kini kau akan sukses
dan lancar selalu. Tentang jenazah kakek Lim, suruh si
pelayan untuk menguburnya"
Kang Jin hoo sesera menurut dan menyuruh orang untuk
membereskan jenasah orang-orang itu.
Seusai melakukan semua pekerjaan itu, sastrawan rudin itu
kembali berkata:
"Dia tak percaya kalau tak bisa hidup melebihi usia empat
puluh sembilan tahun, coba kau lihat bagaimana akhirnya?
Kalau selama hidupnya banyak melakukan kebaikan, sudah
pasti bencana akan berubah menjadi rejeki. Hiih...hiih...
saudara Kang, mana araknya?"
Sastrawan rudin itu memang betul-betul berhati keras
seperti baja, walau pun baru saja menyaksikan pembunuhan
seram berlangsung didepan matanya ternyata niatnya untuk
minum arak sama sekali tak berkurang.
Kang Jin hoo yang baru lolos dari kematian tentu saja amat
bersyukur dengan nasibnya yang beruntung, buru-baru dia
menjura sambil mengucapkan terima kasih kepada sastrawan
rudin itu, kemudian berterima kasih pula kepada si anak muda
itu:
"Terima kasih banyak atas bantuan dari siauhiap, budi
kebaikan ini tak akan kulupakan untuk selamanya, bagaimana
kalau kuhormati siauhiap dengan secawan arak?"
Pemuda itu tersenyum dan mengangguk, dia masuk
kedalam kedai dan mencari tempat duduk. Sementara itu
sastrawan rudin tadi sudah mengambil tempat duduk,
mengangkat poci arak dan meneguk dengan lahapnya.
Dengan sangat hormat Kang Jin hoo memenuhi sebuah
cawan arak, kemudian setelah meneguk habis isinya, dia
bertanya:
"Siauhiap, tolong tanya siapa namamu?"
"Aku she Suma bernama Thian yu!" Mendengar nama
tersebut, mendadak sastrawan rudin menggebrak meja sambil
berteriak.
"Aduuuh celaka, telah bertemu dengan binatang pembunuh
kecil...!"
Mendengar seruan mana, Kang Jin hoo serta Suma thian yu
segera berpaling dengan wajah tercengang.
Tempak sastrawan rudin itu meneguk araknya lebih dulu,
kemudian bergumam lagi:
"Perjalanan menuju ke Tibet penuh dengan harimau buas
dan srigala lapar, bila si anak domba hendak kesana.... sudah
pasti banyak bahaya dan bencana sepanjang jalan, bila aku,
lebih baik tak usah dikerjakan, pulang ke rumah jauh lebih
enakan!"
Kang Jin hoo tidak memahami arti dari perkataan itu, dia
menganggap ucapan tersebut sebagai perkataan orang gila.
Lain halnya dengan Suma Thian yu ucapan tersebut
didengar olehnya sebagai guntur yang membelah di siang hari
bolong, sekujur tubuhnya bergetar keras dan paras mukanya
berubah hebat.
"Lotiang, tolong tanya siapa namamu?" tegurnya kemudian.
Sastrawan rudin itu memicingkan matanya, kemudian
tertawa cekikikan.
"Harimau buat apa berkulit, manusia kenapa mesti
bernama, aku si rudin tak punya nama"
Selesai berkata, kembali dia meneguk arak dengan
rakusnya.
Menyaksikan kesemuanya itu, Suma thian yu segera
berpikir dalam hati:
"Heran, mengapa perkataan dari kakek ini begitu aneh,
seakan-akan dia tahu kalau aku hendak pergi ke See ih. Masa
dia benar-benar mempunyai kemampuan untuk meramal hal-
hal yang akan datang?"
Berpikir sampai disitu, mendadak satu ingatan melintas
dalam benaknya, buru-buru dia bertanya lagi:
"Lotiang, tadi kau mengatakan kalau aku telah melakukan
suatu kebajikan, apa sih yang kau maksudkan?"
Sastrawan rudin itu berlagak seperti menghitung dengan
jari tangannya, lantas sahutnya:
"Sebenarnya Oh Si thian dan konco-konconya hendak
membegal harta kekayaan dari mereka berempat, tapi kau
telah membereskan dirinya, ini berati kau telah menolong tiga
lembar jiwa manusia. Sebaliknya bila kau lepaskan Oh Si thian,
maka puteri seorang kepala kampung yang bernama Ing kit
ceng didekat sini pasti akan ternoda olehnya"
"Bayangkan saja, sekalipun telah melakukan sebuah
pekerjaan kebajikan, sudah pasti dalam perjalananmu
selanjutnya hanya ada rasa kaget tanpa bahaya maut"
Suma Thian yu menjadi makin kaget dan tertegun, buru-
buru dia bertanya lagi:
"Lotiang pandai menghitung rahasia langit, bersediakah kau
memberi petunjuk kepadaku?"
Tampaknya sastrawan rudin itu tak berani menerima pujian
tersebut, ia segera tertawa terbahak-bahak.
"Haaah... haaah... haah... kau menganggapku sebagai
dewa? Waa sungguh menggelikan, kalau kau ingin
menanyakan soal masa depan mu, maka aku hanya bisa
bilang banyak bencana banyak kesulitan, persoalan yang di
hadapi bertumpuk-tumpuk, hanya dengan keteguhan hati
yang besar dan keteguhan jiwa yang perkasa, semua bencana
itu baru bisa diatasi, kalau tidak bencana akan datang bertubi-
tubi dan kau bisa pergi tak akan kembali lagi"
Setiap perkataan dari sastrawan rudin itu seakan-akan
penuh makna yang mendalam, ketika Suma thian yu
memikirkan dalam-dalam, hatinya serasa makin terperanjat
lagi.
Tentu saja ucapan tersebut tak akan dipahami oleh
manusia seperti Kang Jin hoo dan rekan-rekannya...
Terdengar Suma Thian yu berkata lagi:
"Bagaimana pula penjelasanmu dengan perjalanan menuju
Tibet penuh harimau buas dan serigala kelaparan?"
"Haaaahhh... haaaaah itu mah rahasia langit yang tak boleh
dibocorkan dengan begitu saja...."
Tiap kali berbicara, sastrawan rudin itu seakan-akan seperti
menunjukkan asal usuknya, sayang Suma thian yu hanya
memperhatikan soal misinya menuju ke Tibet kali ini, sehingga
soal tersebut tak terpikirkan sama sekali olehnya.
Begitu selesai berbicara, sastrawan rudin itu bangkit berdiri
dan berjalan dengan gontai karena mabuk, tiba diluar warung,
dia berhenti sejenak, disamping seekor kuda kemudian
berkata:
Perjalanan masih jauh, punakan kuda untuk menggantikan
kaki, lohu akan berangkat dulu" Selesai berkata, seperti orang
gila dia ber jalan pergi meninggalkan tempat itu, ternyata arah
yang dituju adalah arah yang sama dengan perjalanan yang
bakal ditempuh Suma Thian yu.
Memandang bayangan punggungnya yang menjauh, Suma
Thian yu menggelengkan kepalanya berulang kali sambil
bergumam:
"Manusia aneh, manusia aneh.....entah siapakah dia...?"
"Yaa, aku pun belum pernah menjumpai tukang ramal yang
begitu hebat sepertu ini, jangan-jangan ada dewa yang
sedang turun dari kahyangan?" sambung Kang Jin hoo dari
samping.
Ucapan itu segera mengingatkan Suma Thian yu akan
sesuatu, dia segera bangkit berdiri, kemudian melompat ke
atas kuda dan berlalu dari sana, tapi baru berapa langkah, dia
menarik kembali tali les kudanya dan membalikkan arah.
Pemuda itu balik kembali kedepan warung, kemudian
menerkam jenazah dari Oh Si thian berdua ke atas kuda yang
lain, setelah itu buru-buru berangkat meninggalkan tempatitu
sambil menuntun kuda lain yang mengangkut jenazah.
Tak selang berapa saat kemudian, sampailah pemuda itu di
sebuah bukit.
Bukit itu bernama Wi san, keadaannya amat gersang dan
tak nampak sedikit tumbuhan pun, kendaannya tak jauh
berbeda dengan kepala botak seorang kakek.
Dengan menelusuri jalan kecil, Suma Thian yu berjalan
terus menuju ke atas puncak bukit, disitulah dia menurunkan
jenazah Oh Si thian dengan berhati-hati sekali.
Mendadak, diri belakang tubuhnya berkumandang suara
tertawa dingin, dengan perasaan terkesiap Suma Thian yu
berpaling, ia saksikan seorang penebang kayu berambut putih
telah muncul disana.
Mengetahui kalau hanya penebang kayu, Su ma Thian yu
merasa agak lega, dia tidak mem perdulikan orang itu dan
melanjutkan pekerjaannya untuk menurunkan jenasah ke dua.
Mendadak terdengar penebang kayu tua itu membentak
keras:
"Bocah muda, di siang hari bolong begini membawa
jenasah ke atas bukit, sudah pasti kau adalah sebangsa
pencoleng, jangan kubur jenasah itu di sini!"
Kembali Suma Thian yu berpaling dan melihat tukang
penebang kayu itu sekejap.
Ia merasa orang itu berwajah gagah dan alim, tangannya
membawa sebuah kampak kecil dan menimbulkan kesan
simpatik bagi yang memandangnya.
Maka dengan hormat dia menyahut:
"Aku hanya mendapat titipan orang untuk mengubur
mereka disini, jangan salah paham, aku bukan orang jahat"
Penebang kayu tua itu tertawa terbahak-bahak.
"Haah... haah... haah... soal itu mah lohu tidak ambil
perduli, kalau ingin mengubur jenazah, silahkan untuk
berpindah ketempat lain"
"Mengapa?"
"Tidak mengapa, bukit ini adalah wilayahku"
Buru-buru Suma Thian yu mengangkat jenazah itu ke atas
pelana kuda lagi.
Mendadak terdengar penebang kayu itu berkata lagi:
"Lohu bersedia untuk membicarakan suatu barter
denganmu, apakah kaupun bersedia?"
"Barter? Barter apa?"
"Soal ini tergantung apakah kau bersedia atau tidak?"
"Asalkan masuk diakal dan bisa diterima, maka aku
bersedia....."
"Kau serahkan kedua sosok mayat itu kepadaku, lohu akan
menghadiahkan semacam mestika kepadamus bahkan
mewariskan pula satu ilmu silat kepadamu"
Suma Thian yu menjadi tercengang setelah mendengar
perkataan itu, segera tanyanya dengan wajah keheranan:
"Buat apa kau minta kedua jenasah tersebut?"
"Soal ini tak usah kau ketahui, cukup kau jawab bersedia
tidak untuk melakukan barter ini?"
"Maaf, bila kau tidak menjelaskan, akupun tak dapat
memenuhi harapanmu itu" jawab Suma Thian yu tegas.
Mendadak Penebang kayu tua itu berkerut kening,
kemudian bentaknya penuh kegusaran:
"Tampaknya kau tak mau diberi arak kehor matan
sebaliknya memilih arak hukuman, padahal bila lohu
menginginkan kedua sosok mayat tersebut, bisa kuperoleh
seperti merogoh barang dalam saku sendiri, bila kau tak
menyerahkannya kepadaku jangan harap kau bisa
meninggalkan bukit gundul ini setengah langkahpun...."
Suma Thian yu segera tahu kalau dia telah bertemu dengan
gembong iblis, tak mungkin persoalan hari ini bisa diselesaikan
secara mudah.
Diam-diam ia menjadi gelisah sekali, katanya kemudian:
"Biarlah aku menguburnya ditempat lain, buat apa mesti
menjadi marah hanya dikarenakan persoalan kecil?"
Penebang kayu tua itu tertawa seram.
"Heeeh...heeeh...heeeh...terlambat bila sekarang akan
pergi, selamanya ucapan yang sudah lohu utarakan tak
pernah dijilat kembali, tiada orang yang berani pula
memenangkanku, bila kau ingin hidup, cepat enyah dari sini,
kalau sampai menunggu aku berubah pikiran, jangan harap
kau bisa pergi lagi dari tempat ini"
Suma Thian yu tentu saja bukan seorang manusia yang
takut urusan, tapi oleh karena dia selalu memikirkan tentang
sastrawan rudin yang misterius maka dia tak ingin mencari
banyak urusan.
Coba kalau menuruti wataknya yang tidak takut
menghadapi kesulitan, sudah pasti tantangan dari penebang
kayu itu akan dihadapi dengan kasar.
Begitu selesai menaikkan kembali kedua sosok mayat
tersebut, dia segera putar badan dan beranjak pergi dari situ.
"Bocah keparat, rupanya kau ingin mampus" bentak
penebang kayu tua itu sambil tertawa dingin.
"Belum tentu" jengek Suma Thian yu.
Kakek penebang kayu itu segera menggerakan bahunya,
tanpa menggeserkan sepasang kakinya, tahu-tahu dia sudah
menghadang jalan pergi anak muda tersebut.
kemudian sambil mengayunkan kapak kecilnya dan
mencorongkan sinar hijau dari balik matanya, dia menatap
wajah Suma Thian yu lekat-lekat, serunya:
"Eeeh, keparat, tahukah kau apa hubungan lohu dengan
taysui berkepala tembaga itu?"
"Biar dia anak mu juga, aku tak ambil peduli!"
"Telur busuk!" bentak kakek penebang kayu itu gusar.
Mendadak dia menerjang ke muka, kampaknya langsung
diayunkan ke depan membacok tubuh Suma Thian yu.
Bagi seorsng ahli silat, dalam sekali gebrakan saja akan
mengetahui berisi atau tidak, jangan di lihat kakek penebang
kayu itu sudah lanjut usia, ternyata gerak geriknya masih
lincah, jurus serangannya lihay.
Walaupun serangan yang dilancarkan olehnya itu kelihatan
biasa tanpa suatu keanehan, namun bacokan kapaknya justru
disertai dengan tenaga bacokan yang luar biasa.
Suma Thian yu adalah seorang pemuda yang tinggi hati,
kendati pun dia tahu kalau musuhnya lihay, namun dia tetap
mendengus dingin dan melancarkan sebuah gerakan untuk
menghindar kesamping.
Betapa gembiranya kakek penebang kayu itu melihat
gerakan mana, dia merasa bocah itu masih cetek kepandaian
silatnya dan gampang dibekuk.
Maka sambil tertawa seram, kesepuluh jari tangannya
dipentangkan lebar-lebar dan meng gunakau ilmu Eng jiau
kang yang sangat lihay tersebut, dia segera mencengkeram
tubuh Suma Thian yu.
"Aduuh, habis sudah nyawaku!" teriak Suma Thian yu
dengan perasaan kaget.
Sepasang tangannya segera digerakkan keatas untuk
menangkis, sementara tubuhnya mundur beberapa lamgkah
dengan sempoyongan.
Kakek penebang kauu itu makin gembira lagi, dengan
mengerahkan tenaganya dia ma ju menyerang lagi, bentaknya
keras-keras:
Bocah keparat, siapa yang telah membunuh Oh Si thian?"
Sekali lagi Suma Thian yu mundur beberapa langkah ke
belakang, kemudian sahutnya:
"Seorang temanku!"
"Siapa? Ayo bilang!" desak kakek penebang, kayu itu
sambil maju ke depan.
"Orang itu tak bernama, dia hanya memakai baju
sastrawan yang sudah robek-robek, berusia tujuh puluh
tahunan...."
"Aaaah, rupanya makhluk tua itu, bocah keparat,
kemanakah dia telah pergi?"
"Aku sendiripun tak tahu!" Sungguh menggelikan sekali,
ternyata iblis tua itu tidak menyadari kalau dirinya telah di tipu
habis-habisan.
Yaa, hal ini tak bisa menyalahkan diri, dalam anggapannya
Suma Than yu ibaratnya seekor burung yang belum lengkap
bulu sayapnya, untuk menghindari serangannya amat payah,
bagaimana mungkin pemuda semacam ini bisa berilmu
tinggi?"
Setelah mengetahui kalau murid kesayangannya mati
ditangan sastrawan rudin itu, kakek penebang kayu itu tidak
melancarkan serangan gencar lagi.
"Bocah keparat" katanya kemudian, "cepat beritahu
kepadaku, makhluk tua itu sudah menampakan diri dimana?"
Menyaksikan orang itu bertanya setengah mencelah, Suma
Thian yu seeera merasakan ha tinya tergerak, sahutnya cepat:
"Aku berjumpa dibawah bukit sana, setelah menghabisi
nyawa Oh Si thian diapun pergi entah kemana"
Paras muka kakek penebang kayu itu berubah hebat,
buru-buru dia bertanya lagi:
"Sungguhkan perkataanmu itu?"
"Ehmm...!" jawab Suma Thian yu dingin.
Mendadak....
Dari tengah udara berkumandang suara gelak tertawa yang
amat nyaring, disusul kemudian terdengar seseorang berseru
dengan sua ranya yang parau:
"Bocah cilik, kau harus mampus! Berani betul membohongi
orang dan memfitnah lohu. Tahu kalau hatimu jahat, sejak
tadi lohu sudah membacokmu sampai mampus"
Bersamaan dengan berkumandangnya ucapan tersebut,
diatas pucuk bukit itu telah muncul seorang kakek mabuk
yang berjalan mendekati arena pertarungan dengan langkah
sempoyongan.
Begitu menyaksikan kehadiran orang itu, si kakek penebang
kayu tersebut merasa amat terkejut, buru-buru dia melompat
keluar dari arena pertarungan sambil membentak:
"Makhluk tua, ternyata kau tidak melupakan janji kita pada
dua puluh tahun berselang, hal ini menandakan kalau tenaga
dalammn selama dua puluh tahun terakhir ini mengalami
kemajuan pesat, kionghi, kionghi...."
Orang yang barusan munculkan diri itu tidak lain adalah si
sastrawan rudin yang dijumpai di warung siang tadi.
Sambil menggelengkan kepala dan tertawa terkekeh-kekeh,
sastrawan rudin itu berkata:
"Bisa melihat sobat lamaku masih segar bugar, lohu merasa
gembira sekali, bila daya ingatanku masih bagus, bukankah
hari ini adalah saat perjanjian kita?"
"Haaah...haah...haah... kau memang memiliki daya ingatan
yang mengagumkan, benar, memang hari ini. Sejak pagi tadi
lohu sudah menantikan kedatanganmu dirumah, siapa tahu
muridku yang berbuat keonaran diluaran telah mati dibunuh
dan jenasahnya akan dikubur disini, bagi lohu peristiwa ini
benar-benar rupakan suatu kejadian aib bagiku"
"Hei makhluk tua, aku ingin bertanya kepadamu, apa
dendam sakit hati muridku padamu? Mengapa kau begitu tega
membunuhnya?"
Ketika mengucapkan perkataan tersebut, wajah kakek
penebang kayu itu diliputi kegusaran dan emosinya berkobar-
kobar.
Sastrawan rudin itu memicingkan matanya, kemudian
tertawa terbahak-bahak.
"Haaahh... haaah... haaah... berhutang nyawa dia harus
membayarnya dengan nyawa pula, kejadian semacam ini
sudah lumrah dan sewajarnya. Muridmu Oh Si thian telah
membunuh seorang saudagar tanpa sebab musabab, dosanya
amat besar, sudah sepantas nya kalau dia mumpus untuk
menebus dosa-dosanya itu...."
Kakek penebang kayu itu makin naik pitam, ia tertawa
seram dengan kerasnya, suaranya seperti jeritan setan
ditengah malam buta, sehingga membuat bulu kuduknya pada
bangun.
Begitu selesai tertawa, dia segera melotot gusar kearah
sastrawan rudin itu, kemudian sambil menuding ke arah mayat
muridnya, dia berkata:
Makhluk tua, mau memukul anjing lihat dulu pemiliknya,
kau toh sudah tahu kalau dia adalah murid kesayanganku,
sekalipun perbuatan-nya tak benar, juga tidak seharusnya kau
membinasakan dirinya. Baik! kalau toh kau melupakan
dendam sakit hatimu dulu, hari ini lohu akan melayanimu
sampai dimana pun jua."
Sastrawan rudin itu segera tertawa dengan penuh
kegembiraan, serunya:
"Hal ini harus disalahkan muridmu cuma gentong nasi yang
tidak berguna, tombak dari lilin yang tak mampu menahan
diri, kalau sudah kena di banting orang sampai mampus, kau
harus menyalahkan siapa lagi?"
Kakek penebang kayu itu tampak tertegun sehabis
mendengar ucapan itu, tanyanya cepat:
"Menurut perkataanmu itu, siapa yang telah
membunuhnya?"
Mendapat pertanyaan ini, si sastrawan rudin itu baru
merasa kalau ia telah salah berbicara, hatinya menjadi amat
sedih.
Baru saja akan menjawab, mendadak Suma Thian yu yang
berada disampingnya telah berkata:
"Akulah yang telah membunuhnya!"
Dengan cepat kakek penebang kayuitu berpaling, dari balik
matanya yang memerah telah mencorong keluar sinar tajam
yang menggidikkan hati, bentaknya segera dengan gusar:
"Kau? Kau yang membunuhnya? Lobu tak percaya, kau tak
usah memikul dosa orang lain!"
"Tidak, memang akulah yang telah membinasakan
muridmu, ketika muridmu itu menubruk perutku dengan
kepalanya, aku pun menghen-takan perut ku, siapa tahu dia
lantas mampus dengan begitu saja. Bila kau tidak percaya
silahkan kau periksa keadaan lukanya"
Sekali lagi Kakek penebang kayu itu tertawa seram.
"Heeehh...heeeh...heeeh... bocah keparat, dengan
tampang seperti kau pun bisa mengalahkan muridku? Hmm,
siapa yang percaya? Sekali lagi lohu peringatkan kepadamu,
bila kauingin mencari penyakit buat diri sendiri, lohu pasti
akan memenuhi keinginanmu itu"
Mendadak sastrawan rudin itu menjengek dari samping,
katanya sambil tertawa tergelak:
"Tua bangka celaka, kau memang pandai mengucapkan
kata-kata yang tak sedap didengar, memangnya kau anggap
murid kesayanganmu itu berbobot? Huuh sudah tak becus
belagak jadi Hohan lagi?"
"Tutup bacotmu..!" bentak kakek penebang kayu itu gusar.
Aai bocah keparat ini mampu untuk menyambut pukulan
lohu, pasti aku percaya dengan perkataannya, kalau tidak....
hmm... terpaksa hutang berikut bunganya ini harus kutagih
dari tanganmu!"
"Tiga pukulan?" sastrawan rudin itu berlagak kaget.
"Wah... aku saja tak mampu untuk menerimanya, apa lagi
dia? Bukankah kau hendak menyuruh dia mencari kamatian
buat diri sendiri?"
"Bagaimana? Sepasang mata lohu belum kemasukan pasir
bukan?" jengek gakek penebang kayu itu sambil tertawa
berkakak seram.
"Mahkluk tua, kau harus membayar ganti atas selembar
nyawa muridku itu"
Suma thian yu merasa dirinya dipandang rendah oleh
lawannya, mendadak serunya lantang:
"Aku sanggup menerima dua pukulanmu!"
Begitu ucapan tersebut diutarakan, bukan cuma kakek
penebang kayu itu saja yang tercengang, bahkan sastrawan
rudin itupun merasa terperanjat.
"Kau? Kau sibocah sudah edan? Kau tahu siapakah dia? Dia
adalah Jit Tok siu (Kakek tujuh racun) Kwa Lun yang
termashur itu. Dengan modal apa kau hendak menyambut
pukulan Jit tok ciangnya yang maha dahsyat itu?"
Begitu mendengar nama Jit tok siu, sekujur badan Suma
thian yu bergetar keras, paras mukanya berubah hebat, diam-
diam dia mengeluh didalam hati:
"Jit tok siu Kwa Lun gembong iblis paling beracun dalam
dunia persilatan, bukan saja tenaga dalam maupun tenaga
luarnya sudah tingkatan yang paling sempurna, ilmu pukulan
Jit tok ciang yang di milikinya cukup membuat paras muka
orang berubah hebat.
Sekarang, Suma Thian yu baru merasa agak menyesal,
menyesal karena tindakannya yang terlalu terburu-buru.
Sementara dia masih memutar otak untuk mencari akal
guna menghadapi serangan lawan, Jit tok siu Kwa Lun telah
berjalan menuju ke hadapan Suma Thian yu, bahkan sambil
memandang anak muda tersebut ia tertawa seram nada
hentinya.
Sekali lagi Suma Thian yu mengawasi wajah Jit tok siu
lekat-lekat, dia merasa wajah orang ini mencerminkan
seseorang yang lurus, tapi mengapa hatinya justru begitu keji
dan buas?
Tak salah kalau orang mengetahui, apabila ingin menilai
seseorang, janganlah hanya menilai dari wajahnya.
Sementara itu si sastrawan rudin itu pun ikut merasa
sangat gelisah sekali setelah di lihatnya ke dua orang itu yang
telah saling berhadapan muka, tanpa sadar dia menggeserkan
tubuhnya pelan-pelan kesamping Suma Thian yu, kemudian
bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan yang tak
diinginkan.
Dengan cepat Suma Thian yu berhasil mengendalikan
pikiran dan perasaannya, walaupun berhadapan dengan
musuh tangguh, dia masih kelihatan gagah dan tenang.
Mau tak mau sikap gagahnya ini menimbulkan, perasaan
kagum juga hati sastrawan rudin itu, ia malai berpikir, jangan-
jangan si anak muda ini memang memiliki ilmu silat tingkat
tinggi?
Mendadak Jit tok siu tertawa seram, kemudian ujarnya
dengan suara yang menggidikan hati:
"Sebelum pertarungan dimulai, aku hendak berkata dulu
kepadamu, asal kau mampu untuk menyambut seranganku
ini, maka lohu akan menghadiahkan sebuah benda mustika
dan mewariskan satu jurus ilmu silat kepadamu, sebaliknya
bila kau mampus secara mengerikan, jangan salahkan kalau
aku tertindak keji"
"Tak usah banyak bicara lagi, silahkan kau lancarkan ketiga
buah pukulanmu itu!" seru Suma thian yu cepat.
Jit tok siu tertawa seram:
"Kalau begitu, sambutlah!"
Telapak tangannya segera di lontarkan kedepan, segulung
hawa pukulan yang panas sukar ditahan bagaikan baranya api
langsung berhembus ke tubuh Suma Thian yu.
Dibalik baranya api yang menggelora inilah sesungguhnya
terkandung tujuh macam racun yang sangat jahat.
Menyaksikan itu, sastrawan rudin tersebut segera berteriak
berulang kali:
"Racun! Racun! Racun!"
Baru saja Suma Thian yu hendak melawan pukulan itu
dengan telapak tangan kanannya, begitu mendengar
peringatan dari sastrawan rudin tersebut, satu ingatan dengan
cepat melintas dalam benaknya, cepat-cepat dia menarik
kembali telapak tangan kanannya lalu menyongsong pukulan
musuh dengan telapak tangan kirinya.
"Kembali!" bentaknya pendek.
Sungguh aneh sekali, begitu angin pukulan dari Suma
Thian yu berhembus lewat, pukulan beracun dari Jit tok siu itu
seakan-akan bertemu dengan tandingannya, seketika lenyap
tak berbekas.
Jit tok siu Kwa Lun menjadi terkejut sekali, mendadak ia
mengayunkan kembali telapak tangannya ditengah udara
segera muncul desingan angin tujuh warna, seakan-akan
pelangi di angkasa, secepat kilat menyerbu tubuh Suma Thian
yu.
Seperti juga pertama kali tadi, dengan menghimpun dua
bagian tenaga murninya kedalam telapak tangan kiri, dia
sambut datangnya serangan itu keras-keras.
"Blaaaaaamm!"
Ketika dua gulungan angin pukulan itu bertemu diudara,
pusaran angin berpusin segera menyambar ke empat penjuru,
sedangkan cahaya tujuh warna itupun lenyap tak berbekas.
Dua kali serangan beruntunnya menemui kegagalan, hal
mana membuat Jit tok siu Kwa Lun menjadi malu bercampur
gusar, segera bentaknya keras-keras:
"Bocah keparat, serahkan selembar nyawamu!" Mendadak
ditengah udara berkumandang sua ra mencicit yang sangat
aneh, kemudian muncul beribu cahaya merah yang
menyambar tubuh Suma Thian yu bagaikan hujan deras.
Sastrawan rudin itu tahu lihaynya serangan itu, mendadak ia
menjerit kaget:
"Aaah... ulat beracun! Cepat mundur!"
ooo^^ooo
Dalam keadaan begini, Suma Thian yu hanya ingin
menghindarkan diri dari mara bahaya saja, dengan cepat dia
menambahi tenaga pukulan pada tangan kirinya dengan dua
bagian tenaga lagi, kemudian dengan menghimpun tenaga
pada tangan kanan, dia lepaskan sebuah pukulan dengan ilmu
Sian po hwee ajaran Cong liong Lo sianjin.
Dua gulung angin pukulan seperti sapuan angin puyuh
menderu-deru di angkasa, ketika dua gulung kekuatan
tersebut saling membentur, segera berkumandanglah suara
ledakan yang memekikkan telinga.
Suma Thian yu memang cekatan, begitu sepasang telapak
tangannya melepaskan pukulan, tubuhnya menggunakan
kesempatan tersebut menghindar kebelakang dan meloloskan
diri dari lingkaran cahaya yang berbahaya itu.
Mimpipun Jit tok siu tak pernah menyangka kalau Suma
thian yu mampu untuk menghadapi tiga buah pukulannya,
bahkan melancarkan sebuah serangan balasan yang
mengetarkan sukma.
Menanti dia menyadari apa yang telah terjadi, seluruh
tubuhnya sudah terlempar ke udara dan meluncur ke belakang
seperti layang-layang putus tali.
Masih untung Jit tok siu adalah seorang jago silat
keramaan, kendtipun sedang berada dalam bahaya, dia tak
sampai gugup.
Dengan cepat dia berjumpalitan beberapa kali ditengah
udara, kemudian melayang turun ke atas tanah dengan
selamat.
Namun, setelah adanya pelajaran ini mau tak mau Jit tok
siu Kwa lun harus memperbaharui penilaiannya terhadap
Suma Thian yu, di samping itu diapun yakin kalau muridnya
memang tewas ditangan si anak muda ini.
Selama hidup belum pernah sastrtwan rudin itu pernah
menyaksikan gerakan tubuh sede mikian indahnya, terutama
sekali kesanggupan Suma Thian yu untuk melawan racun, hal
tersebut membuatnya menjadi gelagapan.
Berbicara sesungguhnya, sastrawan rudin sendiripun masih
mengandalkan semacam ilmu silat barunya untuk menghadapi
Jit tok siu kalau tidak ingin menderita kekalahan, siapa sangka
kalau pemuda itu malah bisa menghadapi lawannya secara
begitu mudah.
Dua puluh tahun berselang, mereka sudah pernah
bertarung selama tiga hari tiga malam, waktu itu si sastrawan
rudin tersebut kalah satu gebrakan dari lawannya, masih
untung Jit tok siu sendiripun sudah kehabisan tenaga hingga
selembar jiwanya bisa lolos dari ancaman.
Sesungguhnya dia memang seorang pendekar dunia
persilatan, oleh sebab dia pandai meramal dan lagi sikapnya
ugal-ugalan, maka orang persilatan menyebutnya sebagai Sin
sian siang su (Peramal dewa).
Si peramal dewa ini she Yu bernama Seng si, tiada orang
yang mengetahui asal usulnya, namun kepandaian silatnya
amat hebat.
Belum sampai dua tahun dia berkelana dalam dunia
persilatan, namanya menjadi tenar dan jarang ada yang bisa
menandingi kepandaian silatnya itu.
Karena itulah ketenarannya menimbulkan kemarahan dari
Jit tok siu Kwa Lun yang waktu itu merupakan seorang
gembong iblis dari golongan Liok lim, dia menentang si Dewa
peramal itu untuk bertarung.
Namun hasil dari pertarungan itu, si Dewa peramal
dikalahkan oleh lawannya dalam suatu pertarungan yang alot.
Sebelum pergi, Dewa peramal menentang untuk bertarung
lagi dua puluh tahun mendatang.
Kebetulan hari ini sudah saatnya untuk bertarung lagi
melawan Jit tok siu.
Kebetulan pula sebelum berangkat kemari, si Dewa peramal
telah bertemu dengan Cong liong Lo siancu dan mengetahui
kalau tokoh sakti ini mempunyai seorang murid yang bernama
Suma Thian yu sedang dalam perjalanan menuju Tibet.
Cong liong Lo siansu berpesan kepadanya agar sepanjang
jalan melindungi muridnya ini.
Oleh sebab pesan itu pula, ketika Dewa peramal berhasil
menjumpai Suma Thian Yu, diapun memberi petunjuk dengan
kata- katanya. Dalam pada itu, Jit tok siu dibikin malu
bercampur gusar setelah kekalahannya, ia segera berkata
agak tersipu:
"Bocah keparat, kau memang hebat dan mampu menerima
tiga buah pukulan lohu, pa dahal jarang ada orang yang
mampu berbuat demikian. Seperti apa yang telah kukatakan
tadi, aku akan menghadiahkan sebuah benda mestika
kepadamu, sedang soal jurus silat, aku pikir dengan
kepandaianmu sekarang, hal ini tak usah lagi"
Sembari berkata dia mengambil sebutir mutiara kecil dari
sakunya dan disodorkan kehadapan Suma Thian yu.
Ketika pemuda itu mencoba mengamati, mutiara tersebut
amat tajam, karenanya sambil menggeleng katanya:
"Terima kasih banyak, aku...."
Belum selesai dia berkata, Dewa peramal telah menukas:
"Bocah, terimalah, orang lain toh menghadiahkan benda itu
dengan hati tulus."
Suma Thian yu masih kelihatan sangsi untuk menerima.
Si Dewa peramal segera menegur lagi:
"Eeeh, mengapa masih sangsi?"
Mendengar ucapan tersebut, Suma Thian yu mengira watak
Jit tok siu memang aneh dan tak boleh ditampik
pemberiannya, maka dia segera menerima mutiara tersebut
seraya berkata:
"Terima kasih banyak!"
Kemudian dimasukkan kedalam sakunya.
Si Dewa peramal Yu Seng si segera berpaling ke arah Jit
tok siu, kemudian katanya seraya tertawa:
"Babak berikutnya adalah peraturan diantara kita berdua!"
"Apakah dia adalah muridmu?" Jit tok siu Kwa Lun segera
menuding ke arah anak muda itu.
"Bukan!"
Mengetahui kalau Suma thian yu bukan muridnya si Dewa
peramal, Jit tok siu Kwa Lun baru merasakan hatinya lega,
sambil tertawa dia lantas manggut-manggut.
"Bagaimana jika seperti cara kita pada dua puluh tahun
berselang?"
"Boleh sih boleh, hanya waktunya terlalu lama, kita harus
satu cara, sekarang kau boleh mengajukan satu persoalan dan
kita saling ber gantian mengajukan soalnya, bagaimana?"
Mendengar perkataan itu si Dewa Peramal Yu Seng si
segera tertawa terbahak-bahak. "haaah...haaah...haah...
bagaimana kalau kita beradu racun saja?"
Ucapan mana kontan membuat Jit tok siu tertegun, dia
saama sekali tidak menyangka kalau musuhnya akan beradu
racun dengannya. Kontan saja dia mendonggakkan kepalanya
dan tertawa terbahak-bahak.
"Hei mahkluk tua, kau ada maksud untuk mengejekku?
Bertanding racun denganku sama saja mencari penyakit buat
diri sendiri, lebih baik yang serius saja, jangan sok
menganggap pertarungan ini seperti mainan kanak-kanak!"
SI Dewa peramal Ya Seng si sama sekali tidak tergetar
hatinya, malah ujarnya lagi sambil tertawa:
"Kau mengira lohu sedang bergurau? Kau adalah raja racun
di dunia ini, sedang lohu akan menantangmu dengan racun
pula, bukan kah hal ini sangat adil?"
Hampir saja Jit tok siu Kwa Lun tidak percaya dengan
pendengaran sendiri, kembali dia bertanya:
"Bagaimana cara pertarungan itu akan langsungkan?"
"Aku membawa dua botol teh racun Ban tek cha, setiap
orang harus minum sebotol, coba kita saksikan siapa yang
akan keracunan lebih dulu. Bagaimana? Permainan ini sangat
mencocoki selera mu bukan?"
Mula-mula Jit tok siu Kwa Lun agak tertegun, menyusul
kemudian dia tertawa terbahak-bahak seperti orang gila:
"Haah...haah...haah... sudab edan rupanya dirimu itu?
Dengarkanlah nasehat lohu, lebih baik jangan dicoba, teh Ban
tok cha merupakan racun paling ganas di dunia ini dan tiada
obat yang bisa menawarkan racun tersebut, bila teh beracun
itu diminum maka kita semua akan mampu mampus, boleh
saja kalau kau sudah bosan hidup, tapi lohu masih belum ingin
mampus dengan begitu cepat....!"
Mendengar perkataan ini, Si Dewa Peramal segera
mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.
"Haaah...haaah...haaahh... katanya saja kau adalah cikal
bakalnya racun, tak tahunya takut minum teh beracun Ban tok
cha....! Huuh, asal kau mau mengaku kalah, kita hapus
pertarungan ini"
Jit tok siu Kwa Lun tertawa seram.
"Omong kosong, asal kau berani meneguk, lohupun berani
pula untuk meneguk racun itu"
Dari dalam sakunya si Dewa peramal Yu Seng si
mengeluarkan dua buah bool kecil yang sama bentuknya,
kemudian sambi1 menyodorkan kedua botol itu kedepan Jit
tok siu, katanya:
"Silahkan kau untuk memilihnya dulu!" Jit tok siu Kwa Lun
mengambil sebuah diantaranya, kemudian berseru:
"Harap kau dulu yang minum!"
Tanpa sangsi si Dewi peramal Yu Seng si membuka
penutup botol itu dan meneguk isinya sampai habis, paras
mukanya sama sekali tidak berubah.
Menanti si Dewa peramal telah menghabiskan botol teh
beracun itu, jit tok siu Kwa Lun baru tertawa licik.
"Makhluk tua, kau tertipu, lohu tak lebih hanya
menganjurkan kepadamu untuk menghabiskan isi racun itu
agar selekasnya berangkat ke akhirat"
Menyaksikan perbuatan munafik dari lawannya itu, Si Dewa
peramal Si Seng yu menjadi gusar bukan main, mendadak alis
matanya berkernyit dan sekujur tubuhnya gemetar keras,
wajahnya menunjukkan perasaan tersiksa yang luar biasa.
Menyaksikan hal ini, Jit tok siu Kwa Lun tertawa tergelak,
dengan bangganya dia menjengek:
"Mahkluk tua, siapa membunuh orang, dia harus membayar
pula dengan nyawanya, lohu akan mengambil nyawamu
sebagai ganti nyawa muridku, bukankah itu adil namanya?"
Selesai berkata kembali dia tertawa terbahak-bahak dengan
gembiranya.
Suma thian yu sambil membentak keras, ia meloloskan
pedangnya, kemudian membacok tubuh Jit tok siu dengan
mengunakan jurus Gwat gi seng sia (rembulan bergeser
bintang beralih).
"Wahai setan tua!" dia membentak nyaring, "kau jangan
keburu merasa bangga lebih dulu, giliran selanjutnya adalah
kau!"
Agak tertegun juga Jit tok siu Kwa Lun ketika melihat Suma
Thian yu maju melancarkan serangan, ia tidak menangkis
maupun berkelit sambil mundur berapa langkah dan
memungut kembali kapak kecilnya, ia tertawa licik.
"Bocah keparat, silahkan kau pun pergi mampus!"
Kapaknya dengan jurus Ciu siu gan Siu (tukang kayu
menebang pohon) balas menyerang ketubuh Suma Thian yu.
Jangan dilihat gerak serangan itu amat kaku dan
sederhana, pada hal dibalik kesederhanaan tersebut justru
mengandung tenaga dalam yang luar biasa.
Belum lagi serangan kapak itu tiba, dihadapan tubuh Suma
Thian yu telah diliputi selapis hawa dingin yang luar biasa.
Suma Thian yu mengira Jit tok siu akan memancarkan
tujuh racunnya di balik serangan kapak tersebut, tanpa terasa
hatinya menjadi bergetar keras.
Cepat-cepat dia memutar pedang Kit hong kiamnya,
menciptakan suatu pertahanan yang amat tebal untuk
menciptakan suatu pertahanan yang tangguh, dengan cara itu
dia hendak mem bendung serangan dari Jit tok siu.
Mendadak terdengar si Dewa peramal berpekik nyaring,
tubuhnya berkelebat lewat bagaikan sambaran petir, lalu
menerjang ketengah antara kedua orang itu.
Sepasang telapak tangannya dilontarkan kemuka
dan...."Blammm!" ditengah suatu ledakan keras yang
memekikkan telinga, Jit tok siu maupun Suma thian yu sama-
sama kena dipaksa untuk mundur sejauh beberapa langkah.
"Haaah...!" begitu Jit tok siu Kwa Lun tahu kalau orang
tersebut adalah Dewa peramal, dia menjerit kaget.
Dengan nada menyindir, si Dewa peramal Ya Seng si
berseru sambil tertawa terbahak-bahak:
"Kau merasa terperanjat bukan? Kwa Lun, yang tertipu
bukan aku, melainkan kau si bajingan tua yang rendah dan
tak tahu malu."
"Betul-betul mengejutkan" seru Jit tok siu Kwa Lun sambil
menyeringai seram, "Jadi kau ini belum mampus?"
"Tentu saja tak akan mampus, masa minum air bisa
mampus? Jangan nakut-nakuti orang!
"Aaah, jadi isi botol itu cuma air?" Jit tok siu Kwa Lun
makin terperanjat.
Begitu selesai berkata, si Dewa peramal segera tertawa
terbahak-bahak, sedangkan Suma thian yu juga ikut merasa
lega, sehingga ia tertawa terpingkal pingkal.
Sudah barang tentu Jit tok siu Kwa Lun tak percaya dengan
begitu saja, tapi diapun cukup mengetahui tentang kelihayan
dari racun Bak tok cha tersebut, andaikata si Dewa peramal
benar-benar meneguknya, sudah pasti dia akan mampus.
Namun kenyataannya, dia masih mampu untuk
melancarkan serangan dengan begitu dahsyat, dari sini bisa
disimpulkan kalau dia memang cuma minum air biasa.
Semakin dibayangka, Jit tok siu merasa hatinya merasa
makin tak karuan, seolah-olah bocah yang merasa salah
sehingga tak sepatah katapun mampu diucapkan.
Untuk sesaat lamanya suasana diarena menjadi hening,
lama kemudian, akhirnya Jit tok siu Kwa Lun membanting
kapak kecilnya keatas tanah, lalu dengan wajah tersipu karena
malu dia berkata:
"Aku mengaku kalah, baik soal kecerdasan maupun tenaga
dalam, lohu kalah semua dari mu. Tiga tahun kemudian, lohu
pasti akan datang minta petunjuk lagi!"
Selesai berkata, dia membalikan badan dan berlalu dari
situ, hanya didalam beberapa kali lompatan saja, bayangan
tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata.
Menanti Jit tok siu Kwa Lun sudah pergi jauh, Suma thian
yu berdua baru menggali liang dan menguburkan dua sosok
jenazah tersebut.
Kemudian, Suma Thian yu baru memberi hormat kepada si
Dewa peramal sembari berkata:
"Locianpwe, maafkanlah boanpwe yang punya mata tak
berbiji sehingga tidak mengenali diri cianpwe.."
"Haah...haah... haah... bocah cilik, lohu paling benci
dengan segala adat istiadat serta tata cara kesopanan,
sebagai seorang lelaki sejati, sudah seharusnya bersikap
terbuka dan tidak terikat adat"
Buru-buru Suma Thian yu mengiakan dengan hormat.
Dewa peramal Yu Seng si kembali mengamati Suma Thian
yu beberapa saat lamanya, kemudian berkata lagi:
"Jika di lihat dari tampangmu jelas kau adalah seorang
pemuda yang jujur dan berperasaan halus, tapi kau harus
tahu, perjalananmu menuju tibet kali ini penuh dengan
kesulitan dan rintangan, aku berharap kau bersikaplah lebih
bijaksana dan jangan terlalu melakukan pembunuhan. Sayang
lohu masih ada urusan penting sehingga tak dapat menemani
kau sepanjang jalan, nah, aku hendak berangkat duluan"
Begitu selesai berkata, bagaikan sambaran kilat cepatnya,
ia berlalu dari situ.
Jangan dilihat gerak-geriknya semacam orang mabuk,
dalam sekejap mata bayangan tubuhnya sudah lenyap dari
pandangan mata. Suma Thian yu segera turun dari gunung
dan menemukan kembali kudanya, kemudian melanjutkan
perjalanan lagi menuju ke arah barat.
Dari sini sampai di Tibet, perjalanan masih amat jauh dan
mercapai berpuluh laksa li, jangankan dia sedang memikul
tugas berat, bagi mereka yang berpesiar pun akan merasa
jemu. Apalagi setelah mendengar peringatan dari Dewa
peramal, perasaannya makin berat dan masgul...
Sekalipun ia tak tahu apa yang harus di la kukan olehnya di
wilayah Tibet, namun dia percaya Cong liong Lo sian jin pasti
mempunyai sesuatu maksud tertentu, atau mungkin sedang
mencoba keuletannya, atau mungkin juga ia sedang di
perintahkan untuk melakukan suatu perjalanan untuk
mencari pengalaman.
Suatu hari, sampailah Suma thian yu disuatu daerah dalam
Propinsi San say yang bernama Liong swan kwan.
Tiba-tiba kaki depan kuda tungganggannya menjadi lemas
dan terperosok kedepan.
Dengan perasaan terperanjat Suma Thian yu melompat dari
atas pelana kudanya dan melayang turun keatas tanah.
Mendadak dari samping jalan berkumandang suara pujian
keras:
"Ilmu gerakan tubuh yang bagus!"
Begitu melayang turun ketanah, Suma thian yu segera
berpaling, tampak olehnya seorang pengemis tua sedang
duduk lebih kurang dua kaki dihadapannya, waktu itu si
pengemis tersebut sedang mengangkat buli-buli araknya dan
meneguk dengan lahap.
Begitu mengetahui siapakah pengemis tersebut, Suma
thian yu segera bersorak gembira:
"Wi locianpwe, rupanya kau orang tua pun berada disini!"
Bertemu dengan sobat sekampung memang merupakan
obat rindu bagi seorang pengembara, rasa gembira yang
mencekam perasaan Suma Thian yu saat ini boleh dibilang tak
terlukis kan dengan kata-kata.
Selama hampir setengah bulan ini, dia selalu menempuh
perjalanan seorang diri, dia seolah-olah berubah menjadi bisu
saja karena tak ada orang yang bisa diajak berbicara.
Tapi sekarang, secara tiba- tiba saja dia bertemu dengan
Siau yau kay Wi Kian, keadaan ini ibaratnya orang yang
menemukan pedang hijau ditengah gurun pasir.
Siapa tahu paras muka Siau yau kay Wi Kian amat serius
dengan sorot mata yang dingin seperti es dia menatap wajah
anak muda itu lekat-lekat.
Suma Thian yu menjadi tertegun, segera pikirnya:
"Aaah... keadaan tidak beres, apa yang telah terjadi?
Jangan-jangan terjadi lagi kesalahan paham?"
Sementara dia masih berpikir-pikir, mendadak terdengar
Siau yau kay Wi Kian membentak gusar:
"Kemari, kau manusia berhati binatang!" Suma Thian yu
menjadi sangat gelisah, dia tahu kalau manusia berwatak
aneh ini kembali menaruh kesalahan paham terhadapnya.
Dalam keadaan demikian, dia tak berani berayal lagi,
dengan cepat dia berjalan menuju kehadapan Siau yau kay,
kemudian tanya-nya dengan hormat:
"Wi locianpwe, tolong tanya boanpwe telah melakukan
kesalahan apa?"
Dengan wajah penuh amarah, Wi Kian membentak keras:
"Kau telah membawa Wan pek lan kemana? Ayo cepat
jawab sejujurnya"
"Ooooh, rupanya karena dia"
"Apa? Kau bilang apa?"
"Rupanya locianpwe sedang marah karena nona Wan tidak
melakukan perjalanan bersama boanpwe?"
"Benar, aku ingin bertanya kepadamu, sekarang dia bereda
di mana?"
"Di rumah Heng si Cinjin!"
"Telur busuk! Kau berani mengelabuhi aku? Aku si pingemis
tua tidak gampang di tipu tahu? Hmmm! Benar-benar tahu
orangnya tahu wajahnya tak tahu hatinya, tidak kusangka kau
berwajah bagus tapi berhati busuk seperti iblis. Bocah muda,
anggap saja aku si pengemis tua telah salah melihatmu"
Untuk sesaat Suma Thian yu benar-benar kebingungan dan
tidak habis mengerti, cepat tanyanya dengan kegerahan:
"Locianpwe, apa sih maksud dari perkataanmu itu?
Boanpwe benar-benar tidak habis mengerti"
Kontan saja Siau yau kay wi Kian melototkan sepasang
matanya dengan gusar, mendadak dia melompat bangun
dan segera meng
ambil sepucuk sampul surat dari sakunya, kemudian sambil
disodorkan kehadapan pemuda itu, dia berseru:
"Coba kau lihat, benda apakah ini?" Suma Thian yu
menerima sampul tersebut dan untuk sesaat merasa sangsi
dan tak berani membuka sampul itu.
"Buka sampul itu, didalamnya berisi semua bukti dari
perbuatan jahatmu itu!" bentak Siau yau kay lagi.
Buru-buru Suma Thian yu membuka sampul surat itu,
ternyata isi sampul itu adalah se gumpal rambut dan beberapa
lembar kuku.
Dengan perasaan tidak habis mengerti, kembali Suma
Thian yu bertanya:
"Apa hubungannya benda-benda tersebut dengan diri
boanpwe...?"
"Bocah keparat benda itu adalah rambut dan kuku Wan Pek
lan.....!” umpat pengemis itu lagi dengan marah.
“ Benarkah itu? Buat apa dia mengirimkan benda-benda itu
kepada locianpwe?
Apakah dia telah mencukur rambut menjadi pendeta
perempuan?"
Mendengar ucapan tersebut, Siau yau kay Wi Kian benar-
benar amat gusar, dengan mata melotot dan wajah berubah
menjadi merah membara, dia membentak gusar.
"Bocah keparat, kau tak usah berlagak pilon, akan kulihat
kau bersedia mengaku atau tidak!"
Begitu ucapan terakhir diutarakan, angin pukulan sudah
menyambar datang dengan kecepatan tinggi.
Sebenarnya Suma Thian yu ingin berkelit kesamping, tapi
setelah berpikir sejenak, dia merasa dirinya tidak bersalah,
mengapa harus menghindarkan diri dari pukulan itu?
Karena berpendapat demikian, maka dia urungkan niatnya
untuk berkelit dan menyong song datangnya pukulan tersebut
dengan begitu saja.
“ Plaaaaak!”
Sebuah tamparan keras bergema memecahkan keheningan,
pipi Suma thian yu sudah kena dihajar telak sehingga
kepalanya pusir tujuh keliling dan pandangan matanya
berkunang kunang, sebuah bekas lima jari tangan yang merah
membengkak muncul diatas wajahnya.
Menyaksikan hal ini, Siau yau kay menjadi tak tega sendiri,
dia tidak melancarkan serangan lebih lanjut, bahkan berdiri
dengan wajah kebingungan.
Rupanya oleh karena pemuda itu tidak menghindar dan
dipukul diam saja, hal tersebut membuat kemarahan dari Siau
yau kay wi Kian berkurang setengah.
Setelah kemarahan pengemis tua itu mereda, Suma Thian
yu baru berkata:
"Sudah pasti locianpwe menaruh salah paham, hubungan
boanpwe dengan nona Wan sangat baik dan cocok, tidak akan
mungkin dia akan mencukur rambutnya menjadi Pendeta"
"Siapa yang bilang kalau dia menjadi pendeta? Tanda
tersebut merupakan lambang dari kematian, mengerti kau?"
"Apa? Suma thian yu menjerit kaget, dia telah mati? Tidak
mungkin, sewaktu boanpwe meninggalkan dia, gadis itu masih
segar bugar bahkan masih bergurau dengan nona Tosn dan
saling menyebut saudara, mana mungkin dalam sebulan yang
singkat dia telah ketimpa bencana?"
"Kau berani menjamin?"
"Yaa, kalau dia tertimpa musibah, sudah seharusnya dua
bersaudara Thia pun mengalami nasib yang sama!"
Berbicara sampai disini, secara ringkas Suma Thian yu
menceritakan keadaan yang dialaminya waktu itu kepada Siau
yau kay, bahkan mengatakan pula bahwa dua bersaudara Thia
berjanji akan melindungi keselamatan dari Wan pek lan.
Seusai mendengar penuturan tersebut, Siau Yau kay
menjadi setengah percaya setengah tidak, dengan sorot mata
yang tajam dia mengawasi wajah Suma Thian yu lekat-lekat
seakan-akan ingin tahu apakah pemuda itu jujur atau tidak.
Rupanya setelah meninggalkan Suma Thian yu dan Wan
pek lan tempo hari, Siau yau kay Wi Kian melanjutkan
pengembaraannya menjelajahi dunia persilatan, berapa hari
berselang mendadak ia menerima sepucuk surat yang
didalamnya tercantum secarik kertas, dimana diterangkan
kalau Bi hong siancu Wan pek lan telah tertimpa musibah,
pembunuhnya adalah Suma Thian yu.
Mendenar berita buruk itu, hampir saja Siau yau kay Wi
Kian jatuh semaput saking gusarnya, kontan saja dia mencaci
maki Suma Thian yu habis-habisan, bahkan pada saat itu juga
berangkat ke wilayah Tibet dan bermaksud mencegat ditengah
jalan.
Kebetulan pula Suma thian yu memang sedang dalam
perjalanan melewati tempat itu, hingga bertemulah mereka
berdua.
Mereka berdua segera saling menuturkan pengalaman
masing-masing, pada saat itulah Suma thian yu baru tahu
kalau ada orang sengaja hendak mencelakainya. Sudah
barang tentu Siau yau kay tidak percaya perkataan Suma
Thian yu dengan begitu saja, namun dia pun tak berani
menuduh dialah pembunuhnya, untuk beberapa saat dia
menjadi bingung dan diletakkan dalam posisi yang serba
runyam.
Begitulah, untuk beberapa saat mereka ber dua hanya
berdiri saling berhadapan disitu dengan mulut membungkam,
untung saat itu mendekati senja sehingga tiada orang yang
menempuh perjalanan disitu, dengan demikian sikap mereka
pun tak sampai memancing perhatian orang lain.
Lama kemudian, tampaknya Siau yau kay telah mengambil
suatu keputusan, katanya kemudian kepada Suma Thian yu
dengan suara dingin:
"Jangan lupa, kau tak akan lolos dari tanganku, bila Wan
pek lan benar-benar mengalami sesuatu, kau lah yang harus
bertanggung jawab!"
"......"Suma Thian yu merasa pikirannya amat kalut, untuk
sesaat lamanya ia tak mampu mengucapkan sepatah katapun.
Mendadak terdengar Siau yau kay membentak keras:
"Siapa?"
Menyusul bentakan itu, tubuhnya melesat ke dalam hutan
di tepi jalan sana.
Menanti Suma Thian yu menyadari akan hal itu, pengemis
tua itu sudah memasuki hutan.
Dalam keadaan demikian, anak muda itu tak berani berayal
lagi, dia pun segera membuntuti dibelakangnya.
Baru saja tubuhnya tiba di tepi hutan, mendadak tampak
sebuah benda disambit keluar dari dalam hutan langsung
diarahkan ke atas wajahnya. Serta merta Suma Thian yu
menerima beda itu, ternyata benda tersebut tak lain adalah
sampul surat tadi.
Suma Thian yu tak sempat memeriksa isinya lagi, kembali
dia melesat ketengah udara. Mendadak dari dalam hutan
berkumandang suara tertawa dari Siau yau kay:
"Bocah muda, lohu telah bertemu dengan sobat karibku
dan akan berangkat lebih dulu, aku minta kau cari jejak Wan
Pek lan, sampai ketemu."
Ketika ucapan terakhir diutarakan, mungkin orangnya
sudah berada setengah li dari situ.
Suma Thian yu menjadi masgul, murung dan tak karuan
perasaannya. Sebab tanpa sebab tanpa musabab dia telah
bertemu dengan Siau yau kay di situ, baru saja dia bergembira
karena akan memperoleh teman seperjalanan, siapa tahu
yang diperoleh hanya rasa yang memurungkan hatinya saja.
Meninggalkan kota Liong Swan kwan, didepan sana
terbentang pegunungan Ngo tay San. Waktu itu hari sudah
malam, Suma Thian yu yang dibebani dengan berbagai
persoalan yang memusingkan kepala itu menjadi kemalaman
di tengah jalan.
Kuda yang diperoleh dari warung makan tempo hari, kini di
tinggal di kota Liong swan kwan karena tak mampu
melanjutkan perjalanan lagi, terpaksa dia harus menelusuri
kegelapan dengan berjalan kaki.
Belum lama dia meninggalkan kota Liong Swan kwan,
perjalanan anak muda itu sudah dikuntil orang.
Jilid : 21
SEBAGAI SEORANG jagoan yang berilmu tinggi, sudah
baraag tentu penguntilen tersebut tak akan lolos dari
ketajaman pende ngarannya, sayang pikiran dan perasaannya
waktu itu sedang kalut, sehingga bal ini sama sekali tak
diketahui olehnya.
Si anak muda itu masih saja melanjutkan perjalanannya
dengan kepala tertunduk dan pikiran kalut.
Diri kejauhan sana terdengar suara auman harimnu yang
amat nyaring, di tengah kegelapan malam begini, suara
tersebut mendatang kan perasaan bergidik bagi siapa pun
yang men dengarnya.
Bukit Ngo tay san memang tersohor sebagai penghasil
harimau di daratan Tionggoan, itu berarti suara auman
harimau tersebut ber kumandang dari bukit di depan sana.
Suma Thian ya agak sangsi, kendatipun dia memiliki ilmu
silat yang sangat lihay, bukan suatu pekerjaan yang gampang
untuk menda-tangi bukit Ngo tay san seorang diri, tapi untuk
menuju ke daerah Shia say, orang harus melalui jalanan
tersebut, karena hanya jalan ini yang tersedia.
Sementara dia masih sangsi dan tak tahu apa yang harus
dilakukan, mendadak dari arah belakang terasa bergemanya
suara desingan angin tajam.
Begitu mendengar suara tersebut, dengan sigap Suma
Thian yu miringkan badannya kesamping, segulung angin
dingin segera menyambar tiba.
Suma Thian yu memang berilmu tinggi, ke tajaman
pendengarannya luar biasa, sepasang matanya juga dapat
melihat dalam kegelapan, dengan suatu gerakan jumpalitan, ia
menyambut datangnya sambaran angin tajam tersebut,
rupanya sebatang peluru tembaga.
Dari arah belakang berkumandang lagi sua ra pekikan
nyaring seperti pekikan monyet, dengan perasaan terkejut
Suma Thian yu ber paling, dia menyaksikan ada sesosok
bayangan hitam sedang meluncur datang dari arah belakang
dengan kecepatan luar biasa.
Menyaksikan kehadiran orang tersebut, Suma Thian yu
merasakan hatinya terkesiap, belum sempat ia menegur pihak
lawan telah ber seru lebih dulu:
"Kau yang bernama Suma Thian yu?"
"Benar!" jawab pemuda yang ditanya itu.
Sambil menjawab, Suma Thian yu menga mati pendatang
tersebut dengan seksama.
Dia adalah seorang kakek berusia delapan puluh tahunan
yang memakai jubah panjang berwarna-warni, mukanya bulat
seperti rembulan yang sedang penuh, keningnya tumbuh
sebuah bisul besar, sorot matanya tajam berkilat, siapapun
akan mengetahui bahwa ia adalah seorang jago lihay yang
berilmu tinggi.
Setelah mendehem beberapa kali, orang itu menegur
kembali:
"Kau yang mengundang aku kemari?"
"Tidak!" cepat Suma Thian yu menggeleng, aku sama sekali
tidak kenal denganmu, kenapa mesti mengundangmu
kemari?"
Dari sakunya tiba-tiba kakek itu mengeluarkan sepucuk
surat, lalu serunya lebih lanjut:
"Bukankah surat ini adalah surat tantangan bertempur
darimu?"
Lagi-lagi sepucuk surat, Suma Thian yu merasa dirinya sial,
sial delapan turunan.
Baru saja dia ribut dengan Siau yau kay gara-gara sepucuk
surat, sekarang kakek tersebut mengeluarkan kembali sepucuk
sampul surat yang persis sama dengan surat pertama, jangan-
jangan isi surat itu pun berisi rambut dan kaku perempuan?
Sementara pikirannya berputar, dia menyahut dengan
cepat:
"Aku tak pernah menulis surat kepada siapa pun, tidak
kuketahui apa yang lotiang maksud kan"
"Omong kosong, bukankah kaupun sedang meremas
sepucuk surat? Tak usah kau terang kan lagi, lohu juga tahu
kalau sampul surat tersebut persis sama dengan surat yang
kau tunjukan kepadaku"
Sekali lagi Suma Thian yu merasakan hatinya bergetar
keras, sekarang dia baru sadar kalau tangannya masih
meremas surat dari Siau yau kay tersemu, buru-buru dia
membantah.
"Surat ini bukan milikku, orang lain yang menyerahkan
kepadaku"
"Bawa kemari!" bentak makhluk tua itu dingin, "lohu akan
memeriksanya..."
Tanpa terasa Suma Thian yu menyodorkan surat tersebut
ketangannya, makhluk tua tersebut membandingkan kedua
sampul tersebut dengan seksama, kemudian seteiah tertawa
seram serunya:
"Bocah muda! Kau masih ingin menyangkal? Sudah jelas
benda ini milikmu, hei, aku ingin bertanya sekali kepadamu,
sudah lama lohu tak pernah mencampuri urusan dunia
persilatan lagi, sudah empat puluh tahun aku hidup
mengasingkan diri dan belum pernah ada orang berani
menantangku bertempur, nyali mu benar-benar besar sekali,
berani betul kau menyuruh orang menghantar surat tersebut
kepadaku dan menyuruhku menunggu di kaki bukit Ngo tay
san, bukankah kejadian ini menggelikan sekali?"
Suma Thian yu semakin kebingungan lagi se tuduh
mendengar perkataan tersebut, tak kuasa lagi dia menghela
napas panjang, diam-diam dia hanya mengeluh akan nasib
sendiri yang kurang beruntung.
Sejak turun gunung hingga sekarang rasanya belum pernah
dijumpainya suatu peristiwa yang bisa berkenan dalam
hatinya. Maka dengan suara nyaring dia bertanya:
"Bolehkan aku tahu siapa namamu?"
"Bocah muda, pandai benar kau berlagak pilon?
Bagaimana? Setelah bertemu dengan lohu lantas mangkerat
dan ketakutan?"
"Terus terang saja aku tidak mengengetahui tentang surat
tantangan tersebut, lagipula aku pun tidak mengenalmu,
bagaimana mungkin bisa mengirim surat untuk
menantangmu? Bukankah kejidan ini sangat aneh dan aneh
dan tidak sesuai dengan keadaan pada umumnya? Apalagi
surat tersebut juga bukan tulisanku."
Mahkluk tua itu segera tertawa dingin.
"Hmmm, lohu sudah terbiasa menganggur hingga malas
untuk menggerakkan badan, coba kalau murid ku tidak keluar
rumah, malam ini kau akan cukup merasakan penderitaan."
Berbicara sampai disini, makluk tua tersebut berhenti
sejenak, kemudian sambungnya lebih jauh:
"Kalau toh kau berani menantangku untuk bertarung,
sekarang, mengapa malah mundur ketakutan? Orang bilang:
Yang datang tidak bermaksud baik yang bermaksud baik tak
akan datang. Bocah muda, aku tahu kau pasti memiliki
kepandaian silat yang luar biasa tapi lohu tak ingin
menganiaya kaum muda, apalagi melancarkan serangan
secara sembarangan. Begini saja, lohu akan duduk disini,
sedangkan engkau bolehlah menyerang sekehendak hati mu
sendiri, kau pun tak usah berbelas kasihan, lakukan saja
seranganmu dengan sepenuh tenaga, tapi kau harus tahu,
malam ini adalah malam terakhir dari perjalananmu di dunia
ini!"
Selama hidup belum pernah Suma Thian yu menghadapi
situasi seperti ini, tapi kalau didengar dari nada pembicaraan
makhluk tua tersebut dapat diketahui kalau dia adalah seorang
jago lihay yang memiliki kepandaian silat sangat tinggi.
Hanya saja, selama ini dia tak mau mengerti, mengapa ia
bisa menyalahi makhluk tua tersebut?
Maka sekali lagi dia bertanya dengan hormat:
"Tolong tanya siapa nama cianpwe? Aku pikir, diantara kita
berdua tentu sudah terjadi kesalahan paham"
"Salah paham? Tak mungkin, orang yang menghantar surat
itu masih berada disekitar sini, dia pun sudah jelas
memberitahukan ke pada lohu kalau kau akan tiba disini
malam ini juga!"
"Dapatkah kau mengundangnya kemari?"
"Tentu saja dapat, tapi hal ini bisa dilakukan setelah kita
selesai bertarung"
"Aku tak berani"
"Tak berani? Bocah muda, kau anggap lohu ini manusia
macam apa? Sembarang bisa dipermainkan orang dengan
begitu saja?"
"Aku sama sekali tak bermaksud untuk mem permainkan
cianpwe, kalau tak percaya, pertemukan aku dengan si
penghantar surat tersebut, persoalan pasti akan menjadi beres
dengan sendirinya"
Mendengar perkataan tersebut, makhluk tua itu tertawa
terbahak-bahak, kemudian sambil duduk bersila diatas tanah,
ujarnya dingin:
"Segera lepaskan seranganmu, kalau tidak, lohu akan
menghancur lumatkan tubuhmu!"
Suma Thian yu menghela napas panjang, perasaannya
seperti di tindih dengan sebuah batu cadas yang berat sekali,
dia merasa amat murung dan kesal, banyak kesulitan yang
rasanya sukar untuk diutarakan keluar.
Akhirnya dia mengambil suatu keputusan kepada makhluk
tua itu, katanya:
"Bila kau bersikeras menuduhku, yaa... apa boleh buat,
kesalahan paham ini tak mungkin bisa dibuat jelas hanya
dengan sepatah dua patah kata saja. Aku bersedia menuruti
permintaanmu itu, cuma sebelum pertarungan berlangsung,
bolehkah aku mengetahui siapa nama besar mu?"
Sekali lagi makhluk tua itu mendongakkan kepa1anya
sambil tertawa seram.
"Heeeh...heeh... tampaknya sebelum melihat peti mati kau
tak akan menitikkan air mata, baiklah, lohu akan
memberitahukan kepadamu, agar kau bisa mampus dengan
mata yang meram kencang."
Kemudian setelah mengamati Suma Thian yu sekejap,
pelan-pelan dia berkata:
"Lohu bernama Pi... Ciang... Hay."
Begitu mendengar nama Pi Ciang Hay, paras muka Suma
Thian yu berubah amat hebat, tercekat perasaannya dan
tanpa terasa dia men jerit kaget dengan suara keras:
"Kau.... kau adalah Sip hiat jin mo (manusia iblis pengisap
darah) yang termashyur namanya itu?"
Rupanya kakek aneh itu bukan lain adalah gemboang iblis
yang paling tersohor namanya dalam dunia persilatan, sip hiat
jin mo Pi Ciang hay adanya.
Sejak enam puluh tahun berselang, iblis tersebut sudah
termashur sekali namanya dalam dunia persilatan, kejahatan
serta kekejiannya sudah tersiar luas sampai ketempat
kejauhan.
Semasa masih mudanya dulu, dia paling gemar melakukan
perbuatan menghisap darah dengan jarum perak, perbuatan
tersebut sedemikian keji dan buasnya, sehingga banyak umat
persilatan yang membencinya.
Dengan jarum perak untuk mengisap darah korbannya, iblis
tersebut memanfaatkan darah manusia untuk memupuk
kekuatannya guna menyempurnakan ilmu pukulan Pek lek si
hun ciang (pukulan geledek pembetot sukma) yang di
yakininya.
Setelah ilmu tersebut dapat dikuasai, kehebatannya makin
menjadi-jadi, hampir boleh dibilang seluruh dunia persilatan
telah dikuasai olehnya.
Pada saat yang hampir berurusan, di dalam dunia
persilatan muncul pula seorang gembong iblis yang bernama
mayat hidup Ciu Jit hwee. Kemunculan iblis ini segera menim
bulkan suasana yang makin kalut dalam dunia persilatan,
belum sampai dua tahun kemunculannya dalam dunia
persilatan, nama busuknya sudah jauh melebihi Sip hiat jin
mo.
Ilmu silat yang dimiliki kedua orang ini sama-sama
lihaynya, kalau ilmu pukulan pek-lek si hun Ciang lebih
mengutamakan kekuatan yang bersifat keras, maka ilmu
pukulan Hu si im hong ciang dari si mayat hidup Ciu Jit Hwe
lebih mengutamakan sifat dingin yang lembut.
Kedua orang ini sudah pernah saling bentrok satu sama
lainnya, alhasil kekuatan mereka berdua berimbang, cuma
kalau berbicara dalam hal kekejiannya, maka teranglah ilmu
pukulan angin dingin pembusuk mayat atau Ho si im hong
siang masih jauh lebih mematikan orang.
Pertarungan yang berakhir seri ini membuat kedua orang
iblis tersebut menjadi sahabat, tapi persahabatan antar
sesama gembong iblis tentu saja bukan persahabatan yang
sejati, yang benar mereka saling memanfaatkan kesempatan
yang ada untuk saling merobohkan lawan.
Selama hidupnya, manusia iblis penghisap darah Pi Ca hui
hanya menerima seorang murid, yakni Hit cha cui cu si rasul
garpu terbang kiong Lui.
Dibawah bimbingan yang seksama dari iblis tersebut, Kiong
Lui berhasil menguasani enam tujuh bagian ilmu silat dan Sip
hiat jin mo tersebut....
Hanya sayangnya Kiong Lui tidak memiliki bakat yang
terlalu bagus, sehingga kepandaian-nya tak bisa mencapai
tingkat kesempurnaan, disaat iblis tersebut mengetahui kalau
muridnya hanya kayu lapuk yang berukir berukir indah,
hatinya benar-benar sengsara dan gusar, sayang sekali
menyesal tak ada gunanya, diapun hanya bisa menyesali diri
sendiri.
Demikianlah, ketika Suma Thian yu mengetahui siapakah
musuhnya ini, dia merasa amat terkesiap, diam-diam pekiknya
dihati:
Banyak kejadian didunia ini memang aneh rasanya,
membuat orang sukar untuk menduganya, sesungguhnya
Suma Thian yu sedang berangkat menuju ke Tibet, siapa tahu
banyak persoalan justru dijumpai disaat seperti ini, bahkan
musuh yang dijumpai pun kebanyakan adalah gembong iblis.
OOWOO
TIBA-TIBA Suma Thian yu teringat akan sesuatu, bukankah
dia hendak mencari Sip hiat jin mo ini untuk membuktikan soal
kematian orang tuanya? Tak disangka sama sekali, orang yang
hendak dicarinya itu kini bisa muncul didepan mata.
Sudah jelas kejadian ini bukan suatu kebetulan saja,
melainkan sudah diatur oleh seseorang, justru karena Sip hiat
jin mo Pi ciang hay mendapat surat pemberitahuan dari
seseorang, maka dia mengetahui dengan jelas akan jejak anak
muda tersebut.
Terdengar Sip hiat jin mo Pi Ciang hay tertawa seram, lalu
ujarnya dengan suara lantang:
"Bocah keparat, kau tak usah berlaga pilon lagi, bila kau
tidak kenal dengan lohu, mengapa menantangku untuk
berduel disini?"
"Aku benar-benar tidak kenal denganmu, selain itu aku pun
tak pernah bermaksud menantangmu bertarung, tapi
kebetulan sekali, aku memang ada maksud menyambangmu
sekalian meminta petunjuk darimu"
"Meminta petunjukku?" Manusia iblis penghisap darah Pi
Ciang hay tertawa terbahak bahak, "mengapa tidak kau
katakan ingin minta petunjuk ilmu silat dari ku?"
"Tidak, aku hanya minta keterangan kepadamu untuk,
membuktikan suatu berita" jawaban dari Suma Thian yu amat
tegas.
Ucapan tersebut segera menarik perhatian si Manusia iblis
pengisap darah tersebut, dengan kening berkerut dia berseru:
"Membuktikan tentang suatu berita?"
"Aku she Suma bernama Thian yu, ayahku Tiong lo, tolong
tanya kenalkah kau dengan ayahku?"
Dengan cepat Manusia iblis pengisap darah Ti Ciang hay
menggelengkan kepalanya berulang kali, tanyanya agak
tercengang:
"Buat apa kau menanyakan tentang persoalan ini? Lohu
hanya dikenal orang, selamanya tak pernah mengenal orang
lain"
Sungguh jawaban ini merupakan suatu jawaban yang
sangat takabur. Maksudnya dia tak mau kenal dengan orang
lain saja.
"Kalau begitu, bajingan keparat itulah yang sengaja menipu
aku" seru Suma Thian yu kemudian.
"Hei bocah muda, kau tak usah bergumam melulu, bila ada
persoalan, katakan saja dengan cepat, kalau tidak, lohu sudah
tak sabar unuk menunggu lebih jauh!" bentak Manusia iblis
penghisap darah Pi Ciang hay tak sabar.
"Tolong tanya, apakah Suma Tiong ko tewas di tanganmu?"
Sekali lagi Manusia iblis penghisap darah Pi Ciang hay
mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
"Orang yang mampus di tanganku sudah tak terhitung
jumlahnya, kalau suruh kuingat satu per satu, waah sulit
sekali! Bocah muda, seandainya lohu yang membunuhnya,
apa yang hendak kau lakukan?"
Sepasang mata Suma Thian yu melorot besar dan
memancarkan sinar yang amat tajam, katanya dengan cepat.
"Kalau begitu kau mengakui kalau ayahku mati di
tanganmu? Kau juga yang menghancurkan gedung keluarga
ku serta menghadiahkan lencana emas kepada si Ular berekor
nyaring?"
Mendengar ucapan mana, Sip hat jin mo Pi Ciang hay
kembali menjadi tertegun dan kemudian serunya agak
tercengang:
"Hei lencana emas apa yang kau maksudkan? Lohu tak
mengerti, apalagi lohu hanya membunuh orang, tidak pernah
membakar rumah atau menghadiahkan sesuatu pada orang
lain"
Suma Thian yu segera mendongakkan kepalanya dan
tertawa terbahak-bahak, katanya:
"Kalau begitu kau telah ditipu dan dibodohi orang lain
dengan seenaknya, benar-benar suatu berita yang luar biasa,
seorang gembong yang tersohor namanya dalam dunia
persilatan ternyata dipermainkan orang."
Tutup mulutmu! Jangan kau lanjutkan olok-olokmu itu,
cepat kau katakan siapa yang berani mencabuti kumis
harimau itu?"
Dia adalah si ular berekor nyaring Bian pun ci yang
bernama amat tersohor dalam dunia persilatan."
Suma Thian yu memang berniat adu domba, maka dia
sengaja menyebutkan nama "si ular berekor nyaring" itu
dengan suara yang amat nyaring.
Betul juga, Marusia iblis penghisap darah itu segera naik
darah, rupanya gembong iblis ini memiliki sebuah kelemahan
yakni dia suka dirinya berada dikedudukan paling tinggi, dia
tidak berharap ada orang yang melebihi dirinya, apalagi kalau
sudah dilangkahi orang, seringkali hal tersebut akan
menimbulkan ambisinya yang menyala-nyala.
Terdengar dia bertanya dengan gelisah:
"Siapakah Bian Pun ci itu? Cepat beritahu kepadaku!"
Diam-diam Suma Thian yu merasa amat kegirangan setelah
menyaksikan kemarahannya memuncak, namun dia berlagak
hambar, sahutnya pelan:
Dia mah seorang jagoan yang amat tersohor, asal kau
berkelana didalam dunia persilatan, siapa saja tentu akan
mengenali dirinya...."
Belum selesai dia berkata, Manusia iblis penghisap darah
telah membentak lagi dengan gusar:
"Omong kosong, kau tak usah mengucapkan kata-kata
yang tak terguna lagi, cepat beritahu kepadaku, sekarang
berada dimana dia?"
Kau lupa dengan orang yang menghantarkan surat
kepadamu itu? Dia adalah pembantu Bian pun ci. Asal kau
menanyakan persoalan ini kepadanya, maka segala
sesuatunya akan menjadi terang"
Pemuda ini memang hebat, apalagi tindakannya yang balik
mengigit orang betul-betul rupakan suatu langkah yang jitu.
Dengan begitu selain ia dapat menghilangkan kesalah
pahaman Manusia iblis penghisap darah dengannya, diapun
bisa mengetahui siapakah yang telah mempermainkan dirinya
ini.
Dengan sorot mata buas, Manusia iblis Penghisap darah Pi
ciang hay menoleh sekejap kearah Suma thian yu, kemudian
serunya:
"Kau jangan meninggalkan tempat ini secara sembarangan,
aku percaya kau tak bakal bisa lolos dari cengkeramanku!"
Dalam sekali berkelebat saja bayangan tubuhnya tahu-tahu
sudab lenyap dari pendangan mata.
Menyaksikan kesempurnaan ilmu meringankan tubuhnya
ini, Suma thian yu harus menjulurkan lidahnya sambil berpikir:
"Benar-benar sebuah ilmu meringankan tubuh yang amat
lihay, nama besar orang ini sungguh bukan nama kosong
belaka"
Tentu saja dia tak akan pergi dengan begitu saja, karena
dia ingin tahu siapakah pengacau yang telah menfitnah dirinya
berulang kali.
Tak selang berapa saat kemudian, Manusia iblis penghisap
darah Pi Ciang hay telah balik kembali dengan mengapit
seseorang dibawah ketiaknya, dia langsung melayang turun
dihadapan Suma Thian yu.
Suma Thian yu mencoba mengamati orang itu, ternyata
sama sekali tidak di kenal.
Sementara dia masih termenung dengan wajah tertegun,
orang itu sudah dilepaskan oleh Manusia iblis pengisap darah
dari kempitannya.
Apa yang dilakukan orang muda itu? Ternyata dia
merangkak ke hadapan Suma Thian yu, kemudian sambil
berlutut, seraya merengek-rengek:
"Sauya, tolonglah hambamu, hamba telah menyampaikan
surat tersebut kepadanya, tapi dia malah menahan diri hamba,
ooooh sauya tolonglah hamba dan balaskan sakit hati hamba
ini"
Mendengar ucapan tersebut, Suma Thian yu menjadi amat
terkesiap, bajingan ini sungguh amat licik, ternyata dia pun
pandai melimpahkan bencana ke tubuh orang.
Saking tertegunnya, untuk beberapa saat Suma Thian yu
jadi tergagap dan tak sanggup mengucapkan sepatah kata
pun.
Manusia iblis pengisap darah Pi Ciang hay pun agak
tertegun sesudah mendengar perkataan tersebut, menyusul
kemudian teriaknya dengan suara menyeramkan:
"Bocah keparat! Apa lagi yang hendak kau katakan
sekarang? Heeeh, heeeh, hari ini bila aku tidak mencincang
tubuhmu sehingga hancur berkeping-keping, sulit rasanya
untuk melampiaskan rasa mangkel dalam hatiku"
"Eeeh, eeeh, tunggu dulu." seru Suma Thian yu sambil
menggoyangkan tangannya berulang kali, "aku sama sekali
tidak mengetahui siapakah orang ini!"
Baru selesai dia berkata, tiba-tiba orang tersebut sudah
berteriak kembali.
"Sauya, tegakah kau mengorbankan hamba? Dalam hal
apakah hamba telah berbuat salah kepada sauya? Ooh sauya!
Mengapa kau tak bersedia menolongku? Sauya, berbuatlah
baik hati."
"Keparat sialan! Siapa yang menjadi sauya mu? Aku ingin
bertanya kepadamu, siapa yang suruh kau mengantarkan
surat tersebut?"
"Sauya, mengapa kau pelupa? Bukankah kau yang suruh
suruh aku mengantarkan kemari?" seru orang itu keras-keras.
Menyaksikan kelicikan orang itu, Suma Thian yu benar-
benar merasa gusar bercampur mendongkol, kalau bisa, dia
ingin sekali menghajar lawannya tersebut sampai mampus.
Sementara itu, Manusia iblis penghisap darah Pi Ciang hay
juga mulai tidak percaya dengan Suma Thian yu, dengan
gusar ia membentak nyaring:
"Bocah keparat! Bagus sekali perbuatanmu, ayo cepat
serahkan selembar nyawamu!"
Seusai berkata dia lantas maju ke muka sambil melepaskan
sebuah bacokan ke tubuh Suma Thian yu.
Jangan dilihat serangan yang dilancarkan olehnya ini
kelihatannya sederhana dan lembut padahal kekuatan yang
disertakan di dalam serangan tersebut benar-benar amat
dahsyat.
Dengan cekatan Suma Thian yu melompat mundur sejauh
satu kaki lebih, kemudian cegahnya:
"Eeeei, tungu dulu! Kesalahan pahammu kelewat
mendalam, selain itu kau pun sudah tertipu"
"Betul, aku memang tertipu, tertipu oleh aksi licik kau si
bocah keparat!" bentak Manusia iblis pengisap darah sambil
menerjang maju lebih kedepan.
Sembari berkata, telapak tangannya segera diayunkan
keatas siap melancarkan serangan.
Mendadak, dari sisi jalan dibalik hutan, berkumandang
suara jenggekan seseorang diiringi suara tertawa dingin:
"Heeeh... heeehh... heeehh... kalau orang sudah tua, maka
semakin tua semakin, bertambah pikun, tua bangka she Pi,
aku lihat makin tua kau semakin tak becus saja"
Manusia iblis pengisap darah Pi Ciang hay menjadi tertegun
setelah mendengar perkataan itu, dia urungkan niatnya untuk
melancarkan serangan dan segera berpaling, ternyata disisi
jalan telah berdiri seorang pengemis tua.
Orang yang munculkan diri itu bukan lain adalah Siau yau
kay Wi Kian adanya.
Melihat datangnya bintang penolong, Suma thian yu
menjadi kegirangan setengah mati.
Sementara itu, Siau yau kay Wi Kian telah berjalan
menghampiri Manusia iblis penghisap darah, lalu sambil
tertawa terkekeh-kekeh katanya:
"Sudah empat puluh tahun kita tak bersua, rupanya sobat
masih segar seperti sedia kala, cuma kalau sedang
menghadapi persoalan lebih baik diselidiki dulu sampai jelas,
jangan sembarangan menuduh orang lain, perbuatanmu
sekarang sungguh menggelikan, sungguh mengenaskan!"
Setelah menyaksikan kemunculan Siau yau kay Wi Kita,
mendengar pula perkataan tersebut, Manusia iblis penghisap
darah menjadi naik darah, teriaknya keras-keras:
"Lagi-lagi kau yang mencampuri urusan kami, hmmm! Apa
sih yang kau pahami?"
Pengemis tua itu tertawa terkekeh-kekeh lagi.
"Aku paling paham tentang persoalan ini, terus terang saja
aku si pengemis tua pun hampir tertipu oleh cucu kura kura
ini, aku pun hampir saja salah menuduh orang baik"
Sembari berkata dia lantas menuturkan pengalamannya
dimana dalam sampul surat di beri kuku dan rambut
perempuan.
Setelah itu, sambil mencengkeram orang tadi, ujarnya:
"Ayo jawab siapa yang menitah kau melakukan perbuatan
ini? Kalau kau bersedia menjawab dengan sejujurnya, berarti
kau akan mengurangi hukumannya, kalau tidak, hmmm!
Malam ini kau akan merasakan penderitaan yang paling
hebat!"
"Sauya kami yang suruh!" teriak orang itu sambil menuding
ke arah Suma Thian yu.
"Ploook!" Siau yau kay Wi Kian menempeleng orang itu
keras-keras, kemudian umpat nya:
"Siapa bilang dia punya rumah dan menjadi sauya? Ayo
jawab, siapa yang suruh?"
"Dia yang suruh, mengapa kalian tak mau mempercayai
aku?" seru orang tersebut sambil menangis.
"Baik! Kalau memang begitu, coba kau sebutkan, siapakah
nama sauya mu itu?"
Orang tersebut menjadi tertegun setelah mendengar
ucapan mana, dia melongo dan tergugup, tak sepatah kata
pun yang sanggup diuta-rakan keluar.
Manusia iblis penghisap darah Pi Ciang hay yang
menyaksikan kejadian tersebut menjadi termanggu sendiri,
pikirannya juga turut berguncang keras.
"Plaaakk!" sekali lagi Siau yau kay Wi Kian menghajar
orang itu keras-keras.
"Bukankah dia adalah sauya mu? Mengapa kau tidak
mengenali namanya?" ia membentak, "bajingan keparat anjing
busuk, aku si pengemis tua harus memberi pelajaran lebih
dulu kepadamu"
Seraya berkata, dia tangkap lengan kanan lelaki tersebut,
kemudian ditariknya keras-keras. Jeritan ngeri yang
memilukan hati segera berkumandang memecahkan
keheningan, lengan tangan lelaki itu segera tertarik hingga
patah.
Peluh sebesar kacang kedelai segara jatuh bercucuran
membasahi seluruh wajahnya, dia nampak amat menderita.
Manusia iblis penghisap darah pun sudah menyadari akan
ketidakberesan persoalan tersebut, dia pasti tahu ada orang
yang sedang bermain gila dengannya.
Maka dengan amarah yang memuncak, dihampirinya orang
itu, lalu bentaknya keras:
"Siapakah kau? Apa hubunganmu dengan si Ular berekor
nyaring Bian Pun Ci?"
Sambil menggigit bibir menahan rasa sakit lelaki itu
bungkam seribu bahasa.
Manusia iblis penghisap darah Pi Ciang hay segera
menggetarkan tangannya, orang itu menjerit kesakitan lagi,
suaranya keras bagaikan ayam hendak disembelih, hijau
membesi, hampir saja dia akan jatuh tak sadarkan diri.
“ Ayo bicara!" bentak Manusia iblis penghisap darah lagi
dengan sorot mata memancar kan suatu sinar kebuasan,
"akan lohu lihat, kau bersedia menjawab atau tidak?"
Sambil berkata, dia bersiap sedia membetot tubuhnya lagi.
"Jangan, jangan...! Aku akan menjawab, aku akan
menjawab! Dia adalah majikan hamba! seru lelaki itu
ketakutan.
"Sekarang dia berada di mana?"
"Dia berada bersama-sama dengan si Mayat hidup Ciu Jit
hwee locianpwee!"
Nama "si Mayat hidup" tersebut segera di terima oleh
Manusia Iblis penghisap darah bagaikan tiga bilah pisau belati
yang menancap di ulu hatinya, dia segera meraung gusar:
"Rupanya orang itu adalah ahli waris bajingan tua tersebut,
anjing keparat! Kau tak bisa diampuni!"
Telapak tangannya segera diayun ke depan.
"Blaamm!" tak sempat menjerit kesakitan lagi, lelaki kasar
itu mampus dengan batok kepala hancur dan benaknya
tercecer di mana-mana, karena dari itu tentu saja selembar
jiwanya melayang keakhirat untuk melapor diri kepada raja
akhirat.
Manusia iblis penghisap darah benar-benar merupakan iblis
yang membunuh orang tanpa berkedip, selesai menghabisi
nyawa lelaki tersebut, dengan sikap seakan-akan tak pernah
terjadi suatu apapun, ia berpaling kepada Suma Thian yu
seraya berkata:
"Bocah, hampir saja kau menjadi setan penasaran...!"
Suma Thian yu merasa sangat tidak puas dengan
perkataan itu, dihati kecilnya dia men damprat:
"Omong kosong, kau bedebah tua kelewat sombong,
memangnya kau anggap sauya takut kepadamu?"
Sekalipun dalam hatinya berpikir demikian, tentu saja
perkataan tersebut tidak sampai di utarakan keluar, maka
diapun hanya membungkam dalam seribu bahasa.
Menyaksikan duduknya persoalan sudah jelas, Siau yau kay
Wi kian tahu kalau berada disitu kelewat lama, sama sekali tak
ada manfaatnya, maka sambil menarik tangan Suma Thian yu,
serunya:
"Ayo berangkat, mau apa lagi mengendon disini?
Memangnya menunggu digebuk?" Selesai berkata, dia lantas
berpamitan dengan Manusia iblis penghisap darah, kemudian
sambil menarik tangan Suma Thian yu ber lu dari situ...
Ternyata Manusia iblis penghisap darah sama sekali tidak
menghalangi kepergian mereka, gembong iblis ini memang
berwatak sangat aneh, asal orang lain takut kepadanya, hal ini
sudah cukup, tapi jangan sekali-kali mencoba untuk
mengancamnya, diapun tidak akan sembarangan mengusik
orang lain.
Disiniiah letak kebaikan atau kelebihannya, sepanjang
hidup dia selalu tergila-gila oleh ilmu silat, berusaha untuk
melatih diri dengan sebaik- baiknya, tentu saja sasaran yang
diincar kursi pemimpin dunia persilatan.
Walaupun ambisinya itu mendekati kekejaman, namaun hal
inipun mengurangi napsunya untuk membunuh orang.
Berbeda dengan si mayat hidup Ciu Jit hwee, dia
mengandalkan ilmu silatnya untuk menekan orang, menerima
murid secara besar-besaran dan mencari komplotan untuk
memperluas pengaruhnya, walaupun tujuannya tak berbeda
dengan Manusia iblis penghisap darah, tapi cara yang
digunakan justru berbeda.
Siau yau kay Wi kian cukup memahami wataknya ini, dia
segera menarik tangan Suma thian yu sambil berkata:
"Mahkluk tua itu tak boleh diusik, bila kau berjumpa lagi
dengannya dikemudian hari,kalau bertemu berusahalah cepat-
cepat pergi, kalau tidak, sepuluh orang macam kau pun akan
habis juga ditangannya"
Suma thian yu menjadi curiga sekali, dengan cepat dia
bertanya:
"Memangnya dia mempunyai tiga kepala enam lengan?
Murid kesayangannya pun tak lebih hanya begitu saja,
memangnya dia memiliki kemampuan seberapa hebatnya?"
"Bocah,kau tahu apa?" damprat Siau yau kay, "kau anggap
Pi Ciang hay hanya berbernama kosong belaka? Suhumu Put
Gho cu pun paling-paling hanya bisa bertarung seimbang
dengan-nya, itupun terjadi pada lima puluh tahun berselang,
apalagi aku si pengemis tua..."
"Tapi dia nampaknya tidak memiliki sesuatu yang melebihi
orang biasa, masa kepandaian silatnya amat dahsyat?"
Siau yau kay Wi Kian segera tertawa terbahak-bahak.
"Haaah...haahh... haaah... mau percaya atau tidak terserah
padamu, tapi kalau perangaimu tidak di rubah, dikemudian
hari masih banyak penderitaan yang kau alami. Anak muda
memang begitulah, wataknyn tak takut langit tak takut bumi,
tapi kau harus ingat, setinggi-tingginya gunung, masih ada
yang lebih tinggi lagi, sehebatnya manusia masih ada yang
masih ada yang lebih hebat lagi, dunia begini luas, dunia
persilatan begitu lebar, orang pintar berada dimana-mana, bila
kau hendak menilai orang dari tampang wajahnya, sudah jelas
perbuatan itu keliru besar. Kau harus perhatikan, bukan
manusia yang bertubuh kasar saja yang hebat, seringkali
hebat juga mereka yang bertampang aneh dan dan sama
sekali tak sedap dipandang"
Ucapan tersebut benar-benar merupakan suatu pelajaran
yang amat berharga dan bernila tinggi, dengan seksama dan
penuh ketekunan dia menerima pelajaran mana, wajahnya
nampak terharu sekali.
Ketika ia mencoba untuk mengingat kembali semua tokoh
aneh yang pernah dijumpainya, memang tak salah lagi, apa
yang diucapkan memang benar, seperti misalnya Wi san siang
gi, Sin sian siancu dan Siau yau kay sekalian, semuanya
bertampang jelek dan tak sedap dalam pandangan, tapi
mereka semua justru merupakan jago-jago kenamaan dalam
dunia persilatan.
Ketika mereka berdua tiba dibawah bukit Ngo tay san,
kabut kegelapan telah menyelimuti seluruh jagad.
Tiba-tiba Siau yau kay Wi Kian berkata:
"Bukit ini tidak baik dilewati, ada baiknya kita mengambil
jalan berputar saja"
"Mengapa? tanya Suma Thian yu terperanjat"
"Aaaahh, kau ini selalu pingin bertanya, masa aku si
pengemis tua akan mempermainkan dirimu?"
"Oooh, tidak, tidak, boanpwe hanya bertanya karena rasa
ingin tahu saja"
"Baiklah, kalau memang begitu ambillah keputusan sendiri!"
Selesai berkata dia membalikkan badannya sambil
melayang ke tengah udara, menanti Suma Thian yu sadar
kembali, bayangan tubuh si pengemis tersebut sudah lenyap
tak berbekas"
Suma Thian yu memang seorang pemuda yang keras
kepala, melihat Siau yau kay sudah berlalu, dia pun berpikir.
"Walaupun orang bilang Ngo tay san penuh dengan
binatang buas, engapa aku harus takut dengan binatang
binatang tersebut?"
Karena berpendapat demikian, dia pun melanjutkan
perjalanannya memasuki hutan yang lebat tersebut.
Waktu itu hari sudah gelap, angin berhembus lewat
membawa suara pekikan binatang buas.
Daun dan ranting bergoyang kian kemari menimbulkan
suara gemerisik, batuan cadas yang berserakan dimana-mana
seakan-akan berubah menjadi setan yang sedang
mementangkan cakarnya.
Dalam keadaan begini, walaupun dihari-hari biasa dia
bernyali besar, sekarang toh merasa bergidik juga.
Suasana disekeliiing tempat itu gelap gulita, malam yang
pekat telah menyelimuti seluruh jagad.
Tiba-tiba muncul setitik cahaya lirih dari balik celah-celah
ranting dan daun.
Walaupun hanya setitik cahaya saja, namun Suma Thian yu
seakan-akan menemukan harta karun, gembiranya bukan
main, dengan cepat dia melesat menuju ke arah mana
berasalnya cahaya tersebut.
Setelah menembusi hutan belukar, di depan sena muncul
sebuah api unggun, tapi Suma Thian yu tidak berani maju
mendekat ketempat itu, dengan cekatan dia melompat keatas
pohonu dan menengok ke arah api unggun tadi. Dengan cepat
dia menyaksikan disisi api unggun duduk seorang pemuda....
Binatang buas takut dengan cahaya api, rupanya pemuda
itu menggunakan kobaran api untuk mengusir binatang buas,
diam-diam Suma Thian yu mengagumi akan kecerdasan nya.
Tempat di mana Suma thian yu menyembunyikan diri
sekarang persis dibelakang punggung pemuda itu.
Begitu mendekati pemuda disisi api unggun tadi, Suma
thian yu semakin berhati-hati lagi dalam tindak tanduknya.
Dalam keheningan yang mencekam seluruh jagad itulah,
tiba-tiba terdengar pemuda itu seperti bergumam seorang diri.
"Setelah sampai disini, mengapa sang tamu tidak turun
untuk berbincang-bincang dan mengusir keheningan?"
Suma Thian yu amat terperanjat, pekiknya dihati.
"Sempurna amat tenaga dalam yang dimiliki orang ini,
tampaknya pemuda ini memiliki kepandaian silat yang sangat
lihay"
Berpikir sampai disitu, dia lantas melayang turun dari atas
pohon, begitu mencapai tanah segera ujarnya kepada pemuda
tersebut sembari menjura.
"Permisi saudrara, aku sedang tersesat jalan sehingga
mengganggu ketenangan saudara, untuk itu harap kau sudi
memaafkan"
Sambil berkata, dia memperhatikan pemuda itu sekejap,
tampak anak muda tersebut mempunyai wajah yang tampan
dengan bibir merah dan gigi putih bersih, matanya jeli, alis
mutanya lentik usianya dua puluhan dan memakai baju model
sastrawan, dandanan itu mudah menimbulkan kesan baik bagi
siapapun.
Pemuda itu memejamkan matanya rapat-rapat kendatipun
Suma Thian yu telah berada dihadapannya, dia pun tidak
membuka mata nya, hanya ujarnya hambar:
"Silahkan duduk, bila pelayananku ditengah gunung kurang
baik, harap kau sudi memaafkan"
"Aaaah, mana, mana. Boleh aku tahu siapa nama saudara?"
“ Aku bernama Chin Siau dan saudara?"
Sewaktu berbicara ia masih tetap memejamkan mata rapat-
rapat, hal ini membuat Suma Thian yu segera berpikir:
"Jangan jangan dia buta?" Berpikir demikian, buru-buru dia
menjawab.
"Aku she Suma bernama Thian yu, harap saudaraka sudi
memberi banyak petunjuk"
Ketika mendengar nama "Suma Thian yu", mendadak
pemuda sastrawan itu membuka matanya lebar-lebar dan
memperhatikan Suma Thian yu sekejap, kemudian sahutnya
dingin:
"Oooh, rupanya Suma siauhiap, sudah lama kudengar
nama besarmu...."
"Aaah, saudara kelewat sungkan, dimanakah rumah
saudara?"
"Aku tak punya rumah, empat samudra adalah rumahku"
jawaban dari Chin Siau ini dingin sekali dan kaku.
"Ooohh, begitu pula denganku"
Suma thian yu merasakan pula hatinya amat sedih, dia
merasa timbulnya suatu perasaan "senasib sependeritaan"
dengan pemuda ini.
Sejak awal sampai sekarang, sikap maupun paras muka
Chin Siau tetap kaku dan dingin, kecuali sedang berbicara,
pada hakekatnya tiada anggota badan lainnya yang bergerak,
seakan-akan dia mengenakan topeng kulit, sudah pasti orang
ini merupakan manusia berdarah dingin.
Setelah mendengar perkataan dari Suma thian yu itu, paras
muka Chin Siau sama sekali tidak menunjukkan perubahan
apapun, katanya dingin:
"Ooooh, kau pun tiada rumah? Tentunya hatimu merasa
sedih dan murung bukan?"
Pertanyaan yang diucapkan sangat tiba-tiba ini aneh sekali
nadanya, sehingga menimbulkan suatu perasaan yang aneh
pula bagi siapa pun yang mendengar.
"Yaa, aku merasa sedih, murung sehingga pada hakekatnya
tak bergairah untuk hidup" "Perasaan Suma siauhiap persis
seperti apa yang kualami, tolong tanya bencikah kau dengan
musuh yang telah menyebabkan kematian orang tuamu dan
musnahnya keluargamu?"
"Tentu saja dendam kesumat itu lebih dalam dari samudra,
siapa pun akan merasa bencinya sampai menusuk ketulang
sumsum"
Mendadak mencorong sinar tajam dari balik mata Chin
Siau, dengan suara yang dingin, kembali dia bertanya:
"Kalau memang begitu mengapa kau harus membunuh
orang lain dan merasuk kedalam keluarga lain?"
"Aku?" dengan terkejut Suma Thian yu balik bertanya,
"kapan sih aku melakukan perbuatan keji itu?"
Dengan sorot mata setajam sembilu, Chin Siau mengawasi
Suma thian yu lekat-lekat, kemudian tegurnya:
"Coba kau lihat kuburan siapakah itu?"
Mengikuti arah yang ditunjuk Suma Thian yu berpaling,
sebuah gundukkan tanah baru berada dua kaki didepan mata.
Semenjak makan daun Jin Sian kiam lan, sepasang mata
Suma Thian yu bisa dipakai untuk melihat dalam kegelapan,
maka walaupun kuburan tersebut berjarak dua kaki, dia masih
dapat membaca tulisan yang tertera diatas batu nisan
tersebut:
"Disini disemayamkan ayah tercinta Chin Ki kim"
Di bawahnya tertulis:
"Yang berduka cita anak yang tak berbakti, Chin Siau"
Selesai, membaca tulisan itu, dengan pandangan bingung
dan tidak habis mengerti Suma thian yu menengok ke wajah
Chin Siau, kemudian tanyanya agak ragu:
"Kuburan ayahmu?"
Chin Siau berpekik nyaring dengan nada suara yang amat
sedih, mencorong sinar penuh benci dari balik matanya,
dengan gusarnya dia membentak keras:
"Dia kan korban diujung pedangmu, masa kau hendak
menyangkal?"
Mendenger perkataan itu bergetar keras, perasaan Suma
thian yu, buru-buru dia menggoyangkan tangannya berulang
kali, serunya:
"Kau, kau salah paham, aku tak kenal dengan ayahmu Chin
Ki kim, apalagi akupun tidak pernah membunuh orang yang
tidak bersalah!"
Mendadak Chin Siau melompat bangun, lalu diambilnya
sebilah pedang dari tanah, ketika tangannya menarik gagang
pedang tersebut... "Cring!" di iringi suara nyaring dan
pancaran sinar tajam keempat penjuru, pedang itu sudah
tertarik setengah depa dari sarung.
"Pedang bagus!" Suma Thian yu menjerit kaget setelah
menyaksikan senjata tersebut.
Kemudian sambil menggoyangkan tangannya berulang kali,
serunya lagi:
"Tunggu dulu, jangan mencabut pedangmu lebih dulu,
kalau ada urusan lebih baik kita bicarakan secara baik-baik"
"Bagaimana? Kau takut? heeeh, heeeh, malam ini akan ku
suruh engkau rasakan bagaimana hebatnya ilmu pedang Bu
bok kiam hoat (ilmu pedang tanpa mata).
Mendengar nama ilmu pedang Bu bok kiam hoat, terkesima
hati Suma Thian yu, dia menjerit kaget:
"Jadi kau adalah ahli waris dari Bu bok ceng (pendeta tak
bermata)?"
Chin Siau tertawa angkuh.
"Heeeh...heeh...heeeh...benar, tak nyana kena1 juga
dengan Pendeta tak bermata, aku rasa disaat kau sedang
membantai keluarga Chin tempo hari, tentunya tak pernah
menyangka bukan kalau dia masih mempunyai putra yang
berhasil lolos dari musibah tersebut?"
"Chin heng, jangan kelewat kukuh dengan pendirian yang
salah" kata Suma Thian yu dengan wajah serius, kalau ingin
melakukan sesuatu, haruslah pandai membedakan mana yang
benar dan mana yang salah, bila membunuh orang baik-baik,
kau bisa menyesal sepanjang masa"
Berbicara sampai disitu, dia berhenti sejenak, lalu
sambungnya kembali lebih jauh:
"Andaikata aku benar-benar telah melakukan pembunuhan
tersebut, masa aku akan takut menghadapi pembalasan
dendammu?"
"Kalau begitu, cabut pedangmu!" seru Chin Siau sambil
tertawa dingin tiada hentinya.
Dengan cepat Suma Thian yu menggelengkan kepalanya
berulang kali.
"Aku tidak mempunyai ikatan dendam itu atau sakit hati
dengan saudara, mengapa kita mesti bertarung menggunakan
kekerasan? Bila ada persoalan, mari dibicarakan secara baik-
baik, suatu ketika urusan toh akan beres dengan sendirinya"
Chin Siau berkerut kening, mendadak dia mencabut keluar
pedangnya, tampak cahaya tajam berkilauan memenuhi
angkasa, pedang yang berada ditangannya telah menyambar
di udara membiaskan cahaya tajam.
Setelah menghumus pedangnya, dia membentak lagi
dengan suara sedingin salju:
"Toaya akan menghitung sampai tiga, bila kau belum juga
mencabut pedang, jangan salahkan toaya akan membunuh
orang yang tak bersenjata!"
"Satu... dua..."
Dia berhenti sejenak sambil memandang kearah musuhnya,
menyaksikan Suma Thian yu masih tetap berdiri tak bergerak,
dia segera berseru lagi:
"Tiga!"
Begitu selesai berseru, cahaya tajam berkilauan di angkasa,
secepat sambaran kilat dia melepaskan sebuah tusukan ke
tubuh Suma Thian yu. Siapa tahu, pada saat itulah menda dak
terdengar Suma Thian yu tertawa panjang, ujung bajunya
berkibar terhembus angin dan tahu-tahu bayangan tubuhnya
sudah lenyap dari pandangan mata.
Chin Siau menjadi tertegun, cepat dia memandang sekejap
sekeliling arena, tapi tak nampak sesosok bayangan manusia
pun disitu.
Kejadian ini membuat hatinya tertegun, diam-diam dia
lantas berpikir:
"Jangan-jangan dia telah melarikan diri?"
Mendadak dari belakang tubuhnya berkumandang suara
pekikan nyaring, mendengar suara tersebut, Chin Siau menjadi
terkesiap, dengan perasaan bergidik ia membentak gusar:
"Pingin mampus rupanya kau!"
Dengan jurus Huan si cian ciau (membalikkan badan
membabat ular) dia memutar badan sambil melancarkan
bacokan, cahaya kilat segera berkelebat lewat dan membabat
ke arah mana berasalnya suara Suma thian yu.
Untuk kesekian kalinya Suma thian yu mengeluarkan
kembali ilmu langkah Ciok liong loan poh nya untuk
menghindarkan diri.
Tampak sepasang bahunya bergerak, tahu-tahu dia sudah
menyusup kehadapan Chin Siau, bentaknya keras-keras:
"Kau betul-betul keras kepala dan tak bisa di didik, padahal
aku bermaksud baik tapi nyatanya cuma serangan amarah
darimu.... sekalipun kau menyaksikan dengan mata sendiri
pun, tidak seharusnya kau bertindak begitu gegebah!"
Gagal dengan ke dua serangannya, Chin Siau terperanjat
sekali, namun setelah sorot matanya terbentur dengan
kuburan ayahnya yang berada tak jauh dari situ, amarahnya
segera berkobar kembali, sambil berpekik nyaring dia
menerjang maju ke muka.
Pedangnya dengan jurus Lu im si gwat (awan lewat
menutup rembulan) secara beruntun melancarkan tiga buah
tusukan kilat mengancam tiga buah jalan darah penting
ditubuh Suma thian yu.
Tanpa sebab tanpa musabab Suma thian yu harus
menghadapi gangguan seperti ini, kemarahannya kontan
memuncak, mendadak dia berpekik nyaring, pedangnya
dicabut keluar, lalu dengan memainkan tiga jurus pertolongan
dari ilmu pedang Bu beng kiam hoat ajaran Cong liong lo sian
jin, dia melakukan perlindungan diri.
Seketika itu juga tampak cahaya tajam memancar kemana-
mana, bunga pedang mencapai beribu kuntum bagaikan
selembar kabut pedang yang amat besar menghadang lima
depa dihadapannya dan membentuk kabut tebal yang begitu
rapat sehingga tidak tertembusi.
"Traaangg... traaangg...!" tiba-tiba berkumandang suara
benturan nyaring yang memekikkan telinga.
Ketika cahaya tajam lenyap, ke dua orang itu sama-sama
melompat mundur sejauh tiga ltlangkah lebih, kemudian
dengan wajah agak masgul, pekiknya dihati:
"Betul-betul ilmu pedang bagus!"
Usia mereka berdua hampir seimbang, tampangnya juga
sama-sama ganteng, lagipula ilmu pedang yang digunakan
masing-masing memiliki keistimewaan sendiri, kesemuanya ini
membuat Suma Thian yu menaruh perasaan sayang
terhadapnya.
Agaknya Chin Siau mempunyai perasaan yang sama, dari
tingkah laku serta cara Suma Thian berbicara, dia dapat
merasakan kejujuran dan kemuliaan hati orang.
Akhirnya dengan perasaan ragu ia menegur:
"Kau benar-benar tidak melakukan perbuatan tersebut?"
"Tentu saja, apakah kau anggap aku adalah seorang
manusia yang gemar membunuh? Suma thian yu balik
bertanya.
"Tahu orangnya tahu wajahnya belum tentu tahu hatinya,
siapa tahu kalau kau memang seorang manusia buas yang
gemar memubunuh manusia!"
Suma Thian yu manggut-manggut.
"Yaa, masuk diakal, memang masuk diakal, aku tidak
berharap kau bisa memahami perasaanku, tapi paling tidak
harus memahami dulu hal ikhwal dari persoalan ini, bila kau
percaya denganku, harap kau membeberkan semua peristiwa
tersebut kepadaku"
Dengan sorot mata tajam, Chin Siau mengwasi Suma Thian
yu beberapa saat lamanya, kemudian berkata dengan suara
dingin:
"Duduk! Sewaktu aku berbicara nanti, kau tak usah
nimbrung!"
Pelan-pelan pemuda itu duduk bersila, lalu menuturkan
riwayat hidupnya.
Sejak berusia sembilan tahun Chin Siau sudah
meninggalkan rumah, dia dibawa pergi oleh seorang pendeta
agung dari dunia persilatan yakni Bu bok ceng.
Sejak meninggalkan rumah, sepuluh tahun sudah lewat
tanpa terasa.
Ramahnya terletak didusun Pek siang cun, hanya tiga li dari
bukit Ngo tay san.
Baru dua hari berselang dia pulang Kerumah, ketika sampai
di depan pintu rumahnya, segala sesuatu yang berada disana
telah berubah.
Gedung yang semula megah ketika dia meninggalkan
rumah dulu, kini telah berubah jadi setumpukan puing-puing
yang berserakan, mayat bergelimpangan dimana-mana,
keadaan itu mengenaskan sekali.
Waktu itu Chin Siau sempat muntah darah dan jatuh tak
sadarkan diri, setelah sadar kembali baru dia mengubur
keluarganya lalu dengan mengikuti pesan dari ayahnya dulu,
dia mengubur jenazah ayahnya dibukit Ngo say san.
Sebetulrya dia bermaksud untuk berjaga disisi kuburan
ayahnva selama tiga hari, malam ini merupakan malam yang
pertama, tak tahunya dia telah berjumpa dengan Suma Thian
yu.
Ketika diketahui kalau pemuda yang muncul bernama
"Suma Thian yu", hatinya menjadi tercekat, dia lantas teringat
kembali dengan pesan ayahnya sebelum ayahnya mati....
Suma Thian yu merasa amat terharu sesudah mendengar
penuturan tersebut, dengan wajah serius tanyanya kemudian:
"Jadi saudara Chin bersikeras menuduh kalau peristiwa
berdarah yang terjadi saat itu merupakan hasil karyaku?"
Di sisi jenasah ayahku tertinggal kata peringatanmu, itulah
sebabnya aku tahu kalau kau yang melakukan kesemuanya
ini" sahut Chin Siau dengan air mata membasahi wajahnya.
"Aaah, masa ada kejadian seperti ini?" Suma Thian yu
menjerit kaget dengan wajah tercengang, sudah jelas
perbuatan
ini merupakan perbuatan busuk orang yang sengaja
menfitnah orang lain...."
"Yaa, bisa jadi demikian"
"Aku dengan ayahmu tak pernah saling mengenal, dulu
tiada dendam, belakangan inipun tiada sakit hati, lagipula hari
ini baru sampai ditempat ini, bagaimana mungkinperistiwa
yang terjadi beberapa hari berselang ada sangkut pautnya
dengan diriku?"
"Inikan menurut perkataanmu tanpa saksi, bagaimana
mungkin aku dapat mempercayainya dengan begitu saja?"
"Hingga sekarang, apakah saudara Chin masih mencurigai
diriku?"
"Lebih baik percaya daripada sama sekali tidak!"
Sikap dari Chin Siau ini sungguh membuat hati orang jadi
sedih, tapi kalau keluarganya yang terbunuh, kesedihan yang
mencekam perasaan hatinya betul-betul tak akan tertahan
oleh siapa saja.
Dengan kening berkerut, Suma thian yu menghela napas
panjang, katanya kemudian:
"Kalau memang saudara Chin berpendapat demikian,
akupun tak akan membantah, silahkan saja kau turun tangan
apabila ingin membalas dendam bagi kematian orang tuamu"
Chin Siau tertawa tergelak.
"Haaah...haaahh...haah...siapa yang berani menghalangi
niatku untuk membalas dendam? Bila masa berkabungku
selama tiga hari sudah lewat, aku bisa menyelidiki peristiwa ini
sampai tuntas, apabila kaulah pembunuhnya, hmm! Aku akan
menyuruh kau merasakan siksaan yang terkeji didunia ini"
"Setiap saat kunantikin petunjukmu" kata Suma Thian yu
cepat.
Kemudian setelah menyarungkan kembali pe dangnya dan
menjura, dia berkata lebih jauh:
"Berhubung aku masih ada urusan, maaf kalau harus minta
diri dulu, sekembaliku dari Tibet nanti, pasti akan kulewati lagi
tempat ini dan sampai waktunya aku akan menuruti saja
keinginanmu"
"Bagus sekali, sampai waktunya akan kutunggu
kedatanganmu di tempat ini"
Suma thian yu tidak memperdulikan lawannya lagi, dia
membalikkan badan dan segera berlalu dari situ.
Sepeninggal Suma Thian yu, Chin Siau merasa hatina serba
salah, jalan pemikirannya saling bertentangan, bagaimana pun
juga dia tetap nmenaruh curiga, sebab dilihat dari penampilan
Suma Thian yu, sudah jelas dia tidak mirip dengan seorang
gembong iblis yang membunuh orang tanpa berkedip....
Tapi diapun merasa kalau Suma thian yu merupakan orang
yang paling dicurigai, sebab seandainya tiada suatu urusan,
bagaimana mungkin dia akan melewati tempat itu? Dengan
pikiran kacau dia duduk terpekur disisi api unggun sambil
memejamkan matanya rapat-rapat.
Mendadak....
Dari belakang tubuhnya berkumandang suara gemersak
yang keras seolah-olah ada ular yang sedang menggeser
mendekat.
Sebagai seorang jago yang berilmu tinggi, Chin Siau sama
sekali tidak dibikin ketakutan, tubuhnya sama sekali tidak
bergerak. Konon pendeta tak bermata adalah seorang pendeta
yang berasal dari negeri asing, ilmu pedang yang dipelajarinya
bukan Kung fu dari daratan Tionggoan, melainkan dari negeri
Hu siang (kini Jepang).
Seperti namanya si Pendeta tak bermata adalah seorang
pendeta buta, namun ilmu silat nya sangat lihay, terutama
sekali permainan ilmu pedang butanya, hakekatnya menjagoi
se luruh dunia persilatan.
Berhubung dia memang berbakat lagipula amat cerdik,
setibanya didaratan Tionggoan dia segera mempelajari ilmu
pedang dari pelbagai aliran yang ada didaratan Tionggoan,
kemudian meleburnya menjadi satu dan digabungkan dengan
ilmu pedang asalnya.
Dengan kepandaian seperti ini, tak heran kalau kemajuan
yang berhasil dicapainya amat pesat.
Umat persilatan hanya mengetahui kalau di daratan
Tionggoan telah muncul seorang jago pedang bernama
Pendeta tak bermata, cara kerjanya jujur, bijaksana dan selalu
membantu kaum lemah, oleh sebabitu banyak jago
menyebutnya sebagai Pendeta berjiwa pendekar.
Namun orang yang mengetahui asal usulnya yang
sebenarnya boleh dibilang sedikit sekali. Selama hidup,
Pendeta tak bermata hanya menerima seorang murid saja,
yakni Chin Siau.
Semenjak berumur sembilan tahun, Chin Siau sudah ikut
belajar ilmu silat, sepuluh tahun lamanya dia mendalami
kepandaian gurunya, kini boleh dibilang ia telah berhasil
menguasai delapan sembilan bagian dari kepandaian gurunya.
Dengan kepandaiannya itu, dia berhasil menempatkan
dirinya sebagai seorang jago pilihsn diantara angkatan muda.
itulah sebabnya dia merasa amat terperanjat setelah
melangsungkan pertarungan sengit melawan Suma thian yu,
pemuda itu merupakan satu-satunya musuh tangguh yang
pernah dijumpainya sejak dia turun gunung.
Dalam pada itu, suara gemercik yang datang dari arah
belakang terdengar makin bertambah nyaring, bahkan makin
lama suaranya semakin mendekati dirinya.
Chin Siau memperhatikan suara itu dengan seksama,
setelah menentukan arahnya dengan tepat, mendadak ia
membentak keras, cahaya kilat berkelebat lewat, Chin Siau
telah mengayunkan pedangnya melepaskan bacokan maut
kearah mana berasalnya suara tersebut.
Jerit kesakitan berkumandang memecahkan keheningan.
Ternyata bukan ular besar yang sedang ber jalan
mendekati, melainkan seorang manusia.
Dengan cepat Chin Siau membalikkan badan nya, kurang
lebih empat kaki di belakang tubuhnya tergeletak sesosok
tubuh manusia, dia adalah seorang lelaki setengah umur yang
se pasang kakinya sudah putus, darah bercucuran keras, dan
tubuhnya bergulingan ke sana kemari menahan rasa sakit.
Chin Siau menjadi tertegun setelah menyaksikan kejadian
tersebut, dia menira ada seekor ular besar yang sedang
mendekatinya, ternyata suara tersebut berasal dari langkah
kaki seorang penyamun.
Pelan-pelan dia bangkit berdiri dan berjalan mendekati
orang tersebut, kemudian sambil menatap lelaki bergolok yang
sedang berguling-guling diatas tanah kesakitan, bentak nya
penuh amarah:
"Siapah kau? Mengapa menyusup kebelakang tubuh sauya?
Rupanya kau ingin mencelakai sauya?"
Dengan sepasang kaki terpapas kutung, lelaki itu hanya
mengerang kesakitan sambil berguling kian kemari, dalam
keadaan begini, tentu saja dia tak mampu menjawab
pertanyaan tersebut.
Menyaksikan kejadian itu, dari sakunya Chin Siau
mengekuarkan sebuah bungkusan obat dan ditaburkan
disekitar mulut luka pada kakilelaki yang terpapas kutung itu.
Obat itu sungguh amat mujarab, tak selang beberapa saat
kemudian darah telah berhenti mengalir dan rasa sakitpun
jauh berkurang. Melihat musuhnya sudah dapat berbicara,
Chin Siau baru mengajukan pertanyaannya lagi:
"Siapa yangg menitahkan kau untuk mencelakai sauya?"
"Maaf, aku telah salah mengincar orang" sahut lelaki itu
sambil menatap muka lawannya.
"Salah mengincar orang?" Chin Siau bertanya dengan
wajah tercengang.
"Benar! Toaya mengira kau adalah bocah keparat she
Suma"
"Oooh..." Chin Siau semakin tertegun, "mengapa kau
hendak membunuh Suma Thian yu?"
"Aku bersumpah hendak membunuh anjing keparat
tersebut, bagaimanapun juga, sebelum aku berhasil
mencingcang tubuhnya sehingga hancur berkeping-keping
belum puas rasanya hatiku untuk melampiaskan rasa dendam
sakit hatiku"
Mendengar ucapan tersebut, Chin Siau segerara merasakan
hatinya bergetar keras, api amarah yang semula sudah hampir
padam kini berkobar kembali, buru-buru dia bertanya:
"Beritahu kepadaku, perbuatan jahat apakah yang telah
dilakukan olehnya?"
Menyaksikan mimik wajah Chin Siau tersebut, diam-diam
lelaki kekar itu tertawa seram, buru-buru sahutnya:
"Keparat itu memperkosa istriku, membunuh seluruh
anggota keluargaku... "
Jilid : 22
BELUM HABIS DIA berkata, tiba-tiba Chin Siau telah
membentak dengan penuh kegusaran:
"Apa? Sungguhkah perkataanmu itu?"
"Sungguh, buat apa aku mesti membohongi mu?" jawab
lelaki tersebut sambil berlagak amat sedih.
Hawa amarah segera membara didalam dada Chin Siau,
kontan saja dia menyumpah:
"Oooh Thian, aku Chin Siau telah tertipu" Orang she Suma,
bila aku tidak berhasil mencincang tubuh mu sehingga hancur
berkeping-keping, aku bersumpah tak akan hidup sebagai
manusia!"
Mendadak perkataanya itu terhenti oleh isak tangis yang
menyedihkan dari lelaki tersebut.
Dengan perasaan tercengang Chin Siau segera bertanya:
"Hei, mengapa kau menangis?"
Dengan air mata bercucuran lelaki itu mengeluh:
"Oooh... sepasang kakiku... aku tak dapat membalas
dendam lagi....uuuh.... uuhhh.... uuuhhh...."
Sembari berkata, kembali dia menangis tersedu-sedu.
Chin Siau menjadi ikut bersedih hati setelah menyaksikan
kejadian itu, hatinya menjadi sakit seperti diiris-iris dengan
pisau tajam, dengan cepat dia cengkeram bahu lelaki itu,
kemudian berseru dengan suara yg terharu:
“ Toako, maafkanlah aku, semuanya ini memang aku yang
salah sehingga melukaimu, tapi kau tak usah kuatir, aku Chin
Siau bertekad akan memenggal batok kepala bocah keparat
itu untuk menebus dosa-dosaku ini...."
Mendengar janji tersebut, buru-buru lelaki itu tertawa
gembira, serunya cepat:
"Oooh, sungguh? Aku benar-benar berterima kasih sekali
kepada mu..."
Kembali Chin Siau menghibur lelaki tersebut dengan kata-
kata yang halus, kemudian dengan mengurungkan niatnya
untuk menunggui kuburan selama tiga hari, dengan membawa
pedangnya dan menjuru kepada lelaki tersebut, dia segera
melakukan pengejaran kearah mana perginya Suma Thian yu
tadi.
Lelaki tersebut memandang bayangan punggung Chin Siau
sehingga lenyap tak berbekas kemudian baru tertawa
terbahak-bahak.
"Haahh... haaahh... haaah... bocah keparat she Suma, kali
ini mampus kau"
Mendadak dari belakang tubuhnya berkumandang suara
tertawa merdu seseorang, disusul seseorang berkata:
"Kho Gi, bagus sekali perbuatanmu, sekembalinya ke
markas nanti aku harus baik-baik memberi hadiah kepadamu,
sepasang kakimu juga berusaha disembuhkan kembali"
Ternyata lelaki itu bernama Kho Gi, segera berpaling,
tampak seorang perempuan muda cantik yang kehilangan
sebuah telinga serta berambut pendek karena terpapas
pedang telah berdiri dibelakang tubuhnya...!
"Terima kasih banyak hujin" buru-buru Kho Gi berseru,
"sekalipun sepasang kaki Kho Gi kutung, hal ini tak perlu
dipikirkan, asal selanjutnya hujin bersedia mengangkat diriku
keatas, selama bidup Kho Gi sudah berterima kasih sekali
kepadamu"
Sesungguhnya perempuan muda yang berparas cantik itu
bukan orang lain, dia adalah perempuan berhati keji bagaikan
ular berbisa Siau hu yong (hu yong tertawa) Chin Lan eng.
Tampak Chin Lan eng kegirangan setengah mati, sambil
tertawa terbahak-bahak dia berseru:
"Haah...haah...haah dengan demikian, nyonya besar akan
duduk menonton harimau berkelahi, menyaksikan mereka
saling gontok-gontokan sendiri
haaah...haaah...haaah...haaaah...."
Rupanya semenjak rambutnya dipapas dan telinganya
dikutungi oleh Suma thian yu, Siau Hu yong Chin lan eng
membenci pemuda itu sehingga merasuk ketulang sum-sum,
selama ini dia selalu mengawasi gerak-gerik Suma thian yu
secara diam-diam.
Pertarungan di telaga Tong ting, jebakan dari bukit Kun sau
sebagian besar adalah hasil rencana busuk dari Siau hu yong
Chi lan eng.
Menyusul kemudian ketika mereka saksikan Suma Thian yu
meninggalkan bukit Kun san, Siau hu yong dan si Ular berekor
nyaring Biau Pun ci segera menyusun rencana busuk lain-nya
untuk menghajar Suma Thian yu habis-habisan.
Mereka sengaja mengirim surat kepada Siau yau kay Wi
Kian serta Manusia iblis penghisap darah dengan harapan ke
dua orang tokoh persilatan itu bisa membunuh pemuda
tersebut, namun usaha mereka mengalami kegagalan total.
Akhirnya timbul rencana mereka untuk mempergunakan
siasat menyiksa diri, tentu saja pembicaraan antara Suma
thian yu dengan Chin Siau berhasil disadap pula oleh Siau hu
yong sehingga dia lantas memerintahkan Kho gi untuk
melakukan serangan terhadap Chin Siau.
Kasihan Kho gi, dia tak lebih hanya merupakan seorang
korban demi ambisi orang lain.
Sebagai pemuda yang kurang pengalaman dan gampang
percaya dengan perkataan orang lain, Chin Siau tak berpikir
panjang lagi setelah mendengar perkataan tersebut, dia
segera berangkat mencari Suma thian yu untuk dibunuhnya.
Dalam pada itu, Kho gi sedang merasa gembira sekali
setelah mendengar pujian dari Chin lan eng, dia seolah-olah
lupa kalau sepasang kakinya telah terpapas kutung dan
menjadi cacad untuk selamanya.
"Hujin, kita tak usah mengejar bocah keparat itu lagi?"
serunya kemudian.
"Toh sudah ada si tolol itu! Memangnya bocah keparat itu
bisa terbang kelangit?"
Baru selesai Siau Hu yong Chin lan eng berkata, mendadak
seseorang membentak penuh kegusaran:
"Perempuan rendah, harimau lebih keji daripada ular
berbisa, kau perempuan laknat, perempuan rendah berhati
busuk!"
berbarengn dengan seruan tersebut, tampak bayangan
manusia meluncur datang ketengah arena dengan kecepatan
bagaikan sambaran petir.
Paras muka Siau Hu yong Chin lan eng berubah hebat
setelah mngetahui siapa yang datang, tiba-tiba teriaknya
tertahan:
"Aaah.....kau"
Orang itu berusia enam puluh tahunan dan berjubah
panjang warna biru, ia berjenggot hitam dan berwajah gagah,
dalam sekilas pandangan saja dapat dikenali kalau dia adalah
pemilik rumah makan Kun eng lo yang disebut orang Tay Hoa
kitsu (pertapa dari Tay hoa) Chin leng hui adanya.
Begitu tampil ditengah lapangan, Chin leng hui segera
menuding Siau Hu yong sambil mengumpat:
"Perempuan rendah, dalam keluarga Chin bisa tumbuh
tumor ganas macam kau, kejadian tersebut sungguh
merupakan aib bagi leluhur kita, ayo cepat berlutut dan minta
ampun!"
Siau hu yong Chin Lan eng mendengus dingin, katanya
dengan nada sombong:
"Hmmm, hubungan kekeluargaan diantara kita telah putus,
kau tidak berhak untuk mencampuri urusanku lagi, lebih baik
jangan berkaok-kaok lagi disini!"
Chin Leng hui tertawa seram saking gusarnya, tiba-tiba ia
merasa napasnya menjadi sesak, dadanya sakit sekali,
tampaknya darah yang mengalir telah tersumbat.
Tak ampun dia muntah darah segar, kemudian agak
sempoyongan dia mundur sejauh beberapa langkah.
Timbul perasaan iba dalam hati kecil Siau Hu yong Chin lan
eng setelah menyaksikan keadaan itu, ditariknya tangan Kho
gi sembari berkata:
"Mari kita pergi saja! Jangan menggubris orang gila ini
lagi!"
Sepasang kaki Kho gi telah kutung, dia tak mampu
bergerak sendiri, maka Siau Hu yong Chin lan eng segera
menghampirinya dan pelan-pelan berlalu dari situ.
Anak yang berani dengan orang tuanya merupakan suatu
kejadian yang tragis, apalagi bagi orang tua yang
mengalaminya bisa di bayangkan betapa hancurnya perasaan
Tay hoa kitsu menyaksikan ulah putrinya.
Melihat perempuan itu beranjak pergi, segera bentaknya
dengan amat gusar:
"Berhenti, jangan meninggalkan tempat ini!" Siau hu yong
Chin lan eng berhenti, kemudian sambil berpaling tegurnya
dingin:
"Mau apa kau? Tak usah berlagak pilon lagi, maksudku toh
sudah cukup kau pahami"
"Lohu mengerti, kau memang binatang yang berhati buas,
aku menghendaki nyawamu!" seru Tay hoa kitsu Chin Leng
hui sambil tertawa mengenaskan.
Sewaktu mengucapkan perkataan itu, air mata bercucuran
membasahi wajah Chin leng hui, betapa hancurnya orang itu
melihat ulah putrinya.
Chin Leng eng bermaksud untuk membantah ucapan mana,
namun secara tiba-tiba ia mendengar bergemanya suara lirih
dari balik kegelapan, niat tersebut segera diurungkan, katanya
kemudian dingin:
"Tak ada manfaatnya banyak berbicara dengan kau, sampai
jumpa lain kesempatan!"
Dia segera mengempit tubuh kho gi dan segera terbang
berlalu dari situ, dalam waktu singkat bayangan tubuhnya
telah lenyap dari pandangan mata.
Tay hoa kitsu Chin leng hui meraung gusar, ia menjejakkan
kakinya ke atas tanah lalu melejit ke udara, dia berniat untuk
menyusul di belakang tubuh Chin Lan eng.
Mendadak bayangan manusia berkelebat lewat, seorang
pengemis tua tahu-tahu sudah berdiri menghadang
dihadapannya.
Dalam sekilas pandangan saja, Chin Leng hui segera
mengenali orang itu sebagai Siau yau kay Wi kian, amarahnya
langsung saja ber kobar, tanpa banyak berbicara segera
hardiknya:
"Hei, mengapa kau menghadang jalan pergi ku?"
Siau yau kay tertawa terbahak-bahak, dia berkelit ke
samping sambil ujarnya:
"Oooh kalau begitu salah! Silahkan kau meneruskan
pengejaran mu, aku si pengemis tua pasti tak akan
menghalangi niatmu ini"
Tay hoa Kitsu Chin Leng hui sama sekali tidak menggubris
Siau yau kay, dia benar-benar bermaksud untuk meneruskan
pengejaran terhadap Siau hu yong.
Melihat hal ini, Siau yau kay Wi Kian segera tertawa
terbahak-bahak.
"Haaahh... haaah... haaahh... bila kau sudah bosan hidup,
lebih baik menggorok leher sendiri saja dengan pedangmu tak
usah membuat malu didepan orang lain"
Tay hoa Kitsu Chin Leng hui tertegun, lalu dia merasa
sangat tidak puas dengan sindiran dari Siau yau kay tersebut
tegurnya ketus:
"Apa maksudmu berkat demikian?"
Siau yau kay Wi kian menggelengkan kepalanya berulang
kali lalu menghela napas panjang.
"Mepersembahkan tubuh yang berguna untuk santapan
harimau dan srigala, apakah tindakan semacam itu benar?
Chin lote, kau jangan mengira putri kesayanganmu itu tak
mampu melakukan perbuatan semacam itu, lebih-lebih jangan
kau anggap karena mempunyai hubungan darah dengan mu
maka dia akan berbelas kasihan kepadamu! Dia sedang
mempersiapkan jebagan agar kau masuk perangkap, bila kau
ingin mengorbankan dirimu, pergi sajalah kesana!"
Tay hoa kitsu sadar kembali dari impian setelah mendengar
perkataan itu, semakin dipikir dia merasa semakin
mendongkol, makin mendongkol hatinya pun makin
mendendam, buru-buru tanyanya:
"Memangnya kau suruh aku membiarkan dia berfoya-foya
dan bersenang-senang terus sekehendak hati sendiri?"
"Ya, kecuali begini memang tiada cara lain, bila kau ingin
memberi pelajaran kepadanya, lebih baik nantikan saja hingga
kedatangan Suma siauhiap dari Tibet!"
"Mengapa?"
"Rahasia langit tak boleh dibocorkan, bila saatnya telah
datang segala sesuatunya akan terwujud sendiri"
"Bagaimana sekarang? Apa yang kulakukan?"
Kasihan si pendekar dari Bu tong pay ini, saking dibuat
pusingnya oleh ulah putrinya, sampai-sampai dia sendiripun
tak tahu apa yang barus diperbuat.
Siay yau kay tertawa terbahak-bahak.
"Hah... hah... hah... kembali saja ke bukit Tay hoa san, bila
saatnya membutuhkan tenagamu telah tiba, aku pasti akan
mengundang mu untuk turun gunung"
"Tapi...."
"Apakah kau belum puas? Atau ada sesuatu yang belum
selesai kau laksanakan?" tukas Siau yau kay Wi Kian cepat.
"Tidak! Aku cuma menguatirkan keselamatan Suma
siauhiap, aku kuatir dia akan menjumpai banyak kesulitan!"
Kembali Siau yau kay Wi kian tertawa panjang setelah
mendengar perkataan itu.
"Haaah... haaaah... haaaah orang budiman akan selalu
dilindungi Thian, soal ini tak perlu kau kuatirkan!"
Tay hoa kitsu Chin leng hui tidak bicara apa-apa lagi, dia
mengikuti saran dari Siau yau kay dan bebar-benar kembali ke
Tay hoa san untuk bertapa.
oooo0oooo
SETELAH meninggalkan Chin Siau, Suma thian yu
menempuh perjalanan siang malam melewati bukit Ngo tay
san dan menuju kearah Tibet.
Sepanjang jalan dia merasakan hatinya amat risau dan
berat, yaa memang begitulah bila banyak kejadian tragis
menimpa seseorang seringkali sikap maupun perasaannya
akan turut berubah juga.
Terutama sekali pengalaman yang dialami Suma thian yu
amat istimewa, kecuali dendam kesumat dari keluarga sendiri,
diapun harus memikul tanggung jawab dari pamannya yakni
Kit hong Kiam kek Wan liang serta semua kejadian besar yang
sedang berlangsung didalam dunia persilatan sekarang.
Pelbagai macam peristiwa yang menimpanya membuat
pengalamannya turut bertambah pula, sudut pandangannya
terhadap pelbagai masalah dan watak manusia ikut pula
berubah, satu satunya yang tidak turat berubah hanya lah
budinya yang luhur.
Hari ini, tibalah dia dikota Hak li seng, ko ta ini kecil sekali
dan terletak dibawah kaki bukit Gou ciok san, sebab tempat
yang boleh di ibararkan sarang naga gua harimau.
Meskipun kota itu kecil, penduduknya amat banyak, kota
tersebut merupakan kota perda gangan yang amat ramai.
Kebetulan hari ini merupakan hari besar untuk kota
tersebut, suasana disana bertambah ramai, manusia yang
berlalu lalang banyak sekali.
Ketika Suma Thian yu tiba dikota tersebut, yang tampak
olehnya adalah lelaki perempuan yang berpakaian warna-
warni, dengan dandanan yang mencolok, seakan-akan wayang
dalam panggung opera.
Rumah-rumah dihiasi dengan indah, orang-orang yang
berada disitu pun berseri, penuh dengan dihiasi senyuman.
Suma Thian yu segera mengerti, rupanya di kota itu sedang
diselenggarakan pesta besar.
Sebagai seorang pemuda macam dia, tentu saja perasaan
ingin tahu menyelimuti hatinya, niatnya untuk melanjutkan
perjalanan
segera diurungkan, dia mengambil keputusan untuk
menginap dirumah penginapan kota itu semalaman. Baru saja
berpaling untuk beristirahat, pelayan muncul didepan pintu
sambil menegur:
"Kek koan, apakah kau tidak kekota untuk melihat
keramaian?"
Sambil tertawa Suma thian yu menggeleng.
"Aku masih lelah setelah menempuh perjalanan jauh,
sekarang hanya ingin beristirahat dahulu"
"Begitupun baik juga, pulihkan dulu kondisi badan, malam
nanti baru menonton panggung Lui tay"
"Panggung Lui tay?" dengan perasaan kaget bercampur
keheranan Suma Thian yu mengulangi perkataan itu.
Tampaknya pelayan itu berhasil mendapat kesempatan
untuk mencari uang persen, dia segera mengandalkan
selembar bibirnya yang pandai bicara untuk menarik perhatian
orang, katanya kembali:
"Aaah, rupanya kau belum tahu? Hari ini adalah hari
peringatan kota kami, diluar kota depan kuil Hui bong si telah
didirikan panggung lui tay untuk mengadakan pertandingan
ilmu silat seperti juga tahun berselang, yang mengikuti
perlombaan ini banyak sekali, sehingga diluar kuil orang pada
berjubel. Kek koan kedatanganmu memang kebetulan sekali,
tanggung kau bakal menonton sampai puas!"
"Yaa betul, aku memang bernasib mujur sahut Suma Thian
yu hambar.
Kembali pelayan itu tertawa cekikikan.
"Cuma kau harus memesan tempat bila ingin kebagian
tempat duduk, cuma kau tak usah kuatir, soal ini mah bukan
masalah, asal kek koan bersedia mengeluarkan sedikit uang,
sudah tentu hamba akan mencarikan tempat duduk paling
depan, hiih...hiih...hiiih..."
Sembari berkata, dia lantas menunjukan sikap menanti
persen.
Mendengar itu, Suma thian yu tertawa terbahak-bahak.
"Haaah... haaah... haaah... kalau soal itu mah tentu saja
tak ada persoalan, aku pasti akan memberi persen untukmu"
Pelayan itu bertambah semangat, wajahnya berseri,
senyuman menghiasi wajahnya, dengan cepat ceritanya
kembali:
"Tahun lalu toa kongcu dari Thio wangwee dihajar orang
sampai menjadi cacad, konon tahun ini ji kongcu yang akan
naik ke panggung lui tay menggantikan kedudukannya, malah
dia telah mempersiapkan jago-jago dari luar untuk membalas
dendam atas aib yang di derita keluarganya tahun berselang,
maka aku yakin tahun ini suasananya tentu bertambah ramai"
Suma Thian yu hanya mengiakan.
"Hamba ingin mengajukan satu permohonan, apakah kek
koan bersedia memenuhinya?" kembali pelayan itu berkata.
"Soal apa? Katakan saja"
Sambil tertawa cekikikan pelayan itu berbisik:
"Kek koan! Kau tidak tahu, meski hamba bekerja sebagai
pelayan disini, sesungguhnya pernah pula belajar silat, hamba
paling suka menyaksikan pertandingan silat semacam itu, bila
kek koan tidak menampik, malam ini hamba bersedia
mendampingimu, sekalian menjadi penunjuk jalan bagimu..."
"Kebetulan sekali!"
"Sungguh? Ooh, bagus sekali, cuma....."
Berbicara sampai disini sengaja dia berhenti sejenak dan
memandang sekejap kearah Suma thian yu dengan licik.
"Masih ada soal apa lagi?" tanya pemuda itu cepat.
"Majikan hamba melarang hamba untuk meninggalkan
rumah penginapan ini...."
"kalau begitu, kau tak usah ikut"
"Aaah, mana boleh jadi? Asal kek koan bersedia mintakan
ijin untuk hamba, tauke pasti akan mengabulkan"
"Kalau begitu, siapa yang bertugas di dalam rumah
penginapan ini.....?"
"Masih ada orang lain, Kek koan tak usah kuatir"
"Bila mereka semua seperti kau, bukankah berabe jadinya"
"Soal ini...."
Pelayan itu menjadi terpojok dan tak mampu untuk
menjawab lagi....
Suma thian yu segera tertawa terbahak-bahak, sambil
memukul pantat pelayan itu, serunya:
"Sudahlah, keluar sana! Pokoknya nanti malam kau pasti
akan kuajak"
Dengan wajah berseri, pelayan itu segera berlalu
meninggalkan tempat itu.
Setelah beristirahat cukup, semua rasa lelah ditubuh Suma
thian yu pun menghilang, setelah bersantap malam dan
menyampaikan pesan kepada pemilik penginapan, dia
mengajak pelayan itu menuju keluar kota.
Pelayan itu amat gembira, sambil menempuh perjalanan,
tiada hentinya dia mengisahkan keadaan tentang panggung lui
tay tersebut kepada Suma thian yu, dengan begitu si anak
muda itupun banyak mengetahui tentang peristiwa tersebut.
Tiba didepan kuil Hui hong si, betul juga mereka saksikan
sebuah panggung lui tay yang tingginya satu kaki dengan
lebar sepuluh kaki terbentang didepan mata, pada kedua
belah sisi panggung diberi pagar yang memanjang.
Di atas panggung terbentang sebuah papan nama yang
bertuliskan:
GI BU HUI YU
artinya: Dengan ilmu silat menjalin persahabatan.
Tulisan itu ditulis dengan gaya tulisan yang kuat dan indah,
dalam sekilas pandangan saja orang akan tahu kalau tulisan
itu berasal dari penulis kenamaan.
Sementara dikedua belah sisinya tergantung sepasang
"Lian", yang berada disebelah kanan bertuliskan:
KUN TA THIAN HEE ENG HIONG
artinya: Dengan tinju menjumpai orang gagah didunia.
Nadanya latah, gampang buat orang naik darah.
Suma thian yu bertanya kepada pelayan itu:
"Manusia macam apa sih ji kongcu dari Thio Wangwee itu?"
"Rupanya kek koan adalah katak dalam air, masa nama thio
suhu, Thio cu dari kota Hek seng jin saja tidak kenal?"
"Thio cu? Aku belum pernah mendengar nama orang ini!"
Pelayan itu segera menggelengkan kepalanya sambil
menghela napas, katanya kemudian:
"Aaaii...tak heran kalau kau tak tahu, dilihat dari
dandananmu macam pelajar, bagaimana mungkin bisa
mengetahui urusan dalam dunia persilatan? kau tahu, Yhio cu
adalah seorang tokoh silat yang mempunyai asal usul luar
biasa, dikota ini saja mempunyai murid sebanyak lima ratus
orang.
Berbicara sesudahnya, hambapun pernah berlatih ilmu silat
selama tiga tahun dibawah bimbingannya, bukan hamba
sengaja mengibul, sepuluh orang lelaki macam kek koan pun
tak akan hamba pandang sebelah matapun"
"Ooooh...tentu saja, tentu saja...." Suma thian yu tertawa.
Mendengar sanjungan tersebut, si pelayan semakin
bangga, dengan wajah berseri dia berkata lagi:
"Thio suhu kami ini disebut orang Hui Thian hou (harimau
terbang dari luar angkasa), kepandaian, silatnya seperti
harimau buas sungguhan, siapa pun merasa takut bila bersua
dengan-nya, terutama sekali kepandaian silat yang di miliki
ayahnya, konon dalam sekali gebukan saja seekor harimau
dapat dihajar sampai mampus, katanya dia mempelajari ilmu
sebangsa Thi cah ciang"
"Oooh... sungguh lihay, apakah malam nanti dia pun akan
naik ke atas panggung?"
"Coba kau lihat, bukankah mereka telah datang?" tiba-tiba
pelayan itu menunjuk kearah pintu kuil.
Ketika Suma Thian yu mengalihkan sorot matanya ke
depan, betul juga, dari balik pintu kuil berjalan keluar
serombongan manusia di antaranya terdapat pendeta, tosu,
lelaki perempuan, tua maupun muda, jumlahnya hampir
mencapai tiga puluhan orang.
Yang berjalan paling depan adalah seorang kakek berusia
enam puluh tahunan mengenakan jubah seorang hartawan,
dia beralis tebal, mata besar, hidung besar, mulut lebar,
wajahnya menampilkan kelicikan serta hawa sesat.
Pelayan itu segera berbisik:
"Orang itulah Thio Wangwee, sedangkan orang yang
berjalan dibelakangnya adalah suhu hamba, si harimau
terbang Thio cu!"
Suma Thian yu mencoba untuk mengawasi orang tersebut,
tampak si harimau terbang Thio Cu mengenakan pakaian
ringkas dengan mantel berwarna merah, wajahnya
menunjukan kelicikan dan hawa sesat, usianya tiga puluh
tahun, gerak geriknya membikin orang mau muntah
rasanya.....
Rombongan tersebut langsung menuju ke barak sebelah
timur, mereka berjalan sambil bergurau, sikapnya amat santai.
Mungkin lantaran waktunya belum tiba, maka barak
sebelah barat masih berada dalam keadaan kosong.
"Hei, mengapa barak sebelah barat masih kosong
melompong?" dengan keheranan Suma thian yu segera
menegur.
"Barak itu dipersiapkan bagi orang-orang Hok siu cun,
tahun lalu putra sulung Thio wang wee menderita kekalahan
ditangan putrinya kepala dusun Hok siu cun"
"Seorang lelaki kalau sampai menderita kekalahan ditangan
seorang wanita, apakah hal ini tidak sangat memalukan?"
"Sttt!" buru-buru pelayan itu menempelkan jari tangannya
ke atas bibir, kemudian setengah berkisik peringatnya, "kalau
berbicara semaunnya sendiri, salah-salah nyawamu pun akan
ikut melayang"
Suma thian yu tidak banyak bicara lagi, bersama pelayan
itu mereka duduk dikursi yang telah disediakan bagi penonton.
Lambat laun penonton yang menyaksikan jalannya
pertandingan berbondong-bondong memenuhi lapangan.
Mendadak terdengar pelayan itu berseru:
"Aaah, sudah datang, mereka sudah datang! Oooh,
mengapa begini banyak yang mereka ajak tahun ini?"
Ketika Suma thian yu berpaling, tampaklah dari sudut
lapangan bermuncullan serombongan lelaki kekar yang
bersenjata sangat lengkap, sebagai pemimpinnya adalah
seorang gadis cantik bercelana hijau dan menyoren pedang
dipunggung, rambutnya yang panjang terurai sepundak
hingga mendatangkan kesan manis.
Tanpa terasa timbul kesan baik dalam hati Suma thian yu
terhadap nona itu.
Sambil memimpin anak buahnya gadis itu langsung menuju
kebarak sebelah barat dan mengambil tempat duduk.
Beberepa waktu kemudian berkumandang suara genta
yang amat nyaring, suara tersebut berasal dari panggung
lonceng di belakang kuil Hui hong si.
Bersama dengan berkumandangnya suara genta itu, Hui
thian hoa berjalan keluar dari barak timur, setelah melepaskan
mantel merah nya, dia menuju ketengah panggung, lalu
sambil mnenjura kepada para hadirin, katanya dengan
lantang:
"Untuk kesediaan saudara sekalian..... untuk menghadiri
pertemuan kali ini, aku Thio Cu mengucapkan banyak-banyak
terima kasih.
Tahun yang lalu, nasib dari kami Hong seng tinkurang
beruntung sehingga menderita kekalahan ditangan pihak Hok
siu ceng, untuk kekalahan mana kami akan berusaha untuk
merebutnya kembali ditahun ini, untuk hal mana kami mohon
dulungan sert semangat dari hadirin sekalian"
Kemudian setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan:
"Tahun ini berbeda sekali dengan tahun kemarin, aku orang
she Thio sengaja mengundang beberapa orang sahabat dari
luar dusun untuk ikut meramaikan suasana disini, oleh se bab
itu selain pertarungan kami dengan pihak Hok siu cun, bila di
antara kalian ada yang berkepandaian, silahkan untuk naik
kepanggung luy tay serta turut menyemarakkan pertandingan
ini. Bagi yang berhasil unggul akan disediakan hadiah sebesar
lima puluh tahil emas, semoga saudara sekalian tidak menyia-
nyiakan kesempatan baik ini."
Selesai berpidato, dia lantas berpaling kebarak sebelah
barat dan serunya:
"Hohan manakah dari pihak Hok siu cun yang akan tampil
untuk bertarung Dengan cepat muncul seorang lelaki setengah
umur dari barak sebelah barat, setelah melompat ke atas
panggung, sahutnya:
"Aku bernama Oh Hui hou, kali ini khusus kemari untuk
memohon petunjuk dari Thio suhu"
"Suatu keberuntungan bagi aku orang she Thio bila Oh
suhu bersedia memberi petunjuk" kata Hui tian hou tertawa
nyaring.
Pelan-pelan dia maju menghampiri Oh hui hou, lalu
serunya:
"Silakan!"
"Suhu!" tiba-tiba dari barak timur melompat seseorang,
"untuk membunuh ayam mengapa meski memakai golok
kerbau, biar tecu saja yang memeri pelajaran kepadanya!"
Orang itu hanya seorang lelaki kekar yang berusia masih
muda. Pelayan yang duduk di samping Suma Thian yu segera
berbisik:
"Kek koan! Orang ini murid tertua dari Thio Suhu"
Suma thian yu manggut-manggut lalu mengawasi orang itu
sekejap, lalu pikirnya:
"Orang ini sembrono dan takabur, sudah pasti berada
dipihak yang kalah!"
Belum habis ingatan itu melintas, pertarungan tengah
berlangsung diatas panggung.
Suma thian yu benar-benar tidak tertarik untuk
menyaksikan jalannya pertarungan, sebab pertarungan yang
berlangsung itu, dalam pandangannya seperti kucing yang
berkelahi, sedikitpun tiada daya tariknya.
Berbeda sekali dengan pelayan itu, dia asyik mengikuti
jalannya pertandingan,
saban kali tangannya yangmengepal ikut membuat
gerakan, ketika ditemuinya Suma thian yu memejamkan
matanya rapat-rapat, ia segera menegur dengan keheranan:
"Kek koan, kau benar-benar kutu buku, mengapa tidak
menonton jalannya pertandingan?"
"Aaahh, ngeri, aku tidak berani melihat."
Mendengar itu, si pelayan segera tertawa.
"Haah...haah...haaah dasar... aai..!"
Tiba-tiba dari atas panggung Lui Tay berkumandang jerit
kesakitan yang memilukan.
Cepat-cepat pelayan itu mendongakan kepalanya,
kemudian dengan terkejut serunya:
"Aduh celaka! Sungguh menggemaskan!"
Ternyata Oh Hu hou telah berhasil mengajar lelaki kekar itu
sehingga terpelanting dari atas parggung lui tay, setelah
muntah darah, orang itu tak sadarkan diri.
Dengan demikian kemenangan berhatil diraih oleh pihak
Hok siu cun yang berada dibarak sebelah barat, tepik sorak
yang gegap gempira sepera mengiringi kemenangan tersebut.
Sebaliknya paras muka Hui thian hou Thio cu berubah amat
tak sedap setelah menyaksikan murid tertuanya dipukul jatuh
dari panggung lui tay, dengan cepat dia melompat kedepan
Oh hu hou kemudian bentaknya amat gusar:
"Bagus sekali Kung fu mu, lhatlah pelajaran dari toayamu!"
Dengan jurus Hek Hok to sim (harimau hitam mencari hati)
dia jotos hidung Oh hu hou.
Sambil mendengus, Oh hu hou mengegos kesamping,
begitu lolos dari ancaman, segera teriaknya:
"Aku bernama Hu hou (penakluk harimau), sejak dilahirkan
memang berkemampuan menghajar harimau, sebentar lagi
akan kubuat si ahrimau terbang berubah menjadi anjing
buduk-kan yang merangkak ditanah"
Mendengar ejekan mana, Hui thian hou Thio cu berkoak-
kaok gusar, segenap tenaganya segera dikerahkan, sambil
meraung gusar dia mainkan jurus Sian jin ci tok (dewa sakti
menunjuk jalan), tetapi sampainya ditengah jalan segera
merubah kepalan-nya menjadi serangan jari, dengan sebuah
totokan kilat dia menotok jalan darah tam liong hiat di tubuh
Oh hu hoa.
Rupanya saking amarahnya dia telah menunjukkan
kepandaian silat yang sesungguhnya.
Melihat hal itu, Suma Thian ya segera bergumam:
Memang lumayan juga kepandaiannya, sayang tak akan
berhasil mencapai kemenangan"
"Aah, kau ini mengerti apa? Jangan sembarangan
berbicara" tegur pelayan itu tak senang hati.
Suma Thian yu tertawa terbahak-bahak, sambil menepuk
bahu pelayan itu serunya:
Cepat lihat, suhumu berhasil meraih kemenangan!"
Cepat-cepat pelayan itu mendongakkan kepalanya, namun
ia segera menjerit kaget:
"Aah! Habis sudah kali ini!"
Rupanya Hui thian hou Thio Cu telah terkurung di tengah
lapisan bayangan dari Oh Hui hoa sehingga posisinya sangat
kritis, tak heran kalau pelayan itu menjerit kaget.
Sambil tersenyum Suma Thian yu berseru:
"Buat apa kau mesti gelisah? Suhumu pasti akan unggul"
Sementara pelayan itu masih ragu mendadak dari atas
panggung kedengaran orang berseru:
"Maaf!"
Ternyata Oh Hu hou terhajar sehingga terjungkal dari atas
panggung Lui tay.
Pelayan itu menjadi kegirangan setengah mati, dia segera
melompat bangua sambil bertepuk tangan dan bersorak sorai.
Berhasil memenangkan pertarungan itu, dengan angkuhnya
Hui tian hou Thio Cu berseru ke arah barak sebelah barat:
"Aku orang she Thio mohon petunjuk dari nona Yap"
Baru selesai dia berkata dari barak sebelah barat nampak
sesosok bayangan manusia berwarna hijau melayang ke
tengah udara.
Sementara semua orang masih terkejut bercampur
keheranan, tahu-tahu diatas panggung telah bertambah
dengan seorang gadis yang cantik dan bertubuh ramping.
Sambil mendengus dingin pelayan itu berseru:
"Sok amat gaya dari lonte itu, hmmm, tahun ini dia bakal
merasakan kegetiran"
Sementara itu Suma Thian yu pun sedang mengawasi gadis
itu lekat-lekat, dia merasa nona itu memancarkan sinar
kegagahan dan kejujuran, sudah jelas kalau dia memiliki ilmu
silat lihay.
Ternyata nona ini adalah putri kesayangan dari kepala
kampung Hok siu cun yang bernama Yap Cai cui, tentang asal
usul perguruan-nya, amat jarang yang mengetahui.
Menyaksikan nona Yap sudah tampil keatas panggung, Hui
thian hou Thio Cu mengerutkan alis matanya yang tebal,
kemudian setelah tertawa dingin katanya:
"Tahun lampau kakak ku telah menerima sebuah hadiah
pukulan dari noan, atas pemberian tersebut aku orang she
Thio tak pernah melupakannya, maka dari ini, mumpung ada
kesempatan yang sangat baik, aku ingin menuntut keadilan
dari nona"
Yap Cui cui tertawa ringan.
"Bila pertarungan berlangsnng, soal luka atau mampus
adalah sesuatu kejadian lumrah, bila mana Thio suhu mampu
mengalahkan aku, sudah pasti akupun tak akan menggerutu
kepadamu, sudahlah, tak usah berbicara lagi, silakan turun
tangan!"
Hui thian hou Thio cu meraung keras, sepasang telapak
tangannya segera digerakkan bersama, satu menyerang tubuh
bagian atas sementara yang lain meraih ke arah 'rahasia'
diantara belahan paha si nona....belahan paha si nona.
Serangan yang cabul dan tak tahu malu ini segera
memancing siulan dan teriakan marah penonton.
Yap Cui cui sendiripun sangat mendongkol setelah
menyaksikan serangan tersebut, dia segera mengegos
kesamping, lalu dengan jurus Siang liong pau cu (Sepasang
naga memeluk tiang) menangkis datangnya ancaman mana.
Gagal dengan jurus serangan yang pertama, Hui thian hou
memutar pergelangan tangannya menggunakan jurus Suit tee
lau gwat (mendulang rembulan didasar air).
Jurus serangan ini lebih cabul dan tak tahu malu lagi,
karena sementara telapak tangan kanannya menyerang tubuh
bagian atas, maka telapak tangan kirinya mencengkeram
bagian 'rahasia' dari si nona di bawah tubuh.
Seorang jago silat yang tulen tidak akan menggunakan
jurus serangan semacam ini untuk menghadapi kaum wanita.
Tapi Hui thian hou Thio Cu memang dasarnya seorang
lelaki hidung bangor yang suka bermain perempuan, oleh
sebab itu meski sedang bertempur, ia tak pernah melupakan
watak cabulnya itu.
Melihat hal mana, Yap Cui cui melotot besar, kemudian
bentaknya keras-keras:
"Pingin mampus rupanya kau!"
Tidak nampak gerakan apa yang dipakai, ujung bajunya
saja yang terlihat terhembus angin lalu terdengar Hui thian
hou Thio Cu menjerit kesakitan, seluruh tubuhnya terlempar
ketengah udara bagaikan layang-layang putus benang,
tubuhnya terlempar keluar dari atas punggung lui tay
langsung terjauh ketengah para penonton.
Suasana diarena menjadi sangat gaduh, menyusul
kemudian meledak tempik sorak yang gegap gempita.
Menggelikan sekali keadaan Hui thian hou Thio Cu waktu
itu, dia telah berubah menjadi anjing terbang yang mencium
tanah.
Dari barak sebelah timur segera melompat keluar dua
orang manusia, seorang segera melompat turun dari
panggung memburu ke arah mana Hui thian hou Thio Cu
terjerembab, sedangkan yang lain menuju ketepi panggung
dan menjura kepa Yap Cui cui tambil berseru:
"Hebat sekali kepandaian silat nona, aku Mao san it tim
ingin sekali memohon petunuk dari nona"
Begitu mendengar nama 'Mao san it tim' Suma thian yu
segera mendonggakkan kepalanya, betul juga, orang itu
adalah It tim tojin.
Tampaknya yap Cui cui terparanjat juga setelah mengerti
kalau lawannya adalah It tim tojin, sambil tertawa paksa
segera ujarnya:
"Totiang ingin bermain tangan kosong atau bermain
pedang?"
It tim tojin segera tertawa seram.
"Haaah...haah...haah... ini namanya sudah tahu masih
berpura-pura tanya" ejeknya, "masa kau tidak tahu dengan
mengandalkan apakah Mao san pay bisa menggetarkan dunia
persilatan? Tentu saja mempergunakan ilmu pedang"
Sewaktu mengucapkan perkataan tersebut, sikapnya
sangat congkak dan takabur, seolah-olah dialah seorang
jagoan lihay yang tak terkalahkan dari dunia persilatan.
Hal ini tak bisa disalahkan, sebab bila seorang jagoan
macam It tim tojin harus muncul disebuah dusun macam Hok
seng cun, sudah barang tentu kepandaian silatnya bisa
dianggap sebagai nomor wahid.
Namun dia lupa kalau diantara hadirin masih terdapat pula
jago-jago lihay, ucapannya yang kelewat takabur itu kontan
saja menimbulkan perasaan geli dihati mereka.
Yap Cui cui tertawa merdu kemudian sambil berlagak
terkejut, serunya tertahan:
"Ooh...! Rupanya totiang ingin beradu pedang, wah, malah
kebetulan kalau begitu! Baiklah, boanpwe akan mengiringi
keinginan mu itu....!"
"Cabut pedangmu!" bentak It tim totiang dengan suara
dingin, sedang ia sendiri pun segera meloloskan pedangnya
dari punggung.
Yap Cui cui tidak sungkan-sungkan lagi, cepat dia
meloloskan pedangnya lalu membentak keras:
"Boanpwee akan menyerang dulu!"
Dengan jurus Cong liong ji hay (naga sakti masuk samudra)
dia menggetarkan bunga pedangnya dan langsung menusuk
jalan darah Tiong hong hiat.
It tim tojin tertawa seram, dengan posisi kaki senaknya, dia
berdiri menanti, tatkala ujung pedang sudah tinggal satu depa
dihadapannya, tiba-tiba saja pedangnya berubah menjadi
jurus Ya ma hun si (kuda liar mementangkan bulu suri), pelan-
pelan menangkis ancaman musuh, menyusul kemudian
dengan jurus Cu to hui liong (menerjang sampai disarngnya)
menusuk jalan darah Ki bun hiat dibawah buah dada si nona.
Merah dadu selembar wajah Yap Cui cui karena jengah,
segera bentaknya dengan gusar:
"Pingin mampus rupanya kau....!"
Sembari berseru dia mundur setengah langkah, menyusul
kemudian menyerobot kedepan sambil melepaskan serangkain
serangan.
"Sreet! Sreet! Sreet!" secara beruntun dia melancarkan tiga
jurus serangan pedang, semuanya digunakan jurus serangan
yang mematikan.
Sekalipun It tim totiang terhitung jagoan pedang kelas satu
dari Mao san pay, toh terdesak juga sehingga mundur sejauh
tiga langkah, terdengar ia berpekik aneh lalu tertawa seram,
sambil mengembangkan ilmu pedang Mao san pay, serentak
serangan balasan segera dilancarkan kembali.
Pelayan yang berada dibawah panggung menjadi berdebar
ketakutan, dengan tegang ia menarik tangan Suma thian yu
sambil berseru:
"Kek koan, kau takut?"
"Takut sekali! Tentu saja aku takut!
Tidak kah kau lihat seluruh tubuhku sedang gemetar?"
Betul juga, sekujur tubuhnya sedang gemetar.
Dengan sepasang gigi yang saling beradu, pelayan itu
berkata kembali:
"Menurut pendapatmu siapa yang bakal memenangkan
pertarungan kali ini?"
"Tentu saja tosu yang dikirim oleh suhumu itu!"
"Darimana kau bisa tahu?" dengan perasaan tidak habis
mengerti pelayan itu bertanya.
Suma Thian yu merasa dia telah salah bicara, maka buru-
buru serunya:
"Tentu saja, coba kau lihat bukankah usianya jauh lebih
tua?"
Alasan tersebut segera berhasil mengelabuhi si pelayan itu,
mengetahui kalau It tim totiang bakal merebut kemenangan,
dia nampak jauh lebih tenang.
Sementara itu pertarungan yang sedang berlangsung
ditengah panggung sudah mencapai puncaknya, menang
kalah segera akan diketahui dalam beberapa saat lagi.
Sekalipun Cui cui memiliki kepandaian silat yang luar biasa,
bila dibandingkan dengan It tim totiang yang berpengalaman
tentu saja masih terpaut lebih jauh.
Kini dia hanya bisa menangkis belaka dengan bersusah
payah, pada hakekatnya tidak berkepandaian untuk
membalas, keringat telah membasahi seluruh tubuhnya
sedang napasnya pun terengah-engah.
It tim totiang memang tak malu disebut sebagai jagoan
lihay dari Mao san pay, semakin bertarung dia nampak
semakin perkasa, jurus-jurus serangan yang dipergunakan
juga sema kin ganas tak berperi kemanusiaan, hampir
semuanya ditujukan kejalan darah penting ditubuh lawan.
"Bocah perempuan" ejeknya kemudian, "menginggat kau
masih muda, wajahmu cantik lagi, aku sengaja berbalas
kasihan kepadamu, asal kau bersedia mengikuti toaya pulang
ke rumah, tanggung kau akan terjamin hidupmu dan melewati
kehidupan yang paling berbahagia di dunia ini...."
Yap Cui cui gusar sekali sampai seluruh tubuhnya gemetar
keras, sambil membentak gusar cahaya pedangnya digetarkan
keluar, setetika itu juga bayangan pedang menyelimuri seluruh
angkasa, serangan yang dahsyat itu bersama-sama tertuju ke
tubuh It tim totiang.
Menyaksikan hal ini, It tim totiang mendengus dingin,
pedangnya segera memainkan jurus Hong cuan-jian im (angin
berhembus membuyarkan awan) menyerang tubuh Yap Cui
cui yang sedang menerjang kemuka.
Tiba-tiba saja Yap Cui cui merasakan cahaya pedang
dirinya menjadi lenyap kemudian serentetan hawa pedang
yang menusuk tulang sudah menyergap kearah
tenggorokannya.
Tak terlukisan perasaan terkejutnya menghadapi ancaman
semacam ini, segera pekiknya:
"Mampus aku kali ini..!"
Dia memejamkan matanya siap menantikan ajalnya.
Disaat yang kritis itulah....
Tiba-tiba dari bawah panggung berkumandang suara
pekikan nyaring, kemudian tampak sesosok bayangan manusia
meluncur meluncur keatas panggung dengan kecepatan
bagaikan sambaran kilat, sambil meluncur ke atas, serunya
keras:
"Berbelas kasihanlah diujung pedangmu!"
Mendengar pekikan tadi, It tim totiang menjadi tertegun
sehingga gerakan pedangnya melamban, belum sempat dia
berbuat sesuatu tahu-tahu segulung angin lembut sudah
mendorong tubuhnya sahingga mundur sejauh beberapa
langkah.
Dengan cepat dia mendongakkan kepalanya tahu-tahu
diatas panggung telah bertambah dengan seorang pemuda
berpakaian sastrawan.
Waktu itu, sebenarnya Yap Cui cui mengira dirinya pasti
akan tewas, siapa tahu dari tengah udara muncul seorang
bintang penolong yang telah menyelamatkan jiwanya.
Setelah rasa kagetnya hilang, dia melihat penolongnya
adalah seorang pemuda yang berwajah amat tampan, tergetar
keras pedangnya, sambil menjura katanya kemudian:
"Atas pertolongan anda, budi kebaikan ini tak akan
kulupakan untak selamanya"
Kemudian agak tersipu-sipu dia kembali kearah barak
sebelah barat....
Suma Thian yu yang berada dibawah panggungpun merasa
sangat terkejut setelah menyaksikan kemunculan pemuda
sastrawan itu, tanpa terasa gumamnya:
"Mengapa dia pun bisa muncul disini? Jangan-jangan dia
khusus datang kemari untuk mengejarku?"
Si pelayan yang mendengar gumaman ini segera
menimbrung dengan rasa tercengang:
"Kek koan, apa kau bilang? Dia mengejarmu? Apakah kau
kenal dengan dirinya?"
Suma Thian yu menggelengkan kepalanya sambil
membungkam dalam seribu bahasa, maka pelayan itupun
tidak bertanya lagi.
Ternyata orang yang berada diatas panggung sekarang
adalah Chin Siau, tampak dia berdiri disitu dengan amat
gagahnya.
Dengan dandanannya sebagai seorang pelajar ditambah
pula dengan tingkah lakunya yang halus dan teratur, siapa
pun tak akan menyangka bahwa pemuda selembut ini memiliki
kepandaian silat tinggi.
Akan tetapi kenyataan telah terbentang didepan mata,
cukup dari gerakan tubuhnya saja, setiap orang sudah dibuat
kagum setengah mati.
Yaa, siapakah diantara mereka yang hadir sekarang dapat
melakukan gerakan macam ini?
It tim tojin yang menyaksikan penampilan pemuda tersebut
membuat daging gemuk yang sudah hampir berada dimulut
terlepas kembali, jadi naik darah, bagaimana mungkin dia bisa
tahan membiarkan hal semacam itu terjadi?
Dengan suara yang menyeramkan dia lantas membentak:
"Bocah muda, kau terlalu suka mencampuri urusan orang
lain, kau harus tahu, banyak mencampuri urusan orang hanya
akan menimbul kan bencana kematian bagi diri sendiri, Toaya
menasehati kepadamu lebih baik janganlah mengorbankan diri
demi seorang wanita, terlalu besar kerugian mu itu...."
Chin Siau bersikap dingin dan kaku, setelah mendengar
ucapan mana, sahutnya hambar:
"Bukankah tujuan mendirikan panggung lui tay ini untuk
saling menguji kepandaian?" Tapi bagaimanakah
kenyataannya? Totiang berusaha untuk membinasakan
lawanmu, apakah beginikah peraturan dari di dirikannya
panggung lui tay?"
"Kurang ajar, darimana kau bisa tahu jika toaya bermaksud
hendak membinasakan dia?" bentak It tim totiang dengan
gusar.
Chin Siau mendengus dingin.
"Hmmm! Sudah lama kukagumi kelihayan dari ilmu pedang
aliran Mao san pay, sungguh beruntung aku bisa menyaksikan
sendiri, hal ini, apabila totiang tidak menampik, tolong berilah
sedikit petunjuk kepadaku sehingga maksud hatiku dapat
terpenuhi"
Begitu ucapan tersebut diutarakan, para hadirin berbisik-
bisik memperbincangkan kejadian ini.
Sang pelayan pun berkata pula sambil menghela napas:
"Mungkin sastrawan itu terkena penyakit kurang beres
pikiran nya, apa dia sudah bosan hidup sehingga pingin
mencari kematian bagi diri sendiri? Mau berguru mah boleh
saja, tapi jangan sembarangan macam dia itu"
Suma Thian yu tertawa terbahak-kahak.
"Haaah...haahh...hei pelayan, bagaimana kalau kita
bertaruh? Aku tebak pemuda itu pasti dapat menangkan
pertarungan ini"
"Boleh boleh saja, cuma aku tak ingin merebut keuntungan
dari mu kek koan, aku lihat kita tak usah bertaruh saja nanti
kalau aku menang, orang akan menuduhku membohongimu!"
Sekali lagi Suma Thian yu tertawa terbahak-bahak.
"Haah... haah... haaah... asal aku senang siapa yang dapat
menghalanginya?"
Kemudian sambil memperlihatkan jari tangannya, dia
berseru:
"Bagaimana kalau bertaruh lima tahil perak saja?" Kali ini
sang pelayan yang tertawa tergelak.
"Haaahh... haaahh... haaahh.... lima tahil perak? Sepuluh
kali lipat lebih pun aku berani, kek koan, bagi kalian yang
berduit, lima tahil bukan seberapa, tapi kalau ingin kalahpun
harus kalah dengan puas, jika tahu sudah pasti akan kalah
tapi tetap bertaruh, itu mah namanya..."
"Sudahlah, jangan banyak berbicara lagi, cepat kau lihat!"
Sementara itu It tim tojin sudah mengangkat pedangnya
sambil bersiap sedia melakukan serangan, wajahnya
menyeringai seram, sekulum senyuman angkuh menghiasi
bibirnya, kemudian pedang itu digerakan kedepan, nampaknya
seperti melamban tapi sesungguhnya mengandung suatu
perubahan yang luar biasa.
Sebagaimana diketahui, Chin Siau belum lama turun
gunung, sedikit sekali jago persilatan yang mengenali dirinya,
oleh karena itu baik jagoan di barak sebelah timur maupun
yang berada disebelah barat merasa kuatir juga bagi
keselamatan jiwanya.
Padahal tujuan Chin Siau sejak turun gunung adalah angkat
nama dan menggetarkan dunia perrsilatan.
Oleh sebab itu dia bersikap amat tenang meski
menyaksikan It tim tojin mengerakkan pedangnya, ia sama
sekali tak berkutik, serunya sambil tertawa dingin.
"Totiang, maaf kalau aku akan berbicara takabur, sekarang
aku hendak merebut tusuk konde mu itu"
It tim totiang membentak gusar, pergelangan tangannya
segera diputar lalu melancarkan sebuah tusukan dengan
kecepatan bagaikan sambaran kilat, umpatnya:
"Bocah keparat, kau kelewat kurang ajar!"
"Hmmmm...hmmmm... buktikan saja kekurang ajaran ku
ini!" jengek Chin Siau sambil tertawa sinis.
Begitu habis berkata, cahaya tajam berkelebat lewat dari
punggungnya, kemudian setelah cahaya pedang berputar
ditengah gelak tertawa nyaring Chin Siau telah mundur
kembali ke belekang.
It tim totiang hanya merasakan pangdangannya menjadi
kabur, lalu pihak lawan sudah mundur kembali. Sesudah agak
tertegun, ia lantas membentak gusar:
"Bocah keparst, kau ketakutan? Jangan kabur dulu, agar di
kemudian hari jangan suka mencampuri urusan orang lain
lagi!"
Chin Siau segera mendonggakkan kepalanya lalu tertawa
terbahak-bahak.
"Haaah...haah...haaah.. totiang, kau suka bergurau, lihat
saja dulu rambutmu!"
Mendengar ucapan mana, It tim totiang segera memeriksa
ikatan rambutnya, siapa tahu begitu tersentuh, rambutnya
segera terurai berantakan....
Gelak tertawa yang sangat ramai dengan cepat meledak
dan memecahkan keheningan, sebagian diantaranya ada yang
mengumpat:
"Dasar tosu bau yang tak tahu malu!"
Suma Thian yu berpaling kearah pelayan itu lalu tegurnya
pula sambil tertawa:
"Bagaimana? Mengaku kalah saja, serahkan lima tahilmu!"
Tidak bisa, menang kalah toh belum ketahuan, kejadian ini
tidak bisa masuk hitungan" seru sang pelayan mendongkol.
"Kalau begitu, mari kita saksikan kejadian selanjutnya!"
Tiba-tiba dari atas panggung terdengar suara bentakan
marah dari It tim totiang:
"Aku akan beradu jiwa denganmu!"
Pedangnya langsung dibacok kemuka secara garang, jurus
serangan dari Mao san kiam hoat turut dikembangkan pula
melancar- kan serangkaian serangan gencar.
Menghadapi kekalapan orang, kembali Chin Siau tertawa
tergelak:
"Haaah...haaah... kau tahu diri, tampaknya aku harus
membuat mu malu, hati-hati dengan jubah pendetamu....!"
Bersama dengan selesainya ucapan itu, kembali cahaya
takam menyambar lewat, tahu-tahu jubah pendeta yang
dikenakan It tim tojin telah robek menjadi dua bagian.
Sorak sorai berkumandang lagi memecahkan keheningan.
It tim totiang sangat penasaran, kejadian yang
menimpanya berulang kali membuatnya semakin panas hati,
ia mulai berkaok-kaok macam anjing menyalak, kemudian
secara ganas mengayunkan pedangnya berulang kali.
"Sreet! sreet! sreet! secara beruntun dia melepaskan
serangan berantai.
Amat sayang serangan itu tak berhasil mengenai
sasarannya, bahkan menyentuh ujung rambut orang pun tak
mampu, sebaliknya justru bertambah marah lagi.
"Totiang!" sambil tertawa Chin Siau lantas bersrru,
"Bagaimanah kalau kau ganti dulu jubahmu sebelum kita
melanjutkan pertarungan ini? Kesannya aku telah menangkan
kau kalau keadaan seperti ini dibiarkan berlangsung lebih
lanjut"
Sejak keluar dari kandungan ibunya, belum pernah It tim
tojin mendapat hinaan seperti ini, tak heran kalau amarahnya
meledak-ledak, tubuh berikut pedangnya segera menerjang
kembali kearah Chin Siau.
Serta merta Chin Siau mengegos kesamping setelah
melihat orang itu menerkam macam anjing gila, kemudian
pedangnya diputar dan mengetuk bahu tosu itu dengan
gagang pedangnya.
Tak ampun lagi It tim totiang menjerit ke-sakitan, tubuhnya
segera roboh terjengkang dan tak sanggup berkutik lagi.
Dengan demikian Chin Siau berhasil meraih kemenangan,
suatu kemenangan yang diperoleh dengan santai, gembira
dan tidak usah mengucurkan setitik keringat pun.
Langsung saja Suma Thian yu menyodorkan tangannya
kehadapan pelayan penginapan itu sambil berseru:
"Mana uangnya, lima tahil perak persis, setengah pun tak
boleh kurang!"
Padahal gaji pelayan itu sebulan belum mencapai enam
tahil, menyaksikan Suma Thian yu menyodorkan tangannya
menagih janji, dengan bermuram durja, terpaksa merogoh
kedalam sakunya dan mengeluarkan lima tahul perak.
Sembari diserahkan ke tangan orang, dia mengeluh:
"Huuuh....dasar lagi sial, ditambah lagi tosu bau itu cuma
gentong nasi yang tak becus, huuuh.... tahu kalau dia tak
mampus, aku tak akan menjagoi dia!"
Suma Thian yu tertawa terbahak-bahak, tanpa sungkan
diambilnya uang tersebut, kemudian pikirnya sambil tertawa
geli:
"Inilah pelajaran baginya kalau banyak mulut, akan ku lihat
lain kali dia berani banyak bacok lagi atau tidak...."
Sementara itu, dengan robohnya It tim tojin dari atas
panggung, dari barak sebelah timur segera melompat naik
seorang nenek berambut putih.
Nenek ini berusia enam puluh tahun tua renta dengan
wajah yang peyot, pelan-pelan dia menghamniri It tim tojin
lalu membimbingnya mundur kebarak sebelah timur, setelah
itu sambil menghampiri Chin Siau katanya:
"Engkoh cilik, kepandaianmu sungguh hebat, lo nio ingin
meminta pelajaran darimu"
Chin Siau cukup berhati-hati, walaupun ia tidak melihat
nenek itu membawa senjata, namun dari sorot matanya yang
tajam bagaikan sembilu ia tahu kalau nenek tersebut
merupakan seorang jagoan yang berilmu sangat tinggi.
Terkesiap juga hatinya menghadapi tantangan itu, buru-buru
sehutnya dengan cepat:
"Permintaanmu pasti akan kuturuti, tolong tanya kau ingin
bertarung dengan pedang ataukah...."
"Tentu saja bertarung dengan pedang!"
"Tapi kau...."
"Kau tak usah kuatir seru nenek berambut putih itu sambil
tertawa.
Sembari berkata, dia lantas mengambil pedang milik It tim
tojin dari atas tanah, kemudian ujarnya:
"Bukankah ini pedang?"
"Bolehkah aku tahu siapa nama mu?"
Nenek berambut putih itu tertawa terbahak-bahak.
"Haah... haah... haaa... lo nio tak punya nama, tapi aku
berdiam bukit Ci san, orang-orang menyebutku sebagai Jian
jiu lo sat (iblis wanita bertangan seribu)"
Agak tertegun Chin Siau sesudah mendengar nama
tersebut, tanpa terasa serunya:
"Oooh, rupanya kau adalah satu di antara Ci san su mo
(empat iblis dadi bukit Ci san) si iblis wanita bertangan seribu,
sudah lama kukagumi nama besarmu, sungguh beruntung kita
dapat bersua pada hari ini"
Setelah mengetahui kalau nenek berambut putih itu adalah
iblis wanita bertangan seribu Siau Bwee ci, hatinya malahan
terasa tenang, sebab gurunya pernah berkata, asal dia dapat
mengalahkan satu satu saja diantara empat iblis bukit Ci san
maka namanya akan tersohor dengan cepat.
Sementara dia masih termenung, Jin jiu lo sat Siau Bwee ci
telah berkata sambil tertawa dingin:
"Tak usah berkerut kening, selama hidup lo nio paling benci
dengan manusia yang belum apa-apa sudah minta ampun,
lebih baik kita tentukan menang kalah diujung senjata"
"Silakan!" sahut Chin Siau cepat.
Kemudian ia pejamkan matanya rapat-rapat sambil berdiri
seenaknya sendiri, pedangnya diluruskan ke depan dan siap
menunggu serangan dari musuh.
Melihat musuhnya berdiri sambil memejam kan mata, Jian
jiu lo sat Siau Bwee ci menganggap kejadian ini sebagai sikap
memandang rendah musuh terhadap dirinya, membara
amarah didalam dadanya, dengan gusar bentaknya keras-
keras:
"Lihat serangan!"
Dengan jurus Wan hong tiau yang (burung hong
menghadap matahari) dia tusuk tubuh Chin Siau.
Menghadapi datangnya ancaman tersebut, chin Siau
bersikap tenang, ia menunggu sampaipedang musuh hampir
menempelditubuhnya, kemudian baru mengegos ke samping
untuk meloloskan diri dari ancaman tersebut.
Sementara itu, pelayan penginapan yang berada dibawah
panggung jadi mendongkol sekali melihat sikap jumawa Chin
Siau, langsung umpatnya:
"Bajingan ini sungguh takabur, mana berkelahi sambil
memejamkan mata.... haah....! Mampus baru rasa..."
"Bagaimana kalau kita bertaruh lagi?" tiba-tiba kata Suma
Thian yu sambil tertawa.
"Bagus sekali!" sorak sang pelayan dengan gembira,
"bagaimanah kalau kali ini kita bertaruh sepuluh tahil?"
"Sepuluh tahil?" Suma thian yu menjulurkan lidahnya
sambil membuat muka setan, kemudian sambil tertawa getir
terusnya, "aahh, aku jadi sungkan, bila kau sampai kalah lagi
kan berabe jadinya?"
"Aaah, kalau cuma sepuluh tahil mah bukan apa-apa
bagiku" seru pelayan itu sambil mencoba meyakinkan lawan
taruhannya.
Sementara itu pertarungan diatas panggung lui tay telah
berlangsung dengan sengitnya, Ci san su mo sudah lama
termashur, mereka pernah menggetarkan sungai telaga
semenjak empat puluh tahun berselang, kendatipun, pada
akhirnya dibikin keok oleh "Put Gho cu, namun kekalahan
mana tidak mempengaruhi pamor mereka dimata umat
persilatan lainnya.
Dengan mengandalkan sebilah pedang, dia betul-betul
memperlihatkan kelihayannya, dimara serangannya
dilancarkan, angin serangan segera menderu-deru.
Dengan waktu singkat seluruh panggung lui tay tersebut
telah dilapisi oleh hawa pedang yang amat tebal.
Tak selang berapa saat kemudian, yang terlihat ditengah
arena tinggal dua gulung cahaya putih yang sebentar kekiri
sebentar ke kanan, sebentar ke atas sebentar lagi ke bawah,
angin serangan yang menderu-deru membuat keadaan
sungguh menegangkan.
Terbelalak mata para hadirin yang ikut menyaksikan
jalannya pertarungan itu, saking terpesonanya mereka sampai
melongo, untuk sesaat mereka tak dapat membedakan mana
yang Jian jiu lo sat dan mana yang Chin Siau.
Diantara sekian banyak penonton, si pelayan penginapan
itu yang terhitung paling tegang, sepuluh tahil perak bukan
suatu jumlah yang kecil bagi pandangannya.
Tiba-tiba Suma Thian yu menyodorkan kembali tangannya
ke hadapan pelayan itu:
Dengan gugup sang pelayan segera berseru:
Jilid : 23
"Mau apa kau?"
"Uang, mana uangnya? Sepuluh tahil perak"
"Omong kosong" seru sang pelayan cepat, "atas dasar apa
kau menagih uang dariku? Toh Jian jiu lo sat belum kalah?"
"Atau kita lipat gandakan jumlah taruhannya menjadi dua
puluh tahil perak?"
"Boo,aaii, jangan.. Jangan!"
Baru habis si pelayan itu berkata,Chin Siau yang berada
diatas panggung telah berseru sambil tertawa panjang:
"Maaf, maaf!"
Jian jiu lo sat Siau Bwee ci dengan rambut putih yang
awut-awutan tak karuan mundur beberapa langkah dengan
langkah sempoyongan,
wajahnya hijau membesi sementara diatas lengan-nya
bertambah dengan sebuah mulut luka yang memanjang,
darah kental bercucuran keluar dengan amat derasnya.
Dengan sorot mata memancarkan sinar buas, dia berseru
kemudian sambil menggertak lagi:
"Bocah keparat, tinggalkan namamu, selama hayat masih di
kandung badan, lo nio pasti akan membalas dendam atas sakit
hati hari ini"
Chin Siau tersenyum.
"Aku she Chin bernama Siau, setiap saat akan kunantikan
petunjuk saudara"
Pelan-pelan jian jiu lo sat mengundurkan diri dari atas
panggung.
Sementara Suma Thian yu yang berada di bawah panggung
segera menengok ke arah sang pelayan yang bermuram durja
sambil berkata:
"Kasihan aku melihat keadaanmu, bayar saja satu tahil
perak"
"Ooh, tuan, kasihanilah hambamu, kini dalam sakuku hanya
tinggal satu tahil, masa kau tak tahu? kata sang pelayan
sambil tertawa getir.
"Mau kau bayar atau tidak terserah, aku bisa memotongnya
dari uang persen nanti"
"Betul.. betul.. memang paling baik kalau dipotong dari
persenku nanti" seru sang pelayan dengan gembira.
Mendadak ia teringat akan sesuatu, kembali tanyanya:
"Tuan mengapa kau bisa menduga hal-hal yang belum
terjadi..?"
"Karena aku pandai meramal, orang menyebutku poan sian
(setengah dewa), aku dapat melihat hal yang sudah lewat
maupun akan datang, apakah kaupun ingin meramalkan nasib
mu?"
"Terima kasih banyak, aku tidak mempunyai uang untuk
berbuat begitu"
Sementara dua orang itu masih berbicara dengan asyik,
dari barak sebelah timur telah berjalan keluar seseorang.
Setelah melirik sekejap kearah wajah orang itu, sang
pelayan segera bersorak gembira:
"Hooree...akhirnya Thio Wengwee menampilkan diri"
Suma Thian yu memperhatikan sekejap wajah Thio
Wangwee, kemudian ujarnya.
"Tua bangka ini lebih-lebih tak becus lagi"
"Darimana kau bisa tahu?"
"Mau percaya atau tidak terserah kepadamu, bila kurang
puas kita boleh bertaruh lagi"
"Oooh, Poan sian ya, hamba tidak berani lagi.." seru sang
pelayan dengan wajah memelas.
Sementara itu Thio wangwee telah berjalan menuju keatas
panggung, setelah menjura dia berkata:
"Chin siauhiap memang luar biasa sekali, kesempatan baik
semacam ini jarang bisa kujumpai, lohu ingin sekali memohon
petunjukmu"
Dengan cepat Chin Siau menggeleng.
"Aku ingin sekali meminjam panggung ini untuk mengajak
seorang teman bertanding, sedang pertarungan diantara kita
lebih baik ditunda dulu, toh diantara kita tak ada dendam
kesumat ataupun perselisihan apapun jua"
"Boleh saja!" Thio wangwee tertawa sambil manggut-
manggut, "tapi siapakah yang hendak Chin siauhiap tantang
untuk bertarung?"
Dengan suara lantang Chin Siau segera berseru kearah
para hadirin:
"Orang yang kutantang untuk bertarung adalah dia!"
Sembari berkata, dia lantas menuding kearah Suma Thian
yu yang duduk dibawah panggung.
Ucapan tersebut dengan cepat menimbulkan kegaduhan
yang luar biasa, serentak semua orang berpaling kearah Suma
Thian yu.
"Aku?" Suma Thian yu berseru pula sambil menunjuk
keujung hidung sendiri, "ini... ini... tidak mungkin, tidak
mungkin ...masa aku harus mengorbankan selembar jiwaku
sendiri?"
Dalam pada itu, suasana dalam arena pun telah terjadi
kegaduhan, sedangkan pelayan penginapan itu tertawa
terbahak-bahak pula sembari berseru:
"Haaah... haaaha.... kejadian ini benar-benar merupakan
suatu peristiwa yang lucu, dia toh tak pandai silat, masa diajak
bertanding!"
Chin Siau yang berada diatas panggung segera berseru lagi
sambil tertawa:
"Heeeh... heeh... heee... memangnya kau hendak
menunggu sampai sauya turun ke bawah menyeretmu
kemari?"
Berubah hebat paras muka pelayan itu setelah mendengar
perkataan tersebut, cepat dia menarik tangan Suma Thian yu
sembari berkata:
"Bagaimana baiknya sekarang? Kau tak mampu bersilat,
kepergianmu kesitu sudah pasti akan mati, aaaai.... mengapa
sih kau membuat gara-gara dengannya?"
"Ssstt, bukankah kau pernah belajar ilmu silat selama tiga
tahun?" bisik Suma Thian yu kemudian, "bagaimana kalau kau
saja yang mewakiliku? Kuberi hadiah seratus tahil perak"
"Waaah, tidak bisa....tidak bisa. Nyawaku tak bernilai
seratus tahil perak."
Mendengar itu, Suma Thian yu menghela napas panjang.
"Aaiii... baiklah, kalau orang lagi susah memang susah
mencari teman, baiklah, aku memang lagi bernasib buruk!"
Dia lantas beranjak dan pelan-pelan mendekati panggung,
kemudian dipandangnya sekejap panggung yang tingginya
satu kaki lebih itu, kemudian serunya agak gelisah:
"Waah begitu tinggi panggung ini, bagaimana caraku untuk
naik keatas?"
Ucapan ini segera disambut gelak tertawa nyaring oleh
semua hadirin, tapi ada pula yang berkeringat dingin
menguatirkan jiwanya.
Pelayan itu segera berlari menghampirinya, kemudian
berseru:
"Naiklah dengan tangga, jangan gugup, dia tak bakal
membinasakan dirimu"
Suma Thian yu menurut dan memanjat dengan anak
tangga, ini semua membuat sang pelayan jadi ketakutan,
serunya dihati:
"Oooh Thian, bisa mampus dia kali ini..."
Sementara itu Suma Thian yu sudah naik keatas panggung.
Begitu melihat musuhnya sudah naik, Chin Siau segera
tertawa dingin sambil berseru:
"Kau tak usah berlagak pilon lagi, memangnya kau anggap
caramu ini bisa menarik simpatik orang?"
Suma Thian yu tersenyum.
"Cepat amat langkah kaki saudara Chin, ternyata kau bisa
menyemarakkan pula keramaian disini, tolong tanya ada
urusan apa kau mengundangku kemari?"
"Tidak usah banyak omong!" hardik Chin Siau sambil
melotot penuh kegusaran, "cabut pedangmu dan kita tentukan
siapa diantara kita berdua lebih jagoan!"
Cepat-cepat Suma Thian yu menggelengkan kepalanya
berulang kali.
"Apa salah pahammu belum juga mereda?"
Chin Siau mendengus dingin.
"Hmmm! Memperkosa anak Istri orang, membantai
keluarga petani, kau manusia jahanam sampah masyarakat,
hari ini aku orang she Chin sengaja kemari untuk menegakkan
keadilan dan kebenaran bagi dunia persilatan"
Suma Thian yu tertegun setelah mendengar ucapan itu,
tanpa terasa ia bertanya:
"Saudara Chin, apa yang sebenarnya kau maksudkan?"
"Lebih baik kau berterus terang saja, kenalkah kau dengan
manusia yang bernama Kho Gi?"
"Tidak kenal!" Jawab Suma Thian yu tegas.
"Baik kalau toh kalau tidak mengenal siapa-siapa, tentunya
cukup kenal dengan pedang sauya ini bukan?"
"Yaa aku kenal sekali benda tersebut merupakan pedang
mestika milik Bu bek ceng (pendeta buta).
Chin Siau segera mendongakkan kepalanya dan tertawa
terbahak-bahak tiada hentinya .
"Haaaah... haaah... kalau memang begitu kau boleh mati
dengan mata meram serta menjadi sukma yang hilang diujung
pedang kenamaan!"
"Saudara Chin kau jangan selalu memojokan posisi orang,
ketahuilah aku Suma Thian yu bukanlah seorang lelaki
pengecut yang takut menghadapi kematian, apabila kau
mendesak diriku terus menerus, jangan salahkan kalau
kesabaranku akan hilang"
"Memang inilah yang kunantikan, cabut pedangmu!"
Suma Thian yu merasa sedih sekali karena difitnah orang
tanpa bisa membantah, namun peristiwa tersebut sudah
berkembang lebih jauh, enggan bertarung pun sukar rasanya,
pelan-pelan dia meloloskan pedang Kit hong kiamnya dari
belakang punggung.
Beribu pasang mata yang berada dibawah punggung Lui
tay bersama-sama ditujukan ke tubuh mereka, apalagi disaat
Suma Thian yu meloloskan pedangnya, beribu-ribu buah
jantung berdebar dengan kerasnya, perasaan tak tenang
mencekam hati mereka.
Setelah menyaksikan Suma Thian yu meloloskan
pedangnya, Chin Siau segera berkata sambil tertawa dingin:
"Heeh...heeh...heeeh... hari ini hanya ada seorang diantara
kita yang boleh hidup, kalau bukan kau yang mampus, akulah
yang mati!"
"Buat apa sih pertarungan diantara kita mesti menjurus ke
pertarungan serius? Toh diantara kita tiada ikatan dendam
ataupun sakit hati apa pun? Bukankah tujuan Pi bu
(bertanding ilmu silat) hanya unuk menjalin persahabatan?"
Chin Siau sama sekali tidak menegubris ucapan lawan,
mendadak ia berpekik nyaring, pedangnya dengan jurus Siau
ci lam san (Sambil tertawa menuding Lam san) secepat kilat
menusuk ketubuh Suma Thian yu.
Suma Thian yu bersikap tenang sekali, ketika dilihatnya
ujung pedang sudah semakin mendekat, dia menggerakan
kepalanya mengegos ke samping, kemudian dengan
menggunakan ilmu gerakan tubuh Luan tek luan poh dia
menghindarkan diri.
Siapa tahu tujuan Chin Siau melancarkan serangan tersebut
hanya bermaksud memancing lawan, begitu melihat Suma
Thian yu berkelit, mendadak saja pedangnya melancarkan
serangan dengan jurus To tnian huan jit (mencuri hari
berganti waktu).
Diiringi desingan angin tajam, dia membabat pinggang
pemuda kita.
Agak tertegun Suma Thian yu menyaksikan kejadian ini,
sekuat tenaga dia melejit ketengah udara.
"Weeess...!" pedang Chin Siau menyambar lewat persis
dibawah kakinya, boleh dibilang ancaman itu nyaris membabat
kutung sepasang kakinya.
Lompatan Suma Thian yu ketengah udara tersebut tak
dapat disangkal lagi memberikan kesempatan kepada lawan
untuk menempati posisi yang lebih menguntungkan.
Sudah barang tentu Chin Siau tidak menyia-nyiakan
kesempatan baik tersebut dengan begitu saja, mendadak
pedangnya memainkan jurus serangan Sian tong siau hio
(Bocah dewa memasang hio) ia langsung membabat tubuh
Suma Thian yu yang masih berada ditengah udara .
Mimpi pun si pelayan rumah penginapann tersebut tak
pernah menyangka kalau Suma Thian Tu merupakan pendekar
muda yang memiliki ilmu silat sangat lihay, begitu dilihatnya
pemuda itu sanggup bertarung dengan hebatnya, ia menjadi
terbelalak dan duduk melongo seperti patung.
Waktu itu, Suma Thian yu sedang merasa amat terperanjat
setelah menyaksikan datangnya tusukan Chin Siau yang begitu
hebat, berada diudara mustahil bagi jago kita untuk berkelit,
dalam keadaan begini ia berpekik dihati:
"Habis sudah riwayatku kali ini!"
Kalau orang berada dalam ancaman bahaya maut biasanya
akan timbul suatu kekuatan tak terduga yang kadang kala
diluar pemikiran manusia sehat, keadaan tersebut bisa disebut
kekuatan indera ke enam dari manusia.
Sementara itu, pedang Chin siau sudah ditusuk ke atas
persis menyongsong datangnya tubuh Suma thian yu yang
sedang meluncur ke bawah, seandainya serangan tersebut
sampai mengenai sasarannya dengan telak, niscaya isi perut
Suma Thian yu akan berhamburan kemana-mana dan
sukmanya melayang.
Berada dalam keadaan berbahaya, tiba-tiba Suma Thian yu
menarik napas panjang, dengan mengeluarkan ilmu
meringankan tubuh Liu im ti (tangga awan berjalan) yang
merupakan semacam kepandaian sakti yang sudah lama
punah dari dunia persilatan, tiba-tiba saja dia melayang naik
ke udara dua depa lebih tinggi.
Oleh sebab perubahban ini dilakukan mendadak, otomatis
serangan Chin Siau yang nampaknya pasti akan berhasil
menembusi tubuh lawan-nya itu menjadi mengenai sasaran
kosong.
00O00 ooOoo
Sama Thian yu tertawa nyaring, tubuhnya berjumpalitan
berulang kali ditengah udara lalu melayang turun ke atas
tanah, meski amat berbahaya namun keindahannya luar biasa.
Kontan saja gerakan tersebut memancing tempik sorak
yang gegap gempita dari semua hadirin dibawah panggung.
Tempik sorak dan tepuk tangan yang gegap gempita
tersebut tak disangka lagi merupakan suatu sindiran dan
ejekan bagi Chin Siau, dengan amarah yang semakin
membara, segera bentaknya:
"Anjing geladak, serahkan jiwa anjingmu!"
Diiringi bentakan nyaring, pedangnya melepaskan serangan
lagi dengan jurus Hong sau lok yap (angin berhembus daun
berguguran), secepat kilat langsung membacok ke tubuh
musuh.
Setelah ada pengalaman pertama, Suma Thian yu tak
berani melambung lagi ketengah udara, pedang Kit hong
kiamnya di getarkan kesamping untuk menangkis ancaman
itu, lalu bersiap sedia mempergunakan ilmu pedang Bu beng
kiam hoat untuk meraih kemenangan.
Mendadak satu ingatan melintas dibenaknya, ia berpikir
demikian:
"Bila Chin Siau kurobohkan, sudah pasti kesalahan paham
ini akan semakin mendalam, yaa, mengapa tak kumanfaatkan
kesempatan baik ini untuk kabur dari sini? Buat apa aku mesti
ngotot terus? Kalau sampai terperangkap oleh siasat musuh
kan berabe?"
Berpikir demikian hawa murni yang semula telah dihimpun
tiba-tiba di buyarkan, serunya kemudian:
"Chin heng, ilmu pedangmu sangat hebat, aku menyerah
kalah saja, bila dilain saat ada kesempatan, kita boleh berduel
kembali."
Dengan cepat dia melejit ketengah udara kemudian
melayang turun dari panggung, dengan suatu gerakan yang
cekatan dia menyelinap diantara kerumunan orang banyak
dan lenyap tak berbekas.
Tentu saja Chin Siau tidak akan membiarkan dia kabur
dengan begitu saja, sambil membentak gusar dia turut melejit
keudara dan siap melakukan pengejaran.
Siapa tahu dari barak sebelah timur muncul belasan orang
lelaki kekar yang segera menghadang jalan perginya, salah
seorang diantarsnya yang berdandan pendeta membentak
dengan suara keras seperti geledek:
“ Orang she Chin, tidak gampang untuk kabur, dengan
begitu saja, kau mesti tahu kota Hok seng tin bukan tempat
yang bisa di datangani dan ditinggalkan semau sendiri, kalau
ingin pergi boleh saja, tapi tinggalkan dulu beberapa jurus
kepandaian saktimu"
Ucapan tersebut semakin mengobarkan hawa amarah Chin
Siau, jauh-jauh berangkat dari bukit Ngo tay san, tujuannya
adalah untuk mengamati Suma thian yu.
Padahal tujuannya merobohkan It tim tojin dan Jian jiu lo
sat tadi bukan lain adalah untuk memancing Suma Thian yu
naik ke psnggung, kini Suma Thian yu sudah kabur, apa
gunanya dia tetap tinggal disana?
Sekarang dia dikepung oleh kawanan manusia tersebut,
kejadian ini sama artinya dangan memberitahukan kepadanya
bahwa Suma Thian yu berasal dari satu golongan dengan
mereka.
Pandangan semacam ini menyebabkan dia semakin yakin
kalau Suma Thian yu adalah manusia sebangsa kawanan
sampah masyarakat tersebut.
Apa lagi penghadangan dari orang-orang itu sekarang bisa
diartikan pula sebagai pembelaan terhadap pemuda itu serta
memberi kesempatan kepadanya untuk melarikan diri.
Ya, kesalahan paham yang terjadi didunia ini kadangkala
memang terbentuk karena suatu keadaan yang kebetulan.
Chin Siau amat membenci Suma Thian yu, maka hawa
amarahnya segera dilampiaskan pada kawanan manusia
tersebut.
Tanpa sangsi lagi pedangnya segera diputar, secepat angin
puyuh dan secepat kilat menyerang hweesio tersebut.
Sebenarnya kepandaian silat yang dimiliki pendeta itu
cukup tangguh, namun serangan yang dilancarkan lawan
kelewat cepat, tidak sempat lagi baginya untuk
menghindarkan diri, tahu-tahu batok kepalanya sudah
berpisah dengan badan.
Berhasil dengan serangannya, Chin Siau me nyerang lebih
jauh seperti banteng terluka, pedangnya menari kian kemari
seperti naga sakti yang sedang bermain d udara, dimana
cahaya perak berkelebat lewat, jeritan ngeri yang menyayat
hati segera berkumandang susul menyusul.
Setelah Chin Siau berhasil membinasakan beberapa orang
jagoan tersebut, rekan-rekan lainnya dari komplotan itu mulai
jeri, serentak mereka mundur kebelakang dan berusaha untuk
menyelamatkan diri.
Setelah belasan orang itu sudah kabur semua, Chin Siau
baru berlalu dari sana, tapi tatkala dia sudah keluar dari kuil
Hut hong si, bayangan tubuh dari Suma Thian yu sudah tak
tampak lagi.
Untuk beberapa saat lamanya dia berdiri termenung,
kemudian sumpahnya dihati.
"Biarpun kau akan kabur ke ujung langit, aku Chin Siau
bersumpah akan mengejarmu sampai dapat!"
Pertarungan dipanggung Lui tay yang diselenggarakan di
kota Hok Seng tin setahun se kalipun berakhir dalam suasana
yang tidak gembira, pihak Hok seng tin di barak sebelah timur
untuk kesekian kalinya menderita kembali kekalahan secara
mengenaskan.
000o000 000o000
MUSIM GUGUR sudah berlangsung, angin puyuh yang amat
kencang berhembus di daratan tinggi Tibet.
Kuil Buddha disebelah timur laut kota Lhasa berada dalam
keadaan tertutup rapi, dinding pekarangan setinggi beberapa
kaki dikelilingi pepohonan cemara yang lebat, semuanya
seolah-olah gemetar karena kedinginan.
Waktu itu senja sudah menjelang tiba, matahari senja yang
memancarkan sinar kemerah-merahan sudah mulai
menyembunyikan diri di balik daratan tinggi Tibet.
Kegelapan malam yang seram mulai menyelimuti angkasa,
angin pvyuh yang berhembus menderu-deru menggoncangkan
pohoncemara raksasa dan menggugurkan dedaunan yang
mulai layu.
Kesemuanya itu mendatangkan suasana seram dan ngeri
disekitar kuil Budhala si.
Tiga kali dentingan genta bergema membelah kegelapan
yang hening....
Tampaknya para pendeta yang berdiam diri dalam kuil
tersebut sedang bersembahyang malam.
Dalam keadaan seperti inilah, dari sudut ruangan sana
muncul seseorang yang berjalan mendekati pintu kuil dengan
langkah amat lambat.
Ketika mencapai tiga langkah lagi dari depan pintu kuil,
mendadak orang itu roboh terjengkang keatas tanah.
Ketika dialamati lebih seksama, maka dapat diketahui
bahwa dia adalah seorang pemuda yang menyoren sebilah
pedang dipunggungnya dia baru berusia delapan sembilan
belas tahunan.
Sungguh aneh, mengapa diwilayah Tibet yang terpencil
bisa muncul seorang pemuda semacam ini? Kemunculanuya
sendiri sudah menarik perhatian orang, apalagi muncul
didepan kuil Buddhala si, hal ini lebih mengherankan lagi.
Dengan menggunakan sepenuh tenaga yang dimilikinya
pemuda itu merangkak ke depan pintu kuil, lalu dengan
kepalanya yang lemas tak bertenaga dia mengetuk pintu kuil
beberapa kali, lalu ia roboh ke tanah dan tidak berkutik lagi.
Daun kering berguguran dari tengah udara dan menutupi
tubuh pemuda tersebut, tidak selang berapa saat kemudian
seluruh badan pemuda itu sudah tertutup oleh daun kering.
Mendadak dari tempat kejauhan sana terdengar suara
langkah kaki manusia yang berjalan mendekat, lalu tak selang
berapa saat kemudian didepan pintu kuil telah muncul
rombongan peronda.
Sebagai pemimpin dari rombongan itu adalah seorang
pendeta berjubah putih yang berusia empat puluh tahunan.
Tatkala ia menjumpai seseorang terkapar d depan pintu
kuil tertutup daun kering, dia menjerit kaget dan buru-buru
membangunkan pemuda tersebut.
Tampak paras muka pemuda itu pucat pias, napasnya amat
lirih dan keadaannya sangat lemah.
Buru-buru ia memanggil para anak buahnya untuk
menolong pemuda itu sambil membukakan pintu.
Mendadak salah seorang diantara pendeta itu berkata
kepada pemimpinnya:
"Toan suheng, asal usul orang ini tidak jelas, kita jangan
sembarangan membawanya masuk, kalau sampai hongtiang
menegur nanti bagaimana jadinya?"
Dengan wajah serius pendeta itu menjawab:
"Menolong selembar nyawa sama artinya dengan berbuat
kebajikan tujuh puluh kali, apalagi kita sebagai murid Buddha
mengutamakan welas asih, entah siapapun orangnya yang
penting kita mesti selamatkan dulu nyawanya"
Selesai berkata ia membuka pintu dan memerintahkan agar
pemuda tersebut di gotong masuk.
Pendeta itu bernama It hok taysu, dia adalah murid
angkatan ketiga dari kuil Buddhala si, sebagai seorang
pendeta senior, hatinya bajik dan penuh perasaan welas asih,
dia pun cukup memahami perasaan setiap orang yang
dihadapinya, maka ia cukup di segani orang.
It hok taysu langsung membawa pemuda itu menuju ke
ruang tamu kemudian setelah menutup pintu ia beranjak
menuju ke ruangan hongtiang.....
Tak lama sstelah kepergian It hok taysu, mendadak
pemuda itu melompat bangun dan berguman sambil tertawa
rendah:
"Salah siapa kalau bertindak kurang hati-hati? Kali ini kalian
akan terkena perangkapku, Suma Thian yu"
Dengan cepat dia menyelinap kedepan pintu dan menengok
kekiri kanan, tatkala ada orang mendekati ruangan itu buru-
buru dia kembali keruang dalam dan berlagak setengah mati.
Rupanya sejak meninggalkan kota Hok seng tin, siang
malam Suma Thian yu menempuh perjalanan tiada hentinya,
sehingga tiga hari berselang ia sudah tiba dikota Lhasa.
Sesampainya dikota tersebut setiap malam ia pasti
melakukan pengintaian disekitar kuil Buddhala si, namun oleh
sebab penjagaan disekitar tempat itu sangat ketat ibaratnya
sarang naga dan harimau, terpaksa ia mesti menahan diri
berulang kali.
Dasar memang cerdas, akhirnya dia berhasil menemukan
siasat untuk berlagak seolah-olah setengah mati, ternyata
siasat ini termakan dan dia berhasil memasuki kuil tersebut.
Begitulah, baru saja Suma Thian yu membaringkan diri, It
hok taysu sudah berdiri di depan pintu.
Pendeta itu segera berjalan menghampiri Suma Thian yu.
mengguruti sebentar seluruh badannya dan memeriksa
dengusan napasnya, setelah itu dia baru membangunkan anak
muda tersebut.
Pelan-pelan Suma Thian yu membuka matanya dan
memandang sekejap ke arah It hok taysu dengan pandangan
terkejut, kemudian serunya tertahan:
"Aaah, mengapa aku bisa berada disini?"
It hok taysu tertawa ramah.
Pinceng justu ingin bertanya kepada sicu, siapakah
namamu dan ada urusan apa datang kemari?"
Suma Thian yu pura-pura mengawasi It hok taysu
beberapa saat lamanya, lalu agak sangsi dia berkata:
"Tolong tanya toa suhu, kuil manakah ini?"
"Buddhala si!"
Wajah Suma Thian yu segera berseri, serunya kegirangan:
"Terima kasih langit, terima kasih bumi, akhirnya aku
sampai juga ditempat tujuan!" Seraya berkata ia bangkit dari
pembaringan dan siap turun.
Buru-buru It hok taysu membimbingnya bangun seraya
berkata:
"Sicu, kau belum sembuh dari sakitmu, lebih baik jangan
sembarangan bergerak, bila ada persoalan, dibicarakan
dengan berbaring pun tak mengapa "
Suma Thian yu segera makan siasat tersebut dengan begitu
saja, dengan duduk ditepi pembaringan ia berkata:
"Toa suhu aku tidak mengapa, terima kasih atas kebaikan
hatimu yang bersedia menolong ku, bila suatu waktu ada
kesempatan, budi kebaikanmu ini pasti akan ku balas"
It hok taysu tersenyum.
Sicu tak usah sungkan-sungkan, sudah menjadi kewajiban
seorang pendeta untuk menolong sesama manusia! apalagi
pertolongan ini tak seberapa, kau tak usah memikirkannya
dihati. Cuma sincu belum menjawab pertanyaan tadi"
"Oohh, aku she Tan bernama Thian yu, berasal dari wilayah
Shoa say"
It hok taysu menggut-mangut.
"Jika kudengar dari nada pembicaraanmu serta keadaanmu
yang mengenaskan, agaknya ada sesuatu hal yang
mengganjal dihatimu, bolehkah aku mengetahuinya?"
Suma Thian yu segera menghela napas panjang, dengan
wajah memelas dia berkata:
"Aku dicelakai orang, seluruh anggota keluargaku dibunuh
orang dan tak bisa hidup aman didaratan Tionggoan, oleh
sebab itu terpaksa aku mesti kabur kemari dengan harapan
hong-tiong suka menerimaku ditempat ini. Sewaktu datang
tadi, bahkan aku dihadang dan dikejar-kejar musuh, harap
taysu sudi melindungi aku"
Sambil berkata dia bersiap sedia untuk menjatuhkan diri
berlutut...
It hok taysu segera membimbingnya bangun dan
mencegah dia berlutut, ujarnya sambil menggelengkan
kepalanya berulang kali.
"Sicu tak boleh berbuat demikian, bila pinceng telah
berjumpa dengan hongtiang nanti, pasti akan kuusahakan
agar keinginanmu terkabul!"
Sembari berkata dia mengeluarkan sebuah botol Kecil dan
menuang tiga butir pil hitam yang segera diberikan kepada
Suma Thian yu, katanya:
Sekarang, harap sicu menelan ketiga butir ini lebih dulu,
beristirahatlah semalam, nanti pinceng akan mengajakmu
untuk bersua dengan hongtiang"
Sepeninggal It hok taysu, Suma Thian yu mulai merasa
tidak tenteram, perasaannya saling bertentangan dan
menderita sekali. Penampilan dari It hok taysu amat ramah
dan bijaksana, selain ramah orangnya pun saleh, padahal dia
datang dengan membawa maksud tertentu, tindakan tersebut
dirasakan olehnya sebagai tindakan yang rendah dan
memalukan.
Tapi cong liong lo sinjin telah berpesan wanti-wanti bahwa
perjalanannya kali ini akan berpengaruh terhadap keamanan
dalam dunia persilttan dimasa mendatang.
Akhrnya setelah termenung beberapa saat lagi, dia
menelan ke tiga butir pil itu lalu duduk bersila sambil
mengatur pernapasan.
Entah berapa lama sudah lewat, dari luar sana terdengar
dua kali kentongan, menyusul kemudian suasana dicekam oleh
keheningan yang luar biasa.
Suma Thian yu kembali berpikir:
"Mungkin saat ini para pendeta sudah naik ke pembaringan
untuk beristirahat, inilah saat yang terbaik bagiku untuk
segera bertindak..."
Buru-buru dia bangun dari pembaringannya dan siap untuk
kebawah.
Mendadak terlihat olehnya ada sesosok bayangan marusia
berkelebat lewat didepan jendelanya kemudian lenyap dari
pandangan.
Suma Thian yu sangat terkejut, sebenarnya dia ingin
menyembunyikan diri ke belakang pembaringan, tapi ia
berpikir kembali, tindakkan semacam itu malah justru
gampang menimbulkan kecurigaan orang....
Akhirnya dia mengambil keputusan untuk membuka pintu
dan berjalan keluar.
Betul juga, dibelakang pohon sana berdiri seorang pendeta
yang sedang mengawasi gerak-geriknya dengan seksama.
"Ooooh, sungguh berbahaya..!" pekik Suma Thian yu dalam
hati, "seandainya aku bertindak gegabah tadi, sudah pasti
semua rahasia penyaruan ku akan terbongkar"
Berpikir demikian, dia sengaja berjalan menuju ke tempat
persembunyian pendeta itu, lalu dengan wajah ramah
tanyanya:
"Taysu, bolehkah aku tahu dimana letak kakus?"
Mula-mula pendeta itu agak tertegun ketika menyaksikan
suma Thian yu berjalan mendekatinya, ia baru merasa lega
setelah mendengar pertanyaan itu.
Di sana...!" sahutnya agak tersipu-sipu.
Selesai menjawab dia pun berlalu dari situ, mungkin
merasa rikuh karena perbuatannya mengawasi gerak-gerik
orang tertangkap.
SUma Thian yu melangkah ke arah kakus, melihat pendeta
itu sudah pergi, diam-diam ia merasa gelisah sekali, kembali
pikirnya:
"Mungkin sulit bagiku untuk berhasil pada malam ini, aai,
mengapa aku mesti berdiam terus disini? Seandainya
rahasiaku ketahuan, mungkin akan sulit sekali bagiku untuk
pergi meninggalkan tempat ini."
Pikir punya pikir akhirnya dia mengambil keputusen, entah
apapun yang terjadi, malam ini dia harus menemukan pagoda
tempat penyimpanan kitab.
Masalahnya sekarang tinggal bagaimana caranya
memanfaatkan kesampatan yang ada dengan sebaik-baiknya,
sehingga perjalanan kali ini tidak pulang dengan tangan
kosong.
Berpikir demikian, ia menjadi nekad untuk mempertaruhkan
jiwanya. Dari kakus ia tidak kembali kekamarnya melainkan
secara diam-diam menguntil di belakang hweesio tersebut.
Untung sekali ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya
sangat sempurna, sehingga gerak-geriknya sama sekali tidak
menimbulkan sedikit suara pun.
Pendeta itupun sama sekali tidak merasa kalau dirinya
sedang dikintil, ia masih melanjutkan perjalanannya dengan
tenang.
Dengan sepasang matanya yang tajam, Suma Thian yu
mencoba mengawasi sekejap sekeliling tempat itu, kemudian
setelah yakin kalau disekitar sana tak ada orang, dia
melompat ke belakang pendeta itu dan segera menotok jalan
darah bisunya.
Kemudian dia menyerat hwesio itu menuju ke kamarnya
dan dibaringkan diatas pembaringan lalu setelah
membebaskan jalan darah bisunya dan menekan lehernya, ia
bertanya:
"Beritahu kepadaku, dimanakah tempat penyimpanan
kitab!"
Pendeta itu sama sekali tidak nampak gugup atau cemas,
malah dengan tenangnya ia menuding ke luar jendela sambil
menyahut:
"Diatas pagoda sana, di bawah gardu genta, persisnya
ruangan yang masih bercahaya lentera"
Kemudian setelah mengawasi tubuh Suma Thian yu dengan
seksama, ia berkata lagi:
"Namun jangan harap kau bisa memasukinya, kalau Cap
pwee lohan si dalam kuil Siau lim si termashur sebagai kuil
yang paling sukar di tembusi, maka ruang penyimpan kitab
dari kuil kami merupakan lembah kematian. Apa bila kau
sudah bosan hidup, silahkan saja mencoba, cuma, janganlah
menyesal setelah nasi menjadi bubur nanti."
Suma Thian yu mendengus dingin, ia menotok jalan darah
tidur pendeta itu, melepaskan jubahnya dan menutupi badan
hweesio itu dengan kain selimut.
Sedang dia sendiri segera mengenakan jubah pendeta
tersebut dan beranjak pergi.
Waktu itu semua cahaya lentera di dalam kuil sudah
padam, tinggal setitik cahaya lemah dari ruang penyimpan
kitab yang masih berkedip, memandang dari kejauhan, cahaya
tersebut mirip dengan sebuah bintang.
Agaknya sinar itu sengaja di dipasang untuk memancing
perhatian Suma Thian yu.
Dengan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pemuda
tersebut, tanpa mengalami kesulitan, ia sudah berada di
depan gardu genta.
Tak selang berapa saat kemudian pemuda itu sudah melejit
ke udara naik ke atap gardu genta itu seperti seekor kucing,
begitu mencapai puncaknya, dengan jurus Hee to kim kou
(kaitan emas jungkir kebawah) sepasang kakinya segera
menggaet pinggiran atap rumah dan mengintip kedalam ruang
penyimpanan kitab.
Dalam ruangan waktu itu hanya tampak seorang pendeta
tua berbaju pendeta berwarna emas sedang duduk
mengantuk di situ.
Memandang berbagai macam kitab yang memenuhi
ruangan itu, diam-diam Suma Thian yu tertawa geli, pikirnya:
"Hwesio itu kelewat membual, masa ruangan semacam
inipun di samakan dengen ruang Cap pwee lohan si dari kuil
Siau Lim si, apa tak membual selangit? Bila aku Suma Thian
yu tidak berhasil memperoleh kitab terebut, percuma saja aku
hidup didunia ini"
Berpikir demikian, diam-diam dia mengerahkan tenaga
dalamnya keujung jari kemudian melepaskan sebuah sentilan
dari kejauhan.
Pendeta tua yang selang mengantuk ini seperti kena
disambar aliran listrik bertegangan tinggi, setelah tubuhnya
bergetar keras, ia segera tertidur nyenyak.
Suma Thian yu segera melepaskan kaitannya dan melayang
masuk kedalam ruang penyimpanan kitab itu.
Siapa tahu baru saja sepasang kakinya mencapai
permukaan tanah, mendadak terdengar suara tertawa digin
yang rendah dan berat bergema memecahkan keheningan.
Dengan terkejut Suma Thian yu berpaling, tampak olehnya
pendeta tua yang sudah ditotok jalan darah tidurnya tadi, kini
sedang duduk disitu sambil memandang kearahnya dengan
senyum dikulum.
Bahkan sambil tertawa pendeta tua itu menegur:
"Engkoh cilik, besar amat nyalimu, kau tadi meminjam nyali
siapa sih?"
Suma Thian yu merasakan hatinya terkesiap dan diam-diam
menarik napas dingin, jelas kalau pendeta tua tersebut sudah
ditotok jalan darah tidurnya, mengapa ia dapat membebaskan
pengaruh totokan tersebut? Mungkinkah ilmu silat yang
dimiliki pendeta tua itu sudah mencapai pada puncak
kesempurnaan.
Sementara dia masih termenung dengan perasaan kaget,
terdengar pendeta tua itu membentak lagi:
"Hei, kau ini tuli? Atau bisu? Mengapa tidak mendengarkan
perkataan lolap?"
Agak terkejut juga Suma thian yu, buru-buru dia
menjawab:
"Kedatangankn kemari sama sekali tidak bermaksud jahat
toa suhu...."
Pendeta tua berbaju kuning itu mendengus dingin,
tukasnya dengan cepat:
"Tidak bermaksud jahat? Menyerang orang dari belakang
pun tidak termasuk perbuatan jahat?"
"Aku kan cuma menotok jalan darah dari toa suhu, tak
berniat untuk melukaimu...."
"Haahaahahaa... berani menyelundup masuk, baik, sebagai
lelaki sejati, kuanjurkan kepada mu tidak usah beralasan
terus, berani berbuat beranilah bertanggung jawab, lolap
sebagai seorang pendeta yang mengutamakan welas kasih
boleh saja membuka sebuah jalan kehidupan kepadamu, kalau
tidak, dengan mengandalkan kepandaian silatmu itu, jangan
harap bisa meninggalkan kuil ini dengan leluasa!"
Suma Thian yu merasa sangat tidak puas, dia berseru:
"Kalau tiada kepentingan, orang tidak akan mengunjungi
Sam poo tian dengan susah payah, aku berangkat dari
daratan Tionggoan, dengan melewati jalan yang jauh dan
kesukaran yang tak sedikit sampai kemari, bila tidak
berkeyakinan bisa keluar masuk dari kuil ini dengan leluasa,
mengapa aku kemari?"
Ketika mendengar ucapan tersebut, pendeta tua itu segera
mendongakkan kepalanya dan berpekik nyaring.
Bigitu keras suara pekikan tersebut sehingga menggetarkan
lubang telinga orang, dari sini dapat disimpulkan kalau tenaga
dalam yang di miliki pendeta tua ini paling tidak sudah
mencapai seratus dua puluh tahun hasil latihan.
Dingin separuh hati Suma Thian yu setelah mendengar
suara pekikan tersebut ia tahu kalau sekarang tidak turun
tangan, mau menunggu sampai kapan lagi?
Baru saja ingatan tersebut melintas lewat, mendadak
terdengar suara gemuruh yang amat keras berkumandang
memecahkan keheningan, tahu-tahu dari atas ruangan muncul
sebuah terali besi yang mengurung ruangan penyimpanan
kitab tersebut secara ketat.
Selesai tertawa tergelak, pendeta tua itu membentak lagi
penuh kegusaran:
"Sicu, bila ada persoalan, debatlah besok pagi saja!"
Sehabis berkata, dia mengebaskan sepasang ujung bajunya
ke muka, dua gulung angin pukulan yang sangat kuat segera
menyambar keatas tubuh Suma Thian yu.
Serta merta Suma Thian yu menghindarkan ke belakang
dan mengundurkan diri ke tepi jendela, ia tahu usahanya
malam ini menemui kegagalan total, maka dia memutuskan
untuk meninggalkan kuil tersebut lebih dulu kemudian baru
mencari kesempatan lagi di masa mendatang.
Berpikir demikian, ia pun mengundurkan diri dari jendela
dan melompat naik keatas atap.
Tapi baru saja kakinya melayang keatas atap rumah,
kembali hatinya terkesiap.
"Habis sudah nyawaku kali ini!" pekiknya dihati.
Entah sejak kapan, ternyata seluruh kuil itu sudah
bermandikan cahaya lentera, diatas atap rumah dimana ia
berada sekarang, tampak beratus-ratus orang pendeta berdiri
disitu dengan golok terhunus ditangan.
Menyaksikan pemandangan semacam itu, Suma Thian yu
sadar bahwa pertahanan musuh tangguh bagaikan dinding
baja, jangan lagi manusia, burungpun sukar untuk melewati
tempat tersebut.
Tanpa terasa ia menghela napas panjang dan melepaskan
jubah kependetaannya, lalu serunya keras keras:
"Aku menyerah kalah!"
Seorang lelaki yang pintar adalah seorang lelaki yang bisa
mengetahui keadaan, kalau ditinjau dari situasi yang
terbentang didepan mata sekarang, dapat disimpulkan kalau
pihak lawan telah mempersiapkan penjagaan secara matang
terperinci dan menurut perencanaan yang sempurna.
Berada dalam keadaan seperti ini, seandainya dia sampai
berani berbuat secara gegabah lagi, niscaya jiwanya akan
turut melayang dalam ruangan tersebut.
"Yaa, mengapa aku tidak memakai siasat untuk meloloskan
diri dari ancaman bahaya untuk kemudian mencari
kesempatan lain untuk turun tangan?” demikian ia berpikir.
Sementara dia masih berpikir, tampak dua orang pendeta
sudah menyerobot kehadapanya, Suma Thian yu mengenali
seorang diantara nya sebagai It hok taysu.
Dengan wajah diliputi amarah, It hok taysu segera
mendamprat begitu sampai didepan anak muda itu:
"Tan siahiap, pinceng sudah tahu kalau kau adalah seorang
mata-mata, besar amat nyalimu, mengapa tidak kau tanyakan
dulu kepada orang lain kuil Buddha ini adalah tempat apa! Kau
betul-betul tidak tahu diri, ketahuilah kau sudah menelan tiga
butir pil yang merupakan obat pemabuk berkadar paling
tinggi, apabila kau mengerahkan hawa murnimu maka daya
kerja obat tersebut akan menyebar ke seluruh badan yang
berakibat kau akan tertidur pulas. Hamm... sekarang kau
sudah mengerti bukan kuil Budhala si adalah tempat yang
rawan bagi manusia sebangsa kau!"
Suma Thian yu merasakan badannya sangat menderita
setelah mendegar perkataan dari pendeta itu, hingga kini dia
baru menyadari kalau pengalamannya kelewat rendah, tapi
harus bersukur karena tidak memberikan perlawanan dengan
kekerasan, kalau tidak entah bagaimana akibatnya.
Dengan suara dingin ia lantas berkata:
"Oooh, tampanya toa suhu cuma seorang manusia yang
berlagak sok alim dan mulia, kalau begitu aku telah salah
menduga orang baik..."
It hok taysu segera tertawa terbahak-bahak.
"Haahaahaahaa... gunakanlah cara yang sama untuk
menghadapi orang yang sama, ini menurut nasehat para
ulama dulu. Kau berniat jahat dengan mengincar kitab pusaka
milik kami, haruskah kami melayanimu dengan segala
hormat?"
Bantahan ini kontan saja membungkamkan Suma Thian yu
sehingga tak mampu berkata-kata lagi, ia mengakui kesalahan
memang berada dipihaknya, orang lain berbuat demikinu pun
demi kepentingan sendiri, jadi tak dapat sembarangan
menuduh sebagai berniat tak baik kepada dirinya.
Berpikir demikian, diam-diam ia menggertak gigi dan
memejamkan matanya tanpa berkutik lagi.
It hok taysu berjalan ke sisi Suma Thian yu sambil
menggenggam lengan pemuda itu, katanya:
"Setiap keputusan hanya ditentukan oleh Hongtiang,
sedangkan pinceng tak mampu mengambil keputusan,
terpaksa Tan siauhiap harus menemani pinceng untuk
menghadap Hongtiang. Turutilah perkataan pinceng, tak usah
memberikan perlawanan, karena berbuat demikian cuma akan
menggali kuburan bagi diri sendiri"
Suma Thian yu yang menyaksikan situasinya sangat tidak
menguntungkan bagi dirinya, tentu saja tidak akan melakukan
perlawanan, bahkan boleh dibilang ingin melawanpun tak ada
gunanya, terpaksa dia mengikuti It hok taysu melayang turun
keatas permukaan tanah lalu masuk ke ruangan hongtiang.
Dibelakang mereka berdua mengikuti pula serombongan
pendeta yang berjubah kuning, merah, abu-abu dan putih,
semuanya memasuki ruangan Hongtiang dengan wajah serius.
Begitu masuk ke ruangan hongtiang, Suma Thian yu segera
menyaksikan seorang pendeta tua berjubah cerah, beralis
putih dan berwajah keren bercahaya duduk ditengah ruangan.
Pendeta tua ini tidak lain adalah ketua kuil Buddhala si di
Tibet yang disebut orang Keng sim taysu.
Suma Thian yu masuk kedalam ruangan di iringi para
pendeta, tampak kawanan padri ini segera menyebarkan diri
dan mengurung sekeliling ruangan rapat-rapat, kini cuma
Suma Thian yu seorang yang berdiri tegak ditengah ruangan.
Setelah semua pendeta itu duduk, Keng sim taysu segera
merangkap tangannya didepan dada sambil memuji
keagungan Buddha, pujian ini disambut pula oleh para
pendeta lainnya dengan hal yang sama.
Kacau balau tak karuan perasaan Suma Thian yu setelah
menyaksikan kejadian ini, dia merasa seperti seorang murid
yang mendapat hukuman, atau seorang tertuduh yang sedang
menantikan keputusan pengadilan, hatinya murung, sedih dan
menderita dan tak terlukiskan lagi dengan kata-kata.
Agaknya mereka hendak menunggu sampai datangnya
sang fajar sebelum memulai dengan pemeriksaan, Coba
bayangkan saja waktu yang begitu panjang dan lama harus
dilewati dengan perasaan apa.....
Mendadak dari depan pintu berjalan masuk seorang
pendeta tua berjubah kuning, sewaktu Suma Tnian yu
berpaling, ternyata pendeta itu tak lain adalah pendeta tua
yang ditemui dalam ruang penyimpanan kitab tadi...
Tampak pendeta itu berjalan menuju kehadapan Keng sim
taysu, kemudian lapornya:
"Omintohud, lapor hongtiang, sukhong telah mendusin, ia
sama sekali tidak cedera kecuali jalan darah tidurnya yang
tertotok"
Keng sim taysu menggerakkan matanya yang lembut dan
menggangguk tersenyum.
"Keng ken taysu, kau boleh mundur dulu!"
Pelan-pelan dia mengalihkan sorot matanya kewajah Suma
Thian yu, setelah mengawasinya beberapa saat, dengan nada
serius dia mulai menegur:
"Sicu, sesungguhnya apa maksudmu memasuki kuil kami?
Kalau dilihat dari gerak-gerikmu, nampaknya bukan kemari
untuk menuntut balas, lalu apa maksud tujuanmu? Lolap tidak
habis mengerti dengan perbuatan mu ini, atau mungkin kau
berniat mencuri kitab pusaka dari kuli kami?"
"Betul!" jawab Suma thian yu, "terus terang saja, aku
memang kemari untuk mencuri kitab pusaka"
Begitu pengakuan tersebut diberikan, semua pendeta yang
berada dalam ruangan itu sama-sama menjadi terperanjat,
semenjak kuil buddhala si di dirikan, belum pernah ada orang
yang memiliki nyali sebesar ini untuk datang mencuri kitab,
bahkan berani mengakui maksud tujuannya secara berterus
terang.
Mencorong sinar tajam dari balik mata Keng sim taysu
setelah mendengar perkataan itu, ditatapnya Suma thian yu
sekejap, kemudian bertanya lagi:
"Kejujuran sicu benar-benar patut dihargai, kau berani
datang kemari untuk mencuri kitab pusaka, tentu ada yang
kau andalkan bukan? Siapakah gurumu?"
Suma Thian yu mendongakkan kepalanya balas menatap
wajah Keng sim taysu, walaupun empat mata saling bertemu,
namun pemuda tersebut sama sekali tidak terpengaruh oleh
kewibawaan dan kekerenan pendeta tua itu.
Keberanian serta kegagahan semacam ini, mau tak mau
membuat Keng sim taysu merasa kagum sekali.
Pelan-pelan Suma Thian yu menjawab:
"Guruku adalah Put gho cu!"
"Put gho cu? Ehmm...sebuah nama yang sangat kukenal!"
keng sim taysu manggut-manggut, "namun lolap sudah tak
bisa menginggat kembali siapakah dia, apakah sicu datang
mencuri kitab atas perintah dari gurumu?"
"Tidak! Guruku sudah lama tidak mencampuri urusan
keduniawian lagi, aku datang kemari sebenarnya atas perintah
dari Cong liong lo sian jin!"
Begitu mendengar nama "Cong liong lo sian jin", paras
muka Keng sim taysu berubah hebat, hatinya terasa bergetar
keras, dengan cepat ia bertanya:
"Dia orang tua masih hidup didunia ini? Kau tidak
membohongi lolap...?"
"Tidak, aku tak pernah berbohong!"
Lama sekali Keng sim taysu mengamati wajah pemuda itu
tanpa berkedip, kemudian ia baru berkata:
"Cong liong locianpwee memang mempunyai hubungan
yang cukup akrab dengan kuil kami, mengapa dia tak datang
sendiri kemarih melainkan mengutusmu untuk melakukan
pencurian? Aku rasa hal ini tak mungkin terjadi. Petugas,
tangkap pencuri kecil yang berbohong ini.
Baru selesai Keng sim taysu berkata, tiga orang pendeta
tua berjubah kuning telah menggurung Suma Thian yu dalam
posisi segitiga.
"Tunggu dulu!" bentak Suma Thian yu setelah menyaksikan
kejadian ini, "kalian tak boleh memfitnah orang semaunya
sendiri tanpa membedakan mana yang benar dan mana yang
salah!"
Keng seng taysu beserta dua orang pendeta tua berjubah
kuning lainnya merupakan tiga orang pelindung kuil Buddhala
si, bersama Keng sim taysu terhitung saudara seperguruan.
Kalau berbicara soal urutannya, maka setelah Keng seng
taysu adalah Keng khong tayu dan paling akhir adalah Keng
ken taysu.
Terdengar Keng seng taysu membentak dengan suara
sedingin salju:
"Siau sicu asal kau mampu untuk menembusi barisan dari
kami bertiga maka apapun yang kau inginkan akan segera kau
peroleh, kalau tidak, disinilah tempat tinggalmu yang
terakhir!"
Suma thian yu segera berpekik nyaring:
"Baik aku akan menuruti perintah!"
Seraya berkata, telapak tangannya segera diayunkaa
kedepan, diam-diam dia sertakan pula empat bagian tenaga
pukulan Hai po sian hong cian kearah Keng ken taysu.
Angin pukulan yang menderu segera berputar seperti angin
berpusing yang menyapu jagad, dengan membawa tenaga
angin tajam langsung menerjang tubuh Keng ken taysu.
Mungkin Sama Thian yu menganggap usia Keng ken taysu
paling muda, maka dialah yang paling gampang dihadapi.
Bagi Keng ken taysu, tindakkan tersebut boleh dibilang
merupakan suatu penghinaan, tidak jauh-jauh, cukup pukulan
yang dilancarkan ke arahnya saja paling tidak menandakan
bahwa musuh menganggapnya sebagai pihak yang terlemah.
Tampak Keng ken taysu tertawa nyaring, telapak
tangannya diayunkan pula kedepan melepaskan sebuah
pukulan untuk menyongsong datangnya serangan lawan.
Menyusul kemudian, tubuhnya ikut menerjangke depan
sambil melancarkan sebuah pukulan lagi, kali ini dia
menghantam ke ubun-ubun pemuda tersebut.
Tujuan Suma Thian yu menang untuk memancing musuh,
dia yakin dengan ilmu langkah Ghok liong loan poh cap lak
poh nya Siau yau kay, ia masih sanggup untuk menghindari
serangan ke tiga orang tersebut.
Maka gerakan tubuhnya segera berubah, kali ini dia
menyelinap ke sisi Keng khong taysu lalu membacok tubuhnya
dengan jurus Ha hou ciang liong (mengandalkan harimau
menaklukan naga).
Keng khong taysu tertawa nyaring, ia tidak menghindar
atau pun berkelit, sepasang telapak tangannya dipergunakan
berbareng satu dari atas yang lain dari bawah serentak
diayunkan kemuka melepaskan dua gulung angin pukulan
yang sangat keras.
Dengan cepat suma Thian yu melayang kembali ke
hadapan Keng ken taysu, telapak tangan kirinya melepaskan
sebuah pukulan udara kosong, kemudian sambil membalikkan
badan ia melancarkan serangan kembali kearah keng ken
taysu dengan jurus Tiau hou ji san (memancing harimau
meninggalkan bukit).
Siasat suara ditimur menghantam kebarat ini segera
mendatangkan hasil yang diharapkan.
Tiba-tiba Keng seng taysu tertegun, kemudian sambil
miringkan badan, sepasang telapak tangannya dipakai
bersama untuk melancar-kan serangan balasan.
Begitulah, Suma Thian yu seorang diri harus bertarung
melawan tiga orang sekaligus, disamping mempergunakan
ilmu langkahnya yang sakti, dia pun menandingi serangan
musuh dengan jurus-jurus yang tersembunyi.
Dalam waktu singkat, dua puluh gebrakan sudah lewat,
namun kedua belah pihak masing-masing tetap bertarung
seimbang.
Keng sim taysu yang mengikuti jalannya pertandingan itu,
diam-diam hatinya merasa terperanjat, terutama sekali setelah
menyaksi-kan sang pemuda lemah yang bertarung melawan
ketiga orang pelindung hukumnya, ternyata makin bertarung
semakin gagah dan perkasa.
Mendadak terdengar suara Keng seng teysu berpekik
nyaring, sepasang lengannya diputar membentuk gerakan
melingkar ditengah udara kemudian secepat burung yang
terbang diudara menyerang ke arah Suma Thian yu.
"Sicu, hebat amat kepadaianmu, terpaksa lolap mesti
memper-gunakan ilmu silat yang lebih hebat" serunya keras-
keras.
Benar juga, angin pukulan yang dilancarkan kali ini benar-
benar disertai tenaga serangan yang menggidikkan hati.
Suma Thian yu segera mengambil keputusan pula dihati,
dengan mengerahkan ilmu Hwee po sian hong ciang ajaran
Cong liong lo sian jin, dia sambut datangnya serangan lawan.
"Blaaammm... blaaammmm...”
Ledakan keras yang menggetarkan seluruh ruangan
bergema memecah keheningan, seluruh tiang dalam ruangan
hongtiang itu bergoncang keras, atap beterbangan dan angin
puyuh yang maha dashyat langsung menggulung ke tubuh
tiga orang pendeta tersebut.
Mendadak terdengar Keng sim taysu membentak keras:
"Cepat kabur!! Hui po sian hong ciang tak boleh dilawan
dengan kekerasan!"
Begitu ucapan tersebut diutarakan, tampak tiga sosok
bayangan manusia meluncur keudara.
Serentak semua pendeta yang berada didalam ruangan itu
kabur keluar ruangan untuk menghindarkan diri.
Suatu ledakan keras yang memekikkan telinga segera
bergema memecahkan keheningan, sebagian dinding
ruangang Hongtiang tersebut jebol sehingga muncul sebuah
lubang besar, angin puyuh itu hilang lenyap setelah berada
diluar ruangan.
Serangan yang dilancarkan Suma Thian yu kali ini telah
pergunakan tenaga dalam hasil latihannya selama sepuluh
tahun, dia baru berbuat demikian karena merasa jiwanya
terancam.
Namun setelah serangan di lepaskan, mendadak ia merasa
penat sekali, semangatnya bertambah merosot, kakinya
menjadi lemas dan setelah sempoyongan akhirnya roboh
terungkal ketanah.
ooo0ooo
SEBAGAIMANA di ketahui, dia sudah dicekoki tiga butir pil
oleh It hok taysu yang ternyata adalah obat pemabuk, oleh
sebab dia harus mengerahkan tenaga dalamnya, maka
sebagai akibatnya daya kerja obat itu menyebar keseluruh
tubuhnya yang menyebabkan dia roboh tak sadarkan diri.
Entah berapa jam kemudian, ketika dia membuka matanya
kembali, ternyata ia menemukan dirinya sudah berbaring
didalam kamar tidurnya semula.
Sedangkan disamping pembaringannya berdiri It hok taysu
beserta dua orang pendeta setergah umur yang mengenakan
jubah berwarna putih....
Melihat pemuda itu mendusin, It hok taysu dengan
senyuman dikulum segera berkata:
"Sicu, apakah kau sudah merasa agak enakan dengan
kesehatan tubuhmu?"
"Terima kasih banyak atas perhatian mu, aku sudah
sembuh dan tidak kekurangan sesuatu apa pun"
"Hongtiang senantiasa menantikan kedatangan sicu" ucap
It hok taysu lagi sambil tertawa.
Suma Thian yu segera berpaling kejendela seraya berseru:
"Hei, jam berapa sekarang? Apakah Hongtiang belum
beristirahat?"
It hok taysu segera tertawa terbahak-bahak.
"Haaahaahaaaa...... beberapa saat lagi fajar akan
menyingsing, sicu sudah tidur seharian penuh, justru karena
Hongtiang menguatirkan keselamatanmu, ia belum beristirahat
sampai sekarang!"
Cepat Suma thian yu melompat bangun dan membereskan
bajunya, lalu bersama It hok taysu menuju ruangan
Hongtiang.
Kali ini dalam ruangan hanya hadir empat orang pendeta
tua, selain Keng sim taysu cuma tiga orang penting lainnya
yang hadir...
Dengan perasaan berat dan masgul, Suma Thian yu
berjalan menuju kehadapan Keng sim taysu, lalu dengan
wajah serius berkata:
"Taysu, harap kau suka memaafkan kecerobohanku!"
"Sicu memang benar-benar murid Cong liong locianpwee"
ucap Keng sim taysu dengan senyum dikulum, "semalam aku
memang sengaja menitahkan ketiga orang sesepuh ini untuk
membuktikan kebenaran tersebut!"
Suma Thian yu baru memahami duduknya persoalan
setelah mendengar perkataan itu, yaa, bagaimanapun juga
semakin tua jahe akan terasa semakin pedas.
Maka dengan sikap yang menghormat dia menjawab:
"Aku tidak berniat berbohong, sesungguhnya aku kemari
karena masalahnya menyangkut suatu musibah besar yang
akan terjadi tak lama kemudian, dan musibah tersebut sangat
ber pengaruh terhadap kehidupan umat persilatan pada
umumnya. Oleh sebab keadaan yang makkn mendesak,
terpaksa aka mesti menempuh cara yang berbahaya ini.
Padahal aku tidak berniat merampok atau mencuri, maksudku
hanya ingin menyelidiki nasib dari sejilid kitab pusaka"
"Sebetulnya nasib kitab pusaka apa yang sedang sicu
selidiki?" tanya Keng sim taysu sambil tersenyum.
"Kitab pusaka Kun tun kan kun huan siu cin keng!"
Ucapan itu segera mengundang seruan kaget dari Keng sim
taysu beserta ketiga orang pelindung hukumnya.
"Kitab pusaka Kun tun kan kun huan siu cin keng?" Keng
sim taysu mengulang, "jadi sicu kemari karena kitab
tersebut?"
"Betul"
Keng sim menghela napas.
"Aaai, sia-sia saja sicu menempuh perjalanan jauh dengan
susah payah kemari, sebab kitab pusaka yang dibuat oleh toa
supek ku Ku hay sinsu sebetulnya tidak disimpan dalam kuil
kami!"
"Sungguh tidak keliru perkataan Toa suhu?" Suma Thian yu
bertanya kaget, semangatnya yang semula berkobar-kobar
seketika menjadi lenyap seperti terguyur air sebaskom.
"Kitab pusaka itu sudah berada didaratan Tionggoan,
mengapa sicu tidak mencarinya di daratan Tionggoan saja?
Datang kemari cuma membuang waktu saja dengan percuma"
Segera timbul kecurigaan dihati Suma Thian yu setelah
mendengar perkataan itu, agak tercengang ia balik bertanya:
"Toa suhu, kalau toh kitab pusaka itu sudah beredar di
daratan Tianggoan, mengapa toa suhu tidak mengirim orang
untuk mencarinya kembali?"
Keng sim taysu menghela napas panjang, katanya berterus
terang:
"Lebih baik jangan ditanya lagi, pulang saja ke Tionggoan,
lolap beserta segenap pendeta dari kuil ini memberi jaminan
dengan kehormatan kami bahwa kitab tersebut sudah tidak
berada dalam kuil kami lagi, soal lain maaf tak dapat
kukatakan"
"Toa suhu, tahukah kau kalau kitab tersebut terbagi
menjadi dua bagian, satu yang asli dan satu lagi yang palsu?"
desak Suma thian yu lebih lanjut.
"Tidak, kitab pusaka itu cuma sejilid saja"
"Sejilid? bukan selembar?"
Dengan wajah serius dan bersungguh-sungguh, keng sim
taysu segera berkata:
"Apakah sicu curiga kalau lolap sedang berbohong?"
"Ooohh, tidak....tidak...! Aku tak berani menuduh demikian,
sebab kitab itu sebetulnya sudah kudapatkan, kemudian
lantaran karena kitab itu palsu, maka kuserahkan kepada Sam
yap koay mo, adapun kedatanganku kemari tidak lain adalah
untuk membuktikan kebenaran dari kitab tersebut!"
Keng sim taysu segera menanyakan lebih jauh tentang
keadaan yang sebenarnya.
Dengan berterus terang, Suma thian yu menceritakan
semua pengalaman yang dialaminya mengenai kitab pusaka
tersebut kepada Keng sim taysu.
Tiba-tiba Keng sim taysu berteriak keras:
"Aaaah, kalau begitu sicu tertipu! Kitab tersebut sebetulnya
kitab yang asli!"
"Dari mana kau bisa tahu?" agak tegang Suma Thian yu
bertanya.
Keng sim taysu berpaling dan serunya kepada Keng Khong
taysu:
"Keng Khong sute, ambil kemari botol air Biau heng sui!"
Setelah Keng Khong taysu berlalu untuk melaksanakan
perintah, Keng sim taysu baru berpaling ke arah Suma Thian
yu, dia berkata lebih jauh:
"Lembar kertas kulit itu halus dan licin, sedemikian licinnya
sehingga tak bisa ditulis dengan tinta bak, tapi dengan pisau
kecil, tulisan dapat diukir diatas lembaran kertas tadi, lalu
pada lapisan depannya diberi selembar kertas putih yang
diberi tulisan yang kacau dan dilapisi pula dengan lilin.
"Justru karena kekacauan-nya itu orang tidak akan melihat
sebuah tulisan pun disana, tapi jika lilinnya dibuang maka
akan terbacalah huruf-hurufnya. Mungkin karena hal itu Wu
san siang gi siu mengira kitab itu palsu, padahal kitab tersebut
adalah kitab yang asli!"
Bagaikan disambar guntur disiang hari bolong, Suma Thian
yu meraskan hatinya hilang separuh dan hampir saja jatuh
semaput, serunya tak tahan:
"Oooh, bagaimana baiknya ini? Thian, aku telah mencelakai
orang banyak...."
Tanpa terasa titik air mata jatuh berlinang membasahi
pipinya, sedang tubuhnya gontai tak menentu, nampaknya
pemuda tersebut mendapat pukulan batin yang sangat berat.
Keng seng taysu menjadi sangat terperpanjat setelah
menyaksikan kejadian ini, sambil membimbingnya ia terseru:
Jilid : 24
"SICU tak perlu kuatir, sebab segala sesuatu yang terjadi di
dunia ini sudah diatur oleh takdir, sejak dulu barang mestika
hanya akan diperoleh bagi mereka yang berjodoh, sekalipun
Sam yap koai mo berhasil memperoleh kitab pusaka tersebut,
oleh karena dia tidak mengetahui rahasianya, maka benda
tersebut sama artinya dengan benda yang tak berguna,
kecuali memusnahkan-nya, tak mungkin ada cara lain yang
dapat di tempuh."
Suma Thian yu mengira ucapan itu hanya kata-kata
menghibur dari Keng ken taysu, karenanya penderitaan serta
rasa masgulnya sama sekali tidak berkurang.
Keng sim taysu yang bermata jeli dapat menebak hati
Suma Thian yu, namun dia tidak menegur atau menghiburnya,
seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu apapun, ia duduk
tenang disamping.
Tak lama kemudian Keng Khong taysu sudah muncul
kembali didalam ruangan.
Dengan wajah berseri Keng sim taysu segera berkata:
"Sicu, kecurigaanmu kini sudah hilang, nah, Keng Khong,
berikan botol air Biau heng sui tersebut kepada siauhiap"
Keng khong taysu menyodorkan botol kecil itu kehadapan
Suma Thian yu, kemudian katanya:
"Harap kau suka menyimpannya baik-baik sebab air obat ini
dapat membantumu untuk memperoleh kepandaian sakti"
Seraya bertata, dia pun mengajarkan bagaimana caranya
mempergunakan air tersebut.
Air didalam botol kecil itu nampaknya saja biasa tapi bila
dibubuhkan diatas kertas, maka kertas itu akan robek
sehingga terlihat tulisan yang tertinggal didalamnya.
Suma Thian yu menerima air Biau heng sui itu dengan
perasaan terharu, sambil menjura dalam-dalam pada Keng sim
taysu, katanya:
"Terima kasih banyak toa suhu, budi kebaikan ini entah
sampai kapan baru dapat terbalas"
Setelah berhenti sejenak, mendadak ia seperti teringat
akan sesuatu, tanyanya:
"Toa suhu, bila kitab pusaka tersebut berhasil kuperoleh,
apakah harus kukembalikan kemari?"
Keng sim taysu tertawa terbahak-bahak.
"Benda mestika hanya akan diperoleh bagi mereka yang
berjodoh, lolap merasa tak punya jodoh dengan benda itu dan
tak berani memikirkannya. Apalagi toa supek lolap Ku hay
siansu pernah berpesan agar kami tidak terlibat dalam
perebutan tersebut, karena nya sicu boleh memperoleh benda
mana sebagai hadiah"
Sekali lagi Suma Thian yu menjura dalam-dalam kemudian
baru berpamitan.
Gara-gara ulahku, kuil taysu sudah kubuat tak tenang,
untuk itu mohon maaf yang sebesar-besarnya, dan budi
kebaikan kalian tak pernah akan kulupakan"
Diiringi It hok taysu, berangkatlah pemuda itu
meninggalkan kuil Budhala si.
Dengan perasaan minta maaf It hok taysu berkata secara
tiba-tiba:
"Tan siauhiap, apakah kau masih mendendam kepada
pinceng karena sudah memabukkan dirimu?"
Suma Thian yu merasa tidak enak hati sendiri karena sudah
berbohong selama ini cepat-cepat ujarnya:
"Lapor taysu, aku she Suma bukan she Tan, bila selama ini
sengaja kurahasiakan namaku, harap taysu sudi memaafkan"
Mendengar ucapan mana, It hok taysu segera tertawa
terbahak-bahak.
"Haa... haa... haaa... siapa yang tidak tahu dia tak
bersalah, kita tak ada yang berhutang kepada siapa.... !"
Suma Thian yu pun mendongakkan kepalanya sambil
tertawa terbahak-bahak, sambil menggenggam tangan It hok
taysu dengan terharu serunya:
"Taysu kau terlalu baik, Kebesaran jiwamu membuatku
terharu, Thian yu pasti akan berusaha mengambil kebaikanmu
demi kesejahteraan umat persilatan"
Sambil tertawa It hok taysu menggelengkan kepalanya
berulang kali, sahutnya:
"Suma siauhiap tak usah menempeli emas diwajah pinceng,
apakah perbuatanmu ini tidak akan membuatku kehilangan
muka,
kemudian sambil memandang ke tempat kejauhan, dia
menghela napas sedih sembari berkata lagi:
"Sinar fajar sudah mulai menyingsing, pinceng harus segera
melakukan sembahyang pagi, biar kuhantar siauhiap sampai di
sini saja, moga-moga kau dapat menjaga diri baik-baik"
"Harap taysu baik-baik pula menjaga diri" kata Suma Thian
yu pula sementara air matanya bercucuran membasahi
seluruh wajahnya.
Cepat-cepat dia berpaling ke arah lain dan segera
berangkat meninggalkan kuil Budhala si.
Menanti bayangan punggung pemuda itu sudah lenyap dari
pandangan mata, It hok taysu baru kembali ke kuil.
Sepanjang jalan Suma Thian yu merasa hatinya girang tak
terlukiskan sebab per jalanannya kali ini tidak sia-sia, selain
memperoleh sebotol air Biau heng sui, dia pun banyak
memperoleh penjelasan tentang kitab pusaka Kun tun kan kun
huan siu cin keng.
Paling tidak ia merasa berlega hati sebab kitab tersebut di
tangan Sam yap koay mo hanya ibarat kertas tak berguna,
bayangkan saja tanpa air biau heng yok sui, bagaimana
mungkin dia dapat memperoleh isi dari kitab pusaka tersebut!
Dengan membawa perasaan yang gembira dan
mengayunkan langkah yang ringan ia berjalan keluar dari
pintu kota Lhasa.
Diluar kota Lhasa terbentang sebuah hutan yang lebat,
jalan raya disitu memang diapit oleh pepohonan yang sangat
lebat.
Sambil bersiul dan menikmati keindahan alam, Suma Thian
yu menempuh perjalanan nya dengan santai.
Yaaa, saat ini perasaan Suma thian yu memang diliputi
kegembiraan yang luar biasa, terutama sekali sesudah
mengetahui kalau kulit kertas tersebut adalah sebuah kitab
pusaka yang dicari, ia semakin gembira lagi.
Menurut rencana, setibanya di daratan Tionggoan nanti, dia
akan mencari sam yap koay mo serta Coa tau jin mo
kemudian merebut kembali kitab pusaka itu. Jika kepandaian
silat yang berada di dalam kitab pusaka itu sudah berhasil
dipelajari, bukan saja dendam sakit hatinya akan terbalas,
sakit hati pamannya pun akan dilunasi.
manusia memang mahkluk yang aneh, sewaktu berangkat
dari Tionggoan menuju ke Tibet, Suma thian yu merasa
perjalanan amat jauh dan tidak sampai sampai, sebab dia
merasa tidak memiliki keyakinan dengan keberhasilan
perjalanannya, dia kehilangan rasa percayanya pada diri
sendiri serta harapan.
Berbeda sekali dalam perjalanan kembalinya dari Tibet ke
tionggoan, kali ini dia membawa pengharapan yang besar,
pulang dengan perasaan gembira, maka perjalanan pun terasa
jauh lebih cepat.
Mosha adalah nama suatu tempat terpenting yang harus
dilewati bagi orang dalam perjalanan Tibet menuju ke
Kimkhong.
Suatu hari, sampailah Suma thian yu di kota Mosha.
Sewaktu memasuki pintu kota, tiba-tiba dari arah depan
sana muncul seorang pemuda.
Dengan ketajaman mata yang dimiliki Suma Thian yu,
dalam sekilas pandangan saja dapat mengenali pemuda
tersebut sebagai Chin Siau, terkesiap hatinya, buru-buru dia
membalikkan badannya dan mengurangkan niatnya masuk
kedalam kota.
Siapa tahu pihak lawan telah mengetahui jejaknya, baru
saja Suma Thian yu membalikan badan, mendadak terdengar
Chin Siau membentak keras:
"Bocah keparat, jangan kabur dulu!"
Suma thian yu sama sekali tidak jeri kepadanya, melainkan
kuatir kalau kesalahan paham tersebut tak dapat dihilangkan
sehingga mengakibatkan terjadinya pembunuhan yang tak
berguna.
Apalagi dia sudah terlalu banyak menanamkan bibit
permusuhan, jika dia mesti menghadapi si pendeta buta lagi,
berarti dia mesti menghadapi seorang musuh yang amat
tangguh.
Bukan begitu saja, bahkan kesalahan paham orang
persilatan terhadap dirinya akan semakin sukar dihilangkan.
Oleh karena itu kecuali menyingkir rasanya tiada cara lain
yang bisa dipergunakan lagi.
Tanpa berpaling dia menelusuri jalan ke cil dan buru-buru
menjauhi tempat tersebut.
Bagaikan sepotong besi semberani saja, dengan ketat Chin
Siau mengejar tiada hentinya dibelakang pemuda itu, bahkan
sambil mengejar teriaknya berulang kali:
"Bocah keparat! Kalau kau memang bernyali jangan kabur,
saat kematianmu sudah tiba, pokoknya kau mesti membayar
nyawa sekeluarga yang telah kau bunuh itu!"
Suma Thian yu sama sekali tidak menggubris, malah kabur
semakin cepat.
Begitulah, yang satu kabur yang lain mengejar, mereka
saling berkejar kejaran ba gaikan bermain petak umpat.
Lambat laun ujung jalan kecil sudah sampai, dihadapan
mereka terbentang sebuah hutan belukar yang sangat lebat.
Suma thian yu yang berlarian dimuka kelihatan agak sangsi
sejenak, namun akhirnya dia menerobos masuk ke dalam
hutan dengan kecepatan tinggi. Chin Siau yang mengejar
dibelakangnya pun seakan-akan sudah lupa atas pantangan
untuk mengejar ke dalam hutan, tanpa berpikir panjang dia
mengejar masuk. Di dalam keadaan begini, Suma Thian yu
tidak memilih arah lagi, dia hanya tahu pergi secepatnya
menjahui musuh.
Mendadak pandangan matanya menjadi terang, didepan
mereka terbentang sebuah bukit yang gundul dengan batuan
karang yang tajam, bentuknya seperti kuburan sedangkan
batuan yang mencuat ke sana ke mari bagaikan batu
nisannya.
Suma thian yu berhenti sejenak untuk memperhatikan
sekeliling tempat itu, mendadak ia jumpai batu peringatan
yang terpasang disebelah kanan.
Ketika diamati, maka tampak olehnya batu peringatan
tersebut berbunyi demikian:
"Lembah lebah beracun, pendatang harap berhenti!"
Suma Thian yu tertawa terbahak-bahak, dengan cepat dia
menjejakkan kakinya menerobos masuk kedalam tanah
perbukitan tersebut.
Chin Siau yang menyusul dari belakang serentak
menghentikan langkahnya di tepi hutan sambil berteriak
keras:
"Hei bocah keparat! Mengapa kau lebih suka mampus
diujung sengatan lebah beracun daripada mati diujung pedang
aku orang she Chin?"
Suma Thian yu segera menghentikan langkahnya, lalu
sembari berpaling dan tertawa terbahak-bahak jengeknya:
"Saudara Chin, diantara kita belum pernah terjalin
permusuhan apapun, hari ini tanpa sebab tanpa musabab
mengapa kau mengejar diriku terus menerus? Thian yu bukan
manusia yang takut urusan, tapi aku tak ingin melakukan
pembunuhan yang tak berguna, bersediakah kau untuk
mendengarkan perkataanku?"
"Orang she Suma, kau tak usah banyak berbicara yang
bukan-bukan, jemu aku mendengarnya, bila punya
keberanian, ayo keluar dari dari sana dan kita bereskan
dengan pertarungan" bentak Chin Siau penuh kegusaran.
Suma Thian yu segera menghela napas panjang.
"Aai.....kalau toh urusan ini tak bisa diselesaikan secara
baik-baik, silahkan saudara Chin masuk kemari."
"Hmm, kau anggap lembah lebah beracun bisa membuat
aku orang she Chin menjadi takut?"
Begitu selesai berkata, dia lantas melejit ke udara dan
melompat kehadapan Suma thian yu sambil meloloskan
pedangnya.
Pelan-pelan Suma Thian yu meloloskan pula pedangnya,
kemudian sambil tertawa getir ia berkata.
"Saudara Chin sampai hari ini apakah kau masih tetap
menuduh aku sebagai musuh besar pembunuh ayahmu? Kau
keliru besar, kekeliruan yang runyam, aku berani bersumpah
tak pernah melakukan perbuatan yang merugikan orang
banyak, bila kau ingin berduel boleh saja, andaikata aku
sampai tewas diujung pedangmu nanti, aku harap kau suka
menyelidiki masalah ini bagiku hingga duduknya persoalan
menjadi jelas"
"Inikah pesan terakhir mu?" tanya Chin Siau dengan suara
sedingin salju.
"Betul! Harimau mati meninggalkan kulit, manusia mati
meninggalkan nama, bagi orang persilatan, nama adalah
masalah yang amat penting melebihi segala-galanya.
Seandainya aku adalah manusia yang benar-benar rendah
seperti apa yang kau bayangkan, buat apa aku mesti
merengek kepadamu?"
"Sebab kau takut mati, hanya jalan merengek baru bisa
membebaskan dirimu dari kematian" Chin Siau seperti
binatang berdarah dingin saja, menjawab dengan ketus.
"Ooh, kalau begitu kau menganggap aku takut kepadamu?"
seru Suma thian yu kemudian sambil tertawa nyaring.
"Kalau bukan begitu, mengapa kau harus menghindar dan
memohon pengampunan dariku?"
Tanpa terasa Suma thian yu mendongakkan kepalanya dan
tertawa nyaring, suaranya keras memekikkan telinga sehingga
seluruh angkasa mendengung keras dan menggema sampai
dimana-mana.
Selesai tertawa, dengan sorot mata yang memancarkan
cahaya tajam, dia menatap wajah Chin Siau lekat-lekat,
kemudian serunya:
"Saudara Chin, silahkan kau lancarkan seranganmu, tak
usah sungkan-sungkan, silahkan menyerang seluruh bagian
mematikan tubuhku, dalam sepuluh gebrakan mendatang aku
akan membuatmu takluk...".
Chin Siau meraung gusar, pedangnya disodokkan datar
kemuka dengan jurus jit gwat cing kong (matahari rembulan
berebut cahaya), sedemikian cepatnya serangan ttersebut
bagaikan serentetan cahaya tajam yang menembusi angkasa.
Suma Thian yu merasakan pandangan matanya menjadi
kabur, tahu-tahu dia merasa cahaya pedang lawan yang
berhawa dingin sudah menyentuh pundaknya.
Dalam terkesiapnya dia mengegos kesamping lalu meluncur
ke arah luar arena.
Kepandaian silat andalan dari Chin Siau adalah ilmu pedang
Tay hap kok dan ilmu silat negeri asing, gurunya Bu bok ceng
merupakan seorang jago pedang kenamaan, dia adalah
pencipta ilmu pedang mata buta yang termasyur.
Disaat hendak melancarkan serangannya Chin Siau selalu
memejamkan matanya rapat-rapat, dia selalu mempergunakan
pen dengarannya yang tajam untuk mengawasi gerak-gerik
lawannya.
Berbicara dari tenaga dalam yang dimilikinya sekarang,
entah seekor nyamuk, entah selembar daun yang lewat
disisinya, tak pernah ada yang terlepas dari pengawasan-nya.
Ilmu pedang semacam ini boleh dibilang merupakan sejenis
ilmu pedang yang maha dahsyat dan luar biasa.
Suma Thian yu sudah terlanjur mengatakan akan
menaklukan musuhnya dalam sepuluh gebrakan, dia tak
berani berayal lagi, dengan mengembangkan ilmu pedang Bu
beng kiam hoat ajaran Ciong liong lo sianjin, ia lancarkan
beberapa serangan balasan.
Cahaya tajam memancar kemana-mana, angin serangan
menderu-deru, dua lapis cahaya pedang yang menyilaukan
mata sebentar kedepan sebentar lagi kebelakang, sebentar
kekiri sebentar lagi kekanan, hanya didalam sekejap mata saja
delapan jurus serangan telah dilancarkan.
Melihat tinggal dua jurus lagi, Chin Siau segera tertewa
terbahak-bahak.
"Haa...haaa...haaa...tinggal dua jurus lagi, bocah keparat,
rupanya kaupun punya gentong nasi belaka”
Suma Thian yu tertawa nyaring, mendadak seluruh
tubuhnya melejit ketengah udara, pedangnya bergetar keras
dan mengembangkan cahaya yang amat menyilaukan mata,
bagaikan titiran hujan deras senjata tersebut mengurung
seluruh tubuh Chin Siau.
"Hanya satu jurus inipun sudah cukup untuk merenggut
nyawamu...!" seru Thian yu nyaring.
Betapa terkesiapnya Chin Siau setelah menyaksikan
datangnya ancaman tersebut, ternyata dibalik selapis cahaya
pedang terselip pula kekuatan maha dahsyat yang menekan
kearahnya.
Terdesak oleh keadaan, Chin Siau segera mengeluarkan
jurus Ki hwee liau thian (mengangkat obor membakar langit),
diam-diam segenap tenaga dalamnya disalurkan keujung
pedang lalu digetarkan kearah depan.
Bentrokan nyaring bergema memecahkan keheningan,
menyusul kemudian terdengar jerit kesakitan.
Chin Siau mundur dengan sempoyongan.
Pakaian pada bahu kirinya robek besar dan muncul sebuah
mulut luka sepanjang tiga inci, darah segar mengucur keluar
tiada hentinya.
Pada saat yang bersamaan Suma Thian yu melayang turun
pula keatas tanah, katanya sambil menjura:
"Terima kasih atas kebesaran jiwa Chin heng!"
Mimpi pun Chin Siau tidak menyangka kalau Suma thian yu
memiliki ilmu pedang yang tiada tandingannya di kolong
langit, dengan kekalahannya yang begini tragis ini, maka dia
merasa tak punya muka lagi untuk hidup terus disitu.
Setelah tertawa sedih, dia menyimpan kembali pedangnya
dan kabur kearah lembah.
Menyaksikan pemuda itu bukan menuju keluar lembah,
sebaliknya malahan memasuki lembah terlarang tersebut,
dengan terkejut Suma Thian yu berseru:
Saudara Chin, jangan masuk lebih kedalam, tempat
tersebut adalah lembah lebah beracun!"
Sayang sekali keadaan sudah terlambat, karena Chin Siau
sudah tidak nampak lagi bayangan tubuhnya.
Suma Thian yu tak berani berayal, cepat dia menjejakkan
kakinya ketanah, kemudian secepat kilat meluncur masuk juga
kedasar lembah tersebut. Tatkala tiba didasar lembah, tiba-
tiba seluruh udara dipenuhi oleh suara dengungan
yang amat nyaring, ketika Suma Thian yu mendongakkan
kepalanya, terlihat ada sekelompok lebah beracun sedang
menerjang kearahnya dengan dahsyat.
Serentak Suma Thian yu meloloskan pedangnya,
menjumpai datangnya terjangan dari kawan lebah tersebut, ia
membentak keras, pedangnya digetarkan menciptakan selapis
cahaya tajam dan menyambar kawanan lebah tersebut.
Didalam waktu singkat puluhan ekor lebah beracun telah
berguguran ditanah.
Suma Thian yu sangat menguatirkan keselamatan jiwa Chin
Siau, memanfaatkan kesempatan tersebut dia melirik
kesamping. Tampak olehnya Chin Siau sedang maju
sempoyongan kearah lapisan hutan yang amat lebat itu,
keadaannya tidak berbeda dengan orang yang sedang mabuk
arak.
Dari situ dapat diketahui bahwa dia sudah terluka oleh
sengatan lebah beracun.
Suma Thian yu segera berpekik nyaring, dia melejit
keudara sambil memutar pedangnya menciptakan selapis
kabut pedang yang berkilauan, sementara telapak tangan kiri
nya melepaskan pula segulung pukulan yang maha dahsyat.
Dalam waktu singkat serombongan besar lebah-lebah
beracun itu sudah pada mati di ujung pedangnya, ada pula
yang takut oleh tenaga pukulanya yang maha dahsyat,
serentak membubarkan diri.
Dengan cepat Suma Thian yu mengeluarkan ilmu
meringankan tubuh Pat poh kan sian (delapan langkah
mengejar comberet) nya yang lihay, cukup didalam berapa
kali lompatan saja ia sudah berhasil mengejar kehadapan Chin
Siau.
Rupanya Chin Siau yang menerobos masuk kedasar lembah
bertindak kurang cermat dan terlampau gegabah sehingga tak
ampun tubuhnya tersengat lebah beracun.
Racun yang ganas dan cepat menyebar seluruh badannyn
dan menggerogoti per tahanan tubuhnya, lambat laun dia
menjadi lemah dan kehabisan tenaga.
Menyadari ancaman bahaya yang mengincar keselamatan
jiwanya, dengan sekuat tenaga Chin Siau mengerahkan sisa
kekuatan yang dimilikinya untuk meloloskan diri.
Baru saja dia bersyukur karena berhasil lolos dari
pengejaran kawanan lebah beracun itu, mendadak tampak
olehnya Suma Thian yu melayang turun tepat dihadapan
mukanya.
Merasa jalan perginya terhadang, meluap hawa amarah
Chin Siau, dengan sorot mata membara dan menggertak gigi
menahan benci, umpatnya keras-keras:"Bocah keparat, kau
enggan melepaskan aku?"
Tanpa menjawab sepatah katapun jua se cepat kilat Suma
Thian yu menotok tiga buah jalan darah penting di tubuh Chin
Siau, kemudian sambil menggertak gigi lagi masuk kedalam
hutan lebat itu.
Setibanya didalam hutan, Suma Thian yu mencari suatu
tempat yang kosong dan se cepatnya membaringkan Chin
Siau ketanah, tangan kirinya cepat ditempelkan ke atas mulut
luka bekas sengatan lebah beracun, dan menghisapnya
dengan tenaga dalam.
Kalau dibicarakan memang aneh kedengarannya,
berbareng dengan hisapan tersebut, segumpal darah kental
yang membawa bau busuk yang sangat amis menyembur
keluar dari tubuh Chin Siau, tatkala menyentuh telapak tangan
kiri Suma Thian yu, segera berubah menjadi segumpal air
hitam dan meleleh ketanah.
Dengan berhati-hati sekali Suma Thian yu mengobati
lukanya itu, lebih kurang seperminum teh kemudian paras
muka Chin Siau berubah menjadi memerah kembali.
Melihat usaha pertolongan mulai berhasil, Suma Thian yu
pun membebaskan kembali pengaruh totokannya.
Ketika Chin iau mendusin, orang pertama yang terlihat
olehnya adalah Suma thian yu, mendadak dia melompat
bangun sambil berteriak gusar:
"Bocah keparat, bagus amat perbuatanmu? Kalau kau
memang jantan, bunuhlah aku!"
"Eeh...aku toh sudah menyelamatkan jiwa saudara Chin,
kenapa kau malah mengumpatku?" Suma Thian yu tersenyum.
"Bocah keparat yang tak tahu diri, kau tak usah membuat
pahala untukku, percuma aku orang she Chin tak sudi
menerima budi kebaikanmu itu!"
"Plaaak!" Suma Thian yu menampar wajah Chin Siau keras-
keras, lalu bentaknya gusar:
"Kau manusia yang tak punya liangsim, seandainya aku
berniat membunuhmu, hal ini bisa kulakukan dengan mudah
sekali bagaikan membalikan telapak tangan, buat apa jiwamu
mesti kuselamatkan? Dengarkan Perkataanku baik-baik, orang
yang membunuh ayahmu adalah orang-orang dari Hek bin
pang yang sedang merajalela dalam dunia persilatan dewasa
ini, dan kau telah dibodohi mereka untuk bermusuhan dengan
Bila kau adalah manusia yang pintar dengan pikiran yang
wajar, semestinya segala persoalan kau pikirkan tiga kali
sebelum bertindak, mengapa kau percaya dengan perkataan
orang dengan begitu saja?"
"Kau mempunyai bukti apa yang menunjukkan bahwa pihak
Hek bin pang yang melakukan pembunuhan ini?" bantah Chin
Siau.
"Justru karena duduk persoalannya belum jelas, maka aku
selalu berusaha menghindarimu, sebelum masalahnya menjadi
je las aku tak ingin berbicara denganmu"
"Kalau toh demikian, bagaimana pula dengan masa ah
perkosaan yang kau lakukan terhadap perempuan-perempuan
muda dari keluarga Kang serta menghabisi seluruh anggota
keluarganya?"
"Keluarga Kang? Keluarga Yang mana?"
Chin Siau tertawa seram, "orang she Suma, kau tak usah
berlagak pilon, permainan semacam itu sudah ku kenali, buat
apa mesti kau ulangi taktik yang sama?"
Secara ringkas dia lantas menceritakan bagaimana dia
mengalami pelbagai kejadian setelah kepergian Suma Thian
yu dari bukit Ngo tay san tempo hari....
Setelah itu dia balik bertanya:
"Bagaimana kau hendak membantah?"
Dengan wajah serius Suma Thian yu meng gelengkan
kepalanya berulang kali, sahut nya sambil menghela napas:
"Aaai, nasibku benar-benar sangat buruk, dimana-mana
selalu difitnah orang, aku tak ingin membantah apapun, sebab
aku memang tak kenal dengan manusia she Kang tersebut."
Chin Siau segera bangkit berdiri, setelah melototi Suma
Thian yu sekejap, dia berseru:
"Hadiah tusukanmu pada hari ini... tidak pernah akan
kulupakan, selama gunung nan hijau, air tetap mengalir, bila
kita bersua kembali, saat itulah kematianmu akan tiba!"
Kemudian tanpa berpaling lagi dia turrun dari bukit
tersebut.
Memandangi bayangan punggungnya, Suma Thian yu
kembali merasakan hatinya seakan-akan diselubungi selapis
bayangan hitam, dia lupa memanggil Chin Siau, padahal
memanggilpun percuma karena kesalah pahaman kedua belah
pihak kelewat mendalam dan tak mungkin bisa diselesaikan
dengan sepatah dua patah kata saja.
Saat ini, dia seakan-akan sudah kehilangan kegembiraan,
api harapan yang baru saja timbul seketika padam oleh
perkataan dari Chin Siau tersebut, dia merasa terbuai kembali
ketepi jurang keputus asaan.
Entah berapa lama dia termenung, dalam pandangan
matanya seolah olah muncul banyak sekali iblis berwajah
seram yang me narik, meraung dan mengejek dihapannya, dia
benci, dia amat membenci.
Akhirnya ia tak kuasa menahan diri lagi, pedang Kit hong
kiam nya segera diloloskan.
Pekikan nyaring yang menusuk pendengaran memancar
keluar dari mulutnya menyusul kemudian terdengar dia
meraung gusar:
"Setan iblis, aku akan beradu jiwa dengan kalian!"
Ditengah gelak tertawa yang menyeramkan,pedangnya
diputar kencang dan membelah bayangan semu yang muncul
dihadapan mukanya.
Tapi bayangan bayangan semu yang mengelilingi
sekitarnya masih saja berteriak, menjerit sambil tertawa
seram.
Kesedihan yang melampaui batas membuat kesadaran
Suma Thian yu menjadi kalut dan menghilang.
Pada mulanya bayangan semu yang menari-nari
dihadapannya hanya berapa gelintir, namun lambat laun
semakin bertambah hingga akhirnya bayangan yang muncul
dihadapannya hanyalah bayangan dari musuh-musuhnya.
Suma Thian yu mengembangkan permainan Kit hong kiam
hoatnya dengan membacok kekanan membabat ke kiri,
mencukil keutara menyayat keselatan.
Tapi semua bayangan tersebut tidak pernah membuyar,
ketika ia mendesak kemuka bayangan itu mundur ke
belakang, lambat laun dia mulai menyerbu masuk kedalam
hutan belantara.
Setiap babatan pedang Kit hong kimm di lancarkan,
sebatang bambu segera roboh ke tanah, bayangan semu yang
muncul dihadapan-nya juga turut lenyap sebuah.
Akhirnya Suma Thian yu peroleh kemenangan, disaat
semua bayangan semu dihadapan matanya lenyap,
kesadarannya pulih kembali, tetapi semua tulang belulangnya
terasa linu dan sakit, saking lelahnya dia sampai roboh
terjengkang keatas tanah.
Saat itulah dia baru menemukan dirinya telah balik kembali
kesisi lembah lebah beracun.
Selisihnya hanya sedikit sekali, asal Suma Thian yu maju
selangkah lagi dan masuk kedalam lembah maka
pemandangan yang semakin aneh akan bermunculan.
Empat sekeliling merupakan pepohonan besar yang berusia
ribuan tahun dengan bukiit karang ditengahnya, antara bukit
dan hutan merupakan sebuah selat sempit yang mungkin
dulunya berupa sebuah sungai, tapi air surgai yang mengering
membuat tempat tersebut berubah menjadi sebuah lembah.
Didalam lembah tersebut berdiam beribu ekor lebah
beracun, yang paling aneh lagi lebah-lebah beracun itu selalu
hidup didalam lembah dan tak pernah terbang ke luar hutan
atau terbang kebukit karang yang gundul.
Suma Thian yu duduk diantara perbatasan antara lembah
dengan hutan, disitu dia tak usah kuatir diserang lebah
beracun.
Adakalanya seregu kecil lebah beracun melintas dihadapan
matanya, namun tak seekorpun yang menyerang pemuda itu.
Bayangkan saja, bukankah hal ini aneh sekali?
Ketika pikiran dan kesadaran Suma thian yu menjadi jernih
kembali, dia baru menemukan bahwa baru saja dia mendapat
impian yang menakutkan dan berakibat dia kehabisan tenaga
dan lemas.
Serta merta pemuda itu duduk bersilah di lantai sambil
mengatur pernapasan, berapa saat kemudian kekuatan
tubuhnya baru pulih kembali sedia kala.
Ingatan demi ingatan baru mulai melintas di dalam
benaknya, dia mulai memperhatikan lebah-lebah beracun yang
terbang melintas di hadapan mukanya.
Ketika ia jumpai lebah-lebah beracun dalam lembah itu tak
pernah berani terbang melewati perbatasan lembah, dengan
wajah berseri segera guman-nya:
"OOhh, rupanya di dalam lembah ini berdiam seorang
gembong iblis, akan kulihat manusia macam apakah yang
memiliki kepandaian sedemikian hebatnya sehingga dapat
mengendalikan lebah-lebah beracun tersebut....."
Dengan pedang Kit hong kiam terhumus, dia menelusuri
sisi hutan dan selangkah demi selangkah memasuki lembah
itu, tiba-tiba ia jumpai serombongan besar lebah beracun
bergerombol disitu bagaikan selapis awan hitam.
Dengan cepat Suma Thian yu menghentikan langkahnya
sambil melongok sekejap ke dalam lembah, lebih kurang dua
kaki dihadapannya ia saksikan ada seorang manusia setengah
telanjang sedang berbaring di situ.
Melihat kejadian terseeut, Suma Thian yu menjadi sangat
terkejut, timbul kembali sifat ksatrianya untuk menyelamatkan
orang tersebut dari ancaman, tanpa berpikir panjang dia
langsung menerjang kearah orang itu.
Siapa tahu baru saja dia melangkah masuk ke dalam
lembah, kawanan lebah beracun yang berada di angkasa itu
memisahkan diri menjadi dua rombongan dan disertai suara
berisik satu rombongan menyerang Suma thian yu sementara
rombongan lain melayang ketubuh kakek setengah telanjang
itu.
Berpuluh ribu ekor lebah beracun bersama-sama menempel
ditubuh kakek itu sehingga tinggal sepasang matanya saja
yang nampak.
Suma Thian yu ingin menolong orang itu secepatnya,
sambil berpekik panjang pedangnya diputar menciptakan
berlapis-lapis cahaya sinar yang menciptakan selapis jaring
pedang yang melindurgi seluruh badannya, kemudian dengan
suatu kecepatan luar biasa menyerang kawanan lebah
beracun itu.
Ketika kawanan lebah beracun itu menyerang hingga
kehadapannya, binatang-binatang tersebut segera terhenti
diluar la pisan cahaya pedang itu.
Mengetahui bahwa kawanan lebah tersebut tak sanggup
menyerang kedalam, Suma Thian yu melejit kedepan dan
menerjang ke sisi si kakek yang sedang berbaring diatas tanah
itu sembari teriaknya:
"Jangan bergerak, akan kubantu kau untuk membebaskan
diri dari kurungan"
Pedang Kit hong kiam nya dibabat mendatar kedepan
membuat beratus-ratus ekor lebah menempel di tubuh kakek
itu rontok ketanah, menyusul kemudian sebuah pukulan angin
dingin yang menusuk tulang menerjang ke depan dada kakek
setengah telanjang tersebut...
Dalam waktu singkat kawanan lebah beracun itu tersapu
bersih oleh angin serangannya itu.
Suma Thian yu menjadi girang serengah mati, cepat dia
berjongkok disamping tubuh kakek itu berniat menariknya
bangun.
Siapa tahu pada saat itulah terdengar suara tertawa itu
berasal dari sikakek setengah telanjang tersebut.
Betapa terkejutnya Suma Thian yu, dengan cepat dia
menahan diri sambil melom pat mundur sejauh beberapa
langkah.
Sambil tertawa seram kakek yang berbaring ditanah itu
melompat bangun, matanya yang hijau tajam nampak
mengamati wajah Suma thian yu tanpa berkedip.
"Manusia liar dari mana yang berani mencari gara-gara
dilembah lebah beracun?" hardiknya sambil menyeringai, "ayo
cepat berlutut untuk menerima kematian!"
Suma thian yu hanya menjerit kaget, dia menjerit bukan
lantaran ucapan si kakek setengah telanjang tersebut,
melainkan kekebalan si kakek terhadap sengatan lebah
beracun. Apakah dia tak takut lebah? Betul-betul suatu
kejadian yang sangat aneh.
Tanpa terasa dia memperhatikan sekejap kakek setengah
telanjang itu, dia berusia tujuh puluh tahunan, berwajah
penuh codet, berewok dan rambutnya kaku, bulu dadanya
tebal, potongannya selain aneh juga menyeramkan.
Mendadak kakek setengah telanjang itu merentangkan
tangannya ketengah udara, serombongan lebah beracun
segera terbang hinggap diatas telapak tangannya itu.
Menyaksikan hal mana, Suma thian yu menjadi paham,
rupanya kakek aneh tersebut tak lain adalah Raja lembah
lebah beracun.
Berpikir demikian, diapun mengamati kawanan lebah
beracun tersebut dengan lebih seksama akhirnya dia berhasil
menyaksikan sesuatu kejanggalan.
Mendadak terdengar kakek setengah telanjang itu berseru
sambil tertawa seram:
"Manusia liar, ayo cepat berlutut, kau anggap masih bisa
keluar dari lembah ini dalam keadaan hidup?"
"Aku hanya secara kebetulan lewat disini" ujar Suma Thian
yu dengan wajah serius, "justru karena melihat nyawamu
terancam dan tak tega membiarkan tubuhmu disengat lebah
beracun, aku khusus kemari untuk menolongmu, siapa tahu
kau tak cuma mem balas air susu dengan air tuba, hendak
membunuhku lagi. Bayangkan sendiri, sebenarnya kau ini
manusia atau hewan?"
Kakek setengah telanjang itu tertawa seram.
"Anak jadah aku adaIah dewa yang turun dari kahyangan
untuk menguasahi lembah lebah beracun, entah manusia
entah hewan, asal berani melangkah masuk kedalam lembah
ini maka dia tak boleh dibiarkan hidup terus. Barusan kau
telah membunuh beribu ekor anak buahku, hanya dengan
jalan melumat tubuhmu dan memberikannya seba gai mangsa
lebah baru dapat melampiaskan, rasa benciku"
Suma Thian yu memperhatikan kakek itu dengan seksama,
semakin dipandang dia merasa kakek itu semakin tak mirip
dengan orang jahat, akhirnya sambil tertawa hambar dia
berkata:
"Tolong tanya cianpwee, apakah kau masih punya
peraturan lain yang bisa mengampuni kesalahanku yang tak
disengaja ini?"
"Tidak ada!" kakek setengah telanjang itu menggeleng.
Suma thian yu adalah pemuda yang cerdik dan cekatan,
menghadapi manusia liar seperti ini dia hanya boleh
menghadapi dengan sikap menghormat dan mengalah,
dengan begitu dia baru lolos dari ancaman bahaya.
Maka ujarnya sambil tersenyum:
Seandainya aku bisa melakukan suatu pekerjaan untuk
menebus dosa atau menukar dosa dengan sesuatu benda
misalnya?"
"Tidak ada!"
Sikap kakek setengah telanjang itu masih tetap seperti
sedia kalah, angkuh dan kaku seakan-akan dia memang
benar-benar dewa dari kahyangan.
Suma Thian yu tertawa terbahak-bahak:
"Haaa... haaa... haaa... aku benar-benar sudah
dipecundangi, tak disangka telah salah melihat orang!"
"Hei, apa yang kau tertawakan?" bentak kakek setengah
telanjang itu keheranan, "kematian sudah berada didepan
mata, apa lagi yang perlu kau tertawakan?"
"Katanya saja dewa dari kahyangan yang di tugaskan
menjadi Tay ong (Raja) di lembah lebah beracun, nyatanya
tidak bisa membuat peraturan, apakah hal ini tidak lucu?"
Mendengar perkataan tersebut, si kakek setengah telanjang
itu tertegun, kemudian setelah termenung
sejenak dia tertawa tertawa terbahak-bahak:
"Haaaa... haa... haaa... benar, sebagai tay ong memang
dapat membuat pe raturan, peraturan apa yang harus
kubuat?"
Suma Thian yu semakin geli lagi setelah menyaksikan
ketololan si kakek tersebut pikirnya:
"Manusia liar ini benar-benar menggelikan sekali, baru saja
sikapnya garang dan mengerikan, tapi sekarang dia malahan
jinak dan halus.... nampaknya ucapan Khong cu memang
benar bila kita bersikap manis budi, biar manusia biadap pun
bisa di bikin takluk...."
oOoooooooooo
BERPIKIR demikian, diam-diam pemuda itu membuat suatu
tekad, dia hendak manfaatkan kesempatan tersebut untuk
menjinakkan manusia liar tersebut.
"Tay ong" katanya kemudian sambil tersenyum, "kalau toh
kau sanggup memimpin begitu banyak panglima langit lebah
beracun, sudah jelas kau adalah seorang manusia yang pintar
dan hebat, sayang sekali kawanan panglima langit tersebut
hanya bisa men celakai orang dan tak bisa menolong orang,
akibatnya orang hanya akan mengumpat tay ong dan tiada
yang bersedia menghormati mu"
"Apa? Siapa yang berani mengumpat aku?"
Suma Thian yu tertegun dan diam-diam mengeluh:
"Aduh celaka, seandainya sampai menggusarkan manusia
liar ini, entah bagaimanakah akibatnya...?"
Berpikir demikian, buru-buru katanya:
"Ketika aku datang kemari, sepanjang jalan kudengar
banyak penduduk yang mengeluh dan mengomel, katanya
lebah bera cun milik Tay ong itu banyak mencelakai orang"
Ucapan itu tidak saja menggusarkan kakek setengah
telanjang itu, sebliknya dia malah tertawa terbahak-bahak:
"Haaah... haaa... haa... hahahaa... sunggahkah
perkataanmu itu? Ada orang menyebut Tay ong kepadaku?
Haa... hahah... aku harus meninggalkan tempat ini, aku
hendak menguasai mereka semua!"
Sambil berteriak dan menari-nari dia mencak-mencak
dalam lembah tersebut.
Suma Thian yu semakin gelisah setelah mendengar orang
itu hendak meninggalkan lembah tersebut, cepat teriaknya:
"Tay ong, jangan, kau jangan meninggalkan lembah ini"
Serentak si kakek setengah telanjang itu menghentikan
tariannya, sambil menunjukkan wajah gusar, bentaknya keras:
"Siapa berani membangkang perintahku harus dibunuh!"
Seraya berkata telapak tangannya dihadapkan ke langit,
seketika itu juga nampak dua rombongan lebah berkumpul
dan berterbangan disekeliling tempat itu.
Dengan pandangan gusar kakek setengah telanjang itu
berseru kembali:
"Anak jadah, asal kau dapat menjelaskan maksud dari
perkataanmu itu, aku bersedia mengampuni jiwamu, kalau
tidak, cukup sebuah komando dariku, kulit badanmu tak akan
ada yang utuh"
Muak rasa hati Suma Thian yu menyaksikan kakek aneh
yang wataknya luar biasa ini, tapi ingatan lain segera melintas
lewat dia merasa bila manusia aneh ini bisa dibawa ke jalan
yang benar, niscaya hal ini merupakan suatu kebahagiaan bagi
semua orang, maka diapun menyabarkan diri.
Maka sambil tertawa paksa dia berkata:
"Seandainya tay ong sampai meninggalkan lembah ini,
semua panglima langit mu akan kehilangan pemimpin dan
berkelana kemana-mana, bisa jadi mereka akan mengigit
orang dan merugikan masyarakat, seandainya peristiwa ini
sampai terjadi, niscaya nama besarmu akan hancur, itulah
sebabnya harap Tay ong sudi berpikir tiga kali sebelum
bertindak!"
"Tak usah banyak berbicara, ayo cepat berlutut untuk
menerima kematian!" bentak kakek setengah telanjang itu
gusar.
Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, lebah-lebah
beracun yang bergerombol ditengah udara itu menukik
kebawah dengan kecepatan tinggi dan menyerang batok
kepala Suma Thian yu.
Suma Thian yu membentak keras, pedang Kit hong
kiamnya diputar menciptakan selapis bunga pedang.
Kali ini lebah-lebah beracun tersebut bersikap cukup cerdik,
seolah-olah mengetahui akan kelihayan dari ilmu pedang
musuhnya, serentak mereka menyebar keempat penjuru
kemudian membalik arah dan menyerang kembali.
Bila Suma Thian yu sampai teledor dalam keadaan seperti
ini, atau cahaya pedang nya sedikit teledor, segera
rombongan lebah beracun itu menerjang masuk.
Dengan demikian, Suma Thian yu menjadi kerepotan sekali,
disamping harus meng hadapi serbuan kawanan lebah
tersebut, ia pun harus berjaga-jaga terhadap sergapan si
kakek telanjang yang mungkin akan memanfaatkan
kesempatan tersebut.
Dalam keadaan demikian si anak muda itu segera
menjejakkan kakinya ketanah dan kabur meninggalkan
lembah lebah beracun tersebut.
Kalau dibicarakan memang sangat aneh, kawanan lebah
beracun itu hanya mengejar sampai perbatasan lembah
mereka, tak seekorpun diantaranya yang berani terbang
melewati batas tersebut.
Suma Thian yu segera berdiri ditepi hutan itu sambil
serunya kepada kakek setengah telanjang tersebut:
"Tay ong lebah beracun, kau cuma panas disebut raja
dalam lembahmu, bila ke luar dari sini maka keadaanmu
seperti harimau masuk kota, mengenaskan sekali keadaannya"
Kakek setengah telanjang itu berjalan maju kedepan dan
berhenti lima langkah dihadapan Suma Thian yu, kemudian
sambil tertawa terbahak-bahak katanya:
"Oh... betapa gagahnya gayamu bisa masuk keluar dari
lembah lebah beracun seperti memasuki daerah tak bertuan
saja, tapi pernahkah kau pikirkan bahwa lembah lebah
beracun adalah tempat kuburan mu?"
Suma Thian yu tidak memahami apa arti dari ucapan kakek
setengah telanjang itu, dia balik bertanya dengan nada
tercengang:
"Apakah kau hendak keluar dari lembah mu untuk
membekukku kembali?"
Kakek selengah telanjang itu tertawa seram, dia
mengalihkan sorot matanya kearah belakang Suma thian yu,
kemudian sambil menyeringai seram katanya:
"Tentu saja ada orang yang akan menghantar domba
gemuk kehadapanku, asal kau berpaling segala persoalan
akan menjadi jelas dengan sendirinya"
Bergidik hati Suma Thian yu setelah mendengar perkataan
tersebut, dia kuatir kakek setengah telanjang itu memakai tipu
daya, cepat dia berpaling, tapi paras mukanya segera berubah
hebat, jeritnya kaget:
"Aaaa........!"
Apa yang sebenarnya telah terlihat olehnya sehingga
pemuda itu sangat terkejut.
Rupanya dibelakang tubuhnya sekarang telah bertambah
dengan seorang kakek berambut kusut yang mempunyai bulu
tebal diseluruh badannya, disisi kakek itu mendekam seekor
harimau belang yang sedang mengawasi gerak-geriknya
dengan buas.
Memandang perubahan wajah dari Suma Thian yu tersebut,
si kakek setengah telanjang tersebut kembali tertawa
terbahak-ba hak.
"Bagaimana anak jadah? Lebih baik melangkah masuk
kedalam lembah lebah beracun saja, kalau tidak...
heeh...heheh.... aku lihat si harimau belang di belakangmu
kebetulan lagi kelaparan"
Baru saja kakek setengah telanjang itu menyelesaikan kata-
katanya, mendadak terdengar si kakek aneh yang berada di
belakang tubuhnya telah membentak dengan suara yang
menyeramkan"
"Hei bocah, kau jangan mencoba untuk meloloskan diri,
setelah berada di daerah kekuasaanku, kau harus menuruti
segala perintahku..."
Agak lega Suma thian yu setelah mendengar perkataan
tersebut, dia mengira kakek aneh tersebut berniat menolong
dan melindungi jiwanya, dengan girang dia berseru:
"Kau bersedia menolongku?"
Kakek menyeramkan itu kembali tertawa keas:
"Dalam kamus hidupku tak pernah mengenal arti kata
menolong, aku hanya tahu lebih baik seseorang mati diterkam
harimau daripada mati disengat lebah beracun, oleh sebab itu
kau tak usah kesitu, kalau toh harus mati, lebih baik mati
didalam perut harimauku saja."
Sekali lagi Suma Thian yu merasakan hatinya tegang, dia
mendongkol bercampur ge lisah, akhirnya setelah menghela
napas panjang, diputuskan akan beradu jiwa saja.
Mendadak satu ingatan melintas lewat dalam benaknya,
kemudian sambil tertawa ia berkata:
Kalian berdua tak perlu berebut sendiri aku bersedia mati,
hanya saja........"
"Hanya saja kenapa?" ke dua orang kakek itu bertanya
bersama.
Suma Thian yu memandang sekejap lebih dulu ke arah
kakek setengah telanjang itu, kemudian menatap pula kearah
si kakek aneh sebelum pelan-pelan berkata:
"Seekor kuda mustahil mempunyai dua pelana, seorang
gadis tidak mungkin menikah dengan dua orang pria, aku
hanya mempunyai sesosok tubuh, padahal kalian berdua
sama-sama menginginkannya, bagaimana ini persoalan bisa
diselesaikan?"
Baru selesai Suma Thian yu berkata, kedua manusia aneh
tersebut telah menyahut bersama sambil tertawa terbahak-
bahak:
Haaah...haah.....haah..., soal itu mah tidak perlu kau
risaukan, kita bagi seorang setengah kan urusan menjadi
beres"
Tergetar keras perasaan Suma Thian yu setelah mendengar
ucapan itu, diam-diam dia mengeluh.
Semula dianggapnya kedua orang itu tak lebih cuma
manusia liar yang bodoh dan tak punya otak, dengan dua tiga
patah kata hasutan saja dia sudah dapat mengadu domba
mereka,
sedang dirinya akan duduk sambil menyaksikan dua
harimau saling bertarung. Siapa sangka kedua orang manusia
aneh itu tidak mudah terperangkap, malahan gelagatnya
semakin merugikan pihaknya.
Terpaksa dia menggeserkan tubuhnya kesamping sambil
memperkokoh posisinya, lalu katanya sambil tersenyum dia
berkata:
"Siapakah di antara kalian berdua yang akan maju lebih
dulu?"
Kakek setengah telanjang itu memandang sekejap kearah
si kakek aneh, kemudian bertanya:
"Hu hou sia san (dewa sesat penakluk harimau), locu boleh
menyebrangi perbatasanmu?"
Manusia aneh berambut kusut dan berbulu yang bernama
dewa sesat penakluk ha rimau itu segera membentak gusar:
"Tak bisa! Siapapun dilarang menginjak kan kakinya
diwilayahku, tunggu saja sampai kubunuh dirinya baru kita
bagi mayatnya menjadi dua bagian!"
Mendadak dari tengah udara bergema suara pekikkan
nyaring, ditengah pekikkan tersebut terdengar seseorang
berseru dengan suara yang nyaring:
"Hitung aku dalam bagian, kita bertiga bagi rata si bocah
tersebut."
Dari kejauhan nampak sesosok bayangan manusia
meluncur datang dengan kecepatan luar biasa dan melayang
turun tepat di hadapan Suma thian yu.
Tiga orang tersebut sama-sama terkejut, tapi begitu
mengetahui siapa yang datang, Suma Ihian yu segera berseru
dengan girang:
"Cianpwee, rupanya kau?"
Pendatang tersebut mengenakan pakaian compang-
camping dengan model seorang sastrawan, wajahnya rudin
dan mengenaskan, tak salah lagi dia adalah Sin sian siang su
(peramal dewa) Yu Seng si.
Sebagaimana diketahui, tokoh aneh dari dunia persilatan ini
mendapat tugas dari Ciong liong losianjin untuk melindungi
Suma Thian yu, tapi dia datang terlambat sehingga belum
tahu kalau perjalannya ke Tibet telah berhasil dengan sukses.
Tak terlukiskan rasa gusar Dewa sesat penakluk harimau
ketika melihat munculnya orang ketiga dalam kesempatan
tersebut, bentaknya-keras keras:
"Setan malaikat dari mana yang berani membuat keonaran
disini? Ayo cepat berlutut minta ampun, kau ingin mampus
rupa nya?"
Sin sian siangsu tertawa terkekeh-kekeh.
"Heeeh...heeeh...heeeh... apakah san tayong berdua tidak
merasa menurunkan gengsi dan martabat sendiri dengan
saling berebut mangsa disini? Aku si orang perantauan
mempunyai sebuah cara yang baik untuk menyelesaikan
persoalan ini, entah bagaimana pendapat kalian?"
Tergerak hati si Dewa sesat penakluk harimau maupun
pemilik lembah lebah beracun sotelah mendengar ucapan itu.
Dari gusar si Dewa sesat penakluk hari mau menjadi
gembira, katanya:
"Harap kau jelaskan caranya, aku pasti akan
menyetujuinya"
"Bagaimana kalau kita bagi tiga saja korban tersebut?
batok kepala bocah ini buat harimau, tubuhnya buat lebah
beracun sedang sepasang kakinya untukku"
"Tutup mulut!" tukas Dewa sesat penakluk harimau dengan
gusar, "sekali lagi kau berani berbicara kurobek mulut
busukmu itu..!"
"Baik...baiklah, tak boleh bicara yaa sudah, bila kalian
berdua memang keberatan, lebuh baik hadiahkan saja
seutuhnya kepadaku"
Kakek setengah telanjang itu jadi naik pitam, sambil
berpaling kearah rekannya dia berseru:
"Rupanya kakek celaka ini berniat mencari gara-gara, Dewa
sesat, lebih baik dia pun sekalian ditahan"
Sebelum Dewa sesat penakluk harimau sempat menjawab,
Sin sian siangsu telah berkta lagi sambil tertawa terbahak-
bahak.
"Betul, betul, aku mengerti, bocah itu dihadiahkan kepada
lebah beracun sedang kan aku si tua bangka untuk harimau,
dengan begitu kedua belah pihak sama-sama peroleh hasil
dan sama-sama gembira, kesulitan yang dihadapi tay ong
berduapun akan beres dengan sendirinya?"
Sementara Suma Thian yu masih tercengang oleh
perkataan tersebut, mendadak dari sisi telinganya terdengar
ada suara bi sikan seperti suara nyamuk:
"Hiantit, kedua orang siluman tua ini sama-sama
merupakan manusia pengacau masyarakat dan pengracun
dunia, mereka tak boleh dibiarkan hidup, sebentar kau boleh
pusatkan semua perhatianmu untuk mengawasi gerak-gerik si
kakek setengah telanjang itu, selain lebah beracun hasil
pemeliharaannya, kepandaian silat yang dimiliki biasa saja, tak
ada yang perlu dikuatirkan.
Suma Thian yu baru memahami duduk persoalan setelah
mendengar bisikan dari Sin sian siangsu yang berbicara
dengan mempergunakan ilmu menyampaikan suara tersebut.
Mendadak terdengar suara auman harimau dari sisi si Dewa
sesat penakluk hari mau.
Dengan cepat Sin sian siangsu berpaling lalu serunya
sambil tertawa terbahak-bahak:
"Bagaimana? Mengapa tidak turun tangan degan segera?
Aku sudah tak sabar untuk menanti terus"
Sembari berkata, dia berlagak seakan-akan siap
meninggalkan tempat tersebut.
Siapa tahu si Dewa sesat penakluk hari mau malahan
tertawa terbahak-bahak:
Haaa...haaa...kalau ingin pergi, silahkan pergi, asal kau
dapat berjalan melebihi seratus langkah, kamu berdua boleh
meninggalkan tempat ini dengan selamat"
Mendadak Sin sian siangsu menghentikan langkanya,
sambil melejit ketengah udara, dalam sekali lejitan tiga kaki
sudah dicapainya, kemudian sambil menarik napas panjang,
sepasang tangannya diayunkan ke muka menyerang kedua
ekor harimau belang yang mendekam disisi Dewa sesat
penakluk harimau.
Serangan yang dilancarkan oleh Sin sian siangsu kali ini
telah mempergunakan tenaga dalam sebesar sepuluh bagian,
semula Dewa sesat penakluk harimau mengira serangan
tersebut ditujukan ke arahnya, dia baru terkejut setelah
mengetahui bahwa serangan mana ditujukan kearah sepasang
harimaunya.
Dengan perasaan gelisah ia lantas membentak:
"Terkam!"
Mendapat perintah tersebut kedua ekor harimau itu
mengaum gusar dan menerjang ke muka dari kiri dan kanan.
Baru saja kedua ekor harimau itu mementangkan cakarnya,
angin serangan dari Sin sian siangsu sudah mengenai
tubuhnya secara telak. Diiringi rintihan kesakitan kedua ekor
harimau itu bergulingan ke atas tanah tapi dengan cepat telah
melejit kembali sambil melancarkan terjangan berikut.
Dewa sesat penakluk harimau segera mengejek sambil
tertawa seram:
"Tua bangka celaka, kau jangan belagak sok pintar,
percuma saja kelicikan otakmu itu. Sepasang panglimaku ini
sudah berpengalaman dalam beratus kali pertempuran, kalau
hanya angin pukulan biasa mah tak akan mengapa-apakan
mereka. Heee... heehe... inilah yang dinamakan mencari
penyakit buat diri sendiri!"
Beberapa kali Sin sian siansu berhasil menyarangkan
pukulannya ketubuh sepasang harimau tersebut, tapi saban
kali tak mendatangkan hasil apapun kecuali harimau-harimau
itu terdorong mundur, mereka tak menderita cedera sama
sekali.
Suma Thian yu yang menyaksikan kejadian ini segera dapat
menangkap gelagat kurang baik, tiba-tiba ia berteriak keras:
"Cianpwe, kalau ingin menangkap bajingan, lawan dulu
pentolan-nya, kau hadapi saja siluman tua itu, biar aku yang
menghadapi sepasang harimaunya.
Dengai cepat dia melompat kemuka dan menerobos dari
samping Sin sian siangsu untuk menggantikan kedudukannya.
Sementara itu, seekor harimau buas telah melompat
keudara dan menerkam kearahnya dengan ganas.
Sesungguhnya Suma Thian yu sendiripun hanya bermaksud
mencoba-coba, dia sendiripun tak mempunyai keyakinan
untuk berhasil.
Telapak tangan kirinya dengan menghimpun tenaga
sebesar delapan bagian mendadak melepaskan pukulan
dengan ilmu Hui poo sian hong ciang, serangan yang tajam
segera meluncur kemuka.
"Blaaammm...!" suatu benturan keras terjadi, menyusul
kemudian harimau itu terbanting keras-keras ketanah,
napasnya mendengus ngos-ngosan dan empat kakinya
menghadap kelangit.
Suma thian yu tidak berani berayal lagi, begitu pukulan
dilepaskan, tangan kanan-nya meloloskan Kit hong kiam dari
sarungnya sambil meluncur kemuka secepat kilat.
Begitu tiba dimuka harimau yang terbaring tadi, pedangnya
langsung ditusukan kedepan.
Harimau tersebut meraung kesakitan, perutnya segera
robek dan usus serta darah berhamburan kemana-mana.
Pada saat itulah, harimau yang lain telah menerkam dari
belakang tubuhnya.
Tak terlukiskan rasa kaget Suma Thian yu ketika
merasakan datangnya sergapan dari belakang, pedangnya
yang digenggam erat-erat mendadak terasa seperti terhisap
oleh sesuatu kekuatan sehingga sama sekali tak mampu
bergerak.
Dengan perasaan tergetar keras dia membuang pedang
sambil melejit kesamping, kemudian sambil membalikan
telapak tangan dia lepaskan sebuah serangan dengan jurus
Jiau hui pie pa (mengayun alat pie pa) yang disertai tenaga
sebesar delapan bagian.
Berhubung jarak harimau tersebut terlampau dekat, ayunan
tangannya itu persis menghantam benak harimau tersebut.
Suma thian yu merasakan telapak tangan-nya menjadi kaku
dan buru-buru ditarik kembali, lalu cepat-cepat dia berpaling.
Sungguh aneh sekali, harimau itu seperti tertidur secara
tiba-tiba, tanpa mengeluarkan sedikit suarapun tahu-tahu
sudah roboh diatas tubuh harimau pertama.
Dalam waktu singkat Suma Thian yu berhasil membunuh
dua ekor harimau buas, bukan cuma Sin sian siangsu saja
yang terperanjat, si Dewa sesat penakluk harimau sendiripun
dibikin sampai terbelalak dengan mulut melongo, untuk
beberapa saat dia seperti lupa untuk naik darah.
Padahal Suma Thian yu sendiripnn tidak habis mengerti
dengan keadaan tersebut, dia tak tahu darimanakah
datangnya kekuatan dan keberanian tersebut.
Ketika dilihatnya dua ekor harimau tersebut sudah
tergeletak kaku ditanah, dia baru bisa bersyukur dihati.
Sin sian siangsu menjadi sangat gelisah terutama setelah
melihat Suma thian yu menerbitkan bencana besar. Dengan
cepat dia melompat kesisi pemua itu, kemudian bisiknya lirih:
"Cepat bereskan pedangmu dan meninggalkan tempat ini,
kalau sampai terlambat bisa jadi kita tak dapat pergi!"
"Kenapa?"
"sekarang jangan banyak bertanya, cepat laksakan saja
menurut apa yang aku ucapkan!"
Menyaksikan kecemasan orang, Suma thian yu segera
menendang bangkai harimau, mengambil kembali pedangnya
dan segera siap berlalu dari tempat kejadian.
Siapa tahu pada saat itulah terdengar si Dewa sesat
penakluk harimau berpekik nyaring.
Sin sian siangsu segera menarik tangan sang pemuda
sambil berseru lagi dengan gugup:
"Ayo cepat pergi, apakah kau ingin berdiam disitu sambil
menunggu saat kematian?"
Tanpa berpikir banyak, dia menarik tangan Suma Thian yu
dan diajak melarikan diri dari situ.
Sambil tertawa seram si Dewa sesat penakluk harimau
berteriak nyaring:
Sayang terlambat sudah, sekeliling hutan ini sudah
terkepung rapat-rapat, kalau ingin pergi, silahkan saja terbang
kelangit!"
Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, dari balik
hutan bergema suara lolongan srigala dan auman singa yang
makin lama semakin mendekat, agaknya suara-suara tersebut
sedang mengepung mereka dari empat penjuru.
Dalam terdesaknya Suma Thian yu peroleh akal bagus, dia
menarik tangan Sin sian siangsu sambil berseru:
Mari kita terjang dari lembah lebah beracun!"
Sin sian singsu tertegun dan tidak menjawab.
Menyaksikan sikap serba salah dari rekan-nya, buru-buru
Suma Thian yu berseru lagi:
"Kau cukup menghadapi siluman tua setengah telanjang
itu, sedang lebah beracun-nya biar aku yang hadapi"
Sembari berkata mereka berdua melompat masak kedalam
lembah tersebut.
Dari arah belakang kedengaran si Dewa sesat penakluk
harimau berseru sambil tertawa terbahak-bahak:
"Haaa...haaa. ..percuma, jalan kesitupun hanya merupakan
jalan kematian"
Ketika mereka berdua menerjang masuk kedalam lembah,
si kakek setengah telanjang telah menghadang dihadapan
mereka.
Sin sian siangsu tertawa terkekeh-kekeh, dia melejit
kesamping dan menerobos kesisi tubuh kakek setengah
telanjang itu, sebuah sodokan segera dilancarkan.
Jilid : 25
PADA DASARNYA SI KAKEK setengah telanjang itu hanya
seorang manusia biasa, dia terpaut jauh sekali bila dibandingkan
dengan lawannya, tidak heran kalau dalam satu gebrakan saja sudah
tertotok.
Walaupun kakek setengah telanjang itu sudah roboh, namun lebah
beracun yang tak terhitung jumlahnya itu tetap berdatangan secara
bergerombol, mereka menyerang secara ganas dan mengerikan.
Suma Thian yu bergerak lebih dulu, dengan pedang ditangan kanan,
pukulan yang dahsyat ditangan kiri, semua perintang di sapu
serentak.
Perlu di ketahui, telapak tangan kiri pernah direndam dalam
cairan
mestika sian kiam lan, itulah sebabnya betapapun beracun lebah-
lebah tersebut, tak satupun yang bisa mengapa-apakan dirinya.
Sin sian siangsu yang mengikuti dibelakangnya, di samping
melepaskan pukulan untuk mengusir lebah, diam-diam diapun ter
kejut atas kelihayan ilmu silat Suma Thian yu.
Hingga mereka keluar dari perbatasan lembah, lebah-lebah beracun
tersebut baru menghentikan pengejarannya.
Kedua orang itu menghembuskan napas lega, ketika berpaling
tampak oleh mereka kawanan binatang buas peliharaan si Dewa sesat
penakluk harimau telah melintasi daerah perbatasan dan memasuki
wilayah lembah.
Siapa sangka begitu kawanan binatang buas itu melewati
perbatasan,
kawanan lebah beracun yang berada di wilayahnya segera
melancarkan serangan secara besar-besaran.
Tak ampun lagi banyak korban berjatuh di kedua belah pihak.
Suma Thian yu segera bertepuk tangan sambil berteriak:
Bagus, bagus sekali, ini namanya saling bunuh membunuh, mari kita
saksikan pertunjukkan bagus ini, kesempatan semacam ini jarang
bisa dijumpai, kita tak boleh kehilangan kesempatan sebaik ini."
Sin sian siangsu yang berpengalaman lebih luas mendadak berteriak
kaget:
"Aduh celaka, andaikata kakek setengah telanjang itu sudah di
sadarkan kembali mungkin sulit bagi kita untuk meloloskan diri!"
Mendengar perkataan tersebut Suma Thian yu segera berpaling,
betul
juga, si Dewa sesat penakluk harimau telah membebaskan pengaruh
totokan pada kakek setengah telanjang tersebut.
Seandainya jalan darah kakek setengah telanjang itu sudah bebas,
niscaya diakan bekerja sama dengan dewa sesat penakluk harimau
untuk menggabungkan binatang peliharaan mereka guna menyerang
bersama.
Dalam serangan gabungan antara manusia dengan binatang ini, biar
ada seratus orang Suma Thian yu maupun Sin sian siangsu pun
jangan harap bisa lolos dari hutan seratus binatang dan lembah
lebah
beracun ini dalam keadaan selamat.
Menyadari betapa gawatnya keadaan tersebut, Suma Thian yu segera
mengajak Sin sian siangsu untuk kabur dari lingkungan daerah
tersebut dan kabur menuju ke jalan semula.
Baru saja dua orang itu memasuki hutan, suara auman yang gegap
gempita telah bergema dari belakang, agaknya seratus ekor hewan
buas tersebut sudah mulai melancarkan pengejaran.
Dalam keadaan seperti ini, kedua orang itu semakin tak berani
tinggal lebih lama mereka kabur makin kencang dan akhirnya
berhasil lolos dari pengejaran.
Sin sian siangsu tidak berhenti meski mereka sudah lolos dari
wilayah berbahaya, malahan langkahnya semakin dipercepat lagi.
Lebih kurang tiga li kemudian mereka baru memperlambat larinya,
kemudian sambil menggelengkan kepala dan menghela napas
panjang gumamnya:
"Oooh, sungguh berbahaya, untung kedua lembar jiwa kita masih
bisa dipungut kembali dari pintu neraka."
Suma Thian yu tertawa ringan.
"Aah, tak mungkin sedemikian parah, mengapa boanpwee tidak
merasakan sama sekali kalau baru lolos dari bahaya maut?"
Sekali lagi Sin siau siangsu menghela napas panjang:
"Tahukah kau mengapa aku masuk hutan lebat?"
"Mungkin kau tahu kalau boanpwee sedang menjumpai mara
bahaya?"
Sin sian siangsu cepat menggeleng, sambil menuding ke arah sebuah
dusun tak jauh dari situ dia berkata:
"Semalam aku menginap di dusun itu, dari orang dusun kuperoleh
keterangan tentang segala sesuatu diseputar hutan itu, mendengar
cerita mana aku jadi gembira, maka sejak fajar tadi aku
tinggalkan
dusun itu dan melakukan penyelidikan kesini"
"Bukankah kau bisa masuk ke sana dengan lancar dan kembali
dengan selamat?" Apa sih yang menakutkan?" tukas Suma Thian yu
tidak habis mengerti.
Sin sian siangsu segera tertawa.
"Kau hanya tahu satu tak tahu dua, sesungguhnya lembah lebah
beracun mau pun hutan seratus binatang bukan daerah aman”
"Apa sih yang menakutkan?" tegurnya.
"Hmm, kau terlalu polos, ketahuilah di dalam hutan ini berdiam
lima
orang kakek khas yang berhati kejam dan berperangai aneh, yang
baru saja kita jumpai hanya dua diantaranya, bila tiga orang
lainnya
munculkan diri pula, kita pasti akan mampus!"
"Masih ada tiga orang? Tiga orang yang mana?" tanya Suma Thian
yu keheranan.
"Bila hari sudah gelap, ke tiga orang lainnya akan segera
menampakkan diri, bukit gundul dimana kau berdiri tadi adalah Tok
coa nia atau Tebing ular berbisa, seringkali ular beracun
bermunculan bila malam hari sedang hutan lebat yang kita telusuri
barusan adalah Tok go kong lim (hutan kelabang beracun),
sedangkan hutan lebat disebelah barat adalah Tok ci cu lim atau
Hutan laba laba beracun, pokoknya setiap sudut dari wilayah
tersebut
ditempati oleh seorang gembong iblis!"
Berubah paras muka Suma Thian yu setelah mendengar perkataan
itu, badannya jadi dingin separuh, sekarang dia baru memahami
betapa rawannya keadaan mereka waktu itu.
Menyaksikan perubahan wajah Suma Thian yu, Sin sian siangsu
segera tertawa terbahak-bahak.
"Haaah...haaah...haaah... kau ingin sekali lagi menyerempet
bahaya?"
Suma Thian yu mendongakkan kepalanya memandang langit yang
mendekati senja, buru-buru sahutnya:
"Tidak usah...tidak usah.. "
"Haaah...haah...haah... sekarang kau baru merasa takut?"
"Kalau dipikirkan kembali, bergidik rasanya hatiku, sampai
sekarang
pun bulu kudukku masih pada berdiri!"
Suma Thian yu memang 1agi kesepian dalam perjalannya, bisa
bersua dengan manusia macam Sin sian siangsu, boleh dibilang
banyak duka mestapa yang bisa dihilang kan.
Malam itu mereka habiskan dalam perjalanan diiringi sendang gurau
dan pem bicaraannya yang asyik.
Keesokan harinya...
Mereka berdua telah tiba dibawah bukit Jit yang san.
Sambil menuding kearah tanah perbukitan didepan sana, Sin sian
siangsu berseru:
"Kau ingin mendaki bukit itu untuk menyaksikan pemandangan
indah...?"
"Apa sih yang indah?"
"Di atas bukit itu ada gua air, gua itu penuh dengan misteri dan
sudah banyak umat persilatan yang mengunjungi tempat itu tapi
banyak pula yang lenyap setelah melakukan penyelidikan"
Mendengar cerita itu, Suma Thian yu segera menerima tawaran
tersebut.
Terdengar Sin sian siangsu berkata lagi:
"Aku tahu kalau kau sangat tertarik oleh ceritaku, tapi ingat
setibanya disana maka kita harus bertindak menurut keadaan, tak
boleh gegabah, sebab sudah beratus-ratus jago yang menemui
ajalnya ditempat itu.
Dengan langkah berhati-hati berangkatlah mereka ke arah bukit.
Baru tiba di kaki bukit, mereka menyaksikan sebuah tugu
peringatan
didirikan orang dengan tulisan tulisan besar yang amat menyolok
dipandang:
"Gua air Jit yang tong adalah gua siluman, harap para pelancong
berhati-hati!"
Mungkin peringatan tersebut didirikan oleh penduduk disekitar
bukit
tersebut setelah banyak korban berjatuhan disana.
Suma Thian yu mendengus dingin, tanpa banyak bicara dia
meneruskan langkahnya menuju ke atas bukit.
Sin sian siangsu yang menjumpai sikap anak muda tersebut menjadi
cemas, dengan ketat dia mengikuti terus dibelakangnya.
Jalan bukit itu amat sempit dan sukar dilalui, tapi kedua orang
itu
sebagai jago lihay dunia persilatan bukan merupakan masalah,
dengan muda semua perjalanan dapat ditempuh.
Baru saja menaiki subuah tebing, mendadak Suma Thian yu
menghentikan langkahnya sambil menjerit kaget:
"Aaaaii!!"
Dengan cepat dia meluncur naik keatas sebuah pohon yang tumbuh
dihadapannya.
Ternyata diatas pohon itu tergantung secarik kain putih, diatas
kain
itu masih nampak noda darah.
"Apa yang kau temukan?" Sin sian siangsu segera menghampirinya
sambil menegur.
"Chin Siau pasti berada disekitar tempat ini!" seru Suma Thian yu
setelah meneliti kain tersebut.
"Chin Siau? Siapakah Chin Siau itu?"
"Dia adalah seorang jago lihai dari Bong kok kiam jiu (aliran
pedang
bermata buta)"
Secara ringkas dia lantas menceritakan pengalamannya bersama
Chin Siau di bukit Ngo tay san.
Sin sian siangsu tertawa nyaring.
"Berdasarkan secarik kain kau bisa menduga akan dia, hal ini
menunjukkan kalau kau memang seorang yang cermat, cuma...."
"Pakaian yang dikenakan pernah tertusuk oleh pedangku,
berdasarkan hal ini aku lantas menduga kalau dia berada disini"
Selesai berkata, dia lantas menarik tangan Sin sian siangsu untuk
melanjutkan perjalanan mendaki bukit.
Sebuah tebing kembali sudah dilalui, selama ini Suma Thian yu
selalu memperhatikan keadaan disekelilingnya, jangan-jangan masih
ada kain seperti itu yang tertinggal. Apa yang diduga ternyata
tidak
salah, di samping tebing dia jumpai secarik kain yang sama, hanya
gumam Suma thian yu kemudian sambil memungut cuwilan kain itu
dari atas tanah.
Sin sian siangsu tertawa panjang.
"Aku lihat, kau kelewat membayangkan yang bukan-bukan,
seandainya dia memang sudah terkena musibah, darimana dia punya
waktu untuk meninggalkan kainnya sebagai tanda? Aku lihat, bisa
jadi hal ini merupakan bagian dari rencana busuknya untuk
memancing kau masuk perangkap!"
Meskipun dalam hatinya Suma Thian yu tidak setuju pada pendapat
tersebut, tetapi dia juga tidak membantah, maka berangkatlah
kadua
orang itu meneruskan perjalanan-nya.
Ketika mencapai tebing yang ketiga, Sin sian siangsu kembali
berkata:
"Hati-hati, tebing di depan sana adalah gua air yang termasyur
dalam
dunia persilatan"
Sebenarnya ucapan mana dimaksudkan untuk memberi peringatan
agar pemuda itu waspada, siapa tahu Suma Thian yu justru tertawa
panjang sambil melejit ke muka dengan kecepatan tinggi.
Sin sian siangsu yang menyaksikan kejadian ini, terpaksa harus
mengikuti dibelakangnya sambil berteriak:
"Jangan bertindak gegabah, pikirlah tiga kali sebelum bertindak
dalam segala hal!"
Belum habis perkataan ini diutarakan, Suma Thian yu telah tiba di
atas puncak tersebut dan tiba-tiba saja terdengar ia menjadi
kaget:
"Aaaah! Cepat kemari..."
Sing sian siangsu segera melejit ke tengah udara dan meluncur ke
depan dengan kecepatan luar biasa, tapi dengan cepat dia menjerit
pula dengan nada kaget:
"Aaaah!"
Rupanya diatas tebing itu tumbuh berderet pepohonan besar,
jumlahnya mencapai dua puluhan batang lebih, waktu itu, diatas
setiap batang pohon tergantung sesosok mayat.
Diantara mayat mayat tersebut ada kaum lelaki, ada kaum wanita,
ada yang tua ada pula yang muda, tapi semuanya mengenakan
pakaian ringkas dan bersenjata, jelas orang-orang persilatan.
Memandang adegan yang terbentang di depan mata, tanpa terasa
kedua orang itu menghembuskan napas dingin.
Sambil menggelengkan kepala serta menghela napas dalam-dalam
Sin sian siangsu berkata:
"Aaai, kalau manusia sudah bejat moral, dia selalu membantai
orang
seperti membantai binatang, betul-betul neraka ditengah alam
manusia, hiantit, menurut perkiraanku disini pasti hidup seorang
iblis
yang suka membunuh orang seperti membabat rumput dan dapat
membunuh orang tanpa berkedip mata"
Suma Thian yu mencoba untuk memeriksa mayat-mayat tersebut
dengan seksama, dia mencoba untuk mendapat tahu apakah Chin
Siau terdapat diantara korban korban pembunuhan itu, ternyata
tidak
ada, Chin Siau bukan termasuk korban pembunuhan keji.
Sambil menuding kebelakang deretan pepohonan itu Sin sian siangsu
berkata:
Didepan sana adalah gua air, bisa jadi sahabatmu itu sudah
menyerempet bahaya dan masuk kesana.
Habis sudah kesabaran Suma Thian yu setelah mendengar perkataan
ini, cepat-cepat serunya:
"Cianpwee, mari kita segera masuk, aku kuatir dia telah tertimpa
bencana!"
Baru selesai perkataan itu diucapkan, mendadak....
Ditengah keheningan yang mencekam sekeliling tempat itu,
berkumandang suara pekikan nyaring yang amat menggidikkan hati,
suaranya seperti jeritan kuntilanak ditengah malam buta membuat
bulu kuduk orang pada bangun berdiri, menyeramkan.
Baik Sin sian siangsu maupun Sama Thian yu kedua duanya sama-
sama merasa terkejut, ditengah gugupnya cepat mereka
membalikkkan badan dan berusaha menahan gerak laju mereka
secara paksa.
Tiba-tiba pandangan matanya terasa kabur dan...Sreeet,
sreeet...."
tiga sosok bayangan manusia berkelebat lewat dihadapan mereka.
Ternyata mereka terdiri dari dua orang lelaki dan seorang wanita
yang berdandan sangat aneh.
Orang pertama merupakan seorang kakek berusia enam puluhan
yang telanjang bagian atasnya, dia kurus sekali sehingga tinggal
kulit
yang membungkus tulang, namun di tangannya memegang sebuah
tongkat dengan diujung tongkat itu berukirkan sebuah kepala ular.
Orang kedua juga seorang kakek, usianya hampir sebaya yaitu enam
puluh tahunan, bagian rawan dari tubuhnya saja yang di tutup
dengan
beberapa lembar daun, dia membawa pula sebuah tongkat, hanya
pada ujungnya berukir seekor kelabang.
Orang ketiga adalah seorang nenek, dia berusia lima puluh tahunan
dengan perut yang buncit, tubuh bagian atasnya ditutup dengan
selembar kain sutra yang tipis sementara didalam genggamannya
membawa sebuah kipas bambu, diatas kipas menempel sepasang
laba laba.
Sin sian siangsu yani cukup berpengalaman dalam dunia persilatan
kuatir kalau Suma thian yu tidak mengenali asal usul beberapa
orang
itu, buru-buru serunya ke mudian sambil tertawa tergelak.
"Ooh...rupanya tay ong bertiga yang sudah lama termashur namanya
dalam dunia persilatan tapi, heran, mengapa kalian ber tiga bisa
muncul dibukit Jit yang san ini?"
Si kakek bertongkat kepala ular itu menjawab dingin:
"Kami khususnya datang untuk menyambut kalian! Kalau toh kalian
berdua sang gup memasuki lembah lebah beracun dan hutan seratus
binatang, hal mana membuktikan kalau kepandaian silat yang kau
miliki cukup hebat, sayang kami bertiga kebetulan tak hadir
disana,
itulah sebabnya kami tak bisa turut menyambut, harap sudi
dimaafkan.
Sin sian siangsu tertawa terbahak bahak:
Haaa... haaaa...ucapan kalian bertiga terlalu serius, kami berdua
tak
lebih hanya kuli silat kasaran yang kebetulan saja lewat disini,
kami
000O000sedang menyesal lantaran tak bisa menjumpai kalian
memang
bertiga, setelah perjumpaan hari ini terbukti sudah bahwa apa
TERNYATA si kakek yang membawa tongkat terkepala ular itu
yang
adalah pemimpin dari Tok coa benar"
kami dengar selama ini memangnia (tebing ular beracun) yang
disebut
orang sebagai Tok coa mo ong (Raja iblis ular beracun).
Kakek kedua yang membawa tongkat berkepala kelabang adalah
pemimpin dari Go kong lim (hutan kelabang) yang disebut orang Go
kong mo ong (Raja iblis kelabang), Sedangkan si nenek tak lain
adalah Ci cu mo poo (Nenek iblis laba laba).
Ketiga orang gembong iblis ini bersama Pek siu ong (Raja seratus
binatang) dari hutan Pek siu lim yaitu Hu hon sia sian dan Tok
hong
mo ong (Raja iblis lebah beracun) disebut orang Khong ciong mo
ong (lima raja dari pedalaman) sedangkan orang persilatan
menyebut
mereka sebagai Mang huang ngo mo (lima iblis dari daerah liar).
Mereka termashur karena peliharaannya yang beracun, setiap orang
memiliki sejenis binatang peliharaan yang selain beracun juga
amat
jahat dan berbahaya.
Seperti misalnya si Raja iblis lebah beracun, didalam lembahnya
terdapat beribu-ribu ekor lebah beracun yang semuanya berada
dalam kendali dirinya.
Begitu pula dengan ke empat rekannya, mereka semua merupakan
orang-orang pedalaman yang masih liar dan gemar sekali melakukan
kejahatan.
Yang beruntung adalah kelima orang ini tak pernah bersatu, mereka
masing-masing berusaha untuk menjadi raja dan tak mau saling
bekerja sama, coba kalau mereka saling bersatu padu, niscaya
dunia
persilatan akan dibikin obrak-abrik.
Adapun binatang andalan mereka adalah Lebah beracun, laba laba
beracun, ular be racun, kelabang beracun dan macan kumbang hitam.
Tapi kalau dibicarakan kembali memang cukup aneh, sebab binatang
tandingan dari ular beracun sesungguhnya adalah kelabang, sedang
tandingan dari kela bang adalah macan kumbang hitam, sebaliknya
tandingan dari macan kumbang hitam adalah lebah beracun, tapi
lebah beracun sendiri takut dengan laba laba, sedang laba laba
takut
dengan ular beracun dan begitu seterusnya.
Ketika semalam Suma Thian yu memasuki hutan wilayah mereka,
kebetulan sekali Raja iblis ular beracun dan raja iblis kelabang
beracun sedang menyambangi nenek iblis laba laba beracun dihutan
sebelah utara, oleh sebab itu dia hanya menjumpai raja iblis
seratus
binatang dan raja iblis lebah beracun, coba kalau bukan demikian
tak
bisa dibayangkan bagaimanakah nasib dari Suma Thian yu serta Sin
sian siangsu.
Menanti ketiga raja iblis itu mendapat laporan kalau hutan mereka
diserbu orang dan segera berangkat kebukit Jit yang san yang
memang bersatu dengan hutan sebelah utara, waktu itu Sin sian
siangsu dan Suma Thian yu sedang menuju pula kesitu, akibatnya
mereka saling berjumpa disini.
Sementara pembicaraan berlangsung, sorot mata si raja iblis ular
beracun mengawasi wajah Suma Thian yu tiada hentinya. Sebab dari
mulut Hu hou sia sian yang baru saja diselamatkan, dia mendapat
tahu kalau kepandaian silat yang dimiliki anak muda tersebut
lihay
sekali.
Itulah sebabnya begitu saling berjumpa pun mengawasi anak muda
tersebut dengan seksama.
Dasar anak muda yang masih berdarah panas, merasa diamati terus
oleh orang lain, timbal perasaan muak dan kesal dihati Suma
Thian
yu, dengan cepat dia menegur:
"Hei, bila kalian bertiga ada maksud tertentu untuk menghadang
jalan pergi kami, ayo cepat diutarakan sekarang juga, kalau
tidak,
lebih baik menyingkir saja, aku masih ada urusan lain harus
segera
berangkat ke gua Jit yang tong"
Raja iblis ular beracun tertawa seram.
"Bocah keparat kau datang mencari kematian atau mengiringi
kematian? Kau tahu, siapakah pemilik gua Jit yang tong itu?
Kalau
ingin menghantar kematianmu disitu, lebih baik tinggalkan dahulu
kepandaianmu sebelum terkubur selamanya digua air tersebut!"
Mengetahui kalau gua air tersebut mempunyai pemilik lain, sekali
lagi Suma Thian yu merasakan hatinya bergetar keras, apa bila
terbayang Chin Siau kena dibekuk pemilik gua air tersebut,
hatinya
bertambah gelisah.
Tiba-tiba terdengar Sin sian siangsu berkata:
"Kalian bertiga semuanya adalah jago-jago yang merajai suatu
daerah, buat apa sih mesti ribut dengan kami? Apalagi kedatangan
kami kemari hanya untuk mencari seorang teman saja, buat apa
kalian mesti memojokkan orang lain?"
Mendengar perkataan mana, si Raja iblis ular beracun segera
membuat sebuah garis lurus diatas tanah dengan tongkat kepala
ularnya, setelah memberi tanda kepada kedua orang rekannya,
mereka bertiga sama-sama mundur kebelakang garis lurus tadi.
Kemudian sambil tertawa seram dia baru berkata:
"Barang siapa tidak takut, ayo maju dan langkahi garis lurus
yang
kubuat ini."
Sin sian siangsu mengerutkan dahinya dan ragu sejenak, sebelum
ia
sempat berbuat banyak barang sesuatu hal, Suma Thian yu tertawa
nyaring dan melangkahi garis lurus tersebut.
Sin sian siangsu menjadi tertegun, tetapi dengan cepat dia
menyusul
Setelah tertawa seram, Raja iblis ular beracun segera
mengacungkan
ibu jari sembari berkata:
"Punya nyali, benar-benar punya nyali, aku sangat kagum, aku
kagum sekali, biar aku yang memberi pelajaran dulu padamu!"
Tongkat kepala ularnya segera diayunkan kedepan, diiringi deruan
angin serangan yang maha dahsyat dia langsung menyerang jalan
darah Yu bun hiat di bawah tetek Sin Sian siangsu.
Sesungguhnya Sin sian siangsu termasuk seorang jago yang banyak
humor dan berwatak aneh, dihari-hari biasa dia paling segan
melakukan pembunuhan, lagipula orangnya sabar dan bersedia
mengalah kepada siapa saja.
Walaupun demikian, kesabaran orang itu ada batas-batasnya,
setelah
didesak dan dipojokkan berulang kali, habis juga akhir nya
kesabaran
orang ini.
Sambil tertawa dingin dia balas maju ke depan, sepasang lengannya
digerakkan kekiri dan kanan melepaskan serangan dan tangkisan
bersama kemudian, dengan kecepatan bagaikan kilat, kepalan
kanannya menyodok kedada si raja iblis ular beracun.
Betapa terkejutnya si raja iblis ular beracun setelah menghadapi
ancaman itu, tongkatnya ditarik dengan cepat sambil buru-buru
mundur kebelakang, menyusul kemudian dia memutar tongkatnya
melakukan per tarungan pertarungan keras melawan keras.
Di pihak lain, si nenek iblis laba laba beracun tidak menganggur
pula, sambil menggoyangkan kipas bambunya dia menerjang
kehadapan Suma Thian yu, lalu katanya sambil tertawa terkekeh
kekeh:
"Hei bocah, biar lo nio menemanimu bermain-main sebentar!"
Kipas bambunya segera dikebaskan kemuka, segulung hawa panas
yang menyengat badan cepat berhembus keatas wajah Suma Thian
yu.
Sejak berpengalaman di lembah lebah beracun dan hutan seratus
binatang, Suma thian yu sudah cukup mengerti tentang ke mampuan
ke lima iblis tersebut, dalam per tarungan asal dia bisa berhati-
hati
dalam mengawasi jurus serangan, maka kemenangan tentu berhasil
diraih dengan mudah.
Itulah sebabnya ketika melihat serangan pertama dari si nenek
iblis
laba laba beracun ditujukan hendak melukainya dengan racun, ia
Tiba-tiba tangan kirinya dibalik keatas, kelima jari tangannya
membentuk kaitan dan memancarkan segenap tenaga dalamnya
melewati ujung ujung jari itu.
Tangan kanannya tidak menganggur pula, dengan cepat dia
meloloskan pedang Kit hong kiamnya.
Begitu senjata tersebut dicabut dari sarungnya bergemalah suara
dentingan nyaring disusul pancaran sinar biru ke empat penjuru,
dalam waktu singkat sebuah serangan telah dilepaskan.
Mimpipun si nenek iblis laba laba beracun tidak menyangka kalau
lawannya seorang pemuda ingusan bisa melancarkan serangan
sedemikian cepatnya, dalam waktu singkat dua jurus serangan telah
dilepaskan berbareng dengan kekuatan yang maha dahsyat.
Ketika ia merasakan hawa beracunnya terbendung, tahu-tahu cahaya
tajam sudah menyambar tiba.
Untung saja si nenek iblis laba laba beracun bukan termasuk
manusia
lemah, kipas bambunya cepat dikibaskan kekiri dan kanan.
"Weesss... weeess... weesss..."
Secara beruntun dia lepaskan pula tiga buah serangan berantai
yang
kesemuanya ditujukan keatas jalan darah penting ditubuh Suma
Thian yu.
Menghadapi ancaman yang begitu berbahaya, Suma Thian yu sama
sekali tidak gugup ataupun gelisah, pedangnya diputar membentuk
lingkaran cahaya berwarna biru dan serentak berhasil mematahkan
keti ga serangan kipas dari nenek iblis laba laba beracun itu.
Menyusul kemudian pedangnya diputar sambil mendesak kedepan,
memaksa si nenek iblis tersebut harus mundur dua langkah dari
posisi semula.
"Hei nenek peot!" seru pemuda itu kemudian sambil menarik
kembali serangannya, “apakah aku cukup berhak untuk mengunjungi
gua air Jit yang tong?"
Agaknya si nenek iblis laba laba beracun masih tertegun karena
kena
didesak mundur oleh pemuda itu, mendengar pertanyaan mana, tanpa
disadari dia menyahut:
"Cukup, cukup!"
"Kalau begitu, aku tidak akan melayani dirimu lebih jauh" seru
sang
pemuda sambil menjura.
Kepada Sin sian siangsu masih terlibat dalam pertarungan dia
"Cianpwee, kita harus segera berangkat!"
Belum selesai dia berkata, mendadak terdengar raja iblis kelabang
beracun telah membentak nyaring:
"Bocah keparat, masih ada yayamu yang belum kau layani!"
Tubuhnya bergerak secepat angin, didalam waktu singkat dia sudah
menerobos maju kehadapan Suma Thian yu.
pada saat itulah si nenek iblis laba laba beracun baru mendusin
kembali dari lamunannya, melihat sikapnya yang memalukan tanpa
mengucapkan sepatah katapun dia menyusul dibelakang raja iblis
kelabang beracun menuju kehadapan anak muda tersebut kemudian
serunya:
"Lo nio belum mau menganku kalah, tidak gampang kau ingin pergi
dari sini"
Memandang kebandelan kedua orang musuhnya, Suma Thian yu
hanya bisa tertawa getir, apalagi bila teringat keliaran dan
kebuasan
manusia-manusia buas tersebut, dia ingin sekali memberi pelajaran
yang setimpal kepada orang-orang itu!
Dengan sorot mata yang tajam, diawasinya sekejap kedua orang itu,
kemudian dia memandang pula kearah Sin sian siangsu dan raja
iblis
ular beracun yang sedang bertarung sengit.
Segera terlihat olehnya betapa cepatnya gerak serangan dari
gembong iblis itu, semua serangannya dilancarkan seperti orang
kalap, namun sayang tiada bermanfaat.
Cukup dalam sekilas pandangan, Suma Thian yu telah memahami
kemampuan dari makhluk-makhluk tua tersebut, diam-diam ia
tertawa geli. Bentaknya kemudian dengan lantang:
"Tahan! cianpwee mundur dulu... aku mempunyai sebuah usul yang
sangat bagus!"
Pada dasar Sin sian siangsu memang tak bertindak keji terhadap
kawanan manusia liar itu, ia banyak menggunakan segala kelincahan
tubuhnya saja untuk memberi peringatan kepada mereka, mendengar
seruan tersebut, dengan cepat dia melompat mundur dari arena
pertarungan.....
Menanti semua orang sudah menghentikan serangannya, Suma Thian
yu baru berkata dengan lantang:
"Bila aku kelewat takabur, harap tay ong bertiga jangan marah,
agar
lebih berhemat waktu, silahkan kalian bertiga menyerang bersama
saja, andaikata aku sampai kalah, biar aku pun cepat menyerah.
Dengan pertarungan seperti ini, pasti suasananya akan bertambah
ramai, entah bagaimana dengan pendapat tay ong bertiga?"
Racun iblis ular beracun mendengus dingin, biji mata sesatnya
berputar kian ke mari, lalu jawabnya:
"Bagus sekali, cuma sampai waktunya nanti kau jangan menuduh
kami bertiga orang tua mempermainkan seorang bocah, yang minta
begini adalah kau sendiri....."
"Oooh, jangan kuatir, aku berbicara atas dasar kemauan sendiri,
tentu
saja aku tak bakal menyalahkan siapa pun" kata Suma thian yu
sambil tertawa terbahak-bahak.
Sin sian siansu menjadi sangat gelisah setelah menyaksikan
kejadian
ini, cepat timbrungnya dari samping:
"Hiantit, kau....."
Sebelum ucapan tersebut selesai diutarakan, Suma Thian yu kembali
telah menukas:
"Ciaupwee tak usah kuatir, aku sudah mempunyai rencana yang
cukup matang"
Menyaksikan kekerasan kepala pemuda itu, Sin sian siangsu hanya
bisa menggelengkan kepalanya sambil menghembuskan napas
panjang, dia segera mengundurkan diri dari arena.
Si raja iblis kelabang beracun sungguh merasa mendongkol sekali,
sepasang giginya sampai menggertak keras, sepasang matanya
memancarkan sinar mata berapi-api dan mengawasi Suma Thian yu
dengan penuh amarah dan tak berkedip.
Tiga orang gembong iblis ini biasanya malang melintang ditakuti
orang, belum pernah mereka dicemooh bahkan dipandang rendah
seperti hari ini.
Bisa dibayangkan sampai dimanakah amarah mereka bertiga setelah
bertemu de ngan jago muda yang tidak takut langit tidak takut
bumi
ini, kalau bisa mereka ingin sekali menggigit dan menelan suma
Thian yu ke dalam perut.
Dalam pada itu, si raja iblis ular be racun telah membisikkan
sesuatu
ke sisi telinga raja iblis kelabang beracun, kemudian bentaknya
kepada Suma Thian yu:
"Anak muda, aku mempunyai sebuah usul bagus, bersediakah kau
untuk menerimanya?"
"Asalkan kalian bertiga mengusulkan, aku pasti akan menyanggupi
Begitu ucapan tersebut diutarakan keluar, Sin sian siangsu yang
berdiri diluar arena merasakan tubuhnya bergetar keras, pekik nya
tanpa terasa dihati:
"Aduh celaka, habis sudah kali ini."
Si Raja iblis ular beracun mendongakkan kepalanya sambil berpekik
nyaring, begitu selesai berpekik, dari sakunya dia mengeluarkan
seekor ular kecil yang berwarna kuning emas.
Menyaksikan ular kecil ini, tiba-tiba saja Suma Thian yu teringat
kembali dengan ular kecil berwarna emas yang pernah di jumpa
dipuncak di im hong tempo hari, gelisah hatinya. Sebab dari
gurunya
Put gho cu dia mendapat tahu akan kelihayan ular emas kecil ini.
Si raja iblis ular beracun segera tertawa bangga setelah
menyaksikan
paras muka Summa Thian yu berubah menjadi pucat pias, katanya
setengah mengejek:
"Bagaimana? Kau merasa takut? Hei, bocah keparat, aku merasa
bertanding ilmu silat kurang merangsang napsu, mari kita beradu
racun saja, pasti pertandingan ini lebih merangsang dan gembira!"
Suma Thian yu berusaha keras mengendalikan rasa ngerinya, dengan
menunjukan sikap acuh tak acuh dia bertanya:
"Bagaimana cara kita bertanding?"
Raja iblis ular beracun tertawa seram.
"Bila kau beranggapan cara bertanding ini kurang adil, tentu saja
kau
tak perlu memaksakan diri"
Suma Thian yu tertawa terbahak:
"Haaa...haaa...kalau hanya seekor ular emas yang begitu kecil mah
tak akan bisa menakuti aku, cuma sauyapun mempunyai sebuah
syarat"
"Apa syaratmu?"
"Kita harus bertanding dua babak, babak pertama diusulkan kalian
bertiga sedang babak kedua haruslah aku yang mengajukan
persoalan, ini baru adil namanya, entah bagaimana pendapat kalian
bertiga?"
"Boleh sih boleh saja, pokoknya kami setuju"
Tentu saja mereka bertiga setuju, karena dalam perkiraan mereka,
baru dalam babak pertama saja Suma Thian yu sudah bisa dibikin
mampus, mana mungkin dia berkesempatan untuk bertarung pada
babak yang kedua atau selanjutnya?
Suma Thian yu tertawa misterius, ujarnya kemudian:
"Pembicaraan telah usai, silahkan kalian mengajukan
pertanyaan...!"
Raja iblis ular beracun tertawa seram, ular emas kecilnya
diletakkan
ditangan ki rinya dan membiarkan tangan tersebut di pagut satu
kali,
kemudian dengan wajah tak berubah dia berkata sambil tertawa
seram.
"Sekarang tiba giliranmu"
Sin sian siangsu yang menyaksikan kejadian mana, merinding
sekujur badannya buru-buru dia berkata:
"Hiantit, jangan bertindak gegabah"
Suma thian yu tertawa terbahak-bahak, dia tidak menggubris
nasehat
dari rekannya itu malah menyambut ular emas tadi dengan tangan
kirinya.
Memandang tingkah laku pemuda itu, Raja iblis ular racun
memperdengarkan gelak tertawa seramnya yang penuh dengan
kebanggaan.
Mendadak ular kecil itu melejit kedepan dan memagut telapak
tangan kiri Suma thian yu.
Pemuda itu hanya merasakan telapak taegan kirinya menjadi kaku,
menyusul kemudian sama sekali tak menunjukkan gejala apa-apa.
Sepanjang kejadian tersebut berlangsung si raja iblis ular
beracun
hanya membelalakan matanya sambil mengawasi setiap perubahan
yang terjadi.
Dikala ular itu menggigit lengan lawan, dia tak dapat membendung
rasa girang dihatinya, sehingga tertawa terbahak-bahak. Tapi
gelak
tawa tersebut segera terhenti ditengah jalan dan berganti menjadi
pekikan aneh yang menyerupai isak tangis.
Ternyata ular emas yang menggigit lengan kiri Suma Thian yu itu
segera mengejang keras dan tak berkutik lagi.
Suma Thian yu melirik sekejap ke arah ular kecil tersebut dengan
pandangan sinis lalu menyodorkan bangkai itu kehadapan raja iblis
ular beracun sembari berkata:
"Benar-benar tak berguna, aku pikir ular emas ini ular palsu
barang
kali, masa begitu tak dapat, hanya menggigit sekali sudah tak
Berkutik?"
"Apa sudah mati?"
Sambil menjerit kaget raja iblis ular beracun menerima kembali
ular
emasnya, ke mudian menangis tersedu-sedu seperti anak kecil.
Suma Thian yu sama sekali tak menggubris ulah musuhnya, sambil
berpaling kearah Raja iblis kelabang beracun, dia berkata:
"Tay ong, apakah kau ingin memperlihatkan pula kelihayanmu?"
Dengan sorot mata kaget bercampur heranan si raja iblis kelabang
beracun mengawasi wajah anak muda itu tanpa berkedip, sementara
dihati kecilnya dia berpikir:
"Entah setan atau manusiakah dia? Kalau setan mengapa dia
berbentuk manusia? Kalau manusia, mengapa mempunyai kepadaian
yang begitu dahsyat? Hmm mungkin saja dia memang kebal
terhadap racun ular...kelabang adalah tandingan ular beracun bila
kau
tidak takut ular, tentu kau takut dengan kelabang"
Berpendapat demikian dari sakunya dia lantas mengeluarkan seekor
kelabang berkaki seratus. Kelabang dari jenis ini meru pakan
kelabang yang beracun sekali, barang siapa terpagut niscaya akan
tewas seketika.
Sejak dilahirkan hingga begini dewasa, belum pernah Suma Thian yu
menyaksikan kelabang berkaki seratus yang begini aneh dan
mengerikan hati, merinding sekujur badan nya karena seram, hawa
dingin nerambat ketubuhnya membuat bulu kuduknva pada bangun
berdiri.
Tadi, dia berhasil menahan racun ular karena telapak tangan
kirinya
mengandug cairan mestika Jio sian kiam len ci tapi sekarang dia
tidak tahu apakah cairan mestika itu masih mampu untuk menahan
racunnya si kelabang beracun atau tidak.
Raja iblis kelabang beracun tertawa dingin, pikirnya lagi dengan
nada amat bangga:
"Nah, ini dia, bocah keparat ini tentu jeri dengan kelabang,
heeh,
heeh, heeh, bila aku berhasil kali ini, pasti aku akan menjadi
pemimpin semua orang!"
Berpikir denemikian, dengan mengikuti cara yang semula, dia mem
biarkan kelabang tersebut menggigit tubuhnya sendiri, kemudian
baru menyodorkan kehadapan Suma Thian yu.
Diam-diam Suma Thian yu berdoa, kemudiua menyalurkan segenap
hawa murninya ke telapak tangan kiri guna berjaga-jaga terhadap
segala kemungkinan yang bisa terjadi, andaikata cairan Jin sian
kiam
lan ci tidak manjur, dia akan mempergunakan tenaga dalam nya yang
Raja iblis kelabang beracun tertawa seram dia letakkan kelabang
beracun itu ke atas telapak tangan Suma Thian yu.
Dengan gesit kelabang tadi melompat keatas telapak tangan pemuda
itu dan menggigitnya.
Suma Thian yu sama sekali tidak bergerak, sorot matanya yang
tajam
mengawasi kelabang diatas tangannya tanpa berkedip, sementara
peluh sebesar kacang kedelai jatuh bercucuran dengan derasnya.
Raja iblis kelabang beracun sendiripun mengikuti perkembangan
selanjutnya dengan perasaan tegang, jantungnya berdebar keras
serasa mau melompat keluar dari rongga dadanya....
Dalam pada itu, si raja iblis ular beracun telah menghentikan
pula
isak tangisnya, dia turut mengawasi adegan tersebut dengan
perasaan
berdebar.
Mendadak......
Suma Thian yu memperdengarkan suara pekikan yang nyaring
sekali.
Semua orang terperanjat, pekikan itu ibarat guntur yang membelah
bumi disiang hari bolong, serentak semua orang mengalihkan sorot
matanya ke arah telapak tangak Suma Thian yu.
Mendadak terdengar raja iblis kelabang beracun menjerit keras,
dengan cepat tubuhnya menerjang ke depan Suma Thian yu
sementara kepalanya langsung diayunkan ke tubuh pemuda tersebut.
"Bocah keparat" teriaknya gusar "ayo ganti seekor kelabang untuk
ku!"
Agaknya kelabang beracun berkaki seratus andalannya telah
menyusul nasib dari ular emas kecil tadi mampus ditangan lawan.
Suma Thian yu tertawa sambil berkelit kesamping, dia menyodorkan
bangkai kelabang tersebut ke depan Raja iblis kelabang beracun,
kemudian ujarnya:
"Jangan terburu napsu, bukankah di dalam hutan kelabangmu penuh
dengan kelabang, apa sih artinya kematian seekor kelabang mengapa
kau tidak berpikir, aku Suma Thian yu hanya ada satu didunia ini,
bila mati tak bakal muncul lagi ke duanya....."
Lalu kepada nenek iblis laba laba beracun dia berkata pula:
"Hei si nenek, sekarang tiba giliranmu, apakah kau mempunyai
permainan baru?"
"Betul!" si nenek mengangguk.
"Apakah pelajaran yang diterima ke dua orang itu masih belum
cukup sebagai contoh soal bagimu?" kembali Suma Thian yu
tertawa.
Nenek iblis laba beracun mendengus dingin, umpatnya:
"Setan cilik, kau tak usah takabur, lo nio sudah mengetahui
siasat
busukmu itu, dua kali pertarungan tadi kau selalu menghadapi
serangan dengan telepak tangan kiri, ini menunjukkan kalau
telapak
tangan kirimu telah di rendam dengan obat penawar racun. Mari,
mari, lo nio akan menukar dengan cara lain saja"
Dari atas kipas bambunya dia menangkap seekor laba laba, kemudian
ujarnya sambil terkekeh-kekeh:
"Lihatlah permainanku ini!"
Suma Thian yu dibuat terkejut juga setelah mendengar ucapan dari
si
nenek iblis itu, diam-diam pikirnya:
"Lihay amat nenek ini!"
Dalam pada itu, si nenek iblis laba laba beracun telah
menggenggam
laba labanya dan diiringi tertawa seram dia telan laba laba
tersebut
kedalam perut, sebagai bukti, dia malah memperhatikan mulutnya
kepada anak muda tersebut.
Muak perut Suma Thian yu menyaksikan adegan tersebut, nyaris isi
perutnya ikut tumpah keluar.
Pemuda itu segera menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya
kemudian:
"Dalam babak ini aku mengaku kalah saja, berbicara sesungguhnya,
aku tidak mempunyai keberanian untuk menelan laba laba tersebut.
Maaf, permainan orang pedalaman yang liar seperti ini tak berani
kucoba ikuti"
Nenek iblis laba laba beracun segera mendongakkan kepalanya dan
tertewa seram, suaranya mengerikan seperti jeritan setan, buat
siapapun yang mendengarkan merasakan hatinya jeri dan tak enak.
Seusai tertawa, sambil menuding ke arah Suma Thian yu kembali dia
berkata:
"Setan cilik, aku akau melanggar kebiasaan ku, asal kau bersedia
berlutut dan menyembah tiga kali kepadaku, akan kuijinkan kau
untuk meninggalkan bukit Jit yang san ini, kalau tidak, hmmmm...!
Semenjak berhasil menangkan dua babak pertama, kepercayaan
Suma Thian yu terhadap diri sendiri semakin bertambah kuat,
sesungguhnya dia tidak menandang sebelah matapun ter hadap laba
laba beracun itu, namun kalau dia disuruh menelannya, ia benar-
benar tak berani untuk mencobanya.
"Hei si nenek, kau jangan kelewat memojok kan orang" kata Suma
Thian yu kemudian, "aku bukannya takut dengan laba labamu itu,
hakekatnya aku tak ingin mencari gara-gara denganmu, bila kau
menginginkan aku telan binatang, biar kita ambil jalan tengah
dengan menyudahi pertarungan ini dengan seri saja, toh lebih baik
kita sudahi saja masalah ini sampai disini saja!"
"Tidak bisa, kau masih belum berhak untuk mengajukan usul! bentak
nenek iblis laba laba beracun sambil menggelengkan kepalanya
berulang kali.
"Kalau begitu, aku harus melaksanakan janjiku?"
"Benar!" jawaban dari si nenek iblis ini teramat tegas.
Tak kuasa lagi Suma Thian yu mendongakkan kepalanya dan tertawa
nyaring, dengan cepat dia mengangsurkan tangan kirinya ke hadapan
nenek iblis tersebut.
Dari atas kipas bambunya nenek iblis menangkap seekor laba laba
dan diserahkan ke tangan anak muda itu, tanpa ragu Suma Thian yu
segera memencet laba laba itu sampai mati lalu setelah diletakkan
berapa saat diatas telapak tangan kirinya, menanti kadar racun
sudah
berkurang, ia baru menelannya.
Namun ketika sorot matanya membentur dengan gumpalan laba laba
itu, dia menjadi ragu kembali.
Memandang sikap dari Suma thian yu, si nenek iblis laba laba
beracun tertawa penuh kebanggan.
Dia mensanggap hal ini merupakan kemenangan baginya, dia
mengira inilah penampilannya yang melebihi orang lain, paling
tidak
ia sanggup membuat lawan mengalami kesulitan. Suma Thian yu
mendongkol sekali menyaksikan kesombongan lawan, segera
pikirnya.
"Hutan golok, kuali berisi minyak mendidih pun sanggup kulakukan,
masa aku tak berani menelan seekor laba laba kecil yang sudah di
punahkan kadar racunnya?"
Berpikir, demikian, tanpa ragu-ragu lagi dia lantas menelan laba
laba
tersebut kedalam perut.
Nenek Iblis laba laba beracun menjadi tertegun setelah
menyaksikan
kejadian mana, sebelum ia sempat berbicara sesuatu, Suma Thian ya
permintaan kalian, dan menangkan semua pertarungan ini, sekarang
tiba giliran sauyamu untuk mengajukan persoalan"
Ketiga orang gembong iblis itu segera berdiri tertegun belaka
sambil
mengawasi Suma thian yu, mereka menganggap pemuda ini sebagai
malaikat yang baru turun dari kahyangan.
Yang lain jangan dibicarakan, seandainya si raja iblis ular
beracun
disuruh menelan laba laba beracun, atau si nenek iblis laba laba
beracun disuruh menerima gigitan dari kelabang beracun niscaya
mereka akan tewas dengan segera.
ATau dengan perkataan lain ketiga orang itu sama-sama tak akan
mampu untuk menyelesaikan pertarungan ini, tapi pemuda yang
berada dihadapan mereka sekarang sanggup menyelesaikan semua
tugas itu secara baik, jelss hal semacam ini diluar kemampuan
orang
biasa.
Raja iblis ular beracun benar-benar takluk, terdengar ia berkata
dengan cepat:
"Terima kasih" serunya kemudian.
"Masuklah kedalam, orang yang hendak kau cari belum mati"
SiapaThian si Raja iblis kelabang berseru secara tiba-tiba:
Suma tahu yu gembira sekali mendengar perkataan itu.
"Bocah keparat, kau jangan pergi dulu, kalau akan pergi, bayar
dulu
kerugian yang kami derita"
"Hah! ganti rugi apa?" tanya Suma thian yu kaget.
"Seekor ular emas, seekor kelabang berkaki seratus dan dua ekor
laba laba beracun!"
Mendengar perkataan tersebut Suma thian yu segera mendongakkan
kepalanya dan tertawa terba hak-babak:
"Seandainya selembar jiwaku sampai melayang, siapa pula yang
akan membayar ganti rugi kepadaku?"
Kemudian sambil mengalihkan pandangan matanya ke wajah nenek
iblis laba laba beracun, dia bertanya:
"Apakah kau minta ganti rugi dariku?"
"Tentu Saja!"
Suma thian yu segera berpaling pula kearah raja iblis ular
beracun
sambil bertanya lagi:
"Dan kau?"
Raja iblis ular beracun nampak agak ragu, akhirnya dia menjawab
agak tergagap:
"Ter.....terserah...."
Suma Thian yu manggut-manggut.
"Kalau toh kalian bertiga begitu liar, terpaksa aku harus
membayar
ganti kerugian kepada kalian, nah siapa yang akan maju duluan?"
Raja iblis kelabang beracun melompat kedepan Suma Thian yu,
telapak tangan-nya di silangkan didepan dada, sementara
tongkatnya
membuat gerakan setengah lingkaran diudara lalu dihantamkan
kearah kepala lawan sambil membentak gusar:
"Setan cilik, locu akan mencabut nyawamu!"
Amarah Suma Thian yu benar-benar sudah mencapai pada
puncaknya, pedang Kit hong kiamnya diputar menciptakan selapis
cahaya bianglala biru yang amat menyilaukan mata, kemudian....
"Kraaakkk!" tongkat berkepala kelabang milik raja iblis kelabang
beracun sudah terpapas kutung menjadi dua bagian.
Suma Thian yu memang berniat untuk menghabisi nyawa musuhnya,
dengan cepat pedang Kit hong kiamnya diputar menggunakan jurus
Ciong liong hong ji hay (naga masuk samura) secepat sambaran
petir
menusuk keperut musuh.
Jeritan ngeri yang memilukan hati segera berkumandang dari mulut
raja iblis kelabang beracun, perutnya robek dan ususnya mengalir
keluar, toyanya yang tinggal separuhpun terjatuh ke tanah.
Sambil memegangi perutnya yang robek dan wajah pucat pias,
sekujur badannya gemetar keras, akhirnya dia roboh, dia tak
pernah
bangun kembali.
Sehabis membereskan 1awannya, Suma Thian yu berpaling ke arah
nenek iblis laba laba beracun, lalu bentaknya lagi:
"Apakah kau masih bermaksud untuk menuntut ganti rugi?"
Bergidik sekujur badan nenek iblis itu selesai melihat keampuhan
sang pemuda yang menghabisi nyawa raja iblis kelabang beracun
dalam sekali ayunan pedang, dia tak berani banyak berkutik lagi.
Suma Thian yu tidak memberi kesempatan lagi kepada lawannya,
dengan cepat dia menerobos kedepan nenek iblis, pedang Kit hong
kiamnya dengm jurus Tui san tiam hay (mendorong bukit
membendung samudra) membacok ke muka.
Cahaya biru berkelebat lewat, sebelum si nenek iblis sempat
melakukan sesuatu tindakan, tahu-tahu sebuah lengannya sudah
terpapas kutung menjadi dua bagian.
Diiringi jerit kesakitan yang memilukan
hati, nenek itu segera membalikkan badannya dan melarikan diri
terbirit-birit.
Suma Thian yu menarik kembali pedangnya, kepada si raja iblis
ular
beracun katanya:
"Kau boleh pergi! Tapi ingat dengan pelajaran yang kau saksikan
hari ini, bila dikemudian hari sikapmu masih tetap kejam dan tak
berperikemanusiaan, inilah contoh yang paling baik untukmu"
Pada mulanya si raja iblis ular beracun mengira Suma Thian yu
tidak
akan melepaskan pula dirinya setelah terdengar ucapan tersebut
hatinya baru merasa lega.
Buru-buru dia menjura kepada Suma Thiah yu, kemudian
membalikkan badan dan berlalu dari situ, dalam waktu singkat
bayangan tubuh nya sudab lenyap dari pandangan mata.
Memandang bayangan punggung orang itu, Suma Thian yu
menghela napas panjang seraya berguman:
"Moga-moga saja si raja iblis lebah beracun dan Ha hou sia sian
dapat meniru sikap raja iblis ular beracun.
Belum habis dia bergumam, terdengar Sin sian siangsu yang benda
dibelakangnya telah menukas:
"Hiantit, kau telah melanggar sebuah pantangan besar, masa
depanmu selanjutnya akan banyak menjumpai bahaya maut"
"Maksud ciaopwee...." tanya Suma Thian yu tercengang.
"Aaai..." Sin sian siangsu menghela napas panjang, "menghadapi
manusia liar seperti mereka kau hanya boleh menaklukan hati
mereka dengan kata-kata, bukan dengan kekerasan. Mereka adalah
manusia tak berbudaya yang tidak memandang penting arti
kehidupan, dengan dibiarkannya mereka berlalu, itu berarti kau
telah
mengundang banyak kesulitan dikemudian hari"
"Mengapa?" Suma Thian yu balik bertarya, "bukankah sewaktu
berlalu tadi, si raja iblis ular beracun telah menunjukkan sikap
yang
begitu munduk dan hormat?"
"Haaaah... haah.... haaah...ini merupakan suatu firasat yang
salah dari
hiantit, tahukah kau mengapa aku enggan melakukan pembunuhan?
Misalkan saja, ketika aku menghadapi dua ekor harimau milik Hu
hou sia sian dilembah lebah beracun serta dalam menghadapi si
Raja
iblis ular beracun tadi, aku selalu berusaha untuk mempertahankan
suatu selisih jarak dengan tidak mau mencelakai mereka.
Bahkan terhadap binatang peliharaan mereka pun aku sama saja
enggan mengusiknya, mengertikah kau?"
"Boanpwee bodoh dan tidak memahami teori tersebut"
"Daerah dimana kita berada sekarang merupakan daerah kekuasaan
mereka"
Manusia memang makhluk yang aneh, asalkan saja seorang ibu yang
mengetahui anaknya berbuat kesalahan, andaikata anaknya di hukum
mati, mereka pasti akan penasaran dan berusaha membelanya.
Demikian juga dengan keadaan mereka, sekalipun raja iblis ular be
racun sekalian terhitung manusia liar toh mereka mempunyai
hubungan batin satu sama lainnya, apakah mereka rela membiarkan
rekan nya diusik orang? Bila kejadian tersebut sampai menimbulkan
amarah mereka sehingga turun tangan bersama, biar ada sayappun
mungkin sulit bagi mu untuk melepaskan diri, mengerti?"
"Aku mengerti"
"Bagus sekali, kalau begitu mari kita berangkat, mumpung mereka
belum sempat melakukan pengejaran kemari"
"Chin Siau masih berada diangan orang, kita harus menolongnya
secepat mungkin, bisa jadi selembar jiwanya terancam bahaya maut.
Apa lagi bila kita tidak memasuki sarang harimau bagaimana
mungkin bisa berhasil dengan sukses"
Mendengar ucapan mana, diam-diam Sin sian siangsu mengagumi
keberanian pemuda ini, diapun semakin kagum dengan kegagahan
dan kesetiaan kawan-nya.
"Hiantit, aku benar-benar takluk kepadamu" kata Sin sian siangsu
kemudian sambil manggut-manggut, "terus terang saja, biarkan
harus
mengorbankan selembar jiwa tua ku, aku takkan menampik maksud
baikmu itu, ayo berangkat, kita terjang kedalam!"
Kedua orang itu segera menembusi hutan dan masuk kedalam sebuah
rimba yang lebat.
Anehnya hutan itu sangat teratur, bahkan besar kecilnya pun tidak
jauh berbeda.
Mendadak Sin sian siangsu menarik tangan Suma Thian yu sambil
berbisik.
"Hiantit, tunggu dulu, jangan sampai tersesat, kalau sampai
terjebak
oleh perangkap musuh, bisa berabe kita"
Suma Thian yu dapat merasakan juga kalau keadaan rada kurang
beres, dengan cepat dia amati sekejap sekeliling tempat itu,
mendadak pada jarak tiga kaki disebelah kiri terlihat sebuah kain
panjang yang berkibar terhembus angin.
Tanpa berpikir panjang lagi dia melejit dan meluncur ke situ
dengan
kecepatan bagai kan anak panah yang terlepas dari busur.
"Cianpwe, cepat kemari" teriaknya keras-keras, "gua air tersebut
terletak didepan sana!"
Dalam dua kali lompatan saja Sin sian siangsu sudah tiba didepan
Suma Thian yu, mengikuti arah yang ditunjuk oleh pemuda itu,
benar
juga, dia saksikan sebuah gua muncul di tengah hutan.
Dengan seksama Sin sian siangsu memperhatikan sekejap keadaan
disekeliling itu, lalu sambil menggelengkan kepalanya dia
berkata:
"Kita sudah tertipu, gua itu bukan Jit yang sui tong!"
"Dari mana kau bisa tahu?" tanya Suma thian yu dengan wajah
tercengang.
"Sederhana sekali, didepan gua Sui yang jit tong semestinya
berdiri
sebatang pohon siong, gua itu berada persis pada bagian
akarnya...."
"Mengapa cianpwee bisa mengetahui begitu jelas?" pemuda itu
bertanya sambil tertawa hambar.
Pertanyaan itu segera menimbulkan kesan kurang baik bagi Sin sian
siangsu, dia merasa Suma Thian yu kelewat cerewet, segera
tegurnya
dengan marah:
"Bila kau tidak percaya, turun saja sendiri untuk membuktikan
keberaran dari perkataanku"
Suma Thian yu tahu, pertanyaan yang ber lebihan darinya telah
menimbulkan amarah dari kakek tersebut, maka diapun lantas
bertanya:
"Harap cianpwee sudi memberi petunjuk, bila kita tidak bertindak
cepat, sampai terlambat Chin Siau bisa terancam bahaya"
"Ikutilah aku, sepanjang jalan tak usah banyak bertanya, kedua,
bila
menjumpai kejadian apapun harus minta persetujuan dariku sebelum
melakukan suatu tindikan"
Suma Thian yu mengiyakan berulang kali, dia tak berani berayal
lagi
dan berdua memasuki hutan menuju kearah gua.
Siapa tahu, biarpun sudah berjalan dua jam lamanya, mereka masih
belum berhasil juga menemukan mulut masuk menuju ke gua Jit
yang sui tong itu.
Suma Thian yu jadi habis ke sabarannya, tapi dia enggan banyak
menimbrung, apa lagi selama ini Sin sian siangsu membungkam
terus tanpa berbicara, terpaksa dia harus menahan diri sambil
mengikutinya.
Tapi lama kelamaan habis sudah kesabaran Suma Thian yu,
mendadak dia bertanya:
"Ciancwee, bukankah kau bilang mulut masuk menuju ke gua
terletak pada bagian akar pohon siong?"
"Ehmm...!" jawab Sin sian siangsu sekenanya, dia seperti lagi
memusatkan segenap pikirannya untuk menemukan jalan tembus.
"Aku lihat hutan ini seperti diaturr menurut berisan Pat kwa,
susunannya sangat teratur"
"Hmmm, memang benar"
Kalau kita mesti berjalan terus dengan cara ini harus berjalan
sampai
kapan? Padahal senja telah tiba, bila malam sudah menjelang, mana
mungkin kita bisa melanjutkan perjalanan?"
"Dicoba saja, aku pikir tak menjadi soal" kembali jawaban dari
Sin
sian siangsu acuh tak acuh.
"Mengapa kita tidak berusaha mencari jalan lain?"
"Cara apa? Kecuali memecahkan barisan apakah meski memasuki
tanah...!" Sin sian siangsu nampak amat kesal.
"Biarpun masuk ketanah mustahil, kita kan bisa terbang
kelangit...?"
"Hei, jangan bergurau saja, masa dalam keadaan beginipun kau
masih berniat untuk bergurau?"
Biar kecil orangnya, besar sekali otak licik Suma Thian yu,
sekali
lagi dia tertawa.
"Pohon siong yang berusia seribu tahun pasti tinggi menjulang ke
angkasa, kalau kita menuju kepuncaknya, bukankah dengan cepat
tempat tersebut akan ditemukan?"
Mendengar perkataan itu Sin Sian Siansu segera berseru tertahan.
"Aah, benar, suatu siasat yang bagus, suatu pemikiran yang sangat
jitu"
Dia lantas menepuk bahu Suma Thian yu sambil barkata lagi:
"Hiantit, kau memang punya aksi bagus, yang tua begini memang
sungguh tak becus, mengapa tidak kau katakan dari tadi? Bikin aku
menjadi gelisah saja"
"Aah, boanpwe hanya teringat secara tidak sebgaja saja...." Sin
sian
siangsu tidak banyak berbicara lagi, buru-buru dia menjejakkan
kakinya ke tanah dan melejit ke puncak pohon dengan gerakan It
ciong thian (burung bangau ter bang ke udara)
Betul juga, tak jauh dari tempat itu, mereka menyaksikan sebuah
pohon siong yang amat besar.
"Itu dia!" Sin sian siangsu segera barteriak kegirangan, "disitu
pohon
yang kita cari, ayo cepat turun!"
Tapi Suma Thian yu menggelengkan kepalanya
berulang kali, ceegahnya: "Cianpwee, kita tak perlu turun, kalau
kita
berjalan melewati puncak pohon, bukankah keadaannya akan lebih
gampang?"
Sin sian siangsu yang mendengar perkataan ini menjadi kagum
sekali
atas kecerdasan otak pemuda itu.
Begitulah, mereka berdua segera mergerahkan ilmu meringankan
tubuh Cau sang hui (terbang diatas rumput) dan meluncur kearah
pohon siong tadi dengan melalui puncak pohon.
Suatu ketika, mendadak Suma Thian yu menjerit kaget:
"Aah, tahan!"
Bagaikan burung elang yang menyambar kelinci, dengan kecepatan
bagaikan sambaran kilat dia segera meluncur kebawah.
Sin sian siangsu dengan mengerahkan pula ilmu meringankan tubuh
ceng sah lok eng (burung manyar hinggap dipasir) melompat turun
pula keatas tanah.
Ternyata mereka saksikan seorang kakek sedang bersiap sedia
membunuh seorang pemuda, dan pemuda itu bukan lain adalah
musuh Suma Thian yu, Chin Siau.
Ketika mendengar bentakan tadi, si kakek tersebut kelihatan kaget
dan berdiri melongo, saat itulah dua sosok bayangan manusia telah
meluncur turun dengan kecepatan tinggi.
Begitu mencapai permukaan tanah, Suma Thian yu langsung berjalan
menuju kehadapan Chin Siau.
Waktu itu sepasang tangan Chin Siau terikat kencang dan
kesadarannya hampir punah, secepat kilat Suma Thian yu
membebaskan belenggunya, membebaskan totokan jalan darahnya
dan mengeluarkan dua butir pil sambil melancarkan peredaran
darahnya.
Chin Siau membuka matanya lebar-lebar, ketika menjumpai Suma
thian yu, mendadak dia mencaci maki:
Jilid : 25
PADA DASARNYA SI KAKEK setengah telanjang itu hanya
seorang manusia biasa, dia terpaut jauh sekali bila
dibandingkan dengan lawannya, tidak heran kalau dalam satu
gebrakan saja sudah tertotok.
Walaupun kakek setengah telanjang itu sudah roboh,
namun lebah beracun yang tak terhitung jumlahnya itu tetap
berdatangan secara bergerombol, mereka menyerang secara
ganas dan mengerikan.
Suma Thian yu bergerak lebih dulu, dengan pedang
ditangan kanan, pukulan yang dahsyat ditangan kiri, semua
perintang di sapu serentak.
Perlu di ketahui, telapak tangan kiri pernah direndam dalam
cairan mestika sian kiam lan, itulah sebabnya betapapun
beracun lebah-lebah tersebut, tak satupun yang bisa
mengapa-apakan dirinya.
Sin sian siangsu yang mengikuti dibelakangnya, di samping
melepaskan pukulan untuk mengusir lebah, diam-diam diapun
ter kejut atas kelihayan ilmu silat Suma Thian yu.
Hingga mereka keluar dari perbatasan lembah, lebah-lebah
beracun tersebut baru menghentikan pengejarannya.
Kedua orang itu menghembuskan napas lega, ketika
berpaling tampak oleh mereka kawanan binatang buas
peliharaan si Dewa sesat penakluk harimau telah melintasi
daerah perbatasan dan memasuki wilayah lembah.
Siapa sangka begitu kawanan binatang buas itu melewati
perbatasan, kawanan lebah beracun yang berada di
wilayahnya segera melancarkan serangan secara besar-
besaran.
Tak ampun lagi banyak korban berjatuh di kedua belah
pihak.
Suma Thian yu segera bertepuk tangan sambil berteriak:
Bagus, bagus sekali, ini namanya saling bunuh membunuh,
mari kita saksikan pertunjukkan bagus ini, kesempatan
semacam ini jarang bisa dijumpai, kita tak boleh kehilangan
kesempatan sebaik ini."
Sin sian siangsu yang berpengalaman lebih luas mendadak
berteriak kaget:
"Aduh celaka, andaikata kakek setengah telanjang itu
sudah di sadarkan kembali mungkin sulit bagi kita untuk
meloloskan diri!"
Mendengar perkataan tersebut Suma Thian yu segera
berpaling, betul juga, si Dewa sesat penakluk harimau telah
membebaskan pengaruh totokan pada kakek setengah
telanjang tersebut.
Seandainya jalan darah kakek setengah telanjang itu sudah
bebas, niscaya diakan bekerja sama dengan dewa sesat
penakluk harimau untuk menggabungkan binatang peliharaan
mereka guna menyerang bersama.
Dalam serangan gabungan antara manusia dengan
binatang ini, biar ada seratus orang Suma Thian yu maupun
Sin sian siangsu pun jangan harap bisa lolos dari hutan
seratus binatang dan lembah lebah beracun ini dalam keadaan
selamat.
Menyadari betapa gawatnya keadaan tersebut, Suma Thian
yu segera mengajak Sin sian siangsu untuk kabur dari
lingkungan daerah tersebut dan kabur menuju ke jalan
semula.
Baru saja dua orang itu memasuki hutan, suara auman
yang gegap gempita telah bergema dari belakang, agaknya
seratus ekor hewan buas tersebut sudah mulai melancarkan
pengejaran.
Dalam keadaan seperti ini, kedua orang itu semakin tak
berani tinggal lebih lama mereka kabur makin kencang dan
akhirnya berhasil lolos dari pengejaran.
Sin sian siangsu tidak berhenti meski mereka sudah lolos
dari wilayah berbahaya, malahan langkahnya semakin
dipercepat lagi.
Lebih kurang tiga li kemudian mereka baru memperlambat
larinya, kemudian sambil menggelengkan kepala dan
menghela napas panjang gumamnya:
"Oooh, sungguh berbahaya, untung kedua lembar jiwa kita
masih bisa dipungut kembali dari pintu neraka."
Suma Thian yu tertawa ringan.
"Aah, tak mungkin sedemikian parah, mengapa boanpwee
tidak merasakan sama sekali kalau baru lolos dari bahaya
maut?"
Sekali lagi Sin siau siangsu menghela napas panjang:
"Tahukah kau mengapa aku masuk hutan lebat?"
"Mungkin kau tahu kalau boanpwee sedang menjumpai
mara bahaya?"
Sin sian siangsu cepat menggeleng, sambil menuding ke
arah sebuah dusun tak jauh dari situ dia berkata:
"Semalam aku menginap di dusun itu, dari orang dusun
kuperoleh keterangan tentang segala sesuatu diseputar hutan
itu, mendengar cerita mana aku jadi gembira, maka sejak
fajar tadi aku tinggalkan dusun itu dan melakukan
penyelidikan kesini"
"Bukankah kau bisa masuk ke sana dengan lancar dan
kembali dengan selamat?" Apa sih yang menakutkan?" tukas
Suma Thian yu tidak habis mengerti.
Sin sian siangsu segera tertawa.
"Kau hanya tahu satu tak tahu dua, sesungguhnya lembah
lebah beracun mau pun hutan seratus binatang bukan daerah
aman”
"Apa sih yang menakutkan?" tegurnya.
"Hmm, kau terlalu polos, ketahuilah di dalam hutan ini
berdiam lima orang kakek khas yang berhati kejam dan
berperangai aneh, yang baru saja kita jumpai hanya dua
diantaranya, bila tiga orang lainnya munculkan diri pula, kita
pasti akan mampus!"
"Masih ada tiga orang? Tiga orang yang mana?" tanya
Suma Thian yu keheranan.
"Bila hari sudah gelap, ke tiga orang lainnya akan segera
menampakkan diri, bukit gundul dimana kau berdiri tadi
adalah Tok coa nia atau Tebing ular berbisa, seringkali ular
beracun bermunculan bila malam hari sedang hutan lebat
yang kita telusuri barusan adalah Tok go kong lim (hutan
kelabang beracun), sedangkan hutan lebat disebelah barat
adalah Tok ci cu lim atau Hutan laba laba beracun, pokoknya
setiap sudut dari wilayah tersebut ditempati oleh seorang
gembong iblis!"
Berubah paras muka Suma Thian yu setelah mendengar
perkataan itu, badannya jadi dingin separuh, sekarang dia
baru memahami betapa rawannya keadaan mereka waktu itu.
Menyaksikan perubahan wajah Suma Thian yu, Sin sian
siangsu segera tertawa terbahak-bahak.
"Haaah...haaah...haaah... kau ingin sekali lagi
menyerempet bahaya?"
Suma Thian yu mendongakkan kepalanya memandang
langit yang mendekati senja, buru-buru sahutnya:
"Tidak usah...tidak usah.. "
"Haaah...haah...haah... sekarang kau baru merasa takut?"
"Kalau dipikirkan kembali, bergidik rasanya hatiku, sampai
sekarang pun bulu kudukku masih pada berdiri!"
Suma Thian yu memang 1agi kesepian dalam perjalannya,
bisa bersua dengan manusia macam Sin sian siangsu, boleh
dibilang banyak duka mestapa yang bisa dihilang kan.
Malam itu mereka habiskan dalam perjalanan diiringi
sendang gurau dan pem bicaraannya yang asyik.
Keesokan harinya...
Mereka berdua telah tiba dibawah bukit Jit yang san.
Sambil menuding kearah tanah perbukitan didepan sana,
Sin sian siangsu berseru:
"Kau ingin mendaki bukit itu untuk menyaksikan
pemandangan indah...?"
"Apa sih yang indah?"
"Di atas bukit itu ada gua air, gua itu penuh dengan misteri
dan sudah banyak umat persilatan yang mengunjungi tempat
itu tapi banyak pula yang lenyap setelah melakukan
penyelidikan"
Mendengar cerita itu, Suma Thian yu segera menerima
tawaran tersebut.
Terdengar Sin sian siangsu berkata lagi:
"Aku tahu kalau kau sangat tertarik oleh ceritaku, tapi ingat
setibanya disana maka kita harus bertindak menurut keadaan,
tak boleh gegabah, sebab sudah beratus-ratus jago yang
menemui ajalnya ditempat itu.
Dengan langkah berhati-hati berangkatlah mereka ke arah
bukit.
Baru tiba di kaki bukit, mereka menyaksikan sebuah tugu
peringatan didirikan orang dengan tulisan tulisan besar yang
amat menyolok dipandang:
"Gua air Jit yang tong adalah gua siluman, harap para
pelancong berhati-hati!"
Mungkin peringatan tersebut didirikan oleh penduduk
disekitar bukit tersebut setelah banyak korban berjatuhan
disana.
Suma Thian yu mendengus dingin, tanpa banyak bicara dia
meneruskan langkahnya menuju ke atas bukit.
Sin sian siangsu yang menjumpai sikap anak muda tersebut
menjadi cemas, dengan ketat dia mengikuti terus
dibelakangnya.
Jalan bukit itu amat sempit dan sukar dilalui, tapi kedua
orang itu sebagai jago lihay dunia persilatan bukan merupakan
masalah, dengan muda semua perjalanan dapat ditempuh.
Baru saja menaiki subuah tebing, mendadak Suma Thian yu
menghentikan langkahnya sambil menjerit kaget:
"Aaaaii!!"
Dengan cepat dia meluncur naik keatas sebuah pohon yang
tumbuh dihadapannya.
Ternyata diatas pohon itu tergantung secarik kain putih,
diatas kain itu masih nampak noda darah.
"Apa yang kau temukan?" Sin sian siangsu segera
menghampirinya sambil menegur.
"Chin Siau pasti berada disekitar tempat ini!" seru Suma
Thian yu setelah meneliti kain tersebut.
"Chin Siau? Siapakah Chin Siau itu?"
"Dia adalah seorang jago lihai dari Bong kok kiam jiu (aliran
pedang bermata buta)"
Secara ringkas dia lantas menceritakan pengalamannya
bersama Chin Siau di bukit Ngo tay san.
Sin sian siangsu tertawa nyaring.
"Berdasarkan secarik kain kau bisa menduga akan dia, hal
ini menunjukkan kalau kau memang seorang yang cermat,
cuma...."
"Pakaian yang dikenakan pernah tertusuk oleh pedangku,
berdasarkan hal ini aku lantas menduga kalau dia berada
disini"
Selesai berkata, dia lantas menarik tangan Sin sian siangsu
untuk melanjutkan perjalanan mendaki bukit.
Sebuah tebing kembali sudah dilalui, selama ini Suma Thian
yu selalu memperhatikan keadaan disekelilingnya, jangan-
jangan masih ada kain seperti itu yang tertinggal. Apa yang
diduga ternyata tidak salah, di samping tebing dia jumpai
secarik kain yang sama, hanya kain tersebut tidak dinodai oleh
percikan darah.
"Jangan-jangan saudara Chin sudah menjumpai bahaya
maut!" gumam Suma thian yu kemudian sambil memungut
cuwilan kain itu dari atas tanah.
Sin sian siangsu tertawa panjang.
"Aku lihat, kau kelewat membayangkan yang bukan-bukan,
seandainya dia memang sudah terkena musibah, darimana dia
punya waktu untuk meninggalkan kainnya sebagai tanda? Aku
lihat, bisa jadi hal ini merupakan bagian dari rencana
busuknya untuk memancing kau masuk perangkap!"
Meskipun dalam hatinya Suma Thian yu tidak setuju pada
pendapat tersebut, tetapi dia juga tidak membantah, maka
berangkatlah kadua orang itu meneruskan perjalanan-nya.
Ketika mencapai tebing yang ketiga, Sin sian siangsu
kembali berkata:
"Hati-hati, tebing di depan sana adalah gua air yang
termasyur dalam dunia persilatan"
Sebenarnya ucapan mana dimaksudkan untuk memberi
peringatan agar pemuda itu waspada, siapa tahu Suma Thian
yu justru tertawa panjang sambil melejit ke muka dengan
kecepatan tinggi.
Sin sian siangsu yang menyaksikan kejadian ini, terpaksa
harus mengikuti dibelakangnya sambil berteriak:
"Jangan bertindak gegabah, pikirlah tiga kali sebelum
bertindak dalam segala hal!"
Belum habis perkataan ini diutarakan, Suma Thian yu telah
tiba di atas puncak tersebut dan tiba-tiba saja terdengar ia
menjadi kaget:
"Aaaah! Cepat kemari..."
Sing sian siangsu segera melejit ke tengah udara dan
meluncur ke depan dengan kecepatan luar biasa, tapi dengan
cepat dia menjerit pula dengan nada kaget:
"Aaaah!"
Rupanya diatas tebing itu tumbuh berderet pepohonan
besar, jumlahnya mencapai dua puluhan batang lebih, waktu
itu, diatas setiap batang pohon tergantung sesosok mayat.
Diantara mayat mayat tersebut ada kaum lelaki, ada kaum
wanita, ada yang tua ada pula yang muda, tapi semuanya
mengenakan pakaian ringkas dan bersenjata, jelas orang-
orang persilatan.
Memandang adegan yang terbentang di depan mata, tanpa
terasa kedua orang itu menghembuskan napas dingin.
Sambil menggelengkan kepala serta menghela napas
dalam-dalam Sin sian siangsu berkata:
"Aaai, kalau manusia sudah bejat moral, dia selalu
membantai orang seperti membantai binatang, betul-betul
neraka ditengah alam manusia, hiantit, menurut perkiraanku
disini pasti hidup seorang iblis yang suka membunuh orang
seperti membabat rumput dan dapat membunuh orang tanpa
berkedip mata"
Suma Thian yu mencoba untuk memeriksa mayat-mayat
tersebut dengan seksama, dia mencoba untuk mendapat tahu
apakah Chin Siau terdapat diantara korban korban
pembunuhan itu, ternyata tidak ada, Chin Siau bukan
termasuk korban pembunuhan keji.
Sambil menuding kebelakang deretan pepohonan itu Sin
sian siangsu berkata:
Didepan sana adalah gua air, bisa jadi sahabatmu itu sudah
menyerempet bahaya dan masuk kesana.
Habis sudah kesabaran Suma Thian yu setelah mendengar
perkataan ini, cepat-cepat serunya:
"Cianpwee, mari kita segera masuk, aku kuatir dia telah
tertimpa bencana!"
Baru selesai perkataan itu diucapkan, mendadak....
Ditengah keheningan yang mencekam sekeliling tempat itu,
berkumandang suara pekikan nyaring yang amat
menggidikkan hati, suaranya seperti jeritan kuntilanak
ditengah malam buta membuat bulu kuduk orang pada
bangun berdiri, menyeramkan.
Baik Sin sian siangsu maupun Sama Thian yu kedua duanya
sama-sama merasa terkejut, ditengah gugupnya cepat mereka
membalikkkan badan dan berusaha menahan gerak laju
mereka secara paksa.
Tiba-tiba pandangan matanya terasa kabur dan...Sreeet,
sreeet...." tiga sosok bayangan manusia berkelebat lewat
dihadapan mereka.
Ternyata mereka terdiri dari dua orang lelaki dan seorang
wanita yang berdandan sangat aneh.
Orang pertama merupakan seorang kakek berusia enam
puluhan yang telanjang bagian atasnya, dia kurus sekali
sehingga tinggal kulit yang membungkus tulang, namun di
tangannya memegang sebuah tongkat dengan diujung
tongkat itu berukirkan sebuah kepala ular.
Orang kedua juga seorang kakek, usianya hampir sebaya
yaitu enam puluh tahunan, bagian rawan dari tubuhnya saja
yang di tutup dengan beberapa lembar daun, dia membawa
pula sebuah tongkat, hanya pada ujungnya berukir seekor
kelabang.
Orang ketiga adalah seorang nenek, dia berusia lima puluh
tahunan dengan perut yang buncit, tubuh bagian atasnya
ditutup dengan selembar kain sutra yang tipis sementara
didalam genggamannya membawa sebuah kipas bambu,
diatas kipas menempel sepasang laba laba.
Sin sian siangsu yani cukup berpengalaman dalam dunia
persilatan kuatir kalau Suma thian yu tidak mengenali asal
usul beberapa orang itu, buru-buru serunya ke mudian sambil
tertawa tergelak.
"Ooh...rupanya tay ong bertiga yang sudah lama termashur
namanya dalam dunia persilatan tapi, heran, mengapa kalian
ber tiga bisa muncul dibukit Jit yang san ini?"
Si kakek bertongkat kepala ular itu menjawab dingin:
"Kami khususnya datang untuk menyambut kalian! Kalau
toh kalian berdua sang gup memasuki lembah lebah beracun
dan hutan seratus binatang, hal mana membuktikan kalau
kepandaian silat yang kau miliki cukup hebat, sayang kami
bertiga kebetulan tak hadir disana, itulah sebabnya kami tak
bisa turut menyambut, harap sudi dimaafkan.
Sin sian siangsu tertawa terbahak bahak:
Haaa... haaaa...ucapan kalian bertiga terlalu serius, kami
berdua tak lebih hanya kuli silat kasaran yang kebetulan saja
lewat disini, kami memang sedang menyesal lantaran tak bisa
menjumpai kalian bertiga, setelah perjumpaan hari ini terbukti
sudah bahwa apa yang kami dengar selama ini memang
benar"
000O000
TERNYATA si kakek yang membawa tongkat terkepala ular
itu adalah pemimpin dari Tok coa nia (tebing ular beracun)
yang disebut orang sebagai Tok coa mo ong (Raja iblis ular
beracun).
Kakek kedua yang membawa tongkat berkepala kelabang
adalah pemimpin dari Go kong lim (hutan kelabang) yang
disebut orang Go kong mo ong (Raja iblis kelabang),
Sedangkan si nenek tak lain adalah Ci cu mo poo (Nenek iblis
laba laba).
Ketiga orang gembong iblis ini bersama Pek siu ong (Raja
seratus binatang) dari hutan Pek siu lim yaitu Hu hon sia sian
dan Tok hong mo ong (Raja iblis lebah beracun) disebut orang
Khong ciong mo ong (lima raja dari pedalaman) sedangkan
orang persilatan menyebut mereka sebagai Mang huang ngo
mo (lima iblis dari daerah liar).
Mereka termashur karena peliharaannya yang beracun,
setiap orang memiliki sejenis binatang peliharaan yang selain
beracun juga amat jahat dan berbahaya.
Seperti misalnya si Raja iblis lebah beracun, didalam
lembahnya terdapat beribu-ribu ekor lebah beracun yang
semuanya berada dalam kendali dirinya.
Begitu pula dengan ke empat rekannya, mereka semua
merupakan orang-orang pedalaman yang masih liar dan
gemar sekali melakukan kejahatan.
Yang beruntung adalah kelima orang ini tak pernah
bersatu, mereka masing-masing berusaha untuk menjadi raja
dan tak mau saling bekerja sama, coba kalau mereka saling
bersatu padu, niscaya dunia persilatan akan dibikin obrak-
abrik.
Adapun binatang andalan mereka adalah Lebah beracun,
laba laba beracun, ular be racun, kelabang beracun dan
macan kumbang hitam. Tapi kalau dibicarakan kembali
memang cukup aneh, sebab binatang tandingan dari ular
beracun sesungguhnya adalah kelabang, sedang tandingan
dari kela bang adalah macan kumbang hitam, sebaliknya
tandingan dari macan kumbang hitam adalah lebah beracun,
tapi lebah beracun sendiri takut dengan laba laba, sedang laba
laba takut dengan ular beracun dan begitu seterusnya.
Ketika semalam Suma Thian yu memasuki hutan wilayah
mereka, kebetulan sekali Raja iblis ular beracun dan raja iblis
kelabang beracun sedang menyambangi nenek iblis laba laba
beracun dihutan sebelah utara, oleh sebab itu dia hanya
menjumpai raja iblis seratus binatang dan raja iblis lebah
beracun, coba kalau bukan demikian tak bisa dibayangkan
bagaimanakah nasib dari Suma Thian yu serta Sin sian
siangsu.
Menanti ketiga raja iblis itu mendapat laporan kalau hutan
mereka diserbu orang dan segera berangkat kebukit Jit yang
san yang memang bersatu dengan hutan sebelah utara, waktu
itu Sin sian siangsu dan Suma Thian yu sedang menuju pula
kesitu, akibatnya mereka saling berjumpa disini.
Sementara pembicaraan berlangsung, sorot mata si raja
iblis ular beracun mengawasi wajah Suma Thian yu tiada
hentinya. Sebab dari mulut Hu hou sia sian yang baru saja
diselamatkan, dia mendapat tahu kalau kepandaian silat yang
dimiliki anak muda tersebut lihay sekali.
Itulah sebabnya begitu saling berjumpa pun mengawasi
anak muda tersebut dengan seksama.
Dasar anak muda yang masih berdarah panas, merasa
diamati terus oleh orang lain, timbal perasaan muak dan kesal
dihati Suma Thian yu, dengan cepat dia menegur:
"Hei, bila kalian bertiga ada maksud tertentu untuk
menghadang jalan pergi kami, ayo cepat diutarakan sekarang
juga, kalau tidak, lebih baik menyingkir saja, aku masih ada
urusan lain harus segera berangkat ke gua Jit yang tong"
Raja iblis ular beracun tertawa seram.
"Bocah keparat kau datang mencari kematian atau
mengiringi kematian? Kau tahu, siapakah pemilik gua Jit yang
tong itu? Kalau ingin menghantar kematianmu disitu, lebih
baik tinggalkan dahulu kepandaianmu sebelum terkubur
selamanya digua air tersebut!"
Mengetahui kalau gua air tersebut mempunyai pemilik lain,
sekali lagi Suma Thian yu merasakan hatinya bergetar keras,
apa bila terbayang Chin Siau kena dibekuk pemilik gua air
tersebut, hatinya bertambah gelisah.
Tiba-tiba terdengar Sin sian siangsu berkata:
"Kalian bertiga semuanya adalah jago-jago yang merajai
suatu daerah, buat apa sih mesti ribut dengan kami? Apalagi
kedatangan kami kemari hanya untuk mencari seorang teman
saja, buat apa kalian mesti memojokkan orang lain?"
Mendengar perkataan mana, si Raja iblis ular beracun
segera membuat sebuah garis lurus diatas tanah dengan
tongkat kepala ularnya, setelah memberi tanda kepada kedua
orang rekannya, mereka bertiga sama-sama mundur
kebelakang garis lurus tadi.
Kemudian sambil tertawa seram dia baru berkata:
"Barang siapa tidak takut, ayo maju dan langkahi garis
lurus yang kubuat ini."
Sin sian siangsu mengerutkan dahinya dan ragu sejenak,
sebelum ia sempat berbuat banyak barang sesuatu hal, Suma
Thian yu tertawa nyaring dan melangkahi garis lurus tersebut.
Sin sian siangsu menjadi tertegun, tetapi dengan cepat dia
menyusul dibelakangnya.
Setelah tertawa seram, Raja iblis ular beracun segera
mengacungkan ibu jari sembari berkata:
"Punya nyali, benar-benar punya nyali, aku sangat kagum,
aku kagum sekali, biar aku yang memberi pelajaran dulu
padamu!"
Tongkat kepala ularnya segera diayunkan kedepan, diiringi
deruan angin serangan yang maha dahsyat dia langsung
menyerang jalan darah Yu bun hiat di bawah tetek Sin Sian
siangsu.
Sesungguhnya Sin sian siangsu termasuk seorang jago
yang banyak humor dan berwatak aneh, dihari-hari biasa dia
paling segan melakukan pembunuhan, lagipula orangnya
sabar dan bersedia mengalah kepada siapa saja.
Walaupun demikian, kesabaran orang itu ada batas-
batasnya, setelah didesak dan dipojokkan berulang kali, habis
juga akhir nya kesabaran orang ini.
Sambil tertawa dingin dia balas maju ke depan, sepasang
lengannya digerakkan kekiri dan kanan melepaskan serangan
dan tangkisan bersama kemudian, dengan kecepatan
bagaikan kilat, kepalan kanannya menyodok kedada si raja
iblis ular beracun.
Betapa terkejutnya si raja iblis ular beracun setelah
menghadapi ancaman itu, tongkatnya ditarik dengan cepat
sambil buru-buru mundur kebelakang, menyusul kemudian dia
memutar tongkatnya melakukan per tarungan pertarungan
keras melawan keras.
Di pihak lain, si nenek iblis laba laba beracun tidak
menganggur pula, sambil menggoyangkan kipas bambunya
dia menerjang kehadapan Suma Thian yu, lalu katanya sambil
tertawa terkekeh kekeh:
"Hei bocah, biar lo nio menemanimu bermain-main
sebentar!"
Kipas bambunya segera dikebaskan kemuka, segulung
hawa panas yang menyengat badan cepat berhembus keatas
wajah Suma Thian yu.
Sejak berpengalaman di lembah lebah beracun dan hutan
seratus binatang, Suma thian yu sudah cukup mengerti
tentang ke mampuan ke lima iblis tersebut, dalam per
tarungan asal dia bisa berhati-hati dalam mengawasi jurus
serangan, maka kemenangan tentu berhasil diraih dengan
mudah.
Itulah sebabnya ketika melihat serangan pertama dari si
nenek iblis laba laba beracun ditujukan hendak melukainya
dengan racun, ia menjadi sangat mendongkol.
Tiba-tiba tangan kirinya dibalik keatas, kelima jari
tangannya membentuk kaitan dan memancarkan segenap
tenaga dalamnya melewati ujung ujung jari itu.
Tangan kanannya tidak menganggur pula, dengan cepat
dia meloloskan pedang Kit hong kiamnya.
Begitu senjata tersebut dicabut dari sarungnya bergemalah
suara dentingan nyaring disusul pancaran sinar biru ke empat
penjuru, dalam waktu singkat sebuah serangan telah
dilepaskan.
Mimpipun si nenek iblis laba laba beracun tidak menyangka
kalau lawannya seorang pemuda ingusan bisa melancarkan
serangan sedemikian cepatnya, dalam waktu singkat dua jurus
serangan telah dilepaskan berbareng dengan kekuatan yang
maha dahsyat.
Ketika ia merasakan hawa beracunnya terbendung, tahu-
tahu cahaya tajam sudah menyambar tiba.
Untung saja si nenek iblis laba laba beracun bukan
termasuk manusia lemah, kipas bambunya cepat dikibaskan
kekiri dan kanan.
"Weesss... weeess... weesss..."
Secara beruntun dia lepaskan pula tiga buah serangan
berantai yang kesemuanya ditujukan keatas jalan darah
penting ditubuh Suma Thian yu.
Menghadapi ancaman yang begitu berbahaya, Suma Thian
yu sama sekali tidak gugup ataupun gelisah, pedangnya
diputar membentuk lingkaran cahaya berwarna biru dan
serentak berhasil mematahkan keti ga serangan kipas dari
nenek iblis laba laba beracun itu.
Menyusul kemudian pedangnya diputar sambil mendesak
kedepan, memaksa si nenek iblis tersebut harus mundur dua
langkah dari posisi semula.
"Hei nenek peot!" seru pemuda itu kemudian sambil
menarik kembali serangannya, “apakah aku cukup berhak
untuk mengunjungi gua air Jit yang tong?"
Agaknya si nenek iblis laba laba beracun masih tertegun
karena kena didesak mundur oleh pemuda itu, mendengar
pertanyaan mana, tanpa disadari dia menyahut:
"Cukup, cukup!"
"Kalau begitu, aku tidak akan melayani dirimu lebih jauh"
seru sang pemuda sambil menjura.
Kepada Sin sian siangsu masih terlibat dalam pertarungan
dia berseru pula:
"Cianpwee, kita harus segera berangkat!"
Belum selesai dia berkata, mendadak terdengar raja iblis
kelabang beracun telah membentak nyaring:
"Bocah keparat, masih ada yayamu yang belum kau
layani!"
Tubuhnya bergerak secepat angin, didalam waktu singkat
dia sudah menerobos maju kehadapan Suma Thian yu.
pada saat itulah si nenek iblis laba laba beracun baru
mendusin kembali dari lamunannya, melihat sikapnya yang
memalukan tanpa mengucapkan sepatah katapun dia
menyusul dibelakang raja iblis kelabang beracun menuju
kehadapan anak muda tersebut kemudian serunya:
"Lo nio belum mau menganku kalah, tidak gampang kau
ingin pergi dari sini"
Memandang kebandelan kedua orang musuhnya, Suma
Thian yu hanya bisa tertawa getir, apalagi bila teringat
keliaran dan kebuasan manusia-manusia buas tersebut, dia
ingin sekali memberi pelajaran yang setimpal kepada orang-
orang itu!
Dengan sorot mata yang tajam, diawasinya sekejap kedua
orang itu, kemudian dia memandang pula kearah Sin sian
siangsu dan raja iblis ular beracun yang sedang bertarung
sengit.
Segera terlihat olehnya betapa cepatnya gerak serangan
dari gembong iblis itu, semua serangannya dilancarkan seperti
orang kalap, namun sayang tiada bermanfaat.
Cukup dalam sekilas pandangan, Suma Thian yu telah
memahami kemampuan dari makhluk-makhluk tua tersebut,
diam-diam ia tertawa geli. Bentaknya kemudian dengan
lantang:
"Tahan! cianpwee mundur dulu... aku mempunyai sebuah
usul yang sangat bagus!"
Pada dasar Sin sian siangsu memang tak bertindak keji
terhadap kawanan manusia liar itu, ia banyak menggunakan
segala kelincahan tubuhnya saja untuk memberi peringatan
kepada mereka, mendengar seruan tersebut, dengan cepat
dia melompat mundur dari arena pertarungan.....
Menanti semua orang sudah menghentikan serangannya,
Suma Thian yu baru berkata dengan lantang:
"Bila aku kelewat takabur, harap tay ong bertiga jangan
marah, agar lebih berhemat waktu, silahkan kalian bertiga
menyerang bersama saja, andaikata aku sampai kalah, biar
aku pun cepat menyerah. Dengan pertarungan seperti ini,
pasti suasananya akan bertambah ramai, entah bagaimana
dengan pendapat tay ong bertiga?"
Racun iblis ular beracun mendengus dingin, biji mata
sesatnya berputar kian ke mari, lalu jawabnya:
"Bagus sekali, cuma sampai waktunya nanti kau jangan
menuduh kami bertiga orang tua mempermainkan seorang
bocah, yang minta begini adalah kau sendiri....."
"Oooh, jangan kuatir, aku berbicara atas dasar kemauan
sendiri, tentu saja aku tak bakal menyalahkan siapa pun" kata
Suma thian yu sambil tertawa terbahak-bahak.
Sin sian siansu menjadi sangat gelisah setelah menyaksikan
kejadian ini, cepat timbrungnya dari samping:
"Hiantit, kau....."
Sebelum ucapan tersebut selesai diutarakan, Suma Thian
yu kembali telah menukas:
"Ciaupwee tak usah kuatir, aku sudah mempunyai rencana
yang cukup matang"
Menyaksikan kekerasan kepala pemuda itu, Sin sian siangsu
hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil menghembuskan
napas panjang, dia segera mengundurkan diri dari arena.
Si raja iblis kelabang beracun sungguh merasa mendongkol
sekali, sepasang giginya sampai menggertak keras, sepasang
matanya memancarkan sinar mata berapi-api dan mengawasi
Suma Thian yu dengan penuh amarah dan tak berkedip.
Tiga orang gembong iblis ini biasanya malang melintang
ditakuti orang, belum pernah mereka dicemooh bahkan
dipandang rendah seperti hari ini.
Bisa dibayangkan sampai dimanakah amarah mereka
bertiga setelah bertemu de ngan jago muda yang tidak takut
langit tidak takut bumi ini, kalau bisa mereka ingin sekali
menggigit dan menelan suma Thian yu ke dalam perut.
Dalam pada itu, si raja iblis ular be racun telah
membisikkan sesuatu ke sisi telinga raja iblis kelabang
beracun, kemudian bentaknya kepada Suma Thian yu:
"Anak muda, aku mempunyai sebuah usul bagus,
bersediakah kau untuk menerimanya?"
"Asalkan kalian bertiga mengusulkan, aku pasti akan
menyanggupi tanpa berkerut kening"
Begitu ucapan tersebut diutarakan keluar, Sin sian siangsu
yang berdiri diluar arena merasakan tubuhnya bergetar keras,
pekik nya tanpa terasa dihati:
"Aduh celaka, habis sudah kali ini."
Si Raja iblis ular beracun mendongakkan kepalanya sambil
berpekik nyaring, begitu selesai berpekik, dari sakunya dia
mengeluarkan seekor ular kecil yang berwarna kuning emas.
Menyaksikan ular kecil ini, tiba-tiba saja Suma Thian yu
teringat kembali dengan ular kecil berwarna emas yang
pernah di jumpa dipuncak di im hong tempo hari, gelisah
hatinya. Sebab dari gurunya Put gho cu dia mendapat tahu
akan kelihayan ular emas kecil ini.
Si raja iblis ular beracun segera tertawa bangga setelah
menyaksikan paras muka Summa Thian yu berubah menjadi
pucat pias, katanya setengah mengejek:
"Bagaimana? Kau merasa takut? Hei, bocah keparat, aku
merasa bertanding ilmu silat kurang merangsang napsu, mari
kita beradu racun saja, pasti pertandingan ini lebih
merangsang dan gembira!"
Suma Thian yu berusaha keras mengendalikan rasa
ngerinya, dengan menunjukan sikap acuh tak acuh dia
bertanya:
"Bagaimana cara kita bertanding?"
Raja iblis ular beracun tertawa seram.
"Bila kau beranggapan cara bertanding ini kurang adil,
tentu saja kau tak perlu memaksakan diri"
Suma Thian yu tertawa terbahak:
"Haaa...haaa...kalau hanya seekor ular emas yang begitu
kecil mah tak akan bisa menakuti aku, cuma sauyapun
mempunyai sebuah syarat"
"Apa syaratmu?"
"Kita harus bertanding dua babak, babak pertama diusulkan
kalian bertiga sedang babak kedua haruslah aku yang
mengajukan persoalan, ini baru adil namanya, entah
bagaimana pendapat kalian bertiga?"
"Boleh sih boleh saja, pokoknya kami setuju"
Tentu saja mereka bertiga setuju, karena dalam perkiraan
mereka, baru dalam babak pertama saja Suma Thian yu sudah
bisa dibikin mampus, mana mungkin dia berkesempatan untuk
bertarung pada babak yang kedua atau selanjutnya?
Suma Thian yu tertawa misterius, ujarnya kemudian:
"Pembicaraan telah usai, silahkan kalian mengajukan
pertanyaan...!"
Raja iblis ular beracun tertawa seram, ular emas kecilnya
diletakkan ditangan ki rinya dan membiarkan tangan tersebut
di pagut satu kali, kemudian dengan wajah tak berubah dia
berkata sambil tertawa seram.
"Sekarang tiba giliranmu"
Sin sian siangsu yang menyaksikan kejadian mana,
merinding sekujur badannya buru-buru dia berkata:
"Hiantit, jangan bertindak gegabah"
Suma thian yu tertawa terbahak-bahak, dia tidak
menggubris nasehat dari rekannya itu malah menyambut ular
emas tadi dengan tangan kirinya.
Memandang tingkah laku pemuda itu, Raja iblis ular racun
memperdengarkan gelak tertawa seramnya yang penuh
dengan kebanggaan.
Mendadak ular kecil itu melejit kedepan dan memagut
telapak tangan kiri Suma thian yu.
Pemuda itu hanya merasakan telapak taegan kirinya
menjadi kaku, menyusul kemudian sama sekali tak
menunjukkan gejala apa-apa.
Sepanjang kejadian tersebut berlangsung si raja iblis ular
beracun hanya membelalakan matanya sambil mengawasi
setiap perubahan yang terjadi.
Dikala ular itu menggigit lengan lawan, dia tak dapat
membendung rasa girang dihatinya, sehingga tertawa
terbahak-bahak. Tapi gelak tawa tersebut segera terhenti
ditengah jalan dan berganti menjadi pekikan aneh yang
menyerupai isak tangis.
Ternyata ular emas yang menggigit lengan kiri Suma Thian
yu itu segera mengejang keras dan tak berkutik lagi.
Suma Thian yu melirik sekejap ke arah ular kecil tersebut
dengan pandangan sinis lalu menyodorkan bangkai itu
kehadapan raja iblis ular beracun sembari berkata:
"Benar-benar tak berguna, aku pikir ular emas ini ular palsu
barang kali, masa begitu tak dapat, hanya menggigit sekali
sudah tak Berkutik?"
"Apa sudah mati?"
Sambil menjerit kaget raja iblis ular beracun menerima
kembali ular emasnya, ke mudian menangis tersedu-sedu
seperti anak kecil.
Suma Thian yu sama sekali tak menggubris ulah musuhnya,
sambil berpaling kearah Raja iblis kelabang beracun, dia
berkata:
"Tay ong, apakah kau ingin memperlihatkan pula
kelihayanmu?"
Dengan sorot mata kaget bercampur heranan si raja iblis
kelabang beracun mengawasi wajah anak muda itu tanpa
berkedip, sementara dihati kecilnya dia berpikir:
"Entah setan atau manusiakah dia? Kalau setan mengapa
dia berbentuk manusia? Kalau manusia, mengapa mempunyai
kepadaian yang begitu dahsyat? Hmm mungkin saja dia
memang kebal terhadap racun ular...kelabang adalah
tandingan ular beracun bila kau tidak takut ular, tentu kau
takut dengan kelabang"
Berpendapat demikian dari sakunya dia lantas
mengeluarkan seekor kelabang berkaki seratus. Kelabang dari
jenis ini meru pakan kelabang yang beracun sekali, barang
siapa terpagut niscaya akan tewas seketika.
Sejak dilahirkan hingga begini dewasa, belum pernah Suma
Thian yu menyaksikan kelabang berkaki seratus yang begini
aneh dan mengerikan hati, merinding sekujur badan nya
karena seram, hawa dingin nerambat ketubuhnya membuat
bulu kuduknva pada bangun berdiri.
Tadi, dia berhasil menahan racun ular karena telapak
tangan kirinya mengandug cairan mestika Jio sian kiam len ci
tapi sekarang dia tidak tahu apakah cairan mestika itu masih
mampu untuk menahan racunnya si kelabang beracun atau
tidak.
Raja iblis kelabang beracun tertawa dingin, pikirnya lagi
dengan nada amat bangga:
"Nah, ini dia, bocah keparat ini tentu jeri dengan kelabang,
heeh, heeh, heeh, bila aku berhasil kali ini, pasti aku akan
menjadi pemimpin semua orang!"
Berpikir denemikian, dengan mengikuti cara yang semula,
dia mem biarkan kelabang tersebut menggigit tubuhnya
sendiri, kemudian baru menyodorkan kehadapan Suma Thian
yu.
Diam-diam Suma Thian yu berdoa, kemudiua menyalurkan
segenap hawa murninya ke telapak tangan kiri guna berjaga-
jaga terhadap segala kemungkinan yang bisa terjadi,
andaikata cairan Jin sian kiam lan ci tidak manjur, dia akan
mempergunakan tenaga dalam nya yang sempurna untuk
mendesak keluar sisa racun dari tubuhnya.
Betitulah, selesai mengerahkan hawa murni nya dengan
sangat berhati-hati dia menerima kelabang beracun itu.
Raja iblis kelabang beracun tertawa seram dia letakkan
kelabang beracun itu ke atas telapak tangan Suma Thian yu.
Dengan gesit kelabang tadi melompat keatas telapak
tangan pemuda itu dan menggigitnya.
Suma Thian yu sama sekali tidak bergerak, sorot matanya
yang tajam mengawasi kelabang diatas tangannya tanpa
berkedip, sementara peluh sebesar kacang kedelai jatuh
bercucuran dengan derasnya.
Raja iblis kelabang beracun sendiripun mengikuti
perkembangan selanjutnya dengan perasaan tegang,
jantungnya berdebar keras serasa mau melompat keluar dari
rongga dadanya....
Dalam pada itu, si raja iblis ular beracun telah
menghentikan pula isak tangisnya, dia turut mengawasi
adegan tersebut dengan perasaan berdebar.
Mendadak......
Suma Thian yu memperdengarkan suara pekikan yang
nyaring sekali.
Semua orang terperanjat, pekikan itu ibarat guntur yang
membelah bumi disiang hari bolong, serentak semua orang
mengalihkan sorot matanya ke arah telapak tangak Suma
Thian yu.
Mendadak terdengar raja iblis kelabang beracun menjerit
keras, dengan cepat tubuhnya menerjang ke depan Suma
Thian yu sementara kepalanya langsung diayunkan ke tubuh
pemuda tersebut.
"Bocah keparat" teriaknya gusar "ayo ganti seekor kelabang
untuk ku!"
Agaknya kelabang beracun berkaki seratus andalannya
telah menyusul nasib dari ular emas kecil tadi mampus
ditangan lawan.
Suma Thian yu tertawa sambil berkelit kesamping, dia
menyodorkan bangkai kelabang tersebut ke depan Raja iblis
kelabang beracun, kemudian ujarnya:
"Jangan terburu napsu, bukankah di dalam hutan
kelabangmu penuh dengan kelabang, apa sih artinya kematian
seekor kelabang mengapa kau tidak berpikir, aku Suma Thian
yu hanya ada satu didunia ini, bila mati tak bakal muncul lagi
ke duanya....."
Lalu kepada nenek iblis laba laba beracun dia berkata pula:
"Hei si nenek, sekarang tiba giliranmu, apakah kau
mempunyai permainan baru?"
"Betul!" si nenek mengangguk.
"Apakah pelajaran yang diterima ke dua orang itu masih
belum cukup sebagai contoh soal bagimu?" kembali Suma
Thian yu tertawa.
Nenek iblis laba beracun mendengus dingin, umpatnya:
"Setan cilik, kau tak usah takabur, lo nio sudah mengetahui
siasat busukmu itu, dua kali pertarungan tadi kau selalu
menghadapi serangan dengan telepak tangan kiri, ini
menunjukkan kalau telapak tangan kirimu telah di rendam
dengan obat penawar racun. Mari, mari, lo nio akan menukar
dengan cara lain saja"
Dari atas kipas bambunya dia menangkap seekor laba laba,
kemudian ujarnya sambil terkekeh-kekeh:
"Lihatlah permainanku ini!"
Suma Thian yu dibuat terkejut juga setelah mendengar
ucapan dari si nenek iblis itu, diam-diam pikirnya:
"Lihay amat nenek ini!"
Dalam pada itu, si nenek iblis laba laba beracun telah
menggenggam laba labanya dan diiringi tertawa seram dia
telan laba laba tersebut kedalam perut, sebagai bukti, dia
malah memperhatikan mulutnya kepada anak muda tersebut.
Muak perut Suma Thian yu menyaksikan adegan tersebut,
nyaris isi perutnya ikut tumpah keluar.
Pemuda itu segera menggelengkan kepalanya berulang
kali, katanya kemudian:
"Dalam babak ini aku mengaku kalah saja, berbicara
sesungguhnya, aku tidak mempunyai keberanian untuk
menelan laba laba tersebut. Maaf, permainan orang
pedalaman yang liar seperti ini tak berani kucoba ikuti"
Nenek iblis laba laba beracun segera mendongakkan
kepalanya dan tertewa seram, suaranya mengerikan seperti
jeritan setan, buat siapapun yang mendengarkan merasakan
hatinya jeri dan tak enak.
Seusai tertawa, sambil menuding ke arah Suma Thian yu
kembali dia berkata:
"Setan cilik, aku akau melanggar kebiasaan ku, asal kau
bersedia berlutut dan menyembah tiga kali kepadaku, akan
kuijinkan kau untuk meninggalkan bukit Jit yang san ini, kalau
tidak, hmmmm...!
Semenjak berhasil menangkan dua babak pertama,
kepercayaan Suma Thian yu terhadap diri sendiri semakin
bertambah kuat, sesungguhnya dia tidak menandang sebelah
matapun ter hadap laba laba beracun itu, namun kalau dia
disuruh menelannya, ia benar-benar tak berani untuk
mencobanya.
"Hei si nenek, kau jangan kelewat memojok kan orang"
kata Suma Thian yu kemudian, "aku bukannya takut dengan
laba labamu itu, hakekatnya aku tak ingin mencari gara-gara
denganmu, bila kau menginginkan aku telan binatang, biar
kita ambil jalan tengah dengan menyudahi pertarungan ini
dengan seri saja, toh lebih baik kita sudahi saja masalah ini
sampai disini saja!"
"Tidak bisa, kau masih belum berhak untuk mengajukan
usul! bentak nenek iblis laba laba beracun sambil
menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Kalau begitu, aku harus melaksanakan janjiku?"
"Benar!" jawaban dari si nenek iblis ini teramat tegas.
Tak kuasa lagi Suma Thian yu mendongakkan kepalanya
dan tertawa nyaring, dengan cepat dia mengangsurkan
tangan kirinya ke hadapan nenek iblis tersebut.
Dari atas kipas bambunya nenek iblis menangkap seekor
laba laba dan diserahkan ke tangan anak muda itu, tanpa ragu
Suma Thian yu segera memencet laba laba itu sampai mati
lalu setelah diletakkan berapa saat diatas telapak tangan
kirinya, menanti kadar racun sudah berkurang, ia baru
menelannya.
Namun ketika sorot matanya membentur dengan gumpalan
laba laba itu, dia menjadi ragu kembali.
Memandang sikap dari Suma thian yu, si nenek iblis laba
laba beracun tertawa penuh kebanggan.
Dia mensanggap hal ini merupakan kemenangan baginya,
dia mengira inilah penampilannya yang melebihi orang lain,
paling tidak ia sanggup membuat lawan mengalami kesulitan.
Suma Thian yu mendongkol sekali menyaksikan kesombongan
lawan, segera pikirnya.
"Hutan golok, kuali berisi minyak mendidih pun sanggup
kulakukan, masa aku tak berani menelan seekor laba laba
kecil yang sudah di punahkan kadar racunnya?"
Berpikir, demikian, tanpa ragu-ragu lagi dia lantas menelan
laba laba tersebut kedalam perut.
Nenek Iblis laba laba beracun menjadi tertegun setelah
menyaksikan kejadian mana, sebelum ia sempat berbicara
sesuatu, Suma Thian ya telah berkata lebih dulu:
"Hei si nenek, sauyamu telah berhasil menyelesaikan ketiga
permintaan kalian, dan menangkan semua pertarungan ini,
sekarang tiba giliran sauyamu untuk mengajukan persoalan"
Ketiga orang gembong iblis itu segera berdiri tertegun
belaka sambil mengawasi Suma thian yu, mereka
menganggap pemuda ini sebagai malaikat yang baru turun
dari kahyangan.
Yang lain jangan dibicarakan, seandainya si raja iblis ular
beracun disuruh menelan laba laba beracun, atau si nenek
iblis laba laba beracun disuruh menerima gigitan dari kelabang
beracun niscaya mereka akan tewas dengan segera.
ATau dengan perkataan lain ketiga orang itu sama-sama
tak akan mampu untuk menyelesaikan pertarungan ini, tapi
pemuda yang berada dihadapan mereka sekarang sanggup
menyelesaikan semua tugas itu secara baik, jelss hal semacam
ini diluar kemampuan orang biasa.
Raja iblis ular beracun benar-benar takluk, terdengar ia
berkata dengan cepat:
"Masuklah kedalam, orang yang hendak kau cari belum
mati"
Suma Thian yu gembira sekali mendengar perkataan itu.
"Terima kasih" serunya kemudian.
Siapa tahu si Raja iblis kelabang berseru secara tiba-tiba:
"Bocah keparat, kau jangan pergi dulu, kalau akan pergi,
bayar dulu kerugian yang kami derita"
"Hah! ganti rugi apa?" tanya Suma thian yu kaget.
"Seekor ular emas, seekor kelabang berkaki seratus dan
dua ekor laba laba beracun!"
Mendengar perkataan tersebut Suma thian yu segera
mendongakkan kepalanya dan tertawa terba hak-babak:
"Seandainya selembar jiwaku sampai melayang, siapa pula
yang akan membayar ganti rugi kepadaku?"
Kemudian sambil mengalihkan pandangan matanya ke
wajah nenek iblis laba laba beracun, dia bertanya:
"Apakah kau minta ganti rugi dariku?"
"Tentu Saja!"
Suma thian yu segera berpaling pula kearah raja iblis ular
beracun sambil bertanya lagi:
"Dan kau?"
Raja iblis ular beracun nampak agak ragu, akhirnya dia
menjawab agak tergagap:
"Ter.....terserah...."
Suma Thian yu manggut-manggut.
"Kalau toh kalian bertiga begitu liar, terpaksa aku harus
membayar ganti kerugian kepada kalian, nah siapa yang akan
maju duluan?"
Raja iblis kelabang beracun melompat kedepan Suma Thian
yu, telapak tangan-nya di silangkan didepan dada, sementara
tongkatnya membuat gerakan setengah lingkaran diudara lalu
dihantamkan kearah kepala lawan sambil membentak gusar:
"Setan cilik, locu akan mencabut nyawamu!"
Amarah Suma Thian yu benar-benar sudah mencapai pada
puncaknya, pedang Kit hong kiamnya diputar menciptakan
selapis cahaya bianglala biru yang amat menyilaukan mata,
kemudian.... "Kraaakkk!" tongkat berkepala kelabang milik
raja iblis kelabang beracun sudah terpapas kutung menjadi
dua bagian.
Suma Thian yu memang berniat untuk menghabisi nyawa
musuhnya, dengan cepat pedang Kit hong kiamnya diputar
menggunakan jurus Ciong liong hong ji hay (naga masuk
samura) secepat sambaran petir menusuk keperut musuh.
Jeritan ngeri yang memilukan hati segera berkumandang
dari mulut raja iblis kelabang beracun, perutnya robek dan
ususnya mengalir keluar, toyanya yang tinggal separuhpun
terjatuh ke tanah.
Sambil memegangi perutnya yang robek dan wajah pucat
pias, sekujur badannya gemetar keras, akhirnya dia roboh, dia
tak pernah bangun kembali.
Sehabis membereskan 1awannya, Suma Thian yu berpaling
ke arah nenek iblis laba laba beracun, lalu bentaknya lagi:
"Apakah kau masih bermaksud untuk menuntut ganti rugi?"
Bergidik sekujur badan nenek iblis itu selesai melihat
keampuhan sang pemuda yang menghabisi nyawa raja iblis
kelabang beracun dalam sekali ayunan pedang, dia tak berani
banyak berkutik lagi.
Suma Thian yu tidak memberi kesempatan lagi kepada
lawannya, dengan cepat dia menerobos kedepan nenek iblis,
pedang Kit hong kiamnya dengm jurus Tui san tiam hay
(mendorong bukit membendung samudra) membacok ke
muka.
Cahaya biru berkelebat lewat, sebelum si nenek iblis
sempat melakukan sesuatu tindakan, tahu-tahu sebuah
lengannya sudah terpapas kutung menjadi dua bagian.
Diiringi jerit kesakitan yang memilukan
hati, nenek itu segera membalikkan badannya dan
melarikan diri terbirit-birit.
Suma Thian yu menarik kembali pedangnya, kepada si raja
iblis ular beracun katanya:
"Kau boleh pergi! Tapi ingat dengan pelajaran yang kau
saksikan hari ini, bila dikemudian hari sikapmu masih tetap
kejam dan tak berperikemanusiaan, inilah contoh yang paling
baik untukmu"
Pada mulanya si raja iblis ular beracun mengira Suma Thian
yu tidak akan melepaskan pula dirinya setelah terdengar
ucapan tersebut hatinya baru merasa lega.
Buru-buru dia menjura kepada Suma Thiah yu, kemudian
membalikkan badan dan berlalu dari situ, dalam waktu singkat
bayangan tubuh nya sudab lenyap dari pandangan mata.
Memandang bayangan punggung orang itu, Suma Thian yu
menghela napas panjang seraya berguman:
"Moga-moga saja si raja iblis lebah beracun dan Ha hou sia
sian dapat meniru sikap raja iblis ular beracun.
Belum habis dia bergumam, terdengar Sin sian siangsu
yang benda dibelakangnya telah menukas:
"Hiantit, kau telah melanggar sebuah pantangan besar,
masa depanmu selanjutnya akan banyak menjumpai bahaya
maut"
"Maksud ciaopwee...." tanya Suma Thian yu tercengang.
"Aaai..." Sin sian siangsu menghela napas panjang,
"menghadapi manusia liar seperti mereka kau hanya boleh
menaklukan hati mereka dengan kata-kata, bukan dengan
kekerasan. Mereka adalah manusia tak berbudaya yang tidak
memandang penting arti kehidupan, dengan dibiarkannya
mereka berlalu, itu berarti kau telah mengundang banyak
kesulitan dikemudian hari"
"Mengapa?" Suma Thian yu balik bertarya, "bukankah
sewaktu berlalu tadi, si raja iblis ular beracun telah
menunjukkan sikap yang begitu munduk dan hormat?"
"Haaaah... haah.... haaah...ini merupakan suatu firasat
yang salah dari hiantit, tahukah kau mengapa aku enggan
melakukan pembunuhan? Misalkan saja, ketika aku
menghadapi dua ekor harimau milik Hu hou sia sian dilembah
lebah beracun serta dalam menghadapi si Raja iblis ular
beracun tadi, aku selalu berusaha untuk mempertahankan
suatu selisih jarak dengan tidak mau mencelakai mereka.
Bahkan terhadap binatang peliharaan mereka pun aku
sama saja enggan mengusiknya, mengertikah kau?"
"Boanpwee bodoh dan tidak memahami teori tersebut"
"Daerah dimana kita berada sekarang merupakan daerah
kekuasaan mereka"
Manusia memang makhluk yang aneh, asalkan saja seorang
ibu yang mengetahui anaknya berbuat kesalahan, andaikata
anaknya di hukum mati, mereka pasti akan penasaran dan
berusaha membelanya. Demikian juga dengan keadaan
mereka, sekalipun raja iblis ular be racun sekalian terhitung
manusia liar toh mereka mempunyai hubungan batin satu
sama lainnya, apakah mereka rela membiarkan rekan nya
diusik orang? Bila kejadian tersebut sampai menimbulkan
amarah mereka sehingga turun tangan bersama, biar ada
sayappun mungkin sulit bagi mu untuk melepaskan diri,
mengerti?"
"Aku mengerti"
"Bagus sekali, kalau begitu mari kita berangkat, mumpung
mereka belum sempat melakukan pengejaran kemari"
"Chin Siau masih berada diangan orang, kita harus
menolongnya secepat mungkin, bisa jadi selembar jiwanya
terancam bahaya maut. Apa lagi bila kita tidak memasuki
sarang harimau bagaimana mungkin bisa berhasil dengan
sukses"
Mendengar ucapan mana, diam-diam Sin sian siangsu
mengagumi keberanian pemuda ini, diapun semakin kagum
dengan kegagahan dan kesetiaan kawan-nya.
"Hiantit, aku benar-benar takluk kepadamu" kata Sin sian
siangsu kemudian sambil manggut-manggut, "terus terang
saja, biarkan harus mengorbankan selembar jiwa tua ku, aku
takkan menampik maksud baikmu itu, ayo berangkat, kita
terjang kedalam!"
Kedua orang itu segera menembusi hutan dan masuk
kedalam sebuah rimba yang lebat.
Anehnya hutan itu sangat teratur, bahkan besar kecilnya
pun tidak jauh berbeda.
Mendadak Sin sian siangsu menarik tangan Suma Thian yu
sambil berbisik.
"Hiantit, tunggu dulu, jangan sampai tersesat, kalau sampai
terjebak oleh perangkap musuh, bisa berabe kita"
Suma Thian yu dapat merasakan juga kalau keadaan rada
kurang beres, dengan cepat dia amati sekejap sekeliling
tempat itu, mendadak pada jarak tiga kaki disebelah kiri
terlihat sebuah kain panjang yang berkibar terhembus angin.
Tanpa berpikir panjang lagi dia melejit dan meluncur ke situ
dengan kecepatan bagai kan anak panah yang terlepas dari
busur.
"Cianpwe, cepat kemari" teriaknya keras-keras, "gua air
tersebut terletak didepan sana!"
Dalam dua kali lompatan saja Sin sian siangsu sudah tiba
didepan Suma Thian yu, mengikuti arah yang ditunjuk oleh
pemuda itu, benar juga, dia saksikan sebuah gua muncul di
tengah hutan.
Dengan seksama Sin sian siangsu memperhatikan sekejap
keadaan disekeliling itu, lalu sambil menggelengkan kepalanya
dia berkata:
"Kita sudah tertipu, gua itu bukan Jit yang sui tong!"
"Dari mana kau bisa tahu?" tanya Suma thian yu dengan
wajah tercengang.
"Sederhana sekali, didepan gua Sui yang jit tong
semestinya berdiri sebatang pohon siong, gua itu berada
persis pada bagian akarnya...."
"Mengapa cianpwee bisa mengetahui begitu jelas?"
pemuda itu bertanya sambil tertawa hambar.
Pertanyaan itu segera menimbulkan kesan kurang baik bagi
Sin sian siangsu, dia merasa Suma Thian yu kelewat cerewet,
segera tegurnya dengan marah:
"Bila kau tidak percaya, turun saja sendiri untuk
membuktikan keberaran dari perkataanku"
Suma Thian yu tahu, pertanyaan yang ber lebihan darinya
telah menimbulkan amarah dari kakek tersebut, maka diapun
lantas bertanya:
"Harap cianpwee sudi memberi petunjuk, bila kita tidak
bertindak cepat, sampai terlambat Chin Siau bisa terancam
bahaya"
"Ikutilah aku, sepanjang jalan tak usah banyak bertanya,
kedua, bila menjumpai kejadian apapun harus minta
persetujuan dariku sebelum melakukan suatu tindikan"
Suma Thian yu mengiyakan berulang kali, dia tak berani
berayal lagi dan berdua memasuki hutan menuju kearah gua.
Siapa tahu, biarpun sudah berjalan dua jam lamanya,
mereka masih belum berhasil juga menemukan mulut masuk
menuju ke gua Jit yang sui tong itu.
Suma Thian yu jadi habis ke sabarannya, tapi dia enggan
banyak menimbrung, apa lagi selama ini Sin sian siangsu
membungkam terus tanpa berbicara, terpaksa dia harus
menahan diri sambil mengikutinya.
Tapi lama kelamaan habis sudah kesabaran Suma Thian yu,
mendadak dia bertanya:
"Ciancwee, bukankah kau bilang mulut masuk menuju ke
gua terletak pada bagian akar pohon siong?"
"Ehmm...!" jawab Sin sian siangsu sekenanya, dia seperti
lagi memusatkan segenap pikirannya untuk menemukan jalan
tembus.
"Aku lihat hutan ini seperti diaturr menurut berisan Pat
kwa, susunannya sangat teratur"
"Hmmm, memang benar"
Kalau kita mesti berjalan terus dengan cara ini harus
berjalan sampai kapan? Padahal senja telah tiba, bila malam
sudah menjelang, mana mungkin kita bisa melanjutkan
perjalanan?"
"Dicoba saja, aku pikir tak menjadi soal" kembali jawaban
dari Sin sian siangsu acuh tak acuh.
"Mengapa kita tidak berusaha mencari jalan lain?"
"Cara apa? Kecuali memecahkan barisan apakah meski
memasuki tanah...!" Sin sian siangsu nampak amat kesal.
"Biarpun masuk ketanah mustahil, kita kan bisa terbang
kelangit...?"
"Hei, jangan bergurau saja, masa dalam keadaan beginipun
kau masih berniat untuk bergurau?"
Biar kecil orangnya, besar sekali otak licik Suma Thian yu,
sekali lagi dia tertawa.
"Pohon siong yang berusia seribu tahun pasti tinggi
menjulang ke angkasa, kalau kita menuju kepuncaknya,
bukankah dengan cepat tempat tersebut akan ditemukan?"
Mendengar perkataan itu Sin Sian Siansu segera berseru
tertahan.
"Aah, benar, suatu siasat yang bagus, suatu pemikiran
yang sangat jitu"
Dia lantas menepuk bahu Suma Thian yu sambil barkata
lagi:
"Hiantit, kau memang punya aksi bagus, yang tua begini
memang sungguh tak becus, mengapa tidak kau katakan dari
tadi? Bikin aku menjadi gelisah saja"
"Aah, boanpwe hanya teringat secara tidak sebgaja saja...."
Sin sian siangsu tidak banyak berbicara lagi, buru-buru dia
menjejakkan kakinya ke tanah dan melejit ke puncak pohon
dengan gerakan It bok ciong thian (burung bangau ter bang
ke udara)
Betul juga, tak jauh dari tempat itu, mereka menyaksikan
sebuah pohon siong yang amat besar.
"Itu dia!" Sin sian siangsu segera barteriak kegirangan,
"disitu pohon yang kita cari, ayo cepat turun!"
Tapi Suma Thian yu menggelengkan kepalanya
berulang kali, ceegahnya: "Cianpwee, kita tak perlu turun,
kalau kita berjalan melewati puncak pohon, bukankah
keadaannya akan lebih gampang?"
Sin sian siangsu yang mendengar perkataan ini menjadi
kagum sekali atas kecerdasan otak pemuda itu.
Begitulah, mereka berdua segera mergerahkan ilmu
meringankan tubuh Cau sang hui (terbang diatas rumput) dan
meluncur kearah pohon siong tadi dengan melalui puncak
pohon.
Suatu ketika, mendadak Suma Thian yu menjerit kaget:
"Aah, tahan!"
Bagaikan burung elang yang menyambar kelinci, dengan
kecepatan bagaikan sambaran kilat dia segera meluncur
kebawah.
Sin sian siangsu dengan mengerahkan pula ilmu
meringankan tubuh ceng sah lok eng (burung manyar hinggap
dipasir) melompat turun pula keatas tanah.
Ternyata mereka saksikan seorang kakek sedang bersiap
sedia membunuh seorang pemuda, dan pemuda itu bukan lain
adalah musuh Suma Thian yu, Chin Siau.
Ketika mendengar bentakan tadi, si kakek tersebut
kelihatan kaget dan berdiri melongo, saat itulah dua sosok
bayangan manusia telah meluncur turun dengan kecepatan
tinggi.
Begitu mencapai permukaan tanah, Suma Thian yu
langsung berjalan menuju kehadapan Chin Siau.
Waktu itu sepasang tangan Chin Siau terikat kencang dan
kesadarannya hampir punah, secepat kilat Suma Thian yu
membebaskan belenggunya, membebaskan totokan jalan
darahnya dan mengeluarkan dua butir pil sambil melancarkan
peredaran darahnya.
Chin Siau membuka matanya lebar-lebar, ketika menjumpai
Suma thian yu, mendadak dia mencaci maki:
Jilid : 26
BOCAH KEPARAT, mau apa kau datang kemari? Enyah,
cepat enyah dari sini, aku orang she Chin tak sudi menerima
kebaikanmu itu, aku tak sudi menerima uluran tanganmu...."
Belum habis dia berkata, mendadak....
"Plaaak!" sebuah tamparan yang amat keras telah
membuat kepala Chin Siau pening dan pipinya membengkak
besar
"Siapa kau?" teriak Chin Siu dengan mata melotot, "atas
dasar apa kau memukulku?"
"Binatang bedebah! Kau manusia berhati binatang yang tak
tahu budi, dengan susah payah orang lain mengorbankan
segala sesuatunya untuk datang menolongmu, kau malah
membalas air susu dengan air tuba. Manusia keparat, kau
pernah mendengar nama Yu Seng-see belum?"
Itulah aku!
Paras muka Chin Siau bebulah hebat, kepalanya tertunduk
rendah-rendah dan tak berani diangkat kembali.
Ternyata dari gurunya "Bu bok ceng" ia pernah mendapat
tahu tentang Sin sian siangsu. Konon dia mempunyai
hubungan yang amat akrab dengan perguruannya, berbicara
soal tingkatan, Chin Siau semestinya menyebut "Susiok" atau
paman guru kepadanya.
Melihat Chin Siau sudah tak berbicara lagi, Sin sian siangsu
baru membalikkan badan sambil mengawasi kakek itu.
Sementara si kakek itu sudah mundur kesisi pohon siong
dan duduk bersila disitu, sikapnya acuh tak acuh seakan-akan
tidak ambil peduli terhadap orang yang hadir.
Jelas terlihat tadi bahwa dia bersikap seakan-akan
membunuh Chin Siau, mengapa setelah kehadiran kedua
orang itu, bukan saja kakek itu tidak gusar, malahan mundur
ke samping dan bersemedi?
Suma Thian yu merasa tercengang sehingga tanpa terasa
memandang sekejap lebih lama, dia lihat kakek itu berusia
lima puluh tahunan, panca inderanya utuh, wajahnya tampan,
jenggot hitamnya sepanjang dada dan mengenakan pakaian
rapi, wajah alim tidak mirip kaum penjahat, tapi anehnya
mengapa berhati kejam dan buas?
Sin sian siangsu segera bertanya:
"Siapakah kau? Apakah kau Jit yang san sin (dewa gunung
Jit yang)....?"
Dengan mata masih terpejam rapat, kakek itu menjawab
dingin:
"Jit yang san sin adalah guruku, aku sendiri bernama Jit
yang sian ang (dewa sakti Jit yang) Bun Thian lui. Kalian
berdua berani memasuki daerah terlarang, berarti kalian
adalah orang kenamaan, ayo cepat sebutkan nama kalian
untuk menerima kematian."
Baru saja Sin sian siangsu hendak menjawab, Chin Siau
yang berada di belakang nya telah membentak nyaring:
"Dia adalah saudara Tee, kalian jangan tertipu!"
"Jadi dia adalah kakak seperguruanmu yang memberi
pelajaran silat kepadamu? Kau tidak bohong?" tanya Sin sian
siangsu sambil berpaling.
"Aku tidak bohong kata Chin Siau bersungguh-
sungguh"coba kau linat saja sepasang matanya buta, dia
adalah murid pertama guruku"
Sin sian siangsu menjadi tertegun dan berdiri bodoh, sudah
lama dia bersahabat dengan Bu bok ceng namun belum
pernah mendengar kalau dia mempunyai murid, mengapa saat
ini bisa muncul seorang muridnya...?"
Jit yang sian ang Bun Thian lui tertawa dingin.
"Benar, aku adalah murid pertama dari Bu bok ceng, cuma
ini sudah berjalan lama sekali, lebih baik kalian tak usah
menanyakan lebih jauh daripada menyesal dikemudian hari!"
Tiba-tiba Sin sian siangsu mendongakkan kepalanya dan
berpekik panjang:
"Oooh, rupanya kau adalah murid penghianat dari Bu bok
ceng yang lari kesini untuk menjadi muridnya Jit yang san sin,
kalau begitu Jit yang san sin sudah tidak ada didunia lagi?"
"Naco belo, dia orang tua masih menutup diri untuk melatih
semacam kepandaian yang maha tinggi"
"Mendengar itu, Sin sian siangsu tertawa terbahak-bahak.
"Haaa.. haaa.. kau si anjing bedebah, selama Jit yang san
sin masih hidup didunia ini, belum pernah dia membunuh
orang dengan sembarangan, jelas dia sudah mati terbunuh
olehmu, kau anggap tipu dayamu masih dapat mengelabuhi
orang banyak?"
Jit yang sian ang Bun thian hui menjadi tertegun, kemudian
bentaknya keras:
"Hei, siapa kau si setan tua?"
Sin sian siangsu tertawa terbahak-bahak.
"Haaa... haaa... aku she Yu, orang menyebutku sin sian
siangsu, kepandaianku bisa meramalkan kejadian dimasa
mendatang dan bisa tahu pula peristiwa yang sudah lewat"
Kemudian setelah maju dua langkah, katanya lebih jauh:
"Kalau dilihat dari jidatmu yang berwarna hijau, matamu
yang merah darah, jelas banyak sudah kejahatan yang telah
kau lakukan, pembunuhanpun sering kau lakukan ini
mengakibatkan jalan kematianmu semakin dekat..."
Belum habis perkataan itu diutarakan, Jit yang sian ang
Bun Thian lui sudah membentak gusar, mendadak ia
melompat bangun, telapak tangannya dilontarkan kedepan
melepaskan sebuah pukulan dengan angin pukulan yang maha
dahsyat.
Tampaknya Sin sian siangsu sudah menduga sampai kesitu,
padahal dia memang sengaja berkata begitu untuk
membangkitkan amarah lawan, begitu melihat datangnya
ancaman, ia lantas mengegos kesam ping dan berkata sambil
tertawa:
"Bun Thian lui, sukma-sukma penasaran didepan hutan
sedang memanggilmu, coba kau lihat apa yang sedang
mengepungmu dari empat penjuru...?"
Jit yang sian ang Bun Thian lui adalah manusia licik, dia
segera tertawa seram, sepasang telapak tangannya di
lontarkan bersama ke depan, dua gulung angin pukulan
segera bergabung menjadi satu dan menyambar ke tubuh Sin
sian siangsu.
Sejak berjumpa dengan Sin sian siangsu, belum pernah
Suma Thian yu menyaksikan kemampuan dari orang itu,
sewaktu bertarung melawan orang-orang pedalaman tadi,
diapun merasa penampilan dari Sin sian siangsu kurang
gagah, selalu menjaga diri sehingga tidak mencerminkan
kegagahan seorang pendekar besar dari dunia persilatan.
Mungkinkah dia menpunyai kesulitan yang tak bisa
diutarakan? Ambil contoh ketika dia memasuki hutan tadi serta
caranya memecahkan barisan, tidak seharusnya seorang
pendekar menunjukkan penampilan seperti ini.
Pokoknya, penampilan dari Sin sian siangsu amat
sederhana tanpa suatu keistimewaan, bahkan banyak hal
menunjukkan kelemahan.
Dan sekarang merupakan kesempatan yang paling baik
baginya untuk menguji kemampuan orang ini, Suma thian yu
berharap dengan memanfaatkan kesempatan ini ia dapat
menyaksikan kelihayan dari Yu seng see.
Sayang sekali, dia hanya menghindarkan diri terus, meski
kadangkala melepaskan serangan balasan, tapi tidak terlihat
suatu keistimewaan apapun, hal mana membuat pemuda ini
makin menggerutu.
Jit yang sian ang Bun Thian lui memang buta sepasang
matanya, ternyata hal itu tidak mempengaruhi gerak-geriknya,
seringkali serangan-nya dilancarkan secara tepat dan jitu.
dalam waktu singkat, kedua orang itu sudah bertarung
sebanyak dua puluh gebrakan tanpa diketahui siapa unggul
siapa kalah.
Sementara itu Jit yang sian ang makin bertarung makin
bertambah kosen, sebaliknya keadaan dari Sin sian siangsu
tidak jauh berbeda, dia masih tetap bergerak selincah kupu
lupu yang terbang diantara aneka bunga, saban kali
menempuh bahaya, tiba-tiba dia sudah lolos dari tekanan.
Makin dipandang, Suma thianyu makin paham, akhirnya dia
berhasil melihat keadaan yang sebenarnya, hal ini segera
menimbulkan rasa kekaguman.
Perlu diketahui, setiap jurus serangan yang dilancarkan Jit
yang sian ang hampir semuanya merupakan jurus-jurus
mematikan, bila berganti orang lain, sudah pasti orang tua
terluka sedari tadi.
Tapi SIn sian siangsu tetap santai seperti sedia kala, dari
sini dapat disimpulkan bahwa dia memang memiliki
kemampuan yang melebihi siapapun.
Mendadak Jit yang sian ang Bun thian lui membentak keras
lalu mundur beberapa langkah, setelah itu dari punggungnya
dia meloloskan sebilah pedang mestika. Terdengar dia
membentak dengan penuh kegusaran:
"Orang she yu, ayo kita tentukan kehebatan kita di ujung
senjata....!"
Sin sian singsu tertawa hambar.
"Buat apa sih?" katanya, "senjata tidak bermata, terluka
bahkan tewas bisa terjadi setiap saat, buat apa kita musti
saling ngotot sehingga tak karuan?"
Jit yang siang ang Bun Thian lui mendengus dingin.
"Hmmm! Aku orang she Bun tak sudi mendengarkan
obrolanmu yang palsu itu, ayo cepat loloskan senjatamu"
Didesak terus menerus, akhirnya Sim sian siangsu
menghela napas panjang, gumannya:
"Yaa, kalau tetap keras kepala percuma saja aku mesti
bersusah payah"
Berguman sampai disini, mencorong sinar tajam dari balik
matanya, di tatapnya Jit yang sian ang Bun Thian lui dengan
penuh amarah, kemudian sambil menggertak gigi, bentaknya:
"Kalau kesalahan yang tak disengaja bisa dimaafkan kalau
kesalahan yang disengaja tak boleh diampuni, Bun Thian lui,
kau gemar membunuh, maka hari ini akan merupakan saat
terakhir bagimu untuk melaku kan kejahatan, aku terpaksa
harus memenuhi keiginanmu, nah, lancarkan serangan mu!"
"Selamanya aku orang she Bun tak akan menghabisi nyawa
orang yang tak bersenjata!" Jit yang sian ang Bun thian lui
tertawa seram.
"Kali ini kau boleh membuat pergecualian, aku memang tak
pernah bersenjata, sekalipun bertangan telanjang, aku yakin
masih dapat menaklukkan dirimu" Begitu perkataan tersebut
diutarakan, bukan
hanya Jit yang sian ang Bun thian lui yang terkejut
bercampur tercengang, bahkan Chin Siau dan Suma Thian yu
pun turut terkejut.
Bayangkan saja ilmu silat dari Chin Siau pun bisa dibilang
setaraf dengan Suma Thian yu, sebagai kakak
seperguruannya, sudah pasti Bun Thian lui memiliki
keistimewaan tersendiri.
Tapi kenyataannya, Sin sian siangsu berani menghadapinya
dengan tangan kosong belaka, seandainya dia belum gila,
keberanian orang ini benar-benar mengagumkan.
Terdengar Jit yang sian ang Bun Thian lui membentak
keras:
"Kalau toh kau bosan hidup, jangan salahkan aku lagi!"
Begitu selesai berkata, cahaya perak berkelebat lewat dan
secepat kilat menusuk ketubuh Sin sian siangsu.
Kali ini Sin sian siangsu tidak menghindar lagi, dia bergeser
sambil mengawasi pedang lawan, sampai ujung pedang lawan
hampir menyentuh tubuhnya, tiba-tiba tangannya balik
mencengkeram,dua jari tangan kirinya dengan mengerahkan
sepuluh bagian ilmu Lim kong ci khi menjepit gagang pedang
lawan, semenara jari tangan kanannya secepat petir menotok
jalan darah sian ki hiat ditubuh musuh.
"Lepas tangan!" hardiknya.
Mendadak terdengar Jit yang sian ang Bun Thian lui
mendengus tertahan, pergelangan tangannya menjadi kaku
dan pedang nya terlepas dari pegangannya. Menjepit pedang,
menotok jalan darah, merampas senjata, semuanya dilakukan
Sin sian singsu dengan cepat dan serentak, belum lagi orang
melihat jelas, tahu-tahu peristiwa nya telah berlangsung
hingga selesai.
Sim sian siangsu menyambut pedang pusaka lalu
munculnya di tengah udara, jalan darah Jit yang sian ang
yang tertotok pun segera dibebaskan kembali.
Jit yang siang ang yang secara tak sadar dibuat tak
berkutik, seolah-olah baru saja mendapat impian yang buruk,
begitu jalan darahnya dibebaskan, kontan saja dia mencaci
maki kalang kabut:
"Bajingan tua, kau hanya pandainya mengunakan ilmu
sihir, mengapa tidak sekalian kau bunuh diriku?"
Sin sian siangsu tertawa terbahak-bahak:
"Haaahh... haaahh... haaahhh... membunuh orang paling-
paling cuma mengedip kan mata apanya yang luar biasa? Aku
ingin melihat sampai dimanakah kemampuan yang kau miliki,
nih, sambutlah pedang tersebut"
Sambil berkata, dia lantas melemparkan pedang itu ke
depan.
Jangan dilihat sepasang mata Jit yang sian ang buta,
ternyata ia pandai sekali membedakan datangnva suara, sekali
menyambar, pedang tersebut sudah digenggam olehnya.
Tiba-tiba terdengar Sin sian siangsu berkata lagi:
"Kau boleh menusuk jalan darah dise luruh tubuhku secara
bebas sekehendak hati mu dengan batas sepuluh jurus, aku
hendak membuat kau kalah secara benar-benar puas"
Baru sslesai perkataan itu diuatakan, mendadak terdengar
Jit yang sian ang meraung gusar, pedangnya dengan jurus
perselisihan langit dan bumi menciptakan beribu-ribu titik
hujan pedang yang semuanya mengurung seluruh tubuh Sin
sian siangsu.
Menyaksikan hujan pedang yang menyelimuti seluruh
angkasa itu Sin sian siangsu malah tertawa keras, kemudian
bentaknya nyaring:
Jurus pertama, hati-hati dengan telinga mu!"
Begitu ucapan terakhir diutarakan, bayangan tubuhnya
seketika hilang lenyap dari arena sementara Suma Thian yu
masih tertegun karena keheranan, mendadak terdengar Jit
yang sian ang menjerit kelakitan, lalu sambil memutar badan
pedang nya dimainkan semakin ketat lagi untuk mengurung
seluruh badan Sin sian siangsu.
"Bajingan tua, serahkan jiwa anjingmu!" umpatnya keras-
keras.
Ditengah gelak tertawa keras yang menggema lagi di
angkasa, untuk kedua kalinya terdengar Jit yang sian ang
menjerit kesakitan.
Anehnya, kedua orang pemuda yang mengikuti jalannya
pertarungan dari sisi arena itu hampir tak pernah melihat
bayangan tubuh dari Sin sian siangsu.
Diam-diam Suma Thian yu menggerutu didalam hatinya:
"Jangan-jangan dia memang benar-benar pandai ilmu sihir
atau ilmu untuk melenyapkan badan? Kalau tidak, mengapa
bayangan tubuhnya sama sekali tidak terlihat?"
Dalam tertegun serta rasa herannya, tiba-tiba dia jumpai
bayangan tubuh dari Sin sian siangsu sebentar nampak
sebentar 1enyap dibalik kabut pedang yang menyelimuti
angkasa itu.
Kejadian mana dengan cepat menyadarkan Suma Thian yu
akan apa yang sebenarnya telah terjadi, rupanya ia
sudahmempelajari semacam ilmu gerakan tubuh yang benar-
benar luar biasa.
Dengan begitu Suma Thian yu menjadi sama sekali paham,
bisa melihat ilmu simpanan dari Sin sian siangsu, dia merasa
kagum disamping amat puas.
Pikirnya kemudian dalam hati kecilnya:
"Pertarungan semacam ini baru bisa dibilang suatu
pertarungan yang benar-benar asli, ooah... benar-benar puas
melihat kejadian tersebut...."
Mendadak dari tengah arena berkumandang suara gelak
tertawa yang amat keras, menyusul kemudian kedengaran Sin
sian siangsu berteriak keras:
"Jurus kesepuluh, Bun tayhiap, kau mesti berhati-hati
dengan pedang mestikamu!"
Jit yang sian ang membentak penuh amarah, pedangnya
diputar membentuk lingkaran cahaya bianglala berwarna
perak yang melindungi seluruh tubuhnya, ia berusaha
mempertahankan diri mati-matian pada jurus yang terakhir
itu.
Mendadak terdengar suara bentakan keras menggelegar
ditengah udara:
"Lepas tangan!"
Bayangan manusia nampak berkelebat lewar, Sin sian
siangsu dengan senyuman dikulum telah mengundurkan diri
kembali keposisi semula, malah dalam tangannya
mencengkeram sebilah pedang.
Ketika memandang pula kearah Jit yang sian ang, dia
seperti ayam jago yang kalah beradu, tubuhnya berubah
menjadi marah karena darah yang mengucur keluar tiada
hentinya, sepasang telinganya sudah terpapas kutung
sehingga keadaannya sungguh mengenaskan.
Melihat keadaan musuhnya itu, Sin sian Siangsu menjadi
tak tega sendiri, ia serahan kembali pedang itu ketangan Jit
yang sian ang, kemudian hiburnya:
"Menang atau kalah adalah suatu kejadian yang lumrah
dalam setiap pertarungan aku cuma berharap kau bisa
bertobat serta kembali ke jalan yang benar, kembalilah
kegurumu Bu bok ceng serta menyesali perbuatan mu dimasa
lampau, aku tahu kau memang seorang lelaki yang gagah
perkasa.
Jit yang sian ang menerima kembali pedangnya dengan
sepasang tangan gemetar keras, sepasang matanya yang
pada dasarnya sudah berwarna merah, kini semakin merah
membara.
Ketika selesai berkata tadi, Sin sian siangsu segera
membalikkan badan dan menghampiri Suma thian yu.
Tiba-tiba Suma thian yu menjerit kaget:
"Tahan!"
Sin sian singasu mengira Jit yang sian ang melancarkan
sergapan dari belakang, serentak dia membalikkan badan
sambil bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan yang
tidak di inginkan.
Namun dengan cepat dia mendapat tahu bahwa dugaannya
tidak benar, sebab ditemuinya Jit yang sian ang sedang
mundur sempoyongan, pedangnya telah menembusi perutnya
sehingga darah dan usus berceceran dimana-mana, kemudian
dia roboh terjengkang dan mati seketika....
Sin sian siangsu berniat untuk memberi pertolongan,
sayang sekali tindakannya terlambat selangkah, dengan
perasaan sedih ia segera menghampiri korban serta
membangunkan tubuhnya, sayang sekali jiwa nya telah
melayang.
"Huuuh, tolol!" akhinya Sin sian siangsu hanya bisa
mengumpat sambil menggigit bibir.
Sementara hati kecilnya merasa sakit seperti ditusuk
dengan jarum tajam, ia menyesal dan amat sedih.
Suma Thian yu telah menghampiri pula Jit yang sian ang,
sambil menggelengkan kepala dan menghela katanya
kemudian:
"Orang ini memang tak malu disebut seorang lelaki sejati,
begitu kalah lantas merobek perut untuk bunuh diri, heran,
mengapa sih jalan pemikiran orang ini tak bisa terbuka?"
Sin sian singsu menghela napas panjang.
"Perguruan yang dipimpin oleh pendeta buta Bu bok ceng
memang mempunyai peraturan yang sangat ekstrim, barang
siapa ilmu silatnya kalah dari orang dan mengakibatkan dirinya
malu atau terhina, hanya kematian baru bisa menebus
kejadian itu, gara-gara lupa akan hal ini, membuat aku jadi
menyesal sekali. Aaaiii....biarpun aku tidak membunuh pek jin,
pek jin justru mati karena aku, dosa..dosa.."
Setelah mendengar perkataan tersebut, Suma thian yu jadi
teringat kembali dengan Chin Siau, dia segera berpaling, tapi
sayang bayangan tubuh Chin Siau sudah tak nampak lagi.
Didalam gelisahnya, tanpa sadar Suma thian yu berteriak
keras sekali.
"Saudara Chin... saudara Chin...."
"Dia sudah pergi, diteriakan sampai tenggorokanmu serak
juga percuma" seru Sin sian siangsu sama sekali tanpa
berpaling.
"Cianpwe, darimana kau bisa tahu kalau dia sudah pergi
meninggalkan kita?"
"Apa susahnya? Kesalahan paham diantara kalian toh
belum beres, mau apa dia tetap tinggal di sini?"
"Jadi kalau begitu, dia masih membenci ku?"
"Tentu saja, masa tidak kau lihat pancaran sinar amarah
dibalik sorot matanya?"
"Aaah, kalau begitu tindakan bunuh diri yang dilakukan Jit
yang sian ang, tentu semakin mengobarkan amarahnya,
bagaimana baiknya sekarang? Andaikata gurunya main tuduh
tanpa melakukan penyelidikan, bukankah berarti kita akan
mendapat musuh baru?"
"Betapapun besarnya masalah itu, biar aku si peramal nasib
yang memutuskan, tanggung tak bakal terjadi masalah" kata
Sin sian siangsu kemudian sambil tertawa, tampaknya ia
sudah mempunyai suatu rencana yang matang.
Lalu setelah berhenti sejenak, terusnya:
"Mari kita kubur dulu jenasahnya sebelum berbicara lebih
jauh!"
"Mengapa tidak kita taruh dalam gua pohon disana? Kan
lebih menghemat waktu dan tenaga?" seru Suma Thian yu
kemudian sambil menunjuk gua yang berada dibagian batang
pohon besar.
"Suatu ide yang bagus sekali, hianit, aku paling suka
dengan otakmu yang encer itu"
Batang pohon siong yang berusia ribuan tahun itu besarnya
mencapai dua puluh rangkulan manusia, pada dasar akar
dengan batang terdapat sebuah gua setinggi manusia, gua
inilah yang dinamakan gua air Jit yang sin tong.
Memandang lubang pohon itu, Suma Thian yu kembali
berkata:
Orang persilatan memang suka sok aneh, sudah jelas gua
itu merupakan sebuah lubang pohon, tapi mereka justru
mengatakan sebagai gua air, sudah jelas gua ini sederhana
tanpa sesuatu yang aneh, mereka justru mengatakan sebagai
tempat yang berbahaya sekali, betul-betul membingungkan
orang. Hari ini kita sudah berkunjung sendiri kemari, hitung-
hitung sebagai penambah pengalaman saja"
Kemudian setelah memandang sekejap kearah Sin sian
siangsu, terus lanjutnya:
"Kalau dibilang sejak seratus tahun yang lampau tiada jago
persilatan yang bisa ke luar dalam keadaan hidup, jelas itu
omong kosong, aku sudah mencoba kemampuan Jit yang sian
ang, ilmu silatnya sama sekali tiada yang aneh atau luar biasa,
masakah orang-orang yang mampus disini mati di tangan Jit
yang sian ang?"
Perkataan itu seakan-akan diutarakan sebagai gumanan,
padahal tujuannya hendak menyindir rekannya Sin sian
siangsu.
Sebagai seorang yang berpengalaman luas, tentu saja Sin
sian siangsu dapat menangkap arti lain dibalik perkataan itu.
Ia cuma tertawa hambar saja menanggapi sindiran mana,
malah sama sekali tak memberikan tanggapannya.
Suma thian yu berjalan menuju kedalam gua ditengah
batang pohon itu serta melongok kedalam, suasana disitu
gelap gulita dan tidak nampak sesuatu apapun.
Maka kepada Sin sian siangsu katanya"
"Gua ini begini kecil lagi sempit, bagaimana cara Jit yang
sian ang melanjutkan hidupnya?"
"Darimana kau bisa tahu?" sahut Sin sian siangsu tak sabar.
"Benar-benar menghilangkan kegembiraan aku orang"
kembali Suma thian yu berkata sambil menggelengkan
kepalanya berulang kali, "tahu begini, buat apa kita mesti
menyerempet bahaya datang kemari?" Yu cianpwe, "ayo
secepatnya kita letakkan jenazah Jit yang sian ang disitu lalu
meninggalkan tempat ini selekasnya".
Sin sian siangsu menganggap pemuda ini polos, lincah dan
menarik, ada kalanya bahkan bersifat kekanak-kanakan, tapi
cara kerjanya justru cekatan dan amat teratur.
Dalam pergaulannya selama beberapa hari ini, Sin sian
siangsu boleh dibilang sudah dapat meraba watak sebenarnya
dari Suma thian yu, dia merasa pemuda ini berbakat baik,
cerdas dan hatinya putih bersih seperti selembar kertas, setitik
noda pun belum mengotori hatinya. Kalau dibilang dia
mencelakai orang dengan siasat untuk kejadian semacam ini
benar-benar suatu fitnahan yang keji.
Begitulah, Sin sian siangsu segera membopong jenasah Jit
yang sian ang dan masuk ke dalam gua pohon, Suma Thian
yu mengikuti dibelakangnya.
Sebagai penerangan, dia mengeluarkan mutiara Ya beng
yu, dengan ketajaman matanya yang bisa melihat dalam
kegelapan pun ternyata kali ini gagal menyaksikan sesuatu.
Dengan keheranan Suma Thian yu segera bertanya:
"Cianpee, bagaimana mungkin Jit yang sian ang bisa hidup
dalam gua yang begini gelap?"
Tolol, sepasang mata Jit yang sian ang sudah buta, baginya
gelap gulita atau terang benderang adalah sama saja, sama
sekali tidak berpengaruh baginya.
Suma Thian yu mengangkat mutiaranya tinggi-tinggi,
suasana dalam ruang gua itu menjadi terang benderang
seperti siang hari.
Menggunakan cahaya itu, sang pemuda memeriksa sekejap
sekitar situ, namun ia segera tertegun.
Rupanya keadaan didalam ruang gua itu sangat lebar,
keempat dindingnya terbuat dari batu granit, sedang
dihadapannya terbentang sebuah lorong yang entah
berhubungan sampai dimana?
Segulung angin kencang berhembus lewat dari dalam
lorong gua tersebut, udara menjadi sangat dingin dan
mendirikan bulu roma....
Sin sian siangsu segera menurunkan jenazah Jit yang sian
ang keatas tanah, lalu ujarnya kepada Suma thian yu:
"lorong ini tembus sampai kemana, hingga kini belum
diketahui siapa pun, sebab pernah pernah ada orang yang
berhasil menembusinya. Tatkala Jit yang san sin menemukan
gua ini dulu, untuk mencegah orang lain menyerempet
bahaya, maka ia pun berdiam disini sambil berusaha
membujuk orang lain agar tahu diri dan mengundurkan diri
tetapi masih ada juga yang membandel, enggan menuruti
nasehat dan nekad menyerempet bahaya, akhirnya mereka
pun pergi untuk tak kembali lagi”
"Apakah ujung lorong tersebut adalah gua air Jit yang sui
tong?"
"Menurut penyelidikan, lorong ini memang merupakan jalan
utama menuju ke gua air Jit yang sui tong, bisa jadi ujung
lorong tersebut adalah sungai perak!"
Kata terakhir dari Sin sian siangsu itu tak lebih hanya kata-
kata gurauan belaka namun Suma Thian yu menganggapnya
sebagai sungguhan, pelan-pelan dia mulai bergeser menuju
kearah lorong itu.
Tiba-tiba terasa lagi segulung angin puyuh berhembus
lewat membuat kulit tubuhnya terasa sakit.
Terdorong oleh rasa ingin tahunya, Suma Thian yu
meneruskan perjalanannya menuju kedalam lorong itu, dia
ridak ingin pulang tanpa hasil setelah bersusah payah datang
kesitu.
Mendadak terdengar Sin sian siangsu menegur dengan
marah:
"Keponakan, kau sudah bosan hidup rupanya?"
Suma Thian yu membuat wajah setan sambil membalikkan
badan, ketika dia balik kesisi Sin sian siangsu dan
mendongakkan kepaknya, mendadak dilihatnya dia atas
dinding terdapat ukiran huruf.
Cepat dia mengangkat tinggi mutiaranya dan berseru:
"Cianpwee, cepat kau lihat, disini ada tulisan!"
"Lebih baik kau jangan membaca tulisan itu, banyak orang
yang telah menjadi korban gara-gara tulisan tersebut!" sahut
Sin slan siangsu lagi dengan suara hambar.
Suma Thian yu menjadi keheranan, segera pikirnya:
"Sungguh aneh, masa tulisan pun bisa mencelakai orang,
sungguh suatu lelucon besar, sayang aku justru tak akan
percaya dengan kata-kata tersebut"
Berpikir demikian, tanpa terasa ia mengangkat kepalanya
dan memperhatikan tulisan itu dengan seksama.
Diatas dinding tertera empat baris kalimat yang
kesemuanya diukir dengan gaya tulisan yang kuat dan
bertenaga, sudah jelas tulisan yang dibuat seorang jago
persilatan dengan ilmu jari Kim kong ci.
Bila dilihat dari ukiran kalimat yang mendesak sampai
kedalam dinding batu tersebut dapat diketahui kalau tenaga
dalam yang dimiliki orang tersebut amat sempurna.
Adapun kalimat kalimat tersebut berbunyi begini:
Dalam gua Jit yang tersimpan matahari dan rembulan.
Matahari bersembunyi rembulan bergeser air mengalir. Bila
ingin memperdalam ilmu dewa. Silahkan menyerempet bahaya
menemui dewa"
Dibawahnya tertanda "Wan wan cu" tiga huruf.
Sementara Suma Thian yu masih mencoba untuk
memikirkan arti yang sebenarnya dari kalimat diatas,
mendadak terdengar Sin sian siangsu menjelaskan:
"Yang dimaksud 'Dalam gua Jit yang tersimpan matahari
dan rembulan' adalah didalam gua ini tersimpan sebilah
pedang mestika yang dinamakan pedang matahari rembulan
yakni pedang mestika yang berada ditangan Jit yang sian ang
tersebut, sedang kalimat kedua mungkin mengartikan didasar
lorong ini terdapat sebuah sumber air yang sangat dalam,
barang siapa bisa memasuki sumber air itu, maka dia akan
peroleh ilmu silat yang tinggi"
oooOooo
SUMA THIAN YU merasa gembira sekali sesudah
mendengar penjelasan tersebut, buru-buru serunya:
"Cianpwee, harap kau menunggu disini, biarboanpwe
memasuki lorong tersebut untuk mmeeriksa keadaan yang
sebenarnya"
"Jangan, hal ini tidak dapat kau lakukan!" teriak Sin sian
siangsu sambil melototkan matanya penuh amarah.
Suma Thian yu segera memutar otak dan mencari akal,
tubuhnya segera meluncur keluar dari gua itu tak selang
berapa saat kemudian ia masuk kembali kedalam gua, hanya
didalam tangannya telah bertambah dengan seutas tali rotan
sepanjang sepuluh kaki.
Tali rotan itu disambung-sambung satu dengan lainnya,
sambil menyerahkan ujung yang satu kehadapan Sin sian
singsu, ujar si anak muda tersebut:
"Cianpwee, harap kau mengikat ujang yang satu itu disini,
biar boanpwe menelusuri lorong tersebut sampai kedalam, jika
menemui bahaya, aku akan menarik tali itu untuk memohon
pertolongan, pada saat itu, kau boleh menarik tali tersebut,
aku pikir dengan cara begini bisa terhindar dari segalamusibah
yang tak diinginkan.
Melihat ketidak puasan anak muda tersebut, Sin sian
siangsu merasa mendongkol disamping geli, terpaksa dengan
perasaan apa boleh buat dia menghela napas panjang serta
menerima ujung tali rotan itu, kemudian katanya:
"Hiantit, kau mesti berhati-hati, andaikata sampai terjadi
sesuatu kesalahan, bagaimana aku bisa mempertanggung
jawabkan diri terhadap Cong liong lo siansu?"
"Boanpwee mengerti"
Kemudian ia membuat lingkaran tali simpul pada ujung
rotan yang lain yang mengikatnya diatas pinggang sendiri,
kemudian dengan tangan kiri membawa mutiara Ya beng cu
dia memasuki lorong tersebut selangkah demi selangkah....
Akan tetapi, ketika ia melihat dasar lorong yang rasanya
begitu dalam dan tak berdasar, tiba-tiba muncul perasaan
seram di dalam hati kecilnya.
Segulung angin kencang seperti hembusan angin dingin
yang menggidikan hati menerjang wajahnya yang
menimbulkan rasa sakit seperti ditusuk dengan jarum yang
amat tajam.
Tapi operkataan seorang lelaki sejati yang telah diucapkan
harus dilaksanakan, bila ia mundur dalam keadaan begini,
sudah jelas perbuatannya itu akan ditertawakan orang.
Tentu saja pemuda itu tak ingin dicemooh orang lain, maka
tanpa ragu-ragu lagi, pelan-pelan dia melanjutkan
perjalanannya menerobo lorong rahasia tersebut.
Tiba-tiba.....
Segulung angin kencang kembali berhembus lewat
menyeret badan bagian bawahnya, begitu kencang angin itu
berhembus sehingga tubuhnya bagaikan mengambang di
udara dan tak dapat meluncur ke bawah lagi.
Tak terlukiskan rasa gelisah Suma Thian yu menghadapi
kejadian tersebut, buru-buru dia pergunakan ilmu bobot seribu
untuk memaksa badannya merosot jatuh kebawah.
Namun hembusan angin makin lama semakin kencang, kini
pendengaran pemuda itu sudah dipenuhi oleh suara gemuruh
yang memekikkan telinga, membuat dia seakan-akan
kehilangan perasaan.
Perasaan ngeri dan tak tenang mulai mencekam perasaan
Suma Thian yu, ia mencoba untuk mendongakkan kepalanya,
satu kaki di kejauhan sana terlihat olenhya awan hitam yang
amat tebal, ketika diperiksa ke bagian bawah disitupun hanya
kegelapan yang gulita.
Hawa dingin mulai menyusup masuk lewat sepasang
kakinya serta menimbulkan rasa sakit seperti ditusuk-tusuk
dengan jarum, begitu hebatnya rasa dingin itu, membuat
sekujur badannya gemetar keras.
Seketika itu juga perasaan ngeri dan seram menyelimuti
seluruh perasaannya, dia mulai menyesal mengapa tidak
menuruti nasihat da ri Sin sian siangcu.
Dalam keadian begini, sekali lagi terlintas ingatan untuk
mengundurkan diri dari situ.
Namun sebelum ingatan tersebut menjadi padam, ingatan
yang lain kembali menyerang didalam benaknya. Belakangan
di menggeretak gigi dan bertekad untuk melanjutkan
usahanya untuk melakukan penyelidikan lebih jauh.
Tiba-tiba saja hembusan angin puyuh terhenti secara tiba-
tiba.
Seketika juga Suma Thian yu tak dapat menahan tubuhnya
lagi, bagaikan bintang yang jatuh, secepat kilat dia meluncur
menuju kearah bawah.
Mendadak tubuhnya terhenti, agaknya rotan pemikat
tubuhnya sudah habis digunakan padahal dia belum mencapai
ujung dari lorong tersebut.
Dengan demikian tubuhnya jadi bergelantungan ditengah
udara.
Suma Thian yu segera mengerti bahwa usahanya telah
menemui kegagalan total, maka dia pun menarik tali rotan
dengan maksud memberi tahu kepada Sin sian siangsu yang
berada diatas agar mengereknya naik keatas.
Tali rotan itu mulai bergerak, tubuh Suma Thian yu pelan-
pelan ikut terderek naik pula keatas.
Mendadak dari balik lorong itu berkumandang suara
hembusan angin yang amat ken cang, Suma Thian yu segera
merasakan segulung tenaga hisapan yang sangat kuat
menahan tubuhnya yang sedang bergerak naik.
Kejadian tersebut membuat hatinya bergetar keras, sekuat
tenaga dia menggoncang-goncangkan tali tersebut,
maksudnya hendak memberitahukan kepada Sin sian siangsu
agar mempercepat tarikannya.
Sin sian siangsu yang berada diatas, agaknya sudah
mendapat tanda bahaya tersebut, dengan cepat Suma thian
yu tertarik lebih tinggi ke udara.
Tapi sayang tenaga hisapan yang muncul dari balik lorong
tersebut makin lama semakin bertambah kuat.
"Tarik.....!"
Mendadak dari balik lorong berkumandang suara yang
amat nyaring. Rupanya tali rotan itu sudah putus menjadi dua,
putus persis pada bagian tali simpulnya.
Dengan begitu tubuh Suma thian yu pun kehilangan
keseimbangan tubuhnya, tak ampun lagi tubuhnya segera
merosot jatuh kebawah.
Jeritan kaget yang penuh rasa kejut dan ngeri segera
bergema dalam lorong itu, dari keras menjaidi kecil dan
akhirnya hilang lenyap tak berbekas.
Sin sian siangsu yang berada diatas lorong menjadi sedih
sekali hatinya, dia berpekik panjang sementara air matanya
jatuh bercucuran membasahi wajahnya.
Sementara itu tubuh Suma Thian yu telah meluncur
kedalam jurang dengan kecepatan luar biasa.
Dalam kejut dan ngerinya, pemuda tersebut segera terjatuh
tak sadarkan diri.
Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba saja Suma Thian
yu merasakan sekujur badan-nya terasa dingin dan ia menjadi
sadar kembali dari pingsannya.
Sewaktu membuka matanya kembali, pemuda itu
menemukan dirinya berbaring di dalam air.
Pada mulanya dia masih mengira hal tersebut merupakan
suatu impian belaka, namun setelah merasakan bagaimana tali
rotan masih melilit pada punggungnya, dia baru sadar bahwa
jiwanya telah selamat dari kematian.
Tak kuasa lagi dia menghela napas panjang sambil
bergumam:
"Sungguh berbahaya! Untung saja ujung lorong ini terdapat
air, coba kalau tidak, sudah dapat dipastikan tubuhku akan
hancur berantakan tak karuan lagi wujudnya"
Ternyata dasar dari lorong tersebut adalah sebuah sungai
besar dibawa tanah, hembusan angin kencang tadi timbul
karena desakan tekanan udara akibat pasangnya air sungai
tersebut, dengan surutnya permukaan air sungai, dengan
sendirinya hembusan angin puyuh itu pun merosot kebawah
sehingga berubah menjadi tenaga hisapan.
Apa yang dialami Suma Thian yu barusan tidak lain adalah
gejala alam yang normal, pemuda itu hanya merasa bahwa
sungai di bawah tanah ini membentang bagaikan samudra
luas, sekilas pandangan tak nampak tepian, hal tersebut
membuat perasaannya amat tak tenang...
Dalam tubuhnya sekarang, selain tali rotan yang telah
putus itu sudah tidak terdapat lagi benda lainnya, bila ia
diharuskan berenang sampai ditepi daratan situ, dengan ilmu
berenangnya yang baru mencapai taraf permulaan, jelas hal
ini tak mungkin bisa dilakukan olehnya.
Mendadak....
Seekor ikan besar berenang siap menerkam tubuhnya.....
"Mampus aku kali ini!" pekik Suma thian yu dengan perasan
gelisah.
Buru-buru dia membalikkan badannya berusaha untuk
melarikan diri, siapa sangka baru berenang sejauh depa lebih
tiba-tiba ia merasakan gerakan tubuhnya menjadi sangat
berat.
Serta merta dia berpaling, rupanya ikan besar tadi telah
berhasil mengigit ujung tali rotan yang masih melilit diatas
pinggangnya itu.
Peluh dingin segera jatuh bercucuran membasahi
tubuhnya, dia semakin ngeri lagi menghadapi kejadian seperti
itu.
Andaikata dia berada didarata, jangankan seekor ikan
besar, biarpun sedang menghadapi sepuluh ekor harimau
buas pun, dia masih mampu untuk melarikan diri.
Tapi setelah didalam air, dia hanya bisa pasrahkan nasib
pada kemauan takdir.
Setelah menghela napas panjang, anak muda itu segera
mengendorkan segenap kekuatan yang dimilikinya dan
menyerahkan nasib pada kemauan ikan besar tadi.
Ikan tersebut panjangnya mencapai dua kaki dan beratnya
luar biasa, sambil menggigit ujung tali rotan tadi, dia
membalikkan badan sambil berenang kedepan, dengan
menyeret tubuh Suma thian yu, ikan tesebut meluncur ke
muka dengan kecepatan luar biasa.
Sepanjang tubahnya terseret, Suma thian yu hanya bisa
menongolkan kepalanya untuk menarik napas, sekarang dia
sudah menyerahkan soal mati hidupnyakepada takdir.
Anggapannya, toh bagaimanapun dia mencoba meronta,
mustahil keadaan yang berbahaya ini bisa diatasi olehnya.
Dalam keadaan begitu, dia hanya bisa menanti
perkembangan selanjunya, sebab banyak berpikir malah akan
mendatangkan bibit bencana bagi diri serdiri.
Matahari sudah tenggelam 1agi dibalik air, senja yang
merah menyelimuti ketengah angkasa.
Setelah seharian penuh dicekam perasaan tegang, Suma
thian yu mulai terlelap tidur tanpa terasa.
Sebaliknya ikan besar itu malah bergerak semakin lincah,
kecepatan berenangnya bukan saja tidak berkurang, malah
kian lama Kian bertambah cepat.
Kini perasaan Suma Thian yu sudan semakin tenang,
menurut pengamatannya selama satu harian itu, ikan besar
yang menyeretnya itu hanya berenang terus ke depan tanpa
menunjukkan gejala atau sikap yang tidak menguntungkan
baginya.
Bukan cuma begitu, atas perlindungan si ikan, banyak mara
bahaya yang justru dapat ter atasi olehnya.
Setiap kali terdapat ikan pemakan manusia berusaha
mendekati tubuhnya, setelan melihat ikan besar tadi, si ikan
ikan buas itu malah melarikan diri terbirit-birit.
Hal tersebut membuat si ikan besar tanpa terasa sudah
berubah menjadi sang pelindung keselamatan anak muda
tersebut.
Satu-satunya yang membuat ia menderita adalah tubuhnya
yang mesti berendam sehari penuh didalam air, hal mana
membuat tubuh bagian bawahnya menjadi kaku dan
kesemutan.
Selain itu, dia pun kuatir akan nasibnya setelah ini,
samudra begitu luas, kemanakah dia hendak diseret oleh ikan
besar tersebut,kalau seandainya ikan tersebut menyeretnya
terus menerus, bukankah pada akhirnya dia bakal tewas juga.
Matahari sudah mulai lenyap dibalik air, malampun
mencekam seantero jagad.
Angin malam berhembus kencang, ombaknya makin
membesar, kian lama suasana kian bertambah mengerikan.
Suma thian yu mencoba untuk memperhatikan keadaan di
sekitar situ, tapi semuanya gelap gulita sekali, dia merasa
seolah-olah sedang menghadapi dunia yang hampir kiamat.
Mendadak.......
Hembusan angin malam yang menyapu lewat membawa
suara pekikkan panjang yang sangat nyaring, suara itu guntur
yang menembusi angkasa, luas, begitu keras, nyaring dan
memekikan telingga.
Sungguh aneh, begitu mendengar suara pekikan tersebut,
Suma Thian yu segera merasakan semangatnya bangkit
kembali, rasa mengantuk yang semula mencekam
perasaannya seketika hilang lenyap tak berbekas.
Ketika si ikan besar tersebut mendengar suara pekikan
tersebut, binatang itu segera timbul dari permukaan air dan
menggerakkan ekornya dengan riang gembira, kemudian
dengan gerakan cepat bergerak menuju ke arah mana
berasalnya suara itu.
Suma Thian yu menjadi tertegunmenghadapi keadaan
begitu, satu ingatan segera melintas dalam benaknya, tanpa
terasa pemuda itu berpikir dihati:
"Jangan-jangan ikan besar itupun hasil pemeliharaan
orang?"
Sementara dia masih termenung, tiba-tiba terasa lagi
segulung angin puyuh berhembus lewat disusul suara pekikan
burung bangau yang keras.
Dengan perasaan terkejut Suma Thian yu mendongakkan
kepalanya, ternyata ada seekor burang bangau raksasa
berwarna putih keperak-perakan sedang menukik kebawah.
"Habi sudah riwayatku kali ini, bisa mampus aku bila
diserang burung itu!" pekiik Suma Thian yu terkejut.
Sepasang matanya segera dipejamkan rapat-rapat siap
menerima kematian.
Tahu-tahu punggungnya terasa amat sakit,
sepisang cakar yang amat tajam mencengkeram
pakaiannya dan membetotnya ketengah udara.
Bersamaan itu pula si ikan besar yang menggigit ujung tali
rotan tadi segera melepaskan gigitannya dan menyelam
kedalam air, hanya sekejap saja bayangan tubuhnya sudah
lenyap dari pandangan mata.
Suma Thian yu merasa dirinya dibawah terbang bangau
raksasa tadi, dalam keadaan begini dia hanya bisa berdiam diri
saja pasrah kepada nasib, berapa kali dia mencoba untuk
meronta, namun niat tersebut segera diurungkan kembali.
Tak selang beberapa saat kemudian, bangau raksasa itu
sudah berpekik keras sambil meluncur kebawah dan hinggap
ditengah hutan yang lebat, begitu melepaskan anak muda ter
sebut diatas tanah, burung bangau itu terbang kembali
keudara dan lenyap dibalik awan.
Suma Tnian yu cepat bangkit berdiri, namun sebelum ia
sempat melakukan sesuatu, mendadak dari balakang
tubuhnya terdengar seseorang tertawa tergelak dengan suara
yang amat nyaring.
Dengan perasaan terkejut Suma Thian yu membalikkan
badan, ternyata dibelakang tubuhnya sudah berdiri seorang
kakek berjenggot panjang berwarna perak.
Kakek itu mempunyai sepasang mata yang memancarkan
sinar tajam, sambil mengawasi anak muda itu dari atas sampai
kebawah, pelan-pelan dia menegur:
"Hei bocah cilik, siapa namamu?"
"Aku She Suma bernama Thian yu, boleh aku tahu siapa
nama besar locianpwee?"
"Aku bernama Wan Wan cu"
Begitu mendengar nama Wan Wan cu, Suma Thian yu
segera merasakan hatinya menjadi tegang, dia segera teringat
kembali dengan bait syair yang tertera diatas dinding Jit yang
sui tong tadi, bukankah si pembuat itu pun mengaku bernama
Wan Wan cu?
Mungkinkah si kakek yang berada dihadapannya sekarang
adalah Wan Wan cu si pembuat syair? Kalau memang begitu,
sungguh aneh sekali, kalau toh dia berdiam di sini, mengapa
pula harus meninggalkan syair nya di atas bukit Jit yang san?
Agaknya kakek itu dapat menebak suara hati Suma Thian
yu, setelah tertawa dingin segera ujarnya:
"Hei bocah, apakah kau datang kemari karena melihat
tulisan yang ditinggalkan aku?"
Sebenarnya Suma Thian yu hendak membenarkan, namun
setelah menyaksikan sikap engkuh, dingin dan takabur dari si
kakek tersebut, timbul perasaan antipati dalam hati kecilnya.
"Bukan" jawabnya kemudian.
Jawaban tersebut nampaknya sama sekali diluar dugaan si
kakek berjenggot perak itu, dia tertegun beberapa saat, lalu
bentaknya lagi:
"Lantas, mengapa kau harus menyerempet bahaya?"
"Aku hanya terdorong oleh perasaan ingin tahu, lain tidak!"
Ternyata kakek berjenggot perak ini tak lain adalah Wan
Wancu, seorang manusia aneh yang disegani manusia diri
golongan putih maupun hitam dalam dunia persilatan enam
puluh tahun berselang.
Kakek ini berasal dari Khong tong pay, kepandiaan silatnya
berasal dari aliran Khong tong pay yang kemudian secara
kebetulan memperoleh pennemuan luar biasa, dimana ia
berhasil mendapatkan sejilid kitab pusaka pe ninggalan
seorang gembong iblis.
Hanya sayangnya orang ini berwatak aneh dan berjiwa
kejam, dia tak pernah berkedip bila membunuh orang.
Karenanya, pembunuhan demi pembunuhan yang seringkali
dilakukan olehnya lama kelamaan menimbulkan amarah bagi
umat persilatan, akhirnya dalam suatu serangan yang tiba-tiba
ia kena diusir dari keramaian dunia, waktu itu Wan Wancu
melarikan diri ke bukit Jit yang san dan menemukan gua
tersebut, dia sengaja menimbulkan syair diatas dinding gua
mana dengan harapan kejadian ini bisa memancing datangnya
kawanan jago lihay ke tempat tinggalnya.
Dan dia sendiri segera memanfaatkan kesem patan yang
sangat baik itu untuk membunuh mereka satu per satu
sebagai rangka pembalasan dendamnya.
Titik kelemahan dari umat persilatan adalah kemaruk akan
ilmu silat atau benda mestika serta sebangsanya, menurut
kebiasaan pada umumnya, bila disuatu tempat terdapat
memacam mestika, maka berbondong-bondong mereka akan
mendatangi tempat tersebut dan berusaha untuk
mendapatkannya, entah secara halal maupun tidak.
Wan wancu justru telah mempergunakan titik kelemahan
ini sebagai umpannya untuk memancing kedatangan kawanan
manusia tersebut.
Wan Wan cu benar-benar merasa tercengang dan diluar
dugaan setelah melihat orang yang ditawan bangau
raksasanya hari ini tak lebih hanya seorang pemuda, terutama
seka1i setelah mendengar perkataannya, dia semakin
bertambah curiga.
Dari dalam sakunya diapun mengeluarkan sejilid kitab kecil
berwarna kuning kemudian sambil diiming-imingkan
dihadapan pemuda itu, katanya lagi sambil tertawa licik:
"Bocah, aku tak menyangka kalau kau bisa sampai disini
dalam keadaan selamat. Coba kau lihat, kitab kecil ini
berisikan Ilmu silat yang luar bisa sekali, biar kuhadiahkan
saja kepadamu sebagai tanda mata perjumpaan kita hari ini"
"Terima kasih banyak atas kebaikan mu, sahut Suma Thian
yu sambil menggelengkan kepalanya, "biarlah maksud baikmu
kuterima didalam hati saja. Ilmu sakti tiada gunanya bagiku,
yang kupersoalkan sekarang adalah bagaimana caranya untuk
kembali ke daratan Tionggoan, harap cianpwe sudi memberi
petunjuk"
"Bocah, kau benar-benar tidak menghendaki kitab pusaka
ini?" tanya Wan Wancu dengan wajah menyelidik.
"Tidak, aku tidak membutuhkan benda itu"
"Aaah..aaaah, sungguh aneh!" Wan Wancu menggelengan
kepalanya berulang kali sambil menyatakan keheranannya.
Suma Thian yu tertawa.
"Pusaka ilmu silat atau pedang mestika hanya kan
diperoleh mereka yang berbudi luhur, sedang aku sama sekali
tidak berbudi, sedang dengan aku pun hanya berjumpa begini
saja, orang kuno bilang: Tiada pahala tak akan menerima
balas jasa, apa sih yang perlu diherankan?"
Wan Wancu segera tertawa terbahak:
"Haah...haah...haah....haah... bagus sekali!, memang tanpa
jasa jangan menerima pahala. Hei bocah, aku lihat kau pasti
pernah belajar silat, siapa sih nama gurumu?"
"Guruku adalah Put Gho chu" jawab pemuda itu tanpa
berpikir panjang lagi.
"Put Gho cu? dari Bu tong pay? tanya Wan Wancu dengan
wajah diliputi selapis hawa dingin.
Suma Thian yu sama sekali tak memperhatikan perubahan
tersebut, kembali sahutnya:
"Yaa betul, dia memang guruku!"
Sekali lagi Wan Wan cu men dongakkan kepalanya sambil
tertawa terbahak-bahak, suaranya begitu keras dan nyaring
membuat seluruh bukit terasa bergoncang keras.
Suma Thian yu merasa jantungnya berdebar keras oleh
gelak tertawa ini, diam-diam pikirnya:
"Sempurna amat tenaga dalam orang ini, agaknya
kepandaian silat yang dimilikinya tidak berada dibawah
kepandaian guruku"
Ketika selesai tertawa, mencorons sinar buas di balik mata
Wan Wancu, bagaik ular berbisa yang siap memagut
mangsanya, dia mengawasi wajah Suma Thian yu lekat-lekat,
kemudian serunya lagi:
"Bocah, kau pernah mendengar nama ku ini? Dulu gurumu
pernah memimpin kawanan manusia dari golongan putih
untuk mengerubutiku dan memaksa aku hingga tak dapat
menancapkan kaki lagi di daratan Tionggoan sehingga harus
mengungsi disini. Beruntung sekali Thian telah mengirim kau
kehadapanku hari ini, hmm, hmm, terpaksa kau harus
mewakili gurumu untuk menerima hukuman!"
Tiba-tiba saja Suma Thian yu merasakan sekujur badannya
bergetar keras tanpa sadar dia mundur beberapa langkah
kebelakang.
Sambil tertawa seram kembali Wan Wancu berkata:
"Hei bocah, kau jangan mencoba untuk melarikan diri.
Sejak dulu hinngga sekarang belum pernah ada seorang
manusia pun yang dapat lolos dari bukit bangau putih ini
dalam keadaan selamat. Percuma saja kau mencoba
melakukan perlawanan, sebab hal semacam ini hanya akan
menambah siksaan saja bagi dirimu"
Suma Thian yu segera meraba gagang pedangnya sambil
bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan yang tak
diinginkan, sorot matanya yang tajam mengawasi setiap
gerak-gerik Wan Wancu tanpa berkedip, bilamana perlu, dia
berniat melepaskan serangan yang mematikan untuk
mengajak lawannya beradu jiwa.
Wan Wancu tertawa seram, dengan sikap yang angkuh dia
maju kedepan, sementara sekulum senyuman dingin
menghiasi ujung bibirnya.
"Lepaskan tanganmu, percuma kau lakukan kegiatan yang
tak bermanfaat, sebab biarpun gurumu yang hadir sendiri
ditempat ini pun, dia akan segera kutumpas, apalagi kau? Bila
kau memang pintar, ayo cepat berlutut minta ampun, siapa
tahu aku masih bersedia memberikan kematian yang
memuaskan bagimu"
Sembari berkata, selangkah demi selangkah dia maju terus
kedepan....
Mendadak terdengar Suma Thian yu membentak keras:
"Jangan sembarangan bergerak, bila kau berani maju lagi,
sauya akan bertindak tegas kepadamu!"
Wan Wancu mendengus dingin sambil maju melangkah lagi
kedepan, dengan wajah menyeringai seram, serunya:
"Cabut saja pedangmu, disaat pedangmu sebelum lolos dari
sarung nanti, aku hendak menotok tiga buah jalan darah
penting diatas tubuhmu!"
Suma Thian yu segera menekan tombol rahasia pedangnya,
diiringi kiluauan cahaya biru pedang tersebut sudah tercabut
keluar, bersamaan waktunya dengan saat Wan Wancu
menyelesaikan perkataannya. Orang kuno bilang: Diri gerakan
seseorang, dapat diketahui apakah dia berilmu atau tidak.
Wan Wancu menjadi tertegun setelah melihat cara Suma
Thian yu meloloskan senjata nya, mau tak mau dia harus
menilai kembali kemampuan anak muda tersebut.
Sambil tertawa dingin, Suma Thian yu berkata lagi:
"Kalau masalahnya sudah terjadi lama sekali, biarkan saja
masalah itu mengalir lewat dengan begitu saja, buat apa sih
kau masih memikirkannya dalam hati? Guruku sudah enam
puluh tahan lamanya meninggalkan dunia persilatan dan hidup
mengasingkan diri, jika cianpwe masih saja teringat akan
dendam lama, tidakkah kau merasa bahwa cara pemikiranmu
itu terlalu sempit?"
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 1 komentar... read them below or add one }
ceritanya panjang bener ya gan, haruh dak
Posting Komentar