cengar-cengir.
Lalu nona itu berkata dengan ketus: "Mendingan kau berbuat tidak se-mena2 di
rumah sendiri, tapi dalam perjalanan kita ke daratan Tiong-goan ini, ayah telah
memberikan tugas berat di atas pundakmu, kalau kau masih saja bertindak
sembrono, usaha besar kita tentu gagal total. Hayo cepat buka-pintu ruangan
ini!"
Tampaknya Sin-liong-taycu keberatan untuk membukti pintu, sambil tertawa ia
mencari alasan, katanya: "Sumoay lebih baik jangan kau buka pintu ruangan ini,
Kungfu musuh kita ini terlampau tangguh, baru saja aku embuskan 'dupa liur
naga' untuk bikin mabok dia, mungkin dia belum lagi roboh pingsan."
"Sudah, tak perlu cari alasan lagi, mau buka tidak?" bentak nona itu seperti
habis sabarnya.
Sin-liong-taycu berusaha pula mengurungkan niat nona itu, tapi si nona
mendadak berseru: "Hm, kau tak mau membukanya, menangnya aku tak bisa
membukanya sendiri?"
"Kreek!" lempengan baja yang menutup jendela dan pintu perlahan-lahan
bergeser dan terbukalah ruangan itu, asap yang memenuhi ruangan itu segera
tersebar kemana-mana.
Nona itu tidak langsung melangkah masuk, ia lepaskan dua biji bola kecil ke
dalam, "blang. blang", asap hijau terpancar, menyusul kabut putih yang semula
menyelimuti seluruh ruangan lantas tersapu bersih.
Sesudah asap lenyap, gadis itu baru melangkah ke dalam ruangan disusul Sin-
liong-taycu di belakangnya, tapi mereka lantas berseru kaget dan berdiri
melongo.
Ruangan itu kosong tak berpenghuni lagi, bukan saja Tian Pek tak ketahuan ke
mana perginya, malahan Kim Cay-hong yang telanjang bulat dan terpengaruh
oleh obat perangsang pun lenyap tak berbekas.
Lama sekali Sin-liong-taycu berdiri termangu-mangu, sebaliknya Lam-hay-liong-li
sambil mencibir lantas mengejek: "Koko, di mana orang yang kau bekuk?"
Kendatipun biasanya Sin-liong-taycu cerdik dan banyak tipu muslihatnya, dalam
keadaan seperti ini ia menjadi gelagapan dan tak sanggup menjawab.
Kiranya dikala Lam-hay-liong-li sedang memaksa Sin-hong-taycu membuka
dinding baja yang menutupi jendela dan pintu, Tian Pek serta Kim Cay-hong
telah ditolong oleh seorang gadis bertopeng setan.
Walaupun ketika itu Tian Pek tak mampu bergerak dan tak bertenaga, akan
tetapi nona bertopeng setan itu cukup dikenalnya, dia bukan lain adalah Liu Ciu-
cui yang pernah bermesraan dengannya sewaktu berada disampan kecil di
sungai Hway, kemudian kabur karena kheki ketika berada di Pah-to-san Ceng.
Tian Pek tercengang, ia heran kenapa Cui-cui dipat muncul di tempat ini dan
mau dibawa ke manakah mereka berdua? Tapi karena ia tak mampu berkata,
terpaksa ia diam saja.
Dengan entengnya Liu Cui-cui mengempit Tian Pek dan Kim Cay-hong, dasar
nakal dan suka menggoda, walaupun tahu gadis itu berada dalam keadian bugil,
namun Cui-cui sengaja tidak membungkusnya dengan kain.
Dalam keadaan telanjang bulat itulah Kim Cay-hong dibawa kabur dari ruangan
tersebut, sesudah keluar dan melewati beberapa tikungan sampailah mereka di
sebuah taman bunga, Cui-cui menyelinap ke belakang gunung-gunungan yang
sepi, disana ia membanting kedua orang itu ke atas tanah.
"Hehebe, sebetulnya aku segan menolong kau," katanya kepada Tian Pek sambil
tertawa dingin, "tapi untuk bikin terang janji palsu kaum lelaki macam kau, maka
sengaja kuselamatkan lagi dirimu, Hm, aku ingin tanya, kalau kau sudah menjadi
suami-isteri dengan aku, kenapa dulu kau menyukai seorang Tian Wan-ji dan
sekarang muncul pula seorang Kim Cay-hong? Mungkin saja terus terang, masih
berapa banyak lagi perempuan yang kau kenal?"
Setelah teremhus angin, racun "dupa liur naga" yang mengeram di dalam tubuh
Tian Pek sudah banyak berkurang, walaupun badannya masih lemas akan tetapi
ia sudah dapat berbicara.
Pemuda itu tertawa getir, katanya: "Besar amat rasa cemburumu! Sekalipun
begitu, sebelum jelas duduk persoalannya hendaknya kau jangan sembarangan
menuduh ..."
Lui Cui-cui tertawa dingin, selanya: "Percuma kalau cuma kudengarkan
pengakuan sepihak. Akan kusadarkan dulu nonn ini, kemudian akan kuadu di
hadapanmu, bila dia terbukti punya hubungan apa2 denganmu, hehehe, saat
itulah akan kubikin perhitungan denganmu!"
Berbicara sampai di sini dia lantas mengimbil keluar sebutir pil dan dijejalkan ke
mulut Kim Cay-hong.
Sesaat kemudian sekujur badan Kim Cay-hong tergetar keras dan sadar kembali
dari pingsannya, tatkala melihat seorang makhluk seram bermuka hijau dan
berambut merah berdiri di sisi tubuhnya yang telanjang, ia jadi tercengang.
Kemudian ketika berpaling dan melihat Tien Pek berada di sisinya, Cay-hong
berseru terus menubruk ke dalam pelukan anak muda itu.
Kontan Liu Cui-cui mendengus, jengeknya. "Hm, tekarang apa yang hendak kau
katakan lagi? Kenyataan sudah berbicara di depan matamu sendiri!"
"Cring!" pedang hijau di punggung Tian Pek lantas dicabut. dengan cepat ia
menusuk ulu hati Kim Cay-hong,
"Tunggu sebentar!" teriak Tian Pek.
"Hehehe! Kenapa? Sakit hati?" ejek Cui-cui, setelah berhenti sejenak, dengan
suara yang kasar ia membentak: "Akan kubunuh perempuan ini di depan mu.. ."
Saat itu kekuatan Tian Pek belum pulih, dilihatnya pedang hijau itu hampir
menembus ulu hati Kim Cay-hong dan dirinya tak sanggup mencegah, saking
gemasnya ia tertawa dingin dan berteriak: "Kau kuntilanak! Kau kira setelah kau
bunuh gadis yang tak berdaya ini lantas perasaanku bisa berubah? Hehehe,
jangan mimpi di siang hari bolong."
Sekujur badan Cui-cui gemetar keras mendengar makian itu, pedang hijau yang
hampir menembus ulu hati Kim Cay-hong itu terhenti di tengah jalan, serunya
setengah terisak: "Siapa yang kau maki sebagai Kuntilanak?"
"Siapa lagi? Tentu saja kau. Hm, sebelum tahu duduknya perkara lantas
cemburuan dan main bunuh . . . ."
Belum habis ucapan Tian Pek, badan Cui-cui tampak gemetar, "trang", pedang
hijau itu terlepas dari genggamannya, sambil menutup wajahnya dan menangis
ia putar badan terus kabur dari situ.
Sedari kecil Cui-cui dibesarkan di sebuah pulau terpencil, meskipun tak banyak
tahu urusan tapi cukup memahami betapa kejinya kata "Kuntilanak" tersebut.
Gurunya bukanlah Thian-sian-mo-li sendiri yang tersohor pada dua ratus tahun
berselang, tapi murid.Thian-sian-mo-li yang bernama Kui-bin-kiau-wa Ang-hun-
kut-lau (gadis cantik bermuka setan)
Kisah hidup Kui-bin-kiau-wa ini memang tragis dan mengenaskan, dia asalnya
adalah seorang anak buangan, sebulan setelah dilahirkan bayinya dibuang oleh
orang tuanya di sebuah kuil terpencil disatu bukit, untung Thian-sian-mo-li lewat
disana dan menolong jiwanya, semakin meningkat besar ia diberi pelajaran ilmu
silat yang tinggi.
Ketika usianya meningkat dewasa, paras muka gadis ini ternyata cantik jelita,
ditambah pula kungfunya yang lihiy, banyak sekali kaum muda yang jatuh cinta
dan targila-gila kepadanya.
Kebetulan waktu itu Thian-sian-mo-li mendapat hasutan orang dan karena rasa
ingin menang, ia telah menggunakan ilmu To-li-mo-hun-toa-hoat untuk
mengganggu pertapaan Tiak-gan-longkun, karena peristiwa ini semua jago dunia
persilatan jadi marah dan menuduh Thian-sian-mo-li seorang iblis yang keji.
Oleh karena desakan dan ancaman yang datang dari berbagai penjuru lama2
Thian-sian-mo-li tak dapat menancapkan kakinya lagi di daratan Tionggoan.
akhirnya dia kabur ke lautan dan bersembunyi di sebuah pulau kosong.
Pulau itu adalah sebuah pulau tak bertuan, letaknya di laut selatan, nama
pulaupun tak diketahui, tanah di pulau itu tandus sekali, kecuali batu karang
yang berserakan dimana-mana, hampir boleh dikatakan tiada tumbuhan yang
bisa hidup di situ.
Thian-sian-mo-li dan muridnya mulai membangun rumah, membuat kolam air,
membajak tanah dan menanam pohon, dengan perjuangan mereka yang gigih
dan rajin, akhirnya pulau gersang yang tak berpenghuni itu telah mereka sulap
menjadi pulau yang indah dan subur.
Sebagai seorang jago silat yang lihay, Thian-sian-mo-li telah mengatur
perangkap yang hebat serta alat jebakan yang lihay untuk melindungi pulau itu
dari sergapan musuh, maka dari itu bukan saja pulau itu subur makmur,
penjagaan serta sistem pertahanan di pulau itupun amat tangguh.
Selama perjuangan membuka tanah tandus di pulau tersebut, oleh karena
kekurangan makanan kedua orang itu mengisi perut dengan menangkap ikan
dan udang di laut, kebetulan pula dalam sebuah gua karang di atas pulau itu
hidup sebangsa ikan tawar yang disebut "hiat man" (sebangsa ikan belut) yang
bermanfaat sekali bagi kesehatan badan.
Karena terlalu banyak menyantap ikan belut itu, tanpa disadari tenaga dalam
mereka peroleh kemajuan yang sangat pesat.
Suatu ketika, secara kebetulan kedua orang ini berhasil menangkap seekor ikan
belut berusia ribuan tahun, setelah mereka santap bersama ikan tersebut.
mereka jadi awet muda, kecantikan merekapun tetap abadi walaupun usianya
kian meningkat.
Setelah usia hampir dua ratus tahun, Thian-sian-mo-li baru mengakhiri
hidupnya, dengan begitu maka di atas pulau yang terpencil itu tinggal Kui-bin-
kiau-wa seorang.
Sementara itu pertarungan antara para jago di daratan Tionggoan masih
berlangsung dengan serunya, saling bunuh, saling gontok2an masih terjadi di-
mana2, banyak kaum iblis dan manusia sesat tak bisa menancapkan kakinya
didaratan Tionggoan dan kabur keluar lautan, banyak diantaranya kaum pelarian
itu yang kemudian mendarat di pulau tanpa nama ini.
Waktu itu Kui-bin-kiau-wa sedang ditinggal mati gurunya, ia merasa kesepian
dan murung, maka kedatangan kaum pelarian itu di pulaunya segera disambut
dengan senang hati, di antaranya adalah empat perempuan cabul dari pulau
Tho-hoa-to yang kemudian menjadi Tho-hoa-su-sian, Toa-tiu-kui-ong
berdelapan pencoleng dari Leng-lam yang kemudian menjadi Mo-kui-to-pat
yang lalu Hay-gwa-sam-sat beserta beberapa orang yang akhirnya menjadi
jagoan lihay di pulau tersebut, selain itu banyak pula penjahat lain yang
berkumpul di sana.
Dasar pekerjaan mereka memang merampok, membegal, setelah berada di
pulau itupun mereka tetap meneruskan pekerjaan mereka, setiap ada kapal
pedagang yang bertemu dengan mereka di tengah lautau maka perahu itu pasti
dibajak, dirampok dan penghuninya dibantai habis2an, malahan mereka pun
merampok sampai kesepanjang pesisir, banyak rakyat yang jadi korban sehingga
akhirnya pulau kosong itu lebih tersohor sebagai Mo-kui-to (pulau setan) yang
ditakuti orang.
Suatu pulau yang gersang berubah menjadi taman firdaus, suatu taman firdaus
akhirnya berubah pula menjadi pulau setan, memang begitulah perubahan di
dunia ini yang sukar diduga.
Dalam pada itu, Kui-bin-kiau-wa telah mencintai seorang pesilat muda yang
bernama Liong Siau-thian. yakni Hay-liong-sin yang kemudian tersohor sebagai
Lam-hay-it-kun.
Hubungan kedua orang ini berlangsung dengan mesra, tapi entah apa sebabnya
ternyata suatu ketika Liong Siau-thian telah meninggalkan Kui-bin-kiau-wa dan
kembali ke daratan Tionggoan, ber-tahun2 lamanya orang ini tak ada kabar
beritanya lagi.
Kui-bin-kiau-wa menjadi sedih dan selalu murung. akhirnya ia memutuskan
untuk menyusulnya ke Tionggoan, disana ia temukan Liong Siau-thian telah
kawin dengan perempuan lain, malahan sudah berputera.
Karena cemburu dan gusarnya Kui-bin-kiau-wa mencari ke tempat kediaman
Liong Siau-thian, apa mau dikata, dasar nasibnya memang jelek, suatu ketika ia
dibius oleh seorang teman Liong Siau-thian yang jahat dan diperkosa sampai
beberapa kali.
Dengan alasan inilah Liong Siau-thian menyatakan putus hubungannya dengan
Kui-bin-kiau-wa, bahkan mencaci maki gadis yang malang ini sebagai perempuan
jalang.
Mengalami pukulau batin yang berat ini, hampir saja Kui-bin-kiau-wa menjadi
gila, sejak itulah dia melakukan pembantaian secara besar2an di daratan
Tiongoan, malahan kemudian menjadi seorang perempuan jalang yang
kecabulannva luar biasa, banyak pemuda yang dirusak olehnya, oleh sebab ilmu
silatnya tinggi dan seringkali mengenakan topeng setan, orang persilatan
menyebutnya sebagai Kui-bin-kiau-wa, Ang-hun-kut-lau. si boneka muka setan,
si tengkorak cantik.
Kemudian karena perbuatannya kian hari kian brutal, dunia persilatan jadi
geger, umat persilatan baik dari golongan putih maupun dari kalangan hitam
bersatu padu untuk menumpas dia.
Dalam suatu pertarungan yang seru di puncak Koan-jit-hong Thay-san, ia kena
dihajar sampai terjungkal kedalam jurang, untung umurnya masih panjang, ia
cuma terluka parah, membawa hati yang luka dan badan yang sakit, kembalilah
perempuan malang ini ke pulau Mo kiu-to. sejak itu tak pernah muncul kembali
di dunia persilatan.
Kemudian Liong Siau-thian sendiri karena memperebutkan sejilid kitab pusaka
ilmu silat, ia pun di-buru2 oleh kawanan jago, baik dari golongan putih maupun
dan kalangan hitam, berhubung tak dapat tancapkan kakinya di daratan
Tionggoan, dengan memboyong anak isterinya untuk kedua kalinya dia
mengungsi ke pulau Mo-kui-to.
Entah dengan siasat dan cara bagaimana, akhirnya ia berhasil menundukkan hati
Kui-bin-kiau-wa, malahan mereka bersepakat untuk tinggal ber-sama2, yaitu
Kui-bin-kiau-wa, Liong Siau- thiin serta isterinya.
Berdasarkan kitab pusaka yarg berhasil di dapatkan, Liong Siau-thian
dikemudian hari berhasil mencapai tingkatan sangat lihay, bahkan menyebut
dirinya sebagai Lam-hay-it-kun, kaisar dari lautan selatan dengan gelar Hay-
liong-sin (malaikat naga sakti), ia mendirikan perguruan
Lam-hay-bun, menerima anak murid dan mengangkat dirinya jadi pemimpin
paling tinggi di wilayah itu.
Puteranya sementara itu meningkat dewasa dan menjadi Lam-hay-siau-kun
dengan julukun pangeran naga sakti, sedang isterinya yang dulu melahirkan pula
seorang anak gadis yang kini menjabat pucuk pimpinan dalam penyerbuannya
ke daratan Tionggoan, yaitu Lam-hay-liong-li.
Semenjak kecil Lam-hay-liong-li sudah mengangkat ibunya yang kedua menjadi
gurunya, Kui-bin-kiau-wa sendiripun menyayangi Lam-hay-liong-li, malahan dia
tidak suka pada Lam-hay-siau-kun, karena itu Lam-hay-siau-kun belajar silat dari
ayahnya.
Ber-tahun2 kemudian, orang ketujuh dari Kanglam-jit-hiap, si kipas perak Liu
Tiong-ho kabur pula ke pulau setan dengan membawa puterinya yang masih
kecil karena peristiwa harta karun di telaga Tong-ting-ouw, waktu itu bukan saja
Toakonya, Pek-lek-kiam Tian In-thian, telah terbunuh, isteri Liu Tiong-ho juga
dibantai oleh kelima saudara angkat sendiri, maka dalam keadaan kepepet ia
kabur ke luar lautan.
Puterinya, Liu Cui-cui, karena berwajah cantik dan berpembawaan menarik,
pada usia tiga belas tahun, amat disayang oleh Lam-hay-it-kun, ia diperintahkan
untuk melayani Lam-hay hong-li.
Sebagai anggota Kanglam-jit-hiap, Liu Tiong-ho tentu saja tak setuju puterinya
dijadikan budak oleh orang, tapi keadaan waktu itu amat terdesak, berada di
rumah yang pendek, mungkinkah ia tak tunduk kepala?
Liu Tiong-ho cukup memahami posisinya pada waktu itu, ia membutuhkan
perlindungan dari Lam-hay-bun sekalipun dalam hati kecilnya ia sangat marah
karena puterinya dijadikan budak, namun iahirnya ia pura2 setuju.
Siapa tahu karena bencana Cui-cui malah mendapat rejeki, berhubung setiap
hari ia melayani Lam-hay-liong-li, akhirnya ia dipenujui oleh Kiu-bin-kiau-wa,
maka gadis itu diterima menjadi muridnya yang kedua.
Dasar otaknya memang cerdik dan bakatnya lebih bagus daripada Lam-hay-
liong-li, walaupun Liu Cui-cui belajar lebih belakangan, namun Kungfunya justeru
di atas Lam-hay-liong-li. bukan begitu saja, malahan ilmu Toh-mi-hun-toa-hoat
yang diturunkan Thian-sian-mo-li kepada Kui-bin-kiau-wa pun telah diwariskan
pula kepadanya.
Si kipas perak Liu Tiong-ho sendiri, sekali pun tidak ikut serta dalam rencana
pembunuhan atas diri Pek-lek-kiam Tian In-thian, pada hakikatnya ia sendiripun
menyimpan suatu rahasia pribadi.
Kiranya ketika dengan kemahirannya berenang ia menyelam ke gua harta karun
itu, secara diam2 ia telah menyembunyikan isi kitab pusaka Bu-hak-cinkeng,
sampul depan kitab itu dirobek dan ditempelkan pada sejilid kitab rongsokan
yang lain, sebab itulah setelah kelima saudura angkat lain membunuh sang
Toako dan mengusir Liu Tiong-ho, waktu pembagian harta, Kim-kun-ciang In
Tiong-liong mendapatkan kitab Bu-hak-cinkeng palsu.
Itulah sebabnya putera In Tiong-liong, yaitu An-lok Kongcu In Cing, setiap hari
tak pernah meninggalkan kitab rongsokannya, dan di situlah sebabnya mengapa
ilmu silat An lok Kongcu tak berhasil mencapai tingkatan yang paling tinggi
kendatipun ia menyelami isi kitab tersebut secara seksama.
Seandainya tidak terjadi peristiwa ini, mungkin di dunia persilatan takkan
muncul empat Kongcu, bisa jadi seluruh kolong langit ini sudah menjadi wilayah
kekuasan An-lok Kongcu seorang.
Liu Tiong-ho sendiri setelah berhasil membawa kabur Bu-hak-cinkeng yang asli
keluar lautan, sambil menahan penderitaan dan penghinaan ia berlatih secara
rajin dan tekun dengan harapan bila sudah menguasai ilmu silat yang tinggi,
maka dia akan pulang ke daratan Tionggoan untuk menuntut balas.
Tapi takdir menghendaki lain, tatkala sebagian besar isi Bu-hak-cinkeng berhasil
dikuasainya, ternyata ia mampu menguasai emosinya sendiri, api dendanmya
boleh di bilang telah padam semuanya.
Perlu diketahui Bu-hak-cinkeng adalah kitab pelajaran agama To, meskipun ilmu
silat yang tercantum di dalam kitab itu lihaynya tidak kepalang, namun yang
dititik-beratkan dalam pelajaran tersebut adalah tentang ketenangan, dengan
ketenangan jiwa, ketenangan pikiran dan hidup damai di dunia, sebab itulah
setelah berhasil dengan pelajarannya, Gin-san-cu Liu Tiong-ho berbalik segan
untuk muncul kembali di daratan Tioggoan, malahan niatnya untuk membalas
dendampun sama sekali lenyap.
Malahan kipas peraknya yang selama ini selalu diandalkan telah dihadiahkan
kepada Lam-hay-siau-kun.
Dalam waktu senggangnya seringkali ia ber-cakap2 dengan puterinya,
mengisahkan kembali peristiwa lama dan mengisi hari2 yang penuh kesepian itu
dengan gelak tertawa dan berbicara,
Tidaklah heran kalau Liu Cui-cui sangat memahami duduk persoalannya
mengenai Kanglam-jit-hiap.
Kendati pun Liu Tiong-ho sudah meremehkan soal pembalasan dendam,
berbeda dengan Liu Cui-cui, setiap saat ia selalu teringat dendam kematian
ibunya.
Seringkali ia bermaksud berangkat ke daratan Tionggoan untuk menuntut balas,
tapi setiap kali maksud itu berhasil diurungkan oleh ayahnya.
Setiap ada waktu senggang, Liu Tiong-ho selalu mewariskan pelajaran Bu-hak-
cinkeng kepada puterinya, ia selalu menasihati puterinya tentang budi, dendam,
cinta, benci, kemewahan dan kemiskinan yang berada di dunia ini tak lebih
hanya soal kosong belaka.
Ia berusaha mematangkan pikiran anak dara itu, agar ia berpandangan lebih
terbuka, namun Liu Cui-cui berwatak keras, dihadapan nyahnya ia mengangguk,
namun niat untuk membalas dendam bagi ibunya tak pernah goyah.
Suatu hari, Kui-bin-kiau-wa meninggal dunia, dengan kematian perempuan itu
otomatis kekuasaan tertinggi di pulau Mo-kui-to pun beralih ke tangan Lam-hay-
it kun.
Waktu itu Lam-hay-it-kun menganggap sayapnya telah tumbuh dengan kuat,
ambisinya merajai daratan Tionggoan segera berkobar, apalagi rasa dendamnya
terhadap kawanan jago yang pernah mengejar dirinya tak pernah padam, ia
lantas mengutus putera-puterinya dengan membawa Hay- gwa-sam-sat, Tho-
hoa-su-sian, Mo-kui-lo-pat-yau serta sekalian jago lihay Lam-hay-bun untuk
menyerbu ke daratan Tionggoan.
Pada kesempatan itulah Liu Cui-cui pun untuk pertama kali ikut meninggalkan
Mo-tui-to menuju ke daratan.
Sesaat sebelum berangkat, Liu Tiong-ho sempat memperingatkan puterinya, ia
berpesan begini: "Puteriku, pemuda di daratan Tionggoan kebanyakan berwajah
tampan dan menarik hati, ketahuilah imanmu kurang teguh. janganlah kau
menjerumuskan diri ke jaring cinta, sebab sekali kau terjerumus maka untuk
selamanya takkan mampu meloloskan diri lagi!"
Atas nasihat tersebut, Liu Cui-cui hanya tersenyum saja, dalam anggapannya,
Lam hay-it-kun dan Lam-hay-siau-kun berdua yang bangor pun bisa
dihindarinya, apalagi laki2 lain, ia menganggap tak akan ada laki2 di dunia ini
yang mampu memikat hatinya, maka pesan sang ayah sama sekali tak digubris.
Begitu tiba didaratan Tionggoan, pekerjaan pertama yang dilakukannya adalah
membalas dendam bagi kematian ibunya, diam2 ia meninggalkan Lam-hay-
liong-li dan berangkat ke istana Kim di kota Lam-keng untuk menyelidiki gerak-
gerik Cing-hu-sin Kim Kiu dan untuk pertama kalinya pula ia berkenalan dengan
seorang pemuda yang ditolongnya ditepi sungai Hway, apa mau dibilang lagi,
ternyata ia terjerumus ke dalam jaring cinta.
Dari Pedang Hijau Tian Pek ia lantas mengetahui akan asal-usul pemuda itu,
maka ditolongnya Tian Pek dan dirawat luka racunnya di suatu kuil.
Kemudian sebagaimana sudah diceritakan, makin lama rasa cintanya kepada
pemuda itu makin mendalam, sampai akhirnya ia merasa tak dapat hidup tanpa
didampingi oleh anak muda itu.
Tidak heran kalau ia menjadi sedih dan sakit hati ketika Tian Pek memakinya
sebagai Kuntilanak,
Sebagaimana diketahui, Lam-hay-it-kun Liong Siau-thinn adalah lelaki bejat,
sababnya dia meninggalkan Kui-bin-kiau-wa dulu tak lain karena ia hendak
mengawini Tionggoan Giok-li, perempuan tercantik di daratan Tionggoan.
Kemudian setelah Tionggoan Giok-li melahirkan anak, karena dimakan usia,
apalagi wajah Kui- bin-kiau-wa jadi rusak akibat terjatuh ke dalam jurang di
puncak Koan-jit-hong, Lam-hay-it-kun merasa muak untuk berhubungan dengan
mereka lagi.
Untuk melampiaskan hawa napsunya, sering- kali ia mengadakan hubungan
gelap dengan Tho-hoa-so-sian.
Akhirnya rahasia ini diketahui juga oleh Kui-bin-kiau-wa, kalau terhadap
Tionggoan Gok-li ia masih bisa bersabar, maka terhadap penyelewengannya
dengan Tho-hoa-su-sian tak bisa diterima dengan begitu saja, seringkali ia
cekcok dengan Lam-hay-it-kun!, seringkali Lam-hay-it-kun memaki Kui-bin-kiau-
wa sebagai Kuntilanak, tidak heran kalau Liu Cui-cui apal sekali dengan kata?
makian terisebut.
Lam-hay-it-kun sendiripun beberapa kali hendak menodai Liu Cui-cui tapi setiap
kali berhasil ia hindari dengan selamat, sebab itulah meskipun diluarnya ia
tunduk kepada pihak Lam-hay-bun, pada hakikatnya rasa bencinya terhadap
Lim-hay-it-kun telah merasuk ke tulang sumsum.
Sekarang Tian Pek memakinya dengan ucapan yang seringkali dipakai Lam-hay-
it-kun, tak heran rasa sedihnya luar biasa, sambil membuang pedang hjau itu ia
lari sembari menahan isak tangis.
Belum jauh gadis itu pergi, tiba2 terdengar suara tertawa dingin memecahkan
kesunyian, sesosok bayangan manusia berkelebat dari balik gunung2an dan
tahu2 muncul seorang gadis.
Gadis yang muncul ini adalah Tian Wan-ji, betapa girangnya Tian Pek, ia berseru:
"Wan-ji....!"
Kepolosan dan kelincahan Wan-ji yang cantik kini lenyap tak berbekas, sebagai
gantinya ia ke-lihatan murung dan kesal, bukan saja tak gubris seruan mesra
Tian Pek, malahan dengan senyum mengejek ia mengitari Kim Cay-hong yang
telanjang.
Jengah Kim Cay-hong, walaupun Wan-ji se-kaum dengannya, tapi pandangan
lawan yang aneh dan sinis itu sangat menusuk perasaan.
Pada hari biasa ia selalu angkuh dan tinggi hati, tapi sekarang dalam keadaan
bugil ia ditonton begitu, sekalipun ia berusaha mengendalikan perasaannya, tak
urung merah juga pipinya, ia tundukkan kepalanya rendah2...
Setelah puas mengamati Kim Cay-hong yang bugil, lalu Wan-ji berkata dengan
tertawa dingin: "Hehe, engkoh Tian, kau baru saja menikah dengan enciku,
kenapa sudah main perempuan lagi di luaran, pantaskah perbuatanmu ini?"
Perkataan ini membuat Liu Cui-cui maupun Kim Cay-hong jadi tertegun.
Cui-cui balik lagi ke tempat semula, ia lupa menangis. Kim Cay-hong pun lupa
akan rasa malunya, dengan mata terbelalak mereka berseru: "Kau. . . ."
Hanya itu saja yang dapat mereka ucapken, sesaat kedua gadis itu ter-mangu2
seperti orang linglung.
Tian Pek bukan anak bodoh, sudah tentu ia dapat meraba perasaan kedua gadis
itu, pikirnya: "Inilah kesempatan terbaik bagiku untuk memutuskan tali cinta
dengan mereka berdua."
Berpikir demikian, dengan serius ia lantas berkata: "Apa yang dikatakan adik
Wan memang benar, aku memang sudah dijodohkan dengan Buyung Hong,
encinva Wan-ji dan sekarang secara resmi kami telah menjadi suami isteri . , . ."
Belum habis ucapan Tian Pek, paras Liu Cui cui telah berubah hebat, matanya
melotot, bentaknya dengan murka: "Sungguhkah perkataanmu ini?"
"Masa membohongi kau?" jengek Wan-ji dari samping.
Cui-cui merasakan kepadanya pening dan pandangannya jadi gelap, tanpa terasa
air matanya jatuh bercucuran, sambil menggigit bibir dan menahan isak
tangisnya ia berkata kepada Tian Pek dengan sedih: "Kau .. . .kau kejam
benar . , . ,kau tak setia ., .. tidak pegang janji.. . coba jawablah .... bagaimana
dengan diriku ini . . . ?"
Tian Pek tertegun juga, dari kepedihan Cui-cui ia tahu bahwa cinta gadis itu
terhadapnya sudah mendalam, sekarang ia baru menyesal akan tindakan sendiri
yang gegabah, hanya karena menuruti emosi ia menerima pinangan Buyung
Hong, ditinjau dari keadaan saat ini, jelas bukan suatu pekerjaan yang gampang
baginya untuk memutuskan hubungan cintanya.
Sementara anak muda itu masih ter-mangu2 karena sedih bercampur menyesal,
nun jauh disana tiba2 terdengar jeritan ngeri yang menyayat hati. jeritan maut
menjelang ajal, mengerikan dan membuat bulu roma orang sama berdiri.
Jeritan ngeri itu tidak terlampau keras kedengarannya, tapi cukup membuat
beberapa orang itu mengeluarkan peluh dingin, paras Tian Pek dan Kim Cay-
hong seketika berubah hebat.
Tiba2 Kim Cay-hong menubruk kedepan Tian Pek, serunya dengan sedih:
"Engkoh Tian, Siauhiap! Tolonglah, bantulah ayahku . . . mungkin jiwanya
terancam bahaya . . . ."
Sebenarnya Tian Pek tidak peduli keselamatan Cing-hu-sin Kim Kiu, ia lebih
mencemaskan diri paman Lui, Tay-pek-siang-gi, Ji-lopiautau dan Buyung Hong.
Sementara itu pengaruh racun "dupa liur naga" telah punah sama sekali, tenaga
dalamnya telah pulih kembali seperti sediakala, mendengar permintaan itu ia
lantas melepaskan baju luarnya dan diserahkan kepada Kim Cay-hong, kemudian
memungut kembali pedang hijaunya, ia berkata: "Aku tak tahu dimana ayahmu
berada, pergilah cari sendiri! Aku harus menolong dua orang sahabatku...."
Begitu selesai berucap segera ia meluncur ke arah jeritan maut tadi dengan
cepat.
Seperginya Tian Pek tiga gadis itu saling pandang sekejap, siapapun tidak
mempedulikan lawannya, diantara mereka Kim Cay-hong tampak paling gelisah,
selesai mengenakan jubah pemberian Tian Pek, cepat ia berlari ke arah jeritan
tadi.
Cui-cui mengerling sekejap ke arah Wan-ji, kemudian tantangnya: "Punya
keberaninn ke sana?"
"Hm, apa yang kutakut?" sahut Wan-ji sambil mencibir. Secepat terbang ia
lantas mendahului melayang ke sana.
Cui-cui segera menyusul dari belakang, susul menyusul keempat orang itu tiba di
sebuah halaman yang sangat luas, lentera dan obor membuat suasana terang
benderang bagaikan siang hari.
Halaiman yang luas ini berlantai tanah keras, pada ujung halaman dekat dinding
sana tersedia delapan belas macam senjata, karung pasir dan berbagai
peralatan, tampaknya halaman ini adalah lapangan berlatih silat istana keluarga
Kim.
Tepat di hadapan mereka dibangun sebuah panggung yang tinggi, sebuah meja
panjang besar terletak di tengah panggung itu, sementara di belakang meja
tersedia berpuluh kursi emas, Lam-hay-siau-kun dan Lam-hay-liong-li berduduk
di kursi utama. sedangken sisanya ditempati Hay-gwa-sam-sat, Tho-hoa-su-sian
dan lain2, paling belakang berdiri pula belasan laki2 berpakaian ringkas.
Di depan panggung, dekat dinding tertanam belasan buah cagak kayu yang
besar tiap cagak itu terikat seseorang, diantara mereka ada yang sudah tewas
dalam keadaan mengerikan, ada yang mati dengan dada atau perut terbelah,
ada yang kutung lengan atau kakinya, jelas siksaan yang mereka alami sebelum
ajal pasti luar biasa.
Beberapa orang yang masih berada dalam keadaan hidup berdiri lemas dengan
muka pucat dan ketakutan.
Di kedua belah sisi cagak itu masing2 berdiri dua orang algojo yang bermuka
garang. dengan dada terbuka dan golok besar terpangku mirip sekali dengan
malaikat maut pencabut nyawa.
Pertarungan sengit antara berpuluh orang masih berlangsung di tengah
halaman, sambaran golok dan pukulan men-deru2.
Mengingat Hay-gwa-sam-sat, Tho-hoa-su-sian dan lain2 hanya duduk tenang di
atas panggung, bisa ditarik kesimpulan bahwa pertarungan tersebut dilayani
oleh jago kelas dua atau tiga dari perguruan Lam-hay-bun.
Begitu tiba di tepi gelanggang, segera Tian Pek mengetahui bahwa orang2 yang
sedang terlibat dalam pertempuran itu tak lain adalah paman Lui, Tay-pek-siang-
gi, Ji-lopiautau serta Buyung Hong.
Selama pertarungan berlangsung paman Lui dan Tay-pek-siang-gi bertempur
dengan bertangan kosong, Ji-lopiautau bergolok, Buyung Hong pakai pedang
pendek, mereka melabrak musuh habis2an, sekalipun dikerubut oleh belasan
orang mereka tetap di atas angin, beberapa kali jago Lam-hay-bun kena dihajar
terluka atau tewas.
Lam-hay-siaukun berada di atas panggung dan menonton jalannya pertarungnn
itu sambil menggoyangkan kipasnya, ketika dilihatnya pertarungan itu
berlangsung tanpa akhir, dengan alis bekernyit ia berpaling ke kiri dan ke kanan.
Si nenek rambut putih, Leng-yan-hong, adalah seorang Hay-gwa-sam-sat segera
membentak, dia melambung ke atas, lalu meluncur ke bawah dengan cepat
telapak tangannya segera menghantam batok kepala paman Lui.
Sebagai jago kawakan, nenek itu tahu kungfu paman Lui terhitung paling lihay,
maka per-tama2 ia serang paman Lui.
Saat itu paman Lui sedang menghadapi empat lima orang musuh, ketika tiba2
merasakan datangnya sergapan si nenek berambut putih itu, cepat telapak
tangan kirinya berputar dan mendesak mundur musuh, sedang telapak tangan
kanannya dengan jurus Thian-ong-tok-tha (Raja langit menyangga pagoda) ia
tangkis serangan si nenek yang dahsyat itu dengan keras lawan keras.
Ketika dua gulung tenaga pukulan yang hebat itu kebentur, "blang!" paman Lui
terdesak mundur empat lima langkah dengan sempoyongan, sedangkan
kawanan jago Lam-hay-bun yang mengepung paman Lui ikut tercerai-berai, dari
sini dapatlah diketahui betapa hebat tenaga pukulan nenek berambut putih itu.
Paman Lui terkejut oleh kedahsyatan ilmu pukulan si nenek.
Sementara itu Leng-yan-hong atau si nenek berambut putih itu sudah melayang
turun, teriaknya: "Jangan kabur! Sambut lagi pukulan nenekmu!"
Telapak tangannya didorong ke depan, segulung angin pukulan dahsyat
menerjang pula ke dada paman Lui.
Dasar tinggi hati dan tak sudi mengunjuk kelemahan di depan orang, meskipun
paman Lui tahu bahwa serangan lawan amat dahsyat, ia tidak menghindar atau
berkelit, malahan dengan keras-lawan-keras ia sambut serangan dahsyat si
nenek.
"Blang!" benturan keras terjadi pula, nenek itu cuma tergetar sedikit, sebaliknya
paman Lui terdorong mundur sampai lima langkah.
Nenek itu tambah gusar karena secara beruntun paman Lui menyambut
pukulannya dengan kekerasan, dengan mata melotot ia menghardik: "Keparat!
Bila pukulanku yang ketiga ini tidak dapat merebut jiwa anjingmu, mulai hari ini
namaku biar dicoret dari dunia persilatan!"
Dengan sepenuh tenaga dalamnya ia dorong kedua telapak tangannya ke depan.
Kelihatannya telapak tangan nenek itu didorong dengan gerakan yang lambat,
malahan disertai dengan gemetar keras se-akan2 kepayahan sekali, namun
angin pukulan yang timbul dari serangan tersebut kuatnya tidak kepalang, debu
pasir lantas beterbangan.
Paman Lui sendiri seperti sudah kepayahan, untuk menangkis dua kali serangan
musuh tadi ia sudah merasakan lengannya kaku kesemutan, darah bergolak
hebat, tapi ia pantang menyerah, meski pun ia tahu serangan ketiga si nenek
terlebih dahsyat, akan tetapi sambil mengertak gigi ia menangkis pula.
Diam2 hawa murninya dihimpun ilmu pukulan Thian-hud-hang-nio-ciang
dikerahkan hingga puncaknya, tatkala angin serangan lawan yang dahsyat itu
menyambar tiba, baru ia angkat telapak tangannya untuk menyambut dengan
keras lawan keras.
Kebetulan waktu itu Tian Pek berdiri di atas tembok pekarangan, ia tak
menyangka paman Lui akan bertindak senekat itu, tadinya ia mengira paman Lui
tentu akan berkelit dulu, kemudian melepaskan serangan balasan, maka Tian
Pek sendiri tidak melakukan persiapan apa2.
Tapi demi melihat paman Lui siap menyambut serangan musuh, ia baru sadar
gelagat tidak menguntungkan: "Wah celaka. . . .!" serunya.
Ketika ia melayang turun. telapak tangan paman Lui telah saling bentur dengan
telapak tangan nenek itu.
Paman Lui tergetar mundur. namun ia masih tetap berdiri tegak dan tak sampai
terjungkal.
Nenek itu berdiri dengan mata melotot, ia menunggu jatuhnya lawan. tapi
paman Lui tidak roboh, malahan mengejek "'Nenek tua, katakan namamu."
Karena bicara, pergolakan darah dalam dadanyaa tak terkendalikan lagi, darah
segar terus mengucur melalui ujung mulut.
Nenek rambut putih sangat tinggi hati, sejak masuk daratan Tiongioan, kecuali
keok di tangan Tian Pek, belum pernah ia temui musuh yang tangguh.
Siapa tahu sekarang bertemu dengan paman Lui, bukan saja lawannya sanggup
menyambut tiga kali serangannya tanpa roboh, terutama serangannya yang
terakhir di mana ia sudah menghimpun segenap kekuatannya, tapi
kenyataannya paman Lui masih tetap berdiri tegak tanpa roboh.
Sekarang paman Lui mengejek, dari malu ia jadi gusar, alisnya berkerut, mata
melotot, dengan gemas ia menutuk Sim-gi-hiat ditubuh paman Lui. Dengan
menyeringai jengeknya: "Ingin tahu namaku, boleh kau bertanya setelah
bertemu dengan raja akhirat nanti!"
Tian Pek tahu kelihayan tutukan nenek itu, ia tahu paman Lui diserang dengan
Soh-hun-ci yang maha dahsyat, dengan terkejut cepat ia berseru: "Paman, cepat
berkelit . . . ,"
Tapi Wan-ji jauh lebih cepat, baru saja Tian Pek berseru nona itu dengan
lincahnya bagaikan burung walet sudah menerjang ke tengah gelanggang,
sebelum tiba di tempat, jari tangan segera melancarkan serangan maut, ilmu
yang dipakai juga Soh-hun-ci, bahkan yang diarah adalah Kwan-goan-hiat pada
lengan kanan nenek itu.
Disinilah letak kecerdikan Wan-ji, ia tahu kepandaiannya mempergunakan Soh-
hun-ci masih jauh ketinggalan bila dibandingkan dengan kesempurnaan si nenek
rambut putih, oleh sebab itu dia menghindari arah serangan musuh dan balas
mengancam Hiat-to penting di lengan kanan lawannya.
Dalam keadaan begini, bila si nenek tidak segera menarik kembali serangannya,
kendatipun serangannya berhasil membunuh paman Lui, akan tetapi lengan
kanannya juga akan cacat untuk selamanya.
Terpaksa si nenek batalkan serangannya dan cepat berkelit kesamping. Paman
Lui sempoyongan mundur beberapa langkah, cepat Wan-ji memburu maju dan
memayangnya.
"Paman, apakah kau terluka....? tanya gadis itu.
Seperti diketahui, selama Paman Lui berdiam di istana keluarga Buyung, ia
paling menyayangi Wan-ji, dan Wan-ji sendiripun sangat menghormati paman
Lui.
Sementara itu, Tian Pek sendiripun sudah melayang masuk ke tengah
gelanggang, ia melototi si nenek berambut putih dan bentaknya: "Sudah lanjut
usia, tak tersangka hatimu sebusuk ini, masa terhadap orang yang sudah terluka
masih kau serang secara keji? Hehehe, sekarang tuan muda ingin tahu
sebenarnya sampai dimanakah kemampuanmu?"
Kedua telapak tangannya segera direntangkan ke atas, itulah gaya pembukaan
dari jurus Thian-hud-hang-mo-ciang, katanya: "Siauya akan memberi
kesempatan kepadamu untuk menyerang lebih dulu, dalam tiga gebrakan, tetap
akan kubereskan jiwamu!"
Sejak melihat kemunculan Tian Pek, si nenek berambut putih sudah kelihatan
terkejut bercampur jeri, Sikap pongahnya kini sudah lenyap. Ia tahu anak muda
ini adalah malaikat maut baginya, untuk sesaat ia jadi bingung dan berdiri ter-
mangu2 disitu, ingin lari pun terasa rikuh.
Tiba2 bayangan orang berkelebat, tahu2 kakek berjenggot panjang serta Hud-im
Hoat-su telah me layang ke depan anak muda itu.
Setibanya digelanggang, sambil tertawa kakek berjenggot panjang itu berkata:
"Engkoh cilik, di daratan Tionggoan dewasa ini hanya kau seorang yang dapat
menaklukkan Hay-gwa-sam sat kami. Meskipun begitu, malam ini kami bertipa
berhasrat turun tangan bersama guna minta petunjuk kepada engkoh cilik,
mungkin orang lain akan bilang kami main kerubut, tapi bagi engkoh cilik
tentunya pengerubutan ini bukan soal . . ."
Mendengar perkataan ini, Tian Pek ter-bahak2: "Hahaha, aku menghormati kau
sebagai orang yang lebih tua, tak tahunya kau malahan mengucapkan kata2
yang memalukan, tidakkah kau merasa kulit mukamu terlampau tebal?"
Merah padam wajah kakek berjenggot panjang itu, tapi segera ia tertawa lngi:
"Hahaha, anggaplah aku si tua bangka ini memang bermuka tebal, tapi tahukah
engkau engkoh cilik, bila kami Hay-gwa-sam-sat mengerubuti kau seorang,
justeru peristiwa ini akan menaikkan nama serta gengsi engkoh cilik di dunia
persilatan? Berbicara terus terang, kecuali engkoh cilik seorang, di daratan
Tionggoan dewasa ini belum ada orang lain yang pantas menerima kehormatan
ini."
"Hahaha, kalau begitu. kehormatan ini bagaimanapun juga harus kuterima?
Baiklah, Tian Pek siap menerima pelajaran kalian bertiga, silakan kalian
melancarkan serangan?"
Habis berkata segera ia bersiap melancarkan pukulan Thian-hud-hang-mo-ciang.
Ilmu silat Hay-gwa-sam-sat cukup disegani, jangankan jago2 biasa. bahkan tokoh
persilatan yang sangat tersohor seperti Mo-in-sin-jiu (tangan sakti di balik awan)
Siang Cong-thian, Hiat-ciang-hwe-liong (naga api telapak darah) Yau Peng-kun
serta Tok-kiam-leng-coa (pedang racun ular sakti) Go Hoa-lam, anak buah An-lok
Kongcu, juga Hong-jan-sam kay, anak buah Toan-hong Kongcu, lalu Kim-hu
siang-tiat-wa anak buah Siang-lin Kongcu. secara beruntun telah terluka di
tangan mereka.
Bukan itu saja, malahan Thian-ya-ong-seng (manusia latah dari ujung langit) Tio
Kiu-ciu, tokoh paling sakti dibawah pimpinan Leng-hong Kongcu juga dikalahkan
oleh si nenek berambut putih, bisa dibayangkan betapa kagetnya kawanan jago
demi menyaksikan Hay-gwa-sam-sat sudi menurunkan derajat sendiri dengan
menantang Tian Pek untuk bertempur satu lawan tiga dan tanpa berpikir
tantangan itu diterima oleh anak muda itu.
Tidak heran pertempuran lain yang sedang berlangsung otomatis lantas
berhenti dan masing2 lantas menguadurkan diri ke samping gelanggang.
Suasana jadi hening, semua orang mengalihkan perhatiannya ke tengah
gelanggang, Sin-liong-taycu dan Lam-hay-liong-li yang duduk tenang di atas
panggungpun berdiri, rupanya merekapun ingin menyaksikan bagaimanakah
jalannya pertarungan antara ketiga tokoh sakti andalan perguruannya melawan
Tian Pek.
Buyung Hong dan Kim Cay-hong tidak tahu sampai dimanakah kelihayan Hay-
gwa-sam-sat, akan tetapi menyaksikan ketegangan yang mencekam seluruh
gelanggang pertarungan itu mereka Sadar bahwa musuh yang akan dihadapi
Tian Pek pasti lihay luar biasa, diam2 mereka menguatirkan keselamatan engkoh
Pek.
Wan-ji tahu sampai dimanakah kehebatan kungfu Hay-gwa-sam-sat, ketika
dilihatnya Tian Pek menerima tantangan lawan, ia menjadi gelisah dan tak
tenang .... .
Cui-cui juga tahu kungfu Tian Pek dewasa ini sudah cukup untuk malang
melintang di dunia persilatan, sebab dia sendiri yang membantu pemuda itu
berlatih, tapi setelah mengetahui anak muda itu menerima tantangan ketiga
tokoh sakti dari Lam-hay itu, tidak urung iapun rada kuatir.
Paman Lui, Tay-pek siang-gi serta Ji-lopiautau belum lama berselang telah
menyaksikan sendiri sampai dimana kelihayan si nenek berambut putih, apalagi
sekarang tiga orang turun tangan bersama, inipun membuat mereka cemas.
Bagaimana pun juga Tian Pek telah menerima tantangan tersebut, sekalipun
orang lain mencemaskan keselamatannya toh percuma saja, sebab anak muda
itu tak nanti membatalkan persetujuannya dengan begitu saja.
Kalau rekan2 Tian Pek dibikin panik, maka sebaliknya kawanan jago Lam-hay-
bun diam2 merasa gembira, meskipun tidak sedikit kawanan jago itu pcrnah
menjajal kehebatan kungfu anak muda itu, tapi mereka yakin asal tiga "malaikat
maut" itu turun tangan benama. maka kesempatan untuk menang sudah pasti
jauh lebih besar.
Dalam pada itu, karena Tian Pek berani menerima tantangannya, dengan girang
si kakek berjenggot acungkan jempolnya seraya memuji; "Bagus, engkoh cilik!
Kau memang luar biasa, boleh dibilang kau adalah manusia paling aneh yang
pernah kujumpai selama seratus tahun terakhir ini!
"Losianseng terlalu memuji!" Tian Pek jadi rikuh oleh sikap hormat kakek
berjenggot panjang itu.
Leng-yan-hong. si nenek berambut putih itu tertawa terkekeh: "Hehehe, engkoh
cilik tak usah sungkan2, apa yang dikatakan kakek itu memang kata2 sejujurnya!
Terus terang saja kami akui bahwa sebelum bertemu dengan kau, kami selalu
menganggap kami bertiga ini tiada tandingan di kolong langit, malahan cukong
kami, Lam-hay-it-kun sendiripun tak berani mengatakan kami bertiga bukan
tandingannya . . . ."
Sampai disini, si kakek berjenggot mengedipi rekannya, sementara Sin-liong-
taycu dan Lam-hay-liong-li yang berada di atas panggung juga segera berubah
air mukanya.
Tapi nenek itu tidak menggubris isyarat rekannya itu dan tidak perduli pula
bagaimana reaksi orang lain, ujarnya lebih lanjut: "Malam ini, engkoh cilik
seorang diri akan melayani kami bertiga. bukankah ini suatu peristiwa luar biasa
yang belum pernah terjadi?"
"Kalau kalian merasa kungfu kalian tiada tandingannya di kolong langit ini,
mengapa kalian mau tunduk di bawah perintah orang lain?" tanya Tian Pek.
Sebelum nenek berambut putih itu menjawab, Hud-in Hoat-su telah menyela
lebih dulu: "Hei. nenek rudin, jangan sembarangan omong yang bukan-bukan ...
"
Tapi kakek berjenggot panjang itu menghela napas pelahan, katanya: "Bangsat
gundul, malam ini kita bertemu tokoh silat yang luar biasa, bagaimnnapun kita
harus berbicara terus terang!" — Lalu ia berkata kepada Tian Pek: "Berbicara
sesungguhnya. kami bertiga tua bangka memang mempunyai kesulitan yang tak
bisa diberitahukan kepada orang lain, sekarang tak ada waktu untuk bicara lagi
denganmu ...,"
Tiba2 air mukanya berubah jadi serius, sambungnya lagi: "Yang sudah lewat tak
usah dibicarakan lagi sesungguhnya bagi kami bertiga mengerubuti seorang
bocah macam kau, boleh dibilang peristiwa ini jarang terjadi dan sukar dicari,
untuk memeriahkan pertemuan besar ini, bagaimana kalau kita melakukan
pertaruhan pula dalam pertarungan ini?"
Keterus-terangan ketiga orang tua ini telah mengurangi sikap permusuhan Tian
Pek terhadap lawannva, ia balik bertanya: "Bolehkah aku tahu, Locianpwe ingin
taruhan apa?"
Mendengar dirinya disebut "Locianpwe", saking gembiranya si kakek berjenggot
sampai garuk2 kepalanya yang tak gatal, selang sesaat baru menjawab: "Bila
kami kalah, maka mulai detik itu juga kami akan mengundurkan diri dari Lam-
hay-bun dan takkan mencampuri urusan dunia persilatan lagi. Sebaliknya kalau
engkoh cilik yang kalah' maka kaupun harus mengundurkan diri dari dunia
persilatan di Tionggoan ini, adil bukan?"
Tian Pek adalah pemuda yang polos dan jujur rada kebodoh-bodohan, tapi
sekarang mendadak ia tampak lebih cerdik, mendengar pertaruhan yang
diajukan kakek berjenggot itu, ia merasa ada sesuatu yang tak beres.
Maka ia bertanya: "Sebelum diputuskan ada baiknya kau terangkan lebih dulu,
bila kalian mengundurkan diri dari Lam-hay-bun, apakah masih akan
berkecimpuug di daratan Tionggoan atau tidak? Sebaliknya bila aku yang harus
mengundurkan diri dari dunia persilatan, apakah juga tidak boleh tinggal di
daratan Tionggoan?"
Dari pembicaraan ini si kakek berjenggot panjang segera tahu pemuda ini tidak
sederhana, ia tertawa dan menjawab: "Aku tak peduli dimana kau akan
berdiam, pokoknya asal tidak mencampuri urusan dunia persilatan lagi.
Tegasnya setiap persoalan yang berbau persilatan, maka urusan itu tak boleh
kita campur, sedangkan mengenai soal tempat tinggal peduli itu berada di
daratan Tionggoan maupun di luar lautan, pokoknya jauh dari perjumpaan
dengan orang persilatan Bagaimana? Setuju?"
Sementara itu Lam-hay-liong-li telah mengerling sekejap ke arah Sin-liong-taycu,
air muka "pengeran naga sakti" itupun berubah hebat, ia melangkah maju dan
hendak melompat ke bawah . . .
Tak seorangnun yang menaruh perhatian terhadap gerak-genk kakak beradik itu,
mereka sama mencurahkan perhatian untuk mengikuti perundingan yang
sedang berlangsung antara Tian Pek dengan Hay-gwa-sam-sat
Tiba2 terdengar Tian Pek menjawab: "Usul Locianpwe memang sangat bagus,
tapi sayang tak dapat kuterima."
"Kenapa?" tanya kakek berjenggot, "apakah engkoh cilik masih ingin
mengatakan sesuatu?"
"Sakit hati ayahlu belum terbalas, kecuali Tian Pek sudah tak bernyawa lagi,
maka selama hayat masih dikandung badan dendam ini harus kutuntut lebih
dahulu!"
"Betul, sakit hati orang tua memang harus dibalas lebih dulu!" sahut kakek
berjenggot panjang sambil mengangguk, "entah siapakah musuh engkoh cilik
yang membunuh ayahmu itu?"
"Cing-hu-sin Kim Kiu!" jawab Tian Pek sekata demi sekata.
Mendadak si nenek berambut putih menengadah dan ter-bahak2, keras sekali
suaranya sehingga rambutnya yang beruban ikut bergetar keras.
Tian Pek menjadi tak senang hati, ia menegur: "Locanpwe, apa yang kau
tertawakan?"
Nenek itu tak dapat menahan gelak tertawanya, sambil ter-bahak2 dia
menuding salah seorang yang terikat pada tonggak kayu sana.
"Cing-hu-sin Kim Kiu telah mati," kata si kakek berjenggot, "aku rasa maksud
tujuan engkoh cilikpun sudah terpenuhi!"
Mengikuti arah yang ditunjuk nenek itu, Tian Pek melihat di ujung pekarangan
sana tersisa sebuah kursi beroda yang telah hancur, manusia yang terikat di
tonggak kayu di depan kursi itu dalam keadaan mengerikan, bukan saja kaki dan
tangannya telah berpisah dengan badannya. kepalapun sudah kutung, jelas mati
dengan cara Nio-to-him-si yang amat keji dari Lom-hay-bun itu.
Ketika dia mengamati jenazah yang berlepotan darah itu, dilihatnya jubahnya
itulah yang seringkali dikenakan oleh Cing-hu-sin Kim Kiu.
Tiba2 terdengar jerit tangis yang memilukan, sesosok bayangan menerjang ke
dekat jenazah Cing-hu-sin Kim Kiu. Itulah Kim Cay-hong yang mengenakan jubah
luar Tian Pek.
Tiba2 satu ingatan aneh terlintas dalam benak Tian Pek, ia merasa kasihan
terhadap Kim Cay-hong yang kehilangan ayah, tapi iapun merasa lega karena
musuh yang membunuh ayahnya telah mati dengan ganjaran yang setimpal,
pikirnya lebih jauh dengan heran: "Lam-bay-bun kembali membalaskan dendam
kematian ayahku, sebenarnya aku mesti bersahabat atau bermusuhan dengan
mereka?"
Tapi sedapatnya ia singkirkan jauh2 ingatan tersebut, katanya kemudian:
"Sekalipun Kim Kiu sudah mati tapi pembunuh ayahku masih ada Kian-kun-ciang
In Tiong-liong!"
"Wah, tampaknya tidak sedikit pembunuh ayahmu, engkoh cilik," kata si kakek
berjenggot panjang sambil tertawa aneh. "Apa aku boleh tahu, selain kedua
orang itu masih ada siapa lagi?"
"Kun-goan-ci Su-gong Cing!"
"Dan?''
"Pah-ong-pian Hoan Hui!"
"Hahaha!" kakek berjenggot panjang itu ter-bahak2. "Kiranya musuh besar
engkoh cilik adalah para pemuka dunia persilatan, apakah masih ada yang lain?"
"Tidak ada lagi!"
Nenek berambut putih lantas berkata: "Engkoh cilik, kalau cuma beberapa orang
itu saja musuh besarmu, sekarang silakan saja bertempur melawan kami, sebab
di dunia persilatan ini tiada persoalan lain lagi yang akan merisaukan hatimu!"
"Maksudmu, empat pemuka dunia persilatan berikut Hoan Hui telah kalian
bunuh?" tanya Tian Pek.
"Ah, masa kami membohongi seorang bocah seperti kau?" sela Hud-in Hoat-su.
Dengan serius si kakek berjenggot menukas: "Engkoh cilik, tentunya kau tahu
betapa pentingnya janji dan perkataan seorang persilatan? Ketahuilah kami Hay-
gwa-san-sat bukan kaum keroco. ."
Mendadak Tian Pek memberi hormat kepada ketiga orang itu, katanya: "Kalau
begitu, terima kasih atas bantuan kalian yang telah membalaskan dendamku!"
"Engkoh cilik, kau jangan hanya berterima kasih kepada kami bertiga saja." kata
si nenek, "bicara sesungguhnya, orang yang mewakili dirimu membunuhi
musuhmu bukanlah kami melainkan majikan muda kami, sepantasnya engkoh
cilik berterima kasih kepada majikan muda kami itu!"
Tian Pek berpaling mengikuti arah yang ditunjuk nenek itu, yang dimaksud
kiranya Lam-hay-liong-li.
Lam-hay-liong-li juga sedang menatap ke arahnya tanpa berkedip.
Ketika Tian Pek beradu pandang dengan gadis itu, hatinya terkesiap, buru2 ia
melengos, ia merasa bahwa sorot mata itu luar biasa.
Bukan cuma sekali ini saja anak muda itu melihat sorot mata begini, tatapan
Wan-ji waktu merawat sakitnya di Pah-to-san-ceng. Pandangan Buyung Hong
ketika terpengaruh oleh irama Im-hun-siau-hoat, Ketika menunggang kuda
menuju istana keluarga Kim bersama Kanglam-te-it-bi-jin Kim Cay-hong, serta
waktu Liu Cui-cui mengobati lukanya dalam keadaan bugil di lembah Bong-hun-
kok, semua itu penah dilihatnya sorot mata seperti ini.
Belenggu cinta sudah cukup memusingkan pikiran pemuda ini, beberapa gadis
yang selalu mengitarinya sudah cukup membuatnya kebingungan, sekarang
dilihatnya Lam-hay-liong-li menatapnya pula dengan sorot mata mesra seperti
itu, tentu saja ia tak berani balas tatapannya, dengan ketakutan cepat sinar
matanya beralih ke arah lain.
"Setelah aku berterima kasih kepada kalian, rasanya tak perlu kuucapkan terima
kasih lagi kepada orang lain," katanya kemudian kepada Hay-gwa-sam-sat.
"Sekarang aku sudah tidak memikirkan sakit hati ayahku lagi, tiada persoalan
lain yang membelenggu pula pikiranku, baiklah, kuterima taruhan kalian itu,
silakan Cianpwe bertiga mulai nmnyerang!"
Ia lolos pedang hijau dari sarungnya dan diluruskan ke depan, ia melakukan
gerak pembukaan jurus Sam-cay-kiam, ilmu pedang yang sangat umum.
Hay-gwa-sam-sat tidak berani gegabah, serentak mereka memisahkar diri
dengan posisi segi tiga, dengan begitu Tian Pek segera terkurung di tengah.
Setelah ambil ancang2, kakek berjenggot panjang berdiri tegak dengan kedua
telapak tangan bersilang di depan dada, inilah gaya Hay-pau-jit-gwat (memeluk
matahari dan rembulan).
Sedangkan si nenek berdiri dengan sebelah kaki melangkah ke depan, jari
tangan kanan menuding di tepi telinga. Sebaliknya Hud-in Hoat-su berjongkok
dengan kedua tangan menempel tanah, gayanya seperti seekor katak.
Dari kuda2 mereka ini dapat diketahui si kakek berjenggot itu akan menghadapi
lawan dengan ilmu Tay-jiu-in, si nenek siap dengan ilmu jari Soh-hun-ci dan Hud-
in Hoat-su dengan ilmu Ha-mo-kang.
Suasana dalam gelanggang jadi sunyi senyap, ratusan orang yang berada di
sekitar tempat itu berdiri dengan terbelalak lebar, semua orang ingin
menyaksikan bagaimana akhhir dari pertarungan seru yang jarang bisa dijumpai
ini.
Sekilas pandang pertarungan ini seperti pertempuran pribadi antara Hay-gwa-
sam-sat melawan Tian Pek, tapi pada hakikatnya pertarungan ini justeru sangat
mempengaruhi keselamatan dunia persilatan, menang-kalah bertarungan ini
mempengaruhi pula kehidupan berpuluh ribu manusia.
Meskipun musuh2 Tian Pek sudah terbasmi, empat pemuka dunia persilatan
telah musnah. akan tetapi pengaruh Lam-hay-bun justeru berkali lipat lebih
mengerikan daripada empat pemuka dunia persilatan itu, lebih kejam dan lebih
se-wenang2.
Andaikata Tian Pek kalah dalam pertarungan ini sehingga harus mengudurkan
diri dari dunia persilatan, itu berarti daratan Tionggoan segera akan menjadi
wilayah jajahan Lam-hay-bun, keadaan pada waktu itu pasti akan lebih
mengerikan daripada semasa perebutan kekuataan antara empat Kongcu dunia
persilatan.
Bukan rahasia lagi bahwa di dunia persilatan dewasa ini kecuali Tian Pek, belum
ada orang lain yang mampu menandingi kelihayan Hay-gwa-sam-sat.
Sebab itulah jago seperti paman Lui, Tay-pek-siang-gi serta Ji=lopiautau sekalian
merasa tegang sekali, mereka kuatir Tian Pek hanya terburu napsu dan berdarah
panas menyambut tantangnn ketiga orang itu, bila sampai cedera berarti suatu
kerugian yang besar bagi umat persilatan.
Buyung Hong serta Wan-ji juga merasa tegang, malahan mereka jauh lebih
tegang daripada orang lain.
Kim Cay-hong telah jatuh tak sadarkan diri melihat kematian ayahnya dalam
keadaan mengerikan, cuma tak seorangpun yang menaruh perhatian
kepadanya.
Satu2nya orang yang paling santai ialah Lui Cui-cui, ia percaya seratus persen
akan Kungfu Tian Pek dewasa ini, bahkan boleh dibilang sudah mencapai
tingkatan tiada tandingan di kolong langit ini, Walau begitu rasa was-was masih
terselip di dalam hati nona itu.
Ia tidak kuatir Kungfu engkoh Tian bukan tandingan lawan, ia justeru
mencemaskan keselamatan anak muda itu dari tipu muslihat ketiga jago tua itu.
Orang dari Lam-hay-bun sendiripun tak tenang, teratama Sin-liong-taycu serta
Lam-hay-liong-li.
Sin-liong-taycu sudah pernah merasakan kelihayan Tian Pek, sedangkan Hay-
gwa-sam-sat justeru merupakan basis kekuatan Lam-hay-bun mereka, tentu saja
ia menguatirkan keselamatan anak buahnya ini.
Padahal, pengabdian Hay-gwa-sam-sat kepada Lam-hay-bun adalah karena
mereka pernah diselamatkan jiwanya oleh Hay-liong-sin, maka ketiga orang itu
bersumpah setia untuk berbakti kepada Lam-hay-bun.
Tiga orang ini sangat aneh, mereka sudah terbiasa bertindak menurut hawa
napsu sendiri, apa- lagi ilmu silat mereka jauh di atas Hay-liong-sin, maka
seringkali mereka unjuk sikap tak bersahahat.
Dan sekarang Sin-liong-taycu justeru menguatirkan kekalahan mereka, ia kuatir
ketiga orang itu sengaja mengalah sehingga dengan alasan tersebut untuk
mengundurkan diri dari Lam-hay-bun.
Perasaan Lam-hay-liong-li juga tidak menentu ia tidak mengharapkan Tian Pek
kalah, namun ia- pun tidak mengharapkan Hay-gwa-sam-sat yang keok.
Hatinya yang selama ini belum pernah tersentuh oleh siapapun, kini tertarik
oleh ketampanan Tian Pek, sejak kecil sampai dewasa belum pernah ia alami
perasaan seaneh ini, maka untuk sesaat ia jadi tertegun, ia lupa bahwa
tanggung-jawab operasinya ke daratan Tionggoan berada diatas pundaknya,
iapun tidak bertindak melihat gelagat yang tidak menguntungkan Lam-hay-bun
ini, gadis itu hanya ter-mangu2 belaka.
Lentera sudah dipasang di-mana2, suasana lapangan berlatih yang luas ini
terang-benderang bermandikan cahaya.
Hay-gWa-sam-sat pernah menderita kekalahan sewaktu melawan Tian Pek
dengan satu lawan satu, sekarang mereka bekerja sama, serentak mereka unjuk
jurus pembukaan yang paling hebat, dari sini dapat diketahui bahwa mereka
tidak main2 seperti apa yang dikuatirkan Sin-liong-taycu, malahan tampaknya
mereka justru hendak menggunakan kesempatan itu untuk menghancurkan Tian
Pek.
"Cianpwe bertiga, silakan keluarkan senjata kalian!" seru Tian Pek setelah
memasang kuda2.
"Kami bertiga tua bangka ini tidak pernah menggunakan senjata tajam," sahut
Hay-gwa-sam-sat berbareng, "Lagipula kami bertiga harus melawan kau
seorang, bertangan kosongpun rasanya berlebihan. . . ."
Dengan bersenjata pun pantas bagi Tian Pek untuk menandingi ketiga jago lihay
itu, tapi sebagai pemuda yang tinggi hati, ia tak sudi menarik keuntungan atas
orang lain. Karena itu segera ia pun sarungkan kembali pedang hijaunya, lalu
sambil merentangkan kedua telapak tangannya dengan gaya pembukaan dari
Thian-hud-hang-mo-ciang, ia berkata: "Kalau kalian akan melayani diriku dengan
bertangan kosong, maka biarlah akupun melayani kalian dengan bertangan
kosong pula. Silakan!"
Diam2 paman Lui serta Tay-pek-siang-gi menggeleng kepala sambil berpikir: "Ai,
tabiat bocah ini persis seperti ayahnya, Pek-lek-kim Tian In-Thian."
Sementara itu kakek berjenggot berkata sambil tertawa: "Engkoh cilik, silakan
menyerang! Kami sudah untung dengan tiga-lawan-satu maka kau saja yang
menyerang lebih dulu."
"Yang muda wajar mengalah kepada yang tua, silakan Cianpwe bertiga turun
tangan lebih dulu!"
"Hehe, apa gunanya saling mengalah?" tiba2 si nenek ter-kekeh2. "Kalau semua
orang sungkan turun tangan lebih dulu, biar si nenek tua saja ymg mendahului!"
Dengan tenaga ilmu jari Soh-hun-ci yang hebat segera ia menyerang, desiran
angin tajam segera menyambar ke tubuh Tian Pek.
Tian Pek tenang2 saja. dengan ilmu langkah Cian-hoan-biau-hiang-poh ia
mengegos kesamping.
Setelah nenek berambut putih itu turun tangan, Hud-in Hoat-su juga tidak
sungkan2 lagi, ia ber-kaok2 seperti katak, kedua telapak tangannya didorong ke
depan menghantam dada lawan.
Hebat sekali serangan tersebut, angin pukulannya men-deru2 bagaikan amukan
ombak di tengah samudra.
Sekali lagi Tian Pek mengegos ke samping dengan langkah ajaib Ciau-hoan-biau-
hiang-poh.
Kakek berjenggot mendongkol melihat serangan yang dilancarkan rekannya
dapat dihindarkan pemuda itu, ia lantas membentak: "Engkoh cilik, jangan main
menghindar melulu, sambut pukulanku ini!"
Sambil membentak, suatu pukulan dahsyat dilontarkan ke depan, ketika hawa
murninya tersalur keluar, telapak langannya se-akan2 membesar seperti roda,
dengan membawa deru angin yang mengerikan ia membacok pinggang Tian
Pek.
Kembali anak muda itu menghindarkan serangan dahsyat itu dengan gerakan
enteng Bu-sik-bu- siang-sin-hoat. hampir tidak tertampak bayangan tubuhnya,
tahu2 pemuda itu sudah lolos jauh ke sana.
Baru sekarang kakek berjenggot itu tercengang, ia tak habis mengerti mengapa
Tian Pek belum juga melancarkan serangan balasan, meskipun ia sudah
menyerang secara ganas dengan ilmu sakti Tay-jiu-in, segera ia menegur:
"Engkoh cilik, kenapa tidak membalas?"
"Pertama aku ingin menghormati kalian, kedua, dengan cara ini akupun ingin
menyampaikan rasa terima kasihku karena Cianpwe bertiga telah bantu aku
melenyapkan musuh besar pembunuh ayahku!"
"Huh, anak muda yang membosankan, masih semuda ini suka bicara secara ber-
tele2. Nih, sambut dulu pnkulanku!" seru si nenek dengan tak sabar.
Angin serangan menderu-deru, kali ini dia menyerang Keng-bun-hiat di bawah
iga anak muda itu.
Sesudah ia diserang secara keji dan tak kenal ampun oleh nenek berambut putih
itu, Tian Pek tidak sungkan2 lagi, ia segera melancarkan serangan balasan
dengan jurus Hud-cou-so-hoat (Buddha suci memberi khotbah)
Pada saat yang hampir bersamaan, kakek berjenggot juga menyerang dengan
Tay-jiu-in, sedangkan Hud-in Hoat-su menyermg dengan Ha-mo-kang, diiringi
deru angin yang tajam kedua serangan tersebut serentak tertuju ke tubuh Tian
Pek.
Tian Pek tetap tenang, dengan gerak campuran ilmu langkah Cian-hoan-biau-
hiang-poh dan ilmu entengkan tubuh Hu-sik-bu-niang-sin-hoat serta ilmu
pukulan Thian-hud-hang-mo-ciang, ia layani ketiga lawan tangguh itu dengan
sama lihaynya.
Pertempuran ini benar2 suatu pertempuran sengit yang jarang terjadi, saking
dahsyatnya debu yang mengepul di udarapun mencapai ketinggian puluhan
kaki.
Waktu itu bayangan manusia yang berada di seputar gelanggang sudah tidak
terlihat jelas lagi, yang tertampak hanya kisaran angin yang men-deru2 bagaikan
amukan topan, keadaan sungguh mengerikan.
Dalam waktu singkat, pertarungan sudah berlangsung berpuluh gebrakan,
masing2 saling bertahan dengan gigihnya pukulan bertambah dahsyat dan
gencar, menang-kalah sukar untuk ditentukan dalam waktu singkat.
Dalam keadaan seperti ini, kawanan jago silat yang mengikuti pertarungan
disamping tak mampu berdiri tegak lagi dan terdesak mundur, malahan lentera
dan obor yang berada puluhan tombak jauhnya dari gelanggang pun berguncang
keras seperti mau padam.
Keringat telah membasahi tubuh ke empat orang itu. walaupun masing2 pihak
memiliki ilmu silat yang lihay, tapi pertarungan yang berlangsung terlalu banyak
memeras tenaga, kendati Hay-gwa- sam-sat sangat ulet, tubuh mereka pun
sudah basah keringat, sebaliknya meski kungfu Tian Pek tiada tandingannya,
napasnya juga ter-sengal2.
Dari pertempuran cepat sekarang keempat orang itu mulai saling mengitari
gelanggang sambil menyerang dengan gerakan yang lambat, kendati pun begitu,
semua orang dapat melihat jelas sekarang bahwa setiap pukulan yang
dilancarkan ke¬empat orang itu, semuanya disertai dengan himpunan tenaga
maha sakti, setiap kali serangan mengenai sasaran yang kosong, di atas
permukaan tanah segera muncul sebuah lekukan atau lubang yang dalam.
Dari sini terbuktilah bahwa setiap serangan baik pukulan maupun tutukan yang
dilancarkan keempat orang itu, semuanya disertai tenaga penghancur yang
mengerikan.
Di antara ketiga "malaikat maut" itu, watak si nenek berambut putih paling
berangasan, di waktu biasa jarang sekali ada orang yang sanggup menandingi
kelihayan kungfunya, bahkan ia pernah sesumbar barang siapa sanggup
menahan tiga kali serangannya, maka ia akan bebas dari kematian.
Tapi sekarang, meski pun mereka bertiga telah bekerja sama, namun kepungan
itu tidak menghasilkan apa2, dalam gusar dan panasarannya, serangan jari Soh-
hun-cinya segera dikerahkan sekuatnya. "Crit! Crit! Crit!" beruntun-runtun ia
lancarkan tiga kali tutukan berantai yang semuanya ditujukan pada Hiat-to
mematikan di tubuh lawan.
Tian Pek sendiri jadi penasaran karena tak dapat merobohkan musuh sesudah
bertarung sekian lama, rasa ingin lekas menang lantas timbul dalam hati
kecilnya, ilmu langkah Cian-hoan-biau-hiang-poh serta ilmu entengkan tubuh
Bu-sik-bu-siang-sin-hoat diperpadukan jadi satu, gemulai bagaikan bidadari
cantik, lincah bagaikan naga perkasa, secara beruntun ia menghindarkan tiga
kali tutukan maut itu. kemudian dengan jurus Hud-kong-bu-ciau dari ilmu
pukulan Thian-hud-hang-mo-ciang, ia sapu tubuh si nenek berambut putih itu.
Waktu itu serangan maut si nenek keburu dilancarkan, ia jadi mati langkah dan
tak sempat menarik diri, dengan sendirinya gerak menghindarpun jadi lebih
lambat, tanpa ampun bahu kirinva kena tersapu oleh tangan Tian Pek.
Setengah badan nenek itu jadi kaku kesemutan, rasa sakit merasuk tulang, ia
berpekik kesakitan, lalu dengan sempoyongan mundur lima-enam langkah.
Untung ia tak sampai terhajar telak oleh serangan tersebut, bila kena di hantam
tepat pada bagian yang mematikan, pasti nenek itu akan mati konyol.
Gusar dan gelisah Hud-in Hoat-su demi melihat si nenek kena dihantam oleh
Tian Pek. "Kok, kok!" sambil ber-kaok2 seperti katak, kedua telapak tangannya
segera mendorong ke punggung anak muda itu.
Waktu itu, baru saja Tian Pek berhasil menghajar nenek berambut putih, ketika
merasakan angin keras menyambar dari belakang, bukannya menghindar atau
berkelit, dengan menghimpun tenaga ia putar badan menyambut ancaman
tersebut.
"Blaang!" benturan keras terjadi dan desing angin memancar ke empat penjuru,
di antara debu pasir yang beterbangan, bagaikan layang2 yang putus
benangnya, tubuh Hud-in Hoat-su terlempar jauh ke belakang.
Setelah melukai dua orang musuh, kemenangan bagi Tian Pek sudah berada di
ambang pintu, gerakan melukai si nenek kemudian menghajar pula Hud-in Haot-
su sampai mencelat, baik keindahan jurus serangannya maupun tenaga
pukulannya sangat mengagumkan, seketika tampik sorak berkumandang baik
dari pihak kawan maupun lawan.
Air muka Lam-hay-liong-li dan Sin-liong-taycu berubah hebat, mereka semakin
tegang bercampur gelisah. Sementara paman Lui, Ji-lopiautau, Tay-pek-siang-gi,
Wan-ji serta Buyung Hong ikut bersorak dengan girangnya. Seketika suasana jadi
gaduh.
Di tengah kegaduhan itu mendadak terdengar bentakan nyaring ibarat guntur
menggelagar, segulung hawa pukulan yang maha dahsyat bagai topan menyapu
gelanggang yang luas itu, demikian dahsyatnya hingga lentera serta obor yang
berpuluh tombak jauhnya terembus hingga guram.
Semua orang menjerit kaget. waktu lampu terang kembali, tertampaklah muka
Tian Pek pucat lesi dari ujung bibir meinucurkan darah. Ketika semua orang
memandang si kakek berjenggot,
orang tua itu berdiri dengan wajah buas, matanya melotot, mukanya
menyeringai dan rambutnya se-akan2 berdiri.
Dari keadaan tersebut dapat diketahui Tian Pek telah terluka dalam.
Paman Lui dan lain2 merasa cemas. Dalam pada itu, kakek berjenggot itu telah
mengangkat telapak tangannya yang besar itu dan hendak membacok batok
kepala Tian Pek.
=====
Cara bagaimana Tian Pek akan mengatasi pertandingan sengit itu?
Muslihat apa di balik. usaha Lam-hay-bun membunuhi musuh2 Tian Pek?
Jilid 22 : Liu Cui-cui mau jadi istri pertama
"Hehehe, engkoh cilik!" ia berseru sambil tertawa seram, "di antara tiga tua
bangka, dua orang sudah terluka, sekarang dengan pukulan ini akan kucabut
jiwamu!"
Setelah melukai dua orang lawannya, sedikit lengah Tian Pek juga terluka oleh
pukulan si kakek, darah terasa bergolak di dalam dada, walaupun begitu ia tidak
gentar, ia berkata: "Beium tentu bisa Cianpwe, kekuatan kita seimbang, adu
pukulan ini entah akan dimenangkan siapa''"
“Hehehe, engkoh cilik, jangan paksakan diri," kakek berjenggot itu berkata dan
telapak tangannya yang besar itu terus menekan ke bawah "Jelas kau sudah
terluka dan muntah darah,"
“Kukira Locianpwe sendiripun tahu keadaan sendiri, isi perutmu sudah
terguncang dan peredaran hawa murnimu tidak lancar lagi!" balas Tian
Pek sambil menghimpun tenaga sepenuhnya dan per-lahan diangkat ke atas.
Apa yang diucapkan Tian Pek memang tepat mencerminkan keadaan si kakek,
hawa murninya sudah tergetar buyar oleh pukulan dahsyat anak muda itu,
sekarang didengarnya pemuda itu membongkar rahasianya, hawa napsu
membunuhnya segera timbul, sambil menyeringai seram ia berkata:
"Sebenarnya aku ingin menyudahi pertarungan ini; setelah menang-kalah
diketahui, tapi sekarang . . . hehe, engkoh cilik, kematianmu tak dapat
dihindarkan lagi."
Berbicara sampai di sini, hawa murninya segera disalurkan keluar, telapak
tangannya yang besar itu bagai gugur gunung dahsyatnya membacok batok
kepala Tian Pek.
Baik Buyung Hong maupun Tian Wanji dan Kim Cay-hong yang baru sadar dari
pingsannya serentak menjerit kaget demi menyaksikan serangan maut itu, cepat
mereka menerjang ke tengah gelanggang.
Tapi terlambat, tangan Tian Pek telah beradu dengau musuh.
Di tengah getaran keras itu, Buyung Hong, Wan-ji dan Kim Cay-hong terguncang
balik ke tempat semula oleh angin pukulan yang memancar ke empat penjuru
itu.
Tian Pek muntah darah, namun tidak roboh, sambil mengangkat telapak
tangannya ia berteriak: "Hei, orang tus, hayo maju lagi!"
Kakek berjenggot itupun bergeliat, akhirnya ia tak tahan dan muntah darah juga,
ketika dilihatnya Tian Pek masih kuat untuk menantang bertempur lagi,
mendadak air mukanya berubah jadi tenang, rasa gusarnya berganti dengan
rasa kagum, sambil acungkan jempol ia berseru: "Engkoh cilik, kau benar2
hebat! Aku amat kagum padamu!"
Tian Pek adalah pemuda yang suka lunak dan tak doyan keras, bila orang kasar
kepadanya maka iapun akan bertindak lebih kasar, tapi sekarang kakek
berjenggot itu memujinya, ia jadi tak tega untuk melanjutkan pertarungan adu
jiwa itu, terutama bila mengingat betapa kedua orang itu sudah dilukainya, ia
merasa dendam sakit bati ayahnya telah terbalas, apa gunanya mesti beradu
jiwa dengan orang lain?
Maka iapun menarik kembali telapak tangannya, lalu sambil menjura katanya:
"Aku mengaku kalah, Locianpwe .... selamat tinggal!" tanpa berpaling lagi ia
lantas berlalu dari situ.
Tindakan ini benar2 di luar dugaan kakek berjenggot panjang itu, ia tak mengira
anak muda itu akan berlalu dengan begitu saja, untuk sesaat dia jadi tertegun ....
Baru beberapa langkah Tian Pek berlalu, tiba2 ia merasa darah dalam rongga
dadanya bergolak sekuat tenaga ia bertahan, kemudian cepat2 kabur keluar
pagar pekarangan.
Di belakangnya ia mendengar suara seruan Buyung Hong, Tian Wan-ji, Kim Cay-
hong serta paman Lui sekalian, namun ia tak berpaling lagi dan kabur menuju ke
luar kota.
Perasaannya sekarang terasa aneh sekali, kalut, se-olah2 banyak masalah y«ng
menyelimuti benak-nya, tapi setelah dipikir dengan seksama terasa kosong pula,
tiada sasuatu persoalan apapun.
Ia tahu dalam pertarungan melawan Hay-gwa-sam-sian tadi hawa murninya
telah dipergunakan kelewat betas, lagipula isi perutnya sudah terluka parah, dia
bisa bertahan sampai sekarang tanpa roboh tak lain adalah berkat tekadnya
menahan diri agar tidak sampai roboh di depan mata orang banyak, maka ia tak
pedulikan panggilan siapapun, sambil mempertahankan sisa hawa murni yang di
milikinya sekuat tenaga ia kabur ke depan.
Pemuda itupun tahu, bila sekarang ia hentikan larinya maka dia pasti akan
roboh, dan sekali roboh maka kemungkinan besar tak kan sanggup merangkak
bangun lagi, sebab itulah walaupun ia mendengar suara panggilan dari rekan-
rekannya namun ia sama sekali tidak menggubris.
"Seorang laki2 sejati lebih baik menderita dari pada dikasihani orang!" inilah
prinsip hidup dan keangkuhan Tian Pek.
Setelah meninggalkan Lam-keng, ia terus lari menyusur tepi sungai, melewati
dua belas gua karang dan menuju "Bong-hun-koh" (lembah kematian).
Didengarnya suara air sungai yang mendebur, dilihatnya batu berumput di mana
ia pernah berbaring ketika diobati Cui-cui, akhirnya ia tak tahan dan jatuh di atas
batu itu dan tak sadarkan diri.
Entah sudah lewat berapa lama tiba2 ia merasa lubang hidungnya gatel2 geli
"Waaji. ... waaji!" ia bersin beberapa kali, segera kesadaran-pun pulih kcmbali.
Sang surya telah muncui di ufuk timur, kicauan burung yang merdu
berkumandang di angkasa ternyata malam sudah lewat dan fajarpun tiba.
Tiba2 dilihatnya Liu Cui-cui berduduk bersandar di sebelahnya dan sedang
mempermainkan sehelai bulu burung yang indah, dengan tertawa sedang
mengkili lubang hidung Tian Pek dengan bulu burung itu.
Cepat Tian Pek merangkak bangun, serunya:
"He, kau.. "
Cui cui tertawa, ia membuang bulu burung itu dan menjawab: "Kita ditakdirkan
dua sejoli, kemanapun kau pergi disitulah aku akan muncul. Nama besar dan
kejayaan mirip asap akan buyar dalam sekejap, budi dendam hanya impian, apa
gunanya kau mencampuri urusan dunia persilatan lagi? Marilah kita mencari
tempat yang jauh dari keramaian untuk hidup bahagia hingga akhir tua nanti?
Engkoh Pek, sekarang engkau tak bisa menolak lagi!"
Tiba2 Tian Pek merasa masih ada urusan lain, maka katanya: "Aku . , ."
Cui cui lantas menyela: 'Eigkoh Pek, sakit hati ayahmu telah terbalas, engkau
tidak terikat lagi oleh masalah apapun, inilah kesempatan yang terbaik untuk
ber sama2 mengasingkan diri, marilah kita hidup bagaikan sepasang burung
merpati!
Tatkala dilihatnya Tian Pek masih termangu-mangu tanpa menjawab aambil
tertawa ia menggoda: "Jangan2 engkoh Pek merasa berat untuk meninggalkan
Wan-ji, Buyung Hong serta Kang-lam-te-it-bi-jin?"
Merah muka Tian Pek karena isi hatinya tertebak, jawabnya dengan ter-gagap2:
"Aku dengan Buyung siocia telah .... telah terikat ...”
Cui-cui tertawa: "Kakak beradik itu sama2 mencintai dirimu, ambil yang satu
harus ambil pula yang lain, tak mungkin bagi engkoh Pek untuk meninggalkan
salah satu diantaranya. Andaikata mereka bertiga sama2 menaruh cinta kepada
engkoh Pek dan rela meninggalkan sanak keluarga tanpa mempersoalkan sakit
hati, apa salahnya kalau kami semua mendampingi engkoh Pek secara ber-
sama2. Pikiranku sudah terbuka, aku merasa sepantasnya aku berlapang dada
dan hidup bersama mereka dalam suasana kadamaian. Engkoh Pek, engkau
jangan pandang rendah diriku. Siaumoay bukanlah Kuntilanak, lebih2 bukan
orang yang suka cemburu. ."
Mendeng itu, Tian Pek menghela napas panjang, katanya: "Sungguh tak
kusangka kau bisa berpikir sebaik ini bagiku tapi aku. .."
Buat orang persilatan, janji tetap janji, setiap perkataan berbobot melebihi
gnnung, seringkali seorang ksatria berubah jalan hidupnya hanya lantaran
sepatah kata, bahkan sampai matipun takkan dilanggarnya.
Demikian pula keadaan Tian Pek sekarang, waktu pertarungannya melawan Hay-
gwa-sam-sat, kendatipun secara beruntun ia dapat merobohkan Hud in Hoat-su
dan nenek berambut putih, tapi akhirnya menderita kekalahan di tangan kakek
berjenggot panjang, menurut peraturan maka dia harus memegang janji dan
mengundurkan diri dari keramaian dunia persilatan.
Akan tetapi pada hakikatnya dia pribadi masih mempunyai banyak persolan
yang belum dibereskan, budi dan dendam ayahnya, dan lagi masalah cintanya
dengan beberapa orang gadis. semua pwrsoalan ini tak mungkin ditinggalkannya
dengan begitu saja tanpa ada penyelesaian, terutama persetujuannya atas
pinangan paman Lui yang telah menjodohkan dia dengan Buyung Hong,
bagaimanapun juga tak mungkin persoalan ini dibiarkan begitu saja.
Untuk sesaat pemuda itu jadi binpung dan tak tahu apa yang mesti dilakukan,
andaikata dia dengan Liu Cui-cui tak ada kenyataan sebagai suami-isteri,
mungkin saja persoalan ini mudah di-selesaikan, tapi kenyataan berbicara lain,
dan lagi Liu Cui cui sendiripun telah menunjukkan sikap yang bijaksana hal ini
mcmbuatnya semakin bimbang.
Sementara Tian Pek kebingungan, mendadak mata Cui-cui yang jeli mengerling
sekejap sekitar tempat itu, kemudian tegurnya "Siapa di situ? Berani mencuri
dengar pembicaraan nonamu? Hayo unjukkan diri untuk menerima kematian!"
Tian Pek melengak, ia tak menyangka ketajaman mata serta pendengaran Liu
Cui-cui jauh jauh lebih lihay daripadanya, ia sendiri sama sekali tidak mendengar
sesuatu apapun, tapi si nona ternyata tahu ada orang bersembunyi di sekitar
sana.
Betul juga, begitu Cui-cui menegur, dari balik pohon besar tak jauh dari tempat
mereka berada melayang keluar sesosok bayangan.
Orang itu berdandan perlente sekali, meskipun di tengah kegelapan sulit untuk
melihat raut wajahnya, tapi dapat diduga bahwa orang ini adalah seorang
pemuda cakap.
Sesudah munculkan diri dari tempat persembunyirtnnya, orang itu tertawa ter-
bahak2, lalu berkata: "Hahaha, kurang ajar, benar2 kurang ajar! kalianlah yang
bsr-kaok2 di sini mengganggu tidurku. sebelum sempat kutegur kalian, malahan
kau vang menegur diriku lebih dulu. Apa tumon!" Habis itu ia lantas putar badan
dan berlalu dari situ.
Cui-cui mendengus, entah dengan gerakan apa, tahu2 ia sudah bergerak ke
depan dan mengadang jalan pergi orang itu.
Terkejut orang itu menyaksikan betapa gesit gerakan lawan, ia tak mengira Cui
cui memiliki Ginkang sehebat itu, iapun tak tahu apa makcud Cui-cui mengadang
jalan perginya? Cepat dia meng-himpun tenaga pada telapak tangan dan siap
menghadapi segala sesuatu.
Sementara itu Tian Pek telah memburu datang, di bawah cahaya bintang ia
dapat mslihat jelas wajah orang, mendadak ia berseru kaget: "He, kiranya kau!"
Orang itu menengadah dan tertawa ter-bahak2: "Hahaha, kenapa? Tidak kau
sangka bukan? Padahal sejak tadi kutahu kau yang berada di situ. Hah! Bu-cing-
kiam-kek (jago pedang tak kenal ampun) ternyata punya rejeki gede, begitu
banyak nona cantik yang mengejar dirimu, apalagi mempunyai seorang nyonya
yang begini bijaksana, hahaha. kukira bertambah lagi tiga isteri dan empat selir
juga tidak menjadi soal."
Tian Pek bukan anak bodoh, ia dapat merasakan sindiran itu. wajahnya jadi
merah, dengan tergagap ia menjawab: "Hoan Soh ... Hoan-heng, su . . . . sudah
lama kita tak tak berjumpa, tak tersangka engkau sudah pandai bergurau! . . ."
Memang tak salah, orang ini ialah Hoan Soh-ing, puteri Hoan Hui, cuma saat ini
ia berdandan sebagai laki2, lagipula di depan Cui-cui, tentu saja Tian Pet tidak
ingin membongkar rahasia penyamaranya itu, maka sengaja ia sebut Hoan-heng
kepadanya.
Cui cui sendiri bukanlah orang bodoh, ia segera tertawa dingin, sambil menuding
Hoan Soh-ing ia berkata: "Hehehe, kau tak perlu berlagak di depanku, kau
anggap aku tak dapat melihat dirimu? Hm, sejak tadi akupun tahu kau ini sejenis
betina seperti diriku pula!"
Kali ini Hoa Soh ing yang menjadi jengah, merah wajahnya, ia tak mengira gadis
cantik di depannya ini ternyata memiliki ketajaman mata yang luar biasa!
Mestinya dia hendak menggoda orang, sekarang justeru orang lainlah yang
mengejeknya, untuk sesaat nona Hoan ini jadi melongo dan tak mampu
menjawab.
Setelah ada pengalaman dengan Wan-ji tempo hari, Tian Pek pikir Cui cui pasti
akan cemburu dan bisa jadi akan berkelahi dengan Hoan Soh-ing maka cepat ia
berseru: "Adik Cui, jangan kau banyak curiga, sejak dulu dia memang suka
berdandan sebagai laki2....!"
Mendadak Cui-cui tertawa cekikikan, ibarat musim dingin tiba2 berubah jadi
musim semi yang hangat.
Puas dengan tertawanys, ia berkata: "Engkoh Pek, jangan kuatir, kan adik telah
berjanji takkan cemburu, maka jangan kuatir adik akan rewel, kalau sudah ada
Wan-ji, Buyung Hong dan Kim Cay-hong, apa salahnya bila sekarang bertambah
seorang lagi ...”
Mendadak dari malu Hoan Soh-ing menjadi gusar, bentaknya: "Perempuan tak
tahu malu!"
Air rauka Cui-cui berubah hebat, seketika tangannya diayun ke depan, "Plok!" ia
gampar muka Hoan Soh-ing sehingga timbul bekas telapak tangan yang merah.
Tamparan Cui cui ini cepat sekali, bukan saja Hoan Soh ing tak sanggup
menghindar, bahkan Tian Pek juga tak sempat mengalanginya.
Tindakan ini benar2 di luar dugaan siapapun, seketika Hoan Soh-ing tertegun
dan tak tahu apa yang harus dilakukan.
Semenjak kecil Hoan Soh-ing dibesarkan di lingkungan yang dimanjakan, di
rumahnya pelayan dan dayang tak terhitung jumlahnya, jangankan ditampar
orang, berbicara kasar saja tak ada yang berani.
Ayahnya, Pah ong pian Hoan Hui, namanya sejajar dengan keempat pemuka
dunia persilatan, usianya sudah lebih setengah abad dan mempunyai tiga putera
dan seorang puteri, anak gadisnya selalu dimanja, disayang, dipandang sebagai
mutiara, apa yang diinginkan tak pernah ditolak sehingga terpeliharalah watak
manja yang berlebihan, kalau tidak begitu, tak nanti sang ayah membiarkan
puterinya sepanjang hari berdandan sebagai laki2.
Bukan saja Hoan Hui sendiri, bahkan Hoan si-sam kiat (tiga orang gagah keluarga
Hoan) yang tersohor di dunia persilatan juga mengalah tiga bagian kepada
adiknya ini.
Dan kini, gadis yang terbiasa dimanja ini digampar oleh Cui-cui, kendatipun pada
mulanya ia tertegun, tapi sesaat kemudian iapun naik darah, sambil membentak
gusar, segenap tenaga dalamnya dihimpun lalu dia melancarkan bacokan maut
ke tubuh Cui-cui.
Apabila Hoan-si sam-kiat di dunia persilatan terkenal ilmu pedangnya yang lihay,
maka Hoan Soh-ing meskipun seorang gadis, kungfunya justeru terletak pada
ilmu pukulannya. Liok-eng ciang-hoat keluarganya telah dikuasai dengan cukup
sempurna.
Begitu pukulan itu dilepaskan, bayangan telapak tangan seketika berseliweran.
Diiringi deru angin pukulan yang tajam, serangan itu segera mengurung sekujur
badan Cui-cui.
Walaupun ilmu pukulan Liok-eng-ciang-hoat yang ia yakinkan sudah cukup
sempurna, tapi di-bandingkan dengan kungfu Cui-cui jelas ibarat langit dan
bumi, Cui-cui jauh lebih lihay daripadanya.
Di tengah sambaran angin yang men-deru2, tiba2 Cui-cui nendengus, tangannya
terangkat untuk menangkis. ' Bluk! seketika Hoan Soh-ing tergetar mundur lima
langkah.
Hoan Soh-ing meniang memiliki jiwa seorang laki2, nona yang tinggi hati dan
manja ini belum lama berselang telah mengalami bencana besar, keluarganya
terbantai dan ia harus melakukan perjalanan siang malam menuju ke Lam-keng
untuk minta bantuan kepada sahabat ayahnya, yakni Siang-lin Kongcu, guna
balas dendam bagi kematian ayahnya serta menolong ketiga saudaranya.
Waktu lewat dua belas gua karang, karena lelah dan lagi hari sudah gelap, ia
beristirahat di bawah pohon dengan maksud keesokan harinya melanjutkan
perjalanannya menuju istana keluarga Kim.
Siapa tahu tanpa sengaja ia meadengar pembicaraan Tian Pek dengan Cui-cui,
semula ia tidak bermaksud unjuk diri, apa mau dikata jejaknya di-ketahui Cui-
cui, terpaksa ia keluar.
Dasar lagi sial, baru dua-tiga patah kata ia sudah digampar Cui-cui dengan keras,
bayangkan saja betapa gusar dan penasarannya nona manja yang sedari kecil
belum pernah mengalami penghinaan macam itu, tak heran ia menyerang lawan
dengan sepenuh tenaga.
Ilmu pukulan Liok-eng-ciang-hoat keluarganya memang ampuh, terutama jurus
Liok-eng-peng-hun yang terhitung sebuah pukulan mematikan, tapi
kenyataannya serangan yang dahsyat itu ternyata tak mampu menahan
tangkisan lawan.
Ia jadi sedih sekali sehingga hampir saja melelehkan air mata, lengannya kaku
kesemutan, darah di dalam rongga dadanya ikut bergolak keras.
"Sudahlah, jangan berkelahi lagi, kalian kan sana-sama orang sendiri.. cepat
hentikan pertarungan ini" dengan panik Tian Pek berusaha melerai.
Setelah berhasil memukul mundur Hoan Soh-ing, Cui-cui berdiri sambil bertolak
pinggang, tampangnya persis seperti nyonya judas, cuma iantaran mukanya
cantik, maka meskipun judas tetap menimbulkan daya tarik.
Ia mencibir lalu berkati: "Hm, meskipun pikiranku sekarang sudah terbuka dan
tidak kularang engkoh Pek mencari tiga gundik dan empat selir, tapi aku ingin
membikin mereka tahu bahwa aku sebenaroya adalah isteri pertama . . ."
Mendadak ia merasa kata2 itu tak pantas di-ucapkan, dengan muka merah ia
lantas tertawa cekikikan.
Tian Pek jadi serba salah dan tak tahu apa yang mesti diucapkan.
Jangankan cari gundik dan selir, kendatipun ia bermaksud demikian, orang lain
juga belum tentu mau. Tapi sekarang Cui-cui yang polos telah bicara terus
terang kan lucu jadinya persoalan ini?
Perlu diketahui, sejak kecil sering Cui-cui menyaksikan percekcokan antara Lam-
hay-it-kun dengan Kui-bin-kiau-hwa, menurut pengertiannya perempuan yang
suka cemburuan dinamai "harimau betina', bila seorang perempuan sudah dicap
demikian, maka hal ini adalah kejadian yang memalukan.
Karena itu ia berusaha bersikap lunak dan lapang dada, padahal dalam hati
kecilnya cemburu sekali, ditambah lagi ia tidak paham adat istiadat maka
seringkali apa yang diucapkan tak dipertimbangkan apakah itu akan
menyinggurg perasaan orang atau tidak.
Ketika ia mengatakan ingin menjadi istri pertama, tiba2 ia teringat pada
kenangan manis di sampan kecil di sungai Hwai tempo hari, mukanya menjadi
merah, jantungnya berdebar dan tak sanggup melanjutkan kata2nya.
Hoan Soh-ing berwatak keras, apalagi keluarganya baru saja tertimpa malang, ia
tsk tahan oleh godaan Cui-cui itu, ia tahu kungfunya maasih jauh dibandingkan
lawan, maka dengan muka pucat ia melolos ruyung delapan belas ruas dan siap
bertarung lagi.
Ruyung ini bukan sembarang ruyung, inilah senjata andalan Pah-ong-pian Hoan
Hui yang terkenal di dunia persilatan, Pah-ong-pian tidak mewariskan
kepandaian ini kepada ketiga puteranya, tapi malah diajarkan kepada puterinya.
Tian Pek jadi panik ia mengira Hoan Soh-ing telah nekat dan hendak mengadu
jiwa.
Ia tahu Soh-ing pasti bukan tandingan Cui-cui, selain itu ia pun kuatir Cui-cui
turun tangan keji sehingga Hoan Soh-ing bakal rugi besar, buru2 ia maju ke
muka.
“Hoan Soh.." ia bingung sebutan apa yang harus diucapkan, terpaksa ia berkata
sekenanya: "Jangan . .. . jangan salah paham, kalian jangan salah paham .... Cui-
Cui . . . Cui-cui . . . "
Cui-cui bagaimana? Dasar tidak pandai bicara, seketika ia tak tahu apa yang
mesti diucapkan.
Hoan Soh-ing ternyata tak menyerang lagi, ia pegang pangkal ruyung, mendadak
ia hantam batok kepala sendiri. Kiranya nona ini hendak membunuh diri.
Tian Pek terperanjat, cepat ia merampas ruyung itu dengan gerakan Hwe-tiong-
ji-li (memetik buah di tengah api), suatu jurus Kin-na-jiu yang lihay.
"Nona Hcan, kenapa kau . .. ?"
Belum habis Tian Pek berkata, Hoan Soh-ing lantas menangis tersedu-sedan,
sambi1 mendekap mukanya ia lari masuk ke dalam hutan.
"Nona Hoan! Nona Hoan . .!' cepat Tian Pek memburu ke sana sambil berteriak,
selain hendak menjelaskan kesalah pahaman itu, iapun kuatir, kuatir nona itu
berbuat nekat lagi.
Liu Cui-cui yang polos jadi tertegnn ia tak menyangka hanya satu katanya
menyinggung perasaan gadis itu hingga hampir saja terjadi peristiwa yang tragis.
Maklumlah, ia tidak paham adat istiadat Tiong-goan, ia tak menyangka
penghinaan seperti itu sukar diterima oleh gadis manapun juga.
Begitulah Tian Pek terus mengejar di belakang Hoan Soh-ing. Berbicara tentang
ilmu meringankan tubuh pemuda itu dengan Bu sik-bu-sian sin-hoat dan ilmu
langkah Cian-ho-li-biau-hiang-poh tidak sulit baginya untuk menyusul Hoan Soh-
ing.
Tapi ketika ia sudah hampir mendekati gadis itu, mendadak dan atas pohon
menggelinding turun segulung bayangan hitam dan langsung menerjang kaki
Tian Pek.
Gerakan bayangan hitam ini cepat luar biasa dan cuma tiga kaki besarnya, hitam
menggumpal entah barang apa?
Tian Pek terperanjat, dengan cepat ia hentikan gerakannya dan melayang ke
samping, waktu ia memandang lagi, ia lihat gumpalan hitam itu dengan gerakan
melejit telah bangkit berdiri di depan Tian Pek.
Benda hitam ini bukan binatang seperti dugaannya semula, dia adalah seorang
manusia, betul2 manusia tulen, cuma tingginya hanya tiga kaki, kepalanya besar
dan kakinya pendek.
Si cebol yang dekil ini dengan ingus meleleh dari lubang hidungnya sampai ke
mulut, sambil menyeringai ia melototi Tian Pek.
Segera Tian Pek mengenal si cebol ini, dia bukan lain adalah Sam-cun- teng Siau-
song-bun si setan cilik alias si paku tiga inci.
Melihat manusia yang menjemukan ini Tian Pek berkerut kening, sebelum ia
buka suara, Sam-cun-teng telah menyeka ingusnya dengan ujung baju, lalu
sambil menyengir ia berkata: "Keparat! Hari ini kau kepergok lagi dengan Siau-
thayya (tuan besar cilik) Hehehe, kali ini biarpun kau berlutut dan mtnyembah
sepuluh kali kepada Siauthayya juga takkan kuampuni jiwamu."
Perkataan ini sungguh tidak tahu malu, padahal beberapa bulan yang lalu ia
bukan tandingan Tian Pek, apalagi sekarang Tian Pek telah mendapatkan
penemuan aneh sehingga menjadi tokoh nomor satu di kolong langit ini, tapi si
cebol ini menganggapnya seperti dulu, malahan menantangnya pula, sungguh
tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi?
Tian Pek mendengus, dengan nada menghina tegurnya: "Di manakah kedua
gurumu?"
Tian Pek paling benci kepada segala macam kejahatan, sejak tahu dari cerita Sin-
kau Tiat Leng bahwa Kanglam-ji ki adalah murid murtad yang membunuh
gurunya, ia lantas dendam dan membencinyn sampai merasuk tulang, karena itu
ia ingin tahu jejak Kanglam-ji-ki daripada melayani tantangan si cebol.
Sungguh mendongkol Sam-cun-teng karena tantangannya tak digubris, ia
menggelengkan kepalanya yang besar itu, kemudian berkata: "Kau tak perlu
tanya kedua Lothayya, kan sebentar lagi Siauthayya akan cabut nyawamu!"
Habis berkata, dengan jurus Siau kui-jui mo (setan cilik mendorong gilingan) ia
berputar ke sisi Tian Pek, secepat kilat ia mencengkeram lengan kiri lawannya.
Tian Pek menjadi gemas, sambil miringkan bahunya ke kiri, ia melangkah maju
setindak, telapak tangannya membalik ke belakang ia tabok punggung si cebol.
Jangan meremehkan tubuh Sam-cun-teng yang kerdil, kelincahannya justeru
mengagumkan, mendadak kedua kakinya yang pendek itu menjejak tanah terus
melayang tiga kaki ke sana, dengan jurus yang sama kembali ia cengkeram
lengan kiri Tian Pek.
Serangan Sam-cun-teng ini bukan saja lebih cepat dan lebih aneh daripada
beberapa bulan yang lalu ketika terjadi pertarungan di tepi Yan-cu-ki,
bahkan serangannya sekarang membawa deru angin dingin yang menusuk
tulang, angin dingin keluar dari kesepuluh jari tangancya, membuat Tian Pek
terkesiap.
Cepat Tian Pek mengegos ke samping, dengan jurus Hong-cebg lui-beng (angib
berembus guntur menggelegar), setajam golok telapak tangannya membacok
batok kepala Sam-cun teng yang besar dan cekak itu.
Sam-cun-teng berpekik nyaring, kepalanya yang gede itu menggeleng, dengan
gesit ia menyelinap lewat, cengkeramannya kembali ditujukan lengan kanan
Tian Pek, untuk ketiga kalinya ia menyerang dengan jurus Siau-kui tui mo.
Dalam waktu singkat kedua orang sudah ber-gebrak beberapa kali, dengan gesit
Sam-cun-teng selalu bergerak ke kiri dan ke kanan secepat kilat, jurus serangan
yang dipakai juga melulu Siau-kui-tui mo tadi
Diam2 Tian Pek terperanjat, ia heran mengapa si cebol bisa selihay ini, padahal
dengan kungfunya sekarang, bukan saja tokoh silat kenamaan bisa dikalahkan
dalam dalam tiga gebrakan, bahkan Hay-gwa-sam-sat yang lihay juga bisa di-
hadapinya sekaligus bertiga.
Tapi sekarang, tujuh delapan gebrakan sudah lewat, bukan saja si cebol tak bisa
dikalahkan. malahan gerakan si cebol hakikatnya cuma satu gerakan yang tak
berbeda, dia sendiri menjadi repot menghadapi kelincahan lawan.
Tian Pek terkejut, tapi Sam-cun-teng jauh lebih terkejut lagi. Ia pun tak
menyangka ilmu silat anak muda itu telah memperoleh kemajuan yang begini
pesat.
Sesudah dihajar oleh Tian Pek di tepi Yan-cu-ki tempo hari, mestinya dia
berharap kedua gurunya akan tampil untuk mslabrak Tian Pek, tak tersangka
mendadak muncul seorang kakek buntung dan membikin kedua gurunya
ketakutan dan lari ter-birit2, walaupun bingung karena tidak tahu sebab
musababnya, terpaksa Sam-cun-teng ikut kabur.
Sam cun-teng tidak tahu kakek buntung itu sebenarnya adalah kakek-gurunya,
sepenjang jalan sering ia berpaling ke belakang dan tampaknya mereka pasti
akan disusul oleh Sin kau (monyet sakti) Tiat Leng.
Andaikata Sin-lu tiat-tan Tang Ciang-li tidak muncul niscaya ketiga orang itu
mampus di ujung tongkat Sin-kau Tiat Leng. Karena peristiwa itu pula akibatnya
kedua tokoh aneh yang sudah puluhan tahun malang melintang di utara dan
selatan sungai Tiangkang telah berduel hingga akhirnya sama2 tewas.
Setelah lolos dari kematian, diam2 Kanglam-ji-ki dan Sam-cun-teng kembali ke
lembah setan di bukit Gan-tan-san. Sam-cun-teng menggerutu karena gurunya
tidak mewariskan ilmu yang tinggi kepadanya sehingga membuat dia kehilangan
muka, iapun menuduh kedua gurunya bernyali tikus, ketakutan pada seorang
kakek cacat yang tak berkaki dan lari ter-birit2, dari nadanya jelas si cebol tak
puas dengan kedua gurunya, bahkan berniat meninggalkan lembah setan untuk
mencari guru lain.
Ketika itu Kanglam-ji-ki sedang ketakutan setengah mati ksrena mengetahui
gurunya masih hidup, setelah direcoki terus oleh muridnya, mereka tak tahan,
sejak itu Ci-hoat-leng kau (monyet cerdik berambut merah) Siang Ki-ok lantas
mewariskan ilmu pukulan Kui-pok-ciang kepada si cebol, sedangkan Kui kok-in-
siu (pertapa dari lambah setan). Bun Ceng-ki menurunkan ilmu langkah Kui-biau-
hong (embusan angin setan). Sementara mereka sendiripun menekuni isi kitab
Bu-kek-pit kip yang mereka rampas dari tangan gurunya.
Ketika mereka yakin ilmu silatnya sudah cuknp tangguh untuk melawan Sin-kau,
tersiarlah berita di dunia persilatan bahwa gurunya telah tewas karena duel
dengan Sin lu-tiat-tan.
Untuk membuktikan kebenaran berita tersebut, mereka bertiga lantas
berangkat ke "dua belas gua karang" di Lam keng. Betul juga. Mereka temukan
mayat Sin-kau Tiat Leng terkapar di dalam sebuah gua.
Betapa girangnya Kanglam-ji-ki, mereka merasa bebas dari ancaman, saat itulah
kembali Sam-cun-teng ribut ingin membalas dendam kepada Tian Pek.
"Apa susahnya?" kata Ci-hoat leng-kau Siang Ki-ok sambil tertawa. "Jangan
kaukira ilmu pukulan Kui pok ciang yang kuwariskau padamu itu cuma tiga jurus,
pada hakikatnya ketiga jurus pukulan itu punya kekuatan yang hebat, cukup
dengan jurus pertama Siau-kui tui-mo saja bocah yang bernama Tian Pek itu
pasti dapat kau bunuh!"
Ucapan tersebut mengkili-kili hati Sam-cun-teng, ia semakin bernapsu untuk
mencari Tian Pek.
Tetapi sekarang, setelah bertemu dengan pemuda yang di-cari2, sekalipun jurus
Siau-kui tui-mo sudah diulangi sampai tujuh kali, jangankan membunuhnya,
untuk menjawil ujung bajupun tak mampu.
Sam-cun-teng lebih kaget dan marah lagi setelah mengetahui musuhnya tidak
bertarung dengan sungguh2, setiap jurus serangannya hanya dielak seenaknya
saja tanpa memakai tenaga.
Akhirnya si cebol yang penasaran ini membentak keras, pukulannya berubah,
kedua telapak tangan terentang, dengan gaya "burung walet menembus awan"
ia seruduk dada Tian Pek dengan kepala.
"Jurus apa ini. . .?" pikir Tian Pek tercengang.
Sepintas pandang gerakan ini lebih mirip dengan orang nekat yang akan bunuh
diri dengan menumbukkan kepalanya di dinding tetapi justeru di balik
kenekatan ini tersembunyi daya serangan yang dahsyat. inilah jurus kedua dari
Kui-pok-ciang yang bernama Kui-ong ciong-ceng (raja setan menumbuk
lonceng).
Kelihatannya gerakan menerjang ini sederhana, tapi di balik kesederhanaan ini
tersimpan lima perubahan, kepala, tangan dan kaki dapat digunakan bersama,
dengan begitu maka serangan ini berlipat lebih hebat dibandingkan serangan
dengan memakai kedua belah tangan.
Kehebatan ini bertambah lagi karena Sam-oun teng memang terkenal sebagai si
cebol yang berkepala baja, sejak kecil ia melatib ilmu Yu-cui-koan-teng, sejenis
ilmu yang dapat membuat kepala manusia jadi keras seperti baja, tiap tumbukan
kepalanya ibarat pukulan martil seberat ribuan kati, bisa dibayangkan
bagaimana akibatnya bila tubuh manusia tertumbuk?
Sedang kedua kakinya yang tersembunyi di belakang pada ujung sepatunya
terpasang dua batang pedang pendek, bila melancarkan tendangan, serta merta
pedang pendek menjulur dan khusus dapat menghancurkan kekebalan lawan
yang melatih sebangsa ilmu Tiat-poh-san atau Kim-ciong-cau.
Tian Pek tidak tahu kelihayan lawan, ketika kepala orang menumbuk tiba,
dengan jurus Siok hong-Wi-lui (angin puyuh sambaran beledek), dibacoknya
kepala lawan yang besar itu.
Mendadak Sam-cun-teng menengadah ke atas, tubuhnya yang sedang meluncur
tiba2 melambung lebih tinggi, berbareng itu telapak tangan yang terentang tadi
dengan ujung jari yang tajam terus menusuk Tay-yang-hiat di pelipis pemuda itu.
Hebat sekali perubahan serangan ini, Tian Pek terperanjat, cepat ia tarik
kepalanya ke bawah sehingga tusukan maut lawan menyambar lewat di atas
kepala.
"Sungguh berbahaya. .. ."demikian pikir Tian Pek.
Sam-cun-teng tidak memberi kesempatan bagi musuh untuk berganti napas,
tubuhnya yang masih melambung di udara mendadak melejit ke atas, kedua
kakinya terus menendang.
"Cret Cret!" dua bilah pedang pendek pada ujung sepatunya menyambar ke
muka den mengancam mata Tian Pek.
"Celaka! . . : . " keluh Tian Pek, untung ia menguasai ilmu langkah Cian-hoan-
biau-hang-poh yang tangguh tatkala ujung pedang menyambar tiba di depan
mata, tahu2 bayangan berkelebat lewat, jejak anak muda itu lenyap dari
pandangan.
Merasa tendangannya mengenai tempat kosong Sam-cun-teng berputar di
udara dan melayang turun ke bawah dengan tertegun.
Dengan jelas tendangannya hampir bersarang di mata musuh, lawan pasti
kelabakan dan tak tahu bagaimana caranya menghindar, mengapa jejaknya
tiba2 lenyap tak berbekas? Mungkinkah pemuda itu bisa kabur masuk ke bumi?
Dengan terbelalak hcran Sam-cun-teng celingukan ke sana kemari, pada saat
itulah suara tertawa dingin mendadak menggema di belakangnya.
Tak terkira rasa kaget si cebol, serentak ia berpaling, Tian Pek yang di cari2
ternyata berdiri di belakangnya sambil tertawa dingin.
Kejut dan marah Sam-cun teng, ia berpekik nyaring, ia terjang lagi dada Tian Pek
dengan kepalanyn, jurus yang dipergunakan masih teiap "raja setan menumbuk
lonceng".
"Kau cari mampus!" bentak Tian Pek dengan gusar, ia tidak sungkan2 lagi,
dengan jurus Sau-cing-yau-hun (menyapu bersih hawa siluman) yang disertai
hawa pukulan Thian-hud-hang-mo-ciang dihajarnya batok kepala Sam cun-teng.
Hebat serangan ini, Sam-oun-teng terkejut, ia merasa gelagat tak
mcnguntungkan, tapi sudah terlambat. "Bluk!'' tak ampun lagi Sam-cun-teng ter-
sapu oleh pukulan dahsyat itu, darah dan otak berceceran, untuk selamanya si
cebol tak pernah bangun lagi.
Melihat musuh sudah mampus dengan kepala hancur, Tian Pek merasa gemas
dan menyesal. Ia gemas karena hampir saja matanya buta termakan oleh
tendangan cebol itu. Menyesal karena ia telah membunuh seorang jago
persilatan lagi, padahal semenjak kalah bertaruh dari Hay gwa-sam-sat ia telah
berjanji takkan mencampuri urusan dunia persilatan.
"Ai, entah perbuatanku ini termasuk melanggar janji atau tidak?" demikian ia
berpikir.
Sementara Tian Pek masih termenung tiba2 terdengar lagi pekikan nyaring
tajam dan menyeramkan ibarat jeritan setan di tengah malam buta. Mcnyusul
dari semak2 pohon sana muncul dua sosok bayangan hitam, dari situlah Sam-
cun teng muncul tadi, gerakan orang2 itu cepat luar biasa, tahu2 sudah berada
di depannya.
Diam2 Tian Pek menghela napas dingin, dari Ginkang orang dapatlah diketahui
betapa lihaynya Kungfu mereka.
"Siapa gerangan kedua orang ini?" begitulah Tian Pek membatin, tatkala diamati
lebih seksama, ternyata mereka adalah seorang kakek bermuka seperti kunyuk
berambut merah dan seorang lagi seorang kakek gemuk berbaju tebal.
Siapa lagi mereka kalau bukan Ci-hoat-leng-kau Siang Ki-ok dan Kui-kok-in-siu
Bun Ceng-ki, guru si cebol tadi.
Dengan bengis dan penuh kebencian, kedua orang aneh itu melototi Tian Pek
tanpa berkedip.
Tadi Tan Pek menyesal karena telah membunuh murid kesayangan orang, akan
tetapi bila teringat bagaimana kedua orang ini berkhianat pada gurunya, bahkan
menyiksanya secara keji darah Tian Pek tersirap, timbul niatnya untuk
membinasakan kedua orang durhaka ini.
"Bocah keparat!' segera si monyet berambut merah memaki dengan penuh
kebencian, “Kau telah membunuh murid kesayangan kami! Kau telah
menghancurkan harapan kami! Kalau tidak kucincang tubuhmu, rasa benci dan
dendam ini tak terhapus dari hati kami. Bangsat, terimalah ajalmu!"
Kui-kok-in-siu juga tertawa dingin dengan seram, suaranya mirip lolongan
serigala atau jeritan setan, bulu kuduk Tian Pek terasa berdiri.
"Keenakan dia jika kita mencincang tubuhnya!" serunya dengan tajam, "akan
kusiksa dia dengan cara2 yang paling keji, biar dia rasakan hidup susah matipun
tidak, habis itu baru kucincang tubuhnya kemudian kugunakan santapan bagi
anjing!"
Bukan menjadi jeri, Tian Pek malah tertawa ter-bahak2. "Hahaha, sekalipun
kalian berbuat lebih keji, tetap kalian tak bisa mencuci bersih dosa kalian yang
telah berkhianat dan menyiksa guru sendiri!"
Ucapan ini di luar dugaan kedua orang itu, wajah mereka yang bengis. segera
terlintas rasa kaget, setelah saling pandang sekejap, nafsu membunuh yang
menyelimuti wajah mereka kian menebal, hampir berbareng kedua orang itu
berpekik.
"Bangsat cilik, kau jangan ngaco belo! Siapakah guru kami kaupun tak tahu,
berani kau menuduh yang bukan2, kematianmu sudah di depan mata, tapi
mulutmu yang kotor masih juga memfitnah orang . . . . "
Tian Pek tertawa: "Bila tak ingin orang tahu kecuali diri sendiri tak pernah
melakukan. Tentunya kalianpun pernah membaca, masa arti dan kata kata ini
tidak kalian pahami”
Kedua orang terperanjat.
"Hayo katakan siapa..siapakah guru kanm?"
Ci-hoat-leng-kiau menjerit. "Bila kau tak sanggup mengatakanuya akan kusiksa
kau dengan cara yang paling keji!"
"Sin-kau Tiat-leng! Kukira sama ini tak bakal salah bukan?" ejek Tian Pek sambil
melirik menghina.
Bagaikan dipagut ular, kedua orang itu gemetar keras, kulit wajah mereka
berkerut, jelas sangat ketakutan.
Tapi sesaat kemudian segera Kui-kok-in-siu membentak dengan gusar: “Suheng,
apa gunanya ribut dengan setan cilik ini? Hayo kita bekuk dan mampuskan dia!"
Ci-hoat-leng-kau dapat merasakan betapa seriusnya urusan ini karena
menyangkut mati-hidup mereka, bila Tian Pek tahu rahasia ini dan
menyiarkannya di dunia persilatan, maka Kanglam-ji-ki tak kan diampuni oleh
setiap umat persilatan.
Untuk menghindari hal yang tak diinginkan, timbul sifat mereka untuk
membinasakan Tian Pek, asalkan pemuda ini lenyap dengan sendirinya rahasia
mereka akan terpendam selamanya.
Maka habis Kui kok-in-siu berkata Ciam-hoat-leng kau tidak berbicara lagi, hawa
saktinya segera dihimpun hingga terdengar ruas tulangnya bergemerutukan
Kui-kok-in-siu sendiri berdiri dengan mengepal tangan lalu dikendurkan lagi,
kemudian mengepal dan mengendur pula beberapa kali, jelas iapun sedang
menghimpun tenaga.
Suasana jadi tegang, kebetulan awan hitam mcnyelimuti angkasa dan
mengalangi sinar bintang di langit, udara jadi gelap gulita dan terasa
menyeramkan.
Tiam Pek menyadari betapa gentingnya keadaaan, partarungan sengit tak
terhindar lagi. Bukannya ia takut menghadapi pertarungan, justeru dengan
wataknya yung jujur dan mulia, ia amat mengutuk pengkhianatan kedua orang
ini terhadap gurunya, sekalipun tahu bukan tandingan orang juga akau
dihadapinya dengan mati2an.
Satu hal yang merisaukau pemuda ini adalah janjinya dengan Hay-lam-bun, ia
telah berjanji akan mengundurkan diri dari dunia persilatan, bila pertarungan ini
dia layani dan berita ini sampai terdengar oleh Hay-gwa-sam-sat, bagaimana dia
akan menjawab?
Sebab itulah meski diam2 ia sudah bersiap menghadapi pertarungan, pemuda
ini masih mencoba menghindari terjadinya pertarungan ini.
"Aku telah berjanji dengan orang takkan mencampuri urusan dunia persilatan
lagi, jangan kalian paksa aku main kekerasan. Tapi kalau kalian memaksa juga
untuk bertempur, silakan meninggalkan bukti yang menyatakan bahwa kalianlah
yang mamaksa aku turun tangan dan aku akan..”
Bangsat, tak perlu banyak bacot lagi!" bentak Ci-hoat-leng-kau.
Kui-kok-in-siu juga membentak dengan gusar: "Hari ini, kau yang akan mampus
di tangan kami, buat apa minta bukti segala."
Sambil menjerit Ci-hoat-leng-kau segera menerkam ke depan, ia langsung
menghantam kepala Tian Pek dengan jurus serangan yang baru berhasil
dilatihnya.
Hampir sama waktunya, Kui-kok-in-siu yang gemuk juga mengebas lengan
bajunya hingga kelihatan tangan kanannya yang seram bagaikan cakar setan,
dengan ilmu pukulan Im-hong-ciang yang belum lama diyakinkannya dia imbangi
serangan kawannnya dengan memotong Cian-keng-hiat di bahu kiri Tian Pek.
Kedua orang ini sudah menekuni ilmu silatnya selama puluhun tahun, kerja
sama mereka sangat rapat tenaga pukulan merekapun sangat mengejutkan.
Tian Pek terkesiap dan kagum pada ketangguhan musuh, serangan orang tidak
dia layani, pertama ia tidak merasa yakin akan menang. kedua bila ditanya Hay-
gwa sam sat ia pun tidak punya bukti yang bisa menunjukkan bahwa ia turun
tangan karena ddesak, maka dengan andalkan ilmu langkah Cian-hoan-biau-
hiang-poh, semua serangan musuh dihindari dengan begitu saja.
Kedua orang itu tertegun, tapi kungfu mereka memang lebih hebat daripada
Sam-cun-teng, sekalipun ilmu langkah Tian Pek sangat bagus namun cukup satu
perputaran badan, mereka lantas melancarkan pukulan lagi.
Angin pukulan men-deru2, debu pasir beterbangan, sebagaimana tadi, kembali
Tian Pek meng-egos tanpa balas menyerang.
Dengan kalap kedua orang itu mencecar lawan, mereka berpekik nyaring,
dengan jurus mematikan mereka mengurung pemuda itu.
Meski ilmu langkah Cian-hoan-biau-hiang-poh sangat gesit, tapi lama2 keteter
juga Tian Pek, mau-tak-mau ia harus balas menyerang.
Se-konyong2 terendus bau harum menyusul terjadi benturan keras, "blang",
tahu2 Kanglam-ji-ki mundur dengan sempoyongan.
Kejut luar biasa Kanglam-ji-ki, mereka merasakan tenaga lawan terlalu kuat dan
sukar dilawan, namun sebisanya mereka bertahan.
Waktu mereka berpaling, pendateng ternyata adalah seorang manusia aneh,
bertubuh kecil pendek, berwajah seram, merah rambutnya, mukanya berwarna
hijau pula.
Merasa tak kenal Ci-hoat-leng-kau Siang Ki-ok mencaci maki dengan mata
melotot: "Keparat, siapa kau? Berani mencampuri urusan Kanglam-ji-ki!"
"Bangsat! Rupanya kau sudah bosan hidup? Mau apa kau campuri urusan
kami?" Kui-kok-in-siu juga marah2.
Manusia aneh bermuka hijau dan berambut merah itu jelas adalah Liu Cui-cui
yang bertopeng, dengan suara aneh ia balas berteriak: "Kunyuk, buat apa
banyak bicara? Sambut pukulanku ini!" Kedua tangan terentang, serentak ia
menyerang ke kiri dan ke kanan.
Kanglam-ji-ki menyambut pukulan itu dengan keras lawan keras. "Blang, blang!"
kedua orang itu tergetar mundur.
'Hehehe, cuma begini sa]a kalian berani omong besar!?" ejek Cui cui sambil
tertawa aneh,
Gusar sekali kedua orang itu, mereka berpekik nyaring, sambil mengerahkan
segenap kekuatan mereka terkam Cui cui dengan ganas.
Tapi Cui-cui masih tertawa terkekeh, seperti kupu2 menyongsong angin dua
tangannya yang putih bersih mengebas pelahan ke depan.
"Blang! Blang!" kembali terjadi benturan keras, kali ini Kanglam-ji-ki tergetar
mundur lima-enam langkah.
Setelah berulang kali tergetar mundur, sadarlah kedua orang itu bahwa kungfu
mereka masih kalah jauh dibandingkan lawan, kejumawaan mereka tersapu
lenyap, rasa takut dan ngeri lantas timbul.
Kembali Cui-cui tertawa mengikik, ejeknya: "Hayo, maju lagi! Kenapa berhenti"'
Pelahan ia angkat tangannya keatas, di antara tangannya yang halus dan putih
tiba2 terpancar sinar putih menyilaukan.
"Hih, Tay im-sin ciang!' Kanglam ji ki menjerit kaget dengan air muka berubah
hebat.
"Hehehe, takut?' ejek Cui-cui pula, pelahan telapak tangannya lantas menolak
ke tubuh kedua orang itu. Segera segulung angin pukulan dahsyat mendampar
ke depan,
Pucat wajah kedua orang itu, mereka ingin kabur, tapi gulungan angin pukulan
yang kuat itu ibaratnya sebuah kurungan baja yang besar telah mengurung
mereka hingga tak mampu berkutik.
Semenjak terjun ke dunia persilatan dan mengalami berbagai pertempuran,
belum pernah Kang lam-ji-ki menghadapi kejadian seperti ini, kehebatan musuh
membuat mereka ketakutan dan peluh dinginpun bercucuran.
Siapapun tak mengira kedua tokoh sakti yang jumawa dan tak pernah takut
pada langit dan tak gentar pada bumi ini, akhirnya ketakutan setengah mati dan
tak mampu berbuat apa2.
"Cui-cui . .. .!" mendadak Tian Pek berseru.
Seruan tersebut segera mengingatkan Cui-cui bahwa engkoh Pek tidak suka
melihat dia membunuh orang, agar tidak membuat Tian Pek tak senang hati,
segera ia tarik kembali pukulannya dan buyarkan tenaga kurungan yang lihay
itu, katanya: "Mengingat engkoh Pek, kuampuni jiwa anjing kalian untu kali ini,
hayo cepat enyah dari sini!"
Bagaikan mendapat pengampunan, Kanglam-ji-ki tidak berani mengucapkan
sepatah katapun, mereka langsung putar badan dan melarikan diri ter-birit2,
begitu ketakutannya sampai mayat murid kesayangan mereka, Sam-cun-teng,
yang masih menggeletak itupun tak sempat diurus lagi.
Menyesal Tian Pek melihat Cui-cui melepaskan Kanglam-ji-ki, berulang kali ia
menggerutu: "Cui-cui, kenapa kau lepaskan kedua orang itu?"
“Eh, aneh," jawab Cui-cui dengan terbelalak heran, "bukankah engkoh Pek tak
suka menyaksikan aku membunuh orang?"
"Tapi kedua orang itu adalah murid durhaka yang telah mencelakai guru sendiri,
manusia berhati binatang macam mereka itu tidaklah pantas dibiarkan hidup di
dunia ini"
"Wah, susah!" keluh Cui-cui. "Ada kalanya kau tak suka melihat kubunuh orang,
sekarang kau malah suruh aku membunuh orang, sebetulnya kau inginkan aku
berbuat bagaimana?"
"Berbuat bagaimana maksudmu?" teriak Tian Pek dengan mendongkol. "Asalkan
kau tidak menimbulkan kesulitan bagiku sudah lebih dari cukup! Baru saja kau
membuat kheki nona Hoan, sekarang melepaskan pula murid durhaka yang
pantas di-bunuh itu . . . ."
Hebat perubahan air muka Cui-cui, meskipun tak terlihat karena tertutup
topeng, dari sikapnya sudab kentara, ia berteriak: "Baik, aku tak akan
mendatangkan kerepotan lagi bagimu, biarlah aku pergi!" Sekali berkelebat,
tahu2 bayangannya sudah lenyap dari pandangan.
Tian Pek tertegun, ia tak menyangka Cui-cui akan pergi begitu saja, ia tak
menduga ucapannya tadi telah melukai hati nona itu.
Supaya maklum, kendatipun sikap Cui-cui sudah lebih supel dan terbuka, pada
hakikatnya ia cuma bertujuan membuat Tian Pek senang, padahal rasa
cemburunya masih amat tebal. Dan sekarang, setelah melihat munculnya
seorang nona lagi yang bernama Hoan Soh-ing. dia jadi mendongkol, tak di-
ketahuinya berapa banyak nona lain yang menjadi kekasih Tian Pek.
Mendingan bila sikap Tian Pek mesra padanva, ternyata pemuda itu malah
membantu Hoan Soh-ing, keruan Cui-cui makin mendongkol, tapi ia masih
bersabar dan berusaha menyenangkan kekasihnya dengan melepaskan
Kanglam-ji-ki, tak tersangka justeru perbuatannya itu kembali membuat pemuda
itu tak senang hati, malahan menegurnya, sebagai gadis yang angkuh, ia tak
tahan sehingga berlalu dengan begitu saja.
Tian Pek sendiri tidak mengalangi kepergian Cui-cui sebab dia sendiripun
mendongkol. Setelah bayangan Cui-cui lenyap dan pandangan pemuda itu masih
bergumam tersendiri: "Mau pergi biar pergi. Uh, memangnya kenapa ..."
Kendatipun begitu, sedikit banyak pemuda itu merasakan kehampaan dan
kesepian.
Langit yang gelap entah sejak kapan telah remang2, sinar ke-emas2an telah
muncul di ufuk timur, fajar hampir menyingsing.
"Kuak! Kuak!" bunyi seekor burung belibis yang ketinggalan induknya memecah
kesunyian di pagi itu, setelah beterbangan mengitari pohon lalu meluncur jauh
ke sana.
Tian Pek menarik napas panjang, ia merasakan kehampaan dan kesepiannya
seperti apa yang dialami burung itu ..
Dewasa ini ia sebatang kara, tanpa sanak tanpa keluarga, sejak kekalahannya di
tangan Cu Ji-hay, kakek berjenggot panjang dari Hay-gwa-sam-sat itu ia tak
dapat menancapkan kaki di dunia persilatan, iapun merasa malu untuk kembali
ke Pah to-san-ceng, meski di situ masih ada calon isterinya. Tapi ia percaya,
walaupun mereka tak ada ikatan apa2. Tian-hujin yang menyayangi-nya seperti
anak sendiri, serta paman Lui yang menyayanginya pula tentu akan menerima
dia untuk berdiam di situ.
Tapi apa yang harus dilakukannya bila mereka mohon bantuannya untuk
balaskan dendam kematian Buyung-cengcu? Lalu, Wan-ji sudah di-temukan, tak
mungkin kukawini mereka kakak ber-adik sekaligus, padahal jelas Wan-ji sangat
men-cintaiku, bagaimanapun juga kehadiranku tentu akan menyakitkan hati
Wan-ji, ia pasti tak betah berdiam di rumah dan mungkin akan minggat lagi.
Pada dasarnya Tian Pek adalah pemuda yang jujur dan pegang janji, selalu
memikirkan kepentingan orang lain, sebab itulah kesulitan yang dihadapinya
selalu lebih banyak daripada orang lain. Seandainya dia adalah pemuda yang
cuma mementingkan diri sendiri, apa yang dihadapinya tentu bukanlah masalah
yang sulit, tapi bagi pandangan Tian Pek, justeru masalah ini masalah yang pelik.
Masalah pelik ini selalu berkecamuk dalam benaknya, ia kebingungan dan tak
tahu ke mana harus pergi.
Tanpa tujuan ia terus berjalan di antara pegunungan yang sunyi, tiada kicauau
burung, tak ada suara manusia, yang ada cuma embusan angin serta bayangan
sendiri.
Tiba2 dari lereng bukit sana muncul beberapa sosok bayangan, orang2 itu
berjalan dengan ter-gesa2, ketika melihat Tian Pek, mereka lantas memburu
datang:
'Hiantit. ..!"
"Siau-in-kong....!"
"Engkoh Tian !"
Masih jauh orang2 itu lantas berteriak, kiranya mereka adalah pamnan Lui, Tay-
pek-siang-gi, Ji lopiautau serta Buyung Hong.
Beberapa orang itu payah sekali keadaannya, napas mereka ter-engah2 dan
peluh membasahi sekujur badan. Begitu berhadapan, paman Lui yang berambut
awut2an segera menegur: "Hiantit, kenapa seorang diri kau kabur kemari?"
"Betul Siau-in-kong! Payah sekali kami mencari jejakmu " sambung Tay-pek-
siang-gi.
"Engkoh Tian . . . ." Buyung Hong juga berseru dengan cemas. Kegelisshan nona
berwatak angkuh ini jauh melebihi siapupun ketika kehilangan calon suammya,
tapi setelah bcrjumpa dia hanya bisa menyebut "Engkoh Tian" belaka,
kendatipun demikian seruan itu sudah meliputi pelbagai perasaannya yang
bercampur aduk.
Tian Pek menghela napas dan menggeleng, walaupun masih murung, hatinya
terasa hangat, sebab dari sikap beberapa orang ini ia merasa dirinya tidaklah
sebatangkara lagi, tapi masih banyak orang yang menguatirkan keselamatanya,
meng-hormat serta menyayanginya.
Begitulah manusia, manusia tak terlepas dari kasih sayang, kendatipun dia
adalah seorang enghiong, seorang pahlawan.
Di antara sekian banyak orang yang hadir, pengetahuan dan pengalaman Ji-
Iopiautau paling luas, ia pandai sekali melihat gelagat serta perubahan sikap
seseorang, ia pun pandai menebuk hati orang. Dari sikap Tian Pek yang murung,
kesal dan geleng kepala sambil menghela napas, tahulah orang tua ini apa yang
menjadi beban pikirannya.
Setelah berdehem ringan, iapuu berkata: "'Tian hiante, sedikit kekalahan yang
kau terima janganlah selalu kau pikirkan. Kendatipun tenaga dalam si kakek
berjenggot itu lebih tinggi setengah tingkat, tapi Hiante masih muda dan masa
depan masih cemerlang? Asal kau berlatih dengan tekun, tentu kemajuanmu
akan melampaui siapapun. Waktu itu, bukan saja Hiante bisa mengalahkan
kakek berjenggot itu, sekalipun dunia persilatan muugkin jaga akan berada
dibawah kekuasaan Hiante..Hahaha!”
Tian Pek tahu tujuan Ji lopiautau hanya untuk menghibur hatinya yang duka.
Tapi dalam keadaan begini, justeru semakin ada orang menghiburnya,
ia merasa semakin malu, cepat ia menjura dan berkata: " Terima kasih Lokoko.
gara2 Siaute tak becus.."
“Siau-in-kong, buat apa kau ucapkan kata2 yang tak bersemangat begini?" si
orang mati-hidup dari Tay pek-siang-gi yang berwajah kaku tiba2 menyeletuk.
"Bila Siau inkong tak becus, bukankah kami beberapa orang tua bangka ini
menjadi gentong nasi belaka?"
"Betul! " sambung si orang hidup-mati dengan mata melotot 'Padahal bicara
sesuugguhnya, kekalahan Siau inkong bukan lantaran ceteknya kungfu yang
dimiliki. Siapa yang tak lelah setelah bertarung melawan kerubutan tiga orang?
Coba saja suruh mereka bertarung satu lawan satu, aku Si-boat-jin
berani bertaruh, kakek berjenggot panjang itu pasti bukan tandingnya Siau-
inkong!"
"Terima kasih atas pujian Cianpwe sekalian" kata Tian Pek kemudian seraya
menjura. "Bagaimanapun juga aku Tian Pek sudah berjanji, maka setelah
dikalahkan orang, sudah tentu aku harus memegang janji dan mungundurkan
diri dari dunia persilatan!"
"Ai, Tian-hiantit kita ini memang berwatak persis ayahnya vang telah
meninggal," keluh paman Lui sambil menghela nspas sedih, "setiap perkataan
yang telah diucapkan sampai matipun takkan diingkari."
“Tapi bagaimanapun juga Tian-hiante tak boleh mengundurkan diri dari dunia
persilatan," seru Ji-lopiautau dengan cemas, "Semua kekuatan Lam hay-bun kini
sudah mendarat di Tionggoan, jago mereka rata2 lihay, bukan saja sering
melakukan kejahatan, merekapun membantai kawan kita secara keji, di dunia
persilatan dewasa ini kecuaii Tian-hiante seorang, hakikatnya sukar menemukan
jago lain yaug mampu menandingi mereka. Tian-hiante. bila kau sampai
mengundurkan diri dari dunia persilatan, sama artinya kau telah termakan oleh
siasat licik orang2 Lam hay-bun, apakah kau senang melihat daratan Tionggoan
dijadikan arena pembantaian oleh orang2 Lam-hay bun?"
"Buul, apa yang dikatakan Ji-lopiautau tepat sekali," seru Tay-pek siang-gi. "Siau-
inkong, bagaimanapun juga, kita tak perlu pegang janji dengan munusia2 biadab
Lam-hay-bun itu, toh mereka keji dan tak pakai aturan persilatan lebih dulu,
kenapa kita mesti pegang janji.”
"Bukan begitu soalnya," tukas paman Lui, "sebagai umat persilatan, sebagai
kaum pendekar sepantasnya kita menunjukkan sikap yang jujur dan gagah
perkasa, kalau kita tak jujur darimana bisa memperoleh kepercayaan? Bila
perkataan yang kita ucapkan tak ditaati, lalu apa gunanya kita hidup sebagai
pendekar? Apakah orang lain mau menghormati kita? Bukankah perbuatan itu
tak ada bedanya dengan perbuatun pengecut yang licik dan licin?"
Kagum Tian Pek setelah mendengar perkataan itu, demikian pula dengan yang
lain, mereka merasakan kebenaran dan ucapan ini.
Paman Lui berkata lagi setelah berhenti sebentar: "Persoalan inipun harus kita
rundingkan dengan cermat dan matang. Hayo berangkat, kita pulang dulu ke
Pah-to san-ceng!"
Habis berkata ia lantas melangkah lebih dulu.
Di antara sekian orang, Buyung Hong paling gembira setelah mengetahui tujuan
mereka adalah Pah-to-san-ceng, sambil memandang Tian Pek dengan wajah
berseri, ajaknya: "Hayo kitapun berangkat!"
Karena merasa apa yang diucapkan paman Lui memang benar, Tian Pek pun
tidak berkata lagi, pada kesempatan berjalan berdampingan dengan Buyung
Hong, ia bertanya: "Dimana Wan-ji?"
"Dia sudah pulang lebih duluan!" sahut Buyung Hong sambil tertawa.
Mendengar jawaban itu, kembali Tian Pek menghela napas panjang.
Buyung Hong mengira luka yang diderita Tian Pek akibat pukulan kakek
berjenggot itu belum sembuh, ia lantas menatapnya dengan penuh perhatian:
“Engkoh Tian, adakah sesuatu yang kurang beres?"
"O, tidak apa2! . , . . " cepat Tian Pek menggeleng. Berbicara ssbenarnya, dengan
tenaga dalam yang dimilikinya sekarang, luka serangan itu bukan masalah
baginya, cukup mengatur pernapasan sebentar luka itu akan sembuh. Justeru
masalah Wan-ji yang membuat ia pusing, ia tahu Wan-ji amat mencintainya, tapi
bagaimana mungkin ia dapat mengatakan persoalan ini kepada Buyung Hong?
Dengan kekuatan lari mereka, menjelang tengah hari mereka sudah berada di
Hin-liong tin, kota perbatasan antara propinsi Kangsoh dan Anhui.
Tian Pek teringat kembali pada pengalaman dulu ditolak memasuki rumah
makan. Ia berkata kepada rekan2nya: "Kota ini adalah daerah kekuasaan Hiat-
ciang-hwe liong Yau Peng-kun, seorang anak buah An-lok Kongcu, padahal Hiat
ciang-hwe-liong sudah mampus di tangan Hay-gwa-sam-sat, entah siapa yang
menggantikan kedududukannya di sini?"
“Hiat ciang-hwe-liong Yau Peng-kun sudah mati?" seru Ji-lopiautau kaget.
"Padahal kutahu ilmu pukulan Ang-se-hiat-heng-ciang-nya sudah mencapai
tingkatan paling tinggi. senjata Sian-jin-ciang-nya jarang ada tandingannya, obat
mesiunya juga luar biasa, masa dia mampus di tangan Hay-gwa-sam-sat?"
"Yau Peng-kun hanya lihay dalam soal senjata rahasia yang mengandung mesiu,
sedangkan iimu silatnya cuma biasa2 saja," kata paman Lui "Cuma dia memang
sombong, sudah lama aku ingin bertemu, aayang sekarang tak ada kesempatan
lagi!"
Bsgitulah, sambil ber~cakap2 mereka pun memasuki kota itu, mendadak terlihat
banyak kawanan pengemis yang menggendong karung dan berkeliaran di
jalanan.
Kswanan pegemis itu sama membawa tongkat penggebuk anjing, langkah
mereka ter-gesa2 menuju ke satu arah yang sama, bahkan pengemis yang
berlari di depan rumah makanpun tidak minta minta, ketika bertemu pengemis
yang lewat mereka saling memberi tanda dengan kerdipan mata kemudian ikut
ke sana.
Sebagian besar rombongan Tian Pek ini adalah jago2 kawakan, sekilas pandang
mereka lantas tahu orang2 Kay-pang sedang mengadakan pertemuan di kota ini,
mereka tak menghiraukan dan melanjutkan perjalanan masuk ke kota.
Hanya Buyung Hong, dia jarang keluar rumah, kejadian ini menarik
perhatiannya, dengan heran ia bertanya: "Aneh benar, kenapa begitu banyak
pengemis yang berkumpul dikota ini?"
"Nona," sahut Ji-lopiautau setengah berbisik: "Lebih baik jangan mencampuri
urusan orang, mereka adalah orang Kay-pang, perkumpulan terbesar kaum
jembel."
"Kaum pengemis juga punya perkumpulan?" pikir Buyung Hong, ia semakin
tercengang, namun tidak bertanya lagi.
Walaupun pengemis itu berpakaian dekil dan pepuh tambalan, rata2 tubuh
mereka tegap dan bertenaga besar, mukanya kereng, matanya tajam, siapapun
akan tahu mereka semuanya berilmu silat tinggi.
Masing2 pengemis itu menggembol karung goni di punggungnya, ada yang
memiliki tiga ada pula yang empat, yang paling banyak tujuh buah, paling sedikit
dua buah.
Tongkat Tah-kau-pang yang mereka bawapun ber-beda2, ada yang berwarna
hijau, ada yang berwarna kuning dan ada pula yang berwarna hijau muda.
Buyung Hong kurang berpengalaman, sudah tentu ia tak tahu apa arti dari
karung goni serta tongkat Tah-kau-pang itu, berbeda dengan paman Lui. Jo-
lopiautau serta Tay-pek-siang-gi, mereka mengetahui dengan jelas apa arti
ksrung goni serta warna tongkat itu, sebab dari tanda2 itulah mereka
mengetahui tingkat kedudukan pengemis2 itu dalam perkumpulannya.
Kalau Buyung Hong merasa heran, maka Ji lopiautau sekalian diam2 ber-tanya2,
sebab dari sekian banyak pengemis yang berkeliaran, mereka melihat banyak
pengemis yang membawa tujuh buah karung goni, itu menandakan kedudukan
mereka sudah mencapai tingkatan Tianglo (tertua), dari sini dapat ditarik
kesimpulan bahwa pertemuan yang akan diselenggarakan pastilah pertemuan
besar yang penting artinya.
Meneruskan perjalanan lebih ke depan, mereka bertemu semakin banyak
pengemis yang bergerombol, ketika tiba di suatu persimpangan jalan mereka
pada berbelok masuk ke sebuah lorong yang panjang dan sempit.
Tian Pek tak dapat menahan rasa ingin tahunya, ia lantns berbisik: "Menurut apa
yang kuketahui, perkumpulan kaum pengemis selamanya berada di bawah
pengaruh Toan-hong Kongcu, kenapa hari ini mereka berkumpul di wilayah
kekuasaan An-lok Kongcu? Jangan2 telah terjadi sesuatu yang luar biasa?"
"Benar dugaan Hiantit" sahut paman Lui seraya mengangguk. "Hayo berangkat,
kita lihat apa yang terjadi!" Selesai berkata ia mendahuluhi menyusuri lorong
panjang itu. Terpaksa Ji-lopiautau, Tay-pek Siang-gi dan lain2 mengikutinya.
Lorong ini memang panjang sekali, sudah lima puluh tombak mereka
memasukinya tapi belum juga sampai di ujung lorong.
Selagi mereka berjalan ke depan tiba2 di suatu persimpangan jalan muncul tiga
orang pengemis dengan Tah-kau-pang melintang di depan dada, mereka
mengadang di tengah jalan.
Salah seorang pengemis yang membawa empat karung goni mengangguk dan
berseru: "Berhenti! Tampaknya tuan yang berduit juga jago dunia persilatan,
masakah tidak kalian lihat di ujung lorong situ sedang diadakan pertemuan
kaum pengemis kami?"
Paman Lui ter-bahak2: "Kami justeru adalah sahabat kaum pengemis, sengaja
kami datang ke sini untuk ikut memeriahkan pertemuan ini!"
Ucapan tersebut membuat ketiga pengemis itu tertegun, mereka melototi
paman Lui, sementara air mukanya berubah tak menentu, jelas mereka merasa
curiga.
Potongan paman Lui memang dekil, rambutnya awut2an, cambangnya lebat,
kecuali jubah hijau-nya masih tampak agak bersih, boleh dibdang ia-pun mirip
seorang pengemis.
Lama ketiga orang pengemis itu mengamati paman Lui, akhirnya salah seorang
pengemis berjenggot panjang yang berada di ujung kiri tertawa dingin dan
berkata: "Hebehe, mata yang celi tak nanti kemasukan pasir, sobat! Kalau kau
ingin berbohong di hadapan kami, itu artinya matamn sudah buta. Hm, pertama
kau tidak membawa penunjuk tingkat, kedua kaupun tidak membawa tanda
pengenal. Hanya dengan beberapa patah kata saja lantas kau ingin bertemu
dengan Cousuya? Huh, jangan mimpi!"
Ji lopiautau terperanjat, cepat ia maju ke muka dan menegasi, “Ah, jadi
perkumpulan kalian mengadakan upacara kebaktian disini?"
Ketiga pengemis itu tidak menjawab, mereka hanya tertwa dingin.
Paman Lui jadi mendongkol, serunya lantang, "Lohu adalah Lui Ceng-wan,
Tianglo kalian Hong-jen-san-kay saja tak berani bersikap kurang ajar kepadaku,
kalian angkatan muda berani takabur? Hm! Sungguh menjengkelkan!" Tanpa
menggubris lagi ia terus menerjang masuk dengan langkah lebar.
Tiga pengemis itu membentak, tiga batang Tah-kau-pang serentak beegerak,
dua batang tongkat menyodok Hiat-to penting di dada paman Lui, sedangkan
toya yang ketiga mengancam batok kepala,
Sebagaimana diketahui, lorong itu sempit tapi panjang, kaarena ketiga pengemis
itu turun tangan bersama lorong lantas tersumbat oleh putaran toya mereka,
dalam keadaan bertangan kosong, jika paman Lui nekat dan menerjang terus,
niscaya dia akan dilukai oleh ketiga toya itu.
Paman Lui bukan jagoan lihay kalau cuma serangan itu saja tak bisa dihindari,
sudah puluhan tahun ke-27 jurus Thian-hud ciang-nya tersohor di dunia
persilatan, cuma sayang ketiga orang pengemis ini masih muda. meski paman
Lui sudah menyebutkan namanya, ketiga pengemis itu masih tidak tahu manusia
aneh yang dihadapi mereka sebenarnya adalah Thian-hud-ciang Lui Ceng-wan.
Tatkala ketiga batang Tah-kau-pang yang menyambar bagaikan angin puyuh dan
hujan badai itu hampir mengenai tubuh paman Lui, tiba2 paman Lui
menghardik: "Mundur .... !"
Sekali ujung bajunva mengebas ke depan angin puyuh yang tajam kontan
menghajar ketiga pengemis itu hingga (trgetar mundur lima enam langkah,
hampir saja toya kuning mereka terlepas dari cekalan.
Sunggub kaget ketiga pengemis itu, bukan saja mereka merasa telapak tangan
jadi sakit, separoh badan terasa kaku, hawa murni dalam perut serasa bergolak,
mereka menjerit kaget: "Hati2, ada sasaran keras hendak menerjang maju"
Setelah teriakan itu, serentak dari empat tempat melompat keluar belasan
pengemis lagi.
Pengemis yang muncul ini rata2 membawa lima buah karung goni dengan
tongkat bambu, ini menunjukkan mereka adalah tokoh pengemis angkatan
kedua.
Berbareng itu pula di atap rumah terdengar suara gendewa dipentang orang,
ketika Tian Pek sekalian menengadah, tertampaklah berpuluh jago Kay-pang
telah berdiri di sepanjang atap rumah dengan mementang gendewa dan peluru
siap dibidikkan.
Semua oreng terkesiap, mereka tak mengira pihak pengemis telah
mempersiapkan diri di sekitar itu, bukannya mereka takut menghadapi serangan
peluru itu, tapi bertarung di lorong yang sempit jelas tidak menguntungkan,
apalagi jika mereka dihujani peluru dari atas, tentu mereka akan kerepotan.
Buru2 Tian Pek berseru: “Aku ini Tian Pek sengaja datang kemari untuk
menyambangi Toan-hong Kongcu, tolong kalian sudi melaporkan kunjungan
kami ini kepadanya!"
Baru lenyap suaranya, seorang pengemis tua berkarung goni lima buah segera
tertawa dingin dan menjawab: "Kami sudah merasakan kelihayanmu sewaktu
berada di lembah kematian dahulu, dan sekarang kami harap kalian jangan
sembarangan berkutik dulu!"
Kiranya pengemis ini pernah ikut serta dalam pertarungan melawan "sepasang
pengawal baja" dari istana Kim di "Lembah kematian", dulu oleh karena Tian Pek
juga ikut dalam pertarungan itu, dan lagi banyak korban yang berjatuhan dipihak
Kay-pang, maka ia kenal dengan pemuda kita.
Setelah mengucapkan kata2 tadi, pengemis itu keluarkan beberapa utas tali dari
karungnya dan dilemparkan ke hadapan Tian Pek sembari berkata lagi: "Asal
kalian bersedia menyerah dan membelenggu diri sendiri, kami tak akan
menyusahkan kalian, setelah bertemu dengan Cousuya nanti, cukup sepatah
ksta beliau lantas kalian akan kami lepas. Tapi kalau membangkang . . .Hmm!
Hmm!"
Setelah mendengus ia melirik sekejap ke atap rumah dan melanjutkan dengan
nyaring: "Terpaksa kami akan mcmpersilakan kalian mencicipi bagaimana
rasanya Bak-cu (peluru daging)!"
Tian Pek naik pitam, begitu pula jago lainnya semuanya mendongkol dan gemas.
Paman Lui tertawa dingin, katanya: "Hehehe. selama ini perkumpulan pengemis
bisa tancapkan kaki di dunia persilatan adalah lantaran kalian tak mencampuri
urusan orang, maka anggotanya bisa tersebar luas sampai ke-mana2, bila cara
kalian main menjebak begini, hmm, kukira sebentar saja perkumpulan pengemis
akan hancur musnah di tangan kalian!"
Pengemis bertongkat bambu itu balas tertawa dingin, katanya: "Huh, kematian
sudah di depan mata masih berani bicara besar! Mulai sekarang aku akan
menghitung sampai angka kelima, kalau angka lima sudah kusebut dan kalian
belum juga menyerahkan diri akan kuperintahkan mereka menghujani kalian
dengan seribu peluru!"
Selesai bicara dia lantas angkat jari tangannya ke atas sambil berteriak;
"Satu ... !"
Paman Lui masih berdiri tak acuh, Tian Pek pun tidak menunjukkan reaksi apa2.
"Dua . . . .!" pengemis itu menekuk jari yang kedua.
Paman Lui masih berdiri sekukuh bukit, sementara Tian Pek dan lain2 sudah siap
siaga.
"Tiga ....!" kembali pengemis itu berseru sambil menekuk jari tangannya yang
ketiga. Serentak kawanan pengemis yang berada di atas rumah memasang
gendewa masing2 dengan peluru besi.
"Empat .... !" begitu disebutkan hitungan ke-empat, segera gendewa berisi
peluru besi itu diarahkan ke bawah, tertuju sasarannya.
Paman Lui masih diam saja, sedangkan Tian Pek, Buyung Hong, Ji lopiautau serta
Tay-pek-siang-gi sama berkeringat dingin dan ingin melabrak musuh.
Bila hitungan kelima si pengemis bambu hijau itu disebutkan, tak bisa
dihindarkan lagi pertarungan dahsyat pasti akan berkobar.
"Tahan ...,!" untunglah pada saat terakhir terdengar seorang membentak keras,
menyusul munoul tiga sosok bayangan.
Ketiga orang itu adalah tiga pengemis tua ber-usia enam puluhan, mereka
adalah tiga Tianglo perkumpulan pengemis yang terkenal sebagai Hong-jan-sam-
kay.
Dari kejauhan, pengemis sinting Coh Liang lantas bcrseru dengan lantang: "Hei,
Lui sinting! Baik2kah selama ini?"
"Hahaha, kau sendiri kan tersohor sebagai orang sinting!" sahut paman Lui
sambil ter-bahak2.
Si pengemis tuli memandang kawanan jago itu dengan sinar mata mencorong,
sementara pengemis pemabok memicingknn mata dan berkata sambil ter-
bahak2: "Hahaha, belasan tahun tak ketemu, kegagahan Lui sinting masih sama
juga seperti dulu!"
Paman Lui tersenyum getir: "Sudahlah, kalian tak usah memuji, andaikata
watakku masih berangasan seperti dulu, cara kalian menyambut kedatanganku
ini mungkin sudah menimbulkan banjir darah "
Pengemis sinting Coh Liang melihat anak buahnya masih berada dalam siap
siaga dengan pedang terhunus dan gendewa tertuju pada sasaran. dia lantas
menghardik: "Mau apa kalian berada di sini? Hayo mnudur semua! Hm, kalian
benar2 tak tahu diri, hanya kalian ini masa mampu menahan Thian-hud-ciang Lui
Ceng-wan, Lui-tayhiap, yang termashur pada puluhan tahun yang lalu?"
Dengan sikap hormat serentak pemanah yang berada di atap rumah serta kaum
pengemis yang memenuhi lorong sempit pada mengundurkan diri semua.
Sepeninggal pengemis2 itu, si pengemis sinting baru berkata kepada Paman Lui:
"Maklumlah, anak buah kami tak ada yang kenal kau, harap kau jangan marah
kepada mereka!"
Setelah orang minta maaf, paman Lui tak bisa ngotot lagi, iapun berkata: "Bicara
tentang hubungan persahabatan kita yang sudah berusia puluhan tahun, kenapa
kalian mesti sungkan2 kepadaku? Eh, omong2, kalian kaum pengemis biasanya
hidup tersebar kenapa sekarang berkumpul di kota kecil ini?"
Sesuai julukannya, pengemis tuli tak dapat mendengar pembicaraan orang lain,
ia sendiripun tak pandai bicara, maka sejak tadi dia cuma membungkam saja,
sedangkan pengemis pemabuk tampak setengah melek setengah meram dan
jarang pula bicara. Maka selama pembicaraan berlangsung hanya si pengemis
sinting saja yang melayani tamunya ber-cakap2.
Atas pertanyaan tersebut, ia menjawab: "Ai, soal ini panjang sekali kalau
diceritakan, tempat ini bukan tempat untuk berbicara, hayo, kita bicara di dalam
sana!"
Paman Lui tertawa, katanya: "Mau undang kami sih boleh saja, tapi kau harus
tahu, kumi belum bersantap siang karena baru saja sampai di sini. Sedangkan
kaum pengemis kalian biasanya makan dari minta2, kukira lebih baik kami
bersantap dulu di restoran kemudian baru berkunjung lagi!"
Sehabis berkata dia lantas hendak berlalu.
Cepat pengemis sinting menyambar lengan paman Lui, serunya: "Ah, perkataan
macam apa ini? Meskipun kami ini miskin, untuk menjamu beherapa orang saja
bukan soal. Hayo jalan! Kalau kau menampik lagi, itu namanya tidak
menghormati teman!"
------------
Ada peristiwa apa yang menyebabkan Kay-pang mengadakan rapat besar di sini?
Cara bagaimana Tian Pek akan mengatasi soal2 pribadi yang merisaukan ini?
-------------
Jilid ke 23 : Rencana Su-kongcu melawan Lam-hay bun
Pengemis pemabuk juga menimbrung sambil ter-bahak2: "Hahaha, Lui sinting,
jangan kau kira si pengemis pasti miskin, melulu cupu2ku ini saja tak pernah
kuisi dengan sembarangan arak. Tidak percaya? Buktikan sendiri, di cupu2 ini
masih ada sepuluh kati arak Kui-ciu-mo, hayolah kita minum tiga ratus cawan..."
Dia lantas membuka tutup cupu2 itu dan di-goyangkan di hadapan tamunya,
bau barum segera menyebar ke udara dan terbukti isi cupunya memang arak
wangi kelas satu.
Pengemis tuli yang ada disampingnya tiba2 pegang lengan rekannya dan
menggoyang tangannya berulang kali sambil unjuk muka murung dan
menirukan gaya orang sempoyongan, maksudnya minta pengemis pemabuk
jangan minum, sebab kalau minum bisa mabuk lagi.
Dengan isyarat tangan pengemis pemabuk memberitahukan kepada pengemis
tuli bahwa bukan dia yang akan minum, melainkan hendak mengundang paman
Lui untuk minum.
Setelah mengetahui muksudnya, pengemis tuli mengangguk, lalu kepada paman
Lui ia tuding sini, ulur leher dan melototkan mata, sampai sekian lama ia
berblcara dengan bahasa isyarat.
Paman Lui tak tahu aps yang dimaksudkan untunglah pengemis pemabuk segera
memberi penjelasan, barulah paman Lui tahu bahwa pengemis tuli mengundang
tamu2nya unluk makan ayam pengemis", semacam masakan khas kaum jembel.
Paman Lui ter-bahak2, sambil mengangguk kepada pengemis tuli, sahutnya:
"Hahaha, jangan kuatir, hari ini kami pasti akan bersantap sampai kenyang!"
Begitulah, sambil bergurau mereka menyusuri lorong itu, akhirnya mereka
berbelok pada suatu tikungan dan sampailah di suatu tanab lapang yang luas.
Sekeliling adalah tanah persawahan yang tak bertepian, tepat didepan sana
adalah sebuah bangunan besar, model bangunan itu mirip sebuah kuil, namun
tiada patung pemujaan di situ, mirip pula tempat sembahyang abu keluarga, tapi
tidak nampak pula tempat abunya.
Halaman luas di depan gedung itu sudah penuh dengan pengemis, ketika
melihat Hong-jan-sam kay datang dengan membawa tamu, mereka lantas
menyingkir dan berdiri dengan sikap hormat.
Setelah melewati halaman pekarangan, mereka masuk ruang tengah yang besar,
dalam ruangan berduduk puluhan orang pengemis tua yang terbagi menjadi dua
kelompok, masingZ kelompok duduk di atas lantai, tampaknya mereka termasuk
kaum Tianglo yang berkedudukan tinggi.
Di dinding tepat ruangan tergantung sebuah lukiisn yang besar, lukisan itu
menggambarkan seorang pengemis tua yang berbaju tambal sulam, bermuka
kecil, beralis panjang dan berambut kaku seperti duri landak, maskipun duduk
bersila, namun wajahnya berwibawa.
Di atas lukiian itu tertera beberapa huruf yang berbunyi: "Cikal-bakal
perkumpulan Tiong-ciu-sin-kay Tang Tiau-tong"
Di bawah tertera pula tulisan yang berbunyi: "Dipersembabkan oleh murid Kay-
pang angkatan kedua, Tan-cing-biau-jiu Ce Pek-tik".
Memang tak malu orang yang bernama Ce Pek-sik itu berjuluk Tan-cing-biau-jiu
atsu pelukis ulung, sebab dilihat dari lukisannya yang setinggi beberapa kaki itu
memang sangat hidup dan sedap dipandang, bisa diketahui bahwa kepandaian
melukisnva amat sempurna.
Di depan lukisan itu terdapat meja sembahyangan dan teratur sesajian
bebuahan, asap dupa menyelimuti udara dan menambah khitmadnya suasana.
Di kedua sisi meja sembahyang itu masing2 ber-duduk An-lok Kongcu yang
terkenal romantis serta Toan-hong Kongcu yang susah dicari jejaknya, dari
tingkat kedudukan mereka rupanya kedua Kongcu ini menempati kursi utama.
Hal ini membuat Tian Pek melenggong, apa-iagi dilihatnya pula seorang nona
cantik di samping Toan-hong Kongcu sedang memandangnya lekat, ia tambah
melongo.
Kiranya nona cantik itu bukan lain ialah Wan-ji yang jatuh cinta padanya itu.
Tergetar perasaan Tian Pek, timbul perasaan aneh demi menyaksikan Wan-ji
duduk di sampiug Toan-hong Kongcu. perasaan aneh yang belum pernah dialami
sebelumnya.
Wan-ji lincah dan polos, dia mencintai Tian Pek, adalah omong kosong jika
dibilang Tian Pek tidak tahu. Tapi oleh pelbagai pihak, akhirnya ia dijodohkan
kepada Buyung Hong, enci Wan-ji sendiri, tentu saja sejak itu Tian Pek terpaksa
memendam cinta Wan-ji itu di lubuk hatinya.
Walaupun demikian, ketika menyaksikan nona itu duduk di samping Toan-hong
Kongcu, serta merta timbul perasaan cemburu dalam hati Tian Pek, inilah
penyakit umum setiap lelaki, tidak terkecuali jago muda itu,
Untunglah Tian Pek masih memiliki kemampuan orang lain, segera terpikir
olehnya bahwa Wan-ji memang setimpal kalau dijodohkan kepada Toan-hong
Kongcu, apabila kedua orang itu dapat hidup berbahagia, bukankah sama juga
dengan mengurangi kepusingan sendiri menghadapi urusan perempuan?
Di pihak lain, Toan-hong Kongcu sendiripun tertegun, rupanya ia tak menduga
Tian Pek bakal muncul di situ.
Berbeda dengan An-lok Kongcu yang periang dan berhati terbuka, lantaran dia
berambisi merajai dunia persilatan, tujuannya bergaul memang untuk
mengumpulkan pembantu yang kuat, iapun tahu Tian Pek adalah jago yang luar
biasa, sejak mula ia sudah berminat menarik pemuda ini ke pihaknya, maka
mehhat kemurculan Tian Pek, dia lantas bangkit dan maju ke muka, ia pegang
tangan Tian Pek dan berkata dengan hangat: "Saudara Tian, sama sekali tak
kusangka kita akan berjumpa di sini, selamat bertemu! Selamat bertemu!"
Dalam pada itu Wan-ji juga berbangkit dan memberi hormat kepada paman Lui
serta encinya.
Paman Lui agak melongo setelah tahu penyelenggara pertemuan besar kaum
pengemis ini adalah keturunan kedua pemuka persilatan, lebih2 tak mengra
Wan-ji bisa muncul lebih dulu di sini.
"Wan-ji!" ia lantas menegur, "Kenapa kau berada di sini?"
Wan-ji tertawa, sahutnya: "Keponakan datang kemari karena diundang sebagai
tamu!"
Ketika berbicara matanya mengerling sekejap ke arah Tian Pek.
Se-bodoh2 pemuda itu, iapun tahu Wan-ji sedang menjelaskan kepadanya
bahwa bukan datang ber-sama2 Toan-hong Kongcu ....
Hong-jan-sam-kau lantas memperkenalkan tamu2nya kepada kawan jago yang
hadir, saat itu-lah paman Lui teringat akan sesuatu, beberapa tahun berselang
tersiar berita di dunia persilatan bahwa Cing-tiok-siu (kakek bambu hijau), ketua
perkumpulun pengemis yang dulu, entah apa sebabnya telah menyerahkan
pucuk pimpinan perkumpulaunya kepada Toan-hong Kongcu ini setelah melihat
kcnvataan di depan mata ini ia baru yakin berita tersebut ternyata memang
benar.
Teringat akan soal ini, tanpa terasa paman Lui mengamati Toan-hong Kongcu
beberapa kejap. Jago tua ini ingin tahu, keistimewaan apakah yang dimiliki
pemuda yang tumpak lemah-lembut itu, sehingga dapat menarik perhatian
Cing-tiok-siu dan dibebani tugas untuk memimpin perkumpulan pengemis yang
tak terhitung jumlah anggotanya itu.
Apa yang terlihat kemudian telah mengecewakan paman Lui, ia lihat meskipun
Toanhong Kongcu duduk di kursi utama, namun hatinya tak tenang, matanya
jelilatan ke kiri-kanan, duduknya tak tenang dan gelisah tampaknya.
Tampangnya memang tampan, namun sedikitpun tak ada wibawa sebagai
seorang pernimpin besar.
"Ai, bagaimana dengan Cing-tiok-siu itu?" pikir paman Lui sambil menghela
napas, “Mengapa mencari ahliwans begini jelek . . . . "
Sementara paman Lui masih melamun, tiba2 Toan hong Kongcu berkata sambil
beikerut dahi:
"Aneh, kenapa sampai sekarang orang yang kita undang belum kunjung tiba?"
Baik Hong-jan-sam-kau maupun kawanan pengemis berusia lanjut itu, semuanya
mengunjuk wajah gelisah dan cemas, terdengar pengemis sinting menyahut:
"Tecu sekalian telah menyampaikan semua undsngan ke alamat yang benar,
malahan dari merekapun sudah mendapat balasan. Aneh, sungguh aneh sekali,
kenapa sampai waktunya belum datang juga?"
"Jangan2 terjadi sesuatu di luar dugaan?" ujar pengemis pemabuk dengan wajah
seriua, saat ini ia kelihatan segar dan sama sekali tak terpengaruh oleh arak.
"Ah, jangan2 si pengirim surat kita kurang rapat menjaga rahasia sehingga
ketahuan orang dan mereka turun tangan lebih dulu .... " kata An lok Kongcu
sambil mcnghantam paha sesdiri dengan kitab bututnya.
Sebelum An-lok Kongcu melanjutkan kata2nya, mendadak Toan-hong Kongcu
mengerling ke arah-nya dan memberi kode, melihat kode itu An 1ok Kongcu
segera membungkam kembali.
Ji-lopiautau bukan anak kemarin sore, melihat sikap orang2 ini, dia lantas
menyikut tubuh paman Lui sendiripun sudah merasakan keganjilan itu, ia tahu
baik kedua Kongcu itu maupun para pengemis dari Kay-pang hakikatnya tidak
ingin menerima mereka sebagai tamu.
Sebagai seorang jago yang gagah perkasa, tentu saja paman Lui tak tahan
menghadapi sikap dingin tersebut, ia lantas berbangkit dan berseru: "Kalau
perkumpulan pengemis sedang menghadapi urusan, biarlah kami mohon diri
saja!" — Habis berkata lantas berpaling kepada Ji-lopiauthau, Tay-pek-siang-gi.
Tian Pek serta Buyung Hong dan berkata: "Hayo kita pergi!"
Tanpa menunggu lagi ia putar badan dan berlalu lebih dulu dan situ.
"Paman Lui, akupun ikut pergi . . . "tiba2 Wan-ji berseru sambil berbangkit.
Cepat An-lok Kongcu berbangkit dan meng-alangi kepergian mereka, katanya:
"Lui-tayhiap, saudara Tian, duduklah sebentar, masih ada persoalan yang
hendak kami rundingkan!"
Hong-jan-sam-kau juga berusaha menahan ke-pergian paman Lui.
Tapi sesuai watak paman Lui yang keras, sekali bilang pergi siapapun tak bisa
menahannya lagi.
Tiba2 si pengemis pemabuk berseru dengan mata melotot: "Mau pergi boleh
saja, tentunya kalian tidak keberatan mencicipi dulu dua ekor ayam pengemis
dan satu cupu arak Mo-tay-ciu milikku ini?”
"Setan arak, maksud baikmu kuterima di dalam hati saja, kesempatan kan masih
banyak, lain kali saja!" tampik paman Lui, dengan langkah lebar ia menuju ke
pintu luar.
Cepat si pengemis sinting melayang ke depan pintu dan mengadang jalan pergi
paman Lui, dengan lagak marah bentaknya: "Lui sinting jadi kau tak pandang
sebelah mata kepada kami tiga pengemis tua?"
"Hehehe. bila demi kalian tiga pengemis tua sekalipun kedua ketiakku ditusuk
pisau, jika aku Lui Ceng-wan berkerut dahi, anggap saja bukan se-orang lelaki,
akan tetapi . . . .hmm!" Tiba2 paman Lui mendengus dingin dan menambahkan:
"Kalau suruh orang she Liu duduk di bangku dingin dan menghadapi muka
masam anak muda dan semuanya itu hanya untuk meneguk dua-tiga cawan
arakmu, huh, lebih baik kupergi saja dari sini!"
Hong-jin-sam-kau menjadi serba salah, mereka melirik sekejap ke arah Toan-
hong Kongcu yang duduk dikursi utama, mereka tahu kesombongan
Toan-hong Kongcu telah membuat paman Lui tak senang hati.
Walaupun demikian, mereka bertiga tak mampu berbuat apa2, sebab
bagaimanapun Toan-hong Kongcu adalah Ciangbunjin mereka, sekalipun
kedudukan Hong-jan-sam-kau amat tinggi, sudah tentu mereka tak dapat
menegur ketuanya dengan begitu saja, untuk sesaat mereka jadi tertegun
sendiri.
Toan-hong Kongcu sejak tadi diam saja, tiba2 ia berkata: ' Mau datang boleh
datang, mau pcrgi biarkan pergi! Kaum peudekar di daratan Tionggoan
banyaknya tak terhitung, tambah beberapa orang tak terlampau banyak,
berkurang sedikit juga tak menjadi soal, kenapa kita mesti menahan orang
dengan paksa!"
Dengan gusar paman Lui berpaling, sambil tertawa dingin serunya: "Hehehe,
tolong tanya, manusia2 macam apakah yang bisa dikatakan sebagai kaum
pendekar dari daratan Tionggoan?"
Tay-pek-siang-gi ikut berkata dengan nada ketus: "Hmm, tampaknya kita harus
tetap tinggal di sini ingin sekali kusaksikan manusia macam apakah yang
dianggap sebagai kaum pendekar dari daratan Tionggoan?"
Jangankan orang lain, Ji-lopiautau yng paling sabarpun merasa gemas.
Sebagai jago silat yang tiap hari bergelimpangan di ujung golok, pada
hakekatnya yang mereka cari hanyalah soal "nama", dan sekarang Toan-hong
Kongcu mengucapkan kata2 sama sekali tak pandang sebelah mata kepada
mereka, tak heran kalau mereka jadi naik darah.
Padahal dengan kedudukan Toan-hong Kongcu sekarang, tidak semestinya ia
bersikap begitu picik dan berjiwa sempit, sebagai seorang "Bengcu" yang
diangkat lantaran dia adalah ketua Kay-pang yang besar, dalam usaha
menentang penjajahan Lam-hay bun di daratan Tionggoan, mestinya ia
memperlakukan sopan tiap jago yang berkumpul, sebab tujuannya menyebar Bu
lim-tiap (surat undangan Bu-lim) ialah mengumpulkan kekuatan untuk
menyelamatkan dunia persilatan.
Apa mau dikata, hatinya telah dibakar lebih dulu oleb rasa cemburu, tidaklah
heran kalau sikap maupun ucapannya tadi sedemikian ketus dan tak sedap
didengar.
Soalnya secara diam2 ia mencintai Wan-ji, namun setiap ada kesempatan untuk
berkumpul dengan nona idamannya ini, kesempatan tersebut selalu dirusak
oleh kehadiran Tian Pek, hal ini membuatnya dendam dan cenburu terhadap
saingan cinta ini.
Tatkala Lam-hay-bun menyerang dan menjajah daratan Tionggoan, pada
kesempatan yang baik ini ia terpilih sebagai Bu-lim-bengcu yang akan memimpin
umat persilatan untuk menentang kehadiran Lam-hay-bun. terlepas dari berhasil
atau tidak-nya perjuangan itu, dengan usianya yang semuda itu ternyata dapat
menduduki kursi paling tinggi di dunia persilatan, sedikit banyak kejadian ini
merupakan kebanggaan baginya.
Selagi usahanya mencapai puncaknya, secara kebetulan ia bertemu dengan
Wan-ji, dengan segala bujuk ravu akhirnya ia berhasil mengundang Wan-ji untuk
menghadiri pertemuan ini, maksudnya agar nona itu menyaksikan kegagahan
serta wibawanya di depan umum, kemudian akan mencari kesempatan untuk
meminang nona itu agar menjadi isterinya.
Apa mau dikata, sebelum kawanan jago persilatan yang diundang berdatangan
dan sebelum upacara pengangkatan sumpah dimulai, Tian Pek dan psman Lui
sekalian keburu tiba lebih dulu.
Mendingan kalau mereka cuma hadir, ternyata Wan-ji segera mengalihkan
kerlingan matanya ke tubuh Tian Pek, hal ini membuat Toan-hong Kongcu
merasa kepalanya seperti diguyur air dingin, rasa cemburunya kontan berkobar.
Sebab itulah ia jadi kehilangan wibawa sebagai seorang "Beng-cu", malahan
sikap dan ucapannya lantas menyinggung perasaan orang lain.
An-lok Kongcu lebih pandai bergaul, ia merasakan gelagat yang tidak
mengenakkan, ia kuatir kedua belah pihak jadi sama ngotot sehingga bukan saja
gagal untuk mempersatukan umat persilatan, malahan bibit permusuhan bisa
terikat lebih dalam.
Cepat ia maju ke depan dan berkata: "Aku minta jangan kalian ribut dan cekcok
hanya karena soal sepele, bicara sebenarnya, kali ini Siaute dan Toan-hong
Kongcu sengaja mengundang para pahlawan untuk berkumpul di sini adalah
karena ada persoalan yang gawat dan besar sekali pengaruhnya bagi mati-hidup
dunia persilatan kita"
An-lok Kongcu bukan saja sudah menjadi penengah untuk mendamaikan kedua
pihak yang berselisih, ia pun telah meningkatkan kedudukannya sendiri di mata
orang. Tatkala melihat semua orang telah pusatkan perhatian untuk
mendengarkan perkataannya, tanpa terasa timbul rasa bangganya.
Dengan tenang ia lantas menyambung pula: "Pembantaian serta perbuatan keji
orang2 Lam-hay-bun setelah menginjakkan kakinya di sini telah membuat banjir
darah daratan Tionggoan, itulah sebabnya kami Bu lim-su-kongcu sengaja
mengundang kawan2 dari tujuh aliran besar serta rekan2 dari pelbagai daerah
untuk berkumpul di sini dan merundingkan masalah ini, tujuan yang terutama
tentu saja untuk mengusir orang2 Lam-hay-bun, selain itu kita juga akan
membalas dendam bagi rekan2 persilatan yang telah menjadi korban, kedua
untuk menegakkan kembali kewibawaan umat persilatan yang kini telah porak
poranda. "
Baru ssja An-lok Kongcu berkata sampai di sini, tiba2 Toan-hong Kongcu
berdehem dan menimbrung: "Selaku ketua perkumpulan kaum pengemis aku
akan memimpin operasi pembalasan dendam ini!"
Ucapan yang sombong dan takabur, sungguh tiada ubahnya seperti anak kecil
yang tak tahu diri.
Kontan air muka An-lok Kongcu berubah, bahkan Hong jan-sam-kay sebagai
Tianglo perkumpulan pengemispun tampak melenggong mendengar ucapan itu.
Hanya sejenak An-lok Kongcu lantas tenang kembali, ia tertawa dan menyahut:
"Benar, dewasa ini memang Toan-hong Kongcu yang memimpin perkumpulan
ini, tapi setelah kawan2 dari pelbagai daerah berkumpul semua di sini seperti
yang di-rencanakan, tentu saja akan diadakan perombakan kembali susunan
kepemimpinan ..."
Ucapan ini tiada ubahnya telah mengurangi bobot Toan-hong Kongcu.
Dengan wajah tak senang Toan-hong Kongcu lantas berpaling dan menegur:
"Eeh, saudara In Ceng, kenapa kau berkata begitu? Bukankah sebelumnya kita
sudah merundingkan persoalan ini masak-masak?"
An-lok Kongcu tertawa dan menyahut. "Yang kita bicarakan kan keadaan dewasa
ini, andaikata kawan-kawan dari pelbagai daerah sudah berkumpul dan diantara
mereka terdapat tokoh yang memiliki kemampuan serta kewibawaan yang
melebihi saudara Sugong, tentu saja kita akan melakukan pemilihan kembali!”
Walaupun kedua Kongcu itu cuma saling berdebat, tapi bagi pendengaran
paman Lui yang berpengalaman, ia lantas dapat meraba ada hal-hal yang kurang
beres di antara mereka.
Segera ia tertawa dan berkata: “Hahaha, kalau begitu pertemuan ini pastilah
suatu pertemuan besar yang jarang dijumpai, setelah orang she Lui disini,
sepantasnya pertemuan besar ini tak boleh kulewatkan dengan begitu saja!
Saudara Ji dan dua saudara Tay-pek, bagaimana pendapat kalian?”
“Ya, pertemuan besar yang jarang ditemui ini tak boleh dilewatkan dengan
begitu saja, kita harus ikut menghadirinya!” sahut Ji-lopiautau dan Tay pek
siang-gi berbareng.
Paman Lui berpaling pula kepada Tian Pek, Buyung Hong dan Wan-ji, tanyanya
pula : “Tian hiantit, bagaimana pendapat kalian?”
Sebagai angkatan yang lebih muda, tentu saja Tian Pek, Buyung Hong dan Wan-ji
tak berani mengomentari apa-apa, mereka pun setuju saja.
Maka sambil ter-bahak2 paman Lui berpaling kepada Hong-jan-sam-kay dan
berkata: "Hahaha, asal perkumpulan kalian tidak mengusir tamu, tentu saja kami
bersedia tetap tinggal di sini!"
Sementara itu Hong-jan-sam-kay sedang dibuat kikuk oleh sikap ketua mudanya
yang tak becus, mendengar ucapan tersebut mereka pun lantas mengalihkan
pokok pembicaraan ke soal lain, sahutnya: “Bagus, nanti kami tiga pengemis tua
pasti akan menjamu kau Lui sinting untuk menikmati Kiau hun-toa-cay (sayur
lengkap kaum pengemis).,. .!" Habis bicara, mereka lantas memerintahkan anak
buahnya menyiapkan hidangan.
Ji-lopiautau ikut ter-bahak2 katanya: "Aku sudah mengarungi utara maupun
selatan sungai besar, sudah kucicipi sayur Kanton, sudah pula kucicipi masakan
Sujwan, tapi belum pernah rasakan masakan sayur lengkap kaum pengemis,
Hahaha, bukan saja mata akan terbuka, perutpun akan ikut puas."
Si-hoat-jin dari Tay-pek-siang-gi melotot dan berseru: 'Ji-lopiautau, kau jangan
bicara seenaknya, kapan orang lain mengundang kau makan? Yang diundang
pengemis2 itu kan cuma Thian-hud-ciang Lui-tayhiap seorang!"
Pengemis sinting Coh Liang cepat menimbrung: "Eeh, sebetulnya kau orang
hidup mati atau Orang mati yang hidup? Aku si pengemis tua tak bisa
membedakan dengan jelas mana kakaknya dan adik-nya. Ah, sudahlah, kalau
mengundang tentu saja semuanya kuundang, memangnya kami menganggap
kalian ini orang mampus sungguh2?"
Sejenak kemudian, berpuluh pengemis masuk ke dalam ruangan, ada yang
membawa nasi, ada yang membawa sayur, hanya sekejap sepuluh meja "Sayur
lengkap kaum pengemis" telah dihidangkan.
Kesepuluh meja ini dihidangkan di dalam ruangan, sedangkan meja perjamuan
di luar halaman sukarlah dihitung.
Buat paman Lui, Ji lopiautau dan Tay-pek-siang-gi yang berpengalaman, apa
yang mereka lihat tidaklah mengherankan, Tapi Tian Pek belum lama berkelana,
Buyung Hong dan Wan-ji adalah anak pingitan. mereka heran pada perjamuan
besar kaum pengemis yang luar biasa ini.
Sayur lengkap kaum pengemis yang dimaksudkan Hong-jan-sam-kay tadi
memang hidangan yang lain daripada yang lain.
Pada setiap meja dihidangkan delapan piring dan delapan mangkuk yang terdiri
dari masakan ayam, itik, ikan dan daging. Tapi yang aneh ialah di tengah meja
terdapat pula sebuah baki tembaga yang digosok mengkilap, dalam baki itu
terdapat gundukan benda yang tidak diketahui apa isinya. pula tak diketahui
bagainana caranya menyikat santapan yang mirip dangan gumpalan tanah
lumpur itu?
Sementara hidangan disiapkan, beberapa kelompok jago persilatan hadir pula di
sana. Orang yang datang lebih duluan adalah Siang-lin Kongcu beserta Kanglam-
te-it-bi-jin Kim Cay-hong, mereka memimpin belasan jago tangguh. di antaranya
terdapat pula Kim-hu-siang-tiat-wi (sepasang pengawal baja dari istana Kim).
Baju wasiat Tiat-ih-sin-ih yang merupakan alat melayang bagi Tiat ih hui peng
(rajawali sakti bersayap baja) Pa Thian-ho masih tetap dikenakan tapi lengan
kirinya terkulai lemas ke bawah, agaknya lengan kirinya itu sudah cacat dan tak
dapat dipakai lagi.
Tiat pi-to-liong (naga bungkuk berpunggung baja) Kongsun Coh sendiri berwajah
pucat, punggung bajanya yang tersohor itu masih dibalut dengan kain putih,
tampaknya luka bekas tusukan di punggungnya belum sembuh benar2.
Sementara itu rombongan kedua adalah Leng-hong Kongcu Buyung Seng-yap
dengan lima-enam orang jagonya, di antaranya terdapat kakek berambut
panjang yang dipanggil Hek-lian sam kok oleh Leng-hong Kongcu. Orang itu
bernama Mo-gwa-sin kun (pendekar sakti dari luar gurun) Hek-lian Ing, jago
lihay yang pernah melukai si pengemis pemabuk dengan ilmu jari Tan-ci-sin-
thong.
Thian-ya-ong-seng (manusia latah dari ujung langit) Tio Kiu-cu tampak hadir
juga, ditinjau dari sorot matanya yang tajam serta muknnya yang merah, jelas
tutukan ilmu Soh-hun-ci si nenek berambut putih, yaitu salah satu di antara Hay-
gwa-sam-sat, tak sampai mencelakainya.
Rombongan ketiga dipimpin oleh Hoan Soh-ing yang gemar berdandan sebagai
laki-laki itu, yang ikut hadir hanya Kim-si ji gi (dua bersaudara dari keluarga Kim),
sedangkan ketiga bersaudara Hoan-si sam kiam tak tampak batang hidungnya.
Selain itu hadir pula anak murid perguruan Hoat-hoa-lam-cong yang terdiri dari
Ngo-im-liong-Jiu (tangan sakti panca suara) Siau Tong serta Jit-poh-tui-hun
(tujuh langkah pencabut nyawa) Poan Kui. Anak murid Siau-lim-pay yang terdiri
dari Sin-kun-tah-cing (pukulan sakti penghantam sumur) Poh In-hui serta Hou-
bok-cuncia, kepala ruangan Lo-han-tong, lalu hadir pula Bu-tong-sam-to dari Bu-
tong-pay, Kho-tong-su-co (empat manusia jelek) dari Khong-tong-pav, Tiam-
cong-siang-kiam dan gunung Tiam-cong beserta Thian-san-it-ho (bangau sakti
dari Thian-san) Ciong Beng yang mewakili perguruan Kun-lun-pay.
Kecuali wakil dari Go-bi-pay yang belum nampak hadir, hampir seluruh jago lihay
ketujuh aliran persilatin telah hadir semua, dari sini dapat diketahui himpunan
kekuatan kawanan jago yang hadir inipun cukup kuat.
Paman Lui, Tian Pek dan lain2 menanyakan lebih dulu keadaan Leng-hong
Kongpu, setelah mengetahui semuanya baik2, mereka pun berlega hati.
Kebanyakan tamu yang hadir ini adalah jago2 persilatan yang tidak terikat oleh
adat, mereka makan minum sepuasnya. takaran minum si pengemis pemabuk,
paman Lui dau Thiat-pi-to-liong paling kuat. hampir boleh dibilang setiap cawan
begitu dituang lantas diminum habis. dalam waktu singkat puluhan kali arak Kui-
ciu-mo-tay simpanan si pengemis pemabuk sudah terminum habis.
Setelah dipengaruhi alkohol, jago persilatan ini mulai membual tentang
kekosenan sendiri, ada yang menyinggung perbuatan orang2 Lam-hay-bun yang
kejam, rata2 mereka mengepal tinju dan siap mengadu kekuatan dengan
musuh.
Di antara orang banyak hanya Tian Pek sendiri yang masih tetap sadar sebab ia
paling sedikit minum arak, ia pun satu2nya orang yang paling tahu akan
kslihayan orang2 Lam-hay-bun, pemuda itu berpikir: "Mo-in-sin-jiu Siang Cong-
thian. Hiat-ciang-hwe-liong Yau Peng-kun derta Tok-kiam-leng-coa Gi Hun-lam
adalah jago2 berilmu tinggi, mereka-pun mati di tangan jago2 Lam-hay-bun,
kalau beberapa orang inipun ingin coba2 hanya akan mengantar kematian
belaka ..."
Bnyung Hong dan Wan-ji ssma sekali tidak minum arak, mereka hanya tertarik
oleh gumpalan lumpur kuning di tengah baki tembaga, mereka heran bagaimana
caranya melahap hidangan tersebut.
Sudah tentu mereka malu untuk mulai dulu, sesudah melihat orang lain
mcngetuk lumpur kuning itu hingga retak, dari dalam bungkusan lumpur itu
muncul daging ayam yang harum semerbak, barulah mereka tahu isi lumpur
kuning itu ternyata tak lain adalah seekor ayam vang masih utuh.
Seperti juga orang lain, mereka berdua lantas mengetuk lumpur kering itu dan
mencicipi daging ayamnva, ternyata empuk, wangi dan lezat sekali, belum
pernah mereka cicipi hidangan selezat itu.
Wan-ji yang polos segera berseru: "Aduh Cici, enak benar daging ayam ini!
Bagaimana ya cara membuatnya?"
"Nona makanlah rada banyak!" kata si pengemis sinting sambil tertawa, "inilah
yang dinamakan ayam pengemis, hidangan khas perkumpulan kami, tak
mungkin dapat kau temukan di rumah makan seluruh negeri!"
Wan-ji mcncibir tak percaya, melihat itu pengemis pemabuk meneguk secawan
arak, lalu berkata: "Nona, jangan kau meremehkan hidangan ayam pengemis ini,
sengaja belajarpun tiada gurunya, biarlah kaberi kursus kilat padamu, setiba di
rumah boleh kau mengolahnya sendiri."
Ia menggulung lengan bajunya, kemudian melanjutkan: "Semua orang bilang
jadi pengemis tak usah memakai modal, padahal untuk mencuri ayam-pun harus
memakai segenggam beras. Nih, comotlah segenggam beras, lalu periksalah
ayam siapa yang berkeliaran di jalan, tengok dulu ke kiri dan ke kanan apakah
ada yang mengawasimu, kalau sudah aman, letakkan beras di telapak tangan
dan berikan kepada ayam itu, tapi ingat jangan kau sebar beras itu di tanah,
hanya pencuri bodoh yang menyebarkan berasnya ke tanah. Pernah mendengar
pepatah yang mengatakan: 'Gagal mencuri ayam malah hilang segenggam
beras"? Nah, ucapan itu khusus ditujukan buat pencuri2 goblok ..."
Semua orang bergelak tertawa mendengar banyolan itu, suasaua jadi ramai.
"Esh, jangan tertawa dulu, jangan tertawa dulu!" kata si pengemis pemabuk.
Wan ji diam saja dan menahan rasa gelinya.
"Bila ayam itu menotol beras di tanganmu cepatlah sambar leher ayam tadi dan
kempit kepala ayam itu di bawah sayapnya, tanggung ayam itu takkan bersuara
lagi," sambung si pengemis pemabuk lebih jauh "Setiba di tempat yang tak ada
orang, bungkuslah ayam itu dengan lumpur, kemudian kumpulkan ranting kayu
dan daun kering untuk memanggang ayam tadi, kurang lebih setanakan nasi
kemudian ketuklah lumpur yang sudah kering itu sampai pecah, dan kaupun bisa
menikmati ayam pengemis seperti yang dihidangkan di depanmu sekarang!"
"Jadi bulunya tidak dicabuti dulu?" tanya Wan-ji dengan terbelalak.
"Tidak perlu!" jawab pengemis pemabuk
"Juga tidak disembelih?"
"Tidak:"
"Tidak dicuci?"
"Tak ada waktu!"
"Lantas isi perut ayam itu ... . ?"
"Tentu saja ikut terpanggang di dalamnya!"
Kontan saja Wan ji berseru: "Wah, jijik . . . .!"
"Hahaha, kalau takut jijik, tidaklah cocok untuk menjadi pengemis...." sahut
pengemis pemabuk dengan ter-bahak2.
Gelak tertawa keras kembali bergemuruh.
Tiba2 Toan-hong Kongcu bangkit berdiri, kemudian berseru dengan lantang:
"Tenang! Tenang! Harap tenang semuanya!"
Semua orang berhenti tertawa dan alihkan perhatiannya ke arah pemuda itu,
senentara Toan-hong Kongcu sendiri sengaja memandang jauh ke luar sana.
Waktu itu malam sudah tiba; bintang bertaburan di angkasa. perjamuan
kaum pengemis di halaman luar sudah bubar. sekian banvak pengemis yang
mula2 berkumpul di situ kini entah sudah pergi ke mana? Yang tertinggal hanya
dua-tiga orang pengemis bertongkat hambu hijau yang mondar-mandir
melakukan perondaan.
Toan-hong Kongcu alihkan kembali tetapannya ke dalam ruangan, dengan lagak
scorang "Beng-cu" ia berkata: "Hari ini sengaja ku undang kehadiran anda,
berkat kesudian anda sekalian jauh2 datang kemari, kejadian ini sungguh suatu
kebanggaan bagiku dan juga kebanggaan bagi perkumpulan pengemis kami..."
Tiba2 Tian Pek mendengus, jari tangannya di-celupkan ke dalam cawan arak, lalu
menjelentik beberapa kali ke depan.
Desing angin tajam memecah angkasa mengejutkan orang, menyusul di luar
berkumandang suara dengusan tertahan disertai suara benturan keras.
Tian Pek sekarang sudah menguasai isi Su-kut-tiau-hun-thian-hud-pit-kip, tenaga
dalamnya mendapat kemajuan pesat, sekalipun ia cuma mencelupkan jarinya ke
dalam cawan arak lalu menjentikkan tetesan arak itu dengan ilmu Tan-sui-seng-
wan (butiran air menjadi peluru), tapi serangan itu membawa desing angin
tajam yang men-deru2, kontan saja semua orang yang hadir dibuat tertegun
ber-campur kagum.
Setelah butiran arak itu menyambar keluar ruangau, menyusul terdengar
dengusan berat, suasana dalam ruangan lantas jadi gaduh.
Serta merta si pengemis pemabuk dan pengemis sinting meluncur keluar, di luar
jendela terdengar suara gemuruh keras, menyusul terdengar suara bentakan
gusar pengemis pemabuk serta pengemis sinting: “Sobat, siapa kau dan datang
dari mana? Berani amat menerbitkan keonaran di tempat orang2 miskin ini?"
Seorang lantas bergelak tertawa, suaranya keras, melengking dingin: "Hehehe,
daratan Tiong-goan sekarang sudah menjadi jajahan orang, apakah kalian yang
suka makan sayur sisa orang lain ini berani bertingkah lagi?"
Mendengar ucapan itu, serentak semua orang ikut melayang keluar.
Di bawah cahaya bintang dan rembulan, tertampaklah empat orang kakek
berdiri bsrjajar di depan Hong-jan-sam-kay.
Orang pertama berdandan orang Mongol, berjubah hijau, selempang merah dan
bersepatu kulit kerbau yang besar, alisnya tebal, matanya bengis dan membawa
tasbih.
Orang kedua tinggi besar, cambang memenuhi wajahnya, kepala botak
mengkilap, ia memakai jubah panjang dan longgar.
Orang ketiga adalah kakek hitam kurus kering, pendek lagi agak bungkuk, batok
kepalanya agak kecil tapi sepasang telinganya kelewat besar, ia memakai baju
warna abu2. Potongan badan begini persis seperti tikus wirok di dalam gudang.
Tepat di atas jidat kakek bertampang tikus ini tumbuh sebuah uci2 besar, entah
tonjolan daging itu sudah ada semenjak lahir atau baru saja benjut kebentur
pinggiran pintu?
Sedangkan orang yang terakhir mirip mayat hidup, berhidung seperti paruh
elang, mata juling dan mukanya pucat menyeramkam, berdiri kaku bagaikan
tonggak, sama sekali tidak berbau hidup.
Keempat orang ini bukan saja bertampang jelek, aneh dan menyeramkan,
bahkan perkataan mereka sombong, sikap angkuh, dan lagi sorot matanya rata2
tajam seperti mata pisau, jelas mereka jago2 silat berilmu tinggi.
Sewaktu menyambar keluar jendela tadi, pengemis pemabuk dan pengemis
sinting telah merasakan kelihayan angin pukulan lawan. terasa betapa kuatnya
tenaga pukulan orang2 itu sehingga darah di dalam rongga dada bergolak,
untung bala bantuan segera datang sehingga mereka tak perlu kuatir.
Segera pengemis sinting berkata sambil ter-bahak2: "Hahaha, sobat, kalau
kedatangan kalian khusus untuk mencari kaum pengemis seperti kami, apa
salahnya kalau sebutkan dulu nama2 kalian, agar kami orang2 miskin mendapat
tahu siapakah tamu kami ini!"
Dengan tatapan menghina kakek tinggi besar yang bercambang itu melirik si
pengemis sinting, sahutnya: "Huh cuma kami berempat saja tidak kenal, dari sini
sudah terbukti kalian pengemis2 sialan cuma katak2 di dalam sumur belaka!"
"Baik katak di dalam sumur atau katak di lautan, paling penting sebutkan dulu
nama kalian; Atau barangkali nama kalian terlampau jelek sehingga malu untuk
disebutkan?" ejek pengemis pemabuk.
Ejekan itu kontan menggusarkan kakek kurus jangkung yang berwajah seram,
dengan pancaran sinar mata ke-hijau2an ia tertawa dingin, katanya: "Hehehe,
ketahuilah, nama kami berempat tak akan diberitahukan kepada orang hidup,
pada saat kalian mengetahui siapa kami berempat, ketika itulah nyawa kalian
akan melayang ke akhirat!"
"Eh, hati2 kalau bicara, angin malam terlalu keras, awas lidah keseleo. . . ." ejek
pengemis sinting dan pengemis pemabuk berbareng.
Kakek jangkung kurus dengan wajah seram itu mendadak memotong: "Ciong-
nia-ci-eng (elang dari Oong-ni )!"
"Im-san-ci-long (serigala dari Im-san)?" sambung si kakek tinggi besar dan
bercambang.
"Tay-cong-ci-ju (tikus dari gudang)" seru kakek kurus kecil bermuka hitam.
"Sah-mo-ci-hu (rase dan gurun pasir)!" akhirnya si kakek berdandan Mongol juga
berseru.
"Hahaha, setelah ngibul setengah harian, tak tahunya yang datang hanya
sebangsa tikus dan serigala belaka " ejek pengemis sinting sambil ter-bahak2.
Baru saja pengemis itu habis berkata, kakek kecil kurus atau si tikus,
mementangkan telinganya lebar2, kemudian menghardk: "Kere busuk, rupanya
kau sudah bosan hidup!" — Telapak tangan-nya lantas terangkat, secepat kilat ia
membacok kening musuh,
"Bagus!" seru pengemis sinting, dengan jurus Kiau-hua-su-hong (empat penjuru
mengemis), dia sambut serangan itu dengan kekerasan.
"Plak Plak!" terjadi bentrokan nyaring, pengemis sinting tergetar mundur lima
langkah.
Melihat kejadian itu semua orang terperanjat. Berbicara tenaga dalam si
pengemis sinting sebagai salah seorang Tianglo perkumpulan pengemis,
kemampuannya pasti dapat diandalkan, tapi sekarang hanya satu gebrakan saja
ia telah tergetar mundur oleh kakek kurus kecii itu,
Ketika keempat kakek aneh dan jelek itu menyebutkan nama masing2 tadi,
kawanan jago muda masih tak seberapa kaget sebab mereka tidak tahu
kelihayan orang2 itu, tapi jago golongan tua kontan terkesiap demi mendengar
nama2 tadi.
Meskipun selama dua tiga puluh tahun belakangan ini nama keempat orang
kakek itu tak pernah kedengaran lagi, namun tiga puluh tahun yang lalu mereka
adalah jago2 golongan hitam yang tersohor dan sempat menggemparkan
seluruh dunia persilatan.
Bukan saja ilmu silat mereka lihay, oleh karena berasal dari luar daratan, aliran
Kungfu merekapun berbeda dengan aliran kungfu di daratan Tiorggoan,
siapapun tak tahu asal-usul perguruan mereka, tapi karena perbuatan mereka
yang kejam dan buas, setiap kali muncul lantas menggemparkan, maka orang
lantas menyebut mereka sehagai Hek-to-su hiong (empat menusia buas dari
golongan hitam).
Kemudian karena perbuatan mereka semakin se-wenang2, bukan saja
merampok, membunuh juga memperkosa, orang persilatan jadi marah sekali,
kawanan jago dari golongan putih lantas ber-satu padu untuk menumpas iblis2
ini.
Akhirnya dalam suatu pertarungan berdarah di puncak Hong-san, keempat iblis
ini berhasil diusir pergi dari Tionggoan.
Mengingat kejahatan keempat orang itu, mestinya keempat orang itu akan
dibunuh saja, tapi Ko-sui Taysu dari Siau-lim-pay menyarankan ke-empat orang
itu setelah diberi peringatan lantas di usir pergi.
Siapa tahu tiga puluh tahun kemudian keempat orang ini muncul kembaii di
Tionggoan berbareng dengan terjadinya penyerbuan pihak Lam-hay-bun,
bahkan dari nada bicara mereka dapat diketahui bahwa keempat gembong iblis
ini sudah berkomplot dengan pihak Lam-hay-bun.
Sementara para hadirin berdiri dengan kuatir sedang pengemis sinting yang
kena didesak oleh Tay cong-ci ju masih berdiri termangu, tikus sakti itu sudah
maju ke depan dan berseru lantang: "Keparat manakah telah menyambut
kedatarganku dengan kacang hijau tadi. Hayo cepat menggelinding keluar untuk
menyambut kematian !"
Kiranya uci2 besar di jidatnya itu adalah hasil selentikan jari sakti yang
dilancarkan Tian Pek tadi, arak yang dipakai untuk menyerang itu disangkanya
sebagai kacang hijau, malahan detik itu dia belum tahu siapakah yang
mengerjainya.
Mendengar teguran tersebut pelahan Tian Pek tampil ke depan, dengan senyum
dikulum sahutnya; "Aku Tian Pek. akulah tadi yang memberi tanda kenang2an
kepadamu, tapi kau jangan salah sangka bukan kacang hijau yang kuberikan
padamu, aku hanya menjentikkan setitik arak saja .... kuharap kau sudi
menerimanya dengan senang hati!"
Sungguh gusar sekali Tay-cong-ci-ju mendengar ucapan Tian Pek yang
menyerupai sindiran itu, segenap hawa murninya dihimpun, sambil memutar
telapak tangannya segera ia bacok tubuh anak muda itu.
Serangan dengan punggung telapak tangan ini berbeda dengan ilmu pukulan
pada umumnya, tenaga serangan yang terpancar ternyata sangat mengejutkan.
Sekilas pandang Tian Pek lantas mengetahui tenaga pukulan si tikus ini tidak
berada di bawah ketangguhan Hay-gwa-sam-sat, meski demikian ia tidak
menghindar, ia malahan sengaja hendak menghancurkan kesombongan lawan,
maka dengan menyalurkan tujuh bagian tenaga sakti Thian-hud-ciang-mo-ciang
dia sambut pukulan lawan.
"Blang!" benturan keras menggelegar, pancaran tenaga menerbitkan angin
taupan yang menerbangkan debu pasir, sekali ini Tay-cong-ci-ju terdesak
mundur lima langkah, sebaliknya Tian Pek dengan gagahnya tak bergeming di
tempat semula.
Daun telinga Tay cong ci ju yang luar biasa besarnya itu tampak bergoyang,
matanya melotot, mimpipun tak tersangka olehnya bahwa seorang pemuda
yang masih ingusan ternyata sanggup menghantam dia sampai mundur.
Pelbagai ingatan terlintas dalam benaknya, terbayang kembali ketangguhannya
di masa silam di mana dia malang melintang di dunia persilatan tanpa
tandingan, meskipun kemudian tak bisa tanoapkan kaki di daratan Tionggoan
dan harus menyingkir ke luar samudera karena dikerubut puluhan jago lihay,
dua-tiga puluh tahun lamanya ia sudah berlatih secara tekun. Menurut
perkiraannya, setelah beegabung dengan Lam-hay-bun dan menyerbu ke
Tionggoan, niscaya dunia persilatan bisa ditaklukkan oleh kelihayannya.
Apa mau dikata, baru pertama kali unjuk kelihayannya sudah kecundang di
tangan scorang pemuda ingusan, sungguh kejadian yang mengenaskan.
Setelah tertegun sejenak. iblis inipun mengerahkan ilmu lainnya yang lebih lihay,
ilmu itu disebut Mo-kang (ilmu iblis). Hawa murni disalurkan mengelilingi
sekujur tubuh, seketika persendian tulang bergemerutukan, tahu2 tubuhnya
mengkeret setengah bagian lebih pendek daripada semula.
Padahal ia memang tak terlampau tinggi, dengan ilmu itu badannya kini jadi
tinggal tiga kaki tingginya, tangannya mendadak terulur lebih panjang, bahkan
warnanya jadi hitam.
Bisa dibayangkan betapa lucu dan anehnya bentuk tubuhnya, badannya cebol
dengan muka hitam, daun telinga seperti kuping gajah, lengan panjang bagaikan
gorila, tampangnya sekarang tidak lagi mirip tikus melainkan lebih mirip monyet.
Sesudah memasang kuda2nya, tangan Tay-song-ci-ju setengah terpentang,
seperti mengepal seperti juga tidak, karena dia mengerahkan hawa murni
dengan kuat, matanva yang kecil memancarkan sinar tajam, dengan wajah yang
mengerikan pelahan ia menhampiri Tian Pek, sikapnya sungguh menakutkan.
Semua orang terperanjat, begitu pula Tian Pek, ia pun heran.
Umumnya bila seorang sedang menyalurkan hawa murninya, maka anggota
tubuhnya akan mengembang semakin besar, belum pernah terlihat tubuh
berbalik menyusut kecil, entah kungfu apakah vang dilatih kakek kecil ini?
Ia tak berani gegabah lagi, cepat hawa sakti Thian hud-hang-mo-ciang nya
dikerahkan seprnuhnya kuda2nya diperkuat dan bersiap menghadapi segala
kemungkinan.
Ratusan orang yang hadir di sini, namun suasananya seketika jadi hening.
dengan mata terbelalak semua orang mengikuti jalannya pertarungan antara
Tian Pek melawan Tay-cong-ci-ju, antara mati dan hidup segera akan diketahui.
"Tahan!" mendadak Im-san-ci-long yang tinggi kekar dan bercambang itu maju
ke depan serta mengadang jalan rekannya.
Setelah mengedipi Tay-cong-si-ju ia berkata kepada para jago: "Kami berempat
ini, hehehe, Hek-to-su-hiong (empat pengganas dari golongan hitam) tentunya
sudah pernah kalian dengar bukan? Nah, malam ini kami mewakili Lam-hay-bun
untuk mengajak kalian untuk berunding, bila kalian sudi memberi muka kepada
kami dengan menggabungkan diri ke dalam Lam-hay-bun, dengan sendirinya
kita akan menjadi sahabat dan urusan pun akan beres dengan sendirinya.
Sebaliknya kalau kalian merasa derajat kami kurang besar dan tak sudi memberi
muka, tentu saja akan lain ceritanya! Siapa pemimpin kalian? Silakan maju untuk
memberi jawaban . . "
Kedengarannya ucapannya sungkan dan bersahabat, tapi kenyataannya bernada
keras atau sama dengan suatu ultimatum bagi para jago yang berkumpul ini.
Sebagai ketua perkumpulan pengemis, apalagi mengaku sebagai penyelenggara
pertemuan ini, Toan-Long Kongcu tak bisa diam lagi, meskipun ia tahu maksud
kedatangan keempat orang itu tidak baik, tapi keadaan sudah mendesak, mau
tak-mau ia harus tampil ke muka.
Setelah tenangkan diri, lalu ia berkata: "Aku Toan-hong Kongcu, ketua
perkumpulan pengemis sekarang, bila ada persoalan silakan bicara saja. kami
akan mendengarkan dengan seksama!"
Semula Im-san-ci long menyangka yang bakal tampil ke muka pasti seorang jago
tua yang sudah punya nama, sungguh geli hatinya setelah menyaksikan
kemunculan seorang pemuda tampan yang masih ingusan begini.
Ia tertawa ter-kekeh2, sambil menuding kawanan jago yang berkumpul di situ ia
berkata: "Apakah kau dapat mewakili sekian banyak orang yang hadir ini?"
Jelas sekali nadanya memandang hina kemampuan anak muda itu.
Merah wajah Toan-hong Kongcu, ia melirik sekejap kawanan jago yang hadir itu,
bicara sebenarnya, iapun tidak yakin bisa mewakili semua orang yang hadir,
terutama rombongan paman Lui dan Tian Pek yang kedatangannya bukan atas
undangan perkumpulan pengemis melainkan hanya secara kebetulan saja.
Ciong-nia-ci-eng, si elang dari Ciong-nia, yang selama ini hanya berdiri kaku
bagaikan mayat hidup, tiba2 buka suara dsngan suara yang menyeramkan:
"Long-heng, jangan kau meremehkan orang, jelek2 dia adalah salah seorang di
antara Su-toa-kongcu yang tersohor di Tiongoan, apa yang ia ucapkan ibaratnya
bulu ayam yang dapat di-gunakan sebagai tanda perintah!"
Mendengar ucapan tersebut, kontan keempat manusia bengis dari kalangan
hitam itu tertawa ter-bahak2, suaranya keras dan memekak telinga.
Toan-hong Kongcu ter sipu2 dan merah jengah, ia tergagap dan tak sanggup
bicara lagi.
Siang-lin Kongcu, An-lok Kongcu serta Leng-hong Kongcu serentak maju ke
depan, dengan suara lantang Leng-hong Kongcu segera menegur: "Eeh, bila
kalian berempat ada urusan, lebih baik bicara saja blak2an, apa gunanya bersilat
lidah melulu?"
Im-san-ci-long masih ter-bahak2, lama sekali ia baru berhenti tertawa dan
berkata: "Anak muda, apakah kau juga termasuk salah seorang Bu-lim-su-
kongcu yang tersohor itu?"
Sebelum Leng-hong Kongcu menjawab, Siang-lin Kongcu serta An-lok Kongcu
telah menyahut hampir berbareng: "Benar. Bu-lim-su-kongcu telah berkumpul
di sini, bila kalian ada urusan silakan saja bicara."
"Bagus! Bagus! Kalau Bu-lim-su-kongcu yang tersohor itu sudah berkumpul di
sini, berarti tidak sia2 pula perjalanan kami ke sini!" kata Im-san-oi-long sambil
mengangguk. "Berikut ini kami berempat secara bergilir akan
mendemontrasikan suatu atraksi yang lain daripada yang lain, selesai
pertunjukan ini bila kalian Bu-lim-su-kongcu dapat pula menyajikan atraksi yang
serupa, tanpa banyak bicara kami berempat akan mengaku kalah dan segera
berlalu dari sini, sebaliknya kalau kalian Bu-lim-su-kongcu tak mampu
menirukannya, maka hendaklah kalian berikut anak buah kalian segera
mengundurkan diri dari dunia persilatan, selanjutnya bila hendak melakukan
sesuatu harus memberitahu dulu kepada kami. Nah, bagaimana? Berani
bertaruh tidak?"
An-lok Kongcu yang lebih cerdik daripada rek»n2nya segera dapat menebak
maksud musuh, ia tertawa dan berkata: "Tidakkah kalian berempat merasa
dirugikan dengan cara bertaruh semacam ini?"
Meskipun tampang Im-san-ci-long Long Hiong kelihatan kasar dan kaku,
sebetulnya dia adalah paling licik di autara rekan2nya, tentu saja ia dapat
menangkap maksud ucapan lawan, tapi ia tetap ber-pura2 bodoh, katanya: "Ah,
di dalam pertaruhan ini tak ada orang yang bakal merasa rugi, sekarang lihat
dulu atraksiku ini!"
Ia maju ke muka, lalu mengayunkan telapak tangannya ke depan, sasarannya
adalah pohon besar di depan sana.
"Krakl" bagaikan pisau tajam mernotorg sayur, pohon sebesar paha itu seketika
tertabas kutung jadi dua bagian dan tumbang ke samping.
Ilmu Ciang-jin-jiat-bok (mata telapak tangan membacok kayu) Im-san-ci-long ini
memang sudah mencapai puncak kesempurnaan, meskipun jaraknya cukup jauh
dan bacokan itu dilakukan dengan ringan, namun pohoh sebesar itu dapat
dibacok kutung, bahkan bekas bacokan tersebut kelihatan rata sekali, dari sini
dapatlah diketahui Lwekangnya sudah mencapai tingkat yang sempurna.
Perlu diketahui, Hek-to-su-hiong adalah rombongan yang kedua jago Lam-hay-
bun yang masuk ke Tionggoan, setelah lapor kepada Lam-hay-siau-kun, dapat
diketahui sebagian besar dunia persilatan sudah berhasil mereka tundukkan, kini
tinggal perkumpulan pengemis yang anggotanya teramat banyak masih
mcmbangkang den ada tanda akan melakukan perlawanan.
Hek-to~su-hiong lantas minta izin kepada Lam-hay-liong-li untuk mehksanakan
tugas penumpasan ini, berangkatlah mereka dengan tugas yang baru, Menurut
perkiraan mereka tindakannya ini pasti akan berhasil dan membuat pahala begi
perguruan Lam-hay-bun.
Beberapa hari berselang mereka melihat anak murid perkumpulan pengemis
sibuk melepaskan merpati pos bahkan anggota perkumpulan pengemis
berdaiangan dari segala pelosok serta berkumpul di Hin-liong-tin, semakin
bergairah lagi mereka ketika diketahui banyak jago persilatan yang berdatangan
pula ke sana.
Diam2 merekapun melakukan penguntitan dan penyelidikan, maksudnya
setelah berhasil menyelidiki keadaan musuh baru kemudian turun tangan
melakukan penyergapan dan menaklukkan perkumpulan kaum jembel ini.
Apa mau dikata jejak mereka ternyata diketahui Tian Pek, malahan Tay-cong-ci-
ju kena dilukai dengan sentilan arak yang maha sakti, kemudian pengemis
pemabuk dan pengemis sinting menyusul keluar, dalam keadaan begitu tak
sempat lagi bagi mereka berempat untuk menyingkir, terpaksa mereka pun
unjukkan diri.
Di antara keempat orang itu, Im-san-ci-long terhitung paling licik, kalau tidak
masa orang menyebutuya sebagai serigala dan Im-san?
Sebagai orang yang berpengalaman, ia tahu kebanyakan jago persilatan yang
diundang perkumpulan pengemis adalah2 jago2 berilmu tinggi, kalau main
kekerasan, bisa jadi mereka tak sanggup menghadapi kerubutan berpuluh jago
tangguh itu.
Maka sewaktu Tay-cong-ci ju ribut dengan pengemis sinting serta Tian Pek,
iapun putar otak dan mencari akal, Akhirnya ia berhasil menemukan siasat yang
cukup bagus, dia hendak mendemonstrasikan kelihayan Kungfu mereka untuk
menundukkan musuh, dengan cara demikian tenaga yang dipergunakan amat
kecil tapi hasilnya besar.
Ketika Tay-cong-ci-ju marah2 dan akan beradu jiwa dengan Tian Pek, cepat ia
mengalanginya, kemudian dengan kata yang tajam ia menyindir Bu lim-su-
kongcu dan akhirnya mendemonstrasikan ilmu Ciang-jin-jit-bok.
Begitulah, setelah ia membabat kutung pohon besar dari jarak jauh, sambil
tertawa ia berkata kepada keempat Kongcu itu: "Hehehe. permainan ini cuma
permainan snak kecil yang tak ada artinya, harap kalian jangan
mentertawakannya. Nah, bagaimana dengan kalian?"
Selesai berkata ia lantas tertawa dingin tiada hentinya, bangga sekali sikapnya
karena ia yakin keempat orang pemuda di hadapannya sekarang belum memiliki
tenaga dalam sehebat itu.
Sudah tentu Bu-lim-su-kongcu saling berpandangan bingung, mereka tidak
menyangka Im-san-ci-long bakal mengajukan persoalan sulit itu. Mereka tahu
tenaga dalam sendiri memang belum se-tingkatan lawan.
Im-san-ci long tertawa pula. ia berkata lagi: "Hehehe, jika kalian sungkan2 dan
tak mau turun tangan, muka pertarungan babak pertama ini akan dianggap
sebagai kemenangan bagiku, kami akan meneruskan babak kedua "
Di antara Bu-lim-su-kongcu. An lok Kongcu kaya dengan akal muslihat, Siang-lin
Kongcu penuh perhitungan dan Toan-hong Kongcu paling licik, banya Leng-hong
Kongcu terhitung paling angkuh dan berangasan. Ketika dilihatnya ketiga Kongcu
lainnya tetap membungkam, ia jadi tak tahan, sekalipun tiada keyakinan dapat
memapas kutung pohon besar dari jarak jauh, ia tak sudi menyerah dengan
begitu saja.
Sambil melangkah ke muka ia berkata: "Biarlah aku Leng-hong yang tak becus
ikut coba2 ilmu menabas pahon dengan tangan."
"Hshaha. silakan saja!" seru Im-san-ci-long sambil ter-bahak2, mukanya
mengunjuk sikap menghina dan meremehkan.
Leng-hong Kongcu melangkah ke muka, ia pasang kuda2 dan tarik napas
panjang, kemudian hawa murni disalurkan ke telapak tangan, ia mengincar
sebatang pohon dan siap melancarkan tebasan. . .
"Tunggu sebentar!" tiba2 Thian-ya-ong-seng Tio Kiu-ciu melayang ke tengah
arena, dia menjura kepada Im-san-ci-long dan berkata: "Kepandaian Ciang-jin-
jiat-tok yang kau demonstrasikan memang lihay, melihat atraksi itu aku orang
she Tio menjadi getol dan ingin coba2, biar aku saja yang melakukan
demonstrasi balasan pada pertarungan pertama ini!"
Tanpa menanti jawaban dari lm-san-ci-long mendadak ia berputar seperti
gangsingan dan "Sreet!" tahu2 ia melancarkan suatu bacokan.
"Blang!" sebatang pohon besar yang berada dua tombak jauhnya tertabas
patah, ketika kutungan pohon itu jatuh ke tanah ternyata sama sekali tak
tumbang melahan tetap berdiri kaku di tanah.
Suatu demonstrasi yang hebat, suatu bacokan telapak tangan yang cepat dan
tajam, tak malu Thian-ya-ong-seng menjadi jago kawakan yang tersohor.
Ketika bekas bacokan itu dilihat, tampaklah bekas itu rata seperti dibacok
dengan golok, bahkan bacokannya agak miring runcing, tidak heran ketika jatuh
ke tanah bukannya tumbang melainkan menancap di tanah.
Dari sini terbuktilah demonstrasi yang dilakukan Thian-ya-ong-seng ini jauh lebih
tangguh satu tingkat daripada permainan Im-san-ci-long tadi.
Untuk sesaat Im-san-ci-long jadi tertegun dan berdiri melongo, dia tak mengira
kepandaian Ciang-jin-jiat-bok yang dilatihnya selama tiga puluh tahun ternyata
dikalahkan orang secara mengenaskan.
Selang sejenak ia baru menegur dengan mata mendelik: "Siapa kau? Sebutkan
namamu!"
"Aku Thian ya-ong seng Tio Kiu ciu!"
Thian-ya-ong-seng memang tokoh yang tersohor di duna persilatan, cuma tiga
tahun belajar silat, tapi sewaktu ia terjun ke dunia Kongouw, ketika itu Im-san ci-
long telah meninggalkan Tionggoan, sebab itulah setelah Thian-yu ong seng
sebut julukannya, Im-san-ci-long tetap tidak tahu jago macam apakah orang ini.
Dengan mata melolot bentaknya: “Lalu kau mewakili siapa?"
"Kau sendiri? Kau mewakili siapa?" sahut Thian-yu-ong-seng dengan nada yang
sama.
Sesungguhnya Im san-ci-long juga tak dapat mewakili Lam-hay-bun, pertanyaan
itu membuatnya naik darah, telapak tangannya segera menegak, teriaknya:
"Bangsat, kubacok mampus kau!"
"Hahaha, jangan kaukira aku orang she Tio jeri padamu," sahut Thian-ya-ong-
seng sambil tertawa latah. "Tapi sebelum pertarungan dimulai, aku ingin
bertanya dulu kepadamu, apa yang kau katakan tadi masih berlaku tidak?"
Im-san-ci-long tertegun. Bcnar juga, tadi ia telah mengucapkan kata2 yang tegas,
betapapun ia tak dapat menjilat kembali ludah sendiri. Akhirnya dengan gemas
ia berseru: "Baik, anggap saja pertarungan pada babak ini bisa kalian lampaui.
Hu-heng!" — Dia lantas berpaling kepada Tay-cong-ci-ju dan berseru: "Sekarang
giliranmu untuk tunjukkan kebolehanmu!"
Tay cong-ci-ju bernama Hu Ciat. tanpa bicara mendadak tubuhnya disusutkan
sehingga lebih pendek dua kaki, ia mengerutkan badannya dengan ilmu Sut-kin-
mo-kang (ilmu iblis pengerut otot), kedua lengannya yang panjang diangkat dan
tubuhpun mulai berputar dengan cepat.
Sesudah tubuhnya yang kecil itu berputar seperti gurdi, segera timbul pusaran
augin yang menerbangkan debu pasir, begitu hebat pusaran angin itu hingga
pasir yang ikut berputar mencapai ketinggian dua tiga puluh kaki, suaranya
gemuruh dan memekak telinga.
Ketika debu pasir yang beterbangan itu sudah membentuk suatu tiang hawa
berwarna hitam, di atas tanah tahu2 muncul sebuah liang seperti sumur yang
dalam sekali, sementara Tay-cong-ci-ju sendiri lenyap tak berbekas.
Tatkala semua orang ter-heran2 dan berdiri tertegun, tahu2 Tay-cong-ci-ju yang
lenyap itu melompat keluar dari liang yang dalam itu.
Kiranya ia telah menggunakan gerak putaran yang menyerupai gurdi itu, dengan
kekuatan tangannya dia bor permukaan tanah hingga berlubang sedalam
setombak lebih,
Semua orang tercengang, mereka tidak tahu Ciu-te-tah-tong (membuat liang di
tanah) sdalab kepandaian khas yang membuatnya tersohor sebagai Tay-cong-ci-
ju, si tikus gudang.
Menurut cerita, sepanjang hidupnya sudah terlampau banyak kejahatan yang
dilakukan Tay-cong-ci-ju, tapi pernah satu kali ia melakukan perbuatan mulia.
Peristiwa ini terjadi pada tiga puluh tahun ber-selang, ketika itu perdana menteri
Ho Kun adalah menteri yang paling korup sepanjang sejarah, selama ia menjabat
perdana menteri hingga dihukum pancung, harta kekayaaan yang berhasil
dikumpulkannya mencapai empat ratus juta tahil, jumlah tersebut lebih besar
daripada kas negara.
Itu masih belum termasuk barang antik serta barang2 mestika lain yang tak
ternilai jumlahnya.
Padahal waktu itu di daerah lembah sungai Tiangkang sedang dilanda bencana
alam, beratus laksa orang menderita kelaparan dan sudah mencapai keadaan
yang amat kritis, ternyata sang menteri yang lalim ini sama sekali tidak
membagikan beras yang berada di gudang pemerintah untuk rakyat yang
kelaparan, beras itu dibiarkan membusuk dan dihabiskan tikus gudang daripada
dibagikan kepada rakyat jelata.
Ketika itulah, entah apa sebabnya tiba2 timbul kebajikan Tay-cong-ci-ju, dia
lantas menggunakan kepandaian Ciu-te-tah-tong tersebut untuk memasuki
gudang kerajaan secara diam2, dalam bebcrapa bulan saja ia telah mencuri
habis semua persediaan beras itu dan dibagikan kepada rakyat yang menderita.
Karena perbuatan inilah, julukan Tay-cong-ci-ju menjadi tersohor baik di wilayah
utara maupun di selatan sungai Tiangkang.
Setelah berlatih pula selama tiga puluh tahunan di pulau setan, ilmu Ciu-te-tah-
tong tersebut dengan sendirinya bertambah hebat.
Ketika si tikus melompat keluar dan melihat semua orang mengunjuk rasa kaget,
ia merasa bangga sekali, katanya "Saudara cilik, sekarang tiba giliran kalian
untuk memperlihatkan kemampuan kalian."
Kali ini bukan saja Bu-lim-su-kongcu dibuat terbelalak dan melongo, bahkan
semua orang yang hadir juga terkesiap.
Sebenarnya, meski ilmu Ciang-jin-jiat-bok sukar dilakukan, tapi bagi seorang jago
yang tenaga dalamnya sudah mencapai kesempurnaan, secara paksa masih
dapat menirukan kepandaian itu. Berbeda dengan ilmu Ciu-te-tah-tong ini,
untuk membuat liang di atas tanah seseorang harus memiliki tangan yang kuat
dan tenaga berpusing yang kencang, sebab bila salah satu di antara kedua syarat
ini tak terpenuhi, jangan harap bisa membuat liang sedalam beberapa kaki di
permukaan tanah yang keras.
Melihat kawanan jago itu sama merasa kesal dan pasrah, Tay-cong-ci-ju jadi
lebih bangga lagi, mata tikusnya yang tajam menyapu pandang sekeliling, lalu
katanya: "Jika tiada orang yang berani meju lagi, maka babak kedua akan
dianggap sebagai kemenangan bagi pihak kami! Nah, Morga Akang, sekarang
tiba giliranmu."
"Morga" adalah nama orang Mongol tadi, sedangkan Akang artinya saudara.
Kakek berdandan sebagai orang Mongol atau tersohor sebagai Sah-mo-ci-eng itu
segera tampil ke depan.
Tapi tiba2 Tay-pek-siang-gi melompat maju. Orang mati-hidup. orang pertama
dari kedua bersaudara itu segera berseru: "Tunggu sebentar! Kami bersaudara
yang tak becus ini bersedia mencoba membuat lubang tikus ini!"
Tanpa menunggu jawaban Tay-cong-ci-ju lagi, kedua orang lantas berdiri dengan
punggung menempel punggung, lengan mereka diluruskan sebatas pundak,
telapak tangan menegak bagaikan sekop.
"Loncat!" seru si orang mati hidup dengan lantang, kedua orang itu segera
melambung ke udara, keempat kaki mereka lantas saling tahan menjadi satu
dan membentuk garis lurus.
Sekejap itulah kaki mereka saling pancal, dengan tenaga lejitan, dengan kepala
di bawah dan kaki di atas secepat kilat mereka meluncur ke bawah dan
menembus permuksan tanah yang keras itu.
"Creet! Creet!" suara tanah terbelah mendesis di udara, sebentar saja kedua
orang itu sudah menerobos masuk ke dalam tanah.
Semua orang menyaksikan tumpukan tanah di kedua samping liang tersebut
kian lama kian membukit, bagaikan dua ekor tikus saja. mereka berdua
membuat liang sepanjang dua tombak mengitari arena itu, kemudian setelah
lingkaran tersebut bertemu satu dengan lainnya, mereka lantas timbul dari
dalam liang.
Ilmu apaan ini? Tak seorangpun yang paham. Meskipun baru muncul dari dalam
liang, air muka mereka tidak berubah menjadi merah, napas tidak tersengal dan
peluh tidak membasahi tubuh, se-olah2 tak pernah melakukan suatu pekerjaan
apapun, tentu saja hal ini memancing tampik sorak orang banyak.
Tay-cong-ci-ju tampak tertegun, tegurnya kemudian: "Eeh ilmu silat aliran
manakah yang kalian gunakan itu?"
Orang mati hidup melotot, jawabnya: "Kalau kepandaianmu bernama Lo-ju-tah-
tong (tikus membuat lubang), maka kepandaian kami ini bernama Lo-ju-coan-
tong (tikus mengebor lubang), bila kau tidak puas, silakan saja mengulangi
kembali atraksi kami ini!"
Pada dasarnya tiap ilmu silat mempunyai aliran yang berbeda, apa yang bisa
dilakukan orang lain belum tentu bisa dilakukan oleh dirinya sendiri, begitu pula
dengan atraksi yang dilakukan oleh Tay-pek-siang-gi ini.
Meskipun tenaga dalam mereka tidak sesempurna Tay-cong-ci-ju, sebaliknya
Tay-cong-ci-ju di suruh mengulangi atraksi yang dilakukan Tay-pek-siang-gi juga
belum tentu mampu.
"Tak perlu banvak omong lagi!" tiba2 Sah-mo-ci-hu, si orang Mongol itu berseru.
"Lihatlah kehebatanku ini!"
"Krak!" mendadak jarinya meremas, untaian tasbih yang dibawanya dipatahkan
menjadi dua bagian, ketika tangannya menyentak ke atas, tali kuning yang
mengikat ke 108 biji tasbih tadi mendadak menegak seperti sebatang toya.
Bila seorang jago persilatan berhasil melatih tenaga dalamnya hingga mencapai
puncak kesempurnaan, tidaklah sulit bagi mereka untuk menegangkan seutas
tali yang dipegangnya.
Tapi apa yang didemonstrasikan Sah-mo-ci-hu sekarang berbeda dengan
keadaan umumnya, sebab seisi tali kuning yang terbuat dari bahan lunak itu
kecil dan lembek, di antaranya terdapat pula 108 biji tasbih yang semuanya
terbuat dari kayu Oh-tho yang kuat seperti baja, bulat licin dan hanya dihasilkan
di gurun pasir saja, untuk menegangkan biji2 tasbih pada seutas tali, pekerjaan
ini jauh lebih sukar daripada menegangkan seutas tali biasa.
Sebab itulah, meskipun apa yang dipertunjukkan "Rase dari gurun pasir" ini
tampaknya tiada sesuatu yang luar biasa, pada hakikatnya demonstrasi ini jauh
lebih hebat daripada kedua rekannya tadi.
Setelah biji2 tasbih itu menegang seperti Toya, si "rase dari gurun pasir" lantas
berputar satu kali dan memperlihatkan biji2 tasbih itu kepada para hadirin,
katanya: "Coba perhatikan biji tasbih ini!"
Tiba2 dia menggelembungkan perut dan mengerahkan hawa murni, jubah hijau
maupun selempang merah di tubuhnya serta-merta mengembang besar,
bentaknya nyaring: "Loncat!"
Bersama dengan menggelegarnya bentakan itu ke 108 biji tasbih itu tiba2
meluncur ke udara, hanya tali tasbih saja yang masih menegak di tangan orang
Mongol itu.
Kemudian, "siut-siut . ', tahu2 biji tasbih itu berjatuhan masuk kembali pada
talinya. lalu melayang pula ke udara dun begitulah naik-turun ber-turut2 tiga
kali.
Pada saat orang ramai bersorak memuji, tiba2 terdengar seorang mendengus.
Meskipun tertawa ejekan itu tidak keras suaranya, tapi di tengah sorak-sorai itu
ternyata kedengaran jelas, siapapun dapat mendengar suara jengekan itu.
Mendongkol si "rase, dari gurun pasir" mendengar ejekan itu, segera
demontrasinya di-akhiri. Sambil menarik kembali biji2 tasbihnya ia membentak:
'Siapa yang mentertawakan diriku? hayo tampil ke depan!'
Pelahan muncul seorang pemuda tampan, senyum manis menghias bibirnya,
meski usianya masih amat muda, namun ia kelihatan agung berwibawa dan
gagah perkasa. Semua orang mengenalnya, sebab dia tak lain adalah Tian Pek,
jago muda kita.
Rase dari gurun pasir ini sudah menyaksikan kelihayan Tian Pek ketika
menghajar mundur Tay-cong ci-ju tadi, kini anak muda ini maju lagi, mau-
tak-mau ia terkejut. segera telapak tangannya di-lintangkan di depan dada, siap
menghadapi segala kemungkinan.
Tian Pek tetap santai, sambil tertawa ringan ia berkata: "Numpang tanya,
berapa banyak jumlah biji tasbih anda?"
Sah-mo-ci-hu melengak, tak tersangka pemuda itu hanya menanyakan persoalan
yang sama sekali tak penting. Segera jawabnya: "Biji tasbihku ini berjumlah 108
biji, ada apa saudara cilik menanyakan hal ini?"
"Kukira jumlah itu tidak benar!" kata Tian Pek.
"Tak bener bagaimana maksudmu?" Rase dari gurun itu semakin heran. "Sudah
hampir lima puluh tahun lamanya biji tasbih ini kubawa dalam saku, masakah
berapa jumlahnya tidak kuketahui?"
Tian Pek masih tersenyum "Walaupun kau tahu persis jumlah sebenarnya, tapi
menurut pandanganku, jumlah biji tasbihmu sekarang tidak ada 108 biji!
Setelah disinggung Tian Pek, jago Mongol itu baru sadar dan segera memeriksa
biji tasbihnya, betul juga, jumlah tasbih yang 108 biji itu sekarang telah
berkurang belasan biji.
Rase dari gurun terperanjat. ia tak menyangka biji tasbihnya dapat dirampas
orang dikala ia sedang mengerahkan tenaga dalamnya. Ia mulai sadar bahwa
tokoh muda di hadapannya sekarang ini sebenarnya adalah jago tangguh yang
tak boleh di buat main.
Mula2 Sah-mo-ci-hu merasa malu, tapi segera ia menjadi gusar, sambil
membentak satu biji tasbih segera disambitkan ke muka anak muda itu. Dengan
desing tajam biji tasbih itu terus menyamber ke depan.
Cepat Tian Pek mengebaskan telapak tangan-nya, ia bermaksud memukul
rontok biji tasbih itu. tak terduga biji tasbih itu tiba2 berhenti sebentar di tengah
jalan, bukan saja tidak rontok, malahan dengan membawa suara desingan lebih
tajam terus menyambar tiba terlebih cepat.
Sungguh kejadian di luar dugaan, biji tasbih yang dilepaskan "rase dari gurun
pasir" itu dapat menembus tenaga pukulan Tian Pek, untung ilmu langkah Cian-
hoan-biau-hiang-poh dan Bu-sik-bu-siang sim-hoat anak muda itu sudah
mencapai puncak kesempurnaan, serta merta badannya berputar sambil melejit
ke samping, dengan membawa suara desingan tajam biji tasbih itu menyambar
lewat di sisi tubuhnya.
Rase dari gurunpun terkejut, ia tak menyangka dalam jarak sedekat ini anak
muda itu bisa menghindarkan sergapan Tui-mia-sin-cu (mutiara sakti pengejar
nyawa) yang luar biasa tadi.
Kejadian ini semakin menggusarkan hatinya, tiba2 ia membentak: "Saudara cilik,
kau memang hebat. Ini, rasakan lagi tiga biji mutiaraku ini!"
Berbareng itu tiga biji tasbih dalam formasi Sim-seng-cay-hou (tiga bintang
diluar rumah) kembali menyambar ke dada anak muda itu.
Ketika menghadapi serangan pertama kali tadi, oleh karena Tian Pek tidak
mengetahui keistimewaan tasbih maut musuh, ia menangkis dengan kebasan
tangan yang mengakibatkan nyaris kecundang. Satelah ada pengalaman itu, kali
ini dia tidak menangkis lagi, dengan Bu-sik-bu-siang-sim-hoat, sekali mengegos
ia sudah lolos dari ancaman.
Cara Tian Pek menghindar itu bukan ssja tak dilihat jelas Sih-mo-ci-hu, bahkan
hadirin sebanyak itupun tak seorangpun yang mengetahuinya.
Kejut dan gusar si rase, sudah tiga puluh tahun lannnya ia perdalam ilmu senjata
rahasianya itu di Mo-kui-to, dengan 108 biji Tui-mia-sin-cu inilah ia pikir akan
mampu menjagoi Kangouw. Siapa tahu baru pertama kali muncul sudah
dikalahkan oleh seorang pemuda ingusan Dalam gugup dan cemasnya, serentak
Tui-mia-sin-cu yang masih tersisa dihamburkan semua dan mengurung Hiat-to
penting di sekujur badan pemuda itu.
Di tengah hujan biji tasbih itu, tak jelas bayangan tubuh Tian Pek, tahu2 semua
tasbih itu mengenai tempat kosong.
"Keparat Mongol yang tak tahu malu. engkoh Tian tidak membalas seranganmu,
kau terus bertingkah sesukamu, sekarang rasakan sendiri Tui-mia-sin-cu ini!"
Berbareng dengan bentakan itu, desingan tajam mendadak menyambar ke
muka Sah-mo-ci-hu.
Terkejut si rase, ia tak sempat menyerang Tian Pek lagi, sebab ia tahu betapa
lihaynya Tui-mia-sin-cu sendiri. Cepat ia jatuhkan diri ke tanah. ia menggelinding
sejauh satu tombak lebih kemudian baru melompat bangun, walaupun
sambaran kedua biji Tui-mia-sin-cu itu dapat dihindarkan namun baju dan
mukanya kotor juga oleh debu pasir.
Semua orang lantas berpaling, ternyata orang yang melepaskan dua biji Tui-mia-
sin-cu itu adalah Wan-ji.
"Darimana nona itu bisa mendapatkan biji tasbih?" demikian semua orang ber-
tanya2 di dalam hati.
Kiranya biji tasbih itu didapatkan Wan-ji ketika si rase mendemonstrasikan
kepandaiannya tadi, Waktu biji2 tasbih beterbangan di angkasa, timbul suatu
pikiran nakal nona itu, diam2 dia gunakan daya "mengisap" dari ilmu Soh-hun-ci
untuk menyedot beberapa biji tasbih yang beterbangan itu tanpa diketahui
pemiliknya.
Pada waktu itu si rase sedang girang bercampur bangga, tentu saja tak tersangka
olehnya ada orang main gila padanya. Sementara para hadirin lagi terpesona
oleh kelihayan rase Mongol itu, perhatian mereka tcrtumpah pada biji tasbih
yang sedang beterbangan, karenanya merekapun tak tahu diam2 Wan-ji telah
turun tangan.
Hanya seorang yang mengetahui perbuatannya, yakni Tian Pek dari samping ia
dapat melihat jelas semua kejadian itu, ia jadi geli melihat si rase tidak
menyadari biji tasbihnya telah berkurang belasan biji.
Ketika Sah-mo-ci-hu merasa malu dan gusar serta menyerang Tian Pek, barulah
Wan-ji melancarkan serangan balasan kepada musuh dengan cara yang sama.
Meski Tui-mia-sin-cu milik Sah-mo-ci-hu, tapi iapun tak berani menangkisnya,
dalam gugup ia tidak pikir soal gengsi lagi, dengan gerakan menggelinding ke
samping dia hindarkan ancamnn tersebut.
Sementara itu Ciong-nia-ci-eng, si elang dari Ciong-nia, yang sejak tadi hanya
berdiri kaku seperti mayat, menjadi gusar, karena kedua biji Tui-mia-sin-cu yang
dilepsskan seorang nona cantik telah membuat rekannya pontang-panting.
"Budak ingusan, kau cari mampus!" bentaknya sambil menghantam muka Wan-
ji dengan pukulan Ku-kut ciang (pukulan tulang kering).
Ciong-nia-ci-eng disebut pula Ciong-eng-siu (si kakek elang), ilmu pukulan Ku-
kut-cing-nya lihay sekali, untuk melatih ilmu sakti ini, mula2 kedua telapak
tangan harus dipanggang dengan api, ber-bareng itu mesti mengerahkan
kekuatan sendiri untuk melawan panasnya api itu. Bila berhasil dengan
latihannya, maka kedua telapak tangan akan berubah jadi hitam hangus, jika
pukulan itu bersarang di tubuh orang, niscaya korbannya akan mati dengan
badan hangus, karena kelihayan itu maka pukulan itu dinamai Ku-kut-ciang.
Kebetulan sekali di Mo-kui-to terdapat gunung berapi, sepanjang tahun api
menyembur keluar dari kawahnya, panasnya Te-sim-hwe (api pusar bumi) ini
berpuluh kali lebih hebat daripada panasnya api tungku, di tepi kawah gunung
berapi itulah selama tiga puluh tahun Ciong-nia-ci-eng berlatih, sebab itu ilmu
pukulan Ku-kut-ciangnya sudah mencapai puncak kesempurnaan, bukan saja
telapak tangannya tinggal tulang2 putih belaka, sampai badanpun ikut kisut dan
kaku seperti mayat hidup.
-------------------
Dengan cara bagaimana Wan-ji akan menundukkan si Rase dari Mongol itu?
Apakah Lam-nay-bun akan menguasai Kay-pang dan menaklukkan tokoh2 lain?
Jilid-24.
Wan-ji tak tahu kelihayan musuh, serangan Ciong-nia-ci-eng segera ditangkis-
nya dengan gerakan Ni-hong-soh-liu (hembusan angin menggoyangkan ranting
liu yang ramping).
Sebelum kedua tangan beradu. Wan-ji merasakan embusan hawa panas
menyapu ke mukanya, sekujur tubuh nona itu gemetar keras, ia merasa kulitnya
bagaikan terbakar dan tulangnya terasa linu dan sakit sekali.
"Celaka . . . . " keluh Wan- ji di dalam hati, ia ingin menghindar, tapi sayang,
kemauan ada tenaga tak sampai, terasa lemas dan terkulai ke tanah, ia jatuh
pingsan.
Melihat musuh sudah roboh, Ciong-nia-ci- eng tertawa seram, ter-kekeh2 tak
sedap didengar, tangannya yang kurus kering tinggal kulit membungkus tulang
tiba2 dipercepat dan menghantam batok kepala Wan-ji.
Gembong iblis itu sungguh keji dan tak kenal kasihan, jika pukulan itu sampai
bersarang di tubuh Wan-ji, niscaya gadis cantik itu akan hancur ....
"Tahan . . . . !" mendadak terdengar bentakan menggelegar, menyusul segulung
tenaga pukulan yang maha dahsyat menerjang Oong-nia-ci-eng.
Terkesiap si elang sakti, pukulan Ku-kut-ciang cukup lihay, namun ia tak berani
menyambut pukulan tersebut dengan kekerasan.
Waktu itu telapak tangannya sudah dekat di atas kepala Wan-ji, tapi angin
pukulan yang dahsyatpun sudah dekat pinggangnya, dalam keadaan begini iblis
tua itu harus lebih dahulu menjaga keselamatan sendiri. Cepat dengan gerakan
Kang-sitiau (loncatan mayat hidup), tanpa kelihatan bergerak, tahu2 ia
melompat satu tombak kesamping.
Kiranya Tian Pek yang telah memaksa mundur Ciong-nia-ci-eng dan
menyelamatkan jiwa Wan-ji, setelah musuh terdesak mundur, cepat ia
merangkul tubuh si nona, ia terkejut setelah menyentuh tubuh Wan-ji yang
panas separti terbakar, tanpa pikir ia tutuk tujuh Hiat-to penting di tubuh Wanji
agar urat nadi nona itu tidak sampai terganggu.
Dalam pada itu paman Lui, Buyung Hong, Leng-hong Kongcu, Toan-hong Kongcu
beserta Mo-gwa-sin-kun Hek-lian Ing, yaitu kakek berambut panjang yang
datang bersama Leng-hong Kongcu itu, telah memburu maju, merekalah yang
paling memperhatikan keselamatan Wan-ji.
Setelah tahu Wan-ji terluka parah, paman Lui menjadi murka, dengan pukulan
Thian-hud-ciang ia hantam Ciong-nia-ci-eng.
Meskipun serangan itu cukup lihay, tapi Ciong-nia-ci-eng sama sekali tak gentar,
ia tertawa dan menyambut serangan tersebut dengan Ku-kut-ciang.
Sebelum serangan tiba, paman Lui merasakan hembusan hawa panas lebih dulu,
ia terkejut, ia tahu angin pukulan lawan beracun, ia tak berani menyambut
dengan kekerasan, cepat ia mengegos ke samping.
Hampir bersamaan waktunya Leng-hong Kongcu dan Buyung Hong juga
menerjang maju, tapi merekapun terdesak mundur oleh angin pukulan lawan
yang dahsyat.
Toan-hong Kongcu tak mau ketinggalan, dengan ilmu jari Kun-goan-ci andalan
keluarganya, cepat ia menutuk Sam-yang-hiat musuh.
Tak gentar Ciong-nia-ci-eng menghadapi kerubutan musuh yang begitu banyak,
ia tertawa seram, Ku-kut-ciang dikambangkan sedemikian rupa hingga dalam
sekejap terasalah hawa panas bergolak.
Im-san-ci-long tidak tinggal diam menyaksikan Ciong-nia-ci-eng dikerubut onang
banyak, ia membentak, dengan Ciang-jin-jiat-bok, bacokan telapak tangan yang
setajam pisau, langsung ia membacok bahu Toan-hong Kongcu.
Sebagai pernah disinggung di atas, Im-san-ci-long merupakan manusia paling
licik di antara rekan-rekannya, setelah mengetahui Toan-hong -Kongcu tak lain
adalah ketua perkumpulan pengemis, timbul niatnya untuk membekuk pemuda
itu lebih dulu, kemudian baru memaksa perkumpulan pengemis untuk menuruti
segala perintah dan kemauannya.
Tapi ia lupa akan sesuatu, ia tidak memperhitungkan kekuatan piliak pengemis,
baru saja ia menyerang Toan-hong Kongcu, serentak Hong-jam-sam-kay ikut
terjun pula ke arena untuk membantu ketuanya.
Tay-cong-ci-ju maupun Sah-mo-ci-hu juga melompat maju untuk menolong
rekan2nya; tapi mereka lantas dibendung oleh kawanan jago persilatan yang
lain, dalam waktu singkat terjadilah pertarungan yang sengit.
Sementara itu Tian Pek dengan merangkul pinggang Wan-ji dan telapak tangan
menempel pada Lu-tiong-hiat di dada si nona, dengan cara penyembuhan
seperti yang tercantum didalam kitab Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip, tiada
hentinya ia salurkan hawa murni ke tubuh nona itu untuk mengusir hawa panas
beracun yang sudah telanjur menyerang tubuhnya.
Sekujur tubuh Wan-ji ketika itu panas bagaikan dibakar, mukanya merah,
matanya terpejam, bibirnya setengah merekah, alisnya bekernyit, meskipun
bersandar lemas dalam rangkulan Tian Pek, napasnya kedengaran memburu.
Walaupun si cantik berada dalam pelukannya namun tiada ingatan jahat dalam
benak Tian Pek, ia menyadari keadaan Wan-ji yang gawat, ia tahu bila dia lepas
tangan niscaya jiwa nona itu sukar tertolong.
Sebab itulah ia tidak menghiraukan pertempuran sengit yang terjadi, pikirannya
hanya tertuju untuk mempertahankan hidup bagi nona itu.
Tapi manusia bukanlah malaikat, siapa yang dapat menahan kobaran hawa
nafsu? Apalagi Tian Pek adalah pemuda yaug masih berdarah panas, sedangkan
Wan-ji adalah nona yang cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, pula sebelum
itu mereka berdua sudah pernah saling menyukai, sekarang tubuh keduanya
berdekapan, mustahil kalau pikiran Tian Pek sama sekali tidak terpengaruh.
Pada mulanya Tian Pek hanya bermaksud menvembuhkan luka nona itu, tanpa
pikir dia menerjang ke muka dan memeluk tubuh Wan-ji yang akan roboh,
setelah menutuk tujuh tempat jalan darahnya, ia menempelkan telapak
tangannya pada Lu-tiong-hiat di dada si nona.
Tapi lama kelamaan bau keringat dan bau harum khas perempuan mulai
terendus oleh pemuda itu, kecantikan wajah yang mempesona, tubuh yang
halus dan empuk serta gesekan badan yang memantulkan hawa panas membuat
pemuda itu mulai berdebar dan hampir saja tak mampu menguasai diri ....
Memandangi wajah yang cantik, tanpa terasa pemuda itu terbayang kembali
kejadian masa lampau ketika ia dibacok luka oleh Tan Peng di hutan, kemudian
ditolong Buyung-hujin dan tetirah di Pah-to-san-ceng. Wan-ji yang polos dan
lincah setiap hari membuatkan obat baginya, menyuapinya kuah jinsom,
melayaninya dengan mesra, siapa yang tak kau merasa bahagia bila
mendapatkan rawatan yang begitu hangat dari seorang nona ketika
menemui kesulitan . . . .
"Engkoh . . . Tian-siauhiap . . . " suara panggilan seseorang menyadarkan Tian
Pek dari lamunannya, cepwat ia berpaling, kiranya Kanglxam-te-it-bi-jin Kim Cay-
hong entah sejak kapan sudah berada di sampingnya dan sedang mengawasi
dirinya dan Wan-ji yang tak sadar itu.
Belum lagi Tian Pek menjawab, kembali Kim Cay-hong berkata: "Bagaimana
nona Wan-ji?"
Sorot mata gadis itu seperti menampilkan rasa cemburu, namun Tian Pek tak
sempat berpikir lain dengan alis terkerut sahutnya: "Cukup parah . . . "
Mendadak jeritan ngeri memotong ucapan yang belum selesai itu, serta merta
kedua orang itu berpaling ke sana, tertampaklah beberapa orang telah terkapar
bermandikan darah.
Kiranya ilmu silet Hek-to-su-hiong memang tangguh dan keji, sekalipun kawanan
jago yang mengerubuti mereka lebih banyak jumlahnya, namun mereka
memang bukan tandingannya keempat manusia jahat tersebut.
Anak murid perkumpulan pengemis paling banyak jatuh korban, tiga Tosu dari
Bu-tong-pay sudah dua orang terluka, sedangkan Tiam-jong-siangkiam
kehilangan seorang rekannya, Jit-poh-tui-hun tewas secara mengenaskan dan
Hou-bok-cuncu dari ruang Lo-han-tong di Siau-lim-si terluka oleh Ku-kut-ciang
Ciong-nia-ci-eng.
Kejut dan cemas Tian Pak, betapa gusarnya menyaksikan keganasan keempat
gembong iblis itu menyebarkan mautnya.
Sayang pada waktu itu dia sedang menyembuhkan Wan-ji. ia tak ingin
melepaskan tangannya karena dilihatnya peluh sudah mulai membasahi tubuh
nona itu, penderitaannya sudah berkurang dan panas badannya kian menurun,
jika dia lepas tangan maka usahanya sejak tadi akan sia2 belaka.
Namun iapun tak dapat membiarkan kawanan jago menjadi korban keganasan
musuh tanpa menolongnya, keadaan yang serba susah ini membuat pemuda itu
menjadi gelisah.
Dikala itulah tiba2 ia lihat Tay-tong-ci-ju sedang menggunakan ilmu Sok-kim-mo-
kang dan beruntun mendesak mundur paman Lui.
Walaupun dengan susah payah paman Lui me)akukan perlawanan dengan
mengerahkan segenap tenaga pukulan Thian hud-ciang, namun bagaimanapun
juga ia tidak mampu menangkis serangan Tay-cong-ci ju.
Pada saat kritis itulah Ciong-nia-ci-eng berhasil menghajar mati dua anggota
perkumpulan pengemis, sambil tertawa seram tiba2 dia melompat ke atas terus
menghantam Pek-hwe-hiat di ubun2 paman Lui.
Betapa gelisahnya Tian Pek melihat paman Lui terancam bahaya, cepat ia
serahkan Wan-ji ke tangan Kim Cay-hong seraya berseru: "Tolong rawatlah dia,
tempelkan telapak tanganmu pada Lu-tiong-hiat dan salurkan hawa murni untuk
mengusir racun panas dari tubuhnya . ...
Sementara itu sekuat tenaga paman Lui telah melancarkan bacokan maut untuk
mendesak mundur si tikus, beruntun tiga kali ia berganti tempat, maksudnya
agar dapat meloloskan diri dari jangkauan tangan musuh, sayang tetap gagal
melepaskan diri dari cengkeram maut Ciong-nia-ci-eng.
Dengan tubuhnya yang kaku seperti mayat, Ciong-nia-ci-eng mengejar terus ke
manapun paman Lui mundur, suatu ketika ia berhasil merebut posisi yang
menguntungkan, paman Lui mati langkah dan tak mampu menghindar lagi,
serentak ia mengerahkan tenaga pukulannya, menghantam dengan Ku-kut-
ciang.
Tian Pek tak sempat memberikan bantuan, terpaksa dia membentak nyaring:
"Berhenti!"
Bentakan itu disertai tenaga sakti yang hebat, seperti bunyi guntur membelah
bumi, seketika itu juga seluruh ruangan berguncang keras, telinga semua orang
mendengung.
Bentakan auman singa ini bukan saja membuat Ciong-nia-ci-eng segera
menghentikan serangannya, namun juga semua orang yang sedang bertempur
berhenti pula.
Dengan langkah lebar Tian Pek maju ke tengah, sorot matanya setajam sembilu,
menyapu pandang sekejap kawanan jago ygang sedang memaindangnya
denganh terkejut, dia memasang kuda2 dan berdiri sekokoh bukit karang, lalu
katanya dengan lantang: "Kalian menyebut dirimu Hek-to-su-hiong, sudah
kusaksikan sendiri bahwa kalian memang keji, kalian sudah melukai sekian
banyak orang. Hm, kalau tidak tahu batunya, terpaksa orang she Tian akan hajar
adat kepada kalian!"
Keempat manusia bengis itu tertawa ter-bahak2, suara mereka keras sekali dan
sedikitpun tak pandang sebelah mata kepada musuhnya.
Maklumlah, dengan dikerubuti puluban jago lihay saja mereka berempat bisa
malang melintang ibaratnya harimau ditengah gerombolan domba, Tian Pek
hanya seorang pemuda yang berusia likuran, tentu saja ancamannya dianggap
sebagai lelucon yang sangat menggelikan.
Si rase dari gurun menjengek, si tikus dari gudang tertaawa dingin, elang dari
bukit tandus tertawa ter kekeh2, tiga macam suara yang tak sedap dan
mendirikan bulu roma. Di antara mereka hanya si serigala dari Imsan yang tidak
tertawa, sebab ia merasakan firasat jelek, dia mengulapkan tangannya
mencegah ketiga rekannya tertawa lebih jauh, kemudian ia berkata kepada Tian
Pek: "Saudara cilik, apakah kau ini pedang hijau tak
berperasaan` Tian-siauhiap yang pernah melawan Hay-gwa-sam-sat dengan
tenaga seorang diri..
"Betul, itulah aku . . . . " jawab Tian Pek.
Pengakuan ini sangat mengejutkan keempat gembong iblis ini, sebab sewaktu
mereka mendarat di Tionggoan. dari seorang kawan mereka diberitahu bahwa
di dunia persilatan sekarang terdapat seorang jago dengan senjata pedang hijau
dia bernama Tian Pek dan pernah menandingi kerubutan Hay-gwa-sam-sat.
Menurut perkiraian Hek to-su-hiong, pedang hijau Tian Pak pastilah tokoh sakti
yang sudah berumur, tak tahunya jago yang disegani Lam-hay-bun hanya
seorang pemuda ingusan.
Oleh sebab itulah ketika Tian Pek muncul dan menyebutkan namanya setelah
memukul mundur Tay-tong-ci-ju, mereka tidak menaruh perhatian, merekapun
tak menyangka pemuda inilah si Pedang Hijau yang menjadi lawan tangguh Lam
hay bun.
Tatkala Tian Pek muncul untuk kedua kalinuya dan membentak dengan tenaga
dalam yang dahsyat, ketiga manusia bengisg itu masih beluim menaruh
perhahtian, sekalipun mereka tahu juga tenaga Lwakang pemuda itu memang
sangat tinggi. Sebab berdasarkan usia Tian Pek yang begitu muda, tak nanti ia
mampu melebihi keempat manusia bengis yang sudah tersohor itu.
Untunglah Im- san-ci-long yang teliti segera teringat pada cerita yang pernah
didengarnya, sesudah terbukti anak muda itu benar si Pedang Hijau Tian Pek,
mau-tak-mau mereka merasa keder.
Tapi dasar mereka sudah terbiasa jumawa, kendatipun cerita tentang
pertarungan Tian Pek melawan Hay-gwa-sam-sat cukup menggetarkan hati,
mereka masih tak mau percaya dengan begitu saja karena kejadian itu tak
disaksikan sendiri.
Memang begitulah sifat manusia, sebelum melihat sendiri, ia tak akan takluk
dan tak tahu betapa tingginya langit dan tebalnya bumi, sebab itu meski agak
kaget Im-san-ci-long mendengar pengakuan pemuda itu, sesaat kemudian
kejumawaannya lantas timbul lagi.
Ia tertawa dingin dan mengejek: "Hehehe. . . kalau begitu inilah kesempatan
baik bagiku untuk belajar kenal dengan seorang jago muda!"
Sebelum Tian Pek menjawab, dengan Ciang-jin-jiat-bok yang dahsyat ia menabas
tubuh anak muda itu.
Tian Pek tersenyum, Thian-hud-hang-mo-ciang dilontarkan untuk menyambut
pukulan lawan.
"Blaang!" di tengah benturan keras Im-san-ci-long tergetar mundur lima langkah
dengan sempoyongan, sebaliknya Tian Pek masih berdiri tegak sedikitpun tak
bergeser dari tempatnya.
Melihat kelihayan musuh Ciong nia-ci-eng membentak keras, Ku-kut-ciang
dikerahkan sekuatnya dan serentak menghantam, di antara embusan angin
puyuh tertampaklah selapis cahaya merah menyilaukan mata menghiasi
angkasa.
Semua orang menjerit kaget. sebelum ini tak pernah mereka saksikan tenaga
pukulan yang begini dahsyat.
Tian Pek semakin bersemangat, timbul keinginannya untuk mengadu tenaga, ia
berpikir:
"Akan kubuktikan apakwah Thian-hud hang-mo-ciang yang kuyakinkan ini
benar2 tiada tandingan di kolong langit . . . . . . !"
Tenaga sakti Soh-kut-siau-hun-thian-hud-lik disalurkan sekuatnya, lalu dengan
jurua Hud-kong-bu ciau (sinar Buddha memancar terang) dia sambut serangan
lawan dengan kekerasan.
"Blaang!" benturan keras menggelegar, di antara jerit kaget kawanan jago yang
berkumpul di tepi arena, tertampaklah dua gulung angin pukulan yang dahsyat
itu menjulang ke angkasa, lalu menyebar keempat penjuru dan menyapu rontok
talang ruang besar itu, debu pasir beterbangan. suasana jadi kalut dan semua
orang merasa sesak napas.
Di tengah beterbangannya debu pasir, tertampaklah Ciong nia-ci eng dengan
jubah yang menggelembung dan rambut awut2an beruntun mundur tiga
langkah, lalu berdiri tegak, namun jelas kelihatan masih bergoyang dan setiap
saat bisa roboh.
Tian Pek juga mundur selangkah, badan agak bergetar, mukanya merah dan
ujung bajunya ber kibar.
Cepat Ciong- nia-ci-eng mengatur pernapasan dan berusaha mengendalikan
pergolakan darah, setelah itu ia tertawa mengejek: "Saudara cilik, bagaimana
rasanya pukulan Ku kut-ciang?" .
Ketika untuk pertama kalinya telapak tangan Tian Pek beradu dengan tangan
Ciong-nia-ci eng, anak muda itu merasakan hawa panas menyerang tubuhnya
dan seluruh persendiannya seperti terguyur air mendidih, tapi ia dapat salurkan
hawa murninya untuk mendesak keluar aliran hawa panas itu, setelah
mengetahui peredaran darahnya tetap berjalan lancar, kepercayaan kepada diri
sendiri lantas bertambah.
Maka waktu Ciong-nia-ci-eng mengejek, iapun menyahut: "Apanya yang hebat?
Kukira cuma begitu2 saja!"
Ucapan ini membuat Corg-nia-ci-erg tertegun dan heran, ia tak percaya pemuda
itu sanggup menangkis Ku-kut-ciang yang maha hebat itu tanpa cidera. Setelah
menghimpun tenaga dan tertawa aneh, segera ia berkata lagi: "Kalau kau
benar2 jantan, beranikah menyambut satu pukulan lagi?"
Tian Pek tersenyum: "Jangankan cuma satu pukulan, sepuluh atau seratus
pukulan akan kusambut semua!"
Jahe yang tua biasanya lebih pedas, demikian pula keadaan Ciong- nia- ci-eng,
kendati ia merasa tenaga sudah agak berkurang, ia yakin keadaan Tian Pek tentu
jauh lebih payah, pemuda itu bisa bersikap tenang tentu cuma pura2 berlagak
begitu, sebab umumnya barang siapa bisa bertahan sampai akhir pertarungan,
dia yang akan keluar sebagai pemenang.
Oleh sebab itulah, Ciong-nia- ci-eng tak sudi dipandang lemah, sambil
menghimpun kembali tenaganya ia berseru lantang: "Baik sambut lagi pukulan
ini . . . . "
"Eh, tunggu scbentar!" tiba2 Tian Pek memberi tanda berhenti.
"Kau takut?" ejek Ciong-nia-ci-eng sambil menarik kembali tangannya yang siap
melancarkan serangan.
Tian Pek tersenyum: "Ha, selama hidupku tak pernah kukenal apa artinya takut.
Aku cuma ingin mengucapkan beberapa patah kata lebih dulu"
"Perkataan apa? Cepat katakan!"
"Aku telah berjanji dengan seseorang bahwa aku tak akan mencampuri urusan
dunia persilatan lagi, karena itu aku merasa tidak leluasa untuk bertempur
dengan kau . . . . kuharap . . . . "
Tiba2 si tikus tertawa ter-kekeh2, katanya: "Hahaha, buat apa berputar kayun
kalau bicara? Terus terang saja mengaku bahwa kau takut!"
"Ah, belum tentu . . . . " jengek si anak muda sambil melirik hina.
Im-san-ci-long mengira Tian Pek sedang mencari alasan untuk mengulur waktu,
Dikiranya: "Mungkin isi perutnya sudah terluka oleh pukulan Ku-kut-ciang, maka
ia mencari alasan untuk mengulur waktu sambil menyembuhkan lukanya . . . . '
Berdasarkan dugaan ini, tiba2 gia mendapat akail, cepat timbruhngnya:
"Saudara cilik, jangan kau menolak tantangan kami dengan berbagai alasan,
ketahuilah kami berempat baru saja kembali ke daratan Tionggoan dan belum
menginjakkan kakinya ke dunia persilatan, maka jika saudara cilik punya
kepandaian hebat, keluarkan saja dan jangan sungkan, kami tak akan
menganggap dirimu mencampuri urusan dunia persilatan!"
Mendengar ucapan tersebut, Tian Pak mengernyitkan alis, dengan tajam ia
pandang wajah musuh2nya, kemudian berkata: "Apa perkataanmu itu dapat
mewakili pendapat kalian berempat?"
"Kenapa tidak?" sahut si rase dari gurun.
Tiba2 Tian Pek menengadah dan berpekik nyaring, suaranya keras
berkumandang membuat anak telinga orang merasa sakit.
Empat manusia bengis itu tertegun, mereka tak habis mengerti apa sebabnya
pemuda itu berpekik panjang.
Tian Pek berhenti berpekik, se-olah2 dengan pekikan itu dia sudah
melampiaskan semua rasa kesal yang mencekam hatinya selama ini, ujarnya
dengan gagah: "Baiklah, kalian berempat boleh maju bersama!"
Kembali keempat manusia bengis itu tertegun, Im-san-ci-long yang tak berhasil
menangkap maksud ucapan itu bertanya dengan keheranan: "Saudara cilik, apa
yang kaukatakan?"
"Aku seorang diri hendak menantang duel kalian berempat manusia bengis dari
golongan hitam ini!"
Mendengar jawaban tersebut, bukan saja Hek-to su hiong tertegun, hampir
semua jago yang hadir sama melongo keheranan.
`Bagi sebagian jago yang pernah menyaksikan pertarungan antara Tian Pek
melawan Hay-gwa-sam-sat, kejadian ini tidak terlampau mengherankan mereka
tapi sebagian besar di antara mereka belum tahu betapa lihaynya Kungfu anak
muda itu.
Barusan mereka telah menyaksikan kelihayan keempat manusia bengis itu
dikerubut begitu banyak orang dan tak mampu menggalahkan merekai, maka
dapat dihbayangkan betapa tercengangnya demi mendengar Tian Pek
menantang duel keempat musuh.
Kim Cay-hong maupun Buyung Hong pernah menyaksikan Tian Pek bertempur
melawan Hay-gwa-sam-sat, meski tegang mereka tak terlalu menguatirkan
keselamatan anak muda itu.
Lain dengan Hoan Soh-ing, ia belum pernah menyaksikan pemuda itu bertarung
melawan ketiga "malaikat maut" dari luar lautan, sekarang mendengar
tantangan pemuda itu, kecuali diam2 merasa pemuda itu agak bodoh iapun
berkuatir bagi keselamatannya.
Sementara itu Wan-ji juga sudah sadar kembali, setelah hawa beracun
ditubuhnva didesak oleh tenaga dalam Tian Pek, lalu digantikan pula oleh Kim
Cay-hong, keadaannya boleh dibilang sudah mendingan. Iapun heran melihat
Tian Pek menantang keempat manusia bengis untuk berduel, serunya: "Engkoh
Tian . . . kau . . . jangan gegabah..." Setelah terluka, tubuhnya masih sangat
lemah sampai bicarapun lirih sekali, Belum selesai ia berkata, dengan gusar
Ciong-nia-ci-eng membentak, sambil
mengerahkan Kut-kut-ciangnya, sekuatnya ia hantam tubuh lawan.
Cahaya merah yang menyilaukan serta deru angin pukulan yang menyayat
badan bergulung2 menyapu ke depan.
"Bagus!" seru Tian Pek tak mau kalah, dia keluarkan jurus Hwe-cing-yau-hen
(menyapu bersih hawa iblis) dari Thian-hud-ciang- hoat untuk menangkis.
"Blang!" benturan keras terjadi, Ciong-nia-ci-eng terdesak mundur, isi perutnya
terasa guncang, pandangannya kabur. Sekarang ia baru tahu bukan saja
Lwakang anak muda itu tidak terganggu, sebaliknya jauh lebih hebat daripada
tadi, diam2 ia mengakui pemuda ini memang tidak boleh diremehkan.
Dalam pada itu, setelah serangannya berhasil memaksa mundur Ciong nia ci-
eng, secepat kilat Tian Pek memutar tubuhnya, dangan jurus Hongceng-lui-beng
(angin guntur menggelegar) dia hantam kepala Im-san-ci- long.
Serangan itu tajam dan kuat, serigala dari Imsan ini tak berani menyambutnya
dengan kekerasan sambil miringkan kepala dan melangkah ke samping ia
meloloskan diri dari ancaman tersebut, lalu dengan Ciang-jin-jiat-bok ia tabas
bahu kiri musuh.
Tian Pek menjejak kakinya ke tanah dan melompat ke udara, dari sana ia hajar
Tay-cong ciju dengan jurus serangan Hud-cou-ciang-cok (Budha suci naik tahta).
Cepat si tikus menyurutkan badannya tiga kaki lebih pendek, berbareng ia balas
mengancam tubuh anak muda itu.
Dengan gerakan Say-cu-yen-tan (singa menggeleng kepala), sambil goyang
kepala Tian Pek melompat ke atas dan mengitar di udara, semula ia
mcmbumbung tinggi lalu turun ke bawah, mendadak kakinya menendangan
pinggang Sah-mo-ci-hu.
Rase dari gurun pasir cepat putar badan, dengan tasbihnya dia ketuk jalan darah
dengkul Tian Pek.
Pemuda itu tarik kembali kakinya seraya melayang turun, dalam sekejap mata
itulah ia sudah melancarkan serangan kepada tiap2 gembong iblis itu.
Hebat rekali serangan berantai ini dan gaya pemuda itu, baik gerakan tubuh,
gerakan langkah, ketajaman mata serta ketepatan serangan, semuanya
merupakan suatu rangkaian kerja sama yang manis dan arah yang dituju adalah
tempat2 mematikan di tubuh lawan.
Hek-to-su-hiong, empat gembong iblis yang jumawa dan disegani orang pada
tiga puluh tahun berselang bukan saja dibikin kalang kabut oleh seorang
pemuda dalam satu gebrakan bahkan mereka keteter hebat, hal ini segera
membangkitkan rasa gemas mereka.
Mereka telah berlatih tekun selama tiga puluh tahun di luar lautan, mereka
yakin kemunculan mereka ini pasti akan menggemparkan dunia persilatan, tapi
sekarang mereka baru sadar bahwa apa yang mereka bayangkan hanya khayalan
belaka.
Begitulah, dengan penuh kemarahan dan penasaran, keempat orang itu
membentak keras lalu menyerang lagi dengan hebatnya.
Semangat Tian Pek ber-kobar2, tujuannya menyerang empat orang itu sekaligus
tak lain adalah untuk memancing keempat musuh ini menyerang bersama,
sekarang setelah pancingannya berhasil, iapun lantas mainkan pukulan2 Thian-
hud-cianghoatnya sedemikian rupa untuk melayani mereka.
Keempat manusia bengis itu sudah lama tersohor, biasanya mereka angkuh dan
tak pandang sebelah mata kepada lawan, sekalipun turun tangan sendirian juga
belum tentu ada orang yang mampu menahan sepuluh gebrakan, biarpun yang
dihadapi adalah seorang jago silat kelas tinggi.
Tapi sekarang mereka mengerubuti musuhnya, seorang dan sudah
mengerahkan segenap tenaga, namun serangan mereka selalu dipatahkan oleh
pemuda ini.
Lama2 mereka tambah penasaran, sambil membentak keras, jurus serangan
yang digunakan makin ganas dan tak kenal ampun, hampir seluruh kepandaian
mereka dikeluarkan untuk melayani Tian Pek.
Yang paling hebat adalah pukulan Ku-kut-ciang si elang, setiap kali dia
melancarkan serangan segera terpancar cahaya merah yang menyilaukan mata,
angin pukulan menderu, di mana serangannya menyambar lewat di sanalah
debu pasir beterbangan. Pantaslah pukulan Ku-kut-ciang itu sukar ditandingi,
malahan Wan-ji serta paman Lui yang berilmu tinggipun tak mampu menahan
serangannya.
Tapi Tian Pek adalah pemuda yang lain daripada yang lain, Lwekangnya
diperoleh dari latihan menurut kitab Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pi-kip,
kemudian ketika berada di "lembah kematian", Liu Cui-cui telah memberinya
obat mujarab Ci-tam-hoa dan membantunya dengan tenaga dalam, semua itu
membuat Tian Pek se-akan2 sudah mencapai tingkatan lik-we-put-hun (tak
mempan dibakar dengan api, Jim-sui-put-jin (tenggelam dalam air tidak mati)
Tang-put-wi-an (di musim dingin tak kedinginan), He-put-wi su
(di musim panas tak kepanasan), Pi-kok-put-ki (tanpa beras tidak lapar) serta
Yong-gan-put to (selalu awet muda).
Kalau tidak begitu, mustahil Tian Pek mampu menahan panasnya pukulan Ku-
kut-ciang tanpa mengalami cidera apapun?
Semua ini jangankan Hek to su hionhg tidak tahu, bahkan Tian Pek sendiripun
tidak menyadari kelihayannya sudah mencapai tingkatan maha sakti. Andaikata
Tian Pek mengetahui kekuatan serta kemampuannya yang sebenarnya, tentu
dia tak sudi menyerah kalah kepada "Ciu-kongkong",'Ciu Ji-hay, salah satu dari
Hay gwa- sat itu.
Padahal tempo hari secara beruntun anak muda itu berhasil melukai nenek
berambut putih dan Hud-in Hoatsu, kemudian meskipun dalam beradu tenaga
dengan kakek berjenggot panjang sampai tumpah darah, namun darah itu
bukan darah sembarang, justeru itulah darah kotor yang masih ketinggalan di
dalam perutnya.
Darah beku den darah biasa tidak sama, darah baru tidak boleh sampai keluar,
misalnya seorang terlampau keras menggunakan tenaga atau terjatuh hingga
luka parah dan muntah darah, maka keadaan orang itu berbahaya sekali, jika
tidak segera mendapat pertolongan, sekalipun tidak mati tentu juga akan cacat
seumur hidup.
Berbeda dengan darah beku, darah itu harus dimuntahkan keluar supaya badan
bisa bertambah segar. Darah beku dalam perut Tian Pek itu adalah akibat ia
makan Ci tam-hoa.
Ci tam hoa merupakan sejenis obat penambah tenaga yang bersifat panas, bila
orang biasa minum obat itu niscsya akan mati kepanasan. Keistimewaan
tergebut tak diketahui oleh Cui cui, karena yang dipikirkan nona itu hanyalah
demi engkoh Tian, ia tak tega kekasihnya tersiksa, maka ketika pemuda itu
pingsan, iapun melolohkan obat mujarab yang disimpannya itu untuk
kekasihnya.
Walau begitu baik Tian Pek maupun Cuicui sama2 tidak menyadari masih ada
segumpal darah beku yang tertinggal di perut Tian Pek, baru kemudian waktu
pertarungan dengan ketiga "malaikat maut " di mana ia mendapat goncangan
keras, darah beku yang masih tertinggal dalam perutpun tertumpah keluar.
Andaikata yang dimuntahkan waktu itu adalah darah baru tentu anak muda itu
tak mungkin bisa tinggalkan istana keluarga Kim dan kabur kelembah kematian,
lebih2 tak mungkin mampu membinasakan Sam-cun-teng Siau-siang-bun serta
bertarung melawan Kanglam-ji-ki yang lihay itu.
Jika membandingkan satu persatu kungfu anggota Hek-to-hau-hiong dan Hay-
gwa-sam-sat, maka mereka tiada yang lebih kuat daripada si kakek berjenggot
panjang, tapi tidak di bawah kelihayan si nenek berambut putih dan Hud-in
Hoatsu. Jika bergabung, Hek-to-su-hiong jelas lebih tangguh daripada Hay-gwa-
sam-sat. Jadi kekalahan Tian Pek di tangan Hay-gwa-sam-sat sebenarnya adalah
kekalahan yang penasaran.
Kembali pada pertarungan Tian Pek melawan Hek-to-su-hiong, hanya sekejap
saja mereka sudah bertempur hingga tiga puluh gebrakan lebih.
Kian lama pertarungan itu berlangsung makin cepat sehingga akhirnya sukarlah
melihat jelas bayangan tubuh kelima orang itu. Kawanan jago di seputar arena
hanya sempat melihat lima gulung hawa pukulan yang keras menggumpal
menjadi satu.
Para penonton sama menyurut mundur ke belakang sehingga akhirnya berdiri di
bawah emper rumah, dengan mata terbelalak mereka saksikan pertarungan
dahsyat itu.
Dalam waktu singkat tujuh puluh gebrakan sudah lewat, pertarungan sudab
berlangsung ratusan jurus. Banyak orang menguatirkan keselamatan Tian Pek,
jantung mereka berdebar keras, mereka kuatir kalau pemuda itu kalah.
Bu-lim-su-toa-kongcu juga mengikuti jalannya pertarungan itu dengan mata
terbelalak, meski masing-masing dengan perasaan yang ber-beda2.
Siang lin Kongcu dan An-lok Kongcu yang berambisi untuk merajai kolong langit
mcrasa putus asa setelah menonton pertarungan ini. Sedangkan Toan-hong
Kongcu yang berambisi akan kursi "Bulim-bengcu" serta merebut hati Wan-ji,
sekarang se-olah diguyur air dingin.
Hanya Leng-hong Kongcu saja masih tersenyum angkuh, senyuman bangga.
Orang yang angkuh bila merasa ada alasan untuk menarik sesuatu keuntungan,
biasanya ia akan ikut bangga, Sekarang Tian Pek unjuk kebolehanya di depan
umum, ia lantas membayangkan pemuda she Tian itu adalah Cihu (kakak ipar)
sendiri, dan sang Cihu pasti akan membantu adik iparnya.
Kini sang Cihu melabrak empat iblis itu. siapakah gerangan jago di dunia ini yang
memiliki kemampuan sehebat itu, bukankah ini berarti bahwa pimpinan dunia
persilatan akhirnya berada di tangan orangw Pah-to-san-cenya?
Sementara itu pertarungan yang sedang berlangsung sudah mencapai puncak
ketegangan.
Diantara beterbangannya debu pasir tiba2 terdengar suara benturan keras,
kemudian bayangan manusia yang sedang bertempur itu sama memencarkan
diri ke empat penjuru.
Hek-to-su-hiong berdiri di empat sudut, sedangkan Tian Pek berdiri di tengah
gelanggang dengan sikap sekukuh bukit karang.
Batok kepala Im-san-ci-long yang botak sudah basah oleh keringat, sampai2
cambangnya yang lebatpun basah kuyup, biji matanya melotot, telapak
langannya menyilang di depan dada sambil menatap musuh tanpa berkedip.
Suasana jadi hening, tak terdengar suara apapun, tak seorangpun yang buka
suara, kawanan jago di seputar arena sama tahan napas, mereka tahu meski
keadaan hening, justeru keheningan itulah menunjukkan suatu pertarungan
yang lebih hebat akan segera berlangsung lagi.
Di tengah kesunyian itulah, lima orang yang saling berhadapan sedang mengatur
napas sambil menghimpun tenaga, mereka sedang memikirkan siasat yang
paling jitu untuk mengalahkan lawan dengan satu kali gebrak.
Rembulan telah bergeser ke barat, bintang jarang2, fajar hampir tiba. Namun
tak seorang pun menaruh perhatian pada perubahan cuaca, perhatian mereka
sama tertuju pada gelanggang pertarungan yang akan berlangsung kembali.
Akhirnya Ciong-nia-ci-eng bergerak lebih dulu, sambil membentak ia
melancarkan Ku-kut-ciang, cahaya merah disertai deru angin pukulan segera
menyapu ke depan dan membacok kepala Tian Pek.
Tay-cong-ci-ju tak mau ketinggalan, kedua tangannya yang panjang bagaikan
dua ekor ular menyapu ke bawah dan mengancam tumit anak muda itu.
Berbareng Im-san-ci-long juga bertindak cepat, telapak tangannya yang tajam
seperti golok dengan ilmu Ciang-jin-jiat-bok menusuk iga kiri dan menabas
lambung Tian-Pek.
Sedangkan si Rase dari gurun memutar biji tasbihnya menjadi sebuah lingkaran
cahaya, kemudian menutuk Hong-wi, Sin-tong dan Ki-kut, tiga Hiat-to penting.
Hebat sekali serangan gabungan yang dilancarkan keempat orang itu,
tertampaklah tiga gulung hawa pukulan dahsyat diiringi biji tasbih sekaligus
menyergap atas, tengah dan bawah, Tian Pek terancam dari muka dan belakang,
kanan dan kiri.
Menyaksikan kejadian itu, banyak orang yang berada di sekitar arena menjerit
kaget.
Tiba2 Tian Pek bersuit nyaring, ia balas dengan jurus Hud-kong-bu ciau dari ilmu
Thian hud-hang-mo-ciang, bayangan telapak tangan segera menyelimuti udara
bagaikan awan hitam, dengan kecepatan gerak, kelihayan jurus serta
keampuhan tenaga pukulan yang dahsyat, ia balas memyerang musuh yang
berada didepan, belakang maupun kanan dan kiri.
Setika itu juga Hek to-su hiong terdesak mundur lagi ke belakang, Segera
keempat orang bengis itu berputar pula di sekitar Tian Pek dengan mata
melotot, mereka mengatur kembali hawa murninya yang terbuang sambil
memeras otak mencari cara lain untuk merobohkan lawan.
Berbicara sesungguhnya, pertarungan ini tidak lebih ringan bagi Tian Pek
daripada waktu melawan Hay-gwa-sam-sat, sebab Hay-gwa-sam-sat, kecuali si
kakek berjenggot panjang yang berilmu tinggi, boleh dibilang si nenek rambut
putih dan Hud-in Hoat-su berada di tingkatan yang lebih rendah.
Lain halnya dengan Hek-to-su-hiong, meskipun Lwekang mereka masib kalah
setingkat daripada si kakek berjenggot, tapi lebih tinggi daripada si nenek
rambut putih serta Hud-in Hoat-su, ditambah pula keempat orang ini memiliki
ilmu andalan yang berbeda satu sama lainnya, muka begitu bekerja sama
terlihatlah serangan hebat yang rapat dan semuanya tertuju pada bagian
mematikan di tubuh lawan.
Di antara empat orang ini, Ciong-nia-ci-eng dan Tay-cong-ci-ju paling susah
dihadapi, tiap kali Ciong-nia-ci-eng menyerang dengan Ku-kut-ciang, segera
terasa hawa yang panas yang menyengat badan, meski Tian Pek tidak takut,
namun setiap saat dia harus mengerahkan tenaga dalam untuk menolak hawa
panas tersebut.
Selain itu, kedua lengan Tay-cong-ci-ju yang luar biasa panjangnya itupun
menjemukan, bukan saja jurus serangannya aneh, kadang2 serangan di tengah
jalan tiba2 berobah arah dan menyergap tubuh bagian bawah, ini menyebabkan
Tian Pek harus menyediakan perhatian khusus untuk mengatasinya.
Walau demikian, Sah-mo-ci-hu dan Im san-ci-long juga bukan lawan yang
empuk, ilmu bacokan segera membawa desing angin tajam yang menderu,
bacokan itu setajam mata pisau. Kendatipun Tian Pek bisa menangkis semua
serangan, namun telapak tangan sendiripun terasa sakit.
Sedangkan Sah-mo-ci-hu dengan tasbihnya khusaus dapat menghancurkan
tenaga dalam lawan, angin pukulan tak dapat membendung ancaman tersebut,
terpaksa Tian Pek harus mengandalkan ilmu langkah Cian-hoan-biau-hiang-poh
dan Bu-sik-bu-siang-sin-hoat untuk menghindarinya. Dengan begitu, boleh
dibilang pertarungan yang dihadapi Tian Pek sekarang adalah pertarungan
paling sengit yang pernah dialaminya.
Makin lama Tian Pek merasa makin payah, padahal keempat jago golongan
hitam itupun merasa gelisah.
Dalam keadaan begitulah kedua pihak saling gebrak pula tiga puluhan jurus lagi.
Suatu ketika, mendadak Hek-to-su-hiong mengubah siaaat pertarungan mereka,
tampak Im-san-ci-long mengatakan sesuatu dengan bahasa Mongol yang tak
diketahui Tian Pek, lalu serangan keempat orang itu tidak segarang tadi lagi,
mereka hanya mengitari pemuda itu dengan cepat.
Tian Pak tak paham bahasa Mongol, tapi ia mengerti musuh pakai siasat lain,
semua perhatian dan hawa saktinya lantas dihimpun umtuk menjaga segala
kemungkinan.
Sementara itu keempat manusia bengis berputar kian lama bertambah kencang,
tiba2 Im-san-ci-long bersuit, telapak tangannya yang tajam seperti golok
membacok badan Tian Pek.
Tian Pek tai berani gegabah, cepat ia menghimpun tenaga dalamnya dan
dilontarkan ke muka.
Kali ini ternyata Im-san-ci-long berbuat licik, ia menghindari bentrokan ini dan
melayang mundur.
Hal ini agak diluar dugaan Tian Pek, serangannya mengenar tempat kosong, dari
belakang mendadak datang sergapan musuh.
Dengan gerakan Hwe-tau-peng-gwat (berpaling dan memandang rembulan)
pemuda itu putar badan, berbareng dengan itu ia melancarkan pula suatu
pukulan dahsyat. Orang itu adalah Tay-tong-ci-ju, sebagaimana rekannya ketika
sergapannya meleset cepat ia menghindarkan diri dan melompat mundur.
Pada saat melesetnya pukulan anak muda itu, Ciong-nia-ci-eng menggunakan
kesempatan itu dengan baik, ia menyerang dengan Ku-kut-ciang yang panas
menyengat badan.
Tian Pak menghindar dengan gesit, sambil mengelak dia melepaskan lagi
pukulan balasan.
Tapi Ciong-nia-ci-eng juga segera menghindar mundur, menyusul Sah-mo-ci-hu
lantas menyerang pula secara bergiliran dan begitu seterusnya.
Demikianlah dengan taktik bergerilya keempat manusia bengis itu menghadapi
musuhnya, tapi Tian Pek cukup cerdik, beberapa gebrakan kemudian ia lantas
mengetahui tujuan musuh, tampaknya ia hendak diperas tenaga dalam,
kemudian baru musuh menyerang secara total.
Memahami taktik lawan, Tian Pek pun tersenyum, ia berpikir: "Cara kalian ini
justru memberi kesempatan padaku untuk mengatasi . . . . . "
Sebagaimana diketahui, tenaga dalam Tian Pek diperoleh dari kitab Soh-hun-
siau-kut-thian-hud-pikip, untuk mengatur napas ia tak perlu bersemadi tapi
cukup menarik napas panjang dan semua kepenatan akan lenyap dengan
sendirinya.
Keadaan ini berbeda dengan sistem mengatur napas dari golongan lain,
andaikata Hek-to-su-hiong menyerang secara ber-tubi2 tentu Tian Pek tak ada
kesempatan untuk ganti napas, tapi mereka bertarung secara bergerilya,
sekalipun disertai kerja sama yang lihay toh masih ada kesempatan yang tersisa
bagi anak muda itu untuk ganti napas.
Dengan demikian, bukan saja tujuan mereka berempat untuk melelahkan Tian
Pek tidak berhasil, malahan sebaliknya memberi kesempatan bagi lawannya
untuk menghimpun tenaga baru . .. ..
Siapa sangka, baru saja pikiran itu terlintas, mendadak si rase dari gurun
melompat keluar gelanggang, kemudian melepaskan tiga biji tasbih ke arah
musuh Berbarersg itu juga, ketiga rekannya serentak menyerang dari tiga arah
yang berlawanan.
Nyata Hek-to-su-hiong memang licin dan keji, tiga orang di antaranya ditugaskan
untuk membendung jalan lari Tian Pek dan si rase dari gurun melancarkan
serangan dengan biji tasbihnya.
Tian Pek terkesiap, iapun memahami tujuan lawan, cepat tiga pukulan
dilancarkan untuk mendesak mundur ketiga lawannya, tapi getaran tenaga
ketiga orang itu membuat Tian Pek tak sempat bergeser, sementara itu tiga biji
tasbih tahu2 sudah meluncur tiba.
Tian Pak terkejut, ketiga biji tasbih itu menyambar tiba dengan formasi segi tiga,
dua biji menyerang ke arah dada dan sebiji mengincar batok kepala.
Seperti pernah disinggung di depan, biji tasbih milik Sah-mo-ci-hu ini terbuat
dari kayu tho hitam yang khusus tumbuh di gurun, bukan saja keras seperti baja,
bisa berputar seperti gangsingan.
Karena bentuknya yang khas ini maka bila bertemu dengan rintangan, terutama
angin pukulan, bukannya terhenti malahan menyambar makin cepat dan lihay.
Untuk menghadapi ancaman seperti ini, biarpun seorang tokoh maha sakti,
kecuali menghindar memang tiada jalan lain.
Tian Pek memang hebat, ia bisa memaksa mundur ketiga orang musuhnya, tapi
tak dapat menghindar getaran tenaga lawan yang membalik, ditambah pula biji
tasbih yang meluncur datang tak bisa drpukul mencelat, kejadian ini membuat
anak muda itu menjadi mati langkah . . . .
Kawanan jago di tepi arena kaget, terutama Buyung Hong, Kim Cay-hong, Wan-ji
serta Hoan Soh-ing, beberapa orang nona itu sama menjerit melengking.
"Cras!" percikan darahpun muncrat.
Ilmu langkah Bu sik-bu-ciang-sin-hoat dari Tian Pek sungguh hebat, walaupun di
saat kritis pemuda itu berhasil menghindari sergapan dua biji tasbih yang
pertama, namun biji tasbih ketiga sempat melukai lengan kirinya.
Tian Pek merasa lengan kirinya jadi dingin, biji tasbih itu menyambar lewat, baju
dan dagingnya robek, darah bercucuran dengan deras.
Selagi Tian Pek melengak, Im-san-ci-long tidak me-nyia2kan kesempatan baik
itu, tanpa bersuara dia menabas punggung lawan.
"Duck!" bacokan telapak tangannya itu menghajar telak di punggung Tian Pek,
dengan sempoyongan pemuda itu tergetar lima-enam langkah ke depan.
Pandangannya menjadi gelap, darah dalam dadanya bergolak, tubuhnya
bergontai dan akan roboh.
Jeritan kaget berkumandang dari sekitar arena, semua jago terperanjat, begitu
pula paman Lui, Tay- pek-siang-gi serta Ji-lopiautau, serentak mereka menerjang
maju.
Buyung Hong, Kim Cay-hong, Wan-ji dan Hoan Soh-ing tidak ketinggalan,
sembari menjerit merekapun menubruk ke tengah arena. . . . .
Dalam pada itu Im-san-ci-long sedang tertawa ter-bahak2, telapak tangan
terangkat, serangan kedua telah disiapkan, sementara ketiga manusia bengis
yang lainpun menyeringai seram dan mendekati Tian Pek.
Suasana sangat gawat, tampaknya Tian Pek akan binasa di tangan keempat
orang itu.
Tian Pek yang sempoyongan itu tiba2 membentak keras, suatu pukulan dahsyat
tanpa terduga mendadak dilontarkan ke tubuh si rase dari gurun.
Waktu itu Soh-mo-ci-hu sedang kegirangan sebab serangannya berhasil melukai
musuh ketika datang serangan ia menjadi kaget, dalam keadaian tak siap manha
mungkin baginya untuk menghindar?
"Duk!" dengan telak pukulan itu mengenai dada rase dari gurun, kontan ia
terguling dan muntah darah, dadanya sakit seperti dipalu.
Berhasil menghantam Sah-mo-ci-hu sampai muntah darah, secepat kilat Tian
Pek berputar badan, sebelum Im-san-ci-long sempat menyerang, dengan gurus
Heng-tam-toan-hong (awan tebal menyelimuti puncak) dari Tay-kim-na-jiu-hoat
pemuda itu mendahului bertindak . . .
"Plaak!" pergelangan tangan Im-san-ci-long yang hendak membacok tahu2
sudah kena dicengkeram.
Sebenarnya Tian Pek tidak bermaksud mencelakai jiwa Hek-to-su hiong, dia
cuma berharap mereka berempat tahu-diri dan mengundurkan diri, apa mau
dikata "Manusia tak ingin melukai harimau, justeru sang harimau ingin
mencaplok manusia", karena pikiran baiknya itu dia sendiri yang terluka malah.
Sekarang kemarahan anak muda itu sudah memuncak, ia tidak kenal ampun lagi,
begitu pergelangan tangan Im-san-ci-long tercengkeram, serta merta ia puntir
lengan itu dengan keji. "Krak!" Im-san-ci-long menjerit kesakitan, lengan
kanannya sudah patah.Pucat wajah si rase dari Im-san itu, dengan sempoyangan
ia terlempar mundur.
Sekarang semua orang baru melenggong, tak seorangun yang menduga dalam
keadaan terluka parah, hanya dalam satu gebrakan saja dua orang musuh, yang
tanguh telah dilukai Tian Pek.
Sementara itn Tian Pek telah menyeka darah di ujung bibirnya lalu selangkah
demi selangkah menghampiri Ciong-nia-ci-eng dan Tay-ceng-ci-ju.
Kedua fokoh silat yang biasanya garang dan sombong menjadi ngeri
menyaksikan keperwiraan pemuda itu, dengan muka pucat mereka mundur ke
belakang.
"Mau kabur?" jengek Tian Pak. "Hm, jangan harap kalian akan pulang dengan
hidup!"
Wajah Tian Pek tamak kereng, ia mendekati Ciong-nia-ci-eng dan Tay-cong-ci-ju.
Tidak kepalang rasa takut kedua orang itu, mereka terpengaruh oleh perbawa
Tian Pek, sambil menggigil mereka mundur terus.g
"Mau kabur kemana?" ejek anhak muda itu, suatu pukulan maut segera akan
dilancarkan.
Pada saat itulab tiba2 terdengar gelak tertawa nyaring menggema di angkasa,
menyusul beberapa sosok bayangan manusia melayang tiba secepat terbang.
Gerakan orang2 itu cepat dan gesit, sebelum kawanan jago melihat jelas, lima
orang sudah muncul di arena.
Dua orang yang pertama adalah seorang pemuda sastrawan berbaju putih serta
seorang nona cantik bak bidadari dari kahyangan Sedang tiga orang berikutnya
adalah seorang kakek berjenggot panjang, seorang nenek berambut putih dan
seorang Hwe-sio setengah baya, gemuk dan pendek.
Tampang beberapa orang ini tak asing lagi bagi kawanan jago, mereka ialah
Lam-hay-siau-kun Liong-sin Taycu, Lam-hay-liong-li Liong Cu-ji dan Hay-gwa-
sam-sat.
Lam-hay-siau-kun menggetarkan kipas peraknya dan tertawa, tegurnya kepada
Tian Pek:
"Saudara Tian, apakah kau akan mencampuri urusan dunia persilatan lagi?"
"Engkoh cilik, apakah taruhan kita tempo hari masih berlaku?" tegur si kakek
berjenggot panjang alias Ciu Ji-hay dengan tertawa:
Di dunia persilatan, janji seorang jego silat melebihi segalanya, lebih2 pemuda
jujur seperti Tian Pek, tidak nanti ia ingkar janji. Teguran itu kontan membuat
muka anak muda itu jadi merah, sahutnya dengan tergagap: "Apa yang telah
kujanjikan tak pernah kuingkari. Tapi sebelumnya mereka berempat telah
menerangkan bahwa mereka bukan orang persilatan, lagipula tindak-tanduk
mereka kelewat kejam .... ....”
Lam- hay-liong-li mengerling sekejap ke arah pemuda itu, lalu nenukas: "Ah, Tian
kongou kelihatan seperti orang jujur, tak kusangka kaupun pandai bergurau!
Kalau mereka berempat bukan orang persilatan, masa dapat main silat? Jelas
sekarang kau sendiri yang mengingkar janji, sudah berjanji tapi tak di tepati,
huh, kehormatan dunia persilatan di Tionggoan telah dibikin malu oleh
perbuatanmu .... "
Ucapan ini tajam dan penuh nada sindiran, habislah kesabaran Tian Pek, tiba2 ia
membentak: "Tutup mulut! Andaikata kau bukan seorang nona, tentu
kuhajar. . , . . . ,"
Mendadak pemuda itu membungkam, bagaimanapun juga ia merasa telah
berjanji untuk tidak mencampuri urusan dunia persilatan lagi, dan
pertarungannya melawan Hek-to su-biong merupakan bukti yang tak bisa
disangkal, jika ia sampai bertarung pula melawan nona itu, bukankah
perbuatannya ini sama seperti menampar mulut sendiri.
Wan-ji yang baru sembuh dari lukanya cepat memburu ke sisi pernuda itu
dengan langkah yang masih lemah, sambil memegang lengan kekasihnya yang
berdarah ia bertanya lirih:
"Engkoh Tian, bagaimana lukamu? Tidak apa2 bukan?"
Tian Pek merasa hangat, perhatinn Wan-ji, membuat anak muda ini terharu,
cuma ia segan mengutarakan suara hatinya didepan orang banyak, maka sambil
tertawa hambar sahutnya: "Jangan kuatir adik Wan, luka ini tak seberapa!"
Dalam pada itu Wan-ji sudah memeriksa lengan Tian Pek yang terluka, ternyata
dalam waktu singkat luka itu sudah tak berdarah, malahan telah pulih seperti
sediakala, apa yang tertinggal sekarang hanya bekas luka yang memanjang
belaka, kejadian ini membuat ia terkejut bercampur girang.
Nona ini tak tahu Tian Pek pernah minum Ci-tam-hoa, sejenis obat mujarab
berumur ribuan tahun, ia mengira Lwekang kekasihnya amat sempurna hingga
sudah mencapai tingkatan kebal terhadap segala senjata, dengan girang ia
lantas berseru "Engkoh Tian, lukamu telah sembuh..”
Saking gembira, ia peluk lengan Tian Pek dan digoncangkannya, mukanya yang
pucat kini kelihatan bersemu merah, muka yang memerah, bisa diketahui
betapa gembiranya nona itu.
Sikap mesra Wan-ji didepan orang banyak ini membuat Tian Pek menjadi kikuk,
tapi ia tak leluasa untuk melepaskan diri dari rangkulan si nona, terpaksa ia
hanya diam saja.
Sebagian besar kawanan jagopun tidak menunjukkan perasaan apa2 atas sikap
mesra Wan-ji itu, mereka menganggap inilah rejeki Tian Pek, tapi ada juga
beberapa orang yang merasa tak enak. .
Buyung Hong secara resmi adalah bakal isteri Tian Tek, ia menyadari duduknya
perkara setelah melihat sikap adiknya yang mesra ini, sekarang ia baru mengerti
apa sebabnya tempo hari Wan-ji pergi tanpa pamit setelah mendengar berita
tentang pertunangannya dengan pemuda itu, sekarang ia baru sadar sebenarnya
adiknya juga amat mencintai Tian Pek.
Namun nona itu tidak merasa cemburu, lain dengan Kim Cay-hong, ia merasa
kecut, sebenarnya ia menguatirkan Tian Pek, bahkan ingin menghambur
kedepan, tapi pendidikan keluarganya yang keras membuat nona ini
membatalkan maksudnya. Dan sekarang Wan-ji telah melakukan apa yang tak
berani dilakukan olehnya dan hal itu mendapat sambutan baik dari Tian Pek,
diam2 ia menyesal tiada keberanian seperti Wan-ji.
Hoan Soh-ing lebih pendiam, ia merasa cinta Wan-ji terhadap Tian Pek ternyata
sedemikian mendalam, ia bersyukur rasa cintanya selama ini belum sampai
dikemukakan.
Toan-hong Kongcu cemburu, air mukanya berubah, rasa iri membakar hatinya.
Sedangkan Lenghong Kongcu terbelalak, padahal Tian Pek adalah bakal suami
encinya, mengapa adiknya mencintai pula pemuda itu?
"Huuh, tak tahu malu!" tiba2 Lam-hay-liongli mendengus.
Wan-ji berpaling dengan gusar, hardiknya: "Siapa yang kaumaki?"
Dengan gusar Lam-hay-liong-li menjawab: "Hm, masa kau tidak tahu siapa yang
kumaki?"
Wan-ji tambah murka, dengan Soh-hun-ci ia serang jalan darah Sim-gi-hiat di
tubuh Lam hay-liong-li.
Serangan jari itu memang lihay, sayang keadaannya masih lemah, tenaga
serangannnya kurang kuat, sekali ditangkis oleh Lam-hay-liong-li, dia sendiri
yang tergetar mundur beberapa langkah.
“Budak ingusan yang tak tahu dgiri, tampaknya ikau sudah bosanh hidup!" seru
Lam-hay liong li dengan tertawa dingin, telapak tangannya di angkat dan siap
menyerang.
Tunggu sebentar!" cepat Tian Pek mengadang di depan Lam-hay-liong-li. "Kau
tahu nona Wan-ji belum sembuh dari lukanya, mengapa . . . . "
"Jadi kau ingin ikut campur?" jengek Lam-hay liong-li.
"Hm. jangan kaugunakan alasan tersebut untuk memeras diriku, masakah kau
tidak tahu aturan bahwa memukul orang yang sedang terluka adalah pantangan
bagi orang persilatan?"
Muka Lam-hay-liong-li menjadi merah . . . .
Lam-hay-siau kun yang sejak tadi membungkam segera maju ke muka, katanya
kepada Tian Pek: "Anda tidak berhak mencampuri urusan dunia persilatan lagi,
sekarang silakan kau mundur dari sini!"
"Apa yang kau maksudkan?" seru Tian Pek, dia mengira musuh hendak
mencelakai Wan-ji lagi, bila demikian maka ia bertekad akan mengalanginya
walau apapun yang bakal terjadi.
Lam-hay-siaukun tidak menjawab pertanyaannya, sambil tersenyum ia berpaling
ke arah kawanan jago yang berkumpul di situ dan berkata: "Tujuan pertama dari
perguruan kami masuk ke daratan Tionggoan adalah ingin mempersatukan
dunia persilatan di bawah satu komando, agar pelbagai pertikaian yang sering
terjadi antara sesama umat persilatan dapat dihindarkan. Banyak kawanan jago
yang sudah menggabungkan diri untuk ber-sama2 membentuk satu keluarga
besar, tak tersangka pada saat keluarga besar hampir terbentuk, tiba2 muncul
manusia berambisi yang berusaha merusak rencana kami. Baiklah, untuk
menghindari segala pertikaian kami menetapkan pada tanggal sembilan bulan
sembilan nanti di Siau-lim-si Siong-san akan kami adakan Eng-hiong-tay-hwe,
setiap orang yang tak mau tunduk kepada kami dipersilakan menghadiri
pertemuan itu, nanti bila kenyataannya ada tokoh lain yang lebih hebat
daripada kami, dengan senang
hati Kami akan menarik diri dari Tionggoan."
Ketika dilihatnya semua orang sama memperhatikan ucapannya dengan mata
terbelalak, ia tertawa bangga dan berkata lebgih jauh: "Sebaliiknya jika kungfu
kami terbukti lebih lihay daripada yang lain, maka tak ada perkataan lain lagi,
sejak detik itu dunia persilatan akan diperintah oleh Lam-hay-bun, barang siapa
berani menentang perintah hami, maka dengan segala daya upaya akan kami
basmi penentang2 tersebut!"
Mendengar perkataan itu, semua jago merasa terkejut, rupanya pihak Lam-hay-
bun sudah merasa yakin akan menguasai dunia persilatan hingga dengan terus
terang mereka berani mengemukakan ambisinya dan Mengancam
penentang2nya.
Bilamana dunia persilatan benar2 dikuasai oleh Lam-hay-bun, maka nasib jago
persilatan lebih sukar untuk dibayangkan. Diantara sekian banyak jago, Sin-kun-
tah-ciang Bu Ceng-cui dan Hou-bok cuncia dari Siau-lim-pay paling kaget, bahwa
Lam hay-siau kun mengatakan pesta pertemuan besar para orang gagah itu akan
diadakan di Siau lim si, jangan2 kuil suci itupun sudah dikuasai mereka?
Lam-hay-siaukun tidak menghiraukan kawanan jago itu kaget atau tidak, ia
tertawa dan berkata lagi: "Setiap orang gagah yang merasa dirinya anggota
dunia persilatan berhak untuk menghadiri pertemuan itu!"
Lalu sambil berpaling ke arah Tian Pek dia menambahkan: "Hanya kau seorang
yang tidak berhak menghadirinya!"
Berbicara sampai di sini ia ter-bahak2, kepada Hay-gwa-sam-sat dan Hek to su-
hiong ia berseru: "Hayo kita pergi."
Dengan gerakan cepat pemuda itu berlalu lebih dulu disusul oleh Ciong-nia ci
eng dan Tay cong-ci ju yang masing2 mengangkat Sah-mo ci-hu serta Im-san ci-
long yang terluka, dan paling akhir adalarh Hay gwa-sam sat.
Waktu mau pergi, Lam-hay-liong-li sempat melemparkan kerlingan ke arah Tian
Pek, kerlingan itu diliputi perasaan "benci" dan "cinta", ini membuat Tian Pek
terperanjat, ia sedang pusing oleh masalah cinta, ia paling takut pada kerlingan
begitu dari kaum perempuan, maka cepat ia tunduk kepala menghindari
kerlingan Lam-hay-liong-li tadi.
Setelah Lam-hayw-siaukun dan roymbongan pergi jxauh, kawanan jago yang
berdiri tertegun itu ramai membicarakan apa yang baru terjadi.
Ji-lopiautau, paman Lui dan Tay-pek-siang-gi berkumpul menjadi satu
rombongan.
Melihat paman Lui berkerut dahi. Ji lopiantau lantas berkata: "Tampaknya Lam-
hay-bun sudah yakin dengan kekuatannya, dia berani menantang dunia
persilatan?"
"Kukira urusan ini tidak sederhana!" ujar Tay pek siang-gi, "aku kuatir
selanjutnya dunia persilatan bakal terlanda lagi oleh pembunuhan yang
mengerikan!"
Wajah paman Lui tampak murung, dia geleng kepala dan berkata: "Kita jangan
kuatirkan kekuatan Lam-hay bun, yang kita sedihkan adalah tak dapat
bersatunya kawan2 Bulim karena pandangan yang berbeda, jika tidak bersatu,
niscaya mereka bisa mengobrak-abrik kekuatan kita dengan mudah."
"Apa yang dikatakan Lui sinting memang benar" ujar si pengemis pemabuk
sambil menenggak araknya. "Orang kuno berkata, bersatu kita teguh bercerai
kita runtuh.
Untuk mendobrak kekuasaan Lam-hay-bun di daratan Tionggoan kita memang
harus bersatu dan menanggulanginya ber-sama2. Eh Lui sinting apa salahnya
kalau sekarang juga kita mengadakan persekutuan yang didasari dengan
sumpah setia? Dengan persekutuan ini akan lebih mudah bagi kita untuk
menentang kekuatau Lam hay bun!"
Paman-Lui tidak menanggapi usul tersebut, dia hanya tersenyum. Sebagai
seorang tua yang berpengalaman dia tahu kemampuan orang2 yang hadir ini
tidak cukup untuk melawan Lam-hay- bun, ditambah pula Bu lim su-kongcu
masing2 memiliki ambisi untuk menjadi pemimpin, tapi tidak becus melawan
Lam hay-bun. Cuma ia sungkan untuk bicara terus terang, maka dia hanya
tersenyum saja.
Kebetulan pengemis sinting Coh Liang menghampiri mereka, ia menimbrung.
"Apapun yang terjadi, pokoknya kita orang2 persiiatan di daratan Tionggoan
harus melakukan perlawanan hingga titik darah penghabisan, lebih baik mati
sebagai pahlawan daripada hidup sebagai pengecut!"
"Eh pengemis tua, semangatmu yang tinggi itu memang terpuji, tapi apakah kau
pernah berpikir di antara sekian banyak jago yang hadir ini, kecuali saudara Tian
seorang siapa lagi yang mampu menandingi kelihayan Hay-gwa-sam-sat dan
Hek-to-su-hiong?" seru si orang mati-hidup dengan melotot, "mendingan kalau
jago mereka hanya itu2 saja, kalau Lam-hay-bun keluarkan pula jago2 lihay
simpanannya, lalu apa daya kita?"
Paman Lui mernandang sekejap ke arah Tian Pek, wajahnya makin murung,
namun mulutnya tetap membungkam.
Di tengah keheningan, tiba2 An-lok Kongcu mendekat pula dan berkata:
"Saudara Tian, kemajuanmu dalam ilmu silat sungguh luar biasa pesatnya dan
bikin orang kagum. Asalkan saudara Tian dapat menandingi kelihayan Hay-gwat-
sam-sat dan Hek-to-su-hiong, se-jelek2nya kami rasanya masih sanggup
menghadapi jago mereka dari kelas dua dan kelas tiga?
"Ah, saudara In Ceng terlalu memuji, aku tak berani menerimanya," cepat Tian
Pek menyahut seraya menjura. "Bukannya aku tak bersedia menyumbangkan
pikiran dan tenaga, hakikatnya aku sudah diikat oleh janji dan tak mungkin
mencampuri urusan dunia persilatan lagi, alangkah baiknya kalau kalian jangan
mencantumkan diriku dalam daftar"
Siang-lin kongcu yang menghampiri pula cepat menimbrung: "Saudara Tian
kenapa kau musti memegang janji segala? Dengan bertempur lagi kaupun dapat
menuntut balas atas kekalahanmu tempo hari."
"Saudara Kim, maksudmu hendak menyanjung ataukah hendak menyindir
diriku?" kata Tian Pek dengan kurang senang. "Se-jelek2nya Tian Pek, setiap
ucapan yang sudah kuutarakan takkan kuingkari Hei, apakah kausuruh aku
menjadi manusia munafik yang lain di luar dan lain di dalam?"
Teguran ini membuat wajah Siang-lin Kongcu menjadi merah, buru2 dia
menerangkan:
"Harap jangan salah paham, aku berkata demikian hanya demi kepentingan
prang banyak!"
"Ah, aku punya akal!" tiba2 orang mati-hidup berseru sambil berkeplok tangan.
Seruan itu sangat keras, se-akan2 telab menemiukan sesuatu yahng penting,
dengan tercengang semua orang berpaling, tertampaklah orang hidup mati lagi
melepaskan selembar kedok kulit manusia, segera kelihatan seraut wajah yang
putih dengan jenggot yang jarang2 dan bukan lagi muka yang kaku mirip orang
mati.
Tindakan orang hidup mati ini membuat orang tertegun, siapapun tidak
menyangka selain ini Tay-pek-siang-gi mengenakan topeng kulit manusia,
terutama Ji-lopiautau, Buyung Hong dan Tian Pek sekalian yang sudah cukup
lama bergaul dengan meraka berdua, kenyataannya tiada yang tahu akan
rahasia tersebut.
Orang hidup-mati tidak menghiraukan keheranan orang lain, dengan wijah ber-
seri2 serunya kepada Tian Pek: "Siau-in-kong, asal kaupakai topeng kulit
manusia ini, maka siapapun tak akan mengenali dirimu lagi, kau bisa ikut
menghadiri pertemuan para enghiong pada tanggal sembilan bulan sembilan
nanti, dengan leluasa kau bisa hajar orang2 Lam-hay bun sampai kocar-
kacir . . . . "
Siapa tahu Tian Pek tak mau menerima topeng itu, dengan hambar ia berkata:
"Orang lain mungkin tak tahu siapakah diriku, tapi aku Tian Pek tak sudi
melakukan hal yang bertentangan dengan suara hatiku!"
Ucapan ini tegas dan nyaring, membuat semua orang diam2 mengangguk.
Paman Lui menghela napas panjang, bisiknya: ''Ai, persis, tak ubahnya seperti
mendiang ayahnya, cocok sekali watak mereka berdua . . . . "
"Hmm! Manusia yang tak dapat melihat keadaan sebenarnya dia adalah
manusia yang picik kan bodoh!' jengek Hoan Soh-ing tiba2.
Badan Tian Pek tergetar, ia merasa tertusuk oleh perkataan itu.
Sejak mengikat tali persahabatan dengan Hoan Soh-ing di dalam penjara Pah-
toh-san-ceng dahulu, ia telah menganggap nona itu sebagai sahabat yang paling
karib, tapi sekarang Hoan Soh-ing menyalahkan pula tindakannya, padahal ia
merasa semua perbuatannya dilakukan berdasarkan suara hati nurani, jujur dan
tidak merugikan orang lain, salah paham ini membuat hatinya sakit.
"Hoan . . . . . . nona Hoan!" katanya kemudian, "aku menganggap setiap
perbuatanku didasarkan suara hati, bagian manakah ysug kauanggap tidak
benar?"
Perlu diketahui, sampai kinipun Hoan Soh-ing masih berdandan sebagai seorang
laki2, dalam gugupnya Tian Pek tak tahu harus menyebut saudara atau nona,
Sehabis berkata ia terbelalak menatap wajah si nona yang cantik itu sambil
menantikan jawaban yang memuaskan. Tindakannya ini membuat muka nona
itu jadi merah jengah.
Tapi bagaimanapun nona itu mempunyai watak seorang laki2, dengan cepat ia
dapat mengatasi kejengahan tersebut, ia tertawa, sahutnva: "Tak dapat
dibantah lagi kalau dewasa ini kungfumu terhitung paling tinggi di antara sekian
banyak jago yang hadir di sini, hanya engkau seorang yang dapat menentang
kelihayan jago2 Lam-hay-bun, dan hanya engkau seorang yang bisa menangkan
mereka serta menyelamatkan dunia persilatan dari malapetaka, tapi
kenyataannya sekarang kau tidak manfaatkan kemampuanmu dengan
se-baik2nya, sebaliknya lebih suka terikat oleh janji kosong, bukankah perbuatan
seperti ini adalah perbuatan yang bodoh dan tak dapat dibenarkan"
Ucapan tersebut cukup tegas dan masuk diakal, ini membuat kawanan jago
sama mengangguk kepala, sementara Tian Pek sendiri tertunduk malu.
Pemuda itu berada dalam keadaan serba salah, sebagaimana dikatakan Hoan
Soh-ing, menyelamatkan dunia persilatan dari malapetaka adalah tindakan
paling penting yang harus dilakukan, sebagai seorang jago dari kaum pendekar,
ia berkewajiban menyumbangkan tenaganya. Tapi, sebagai seorang laki2 sejati
ia tak ingin mengingkari setiap janji yang telah diucapkan, untuk sesaat anak
muda itu termangu bingung.
Sementara itu suasana yang semula gaduh karena diramaikan oleh pelbagai
pendapat kawanan jago itu, kini menjadi hening sepi, perhatian semua orang
dialihkan ke wajah Tian Pek dan menantikan jawabannya, se-akan2 nasib dunia
persilatan hanya bergantung kepada keputusan anak muda itu.
Tian Pek tertunwduk sambil termyenung, ketika ia menengadah dan melihat
semua orang sedang menatapnya dan menantikan jawabannya, segera sadarlah
pemuda itu bahwa kedudukannya saat ini penting sekali, nasib dunia persilatan
benar2 terletak di atas bahunya. ini membuat otaknya berputar dan segera
terlintas satu akal bagus.
Segera ia berkata: "Aku Tian Pek tidak lebih hanya seorang yang masih hijau,
atas perhatian serta kepercayaan para Cianpwe, sungguh membuat aku merasa
terharu dan berterima kasih. Sebagai seorang anggota dunia persilatan, sudah
menjadi kewajibanku untuk menyelamatkan dunia persilatan dari bencana,
untuk itu sekalipun harus terjun ke lautau api atau mendaki ke bukit golok, tidak
nanti kuelakkan tugas ini!."
Ia berhenti sebentar, ketika dilihatnya semua orang sedang memperhatikan
ucapannya, ia melanjutkan lagi kata2nya: "Tapi aku sudah menyanggupi orang
lain untuk tidak mencampuri urusan dunia persilatan lagi, sebagai Bu-lim-
cianpwe tentunya anda sekalian maklum kita harus pegang janji. Dalam keadaan
demikian seperti apa yang sudah diucapkan saudara . . . . eh, nona Hoan, bila
aku tidak membantu, tentunya aku akan dianggap tidak setia kawan, sebaliknya
jika aku melanggar janji dengan menghadiri pertemuan para jago itu, maka
perbuatan ini berarti melanggar janji. Baik
tidak setia kawan maupun melanggar janji merupakan perbuatan vang tak
kuinginkan, maka bisa dibayangkan betapa sulitnya kedudukanku sekarang?"
Sampai di sini, semua orang merasa bingung, tak tahu apa yang dimaksudkan
anak muda itu, tapi karena tak mengerti, merekapun semakin menaruh
perhatian.
"Aku mempunyai suatu cara baik," Tian Pek melanjutkan kata2nya, "tapi
sebelum kulaksanakan harus mendapat persetujuan lebih dulu dari paman Lui!"
Sinar mata semua orang serentak beralih ke arah paman Lui, hal ini membuat
paman Lui jadi terharu sekali hingga mengembeng air mata, dari sikap Tian Pek,
yang tegas2 pegang janji dan gagah perkasa, se-olah2 ia merasa telah bertemu
dengan mendiang ayahnya, se-akan2 bayangan Pek-lek-kiam Tian In-thian telah
muncul di depan matanya.
Ketika mendengar pertanyaan anak muda itu, tanpa mempertimbangkan lagi
apa yang hendak diucapkan pemuda itu, sahutnya: "Nak, lanjutkan ucapanmu!"
Tatapan mata paman Lui yang penuh sayang menambah rasa keyakinanan serta
kepercayaan pada diri sendiri Tian Pek ia merasa apa yang telah diputuskan tak
bakal salah lagi, maka lanjutnya: "Seperti apa yang dikatakan saudara An-lok
Kongcu In Ceng, ilmu silatku memang mengalami kemajuan yang pesat, tapi
tahukah saudara sekalian mengapa kungfuku bisa memperoleh kemajuan yang
sedemikian pesatnya"
Semua orang bungkam dan tampak heran, siapa yang tahu dari mana Tian Pek
memperoleh ilmu silat yang begitu tinggi dan lihay?
Sementara orang masih tercengang, Tian Pek melanjutkan kata2nya lebih jauh:
"Aku bisa, maju lantaran paman Lui menghadiahkan sejilid kitab paling aneh di
kolong langit ini, yakni Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip kepadaku!"
Suasana seketika menjadi gempar, semua orang jadi lupa akan tujuan yang
sebenarnya untuk apa Tian Pek mengemukakan rahasia ini, bahkan beberapa
jago lihay yang tak tahan seperti Mo-gwa-sinkun (Orang gagah dari luar gurun)
Hek- lian Ing, Tiat ih hui peng (rajawali terbang bersayap baja) Pa Thian ho, Tiat-
pi-to liong (naga bungkuk berpunggung baja) Kongsun Coh, Tiat-se ciang
(pukulan pasir besi) Lu Lak-sun, Tiat-pay-hwesio (padri tameng baja) Hoat Tang,
Thian-ya-ong-seng (manusia latah dari ujung langit) Tio Kiu-ciu, Ciukay
(pengemis pemabuk) Pui Pit, Hong-kay (pengemis sinting) Coh Liang, dua
bersaudara keluarga Kim dari gunung Bong-gu-san, Sin-kun tah cing, (pukulan
sakti penghantam sumur) Bu
In-hui, Hou-bok-cuncia dari ruang Lo-han-tong, Ngo-im-liongcu (tangan sakti
panca suara) Siau Tong dari Hoat-hoa lam-cong, Hian sging-cu dari Bu itong,
Tiamcong-him-kiam Ho Thian-hiong, Thiau-san-it-hok Tiong Bong serta Bu-lim-
su-kongcu, segera mereka memburu maju dan be-ramai2 membuka suara.
"Sekarang kitab pusaka itu ada di mana? Cepat keluarkan dan perlihatkan
kepada kami!"
"Keluarkan dan perlihatkan kepada kami!"
"Betul, kitab itu ada di mana . . . . ?"
"Keluarkan kitab itu . . . . " begitulah bergemuruh teriakan yang beraneka
macam itu.
Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip merupakan kitab pusaka aneh yang maha
dahsyat, sejak seratus tahun berselang banyak jago silat yang menemui ajalnya
karena memperebutkan kitab tersebut, kemudian meskipun kitab itu lenyap dari
peredaran dunia persilatan, namun turun temurun orang persilatan masih tetap
mengincar kitab yang luar biasa itu.
Tidaklah heran, begitu Tian Pek menyebut kitab itu, serentak kawanan jago
persilatan itu jadi lupa daratan.
Paman Luipun membelalakkan matanya karena heran, ia tak habis mengerti apa
sebabnya dalam keadaan seperti ini Tian Pek malahan membeberkan rahasia
itu?
Perlu diketahui, daya pikat kitab pusaka itu sudah mencapai tingkatan yang
membawa sial, setiap orang yang memiliki kitab tersebut akan menjadi pusat
perhatian dan incaran setiap umat persilatan dan perebutan yang bakal terjadi
dapat menimbulkan badai pembunuhan yang tiada berakhir.
Padahal suasana dalam dunia persilatan dewasa ini sangat kritis, mereka sedang
menghadapi ambisi Lam-hay-bun yang ingin merajai Tionggoan, setelah rahasia
besar ini tersiar, bukan saja soal persatuan akan tipis sekali harapannya untuk
terwujud, malahan mungkin akan menimbulkan tragedi yang mengerikan, itulah
sebabnya tindakan Tian Pak ini dianggap sementara orang sebagai tindakan
yang tidak rasionil.
Benar juga, Khong-tong-su-co (empat manusia jelek dari Khong-tong) yang per-
tama2 tak dapat menahan diri, dengan menyeringgai dan mata memiancarkan
cahaya aneh, Toa-co (manusia jelek pertama) yang berjuluk Thian-jan (cacat
alam) segera maju ke depan dan meraih saku anak muda itu.
"Hayo, jangan omong saja, cepat keluarkan kitab itu!" hardiknya.
Tian Pek tak mengira kawanan jago yang anggap dirinya dari golongan lurus ini
ternyata mempunyai watak serakah yang begitu besar, bahkan tak segan2 main
rampas dengan kekerasan.
Sementara ia masih termenuntg, tahu2 tangan Thian-jan sudah menyambar
tiba.
Keadaan tidak memberi kesempatan bagi Tian Pak untuk berpikir lagi, jari
tangannya langsung mengetuk cakar Toa-co dengan jurus Heng-soat-toan-hong
dari ilmu cengkeraman Toa-kin-na-jiu -hoat.
Seperti terpagut ular, Thian-jan menarik kemli tangannya dan melompat
mundur.
Sekalipun mundur dengan gerakan cukup cepat, tak urung jalan darah Ce-ti pada
punggung tangannya keserempet juga oleh serangan anak muda itu, saking
sakitnya ia jadi mendelik dan meringis.
Sesudah memukul mundur Thian-jan dari Khong-tong-su-co barulah Tian Pek
berkata dengan serius: "Saudara2 sekalian, harap kalian dengarkan dulu kata2ku
lebih lanjut!"
Sekarang semua orang baru ingat kehebatan pemuda itu, Hek-to-su-hiong yang
lihaypun dihajar sampai terluka oleh anak muda itu, apalagi mereka, sudah jelas
tak ada kesempatan bagi mereka untuk main rampas dengan kekerasan, maka
suasana menjadi agak tenang.
Setelah melihat kawanan jago itu tak berani maju lagi, Tian Pek berkata pula:
Demi memegang janji, tak mungkin bagi orang she Tian untuk ikut menghadiri
pertentuan orang gagah itu, tapi akupun tak dapat berpeluk tangan membiarkan
orang2 Lam-hay-bun malang melintang di daratan Tionggoan, maka sebagai
sumbangsihku ini, ingin kuwariskan ilmu silat yang tercantum dalam kitab
pusaka Sohkut-siau-hun-thian-hud-pit-kip ini kepada saudara sekalian agar
kalian memiliki kemampuan untuk melawan
kelaliman orang Lam-hay-bun. Asal kalian lihay, bukankah tanpa kemunculan
dirikupun musuh dapat kalian tumpas"
Semua orang tertegun dan membungkam, siapapun tak mengira Tian Pek
berjiwa begini besar dan tidak keberatan untuk membeberkan pelajaran silat
yang maha sakti itu kepada orang lain.
Tian Pek berkata lagi: "Akan tetapi, Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip ini adalah
hadiah yang kuterima dari paman Lui, subelum kuajarkan kepada saudara
sekalian terlebih dahulu harus kumintakan persetujuan paman Lui."
Berbicara sampai di sini, anak muda itu lantas berpaling dan memberi hormat
kepada paman Lui dan berkata: "Paman, budi kebaikanmu kepada keponakan
tak bisa dilukiskan lagi dengan kata2, akan tetapi untuk menyelamatkan dunia
persilatan dari bencana besar, tentunya kau tak akan menyalahkan tindakan
sembrono keponakanmu ini bukan?"
Dengan air mata bercucuran karena terharu, paman Lui membangunkan anak
muda itu, sahutnya: "Bangunlah keponakanku, tindakanmu ini membuat paman
merasa bangga bercampur gembira, meskipun selama hidupku tak pernah
menikah, tapi bisa memiliki keponakan yang bijaksana seperta kau, matipun aku
puas. Selain itu akupun ikut berbangga untuk saudara angkatku, bagi mendiang
ayahmu yang telah tiada, meskipun ia mati dengan tak jelas, tapi arwahnya di
alam baka pasti akan terhibur dan gembira melihat kebijaksaan serta kebesaran
jiwamu yang telah melaksanakan cita2nya di waktu hidupnya."
Ketika dilihatnya Tian Pek ikut mengucurkan air matanya, paman Lui berkata
lebih jauh: "Tindakanmu ini cocok sekali dengan suara hatiku. Cuma kuanjurkan
kepadamu alangkah baiknya Sohkut-siau-hun-thian-bud-pi-kip itu jangan kau
perlihatkan secara umum agar tidak menimbulkan pertikaian lagi, maklumlah,
kitab itu memang kitab yang membawa celaka, jika bukan orang berimam tebal
tak boleh kau perlihatkan. Untuk
menjaga segala kemungkinan, bolehlah kau ajarkan ilmu silatnya saja kepada
mereka."
Selesai paman Lui bicara, banyak orang yang merasa berterima kasih atas
kebesaran jiwa jago tua itu, tapi ada pula di antaranya yang merasa kecewa,
sebab dengan ucapannya itu berarti tinda harapan lagi bagi mereka untuk
melihat bentuk kitab yang dinamakan kitab paling aneh di kolong langit ini.
Kembali Tian Pek memberi hormat kepada paman Lui, lalu ia berkata kepada
kawanan jago itu dengan suugguh2: "Setelah paman Lui berkata begitu, maka
kitapun harus melaksanakan seperti apa yang beliau katakan. Nah, asalkan
kalian bersedia menerimanya, akupun takkan menyembunyikan kesaktian ilmu
tersebut barang satu juruspun, cuma kitab aslinya takkan diperlihatkan kepada
kalian, sebab kitab itu memiliki daya pikat yang terlampau basar, sekalipun
seseorang memiliki imam yang teguh belum tentu sanggup mengendalikan diri!"
Tentu saja bagi mereka yang belum pernah melihat Soh-kut-siaai-hun-thian-bud-
pi-kip tak akan percaya pada ucapan itu malahan dengan curiga mereka
membatin: "Huh, di luar saja kaubilang akan membeberkan ilmu itu secara
terbuka, tapi di dalam hati keberatan memperlihatkan kitab itu ... ."
Akan tetapi bagi orang yang pernah melihat kitab itu, seperti Tay-pek-siang-gi,
merela percaya penuh ucapan Tian Pek memang benar, maka sewaktu melihat
orang sama sangsi, cepat ia berseru: "Apa yang dikatakan Siau-in-kong memang
benar, kami bersaudara beruntung pernah melihat kitab itu, tapi nyaris ludes
tenaga latihan kami selama berpuluh tahun . . , . "
Sambil menyeka air mata terharu, paman Lui berkata lagi: "Jarak waktu sekarang
sampai bulan sembilan saat diselenggarakan pertemuan itu masih tiga bulan
lebih, jika kalian percaya penuh kepada kami, ikutilah petunjuk Tian-Pek dan
pelajarilah ilmu sakti Buddha langit ini ber-sama2!"
Kembali orang bersorak-sorai karena kegirangan, banyak di antaranya yang
merasakan kesempatan baik ini sukar dicari, sebaliknya bagi mereka yang
berwatak rakus diam2 menyusun rencana busuk untuk mencuri atau merampas
kitab pusaka itu.
Manusia umumnya memang tamak. Di kala seorang secara sukarela
mengundang orang lain untuk bekerja sama, maka di pihak lain ada segelintir
manusia tamak yang mulai menyusun rencana busuk.
Maksud Tian Pek dengan tindakannya itu pada dasarnya memang baik, tapi
mimpipun ia tak menyangka di balik kesemua itu tersembunyi badai besar yang
mengerikan.
Bila badai itu menyapu jagat, maka banjir darahpun akan berlangsung, entah
berapa banyak jago lagi yang akan menjadi korban. .
Sementara itu, ketika paman Lui mengusulkan untuk mengadakan persiapan
guna meneritna pelajaran dari Tian Pek, maka Toan-hong Kongcu dan An-lok
Kongcu sebagai tuan rumah segera mempersiapkan segala sesuatu yang
diperlukan, mereka mengurus masalah penginapan, soal makananpun diatur
oleh anak murid perkumpulan pengemis.
Di tengah kesibukan itu, diam2 para jago ketujuh aliran besar sama mohon diri
Hou-bok-cuncia dan Sin-kun-teh-sing Bu In-hui ingin cepat pulang ke Siau-lim-si
untuk memberi laporan, sedangkan jago2 dari perguruan lain mau pulang untuk
mengundang teman2 lain.
Beberapa hari kemudian dunia persilatan dibikin gempar oleh tersiarnya
beberapa macam berita, seluruh jagat terasa bergolak dan orang jadi tak tenang
rasanya.
Berita pertama yang mengetarkan Kangouw adalah tantangan Lam-hay-bun
untuk berduel dengan kawanan jago seluruh dunia pada bulan sembilan tanggal
sembilan nanti di Siau-lim-si.
Untuk menyelenggarakan pertemuan besar Enghiong-tay-hwe ini bukan saja
mengundang kawana Bu-lim dan Bu-lim-su-kongcu, bahkan orang2 persilatan di
tepi perbatasanpun ikut diundang.
Berita kedua yang lebih menggemparkan membuat orang lupa pada peristiwa
pertama yang akan menentukan nasib dunia persilatan itu.
Kiranya maksud baik Tian Pek akan mengajarkan ilmu dari Soh-kut-siau-hun-
thian-hud-pit-kip ciptaan Ciah-gan longkun pada dua ratus tahun yang lalu itu
telah tersiar luas di dunia persilatan.
Ketika berita itu tersebar, semua jago Kangouw bergolak, hampir semua orang
lupa soal Eng-hiong-tay-hwe, mereka tidak lagi memikirkan nasib dunia
persilatan, tapi ber-bondong2 berangkat ke Hin-liong-tin untuk melihat
kehebatan kitab pusaka itu.
Hanya beberapa hari saja semua rumah penginapan di kota kecil Hin-liong-tin
telah dipenuhi oleh jago2 persilatan, malahan banyak di antaranya tidak
kebagian tempat penginapan dan terpaksa menginap di luar kota, mondok di
kuil, bahkan ada pula yang berdiam di hutan terbuka.
Peristiwa ini memang luar biasa dan belum pernah terjadi, karena jago
persilatan yang berkumpul di situ jumlahnya kelewat batas, suasana jadi tegang
dan sering terjadi pertengkaran dan perkelahian.
Tian Pek, pemuda yang polos dan berjiwa besar itu tak pernah menyangka
maksud baiknya itu, akan menimbulkan bencana sebesar ini.
Hakikatnya pada malam hari pertama di situ sudah terjadi peristiwa yang tak
diinginkan.
Malam itu setelah Sin-liong-taycu mengumumkan akan diadakannya Enghiong-
tay-hwe di Siongsan dan berlalu dari sana bersama begundalnya, semantara itu
haripun terang tanah.
Setelah sibuk seharian, selesai bersantap malam semua orang lantas pergi
beristirahat ke tempat masing2. Guna bersiap menerima pelajaran dari Tian Pek
pada keesokan harinya.
Malam itu Tian Pek dan paman Lui mendapat satu kamar, Tay-pek-siang-gi dan
Ji-lopiautau bersatu kamar. Buyung Hong dan Wan-ji menempati kamar yang
lain, ketiga kamar ini letaknya berjajar pada sebuah serambi yang sama.
Setelah berada di dalam kamar, baru habis minum secawan air teh, tiba2 kamar
Tian Pek diketuk orang, karena kamar tak terkunci, paman Lui lantas berseru:
"Masuk!"
Pintu didorong orang dan muncul Buyung Hong. Ia mengenakan baju panjang
warna hitam dengan ikat pinggang sutera, rambutnya terurai di bahu, kulituya
yang putih bersih kelihatan kontras sekali dengan baju berwarna hitam. Agaknya
ia baru membersihkan badan, meskipun tidak memakai pupur namun di bawah
cahaya lampu mukanya tampak menawan hati.
Setelah masuk kamar, Buyung Hong melirik sekejap ke arah Tian Pek, lirikan
yang penuh rasa cinta mesra, lalu ia memberi hormat kepada paman Lui.
Sebagai seorang tua, paman Lui lantas tahu kedua calon suami isteri itu hendak
bicara urusan pribadi, ia merasa tak enak hadir disitu, setelah berdehem, ia
berkata:
"Kalian duduk2lah disini, aku mau keluar sebentar!"
Tapi Buyung Hong yang cerdik segera paham maksud paman Lui, dengan muka
merah cepat ia berseru: "Paman, kau jangan pergi, justeru ada urusan penting
hendak kurundingkan dengan paman!"
"Urusan apa?" tanya paman Lui sambil berpaling.
"Titli tak bermaksud menyalahkan dia karena tindakannya membocorkan
rahasia kitab itu," kata Buyung Hong sambil melirik Tian Pek "Tapi yang pasti hal
ini sudah menimbulkan kecurigaan sebagian kawanan jago itu!"
"Ai, biar curiga juga percuma," sahut paman Lui sambil menghela napas,
"bagaimanapun kitab itu memang tak boleh diperlihatkan kepada mereka,
justeru karena ingin menyelamatkan dunia persilatan dari malapetaka, maka
Tian hiantit bersedia mengajarkan ilmu silat yang maha sakti itu kepada mereka.
Berbicara sesungguhnya, tindakan Tian-hiantit ini sungguh luar biasa sekali,
kalau masih ada yang tamak, diberi segobang minta seringgit, ya apa boleh buat
lagi, itu menandakan mereka tak tahu diri!"
=====
Muslihat apa yang sedang dirancang kaum pengacau yan mengincar kitab
pusaka itu dan
siapakah komplotan penjahat?
Jadikah Tian Pek mengajarkan kepandaiannya kepada para pahlawan secara
umum?
Jilid-25.
"Titli pernah melihat sendiri isi kitab itu, sesungguhnya kitab tersebut memang
tak pantas diperlihatkan kepada umum . . . ." kata Buyung Hong, sampai disini
tanpa terasa ia terkenang kembali peristiwa masa lampau, ketika ia merampas
kitab itu dari tangan Tian Pek di gua rahasia di bukit Siau-kut san, bila
membayangkan kembali isi kitab itu, merahlah muka nona itu.
Tapi dengan cepat ia menyadari betapa gawatnya masalah yang sedang
dihadapi, ujarnya lebih jauh: "Tanpa sengaja Titli mendengar orang sedang
berunding untuk merampas kitab itu dan melakukan tindakan yang tidak
menguntungkan engkoh Tian, maka malam ini paman dan engkoh Tian harus
hati-hati!"
Tian Pek tertegun, ia tak menyangka maksud baiknya akan mendatangkan
banyak persoalan dan berbagai kesulitan bagi diri sendiri, ia berseru keheranan:
"Ah, masa ada kejadian semacam itu?"
"Siapakah orangnya? Berasal dari perguruan mana?" tanya paman Lui dengan
muka serius.
"Tadi secara kebetulan Titli lewat depan sebuah kamar rahasia di halaman
belakang sana, tanpa sengaja kudengar samar2 seorang sedang berkata: 'Kitab
nomor satu di kolong langit itu . . . . harus kita rampas.. . bila perlu orang she
Tian itu. . .aku ingin mendengarkan lebih lanjut, tapi rupanya merekapun cerdik,
seorang lagi lantas mengalangi rekannya berbicara lebih jauh, karena itu akupun
tak tahu siapa yang berkumpul di ruang rahasia itu!"
"Siapa yang bertugas ronda di sekitar tempat ini?" tanya Tian Pek.
"Anak murid perkumpulan pengemis!"
Dengan wajah serius paman Lui bangkit berdiri, tiba2 katanya: "Aku akan
mencari Hong-jan-sam-kay dan menanyakan soal ini, ingin kuketahui siapakah
yang bermaksud menimbulkan keonaran ini?"
Pada saat itu tiba-tiba Wan-ji masuk dan mencegah niat paman Lui, katanya:
"Paman jangan tegur mereka, bukan pihak perkumpulan pengemis saja yang
mempunyai maksud jahat, boleh dibilang semua orang bermaksud busuk, asal
malam ini kita berjaga-jaga dengan ketat, kukira cukuplah."
Setelah bersemadi seharian, luka Wan-ji telah sembuh kembali, kesehatannya
telah pulih seperti sediakala, wajahnya tampak segar dan mempesona.
"Adik Wan, apakah kau juga menemukan sesuatu?" tanya Tian Pek cepat.
"Ehm, saat ini orang2 itu secara bergerombol sedang merundingkan sesuatu,
mereka terdiri dari ber-kelompok2, meskipun tidak kuketahui apa yang mereka
rundingkan, tapi sudah pasti takkan terlepas dari soal merampas kitab pusaka
Soh-kut-siau-hun-thian-hut-pi-kip itu!"
Sekarang Tian Pek baru menyesal, ia tak menyangka maksud baiknya untuk
menyelamatkan dunia persilatan justeru malah menimbulkan banyak kesulitan
bagi diri sendiri. rasa kecewa jelas terpancar pada wajahnya.
Sementara itu paman Lui berkerut dahi sambil berseru dengan gusar:
"Kurangajar, mereka benar tak tahu diri. Kalau ada yang berani mencari gara2,
pasti akan kuhajar mereka!"
Lalu dia berpaling kepada Buyung Hong dan Wan-ji seraya berkata lagi:
"Sudahlah, kalian boleh kembali untuk beristirahat!"
Sepeninggal Buyung Hong dan Wan-ji, paman Lui berkata pula kepada Tian Pek:
"Sudahlah kitapun beristirahat!"-Ia lantas naik pembaringan dan tidur.
Tian Pek cukup kenal watak paman Lui, ia tak banyak bicara lagi, setelah
memadamkan lampu iapun naik pembaringan.
Kedua orang ini memang berilmu tinggi dan bernyali besar, meskipun tahu
bahaya akan mengancam, namun mereka tidak melakukan persiapan apa2,
malahan setelah berbaring di pembaringan paman Lui lantas tidur mendengkur.
Berbeda dengan Tian Pak, ia tak dapat tidur karena banyak persoalan yang
berkecamuk dalam benaknya.
Dia teringat kembali sakit hati ayahnya, dengan susah payah ia engembara,
tujuannya adalah membalas dendam, tapi tak tersangka musuh besarnya itu
satu demi satu binasa, bukan dibunuh olehnya tapi dilaksanakan oleh orang lain,
jadi usahanya dengan susah payah dan penderitaannya selama ini hanya sia2
belaka.
Setelah pertarungannya melawan Hay-gwa-sam-sat dan Hek to-su hiong, rasa
percayanya pada diri sendiri makin tebal, ia tahu kepandaian sendiri sudah
cukup untuk menjagoi kolong langit ini. Sebagai pemuda yang berilmu tinggi,
sepantasnya ia berjuang demi keadilan dan kebenaran bagi umat manusia, tapi
sayang ia terbelenggu oleh janji sendiri dan tak mungkin baginya untuk
mencampuri urusan dunia persilatan lagi.
Dendam kematian ayahnya sudah terbalas, iapun tak dapat mencampuri urusan
dunia persilatan, inilah kesempatan baik baginya untuk mengasingkan diri di
tempat yang indah. Siapa tahu, karena ingin menolong umat persilatan dari
badai pembunuhan, bukan pembalasan baik yang diterima malahan
menimbulkan pikiran jahat orang mengincar kitab pusakanya.
Ia tak tahu siapa2 yang bermaksud jahat padanya, tapi dari pembicaraan Buyung
Hong dan Wan-ji jelas orang yang mengincar Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pi-
kipnya itu tidak sedikit jumlahnya.
Terbayang kembali tentang Wan-ji, ia pikir dirinya sudah mengikat jodoh dengan
Buyung Hong, tak mungkin baginya untuk bermesraan pula dengan adiknya, tapi
cinta kasih Wan-ji yang begitu mendalam dan hangat tak mungkin terlupakan
untuk selamanya . . . .
Berpikir sampai di sini. ia menghela napas panjang dan membalik tubuh . . . .
Mendadak dilihatnya berkelebatnya cahaya hijau di luar jendehla, mula2 dia
mengira ada seekor kunang2 tersesat di sana, maka tak diperhatikannya, siapa
tahu dengan cepat segulung asap lantas mengepul ke arahnya.
Ketika asap terisap ke lubang hidung, Tian Pek merasakan kepalanya jadi pening.
Segera ia merasa gelagat tidak baik, cepat ia menahan pernapasannya, ia
mengerahkan hawa murninya dan desak keluar hawa racun yang sudah telanjur
diisapnya tadi.
Untunglah tenaga dalamnya cukup sempurna, iapun pernah minum Ci-tam-hoa
yang berusia ribuan tahun, karenanya bubuk racun itu tak sampai berpengaruh
apa2 dalam tubuhnya.
Hakekatnya hawa racun yang dilepaskan orang di luar jendela itu lihay sekali,
asap itu bernama Ngo-ko-toan-hun-hiang (dupa pemutus nyawa sebelum
kentongan kelima), sekalipun seorang berilmu tinggi akan jatuh tak sadarkan diri
seteleh mencium baunya.
Seperti juga namanya, bila sebelum kentongan kelima atau fajar menyingsing
korban tidak diberi obat khusus, niscaya akan binasa.
Tampakmya pelepas racun itu mengetahui Tian Pek berilmu tinggi, bila harus
bertempur secara terang2an pasti mereka bukan tandingannya, maka digunakan
cara yang keji ini untuk melumpuhkannya.
Siapa tahu kepandaian Tian Pek dewasa ini sudah mencapai tingkatan tak
mempan tehadap segala macam racun, hanya cukup menyalurkan hawa
murninya hawa racun yang mengeram dalam tubuhnya segera terdesak keluar,
bahkan kesehatan dan kesegaran badannya telah pulih kembali seperti sedia
kala.
Sesudah berhasil memaksa keluar hawa racun itu, Tian Pek mencoba untuk
membangunkan paman Lui, siapa tahu jejak paman Lui sudah lenyap tak
berbekas, entah sejak kapan ia pergi dari tempat itu.
Tiba2 terdengar dengusan tertahan di luar jendela, tampaknya ada seseorang
terkena serangan, menyusul terdengar suara paman Lui tertawa terbahak-
bahak: "Hahaha, jangan kau anggap setelah mengenakan kedok lalu orang tak
kenal kau lagi! Hm memalukan sekali, sungguh tak nyana dalam perkumpulan
pengemis terdapat manusia kotor semacam kau!"
Dari angin pukulan memutuskan kata2 itu diantara suara langkah kaki yang
kacau, dapat diketahui bukan satu dua orang saja yang terlibat dalam
pertarungan itu. .
Diam2 Tian Pek malu diri, ia dapat membuktikan bahwa sesungguhnya ia masih
belum berpengalaman, kenyataannya meski paman Lui tidur mendengkur, tapi
ia lebih cepat mengetahui jejak musuh daripadanya.
Kenyataan ini membuat anak muda itu bertindak lebih waspada lagi, ketika
didengarnya paman Lui sudah terlibat dalam pertarungan melawan orang di
luar, ia tidak langsung keluar rumah melainkan secara diam2 menerobos keluar
dari jendela belakang, lalu dia melayang ke atas atap rumah.
Siasat ini ternyata tepat, sebab takkala Tian Pek berhasil mencapai atap rumah,
ia saksikan kecuali beberapa orang yang sedang bertempur melawan paman Lui,
di atas atap rumah terdapat pula empat lima orang lain.
Dengan ilmu meringankan tubuh Tian Pek melayang ke atap rumah tanpa
menimbulkan suara ditambah pula beberapa orang itu asyik menyaksikan
pertarungan yang sedang berlangsung, walaupun Tian Pek sudah berada lima
depa dibelakang mereka, ternyata orang2 itu belum merasakannya.
Dengan seksama pemuda itu mengawasi orang2 itu, dari bayangan punggung
salah seorang di antara mereka ia dapat mengenali orang itu, seperti Toan-hong
Kongcu, sedangkan tiga orang lainnya adalah anggota perkumpulan pengemis.
Kenyataan ini sangat menggusarkan Tian Pek, ia segera mendengus.
Dengan terperanjat beberapa orang itu membalik badan, tampaknya mereka tak
menyangka bakal muncul seorang dari belakang.
Orang2 ini menutupi mukanya dengan kain kerudung hitam, Tian Pek tertawa
dingin, ejeknya: "Hehehe, rupanya kalian memang cecunguk2 sebangsa maling
ayam, kalau berani berbuat kenapa tak berani bertemu orang dengan wajah
asli?"
Orang2 itu tidak menjawab, salah satu di antaranya dengan sorot mata yang
tajam segera menerjang maju dan menghantam, tenaga serangannya berat, ini
menandakan lwekangnya cukup sempurna.
Tian Pek tak gentar, ia menyambut dengan keras lawan keras.
Orang itu cukup licik, sebelum tenaga pukulan saling bentur, tiba2 ia menarik
kembali serangannya dan kabur dengan cepat. Sementara empat-lima orang
yang lain, serentak ikut kabur berpencar.
Rupanya mereka tahu bukan tandingan Tian Pek, maka ketika dilihatnya rencana
mereka gagal total dan pemuda yang disegani itu muncul serentak mereka
kabur ter-birit2 agar diri mereka tidak sampai diketahui.
"Mau kabur ke mana?" bentak Tian Pek, cepat ia mengejar pemimpin
rombongan itu.
Siapa tahu orang itu cukup licik, tiba2 ia berpaling sambil mengayunkan
tangannya, cahaya putih segera menyambar ke batok kepala anak muda itu.
Dengan cekatan Tian Pak mengegos ke samping dan menghantam hingga cahaya
putih itu mencelat ke udara . . . ."Blang!" sinar putih itu meledak, cahaya api
segera berhamburan.
Bersamaan dengan terjadinya ledakan. itu, suara bentakan nyaring serentak
berkumandang dari empat penjuru, beratus biji peluru berhamburan di angkasa
bagaikan hujan, semuanya ditujukan ke arah Tian Pek.
Agaknya ledakan bunga api itu adalah tanda yang sengaja dilepaskan untuk
memerintahkan anak buahnya melangsungkan sergapan dengan senjata rahasia.
Tian Pak berpekik nyaring, dia putar kedua telapak tangannya hingga berwujud
selapis hawa pukulan yang kuat semua peluru baja itu tergetar beterbangan.
Dalam pada itu, kawanan penjahat yang sedang bertarung dengan paman Lui
telah kabur pula dari situ, sedemikan Tay-pek-sgiang-gi, Buyungi Hong, Wan-ji
dhan Ji-lopiautau juga telah bermunculan, beberapa orang itu segera terkurung
pula di bawah hujan peluru baja.
Menghadapi kejadian seperti ini, terpaksa beberapa orang itu harus memukul
rontok pelurus baja itu, tapi jumlah Am-gi yang beterbangan itu terlampau
banyak, seketika mereka menjadi kalang kabut.
Sementara itu kawanan jago yang berdiam di bilik2 lain telah berlarian menuju
halaman depan demi mendengar suara pertempuran, tiba2 terdengar seseorang
membentak:
"Berhenti semua"
Tiga sosok bayangan manusia dengan cepat melayang masuk ke tengah arena,
tiga orang itu tak lain adalah Hong-jan-sam-kay, ketiga Tianglo dari perkumpulan
pengemis.
Sekilas pandang pangemis sinting Coh Liang lantas tahu bahwa kawanan jago
yang melancarkan serangan peluru baja tak lain adalah anak murid
perkumpulannya, mereka lebih gusar lagi setelah mengetahui bahwa orang yang
diserang adalah paman Lui dan Tian Pek sekalian.
"Berhenti!" hardiknya. "Siapa yang memberi perintah untuk menyerang orang
sendiri? Kalian sudah gila..?""
Setelah dibentak oleh Hong-jan-sam-kay, anak murid perkumpulan pengemis
segera menghentikan serangannya, suasana menjadi hening.
Paman Lui terbahak-bahak, katanya dengan setengah mengejek: "He, pengemis
busuk! Bila kalian tak dapat memberi penjelasan yang masuk di akal kepada
kami, aku bersumpah takkan berhubungan dengan kalian bertiga!"
Pengemis sinting yang biasanya suka tertawa ini berdiri dengan wajah serius,
sahutnya: "Sekalipun saudara tua tidak berkata begini kami juga akan selidiki
persoalan ini hingga menjadi jelas, betul-betul memalukan Kay-pang!"
Paman Lui tidak berbicara banyak, dia menghampiri tepi jendela dan memungut
suatu benda dari sana, kemudian diangsurkan kepada pengemis sinting,
katanya: "Pengemis busuk! Coba kau periksa benda ini.. Sungguh tak kusangka
kalian pengemis-pengemis busuk ini juga melakukan pekerjaan kotor begini,
benar-benar memalukan!"
Pengemis sinting menerima angsguran benda itu idan diperiksanyha dengan
sekasama, ternyata benda itu adalah sejenis alat yang dinamakan Pek-tong-sian-
ho (bangau dewa tabung tembaga putih).
Benda itu tersohor sekali di dunia persilatan, andaikan belum pernah melihat
tentu juga pernah mendengar, karena alat tersebut memang khusus digunakan
untuk menyemburkan dupa pemabuk, alat semacam ini seringkali dipakai oleh
manusia-manusia golongan hitam bila akan melakukan pencurian atau
pembegalan.
Hampir meledak dada pengemis sinting saking marahnya, untuk sesaat ia jadi
tertegun dan tak mampu bicara.
Perkumpulan Kay-pang meski terdiri dari golongan manusia paling miskin di
dunia ini, tapi peraturan rumah tangga mereka cukup ketat, dimulai dari cikal
bakal mereka sampai saat ini, pantangan yang pertama adalah: Lebih baik mati
kelaparan daripada menjadi pencuri.
Tapi sekarang alat khusus yang biasa digunakan kaum penyamun muncul di
tangan anak buah perkumpulan pengemis, bahkan terjatuh ke tangan paman
Lui, kejadian ini membuat Hong-jan-sam-kay jadi marah dan malu.
Air muka pengemis pemabuk berubah sedingin salju, ia berpaling, bentaknya
kepada anak murid yang bersembunyi di sekitar tempat itu: "Siapa yang
bertugas ronda? Hayo cepat menggelinding keluar!"
Seorang pengemis berusia setengah baya mengiakan dan muncul dengan muka
pucat seperti mayat. Perlu diketahui Hong-jan-sam-kay adalah Tianglo dari
perkumpulan pengemis, bukan saja kedudukannya amat tinggi, merekapun
mempunyai kekuasaan untuk menentukan mati hidupnya seseorang apalagi
sekarang dalam keadaan gusar, wajah mereka dalam keadaan menyeramkan.
Setibanya di hadapan pengemis pemabuk, pengemis setengah tua itu berhenti
dan memberi hormat, katanya:
"Tecu Cau Siang-hui (terbang di atas rumput) Pek Liang yang bertugas"
"Cuh!" Pengemis pemabuk Pui Pit menyemburkan riak kental ke arah pengemis
itu, lalu makinya: "Bangswat, rupanya kau sudah buta, sebab apa kau memberi
perintah untuk menyerang Lui tayhiap?"
"Tecu hanya menjalankan perintah atasan, harap tianglo maklum" sahut Cang
Siau-hui Pek Liang dengan munduk-munduk, sampai riak yang menempel di pipi
tak berani diusapnya.
Mendengar jawaban tersebut, pengemis sinting mencengkeram pergelangan
tangan kanan Pek Liang dan hardiknya lagi: "Cepat mengaku, atas perintah
siapa?"
Dalam gusarnya cengkeraman pengemis sinting ini dilancarkan dengan tenaga
besar, hampir saja lengan orang itu patah, meski kesakitan sampai keringat
membasahi tubuhnya, Pek Liang meringis dan bertahan sekuatnya, sahutnya
tegas: "Tecu melaksanakan perintah Ciangbunjin!"
Dengan cepat Hong-jan-sam-kay saling pandang sekejap, tampaknya mereka
sudah memahami sebagian besar duduk persoalan yang sebenarnya, Meski
begitu pengemis sinting tidak melepaskan cengkeramannya, kembali ia
menegas: "Ucapanmu tidak keliru?"
"Tecu tak berani bohong!" sahut Pek Liang dengan ketakutan.
Pengemis sinting tidak banyak bicara lagi, dia lepaskan cengkeramannya dan
mundur dua langkah setelah berpandangan dengan kedua orang rekannya ia
tarik napas panjang dan membungkam.
Dalam pada itu, kawanan jago dari dunia persilatan telah mengerumuni sekitar
gelanggang, dengan tenang mereka nantikan apa tindakan perkumpulan
pengemis akan mengatasi persoalan ini, suasana menjadi hening.
Seandainya perbuatan ini dilakukan oleh salah seorang anggota perkumpulan,
maka Hong-jan-sam-kay dengan kedudukannya sebagai Tianglo bisa
menjatuhkan hukuman sesuai dengan peraturan, dengan demikian merekapun
bisa memberikan pertanggungan jawab kepada paman Lui.
Tapi sekarang Pek Liang mengaku bertindak atas perintah sang Ciangbunjin atau
ketua mereka sendiri, dengan sendirinya persoalannya menjadi lain lagi, bukan
saja hal itu merupakan peristiwa yang sangat memalukan perkumpulan
pengemis, merekapun tak bisa mengambil tindakan dengan seenaknya, Karena
turun menurun kedudukan ketua mempunyai kekuasaan tertinggi dalam tubuh
perkumpulan, tiada peraturan yang mengijinkan seorang untuk menjatuhkan
hukuman kepada ketua.
Lain sekali tiga orang itu saling berpandangan dengan ragu, tiba2 satu ingatan
terlintas dalam benak si pengemis pemabuk, ia membentak lagi ke arah Pek
Liang yang sedang mengundurkan diri dari situ: "Berhenti! Apakah Ciangbunjin
memberikan perintah sendiri kepadamu?"
Sebelum Cau-siang-hui Pek Liang menjawab, mendadak terdengar gelak tertawa
nyaring, menyusul mana sesosok bayangan melayang masuk ke tengah
gelanggang.
Orang itu tak lain adalah Toan-hong Kongcu ketua Kay-pang yang paling muda
selama sejarah perhimpunan kaum jembel itu.
Begitu Toan hong Kongcu muncul, diam2 Tian Pek mencibir dan membatin:
"Akan kulihat bagaimana caramu membersihkan diri dari segala tuduhan?"
Toan hong Kongcu tampak tenang2 saja, ia tertawa hambar, ujarnya kepada
Hong-jan-sam kay:
"Bagaimanapun persoalan ini harus diselidiki hingga jelas!"
Lalu ia berpaling ke arah Pek Liang dan membentak: "Apakah Ciangbunjin
pribadi yang memberi perintah kepadamu?"
"Tecu menerima perintah dari Sin-heng-tay po (pangeran langkah sakti) Tang
Cing yang membawa Lik-giok-tiang-leng (pentung hijau tanda perintah)"
"Panggil Sin- heng-tay po Tang Cing kemari!" bentak Toan-hong Kongcu dengan
kereng.
Perintah itu segera disampaikan, tapi kemudian datang laporqn bahwa Sin heng-
tay-po Tang Cing telah lenyap entah pergi ke mana.
"Bawa kemari Lik-giok tiang-leng!" seru Toan hong Kongcu lagi.
Hui-ca tay-po (pangeran garpu terbang) Han Giok mengiakan, selang sejenak ia
telah muncul kembali, katanya dengan ter-bagta2: "Lapor Ciaingbunjin, Lik-ghiok
tiang-leng tak ada di ruang tengah!"
Mendengar laporan itu, air muka Hong-jan-sam-kay berubah hebat, Toan-hong
Kongcu sendiripun tampak diliputi emosi, serunya lagi; "Siapa yang bertugas
menjaga ruangan itu?"
"Tah-hou-tay po (pangeran pemukul harimau) Lim Lip serta Kim ciong-tay-po
(pangeran tumbak emas) Keh Hong!"
"Pangil kedua orang itu kemari!" bentak Toan-hong Kongcu dengan wajah pucat
hijau.
"Mereka sudah tak nampak lagi batang hidungnya!" jawab Hui ca tay-po.
Wajah Hong jan sam kay dan Toan Hong Kongcu kali ini benar2 berubah hebat,
sebab Sin heng, Tah hou, Hui-ca dan Kim-ciong. Keempat Tay-po adalah
pelaksana hukum perkumpulan pengemis, sekarang tiga diantaranya tak
nampak lagi batang hidungnya, bahkan tanda kekuasaan Likgiok-tiong-leng pun
ikut lenyap. dari sini dapat diketahui betapa seriusnya masalah ini.
Toan-hong Korgcu lantas memberikan perintah untuk melakukan pencarian
secara besar2an, semua anggota pengemis dikerahkan untuk mencari jejak
ketiga Tay-po itu dan Lik-giok-tiang-leng, tapi jejak mereka se-akan2 tenggelam
di samudra luas, sama sekali tak ada beritanya lagi.
Setelah gagal mencari jejak orang2 itu, Toan-hong Kongcu berpendapat tentulah
Sam-tay-po itu sudah menyalahgunakan wewenangnya untuk memberi perintah
palsu dengan mencatut nama ketuanya dan tanda kepercayaan tongkat kumala
hijau itu, tujuan mereka pastilah hendak mencuri kitab pusaka Soh-kut-siau hun-
thian-hud-pi-kip.
Uraian Tong-hong Kongcu ini ternyata tidak dibantah seorangpun atau ada yang
berpendapat lain, hanya Tian Pek saja diam2 masih curiga, sebab dari balik atap
rumah jelas ia melihat adanya lima sosok bayangan manusia berkerudung, satu
diantaranya tak lain adalah Toan-hong Kongcu, tapi karena tak ada bukti yang
jelas maka iapun tidak membongkar rahasia tersebut.
Tatkala kaum pengemis itu membekuk Huica-tay-po, satu2nya pelaksana hukum
yang tidak lolos itu atas perintah Toan-hong Kongcu, kemudian meminta maaf
kepada paman Lui, satu ingatan cerdik tiba2 melintas dalam begnak Tian Pek, ia
lantas berseru dan mengumpulkan kembali kawanan jago silat yang akan bubar
itu. katanya: "Demi menyelamatkan dunia persilatan dari bencana, secara
gegabah aku Tian Pek telah membocorkan rahasia Soh-kut-siau-hun-thian-hud-
pit-kip kepada semua orang, kenyataannya akibat dari tindakanku ini telah
muncul orang2 yang tak diinginkan, terpaksa aku harus mengambil tindakan
cepat dan tindakan tersebut rasanya cuma ada
satu jalan. .."
Dia keluarkan kitab pusaka itu dari sakunya, kemudian diperlihatkan kepada
para hadirin, katanya lebih lanjut. "Cara itu ialah memusnahkan kitab pusaka
yang menjadi incaran banyak orang ini di hadapan kalian semua" Begitu selesai
berkata "Prak!" kedua telapak tangannya ditekan dengan keras2 dan kitab
pusaka Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pi-kip yang menjadi incaran setiap umat
persilatan itu tahu2 sudah hancur dan musnah menjadi abu.
Tindakan Tian Pek ini sama tekali di luar dugaan siapapun, saking kagetnya
semua jago hanya berdiri tertegun dengan mata terbelalak lebar, tidak
terkecuali paman Lui, saking kagetnya ia sampai tak mampu ber-kata2.
Tian Pek masih saja tenang2, begitu kitab pusaka yang menjadi idaman setiap
umat persilatan itu dihancurkan, lalu ia menyebarkan abu buku itu ke udara
hingga beterbangan dan tersebar kemana2.
Selesai memusnakan kitab tadi, anak muda itu menghampiri paman Lui dan
berkata sambil memberi hormat: "Paman, harap maafkan tindakan
keponakanmu yang kelewat batas ini!"
"Ai, sudah dihancurkan ya sudahlah" sahut paman Lui sambil menghela napas
dan menggeleng kepala. "Cuma sayang jerih payah Ciah-gan-longkun akhirnya
harus musnah dengan cara begini . . . . ." Saking sedihnya jago tua ini sampai tak
mampu melanjutkan kata2nya.
Setelah terjadi peristiwa itu, kawanan jago yang berkumpul baru bisa
mengembuskan napas lega mereka merasa gegetun, sayang dan kecewa,
dengan membawa pelbagai perasaan yang berbeda inilah orang2 itu siap
membubarkan diri ......
Tapi ada pula beberapa orang di antaranya merasa curiga, mereka berpikir: "Ah,
masa ia betul2 sudah musnahkanw kitab pusaka yyang dianggap orxang
persilatan sebagai kitab paling aneh di dunia itu . . ....?"
"Jangan2 kitab yang dimusnahkan hanya kitab palsu . . . . . ?"
Toan-hong Kongcu sendiri berdiri mematung seperti orang linglung, mimpipun ia
tak menyangka Tian Pek bakal musnahkan kitab pusaka Soh kut-siau hun-thian
hud pi kip yang diidam-idamkan setiap jago silat itu di hadapan mereka. Dengan
begitu, berarti pula semua rencana dan siasatnya gagal total. rasa kecewa yang
dialaminya otomatis berlipat kali lebih hebat daripada orang lain.
Mendadak satu ingatan terlintas dalam benaknya, cepat ia bertanya; "Tian-
heng, apakah kau mempunyai salinan kitab itu . . . .?"
Sungguh gusar tak terkirakan hati Tian Pek mendapat pertanyaan itu, ia tak
mengira sebagai seorang ketua perkumpulan terbesar ternyata punya
pandangan sepicik itu, tak tahan lagi anak muda itu balas menjengek.
"Hehe, kitab salinan memang ada, cuma, berada di dalam hatiku, apakah
Kongcu hendak membelah dadaku dan sekalian merogoh keluar hatiku?"
"Ah, saudara Tian memang pandai bergurau!" ajar Toan-hong Kongcu sambil
tertawa ter-sipu2 "aku cuma menganggap terlalu sayang kalau kitab sehebat itu
harus dimusnahkan begitu saja, masa tanya saja tak boleh?"
Tian Pek mendengus, tiba2 ia maju tiga langkah ke muka dan mundur lima
langkah ke belakang, tubuhnya bergerak secepat kilat, dalam sekejap ia sudah
melancarkan empat kali pukulan berantai.
Angin pukulan men-deru2 dan kelihatan mengerikan tapi semua pukulan itu
bukan tertuju pada manusia melainkan menuju ke udara kosong.
Kendatipun demikian, Toan-hong-kongcu dan Hong-jan-sam-kay yang berada di
dekat situ tak bisa berdiri tegak lagi, sambil menjerit kaget serentak mereka
melompat mundur. Semua orang sama tertegun, siapapun tak mengerti apa
yang dilakukan anak muda itu.
Setelah Tian Pek memainkan empat kali pukulan dengan diimbangi ilmu langkah
Cian-hoan-biau-hiang-poh dan Ginkang Bu-sik-bu-siang-sin-hoat, segera pula ia
berhenti darn berseru: "Gerakan yang kulakukan barusan adalah jurus pertama
dari Thian hud-lik yang bernama Hud-kong-bu-ciau Bagaimana? Cukup untuk
menjadi bahan renungan Ciangbunjin selama beberapa hari bukan?"
Maksud ucapannya amat jelas, se-akan2 ia hendak menyatakan bahwa
janganlah kau terlampau tamak, untuk mengisap inti sari ilmu sakti ini bukanlah
pekerjaan semudah sangkaanmu.
Ketika dilihatnya kawanan jago itu berdiri dengan melenggong, beruntun ia
lancarkan pula tiga jurus gerakin Hud-coh-hang-song (Buddha suci turun ke
bumi). Liu-sing-yau-hue (menyapu bersih hawa siluman) serta Hong-ceng-lui-
beng (angin menderu guntur menggelegar).
Di dalam demontrasinya ini ia telah mainkan ilmu pukulan Thian-hud-hang-mo-
ciang disertai ilmu pukulan Hong-lui-pat-ciang, meskipun hanya tiga jurus
serangan berantai, tapi hawa pukulan yang terpancar luar biasa dahsyatnya,
seketika berjangkit angin taupan yang menggulung tinggi ke udara.
Demontrasi yang hebat dan luar biasa ini membuat kawanan jago itu diam2
menjulurkan lidah, pikir mereka: "Entah bagaimana caranya bocah ini berlatih
hingga mencapai prestasi setinggi ini . . . .?"
Sementara itu Tian Pek sudah berhenti, melihat semua orang memandangnya
dengan bingung, ia menghela napas dan menggeleng kepala seraya berkata:
"Ilmu silat yang tinggi tak dapat dipelajari dengan gegabah, baiklah kita mulai
dari permulaan lagi!"
Pemuda itu lantas duduk bersila seperti seorang paderi agung dan mulailah dia
menerangkan ilmu tenaga dalam.
Begitu mendengar Tian Pek mulai membacakan teori tenaga dalam Soh-kut-
siau-hun-thian-hud-pit-kip, kawanan jago mulai berkerumun di sekeliling anak
muda itu dan memasang telinga baik2.
Waktu itu keadaan Tian Pek sepgerti sang Buddhia yang sedang berkhotbah,
matanya terpejam dan mulutnya komat-kamit, angker dan berwibawa
tampaknya, sementara kawanan jago yang berkumpul juga pusatkan perhatian,
suasana jadi hening, tak terdengar suara lain..-.
Entah sejak kapan malam telah lalu dan sang surya sudah memancarkan
cahayanya di ufuk timur.
Kawanan jago yang ikut dalam pelajaran itu kebanyakan adalah jago2 yang
berilmu tinggi, sekalipun seorang pemuda juga paling sedikit memiliki dasar ilmu
silat yang tangguh, ketika mendengar apa yang diajarkan Tian Pek ternyata
merupakan ilmu sakti yang belum pernah dijumpai sebelumnya, bahkan bila
dibandingkan dengan apa yang pernah mereka pelajari selama ini bedanya
seperti langit dan bumi, kenyataan ini membuat jago2 itu makin tertarik,
sehingga semua pikiran dan perhatian mereka tertuju
pada satu titik saja, sekalipun terjadi ledakan dahsyat di samping mereka
mungkin takkan dihiraukan,
Begitulah, ber-turut2 Tian Pek memberi pelajaran selama tujuh hari, selama ini
semua orang menerima pelajaran sambil berlatih menurut pelajaran yang baru
mereka terima dari Tian Pek, ternyata kemajuan yang dicapai luar biasa sekali,
kenyataan ini membuat semua orang tak kepalang girangnya, sebab andaikata
mereka berlatih dengan menggunakan cara yang lama, entah berapa banyak
kesulitan yang akan ditemui.
Diantara sekian banyak orang, paman Lui, Buyung Hong, Wan-ji, Kim Cay-hong
serta Hoan Soh-ing memperoleh kemajuan yang paling pesat.
Ini disebabkan paman Lui pernah mempelajari isi kitab pusaka Soh-kut-siau-hun-
thian-hud-pit-kip itu selama ber-tahun2, hanya saja karena tidak mendapatkan
bantuan Liu Cui-cui dengan ilmu To-li-mi-hun-tay-hoatnya, maka banyak bagian
yang tak berhasil dia tembus, tapi sekarang setelah memperoleh petunjuk Tian
Pek ia jadi memahami kesalahannya, tak heran bila kemajuan yang dicapainya
melampaui siapapun..
Kiranya sewaktu Ciah-gan-longkun melukis kitab paling aneh di kolong langit itu,
dia telah menyembunyikan pula rahasia ilmu silat di antara lukisan2 bugil yang
merangsang itu, bila orang tak tahu rahasia itu, hanya berlatih dengan dasar
tulisan belaka, belum cukup bagi orang itu untuk mencapai prestasi yang paling
tinggi.
Mungkin hal ini tak pernah dipikir paman Lui, tak disangka olehnya kitab yang
dihadiahkan kepada Tian Pek ternyata dapat dipecahkan pula rahasianya oleh
pemuda itu, dari sini terbuktilah betapa pentingnya pengaruh nasib dan takdir
bagi umat manusia di dunia ini.
Sedangkan alasan mengapa Buyung Hong, Wan-ji, Kim Cay-hong dan Hoan Soh-
ing mendapat kemajuan yang jauh lebih pesat dari orang lain, ini disebabkan
karena mereka berempat sangat mempercayai Tian Pek, mereka yakin pelajaran
yang diberikan anak muda itu pasti tepat.
Begitulah Tian Pek sudah memberi pelajaran selama delapan hari, malam itu
ketika ia kembali ke kamarnya, belum lagi tidur, mendadak di luar jendela
terdengar suara kain baju tersampuk angin.
Suara itu lirih sekali se-akan2 angin yang berembus lewat, tapi tak dapat
mengelabuhi ketajaman pendengaran Tian Pek, sebab dengan tenaga dalam
yang dimilikinya sekarang, sekalipun daun yang gugur atau bunga yang rontok
pada jarak sepuluh tombak di sekelilingnya iapun dapat menangkap suara itu
dengan jelas.Untuk menjaga segala kemungkinan, dengan gerakan yang cepat ia
menerobos keluar lewat jendela belakang.
Dari kejauhan ia lihat dua sosok bayangan orang dengan cepat sedang
berkelebat melayang turun ke pekarangan sebelah depan.
Tian Pek semakin curiga, ia lantas menggunakan gerakan Bu-sik-bu-siang-sin-
hoat yang ringan untuk menyusulnya, hanya tiga-lima lompatan saja ia berhasil
menyusul di belakang kedua orang itu tanpa diketahui mereka.
Di bawah remang2 cahaya rembulan, Tian Pek dapat melihat badan kedua orang
itu, di luar dugaan ternyata mereka adalah dua nona yang bertubuh ramping.
Tian Pek semakin heran, pikirnya: "Mau apa kedua nona ini malam2 begini
berkeluyuran?..."
Sementara itu, kedua sosok bayangan ramping itu sudah berhenti di tepi sebuah
hutan kecil, Tian Pek bersembunyi di belakanng pepohonan dan mengintip
gerak-gerik mereka, sekarang ia dapat melihat jelas, tak salah lagi kedua orang
itu ialah Buyung Hong dan Tian Wan-ji.
Hal ini makin mengherankan anak muda itu, mau apa kedua nona itu malam2
menuju ke hutan yang sunyi itu?'
Karena curiga, ia tak mau unjuk diri, ia bersembunyi di belakang pohon untuk
mengintip gerak gerik kedua nona itu.
Terdengar Buyung Hong sedang tertawa cekikikan dan berkata: "Moay-moay,
coba kauterka untuk apa kuajak kau kemari?"
Tampaknya Wan-ji baru tahu orang yang disangka musuh ternyata tak lain
adalah kakaknya sendiri, ia tercengang kemudian menjawab: "Ah, kiranya Cici
adanya! Urusan apa kau pancing aku kesini?"
Buyung Hong tertawa, katanya: "Moay-moay, bicara sejujurnya, bukankah kau
mencintai engkoh Tian?"
Rupanya Wan-ji tak menyangka encinya akan membongkar rahasia hatinya
secara blak2an, ketika teringat olehnya bahwa Tian Pek adalah calon suami
encinya, merahlah wajahnya karena jengah.
"Cici, kau jangan sembarangan menduga. . . '? serunya cepat, "aku . . .
sebenarnya aku . . . . ."
Dapatkah ia menyangkal isi hatinya dengan mengatakan ia tidak mencintai Tian
Pek?
Tidak! Tak mungkin! Sejak hatimu terbuka, orang pertama yang dicintainya
adalah Tian Pek, bahkan ia percaya sampai akhir hayatpun ia tetap mencintai
Tian Pek, hanya nasib telah berkata lain, pemuda pujaan hatinya, telah menjadi
Cihunya, sudah tentu ia tak berani mengakui di depan encinya sendiri. Karena
itu ia menjadi gelagapan.
Dengan biji matanya yang jeli Buyung Hong menatap hangat adik perempuannya
ini, lalu tersenyum lembut, digenggamnya tangan Wan-ji, kemudian ia berkata
dengan suara yang halus: 'Adikku, kukira tak perlu kau mengelabui diriku lagi!
Ketahuilah, dari pengamatanku selama beberapa hari terakhir ini dapat
kuketahui bahwa kau sebenarnya sangat mencintai engkoh Tian, bahkan akupun
baru menyadari akan keadaan tersebut pada
beberapa hari terakhir ini, Kutahu cintamu pada engkoh Tian mungkin jauh lebib
awal daripadaku, mungkin juga semenjak engkoh Tian untuk pertama kalinya
tiba di rumah kita, ketika kau pergi mencari adik (Leng-hong Kongcu) dan
mintakan pengertiannya agar jangan mengusir engkoh Tian dari kamarnya . . .. .
Moay-moay, bukankah mulai saat itu kau telah mencintai engkoh Tian?"
Air muka Wan-ji semakin merah, ia biarkan encinya menggenggam tangannya,
sementara kepalanya tertunduk rendah dan mulutnya membungkam dalam
seribu bahasa.
"Aku sendiripun merasa sangat heran." demikian Buyung Hong berkata lebih
jauh, "Mengapa aku bisa berbuat sedemikian gegabahnya, sampai persoalan
maha penting seperti inipun tak kuketahui sejak dahulu? Andaikata Cici sejak
awal telah mengetahui bahwa kau amat mencintai engkoh Tian, tak nanti Cici
sampai melakukan tindakan keliru ini. . ."
Ketika Buyung Hong berkata sampai disini, tiba-tiba Wan-ji tak dapat menguasai
emosinya lagi, ia menangis tersedu, ia meronta dan melepaskan diri dari
pegangan encinya terus kabur dari situ.
"Adik Wan. . .!" teriak Buyung Hong.
Mendengar panggilan itu, Wan-ji menghentikan larinya, tapi ia masih berdiri
membelakangi encinya, sementara bahunya berguncang keras, agaknya nona itu
sedang menangis dengan sedihnya.
Siapa bilang tak sedih? Gadis manakah yang bersedia melepaskan kekasih
pertamanya dengan begitu saja? Apalagi cinta Wan-ji kepada Tian Pek sudah
mencapai tingkatan sehidup semati, tentu saja kesedihannya tak terperikan.
Tapi sekarang kekasihnya jelas akan menjadi suami encinya, kecuali bersedih
apa yang dapat ia lakukan lagi?
Cepat Buyung Hong memburu ke samping Wan-ji, ia menarik lengan adiknya
dan berbisik dengan suara lembut: "Adikku tak usah bersedih hati, maukah kau
mendengarkan perkataan encimu?"
Tiba-tiba Wan-ji menubruk ke dalam rangkulan encinya dan menangis tersedu-
sedu, katanya sambil sesenggukan: "Cici, aku merasa bersalah padamu. . .
aku. . ."
Wan-ji menangis semakin sedih, sedang Buyung Hong lantas teringat pada
musibah yang menimpa keluarganya, tanpa terasa ia ikut mencucurkan air mata.
Tian Pek bersembunyi di balik pohon dan dapat mengikuti semua kejadian itu
dengan jelas, ia merasa pedih hatinya bagaikan diiris-iris, pikirnya: "Tian Pek,
wahai Tian Pek. . . hanya terpengaruh oleh emosi kau menerima pinangan
Buyung Hong, tahukah kau bahwa tindakanmu ini telah menyakitkan hati Wan-ji
yang amat mencintai dirimu itu. . ."
Buyung Hong yang bersedih hati tiba-tiba teringat kembali pada tujuannya yang
utama, ia lantas menyeka air mata, kemudian membelai rambut adiknya, ia
keluarkan sapu tangan dan menyeka air mata Wan-ji.
"Adikku, janganlah menangis!" bisiknya lembut, "dengarkan dulu perkataan
encimu!"
Wan-ji masih bersandar dalam rangkulan encinya dengan manja, pipinya yang
masih basah dan berwarna merah membuat orang merasa iba, meski ia sudah
mendengar bisikan encinya, tapi bahunya masih bergerak naik turun menahan
isak.
Buyung Hong berbisik lagi dengan suara lembut: "Kita berdua adalah kakak
beradik kandung, meski masih ada seorang saudara tapi semenjak kecil
hubungannya dengan kita berdua tidak cocok, kalau tidak ribut denganku tentu
dia bertengkar dengan kau. Kini ayah telah dibunuh orang, keadaan rumah
tangga kita sudah jauh berbeda daripada keadaan dulu, maka semestinya mulai
sekarang kita kakak beradik harus hidup bersama untuk berjuang menghadapi
kehidupan selanjutnya, selamanya kita harus rukun dan
saling mencintai, Adikku, kau bersedia menuruti apa yang kukatakan bukan?"
Wan-ji tidak mengerti maksud tujuan encinya, ketika dilihatnya Buyung Hong
bicara dengan serius, maka iapun mengangguk kepala.
Buyung Hong tertawa, katanya pula: "Kalau kaupun mencintai engkoh Tian, kita
kakak beradik juga tak bisa dipisahkan satu sama lain, apa salahnya kalau kita
sama-sama menikah dengan engkoh Tian dan mempunyai suami yang sama?"
Begitu ucapan Buyung Hong diutarakan, bukan saja Wan-ji terkejut, bahkan Tian
Pek yang bersembunyi di belakang pohonpun terkesiap.
Wan-ji menengadah, dengan matanya yang jeli ia memandang wajah encinya
dengan termangu, ketika dilihatnya wajah encinya tetap ramah, bersenyum
kasih sayang, tahulah nona itu bahwa encinya tidak bergurau, jantungnya
menjadi berdebar keras.
Tiba-tiba ia menjatuhkan diri ke dalam pelukan encinya, ia berbisik: "Oh,
cici. . . !" Ia tak dapat mengangkat kepalanya lagi.
Meskipun dia belum menyanggupi usul encinya tapi dari perubahan sikap dan
pancaran sinar mata kaget bercampur girang, Buyung Hong tahu bahwa adiknya
telah menyetujui usulnya, hal ini membuat hatinya jadi lega dan girang, ia
merasa tali mati yang selama ini mengganjal dalam hatinya sekarang telah
terbuka.
Timbul sifat nakalnya untuk menggoda, sambil merangkul pinggang Wan-ji yang
ramping ia berkata lagi: "Adikku, ketahuilah bahwa persoalan ini menyangkut
masa depanmu sendiri, aku tak ingin melihat kau penasaran. Nah,
untukmenghindari segala kemungkinan yang tak diinginkan, Cici minta kau
menjawab sendiri, bersedia atau tidak menerima usulku ini?"
Wan-ji semakin tak berani menengadah, dia cuma memeluk Buyung Hong
sambil memanggil Cici tak henti2nya, tapi dari panggilan itu dapat terdengar
rasa sedihnya sudah terhapus, sebagai ganti suaranya sekarang penuh perasaan
gembira.
Dasar memang nakal, Buyung Hong terus menggoda: "He, bagaimana kau ini,
sebenarnya setuju tidak? Kenapa cuma memanggil Cici melulu!"
Ketika dilihatnya Wan-ji masih saja bersandar dalam pelukannya, ia berkata lagi:
"Kalau kau tidal setuju ya sudahlah, nanti kukatakan pada engloh Tian bahwa
kau sebenarnya tidak mencintainya."
"Cici, kau jahat . . .. . " Omel Wan-ji sambil menarik ujung baju cicinya.
"Bagus! Kau berani memaki aku, itu menandakan kau memang tidak mau,
sekarang juga akan kuberitahukan kepada engkoh Tian . . ." ia lantas mendorong
adiknya dan siap berlalu dari situ.
"Cici. . ...Cici. . .. ." meski tahu encinya cuma menggoda, tidak urung Wan-ji
berseru panik, mendadak ia menengadah, sinar matanya kebentur dengan
sesuatu, hampir saja ia menjerit kaget.
Entah sejak kapan, tak jauh dari tempat mereka telah muncul dua orang yang
mirip dengan badan halus.
Sebagaimana juga adiknya, Buyung Hong baru mengetahui akan hadirnya ke dua
orang seperti sukma gentayangan itu setelah melepaskan Wan-ji dari
pelukannya, ia berdiri terbelalak, ia kaget sampai tak mampu bersuara.
Kedua orang kakak beradik ini mengetahui bahwa ilmu silat sendiri cukup tinggi,
sekalipun sedang ber-cakap2, tak mungkin mereka tidak merasakan tibanya
kedua orang itu disamping mereka. Dari sini dapatlah diketahui betapa hebat
kungfu kedua pendatang yang tak diundang ini.
Kedua orang itu berusia antara enam puluhan, yang seorang bermuka bulat
telur berwarna ke-merah2an, berambut merah, berkulit hitam, bermata tajam
dan bentuknya seperti muka kunyuk.
Sedangkan yang lain adalah kakek kurus kecil berjubah panjang tebal, mukanya
merah dengan hidung besar merah pula, dandanannya persis seperti seorang
guru kampungan.
Meskipun dandanan mereka aneh dan lucu, namun sinar mata mereka tajam
mengawasi Buyung Hong berdua dengan seram.
Baik Buyung Hong maupun Wan-ji tidak kenal siapa kedua orang aneh ini, lain
halnya dengan Tian Pek yang bersembunyi di balik pohon, dia segera kenal
kedua prang ini sabagai Kui-kok-ji-ki (dua manusia aneh dari lembab setan) yang
bercokol di Gan-tang-san dan sudah dua kali mencari perkara padanya.
Sesungguhnya kehadiran dua orang ini sejak tadi tak luput dari perhatian Tian
Pek, hanya saja karena Buyung Hong berdua sedang membicarakan dia
betapapun ia merasa tak enak unjukkan diri, pula dia ingin menyelidiki apa yang
hendak dilakukan kedua orang yang tindak tanduknya selalu mencurigakan ini,
maka Tian Pek tetap diam saja di tempatoya.
Sementara itn Buyung Hong dan Wan-ji masih berdiri termangu, Kui-kok-ji-ki
lantas nnenghampiri mereka. Terdengar Ci-hoat-leng-kau Siang Ki-ok
menjengek: "Hehehe, betul2 kejadian yang aneh, baru pertama kali ini kujumpai
dua nona sedang berunding untuk kawin dengan seorang laki2 yang sama. Hopo
tumon?"
Wan-ji lebih cerdik dan binal. maka dilihatnya dua manusia aneh muncul tanpa
bersuara, bahkan menyindir dirinya, dengan melotot segera ia mombentak:
"Hmm, siapa yang suruh kau mencampuri urusan kami? Eeh, kalian mau apa
datang ke sini? Jika tidak memberi alasan yang tepat, jangan salahkan nona tak
sungkan2 lagi kepadamu!"
"Anak perempuan, jangan galak2 dulu!" jengek Kui-kok-in-siu Bun Ceng-ki
dengan suara menyeramkan, "kami cuma ingin tahu, engkoh Tian yang kalian
maksudkan itu apakah keparat yang bernama Tian Pek?"
"Kalau bicara sedikilah tahu diri, apa itu keparat?" bentak Wan-ji mendongkol.
Kui-kok-in-siu menjengek, tiha2 ia mencengkeram lengan Wan-ji sembari
menyahut:
"Jawab saja benarkah orang itu atau bukan?"
Perlu diketahui, serangan yang dilancarkan Kui-kok-in-siu barusan dilancarkan
dengan kecepatan yang luar biasa, andaikata Wan-ji tidak menguasai ilmu
langkah Cian-hoan-biau-hiang-poh yang belum lama berhasil dikuasainya, bisa
jadi ia sudah kena dicengkeram oleh musuh.
Lolos dari cengkeraman maut itu, Wan-ji segera melayang ke samping,
kemudian serunya dengan marah: "Kalau betul lantas mau apa? Tua bangka
yang tak tahu diri, nonamu menghormati kau sebagai orang tua, tapi kau
malahan menyerang lebih dulu. Nah, rasakan serangan balasan nonamu ini!"
Setajam gurdi jari tangannya terus menutuk dengan ilmu jari Soh-hun-ci, ia tutuk
jalan darah Ki-bun-hiat di dada Kui-kok-in-sigu.
Ketika cengkeramannya melehset tadi, diam2 Kui-kok-in-siu merasa kaget,
apalagi setelah diketahui bahwa serangan Wan-ji membawaa kekuatan yang
tidak lemah, hal ini membuatnya terkejut, ia tak menyangka nona semuda itu
ternyata memiliki kungfu yang amat lihay. Ia tak berani menyambut secara
kekerasan, cepat ia melejit dan menyingkir ke samping, tapi begitu mundur dia
maju kembali, ujung kakinya menjejak tanah dan secepat angin ia menubruk lagi
ke muka, beruntun dia menghantam dua kali dengan
dahsyat.
Kedua serangan itu dilancarkan hampir secara serentak, jurus serangannya aneh
dan membawa hawa serangan yang dingin.
Wan-ji terkejut, ia tak mengira kakek kurus macam guru dusun itu ternyata
memiliki tenaga serangan yang lihay, nona ini tak berani menyambut dengan
kekerasan, cepat ia melompat mundur. Sementara itu Buyung Hong yang
mengikuti jalannya pertarungan itu dapat mengetahui bahwa ilmu silat musuh
lihay sekali, meskipun kata2nya tak senonoh, tapi yang diselidiki adalah engkoh
Tian, jangan2 mereka adalah sababat dari Tian Pek.
Sebagai orang persilatan, ia tahu watak dari sementara jago silat memang aneh
dan tak bisa diterima dengan akal sehat, cepat ia mengalangi adiknya untuk
bentrok lebih lanjut, seraya memberi hormat kepada Kui-kok-ji-ki ia bertanya:
"Bolehkah kutahu, apa maksud Locianpwe berdua mencari Tian-siauhiap?"
"Oh, kalau begitu engkoh Tian yang kalian maksudkan benar2 adalah Tian Pek?"
bukan menjawab Kui-kok-in-siu malahan bertanya'
"Betul!" sahut nona itu berterus terang.
"Monyet cerdik berambut merah" yang sejak tadi membungkam tiba2 tergelak
sambil menyindir: "Hahaha, Tian Pak si bocah keparat ini memang punya rejeki
bagus, sampai2 ada dua anak perempuan secantik ini bersedia dikawini semua."
Merah wajah Buyung Hong, omelnya dengan ter-sipu2 "Locianpwe, jangan
sembarangan omong. Katakan saja, ada urusan apa kalian mencari Tian
siauhiap?"
"Cici, buat apa kau gubris mereka?" sela Wanji. "Kulihat kedua tua baugka ini
pasti bukan manusia baik2."
"Hahaha, kurangajar! Anak perempuan sudah bhosan hidup, berani kaumaki
kami," teriak Kuikok-in-siu segera telapak tangannya terangkat dan hendak
menghantam.
"Sute, jangan terburu napsu!" cepat Ci-hoat-leng-kau mengalangi rekannya,
"kalau kedua anak perempuan ini calon istri Tian Pak keparat itu, maka kita
harus menangkapnya hidup2. Dengan begitu, kita dapat memaksa dia
menyerahkan kitab paling aneh di kolong langit itu..."
Hampir meledak dada Wan-ji mendengar Ucapan itu, kontan ia memaki: "Kalian
jangan bermimpi di siang hari bolong, dengan kekuatan kalian berdua mash
belum berhak untuk memperebutkan kitab pusaka itu. Huh, kungfu kalian masih
ketinggalan jauh!"
Setelah urusan barkembang jadi begini, Buyung Hong baru mengerti bahwa
maksud kedua kakek aneh itu menanyakan Tian Pek adalah untuk kitab pusaka
Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip. Tapi bagaimanapun juga is lebih tenang dan
bisa berpikir daripada Wan-ji, ia tak ingin mencarikan musuh baru bagi engkoh
Tian yang telah mengundurkan diri dari dunia persilatan, sahutnya kemudian:
"Sayang sekali kedatangan Locianpwe terlambat setindak, pada beberapa hari
yang lalu dihadapan umum Tian-siauhiap telah
musnakan kitab pusaka Soh-kut-siau-hun itu!"
"Sungguhkah perkataanmu?" tanya Kui-kok-in-siu dengan air muka berubah
hebat.
"Untuk apa berbohong!" sahut Buyung Hong, ketika dilihatnya Kui-kok-in-siu
masih sangsi, ia menambahkan lagi. "Setiap orang yang hadir menyaksikan
peristiwa itu, kalau tak percaya silakan Cianpwe menyelidiki kejadian ini pada
orang lain!"
Dari cara Buyung Hong berbicara, Kui-kokin-siu percaya nona itu pasti tidak
bohong, kejadian ini benar2 berada di luar dugaannya. seketika ia jadi terbelalak
dan tak mampu bicara.
Ci-hoait-leng-kau lebih licik, ia tidak percaya dengan begitu saja, biji mata
berputar sambil tersenyum licik ia berkata: "Anak perempuan, hanya dengan
beberapa patah katamu itu kaukira bisa menipu kami!"
Wan-ji naik pitam oleh sikap kedua orang itu, sebelum Buyung Hong menjawab,
cepat ia menimbrung: "Sekalipun kami membohongi kalian, kalian tua bangka ini
mau apa?"
Kui-kok-in-siu seperti memahamyi sesuatu, dia xberseru dengan gusar: "Kalau
kalian membohongi kami, akan kucabut jiwa kalian!" Segera telapak tangannya
terangkat hendak menghantam pula.
Untuk kedua kalinya Ci-hoat-leng-kau mencegah sutenya yang kalap itu, ia
tertawa seram dan berkata: "Jangan kita bunuh mereka, kita tangkap mereka
hidup2, mustahil Tian Pek keparat itu takkan menyerahkan Soh-kut-siau-hun-
thian-hud-pit-kip kepada kita."
"Tong kosong memang nyaring bunyinya!" ejek Wan-ji.
Ci-hoat-leng-kau menarik muka, bentaknya dengan gusar: "Jawab saja, kalian
mau ikut kami atau harus kami bekuk dengan kekerasan?"
"Hehehe, omong besar melulu!" jengek Wan-ji. "jika betul2 turun tangan, tidak
sampai sepuluh jurus kami mampu membekuk kalian berdua!" seru Ci-hoat-
leng-kau dengan gemas.
Wan-ji tak mau kalah, dengan nada yang sama iapun berseru: 'Bila betu12
bertempur, tidak sampai tiga jurus kedua nonamu sanggup mengenyahkan
kalian tua bangka ini dari sini!"
Wan ji memang pandai bersilat lidah, ucapannya setajam sembilu, kontan saja
membuat Kui-kok-ji ki jadi mencak2, Tian Pek yang bersembunyi di belakang
pohon hampir saja tak dapat menahan gelinya.
"Baiklah, sebelum diberi hajaran tampaknya kalian tak mau percaya," sera Kui-
kok-in-siu marah-marah. "Sekarang juga akan kusuruh kalian rasakan sendiri
betapa lihaynya kami!"
Diiringi bentakan keras dia cengkeram dada Wan-ji dengan jurus Kui-ong-bong-
ciong (raja setan menumbuk lonceng) dari ilmu pukuian Im-hong-ciang,
serangan ini tergolong kotor terhadap seorang gadis. tapi kakek itu tak segan2
menggunakannya.
Merah wajah Wan-ji, ia bertambah gusar, dengan ilmu langkah Cian-hoan-biau-
hiang poh dia berputar ke samping.
Sejak dulu, ilmu andalan Wan-ji adalah kegesitan, setelah mempelajari ilmu
Cian-hoan -biau-hiang poh, keadaanya ibarat harimau tumbuh sayap, maka
setiap serangan maut Kui-kok-in-siu dapat dielakkannya.
Kui-kok-in siu terkejut, tapi semakin membangkitkan rasa gusarnya, ia
menyerang makin bernafsu, beruntun tujuh kali pukulan berantai dilepaskan.
Ketujuh serangan itu dilancarkan dengan tenaga dahsyat, meski begitu, di
bawah gerak tubuh Wan-ji yang lincah, semua ancaman maut itu bisa
dihindarkan dengan baik dan manis. Akan tetapi, tidak urung ia terdampar
mundur juga oleh angin pukulan musuh.
Wan -ji menjadi gusar, ia membentak lalu mengeluarkan ilmu Soh-hun ci,
beruntun ia balas menutuk tiga Hiat-to penting tubuh lawan.
Serangan jari tangan itu sangat lihay, Kui-Kok in-siu tak berani menyambut
dengan kekerasan, cepat ia melompat mundur, pada kesempatan tersebut Wan-
ji segera memperbaiki posisinya, beruntun iapun menutuk pula tiga kali dan
empat kali pukulan.
Di bawah tekanan ketujuh serangan berantai ini, Kui-kok-in-siu juga terdesak
mundur.
Demikianlah dalam waktu singkat kedua orang itu sudah terlibat delam
pertarungan sengit, belasan jurus sudah lewat, namun menang kalah masih
belum bisa ditentukan.
Sementara pertarungan itu berlangsung, Ci-hoat leng-kau melirik Buyung Hong,
ia berkata dengan suara menyeramkan: "Mereka berdua sudah mulai
bertempur, sebaiknya kitapun jangan menganggur, hayolah kitapun ber-main2
sebentar.
Ucapan itu bernada kotor, Buyung Hong jadi mendongkol, dengan muka
sedingin es ia menyindir: "Hm katanya dalam sepuluh jurus kami akan dibekuk?'
Kenapa sudah 20 jurus lebih kawanmu itu masih belum mampu gmengapa-
apakan adikku ...."
"Hehehe, apa bedanya sepuluh jurus atau dua puluh jurus? kalina berduakan
seperti benda dalam saku kami?" Begitu selesai berkata, dengan jurus Hek-jiu-
tan-bun (tangan hitam merampas sukma), dia cengkeram bagian bawah perut
nona itu.
Merah wajah Buyung Hong, ia tak menyangka kedua orang tua yang dihormati
ini ternyata tak lebih hanya manusia2 rendah yang bermoral bejat, menghadapi
serangan kotor ini, Buyung Hong sendiripun tak sungkan2 lagi, dengan jurus
Hong-ceng-lui-beng ia balas menghantam batok kepala musuh.
Ci-hoat-leng-kau menyambut pukulan itu dengan serangan kilat, dalam sekejap
saja mereka sudah bertempur berpuluh gebrakan.
Bicara soal kungfu maka ilmu silat Kanglam ji-ki pada dasarnya memang lihay,
apalagi setelah berhasil mencelakai gurunya sendiri, yakni Sin kau Tiat Leng dan
mencuri kitab pusaka Bu hak-cinkeng serta mempelajarinya dengan tekun, boleh
dibilang kungfu mereka berlipat kali lebih lihay daripada Buyung Hong berdua.
Untungnya kedua nona ini belum lama berselang sempat mendapat pelajaran
silat dari Tian Pek, dengan kungfu dari kitab Soh-kut-siau hun yang maha
dahsyat, walau agak memeras keringat kedua nona itu masih mampu bertahan.
Tapi setelah bertarung lama, Buyung Hong mulai kewalahan, ia tak sanggup lagi
melayani serangan2 maut Ci-hoat leng-kau.
Di antara Kanglam-ji- ki, ilmu silat kunyuk berambut merah ini memang lebih
lihay daripada saudaranya, sedangkan Buyung Hong lebih lemah jika
dibandingkan Wan ji, bisa dibayangkan bagaimana akibatnya ketika yang kuat
bertemu dengan yang lemah, puluhan gebrakan lewat, Buyung Hong sudah
keteter hingga napasnya tersengal dan sekujur badan mandi keringat.
Di pihak lain, pertarungan antara Wan-ji melawan Kui-kok-in-siu masih berjalan
dengan seimbang. Sebagaimana diceritakan tadi, Wan-ji pernah belajar dari
guru lain, yakni Sin-kau Tiat Leng, yang sebetulnya adalah guru Kui-kok-in-siu,
meskipun hanya belajar seratus hari, namun banyak jurus serangan mereka
ternyata sama dan kembar.
Kejadian ini membuat keduanya sama2 keheranan, mereka merasah belum
pernah bertemu dengan lawannya, tapi mengapa jurus serangan mereka
serupa?
Tentu saja keheranan itu hanya tersimpan di dalam hati saja, siapapun tak
menyangka kungfu mereka sebenarnya berasal dari guru yang sama.
Dalam pada itu Buyung Hong sudah terlibat dalam posisi yang berbahaya,
jiwanya berada diujung tanduk dan tiap saat pukulan mematikan musuh bisa
menghabisi nyawanya.
Setelah jelas kemenangan sudah diambang pintu, Ci-hoat-leng-kau mulai
bermulut usil, ia memuji kecantikan Buyung Hong, memuji bentuk tubuhnya
yang ramping dan kungfunya tangguh.
Padahal usia si "kunyuk berambut merah" itu pantas menjadi kakeknya Buyung
Hong, tapi dasar bermuka badak, tua2 keladi, tidak tahu diri.
Menghadapi godaan seperti itu, Buyung Hong jadi malu bercampur kheki, suatu
ketika mendadak Ci-hoat-leng-kau menggunakan ilmu Hek-sat-jiu untuk
mencengkeram mukanya, padahal ia sudah kehabisan tenaga, tak kuat rasanya
untuk menangkis ancaman tersebut. sekalipun begitu dia tak sudi tubuhnya
dicengkeram musuh sehingga akan merugikan nama baik Tian Pek.
Dalam keadaan begini, ia jadi nekat, timbul niatnya untuk beradu jiwa dengan
musuh, maka ketika serangan musuh hampir mengenai tubuhnya, berbareng itu
juga ia menerkam ke depan sambil menyerang dengan jurus Hwe-hong-ci-lip,
(mengambil kacang di tengah bara), suatu jurus serangan mematikan andalan Ti-
seng-jiu suara benturan dan bentakan keras menggelegar, menyusul seseorang
menjerit kesakitan ....
Bayangan manusia yaug bertarung itupun berpisah, seorang sambil memegang
pergelangan tangannya yang kesakitan tergetar mundur dengan sempoyongan.
Orang yang terluka itu bukan Buyung Hong sebaliknya adalah Ci-hoat-leng-kau
Siang Ki-ok.
Buyung Hong sendiri berdiri dengan napas tersengal dan muka pucat, meski
demikian wajahnya kelihatan berseri, kiranya di tengah arena pertempuran
telah bertambah dengan seseorang.
Orang itu adalah seorang pemuda yang sangat tampan dengan tubuh yang tinggi
tegap, dia masih muda tapiw berwibawa, ketyika Ci-hoat-lenxg-kau tergeser
mundur dalam keadaan mengenaskan, anak muda itu hanya memandangnya
sambil tertawa, tertawa mengejek.
Kiranya ketika Buyung Hong terancam bahaya, Tian Pek yang bersembunyi
dibalik pepohonan telah muncul dan menghajar Ci-hoat-leng-kau yang jumawa
dan sombong itu sehingga mencelat.
Wan-ji sangat gembira setelah melihat kemunculan Tian Pek, secara beruntun ia
lepaskan dua pukulan dahsyat untuk mendesak mundur Kui-kok-in-siu, pada
kesempatan tersebut nona itu menubruk ke pangkuan pemuda itu seraya
berseru: "Engkoh Tian. . . .."
Rasa cintanya yang selama ini tertimbun dalam hati tak bisa dikendalikan lagi,
dengan diliputi emosi yang meluap2 ia berseru dan menghampirinya, untunglah
dengan cepat ia teringat akan encinya, apalagi bila teringat kerelaan encinya
yang akan mengawini seorang suami bersama dengan dia, hal ini membuat
pipinya menjadi merah, untuk sesaat ia tak bisa berucap.
Tian Pek balas memberikan senyuman mesra kepadanya, kemudian berpaling ke
arah Kui-kok ji-ki seraya berkata: "Kalau kalian ada urusan menceari padaku,
mengapa tidak mencari langsung dan buat apa kalian merecoki dua orang anak
gadis dengan cara sekeji ini, begitukah perbuatan kalian sebagai tokoh
persilatan?"
Waktu itu Ci-hoat-leng-kau sedang menyembuhkan lukanya, ia tak dapat
menjawab. maka Kui-kok-in-siu yang menanggapi ucapan tersebut.
"Orang she Tian, sewaktu di lembah kematian, untung kau bisa lolos, tapi malam
ini hmm, jangan harap kau bisa lolos dari cengkeraman kami lagi!"
Tian Pek tertawa, katanya: "Aku orang she Tian tidak merasa pernah dikalahkan
oleh kalian, jika kali ini kalian mengincar jiwaku, maka silakan saja untuk
mencobanya, tapi kukira tidak segampang apa yang kau pikirkan!"
Diam2 Kui-kok in-su melirik sekejap ke arah suhengnya, ketika melihat Ci-hoat
leng-kau masih duduk bersila sambil mengatur pernapasan, sadarlah dia bahwa
kekuatannya seorang belum tentu bisa menandingi kelihayan Tian Pek, meski
demikian ia tidak sudi menyerah, apalagi unjuk kelemahan sendiri.
Kembali kakek kurus kecil itu tertawa seram, katanya: "Bocah keparat, jika kau
bersedia menyerahkan kitab Soh kut-siau-hun thian hud pit-kip itu kepada kami,
dengan senang hati akan kulupakan sengketa kita di masa lalu, bahkan sejak
detik ini tak akan kuungkat lagi tentang kematian muridku si Sam-cun-teng!"
"Jika kau bersedia melepaskan soal dendam, dengan senang hati akupun akan
menerimanya, tapi bila kau menghendaki kitab pusaka Soh-kut-siau hun-pit kip
tersebut, maka aku hanya bisa mengatakan sayang seribu kali sayang, sebab
kedatangan kalian sudah terlambat."
"Kalau begitu, kau tidak bersedia menyerahkan kitab itu kepada kami?"
"Mau percaya atau tidak terserah padamu, yang pasti kitab itu sudah
kumusnahkan di hadapan kawan2 dari seluruh kolong langit!"
Dalam pada itu Ci-hoat-leng-kau telah menyelesaikan semedinya, dengan muka
garang ia menghampiri anak muda itu, lalu serunya dengan bengis "Jangan kau
anggap tipu muslihatmu itu dapat membohongi kami berdua Hmm, mungkin
orang lain bisa kautipu, tapi kami tidak, sekarang aku hanya ingin bertanya, mau
serahkan pada kami atau tidak" Ucapannya garang, kasar dan mendesak, se-
akan2 bila pemuda itu tak bersedia menyerahkan kitab itu, maka mereka akan
segera melakukan penyerangan.
Kui-kok-in-siu semakin berani setelah luka suhengnya berhasil disembuhkan,
dengan menghimpun segenap tenaga dia melangkah maju, bentaknya; "Apakah
kau memaksa kami untuk menggunakan kekerasan?"
Mendongkol juga hati Tian Pok menghadapi kedua orang yang garang dan tak
pakai aturan ini, ia balas menjengek: "Jangankan kitab pusaka itu memang
sudah musnah, kendati masih utuh tak nanti kuserahkan kepada manusia bejat
yang berani mengkhianati guru sendiri seperti kalian ini."
Kejadian ini tak ubahnyga seperti mengorek borok di tuhbuh mereka, kontan
saja mereka naik darah, teriaknya kalap: "Bangsat, kau ingin mampus agaknya!"
Disertai bentakan nyaring, yang satu memakai ilmu pukulan Hek-sat-jiu
sedangkan yang lain memakai tin-hong-ciang, dengan dua jenis tenaga pukulan
yang berbeda serentak mereka serang Tian Pek. .
Anak muda itu sedikitpun tak gentar, dengan ilmu langkah Cian-hoan-biau-
hiang-poh dia berputar ke samping dan tahu2 sudah lolos dari cengkereaman
musuh, meski ada kesempatan untuk membalas namun ia tidak
mempergunakannya.
"Bila mau sungguh2 bertarung, belum tentu aku jeri pada kalian berdua,"
katanya sambil tertawa dingin, "tapi sebagaimana telah kukatakan, orong she
Tian telah mengundurkan diri dari dunia persilatan, aku tak ingin mengikat tali
permusuhan lagi dengan kalian!"
Kedua orang tua itu makin gusar, dengan muka merah padam Ci-hoat-leng-kau
menghardik:
"Tak peduli kau sudah mundur dari dunia persilatan atau tidak, pokoknya
sambut dulu pukulan ini.'
"Benar!" sambung Kui-kok-in-siu, "sebelum kitab Soh-hun-siau-hun kauserahkan
kepada kami, selamanya urusan kita tidak akan berakhir!".
Begitulah sambil berseru marah, kedua orang tua dari lembah setan ini mulai
menyerang dengan gencar.
Tian Pek tetap tidak membalas, dia hanya berkelit dan menghindar melulu,
sekalipun demikian tak satu pukulan musuhpun yang dapat mengenai tubuhnya.
Sekejap saja lima-enam jurus sudah lewat, dikerubut kedua musuh tangguh,
Tian Pek mendemonstrasikan kelihayan ilmu Iangkah Cian-hoan-biau-hiang-poh
yang diimbangi dengan gerakan tubuh Bu-sik-bu-siang-sin-hoat, dengan enteng
dan lincah ia mangegos ke kiri dan menghindar ke kanan, walaupun begitu dia
sudah terdesak mundur puluhan kaki dari posisi semula.
Tian Pek terdesak sehingga terpaksa harus balas menyerang, sementara itu
Wan-ji dan Buyung Hong telah memburu datang dan siap memberi bantuan,
tapi sebelum mereka melancarkan serangan balasan, tiba2 dari kgejauhan
berkumandang suara gelak tertawa yang amat nyaring disusul raungan yang
mendirikan bulu roma.
Mereka sama tertegun, bahkan Kanglam-ji-ki lantas menghentikan serangannya
dan melompat mundur serta berpaling ke arah suara itu . . . .
Suara itu sangat seram, se-akan2 suatu bencana besar segera akan terjadi.
Selagi orang2 itu melenggong, tiba2 sesosok bayangan hitam melayang tiba
dengan cepat sambil berseru: "Engkoh Tian . . . . Tian-siauhiap, ada orang datang
mencarimu!"
Tian Pek kenal itulah suara Kim Cay-hong yang berjulukan Kanglam-tee-it-bi-jin,
dari suara nona itu Tian Pek dapat merasakan nadanya gugup diliputi rasa kejut,
se-akan2 baru saja menemui suatu bencana besar.
"Ada orang mencari aku?" serunya, "kejadian apa membuat nona kelihatan
kaget dan gugup"
Rasa kaget masih menghiasi wajah Kim Cay-hong yang cantik, dengan napas
tersengal sahutnya. "Sembilan aliran besar dan . . . . dari banyak lagi jago2 lihay
Lam-hay-bun telah datang mencari Tian -siauhiap!"
"Masa begitu banyak orang datang mencari diriku?" seru anak muda itu heran.
Kim Cay-hong mengangguk, katanya lagi: Tampaknya sebelum datang mencari
Tian-siauhiap mereka telah berkumpul lebih dulu disuatu tempat kemudian
datang ber-sama2, paman Lui mengatakan Tian-siauhiap tidak berada di tempat,
tapi mereka tak percaya dan bermaksud melakukan penggeledahan, orang2 dari
perkumpulan pengemis mengalangi niat mereka, tapi dengan kekerasan mereka
turun tangan dan melukai beberapa orang, bahkan
katanya bila Tian-siauhiap tidak berhasil ditemukan maka semua orang yang
berkumpul di sana akan mereka bantai sampai habis . . . . "
"Ai, ada peristiwa begitu?" kata Tian Pek dengan gelisah, "aku akan segera
kesana!"
Tanpa membuang waktu lagi ia putar badan dan berlari pergi.
"Eeh, bangsat cilik! mau kabur kemana?" bentak Kanglam-ji-ki dengan gusar,
segera mereka mengejar.
Wan-ji, Buyung Hong serta Kim Cay-hong tak mau ketinggalan, merekapun
menyusul dari belakang.
Kira2 belasan tombak sebelum pagar pekarangan Tian Pek tak sabar lagi, dengan
gerakan Ci-sang-cing-in (melambung langsung ke atas mega) dia melejit ke atas
dan melayang masuk ke dalam halaman.
Halaman yang luas itu sekarang dipenuhi oleh dua tiga ratus jago silat dan yang
hebat adalah sedang berlangsung pertempuran yang mengerikan.
Deru angin pukulan, kelebatan bayangan tangan serta kilatan cahaya senjata
membuat udara terasa sesak dan kacau, jerit kesakitan, keluhan dan rintihan
berkumandang dari sana sini, yang lebih ngeri lagi adalah berpuluh sosok mayat
tanpa kepala atau anggota badan yang tak lengkap terkapar di sana- sini.
"Tahan!" bentak Tian Pek, suaranya keras seperti guntur membuat orang2 yang
sedang bertempur itu kaget, dan segera menarik kembali seranganya sambil
melompat mundur.
Beruntun melayang masuk enam sosok bayangan ke dalam halaman itu, orang
pertama yang tiba lebih dulu adalah Tan Pek, pemuda yang tampan dan gagah
perkasa itu, di belakangnya menyusul Kanglam-ji-ki, Wan-ji, Buyung Hong serta
Kim Cay-hong.
Begitu tiba di arena pertempuran, Tian Pek memandang sekejap mayat yang
bergelimpangan di tanah, lalu dengan penuh emosi ia berseru lantang: "Jago
lihay dari manakah yang datang mencariku? Dengan dasar apakah kalian
melakukan pembantaian keji di sini? Pantas dan adilkah perbuatanmu ini?"
"Omitohud!" dari kerumunan orang banyak muncul seorang Hwesio tua yang
bertubuh tegap ia memakai jubah pendeta warna abu2, alis mata nya sudah
putih tapi mukanya masih segar.
Setelah memberi hormat, iapun berkata: "Jika dugaanku tidak keliru, tentunya
kau yang bernama Tian Pek, keturunan Pak-lek-kiam Tian In-thian Tian tayhiap
bukan?"
Anak muda itu mengangguk tanda membenarkan.
"Aku adalah Hong-tiang Siau-lim si dewasa ini yang bergelar Ci-hay," kata paderi
tua itu lebih lebih jauh, "dan sekarang atas nama ketua dari sembilan aliran
besar khusus datang kemari untuk memimjam sesuatu benda pada Tian-
siauhiap, sudikah kiranya Tian siauhrap mengabulkan permintaan kami ini?"
Sebelum ketua Siau-lim ini menyelesaikan kata-katanya, para ketua kedelapan
golongan besar, yakni ketua Go-bi, Khong-tong, Bu-tong, Kun-lun, Tiam-jong,
Hoa-san, Tiang-pek serta Hoat-hoa serentak maju dua langkah dan berdiri
berjajar di belakang Ci-hay Siansu, dengan tatapan tajam mereka awasi anak
muda itu tanpa berkedip.
Tian Pek tidak segera menjawab, ia mendongkol setelah mendengar perkataan
ketua Siau-lim yang jelas nadanya mengandung paksaan itu, apalagi setelah
menyaksikan sikap ketua kedelapan golongan persilatan yang sama2
menatapnya dengan garang, agaknya bila ia tidak meluluskan permintaannya
maka mereka akan segera menggunakan kekerasan.
"Benar2 tak kusangka!" demikian ia berpikir di dalam hati, "sembilan aliran
besar yang sudah harum namanya semenjak ratusan tahun berselang ternyata
tempat bercokol manusia tamak akan harta pusaka. Ai, kalau manusia2 begini
diserahi memegang tampuk pimpinan, darimana mereka dapat melakukan tugas
dengan se- baik2nya . . . . "
Berhubung sejak pandangan pertama sikap kesembilan orang ketua persilatan
itu sudah memberi kesan yang jelek pada Tian Pek, apalagi sikap main gertak
yang mereka tunjukkan telah membuat anak muda itu mendongkol, maka sikap
Tian Pek juga tak sungkan2 lagi.
Ditatapnya kesembilan orang itu dengan pandangan sinis, sambil tertawa dingin
ia berkata: "Apa permintaan kalian? Silakan Taysu utarakan dengan cepat! Asal
permintaan kalian tidak melanggar keadilan serta kebengaran, pasti akain
kupenuhi!"
Beberapa patah kata itu diucapkan Tian Pek dengan keren dan penuh wibawa,
nadanya tidak sombong juga tidak merendahkan diri sendiri, ini membuat
sebagian besar jago yang hadir sama merasa kagum.
"Gagah amat pemuda ini!" begitulah mereka membatin, "tidak perlu soal ilmu
silat, cukup ditinjau dari sikap serta cara berbicaranya sudah cukup membuat
orang takluk. Kelak besar harapannya akan memimpin dunia persilatan.. . ."
Sebagai orang persilatan yang berpengalaman, tentu saja merekapun dapat
menangkap arti ganda dari ucapan itu, tapi jelas ucapan itu bernada sindiran
dan yang disindir tak lain adalah cara berbicara maupun cara bertindak ketua
Siau-lim yang tak sopan itu.
Sebagai ketua Siau-lim-pay sudah tentu Ci-hay Slansu dapat menangkap arti
sindiran tersebut, tapi ia tak berani bertindak gegabah lantaran disadari betapa
pentingnya persoalan ini.
Dengan wajah merah kemudian ia berkata: "Sebenarnya permintaan yang
hendak kuajukan juga tidak terlampau berlebihan, aku cuma berharap agar Siau
sicu bersedia menyerahkan Soh-kutsiau-hun-thian-hud-pit-kip itu kepadaku dan
aku beserta ketua kedelapan aliran besar segera akan berlalu dari sini."
Mendengar permintaan itu, Tian Pek tertawa dingin. "Seandainya kitab pusaka
itu masih ada niscaya akan kuserahkan kepada Ciangbunjin untuk dibawa
pulang. sayang kedatangan kalian terlambat sedikit, beberapa hari yang lalu
kitab pusaka itu sudah kumusnahkan di hadapan umum, kukuatir kedatangan
Ciangbunjin hanya akan sia2 belaka!"
Sebenarnya apa yang diucapkan Tian Pek adalah kejadian yang sesungguhnya,
tapi diterima oleh Ci-hay Siansu dengan arti yang lain, paderi itu melanjutkan
kata2nya:
"Tian-sicu, terus terang saja kukatakan, pada hakikatnya kitab pusaka itu adalah
milik Siau-lim kami dan Bu-tong-pay. Dua ratus tahun yang lalu Ko-sui Taysu,
ketua kami yang lampau beserta Tiat-sin Totiang dari Butong-pay telah
melepaskan budi portolongan kepada seorang jago aneh dari kolong langit yang
bernama Ciah-gan-longkun, maka sebagai rasa terima kasihnya atas budi
pertolongan tersebut, Ciah-gan longkun telah menghadiahkan sejilid kitab
pusaka kepada kami, kitab pusaka itu tak
lain adalah Soh-kut-sigau-hun-thian-huid-pit-kip.
"Walaupun kitab itu milik Siau-lim dan Bu-tong, tapi oleh karena kitab tersebut
berpengaruh terhadap keamanan dan pergolakan dunia persilatan, maka
setelah melalui suatu perundingan akhirnya kedua Ciangbunjin kami
memutuskan untuk menyimpan kitab pusaka tersebut di dalam kuil kami. Turun-
temurun kitab pusaka tersebut selalu kami simpan diloteng penyimpanan kitab,
maka tatkala di dunia persilatan tersiar berita
yang mengatakan kitab tersebut telah terjatuh ke tangan Siau sicu, serentak
kulakukan pengecekan ke atas loteng kitab itu, benar juga ternyata kitab pusaka
itu sudah lenyap tak berbekas!"
Berbicara sampai di sini, Ci-hay Siansu menghela napas panjang. tampaknya ia
merasa sayang karena lenyapnya kitab pusaka itu dari kuilnya, sebab ber-tahun2
selalu aman, tak tahunya sewaktu ia memegang jabatan ketua peristiwa yang
tak diinginkan itu telah terjadi.
Semua orang belum pernah mendengar rahasia yang menyangkut peristiwa
pada dua ratus tahun berselang ini, keterangan tersebut membikin mereka jadi
tercengang, mata mereka terbelalak lebar dan alihkan perhatiannya ke wajah
ketua Siau-lim-pay itu.
Sesudah tarik napas panjang, Ci-hay Siansu melanjutkan ceritanya: "Kendati aku
belum pernah berjumpa dengan Siau sicu, akan tetapi dari laporan anak
muridku serta dari berita yang tersiar dt dunia persilatan dan kuketahui bahwa
Siau sicu sebenarnya adalah putera Pek-lek-kiam Tian In-thian, Siau sicu terkenal
jujur dan gagah perkasa, aku yakin pasti bukan kalian yang mencuri kitab
tersebut dari kuil kami melainkan
didapatkannya dari orang lain. Untuk menanamkan kepercayaan orang lain atas
kejujuranku, maka sengaja kundang pula kedatangan kedelapan ketua yang lain
untuk menjadi saksi, aku harap Siau sicu suka memberi muka kepada kami dan
serahkan kembali kitab pusaka yang merupakan benda mestika simpanan kuil
kami turun temurun itu. atas kesedian Siau sicu, bukan saja aku pribadi merasa
berterima kasih, bahkan seluruh
anak murid Siau-lim-pay juga tak akan melupakan budi kebaikan Siau sicu!"
Selesai berkata, dengan tatapan tajam ia mengawasi Tian Pek tanpa berkedip,
agaknya ia sedang menunggu anak muda itu memberikan jawaban yang
memuaskan.
Tian Pak tersenyum, katanya "Aku kuatir kenyataannya bukan seperti apa yang
kaututurkan!"
Air muka Ci-hayw Siansu berobahy masam, alis matanya berkerut, jelas paderi
itu merasa tak senang hati: "Sicu, apa yang kuceritakan barusan merupakan
rahasia kuil kami, jika bukan terpaksa tak nanti kuceritakan kepada orang luar,
apakah kau anggap aku sengaja membohongimu?"
"Sebagai ketua Siau-lim-pay, kupercaya Taysu tidak berbohong," sahut Tian Pak
dengan serius, "tapi kenyataannya, menurut apa yang kuketahui, kejadiannya
berbeda jauh dengan apa yang Taysu tuturkan barusan."
Tian Pek sangat menghormati paman Lui, ia percaya apa yang diceritakan paman
Lui kepadanya ketika berada di dalam gua rahasia tempo dulu tak bakal salah,
maka walaupun sekarang Ci hay Siansu si ketua Siau-lim-pay mempunyai cerita
dalam versi lain tentang kitab pusaka Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit kip,
betapapun ia lebih percaya pada keterangan paman Lui.
Bisa dibayangkan betapa marahnya Ci hay Siansu mendengar sanggahan itu,
mukanya jadi merah padam, matanya melotot dan jenggotnya bergetar tanpa
terembus angin, serunya dengan ketus: "Bagaimana bedanya? Coba terangkan!"
"Ketika Ciah-gan-long-kun berlatih sejenis tenaga dalam tingkat tinggi dan
mendapat gangguan dari Thian-sian-mo-li dengan ilmu To-li-mi-hun-tay-hoatnya
sehingga mengalami kelumpuhan, beliau memang mendapat pertolongan Ko-sui
Siangjin, ketua Siau-lim serta Tiat-siu Totiang dari Bu tongpay!"
"Hm, jadi aku tidak membohong, kenyataannya memang begitu bukan?" dengus
paderi itu dengan mendongkol.
Tian Pek tidak memperdulikan ocehannya, ia melanjutkan kisahnya: "Akan
tetapi, setelah Ciah-gan-long-kun sembuh dari lukanya, ia tidak pernah
menyerahkan kitab pusaka hasil pemikirannya itu kepada ketua Siau-lim-pay!''
Air muka Ci-hay Siansu berubah hebat, tapi Tian Pek lantas berkata lebih jauh:
"Kitab pusaka itu ia simpan di sebuah gua rahasia di Lo-hu-san, bahkan sesaat
sebelum mengembuskan napasnya yang penghabisan sengaja ia bocorkan
rahasia ini kepada orang lain. Karena peristiwa itulah tak terhindar lagi dunia
persilatan waktu itu menjadi kacau, banjir darah melanda di-mana2, semua
orang berusaha mencari dan memperebutkan kitab pusaka itu!"
Dengan kisah ini Tian Pek hendak membuktikan kepada umum bahwa cerita Ci
hay Siansu tidaklah jujur, hal ini seketika itu juga membuat paderi Siau lim si ini
naik pitam, ia maju ke muka seraya membentak: "Jadi menurut Siau-sicu, ketua
kami yang lalu berhasil mendapatken kitab pusaka itu dari suatu perebutan
dengan kawanan jago yang lain?"
Siau-lim si amat tersohor di dunia persilatan, bukan saja karena jumlah
anggotanya yang banyak, terutama sikap mereka yang lebih mengutamakan
keadilan dan kebenaran daripada kemaruk nama serta harta, Andaikata apa
yang dikisahkan Tian Pek terbukti kebenarannya, ini sama artinya pemuda itu
sudah mencoreng moreng sejarah Siau lim-si yang sudah cemerlang selama be-
ratus2 tahun ini.
Waktu itu Ci-hay Siansu telah menghimpun segenap tenaga dalamnya pada
telapak tangannya, asal pertanyaannya itu dijawab Tian Pek dengan "ya" atau
anggukan kepala, maka dia akan segera melancarkan sarangan maut dengan
segenap kekuatannya itu.
Tian Pek tidak melayani kemarahan paderi itu, meski ia tahu kegusaran Ci-hay
Siansu sudah mencapai puncaknya, dengan tak acuh ia berkata lagi: "Taysu tak
perlu cemas atau gelisah, padamkan dulu hawa amarahmu itu, sebab berbicara
sesungguhnya aku sendiri belum pernah mendengar ketua kalian yang lampau
ikut pula memperebutkan kitab pusaka itu dengan jago2 lainnya. Tapi yang pasti
kutahu bahwa kitab pusaka itu akhirnya terjatuh ke tangan anak murid
perguruan Hoat hoa-lam-cong!" .
Ucapan ini kembali membuat suasana jadi gaduh, terutama sekali para
Ciangbunjin dari perguruau Hoat-hoa aliran selatan dan perguruan Hoat-hoa
aliran utara, serentak mereka melompat maju ke depan.
Ketua Hoat-hoa-lam-cong, yang bergelar Tan-cing-kek (jago pemetik kecapi)
Thio Jiang lantas tertawa ter-babak2, serunya: "Hahaha, jadi berbicaria pulang
pergi, akhirnya pemilik yang sebenarnya kitab pusaka Soh-kut-siau-hun-thian-
hud-pit-kip adalah perguruan kami! Hahaha, benar2 tak tersangka!"
Ketua Hoat-hoa-pak-cong (aliran utara) yang berjuluk Tiat-pi-pa-jiu (tangan sakti
kecapi baja) Hoan Wan ikut menimbrung pula: "Jika memang begitu
keadaannya, harap Tian-siauhrap bersedia mengembalikan kitab yang sudah
hilang selama dua ratus tahun itu kepada pemilik yang sebenarnya!"
Tian Pek tersenyum, ia tidak menanggapi pernyataan kedua orang itu melainkan
meneruskan lagi kisahnya: "Sayang sekali, anak murid Hoat-hoa-lam-cong tak
dapat mempertahankan kitab pusaka itu terlampau lama, dalam suatu
perkelahian akhirnya mereka tewas dalam keadaan yang mengerikan dan kitab
pusaka itupun dirampas oleh Ngo-jiu-leng-hou (rase licik bercakar lima) yang
sebenarnya tidak berilmu tinggi! '
Kembali kawanan jago itu tertegun, Tiat-pi-pa Hoan Wan segera berseru:
"Walaupun kami tidak menyaksikan sendiri jalannya pertarungan itu, tapi kami
yakin jago2 yang ikut serta dalam perebutan kitab pusaka itu pasti terdiri dari
jago2 yang berilmu tinggi, bagaimana penjelasanmu tentang cerita ini? Masa
kitab pusaka itu malahan kena didapatkan oleh jago yang tidak berilmu tinggi?'
"Sederhana sekali penjelasannya, jika jago2 berilmu tinggi saling
memperebutkan kitab itu lebih dulu sehingga banyak yang terluka dan tewas,
sementara Ngo-jiau-leng-hou sendiri cuma berpeluk tangan menyaksikan
harimau bertempur, sudah tentu akhinya dia yang heruntung! Sudah pernah
mendengar kisah Bu Cong membunuh harimau? Bu Ceng merasa
tak mampu melawan dua ekor harimau, ia sengaja menyingkir ke samping dan
membiarkan kedua ekor harimau yang akan menerkamnya saling berkelahi lebih
dulu, akhirnya setelah kedua ekor harimau itu sama2 terluka, ia baru turun
tangan membinasakan binatang tersebut. Begitu juga siasat yang digunakan
Ngo-jiau-leng-hou, maka dengan sangat mudah ia berhasil mendapatkan kitab
pusaka Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit kip tersebut!"
Bersama dengan selesainya ucapan tersebut, tiba2 terdengar seseorang tertawa
seram, menyusul seorang kakek kurus kering tinggal kulit membungkus tulang
melayang masuk ke gelanggang, begitu tiba di arena dia lantas berseru:
"Sungguh tak nyana!. Sungguh tak kuduga, rupanya kitab pusaka yang luar biasa
itu adalah milik perguruan Khong -tong-pay kami!"
Ia lantas berpaling ke arah Tian Pek dan menjulurkan tangannya: "Pemiliknya
sudah datang, hayo kembalikan kepadaku!"
Kakek kurus kering ini cukup dikenal oleh jago2 yang hadir, sebab dia tak lain
adalah ketua perguruan Khong-tong-pay saat ini yang berjuluk Bay-kut-sian
(Dewa tulang iga) Ong Gi-to.
Dengan kemunculan jago kurus ini, baru semua orang mengerti Ngo-jiau-leng-
hou yang disebut oleh Tian Pek tadi tak lain adalah jago yang berasal dari Khong-
tong-pay.
Meski Khong-tong-pay terhitung salah satu di antara sembilan aliran besar di
dunia persilatan dan orang persilatan menganggapnya sebagai suatu parguruan
dari aliran putih, karena mereka tak pernah mencuri, membegal, tidak
menyelenggarakan tempat bordil, tidak menjadi penyamun serta melakukan
jual-beli tanpa modal, tapi muridnya terdiri dari manusia yang beraneka ragam,
peraturan perguruannya tidak ketat, banyak anggotanya berbuat se-wenang2.
Karenanya meski termasuk dalam deretan sembilan besar, namun sebenarnya
perguruannya terhitung perguruan paling rendah di antara yang lain.
Tidak heran tatkala Tian Pek menyatakan bahwa kitab pusaka Soh-kut-siau-hun-
thian- hud-pit-kip adalah milik Khong-tong-pay, bukan saja kedelepan besar
lainnya segera tak senang hati, bahkan hampir setiap jago yang hadir di situ
mempunyai perasaan yang sama.
====
Dapatkah Tian Pek mengatasi kemelut yang menyangkut kitab pusaka itu?
Darimana datangnya tokoh2 sembilan besar ini dan siapa dalangnya?
Jilid-26.
Sekalipun tak senang hati, apa mau dikata lagi kalau kenyataannya memang
demikian? Sebab itu menurut adat yang berlaku dalam dunia persilatan, barang
siapa berhasil mendapatkan benda pusaka yang tak bertuan, maka dialah yang
dianggap sebagai pemiliknya.
Ci-hay Siancu kuatir uraian Tian Pak akan menggugat hal milik Siau-lim-pay atas
benda itu, bahkan akan membuyarkan pula persatuan dari sembilan besar, maka
biji matanya lantas berputar, sambil menahan gelora perasaannya ia berkata lagi
kepada pemuda itu:
"Siau-sicu, coba lanjutkan cerita menurut versimu! Bagaimanakah nasib kitab
pusaka Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip itu selanjutnya? Dengan dibayangi
oleh demikian banyak jago lihay belum tentu Ngo-jiau-leng-hou bisa melindungi
kitab itu untuk selamanya meskipun untuk sementara berhasil ia rampas
bagaimana kisah selanjutnya? Akhirnya kitab itu berhasil didapatkan siapa?"
"Bagaimana kisah selanjutnya aku kurang begitu tahu, sebatas yang kuketahui
hanya terbatas sampat di sini saja!"
Mendengar itu, Ci-hay Siansu tertawa dingin: "Hehehe, kalau ucapan Siau-sicu
ada kepala tanpa ekor, ini membuktikan bahwa kau sengaja mengarang cerita
bohong untuk mengangkangi sendiri kitab pusaka itu!"
Keadaan yang sebenarnya memang tak diketahui Tian Pek, sebab dari paman Lui
ia hanya diberitahu sampai di situ saja, tapi sekarang ketua Siau lim-pay ini,
memaki dan memfitnah seenaknya sendiri, 'kontan saja anak itu naik darah.
"Taysu, ingatlah pada kedudukanmu yang tinggi dan jangan merendahkan
gengsimu sendiri dengan menfitnah orang seenaknya!"
"Hmm, orang persilatan mengatakan Siau-sicu jujur dan berjiwa besar, tapi
setelah perjumpaan hari ini baru kuketahui bahwa apa yang tersiar di dunia
persilatan tak dapat dipercaya!" seru Ci-hay Siansu pula dengan gusar.
"Apa maksud perkataanmu itu?" tanya Tian Pek.
"Sungguh mengecewakan Siau-sicu mempunyai nama pendekar, pada
hakekatnya tak lebih adalah manusia munafik. Perbuatanmu ini sama dengan
mencorengi nama baik Pek-lek-kiam Tian-tayhiap dimasa lalu . . . ."
"Tutup mulut!" bentak Tian Pek dengan gusar.
Dengan cepat Ci-hay Siansu mundur selangkah dia mengira musuh akan turun
tangan, cepat telapak tangannya siap diangkat keatas, untuk menghadapi segala
kemungkinan.
Sebagai anak yang berbakti, Tian Pek benci bila ada orang menghina nama baik
mendiang ayahnya, segera ia hendak melabrak orang, akan tetapi ketika tenaga
pukulannya terhimpun, tiba2 teringat olehnya bahwa ia sudah berjanji pada
pahak Lam-hay-bun untuk tidak mencampuri urusan dunia persilatan lagi, maka
hawa murni yang sudah dihimpun segera dibuyarkan kembali, telapak tangan
yang sudah terangkat pelahan-lahan diturunkan.
"Hm, kuhormati Taysu sebagai seorang Ciangbunjin, tapi Taysu malah menghina
mendiang ayahku, andaikata aku tiada janji dengan orang lain untuk tidak
mencampuri urusan dunia persilatan lagi, hm, tentu aku tidak sungkan2 lagi
kepadamu! Sekarang akupun tak ingin banyak bicara hendaklah kalian segera
tinggalkan tempat ini!" kata Tian Pek dengan gemas.
Sebagai ketua Siau lim-pay, kedudukan Ci-hay Siansu di dalam dunia persilatan
sangat tinggi dan terhormat, tapi sekarang di hadapan orang banyak ia dibentak
oleh Tian Pek dengan kasar, hal ini membuat paderi tersebut jadi tertegun.
Tian Pek sendiripun tidak sungkan2, sehabis berkata ia tak pedulikan lawannya
lagi dan segera berlalu.
Tiba2 Bay-kut sian membentak: "Bocah keparat, jangan pergi dulu? Hmm, berani
kau bersikap kurangajar terhadap ketua sembilan besar? Sambut dulu
pukulanku ini!"
Di iringi bentakan nyaring, tubuhnya melambung ke udara, dari atas telapak
tangannya menghantam punggung Tian Pek.
Cepat Tian Pek melompat ke depan, dengan begitu serangan maut Bay-kut-sian
mengenai sasaran yang kosong.
"Blang!" di tengah dentuman heras, debu pasir beterbangan, pukulan dahsyat
Bay-kut-sian itu menghantam permukaan tanah hingga menimbulkan sebuah
liang besar.
Tak malu ia sebagai ketua Khong-tong-pay, ditinjau dari kekuatan serangannya
dapatlah diketahui tenaga dalamnya cukup sempurna, meski demikian banyak
orang diam2 mencemooh sebab sebagai seorang ketua yang mempunyai
kedudukan torhormat, tidaklah pantas baginya untuk menyergap orang dari
belakang.
Tian Pek sendiri tak ingin melanggar janjinya, maka ia tidak melancarkan
serangan balasan, setelah lolos dari ancaman itu ia meneruskan langkahnya
untuk berlalu dari situ.
Tan-ceng-kek, ketua Hoat-hoa-lam-cong, sama Tiat-pi-pa-jiu, ketua Hoat-hoa-
pak-cong melompat maju dan mengadang jalan pergi Tian Pek.
"Mau kabur dari sini? Tidak gampang sobat!?? jengek mereka " Boleh saja kalau
ingin pergi, tapi serahkan dulu kitab pusaka Soh-kut-siau-hun-thian hud-pit-kip!"
Dalam pada itu Ci-hay Siansu serta beberapa orang ketua lainnya sudah
memburu maju pula ke depan Tian Pak sepera terkepung lagi di tengah.
Walaupun jago2 yang hadir terdiri dari ketua sembilan besar, tapi yang
mengepung Tian Pek sekarang ada sepuluh orang, sebab dari pihak perguruan
Hoat-hoa-bun terbagi menjadi Lam-cong (sekte selatan) dan Pakcong (sekte
utara), bisa dibayangkan bagaimana tegangnya suasana waktu itu.
"Siau-sicu!" kembali Ci-hay Siansu berkata, "bila Soh-kut-siau-hun-thian-hud-lok
tidak kau serahkan, jangan salahkan kami akan turun tangan bersama!"
Tian Pek tertawa dingin, ia tidak menanggapi ancaman tersebut, sungguh dia
ingin menghajar musuh habis2an, akan tetapi iapun tak mau me-langgar janji,
keadaannya jadi serba salah, untuk sesaat ia menjadi bingung.
Dalam keadaan begitu, untunglah paman Lui tampil dan berdiri di depan Ci hay
Siansu, tegurnya: "Siau-lim Ciangbun kan kenal padaku?"
Dengan tajam Ci-hay Siansu mengawasi paman Lui dari atas sampai ke bawah,
orang ini berambut awut2an, berwajah kereng dan bermata tajam, sudah pasti
tenaga dalamnya sangat hebat, tapi selama ini belum pernah kenal, apalagi
dalam keadaan mendongkol, tanpa pikir sabutnya ketus: "Maaf, pengetahuanku
cetek, tidak kukenal siapa gerangan anda ini!"
"Apakah, mendiang Ciangbunjinmu tidak meninggalkan pesan apa2 waktu kau
menerima jabatan ketua?" kata paman Lui.
Pertanyaan yang diajukan tanpag ujung pangkal iini, membuat Cih-hay Siansu
tertegun, kembali ia mengamati paman Lui, lalu sahutnya: "Masa urusan
pengangkatan Ciangbunjin kami ada sangkut pautnya dengan diri Sicu?"
"Aku kira memang ada sedikit sangkut pautnya" kata paman Lui tersenyum.
Ucapan ini dirasakan sebagai suatu penghinaan bagi Siau-lim-pay, kontan saja
Ci-hay Siansu naik darah, teriaknya: "Aku tak pernah kenal kau, mengapa kau
bilang ada sangkut pautnya dengan kami? Hmm, jika kau tidak jelaskan
duduknya perkara, akan kuadu jiwa dengan kau!"
Paman Lui tertawa, katanya: "Taysu, ucapanmu ini terlalu emosi, bila kau benar2
menghendaki aku bicara terus terang, kukuatir masalah ini akan mempengaruhi
kebersihan nama baik Siau-Iim-pay yang sudah terpupuk selama ratusan tahunl"
"Coba terangkan, masalah apakah itu?" seru Ci-hay Siansu semakin gusar.
"Masalah ini menyangkut nama baik serta kebersihan biara kalian selama
ratusan tahun, kurasa kurang leluasa untuk diterangkan di hadapan umum,
bagaimana kalau kita berdua mencari tempat yang sunyi saja dan membicarakan
persoalan ini di bawah empat mata!"
Ci-hay Siansu hampir saja tak dapat mengendalikan amarahnya, ia berteriak:
"Tampaknya kau ini seorang pendakar, kenapa cara bicaramu ber-tele2 begini?
Kalau ingin bicara cepat katakan kalau tidak lekas enyah dari sini!"
Sesungguhnya paman Lui memang pernah terlibat dalam satu persoalan yang
menyangkut ketua Siau-lim-pay dari generasi yang lalu, bahkan pernah
membantu kesukaran biara itu, sebenarnya dia tak ingin membongkar masalah
yang memalukan Siau-lim itu dihadapan umum.
Tapi sekarang, urusan kedua pihak telah buntu, dalam keadasn begini tak
mungkin Ci-hay Siansu akan menerima usul paman Lui, sedangkan paman Lui
sendiri karena terpaksa harus menguraikannya secara blak2an.
"Hei, hwesio tua, kau yang memaksa aku membeberkannya, maka segala risiko
adalah tanggung jawabmu." kata paman Lui. "Sekali lagi ingin kutanya padamu,
tahukah kau cara bagaimama Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip itu terjatuh ke
tangan Siau-lim-pay?"
Ci-hay Siansu swedang marah, maka tanpa pikir dia menjawab, "Tadi sudah
kuterangkan, kitab itu dihadiahkan kepada Ko-sui Siangjin, ketua kami yang lalu
lantaran Ciah-gan-long-kun Locianpwe merasa berutang budi kepada ketua kami
itu!"
"Lalu bagaimana penjelasanmu tentang apa yang dituturkan Tian-siauhiap tadi?"
"Hmm, apa lagi yang perlu kujelaskan? Dia sengaja memutar balikkan duduknya
persoalan dan bicara ngawur?"
"Tutup mulut . . , . " teriak Tian Pek sambil maju ke muka, belum pernah ia di
maki orang secara begini.
Paman Lui segera mengalangi anak muda itu, lalu kepada Ci-hay Sian-su ia
berkata lagi: "Kalau kau tidak percaya, maka sekarang ingin kutegaskan
kepadamu bahwa apa yang diucapkan Tian-siauhiap sedikitpun tidak salah,
akhirnya Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip itu diperoleh Ngo-jiau-leng-hou
yang dipandang berkepandaiaan rendah itu."
Bay-kut-sian terkejut bercampur girang mendengar pengakuan itu.
Ci-hay Siansu tertawa dingin, teriaknya: "Ah, omong kosong, sekalipun kau
mengulangi kembali kisah itu sampai beberapa ratus kali juga percuma, tak
nanti aku percaya!"
"Tapi kejadian yang sebenarnya memang begitu, tidak mau percaya juga harus
percaya,"seru paman Lui.
Wajah Ci-hay Siarau makin kaku, katanya: "Menurut keteranganmu, bagaimana
akhirnya kitab pusaka tersebut dapat terjatuh kembali ke tangan Ciaugbunjin
kami? Dan mengapa bisa menjadi pusaka turun temurun biara kami? Apakah
Siaulim-si kami mesti meniru cara Ngo-jiau-leng-hou merampas kitab tersebut
dari tangan orang lain?"
Karena gusar Ci-hay Siansu hanya memaki dan membantah, ia tidak
membayangkan bahwa ucapan itu akan menyinggung perasaan ketua Khong-
tong-pay.
Benar juga, air muka Bay-kut-sian, ketua Khong-tong itu berubah hebat, dengan
tatapan tajam dia melototi wajah paderi itu, hawa nafsu membunuh
menyelimuti mukanya.
Tapi sebalum ia bersuara, paman Lui telah menanggapi dengan cepat:
"Perkataanmu memang tepat sekali!"
Kini air muka Ci-hay Siansu yang berubah hebat.
Paman Lui lantas berkata lebih jauh: 'Berbicara sesungguhnya. kendati Ko-sui
Siangjin juga menggunakan cara yang sama untuk merampas kitab pusaka itu,
namun maksud dan tujuannya berbeda jauh dengan apa yang dipikirkan Ngo-
jiau-leng-hou. Kalau Ngo-jiau-leng-hou merampas kitab itu demi kepentingan
pribadi agar dapat malang melintang di dunia persilatan, maka Ko-sui Siangjin
merampas kitab itu dengan harapan mencegah badai pembunuhan di dunia
persilatan, bahkan setelah kitab itu berhasil dirampas, ia tak memandangnya
barang sekejap jua dan kemudian disimpan ke dalam gudang. Sejak itulah kitab
pusaka itu menjadi kitab yang tidak pernah diwariskan kepada orang, demikian
pula dengan anak murid Siau-lim-si, tak seorangpun pernah berlatih kepandaian
sakti itu, sebab Ciangbunjin mereka secara turun temurun melarang siapapun
membuka kitab tadi, barang siapa berani mencuri lihat akan dianggap sebagai
pengkhianat perguruan. Yaa, hanya satu pikiran sesaat dapat menerbitkan
bencana
besar, aku tidak membantah bahwa maksud ketua Siau-lim-pay yang lalu
memang baik dan mulia!"
Persoalan ini hakikatnya adalah rahasia perguruan dan cuma Ciangbunjin saja
yang mengetahuinya, rahasia tersebut hanya diberitahukan kepada Ciangbunjin
yang baru pada waktu dilantik menjadi ketua, tak heran kalau tiada orang luar
yang mengetahuinya lagi.
Tapi sekarang rahasia tersebut terbongkar dari mulut orang lain, dapat
dibayangkaa betapa rasa kaget dan heran Ci-hay Siansu.
"Bangsat, besar amat nyalimu!" hardiknya dengan murka, "darimana kau
mengetahui persoalan ini??"
"Keledai gundul, hendaklah sikapmu sedikit tahu diri!" ujar paman Lui dengan
gusar,
"aku ingin bertanya lagi padamu, tahukah gkau apa sebabnya tiga orang suheng
mendiang Ciangbunjinmu tewas secara mengenaskan?"
Pertanyaan ini membuat Ci-hay Siansu terbelalak dan sama sekali tak mampu
menjawab.
Ciangbunjin Siau-lim-si yang dulu bergelar Ceng sim Siansu, dia tak lain adalah
gurunya Ci-hay, sedangkan ketiga orang Supeknya, yakni Thian-sim, Jing-sim
serta Beng-sim justeru mati karena dijatuhi hukuman yang paling berat menurut
peraturan perguruan. Tapi mengapa mereka sampai dihukum mati? Hal ini
merupakan rahasia besar yang tak diketahui orang luar, bahkan ketika Ceng-sim
Siansu melimpahkan jabatan ketuanya kepada Ci-hay, persoalan ini tak pernah
disinggung, dengan sendirinya Ci-hay Siansu tak tahu.
Dan sekarang, pertanyaan itu diajukan oleh paman Lui, pantas kalau ketua Siau-
lim-pay ini jadi gelagapan.
Sekalipun demikian, tentu saja ia tak mau mengatakan dia tidak tahu, sambil
mengernyitkan alis ia membentak dengan gusar: "Masa kau tahu jelas sebab
musabab kematian ketiga orang Supekku?"
"Hahaha, kalau aku tidak jelas, siapa lagi yang tahu? Aku berani memastikan
bahwa setelah Ceng-sim mati, di dunia ini hanya aku seorang yang mengetahui
rahasia ini!"
"Omong kosong, tak mungkin kau tahu!" teriak Ci hay Siansu semakin gusar.
"Hmm, agaknya kau memaksa kubongkar semua rahasia ini dihadapan umum!"
kata paman Lui dengan mata melotot.: "Baiklah, kalau memang begitu, terpaksa
akupun harus bicara terus terang. Ketahuilah, ketiga orang Supekmu itu bunuh
diri dengan menghantam ubun2 sendiri karena mereka melanggar pantangan
Siau-lim-si, yaitu diam2 mencuri lihat Soh-kut-siau-hun-thian-hud-lok!"
Air muka Ci-hay Siansu berubah hebat, bentaknya: Ketiga orang Supekku adalah
Suheng Ciangbunjin yang dulu, sekalipun mereka mencuri melihat kitab pusaka
itu, kesalahannya tak sampai dijatuhi hukuman mati Huh! Ketahuan sekarang,
tampaknya kau memang sengaja bicara ngawur untuk menutupi maksud busuk
pribadimu sendiri . . ."
Paman Lui menjengek, katanya: "Umpama jika tiga Supekmu mencuri lihat kitab
pusaka itu, kemudian perbuatan mereka diketahui Ciangbunjin, tapi mereka
tidak menurut perintah ketuanya sebaliknya malahan menyerang
Ciangbunjinnya, coba jawab, perbuatan semacam ini pantas tidak kalau dijatuhi
hukuman mati?"
Ci-hay Siansu tertegun dan tak bisa bicara lagi. Kedudukan seorang Ciangbunjin
adalah tampuk pimpinan tertinggi, jangankan sesama saudara seperguruan,
sekalipun Supek atau Susioknya juga akan dijatuhi hukuman mati bila berani
mencelakai sang ketua.
Sementara itu perhatian semua, orang sama tertuju pada tanya jawab ini,
meskipun bukan suatu pertempuran seru, tapi masalahnya menyangkut suatu
rahasia besar yang terjadi pada dua ratus tahun berselang, bahkan ada
hubungannya dengan nasib Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip, maka tak heran
kalau semua orang ikut tegang.
Agak lama Ci-hay Siansu termangu, tapi satu ingatan terlintas dalam benaknya,
cepat ia berkata: "Hmm, sedangkan aku sebagai Ciangbunjinnya tidak
mengetahui rahasia ini, darimana kau bisa mengetahui rahasia tersebut sejelas
itu? kalyau bukan bicara ngawur dan memfitnah, apa lagi namanya?"
"Oleh sebab aku hadir di sana waktu itu, sudah tentu aku mengetahui persoalan
ini dengan jelas!"
"Apa? Kau hadir di sana waktu itu?"'
"Benar!" dengan meyakinkan paman Lui mengangguk "Bila aku tak hadir ketika
itu, mungkin Ceng-sim Hongtiang, sudah tamat jiwanya! Justeru akulah yang
menyelamatkan jiwanya, maka gurumu sempat mencaci maki ketiga Supekmu
sehingga mereka jadi malu dan menyesal, akhirnya untuk menebus dosanya
mereka telah bunuh diri dengan menghancurkan batok kepalanya sendiri!"
Ci-hay Siansu kaget, saking tegangnya sampai dada terasa sesak Demikian pula
kawanan jago yang lain, mereka sama terbelalak, suasaana jadi sepi, tatapan
semua orang tertuju ke muka paman Lui.
Setelah berhenti sejenak, paman Lui berkata lagi: "Karena peristiwa itu, gurumu
Ceng-sim Hong-tiang mulai menaruh perhatian pada kitab pusaka itu dan
membaca isinya, kemudian karena merasa kitab itu terlampau kotor dan tak
pantas disimpan di dalam biara, mengingat pula aku yang telah menyelamatkan
jiwanya hingga Siau-lim si yang sudah berusia ratusan tahun tidak berantakan di
tengah jalan, kitab tersebut lalu dihadiahkan kepadaku sebagai rasa terima
kasihnya, selain itu ia menghadiahkan pula
tiga biji obat Liong hou si-mia-wan yang tak ternilai harganya itu kepadaku!"
Sekujur badan Ci-hay Siansu sudah basah kuyup seperti diguyur air dingin.
Kiranya Siau-lim-si kini telah jatuh dalam kekuasaan Lam-hay-bun, untuk
berusaha merampas kembali Siau-lim-si yang sudah bersejarah ratusan tahun
dari tangan Lam-hay-bun, terpaksa Ci-hay membawa anak muridnya kabur dari
biara itu untuk mencari kembali kitab pusaka yang berisikan pelajaran ilmu silat
maha tinggi itu, sebab dengan ke-72 jenis ilmu silat andalan Siau-lim masih
belum mampu mengalahkan lawan.
Dalam penyelidikannya kemudian diketahui bahwa kitab pusaka yang di-cari2 itu
sudah terjatuh ke tangan seorang jago muda yang bernama Tian Pek, namun
tersiar pula berita yang mengatakan bahwa kungfu Tian Pek amat tinggi, bukan
saja dapat menghadapi Hay-gwa-sam-sat, bahkan Hek-to-su-hiong yang lihay
juga dikalahkan. Maka untuk mewujudkan cita2nya, dengan macam2 alasan
serta bujukan ia minta dukungan ketua kedelapan aliran
persilatan lain agar kitab Soh-kut-siau-hun tesebut bisa diperoleh kembali.
Tapi sekarang, setelah mendengar penjelasan paman Lui, ia tak bisa berkutik
lagi, sebab hakikatnya pihak Siau-lim-si telah melimpahkan hak memiliki kitab
itu kepada orang lain..
Begitulah, maka sesudah paman Lui bercerita tentang rahasia Siau-lim-si yang
tak diketahuinya, maka Ci-hay Siansu jadi kaget dan tertegun, malahan iapun
merasa gusar karena nama baik Siau-lim-si yang sudah cemerlang selama
ratusan tahun itu se-akan2 terletak pada tangan paman Lui.
"Siapa kau?" bentaknya dengan gusar.
Paman Lui tersenyum: "Aku hanya seorang Bu-beng-siau-cut orang kecil yang
tak ternama, orang2 menyebut diriku Thian-hud-ciang Lui Ceng-Wan!"
Air muka Ci-hay Siansu berubah, buru2 dia memberi hormat seraya berkata:
"Omitohud! Siancay! Siancay! Kiranya Lui-inkong, harap dimaafkan
kekasaranku . . .."
Paman Lui merasa tak enak hati melihat sikap ketua Siau-lim-si ini berubah
menghormat setelah mendengar namanya, cepat dia balas menghormat.
Tapi tiba2 satu ingatan terlintas dalam benak Ci-hay Siansu, ia merasa
tindakannya ini tak benar, bila ia minta maaf kepada paman Lui, bukankah
berarti Siau-lim-si tidak berhak lagi untuk menuntut kembali kitab pusaka itu?
Lalu cara bagaimana pula ia akan mengalahkan orang2 Lam hay-bun serta
merebut kembali kuilnya?.
Maka cepat ia berkata: "Cuma, kita baru berjumpa untuk pertama kali ini, kukira
perlu kau menunjukkan sesuatu bukti yang meyakinkan."
Paman Lui melengak, tak disangkanya ketua Siau-lim-pay ini gampang berubah
sikap, tanyanya tercengang: "Bukti apa yang kau inginkan?"
"Bukankah kau mengatakan bahwa Ciangbunjin kami yang lalu telah
menghadiahkan tiga butir Liong-hou-si-mia-wan dan menyerahkan pula kitab
Soh-kut-siau-hun-thian hud-lok kepadamu? Asal kedua macam barang ini dapat
kau pertunjukan kepadaku, maka akupun akan percaya semua penuturanmu
Sebaliknya jika barang bukti tak dapat kau tunjukkan .
. . . Hm, itu berarti kau cuma mengibul untuk mempermainkan diriku, maka
jangan salahkan aku takkan sungkan2 lagi kepadamu!"
"Barang bukti apa yang bisa kuperlihatkan kepadamu?" paman Lui berpikir
dalam hati, "dari tiga biji Liong-hou-si-mia-wan, dua biji sudah kugunakan untuk
menolong orang, sedang yang ketiga telah kuserahkan kepada Tian Pek sewaktu
berada di perkampungan Pah-to-san-ceng, waktu itu Tian Pek tak mau
menerimanya dan sudah kubuang ke tanah, sebaliknya kitab pusaka Thian-hud
pit-kip sudah dimusnahkan Tiang Pek, darimana pula
aku bisa mhemiliki benda2 itu lagi?"
Tapi paman Lui pun mengerti, kendati kedua macam benda itu masih utuh, tak
nanti Ci-hay Siansu akan menyudahi persoalan ini sampai di sini saja.
Kiranya ketika paman Lui berkelana di dunia persilatan untuk mencari jejak Pek-
lek-kiam Tian In-thian dahulu tanpa sengaja ia mampir di Siau-lim-si, kebetulan
juga malam itu di sana terjadi huru-hara, apa yang terjadi waktu itu, kecuali
Ceng-sim Hongtiang, ketua Siau lim-pay yang dulu, tiada orang kedua yang ikut
manyaksikan, maka andaikata Ci-hay Siansu tak mau mengakui sekalipun ada
barang bukti, paman Lui juga tak bisa berbuat apa2.
Berpikir sampai di sini, paman Lui menengadah dan tertawa ter-bahak2,
serunya: "Meski aku Lui Ceng-wan hanya seorang Bu-bing-siau-cut, akan tetapi
semua perbuatan yang pernah kulakukan selama ini diketahui pula oleh
sahabat2 dunia Kangouw, cuma tanyakan saja kepada orang lain, pernahkah aku
berbohong? Eh, Hwesio tua, aku tidak memaksa
kau harus percaya pada perkataanku, tapi apa yang bisa kukatakan hanya ini
saja, percaya atau tidak terserah padamu."
Sebelum Ci-hay Siansu sempat menjawab, Bay-kut-sian dari Khong-tong-pay
sudah maju ke depan, ujarnya dengan muka dingin: "Siansu, apa gunanya kita
omong melulu dengan orang ini, tanyakan saja Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-
kip sekarang berada pada siapa?
"Hehehe, kau ingin tahu? Belum berhak, sobat . . . . ." jengek paman Lui sambil
tertawa dingin.
Bay-kut-sian adalah lelaki yang gemar main perempuan, bila malam tiba dan di
sampingnya tak ada perempuan yang mendampinginya, semalaman dia tak bisa
tidur nyenyak, karena itulah akhirnya ia jadi kurus kering tinggal kulit
membungkus tulang dan tersohor sebagai Bay-kut-sian si dewa tulang iga.
Sesuai dengan julukannya, orang ini tidak jujur hidupnya, orang persilatan dari
golongan putih rata2 membenci padanya.
Paman Lui berwatak keras, ia memandang hina manusia2 sebangsa itu, maka
ketika Bay-kut sian tampil ke depan, serta merta iga naik darah, otomatis
ucapannhya juga ketus dan tak sungkan2.
Tapi justeru karena sikapnya ini, Bay-kut sian makin marah, mukanya yang ke-
pucat2an berkerut, matanya melotot, lalu makinya dengan gusar: "Lui sinting,
kau jangan takabur! Sambut dulu pukulanku ini .......
Dengan segenap tenaganya ia lepaskan pukulan dahsyat ke dada musuh, angin
serangan yang kuat men-deru2.
"Huh! Pukulan macam ini juga dipamerkan" jengek paman Lui, tangan kanannya
diayun ke muka untuk menyambut serangan tersebut.
"Blang!" kedua gulung tenaga beradu, terjadilah suara keras, beruntun Bay-kut-
sian tergetar mundur tiga langkah, sebaliknya paman Lui tak geming di tempat
semula.
Kecundang didepan orang banyak, Bay-kut-sian jadi kalap, dia meraung seperti
harimau gila, diterjangnya paman Lui dengan garang, secara beruntun ia
melepaskan tiga pukulan dan dua tendangan kilat.
"Bangsat! Rupanya kau sudah bosan hidup!" teriak paman Lui dengan marah, ia
mainkan Thian hud-ciang dengan rapat, semua pukulan dan tendangan lawan
dipapaki dengan kekerasan.
Dua sosok tubuh mereka se-olah2 bergumul menjadi satu, diantara benturan
keras tiba2 tubuh mereka berpisah satu lama lainnya.
Paman Lui yang gagah perkasa masih berdiri tegak, sebaliknya Bay-kut-sian yang
kurus kering seperti lidi berdiri sempoyongan, mukanya makin pucat, dengan
beringas ia melototi musuh, tiba2 Bay kut-sian mundur dengan sempoyongan,
setelah muntah darah lantas roboh terjungkal .....
Untung Ci-hay Siansu ber-jaga2 disampingnya, paderi itu segera melompat maju
dan menyambar tubuh Bay-kut-sian yang hampir mencium tanah, dia keluarkan
sebutir pil dan dijejalkan ke mulut ketua Khong-tong-pay itu, kemudian
berpaling dan serunya kepada paman Lui dengan marawh:. "Lui Ceng-wyan, keji
amat txindakanmu! Ong-ciangbun datang atas undanganku dan sekarang ia
terluka, hehehe. itu berarti kau telah memusuhi sembilan besar . . . . '
Belum habis Ci-hay Siansu berkata, ketua Hoat hoa-lam-cong, yakni Tan-ceng-
kek Thio Jiang serta Tiat-pi-pa-jiu Hoan Wan, ketua Hoat-hoa-pak-cong serentak
membentak dan menerjang ke depan, yang satu dengan ilmu jari Tan-ceng-ci
sedangkan yang lain mainkan pukulan Pi-pa-jiu, dari kiri kanan mereka
menyergap paman Lui.
Sebagaimana tadi, Paman Lui tidak menghindar, ia sambut serangan tersebut
dengan kekerasan kemudian ejeknya sambil tertawa dingin: "Hehehe, sungguh
tak nyana sembilan besar yang tersohor namanya tak lebih hanya manusia
keroco yang mencari kemenangan dengan mengandalkan jumlah banyak!"
Perkataan ini hakikatnya menyinggung perasaan semua ketua sembilan aliran
besar, tak heran ketujuh ketua lainpun serentak menerjang maju dengan murka.
Ci-hay Siansu, ketua Siau-lim-pay sendiri setelah membaringkan Bay-kut-sian di
atas tanah, lalu menerjang pula ke tengah arena, serunya dengan gusar: "Lui-
sicu, persoalan ini mempengaruhi mati hidupnya dunia persilatan, jika So-kut-
hun-thian-hud-pit-kip tidak kau serahkan, jangan salahkan kesembilan ketua
dari sembi!an besar akan menyerang kau secara bersama2!"
Paman Lui ayun tangannya untuk mematahkan serangan ketua Hoat-hoa-lam-
cong dan ketua Hoat-hoa-pak-cong, kemudian menengadah dan tertawa:
"Hahaha, di masa usia lanjut seperti ini orang sheLui memperoleh kesempatan
menjajal kelihayan ketua sembilan besar, kesempatan ini betu12 suatu surprise
bagiku. Hayo silakan kalian bersembilan maju bersama!" jengeknya berbareng
dengan selesainya sindiran tersebut, tiba2 ia melepaskan tujuh kali pukulan.
Sekaligus paman Lui menghadapi kedelapan ketua perguruan besar, maka dapat
dibayangkan sampai betapa hebat pertempuran ini.
Tiba2 dari sisi kalangan muncul scorang, secepat kilat orang itu menerjang ke
tengah arena pertarungan.
Padahal pada saat itu pertarungan sedang memuncak ketegangannya, setiap
pukulan yang mereka lancarkan merupakan serangan mematikan, angin pukulan
men-deru2, kesembilan orang tangguh yang bertarung itu seperti lengket
menjadi satu. Lalu siapakah yang berani menerjang masuk ke tengah kalangan
pertarungan yang amat sengit dan berbahaya itu? Waktu semua orang menjerit
kaget, bayangan orang itu dengan kesepatan luar biasa sudah meluncur ke
tengah arena.
Tiada searangpun yang tahu jurus serangan apakah yang dipergunakan orang
itu, yang pasti kedelapan ketua perguruan yang mcngerubuti paman Lui itu
bagaikan terpagut ular, segera menjert kaget dan melompat keluar arena
pertarungan.
Sebentar kernudian di tengah gelanggang hanya berdiri dua orang saja, mereka
adalah paman Lui, dan seorang pemuda tampan yang tak lain adalah Tian Pek.
Kejadian ini membuat semua orang terkejut, tapi tak sedikit pula yang bersorak
memuji.
Dalam pertarungan paman Lui melawan kedelapan ketua dari delapan besar
sudah cukup menggemparkan, itupun karena paman Lui adalah jago tangguh
yang sudah terkenal semenjak puluhan tahun yang lalu, tapi sekarang Tian Pek
hanya pemuda baru berusia likuran tahunan dan dengan satu jurus saja telah
berhasil, memaksa mundur kedelapan ketua itu, siapa yang tak heran
menyaksikan kejadian ini?
Hakikatnya belum lama Tian Pek terjun ke dunia persilatan, sekalipun ia berhasil
mengalahkan Hay-gwa-sam-sat dan Hek-to-su-hiong, tapi tak banyak jago yang
menyaksikan peristiwa itu.
Dan sekarang mata mereka boleh dibilang dibikin melek, sebab terbuktilah
pemuda itu memiliki keampuhan yaug luar biasa, sehingga cukup satu pukulan
ini bisa memaksa mundur lawan2 tangguh.
Dalam pada itu, setelah berhasil pukul mundur kedelapan orang ketua
perguruan besar itu dengan jurus Hud--kong pu-ciaug (sinar Buddha imemancar
ke manha2), lalu Tian Pek berdiri di sisi paman Lui, mukanya tampak kereng
berwibawa, gagah perkasa.
Ditatapnya sekejap kedelapan ketua perguruan besar itu dengan tajam, lalu
berkata:
'Semenjak ratusan tahun yang lalu, sembilan perguruan besar selalu menjadi
pemimpin dunia persilatan, Hm, setelah berada pada giliran pimpinan kalian,
bukannya membawa perguruan sendiri ke puncak ketenaran, sebaliknya
melakukan perbuatan tak senonoh dan menuduh orang tanpa dasar, kalau
begini terus caranya, kuyakin tak sampai beberapa tahun lagi nama sembilan
besar pasti akan berubah sebusuk sampah!"
Sejak tahu kelihayan anak muda itu, Ci hay Siansu tak berani bertindak gegabah
sekalipun hatinya marah sekali mendengar sindiran tadi, dengan gusar ia
membentak:
"maksudmu?"
"Sedari awal sudah kukatakan bahwa kitab pusaka Soh-kut-siau-hun telah
kumusnakan menjadi abu, persoalan ini sama sekali tak ada hubungannya
dengan paman Lui, atas dasar apakah kalian mengerubuti paman Lui? Begitukah
perbuatan ketua2 perguruan besar . . . . ?"
Belum selesai pemuda itu menegur dan belum sempat Ci-hay Siansu menjawab,
kembali ada dua sosok bayangan orang menerjang ke tengah arena.
Sewaktu masih di udara. salah satu bayangan itu telah berseru lebih dulu:
"Bocah keparat she Tian! Kalau kitab pusaka Soh-kut-siau-hun masih berada
padamu, hayo cepat serahkan kepada kami!"
Orang yang baru datang ini tak lain adalah Kanglam-ji-ki, dengan dandanan
mereka yang menyolok, kungfu yang tinggi, perbuatan mereka yang busuk den
tindak tanduk mereka yang seenaknya sendiri, Ci-hoat-leng-kau Siang Ki-ok serta
Kui-kok-in-siu Bun Ceng-ki sudah tersohor sebagai gembong iblis yang disegani
orang. Tak heran kalau kemunculan mereka segera mengejutkan kawanan jago
yang berkumpul ini.
Ci hay Siansu sendiripun terkejut, cepat ia berkata: "Kitab pusaka Soh-kut-siau-
hun adalah benda pusaka Siau-lim-si, aku tidak mengharapkan campur tangan
kalian berdua!"
"Hehehe, Apa itu Siau-lim-si? Cuma nama kosong belaka!" jengek Ci-hoat-leng-
kau Siang Ki-ok sambil tertawa dingin, "untuk melindungi kuili sendiripun takh
becus, mau apa kau gembar gembor di sini?"
"kami bertekad akan mendapatkannya, barang siapa tidak mau tunduk, hmm,
inilah contohnya" seru Kui-kok-in-siu Bun Ceng-ki sambil tertawa seram,
mendadak telapak tangannya dengan membawa desing angin dingin langsung
menebas ke tubub Han-ceng-cu, itu ketua Bu-tong-pay.
Sebelum angin pukulan itu menyambar tiba, lebih dulu terasa hawa dingin yang
merasuk tulang sumsum, Hian-ceng-cu menjerit kaget.
Untung gerak tubuh ketua Bu-tong-pay itu cukup cekatan, baru saja ia
menyingkir ke samping, angin pukulan itu menyambar lewat, seketika ia
menggigil ngeri.
Kasihan dua orang anggota perkumpulan pengemis yang berada di belakangnya,
mereka tak dapat menghindar, di mana angin pukulan itu menyambar lewat,
mereka menjerit ngeri, air mukanya berubah pucat roboh dengan kejang,
setelah berkelejet beberapa saat lalu tak berkutik untuk selamanya.
Itulah pukulan Im-hong-ciang yarg baru saja diyakinkan kui-kok-in-siu, sekalipun
dari jarak jauh, Cukup suatu pukulan ia dapat membinasakan dua orang, dari sini
bisa diketahui betapa beracun dan hebatnya pukulan maut tersebut.
Kiranya pertapa dari lembah setan ini ingin "membunuh ayam menakuti
monyet", dengan Im-hong-ciang yang lihay dan beracun itu ia serang ketua Bu-
tong pay itu dengan harapan tindakannya ini akan bikin takut sembilan ketua
perguruan lainnya.
Siapa tahu Hian-sing cu juga bukan tokoh lemah sebagai seorang Ciangbunjin
dari suatu perguruan besar, dia memiliki ilmu silat yang ampuh, kendatipun
diserang tanpa terduga, pada saat terakhir masih sempat menghindarkan diri
dengan gerakan cepat.
Sial dua orang anggota perkumpulan pengemis itu, tanpa mengetahui sebab
musababnya mereka menjadi setan pengganti ketua Bu tong-pay itu. .
Hong-jam-sam-kay menjadi murka, ketiga orang pengemis tua itu melompat
maju dan melancarkan pukwulan dahsyat.
Tiga gulung angxin pukulan dahsyat segera menerjang dada Kui-kok-in-siu
dengan hebatnya.
Belum sempat Kui-kok-in-siu turun tangan, Ci-hoat-leng-kau yang berada di
sampingnya telah mengebaskan ujung bajunya seraya membentak. "Pengemis
sialan! Di sini tak ada urusan kalian, hayo enyah dari sini!"
Jangan kira kebutan Ci-hoat-leng-kau itu enteng dan sederhana, se-olah2 tak
bertenaga, tapi sebenarnya membawa tenaga Hek-sat-jiu yang maha dahsyat,
serta merta tenaga pukulan gabungan Hong-jan-sam-kay terpunahkan. .
Sebagai tokoh perkumpulan pengemis, bukan saja Hong-jan-sam-kay memiliki
kungfu tinggi, nama dan kedudukan mereka di dunia persilatanpun amat
cemerlang, akan tetapi tenaga gabungan yang mereka lancarkan berhasil
ditangkis dengan mudah oleh Ci-hoat-leng-kau, hal ini menyebabkan ketiga
pengemis tua itu terkesiap.
"Tak nyana kakek bertampang kunyuk ini memiliki kungfu yang lihay, belum
pernah kujumpai jago sehebat ini . .. . ." pikir mereka.
Sementara ketiga pengemis itu termanggu, jago2 Lam hay-bun yang selama ini
hanya berpeluk tangan belaka, dengan berjajar menjadi satu baris perlahan
mulai bergerak ke depan.
Di antara sekian jago Lam-hay-bun yang hadir ini, dipimpin oleh Sin-liong-taycu
yang berbaju putih dan berkipas perak serta Lam-hay-liong-li yang cantik jelita
bak bidadari dari kahyangan.
Di sebelah kiri kedua muda-mudi itu adalah Hay gwa-sam-sat, sedangkan di
sebelah kanannya adalah Hek-to-su-hiong, tujuh jago paling tangguh dari Lam-
hay-bun itu bertugas melindungi keselamatan pemimpin mereka dari kedua
sayap.
Sembilan orang dengan langkak yang tegap mantap, maju ke muka, ketegangan
mencekam setiap orang, membuat kawanan jago itu merasa dada jadi sesak
menahan napas.
Setibanya di tengah arena, Sin-liong-taycu menudung Kanglam ji ki seraya
berkata seenaknya: "Eh, kalian berdua cepat menyingkir!"
Semenjak terjun ke dunia persilatan dan malang melintang scbagai dua
gembong iblis yang disegani orang, belum pernah Kanglam-ji ki diperlakukan
orang sekasar ini, keruan gusarnya tidak kepalang.
"Anak keparat! Kau bicara dengan siapa?" bentak mereka dengan mata
mendelik.
"Ucapan itu ditujukan kepada kalian berdua kunyuk tua ini, mau apa? Tidak
paham?" jengek nenek berambut putih dari Hay--gwa-sam-sat sambil
melangkah maju.
Ci-hoat-leng-kau tidak banyak berbicara, dengan jurus Hek- jiu toh-hun (tangan
hitam meraih sukma), ia cengkeram batok kepala nenek rambut putih itu.
"Bangsat, kau bosan hidup!" teriak si nenek berambut putih dengan gusar,
bagaikan gurdi ujung jarinya menutuk jalan darah di telapak tangan Ci-hboat-
leng kau.
"Criit!" bagaikan dipagut ular, Ci hoat lengkau menjerit kesakitan dan segera
melompat mundur. Ketika telapak tangannya diperiksa, muncul sebuah bisul
merah sebesar mata uang, rupanya sudah terluka oleh tutukan Soh-hun-ci si
nenek.
Kejut dari gusar Ci hoat-leng-kau, cepat dia ambil obat mujarab dan dikunyah
lalu dibubuhkan pada telapak tangannya yang bengkak.
"Blang!" kembali sesosok bayangan tergetar mundur sempoyongan dan
langsung menerjang Ci-hoat-leng-kau.
Menghadapi terjangan itu, Ci-hoat leng-kau segera mengayun telapak tangan
kirinya yang tak terluka untuk menabas tubuh lawan, tapi dengan cepat
diketahuinya bahwa orang itu adalah Kui-kok-in-siu, adik seperguruannya
sendiri, ia batalkan serangan itu dan cepat memayangnya agar tak sampai
roboh.
Wajah Kui-kok-in-siu pucat pasi, meski tubuhnya tak sampai jatuh, tak urung
kakek kurus kecil ini tak dapat menahan pergolakan darah di dadanya, ia
muntah darah.
Ci-hoat-leng kau terperanjat, siapa gerangan yang berhasil merobohkan mereka
dalam sekali gebrakan ini? Cepat ia menjejalkan pula sebutir obat mujarab ke
mulut saudaranya.
apa yang sebenarnya terjadi? Kiranya sewaktu si nenek berhasil melukai Ci-hoat-
leng-kau dengan Soh-hun ci, Kui-kok-in-siu segera menyergap dari belakang, tapi
keburu dicegat oleh Hud-in Hoatsu, dengan suatu pukulan dahsyat yang tepat
bersarang dipunggung lawan, jago lihay dari lembah setan itu kena dihajar
hingga mencelat.
Begitulah, setelah secara beruntun orang2 Lam-hay-bun menaklukkan kedua
jago tanggub, dengan sikap se-olah2 tak pernah terjadi apapun, mereka
lanjutkan langkahnya menghampiri Tian Pek.
Ketika tiba di hadapan sembilan ketua perguruan besar, Lam-hay liong-li
menuding mereka dan berkata: "Hayo, kalian juga menyingkir semua!".
Kesaktian jago2 Lam-hay-bun telah menggetarkan hati sembilan orang ketua
perguruan besar itu, tanpa mengucap sepatah katapun masing2 monyurut
mundur beberapa langkah.
Setibanya di depan Tian Pek barulah Sin -liong-taycu menegur sambil menunjuk
lawannya dengan kipas perak: "Saudara, kuminta kitab pusaka Soh-kut-siau-hun
itu segera kau serahkan kepadaku!"
Meski suara pembicaraannya tetap lembut tanpa emosi, namun nadanya ketus
dan mengandung paksaan, se -akan2 musuhnya harus menyerahkan apa yang di
mintanya itu.
Tian Pek tersenyum sahutnya: "Dengan dasar apakah anda berani mengucapkan
kata2 seangkuh ini? Dan dengan alasan apa kitab pusaka Soh-kut-siau hun itu
harus kuserahkan kepadamu?"
Dengan matanya yang jeli Lam-hay-liong-li menatap tajam anak muda itu,
tatapan yang mesra dan penuh arti, pelbagai perasaan berkecamuk dalam sinar
matanya, dan diantara sekian banyak orang yang hadir mungkin hanya Tian-Pek
saja yang dapat merasakan arti tatapan itu.
Tian Pek jago muda yang berjiwa ksatria dan selalu membela keadilan dan
kebenaran ini tak takut langit juga tak takut bumi, tapi hanya takut sesuatu saja,
yakni takut dipandang oleh anak dara dengan sinar mata semacam ini.
Baik Wan-ji, Buyung Hong, Hoan Soh-ing Liu Cui-cui serta Kim-Cay-hong yang
berjuluk Kanglam-te-it-bi-jin, semuanya pernah memandangnya dengan sinar
mata seperti itu, dari mereka juga terlibat dalam permainan api asmara
dengannya dan membuatnya tak tahu bagaimana harus mengatasi masalah ini.
Mula pertama ia bermain cinta dengan Liu Cui-cui, meski belum resmi menjadi
suami-isteri, namun prakteknya sudah berbuat sebagai suami-isteri, setelah itu
ia mengikat jodoh dengan Buyung Hong dan sekarang iapun tahu Wan-ji telah
bertekad menjadi isterinya.
Karena permainan nasib, tanpa disadari ia mempunyai tiga orang isteri yang tak
mungkin bisa ditinggalkan dengan begitu saja, berada di tengah gadis2 yang
bersaing cinta itu, entah bagaimana selanjutnya mereka akan hidup bersama?
Persoalan ini cukup memusingkan kepalanya.
Dan sekarang Lam-hay-liong-li memandangnya pula dengan sorot mata seperti
itu, tentu saja ia merasa ngeri, buru2 ia tunduk kepala dan berusaha
menghindari tatapan Lam-hay-liong-li yang berapi2 itu.
Sementara itu Lam-hay-liong-li masih memandangnya, melihat pemuda itu
menunduk, ia lantas menegur: "Masa kau tidak tahu bahwa kitab pusaka Soh-
kut-siau-hun sebenarnya adalah barang pusaka Lam-hay-bun kami?"
Semua orang melengak, begitu juga Tian Pek, keterangan ini belum pernah
terpikir olehnya.
Anak muda itu segera menengadah, ucapnya dengan tertawa: "Nona, kau
pandai benar bergurau. Mana mungkin kitab pusaka Soh-kut-siau-hun menjadi
hak milik Lam hay-bun.”
Tatkala dirasakan betapa tajam sinar mata Lam hay-liong-li yang menatapnya
bagaikan sebilah pisau yang menembus ulu hatinya, pemuda itu terkesiap dan
cepat menunduk lagi.
Melihat anak muda itu ter-sipu2, Lam-hay-liong-li tertawa, ia berkata: "Sudah
pernah kaulihat lukisan di dalam kitab pusaka itu bukan?"
"Ehm, pernah!" Jawab Tian Pek dengan muka merah.
"Kau tahu siapa yang dilukis di dalam kitab itu?"
"Thian-sian-mo-!i!"
"Siapakah Thian-sian-mo li itu?"
Tian Pek tertegun. "Thian sian-mo-li ya Thian-sian-mo-li, masa perlu dijelaskan
tentang siapakah Thian sian-mo-li itu?" demikian ia berpikir.
Rupanya Lam-hay-liong-li dapat melihat keraguan orang, ia lantas tertawa dan
menerangkan. ""Terus terang kuberitahukan kepadamu, Thian-sian-mo-li itu tak
lain adalah Sucou (cakal bakal) perguruan Lam-hay-bun kami! Maka adalah
menjadi kewajiban kami untuk menarik kembali kitab tersebut dari peredaran!"
"Oh, iya?" kata Tian Pek sambil tertawa, belum pernah kudengar orang
mengatakan Thian-sian-mo-li adalah Sucou perguruan Lam hay bun."
Jawaban ini menggusarkan anak buah Lam-hay-bun, dengan wajah beringas
hampir saja mereka melancarkan serangan.
Lam-hay-liong-li segera memberi tanda kepada anak buahnya agar jangan
bergerak, lalu katanya kepada Tian Pek dengan tak senang hati: "Guruku adalah
Kui-bin-kiau-wa dan Kui-bin-kiau-wa adalah murid Thian-sian-mo-li, bila Thian-
sian-mo-li bukan Sucou kami lantas aku harus menyebut apa kepadanya? Masa
aku mesti mengaku orang lain sebagai Sucou? Pokoknya kitab pusaka Soh-kut-
siau-hun itu harus kauserahkan kepadaku, kalau
tidak . . . . Hmm, akan kumampuskan kau tanpa terkubur di sini!"
Dengan keterangan itu, kawanan jago yang berkumpul ini sama terkejut,
sekarang mereka baru tahu asal perguruan Lam-hay bun adalah dari Thian-sian-
mo-li.
Mendingan gadis itu bersikap lembut, tentu saja Tian Pek tak mau diperlakukan
kasar oleh orang2 itu, baru saja Lam -hay-liong-li menyelesaikan kata2nya,
dengan dahi berkerut pemuda itu tertawa dingin: "Hehehe, kuulangi sekali lagi
perkataanku, kedatangan kalian semuanya sudah terlambat!"
"Bagi orang2 Lam-hay-bun tak kenal apa artinya terlambat!" tukas Sin-liong-
taycu.
"Sekalipun kau tidak percaya juga percuma, selamanya jangan harap lagi akan
melihat kitab paling aneh itu, sebab beberapa hari yang lalu kitab pusaka Soh-
kut-siau-hun itu telah kumusnakan di hadapan umum?"
"Boleh saja kau ulangi perkataan semacam itu sampai beberapa ratus kali, tapi
coba tanyakan kepada setiap hadirin, siapa yang percaya pada pengakuanmu?"
kata Sin-liong-taycu dengan tenang sambil menggoyangkan kipasnya secara
santai.
Tian Pek memandang wajah kawanan jago itu, benar juga ia temukan muka yang
penuh diliputi kesangsian, sadarlah ia bahwa pengakuannya tidak nanti diterima
oleh orang2 itu sebagai suatu kenyataan, akhirnya ia menghela napas panjang:
"Ai, apa mau dikatakan lagi jika kalian tidak percaya, toh kenyataaanya kitab
pusaka itu memang sudah kumusnahkan dari muka bumi ini!"
"Tian-siauhiap, kurasa lebih baik serahkan saja kitab itu kepada kami" Lam-hay-
liong li membujuk pula sambil tersenyum.
Karena orang tetap tidak mau percaya pada pengakuancya, akhirnya: Tian Pek,
naik darah, serunya dengan gusar: "Hmm, kalian jangan memaksa terus,
ketahuilah jangankan kitab pusaka Soh-kut-siau-hun itu benar sudah
kumusnahkan, kendati masih adapun tidak nanti kuserahkannya kepada kalian
sebangsa manusia2 dari luar lautan yang keji dan kejam ini."
Air muka Sin liong taycu berubah suram, napsu membunuh menyelimuti
wajahnya, ia berseru: "Hmm, baik! Katanya, kalau tidak menggunakan kekerasan
kau takkan jera ... . ."
Kipas peraknya memberi tanda ke belakang, Hay-gwa-sam sat dan Hek-to-su
hiong lantas maju ke depan dan siap melancarkan serangan.
Tian Pek tak gentar, dia memandang sekejap ketujuh orang lihay itu, kemudian
tegurnya: "Apakah kalian lupa bahwa antara aku dan kalian sudah terikat oleh
janji?"
"Hehehe, kalau jeri, lebih baik serahkan saja kitab pusaka itu sekarang juga!"
jengek Sin liong-taycu sambil tertawa dingin.
"Jeri? Selama hidup Tian Pek tak kenal arti takut, aku hanya ingin memegang
teguh janjiku dan tak mau berurusan lagi dengan orang2 persilatan!"
Nenek berambut putih dari Hay gwa-sam-sat cepat menanggapi sambil tertawa
seram:
"Hehehe, tak menjadi soal, boleh saja kami bertiga menarik kembali janji
tersebut!"
"Betul!" Hud-in Hoat-su menambahkan, "tentunya engkoh cilik tak puas dengan
kekalahan yang kau derita tempo hari? Sekarang kita boleh ulangi kembali
pehrtarungan itu!"
"Dan kami yakin, kali ini kau tak dapat pergi dari sini dengan hidup!" Ciong-nia-
ci-eng menambahkan.
Tian Pek mengerutkan dahi, ia betu12 terpengaruh oleh emosi . . .
Tay-pek-siang-gi dapat melihat bahwa inilah kesempatan yang terbaik bagi Tian
Pek untuk mencuci bersih kekalahan yang diterimanya tempo hari.
mereka menerjang ke muka dan serunya kepada Tian Pek: "Siau-In-kong, terima
tantangan mereka! Inilah saat yang baik bagimu untuk balas menghajar
mereka!"
Tian Pek memang ingin cepat2 melepaskan diri dari belenggu janji itu, maka
iapun mengangguk, ujarnya kepada Hay-gwa-sam-sat: "Kalau kalian memaksa
terus, Tian Pek bersedia melayani kalian dengan pertaruhan nyawa! Tolong
tanya, apakah kalian bertiga lagi yang akan turun ke gelanggang untuk melayani
diriku ini?"
"Engkoh cilik, kau memang hebat, kau ksatria sejati . . . ." puji si kakek
berjenggot panjang sambil acungkan jempolnya.
Sin-liong-taycu berkata juga dengan napsu membunuh menyelimuti wajahnya:
"Lam-hay-bun bersumpah akan mendapatkan kembali kitab pusaka Soh-kut-
siau-hun itu, sekarang atas nama Kaucu kutitahkan Hay-gwa-sam-sat dan Hek-
to-su-hiong untuk maju ber-sama2!"
Suasana seketika menjadi gempar, kawanan jago yang hadir sama terperanjat,
terutama mereka yang punya hubungan akrab dengan Tian Pek, kuatir mereka.
Seandainya satu lawan satu, sudah pasti Tian Pek akan menang atau sekalipuu
harus bertarung melawan Hay-gwa-sam-sat atau Hek-to-su-hiong, anak muda
itu masih ada harapan untuk menang, tapi sekarang dia harus bertempur
melawan tujuh orang lihay dari Lam-hay-bun sekaligus, jangankan kesempatan
untuk menang tipis sekali, jiwanya justru terancam bahaya.
Dalam keadaan begini, sekalipun kawanan jago itu berniat memberi bantuan,
kecuali paman Lui dan Wan-ji yang mungkin dapat menandingi satu-dua orang di
antara Hay-gwa-sam-sat atau Hek-to-su-hiong, jago2 lain boleh bilang tak
mungkin bisa menyumbangkan tenaganya.
Apalagi kecuali beberapa orang yang berasal satu rombongan dengan Tian Pek,
kawanan jago lainnya masih terlibat dalam persengketaan dengan pemuda itu,
tak mungkin mereka akan membantu anak muda itu. Atau dengan perkataan
lain, posisi Tian Pek ketika itu sangat tidak menguntungkan, tak heran kalau
diam2 orang menguatirkan keselamatan anak muda itu.
Agaknya Sin liong-taycu sudah memperhitungkan langkahnya dengan se-
cermat2nya, sebab itu sebelum Ciu Ji hay atau si kakek berjenggot panjang itu
habis kata2nya, ia lantas mengumumkan lebih dahulu niatnya untuk
menurunkan ketujuh jago tangguh guna mengeroyok pemuda itu.
Sebagai jago yang berpengalaman, kebanyakan orang mengerti Sin-liong-taycu
licik dan banyak tipu muslihatnya, jelas ia sedang memasang perangkap untuk
memancing Tian Pek.
Siapa tahu Tian Pek sendiri malah bersikap tenang2 saja, ia tertawa angkuh, lalu
katanya: "Inilah kesempatan yang terbaik bagi Tian Pek untuk merasakan sampai
dimanakah ketangguhan ketujuh jago Lam-hay-bun, kejadian ini benar2
merupakan suatu kehormatan besar bagiku!"
Mendengar taaggapan ini, si kakek berjenggot itu kembali mengacungkan
jempolnya dan berulang kali memuji: "Bagus! Bagus! Kuhormati kau sebagai
tokoh nomor wahid dari dunia persilatan!"
"Ciu kong kong, jangan mengobarkan perbawa musuh dan meruntuhkan
semangat sendiri!" tegur Sin-liong-taycu dengan tak senang hati, "Kalian
bertujuh majulah segera, bagaimanapun juga kalian harus bunuh bangsat yang
takabur ini.”
Lam hay-liong-li dapat merasakan betapa tebalnya napsu membunuh dari
kakaknya, sebagal pimpinan sudah tentu ia tak dapat mengunjuk sikap tak
setuju di hadapan anak buahnya, maka ketika ketujuh jago lihaynya maju ke
arena; cepat ia menambahkan:
"Cukup asal kitab pusaka Soh-kut-siau-hun itu kita dapatkan!"
Entah ketujuh orang lihay itu dapat meresapi maksud perkataan Lam-hay-liong-li
atau tidak, tampaklah mereka lantas pasang kuda2 dan menghimpun tenaga
dengan wajah kereng, tapi sebelum pertempuran dimulai, si kakek berjenggot
panjang itu berkata lagi: ' Engkoh cilik, pertarungan yanwg akan dilangsungkan
ini adalah pertarungan terakhir yang paling sengit, boleh kau melancarkan
serangan lebih dahulu!"
"Tunggu sebentar!" sebelum Tian Pek menjawab, tiba2 Wan-ji maju kedepan,
ditatapnya sekejap pemuda itu dengan pandangan lembut dam mesra, lalu
bisiknya: "Engkoh Pek, adik bersedia membantumu!"
"Jangan adik Wan!" sahut Tian Pek dengan berterima kasih, "biarlah kuhadapi
sendiri ketujuh orang ini!'
Selesai berkata, telapak tangannya lantas diangkat sebatas dada dan siap
menghadapi serangan.
Buyung Hong ikut maju ke muka, katanya: "Orang2 ini tak tahu malu semuanya..
Hmm, pandainya hanya main kerubut, engkoh Tian, biar kubantu kau
menghadapi mereka!"
Tian Pek terharu sekali oleh kesediaan Buyung Hong kakak beradik yang akan
membantunya, tapi mengikuti adatnya, bagaimanapun ia takkan membiarkan
kedua anak dara itu ikut menyempet bahaya.
Pemuda itu tertawa getir, lalu sahutnya: "Adik Hong, kau juga tak usah
membantu aku, biarlah kuhadapi mereka seorang diri!"
Kim Cay- hong yang berdiri di samping diam2 membenci ketidak becusannya
sendiri, ia merasa tak punya keberanian untuk mengikuti jejak Buyung Hong
berdua yang berani menyatakan cinta kasihnya di hadapan umum. Kenapa
dirinya tak berani tampil secara terang2an Mungkinkah ia merasa kedudukan
dan asal-usulnya kurang pantas? Ataukah karena alasan lain?
Dasar sudah sangsi, apalagi melihat Tian Pek menampik bantuan Buyung Hong
berdua, ia semakin tak punya keberanian untuk maju.
Hoan Soh-ing juga ada maksud maju ke depan untuk menyatakan sikapnya, tapi
perasaan itu segera ditekan di dalam hati. "Kenapa aku harus ikut kontes ini?
Toh sudah begitu banyak nona yang mencintainya . . . . " demikian ia berpikir.
Tay-pek-siang-gi dan Ji-lopiautau terhitung pula ksatria2 yang berwatak keras,
mereka rela herkorban demi sahabat. Kendati tahu bahwa Kungfu mereka tak
mampu menandingi kelihayan Hay-gwa-saw-sat dan Hek-to-su-hiong, toh
mereka maju juga dan berdiri di samping anak muda itu.
"Kami semua siap membantu perjuangan Tian-siauhiap!" kata mereka
serempak.
Hanya paman Lui saja tak bergerak dari tempat semula, sebab ia cukup
memahami watak anak muda itu, tak mungkin membiarkan orang lain ikut
menempuh bahaya bila tugas tersebut dirasakan dapat ditanggulanginya sendiri.
Solidaritas yang diperlihatkan beberapa orang itu segera memancing cemoohan
dari pihak Hay-gwa-sam-sat dan Hek-to-su-hiong, sambil tertawa dingin mereka
menjengek:
"Huh, banyak yang membantu juga percuma, paling2 dalam perjalanan menuju
akhirat akan bertambah lagi beberapa setan baru!"
Tian Pek merasa cemoohan itu ada benarnya juga, maka ia coba menilai
kekuatan pihaknya dengan kekuatan lawan ia merasa kawan2nya hanya akan
mengantar kematian dengan percuma, boleh jadi kehadiran mereka justeru
akan mengganggu keleluasannya bertempur.
Akhirnya, ia tertawa pongah seraya berkata: "Kalian tak perlu bersilat lidah, toh
tiada manfaatnya. Ketahuilah sekali Tian Pek berkata akan menghadapi kalian
seorang diri, maka tetap aku akan maju sendiri, akan kulihat seberapa tinggi
kungfu sejati Hay-gwa-sam-sat dan Hek-to-su-hiong!"
Kemudian ia berpaling dan berkata pula kepada Tay-pek-siang-gi dan Ji-
lopiautau:
"Maksud baik Cianpwe sekalian biarlah kuterima di dalam hati saja, maafkan,
sebab setiap urusan yang telah kuputuskan selamanya takkan kutarik kembali,
harap Cianpwe sekalian suka mengundurkan diri dari sini!"
Tay-pek-siang-gi dan Ji lopiaugtau tak berdayai, mereka cuma bhisa menggeleng
dengan sedih dan mundur dari situ.
"Ksatria sejati! Pahlawan tulen! Hebat . . . mengagumkan . . . . "kembali kakek
berjenggot itu memuji sambil mengacungkan jempolnya.
"Silakan menyerang!" kata Tian Pek sambil merentangkan kedua telapak
tangannya.
Nenek berambut putih tidak sabar lagi, begitu lawan mempersilakan, tanpa
bicara terus menutuk Sam-yang-hiat lawan dengan jari Soh-hun ci.
"Sambutlah serangan nenekmu ini!" bentaknya setelah serangan dilancarkan.
Sudah dua kali nenek ini dikalahkan Tian Pek, bencinya pada pemuda ini sudah
merasuk tulang, maka begitu menyerang lantas menggunakan jurus serangan
mematikan.
Tian Pek mengegos kesamping, berbareng itu juga ia pukul jalan darah Kwan-
goan-hiat pergelangan tangan kanan musuh, menghindar sambil menyerang,
semuanya dilakukan dengan cepat.
Nenek itu terperanjat, tak diduganya kungfu Tian Pek kembali mendapat
kemajuan pesat, cepat ia melompat mundur.
Desing angin pukulan menyambar, si tikus gunung tiba2 menyergap dari
belakang dan membacok kepala anak muda itu.
Sambil menyingkir Tian Pek berputar badan, tanpa memandang ia potong
lengan kiri si tikus gudang, setiap serangan dibalas dengan serangan,
kecepatannya berlipat dari pada lawannya.
Menghadapi tabasan kilat itu, Tay-tong-ci-ju menjerit kaget dan melompat
mundur.
Sementara itu Hud-in Hoat-su di sebelah kiri dan Ciong-nia-ci-eng juga
menyergap maju bersama.
Tian Pek keluarkan pukulan berantai dengan gerakan ringan, tabasan telapak
tangan kiri dan tendangan kaki kanan bekerja cepat, seketika Hudin Hoat-su dan
Ciong-nia-ci-eng terdesak mundur.
Tapi pada saat itulah si Rase dari gurun dan serigala dari Im-san yang berada
didepan dan belakang serentak menyerang dengan dahsyat. Selain itu, si kakek
berjenggot dengan Tay-jiu-in andalannya juga menghantam batgok kepala
pemudia itu.
Menghadapi kerubutan dari depan, belakang, kiri, kanan dan atas yang disertai
pula dengan tenaga pukulan beribu kati, tak ada peluang lagi bagi Tian Pek
untuk menghindar.
Agaknya Tian Pak terancam bahaya, bila ia tak bisa mengatasi kesulitan itu
niscaya dia akan terluka atau binasa.
Banyak orang berkeringat dingin menguatirkan keselamatan pemuda itu, meski
banyak yang kaget dan ngeri, namun orang2 itu hanya terbelalak belaka, untuk
menjerit pun rasenya tak sempat . . . . .
Tapi Tian Pek tidak menjadi gugup, ditengah kepungan musuh yang rapat, ia
menghantam dan menyabet ke depan dan belakang, kemudian dengan jurus
Sim-hong-ki-lui (angin puyuh sambaran geledek) dia sambut pukulan si kakek
berjenggot.
"Blang!" benturan keras tak terhindar lagi, jago lihay Lam-hay-bun yang amat
sempurna tenaga dalamnya ini terhajar sampai mundur dengan sempoyongan.
Kakek berjenggot itu tertawa keras, serunya: "Hahaha, anak muda, kuat betul
tenaga pukulanmu! Nyata kungfumu mendapat kemajuan pesat!" Untuk kedua
kalinya, ia menerjang lagi kedepan.
Tian Pek keluaikan Bu sik-bu- siang-sin-hoat yang diimbangi dengan ilmu langkah
Cian-hoan-biau-hiang-poh ia berkelebat kian kemari dengan cepat sementara
tangannya memainkan ilmu pukulan Thian-hud-hang-mo-ciang disertai pula
dengan ilmu pukulan Hong-lui-pat-ciang untuk mengimbangi serangan lawan.
Baru tiga-lima gebrakan, debu pasir sudah menyelimuti udara, banyak batang
pohon dan rerumputan yang tersambar patah. Sekitar arena pertempuran se-
olah2 diselimuti lapisan hawa pukulan yang kuat, banyak penonton yang tak
tahan dan terdorong mundur.
Ketangkasan Tian Pek ibaratnya seekor naga sakti mengaduk samudera,
ibaratnya pula seekor harimau garang, bertarung melawan segerombolan
binatang liar, gagah perkasa dan cekatan gerak geriknya.
Ketujuh jago lihay Lam-hay-bun tak kalah hebatnya, hampir semua pukulan dan
tendangan yang melayang disertwai tenaga yang ykuat, tertuju bxagian2
mematikan di tubuh lawan.
Demikian sengitnya suasana dalam gelanggang membuat cuaca berubah
mendung, bintang dan rembulan se-olah2 tak bercahaya lagi.
Dalam waktu singkat, puluhan gebrak sudah lewat, namun pertempuran masih
berlangsung dengan serunya, menang kalah belum dapat ditentukan. Kawanan
jago yang mengikuti jalannya pertarungan itu mulai terperanjat, mereka
bergidik.
Sin-liong-taycu yang telah kehilangan ketenangannya, kipas peraknya
digenggam kencang2, matanya melotot mengikuti jalannya pertarungan dcngan
rasa tegang.
Begitu pula keadaannya dengan Lam-hay-liong-li yang cantik, sebentar mukanya
tampak berseri sebentar lagi tampak murung, jelas hatinya juga tak tenang.
Paman Lui melotot dengan rambut awut2an, Tay-pek-siang-gi dan Ji-lopiautau
terbelalak tegang, Buyung Hong dan Wan-ji bermuka pucat, sedangkan Kim Cay-
hong dan Hoan Soh-ing meski tegang di hati tapi tenang di wajah, bila
memperhatikan tangan mereka yang tergenggam serta dada mereka yang
terengah baru dapat diketahui sampai di manakah
ketegangan mereka.
Makin lama Hay-gwa-sam-sat dan Hek-to-su-hiong makin terperanjat, baru
pertama kali ini mereka turun tangan bersama untuk mengerubut seorang
pemuda, mungkin sepanjang hidupnya hanya sekali ini mereka menjumpai
keadaan semacam ini.
Tapi sekarang, walaupun mereka sudah manguras segenap kepandaian mereka,
namun bukan saja mereka tidak di atas angin, malahan Tian Pek yang dikerubuti
masih bisa membalas serangan mereka dengan mantap, ini membuat mereka
jadi gusar bercampur gelisah, di antaranya Ciu Ji-hay, si kakek berjenggot
panjang merasa paling terkejut.
Dengan ilmu Tay-jiu-in beruntun ia telah beradu tenaga lima-enam kali dengan
Tian Pek, tapi kenyataannya bukan saja pemuda itu tidak terpengaruh oleh
serangannya, sebaliknya ia sendiri yang terdesak mundur sempoyongan.
Teringat pertarungannya tempo hari, waktu itu hanya tiga pukulan saja ia
berhasil menghajar anak muda itu sampai muntah darah, sekarang dalam waktu
yang singkat, ia heran tenaga dalam pemuda itu bisa mendapat kemajuan yang
demikiau pesat.
Kakek itu tak tahu Tian Pek telah minum Ci-tam-hoa, sejenis obat mujarab yang
bersifat panas, dalam pertempurannya tempo hari darah beku dalam perutnya
berhasil ditumpahkan keluar, sehingga semakin melancarkan aliran tenaga
dalamnya, maka percumalah kakek berjenggot itu mengumbar nafsunya, sebab
kekuatannya tidak mampu menandingi kekuatan Tian Pek.
Setelah posisi anak muda itu semakin mantap dan di atas angin, baik paman Lui,
Tay pek siang-gi, Ji-lopiautau maupun Buyung Hong dan Wan-ji dapat merasa
agak lega.
Sembilan ketua perguruan besar, Bu-lim-sukongcu dan kawanan jago lain berdiri
terkesima oleh sengitnya pertempuran itu, mimpipun tak pernah mereka sangka
di dunia persilatan sebenarnya terdapat seorang tokoh muda yang berilmu silat
sedemikian tinggi.
Seorang melawan tujuh tokoh sakti Lam-hay bun.
Hampir saja orang tak percaya dengan apa yang dilihatnya, Sin-liong-taycu jadi
tergetar hatinya, menurut perkiraannya semula meski kungfu Tian Pek tinggi
dan mampu mengalahkan Hay-gwa-sam-sat dan Hek-to su-hiong di masa lalu,
sekarang kalau ketujuh tokoh sakti itu turun tangan bersama, niscaya pemuda
itu dapat dikalahkan dan kitab pusaka Soh kut siau-hun bisa dirampas.
Tapi kenyataan berbicara lain, walaupun Hay-gwa-sam-sat telah bekerja sama
dengan Hek-to-su-hiong, toh mereka tak mampu merobohkan Tian Pek.
Ia mulai kuatir akan kelanggengan kekuasaan yang baru saja berhasil dia raih
dari tangan orang-orang persilatan, ia kuatir Tian Pek akan merusak pondasi
kekuasaannya untuk menjajah daratan Tionggoan.
Sekarang ia baru merasakan betapa pentingnya arti pertarungan yang
berlangsung ini, bisa dibayangkan betapa terkejut dagn kuatirnya sekiarang, tapi
jugha makin besar hasratnya untuk melenyapkan anak muda itu dari muka
bumi.
Air mukanya mulai berubah-ubah, biji matanya jelalatan mencari akal, diam-
diam ia mulai menyusun rencana keji untuk membunuh Tian Pek.
Akhirnya ia mendapatkan akal, dengan lantang Sin-liong taycu lantas
bersenandung:
"Setitik warna merah diantara lautan hijau!"
Semua orang tertegun, siapapun tak dapat menebak apa arti senandung dari
Sin-liong taycu, mereka heran dalam suasana pertarungan seru ini mengapa Sin-
liong taycu sempat bersyair.
Sementara orang-orang sama termangu, situasi dalam arena pertarungan telah
mengalami perubahan, di antara lintasan bayangan manusia, tiba-tiba si tikus
gudang mencicit nyaring, tubuhnya melejit dan membentuk gerakan lingkaran di
tengah udara, kemudian telapak tangannya menghantam dada Tian Pek.
Anak muda itu tak tahu mengapa secara tiba-tiba si Tikus menjadi nekat dan
mengadu jiwa begini, pula pukulan gencar ke enam orang lainnya membuatnya
tak mampu menghindar, terpaksa ia kerahkan segenap kekuatan untuk
menangkis.
"Blang!" benturan keras terjadi, tubuh si tikus gudang mencelat oleh pukulan
Tian Pek yang keras itu.
Tiba-tiba terdengar pekikan nyaring, Im-san ci-long juga menyerang dengan
gerakan yang sama sepeti Tay-cong-cu-yu. Tapi Tian Pek juga dapat menghalau
serangan si serigala.
Begitulah seterusnya, dengan cara bergilir Hek-to su-hiong dan Hay-gwa-sam-sat
melancarkan serangan, semua dengan keras lawan keras dan gaya yang sama.
Sekarang baru semua orang mengerti, rupanya syair yang disenandungkan Sin-
liong-taycu tadi adalah kode yang memberi petunjuk kepada Hay gwa-sam-sat
dan Hek to-su-hiong untuk melancarkan taktik serangan.
Berbicara tentang tenaga dalam, tentu saja ketujuh orang itu masih belum
mampu menandingi kehebatan Tian Pek, sekalipun setiap kali terjadi bentrokan
mengakibatkan mereka merasakan kepala pusing dan mata berkunang, isi
perutpun terguncang keras, namun ketujuh orang itu masih ada kesempatan
untuk bergganti napas dani mengatur tenaga lagi.
Berbeda dengan keadaan Tian Pek, anak muda ini tidak mendapat kesempatan
untuk berganti napas, sebab secara bergilir ia harus menerima sercangan musuh
dengan kekerasan.
Baru saja giliran itu berlangsung tiga putaran sekaligus Tian Pek telah
menyambut 21 kali pukulan, dalam keadaan seperti ini walaupun anak muda itu
bertubuh baja dan berotot kawat, akhirnya kewalahan juga, ia mulai keteter dan
tak kuat bertahan lagi.
Sin-liong-taycu memang licik dan banyak tipu muslihatnya, taktik yang
digunakan ini benar2 amat jitu, pada mulanva hadil yang di harapkan belum
tertampak, tapi setelah putaran keempat dan kelima kalinya, taktik ini mulai
menunjukkan hasilnya, peluh sebesar kacang kedelai mulai membasahi jidat
Tian Pek, tenaga pukulannya juga makin lemah, sekarang setiap pukulan yang
dilancarkan tak mampu lagi memukul mundur musuhnya.
Kawanan jago lainnya yang berpengalaman dapat pula menebak tujuan utama
taktik serangan itu, rupanya dengan taktik keras lawan keras ini untuk memeras
kekuatan Tian Pek sehingga akhirnya kehabisan tenaga sendiri.
Wan-ji paling menguatirkan keselamatannya, menyaksikan keadaan kekasihnya
sudah payah, ia menjerit: "Eeh, pertarungan macam apakah yang kalian gunakan
ini?"
Buyung Hong juga gelisah, dengan gemas iapun memaki: "Bangsat terkutuk,
kalian betul2 tak tahu malu!"
Berbeda dengan Sin-liong-taycu, demi menyaksikan tipu muslihatnya
mendatangkan hasil seperti harapannya, ia jadi gembira, dengan muka berseri
dan menggoyangkan kipas peraknya ia berkata:
"Hahaha, siapa berhasil dialah raja, siapa gagal dialah bangsat! Masa untuk
menghadapi pertarungan orang mesti menganut sistim yang sama? Hah. . ."
Wan-ji tak tahan, serunya kepada Buyung Hong: "Cici, Hayo kita terjang
mereka!"
Buyung Hong setuju, tapi baru selangkah mereka maju ke depan, dengan muka
garang Lam-hay-liong-li telah mengadang mereka, bentaknya: "Kalau ingin
selamat berdirilah di tempat, barang siapa berani maju selangkah, jangan
salahkan nonamu bila kalian akan mampus tak terkubur!"
"Hmm! Masa iya?" jengek Buyung Hong ketus.
Wan-ji tak sabar lagi, mendadak ia membentak dengan ilmu jari Soh-hun-ci yang
hebat, ia menutuk ke bawah iga Lam-hay-liong-li.
"Rupanya kau memang ingin mampus!" bentak nona pujaan Lam-hay-bun itu
dengan gusar, sambil memutar tubuh ia lepaskan suatu pukulan dahsyat yang
kontan membuat Wan-ji mencelat sejauh satu tombak.
Melihat adiknya dihantam sampai mencelat, Buyung Hong membentak dengan
gusar: "Nonamu akan beradu jiwa denganmu. . ."
Selagi ia siap menerjang ke tengah arena, tiba-tiba terdengar Tian Pek menjerit
kesakitan, menyusul terdengar suara benturan yang keras.
Kiranya satu pukulan Tian Pek telah membuat si tikus gudang mencelat. Akan
tetapi karena adu pukulan itu si tikus gudang telah menggunakan segenap
kekuatannya, Tian Pek sendiripun tergetar keras.
Pada saat itulah Wan-ji memburu maju untuk membantu, tapi ia terhajar oleh
Lam-hay-liong-li.
Hanya meleng sedikit, suatu pukulan dahsyat menyambar tiba pula dari depan.
Dalam keadaan seperti ini Tian Pek jadi gelisah, tanpa pikir ia lancarkan tabasan
kilat disertai segenap tenaga untuk menangkis hantaman itu.
"Blang!" Benturan dahsyat terjadi, diantara desingan angin terdengar seseorang
mendengus tertahan, menyusul sesosok bayangan tinggi besar mencelat
terhajar oleh pukulan anak muda itu.
Karena Tian Pek menggunakan segenap kekuatannya, bayangan tinggi besar itu
mencelat sejauh tiga tombak dan terbanting keras-keras di tanah.
Begitu mencium tanah, tubuh tinggi besar itu segera merangkak bangun dengan
sempoyongan, segera darah segar tersembur dari mulutnya. Ia pandang Tian
Pek dengan menyeringai seram, orang ini tak lain ialah Im-san-ci-long atau
serigala dari Im-san.
Tian Pek sendiripun tergetar mundur satu langkah, belum sempat anak muda itu
berganti napas, Hud-in Hoat-su juga bertindak, ia berjongkok, perutnya
dikembungkan seperti guci, sambil berkaok keras, kedua kakinya menjejak
permukaan tanah, secepat kilat ia menerjang musuh.
Selagi di udara, Ha-mo-kang yang sudah dihimpun pada telapak tangannya
segera dilontarkan ke dada anak muda itu bagai gugur gunung dahsyatnya.
Tian Pek menguatirkan keselamatan Wan-ji, apa daya Hay-gwa-sam-sat dan
Hek-to-su-satmenerjang terus tanpa memberi kesempatan baginya untuk
berganti napas, ini membuatnya gelisah bercampur dongkol, maka waktu Hud-in
Hoat-su menerjang pula, sekuatnya telapak tangannya menabas.
"Blang!" tubuh Hud-in Hoat-su yang gemuk pendek bagaikan bola seketika
terlempar ke udara dan jatuh beberapa tombak jauhnya.
Terkesiap kawanan jago yang menonton jalannya pertarungan itu, baik lawan
maupun kawan diam-diam mengagumi kelihaian Tian Pek yang memiliki tenaga
dalam yang tiada habisnya, saking kagumnya sampai mereka lupa bersorak.
Tian Pek sendiri sudah diperas habis-habisan segenap tenaganya, tak mampu
mempertahankan pula kuda-kudanya, ia sendiri tergetar tiga langkah ke
belakang.
Tatkala Tian Pek menghajar mencelat Im-san ci-long kemudian menghajar pula
Hud-in Hoat-su tadi, Buyung Hong, Tay-pek siang-gi dan Ji-lopiauthau secara
terpisah juga menerjang ke tengah arena untuk membantu anak muda itu.
Sayang beberapa orang itu bukan tandingan Lam-hay-liong-li, baru saja mereka
menerjang ke muka, pukulan gencar yang dilepaskan gadis itu memaksa mereka
harus mundur kembali.
Sementara itu paman Lui sedang menolong Wan-ji, ia menjadi gusar dan gelisah,
tapi tak sempat membantu.
Suara benturan keras pukulan dgahsyat masih beirkumandang, baahtu pasir
beterbangan, keadaannya mengerikan sekali.
Itulah suara pukulan yang masih terus dilancarkan Hay-gwa-sam-sat dan Hek-to-
su-hiong secara bergilir untuk menghantam Tian Pek.
Meskipun tenaga dalam Tian Pek sekarang sudah mencapai tingkatan yang tak
terhingga, tapi bagaimanapun juga dia hanya seorang diri, setelah beradu
tenaga sebanyak ratusan jurus dengan ke tujuh jago lihay Lam-hay-bun itu,
kendati tubuhnya terbuat dari baja juga akhirnya akan lelah.
Apalagi Hay-gwa-sam-sat dan Hek-to-su-hiong bukan jago biasa, sekalipun
kungfu Tian Pek sangat lihay dan sering menghajar mereka sampai mencelat,
tapi lama kelamaan ia sendiripun tak tahan, langkahnya mulai sempoyongan dan
terdorong ke belakang.
Selain itu, pihak musuh mempunyai waktu yang cukup untuk mengatur
pernapasan serta menyusun kekuatan kembali, sebaliknya Tian Pek boleh
dikatakan tak mempunyai kesempatan sama sekali.
Ketika beberapa kali anak muda itu berhasil menghajar musuhnya sampai
terluka, Sin-liong Taycu yang berada di samping arena segera melolohkan obat
berwarna merah ke mulut si terluka itu, hanya cukup mengatur napas, sebentar
saja si terluka lantas sembuh kembali dan bisa ikut mengerubuti musuh lagi.
Sekarang pertarungan itu sudah mencapai pada perputaran yang ke sekian,
berturut-turut Tay-cong ci-ju dan Im-san-ci-long menerjang tiba pula walaupun
secara beruntun Tian Pek dapat menghajar mundur kedua orang itu, namun ia
sendiri mulai merasakan telapak tangannya mulai panas dan sakit, lengannya
kesemutan dan kaku, sementara darah dalam dadanya bergolak keras.
Tay-cong-ci-ju dan Im-san-ci-long juga terluka parah, mereka mencelat dan
meloncat bangun dengan muntah darah.
Sin-liong taycu segera menghampiri mereka, ia keluarkan dua biji obat berwarna
merah yang besar dan dijejalkan ke mulut mereka, inilah obat mujarab bikinan
Lam-hay-bun, obat khusus untuk menyembuhkan segala luka dan menambah
siemangat, namanya Liong-hou-toa-lek-wan (pil penambah tenaga naga
harimau).
Selain untuk menyembuhkan luka, obat inipun mempunyai khasiat lain yang
lebih hebat, yakni sebagai obat perangsang yang kuat, bila orang biasa menelan
obat itu maka kekuatan tubuhnya akan berlipat kali daripada keadaan biasa,
berada dalam keadaan demikian mereka akan mencari orang untuk berkelahi
atau mencari pekerjaan yang berat-berat untuk menyalurkan napsunya
berkobar itu. Sedang bila orang persilatan yang minum pil tersebut, mereka
baru akan merasa segar tubuhnya bila sudah menemukan orang untuk beradu
tenaga.
Justeru karena Sin-liong taycu berulang kali mencekoki obat perangsang kepada
ke tujuh jagonya, tidaklah heran kalau ketiga 'malaekat maut' dan keempat
"manusia bengis" itu menyerang musuh terus menerus tanpa mempedulikan
keadaan luka mereka.
Sementara itu, Sin-liong-taycu telah menjentikkan dua biji obat ke arah si Tikus
gudang serta Serigala dari Im-san, kedua orang itu segera menyambar obat tadi,
tanpa diperiksa lagi terus ditelan. Lalu mereka meraung dan kembali menerjang
musuh.
Dalam pada itu Tian Pek baru saja menghajar mundur Hud-in Hoat-su dan Ciong-
nia-ci-eng, dengan masuknya Tay-tong- ci-ju dan Im-san-ci-long maka
kekosongan segera terisi kembali.
Nenek berambut putih paling berangasan, rambutnya sudah awut-awutan
hampir menutupi wajahnya, yang terlihat hanya matanya yang merah berapi-api
dan beringas, sambil tertawa seram ia berteriak: 'Engkoh cilik, sambut lagi
pukulan nenekmu ini!"
Seperti orang gila ia menerkam Tian Pek, dengan segenap kekuatannya ia tutuk
jalan darah Sam-yang-hiat anak muda itu dengan Soh-hun-ci.
Berbareng itu, si kakek berjenggot, Rase dari gurun, Tikus dari gudang, Serigala
dari Im-san segera memutar telapak tangan mereka menciptakan bukit telapak
tangan dan mengancam dari kiri kanan muka dan belakang anak muda itu.
Tian Pek sudah mandi keringat, dengan ilmu langkah Cian hoan-biau-hiang-poh
ia berusaha menerjang ke kiri dan menubruk ke kanan untuk menghindari
ancaman musuh, namun usahanya untuk membendung pukulan gabungan
empat jago lihay itu gagal, sementara tutukan jari Soh-hun-ciw si nenek
beramybut putih mengaxncam tiba, terpaksa ia mengertak gigi, dengan jurus
Hud-cou-jin-siam (Buddha suci berbuat amal) dari ilmu pukulan Thian-hud-hang-
mo-ciang disertai sepenuh tenaga, ia sambut serangan si nenek.
"Criit! Blang!" di tengah benturan keras, sinenek berambut putih itu mencelat
jauh, berada di udara ia muntah darah, setelah terguling di tanah. sekali ini ia
tak mampu merangkak bangun lagi.
Cepat Sin-liong-taycu memburu maju, dia angkat kepala nenek itu, cepat ia
mencekoki tiga biji Liong-hou-toa-lek-wan, lalu menyalurkan hawa murninya ke
dalam tubuh nenek tersebut, selang sesaat nenek berambut putih itu bangkit
kembali, sesudah tarik napas panjang, ia berpekik nyaring dan menerjang maju
pula.
Sekarang giliran Sah-mo-ci-hu untuk menerjang musuh.
Dalam bentrokan melawan nenek berambut putih tadi, tangkisan si anak muda
itu agaknya menyebabkan telapak tangannya terluka oleh tutukan Soh-hun-ci
musuh, ini dapat dilihat ketika Tian Pek meringis sambil menahan sakit
tangannya, sadarlah ia sudah terluka, diam2 ia mengeluh.
Bicara soal tenaga, tentunya tenaga jari tak lebih kuat daripada kepalan, sedang
kepalan tak bisa menangkan telapak tangah, sebaliknya bicara soa1 ketajaman
serangan, maka tiada yang lebih hebat daripada ilmu jari.
Dalam serangan tadi, pukulan Tian Pek berhasil merobohkan nenek berannbut
putih itu, malahan menyebabkan musuh tumpah darah dan untuk sesaat tak
bisa bangun, tapi ilmu jari Soh-hun-ci si nenek juga luar biasa, ilmu jari itu dapat
menembus Khikang (kekuatan dalam perut) dan melukai orang.
Demikianlah, sementara anak muda itu sedang kesakitan karena telapak
tangannya terluka. Sah-mo-ci hou telah menerjang tiba..
Terjangan ini berbeda dengan biasanya, lebih garang dan menyeramkan, biji
tasbihnya yang tinggal sembilan puluh delapan biji (semula ada seratus delapan
biji, tapi sepuluh biji di antaranya terampas Wan-ji) menegang bagaikan ular,
langsung menghantam muka Tian Pek, sementara telapak tangan kiri dengan
gerakan Kay-pit-ciang-lek (bacokan tangan membelah tugu) menghantam batok
kepala lawan. Satu jurus dengan dua gerakan, serangan berbahaya sekali.
Telapak tangan kanan Tian Pek sedang terluka dan kesakitan untuk sesaat ia tak
dapat mengerahkan tenaga, terpaksa sambil membentak tangan kirinya
berusaha merebut tasbih musuh.
Begitu tasbih musuh terpegang segera dibetot kuat2 ke belakang. Berbareng itu
kepalanya miring ke samping menghindari tabasan tangan lawan.
Si rase dari gurun menjerit kaget ketika tahu gelagat tidak menguntungkan.
Dalam keadaan mati langkah dan kehilangan keseimbangan, suatu tendangan
keras Tian Pek dengan telak bersarang di perutnya.
"Duk!" seperti layang2 yang putus benangnya Sah-mo-ci-hou mencelat tinggi
dan terbanting dengan keras.
Sin liong-taycu menjerit kaget, untung ia memburu maju tepat pada saatnya dan
menerima tubuh si rase dari gurun, bila ia tak cepat meraih tubuhnya, niscaya
rase tersebut akan mati terbanting.
Cepat Sin-liong-taycu menjejalkan tiga biji pil merah ke mulutnya, lalu ia
turunkan jagonya ke tanah, Sah-mo-ci-hou ternyata belum sanggup berdiri
tegak, dengan mata mendelik dan tubuh sempoyongan ia roboh ke atas tanah.
Keadaan tersebut menunjukkan bahwa nasibnya lebih banyak celaka daripada
selamatnya.
Kejadian ini makin mengejutkan Sin-liongtaycu, ia lihat Tian Pek masih bertarung
melawan ketujuh jagonya dengan tetap gagah perkasa, Cepat ia membentak:
"Gunung nan gersang air menjadi kering, jalan terasa buntu!"
Ia bersenandung lagi dengan tujuan memberi tanda kepada jago-jagonya untuk
ganti taktik pertempuran.
Tian Pek memang tangguh dan nasibnya terhitung mujur, berulangkali tanpa
sengaja ia mendapat penemuan aneh, bukan saja ia berhasil menemui tenaga
dalam tingkat tinggi dalam kitab pusaka Soh-kut-siau-hun, iapun beruntung
sempat menelan bunga Ci-tham hoa berusia ribuan tahun, kemudian
mendapatkan pengobatan Sun-im toh yang selama enam puluh hari dari Liu Cui
cui, semua ini membuat daya mujarab Ci-tham-hoa meresap lebih
cepat ke organ tubuh yang terkecil-pun.
Dengan kelebihan inilah, sekalipun dikerubuti tujuh jago tangguh toh ia masih
dapat berdiri tegak sekukuh gunung.
Walaupun begitu, manusia tetap terdiri dari darah dan daging, apalagi ia tidak
mendapat kesempatan untuk mengatur napas. Sebaliknya ketujuh lawan tiada
hentinya mendapat bantuan pil Liong-hoa-toa-lek wan sebagai penambah
tenaga, sekalipun obat itu semacam obat perangsang yang berpengaruh buruk
bagi kesehatan, namun bagi orang yang terluka bukan saja rasa lukanya segera
lenyap, kekuatan tubuhpun bertambah secara cepat.
Sekarang Sin-liong taycu ganti taktik, segera tertampak serangan yang makin
kalap ketujuh jagonya. Entah perputaran keberapa kalinya, secara bergilir ketiga
'malaikat maut' dari keempat 'manusia bengis' maju mundur secara beratur,
pertempuran semakin tegang.
Tian Pek terpaksa melayani serangan mereka dengan sekuat tenaga, baru saja
Im-san-ci-long dan Ciong-nia-ci-eng, berhasil dihajar mundur, isi perut Tian Pek
terasa bergolak keras, akhirnya pemuda itu tak tahan dan tumpah darah.
Nenek berambut putih menemukan kesempatan baik, tiba2 ia berpekik nyaring,
tangan kiri memukul, sedang tangan kanan dengan jari Soh-hun-ci serentak
menerjang pemuda itu.
Tian Pek tak berani menyambut serangan Soh-hun-ci yang dahsyat itu, cepat ia
menyingkir ke samping. "Sret!", desing angin tajam menyambar lewat di sisi
telinganya.
"Sungguh berbahaya!" diam-diam Tian Pak terperanjat.
Meskipun serangan jari itu dapat dihindari, namun pukulan tangan kiri si nenek
tak terhindar olehnya, terpaksa Tian Pak menangkis.
"Duk!" nenek berambut putih itu terdesak mundur, sedangkan Tian Pak
berguncang keras.
"Kok! Kok!" tiba2 terdengar bunyi katak dari belakang, menyusul dua gulung
angin serangan menerjang punggungnya, itulah Hud-in Hoat-su yang
menyergapnya dari belakang.
====
Bagaimana pada akhirnya Tian Pek akan menyikat habis semua lawan tangguh
itu?
Apa daya Tian Pek menyelesaikan kisah cintanya dengan lima nona jelita itu?
Jilld 27 : Cinta tak kan pernah berubah (Tamat)
Serangan dari belakang ini memang mengejutkan, akan tetapi di sinilah
kelihatan kelihayan Tian Pek, sedikit berkisar, dengan miring iapun menabas ke
arah Hud-in Hoat-su.
"Blang!" paderi yang berbadan pendek gemuk itu terhajar mencelat cukup jauh.
Tian Pek sendiri tergetar oleh tenaga pukulan itu, ia sempoyongan mundur tiga
langkah, pandangannya gelap dan sekali lagi muntah darah.
"Saudara cilik! Sambutlah sekali lsgi!" mendadak si kakek berjenggot panjang itu
membentak.
Dengan kekuatan penuh, kakek itu memutar telapak tangasnya dari
menghantam batok kepala anak muda itu dengan Tay-jiu-in. Sungguh hebat
tenaga pukulannya, ibaratnya gugur gunung dahsyatnya.
Karena dari kiri kanan dan belakang dihadang pukulan maut musuh2nya, Tian
Pek mengertak gigi, dengan jurus Hud-keng-bu-ciau ia sambut serangan itu
dengan sepenuh tenaga.
"Blang!" benturan keras terjadi, Ciu-kongkong yang tinggi besar itu tergetar
mundur lima langkah, rambutnya yang beruban berdiri kaku bagaikan kawat, isi
perutnya teeguncang dan tumpah darah.
Rupanya dalam serangan barusan si kakek berjenggot panjang itu menggunakan
tenaga terlampau besar, maka hawa murni Sian-thian-khi-kangnya tergetar balik
oleh tenaga pukulan lawan.
Tian Pek sendiri pun terguncang keras oleh adu pukulan itu, tapi ia masih
mampu menahan pergolakan darahnya sehingga tak sampai tumpah darah pula.
Tapi ia lupa akan luka pada telapak tangan kanannya, karena gugup serangan
tersebut disambut sekenanya, tak heran luka yang sudah membengkak besar
tambah sakit, pukulan si kakek berjenggot panjang membuat lukanya semakin
parah, keringat dingin pun membasahi tubuhnya.
Ciong nia ci eng dan Im-san-ci-long dapat melihat kesempatan yang sangat
menguntungkan mereka, serentak kedua gembong iblis itu mengerahkan ilmu
sakti masing2, satu dari kiri dan yang lain dan kanan, serentak menerjang ke
depan.
Tian Pek merasakan pandangannya menjadi gelap, sekalipun darah tak sampai
tumpah keluar, tapi guncangan isi perutnya membuatnya ber-kunang2.
Dalam keadaan kepepet, tanpa berpikir lagi ia membentak dan menyambut
serangan lawan dengan jurus Sau-cing-yau-hun (menyapu bersih hawa siluman).
Ciong-nia-ci-eng kena dihantam sampai mencelat mundur sejauh sepuluh
langkah, tapi Im-san-ci-long yang menyerang dengan tabasan Ciang-jin-
jiat-bok barhasil menghajar lengan kiri pemuda itu.
"Kraak!" Tian Pek terhajar telak dan mundur dengan sempoyongan, sekali lagi ia
muntah darah.
Kedua lengan tak mampu menandingi empat tangan, laki2 mana pun tak tahan
dikerubut, tapi Tian Pek tidak roboh, anak muda itu masih tetap berdiri tegap
dengan angkernya.
Im-san-ci-long tertawa bangga, kembali ia membentak: "Roboh!"
Ciang-jin-jiat-bok untuk kedua kalinya menabas tubuh Tian Pek, banyak orang
menjerit kuatir menyaksikan adegan yang mengerikan itu.
Sekujur tubuh Tian Pek sudah be-lepotan darah, beberapa bagian anggota
tubuhnya sudah terluka, kesadaran pun berangsur menurun, agaknya ia sudah
tak mampu lagi untuk menangkis serangan Im-san-ci-long yang luar biasa itu.
Pada saat yang berbahaya itulah, mendadak Tian Pek mendelik, ia tidak
menghindari serangan lawan sebaliknya ia gunakan sikutnya untuk menyodok
ulu hati Im-san-ci-long.
Serangan itu tak diduga oleh Im-san-ci-long, padahal Tian Pek sudah terluka
parah dan masih mampu melancarkan sodokan maut.
Dalam keadaan begitu, Im-san-ci-long tak dapat menghindar lagi, "duuk!”
dengan telak sodokan itu mengenai ulu hatinya.
Serigala dari Im-san itu menjerit, darah muncrat keluar dari mulutnya, tubuhnya
roboh terkapar dan tak mampu bangkit kembali.
Sin-liong-taycu terkesiap, cepat ia memburu maju dan menjejalkan beberapa biji
obat mujarab ke mulut jagonya, akan tetapi Im-san-ci-long sudah tak mampu
membuka mulutnya.
Sin-liong taycu coba memeriksa nadi gembong iblis itu, setelah diperiksa dengan
seksama barulah diketahui bahwa urat nadinya telah putus dan jiwanya telah
melayang.
Kejadian ini sangat menggusarkan Sin-liong taycu. ia bersenandung pula dengan
suara keras "Remang2 pohon Liu terangnya bunga, sebuah dusun muncul di
depan!"
Sementara itu Tian Pek juga merasakan lengan kirinya sakit sekali, ia coba
memeriksanya, baru di ketahui bahwa tulang lengannya telah patah oleb
serangan Im-san-ci long yang hebat tadi, padahal tangan kanannya sudah
terluka, dengan patah tulang tangan kirinya berarti habislah modalnya, diam2 ia
mengeluh: "Habislah riwayatku kali ini.”
Baru saja ingatan itu timbul, Sin liong-taycu telah menurunkan perintah
penyerangan lebih gencar. Hud-in-hoat-su ber-kaok2 nyaring terus menerjang
maju dengan pukulan Ha-mo-kang yang lihay.
Tian Pek menjadi nekat, ia tahu lawan teramat lihay dan terpaksa harus
bertindak keji, ibarat harimau, manusia tidak berniat membunuh harimau,
harimau pasti akan makan manusia.
Maka Tian Pek tidak kenal ampun lagi, begitu terhindar dari sergapan maut Hud-
in Hoat-su ia melompat ke udara, kaki terus mendepak dan tepat mengenai
batok kepala lawan yang gundul itu.
"Prak!" kontan kepala Hoat-in pecah berantakan, otak bercampur darah
berhamburan ke-mana2, tak sempat menjerit lagi Hud-in Hoat-su roboh ke
tanah dan tewas seketika itu juga.
Sudah terlalu banyak kekejaman yang dilakukaa Hud-in Hoat-su, iapun tak
terhindar dari hukum karma, ia sering membunuh orang, maka sekarang ia
harus menemui kematian dan menebus dosanya.
Dengan demikian maka dari tujuh jago tangguh yang mengerubut Tian Pek,
seorang dari Hay-gwa-sam-sat dan seorang dari Hek-to-su-hiong telah menemui
ajalnya, sementara salah seorang Su-hiong yang lain terluka parah dan tak
sanggup berdiri lagi.
Dari tujuh orang kini tinggal dua dari Hay-gwa-sam-sat dan dua lagi dari Hek-to-
su-hiong. Ke-empat orang menjadi murka dan menyerang terlebih nekat.
Tian Pek sendiri terluka parah, telapak tangan kanannya membengkak, sakitnya
sampai merasuk tulang dan hampir tak dapat digunakan untuk menyerang lagi.
sedangkan tulang lengan kirinya patah. praktis sudah lumpuh total, ditambah
pula darah dalam rongga dadanya bergolak dan ingin tumpah, matanya jadi
berkunang, keadaan pemuda itu bertambah lemah. Namun sekuat tenaga ia
masih bertahan dan tidak membiarkan tubuhnya roboh.
Dalam keadaan payah, anak muda itu tetsp melayani keempat musuh dengan
ilmu langkah serta gerakan tubuhnya yang gesit, selain itu sikut dan kakinya juga
dipakai untuk bertahan dan menyerang.
Kawanan jago yang menyaksikan pertarungan ini makin terpesona, meski rata2
mereka sudah berpengalaman, namun pertarungan sengit seperti ini belum
pernah dijumpainya.
Selama pertarungan itu berlangsung, hanya Buyung Hong, Tay-pek-siang-gi serta
Ji-lopiautau yang beberapa kali bermaksud maju untuk menolong Tian Pek, tapi
setiap kali mereka selalu di-gagalkan oleh pengadangan Lam-hay-liong-li.
Wan-ji sudah sembuh kembali setelah diurut jalan darahnya oleh paman Liu,
ketika dilihatnya Tian Pek masih bertarung dengan sengit, ia ikut gelisah, tiba2 ia
membentak terus menerjang ke dalam arena pertarungan.
Tapi sebelum mendekat Lam hay-liong-li telah menbentak dari samping: "Budak
ingusan, berdiri saja di samping " berbareng ia menghantam dari jauh.
Wan-ji lagi gelisah, tanpa pikir ia sambut pukulan lawan dengan kekerasan.
"Blang!" Wan ji tergetar mundur.
Pengadangan ber-ulang2 oleh musuh yang sama ini membuat kemarahan Wan-ji
memuncak, ia menyerang pula dengan ilmu jari Soh-hun-ci dan mengincar Sim-
gi-hiat di tubuh Lam-hay-liong li.
Tapi Lam hay liong li juga bukan lawan empuk, sebagai ahli waris Kui-bin-kiau
wa, kungfu-nya berada satu tingkat dengan Liu Cui-cui, bila dibandingkan Wan-ji
jelas tingkatannya lebih tinggi.
Maka meski serangan Wan-ji sangat lihay, ia sama sekali tak gentar, ia malah
membentak: "Budak cilik, tampaknya kau bosan hidup!'
Ia mengegos ke samping, kemudian lengan bajunya dikebutkan ke muka uutuk
mengancam bahu kanan Wan-ji. Menghindar sambil menyerang, suatu gerakan
yang cepat dan lihay.
Kebasan lengan baju Lam-hay-liong-li ini menggunakan ilmu Liu-im-tiat-siu
(lengan baju baja awan melayang) yang hebat, kebutan itu lebih berat dari
pukulan tongkat baja. Jangankan terhajar telak, ke-serenipet saja mungkin bahu
Wan-ji bisa hancur.
Wan-ji tak berani menyambut dengan kekerasan, ia mengegos dengan gerakan
Ni-gong-hoan-im, dengan gaya manis ia meloloskan diri dari serangan tersebut.
Di luar dugaan, kebasan lengan baju Lam-hay-liong-li itu hanya tipuan belaka,
baru saja Wan-ji menghindarkan diri, ia lantas membentak keras : "Lihat
serangan!" — Secepat kilat telapak tangan kanannya menghantam dada Wan-ji.
Wan-ji terkejut, untungnya belakangan ini dia sering mendapat petunjuk dari
Tian Pek sehingga kungfunys memperoleh kemajuan pesat.
Menghadapi serangan yang sama sekali di luar dugaan dan tak mungkin
terhindar ini, cepat Wan-ji merangkap kedua telapak tangannya di depan dada,
dengan jurus Pi-bun cia-kek (Tutup pintu menampik tamu), terpaksa ia sambut
serangan Lam-hay-liong-li itu dengan keras lawan keras.
"Blang" Wan-ji terdorong mundur, mukanya pucat dan air matanya berlinang, ia
sadar tipis harapannya untuk membantu Tian Pek.
Pertarungan antara Tian Pek melawan keempat jago sudah mencapai puncak
ketegangan, sudah belasan kali pemuda itu muntah darah, keadaannya payah
sekali, meski ia masih mampu mendesak mundur setiap serangan lawan.
Si nenek berambut putih memainkan ilmu jari Soh-hun-ci, masih terus
mengincar bagian mematikan di tubuh Tian Pek.
Ciong-nia-ci-eng mengembangkan Yu-kut-ciang, setiap pukulannya membawa
gelombang hawa panas yang menyengat badan, lihaynya bukan kepalang.
Tay-cong-ci-ju dengan Sut-cing kangnya, kedua lengannya terjulur panjang
sekali, bagakan sepasang jepitan besi ia pun selalu mengancam tempat2
mematikan musuh.
Dan diantara keempat jago itu si kakek berjenggot dengan ilmu pukulan Tay jiu-
in terhitung paling lihay, telapak tangannya yang besar seperti roda kereta
berputar dan me-nari2 menerbitkan deru angin yang kencang, setiap saat
pukulannya itu mampu membelah tubuh sesorang menjadi dua bagian.
Tian Psk sendiri sudah kepayahan, kesadarannya mulai berkurang, darah
menghiasi bibir dan dadanya, mukanya pucat. Meski begitu, ia masih bertarung
terus dengan gigihnya.
Beru saja pemuda itu menghindari tutukan Soh-hun-ci si nenek, mendesak
mundur Ciong-nia-ci-eng serta Tay-cong-ci-ju, "blang", ia adu pukulan pula
dengan si kakek.
Kakek berjenggot panjang itu tergetar mundur dan hampir saja jatuh
terjengkang. sebaliknya Tian Pek sempoyongan dan muntah darah pula.
Pusaran angin menyebar keempat penjuru, dengan mata melotot si kakek
menatap musuh tsnpa berkedip, agaknya ia sedang menanti robohnya anak
muda itu.
Tapi Tian Pek tetap berdiri tegap, tidak roboh dan tidak terkulai seperti apa yang
diharapkannya.
Kagum sekali si kakek berjenggot panjang, ia memuji: "Saudara cilik, engkau
adalah jago nomor satu di kolong langit ini!"
"Terima kasih," sahut Tian Pek seraya menyeka darah di bibirnya.
Kakek berjenggot itu juga mengusap darah yang mengotori jenggotnya, lalu
berkata lagi: "Saudara cilik. ketahuilah sepanjang hidupku tak pernah bersikap
lunak dan tak pernah memuji musuh, tapi hari ini harus kukatakan dengan jujur,
usiamu masih begini muda, ternyata memiliki kungfu setinggi ini, bukan saja kau
merupakan jago paling tangguh di kolong langit ini, kau pantas disebut pula
sebagai Malaikat ilmu silat!"
"Tak berani kuterima pujian ini!" kata Tian Pek tambil tertawa getir.
Ucapan si kakek berjenggot yang ramah ini banyak pula mengurangi rasa
permusuhannya. Bahkan si nenek berambut putih yang angkuh serta Tay-cong-
ci-ju dan Ciong-nia-ci-eng yang ganaspun sama mengunjuk perasaan kagum.
Lam-hay-liong-li juga memandaug anak muda itu, mukanya kelihatan berseri.
Semua ini tak lepas dari pengawasan Sin-liong taycu, ia jadi panik, ia tahu
keadaan sangat tidak menguntungkan, maka cepat ia keluarkan sebuah lencana
"naga emas", sambil diangkat tinggi2 katanya dengan lantang: "Perintah naga
emas! Kepada Hay-gwa-sam-sat dan Hek-to-su-hiong agar segera menbinasakan
pemuda she Tian itu, barang siapa berani melanggar perintah ini akan dijatuhi
hukuman berat!"
Air muka si kakek berubah, ia memandang sekejap lencana "naga emas' yang
diangkat tinggi2 oleh Sin-liong-taycu itu, kemudian menghela napas. ia berpaling
dan berkata kepada Tian Pek: "Anak muda, ber-siap2lah menyambut
seranganku. Sebelum salah seorang di antara kita tewas, pertarungan ini tak
bisa diakhiri!"
Hawa murninya dihimpun pada telapak tangannya, pelahan telapak tangannya
membesar, lalu diangkat ke atas.
Telapak tangannya membesar seperti roda, otot2 hijau yang besar menonjol
seperti berpuluh ekor ular kecil berwarna hijau, seram sekali tampaknya.
"Tunggu sebentar . . . .! "tiba2 Wan-ji berteriak. Kakek itu menghentikan
serangannya, lalu menatap Wan-ji sekejap tanpa mengucapkan sepatah
katapun.
Melihat kakek itu membatalkan serangannya. Wan-ji berpaling dan memandang
kawanan jago yang berkumpul di sekitar arena, lalu teriaknya dengan lantang:
"Kalian manusia2 yang menyebut dirinva sebagai Bu-lim-su-kongcu! Ketua
serabilan besar! Pcrkumpulan pengemis yang tersohor! Apakah kalian hanya
berdiri belaka menyaksikan Tian-siauhiap berjuang sendirian dan menjual nyawa
demi kepentingan kalian semua?"
Seruan Wan-ji menyentak perasaan orang2 itu, banyak yang merasa malu, ada
pula yang ber-siap2 terjun ke arena pertempuran, tapi kelihatan ragu, akhirnya
tak seorangpun yang berani ikut terjun ke tengah gelanggang.
Wan ji melirik sekejap ke arah Tian Pek yang pucat dan berdarah serta berdiri
sempoyongan itu, sedangkan si kakek jenggot panjang masih juga angkat
telapak tangannya dan siap melancarkan serangan, Tay cong-ci ju, Ciong-nia-ci
eng dan si nenek berambut putih juga masih berada di sekitarnya dan siap
menyergap pemuda itu, ini mencemaskan perasaannya.
Maka kembali ia berseru dengan setengah memaki: "Huh, kalian tak lebih hanya
kaum pengecut yang takut mati! Bila Tian-siauhiap gugur dalam pertempuran,
kalianpun jangan harap akan lolos dari sini dengan hidup"
Ancaman biasanya memang lebih manjur daripada memohon. Baru saja Wan-ji
selesai berkata, kawanan jago itupun menyadari keadaan mereka yang
berbahaya. Mereka mengerti pertarungan Tian Pek itu tak lain adalah bertujuan
menentang kekuasaan Lam hay-bun dan mempertahankan keadilan serta
kebenaran di dunia persilatan.
Maka serentak kawanan jago itupun menyerbu maju ke tengah gelanggang
pertempuran ....
Sin-liong-taycu tak menyangka beberapa patah kata Wan-ji itu akan berhasil
mengobarkan semangat juang kawanan jago, ia menjadi panik, dengan
wibawanya ia berusaha mempengaruhi situasi yang semakm gawat itu.
"Berhenti!" hardiknya lantang. "Barang siapa berani maju selangkah lagi akan
dibunuh tanpa ampun!"
Bentakan itu keras sekali ibaratnya guntur membelah bumi, seketika itu juga
kawanan jago yang sedang bergerak maju menghentikan langkahnya.
"Huuh, pengecut . . . lebih baik cepat kabur saja menyelamatkan diri," ejek Wan
ji dengan gusar. "Biarlah nonamu beradu jiwa sendiri dengan mereka ..."
Sambil membentak ia menerjang maju, telapak tangan kirinya menabas muka
Lam-hay-liong li sedangkan tangan kanan dengan ilmu jari Soh-hun-ci menutuk
Sin-liong taycu.
Wan-ji adalah nona yang cerdik, dari lencana "naga emas" yang dipegang Sin-
liong taycu, ia tahu pemuda inilah merupakan pimpinan musuh, maka ketika
menerjang ke depan, ia pura2 menyerang Lam hay-liong-li, padahal kekuatan
yang sesungguhnya tertuju ke arah Sin-liong-taycu.
Maksud nona itu, kalau bisa musuh ini akan dibinasakan dalam satu kali
serangan, asal orang sudah mampus maka ular takkan bisa berjalan tanpa
kepala, dalam suasana kalut nyawa engkoh Tian akan dapat diselamatkan.
Rencana ini memang bagus. cuma sayang nona itu melupakan sesuatu hal, ia
terlampau rendah msnaksir kekuatan Sin-liong taycu berdua, sebagai komandan
yang memimpin penyerbuan ke daeatan Tionggoan, mana mungkin kungfu
mereka hanya sedang2 saja? Jika mereka dapat dibunuh dalam satu kali serang,
tidaklah mungkin kedua orang ini akan dipilih sebagai pimpinan.
Baru saja Wan-ji melompat maju, Lsm-hay-liong-li telah membentak keras:
"Budak ingusan! Kau benar2 sudah bosan hidup rupanya . . ."
Seceoat kilat ia mengebaskan lengan bajunya ke muka "Sreet!" kebasan yang
keras itu tepat menghantam pinggang Wan-ji.
Nona itu menjerit tertahan, tubuhnya mencelat jauh dan jatuh tak sadarkan diri.
Tapi karena kejadian inilah, kawanan jago jadi marah, sambil meraung, serentak
mereka menyerbu ke depan.
Sin-liong-taycu semakin panik menyaksikan gelagat yang tidak menguntungkan,
cepat ia angkat tinggi2 lencana "naga emas" dan berseru: "Ciu-kongkong!
Dengarkan perintah, bocah keparat she Tian itu kuserahkan kepadamu,
ketahuilah perintah Kim-liong-leng tak ada yang ditarik kembali, jika bocah she
Tian itu masih hidup sampai malam ini, engkaulah yang bertanggung jawab!"
Selesai memberi perintah, ia simpan kembali lencananya, lalu bersama Lam-hay-
liong-li melakukan perlawanan terhadap serbuan kawanan jago persilatan itu.
Dengan ilmu siiat mereka yang tinggi serta hati mereka yang keji, mana kawanan
jago itu dapat menandingi mereka? Jerit ngeri berkumandang susul menyusul,
baru tiga gebrakan sudah beberapa orang menemui ajalnya.
Di tengah pertarungan yang serba kalut inilah, tiba2 terdengar tiga kali benturan
keras menggelegar.
Di tengah benturan itu, deru angin pukulan menyambar ke empat penjuru, debu
pasir beterbangan, banyak orang yang tergetar mundur!' mereka yang agak
lemah bahkan sampai terpental dan jatuh terguling.
Semua orang kaget mereka saling pandang dan mencari sumber benturan keras
itu. Kiranya si kakek berjenggot panjang di bawah tekanan perintah Kim-liong-
leng telah menghimpun segenap kekuatannya dan melancarkan tiga kali
serangan.
Tian Pek sendiri sama sekali tidak menghindar, ia menyambut ketiga serangan
tersebut dengan keras.
Setelah tiga kali benturan. kedua pihak berdiri berhadapan dengan air muka
serius dan mata saling melotot tanpa berkedip, agaknya mereka sedang
menunggu pihak manakah yang akan roboh terlebih dahulu.
Setelah bertempur semalam suntuk, apalagi terluka parah dan muntah darah,
semua jago yang ada disitu dapat menerka bahwa tiga kali pukulan yang
dilancarkan Tian Pek maupun si kakek berjenggot panjang itu pasti telah
menggunakan segenap sisa tenaga dalam mereka yang masih ada.
Namun kedua pihak masih tetap berdiri berhadapan dengan mata melotot,
tiada seorangpun diantara mereka yang roboh, dengan sendirinya tiada yang
tahu siapa gerangan di antara mereka yang lebih unggul.
Seketika suasana di seputar arena jadi sunyi, tak terdengar suara apapun,
kawanan jago yang sedang bertempur segera berhenti bertempur, dengan mata
terbelalak dan rasa ingin tahu semua orang alihkan perhatiannya ke sana serta
menunggu hasil terakhir pertarungen itu.
Suasana amat sepi, begitu sepinya mungkin jarum jatuh saja akan terdengar
jelas.
Siapa yang menang dan siapa yang kalah? Siapa yang hidup dan siapa yang
mati? Sebelum salah satu orang itu roboh, siapapun tak tabu jawabannya.
Semua orang menantikan salah seorang itu roboh ke tanah.
Akhirnya Tian Pek mulai ter-huyung2 dan si kakek juga sempoyongan.
"Blang!" bagaikan ambruknya sebuah bukit, akhirnya seorang di antaranya
roboh juga.
Suasana jadi gempar, kawanan jago sama menjerit, ada yang menjerit kaget,
tapi sebagian menjerit karena kegirangan.
Siapa yang akhirnya roboh? Kiranya dia adalaah Ciu Ji-hay, si kakek berjenggot
panjang.
Tian Pek sendiripun sampoyongan, kemudian tumpah darah. Pemuda itu sempat
melirik sekejap ke arah kakek berjenggot panjang yang terkapar di bawah
kakinya, iapun sempat berguman lirih "Aih, orang tua, semoga kau tidak mati . . .
."
Butiran air mata meleleh keluar, dengan membawa badan yang luka serta hati
yang pedih ia berlalu dari situ dengan langkah sempoyongan.
Kekasihnya, calon isterinya, sahabat karibnya, musuh dan kawanan jago lainnya,
bahkan terhadap paman Lui pun ia tak memandang, sorot matanya yang kaku
hanya memandang ke tempat kejauhan dan melangkah terus ke depan.
Pemuda itu tundukkan kepala, ketika lewat di samping orang2 itu, ia mengusap
pelahan pundak tiap2 orang itu.
Meski pemuda itu tak ber-kata2, tapi siapa-pun tahu bahwa pertumpahan darah
yang sama sekali tak ada manfaatnya itu sangat menyedihkan pemuda yang
jujur ini.
Maka tak ada orang yang mencegah, semua orang memandang kepergiannya
dengan termenung.
Tiba2 pekik tangis yang memilukan hati berkumandang, memecah kegelapan
yang mencekam itu, isak tangis itu amat memilukan hari, membuat orang ikut
bersedih dan meneteskan air mata.
Semua orang tertegun, mereka berpaling.
Ternyata dia adalah Leng Yan-hong, si nenek berambut putih dari Hay-gwa-sam-
sat. Dengan kalap nenek itu menubruk ke atas badan si kakek ber-jenggot
panjarg tadi, dengan tangannya yang gemetar ia meraba detak jantung kakek
tersebut.
Tapi apa yang ditemui? Tubuh kakek itu sudah dingin dan kaku detak jantungnys
telah berhenti, rupanya Ciu Ji-hay atau si kakek berjenggot panjang yang berilmu
silat sangat tinggi itu telah tewas.
Pedih hati si nenek berambut putih, hatinya bagaikan di-sayat2 Sesaat itu,
baginya dunia se-olah2 berhenti berputar.
Terkenang kembali semasa mudanya, dikala ia masib remaja, dengan ilmu
silatnya yang tinggi ia malang melintang di dunia persilatan tanpa tandingan,
kemudian berjumpa dengan pemuda tampan yang berilmu silat lebih tinggi yaitu
Ciu Ji-hay, s1 kakek berjenggot panjang yang kini terkapar di atas tanah sebagai
mayat itu.
Ia jatuh cinta pada pandangan pertama, mereka saling mencintai dan akhirnya
menikah sebagai suami istri, namun ia, pemuda tampan itu mempunyai dendam
sakit hati sedalam lautan, maka ia memakai nama yang aneh, Ciu Ji-hay (dendam
sedalam lautan) Ia membantu pemuda itu membalas dendam, kemudian ber-
sama2 berkelana, menjelajahi tempat2 yang indah di dunia ini, dengan wajah
mereka yang menarik serta ilmu silat mereka yang lihay, mereka menjadi pusat
perhattan dan rasa kagum muda-mudi lainnya.
Hidup mereka bagaikan dewa-dewi di kayangan, satu dan tak lain pernah
berpisah, puluban tahun bagaikan sehari.
Sebagai muda-mudi yang berilmu tinggi mereka pun mempunyai pandangan
yang angkuh. tak memandang sebelah mata terhadap orang lain, sifat2 ini
akhirnya mendatangkrn akibat yang tak menguntungkan.
Musuh mereka kian lama kian bertambah banyak, sedangkan kawan kian lama
kian sedikit. akhirnya musuh2 mereka mulai melancarkan serangan. bersama
puluhan jago lihay lainnya mereka di kerubuti.
Karena tak dapat menancapkan kakinya lagi di daratan Tionggoan, mereka
melarikan diri ke luar lautan, perjalanan itu di iringi pula oleh seorang sahabat
baiknya, yakni Hud-in Hoat-su.
Kehidupan di rantau yang semula dibayangkan sengsara justeru terjadi
kebalikannya, mereka sempat mencicipi kehidupan yang aman tenteram dan
tidak terganggu oleh persoalan apapun. Tiap hari kerja mereka hanya berdayung
sampan, mendaki bukit, duduk di bawah pepohonan, bermain di bawah air
terjun. ..semua kebahagiaan hidup mereka cicipi.
Tspi kemudian, ketika usia mereka mulai melanjut, tiba2 Lam-hay-it-kun yang
memberikan semua keperluan mereka itu mempunyai ambisi untuk menguasai
daratan Tionggoan.
Sebagai tamu yang menumpang di rumah orang dan makan nasi orang,
sewajarnya kalau mereka menyumbang tenaga baginya, sudah tentu kedua
suami isteri ini tak dapat menampik pemohonannya agar ikut serta dalam
gerakannya, lagipuia timbul juga niat mereka untuk pamer kelihayan mereka di
daratan Tionggoan. Mereka mengira setelah berlatih tekun selama puluhan
tahun di pulau terpencil, kungfu mereka yang pada dasarnya sudah hebat pasti
tambah lihay hingga tiada tandingannya di dunia ini.
Tapi akhirnya, apa yang mereka dapatkan? Nenek berambut putih itu harus
melihat si kakek berjenggot panjang yang dicintanya terkapar tak bernyawa, bisa
dibayangkan betapa pedih dan hancur perasaan si nenek.
"Bocah keparat she Tian, berhenti kau!" mendadak ia membentak keras.
Tian Pek tidak menggubris bentakan itu, se-olah2 tidak mendengar ia
melanjutkan langkahnya dengan sempoyongan.
Malam telah berakhir, fajar telah menyingsing. Di ufuk timur mulai remang2
putih, sinar matahari yang lembut mulai memancarkan cahayanya, menyoroti
mayat2 yang bergelimpangan, mendatangkan pemandangan yang seram.
Si nenek atau Leng Yan hon menjadi murka melihat Tian Pek tidak menggubris
bentakannya, ia berpekik nyaring, tiba2 ia menerjang pemuda itu dengan kalap.
Soh hun-ci menutuk dengan sekuat tenaga.
Berbicara sebenarnya, keadaan Tian Pek sudah sangat payah, setelah beradu
tenaga tiga kali dengan kakek berjenggot panjang, ia sendiripun tak percaya
akhirnya yang roboh binasa adalah kakek itu.
Rupanya pantulan hawa sakti Sin-thian-khi-kang dalam tubuhnya itulah yang
merenggut nyawa Cu Ji hay, cuma Tian Pek sendiri tidak mengetahui rahasia
tersebut.
Setelah minum Ci-tham-hoa berusia ribuan tahun, kemudian oleh Liu Cui-cui
selama enam puluh hari ia dikeram bagaikan ayam yang mengerami telurnya,
tubuh anak muda itu se-olah2 sudah dicuci sedemikian rupa hingga hampir
terwujud apa yang dinamakan tubuh yang tak terusakkan, timbul tenaga Sian-
thian khi-kang yang maha dahsyat di dalam perutnya.
Yang lebih hebat lagi, Sian-tbian-khi-kang yang tersimpan di dalam perut itu tak
akan terpancar keluar bila tubuhnya tidak terkena hantaman keras dari luar,
bahkan semakin besar daya serangan dari luar, semakin kuat pula daya pantulan
yang dihasilkan, kelebihannya ini tak diketahui olehnya, tentu saja tak diketahui
pula oleh orang lain. Dan sebab itulah meski dalam keadaan terluka parah, Tian
Pek masih mampu menyambut ketiga kali pukulan si kakek berjenggot panjang
yang maha hebat itu.
Jadi sesungguhnya kakek berjenggot panjang itu binasa oleh daya pantulan yang
dihasilkin dari tenaga serangan mautnya sendiri.
Sekalipun demikian, Tian Pek sendiripun harus membayar mahal kejadian itu,
kedua lengannya harus menjadi korban, apakah dikemudian hari kungfunya bisa
pulih kembali sulit untuk diramal.
Saat itu, bukan saja lukanya amat parah, perasaannya, hatinya juga terluka. luka
yang tidak ringan.
Pertempuran sengit tadi se-akan2 masih terbayang ia merasa pembunuhaa
seoara besar2an yang mengerikan itu sebenarnya tiada artinya.
Ia mulai bertanya kepada diri sendiri: “Kenapa harus terjadi pertumpahan darah
sekeji ini? Mengapa sampai terjadi dan apa tujuannya? Demi nama? Karena
kedudukan? Atau lantaran kitab pusska Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip yang
dikatakan sebagai kitab paling aneh d dunia ini?’
"Padahal kitab pusaka Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pi-kip sudah di
musnahkannya di depan umum, tapi mereka yang rakus tetap tidak mau
mempercayai ucapanku, mereka rela korbankau nyawa hanya untuk
memperebutkan suatu benda yang sebetulnya sudah tak ada "
"Semuanya kosong , . hampa . tiada ada apa2nya, nama dan kedudukan kan juga
hal yang kosong? Bersusah payah mencari nama, akhirnya tetap juga tak
berbekas"
"Sekalipun punya harta setinggi bukit, punya kedudukan mulia, semua itu apa
gunanya? Bila usia manusia telah berakhir, bukankah semuanya hanya kosong
belaka? Apa yang dapat dibawa serta ke alam baka.."
Dia terluka lahir batin, maka ia tak menghiraukan siapapun, ingin cepat
tinggalkan tempat itu, meninggalkan kelompok manusia dungu ini,
meninggalkan arena pertempuran yang berbau darah.
Mendadak angin tajam menyambar dari belakang, secara naluri ia mengegos ke
samping. tapi sayang, dalam keadaan terluka parah ia kehilangan kelincahannya,
meski berkelit, ia tak dapat menghindarkan diri dari serangan itu.
"Bluk!" walaupun tidak mengenai tempat mematikan di punggungnya, tapi bahu
kanannya terasa sakit bagaikan dihantam martil.
Tian Pek tak tahan lagi, pandangannya jadi gelap. ia roboh terkulai. Sekali ini
Tian Pek benar2 roboh.
Akhirnya pemuda yang gagah perkasa ini roboh juga, pelbagai luka yang parah,
aneka ragam pukulan batin yang berat membuat pikirannya berhenti, membuat
jantungnya berhenti berdenyut, membuat sukmanya terjerumus ke dalam
kegelapan.. . .
Penyerang yang membinasakan Tian Pek ialsh Leng Yan-hong, si nenek
berambut putih.
Nenek itu termangu memandang tubuh Tian Pek yang membujur tak bergerak,
tiada rasa kebanggaan karena unggul, tiada kegembiraan karena menang, ia
malah menubruk ke sisi jenasah suaminya, lalu mengakhiri hidupnya di sana ....
Nenek berambut putih, Leng Yan-hong, telah menghembuskan pula napasnya
yang penghabisan. ia sedih karena kematian suami, ia mati karena sedih.
Tubuhnya berbaring di samping jenasah suaminya, malahan kedua tangannya
memeluk leher si kakek berjenggot panjang itu erat2.
Cinta memang agung, siapa yang bilang nenek itu tak tahu apa artinya cinta?
Perubahan mendadak ini membuat semua orang tertegun, membuat semua
orang termangu.
Manusia yang benar2 baik, orang yang suka berkorban demi membantu
kepentingan orang lain, ia tak akan kesepian meski telah mati, karena banyak
orang akan tetap mengenangnya, mengenang kebaikan dan jasa2nya.
Per-tama2 Buyung Hong yang tak tahan, ia menangis dan menubruk ke atas
tubuh Tian Pek. Menyusul Kim Cay hong yang terkena1 sebagai Kang lam te-it-bi
jin, nona yang agung dan cantik ini biasanya suka mengekang perasaannya, tapi
kini setelah orang yang dicintainya tewas, ia tak dapat mengendalikan
perasaannya lagi, sambil mendekap tubuh Tian Pek nona itupun menangis sedih.
Untuk pertama kalinya ia memperlihatkan rasa cintanya di depan umum, tapi
sayang orang yang dicintainya telah mati, telah meninggalkan dunia yang fana
ini untuk selamanya.
Buyung Hong menengadah memandang nona yang cantik bak bidadari ini,
namun aorot matanva halus dan ramah, sedikitpun tidak membawa rasa
cemburu atau perasaan lain.
Ia malah merasa nona itu senasib dan sependeritaan dengannya dan patut
dikasihani.
Hoan Soh-ing, nona yang berjiwa laki2 itupun tak dapat menahan rasa sedihnya,
ia menghampiri jenasah Tian Pek dan menyeka darah yang membasahi wajah
pemuda itu dengan saputangannya.
Ia tidak menangis terisak, hanya air mata berlinang di kelopak matanya, ia
berduka karena kematian Tian Pek, berduka seperti kehilangan seorang sahabat
yang paling karib.
Untung Wan-ji sudah pingsan lebih dulu, kalau tidak entah bagaimana pedih
perasaan gadis itu?
Tay-pek-siang-gi juga ikut menangis ter-gerung2, sebab pemuda itu adalah
"Siau-in-kong" (penolong cilik) mereka.
Dahulu kedua orang ini mendapat pertolongan Pek-lek kiam Tian In-tbian,
setelah pendekar besar itu mati penasaran dan kedua bersaudara ini merasa tak
mampu membalaskan dendam baginya, mereka lantas menyebut dirinya
sebagai "Orang mati hidup" dan 'Orang bidup mati"
Kemudian setelah bertcmu dengan Tian Pek dan mengetahui anak muda ini
adalah keturunan tuan penolongnya, maka mereka pun berusaha membalas
budi kebaikan yang pernah diterimanya dari Tian In-thian kepada pemuda ini.
Siapa tahu Siau-in-kong mereka akhirnya tewas juga dalam pertempuran, tentu
saja kedua bersaudara ini amat sedih dan menangis keras.
Ji-lopiautau juga berduka, air matanya bercucuran membasahi wajahnya yang
berkeriput, tapi ia masih dapat mengendalikan rasa sedihnya, berulang kali ia
berseru. "Jangan menangis dulu! Mari kita periksa keadaan Tian-siauhiap, siapa
tahu kalau jiwanya masih bisa ditolong?"
Tapi setelah ia periksa keadaan anak muda itu, ia jadi putus asa, ternyata Tian
Pek memang sudah mati.
Hanya paman Lui saja tidak mengalirkan air mata, dia berdiri kaku sambil komat-
kamit bergumam sendiri: "Hiantit, kau mati dengan gagah, kematianmu sangat
berharga, tak malu sebagai keturunan Tian In-thian "
Pengorbanan yaag gagah perkasa dari Tian Pek menggetarkan pula perasaan
kawanan jago yang hadir di situ, tanpa sadar mereka ikut maju ke muka dan
berdiri di sekeliling jenasah Tian Pek untuk menyatakan perasaan duka cita
mereka yang dalam.
"Mingir!" tiba2 terdengar bentakan nyaring dari belakang, bentakan itu keras
dan semua orang sereniak berpaling.
Sin-liong-taycu dengan angkuh sudah berdiri di belakang mereka, wajahnya
bengis diliputi hawa napsu membunuh.
Di belakang pemuda itu berdiri pula Tay-cong-ci-ju dan Ciong-nia-ci-eng. wajah
mereka tampak garang dan menyeramkan seperti setan.
Lam hay-liong li berdiri di samping dengan wajah melengos ke arah lain,
bahunya nampak bergerak naik turun, agaknya ia pun sedang menangis tapi
entah siapa yang ditangisi?
Pertanyaan ini hanya dia yang dapat menjawab, rupanya diam2 ia pun mencintai
Tian Pek, sudah tentu tak dapat ia menangis secara terang2an bagi kematian
musuh.
Semua orang cukup mengetahui sampai dimanakah kelihayan kungfu Sin-liong-
taycu maupun kedua orang pembantunya, kematian Tian Pek berarti pula tiada
orang yang sanggup menandingi kelihayan mereka lagi.
Kebanyakan orang jadi ketakutan, tanpa terasa mereka menyurut mundur ketika
Sin-liong taycu beserta pengiringnya maju mendekat.
Hanya ketiga nona cantik itu yaag masih menangis, tak seorang pun di antara
mereka yang menggubris bentakan Sin-liong-taycu.
Hal ini sangat menggusarkan "Pangeran naga sakti" dari Lam-hay-bun ini, alisnya
bekernyit, mendadak ia menghantam.
Angin pukulan dahsyat menyapu ke depan, ketiga nona itu berseru kaget dan
cepat melomput mundur.
Paman Lui menjadi gusar melihat kekasaran orang, bentaknya: "Keparat, jangsn
temberang akan kusambut pukulanmu!'
Kedua telapak tangannya terus menangkis serangan tersebut.
"Blang!" di tengah benturan keras, paman Lui terdesak mundur tiga langkah
dengan sempoyongan.
Sin-liong-taycu tidak ayal lagi, beruntun ia melancarkan lagi tiga kali pukulan
berantai.
Paman Lui memang bukan tandingan "pangeran naga sakti" setelah serangan
berantai itu lalu, tahu2 ia sudah berada tiga-empat tombak jauhnya dari tempat
semula.
Sin-liong-taycu menghentikan serangannya, lalu ia berpaling kepada kedua
begundalnya, serunya: "Geledah tubuh bocah she Tian itu! Periksa apakah kitab
pusaka itu masih berada dalam sakunya?"
Tay-cong-ci-ju dan Ciong-nia-ci-eng segera menghampiri jenasah Tian Pek dan
akan merogoh sakunya.
"Jangan sentuh dia!" tiba2 seorang membentak, menyusul sesosok bayangan
tubuh kecil ramping mengadang di depan Tian Pek, dia tak lain adalah Buyung
Hong yang mukanya basah oleh air mata,
Dengan gusar ia berteriak lagi kepada kedua orang manusia jahat itu: "Bila
kalian berani menyentuh tubuhnya, segera nona beradu jiwa dengan kalian!"
Meski nona itu lemah lerrtbut, tapi demi melindungi jenasah suaminya ia rela
mempertaruhkan jiwanya, wibawa yarg terpancar dari wajahnya membuat
orang tak berani sembarangan bergerak.
Si Tikus gudang dan Elang dari Ciong-nia adalab gembong iblis yang angkuh dan
berilmu tinggi, tak urung mereka tertegun juga dan tidak berani berbuat
apa2 . . .
Tiba2 terdengar dengusan orang. dengan wajah dingin Lam-hay-liong-li
menerjang maju ke muka, bentaknya: "Apa hubunganmu dengan dia? Mengapa
kau beradu jiwa baginya?"
Air mata Buyung Hpng ber-linang2, menekan perasaannya, didepan musuh ia
tak ingin mengucurkan air mata, sambil membusungkan dada ia menyahut: "Dia
adalah suamiku...."
"Mampus kamu!" bentak Lam-hay-liong-li sebelum habis Buyung Hong
menjawab, dengan berbareng ia melancarkan sesuatu pukulan dahsyat ke dada
nona itu.
Buyung Hong sambut serangan itu dengan kedua tangannya, "Blang! "Blang!" ia
terdesak mundur belasan langkah jauhnya.
Begitu Buyung Hong terdesak mundur, Lam-hay-liong-li tidak mengejar lebih
jauh, setelah membetulkan rambutnya yarg kusut, it meraba dsda Tian Pek
tangan gemetar.
Dada yang bidang, betapa kekarnya tubuh anak muda itu, meski hanya sesosok
jenasah yang dingin dan kaku, namun bagi Lam-hay-liong-li yang tak pandang
sebelah mata terhadap laki2 lain di dunia ini, seketika hatinya tergetar, ia
merasa bagaikan kena aliran listrik, sekujur tubuh bergemetar.
Selama bidupnya baru kali ini dia menyentuh tubuh lawan jenisnya, dan orang
itu adalah laki2 yang pertama kali menarik perhatiannya, kepada nya ia jatuh
cinta dan sekarang sudah berwujud menjadi mayat.
Tanpa terasa merahlah pipinya, belum pernah timbul perasaan seaneh ini,
dengan tangan gemetar ia meraba sekeliling tubuh anak muda itu. .. .
"Moaymoay, apakah kitab itu ada padanya?" tiba2 Sin-liong-taycu menegur.
Lam-hay-liong-li terkejut dan menengadah, ketika dilihatnya "pangeran naga
sakti" sedang menatapnya, merahlah pipinya, ia tenggelam dalam lamunannya
hingga lupa memeriksa apakah kitab pusaka itu berada pada Tian Pek atau tidak.
Ia tidak menjawab ia berbangkit terus melangkah pergi, ia malu bila ingat akan
kedudukannya, ia tak tahu apa yang harus dikatakan, maka diambilnya
keputusan untuk pergi saja dari situ.
"Adakah dalam sakunya?" kembali Sin-liong-taycu bertanya.
"Tidak!" sahut Lam hay-liong~li tanpa berpaling.
"Ah, masa tak ada? Aku tak percaya!" seru Sin-liong taycu sambil mendekati
jenasah Tian Pek.
Kim Cay-hong cepat mengadangnya, dengan suara yang rawan dan setengah
memohon ia berkata: "Ia sudah tewas, janganlah engkau menyentuhnya lagi
sehingga ia mati tak tenang!"
Dengan wajahnya yang cantik jelita, beberapa patah kata itu jadi lebih menarik
dan menggetarkan kalbu orang. Kontan Sin liong-taycu terbeliak, kecantikan Kim
Cay-hong membuatnya terpesona.
Dasar Sin liong-taycu memang pemuda yang suka bermain perempuan, ketika
untuk pertama kali menduduki rumah keluarga Kim, ia telah membius Kim Cay-
hong sehingga nona itu bertelanjang bulat di hadapannya dan hampir saja
kehormatan nona itu ternoda.
Tapi daya tarik Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip jauh lebih besar daripada
perempuan. Sin-liong-taycu memang tak malu disebut seorang pemimpin yang
hebat, kendati suka main perempuan, namun pikirannya tak sampai
terpengaruh oleh perempuan cantik, ia lebih memberatkan kitab pusaka yang
maha hebat itu dan kalau bisa mendapatkan pula si cantik.
Maka tatkala Kim Cay-hong selesai berkata, ia tertawa dan menjawab: "Nona,
sayang sekali tempo hari aku telah melewatkan suatu kesempatan yang sangat
baik, bila ingat kembali sungguh aku sangat menyesal, ingin kubicara terus
terang, kecantikan nona memang tiada keduanya di dunia ini!"
Hati Kim-cay-hong berdebar keras, siapa yang tak suka dipuji cantik, apalagi
anak perempuan.
Sin-liong-taycu memang tampan dan menawan hati terutama senyumnya yang
mendebarkan boleh dibilang melebihi ketampanan Tian Pek, cuma sayang
senyum dan sorot matanya membawa sifat jahat inilah yang berbeda dengan
kejujuran serta kepolossn Tian Pek.
Merah wajah Kim Cay-hong, apalagi bila terbayang kembali bagaimana ia nyaris
dilalap oleh pemuda itu, jantungnya berdetak, untuk sesaat ia tak tahu apa yang
harus dilakuksn.
Tiba2 Sin liong taycu mendekatinya, ia colek pipi Kim Cay-hong yang halus
seraya berkata: "Sekarang Taycu tak bergairah untuk bermain cinta, haahaha,
bila urusan di sini sudah selesai, nanti akan kucari lagi dirimu ... "
Malu dan gusar hati Kim Cay hong, tak disangkanya Sin-liong-taycu yang
terhormat itu ternyata berani melakukan tindakan rendah di hadapan orang
banyak, sebagai nona yang tinggi hati sudah tentu ia merasa tindakan orang itu
merupakan suatu penghinaan besar.
Tanpa bicara, telapak tangannya balas menggampar pipi "pangeran naga sakti",
"plok!" tempelengan itu bersarang telak, pipi Sin-liong-taycu yang tampan
tertera bekas jari tangan yang merah.
Bila kejadian itu berlangsung dalam keadaan biasa, tak mungkin tempelengan
Kim Cay-hong akan mengenai sasarannya, tapi waktu itu Sin-liong-taycu tak
menduga, kedua ia asik terkesima oleh kecantikan si nona sehingga hatinya tak
tenang, maka dengan gampang tamparan itu mengenai mukanya.
Air muka Sin liong taycu berubah merah padam, ia marah sekali karena
ditampar orang di hadapan umum. "Budak-ingusan, kau cari mampus!" ia
membentak.
Dengan jari tangan yang direntangkan lebar2, ia ccngkeram batok kepala nona
itu, sementara telapak tangan kanan meraba ke dada,
Satu jurus dua serangan, semuanya dilancarkan dengan cepat luar biasa,
tampaknya kemarahan pemuda itu sudah mencapai puncaknya sehingga ia tak
segan2 mencabut nyawa nona itu.
Ilmu silat Kim Cay hong adalah ajaran langsung dari ayahnya, tapi dibandingkan
dengan Sin-liong-taycu jelas bukan tandingannya.
Tatkala desing angin tajam menolak tiba dan bayangsn telapak tangan 1awan
sudah berada di depan mata, gadis itu merasa tak mampu beekelit lagi, ia
pasrah nasib dan berdiri tak bergerak, mata dipejamkan sementara dalam hati ia
berdoa: "Engkoh Tian, tunggulah sebentar, adik segera akan menyusul engkau!
Meski kita tak dapat hidup bersama di dunia ini, biarlah kita berdampingan di
a1am baka.."
Sekarang ia tidak jeri lagi menghadapi kematian, dia malah berharap pukulan
Sin-liong-taycu itu dapat mencabut nyawanya sehingga ia dapat menyusul Tian
Pek ke alam baka. Walaupun hidup tak bisa berdampingan dengan kekasihnya,
tapi mereka akan bertemu di alam baka, kejadian ini cukup menghibur hatinya.
Siapa tahu kematian tak kunjung datang, sekalipun ia sudah pejamkan mata dan
menunggu pukulan itu, namun pukulan yang dahsyat itu tak pernah menimpa
badannya, nona itu jadi heran dan membuka matanya, apa yang tertampak
olehnya membuat nona itu jadi tercengang.
Ternyata Sin-liong-taycu telah menyurut mundur sejauh beberapa tombak dari
tempat semula dengan wajah kaget bercampur kuatir.
Sedang di depannya entah sejak kapan telah bertambah seorang kakek berbaju
pertapa serta seorang nona yang cantik.
Kakek berbaju pertapa itu berusia lima puluhan, mukanya bulat dengan jenggot
cabang lima, sikapnya agung berwibawa, jubahnya berwarna abu2, sepatu
dengan kaos putih, dandanannya persis seperti dewa, siapapun akan tahu orang
ini pasti seorang tokoh sakti yang berilmu tinggi.
Nona yang cantik itu memakai baju yang sederhana, perutnya kelihatan besar,
agaknya sedang mengandung.
Air mukanya tenang, tidak bergincu, rambut-pun tidak dikepang tapi dibiarkan
terurai di belakang. Kecantikannya adalab kecantikan alam, semakin tidak
berdandan, kelihatan semakin menawan hati.
Saat itu wajahnya diliputi kemurungan, terutama matanya yang jeli, berulang
kali melirik Tian Pek yang terkapar di tanah.
Sekilas pandang Kim Cay-hong segera mengenal siapa nona cantik ini sebab dia
tak lain adalah Liu Cui-cui yang pernah menolong jiwanya.
"Masakah ia sedang mengandung . . .?" nona Kim ini berpikir.
Sementara itu, kakek berdandan pertapa itu sedang berkata dengan nyaring:
"Taycu, lebih baik cepatlah pulang, banyak urusan sedang menantikan
kedatanganmu untuk diselesaikan!"
Sin-liong-taycu berusaha menenangkan diri, dengan gusar ia menegur: "Paman
Liu, kau suruh aku pulang? Memangnya ada apa? Apa maksudmu menangkis
seranganku barusan?"
Dari tanya jawab itu Kim Cay hong baru tahu bahwa jiwanya telah diselamatkan
oleh kakek berdandan pertapa ini.
"Banyak persoalan tak dapat kujelaskan satu demi satu," sahut kakek itu dengan
alis berkerut.
"Tapi ada satu hal dapat kuberitahukan kepada Taycu, waktu Kaucu
menyeberangi samudera, kapal mereka telah tertimpa angin topan dan
tenggelam, Kiucu beserta dua ratus orang lebih yang berada di dalam kapal
telah tewas semua "
"Benarkah uoapanmu ini?" sebelum kakek itu menyelesaikan kata2nya, Sin-
liong-taycu telah berseru kaget.
“Masa aku bohong?" jawab si kakek.
Sin-liong taycu dan Lam-hay liong-li saling pandang sekejap, rupanya mereka
tahu si kakek tidak berbohong, dengan cemas bercampur kuatir kedua orang itu
segera berlalu dengan cepat tanpa bicara.
Tay cong-ci-ju dan Ciong-nia ci-eng melirik sekejap mayat Hay-gwa-sam-sat serta
kedua rekannya yang terkapar di tanah, tapi mereka tak berani mengurusnya,
sebab mereka tahu dengan berlalunya Sin-liong taycu berdua, tak nanti mereka
mampu menandingi kerubutan orang banyak. Maka kedua gembong iblis inipun
buru2 kabur.
"Selain itu, harap Taycu waspada dan cepat membuat persiapan. Mo-kui-to
sudah diserbu musuh dan sekarang telah diduduki mereka!" demikian si kakek
berseru pula.
Ketika ucapan tersebut diutarakan, baik Sin-liong-taycu dan Lam-hay-liong-li
maupun Tay-cong ci-ju dan Ciong nia-ci-eng keempat orang itu sudah berada
puluhan tombak jauhnya, tapi ucapan tadi disampaikan dengan ilmu Cian-li-
coan-im (ilmu menyampaikan suara dari jauh), maka pasti keempat orang itu
dapat mendengar dengan jelas.
Sesudab bayangan keempat orang itu lenyap dari pandangan, paman Lui baru
maju ke depan dan memberi hormat kepada kakek pertapa itu sembari
menyapa: "Jika mataku belum lamur, bukankah Totiang ini Gin-san-cu (si kipas
perak) Liu Tiong-ho, Liu-hiante?"
Dengan wajah berseri kakek pertapa itu menggenggam tangan paman Lui,
kemudian terbahak-bahak: "Haha, hebat amat ketajaman matamu saudara Lui!
Hanya sekilas pandang saja lantas mengenali kembali diriku, padahal sudah
puluhan tshun aku tak pernah menongol di daratan. Baik2kah semua sobat
kita?"
Paman Lui menghela napas panjang, ia menuding mayat yang bergelimpangan di
tanah dan menjawab: "Ai, susah untuk melukiskan keadaan
kami dengan sepatah dua patah kata. Coba iihatlah mayat yang begitu banyak!
Di antara Kanglam-jit-hiap mungkin tinggal Hiante seorang yang masih hidup "
Sementara paman Lui berbicara, pelahan Liu Cui-cui msnghampiri Tian Pek,
ketika melihat jenasab anak muda itu penuh luka, ia tampak tertegun, tak
sepatah katapun diucapkan, tak setitik air matapun menetes, dia berdiri kaku
seperti patung ....
Tapi siapapun dapat merasakan kepedihan hatinya, duka yang tak bersuara,
kepedihan yang tak kentara, menangis tanpa air mata.
Dalam pada itu kawanan jago yang hadir telah mengetahui bahwa orang tua
yang baru datang ini adalah Gin-san-cu Liu Tiong-ho, orang keenam dari
Kangiam-jit-hiap, semua orang sama memberi hormat dan kagum.
Gin-san-cu Liu Tiong-ho sendiri sedang ber-cakap2 dengan paman Lui, namun
perhatiannya tak pernah lepas dari tubuh puterinya, tentu saja ia pun dapat
merasakan pula kesedihan puterinya itu.
Ia memang sudah menjadi pertapa dan menjauhkan diri dari keramaian dunia,
tapi manusia tetap manusia, dapatkah ia melupakan se-gala2nya?
Apalagi nona itu adalah puteri kesayangannya.
Ia maju ke sana, setelah memandang sekejap Tian Pek ya«g terkapar tak
bergerak, lalu berkata:
"Anak Cui, pemuda inikah yang menjadi tumpuan hidupmu?"
Cui-cui mengangguk, butiran air mata maleleh dan membasahi pipinya yang
halus.
Paman Lui ikut maju, katanya dengan sedih:
"Liu-hiante, bocah ini tiada lain adalah satu2nya keturunan kakak angkatmu Pek-
lek-kiam Tian In-tian!"
Di luar dugaan, Gin-san-cu Liu Tiong-ho tidak menunjukkan rasa berduka,
dengan tatapan tajam ia perhatikan sekejap jenasah Tian Pek, lalu serunya
dengan dingin: "Ehm, bocah ini memang berbakat luar biasa!"
Lalu kepada putrinya ia bertanya: "Ia sudah mati, apakah kau masih berkeras
ingin kawin dengan dia?"
Dengan pasti Cui-cui mengangguk, meski tidak menjawab, tapi dari sikapnya
yang serius, siapapun tahu tekadnya yang bulat dan tak muugkin berubah lagi.
"Nak, kau masih muda!" kembaii Liu Tiong ho berkata, "Untuk bidup menjanda
se-lama2nya bukanlah suatu pekerjaan yang gampang, menurut pendapat ayah
lebih baik. . . "
"Ayah, apa maksudmu mengucapkan kata2 semacam itu . . .?" sela Cui-cui
dengan kurang senang. "Sekali anak sudah kawin dengan dia, selama hidup
pikiranku tak akan berubah, apalagi dalam perutku sudah ada janin yang
merupakan darah daging keturunannya!"
Keterangan ini cukup menggemparkan, terutama Buyung Hong, Kim Cay-hong
dan Hoan Soh-ing, mereka sama melenggong.
Beberapa orang nona itu tidak tahu bahwa antara Tian Pek dan Cui-cui telah
melakukan hubungan badan ketika berada di dalam sampan di sungai Hway,
mereka hanya heran darimana munculnya jabang bayi Tian Pek di dalam perut
Cui-cui?
"Ai, anak bodoh ..." bisik Liu Tiong-ho kemudian sambil berdehem. Ia tak tega
menegur puterinya meski sebelum menikah resmi dengan Tian Pek telah
mengandung lebih dahulu.
Maklumlah, Cui-cui dibesarkan di suatu pulau yang terpencil, Liu Tiong-ho
sendiri sangat sayang pada puteri tunggalnya ini, ia sibuk urusan bertapa, hidup
Cui-cui terlampau bebas, tak pernah ia didik puterinya sesuai dengan adat
istiadat Tsonggoan, gadis ini semenjak kecil sudah terbiasa hidup bebas tanpa
ikalan, maka setelah dewasa Cui-cui pun tetap polos, lincah dan tidak terikat
oleh segala macam adat.
Kendatipun demikian, peristiwa ini memhuat Liu Tiong-ho jadi malu, ia lantas
berusaha mengalihkan pembicaraan ke soal lain, tiba2 tanyanya: "Aku dengar
masih ada beberapa orang nona yang mencintai pemuda she Tian ini, entah
nona2 yang kau maksudksn hadir di sini atau tidak?”
Serta merta Buyung Hong tampil ke depan, ia memberi hormat kepada orang
tua itu, katanya; 'Keponakan adalah janda Tian-siauhiap yang ditinggalkan!"
Selagi Liu Tiong-ho tertegun, paman Lui cepat menambahkan: "Dia bernama
Buyung Hong puteri sulung Losam (saudara ketiga) Ti-seng-jiu Buyung Hong'
"O, Hiant-titli jangan banyak adat!" kata Liu Tiong-ho cepat, kemudian kepada
paman Lui dia bertanya: "Apakah ia sudah menikah dengan putera saudara Tian
ini?"
"Menikah memang belum, tapi mereka sudah dijodohkan dengan resmi, akulah
yang menjadi combang bagi mereka berdua!" sahut paman Lui sedih.
"Selain itu, aku telah menjodohksn pula adik-ku kepada Tian-siauhiap!' tiba2
Buyung Hong menambahkan.
Liu Tiong-ho semakin bingung: "Ah. jadi kau menjodohkan pula adikmu dengan
suamimu? Di mana adikmu sekarang?"
Pertanyaan ini membuat Buyung Hong jadi sedih, air matapun bercucuran,
jawabnya: "Ia telah gugur dalam pertempuran, sekarang berbaring disana" ia
menuding ke arah Wan-ji yang masih menggeletak itu,
Liu Tiong-ho segera menghampjri Wan-ji, membuka kelopak mata gadis itu dan
memeriksanya sebentar, kemudian memeriksa pula denyut nadi pada
pergelangan tangannya, setelah itu baru menjawab: "O, dia belum mati, hanya
hawa amarah menyerang jantung dan membuat isi perutnya terluka parah,
napas yang tersumbat membuat ia tak sadarkan diri!"
Jadi ia masih bisa tertolong?" hampir serentak Buyung Hong dan paman Lui
berseru.
Liu Tiong-ho tidak menjawab, dia menepuk batok kepala Wan-ji.
Karena tepukan yang cukup keras itu, sekujur badan Wan ji bergetar, mulutnya
terpentang lebar, cepat Liu Tiong-ho keluarkan sebuah botol kecil dari sakunya
dan kemudian meneteskan tiga tetes cairan putih ke mulut nona itu. Selang
beberapa saat kemudian Wan-ji berseru tertahan dan membuka matanya
kembali.
Dengan sebuah tepukan dan tiga tetes cairan ternyata Wan-ji dapat ditolong
jiwanya, peristiwa semacam ini cukup menggemparkan, paman Lui dan Buyung
Hong segera memburu maju dan memayang nona itu untuk bangun.
Tapi Liu Tiong-ho segera mencegah perbuatan mereka, serunya: "Jangan
bangunkan dia, biarlah ia duduk tenang dan mengatur pernapasannya. . . ."
Buyung Hong membantu adiknya mengatur pernapasan, sedang paman Lui
lantas memuji: "Liu hiante, tampaknya ilmu pertabibanmu makin lama makin
ssmpurna. Obat mujarab apa yang kau simpan dalam botol itu? agaknya manjur
sekali."
"O. cairan ini adalah Leng-ci-sian-ek berusia ribuan tahun, dapat menumbuhkan
kembali daging dan bisa menghidupkan orang yang telah mati!"
"Kalau begitu, bukankah Tian-hiantit bisa pula kita selamatkan jiwanya?"
sambung paman Lui cepat.
Liu Tiong-ho tidak menjawab, ia menghampiri Tian Pek dan memeriksa kelopak
mata serta denyut jautungnya, setelah itu baru menyahut sambil menggeleng
“Lukanya terlalu parah, nadinya sudah putus, tak mungkin jiwanya diselamatkan
lagi!"
Ucapan tersebut segera disambut dengan isak tangis yang memilukan hati,
hampir bersamaan waktunya keempat nona yang berkumpul di situ menangis
ter-sedu2.
Liu Cui-cui, Buyung Hong, Kim Cay-hong dan Hoan Soh-ing mendekap muka
masing2 dan menangis dengan sedihnya, sedang Wan-ji yang sadar hanya
membelalakkan matanya memandang dengan heran keempat nona yarg sedang
menangis itu, rupanya ia tak mengerti apa sebabnya keempat orang itu
menangis.
Kejadian ini makin mencengangkan Liu Tiong-ho, ditatapnya sekejap wajah Kim-
Cay-hong dan Hoan Soh-ing, kemudian bertanya: “Puteri siapakah kedua nona
ini? Apakah keduanya juga jatuh cinta kepada Tian-hiantit?"
Dengan air mata bercucuran paman Lui mengangguk: "Kedua nona ini juga
bukan orang luar!"
Ia menunjuk Kim Cay-hong dan berkata: "Dia bernama Kim Cay-hong, puteri Loji
Cing-hu-sin Kim Kiu,” Kemudian sambil menuding Hoan Soh-ing katanya pula:
"Dia ini Hoan Soh-ing, puteri Pah-ong-pian Hoan Hui!"
Baik Kim Cay-hong maupun Hoan Soh-ing tahu bahwa Liu Tiong-ho adalah
saudara angkat ayah mereka, maka sambil menahan isak tangis kedua nona itu
lantas menberi hormat.
Gin San-cu Liu Tiong-ho mengawasi kedua nona itu dengan seksama, ia lihat baik
Kim Cay-hong maupun Hoan Soh-ing sama2 berparas cantik, sedikitpun tak
berada di bawah kecantikan puterinya, maka serunya sambil mengangguk:
"Hian-tit-li berdua jangan banyak adat!"
Kemudian ia berpaling kepada paman Lui dan berkata lagi: "Sungguh tak nyana
beberapa orang saudaraku itu mempunyai puteri yang cantik jelita. Oya.
kudengar mereka juga punya anak laki2 yang semuanya punya nama besar di
dunia persilatan, apakah mereka juga hadir di sini?"
Belum habis ucapannya, Bu-lim su-kongcu lantas tampil ke depan seraya
memberi hormat.
Paman Lui lantas memperkenalkan mereka satu persatu.
Melihat kegagahan dan ketampanan Bu~lim-su-kongcu, tiada hentinya Liu
Tiong-ho mengangguk dan memuji: "Hebat! Hebat! Sulit benar menemukan
jago2 muda yang begini hebat dan begini gagah, Hian tit sekalian tak usah
banyak adat!"
Kemudian kepada paman Lui ia berkata lagi. "Ehm, keponakan2 semua adalah
tunas muda harapan bangsa, yang laki2 hebat dan yang perempuan cantik.
Mengapa di antara mereka tidak dijodohkan satu dengan yang lain? Kenapa
begitu banyak anak gadis hanya tertuju pada putera saudara Tian seorang?
Masa dia mempunyai sesuatu keistimewaan yang luar biasa?"
Sambil tertawa getir paman Lui menggrleng kepala, katanya: "Darimana aku
tahu? Selamanya aku tidak paham cinta muda-mudi? Kalau mau tahu jelas boleh
kau tanyakan sendiri kepada mereka itu?"
Bu-lim-su-kongcu menundukkan kepala dengan wajah malu dan menyesal.
mereka tak berani mangucapkan sepatah kata pun.
Senentara itu Wan-ji telah paham duduknya persoalan serta apa yang telah
terjadi. Di antara sekian gadis, cintanya yang paling besar dan mendalam itulah
sebabnya ia tak sudi menerima lamaran Toan-hong Kong-cu sebaliknya rela
mempunyai suami yang sama dengan Tacinya.
Selain itu ia paling muda, cara bicaranya tidak pakai tedeng aling2, ketika
mendengar pertanyaan itu dia lantas maju dan menyahut: “Paman, dalam hal
mana kau tidak paham, memangnya siapakah yang dapat memaksa cinta yang
tumbuh dari lubuk hati seseorang? Siapa yang bisa memaksa orang lain untuk
mencinatai seseorang? Kalau seorang sudah mencintai seorang tertentu
mungkinkah cinta itu dialihkan kepada orang lain?"
Sebagaimana diketahui, paman Lui paling sayang pada Wan-ji, mendengar
jawaban tersebut bukannya menentang, dia malah berkata kepada Liu Tiong-ho
sambil tertawa: "Aku pikir, mungkin itulah jawaban yang paling tepat!"
Kembsli Liu Tiong-ho menggeleng, selang sesaat barulah menuding kelima nona
itu secara bergilir dan berkata: "Kau, kau, kau, kau dan kau! Apakah kalian
semua ingin kawin dengan Tian-hiantit?"
Wan-ji, Buyung Hong, Cui-cui dan Kim cay-hong sama mengangguk, hanya Hoan
Soh-ing seorang yang membungkam dan tidak mengangguk.
Mengangguk artinya mengaku, maka ketika melihat ada yang tak mengangguk,
Liu Tiong-ho berkata: "Ai. hanya nona Hoan seorang yang pikirannya masih
tenang, hanya dia saja yang tidak setuju pada cara demikian. Masa sekian
banyak anak gadis menikah dengan seorang suami yang sama?"
Tak terduga, mendadak Hoan Soh-ing menengadah dan berkata: "Paman, kau
salah mengartikan maksud keponakan. Kendati Titli tidak harus kewin dengan
Tian-siaubiap, tapi aku pasti akan menjadi seorang sahabat Tian-siauhiap!"
Lui Tiong-ho tertawa mendengar perkataan ini, serunya cepat: "Andaikata tiada
peristiwa tragis di Tong-Ting-oh, tentu kalian masih berhubungan erat sekali
antara keluarga yang satu dengan yang lain, tapi hubungan sebagai sahabat
ataukah sebagai famili ....!"
"Bukan begitu maksudku," tukas Hoan Soh-ing cepat "Maksudku ingin menjadi
sahabat paling karib Tian-siauhiap, tiap hari berkumpul dan selamanya takkan
berpisah lagi ... ."
Ketika mengucapkan kata2 terakhir, suaranya berubah lirih, merah pipipun
semakin tebal.
Melengak Liu Tiong-ho mcndengar jawaban itu. "Ah, belum pernah kudengar
ada persahabatan yang akrab begitu!" serunya, "kecuali menjadi suami-isteri,
masa ada teman yaag berkumpul pagi sampai malam dan tak berpisah untuk
selamanya?"
"Persahabatan macam begitulah yang Titli inginkan dengan Tian-siauhiap!"
sambung Hoan Soh-ing.
Liu Tiong-ho mengamati tubuh si nona yang tinggi semampai. wajahnya yang
cantik dan gerak-geriknya yang bersifat ke-laki2an, mendadak ia seperti
memahami sesuatu.
Hubungan antara laki dan perempuan, di atas cinta sebagai kekasih, cinta
persahabatan adalah cinta yang paling luhur dan paling suci! Sebelum bertapa,
Liu Tiong-ho sendiripun seorang laki2 yang mudah jatuh cinta, ia dapat
merasakan betapa suci bersihnya cinta persahabatan seperti yang dimaksudkan.
Maka tiba2 ia jadi memahami apa yang dimaksudkan "sahabat" oleh Hoan Soh-
ing.
Cinta nona ini jauh di atas napsu berahi dan sifat mementingkan diri sendiri, ia
rela mengorbankan dirinya bagi sahabat, tiada maksud memilikinya sendiri,
tiada cemburu.
Kejadian ini memang langka sekali di dunia ini, adat umumnya juga tidak
memungkinkan adanya cinta semacam ini. Karenanya orang tua itu hanya
tertawa getir sambil menggeleng kepala.
"Hian-tit-li!" katanya kemudian, "mungkin kau telah melupakan sesuatu,
sekarang Tian-hiantit telah meninggal dunia, apa yang kau harapkan mungkin
tak bisa terwujud untuk selamanya!"
"Tak apalah!" jawab nona itu tanpa berpikir, "aku akan mengubur jenasahnya,
kemudian membuat rumah gubuk di depan kuburannya dan menemani dia
selama hidupku."
Sekali lagi Liu Tiong-ho melengak Inilah pernyataan cinta yang tulus dan ikhlas,
penyataan suci tentang cinta dari mulut seorang dara cantik, pernyataan ini
membuat hatinya terharu, ia mulai berpikir tentang Tian Pek, dengan apakah ia
berhasil merebut hati gadis yang cantik dan perkasa ini?
Akhirnya dia menghela napas, sambil berpaling ke arah keempat nona lainnya ia
berkata: "Baiklah, urusan Tian-hiantit sudah ada yang akan menyelesaikannya,
nona Hoan telah menyanggupi untuk merawat kuburannya, aku rasa kalian pun
boleh tinggalkan tempat ini dan pulang ke rumah
masing2."
"Ayah, apa maksud ucapanmu itu?" tiba2 Cui-cui berseru menentang. "urusan
penguburan engkoh Tian sudah menjadi kewajiban bagiku untuk mengurusnya”
Buyung Hong dan Wan-ji maju pula ke depan seraya berseru 'Kami berdua
dijodohkan secara resmi kepada Tian-siauhiap, soal penguburan jenasahnya
adalah tugas kami berdua."
Liu Tiong-ho betul2 heran, seorarg laki2 yang telah meninggal masih dicintai
oleh sekian banyak anak dara, daya tarik apakah yang dimiliki anak muda itu
sehingga begitu banyak gadis yang ter-gila2 kepadanya?
Tapi ia sudah mempunyai perhitungan sendiri, segera ia bertanya pula: "Apa
yang akan kalian kerjakan setelah mengubur jenasah Tian-hiantit?"
"Kami akan mengikuti jejak enci Hoan, mendirikan gubuk di depan kuburannya
dan menemaninya selama hidup!" jawab Cui-cui, Buyung Hong dan Wan-ji
hampir berbareng.
"Empat gadis menemani sebuah kuburan?" Liu Tiong-ho tertawa getir, "dunia
seluas ini mungkin tidak banyak terjadi hal menarik seperti ini!"
Belum selesai ucapannya, Kim Cay-hong telah maju dan menanggapi:
"Keponakanmu yang bodoh juga ingin mengikuti jejak keempat saudara yang
lain!"
Kali ini bukan Liu Tiong-ho saja yang melenggong, bahkan semua orang, setiap
jago yang hadir di situ terrcengang.
"Benar2 kejadian yang aneh!' demikian mereka berpikir, "lima orang gadis cantik
rela hidup menjanda karena kematian seorang laki2 . . betul2 peristiwa yang
belum pernah terjadi sebelumnya . . "
Mencorong sinar mata Liu Tiong-ho, ia memandang sekejap wajah Kim Cay-
hong, Wan-ji, Buyung Hong, Hoan Soh-ing serta puterinya, kemudian
bergumam: "Memang sulit untuk menyelesaikan persoalan semacam ini Ai,
agaknya terpaksa harus suruh Tian-hiantit menyelesaikan sendiri urusan ini!"
Sungguh aneh! Orang mati mana bisa mengurusi persoalannya lagi?
Selagi semua orang tertegun heran Liu Tiong-ho telah menghampiri tubuh Tian
Pek, beruntun ia menepuk tiga kali di-umbun2 kepala anak muda itu.
Liu Tiong-ho tersohor karena iimu pertabibannya yang sakti, sebelum menjadi
pertapa, ketika masih tergabung dalam Kanglam-jit-hiap, ia tersohor dalam
dunia persilatan karena ilmu pertabibannya dan ilmu berenangnya yang tinggi.
Setelah menjadi pertapa, ia semakin memperdalam kepandaian pertabibannya
itu dengan harapan bisa banyak menolong jiwa manusia. Dengan sendirinya
ilmu pengobatannya sekarang sudah mencapai kemajuan yang pesat, iapun
memiliki cara pengobataan yang berbeda dengan ilmu pengobatan biasa.
Kebanyakan orang persilatan mengobati orang dengan ilmu Tui-kiong-Khi-hiat
(menguruti nadi menghidupkan jalan darah atau Lwe-kong-liau-siang
(menyalurkan tenaga dalam untuk menyembuhkan luka). Caranya menekan
batok kepala si penderita yang dilakukennya itu jarang ditemui di dunia.
Hakikatnya tepukan tersebut mengandung hawa sakti Bu-siang-hian-kang-ceng-
khi, hawa sakti itu disalurkan masuk melewati Hoa-kay-hiat di ubun2, dengan
menembus jalan darah Thian-leng dan Ci-hu-hiat akhirnya mencapai Ni wan-hiat
serta Hoan-bun-hiat sehingga semua nadi penting si penderita menjadi lancar
dan darahpun mengalir lagi.
Dalam keadaan begitu, betapa parahnya luka seseorarag segera akan sadar
kembali, kemudian bila diberi tetesan Leng ci yang berusia ribuan tahun, luka si
penderita seketika akan sembuh dengan cepat.
Semua orang sudah menyaksikan kehebatannya waktu menolong Wan-ji, maka
ketika melihat dia akan menyembuhkan Tian Pek yang jelas2 telah disiarkan
sudah mati, serta merta semua orang maju dan mengerumuninya.
Ketika itu Liu Tiong-ho sudah menepuk tiga kali, hawa sakti Hian-kang ceng-khi
tingkat tinggi telah disalurkan menembusi jalan darah di ubun2 terus menembus
semua jalan darah. Sekujur tubuh Tian Pek segera bsrgetar keras, giginya yang
terkatup tiba2 membuka dengan sendirinya.
Dengan cepat Liu Tiong-ho membuka tutup botolnya dan meneteskan cairan
Leng-ci ke dalam mulutnya, setetes. ... dua tetes , . tiga tetes sampai sembilan
tetes kemudian, Tian Pek baru merintih dan pelahan membuka matanya.
Semua orang berseru kaget, paman Lui acungkan jempolnya sambil bersorak
kegirangan: "Liu-hiante, kau memang hebat sekali!"
"Hahaha, saudara Lui terlalu memuji! Andaikata beberapa hari yang lelu aku
tidak menemukan Lengci berusia ribuan tahun di suatu gua rahasia dan
membuat satu botol cairan Lengci yang hebat, sekalipun ada malaikat yang
turun dari kayangan pun belum tentu dapat menyelamatkan jiwa Tian-hiantit!"
Tiba2 paman Lui seperti teringat sesuatu, ia berseru: "Berbicara pulang pergi,
tampaknya sejak tadi Liu hiante sudah menemukan cara untuk menyembubkan
Tian hiantit kita ini. Tapi sengaja tidak kau katakan karena kau mempunyai
tujuan tertentu?"
Kali ini Liu Tiong-ho tidak tertawa, ia memandang sekejap ke arah Tian Pek, lalu
mengangguk: "Tebakan Lui heng memang betul! Aku memang sengaja
menyiarkan bahwa Tian hiantit tak tertolong lagi dengan tujuan agar ia bisa
terlepas dari belenggu cinta, tapi bukti telah berbicara lain,
sekalipun keponakan Tian benar2 sudah meninggal, benang cinta yang
membelenggunya tetap tak bisa dilepaskan."
Dalam pada itu kelima gadis cantik tadi sedang mengerumuni Tian Pek, ada yang
membersihkan noda darah di tubuhnya, ada yang membalutkan lukanya, ada
pula yang menguruti jalan darahnya. . , . .
Keadaan Tian Pek waktu itu seperti seorang pangeran yang baru mendusin dari
tidur yang nyenyak, di bawah pelayanan lima orang nona cantik jelita, ia duduk
bersila di tanah, ia kelihatan melongo bingung,
Jangankau Tian Pek, sekalipun orang lain juga akan terbelalak dan tak habis
mengerti bila menghadapi kejadian seperti ini, mereka pasti akan mengira
dirinya sedang bermimpi.
Akhirnya kesadaran Tian Pek pulih kembali seperti sedia kala, ia memandang
wajah kelima nona itu secara bergantian, kemudian air mukanya berubah
merah, ia merasa bahagia karena mendapat pelayanan kelima orang gadis
cantik, tapi ia pun merasa malu karena semua itu dialaminya di badapan orang
banyak.
Ia bergerak dengan alis bekernyit.
"Engkoh Tian, badanmu masih sakit?" segera Wan-ji menegur.
"Engkoh Pek! Bagaimana rasa isi perutmu sekarang?" tanya Buyung Hong.
"Engkoh. . . .Tian-siauhiap, lukamu sudah sembuh?" sambung Kim Cay-hong.
Hanya Hoan Soh-ing yang tidak bersuara, matanya yang jeli memandang
pemuda itu dengan mesra, mukanya berseri, tapi air matanya mengembeng di
kelopak matanya.
Cui-cui memayang anak muda itu dan berbisik lembut: "Beristirahatlah sejenak
lagi! Lukamu tidak ringan. . .."
Lima orang nona cantik dengan perhatian yang sama, pelayanan yang sama,
serta kemesraan yang sama pula.
"Aku sudah sehat!" ujar Tian Pek seraya menggeleng kepala, di bawah
bimbingan kelima nona, pelahan ia bangkit berdiri.
Ketika ia memandang ke depan. ia lihat seorang pertapa tua sedang berdiri di
samping paman Lui, mereka sedang memandangnya sambil tersenyum.
Tian Pek jadi malu, di samping itu iapun lantas mengerti bahwa jiwanya pasti
telah ditolong oleh orang tua itu.
Sebelum ia maju untuk memberi hormat, paman Lui telah berkata lebih dahulu:
"Keponakan Tian, hayo kemari dan mamberi hormat kepada pamanmu yang
keenam! Beliau ini tak lain adalah saudara angkat ayahmu di masa lalu, Gin-san-
cu Liu Tiong-ho!"
"Lukanya belum sembuh tuntas, biarkan dia duduk bersila lebih dulu, tak perlu
banyak adat. . . " cepat Liu Tiong-ho mencegah.
Tapi Tian Pek sudah keburu melangkah maju dan berlutut seraya bekata:
"Paman, terimalah penghormatan keponakan, Tian Pek!"
"Keponakanku, tak perlu banyak adat!" Meski di mulut orang tua itu berkata
demikian, tapi diam2 ia menaruh simpatik kepada anak muda itu.
Sama2 putera saudara angkatnya, sama2 memberi hormat kepada Cianpwe
yang baru ditemui untuk pertama kalinya, tapi Bu-lim-su-kongcu hanya menjura
sekadarnya, sebaliknya Tian Pek melakukan penghormatan besar dengan
menyembah. Meski hanya soal tata adat, namun dari sini dapat diketahui bahwa
Bu-lim-su-kongcu angkuh dan tak tahu adat, bcrsikap tak hormat terhadap
Cianpwe. Sebaliknya Tian Pek jujur dan polos, dia menghormati kaum tua, dan
dari sini pula Liu Tiong-ho lantas memahami sebab apa kelima nona cantik itu
hanya mencintai Tian Pek seorang dan tidak mencintai pemuda lainnya.
Semcntara itu Tian Pek telah berkata. "Tatkala mendiang ayahku mendapat
celaka, Lak-siok (Paman keenam) adalah satu2nya orang yang membantu
mendiang ayahku, terimalah hormat dan terima kasihku, paman!” Kembali ia
berlutut dan menyembah tiga kali.
Bu-lim-su-koogeu sudah mengetahui pula cerita tentang Kanglam-jit-hiap,
mereka pun memahami perbuatan tidak pantas mendiang ayah2 mereka.
Ketika mendengar ucapan Tian Pek mereka jadi malu dan menyesal.
Di pihak lain, ketika sembilan orang ketua sembilan besar melihat Gin-san-cu Liu
Tiong-ho mempunyai kemampuan menghidupkan kembali orang yang telah
mati, mereka juga lantas maju ke muka dan mohon penyembuhan bagi anak
buahnya. Tentu saja Liu Tioug-ho tak dapat menolak-nya, maka ia pun menolong
mereka yang terluka.
Sementara ia menyembuhkan luka jago2 silat itu, paman Lui menggunakan
kesempatan itu untuk mengecek kebenaran berita tenggelamnya Kaucu Lam-
hay-bun yang teetimpa angin topan.
"Aku tidak bohong!" demikian Liu Tiong-ho menjawab. "Hal itu memang benar2
terjadi. Ai, untung aku tidak ikut rombongan mereka, kalau tidak aku pasti akan
ikut terkubur di dasar lautan!"
Ia lantas menceritakan pula apa yang sudah terjadi di pulau Mo-kui-to.
Kiranya setelah Hay-liong-sin Liong Siau-thian mengutus putera puterinya
menyerbu ke daratan Tionggoan dalam dua gelombang, kemudian ia mendapat
laporan dari Sin-liong-taycu bahwa sebagian besar dunia persilatan Tionggoan
telah jatuh ke dalam cengkereman mereka, dalam pertemuan Enghiong-tay-hwe
yang akan diselenggarakan di Siau-lim-si pada bulan sebilan tanggal sembilan
nanti, semua jago persilatan yang menentang mereka akan dapat ditumpas dan
dunia persilatan akan terjatuh ke tangan mereka.
Girang sekali Hay-liong-sin mendapat kabar itu, serentak ia kumpulkan dua ratus
anak buah, dengan menumpang tiga buah kapal berangkatlah ke daratan
Tionggoan.
Liu Tiong-ho sendiri karena sudah ada persetujuan dengan Hay-liong-sin, ia
tetap tinggal di pulau itu untuk meneruskan pertapaannya dan tidak
mcncampuri urusan dunia persilatan lagi.
Tapi tak lama setelah Hay-liong-sin dan rombongan berangkat, tiba2 Liu Tiong-
ho mendapat firasat tidak enak, merasa rindu pada puteruinya si Cui-cui yang
merantau di daratan, suatu hari dia menumpang perahu dan tinggalkan pulau
tersebut.
Di tengah laut ia bertemu dengan beberapa perahu besar yang mendekati Mo-
kui to, perahu kaum bajak laut, sudah lama mereka mengincar Mo-kui-to dan
ingin dijadikan markas mereka, sudah beberapa kali menyerbu ke pulau
tersebut, tapi setiap kali mereka dipukul mundur oleh Hay-liong-sin dan
begundalnya.
Liu Tiong-ho tak nau cari gara2, pertama karena jumlah lawan sangat banyak.
kedua ia pun tak ingin melakukan pembunuhan, maka ia hanya memperingatkan
perampok laut itu agar hati2 terhadap pembalasan dendam dari Hay-liong-sin.
Mendengar nasihat itu, kawanan perompak itu mentertawakannya dan berkata:
"Hay-liong sin sudah tercebur ke dalam laut, ia tak akan kembali lagi untuk
selamanya. Hahaha, jangan mimpi lagi akan munculnya dalam keadaan hidup!"
Liu Tiong-ho belum mau pcreaya, tapi sepanjang perjalanan betul ditemuinya
banyak mayat yang mengapung di lautan, di antaraya tampak pula pecahan
kayu perahu, sampai di daratan ia mendengar cerita orang tentang banyaknya
perahu yang tenggeiam tertimpa angin topan, barulah ia psrcaya apa yang
didengarnya itu memang betul.
Mendengar centa ini semua orang merasa senang dan lega, kata mereka dengan
wajah berseri "Kalau begitu, daratan Tionggoan masih ada harapan untuk
diselamatkan dari badai pembunuhan asal Sin-liong-taycu diusir pergi, dunia
tentu akan aman!"
"Tak perlu diusir lagi," kata Liu Tiong-ho, "sekarang Sin-liong-taycu tentu lebih
menguatirkan keselamatan sarangnya, saat ini dia pasti sudah berangkat
menyeberangi lautan dan kembali ke pulaunya!"
Semua orang jadi gembira dan merasa lega karena badai pembunuhan yang
mengerikan bisa terhindar tanpa diduga.
Liu Tiong-ho lantas berkata kepada Tian Pek: "Mungkin dunia persilatan akan
mengalami masa damai untuk sekian waktu. Hian-tit, apa rencanamu
selanjutnya"
Tian Pek tidak lantas menjawab, ia pikir sakit hati ayahnya sudah terbalas,
hidupnya sebatang-kara, pertempuran yang baru dialaminya telah mengubah
cara berpikir pemuda ini, melihat keagungan Liu Tiong-ho, tiba2 timbul
ingatannya untuk bertapa.
Maka ia menjawab: "Siau-tit merasa tak ada gunanya mencampuri urusan dunia
ramai lagi, maka ingin meniru Lak-siok dan hidup bertapa di tempat
pengasingan!"
Ter-bahak2 Liu Tiong-ho, ia menuding kelima nona yang berkerumun di sana,
katanya: "Siapapun boleh menjadi pertapa, hanya kau seorang yang tak
mungkin bisa melaksanakan niatmu. Coba lihatlah, bibit cinta yang kau tanam
kini telah mulai bersemi dan berbuah.'
Mula2 kelima nona itu tertegun mendengar jawaban Tian Pek, tapi wajah
mereka jadi merah sesudah mendengar ucapan Liu Tiong-ho.
Tian Pek berpaling dan memandang sekejap kelima nona itu, ia mengerti apa
yanp telah terradi, alisnya langsung bekernyit.
Lima pasang mata sedang memandangnya dengan pandangan mesra, pikirannya
jadi kalut ia merasa bingung dan tak tahu bagaimana mengatasi
masalah tersebut.
Liu Cui-cui telah mengandung, nona ini tidak berdandan, rambutnya tidak disisir,
tampangnya kelihatan kuyuh. Buyung Hong yang semampai, kelihatan lemah tak
bertenaga, Wan-ji yang polos, Kim Cay-hong yang lembut, Hoan Soh-ing yang
mengulum senyum.
Lima nona dengan kemesraan yang sama hangatnya, dengan cinta yang sama
dalamnya telah membelenggu dirinya, ini membuat anak muda itu tak bisa
berbuat apa2.. ..
Setelah putar otak dan mencari akal, akhirnya dia keraskan hati, mendadak ia
lolos Pedang Hijau dari sarungnya.
Kilatan cahaya hijau berkilau membuat semua orang tertegun, tak seorangpun
mengerti apa sebabnya Tian Pek melolos Pedang Hijau yang tak pernah
digunakan meski waktu bertempur melawan ketujuh jago Lam-hay-bun.
"Hian-tit, apa yang akan kaulakukan?"* Liu Tiong-ho segera menegur.
“Orang kuno pernah memutus benang cinta dengan Hui-kiam (pedang
bijaksana), maka sekarang aku juga ingin meniru cara orang kuno memutuskan
benang cinta dengan Pedang Hijau ini!"
Seraya berkata ia lantas angkat Pedang Hijau keatas.
"Cinta kasih para nona biarlah Tian Pek terima di dalam hati!' demikian ia
berkata. “Mulai detk ini hubungan kita putus sampai di sini, kita akan hidup
dengan menempuh caranya masing2, siapapun tidak ada hubungan lagi satu
dengan yang lain"
Begitu habis berkata ia lantas berlalu.
Liu Cui-sui menjerit tertahan, cepat ia memburu ke sana dan mengadang jalan
pergi anak muda itu sambil berseru: "Orang lain boleh tak dihiraukan olehmu,
tapi aku tak dapat kau tinggalkan! Sebab dalam perutku telah ada anakmu! Anak
yang kukandung ini adalah darah dagingmu!"
"Anakku? Darah dagingku...?” gumam Tian Pek dengan bingung.
Buyung Hong dan Wan-ji juga melompat ke depan, seru mereka: 'Kami berdua
telah kau nikahi secara resmi, kami berdua tak dapat kau tinggalkan dengan
begini saja!”
Hoan Soh-ing tidak tinggal diam, iapun melompat ke depan seraya berseru: "Kau
boleh menjadi pendeta, boleh tak beristeri tapi aku kan sahabat karibmu, kalau
aku ikut pergi bersamamu tentunya tak beralangan bukan?"
Pelahan Kim Cay-hong juga maju ke depan, bisiknya dengan kepala tertunduk:
"Ke ujung langit atau ke dasar lautan kau akan pergi, selamanya akan
kudampingimu!"
Tian Pek benar2 bingung oleh kenyataan itu!
Liu Tiong-ho tak dapat menahan rasa gelinya lagi, ia tertawa ter-bahak2:
“Hahaha, meski pedangmu tak berperasaan, tapi sayang tak dapat memutuskan
tali cinta yang halus dan ulet!"
Tian Pek mendepakkan kakinya ke tanah, serunya: "Ah, terserah kemauan
kalian!”
Dengan menahan rasa sakit di badan, selangkah demi selangkah ia pergi dari
situ, sementara lima orang nona cantik mengikut di belakangnya.
"Siau-in-kong..!" tiba2 Tay-pek-siang-gi berteriak sambil mengejar, tapi Liu
Tiong-ho segera menarik tangan kedua orang itu sambil menggoda: "Hei, mau
ke mana kalian? Masa kalian orang laki2 juga mau minta bagian. .?"
Gelak tertawa lah orang banyak bergemuruh.
Setelah urusan terselesaikaa seluruhnya, kawanan jago pun mulai berpamitan
dan berlalu.
Akhirnya paman Lui menarik Liu Tiong-ho dan mengajaknya: "Sudah belasan
tahun kita tak berkumpul, marilah kita minum sepuasnys!"
"Sayang, kini aku pantang makan dan pantang minum," kata Liu Tiong-ho
dengan tertawa.
"Tidak minum arak, minum air juga boleh, hayo kita minum tiga gentong besar!"
paksa paman Lui.
—oOo— —oOo—
Sang surya telah berada di tengah angkasa, suasana di tempat itu sunyi kembali,
tak seorang-pun yang tinggal di situ.
Beberapa tahun kemudian suasana di dunia persilatan benar2 aman tenteram
dan sejahtera tak pernah terjadi peristiwa apapun.
Rakyat di sekitar danau Tong-ting-oh seringkali menjumpai seorang pemuda
tampan sedang menemani lima nyonya cantik bermain sampan di tengah telaga.
Yang aneh adalah ternyata kelima nyonya cantik itu masing2 menimang seorang
bayi yang montok dan mungil, mereka saling bercanda dengan gembiranya.
Siapakah mereka? Tentu pembaca dapat menebak bukan? Mereka tak lain
adalah Tian Pek beserta kelima isterinya yang cantik, Liu Cui-cui, Buyung Hong
Tian Wan-ji, Kim Cay-hong serta Hoan Soh-ing.
Seorang laki2 dengan lima orang isteri cantik plus lima anak “Hopo tumon”?
Agar sementara pembaca tidak merasa penasaran, perlu dimaklumi bahwa pada
jaman feodal dahulu soal poligami memang tak terbatas. satu dan lain
bergantung pada "sikon", situasi dan kondisi.
Situasi sudah jelas diterangkan di atas, kondisi, barangkali Tian Pek memang
"superman", seorang pencinta yang adil dan bijakssna.
Sampai di sinilah kisah Hikmah Pedang Hijau pun berakhir, moga2 Anda puas
dan sampai berjumpa pada lain kesempatan.
TAMAT
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar