Cersil : Rahasia Istana Terlarang 7 [Serial Kunci Wasiat]

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 07 Oktober 2011

Ceng Yap Chin sendiri mengalihkan pedangnya ketangan kiri, sedang tangan kanannya
mempersiapkan dua bilah pedang Chiet Siauw Kiam.
Sementara mereka berdua telah mempersiapkan diri, Siauw Ling serta Tu Kioe telah
berada kurang lebih delapan depa jauhnya.
Begitulah dengan penuh kewaspadaan dan berhati-hati keempat orang itu perlahanlahan
bergerak kedalam, namun sedemikian jauh belum juga nampak sesuatu gerakan
apapun.
Tu Kioe mengirim satu tendangan kilat menghajar pintu ditengah ruangan, hingga
membuat dinding disekelilingnya bergetar keras.
Pintu itu meski kuat namun tak tertahan oleh tendangan Tu Kioe, diiringi suara keras
segera terpentang lebar.
Setelah menerjang masuk kedalam ruangan, Tu Kioe membuat api sebagai
penerangan.
Dibawah sorot cahaya obor, tampaklah ruangan itu kosong melompong tak nampak
sesosok bayangan manusiapun. Hal ini membuat hati Tu Kioe menjadi mendongkol,
makinya, “Pengemis-pengemis bau itu betul-betul manusia keparat kalau aku Tu Loo sam
berhasil menemukan mereka kembali, pasti akan kusuruh mereka rasakan penderitaan
yang paling hebat.”

Siauw Ling sendiripun merasaamat mendongkol ketika dijumpainya dalam ruangan itu
sama sekali tidak tertinggal tanda-tanda berkelahi, pikirnya, “Entah, apa maksud tujuan
kedua orang pengemis itu memancing kami kemari, seandainya dia adalah anak buah
Djen Bok Hong, seharusnya setelah memancing kita kemari, sekitar ruangan ini pasti
sudah dipersiapkan jebakan, tapi disini tiada pula jebakan entah apa maksudnya.”
Dalam pada itu Sang Pat serta Ceng Yap Chin pun telah tiba pula dalam ruangan.
“Apakah perbuatan mereka merupakan siasat memancing harimau turun gunung….”
gumam Sang Pat sambil memandang kelangit.
Mendadak…. terdengar suara rintihan lirih berkumandang datang memecahkan
kesunyian yang mencekam sekeliling tempat itu.
Air mata Tu Kioe berubah hebat, dengan cepat dia alihkan cahaya obor itu kearah
mana berasalnya suara rintihan tadi.
“Siapa disitu?” bentak Siauw Ling.
“Aa…. aku…. aku…. sii…. sipengemis ci…. cilik.”
Siauw Ling merasa sangat mengenal suara tadi, segera teriaknya tertahan, “Apakah kau
adalah saudara Peng?”
“Benar…. aku…. aku adalah Peng Im!”
“Dia ada dibelakang meja” bisik Tu Kioe.
“Biarlah aku yang menyambut dirinya” seru Siauw Ling sambil melampaui diri Tu Kioe
dengan langkah lebar ia berjalan kebelakang meja kemudian menyeret keluar seseorang.
Tapi dengan cepat ia berdiri tertegun, sebab orang yang diseretnya keluar tadi
memakai pakaian Boesu perkampungan Pek Hoa San cung.
“Siapakah kau?” bentak Siauw Ling.
“Peng Im” rupanya orang itu menderita luka parah, suasananya lemah dan lirih sekali.
Dari nada suara tersebut Siauw Ling dapat mengenali bahwa suara itu memang
suaranya Peng Im, maka ia bertanya lebih jauh, “Kalau kau adalah saudara Peng, kenapa
memakai pakaian boesu perkampungan Pek Hoa San cung?”
“Lukaku sangat parah dan tiada bertenaga untuk bicara…. cepat…. cepat kebelakang
untuk menolong orang.”
“Menolong siapa?”
“Empat pujangga besar dunia persilatan serta Boe Wie Tootiang….”

“Sekarang mereka berada dimana?” Siauw Ling merasa amat terperanjat sekali.
“Tidak jauh dibelakang kuil….” bicara sampai disitu Peng Im jatuh tidak sadarkan diri.
Siauw Ling segera alihkan sinar matanya kearah Tu Kioe, ujarnya, “Kau tetap tinggal
disini menjaga Peng heng. Gunakanlah tenaga dalammu untuk menyembuhkan luka
dalam yang ia derita, sedang aku akan memeriksa keadaan belakang.”
Sambil berseru ia putar badan mengundurkan diri dari ruangan.
Ceng Yap Chin serta Sang Pat yang berdiri didepan pintu dapat mendengar
pembicaraan itu dengan jelas, begitu mendengar suhengnya menemui kesukaran, tanpa
mengundang diri Sang Pat lagi buru-buru ia menyusul dibelakang Siauw Ling.
“Tu Loo sam” pesan Sang Pat dengan suara lirih. “Setelah pengemis cilik ini rada
baikan, bawalah dia meninggalkan tempat ini dan tunggulah kami dikedai penjual tahu.”
Tu Kioe mengangguk, sambil membopong tubuh Peng Im sigulung angin ia
mengundurkan diri kesudut ruangan, disana ia salurkan hawa murninya untuk menguruti
dada pengemis itu.
Sedangkan Sang Pat sendiri segera menyusul dibelakang Ceng Yap Chin.
Sementara itu Siauw Ling yang bergerak lebih dahulu, dalam sekejap mata sudah tiba
dibelakang kuil.
Dibelakang kuil merupakan sebuah kolam yang besar, air beriak dibawah sorot bintang
namun tak nampak sesosok bayangan manusiapun.
Siauw Ling jadi tercengang pikirnya, “Kalau kedua orang pengemis Kay pang itu
mungkin bohong, tapi apakah sigulung Peng Impun membohongi aku?”
“Saudara Siauw!” terdengar Ceng Yap Chin berbisik dari samping. “Suhengku sekarang
ada dimana?”
“Cayhepun sedang mencari!”
“Kecuali Djen Boh Hong telah menunjuk seseorang untuk berlatih menirukan logat
bicara sisegulung angin Peng Im, rasanya tak mungkin ada orang mempunyai logat yang
sama seperti dia” kata Sang Pat.
“Jadi orang itu pasti Peng Im?”
“Tak bakal salah lagi.”
“Peng Im adalah seorang enghiong, tidak nanti dia membohongi kita, ayoh kita cari lagi
dengan seksama.”
“Sepanjang pandangan cuma air kolam kemana kita musti cari orang?” pikir Ceng Yap
Chin.

Mendadak terdengar gelak tertawa yang sangat panjang berkumandang datang dari
tengah kolam, suara itu serak dan dingin menyeramkan membuat orang mendengar jadi
bergidik, seluruh bulu ruma pada bangun berdiri.
“Aah, Djen Bok Hong!” seru Siauw Ling.
“Sedikitpun tidak salah!” terdengar dari tengah kolam berkumandang datang suara
sahutan.
“Orang ini benar-benar mempunyai banyak akal licik” pikir si anak muda itu didalam
hati. “Entah bagaimana ia bisa berada ditengah kolam….?”
Sementara dalam hati berpikir demikian, diluaran ia telah berseru dengan nada dingin,
“Bersembunyi didalam air bukan satu perbuatan yang sukar, rasanya tak berharga bagimu
untuk main setan.”
“Apakah saudara Siauw ingin juga mengunjungi keatas sampan siauw heng….?” seru
Djen Bok Hong bergema lagi.
Siauw Ling memandang lurus kedepan, ia rasa keadaan ditengah kolam gelap gulita
tiada nampak bayangan manusia, maka sahutnya, “Kita sudah saling berjumpa muka,
rasanya kaupun tak perlu main petak dengan diriku lagi….”
Bersamaan dengan selesainya ucapan itu, dari tengah kolam tiba-tiba muncul cahaya
lampu disusul tampaklah sebuah sampan.
Perahu itu bentuknya aneh, seluruh kapal berbentuk persegi empat, berkelebatnya
bayangan manusia diatas sampan kelihatan amat jelas sekali.
“Ooh kiranya begitu” tiba-tiba Sang Pat berbisik. “Setelah menghentikan sampan
ditengah kolam lalu menggunakan kain minyak yang tebal untuk menutupi cahaya bintang
dengan sendirinya keadaan mereka jadi amat samar. Hmm, sebelumnya tak sampai
pikiranku kesitu sehingga dengan gampangnya berhasil dikelabuhi….”
Tampak Djen Bok Hong berdiri diujung geladak, serunya lantang, “Bagaimana kalau
cuwi sekalipun dipersilahkan naik keatas sampan?”
“Aku rasa diatas sampan Djen Toa cungcu tentu sudah hadir banyak orang?”
“Haah…. haah…. hanya seorang pengemis tua, seorang toosu tua hidung kerbau serta
empat orang tamu agung yang amat tersohor namanya dalam dunia persilatan walaupun
mereka tak pernah muncul dalam Bulim.”
“Empat pujangga besar dunia persilatan?” tanya Siauw Ling.
“sedikitpun tidak salah, berkat bantuan orang-orang Kay pang ternyata ketajaman mata
serta pendengaran saudara Siauw betul-betul hebat.”

“Heem, siauwte dengan senang hati ingin sekali berkunjung keatas sampan Djen toa
cungcu!”
Diam-diam Siauw Ling mengukur jarak sampan dengan tepian. Ia rasa jarak sejauh
lima enam tombak tidak gampang dilalui orang kalau tidak dibantu ditengah jalan, meski
baginya dengan ilmu ginkang “Teng Peng Tok swie” masih sanggup untuk melewati jarak
sebegitu jauh, tapi ia tak tahu apakah Sang Pat serta Ceng Yap Chin sanggup mengikuti
jejaknya.
Karena berpikir demikian, ia lantas berseru dengan suara keras, “Apabila Djen Toa
cungcu mau mengirim sampan untuk menyambut kami, hal ini jauh lebih bail lagi.”
“Harap saudara Siauw menanti sejenak!” habis berkata ia ulapkan tangannya.
Terdengar dayung membelah air, sebuah sampan kecil dengan cepatnya bergerak
menuju ketepian.
“Harap kalian berdua hati-hati sedikit.” bisik Siauw Ling kepada Sang Pat berdua.
“Makanan serta minuman yang ada diatas sampan jangan disentuh.”
Sementara itu sampan kecil tadi sudah tiba ditepi pantai.
Diatas sampan duduk dua orang lelaki berpakaian ringkas, meskipun badannya kekar
namun tiada senjata tajam yang digembol.
“selamat datang Sam cungcu!” kata kedua orang lelaki itu sambil memberi hormat.
“Hmm, cayhe Siauw Ling sudah bukan Sam cungcu kalian lagi!”
“Toa cungcu berpesan agar hamba sekalian menyebut demikian, hamba tidak berani
membangkam.”
Siauw Ling tidak menggubris kedua orang itu lagi, ia segera melangkah naik keatas
sampan.
Sang Pat serta Ceng Yap Chinpun dengan cepat mengikuti dibelakang si anak muda itu.
Demikianlah kedua orang lelaki berbaju hitam itu segera mendayung sampan tadi
menuju kearah perahu besar.
Djen Bok Hong yang tinggi besar dan bongkok itu dengan serius bediri diujung geladak,
ketika sampan kecil bergerak mendekat, ia segera ulurkan tangannya kedepan.
“Samte baik-baikkah dirimu selama ini?” dia menyapa.
Siauw Ling berkelit kesamping lalu loncat naik keatas perahu.
“Aku tidak berani merepotkan diri Djen Toa cungcu!”

Ia mengerti bagaimana wataknya Djen Bok Hong yang keji dan tidak kenal malu. Ia
takut dalam sentuhan jari-jari tangan mereka kemungkinan besar iblis itu melepaskan
racun.
Sementara kemudian Ceng Yap Chin serta Sang Patpun telah meloncat naik keatas
perahu membuntut dibelakang si anak muda itu.
Berhadapan dengan Djen Bok Hong gembong iblis yang paling disegani dalam dunia
persilatan, hati ketiga orang itu sama-sama terasa berat, rasa was-was selalu menyelimuti
benak mereka, karena mereka takut secara mendadak orang itu melancarkan bokongan.
perlahan-lahan Djen Bok Hong memutar tubuhnya dua sorot cahaya tajam memancar
keluar dari matanya dan menatap wajah Siauw Ling tajam-tajam.
“Saudara Siauw!” katanya. “Aku merasa sikapmu terhadap diriku rupanya asing sekali.”
“Cayhe tidak berani terlalu meninggalkan derajatku.”
“Hmm, kau harus tahu bahwa kesabaran seseorang ada batasnya, kalau saudara terlalu
memaksa diriku terus menerus, jangan salahkan kalau akupun akan melupakan hubungan
persaudaraan kita tempo dulu.”
“Sudah berulang kali Djen Toa cungcu melancarkan serangan keji terhadap diriku,
rasanya aku orang she Siauwpun tidak semestinya bertindak sungkan-sungkan lagi
kepadamu.”
Djen Bok Hong mendengus dingin.
“Hmm! manusia yang tak tahu diri….” ia merandek sejenak, lalu ujarnya lagi. “Namun
aku orang she Djen selamanya menganggap bahwa keputusan manusia jauh bisa
menangkan takdir!”
“Kecerdikan Djen Toa cungcu melebihi manusia biasa, kepandaian silatmu tiada
tandingan dikolong langit, mungkin saja kau mempunyai kemampuan itu!”
“Kau terlalu memuji, sahabat karibmu Soen Put shia serta Boe Wie Tootiang semuanya
ada didalam ruang perahu, aku rasa saudara Siauwpun semestinya masuk kedalam ruang
perahu untuk memeriksa keadaan mereka.”
JILID 26
Siauw Ling putar sinar matanya memandang kedalam ruangan,ia lihat Soen Put shia
serta Boe Wie Tootiang duduk didekat meja perjamuan, disisi kiri kanan mereka masingmasing
duduk dua orang kakek berbaju hijau.
Diatas meja hidangan lezat telah disiapkan, tapi keenam orang itu tetap duduk
mematung disitu tanpa berkutik, jelas jalan darah mereka telah tertotok.

Shen Bok Hong mendongak dan tertawa terbahak-bahak.
“Haaa…. haaa…. saudara Siauw, mengapa kau tidak masuk kedalam?”
Siauw Ling tidak menjawab, kembali sinar matanya berputar menyapu sekeliling perahu
ia lihat empat penjuru perahu itu tertutup oleh selapis kain horden, sedang pada arah
utara terdapat sebuah pintu yang tertutup mungkin pintu itulah digunakan untuk keluar
masuk.
Sang Pat segera menyerbu jalan paling depan katanya, “Biarlah siauwte yang
membawa jalan!” sambil berkata ia melangkah masuk kedalam ruangan.
“Shen Toa cungcu, silahkan!” jengek Siauw Ling.
“Heee…. heee…. sejak kapan saudara Siauw berubah jadi begitu banyak curiga?”
“Berhubungan dengan diri Shen Toa cungcu, rasanya aku harus bersikap lebih hatihati.”
Shen Bok Hong tidak berbicara lagi, diapun melangkah masuk kedalam ruangan.
Siauw Ling berjalan mengikuti dibelakang gembong iblis itu, sedangkan Ceng Yap Chin
tetap tinggal diluar pintu untuk berjaga-jaga diri.
“Eeei? kenapa kau tidak ikut masuk kedalam ruangan?” tegur Shen Bok Hong sambil
berpaling kearah jago muda dari Bu tong pay itu.
Dalam hati Ceng Yap Chin mempunyai perhitungan sendiri, setelah Siauw Ling serta
Sang Pat masuk kedalam ruangan, bagaimanapun juga ia harus tetap tinggal diruangan
perahu itu dan tidak boleh termakan hasutan Shen Bok Hong.
Maka ia lantas tersenyum.
“Cayhe rasa tinggal diluar ruanganpun sama saja.”
Siauw Ling mengerti maksud hati jago dari Bu tong pay itu, maka iapun lantas berkata,
“Bagi manusia yang sudah pernah berhubungan dengan Shen Toa cungcu, siapa yang
tidak was-was atas kelicikan serta kekejian hatimu?”
Shen Bok Hong tertawa dingin.
“Hmm…. jarak antara pintu ruangan tengah hanya beberapa depa saja seandainya
mereka berdua terjadi suatu peristiwa dalam ruangan rasanya kau sendiripun tidak nanti
bisa meloloskan diri.”
“Soal ini lebih baik tak usah Shen Toa cungcu pikirkan.”
Setibanya dalam ruangan, Siauw Ling alihkan sinar matanya menyapu sekejap wajah
Soen Put shia serta Boe Wie Tootiang, kemudian katanya, “Keempat orang kakek berbaju

hijau ini rasanya pastilah empat pujangga besar dunia persilatan yang sengaja kau
undang datang?”
“Tidak salah, ketajaman pandangan saudara Siauw benar-benar luar biasa sekali.”
“Apakah mereka berenam sudah kau totok jalan darahnya?”
“Bukankah saudara Siauw memiliki kepandaian silat yang maha sakti? kenapa tak kau
coba untuk membebaskan jalan darah mereka yang tertotok?”
Siauw Ling perlahan-lahan mendekati Soen Put shia, sesudah diperlakukan sejenak ia
lantas menekan punggung pengemis itu dengan tangan kanannya, hawa murninya
dengan cepat disalurkan kedalam tubuh orang itu.
Segulung hawa panas mengalir masuk kedalam isi perut Soen Put shia dan
menggerakkan peredaran darah ditubuh pengemis tua itu, tampak air mukanya berubah
jadi merah padam seakan-akan ada jalan darah yang tersumbat, selain itu tidak nampak
ada luka lain yang diderita.
Siauw Ling segera tarik kembali telapak kanannya, kepada Shen Bok Hong dia berseru,
“Mereka bukan tertotok oleh sejenis ilmu menotok jalan darah!”
“Lalu menurut pandanganmu, mereka sudah terluka oleh binatang apa?”
“Andai kata orang ini bukan terluka oleh ilmu menotok jalan darah pastilah mereka
sudah terluka oleh kepandaian sejenis” pikir si anak muda itu, dia lantas menyahut,
“Mungkin oleh pemutus nadi atau penutup jalan darah….”
Shen Bok Hong segera gelengkan kepalanya sambil tertawa.
“Kepandaian silat mempunyai aneka ragam yang tak terhingga banyaknya, meskipun
saudara Siauw pintar, kau masih belum sanggup untuk menguasai segenap kepandaian
yang ada dikolong langit.”
“Hmm, perduli kau Shen Toa cungcu telah melukai mereka dengan cara apapun,
setelah cayhe datang kemari, aku pasti akan menolong mereka hingga lolos dari sini.”
“Sungguh besar amat perkataanmu, kini keenam orang itu telah berada disini semua,
aku ingin lihat dengan cara apakah kau hendak menolong mereka?”
“Aku tak sanggup membebaskan beberapa orang dari pengaruh totokan, untuk
menolong mereka semua rasanya harus berusaha untuk menaklukkan Shen Bok Hong
kemudian baru paksa dia untuk membebaskan totokannya” pikir Siauw Ling dalam hati.
“Tapi orang ini lihay dan licik, jelas diatas perahu ini telah dipersiapkan jago-jago lihaynya
yang setiap saat bila diperintahkan untuk menyerang kami…. lalu apa yang harus
kulakukan sekarang?”
Dia lantas berkata, “Shen Toa cungcu, kian tahun usiamu kian bertambah, aku rasa
dalam soal waktu kau berada dalam keadaan yang tidak menguntungkan, sebaliknya bagi
aku orang she Siauw, kian hari kekuatan tubuhku kian bertambah kuat sedang ilmu

silatpun makin hari makin bertambah sempurna, bila kau hendak mengulur lagi waktu
pertarungan diantara kita, maka kesempatan bagimu untuk merebut kemenangan
semakin menipis, entah bagaimana menurut pendapat Toa cungcu sendiri?”
Shen Bok Hong tertawa hambar.
“Bagi aku orang she Shen, persoalan ini tidak penting untuk dibicarakan sekarang.”
Siauw Ling menoleh memandang sekejap kearah Soen put shia, lalu berkata lagi, “Shen
Toa cungcu, seandaianya pada saat ini kau berhasil membinasakan aku orang she Siauw,
bukankah sejak kini orang yang berani memusuhi dirimu makin hari makin bertambah
kurang?”
“Heeeh…. heeeh…. apakah saudara Siauw ingin menjajal kepandaian silatku?”
“Mari kita berduel satu lawan satu, coba kita lihat kau yang bakal keok ataukah aku
yang bakal binasa.”
“Hmm…. kecuali keadaan dan situasi terlalu mendesak sehingga tiada pilihan lain
bagiku, aku tetap berharap agar kau suka kembali lagi kedalam perkampungan Pek Hoa
San cung….”
Ia mendongak dan menghembuskan napas panjang, katanya lebih jauh, “Saudara
Siauw, ucapanmu memang tepat sekali, aku memang semakin hari makin bertambah tua
sekalipun akhirnya seluruh kolong langit berhasil jatuh ketanganku, siauw heng pun tidak
bisa memimpin terlalu lama…. paling banter beberapa tahun, kemudian kursi pemimpin
bakal terjatuh ketangan orang ini orang itu sudah tentu diri saudara Siauw.”
“Shen Toa cungcu, apabila kau sudah berhasil memahami keadaan tersebut lalu apa
gunanya kau masih selalu saja berusaha menjagoi dunia persilatan dengan menggunakan
tindakan serta cara serendah apapun….” kata Siauw Ling sambil melirik sekejap keadaan
disekelilingnya.
Mendadak air muka Shen Bok Hong berubah hebat, hardiknya, “Tutup mulut, apa kau
anggap aku sedang memberi nasehat kepada diriku sendiri?”
“Cayhe hanya bermaksud baik untuk menasehati diri Shen Toa cungcu agar jangan
pikirkan cita-citamu yang mutlak itu lagi. Apa gunanya merajai Bulim dengan melakukan
pelbagai perbuatan yang terkutuk….”
“Aaaai, kalau begitu rupanya kau memang selamanya tak akan sadar kembali” tukas
Shen Bok Hong sambil menghela napas panjang. “Diantara kita berdua cepat atau lambat
harus dilakukan suatu penyelesaian yang tepat.”
Siauw Ling ada maksud menjawab, tapi pada saat itulah Shen Bok Hong telah ayunkan
tangannya bertepuk satu kali.
Pintu ruang dalam yang tertutup rapat mendadak terpentang lebar, seorang manusia
aneh yang bersisik merah perlahan-lahan munculkan diri dalam ruangan itu.

Dengan cepat Siauw Ling geserkan badannya dengan punggung menempel pada
punggung Sang Pat, sedang matanya dialihkan kedepan.
Tampak manusia aneh bersisik merah itu mempunyai bentuk yang sangat mengerikan,
rambutnya yang merah terurai sebahu, kulit tubuhnya dari batas leher hingga kebawah
penuh dengan sisik berwarna merah. Sepasang tangannya panjang sekali dengan kuku
yang panjangnya kurang lebih tiga coen, selapis warna merah menyelimuti wajahnya
sehingga hanya tertampak sepasang biji matanya yang tajam.
Sejak menjumpai Shen Bok Hong muncul diatas sampan, Siauw Ling telah menyadari
bahwa keadaan diatas perahu pasti amat berbahaya, maka secara diam-diam ia sudah
kenakan sarung tangan kulit naganya.
Sedang Sang Pat sendiri dalam hatipun sedang berpikir, “Sisik merah yang ada ditubuh
manusia aneh ini entah terbuat dari bahan apa? aku harus menjajal sampai manakah daya
kemampuan benda itu agar dalam pertarungan nantipun bisa mengetahui
kehebatannya….”
Tangan kanannya segera diayun dan menyambit keluar sebutir intan permata yang
bersinar tajam.
Intan termasuk benda keras yang melebihi kerasnya baja, empat sisi berbentuk runcing
dan tajamnya luar biasa. Selama melakukan perjalanan, Sang Pat selain menggembol batu
permata itu sebagai senjata rahasia, hanya karena berharga benda tadi maka bilamana
bukan menjumpai keadaan yang terlalu berbahaya jarang sekali ia menggunakan benda
tadi.
Berbeda sekali keadaan pada malam ini, begitu melancarkan serangan si sie poa emas
ini telah menggunakan tenaga murninya hampir mencapai sepuluh bagian.
Dibawah sorot cahaya lilin tampak cahaya permata berkilauan, dengan telak benda
tersebut bersarang didepan dada manusia aneh bersisik merah tersebut.
Blaaam! seakan-akan menimpuk diatas lapisan baja yang kuat, batu permata yang
kerasnya melebihi baja itu secara tiba-tiba mental kembali dan bersarang diatas tiang
kayu dekat pintu ruangan, saking kerasnya daya pental tadi sehingga membuat benda itu
tertanam dalam sekali dalam tiang kayu itu.
“Hmm, barisan Ngo Liong Toa Tin!” dengus Siauw Ling dingin.
“Sedikitpun tidak salah, dia adalah salah satu diantara lima naga, bila Siauw thayhiap
sanggup menaklukkan orang ini, rasanya belum terlambat kalau kita saling gebrakan
belakangan saja.”
Tempo dulu sewaktu Siauw Ling dengan memimpin para jago yang terdiri dari Be Boen
Hwie sekalian menerjang keluar dari perkampungan Pek Hoa San cung, sesudah
mengobrak abrikan barisan pedang dan tameng yang terdiri dari delapan belas orang
Kiam kong, kemudian menjebolkan kepungan beratus-ratus orang boesu berbaju hitam,
dan diluar perkampungan mereka pernah dihadang pula oleh lima naga tersebut.

Tapi didalam kesempatan itu hanya dalam sebuah tusukan pedang saja ia telah berhasil
merobohkan salah satu diantara manusia aneh itu, sehingga dalam sangkaran mereka
barisan Ngo Liong Tia Ton yang digembar gemborkan sebagai kekuatan terdahsyat pihak
Shen Bok Hong ternyata hanya begitu saja.
Tapi setelah kejadian itu Siauw Ling baru tahu sebabnya kelima ekor naga itu tak
berkutik adalah disebabkan bantuan dari Lam Hong Giok yang secara diam-diam telah
mengunci ilmu silat kelima orang itu dengan sejenis bubuk obat. Bagaimanakah kekuatan
yang sesungguhnya, boleh dibilang Siauw Ling sendiripun belum pernah menjajalnya.
Kini setelah berhadapan dengan salah satu diantara kelima orang aneh itu si anak
muda kita tak berani bertindak gegabah, hawa murninya segera dihimpun kedalam tubuh.
Dengan tajam ia awasi gerak gerik manusia aneh sambil diam mencari titik kelemahan
lawan.
Namun seluruh tubuh orang itu tertutup oleh sisik merah yang kuat, kecuali sepasang
matanya boleh dibilang tiada tempat lain yang sanggup digunakan untuk menyerang.
“Ada satu persoalan aku harus memberitahu terlebih dahulu kepada kau Siauw
thayhiap” terdengar Shen Bok Hong berkata. “Sisik merah yang dikenakan orang ini telah
direndam didalam cairan racun yang teramat keji, asal badanmu tersambar hingga robek
dan mengucurkan darah maka dalam waktu satu jam racu itu segera akan menyerang isi
perutmu dan mengakibatkan kematian yang mengerikan, dikolong langit tiada obat
penawar lain untuk menyelamatkan jiwamu.”
“Terima kasih atas pemberitahuanmu itu.”
Selama pembicaraan berlangsung, manusia aneh bersisik merah tadi selangkah demi
selangkah sudah mendekati tubuh Siauw Ling.
Menyaksikan gerak gerik pihak lawannya sangat lamban, dalam hati pemuda kita lantas
berpikir, “Dengan mengenakan sisik merah yang mengandung racun, aku pikir gerak
geriknya pasti mengalami gangguan, seandainya bertarung ditempat yang terbuka
mungkin aku bisa menghadapi serangan-serangannya dengan mengandalkan ilmu
meringankan tubuh tapi sampan ini sempit dan kecil tidak leluasa bagiku untuk bergerak
seenaknya sendiri rupanya bilamana perlu aku harus menghadapi dengan kekuatan
serangan telapakku.”
Tampak dua sorot mata manusia aneh itu dengan tajam mengawasi gerak gerik si anak
muda itu, kemudian berhenti dan tak berkutik lagi.
Ceng Yap Chin yang melihat manusia aneh tadi berdiri saling berhadapan muka dengan
Siauw Ling, bahkan jaraknya cukup untuk merobohkan musuh dalam sekali serangan,
hatinya jadi gelisah pikirnya, “Terang-terangan kita sudah tahu kalau orang aneh itu
mengenakan sisik beracun, apa sebabnya dia malah membiarkan musuhnya berdiri dala
jarak begitu dekat dengan dirinya? bukan meloloskan senjata dia berdiri tenang, apakah
orang she Siauw itu hendak menghadapi musuhnya dengan sepasang tangan telanjang
belaka??”

Baru saja ingatan tersebut berkelebat lewat dalam benaknya, tiba-tiba Siauw Ling telah
ayunkan tangan kanannya, laksana kilat dia melancarkan sebuah serangan dahsyat.
Kecepatan serangan ini bukan saja sukar diikuti dengan pandangan, bahkan membuat
Shen Bok Hong yang menyaksikanpun diam-diam merasa sangat kagum.
Walaupun melihat datangnya ancaman yang langsung mengarah dadanya, manusia
aneh bersisik merah itu sama sekali tak menghindar ataupun menangkis, dia angkat
tangan kanannya dengan kelima jari tangannya yng berkuku panjang ia cengkeram bahu
kiri lawan.
Siauw Ling ayun tangan kirinya menangkis datangnya ancaman itu, sementara
serangan tangan kanannya dengan telak telah bersarang didada musuh.
Blaam….! ditengah satu ledakan keras, dada simanusia aneh bersisik merah itu sudah
terhajar keras sehingga membuat badannya tergetar mundur tiga langkah kebelakang.
Shen Bok Hong yang melihat jalannya pertarungan itu segera tertawa terbahak-bahak.
“Haaah…. haaah Siauw thayhiap! sisik merah yang dikenakan orang itu mengandung
racun yang sangat keji cepat tutup seluruh pernapasan serta jalan darahmu agar racun
keji itu tak sampai mengalir kedalam jantung untuk menolong jiwamu, hanya satu jalan
yang bisa kau tempuh yaitu menguntungkan tanganmu sebatas siku.”
“Heeeh…. heeh tak usah anda kuatirkan keselamatanku” jengek Siauw Ling sambil
tertawa dingin.
Kembali tangannya diayun mengirim satu totokan kilat.
Ternyata dalam sangkaan pemuda kita seandainya serangan yang dia lancarkan
berhasil menghajar tubuh lawannya, sekalipun tidak berhasil membinasakan orang itu
sedikit banyak masih sanggup untuk merobohkannya hingga tak sadarkan diri, siapa
sangka peristiwa yang kemudian terjadi jauh diluar dugaannya, manusia aneh bersisik
merah itu hanya tergetar mundur tiga langkah saja kebelakang.
Siauw Ling sadar hanya dengan merobohkan manusia aneh ini terlebih dahulu ia baru
bisa menghadapi Shen Bok Hong dengan segenap tenaga, maka dari itu menyaksikan
lawannya belum roboh dengan cepat ia mengirim satu serangan lagi dengan ilmu jari
Siauw Loo Sin ci yang diancam adalah jalan darah Ci Kiong hiat didada lawan.
Segulung angin tajam segera meluncur kedepan.
Setelah mengalami dua kali serangan berat kembali tubuhnya dilindungi oleh sisik
merah yang kuat, namun ia rada tidak tahan juga. Sang badan mundur dengan
sempoyongan, seakan-akan hendak roboh terjengkang keatas tanah.
Shen Bok Hong jadi sangat terperanjat pikirnya, “Beberapa bulan tidak berjumpa
ternyata tenaga dalam Siauw Ling telah mengalami kemajuan yang demikian pesatnya….
bakat maupun kecerdikan orang ini betul-betul luar biasa, bila aku gagal membinasakan

dirinya pada malam ini, mungkin dalam kesempatan lain aku bakal mengalami kesulitan
besar.”
Berpikir demikian ia segera bersuit rendah.
Manusia aneh bersisik merah yang sedang sempoyongan itu begitu mendengar suitan
rendah tiba-tiba mempertahankan badannya, dua sorot mata dengan seramnya
mengawasi wajah si anak muda itu.
Melihat kekuatan andalannya masih sanggup untuk melanjutkan pertarungan Shen Bok
Hong segera tertawa dingin.
“Siauw Ling untuk kesekian kalinya aku menasehati dirimu agar insyaf dan suka
menggabungkan diri dengan pihak kami, tetapi kalau memang kau tak tahu diri dan selalu
ingin memusuhi diriku…. Hmmm! terpaksa aku harus mengambil tindakan tegas pada
malam ini juga.”
Telapak kanannya diayun dan langsung ditabokkan keatas tubuh lawannya.
Dengan perawakan tubuhnya yang tinggi besar ditambah sepasang tangannya yang
luar biasa panjangnya, meski jarak antara dia dengan Siauw Ling terpaut empat depa
namun dalam sekali jangkauan saja ia sudah sanggup untuk mencapai lengan belakang
lawan.
Berhadapan dengan musuh tangguh yang menyerang dari depan serta belakang,
membuat Siauw Ling tak bisa mengkonsentrasikan seluruh kekuatannya disatu pihak.
Dari depan dia diancam oleh manusia aneh bersisik merah yang selangkah demi
selangkah berjalan mendekat dengan wajah penuh napsu membunuh, sedangkan dari
belakang Shen Bok Hong telah melancarkan serangan kilat.
Meski Siauw Ling tahu bahwasanya tenaga kweekang dari Shen Bok Hong amat
sempurna, tetapi ia tak mungkin bisa putar badan menghadapi dirinya, maka satu-satunya
jalan adalah menyalurkan hawa murni Kiam Ciang Khieng untuk melindungi badan dan
siap menerima sebuah pukulan mautnya, sementara kekuatan yang sebenarnya siap
digunakan untuk merobohkan manusia aneh bersisik merah itu.
Dalam pada itu Sang Pat yang melihat Shen Bok Hong secara tiba-tiba melancarkan
serangan kearah Siauw Ling, meski ia sadar bukan tandingannya namun ia tidak
memperdulikan sampai kesitu. Tangan kanannya segera diayunkan kedepan, diikuti
senjata sie poa emasnya langsung menerjang sikut kanan gembong iblis yang amat lihay
itu.
Persendian merupakan tempat yang terlembek untuk membalaskan diri Siauw Ling dari
ancaman bahaya, terpaksa Sang Pat menyerang titik kelemahan tersebut.
Terdengar Shen Bok Hong tertawa dingin, mendadak ia putar tangan kirinya
melancarkan sebuah sentilan…. dukk, serangan tadi bersarang telak diatas senjata Sang
Pat.

Sang loo toa dari sepasang pedang chiu ini hanya merasakan sie poa emasnya
mendadak meloncat keatas seperti mau terlepas dari genggaman, hatinya terkesiap,
segenap ia kerahkan untuk membetotnya kembali kebawah, setelah bersusah payah ia
baru berhasil mempertahankan senjata andalannya itu tidak sampai mencelat keudara.
Tampak cahaya berkelebat membelah angkasa dua titik cahaya putih laksana kilat
menyambar kearah manusia aneh bersisik merah.
Ternyata Ceng Yap Chin telah melepaskan dua bilah pedang “Chiet Siuw Kiam” untuk
memperingati jalan maju orang aneh itu.
Setelah menghajar miring senjata sie poa emas dari Sang Pat dengan ilmu jari saktinya,
Shen Bok Hong melanjutkan serangan tangan kanannya mencengkeram si anak muda.
Tetapi sebelum telapaknya menyentuh diatas bahu lawan, mendadak ia merasa ada
selapis tenaga tak berwujud menghadang serangan selanjutnya, hal ini membuat ia jadi
terperanjat dan segera katanya, “Hawa khiekang pelindung badan!”
Hawa murninya segera diperlipat ganda laksana sebilah golok telapak kanannya dibabat
makin cepat kebawah.
Hawa khiekang pelindung badan yang berhasil dicapai Siauw Ling baru mencapai taraf
permulaan. Jago kangouw pada umumnya sulit untuk melukai dirinya, tapi bagi jago lihay
seperti Shen Bok Hong yang memiliki tenaga kweekang sempurna sudah tentu Siauw Ling
masih belum sanggup menandinginya.
Terasa segulung tenaga tekanan yang amat berat menjebol pertahanan hawa khiekang
perlindung badannya langsung menghajar keatas bahu, membuat tubuh bagian atasnya
terasa amat sakit dan kaku seakan-akan dibabat orang dengan golok.
Sadarlah si anak muda itu bahwa ia sudah terluka parah, meskipun tulang bahunya tak
sampai hancur sedikit banyak pasti sudah parah jadi beberapa bagian.
Namun sebagai manusia berwatak keras, ia tetap gertak gigi menahan sakit, sang
badan segera geser tiga depa kesamping.
Karena tak mendengar jeritan tertahan dari si anak muda itu, Shen Bok Hong tak tahu
kalau lawannya berhasil dilukai atau tidak, tapi ia tahu bahwa hawa khiekang pelindung
badan lawan berhasil dijebolkan dan serangan itu bersarang telak dibahu musuh.
Kendati begitu diam-diam telapak kanannya terasa sakit dan kaku juga termakan oleh
tenaga pental dari khiekang pelindung badan si anak muda itu, untuk beberapa saat
seluruh lengan itu tak bisa digunakan lagi.
Perubahan ini terjadi dalam waktu sekejap mata, dan siapapun tak menyangka akan
kehebatan masing-masing pihak.
Terdengar suara bentrokan nyaring bergema diudara, dua bilah pedang Chiet Siuw
Kiam yang dilepaskan Ceng Yap Chin telah bersarang dibahu manusia aneh bersisik merah
itu.

Walaupun manusia aneh itu mempunyai sisik tebal pelindung badan, namun setelah
badannya termakan gempuran dahsyat dari Siauw Ling, meskipun tak sampai jatuh
pingsan seketika itu juga isi perutnya telah terluka parah, dua bilah pedang yang disambit
Ceng Yap Chin sama sekali tak terhindar olehnya…. semua serangan bersarang telak
diatas badannya.
Pedang Chiet Siuw Kiam milik Ceng Yap Chin ini terbuat dari baja berusia seribu tahun
dan khusus digunakan untuk menandingi hawa khiekang orang.
Kendati tajam dan luar biasa, sayang pedang itu masih belum sanggup juga untuk
menembusi sisik merah diatas tubuh orang aneh itu, setelah berdenting nyaring pedang
tadi segera rontok keatas tanah.
Sang Pat segera membentak keras, sie poa emasnya dengan jurus “Long Ciong Ciauw
Gan” atau gulungan ombak menghantam tubuh Shen Bok Hong.
Pada waktu itu lengan kanan gembong ini sedang kaku dan tak bisa digunakan,
terpaksa ia mengingos kesamping sambil ayun tangan kirinya melancarkan satu babatan.
Melihat serangannya tidak mengenai pada sasaran Sang Pat mempersiapkan serangan
berikutnya, tapi saat itulah angin pukulan Shen Bok Hong telah melanda tiba.
Tampak sekilas cahaya tajam berkelebat lewat, sebilah pedang tahu-tahu meluncur tiba
dari bawah lengan kiri Shen Bok Hong langsung membabat keatas.
Ternyata orang yang melancarkan serangan Ceng Yap Chin yang sedang menyerbu
datang.
Buru-buru Shen Bok Hong merendahkan tangan kirinya kebawah, setelah lolos dari sisi
samping kembali ia lancarkan satu pukulan hebat.
Perubahan jurus ini dilakukan dengan kecepatan bagaikan kilat, tak mungkin bagi Ceng
Yap Chin untuk menghindarkan diri lagi, terasa segulung angin dahsyat mendorong
badannya kebelakang hingga mendesak ia harus loncat keruang luar.
Shen Bok Hong tertawa seram.
“Siauw Ling diatas sampan inilah tulang belulangmu bakal dikuburkan….”
Belum habis dia berbicara mendadak terdengar suara gemerincingan nyaring…. Criing!
criing! diikuti segenggam cahaya emas berkelebat membelah angkasa menyerang manusia
aneh bersisik merah itu.
Dalam pada itu manusia aneh tadi berhasil memaksa Siauw Ling mundur kesudut ruang
perahu, sepuluh jari tangannya yang berkuku panjang laksana cakar naga perlahan-lahan
menyambar tubuh si anak muda itu.
Terdesak oleh keadaa yang amat mendesak, terpaksa Siauw Ling harus menahan rasa
sakit pada bahu kanannya, ia bersiap sedia menggunakan telapak kirinya untuk mengirim

satu pukulan dahsyatnya, meski akhirnya ia sendiri mati tersambar oleh kesepuluh jari
lawan, namun serangan itu sedikit banyak pasti akan membinasakan lawannya.
Disaat itu hendak beradu jiwa itulah segenggang cahaya emas tadi meluncur datang.
Terdengar manusia aneh bersisik merah itu meraung aneh, sepasang lengannya yang
siap mencengkeram tubuh Siauw Ling tiba-tiba menutupi mata sendiri, setelah bergetar
akhirnya ia roboh terjengkang keatas tanah.
Lolos dari bahaya maut Siauw Ling berdiri termangu-mangu, sementara dari kejauhan
sayup-sayup kedengaran irama khiem yang lirih dan bernada sedih berkumandang tiba.
Mendadak Shen Bok Hong membentak keras ia ayun tangan kirinya menghajar tubuh
Sang Pat hingga jangkir balik, kemudian loncat kedepan menginjak dada manusia aneh
tadi dan sekali sambar sambil mengepit tubuh orang tadi ia meluncur kedepan pintu
sampan dan melayang ketepian.
Beberapa loncatan itu dilakukan dengan gerakan cepat dan sehat, meskipun Ceng Yap
Chin berjaga-jaga diatas geladak namun ia tak sanggup menghalangi jalan pergi gembong
iblis itu.
Haruslah diketahui, setelah ia terdorong oleh hawa pukulan Shen Bok Hong hingga
terdesak keluar dari ruangan tadi, walaupun tidak sampai terluka parah tetapi isi perutnya
telah goncang oleh getaran hawa serangan musuh saat itu diam-diam ia sedang mengatur
pernapasan untuk menenangkan pergolakan tersebut.
Oleh karena itn meski gembong iblis tadi berkelebat lewat disisinya, namun ia tak
mampu untuk menghalangi kepergian orang.
Padahal dalam kenyataan, dengan kepandai an silat yang dimiliki Shen Bok Hong
dewasa ini, walaupun Geng Yap Chin tidak ter-luka, iapun belum mampu untuk
menghalangi jalan pergi orang tersebut.
Memandang bayangan Shen Bok Hong yang lenyap ditengah kegelapan, Siauw Ling
seolah-olah baru bangun dari impian buruk berdiri termangu-mangu disitu pikirnya, “Ooh,
sungguh berbahaya…. sungguh berbahaya…. andaikata Shen Bok Hong mengirim satu
pukulan kearahku dikala berlalu tadi, aku pasti sudan mati konyol diujung telapaknya….”
Teringat akan mara bahaya yang baru saja mengancam jiwanya, diam-diam si anak
muda itu bergidik sendiri, bulu kuduknya berdiri sedang keringat dingin mengucur keluar
dengan derasnya.
Menanti ia teringat kembali akan irama Khiem yang sayup-sayup kedengaran
berkumandang datang tadi, suasana telah kembali dalam kesunyian yang mencekam….
Bagaimanapun juga Sang Pat jauh lebih berpengalaman dari Siauw Ling, setelah mara
bahaya berlalu ia lalu merasakan keadaan yang tidak beres, bisiknya lirih: “Toako ayoh
cepat kita tolong orang itu!”

“Ehm, kita harui segera membebaskan jalan darah keenam orang itu….” sahut Siauw
Ling sambil memandang sekejap kearah keempat orang kakek berbaju hijau itu serta Soen
Put Shia dan Boe Wie Tootiang.
“Tak usah, kita tolong dulu mereka berenam ketepi seberang kemudian baru usahakan
untuk membebaskan jalan darah mereka yang tertotok.”
Seraya berkata ia segera mengempit dahulu dua orang kakek berbaju hijau itu.
Siauw Ling pun tak banyak bicara lagi. Ia segera mengempit tubuh Soen Put shia serta
Boe Wie Tootiang menyusul dibelakang dan terakhir Ceng Yap Chin mengempit dua orang
kakek berbaju hijau lainnya.
Setibanya diatas geladak, tampak depan mereka hanya terbentang air kolam, sampan
kecil tadi dipakai oleh Shen Bok Hong untuk menyebrang ketepian.
Mereka bertiga sama-sama tak kenal ilmu berenang, melihat gulungan air disekeliling
mereka, Siauw Ling sekalian jadi tertegun dan berdiri termangu.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya si anak muda itu sambil menghela
napas panjang.
“Kolam ini tidak begitu luas lagi pula jaraknya beberapa tombak, mari kita terjun saja
kedalam air dan berjalan ketepian, makin cepat baik.”
“Kenapa?” tanya Ceng Yap Chin tercengang.
“Aku punya dugaan diatas perahu ini sudah diatur suatu jebakan lihay….”
“Kalau begitu mari kita segera berlalu dari sini!”
Sambil mengempos tenaga si anak muda itu siap meloncat keair, tapi mendadak ia lihat
Sang Pat meletakkan kembali tubuh kedua kakek berbaju hijau tadi keatas tanah
kemudian menjebol dua buah pintu dan diceburkan kedama air.
Si anak muda itu segera mengerti apa gunanya pintu-pintu tadi,ia loncat lebih dahulu
kebawah, setelah meletakkan tubuh Boe wie Tootiang dan Soen Put shia diatas belahan
pintu tadi, ia sendiri menceburkan diri kedalam air.
Sang Pat serta Ceng Yap Chin pun secara beruntun loncat kebawah, ternyata enam
tubuh jagoan itu tidak sampai menenggelamkan kedua belah pintu tadi, maka merekapun
lantas bergerak ketepian.
Memandang bajunya yang basah kuyup oleh air kolam diam-diam Ceng Yap Chin
melirik sekejap kearah perahu persegi ditengah kolam, pikirnya, “Bodoh amat cara kita
menyeberang ketepian, andaikata kita bisa sedikit menahan diri, keadaan tak akan
sedemikian mengenaskan….”

Belum habis dia berpikir terdengar dua ledakan dahsyat menggema diatas sampan
tersebut, perahu tadi segera terpecah belah jadi beberapa bagian sementara api berkobar
dengan hebatnya.
Dalam sekejap mata seluruh benda yang ada diatas perahu itu sudah terjilat oleh api,
kebakaran hebatpun memusnahkan perahu tersebut dalam sekejap mata.
Menyaksikan peristiwa tersebut dalam hati Ceng Yap Chin jadi malu sendiri, ujarnya
sambil memandang kearah Sang Pat, “Andaikata Sang hng tidak cermat memeriksa
keadaan diatas perahu itu dan buru-buru tinggalkan tempat tersebut, niscaya kita pada
saat ini sudah mati tertelan ditengah lautan api….”
“Ooh, itulah namanya rejeki kita, takdir belum menetapkan kita harus mati maka
kitapun terhindar dari malapetaka…. itu belum terhitung seberapa….”
Sedang Siauw Ling segera menghela napas.
“Ditinjau dari keadaan demikian, tidak cukup bagi seseorang untuk berkelana dalam
dunia persilatan hanya mengandalkan ilmu silat belaka, bila tiada kecerdasan otak yang
tajam untuk mempertahankan hidupnya lebih lama….”
“Mara bahaya sudah lewat rasanya sekarang kita harus berusaha untuk membebaskan
jalan darah keenam orang ini” ujar Sang Pat setelah memandang sekejap wajah Soen Put
shia serta Boe Wie Tootiang. “Selama hidup empat pujangga besar dunia persilatan tak
pernah terlibat dalam urusan dunia kangouw sedang orang Bulimpun kebanyakan tidak
ingin mengganggu mereka, dan kini setelah Shen Bok Hong gagal mencelakai jiwa mereka
berempat, andaikata kita bisa menolong mereka berarti pula pihak perkumpulan Pek Hoa
San cung telah bertambah dengan empat orang musuh tangguh!”
“Aku curiga Shen Bok Hong bukan hanya menotok jalan darah mereka berenam saja.”
“Maksud siauw thayhiap….??” tukas Ceng Yap Chin dengan hati terperanjat.
“Maksud cayhe disamping Shen Bok Hong telah menotok jalan darah mereka berenam
mungkin iapun sudah berbuat sesuatu ditubuh mereka. Mampukah kita selamatkan
mereka hingga kini masih jadi satu persoalan.”
“Maksud toako, kemungkinan besar Shen Bok Hong telah meracuni keenam orang itu?”
“Sedikitpun tidak salah.”
Ia merandek sejenak, kemudian terusnya, “Ditinjau dari situasi pertarungan diatas
sampan tadi, boleh dibilang posisi kita teramat berbahaya, andaikata tiada orang yang
membantu secara diam-diam mungkin siauwte sudah terluka diujung jari tangan manusia
aneh bersisik merah itu. Sisik merah yang dikenakan betul-betul sangat keras dan tidak
mempan terhadap senjata, ia sulit untuk dihadapi. Aaaai…. perkataan Giok Lan serta Kiem
Lan sedikitpun tidak salah. Lima naga dari Shen Bok Hong merupakan manusia beracun
yang paling dulit dihadapi, yang kita jumpai dimalam ini hanya seekor naga belaka,
andaikata lima naga muncul bersama, rasanya tak usah Shen Bok Hong turun tangan
sendiripun kita bertiga tak nanti bisa lolos dari perahu itu dalam keadaan selamat.”

“Lalu siapakah yang telah membantu kita secara diam-diam?” tanya Sang Pat setelah
termenung sebentar.
“Siauw heng sendiripun kurang begitu paham dengan kejadian tersebut, rupanya orang
itu telah melukai sepasang mata manusia aneh bersisik merah itu dengan senjata rahasia
sebangsa jarum kecil.”
“Seandainya ia menggunakan senjata rahasia sebangsa jarum, maka orang itu
semestinya berada pada jarak tiga tombak dari kita.”
“Memang seharusnya demikian tapi ternyata kita semua tak berhasil mengetahui
jejaknya.”
Sinar mata Sang Pat berputar sekejap kepada jago muda dari Bu tong pay ujarnya,
“Ceng heng, bukankah kau selalu berjaga diatas geladak, apakah kau berhasil
menemukan sesuatu tanda yang mencurigakan?”
“Sungguh menyesal sekali, siauwtepun tidak berhasil menemukan tanda-tanda yang
mencurigakan.”
“Apakah toako masih ingat dengan arah datangnya jarum emas itu?”
“Menurut ingatan siauw heng rasanya jarum emas itu disambit masuk lewat pintu
depan ruangan.”
“Andaikata ada orang melepaskan senjata rahasia dari atas geladak aku orang she
Ceng yakin tak akan lolos dari pengawasan.”
Siauw Ling termenung untuk berpikir sebentar, kemudian tanyanya lagi, “Apakah Ceng
heng pernah mendengar suara yang aneh?”
“Tatkala Siauw heng sedang bertarung melawan manusia aneh bersisik merah itu,
cayhe rupanya mendengar sayup ada irama khiem yag berkumandang datang.”
“Nah, itulah dia. Ketika suhengmu serta Loocianpwee berjumpa dengan Shen Bok Hong
serta para jago ditepi telaga, disaat pertarungan hampir meledak tiba-tiba terdengar pula
irama khiem mengalun datang, begitu mendengar alunan irama musik tadi Shen Bok Hong
segera melarikan diri terbirit-birit. Kemudian suhengmu Soen Loocianpwee pernah
membicarakan persoalan itu dengan diriku menurut mereka irama musik itu mirip dengan
gabungan musik yang dimainkan oleh seruling dan khiem, dan malam ini kembali kita
dengar alunan irama khiem tersebut sedang Shen Bok Hong untuk kesekian kalianya
melarikan diri terbirit-birit, itu menandakan kalau gembong iblis itu pasti jeri terhadap
sipemain khiem.”
“Ehmm, pendapat Siauw toako memang tepat sekali” Sang Pat mengangguk
membenarkan. “Cuma irama musik yang siauwte dengar malam ini rupanya hanya
permainan khiem belaka.”
“Benar, memang tiada gabungan irama seruling!”

“Entah siapakah yang mempunyai kemampuan tersebut sehingga bisa memaksa
seorang gembong iblis melarikan diri terbirit-birit?”
“Siauw heng curiga segenggam jarum emas itu disambitkan oleh sipemain khiem
tersebut.”
Ia merandek sejenak lalu tambahnya, “Ia selalu bersembunyi untuk membantu kita
secara diam-diam, bahkan berulang kali mempermainkan orang lalu suruh aku
menolongnya, contoh seperti Lam Hay Ngo Hiong…. rupanya orang itupun bermusuhan
dengan diri Shen Bok Hong!”
“Yang aneh apa sebabnya ia tak mau berjumpa dengan kita orang?”
Siauw Ling termenung, bibirnya bergetar mau mengucapkan sesuatu tapi akhirnya
dibatalkan kembali.
Ceng Yap Chin sangat menguatirkan keselamatan suhengnya, tiba-tiba ia berseru,
“Siauw heng, Soen Loocianpwee serta suhengku adalah orang-orang yang berpangalaman
serta mempunyai akal cerdik, andaikata kita bisa bebaskan jalan darah mereka yang
tertotok mungkin mereka bisa membantu kita untuk memecahkan teka teki ini.”
“Pendapat Ceng heng sedikitpun tidak salah, hanya saja cayhe merasa tipis sekali
harapan kita untuk menolong mereka. Tapi bagaimanapun juga kita harus mencobanya.”
“Kalau begitu biarlah siauwte mencobanya lebih dahulu, bila tidak berhasil barulah
Siauw heng yang mencoba.”
“Tempat ini tidak leluasa bagi kita untuk turun tangan” sela sang Pat cepat. “Mari kita
menuju kekuil keluarga Loo sie lebih dahulu.”
Sambil membopong kakek berbaju hijau itu, ia berlalu lebih dahulu.
Dalam waktu singkat mereka sudah tiba didalam kuil, setelah membaringkan keenam
orang tadi keatas lantai, Sang Pat berkata, “Baiklah kuperiksa dahulu keadadan
disekeliling tempat ini!”
“Silahkan Sang heng!” seru Ceng Yap Chin sementara telapaknya telah bekerja cepat
menguruti seluruh tubuh Boe Wie Tootiang.
Siauw Ling memperhatikannya dari samping, mulutnya tetap membungkam dalam
seribu bahasa.
Tampak Boe Wie Tootiang tetap pejamkan matanya rapat-rapat dan sama sekali tak
berkutik, sepertanak nasi lamanya Ceng Yap Chin berusaha namun toosu tua itu tetap
tidak sadar.
Akhirnya jago muda dari Bu tong pay ini berhenti mengurut, sambil menyeka keringat
dingin yang membasahi wajahnya dia berkata, “Mungkin jalan darah mereka tertotok oleh

sejenis kepandaian aneh, siauwte tak sanggup menolong mereka, terpaksa kini harus
merepotkan Siauw thayhiap!”
“Aaai, mungkin siauwte sendiripun tidak sanggup!”
Ia lantas berjongkok disisi tubuh toosu tua itu, perlahan-lahan telapak kanannya
ditempelkan pada punggung dekat tulang tengkuk, kemudian hawa murninya disalurkan
keluar menerjang masuk lewat jalan darah Beng Boen Hiap.
Beberapa saat kemudian Siauw Ling tarik kembali telapak kanannya, sementara tangan
kiri laksana kilat melancarkan totokan menabok diatas empat buah jalan darah penting
ditubuh Boe Wie Tootiang.
Siapa sangka toosu tua dari partai Bu tong ini tetap tak berkutik sama sekali, keadaan
tetap seperti sedia kala.
Akhirnya si anak muda itu menghela napas panjang.
“Aaai…. tak bisa jadi, rupanya kita tak sanggup menyelamatkan mereka!”
Dalam pada itu Sang Pat sudah menyelinap masuk kembali kedalam ruangan tengah
tangannya menekan dada Boe Wie Tootiang dan memeriksa denyutan jantungnya,
kemudian berkata, “Jangan kuatir, mereka masih hidup!”
Siauw Ling tertawa getir.
“Cukup ditinjau dari keadaan Boe Wie Tootiang, dalam tubuhnya terdapat beberapa
buah nadi yang tidak lancar” katanya. “Entah Shen Bok Hong telah menggunakan cara
apa yang untuk menguasai mereka sehingga kami tak sanggup membebaskannya.”
“Ilmu menotok jalan darah dari pelbagai partai berbeda satu sama lainnya, ada
pemutus urat, ada penggetar nadi dan ada pula membabat jalan darah, asal napas
mereka belum putus rasanya masih ada harapan untuk ditolong. Toako kaupun tak usah
gelisah, mari kita perlahan-lahan mencari upaya untuk menolong mereka.”
“Seandainya jalan darah mereka berenam tak sanggup kita bebaskan, bukankah kita
harus berjalan sambil membopong mereka?”
Sementara Sang Pat siap menjawab, mendadak terdengar irama seruling
berkumandang datang.
Walaupun suara seruling itu halus dan ampuk tapi dalam pendengaran beberapa orang
laksana guntur membelah bumi disiang hari bolong, membuat mereka bersama-sama jadi
tertegun.
Siauw Ling goyangkan tangan kanannya melarang mereka berdua berbicara, sedang
perhatiannya dipusatkan untuk mendengar alunan suara tersebut.

Terdengar irama seruling itu penuh mengandung nada sedih yang memilukan hati,
bergema ditengah kesunyian malam yang mencekam membuat hati setiap orang ikut
tergoyah.
Tiba-tiba permainan seruling itu terpotong ditengah jalan, irama merdu yang megalun
diangkasapun perlahan-lahan membuyar keempat penjuru.
Ceng Yap Chin menghembuskan napas panjang, bisiknya, “Ooh, pedih amat permainan
seruling orang itu, iramanya penuh dengan keluhan serta kepedihan yang menghancur
lumatkan hati orang!”
“Suara seruling itu walaupun ringan dan mengalun tipis diudara tapi kuat dan nyaring
kedengaran dalam setiap pendengaran jelas orang yang meniup seruling itu adalah jago
lihay dari dunia persilatan, karena hanya manusia lihay saja yang sanggup memancarkan
suaranya sedemikian nyata” kata Sang Pat memberikan pendapatnya.
“Benar dimana irama khiem berhenti irama seruling segera menyambung dari belakang.
Jelas jago lihay yang memainkan khiem serta seruling itu pasti berada disekitar tempat
ini.”
Satu ingatan mendadak berkelebat dalam benak Sang Pat, ujarnya, “Irama khiem
berkumandang lebih dahulu disusul oleh irama seruling, bukankah itu berarti bahwa
seruling tak pernah meninggalkan khiem.”
Belum habis dia berkata mendadak irama khiem mengalun kembali diangkasa,
beberapa bait syair telah lewat irama khiem tadi bergema lagi memainkan irama lain.
Ketika didengarkan lebih seksama maka terdengarlah permainan khiem itu seolah-olah
sedang mengisahkan satu cerita yang penuh dengan kepedihan serta kesedihan.
Tanpa sadar baik Siauw Ling maupun Sang Pat sekalian terpengaruh oleh permainan
khiem itu, mereka merasakan hati kecil masing-masing tersumbat oleh kepedihan yang
sangat sehingga air mata ikut bercucuran.
Mendadak irama khiem itu berhenti.
Siauw Ling serta Sang Pat sekalian bagaikan baru sadar dari impian, tanpa terasa
masing-masing menyeka air mata yang membasahi wajah masing-masing.
Sang Pat menghembuskan napas panjang katanya, “Aku Sang loo jie kecuali waktu
bersembahyang didepan layon ibuku pernah menangis satu kali. Boleh dibilang kali ini
merupakan kedua kalinya aku mengucurkan air mata.”
“Siauwte sendiripun mengucurkan air mata karena terpengaruh oleh irama khiem
tersebut” sambung Ceng Yap Chin.
“Permainan khiem tersebut betul-betul membuat hati orang jadi sedih, entah siapa
yang memainkan irama tersebut?” bisik Siauw Ling.

Suasana hening untuk beberapa saat lamanya Ceng Yap Chin melirik sekejap kearah
suhengnya, tiba-tiba ia berkata kembali, “Bilamana ditempat ini tak ada enam orang yang
terluka. Malam ini juga aku ingin pergi mencari orang yang memainkan khiem itu.”
Mendadak irama seruling berkumandang lagi diangkasa.
Permainan seruling kali ini kedengaran jauh lebih sedih dan memilukan hati orang.
“Aku akan pergi melihat siapakah mereka” bisik Siauw Ling dengan alis berkerut.
“Toako akan pergi seorang diri??”
“Disini ada enam orang terluka, sudah tentu kita tak boleh tinggalkan mereka tanpa
mengurusi, lebih baik kalian berdua tetap tinggal disini saja, biar aku yang pergi seorang
diri.”
“Andai kata toako berjumpa dengan musuh tangguh segera bersuitlah panjang sebagai
tanda, kami sekalian akan segera berangkat kesitu untuk memberi bantuan.”
Siauw Ling termenung sebentar lalu berkata, “Seandainya orang yang meniup seruling
dan bermainan khiem itu ada maksud memusuhi kita, tak nanti mereka akan selalu
membantu kita orang….” ia merandek sejenak lalu sambungnya, “Suhuku pernah berkata
kepadaku, setiap manusia yang memiliki kepandaian sakti kebanyakan mempunyai tabiat
serta tingkah laku yang kukoay, seandainya kita berhasil menemukan mereka mungkin
malah akan menggusarkan hati mereka seandainya ia sampai melukai diriku kendati kamu
berdua menyusul kesanapun percuma sebab kalian tak akan bisa membantu diriku utnuk
kebaikan kita semua maka begini saja, seandainya dalam waktu satu jam cayhe belum
kembali juga maka kalian berduapun tak usah tinggal terlalu lama lagi disini, harap
membawa Soen Loocianpwee sekalian pergi ketempat yang telah dijanjikan.”
Sang Pat masih ingin mengucapkan sesuatu tapi dengan langkah lebar Siauw Ling telah
berjalan keluar dari ruangan.
Pada waktu itu awan gelap telah menyelimuti angkasa. Suasana gelap gulita sukar
melihat kelima jari tangan sendiri….
Dengan mengikuti berasalnya irama seruling tadi perlahan-lahan Siauw Ling bergerak
kedepan.
Makin lama suara permainan seruling itu kedengaran semakin dekat, ditengah
kegelapan secara lapat-lapat dia lihat ada sesosok bayangan manusia duduk diatas
sebuah batu cadas.
Siauw Ling tarik napas panjang-panjang, setelah mententeramkan hatinya yang
bergolak keras ia sapu sekejap keadaan sekelilingnya saat itulah ia temukan dirinya
berada disuatu daerah hutan yang amat sunyi. Ditempat kejauhan tampak sebuah bukit
menjulang tinggi keangkasa.
Siauw Ling mendehem berat, maksudnya agar sipemain seruling itu dapat mengetahui
akan kehadirannya.

Tapi rupanya orang itu sudah mabok oleh permainan serulingnya, seluruh perhatian
serta raganya telah bersatu padu dalam satu titik, terhadap deheman Siauw Ling sama
sekali digubrisnya.
Si anak muda itu jadi tertegun, pikirnya, “Dehemanku barusan telah menggunakan
tenaga yang amat kuat, mengapa ia belum juga kedengaran….”
Sementara dia masih berpikir, mendadak terdengar suara bentakan nyaring
berkumandang datang, “Siapa disana?”
Suara itu muncul secara mendadak dan sama sekali bukan berasal dari mulut sipemain
seruling tersebut.
Siauw Ling segera alihkan sinar matanya kearah mana berasalnya suara tersebut,
tampaklah dari balik pohon besar tidak jauh dari tempat itu lambat-lambat berjalan keluar
seseorang.
Mendadak…. ia merasa suara orang itu sangat dikenal olehnya, hanya untuk sesaat ia
tak tahu suara siapakah itu.
sementara ia ingin menjawab, tiba-tiba serentetan suara yang amat halus
berkumandang masuk kedalam telinganya.
“Jangan buka suara, lebih baik kenakanlah topengmu itu sehingga rahasia asal usulmu
jangan sampai ketahuan orang!”
Begitu suara lembut tadi menusuk kedalam pendengarannya Siauw Ling semakin
tertegun karena suara itu sangat dikenal olehnya sehingga membuat dia hampir saja
menjerit tertahan.
Dengan cepat si anak muda itu mententramkan hatinya yang bergolak keras, buru-buru
dia putar badan dan laksana kilat mengenakan selapis kulit topeng keatas wajahnya.
Menanti ia berpaling kembali tampaklah bayangan manusia yang munculkan diri dari
balik pohon itu sudah berada sangat dekat dengan dirinya.
Irama seruling tiba-tiba berhenti ditengah jalan, serentetan suara teguran yang dingin
dan jumawa menggema diangkasa.
“Apakah adik Giok Tong Siauwte disitu….?”
“Sedikitpun tidak salah, memang siauwte disini” jawab bayangan manusia yang sedang
bergerak menuju kearah mana Siauw Ling berada itu.
“Hmm, tahukah kau bahwa adikmu sedang mencari dirimu kemanapun jua….!”
“Aah, kiranya orang itu adalah Lan Giok Tong yang pernah menyaru sebagai diriku.”
pikir Siauw Ling.

Terdengar Lan Giok Tong berkata, “Tabiat piauw moay terlalu berangasan dan menang
sendiri, siauwte tidak tahan terhadap tingkah lakunya yang luar biasa itu, maka tak berani
aku menjumpai dirinya lagi.”
“Ooooh, kiranya antara Lan Giok Tong dengan sipeniup seruling ini adalah Piauw
hengte!” pikir Siauw Ling.
Terdengar orang yang meniup seruling itu berkata lagi dengan nada dingin, “Aku tidak
ingin mencampuri urusanmu dengan piauw moay mu itu tapi kau selalu membuntuti diriku
entah apa maksudmu yang sebenarnya?”
“Pertama, aku hendak melindungi Piauw ko dan kedua…. kedua….” setengah harian dia
ulangi perkataan itu tanpa sanggup untuk meneruskannya.
Orang yang meniup seruling itu mendengus dingin.
“Apa maksud hatimu yang sebenarnya? apakah kau anggap Piauw heng tidak
mengerti?”
“Mengenai persoalan ini baik Piauw ko sendiri maupun siauwte tak akan sanggup
mengambil keputusan, lebih baik kita serahkan keputusan ini kepada “Nya” saja!”
JILID 27
Sipeniup seruling itu kembali mendengus tiba-tiba ia loncat bangun dan berjalan
menghampiri Lan Giok Tong.
Sungguh cepat gerakan tubuh orang itu sambul mencekal seruling kumala dalam waktu
singkat ia sudah berada kurang lebih empat lima langkah dihadapan Lan Giok Tong.
Sementara itu angin berhembus lewat membuyarkan awan hitam diangkasa, kerlipan
bintang sayup-sayup muncul lagi diawang-awang.
Tampak orang berseruling itu saling berpandangan lama sekali dengan Lan giok Tong
kurang lebih seperminum teh kemudian ia baru menggerakkan serulingnya membuat
sebuah guratan diatas tanah katanya, “Mulai sekarang aku telah memutuskan segala
ikatan serta hubungan persaudaraan dengan dirimu, dikemudian hari bilamana kau berani
menguntit diriku lagi, jangan salahkan kalau aku akan bertindak keji terhadap dirimu.”
Habis berkata mendadak ia putar badan dan berkelebat pergi, sekejap mata bayangan
tubuhnya sudah lenyap dibalik kegelapan.
Menjumpai peristiwa aneh itu dalam hati Siauw Ling merasa tercengang, pikirnya,
“Bukankah mereka berdua adalah sesama saudara misan? mengapa satu sama lain takkan
saling mengalah….?”
Menanti bayangan orang tadi sudah lenyap dari pandangan. Lan Giok Tong menghela
napas panjang dan perlahan-lahan jalan menghampiri diri Siauw Ling.

Pemuda itu sadar akan kecepatan gerak pedangnya, maka sambil perhatikan gerak
gerik orang itu diam-diam ia salurkan hawa murninya membuat persiapan, pikirnya,
“Setelah dibikin mendongkol oleh Piauw ko nya, jangan-jangan ia hendak salurkan rasa
mangkel itu terhadap diriku?”
Sementara ia masih berpikir, Lan Giok Tong telah berada dihadapan mukanya.
“Siapa kau?” tegur Lan Giok Tong sambil menuding kearah si anak muda itu. “Mau apa
ditengah malam buta datang kemari?”
“Kurang ajar amat pertanyaan ini” batin Siauw Ling. “Dianggap tempat ini miliknya.”
“Hmm, kau boleh datang kemari kenapa aku tak boleh datang pula kesini?”
Walaupun dalam hati pikirnya demikian, tapi tidak sampai diutarakan keluar.
Tidak mendengar jawaban dari pihak lawan, Lan Giok Tong jadi mendongkol bercampur
gusar, sambil tertawa dingin suaranya kembali, “Kalau kau tak mau bicara sejenak kini
tiada kesempatan lagi bagimu untuk bicara.”
“Hmm, belum tentu!”
Lan Giok Tong segera meraba gagang pedangnya, sedang sepasang matanya dengan
tajam mengawasi wajah lawan.
Jarak antara kedua belah pihak saat ini hanya terpaut dua tiga langkah, masing-masing
mempunyai ketajaman mata yang luar biasa dan bisa terlihat amat jelas sekali.
Ketenangan serta ketajaman mata Siauw Ling lama kelamaan menimbulkan firasat
dalam hati Lan Giok Tong. Ia sadar bahwa orang itu adalah seorang musuh tangguh,
maka untuk sesaat ia malahan tak berani bertindak dengan gegabah.
Setelah saling berhadapan beberapa saat lamanya, mendadak Lan Giok Tong
mengendorkan cekalannya pada gagang pedang lalu bertanya, “Apakah kau ada pesuruh
dari nona Gak?”
“Enci Siauw Che lebih tua beberapa tahun dariku” batin Siauw Ling dalam hati.
“Rasanya jadi pesuruh cicipun tak mengapa!”
Karena itu dia lantas mengangguk sebagai jawaban.
Kecongkakan serta kejumawaan Lan Giok Tong kontan lenyap tak berbekas, ia
menghela napas sedih lalu sakunya merogoh keluar secarik sampul surat berwarna putih
bersih, sambil diangsurkan ketangan Siauw Ling katanya, “Tolong kau sampaikan surat ini
kepada nona Gak Siauw Cha, katakanlah sepanjang aku orang she Lan masih hidup
dikolong langit, hatiku tak akan berubah. Aku hanya ingin sekali agar ia sudi memberi
sedikit peluang kepadaku sehingga aku dapat berjumpa muka dengan dirinya!”

Menyaksikan raut wajahnya yang sedih dan murung hampir saja Siauw Ling hendak
mengutarakan beberapa patah kata untuk menghibur hatinya, tapi ketika teringat
bahwasanya bila ia buka mulut maka suaranya akan segera dikenali pihak lawan, terpaksa
niat tersebut ditahannya kembali dalam hati.
Lan Giok Tong sendiri, sewaktu dilihatnya Siauw Ling tidak mengucapkan sepatah
katapun meski surat itu sudah diterima olehnya, terpaksa rangkap tangannya memberi
hormat.
“Aku mengerti bahwa heng thay tak bisa mengambil keputusan, tentu saja dewasa ini
siauwte tidak akan memaksa” bisiknya.
Setelah merandek sejenak, ia menambahkan, “Semoga heng thay bisa membantu diriku
untuk mengutarakan sepatah dua patah kata yang manis dihadapan nona Gak nanti, atas
bantuan itu siauwte akan merasa sangat berterima kasih sekali.”
“Hmm, siapa tahu permainan setan apakah yang sedang kau jalankan dengan kakak
misanmu” pikir Siauw Ling. “Dan kau suruh aku mengucapkan kata-kata manis yang
bagaimana?”
Walau banyak yang dia pikirkan dalam hati, namun tak sepatah katapun dapat
diutarakan keluar.
Tampak Lan Giok Tong kembali menghela napas panjang, lambat-lambat dia putar
badan dan berlalu.
Memandang bayangan punggungnya yang semakin menjauh, pemuda kita merasakan
betapa murung dan kesalnya orang itu diam-diam iapun menghela napas gumamnya,
“Ilmu silat yang dimiliki orang ini sangat lihay, wataknya tinggi hati dan suka menyendiri.
Entah apa sebabnya tingkah laku orang itu sekarang bisa begitu layu dan murung….?”
Dalam pada itu bayangan punggung Lan Giok Tong sudah lenyap dari pandangan.
Perlahan-lahan Siauw Ling alihkan sinar matanya keatas sampul surat itu terbaca
olehnya diatas sampul tertuliskan beberapa patah kata yang berbunyi: “Dipersembahkan
kepada nona Gak Siauw Cha.”
Ia lantas menoleh dan menyapu keadaan disekeliling sana, tampak ditengah kegelapan
tak sesosok bayangan manusiapun ada disitu. Hatinya jadi gelisah, pikirnya, “Tadi dengan
amat jelas sekali aku mendengar suara dari Gak cici yang memperingatkan diriku agar
jangan memperlihatkan asal usul sendiri, kini orang sipeniup seruling serta Lan Giok Tong
telah berlalu semua, apa sebabnya enci Gak belum juga menampakkan diri??”
Ingin sekali dia berteriak memanggil, tapi si anak muda itu takut suaranya mengejutkan
Lan Giok Tong, maka dengan perasaan apa boleh buat ia hanya dapat menekan
kegelisahannya dalam hati.
Ternyata dari tindakan sipeniup seruling yang memutuskan hubungan persaudaraan
dengan Lan Giok Tong tadi, serta sikap dan tingkah laku Lan Giok Tong yang kesal,

murung dan sedih. Secara lapat-lapat pemuda kita berhasil menebak sedikit duduknya
perkara.
Dengan termangu-mangu Siauw Ling berdiri ditengah kegelapan, kurang lebih
sepertanak nasi kemudian tatkala ia tak menjumpai pula Gak Siauw Cha menampakkan
diri rasa sabarnya sudah tak terbendung lagi segera teriaknya keras, “Enci Siauw Cha! kau
berada dimana?? mengapa kau tak munculkan diri untuk bertemu denganku??”
Terdengar suara tertawa cekikikan berkumandang dari balik kegelapan, suara itu
kedengaran nyaring sekali. Siauw Ling tertegun dengan cepat ia dapat membedakan
bahwa suara itu berasal dari balik batu cadas kurang lebih empat tombak dibelakangnya,
tanpa mengucapkan sepatah katapun diam-diam ia salurkan hawa murninya lalu dengan
gerakan “Hay Yan In Poh” atau burung manyar menembusi ombak melayang kedepan.
“Oooh cici….” teriaknya. “Aku….”
Dari balik batu muncul seorang gadis berusia lima enam belas tahun yang memakai
baju ringkas, rambutnya dikepang jadi dua dan wajahnya masih kekanak-kanakan.
“Siauw siangkong” tukasnya cepat. “Budak tidak berani menerima sahutanmu itu.”
Siauw Ling tertegun kemudian buru-buru menjura.
“Nona, kau adalah….!”
“Aku adalah dayangnya nona Gak Siauw siangkong! kau benar-benar pelupa, bukankah
kita pernah saling berjumpa muka?”
Dengan seksama Siauw Ling perhatikan wajah dara berbaju ringkas itu namun
bagaimanapun juga dia putar otak sama sekali tak teringat akan wajah nona ini, maka ia
berdiri melengak dan membungkam.
“Eeei…. semua orang sudah pergi, apa gunanya kau kenakan terus-terus topengmu itu”
kembali terdengar dara tadi menegur.
Siauw Ling segera melepaskan topengnya.
“Dimana sih kita pernah saling berjumpa? maaf kalau aku orang she Siauw sudah tidak
teringat kembali.”
Dara baju ringkas itu tersenyum.
“Ditengah sebuah lembah bukit sewaktu lima manusia laknat dari Lam Hay….!”
“Aaah, benar! bukankah kau adalah sang dara yang menyaru sebagai bocah berbaju
hijau yang selalu mendampingi lima manusia laknat dari Lam Hay?”
“Bagus amat daya ingatmu!”

“Ooh…. ketika itu nona memakai baju lelaki, tidak aneh kalau cayhe tak bisa
mengingatnya kembali….” kata Siauw Ling seraya menjura, setelah merandek sejenak,
tambahnya: “Kemanakah enci Gak itu sekarang….?”
“Dia telah pergi….”
“Ia pergi kemana? nona tahukah kau?”
“Tahu sih tahu, cuma maukah dia menjumpai dirimu atau tidak aku tak berani
memutuskan.”
“Enci Gak pasti mau menemui diriku cepat bawa aku kesitu. Aaai….! sudah hampir lima
enam tahun lamanya aku tak pernah berjumpa muka dengan enci Siauw Cha!”
“Belum tentu” sahut dara berbaju ringkas itu seraya menggeleng. “Lan Giok Tong serta
Giok Siauw Lang Koe (sipemuda tampan seruling kumala) entah sudah menggunakan
berapa banyak tenaga dan pikiran untuk menguntil terus dibelakang nona Gak, entah
sudah berapa ratus kali mereka mohon untuk berjumpa dengan dirinya, tetapi nona Gak
tak mau berjumpa dengan mereka. Mengapa kau bisa begitu yakin mengatakan bahwa ia
pasti mau bertemu dengan dirimu?”
Beberapa saat lamanya Siauw Ling tertegun, akhirnya ia menjawab, “keadaanku jauh
berbeda dengan mereka selama Gak cici selalu menyayangi diriku, sering kali dia ajak aku
bermain, merawat diriku, melayani aku makan minum dan berpakaian, aku rasa diapun
pasti rindu denganku karena akupun asngat rindu kepadanya.”
“Lain dulu lain sekarang, dulu usiamu masih kecil sedang sekarang kau telah menginjak
dewasa.”
“Aku yakin dia pasti mau berjumpa dengan diriku” seru Siauw Ling sangat gelisah.
“Kenapa kau tak mau percayai perkataanku? cepat sampaikan dengannya dan tanyakan
sendiri dengan enci Gak.”
Dara berbaju ringkas itu termenung beberapa saat lamanya, akhirnya dia mengangguk.
“Baiklah, akan kusampaikan perintahmu itu, tapi kau tak boleh pergi dari sini lho.”
“Kenapa tak bawa serta diriku?”
Dara manis itu segera menggeleng.
“Kalau aku ajak kau pergi kesitu dan seandaiya nona tak mau menemui dirimu bukan
saja aku bakal kena dimaki kaupun akan dibikin tersipu-sipu.”
“Maka alangkah baiknya jika kau tetap berdiam disini saja sambil menanti kabar dariku,
aku segera akan melaporkan kedatanganmu ini kepada nona.”
“Kalau nona sudi berjumpa dengan dirimu aku segera datang mengabarkan kepadamu,
sebaliknya kalau tak mau bertemu denganku rasanya kaupun tak usah menyesal.”

“Baiklah, aku akan menantikan kedatanganmu disini.”
Sementara dalam hati pikirnya, “Sungguh tak kusangka begitu sulitnya untuk berjumpa
dengan diri enci Gak!”
Tampak dara berbaju ringkas itu putar badannya lalu loncat kedepan sekali enjot badan
ia sudah berada kurang lebih tiga tombak dari tempat semula, mendadak ia berhenti dan
berpaling serunya, “Kau tak boleh mengikuti dibelakangku….”
“Jangan kuatir nona, enci Gak pasti akan mengijinkan diriku untuk segera berjumpa
dengan dirinya.”
Dara berbaju ringkas itu tidak banyak bicara lagi, dalam beberapa kali kelebatan ia
sudah lenyap dari pandangan.
Siauw Lingpun lantas duduk diatas batu cadas untuk menantikan kedatangan dara tadi.
Kurang lebih sepertanak nasi kemudian dara itu belum nampak juga munculkan diri, ia
jadi gelisah, pikirnya, “Andaikata ia tak melaporkan kedatanganku ini, apa yang harus
kulakukan??”
*******
Sementara ia masih berpikir tampaklah sesosok bayangan manusia perlahan-lahan
munculkan diri dari balik kegelapan.
Dengan langkah lebar Siauw Ling segera maju menyongsong, sedikitpun tidak salah
orang itu adalah dara berbaju ringkas tadi tidak sabar lagi segera serunya, “Apakah enci
Gak suruh kau datang menyambut diriku?”
Dara berbaju ringkas itu gelengkan kepalanya.
“Kau terlalu yakin dengan dirimu sendiri!” bisiknya.
“Apa? jadi enci Gak tak mau berjumpa dengan diriku?”
“Ehm….” dara itu mengangguk.
“Apa yang dia katakan?”
“Ketika aku menyampaikan kepada nona bahwa kau hendak menemui dirinya, nona
lantas termenung dan lama sekali tidak bicara…. entah sudah lewat beberapa saat
lamanya, ia baru berkata kepadaku bahwa nona tak ingin bertemu dengan dirimu.”
“Mengapa?” teriak Siauw Ling dengan hati cemas.
“Sssst…. jangan keras-keras!” tegur nona itu dengan alis berkerut kencang.
Siauw Ling ayun tangan kanannya menabok batok kepala sendiri, bisiknya, “Tidak
mungkin…. tidak mungkin, mengapa ia tak sudi berjumpa dengan diriku?”

“Darimana aku bisa tahu.”
“Bawalah aku kesana, bagaimanapun juga aku harus berjumpa dengan dirinya.”
“Percuma! kalau dia sudah berkata tak mau menemui dirimu, sekalipun kau memaksa
juga tak ada gunanya.”
Siauw Ling angkat kepalanya menghembuskan napas panjang, setelah berhasil
menenangkan hatinya yang kacau, katanya lagi, “Benarkan kau telah sampaikan
permohonanku ini kepada nonamu?”
“Hmmm, kenapa? kau tidak percaya kepadaku?”
“Sungguh membuat orang merasa kurang percaya.”
“Bukan hanya kau seorang” hibur dara tadi dengan nada halus. “Banyak orang ingin
berjumpa dengan nonaku tapi mereka semua ditolak mentah-mentah. Aku harap agar kau
jangan bersedih hati karena persoalan ini….”
Siauw Ling gelengkan kepalanya dan mendongak memandang keangkasa, kembali dia
bergumam, “Sungguh membuat orang merasa tak habis mengerti…. sungguh
membingungkan hatiku….!”
Tiba-tiba ia depakkan kakinya keatas tanah, sambil angsurkan sebuah sampul putih
ketangan dara tadi ujarnya, “Benda ini adalah titipan dari Lan Giok Tong yang meminta
agar aku sampaikan kepada enci Gak, aku harap nona suka mewakili diriku untuk
menyampaikannya.”
Sambil menerima sampul tadi dara itu bertanya, “Apakah kau ada persoalan yang
hendak disampaikan kepada nona kami?”
Siauw Ling gelengkan kepalanya dengan sedih.
“Aku tak mengerti, apa sebabnya ia tak sudi berjumpa dengan diriku….? aku benarbenar
tak mengerti!”
“Ia tak mau bertemu dengan dirimu sudah tentu ada sebab-sebabnya, cuma saja kau
tidak mengetahuinya.”
“Apakah kau mengerti?”
“Tidak, aku sendiripun tidak mengerti.”
Siauw Ling tertawa getir.
“Baiklah! sampaikan kepadanya, lain kali akupun tak berani merepotkan dirinya untuk
selalu membantu diriku, budi pertolongannya pada masa yang silam disini kuucapkan
banyak terima kasih.”

Habis berkata dia lantas menjura dalam.
Dengan cepat dara berbaju hijau ringkas itu berkelit kesamping.
“Bukan kau berterima kasih kepada nonaku? mengapa kau menjura kepadaku?”
serunya.
“Aku harap nona suka sampaikan penghormatanku ini kepadanya.”
“Ehm, apa yang kau ucapkan sepatah demi sepatah pasti akan kusampaikan
kepadanya.”
“Cayhe telah mengganggu diri nona terlalu lama, disinipun aku ucapkan banyak terima
kasih.” sekali lagi dia menjura.
“Terima kasih, kau tak usah sungkan!”
Siauw Ling menghembuskan napas panjang ia tidak berbicara lagi, sambil putar badan
dengan langkah lebar segera berlalu dari situ tanpa berpaling barang sekejappun si anak
muda itu langsung kembali kekuil keluarga Loo sie.
Tampak Sang Pat serta Ceng Yap Chin sedang menanti didepan halaman, ketika
menyaksikan Siauw Ling berjalan datang mereka segera maju menyongsong.
“Waaah, kami sedang merasa gelisah karena lama menanti dirimu, apakah Siauw
thayhiap telah bertempur dengan orang?” tegur Ceng Yap Chin.
“Tidak, bagaimana dengan keadan Soen Loocianpwee sekalian??”
“Jalan darah mereka sudah bebas bahkan sudah makan obat penawaran racun….!”
“Sungguh??” seru Siauw Ling tercengang.
Terdengar suara Soen Put shia berkumandang keluar dari balik ruang tengah.
“Sedikitpun tak salah! saudara Siauw cepat masuk kedalam, dalam hati aku sipengemis
tua terdapat banyak masalah yang ingin kutanyakan kepadamu.”
Dengan langkah lebar Siauw Ling masuk kedalam ruangan, sedikitpun tak salah, bukan
saja Soen Put shia serta Boe Wie Tootiang telah mendusin bahkan empat pujangga besar
dunia persilatanpun telah sadar dari pingsannya.
“Saudara Siauw, sebenarnya apa yang telah terjadi?” terdengar pengemis tua itu
berseru.
“Apa yang terjadi? aku sendiripun tidak habis mengerti….” ia berpaling kedepan Sang
Pat kemudian tanyanya, “Siapa yang telah membebaskan jalan darah mereka?”
“Lhoo? apakah toako sendiripun tak tahu?”

“Aku toh selama ini tak ada disini, dari mana bisa tahu?”
“Kalau begitu sungguh aneh sekali!”
“Bagaimana anehnya? cepat katakan apa yang sebenarnya telah terjadi….”
“Tidak lama setelah toako pergi, muncullah seorang manusia berbaju hitam dalam kuil
ini, katanya datang atas perintah dari toako untuk menyembuhkan luka dari Soen
Loocianpwee.”
“Bagaimanakah macam orang itu? pria atau wanita?”
“Rupanya memakai topeng diatas wajahnya dan memakai baju kaum pria….”
“Suaranya?”
“Sama sekali suara orang pria!”
“Bagaimana selanjutnya?” tanya Siauw Ling lebih jauh dengan alis berkerut.
“Sebetulnya aku serta Ceng heng hendak menghalangi jalan perginya, siapa tahu
secara tiba-tiba dia telah turun tangan menotok jalan darah kami berdua….”
“Kemudian??”
“Setelah jalan darah kami tertotok sudah tentu perjalanan orang itu tak bisa dihalangi
lagi, kami lihat dia masuk kedalam ruang tengah dan membebaskan jalan darah Soen
Loocianpwee sekalian berenam yang tertotok, setelah itu memberikan pula sebutir pil
pada masing-masing orang. Sebelum meninggalkan tempat ini dia bebaskan kembali jalan
darah siauwte serta Ceng heng yang tertotok.”
“Apakah dia sudah menerangkan asal usulnya??”
“Tidak!”
“Apakah kalian tidak bertanya?”
“Sesaat sebelum meninggalkan tempat ini ia suruh kami sekalian menyampaikan
kepada Siauw thayhiap, katanya ia selama hidup paling benci mencampuri urusan dunia
persilatan pembunuhan, penjagalan serta mati hidup dunia kangouw sama sekali tiada
sangkut pautnya dengan dia, katanya ia pernah melihat seseorang secara beruntun
membunuh delapan belas orang jago Bulim namun ia tetap tidak mencampuri urusan itu.”
“Ooooh, kalau begitu watak orang ini benar-benar dingin dan suka menyendiri!”
“Benar dan suaranya dan sikapnya sangat hambar dan dingin membuat orang yang
mendengar jadi bergidik, tetapi sikapnya terhadap Siauw thayhiap ternyata begitu
menghormat dan kagum.”

“Kalau didengar dari nada ucapannya, mungkin dia ada persoalan yang ingin mohon
bantuan dirimu!” sambung Soen Put shia.
“Minta bantuan?” si anak muda itu melongo.
“Mungkin tidak salah” Ceng Yap Chin meneruskan kata-katanya. “Dia bilang mati hidup
Soen Loocianpwee, suhengku serta empat pujangga besar dunia persilatan sama sekali
tiada sangkut pautnya dengan dia, tapi sekarang dia mau turun tangan menolong adalah
disebabkan karena memandang keatas wajah Siauw heng. Katanya kita tak usah
berterima kasih kepadanya sebab ia jual budi hanya untuk Siauw heng seorang,
dikemudian hari ia masih membutuhkan bantuan yang besar dari dirimu.”
Siauw Ling yang mendengar pembicaraan itu jadi bingung dan tak habis mengerti, tapi
ketika dilihatnya beberapa puluh mata sama-sama diarahkan kepadanya, dalam hati ia
lantas berpikir, “Kenapa peristiwa yang terjadi pada malam ini sangat aneh sekali?
Aaaai…. bukan saja mereka dibikin kebingungan, aku sendiripun dibuat tidak habis
mengerti….”
Maka dia lantas mengangguk.
“Apa yang dia katakan lagi?”
“Hanya beberapa patah kata itu saja, selesai berbicara dia lantas berkelebat lenyap
ditengah kegelapan.”
Sejak ditampik permohonannya untuk berjumpa dengan Gak Siauw Cha, sebenarnya
Siauw Ling sedang merasa mangkel bercampur sedih, ia ada maksud memuntahkan
semua rasa mangkel dan sedihnya itu setelah berjumpa dengan Sang Pat sekalian, siapa
tahu disinipun sudah terjadi satu peristiwa yang membingungkan hati, maka rasa sedih
dan murungnya itu terpaksa hanya dipendam didalam hati.
“Bagaimana perasaan Soen Loocianpwee saat ini?” tanyanya lirih.
“Sungguh manjur pil pemusnah racun dari orang itu, rupanya racun yang dicekokkan
kedalam perut aku sipengemis tua oleh Shen Bok Hong berhasil dipunahkan sama sekali.”
“Kalau begitu bagus sekali….” sinar matanya beralih keatas wajah Boe Wie Tootiang.
“Dan bagaimana perasaan dari Tootiang?”
“Pinto merasa jauh lebih baikan.”
Akhirnya Siauw Ling alihkan sinar matanya kearah empat pujangga besar dunia
persilatan.
“Bagaimana keadaan saudara berempat?”
Kakek berbaju hijau pertaman segera menjura sambil berkata, “Coe Boen Ciang dari
kota Lok Yang mengucapkan banyak terima kasih atas pertolongan dari Siauw thayhiap!”

“Chin Soe Teng dari kota Kie Lim menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya keapda
thayhiap” sambung kakek kedua.
“Yoe Cu Ching dari kota Kim Leng mengucapkan terima kasih atas pertolongan anda”
kakek yang ketiga menyambung.
Akhirnya kakek keempatpun berkata, “Kho sie Thong dari kota Kang Chiu merasa
berhutang budi kepada Siauw thayhiap!”
Dari nada ucapan serta tingkah laku keempat orang itu yang berbicara tanpa disertai
emosi, diam-diam Siauw Ling berpikir dalam hatinya, “Nama besar empat pujangga besar
dunia persilatan benar-benar bukan nama kosong belaka, dengan susah payah Shen Bok
Hong nyaring mereka dari utara hingga selatan untuk dikumpulkan jadi satu, kemudian
menotok jalan darahnya, meracuni mereka hingga mati, namun sikap maupun nada
keempat orang ini sama sekali tidak disertai rasa dendam atau sakit hati, kebesaran jiwa
serta keteguhan iman keempat orang ini boleh dibilang sudah mencapai puncak
kesempurnaan!”
Berpikir demikian, dia lantas berkata, “Bukankah Hian jien berempat tak pernah
mencampuri urusan dunia persilatan? apa sebabnya kalian bisa mengikat tali permusuhan
dengan Shen Bok Hong?”
“Kami dengan Shen Bok, sama sekali tidak dendam sakit hati apapun jua” sahut Coe
Boen Ciang dari Lok Yang sambil tersenyum.
“Kalau tiada permusuhan apa sebabnya dia hendak membinasakan mereka berempat?”
pikir Siauw Ling, sementara diluar ia balik bertanya, “Lalu apa sebabnya Shen Bok Hong
hendak mencelakai kalian berempat….?”
“Yang kotor biar kotor, yang bersih tetap bersih, antara kami dengan Shen Bok Hong
tak bisa dikatakan punya dendam atau budi” Chin Soe Teng dari Kie Lam menyambung.
“Bagus sekali” kembali si anak muda itu membatin. “Mereka berempat benar-benar
berhati sosial.”
Ia menghela napas dan berkata, “Kalau begitu kejadian ini adalah kesalahan dari pihak
Shen Bok Hong, yang mana tanpa alasan telah mengumpulkan kalian berempat lalu
menotok jalan darah kalian dan meracuni tubuh kalian semua.”
“Selama hati kecil tak pernah berbuat salah, apa gunanya memikirkan nasib mujur atau
jelek” sela Yoe Coe Ching dari Kim Long.
“Hmm, dalam ucapan itu jelas dia mengatakan bahwa asal mereka tak pernah
menyalahi Shen Bok Hong, bakal mujur atau sial mereka tak pernah pikirkan dalam hati”
pikir pemuda kita.
“Justru karena kalian berempat terlalu baik itulah maka Shen Bok Hong hendak
mencelakai kalian” katanya.

“Kebebasan jiwa seorang koen cu bagaikan angin segar ditengah hari, hidup tidak jeri
mati kenapa harus takut” kata Kho Soe Thong dari Kang Chin.
“Keempat orang ini benar-benar membingungkan, merekapun belum tentu mereka
mendendam” pikir Siauw Ling.
Terdengar Soen Put shia mendengus dingin.
“Kalian berempat benar-benar agung dan saleh bagaikan Nabi atau Pujangga besar,
aku sipengemis tua serta Boe Wie Tootiang susah payah dengan menempuh bahaya
datang menolong. Eeei, siapa tahu sikap kalian begitu tawar. Huuu…. anggap saja
pertolongan kami cuma sia-sia belaka, tahu begini lebih baik kalian berempat dibunuh
mati saja oleh Shen Bok Hong hingga aku sipengemis tuapun tak usah ikut menderita
seperti kalian.”
Coe Boen Ciang dari Lok Yang tersenyum.
“Menerima budi orang harus dibalas, menumpuk sakit hati harus dilenyapkan, sudah
tentu kami tak akan melupakan budi pertolongan dari Soen thayhiap serta Boe Wie
Tootiang kepada diri kami berempat.”
“Sayang aku sipengemis bukan tuan penolongmu!”
“Selama puluhan tahun kalian berempat tak pernah mencampuri urusan dunia kangouw
sehingga mendapat julukan empat pujangga besar dunia persilatan” tiba-tiba Boe Wie
Tootiang menimbrung. “Jadi orang memang harus bijaksana dan saleh dimana terasa
perlu, namun keadaan kalian yang tidak pandang bulu benar-benar aneh dan luar biasa
sekali….”
Sementara itu Siauw Ling sedang berpikir didalam hati, “Sudah lama kudengar
bahwasanya ilmu silat yang dimiliki empat pujangga besar dunia persilatan sangat lihay,
apabila malam ini aku bisa menasehati mereka agar mau berjuang demi keadilan serta
kebenaran dalam dunia kangouw, kejadian ini bukan saja menambah kekuatan pihak kami
dalam perjuangannya melawan pengaruh serta kekuasaan Shen Bok Hong, bahkan
dengan tindakan ini pula aku bisa memancing lebih banyak jago-jago lihay yang telah
lama mengasingkan diri untuk muncul kembali dalam dunia kangouw dan bersama-sama
menentang Shen Bok Hong….”
Terdengar Chin Soe Teng berkata, “Benar atau salah hanya dua keadaan yang saling
berlawanan, apa salahnya kalau kami melepaskan diri dari keadaan tersebut?”
Soen Put shia tertawa dingin.
“Kalau memang cuwi sekalian melepaskan diri dari keadaan itu, lalu apa sebabnya Shen
Bok Hong memaksa kalian berempat untuk menelan obat racun dan ingin membinasakan
kalian?”
“Kalian berempat menonton kemusnahan dunia persilatan sambil berpeluk tangan dan
bersenang-senang sendiri, coba bayangkan apakah tindakan kamu itu bijaksana atau
saleh?” Boe Wie Tootiang menambahkan.

Coe Boen Ciang dari kota Lok Yang jadi melengak, ia mau bicara tapi batal kembali niat
itu.
Ternyata untuk beberapa saat lamanya ia tak sanggup menemukan jawaban yang
tepat.
“Kalian berempat disebut orang-orang Bulim sebagai empat pujangga besar adalah
disebabkan kalian tak mau mencampuri urusan dunia kangouw terutama sekali dalam
perebutkan nama besar dan kedudukan” kata soen Put shia lagi. “Kalian berempat bisa
membuang jauh sifat keduniawian hal ini memang patut dipuji dan disanjung, tetapi
berbeda jauh keadaannya setelah kali ini Shen Bok Hong hendak mencelakai jiwa kamu
berempat….”
“Apa bedanya??”
“Tujuan Shen Bok Hong adalah untuk menguasai seluruh dunia persilatan, ia tidak
pandang bulu dan melakukan tindak apapun dengan hati yang keji dan telengas.
Kejahatan yang dilakukan telah bertumpuk-tumpuk bukan saja jago kangouw dijaring
bahkan kalian berempat yang tak pernah mencampuri urusan dunia persilatanpun akan
dibunuh. Tak usah dipikir lebih jauh sudah amat jelas tertera apa tujuannya. Kalian
berempat memang boleh meninggalkan sakit hati pribadi untuk tak dipikir, tapi keadaan
dalam Bulim serta mati hidup kaum lurus apakah tak pernah kalian pikirkan?”
“Menurut pandanganmu, apa yang harus kami lakukan?” tanya Yoe Coe Ching dari kota
Kiem Leng.
“Tampil kedepan berjuang demi keadilan serta keamanan dunia persilatan, mari kita
singsingkan baju berjuang bersama-sama menentang angkara murka Shen Bok Hong.”
“Maksudmu apakah kami diminta terjun kedalam kancah pertumpahan darah dalam
dunia persilatan?” Kho Soe Thong dari Kang Chiu menegaskan.
“Situasi dalam dunia persilatan dewasa ini sangat kacau, kaum iblis lebih berkuasa dari
kaum lurus, sebagai orang yang selalu dihormati sesama umat Bulim dan sebagai orang
yang saleh dan bijaksana, apakah tiada niat untuk membasmi kejahatan bahkan malah
memberi kesempatan bagi kaum iblis untuk meraja lela? benarkah kalian ingin berpeluk
tangan belaka menyaksikan dunia persilatan jatuh ditangan kaum durjana yang suka
berbuat sewenang-wenang dan menginjak-injak keadilan?”
Biji mata Coe Boen Ciang perlahan-lahan berputar menyapu sekejap wajah Chin Soe
Teng, Yoe Coe Ching serta Kho Soe Thong kemudian katanya, “Hian te bertiga, aku rasa
ucapan dari Soen Put shia dari Kay pang serta Boe Wie Tootiang sangat masuk akal, entah
bagimana menurut pandangan Hian te bertiga?”
“Ucapan mereka sangat beralasan” Chin Soe Teng mengangguk. “Cuma saja kalau
suruh siauwte menerjunkan diri kedalam kancah pertumpahan darah dalam Bulim,
sedikitpun banyak hatiku merasa sedih.”

“Siauwte rasa ucapan dari Soen Put shia serta Boe Wie Tootiang memang masuk
diakal” kata Yoe Coe Ching pula. “Kita memang boleh tak usah menuntut diri Shen Bok
Hong yang telah memaksa kita menelan racun, tapi bagaimanapun juga tak boleh
membiarkan Shen Bok Hong berbuat sewenang-wenang dalam dunia persilatan.”
“Setelah puluhan tahun lamanya bertindak menuruti cara sendiri dan tak pernah
mencampuri urusan dunia kangouw, kalau sekarang suruh siauwte tukar suasana….
wah…. siauwte merasa sedikit rada kelabakan.”
Melihat separuh dari empat pujangga besar berhasil digerakkan hatinya oleh ucapan
mereka Boe Wie Tootiang sadar bila keadaan ini terlalu dipaksakan maka akibatnya malah
tidak baik, karena itu segera ujarnya, “Silahkan kalian berempat rundingkan persoalan ini
dengan hati tenang, mungkin suatu hari bisa memperoleh satu pendapat yang seragam.
Pinto sekalian tak berani terlalu memaksa.”
“Baiklah” kata Coe Boen Ciang kemudian sambil bangkit berdiri. “Selesai kami
rundingkan persoalan ini, keputusan kami berempat segera akan kami sampaikan kepada
cuwi!”
“Kita berjumpa lagi ditempat ini tiga hari kemudian” sahut Soen Put shia. “Rasanya
waktu selama tiga hari lebih dari cukup bagi cuwi sekalian untuk membicarakan persoalan
ini.”
“Cukup…. cukup…. tiga hari memang sudah cukup” jawab Coe Boen Ciang cepat.
“Baiklah, kita tetapkan begini saja, entah bagaimanakah hasil perundingan kami nanti, tiga
hari kemudian kami pasti akan datang memenuhi janji.”
Selesai berkata ia lantas melangkah pergi.
Chin Soe Teng, Yoe Coe Ching serta Kho Soe Thong segera bangkit berdiri dan berlalu
mengikuti dibelakang saudara angkatnya.
Memandang bayangan punggung empat pujangga besar dunia persilatan itu, Soen Put
shia gelengkan kepalanya sambil menghela napas panjang, katanya, “Keempat orang ini
betul-betul kolot dan keras kepala, meskipun aku sipengemis tua sudah banyak
menjumpai manusia-manusia yang bertabiat-tabiat kukoay, tapi belum pernah kujumpai
manusia seaneh empat pujangga besar dari dunia persilatan ini.”
Siauw Ling pun menghela napas panjang.
“Tingkah laku keempat orang pujangga besar itu membuat akupun dibikin jadi bingung
dan tidak habis mengerti, perbedaan antara baik dan busuk, mulia dan jahatpun ternyata
sudah mereka campur baurkan tidak karuan. Aaai….! kita bicarakan mengenai keempat
orang itu saja, bukan saja mereka menjauhkan diri dari persilatan Bulim bahkan tiada
minat sama sekali untuk mencari nama maupun kedudukan, tetapi kepandaian silat
mereka amat lihay, justru karena itulah mereka disebut empat pujangga besar dunia
persilatan….”

Ia mendongak dan tarik napas panjang-panjang, kemudian terusnya, “Ditinjau dari
mereka yang tidak terlalu membedakan antara budi dan dendam, serta tindakannya yang
jauh berbeda dengan kaum persilatan pada umumnya mengenai pandangan terhadap
sakit hati. Mereka memang pantas kalau disebut sebagai pujangga besar, tetapi sikap
mereka yang tidak bisa membedakan terhadap mana yang penting dan mana yang tidak,
apakah juga termasuk tindakan seorang pujangga.”
“Nama kosong hanya akan menjerumuskan orang saja” kata Boe Wie Tootiang dari
samping. “Andaikata mereka tidak mempunyai julukan sebagai empat pujangga besar,
maka nanti tingkah laku mereka begitu sabar dan tahan penderitaan. Persoalan ini
merupakan satu kejadian yang rumit, sekalipun dipandang dari luaran mereka berempat
tidak membutuhkan nama atau kedudukan, namun dalam kenyataannya tindak tanduk
serta langkah-langkah yang diambil keempat orang itu bukan lain adalah untuk melindungi
nama baik empat pujangga besar itu!”
“Tidak salah, pendapat tootiang memang tepat sekali!”
Perlahan-lahan Boe Wie Tootiang bangkit berdiri tiba-tiba tanyanya, “Sekarang sudah
jam berapa?”
“Kurasa lebih kentongan keempat!” sahut Ceng Yap Chin.
“Sudah sepantasnya kita segera berlalu, jangan biarkan mereka menanti terlalu lama.”
“Saudara Siauw” tiba-tiba Soen Put shia menoleh dan bertanya. “Ada sedikit persoalan
aku sipengemis tua mohon keterangan darimu.”
“Apa yang hendak loocianpwee tanyakan?’
“Dari mulut Sang Pat tadi aku sipengemis tua dengar katanya kau pergi mengejar
sipeniup seruling, bagaimana akhirnya? apakah kau berhasil menjumpai orang itu?”
Teringat pertemuannya dengan Gak Siauw Cha si anak muda itu seketika merasa
hatinya jadi sedih.
Ia menghela napas panjang-panjang.
“Aku telah berjumpa dengan orang itu.”
Jawab yang singkat membuat semua orang jadi terkejut, sampai-sampai Boe Wie
Tootiang yang biasanya paling tenangpun kini dibikin jadi tegang dan segera alihkan sinar
matanya keatas wajah Siauw Ling.
“Benarkah kau telah bertemu dengan sipeniup seruling itu?”
Sekali lagi Soen Put shia mengulangi pertanyaannya.
“Sedikitpun tidak salah.”
“Manusia macam apakah dia itu?”

“Seorang pemuda berjubah panjang!”
“Apa? seorang pemuda?” seru Boe Wie Tootiang dengan wajah tertegun.
“Ehm! ditengah kegelapan meski cayhe tidak dapat melihat jelas raut wajahnya tetapi
apa yang kulihat dan kusaksikan memang betul-betul membuktikan bahwa dia adalah
seorang pemuda berwajah bersih dan memakai seperangkat pakaian panjang.”
Toosu tua dari Bu tong pay itu segera menoleh kearah Soen Put shia, lalu tanyanya,
“Loocianpwee, tahukah kau kalau dunia persilatan dewasa ini siapakah yang memiliki
kepandaian meniup seruling paling baik?”
“Siauw Ong atau siraja seruling Thio Sioe.”
Bicara sampai disitu pengemis tua itu merandek sejenak, lalu terusnya lagi, “Cuma,
menurut apa yang aku ketahui siraja seruling Thio Sioe telah terkurung didalam istana
terlarang!”
“Tidak salah menurut apa yang pinto ketahui dalam dunia persilatan dewasa ini hanya
permainan seruling dari siraja seruling Thio Sioe saja yang terbaik, katanya irama
serulingnya bisa memancing burung yang terbang diangkasa melayang turun, dapat pula
memainkan irama pelbagai macam kicauan burung, karena kehebatannya itulah ia dijuluki
siraja seruling.”
“Sejak siraja seruling terjerumus kedalam istana terlarang, dalam dunia kangouw tidak
kedengaran lagi adanya seorang jago lihay yang pandai memainkan seruling. Sungguh tak
nyana orang itu munculkan diri secara mendadak….” sambung Soen Put shia.
Mendadak Ceng Yap Chin menimbrung dari samping, “Sayang aku dilahirkan rada
terlambat sehingga tidak sempat mendengarkan irama permainan seruling siraja seruling
Thio Sioe yang merdu, tapi permainan seruling tadi telah kudengar dengan telinga sendiri
permainannya memang benar luar biasa sekali, dikala memainkan bagian yang sedih
tanpa terasa membuat orang ikut melelehkan aar mata, dapat pula membuat orang
menghela napas panjang, tapi yang membuat cayhe tidak megerti adalah kenapa
permainan serulingnya selalu membawakan nada sedih dan sama sekali tak kedengaran
adanya irama gembira atau riang?”
“Apakah ada irama khiem yang mengiringi permainan seruling itu?” buru-buru Boe Wie
Tootiang menambahkan.
“Irama khiem bergetar lebih dulu baru kemudian disusul oleh irama seruling, permainan
mereka berdua sama-sama sedih dan membawakan irama pedih.”
“Nah, itulah dia, irama masuk yang berhasil mengusir pergi Shen Bok Hong waktu ada
ditepi telagapun merupakan gabungan dari permainan khiem dan seruling.”
“Tapi siapakah orang itu?” tanya Soen Put shia setelah termenung sebentar. “Aku
sipengemis tua benar-benar tak bisa menebak siapakah orang itu!”

“Aku tahu siapakah dia” pikir Siauw Ling dalam hati. “Orang yang memetik khiem
adalah enci Siauw Cha sedangkan sipeniup seruling akupun telah bertemu dengan dirinya,
sekalipun aku tak tahu siapakah namanya tapi aku tahu dia adalah kakak misan dari Lan
Giok Tong!”
Penampikkan Gak Siauw Cha untuk bertemu dengan dirinya membuat Siauw Ling
diliputi rasa murung dan sedih, ia sudah putar otaknya untuk memikirkan persoalan ini
tapi belum berhasil juga ditemukan apa sebabnya enci Siauw Chanya tak mau bertemu
dengan dia, sebetulnya si anak muda ini akan mengutarakan isi hatinya tapi setelah dipikir
sebentar maka niat tersebut diurungkan kembali.
Terdengar Boe Wie Tootiang menghela napas panjang, lalu katanya, “Soen
Loocianpwee, kau tak usah putar otak memikirkan persoalan ini lagi, kalau memang
sipemetik khiem dan peniup seruling selalu membantu kita secara diam-diam. Aku rasa
mereka pastilah sahabat kita dan bukan lawan, pada saat ini walaupun mereka tak mau
menjumpai kita, rasanya satu saat kita pasti akan bisa bertemu.”
“Tidak salah, walaupun Shen Bok Hong telah mengundurkan diri, belum tentu ia segera
tinggalkan kota Ooh Chiu, lebih baik kita cepat-cepat memenuhi janji.”
Selesai berkata tanpa menanti yang lalu lagi ia segera menuju ketempat luaran dengan
langkah lebar.
Para jago terpaksa mengikuti jejaknya dan meninggalkan kuil nenek moyang keluarga
Loo itu.
Karena dalam hati ada persoalan maka Siauw Ling ogah untuk menanyakan
pengalaman Soen Put shia hingga menemui mara bahaya, sebaliknay sipengemis tua
itulah yang mendampingi pemuda kita sepanjang jalan dan mengisahkan pengalamannya.
Kiranya Soen Put shia serta Boe Wie Tooiang telah mendapat laporan dari seorang
murid anggota perkumpulan Kay pang yang mengatakan bahwa empat pujangga besar
dunia persilatan berhasil dipancing Shen Bok Hong untuk mendatangi perahu kayi
ditengah kolam belakang kuil keluarga Loo, teringat akan kekejian sigembong iblis itu
mereka menduga empat orang pujangga besar itu pasti akan menemui kerugian besar.
Mereka sadar meskipun keempat orang ini jarang sekali mengadakan hubungan kontak
dengan dunia persilatan tetapi dengan nama besar mereka dalam Bulim serta kepandaian
silat mereka yang lihay, seandainya sampai dipaksa oleh iblis she Shen itu sehingga
tenaganya digunakan, maka dunia kangouw tentu geger dan akan memperngaruhi
keadaan situasi.
Dengan cepat mereka berdua mengejar sampai kesitu dan naik keatas perahu,
tampaklah cahaya lilin menerangi seluruh ruangan secara terpisah keempat orang itu
duduk disekeliling sebuah meja persegi empat, sementara bayangan tubuh Shen Bok
Hong sama sekali tidak kelihatan.
Boe Wie Tootiang yang menjumpai keadaan tersebut sebagai orang yang teliti segera
mengusulkan untuk bertindak hati-hati, tapi Soen Put shia yang jauh lebih berangasan

merasa menolong orang jauh lebih penting. Tanpa menggubris peringatan toosu tua itu
segera loncat masuk kedalam ruangan.
Suasana tetap hening sedang bayangan tubuh Shen Bok Hong belum juga ketahuan.
Ketika dilihatnya sipengemis tua itu sudah masuk kedalam ruangan, terpaksa Boe Wie
Tootiang mengikuti dari belakang.
Mereka berdua langsung menghampiri keempat orang pujangga besar itu dan mulai
memeriksa tubuh mereka, sekalipun pelbagai usaha pertolongan telah diduga tapi
keempat orang itu tetap tak berkutik ditempatnya.
Pada saat itulah mendadak pintu samping terbuka lebar dan muncul seorang manusia
aneh berbaju merah mendekati mereka.
Melihat datangnya ancaman dari tempat kejauhan Soen Put shia segera mengirim satu
pukulan yang dengan telak bersarang didada orang berbaju merah itu.
Tetapi orang aneh itu hanya merandek sejenak untuk kemudian maju lagi kedepan.
Boe Wie Tootiang segera cabut keluar pedangnya dan mengirim satu babatan yang
mana dengan telak bersarang diatas bahu lawan.
Siapa tahu ujung pedangnya terasa bagaikan menusuk diatas batu keras sedangkan
orang berbaju merah itu sama sekali tidak menderita luka apapun juga.
Dikala kedua orang itu sedang merasa terperanjat itulah, Shen Bok Hong munculkan
diri dari tempat persembunyian dan menotok jalan darah mereka berdua.
Bercerita sampai disini Soen put shia segera menghela napas dan menambahkan,
“Kemudian kami lantas dicekoki racun, aku rasa saudara siauwpun sudah bukan.”
“Akupun bertemu dengan orang aneh berbaju merah itu, andaikan tidak ditolong orang
mungkin pada saat ini akupun sudah ditawan Shen Bok Hong dalam keadaan hidup”
sementara pembicaraan masih berlangsung mereka telah tiba didepan kedai tahu.
Gilingan tahu masih berputar dengan menimbulkan suara berisik dibawah sorot cahaya
lampu, seorang kakek tua berbaju kumal sedang menggiling tahu.
Ketika menjumpai datangya Soen Put shia dan Boe Wie Tootiang, kakek tua
memandang sekejap kearah mereka lalu katanya, “Orang kalian ada diruang dalam!”
Para jago segera masuk keruang dalam tampaklah Suma Kan, Tu Kioe serta anak murid
partai Bu tong telah berkumpul semua disitu.
Sisegulung angin Pang Im masih berbaring diatas tandu kayu.
Siauw Ling segera menghampiri sisi tandu dan menegur dengan suara lirih, “Peng
heng, apakah keadaanmu rada baikkan?”

Peng Im buka matanya dan tersenyum.
“Aku rasa tidak sampai modar!”
Perlahan-lahan ia bangun berdiri siap memberi hormat kepada tiang loonya Soen Put
shia.
“Tak usah banyak adat, kau lebih baik berbaring saja!” tukas sang pengemis tua cepat.
Peng Im tak berani membangkang, ia menurut dan berbaring lagi.
“Lukamu ada dibagian mana?”
“Diatas dada sebelah kiri, untung ada Tu loocianpwee yang menolong dengan seksama,
sekarang keadaanku berangsur membaik.”
“Tidak berani, lebih baik kita saling menyebut sebagai saudara saja” tukas Tu Kioe dari
samping.
Peng heng tersenyum.
“Berada dihadapan sucouw ku, aku sipengemis cilik terpaksa harus berlaku rada
sungkan terhadap dirimu.”
“Kau tak usah berbuat begitu, toh kita berkawan? lebih baik kita berkawan sendiri
saja!”
“Ehmm, ucapan ini memang tidak salah” pikir Soen put shia dalam hati. “Dia panggil
Sucouw, kalau dibicarakan dari tingkatan maka kedudukannya jauh lebih rendah dua
tingkat daripada orang-orang yang hadir disini!”
Dalam pada itu Boe Wie Tootiang sudah periksa denyutan jantung Peng Im terdengar
ia berkata, “Sudah tidak berbahaya lagi, besok pagi asal menelan dua macam obat maka
kesehatannya akan pulih kembali seperti sedia kala.”
Sang Pat melihat ruangan itu sempit sedang jumlah orangnya banyak sehingga jangan
dibilang untuk duduk, untuk sendiripun harus berdempet-dempetan, maka segera juranya,
“Tempat ini tidak sesuai bagi kita untuk berdiam, lebih baik cari tempat lain saja.”
“Aku sipengemis cilik tahu akan suatu tempat yang tersembunyi letaknya….!”
“Dimana?”
“Lima li diluar kita, disitu terdapat sebuah bangunan rumah yang tak berpenghuni
letaknya dikelilingi hutan bambu dan luas sekali, peralatan dalam rumah komplit bersih.”
“Begitu besar bangunan rumah yang kau maksudkan, kenapa tiada orang yang
menempati?” tanya Ceng Yap Chin heran.

“Tentang soal ini aku sipengemis cilik kurang tahu, mungkin dikarenakan gangguan
setan!”
“Kalau memang ada tempat yang begitu bagus, aku rasa kita tak perlu berdiam terlalu
lama lagi disini, ayoh segera berangkat….” ajak Soen put shia.
Sinar matanya beralih keatas wajah Peng Im dan tanyanya, “Apakah kau sudah bisa
berjalan sendiri?”
“Perlahan-lahan, aku rasa masih sanggup!”
“Aku lihat lebih baik aku Tu loo Sam yang menggendong dirimu saja” Tu Kioe
menawarkan jasanya.
Peng Im tidak membantah lagi, begitulah dibawah petunjuk sipengemis cilik itu
berangkatlah mereka menuju keluar kota.
“Siauw thayhiap” ditengah jalan Ceng Yap Chin berbisik. “Apakah kau percaya dengan
segala macam cerita setan dan malaikat?”
“Tidak percaya!”
“Cayhe sebenarnya juga tidak percaya dengan macam setan dan malaikat, tapi cerita
yang turun temurun sejak ribuan tahun berselang sedikit banyak membuat cayhe sangsi
juga. Kalau bisa melihat setan ingin sekali aku menambah pengetahuanku.”
Sepanjang jalan Siauw Ling hanya memikirkan soal Gak Siauw Cha saja yang telah
menolak untuk bertemu dengan dirinya, dalam keadaan begini ia tak ada minat sama
sekali untuk membicarakan soal setan dengan Ceng Yap Chin, beberapa patah katanya
yang terakhir boleh dibilang sama sekali tak terdengar lagi olehnya.
Melihat Siauw Ling acuh tak acuh terhadap dirinya seperti ada yang sedang dipikirkan,
Ceng Yap Chin pun tidak bicara lagi, ia teruskan perjalanannya kedepan.
Dalam sekejap mata beberapa li sudah dilewati, ketika itu fajar baru saja menyingsing
dari tempat kejauhan tampaklah sebuah bangunan rumah yang amat besar muncul
dihadapan mereka dikelilingi oleh pepohonan yang hijau dan rindang.
Soen Put shia segera kerutkan dahinya, dengan suara lirih bisiknya kepada diri Peng
Im, “Bangunan besar itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda berpenghuni, apa
kau tidak keliru melihat?’
“Tak bakal salah lagi, aku sipengemis cilik masih mengingatnya dengan jelas.”
“Setelah tiba disini rasanya tiada halangan untuk meninjau kedalam” ujar Boe Wie
Tootiang. “Andaikata rumah ini ada penghuninya maka kita segera angkat kaki, bukankah
beres?”
“Rasanya memang harus berbuat begini” pikir Sang Pat, ia segera berebut berjalan
dipaling depan, katanya, “Baiklah, biar cayhe yang memeriksa dulu keadaan disitu.”

Setelah melewati hutan bambu, sampailah didepan pintu bangunan rumah besar itu.
Tampaklah pintu besar yang berwarna hitam tertutup rapat-rapat, melihat itu sie poa
emas tertegun, pikirnya, “Andaikata bangunan ini tiada berpenghuni, kenapa pintu dengan
tertutup rapat? jangan-jangan karena baru sembuh dari luka parahnya kesadaran
pengemis cilik ini rada kurang beres dan mungkin sudah salah menunjukkan tempat?”
Untuk beberapa saat lamanya ia jadi tertegun didepan pintu dan tak tahu apa yang
harus dilakukan….
Terdengar Peng Im yang ada dibelakang berseru kembali, “Aku sipengemis cilik masih
ingat jelas tempat ini. Tak bakal salah lagi, Sang heng silahkan mendorong pintu untuk
periksa keadaan didalamnya.”
Sang Pat masih sangai tapi setelah mendengar perkataan dari Peng Im, terpaksa ia
maju dan mendorong pintu tersebut.
Siapa tahu pintu itu tetap tak bergeming barang sedikitpun juga, jelas pintu tadi
dipalang dari dalam.
Si sie poa emas ini segera gelengkan kepalanya berulang kali.
JILID 28
“Tidak betul, tidak betul, andaikan bangunan ini tiada berpenghuni tidak nanti pintunya
dipalang dari dalam.”
“Sungguh aneh sekali” seru Peng Im pula setelah memeriksa keadaan disekeliling itu
sekejap. “Aku sipengemis cilik masih ingat betul disini tampaknya, dan tak bakal salah
lagi, coba Sang heng melompati pagar tembok itu dan periksa keadaan didalam sana.”
Melihat kesadaran Peng Im normal dan tidak mirip sedang mengingau, timbul rasa ingin
tahu dalam hati Sang Pat. ia segera mengempos tenaga dan meloncat masuk kedalam
pekarangan kemudian membuka palang pintu tersebut.
“Tu heng. tolong gotong aku masuk kedalam!”
Tu Kioe mendongak memeriksa keadaan dalam, ia lihat sebuah jalan kecil yang
beralaskan batu bata merah terbentang menghubungkan pintu depan dengan pintu
kedua, keadaan situ bersih dan teratur, sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda disitu
tiada penghuninya, dalam hati dia lantas berpikir, “Bangunan rumah sebersih ini, masa
tiada penghuninya?”
Walaupun dalam hati berpikir demikian tapi ia menurut juga dan melangkah masuk
kedalam.
“Loo sam jauh sedikit jaraknya dengan aku” bisik Sang Pat lirih. “Kau yang
menggendong sipengemis cilik itu bertindaklah lebih hati-hati. jangan sampai kena
dibokong orang lain.”
Tu Kioe mengiakan dan segera mundur tiga langkah kebelakang.
“Adakah manusia disitu!”
“Andaikata ada orang, sejak tadi kedatangan kita sudah ditegur….” bisik Peng Im.
Belum habis ia berkata mendadak terdengar suara yang ketus dingin berkumandang
datang.
“Ada urusan apa?”

Sang Pat melengak dan segera berhenti, kemudian seraya menjura ujarnya, “Aaah….
mengganggu ketenangan kalian, harap suka dimaafkan!”
“Hmm, kalian memasuki rumah orang tanpa permisi, perbuatan ini sudah melanggar
peraturan, ayoh cepat keluar dari sini.” suara dingin ketus tadi kembali berkumandang
datang.
Sang Pat melirik sekejap kearah Peng Im lalu bisiknya, “Ayoh kita keluar saja dari sini”
ia putar badan dan siap berlalu.
“Sang heng, orang itupun bukan pemilik bangunan rumah ini!”
“Benarkah itu?”
“Kalau Sang heng tidak percaya, kenapa tidak kau tanyakan sendiri?”
Teringat betapa dingin dan ketusnya ucapan orang tadi, timbul keinginan si sie poa
emas ini untuk memanasi hatinya, maka ia lantas berkata, “Saudara sendiri toh bukan
pemilik bangunan rumah ini kalau bicara kenapa begitu tak tahu adat?”
“Hem! persoalan dikolong langit tentu ada yang datang lebih duluan dan datang
belakangan, siapa suruh kalian datang terlambat satu tindak?”
“Bagaimana?” Peng Im segera berbisik. “Mereka tak lebih hanya datang lebih dulu
setindak, bangunan rumah ini sama sekali bukan harta warisan mereka.”
Sang Pat alihkan sinar matanya memeriksa sekejap sekeliling tempat itu. “Saat ini fajar
baru menyingsing. peng Im pun harus merawat lukanya, sedang bangunan ini begitu
besar dan mereka bukan pemiliknya, apa salahnya kalau kita berteduh pula disini, toh kita
sama-sama bukan pemilik bangunan rumah ini?”
Berpikir lalu ia lantas berseru lantang, “Kalau dibicarakan soal rumah ini, tiga hari
berselang telah ada orang kita yang menginap disini, hanya saja karena ada urusan maka
baru ini hari kami kembali kesini.”
Ia merandek sejenak, lalu ujarnya lagi, “Kalau mau dikatakan siapa yang datang lebih
dulu, maka kamilah yang datang beberapa hari lebih cepat, cuma bangunan rumah ini
memang bukan milik kami, bila memang kalian sudah berteduh disini kamipun tak akan
mengusir kalian pergi. Untung bangunan rumah ini sangat besar, sekalipun ditambah
beberapa orangpun rasanya tidak mengapa.”
“Tidak bisa jadi” tukas orang tua dengan suara dingin. “Dengarlah nasehatku, lebih baik
cepat-cepatlah mengundurkan diri dari sini.”
“Kurang ajar, aku Sang Loo jie adalah manusia macam apa” pikir Sang Pat dalam hati.
“Kau anggap ini hari aku bisa digertak lari dari sini?”
“Kalau sampai begitu apa gunanya aku berkelana didalam dunia persilatan?”
Maka dengan suara lantang serunya, “Andaikata cayhe tidak mau mengundurkan diri
dari sini kau mau apa?”
“Kecuali bila kau sudah bosan hidup lagi dikolong langit!”
Mengikuti berasalnya suara tersebut Sang Pat berpaling, ia duga suara tadi berasal dari
balik sebelah barat ruang tengah, hanya saja bayangan tubuhnya sama sekali tidak
kelihatan.
Mendengar ucapan orang itu sesumbar dan jumawa, Tu Kioe jadi sangat mendongkol
bisiknya, “Loo jie mari kita tengok keadaan disitu!”
“Baik, kau tak usah pergi, baik-baiklah melindungi keselamatan sipengemis cilik itu,
kalau didengar dari ucapannya yang sesumbar rasanya dia bukanlah lampu yang
kehabisan minyak.”
“Harap Sang heng berhati-hati!” pesan Peng Im pula.
Sang Pat mengangguk, dengan langkah lebar ia segera berjalan menuju keruang
tengah.
Halaman bagian depan luas dan mencapai beberapa hektar, Sang Pat menghentikan
gerakan tubuhnya kurang lebih lima tombak didepan ruang tengah.

Pada saat itulah mendadak terdengar suara dingin ketus tadi berkumandang kembali,
“Rupanya kalau tidak diberi hajaran tidak mau tahu keadaan, bukankah aku sudah
memperigatkan cuwi sekalian untuk segera mengundurkan diri dari sini, kalau memang
kalian sendiri yang mencari mati, janganlah salahkan diriku bertindak keterlaluan.”
Terhadap sipengancam tersebut Sang Pat tidak berani menaruh pandangan merendah,
sejak semula hawa murninya telah dihimpun didalam tubuh siap menghadapi segala
kemungkinan yang tidak diinginkan. setelah mendengar ucapan terkahir ini
kewaspadaannya semakin diperketat, tangan kanannya segera merogoh kedalam saku
mengambil keluar dua butir mutiara dan digenggamnya ditangan.
Kekayaan dari Tiong Chiu Siang Ku boleh dibilang tiada taranya dikolong langit,
tumpukan intan permata yang mereka miliki sudah mencapai beberapa buah ruangan
banyaknya, meskipun ia tak pernah menggunakan senjata rahasia tetapi dalam sakunya
selalu siap dengan pelbagai permata yang bisa digunakan dalam keadaan terpaksa.
Sementara itu perlahan-lahan Tu Kioe tela menurunkan pula Peng Im keatas tanah,
katanya setengah berbisik, “Ucapan orang tua itu benar-benar gede dan sesumbar
mungkin kepandaian silat yang dimilikinya betul-betul lihay, kau tunggu saja disini. Aku Tu
Loo sam akan pergi kesana membantu diri Loo jie kami.”
“Eeei…. sejak kapan kau menyebut dirimu sebagai loo sam?”
“Sejak kami sepasang pedagang dari Tiong Chiu mengakui Siauw thayhiap sebagai
liong tauw toako kami, aku telah menjadi Loo sam!”
“Oooh, kiranya begitu.”
Tiba-tiba terdengar Sang Pat mendengus berat lalu buru-buru mengundurkan diri dari
tempat semula.
Mendengar akan hal itu Tu Kioe sangat terkejut, dengan cepat dia enjotkan badannya
melayang kesisi saudaranya, lalu menegur, “Loo jie apakah kau sudah terluka?”
Sang Pat tidak menjawab hanya saja dengan alis berkerut kencang dia gulung ujung
baju kirinya.
Mengikuti gerakan tersebut Tu Kioe segera menyaksikan sebuah anak panah kecil
berbentuk kepala ular tertancap diatas lengan saudara angkatnya ini.
Kalau dikatakan benda itu sebagai panah dalam kenyataan kecilnya melebihi jarum
untuk menjahit, kulit tangan sekitar luka telah berubah jadi semua merah.
Sementara Tu Kioe hendak mencabut keluar jarum beracun itu, tiba-tiba Sang Pat tarik
kembali lengan kirinya dan meloncat mundur dua langkah kebelakang, serunya, “Racun
yang dipoleskan diatas jarum ini terlalu keji dan ganas, jangan kau sentuh dengan
tangan.”
Pada waktu itulah Siauw Ling, Soen Put shia, boe Wie Tootiang serta Suma Kan telah
menyusul datang.
Peng Im segera berseru dengan suara cemas, “Tootiang cepat periksa keadaan luka
dari Sang Loo jie, tangannya sudah termakan oleh senjata rahasia beracun.”
Boe Wie Tootiang percepat lainnya memburu kesisi tubuh Sang Pat, setelah memeriksa
sejenak senjata rahasia itu dengan hati terkesiap serunya, “Aaaah, anak panah pengejar
sukma berkepala ular!”
“Bagaimana? apakah jiwanya terancam bahaya?” tanya Tu Kioe terperanjat.
“Sedikitpun tidak salah, dari mendiang guruku pinto pernah mendengar akan kelihayan
dari senjata rahasia tersebut, katanya racun yang terkandung diujung senjata itu luar
biasa dahsyatnya, tetapi setelah pinto terjunkan diri kedalam dunia persilatan belum
pernah kujumpai senjata rahasia anak panah pengejar sukma berkepala ular, sungguh tak
nyana pada saat ini benda tersebut telah muncul kembali ditinjau dari hal ini jelas
membuktikan bahwa sipelepas senjata rahasia mempunyai asal usul yang amat besar.”

“Bagaimana? apakah tootiang tak dapat memusnahkan racun yang ada diatas anak
panah itu?” tanya Siauw Ling.
“Menurut apa yang pinto ketahui, kecuali orang yang melepaskan senjata rahasia
tersebut yang mempunyai obat pemusnahnya, tabib sakti yang ada dikolong langit dewasa
ini jarang sekali ada yang sanggup memusnahkan racun tersebut.”
Bicara sampai disitu ia lantas gerakan tangannya menotok dua buah jalan darah diatas
lengan kiri Sang Pat.
Siauw Ling segera berpaling kearah Tu Kioe dan bertanya, “Apakah sipelepas senjata
rahasia masih berada disini?”
Tu Kioe melirik sekejap kearah serambi sebelah barat dalam ruang tengah kemudian
menyahut, “Mungkin dia berada disini.”
“Kalau begitu harap tootiang suka mencegah menjalarnya sang racun dalam tubuh
saudara Sang ku itu, cayhe akan pergi minta obat penawarnya!”
Bicara sampai disitu dia lantas melangkah menuju keruang tengah.
Sebenarnya Boe Wie Tootiang ada maksud mencegah kepergian si anak muda itu,
tetapi ketika dijumpai sikap gagah yang diperlihatkan dalam tingkah laku pemuda itu,
dalam hati lantas berpikir, “Orang ini memang jauh berbeda dengan orang lain…. lebih
baik biarkanlah dia pergi mencoba!”
Karena berpikir demikian diapun tidak banyak bicara lagi.
“Mari, biarlah aku sipengemis tua membantu dirimu” bisik Soe Put shia menawarkan
jasa baiknya.
Sejak Siauw Ling terjunkan diri kedalam dunia persilatan, walaupun waktunya
berkumpul dengan para jago lihay Bulim tidak terlalu panjang, tapi pengalamannya sudah
sangat luas, ia langsung berjalan menuju keserambi sebelah barat sambil diam-diam
mengerahkan tenaga dalamnya bersiap sedia.
“Jago lihay dari manakah yang berada dalam ruangan?” tegurnya dengan suara
lantang. “Cayhe Siauw Ling mohon bertamu!”
“Tidak ada waktu untuk menjumpai dirimu” jawaban yang dingin dan hambar
berkumandang keluar dari serambi sebelah barat.
Siauw Ling tertegun, tapi ujarnya kembali, “Cayhe mohon bertemu dengan segala tata
cara kesopanan, penampikan heng thay yang demikian kasar dan ketusnya apakah tidak
merasa sedikit keterlaluan?”
Suara yang dingin ketus itu kembali berkumandang datang, “Cayhe paling ogah untuk
berkenalan dengan kaum persilatan, lebih baik saudara segera angkat kaki dari tempat
ini.”
Semula Siauw Ling hanya bermaksud menjumpai orang itu untuk minta obat penawar
menyembuhkan luka keracunan yang diderita saudaranya Sang Pat, siapa tahu tanggapan
yang diberikan pihak lawan bukan saja dingin dan ketus bahkan tidak enak didengar,
hawa gusarnya seketika itu juga memuncak.
Sambil tertawa dingin serunya, “Sungguh besar amat bacot anda, apakah sikapmu ini
tidak terlalu pandang rendah kaum persilatan?”
“Mulai detik ini cayhe tak sudi menjawab setiap pertanyaan yang kau ajukan” suara
dingi ketus itu berkumandang lagi. “Apa bila kau berani maju selangkah lagi kedepan hatihati….
senjata rahasia panah pengejar nyawa berkepala ular akan mencabut selembar
jiwamu?”
Siauw Ling tetap berdiri tegak ditempat semula, ia tarik napas panjang dan segera
mengenakan sarung tangan berkulit ularnya, setelah itu baru ujarnya, “Aku orang she
Siauw menantikan petunjuk darimu!”
Beberapa saat sudah dinantikan namun tidak kedengaran juga suara jawaban
berkumandang keluar dari serambi sebelah barat.

Dalam pada itu Soen Put shia telah berada disisi tubuh Siauw Ling, segera bisiknya,
“Menurut apa yang aku pengemis tua ketahui, dalam kolong langit dewasa ini hanya ada
seorang manusia saja yang dapat menggunakan senjata rahasia anak panah pengejar
nyawa berkepala ular, tetapi orang itu sudah terperangkap didalam istana terlarang
sebelum istana tersebut dibuka sudah tentu tak mungkin ia munculkan diri, entah
siapakah orang ini? ternyata iapun sanggup menggunakan senjata rahasia aneh yang
sangat beracun itu, saudara Siauw! kau harus selidiki berhati-hati….”
“Ehm, terima kasih atas perhatian dari loocianpwee.”
Ia merandek sejenak, dan tambahnya, “Loocianpwee, tak usah kau ikut boanpwee
pergi menempuh mara bahaya…. tunggu saja dibelakang sana!”
Soen Put shia mengangguk dan segera mengundurkan diri kebelakang.
Dengan suara lantang Siauw Ling segera berseru, “Aku orang she Siauw sudah mohon
maaf terlebih dahulu, apabila aku memang tidak menggubris terus, terpaksa aku akan
menerjang kedalam dengan kekerasan.”
Ia tahu bahwa kepandaian silat yang dimiliki Sang Pat tidak lemah, dalam kenyataan
orang itu sanggup merobohkan Sang Pat dalam sekali sambitan belaka. Hal ini
membuktikan betapa lihaynya kepandaian silat orang itu, maka ia tak berani bertindak
gegabah, sambil perlahan-lahan maju kedepan seluruh perhatiannya dipusatkan jadi satu.
Kurang lebih tujuh delapan langkah dari tempat semula tiba-tiba terasa sekilas cahaya
tajam yang sangat menyilaukan mata laksana kilat meluncur datang, bukan saja
gerakannya sangat cepat bahkan sama sekali tidak menimbulkan sedikit suarapun.
Cepat Siauw Ling ayunkan tangan kanannya menangkap senjata rahasia anak panah
mengejar nyawa berkepala ular itu, sementara dalam hati diam-diam pikirnya dengan hati
kaget, “Sungguh cepat gerakan tubuh orang itu, ilmu silatnya sungguh luar biasa sekali.
Andai kata aku tidak bersiap sedia sejak tadi mungkin tanpa kusadari akupun sudah
terluka diujung anak panah pengejar nyawa berkepala ular itu….”
“Hmm, suatu kepandaian yang jitu” terdengar suara dingin ketus itu berkumandang
datang. “Dalam kolong langit dewasa ini jarang sekali ada orang yang sanggup menerima
sambitan anak panah pengejar nyawa berkepala ularku dengan tangan….”
Ia merandek sejenak lalu tambahnya, “Tapi sayang sekali diatas anak panah itu telah
kupolesi semua dengan racun yang amat keji, sekalipun kau tidak tertusuk oleh senjataku
tapi tanganmu yang meraba senjata tadi cukup untuk meracuni tubuhmu dengan hebat!”
“Hmmmmmmm, belum tentu!”
“Haaah…. haaa…. haaa….” orang itu tertawa tergelak. “Kalau kau tidak percaya dengan
perkataanku, silahkan coba mengerahkan tenaga dalammu!”
Perlahan-lahan Siauw Ling mengangkat anak panah pengejar nyawa berkepala ular itu
keatas, kemudian katanya dingin, “Setelah datang kalau tidak menginap itu namanya tidak
sopan, semoga saudarapun bisa berbuat seperti cayhe dan menerima kembali senjata
rahasiamu ini.”
Sembari berbicara diam-diam hawa murninya disalurkan kedalam tangan dan didalam
sebuah sentilan, anak panah pengejar nyawa berkepala ular itu segera meluncur keudara
menyambar kearah orang tadi.
Cara melepaskan senjata rahasia yang dimilikinya adalah ajaran langsung dari Liuw
Sian cu, sebagai seorang jago yang lihay dalam ilmu melepaskan senjata rahasia dan ilmu
meringankan tubuh. Sentilan untuk melepaskan senjata rahasia ini cukup membuat Soen
Put shia yang menyaksikan kejadian itu dari samping diam-diam merasa memuji.
Orang yang ada diserambi sebelah barat masih tertawa tergelak tiada hentinya,
menanti ia saksikan Siauw Ling melepaskan anak panah itu yang ditujukan kepadanya,
gelak tertawa itu mendadak terputus ditengah jalan.

Jelas orang tadi telah dibikin terkesiap oleh kelihayan si anak muda itu dalam
melepaskan senjata rahasianya.
Dikala tangan kanannya melepaskan anak panah pengejar nyawa berkepala ular tadi,
diam-diam Siauw Ling telah silangkan telapak kirinya untuk melindungi badan, selangkah
demi selangkah ia menerjang kearah serambi sebelah barat.
Jarak antara serambi sebelah barat dengan tempat dimana Siauw Ling berada saat ini
hanya terpaut dua tombak saja sekali loncat si anak muda itu sudah berada didepan
serambi tadi.
Tampak sepasang pintu tertutup rapat-rapat, bahkan jendelapun tertutup semua
dengan rapatnya.
Siauw Ling tahu bahwa situasi yang dihadapinya saat ini sangat berbahaya, tanpa
berpikir panjang dan memeriksa keadaan disekelilingnya lagi, sekali tendang ia hajar pintu
kayu tersebut.
Blaan….! dengan diiringi suara bentrokan keras, pintu kayu itu terbentang lebar.
Dikala melancarkan tendangan menghantam pintu tadi, pada saat yang bersamaan pula
Siauw Ling telah menyingkir kesamping.
Rupanya si anak muda inipun merasa jeri terhadap kehebatan orang itu dalam
melepaskan senjata rahasia anak panah pengejar nyawa berkepala ularnya, ia tahu
andaikata dikala dirinya sedang melancarkan tendangan kearah pintu tadi mendadak
orang itu melepaskan senjata rahasia pula, maka kemungkinan besar ia bisa terluka
diujung senjata orang.
Siapa tahu ternyata orang itu sama sekali tidak melepaskan anak panah pengejar
nyawa berkepala ularnya.
Siauw Ling menanti beberapa saat lamanya disisi pintu, kemudian dengan suatu
gerakan yang cepat dan mendadak ia berkelebat masuk kedalam ruangan.
Setibanya dalam ruangan, ia lihat didekat jendela berdirilah seorang lelaki berbaju
hijau.
Orang itu berdiri menghadap jendela dan membelakangi pintu, terhadap hadirnya
Siauw Ling disitu ternyata sama sekali tak merasa.
Siauw Ling mendehem ringan dan berkata, “Untung cayhe tidak sampai kehilangan
selembar jiwaku. Kini aku sudah berhasil tiba disini.”
“Sudah lama cayhe mendengar nama besar dari Siauw Ling dalam dunia persilatan,
setelah bertemu hari ini baru ketahui bahwa namamu bukan nama kosong belaka.”
“Saudara terlalu memuji, anak panah pengejar nyawa berkelebat begitu cepat dan
tanpa mengeluarkan suara, baru kali ini cayhe berjumpa dengan kepandaian silat itu.”
Orang berbaju hijau itu tidak langsung menanggapi perkataan tersebut, saat kemudian
dengan nada ucapan yang jauh lebih lunak katanya, “Apa maksudmu memasuki ruang
serambi sebelah barat ini?”
“Seorang saudara cayhe telah terluka diujung anak panah pengejar nyawa berkepala
ular saudara, karena itu cayhe mohon obat penawar menyembuhkan keracunan tersebut.”
“Hanya dikarenakan persoalan ini saja?”
“Tidak salah, hanya disebabkan persoalan ini saja!”
“Tidak sulit untuk memperoleh obat penawar tersebut, tapi cayhepun ada satu syarat
yang harus kau penuhi!”
“Apa syaratmu?”
“Setelah cayhe serahkan obat penawaran itu, aku harap cuwi sekalian segera
tinggalkan tempat ini, apabila kau setuju maka obat penawar tersebut segera cayhe
serahkan kepadamu, sebaliknya kalau kau menampik…. terpaksa aku harus biarkan
saudaramu mati keracunan.”

Siauw Ling termenung beberapa saat lamanya kemudian menjawab, “Andaikata
saudara cayhe itu terluka ditangan orang lain, dan saudara rela memberi obat penawar
kepadanya, jangan dikata cuma satu syarat ini saja meskipun delapan atau sepuluh syarat
lagipun aku orang she Siauw tak akan menampik. Sayang seribu kali sayang saudara dari
cayhe itu justru terluka diujung anak panah pengejar nyawa berkepala ularmu, sedang
rekan kami yang ikut kemari cukup banyak. persoalan ini harus dirundingkan dahulu
dengan mereka.”
Rupanya orang berbaju hijau itu sudah tak sabaran lagi, tiba-tiba selanya dengan nada
gusar, “Kalau begitu saudara tidak mau menerima permintaanku itu?”
“Saat ini sulit bagiku untuk mengambil keputusan!”
“Baiklah, kau boleh rundingkan dahulu persoalan ini dengan mereka, kemudian
datanglah lagi kemari untuk berbicara dengan aku!”
“Meninggalkan tempat ini bukanlah suatu syarat yang terlalu sulit dilakukan” pikir si
anak muda dalam hati. “Cuma saja Soen Put shia serta Boe Wie Tootiang adaah orang
kenamaan, andaikata kuajukan persoalan ini entah bagaimana perasaan serta pendapat
mereka?”
Berpikir demikian, ia lantas berkata, “Cayhe akan berusaha sekuat tenaga untuk
memperoleh persetujuan dari rekan-rekan yang lain, tapi…. bagaimana kalau kau
hadiahkan dahulu obat penawar tersebut kepada kami? haruslah diketahui menolong
orang bagaikan menolong kebakaran, tak bisa ditunda-tunda lagi.”
“Temui dahulu rekan-rekanmu, selesai berunding rasanya belum terlalu lambat.”
“Membunuh orang harus bayar nyawa hutang uang bayar uang. Saudara, setelah kau
lukai saudaraku, apakah aku harus membungkam belaka menyaksikan saudaraku itu
menderita.” kata Siauw Ling mulai gusar. “Minta obat penawar dan tinggalkan tempat ini
adalah dua masalah yang berbeda. Jangan kau campur baurkan yang satu dengan yang
lain.”
“Lalu apa maksudmu?” jengek orang berbaju hijau itu sambil tertawa dingin.
“Cayhe ingin bertanya, kecuali kami tinggalkan tempat ini apakah masih ada cara lain
lagi?”
“Masih ada satu cara lagi! obat penawar itu berada didalam sakuku, asal kau merasa
punya kepandaian, silahkan untuk merampasnya sendiri.”
Sejak Siauw Ling masuk kedalam ruangan dan bercakap-cakap dengan orang berbaju
hijau itu, ternyata hingga kini orang itu tak pernah menoleh barang sekejappun.
Terdengar Siauw Ling tertawa dingin.
“Kecuali itu sudah tiada cara lain lagi?”
“Cayhe rasa tiada jalan lagi!”
“Hmm, kalau memang begitu, maaf kalau terpaksa cayhe bertindak kasar terhadap
dirimu.”
“Tak usah sungkan-sungkan, kalau memang merasa mampu silahkan turun tangan!”
Diam-diam Siauw Ling kerahkan tenaga dalamnya melindungi jalan darah jalan darah
penting diseluruh tubuhnya, kemudian selangkah demi selangkah maju kedepan.
Ia berjalan hingga tiba dibelakang punggung orang berbaju hijau itu, namun orang itu
tetap berdiri membelakangi dirinya, sama sekali tak berkutik.
Siauw Ling ayunkan tangan kanannya siap melancarkan babatan, tapi secara tiba-tiba
ia urungkan maksudnya.
“Saudara mengapa kau tidak berpaling?” tegurnya.
Orang berbaju hijau itu tertawa dingin, perlahan-lahan ia putar badannya menghadap
kearah pemuda kita.
Begitu saling membentur dengan sorot mata lawan, Siauw Ling merasa hatinya
terperanjat.

Kiranya raut wajah orang itu berwarna kuning keemas-emasan bukan saja tak sedap
dipandang bahkan tidak mirip dengan warna kulit seorang manusia.
Dengan cepat pemuda kita berhasil mententramkan hatinya, perlahan-lahan ia berkata,
“Ehmm, bagus amat kulit topeng yang saudara kenakan!”
Sembari berkata tangannya berkelebat cepat mencengkeram pergelangan kiri orang itu.
Orang berbaju hijau itu tetap berdiri tak berkutik ditempat semula, seolah-olah dia tak
tahu kalau pergelangan kirinya sedang diancam lawan.
Serangan cengkeraman dari Siauw Ling ini banyak mengandung perubahan, dalam satu
gerakan ia bisa dari serangan cengkeraman berubah menyabet atau menyentil tergantung
dari reaksi yang diberikan pihak musuh.
Siapa tahu kejadian ternyata jauh diluar dugaan Siauw Ling, orang itu tetap bersikap
tenang atas datanganya ancaman, bahkan sewaktu jari tangan pemuda itu sudah
menyentuh diatas pergelangan tangannyapun orang berbaju hijau itu tetap tak berkutik.
Siauw Ling percepat gerakan tangan kanannya mencengkeram pergelangan kiri orang
berbaju hijau itu.
Terasalah pergelangan tangan lawan keras bagai baja, dingin bagaikan es, sedikit tidak
menunjukkan tanda-tanda bahwa yang dipegang adalah tangan manusia. hatinya semakin
terkesiap.
Mendadak terdengar orang berbaju hijau itu tertawa dingin, tangan kanannya bergerak
cepat membabat pergelangan tangan Siauw Ling.
Si anak muda itu mengerlingkan matanya. Ia lihat tangan kanan orang itu halus lembut
dan memelihara kuku yang sangat panjang, dengan cepat ia angkat tangan kirinya untuk
menangkis. Sementara cekalannya pada pergelangan orang segera dikendorkan,
badannya mundur tiga langkah kebelakang.
Orang berbaju hijau itu tertawa dingin.
“Saudara sudah terkena racun yang amat keji, seperminum teh kemudian racun itu
akan mulai bereaksi, bersiap-siaplah kau urusi persoalan terakhirmu….”
Ia tak tahu kalau Siauw Ling mengenakan sarung tangan berkulit ular yang kebal
terhadap pelbagai macam racun serta tidak mempan ditusuk maupun dibacok.
Sementara Siauw Ling sendiri sedang berpikir dalam hatinya, “Sepasang sarung tangan
berkulit ular ini sudah banyak membantu diriku…. andaikata aku tidak memliki benda
tersebut, entah bagaimana jadiku….?”
Dia angkat tangan kirinya untuk dipandang sekejap, lalu tanyanya, “Kenapa?”
“Diujung kukuku telah kupolesi dengan racun yang amat keji, tangan kanannmu setelah
kena tergores kedalam tubuhmu, sesaat kemudian jiwamu bakal melayang….”
“Haah…. hah…. senjata rahasia segera dipolesi dengan racun keji, sedang dikuku jari
tangan kanan mengandung pula racun keji, rupanya kau adalah seorang ahli dalam
menggunakan racun, sayang cayhe tidak mempan terhadap pelbagai macam-macam
racun” jengek Siauw Ling sambil tertawa terbahak-bahak.
Mendengar ucapan itu, orang berbaju hijau tadi berdiri tertegun.
“Coba angkat tangan kirimu, dan periksalah dengan seksama!”
“Tak usah diperiksa lagi, cayhe yakin tidak mempan terhadap jenis racun macam
apapun.”
Tapi orang berbaju hijau itu tidak percaya, kembali dia berkata, “Racun yang berada
didalam kukuku jauh berbeda dengan racun biasa, sekalipun jago lihay yang bagaimana
ampuhpun asal terkena oleh racun itu sesaat kemudian daya kerja racun itu segera akan
menyebar keseluruh badan!”
“Kalau saudara memang tidak percaya dengan perkataanku, apa daya? akupun tak bisa
berbuat apa-apa lagi.”
Tiba-tiba ia merangsek kedepan, telapaknya langsung diayun menghajar dada lawan.

Menyaksikan pihak musuhnya masih sanggup melancarkan serangan dahsyat
kepadanya orang berbaju hijau itu amat terkesiap buru-buru diangkat tangan kirinya
untuk menyambut kedatangan serangan tersebut.
Sejak mencekal pergelangan kirinya tadi Siauw Ling sudah menaruh perhatian khusus
atas lengan tersebut, sebab ia merasa ada suatu kelainan pada lengan tadi. Kini melihat
orang itu ayun tangan kirinya buru-buru sang telapak ditekan kebawah dan berkelit
kesamping.
Menggunakan kesempatan itulah ia perhatikan lengan kiri lawan dengan lebih seksama,
tampaklah diujung lengan muncul tiga buah jarum hitam yang panjang mencapai dua
coen lebih.
Rupanya orang itu mengenakan lengan palau yang terbuat dari baja.
Siauw Ling segera tertawa dingin.
“Ooooh…. rupanya saudara hendak menggunakan lengan bajumu sebagai senjata
tajam hmm…. pemikiran semacam ini benar-benar terlalu lucu….”
Orang berbaju hijau itu sama sekali tidak menggubris perkataan si anak muda itu, dan
saat yang bersamaan tangan kiri serta tangan kanannya sekaligus melancarkan tiga buah
serangan.
Beberapa jurus serangan itu bukan saja amat rapat bahkan cepat bagaikan kilat,
memaksa Siauw Ling harus mundur tiga langkah kebelakang. Suatu saat berhasil
memperoleh kesempatan baik, sepasang telapaknya segera bekerja mengirim beberapa
buah serangan berantai.
Sekejap mata delapan jurus seragan telah dilancarkan kemuka, pikirnya, “Andaikata
aku tak berani menundukkan orang ini, mungkin sulit bagiku untuk memperoleh obat
penawar itu.”
Sedikit saja pikirannya bercabang, orang berbaju hijau itu kembali mendapatkan
kesempatan untuk melancarkan serangan balasan segera terjadilah suatu pertarungan
yang amat sengit.
Terasalah cahaya tajam berkilauan memenuhi angkasa, setiap kali tangan besinya yang
melancarkan serangan menunjukkan kelemahan-kelemahan, telapak kanan segera
menyusul datang menutupi kelemahan tersebut, hingga dengan demikian bukan saja
serangannya makin dahsyat bahkan pertahanan tubuhpun semakin ketat.
Siauw Ling sendiri meskipun memakai sarung tangan berkulit ular, tetapi menjumpai
kilatan cahaya diujung tangan besi lawan, timbul rasa jeri dalam hatinya, ia tak berani
saling membentur dengan tangan lawan.
Dengan adanya persitiwa tersebut, bukan saja Siauw Ling merasakan kerugian yang
besar, untuk beberapa saat lamanya ia merasa tidak memiliki kemampuan untuk
membalas.
Ditengah berlangsungnya pertempuran sengit itulah, tiba-tiba terdengar suara bentakan
rendah berkumandang datang, “Tahan!”
Mendengar seruan itu, orang berbaju hijau tadi segera mengundurkan diri dan
meloncat mundur lima depa kebelakang.
Siauw Lingpun berhenti menyerang dan berpaling, tampaklah seorang pemuda tampan
berbaju biru dengan membawa sebuah seruling kumala berdiri didepan pintu.
Begitu berjumpa dengan pemuda berbaju biru itu, orang yang berbaju hijau yang
jumawa dan sombong tadi segera menghunjukkan hormat dengan sikap sangat
merendah, serunya, “Menjumpai kongcu….”
“Tak usah banyak adat” pemuda berbaju biru tadi ulapkan tangannya sambil
melangkah masuk kedalam ruangan.
Orang berbaju hijau itu segera mengiakan dan mengundurkan diri kesamping.

Dengan sorot mata yang tajam bagaikan pisau belati pemuda berbaju biru itu alihkan
pandangannya keatas wajah Siauw Ling, setelah diperhatikan beberapa saat lamanya ia
menegur, “Siapa saudara?”
Napsu membunuh terlintas diatas wajahnya, tapi ucapan tersebut diutarakan dengan
nada sopan.
“Cayhe Siauw Ling adanya!”
Begitu mendengar nama tersebut, hawa gusar yang semula telah menyelimuti wajah
orang berbaju biru itu seketika lenyap tak berbekas, dengan senyuman dikulum buru-buru
sahutnya, “Ooh, kiranya Siauw heng, sudah lama kudengar nama besarmu….”
Ia merandek sejenak kemudian terusnya, “Sejak bertemu dengan diri Siauw heng tadi,
dalam hati aku sudah menaruh curiga jangan-jangan dirimu. Eeei…. sedikitpun tidak
salah, ternyata dugaanku tidak meleset….”
“Tolong tanya siapakah sebutan heng thay?”
Orang berbaju biru itu termenung sebentar, kemudian menjawab, “Sahabat sekalian
memanggil aku dengan sebutan Giok Siauw Lang Koen atau lelaki tampan berseruling
kumala.”
Suatu ingatan berkelebat dalam benak Siauw Ling, pikirnya, “Giok Siauw Lang koen?
bukankah dia adalah kakak misan dari Lan Giok Tong….?”
Segera katanya, “Saudara mempunyai julukan sebagai lelaki tampan berseruling
kumala, dalam genggamanpun membawa sebuah seruling kumala. Aku rasa kau pastilah
seorang ahli dalam permainan seruling.”
“Kepandaian mengenai irama musik?” seru Giok Siauw Lang Koen. “Aaah siauwte sih
cuma mengerti sedikit banyak saja.”
“Oooh, orang itu terlalu sungkan” pikir pemuda kita dalam hati. “Didengar dari
permainan serulingnya kemarin malam…. aaai…. sungguh membuat orang ikut terbuai
dalam kesedihan sehingga tanpa terasa ikut mengucurkan air mata…. permainan
serulingnya memang betul-betul hebat….!”
Ketika ditunggunya lama sekali Siauw Ling belum juga memberi jawaban, ia berkata
lagi, “Siauw heng tentu mempunyai kepandaian yang sangat mendalam bukan dalam ilmu
permainan musik?”
“Siauwte? ooh…. hoo…. sama sekali tak mengerti.”
“Siauw heng terlalu merendah….” sinar matanya dialihkan keatas wajah orang berbaju
hijau itu, terusnya. “Siauw heng, apa sebabnya kau sampai bergebrak dengan pembantu
siauwte? harap kau suka menerangkan bila ada kesalahan aku pasti akan mohon maaf
kepada dirimu.”
“Sikapmu terlalu sungkan terhadap diriku, pastilah hal ini ada sebab-sebabnya” pikir
Siauw Ling dalam hati. “Perduli amat kau mempunyai maksud apa, aku harus
menggunakan kesempatan baik ini untuk minta obat penawar darinya.”
Berpikir demikian ia lantas berkata, “Minta maaf sih tak usah, hanya saja seorang
saudara cayhe telah terluka diujung anak panah pengejar nyawa berkepala ularnya,
karena itu sengaja aku datang kemari untuk minta sedikit obat penawar.”
Giok Siauw Lang Koen segera berpaling kearah orang berbaju hijau itu, tegurnya,
“Huuh! kembali kau lukai orang dengan senjata rahasia beracun itu, ayoh cepat serahkan
obat penawarnya kepadaku.”
“Mereka hendak menempati bangunan rumah ini dengan kekerasan, maka terpaksa aku
harus memberikan sedikit kelihayan kepadanya agar mereka tahu diri dan segera
mengundurkan diri, apa perbuatan ini salahku?” bantah orang berbaju hijau.
“Katanya saja mereka adalah majikan dan pembantu” batin pemuda itu. “Tapi kalau
dilihat sedikitpun tidak mengenal kesopanan….”

Walaupun diluaran orang berbaju hijau itu membantah perkataan majikannya tapi
tangan kanannya merogoh kedalam sakunya juga dan mengambil keluar sebuah botol
porselen, dari situ ia keluarkan sebutir pil dan diserahkan ketangan Siauw Ling.
Sebagai seorang jago yang lihay apalagi mengenakan sarung tangan pemuda kita tidak
takut dikecundangi orang, ia segera sambut pemberian pil itu.
Dengan sorot mata yang tajam Giok Siauw Lang Koen awasi terus tangan besi orang
berbaju hijau itu, rupanya dia takut pembantunya melancarkan serangan bokongan
kepada si anak muda itu.
Sebaliknya orang berbaju hijau itu sudah tahu kalau Siauw Ling tidak mempan terhadap
serangan racun, maka diapun tidak menggunakan akal apa-apa, pil tadi dengan cara yang
sopan diserahkan ketangan lawan.
Menanti jago kita sudah menerima pemberian pil tadi, Giok Siauw Lang Koen baru
berkata sambil tersenyum, “Asalkan temanmu itu benar-benar terkena racun dari anak
panah pengejar nyawa berkepala ular ini, setelah menelan pil tersebut tanggung didalam
satu jam lukanya akan sembuh dan kesehatannya akan pulih kembali seperti sedia kala.”
“Terima kasih atas pemberian obat penawar itu!”
Giok Siauw Lang Koen mendehem ringan.
“Siauwtepun mempunyai suatu permintaan yang kurang pantas, harap Siauw heng
suka mengabulkan.”
“Permintaannya kalau memang tidak pantas diutarakan, kenapa suruh aku
menyanggupi?” pikir Siauw Ling didalam hati.
Tapi diluaran dia lantas bertanya, “Persoalan apa? asal siauwte dapat melakukan pasti
akan kukabulkan tanpa membantah.”
“Pada malam ini siauwte ada janji dengan seorang teman untuk membicarakan suatu
masalah didalam bangunan rumah ini, aku tidak ingin ada orang lain yang ikut hadir
dalam pembicaraan tersebut, oleh sebab itu mohon persetujuan dari Siauw heng untuk
memberikan kebebasan kepada diriku kali ini saja.”
Biji mata Siauw Ling berputar mengerling sekejap kesamping, ia lihat orang berbaju
hijau bertangan besi itu sedang berdiri dengan wajah penuh kegusaran, rupanya ia
merasa sangat tidak puas dengan sikap Giok Siauw Lang Koen yang begitu sungkannya
terhadap diri Siauw Ling, timbul rasa heran dalam hatinya.
“Kenapa sikap majikan dan pelayan itu terhadap diriku jauh berbeda satu sama
lainnya?” ia membatin. “Kalau sang majikan begitu sungkan terhadap diriku, sebaliknya
sang pelayan begitu gusar dan tidak puas, entah dalam hati apa aku orang she Siauw
telah menyalahi dirinya?”
Terdengar Giok Siauw Lang Koen berkata kembali, “Entah bagaimanakah menurut
pendapat Siauw heng?”
“Pada saat ini sulit bagi siauwte untuk mengambil keputusan, cayhe harus rundingkan
dahulu persoalan ini dengan orang cianpwee kemudian baru memberi jawaban kepada
heng thay. Entah bagaimana menurut pandanganmu?”
“Heeh…. heeh…. kau maksudkan sipengemis tua dan sitoosu tua hidung kerbau itu?”
jengek Giok Siauw Lang Koen sambil tertawa dingin.
“Sipengemis tua itu adalah cakal bakal angkatan tua dari perkumpulan Kay Pang.
Sedangkan dia tootiang itu bukan lain adalah Boe Wie Tootiang ciang bunjien dari partai
Bu tong.”
“Hmm, partai Bu tong hanya merupakan nama kosong belaka, ngakunya saja pemimpin
dari lima partai pedang tersebut, dalam kenyataan jurus pedangnya cuma kepandaian
kucing kaki tiga belaka, begitupun mengaku loocianpwee….”
Dengan wajah dingin silelaki tampan berseruling kumala itu mendongkol dan
menghembuskan napas panjang terusnya, “Sedangkan perkumpulan Kay Pang? hmm,

lebih memalukan lagi, segerombolan tua muda berpakaian rombeng yang dekil minta
makan sana minta derma sini…. Huh, walaupun jumlahnya banyak, tak seorangpun yang
sanggup menahan sebuah pukulanku!”
Mendengar ocehan tersebut Siauw Ling tertegun segera pikirnya, “Sungguh besar amat
perkataan orang ini, Shen Bok Hong sendiripun belum tentu berani mengucapkan katakata
sombong seperti ini.”
Diluaran dengan suara lembut sahutnya, “Saudara berani pandang rendah partai Bu
tong serta perkumpulan Kay pang, aku rasa kepandaian silatmu pasti dahsyat sekali tetapi
siauwte adalah salah satu sahabat mereka dan merupakan angkatan muda yang
menghormati dia, oleh sebab itu menghadapi setiap masalah saya harus rundingkan dulu
dengan dia sebelum mengambil keputusan.”
“Yang penting adalah Siauw heng menyetujui untuk tinggalkan tempat ini, sisanya
kalau tak mau pergi dari sini berarti mencari penyakit buat diri sendiri.”
“Soal ini biarlah cayhe rundingkan lebih dahulu dengan mereka berdua. Secepatnya
saya kembali memberi jawaban!”
Tidak menunggu Giok Siauw Lang Koen menanggapi lagi, ia segera putar badan dan
melangkah keluar.
Dengan perasaan tak puas orang berbaju hijau bertangan besi itu mendengus dingin
sementara dia siap melakukan pengejaran Giok Siauw Lang Koen telah ulapkan tangannya
mencegah.
Begitulah dengan langkah lebar Siauw Ling berjalan menuju keluar ruang, setibanya
disisi Sang Pat sambil angsurkan pil pemusnah racun itu ketangannya ia berseru, “Cepat
telan pil penawar racun ini!”
Racun dari anak panah pengejar nyawa berkepala ular benar-benar sangat keji
meskipun Sang Pat terkena belum lama tapi saat itu keadaannya sudah payah, wajahnya
berubah jadi hijau membesi sedang keringat dingin mengucur keluar tiada hentinya.
Sekalipun begitu kesadaranya masih tetap utuh ia segera menerima pil penawar racun
itu dari tangan toakonya dan ditelan kedalam perut.
Menyaksikan penderitaan dari Sang Pat, diam-diam Siauw Ling merasa bergidik,
pikirnya, “Anak panah pengejar nyawa berkapala ular itu sungguh luar biasa ampuhnya,
entah bagaimanakah khasiat dari obat penawar itu? apakah seperti yang dikatakan lelaki
tampan berseruling kumala itu, dalam waktu singkat racunnya bakal lenyap?”
Persoalan nomor satu yang dipikirkan Siauw Ling pada saat ini adalah berharap agar
luka yang diderita Sang Pat cepat sembuh, oleh sebab itu dengan pandangan tajam ia
awasi terus perubahan dari saudara angkatnya itu.
Sedikitpun tak salah, obat penawar racun keji itu luar biasa manjurnya, tidak lama
setelah Sang Pat menelan obat itu khasiatnya segera kelihatan peluh dingin yang
membasahi batok kepalanya mulai lenyap.
Siauw Ling tarik napas panjang, bisiknya kepada Tu Kioe, “Bawa dia ketempat yang
tenang dan aman suruh dia atur pernapasan dan jangan banyak bergerak menurut pemilik
obat penawar ini didalam satu jam kekuatannya akan pulih kembali seperti sedia kala.”
Sang Pat melirik sekejap kearah saudaranya bibirnya bergerak seperti mau
mengucapkan sesuatu tapi akhirnya maksud itu diurungkan, dibawah bimbingan Tu Kioe
berjalanlah dia dibawah sebuah pohon dan mengatur pernapasan disitu.
Dalam pada itu Soen Put shia menghampiri jago kita sambil tanyanya dengan suara
setengah berbisik, “Sudah kau temui orang itu?”
“Ehm, majikan dan pelayannya sudah kujumpai semua!”
“Kami temui seorang pemuda berjubah biru membawa seruling masuk kedalam
ruangan” Boe Wie Tootiang menambahkan.

“Dia adalah sang majikan, ada seorang lagi manusia berbaju hijau bertangan besi
dialah sang pelayan yang melukai saudara Sang dengan panah beracunnya!”
Boe Wie Tootiang megerutkan alisnya.
“Sang pembantu saja sudah begitu lihay ilmu silat yang dimiliki majikannya psti lebih
lihay lagi.”
“Bukan lihay saja bahkan jumawa dan sombong” batin Siauw Ling didalam hati. “Dia
sama sekali tidak memandang sebelah matapun terhadap partai Bu tong serta Kay Pang
kalian.”
Tapi karena merasa bahwa pernyataan yang sejujurnya malah bakal melukai nama baik
kedua orang itu, terpaksa ia menahan diri.
Sembari mengangguk sahutnya, “Bagaimanakah ilmu silat yang dimiliki sang majikan,
cayhe belum pernah mencobanya. Tapi aku sudah bergebrak dengan orang berbaju hijau
itu, kepandaian silatnya memang sangat lihay.”
“Apakah kau sudah tanyakan siapa namanya?”
“Ia tidak mengatakan namanya, tapi ia menyebut julukannya sebagai Giok Siauw Lang
Koen.”
“Giok Siauw Lang Koen? Giok Siauw Lang Koen?” gumam Soen Put shia tiada hentinya.
“Belum pernah aku dengar nama orang ini!”
“Kalau ditinjau dari umurnya, kurang lebih dua puluh lima enam tahunan” ia termenung
sebentar, lalu tambahnya. “Kalau cayhe tidak salah menduga, Giok Siauw Lang Koen
adalah sipeniup seruling yang kita dengar permainan musiknya sewaktu ada dikuil
keluarga Loo.”
“Kalau begitu dia adalah sahabat kita, sudah sepantasnya kalau kita pergi menjumpai
dirinya” kata Boe Wie Tootiang.
“Tak usah” Siauw Ling menggeleng. “Tabiatnya suka menyendiri dan jumawa, mungkin
ia tak sudi bercakap-cakap dengan kita.”
Ia berpikir sejenak, kemudian sambungnya, “Andaikata ia membantu kita secara diamdiam
pstilah disebabkan suatu sebab tertentu ini….! sikap Giok Siauw Lang Koen terhadap
diriku masih terhitung rada sungkan, tapi sipelayan berbaju hijau itu selalu pandang diriku
bagaikan orang yang paling dibencinya sepanjang hidup, ia terus menerus melototi diriku
dengan pandangan gusar. Seakan jiwaku setiap detik bisa dicabutnya.”
“Wah…. waah, kalau begitu orang itu memang kukoay sekali” seru Soen Put sambil
gelengkan kepalanya berulang kali. “Selama aku sipengemis tua berkelana didalam dunia
persilatan, memang sering sudah kujumpai manusia aneh berwatak dingin, tapi manusia
yang memandang setiap orang sebagai musuhnya belum pernah kutemui.”
“Masih ada banyak persoalan yang tidak berhasil cayhe paham, tapi kalau dipikir dibalik
persitiwa tersebut tentu mempunyai sebab-sebab tertentu!” ujar Siauw Ling perlahan.
“Apa sebabnya?”
“Mungkin persoalan ini mempunyai sangkut pautnya dengan enci Gak Siauw Cha….”
batin pemuda kita, sebelum duduknya perkara dibikin jelas ia merasa tidak leluasa untuk
bicara terus terang, maka sahutnya, “Sulit bagi cayhe untuk membuat dugaan terhadap
duduknya perkara itu, rasanya lebih baik kita nantikan saja perkembangan selanjutnya.”
Rupanya Boe wie Tootiang telah mengetahui bahwasanya Siauw Ling menemui
kesulitan untuk memberi jawaban, segera ia memberi bisikan kepada Soen Put shia untuk
tak banyak bertanya.
Siauw Ling sendiripun segera alihkan pembicaraan mereka kesoal lain, katanya,
“Sewaktu Giok Siauw Lang Koen menyerahkan pil penawar racun itu kepadaku tadi, iapun
sudah ajukan sebuah syarat.”
“Apa syaratnya itu?”
“Dia minta kita segera tinggalkan tempat ini.”

“Kenapa?” timbrung sisegulung angin Peng Im penasaran. “Apakah tempat ini milik
mereka?”
“Katanya ia mau menjumpai seorang sahabatnya ditempat ini, dan tidak ingin
pertemuannya itu terganggu oleh kehadiran kita.”
“Kalau memang begitu, pinto rasa ada baiknya kita segera tinggalkan tempat ini saja”
Boe wie Tootiang usulkan.
“Apakah saudara siauw telah menyanggupi permintaannya itu?” tanya Soen Put shia.
“Cayhe tidak berani sembarangan mengambil keputusan, maka sengaja aku datang
kemari untuk ajak loocianpwee berdua merundingkan persoalan ini.”
“Menurut penglihatan aku sipengemis tua, kendati ilmu silat yang dimiliki Giok Siauw
Lang Koen bagaimana lihaynyapun, kita tak boleh mengundurkan diri dengan begini saja.”
Siauw Ling tertegun, pikirnya dalam hati, “waah…. rupanya loocianpwee ini masih
mempunyai rasa ingin menang yang jauh tidak kalah dengan kaum muda.”
Meski berpikir begitu, diluaran ia berkata, “Ucapan Giok Siauw Lang Koen meski
diutarakan dengan amat sungkan, tapi nadanya tegas dan serius, andaikata kita
menampik mungkin saja dapat menimbulkan pertikaian yang seru.”
“Kalau kita harus mengundurkan diri dengan begini saja, bukankah tindakan kita ini
sama artinya melemahkan kekuatan sendiri?”
“Lalu menurut pendapat loocianpwee?”
“Haah…. haah…. bagaimanapun juga dia harus memberikan pertanggung jawabnya
terhadap kita.”
Ucapan terakhir ini diutarakan dengan suara lantang, rupanya dia ada maksud agar
orang yang ada didalam ruangan ikut mendengar perkataannya itu.
Sedikitpun tidak salah, dari balik sermabi sebelah barat segera muncul suara teguran
dari Giok Siauw Lang Koen, “Siapa yang telah mengucapkan perkataan begitu tak tahu
adat?”
Diam-diam Siauw Ling merasa keheranan, pikirnya, “Kalau dikatakan Soen Put shia
sengaja hendak mencari gara-gara dengan Giok Siauw Lang Koen hal ini rada tidak mirip,
entah apa sebabnya ia bersikeras tak mau pergi dari sini?”
Dalam pada itu Soen Put shia telah menjawab, “Aku sipengemis tua yang bicara!”
Terdengar suara tertawa dingin berkumandang datang, disusul munculnya lelaki
tampan berseruling kumala selangkah demi selangkah mendekati mereka, wajahnya
dingin penuh napsu membunuh, mulutnya bungkam dalam seribu bahasa tapi sepasang
matanya memancarkan cahaya tajam yang menggidikkan hati.
“Celaka!” pikir Siauw Ling. “Rupanya pertarungan tak bisa dihindari lagi….”
Walaupun ia belum pernah bergebrak melawan Giok Siauw Lang Koen, tapi teringat
akan kelihayan ilmu silat yang dimiliki ornag berbaju hijau itu, ia dapat membayangkan
sampai dimanakah kelihayan ilmu silat majikannya.
Karena kuatir Soen Put shia terluka didalam sebuah serangan kilatnya, buru-buru
pemuda kita lintangkan badannya menghadang didepan pengemis tua itu, serunya seraya
menjura, “Harap heng thay jangan gusar!”
“Siauw heng” tegur lelaki tampan berseruling kumala dengan alis berkerut. “Apakah kau
hendak mewakili orang lain untuk memusuhi diriku….?”
“Eeei…. secara baik-baik aku menasehati kau malah berkata dengan begitu tak tahu
adat kepadaku” batin Siauw Ling gusar segera serunya, “Bukankah sejak tadi sudah cayhe
utarakan bahwa persoalan ini tak bisa diputuskan oleh aku orang she Siauw seorang diri,
dan kini kami sedang merundingkan persoalan ini pergi atau tetap tinggal belum
diputuskan. Apa sebabnya heng thay datang kemari dengan marah-marah? bukankah
tindakanmu ini sama artinya memandang rendah diri kami?”

Air muka lelaki tampan berseruling kumala itu berubah hebat, ujarnya ketus, “Cayhe
tidak ingin menyusahkan dirimu, lebih baik berpeluklah tangan disamping kalangan, tak
usah kau campuri urusanku ini.”
“Heng thay, kalau kau memaksa terus menerus, jangan salahkan kalau aku orang she
Siauw terpaksa harus turut campur.”
“Jadi kalau begitu harus turut ambil keputusan untuk mengambil bagian dalam
persoalan ini?”
Siauw Ling mengangguk.
“Keadaan memaksa demikian, apa boleh buat terpaksa aku harus melakukan juga.”
Air muka Giok Siauw Lang Koen berubah berulang kali, jelas dalam hatinya terjadi
pergolakan kencang, matanya memandang tubuh Siauw Ling tajam-tajam, rupanya setiap
saat ia ada maksud turun tangan.
JILID 29
Siauw Ling tak berani bertindak gegabah, hawa murninya segera dihimpun jadi satu
dan bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan.
Masing-masing pihak saling bertahan beberapa saat lamanya, terkahir Giok siauw Lang
Koen berhasil menguasai diri, serunya ketus, “Hmm! baiklah, memandang diatas wajahnya
aku beri waktu sepertanak nasi lagi kepada kalian untuk berunding, kalau kamu sekalian
tetap keras kepala dan tak mau tinggalkan tempat ini. Heeh…. heeh…. jangan salahkan
kalau cayhe berbuat kurang adat!”
Habis berbicara tanpa menanti jawaban dari Siauw Ling lagi ia putar badan dan berlalu.
“Memandang diatas wajah “Nya”? siapa yang dia maksudkan sebagai “Nya” disini….?
apakah ia maksudkan enci Gak Siauw Cha?” pikir Siauw Ling.
Sekarang ia telah merasa yakin bahwa Giok siauw Lang Koen yang ditemuinya sekarang
bukan lain adalah sipeniup seruling kemarin malam, ia teringat kembali pemandangan
dikala Giok siauw Lang Koen serta Lan Giok Tong sama-sama menaruh rasa cinta yang
mendalam terhadap diri Gak Siauw Cha. Karena persaingan inilah menyebabkan sesama
saudara misan jadi bentrok dan saling bermusuhan bagaikan air dan api.
Dalam pada itu terdengarlah Soen put shia sedang bergumam seorang diri, “Sedikitpun
tidak salah, memang seruling kumala itu….”
“Bagaimana dengan seruling kumala itu?” tanya Siauw Ling dengan wajah tertegun.
Soen Put Shia menghela napas panjang.
“Waai….! aku sipengemis tua pernah menjumpai seruling kumala itu, meski sudah lewat
puluhan tahun lamanya tapi aku pengemis tua masih teringat baik-baik, seruling itu
memang tidak salah, hanya saja sipembawa serulingnya yang berbeda.”
Sebelum Siauw Ling sempat bertanya duduk perkara yang sebenarnya, tiba-tiba
terdengar Boe Wie Tootiang berkata pula sambil menghela napas panjang.
“Ooooh, betapa sempurnanya tenaga kweekang yang dimiliki orang ini.”
Siauw Ling berpaling kedepan, tampaklah permukaan tanah dimana barusan dilalui oleh
Giok siauw Lang Koen telah tertinggal bekas telapak kaki yang amat nyata.
Bukan saja telapak kaki itu sangat jelas bahkan dalam sekali, hal ini tentu saja
mengejutkan hati pemuda kita, segera pikirnya, “Diam-diam mengerahkan tenaga dalam
untuk meninggalkan bekas telapak yang begitu nyata kesulitan justru terletak pada cara
membagi kekuatan yang sempurna…. ia memang sangat lihay!”
Kemudian pikiran lebih jauh, “Kalau memang Soen Put shia telah mengetahui asal usul
dari seruling kumala itu, sepantasnya ia tak usah menanyakan asal usul dari Giok siauw
Lang Koen lagi, entah apa sebabnya ia bertindak demikian?”

Ketika dia alihkan sinar matanya, tampaklah Soen put shia sedang memandang
keangkasa sambil memikirkan satu persoalan, maka tegurnya dengan suara lirih,
“Loocianpwee, apakah kau mengambil keputusan untuk tetap berdiam disini?”
“Tal perlu, aku sudah menyaksikan seruling kumala itu, rasanya sudah sepantasnya
kalau kita pergi.”
“Ooh, kiranya dia sengaja memanasi hati Giok siauw Lang Koen, tujuannya bukan lain
hanya ingin melihat seruling kumala itu saja” batin pemuda kita, segera ujarnya, “Jadi
loocianpwee mengambil keputusan untuk berlalu dari sini?”
“Sedikitpun tidak salah, sudah kita saksikan sendiri seruling kumala itu, rasanya tetap
berada disinipun tiada kegunaannya bagi aku sipengemis tua….”
“Ooh, rupanya dia gunakan akal berbuat kasar tujuannya hanya untuk membuktikan
kecurigaan yang sedang dipikirkan dalam hatinya” kembali Siauw Ling berpikir. “Tapi aku
telah bentrok dengan Giok siauw Lang Koen, entah apa yang harus kulakukan sekarang,
disamping itu entah siapa yang hendak dijumpainya malam nanti, mungkinkah enci Siauw
Cha….?”
Untuk beberapa saat lamanya ia merasa pikirannya kacau dan tak tahu apa yang harus
dilakukan.
Rupanya Boe Wie Tootiang dapat menyaksikan kesulitan yang sedang dihadapi si anak
muda itu, sambil menghela napas panjang tanyanya, “Siauw thayhiap, apakah kau ingin
tetap tinggal disini?”
“Giok siauw Lang Koen memberi batas waktu kepada kita untuk berlalu dari sini dalam
sepertanak nasi. Andaikata kita menuruti perkataannya dan mundur dengan begini saja,
rasanya perbuatan kita ini terlalu melemahkan kekuatan sendiri.”
Cuma saja iapun merasa rada bingung, sebab kalau seandaianya mereka tetap berdiam
disitu maka suatu pertarungan sengit kemudian besar bisa berlangsung…. dalam keadaan
seperti ini, pemuda she Siauw itu merasa tak mengerti apa yang harus dikerjakan.
Boe Wie tootiang termenung berpikir sejenak, kemudian berkata, “Kalau menurut
pendapat pinto, lebih baik kita gunakan siasat jalan tengah yang baik saja.”
“Jalan tengah apa lagi yang bisa kau lakukan?” pikir Si anak muda itu dalam hati.
“Dalam keadaan seperti saat ini hanya dua jalan saja bagi kita, yaitu menurut perkataan
dan segera mundur dari sini, atau tetap tinggal ditempat ini sambil bertarung melawan
dirinya….”
Sekalipun ia berpikir demikian, diluaran katanya, “Silahkan tootiang utarakan
pendapatmu yang bagus itu!”
“Seandainya kita harus saling bergerbak dengan gunakan kekerasan hanya disebabkan
saling memperebutkan bangunan rumah ini sebagai tempat pemondokan pinto rasa hal ini
sama artinya persoalan kecil yang sengaja dibesar-besarkan tapi kalau suruh kita
mengundurkan diri dengan begitu saja, sama artinya menunjukkan kelemahan sendiri
dihadapan orang maka menurut pendapat pinto tiada halangannya bagi kita untuk
mengundurkan diri sementara waktu tapi sebelum berlalu tiada halangannya bagi Siauw
thayhiap untuk unjukkan sedikit kepandaian sakti agar bisa dilihat oleh mereka.”
“Ehmm, perkataan ini memang tidak salah” pikir Siauw Ling. “Setelah unjukan kekuatan
kita mundur dengan syarat, rasanya dengan begitu masing-masing pihak bisa
mempertahankan nama baiknya masing-masing, dan pertarungan yang tak bergunapun
bisa terhindar….” ia mengangguk tanda setuju.
“Ucapan tootiang memang sedikitpun tidak salah cuma cayhe tidak tahu bagaimana
harus memperlihatkan kekuatan kita?”
Boe Wie Tootiang tersenyum.

“Orang yang membawa seruling itu tinggalkan bekas telapak diatas permukaan tanah.
Walaupun ilmu silatnya sangat lihay tapi pinto percaya Siauw thayhiap pasti tak akan
kalah daripada dirinya.”
Ia merandek sejenak lalu ujarnya lagi, “Setiap manusia perduli bagaimanakah bakatnya
serta kecerdikannya, tak nanti ia berhasil melatih setiap jenis kepandaian hingga mencapai
saat kesempurnaan, setiap manusia tentu memiliki kekurangannya yang tersendiri, maka
dikala Siauw thayhiap hendak pamerkan kekuatannya nanti berusahalah menjauhkan diri
dari kelemahanpun, dan gunakanlah kelebihan yang kau miliki.”
“Ditinjau dari keadaan pada saat ini, rasanya memang hanya inilah satu-satunya jalan
yang terbaik” pikir pemuda itu, maka ia lantas mengangguk.
“Baiklah aku mengikuti ucapan dari tootiang.”
Boe Wie Tootiang segera menoleh kepada sutenya Ceng Yap Chin dan perintahnya,
“Bawalah semua anak murid kita yang ada disini untuk mengundurkan diri terlebih dahulu
dari bangunan rumah ini.”
Walaupun dalam hati Ceng Yap Chin tak ingin meninggalkan tempat itu, tapi sebagai
seorang adik seperguruan yang selalu menghormati suhengnya tanpa mengucapkan
sepatah katapun segera menjalankan perintah itu dan mengundurkan diri beserta para
anak murid Bu tong pay lainnya.
“Kau boleh mengundurkan diri juga!” seru Soen Put shia sambil memandang sekejap
kearah Peng Im.
Sisegulung angin mengiakan dan perlahan-lahan berjalan keluar dari rumah itu.
Memandang sekejap Sang Pat yang sedang duduk mengatur pernapasan dibawah
pohon bunga Siauw Ling berpikir, “Meskipun tujuanku hanya mendemonstrasikan
kepandaian, tapi kemungkinan besar bisa terjadi pertarungan sungguh-sungguh karena
desakan keadaan, luka yang diderita Sang Pat amat parah, rasanya tidak leluasa kalau dia
tetap berada disini, andaikata sampai terjadi pertarungan pikiranku tak bisa dicabangkan
untuk melindungi keselamatannya. Lagi pula saat ini dia sedang mengatur pernapasan
dan tak bisa diganggu, entah apa yang harus kuperbuat?”
Dari perubahan air muka si anak muda itu, rupanya Soen Put shia telah dapat menduga
apa yang sedang dipersoalkan, sambil tersenyum segera serunya, “Dikala saudara Siauw
mendemonstrasikan kepandaian nanti, tak usah kau cabangkan pikiran buat
memperhatikan dirinya. Aku sipengemis tua serta Boe Wie Tootiang rasanya sudah lebih
dari cukup untuk melindungi keselamatan Sang Pat.”
“Baiklah, kalau memang begitu aku titipkan dirinya kepada kalian.”
Sepertanak nasi berlalu dengan cepatnya, baru saja Siauw Ling selesai mengatur rekanrekannya,
dari serambi sebelah barat terdengar suara dari Giok Siauw Lang Koen
berkumandang datang, “Batas waktu telah habis, bagaimanakah keputusan dari cuwi
sekalian.”
Ucapan itu tidak terlalu keras tapi setiap patah kata berkumandang dengan amat
jelasnya.
Siauw Ling menoleh dan memandang sekejap kearah Soen Put shia serta Boe Wie
Tootiang, lalu pesannya, “Kalian berdua tak usah membantu cayhe.”
Ia merandek sejenak, dan serunya lantang, “Ada sedikit persoalan aku orang she Siauw
hendak mohon petunjuk darimu.”
“Saudara masih ada persoalan apa lagi?”
“Apakah heng thay bisa keluar dulu dari dalam ruanganmu?”
“Setiap perkataan yang cayhe ucapkan selamanya berat bagaikan bukit, kalau sampai
batas waktunya habis kalian belum juga berlalu dari sini, itu berarti kalian yang mencari
kematian buat diri sendiri. Andaikata Siauw heng ada maksud mempersoalkan hal itu

dengan diri cayhe, aku nasehati dirimu lebih baik batalkan saja maksudmu itu sebab
percuma.”
Dalam hati Siauw Ling merasa amat gusar, serunya ketus, “Sebetulnya kami hendak
berlalu dari sini tapi setelah saudara berbicara demikian mungkin cayhe bisa berubah
pikiran.”
“Berubah pikiran bagaimana?”
“Dengan ucapanmu barusan, meskipun kami hendak tinggalkan tempat ini hal
tersebutpun baru akan kami lakukan sepertanak nasi lagi.”
“Siauw Ling!” teriak Giok Siauw Lang Koen sambil tertawa dingin. “Aku sudah terlalu
bersabar dengan dirimu.”
“Selama hidup, cayhepun baru kali ini bicara sungkan-sungkan terhadap orang lain.”
“Masih ada seperminum teh lagi batas waktu sepertanak nasi akan habis….!”
Siauw Ling mendengus dingin, ia tidak memperdulikan perkataan dari lelaki tampan
berseruling kumala itu, sambil menoleh kepada Soen Put shia serta Boe Wie Tootiang
katanya, “Orang ini terlalu jumawa dan sombong, sungguh membuat hati orang merasa
mendongkol, rupanya kita harus tetap tinggal ditempat ini.”
“Janganlah disebabkan persoalan kecil hingga mengacaukan masalah besar….” nasehat
Boe Wie Tootiang. “Dewasa ini kekuatan Shen Bok Hong sedang mencapai pada
puncaknya, untuk menghadapi gembong iblis itu saja sudah rada kewalahan, apa gunanya
menanam biji permusuhan lagi dengan orang lain?”
Mendengar ucapan tersebut Siauw Ling segera menghela napas panjang.
“Aaaai….! perkataan dari tootiang sedikitpun tidak salah, rasanya memang lebih baik
kita mengalah satu tindak kepadanya.”
“Untuk menghindari segala hal yang tidak diinginkan, bagaimana kalau kita berlalu
selangkah lebih cepat?”
“Baiklah! aku sipengemis tua memang sudah merasa amat reyot, angkara murka
memang tiada dalam hatiku lagi!”
Melihat kedua orang loocianpwee itu sudah mengambil keputusan untuk berlalu, Siauw
Ling segera berpaling untuk memanggil Sang Pat guna bersama-sama tinggalkan tempat
itu.
Siapa tahu pada saat itulah mendadak terdengar suara teguran yang diiringi suara
tertawa dingin berkumandang datang, “Kalian hendak bunuh diri? ataukah memaksa
cayhe yang turun tangan….?”
Soen Put shia segera berpaling, dia lihat Giok Siauw Lang Koen dengan seruling
terhunus sedang berdiri kurang lebih satu tombak dihadapan mereka dengan wajah penuh
napsu membunuh, siorang berbaju hijau itu berdiri dibelakang majikannya.
Dalam pada itu orang berbaju hijau tadi telah melepaskan topengnya sehingga
tampaklah wajah sebenarnya yang berwarna hijau membesi, meskipun pada janggutnya
tiada jenggot tapi usianya nampak sekali sudah mencapai tiga puluh tahunan lebih.
Siauw Ling menoleh dan memandang sekejap kearah Soen Put shia, dia lihat wajah
pengemis tua ini, sudah diliputi kegusaran jelas sikap jumawa dan sombong dari Giok
Siauw Lang Koen telah membangkitkan hawa amarah dari jago tua ini.
Siauw Ling segera tertawa dingin.
“Maksud saudara, apakah kau suruh kami sekalian bunuh diri dihadapanmu….?”
“Kalau kalian paksa cayhe untuk turun tangan sendiri, aku takut cuwi sekalian bakal
merasakan dulu suatu penderitaan yang maha berat.”
“Tahukah saudara akan sepatah kata?”
“Perkataan apa?”
“Seorang lelaki sejati boleh dibunuh tak sudi dihina!”
“Hehmm…. cuwi sekalian boleh mati dan tak usah terhina.”

“Tapi cayhe sekalian tak sudi bunuh diri!”
“Mau menggunakan cara apapun terserah pada pilihan cuwi sendiri, pokoknya kamu
semua harus mati.”
Mendengar ucapan pihak lawan sesumbar dan makin lama semakin tak sedap didengar,
hawa amarah didalam dada Siauw Ling berkobar juga, pikirnya, “Sekalipun kami bakal
kalah ditanganmu tak sudi kami menderita penghinaan seperti ini, perduli menang atau
kalah dalam pertarungan nanti, aku harus memberi sedikit pelajaran kepadamu.”
Berpikir demikian, segera ujarnya dengan nada ketus, “Kami tak sudi bunuh diri,
dengan sendirinya terpaksa harus mengudang dirimu untuk turun tangan sendiri.”
Air muka Giok Siauw Lang Koen berubah hebat.
“Hmm, rupanya belum melihat peti mati kalian tak akan mengucurkan air mata.”
jengeknya dingin. “Sebelum tiba disungai Hoang hoo, hati kalian tak mati, bagus siapa
yang pingin modar dulu?”
“Cayhe akan menjajal lebih dulu” sahut Siauw Ling sambil busungkan dadanya.
“Kau yang nomor satu pingin cari mati?”
“Caye adalah orang pertama yang akan menjajal kepandaian silatmu, benarkah mati
masih sulit untuk dibicarakan mulai sekarang….”
Ia merandek sejenak, lalu tambahnya, “Mungkin cayhelah yang sudah kesalahan
tangan hingga melukai diri saudara!”
“Hmm, orang-orang bilang kau Siauw Ling sombong dan jumawa, ini hari setelah
berjumpa sendiri aku baru merasa bahwa ucapan itu sedikitpun tidak salah, kalau
memang kau pingin modar, cayhe akan menyempurnakan keinginannmu itu.”
Maksud ucapan itu seolah-olah andaikata terjadi bentrokan maka Siauw Linglah yang
berada dipihak kalah.
“Saudara, siapakah yang bakal kalah sebentar lagi bakal diketahui. Aku rasa kau tak
usah jual lagak terlalu pagi!”
Mendadak Giok Siauw Lang Koen merangsek kedepan, sambil menotok dada Siauw
Ling dengan serulingnya ia menghardik, “Berbaring kau!”
Siauw Ling telah bergerak melawan orang berbaju hijau itu, ia tahu Giok Siauw Lang
Koen sebagai majikan kepandaian silatnya tentu jauh berada diatas pelayanannya, oleh
karena itu sejak pertama tadi dia sudah bikin persiapan.
Dikala Giok Siauw Lang Koen ayunkan serulingnya melancarkan totokan itulah, Siauw
Lingpun ayunkan telapak kanannya menghantam seruling tersebut, sementara badannya
mengingos.
“Belum tentu kawan!” ejeknya.
Baru saja ucapan itu diutarakan keluar, mendadak ia rasakan segulung desiran tajam
menerjang badannya.
Sejak tadi Siauw Ling sudah kerahkan hawa khiekang pelindung badannya disekeliling
tubuh, meskipun serangan jari itu datangnya secara mendadak tapi segera terbendung
oleh hawa khiekang itu hingga tak menyebabkan ia terluka.
Kendati begitu hatinya terkesiap juga pikirnya, “Serangan dahsyat itu entah sejak kapan
dilancarkan? andaikata dilepaskan bersamaan dengan datangnya ancaman seruling
kumala itu, tak nanti sedemikian cepatnya, tidak aneh kalau ia berani sesumbar menyuruh
aku berbaring! bila aku tak memiliki hawa khiekang pelindung badan niscaya jalan
darahku sudah kena terhajar dan saat ini aku sudah roboh diatas tanah.”
Sebaliknya Giok Siauw Lang Koen sendiri seketika melihat serangan dengan telak
bersarang diatas dada lawannya namun pemuda itu sama sekali tak berkutik bahkan
seolah-olah tidak terjadi sesuatu apapun, dan malahan ada satu tenaga pantulan yang
membendung hawa serangannya, dalam hati seketika terkesiap pikirnya, “Aaah, ternyata
ia berhasil menguasai hawa khiekang pelindung badan yang amat dahsyat itu.”

Meski dalam hati kedua belah pihak sama-sama terperanjat, tapi serangan gencar yang
dilancarkan sama sekali tak berhenti.
Tampak Giok Siauw Lang Koen menekan serulingnya kebawah meloloskan diri dari
cengkeraman lima jari Siauw Ling, kemudian secara mendadak memutar keatas menotok
pergelangan kanan si anak muda itu.
Buru-buru Siauw Ling putar pergelangan kanannya dan tarik kembali tangannya
kebelakang. Sedangkan tangan kiri mengirimkan satu pukulan.
Begitu pukulan tersebut dilancarkan, maka bersambunglah serangan-serangan
berikutnya dengan gencar, dalam sekejap mata ia sudah mengirim dua belas serangan
berantai.
Mendadak Giok Siauw Lang Koen meloncatmundur tiga langkah kebelakang, tegurnya,
“Bukankah yang kau gunakan adalah ilmu pukulan kilat berantai dari Lam It Kong?”
“Sedikitpun tidak salah” jawab Siauw Ling sambil menantikan pula serangannya.
“Pengetahuan yang kau miliki ternyata cukup luas juga!”
Meski diluaran berkata demikian, dalam hati pikirnya dengan terkesiap, “Ilmu silat yang
dimiliki orang ini bukan saja sangat lihay, pengetahuan yang dimiliki ternyata luas
sekali….”
“Darimana kau pelajari ilmu pukulan tersebut??” terdengar Giok Siauw Lang Koen
menegur kembali.
“Soal ini? maaf aku tak bisa memberitahukan kepadamu.”
“Maksud cayhe adalah ingin mengetahui duduknya perkara, kau dapatkan langsung dari
orangnya ataukah mempelajari dari catatan kitab ilmu silat?”
“Sudah tentu mendapat warisan langsung dari orangnya?”
“Jadi kalau begitu Lam It Kong masih hidup dikolong langit dan belum mati….” ia
merandek sejenak. “Sekarang dia berada dimana?”
“Pokoknya dia orang tua masih hidup dikolong langit, buat apa kau tanyakan tempat
tinggalnya? maaf, persoalan ini lebih baik tak usah kau tanyakan lagi.”
“Hmm! meskipun kau tak mau mengaku terus terang, suatu ketika aku akan berhasil
mengetahuinya sendiri.”
Seruling kumalanya berkelebat kedepan satu serangan totokan segera meluncur keluar.
Siauw Ling segera lintangkan telapak tangannya untuk menangkis, kemudian didorong
kemuka membabat seruling kumala lawan.
“Sombong amat orang ini” pikir Giok Siauw Lang Koen didalam hati. “Ternyata berani
menyambut serangan serulingku dengan telapak tangan, aku harus memberi sedikit
pelajaran kepadanya agar dia tahu diri.”
Berpikir demikian seruling kumalanya segera ditekan kebawah dan berputar
menyongsong kedatangan lawan.
Tampaklah kelima jari Siauw Ling laksana cakar burung elang berkelebat kemuka dan
mencengkeram seruling kumala tersebut.
“Kurang ajar, kau sendiri yang cari kesulitan. Jangan salahkan kalau hatiku kelewat
kejam” pikir lelaki tampan berseruling kumala itu.
Hawa murninya segera disalurkan kedalam senjata serulingnya itu.
Rupanya pada seluruh tubuh seruling kumala yang ada ditangan Giok Siauw Lang Koen
tersebut terdapat banyak sekali tonjolan-tonjolan kecil yang sangat tajam. dengan
kesempurnaan tenaga kweekang yang dimiliki lelaki tampan berseruling kumala itu, jarang
sekali ada orang yang berhasil lolos dari tusukan tonjolan tajam tersebut.
Tetapi Siauw Ling tetap menggenggam erat-erat seruling itu, bukan saja sama sekali
tidak terluka bahkan cekalannya kian lama kian mengencang.
“Ehmm, ternyata ilmu silat yang kau miliki lihay sekali….” seru Giok Siauw Lang Koen
dengan alis berkerut. “Lepaskan seruling kumalaku….!”

“Aneh benar orang ini” pikir Siauw Ling. “Toh kita sedang berhadapan sebagai musuh
mana ada orang yang suruh musuhnya melepaskan genggaman pada senjatanya? aaah,
mungkin seruling kumala ini terlalu berharga sekali hingga ia takut rusak….”
Berpikir demikian diapun lantas menuntut dan melepaskan genggamannya.
Rupanya Giok Siauw Lang Koen tidak menyangka kalau bentakannya menyebabkan
Siauw Ling benar-benar melepaskan genggamannya pada seruling kumala tersebut,
sambil mundur tiga langkah kebelakang ujarnya dengan suara dingin, “Ternyata Siauw
heng sangat penurut dengan perkataanku.”
Mendadak ia ayunkan seruling kumalanya, dibawah sorot cahaya matahari tampaklah
berpuluh-puluh kilatan cahaya yang lembut berdesiran keluar dari mulut seruling itu dan
memancar keempat penjuru.
Kiranya didalam seruling kumala yang tampaknya antik itu telah dipasang alat rahasia
yang bisa memuntahkan senjata rahasia beracun.
siauw Ling melirik sekejap kearah seruling kumala itu, kemudian ujarnya dengan suara
dingin, “Kiranya seruling kumala milik saudara itu masih dapat memuntahkan senjata
rahasia yang demikian kejinya, sungguh membuat aku Siauw Ling terbuka sepasang
matanya.”
“Hmm, andaikata saudara tidak mendengarkan perkataan dari cayhe, mungkin pada
saat ini kau sudah terluka diujung senjata rahasia beracun ini….”
“Walaupun caramu menyembunyikan jarum beracun didalam seruling amat bagus dan
keji hingga membuat orang sama sekali tidak menyangkanya, tapi belum tentu dapat
melukai aku orang she Siauw.”
Giok Siauw Lang Koen tidak tahu kalau Siauw Ling mengenakan sarung tangan kulit
ular yang kebal terhadap senjata apapun, segera ia tertawa dingin.
“Alat rahasia yang kupasang didalam sarung ini mempunyai kekuatan memancar yang
sangat hebat, sekalipun kau memiliki hawa khiekang untuk melindungi badan, belum tentu
bisa membendung serangan jarum beracunku yang halus dan tajam itu.”
“Rupanya ia suruh aku melepaskan seruling kumalanya adalah bermaksud baik” pikir
Siauw Ling. “Lebih baik aku tidak usah mempersoalkan masalah ini lagi dengan dirinya.”
Karena itu diapun tidak berbicara lagi.
Terdengar Giok Siauw Lang Koen berkata kembali, “Aku telah mengampuni selembar
jiwamu, apakah kau masih juga belum mau tahu diri dan mundur dari sini?”
“Kalau aku menyetujui permintaannya dan mundur dari sini, orang ini pasti akan turun
tangan keji dan menciptakan pembunuhan besar-besaran. Bagaimanapun juga aku harus
mencari akal untuk menundukkan lelaki tampan berseruling kumala itu….”
Perlahan-lahan Siauw Ling mencabut keluar pedangnya dari dalam sarung, lalu berkata,
“Jurus serangan seruling kumala saudara pasti lihay dan sempurna, cayhe sangat
berharap untuk minta beberapa petunjuk dari kepandaian ilmu serulingmu itu.”
“Heeh…. heeh…. heeh…. Siauw Ling” jengek Giok Siauw Lang Koen sambil tertawa
dingin. “Tahukan kau apa sebabnya aku mengalah terus kepadamu?”
“Kenapa?”
“Karena seseorang!”
“Siapakah orang itu? apa hubungannya orang itu dengan diri cayhe?”
Hawa napsu membunuh yang amat tebal menyelimuti seluruh wajah Giok Siauw Lang
Koen, ujarnya dingin, “Selama hidup belum pernah aku bersikap begini sungkan dan sabar
kepada siapapun, hanya terhadap kau Siauw Ling saja yang boleh dikata pengecualian.”
“Saudara tak usah terlalu kukuh pada pikiranmu, aku Siauw Ling adalah Siauw Ling
sama sekali tiada hubungan atau sangkut paut apapun dengan orang lain, kalau mau
turun tangan lakukanlah dengan hati lapang.”

“Kau hendak paksa aku turun tangan?” jerit Giok Siauw Lang Koen dengan mata
berkilat.
“Cahye sama sekali tiada maksud untuk memaksa saudara untuk turun tangan, tapi
kaupun tak usah bersikap sungkan-sungkan terhadap diriku, mari kita tentukan
kemenangan kita dengan andalkan ilmu silatnya masing-masing.”
“Haaah…. haaah…. haaah…. bagus, kalau begitu berhati-hatilah….”
Serulingnya mendadak berkelebat kedepan melancarkan sebuah totokan.
Meskipun diluaran Siauw Ling bicara enteng dan seenaknya, padahal dalam hati
kecilnya sama sekali tidak berani pandang rendah lawannya, ia tarik napas panjangpanjang
dan secara mendadak mundur tiga depa kebelakang.
Giok Siauw Lang Koen tertawa dingin, seruling kumalanya bergerak cepat dalam
sekejap mata melancarkan tiga buah serangan berantai.
Walaupun hanya tiga serangan belaka, tapi bayangan seruling yang diciptakan dalam
serangan itu bermunculan dari empat arah delapan penjuru, hingga nampak begitu
dahsyatnya.
Menyaksikan kelihayan lawan, Soen Put shia segera berpaling memandang sekejap
kearah Boe Wie Tootiang dan ujarnya dengan suara lirih, “Jurus serangan ini sangat aneh
dan lihay jarang sekali aku sipengemis tua menyaksikan kepandaian seperti ini.”
“Benar, siapa menang siapa kalah sulit sekali ditentukan dalam pertarungan ini….”
Rupanya sebelum ucapan itu selesai diutarakan mendadak ia membungkam dan tidak
berbicara lagi.
Termakan oleh desakan bayangan seruling yang memenuhi angkasa itu Siauw Ling
secara beruntun mundur lima langkah kebelakang dengan susah payah ia baru berhasil
lolos dari serangan gencar tersebut.
Giok Siauw Lang Koen tertawa dingin jengeknya, “Sungguh luar biasa sekali, ternyata
kau masih sanggup untuk menghindarkan diri dari tiga jurus seruling angin puyuh ini!”
Mulutnya berbicara tangannya sama sekali tidak berhenti menyerang, bahkan sejurus
lebih cepat dari jurus berikutnya. Seketika itu juga Siauw Ling telah terkurung didalam
lapisan bayangan siseruling lawan.
Sejak terjunkan diri kedalam dunia kangouw belum pernah Siauw Ling jumpai
pertarungan yang begitu seru dan berbahayanya seperti hari ini, serangan-serangan Giok
Siauw Lang Koen yang begitu cepatnya ternyata membuat si anak muda itu tak sanggup
melancarkan serangan balasan.
Dalam sekejap mata kedua orang itu telah saling bergebrak puluhan jurus banyaknya,
Siauw Ling selain dipaksa berputar kayuh dengan langkah yang kacau, sedikit
kesempatanpun tak ada baginya untuk mengirim serangan.
Soen Put shia yang menyaksikan keadaan itu jadi gelisah, bisiknya kepada Boe Wie
Tootiang, “Tootiang, aku lihat keadaannya rasa kurang beres, ia selalu berada didalam
situasi yang terkurung, mana sanggup bertahan lebih lama lagi? bagaimana kalau aku
sipengemis tua membantu dirinya?”
“Legakan hatimu loocianpwee, walaupun situasi Siauw Ling agak berbahaya namun
tidak sampai mengancam jiwanya. Keanehan serta kelihayan jurus serangan ilmu seruling
orang ini betul-betul luar biasa sekali, pintopun baru pertama kali ini menyaksikan
kepandaian tersebut, andaikata kita turun tangan membantu dirinya, aku takut malahan
akan membuyarkan konsentrasinya lebih baik tunggu sesaat lagi baru mengambil
keputusan.”
Meskipun ia menghibur diri Soen Put shia, tapi dalam hati kecilnya diam-diam iapun
merasa amat terperanjat.

Siauw Ling ditengah pertarungan sengit yang tidak memberi kesempatan baginya buat
melancarkan serangan balasan, selalu terkurung desakan seruling kumala Giok Siauw
Lang Koen yang dahsyat.
Seperminum teh lamanya sudah lewat, tapi Siauw Ling tetap terkurung didalam
pertarungan yang serba mengerikan itu.
Jurus serangan Giok Siauw Lang Koen kendati sangat lihay, tapi ia belum sanggup
merontokkan pedang panjang dari Siauw Ling.
Mendadak terdengar si anak muda itu membentak keras, pedangnya menekan keatas
menerjang keluar dari bayangan seruling yang berlapis itu dan mulai balas melancarkan
serangan balasan.
Terdengar suara bentrokan senjata yang amat nyaring berkumandang memenuhi
angkasa, percikan api menyilaukan mata.
Dengan susah payah akhirnya Siauw Ling berhasil juga menemukan sebuah titik
kelemahan dengan menggunakan kesempatan itulah ia lolos dari kepungan bayangan
seruling yang berlapis-lapis dan segera melancarkan tiga buah serangan.
Tampaklah berkuntum-kuntum bunga pedang diiringi kilatan cahaya tajam menyambar
keudara balas mengurung tubuh lawan.
Sampai detik itulah Boe Wie Tootiang baru dapat menghembuskan napas panjang,
gumamnya, “Ooh, ternyata ia tak sampai terpengaruh dalam kepungan bayangan seruling
lawan.”
“Benar,benar berbahaya sekali” sambung Soen Put shia pula.
Saat itu sitangan besi yang ada dibelakang Giok Siauw Lang Koen berubah air mukanya
dengan mata terbelalak lebar saksikan pertarungan antara kedua orang itu, rupanya
silelaki tampan berseruling kumala itu telah mengerahkan segenap tenaganya.
Tampaklah pertarungan antara kedua orang itu makin lama semakin seru, seruling
kumala pedang panjang masing-masing mengeluarkan keampuhannya masing-masing.
Boe Wie Tootiang menoleh dan memandang sekejap kearah pengemis tua itu, lalu
bisiknya, “Loocianpwee, bagaimanapun juga kita harus carikan akal untuk mencegah
mereka bertarung lebih lanjut.”
“Kalau kita berteriak pada saat ini, mungkin mereka tak mau berhenti!”
“Tapi kalau suruh mereka bertarung lebih jauh, mungkin akan mengakibatkan kedua
belah pihak sama-sama menderita luka.”
Soen Put shia segera memandang kearah kalakang dengan lebih seksama, ia lihat
diatas wajah Siauw Ling secara lapat-lapat sudah muncul air keringat jelas ia telah
mengerahkan segenap tenaganya. Dan ketika ia menoleh kearah Giok Siauw Lang Koen
segera lapat-lapat diapun lihat pada jidat orang itu sudah bermandikan peluh.
Pada saat yang amat kritis itulah mendadak terdengar suara bentakan nyaring
berkumandang datang, “Tahan!”
Laksana kilat Giok Siauw Lang Koen melancarkan satu serangan menangkis datangnya
ancaman pedang lawan, kemudian loncat mundur lima depa kebelakang.
Sejak terjun kedalam dunia persilatan, baru kali ini Siauw Ling benar-benar telah
bertemu dengan musuh tangguh, pertarungan yang amat seru dan penuh dengan mara
bahaya ini menyebabkan timbulnya rasa kagum dalam hatinya pada lelaki tampat itu.
Oleh karena itu ketika Giok Siauw Lang Koen tarik kembali senjatanya seraya meloncat
mundur.
Menanti ia berpaling kesamping, tampaklah seorang nona cilik berusia lima belas enam
belas tahunan dengan rambut dikepang dan memakai celana panjang berwarna hijau ikat
pinggang warna kuning dan menyoren sebilah pedang dipunggungnya berdiri dengan
muka keren didepan pintu.

Satu ingatan berkelebat dalam benak Siauw Ling pikirnya, “Bukankah dayang ini adalah
sinona cilik yang kujumpai kemarin malam? dia aalah dayang kepercayaan dari enci Siauw
Cha, jangan-jangan kedatangannya adalah atas perintah dari enci Siauw Cha….”
Dalam pada itu tampaklah Giok Siauw Lang Koen yang jumawa, sombong dan tidak
pandang sebelah mata terhadap siapapun itu berpaling memandang sekejap kearah nona
itu lalu menjura sambil ujarnya, “Nona Soh Boen, baik-baikkah selama berpisah?”
Sepasang biji mata gadis berbaju hijau yang bulat gede itu berputar sekejap keempat
penjuru, kemudian sahutnya sambil balas memberi hormat, “Budak tidak berani
menyambut penghormatan dari Giok Siauw Lang Koen!”
“Nona datang kemari entah ada urusan apa?”
Sewaktu mengucapkan kata-kata tersebut, wajahnya nampak tegang sekali.
“Aku datang untuk menyampaikan satu persoalan kepadamu.”
“Persoalan apa? apakah menyangkut nona Gak?”
“Tidak salah, nona suruh aku datang menyampaikan kabar kepada siankong, katanya
pada pertemuan malam nanti ia tidak ingin datang kemari.”
“Kenapa?” katanya Giok Siauw Lang Koen dengan wajah berubah hebat.
“Kenapa? aku sendiripun tak tahu” sinar matanya segera dialihkan keatas wajah Siauw
ling, terusnya. “Siauw siangkong, apakah kau sudah tidak kenal dengan budak lagi?”
“Bukan, kita sudah bertemu sebanyak dua kali.”
“Pertama kali nona memakai pakaian pria tentu saja tak dapat dihitung….!”
Soh Boen tersenyum, ia kembali menoleh kearah Giok Siauw Lang Koen sambil berkata,
“Kata nona siangkong tak usah menunggu dirinya lagi ditempat ini.”
“Ini hari ia tak mau ketemu, lalu sampai kapan kita baru bisa saling berjumpa lagi?”
“Kata nona, kalau dia ingin bertemu dengan dirimu, setiap saat bisa mengutus orang
untuk mencari dirimu.”
Air muka Giok Siauw Lang Koen seketika berubah hebat, sebentar berubah jadi pucat
pasi sebentar lagi berubah jadi hijau membesi. Jelas dalam hatinya terjadi pergolakan
yang sangat keras. Setelah termenung sejenak akhirnya sambil mendepakkan kakinya
keatas tanah ia ulapkan tangannya kearah sitangan besi, serunya, “Ayoh kita pergi!”
Sekali berkelebat tubuhnya sudah berada diatas atap rumah dan lenyap dari
pandangan.
Siorang bertangan besi itu segera mengikuti dibelakang majikannya, dalam waktu
singkat mereka berdia sudah lenyap dari pandangan.
Menanti kedua orang itu sudah pergi jauh, Soh Boen baru berjalan mendekati Siauw
Ling sambil ujarnya, “Siauw siangkong, apakah kau ingin berjumpa dengan nona kami?”
Siauw Ling tertawa hambar.
“Kalau nona sedang repot, bertemu atau tidak rasanya tidak terlalu penting.”
“Bukankah kemarin malam kau masih minta pertolonganku untuk berjumpa dengan
nona kami? apakah sekarang kau sudah berubah pikiran?”
“Nona jangan salah paham, kalau nona Gak dapat berjumpa dengan diriku, cayhe pasti
akan memenuhi janji.”
“Kau tak usah pergi memenuhi janji bagaimana kalau sekarang juga kubawa dirimu
untuk berjumpa dengan dirinya?”
“Leluasa tidak?”
“Kalau tidak leluasa atau belum memperoleh ijin dari siocia kami, budak mempunyai
berapa banyak nyali sehingga berani membawa dirimu pergi menemui dirinya?”
“Cayhe mempunyai satu permintaan yang tidak pantas dan ingin menanyakan beberapa
persoalan, apakah nona sudi menjawab?”
“Baik, katakanlah.”

“Kenapa kemarin malam nona Gak tak mau bertemu dengan aku, sedang ini hari malah
mengutus nona untuk mengajak aku bertemu dengan dirinya, apa sebenarnya yang
terjadi dibalik peristiwa tersebut?”
“Kalau dikatakan duduk perkaranya sulit untuk dikatakan” sahut Soh Boen setelah
berpikir sejenak. “Kalau dikatakan tiada duduk persoalannya dalam kenyataan memang
tiada persoalan apapun, jangan dikata budak tak begitu mengerti, meskipun tahu juga tak
dapat mengatakannya kepada diri Siauw siangkong!”
“Tahukah kau apa sebabnya sekarang nona Gak datang mencari diriku….?”
“Kenapa? kenapa tidak kau jumpai dulu nona Gak….” mendadak ia perendah
ucapannya dan menyambung lebih jauh, “Bukan kurang begitu tahu tentang hubungan
yang sebenarnya antara nona Gak dengan Siauw siangkong, tapi aku tahu karena dirimu
ia sudah gunakan banyak pikiran dan tenaga kami dua bersaudara harus lari kesana lari
kemari, karena persoalanmu, persoalan mengenai Lam Hay Ngo Hiong hanya satu
diantaranya saja, rupanya dia tidak ingin agar kau mengetahui kalau dialah yang secara
diam-diam membantu dirimu….” belum habis berbicara ia tutup mulut dan tidak buka
suara lagi.
Siauw Ling menanti beberapa saat lamanya ketika tidak mendengar Soh Boen
meneruskan kata-katanya, tak tahan ia segera bertanya, “Apakah nona sudah selesai
berbicara?”
“Belum!”
“kenapa tidak kau teruskan?”
“Budak tidak bisa mengatakan dan tidak berani mengatakannya keluar.”
“Tidak mengapa, cayhe cuma ingin tahu saja.”
Soh Boen tarik napas dalam-dalam dan menyahut, “Budak sudah berbicara terlalu
banyak, lebih baik siangkong jangan bertanya lagi!”
Siauw Ling tidak memaksa, sambil berpaling memandang sekejap kearah Soen Put shia
sekalian tanyanya, “Nona, tolong tanya beberapa orang sahabat cayhe ini apakah boleh
ikut serta pergi menjumpai nona Gak….?”
“Ketika budak datang kemari nona tidak berpesan apa-apa, tapi menurut apa yang
budak ketahui, nona paling tidak suka bertemu dengan orang asing.”
“Saudara Siauw, kau tak usah bingung, biarlah kami sekalian menunggu disini” seru
Soen Put shia.
“Aaaaaai….! sekarang nona Gak berada dimana?”
“Dekat dari sini!”
Siauw Ling lantas menjura kepada pengemis tua sekalian, ujarnya, “Harap cuwi
sekalian menunggu sebentar disini, cayhe segera akan kembali setelah urusan selesai!”
“Saudara Siauw tak usah sungkan-sungkan silahkan.”
Demikian Siauw Lingpun segera berjalan keluar dari ruangan itu mengikuti dibelakang
dayang tersebut.
“Bagaimana kalau kita berjalan cepat sedikit?”
“Silahkan nona berlari seluat tenaga, cayhe percaya masih sanggup untuk menyusul
dirimu!”
Soh Boen tersenyum.
“Budak sudah pernah menyaksikan kepandaian silat dari Siauw siangkong, kamu
memang betul-betul lihay sekali tapi budak sama sekali tiada maksud untuk beradu ilmu
meringankan tubuh dengan diri Siauw siangkong” katanya.
Teringat bantuannya secara diam-diam sebanyak beberapa kali, Siauw Ling merasa
pipinya jadi panas karena jengak.
Rupanya Soh Boen dapat menyaksikan kelakuan si anak muda itu, mendadak ia lari
cepat kemuka sambil serunya, “Marilah, budak akan membawa jalan!”

Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki nona cilik ini ternata lihay sekali, sementara
Siauw ling masih berdiri tertegun Soh Boen sudah berada empat lima tombak jauhnya,
buru-buru ia mengempos tenaga dan mengejar dari belakang.
Begitulah dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh dalam sekejap mata mereka
berdua sudah berlari puluhan li jauhnya.
Dengan sekuat tenaga Siauw Ling menyusul dari belakang, sewaktu ia berada satu
tombak dibelakang nona itu, mendadak Soh Boen berhenti berlari.
Siauw Ling tidak menyangka akan hal itu, hampir saja ia menubruk diatas tubuhnya,
dalam keadaan terdesak cepat-cepat ia tarik napas dan mengerem kakinya.
“Waah, benar hebat sekali ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Siauw siangkong” puji
Soh Boen sambil tersenyum.
“Huuh….! kenapa tak berjalan lagi.”
“Sudah sampai!” sahutnya sambil menuding kearah sebuah rumah gubuk yang muncul
ditengah lebatnya pepohonan kurang lebih puluhan tombak dihadapan mereka. “Itu,
dalam rumah gubuk tersebut!”
Memandang sekejap kearah rumah gubuk tersebut, bibir Siauw Ling bergerak seperti
mau mengucapkan sesuatu namun akhirnya maksud itu diurungkan.
Perlahan Soh Boen berjalan memasuki hutan tersebut, sambil berjalan katanya, “Siauw
siangkong dalam pembicaraanmu nanti setelah berjumpa dengan nona Gak, harap kau
suka sedikit berhati-hati.”
“Kenapa?”
“Ia sudah cukup sengsara, kau tak boleh menyakiti hatinya lagi.”
“Baiklah cayhe akan berusaha untuk menyabarkan diri!”
Sementara pembicaraan masih berlangsung mereka semakin mendekati rumah itu.
Ketika tiba didepan rumah gubuk, Soh Boen segera mengetuk pintu.
Seorang gadis cantik berbaju serba merah dan menyoren pedang berdiri membuka
pintu.
“Apakah nona ada didalam?” bisik Soh Boen lirih.
Gadis berbaju merah itu memperhatikan sekejap diri Siauw Ling lalu mengangguk.
“Nona ada didalam, Siauw siangkong silahkan masuk!”
Siauw Ling melengak, pikirnya, “Darimana dayang ini bisa tahu kalau aku she Siauw?”
sementara otaknya berputar kakinya telah melangkah masuk kedalam ruangan.
Tampaklah perabot dalam ruang itu amat sederhana sekali, kecuali sebuah meja serta
empat buah kursi bambu tiada benda lain yang tampak.
Disebelah kiri terdapat sebuah dinding terbuat dari bambu yang dilapisi kain kasar
berwarna biru sebagai horden memisahkan gubuk itu menjadi ruangan bagian luar serta
ruang bagian dalam.
Soh Boen tetap tinggal diluar gubuk itu sedang gadis berbaju merah mengikuti
dibelakang Siauw Ling masuk keruang dalam bisiknya, “Siangkong, tunggulah sejenak
akan kulaporkan kedatanganmu kepada nona!”
Terdengar dari balik horden berkumandang keluar suara seorang perempuan yang
nyaring, “Kau boleh segera mengundurkan diri!”
Horden tersingkap dan perlahan-lahan muncullah seorang gadis berbaju ungu yang
sangat ketat.
Dayang berbaju merah tadi segera mengiakan dan mengundurkan diri dari ruangan
tersebut.
Dengan tajam Siauw Ling perhatikan wajah gadis berbaju ungu itu, sedikitpun tak
salah, dia bukan lain adalah Gak Siauw Cha yang telah berpisah selama lima tahun
dengan dirinya, hanya saja pada saat ini wajah kelihatan jauh lebih cantik.

Diantara kerutan alis gadis itu nampak selapis kabut kesedihan yang tebal, namun ia
paksakan juga untuk tersenyum manis.
“Apa yang kau lihat?” tegurnya. “Apakah sudah tak kenal lagi dengan encimu??”
Dengan penuh rasa hormat Siauw Ling menjura kepada gadis itu, sahutnya, “Selama
banyak tahun suara serta wajah enci selalu terselubung dalam benak siauwte siapa bilang
aku sudah tidak kenal dirimu lagi?”
“Aaai…. kau sudah banyak berubah, andaikata secara tiba-tiba aku berjumpa dengan
dirimu mungkin cici sudah tidak dapat mengenali dirimu lagi!”
“Cici, aku sudah berubah jadi makin hebat….”
“Dan kaupun makin dewasa” Gak Siauw Cha menambahkan. “Ketika berpisah dahulu,
kau masih merupakan seorang bocah cilik yang kurus dan berpenyakitan, sekarang kau
telah menjadi seorang pemuda tampan yang gagah dan perkasa. Aaai….! waktu selama
lima tahun tak bisa terhitung pendek, namun tak bisa pula terhitung panjang, tetapi
selama ini sudah banyak perubahan yang terjadi….”
Ketika mendengar ucapan itu mengandung rasa sedih dan murung yang tak terkirakan
Siauw Ling merasa amat tercengang pikirnya, “Sepanjang pengetahuanku enci Gak adalah
seorang gadis yang gagah dan keras hati, kenapa sekarang jadi begitu murung dan sayu?”
Ia segera mendongak, dilihatnya dibalik sepasang biji matanya yang jeli tampak
kerlinan titik-titik air mata, hal ini semakin mengejutkan hatinya lagi, buru-buru serunya,
“Cici, kenapa kau?”
“Aku sangat baik!” jawab Gak Siauw Cha tersenyum. “Sudah banyak tahun kita tak
berjumpa, ini hari kita harus bercakap-cakap dengan sebaik-baiknya!”
Ia putar badan membelakangi si anak muda itu dan diam-diam menyeka air mata yang
mulai meleleh keluar.
Teringat akan pengalamannya yang menyedihkan serta kejadian-kejadian yang
membuat gadis itu sengsara, tak tahan Siauw Ling ikut bersedih hati. Sambil menghela
napas panjang katanya, “Cici, selama banyak tahun kau tentu sangat menderita bukan?”
“Sejak kecil cici sudah berkelana didalam dunia persilatan, apa artinya menderita sedikit
penderitaan? justru kaulah yang sejak kecil biasa dimanja dan disayang oleh orang tua
entah bagaimana caranya kau lewati hati-hati yang penuh kesengsaraan itu?”
“Walaupun merasakan penderitaan tapi itu sudah berlalu semua, bukankah saat ini
keadaanku baik-baik saja?”
“Ehmm! kini kau sudah lebih besar dari pada tempo dulu, keadaanmu bagaikan dua
orang yang berbeda. Dan sekarang namamu sudah tersohor diseluruh kolong langit,
rasanya semua penderitaan itu tidak sia-sia belaka.”
“Siauwte bisa berhasil seperti ini hari, kesemuanya adalah berkat bantuan dari cici….”
“Cici tak dapat baik-baik merawat dirimu sehingga membuat kau bergelandangan dalam
dunia kangouw sambil menderita, kalau teringat cici merasa amat tidak tenteram.”
“Aaai…. urusan yang sudah lewat biarkanlah berlalu, apa gunanya enci mengungkapnya
kembali?”
Gak Siauw Cha menghela napas panjang, akhirnya sambil menuding sebuah kursi
bambu disisinya ia berkata, “Duduklah dahulu, agar kita bisa berbicara lebih enak.”
“Cici, kaupun duduklah!”
Gak Siauw Cha mengangguk dan duduk lalu katanya lagi, “Saudaraku, ceritakanlah
pengalamanmu selama banyak tahun ini.”
Siauw Ling termenung sejenak, kemudian berceritalah ia semua pengalamannya selama
lima tahun belakangan.
Dengan seksama Gak Siauw Cha mendengarkan kisah pengalaman itu, akhirnya ia
berkata, “Seorang diri kau berhasil mendapatkan warisan ilmu silat dari tiga orang
loocianpwee, kalau dihitung-hitung rejekimu besar juga.”

Mendadak Siauw Ling teringat kembali akan peristiwa kemarin malam, segera ujarnya,
“Cici, dalam hati siauwte mempunyai satu kecurigaan yang tak kupahami, kalau
kutanyakan harap cici jangan marah lhoo….!”
“Apakah persoalan mengenai tak maunya aku menemui dirimu kemarin malam….?”
“Sedikitpun tidak salah, siauwte benar-benar tidak mengerti apa sebabnya enci tak mau
berjumpa dengan diriku?”
“Persoalan yang sudah lewat tak usah dibicarakan lagi, bukankah sekarang kita duduk
saling berhadapan muka?”
“Selama banyak waktu enci selali membantu diriku secara diam-diam, dalam hati
siauwte merasa sangat berterima kasih.”
“Sudahlah, tak usah kau bicarakan tentang persoalan itu. Kalau dikatakan bukankah
kau terlalu pandang asing diriku?”
Sepanjang pembicaraan itu berlangsung, Siauw Ling selalu memperhatikan perubahan
wajah Gak Siauw Cha, sedikitpun tidak salah ia temukan walaupun dalam berbicara atau
tertawa namun gadis itu tak dapat menutup kemurungan serta kesedihan hatinya.
Maka ia lantas berkata, “Cici, rupanya kau mempunyai banyak persoalan yang
merisaukan hati….?”
“Aaaai…. persoalan yang kupikirkan hanya satu, tapi tak bisa hilang dari benakku, hal
ini membuat aku yang bingung dan tak tahu apa yang harus kulakukan.”
“Persoalan apa? dapatkah kau ceritakan kepada siauwte?”
Gak Siauw Cha membenahi rambutnya yang kacau, lalu menghela napas panjang.
“Cici merasa bingung, entah aku harus berbicara mulai dari mana.”
“Persoalan apa sih yang tampaknya begitu serius?” tanya Siauw Ling tertegun.
Sepasang biji mata Gak Siauw Cha yang jeli menatap wajah si anak muda itu tajamtajam,
kemudian katanya, “Saudaraku, kini kau telah dewasa, keadaanmu jauh berbeda
kalau dibandingkan dengan keadaanmu dimasa masih kecil….”
“Benar, walaupun siauwte belum lama terjunkan diri kedalam dunia persilatan tetapi
sudah banyak badai besar serta mara bahaya yang kualami. Aaai…. hidup selama
beberapa bulan dalam dunia persilatan bagaikan hidup selama sepuluh tahun lamanya.
Aku percaya sudah banyak pengalaman yang kudapatkan. Cici, ada persoalan apa yang
merisaukan hatimu, katakanlah kepada siauwte, mungkin siauwte dapat menolong cici
untuk mengurangi penderitaan tersebut.”
“Saudaraku, bukankah kau kenal dengan seorang nona she Pek li?” ujar Gak Siauw Cha
dengan wajah serius.
“Dia adalah putri dari Pak Thian Coen Cu yang bernama Pek Li Pang.”
Setelah menghela napas panjang tambahnya, “Ia telah berulang kali melepaskan budi
pertolongan kepada diri siauwte!”
“Apakah kau hendak membalas budi pertolongannya itu?”
“Siauwte bukanlah seorang lelaki yang suka melupakan budi orang, tentu saja budi
kebaikannya itu harus kubalas.”
“Saudaraku, aku ingin menanyakan lagi satu persoalan dengan dirimu!”
“Asal siauwte tahu, tentu akan kukatakan semua menurut kemampuanku.”
“Andaikata seseorang pernah berhutang budi atas pertolongan seseorang terhadap jiwa
serta keselamatannya, bagaimana harus kau balas budi kebaikannya itu?”
“Tentang soal ini? sulit untuk dikatakan” sahut Siauw Ling setelah tertegun sejenak.
“Kenapa?”
JILID 30

“Hal itu harus dilihat dari sebab musabab orang itu memberi pertolongan, andaikata
pertolongan ini diberikan tanpa didasari pikiran apapun jua, maka budi kebaikan itu tentu
saja berat bagaikan bukit dan dalam bagaikan samudra.”
“Aaaai…. mula-mula pertolongan tentu saja muncul dengan hati yang bersih dan iklas,
tapi kemudian disusul dengan pelbagai permintaan, apa yang akan kau lakukan dalam
keadaan begini?”
“Asal dia bukan seorang penjahat yang berhati keji dan kejam setelah menerima budi
kebaikannya sudah sewajarnya kalau kita balas budi kebaikannya itu.”
Dengan sorot mata yang aneh Gak Siauw Cha memperhatikan diri Siauw Ling beberapa
saat lamanya, kemudian baru berkata, “Saudaraku, perduli apa permintaannya apakah
kita harus mengabulkannya….?”
“Asal permintaannya tidak merugikan masyarakat, rasanya sudah sewajarnya kalau….”
Mendadak ia mendapatkan satu firasat dengan cepat perkataannya diputus ditengah
jalan.
“Kenapa tidak kau lanjutkan perkataannya?”
“Cici, kau ajukan pertanyaan seperti itu kepada siauwte, sebenarnya siapakah yang kau
maksudkan?”
“Tak usah kau tanyakan siapakah orang itu pokoknya seseorang!”
“Apakah cici kenal dengan dirinya?”
“Kalau kenal kenapa?” ujar Gak Siauw Cha tertawa hambar.
Siauw Ling termenung sejenak, kemudian berkata, “Cici, rupanya kau mempunyai
banyak perkataan yang diutarakan menuruti perasaan hatimu, bukankah begitu?”
Gak Siauw Cha menghela napas panjang, bibirnya bergerak seperti mau mengucapkan
sesuatu namun kemudian diurungkan kembali.
Siauw Ling melirik sekejap kearah gadis itu, dan sambungnya lebih lanjut, “Siauwte
telah teringat akan suatu persoalan, andaikata aku salah berbicara harap cici jangan
marah.”
“Persoalan apa?”
“Seseorang yang cici maksudkan bukankan Lan Giok Tong?”
Mula-mula Gak Siauw Cha tertegun, diikuti ia segera menggeleng.
“Apakah disebabkan kemarin malam Lan Giok Tong titip sebuah kantong sutera
kepadamu untuk sisampaikan kepadaku maka kau lantas mencurigai dirinya?”
“Seandainya apa yang cici katakan adalah persoalan hatimu sendiri, muka orang yang
telah melepaskan budi kepadamu….”
“Tidak bisa” mendadak terdengar Soh Boen yang ada diluar menjerit keras. “Nona
sedang berbicara dengan tetamu, kau tak boleh masuk kedalam….”
Blaam! terdengar suara getaran keras berkumandang memecahkan kesunyian, pintu
kayu yang semula tertutup rapat tiba-tiba ditendang orang hingga terbentang lebar, Giok
Siauw Lang Koen dengan seruling terhunus berdiri seram didepan pintu.
Ketika Siauw Ling angkat kepalanya memandang, ia lihat Giok Siauw Lang Koen berdiri
disana dengan wajah pucat kehijau-hijauan, matanya memancarkan cahaya berapi-api
dan melototi wajah Siauw Ling tanpa berkedip, kemudian perlahan-lahan beralih keatas
wajah Gak Siauw Cha dan tertawa terbahak-bahak.
“Nona Gak, kau batalkan janjimu untuk bertemu dengan cahye apakah disebabkan
karena kau hendak berjumpa dengan Siauw Ling?”
Melihat wajah lelaki tampan berseruling kumala itu diliputi kegusaran, dalam hati Siauw
Ling merasa tidak tenang, setelah tertegun sejenak pikirnya, “Ilmu silat yang dimiliki Giok
Siauw Lang Koen sangat lihay, andaikata ia melancarkan serangan secara tiba-tiba,
pastilah serangan tersebut amat dahsyat dan mematikan…. aku harus berjaga diri!”

Berpikir begitu, hawa murninya segera dihimpun menjadi satu dan diam-diam
melakukan persiapan.
Gak Siauw Cha sendiri mula-mula merasa kaget menjumpai kehadiran Giok Siauw Lang
Koen ditempat itu secara mendadak, tapi sebentar saja ia telah berhasil menenangkan
hatinya, sambil tertawa hambar ia balik bertanya, “Kalau benar kau mau apa?”
Siauw Ling tahu watak Giok Siauw Lang Koen sangat berangasan, sikap ketus yang
diperlihatkan Gak Siauw Cha kemungkinan besar dapat membangkitkan hawa amarahnya.
Tanpa sadar ia maju selangkah kedepan dan menghadang didepan tubuh gadis she Gak
tersebut.
Siapa tahu kejadian yang kemudian berlangsung jauh diluar dugaan Siauw Ling. Bukan
saja Giok Siauw Lang Koen sama sekali tidak turun tangan malahan hawa amarahnya
sirap sama sekali, perlahan-lahan ia berjalan masuk kedalam ruangan dan tertawa
hambar.
“Maaf, kalau aku sudah mengganggu kegembiraan kalian berdua!”
“Tidak mengapa!”
Tanpa menanti dipersilahkan duduk oleh tuan rumah, Giok Siauw Lang Koen tarik
sebuah kursi dan segera duduk, ujarnya, “Sewaktu berada dirumah besar tadi siauwte
sudah mengganggu dirimu, harap Siauw heng suka memaafkan.”
“Heran, orang ini sombong dan jumawa kenapa secara tiba-tiba malah bersikap begitu
sungkan terhadap diriku” batin pemuda kita dengan hati tercengang.
Berpikiran demikian, diluaran segera sahutnya, “Aaaa…. saudara terlalu merendah….”
“Apakah beberapa orang sahabat Siauw heng masih menunggu dihalaman gedung
besar itu?”
“Sedikitpun tidak salah!” karena tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan yang
aneh itu, pemuda she Siauw itu terpaksa mengangguk.
“Beberapa orang sahabatmu itu pasti sangat kuatir akan keselamatan Siauw heng,
kalau kau tidak segera kembali mungkin mereka bakal menyusul datang kemari.”
Untuk sesaat Siauw Ling tak mengerti apa yang sedang ia maksudkan, setelah
melengak ia bertanya, “Kalau mereka menyusul kemari, lalu kenapa?”
“Nona Gak tidak suka bertemu dengan orang asing seandainya teman-temanmu itu
sampai menyusul kemari semua, bukankah hal ini malah akan mengganggu ketentraman
nona Gak?”
“Ehmmm, ucapannya memang tidak salah” pikir Siauw Ling setelah termenung sejenak.
“Kedudukan Soen Put shia serta Boe Wie Tootiang didalam dunia persilatan sangat tinggi,
seandainya mereka sampai menyusul kemari entah bagaimana sikap aneh, Gak? bukankah
hal ini malah akan menyusahkan kedua belah pihak?”
Karena itu lantas ujarnya, “Menurut pendapatmu, apa yang harus kulakukan?”
Giok Siauw Lang Koen tersenyum.
“Semestinya Siauw heng mengabarkan dulu kepada mereka agar mereka tidak sampai
menyusul kemari.”
“Betul juga, apa salahnya aku memberi kabar dulu kepada mereka?” pikir si anak muda
itu, maka diapun lantas melangkah keluar dari ruangan tersebut.
Tampaklah Soh Boen yang berdiri diluar ruangan mengedipkan matanya berulang kali
memberi bisikan kepadanya agar dia jangan tinggalkan tempat itu.
Suatu ingatan berkelebat dalam benak Siauw Ling, setibanya didepan pintu mendadak
ia berhenti lagi.
Ketika menoleh kebelakang tampaklah Gak Siauw Cha berdiri disamping sambil
tundukkan kepalanya rendah-rendah, alisnya berkerut dan wajahnya sedih seolah-olah
ada sesuatu persoalan yang mengganjal dalam hatinya, ia jadi semakin tercengang,
pikirnya, “Kalau dilihat gelagat ini rupanya enci Gak tidak begitu senang berjumpa muka

dengan Giok Siauw Lang Koen. Tapi rupanya iapun rada jeri terhadap lelaki ini, janganjangan
dibalik persoalan itu masih ada masalah lain….”
Karena berpikir begitu, maka diapun berjalan kembali kedalam ruangan.
“Kenapa kau tidak jadi pergi?” tegur Giok Siauw Lang Koen dengan suara dingin,
wajahnya berubah hebat.
“Aku tidak pernah mengatakan kalau aku hendak pergi!”
“Hmm, andaikata mereka menyusul kemari, apa yang hendak kau lakukan….?”
“Tentang persoalan ini tak usah kau kuatirkan.”
Mendadak Giok Siauw Lang Koen mendongak dan tertawa terbahak-bahak.
“Haaah…. haaah…. haaah…. Siauw Ling! benarkah kau hendak memusuhi aku orang
she Thio?”
“Tidak, kenapa aku harus memusuhi diriku cepat-cepatlah tinggalkan tempat ini.”
Makin didengar Siauw Ling merasa semakin keheranan, segera pikirnya, “Entah apa
sebabnya enci Gak bisa bersikap demikian terhadap Giok Siauw Lang Koen, rupanya ia
merasa amat jeri kepadanya, apakah enci Gak sudah terkena bokongan hingga setiap saat
kematiannya berada digenggamannya mengakibatkan ia tak berani membangkang setiap
perintahnya? andaikata begitu, aku harus tetap tinggal disini untuk melindungi enci Gak.”
Saking seriusnya berpikir sampai lupa untuk menjawab pertanyaan dari lelaki tampan
berseruling kumala.
Ketika Giok Siauw Lang Koen tidak mendengar jawaban dari Siauw Ling, mendadak ia
tertawa dingin.
“Siauw Ling” serunya. “Kalau kau benar-benar hendak memusuhi diriku maka ini hari
hanya ada satu jalan yang bisa kau tempuh.”
“Satu jalan yang bagaimana?”
“Kita andaikan kepandaian silat masing-masing untuk menentukan siapa yang berhak
hidup dan siapa yang harus mati.”
Siauw Ling mencuri lihat sekejap kearah Gak Siauw Cha, dia lihat diantara sepasang
mata gadis itu secara lapat-lapat terlihat genangan air mata yang menetes keluar,
wajahnya murung dan bimbang, jelas ia sedang merasakan sesuatu penderitaan yang
sukar dilukiskan dengan kata-kata.
Terdengar Giok Siauw Lang Koen berkata lagi, “Siauw Ling, kalau kau tidak berani
berduel dengan diriku, cepat-cepatlah tinggalkan tempat ini. Sejak ini hari jangan kau
temui lagi nona Gak Siauw Cha.”
“Ilmu silat yang dimiliki orang ini sangat lihay” pikir Siauw Ling. “Andaikata aku harus
berduel melawan dirinya, siapa menang siapa kalah sulit untuk diduga mulai sekarang.
Situasi dalam dunia persilatan dewasa ini sangat kacau, aku Siauw Ling harus pertahankan
selembar jiwaku untuk menyelamatkan sesama Bulim. Orang ini jumawa dan sombong
tapi tidak jahat, apa salahnya kalau aku mengalah setindak kepadanya….?” maka ia lantas
berkata, “Ilmu silat yang kau miliki sangat lihay, aku orang she Siauw merasa bukan
tandinganmu, lagipula antara kita berdua tiada dendam atau sakit hati. Kenapa kita mesti
berduel untuk menentukan siapa hidup siapa mati….”
“Kalau kau tidak ingin berduel melawan diriku, maka berjanjilah lebih dulu. Mulai ini
hari jangan kau temui nona Gak Siauw Cha.”
“Saudara, janganlah kau mendesak orang keterlaluan. hubungan enci Gak dengan aku
orang she Siauw intim bagaikan….”
“Tutup mulut!” bentak Giok Siauw Lang Koen dengan gusarnya.
Lama kelamaan Siauw Ling tak tahan juga, ia balas membentak, “Saudara terlalu
jumawa dan sombong, jangan kau anggap dikolong langit tiada manusia lain. Kau harus
tahu aku orang she Siauw sengaja mengalah kepadamu, bukan disebabkan aku jeri
kepadamu.”

Mendadak Giok Siauw Lang Koen mengebaskan seruling kumala ditangannya dan
menantang, “Dibelakang gubuk sana terdapat sebuah tanah berumput yang luas, mari kita
duel disitu, sebelum salah satu diantara kita mati jangan berhenti….”
“Saudara, sudah berulang kali aku mengalah kepadamu, bagus, kalau memang kau
menantang terus aku orang she Siauw akan melayani keinginanmu.”
“Bagus, ayoh jalan!” tanpa menanti lagi ia melangkah lebih dulu keluar dari gubuk itu.
Siauw Ling menoleh kesamping, dia lihat Giok Siauw Lang Koen masih duduk
termangu-mangu ditempat semula, rupanya ada satu masalah yang sedang dipikirkan.
terhadap peristiwa yang telah terjadi didepan mata ternyata sama sekali tidak merasa.
Diam-diam Siauw Ling menghela napas panjang, pikirnya, “Rupanya antara enci Gak
serta Giok Siauw Lang Koen mempunyai suatu hubungan yang sangat aneh….”
Sembari berpikir iapun melangkah keluar mengikuti dibelakang lelaki tampan
berseruling kumala itu.
Dengan termangu-mangu Soh Boen memandang bayangan punggung kedua orang itu.
Rupanya ia hendak mencegah kepergian Siauw Ling tapi akhirnya ia urungkan niat
tersebut.
Dengan mengikuti dibelakang Giok Siauw Lang Koen sampailah Siauw Ling disebuah
tanah lapang yang luas dibelakang rumah gubuk tersebut.
Saat itu lelaki tampan berseruling kumala tersebut telah siapkan senjata ditengah
kalangan.
Tanpa sadar Siauw Lingpun meraba gagang pedangnya sambil selangkah demi
selangkah maju kemuka.
“Cabut keluar senjatamu!” seru Giok Siauw Lang Koen sambil ayun seruling kumalanya.
“Harus kau ketahui, pertarungan ini berbeda dengan pertarungan biasa, kau boleh
gunakan segenap kemampuanmu, sebelum salah satu ada yang mati jangan berhenti
bertempur.”
“Setelah kau ucapkan kata-kata tersebut, sudah tentu cayhe akan mengiringi
keinginanmu itu tapi sebelum kita bertarung harus kutanyakan lebih dahulu beberapa
persoalan yang membingungkan hatiku.”
“Katakanlah tapi harus sesingkat mungkin. Aku tak ingin mengulur waktu lebih lama
lagi.”
“Bukankah diantara kita berdua tiada ikatan dendam atau sakit hati, kenapa kau
tantang aku untuk berduel sampai salah satu diantara kita mati….?”
Giok Siauw Lang Koen segera mendongak dan tertawa terbahak-bahak.
“Haah…. haah…. haah…. sebetulnya cayhe tiada bermaksud untuk memusuhi dirimu.
Tetapi keadaan pada saat ini jauh berbeda, sehari kau orang she Siauw tidak mati, maka
cayhe tak akan makan dengan tenang dan tidur dengan nyenyak!”
“Secara lapat-lapat akupun merasa sikapmu terhadapku seolah-olah mengandung rasa
benci yang sangat mendalam, justru inilah yang menyebabkan cayhe tidak mengerti,
kenapa kau begitu membenci diriku?”
“Rupanya disebabkan karena nona Gak?”
“Tidak salah, memang dikarenakan Gak Siauw Cha!”
“Aku Siauw Ling sudah kenal dengan enci Gak sejak lima tahun berselang, hubungan
kami hanya bagaikan enci dan adik belaka.”
“Heeh…. heeh…. justru karena hubungan batin kalian yang terlalu mendalam itulah
memaksa aku harus membinasakan dirimu.” seru Giok Siauw Lang Koen sambil tertawa
dingin.
“Ehmm, kiranya begitu!” ia merandek sejenak dan tambahnya. “Mungkin kau telah
menaruh salah paham terhadap diriku.”
“Sudah, tak usah banyak bicara lagi, cabut keluar senjatamu!”

Sambil membentak serulingnya segera meluncur kedepan menotok dada lawan dengan
jurus “Kim Liong Tan Jiauw” atau naga emas unjukkan cakar.
Siauw Ling angkat tangan kanannya secepat kilat mencabut keluar pedang panjangnya,
sambil mengunci datangnya ancaman ia berkata, “Hanya disebabkan aku kenal lebih
dahulu dengan nona Gak Siauw Cha, kau lantas tidak ijinkan aku hidup dunia? Hmmm….
belum pernah kujumpai kejadian semacam ini.”
Giok Siauw Lang Koen sama sekali tidak menjawab pertanyaan dari si anak muda itu,
serulingnya berkelebat berulang kali, dan….
Halaman 22-23 hilang
yang terdesak tak ingin gunakan senjata rahasianya….”
Teringat akan keanehan serta kekejiannya dalam melepaskan senjata rahasia, bergidik
juga hatinya, segera ia tarik napas dalam-dalam dan menjawab, “Kalau memang saudara
bermaksud ajak aku orang she Siauw adu jiwa, kejadian itu memang suatu kejadian apa
boleh buat. bila kau memiliki kepandaian yang mengerikan silahkan kerahkan semua.”
Sementara mulutnya berbicara, tangan kirinya merogoh kedalam saku dan secepat kilat
mengenakan sarung tangan berkulit ular, sedang tangan kanannya yang mencekal pedang
siap menghadapi semua serangan musuh.
Perlahan-lahan Giok siauw Lang Koen angkat seruling kumalanya keatas, dengan
pandangan tajam ia awasi lawan tanpa berkedip.
Kedua belah pihak sama-sama mengerahkan segenap tenaganya kedalam senjata,
sedetik kemudian pasti akan terjadi suatu pertarungan yang menggetarkan jagad.
Air muka kedua orang itupun berubah jadi keren dan serius, jelas dalam hati masingmasing
tak ada yang merasa yakin sanggup menangkan pertarungan itu.
Mendadak tampak bayangan manusia berkelebat lewat, diiringi desiran tajam Gak
Siauw Cha yang mengenakan pakaian berwarna ungu telah berdiri keren ditengah-tengah
antara kedua orang ini.
Dalam pada itu baik Siauw Ling maupun Giok siauw Lang Koen telah menghimpun
tenaga dalamnya hingga mencapai sepuluh bagian, mereka sudah bersiap sedia
melakukan suatu pertarungan adu jiwa.
Setelah bergerak beberapa jurus tadi, masing-masing pihak telah paham bahwa
lawannya adalah musuh tangguh yang belum pernah dijumpai sebelumnya, karena itu
merekapun tahu bahwa dalam bentrokan ini salah satu diantaranya pasti ada yang roboh,
atau mungkin malahan kedua belah pihak akan sama-sama terluka.
Tapi untung Gak Siauw Cha muncul pada saat yang cepat, hingga pertarungan yang
mengerikanpun segera dapat dihindari.
Perlahan-lahan Giok siauw Lang Koen turunkan kembali seruling kumalanya kebawah,
ujarnya, “Apakah nona tidak merasa bahwa salah satu diantara kami harus mati….?”
“Apa gunanya berbuat begitu?” bisik Gak Siauw Cha dengan suara lembut, sementara
air matanya telah bercucuran membasahi pipinya yang halus dan cantik itu. “Bukankah
diantara kalian berdua tiada ikatan dendam atau sakit hati apapun jua?”
Sekilas pantulan cahaya yang menunjukkan kekerasan hatinya melintas diatas wajah
Giok siauw Lang Koen, ia menjawab, “Justru dikarenakan dalam kolong jagad tidak
mengijinkan kita bertiga untuk hidup bersama, maka terpaksa salah satu diantara kami
berdua harus disingkirkan dari muka bumi!”
Waktu mengucapkan kata-kata tersebut wajahnya tenang dan kalem tapi suaranya
tegas dan mantap.
Dengan wajah bingung tak habis mengerti siauw Ling melirik sekejap kearah lawannya,
kemudian bergumam seorang diri, “Dunia jagad toh luasnya bukan kepalang, mengapa
kita berdua tak bisa hidup bersama dikolong langit?”

“Haaah…. haaah…. haaah…. Siauw Ling, kau benar tidak tahu, ataukah sedang purapura
berlagak pilon?”
“Cayhe benar-benar tidak tahu, kenapa kita tak dapat hidup bersama dikolong langit?”
Tiba-tiba Gak Siauw Cha menghela napas panjang dan menyela dari samping kalangan.
“Siauw moay merasa berhutang budi kepada diri Thio heng, kebaikan ini pasti akan
kubalas, tapi persoalan ini sama sekali tak ada hubungannya dengan saudara Siauw ku
itu, kau tak usah menggusarkan hati lagi.”
“Jadi maksud nona?” seru Giok siauw Lang Koen dengan wajah berubah hebat.
“Harap Thio heng suka memberi sedikit kelonggaran waktu bagi Siauw moay untuk
berpikir.”
“Baik, berapa lama yang kau butuhkan untuk mempertimbangkan persoalan ini?”
“Bagaimana kalau setahun?”
Giok siauw Lang Koen segera menggeleng.
“Setahun? terlalu lama, cayhe merasa tak punya kesabaran sebesar itu untuk menanti
selama itu.”
“Lalu bagaimana menurut pendapat Thio heng?”
“Paling lama tak bisa lewat dari tiga bulan!”
“Tiga bulan….” Gak Siauw Cha termenung dan berpikir keras.
“Tidak salah, tiga bulan mungkin bagi perasaan nona cepat bagaikan kilatan petir, tapi
bagi cayhe mungkin lamanya bagaikan tiga tahun.”
Dengan pandangan bingung Gak Siauw Cha melirik sekejap kearah Siauw Ling,
akhirnya ia mengangguk.
“Baiklah kita tetapkan tiga bukan, cuma…. akupun ada satu permintaan yang hendak
kuajukan kepadamu!”
“Asal aku bisa laksanakan pasti akan cayhe kabulkan, nah, katakanlah.”
“Selama tiga bukan ini siauw moay tidak ingin mendengarkan irama serulingmu yang
menyedihkan itu lagi, dan akupun tidak ingin Thio heng sering muncul disekitar diriku.”
Giok siauw Lang Koen tertawa sedih.
“Baiklah aku kabulkan permintaanmu itu tapi setelah batas tiga bulan penuh. Kita akan
berjumpa dimana?”
Gak Siauw Cha termenung sebentar, lalu menjawab, “Setelah batas wkatu tiga bulan
penuh kita berjumpa didasar tebing Toan Hoen Gay digunung Heng san!”
Sekali lagi Giok siauw Lang Koen tertawa sedih.
“Sejak dahulu hingga sekarang belum pernah ada seseorang manusiapun yang pernah
menuruni tebing pemutus sukma, nona mengendong aku untuk berjumpa didasar tebing
Hoan Gay, agaknya kau suka sekali dengan hal yang sok rahasia….”
“Kalau kau merasa takut, lebih baik kita tak usah bertemu lagi.”
“Nona tak usah kuatir, sampai waktunya cayhe pasti akan tiba duluan!”
“Janji telah dibuat, aku rasa kaupun boleh segera tinggalkan tempat ini!”
“Baik, cayhe akan berpisah dulu sampai disini!” ia putar badan dan dalam sekejap mata
ia lenyap ditengah kegelapan.
Siauw Ling merasa banyak masalah yang membingungkan hatinya memenuhi seluruh
benak dengan termangu-mangu ia berdiri kaku ditempat semula.
Gak Siauw Cha memandang hingga bayangan Giok siauw Lang Koen lenyap dari
pandangan, kemudian ujarnya dengan nada sedih, “Saudara Siauw tahukah kau mengapa
pada malam itu aku tak mau bertamu dengan dirimu?”
Siauw Ling merasa seakan-akan telah memahami sesuatu, tetapi setelah dipikir
seksama ia merasa makin bimbang dan tidak habis mengerti, maka iapun berkata,
“Siauwte merasa agak mengerti, tetapi setelah kupikir lebih seksama kurasakan rada tidak
paham lagi.”

Dalam pada itu Gak Siauw Cha sedang berada dalam keadaan murung dan kesal. Tapi
sesudah mendengar beberapa patah kata dari si anak muda ini ia tak dapat menahan rasa
gelinya dan tertawa cekikikan.
“Saudaraku, selama hampir setahun belakangan ini cici selain hidup ditengah kesulitan
serta kekesalan. Aaai….! lama kelamaan aku jadi terbiasa juga dengan keadaan seperti
ini.”
Siauw Ling semakin bingung lagi dibuatnya.
“Cici! kalau kau ada urusan perintah saja kepada siauwte, kenapa kau musti murung
dan kesal….!” serunya.
Mendadak teringat olehnya akan bantuan dari Gak Siauw Cha terhadap dirinya yang
dilakukan berulang kali, membicarakan soal ilmu silat serta kecerdikan mungkin gadis itu
jauh lebih hebat beberapa kali lipat dari pada dirinya segala persoalan yang dapat
diselesaikan olehnya sudah pasti telah dilakukan sendiri, dan bila persoalan itu dia
sendiripun tak bisa mengatasi dirinya mana bisa membantu? berpikir demikian merah
jengah selembar wajahnya, ia segera membungkam.
Terdengar Gak Siauw Cha berkata dengan nada sedih, “Persoalan ini nampaknya
gampang dan sederhana sekali. Ini hari aku sengaja mengundang kau datang kemari
adalah disebabkan karena setelah kupikir lama sekali, aku merasa daripada persoalan ini
diundur-undur lebih jauh lebih baik kalau diberitahukan kepadamu saja. Aaaai….!
persoalan yang ada dikolong langit, kadangkala tak dapat diselesaikan hanya
mengandalkan ilmu silat belaka….”
Ia merandek sejenak, dan sambungnya lebih jauh, “Tempat ini bukan tempat yang baik
untuk berbicara, mari kita kembali kedalam ruangan gubuk! Giok Siauw Lang Koen selalu
pegang janji dengan apa yang sudah ia ucapkan, setelah ia menyanggupi untuk tidak
datang mengganggu dalam tiga bulan mendatang. Ia pasti tak akan mengingkari janjinya!
cici masih ada banyak persoalan yang hendak dibicarakan dengan dirimu, mungkin saja
aku harus merepotkan dirimu untuk melakukan banyak pekerjaan!”
“Cici, maksudmu….” seru Siauw Ling melengak.
“Kita berbicara didalam ruangan saja!” tukas gadis she Gak itu, ia segera putar badan
dan berlalu.
Siauw Ling merasa kaget dan curiga, tanpa mengucapkan kata-kata lagi iapun
mengikuti dari arah belakang Gak Siauw Cha kembali kedalam gubuk.
Soh Boen setelah menghidangkan air teh buat mereka berdua, diam-diam segera
mengundurkan diri.
Siauw Ling tidak sabar untuk menanti lebih lama, ia segera berkata memecahkan
kesunyian, “Cici, sebenarnya apa maksudmu mengutarakan kata-kata seperti tadi?
jelaskan kepada siauwte!”
Agaknya pada saat ini Gak Siauw Cha telah berhasil memenangkan hatinya, mendengar
pertanyaan itu dia tertawa.
“Tak usah tegang cici mengundang kau datang kemari justru adalah bermaksud hendak
membicarakan persoalan ini dengan dirimu.”
“Cici! saat ini hati siauwte telah penuh diliputi rasa sangal, bingung dan tidak habis
mengerti, cepatlah kau utarakan keluar kata-katamu itu!”
Gak Siauw Cha termenung sebentar untuk berpikir, lalu berkata, “Cici pikir sepasang
pedagang dari Tiong ciu pasti sudah memberi tahukan kepadamu….”
“Tidak salah” tukas Siauw Ling. “Mereka sudah mengurung cici didalam sebuah ruang
rahasia tetapi cici berhasil melarikan diri, disebabkan oleh peristiwa ini mereka selalu
merasa berdosa dan tidak tenteram….”
Gak Siauw Cha tertawa, selanya, “Tak usah kau mintakan ampun bagi mereka
andaikata aku ada maksud hendak membinasakan sepasang pedagang dari Tionbg ciu

sekalipun mereka mempunyai cadangan jiwa sebanyak sepuluh lembarpun sedari dulu
mereka sudah mati binasa diujung telapakku pada dasarnya aku memang tidak
mendendam terhadap mereka, apalagi setelah mereka anggap dirimu sebagai Liong Tauw
toako, urusan dendam sakit hati ini sudah terhapus sama sekali dari benakku….”
“Sekalipun cici berjiwa besar dan tidak mendendam terhadap mereka lagi, tetapi
siauwte tetap akan membawa mereka datang menghadap kepada cici untuk minta maaf.”
“Tidak usah, mereka bukanlah termasuk manusia yang sangat jahat….” setelah
menghela napas panjang terusnya, “Waktu itu ilmu silat yang cici miliki sangat terbatas,
sudah tentu tak bisa kuperhatikan dirimu lagi. Aaaai! aku yang mengajak kau tinggalkan
rumah, membuat kau dari seorang putra pembesar berubah menjadi seorang
gelandangan Bulim yang terjerumus didalam persoalan dunia persilatan, siang malam aku
selalu menguatirkan dirimu, aku kuatir kau telah ketimpa oleh suatu peristiwa yang
menakutkan.”
********
“Bukankah sekarang aku berada dalam keadaan baik-baik?” kata Siauw Ling sambil
tertawa. “Andaikata cici tidak membawa aku tinggalkan rumah, dari mana siauwte bisa
mencapai karier seperti hari ini? lagipula pada waktu itu akulah yang ngotot ingin
mengikuti cici pergi tinggalkan rumah kenapa cici mesti merasa sedih karena persoalan
ini? dan kini yang ingin siauwte cepat ketahui adalah persoalan mengenai diri cici.”
“Setelah cici dikurung oleh sepasang pedagang dari Tiong Chiu didalam kamar rahasia,
tidak lama kemudian aku telah ditolong orang….”
“Apakah Giok Siauw Lang Koen yang telah menyelamatkan dirimu?” tukas Siauw Ling
dengan hati bergerak.
“Sedikitpun tidak salah, orang ini memiliki ilmu silat yang sangat lihay, punya watak
yang angkuh, jumawa dan tidak memandang sebelah matapun terhadap orang lain, tapi
terhadap diriku ia menaruh kasih sayang yang amat tebal, ia sangat memperhatikan
diriku….”
“Ehmm, sekarang aku rada mulai mengerti” gumam Siauw Ling seorang diri.
Gak Siauw Cha tertawa sedih, sambungnya, “Setelah menolong cici lolos dari penjara,
maka aku dibawa menuju kegubuk pencuci hati….”
Mendadak Siauw Ling teringat kembali akan jenasah dari Gak Im Kauw, peristiwa lima
tahun berselang terbayang kembali didalam benaknya. (Untuk mengetahui kisah Gak Im
Kauw silahkan membaca RAHASIA KUNCI WASIAT oleh penyadur yang sama).
Terbayang kembali oleh pemuda ini akan gubuk pencuci hati yang terletak disudut
gunung Heng san, sinenek berambut putih berbadan kurus kering yang sama sekali tidak
menyenangkan, kegagahan Gak Siauw Cha seorang diri melawan serangan dahsyat
musuh tangguh…. iapun lantas berkata, “Cici, apakah kau sudah menjumpai jenasah dari
Bibi Im masih berada didalam gubuk itu?”
Gak Siauw Cha mengangguk.
“Aaai….! sungguh tak nyana orang itu benar-benar berhati bijak, walaupun semula ia
hanya mengijinkan aku menitipkan jenasah itu selama tujuh hari dan mengancam bila
tujuh hari kemudian aku belum mengambil jenasah tersebut maka ia tak mau
bertanggung jawab, siapa tahu walaupun sudah terpaut banyak waktu, bukan saja ia
merawat jenasah ibuku dengan seksama bahkan keadaannya masih seperti sedia kala
saja.”
Siauw Ling teringat kembali kasih sayang bibi Im terhadap dirinya yang melebihi rasa
sayang seorang ibu terhadap anaknya. Sungguh tak disangka pergaulan selama beberapa
bulan harus diakhiri dengan perpisahan untuk selama-lamanya, saking sedihnya ia sampai
mengucurkan air mata.

“Sekarang jenasah bibi Im berada dimana? siauwte harus pergi bersembahyang
dihadapan layonnya.”
“Aku serta Giok Siauw Lang Koen berangkat menuju kegubuk pencuci hati, melihat
jenasah ibuku masih tetap utuh seperti sedia kala legakah hatiku. Sebenarnya aku hendak
mengangkut jenasah menuju keselat Seng Yan Kok seperti apa yang tercantum dalam
surat wasiatnya, tetapi maksud hatiku ini telah dicegah oleh pemilik gubuk pencuci hati….”
“Sekarang? jenasah bibi Im telah kau semayamkan dimana?” sela Siauw Ling.
“Sekarang masih berada dalam gubuk pencuci hati.”
“Cici, kenapa kau tidak mengebumikan saja jenasah dari bibi Im?”
“Walaupun itu keadaan cici sangat berbahaya, semua jago Bulim yang ada dikolong
langit sama-sama sedang mencari jejakku. Setiap saat kemungkinan besar bisa bergebrak
melawan musuh tangguh, berhubung aku kuatir jenasah ibuku sampai rusak maka setelah
pemilik gubuk pencuci hati memaksa aku untuk tetap tinggalkan jenasah ibu disana,
akupun dengan senang hati mengabulkan permintaannya.”
“Kemudian?”
“Cici kembali berhasil disusul oleh gerombolan jago Bulim yang menemukan jejakku,
tetapi mereka semua telah dilukai oleh Giok Siauw.”
“Kalau begitu sikap Giok Siauw Lang Koen terhadap diri cici termasuk baik sekali.”
Gak Siauw Cha menghela napas panjang.
“Kalau dibicarakan dari hati sanubari yang sejujurnya, cinta kasih serta rasa sayang
yang ia limpahkan terhadap diri cici tak ternilai besarnya, berkat perlindungan serta
bantuannya itulah setiap kali cici berhasil lolos dalam keadaan selamat. Aaai….! andaikata
tiada perlindungan darinya, mungkin saat ini sulit bagi cici untuk berjumpa muka lagi
dengan saudara Siauw.”
Siauw Ling melirik sekejap kearah Gak Siauw Cha, bibirnya bergerak seperti mau
mengatakan sesuatu tapi akhirnya ia batalkan maksud itu dan tundukkan kepalanya
rendah-rendah.
Terdengar Gak Siauw Cha melanjutkan kembali kisahnya, “Ketika Giok Siauw
menemukan bahwasanya ilmu silat yang cici miliki sangat cetek, berkelana didalam dunia
persilatan setiap kali jiwanya bisa terancam bahaya maut, maka ia segera mengajak cici
untuk pergi menjumpai seorang loocianpwee yang sudah banyak tahun mengasingkan
diri, setelah membuat banyak pikiran dan tenaga serta memohon beberapa hari lamanya
terakhir loocianpwee itu mengabulkan juga permintaannya dan menerima aku menjadi
muridnya.”
“Aaah, sungguh aneh sekali?” seru pemuda itu. “Ilmu silat yang dimiliki Giok Siauw
Lang Koen toh sangat lihay sekali, kenapa ia tidak langsung mewariskan ilmu silatnya
kepada cici, sebaliknya malah pergi memohon kepada orang lain.”
“Berhubung aliran ilmu silat yang dipelajarinya jauh berbeda dengan aliran ilmu silatku.
Ia merasa bahwa kalau ia wariskan ilmu silatnya kepadaku maka bukan saja untuk
mempelajarinya sulit bahkan hasil yang diperolehnya juga terbatas, karena itulah setelah
peras otak beberapa saat lamanya ia mengambil keputusan untuk mohon kepada
loocianpwee itu untuk menerima diriku.”
“Ilmu silat yang dimiliki cici sekarang agaknya jauh melebihi Giok siauw Lang Koen
sendiri, aku pikir tokoh sakti yang mewariskan ilmu silatnya kepada diri cici pastilah
seorang manusia yang luas biasa sekali….!”
“Tentang persoalan ini maafkanlah cici karena tak dapat memberitahukan kepada
dirimu.”
“Kenapa?”
“Sebab sebelum orang itu menerima diriku, ia telah mengajukan tiga syarat yang harus
dijalankan olehku. Pertama, ia hanya akan mewariskan ilmu silatnya saja kepadaku tetapi

tidak mengijinkan aku angkat guru secara resmi, dan iapun tak akan mengakui diriku
sebagai anak murid perguruannya.”
“Sungguh aneh orang itu, lalu apakah syaratnya yang kedua?”
“Kedua, ia melarang aku untuk membicarakan soal namanya, serta alamatnya. Ketiga,
ia tidak memperkenankan diriku untuk mewariskan beberapa macam kepandaian sakti
yang telah ia wariskan kepadaku itu kepada orang lain.”
“Para partai besar yang ada didalam dunia persilatan semuanya berharap agar ilmu
silatnya bagi tersebar luas dimana-mana menarik orang berbakat sebanyak-banyaknya
untuk mewariskan ilmu sakti tersebut kepada mereka, sebaliknya orang itu tidak
memperkenankan cici untuk mewariskan ilmu silatnya kepada orang lain, tindakannya ini
sangat membingungkan hati orang.”
“Dulu cicipun pernah mempunyai pikiran seperti ini, tapi akhirnya aku dapat memahami
keadaannya dan tidak menyalahkan dirinya lagi.”
“Apa sebabnya ia berbuat begitu?”
“Karena ada beberapa macam ilmu silatnya tergolong dalam kepandaian yang sangat
keji dan telengas dan tak boleh sampai tersiar diluaran, bila orang yang mempelajarinya
termasuk manusia tidak kenal wataknya maka ia bakal mencelakai umat manusia karena
itulah loocianpwee tersebut telah mengambil keputusan untuk melarang ilmu silatnya
tersiar didalam dunia persilatan.”
Siauw Ling segera teringat akan tindakan Gak Siauw Cha dikala memantekkan jarum
emas didalam otak besar Lam Hay Ngo Hiong, kepandaian yang keji dan belum pernah
terdengar sebelumnya dalam hati iapun berpikir, “Hati manusia mudah berubah, apa yang
ditakutkan loocianpwee itu memang beralasan sekali.”
Maka ia lantas tertawa.
“Seandainya loocianpwee itu bisa menggunkan akal cerdiknya untuk menghilangkan
bagian-bagian ilmu silatnya yang ganas….”
“Setiap ilmu silat mempunyai keistimewaan yang berada, kalau inti sari serta
kelihayannya dibuang, apa harganya untuk diwariskan kedalam dunia persilatan?”
“Perkataan cici tepat sekali.”
Gak Siauw Cha menghembuskan napas panjang.
“Begitulah selama hampir empat tahun lamanya aku tinggal disana, siang malam aku
berjuang dan berlatih dengan tekun dan sangat beruntung aku berhasil mendapatkan
sedikit kemajuan, suatu hari mendadak loocianpwee itu memaksa aku tinggalkan tempat
itu dan melarang aku tinggal disana lebih jauh.”
“Apa sebabnya ia berbuat demikian?”
“Hingga kini persoalan itu masih merupakan suatu teka teki bagiku, cici sudah
memikirkannya selama banyak hari tetapi belum berhasil juga memecahkan rahasia
tersebut….” ia membereskan rambutnya yang kusut dan melanjutkan, “Setelah terjun
kedalam dunia persilatan, persoalan pertama yang kulakukan adalah mencari kabar
mengenai dirimu, setelah mengetahui bahwa kau jatuh kesungai mati, hatiku amat sedih
hingga terasa diiris-iris kucari tempat kau terjatuh kedalam sungai, bersembahyang disana
dan menangis tiga hari tiga malam mengenangkan nasibmu yang jelek, kalau aku tidak
teringat bahwa aku masih mempunyai tugas untuk membalaskan dendam bagi kematian
ibuku, mungkin sudah terjun kedalam sungai untuk bunuh diri….”
Mendengar ucapan tersebut Siauw Ling segera menghela napas panjang.
“Aaai….! cinta kasih cici yang demikian mendalam terhadap diriku, membuat siauwte
tidak tahu bagaimana harus membalasnya.”
“Setelah tahu kemudian.” Gak Siauw Cha melanjutkan. “Tiba-tiba aku mendengar kabar
berita yang mengatakan kemunculanmu didalam dunia persilatan, cici merasa terkejut dan
kegirangan setengah mati, kukejar jejakmu keujung langit tapi akhirnya kuketahui bahwa

Lan Giok Tonglah yang menyaru sebagai dirimu, hilang lenyap rasa girangku berubah jadi
kekesalan dan kekecewaan….”
Mendadak Siauw Ling teringat akan suatu persoalan, segera ujarnya, “Apakah cici
pernah menitipkan sepucuk surat kepada orang untuk disampaikan kepadaku?”
Sambil memandang langit diluar jendela Gak Siauw Cha mengangguk.
“Tidak salah, aku sering kali menolong orang, setiap kali orang yang berhasil kutolong
pasti kutitipkan sepucuk surat untuk disampaikan kepadamu….”
Ia menghela napas panjang, terusnya setelah merandek sejenak.
“Ketika berjumpa dengan Lan Giok Thong yang menggunakan namamu aku merasa
amat mendongkol bercampuran gusar, aku telah memberi pelajaran yang pedas terhadap
dirinya, sungguh tak nyana dikarenakan persoalan itu aku telah mengundang kesulitan
bagi diriku sendiri.”
“Apakah Lan Giok Thong tertarik oleh….”
Sebenarnya si anak muda ini hendak mengatakan apakah Lan Giok Thong telah tergiur
kecantikan cici akhirnya mengejar dirimu kemana-mana, tapi ucapan selanjutnya terasa
sulit diutarakan maka terpaksa iapun membungkam.
Terdengarlah Gak Siauw Cha meneruskan kisahnya, “Perasaan cici yang telah mulai
tenang terjadi pergolakan hebat kembali, aku merasa telah mengingkari pesan terkahir
ibuku, merasa malu pula terhadap ayah serta ibumu, hatiku jadi pedih, menyesal dan
amat sakit hingga sukar dilukiskan dengan kata-kata. Malam itu seorang diri aku
menginap didalam sebuah kuil yang terpencil, karena kesedihan yang kelewat batas
membuat ketajaman telingaku terganggu, aku sudah terpulas dengan nyenyaknya tanpa
terasa menanti aku sadar kembali, kutemui bahwa jalan darahku sudah tertotok.”
“Siapakah yang berani berbuat kurang ajar terhadap cici?” teriak Siauw Ling dengan
gusarnya.
Gak Siauw Cha melirik sekejap kearah Siauw Ling, melihat perubahan air muka si anak
muda itu dimana seakan-akan dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan dirinya
tertotok, dalam hati merasa amat terharu, segera jawabnya, “Mereka adalah dua orang
peronda bermata tikus dari perkampungan Pek Hoa San cung. Ketika melihat aku telah
mendusin mereka segera menggoda dan berbuat kurang ajar terhadap diriku, meskipun
cici merasa gusar bercampur cemas tapi jalan darah yang tertotok membuat diriku sama
sekali tak sanggup melawan, terpaksa aku hanya pejamkan mata tidak memperdulikan
mereka.”
Mendadak ia menundukkan kepalanya dan tak berbicara lagi.
“Bagaimana selanjutnya?” seru Siauw Ling dengan hati gelisah.
“Kemudian dia berdua ternyata mulai berbuat kurang ajar terhadap diriku, keadaan
pada saat itu benar-benar menyiksa batin, cici ingin mati tapi tak dapat, ingin hiduppun
susah dalam keadaan begitulah tiba-tiba Giok Siauw Lang Koen telah munculkan diri
dalam sekali gebrakan ia telah membinasakan kedua orang itu.”
“Jadi kalau begitu Giok siauw Lang Koen sekali lagi telah menyelamatkan cici?”
“Tidak salah, justru karena pertolongannya berulang kali terhadap diriku dan mengajak
pula diriku untuk belajar silat dibawah bimbingan seorang guru yang lihay, budi kebaikan
yang ia limpahkan terhadap diriku sudah menumpuk setinggi gunung….”
Mendadak ia membungkam, mendongak dan memandang wajah Siauw Ling dengan
tajam katanya, “Saudaraku, kini kau telah dewasa, banyak persoalan yang telah kau
pahami. Rasanya cicipun tak usah merahasiakan sesuatu dan mengutarakan semua
perkataan yang ingin kuutarakan kepadamu.”
“Silahkan cici berkata, siauwte pasti akan memperhatikan dengan seksama.”
Gak Siauw Cha ragu-ragu sejenak, kemudian ujarnya, “Setelah Giok Siauw Lang Koen
menyelamatkan diriku kali ini dan menemukan hatiku kusut dan selain murung, karena

takut aku menemui marabahaya lagi ternyata ia tak mau tinggalkan diriku seorang diri,
ditemaninya aku berpesiar ketempat-tempat kenamaan, seringkali ia meniup serulingnya
memainkan lagu yang merdu untuk menghibur hatiku yang lara, semenjak kecil cicipun
sudah belajar ilmu memetik khiem dari ibuku, kemudian setelah belajar silat dari
loocianpwee lihay tadi, akupun memperoleh banyak petunjuk mengenai ilmu memetik
khiem….”
Ia merandek sejenak untuk berpaling memandang sekejap kearah Siauw Ling,
kemudian sambungnya, “Waktu itu meskipun Giok Siauw Lang Koen amat menyayangi
diriku, tapi ia selalu bersikap demikian karena timbul dari sanubarinya dan terbatas dalam
batas-batas kesopanan, ia pandang aku seperti adiknya sendiri.”
“Setiap hari ia menemani cici berpesiar menikmati pemandangan alam, bermain
seruling untuk melepaskan kemurungan cici, ditambah pula tiada maksud lain, ia terhitung
seorang koencu yang sejati.”
“Saudaraku, ingatkah kau akan suatu perkataan yang terkenal….?”
“Perkataan apa?”
“Pergaulan yang terlalu intim bisa menimbulkan rasa cinta, setelah Giok Siauw Lang
Koen menemani aku setiap hari berpesiar ditempat-tempat keamanan, tanpa sadar cici
telah menaruh rasa cinta terhadap dirinya hanya saja pada waktu itu belum sampai
terpikirkan olehku.”
Siauw Ling menghembuskan napas panjang sepertinya ia mau mengucapkan sesuatu
tapi akhirnya ia batalkan maksud tadi.
“Suatu malam bukan purnama” Gak Siauw Cha melanjutkan. “Giok Siauw Lang Koen
mengajak aku menikmati rembulan dipuncak gunung Kioe Hoa san, rupanya ia tahu kalau
cici memiliki kepandaian memetik khiem, entah sejak kapan ternyata ia telah menyediakan
sebuah khiem bagiku.”
“Dibawah sorotan bulan purnama ia mainkan serulingnya membawakan nada yang
merdu dan indah, cici jadi gatal tangan dan tanpa sadar telah memetik tali khiem untuk
mengiringi permainan serulingnya, seketika itu juga gabungan permainan musik kami
menggetarkan seluruh puncak.”
“Oooh, rupanya Giok Siauw Lang Koen adalah seorang manusia yang cerdik ia sediakan
cici sebuah khiem tapi tidak mohon kepada cici untuk memainkan khiem tersebut baginya,
sebaliknya memancing keinginan cici dengan permainan serulingnya, ia betul-betul hebat
sekali.”
“Aaai…. kau benar-benar sudah dewasa, banyak persoalan yang telah kau ketahui.”
Ia mendadak diam sebentar dan kemudian sambungnya, “Entah mulai kapan mendadak
permainan seruling Giok Siauw Lang Koen telah berubah membawakan irama lagu yang
bernadakan cinta kasih ditengah bergemanya seruling tadi tanpa sadar permainan khiem
cici terpancing olehnya dan ikut berubah, lama kelamaan aku jadi lupa daratan dan
terjerumus didalam alunan cinta kasih yang menggelorakan hati.”
Gak Siauw Cha merandek sejenak.
“Lalu…. lalu….” ia ulangi perkataan itu sebanyak beberapa kali, namun ternyata tak
sanggup diteruskan.
“Lalu bagaimana?”
“Lalu?” sambung Gak Siauw Cha sambil menggigit bibir. “Entah sejak kapan permainan
khiem dan seruling itu telah terhenti, waktu cici mendusin kutemui bahwa diriku sedang
duduk didalam pangkuan Giok Siauw Lang Koen.”
Mendadak Siauw Ling merasakan suatu kesedihan yang sangat aneh menyerang
hatinya kepala kontan jadi pening dan kakinya limbung hampir saja ia jatuh terpelanting
keatas tanah.
Buru-buru dia angkat tangannya dan menabok keatas batok kepala sendiri.

“Saudara, kenapa kau?” Gak Siauw Cha segera menegur.
“Aku sangat baik! Giok Siauw Lang Koen apakah pernah….”
“Ia menggenggam tangan cici dan mohon kepada cici untuk mengawini dirinya, ia
berkata bahwa dikolong langit hanya dia Giok Siauw Lang Koen seorang yang pantas
mengawini cici sebagai isterinya dan hanya cici seorang yang pantas mendapat Giok
Siauw Lang Koen.”
“Huuh! sungguh besar amat bacot orang itu, apakah cici telah mengabulkan
permintaannya?”
“Agaknya telah kusanggupi, cuma akupun pernah mengajukan dua syarat kepadanya.”
“Apakah syaratmu itu?”
“Pertama aku suruh dia membantu diriku untuk membalas dendam.”
“Apakah ia menyanggupi?”
“Sudah tentu ia menyanggupi!”
“Lalu syarat yang kedua?”
Dengan tajam Gak Siauw Cha menatap wajah Siauw Ling, kemudian sepatah demi
sepatah katanya, “Syarat yang kedua? aku suruh dia menunggu tiga tahun, andaikata
didalam tiga tahun ini aku tidak berhasil memperoleh kabar berita mengenai dirimu, maka
cici akan melakukan pembalasan dendam dibawah bantuan dari Giok Siauw Lang Koen,
setelah berhasil membalas dendam barulah aku kawin dengan dirinya.”
“Sekarang bukankah aku masih hidup baik-baik dikolong langit?”
“Yaah! harus disalahkan cici kenapa tak menambahkan sepatah dua patah kata pada
waktu itu, hingga kini urusan jadi sulit dijelaskan.”
“Bukankah perkataanmu pada waktu itu sudah amat jelas sekali? kau suruh dia
menunggu selama tiga tahun untuk mencari tahu tentang mati hidupku, sekarang belum
batas waktu tiga tahun penuh fakta membuktikan bahwa aku masih hidup dikolong langit.
Andaikata cici tidak mencintai dirinya tentu saja janji sebelumnya boleh dibatalkan.”
“Waktu itu aku hanya berkata bahwa ia harus menunggu selama tiga tahun karena aku
hendak mencari dirimu, tetapi aku tidak menerangkan bagaimana seandainya aku berhasil
temukan dirimu.”
“Sudah tentu janjimu yang terdahulu dibatalkan!” seru Siauw Ling dengan tegas.
“Cici memang ingin berbuat begitu, tetapi Giok Siauw Lang Koen adalah seorang
manusia yang tak tahu malu!”
“Jangan kau salahkan dirinya, sudah terlalu banyak cici berhutang budi kepadanya.”
Ia merandek sejenak untuk tukar napas kemudian sambungnya, “Saudaraku, ada suatu
persoalan sudah lama terpendam didalam hatiku, cici selalu belum sempat
mengatakannya kepadamu. Aaaai…. waktu itu usiamu masih terlalu kecil sekalipun cici
utarakan kepadamu belum tentu kau mengerti.”
“Persoalan apa?”
“Didalam surat wasiat bibi Im mu telah tercantum pula petunjuk mengenai soal
perkawinan cici, beliau minta cici….”
Mendadak wajahnya berubah jadi merah padam, dengan sikap yang amat kikuk dara
itu tundukkan kepalanya rendah-rendah.
“Bibi Im sangat cinta dan menyayangi diriku, dalam hati kecilku beliau sudah kuanggap
ibuku sendiri!”
JILID 31
Perlahan-lahan Gak Siauw Cha angkat kepalanya, dengan mata terpejam rapat-rapat
katanya, “Dalam surat wasiat ibuku, beliau suruh aku kawin dengan dirimu dan menjadi
istrimu!”
“Oooooh! benarkah ada kejadian seperti ini?” seru Siauw Ling tertegun.

Seluruh wajah Gak Siauw Cha berubah semakin merah padam, tapi ia lanjutkan juga
kata-katanya, “Didalam surat wasiat itu bukan saja memerintahkan cici untuk kawin
dengan dirimu serta menjadi istrimu, bahkan diterangkan pula apa yang harus cici
lakukan.”
Ia berhenti sejenak.
“Perkataan seperti ini walaupun cici merasa malu untuk mengutarakannya keluar, tetapi
setelah kejadian berubah jadi begini terpaksa aku harus bicara terus terang kepadamu,
semoga kau jangan mentertawakan diri cici yang terlalu tak tahu diri.”
“Dalam pandangan siauwte, cici jauh lebih agung dari seorang bidadari dilangit, mana
aku berani memandang rendah diri cici.”
“Aaaa….! bagaimanapun juga akhirnya cepat atau lambat persoalan ini harus
kuberitahukan kepadamu, bila tidak kuterangkan pada saat ini mungkin dikemudian hari
sudah tak ada kesempatan lagi….”
Terutama sekali beberapa patah kata yang terakhir jelas mengandung alamat jelek,
membuat Siauw Ling yang mendengar jadi tertegun dan tak sanggup mengucapkan
sepatah katapun.
Sementara ia hendak menanyakan persoalan itu, Gak Siauw Cha telah berkata kembali,
“Dalam surat wasiatnya ibuku telah menerangkan dengan jelas, katanya kau telah
mengidap suatu penyakit yang sangat aneh didalam urat nadi, meskipun berhasil
mempelajari ilmu silat yang sangat lihay, belum tentu urat nadi terpenting itu berhasil
ditembusi, dapatkah usiamu melampaui batas dua puluh tahun masih merupakan suatu
tanda tanya yang besar. Oleh karena itu dalam surat wasiat itu ibuku memerintahkan
kepada cici untuk kembali lagi kedusun Tan Kwoe Cung ditepi telaga Tiang Pek Ouw
sehabis mengantar jenasahnya pergi, untuk sementara waktu soal membalas dendam
jangan dibicarakan dahulu dan aku harus kawin dulu dengan dirimu….”
Siauw Ling yang mendengar perkataan itu wajahnya seketika menjadi panas, ia
tundukkan kepalanya rendah-rendah dan tak berani memandang wajah Gak Siauw Cha
lagi.
Terdengar gadis itu menghela napas panjang sambungnya, “Ibuku suruh aku
melahirkan putra putri bagi keluarga Siauw untuk menyambung keturunannya, kemudian
baru membalaskan dendam baginya, didalam surat wasiatnya diterangkan pula dengan
jelas bagaimana caranya untuk membalaskan dendam sakit hatinya itu. Aaaa….! siapa
tahu peristiwa yang kemudian terjadi jauh diluar dugaan ibuku. Saudaraku! andaikata
tiada surat wasiat dari ibuku, tidak nanti cici berani membawa kau keluar dari rumah.”
Siauw Ling angkat kepalanya kembali, dengan air mata bercucuran ia menghela napas
panjang.
“Dibalik kejadian ini masih terselip banyak persoalan yang sama sekali tak terduga,
darimana siauwte bisa berpikir….”
Air muka Gak Siauw Cha mendadak berubah jadi serius, ujarnya, “Kini situasi sama
sekali telah berubah, keadaan cici sudah lain dari pada keadaan dahulu sedangkan kaupun
sudah berhasil melepaskan dari ancaman bahaya maut bahkan berhasil mempelajari pula
serangkaian ilmu silat yang sakti. Dengan ketampanan wajahmu serta kegagahan, cici
percaya banyak gadis yang tertarik kepadamu. Perintah ibuku mendiangpun hanya akan
jadi suatu kenangan, rasanya cici tak usah menurut pesan terakhirnya lagi.”
Siauw Ling merasakan hatinya jadi kacau. Ia tak dapat melukiskan bagaimanakah
perasaannya pada saat itu, setelah termenung sebentar sahutnya lirih, “Perintah dari cici,
siauwte tidak berani membangkang!”
Gak Siauw Cha mendongak memeriksa cuaca diluar jendela, kemudian bertanya,
“Saudaraku, bagaimanakah menurut penilaianmu tentang ilmu silat yang dimiliki Giok
Siauw Lang Koen.”

Siauw Ling yang lagi uring-uringan dan gelagapan tidak tahu apa yang musti dilakukan
segera berdiri menjuplak setelah mendapat pertanyaan dari Gak Siauw Cha, lama sekali ia
baru sanggup menjawab, “Kepandaian silatnya sangat lihay, dan sulit ditemui sepanjang
sejarah dewasa ini.”
“Bagaimanakah kalau kepandaian silatmu dibandingkan dengan dirinya….?”
“Sulit untuk ditentukan siapa menang siapa kalah.”
“Rasa cintanya terhadap diriku dalam bagaikan samudra, dan budinya yang telah ia
lepaskan terhadap diriku berat bagaikan gunung, menurut pendapatmu apa yang harus
cici lakukan?”
“Tentang soal ini…. tentang soal ini….” saking tertegunnya untuk sesaat si anak muda
itu tidak tahu apa yang musti dijawab.
“Kejadian indah berubah jadi begini, kaupun tak usah ragu-ragu lagi katakanlah
sejujurnya!”
Dengan sinar mata berkilap Siauw Ling menatap wajah Gak Siauw Cha dalam-dalam
kemudian dengan nada serius katanya, “Hal ini harus kunilai dari sikap cici terhadap
dirinya. Andaikata cici mencintai dirinya sudah tentu kau boleh menikah dengan dirinya,
sebaliknya kalau cici tidak suka kepadanya dan siauwtepun belum mati, tentu saja kau
dapat menghapuskan janji itu….”
“Masih ada satu persoalan, cici belum sempat menerangkan kepadamu!”
“Persoalan apa?”
“Andaikata aku menghapuskan janji tersebut, mungkin saja ia tak berani mengapaapakan
diriku, tetapi rasa benci dan dendamnya pasti akan dialihkan ketubuhmu, ia pasti
akan mencari dirimu untuk diajak beradu jiwa….!”
“Walaupun ilmu silatnya sangat lihay tetapi siauwte tidak jeri terhadap dirinya!”
“Aku tahu! tetapi kalau dua ekor harimau saling bertempur, maka akhirnya salah satu
diantaranya pasti terluka….”
“Demi cici sekalipun siauwte harus matipun rela!”
“Pada saat ini namamu sudah tersohor diseluruh kolong langit, umat Bulim yang ada
didalam dunia persilatan dewasa ini telah menganggap dirimu sebagai pelita ditengah
kegelapan dan merekapun memandang kau sebagai satu-satunya orang yang sanggup
menghadapi serangan Shen Bok Hong, saudaraku sebagai seorang lelaki sejati kau harus
lebih berat memandang pada karier dan bukannya mengorbankan jiwa demi seorang
gadis….”
Siauw Ling merasakan darah panas didalam rongga dadanya bergelora keras, serunya
dengan suara kaget, “Seandainya dalam hati kecil siauwte ada seorang kekasih, maka
orang itu adalah cici seorang. Bukan saja aku sangat mencintai diri cici bukankah kau
kupandang melebihi bidadari yang ada dilangit, siauwte masih muda dan tidak banyak
persoalan yang kuketahui tetapi selama banyak tahun aku merasa suara dari cici,
senyuman dari cici sering kali muncul didalam benakku, sekalipun ini hari cici tidak
menerangkan siauwtepun merasa bahwa aku menaruh rasa cinta dan rindu terhadap diri
cici, hanya satu untuk sementara siauwte belum merasakan tumbuhnya bibit cinta,
sekalipun siauwte tahu juga tak berani kuutarakan keluar sehingga menyinggung
perasaan cici.”
“Aaai….! selama banyak tahun akupun siang malam selalu merindukan dirimu, terhadap
kau aku menurut rasa sesal yang tak terkirakan disamping rasa kesalahan yang tebal
dalam pandanganku. Aku merasa bahwa seharusnya kau selain berada disisiku, aku
hendak mengurusi soal makanmu serta pakaianmu, dalam lima tahun belakangan kau
didalam bayanganku masih seperti seorang bocah seperti waktu berpisah dahulu menanti
secara diam-diam kuawasi dirimu dewasa ini, barulah kuketahui bahwa kau telah
meningkat dewasa.”

“Apakah siauwte sama sekali tidak memiliki potongan wajah seperti dahulu?”
“Dulu kau lemah dan banyak penyakit, membikin orang yang memandang merasa
kasihan, tapi kini kau tampan dan mempesonakan setiap orang.”
“Tetapi siauwte toh masih tetap merupakan Siauw Ling yang dahulu….?” perlahanlahan
si anak muda itu tundukkan kepalanya.
“Tidak salah, dalam tingkah laku secara lapat-lapat masih tersisa keadaan dimasa
kecilmu….”
Ia menghela napas panjang.
“Seorang Shen Bok Hong sudah cukup memusingkan kepalamu, kalau ditambah
dengan seorang Giok Siauw Lang Koen lagi, dari mana kau sanggup menghadapinya?
untuk melepaskan genta, harus mencari siorang yang tersangkut genta, persoalan pribadi
cici lebih baik aku selesaikan sendiri saja….”
“Cici, betapa sayang dan cintanya diri cici kepadaku pada masa yang silam, kini aku
telah dewasa, mengapa kau tidak memperkenankan diriku untuk melindungi cici?”
Diatas wajah yang murung mendadak tersungging satu senyuman manis, terdengar
Gak Siauw Cha berkata, “Saudaraku, kemarilah!”
Perlahan-lahan Siauw Ling maju kedepan dengan sangat hormat tanyanya, “Cici, kau
ada perintah apa?”
Gak Siauw Cha tidak berbicara, mendadak ia putar badan dan berjalan masik keruang
dalam. Beberapa saat kemudian sambil membawa sebuah kotak kayu cendana yang
panjangnya tiga coen lebarnya dua coen gadis itu munculkan dirinya kembali.
Kepada Siauw Ling ia berkata dengan wajah serius, “Saudaraku, baik-baiklah kau
simpan kotak kayu ini!”
“Cici, apakah isi dari kotak kayu ini?” tanya Siauw Ling sambil menerima benda tadi.
“Anak kunci istana terlarang yang diidam-idamkan setiap jago Bulim dikolong langit!”
“Apa? anak kunci istana terlarang?” jerit pemuda itu dengan terperanjat.
“Tidak salah, ini hari cici serahkan benda ini kepadamu, semoga kau bisa memasuki
istana terlarang.”
Buru-buru si anak muda itu gelengkan kepalanya.
“Benda yang demikian berharganya mana bisa siauwte simpan secara baik-baik? lebih
baik cici menyimpan sendiri saja!”
“Apakah kau masih ingat akan janjiku dengan Giok siauw Lang Koen….?” tanya Gak
Siauw Cha tertawa getir.
“Ucapan itu baru saja mendengung disisi telingaku, tentu saja siauwte masih
mengingatnya baik-baik.”
“Nah, itulah dia, batas waktu tiga bulan dalam sekejap mata saja akan tiba
pertemuanku dibawah tebing Toan Hoan Gay sulit diramalkan tentang mati hidupku,
andaikata tiga bukan kemudian kau tidak berhasil memperoleh kabar mengenai diri cici,
anggaplah anak kunci istana terlarang itu sebagai milikmu.”
Setelah merandek sejenak, terusnya, “Berusahalah melakukan perjalanan untuk
memasuki istana terlarang. Bila kau ingin menangkan Shen Bok Hong, maka satu-satunya
jalan adalah memasuki istana terlarang tersebut.”
“Cici, beritahukan kepadaku tentang satu persoalan, janganlah membohongi diriku”
pinta si anak muda itu serius.”
“Persoalan apa?”
“Kau telah mengadakan janji dengan Giok Siauw Lang Koen untuk berjumpa didasar
tebing Toan Hoan Gay pada tiga bulan kemudian, sebenarnya apa maksudmu?”
“Tentang persoalan ini cici tak bisa mengatakan, sebab harus dilihat bagaimana sikap
Giok Siauw Lang Koen nanti.”

“Seandainya ia selalu mendesak cici hingga kelewat batas, apakah cici bakal bergebrak
melawan dirinya?”
“Aku tidak tahu, persoalan ini baru bisa dibicarakan setelah meninjau situasi pada
waktu itu.”
“Aku lihat dia terlalu picik pandangannya sedangkan terhadap cici rasa cintanya sudah
sangat mendalam, andaikata cici tidak menyetujui perkawinannya mungkin dia tak akan
melepaskan cici dengan begitu saja, kecuali kalau cici rela menyerah begitu saja, siauwte
rasa suatu pertarungan sengit tak akan terhindar.”
Gak Siauw Cha melirik sekejap kearah Siauw Ling, mulutnya tetap membungkam dalam
seribu bahasa.
“Cici, apakah kau mengijinkan siauwte untuk ikut serta pergi memenuhi janji?”
“Tidak bisa jadi, kau tak boleh bermusuhan dengan Giok Siauw Lang Koen….!”
“Mengapa?”
“Dibelakang Giok Siauw Lang Koen masih berdiri selapis kekuatan yang amat besar.
Andaikata kau membinasakan Giok Siauw Lang Koen, maka orang-orang itu pasti tak akan
melepaskan dirimu dengan begitu saja, sebaliknya kalau kau sampai terluka ditangan Giok
Siauw Lang Koen. Oooh…. saudaraku, terlalu tidak berharga bagimu untuk mengorbankan
diri demi diriku!”
“Demi cici, sekalipun badanku harus hancur lebur siauwtepun rela….!”
“Saudaraku, kau jangan melupakan akan satu persoalan” seru Gak Siauw Cha dengan
alis berkerut.
“Persoalan apa lagi?”
“Aku telah menerima pinangan dari Giok Siauw Lang Koen, kenapa aku tidak boleh
sungguh-sungguh menikah dengan dirinya?”
Siauw Ling tertegun, untuk beberapa saat lamanya ia tak sanggup mengucapkan
sepatah katapun.
“Saudaraku, masih ada persoalan apa lagi yang hendak kau katakan kepada cici?” gadis
itu kembali bertanya.
“Dalam hati siauwte mempunyai beribu-ribu patah kata yang hendak kukatakan, tetapi
aku tidak tahu harus dari mana untuk mulai berbicara….!”
“Kalau memang begitu, lebih baik tak usah kau katakan lagi….”
Air mukanya berubah, mendadak dengan suara ketus serunya, “Cici telah
mengutarakan semua isi hatiku, kalau memang kau tiada persoalan lagi. Rasanya sudah
sampai pada saatnya bagimu untuk mohon diri dari sini!”
Mimpipun Siauw Ling tidak menyangka kalau secara tiba-tiba Gak Siauw Cha bisa
mengusir dirinya pergi, ia tertegun.
“Cici suruh aku pergi?” bisiknya setengah tidak percaya.
“Ehmm, saudaraku kini kau sudah dewasa antara lelaki dan perempuan ada batasbatasnya,
aku rasa tidak pantas bagimu untuk berdiam terlalu lama disini.”
“Kalau memang begitu, siauwte mohon diri lebih dulu!” selesai berkata ia lantas
menjura.
“Maaf cici tidak bisa mengantar lebih jauh” sahut Gak Siauw Cha sambil balas memberi
hormat, kemudian berjalan masuk keruang dalam.
Siauw Ling yang menyaksikan keputusan dari gadis she Gak itu, disamping merasa
heran iapun merasa sangat bersedih hati, darah panas didalam rongga dadanya bergelora
keras dan air mata tanpa sadar jatuh berlinang.
Berdiri ditengah kesedihan entah berapa waktu sudah lewat tanpa terasa.
“Siangkong!” mendadak terdengar suara teguran yang halus dan merdu berkumandang
datang memecahkan kesunyian.

Bagaikan baru saja sadar dari impian, buru-buru Siauw Ling membasuh air mata yang
membasahi pipinya lalu berpaling. Tampaklah Soh Boen dengan wajah diliputi kesedihan
telah berdiri didepan pintu.
Ia berusaha keras menenangkan hatinya, setelah melirik sekejap kearah horden yang
memisahkan ruang tengah dengan ruang dalam, pemuda itu bergumam seorang diri,
“Yaah…. aku memang harus segera pergi!”
Tanpa berkata-kata ia berjalan menuju keluar.
Hatinya diliputi kesedihan yang kelewat batas, cinta kasih yang bersemi didalam hatinya
dahulu kini telah berubah jadi air mata kesedihan, pemuda itu tak kuat menahan air
matanya lagi, titik-titik air mata jatuh berlinang membasi pipinya.
Dengan langkah limbung ia berjalan kedepan, pemuda itu tak tahu kemanakah ia telah
pergi.
Terdengar suara air berkumandang memecahkan kesunyian, sebuah selokan dengan air
yang bersih menghadang didepan matanya.
Dalam kepedihan hatinya ternyata si anak muda itu telah salah mengambil arah dan
tersesat.
Perlahan-lahan Siauw Ling berjalan kesisi selokan, duduk diatas sebuah batu besar ia
bertopang dagu dan memandang awan diangkasa dengan pandangan mendolong.
Mendadak angin berhembus lewat, awan diudara membuyar keempat penjuru, dilangit
yang udara terasa amat cerah.
Pemuda itu gelengkan kepalanya, setelah berhasil menenangkan hatinya yang kacau ia
berjongkok ketepi selokan dan membasahi wajahnya yang kusut.
Rasa dingin yang menyegat badan segera menembalikan pikirannya yang kacau, ia
teringat kembali akan rekan-rekannya yang masih menanti didalam bangunan besar.
Setelah mengempos tenaga dan menentukan arah, akhirnya Siauw Ling kembali kearah
bangunan besar.
Bangunan tersebut masih tetap berdiri ditengah kelilingan pohon bambu, tapi didalam
pandangan pemuda itu semuanya telah berubah, dalam beberapa jam yang singkat
semuanya terasa asing baginya….
Dalam pada itu Soen Put shia sambil bergendong tangan sedang berdiri dipintu depan
ketika menyaksikan Siauw Ling munculkan diri, ia segera menyongsong dengan langkah
lebar.
Siauw Ling angkat kepala dan melirik sekejap kearah pengemis tua itu lalu tertawa
hampa.
“Benar, aku sudah kembali!” sahutnya lirih.
Dari sikap serta ucapan tersebut Soen Put shia dengan cepat dapat menangkap
kesedihan hati si anak muda itu, wajahnya seolah-olah sudah mengalami perubahan yang
amat besar, perpisahan selama beberapa jam bagaikan perpisahan selama beberapa
tahun lamanya.
Tampaklah alis yang selalu cerah kini diliputi kekesalan serta kemurungan yang tebal,
matanya yang semula jeli kini berubah jadi merah. Keadaannya bagaikan seseorang yang
baru saja mengalami pertarungan yang seru, seperti pula seseorang yang kehabisan
tenaga dan kelewat lelah.
Kegagahan serta keteguhan iman dihari-hari biasa kini lenyap tak berbekas bagaikan
terdapat suatu tenaga misterius yang merubah sama sekali watak serta perangai Siauw
Ling dalam beberapa jam yang singkat.
Soen Put shia segera mendehem ringan dan menegur, “Saudara Siauw, apakah kau
sudah bertemu dengan musuh tangguh yang belum pernah kau jumpai serta telah
berlangsung suatu pertempuran yang amat seru?”
Siauw Ling menggeleng dan tetap membungkam.

“Apakah kau merasa sangat lelah?” kembali pengemis itu menegur dengan alis
berkerut.
Siauw Ling mengangguk dan tertawa sedih.
“Ehmm, aku merasa lelah sekali.”
Sinar mata Soen Put shia segera dialihkan kebawah, mendadak ia temukan sebuah
kotak kayu muncul separuh bagian diluar sakunya. Dibawah sorot cahaya sang surya
terlihatlah diatas kotak itu terdapat banyak sekali urik-urikan, diam-diam pikirnya didalam
hati, “Belukm pernah kujumpai kotak semacam ini, jelas benda tersebut baru saja
didapatkan olehnya….”
Maka kembali ia menegur, “Saudara Siauw, benda apakah yang terdapat didalam kotak
kayu itu….?”
Siauw Ling menunduk dan mengambil kotak tadi setelah dilihat sekejap sahutnya,
“Oooh, benda ini? aku toh tidak menerimanya! kenapa bisa berada didalam sakuku?”
Kiranya waktu Gak Siauw Cha mengusir si anak muda itu, Siauw Ling merasakan
hatinya bergetar keras dan kesadarannya banyak berkurang, disaat itulah gadis she Gak
tadi telah memasukkan kotak kayu itu kedalam sakunya.
Soen Put shia sebagai seorang jago kawakan yang berpengalaman luas, ketajaman
matanya benar-benar luar biasa, menyaksikan sikap si anak muda itu ditambah pula
kesadaran yang jauh berkurang. Dalam hatinya ia mengerti bahwa pemuda ini pastilah
sudah mendapatkan pukulan batin yang sangat besar, sehingga dari seorang jago yang
memiliki ilmu silat lihay berubah jadi manusia biasa.
Sementara itu Boe Wie Tootiang, Ceng Yap Chin serta Suma Kan sekalian telah
berkumpul datang.
Rupanya para jagopun menemukan keadaan Siauw Ling yang lain dari pada keadaan
biasa, semua mereka jadi gelagapan dibuatnya.
“Soen Loocianpwee” sitoosu tua dari Bu Tong Pay itu segera berbisik lirih. “Agaknya
keadaan siauw thayhiap rada tidak beres.”
“Betul….”
“Menurut apa yang cayhe ketahui” timbrung Suma Kan. “Didalam Bulim terdapat
semacam kepandaian pembingung sukma, jangan-jangan ia sudah terkena ilmu hitam
tersebut.”
“Kalau menurut pandangan aku sipengemis tua, agaknya batinnya mendapat pukulan
yang berat sehingga sifatnya jadi begini.”
Terdengar Siauw Ling berbisik, “Aku harus mengembalikan kepadanya!” seraya berkata
ia segera putar badan dan berlalu.
“Agaknya keadaan tidak beres” bisik Soen Put shia, sekali enjotkan badan ia sudah
menghadang didepan si anak muda itu, tegurnya, “Saudara Siauw, kau hendak pergi
kemana?”
“Aku hendak mengembalikan kotak kayu ini.”
“Hendak kau kembalikan kepada siapa?”
“Gak Siauw Cha! Aaaai…. isi dari kotak ini terlalu berharga, aku orang she Siauw mana
boleh menerimanya?”
“Apa sih isi dari kotak kayu itu?”
“Anak kunci istana terlarang!”
Kesadarannya yang berangsur-angsur merosot rupanya mengalami sedikit kemajuan.
Beberapa patah kata yang singkat cukup menggetarkan setiap orang, beberapa patah
kata tadi bagaikan guntur yang membelah bumi disiang hari bolong memaksa Soen Put
shia serta Boe Wie Tootiang sekalian berdiri menjublak dan tak sanggup mengucapkan
sepatah katapun.

Didalam dunia persilatan seringkali tersiar berita yang mengatakan didalam istana
terlarang telah terkubur belasan orang tokoh silat yang amat lihay, mati hidupnya hingga
kini masih merupakan suatu teka teki, dan untuk memecahkan teka teki itu maka orang
harus mendapatkan anak kunci istana terlarang.
Benda itu mempengaruhi kehidupan seluruh umat Bulim dan merupakan benda yang
paling berharga berjuta-juta orang dunia persilatan.
Entah sudah berapa banyak tokoh sakti dunia persilatan yang harus mengucurkan
darah demi memperebutkan benda itu, sudah berapa banyak pembunuhan serta kematian
yang diakibatkan benda itu….
Dengan sinar mata yang sayu Siauw Ling menyapu setiap wajah para jago, kemudian
katanya, “Harap cuwi sekalian suka menanti sebentar disini, setelah mengembalikan kotak
kayu itu aku akan segera kembali kesini.”
“Saudara Siauw” seru Soen Put shia sambil menghadang jalan pergi pemuda itu.
“Apakah nona Gak telah mengucapkan sesuatu sewaktu menyerahkan kotak kayu itu
kepadamu?”
Perlahan-lahan Siauw Ling mendongak dan menghela napas panjang.
“Tidak salah, agaknya ia telah mengucapkan banyak sekali perkataan.”
“Loocianpwee” Boe Wie Tootiang segera membisik. “Agaknya kesadaran Siauw thayhiap
rada terganggu, kita harus menghadang jalan perginya!”
Soen Put shia mengangguk.
“Apa yang telah dikatakan nona Gak? saudara Siauw, bolehkah kami mengetahui?”
katanya.
“Banyak perkataan yang telah ia ucapkan agaknya anak kunci istana terlarang ini
sangat mempengaruhi kehidupan dunia persilatan….”
“Bukan saja sangat besar, bahkan boleh dikata disitulah letaknya kunci bagi
keselamatan seluruh umat Bulim.”
“Betul, agaknya iapun beritahu kepadaku, kalau aku ingin menangkan Shen Bok Hong
maka aku harus memasuki istana terlarang.”
“Tidak salah….” sahut Soen Put shia serius.
“Aaaai…. tetapi anak kunci istana terlarang bukan milikku!”
“Kalau memang nona Gak menyerahkan anak kunci istana terlarang kepadamu, sudah
tentu itu berarti bahwa ia berharap agar Siauw thayhiap bisa memasuki istana terlarang.
Kalau kau mengembalikan kunci ini kepada nona Gak, bukankah itu berarti telah menyianyiakan
harapannya….?” seru Boe Wie Tootiang.
Memandang kotak kayu dalam genggaman Siauw Ling menghela napas panjang.
“Mungkin kotak kayu ini mempengaruhi keselamatan dari nona Gak!” bisiknya.
“Mempengaruhi keselamatan nona Gak?”
“Tidak salah, setelah ia serahkan anak kunci istana terlarang kepadaku, dan berarti
bahwa ia tidak mempunyai tanggung jawab apa-apa lagi, dengan sendirinya ia bisa cepat
mengambil keputusan pendek terhadap kehidupannya.”
“Aaaah…. kalau begitu urusan menyangkut mati hidup nona Gak” pikir Soen Put shia.
“Jika demikian adanya tidak baik kalau aku sipengemis tua terlalu banyak komentar.”
Rupanya Boe Wie Tootiang sekalipun berpendapat demikian, maka siapapun tidak
berbicara lagi.
Sekali lagi Siauw Ling menghela napas panjang, lalu berkata, “Harap kalian suka
menunggu sebentar disini, aku hendak mengembalikan dulu kotak kayu ini.”
“Loocianpwee” Boe wie Tootiang segera berbisik kepada Soen Put shia. “Keadaan Siauw
thayhiap rada tidak beres, lebih baik kau ikuti dirinya saja….”
Soen Put shia mengangguk, dengan langkah lebar ia segera maju kedepan dan berkata,
“Saudara Siauw, bagaimana kalau aku sipengemis tua menemani dirimu….?”

“Aku tak berani merepotkan dirimu!”
“Haaah…. haah…. apakah kau tidak mengijinkan aku sipengemis tua ikut serta?”
“Kalau memang loocianpwee ingin ikut marilah kita segera berangkat….!” tanpa banyak
bicara lagi ia segera berlalu.
Meskipun Soen Put shia mengetahui bahwa Siauw Ling tidak ingin dirinya ikut serta,
tetapi demi menjaga keselamatan si anak muda itu terpaksa ia tebalkan muka untuk
mengikuti dibelakang pemuda tersebut.
Tampaklah Soh Boen dengan menggembol buntalan serta menyoren pedang berdiri
dimuka gubuk.
Ketika menyaksikan dandanan dari dayang tersebut, Siauw Ling seketika berdiri
tertegun.
Sekalipun didalam hati kecilnya ia memang bermaksud mengembalikan kotak kayu itu,
tapi dalam kenyataan ia berharap bisa berjumpa sekali lagi dengan Gak Siauw Cha.
Terdengar Soh Boen dengan suara yang merdu berseru, “Siauw siangkong, nona telah
berangkat!”
“Sudah berapa lama ia pergi? kemana ia berlalu?”
“Siangkong tak usah menyusul nona lagi. Sebelum pergi ia telah serahkan segala
sesuatunya kepada budak, bagaimanapun juga aku harus menasehati diri siangkong untuk
tidak menyusul dirinya.”
Siauw Ling menghela napas sedih.
“Nona, katakanlah kepadaku ia telah berangkat menuju kearah mana! aku harus
menyusul dirinya dan mengembalikan kotak kayu ini, dalam kotak tersebut berisikan anak
kunci istana terlarang yang mempengaruhi mati hidup dunia persilatan.”
“Aku tahu dan nona telah beritahu kepadaku, ia suruh aku menyampaikan kepada
siangkong agar baik-baik merawat kotak ini, kecuali kotak tersebut berisikan anak kunci
istana terlarang, terdapat pula peta rahasia istana tersebut, peta itu adalah hasil karya
dari ibu nona.”
Mendadak Siauw Ling merasakan suatu perasaan sedih yang aneh, tanpa sadar air
mata jatuh berlinang membasahi wajahnya.
Perlahan-lahan dari saku Soh Boen mengambil keluar sepucuk surat, sambil
diangsurkan kedepan katanya, “Sebelum berlalu tadi nona telah meninggalkan sepucuk
surat yang minta aku untuk serahkan kepadamu. Seandainya keadaan siangkong tetap
tenang maka surat ini tak perlu diserahkan kepadamu.”
“Kenapa?” tanya si anak muda itu sambil menyambut surat tersebut.
“Tidak tahu nona suruh budak berkata demikian dan budakpun seperti apa yang aslinya
telah menyampaikan kepada diri siangkong.”
Siauw Ling menerima surat itu dan hendak dirobek sampulnya, tapi kembali dihalangi
oleh Soh Boen.
“Jangan kau buka sekarang, nona berpesan agar siangkong menyimpan dahulu surat
itu, kemudian carilah tempat yang tenang. Duduklah baik-baik dan surat itu baru boleh
dibaca.”
“Ooooh begitu banyak perkataannya.”
“Nona suruh budak menyampaikan kata-jatanya itu, budak telah menyampaikan kepada
siangkong, dan sekarang budak masih ada beberapa patah kata yang hendak
diberitahukan kepada siangkong.”
“Silahkan nona berkata, aku seorang she Siauw akan mendengarkan dengan seksama.”
“Sejak budak mengikuti nona, belum pernah kusaksikan dia meneteskan air mata, tapi
kali ini setelah menghantar pergi siangkong nona telah menangis sejadi-jadinya….”
“Sungguhkah itu?”
“Kenapa aku musti membohongi dirimu?”

“Teguran nona tepat sekali, bagaimana selanjutnya?”
“Isak tangisnya memecahkan kesunyian, air matanya mengalir deras bagaikan
bendungan yang ambrol, setelah budak sekalian berlutut sambil memohon-mohon agar
nona suka menjaga kesehatan, ia baru perlahan-lahan berhenti menangis!”
Siauw Ling mendongak dan menghela napas panjang.
“Aaaai…. kemudian, apakah nona Gak meninggalkan gubuk ini?”
“Tidak” Soh Boen menggeleng. “Setelah nona berhenti menangis, ia menulis sepucuk
surat untukmu.”
Siauw Ling mendesis lirih, dia angkat suratnya keatas siap dibuka atau secara tiba-tiba
ia teringat pesan dari Soh Boen, maka niatnya itu dibatalkan kembali.
“Diatas surat itu kecuali terdapat tulisan dari nona kami, terdapat pula air mata yang
sangat berharga dari nona kami, aku menyaksikan dengan mata sendiri banyak air
matanya menetes diatas kertas surat tersebut, kau harus baik-baik menyimpan surat ini”
Soh Boen melanjutkan.
“Cayhe tidak akan menyia-nyiakan surat ini.”
“Pada saat ini nona kami mungkin sudah berada puluhan li jauhnya. Siangkong tak
usah menanti lebih lanjut, sedang budakpun tidak nanti memberitahukan kepadamu
kemana arah yang dituju nona, lebih baik cepat-cepatlah kembali!”
“Sebelum nonamu meninggalkan tempat ini apakah ia sudah berpesan sesuatu?”
tanyanya Siauw Ling sedih.
“Tidak….” ia merandek sejenak. “Kau ini…. jadi orang benar-benar rada tolol.”
“Kenapa?” pemuda itu tertegun.
“Andaikata nona kami ada perkataan yang hendak disampaikan kepadamu, apakah dia
tak bisa menulisnya didalam surat itu?”
“Ehmmm, ucapan ini sedikitpun tidak salah” pikir Siauw Ling, maka ia lantas berkata,
“Terima kasih banyak atas petunjuk nona.”
“Tak perlu sungkan-sungkan cepatlah pergi!”
Siauw Ling segera angsurkan kotak kayu dari tangannya kearah dayang lain katanya,
“Tolong nona suka menyampaikan kotak ini kepada nona Gak!”
“Soh Boen segera gelengkan kepalanya berulang kali.”
“Aku tidak berani menerima kotak tersebut!” katanya.
“Kenapa?”
“Sebelum nona berlalu dari sini, ia telah berpesan agar budak untuk menanti siangkong
disini, kalau sang surya sudah hilang dibalik gunung dan siangkong belum datang juga,
budak baru diijinkan berlalu dari sini. Menunggu orang disuruh menanti setengah harian
lamanya, itu berarti nona sudah menduga bahwa siangkong pasti akan datang, dan
ternyata siangkong benar-benar telah datang kemari….”
Ia tersenyum dan melanjutkan, “Dia beritahu kepada budak, seandainya surat ini
diserahkan kepada siangkong dikala kau sedang menangis, maka siangkong segera akan
tenang kembali, dan ternyata keadaan yang sebenarnya memang begitu.”
“Aaaaai…. selamanya dugaan enci Gak ku memang selalu tepat sekali!”
“Dia memang jauh lebih hebat dari seorang dewasa!”
“Dia bukan dewa tetapi manusia, bahkan seorang manusia yang punya rasa cinta dan
setia kawan, siangkong! penderitaan serta siksaan batin yang dialami nona kami selama
beberapa bulan terakhir mungkin sepuluh kali lipat jauh lebih berat daripada apa yang kau
alami sekarang.”
Siauw Ling menghela napas panjang dan membungkam.
Dengan sepasang mata jeli dan tajam Soh Boen menatap wajah si anak muda itu
tajam-tajam, ujarnya lagi, “Siangkong, nona kami berkata bahwa kau adalah seorang

koen cu, seorang lelaki sejati, anak kunci istana terlarang pasti akan dikembalikan
kemarin, eeei…. ternyata dugaannya kembali jitu!”
Air mukanya berubah menjadi serius, sambungnya kemudian, “Siauw siangkong,
tahukah kau sebenarnya apa yang dipikirkan nona kami dikala menyerahkan anak kunci
istana terlarang kepadamu? ia tidak ingin memperoleh dirimu, sebaliknya justru
menitipkan keselamatan jiwanya kepadamu….”
“Apakah nonamu menyelesaikan lebih lanjut kata-katanya ini?” seru Siauw Ling
tertegun.
“Kau ini kalau dipandang sepintas lalu nampaknya amat cerdik, kenapa dalam
kenyataan tolol sekali?”
“Bagaimana tololku?”
“Andaikata kau sangat cerdik, kenapa kau tidak berhasil menangkap maksud yang
sebenarnya dari perkataan nona kami?”
“Ilmu silat yang dimiliki enci Gak jauh lebih ampuh daripada diriku sedangkan
kepandaian silat dari Giok Siauw Lang Koen hanya berada dalam keadaan seimbang saja
dengan diriku, andaikata sampai terjadi pertarungan aku rasa enci Gak tidak bakal sampai
menderita kalah ditangan Giok Siauw Lang Koen kecuali kalau enci Gak dengan rela hati
menyerahkan diri.”
“Sedikitpun tidak salah, andaikata membicarakan soal ilmu silat saja nona kami
mungkin masih jauh lebih ampuh daripada Giok Siauw Lang Koen, dalam ratusan
gebrakan ia masih sanggup untuk mencabut jiwanya, tetapi kau jangan lupa Giok Siauw
Lang Koen adalah tuan penolong yang telah berulangkali menyelamatkan jiwa nona kami!”
Siauw Ling menghela napas panjang.
“Aaaai…. karena itu, enci Gak ku baru rela menerima penghinaan serta siksaan batin
dan rela dianiaya olehnya?”
“Kembali kau salah menduga!”
“Kenapa?”
“Kalau dibicarakan sesungguhnya sikap Giok Siauw Lang Koen terhadap nona kami
amat terhormat dan selamanya tidak berani berbuat keras” ia termenung sebentar
kemudian melanjutkan. “Aaaai…. bicara pulang pergi, kesemuanya adalah disebabkan
karena dirimu.”
“Karena aku?”
“Tidak salah sebelum aku munculkan diri didalam dunia persilatan, nona kami sering
kali mengadakan pertemuan dengan Giok Siauw Lang Koen, mereka sering kali berpesiar
dan menikmati pemandangan alam sambil bergandengan tangan. Waktu itu meski nona
kami sering kali mengerutkan dahi menunjukkan kemurungan, tetapi senyuman serta
wajah yang berseri-seri sering kali terlihat juga ditampilkan….”
“Bagaimana setelah mendengar kemunculanku didalam dunia persilatan?” sela Siauw
Ling.
“Sejak mendengar berita yang mengatakan kemunculanmu didalam dunia persilatan,
situasi seketika berubah hebat. Mulai kau terjun kedalam dunia persilatan itulah budak tak
pernah melihat nona kami menampilkan senyumannya lagi, bahkan berulang kali
menampik ajakan Giok Siauw Lang Koen untuk mengadakan pertemuan. Coba bayangkan,
apakah kesemuanya ini bukan disebabkan karena dirimu?”
“Aaaah, mungkin saja dibalik persoalan ini masih ada kesalahan paham yang belum
diketahui” sahut Siauw Ling kemudian dengan alis berkerut setelah berpikir sejenak.
“Salah paham? salah paham yang bagaimana?”
“Untuk sesaat sulit bagiku untuk menerangkan hingga jelas, lebih baik tak usah aku
katakan saja….” ia merandek sebentar. “Tadi, bukankah nona pernah berkata bahwa nona
Gak telah menitipkan keselamatannya kepadaku, sebenarnya apa maksudmu?”

“Bukan keselamatan nona kami saja, sampai keselamatan budak sekalipun telah
dititipkan semua kepadamu.”
“Tolong nona suka menerangkan sejelasnya!”
“Andaikata Giok Siauw Lang Koen berhasil membuktikan bahwa nona kami tak sudi
memperdulikan dirinya lagi, dan kejadian itu disebabkan karena kau Siauw Ling, maka
dalam pandangannya kau akan dianggap sebagai paku didepan mata. Andaikata kalian
sampai saling berduel, bukankah nona kami akan dibikin serba salah? yang satu adalah
saudara yang hidup bersama sejak kecil, sedang yang lain adalah kekasih hatinya, yang
satu adalah tuan penolong yang seringkali menyelamatkan jiwanya, sedangkan yang lain
adalah sobat karib yang amat erat hubungannya….”
“Nona kau tidak tahu, enci Gakku pernah menerima pinangan dari Giok Siauw Lang
Koen!”
“Siapa bilang aku tidak tahu, sebelum nona mengabulkan permintaannya telah
mengajukan dua syarat terlebih dahulu, apakah kau tahu akan hal ini?”
“Enci Gak telah menjelaskan kepadaku.”
“Nah itulah dia, asal kau Siauw Ling belum mati dan masih hidup dikolong langit, maka
perkawinan itu tentu saja tidak berlaku lagi.”
“Kalau memang begitu, bukankah enci Gak tidak usah malu terhadap dirinya, kenapa ia
masih jeri terhadap Giok Siauw Lang Koen?”
“Pertama, karena budi pertolongannya berulang kali sukar dilupakan, membuat ia tak
bisa memusuhi dirinya. Kedua, demi keselamatan dari kau Siauw Ling.”
“Aku tidak takut terhadap Giok Siauw Lang Koen.”
“Walaupun kau tidak takut terhadap dirinya, namun belum tentu bisa menangkan
dirinya, dua ekor harimau yang saling bertarung akhirnya salah satu pasti terluka, bila
yang terluka adalah kau Siauw Ling, bukankah nona kami akan bersedih hati sepanjang
masa dan selalu merasa tidak tentram, sebaliknya kalau yang terluka adalah Giok Siauw
Lang Koen, suatu badai dahsyat pasti akan melanda seluruh kolong langit keluarganya
pasti tak akan membiarkan Giok Siauw Lang Koen terluka ditanganmu. Dan andaikata
keluarganya melakukan pembalasan dendam terhadap dirimu, bukan saja kau seorang tak
mampu bertahan, bahkan seluruh dunia persilatan akan terlanda suatu pergolakan yang
mengakibatkan bajir darah….”
“Cayhe dengar dari enci Gak berkata bahwa guru yang memberi pelajaran ilmu silat
kepadanyapun akan tersangkut pula didalam persoalan ini, entah apa sebabnya?”
“Karena guru yang mewariskan ilmu silatnya kepada nona mempunyai hubungan yang
sangat dekat dengan Giok Siauw Lang Koen.”
“Ooooh, kiranya begitu.”
“Sekarang seharusnya kau paham bukan, kenapa nonaku mengatakan bahwa
keselamatannya telah dititipkan kepadamu. Perlu kau ketahui keluarga dari Giok Siauw
Lang Koen jauh mengasingkan diri ditempat yang terpencil dan jauh dari pergaulan
masyarakat. Kecuali sanak keluarga sendiri mereka sangat jarang berhubungan dengan
orang luar, kecuali Giok Siauw Lang Koen, Lan Giok Tong serta seorang nona she Thio,
tiada seorangpun diantara keluarga mereka yang melakukan perjalanan ditempat luaran.”
“Terima kasih atas petunjuk dari nona” sahut Siauw Ling sambil mengangguk.
“Baik, kalau memang kau sudah memahami keadaan dari nona kami, tentunya kau tahu
bukan apa yang harus dikerjakan, semoga kau sukses selalu, budak serta nona kami
selalu mendoakan bagi keselamatan siangkong….!”
“Jadi enci Gak menyerahkan anak kunci istana terlarang itu kepadaku adalah suruh aku
memasuki istana terlarang….”
“Tidak salah, masuk kedalam istana terlarang bukan berarti pasti berhasil mempelajari
ilmu silat sakti yang dapat mengalahkan keluarga Giok Siauw Lang Koen, tetapi hanya

inilah satu-satunya kesempatan bagimu untuk mengalahkan keluarga dari Giok Siauw
Lang Koen.”
“Cayhe mengerti, tolong nona suka menyampaikan kepada enci Gak, katakanlah aku
Siauw Ling pasti akan berusaha dengan sekuat tenaga.”
“Budak tidak berani menerima penghormatan dari siangkong….” buru-buru Soh Boen
berkelit kesamping. “Oooh yaaah, masih ada satu persoalan budak lupa untuk
memberitahukan kepada siangkong.”
“Nona masih ada persoalan apalagi?”
“Ayah, ibumu serta kedua orang nona itu telah dibawa nona kami untuk berdiam
disuatu tempat yang terpencil serta aman letaknya, harap siangkong suka berlega hati.”
Teringat akan kesehatan ayah ibunya yang terganggu akibat terseret oleh persoalannya
Siauw Ling merasa tidak tenteram katanya dengan nada sedih, “Dapatkah nona beritahu
kepadaku, sekarang kedua orang tuaku berdiam dimana?”
Soh Boen termenung sejenak, kemudian menjawab, “Tak dapat kuberitahukan
kepadamu, nona kami sudah mempunyai rencana yang masak, bila waktunya bagimu
untuk bertemu dengan mereka sudah tiba, pasti ada orang yang datang memapak dirimu.
Harap siangkong berlega hati.”
“Baiklah, kalau memang begitu aku orang she Siauw mohon diri terlebih dahulu.”
“Siangkong, kau harus ingat, kakek dari Giok Siauw Lang Koen bernama siraja seruling
Thio Hong.”
“Kenapa? apakah siraja seruling Thio Hong pun terkurung didalam istana terlarang?’
“Benar. Silahkan siangkong berlalu, budakpun harus segera melakukan perjalanan.”
Sembari berkata ia berkelebat dan tinggalkan tempat itu.
Menanti bayangan punggung dari Soh Boen sudah lenyap dari pandangan, si anak
muda itu baru menghela napas panjang dan berlalu.
Soen Put shia yang selama ini menanti pada jarak beberapa tombak jauhnya dari
tempat pertemuan itu sudah tidak sabar menanti lagi, dengan susah payah ia berhasil
juga menunggu hingga Soh Boen berlalu dari situ, melihat Siauw Ling berjalan mendekat
ia segera maju menyongsong, serunya, “Saudara Siauw, apa saja yang diucapakan
dayang cilik itu?”
“Ia telah memberikan banyak persoalan kepadaku, membuat dalam hati kecilku
bertambah dengan banyak tanggung jawab.”
“Persoalan apa? bolehkah diberitahukan kepada aku sipengemis tua….?”
“Mengenai persoalan dengan enci Gak.”
“Persoalan hati kaum gadis? Aaai…. selamanya aku sipengemis tua paling tidak
memahami persoalan seperti itu, lebih baik tak usah runding dengan diriku.”
Siauw Ling menghela napas panjang.
“Loocianpwee, apakah kau mengetahui akan siraja seruling Thio Hong….?”
“Haaah…. haaah…. tentu saja tahu, dia adalah salah seorang diantara sepuluh manusia
aneh yang terkurung didalam istana terlarang!”
“Bagaimana ilmu silat yang dimiliki siraja seruling Thio Hong….?”
“Ilmu silat yang dimiliki sepuluh orang manusia aneh yang terkurung didalam istana
terlarang mempunyai keistimewaan yang berbeda-beda, andaikata mereka bisa
menentukan siapa menang siapa kalah Ciauw Sioe Sin Kang siahli bangunan sakti Pouw It
Thian tidak akan mendirikan istana terlarang untuk mengurung kesepuluh orang jago lihay
itu.”
Seperti ada yang dipikirkan Siauw Ling termenung beberapa saat lamanya, kemudian
berkata, “Loocianpwee, seandainya untuk sementara waktu kita tinggalkan dahulu
persoalan mengenai Shen Bok Hong, apakah dunia persilatan bakal terjadi perubahan
besar?”

“Sebenarnya Shen Bok Hong ada maksud menarik saudara Siauw untuk membantu
pihaknya, tapi apa yang diharapkan tidak terkabul sebaliknya malah menunjukkan
ambisinya untuk merajai dunia persilatan, aku rasa karena persoalan ini mungkin terpaksa
ia harus percepat gerakannya….” berbiara sampai disini mendadak ia merandek dan
seakan-akan sedang memikirkan sesuatu, kemudian sambungnya, “Tetapi kekuatannya
tidak berjalan lancar, setiap kali pihaknya mengalami kehancuran yang mana ada
hubungannya pula dengan dirimu, hal ini membuat dia beranggapan bahwa kau adalah
paku didalam matanya, dengan kelicikan serta kecerdikannya sebelum melakukan gerakan
ia pasti menyusun rencana terlebih dahulu. Menurut penglihatan aku sipengemis tua,
sebelum dia berhasil membinasakan dirimu, mungkin rencana besarnya tidak akan
dijalankan lebih dahulu.”
“Kalau memang begitu, bagus sekali!”
“Apanya yang bagus?”
“Enci Gak pernah berkata, apabila aku ingin menangkan Shen Bok Hong dalam hal ilmu
silat maka aku harus melakukan perjalanan memasuki istana terlarang. Oleh sebab itu
cayhe telah mengambil keputusan untuk sementara meninggalkan dahulu urusan dunia
kangouw dan masuk kedalam istana terlarang terlebih dahulu.”
“Tentang soal ini? aku sipengemis tua merasa sulit juga untuk mengutarakan
pendapatnya. Dewasa ini kalangan dunia persilatan telah memandang dirimu sebagai
panji pemberontakan untuk melawan kekuatan serta pengaruh Shen Bok Hong.
Seandainya dalam waktu singkat mendadak kau lenyap dari dunia kangouw dan tiada
kabar beritanya, mungkin kekuatan yang baru saja muncul untuk melawan Shen Bok Hong
bakal lenyap atau tidak sulit diduga mulai sekarang. Istana terlarang sebagai tempat yang
diidam-idamkan setiap umat Bulim tentu saja tepat sekali bila saudara Siauw bisa
mengunjunginya, cuma…. yaaah masalahnya terlalu berat aku sipengemis tua tak berani
mengutarakan pendapat secara sembarangan” sementara pembicaraan berlangsung,
mereka sudah kembali kedalam bangunan rumah itu.
Ketika menyaksikan kembalinya kedua orang itu, Boe Wie Tootiang segera maju
menyongsong, tegurnya, “Siauw thayhiap, apakah kau telah berjumpa dengan nona Gak?”
“Tidak….” sahut Siauw Ling sambil gelengkan kepalanya.
“Nona Gak hanya meninggalkan seorang dayangnya saja” sambung Soen Put shia. “Ia
berhasil menaklukkan saudara Siauw kita untuk menerima anak kunci istana terlarang itu.
Bahkan suruh dirinya segera melakukan perjalanan menuju keistana terlarang tersebut.”
“Aaaai…. setiap umat Bulim pada mengetahui bahwa dikolong langit terdapat sebuah
istana yang disebut istana terlarang” kata Boe Wie Tootiang sambil menghela napas
panjang. “Tetapi merekapun hanya tahu bahwa istana terlarang berada ditengah gunung
Boe Gie san, namun gunung tersebut luasnya ribuan li, sebetulnya istana terlarang berada
didaerah mana tak seorangpun yang tahu.”
“Tidak mengapa, didalam kotak kayu itu tertera pula peta yang menunjukkan letak
istana terlarang.”
“Persoalan yang aku sipengemis tua kuatirkan adalah lenyapnya Siauw Ling secara
mendadak dari dunia persilatan mungkin dapat meruntuhkan pula semangat para umat
Bulim yang baru saja tumbuh untuk bersama-sama melawan kekuasaan serta kebrutalan
Shen Bok Hong.”
Boe Wie Tootiang mengangguk.
“Tidak salah, setelah Shen Bok Hong berulang kali menderita kerugian besar, kejadian
itu mempengaruhi tumbuhnya semangat memberontak dikalangan umat Bulim. Apabila
Siauw thayhiap secara tiba-tiba melenyapkan diri, memang ada kemungkinan bisa
mendatangkan pengaruh yang besar bagi mereka. Untuk mengatasi masalah yang pelik ini
kita musti carikan satu akal yang bagus untuk mengatasinya.”

“Siauw Ling toh cuma ada satu, setelah masuk kedalam istana terlarang masa dapat
muncul diri pula didalam dunia persilatan.”
“Menghadapi musuh yang licik, kita musti gunakan akal yang cerdik dan licik pula.”
“Perkataan toa suheng sedikitpun tidak salah” sambung Ceng Yap Ching dengan cepat.
“Didalam dunia persilatan dapat muncul seorang Lan Giok Tong yang menyaru sebagai
Siauw Ling, kenapa kita tak dapat menyaru pula sebagai Siauw Ling yang lain.”
“Tidak salah” Soen Put shiapun ikut menimbrung. “Asal kita mencari seseorang untuk
menyaru sebagai Siauw Ling dan sering kali munculkan diri didalam dunia persilatan maka
untuk sementara waktu semangat juang untuk melawan pengaruh Shen Bok Hong yang
baru saja muncul bisa dipertahankan lebih jauh. Disamping itu dapat pula menghilangkan
rasa curiga dari gembong iblis she Shen itu, cara ini memang tepat dan sekali timpuk
dapat dua berhasil.”
“Yaaah…. akal itu memang bagus, tapi persoalan yang paling menyulitkan kita dewasa
ini adalah siapa yang mampu menyaru seperti Siauw Ling?”
Sementara semua orang sedang dibikin sulit oleh persoalan itu, Tu Kioe sambil
memayang Sang Pat telah berjalan masuk kedalam.
Siauw Ling menengok sekejap kearah saudaranya dan segera menegur, “Sang Heng,
apakah keadaanmu rada baikkan?”
“Anak panah pengejar nyawa berkepala ular itu meskipun mengandung racun yang
sangat keji, namun obat penawar racun itupun sangat mujarab, saat ini siauwte sudah
merasa rada baikan.”
“Kalau begitu bagus sekali….” sinar matanya mendadak dialihkan kearah Ceng Yap
Ching dan sambungnya. “Saudara Ceng, bagaimana kalau kau saja yang menyamar
sebagai diri siauwte?”
“Aku sih bersedia saja, cuma takutnya kekuatanku tidak mengimbangi kenyataannya.”
“Asalkan kau dilindungi oleh Soen Loocianpwee serta suhengmu, kemudian tak usah
secara langsung bentrok dengan Shen Bok Hong. Rasanya pelbagai kesulitan dapat
diatasi.”
JILID 32
“Kalau menurut pendapat pinto, rasanya Siauw thayhiap tak perlu mencari orang untuk
menyaru sebagai dirimu….”
“Kenapa begitu?” tanya Soen Put shia.
“Kedengarannya memang tak masuk diakal, tetapi didalam kenyataan bukankah suatu
persoalan yang menyulitkan, asalkan rencana kita susun dengan seksama dan
bergelimpangan selama beberapa bulan, rasanya persoalan bisa teratasi dengan
sendirinya!”
“Coba kau terangkan lebih terperinci!”
Boe Wie Tootiang melirik sekejap kearah Siauw Ling, lalu menjawab, “Pinto
berpendapat demikian karena didasari oleh dua alasan….”
Ia merandek sejenak, setelah menyapu sekeliling tempat itu lanjutnya, “Setiap kali
Siauw thayhiap menjumpai kesulitan ataupun mara bahaya, dia seorang diri dapat
mengatasinya dan kita tak seorangpun yang sanggup membantu dia segala persoalan
berhasil diatasi berkat kecerdasan serta ilmu silatnya.”
“Ehmmm!” Soen Put shia mengangguk tanda membenarkan.
“Seandaikan kita mencari seseorang untuk menyaru sebagai Siauw Ling, maka mau tak
mau kita musti melindungi keselamatannya, bukankah tindakan ini berarti mengalihkan
posisi kita yang diam menjadi bergerak?”
“Memang masuk diakal alasan itu.”

“Kalau kita mencari seseorang untuk menyaru sebagai Siauw Ling, maka segala
sesuatunya harus dilakukan dengan tindakan sembunyi-sembunyi, bukankah hal ini justru
malah melelahkan kita sendiri. Disamping itu kitapun tak akan mampu untuk menemukan
seseorang yang betul-betul cocok untuk menyaru seperti Siauw Ling.”
“Seandainya Siauw Ling yang kita lindungi hanyalah sesuatu yang kosong belaka, lalu
bagaimana caranya bagi kita untuk melindungi sesuatu yang kosong itu?”
“Urusan itu gampang sekali, pinto ambilkan satu contoh yang jelas, seandainya saja
kita lindungi sebuah tandu kecil dan didalam tandu itu duduklah seorang yang menyaru
sebagai Siauw Ling, bilamana ada orang bermaksud melakukan pembunuhan dan
melepaskan senjata rahasia yang paling beracun kearah tandu itu semua. Andaikata orang
yang duduk didalam tandu benar-benar adalah seorang yang menyaru sebagai Siauw
Ling, bagaimana caranya kita untuk menyelamatkan dia? bukankah perbuatan itu justru
sebaliknya malah mencelakai dirinya?”
Berbicara sampai disini Boe Wie Tootiang segera alihkan sinar matanya kearah Siauw
Ling dan bertanya, “Siauw thayhiap, kau bermaksud kapan hendak berangkat?”
“Apakah Siauw thayhiap ada maksud membawa pembantu untuk melakukan perjalanan
bersama?”
“Cayhe ingin membawa serta dua orang untuk berangkat bersama!”
“Apakah kau hendak membawa berdua?” sambil bertanya toosu tua dari partai Bu tong
ini alihkan pandangannya kearah Tiong Chiu Siang ku.
“Sedikitpun tidak salah!”
Boe Wie Tootiang termenung beberapa saat lamanya, kemudian baru berkata, “Kalau
memang begitu terpaksa kita harus menggunakan cara ini saja….!”
“Tootiang apa akalmu itu?” tanya Sang Pat.
Dengan pandangan tajam Boe Wie Tootiang memperhatikan watak Tu Kioe, kemudian
berkata, “Asal kita bisa menyaru sebagai Tu Kioe rasanya sudah lebih dari cukup, untung
Tu heng selalu memakai topinya rendah-rendah hingga orang lain sulit untuk melihat
wajah aslinya, asal orang itu bisa menirukan tingkah laku serta nada ucapan dari Tu
thayhiap itu sudah lebih dari cukup!”
Situkang ramal dari Tang kay Suma kan mendadak menimbrung dari samping,
“Tootiang, kalau cayhe menyaru sebagai Tu Kioe entah mirip atau tidak?”
“Itu lebih bagus lagi! kalau memang kau rela itu namanya pucuk dicinta ulam tiba.”
“Dengan kecerdasan tootiang keberanian Soen Loocianpwee ditambah pula bantuan
dari Suma heng serta Ceng heng pastilah Shen Bok Hong berhasil dibuat pusing kepala
dan tak bisa menduga apa yang telah terjadi” ujar Siauw Ling.
“Peristiwa ini merupakan kejadian yang boleh buat, pinto sekalian hanya berharap
Siauw thayhiap bisa cepat-cepat masuk kedalam istana terlarang dan serta segera muncul
kembali didalam dunia persilatan.”
Siauw Ling alihkan sinar matanya kearah Sang Pat, lalu bertanya, “Apakah kau bisa
melanjutkan perjalanan kembali?”
“Kekuatan tubuhku sebagian besar telah pulih kembali seperti sedia kala, harap toako
tak usah kuatir.”
“Kalau begitu cayhe segera akan mohon diri!” ujar Siauw Ling sambil menjura kepada
para jago sekalian.
“Untuk memasuki istana terlarang kau pasti akan menjumpai banyak mara bahaya,
harap saudara Siauw suka berhati-hati” pesan Soen Put shia.
“Cayhe pasti akan berusaha keras untuk memenuhi harapan kalian semua, terima kasih
buat perhatian dari loocianpwee!”
Habis berkata bersama-sama sepasang pedagang dari Tiong Chiu ia segera berangkat.

Memandang bayangan punggung Siauw Ling sekalian yang menjauh, Soen Put shia
menghela napas dan berkata, “Tootiang, meskipun ilmu silat yang dimiliki Siauw Ling
amat lihay tapi sekarang ia telah menjadi pusat perhatian banyak orang. Shen Bok Hong
dengan pelbagai akal muslihat akan berusaha untuk mencelakai dirinya, kekejian hatinya
ini bagaimanapun juga harus diperhatikan dan dijaga, bagaimana seandainya aku
sipengemis tua secara diam-diam menghantar mereka bertiga?”
Boe Wie Tootiang termenung berpikir sejenak, kemudian menyahut, “Sang Pat adalah
seorang jago kawakan yang punya akal pintar dan pengalaman luas kalau dugaan pinto
tidak salah maka perjalanan mereka pasti akan dilakukan dengan jalan menyamar,
seandainya kita secara diam-diam menghantar serta melindungi mereka, bukankah hal ini
justru malah memancing perhatian orang lalu untuk memperhatikan gerak gerik kita….” ia
merandek sejenak, lalu tambahnya, “Mungkin saja Gak Siauw Cha bisa melindungi serta
membantu mereka secara diam-diam.”
“Ehm, pendapat tootiang memang benar” Soen Put shia mengangguk. “Lalu apa yang
akan kita lakukan sekarang?”
“Untuk sementara waktu kita tetap berdiam disini saja, sementara jejak kita semakin
dirahasiakan, setelah berjumpa dengan empat pujangga besar dunia persilatan, kita baru
membicarakan langkah-langkah selanjutnya.”
“Tidak salah, andaikata tootiang tidak mengungkapkan kembali, hampir saja aku
sipengemis tua telah melupakan janji kita dengan keempat orang pujangga besar dari
dunia persilatan itu.”
“Aaaai….” Boe Wie Tootiang menghela napas panjang. “Pertemuan dikuil keluarga Loo
mungkin harus disertai dnegan perang mulut terlebih dahulu, moga-moga saja kita
berhasil menaklukkan keempat orang pujangga besar tersebut.”
Dalam pada itu Siauw Ling dengan membawa Tiong Chiu Siang Ku dalam sekejap mata
telah melakukan perjalanan sejauh puluhan li, tiba-tiba Sang Pat berhenti sambil berkata,
“Toako, bagaimana kalau kita beristirahat lebih dulu?”
Siauw Ling mendongak dan memandang kedepan, sewaktu menjumpai sebuah hutan
lebat disebelah kiri, ia segera melangkah kedalam hutan itu seraya menyahut, “Kenapa?
apakah kau tak sanggup melanjutkan perjalanan?”
“Perjalanan menuju kegunung Boe Gie san kali ini jaraknya hampir mencapai ribuan li,
sedikit banyak perjalanan kita ini bakal diawasi dan diketahui oleh mata-mata Shen Bok
Hong. Andaikata kita bisa melanjutkan perjalanan dengan jalan menyaru, mungkin dapat
mengurangi pelbagai macam kesulitan yang tidak diinginkan.”
“Ucapanmu memang benar, dalam melakukan perjalanan kita kali ini memang alangkah
baiknya kalau dilewatkan dengan tenang tanpa gelombang. Kesulitan-kesulitan yang tidak
perlu lebih baik bisa disingkirkan.”
Sang Pat termenung dan berpikir sejenak, kemudian baru berkata, “Toako lebih baik
kau memakai kumis palsu saja dan menyaru sebagai seorang pemilik rumah penginapan,
siauwte akan menyaru sebagai situkang keledai sedang Tu heng lebih tepat menyaru
sebagai silelaki pemikul barang….”
Tiba-tiba terdengar Tu Kioe menghela napas panjang.
“Aaai….! kita telah melupakan satu persoalan!”
“Persoalan apa?”
“Kedua ekor anjing raksasa tersebut tidak sempat kita bawa serta!”
Setelah puluhan tahun kedua ekor anjing itu mengikuti diri Tiong Chiu Siang Ku, bukan
saja timbul kecerdikan pada otak binatang-binatang itu, bahkan tanpa didasari telah
terjalin hubungan yang erat antara manusia dengan anjing tersebut.
*****

“Boe Wie Tootiang berotak tajam dan cermat, aku rasa ia pasti bisa mengatur kedua
ekor anjing kita sebaik-baiknya” hibur Sang Pat.
“Yaah…. semoga saja apa yang jie ko duga tidak bakal salah.”
Ketiga orang itu segera turun tangan menyaru diri sendiri, setelah wajah asli mereka
terhapus sama sekali maka perjalanan menuju kegunung Boe Gie san pun segera
dilanjutkan.
Sepanjang perjalanan Siauw Ling terus menerus menguatirkan perjanjian Gak Siauw
Cha dengan Giok Siauw Lang Koen tiga bulan mendatang, meskipun ia sadar bahwa batas
waktu tiga bulan sulit baginya untuk keluar dari istana terlarang dan berangkat kegunung
Heng san, tapi dalam hatinya persoalan tersebut tiada hentinya berkecamuk terus, ia
berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengejar waktu.
Suatu tengah hari, sampailah mereka dibawah kaki gunung Boe Gisa san.
Bukit yang memanjang hingga mencapai ribuan li terpentang dihadapan mereka,
beberapa buak bukit tinggi menjulang ketengah awan. Setelah mempersiapkan rangsung
berangkatlah ketiga orang itu memasuki daerah pedalaman.
Setelah melewati beberapa buah bukit, haripun telah menjadi gelap.
Sang Pat segera mencari sesuatu lembah yang terhindar dari hembusan angin untuk
beristirahat, katanya, “Toako, kita harus memeriksa dahulu peta yang tercantum didalam
kotak tersebut, sebab menurut apa yang siauwte degar, meskipun istana terlarang berada
digunung Boe Gie san, tetapi tidak ada disekeliling puncak utama!”
Kiranya sepanjang perjalanan, demi keamanan dan keselamatan ketiga orang itu tak
pernah membuka kotak kayu tersebut untuk diperiksa isinya.
Setelah Sang Pat mengusulkan, maka Siauw Lingpun mengambil keluar kotak kayu itu
dari dalam sakunya. Setelah kotak dibuka tampaklah sebuah anak kunci tersebut dari
emas dan panjangnya mencapai tiga coen terletak didalam kotak kayu itu.
Dibawah tindihan anak kunci emas terselip selembar kain putih yang ditaruh dengan
rapinya.
Siauw Ling segera mengambil keluar kunci emas tersebut dan mengambil kain putih
tadi, setelah dibentang terlihatlah diatas kain tadi terlukis seekor elang terbang sedang
mementang sayap dan paruhnya yang kuat, lukisan itu nampak hidup dan hebat.
Dibawah burung elang terlukis seekor ular raksasa sedang mendongakkan kepalanya,
lidah yang berwarna merah menjulur keluar hingga mencapai setengah depa panjangnya.
Walaupun lukisan burung elang bertarung melawan ular itu amat hidup dan indah
sekali, namun sama sekali tiada sangkut pautnya dengan istana terlarang. kontan Siauw
Ling mengerutkan dahinya, ia berpaling dan tampaklah Sang Pat serta Tu Kioe sedang
memandang lukisan itu dengan mata terbelalak dan mulut melongo.
Lama sekali akhirnya terdengar Tu Kioe mendehem dan berkata, “Mungkin saja anak
kunci ini adalah kunci yang palsu!”
“Tidak mungkin” bantah Siauw Ling. “Enci Gak telah memeriksannya dengan seksama,
masa ia berikan kunci yang palsu kepadaku? hal ini harus disalahkan pada kita-kita yang
kurang pengetahuan sehingga tak sanggup memecahkan teka teki diatas lukisan itu.”
Sedari dulu dalam hati kecilnya telah timbul rasa kagum dan menghormat yang tak
terkirakan terhadap Gak Siauw Cha, maka ia tak ingin mendengar ada orang
mengucapkan kata-kata yang menyinggung perasaan dirinya.
Sang Pat segera mendehem dan menyambung, “Perkataan toako memang benar,
lukisan ini mengandung arti yang sangat mendalam lebih baik kita pecahkan perlahanlahan
saja.”
“Anak kunci istana terlarang merupakan benda yang menyangkut mati hidup segenap
umat Bulim dikolong langit” bisik Siauw Ling sambil pejamkan matanya rapat-rapat.
“Sudah tentu lukisan ini tidak gampang untuk dipecahkan artinya.”

Sang Pat melirik sekejap kearah Tu Kioe kemudian bisiknya, “Kain putih itu sudah
berubah warna jadi kuning, sudah pasti merupakan barang peninggalan jaman dulu,
sayang kecerdasan kita terbatas tak sanggup memecahkan rahasia dibalik teka teki itu.”
“Jie ko toh merupakan seorang ahli didalam menilai intan permata serta mutiara
dikolong langit sukar untuk dicarikan tandingannya….”
“Tapi sayang aku tak becus didalam menilai gambar lukisan” sambung Sang Pat sambil
tertawa.
Mendadak Siauw Ling membuka matanya dan berseru, “Aaaah benar, lukisan ini
pastilah menandakan sebuah bentuk gunung disekitar tempat ini, asalkan kita cocokan
setiap bukit yang kita jumpai dengan lukisan ini, maka rasanya istana terlarang dapat kita
temukan!”
“Tidak salah, dugaan toako memang sangat beralasan, mari kita perhatikan setiap
bentuk bukit ditempat ini dengan lebih teliti.”
“Kecuali pendapat tadi, aku benar-benar tak bisa menemukan pendapat lain yang
membuktikan sangkut pautnya gambar tersebut dengan istana terlarang.”
“Kalau tiada sangkut pautnya dengan istana terlarang, bukankah itu berati kalau kain
serta gambar itu adalah barang palsu?” pikir Tu Kioe didalam hati.
Walaupun ia mempunyai pandangan demikian, tapi berhubung ucapannya tadi telah
menggusarkan Siauw Ling, maka walaupun sekarang ia berpendapat demikian tetapi
ucapan itu tak berani diuatarakan keluar.
“Toako, siauwte ada beberapa patah kata yang rasanya tidak pantas untuk diutarakan
keluar, seandainya telah aku ucapkan nanti harap toako jangan salahkan atau marah”
kata Sang Pat.
“Baik, katakanlah.”
“Gunung Boe Gie san panjangnya mencapai ribuan li, sekalipun betul disini terdapat
sebuah tempat yang sesuai dan cocok dengan lukisan itu, tapi kita toh tak bisa
menjelajahi seluruh gunung Boe Gie san secara rata tanpa ada yang kelewatan!”
Siauw Ling tertegun pikirnya, “Perkataan ini sedikitpun tidak salah, sekalipun diatas
gunung Boe Gie san betul-betul terdapat tempat seperti ini, memang tak mungkin bagi
kami untuk menjelajahi semua.”
“Siauwte mempunyai satu usul, walaupun bukan termasuk usul yang bagus tapi
rasanya kauj lebih baik daripada mencari jarum ditengah samudra seperti apa yang akan
kita lakukan.”
“Apakah pendapatmu itu?”
“Kita cari saja tukang penebang kayu atau pemburu dan tanyakan apakah disekitar
tempat ini terdapat gunung dengan bentuk seperti itu, mungkin kita berhasil mendapatkan
sedikit keterangan!”
Siauw Ling berpikir sebentar lalu mengangguk.
“Kalau memang kau tidak memperoleh cara yang lain, terpaksa kita harus berbuat
begitu.”
“Toako beristirahatlah sebentar disini, siauwte akan pergi kesekitar tempat ini untuk
mencari keterangan dari beberapa orang penebang kayu serta pemburu.”
“Baiklah, cepatlah pergi dan cepatlah kembali, jangan buat aku jadi kuatir dan gelisah.”
“Paling lama satu jam siauwte pasti sudah kembali lagi kesini” habis berkata ia segera
berangkat, dalam sekejap mata bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
Tu Kioe bangkit berdiri, diam-diam ia meloncat naik keatas sebuah tonjolan batu karang
lebih tiga tombak dari tempat semula, setelah melakukan penelitian yang tajam
disekeliling tempat itu, diam-diam ia loncat turun kembali dan berjaga-jaga disuatu sudut
jalan yang strategis letaknya.

Kiranya sebagai seorang jago yang andal banyak menelan asam garam, ia takut ada
orang secara diam-diam menguntit datang, karena itu sikapnya jauh lebih berhati-hati.
Dengan termangu-mangu Siauw Ling memperhatikan elang terbang itu, sedang
didalam hati pikirnya, “Andaikata enci Gak tidak berhasil membuktikan bahwa kunci emas
ini benar-benar dapat digunakan untuk membuka pintu istana terlarang, tidak nanti ia
serahkan kunci emas ini kepadaku. Ia percaya dengan kecerdikanku masih sanggup untuk
memecahkan rahasia lukisan ini, bila aku sampai tak sanggup, bukan saja istana terlarang
tak bisa dimasuki, bahkan enci Gak pun tak akan tertolong.”
Saking murung dan kesalnya, ia ambil peta tadi kemudian dibanting keatas tanah.
Tampaklah cakar burung elang yang terlukis kebawah itu mendadak bergeser dari
tempatnya semula.
Satu ingatan dengan cepat berkelebat dalam benak Siauw Ling, dia ambil kembali
lukisan tadi kemudian mendorong cakar elang tadi kekiri.
Dengan digesernya lukisan tadi maka suatu kejadian anehpun segera muncul didepan
mata, cakar elang tadi segera bergeser lebih jauh dari tempat semula.
Dibawah lukisan cakar burung elang tadi segera muncul pula selapis kain putih yang
dapat digeser-geserkan.
Tampaklah dibawah kain putih pada lapisan kedua tertuliskan beberapa huruf kecil,
“Puncak Eng yang Hong, selat Boan Coa kok.”
Penemuan secara mendadak ini seketika membuat Siauw Ling jadi terkejut bercampur
girang, sambil mencekal lukisan tersebut teriaknya keras-keras, “Aku berhasil
menemukannya…. aku berhasil menemukannya….”
Tu Kioe yang sedang berjaga-jaga dimulut selat jadi amat terperanjat sewaktu
menjumpai Siauw Ling berteriak-teriak seperti orang gila, dengan cepat ia memburu
kedepan sambil serunya, “Toako, kenapa kau?”
“Aku telah menemukan letak dari istana terlarang itu” sahut Siauw Ling dengan hati
girang.
“Dimana?”
“Ini dibalik lukisan tersebut pada lapisan yang kedua.”
Tu Kioe segera memburu kedepan dan memeriksa dengan seksama, tampaklah lukisan
tersebut masih tetap seperti sedia kala, sedikitpun tidak menunjukkan perubahan apapun
juga, segera katanya, “Toako, kenapa siauwte sama sekali tidak ada sesuatu tanda
apapun juga?”
“Oooow….! diatas lukisan burung elang ini masih ada alat rahasianya….!” sahut Siauw
Ling sambil tersenyum, ia segera menggeserkan lukisan cakar burung elang itu.
“Puncak Eng Yang Hong selat Boan coa kok!” gumam Tu Kioe lirih.
“Tidak salah, asalkan kita cari letak puncak Eng Yang Hong selat Boen Coa Kok
bukankah berarti istana terlarang segera akan ditemukan?”
“Toako, kecerdikanmu benar-benar melebihi orang lain ternyata didalam waktu singkat
kau telah berhasil menemukan rahsia dari lukisan tersebut….!”
“Aaai, penemuan itu hanya bersifat secara tidak sengaja belaka, seandainya aku tidak
membanting peta lukisan ini keatas tanah sehingga kertas diatas lukisan cakar burung
elang itu bergeser dari tempatnya semula, tak nanti tadi berhasil kutemukan!”
“Itulah namanya Thian telah membantu diri toako untuk memasuki istana terlarang.”
“Tetapi puncak Eng Yang Hong itu terletak dimana?” bisik Siauw Ling kemudian dengan
alis berkerut.
“Itu persoalan yang sangat gampang, asalkan tempatnya sudah diketahui tidak sulit
bagi kita untuk mencari keterangan dari penduduk disekitar tempat ini.”
Sementara mereka masih bercakap-cakap, tampaklah Sang Pat sambil menggendong
seorang kakek tua dengan langkah yang cepat sedang berlari mendatang.

Gerakan tubuhnya sangat cepat, dalam waktu singkat si sie poa emas itu sudah berada
dihadapan Siauw Ling.
Kiranya Sang Pat telah menjumpai seorang pencari kayu yang telah lanjut usia,
berhubung ia merasa langkah kakek itu terlalu lambat maka terpaksa dibopongnya orang
tadi agar perjalanan bisa dilakukan dengan lebih cepat lagi.
Setelah menurunkan sipenebang kayu tua itu keatas tanah, Sang Pat berkata, “Orang
tua ini sudah puluhan tahun lamanya berdiam digunung Boe Gie terhadap bentuk serta
keadaan bukit disekitar tempat ini boleh dibilang hapal sekali, sengaja siauwte bawa dia
datang kemari, agar bisa memeriksa lukisan tadi.”
Siauw Ling melirik sekejap kearah kakek tua itu, tampaklah rambut serta jenggotnya
berwarna putih mulus, wajahnya penuh berkerut dan usianya diantara tujuh puluh tahun
keatas, segera ia menegur, “Empek tua, apakah kau sudah lama berdiam digunung Boe
Gie san ini….?”
Kakek tua itu mengangguk.
“Loolap sudah berada digunung Boe Gie san ini semenjak kecil, kalau dihitung-hitung
aku sudah tujuh puluh tahun lebih berdiam disini.”
“Kalau begitu empek tua boleh dibilang sangat hapal sekali dengan daerah disekitar
gunung Boe Gie san ini?”
“Seratus li disekitar tempat ini jangan dibilang bentuk bukitnya bahkan setiap pohon
dan rumput yang tumbuh disinipun loohu sangat hapal.”
“Kalau begitu tolong tanya dimanakah letaknya puncak Eng Yang Hong….?”
“Puncak Eng Yang Hong…. puncak Eng Yang Hong….” gumam tukang kayu itu berulang
kali, setengah harian lamanya ia mengulangi perkataan tersebut namun tidak terjawab
juga.
“Dan selat Boan Coa Kok?” sambung Tu Kioe ketus.
Sekali lagi sipenebang kayu tua itu mengulangi perkataan tersebut beberapa kali,
mendadak ia mendongak dan menjawab, “Loohu hanya tahu sebuah tempat yang
bernama Bau Coa Kok selat selaksa ular, dan belum pernah mendengar disebutnya Boan
Coa Kok!”
“Bau Coa Kok?”
“Tidak salah, selat itu amat dalam dan luas, ditengah selat hidup pelbagai macam
ragam ular beracun, setelah memasuki selat itu akan terlihat berpuluh-puluh laksa ekor
ular bergerak silih berganti hingga sulit bagi seseorang untuk berdiri disitu. Kendati
seorang pawang ular yang bagaimana lihaypun tak akan berani memasuki selat selaksa
ular tersebut.”
“Dibawah cakar burung elang itu terang-terangan ditulis selat Boan Coa Kok. Tentunya
bukan Bau Coa Kok yang dimaksudkan” pikir Siauw Ling didalam hati.
“Loo tiang” terdengar Tu Kioe telah berkata dengan nada dingin. “Yang kami tanyakan
bukan Bau Coa Kok tapi Boan Coa Kok!”
Suaranya yang dingin dan mempunyai ciri khas tertentu seketika membuat penebang
kayu itu berdiri tertegun, setelah berpaling memandang sekejap kearah Tu Kioe ia segera
menggeleng.
“Tidak tahu, loohu yang dibesarkan ditempat ini belum pernah mendengar ada tempat
yang disebut Boan Coa Kok!”
“Puncak Eng Yang Hong selat Boan Coa Kok semestinya merupakan satu tempat yang
sama, kalau kakek tua ini tidak tahu dimana letaknya puncak Eng Yang Hong, tentu saja
tak akan tahu dimanakah selat Boan Coa Kok tersebut!”
“Tempat yang tidak diketahui loohu, mungkin jarang ada orang yang tahu!”
Sementara Siauw Ling hendak suruh Sang Pat untuk mengusir kakek tua itu, mendadak
terdengar sipenebang kayu itu berseru keras, “Kau maksudkan puncak apa?”

“Puncak Eng Yang Hong…. Eng dari burung Hoei Eng burung elang terbang….”
“Suaranya sih sama tapi tulisannya nggak tepat, kembali loohu salah mendengar!”
Rasa girang yang baru muncul dalam hati Siauw Ling seketika padam kembali bagaikan
diguyur dengan sebaskom air dingin, tanyanya, “Puncak apa yang kau maksudkan?”
“In Wan Hong, pundak tersebut dinamakan demikian sebab ada sepasang muda mudi
yang saling bercintaan tapi tidak disetujui oleh orang tua kedua belah pihak, dengan
paksa mereka dipisahkan. Tetapi cinta kasih kedua orang itu sudah demikian kokoh dan
bersatu, hingga matipun mereka tak mau berpisah. Akhirnya mereka bersepakat untuk
melarikan diri, siapa tahu rahasia ini diketahui oleh keluarga mereka dan pengejaran
segera dilancarkan, dimana akhirnya kedua orang itu melarikan diri keatas puncak itu.”
“Kalau memang sepasang muda mudi itu telah saling jatuh cinta, kenapa orang tua
kedua belah pihak sama-sama mau menghalangi dari tengah?”
“Marga kedua orang muda mudi itu sedari dulu telah saling bermusuhan dan
permusuhan itu turun temurun hingga waktu itu bahkan kian lama kian bertambah tengah
permusuhan dalam suatu pertempuran yang kemudian meletus banyak korban yang
berjatuhan, karena itu para anggota dari masing-masing bersumpah tak akan saling
berhubungan. Tak tahunya sepasang muda mudi yang saling jatuh cinta itu justru adalah
putra putri masing-masing kepala marga, tentu saja orang tua mereka tidak menyetujui
akan hubungan tersebut.”
Mendengar sampai disini Siauw Ling segera menghela napas panjang, katanya,
“Bagaimana kemudian? kenapa kepuncak itu dapat berubah jadi puncak In Wang Hong?”
“Dibawah pengejaran masing-masing anggota marga, kedua orang muda mudi itu
terjepit diatas puncak dan tak bisa meloloskan diri lagi, dalam keadaan terpaksa
merekapun meloncat kedalam jurang untuk bunuh diri, meloncat kedalam jurang yang
menganga sedalam ribuan tombak itu, sudah tentu mereka berdua tak dapat meloloskan
diri lagi. Masing-masing anggota marga yang menyaksikan kejadian ini pada terharu
dibuatnya, dengan jalan memutar mereka turun kedasar jurang untuk menemukan
jenasah kedua orang itu, siapa tahu sudah setengah harian lamanya mereka mencari,
bukan saja jenasahnya tidak ketemu bahkan sedikitpun tidak ada jejak yang menunjukkan
hal tersebut, akhirnya orang-orang kedua marga itu jadi terharu dan menghapuskan
dendam sakit hati mereka yang turun temurun, diatas puncak tadi didirikannya sebuah
kuil yang bernama In Wang Bio. Sejak nama itu tersiar diluaran banyak orang yang
datang berkunjung kedalam kuil itu untuk pasang hio, setiap muda mudi yang
menginginkan pasangan mereka pasti datang kesitu untuk bersembahyang, konon sangat
manjur sekali. Oleh karena itulah puncak itu mengikuti keadaannya berubah jadi puncak
In Wang Hong!”
“Lootiang!” tiba-tiba Tu Kioe menukas dengan suara dingin. “Yang kami tanyakan
adalah puncak Eng Yang Hong selat Boan Coa Kok, kami sama sekali tidak berniat untuk
mendengarkan obrolan Lootiang mengenai asal mula puncak digunung Boe Gie san ini!”
Sekalipun ia berusaha agar suaranya kedengaran datar dan biasa, tapi nada dingin
serta ketus yang merupakan ciri khasnya sulit untuk dilenyapkan, membuat orang merasa
bergidik dan seram.
Buru-buru kakek tua itu menjawab, “Bukannya loohu sengaja banyak bicara, tetapi
setelah cuwi sekalian menanyakan, dengan sendirinya loohu terpaksa harus menjawab!”
“Puncak Eng Yang Hong, puncak In Wang Hong selat Bau Coa Kok dan selat Boan Coa
Kok meskipun suaranya sama tapi tulisannya berbeda, sudah jelas apa yang dikatakan
sikakek tua ini bukanlah tempat yang dimaksudkan tulisan dibalik lukisan tersebut” pikir
Siauw Ling didalam hati.
Rupanya Sang Pat dapat menebak isi hati si anak muda itu, tidak menunggu sampai
Siauw Ling buka suara dia telah menyambung, “Gunung Boe Gie san panjang dan luasnya

mencapai ribuan li, sekalipun lootiang ini sudah puluhan tahun lamanya berdiam disini,
belum tentu ia hapal sama sekali setiap sudut tempat disini, biarlah siauwte menghantar
dirinya pulang lebih dulu!”
Setelah membopong kakek tadi ia segera berlalu.
Sepeninggalnya kakek tadi, Siauw Ling melirik sekejap kearah Tu Kioe dan berkata,
“Dibalik lukisan tersebut sudah tertera jelas tulisan itu, tentu saja tidak akan salah lagi.”
“Yang sangat kebetulan adalah terdapatnya persamaan antara puncak Eng Yang Hong
serta In Wang Hong serta selat Boan Coa Kok dengan Bau Coa Kok, nada suaranya sama
satu sama lainnya, andaikata didalam peta lukisan itu bukan tertulis jelas, kedengarannya
memang sama dan sulit untuk dibedakan.”
“Aaaai…. kalau begini, rasanya usaha kita untuk mencari letak puncak Eng Yang Hong
bukanlah suatu pekerjaan yang gampang.”
“Toako tak usah gelisah. Asal kita mencari dengan teliti suatu ketika tempat itu pasti
berhasil ditemukan. Kalau kita tinjau lukisan peta serta makna dari namanya, aku rasa
puncak Eng Yang Hong pastilah suatu bentuk bukit yang besar dan megah, asal orang
yang pernah melihatnya sekejap pasti tak akan melupakannya. Asal kita perhatikan dan
selidiki sepanjang jalan akhirnya tempat itu tentu bisa kita jumpai!”
Sementara pembicaraan masih berlangsung Sang Pat dengan langkah terburu-buru
telah balik kembali, ia melirik sekejap kearah Siauw Ling, bibirnya seperti bergerak mau
mengucapkan sesuatu tapi akhirnya dibatalkan.
Siauw Ling tahu dalam hatinya ingin sekali menanyakan persoalan yang dirasakan
masih meragukan, maka sebelum saudara angkatnya buka suara ia telah menceritakan
lebih dahulu kisah penemuannya atas rahasia lukisan peta itu.
“Toako!” Sang Pat pun berkata selesai mendengarkan kisah tersebut. “Aku mempunyai
beberapa patah kata yang rasanya tak enak kalau tidak diutarakan keluar. Entah bolehkah
aku untuk mengatakannya?”
“Antara kau dan aku adalah saudara sehidup semati, tentu saja setiap perkataan yang
ingin diutarakan boleh dikatakan keluar, kau ada urusan apa? katakanlah?”
“Bulim, cianpwee yang meninggalkan anak kunci istana terlarang itu pastilah seorang
manusia yang cerdik dan lihay aksinya, puluhan tahun lamanya entah sudah ada berapa
banyak jago lihay yang ngotot hendak menemukan anak kunci istana terlarangpun tidak
memperoleh hasil, sungguh tak nyana untuk memecahkan lukisan peta inipun harus
mencurahkan banyak pikiran dan tenaga.”
“Ehmm, ucapanmu sedikitpun tidak salah.”
“Seandainya anak kunci istana terlarang yang diserahkan nona Gak kepada toako
adalah barang yang asli dan bukan yang palsu, aku pikir dibalik persoalan ini pastilah
mengandung maksud yang sangat mendalam.”
“Kenapa?”
“Orang yang meninggalkan anak kunci istana terlarang itu bukan saja mau
menerangkan secara blak-blakan dan terus terang letak istana terlarang tersebut, bahkan
melukiskan pula selembar peta sebagai petunjuk, apakah kita tak boleh menaruh curiga
bahwa orang itu mempunyai maksud-maksud tertentu?”
Siauw Ling mengangguk membenarkan.
“Ehmm, memang masuk diakal, tetapi apa pula tujuannya….? ia berkata.
“Rupanya orang itu ada maksud untuk menguji kecerdikan orang yang berhasil
memperoleh anak kunci istana terlarang itu seandainya kecerdikan orang tadi kurang
maka walaupun anak kuncinya berhasil ditemukan tetapi sama saja tak dapat memasuki
istana terlarang.”
“Sedikitpun tidak salah!”

“Kecerdikan toako sebenarnya jauh lebih hebat dari siapapun juga, tapi pada saat ini
siauwte lihat bahwasanya mempunyai persoalan hati yang amat merisaukan hatimu,
bahkan hati toako selalu diliputi kegelisahan serta rasa cemas, ingin sekali kau cepat-cepat
memasuki istana terlarang tersebut.”
“Emangnya aku sangat menguatirkan keselamatan enci Gak ku” pikir pemuda she
Siauw itu dalam hati. “Aku memang merasa cemas andaikata tak bisa memenuhi….”
Terdengar Sang Pat berkata lebih lanjut, “Seseorang apabila terlalu banyak kehilangan
perhatian serta ketegangannya, maka itu berarti ada separuh kecerdikannya sudah
terhapus, apalagi setelah sifat serakahnya muncul, boleh dibilang seluruh akal serta
kecerdikannya bakal terhapus sama sekali. Toako sendiri apabila pada saat ini sanggup
mengembalikan sedikit perhatian serta ketenanganmu dengan kecerdasan yang dimiliki
toako masih bukan merupakan masalah yang sulit untuk memasuki pintu istana
terlarang.”
Mendengar sampai disini Siauw Ling segera bangkit berdiri dan menjura kearah saudara
angkatnya dengan wajah serius.
Terima kasih atas petunjuk serta nasehat saudara yang sangat berharga ini.”
Buru-buru Sang Pat jatuhkan diri berlutut keatas tanah.
“Pendapat siauwte yang teramat bodoh masih mengharapkan banyak petunjuk dari
toako.”
“Aku orang she Siauw mempunyai kebajikan serta kehebatan apakah sehingga
memperoleh cinta kasih yang demikian mendalam dari saudara berdua?”
Sang Pat bangkit berdiri dan menghela napas panjang.
“Sepasang pedagang dari tiong chiu pada masa yang lain hanya tahu mengumbar sifat
serakah untuk mengumpulkan intan permata serta benda-benda berharga lainnya yang
tak ternilai harganya. Kalau digunakan untuk berfoya-foya belum tentu habis seperseratus
didalam seratus tahun, tapi kami masih juga serakah, seolah-olah sebelum semua harta
kekayaan yang ada didalam dunia berhasil kami dapatkan hati belum merasa puas. Tetapi
sejak berkenalan dengan diri toako, mendadak tersadarlah kami akan kesalahankesalahan
yang telah dilakukan pada masa silam sekalipun harta kekayaan yang ada
dikolong langit berhasil kami berdua dapatkan semua lalu apa gunanya? seratus tahun
mendatang kamipun akan berubah jadi segumpal tanah yang terpendam diperut bumi,
harta sebanyak itu tak nanti akan dibawa mati.”
“Kalau didengar dari ucapannya barusan, kekayaan yang berhasil dikumpulkan kedua
orang ini pastilah tak ternilai harganya” pikir Siauw Ling didalam hati, segera tegurnya,
“Saudaraku, sebetulnya sampai sebebrapa banyak sih harta kekayaan yang berhasil kalian
kumpulkan?”
Sang Pat tersenyum.
“Kekayaanku bertumpuk-tumpuk sukar dihitung banyaknya, sehabis toako
mengalahkan Shen Bok Hong nanti, siauwte pasti akan serahkan segenap kekayaan yang
kami miliki kepada toako, agar toako bisa menggunakannya untuk kesejahteraan serta
kebaikan umat manusia.”
“Ehmm, kalau memang saudara punya keinginan begitu, siauw heng pasti akan
berusaha untuk memenuhi harapan itu.”
“Setiap perintah dari toako niscaya akan siauwte berdua laksanakan tanpa membantah”
kata Sang Pat.
Setelah merandek sejenak, ujarnya kembali, “Pada saat ini persoalan paling penting
yang harus kita laksanakan adalah berusaha untuk menemukan letak istana terlarang itu.”
Secara tiba-tiba Siauw Ling menyadari bahwa pengalaman serta pengetahuannya masih
jauh tersisihkan bila dibandingkan dengan pengalaman Tiong chiu Siang Ku. Andaikata ia

bermaksud untuk memasuki istana terlarang jelas tenaga serta pikiran kedua orang ini
sangat dibutuhkan.
Berpikir sampai disitu ia lantas rentangkan kembali peta lukisan elang dan ular itu
keatas tanah, lalu katanya, “Kemarilah kalian berdua mari kita bicarakan dan selidiki
bersama lukisan peta ini!”
Dengan seksama Sang Pat memperlihatkan lukisan tadi, mendadak ia ambil peta itu
dan dipandang dibawah sorot cahaya sang surya, beberapa saat kemudian baru ujarnya,
“Menurut pendapat siauwte tak mungkin persoalan ini sedemikian gampangnya andaikata
tulisan yang berada dibawah lukisan cakar burung elang itu adalah letak istana terlarang
hal ini merupakan suatu kejadian yang tak terduga sama sekali.”
“Lalu bagaimanakah menurut pandanganmu?” tanya Siauw Ling.
“Kalau menurut pendapat siauwte andaikata dibalik lukisan itu tiada terkandung rahasia
lain, maka tulisan itulah yang mempunyai maksud tertentu.”
Siauw Ling termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, mendadak ia berseru,
“Saudaraku, coba kau undang datang kakek tua tadi!”
“Mau apa panggil ia datang kemari?”
“Kita harus tinjau dulu puncak In Wan Hong tersebut!”
“Kedua belah sisi puncak In Wan Hong merupakan tebang tebing yang terjal, satu sisi
adalah selat selaksa ular sedang sisi yang lain adalah jurang dimana jenasah sepasang
muda mudi itu berada.”
“Apa? jadi selat Bau Coe Kok letaknya berada dibawah puncak tebing In Wan Hong.”
“Tidak salah, siauwte telah menanyakannya dengan jelas!”
“Berapakah jaraknya dari sini hingga kepuncak tersebut?”
“Tidak sampai seratus li!”
“Bagus, tolong kau undang Loo tiang tadi agar bisa membawa jalan buat kita!”
“Tidak usah, siauwte telah menanyakan hingga jelas dan sudah hapal diluar kepala.”
“Perduli puncak In Wan Hong itu betul puncak Eng Yang Hong yang dimaksudkan atau
bukan, sudah seharusnya kalau aku pergi menjenguknya lebih dahulu” pikir Siauw Ling
didalam hati.
Berpikir demikian, ia lantas berkata, “Ayoh kita segera melakukan perjalanan, mungkin
sebelum malam hari menjelang tiba nanti kita sudah tiba ditempat tujuan.”
“Siauwte akan membuka jalan!” kata Sang Pat dan segera berangkat terlebih dahulu.
Siauw Ling serta Tu Kioe dengan cepat menguntil dibelakang saudaranya itu.
Rupanya Sang Pat telah menanyakan keterangan mengenai jalan menuju kepuncak In
Wan Hong dengan jelas, sepanjang perjalanan ia berlari dengan gesit dan cepatnya.
Kepandaian meringankan tubuh yang dimiliki ketiga orang itu termasuk kelas wahid
dikolong langit, kendati jalan gunung amat terjadi licin, dan sudah dilalui tetapi bagi
mereka bertiga bukankah merupakan suatu halangan yang menyulitkan.
Setelah melakukan perjalanan selama seharian, tatkala sang surya mulai condong
kesebelah barat tibalah ketiga orang itu dibawah sebuah bukit tinggi.
Siauw Ling yang pernah menelan jamur berusia seribu tahun memiliki tenaga kweekang
yang kuat dan hebat, sekalipun tengah harian harus berlari-lari ia masih belum merasakan
kesulitan, sebaliknya bagi Tu Kioe serta Sang Pat setelah berlarian selama beberapa jam
mendekati tebing dan bukit yang tinggi tanpa memperoleh kesempatan untuk beristirahat
barang sedikit juga, ketika tiba dibawah tebing keringat telah membasahi seluruh tubuh
mereka.
Seraya menuding puncak gunung yang terbentang didepan mata terdengar Sang Pat
berkata, “Andaikata daya ingatanku tidak salah, disinilah letak puncak In Wan Hong
tersebut.”

Dalam pada itu sang surya sudah makin condong kearah barat, sisa cahaya yang
terpantul diangkasa menciptakan suatu pemandangan yang sangat indah dipandang.
Seberkas cahaya memancar dipuncak bukit tersebut, dengan ketajaman mata Siauw
Ling secara lapat-lapat ia saksikan pantulan cahaya keemas-emasan dari puncak bukit
tersebut, sepintas lalu pantulan cahaya tadi mirip sekali dengan sebuah kuil yang amat
megah.
Terdengar Sang Pat berkata kembali, “Kuil tersebut adalah kuil In Wan Bio, menurut
keterangan dari sipenebang kayu tua itu disaat bangunan kuil itu selesai dibangun, karena
untuk memperingati kematian putranya yang mengenaskan, dari pihak keluarga sang pria
telah menyumbangkan sebutir batu permata milik keluarganya untuk dipasangkan diatas
atap kuil In Wan Bio tersebut. Oleh sebab itu setiap kali ada cahaya sang surya atau
rembulan yang memancar keatas batu permata tadi, akan terhias tujuh buah cahaya
berwarna yang sangat indah dipandang, bagi mereka yang tidak mengetahui sejarahnya
seringkali mengatakan pantulan cahaya binglala itu adalah pemunculan sukma dari
sepasang muda mudi itu, kabar bohong itu begitu tersiar maka pengunjung yang pasang
hio didalam kuil itupun semakin ramai, setiap bulan tanggal satu atau tanggal lima belas
kuil itu pasti banyak dikunjungi para peziarah yang datang dari ribuan li jauhnya untuk
pasang hio disana, seringkali para tetamu menginap diluar kuil tadi.”
Mendadak Siauw Ling teringat kembali akan diri Giok Siauw Lang Koen serta Lan Giok
Tong yang sangat mencintai Gak Siauw Cha, andaikata kuil In Wan Bio ini benar-benar
sangat manjur, kemungkinan besar kedua orang itupun bisa mendatangi kuil tersebut
untuk mohon berkah dan doa restu.
Tatkala Sang Pat menyaksikan saudara tuanya tetap membungkam tanpa
mengucapkan sepatah katapun, ia segera melanjutkan kembali ceritanya, “Menurut
keterangan dari sipenebang kakek tua itu, orang yang pasang hio didalam kuil In Wan Bio
ini kian lama kian bertambah banyak, seringkali ada orang yang bergadang didalam kuil
tanpa suka meninggalkannya, oleh sebab itu banyak orang yang mendirikan tempattempat
penginapan disekeliling kuil tadi untuk disiapkan bagi para pengunjung yang ingin
menginap disana.”
“Kalau begitu marilah kita naik keatas melihat-lihat!”
“Kita sudah seharian penuh melakukan perjalanan, apabila bisa baik-baik beristirahat
semalam diatas puncak In Wan Hong tersebut, tenaga semangat kita pasti akan pulih
kembali.”
Rupanya ucapan itu belum selesai diutarakan, tapi mendadak ia membungkam dan
segera melangkah kedepan untuk mendaki keatas puncak.
Siauw Ling serta Tu Kioe pun tidak mengucapkan sesuatu, mengikuti dibelakang Sang
Pat mereka lanjutkan perjalanan kembali.
Puncak itu merupakan sebuah tonjolan bukit yang berdiri sendiri, tiga bagian
disekelilingnya merupakan tebing dan jurang-jurang yang amat dalam, disitu hanya
terdapat sebuah jalan saja yang menghubungkan kaki bukit dengan puncaknya.
Itu saat sang surya telah lenyap dari pandangan, sambil menyapu sekejap sekeliling
tempat itu didalam hati Siauw Lingpun berpikir, “Seandainya diatas puncak yang tinggi ini
terdapat jalan tembus yang lain, sepasang muda mudi itu niscaya tak akan terjun kedalam
jurang, dan disinipun tak akan dibangun kuil In Wan Bio.”
Ketika memandang keatas tampaklah ditengah ruangan kuil In Wan Bio, cahaya lilin
memancar cahayanya menerangi seluruh ruangan yang luas itu.
Bangunan kuil tadi tidak termasuk amat besar, kecuali ruang tengah yang luas tadi,
dikedua belah sisinya masing-masing terdapat sebuah ruangan, seorang toojien berusia

enam puluh tahun berdiri disisi sebuah patung arca dibawah meja sembahyangan berlutut
seorang manusia berbaju hitam.
Seluruh puncak In Wan Hong tersebut luasnya hanya mencapai satu hektar lebih
kecuali kuil In Wan Bio didirikan tepat ditengah puncak, sekelilingnya penuh dengan
bangunan-bangunan rumah yang terbuat dari batu hijau serta beratap injuk. Cahaya
lampu penerangan dimpat penjuru, dan bangunan rumah ini kelihatan jauh lebih besar
beberapa kali daripada bangunan kuil itu sendiri.
Siauw Ling memperhatikan sekejap pemandangan disekeliling puncak, kemudian
ujarnya, “Setelah kita tiba ditempat ini bagaimana kalau masuk kedalam kuil untuk
melihat-lihat?”
Tanpa menanti jawaban dari Sang Pat ia segera mendahului berjalan masuk kedalam
kuil In Wan Bio.
Sang Pat sambil busungkan perutnya yang gendut segera membawa jalan didepan.
Toojien penjaga kuil itu memandang sekejap kearah Sang Pat, lalu maju menyongsong
kedatangan dan berkata sambil tertawa, “Toa toako, In Won Jie seng bukan terbatas
dalam soal jodoh muda mudi saja, kalau kalian bermaksud mohon berkah dan rejeki
malaikat jodoh berdua pasti akan mengabulkannya.”
Dari dalam sakunya Sang Pat ambil keluar selembar daun emas dan dilemparkan
kedalam peti sokongan, kemudian tanpa memperdulikan toojien itu lagi ia awasi sepasang
patung malaikat itu dengan seksama.
Patung malaikat didalam kuil In Wan Bio tidak jauh berbeda dengan kuil-kuil lain hanya
saja disini patung yang dipuja adalah sepasang muda mudi.
Sang pemuda memakai celana sebatas lutut dan berkaki telanjang, wajahnya amat
tampan. Sebaliknya sang gadis memakai gaun berwarna hijau dengan baju berwarna hijau
pula.
Siauw Ling menganggukkan kepalanya berulang kali sambil memuji, “Patung-patung
arca ini entah siapa yang ukir, bukan saja wajah dan potongannya hidup bahkan nampak
menarik hati, sungguh luar biasa….”
Sejak toojien tadi menyaksikan sokongan yang diberi Sang Pat adalah selembar daun
emas dan sikapnya amat royal, dengan tertawa dipaksakan ia segera menyahut, “Nama
besar dari kuil In Wan Bio sudah terkenal hingga ribuan li jauhnya. Ciamsi, permohonan
semuanya tepat tidak meleset, bila kalian bertiga ada persoalan utarakanlah keluar. In
Wan Jie seng pasti akan melindungi kalian bertiga.”
Orang berbaju hitam yang sedang berlutut didepan meja sembahyangan, ketika
mendengar pembicaraan beberapa orang itu mendadak bangun berdiri, kemudian setelah
melirik sekejap kearah Siauw Ling dan Sang Pat ia segera mengundurkan diri dari situ.
Seandainya orang itu tidak berusaha ngeloyor pergi, mungkin Siauw Ling tidak akan
memperhatikan dirinya dan ia bisa berlalu dari situ tanpa diperhatikan oleh siapapun
tetapi justru karena sikapnya yang gugup dan tergopoh-gopoh inilah Siauw Ling segera
berpaling dan bahkan Tiong Chiu Siang Kupun segera menaruh curiga dengan dirinya.
Dengan langkah sempoyongan Tu Kioe bergeser kearah belakang, dalam beberapa
tindakan saja ia telah menghalangi jalan pergi simanusia berbaju hitam tadi.
Sungguh cepat gerakan tubuh manusia berbaju hitam itu, mendadak ia menghentikan
gerakan tubuhnya dan bergeser tiga depa kesamping, setelah menghindari penghadangan
dari Tu Kioe laksana kilat tubuhnya meluncur keluar kuil.
Agaknya Sang Pat telah bikin persiapan sedari permulaan tadi, melihat gerakan
tubuhnya yang begitu cemas sehingga berhasil menghindari penghadangan dari Tu Kioe.
Tangan kanannya dengan cepat disilangkan kedepan menutup jalan pergi manusia
berbaju hitam itu.

Meskipun pintu kuil amat besar, tetapi setelah Tu Kioe menghadang ditengah pintu
ditambah pula Sang Pat sambil busungkan perutnya melintangkan tangan kanannya
kesamping, maka hampir boleh dibilang seluruh jalan perginya telah tertutup semua.
Bagi siorang berbaju hitam itu kecuali berhasil memaksa Sang Pat bergeser dari situ
maka satu-satunya jalan baginya hanya menghentikan langkah kakinya.
Tampaklah orang itu menggerakkan tangan kanannya, jari tengah dan telunjuknya
ditegangkan kemudian menotok kedepan mengancam urat nadi Sang Pat.
Melihat datangnya ancaman, Sang Pat menukuk pergelangan kanannya kebawah untuk
meloloskan diri dari serangan itu, kelima jarinya berputar dan laksana kilat ia balas
mencengkeram pergelangan kanan sigadis berbaju hitam itu.
“Cepat menyingkir dan beri jalan baginya!” mendadak terdengar Siauw Ling
membentak keras.
Kiranya ia telah berhasil melihat jelas wajah orang itu yang bukan lain adalah sidara
berwajah serius yang selain mengikuti diri Pat Chiu Sin Liong atau sinaga sakti berlengan
delapan Toan Bok Ceng sewaktu ada dikota Koei Chiu tempo dulu, dengan munculnya
sang dara itu disekitar sini dan berarti Toan Bok Ceng pun kemungkinan besar berada
dipuncak In Wan Hong pula.
Dalam pada itu ketika Sang Pat mendengar suara bentakan dari Siauw Ling, ia segera
bergeser kesamping untuk memberi jalan lewat bagi gadis berbaju hitam itu.
Dengan gerakan yang cepat dan sehat gadis berbaju hitam itu meloncat keluar dari
ruangan kuil dan segera melarikan diri.
Cuaca telah gelap dan malam sudah menjelang tiba, setelah berada ditempat luaran
bayangan tubuh gadis itu dalam waktu singkat telah lenyap ditelan kegelapan.
Sang Pat yang berdiri didepan pintu kuil dengan pandangan yang tajam memeriksa
keadaan disekitar tempat itu, namun ia tidak berhasil mengetahui kemanakah gadis itu
melarikan diri.
“Tak usah diperiksa lagi!” terdengar Siauw Ling berseru dengan suara rendah.
“Toako, apakah kau kenal dengan dirinya?” tanya Sang Pat sambil berpaling.
“Agaknya dia adalah sidara ayu yang selalu berada bersama-sama naga sakti berlengan
delapan Toan Bok Ceng itu!”
“Aaaah, benar itu ucapan toako sedikitpun tidak salah, memang nona itulah orang tadi,
tidak aneh kalau siauwte merasa seperti mengenal dengan raut wajahnya hanya tidak
teringat aku pernah menjumpainya ditempat mana!”
“Budak itu selalu mengenakan pakaian berwarna hijau, kenapa hari ini ia memakai baju
hitam?” sela Tu Kioe.
…. Bersambung jilid ke 33
JILID 33
“Mungkin saja untuk menghindari pengawasan serta perhatian orang lain….”
“Tadi aku saksikan diantara kelopak matanya terdapat bekas air mata, mungkin saja ia
sedang berdoa sesuatu didepan malaikat suci.”
“Setelah budak itu munculkan diri ditempat ini, mungkin saja sinaga sakti berlengan
delapan Toa Bok Ceng juga berada disini, mari kita cari orang she itu untuk diajak
berbicara.”
“Pada masa yang lalu kami pernah menaruh salah sangka terhadap diri toako, kami
anggap kau telah membaktikan diri terhadap perkampungan Pek Hoa San cung tapi
sekarang hubungan toako dengan Shen Bok Hong telah diketahui oleh setiap umat
manusia yang ada dikolong langit. Budak tersebut menaruh sifat kurang hormat terhadap
diri toako, sudah tentu kita harus menegur diri Toan Bok Ceng yang kurang keras
mendidik anak muridnya.”

“sudahlah, toh orang lain tiada hubungan apapun kenapa mereka harus menghormati
kita?”
Tu Kioe masih mencoba membantah tapi Sang Pat segera mengedipkan matanya untuk
mencegah ia berbicara lebih jauh.
Rupanya sitoojien penjaga kuil itu sudah terbiasa melihat orang sekeok ataupun
berkelahi, ia sangat menjaga diri sendiri dan sedikitpun tidak melirik atau memperhatikan
ketiga orang itu.
“Apakah malam ini kita akan tinggal diatas puncak In Wan Hong ini….?” tanya Sang Pat
kemudian.
Sebelum Siauw Ling menjawab, mendadak terdengar suara jawaban yang dingin dan
ketus berkumandang datang, “Lebih baik kalian tetap tinggal disini saja!”
Ucapan yang muncul secara tiba-tiba ini sangat mengejutkan hati semua orang, baik
Siauw Ling maupun Tiong chiu Siang Ku segera berdiri tertegun dibuatnya.
“Siapa?” Tu Kioe segera menghardik.
“Aku!” seorang pemuda kurus pendek berbaju hijau perlahan-lahan munculkan diri
didalam ruangan kuil.
Dengan tajam Sang Pat memperhatikan sekejap wajah orang itu, ia merasa walaupun
wajahnya amat ganteng tapi kekurangan sifat kelaki-lakiannya, maka diapun segera
menegur, “Kami bersaudara sedang bercakap-cakap toh tiada sangkut pautnya dengan
dirimu, mengapa saudara ikut menimbrung?”
Pemuda berbaju hijau itu tidak memperdulikan teguran dari Sang Pat, dengan sorot
mata yang jernih ditatapnya wajah Siauw Ling beberapa saat, kemudian serunya, “Apa
sebabnya kau datang kepuncak In Wan Hong ini?”
Nadanya sangat akrab dan seolah-olah pembicaraan terhadap sahabat lama, bahkan
terpancar jelas betapa besarnya perhatian orang itu terhadap diri Siauw Ling.
Jago kita segera memperhatikan beberapa kejap kearah sastrawan berbaju hijau itu,
tetapi walau dipandang secara bagaimanapun ia tidak dapat mengingat-ingat siapakah
gerangan dirinya, maka iapun lantas bertanya, “Siapakah kau?”
“Sungguhkah kau tidak kenal dengan diriku lagi?” air muka pemuda tersebut mendadak
berubah jadi amat sedih.
“Tampaknya sih agak kenal, tapi aku tak ingat kita pernah saling berjumpa dimana.”
“Itulah sebabnya kau pelupa, kenapa aku mengenali dirimu?”
“Entah siapakah orang ini” pikir Siauw Ling dengan hati keheranan….”Kenapa ia paksa
diriku untuk mengakui bahwa aku kenal dengan dirinya?” sebelum ingatan itu lenyap dari
pandangannya, tampaklah pemuda berbaju hijau itu tiba-tiba melepaskan kain hijau
pembungkus kepalanya sehingga terlihatlah rambutnya yang halus dan panjang.
“Aaaah, adalah kau nona Pek Li!” mendadak Siauw Ling berseru tertahan.
“Ooooh…. sungguh payah aku mencarimu” bisik gadis itu sambil mendekap wajahnya.
Sang Pat serta Tu Kioe yang menyaksikan kejadian itu diam-diam saling bertular
pandangan kemudian berlalu dari ruangan kuil.
Toojien penjaga kuil yang berada disamping mereka, mendadak memukul gembrang
dan bersenandung lirih, “Kalau ada jodoh ribuan li pun akhirnya berjumpa, kalau tak ada
jodoh bertemu mukapun tak kenal, siapa yang tulus berdoa pasti akan terkabul
keinginannya….”
Siauw Ling pun melangkah maju kedepan, kemudian tegurnya, “Nona, mengapa kau
datang kemari?”
Kiranya orang yang baru saja datang bukan lain adalah Pak Hay Kongen Pek Li Peng
adanya.

Perlahan-lahan Pek li Peng melepaskan tangannya yang menutupi wajah, lalu
menjawab, “Aku telah melakukan penguntilan sejauh ribuan li dan akhirnya berhasil
temukan dirimu disini!”
“Aku bisa sampai dipuncak In Wan Hong hanya disebabkan suatu ilham yang muncuk
secara mendadak” pikir Siauw Ling didalam hati. “Darimana ia bisa menduga kalau aku
bakal datang kemari!”
Karena berpikir demikian maka ia bertanya kembali, “Sejak kapan nona datang
kemari?”
“Tengah hari tadi….” ia merandek sejenak kemudian sambungnya, “Dalam hati kecilku
masih terdapat banyak urusan yang hendak kutanyakan kepadamu!”
“Tempat ini bukan tempat yang cocok bagi kita untuk berbicara, mari kita cari tempat
pemondokan lebih dahulu….”
“Aku telah memesan sebuah kamar penginapan dipuncak In Wan Hong ini….!”
sambung Pek li Peng cepat.
“Tapi aku masih ada dua orang saudara!”
“Tidak mengapa, didalam penginapan itu masih ada kamar kosong, mari aku membawa
jalan untukmu.”
Sambil putar badan ia kenakan kembali kain pengikat kepalanya.
Tiba-tiba Siauw Ling merasakan bahwa siputri dari laut utara yang sudah terbiasa
dimanja ini ternyata jauh lebih matang dari pada tempo dulu dan ia jauh lebih dewasa
lagi, perpisahan selama beberapa bulan dirasakan bagaikan beberapa tahun saja.
Dalam pada itu Pek li Peng telah berjalan keluar dari dalam kuil dan menuju keluar.
Siauw Ling segera menguntil dari belakangnya, setelah sampai ditempat luaran dengan
tajam matanya memperhatikan kesekeliling tempat itu, tetapi bayangan tubuh Tiong chiu
Siang Ku sama sekali tidak nampak, hatinya jadi tercengang, pikirnya, “Kemana perginya
kedua orang itu?”
Ingin sekali ia berteriak memanggil, tetapi setelah ucapannya meluncur keluar
mendadak ia telan kembali.
Pek li Peng mempercepat larinya menuju kearah sebuah rumah gubuk disebelah
selatan.
Terpaksa Siauw Ling harus mempercepat langkah kakinya mengikuti dibelakang gadis
itu masuk kedalam kamar.
Rumah penginapan yang ada disana tujuannya hanya digunakan sebagai tempat untuk
berteduh dari hujan bagi para pesiarah yang mengunjungi kuil tersebut, tentu saja tiada
pelayanan yang bagus dan pantas, ketika Siauw Ling masuk didalam rumah penginapan
tadi tiada seorangpun yang menyapa, dengan mengikuti dibelakang Pek li Peng akhirnya
sampailah pemuda kita didalam kamar.
Ruangan telah diterangi oleh cahaya lilin, seorang gadis berbaju hitam yang berwajah
serius dan keren telah berada didalam ruangan itu lebih dulu.
Siauw Ling jadi keheranan, pikirnya, “Bagus sekali, kenapa mereka berdua bisa berada
jadi satu?”
Sementara Pek li Peng telah berpaling memandang sekejap kearah Siauw Ling
kemudian ujarnya, “Kalian tentu sudah pernah saling bertemu bukan?”
“Ketemu sih pernah beberapa kali” pikir Siauw Ling didalam hati. “Cuma berbicara
belum pernah satu kalipun.”
Iapun menjura dan berkata, “Kenapa Toan Bok Loocianpwee tidak ikut serta?”
“Suhuku?” sahut dara berbaju hitam itu sambil tundukkan kepalanya rendah-rendah.
“Berkat pertolongan dari nona Pek li, beliau berhasil loloskan diri dari bokongan orang.”
“Oooh kiranya karena peristiwa tersebut mereka jadi saling kenal” kembali pemuda kita
membatin.

“Bagaimanakah keadaan luka Toan Bok Loocianpwee?”
“Terima kasih atas perhatian dari Siauw thayhiap, setelah menelan obat mujarab
pemberian nona Pek li, sekarang ia sudah tidak menguatirkan lagi keadaannya.”
Dua kali ia bercakap-cakap dengan Siauw Ling, namun tak pernah kepalanya
mendongak untuk memandang kearah si anak muda itu.
Mendadak Pek li Peng menimbrung dari samping, “Walaupun keadaan luka yang
diderita Toan Bok Loocianpwee sudah tidak menguatirkan tapi ia masih membutuhkan
banyak istirahat, karena itulah ketika ia lihat aku melakukan perjalanan seorang diri maka
diutuslah nona Toan Bok untuk menemani diriku.”
“Aneh…. ia sebut Toan Bok Ceng sebagai gurunya, kenapa ia sendiripun she Toan
Bok?” pikir Siauw Ling, meski dalam hati menaruh curiga tapi ia tidak bertanya lebih jauh.
Sementara itu Pek li Peng selesai mengucapkan kata-kata itu, matanya menatap wajah
Siauw Ling tajam-tajam untuk menantikan jawabannya, siapa tahu si anak muda itu hanya
repot dengan jalan pikirannya sendiri lupa untuk menjawab.
Melihat pemuda itu tak mau menjawab, Pek li Peng segera mendegus dingin tegurnya,
“Hei, kenapa kau tidak menjawab?”
Seolah-olah ia baru mendusin dari impian Siauw Ling berseru tertahan dan berkata,
“Aaaa, nona sedang mengajak aku berbicara?”
“Dalam ruangan ini hanya kita bertiga sedang aku tidak mengajak nona Toan Bok
berbicara, kalau bukan ajak kau berbicara lalu aku ngomong dengan siapa?’
“Apa yang ingin nona bicarakan?”
“Semestinya kau bertanya kepadaku, bagaimanakah kehidupanku selama beberapa
waktu terakhir?”
Siauw Ling menghela napas panjang.
“Aaaai….! karena harus menolong cayhe nona telah menyalahi peraturan perguruan.
Tapi kaupun harus tahu bahwa ayahmu merasa amat sedih karena kepergian nona ini.
Sekarang ia sedang berusaha keras untuk mencari jejak nona….”
Pek li Peng memandang sekejap kearah gadis berbaju hitam itu, bukannya menjawab ia
perlahan-lahan duduk diatas kursi.
Gadis berbaju hitam itu bukan seorang manusia yang bodoh, menyaksikan keadaan
tersebut ia segera berkata lirih, “Kalian berdua berbicaralah, aku akan siapkan sedikit
makanan dan minuman bagi kalian berdua….”
“Aaah, cukup suruh pelayan saja siapkan, masa kita musti merepotkan nona!”
Gadis berbaju hitam ini tidak menjawab, begitu selesai berkata ia lantas keluar dari
ruangan, sebelum Siauw Ling selesai berbicara bayangan tubuhnya sudah lenyap tak
berbekas.
Dengan begitu dalam ruanganpun tinggal Pek li Peng serta Siauw Ling berdua saja.
Dengan pandangan mata yang jeli, Pek li Peng menatap wajah Siauw Ling tajam-tajam.
rupanya ia ingin menemukan sesuatu dari balik wajah si anak muda itu.
Siauw Ling yang dipandang secara demikian jadi gelisah dan tidak tenang, dan ingin
menegur tetapi secara mendadak tampaklah Pek li Peng menutup wajahnya dan jatuhkan
diri keatas pembaringan sambil menangis tersedu-sedu.
Menyaksikan kejadian itu pemuda she Siauw jadi tertegun, buru-buru ia dekati gadis itu
sambil berkata, “Nona melakukan perjalanan didalam dunia persilatan demi diriku, cayhe
bukannya tidak tahu….”
Pek li Peng mendadak tertawa.
“Sejak kecil aku dibesarkan didalam istana es dengan pelayan yang tak terhingga
banyaknya, kini setelah aku berkelana seorang diri didalam dunia persilatan, luntang
lantung sebatang kara…. masa satu orang yang mengurusi dirikupun tak ada….”

Sejak kecil ia sudah terbiasa dimanjakan, tapi karena ingin menemukan Siauw Ling
dengan susah payah dan tak mengenal lelah ditempuhnya perjalanan dengan seorang diri
berkelana didunia kangouw, siapa tahu setelah bersusah payah dan berhasil menemukan
kembali idaman hatinya sikap serta pengertian yang diberikan kepadanya tidak seimbang
dengan pengorbanan yang telah diberikan, hal ini tentu saja menyedihkan hatinya.
“Nona, akupun tahu sampai dimanakah penderitaan yang dialami dirimu, tetapi
cayhe….”
Mendadak Pek li Peng bangun duduk, sambil menyeka air matanya selanya, “Mau apa
kau datang kemari?”
Siauw Ling ingin menjawab, tapi belum sempat ia berkata Pek li Peng sudah keburu
berkata, “Bukan kau naik kepuncak In Wan Hong untuk mencari diriku?”
“Dimana aku bisa tahu kalau kau berada disini?” batin si anak muda itu didalam hati,
tetapi ketika menyaksikan wajahnya penuh mengharapkan jawaban yang enak didengar
maka dengan keraskan hati iapun menyahut, “Sedikitpun tidak salah, aku memang datang
kemari untuk mencari diri nona!”
Pek li Peng kontan tertawa gembira setelah mendengar jawaban itu.
“Kalau begitu kau psti amat rindu kepadaku bukan….”
Ia merandek sejenak, dan sambungnya kembali, “Meskipun banyak penderitaan yang
telah kurasakan, tetapi ada senangnya juga melakukan perjalanan seorang diri didalam
dunia kangouw.”
“Ia gembira karena salah mengira aku datang kemari karena hendak mencari dirinya”
pikir pemuda itu dalam hati. “Agaknya aku boleh mengatakan duduk perkara yang
sebenarnya.”
Karena itu iapun balik bertanya, “Dan nona sendiri mau apa datang kemari?”
“Dari mulut orang lain aku mendengar bahwa diatas puncak In Wan Hong terdapat kuil
In Wan Bio yang khusus ditujukan bagi orang yang minta jodoh, karena itu sengaja aku
datang kemari untuk memanjatkan doa, eeei…. sungguh tak nyana aku benar-benar
berhasil temukan dirimu disini….”
Rupanya ia merasa jawabannya terlalu membuka rahasia hatinya, seluruh wajahnya
kontan berubah jadi merah padam dan kepalanya tertunduk rendah-rendah.
Siauw Ling terkesiap mendengar ucapan itu, pikirnya, “Mati aku! sungguh tak terkira
olehku bahwa kata-kata menghiburku bisa membuat ia tersenyum gembira, ucapan yang
bernada dingin dapat membuat ia menangis tersedu-sedu, kalau begitu rasa cintanya
terhadap aku sudah tertanam dalam sekali, apa yang harus aku lakukan….”
Ia merasa hatinya jadi murung dan kesal, dengan alis berkerut ia segera membungkam
dalam seribu bahasa.
Perlahan-lahan Pek li Peng turun dari atas pembaringan, setelah menuang secawan air
teh ia angsurkan cawan itu kehadapan Siauw Ling sambil ujarnya lembut, “Sebelum
berjumpa dengan dirimu, sering kali aku berharap agar aku bisa menunjukkan sikap yang
hangat dan mesra setelah berjumpa dengan dirimu, agar kau merasa gembira dan senang
bisa berkumpul dengan diriku. Aaai siapa tahu setelah berjumpa dengan dirimu aku malah
ngambek sampai air tehpun lupa dihidangkan.”
Seraya berkata ia angsurkan cawan teh tadi ketangan Siauw Ling.
Beberapa patah perkataannya barusan bukan saja menunjukkan kepolosan serta sifat
kekanak-kanakkannya, bahkan memperlihatkan pula keterbukaan serta sikap jujurnya
yang tidak dibuat-buat.
Siauw Ling segera merasakan dadanya seperti terhantam martil yang sangat berat,
hatinya tergetar keras, pikirnya, “Ucapan gadis ini begitu jujur dan terbuka sedikitpun
tidak menyembunyikan perasaan hatinya, entah bagaimanakah sikapku dikemudian hari
terhadap dirinya….”

Terdengar Pek li Peng berkata lagi dengan suara lembut, “Untuk datang kemari kau
telah melakukan perjalanan naik turun bukit, aku rasa kau tentu haus sekali bukan?”
Siauw Ling meneguk air teh itu setengah, lalu panggilnya sambil tertawa, “Nona….”
“Apa? kau panggil aku nona? baik, akupun akan mengenal dirimu sebagai Siauw
siangkong.”
“Benar, sudah sepantasnya kalau kita saling menyebut dengan panggilan begitu.”
“Tidak, aku tidak setuju!”
“Kenapa?”
“Kalau kita saling mengenal dengan sebutan begitu, bukankah hubungan kita terasa
makin jauh?”
“Lalu musti memanggil nona dengan sebutan apa?”
Pek li Peng termenung dan pikirnya sebentar, kemudian sahutnya, “Sewaktu aku masih
berada dilaut utara, ayah baginda serta ibu permaisuri selain sahut aku sebagai Peng jie,
bagaimana kalau kaupun mengenal aku dengan sebutan tersebut?”
Diam-diam Siauw Ling menghela napas panjang, pikirnya, “Aku harus berusaha untuk
menasehati dirinya agar mau pulang kerumahnya….”
Setelah mengambil keputusan demikian, iapun lantas memanggil, “Peng jie!”
“Ooh…. sungguh indah dan menarik sebutanmu itu” teriak Pek li Peng kegirangan.
“Aaai…. ucapan ibu permaisuri sedikitpun tidak salah, dahulu aku selalu tak mau
mendengarkan perkataannya, sekarang kalau diingat kembali, aku benar-benar merasa
bahwa setiap patah katanya memang tepat dan sangat bermanfaat.”
“Apa yang pernah diucapkan ibumu?”
“Ibu bilang lunak bisa tundukkan keras, seorang gadis harus memiliki kehalusan budi
serta kelembutan sikap, hanya sikap yang lemah lembut dapat menggembirakan hati sang
kekasih.”
“Ehmm…. pastilah dia sangat nakal sewaktu berada didalam istana es, sehingga ibunya
yang kewalahan harus mengucapkan kata-kata seperti itu agar ia mau lebih pendiam,
sungguh tak nyana ia malah menganggapnya sungguhan….”
Berpikir sampai disini diapun terbayang kembali akan tujuannya untuk memasuki istana
terlarang. Ia tahu tugasnya kali ini bakal menemui banyak kesulitan serta mara bahaya,
dari pada kedua orang gadis itu dibawa serta maka pemuda inipun mengambil keputusan
untuk berusaha memaksa ia kembali kesisi Pak Thian Coen cu….
Sementara ia masih berpikir, mendadak terdengar Pek li Peng berkata, “Ehmmm! kau
panggil aku Peng jie, lalu sebutan apa yang harus kupergunakan untuk memanggil
dirimu?”
“Sesuka hatimulah!”
Pek li Peng tertawa manis.
“Kau lebih tua dua tahun dari diriku, aku panggil kau dengan sebutan toako saja!”
katanya.
“Baiklah! panggil saja aku toako.”
“Baik! kalau begitu mulai detik ini aku akan panggil dirimu toako!” berbicara sampai
disini mendadak gadis itu mulai menggerakkan tangan dan badannya, dibawah cahaya
lampu lilin iapun mulai menari.
Siauw Ling yang menyaksikan kegembiraan yang diperlihatkan gadis itu sudah kelewat
batas sehingga lupa keadaan, kontan ia berdiri tertegun dibuatnya.
Setelah menari beberapa saat lamanya mendadak Pek li Peng menghentikan
gerakannya dan berkata, “Toako, mendadak aku teringat satu persoalan.”
“Persoalan apa?”
“Mari kita pergi kekuil In Wan Bio untuk memberikan kaul!”
“Kaul apa?”

“Ketika bersembahyang didalam kuil In Wan Bio tadi dalam hati aku telah berjanji,
bilamana toako berhasil kujumpai maka aku harus pergi kekuil lagi untuk membayar kaul.”
“Yang mau kaul teh kamu, kenapa musti pergi bersama aku?” pikir si anak muda itu
didalam hati.
Kendati punya pikiran begitu, namun ia tak tega untuk mengutarakan keluar.
Dengan tangannya yang putih halus dan lembut itu Pek li Peng menggenggam tangan
kanan Siauw Ling, kemudian ajaknya, “Toako, temanilah aku! malaikat didalam kuil In
Wan Bio benar-benar manjur sekali!”
Siauw Ling tidak tega untuk menampik ajukan itu, terpaksa ia bangkit berdiri.
“Sekarang juga kita kesitu?” tanyanya.
“Lebih cepat membayar kaulku rasanya lebih baik, toako temanilah diriku pergi kesitu!”
“Baik!” dengan perasaan apa boleh buat Siauw Ling segera melangkah keluar dari
dalam ruangan.
Dengan wajah berseri-seri dan penuh kegembiraan Pek li Peng menguntil dibelakang si
anak muda itu dan berjalan menuju keluar.
Tatkala kedua orang itu tiba didepan pintu kecil, kebetulan sang toojien penjaga kuil
hendak melangkah keluar, tapi begitu melihat sepasang muda mudi itu berjalan
mendatang maka perlahan-lahan ia mengundurkan diri kembali ketempat semula.
Pek li Peng langsung menuju kedepan meja sembahyangan, sambil berlutut mulutnya
berkemak-kemik tiada hentinya. Entah apa saja yang telah dia utarakan ketika itu.
Sebaliknya Siauw Ling dengan sikap termangu-mangu berdiri disisinya dan memandang
sepasang arca pria desa dan gadis desa itu tanpa berkedip.
Selesai berdoa Pek li Peng berpaling kearah pemuda kita, sewaktu dilihatnya Siauw Ling
tetap berdiri tak berkutik ia segera menarik tangannya sambil berkata, “Aah toako! kenapa
kau tidak jatuhkan diri berlutut dan mengucapkan terima kasih kepada malaikat jodoh?”
Sebenarnya si anak muda itu tidak ingin berlutut, tapi setelah menyaksikan air muka
Pek li Peng yang diliputi penuh pengharapan, ia tak tega dan terpaksa jatuhkan diri
berlutut didepan meja sembayangan.
Dengan wajah riang gembira Pek li Peng kembali memberi hormat kepada patung arca
tersebut, setelah itu baru bangkit berdiri dan berkata, “Sekarang mari kita kembali
kerumah penginapan!”
Selama ini Siauw Ling hanya memikirkan bagaimana caranya menasehati gadis ini agar
mau pulang kerumahnya, terhadap kejadian didepan mata sedikitpun tidak ambil
perhatian.
Setelah Pek li Peng menarik tangannya, Siauw Ling baru tersadar kembali dari
lamunannya, ia segera bangkit berdiri.
“Baik, mari kita pulang!”
Sikap si anak muda ini seketika melenyapkan rasa girang dan wajah berseri-seri dari
Pek li Peng, perlahan-lahan ia membisik, “Toako, rupanya kau mempunyai persoalan hati
yang amat berat?”
“Tidak?” Siauw Ling segera menggeleng.
“Aaaai….! toako kau tak usah membohongi aku, aku bisa mengetahuinya dari sikapmu
alismu selain berkerut dan wajahmu murung sekali, kalau kau tiada persoalan hati yang
memberatkan dirimu, pastilah mereka tidak senang karena berjumpa dengan aku….”
Sambil membereskan rambutnya yang awut-awutan, ia menghela napas panjang
sambungnya, “Toako, tahukah kau apa yang kudoakan ketika berlutut didepan patung
malaikat tadi?”
“Entahlah!”

“Aku telah berdoa kepada malaikat agar kita bisa berbahagia selalu, akupun telah
bersumpah bahwa sejak hari ini aku akan selalu mendampingi diri toako, sedikitpun tak
akan berpisah.”
Siauw Ling jadi amat terperanjat setelah mendengar perkataan itu, buru-buru serunya,
“Ayahmu telah mengerahkan segenap jago lihay istana esnya untuk mencari jejakmu,
andaikata kau selain berada disampingku, bukankah hal ini justru akan menggelisahkan
ayahmu?”
Walaupun Pek li Peng masih muda dan sifat kekanak-kanakkannya belum hilang, tetapi
dia adalah seorang gadis yang amat cerdik, setelah termenung berpikir sebentar segera
ujarnya, “Apakah kau takut aku jadi sengsara dan menderita karena mengikuti dirimu?”
“Pak Thian Coen cu memiliki ilmu silat yang lihay jago kelas satu anak buahnyapun
tiada terhingga banyaknya” pikir Siauw Ling didalam hati kecilnya. “Sekarang ia telah
mendendam terhadap diriku, seandainya suatu ketika ia berhasil mengetahui bahwa kau
berada bersama-sama diriku, bukankah saat itu aku bakal dituduh dan walaupun terjun
kesungai Huang hoo pun aku tak bisa menghilangkan tuduhan tersebut?”
Yang ia selalu pikirkan hanyalah keselamatan dari Gak Siauw Cha serta perjalanannya
memasuki istana terlarang, karena itu terhadap cinta kasih Pek li Peng yang begitu mesra
dan hangatnya sama sekali tidak dirasakan.
Dalam pada itu ketika Pek li Peng menyaksikan Siauw Ling termenung terus tanpa
mengucapkan sepatah katapun, ia segera tertawa dan berseru, “Aaaah, sekarang aku
sudah mengerti!”
“Kau mengerti apa?”
“Bukankah kau takut menimbulkan kecurigaan ayahku bila kau melakukan perjalanan
bersama-sama diriku?”
“Aaaai….! walaupun hal itu merupakan salah satu alasan, tetapi yang terpenting adalah
rasa rindu dan cemas dari ayah serta ibumu setelah menyaksikan kau belum juga kembali
kerumah setelah pergi lama sekali, aku rasa nona pasti tak ingin disebut seorang anak
yang tidak berbakti bukan?”
“Tidak usah kuatir, aku bisa menulis sepucuk surat dan mengutus orang pergi ke Pek
Hay untuk mengabarkan kepada ibuku bahwa aku sedang berpesiar didaratan Tionggoan
dia pasti tak akan merindukan diriku lagi!”
Siauw Ling menghela napas panjang.
“Letak istana es di Pek Hay jauh mencapai beberapa laksa li, lagipula sepanjang tahun
selalu beku dan diliputi oleh salju abadi, apakah orang biasa sanggup untuk menemukan
letaknya?”
“Toako!” tiba-tiba Pek li Peng berseru dengan alis berkerut. “Agaknya kau sangat
membenci diriku sehingga dengan pelbagai akal dan cara kau hendak mengusir diriku,
bukankah begitu?”
Siauw Ling gelengkan kepalanya dan kembali menghela napas panjang.
“Kecuali ayah ibumu sangat merindukan dirimu, kedatanganku kegunung Boe Gie San
inipun masih ada maksud tujuan lain, dan aku merasa tidak leluasa untuk membawa serta
dirimu.”
“Apakah tujuanmu itu? bolehkah diberi tahukan kepadaku?”
Siauw Ling tidak tega menyaksikan air muka gadis itu diliputi kesedihan bahkan air
matanya telah bercucuran, ia melirik sekejap kearah toojien itu lalu bisiknya lirih, “Peng jie
mari kita keluar dulu dari sini.” sambil bicara ia melangkah keluar terlebih dahulu.
Pek li Peng segera membuntuti dari belakangnya, dalam sekejap mata mereka sudah
tinggalkan kuil tersebut.
Setelah memandang sekelilingnya sekejap. Pek li Peng segera berseru, “Toako
disekeliling tempat ini tiada orang lain, kau boleh mengutarakannya keluar!”

“Peng jie, apakah kau pernah mendengar kisah mengenai istana terlarang….”
“Agaknya ayahku pernah membicarakannya.”
“Nah, itulah dia, aku tak bisa membawa serta dirimu karena aku hendak memasuki
istana terlarang.”
“Apakah anak gadis dilarang memasuki istana terlarang?”
“Itu sih tiada larangan macam begini!” jawab Siauw Ling sejujurnya karena ia tak
terbiasa membohong.
“Kalau memang tiada larangan, apa salahnya kalau aku ikut serta didalam perjalanan
ini?”
“Setiap jago Bulim yang ada didaratan Tionggoan sama-sama berharap bisa
memecahkan rahasia yang menyeimbangi istana terlarang apabila mereka sampai
mendengar berita ini niscaya orang-orang itu akan berbondong-bondong datang kemari,
sebelum memasuki istana terlarang kita sudah akan terancam oleh pelbagai ancaman
yang membahayakan jiwa, apalagi didalam istana terlarangpun penuh dengan alat rahasia
yang hebat dan dahsyat, selangkah saja kita salah mengambil jalan kemungkinan besar
akan terancam. Kepergian Siauw heng kami ini adalah menempuh mara bahaya, mati
hidup masih belum bisa diramalkan, mana boleh kubawa serta dirimu?”
“Kalau memang demikian adanya, maka aku semakin bersikeras tak akan tinggalkan
dirimu seorang diri!” seru Peng li Peng dengan tegas.
“Kenapa?”
“Kalau memang istana terlarang diliputi banyak bahaya yang setiap saat bisa
mengancam keselamatan jiwamu, mana aku boleh biarkan dirimu pergi menempuh
bahaya seorang diri, aku akan….”
“Tidak boleh….”
“Kenapa?” seru Peng li Peng dengan wajah serius. “Kalau kau memang sudi kuanggap
sebagai toako ku maka sudah sepantasnya kalau membiarkan aku ikut menderita dikala
kau sedang sengsara dan gembira tatkala kau sedang riang gembira.”
“Peng jie persoalan ini sama sekali tiada sangkut pautnya dengan dirimu, kenapa kau
harus turut serta menerjunkan diri kedalam air keruh?”
“Tetapi toh antara toako dengan aku ada hubungan yang sangat erat?”
Siauw Ling jadi terkesiap setelah mendengar perkataan itu, ia segera menghentikan
langkah kakinya.
“Peng jie….”
“Toako, biarkanlah aku meneruskan kata-kataku!” tukas Peng li Peng dengan air mata
jatuh bercucuran.
Siauw Ling dibikin apa boleh buat, terpaksa ia mengangguk.
“Baik! katakanlah….”
“Tahukah kau apa sebabnya aku sebagai seorang gadis remaja, dengan seorang diri
melakukan perjalanan sejauh beribu-ribu li?”
“Karena hendak mencari diriku?”
“Ehmmm, kiranya kau sudah tahu.”
“Bukankah tadi sudah kau katakan sendiri hingga jelas? sekalipun orang lain juga akan
mengerti dengan jelas.”
“Nah, itulah dia! dengan susah payah aku berhasil menemukan dirimu, tetapi kau
malah mengusir aku pergi, coba pikirlah apakah aku punya muka untuk menjumpai orang
lagi? apakah aku punya muka untuk hidup dikolong langit lebih jauh?”
“Soal ini…. soal ini….”
“Meskipun aku dibesarkan didaerah dingin yang sepanjang masa ditutupi salju, tetapi
banyak sekali pelajaran agama serta sastra dari daratan Tionggoan yang pernah kubaca.

Toako! kau pasti telah memandang diriku sebagai seorang gadis tidak genah yang rendah
martabatnya, kau pasti memandang hina diriku….”
Belum sempat Siauw Ling menjawab, mendadak Peng li Peng telah putar badan dan lari
pergi.
Dengan cepat Siauw Ling mengejar dari belakangnya, dalam waktu singkat mereka
sudah tiba dipinggir jurang.
Menyaksikan gadis itu lari terus keujung jurang dan sikapnya seperti mau loncat
kebawah. Siauw Ling jadi amat terperanjat buru-buru serunya, “Peng jie, jangan bergurau
lagi!”
“Kau berhenti dulu!” teriak Peng li Peng.
Siauw Ling tidak berani membangkang, terpaksa ia menghentikan langkah kakinya.
Sambil berdiri diujung jurang, perlahan-lahan Peng li Peng berkata, “Toako, tahukah
kau akan kisah cerita dari kuil In Wan Bio ini?”
“Seorang penebang kayu tua telah menceritakannya kepadaku!”
“Tebing curam ini adalah tempat dimana sepasang muda mudi itu menerjunkan diri
kedalam jurang, seandainya sekarang aku ikut meloncat kedalam jurang maka didalam
kuil In Wan Bio mungkin akan didirikan pula sebuah patung arca untuk memperingati
diriku, hanya saja patung itu tidak didampingi oleh toako saja.”
Siauw Ling jadi amat cemas, pikirnya, “Sifat kekanak-kanakkan dari gadis ini belum
hilang, dalam malu dan gelisahnya mungkin saja ia benar-benar menerjunkan diri kedalam
jurang, bukan saja kejadian ini akan menyesalkan diriku sepanjang masa bahkan akan
mendatangkan pula pelbagai kesulitan bagiku…. aku harus mengurungkan niatnya itu.”
Karena berpikir demikian ia lantas berseru, “Peng jie, cepat kembali, jangan ngaco belo
lagi.”
“Tidak, aku bukan sedang bergurau, setiap patah kata yang kuutarakan kepada toako
muncul dari hatiku yang murni, dihadapan malaikat aku telah mengangkat sumpah bahwa
sepanjang masa akan selalu mengikuti dirimu, kalau toako menampik permintaanku ini,
maka terpaksa aku harus terjun kedalam jurang untuk memperlihatkan kesucian serta
ketulusan hatiku.”
Ucapannya begitu pedih dan menyedihkan membuat orang yang mendengar ikut beriba
hati.
Siauw Ling jadi semakin gelisah apalagi ketika dilihatnya gadis itu sudah makin menepi
keujung jurang, tanpa berpikir panjang lagi ia segera teriak, “Cepat kemari, baiklah akan
kuajak dirimu untuk ikut serta!”
“Sungguh?” mendadak Peng li Peng melompat kedepan dan menubruk kedalam
pelukan si anak muda itu.
Kesedihan yang semula menyelimuti wajahnya kontan lenyap tak berbekas berganti
dengan senyuman penuh riang gembira.
Setelah berjanji tentu saja Siauw Ling tak dapat mengingkarinya lagi, terpaksa ia
mengangguk.
“Sudah tentu sungguh, cuma….”
“Cuma kenapa?”
“Aku hendak mengutarakan dulu beberapa buah syaratku. Pertama, kau tak boleh ribut
dan bikin gara-gara tanpa sebab. Kedua, dalam segala hal kau harus mendengarkan
perintahku, kalau kau berani melanggar syaratku itu maka janjiku akan kubatalkan pula.”
Dalam penilaian Siauw Ling sebagai seorang gadis manja yang sudah terbiasa disayang
dan dicintai ayah ibunya semenjak kecil, dimana setiap harinya sudah terbiasa
memerintahkan orang, syarat tersebut pasti akan menyulitkan dirinya.

Siapa tahu urusan ternyata jauh diluar dugaan si anak muda itu, dengan cepat tanpa
berpikir panjang bahkan dengan wajah penuh riang gembira Peng li Peng segera
menyahut, “Tentu saja aku akan menuruti setiap perkataan dari toako!”
“Bagaimana dengan nona Toan Bok itu?”
“Aku akan suruh dia pulang kerumah untuk merawat luka dari pamannya….” setelah
merandek sejenak, tambahnya, “Toako, kapan kau hendak berangkat?”
“Paling lambat besok pagi!”
“Toako, bagaimana kalau kau kembali dulu kedalam kamarku untuk beristirahat
sejenak?”
“Tak usah, aku masih ada dua orang saudara yang datang bersama-sama.”
“Ooooh, apakah Sang Pat serta Tu Kioe?”
“Tidak salah dari mana kau bisa tahu?”
“Setiap kali berjumpa dengan orang aku selalu mencari berita mengenai diri toako,
sudah tentu banyak hal yang kuketahui.”
Ia tertawa manis dan terusnya, “Aku akan segera siapkan bekalku, bila toako hendak
berangkat segeralah memberi kabar kepadaku.”
“Setelah kukabulkan permintaanmu, tentu saja tidak akan meninggalkan dirimu seorang
diri, legakanlah hatimu!”
Peng li Peng tidak banyak bicara lagi, ia putar badan dan segera berjalan masuk
kedalam ruang penginapan.
Diawasinya bayangan tubuh Peng li Peng hingga lenyap dari pandangan, mendadak
Siauw Ling merasa dalam hatinya secara mendadak muncul suatu perasaan murung dan
kesal yang sukar dilukiskan dengan kata-kata, ia menghela napas panjang. Perlahan-lahan
pemuda itu berjalan ketepi tebing dan duduk diatas sebuah batu besar.
Sementara itu malam semakin kelam, angin gunung berhembus kencang diatas puncak
bukit tersebut. Ketika melongok kebawah tampaklah kegelapan mencekam seluruh
permukaan, begitu dalam jurang tersebut hingga tidak nampak pada dasarnya, dalam hati
diapun lantas berpikir, “Jurang ini dalamnya sukar diukur, meskipun seseorang yang
memiliki ilmu meringankan tubuh sangat lihaypun badannya pasti akan hancur lebur
apabila terjatuh kebawah, apalagi sepasang muda mudi dusun itu, meski selama hidupnya
mereka tak bisa mengikat diri jadi suami istri, tetapi setelah meninggal dunia dihormati
dan dipuja orang sebagai dewa, bahkan orang yang datang beziarah tak terhitung
jumlahnya. Aaaai….! hitung-hitung kematian mereka berharga juga!”
Sementara si anak muda itu masih termenung, mendadak dari tengah lembah yang
gelap itu muncul setitik cahaya hijau yang bergerak kian kemari dari dasar selat tadi,
kurang lebih seperminum teh kemudian cahaya tadi baru lenyap dari pandangan.
Seandainya orang yang menemukan cahaya hijau tadi adalah orang biasa, mungkin
mereka akan menganggap pandangan matanya jadi kabur ataukah menyangka bahwa
mereka sudah bertemu dengan api setan. Tetapi bagi Siauw Ling yang memiliki ketajaman
mata melebihi orang lain, ia segera dapat menebak bahwa cahaya tersebut berasal dari
seseorang yang berjalan didasar lembah itu sambil membawa lampu lentera.
Pada saat itulah terdengar suara langkah manusia yang amat lirih berkumandang
datang dari belakang tubuhnya.
Dalam hati Siauw Ling merasa amat terperanjat, tapi diluaran ia pura-pura tidak
merasa, setelah mengempos tenaga murninya dalam-dalam laksana kilat ia putar badan.
Terlihatlah Sang Pat serta Tu Kioe dengan jalan berdampingan mendekati kearahnya.
Sang Pat segera tersenyum dan memuji, “Toako, sungguh tajam pendengaranmu,
karena tak berani menganggu ketenanganmu maka sengaja kami memperingan langkah
kakinya….”

“Kedatangan kalian sangat kebetulan sekali, dibawah dasar lembah sana aku telah
menemukan sesuatu yang amat mencurigakan….”
Sang Pat serta Tu Kioe buru-buru memburu datang, tetapi ketika mereka melongok
kebawah yang terlihat hanyalah kegelapan yang mencekam seluruh dasar lembah itu,
sedikitpun tidak ditemukan sesuatu tanda yang mencurigakan.
Diam-diam Tu Kioe mengerutkan alisnya dan ia berseru, “Toako, siauwte sama sekali
tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan hati, sebenarnya apa yang telah kau
temukan?”
“Setitik cahaya hijau yang bergerak lenyap dibawah lembah sana!”
“Cahaya hijau?”
Sementara Siauw Ling hendak menjawab, cahaya hijau yang bergerak didasar lembah
tadi kembali muncul dihadapan mata dan perlahan-lahan menggeser menjauh, buru-buru
ia berseru, “Saudaraku berdua, cepat lihat!”
Sang Pat dan Tu Kioe segera alihkan sinar matanya, sedikitpun tidak salah, lama sekali
baru lenyap tak berbekas.
“Sudah terlihat?” tanya Siauw Ling.
“Sudah!”
“Pengalaman serta pengetahuan kalian berdua jauh lebih luas daripada diri siauwte,
tahukah kalian apa sebabnya bila terlihat cahaya hijau semacam itu?”
Sang Pat termenung sejenak, kemudian menjawab, “Selamanya siauwte paling tidak
percaya dengan segala macam cerita setan ataupun dedemit, karena itu akupun tidak
percaya kalau cahaya hijau didasar lembah tersebut adalah api setan seperti yang
dikatakan sementara orang.”
“Suhu siauwte seorang jago kawakan yang berpengetahuan luas, beliau pernah
memberi penjelasan kepada siauwte mengenai persoalan api Leng Hwie. Sekalipun begitu
tapi kalau kutinjau dari lirik cahaya hijau yang tidak tetap tempatnya dan selalu
menggeser itu, aku rasa pastilah bukan api Leng Hwie.”
“Jadi maksud toako, api hijau didasar lembah itu kemungkinan besar adalah perbuatan
manusia?”
“Seandainya seseorang berjalan didasar lembah sambil membawa sebuah lampu
lentera, bagi kita yang berdiri dipuncak bukit setinggi ratusan tombak ini akan melihat
setitik cahaya hijau.”
“Pendapat toako sedikitpun tidak salah!” Sang Pat mengangguk.
“Mungkin saja didasar lembah itu ada manusia yang hidup disitu” sambung Tu Kioe.
“Kunci persoalan tersebut justru terletak disini, seandainya didasar lembah memang
ada manusia yang bertempat tinggal maka penemuan itu tidak terhitung suatu hal yang
aneh, sebaliknya tempat itu tak pernah dijamah manusia. Karena itu aku duga dibalik
persoalan ini pasti ada hal yang tidak beres.”
“Hal-hal yang tidak beres bagaimana maksud toako?”
“Ditebing inilah sepasang muda mudi itu menerjunkan diri kedalam jurang, kalian
berdua tentu masih ingat akan cerita dari sipenebang kayu tua itu bukan? pada waktu itu
ada berapa banyak orang yang turun kedasar jurang untuk menemukan jenasah kedua
orang itu, tetapi bukan saja jenasah mereka tak nampak bahkan sedikitpun tiada tandatanda
yang menunjukkan mereka pernah jatuh kesitu.”
“Sedikitpun tidak salah, kalau dikatakan tubuh kedua orang itu hancur lebur semestinya
tak mungkin kalau tidak meninggalkan tanda-tanda bekas disekitar sana.”
“Mungkinkah sewaktu kedua orang itu terjun kedasar jurang, ditengah tebing mereka
telah terjatuh keatas pepohonan rotan yang empuk sehingga tidak sampai mencium dasar
bumi?” kata Tu Kioe.

“Menurut pendapat siauwte, kemungkinan ini masih tetap ada, cuma yang siauwte
sedang pikirkan adalah persoalan lain.”
“Persoalan apa?”
“Sekalipun ditengah lembah benar-benar ada orang yang tinggal disana, kenapa
mereka mengangkat tinggi-tinggi lampu lentera hijaunya? mungkinkah disebabkan karena
cahaya lampu berwarna hijau itu bisa menimbulkan pendapat orang lain sebagai api Leng
Hwie maka cahaya lampu itu tidak gampang memancing kecurigaan orang.”
“Pendapat toako sangat masuk diakal, kalau memang demikian adanya keadaan
tersebut memang merupakan suatu kejadian yang sangat mencurigakan….!”
“Dalam keadaan situasi seperti ini kita lebih penting mencari tahu letak puncak Eng
Yang Hong serta selat Boan Coa Kok, kenapa mereka musti putar otak dan payah-payah
memikirkan persoalan yang sama sekali tak ada gunanya itu?” pikir Tu Kioe.
Sementara itu terdengar Sang Pat telah berkata kembali, “Menurut pendapat toako,
apakah kita hendak menyelidiki latar belakang dari peristiwa didasar lembah itu?”
“Kalau mengikuti pendapat siauwte” sela Tu Kioe. “Rasanya kita tak usah berusaha
payah mengerjakan persoalan itu, pada saat ini waktu sangat berharga sekali bagi kita,
kita musti cepat-cepat mencari letak dari istana terlarang, lebih baik kita jangan
memecahkan perhatian kepersoalan lain.”
“Ucapan dari saudara Tu memang ada benarnya” sahut Siauw Ling. “Tetapi peristiwa
tersebut telah kita jumpai, apa salahnya kalau kitapun melakukan penyelidikan….”
“Kalau memang persoalan itu tak ada sangkut pautnya dengan kita, lebih baik tak usah
diurusi saja.”
Terhadap diri Siauw Ling selamanya ia menurut dan tak berani membantah
perkataannya, tetapi keadaannya pada hari ini jauh berbeda, berulang kali ia telah
menunjukkan pendiriannya yang berbeda.
Mendadak satu ingatan berkelebat dalam benaknya, teringat betapa inginnya kedua
orang itu hendak menuruni dasar lembah untuk melakukan penyelidikan ia sadar bahwa
apabila niat mereka ini dihalangi maka kemungkinan besar dikemudian hari ia bakal
digerutui.
Berpikir demikian maka diapun segera berkata, “Menurut pendapat siauwte orang yang
berada didasar lembah itu ada atau tidak sama sekali tiada sangkut pautnya dengan
kita….”
Mendadak ia temukan kembali cahaya hijau tadi muncul lagi didasar lembah, seketika
itu juga ia membungkam.
Kali ini cahaya hijau yang muncul dari dasar lembah adalah dua buah sekaligus bahkan
muncul dari dua arah yang berbeda.
Siauw Ling segera bergumam seorang diri, “Kejadian ini sungguh aneh sekali….”
“Bagaimana kalau kita cari orang untuk menanyakan persoalan ini?”
“Cari siapa?”
“Kalau ingin mencari orang yang benar-benar hapal dengan pemandangan disekitar sini
seharusnya toojien didalam kuil itu, biar kubawa dia datang kemari.”
Habis berkata ia segera putar badan dan berlalu.
Sebenarnya Siauw Ling hendak menghalangi kepergiannya, tetapi gerakan tubuh Sang
Pat cepat bagaikan hembusan angin, begitu ucapan terakhir diutarakan keluar bayangan
tubuhnya sudah lenyap dibalik kegelapan si anak muda itu membiarkan dirinya pergi.
Menanti ia melongok kembali daerah lembah, tampaklah cahaya hijau didasar lembah
tadi telah berhenti bergerak kemudian lenyap dari pandangan.
Siauw Ling segera berbisik kepada Tu Kioe.

“Saudara Tu, coba kau lihat, mirip tidak dengan seseorang sambil membawa lampu
lentera hijau sedang berhenti didepan sebuah bangunan rumah dan mengetuk pintu,
kemudian berjalan masuk kedalam.”
“Ehmmm, memangnya radaan mirip.”
“Andaikata pada malam ini juga kita bisa melakukan pemeriksaan kedasar lembah,
rasanya jauh lebih baik dari pada harus menunda sampai hari esok….!”
Sementara pembicaraan masih berlangsung Sang Pat sambil menyeret tubuh toojien
tersebut telah berlari datang.
Mungkin sang toojien itu sudah tertidur nyenyak, sewaktu disorot datang oleh Sang Pat
matanya masih sipit-sipit mengantuk.
Sang Pat menyeret orang itu hingga tiba dihadapan Siauw Ling, kemudian berhenti.
Meski ditarik Sang Pat untuk melakukan perjalanan cepat, tapi keadaan toojien itu
cukup payah juga, napasnya tersengkal-sengkal dan terpaksa harus bernapas dengan
mulut.
Siauw Ling memandang sekejap kearah Toojien itu, lalu tanyanya, “Apakah Heng thay
sudah lama berdiam disini?”
“Sejak kuil In Wan Bio ini didirikan, aku sudah berdiam ditempat ini….!”
“Kalau begitu kau pasti sangat hapal segala sesuatu yang berada disekitar tempat ini
bukan?”
“Setiap batang kayu dan rumput aku kenal semua dengan hapal.”
“Kalau begitu bagus sekali, aku ingin mohon beberapa petunjuk dari hengthay!”
“Urusan apa?” tanya toojien sambil mengusap-usap matanya.
Perlahan-lahan Siauw Ling berpaling kearah dasar lembah, kemudian tanyanya,
“Apakah ada manusia yang tinggal didalam lembah tersebut?”
Toojien itu tertegun, kemudian menjawab, “Sebelum cuwi sekalian datang kekuil In
Wan Bio, pernahkah kalian mendengar kisah cerita mengenai kuil jodoh ini?”
“Hmmm! toako kami sedang bertanya apakah didasar lembah ada manusia yang hidup
disana, siapa yang kesudian mendengarkan kisah cerita mengenai kuil In Wan Biomu itu!”
tukas Tu Kioe ketus.
Anda sedang membaca artikel tentang Cersil : Rahasia Istana Terlarang 7 [Serial Kunci Wasiat] dan anda bisa menemukan artikel Cersil : Rahasia Istana Terlarang 7 [Serial Kunci Wasiat] ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/10/cersil-rahasia-istana-terlarang-7.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil : Rahasia Istana Terlarang 7 [Serial Kunci Wasiat] ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil : Rahasia Istana Terlarang 7 [Serial Kunci Wasiat] sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil : Rahasia Istana Terlarang 7 [Serial Kunci Wasiat] with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/10/cersil-rahasia-istana-terlarang-7.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar