Cersil : Hikmah Pedang Hijau 4

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 07 Oktober 2011

Agaknya Sin-liong-taycu terdesak, ia tidak mampu menjawab kecuali tertawa

cengar-cengir.

Lalu nona itu berkata dengan ketus: "Mendingan kau berbuat tidak se-mena2 di

rumah sendiri, tapi dalam perjalanan kita ke daratan Tiong-goan ini, ayah telah

memberikan tugas berat di atas pundakmu, kalau kau masih saja bertindak

sembrono, usaha besar kita tentu gagal total. Hayo cepat buka-pintu ruangan

ini!"

Tampaknya Sin-liong-taycu keberatan untuk membukti pintu, sambil tertawa ia

mencari alasan, katanya: "Sumoay lebih baik jangan kau buka pintu ruangan ini,

Kungfu musuh kita ini terlampau tangguh, baru saja aku embuskan 'dupa liur

naga' untuk bikin mabok dia, mungkin dia belum lagi roboh pingsan."

"Sudah, tak perlu cari alasan lagi, mau buka tidak?" bentak nona itu seperti

habis sabarnya.

Sin-liong-taycu berusaha pula mengurungkan niat nona itu, tapi si nona

mendadak berseru: "Hm, kau tak mau membukanya, menangnya aku tak bisa

membukanya sendiri?"

"Kreek!" lempengan baja yang menutup jendela dan pintu perlahan-lahan

bergeser dan terbukalah ruangan itu, asap yang memenuhi ruangan itu segera

tersebar kemana-mana.

Nona itu tidak langsung melangkah masuk, ia lepaskan dua biji bola kecil ke

dalam, "blang. blang", asap hijau terpancar, menyusul kabut putih yang semula

menyelimuti seluruh ruangan lantas tersapu bersih.

Sesudah asap lenyap, gadis itu baru melangkah ke dalam ruangan disusul Sin-

liong-taycu di belakangnya, tapi mereka lantas berseru kaget dan berdiri

melongo.

Ruangan itu kosong tak berpenghuni lagi, bukan saja Tian Pek tak ketahuan ke

mana perginya, malahan Kim Cay-hong yang telanjang bulat dan terpengaruh

oleh obat perangsang pun lenyap tak berbekas.

Lama sekali Sin-liong-taycu berdiri termangu-mangu, sebaliknya Lam-hay-liong-li

sambil mencibir lantas mengejek: "Koko, di mana orang yang kau bekuk?"

Kendatipun biasanya Sin-liong-taycu cerdik dan banyak tipu muslihatnya, dalam

keadaan seperti ini ia menjadi gelagapan dan tak sanggup menjawab.

Kiranya dikala Lam-hay-liong-li sedang memaksa Sin-hong-taycu membuka

dinding baja yang menutupi jendela dan pintu, Tian Pek serta Kim Cay-hong

telah ditolong oleh seorang gadis bertopeng setan.

Walaupun ketika itu Tian Pek tak mampu bergerak dan tak bertenaga, akan

tetapi nona bertopeng setan itu cukup dikenalnya, dia bukan lain adalah Liu Ciu-

cui yang pernah bermesraan dengannya sewaktu berada disampan kecil di

sungai Hway, kemudian kabur karena kheki ketika berada di Pah-to-san Ceng.

Tian Pek tercengang, ia heran kenapa Cui-cui dipat muncul di tempat ini dan

mau dibawa ke manakah mereka berdua? Tapi karena ia tak mampu berkata,

terpaksa ia diam saja.

Dengan entengnya Liu Cui-cui mengempit Tian Pek dan Kim Cay-hong, dasar

nakal dan suka menggoda, walaupun tahu gadis itu berada dalam keadian bugil,

namun Cui-cui sengaja tidak membungkusnya dengan kain.

Dalam keadaan telanjang bulat itulah Kim Cay-hong dibawa kabur dari ruangan

tersebut, sesudah keluar dan melewati beberapa tikungan sampailah mereka di

sebuah taman bunga, Cui-cui menyelinap ke belakang gunung-gunungan yang

sepi, disana ia membanting kedua orang itu ke atas tanah.

"Hehebe, sebetulnya aku segan menolong kau," katanya kepada Tian Pek sambil

tertawa dingin, "tapi untuk bikin terang janji palsu kaum lelaki macam kau, maka

sengaja kuselamatkan lagi dirimu, Hm, aku ingin tanya, kalau kau sudah menjadi

suami-isteri dengan aku, kenapa dulu kau menyukai seorang Tian Wan-ji dan

sekarang muncul pula seorang Kim Cay-hong? Mungkin saja terus terang, masih

berapa banyak lagi perempuan yang kau kenal?"

Setelah teremhus angin, racun "dupa liur naga" yang mengeram di dalam tubuh

Tian Pek sudah banyak berkurang, walaupun badannya masih lemas akan tetapi

ia sudah dapat berbicara.

Pemuda itu tertawa getir, katanya: "Besar amat rasa cemburumu! Sekalipun

begitu, sebelum jelas duduk persoalannya hendaknya kau jangan sembarangan

menuduh ..."

Lui Cui-cui tertawa dingin, selanya: "Percuma kalau cuma kudengarkan

pengakuan sepihak. Akan kusadarkan dulu nonn ini, kemudian akan kuadu di

hadapanmu, bila dia terbukti punya hubungan apa2 denganmu, hehehe, saat

itulah akan kubikin perhitungan denganmu!"

Berbicara sampai di sini dia lantas mengimbil keluar sebutir pil dan dijejalkan ke

mulut Kim Cay-hong.

Sesaat kemudian sekujur badan Kim Cay-hong tergetar keras dan sadar kembali

dari pingsannya, tatkala melihat seorang makhluk seram bermuka hijau dan

berambut merah berdiri di sisi tubuhnya yang telanjang, ia jadi tercengang.

Kemudian ketika berpaling dan melihat Tien Pek berada di sisinya, Cay-hong

berseru terus menubruk ke dalam pelukan anak muda itu.

Kontan Liu Cui-cui mendengus, jengeknya. "Hm, tekarang apa yang hendak kau

katakan lagi? Kenyataan sudah berbicara di depan matamu sendiri!"

"Cring!" pedang hijau di punggung Tian Pek lantas dicabut. dengan cepat ia

menusuk ulu hati Kim Cay-hong,

"Tunggu sebentar!" teriak Tian Pek.

"Hehehe! Kenapa? Sakit hati?" ejek Cui-cui, setelah berhenti sejenak, dengan

suara yang kasar ia membentak: "Akan kubunuh perempuan ini di depan mu.. ."

Saat itu kekuatan Tian Pek belum pulih, dilihatnya pedang hijau itu hampir

menembus ulu hati Kim Cay-hong dan dirinya tak sanggup mencegah, saking

gemasnya ia tertawa dingin dan berteriak: "Kau kuntilanak! Kau kira setelah kau

bunuh gadis yang tak berdaya ini lantas perasaanku bisa berubah? Hehehe,

jangan mimpi di siang hari bolong."

Sekujur badan Cui-cui gemetar keras mendengar makian itu, pedang hijau yang

hampir menembus ulu hati Kim Cay-hong itu terhenti di tengah jalan, serunya

setengah terisak: "Siapa yang kau maki sebagai Kuntilanak?"

"Siapa lagi? Tentu saja kau. Hm, sebelum tahu duduknya perkara lantas

cemburuan dan main bunuh . . . ."

Belum habis ucapan Tian Pek, badan Cui-cui tampak gemetar, "trang", pedang

hijau itu terlepas dari genggamannya, sambil menutup wajahnya dan menangis

ia putar badan terus kabur dari situ.

Sedari kecil Cui-cui dibesarkan di sebuah pulau terpencil, meskipun tak banyak

tahu urusan tapi cukup memahami betapa kejinya kata "Kuntilanak" tersebut.

Gurunya bukanlah Thian-sian-mo-li sendiri yang tersohor pada dua ratus tahun

berselang, tapi murid.Thian-sian-mo-li yang bernama Kui-bin-kiau-wa Ang-hun-

kut-lau (gadis cantik bermuka setan)

Kisah hidup Kui-bin-kiau-wa ini memang tragis dan mengenaskan, dia asalnya

adalah seorang anak buangan, sebulan setelah dilahirkan bayinya dibuang oleh

orang tuanya di sebuah kuil terpencil disatu bukit, untung Thian-sian-mo-li lewat

disana dan menolong jiwanya, semakin meningkat besar ia diberi pelajaran ilmu

silat yang tinggi.

Ketika usianya meningkat dewasa, paras muka gadis ini ternyata cantik jelita,

ditambah pula kungfunya yang lihiy, banyak sekali kaum muda yang jatuh cinta

dan targila-gila kepadanya.

Kebetulan waktu itu Thian-sian-mo-li mendapat hasutan orang dan karena rasa

ingin menang, ia telah menggunakan ilmu To-li-mo-hun-toa-hoat untuk

mengganggu pertapaan Tiak-gan-longkun, karena peristiwa ini semua jago dunia

persilatan jadi marah dan menuduh Thian-sian-mo-li seorang iblis yang keji.

Oleh karena desakan dan ancaman yang datang dari berbagai penjuru lama2

Thian-sian-mo-li tak dapat menancapkan kakinya lagi di daratan Tionggoan.

akhirnya dia kabur ke lautan dan bersembunyi di sebuah pulau kosong.

Pulau itu adalah sebuah pulau tak bertuan, letaknya di laut selatan, nama

pulaupun tak diketahui, tanah di pulau itu tandus sekali, kecuali batu karang

yang berserakan dimana-mana, hampir boleh dikatakan tiada tumbuhan yang

bisa hidup di situ.

Thian-sian-mo-li dan muridnya mulai membangun rumah, membuat kolam air,

membajak tanah dan menanam pohon, dengan perjuangan mereka yang gigih

dan rajin, akhirnya pulau gersang yang tak berpenghuni itu telah mereka sulap

menjadi pulau yang indah dan subur.

Sebagai seorang jago silat yang lihay, Thian-sian-mo-li telah mengatur

perangkap yang hebat serta alat jebakan yang lihay untuk melindungi pulau itu

dari sergapan musuh, maka dari itu bukan saja pulau itu subur makmur,

penjagaan serta sistem pertahanan di pulau itupun amat tangguh.

Selama perjuangan membuka tanah tandus di pulau tersebut, oleh karena

kekurangan makanan kedua orang itu mengisi perut dengan menangkap ikan

dan udang di laut, kebetulan pula dalam sebuah gua karang di atas pulau itu

hidup sebangsa ikan tawar yang disebut "hiat man" (sebangsa ikan belut) yang

bermanfaat sekali bagi kesehatan badan.

Karena terlalu banyak menyantap ikan belut itu, tanpa disadari tenaga dalam

mereka peroleh kemajuan yang sangat pesat.

Suatu ketika, secara kebetulan kedua orang ini berhasil menangkap seekor ikan

belut berusia ribuan tahun, setelah mereka santap bersama ikan tersebut.

mereka jadi awet muda, kecantikan merekapun tetap abadi walaupun usianya

kian meningkat.

Setelah usia hampir dua ratus tahun, Thian-sian-mo-li baru mengakhiri

hidupnya, dengan begitu maka di atas pulau yang terpencil itu tinggal Kui-bin-

kiau-wa seorang.

Sementara itu pertarungan antara para jago di daratan Tionggoan masih

berlangsung dengan serunya, saling bunuh, saling gontok2an masih terjadi di-

mana2, banyak kaum iblis dan manusia sesat tak bisa menancapkan kakinya

didaratan Tionggoan dan kabur keluar lautan, banyak diantaranya kaum pelarian

itu yang kemudian mendarat di pulau tanpa nama ini.

Waktu itu Kui-bin-kiau-wa sedang ditinggal mati gurunya, ia merasa kesepian

dan murung, maka kedatangan kaum pelarian itu di pulaunya segera disambut

dengan senang hati, di antaranya adalah empat perempuan cabul dari pulau

Tho-hoa-to yang kemudian menjadi Tho-hoa-su-sian, Toa-tiu-kui-ong

berdelapan pencoleng dari Leng-lam yang kemudian menjadi Mo-kui-to-pat

yang lalu Hay-gwa-sam-sat beserta beberapa orang yang akhirnya menjadi

jagoan lihay di pulau tersebut, selain itu banyak pula penjahat lain yang

berkumpul di sana.

Dasar pekerjaan mereka memang merampok, membegal, setelah berada di

pulau itupun mereka tetap meneruskan pekerjaan mereka, setiap ada kapal

pedagang yang bertemu dengan mereka di tengah lautau maka perahu itu pasti

dibajak, dirampok dan penghuninya dibantai habis2an, malahan mereka pun

merampok sampai kesepanjang pesisir, banyak rakyat yang jadi korban sehingga

akhirnya pulau kosong itu lebih tersohor sebagai Mo-kui-to (pulau setan) yang

ditakuti orang.

Suatu pulau yang gersang berubah menjadi taman firdaus, suatu taman firdaus

akhirnya berubah pula menjadi pulau setan, memang begitulah perubahan di

dunia ini yang sukar diduga.

Dalam pada itu, Kui-bin-kiau-wa telah mencintai seorang pesilat muda yang

bernama Liong Siau-thian. yakni Hay-liong-sin yang kemudian tersohor sebagai

Lam-hay-it-kun.

Hubungan kedua orang ini berlangsung dengan mesra, tapi entah apa sebabnya

ternyata suatu ketika Liong Siau-thian telah meninggalkan Kui-bin-kiau-wa dan

kembali ke daratan Tionggoan, ber-tahun2 lamanya orang ini tak ada kabar

beritanya lagi.

Kui-bin-kiau-wa menjadi sedih dan selalu murung. akhirnya ia memutuskan

untuk menyusulnya ke Tionggoan, disana ia temukan Liong Siau-thian telah

kawin dengan perempuan lain, malahan sudah berputera.

Karena cemburu dan gusarnya Kui-bin-kiau-wa mencari ke tempat kediaman

Liong Siau-thian, apa mau dikata, dasar nasibnya memang jelek, suatu ketika ia

dibius oleh seorang teman Liong Siau-thian yang jahat dan diperkosa sampai

beberapa kali.

Dengan alasan inilah Liong Siau-thian menyatakan putus hubungannya dengan

Kui-bin-kiau-wa, bahkan mencaci maki gadis yang malang ini sebagai perempuan

jalang.

Mengalami pukulau batin yang berat ini, hampir saja Kui-bin-kiau-wa menjadi

gila, sejak itulah dia melakukan pembantaian secara besar2an di daratan

Tiongoan, malahan kemudian menjadi seorang perempuan jalang yang

kecabulannva luar biasa, banyak pemuda yang dirusak olehnya, oleh sebab ilmu

silatnya tinggi dan seringkali mengenakan topeng setan, orang persilatan

menyebutnya sebagai Kui-bin-kiau-wa, Ang-hun-kut-lau. si boneka muka setan,

si tengkorak cantik.

Kemudian karena perbuatannya kian hari kian brutal, dunia persilatan jadi

geger, umat persilatan baik dari golongan putih maupun dari kalangan hitam

bersatu padu untuk menumpas dia.

Dalam suatu pertarungan yang seru di puncak Koan-jit-hong Thay-san, ia kena

dihajar sampai terjungkal kedalam jurang, untung umurnya masih panjang, ia

cuma terluka parah, membawa hati yang luka dan badan yang sakit, kembalilah

perempuan malang ini ke pulau Mo kiu-to. sejak itu tak pernah muncul kembali

di dunia persilatan.

Kemudian Liong Siau-thian sendiri karena memperebutkan sejilid kitab pusaka

ilmu silat, ia pun di-buru2 oleh kawanan jago, baik dari golongan putih maupun

dan kalangan hitam, berhubung tak dapat tancapkan kakinya di daratan

Tionggoan, dengan memboyong anak isterinya untuk kedua kalinya dia

mengungsi ke pulau Mo-kui-to.

Entah dengan siasat dan cara bagaimana, akhirnya ia berhasil menundukkan hati

Kui-bin-kiau-wa, malahan mereka bersepakat untuk tinggal ber-sama2, yaitu

Kui-bin-kiau-wa, Liong Siau- thiin serta isterinya.

Berdasarkan kitab pusaka yarg berhasil di dapatkan, Liong Siau-thian

dikemudian hari berhasil mencapai tingkatan sangat lihay, bahkan menyebut

dirinya sebagai Lam-hay-it-kun, kaisar dari lautan selatan dengan gelar Hay-

liong-sin (malaikat naga sakti), ia mendirikan perguruan

Lam-hay-bun, menerima anak murid dan mengangkat dirinya jadi pemimpin

paling tinggi di wilayah itu.

Puteranya sementara itu meningkat dewasa dan menjadi Lam-hay-siau-kun

dengan julukun pangeran naga sakti, sedang isterinya yang dulu melahirkan pula

seorang anak gadis yang kini menjabat pucuk pimpinan dalam penyerbuannya

ke daratan Tionggoan, yaitu Lam-hay-liong-li.

Semenjak kecil Lam-hay-liong-li sudah mengangkat ibunya yang kedua menjadi

gurunya, Kui-bin-kiau-wa sendiripun menyayangi Lam-hay-liong-li, malahan dia

tidak suka pada Lam-hay-siau-kun, karena itu Lam-hay-siau-kun belajar silat dari

ayahnya.

Ber-tahun2 kemudian, orang ketujuh dari Kanglam-jit-hiap, si kipas perak Liu

Tiong-ho kabur pula ke pulau setan dengan membawa puterinya yang masih

kecil karena peristiwa harta karun di telaga Tong-ting-ouw, waktu itu bukan saja

Toakonya, Pek-lek-kiam Tian In-thian, telah terbunuh, isteri Liu Tiong-ho juga

dibantai oleh kelima saudara angkat sendiri, maka dalam keadaan kepepet ia

kabur ke luar lautan.

Puterinya, Liu Cui-cui, karena berwajah cantik dan berpembawaan menarik,

pada usia tiga belas tahun, amat disayang oleh Lam-hay-it-kun, ia diperintahkan

untuk melayani Lam-hay hong-li.

Sebagai anggota Kanglam-jit-hiap, Liu Tiong-ho tentu saja tak setuju puterinya

dijadikan budak oleh orang, tapi keadaan waktu itu amat terdesak, berada di

rumah yang pendek, mungkinkah ia tak tunduk kepala?

Liu Tiong-ho cukup memahami posisinya pada waktu itu, ia membutuhkan

perlindungan dari Lam-hay-bun sekalipun dalam hati kecilnya ia sangat marah

karena puterinya dijadikan budak, namun iahirnya ia pura2 setuju.

Siapa tahu karena bencana Cui-cui malah mendapat rejeki, berhubung setiap

hari ia melayani Lam-hay-liong-li, akhirnya ia dipenujui oleh Kiu-bin-kiau-wa,

maka gadis itu diterima menjadi muridnya yang kedua.

Dasar otaknya memang cerdik dan bakatnya lebih bagus daripada Lam-hay-

liong-li, walaupun Liu Cui-cui belajar lebih belakangan, namun Kungfunya justeru

di atas Lam-hay-liong-li. bukan begitu saja, malahan ilmu Toh-mi-hun-toa-hoat

yang diturunkan Thian-sian-mo-li kepada Kui-bin-kiau-wa pun telah diwariskan

pula kepadanya.

Si kipas perak Liu Tiong-ho sendiri, sekali pun tidak ikut serta dalam rencana

pembunuhan atas diri Pek-lek-kiam Tian In-thian, pada hakikatnya ia sendiripun

menyimpan suatu rahasia pribadi.

Kiranya ketika dengan kemahirannya berenang ia menyelam ke gua harta karun

itu, secara diam2 ia telah menyembunyikan isi kitab pusaka Bu-hak-cinkeng,

sampul depan kitab itu dirobek dan ditempelkan pada sejilid kitab rongsokan

yang lain, sebab itulah setelah kelima saudura angkat lain membunuh sang

Toako dan mengusir Liu Tiong-ho, waktu pembagian harta, Kim-kun-ciang In

Tiong-liong mendapatkan kitab Bu-hak-cinkeng palsu.

Itulah sebabnya putera In Tiong-liong, yaitu An-lok Kongcu In Cing, setiap hari

tak pernah meninggalkan kitab rongsokannya, dan di situlah sebabnya mengapa

ilmu silat An lok Kongcu tak berhasil mencapai tingkatan yang paling tinggi

kendatipun ia menyelami isi kitab tersebut secara seksama.

Seandainya tidak terjadi peristiwa ini, mungkin di dunia persilatan takkan

muncul empat Kongcu, bisa jadi seluruh kolong langit ini sudah menjadi wilayah

kekuasan An-lok Kongcu seorang.

Liu Tiong-ho sendiri setelah berhasil membawa kabur Bu-hak-cinkeng yang asli

keluar lautan, sambil menahan penderitaan dan penghinaan ia berlatih secara

rajin dan tekun dengan harapan bila sudah menguasai ilmu silat yang tinggi,

maka dia akan pulang ke daratan Tionggoan untuk menuntut balas.

Tapi takdir menghendaki lain, tatkala sebagian besar isi Bu-hak-cinkeng berhasil

dikuasainya, ternyata ia mampu menguasai emosinya sendiri, api dendanmya

boleh di bilang telah padam semuanya.

Perlu diketahui Bu-hak-cinkeng adalah kitab pelajaran agama To, meskipun ilmu

silat yang tercantum di dalam kitab itu lihaynya tidak kepalang, namun yang

dititik-beratkan dalam pelajaran tersebut adalah tentang ketenangan, dengan

ketenangan jiwa, ketenangan pikiran dan hidup damai di dunia, sebab itulah

setelah berhasil dengan pelajarannya, Gin-san-cu Liu Tiong-ho berbalik segan

untuk muncul kembali di daratan Tioggoan, malahan niatnya untuk membalas

dendampun sama sekali lenyap.

Malahan kipas peraknya yang selama ini selalu diandalkan telah dihadiahkan

kepada Lam-hay-siau-kun.

Dalam waktu senggangnya seringkali ia ber-cakap2 dengan puterinya,

mengisahkan kembali peristiwa lama dan mengisi hari2 yang penuh kesepian itu

dengan gelak tertawa dan berbicara,

Tidaklah heran kalau Liu Cui-cui sangat memahami duduk persoalannya

mengenai Kanglam-jit-hiap.

Kendati pun Liu Tiong-ho sudah meremehkan soal pembalasan dendam,

berbeda dengan Liu Cui-cui, setiap saat ia selalu teringat dendam kematian

ibunya.

Seringkali ia bermaksud berangkat ke daratan Tionggoan untuk menuntut balas,

tapi setiap kali maksud itu berhasil diurungkan oleh ayahnya.

Setiap ada waktu senggang, Liu Tiong-ho selalu mewariskan pelajaran Bu-hak-

cinkeng kepada puterinya, ia selalu menasihati puterinya tentang budi, dendam,

cinta, benci, kemewahan dan kemiskinan yang berada di dunia ini tak lebih

hanya soal kosong belaka.

Ia berusaha mematangkan pikiran anak dara itu, agar ia berpandangan lebih

terbuka, namun Liu Cui-cui berwatak keras, dihadapan nyahnya ia mengangguk,

namun niat untuk membalas dendam bagi ibunya tak pernah goyah.

Suatu hari, Kui-bin-kiau-wa meninggal dunia, dengan kematian perempuan itu

otomatis kekuasaan tertinggi di pulau Mo-kui-to pun beralih ke tangan Lam-hay-

it kun.

Waktu itu Lam-hay-it-kun menganggap sayapnya telah tumbuh dengan kuat,

ambisinya merajai daratan Tionggoan segera berkobar, apalagi rasa dendamnya

terhadap kawanan jago yang pernah mengejar dirinya tak pernah padam, ia

lantas mengutus putera-puterinya dengan membawa Hay- gwa-sam-sat, Tho-

hoa-su-sian, Mo-kui-lo-pat-yau serta sekalian jago lihay Lam-hay-bun untuk

menyerbu ke daratan Tionggoan.

Pada kesempatan itulah Liu Cui-cui pun untuk pertama kali ikut meninggalkan

Mo-tui-to menuju ke daratan.

Sesaat sebelum berangkat, Liu Tiong-ho sempat memperingatkan puterinya, ia

berpesan begini: "Puteriku, pemuda di daratan Tionggoan kebanyakan berwajah

tampan dan menarik hati, ketahuilah imanmu kurang teguh. janganlah kau

menjerumuskan diri ke jaring cinta, sebab sekali kau terjerumus maka untuk

selamanya takkan mampu meloloskan diri lagi!"

Atas nasihat tersebut, Liu Cui-cui hanya tersenyum saja, dalam anggapannya,

Lam hay-it-kun dan Lam-hay-siau-kun berdua yang bangor pun bisa

dihindarinya, apalagi laki2 lain, ia menganggap tak akan ada laki2 di dunia ini

yang mampu memikat hatinya, maka pesan sang ayah sama sekali tak digubris.

Begitu tiba didaratan Tionggoan, pekerjaan pertama yang dilakukannya adalah

membalas dendam bagi kematian ibunya, diam2 ia meninggalkan Lam-hay-

liong-li dan berangkat ke istana Kim di kota Lam-keng untuk menyelidiki gerak-

gerik Cing-hu-sin Kim Kiu dan untuk pertama kalinya pula ia berkenalan dengan

seorang pemuda yang ditolongnya ditepi sungai Hway, apa mau dibilang lagi,

ternyata ia terjerumus ke dalam jaring cinta.

Dari Pedang Hijau Tian Pek ia lantas mengetahui akan asal-usul pemuda itu,

maka ditolongnya Tian Pek dan dirawat luka racunnya di suatu kuil.

Kemudian sebagaimana sudah diceritakan, makin lama rasa cintanya kepada

pemuda itu makin mendalam, sampai akhirnya ia merasa tak dapat hidup tanpa

didampingi oleh anak muda itu.

Tidak heran kalau ia menjadi sedih dan sakit hati ketika Tian Pek memakinya

sebagai Kuntilanak,

Sebagaimana diketahui, Lam-hay-it-kun Liong Siau-thinn adalah lelaki bejat,

sababnya dia meninggalkan Kui-bin-kiau-wa dulu tak lain karena ia hendak

mengawini Tionggoan Giok-li, perempuan tercantik di daratan Tionggoan.

Kemudian setelah Tionggoan Giok-li melahirkan anak, karena dimakan usia,

apalagi wajah Kui- bin-kiau-wa jadi rusak akibat terjatuh ke dalam jurang di

puncak Koan-jit-hong, Lam-hay-it-kun merasa muak untuk berhubungan dengan

mereka lagi.

Untuk melampiaskan hawa napsunya, sering- kali ia mengadakan hubungan

gelap dengan Tho-hoa-so-sian.

Akhirnya rahasia ini diketahui juga oleh Kui-bin-kiau-wa, kalau terhadap

Tionggoan Gok-li ia masih bisa bersabar, maka terhadap penyelewengannya

dengan Tho-hoa-su-sian tak bisa diterima dengan begitu saja, seringkali ia

cekcok dengan Lam-hay-it-kun!, seringkali Lam-hay-it-kun memaki Kui-bin-kiau-

wa sebagai Kuntilanak, tidak heran kalau Liu Cui-cui apal sekali dengan kata?

makian terisebut.

Lam-hay-it-kun sendiripun beberapa kali hendak menodai Liu Cui-cui tapi setiap

kali berhasil ia hindari dengan selamat, sebab itulah meskipun diluarnya ia

tunduk kepada pihak Lam-hay-bun, pada hakikatnya rasa bencinya terhadap

Lim-hay-it-kun telah merasuk ke tulang sumsum.

Sekarang Tian Pek memakinya dengan ucapan yang seringkali dipakai Lam-hay-

it-kun, tak heran rasa sedihnya luar biasa, sambil membuang pedang hjau itu ia

lari sembari menahan isak tangis.

Belum jauh gadis itu pergi, tiba2 terdengar suara tertawa dingin memecahkan

kesunyian, sesosok bayangan manusia berkelebat dari balik gunung2an dan

tahu2 muncul seorang gadis.

Gadis yang muncul ini adalah Tian Wan-ji, betapa girangnya Tian Pek, ia berseru:

"Wan-ji....!"

Kepolosan dan kelincahan Wan-ji yang cantik kini lenyap tak berbekas, sebagai

gantinya ia ke-lihatan murung dan kesal, bukan saja tak gubris seruan mesra

Tian Pek, malahan dengan senyum mengejek ia mengitari Kim Cay-hong yang

telanjang.

Jengah Kim Cay-hong, walaupun Wan-ji se-kaum dengannya, tapi pandangan

lawan yang aneh dan sinis itu sangat menusuk perasaan.

Pada hari biasa ia selalu angkuh dan tinggi hati, tapi sekarang dalam keadaan

bugil ia ditonton begitu, sekalipun ia berusaha mengendalikan perasaannya, tak

urung merah juga pipinya, ia tundukkan kepalanya rendah2...

Setelah puas mengamati Kim Cay-hong yang bugil, lalu Wan-ji berkata dengan

tertawa dingin: "Hehe, engkoh Tian, kau baru saja menikah dengan enciku,

kenapa sudah main perempuan lagi di luaran, pantaskah perbuatanmu ini?"

Perkataan ini membuat Liu Cui-cui maupun Kim Cay-hong jadi tertegun.

Cui-cui balik lagi ke tempat semula, ia lupa menangis. Kim Cay-hong pun lupa

akan rasa malunya, dengan mata terbelalak mereka berseru: "Kau. . . ."

Hanya itu saja yang dapat mereka ucapken, sesaat kedua gadis itu ter-mangu2

seperti orang linglung.

Tian Pek bukan anak bodoh, sudah tentu ia dapat meraba perasaan kedua gadis

itu, pikirnya: "Inilah kesempatan terbaik bagiku untuk memutuskan tali cinta

dengan mereka berdua."

Berpikir demikian, dengan serius ia lantas berkata: "Apa yang dikatakan adik

Wan memang benar, aku memang sudah dijodohkan dengan Buyung Hong,

encinva Wan-ji dan sekarang secara resmi kami telah menjadi suami isteri . , . ."

Belum habis ucapan Tian Pek, paras Liu Cui cui telah berubah hebat, matanya

melotot, bentaknya dengan murka: "Sungguhkah perkataanmu ini?"

"Masa membohongi kau?" jengek Wan-ji dari samping.

Cui-cui merasakan kepadanya pening dan pandangannya jadi gelap, tanpa terasa

air matanya jatuh bercucuran, sambil menggigit bibir dan menahan isak

tangisnya ia berkata kepada Tian Pek dengan sedih: "Kau .. . .kau kejam

benar . , . ,kau tak setia ., .. tidak pegang janji.. . coba jawablah .... bagaimana

dengan diriku ini . . . ?"

Tian Pek tertegun juga, dari kepedihan Cui-cui ia tahu bahwa cinta gadis itu

terhadapnya sudah mendalam, sekarang ia baru menyesal akan tindakan sendiri

yang gegabah, hanya karena menuruti emosi ia menerima pinangan Buyung

Hong, ditinjau dari keadaan saat ini, jelas bukan suatu pekerjaan yang gampang

baginya untuk memutuskan hubungan cintanya.

Sementara anak muda itu masih ter-mangu2 karena sedih bercampur menyesal,

nun jauh disana tiba2 terdengar jeritan ngeri yang menyayat hati. jeritan maut

menjelang ajal, mengerikan dan membuat bulu roma orang sama berdiri.

Jeritan ngeri itu tidak terlampau keras kedengarannya, tapi cukup membuat

beberapa orang itu mengeluarkan peluh dingin, paras Tian Pek dan Kim Cay-

hong seketika berubah hebat.

Tiba2 Kim Cay-hong menubruk kedepan Tian Pek, serunya dengan sedih:

"Engkoh Tian, Siauhiap! Tolonglah, bantulah ayahku . . . mungkin jiwanya

terancam bahaya . . . ."

Sebenarnya Tian Pek tidak peduli keselamatan Cing-hu-sin Kim Kiu, ia lebih

mencemaskan diri paman Lui, Tay-pek-siang-gi, Ji-lopiautau dan Buyung Hong.

Sementara itu pengaruh racun "dupa liur naga" telah punah sama sekali, tenaga

dalamnya telah pulih kembali seperti sediakala, mendengar permintaan itu ia

lantas melepaskan baju luarnya dan diserahkan kepada Kim Cay-hong, kemudian

memungut kembali pedang hijaunya, ia berkata: "Aku tak tahu dimana ayahmu

berada, pergilah cari sendiri! Aku harus menolong dua orang sahabatku...."

Begitu selesai berucap segera ia meluncur ke arah jeritan maut tadi dengan

cepat.

Seperginya Tian Pek tiga gadis itu saling pandang sekejap, siapapun tidak

mempedulikan lawannya, diantara mereka Kim Cay-hong tampak paling gelisah,

selesai mengenakan jubah pemberian Tian Pek, cepat ia berlari ke arah jeritan

tadi.

Cui-cui mengerling sekejap ke arah Wan-ji, kemudian tantangnya: "Punya

keberaninn ke sana?"

"Hm, apa yang kutakut?" sahut Wan-ji sambil mencibir. Secepat terbang ia

lantas mendahului melayang ke sana.

Cui-cui segera menyusul dari belakang, susul menyusul keempat orang itu tiba di

sebuah halaman yang sangat luas, lentera dan obor membuat suasana terang

benderang bagaikan siang hari.

Halaiman yang luas ini berlantai tanah keras, pada ujung halaman dekat dinding

sana tersedia delapan belas macam senjata, karung pasir dan berbagai

peralatan, tampaknya halaman ini adalah lapangan berlatih silat istana keluarga

Kim.

Tepat di hadapan mereka dibangun sebuah panggung yang tinggi, sebuah meja

panjang besar terletak di tengah panggung itu, sementara di belakang meja

tersedia berpuluh kursi emas, Lam-hay-siau-kun dan Lam-hay-liong-li berduduk

di kursi utama. sedangken sisanya ditempati Hay-gwa-sam-sat, Tho-hoa-su-sian

dan lain2, paling belakang berdiri pula belasan laki2 berpakaian ringkas.

Di depan panggung, dekat dinding tertanam belasan buah cagak kayu yang

besar tiap cagak itu terikat seseorang, diantara mereka ada yang sudah tewas

dalam keadaan mengerikan, ada yang mati dengan dada atau perut terbelah,

ada yang kutung lengan atau kakinya, jelas siksaan yang mereka alami sebelum

ajal pasti luar biasa.

Beberapa orang yang masih berada dalam keadaan hidup berdiri lemas dengan

muka pucat dan ketakutan.

Di kedua belah sisi cagak itu masing2 berdiri dua orang algojo yang bermuka

garang. dengan dada terbuka dan golok besar terpangku mirip sekali dengan

malaikat maut pencabut nyawa.

Pertarungan sengit antara berpuluh orang masih berlangsung di tengah

halaman, sambaran golok dan pukulan men-deru2.

Mengingat Hay-gwa-sam-sat, Tho-hoa-su-sian dan lain2 hanya duduk tenang di

atas panggung, bisa ditarik kesimpulan bahwa pertarungan tersebut dilayani

oleh jago kelas dua atau tiga dari perguruan Lam-hay-bun.

Begitu tiba di tepi gelanggang, segera Tian Pek mengetahui bahwa orang2 yang

sedang terlibat dalam pertempuran itu tak lain adalah paman Lui, Tay-pek-siang-

gi, Ji-lopiautau serta Buyung Hong.

Selama pertarungan berlangsung paman Lui dan Tay-pek-siang-gi bertempur

dengan bertangan kosong, Ji-lopiautau bergolok, Buyung Hong pakai pedang

pendek, mereka melabrak musuh habis2an, sekalipun dikerubut oleh belasan

orang mereka tetap di atas angin, beberapa kali jago Lam-hay-bun kena dihajar

terluka atau tewas.

Lam-hay-siaukun berada di atas panggung dan menonton jalannya pertarungnn

itu sambil menggoyangkan kipasnya, ketika dilihatnya pertarungan itu

berlangsung tanpa akhir, dengan alis bekernyit ia berpaling ke kiri dan ke kanan.

Si nenek rambut putih, Leng-yan-hong, adalah seorang Hay-gwa-sam-sat segera

membentak, dia melambung ke atas, lalu meluncur ke bawah dengan cepat

telapak tangannya segera menghantam batok kepala paman Lui.

Sebagai jago kawakan, nenek itu tahu kungfu paman Lui terhitung paling lihay,

maka per-tama2 ia serang paman Lui.

Saat itu paman Lui sedang menghadapi empat lima orang musuh, ketika tiba2

merasakan datangnya sergapan si nenek berambut putih itu, cepat telapak

tangan kirinya berputar dan mendesak mundur musuh, sedang telapak tangan

kanannya dengan jurus Thian-ong-tok-tha (Raja langit menyangga pagoda) ia

tangkis serangan si nenek yang dahsyat itu dengan keras lawan keras.

Ketika dua gulung tenaga pukulan yang hebat itu kebentur, "blang!" paman Lui

terdesak mundur empat lima langkah dengan sempoyongan, sedangkan

kawanan jago Lam-hay-bun yang mengepung paman Lui ikut tercerai-berai, dari

sini dapatlah diketahui betapa hebat tenaga pukulan nenek berambut putih itu.

Paman Lui terkejut oleh kedahsyatan ilmu pukulan si nenek.

Sementara itu Leng-yan-hong atau si nenek berambut putih itu sudah melayang

turun, teriaknya: "Jangan kabur! Sambut lagi pukulan nenekmu!"

Telapak tangannya didorong ke depan, segulung angin pukulan dahsyat

menerjang pula ke dada paman Lui.

Dasar tinggi hati dan tak sudi mengunjuk kelemahan di depan orang, meskipun

paman Lui tahu bahwa serangan lawan amat dahsyat, ia tidak menghindar atau

berkelit, malahan dengan keras-lawan-keras ia sambut serangan dahsyat si

nenek.

"Blang!" benturan keras terjadi pula, nenek itu cuma tergetar sedikit, sebaliknya

paman Lui terdorong mundur sampai lima langkah.

Nenek itu tambah gusar karena secara beruntun paman Lui menyambut

pukulannya dengan kekerasan, dengan mata melotot ia menghardik: "Keparat!

Bila pukulanku yang ketiga ini tidak dapat merebut jiwa anjingmu, mulai hari ini

namaku biar dicoret dari dunia persilatan!"

Dengan sepenuh tenaga dalamnya ia dorong kedua telapak tangannya ke depan.

Kelihatannya telapak tangan nenek itu didorong dengan gerakan yang lambat,

malahan disertai dengan gemetar keras se-akan2 kepayahan sekali, namun

angin pukulan yang timbul dari serangan tersebut kuatnya tidak kepalang, debu

pasir lantas beterbangan.

Paman Lui sendiri seperti sudah kepayahan, untuk menangkis dua kali serangan

musuh tadi ia sudah merasakan lengannya kaku kesemutan, darah bergolak

hebat, tapi ia pantang menyerah, meski pun ia tahu serangan ketiga si nenek

terlebih dahsyat, akan tetapi sambil mengertak gigi ia menangkis pula.

Diam2 hawa murninya dihimpun ilmu pukulan Thian-hud-hang-nio-ciang

dikerahkan hingga puncaknya, tatkala angin serangan lawan yang dahsyat itu

menyambar tiba, baru ia angkat telapak tangannya untuk menyambut dengan

keras lawan keras.

Kebetulan waktu itu Tian Pek berdiri di atas tembok pekarangan, ia tak

menyangka paman Lui akan bertindak senekat itu, tadinya ia mengira paman Lui

tentu akan berkelit dulu, kemudian melepaskan serangan balasan, maka Tian

Pek sendiri tidak melakukan persiapan apa2.

Tapi demi melihat paman Lui siap menyambut serangan musuh, ia baru sadar

gelagat tidak menguntungkan: "Wah celaka. . . .!" serunya.

Ketika ia melayang turun. telapak tangan paman Lui telah saling bentur dengan

telapak tangan nenek itu.

Paman Lui tergetar mundur. namun ia masih tetap berdiri tegak dan tak sampai

terjungkal.

Nenek itu berdiri dengan mata melotot, ia menunggu jatuhnya lawan. tapi

paman Lui tidak roboh, malahan mengejek "'Nenek tua, katakan namamu."

Karena bicara, pergolakan darah dalam dadanyaa tak terkendalikan lagi, darah

segar terus mengucur melalui ujung mulut.

Nenek rambut putih sangat tinggi hati, sejak masuk daratan Tiongioan, kecuali

keok di tangan Tian Pek, belum pernah ia temui musuh yang tangguh.

Siapa tahu sekarang bertemu dengan paman Lui, bukan saja lawannya sanggup

menyambut tiga kali serangannya tanpa roboh, terutama serangannya yang

terakhir di mana ia sudah menghimpun segenap kekuatannya, tapi

kenyataannya paman Lui masih tetap berdiri tegak tanpa roboh.

Sekarang paman Lui mengejek, dari malu ia jadi gusar, alisnya berkerut, mata

melotot, dengan gemas ia menutuk Sim-gi-hiat ditubuh paman Lui. Dengan

menyeringai jengeknya: "Ingin tahu namaku, boleh kau bertanya setelah

bertemu dengan raja akhirat nanti!"

Tian Pek tahu kelihayan tutukan nenek itu, ia tahu paman Lui diserang dengan

Soh-hun-ci yang maha dahsyat, dengan terkejut cepat ia berseru: "Paman, cepat

berkelit . . . ,"

Tapi Wan-ji jauh lebih cepat, baru saja Tian Pek berseru nona itu dengan

lincahnya bagaikan burung walet sudah menerjang ke tengah gelanggang,

sebelum tiba di tempat, jari tangan segera melancarkan serangan maut, ilmu

yang dipakai juga Soh-hun-ci, bahkan yang diarah adalah Kwan-goan-hiat pada

lengan kanan nenek itu.

Disinilah letak kecerdikan Wan-ji, ia tahu kepandaiannya mempergunakan Soh-

hun-ci masih jauh ketinggalan bila dibandingkan dengan kesempurnaan si nenek

rambut putih, oleh sebab itu dia menghindari arah serangan musuh dan balas

mengancam Hiat-to penting di lengan kanan lawannya.

Dalam keadaan begini, bila si nenek tidak segera menarik kembali serangannya,

kendatipun serangannya berhasil membunuh paman Lui, akan tetapi lengan

kanannya juga akan cacat untuk selamanya.

Terpaksa si nenek batalkan serangannya dan cepat berkelit kesamping. Paman

Lui sempoyongan mundur beberapa langkah, cepat Wan-ji memburu maju dan

memayangnya.

"Paman, apakah kau terluka....? tanya gadis itu.

Seperti diketahui, selama Paman Lui berdiam di istana keluarga Buyung, ia

paling menyayangi Wan-ji, dan Wan-ji sendiripun sangat menghormati paman

Lui.

Sementara itu, Tian Pek sendiripun sudah melayang masuk ke tengah

gelanggang, ia melototi si nenek berambut putih dan bentaknya: "Sudah lanjut

usia, tak tersangka hatimu sebusuk ini, masa terhadap orang yang sudah terluka

masih kau serang secara keji? Hehehe, sekarang tuan muda ingin tahu

sebenarnya sampai dimanakah kemampuanmu?"

Kedua telapak tangannya segera direntangkan ke atas, itulah gaya pembukaan

dari jurus Thian-hud-hang-mo-ciang, katanya: "Siauya akan memberi

kesempatan kepadamu untuk menyerang lebih dulu, dalam tiga gebrakan, tetap

akan kubereskan jiwamu!"

Sejak melihat kemunculan Tian Pek, si nenek berambut putih sudah kelihatan

terkejut bercampur jeri, Sikap pongahnya kini sudah lenyap. Ia tahu anak muda

ini adalah malaikat maut baginya, untuk sesaat ia jadi bingung dan berdiri ter-

mangu2 disitu, ingin lari pun terasa rikuh.

Tiba2 bayangan orang berkelebat, tahu2 kakek berjenggot panjang serta Hud-im

Hoat-su telah me layang ke depan anak muda itu.

Setibanya digelanggang, sambil tertawa kakek berjenggot panjang itu berkata:

"Engkoh cilik, di daratan Tionggoan dewasa ini hanya kau seorang yang dapat

menaklukkan Hay-gwa-sam sat kami. Meskipun begitu, malam ini kami bertipa

berhasrat turun tangan bersama guna minta petunjuk kepada engkoh cilik,

mungkin orang lain akan bilang kami main kerubut, tapi bagi engkoh cilik

tentunya pengerubutan ini bukan soal . . ."

Mendengar perkataan ini, Tian Pek ter-bahak2: "Hahaha, aku menghormati kau

sebagai orang yang lebih tua, tak tahunya kau malahan mengucapkan kata2

yang memalukan, tidakkah kau merasa kulit mukamu terlampau tebal?"

Merah padam wajah kakek berjenggot panjang itu, tapi segera ia tertawa lngi:

"Hahaha, anggaplah aku si tua bangka ini memang bermuka tebal, tapi tahukah

engkau engkoh cilik, bila kami Hay-gwa-sam-sat mengerubuti kau seorang,

justeru peristiwa ini akan menaikkan nama serta gengsi engkoh cilik di dunia

persilatan? Berbicara terus terang, kecuali engkoh cilik seorang, di daratan

Tionggoan dewasa ini belum ada orang lain yang pantas menerima kehormatan

ini."

"Hahaha, kalau begitu. kehormatan ini bagaimanapun juga harus kuterima?

Baiklah, Tian Pek siap menerima pelajaran kalian bertiga, silakan kalian

melancarkan serangan?"

Habis berkata segera ia bersiap melancarkan pukulan Thian-hud-hang-mo-ciang.

Ilmu silat Hay-gwa-sam-sat cukup disegani, jangankan jago2 biasa. bahkan tokoh

persilatan yang sangat tersohor seperti Mo-in-sin-jiu (tangan sakti di balik awan)

Siang Cong-thian, Hiat-ciang-hwe-liong (naga api telapak darah) Yau Peng-kun

serta Tok-kiam-leng-coa (pedang racun ular sakti) Go Hoa-lam, anak buah An-lok

Kongcu, juga Hong-jan-sam kay, anak buah Toan-hong Kongcu, lalu Kim-hu

siang-tiat-wa anak buah Siang-lin Kongcu. secara beruntun telah terluka di

tangan mereka.

Bukan itu saja, malahan Thian-ya-ong-seng (manusia latah dari ujung langit) Tio

Kiu-ciu, tokoh paling sakti dibawah pimpinan Leng-hong Kongcu juga dikalahkan

oleh si nenek berambut putih, bisa dibayangkan betapa kagetnya kawanan jago

demi menyaksikan Hay-gwa-sam-sat sudi menurunkan derajat sendiri dengan

menantang Tian Pek untuk bertempur satu lawan tiga dan tanpa berpikir

tantangan itu diterima oleh anak muda itu.

Tidak heran pertempuran lain yang sedang berlangsung otomatis lantas

berhenti dan masing2 lantas menguadurkan diri ke samping gelanggang.

Suasana jadi hening, semua orang mengalihkan perhatiannya ke tengah

gelanggang, Sin-liong-taycu dan Lam-hay-liong-li yang duduk tenang di atas

panggungpun berdiri, rupanya merekapun ingin menyaksikan bagaimanakah

jalannya pertarungan antara ketiga tokoh sakti andalan perguruannya melawan

Tian Pek.

Buyung Hong dan Kim Cay-hong tidak tahu sampai dimanakah kelihayan Hay-

gwa-sam-sat, akan tetapi menyaksikan ketegangan yang mencekam seluruh

gelanggang pertarungan itu mereka Sadar bahwa musuh yang akan dihadapi

Tian Pek pasti lihay luar biasa, diam2 mereka menguatirkan keselamatan engkoh

Pek.

Wan-ji tahu sampai dimanakah kehebatan kungfu Hay-gwa-sam-sat, ketika

dilihatnya Tian Pek menerima tantangan lawan, ia menjadi gelisah dan tak

tenang .... .

Cui-cui juga tahu kungfu Tian Pek dewasa ini sudah cukup untuk malang

melintang di dunia persilatan, sebab dia sendiri yang membantu pemuda itu

berlatih, tapi setelah mengetahui anak muda itu menerima tantangan ketiga

tokoh sakti dari Lam-hay itu, tidak urung iapun rada kuatir.

Paman Lui, Tay-pek siang-gi serta Ji-lopiautau belum lama berselang telah

menyaksikan sendiri sampai dimana kelihayan si nenek berambut putih, apalagi

sekarang tiga orang turun tangan bersama, inipun membuat mereka cemas.

Bagaimana pun juga Tian Pek telah menerima tantangan tersebut, sekalipun

orang lain mencemaskan keselamatannya toh percuma saja, sebab anak muda

itu tak nanti membatalkan persetujuannya dengan begitu saja.

Kalau rekan2 Tian Pek dibikin panik, maka sebaliknya kawanan jago Lam-hay-

bun diam2 merasa gembira, meskipun tidak sedikit kawanan jago itu pcrnah

menjajal kehebatan kungfu anak muda itu, tapi mereka yakin asal tiga "malaikat

maut" itu turun tangan benama. maka kesempatan untuk menang sudah pasti

jauh lebih besar.

Dalam pada itu, karena Tian Pek berani menerima tantangannya, dengan girang

si kakek berjenggot acungkan jempolnya seraya memuji; "Bagus, engkoh cilik!

Kau memang luar biasa, boleh dibilang kau adalah manusia paling aneh yang

pernah kujumpai selama seratus tahun terakhir ini!

"Losianseng terlalu memuji!" Tian Pek jadi rikuh oleh sikap hormat kakek

berjenggot panjang itu.

Leng-yan-hong. si nenek berambut putih itu tertawa terkekeh: "Hehehe, engkoh

cilik tak usah sungkan2, apa yang dikatakan kakek itu memang kata2 sejujurnya!

Terus terang saja kami akui bahwa sebelum bertemu dengan kau, kami selalu

menganggap kami bertiga ini tiada tandingan di kolong langit, malahan cukong

kami, Lam-hay-it-kun sendiripun tak berani mengatakan kami bertiga bukan

tandingannya . . . ."

Sampai disini, si kakek berjenggot mengedipi rekannya, sementara Sin-liong-

taycu dan Lam-hay-liong-li yang berada di atas panggung juga segera berubah

air mukanya.

Tapi nenek itu tidak menggubris isyarat rekannya itu dan tidak perduli pula

bagaimana reaksi orang lain, ujarnya lebih lanjut: "Malam ini, engkoh cilik

seorang diri akan melayani kami bertiga. bukankah ini suatu peristiwa luar biasa

yang belum pernah terjadi?"

"Kalau kalian merasa kungfu kalian tiada tandingannya di kolong langit ini,

mengapa kalian mau tunduk di bawah perintah orang lain?" tanya Tian Pek.

Sebelum nenek berambut putih itu menjawab, Hud-in Hoat-su telah menyela

lebih dulu: "Hei. nenek rudin, jangan sembarangan omong yang bukan-bukan ...

"

Tapi kakek berjenggot panjang itu menghela napas pelahan, katanya: "Bangsat

gundul, malam ini kita bertemu tokoh silat yang luar biasa, bagaimnnapun kita

harus berbicara terus terang!" — Lalu ia berkata kepada Tian Pek: "Berbicara

sesungguhnya. kami bertiga tua bangka memang mempunyai kesulitan yang tak

bisa diberitahukan kepada orang lain, sekarang tak ada waktu untuk bicara lagi

denganmu ...,"

Tiba2 air mukanya berubah jadi serius, sambungnya lagi: "Yang sudah lewat tak

usah dibicarakan lagi sesungguhnya bagi kami bertiga mengerubuti seorang

bocah macam kau, boleh dibilang peristiwa ini jarang terjadi dan sukar dicari,

untuk memeriahkan pertemuan besar ini, bagaimana kalau kita melakukan

pertaruhan pula dalam pertarungan ini?"

Keterus-terangan ketiga orang tua ini telah mengurangi sikap permusuhan Tian

Pek terhadap lawannva, ia balik bertanya: "Bolehkah aku tahu, Locianpwe ingin

taruhan apa?"

Mendengar dirinya disebut "Locianpwe", saking gembiranya si kakek berjenggot

sampai garuk2 kepalanya yang tak gatal, selang sesaat baru menjawab: "Bila

kami kalah, maka mulai detik itu juga kami akan mengundurkan diri dari Lam-

hay-bun dan takkan mencampuri urusan dunia persilatan lagi. Sebaliknya kalau

engkoh cilik yang kalah' maka kaupun harus mengundurkan diri dari dunia

persilatan di Tionggoan ini, adil bukan?"

Tian Pek adalah pemuda yang polos dan jujur rada kebodoh-bodohan, tapi

sekarang mendadak ia tampak lebih cerdik, mendengar pertaruhan yang

diajukan kakek berjenggot itu, ia merasa ada sesuatu yang tak beres.

Maka ia bertanya: "Sebelum diputuskan ada baiknya kau terangkan lebih dulu,

bila kalian mengundurkan diri dari Lam-hay-bun, apakah masih akan

berkecimpuug di daratan Tionggoan atau tidak? Sebaliknya bila aku yang harus

mengundurkan diri dari dunia persilatan, apakah juga tidak boleh tinggal di

daratan Tionggoan?"

Dari pembicaraan ini si kakek berjenggot panjang segera tahu pemuda ini tidak

sederhana, ia tertawa dan menjawab: "Aku tak peduli dimana kau akan

berdiam, pokoknya asal tidak mencampuri urusan dunia persilatan lagi.

Tegasnya setiap persoalan yang berbau persilatan, maka urusan itu tak boleh

kita campur, sedangkan mengenai soal tempat tinggal peduli itu berada di

daratan Tionggoan maupun di luar lautan, pokoknya jauh dari perjumpaan

dengan orang persilatan Bagaimana? Setuju?"

Sementara itu Lam-hay-liong-li telah mengerling sekejap ke arah Sin-liong-taycu,

air muka "pengeran naga sakti" itupun berubah hebat, ia melangkah maju dan

hendak melompat ke bawah . . .

Tak seorangnun yang menaruh perhatian terhadap gerak-genk kakak beradik itu,

mereka sama mencurahkan perhatian untuk mengikuti perundingan yang

sedang berlangsung antara Tian Pek dengan Hay-gwa-sam-sat

Tiba2 terdengar Tian Pek menjawab: "Usul Locianpwe memang sangat bagus,

tapi sayang tak dapat kuterima."

"Kenapa?" tanya kakek berjenggot, "apakah engkoh cilik masih ingin

mengatakan sesuatu?"

"Sakit hati ayahlu belum terbalas, kecuali Tian Pek sudah tak bernyawa lagi,

maka selama hayat masih dikandung badan dendam ini harus kutuntut lebih

dahulu!"

"Betul, sakit hati orang tua memang harus dibalas lebih dulu!" sahut kakek

berjenggot panjang sambil mengangguk, "entah siapakah musuh engkoh cilik

yang membunuh ayahmu itu?"

"Cing-hu-sin Kim Kiu!" jawab Tian Pek sekata demi sekata.

Mendadak si nenek berambut putih menengadah dan ter-bahak2, keras sekali

suaranya sehingga rambutnya yang beruban ikut bergetar keras.

Tian Pek menjadi tak senang hati, ia menegur: "Locanpwe, apa yang kau

tertawakan?"

Nenek itu tak dapat menahan gelak tertawanya, sambil ter-bahak2 dia

menuding salah seorang yang terikat pada tonggak kayu sana.

"Cing-hu-sin Kim Kiu telah mati," kata si kakek berjenggot, "aku rasa maksud

tujuan engkoh cilikpun sudah terpenuhi!"

Mengikuti arah yang ditunjuk nenek itu, Tian Pek melihat di ujung pekarangan

sana tersisa sebuah kursi beroda yang telah hancur, manusia yang terikat di

tonggak kayu di depan kursi itu dalam keadaan mengerikan, bukan saja kaki dan

tangannya telah berpisah dengan badannya. kepalapun sudah kutung, jelas mati

dengan cara Nio-to-him-si yang amat keji dari Lom-hay-bun itu.

Ketika dia mengamati jenazah yang berlepotan darah itu, dilihatnya jubahnya

itulah yang seringkali dikenakan oleh Cing-hu-sin Kim Kiu.

Tiba2 terdengar jerit tangis yang memilukan, sesosok bayangan menerjang ke

dekat jenazah Cing-hu-sin Kim Kiu. Itulah Kim Cay-hong yang mengenakan jubah

luar Tian Pek.

Tiba2 satu ingatan aneh terlintas dalam benak Tian Pek, ia merasa kasihan

terhadap Kim Cay-hong yang kehilangan ayah, tapi iapun merasa lega karena

musuh yang membunuh ayahnya telah mati dengan ganjaran yang setimpal,

pikirnya lebih jauh dengan heran: "Lam-bay-bun kembali membalaskan dendam

kematian ayahku, sebenarnya aku mesti bersahabat atau bermusuhan dengan

mereka?"

Tapi sedapatnya ia singkirkan jauh2 ingatan tersebut, katanya kemudian:

"Sekalipun Kim Kiu sudah mati tapi pembunuh ayahku masih ada Kian-kun-ciang

In Tiong-liong!"

"Wah, tampaknya tidak sedikit pembunuh ayahmu, engkoh cilik," kata si kakek

berjenggot panjang sambil tertawa aneh. "Apa aku boleh tahu, selain kedua

orang itu masih ada siapa lagi?"

"Kun-goan-ci Su-gong Cing!"

"Dan?''

"Pah-ong-pian Hoan Hui!"

"Hahaha!" kakek berjenggot panjang itu ter-bahak2. "Kiranya musuh besar

engkoh cilik adalah para pemuka dunia persilatan, apakah masih ada yang lain?"

"Tidak ada lagi!"

Nenek berambut putih lantas berkata: "Engkoh cilik, kalau cuma beberapa orang

itu saja musuh besarmu, sekarang silakan saja bertempur melawan kami, sebab

di dunia persilatan ini tiada persoalan lain lagi yang akan merisaukan hatimu!"

"Maksudmu, empat pemuka dunia persilatan berikut Hoan Hui telah kalian

bunuh?" tanya Tian Pek.

"Ah, masa kami membohongi seorang bocah seperti kau?" sela Hud-in Hoat-su.

Dengan serius si kakek berjenggot menukas: "Engkoh cilik, tentunya kau tahu

betapa pentingnya janji dan perkataan seorang persilatan? Ketahuilah kami Hay-

gwa-san-sat bukan kaum keroco. ."

Mendadak Tian Pek memberi hormat kepada ketiga orang itu, katanya: "Kalau

begitu, terima kasih atas bantuan kalian yang telah membalaskan dendamku!"

"Engkoh cilik, kau jangan hanya berterima kasih kepada kami bertiga saja." kata

si nenek, "bicara sesungguhnya, orang yang mewakili dirimu membunuhi

musuhmu bukanlah kami melainkan majikan muda kami, sepantasnya engkoh

cilik berterima kasih kepada majikan muda kami itu!"

Tian Pek berpaling mengikuti arah yang ditunjuk nenek itu, yang dimaksud

kiranya Lam-hay-liong-li.

Lam-hay-liong-li juga sedang menatap ke arahnya tanpa berkedip.

Ketika Tian Pek beradu pandang dengan gadis itu, hatinya terkesiap, buru2 ia

melengos, ia merasa bahwa sorot mata itu luar biasa.

Bukan cuma sekali ini saja anak muda itu melihat sorot mata begini, tatapan

Wan-ji waktu merawat sakitnya di Pah-to-san-ceng. Pandangan Buyung Hong

ketika terpengaruh oleh irama Im-hun-siau-hoat, Ketika menunggang kuda

menuju istana keluarga Kim bersama Kanglam-te-it-bi-jin Kim Cay-hong, serta

waktu Liu Cui-cui mengobati lukanya dalam keadaan bugil di lembah Bong-hun-

kok, semua itu penah dilihatnya sorot mata seperti ini.

Belenggu cinta sudah cukup memusingkan pikiran pemuda ini, beberapa gadis

yang selalu mengitarinya sudah cukup membuatnya kebingungan, sekarang

dilihatnya Lam-hay-liong-li menatapnya pula dengan sorot mata mesra seperti

itu, tentu saja ia tak berani balas tatapannya, dengan ketakutan cepat sinar

matanya beralih ke arah lain.

"Setelah aku berterima kasih kepada kalian, rasanya tak perlu kuucapkan terima

kasih lagi kepada orang lain," katanya kemudian kepada Hay-gwa-sam-sat.

"Sekarang aku sudah tidak memikirkan sakit hati ayahku lagi, tiada persoalan

lain yang membelenggu pula pikiranku, baiklah, kuterima taruhan kalian itu,

silakan Cianpwe bertiga mulai nmnyerang!"

Ia lolos pedang hijau dari sarungnya dan diluruskan ke depan, ia melakukan

gerak pembukaan jurus Sam-cay-kiam, ilmu pedang yang sangat umum.

Hay-gwa-sam-sat tidak berani gegabah, serentak mereka memisahkar diri

dengan posisi segi tiga, dengan begitu Tian Pek segera terkurung di tengah.

Setelah ambil ancang2, kakek berjenggot panjang berdiri tegak dengan kedua

telapak tangan bersilang di depan dada, inilah gaya Hay-pau-jit-gwat (memeluk

matahari dan rembulan).

Sedangkan si nenek berdiri dengan sebelah kaki melangkah ke depan, jari

tangan kanan menuding di tepi telinga. Sebaliknya Hud-in Hoat-su berjongkok

dengan kedua tangan menempel tanah, gayanya seperti seekor katak.

Dari kuda2 mereka ini dapat diketahui si kakek berjenggot itu akan menghadapi

lawan dengan ilmu Tay-jiu-in, si nenek siap dengan ilmu jari Soh-hun-ci dan Hud-

in Hoat-su dengan ilmu Ha-mo-kang.

Suasana dalam gelanggang jadi sunyi senyap, ratusan orang yang berada di

sekitar tempat itu berdiri dengan terbelalak lebar, semua orang ingin

menyaksikan bagaimana akhhir dari pertarungan seru yang jarang bisa dijumpai

ini.

Sekilas pandang pertarungan ini seperti pertempuran pribadi antara Hay-gwa-

sam-sat melawan Tian Pek, tapi pada hakikatnya pertarungan ini justeru sangat

mempengaruhi keselamatan dunia persilatan, menang-kalah bertarungan ini

mempengaruhi pula kehidupan berpuluh ribu manusia.

Meskipun musuh2 Tian Pek sudah terbasmi, empat pemuka dunia persilatan

telah musnah. akan tetapi pengaruh Lam-hay-bun justeru berkali lipat lebih

mengerikan daripada empat pemuka dunia persilatan itu, lebih kejam dan lebih

se-wenang2.

Andaikata Tian Pek kalah dalam pertarungan ini sehingga harus mengudurkan

diri dari dunia persilatan, itu berarti daratan Tionggoan segera akan menjadi

wilayah jajahan Lam-hay-bun, keadaan pada waktu itu pasti akan lebih

mengerikan daripada semasa perebutan kekuataan antara empat Kongcu dunia

persilatan.

Bukan rahasia lagi bahwa di dunia persilatan dewasa ini kecuali Tian Pek, belum

ada orang lain yang mampu menandingi kelihayan Hay-gwa-sam-sat.

Sebab itulah jago seperti paman Lui, Tay-pek-siang-gi serta Ji=lopiautau sekalian

merasa tegang sekali, mereka kuatir Tian Pek hanya terburu napsu dan berdarah

panas menyambut tantangnn ketiga orang itu, bila sampai cedera berarti suatu

kerugian yang besar bagi umat persilatan.

Buyung Hong serta Wan-ji juga merasa tegang, malahan mereka jauh lebih

tegang daripada orang lain.

Kim Cay-hong telah jatuh tak sadarkan diri melihat kematian ayahnya dalam

keadaan mengerikan, cuma tak seorangpun yang menaruh perhatian

kepadanya.

Satu2nya orang yang paling santai ialah Lui Cui-cui, ia percaya seratus persen

akan Kungfu Tian Pek dewasa ini, bahkan boleh dibilang sudah mencapai

tingkatan tiada tandingan di kolong langit ini, Walau begitu rasa was-was masih

terselip di dalam hati nona itu.

Ia tidak kuatir Kungfu engkoh Tian bukan tandingan lawan, ia justeru

mencemaskan keselamatan anak muda itu dari tipu muslihat ketiga jago tua itu.

Orang dari Lam-hay-bun sendiripun tak tenang, teratama Sin-liong-taycu serta

Lam-hay-liong-li.

Sin-liong-taycu sudah pernah merasakan kelihayan Tian Pek, sedangkan Hay-

gwa-sam-sat justeru merupakan basis kekuatan Lam-hay-bun mereka, tentu saja

ia menguatirkan keselamatan anak buahnya ini.

Padahal, pengabdian Hay-gwa-sam-sat kepada Lam-hay-bun adalah karena

mereka pernah diselamatkan jiwanya oleh Hay-liong-sin, maka ketiga orang itu

bersumpah setia untuk berbakti kepada Lam-hay-bun.

Tiga orang ini sangat aneh, mereka sudah terbiasa bertindak menurut hawa

napsu sendiri, apa- lagi ilmu silat mereka jauh di atas Hay-liong-sin, maka

seringkali mereka unjuk sikap tak bersahahat.

Dan sekarang Sin-liong-taycu justeru menguatirkan kekalahan mereka, ia kuatir

ketiga orang itu sengaja mengalah sehingga dengan alasan tersebut untuk

mengundurkan diri dari Lam-hay-bun.

Perasaan Lam-hay-liong-li juga tidak menentu ia tidak mengharapkan Tian Pek

kalah, namun ia- pun tidak mengharapkan Hay-gwa-sam-sat yang keok.

Hatinya yang selama ini belum pernah tersentuh oleh siapapun, kini tertarik

oleh ketampanan Tian Pek, sejak kecil sampai dewasa belum pernah ia alami

perasaan seaneh ini, maka untuk sesaat ia jadi tertegun, ia lupa bahwa

tanggung-jawab operasinya ke daratan Tionggoan berada diatas pundaknya,

iapun tidak bertindak melihat gelagat yang tidak menguntungkan Lam-hay-bun

ini, gadis itu hanya ter-mangu2 belaka.

Lentera sudah dipasang di-mana2, suasana lapangan berlatih yang luas ini

terang-benderang bermandikan cahaya.

Hay-gWa-sam-sat pernah menderita kekalahan sewaktu melawan Tian Pek

dengan satu lawan satu, sekarang mereka bekerja sama, serentak mereka unjuk

jurus pembukaan yang paling hebat, dari sini dapat diketahui bahwa mereka

tidak main2 seperti apa yang dikuatirkan Sin-liong-taycu, malahan tampaknya

mereka justru hendak menggunakan kesempatan itu untuk menghancurkan Tian

Pek.

"Cianpwe bertiga, silakan keluarkan senjata kalian!" seru Tian Pek setelah

memasang kuda2.

"Kami bertiga tua bangka ini tidak pernah menggunakan senjata tajam," sahut

Hay-gwa-sam-sat berbareng, "Lagipula kami bertiga harus melawan kau

seorang, bertangan kosongpun rasanya berlebihan. . . ."

Dengan bersenjata pun pantas bagi Tian Pek untuk menandingi ketiga jago lihay

itu, tapi sebagai pemuda yang tinggi hati, ia tak sudi menarik keuntungan atas

orang lain. Karena itu segera ia pun sarungkan kembali pedang hijaunya, lalu

sambil merentangkan kedua telapak tangannya dengan gaya pembukaan dari

Thian-hud-hang-mo-ciang, ia berkata: "Kalau kalian akan melayani diriku dengan

bertangan kosong, maka biarlah akupun melayani kalian dengan bertangan

kosong pula. Silakan!"

Diam2 paman Lui serta Tay-pek-siang-gi menggeleng kepala sambil berpikir: "Ai,

tabiat bocah ini persis seperti ayahnya, Pek-lek-kim Tian In-Thian."

Sementara itu kakek berjenggot berkata sambil tertawa: "Engkoh cilik, silakan

menyerang! Kami sudah untung dengan tiga-lawan-satu maka kau saja yang

menyerang lebih dulu."

"Yang muda wajar mengalah kepada yang tua, silakan Cianpwe bertiga turun

tangan lebih dulu!"

"Hehe, apa gunanya saling mengalah?" tiba2 si nenek ter-kekeh2. "Kalau semua

orang sungkan turun tangan lebih dulu, biar si nenek tua saja ymg mendahului!"

Dengan tenaga ilmu jari Soh-hun-ci yang hebat segera ia menyerang, desiran

angin tajam segera menyambar ke tubuh Tian Pek.

Tian Pek tenang2 saja. dengan ilmu langkah Cian-hoan-biau-hiang-poh ia

mengegos kesamping.

Setelah nenek berambut putih itu turun tangan, Hud-in Hoat-su juga tidak

sungkan2 lagi, ia ber-kaok2 seperti katak, kedua telapak tangannya didorong ke

depan menghantam dada lawan.

Hebat sekali serangan tersebut, angin pukulannya men-deru2 bagaikan amukan

ombak di tengah samudra.

Sekali lagi Tian Pek mengegos ke samping dengan langkah ajaib Ciau-hoan-biau-

hiang-poh.

Kakek berjenggot mendongkol melihat serangan yang dilancarkan rekannya

dapat dihindarkan pemuda itu, ia lantas membentak: "Engkoh cilik, jangan main

menghindar melulu, sambut pukulanku ini!"

Sambil membentak, suatu pukulan dahsyat dilontarkan ke depan, ketika hawa

murninya tersalur keluar, telapak langannya se-akan2 membesar seperti roda,

dengan membawa deru angin yang mengerikan ia membacok pinggang Tian

Pek.

Kembali anak muda itu menghindarkan serangan dahsyat itu dengan gerakan

enteng Bu-sik-bu- siang-sin-hoat. hampir tidak tertampak bayangan tubuhnya,

tahu2 pemuda itu sudah lolos jauh ke sana.

Baru sekarang kakek berjenggot itu tercengang, ia tak habis mengerti mengapa

Tian Pek belum juga melancarkan serangan balasan, meskipun ia sudah

menyerang secara ganas dengan ilmu sakti Tay-jiu-in, segera ia menegur:

"Engkoh cilik, kenapa tidak membalas?"

"Pertama aku ingin menghormati kalian, kedua, dengan cara ini akupun ingin

menyampaikan rasa terima kasihku karena Cianpwe bertiga telah bantu aku

melenyapkan musuh besar pembunuh ayahku!"

"Huh, anak muda yang membosankan, masih semuda ini suka bicara secara ber-

tele2. Nih, sambut dulu pnkulanku!" seru si nenek dengan tak sabar.

Angin serangan menderu-deru, kali ini dia menyerang Keng-bun-hiat di bawah

iga anak muda itu.

Sesudah ia diserang secara keji dan tak kenal ampun oleh nenek berambut putih

itu, Tian Pek tidak sungkan2 lagi, ia segera melancarkan serangan balasan

dengan jurus Hud-cou-so-hoat (Buddha suci memberi khotbah)

Pada saat yang hampir bersamaan, kakek berjenggot juga menyerang dengan

Tay-jiu-in, sedangkan Hud-in Hoat-su menyermg dengan Ha-mo-kang, diiringi

deru angin yang tajam kedua serangan tersebut serentak tertuju ke tubuh Tian

Pek.

Tian Pek tetap tenang, dengan gerak campuran ilmu langkah Cian-hoan-biau-

hiang-poh dan ilmu entengkan tubuh Hu-sik-bu-niang-sin-hoat serta ilmu

pukulan Thian-hud-hang-mo-ciang, ia layani ketiga lawan tangguh itu dengan

sama lihaynya.

Pertempuran ini benar2 suatu pertempuran sengit yang jarang terjadi, saking

dahsyatnya debu yang mengepul di udarapun mencapai ketinggian puluhan

kaki.

Waktu itu bayangan manusia yang berada di seputar gelanggang sudah tidak

terlihat jelas lagi, yang tertampak hanya kisaran angin yang men-deru2 bagaikan

amukan topan, keadaan sungguh mengerikan.

Dalam waktu singkat, pertarungan sudah berlangsung berpuluh gebrakan,

masing2 saling bertahan dengan gigihnya pukulan bertambah dahsyat dan

gencar, menang-kalah sukar untuk ditentukan dalam waktu singkat.

Dalam keadaan seperti ini, kawanan jago silat yang mengikuti pertarungan

disamping tak mampu berdiri tegak lagi dan terdesak mundur, malahan lentera

dan obor yang berada puluhan tombak jauhnya dari gelanggang pun berguncang

keras seperti mau padam.

Keringat telah membasahi tubuh ke empat orang itu. walaupun masing2 pihak

memiliki ilmu silat yang lihay, tapi pertarungan yang berlangsung terlalu banyak

memeras tenaga, kendati Hay-gwa- sam-sat sangat ulet, tubuh mereka pun

sudah basah keringat, sebaliknya meski kungfu Tian Pek tiada tandingannya,

napasnya juga ter-sengal2.

Dari pertempuran cepat sekarang keempat orang itu mulai saling mengitari

gelanggang sambil menyerang dengan gerakan yang lambat, kendati pun begitu,

semua orang dapat melihat jelas sekarang bahwa setiap pukulan yang

dilancarkan ke¬empat orang itu, semuanya disertai dengan himpunan tenaga

maha sakti, setiap kali serangan mengenai sasaran yang kosong, di atas

permukaan tanah segera muncul sebuah lekukan atau lubang yang dalam.

Dari sini terbuktilah bahwa setiap serangan baik pukulan maupun tutukan yang

dilancarkan keempat orang itu, semuanya disertai tenaga penghancur yang

mengerikan.

Di antara ketiga "malaikat maut" itu, watak si nenek berambut putih paling

berangasan, di waktu biasa jarang sekali ada orang yang sanggup menandingi

kelihayan kungfunya, bahkan ia pernah sesumbar barang siapa sanggup

menahan tiga kali serangannya, maka ia akan bebas dari kematian.

Tapi sekarang, meski pun mereka bertiga telah bekerja sama, namun kepungan

itu tidak menghasilkan apa2, dalam gusar dan panasarannya, serangan jari Soh-

hun-cinya segera dikerahkan sekuatnya. "Crit! Crit! Crit!" beruntun-runtun ia

lancarkan tiga kali tutukan berantai yang semuanya ditujukan pada Hiat-to

mematikan di tubuh lawan.

Tian Pek sendiri jadi penasaran karena tak dapat merobohkan musuh sesudah

bertarung sekian lama, rasa ingin lekas menang lantas timbul dalam hati

kecilnya, ilmu langkah Cian-hoan-biau-hiang-poh serta ilmu entengkan tubuh

Bu-sik-bu-siang-sin-hoat diperpadukan jadi satu, gemulai bagaikan bidadari

cantik, lincah bagaikan naga perkasa, secara beruntun ia menghindarkan tiga

kali tutukan maut itu. kemudian dengan jurus Hud-kong-bu-ciau dari ilmu

pukulan Thian-hud-hang-mo-ciang, ia sapu tubuh si nenek berambut putih itu.

Waktu itu serangan maut si nenek keburu dilancarkan, ia jadi mati langkah dan

tak sempat menarik diri, dengan sendirinya gerak menghindarpun jadi lebih

lambat, tanpa ampun bahu kirinva kena tersapu oleh tangan Tian Pek.

Setengah badan nenek itu jadi kaku kesemutan, rasa sakit merasuk tulang, ia

berpekik kesakitan, lalu dengan sempoyongan mundur lima-enam langkah.

Untung ia tak sampai terhajar telak oleh serangan tersebut, bila kena di hantam

tepat pada bagian yang mematikan, pasti nenek itu akan mati konyol.

Gusar dan gelisah Hud-in Hoat-su demi melihat si nenek kena dihantam oleh

Tian Pek. "Kok, kok!" sambil ber-kaok2 seperti katak, kedua telapak tangannya

segera mendorong ke punggung anak muda itu.

Waktu itu, baru saja Tian Pek berhasil menghajar nenek berambut putih, ketika

merasakan angin keras menyambar dari belakang, bukannya menghindar atau

berkelit, dengan menghimpun tenaga ia putar badan menyambut ancaman

tersebut.

"Blaang!" benturan keras terjadi dan desing angin memancar ke empat penjuru,

di antara debu pasir yang beterbangan, bagaikan layang2 yang putus

benangnya, tubuh Hud-in Hoat-su terlempar jauh ke belakang.

Setelah melukai dua orang musuh, kemenangan bagi Tian Pek sudah berada di

ambang pintu, gerakan melukai si nenek kemudian menghajar pula Hud-in Haot-

su sampai mencelat, baik keindahan jurus serangannya maupun tenaga

pukulannya sangat mengagumkan, seketika tampik sorak berkumandang baik

dari pihak kawan maupun lawan.

Air muka Lam-hay-liong-li dan Sin-liong-taycu berubah hebat, mereka semakin

tegang bercampur gelisah. Sementara paman Lui, Ji-lopiautau, Tay-pek-siang-gi,

Wan-ji serta Buyung Hong ikut bersorak dengan girangnya. Seketika suasana jadi

gaduh.

Di tengah kegaduhan itu mendadak terdengar bentakan nyaring ibarat guntur

menggelagar, segulung hawa pukulan yang maha dahsyat bagai topan menyapu

gelanggang yang luas itu, demikian dahsyatnya hingga lentera serta obor yang

berpuluh tombak jauhnya terembus hingga guram.

Semua orang menjerit kaget. waktu lampu terang kembali, tertampaklah muka

Tian Pek pucat lesi dari ujung bibir meinucurkan darah. Ketika semua orang

memandang si kakek berjenggot,

orang tua itu berdiri dengan wajah buas, matanya melotot, mukanya

menyeringai dan rambutnya se-akan2 berdiri.

Dari keadaan tersebut dapat diketahui Tian Pek telah terluka dalam.

Paman Lui dan lain2 merasa cemas. Dalam pada itu, kakek berjenggot itu telah

mengangkat telapak tangannya yang besar itu dan hendak membacok batok

kepala Tian Pek.

=====

Cara bagaimana Tian Pek akan mengatasi pertandingan sengit itu?

Muslihat apa di balik. usaha Lam-hay-bun membunuhi musuh2 Tian Pek?

Jilid 22 : Liu Cui-cui mau jadi istri pertama

"Hehehe, engkoh cilik!" ia berseru sambil tertawa seram, "di antara tiga tua

bangka, dua orang sudah terluka, sekarang dengan pukulan ini akan kucabut

jiwamu!"

Setelah melukai dua orang lawannya, sedikit lengah Tian Pek juga terluka oleh

pukulan si kakek, darah terasa bergolak di dalam dada, walaupun begitu ia tidak

gentar, ia berkata: "Beium tentu bisa Cianpwe, kekuatan kita seimbang, adu

pukulan ini entah akan dimenangkan siapa''"

“Hehehe, engkoh cilik, jangan paksakan diri," kakek berjenggot itu berkata dan

telapak tangannya yang besar itu terus menekan ke bawah "Jelas kau sudah

terluka dan muntah darah,"

“Kukira Locianpwe sendiripun tahu keadaan sendiri, isi perutmu sudah

terguncang dan peredaran hawa murnimu tidak lancar lagi!" balas Tian

Pek sambil menghimpun tenaga sepenuhnya dan per-lahan diangkat ke atas.

Apa yang diucapkan Tian Pek memang tepat mencerminkan keadaan si kakek,

hawa murninya sudah tergetar buyar oleh pukulan dahsyat anak muda itu,

sekarang didengarnya pemuda itu membongkar rahasianya, hawa napsu

membunuhnya segera timbul, sambil menyeringai seram ia berkata:

"Sebenarnya aku ingin menyudahi pertarungan ini; setelah menang-kalah

diketahui, tapi sekarang . . . hehe, engkoh cilik, kematianmu tak dapat

dihindarkan lagi."

Berbicara sampai di sini, hawa murninya segera disalurkan keluar, telapak

tangannya yang besar itu bagai gugur gunung dahsyatnya membacok batok

kepala Tian Pek.

Baik Buyung Hong maupun Tian Wanji dan Kim Cay-hong yang baru sadar dari

pingsannya serentak menjerit kaget demi menyaksikan serangan maut itu, cepat

mereka menerjang ke tengah gelanggang.

Tapi terlambat, tangan Tian Pek telah beradu dengau musuh.

Di tengah getaran keras itu, Buyung Hong, Wan-ji dan Kim Cay-hong terguncang

balik ke tempat semula oleh angin pukulan yang memancar ke empat penjuru

itu.

Tian Pek muntah darah, namun tidak roboh, sambil mengangkat telapak

tangannya ia berteriak: "Hei, orang tus, hayo maju lagi!"

Kakek berjenggot itupun bergeliat, akhirnya ia tak tahan dan muntah darah juga,

ketika dilihatnya Tian Pek masih kuat untuk menantang bertempur lagi,

mendadak air mukanya berubah jadi tenang, rasa gusarnya berganti dengan

rasa kagum, sambil acungkan jempol ia berseru: "Engkoh cilik, kau benar2

hebat! Aku amat kagum padamu!"

Tian Pek adalah pemuda yang suka lunak dan tak doyan keras, bila orang kasar

kepadanya maka iapun akan bertindak lebih kasar, tapi sekarang kakek

berjenggot itu memujinya, ia jadi tak tega untuk melanjutkan pertarungan adu

jiwa itu, terutama bila mengingat betapa kedua orang itu sudah dilukainya, ia

merasa dendam sakit bati ayahnya telah terbalas, apa gunanya mesti beradu

jiwa dengan orang lain?

Maka iapun menarik kembali telapak tangannya, lalu sambil menjura katanya:

"Aku mengaku kalah, Locianpwe .... selamat tinggal!" tanpa berpaling lagi ia

lantas berlalu dari situ.

Tindakan ini benar2 di luar dugaan kakek berjenggot panjang itu, ia tak mengira

anak muda itu akan berlalu dengan begitu saja, untuk sesaat dia jadi tertegun ....

Baru beberapa langkah Tian Pek berlalu, tiba2 ia merasa darah dalam rongga

dadanya bergolak sekuat tenaga ia bertahan, kemudian cepat2 kabur keluar

pagar pekarangan.

Di belakangnya ia mendengar suara seruan Buyung Hong, Tian Wan-ji, Kim Cay-

hong serta paman Lui sekalian, namun ia tak berpaling lagi dan kabur menuju ke

luar kota.

Perasaannya sekarang terasa aneh sekali, kalut, se-olah2 banyak masalah y«ng

menyelimuti benak-nya, tapi setelah dipikir dengan seksama terasa kosong pula,

tiada sasuatu persoalan apapun.

Ia tahu dalam pertarungan melawan Hay-gwa-sam-sian tadi hawa murninya

telah dipergunakan kelewat betas, lagipula isi perutnya sudah terluka parah, dia

bisa bertahan sampai sekarang tanpa roboh tak lain adalah berkat tekadnya

menahan diri agar tidak sampai roboh di depan mata orang banyak, maka ia tak

pedulikan panggilan siapapun, sambil mempertahankan sisa hawa murni yang di

milikinya sekuat tenaga ia kabur ke depan.

Pemuda itupun tahu, bila sekarang ia hentikan larinya maka dia pasti akan

roboh, dan sekali roboh maka kemungkinan besar tak kan sanggup merangkak

bangun lagi, sebab itulah walaupun ia mendengar suara panggilan dari rekan-

rekannya namun ia sama sekali tidak menggubris.

"Seorang laki2 sejati lebih baik menderita dari pada dikasihani orang!" inilah

prinsip hidup dan keangkuhan Tian Pek.

Setelah meninggalkan Lam-keng, ia terus lari menyusur tepi sungai, melewati

dua belas gua karang dan menuju "Bong-hun-koh" (lembah kematian).

Didengarnya suara air sungai yang mendebur, dilihatnya batu berumput di mana

ia pernah berbaring ketika diobati Cui-cui, akhirnya ia tak tahan dan jatuh di atas

batu itu dan tak sadarkan diri.

Entah sudah lewat berapa lama tiba2 ia merasa lubang hidungnya gatel2 geli

"Waaji. ... waaji!" ia bersin beberapa kali, segera kesadaran-pun pulih kcmbali.

Sang surya telah muncui di ufuk timur, kicauan burung yang merdu

berkumandang di angkasa ternyata malam sudah lewat dan fajarpun tiba.

Tiba2 dilihatnya Liu Cui-cui berduduk bersandar di sebelahnya dan sedang

mempermainkan sehelai bulu burung yang indah, dengan tertawa sedang

mengkili lubang hidung Tian Pek dengan bulu burung itu.

Cepat Tian Pek merangkak bangun, serunya:

"He, kau.. "

Cui cui tertawa, ia membuang bulu burung itu dan menjawab: "Kita ditakdirkan

dua sejoli, kemanapun kau pergi disitulah aku akan muncul. Nama besar dan

kejayaan mirip asap akan buyar dalam sekejap, budi dendam hanya impian, apa

gunanya kau mencampuri urusan dunia persilatan lagi? Marilah kita mencari

tempat yang jauh dari keramaian untuk hidup bahagia hingga akhir tua nanti?

Engkoh Pek, sekarang engkau tak bisa menolak lagi!"

Tiba2 Tian Pek merasa masih ada urusan lain, maka katanya: "Aku . , ."

Cui cui lantas menyela: 'Eigkoh Pek, sakit hati ayahmu telah terbalas, engkau

tidak terikat lagi oleh masalah apapun, inilah kesempatan yang terbaik untuk

ber sama2 mengasingkan diri, marilah kita hidup bagaikan sepasang burung

merpati!

Tatkala dilihatnya Tian Pek masih termangu-mangu tanpa menjawab aambil

tertawa ia menggoda: "Jangan2 engkoh Pek merasa berat untuk meninggalkan

Wan-ji, Buyung Hong serta Kang-lam-te-it-bi-jin?"

Merah muka Tian Pek karena isi hatinya tertebak, jawabnya dengan ter-gagap2:

"Aku dengan Buyung siocia telah .... telah terikat ...”

Cui-cui tertawa: "Kakak beradik itu sama2 mencintai dirimu, ambil yang satu

harus ambil pula yang lain, tak mungkin bagi engkoh Pek untuk meninggalkan

salah satu diantaranya. Andaikata mereka bertiga sama2 menaruh cinta kepada

engkoh Pek dan rela meninggalkan sanak keluarga tanpa mempersoalkan sakit

hati, apa salahnya kalau kami semua mendampingi engkoh Pek secara ber-

sama2. Pikiranku sudah terbuka, aku merasa sepantasnya aku berlapang dada

dan hidup bersama mereka dalam suasana kadamaian. Engkoh Pek, engkau

jangan pandang rendah diriku. Siaumoay bukanlah Kuntilanak, lebih2 bukan

orang yang suka cemburu. ."

Mendeng itu, Tian Pek menghela napas panjang, katanya: "Sungguh tak

kusangka kau bisa berpikir sebaik ini bagiku tapi aku. .."

Buat orang persilatan, janji tetap janji, setiap perkataan berbobot melebihi

gnnung, seringkali seorang ksatria berubah jalan hidupnya hanya lantaran

sepatah kata, bahkan sampai matipun takkan dilanggarnya.

Demikian pula keadaan Tian Pek sekarang, waktu pertarungannya melawan Hay-

gwa-sam-sat, kendatipun secara beruntun ia dapat merobohkan Hud in Hoat-su

dan nenek berambut putih, tapi akhirnya menderita kekalahan di tangan kakek

berjenggot panjang, menurut peraturan maka dia harus memegang janji dan

mengundurkan diri dari keramaian dunia persilatan.

Akan tetapi pada hakikatnya dia pribadi masih mempunyai banyak persolan

yang belum dibereskan, budi dan dendam ayahnya, dan lagi masalah cintanya

dengan beberapa orang gadis. semua pwrsoalan ini tak mungkin ditinggalkannya

dengan begitu saja tanpa ada penyelesaian, terutama persetujuannya atas

pinangan paman Lui yang telah menjodohkan dia dengan Buyung Hong,

bagaimanapun juga tak mungkin persoalan ini dibiarkan begitu saja.

Untuk sesaat pemuda itu jadi binpung dan tak tahu apa yang mesti dilakukan,

andaikata dia dengan Liu Cui-cui tak ada kenyataan sebagai suami-isteri,

mungkin saja persoalan ini mudah di-selesaikan, tapi kenyataan berbicara lain,

dan lagi Liu Cui cui sendiripun telah menunjukkan sikap yang bijaksana hal ini

mcmbuatnya semakin bimbang.

Sementara Tian Pek kebingungan, mendadak mata Cui-cui yang jeli mengerling

sekejap sekitar tempat itu, kemudian tegurnya "Siapa di situ? Berani mencuri

dengar pembicaraan nonamu? Hayo unjukkan diri untuk menerima kematian!"

Tian Pek melengak, ia tak menyangka ketajaman mata serta pendengaran Liu

Cui-cui jauh jauh lebih lihay daripadanya, ia sendiri sama sekali tidak mendengar

sesuatu apapun, tapi si nona ternyata tahu ada orang bersembunyi di sekitar

sana.

Betul juga, begitu Cui-cui menegur, dari balik pohon besar tak jauh dari tempat

mereka berada melayang keluar sesosok bayangan.

Orang itu berdandan perlente sekali, meskipun di tengah kegelapan sulit untuk

melihat raut wajahnya, tapi dapat diduga bahwa orang ini adalah seorang

pemuda cakap.

Sesudah munculkan diri dari tempat persembunyirtnnya, orang itu tertawa ter-

bahak2, lalu berkata: "Hahaha, kurang ajar, benar2 kurang ajar! kalianlah yang

bsr-kaok2 di sini mengganggu tidurku. sebelum sempat kutegur kalian, malahan

kau vang menegur diriku lebih dulu. Apa tumon!" Habis itu ia lantas putar badan

dan berlalu dari situ.

Cui-cui mendengus, entah dengan gerakan apa, tahu2 ia sudah bergerak ke

depan dan mengadang jalan pergi orang itu.

Terkejut orang itu menyaksikan betapa gesit gerakan lawan, ia tak mengira Cui

cui memiliki Ginkang sehebat itu, iapun tak tahu apa makcud Cui-cui mengadang

jalan perginya? Cepat dia meng-himpun tenaga pada telapak tangan dan siap

menghadapi segala sesuatu.

Sementara itu Tian Pek telah memburu datang, di bawah cahaya bintang ia

dapat mslihat jelas wajah orang, mendadak ia berseru kaget: "He, kiranya kau!"

Orang itu menengadah dan tertawa ter-bahak2: "Hahaha, kenapa? Tidak kau

sangka bukan? Padahal sejak tadi kutahu kau yang berada di situ. Hah! Bu-cing-

kiam-kek (jago pedang tak kenal ampun) ternyata punya rejeki gede, begitu

banyak nona cantik yang mengejar dirimu, apalagi mempunyai seorang nyonya

yang begini bijaksana, hahaha. kukira bertambah lagi tiga isteri dan empat selir

juga tidak menjadi soal."

Tian Pek bukan anak bodoh, ia dapat merasakan sindiran itu. wajahnya jadi

merah, dengan tergagap ia menjawab: "Hoan Soh ... Hoan-heng, su . . . . sudah

lama kita tak tak berjumpa, tak tersangka engkau sudah pandai bergurau! . . ."

Memang tak salah, orang ini ialah Hoan Soh-ing, puteri Hoan Hui, cuma saat ini

ia berdandan sebagai laki2, lagipula di depan Cui-cui, tentu saja Tian Pet tidak

ingin membongkar rahasia penyamaranya itu, maka sengaja ia sebut Hoan-heng

kepadanya.

Cui cui sendiri bukanlah orang bodoh, ia segera tertawa dingin, sambil menuding

Hoan Soh-ing ia berkata: "Hehehe, kau tak perlu berlagak di depanku, kau

anggap aku tak dapat melihat dirimu? Hm, sejak tadi akupun tahu kau ini sejenis

betina seperti diriku pula!"

Kali ini Hoa Soh ing yang menjadi jengah, merah wajahnya, ia tak mengira gadis

cantik di depannya ini ternyata memiliki ketajaman mata yang luar biasa!

Mestinya dia hendak menggoda orang, sekarang justeru orang lainlah yang

mengejeknya, untuk sesaat nona Hoan ini jadi melongo dan tak mampu

menjawab.

Setelah ada pengalaman dengan Wan-ji tempo hari, Tian Pek pikir Cui cui pasti

akan cemburu dan bisa jadi akan berkelahi dengan Hoan Soh-ing maka cepat ia

berseru: "Adik Cui, jangan kau banyak curiga, sejak dulu dia memang suka

berdandan sebagai laki2....!"

Mendadak Cui-cui tertawa cekikikan, ibarat musim dingin tiba2 berubah jadi

musim semi yang hangat.

Puas dengan tertawanys, ia berkata: "Engkoh Pek, jangan kuatir, kan adik telah

berjanji takkan cemburu, maka jangan kuatir adik akan rewel, kalau sudah ada

Wan-ji, Buyung Hong dan Kim Cay-hong, apa salahnya bila sekarang bertambah

seorang lagi ...”

Mendadak dari malu Hoan Soh-ing menjadi gusar, bentaknya: "Perempuan tak

tahu malu!"

Air rauka Cui-cui berubah hebat, seketika tangannya diayun ke depan, "Plok!" ia

gampar muka Hoan Soh-ing sehingga timbul bekas telapak tangan yang merah.

Tamparan Cui cui ini cepat sekali, bukan saja Hoan Soh ing tak sanggup

menghindar, bahkan Tian Pek juga tak sempat mengalanginya.

Tindakan ini benar2 di luar dugaan siapapun, seketika Hoan Soh-ing tertegun

dan tak tahu apa yang harus dilakukan.

Semenjak kecil Hoan Soh-ing dibesarkan di lingkungan yang dimanjakan, di

rumahnya pelayan dan dayang tak terhitung jumlahnya, jangankan ditampar

orang, berbicara kasar saja tak ada yang berani.

Ayahnya, Pah ong pian Hoan Hui, namanya sejajar dengan keempat pemuka

dunia persilatan, usianya sudah lebih setengah abad dan mempunyai tiga putera

dan seorang puteri, anak gadisnya selalu dimanja, disayang, dipandang sebagai

mutiara, apa yang diinginkan tak pernah ditolak sehingga terpeliharalah watak

manja yang berlebihan, kalau tidak begitu, tak nanti sang ayah membiarkan

puterinya sepanjang hari berdandan sebagai laki2.

Bukan saja Hoan Hui sendiri, bahkan Hoan si-sam kiat (tiga orang gagah keluarga

Hoan) yang tersohor di dunia persilatan juga mengalah tiga bagian kepada

adiknya ini.

Dan kini, gadis yang terbiasa dimanja ini digampar oleh Cui-cui, kendatipun pada

mulanya ia tertegun, tapi sesaat kemudian iapun naik darah, sambil membentak

gusar, segenap tenaga dalamnya dihimpun lalu dia melancarkan bacokan maut

ke tubuh Cui-cui.

Apabila Hoan-si sam-kiat di dunia persilatan terkenal ilmu pedangnya yang lihay,

maka Hoan Soh-ing meskipun seorang gadis, kungfunya justeru terletak pada

ilmu pukulannya. Liok-eng ciang-hoat keluarganya telah dikuasai dengan cukup

sempurna.

Begitu pukulan itu dilepaskan, bayangan telapak tangan seketika berseliweran.

Diiringi deru angin pukulan yang tajam, serangan itu segera mengurung sekujur

badan Cui-cui.

Walaupun ilmu pukulan Liok-eng-ciang-hoat yang ia yakinkan sudah cukup

sempurna, tapi di-bandingkan dengan kungfu Cui-cui jelas ibarat langit dan

bumi, Cui-cui jauh lebih lihay daripadanya.

Di tengah sambaran angin yang men-deru2, tiba2 Cui-cui nendengus, tangannya

terangkat untuk menangkis. ' Bluk! seketika Hoan Soh-ing tergetar mundur lima

langkah.

Hoan Soh-ing meniang memiliki jiwa seorang laki2, nona yang tinggi hati dan

manja ini belum lama berselang telah mengalami bencana besar, keluarganya

terbantai dan ia harus melakukan perjalanan siang malam menuju ke Lam-keng

untuk minta bantuan kepada sahabat ayahnya, yakni Siang-lin Kongcu, guna

balas dendam bagi kematian ayahnya serta menolong ketiga saudaranya.

Waktu lewat dua belas gua karang, karena lelah dan lagi hari sudah gelap, ia

beristirahat di bawah pohon dengan maksud keesokan harinya melanjutkan

perjalanannya menuju istana keluarga Kim.

Siapa tahu tanpa sengaja ia meadengar pembicaraan Tian Pek dengan Cui-cui,

semula ia tidak bermaksud unjuk diri, apa mau dikata jejaknya di-ketahui Cui-

cui, terpaksa ia keluar.

Dasar lagi sial, baru dua-tiga patah kata ia sudah digampar Cui-cui dengan keras,

bayangkan saja betapa gusar dan penasarannya nona manja yang sedari kecil

belum pernah mengalami penghinaan macam itu, tak heran ia menyerang lawan

dengan sepenuh tenaga.

Ilmu pukulan Liok-eng-ciang-hoat keluarganya memang ampuh, terutama jurus

Liok-eng-peng-hun yang terhitung sebuah pukulan mematikan, tapi

kenyataannya serangan yang dahsyat itu ternyata tak mampu menahan

tangkisan lawan.

Ia jadi sedih sekali sehingga hampir saja melelehkan air mata, lengannya kaku

kesemutan, darah di dalam rongga dadanya ikut bergolak keras.

"Sudahlah, jangan berkelahi lagi, kalian kan sana-sama orang sendiri.. cepat

hentikan pertarungan ini" dengan panik Tian Pek berusaha melerai.

Setelah berhasil memukul mundur Hoan Soh-ing, Cui-cui berdiri sambil bertolak

pinggang, tampangnya persis seperti nyonya judas, cuma iantaran mukanya

cantik, maka meskipun judas tetap menimbulkan daya tarik.

Ia mencibir lalu berkati: "Hm, meskipun pikiranku sekarang sudah terbuka dan

tidak kularang engkoh Pek mencari tiga gundik dan empat selir, tapi aku ingin

membikin mereka tahu bahwa aku sebenaroya adalah isteri pertama . . ."

Mendadak ia merasa kata2 itu tak pantas di-ucapkan, dengan muka merah ia

lantas tertawa cekikikan.

Tian Pek jadi serba salah dan tak tahu apa yang mesti diucapkan.

Jangankan cari gundik dan selir, kendatipun ia bermaksud demikian, orang lain

juga belum tentu mau. Tapi sekarang Cui-cui yang polos telah bicara terus

terang kan lucu jadinya persoalan ini?

Perlu diketahui, sejak kecil sering Cui-cui menyaksikan percekcokan antara Lam-

hay-it-kun dengan Kui-bin-kiau-hwa, menurut pengertiannya perempuan yang

suka cemburuan dinamai "harimau betina', bila seorang perempuan sudah dicap

demikian, maka hal ini adalah kejadian yang memalukan.

Karena itu ia berusaha bersikap lunak dan lapang dada, padahal dalam hati

kecilnya cemburu sekali, ditambah lagi ia tidak paham adat istiadat maka

seringkali apa yang diucapkan tak dipertimbangkan apakah itu akan

menyinggurg perasaan orang atau tidak.

Ketika ia mengatakan ingin menjadi istri pertama, tiba2 ia teringat pada

kenangan manis di sampan kecil di sungai Hwai tempo hari, mukanya menjadi

merah, jantungnya berdebar dan tak sanggup melanjutkan kata2nya.

Hoan Soh-ing berwatak keras, apalagi keluarganya baru saja tertimpa malang, ia

tsk tahan oleh godaan Cui-cui itu, ia tahu kungfunya maasih jauh dibandingkan

lawan, maka dengan muka pucat ia melolos ruyung delapan belas ruas dan siap

bertarung lagi.

Ruyung ini bukan sembarang ruyung, inilah senjata andalan Pah-ong-pian Hoan

Hui yang terkenal di dunia persilatan, Pah-ong-pian tidak mewariskan

kepandaian ini kepada ketiga puteranya, tapi malah diajarkan kepada puterinya.

Tian Pek jadi panik ia mengira Hoan Soh-ing telah nekat dan hendak mengadu

jiwa.

Ia tahu Soh-ing pasti bukan tandingan Cui-cui, selain itu ia pun kuatir Cui-cui

turun tangan keji sehingga Hoan Soh-ing bakal rugi besar, buru2 ia maju ke

muka.

“Hoan Soh.." ia bingung sebutan apa yang harus diucapkan, terpaksa ia berkata

sekenanya: "Jangan . .. . jangan salah paham, kalian jangan salah paham .... Cui-

Cui . . . Cui-cui . . . "

Cui-cui bagaimana? Dasar tidak pandai bicara, seketika ia tak tahu apa yang

mesti diucapkan.

Hoan Soh-ing ternyata tak menyerang lagi, ia pegang pangkal ruyung, mendadak

ia hantam batok kepala sendiri. Kiranya nona ini hendak membunuh diri.

Tian Pek terperanjat, cepat ia merampas ruyung itu dengan gerakan Hwe-tiong-

ji-li (memetik buah di tengah api), suatu jurus Kin-na-jiu yang lihay.

"Nona Hcan, kenapa kau . .. ?"

Belum habis Tian Pek berkata, Hoan Soh-ing lantas menangis tersedu-sedan,

sambi1 mendekap mukanya ia lari masuk ke dalam hutan.

"Nona Hoan! Nona Hoan . .!' cepat Tian Pek memburu ke sana sambil berteriak,

selain hendak menjelaskan kesalah pahaman itu, iapun kuatir, kuatir nona itu

berbuat nekat lagi.

Liu Cui-cui yang polos jadi tertegnn ia tak menyangka hanya satu katanya

menyinggung perasaan gadis itu hingga hampir saja terjadi peristiwa yang tragis.

Maklumlah, ia tidak paham adat istiadat Tiong-goan, ia tak menyangka

penghinaan seperti itu sukar diterima oleh gadis manapun juga.

Begitulah Tian Pek terus mengejar di belakang Hoan Soh-ing. Berbicara tentang

ilmu meringankan tubuh pemuda itu dengan Bu sik-bu-sian sin-hoat dan ilmu

langkah Cian-ho-li-biau-hiang-poh tidak sulit baginya untuk menyusul Hoan Soh-

ing.

Tapi ketika ia sudah hampir mendekati gadis itu, mendadak dan atas pohon

menggelinding turun segulung bayangan hitam dan langsung menerjang kaki

Tian Pek.

Gerakan bayangan hitam ini cepat luar biasa dan cuma tiga kaki besarnya, hitam

menggumpal entah barang apa?

Tian Pek terperanjat, dengan cepat ia hentikan gerakannya dan melayang ke

samping, waktu ia memandang lagi, ia lihat gumpalan hitam itu dengan gerakan

melejit telah bangkit berdiri di depan Tian Pek.

Benda hitam ini bukan binatang seperti dugaannya semula, dia adalah seorang

manusia, betul2 manusia tulen, cuma tingginya hanya tiga kaki, kepalanya besar

dan kakinya pendek.

Si cebol yang dekil ini dengan ingus meleleh dari lubang hidungnya sampai ke

mulut, sambil menyeringai ia melototi Tian Pek.

Segera Tian Pek mengenal si cebol ini, dia bukan lain adalah Sam-cun- teng Siau-

song-bun si setan cilik alias si paku tiga inci.

Melihat manusia yang menjemukan ini Tian Pek berkerut kening, sebelum ia

buka suara, Sam-cun-teng telah menyeka ingusnya dengan ujung baju, lalu

sambil menyengir ia berkata: "Keparat! Hari ini kau kepergok lagi dengan Siau-

thayya (tuan besar cilik) Hehehe, kali ini biarpun kau berlutut dan mtnyembah

sepuluh kali kepada Siauthayya juga takkan kuampuni jiwamu."

Perkataan ini sungguh tidak tahu malu, padahal beberapa bulan yang lalu ia

bukan tandingan Tian Pek, apalagi sekarang Tian Pek telah mendapatkan

penemuan aneh sehingga menjadi tokoh nomor satu di kolong langit ini, tapi si

cebol ini menganggapnya seperti dulu, malahan menantangnya pula, sungguh

tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi?

Tian Pek mendengus, dengan nada menghina tegurnya: "Di manakah kedua

gurumu?"

Tian Pek paling benci kepada segala macam kejahatan, sejak tahu dari cerita Sin-

kau Tiat Leng bahwa Kanglam-ji ki adalah murid murtad yang membunuh

gurunya, ia lantas dendam dan membencinyn sampai merasuk tulang, karena itu

ia ingin tahu jejak Kanglam-ji-ki daripada melayani tantangan si cebol.

Sungguh mendongkol Sam-cun-teng karena tantangannya tak digubris, ia

menggelengkan kepalanya yang besar itu, kemudian berkata: "Kau tak perlu

tanya kedua Lothayya, kan sebentar lagi Siauthayya akan cabut nyawamu!"

Habis berkata, dengan jurus Siau kui-jui mo (setan cilik mendorong gilingan) ia

berputar ke sisi Tian Pek, secepat kilat ia mencengkeram lengan kiri lawannya.

Tian Pek menjadi gemas, sambil miringkan bahunya ke kiri, ia melangkah maju

setindak, telapak tangannya membalik ke belakang ia tabok punggung si cebol.

Jangan meremehkan tubuh Sam-cun-teng yang kerdil, kelincahannya justeru

mengagumkan, mendadak kedua kakinya yang pendek itu menjejak tanah terus

melayang tiga kaki ke sana, dengan jurus yang sama kembali ia cengkeram

lengan kiri Tian Pek.

Serangan Sam-cun-teng ini bukan saja lebih cepat dan lebih aneh daripada

beberapa bulan yang lalu ketika terjadi pertarungan di tepi Yan-cu-ki,

bahkan serangannya sekarang membawa deru angin dingin yang menusuk

tulang, angin dingin keluar dari kesepuluh jari tangancya, membuat Tian Pek

terkesiap.

Cepat Tian Pek mengegos ke samping, dengan jurus Hong-cebg lui-beng (angib

berembus guntur menggelegar), setajam golok telapak tangannya membacok

batok kepala Sam-cun teng yang besar dan cekak itu.

Sam-cun-teng berpekik nyaring, kepalanya yang gede itu menggeleng, dengan

gesit ia menyelinap lewat, cengkeramannya kembali ditujukan lengan kanan

Tian Pek, untuk ketiga kalinya ia menyerang dengan jurus Siau-kui tui mo.

Dalam waktu singkat kedua orang sudah ber-gebrak beberapa kali, dengan gesit

Sam-cun-teng selalu bergerak ke kiri dan ke kanan secepat kilat, jurus serangan

yang dipakai juga melulu Siau-kui-tui mo tadi

Diam2 Tian Pek terperanjat, ia heran mengapa si cebol bisa selihay ini, padahal

dengan kungfunya sekarang, bukan saja tokoh silat kenamaan bisa dikalahkan

dalam dalam tiga gebrakan, bahkan Hay-gwa-sam-sat yang lihay juga bisa di-

hadapinya sekaligus bertiga.

Tapi sekarang, tujuh delapan gebrakan sudah lewat, bukan saja si cebol tak bisa

dikalahkan. malahan gerakan si cebol hakikatnya cuma satu gerakan yang tak

berbeda, dia sendiri menjadi repot menghadapi kelincahan lawan.

Tian Pek terkejut, tapi Sam-cun-teng jauh lebih terkejut lagi. Ia pun tak

menyangka ilmu silat anak muda itu telah memperoleh kemajuan yang begini

pesat.

Sesudah dihajar oleh Tian Pek di tepi Yan-cu-ki tempo hari, mestinya dia

berharap kedua gurunya akan tampil untuk mslabrak Tian Pek, tak tersangka

mendadak muncul seorang kakek buntung dan membikin kedua gurunya

ketakutan dan lari ter-birit2, walaupun bingung karena tidak tahu sebab

musababnya, terpaksa Sam-cun-teng ikut kabur.

Sam cun-teng tidak tahu kakek buntung itu sebenarnya adalah kakek-gurunya,

sepenjang jalan sering ia berpaling ke belakang dan tampaknya mereka pasti

akan disusul oleh Sin kau (monyet sakti) Tiat Leng.

Andaikata Sin-lu tiat-tan Tang Ciang-li tidak muncul niscaya ketiga orang itu

mampus di ujung tongkat Sin-kau Tiat Leng. Karena peristiwa itu pula akibatnya

kedua tokoh aneh yang sudah puluhan tahun malang melintang di utara dan

selatan sungai Tiangkang telah berduel hingga akhirnya sama2 tewas.

Setelah lolos dari kematian, diam2 Kanglam-ji-ki dan Sam-cun-teng kembali ke

lembah setan di bukit Gan-tan-san. Sam-cun-teng menggerutu karena gurunya

tidak mewariskan ilmu yang tinggi kepadanya sehingga membuat dia kehilangan

muka, iapun menuduh kedua gurunya bernyali tikus, ketakutan pada seorang

kakek cacat yang tak berkaki dan lari ter-birit2, dari nadanya jelas si cebol tak

puas dengan kedua gurunya, bahkan berniat meninggalkan lembah setan untuk

mencari guru lain.

Ketika itu Kanglam-ji-ki sedang ketakutan setengah mati ksrena mengetahui

gurunya masih hidup, setelah direcoki terus oleh muridnya, mereka tak tahan,

sejak itu Ci-hoat-leng kau (monyet cerdik berambut merah) Siang Ki-ok lantas

mewariskan ilmu pukulan Kui-pok-ciang kepada si cebol, sedangkan Kui kok-in-

siu (pertapa dari lambah setan). Bun Ceng-ki menurunkan ilmu langkah Kui-biau-

hong (embusan angin setan). Sementara mereka sendiripun menekuni isi kitab

Bu-kek-pit kip yang mereka rampas dari tangan gurunya.

Ketika mereka yakin ilmu silatnya sudah cuknp tangguh untuk melawan Sin-kau,

tersiarlah berita di dunia persilatan bahwa gurunya telah tewas karena duel

dengan Sin lu-tiat-tan.

Untuk membuktikan kebenaran berita tersebut, mereka bertiga lantas

berangkat ke "dua belas gua karang" di Lam keng. Betul juga. Mereka temukan

mayat Sin-kau Tiat Leng terkapar di dalam sebuah gua.

Betapa girangnya Kanglam-ji-ki, mereka merasa bebas dari ancaman, saat itulah

kembali Sam-cun-teng ribut ingin membalas dendam kepada Tian Pek.

"Apa susahnya?" kata Ci-hoat leng-kau Siang Ki-ok sambil tertawa. "Jangan

kaukira ilmu pukulan Kui pok ciang yang kuwariskau padamu itu cuma tiga jurus,

pada hakikatnya ketiga jurus pukulan itu punya kekuatan yang hebat, cukup

dengan jurus pertama Siau-kui tui-mo saja bocah yang bernama Tian Pek itu

pasti dapat kau bunuh!"

Ucapan tersebut mengkili-kili hati Sam-cun-teng, ia semakin bernapsu untuk

mencari Tian Pek.

Tetapi sekarang, setelah bertemu dengan pemuda yang di-cari2, sekalipun jurus

Siau-kui tui-mo sudah diulangi sampai tujuh kali, jangankan membunuhnya,

untuk menjawil ujung bajupun tak mampu.

Sam-cun-teng lebih kaget dan marah lagi setelah mengetahui musuhnya tidak

bertarung dengan sungguh2, setiap jurus serangannya hanya dielak seenaknya

saja tanpa memakai tenaga.

Akhirnya si cebol yang penasaran ini membentak keras, pukulannya berubah,

kedua telapak tangan terentang, dengan gaya "burung walet menembus awan"

ia seruduk dada Tian Pek dengan kepala.

"Jurus apa ini. . .?" pikir Tian Pek tercengang.

Sepintas pandang gerakan ini lebih mirip dengan orang nekat yang akan bunuh

diri dengan menumbukkan kepalanya di dinding tetapi justeru di balik

kenekatan ini tersembunyi daya serangan yang dahsyat. inilah jurus kedua dari

Kui-pok-ciang yang bernama Kui-ong ciong-ceng (raja setan menumbuk

lonceng).

Kelihatannya gerakan menerjang ini sederhana, tapi di balik kesederhanaan ini

tersimpan lima perubahan, kepala, tangan dan kaki dapat digunakan bersama,

dengan begitu maka serangan ini berlipat lebih hebat dibandingkan serangan

dengan memakai kedua belah tangan.

Kehebatan ini bertambah lagi karena Sam-oun teng memang terkenal sebagai si

cebol yang berkepala baja, sejak kecil ia melatib ilmu Yu-cui-koan-teng, sejenis

ilmu yang dapat membuat kepala manusia jadi keras seperti baja, tiap tumbukan

kepalanya ibarat pukulan martil seberat ribuan kati, bisa dibayangkan

bagaimana akibatnya bila tubuh manusia tertumbuk?

Sedang kedua kakinya yang tersembunyi di belakang pada ujung sepatunya

terpasang dua batang pedang pendek, bila melancarkan tendangan, serta merta

pedang pendek menjulur dan khusus dapat menghancurkan kekebalan lawan

yang melatih sebangsa ilmu Tiat-poh-san atau Kim-ciong-cau.

Tian Pek tidak tahu kelihayan lawan, ketika kepala orang menumbuk tiba,

dengan jurus Siok hong-Wi-lui (angin puyuh sambaran beledek), dibacoknya

kepala lawan yang besar itu.

Mendadak Sam-cun-teng menengadah ke atas, tubuhnya yang sedang meluncur

tiba2 melambung lebih tinggi, berbareng itu telapak tangan yang terentang tadi

dengan ujung jari yang tajam terus menusuk Tay-yang-hiat di pelipis pemuda itu.

Hebat sekali perubahan serangan ini, Tian Pek terperanjat, cepat ia tarik

kepalanya ke bawah sehingga tusukan maut lawan menyambar lewat di atas

kepala.

"Sungguh berbahaya. .. ."demikian pikir Tian Pek.

Sam-cun-teng tidak memberi kesempatan bagi musuh untuk berganti napas,

tubuhnya yang masih melambung di udara mendadak melejit ke atas, kedua

kakinya terus menendang.

"Cret Cret!" dua bilah pedang pendek pada ujung sepatunya menyambar ke

muka den mengancam mata Tian Pek.

"Celaka! . . : . " keluh Tian Pek, untung ia menguasai ilmu langkah Cian-hoan-

biau-hang-poh yang tangguh tatkala ujung pedang menyambar tiba di depan

mata, tahu2 bayangan berkelebat lewat, jejak anak muda itu lenyap dari

pandangan.

Merasa tendangannya mengenai tempat kosong Sam-cun-teng berputar di

udara dan melayang turun ke bawah dengan tertegun.

Dengan jelas tendangannya hampir bersarang di mata musuh, lawan pasti

kelabakan dan tak tahu bagaimana caranya menghindar, mengapa jejaknya

tiba2 lenyap tak berbekas? Mungkinkah pemuda itu bisa kabur masuk ke bumi?

Dengan terbelalak hcran Sam-cun-teng celingukan ke sana kemari, pada saat

itulah suara tertawa dingin mendadak menggema di belakangnya.

Tak terkira rasa kaget si cebol, serentak ia berpaling, Tian Pek yang di cari2

ternyata berdiri di belakangnya sambil tertawa dingin.

Kejut dan marah Sam-cun teng, ia berpekik nyaring, ia terjang lagi dada Tian Pek

dengan kepalanyn, jurus yang dipergunakan masih teiap "raja setan menumbuk

lonceng".

"Kau cari mampus!" bentak Tian Pek dengan gusar, ia tidak sungkan2 lagi,

dengan jurus Sau-cing-yau-hun (menyapu bersih hawa siluman) yang disertai

hawa pukulan Thian-hud-hang-mo-ciang dihajarnya batok kepala Sam cun-teng.

Hebat serangan ini, Sam-oun-teng terkejut, ia merasa gelagat tak

mcnguntungkan, tapi sudah terlambat. "Bluk!'' tak ampun lagi Sam-cun-teng ter-

sapu oleh pukulan dahsyat itu, darah dan otak berceceran, untuk selamanya si

cebol tak pernah bangun lagi.

Melihat musuh sudah mampus dengan kepala hancur, Tian Pek merasa gemas

dan menyesal. Ia gemas karena hampir saja matanya buta termakan oleh

tendangan cebol itu. Menyesal karena ia telah membunuh seorang jago

persilatan lagi, padahal semenjak kalah bertaruh dari Hay gwa-sam-sat ia telah

berjanji takkan mencampuri urusan dunia persilatan.

"Ai, entah perbuatanku ini termasuk melanggar janji atau tidak?" demikian ia

berpikir.

Sementara Tian Pek masih termenung tiba2 terdengar lagi pekikan nyaring

tajam dan menyeramkan ibarat jeritan setan di tengah malam buta. Mcnyusul

dari semak2 pohon sana muncul dua sosok bayangan hitam, dari situlah Sam-

cun teng muncul tadi, gerakan orang2 itu cepat luar biasa, tahu2 sudah berada

di depannya.

Diam2 Tian Pek menghela napas dingin, dari Ginkang orang dapatlah diketahui

betapa lihaynya Kungfu mereka.

"Siapa gerangan kedua orang ini?" begitulah Tian Pek membatin, tatkala diamati

lebih seksama, ternyata mereka adalah seorang kakek bermuka seperti kunyuk

berambut merah dan seorang lagi seorang kakek gemuk berbaju tebal.

Siapa lagi mereka kalau bukan Ci-hoat-leng-kau Siang Ki-ok dan Kui-kok-in-siu

Bun Ceng-ki, guru si cebol tadi.

Dengan bengis dan penuh kebencian, kedua orang aneh itu melototi Tian Pek

tanpa berkedip.

Tadi Tan Pek menyesal karena telah membunuh murid kesayangan orang, akan

tetapi bila teringat bagaimana kedua orang ini berkhianat pada gurunya, bahkan

menyiksanya secara keji darah Tian Pek tersirap, timbul niatnya untuk

membinasakan kedua orang durhaka ini.

"Bocah keparat!' segera si monyet berambut merah memaki dengan penuh

kebencian, “Kau telah membunuh murid kesayangan kami! Kau telah

menghancurkan harapan kami! Kalau tidak kucincang tubuhmu, rasa benci dan

dendam ini tak terhapus dari hati kami. Bangsat, terimalah ajalmu!"

Kui-kok-in-siu juga tertawa dingin dengan seram, suaranya mirip lolongan

serigala atau jeritan setan, bulu kuduk Tian Pek terasa berdiri.

"Keenakan dia jika kita mencincang tubuhnya!" serunya dengan tajam, "akan

kusiksa dia dengan cara2 yang paling keji, biar dia rasakan hidup susah matipun

tidak, habis itu baru kucincang tubuhnya kemudian kugunakan santapan bagi

anjing!"

Bukan menjadi jeri, Tian Pek malah tertawa ter-bahak2. "Hahaha, sekalipun

kalian berbuat lebih keji, tetap kalian tak bisa mencuci bersih dosa kalian yang

telah berkhianat dan menyiksa guru sendiri!"

Ucapan ini di luar dugaan kedua orang itu, wajah mereka yang bengis. segera

terlintas rasa kaget, setelah saling pandang sekejap, nafsu membunuh yang

menyelimuti wajah mereka kian menebal, hampir berbareng kedua orang itu

berpekik.

"Bangsat cilik, kau jangan ngaco belo! Siapakah guru kami kaupun tak tahu,

berani kau menuduh yang bukan2, kematianmu sudah di depan mata, tapi

mulutmu yang kotor masih juga memfitnah orang . . . . "

Tian Pek tertawa: "Bila tak ingin orang tahu kecuali diri sendiri tak pernah

melakukan. Tentunya kalianpun pernah membaca, masa arti dan kata kata ini

tidak kalian pahami”

Kedua orang terperanjat.

"Hayo katakan siapa..siapakah guru kanm?"

Ci-hoat-leng-kiau menjerit. "Bila kau tak sanggup mengatakanuya akan kusiksa

kau dengan cara yang paling keji!"

"Sin-kau Tiat-leng! Kukira sama ini tak bakal salah bukan?" ejek Tian Pek sambil

melirik menghina.

Bagaikan dipagut ular, kedua orang itu gemetar keras, kulit wajah mereka

berkerut, jelas sangat ketakutan.

Tapi sesaat kemudian segera Kui-kok-in-siu membentak dengan gusar: “Suheng,

apa gunanya ribut dengan setan cilik ini? Hayo kita bekuk dan mampuskan dia!"

Ci-hoat-leng-kau dapat merasakan betapa seriusnya urusan ini karena

menyangkut mati-hidup mereka, bila Tian Pek tahu rahasia ini dan

menyiarkannya di dunia persilatan, maka Kanglam-ji-ki tak kan diampuni oleh

setiap umat persilatan.

Untuk menghindari hal yang tak diinginkan, timbul sifat mereka untuk

membinasakan Tian Pek, asalkan pemuda ini lenyap dengan sendirinya rahasia

mereka akan terpendam selamanya.

Maka habis Kui kok-in-siu berkata Ciam-hoat-leng kau tidak berbicara lagi, hawa

saktinya segera dihimpun hingga terdengar ruas tulangnya bergemerutukan

Kui-kok-in-siu sendiri berdiri dengan mengepal tangan lalu dikendurkan lagi,

kemudian mengepal dan mengendur pula beberapa kali, jelas iapun sedang

menghimpun tenaga.

Suasana jadi tegang, kebetulan awan hitam mcnyelimuti angkasa dan

mengalangi sinar bintang di langit, udara jadi gelap gulita dan terasa

menyeramkan.

Tiam Pek menyadari betapa gentingnya keadaaan, partarungan sengit tak

terhindar lagi. Bukannya ia takut menghadapi pertarungan, justeru dengan

wataknya yung jujur dan mulia, ia amat mengutuk pengkhianatan kedua orang

ini terhadap gurunya, sekalipun tahu bukan tandingan orang juga akau

dihadapinya dengan mati2an.

Satu hal yang merisaukau pemuda ini adalah janjinya dengan Hay-lam-bun, ia

telah berjanji akan mengundurkan diri dari dunia persilatan, bila pertarungan ini

dia layani dan berita ini sampai terdengar oleh Hay-gwa-sam-sat, bagaimana dia

akan menjawab?

Sebab itulah meski diam2 ia sudah bersiap menghadapi pertarungan, pemuda

ini masih mencoba menghindari terjadinya pertarungan ini.

"Aku telah berjanji dengan orang takkan mencampuri urusan dunia persilatan

lagi, jangan kalian paksa aku main kekerasan. Tapi kalau kalian memaksa juga

untuk bertempur, silakan meninggalkan bukti yang menyatakan bahwa kalianlah

yang mamaksa aku turun tangan dan aku akan..”

Bangsat, tak perlu banyak bacot lagi!" bentak Ci-hoat-leng-kau.

Kui-kok-in-siu juga membentak dengan gusar: "Hari ini, kau yang akan mampus

di tangan kami, buat apa minta bukti segala."

Sambil menjerit Ci-hoat-leng-kau segera menerkam ke depan, ia langsung

menghantam kepala Tian Pek dengan jurus serangan yang baru berhasil

dilatihnya.

Hampir sama waktunya, Kui-kok-in-siu yang gemuk juga mengebas lengan

bajunya hingga kelihatan tangan kanannya yang seram bagaikan cakar setan,

dengan ilmu pukulan Im-hong-ciang yang belum lama diyakinkannya dia imbangi

serangan kawannnya dengan memotong Cian-keng-hiat di bahu kiri Tian Pek.

Kedua orang ini sudah menekuni ilmu silatnya selama puluhun tahun, kerja

sama mereka sangat rapat tenaga pukulan merekapun sangat mengejutkan.

Tian Pek terkesiap dan kagum pada ketangguhan musuh, serangan orang tidak

dia layani, pertama ia tidak merasa yakin akan menang. kedua bila ditanya Hay-

gwa sam sat ia pun tidak punya bukti yang bisa menunjukkan bahwa ia turun

tangan karena ddesak, maka dengan andalkan ilmu langkah Cian-hoan-biau-

hiang-poh, semua serangan musuh dihindari dengan begitu saja.

Kedua orang itu tertegun, tapi kungfu mereka memang lebih hebat daripada

Sam-cun-teng, sekalipun ilmu langkah Tian Pek sangat bagus namun cukup satu

perputaran badan, mereka lantas melancarkan pukulan lagi.

Angin pukulan men-deru2, debu pasir beterbangan, sebagaimana tadi, kembali

Tian Pek meng-egos tanpa balas menyerang.

Dengan kalap kedua orang itu mencecar lawan, mereka berpekik nyaring,

dengan jurus mematikan mereka mengurung pemuda itu.

Meski ilmu langkah Cian-hoan-biau-hiang-poh sangat gesit, tapi lama2 keteter

juga Tian Pek, mau-tak-mau ia harus balas menyerang.

Se-konyong2 terendus bau harum menyusul terjadi benturan keras, "blang",

tahu2 Kanglam-ji-ki mundur dengan sempoyongan.

Kejut luar biasa Kanglam-ji-ki, mereka merasakan tenaga lawan terlalu kuat dan

sukar dilawan, namun sebisanya mereka bertahan.

Waktu mereka berpaling, pendateng ternyata adalah seorang manusia aneh,

bertubuh kecil pendek, berwajah seram, merah rambutnya, mukanya berwarna

hijau pula.

Merasa tak kenal Ci-hoat-leng-kau Siang Ki-ok mencaci maki dengan mata

melotot: "Keparat, siapa kau? Berani mencampuri urusan Kanglam-ji-ki!"

"Bangsat! Rupanya kau sudah bosan hidup? Mau apa kau campuri urusan

kami?" Kui-kok-in-siu juga marah2.

Manusia aneh bermuka hijau dan berambut merah itu jelas adalah Liu Cui-cui

yang bertopeng, dengan suara aneh ia balas berteriak: "Kunyuk, buat apa

banyak bicara? Sambut pukulanku ini!" Kedua tangan terentang, serentak ia

menyerang ke kiri dan ke kanan.

Kanglam-ji-ki menyambut pukulan itu dengan keras lawan keras. "Blang, blang!"

kedua orang itu tergetar mundur.

'Hehehe, cuma begini sa]a kalian berani omong besar!?" ejek Cui cui sambil

tertawa aneh,

Gusar sekali kedua orang itu, mereka berpekik nyaring, sambil mengerahkan

segenap kekuatan mereka terkam Cui cui dengan ganas.

Tapi Cui-cui masih tertawa terkekeh, seperti kupu2 menyongsong angin dua

tangannya yang putih bersih mengebas pelahan ke depan.

"Blang! Blang!" kembali terjadi benturan keras, kali ini Kanglam-ji-ki tergetar

mundur lima-enam langkah.

Setelah berulang kali tergetar mundur, sadarlah kedua orang itu bahwa kungfu

mereka masih kalah jauh dibandingkan lawan, kejumawaan mereka tersapu

lenyap, rasa takut dan ngeri lantas timbul.

Kembali Cui-cui tertawa mengikik, ejeknya: "Hayo, maju lagi! Kenapa berhenti"'

Pelahan ia angkat tangannya keatas, di antara tangannya yang halus dan putih

tiba2 terpancar sinar putih menyilaukan.

"Hih, Tay im-sin ciang!' Kanglam ji ki menjerit kaget dengan air muka berubah

hebat.

"Hehehe, takut?' ejek Cui-cui pula, pelahan telapak tangannya lantas menolak

ke tubuh kedua orang itu. Segera segulung angin pukulan dahsyat mendampar

ke depan,

Pucat wajah kedua orang itu, mereka ingin kabur, tapi gulungan angin pukulan

yang kuat itu ibaratnya sebuah kurungan baja yang besar telah mengurung

mereka hingga tak mampu berkutik.

Semenjak terjun ke dunia persilatan dan mengalami berbagai pertempuran,

belum pernah Kang lam-ji-ki menghadapi kejadian seperti ini, kehebatan musuh

membuat mereka ketakutan dan peluh dinginpun bercucuran.

Siapapun tak mengira kedua tokoh sakti yang jumawa dan tak pernah takut

pada langit dan tak gentar pada bumi ini, akhirnya ketakutan setengah mati dan

tak mampu berbuat apa2.

"Cui-cui . .. .!" mendadak Tian Pek berseru.

Seruan tersebut segera mengingatkan Cui-cui bahwa engkoh Pek tidak suka

melihat dia membunuh orang, agar tidak membuat Tian Pek tak senang hati,

segera ia tarik kembali pukulannya dan buyarkan tenaga kurungan yang lihay

itu, katanya: "Mengingat engkoh Pek, kuampuni jiwa anjing kalian untu kali ini,

hayo cepat enyah dari sini!"

Bagaikan mendapat pengampunan, Kanglam-ji-ki tidak berani mengucapkan

sepatah katapun, mereka langsung putar badan dan melarikan diri ter-birit2,

begitu ketakutannya sampai mayat murid kesayangan mereka, Sam-cun-teng,

yang masih menggeletak itupun tak sempat diurus lagi.

Menyesal Tian Pek melihat Cui-cui melepaskan Kanglam-ji-ki, berulang kali ia

menggerutu: "Cui-cui, kenapa kau lepaskan kedua orang itu?"

“Eh, aneh," jawab Cui-cui dengan terbelalak heran, "bukankah engkoh Pek tak

suka menyaksikan aku membunuh orang?"

"Tapi kedua orang itu adalah murid durhaka yang telah mencelakai guru sendiri,

manusia berhati binatang macam mereka itu tidaklah pantas dibiarkan hidup di

dunia ini"

"Wah, susah!" keluh Cui-cui. "Ada kalanya kau tak suka melihat kubunuh orang,

sekarang kau malah suruh aku membunuh orang, sebetulnya kau inginkan aku

berbuat bagaimana?"

"Berbuat bagaimana maksudmu?" teriak Tian Pek dengan mendongkol. "Asalkan

kau tidak menimbulkan kesulitan bagiku sudah lebih dari cukup! Baru saja kau

membuat kheki nona Hoan, sekarang melepaskan pula murid durhaka yang

pantas di-bunuh itu . . . ."

Hebat perubahan air muka Cui-cui, meskipun tak terlihat karena tertutup

topeng, dari sikapnya sudab kentara, ia berteriak: "Baik, aku tak akan

mendatangkan kerepotan lagi bagimu, biarlah aku pergi!" Sekali berkelebat,

tahu2 bayangannya sudah lenyap dari pandangan.

Tian Pek tertegun, ia tak menyangka Cui-cui akan pergi begitu saja, ia tak

menduga ucapannya tadi telah melukai hati nona itu.

Supaya maklum, kendatipun sikap Cui-cui sudah lebih supel dan terbuka, pada

hakikatnya ia cuma bertujuan membuat Tian Pek senang, padahal rasa

cemburunya masih amat tebal. Dan sekarang, setelah melihat munculnya

seorang nona lagi yang bernama Hoan Soh-ing. dia jadi mendongkol, tak di-

ketahuinya berapa banyak nona lain yang menjadi kekasih Tian Pek.

Mendingan bila sikap Tian Pek mesra padanva, ternyata pemuda itu malah

membantu Hoan Soh-ing, keruan Cui-cui makin mendongkol, tapi ia masih

bersabar dan berusaha menyenangkan kekasihnya dengan melepaskan

Kanglam-ji-ki, tak tersangka justeru perbuatannya itu kembali membuat pemuda

itu tak senang hati, malahan menegurnya, sebagai gadis yang angkuh, ia tak

tahan sehingga berlalu dengan begitu saja.

Tian Pek sendiri tidak mengalangi kepergian Cui-cui sebab dia sendiripun

mendongkol. Setelah bayangan Cui-cui lenyap dan pandangan pemuda itu masih

bergumam tersendiri: "Mau pergi biar pergi. Uh, memangnya kenapa ..."

Kendatipun begitu, sedikit banyak pemuda itu merasakan kehampaan dan

kesepian.

Langit yang gelap entah sejak kapan telah remang2, sinar ke-emas2an telah

muncul di ufuk timur, fajar hampir menyingsing.

"Kuak! Kuak!" bunyi seekor burung belibis yang ketinggalan induknya memecah

kesunyian di pagi itu, setelah beterbangan mengitari pohon lalu meluncur jauh

ke sana.

Tian Pek menarik napas panjang, ia merasakan kehampaan dan kesepiannya

seperti apa yang dialami burung itu ..

Dewasa ini ia sebatang kara, tanpa sanak tanpa keluarga, sejak kekalahannya di

tangan Cu Ji-hay, kakek berjenggot panjang dari Hay-gwa-sam-sat itu ia tak

dapat menancapkan kaki di dunia persilatan, iapun merasa malu untuk kembali

ke Pah to-san-ceng, meski di situ masih ada calon isterinya. Tapi ia percaya,

walaupun mereka tak ada ikatan apa2. Tian-hujin yang menyayangi-nya seperti

anak sendiri, serta paman Lui yang menyayanginya pula tentu akan menerima

dia untuk berdiam di situ.

Tapi apa yang harus dilakukannya bila mereka mohon bantuannya untuk

balaskan dendam kematian Buyung-cengcu? Lalu, Wan-ji sudah di-temukan, tak

mungkin kukawini mereka kakak ber-adik sekaligus, padahal jelas Wan-ji sangat

men-cintaiku, bagaimanapun juga kehadiranku tentu akan menyakitkan hati

Wan-ji, ia pasti tak betah berdiam di rumah dan mungkin akan minggat lagi.

Pada dasarnya Tian Pek adalah pemuda yang jujur dan pegang janji, selalu

memikirkan kepentingan orang lain, sebab itulah kesulitan yang dihadapinya

selalu lebih banyak daripada orang lain. Seandainya dia adalah pemuda yang

cuma mementingkan diri sendiri, apa yang dihadapinya tentu bukanlah masalah

yang sulit, tapi bagi pandangan Tian Pek, justeru masalah ini masalah yang pelik.

Masalah pelik ini selalu berkecamuk dalam benaknya, ia kebingungan dan tak

tahu ke mana harus pergi.

Tanpa tujuan ia terus berjalan di antara pegunungan yang sunyi, tiada kicauau

burung, tak ada suara manusia, yang ada cuma embusan angin serta bayangan

sendiri.

Tiba2 dari lereng bukit sana muncul beberapa sosok bayangan, orang2 itu

berjalan dengan ter-gesa2, ketika melihat Tian Pek, mereka lantas memburu

datang:

'Hiantit. ..!"

"Siau-in-kong....!"

"Engkoh Tian !"

Masih jauh orang2 itu lantas berteriak, kiranya mereka adalah pamnan Lui, Tay-

pek-siang-gi, Ji lopiautau serta Buyung Hong.

Beberapa orang itu payah sekali keadaannya, napas mereka ter-engah2 dan

peluh membasahi sekujur badan. Begitu berhadapan, paman Lui yang berambut

awut2an segera menegur: "Hiantit, kenapa seorang diri kau kabur kemari?"

"Betul Siau-in-kong! Payah sekali kami mencari jejakmu " sambung Tay-pek-

siang-gi.

"Engkoh Tian . . . ." Buyung Hong juga berseru dengan cemas. Kegelisshan nona

berwatak angkuh ini jauh melebihi siapupun ketika kehilangan calon suammya,

tapi setelah bcrjumpa dia hanya bisa menyebut "Engkoh Tian" belaka,

kendatipun demikian seruan itu sudah meliputi pelbagai perasaannya yang

bercampur aduk.

Tian Pek menghela napas dan menggeleng, walaupun masih murung, hatinya

terasa hangat, sebab dari sikap beberapa orang ini ia merasa dirinya tidaklah

sebatangkara lagi, tapi masih banyak orang yang menguatirkan keselamatanya,

meng-hormat serta menyayanginya.

Begitulah manusia, manusia tak terlepas dari kasih sayang, kendatipun dia

adalah seorang enghiong, seorang pahlawan.

Di antara sekian banyak orang yang hadir, pengetahuan dan pengalaman Ji-

Iopiautau paling luas, ia pandai sekali melihat gelagat serta perubahan sikap

seseorang, ia pun pandai menebuk hati orang. Dari sikap Tian Pek yang murung,

kesal dan geleng kepala sambil menghela napas, tahulah orang tua ini apa yang

menjadi beban pikirannya.

Setelah berdehem ringan, iapuu berkata: "'Tian hiante, sedikit kekalahan yang

kau terima janganlah selalu kau pikirkan. Kendatipun tenaga dalam si kakek

berjenggot itu lebih tinggi setengah tingkat, tapi Hiante masih muda dan masa

depan masih cemerlang? Asal kau berlatih dengan tekun, tentu kemajuanmu

akan melampaui siapapun. Waktu itu, bukan saja Hiante bisa mengalahkan

kakek berjenggot itu, sekalipun dunia persilatan muugkin jaga akan berada

dibawah kekuasaan Hiante..Hahaha!”

Tian Pek tahu tujuan Ji lopiautau hanya untuk menghibur hatinya yang duka.

Tapi dalam keadaan begini, justeru semakin ada orang menghiburnya,

ia merasa semakin malu, cepat ia menjura dan berkata: " Terima kasih Lokoko.

gara2 Siaute tak becus.."

“Siau-in-kong, buat apa kau ucapkan kata2 yang tak bersemangat begini?" si

orang mati-hidup dari Tay pek-siang-gi yang berwajah kaku tiba2 menyeletuk.

"Bila Siau inkong tak becus, bukankah kami beberapa orang tua bangka ini

menjadi gentong nasi belaka?"

"Betul! " sambung si orang hidup-mati dengan mata melotot 'Padahal bicara

sesuugguhnya, kekalahan Siau inkong bukan lantaran ceteknya kungfu yang

dimiliki. Siapa yang tak lelah setelah bertarung melawan kerubutan tiga orang?

Coba saja suruh mereka bertarung satu lawan satu, aku Si-boat-jin

berani bertaruh, kakek berjenggot panjang itu pasti bukan tandingnya Siau-

inkong!"

"Terima kasih atas pujian Cianpwe sekalian" kata Tian Pek kemudian seraya

menjura. "Bagaimanapun juga aku Tian Pek sudah berjanji, maka setelah

dikalahkan orang, sudah tentu aku harus memegang janji dan mungundurkan

diri dari dunia persilatan!"

"Ai, Tian-hiantit kita ini memang berwatak persis ayahnya vang telah

meninggal," keluh paman Lui sambil menghela nspas sedih, "setiap perkataan

yang telah diucapkan sampai matipun takkan diingkari."

“Tapi bagaimanapun juga Tian-hiante tak boleh mengundurkan diri dari dunia

persilatan," seru Ji-lopiautau dengan cemas, "Semua kekuatan Lam hay-bun kini

sudah mendarat di Tionggoan, jago mereka rata2 lihay, bukan saja sering

melakukan kejahatan, merekapun membantai kawan kita secara keji, di dunia

persilatan dewasa ini kecuaii Tian-hiante seorang, hakikatnya sukar menemukan

jago lain yaug mampu menandingi mereka. Tian-hiante. bila kau sampai

mengundurkan diri dari dunia persilatan, sama artinya kau telah termakan oleh

siasat licik orang2 Lam hay-bun, apakah kau senang melihat daratan Tionggoan

dijadikan arena pembantaian oleh orang2 Lam-hay bun?"

"Buul, apa yang dikatakan Ji-lopiautau tepat sekali," seru Tay-pek siang-gi. "Siau-

inkong, bagaimanapun juga, kita tak perlu pegang janji dengan munusia2 biadab

Lam-hay-bun itu, toh mereka keji dan tak pakai aturan persilatan lebih dulu,

kenapa kita mesti pegang janji.”

"Bukan begitu soalnya," tukas paman Lui, "sebagai umat persilatan, sebagai

kaum pendekar sepantasnya kita menunjukkan sikap yang jujur dan gagah

perkasa, kalau kita tak jujur darimana bisa memperoleh kepercayaan? Bila

perkataan yang kita ucapkan tak ditaati, lalu apa gunanya kita hidup sebagai

pendekar? Apakah orang lain mau menghormati kita? Bukankah perbuatan itu

tak ada bedanya dengan perbuatun pengecut yang licik dan licin?"

Kagum Tian Pek setelah mendengar perkataan itu, demikian pula dengan yang

lain, mereka merasakan kebenaran dan ucapan ini.

Paman Lui berkata lagi setelah berhenti sebentar: "Persoalan inipun harus kita

rundingkan dengan cermat dan matang. Hayo berangkat, kita pulang dulu ke

Pah-to san-ceng!"

Habis berkata ia lantas melangkah lebih dulu.

Di antara sekian orang, Buyung Hong paling gembira setelah mengetahui tujuan

mereka adalah Pah-to-san-ceng, sambil memandang Tian Pek dengan wajah

berseri, ajaknya: "Hayo kitapun berangkat!"

Karena merasa apa yang diucapkan paman Lui memang benar, Tian Pek pun

tidak berkata lagi, pada kesempatan berjalan berdampingan dengan Buyung

Hong, ia bertanya: "Dimana Wan-ji?"

"Dia sudah pulang lebih duluan!" sahut Buyung Hong sambil tertawa.

Mendengar jawaban itu, kembali Tian Pek menghela napas panjang.

Buyung Hong mengira luka yang diderita Tian Pek akibat pukulan kakek

berjenggot itu belum sembuh, ia lantas menatapnya dengan penuh perhatian:

“Engkoh Tian, adakah sesuatu yang kurang beres?"

"O, tidak apa2! . , . . " cepat Tian Pek menggeleng. Berbicara ssbenarnya, dengan

tenaga dalam yang dimilikinya sekarang, luka serangan itu bukan masalah

baginya, cukup mengatur pernapasan sebentar luka itu akan sembuh. Justeru

masalah Wan-ji yang membuat ia pusing, ia tahu Wan-ji amat mencintainya, tapi

bagaimana mungkin ia dapat mengatakan persoalan ini kepada Buyung Hong?

Dengan kekuatan lari mereka, menjelang tengah hari mereka sudah berada di

Hin-liong tin, kota perbatasan antara propinsi Kangsoh dan Anhui.

Tian Pek teringat kembali pada pengalaman dulu ditolak memasuki rumah

makan. Ia berkata kepada rekan2nya: "Kota ini adalah daerah kekuasaan Hiat-

ciang-hwe liong Yau Peng-kun, seorang anak buah An-lok Kongcu, padahal Hiat

ciang-hwe-liong sudah mampus di tangan Hay-gwa-sam-sat, entah siapa yang

menggantikan kedududukannya di sini?"

“Hiat ciang-hwe-liong Yau Peng-kun sudah mati?" seru Ji-lopiautau kaget.

"Padahal kutahu ilmu pukulan Ang-se-hiat-heng-ciang-nya sudah mencapai

tingkatan paling tinggi. senjata Sian-jin-ciang-nya jarang ada tandingannya, obat

mesiunya juga luar biasa, masa dia mampus di tangan Hay-gwa-sam-sat?"

"Yau Peng-kun hanya lihay dalam soal senjata rahasia yang mengandung mesiu,

sedangkan iimu silatnya cuma biasa2 saja," kata paman Lui "Cuma dia memang

sombong, sudah lama aku ingin bertemu, aayang sekarang tak ada kesempatan

lagi!"

Bsgitulah, sambil ber~cakap2 mereka pun memasuki kota itu, mendadak terlihat

banyak kawanan pengemis yang menggendong karung dan berkeliaran di

jalanan.

Kswanan pegemis itu sama membawa tongkat penggebuk anjing, langkah

mereka ter-gesa2 menuju ke satu arah yang sama, bahkan pengemis yang

berlari di depan rumah makanpun tidak minta minta, ketika bertemu pengemis

yang lewat mereka saling memberi tanda dengan kerdipan mata kemudian ikut

ke sana.

Sebagian besar rombongan Tian Pek ini adalah jago2 kawakan, sekilas pandang

mereka lantas tahu orang2 Kay-pang sedang mengadakan pertemuan di kota ini,

mereka tak menghiraukan dan melanjutkan perjalanan masuk ke kota.

Hanya Buyung Hong, dia jarang keluar rumah, kejadian ini menarik

perhatiannya, dengan heran ia bertanya: "Aneh benar, kenapa begitu banyak

pengemis yang berkumpul dikota ini?"

"Nona," sahut Ji-lopiautau setengah berbisik: "Lebih baik jangan mencampuri

urusan orang, mereka adalah orang Kay-pang, perkumpulan terbesar kaum

jembel."

"Kaum pengemis juga punya perkumpulan?" pikir Buyung Hong, ia semakin

tercengang, namun tidak bertanya lagi.

Walaupun pengemis itu berpakaian dekil dan pepuh tambalan, rata2 tubuh

mereka tegap dan bertenaga besar, mukanya kereng, matanya tajam, siapapun

akan tahu mereka semuanya berilmu silat tinggi.

Masing2 pengemis itu menggembol karung goni di punggungnya, ada yang

memiliki tiga ada pula yang empat, yang paling banyak tujuh buah, paling sedikit

dua buah.

Tongkat Tah-kau-pang yang mereka bawapun ber-beda2, ada yang berwarna

hijau, ada yang berwarna kuning dan ada pula yang berwarna hijau muda.

Buyung Hong kurang berpengalaman, sudah tentu ia tak tahu apa arti dari

karung goni serta tongkat Tah-kau-pang itu, berbeda dengan paman Lui. Jo-

lopiautau serta Tay-pek-siang-gi, mereka mengetahui dengan jelas apa arti

ksrung goni serta warna tongkat itu, sebab dari tanda2 itulah mereka

mengetahui tingkat kedudukan pengemis2 itu dalam perkumpulannya.

Kalau Buyung Hong merasa heran, maka Ji lopiautau sekalian diam2 ber-tanya2,

sebab dari sekian banyak pengemis yang berkeliaran, mereka melihat banyak

pengemis yang membawa tujuh buah karung goni, itu menandakan kedudukan

mereka sudah mencapai tingkatan Tianglo (tertua), dari sini dapat ditarik

kesimpulan bahwa pertemuan yang akan diselenggarakan pastilah pertemuan

besar yang penting artinya.

Meneruskan perjalanan lebih ke depan, mereka bertemu semakin banyak

pengemis yang bergerombol, ketika tiba di suatu persimpangan jalan mereka

pada berbelok masuk ke sebuah lorong yang panjang dan sempit.

Tian Pek tak dapat menahan rasa ingin tahunya, ia lantns berbisik: "Menurut apa

yang kuketahui, perkumpulan kaum pengemis selamanya berada di bawah

pengaruh Toan-hong Kongcu, kenapa hari ini mereka berkumpul di wilayah

kekuasaan An-lok Kongcu? Jangan2 telah terjadi sesuatu yang luar biasa?"

"Benar dugaan Hiantit" sahut paman Lui seraya mengangguk. "Hayo berangkat,

kita lihat apa yang terjadi!" Selesai berkata ia mendahuluhi menyusuri lorong

panjang itu. Terpaksa Ji-lopiautau, Tay-pek Siang-gi dan lain2 mengikutinya.

Lorong ini memang panjang sekali, sudah lima puluh tombak mereka

memasukinya tapi belum juga sampai di ujung lorong.

Selagi mereka berjalan ke depan tiba2 di suatu persimpangan jalan muncul tiga

orang pengemis dengan Tah-kau-pang melintang di depan dada, mereka

mengadang di tengah jalan.

Salah seorang pengemis yang membawa empat karung goni mengangguk dan

berseru: "Berhenti! Tampaknya tuan yang berduit juga jago dunia persilatan,

masakah tidak kalian lihat di ujung lorong situ sedang diadakan pertemuan

kaum pengemis kami?"

Paman Lui ter-bahak2: "Kami justeru adalah sahabat kaum pengemis, sengaja

kami datang ke sini untuk ikut memeriahkan pertemuan ini!"

Ucapan tersebut membuat ketiga pengemis itu tertegun, mereka melototi

paman Lui, sementara air mukanya berubah tak menentu, jelas mereka merasa

curiga.

Potongan paman Lui memang dekil, rambutnya awut2an, cambangnya lebat,

kecuali jubah hijau-nya masih tampak agak bersih, boleh dibdang ia-pun mirip

seorang pengemis.

Lama ketiga orang pengemis itu mengamati paman Lui, akhirnya salah seorang

pengemis berjenggot panjang yang berada di ujung kiri tertawa dingin dan

berkata: "Hebehe, mata yang celi tak nanti kemasukan pasir, sobat! Kalau kau

ingin berbohong di hadapan kami, itu artinya matamn sudah buta. Hm, pertama

kau tidak membawa penunjuk tingkat, kedua kaupun tidak membawa tanda

pengenal. Hanya dengan beberapa patah kata saja lantas kau ingin bertemu

dengan Cousuya? Huh, jangan mimpi!"

Ji lopiautau terperanjat, cepat ia maju ke muka dan menegasi, “Ah, jadi

perkumpulan kalian mengadakan upacara kebaktian disini?"

Ketiga pengemis itu tidak menjawab, mereka hanya tertwa dingin.

Paman Lui jadi mendongkol, serunya lantang, "Lohu adalah Lui Ceng-wan,

Tianglo kalian Hong-jen-san-kay saja tak berani bersikap kurang ajar kepadaku,

kalian angkatan muda berani takabur? Hm! Sungguh menjengkelkan!" Tanpa

menggubris lagi ia terus menerjang masuk dengan langkah lebar.

Tiga pengemis itu membentak, tiga batang Tah-kau-pang serentak beegerak,

dua batang tongkat menyodok Hiat-to penting di dada paman Lui, sedangkan

toya yang ketiga mengancam batok kepala,

Sebagaimana diketahui, lorong itu sempit tapi panjang, kaarena ketiga pengemis

itu turun tangan bersama lorong lantas tersumbat oleh putaran toya mereka,

dalam keadaan bertangan kosong, jika paman Lui nekat dan menerjang terus,

niscaya dia akan dilukai oleh ketiga toya itu.

Paman Lui bukan jagoan lihay kalau cuma serangan itu saja tak bisa dihindari,

sudah puluhan tahun ke-27 jurus Thian-hud ciang-nya tersohor di dunia

persilatan, cuma sayang ketiga orang pengemis ini masih muda. meski paman

Lui sudah menyebutkan namanya, ketiga pengemis itu masih tidak tahu manusia

aneh yang dihadapi mereka sebenarnya adalah Thian-hud-ciang Lui Ceng-wan.

Tatkala ketiga batang Tah-kau-pang yang menyambar bagaikan angin puyuh dan

hujan badai itu hampir mengenai tubuh paman Lui, tiba2 paman Lui

menghardik: "Mundur .... !"

Sekali ujung bajunva mengebas ke depan angin puyuh yang tajam kontan

menghajar ketiga pengemis itu hingga (trgetar mundur lima enam langkah,

hampir saja toya kuning mereka terlepas dari cekalan.

Sunggub kaget ketiga pengemis itu, bukan saja mereka merasa telapak tangan

jadi sakit, separoh badan terasa kaku, hawa murni dalam perut serasa bergolak,

mereka menjerit kaget: "Hati2, ada sasaran keras hendak menerjang maju"

Setelah teriakan itu, serentak dari empat tempat melompat keluar belasan

pengemis lagi.

Pengemis yang muncul ini rata2 membawa lima buah karung goni dengan

tongkat bambu, ini menunjukkan mereka adalah tokoh pengemis angkatan

kedua.

Berbareng itu pula di atap rumah terdengar suara gendewa dipentang orang,

ketika Tian Pek sekalian menengadah, tertampaklah berpuluh jago Kay-pang

telah berdiri di sepanjang atap rumah dengan mementang gendewa dan peluru

siap dibidikkan.

Semua oreng terkesiap, mereka tak mengira pihak pengemis telah

mempersiapkan diri di sekitar itu, bukannya mereka takut menghadapi serangan

peluru itu, tapi bertarung di lorong yang sempit jelas tidak menguntungkan,

apalagi jika mereka dihujani peluru dari atas, tentu mereka akan kerepotan.

Buru2 Tian Pek berseru: “Aku ini Tian Pek sengaja datang kemari untuk

menyambangi Toan-hong Kongcu, tolong kalian sudi melaporkan kunjungan

kami ini kepadanya!"

Baru lenyap suaranya, seorang pengemis tua berkarung goni lima buah segera

tertawa dingin dan menjawab: "Kami sudah merasakan kelihayanmu sewaktu

berada di lembah kematian dahulu, dan sekarang kami harap kalian jangan

sembarangan berkutik dulu!"

Kiranya pengemis ini pernah ikut serta dalam pertarungan melawan "sepasang

pengawal baja" dari istana Kim di "Lembah kematian", dulu oleh karena Tian Pek

juga ikut dalam pertarungan itu, dan lagi banyak korban yang berjatuhan dipihak

Kay-pang, maka ia kenal dengan pemuda kita.

Setelah mengucapkan kata2 tadi, pengemis itu keluarkan beberapa utas tali dari

karungnya dan dilemparkan ke hadapan Tian Pek sembari berkata lagi: "Asal

kalian bersedia menyerah dan membelenggu diri sendiri, kami tak akan

menyusahkan kalian, setelah bertemu dengan Cousuya nanti, cukup sepatah

ksta beliau lantas kalian akan kami lepas. Tapi kalau membangkang . . .Hmm!

Hmm!"

Setelah mendengus ia melirik sekejap ke atap rumah dan melanjutkan dengan

nyaring: "Terpaksa kami akan mcmpersilakan kalian mencicipi bagaimana

rasanya Bak-cu (peluru daging)!"

Tian Pek naik pitam, begitu pula jago lainnya semuanya mendongkol dan gemas.

Paman Lui tertawa dingin, katanya: "Hehehe. selama ini perkumpulan pengemis

bisa tancapkan kaki di dunia persilatan adalah lantaran kalian tak mencampuri

urusan orang, maka anggotanya bisa tersebar luas sampai ke-mana2, bila cara

kalian main menjebak begini, hmm, kukira sebentar saja perkumpulan pengemis

akan hancur musnah di tangan kalian!"

Pengemis bertongkat bambu itu balas tertawa dingin, katanya: "Huh, kematian

sudah di depan mata masih berani bicara besar! Mulai sekarang aku akan

menghitung sampai angka kelima, kalau angka lima sudah kusebut dan kalian

belum juga menyerahkan diri akan kuperintahkan mereka menghujani kalian

dengan seribu peluru!"

Selesai bicara dia lantas angkat jari tangannya ke atas sambil berteriak;

"Satu ... !"

Paman Lui masih berdiri tak acuh, Tian Pek pun tidak menunjukkan reaksi apa2.

"Dua . . . .!" pengemis itu menekuk jari yang kedua.

Paman Lui masih berdiri sekukuh bukit, sementara Tian Pek dan lain2 sudah siap

siaga.

"Tiga ....!" kembali pengemis itu berseru sambil menekuk jari tangannya yang

ketiga. Serentak kawanan pengemis yang berada di atas rumah memasang

gendewa masing2 dengan peluru besi.

"Empat .... !" begitu disebutkan hitungan ke-empat, segera gendewa berisi

peluru besi itu diarahkan ke bawah, tertuju sasarannya.

Paman Lui masih diam saja, sedangkan Tian Pek, Buyung Hong, Ji lopiautau serta

Tay-pek-siang-gi sama berkeringat dingin dan ingin melabrak musuh.

Bila hitungan kelima si pengemis bambu hijau itu disebutkan, tak bisa

dihindarkan lagi pertarungan dahsyat pasti akan berkobar.

"Tahan ...,!" untunglah pada saat terakhir terdengar seorang membentak keras,

menyusul munoul tiga sosok bayangan.

Ketiga orang itu adalah tiga pengemis tua ber-usia enam puluhan, mereka

adalah tiga Tianglo perkumpulan pengemis yang terkenal sebagai Hong-jan-sam-

kay.

Dari kejauhan, pengemis sinting Coh Liang lantas bcrseru dengan lantang: "Hei,

Lui sinting! Baik2kah selama ini?"

"Hahaha, kau sendiri kan tersohor sebagai orang sinting!" sahut paman Lui

sambil ter-bahak2.

Si pengemis tuli memandang kawanan jago itu dengan sinar mata mencorong,

sementara pengemis pemabok memicingknn mata dan berkata sambil ter-

bahak2: "Hahaha, belasan tahun tak ketemu, kegagahan Lui sinting masih sama

juga seperti dulu!"

Paman Lui tersenyum getir: "Sudahlah, kalian tak usah memuji, andaikata

watakku masih berangasan seperti dulu, cara kalian menyambut kedatanganku

ini mungkin sudah menimbulkan banjir darah "

Pengemis sinting Coh Liang melihat anak buahnya masih berada dalam siap

siaga dengan pedang terhunus dan gendewa tertuju pada sasaran. dia lantas

menghardik: "Mau apa kalian berada di sini? Hayo mnudur semua! Hm, kalian

benar2 tak tahu diri, hanya kalian ini masa mampu menahan Thian-hud-ciang Lui

Ceng-wan, Lui-tayhiap, yang termashur pada puluhan tahun yang lalu?"

Dengan sikap hormat serentak pemanah yang berada di atap rumah serta kaum

pengemis yang memenuhi lorong sempit pada mengundurkan diri semua.

Sepeninggal pengemis2 itu, si pengemis sinting baru berkata kepada Paman Lui:

"Maklumlah, anak buah kami tak ada yang kenal kau, harap kau jangan marah

kepada mereka!"

Setelah orang minta maaf, paman Lui tak bisa ngotot lagi, iapun berkata: "Bicara

tentang hubungan persahabatan kita yang sudah berusia puluhan tahun, kenapa

kalian mesti sungkan2 kepadaku? Eh, omong2, kalian kaum pengemis biasanya

hidup tersebar kenapa sekarang berkumpul di kota kecil ini?"

Sesuai julukannya, pengemis tuli tak dapat mendengar pembicaraan orang lain,

ia sendiripun tak pandai bicara, maka sejak tadi dia cuma membungkam saja,

sedangkan pengemis pemabuk tampak setengah melek setengah meram dan

jarang pula bicara. Maka selama pembicaraan berlangsung hanya si pengemis

sinting saja yang melayani tamunya ber-cakap2.

Atas pertanyaan tersebut, ia menjawab: "Ai, soal ini panjang sekali kalau

diceritakan, tempat ini bukan tempat untuk berbicara, hayo, kita bicara di dalam

sana!"

Paman Lui tertawa, katanya: "Mau undang kami sih boleh saja, tapi kau harus

tahu, kumi belum bersantap siang karena baru saja sampai di sini. Sedangkan

kaum pengemis kalian biasanya makan dari minta2, kukira lebih baik kami

bersantap dulu di restoran kemudian baru berkunjung lagi!"

Sehabis berkata dia lantas hendak berlalu.

Cepat pengemis sinting menyambar lengan paman Lui, serunya: "Ah, perkataan

macam apa ini? Meskipun kami ini miskin, untuk menjamu beherapa orang saja

bukan soal. Hayo jalan! Kalau kau menampik lagi, itu namanya tidak

menghormati teman!"

------------

Ada peristiwa apa yang menyebabkan Kay-pang mengadakan rapat besar di sini?

Cara bagaimana Tian Pek akan mengatasi soal2 pribadi yang merisaukan ini?

-------------

Jilid ke 23 : Rencana Su-kongcu melawan Lam-hay bun

Pengemis pemabuk juga menimbrung sambil ter-bahak2: "Hahaha, Lui sinting,

jangan kau kira si pengemis pasti miskin, melulu cupu2ku ini saja tak pernah

kuisi dengan sembarangan arak. Tidak percaya? Buktikan sendiri, di cupu2 ini

masih ada sepuluh kati arak Kui-ciu-mo, hayolah kita minum tiga ratus cawan..."

Dia lantas membuka tutup cupu2 itu dan di-goyangkan di hadapan tamunya,

bau barum segera menyebar ke udara dan terbukti isi cupunya memang arak

wangi kelas satu.

Pengemis tuli yang ada disampingnya tiba2 pegang lengan rekannya dan

menggoyang tangannya berulang kali sambil unjuk muka murung dan

menirukan gaya orang sempoyongan, maksudnya minta pengemis pemabuk

jangan minum, sebab kalau minum bisa mabuk lagi.

Dengan isyarat tangan pengemis pemabuk memberitahukan kepada pengemis

tuli bahwa bukan dia yang akan minum, melainkan hendak mengundang paman

Lui untuk minum.

Setelah mengetahui muksudnya, pengemis tuli mengangguk, lalu kepada paman

Lui ia tuding sini, ulur leher dan melototkan mata, sampai sekian lama ia

berblcara dengan bahasa isyarat.

Paman Lui tak tahu aps yang dimaksudkan untunglah pengemis pemabuk segera

memberi penjelasan, barulah paman Lui tahu bahwa pengemis tuli mengundang

tamu2nya unluk makan ayam pengemis", semacam masakan khas kaum jembel.

Paman Lui ter-bahak2, sambil mengangguk kepada pengemis tuli, sahutnya:

"Hahaha, jangan kuatir, hari ini kami pasti akan bersantap sampai kenyang!"

Begitulah, sambil bergurau mereka menyusuri lorong itu, akhirnya mereka

berbelok pada suatu tikungan dan sampailah di suatu tanab lapang yang luas.

Sekeliling adalah tanah persawahan yang tak bertepian, tepat didepan sana

adalah sebuah bangunan besar, model bangunan itu mirip sebuah kuil, namun

tiada patung pemujaan di situ, mirip pula tempat sembahyang abu keluarga, tapi

tidak nampak pula tempat abunya.

Halaman luas di depan gedung itu sudah penuh dengan pengemis, ketika

melihat Hong-jan-sam kay datang dengan membawa tamu, mereka lantas

menyingkir dan berdiri dengan sikap hormat.

Setelah melewati halaman pekarangan, mereka masuk ruang tengah yang besar,

dalam ruangan berduduk puluhan orang pengemis tua yang terbagi menjadi dua

kelompok, masingZ kelompok duduk di atas lantai, tampaknya mereka termasuk

kaum Tianglo yang berkedudukan tinggi.

Di dinding tepat ruangan tergantung sebuah lukiisn yang besar, lukisan itu

menggambarkan seorang pengemis tua yang berbaju tambal sulam, bermuka

kecil, beralis panjang dan berambut kaku seperti duri landak, maskipun duduk

bersila, namun wajahnya berwibawa.

Di atas lukiian itu tertera beberapa huruf yang berbunyi: "Cikal-bakal

perkumpulan Tiong-ciu-sin-kay Tang Tiau-tong"

Di bawah tertera pula tulisan yang berbunyi: "Dipersembabkan oleh murid Kay-

pang angkatan kedua, Tan-cing-biau-jiu Ce Pek-tik".

Memang tak malu orang yang bernama Ce Pek-sik itu berjuluk Tan-cing-biau-jiu

atsu pelukis ulung, sebab dilihat dari lukisannya yang setinggi beberapa kaki itu

memang sangat hidup dan sedap dipandang, bisa diketahui bahwa kepandaian

melukisnva amat sempurna.

Di depan lukisan itu terdapat meja sembahyangan dan teratur sesajian

bebuahan, asap dupa menyelimuti udara dan menambah khitmadnya suasana.

Di kedua sisi meja sembahyang itu masing2 ber-duduk An-lok Kongcu yang

terkenal romantis serta Toan-hong Kongcu yang susah dicari jejaknya, dari

tingkat kedudukan mereka rupanya kedua Kongcu ini menempati kursi utama.

Hal ini membuat Tian Pek melenggong, apa-iagi dilihatnya pula seorang nona

cantik di samping Toan-hong Kongcu sedang memandangnya lekat, ia tambah

melongo.

Kiranya nona cantik itu bukan lain ialah Wan-ji yang jatuh cinta padanya itu.

Tergetar perasaan Tian Pek, timbul perasaan aneh demi menyaksikan Wan-ji

duduk di sampiug Toan-hong Kongcu. perasaan aneh yang belum pernah dialami

sebelumnya.

Wan-ji lincah dan polos, dia mencintai Tian Pek, adalah omong kosong jika

dibilang Tian Pek tidak tahu. Tapi oleh pelbagai pihak, akhirnya ia dijodohkan

kepada Buyung Hong, enci Wan-ji sendiri, tentu saja sejak itu Tian Pek terpaksa

memendam cinta Wan-ji itu di lubuk hatinya.

Walaupun demikian, ketika menyaksikan nona itu duduk di samping Toan-hong

Kongcu, serta merta timbul perasaan cemburu dalam hati Tian Pek, inilah

penyakit umum setiap lelaki, tidak terkecuali jago muda itu,

Untunglah Tian Pek masih memiliki kemampuan orang lain, segera terpikir

olehnya bahwa Wan-ji memang setimpal kalau dijodohkan kepada Toan-hong

Kongcu, apabila kedua orang itu dapat hidup berbahagia, bukankah sama juga

dengan mengurangi kepusingan sendiri menghadapi urusan perempuan?

Di pihak lain, Toan-hong Kongcu sendiripun tertegun, rupanya ia tak menduga

Tian Pek bakal muncul di situ.

Berbeda dengan An-lok Kongcu yang periang dan berhati terbuka, lantaran dia

berambisi merajai dunia persilatan, tujuannya bergaul memang untuk

mengumpulkan pembantu yang kuat, iapun tahu Tian Pek adalah jago yang luar

biasa, sejak mula ia sudah berminat menarik pemuda ini ke pihaknya, maka

mehhat kemurculan Tian Pek, dia lantas bangkit dan maju ke muka, ia pegang

tangan Tian Pek dan berkata dengan hangat: "Saudara Tian, sama sekali tak

kusangka kita akan berjumpa di sini, selamat bertemu! Selamat bertemu!"

Dalam pada itu Wan-ji juga berbangkit dan memberi hormat kepada paman Lui

serta encinya.

Paman Lui agak melongo setelah tahu penyelenggara pertemuan besar kaum

pengemis ini adalah keturunan kedua pemuka persilatan, lebih2 tak mengra

Wan-ji bisa muncul lebih dulu di sini.

"Wan-ji!" ia lantas menegur, "Kenapa kau berada di sini?"

Wan-ji tertawa, sahutnya: "Keponakan datang kemari karena diundang sebagai

tamu!"

Ketika berbicara matanya mengerling sekejap ke arah Tian Pek.

Se-bodoh2 pemuda itu, iapun tahu Wan-ji sedang menjelaskan kepadanya

bahwa bukan datang ber-sama2 Toan-hong Kongcu ....

Hong-jan-sam-kau lantas memperkenalkan tamu2nya kepada kawan jago yang

hadir, saat itu-lah paman Lui teringat akan sesuatu, beberapa tahun berselang

tersiar berita di dunia persilatan bahwa Cing-tiok-siu (kakek bambu hijau), ketua

perkumpulun pengemis yang dulu, entah apa sebabnya telah menyerahkan

pucuk pimpinan perkumpulaunya kepada Toan-hong Kongcu ini setelah melihat

kcnvataan di depan mata ini ia baru yakin berita tersebut ternyata memang

benar.

Teringat akan soal ini, tanpa terasa paman Lui mengamati Toan-hong Kongcu

beberapa kejap. Jago tua ini ingin tahu, keistimewaan apakah yang dimiliki

pemuda yang tumpak lemah-lembut itu, sehingga dapat menarik perhatian

Cing-tiok-siu dan dibebani tugas untuk memimpin perkumpulan pengemis yang

tak terhitung jumlah anggotanya itu.

Apa yang terlihat kemudian telah mengecewakan paman Lui, ia lihat meskipun

Toanhong Kongcu duduk di kursi utama, namun hatinya tak tenang, matanya

jelilatan ke kiri-kanan, duduknya tak tenang dan gelisah tampaknya.

Tampangnya memang tampan, namun sedikitpun tak ada wibawa sebagai

seorang pernimpin besar.

"Ai, bagaimana dengan Cing-tiok-siu itu?" pikir paman Lui sambil menghela

napas, “Mengapa mencari ahliwans begini jelek . . . . "

Sementara paman Lui masih melamun, tiba2 Toan hong Kongcu berkata sambil

beikerut dahi:

"Aneh, kenapa sampai sekarang orang yang kita undang belum kunjung tiba?"

Baik Hong-jan-sam-kau maupun kawanan pengemis berusia lanjut itu, semuanya

mengunjuk wajah gelisah dan cemas, terdengar pengemis sinting menyahut:

"Tecu sekalian telah menyampaikan semua undsngan ke alamat yang benar,

malahan dari merekapun sudah mendapat balasan. Aneh, sungguh aneh sekali,

kenapa sampai waktunya belum datang juga?"

"Jangan2 terjadi sesuatu di luar dugaan?" ujar pengemis pemabuk dengan wajah

seriua, saat ini ia kelihatan segar dan sama sekali tak terpengaruh oleh arak.

"Ah, jangan2 si pengirim surat kita kurang rapat menjaga rahasia sehingga

ketahuan orang dan mereka turun tangan lebih dulu .... " kata An lok Kongcu

sambil mcnghantam paha sesdiri dengan kitab bututnya.

Sebelum An-lok Kongcu melanjutkan kata2nya, mendadak Toan-hong Kongcu

mengerling ke arah-nya dan memberi kode, melihat kode itu An 1ok Kongcu

segera membungkam kembali.

Ji-lopiautau bukan anak kemarin sore, melihat sikap orang2 ini, dia lantas

menyikut tubuh paman Lui sendiripun sudah merasakan keganjilan itu, ia tahu

baik kedua Kongcu itu maupun para pengemis dari Kay-pang hakikatnya tidak

ingin menerima mereka sebagai tamu.

Sebagai seorang jago yang gagah perkasa, tentu saja paman Lui tak tahan

menghadapi sikap dingin tersebut, ia lantas berbangkit dan berseru: "Kalau

perkumpulan pengemis sedang menghadapi urusan, biarlah kami mohon diri

saja!" — Habis berkata lantas berpaling kepada Ji-lopiauthau, Tay-pek-siang-gi.

Tian Pek serta Buyung Hong dan berkata: "Hayo kita pergi!"

Tanpa menunggu lagi ia putar badan dan berlalu lebih dulu dan situ.

"Paman Lui, akupun ikut pergi . . . "tiba2 Wan-ji berseru sambil berbangkit.

Cepat An-lok Kongcu berbangkit dan meng-alangi kepergian mereka, katanya:

"Lui-tayhiap, saudara Tian, duduklah sebentar, masih ada persoalan yang

hendak kami rundingkan!"

Hong-jan-sam-kau juga berusaha menahan ke-pergian paman Lui.

Tapi sesuai watak paman Lui yang keras, sekali bilang pergi siapapun tak bisa

menahannya lagi.

Tiba2 si pengemis pemabuk berseru dengan mata melotot: "Mau pergi boleh

saja, tentunya kalian tidak keberatan mencicipi dulu dua ekor ayam pengemis

dan satu cupu arak Mo-tay-ciu milikku ini?”

"Setan arak, maksud baikmu kuterima di dalam hati saja, kesempatan kan masih

banyak, lain kali saja!" tampik paman Lui, dengan langkah lebar ia menuju ke

pintu luar.

Cepat si pengemis sinting melayang ke depan pintu dan mengadang jalan pergi

paman Lui, dengan lagak marah bentaknya: "Lui sinting jadi kau tak pandang

sebelah mata kepada kami tiga pengemis tua?"

"Hehehe. bila demi kalian tiga pengemis tua sekalipun kedua ketiakku ditusuk

pisau, jika aku Lui Ceng-wan berkerut dahi, anggap saja bukan se-orang lelaki,

akan tetapi . . . .hmm!" Tiba2 paman Lui mendengus dingin dan menambahkan:

"Kalau suruh orang she Liu duduk di bangku dingin dan menghadapi muka

masam anak muda dan semuanya itu hanya untuk meneguk dua-tiga cawan

arakmu, huh, lebih baik kupergi saja dari sini!"

Hong-jin-sam-kau menjadi serba salah, mereka melirik sekejap ke arah Toan-

hong Kongcu yang duduk dikursi utama, mereka tahu kesombongan

Toan-hong Kongcu telah membuat paman Lui tak senang hati.

Walaupun demikian, mereka bertiga tak mampu berbuat apa2, sebab

bagaimanapun Toan-hong Kongcu adalah Ciangbunjin mereka, sekalipun

kedudukan Hong-jan-sam-kau amat tinggi, sudah tentu mereka tak dapat

menegur ketuanya dengan begitu saja, untuk sesaat mereka jadi tertegun

sendiri.

Toan-hong Kongcu sejak tadi diam saja, tiba2 ia berkata: ' Mau datang boleh

datang, mau pcrgi biarkan pergi! Kaum peudekar di daratan Tionggoan

banyaknya tak terhitung, tambah beberapa orang tak terlampau banyak,

berkurang sedikit juga tak menjadi soal, kenapa kita mesti menahan orang

dengan paksa!"

Dengan gusar paman Lui berpaling, sambil tertawa dingin serunya: "Hehehe,

tolong tanya, manusia2 macam apakah yang bisa dikatakan sebagai kaum

pendekar dari daratan Tionggoan?"

Tay-pek-siang-gi ikut berkata dengan nada ketus: "Hmm, tampaknya kita harus

tetap tinggal di sini ingin sekali kusaksikan manusia macam apakah yang

dianggap sebagai kaum pendekar dari daratan Tionggoan?"

Jangankan orang lain, Ji-lopiautau yng paling sabarpun merasa gemas.

Sebagai jago silat yang tiap hari bergelimpangan di ujung golok, pada

hakekatnya yang mereka cari hanyalah soal "nama", dan sekarang Toan-hong

Kongcu mengucapkan kata2 sama sekali tak pandang sebelah mata kepada

mereka, tak heran kalau mereka jadi naik darah.

Padahal dengan kedudukan Toan-hong Kongcu sekarang, tidak semestinya ia

bersikap begitu picik dan berjiwa sempit, sebagai seorang "Bengcu" yang

diangkat lantaran dia adalah ketua Kay-pang yang besar, dalam usaha

menentang penjajahan Lam-hay bun di daratan Tionggoan, mestinya ia

memperlakukan sopan tiap jago yang berkumpul, sebab tujuannya menyebar Bu

lim-tiap (surat undangan Bu-lim) ialah mengumpulkan kekuatan untuk

menyelamatkan dunia persilatan.

Apa mau dikata, hatinya telah dibakar lebih dulu oleb rasa cemburu, tidaklah

heran kalau sikap maupun ucapannya tadi sedemikian ketus dan tak sedap

didengar.

Soalnya secara diam2 ia mencintai Wan-ji, namun setiap ada kesempatan untuk

berkumpul dengan nona idamannya ini, kesempatan tersebut selalu dirusak

oleh kehadiran Tian Pek, hal ini membuatnya dendam dan cenburu terhadap

saingan cinta ini.

Tatkala Lam-hay-bun menyerang dan menjajah daratan Tionggoan, pada

kesempatan yang baik ini ia terpilih sebagai Bu-lim-bengcu yang akan memimpin

umat persilatan untuk menentang kehadiran Lam-hay-bun. terlepas dari berhasil

atau tidak-nya perjuangan itu, dengan usianya yang semuda itu ternyata dapat

menduduki kursi paling tinggi di dunia persilatan, sedikit banyak kejadian ini

merupakan kebanggaan baginya.

Selagi usahanya mencapai puncaknya, secara kebetulan ia bertemu dengan

Wan-ji, dengan segala bujuk ravu akhirnya ia berhasil mengundang Wan-ji untuk

menghadiri pertemuan ini, maksudnya agar nona itu menyaksikan kegagahan

serta wibawanya di depan umum, kemudian akan mencari kesempatan untuk

meminang nona itu agar menjadi isterinya.

Apa mau dikata, sebelum kawanan jago persilatan yang diundang berdatangan

dan sebelum upacara pengangkatan sumpah dimulai, Tian Pek dan psman Lui

sekalian keburu tiba lebih dulu.

Mendingan kalau mereka cuma hadir, ternyata Wan-ji segera mengalihkan

kerlingan matanya ke tubuh Tian Pek, hal ini membuat Toan-hong Kongcu

merasa kepalanya seperti diguyur air dingin, rasa cemburunya kontan berkobar.

Sebab itulah ia jadi kehilangan wibawa sebagai seorang "Beng-cu", malahan

sikap dan ucapannya lantas menyinggung perasaan orang lain.

An-lok Kongcu lebih pandai bergaul, ia merasakan gelagat yang tidak

mengenakkan, ia kuatir kedua belah pihak jadi sama ngotot sehingga bukan saja

gagal untuk mempersatukan umat persilatan, malahan bibit permusuhan bisa

terikat lebih dalam.

Cepat ia maju ke depan dan berkata: "Aku minta jangan kalian ribut dan cekcok

hanya karena soal sepele, bicara sebenarnya, kali ini Siaute dan Toan-hong

Kongcu sengaja mengundang para pahlawan untuk berkumpul di sini adalah

karena ada persoalan yang gawat dan besar sekali pengaruhnya bagi mati-hidup

dunia persilatan kita"

An-lok Kongcu bukan saja sudah menjadi penengah untuk mendamaikan kedua

pihak yang berselisih, ia pun telah meningkatkan kedudukannya sendiri di mata

orang. Tatkala melihat semua orang telah pusatkan perhatian untuk

mendengarkan perkataannya, tanpa terasa timbul rasa bangganya.

Dengan tenang ia lantas menyambung pula: "Pembantaian serta perbuatan keji

orang2 Lam-hay-bun setelah menginjakkan kakinya di sini telah membuat banjir

darah daratan Tionggoan, itulah sebabnya kami Bu lim-su-kongcu sengaja

mengundang kawan2 dari tujuh aliran besar serta rekan2 dari pelbagai daerah

untuk berkumpul di sini dan merundingkan masalah ini, tujuan yang terutama

tentu saja untuk mengusir orang2 Lam-hay-bun, selain itu kita juga akan

membalas dendam bagi rekan2 persilatan yang telah menjadi korban, kedua

untuk menegakkan kembali kewibawaan umat persilatan yang kini telah porak

poranda. "

Baru ssja An-lok Kongcu berkata sampai di sini, tiba2 Toan-hong Kongcu

berdehem dan menimbrung: "Selaku ketua perkumpulan kaum pengemis aku

akan memimpin operasi pembalasan dendam ini!"

Ucapan yang sombong dan takabur, sungguh tiada ubahnya seperti anak kecil

yang tak tahu diri.

Kontan air muka An-lok Kongcu berubah, bahkan Hong jan-sam-kay sebagai

Tianglo perkumpulan pengemispun tampak melenggong mendengar ucapan itu.

Hanya sejenak An-lok Kongcu lantas tenang kembali, ia tertawa dan menyahut:

"Benar, dewasa ini memang Toan-hong Kongcu yang memimpin perkumpulan

ini, tapi setelah kawan2 dari pelbagai daerah berkumpul semua di sini seperti

yang di-rencanakan, tentu saja akan diadakan perombakan kembali susunan

kepemimpinan ..."

Ucapan ini tiada ubahnya telah mengurangi bobot Toan-hong Kongcu.

Dengan wajah tak senang Toan-hong Kongcu lantas berpaling dan menegur:

"Eeh, saudara In Ceng, kenapa kau berkata begitu? Bukankah sebelumnya kita

sudah merundingkan persoalan ini masak-masak?"

An-lok Kongcu tertawa dan menyahut. "Yang kita bicarakan kan keadaan dewasa

ini, andaikata kawan-kawan dari pelbagai daerah sudah berkumpul dan diantara

mereka terdapat tokoh yang memiliki kemampuan serta kewibawaan yang

melebihi saudara Sugong, tentu saja kita akan melakukan pemilihan kembali!”

Walaupun kedua Kongcu itu cuma saling berdebat, tapi bagi pendengaran

paman Lui yang berpengalaman, ia lantas dapat meraba ada hal-hal yang kurang

beres di antara mereka.

Segera ia tertawa dan berkata: “Hahaha, kalau begitu pertemuan ini pastilah

suatu pertemuan besar yang jarang dijumpai, setelah orang she Lui disini,

sepantasnya pertemuan besar ini tak boleh kulewatkan dengan begitu saja!

Saudara Ji dan dua saudara Tay-pek, bagaimana pendapat kalian?”

“Ya, pertemuan besar yang jarang ditemui ini tak boleh dilewatkan dengan

begitu saja, kita harus ikut menghadirinya!” sahut Ji-lopiautau dan Tay pek

siang-gi berbareng.

Paman Lui berpaling pula kepada Tian Pek, Buyung Hong dan Wan-ji, tanyanya

pula : “Tian hiantit, bagaimana pendapat kalian?”

Sebagai angkatan yang lebih muda, tentu saja Tian Pek, Buyung Hong dan Wan-ji

tak berani mengomentari apa-apa, mereka pun setuju saja.

Maka sambil ter-bahak2 paman Lui berpaling kepada Hong-jan-sam-kay dan

berkata: "Hahaha, asal perkumpulan kalian tidak mengusir tamu, tentu saja kami

bersedia tetap tinggal di sini!"

Sementara itu Hong-jan-sam-kay sedang dibuat kikuk oleh sikap ketua mudanya

yang tak becus, mendengar ucapan tersebut mereka pun lantas mengalihkan

pokok pembicaraan ke soal lain, sahutnya: “Bagus, nanti kami tiga pengemis tua

pasti akan menjamu kau Lui sinting untuk menikmati Kiau hun-toa-cay (sayur

lengkap kaum pengemis).,. .!" Habis bicara, mereka lantas memerintahkan anak

buahnya menyiapkan hidangan.

Ji-lopiautau ikut ter-bahak2 katanya: "Aku sudah mengarungi utara maupun

selatan sungai besar, sudah kucicipi sayur Kanton, sudah pula kucicipi masakan

Sujwan, tapi belum pernah rasakan masakan sayur lengkap kaum pengemis,

Hahaha, bukan saja mata akan terbuka, perutpun akan ikut puas."

Si-hoat-jin dari Tay-pek-siang-gi melotot dan berseru: 'Ji-lopiautau, kau jangan

bicara seenaknya, kapan orang lain mengundang kau makan? Yang diundang

pengemis2 itu kan cuma Thian-hud-ciang Lui-tayhiap seorang!"

Pengemis sinting Coh Liang cepat menimbrung: "Eeh, sebetulnya kau orang

hidup mati atau Orang mati yang hidup? Aku si pengemis tua tak bisa

membedakan dengan jelas mana kakaknya dan adik-nya. Ah, sudahlah, kalau

mengundang tentu saja semuanya kuundang, memangnya kami menganggap

kalian ini orang mampus sungguh2?"

Sejenak kemudian, berpuluh pengemis masuk ke dalam ruangan, ada yang

membawa nasi, ada yang membawa sayur, hanya sekejap sepuluh meja "Sayur

lengkap kaum pengemis" telah dihidangkan.

Kesepuluh meja ini dihidangkan di dalam ruangan, sedangkan meja perjamuan

di luar halaman sukarlah dihitung.

Buat paman Lui, Ji lopiautau dan Tay-pek-siang-gi yang berpengalaman, apa

yang mereka lihat tidaklah mengherankan, Tapi Tian Pek belum lama berkelana,

Buyung Hong dan Wan-ji adalah anak pingitan. mereka heran pada perjamuan

besar kaum pengemis yang luar biasa ini.

Sayur lengkap kaum pengemis yang dimaksudkan Hong-jan-sam-kay tadi

memang hidangan yang lain daripada yang lain.

Pada setiap meja dihidangkan delapan piring dan delapan mangkuk yang terdiri

dari masakan ayam, itik, ikan dan daging. Tapi yang aneh ialah di tengah meja

terdapat pula sebuah baki tembaga yang digosok mengkilap, dalam baki itu

terdapat gundukan benda yang tidak diketahui apa isinya. pula tak diketahui

bagainana caranya menyikat santapan yang mirip dangan gumpalan tanah

lumpur itu?

Sementara hidangan disiapkan, beberapa kelompok jago persilatan hadir pula di

sana. Orang yang datang lebih duluan adalah Siang-lin Kongcu beserta Kanglam-

te-it-bi-jin Kim Cay-hong, mereka memimpin belasan jago tangguh. di antaranya

terdapat pula Kim-hu-siang-tiat-wi (sepasang pengawal baja dari istana Kim).

Baju wasiat Tiat-ih-sin-ih yang merupakan alat melayang bagi Tiat ih hui peng

(rajawali sakti bersayap baja) Pa Thian-ho masih tetap dikenakan tapi lengan

kirinya terkulai lemas ke bawah, agaknya lengan kirinya itu sudah cacat dan tak

dapat dipakai lagi.

Tiat pi-to-liong (naga bungkuk berpunggung baja) Kongsun Coh sendiri berwajah

pucat, punggung bajanya yang tersohor itu masih dibalut dengan kain putih,

tampaknya luka bekas tusukan di punggungnya belum sembuh benar2.

Sementara itu rombongan kedua adalah Leng-hong Kongcu Buyung Seng-yap

dengan lima-enam orang jagonya, di antaranya terdapat kakek berambut

panjang yang dipanggil Hek-lian sam kok oleh Leng-hong Kongcu. Orang itu

bernama Mo-gwa-sin kun (pendekar sakti dari luar gurun) Hek-lian Ing, jago

lihay yang pernah melukai si pengemis pemabuk dengan ilmu jari Tan-ci-sin-

thong.

Thian-ya-ong-seng (manusia latah dari ujung langit) Tio Kiu-cu tampak hadir

juga, ditinjau dari sorot matanya yang tajam serta muknnya yang merah, jelas

tutukan ilmu Soh-hun-ci si nenek berambut putih, yaitu salah satu di antara Hay-

gwa-sam-sat, tak sampai mencelakainya.

Rombongan ketiga dipimpin oleh Hoan Soh-ing yang gemar berdandan sebagai

laki-laki itu, yang ikut hadir hanya Kim-si ji gi (dua bersaudara dari keluarga Kim),

sedangkan ketiga bersaudara Hoan-si sam kiam tak tampak batang hidungnya.

Selain itu hadir pula anak murid perguruan Hoat-hoa-lam-cong yang terdiri dari

Ngo-im-liong-Jiu (tangan sakti panca suara) Siau Tong serta Jit-poh-tui-hun

(tujuh langkah pencabut nyawa) Poan Kui. Anak murid Siau-lim-pay yang terdiri

dari Sin-kun-tah-cing (pukulan sakti penghantam sumur) Poh In-hui serta Hou-

bok-cuncia, kepala ruangan Lo-han-tong, lalu hadir pula Bu-tong-sam-to dari Bu-

tong-pay, Kho-tong-su-co (empat manusia jelek) dari Khong-tong-pav, Tiam-

cong-siang-kiam dan gunung Tiam-cong beserta Thian-san-it-ho (bangau sakti

dari Thian-san) Ciong Beng yang mewakili perguruan Kun-lun-pay.

Kecuali wakil dari Go-bi-pay yang belum nampak hadir, hampir seluruh jago lihay

ketujuh aliran persilatin telah hadir semua, dari sini dapat diketahui himpunan

kekuatan kawanan jago yang hadir inipun cukup kuat.

Paman Lui, Tian Pek dan lain2 menanyakan lebih dulu keadaan Leng-hong

Kongpu, setelah mengetahui semuanya baik2, mereka pun berlega hati.

Kebanyakan tamu yang hadir ini adalah jago2 persilatan yang tidak terikat oleh

adat, mereka makan minum sepuasnya. takaran minum si pengemis pemabuk,

paman Lui dau Thiat-pi-to-liong paling kuat. hampir boleh dibilang setiap cawan

begitu dituang lantas diminum habis. dalam waktu singkat puluhan kali arak Kui-

ciu-mo-tay simpanan si pengemis pemabuk sudah terminum habis.

Setelah dipengaruhi alkohol, jago persilatan ini mulai membual tentang

kekosenan sendiri, ada yang menyinggung perbuatan orang2 Lam-hay-bun yang

kejam, rata2 mereka mengepal tinju dan siap mengadu kekuatan dengan

musuh.

Di antara orang banyak hanya Tian Pek sendiri yang masih tetap sadar sebab ia

paling sedikit minum arak, ia pun satu2nya orang yang paling tahu akan

kslihayan orang2 Lam-hay-bun, pemuda itu berpikir: "Mo-in-sin-jiu Siang Cong-

thian. Hiat-ciang-hwe-liong Yau Peng-kun derta Tok-kiam-leng-coa Gi Hun-lam

adalah jago2 berilmu tinggi, mereka-pun mati di tangan jago2 Lam-hay-bun,

kalau beberapa orang inipun ingin coba2 hanya akan mengantar kematian

belaka ..."

Bnyung Hong dan Wan-ji ssma sekali tidak minum arak, mereka hanya tertarik

oleh gumpalan lumpur kuning di tengah baki tembaga, mereka heran bagaimana

caranya melahap hidangan tersebut.

Sudah tentu mereka malu untuk mulai dulu, sesudah melihat orang lain

mcngetuk lumpur kuning itu hingga retak, dari dalam bungkusan lumpur itu

muncul daging ayam yang harum semerbak, barulah mereka tahu isi lumpur

kuning itu ternyata tak lain adalah seekor ayam vang masih utuh.

Seperti juga orang lain, mereka berdua lantas mengetuk lumpur kering itu dan

mencicipi daging ayamnva, ternyata empuk, wangi dan lezat sekali, belum

pernah mereka cicipi hidangan selezat itu.

Wan-ji yang polos segera berseru: "Aduh Cici, enak benar daging ayam ini!

Bagaimana ya cara membuatnya?"

"Nona makanlah rada banyak!" kata si pengemis sinting sambil tertawa, "inilah

yang dinamakan ayam pengemis, hidangan khas perkumpulan kami, tak

mungkin dapat kau temukan di rumah makan seluruh negeri!"

Wan-ji mcncibir tak percaya, melihat itu pengemis pemabuk meneguk secawan

arak, lalu berkata: "Nona, jangan kau meremehkan hidangan ayam pengemis ini,

sengaja belajarpun tiada gurunya, biarlah kaberi kursus kilat padamu, setiba di

rumah boleh kau mengolahnya sendiri."

Ia menggulung lengan bajunya, kemudian melanjutkan: "Semua orang bilang

jadi pengemis tak usah memakai modal, padahal untuk mencuri ayam-pun harus

memakai segenggam beras. Nih, comotlah segenggam beras, lalu periksalah

ayam siapa yang berkeliaran di jalan, tengok dulu ke kiri dan ke kanan apakah

ada yang mengawasimu, kalau sudah aman, letakkan beras di telapak tangan

dan berikan kepada ayam itu, tapi ingat jangan kau sebar beras itu di tanah,

hanya pencuri bodoh yang menyebarkan berasnya ke tanah. Pernah mendengar

pepatah yang mengatakan: 'Gagal mencuri ayam malah hilang segenggam

beras"? Nah, ucapan itu khusus ditujukan buat pencuri2 goblok ..."

Semua orang bergelak tertawa mendengar banyolan itu, suasaua jadi ramai.

"Esh, jangan tertawa dulu, jangan tertawa dulu!" kata si pengemis pemabuk.

Wan ji diam saja dan menahan rasa gelinya.

"Bila ayam itu menotol beras di tanganmu cepatlah sambar leher ayam tadi dan

kempit kepala ayam itu di bawah sayapnya, tanggung ayam itu takkan bersuara

lagi," sambung si pengemis pemabuk lebih jauh "Setiba di tempat yang tak ada

orang, bungkuslah ayam itu dengan lumpur, kemudian kumpulkan ranting kayu

dan daun kering untuk memanggang ayam tadi, kurang lebih setanakan nasi

kemudian ketuklah lumpur yang sudah kering itu sampai pecah, dan kaupun bisa

menikmati ayam pengemis seperti yang dihidangkan di depanmu sekarang!"

"Jadi bulunya tidak dicabuti dulu?" tanya Wan-ji dengan terbelalak.

"Tidak perlu!" jawab pengemis pemabuk

"Juga tidak disembelih?"

"Tidak:"

"Tidak dicuci?"

"Tak ada waktu!"

"Lantas isi perut ayam itu ... . ?"

"Tentu saja ikut terpanggang di dalamnya!"

Kontan saja Wan ji berseru: "Wah, jijik . . . .!"

"Hahaha, kalau takut jijik, tidaklah cocok untuk menjadi pengemis...." sahut

pengemis pemabuk dengan ter-bahak2.

Gelak tertawa keras kembali bergemuruh.

Tiba2 Toan-hong Kongcu bangkit berdiri, kemudian berseru dengan lantang:

"Tenang! Tenang! Harap tenang semuanya!"

Semua orang berhenti tertawa dan alihkan perhatiannya ke arah pemuda itu,

senentara Toan-hong Kongcu sendiri sengaja memandang jauh ke luar sana.

Waktu itu malam sudah tiba; bintang bertaburan di angkasa. perjamuan

kaum pengemis di halaman luar sudah bubar. sekian banvak pengemis yang

mula2 berkumpul di situ kini entah sudah pergi ke mana? Yang tertinggal hanya

dua-tiga orang pengemis bertongkat hambu hijau yang mondar-mandir

melakukan perondaan.

Toan-hong Kongcu alihkan kembali tetapannya ke dalam ruangan, dengan lagak

scorang "Beng-cu" ia berkata: "Hari ini sengaja ku undang kehadiran anda,

berkat kesudian anda sekalian jauh2 datang kemari, kejadian ini sungguh suatu

kebanggaan bagiku dan juga kebanggaan bagi perkumpulan pengemis kami..."

Tiba2 Tian Pek mendengus, jari tangannya di-celupkan ke dalam cawan arak, lalu

menjelentik beberapa kali ke depan.

Desing angin tajam memecah angkasa mengejutkan orang, menyusul di luar

berkumandang suara dengusan tertahan disertai suara benturan keras.

Tian Pek sekarang sudah menguasai isi Su-kut-tiau-hun-thian-hud-pit-kip, tenaga

dalamnya mendapat kemajuan pesat, sekalipun ia cuma mencelupkan jarinya ke

dalam cawan arak lalu menjentikkan tetesan arak itu dengan ilmu Tan-sui-seng-

wan (butiran air menjadi peluru), tapi serangan itu membawa desing angin

tajam yang men-deru2, kontan saja semua orang yang hadir dibuat tertegun

ber-campur kagum.

Setelah butiran arak itu menyambar keluar ruangau, menyusul terdengar

dengusan berat, suasana dalam ruangan lantas jadi gaduh.

Serta merta si pengemis pemabuk dan pengemis sinting meluncur keluar, di luar

jendela terdengar suara gemuruh keras, menyusul terdengar suara bentakan

gusar pengemis pemabuk serta pengemis sinting: “Sobat, siapa kau dan datang

dari mana? Berani amat menerbitkan keonaran di tempat orang2 miskin ini?"

Seorang lantas bergelak tertawa, suaranya keras, melengking dingin: "Hehehe,

daratan Tiong-goan sekarang sudah menjadi jajahan orang, apakah kalian yang

suka makan sayur sisa orang lain ini berani bertingkah lagi?"

Mendengar ucapan itu, serentak semua orang ikut melayang keluar.

Di bawah cahaya bintang dan rembulan, tertampaklah empat orang kakek

berdiri bsrjajar di depan Hong-jan-sam-kay.

Orang pertama berdandan orang Mongol, berjubah hijau, selempang merah dan

bersepatu kulit kerbau yang besar, alisnya tebal, matanya bengis dan membawa

tasbih.

Orang kedua tinggi besar, cambang memenuhi wajahnya, kepala botak

mengkilap, ia memakai jubah panjang dan longgar.

Orang ketiga adalah kakek hitam kurus kering, pendek lagi agak bungkuk, batok

kepalanya agak kecil tapi sepasang telinganya kelewat besar, ia memakai baju

warna abu2. Potongan badan begini persis seperti tikus wirok di dalam gudang.

Tepat di atas jidat kakek bertampang tikus ini tumbuh sebuah uci2 besar, entah

tonjolan daging itu sudah ada semenjak lahir atau baru saja benjut kebentur

pinggiran pintu?

Sedangkan orang yang terakhir mirip mayat hidup, berhidung seperti paruh

elang, mata juling dan mukanya pucat menyeramkam, berdiri kaku bagaikan

tonggak, sama sekali tidak berbau hidup.

Keempat orang ini bukan saja bertampang jelek, aneh dan menyeramkan,

bahkan perkataan mereka sombong, sikap angkuh, dan lagi sorot matanya rata2

tajam seperti mata pisau, jelas mereka jago2 silat berilmu tinggi.

Sewaktu menyambar keluar jendela tadi, pengemis pemabuk dan pengemis

sinting telah merasakan kelihayan angin pukulan lawan. terasa betapa kuatnya

tenaga pukulan orang2 itu sehingga darah di dalam rongga dada bergolak,

untung bala bantuan segera datang sehingga mereka tak perlu kuatir.

Segera pengemis sinting berkata sambil ter-bahak2: "Hahaha, sobat, kalau

kedatangan kalian khusus untuk mencari kaum pengemis seperti kami, apa

salahnya kalau sebutkan dulu nama2 kalian, agar kami orang2 miskin mendapat

tahu siapakah tamu kami ini!"

Dengan tatapan menghina kakek tinggi besar yang bercambang itu melirik si

pengemis sinting, sahutnya: "Huh cuma kami berempat saja tidak kenal, dari sini

sudah terbukti kalian pengemis2 sialan cuma katak2 di dalam sumur belaka!"

"Baik katak di dalam sumur atau katak di lautan, paling penting sebutkan dulu

nama kalian; Atau barangkali nama kalian terlampau jelek sehingga malu untuk

disebutkan?" ejek pengemis pemabuk.

Ejekan itu kontan menggusarkan kakek kurus jangkung yang berwajah seram,

dengan pancaran sinar mata ke-hijau2an ia tertawa dingin, katanya: "Hehehe,

ketahuilah, nama kami berempat tak akan diberitahukan kepada orang hidup,

pada saat kalian mengetahui siapa kami berempat, ketika itulah nyawa kalian

akan melayang ke akhirat!"

"Eh, hati2 kalau bicara, angin malam terlalu keras, awas lidah keseleo. . . ." ejek

pengemis sinting dan pengemis pemabuk berbareng.

Kakek jangkung kurus dengan wajah seram itu mendadak memotong: "Ciong-

nia-ci-eng (elang dari Oong-ni )!"

"Im-san-ci-long (serigala dari Im-san)?" sambung si kakek tinggi besar dan

bercambang.

"Tay-cong-ci-ju (tikus dari gudang)" seru kakek kurus kecil bermuka hitam.

"Sah-mo-ci-hu (rase dan gurun pasir)!" akhirnya si kakek berdandan Mongol juga

berseru.

"Hahaha, setelah ngibul setengah harian, tak tahunya yang datang hanya

sebangsa tikus dan serigala belaka " ejek pengemis sinting sambil ter-bahak2.

Baru saja pengemis itu habis berkata, kakek kecil kurus atau si tikus,

mementangkan telinganya lebar2, kemudian menghardk: "Kere busuk, rupanya

kau sudah bosan hidup!" — Telapak tangan-nya lantas terangkat, secepat kilat ia

membacok kening musuh,

"Bagus!" seru pengemis sinting, dengan jurus Kiau-hua-su-hong (empat penjuru

mengemis), dia sambut serangan itu dengan kekerasan.

"Plak Plak!" terjadi bentrokan nyaring, pengemis sinting tergetar mundur lima

langkah.

Melihat kejadian itu semua orang terperanjat. Berbicara tenaga dalam si

pengemis sinting sebagai salah seorang Tianglo perkumpulan pengemis,

kemampuannya pasti dapat diandalkan, tapi sekarang hanya satu gebrakan saja

ia telah tergetar mundur oleh kakek kurus kecii itu,

Ketika keempat kakek aneh dan jelek itu menyebutkan nama masing2 tadi,

kawanan jago muda masih tak seberapa kaget sebab mereka tidak tahu

kelihayan orang2 itu, tapi jago golongan tua kontan terkesiap demi mendengar

nama2 tadi.

Meskipun selama dua tiga puluh tahun belakangan ini nama keempat orang

kakek itu tak pernah kedengaran lagi, namun tiga puluh tahun yang lalu mereka

adalah jago2 golongan hitam yang tersohor dan sempat menggemparkan

seluruh dunia persilatan.

Bukan saja ilmu silat mereka lihay, oleh karena berasal dari luar daratan, aliran

Kungfu merekapun berbeda dengan aliran kungfu di daratan Tiorggoan,

siapapun tak tahu asal-usul perguruan mereka, tapi karena perbuatan mereka

yang kejam dan buas, setiap kali muncul lantas menggemparkan, maka orang

lantas menyebut mereka sehagai Hek-to-su hiong (empat menusia buas dari

golongan hitam).

Kemudian karena perbuatan mereka semakin se-wenang2, bukan saja

merampok, membunuh juga memperkosa, orang persilatan jadi marah sekali,

kawanan jago dari golongan putih lantas ber-satu padu untuk menumpas iblis2

ini.

Akhirnya dalam suatu pertarungan berdarah di puncak Hong-san, keempat iblis

ini berhasil diusir pergi dari Tionggoan.

Mengingat kejahatan keempat orang itu, mestinya keempat orang itu akan

dibunuh saja, tapi Ko-sui Taysu dari Siau-lim-pay menyarankan ke-empat orang

itu setelah diberi peringatan lantas di usir pergi.

Siapa tahu tiga puluh tahun kemudian keempat orang ini muncul kembaii di

Tionggoan berbareng dengan terjadinya penyerbuan pihak Lam-hay-bun,

bahkan dari nada bicara mereka dapat diketahui bahwa keempat gembong iblis

ini sudah berkomplot dengan pihak Lam-hay-bun.

Sementara para hadirin berdiri dengan kuatir sedang pengemis sinting yang

kena didesak oleh Tay cong-ci ju masih berdiri termangu, tikus sakti itu sudah

maju ke depan dan berseru lantang: "Keparat manakah telah menyambut

kedatarganku dengan kacang hijau tadi. Hayo cepat menggelinding keluar untuk

menyambut kematian !"

Kiranya uci2 besar di jidatnya itu adalah hasil selentikan jari sakti yang

dilancarkan Tian Pek tadi, arak yang dipakai untuk menyerang itu disangkanya

sebagai kacang hijau, malahan detik itu dia belum tahu siapakah yang

mengerjainya.

Mendengar teguran tersebut pelahan Tian Pek tampil ke depan, dengan senyum

dikulum sahutnya; "Aku Tian Pek. akulah tadi yang memberi tanda kenang2an

kepadamu, tapi kau jangan salah sangka bukan kacang hijau yang kuberikan

padamu, aku hanya menjentikkan setitik arak saja .... kuharap kau sudi

menerimanya dengan senang hati!"

Sungguh gusar sekali Tay-cong-ci-ju mendengar ucapan Tian Pek yang

menyerupai sindiran itu, segenap hawa murninya dihimpun, sambil memutar

telapak tangannya segera ia bacok tubuh anak muda itu.

Serangan dengan punggung telapak tangan ini berbeda dengan ilmu pukulan

pada umumnya, tenaga serangan yang terpancar ternyata sangat mengejutkan.

Sekilas pandang Tian Pek lantas mengetahui tenaga pukulan si tikus ini tidak

berada di bawah ketangguhan Hay-gwa-sam-sat, meski demikian ia tidak

menghindar, ia malahan sengaja hendak menghancurkan kesombongan lawan,

maka dengan menyalurkan tujuh bagian tenaga sakti Thian-hud-ciang-mo-ciang

dia sambut pukulan lawan.

"Blang!" benturan keras menggelegar, pancaran tenaga menerbitkan angin

taupan yang menerbangkan debu pasir, sekali ini Tay-cong-ci-ju terdesak

mundur lima langkah, sebaliknya Tian Pek dengan gagahnya tak bergeming di

tempat semula.

Daun telinga Tay cong ci ju yang luar biasa besarnya itu tampak bergoyang,

matanya melotot, mimpipun tak tersangka olehnya bahwa seorang pemuda

yang masih ingusan ternyata sanggup menghantam dia sampai mundur.

Pelbagai ingatan terlintas dalam benaknya, terbayang kembali ketangguhannya

di masa silam di mana dia malang melintang di dunia persilatan tanpa

tandingan, meskipun kemudian tak bisa tanoapkan kaki di daratan Tionggoan

dan harus menyingkir ke luar samudera karena dikerubut puluhan jago lihay,

dua-tiga puluh tahun lamanya ia sudah berlatih secara tekun. Menurut

perkiraannya, setelah beegabung dengan Lam-hay-bun dan menyerbu ke

Tionggoan, niscaya dunia persilatan bisa ditaklukkan oleh kelihayannya.

Apa mau dikata, baru pertama kali unjuk kelihayannya sudah kecundang di

tangan scorang pemuda ingusan, sungguh kejadian yang mengenaskan.

Setelah tertegun sejenak. iblis inipun mengerahkan ilmu lainnya yang lebih lihay,

ilmu itu disebut Mo-kang (ilmu iblis). Hawa murni disalurkan mengelilingi

sekujur tubuh, seketika persendian tulang bergemerutukan, tahu2 tubuhnya

mengkeret setengah bagian lebih pendek daripada semula.

Padahal ia memang tak terlampau tinggi, dengan ilmu itu badannya kini jadi

tinggal tiga kaki tingginya, tangannya mendadak terulur lebih panjang, bahkan

warnanya jadi hitam.

Bisa dibayangkan betapa lucu dan anehnya bentuk tubuhnya, badannya cebol

dengan muka hitam, daun telinga seperti kuping gajah, lengan panjang bagaikan

gorila, tampangnya sekarang tidak lagi mirip tikus melainkan lebih mirip monyet.

Sesudah memasang kuda2nya, tangan Tay-song-ci-ju setengah terpentang,

seperti mengepal seperti juga tidak, karena dia mengerahkan hawa murni

dengan kuat, matanva yang kecil memancarkan sinar tajam, dengan wajah yang

mengerikan pelahan ia menhampiri Tian Pek, sikapnya sungguh menakutkan.

Semua orang terperanjat, begitu pula Tian Pek, ia pun heran.

Umumnya bila seorang sedang menyalurkan hawa murninya, maka anggota

tubuhnya akan mengembang semakin besar, belum pernah terlihat tubuh

berbalik menyusut kecil, entah kungfu apakah vang dilatih kakek kecil ini?

Ia tak berani gegabah lagi, cepat hawa sakti Thian hud-hang-mo-ciang nya

dikerahkan seprnuhnya kuda2nya diperkuat dan bersiap menghadapi segala

kemungkinan.

Ratusan orang yang hadir di sini, namun suasananya seketika jadi hening.

dengan mata terbelalak semua orang mengikuti jalannya pertarungan antara

Tian Pek melawan Tay-cong-ci-ju, antara mati dan hidup segera akan diketahui.

"Tahan!" mendadak Im-san-ci-long yang tinggi kekar dan bercambang itu maju

ke depan serta mengadang jalan rekannya.

Setelah mengedipi Tay-cong-si-ju ia berkata kepada para jago: "Kami berempat

ini, hehehe, Hek-to-su-hiong (empat pengganas dari golongan hitam) tentunya

sudah pernah kalian dengar bukan? Nah, malam ini kami mewakili Lam-hay-bun

untuk mengajak kalian untuk berunding, bila kalian sudi memberi muka kepada

kami dengan menggabungkan diri ke dalam Lam-hay-bun, dengan sendirinya

kita akan menjadi sahabat dan urusan pun akan beres dengan sendirinya.

Sebaliknya kalau kalian merasa derajat kami kurang besar dan tak sudi memberi

muka, tentu saja akan lain ceritanya! Siapa pemimpin kalian? Silakan maju untuk

memberi jawaban . . "

Kedengarannya ucapannya sungkan dan bersahabat, tapi kenyataannya bernada

keras atau sama dengan suatu ultimatum bagi para jago yang berkumpul ini.

Sebagai ketua perkumpulan pengemis, apalagi mengaku sebagai penyelenggara

pertemuan ini, Toan-Long Kongcu tak bisa diam lagi, meskipun ia tahu maksud

kedatangan keempat orang itu tidak baik, tapi keadaan sudah mendesak, mau

tak-mau ia harus tampil ke muka.

Setelah tenangkan diri, lalu ia berkata: "Aku Toan-hong Kongcu, ketua

perkumpulan pengemis sekarang, bila ada persoalan silakan bicara saja. kami

akan mendengarkan dengan seksama!"

Semula Im-san-ci long menyangka yang bakal tampil ke muka pasti seorang jago

tua yang sudah punya nama, sungguh geli hatinya setelah menyaksikan

kemunculan seorang pemuda tampan yang masih ingusan begini.

Ia tertawa ter-kekeh2, sambil menuding kawanan jago yang berkumpul di situ ia

berkata: "Apakah kau dapat mewakili sekian banyak orang yang hadir ini?"

Jelas sekali nadanya memandang hina kemampuan anak muda itu.

Merah wajah Toan-hong Kongcu, ia melirik sekejap kawanan jago yang hadir itu,

bicara sebenarnya, iapun tidak yakin bisa mewakili semua orang yang hadir,

terutama rombongan paman Lui dan Tian Pek yang kedatangannya bukan atas

undangan perkumpulan pengemis melainkan hanya secara kebetulan saja.

Ciong-nia-ci-eng, si elang dari Ciong-nia, yang selama ini hanya berdiri kaku

bagaikan mayat hidup, tiba2 buka suara dsngan suara yang menyeramkan:

"Long-heng, jangan kau meremehkan orang, jelek2 dia adalah salah seorang di

antara Su-toa-kongcu yang tersohor di Tiongoan, apa yang ia ucapkan ibaratnya

bulu ayam yang dapat di-gunakan sebagai tanda perintah!"

Mendengar ucapan tersebut, kontan keempat manusia bengis dari kalangan

hitam itu tertawa ter-bahak2, suaranya keras dan memekak telinga.

Toan-hong Kongcu ter sipu2 dan merah jengah, ia tergagap dan tak sanggup

bicara lagi.

Siang-lin Kongcu, An-lok Kongcu serta Leng-hong Kongcu serentak maju ke

depan, dengan suara lantang Leng-hong Kongcu segera menegur: "Eeh, bila

kalian berempat ada urusan, lebih baik bicara saja blak2an, apa gunanya bersilat

lidah melulu?"

Im-san-ci-long masih ter-bahak2, lama sekali ia baru berhenti tertawa dan

berkata: "Anak muda, apakah kau juga termasuk salah seorang Bu-lim-su-

kongcu yang tersohor itu?"

Sebelum Leng-hong Kongcu menjawab, Siang-lin Kongcu serta An-lok Kongcu

telah menyahut hampir berbareng: "Benar. Bu-lim-su-kongcu telah berkumpul

di sini, bila kalian ada urusan silakan saja bicara."

"Bagus! Bagus! Kalau Bu-lim-su-kongcu yang tersohor itu sudah berkumpul di

sini, berarti tidak sia2 pula perjalanan kami ke sini!" kata Im-san-oi-long sambil

mengangguk. "Berikut ini kami berempat secara bergilir akan

mendemontrasikan suatu atraksi yang lain daripada yang lain, selesai

pertunjukan ini bila kalian Bu-lim-su-kongcu dapat pula menyajikan atraksi yang

serupa, tanpa banyak bicara kami berempat akan mengaku kalah dan segera

berlalu dari sini, sebaliknya kalau kalian Bu-lim-su-kongcu tak mampu

menirukannya, maka hendaklah kalian berikut anak buah kalian segera

mengundurkan diri dari dunia persilatan, selanjutnya bila hendak melakukan

sesuatu harus memberitahu dulu kepada kami. Nah, bagaimana? Berani

bertaruh tidak?"

An-lok Kongcu yang lebih cerdik daripada rek»n2nya segera dapat menebak

maksud musuh, ia tertawa dan berkata: "Tidakkah kalian berempat merasa

dirugikan dengan cara bertaruh semacam ini?"

Meskipun tampang Im-san-ci-long Long Hiong kelihatan kasar dan kaku,

sebetulnya dia adalah paling licik di autara rekan2nya, tentu saja ia dapat

menangkap maksud ucapan lawan, tapi ia tetap ber-pura2 bodoh, katanya: "Ah,

di dalam pertaruhan ini tak ada orang yang bakal merasa rugi, sekarang lihat

dulu atraksiku ini!"

Ia maju ke muka, lalu mengayunkan telapak tangannya ke depan, sasarannya

adalah pohon besar di depan sana.

"Krakl" bagaikan pisau tajam mernotorg sayur, pohon sebesar paha itu seketika

tertabas kutung jadi dua bagian dan tumbang ke samping.

Ilmu Ciang-jin-jiat-bok (mata telapak tangan membacok kayu) Im-san-ci-long ini

memang sudah mencapai puncak kesempurnaan, meskipun jaraknya cukup jauh

dan bacokan itu dilakukan dengan ringan, namun pohoh sebesar itu dapat

dibacok kutung, bahkan bekas bacokan tersebut kelihatan rata sekali, dari sini

dapatlah diketahui Lwekangnya sudah mencapai tingkat yang sempurna.

Perlu diketahui, Hek-to-su-hiong adalah rombongan yang kedua jago Lam-hay-

bun yang masuk ke Tionggoan, setelah lapor kepada Lam-hay-siau-kun, dapat

diketahui sebagian besar dunia persilatan sudah berhasil mereka tundukkan, kini

tinggal perkumpulan pengemis yang anggotanya teramat banyak masih

mcmbangkang den ada tanda akan melakukan perlawanan.

Hek-to~su-hiong lantas minta izin kepada Lam-hay-liong-li untuk mehksanakan

tugas penumpasan ini, berangkatlah mereka dengan tugas yang baru, Menurut

perkiraan mereka tindakannya ini pasti akan berhasil dan membuat pahala begi

perguruan Lam-hay-bun.

Beberapa hari berselang mereka melihat anak murid perkumpulan pengemis

sibuk melepaskan merpati pos bahkan anggota perkumpulan pengemis

berdaiangan dari segala pelosok serta berkumpul di Hin-liong-tin, semakin

bergairah lagi mereka ketika diketahui banyak jago persilatan yang berdatangan

pula ke sana.

Diam2 merekapun melakukan penguntitan dan penyelidikan, maksudnya

setelah berhasil menyelidiki keadaan musuh baru kemudian turun tangan

melakukan penyergapan dan menaklukkan perkumpulan kaum jembel ini.

Apa mau dikata jejak mereka ternyata diketahui Tian Pek, malahan Tay-cong-ci-

ju kena dilukai dengan sentilan arak yang maha sakti, kemudian pengemis

pemabuk dan pengemis sinting menyusul keluar, dalam keadaan begitu tak

sempat lagi bagi mereka berempat untuk menyingkir, terpaksa mereka pun

unjukkan diri.

Di antara keempat orang itu, Im-san-ci-long terhitung paling licik, kalau tidak

masa orang menyebutuya sebagai serigala dan Im-san?

Sebagai orang yang berpengalaman, ia tahu kebanyakan jago persilatan yang

diundang perkumpulan pengemis adalah2 jago2 berilmu tinggi, kalau main

kekerasan, bisa jadi mereka tak sanggup menghadapi kerubutan berpuluh jago

tangguh itu.

Maka sewaktu Tay-cong-ci ju ribut dengan pengemis sinting serta Tian Pek,

iapun putar otak dan mencari akal, Akhirnya ia berhasil menemukan siasat yang

cukup bagus, dia hendak mendemonstrasikan kelihayan Kungfu mereka untuk

menundukkan musuh, dengan cara demikian tenaga yang dipergunakan amat

kecil tapi hasilnya besar.

Ketika Tay-cong-ci-ju marah2 dan akan beradu jiwa dengan Tian Pek, cepat ia

mengalanginya, kemudian dengan kata yang tajam ia menyindir Bu lim-su-

kongcu dan akhirnya mendemonstrasikan ilmu Ciang-jin-jit-bok.

Begitulah, setelah ia membabat kutung pohon besar dari jarak jauh, sambil

tertawa ia berkata kepada keempat Kongcu itu: "Hehehe. permainan ini cuma

permainan snak kecil yang tak ada artinya, harap kalian jangan

mentertawakannya. Nah, bagaimana dengan kalian?"

Selesai berkata ia lantas tertawa dingin tiada hentinya, bangga sekali sikapnya

karena ia yakin keempat orang pemuda di hadapannya sekarang belum memiliki

tenaga dalam sehebat itu.

Sudah tentu Bu-lim-su-kongcu saling berpandangan bingung, mereka tidak

menyangka Im-san-ci-long bakal mengajukan persoalan sulit itu. Mereka tahu

tenaga dalam sendiri memang belum se-tingkatan lawan.

Im-san-ci long tertawa pula. ia berkata lagi: "Hehehe, jika kalian sungkan2 dan

tak mau turun tangan, muka pertarungan babak pertama ini akan dianggap

sebagai kemenangan bagiku, kami akan meneruskan babak kedua "

Di antara Bu-lim-su-kongcu. An lok Kongcu kaya dengan akal muslihat, Siang-lin

Kongcu penuh perhitungan dan Toan-hong Kongcu paling licik, banya Leng-hong

Kongcu terhitung paling angkuh dan berangasan. Ketika dilihatnya ketiga Kongcu

lainnya tetap membungkam, ia jadi tak tahan, sekalipun tiada keyakinan dapat

memapas kutung pohon besar dari jarak jauh, ia tak sudi menyerah dengan

begitu saja.

Sambil melangkah ke muka ia berkata: "Biarlah aku Leng-hong yang tak becus

ikut coba2 ilmu menabas pahon dengan tangan."

"Hshaha. silakan saja!" seru Im-san-ci-long sambil ter-bahak2, mukanya

mengunjuk sikap menghina dan meremehkan.

Leng-hong Kongcu melangkah ke muka, ia pasang kuda2 dan tarik napas

panjang, kemudian hawa murni disalurkan ke telapak tangan, ia mengincar

sebatang pohon dan siap melancarkan tebasan. . .

"Tunggu sebentar!" tiba2 Thian-ya-ong-seng Tio Kiu-ciu melayang ke tengah

arena, dia menjura kepada Im-san-ci-long dan berkata: "Kepandaian Ciang-jin-

jiat-tok yang kau demonstrasikan memang lihay, melihat atraksi itu aku orang

she Tio menjadi getol dan ingin coba2, biar aku saja yang melakukan

demonstrasi balasan pada pertarungan pertama ini!"

Tanpa menanti jawaban dari lm-san-ci-long mendadak ia berputar seperti

gangsingan dan "Sreet!" tahu2 ia melancarkan suatu bacokan.

"Blang!" sebatang pohon besar yang berada dua tombak jauhnya tertabas

patah, ketika kutungan pohon itu jatuh ke tanah ternyata sama sekali tak

tumbang melahan tetap berdiri kaku di tanah.

Suatu demonstrasi yang hebat, suatu bacokan telapak tangan yang cepat dan

tajam, tak malu Thian-ya-ong-seng menjadi jago kawakan yang tersohor.

Ketika bekas bacokan itu dilihat, tampaklah bekas itu rata seperti dibacok

dengan golok, bahkan bacokannya agak miring runcing, tidak heran ketika jatuh

ke tanah bukannya tumbang melainkan menancap di tanah.

Dari sini terbuktilah demonstrasi yang dilakukan Thian-ya-ong-seng ini jauh lebih

tangguh satu tingkat daripada permainan Im-san-ci-long tadi.

Untuk sesaat Im-san-ci-long jadi tertegun dan berdiri melongo, dia tak mengira

kepandaian Ciang-jin-jiat-bok yang dilatihnya selama tiga puluh tahun ternyata

dikalahkan orang secara mengenaskan.

Selang sejenak ia baru menegur dengan mata mendelik: "Siapa kau? Sebutkan

namamu!"

"Aku Thian ya-ong seng Tio Kiu ciu!"

Thian-ya-ong-seng memang tokoh yang tersohor di duna persilatan, cuma tiga

tahun belajar silat, tapi sewaktu ia terjun ke dunia Kongouw, ketika itu Im-san ci-

long telah meninggalkan Tionggoan, sebab itulah setelah Thian-yu ong seng

sebut julukannya, Im-san-ci-long tetap tidak tahu jago macam apakah orang ini.

Dengan mata melolot bentaknya: “Lalu kau mewakili siapa?"

"Kau sendiri? Kau mewakili siapa?" sahut Thian-yu-ong-seng dengan nada yang

sama.

Sesungguhnya Im san-ci-long juga tak dapat mewakili Lam-hay-bun, pertanyaan

itu membuatnya naik darah, telapak tangannya segera menegak, teriaknya:

"Bangsat, kubacok mampus kau!"

"Hahaha, jangan kaukira aku orang she Tio jeri padamu," sahut Thian-ya-ong-

seng sambil tertawa latah. "Tapi sebelum pertarungan dimulai, aku ingin

bertanya dulu kepadamu, apa yang kau katakan tadi masih berlaku tidak?"

Im-san-ci-long tertegun. Bcnar juga, tadi ia telah mengucapkan kata2 yang tegas,

betapapun ia tak dapat menjilat kembali ludah sendiri. Akhirnya dengan gemas

ia berseru: "Baik, anggap saja pertarungan pada babak ini bisa kalian lampaui.

Hu-heng!" — Dia lantas berpaling kepada Tay-cong-ci-ju dan berseru: "Sekarang

giliranmu untuk tunjukkan kebolehanmu!"

Tay cong-ci-ju bernama Hu Ciat. tanpa bicara mendadak tubuhnya disusutkan

sehingga lebih pendek dua kaki, ia mengerutkan badannya dengan ilmu Sut-kin-

mo-kang (ilmu iblis pengerut otot), kedua lengannya yang panjang diangkat dan

tubuhpun mulai berputar dengan cepat.

Sesudah tubuhnya yang kecil itu berputar seperti gurdi, segera timbul pusaran

augin yang menerbangkan debu pasir, begitu hebat pusaran angin itu hingga

pasir yang ikut berputar mencapai ketinggian dua tiga puluh kaki, suaranya

gemuruh dan memekak telinga.

Ketika debu pasir yang beterbangan itu sudah membentuk suatu tiang hawa

berwarna hitam, di atas tanah tahu2 muncul sebuah liang seperti sumur yang

dalam sekali, sementara Tay-cong-ci-ju sendiri lenyap tak berbekas.

Tatkala semua orang ter-heran2 dan berdiri tertegun, tahu2 Tay-cong-ci-ju yang

lenyap itu melompat keluar dari liang yang dalam itu.

Kiranya ia telah menggunakan gerak putaran yang menyerupai gurdi itu, dengan

kekuatan tangannya dia bor permukaan tanah hingga berlubang sedalam

setombak lebih,

Semua orang tercengang, mereka tidak tahu Ciu-te-tah-tong (membuat liang di

tanah) sdalab kepandaian khas yang membuatnya tersohor sebagai Tay-cong-ci-

ju, si tikus gudang.

Menurut cerita, sepanjang hidupnya sudah terlampau banyak kejahatan yang

dilakukan Tay-cong-ci-ju, tapi pernah satu kali ia melakukan perbuatan mulia.

Peristiwa ini terjadi pada tiga puluh tahun ber-selang, ketika itu perdana menteri

Ho Kun adalah menteri yang paling korup sepanjang sejarah, selama ia menjabat

perdana menteri hingga dihukum pancung, harta kekayaaan yang berhasil

dikumpulkannya mencapai empat ratus juta tahil, jumlah tersebut lebih besar

daripada kas negara.

Itu masih belum termasuk barang antik serta barang2 mestika lain yang tak

ternilai jumlahnya.

Padahal waktu itu di daerah lembah sungai Tiangkang sedang dilanda bencana

alam, beratus laksa orang menderita kelaparan dan sudah mencapai keadaan

yang amat kritis, ternyata sang menteri yang lalim ini sama sekali tidak

membagikan beras yang berada di gudang pemerintah untuk rakyat yang

kelaparan, beras itu dibiarkan membusuk dan dihabiskan tikus gudang daripada

dibagikan kepada rakyat jelata.

Ketika itulah, entah apa sebabnya tiba2 timbul kebajikan Tay-cong-ci-ju, dia

lantas menggunakan kepandaian Ciu-te-tah-tong tersebut untuk memasuki

gudang kerajaan secara diam2, dalam bebcrapa bulan saja ia telah mencuri

habis semua persediaan beras itu dan dibagikan kepada rakyat yang menderita.

Karena perbuatan inilah, julukan Tay-cong-ci-ju menjadi tersohor baik di wilayah

utara maupun di selatan sungai Tiangkang.

Setelah berlatih pula selama tiga puluh tahunan di pulau setan, ilmu Ciu-te-tah-

tong tersebut dengan sendirinya bertambah hebat.

Ketika si tikus melompat keluar dan melihat semua orang mengunjuk rasa kaget,

ia merasa bangga sekali, katanya "Saudara cilik, sekarang tiba giliran kalian

untuk memperlihatkan kemampuan kalian."

Kali ini bukan saja Bu-lim-su-kongcu dibuat terbelalak dan melongo, bahkan

semua orang yang hadir juga terkesiap.

Sebenarnya, meski ilmu Ciang-jin-jiat-bok sukar dilakukan, tapi bagi seorang jago

yang tenaga dalamnya sudah mencapai kesempurnaan, secara paksa masih

dapat menirukan kepandaian itu. Berbeda dengan ilmu Ciu-te-tah-tong ini,

untuk membuat liang di atas tanah seseorang harus memiliki tangan yang kuat

dan tenaga berpusing yang kencang, sebab bila salah satu di antara kedua syarat

ini tak terpenuhi, jangan harap bisa membuat liang sedalam beberapa kaki di

permukaan tanah yang keras.

Melihat kawanan jago itu sama merasa kesal dan pasrah, Tay-cong-ci-ju jadi

lebih bangga lagi, mata tikusnya yang tajam menyapu pandang sekeliling, lalu

katanya: "Jika tiada orang yang berani meju lagi, maka babak kedua akan

dianggap sebagai kemenangan bagi pihak kami! Nah, Morga Akang, sekarang

tiba giliranmu."

"Morga" adalah nama orang Mongol tadi, sedangkan Akang artinya saudara.

Kakek berdandan sebagai orang Mongol atau tersohor sebagai Sah-mo-ci-eng itu

segera tampil ke depan.

Tapi tiba2 Tay-pek-siang-gi melompat maju. Orang mati-hidup. orang pertama

dari kedua bersaudara itu segera berseru: "Tunggu sebentar! Kami bersaudara

yang tak becus ini bersedia mencoba membuat lubang tikus ini!"

Tanpa menunggu jawaban Tay-cong-ci-ju lagi, kedua orang lantas berdiri dengan

punggung menempel punggung, lengan mereka diluruskan sebatas pundak,

telapak tangan menegak bagaikan sekop.

"Loncat!" seru si orang mati hidup dengan lantang, kedua orang itu segera

melambung ke udara, keempat kaki mereka lantas saling tahan menjadi satu

dan membentuk garis lurus.

Sekejap itulah kaki mereka saling pancal, dengan tenaga lejitan, dengan kepala

di bawah dan kaki di atas secepat kilat mereka meluncur ke bawah dan

menembus permuksan tanah yang keras itu.

"Creet! Creet!" suara tanah terbelah mendesis di udara, sebentar saja kedua

orang itu sudah menerobos masuk ke dalam tanah.

Semua orang menyaksikan tumpukan tanah di kedua samping liang tersebut

kian lama kian membukit, bagaikan dua ekor tikus saja. mereka berdua

membuat liang sepanjang dua tombak mengitari arena itu, kemudian setelah

lingkaran tersebut bertemu satu dengan lainnya, mereka lantas timbul dari

dalam liang.

Ilmu apaan ini? Tak seorangpun yang paham. Meskipun baru muncul dari dalam

liang, air muka mereka tidak berubah menjadi merah, napas tidak tersengal dan

peluh tidak membasahi tubuh, se-olah2 tak pernah melakukan suatu pekerjaan

apapun, tentu saja hal ini memancing tampik sorak orang banyak.

Tay-cong-ci-ju tampak tertegun, tegurnya kemudian: "Eeh ilmu silat aliran

manakah yang kalian gunakan itu?"

Orang mati hidup melotot, jawabnya: "Kalau kepandaianmu bernama Lo-ju-tah-

tong (tikus membuat lubang), maka kepandaian kami ini bernama Lo-ju-coan-

tong (tikus mengebor lubang), bila kau tidak puas, silakan saja mengulangi

kembali atraksi kami ini!"

Pada dasarnya tiap ilmu silat mempunyai aliran yang berbeda, apa yang bisa

dilakukan orang lain belum tentu bisa dilakukan oleh dirinya sendiri, begitu pula

dengan atraksi yang dilakukan oleh Tay-pek-siang-gi ini.

Meskipun tenaga dalam mereka tidak sesempurna Tay-cong-ci-ju, sebaliknya

Tay-cong-ci-ju di suruh mengulangi atraksi yang dilakukan Tay-pek-siang-gi juga

belum tentu mampu.

"Tak perlu banvak omong lagi!" tiba2 Sah-mo-ci-hu, si orang Mongol itu berseru.

"Lihatlah kehebatanku ini!"

"Krak!" mendadak jarinya meremas, untaian tasbih yang dibawanya dipatahkan

menjadi dua bagian, ketika tangannya menyentak ke atas, tali kuning yang

mengikat ke 108 biji tasbih tadi mendadak menegak seperti sebatang toya.

Bila seorang jago persilatan berhasil melatih tenaga dalamnya hingga mencapai

puncak kesempurnaan, tidaklah sulit bagi mereka untuk menegangkan seutas

tali yang dipegangnya.

Tapi apa yang didemonstrasikan Sah-mo-ci-hu sekarang berbeda dengan

keadaan umumnya, sebab seisi tali kuning yang terbuat dari bahan lunak itu

kecil dan lembek, di antaranya terdapat pula 108 biji tasbih yang semuanya

terbuat dari kayu Oh-tho yang kuat seperti baja, bulat licin dan hanya dihasilkan

di gurun pasir saja, untuk menegangkan biji2 tasbih pada seutas tali, pekerjaan

ini jauh lebih sukar daripada menegangkan seutas tali biasa.

Sebab itulah, meskipun apa yang dipertunjukkan "Rase dari gurun pasir" ini

tampaknya tiada sesuatu yang luar biasa, pada hakikatnya demonstrasi ini jauh

lebih hebat daripada kedua rekannya tadi.

Setelah biji2 tasbih itu menegang seperti Toya, si "rase dari gurun pasir" lantas

berputar satu kali dan memperlihatkan biji2 tasbih itu kepada para hadirin,

katanya: "Coba perhatikan biji tasbih ini!"

Tiba2 dia menggelembungkan perut dan mengerahkan hawa murni, jubah hijau

maupun selempang merah di tubuhnya serta-merta mengembang besar,

bentaknya nyaring: "Loncat!"

Bersama dengan menggelegarnya bentakan itu ke 108 biji tasbih itu tiba2

meluncur ke udara, hanya tali tasbih saja yang masih menegak di tangan orang

Mongol itu.

Kemudian, "siut-siut . ', tahu2 biji tasbih itu berjatuhan masuk kembali pada

talinya. lalu melayang pula ke udara dun begitulah naik-turun ber-turut2 tiga

kali.

Pada saat orang ramai bersorak memuji, tiba2 terdengar seorang mendengus.

Meskipun tertawa ejekan itu tidak keras suaranya, tapi di tengah sorak-sorai itu

ternyata kedengaran jelas, siapapun dapat mendengar suara jengekan itu.

Mendongkol si "rase, dari gurun pasir" mendengar ejekan itu, segera

demontrasinya di-akhiri. Sambil menarik kembali biji2 tasbihnya ia membentak:

'Siapa yang mentertawakan diriku? hayo tampil ke depan!'

Pelahan muncul seorang pemuda tampan, senyum manis menghias bibirnya,

meski usianya masih amat muda, namun ia kelihatan agung berwibawa dan

gagah perkasa. Semua orang mengenalnya, sebab dia tak lain adalah Tian Pek,

jago muda kita.

Rase dari gurun pasir ini sudah menyaksikan kelihayan Tian Pek ketika

menghajar mundur Tay-cong ci-ju tadi, kini anak muda ini maju lagi, mau-

tak-mau ia terkejut. segera telapak tangannya di-lintangkan di depan dada, siap

menghadapi segala kemungkinan.

Tian Pek tetap santai, sambil tertawa ringan ia berkata: "Numpang tanya,

berapa banyak jumlah biji tasbih anda?"

Sah-mo-ci-hu melengak, tak tersangka pemuda itu hanya menanyakan persoalan

yang sama sekali tak penting. Segera jawabnya: "Biji tasbihku ini berjumlah 108

biji, ada apa saudara cilik menanyakan hal ini?"

"Kukira jumlah itu tidak benar!" kata Tian Pek.

"Tak bener bagaimana maksudmu?" Rase dari gurun itu semakin heran. "Sudah

hampir lima puluh tahun lamanya biji tasbih ini kubawa dalam saku, masakah

berapa jumlahnya tidak kuketahui?"

Tian Pek masih tersenyum "Walaupun kau tahu persis jumlah sebenarnya, tapi

menurut pandanganku, jumlah biji tasbihmu sekarang tidak ada 108 biji!

Setelah disinggung Tian Pek, jago Mongol itu baru sadar dan segera memeriksa

biji tasbihnya, betul juga, jumlah tasbih yang 108 biji itu sekarang telah

berkurang belasan biji.

Rase dari gurun terperanjat. ia tak menyangka biji tasbihnya dapat dirampas

orang dikala ia sedang mengerahkan tenaga dalamnya. Ia mulai sadar bahwa

tokoh muda di hadapannya sekarang ini sebenarnya adalah jago tangguh yang

tak boleh di buat main.

Mula2 Sah-mo-ci-hu merasa malu, tapi segera ia menjadi gusar, sambil

membentak satu biji tasbih segera disambitkan ke muka anak muda itu. Dengan

desing tajam biji tasbih itu terus menyamber ke depan.

Cepat Tian Pek mengebaskan telapak tangan-nya, ia bermaksud memukul

rontok biji tasbih itu. tak terduga biji tasbih itu tiba2 berhenti sebentar di tengah

jalan, bukan saja tidak rontok, malahan dengan membawa suara desingan lebih

tajam terus menyambar tiba terlebih cepat.

Sungguh kejadian di luar dugaan, biji tasbih yang dilepaskan "rase dari gurun

pasir" itu dapat menembus tenaga pukulan Tian Pek, untung ilmu langkah Cian-

hoan-biau-hiang-poh dan Bu-sik-bu-siang sim-hoat anak muda itu sudah

mencapai puncak kesempurnaan, serta merta badannya berputar sambil melejit

ke samping, dengan membawa suara desingan tajam biji tasbih itu menyambar

lewat di sisi tubuhnya.

Rase dari gurunpun terkejut, ia tak menyangka dalam jarak sedekat ini anak

muda itu bisa menghindarkan sergapan Tui-mia-sin-cu (mutiara sakti pengejar

nyawa) yang luar biasa tadi.

Kejadian ini semakin menggusarkan hatinya, tiba2 ia membentak: "Saudara cilik,

kau memang hebat. Ini, rasakan lagi tiga biji mutiaraku ini!"

Berbareng itu tiga biji tasbih dalam formasi Sim-seng-cay-hou (tiga bintang

diluar rumah) kembali menyambar ke dada anak muda itu.

Ketika menghadapi serangan pertama kali tadi, oleh karena Tian Pek tidak

mengetahui keistimewaan tasbih maut musuh, ia menangkis dengan kebasan

tangan yang mengakibatkan nyaris kecundang. Satelah ada pengalaman itu, kali

ini dia tidak menangkis lagi, dengan Bu-sik-bu-siang-sim-hoat, sekali mengegos

ia sudah lolos dari ancaman.

Cara Tian Pek menghindar itu bukan ssja tak dilihat jelas Sih-mo-ci-hu, bahkan

hadirin sebanyak itupun tak seorangpun yang mengetahuinya.

Kejut dan gusar si rase, sudah tiga puluh tahun lannnya ia perdalam ilmu senjata

rahasianya itu di Mo-kui-to, dengan 108 biji Tui-mia-sin-cu inilah ia pikir akan

mampu menjagoi Kangouw. Siapa tahu baru pertama kali muncul sudah

dikalahkan oleh seorang pemuda ingusan Dalam gugup dan cemasnya, serentak

Tui-mia-sin-cu yang masih tersisa dihamburkan semua dan mengurung Hiat-to

penting di sekujur badan pemuda itu.

Di tengah hujan biji tasbih itu, tak jelas bayangan tubuh Tian Pek, tahu2 semua

tasbih itu mengenai tempat kosong.

"Keparat Mongol yang tak tahu malu. engkoh Tian tidak membalas seranganmu,

kau terus bertingkah sesukamu, sekarang rasakan sendiri Tui-mia-sin-cu ini!"

Berbareng dengan bentakan itu, desingan tajam mendadak menyambar ke

muka Sah-mo-ci-hu.

Terkejut si rase, ia tak sempat menyerang Tian Pek lagi, sebab ia tahu betapa

lihaynya Tui-mia-sin-cu sendiri. Cepat ia jatuhkan diri ke tanah. ia menggelinding

sejauh satu tombak lebih kemudian baru melompat bangun, walaupun

sambaran kedua biji Tui-mia-sin-cu itu dapat dihindarkan namun baju dan

mukanya kotor juga oleh debu pasir.

Semua orang lantas berpaling, ternyata orang yang melepaskan dua biji Tui-mia-

sin-cu itu adalah Wan-ji.

"Darimana nona itu bisa mendapatkan biji tasbih?" demikian semua orang ber-

tanya2 di dalam hati.

Kiranya biji tasbih itu didapatkan Wan-ji ketika si rase mendemonstrasikan

kepandaiannya tadi, Waktu biji2 tasbih beterbangan di angkasa, timbul suatu

pikiran nakal nona itu, diam2 dia gunakan daya "mengisap" dari ilmu Soh-hun-ci

untuk menyedot beberapa biji tasbih yang beterbangan itu tanpa diketahui

pemiliknya.

Pada waktu itu si rase sedang girang bercampur bangga, tentu saja tak tersangka

olehnya ada orang main gila padanya. Sementara para hadirin lagi terpesona

oleh kelihayan rase Mongol itu, perhatian mereka tcrtumpah pada biji tasbih

yang sedang beterbangan, karenanya merekapun tak tahu diam2 Wan-ji telah

turun tangan.

Hanya seorang yang mengetahui perbuatannya, yakni Tian Pek dari samping ia

dapat melihat jelas semua kejadian itu, ia jadi geli melihat si rase tidak

menyadari biji tasbihnya telah berkurang belasan biji.

Ketika Sah-mo-ci-hu merasa malu dan gusar serta menyerang Tian Pek, barulah

Wan-ji melancarkan serangan balasan kepada musuh dengan cara yang sama.

Meski Tui-mia-sin-cu milik Sah-mo-ci-hu, tapi iapun tak berani menangkisnya,

dalam gugup ia tidak pikir soal gengsi lagi, dengan gerakan menggelinding ke

samping dia hindarkan ancamnn tersebut.

Sementara itu Ciong-nia-ci-eng, si elang dari Ciong-nia, yang sejak tadi hanya

berdiri kaku seperti mayat, menjadi gusar, karena kedua biji Tui-mia-sin-cu yang

dilepsskan seorang nona cantik telah membuat rekannya pontang-panting.

"Budak ingusan, kau cari mampus!" bentaknya sambil menghantam muka Wan-

ji dengan pukulan Ku-kut ciang (pukulan tulang kering).

Ciong-nia-ci-eng disebut pula Ciong-eng-siu (si kakek elang), ilmu pukulan Ku-

kut-cing-nya lihay sekali, untuk melatih ilmu sakti ini, mula2 kedua telapak

tangan harus dipanggang dengan api, ber-bareng itu mesti mengerahkan

kekuatan sendiri untuk melawan panasnya api itu. Bila berhasil dengan

latihannya, maka kedua telapak tangan akan berubah jadi hitam hangus, jika

pukulan itu bersarang di tubuh orang, niscaya korbannya akan mati dengan

badan hangus, karena kelihayan itu maka pukulan itu dinamai Ku-kut-ciang.

Kebetulan sekali di Mo-kui-to terdapat gunung berapi, sepanjang tahun api

menyembur keluar dari kawahnya, panasnya Te-sim-hwe (api pusar bumi) ini

berpuluh kali lebih hebat daripada panasnya api tungku, di tepi kawah gunung

berapi itulah selama tiga puluh tahun Ciong-nia-ci-eng berlatih, sebab itu ilmu

pukulan Ku-kut-ciangnya sudah mencapai puncak kesempurnaan, bukan saja

telapak tangannya tinggal tulang2 putih belaka, sampai badanpun ikut kisut dan

kaku seperti mayat hidup.

-------------------

Dengan cara bagaimana Wan-ji akan menundukkan si Rase dari Mongol itu?

Apakah Lam-nay-bun akan menguasai Kay-pang dan menaklukkan tokoh2 lain?

Jilid-24.

Wan-ji tak tahu kelihayan musuh, serangan Ciong-nia-ci-eng segera ditangkis-

nya dengan gerakan Ni-hong-soh-liu (hembusan angin menggoyangkan ranting

liu yang ramping).

Sebelum kedua tangan beradu. Wan-ji merasakan embusan hawa panas

menyapu ke mukanya, sekujur tubuh nona itu gemetar keras, ia merasa kulitnya

bagaikan terbakar dan tulangnya terasa linu dan sakit sekali.

"Celaka . . . . " keluh Wan- ji di dalam hati, ia ingin menghindar, tapi sayang,

kemauan ada tenaga tak sampai, terasa lemas dan terkulai ke tanah, ia jatuh

pingsan.

Melihat musuh sudah roboh, Ciong-nia-ci- eng tertawa seram, ter-kekeh2 tak

sedap didengar, tangannya yang kurus kering tinggal kulit membungkus tulang

tiba2 dipercepat dan menghantam batok kepala Wan-ji.

Gembong iblis itu sungguh keji dan tak kenal kasihan, jika pukulan itu sampai

bersarang di tubuh Wan-ji, niscaya gadis cantik itu akan hancur ....

"Tahan . . . . !" mendadak terdengar bentakan menggelegar, menyusul segulung

tenaga pukulan yang maha dahsyat menerjang Oong-nia-ci-eng.

Terkesiap si elang sakti, pukulan Ku-kut-ciang cukup lihay, namun ia tak berani

menyambut pukulan tersebut dengan kekerasan.

Waktu itu telapak tangannya sudah dekat di atas kepala Wan-ji, tapi angin

pukulan yang dahsyatpun sudah dekat pinggangnya, dalam keadaan begini iblis

tua itu harus lebih dahulu menjaga keselamatan sendiri. Cepat dengan gerakan

Kang-sitiau (loncatan mayat hidup), tanpa kelihatan bergerak, tahu2 ia

melompat satu tombak kesamping.

Kiranya Tian Pek yang telah memaksa mundur Ciong-nia-ci-eng dan

menyelamatkan jiwa Wan-ji, setelah musuh terdesak mundur, cepat ia

merangkul tubuh si nona, ia terkejut setelah menyentuh tubuh Wan-ji yang

panas separti terbakar, tanpa pikir ia tutuk tujuh Hiat-to penting di tubuh Wanji

agar urat nadi nona itu tidak sampai terganggu.

Dalam pada itu paman Lui, Buyung Hong, Leng-hong Kongcu, Toan-hong Kongcu

beserta Mo-gwa-sin-kun Hek-lian Ing, yaitu kakek berambut panjang yang

datang bersama Leng-hong Kongcu itu, telah memburu maju, merekalah yang

paling memperhatikan keselamatan Wan-ji.

Setelah tahu Wan-ji terluka parah, paman Lui menjadi murka, dengan pukulan

Thian-hud-ciang ia hantam Ciong-nia-ci-eng.

Meskipun serangan itu cukup lihay, tapi Ciong-nia-ci-eng sama sekali tak gentar,

ia tertawa dan menyambut serangan tersebut dengan Ku-kut-ciang.

Sebelum serangan tiba, paman Lui merasakan hembusan hawa panas lebih dulu,

ia terkejut, ia tahu angin pukulan lawan beracun, ia tak berani menyambut

dengan kekerasan, cepat ia mengegos ke samping.

Hampir bersamaan waktunya Leng-hong Kongcu dan Buyung Hong juga

menerjang maju, tapi merekapun terdesak mundur oleh angin pukulan lawan

yang dahsyat.

Toan-hong Kongcu tak mau ketinggalan, dengan ilmu jari Kun-goan-ci andalan

keluarganya, cepat ia menutuk Sam-yang-hiat musuh.

Tak gentar Ciong-nia-ci-eng menghadapi kerubutan musuh yang begitu banyak,

ia tertawa seram, Ku-kut-ciang dikambangkan sedemikian rupa hingga dalam

sekejap terasalah hawa panas bergolak.

Im-san-ci-long tidak tinggal diam menyaksikan Ciong-nia-ci-eng dikerubut onang

banyak, ia membentak, dengan Ciang-jin-jiat-bok, bacokan telapak tangan yang

setajam pisau, langsung ia membacok bahu Toan-hong Kongcu.

Sebagai pernah disinggung di atas, Im-san-ci-long merupakan manusia paling

licik di antara rekan-rekannya, setelah mengetahui Toan-hong -Kongcu tak lain

adalah ketua perkumpulan pengemis, timbul niatnya untuk membekuk pemuda

itu lebih dulu, kemudian baru memaksa perkumpulan pengemis untuk menuruti

segala perintah dan kemauannya.

Tapi ia lupa akan sesuatu, ia tidak memperhitungkan kekuatan piliak pengemis,

baru saja ia menyerang Toan-hong Kongcu, serentak Hong-jam-sam-kay ikut

terjun pula ke arena untuk membantu ketuanya.

Tay-cong-ci-ju maupun Sah-mo-ci-hu juga melompat maju untuk menolong

rekan2nya; tapi mereka lantas dibendung oleh kawanan jago persilatan yang

lain, dalam waktu singkat terjadilah pertarungan yang sengit.

Sementara itu Tian Pek dengan merangkul pinggang Wan-ji dan telapak tangan

menempel pada Lu-tiong-hiat di dada si nona, dengan cara penyembuhan

seperti yang tercantum didalam kitab Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip, tiada

hentinya ia salurkan hawa murni ke tubuh nona itu untuk mengusir hawa panas

beracun yang sudah telanjur menyerang tubuhnya.

Sekujur tubuh Wan-ji ketika itu panas bagaikan dibakar, mukanya merah,

matanya terpejam, bibirnya setengah merekah, alisnya bekernyit, meskipun

bersandar lemas dalam rangkulan Tian Pek, napasnya kedengaran memburu.

Walaupun si cantik berada dalam pelukannya namun tiada ingatan jahat dalam

benak Tian Pek, ia menyadari keadaan Wan-ji yang gawat, ia tahu bila dia lepas

tangan niscaya jiwa nona itu sukar tertolong.

Sebab itulah ia tidak menghiraukan pertempuran sengit yang terjadi, pikirannya

hanya tertuju untuk mempertahankan hidup bagi nona itu.

Tapi manusia bukanlah malaikat, siapa yang dapat menahan kobaran hawa

nafsu? Apalagi Tian Pek adalah pemuda yaug masih berdarah panas, sedangkan

Wan-ji adalah nona yang cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, pula sebelum

itu mereka berdua sudah pernah saling menyukai, sekarang tubuh keduanya

berdekapan, mustahil kalau pikiran Tian Pek sama sekali tidak terpengaruh.

Pada mulanya Tian Pek hanya bermaksud menvembuhkan luka nona itu, tanpa

pikir dia menerjang ke muka dan memeluk tubuh Wan-ji yang akan roboh,

setelah menutuk tujuh tempat jalan darahnya, ia menempelkan telapak

tangannya pada Lu-tiong-hiat di dada si nona.

Tapi lama kelamaan bau keringat dan bau harum khas perempuan mulai

terendus oleh pemuda itu, kecantikan wajah yang mempesona, tubuh yang

halus dan empuk serta gesekan badan yang memantulkan hawa panas membuat

pemuda itu mulai berdebar dan hampir saja tak mampu menguasai diri ....

Memandangi wajah yang cantik, tanpa terasa pemuda itu terbayang kembali

kejadian masa lampau ketika ia dibacok luka oleh Tan Peng di hutan, kemudian

ditolong Buyung-hujin dan tetirah di Pah-to-san-ceng. Wan-ji yang polos dan

lincah setiap hari membuatkan obat baginya, menyuapinya kuah jinsom,

melayaninya dengan mesra, siapa yang tak kau merasa bahagia bila

mendapatkan rawatan yang begitu hangat dari seorang nona ketika

menemui kesulitan . . . .

"Engkoh . . . Tian-siauhiap . . . " suara panggilan seseorang menyadarkan Tian

Pek dari lamunannya, cepwat ia berpaling, kiranya Kanglxam-te-it-bi-jin Kim Cay-

hong entah sejak kapan sudah berada di sampingnya dan sedang mengawasi

dirinya dan Wan-ji yang tak sadar itu.

Belum lagi Tian Pek menjawab, kembali Kim Cay-hong berkata: "Bagaimana

nona Wan-ji?"

Sorot mata gadis itu seperti menampilkan rasa cemburu, namun Tian Pek tak

sempat berpikir lain dengan alis terkerut sahutnya: "Cukup parah . . . "

Mendadak jeritan ngeri memotong ucapan yang belum selesai itu, serta merta

kedua orang itu berpaling ke sana, tertampaklah beberapa orang telah terkapar

bermandikan darah.

Kiranya ilmu silet Hek-to-su-hiong memang tangguh dan keji, sekalipun kawanan

jago yang mengerubuti mereka lebih banyak jumlahnya, namun mereka

memang bukan tandingannya keempat manusia jahat tersebut.

Anak murid perkumpulan pengemis paling banyak jatuh korban, tiga Tosu dari

Bu-tong-pay sudah dua orang terluka, sedangkan Tiam-jong-siangkiam

kehilangan seorang rekannya, Jit-poh-tui-hun tewas secara mengenaskan dan

Hou-bok-cuncu dari ruang Lo-han-tong di Siau-lim-si terluka oleh Ku-kut-ciang

Ciong-nia-ci-eng.

Kejut dan cemas Tian Pak, betapa gusarnya menyaksikan keganasan keempat

gembong iblis itu menyebarkan mautnya.

Sayang pada waktu itu dia sedang menyembuhkan Wan-ji. ia tak ingin

melepaskan tangannya karena dilihatnya peluh sudah mulai membasahi tubuh

nona itu, penderitaannya sudah berkurang dan panas badannya kian menurun,

jika dia lepas tangan maka usahanya sejak tadi akan sia2 belaka.

Namun iapun tak dapat membiarkan kawanan jago menjadi korban keganasan

musuh tanpa menolongnya, keadaan yang serba susah ini membuat pemuda itu

menjadi gelisah.

Dikala itulah tiba2 ia lihat Tay-tong-ci-ju sedang menggunakan ilmu Sok-kim-mo-

kang dan beruntun mendesak mundur paman Lui.

Walaupun dengan susah payah paman Lui me)akukan perlawanan dengan

mengerahkan segenap tenaga pukulan Thian hud-ciang, namun bagaimanapun

juga ia tidak mampu menangkis serangan Tay-cong-ci ju.

Pada saat kritis itulah Ciong-nia-ci-eng berhasil menghajar mati dua anggota

perkumpulan pengemis, sambil tertawa seram tiba2 dia melompat ke atas terus

menghantam Pek-hwe-hiat di ubun2 paman Lui.

Betapa gelisahnya Tian Pek melihat paman Lui terancam bahaya, cepat ia

serahkan Wan-ji ke tangan Kim Cay-hong seraya berseru: "Tolong rawatlah dia,

tempelkan telapak tanganmu pada Lu-tiong-hiat dan salurkan hawa murni untuk

mengusir racun panas dari tubuhnya . ...

Sementara itu sekuat tenaga paman Lui telah melancarkan bacokan maut untuk

mendesak mundur si tikus, beruntun tiga kali ia berganti tempat, maksudnya

agar dapat meloloskan diri dari jangkauan tangan musuh, sayang tetap gagal

melepaskan diri dari cengkeram maut Ciong-nia-ci-eng.

Dengan tubuhnya yang kaku seperti mayat, Ciong-nia-ci-eng mengejar terus ke

manapun paman Lui mundur, suatu ketika ia berhasil merebut posisi yang

menguntungkan, paman Lui mati langkah dan tak mampu menghindar lagi,

serentak ia mengerahkan tenaga pukulannya, menghantam dengan Ku-kut-

ciang.

Tian Pek tak sempat memberikan bantuan, terpaksa dia membentak nyaring:

"Berhenti!"

Bentakan itu disertai tenaga sakti yang hebat, seperti bunyi guntur membelah

bumi, seketika itu juga seluruh ruangan berguncang keras, telinga semua orang

mendengung.

Bentakan auman singa ini bukan saja membuat Ciong-nia-ci-eng segera

menghentikan serangannya, namun juga semua orang yang sedang bertempur

berhenti pula.

Dengan langkah lebar Tian Pek maju ke tengah, sorot matanya setajam sembilu,

menyapu pandang sekejap kawanan jago ygang sedang memaindangnya

denganh terkejut, dia memasang kuda2 dan berdiri sekokoh bukit karang, lalu

katanya dengan lantang: "Kalian menyebut dirimu Hek-to-su-hiong, sudah

kusaksikan sendiri bahwa kalian memang keji, kalian sudah melukai sekian

banyak orang. Hm, kalau tidak tahu batunya, terpaksa orang she Tian akan hajar

adat kepada kalian!"

Keempat manusia bengis itu tertawa ter-bahak2, suara mereka keras sekali dan

sedikitpun tak pandang sebelah mata kepada musuhnya.

Maklumlah, dengan dikerubuti puluban jago lihay saja mereka berempat bisa

malang melintang ibaratnya harimau ditengah gerombolan domba, Tian Pek

hanya seorang pemuda yang berusia likuran, tentu saja ancamannya dianggap

sebagai lelucon yang sangat menggelikan.

Si rase dari gurun menjengek, si tikus dari gudang tertaawa dingin, elang dari

bukit tandus tertawa ter kekeh2, tiga macam suara yang tak sedap dan

mendirikan bulu roma. Di antara mereka hanya si serigala dari Imsan yang tidak

tertawa, sebab ia merasakan firasat jelek, dia mengulapkan tangannya

mencegah ketiga rekannya tertawa lebih jauh, kemudian ia berkata kepada Tian

Pek: "Saudara cilik, apakah kau ini pedang hijau tak

berperasaan` Tian-siauhiap yang pernah melawan Hay-gwa-sam-sat dengan

tenaga seorang diri..

"Betul, itulah aku . . . . " jawab Tian Pek.

Pengakuan ini sangat mengejutkan keempat gembong iblis ini, sebab sewaktu

mereka mendarat di Tionggoan. dari seorang kawan mereka diberitahu bahwa

di dunia persilatan sekarang terdapat seorang jago dengan senjata pedang hijau

dia bernama Tian Pek dan pernah menandingi kerubutan Hay-gwa-sam-sat.

Menurut perkiraian Hek to-su-hiong, pedang hijau Tian Pak pastilah tokoh sakti

yang sudah berumur, tak tahunya jago yang disegani Lam-hay-bun hanya

seorang pemuda ingusan.

Oleh sebab itulah ketika Tian Pek muncul dan menyebutkan namanya setelah

memukul mundur Tay-tong-ci-ju, mereka tidak menaruh perhatian, merekapun

tak menyangka pemuda inilah si Pedang Hijau yang menjadi lawan tangguh Lam

hay bun.

Tatkala Tian Pek muncul untuk kedua kalinuya dan membentak dengan tenaga

dalam yang dahsyat, ketiga manusia bengisg itu masih beluim menaruh

perhahtian, sekalipun mereka tahu juga tenaga Lwakang pemuda itu memang

sangat tinggi. Sebab berdasarkan usia Tian Pek yang begitu muda, tak nanti ia

mampu melebihi keempat manusia bengis yang sudah tersohor itu.

Untunglah Im- san-ci-long yang teliti segera teringat pada cerita yang pernah

didengarnya, sesudah terbukti anak muda itu benar si Pedang Hijau Tian Pek,

mau-tak-mau mereka merasa keder.

Tapi dasar mereka sudah terbiasa jumawa, kendatipun cerita tentang

pertarungan Tian Pek melawan Hay-gwa-sam-sat cukup menggetarkan hati,

mereka masih tak mau percaya dengan begitu saja karena kejadian itu tak

disaksikan sendiri.

Memang begitulah sifat manusia, sebelum melihat sendiri, ia tak akan takluk

dan tak tahu betapa tingginya langit dan tebalnya bumi, sebab itu meski agak

kaget Im-san-ci-long mendengar pengakuan pemuda itu, sesaat kemudian

kejumawaannya lantas timbul lagi.

Ia tertawa dingin dan mengejek: "Hehehe. . . kalau begitu inilah kesempatan

baik bagiku untuk belajar kenal dengan seorang jago muda!"

Sebelum Tian Pek menjawab, dengan Ciang-jin-jiat-bok yang dahsyat ia menabas

tubuh anak muda itu.

Tian Pek tersenyum, Thian-hud-hang-mo-ciang dilontarkan untuk menyambut

pukulan lawan.

"Blaang!" di tengah benturan keras Im-san-ci-long tergetar mundur lima langkah

dengan sempoyongan, sebaliknya Tian Pek masih berdiri tegak sedikitpun tak

bergeser dari tempatnya.

Melihat kelihayan musuh Ciong nia-ci-eng membentak keras, Ku-kut-ciang

dikerahkan sekuatnya dan serentak menghantam, di antara embusan angin

puyuh tertampaklah selapis cahaya merah menyilaukan mata menghiasi

angkasa.

Semua orang menjerit kaget. sebelum ini tak pernah mereka saksikan tenaga

pukulan yang begini dahsyat.

Tian Pek semakin bersemangat, timbul keinginannya untuk mengadu tenaga, ia

berpikir:

"Akan kubuktikan apakwah Thian-hud hang-mo-ciang yang kuyakinkan ini

benar2 tiada tandingan di kolong langit . . . . . . !"

Tenaga sakti Soh-kut-siau-hun-thian-hud-lik disalurkan sekuatnya, lalu dengan

jurua Hud-kong-bu ciau (sinar Buddha memancar terang) dia sambut serangan

lawan dengan kekerasan.

"Blaang!" benturan keras menggelegar, di antara jerit kaget kawanan jago yang

berkumpul di tepi arena, tertampaklah dua gulung angin pukulan yang dahsyat

itu menjulang ke angkasa, lalu menyebar keempat penjuru dan menyapu rontok

talang ruang besar itu, debu pasir beterbangan. suasana jadi kalut dan semua

orang merasa sesak napas.

Di tengah beterbangannya debu pasir, tertampaklah Ciong nia-ci eng dengan

jubah yang menggelembung dan rambut awut2an beruntun mundur tiga

langkah, lalu berdiri tegak, namun jelas kelihatan masih bergoyang dan setiap

saat bisa roboh.

Tian Pek juga mundur selangkah, badan agak bergetar, mukanya merah dan

ujung bajunya ber kibar.

Cepat Ciong- nia-ci-eng mengatur pernapasan dan berusaha mengendalikan

pergolakan darah, setelah itu ia tertawa mengejek: "Saudara cilik, bagaimana

rasanya pukulan Ku kut-ciang?" .

Ketika untuk pertama kalinya telapak tangan Tian Pek beradu dengan tangan

Ciong-nia-ci eng, anak muda itu merasakan hawa panas menyerang tubuhnya

dan seluruh persendiannya seperti terguyur air mendidih, tapi ia dapat salurkan

hawa murninya untuk mendesak keluar aliran hawa panas itu, setelah

mengetahui peredaran darahnya tetap berjalan lancar, kepercayaan kepada diri

sendiri lantas bertambah.

Maka waktu Ciong-nia-ci-eng mengejek, iapun menyahut: "Apanya yang hebat?

Kukira cuma begitu2 saja!"

Ucapan ini membuat Corg-nia-ci-erg tertegun dan heran, ia tak percaya pemuda

itu sanggup menangkis Ku-kut-ciang yang maha hebat itu tanpa cidera. Setelah

menghimpun tenaga dan tertawa aneh, segera ia berkata lagi: "Kalau kau

benar2 jantan, beranikah menyambut satu pukulan lagi?"

Tian Pek tersenyum: "Jangankan cuma satu pukulan, sepuluh atau seratus

pukulan akan kusambut semua!"

Jahe yang tua biasanya lebih pedas, demikian pula keadaan Ciong- nia- ci-eng,

kendati ia merasa tenaga sudah agak berkurang, ia yakin keadaan Tian Pek tentu

jauh lebih payah, pemuda itu bisa bersikap tenang tentu cuma pura2 berlagak

begitu, sebab umumnya barang siapa bisa bertahan sampai akhir pertarungan,

dia yang akan keluar sebagai pemenang.

Oleh sebab itulah, Ciong-nia- ci-eng tak sudi dipandang lemah, sambil

menghimpun kembali tenaganya ia berseru lantang: "Baik sambut lagi pukulan

ini . . . . "

"Eh, tunggu scbentar!" tiba2 Tian Pek memberi tanda berhenti.

"Kau takut?" ejek Ciong-nia-ci-eng sambil menarik kembali tangannya yang siap

melancarkan serangan.

Tian Pek tersenyum: "Ha, selama hidupku tak pernah kukenal apa artinya takut.

Aku cuma ingin mengucapkan beberapa patah kata lebih dulu"

"Perkataan apa? Cepat katakan!"

"Aku telah berjanji dengan seseorang bahwa aku tak akan mencampuri urusan

dunia persilatan lagi, karena itu aku merasa tidak leluasa untuk bertempur

dengan kau . . . . kuharap . . . . "

Tiba2 si tikus tertawa ter-kekeh2, katanya: "Hahaha, buat apa berputar kayun

kalau bicara? Terus terang saja mengaku bahwa kau takut!"

"Ah, belum tentu . . . . " jengek si anak muda sambil melirik hina.

Im-san-ci-long mengira Tian Pek sedang mencari alasan untuk mengulur waktu,

Dikiranya: "Mungkin isi perutnya sudah terluka oleh pukulan Ku-kut-ciang, maka

ia mencari alasan untuk mengulur waktu sambil menyembuhkan lukanya . . . . '

Berdasarkan dugaan ini, tiba2 gia mendapat akail, cepat timbruhngnya:

"Saudara cilik, jangan kau menolak tantangan kami dengan berbagai alasan,

ketahuilah kami berempat baru saja kembali ke daratan Tionggoan dan belum

menginjakkan kakinya ke dunia persilatan, maka jika saudara cilik punya

kepandaian hebat, keluarkan saja dan jangan sungkan, kami tak akan

menganggap dirimu mencampuri urusan dunia persilatan!"

Mendengar ucapan tersebut, Tian Pak mengernyitkan alis, dengan tajam ia

pandang wajah musuh2nya, kemudian berkata: "Apa perkataanmu itu dapat

mewakili pendapat kalian berempat?"

"Kenapa tidak?" sahut si rase dari gurun.

Tiba2 Tian Pek menengadah dan berpekik nyaring, suaranya keras

berkumandang membuat anak telinga orang merasa sakit.

Empat manusia bengis itu tertegun, mereka tak habis mengerti apa sebabnya

pemuda itu berpekik panjang.

Tian Pek berhenti berpekik, se-olah2 dengan pekikan itu dia sudah

melampiaskan semua rasa kesal yang mencekam hatinya selama ini, ujarnya

dengan gagah: "Baiklah, kalian berempat boleh maju bersama!"

Kembali keempat manusia bengis itu tertegun, Im-san-ci-long yang tak berhasil

menangkap maksud ucapan itu bertanya dengan keheranan: "Saudara cilik, apa

yang kaukatakan?"

"Aku seorang diri hendak menantang duel kalian berempat manusia bengis dari

golongan hitam ini!"

Mendengar jawaban tersebut, bukan saja Hek-to su hiong tertegun, hampir

semua jago yang hadir sama melongo keheranan.

`Bagi sebagian jago yang pernah menyaksikan pertarungan antara Tian Pek

melawan Hay-gwa-sam-sat, kejadian ini tidak terlampau mengherankan mereka

tapi sebagian besar di antara mereka belum tahu betapa lihaynya Kungfu anak

muda itu.

Barusan mereka telah menyaksikan kelihayan keempat manusia bengis itu

dikerubut begitu banyak orang dan tak mampu menggalahkan merekai, maka

dapat dihbayangkan betapa tercengangnya demi mendengar Tian Pek

menantang duel keempat musuh.

Kim Cay-hong maupun Buyung Hong pernah menyaksikan Tian Pek bertempur

melawan Hay-gwa-sam-sat, meski tegang mereka tak terlalu menguatirkan

keselamatan anak muda itu.

Lain dengan Hoan Soh-ing, ia belum pernah menyaksikan pemuda itu bertarung

melawan ketiga "malaikat maut" dari luar lautan, sekarang mendengar

tantangan pemuda itu, kecuali diam2 merasa pemuda itu agak bodoh iapun

berkuatir bagi keselamatannya.

Sementara itu Wan-ji juga sudah sadar kembali, setelah hawa beracun

ditubuhnva didesak oleh tenaga dalam Tian Pek, lalu digantikan pula oleh Kim

Cay-hong, keadaannya boleh dibilang sudah mendingan. Iapun heran melihat

Tian Pek menantang keempat manusia bengis untuk berduel, serunya: "Engkoh

Tian . . . kau . . . jangan gegabah..." Setelah terluka, tubuhnya masih sangat

lemah sampai bicarapun lirih sekali, Belum selesai ia berkata, dengan gusar

Ciong-nia-ci-eng membentak, sambil

mengerahkan Kut-kut-ciangnya, sekuatnya ia hantam tubuh lawan.

Cahaya merah yang menyilaukan serta deru angin pukulan yang menyayat

badan bergulung2 menyapu ke depan.

"Bagus!" seru Tian Pek tak mau kalah, dia keluarkan jurus Hwe-cing-yau-hen

(menyapu bersih hawa iblis) dari Thian-hud-ciang- hoat untuk menangkis.

"Blang!" benturan keras terjadi, Ciong-nia-ci-eng terdesak mundur, isi perutnya

terasa guncang, pandangannya kabur. Sekarang ia baru tahu bukan saja

Lwakang anak muda itu tidak terganggu, sebaliknya jauh lebih hebat daripada

tadi, diam2 ia mengakui pemuda ini memang tidak boleh diremehkan.

Dalam pada itu, setelah serangannya berhasil memaksa mundur Ciong nia ci-

eng, secepat kilat Tian Pek memutar tubuhnya, dangan jurus Hongceng-lui-beng

(angin guntur menggelegar) dia hantam kepala Im-san-ci- long.

Serangan itu tajam dan kuat, serigala dari Imsan ini tak berani menyambutnya

dengan kekerasan sambil miringkan kepala dan melangkah ke samping ia

meloloskan diri dari ancaman tersebut, lalu dengan Ciang-jin-jiat-bok ia tabas

bahu kiri musuh.

Tian Pek menjejak kakinya ke tanah dan melompat ke udara, dari sana ia hajar

Tay-cong ciju dengan jurus serangan Hud-cou-ciang-cok (Budha suci naik tahta).

Cepat si tikus menyurutkan badannya tiga kaki lebih pendek, berbareng ia balas

mengancam tubuh anak muda itu.

Dengan gerakan Say-cu-yen-tan (singa menggeleng kepala), sambil goyang

kepala Tian Pek melompat ke atas dan mengitar di udara, semula ia

mcmbumbung tinggi lalu turun ke bawah, mendadak kakinya menendangan

pinggang Sah-mo-ci-hu.

Rase dari gurun pasir cepat putar badan, dengan tasbihnya dia ketuk jalan darah

dengkul Tian Pek.

Pemuda itu tarik kembali kakinya seraya melayang turun, dalam sekejap mata

itulah ia sudah melancarkan serangan kepada tiap2 gembong iblis itu.

Hebat rekali serangan berantai ini dan gaya pemuda itu, baik gerakan tubuh,

gerakan langkah, ketajaman mata serta ketepatan serangan, semuanya

merupakan suatu rangkaian kerja sama yang manis dan arah yang dituju adalah

tempat2 mematikan di tubuh lawan.

Hek-to-su-hiong, empat gembong iblis yang jumawa dan disegani orang pada

tiga puluh tahun berselang bukan saja dibikin kalang kabut oleh seorang

pemuda dalam satu gebrakan bahkan mereka keteter hebat, hal ini segera

membangkitkan rasa gemas mereka.

Mereka telah berlatih tekun selama tiga puluh tahun di luar lautan, mereka

yakin kemunculan mereka ini pasti akan menggemparkan dunia persilatan, tapi

sekarang mereka baru sadar bahwa apa yang mereka bayangkan hanya khayalan

belaka.

Begitulah, dengan penuh kemarahan dan penasaran, keempat orang itu

membentak keras lalu menyerang lagi dengan hebatnya.

Semangat Tian Pek ber-kobar2, tujuannya menyerang empat orang itu sekaligus

tak lain adalah untuk memancing keempat musuh ini menyerang bersama,

sekarang setelah pancingannya berhasil, iapun lantas mainkan pukulan2 Thian-

hud-cianghoatnya sedemikian rupa untuk melayani mereka.

Keempat manusia bengis itu sudah lama tersohor, biasanya mereka angkuh dan

tak pandang sebelah mata kepada lawan, sekalipun turun tangan sendirian juga

belum tentu ada orang yang mampu menahan sepuluh gebrakan, biarpun yang

dihadapi adalah seorang jago silat kelas tinggi.

Tapi sekarang mereka mengerubuti musuhnya, seorang dan sudah

mengerahkan segenap tenaga, namun serangan mereka selalu dipatahkan oleh

pemuda ini.

Lama2 mereka tambah penasaran, sambil membentak keras, jurus serangan

yang digunakan makin ganas dan tak kenal ampun, hampir seluruh kepandaian

mereka dikeluarkan untuk melayani Tian Pek.

Yang paling hebat adalah pukulan Ku-kut-ciang si elang, setiap kali dia

melancarkan serangan segera terpancar cahaya merah yang menyilaukan mata,

angin pukulan menderu, di mana serangannya menyambar lewat di sanalah

debu pasir beterbangan. Pantaslah pukulan Ku-kut-ciang itu sukar ditandingi,

malahan Wan-ji serta paman Lui yang berilmu tinggipun tak mampu menahan

serangannya.

Tapi Tian Pek adalah pemuda yang lain daripada yang lain, Lwekangnya

diperoleh dari latihan menurut kitab Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pi-kip,

kemudian ketika berada di "lembah kematian", Liu Cui-cui telah memberinya

obat mujarab Ci-tam-hoa dan membantunya dengan tenaga dalam, semua itu

membuat Tian Pek se-akan2 sudah mencapai tingkatan lik-we-put-hun (tak

mempan dibakar dengan api, Jim-sui-put-jin (tenggelam dalam air tidak mati)

Tang-put-wi-an (di musim dingin tak kedinginan), He-put-wi su

(di musim panas tak kepanasan), Pi-kok-put-ki (tanpa beras tidak lapar) serta

Yong-gan-put to (selalu awet muda).

Kalau tidak begitu, mustahil Tian Pek mampu menahan panasnya pukulan Ku-

kut-ciang tanpa mengalami cidera apapun?

Semua ini jangankan Hek to su hionhg tidak tahu, bahkan Tian Pek sendiripun

tidak menyadari kelihayannya sudah mencapai tingkatan maha sakti. Andaikata

Tian Pek mengetahui kekuatan serta kemampuannya yang sebenarnya, tentu

dia tak sudi menyerah kalah kepada "Ciu-kongkong",'Ciu Ji-hay, salah satu dari

Hay gwa- sat itu.

Padahal tempo hari secara beruntun anak muda itu berhasil melukai nenek

berambut putih dan Hud-in Hoatsu, kemudian meskipun dalam beradu tenaga

dengan kakek berjenggot panjang sampai tumpah darah, namun darah itu

bukan darah sembarang, justeru itulah darah kotor yang masih ketinggalan di

dalam perutnya.

Darah beku den darah biasa tidak sama, darah baru tidak boleh sampai keluar,

misalnya seorang terlampau keras menggunakan tenaga atau terjatuh hingga

luka parah dan muntah darah, maka keadaan orang itu berbahaya sekali, jika

tidak segera mendapat pertolongan, sekalipun tidak mati tentu juga akan cacat

seumur hidup.

Berbeda dengan darah beku, darah itu harus dimuntahkan keluar supaya badan

bisa bertambah segar. Darah beku dalam perut Tian Pek itu adalah akibat ia

makan Ci tam-hoa.

Ci tam hoa merupakan sejenis obat penambah tenaga yang bersifat panas, bila

orang biasa minum obat itu niscsya akan mati kepanasan. Keistimewaan

tergebut tak diketahui oleh Cui cui, karena yang dipikirkan nona itu hanyalah

demi engkoh Tian, ia tak tega kekasihnya tersiksa, maka ketika pemuda itu

pingsan, iapun melolohkan obat mujarab yang disimpannya itu untuk

kekasihnya.

Walau begitu baik Tian Pek maupun Cuicui sama2 tidak menyadari masih ada

segumpal darah beku yang tertinggal di perut Tian Pek, baru kemudian waktu

pertarungan dengan ketiga "malaikat maut " di mana ia mendapat goncangan

keras, darah beku yang masih tertinggal dalam perutpun tertumpah keluar.

Andaikata yang dimuntahkan waktu itu adalah darah baru tentu anak muda itu

tak mungkin bisa tinggalkan istana keluarga Kim dan kabur kelembah kematian,

lebih2 tak mungkin mampu membinasakan Sam-cun-teng Siau-siang-bun serta

bertarung melawan Kanglam-ji-ki yang lihay itu.

Jika membandingkan satu persatu kungfu anggota Hek-to-hau-hiong dan Hay-

gwa-sam-sat, maka mereka tiada yang lebih kuat daripada si kakek berjenggot

panjang, tapi tidak di bawah kelihayan si nenek berambut putih dan Hud-in

Hoatsu. Jika bergabung, Hek-to-su-hiong jelas lebih tangguh daripada Hay-gwa-

sam-sat. Jadi kekalahan Tian Pek di tangan Hay-gwa-sam-sat sebenarnya adalah

kekalahan yang penasaran.

Kembali pada pertarungan Tian Pek melawan Hek-to-su-hiong, hanya sekejap

saja mereka sudah bertempur hingga tiga puluh gebrakan lebih.

Kian lama pertarungan itu berlangsung makin cepat sehingga akhirnya sukarlah

melihat jelas bayangan tubuh kelima orang itu. Kawanan jago di seputar arena

hanya sempat melihat lima gulung hawa pukulan yang keras menggumpal

menjadi satu.

Para penonton sama menyurut mundur ke belakang sehingga akhirnya berdiri di

bawah emper rumah, dengan mata terbelalak mereka saksikan pertarungan

dahsyat itu.

Dalam waktu singkat tujuh puluh gebrakan sudah lewat, pertarungan sudab

berlangsung ratusan jurus. Banyak orang menguatirkan keselamatan Tian Pek,

jantung mereka berdebar keras, mereka kuatir kalau pemuda itu kalah.

Bu-lim-su-toa-kongcu juga mengikuti jalannya pertarungan itu dengan mata

terbelalak, meski masing-masing dengan perasaan yang ber-beda2.

Siang lin Kongcu dan An-lok Kongcu yang berambisi untuk merajai kolong langit

mcrasa putus asa setelah menonton pertarungan ini. Sedangkan Toan-hong

Kongcu yang berambisi akan kursi "Bulim-bengcu" serta merebut hati Wan-ji,

sekarang se-olah diguyur air dingin.

Hanya Leng-hong Kongcu saja masih tersenyum angkuh, senyuman bangga.

Orang yang angkuh bila merasa ada alasan untuk menarik sesuatu keuntungan,

biasanya ia akan ikut bangga, Sekarang Tian Pek unjuk kebolehanya di depan

umum, ia lantas membayangkan pemuda she Tian itu adalah Cihu (kakak ipar)

sendiri, dan sang Cihu pasti akan membantu adik iparnya.

Kini sang Cihu melabrak empat iblis itu. siapakah gerangan jago di dunia ini yang

memiliki kemampuan sehebat itu, bukankah ini berarti bahwa pimpinan dunia

persilatan akhirnya berada di tangan orangw Pah-to-san-cenya?

Sementara itu pertarungan yang sedang berlangsung sudah mencapai puncak

ketegangan.

Diantara beterbangannya debu pasir tiba2 terdengar suara benturan keras,

kemudian bayangan manusia yang sedang bertempur itu sama memencarkan

diri ke empat penjuru.

Hek-to-su-hiong berdiri di empat sudut, sedangkan Tian Pek berdiri di tengah

gelanggang dengan sikap sekukuh bukit karang.

Batok kepala Im-san-ci-long yang botak sudah basah oleh keringat, sampai2

cambangnya yang lebatpun basah kuyup, biji matanya melotot, telapak

langannya menyilang di depan dada sambil menatap musuh tanpa berkedip.

Suasana jadi hening, tak terdengar suara apapun, tak seorangpun yang buka

suara, kawanan jago di seputar arena sama tahan napas, mereka tahu meski

keadaan hening, justeru keheningan itulah menunjukkan suatu pertarungan

yang lebih hebat akan segera berlangsung lagi.

Di tengah kesunyian itulah, lima orang yang saling berhadapan sedang mengatur

napas sambil menghimpun tenaga, mereka sedang memikirkan siasat yang

paling jitu untuk mengalahkan lawan dengan satu kali gebrak.

Rembulan telah bergeser ke barat, bintang jarang2, fajar hampir tiba. Namun

tak seorang pun menaruh perhatian pada perubahan cuaca, perhatian mereka

sama tertuju pada gelanggang pertarungan yang akan berlangsung kembali.

Akhirnya Ciong-nia-ci-eng bergerak lebih dulu, sambil membentak ia

melancarkan Ku-kut-ciang, cahaya merah disertai deru angin pukulan segera

menyapu ke depan dan membacok kepala Tian Pek.

Tay-cong-ci-ju tak mau ketinggalan, kedua tangannya yang panjang bagaikan

dua ekor ular menyapu ke bawah dan mengancam tumit anak muda itu.

Berbareng Im-san-ci-long juga bertindak cepat, telapak tangannya yang tajam

seperti golok dengan ilmu Ciang-jin-jiat-bok menusuk iga kiri dan menabas

lambung Tian-Pek.

Sedangkan si Rase dari gurun memutar biji tasbihnya menjadi sebuah lingkaran

cahaya, kemudian menutuk Hong-wi, Sin-tong dan Ki-kut, tiga Hiat-to penting.

Hebat sekali serangan gabungan yang dilancarkan keempat orang itu,

tertampaklah tiga gulung hawa pukulan dahsyat diiringi biji tasbih sekaligus

menyergap atas, tengah dan bawah, Tian Pek terancam dari muka dan belakang,

kanan dan kiri.

Menyaksikan kejadian itu, banyak orang yang berada di sekitar arena menjerit

kaget.

Tiba2 Tian Pek bersuit nyaring, ia balas dengan jurus Hud-kong-bu ciau dari ilmu

Thian hud-hang-mo-ciang, bayangan telapak tangan segera menyelimuti udara

bagaikan awan hitam, dengan kecepatan gerak, kelihayan jurus serta

keampuhan tenaga pukulan yang dahsyat, ia balas memyerang musuh yang

berada didepan, belakang maupun kanan dan kiri.

Setika itu juga Hek to-su hiong terdesak mundur lagi ke belakang, Segera

keempat orang bengis itu berputar pula di sekitar Tian Pek dengan mata

melotot, mereka mengatur kembali hawa murninya yang terbuang sambil

memeras otak mencari cara lain untuk merobohkan lawan.

Berbicara sesungguhnya, pertarungan ini tidak lebih ringan bagi Tian Pek

daripada waktu melawan Hay-gwa-sam-sat, sebab Hay-gwa-sam-sat, kecuali si

kakek berjenggot panjang yang berilmu tinggi, boleh dibilang si nenek rambut

putih dan Hud-in Hoat-su berada di tingkatan yang lebih rendah.

Lain halnya dengan Hek-to-su-hiong, meskipun Lwekang mereka masib kalah

setingkat daripada si kakek berjenggot, tapi lebih tinggi daripada si nenek

rambut putih serta Hud-in Hoat-su, ditambah pula keempat orang ini memiliki

ilmu andalan yang berbeda satu sama lainnya, muka begitu bekerja sama

terlihatlah serangan hebat yang rapat dan semuanya tertuju pada bagian

mematikan di tubuh lawan.

Di antara empat orang ini, Ciong-nia-ci-eng dan Tay-cong-ci-ju paling susah

dihadapi, tiap kali Ciong-nia-ci-eng menyerang dengan Ku-kut-ciang, segera

terasa hawa yang panas yang menyengat badan, meski Tian Pek tidak takut,

namun setiap saat dia harus mengerahkan tenaga dalam untuk menolak hawa

panas tersebut.

Selain itu, kedua lengan Tay-cong-ci-ju yang luar biasa panjangnya itupun

menjemukan, bukan saja jurus serangannya aneh, kadang2 serangan di tengah

jalan tiba2 berobah arah dan menyergap tubuh bagian bawah, ini menyebabkan

Tian Pek harus menyediakan perhatian khusus untuk mengatasinya.

Walau demikian, Sah-mo-ci-hu dan Im san-ci-long juga bukan lawan yang

empuk, ilmu bacokan segera membawa desing angin tajam yang menderu,

bacokan itu setajam mata pisau. Kendatipun Tian Pek bisa menangkis semua

serangan, namun telapak tangan sendiripun terasa sakit.

Sedangkan Sah-mo-ci-hu dengan tasbihnya khusaus dapat menghancurkan

tenaga dalam lawan, angin pukulan tak dapat membendung ancaman tersebut,

terpaksa Tian Pek harus mengandalkan ilmu langkah Cian-hoan-biau-hiang-poh

dan Bu-sik-bu-siang-sin-hoat untuk menghindarinya. Dengan begitu, boleh

dibilang pertarungan yang dihadapi Tian Pek sekarang adalah pertarungan

paling sengit yang pernah dialaminya.

Makin lama Tian Pek merasa makin payah, padahal keempat jago golongan

hitam itupun merasa gelisah.

Dalam keadaan begitulah kedua pihak saling gebrak pula tiga puluhan jurus lagi.

Suatu ketika, mendadak Hek-to-su-hiong mengubah siaaat pertarungan mereka,

tampak Im-san-ci-long mengatakan sesuatu dengan bahasa Mongol yang tak

diketahui Tian Pek, lalu serangan keempat orang itu tidak segarang tadi lagi,

mereka hanya mengitari pemuda itu dengan cepat.

Tian Pak tak paham bahasa Mongol, tapi ia mengerti musuh pakai siasat lain,

semua perhatian dan hawa saktinya lantas dihimpun umtuk menjaga segala

kemungkinan.

Sementara itu keempat manusia bengis berputar kian lama bertambah kencang,

tiba2 Im-san-ci-long bersuit, telapak tangannya yang tajam seperti golok

membacok badan Tian Pek.

Tian Pek tai berani gegabah, cepat ia menghimpun tenaga dalamnya dan

dilontarkan ke muka.

Kali ini ternyata Im-san-ci-long berbuat licik, ia menghindari bentrokan ini dan

melayang mundur.

Hal ini agak diluar dugaan Tian Pek, serangannya mengenar tempat kosong, dari

belakang mendadak datang sergapan musuh.

Dengan gerakan Hwe-tau-peng-gwat (berpaling dan memandang rembulan)

pemuda itu putar badan, berbareng dengan itu ia melancarkan pula suatu

pukulan dahsyat. Orang itu adalah Tay-tong-ci-ju, sebagaimana rekannya ketika

sergapannya meleset cepat ia menghindarkan diri dan melompat mundur.

Pada saat melesetnya pukulan anak muda itu, Ciong-nia-ci-eng menggunakan

kesempatan itu dengan baik, ia menyerang dengan Ku-kut-ciang yang panas

menyengat badan.

Tian Pak menghindar dengan gesit, sambil mengelak dia melepaskan lagi

pukulan balasan.

Tapi Ciong-nia-ci-eng juga segera menghindar mundur, menyusul Sah-mo-ci-hu

lantas menyerang pula secara bergiliran dan begitu seterusnya.

Demikianlah dengan taktik bergerilya keempat manusia bengis itu menghadapi

musuhnya, tapi Tian Pek cukup cerdik, beberapa gebrakan kemudian ia lantas

mengetahui tujuan musuh, tampaknya ia hendak diperas tenaga dalam,

kemudian baru musuh menyerang secara total.

Memahami taktik lawan, Tian Pek pun tersenyum, ia berpikir: "Cara kalian ini

justru memberi kesempatan padaku untuk mengatasi . . . . . "

Sebagaimana diketahui, tenaga dalam Tian Pek diperoleh dari kitab Soh-hun-

siau-kut-thian-hud-pikip, untuk mengatur napas ia tak perlu bersemadi tapi

cukup menarik napas panjang dan semua kepenatan akan lenyap dengan

sendirinya.

Keadaan ini berbeda dengan sistem mengatur napas dari golongan lain,

andaikata Hek-to-su-hiong menyerang secara ber-tubi2 tentu Tian Pek tak ada

kesempatan untuk ganti napas, tapi mereka bertarung secara bergerilya,

sekalipun disertai kerja sama yang lihay toh masih ada kesempatan yang tersisa

bagi anak muda itu untuk ganti napas.

Dengan demikian, bukan saja tujuan mereka berempat untuk melelahkan Tian

Pek tidak berhasil, malahan sebaliknya memberi kesempatan bagi lawannya

untuk menghimpun tenaga baru . .. ..

Siapa sangka, baru saja pikiran itu terlintas, mendadak si rase dari gurun

melompat keluar gelanggang, kemudian melepaskan tiga biji tasbih ke arah

musuh Berbarersg itu juga, ketiga rekannya serentak menyerang dari tiga arah

yang berlawanan.

Nyata Hek-to-su-hiong memang licin dan keji, tiga orang di antaranya ditugaskan

untuk membendung jalan lari Tian Pek dan si rase dari gurun melancarkan

serangan dengan biji tasbihnya.

Tian Pek terkesiap, iapun memahami tujuan lawan, cepat tiga pukulan

dilancarkan untuk mendesak mundur ketiga lawannya, tapi getaran tenaga

ketiga orang itu membuat Tian Pek tak sempat bergeser, sementara itu tiga biji

tasbih tahu2 sudah meluncur tiba.

Tian Pak terkejut, ketiga biji tasbih itu menyambar tiba dengan formasi segi tiga,

dua biji menyerang ke arah dada dan sebiji mengincar batok kepala.

Seperti pernah disinggung di depan, biji tasbih milik Sah-mo-ci-hu ini terbuat

dari kayu tho hitam yang khusus tumbuh di gurun, bukan saja keras seperti baja,

bisa berputar seperti gangsingan.

Karena bentuknya yang khas ini maka bila bertemu dengan rintangan, terutama

angin pukulan, bukannya terhenti malahan menyambar makin cepat dan lihay.

Untuk menghadapi ancaman seperti ini, biarpun seorang tokoh maha sakti,

kecuali menghindar memang tiada jalan lain.

Tian Pek memang hebat, ia bisa memaksa mundur ketiga orang musuhnya, tapi

tak dapat menghindar getaran tenaga lawan yang membalik, ditambah pula biji

tasbih yang meluncur datang tak bisa drpukul mencelat, kejadian ini membuat

anak muda itu menjadi mati langkah . . . .

Kawanan jago di tepi arena kaget, terutama Buyung Hong, Kim Cay-hong, Wan-ji

serta Hoan Soh-ing, beberapa orang nona itu sama menjerit melengking.

"Cras!" percikan darahpun muncrat.

Ilmu langkah Bu sik-bu-ciang-sin-hoat dari Tian Pek sungguh hebat, walaupun di

saat kritis pemuda itu berhasil menghindari sergapan dua biji tasbih yang

pertama, namun biji tasbih ketiga sempat melukai lengan kirinya.

Tian Pek merasa lengan kirinya jadi dingin, biji tasbih itu menyambar lewat, baju

dan dagingnya robek, darah bercucuran dengan deras.

Selagi Tian Pek melengak, Im-san-ci-long tidak me-nyia2kan kesempatan baik

itu, tanpa bersuara dia menabas punggung lawan.

"Duck!" bacokan telapak tangannya itu menghajar telak di punggung Tian Pek,

dengan sempoyongan pemuda itu tergetar lima-enam langkah ke depan.

Pandangannya menjadi gelap, darah dalam dadanya bergolak, tubuhnya

bergontai dan akan roboh.

Jeritan kaget berkumandang dari sekitar arena, semua jago terperanjat, begitu

pula paman Lui, Tay- pek-siang-gi serta Ji-lopiautau, serentak mereka menerjang

maju.

Buyung Hong, Kim Cay-hong, Wan-ji dan Hoan Soh-ing tidak ketinggalan,

sembari menjerit merekapun menubruk ke tengah arena. . . . .

Dalam pada itu Im-san-ci-long sedang tertawa ter-bahak2, telapak tangan

terangkat, serangan kedua telah disiapkan, sementara ketiga manusia bengis

yang lainpun menyeringai seram dan mendekati Tian Pek.

Suasana sangat gawat, tampaknya Tian Pek akan binasa di tangan keempat

orang itu.

Tian Pek yang sempoyongan itu tiba2 membentak keras, suatu pukulan dahsyat

tanpa terduga mendadak dilontarkan ke tubuh si rase dari gurun.

Waktu itu Soh-mo-ci-hu sedang kegirangan sebab serangannya berhasil melukai

musuh ketika datang serangan ia menjadi kaget, dalam keadaian tak siap manha

mungkin baginya untuk menghindar?

"Duk!" dengan telak pukulan itu mengenai dada rase dari gurun, kontan ia

terguling dan muntah darah, dadanya sakit seperti dipalu.

Berhasil menghantam Sah-mo-ci-hu sampai muntah darah, secepat kilat Tian

Pek berputar badan, sebelum Im-san-ci-long sempat menyerang, dengan gurus

Heng-tam-toan-hong (awan tebal menyelimuti puncak) dari Tay-kim-na-jiu-hoat

pemuda itu mendahului bertindak . . .

"Plaak!" pergelangan tangan Im-san-ci-long yang hendak membacok tahu2

sudah kena dicengkeram.

Sebenarnya Tian Pek tidak bermaksud mencelakai jiwa Hek-to-su hiong, dia

cuma berharap mereka berempat tahu-diri dan mengundurkan diri, apa mau

dikata "Manusia tak ingin melukai harimau, justeru sang harimau ingin

mencaplok manusia", karena pikiran baiknya itu dia sendiri yang terluka malah.

Sekarang kemarahan anak muda itu sudah memuncak, ia tidak kenal ampun lagi,

begitu pergelangan tangan Im-san-ci-long tercengkeram, serta merta ia puntir

lengan itu dengan keji. "Krak!" Im-san-ci-long menjerit kesakitan, lengan

kanannya sudah patah.Pucat wajah si rase dari Im-san itu, dengan sempoyangan

ia terlempar mundur.

Sekarang semua orang baru melenggong, tak seorangun yang menduga dalam

keadaan terluka parah, hanya dalam satu gebrakan saja dua orang musuh, yang

tanguh telah dilukai Tian Pek.

Sementara itn Tian Pek telah menyeka darah di ujung bibirnya lalu selangkah

demi selangkah menghampiri Ciong-nia-ci-eng dan Tay-ceng-ci-ju.

Kedua fokoh silat yang biasanya garang dan sombong menjadi ngeri

menyaksikan keperwiraan pemuda itu, dengan muka pucat mereka mundur ke

belakang.

"Mau kabur?" jengek Tian Pak. "Hm, jangan harap kalian akan pulang dengan

hidup!"

Wajah Tian Pek tamak kereng, ia mendekati Ciong-nia-ci-eng dan Tay-cong-ci-ju.

Tidak kepalang rasa takut kedua orang itu, mereka terpengaruh oleh perbawa

Tian Pek, sambil menggigil mereka mundur terus.g

"Mau kabur kemana?" ejek anhak muda itu, suatu pukulan maut segera akan

dilancarkan.

Pada saat itulab tiba2 terdengar gelak tertawa nyaring menggema di angkasa,

menyusul beberapa sosok bayangan manusia melayang tiba secepat terbang.

Gerakan orang2 itu cepat dan gesit, sebelum kawanan jago melihat jelas, lima

orang sudah muncul di arena.

Dua orang yang pertama adalah seorang pemuda sastrawan berbaju putih serta

seorang nona cantik bak bidadari dari kahyangan Sedang tiga orang berikutnya

adalah seorang kakek berjenggot panjang, seorang nenek berambut putih dan

seorang Hwe-sio setengah baya, gemuk dan pendek.

Tampang beberapa orang ini tak asing lagi bagi kawanan jago, mereka ialah

Lam-hay-siau-kun Liong-sin Taycu, Lam-hay-liong-li Liong Cu-ji dan Hay-gwa-

sam-sat.

Lam-hay-siau-kun menggetarkan kipas peraknya dan tertawa, tegurnya kepada

Tian Pek:

"Saudara Tian, apakah kau akan mencampuri urusan dunia persilatan lagi?"

"Engkoh cilik, apakah taruhan kita tempo hari masih berlaku?" tegur si kakek

berjenggot panjang alias Ciu Ji-hay dengan tertawa:

Di dunia persilatan, janji seorang jego silat melebihi segalanya, lebih2 pemuda

jujur seperti Tian Pek, tidak nanti ia ingkar janji. Teguran itu kontan membuat

muka anak muda itu jadi merah, sahutnya dengan tergagap: "Apa yang telah

kujanjikan tak pernah kuingkari. Tapi sebelumnya mereka berempat telah

menerangkan bahwa mereka bukan orang persilatan, lagipula tindak-tanduk

mereka kelewat kejam .... ....”

Lam- hay-liong-li mengerling sekejap ke arah pemuda itu, lalu nenukas: "Ah, Tian

kongou kelihatan seperti orang jujur, tak kusangka kaupun pandai bergurau!

Kalau mereka berempat bukan orang persilatan, masa dapat main silat? Jelas

sekarang kau sendiri yang mengingkar janji, sudah berjanji tapi tak di tepati,

huh, kehormatan dunia persilatan di Tionggoan telah dibikin malu oleh

perbuatanmu .... "

Ucapan ini tajam dan penuh nada sindiran, habislah kesabaran Tian Pek, tiba2 ia

membentak: "Tutup mulut! Andaikata kau bukan seorang nona, tentu

kuhajar. . , . . . ,"

Mendadak pemuda itu membungkam, bagaimanapun juga ia merasa telah

berjanji untuk tidak mencampuri urusan dunia persilatan lagi, dan

pertarungannya melawan Hek-to su-biong merupakan bukti yang tak bisa

disangkal, jika ia sampai bertarung pula melawan nona itu, bukankah

perbuatannya ini sama seperti menampar mulut sendiri.

Wan-ji yang baru sembuh dari lukanya cepat memburu ke sisi pernuda itu

dengan langkah yang masih lemah, sambil memegang lengan kekasihnya yang

berdarah ia bertanya lirih:

"Engkoh Tian, bagaimana lukamu? Tidak apa2 bukan?"

Tian Pek merasa hangat, perhatinn Wan-ji, membuat anak muda ini terharu,

cuma ia segan mengutarakan suara hatinya didepan orang banyak, maka sambil

tertawa hambar sahutnya: "Jangan kuatir adik Wan, luka ini tak seberapa!"

Dalam pada itu Wan-ji sudah memeriksa lengan Tian Pek yang terluka, ternyata

dalam waktu singkat luka itu sudah tak berdarah, malahan telah pulih seperti

sediakala, apa yang tertinggal sekarang hanya bekas luka yang memanjang

belaka, kejadian ini membuat ia terkejut bercampur girang.

Nona ini tak tahu Tian Pek pernah minum Ci-tam-hoa, sejenis obat mujarab

berumur ribuan tahun, ia mengira Lwekang kekasihnya amat sempurna hingga

sudah mencapai tingkatan kebal terhadap segala senjata, dengan girang ia

lantas berseru "Engkoh Tian, lukamu telah sembuh..”

Saking gembira, ia peluk lengan Tian Pek dan digoncangkannya, mukanya yang

pucat kini kelihatan bersemu merah, muka yang memerah, bisa diketahui

betapa gembiranya nona itu.

Sikap mesra Wan-ji didepan orang banyak ini membuat Tian Pek menjadi kikuk,

tapi ia tak leluasa untuk melepaskan diri dari rangkulan si nona, terpaksa ia

hanya diam saja.

Sebagian besar kawanan jagopun tidak menunjukkan perasaan apa2 atas sikap

mesra Wan-ji itu, mereka menganggap inilah rejeki Tian Pek, tapi ada juga

beberapa orang yang merasa tak enak. .

Buyung Hong secara resmi adalah bakal isteri Tian Tek, ia menyadari duduknya

perkara setelah melihat sikap adiknya yang mesra ini, sekarang ia baru mengerti

apa sebabnya tempo hari Wan-ji pergi tanpa pamit setelah mendengar berita

tentang pertunangannya dengan pemuda itu, sekarang ia baru sadar sebenarnya

adiknya juga amat mencintai Tian Pek.

Namun nona itu tidak merasa cemburu, lain dengan Kim Cay-hong, ia merasa

kecut, sebenarnya ia menguatirkan Tian Pek, bahkan ingin menghambur

kedepan, tapi pendidikan keluarganya yang keras membuat nona ini

membatalkan maksudnya. Dan sekarang Wan-ji telah melakukan apa yang tak

berani dilakukan olehnya dan hal itu mendapat sambutan baik dari Tian Pek,

diam2 ia menyesal tiada keberanian seperti Wan-ji.

Hoan Soh-ing lebih pendiam, ia merasa cinta Wan-ji terhadap Tian Pek ternyata

sedemikian mendalam, ia bersyukur rasa cintanya selama ini belum sampai

dikemukakan.

Toan-hong Kongcu cemburu, air mukanya berubah, rasa iri membakar hatinya.

Sedangkan Lenghong Kongcu terbelalak, padahal Tian Pek adalah bakal suami

encinya, mengapa adiknya mencintai pula pemuda itu?

"Huuh, tak tahu malu!" tiba2 Lam-hay-liongli mendengus.

Wan-ji berpaling dengan gusar, hardiknya: "Siapa yang kaumaki?"

Dengan gusar Lam-hay-liong-li menjawab: "Hm, masa kau tidak tahu siapa yang

kumaki?"

Wan-ji tambah murka, dengan Soh-hun-ci ia serang jalan darah Sim-gi-hiat di

tubuh Lam hay-liong-li.

Serangan jari itu memang lihay, sayang keadaannya masih lemah, tenaga

serangannnya kurang kuat, sekali ditangkis oleh Lam-hay-liong-li, dia sendiri

yang tergetar mundur beberapa langkah.

“Budak ingusan yang tak tahu dgiri, tampaknya ikau sudah bosanh hidup!" seru

Lam-hay liong li dengan tertawa dingin, telapak tangannya di angkat dan siap

menyerang.

Tunggu sebentar!" cepat Tian Pek mengadang di depan Lam-hay-liong-li. "Kau

tahu nona Wan-ji belum sembuh dari lukanya, mengapa . . . . "

"Jadi kau ingin ikut campur?" jengek Lam-hay liong-li.

"Hm. jangan kaugunakan alasan tersebut untuk memeras diriku, masakah kau

tidak tahu aturan bahwa memukul orang yang sedang terluka adalah pantangan

bagi orang persilatan?"

Muka Lam-hay-liong-li menjadi merah . . . .

Lam-hay-siau kun yang sejak tadi membungkam segera maju ke muka, katanya

kepada Tian Pek: "Anda tidak berhak mencampuri urusan dunia persilatan lagi,

sekarang silakan kau mundur dari sini!"

"Apa yang kau maksudkan?" seru Tian Pek, dia mengira musuh hendak

mencelakai Wan-ji lagi, bila demikian maka ia bertekad akan mengalanginya

walau apapun yang bakal terjadi.

Lam-hay-siaukun tidak menjawab pertanyaannya, sambil tersenyum ia berpaling

ke arah kawanan jago yang berkumpul di situ dan berkata: "Tujuan pertama dari

perguruan kami masuk ke daratan Tionggoan adalah ingin mempersatukan

dunia persilatan di bawah satu komando, agar pelbagai pertikaian yang sering

terjadi antara sesama umat persilatan dapat dihindarkan. Banyak kawanan jago

yang sudah menggabungkan diri untuk ber-sama2 membentuk satu keluarga

besar, tak tersangka pada saat keluarga besar hampir terbentuk, tiba2 muncul

manusia berambisi yang berusaha merusak rencana kami. Baiklah, untuk

menghindari segala pertikaian kami menetapkan pada tanggal sembilan bulan

sembilan nanti di Siau-lim-si Siong-san akan kami adakan Eng-hiong-tay-hwe,

setiap orang yang tak mau tunduk kepada kami dipersilakan menghadiri

pertemuan itu, nanti bila kenyataannya ada tokoh lain yang lebih hebat

daripada kami, dengan senang

hati Kami akan menarik diri dari Tionggoan."

Ketika dilihatnya semua orang sama memperhatikan ucapannya dengan mata

terbelalak, ia tertawa bangga dan berkata lebgih jauh: "Sebaliiknya jika kungfu

kami terbukti lebih lihay daripada yang lain, maka tak ada perkataan lain lagi,

sejak detik itu dunia persilatan akan diperintah oleh Lam-hay-bun, barang siapa

berani menentang perintah hami, maka dengan segala daya upaya akan kami

basmi penentang2 tersebut!"

Mendengar perkataan itu, semua jago merasa terkejut, rupanya pihak Lam-hay-

bun sudah merasa yakin akan menguasai dunia persilatan hingga dengan terus

terang mereka berani mengemukakan ambisinya dan Mengancam

penentang2nya.

Bilamana dunia persilatan benar2 dikuasai oleh Lam-hay-bun, maka nasib jago

persilatan lebih sukar untuk dibayangkan. Diantara sekian banyak jago, Sin-kun-

tah-ciang Bu Ceng-cui dan Hou-bok cuncia dari Siau-lim-pay paling kaget, bahwa

Lam hay-siau kun mengatakan pesta pertemuan besar para orang gagah itu akan

diadakan di Siau lim si, jangan2 kuil suci itupun sudah dikuasai mereka?

Lam-hay-siaukun tidak menghiraukan kawanan jago itu kaget atau tidak, ia

tertawa dan berkata lagi: "Setiap orang gagah yang merasa dirinya anggota

dunia persilatan berhak untuk menghadiri pertemuan itu!"

Lalu sambil berpaling ke arah Tian Pek dia menambahkan: "Hanya kau seorang

yang tidak berhak menghadirinya!"

Berbicara sampai di sini ia ter-bahak2, kepada Hay-gwa-sam-sat dan Hek to su-

hiong ia berseru: "Hayo kita pergi."

Dengan gerakan cepat pemuda itu berlalu lebih dulu disusul oleh Ciong-nia ci

eng dan Tay cong-ci ju yang masing2 mengangkat Sah-mo ci-hu serta Im-san ci-

long yang terluka, dan paling akhir adalarh Hay gwa-sam sat.

Waktu mau pergi, Lam-hay-liong-li sempat melemparkan kerlingan ke arah Tian

Pek, kerlingan itu diliputi perasaan "benci" dan "cinta", ini membuat Tian Pek

terperanjat, ia sedang pusing oleh masalah cinta, ia paling takut pada kerlingan

begitu dari kaum perempuan, maka cepat ia tunduk kepala menghindari

kerlingan Lam-hay-liong-li tadi.

Setelah Lam-hayw-siaukun dan roymbongan pergi jxauh, kawanan jago yang

berdiri tertegun itu ramai membicarakan apa yang baru terjadi.

Ji-lopiautau, paman Lui dan Tay-pek-siang-gi berkumpul menjadi satu

rombongan.

Melihat paman Lui berkerut dahi. Ji lopiantau lantas berkata: "Tampaknya Lam-

hay-bun sudah yakin dengan kekuatannya, dia berani menantang dunia

persilatan?"

"Kukira urusan ini tidak sederhana!" ujar Tay pek siang-gi, "aku kuatir

selanjutnya dunia persilatan bakal terlanda lagi oleh pembunuhan yang

mengerikan!"

Wajah paman Lui tampak murung, dia geleng kepala dan berkata: "Kita jangan

kuatirkan kekuatan Lam-hay bun, yang kita sedihkan adalah tak dapat

bersatunya kawan2 Bulim karena pandangan yang berbeda, jika tidak bersatu,

niscaya mereka bisa mengobrak-abrik kekuatan kita dengan mudah."

"Apa yang dikatakan Lui sinting memang benar" ujar si pengemis pemabuk

sambil menenggak araknya. "Orang kuno berkata, bersatu kita teguh bercerai

kita runtuh.

Untuk mendobrak kekuasaan Lam-hay-bun di daratan Tionggoan kita memang

harus bersatu dan menanggulanginya ber-sama2. Eh Lui sinting apa salahnya

kalau sekarang juga kita mengadakan persekutuan yang didasari dengan

sumpah setia? Dengan persekutuan ini akan lebih mudah bagi kita untuk

menentang kekuatau Lam hay bun!"

Paman-Lui tidak menanggapi usul tersebut, dia hanya tersenyum. Sebagai

seorang tua yang berpengalaman dia tahu kemampuan orang2 yang hadir ini

tidak cukup untuk melawan Lam-hay- bun, ditambah pula Bu lim su-kongcu

masing2 memiliki ambisi untuk menjadi pemimpin, tapi tidak becus melawan

Lam hay-bun. Cuma ia sungkan untuk bicara terus terang, maka dia hanya

tersenyum saja.

Kebetulan pengemis sinting Coh Liang menghampiri mereka, ia menimbrung.

"Apapun yang terjadi, pokoknya kita orang2 persiiatan di daratan Tionggoan

harus melakukan perlawanan hingga titik darah penghabisan, lebih baik mati

sebagai pahlawan daripada hidup sebagai pengecut!"

"Eh pengemis tua, semangatmu yang tinggi itu memang terpuji, tapi apakah kau

pernah berpikir di antara sekian banyak jago yang hadir ini, kecuali saudara Tian

seorang siapa lagi yang mampu menandingi kelihayan Hay-gwa-sam-sat dan

Hek-to-su-hiong?" seru si orang mati-hidup dengan melotot, "mendingan kalau

jago mereka hanya itu2 saja, kalau Lam-hay-bun keluarkan pula jago2 lihay

simpanannya, lalu apa daya kita?"

Paman Lui mernandang sekejap ke arah Tian Pek, wajahnya makin murung,

namun mulutnya tetap membungkam.

Di tengah keheningan, tiba2 An-lok Kongcu mendekat pula dan berkata:

"Saudara Tian, kemajuanmu dalam ilmu silat sungguh luar biasa pesatnya dan

bikin orang kagum. Asalkan saudara Tian dapat menandingi kelihayan Hay-gwat-

sam-sat dan Hek-to-su-hiong, se-jelek2nya kami rasanya masih sanggup

menghadapi jago mereka dari kelas dua dan kelas tiga?

"Ah, saudara In Ceng terlalu memuji, aku tak berani menerimanya," cepat Tian

Pek menyahut seraya menjura. "Bukannya aku tak bersedia menyumbangkan

pikiran dan tenaga, hakikatnya aku sudah diikat oleh janji dan tak mungkin

mencampuri urusan dunia persilatan lagi, alangkah baiknya kalau kalian jangan

mencantumkan diriku dalam daftar"

Siang-lin kongcu yang menghampiri pula cepat menimbrung: "Saudara Tian

kenapa kau musti memegang janji segala? Dengan bertempur lagi kaupun dapat

menuntut balas atas kekalahanmu tempo hari."

"Saudara Kim, maksudmu hendak menyanjung ataukah hendak menyindir

diriku?" kata Tian Pek dengan kurang senang. "Se-jelek2nya Tian Pek, setiap

ucapan yang sudah kuutarakan takkan kuingkari Hei, apakah kausuruh aku

menjadi manusia munafik yang lain di luar dan lain di dalam?"

Teguran ini membuat wajah Siang-lin Kongcu menjadi merah, buru2 dia

menerangkan:

"Harap jangan salah paham, aku berkata demikian hanya demi kepentingan

prang banyak!"

"Ah, aku punya akal!" tiba2 orang mati-hidup berseru sambil berkeplok tangan.

Seruan itu sangat keras, se-akan2 telab menemiukan sesuatu yahng penting,

dengan tercengang semua orang berpaling, tertampaklah orang hidup mati lagi

melepaskan selembar kedok kulit manusia, segera kelihatan seraut wajah yang

putih dengan jenggot yang jarang2 dan bukan lagi muka yang kaku mirip orang

mati.

Tindakan orang hidup mati ini membuat orang tertegun, siapapun tidak

menyangka selain ini Tay-pek-siang-gi mengenakan topeng kulit manusia,

terutama Ji-lopiautau, Buyung Hong dan Tian Pek sekalian yang sudah cukup

lama bergaul dengan meraka berdua, kenyataannya tiada yang tahu akan

rahasia tersebut.

Orang hidup-mati tidak menghiraukan keheranan orang lain, dengan wijah ber-

seri2 serunya kepada Tian Pek: "Siau-in-kong, asal kaupakai topeng kulit

manusia ini, maka siapapun tak akan mengenali dirimu lagi, kau bisa ikut

menghadiri pertemuan para enghiong pada tanggal sembilan bulan sembilan

nanti, dengan leluasa kau bisa hajar orang2 Lam-hay bun sampai kocar-

kacir . . . . "

Siapa tahu Tian Pek tak mau menerima topeng itu, dengan hambar ia berkata:

"Orang lain mungkin tak tahu siapakah diriku, tapi aku Tian Pek tak sudi

melakukan hal yang bertentangan dengan suara hatiku!"

Ucapan ini tegas dan nyaring, membuat semua orang diam2 mengangguk.

Paman Lui menghela napas panjang, bisiknya: ''Ai, persis, tak ubahnya seperti

mendiang ayahnya, cocok sekali watak mereka berdua . . . . "

"Hmm! Manusia yang tak dapat melihat keadaan sebenarnya dia adalah

manusia yang picik kan bodoh!' jengek Hoan Soh-ing tiba2.

Badan Tian Pek tergetar, ia merasa tertusuk oleh perkataan itu.

Sejak mengikat tali persahabatan dengan Hoan Soh-ing di dalam penjara Pah-

toh-san-ceng dahulu, ia telah menganggap nona itu sebagai sahabat yang paling

karib, tapi sekarang Hoan Soh-ing menyalahkan pula tindakannya, padahal ia

merasa semua perbuatannya dilakukan berdasarkan suara hati nurani, jujur dan

tidak merugikan orang lain, salah paham ini membuat hatinya sakit.

"Hoan . . . . . . nona Hoan!" katanya kemudian, "aku menganggap setiap

perbuatanku didasarkan suara hati, bagian manakah ysug kauanggap tidak

benar?"

Perlu diketahui, sampai kinipun Hoan Soh-ing masih berdandan sebagai seorang

laki2, dalam gugupnya Tian Pek tak tahu harus menyebut saudara atau nona,

Sehabis berkata ia terbelalak menatap wajah si nona yang cantik itu sambil

menantikan jawaban yang memuaskan. Tindakannya ini membuat muka nona

itu jadi merah jengah.

Tapi bagaimanapun nona itu mempunyai watak seorang laki2, dengan cepat ia

dapat mengatasi kejengahan tersebut, ia tertawa, sahutnva: "Tak dapat

dibantah lagi kalau dewasa ini kungfumu terhitung paling tinggi di antara sekian

banyak jago yang hadir di sini, hanya engkau seorang yang dapat menentang

kelihayan jago2 Lam-hay-bun, dan hanya engkau seorang yang bisa menangkan

mereka serta menyelamatkan dunia persilatan dari malapetaka, tapi

kenyataannya sekarang kau tidak manfaatkan kemampuanmu dengan

se-baik2nya, sebaliknya lebih suka terikat oleh janji kosong, bukankah perbuatan

seperti ini adalah perbuatan yang bodoh dan tak dapat dibenarkan"

Ucapan tersebut cukup tegas dan masuk diakal, ini membuat kawanan jago

sama mengangguk kepala, sementara Tian Pek sendiri tertunduk malu.

Pemuda itu berada dalam keadaan serba salah, sebagaimana dikatakan Hoan

Soh-ing, menyelamatkan dunia persilatan dari malapetaka adalah tindakan

paling penting yang harus dilakukan, sebagai seorang jago dari kaum pendekar,

ia berkewajiban menyumbangkan tenaganya. Tapi, sebagai seorang laki2 sejati

ia tak ingin mengingkari setiap janji yang telah diucapkan, untuk sesaat anak

muda itu termangu bingung.

Sementara itu suasana yang semula gaduh karena diramaikan oleh pelbagai

pendapat kawanan jago itu, kini menjadi hening sepi, perhatian semua orang

dialihkan ke wajah Tian Pek dan menantikan jawabannya, se-akan2 nasib dunia

persilatan hanya bergantung kepada keputusan anak muda itu.

Tian Pek tertunwduk sambil termyenung, ketika ia menengadah dan melihat

semua orang sedang menatapnya dan menantikan jawabannya, segera sadarlah

pemuda itu bahwa kedudukannya saat ini penting sekali, nasib dunia persilatan

benar2 terletak di atas bahunya. ini membuat otaknya berputar dan segera

terlintas satu akal bagus.

Segera ia berkata: "Aku Tian Pek tidak lebih hanya seorang yang masih hijau,

atas perhatian serta kepercayaan para Cianpwe, sungguh membuat aku merasa

terharu dan berterima kasih. Sebagai seorang anggota dunia persilatan, sudah

menjadi kewajibanku untuk menyelamatkan dunia persilatan dari bencana,

untuk itu sekalipun harus terjun ke lautau api atau mendaki ke bukit golok, tidak

nanti kuelakkan tugas ini!."

Ia berhenti sebentar, ketika dilihatnya semua orang sedang memperhatikan

ucapannya, ia melanjutkan lagi kata2nya: "Tapi aku sudah menyanggupi orang

lain untuk tidak mencampuri urusan dunia persilatan lagi, sebagai Bu-lim-

cianpwe tentunya anda sekalian maklum kita harus pegang janji. Dalam keadaan

demikian seperti apa yang sudah diucapkan saudara . . . . eh, nona Hoan, bila

aku tidak membantu, tentunya aku akan dianggap tidak setia kawan, sebaliknya

jika aku melanggar janji dengan menghadiri pertemuan para jago itu, maka

perbuatan ini berarti melanggar janji. Baik

tidak setia kawan maupun melanggar janji merupakan perbuatan vang tak

kuinginkan, maka bisa dibayangkan betapa sulitnya kedudukanku sekarang?"

Sampai di sini, semua orang merasa bingung, tak tahu apa yang dimaksudkan

anak muda itu, tapi karena tak mengerti, merekapun semakin menaruh

perhatian.

"Aku mempunyai suatu cara baik," Tian Pek melanjutkan kata2nya, "tapi

sebelum kulaksanakan harus mendapat persetujuan lebih dulu dari paman Lui!"

Sinar mata semua orang serentak beralih ke arah paman Lui, hal ini membuat

paman Lui jadi terharu sekali hingga mengembeng air mata, dari sikap Tian Pek,

yang tegas2 pegang janji dan gagah perkasa, se-olah2 ia merasa telah bertemu

dengan mendiang ayahnya, se-akan2 bayangan Pek-lek-kiam Tian In-thian telah

muncul di depan matanya.

Ketika mendengar pertanyaan anak muda itu, tanpa mempertimbangkan lagi

apa yang hendak diucapkan pemuda itu, sahutnya: "Nak, lanjutkan ucapanmu!"

Tatapan mata paman Lui yang penuh sayang menambah rasa keyakinanan serta

kepercayaan pada diri sendiri Tian Pek ia merasa apa yang telah diputuskan tak

bakal salah lagi, maka lanjutnya: "Seperti apa yang dikatakan saudara An-lok

Kongcu In Ceng, ilmu silatku memang mengalami kemajuan yang pesat, tapi

tahukah saudara sekalian mengapa kungfuku bisa memperoleh kemajuan yang

sedemikian pesatnya"

Semua orang bungkam dan tampak heran, siapa yang tahu dari mana Tian Pek

memperoleh ilmu silat yang begitu tinggi dan lihay?

Sementara orang masih tercengang, Tian Pek melanjutkan kata2nya lebih jauh:

"Aku bisa, maju lantaran paman Lui menghadiahkan sejilid kitab paling aneh di

kolong langit ini, yakni Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip kepadaku!"

Suasana seketika menjadi gempar, semua orang jadi lupa akan tujuan yang

sebenarnya untuk apa Tian Pek mengemukakan rahasia ini, bahkan beberapa

jago lihay yang tak tahan seperti Mo-gwa-sinkun (Orang gagah dari luar gurun)

Hek- lian Ing, Tiat ih hui peng (rajawali terbang bersayap baja) Pa Thian ho, Tiat-

pi-to liong (naga bungkuk berpunggung baja) Kongsun Coh, Tiat-se ciang

(pukulan pasir besi) Lu Lak-sun, Tiat-pay-hwesio (padri tameng baja) Hoat Tang,

Thian-ya-ong-seng (manusia latah dari ujung langit) Tio Kiu-ciu, Ciukay

(pengemis pemabuk) Pui Pit, Hong-kay (pengemis sinting) Coh Liang, dua

bersaudara keluarga Kim dari gunung Bong-gu-san, Sin-kun tah cing, (pukulan

sakti penghantam sumur) Bu

In-hui, Hou-bok-cuncia dari ruang Lo-han-tong, Ngo-im-liongcu (tangan sakti

panca suara) Siau Tong dari Hoat-hoa lam-cong, Hian sging-cu dari Bu itong,

Tiamcong-him-kiam Ho Thian-hiong, Thiau-san-it-hok Tiong Bong serta Bu-lim-

su-kongcu, segera mereka memburu maju dan be-ramai2 membuka suara.

"Sekarang kitab pusaka itu ada di mana? Cepat keluarkan dan perlihatkan

kepada kami!"

"Keluarkan dan perlihatkan kepada kami!"

"Betul, kitab itu ada di mana . . . . ?"

"Keluarkan kitab itu . . . . " begitulah bergemuruh teriakan yang beraneka

macam itu.

Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip merupakan kitab pusaka aneh yang maha

dahsyat, sejak seratus tahun berselang banyak jago silat yang menemui ajalnya

karena memperebutkan kitab tersebut, kemudian meskipun kitab itu lenyap dari

peredaran dunia persilatan, namun turun temurun orang persilatan masih tetap

mengincar kitab yang luar biasa itu.

Tidaklah heran, begitu Tian Pek menyebut kitab itu, serentak kawanan jago

persilatan itu jadi lupa daratan.

Paman Luipun membelalakkan matanya karena heran, ia tak habis mengerti apa

sebabnya dalam keadaan seperti ini Tian Pek malahan membeberkan rahasia

itu?

Perlu diketahui, daya pikat kitab pusaka itu sudah mencapai tingkatan yang

membawa sial, setiap orang yang memiliki kitab tersebut akan menjadi pusat

perhatian dan incaran setiap umat persilatan dan perebutan yang bakal terjadi

dapat menimbulkan badai pembunuhan yang tiada berakhir.

Padahal suasana dalam dunia persilatan dewasa ini sangat kritis, mereka sedang

menghadapi ambisi Lam-hay-bun yang ingin merajai Tionggoan, setelah rahasia

besar ini tersiar, bukan saja soal persatuan akan tipis sekali harapannya untuk

terwujud, malahan mungkin akan menimbulkan tragedi yang mengerikan, itulah

sebabnya tindakan Tian Pak ini dianggap sementara orang sebagai tindakan

yang tidak rasionil.

Benar juga, Khong-tong-su-co (empat manusia jelek dari Khong-tong) yang per-

tama2 tak dapat menahan diri, dengan menyeringgai dan mata memiancarkan

cahaya aneh, Toa-co (manusia jelek pertama) yang berjuluk Thian-jan (cacat

alam) segera maju ke depan dan meraih saku anak muda itu.

"Hayo, jangan omong saja, cepat keluarkan kitab itu!" hardiknya.

Tian Pek tak mengira kawanan jago yang anggap dirinya dari golongan lurus ini

ternyata mempunyai watak serakah yang begitu besar, bahkan tak segan2 main

rampas dengan kekerasan.

Sementara ia masih termenuntg, tahu2 tangan Thian-jan sudah menyambar

tiba.

Keadaan tidak memberi kesempatan bagi Tian Pak untuk berpikir lagi, jari

tangannya langsung mengetuk cakar Toa-co dengan jurus Heng-soat-toan-hong

dari ilmu cengkeraman Toa-kin-na-jiu -hoat.

Seperti terpagut ular, Thian-jan menarik kemli tangannya dan melompat

mundur.

Sekalipun mundur dengan gerakan cukup cepat, tak urung jalan darah Ce-ti pada

punggung tangannya keserempet juga oleh serangan anak muda itu, saking

sakitnya ia jadi mendelik dan meringis.

Sesudah memukul mundur Thian-jan dari Khong-tong-su-co barulah Tian Pek

berkata dengan serius: "Saudara2 sekalian, harap kalian dengarkan dulu kata2ku

lebih lanjut!"

Sekarang semua orang baru ingat kehebatan pemuda itu, Hek-to-su-hiong yang

lihaypun dihajar sampai terluka oleh anak muda itu, apalagi mereka, sudah jelas

tak ada kesempatan bagi mereka untuk main rampas dengan kekerasan, maka

suasana menjadi agak tenang.

Setelah melihat kawanan jago itu tak berani maju lagi, Tian Pek berkata pula:

Demi memegang janji, tak mungkin bagi orang she Tian untuk ikut menghadiri

pertentuan orang gagah itu, tapi akupun tak dapat berpeluk tangan membiarkan

orang2 Lam-hay-bun malang melintang di daratan Tionggoan, maka sebagai

sumbangsihku ini, ingin kuwariskan ilmu silat yang tercantum dalam kitab

pusaka Sohkut-siau-hun-thian-hud-pit-kip ini kepada saudara sekalian agar

kalian memiliki kemampuan untuk melawan

kelaliman orang Lam-hay-bun. Asal kalian lihay, bukankah tanpa kemunculan

dirikupun musuh dapat kalian tumpas"

Semua orang tertegun dan membungkam, siapapun tak mengira Tian Pek

berjiwa begini besar dan tidak keberatan untuk membeberkan pelajaran silat

yang maha sakti itu kepada orang lain.

Tian Pek berkata lagi: "Akan tetapi, Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip ini adalah

hadiah yang kuterima dari paman Lui, subelum kuajarkan kepada saudara

sekalian terlebih dahulu harus kumintakan persetujuan paman Lui."

Berbicara sampai di sini, anak muda itu lantas berpaling dan memberi hormat

kepada paman Lui dan berkata: "Paman, budi kebaikanmu kepada keponakan

tak bisa dilukiskan lagi dengan kata2, akan tetapi untuk menyelamatkan dunia

persilatan dari bencana besar, tentunya kau tak akan menyalahkan tindakan

sembrono keponakanmu ini bukan?"

Dengan air mata bercucuran karena terharu, paman Lui membangunkan anak

muda itu, sahutnya: "Bangunlah keponakanku, tindakanmu ini membuat paman

merasa bangga bercampur gembira, meskipun selama hidupku tak pernah

menikah, tapi bisa memiliki keponakan yang bijaksana seperta kau, matipun aku

puas. Selain itu akupun ikut berbangga untuk saudara angkatku, bagi mendiang

ayahmu yang telah tiada, meskipun ia mati dengan tak jelas, tapi arwahnya di

alam baka pasti akan terhibur dan gembira melihat kebijaksaan serta kebesaran

jiwamu yang telah melaksanakan cita2nya di waktu hidupnya."

Ketika dilihatnya Tian Pek ikut mengucurkan air matanya, paman Lui berkata

lebih jauh: "Tindakanmu ini cocok sekali dengan suara hatiku. Cuma kuanjurkan

kepadamu alangkah baiknya Sohkut-siau-hun-thian-bud-pi-kip itu jangan kau

perlihatkan secara umum agar tidak menimbulkan pertikaian lagi, maklumlah,

kitab itu memang kitab yang membawa celaka, jika bukan orang berimam tebal

tak boleh kau perlihatkan. Untuk

menjaga segala kemungkinan, bolehlah kau ajarkan ilmu silatnya saja kepada

mereka."

Selesai paman Lui bicara, banyak orang yang merasa berterima kasih atas

kebesaran jiwa jago tua itu, tapi ada pula di antaranya yang merasa kecewa,

sebab dengan ucapannya itu berarti tinda harapan lagi bagi mereka untuk

melihat bentuk kitab yang dinamakan kitab paling aneh di kolong langit ini.

Kembali Tian Pek memberi hormat kepada paman Lui, lalu ia berkata kepada

kawanan jago itu dengan suugguh2: "Setelah paman Lui berkata begitu, maka

kitapun harus melaksanakan seperti apa yang beliau katakan. Nah, asalkan

kalian bersedia menerimanya, akupun takkan menyembunyikan kesaktian ilmu

tersebut barang satu juruspun, cuma kitab aslinya takkan diperlihatkan kepada

kalian, sebab kitab itu memiliki daya pikat yang terlampau basar, sekalipun

seseorang memiliki imam yang teguh belum tentu sanggup mengendalikan diri!"

Tentu saja bagi mereka yang belum pernah melihat Soh-kut-siaai-hun-thian-bud-

pi-kip tak akan percaya pada ucapan itu malahan dengan curiga mereka

membatin: "Huh, di luar saja kaubilang akan membeberkan ilmu itu secara

terbuka, tapi di dalam hati keberatan memperlihatkan kitab itu ... ."

Akan tetapi bagi orang yang pernah melihat kitab itu, seperti Tay-pek-siang-gi,

merela percaya penuh ucapan Tian Pek memang benar, maka sewaktu melihat

orang sama sangsi, cepat ia berseru: "Apa yang dikatakan Siau-in-kong memang

benar, kami bersaudara beruntung pernah melihat kitab itu, tapi nyaris ludes

tenaga latihan kami selama berpuluh tahun . . , . "

Sambil menyeka air mata terharu, paman Lui berkata lagi: "Jarak waktu sekarang

sampai bulan sembilan saat diselenggarakan pertemuan itu masih tiga bulan

lebih, jika kalian percaya penuh kepada kami, ikutilah petunjuk Tian-Pek dan

pelajarilah ilmu sakti Buddha langit ini ber-sama2!"

Kembali orang bersorak-sorai karena kegirangan, banyak di antaranya yang

merasakan kesempatan baik ini sukar dicari, sebaliknya bagi mereka yang

berwatak rakus diam2 menyusun rencana busuk untuk mencuri atau merampas

kitab pusaka itu.

Manusia umumnya memang tamak. Di kala seorang secara sukarela

mengundang orang lain untuk bekerja sama, maka di pihak lain ada segelintir

manusia tamak yang mulai menyusun rencana busuk.

Maksud Tian Pek dengan tindakannya itu pada dasarnya memang baik, tapi

mimpipun ia tak menyangka di balik kesemua itu tersembunyi badai besar yang

mengerikan.

Bila badai itu menyapu jagat, maka banjir darahpun akan berlangsung, entah

berapa banyak jago lagi yang akan menjadi korban. .

Sementara itu, ketika paman Lui mengusulkan untuk mengadakan persiapan

guna meneritna pelajaran dari Tian Pek, maka Toan-hong Kongcu dan An-lok

Kongcu sebagai tuan rumah segera mempersiapkan segala sesuatu yang

diperlukan, mereka mengurus masalah penginapan, soal makananpun diatur

oleh anak murid perkumpulan pengemis.

Di tengah kesibukan itu, diam2 para jago ketujuh aliran besar sama mohon diri

Hou-bok-cuncia dan Sin-kun-teh-sing Bu In-hui ingin cepat pulang ke Siau-lim-si

untuk memberi laporan, sedangkan jago2 dari perguruan lain mau pulang untuk

mengundang teman2 lain.

Beberapa hari kemudian dunia persilatan dibikin gempar oleh tersiarnya

beberapa macam berita, seluruh jagat terasa bergolak dan orang jadi tak tenang

rasanya.

Berita pertama yang mengetarkan Kangouw adalah tantangan Lam-hay-bun

untuk berduel dengan kawanan jago seluruh dunia pada bulan sembilan tanggal

sembilan nanti di Siau-lim-si.

Untuk menyelenggarakan pertemuan besar Enghiong-tay-hwe ini bukan saja

mengundang kawana Bu-lim dan Bu-lim-su-kongcu, bahkan orang2 persilatan di

tepi perbatasanpun ikut diundang.

Berita kedua yang lebih menggemparkan membuat orang lupa pada peristiwa

pertama yang akan menentukan nasib dunia persilatan itu.

Kiranya maksud baik Tian Pek akan mengajarkan ilmu dari Soh-kut-siau-hun-

thian-hud-pit-kip ciptaan Ciah-gan longkun pada dua ratus tahun yang lalu itu

telah tersiar luas di dunia persilatan.

Ketika berita itu tersebar, semua jago Kangouw bergolak, hampir semua orang

lupa soal Eng-hiong-tay-hwe, mereka tidak lagi memikirkan nasib dunia

persilatan, tapi ber-bondong2 berangkat ke Hin-liong-tin untuk melihat

kehebatan kitab pusaka itu.

Hanya beberapa hari saja semua rumah penginapan di kota kecil Hin-liong-tin

telah dipenuhi oleh jago2 persilatan, malahan banyak di antaranya tidak

kebagian tempat penginapan dan terpaksa menginap di luar kota, mondok di

kuil, bahkan ada pula yang berdiam di hutan terbuka.

Peristiwa ini memang luar biasa dan belum pernah terjadi, karena jago

persilatan yang berkumpul di situ jumlahnya kelewat batas, suasana jadi tegang

dan sering terjadi pertengkaran dan perkelahian.

Tian Pek, pemuda yang polos dan berjiwa besar itu tak pernah menyangka

maksud baiknya itu, akan menimbulkan bencana sebesar ini.

Hakikatnya pada malam hari pertama di situ sudah terjadi peristiwa yang tak

diinginkan.

Malam itu setelah Sin-liong-taycu mengumumkan akan diadakannya Enghiong-

tay-hwe di Siongsan dan berlalu dari sana bersama begundalnya, semantara itu

haripun terang tanah.

Setelah sibuk seharian, selesai bersantap malam semua orang lantas pergi

beristirahat ke tempat masing2. Guna bersiap menerima pelajaran dari Tian Pek

pada keesokan harinya.

Malam itu Tian Pek dan paman Lui mendapat satu kamar, Tay-pek-siang-gi dan

Ji-lopiautau bersatu kamar. Buyung Hong dan Wan-ji menempati kamar yang

lain, ketiga kamar ini letaknya berjajar pada sebuah serambi yang sama.

Setelah berada di dalam kamar, baru habis minum secawan air teh, tiba2 kamar

Tian Pek diketuk orang, karena kamar tak terkunci, paman Lui lantas berseru:

"Masuk!"

Pintu didorong orang dan muncul Buyung Hong. Ia mengenakan baju panjang

warna hitam dengan ikat pinggang sutera, rambutnya terurai di bahu, kulituya

yang putih bersih kelihatan kontras sekali dengan baju berwarna hitam. Agaknya

ia baru membersihkan badan, meskipun tidak memakai pupur namun di bawah

cahaya lampu mukanya tampak menawan hati.

Setelah masuk kamar, Buyung Hong melirik sekejap ke arah Tian Pek, lirikan

yang penuh rasa cinta mesra, lalu ia memberi hormat kepada paman Lui.

Sebagai seorang tua, paman Lui lantas tahu kedua calon suami isteri itu hendak

bicara urusan pribadi, ia merasa tak enak hadir disitu, setelah berdehem, ia

berkata:

"Kalian duduk2lah disini, aku mau keluar sebentar!"

Tapi Buyung Hong yang cerdik segera paham maksud paman Lui, dengan muka

merah cepat ia berseru: "Paman, kau jangan pergi, justeru ada urusan penting

hendak kurundingkan dengan paman!"

"Urusan apa?" tanya paman Lui sambil berpaling.

"Titli tak bermaksud menyalahkan dia karena tindakannya membocorkan

rahasia kitab itu," kata Buyung Hong sambil melirik Tian Pek "Tapi yang pasti hal

ini sudah menimbulkan kecurigaan sebagian kawanan jago itu!"

"Ai, biar curiga juga percuma," sahut paman Lui sambil menghela napas,

"bagaimanapun kitab itu memang tak boleh diperlihatkan kepada mereka,

justeru karena ingin menyelamatkan dunia persilatan dari malapetaka, maka

Tian hiantit bersedia mengajarkan ilmu silat yang maha sakti itu kepada mereka.

Berbicara sesungguhnya, tindakan Tian-hiantit ini sungguh luar biasa sekali,

kalau masih ada yang tamak, diberi segobang minta seringgit, ya apa boleh buat

lagi, itu menandakan mereka tak tahu diri!"

=====

Muslihat apa yang sedang dirancang kaum pengacau yan mengincar kitab

pusaka itu dan

siapakah komplotan penjahat?

Jadikah Tian Pek mengajarkan kepandaiannya kepada para pahlawan secara

umum?

Jilid-25.

"Titli pernah melihat sendiri isi kitab itu, sesungguhnya kitab tersebut memang

tak pantas diperlihatkan kepada umum . . . ." kata Buyung Hong, sampai disini

tanpa terasa ia terkenang kembali peristiwa masa lampau, ketika ia merampas

kitab itu dari tangan Tian Pek di gua rahasia di bukit Siau-kut san, bila

membayangkan kembali isi kitab itu, merahlah muka nona itu.

Tapi dengan cepat ia menyadari betapa gawatnya masalah yang sedang

dihadapi, ujarnya lebih jauh: "Tanpa sengaja Titli mendengar orang sedang

berunding untuk merampas kitab itu dan melakukan tindakan yang tidak

menguntungkan engkoh Tian, maka malam ini paman dan engkoh Tian harus

hati-hati!"

Tian Pek tertegun, ia tak menyangka maksud baiknya akan mendatangkan

banyak persoalan dan berbagai kesulitan bagi diri sendiri, ia berseru keheranan:

"Ah, masa ada kejadian semacam itu?"

"Siapakah orangnya? Berasal dari perguruan mana?" tanya paman Lui dengan

muka serius.

"Tadi secara kebetulan Titli lewat depan sebuah kamar rahasia di halaman

belakang sana, tanpa sengaja kudengar samar2 seorang sedang berkata: 'Kitab

nomor satu di kolong langit itu . . . . harus kita rampas.. . bila perlu orang she

Tian itu. . .aku ingin mendengarkan lebih lanjut, tapi rupanya merekapun cerdik,

seorang lagi lantas mengalangi rekannya berbicara lebih jauh, karena itu akupun

tak tahu siapa yang berkumpul di ruang rahasia itu!"

"Siapa yang bertugas ronda di sekitar tempat ini?" tanya Tian Pek.

"Anak murid perkumpulan pengemis!"

Dengan wajah serius paman Lui bangkit berdiri, tiba2 katanya: "Aku akan

mencari Hong-jan-sam-kay dan menanyakan soal ini, ingin kuketahui siapakah

yang bermaksud menimbulkan keonaran ini?"

Pada saat itu tiba-tiba Wan-ji masuk dan mencegah niat paman Lui, katanya:

"Paman jangan tegur mereka, bukan pihak perkumpulan pengemis saja yang

mempunyai maksud jahat, boleh dibilang semua orang bermaksud busuk, asal

malam ini kita berjaga-jaga dengan ketat, kukira cukuplah."

Setelah bersemadi seharian, luka Wan-ji telah sembuh kembali, kesehatannya

telah pulih seperti sediakala, wajahnya tampak segar dan mempesona.

"Adik Wan, apakah kau juga menemukan sesuatu?" tanya Tian Pek cepat.

"Ehm, saat ini orang2 itu secara bergerombol sedang merundingkan sesuatu,

mereka terdiri dari ber-kelompok2, meskipun tidak kuketahui apa yang mereka

rundingkan, tapi sudah pasti takkan terlepas dari soal merampas kitab pusaka

Soh-kut-siau-hun-thian-hut-pi-kip itu!"

Sekarang Tian Pek baru menyesal, ia tak menyangka maksud baiknya untuk

menyelamatkan dunia persilatan justeru malah menimbulkan banyak kesulitan

bagi diri sendiri. rasa kecewa jelas terpancar pada wajahnya.

Sementara itu paman Lui berkerut dahi sambil berseru dengan gusar:

"Kurangajar, mereka benar tak tahu diri. Kalau ada yang berani mencari gara2,

pasti akan kuhajar mereka!"

Lalu dia berpaling kepada Buyung Hong dan Wan-ji seraya berkata lagi:

"Sudahlah, kalian boleh kembali untuk beristirahat!"

Sepeninggal Buyung Hong dan Wan-ji, paman Lui berkata pula kepada Tian Pek:

"Sudahlah kitapun beristirahat!"-Ia lantas naik pembaringan dan tidur.

Tian Pek cukup kenal watak paman Lui, ia tak banyak bicara lagi, setelah

memadamkan lampu iapun naik pembaringan.

Kedua orang ini memang berilmu tinggi dan bernyali besar, meskipun tahu

bahaya akan mengancam, namun mereka tidak melakukan persiapan apa2,

malahan setelah berbaring di pembaringan paman Lui lantas tidur mendengkur.

Berbeda dengan Tian Pak, ia tak dapat tidur karena banyak persoalan yang

berkecamuk dalam benaknya.

Dia teringat kembali sakit hati ayahnya, dengan susah payah ia engembara,

tujuannya adalah membalas dendam, tapi tak tersangka musuh besarnya itu

satu demi satu binasa, bukan dibunuh olehnya tapi dilaksanakan oleh orang lain,

jadi usahanya dengan susah payah dan penderitaannya selama ini hanya sia2

belaka.

Setelah pertarungannya melawan Hay-gwa-sam-sat dan Hek to-su hiong, rasa

percayanya pada diri sendiri makin tebal, ia tahu kepandaian sendiri sudah

cukup untuk menjagoi kolong langit ini. Sebagai pemuda yang berilmu tinggi,

sepantasnya ia berjuang demi keadilan dan kebenaran bagi umat manusia, tapi

sayang ia terbelenggu oleh janji sendiri dan tak mungkin baginya untuk

mencampuri urusan dunia persilatan lagi.

Dendam kematian ayahnya sudah terbalas, iapun tak dapat mencampuri urusan

dunia persilatan, inilah kesempatan baik baginya untuk mengasingkan diri di

tempat yang indah. Siapa tahu, karena ingin menolong umat persilatan dari

badai pembunuhan, bukan pembalasan baik yang diterima malahan

menimbulkan pikiran jahat orang mengincar kitab pusakanya.

Ia tak tahu siapa2 yang bermaksud jahat padanya, tapi dari pembicaraan Buyung

Hong dan Wan-ji jelas orang yang mengincar Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pi-

kipnya itu tidak sedikit jumlahnya.

Terbayang kembali tentang Wan-ji, ia pikir dirinya sudah mengikat jodoh dengan

Buyung Hong, tak mungkin baginya untuk bermesraan pula dengan adiknya, tapi

cinta kasih Wan-ji yang begitu mendalam dan hangat tak mungkin terlupakan

untuk selamanya . . . .

Berpikir sampai di sini. ia menghela napas panjang dan membalik tubuh . . . .

Mendadak dilihatnya berkelebatnya cahaya hijau di luar jendehla, mula2 dia

mengira ada seekor kunang2 tersesat di sana, maka tak diperhatikannya, siapa

tahu dengan cepat segulung asap lantas mengepul ke arahnya.

Ketika asap terisap ke lubang hidung, Tian Pek merasakan kepalanya jadi pening.

Segera ia merasa gelagat tidak baik, cepat ia menahan pernapasannya, ia

mengerahkan hawa murninya dan desak keluar hawa racun yang sudah telanjur

diisapnya tadi.

Untunglah tenaga dalamnya cukup sempurna, iapun pernah minum Ci-tam-hoa

yang berusia ribuan tahun, karenanya bubuk racun itu tak sampai berpengaruh

apa2 dalam tubuhnya.

Hakekatnya hawa racun yang dilepaskan orang di luar jendela itu lihay sekali,

asap itu bernama Ngo-ko-toan-hun-hiang (dupa pemutus nyawa sebelum

kentongan kelima), sekalipun seorang berilmu tinggi akan jatuh tak sadarkan diri

seteleh mencium baunya.

Seperti juga namanya, bila sebelum kentongan kelima atau fajar menyingsing

korban tidak diberi obat khusus, niscaya akan binasa.

Tampakmya pelepas racun itu mengetahui Tian Pek berilmu tinggi, bila harus

bertempur secara terang2an pasti mereka bukan tandingannya, maka digunakan

cara yang keji ini untuk melumpuhkannya.

Siapa tahu kepandaian Tian Pek dewasa ini sudah mencapai tingkatan tak

mempan tehadap segala macam racun, hanya cukup menyalurkan hawa

murninya hawa racun yang mengeram dalam tubuhnya segera terdesak keluar,

bahkan kesehatan dan kesegaran badannya telah pulih kembali seperti sedia

kala.

Sesudah berhasil memaksa keluar hawa racun itu, Tian Pek mencoba untuk

membangunkan paman Lui, siapa tahu jejak paman Lui sudah lenyap tak

berbekas, entah sejak kapan ia pergi dari tempat itu.

Tiba2 terdengar dengusan tertahan di luar jendela, tampaknya ada seseorang

terkena serangan, menyusul terdengar suara paman Lui tertawa terbahak-

bahak: "Hahaha, jangan kau anggap setelah mengenakan kedok lalu orang tak

kenal kau lagi! Hm memalukan sekali, sungguh tak nyana dalam perkumpulan

pengemis terdapat manusia kotor semacam kau!"

Dari angin pukulan memutuskan kata2 itu diantara suara langkah kaki yang

kacau, dapat diketahui bukan satu dua orang saja yang terlibat dalam

pertarungan itu. .

Diam2 Tian Pek malu diri, ia dapat membuktikan bahwa sesungguhnya ia masih

belum berpengalaman, kenyataannya meski paman Lui tidur mendengkur, tapi

ia lebih cepat mengetahui jejak musuh daripadanya.

Kenyataan ini membuat anak muda itu bertindak lebih waspada lagi, ketika

didengarnya paman Lui sudah terlibat dalam pertarungan melawan orang di

luar, ia tidak langsung keluar rumah melainkan secara diam2 menerobos keluar

dari jendela belakang, lalu dia melayang ke atas atap rumah.

Siasat ini ternyata tepat, sebab takkala Tian Pek berhasil mencapai atap rumah,

ia saksikan kecuali beberapa orang yang sedang bertempur melawan paman Lui,

di atas atap rumah terdapat pula empat lima orang lain.

Dengan ilmu meringankan tubuh Tian Pek melayang ke atap rumah tanpa

menimbulkan suara ditambah pula beberapa orang itu asyik menyaksikan

pertarungan yang sedang berlangsung, walaupun Tian Pek sudah berada lima

depa dibelakang mereka, ternyata orang2 itu belum merasakannya.

Dengan seksama pemuda itu mengawasi orang2 itu, dari bayangan punggung

salah seorang di antara mereka ia dapat mengenali orang itu, seperti Toan-hong

Kongcu, sedangkan tiga orang lainnya adalah anggota perkumpulan pengemis.

Kenyataan ini sangat menggusarkan Tian Pek, ia segera mendengus.

Dengan terperanjat beberapa orang itu membalik badan, tampaknya mereka tak

menyangka bakal muncul seorang dari belakang.

Orang2 ini menutupi mukanya dengan kain kerudung hitam, Tian Pek tertawa

dingin, ejeknya: "Hehehe, rupanya kalian memang cecunguk2 sebangsa maling

ayam, kalau berani berbuat kenapa tak berani bertemu orang dengan wajah

asli?"

Orang2 itu tidak menjawab, salah satu di antaranya dengan sorot mata yang

tajam segera menerjang maju dan menghantam, tenaga serangannya berat, ini

menandakan lwekangnya cukup sempurna.

Tian Pek tak gentar, ia menyambut dengan keras lawan keras.

Orang itu cukup licik, sebelum tenaga pukulan saling bentur, tiba2 ia menarik

kembali serangannya dan kabur dengan cepat. Sementara empat-lima orang

yang lain, serentak ikut kabur berpencar.

Rupanya mereka tahu bukan tandingan Tian Pek, maka ketika dilihatnya rencana

mereka gagal total dan pemuda yang disegani itu muncul serentak mereka

kabur ter-birit2 agar diri mereka tidak sampai diketahui.

"Mau kabur ke mana?" bentak Tian Pek, cepat ia mengejar pemimpin

rombongan itu.

Siapa tahu orang itu cukup licik, tiba2 ia berpaling sambil mengayunkan

tangannya, cahaya putih segera menyambar ke batok kepala anak muda itu.

Dengan cekatan Tian Pak mengegos ke samping dan menghantam hingga cahaya

putih itu mencelat ke udara . . . ."Blang!" sinar putih itu meledak, cahaya api

segera berhamburan.

Bersamaan dengan terjadinya ledakan. itu, suara bentakan nyaring serentak

berkumandang dari empat penjuru, beratus biji peluru berhamburan di angkasa

bagaikan hujan, semuanya ditujukan ke arah Tian Pek.

Agaknya ledakan bunga api itu adalah tanda yang sengaja dilepaskan untuk

memerintahkan anak buahnya melangsungkan sergapan dengan senjata rahasia.

Tian Pak berpekik nyaring, dia putar kedua telapak tangannya hingga berwujud

selapis hawa pukulan yang kuat semua peluru baja itu tergetar beterbangan.

Dalam pada itu, kawanan penjahat yang sedang bertarung dengan paman Lui

telah kabur pula dari situ, sedemikan Tay-pek-sgiang-gi, Buyungi Hong, Wan-ji

dhan Ji-lopiautau juga telah bermunculan, beberapa orang itu segera terkurung

pula di bawah hujan peluru baja.

Menghadapi kejadian seperti ini, terpaksa beberapa orang itu harus memukul

rontok pelurus baja itu, tapi jumlah Am-gi yang beterbangan itu terlampau

banyak, seketika mereka menjadi kalang kabut.

Sementara itu kawanan jago yang berdiam di bilik2 lain telah berlarian menuju

halaman depan demi mendengar suara pertempuran, tiba2 terdengar seseorang

membentak:

"Berhenti semua"

Tiga sosok bayangan manusia dengan cepat melayang masuk ke tengah arena,

tiga orang itu tak lain adalah Hong-jan-sam-kay, ketiga Tianglo dari perkumpulan

pengemis.

Sekilas pandang pangemis sinting Coh Liang lantas tahu bahwa kawanan jago

yang melancarkan serangan peluru baja tak lain adalah anak murid

perkumpulannya, mereka lebih gusar lagi setelah mengetahui bahwa orang yang

diserang adalah paman Lui dan Tian Pek sekalian.

"Berhenti!" hardiknya. "Siapa yang memberi perintah untuk menyerang orang

sendiri? Kalian sudah gila..?""

Setelah dibentak oleh Hong-jan-sam-kay, anak murid perkumpulan pengemis

segera menghentikan serangannya, suasana menjadi hening.

Paman Lui terbahak-bahak, katanya dengan setengah mengejek: "He, pengemis

busuk! Bila kalian tak dapat memberi penjelasan yang masuk di akal kepada

kami, aku bersumpah takkan berhubungan dengan kalian bertiga!"

Pengemis sinting yang biasanya suka tertawa ini berdiri dengan wajah serius,

sahutnya: "Sekalipun saudara tua tidak berkata begini kami juga akan selidiki

persoalan ini hingga menjadi jelas, betul-betul memalukan Kay-pang!"

Paman Lui tidak berbicara banyak, dia menghampiri tepi jendela dan memungut

suatu benda dari sana, kemudian diangsurkan kepada pengemis sinting,

katanya: "Pengemis busuk! Coba kau periksa benda ini.. Sungguh tak kusangka

kalian pengemis-pengemis busuk ini juga melakukan pekerjaan kotor begini,

benar-benar memalukan!"

Pengemis sinting menerima angsguran benda itu idan diperiksanyha dengan

sekasama, ternyata benda itu adalah sejenis alat yang dinamakan Pek-tong-sian-

ho (bangau dewa tabung tembaga putih).

Benda itu tersohor sekali di dunia persilatan, andaikan belum pernah melihat

tentu juga pernah mendengar, karena alat tersebut memang khusus digunakan

untuk menyemburkan dupa pemabuk, alat semacam ini seringkali dipakai oleh

manusia-manusia golongan hitam bila akan melakukan pencurian atau

pembegalan.

Hampir meledak dada pengemis sinting saking marahnya, untuk sesaat ia jadi

tertegun dan tak mampu bicara.

Perkumpulan Kay-pang meski terdiri dari golongan manusia paling miskin di

dunia ini, tapi peraturan rumah tangga mereka cukup ketat, dimulai dari cikal

bakal mereka sampai saat ini, pantangan yang pertama adalah: Lebih baik mati

kelaparan daripada menjadi pencuri.

Tapi sekarang alat khusus yang biasa digunakan kaum penyamun muncul di

tangan anak buah perkumpulan pengemis, bahkan terjatuh ke tangan paman

Lui, kejadian ini membuat Hong-jan-sam-kay jadi marah dan malu.

Air muka pengemis pemabuk berubah sedingin salju, ia berpaling, bentaknya

kepada anak murid yang bersembunyi di sekitar tempat itu: "Siapa yang

bertugas ronda? Hayo cepat menggelinding keluar!"

Seorang pengemis berusia setengah baya mengiakan dan muncul dengan muka

pucat seperti mayat. Perlu diketahui Hong-jan-sam-kay adalah Tianglo dari

perkumpulan pengemis, bukan saja kedudukannya amat tinggi, merekapun

mempunyai kekuasaan untuk menentukan mati hidupnya seseorang apalagi

sekarang dalam keadaan gusar, wajah mereka dalam keadaan menyeramkan.

Setibanya di hadapan pengemis pemabuk, pengemis setengah tua itu berhenti

dan memberi hormat, katanya:

"Tecu Cau Siang-hui (terbang di atas rumput) Pek Liang yang bertugas"

"Cuh!" Pengemis pemabuk Pui Pit menyemburkan riak kental ke arah pengemis

itu, lalu makinya: "Bangswat, rupanya kau sudah buta, sebab apa kau memberi

perintah untuk menyerang Lui tayhiap?"

"Tecu hanya menjalankan perintah atasan, harap tianglo maklum" sahut Cang

Siau-hui Pek Liang dengan munduk-munduk, sampai riak yang menempel di pipi

tak berani diusapnya.

Mendengar jawaban tersebut, pengemis sinting mencengkeram pergelangan

tangan kanan Pek Liang dan hardiknya lagi: "Cepat mengaku, atas perintah

siapa?"

Dalam gusarnya cengkeraman pengemis sinting ini dilancarkan dengan tenaga

besar, hampir saja lengan orang itu patah, meski kesakitan sampai keringat

membasahi tubuhnya, Pek Liang meringis dan bertahan sekuatnya, sahutnya

tegas: "Tecu melaksanakan perintah Ciangbunjin!"

Dengan cepat Hong-jan-sam-kay saling pandang sekejap, tampaknya mereka

sudah memahami sebagian besar duduk persoalan yang sebenarnya, Meski

begitu pengemis sinting tidak melepaskan cengkeramannya, kembali ia

menegas: "Ucapanmu tidak keliru?"

"Tecu tak berani bohong!" sahut Pek Liang dengan ketakutan.

Pengemis sinting tidak banyak bicara lagi, dia lepaskan cengkeramannya dan

mundur dua langkah setelah berpandangan dengan kedua orang rekannya ia

tarik napas panjang dan membungkam.

Dalam pada itu, kawanan jago dari dunia persilatan telah mengerumuni sekitar

gelanggang, dengan tenang mereka nantikan apa tindakan perkumpulan

pengemis akan mengatasi persoalan ini, suasana menjadi hening.

Seandainya perbuatan ini dilakukan oleh salah seorang anggota perkumpulan,

maka Hong-jan-sam-kay dengan kedudukannya sebagai Tianglo bisa

menjatuhkan hukuman sesuai dengan peraturan, dengan demikian merekapun

bisa memberikan pertanggungan jawab kepada paman Lui.

Tapi sekarang Pek Liang mengaku bertindak atas perintah sang Ciangbunjin atau

ketua mereka sendiri, dengan sendirinya persoalannya menjadi lain lagi, bukan

saja hal itu merupakan peristiwa yang sangat memalukan perkumpulan

pengemis, merekapun tak bisa mengambil tindakan dengan seenaknya, Karena

turun menurun kedudukan ketua mempunyai kekuasaan tertinggi dalam tubuh

perkumpulan, tiada peraturan yang mengijinkan seorang untuk menjatuhkan

hukuman kepada ketua.

Lain sekali tiga orang itu saling berpandangan dengan ragu, tiba2 satu ingatan

terlintas dalam benak si pengemis pemabuk, ia membentak lagi ke arah Pek

Liang yang sedang mengundurkan diri dari situ: "Berhenti! Apakah Ciangbunjin

memberikan perintah sendiri kepadamu?"

Sebelum Cau-siang-hui Pek Liang menjawab, mendadak terdengar gelak tertawa

nyaring, menyusul mana sesosok bayangan melayang masuk ke tengah

gelanggang.

Orang itu tak lain adalah Toan-hong Kongcu ketua Kay-pang yang paling muda

selama sejarah perhimpunan kaum jembel itu.

Begitu Toan hong Kongcu muncul, diam2 Tian Pek mencibir dan membatin:

"Akan kulihat bagaimana caramu membersihkan diri dari segala tuduhan?"

Toan hong Kongcu tampak tenang2 saja, ia tertawa hambar, ujarnya kepada

Hong-jan-sam kay:

"Bagaimanapun persoalan ini harus diselidiki hingga jelas!"

Lalu ia berpaling ke arah Pek Liang dan membentak: "Apakah Ciangbunjin

pribadi yang memberi perintah kepadamu?"

"Tecu menerima perintah dari Sin-heng-tay po (pangeran langkah sakti) Tang

Cing yang membawa Lik-giok-tiang-leng (pentung hijau tanda perintah)"

"Panggil Sin- heng-tay po Tang Cing kemari!" bentak Toan-hong Kongcu dengan

kereng.

Perintah itu segera disampaikan, tapi kemudian datang laporqn bahwa Sin heng-

tay-po Tang Cing telah lenyap entah pergi ke mana.

"Bawa kemari Lik-giok tiang-leng!" seru Toan hong Kongcu lagi.

Hui-ca tay-po (pangeran garpu terbang) Han Giok mengiakan, selang sejenak ia

telah muncul kembali, katanya dengan ter-bagta2: "Lapor Ciaingbunjin, Lik-ghiok

tiang-leng tak ada di ruang tengah!"

Mendengar laporan itu, air muka Hong-jan-sam-kay berubah hebat, Toan-hong

Kongcu sendiripun tampak diliputi emosi, serunya lagi; "Siapa yang bertugas

menjaga ruangan itu?"

"Tah-hou-tay po (pangeran pemukul harimau) Lim Lip serta Kim ciong-tay-po

(pangeran tumbak emas) Keh Hong!"

"Pangil kedua orang itu kemari!" bentak Toan-hong Kongcu dengan wajah pucat

hijau.

"Mereka sudah tak nampak lagi batang hidungnya!" jawab Hui ca tay-po.

Wajah Hong jan sam kay dan Toan Hong Kongcu kali ini benar2 berubah hebat,

sebab Sin heng, Tah hou, Hui-ca dan Kim-ciong. Keempat Tay-po adalah

pelaksana hukum perkumpulan pengemis, sekarang tiga diantaranya tak

nampak lagi batang hidungnya, bahkan tanda kekuasaan Likgiok-tiong-leng pun

ikut lenyap. dari sini dapat diketahui betapa seriusnya masalah ini.

Toan-hong Korgcu lantas memberikan perintah untuk melakukan pencarian

secara besar2an, semua anggota pengemis dikerahkan untuk mencari jejak

ketiga Tay-po itu dan Lik-giok-tiang-leng, tapi jejak mereka se-akan2 tenggelam

di samudra luas, sama sekali tak ada beritanya lagi.

Setelah gagal mencari jejak orang2 itu, Toan-hong Kongcu berpendapat tentulah

Sam-tay-po itu sudah menyalahgunakan wewenangnya untuk memberi perintah

palsu dengan mencatut nama ketuanya dan tanda kepercayaan tongkat kumala

hijau itu, tujuan mereka pastilah hendak mencuri kitab pusaka Soh-kut-siau hun-

thian-hud-pi-kip.

Uraian Tong-hong Kongcu ini ternyata tidak dibantah seorangpun atau ada yang

berpendapat lain, hanya Tian Pek saja diam2 masih curiga, sebab dari balik atap

rumah jelas ia melihat adanya lima sosok bayangan manusia berkerudung, satu

diantaranya tak lain adalah Toan-hong Kongcu, tapi karena tak ada bukti yang

jelas maka iapun tidak membongkar rahasia tersebut.

Tatkala kaum pengemis itu membekuk Huica-tay-po, satu2nya pelaksana hukum

yang tidak lolos itu atas perintah Toan-hong Kongcu, kemudian meminta maaf

kepada paman Lui, satu ingatan cerdik tiba2 melintas dalam begnak Tian Pek, ia

lantas berseru dan mengumpulkan kembali kawanan jago silat yang akan bubar

itu. katanya: "Demi menyelamatkan dunia persilatan dari bencana, secara

gegabah aku Tian Pek telah membocorkan rahasia Soh-kut-siau-hun-thian-hud-

pit-kip kepada semua orang, kenyataannya akibat dari tindakanku ini telah

muncul orang2 yang tak diinginkan, terpaksa aku harus mengambil tindakan

cepat dan tindakan tersebut rasanya cuma ada

satu jalan. .."

Dia keluarkan kitab pusaka itu dari sakunya, kemudian diperlihatkan kepada

para hadirin, katanya lebih lanjut. "Cara itu ialah memusnahkan kitab pusaka

yang menjadi incaran banyak orang ini di hadapan kalian semua" Begitu selesai

berkata "Prak!" kedua telapak tangannya ditekan dengan keras2 dan kitab

pusaka Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pi-kip yang menjadi incaran setiap umat

persilatan itu tahu2 sudah hancur dan musnah menjadi abu.

Tindakan Tian Pek ini sama tekali di luar dugaan siapapun, saking kagetnya

semua jago hanya berdiri tertegun dengan mata terbelalak lebar, tidak

terkecuali paman Lui, saking kagetnya ia sampai tak mampu ber-kata2.

Tian Pek masih saja tenang2, begitu kitab pusaka yang menjadi idaman setiap

umat persilatan itu dihancurkan, lalu ia menyebarkan abu buku itu ke udara

hingga beterbangan dan tersebar kemana2.

Selesai memusnakan kitab tadi, anak muda itu menghampiri paman Lui dan

berkata sambil memberi hormat: "Paman, harap maafkan tindakan

keponakanmu yang kelewat batas ini!"

"Ai, sudah dihancurkan ya sudahlah" sahut paman Lui sambil menghela napas

dan menggeleng kepala. "Cuma sayang jerih payah Ciah-gan-longkun akhirnya

harus musnah dengan cara begini . . . . ." Saking sedihnya jago tua ini sampai tak

mampu melanjutkan kata2nya.

Setelah terjadi peristiwa itu, kawanan jago yang berkumpul baru bisa

mengembuskan napas lega mereka merasa gegetun, sayang dan kecewa,

dengan membawa pelbagai perasaan yang berbeda inilah orang2 itu siap

membubarkan diri ......

Tapi ada pula beberapa orang di antaranya merasa curiga, mereka berpikir: "Ah,

masa ia betul2 sudah musnahkanw kitab pusaka yyang dianggap orxang

persilatan sebagai kitab paling aneh di dunia itu . . ....?"

"Jangan2 kitab yang dimusnahkan hanya kitab palsu . . . . . ?"

Toan-hong Kongcu sendiri berdiri mematung seperti orang linglung, mimpipun ia

tak menyangka Tian Pek bakal musnahkan kitab pusaka Soh kut-siau hun-thian

hud pi kip yang diidam-idamkan setiap jago silat itu di hadapan mereka. Dengan

begitu, berarti pula semua rencana dan siasatnya gagal total. rasa kecewa yang

dialaminya otomatis berlipat kali lebih hebat daripada orang lain.

Mendadak satu ingatan terlintas dalam benaknya, cepat ia bertanya; "Tian-

heng, apakah kau mempunyai salinan kitab itu . . . .?"

Sungguh gusar tak terkirakan hati Tian Pek mendapat pertanyaan itu, ia tak

mengira sebagai seorang ketua perkumpulan terbesar ternyata punya

pandangan sepicik itu, tak tahan lagi anak muda itu balas menjengek.

"Hehe, kitab salinan memang ada, cuma, berada di dalam hatiku, apakah

Kongcu hendak membelah dadaku dan sekalian merogoh keluar hatiku?"

"Ah, saudara Tian memang pandai bergurau!" ajar Toan-hong Kongcu sambil

tertawa ter-sipu2 "aku cuma menganggap terlalu sayang kalau kitab sehebat itu

harus dimusnahkan begitu saja, masa tanya saja tak boleh?"

Tian Pek mendengus, tiba2 ia maju tiga langkah ke muka dan mundur lima

langkah ke belakang, tubuhnya bergerak secepat kilat, dalam sekejap ia sudah

melancarkan empat kali pukulan berantai.

Angin pukulan men-deru2 dan kelihatan mengerikan tapi semua pukulan itu

bukan tertuju pada manusia melainkan menuju ke udara kosong.

Kendatipun demikian, Toan-hong-kongcu dan Hong-jan-sam-kay yang berada di

dekat situ tak bisa berdiri tegak lagi, sambil menjerit kaget serentak mereka

melompat mundur. Semua orang sama tertegun, siapapun tak mengerti apa

yang dilakukan anak muda itu.

Setelah Tian Pek memainkan empat kali pukulan dengan diimbangi ilmu langkah

Cian-hoan-biau-hiang-poh dan Ginkang Bu-sik-bu-siang-sin-hoat, segera pula ia

berhenti darn berseru: "Gerakan yang kulakukan barusan adalah jurus pertama

dari Thian hud-lik yang bernama Hud-kong-bu-ciau Bagaimana? Cukup untuk

menjadi bahan renungan Ciangbunjin selama beberapa hari bukan?"

Maksud ucapannya amat jelas, se-akan2 ia hendak menyatakan bahwa

janganlah kau terlampau tamak, untuk mengisap inti sari ilmu sakti ini bukanlah

pekerjaan semudah sangkaanmu.

Ketika dilihatnya kawanan jago itu berdiri dengan melenggong, beruntun ia

lancarkan pula tiga jurus gerakin Hud-coh-hang-song (Buddha suci turun ke

bumi). Liu-sing-yau-hue (menyapu bersih hawa siluman) serta Hong-ceng-lui-

beng (angin menderu guntur menggelegar).

Di dalam demontrasinya ini ia telah mainkan ilmu pukulan Thian-hud-hang-mo-

ciang disertai ilmu pukulan Hong-lui-pat-ciang, meskipun hanya tiga jurus

serangan berantai, tapi hawa pukulan yang terpancar luar biasa dahsyatnya,

seketika berjangkit angin taupan yang menggulung tinggi ke udara.

Demontrasi yang hebat dan luar biasa ini membuat kawanan jago itu diam2

menjulurkan lidah, pikir mereka: "Entah bagaimana caranya bocah ini berlatih

hingga mencapai prestasi setinggi ini . . . .?"

Sementara itu Tian Pek sudah berhenti, melihat semua orang memandangnya

dengan bingung, ia menghela napas dan menggeleng kepala seraya berkata:

"Ilmu silat yang tinggi tak dapat dipelajari dengan gegabah, baiklah kita mulai

dari permulaan lagi!"

Pemuda itu lantas duduk bersila seperti seorang paderi agung dan mulailah dia

menerangkan ilmu tenaga dalam.

Begitu mendengar Tian Pek mulai membacakan teori tenaga dalam Soh-kut-

siau-hun-thian-hud-pit-kip, kawanan jago mulai berkerumun di sekeliling anak

muda itu dan memasang telinga baik2.

Waktu itu keadaan Tian Pek sepgerti sang Buddhia yang sedang berkhotbah,

matanya terpejam dan mulutnya komat-kamit, angker dan berwibawa

tampaknya, sementara kawanan jago yang berkumpul juga pusatkan perhatian,

suasana jadi hening, tak terdengar suara lain..-.

Entah sejak kapan malam telah lalu dan sang surya sudah memancarkan

cahayanya di ufuk timur.

Kawanan jago yang ikut dalam pelajaran itu kebanyakan adalah jago2 yang

berilmu tinggi, sekalipun seorang pemuda juga paling sedikit memiliki dasar ilmu

silat yang tangguh, ketika mendengar apa yang diajarkan Tian Pek ternyata

merupakan ilmu sakti yang belum pernah dijumpai sebelumnya, bahkan bila

dibandingkan dengan apa yang pernah mereka pelajari selama ini bedanya

seperti langit dan bumi, kenyataan ini membuat jago2 itu makin tertarik,

sehingga semua pikiran dan perhatian mereka tertuju

pada satu titik saja, sekalipun terjadi ledakan dahsyat di samping mereka

mungkin takkan dihiraukan,

Begitulah, ber-turut2 Tian Pek memberi pelajaran selama tujuh hari, selama ini

semua orang menerima pelajaran sambil berlatih menurut pelajaran yang baru

mereka terima dari Tian Pek, ternyata kemajuan yang dicapai luar biasa sekali,

kenyataan ini membuat semua orang tak kepalang girangnya, sebab andaikata

mereka berlatih dengan menggunakan cara yang lama, entah berapa banyak

kesulitan yang akan ditemui.

Diantara sekian banyak orang, paman Lui, Buyung Hong, Wan-ji, Kim Cay-hong

serta Hoan Soh-ing memperoleh kemajuan yang paling pesat.

Ini disebabkan paman Lui pernah mempelajari isi kitab pusaka Soh-kut-siau-hun-

thian-hud-pit-kip itu selama ber-tahun2, hanya saja karena tidak mendapatkan

bantuan Liu Cui-cui dengan ilmu To-li-mi-hun-tay-hoatnya, maka banyak bagian

yang tak berhasil dia tembus, tapi sekarang setelah memperoleh petunjuk Tian

Pek ia jadi memahami kesalahannya, tak heran bila kemajuan yang dicapainya

melampaui siapapun..

Kiranya sewaktu Ciah-gan-longkun melukis kitab paling aneh di kolong langit itu,

dia telah menyembunyikan pula rahasia ilmu silat di antara lukisan2 bugil yang

merangsang itu, bila orang tak tahu rahasia itu, hanya berlatih dengan dasar

tulisan belaka, belum cukup bagi orang itu untuk mencapai prestasi yang paling

tinggi.

Mungkin hal ini tak pernah dipikir paman Lui, tak disangka olehnya kitab yang

dihadiahkan kepada Tian Pek ternyata dapat dipecahkan pula rahasianya oleh

pemuda itu, dari sini terbuktilah betapa pentingnya pengaruh nasib dan takdir

bagi umat manusia di dunia ini.

Sedangkan alasan mengapa Buyung Hong, Wan-ji, Kim Cay-hong dan Hoan Soh-

ing mendapat kemajuan yang jauh lebih pesat dari orang lain, ini disebabkan

karena mereka berempat sangat mempercayai Tian Pek, mereka yakin pelajaran

yang diberikan anak muda itu pasti tepat.

Begitulah Tian Pek sudah memberi pelajaran selama delapan hari, malam itu

ketika ia kembali ke kamarnya, belum lagi tidur, mendadak di luar jendela

terdengar suara kain baju tersampuk angin.

Suara itu lirih sekali se-akan2 angin yang berembus lewat, tapi tak dapat

mengelabuhi ketajaman pendengaran Tian Pek, sebab dengan tenaga dalam

yang dimilikinya sekarang, sekalipun daun yang gugur atau bunga yang rontok

pada jarak sepuluh tombak di sekelilingnya iapun dapat menangkap suara itu

dengan jelas.Untuk menjaga segala kemungkinan, dengan gerakan yang cepat ia

menerobos keluar lewat jendela belakang.

Dari kejauhan ia lihat dua sosok bayangan orang dengan cepat sedang

berkelebat melayang turun ke pekarangan sebelah depan.

Tian Pek semakin curiga, ia lantas menggunakan gerakan Bu-sik-bu-siang-sin-

hoat yang ringan untuk menyusulnya, hanya tiga-lima lompatan saja ia berhasil

menyusul di belakang kedua orang itu tanpa diketahui mereka.

Di bawah remang2 cahaya rembulan, Tian Pek dapat melihat badan kedua orang

itu, di luar dugaan ternyata mereka adalah dua nona yang bertubuh ramping.

Tian Pek semakin heran, pikirnya: "Mau apa kedua nona ini malam2 begini

berkeluyuran?..."

Sementara itu, kedua sosok bayangan ramping itu sudah berhenti di tepi sebuah

hutan kecil, Tian Pek bersembunyi di belakanng pepohonan dan mengintip

gerak-gerik mereka, sekarang ia dapat melihat jelas, tak salah lagi kedua orang

itu ialah Buyung Hong dan Tian Wan-ji.

Hal ini makin mengherankan anak muda itu, mau apa kedua nona itu malam2

menuju ke hutan yang sunyi itu?'

Karena curiga, ia tak mau unjuk diri, ia bersembunyi di belakang pohon untuk

mengintip gerak gerik kedua nona itu.

Terdengar Buyung Hong sedang tertawa cekikikan dan berkata: "Moay-moay,

coba kauterka untuk apa kuajak kau kemari?"

Tampaknya Wan-ji baru tahu orang yang disangka musuh ternyata tak lain

adalah kakaknya sendiri, ia tercengang kemudian menjawab: "Ah, kiranya Cici

adanya! Urusan apa kau pancing aku kesini?"

Buyung Hong tertawa, katanya: "Moay-moay, bicara sejujurnya, bukankah kau

mencintai engkoh Tian?"

Rupanya Wan-ji tak menyangka encinya akan membongkar rahasia hatinya

secara blak2an, ketika teringat olehnya bahwa Tian Pek adalah calon suami

encinya, merahlah wajahnya karena jengah.

"Cici, kau jangan sembarangan menduga. . . '? serunya cepat, "aku . . .

sebenarnya aku . . . . ."

Dapatkah ia menyangkal isi hatinya dengan mengatakan ia tidak mencintai Tian

Pek?

Tidak! Tak mungkin! Sejak hatimu terbuka, orang pertama yang dicintainya

adalah Tian Pek, bahkan ia percaya sampai akhir hayatpun ia tetap mencintai

Tian Pek, hanya nasib telah berkata lain, pemuda pujaan hatinya, telah menjadi

Cihunya, sudah tentu ia tak berani mengakui di depan encinya sendiri. Karena

itu ia menjadi gelagapan.

Dengan biji matanya yang jeli Buyung Hong menatap hangat adik perempuannya

ini, lalu tersenyum lembut, digenggamnya tangan Wan-ji, kemudian ia berkata

dengan suara yang halus: 'Adikku, kukira tak perlu kau mengelabui diriku lagi!

Ketahuilah, dari pengamatanku selama beberapa hari terakhir ini dapat

kuketahui bahwa kau sebenarnya sangat mencintai engkoh Tian, bahkan akupun

baru menyadari akan keadaan tersebut pada

beberapa hari terakhir ini, Kutahu cintamu pada engkoh Tian mungkin jauh lebib

awal daripadaku, mungkin juga semenjak engkoh Tian untuk pertama kalinya

tiba di rumah kita, ketika kau pergi mencari adik (Leng-hong Kongcu) dan

mintakan pengertiannya agar jangan mengusir engkoh Tian dari kamarnya . . .. .

Moay-moay, bukankah mulai saat itu kau telah mencintai engkoh Tian?"

Air muka Wan-ji semakin merah, ia biarkan encinya menggenggam tangannya,

sementara kepalanya tertunduk rendah dan mulutnya membungkam dalam

seribu bahasa.

"Aku sendiripun merasa sangat heran." demikian Buyung Hong berkata lebih

jauh, "Mengapa aku bisa berbuat sedemikian gegabahnya, sampai persoalan

maha penting seperti inipun tak kuketahui sejak dahulu? Andaikata Cici sejak

awal telah mengetahui bahwa kau amat mencintai engkoh Tian, tak nanti Cici

sampai melakukan tindakan keliru ini. . ."

Ketika Buyung Hong berkata sampai disini, tiba-tiba Wan-ji tak dapat menguasai

emosinya lagi, ia menangis tersedu, ia meronta dan melepaskan diri dari

pegangan encinya terus kabur dari situ.

"Adik Wan. . .!" teriak Buyung Hong.

Mendengar panggilan itu, Wan-ji menghentikan larinya, tapi ia masih berdiri

membelakangi encinya, sementara bahunya berguncang keras, agaknya nona itu

sedang menangis dengan sedihnya.

Siapa bilang tak sedih? Gadis manakah yang bersedia melepaskan kekasih

pertamanya dengan begitu saja? Apalagi cinta Wan-ji kepada Tian Pek sudah

mencapai tingkatan sehidup semati, tentu saja kesedihannya tak terperikan.

Tapi sekarang kekasihnya jelas akan menjadi suami encinya, kecuali bersedih

apa yang dapat ia lakukan lagi?

Cepat Buyung Hong memburu ke samping Wan-ji, ia menarik lengan adiknya

dan berbisik dengan suara lembut: "Adikku tak usah bersedih hati, maukah kau

mendengarkan perkataan encimu?"

Tiba-tiba Wan-ji menubruk ke dalam rangkulan encinya dan menangis tersedu-

sedu, katanya sambil sesenggukan: "Cici, aku merasa bersalah padamu. . .

aku. . ."

Wan-ji menangis semakin sedih, sedang Buyung Hong lantas teringat pada

musibah yang menimpa keluarganya, tanpa terasa ia ikut mencucurkan air mata.

Tian Pek bersembunyi di balik pohon dan dapat mengikuti semua kejadian itu

dengan jelas, ia merasa pedih hatinya bagaikan diiris-iris, pikirnya: "Tian Pek,

wahai Tian Pek. . . hanya terpengaruh oleh emosi kau menerima pinangan

Buyung Hong, tahukah kau bahwa tindakanmu ini telah menyakitkan hati Wan-ji

yang amat mencintai dirimu itu. . ."

Buyung Hong yang bersedih hati tiba-tiba teringat kembali pada tujuannya yang

utama, ia lantas menyeka air mata, kemudian membelai rambut adiknya, ia

keluarkan sapu tangan dan menyeka air mata Wan-ji.

"Adikku, janganlah menangis!" bisiknya lembut, "dengarkan dulu perkataan

encimu!"

Wan-ji masih bersandar dalam rangkulan encinya dengan manja, pipinya yang

masih basah dan berwarna merah membuat orang merasa iba, meski ia sudah

mendengar bisikan encinya, tapi bahunya masih bergerak naik turun menahan

isak.

Buyung Hong berbisik lagi dengan suara lembut: "Kita berdua adalah kakak

beradik kandung, meski masih ada seorang saudara tapi semenjak kecil

hubungannya dengan kita berdua tidak cocok, kalau tidak ribut denganku tentu

dia bertengkar dengan kau. Kini ayah telah dibunuh orang, keadaan rumah

tangga kita sudah jauh berbeda daripada keadaan dulu, maka semestinya mulai

sekarang kita kakak beradik harus hidup bersama untuk berjuang menghadapi

kehidupan selanjutnya, selamanya kita harus rukun dan

saling mencintai, Adikku, kau bersedia menuruti apa yang kukatakan bukan?"

Wan-ji tidak mengerti maksud tujuan encinya, ketika dilihatnya Buyung Hong

bicara dengan serius, maka iapun mengangguk kepala.

Buyung Hong tertawa, katanya pula: "Kalau kaupun mencintai engkoh Tian, kita

kakak beradik juga tak bisa dipisahkan satu sama lain, apa salahnya kalau kita

sama-sama menikah dengan engkoh Tian dan mempunyai suami yang sama?"

Begitu ucapan Buyung Hong diutarakan, bukan saja Wan-ji terkejut, bahkan Tian

Pek yang bersembunyi di belakang pohonpun terkesiap.

Wan-ji menengadah, dengan matanya yang jeli ia memandang wajah encinya

dengan termangu, ketika dilihatnya wajah encinya tetap ramah, bersenyum

kasih sayang, tahulah nona itu bahwa encinya tidak bergurau, jantungnya

menjadi berdebar keras.

Tiba-tiba ia menjatuhkan diri ke dalam pelukan encinya, ia berbisik: "Oh,

cici. . . !" Ia tak dapat mengangkat kepalanya lagi.

Meskipun dia belum menyanggupi usul encinya tapi dari perubahan sikap dan

pancaran sinar mata kaget bercampur girang, Buyung Hong tahu bahwa adiknya

telah menyetujui usulnya, hal ini membuat hatinya jadi lega dan girang, ia

merasa tali mati yang selama ini mengganjal dalam hatinya sekarang telah

terbuka.

Timbul sifat nakalnya untuk menggoda, sambil merangkul pinggang Wan-ji yang

ramping ia berkata lagi: "Adikku, ketahuilah bahwa persoalan ini menyangkut

masa depanmu sendiri, aku tak ingin melihat kau penasaran. Nah,

untukmenghindari segala kemungkinan yang tak diinginkan, Cici minta kau

menjawab sendiri, bersedia atau tidak menerima usulku ini?"

Wan-ji semakin tak berani menengadah, dia cuma memeluk Buyung Hong

sambil memanggil Cici tak henti2nya, tapi dari panggilan itu dapat terdengar

rasa sedihnya sudah terhapus, sebagai ganti suaranya sekarang penuh perasaan

gembira.

Dasar memang nakal, Buyung Hong terus menggoda: "He, bagaimana kau ini,

sebenarnya setuju tidak? Kenapa cuma memanggil Cici melulu!"

Ketika dilihatnya Wan-ji masih saja bersandar dalam pelukannya, ia berkata lagi:

"Kalau kau tidal setuju ya sudahlah, nanti kukatakan pada engloh Tian bahwa

kau sebenarnya tidak mencintainya."

"Cici, kau jahat . . .. . " Omel Wan-ji sambil menarik ujung baju cicinya.

"Bagus! Kau berani memaki aku, itu menandakan kau memang tidak mau,

sekarang juga akan kuberitahukan kepada engkoh Tian . . ." ia lantas mendorong

adiknya dan siap berlalu dari situ.

"Cici. . ...Cici. . .. ." meski tahu encinya cuma menggoda, tidak urung Wan-ji

berseru panik, mendadak ia menengadah, sinar matanya kebentur dengan

sesuatu, hampir saja ia menjerit kaget.

Entah sejak kapan, tak jauh dari tempat mereka telah muncul dua orang yang

mirip dengan badan halus.

Sebagaimana juga adiknya, Buyung Hong baru mengetahui akan hadirnya ke dua

orang seperti sukma gentayangan itu setelah melepaskan Wan-ji dari

pelukannya, ia berdiri terbelalak, ia kaget sampai tak mampu bersuara.

Kedua orang kakak beradik ini mengetahui bahwa ilmu silat sendiri cukup tinggi,

sekalipun sedang ber-cakap2, tak mungkin mereka tidak merasakan tibanya

kedua orang itu disamping mereka. Dari sini dapatlah diketahui betapa hebat

kungfu kedua pendatang yang tak diundang ini.

Kedua orang itu berusia antara enam puluhan, yang seorang bermuka bulat

telur berwarna ke-merah2an, berambut merah, berkulit hitam, bermata tajam

dan bentuknya seperti muka kunyuk.

Sedangkan yang lain adalah kakek kurus kecil berjubah panjang tebal, mukanya

merah dengan hidung besar merah pula, dandanannya persis seperti seorang

guru kampungan.

Meskipun dandanan mereka aneh dan lucu, namun sinar mata mereka tajam

mengawasi Buyung Hong berdua dengan seram.

Baik Buyung Hong maupun Wan-ji tidak kenal siapa kedua orang aneh ini, lain

halnya dengan Tian Pek yang bersembunyi di balik pohon, dia segera kenal

kedua prang ini sabagai Kui-kok-ji-ki (dua manusia aneh dari lembab setan) yang

bercokol di Gan-tang-san dan sudah dua kali mencari perkara padanya.

Sesungguhnya kehadiran dua orang ini sejak tadi tak luput dari perhatian Tian

Pek, hanya saja karena Buyung Hong berdua sedang membicarakan dia

betapapun ia merasa tak enak unjukkan diri, pula dia ingin menyelidiki apa yang

hendak dilakukan kedua orang yang tindak tanduknya selalu mencurigakan ini,

maka Tian Pek tetap diam saja di tempatoya.

Sementara itn Buyung Hong dan Wan-ji masih berdiri termangu, Kui-kok-ji-ki

lantas nnenghampiri mereka. Terdengar Ci-hoat-leng-kau Siang Ki-ok

menjengek: "Hehehe, betul2 kejadian yang aneh, baru pertama kali ini kujumpai

dua nona sedang berunding untuk kawin dengan seorang laki2 yang sama. Hopo

tumon?"

Wan-ji lebih cerdik dan binal. maka dilihatnya dua manusia aneh muncul tanpa

bersuara, bahkan menyindir dirinya, dengan melotot segera ia mombentak:

"Hmm, siapa yang suruh kau mencampuri urusan kami? Eeh, kalian mau apa

datang ke sini? Jika tidak memberi alasan yang tepat, jangan salahkan nona tak

sungkan2 lagi kepadamu!"

"Anak perempuan, jangan galak2 dulu!" jengek Kui-kok-in-siu Bun Ceng-ki

dengan suara menyeramkan, "kami cuma ingin tahu, engkoh Tian yang kalian

maksudkan itu apakah keparat yang bernama Tian Pek?"

"Kalau bicara sedikilah tahu diri, apa itu keparat?" bentak Wan-ji mendongkol.

Kui-kok-in-siu menjengek, tiha2 ia mencengkeram lengan Wan-ji sembari

menyahut:

"Jawab saja benarkah orang itu atau bukan?"

Perlu diketahui, serangan yang dilancarkan Kui-kok-in-siu barusan dilancarkan

dengan kecepatan yang luar biasa, andaikata Wan-ji tidak menguasai ilmu

langkah Cian-hoan-biau-hiang-poh yang belum lama berhasil dikuasainya, bisa

jadi ia sudah kena dicengkeram oleh musuh.

Lolos dari cengkeraman maut itu, Wan-ji segera melayang ke samping,

kemudian serunya dengan marah: "Kalau betul lantas mau apa? Tua bangka

yang tak tahu diri, nonamu menghormati kau sebagai orang tua, tapi kau

malahan menyerang lebih dulu. Nah, rasakan serangan balasan nonamu ini!"

Setajam gurdi jari tangannya terus menutuk dengan ilmu jari Soh-hun-ci, ia tutuk

jalan darah Ki-bun-hiat di dada Kui-kok-in-sigu.

Ketika cengkeramannya melehset tadi, diam2 Kui-kok-in-siu merasa kaget,

apalagi setelah diketahui bahwa serangan Wan-ji membawaa kekuatan yang

tidak lemah, hal ini membuatnya terkejut, ia tak menyangka nona semuda itu

ternyata memiliki kungfu yang amat lihay. Ia tak berani menyambut secara

kekerasan, cepat ia melejit dan menyingkir ke samping, tapi begitu mundur dia

maju kembali, ujung kakinya menjejak tanah dan secepat angin ia menubruk lagi

ke muka, beruntun dia menghantam dua kali dengan

dahsyat.

Kedua serangan itu dilancarkan hampir secara serentak, jurus serangannya aneh

dan membawa hawa serangan yang dingin.

Wan-ji terkejut, ia tak mengira kakek kurus macam guru dusun itu ternyata

memiliki tenaga serangan yang lihay, nona ini tak berani menyambut dengan

kekerasan, cepat ia melompat mundur. Sementara itu Buyung Hong yang

mengikuti jalannya pertarungan itu dapat mengetahui bahwa ilmu silat musuh

lihay sekali, meskipun kata2nya tak senonoh, tapi yang diselidiki adalah engkoh

Tian, jangan2 mereka adalah sababat dari Tian Pek.

Sebagai orang persilatan, ia tahu watak dari sementara jago silat memang aneh

dan tak bisa diterima dengan akal sehat, cepat ia mengalangi adiknya untuk

bentrok lebih lanjut, seraya memberi hormat kepada Kui-kok-ji-ki ia bertanya:

"Bolehkah kutahu, apa maksud Locianpwe berdua mencari Tian-siauhiap?"

"Oh, kalau begitu engkoh Tian yang kalian maksudkan benar2 adalah Tian Pek?"

bukan menjawab Kui-kok-in-siu malahan bertanya'

"Betul!" sahut nona itu berterus terang.

"Monyet cerdik berambut merah" yang sejak tadi membungkam tiba2 tergelak

sambil menyindir: "Hahaha, Tian Pak si bocah keparat ini memang punya rejeki

bagus, sampai2 ada dua anak perempuan secantik ini bersedia dikawini semua."

Merah wajah Buyung Hong, omelnya dengan ter-sipu2 "Locianpwe, jangan

sembarangan omong. Katakan saja, ada urusan apa kalian mencari Tian

siauhiap?"

"Cici, buat apa kau gubris mereka?" sela Wanji. "Kulihat kedua tua baugka ini

pasti bukan manusia baik2."

"Hahaha, kurangajar! Anak perempuan sudah bhosan hidup, berani kaumaki

kami," teriak Kuikok-in-siu segera telapak tangannya terangkat dan hendak

menghantam.

"Sute, jangan terburu napsu!" cepat Ci-hoat-leng-kau mengalangi rekannya,

"kalau kedua anak perempuan ini calon istri Tian Pak keparat itu, maka kita

harus menangkapnya hidup2. Dengan begitu, kita dapat memaksa dia

menyerahkan kitab paling aneh di kolong langit itu..."

Hampir meledak dada Wan-ji mendengar Ucapan itu, kontan ia memaki: "Kalian

jangan bermimpi di siang hari bolong, dengan kekuatan kalian berdua mash

belum berhak untuk memperebutkan kitab pusaka itu. Huh, kungfu kalian masih

ketinggalan jauh!"

Setelah urusan barkembang jadi begini, Buyung Hong baru mengerti bahwa

maksud kedua kakek aneh itu menanyakan Tian Pek adalah untuk kitab pusaka

Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip. Tapi bagaimanapun juga is lebih tenang dan

bisa berpikir daripada Wan-ji, ia tak ingin mencarikan musuh baru bagi engkoh

Tian yang telah mengundurkan diri dari dunia persilatan, sahutnya kemudian:

"Sayang sekali kedatangan Locianpwe terlambat setindak, pada beberapa hari

yang lalu dihadapan umum Tian-siauhiap telah

musnakan kitab pusaka Soh-kut-siau-hun itu!"

"Sungguhkah perkataanmu?" tanya Kui-kok-in-siu dengan air muka berubah

hebat.

"Untuk apa berbohong!" sahut Buyung Hong, ketika dilihatnya Kui-kok-in-siu

masih sangsi, ia menambahkan lagi. "Setiap orang yang hadir menyaksikan

peristiwa itu, kalau tak percaya silakan Cianpwe menyelidiki kejadian ini pada

orang lain!"

Dari cara Buyung Hong berbicara, Kui-kokin-siu percaya nona itu pasti tidak

bohong, kejadian ini benar2 berada di luar dugaannya. seketika ia jadi terbelalak

dan tak mampu bicara.

Ci-hoait-leng-kau lebih licik, ia tidak percaya dengan begitu saja, biji mata

berputar sambil tersenyum licik ia berkata: "Anak perempuan, hanya dengan

beberapa patah katamu itu kaukira bisa menipu kami!"

Wan-ji naik pitam oleh sikap kedua orang itu, sebelum Buyung Hong menjawab,

cepat ia menimbrung: "Sekalipun kami membohongi kalian, kalian tua bangka ini

mau apa?"

Kui-kok-in-siu seperti memahamyi sesuatu, dia xberseru dengan gusar: "Kalau

kalian membohongi kami, akan kucabut jiwa kalian!" Segera telapak tangannya

terangkat hendak menghantam pula.

Untuk kedua kalinya Ci-hoat-leng-kau mencegah sutenya yang kalap itu, ia

tertawa seram dan berkata: "Jangan kita bunuh mereka, kita tangkap mereka

hidup2, mustahil Tian Pek keparat itu takkan menyerahkan Soh-kut-siau-hun-

thian-hud-pit-kip kepada kita."

"Tong kosong memang nyaring bunyinya!" ejek Wan-ji.

Ci-hoat-leng-kau menarik muka, bentaknya dengan gusar: "Jawab saja, kalian

mau ikut kami atau harus kami bekuk dengan kekerasan?"

"Hehehe, omong besar melulu!" jengek Wan-ji. "jika betul2 turun tangan, tidak

sampai sepuluh jurus kami mampu membekuk kalian berdua!" seru Ci-hoat-

leng-kau dengan gemas.

Wan-ji tak mau kalah, dengan nada yang sama iapun berseru: 'Bila betu12

bertempur, tidak sampai tiga jurus kedua nonamu sanggup mengenyahkan

kalian tua bangka ini dari sini!"

Wan ji memang pandai bersilat lidah, ucapannya setajam sembilu, kontan saja

membuat Kui-kok-ji ki jadi mencak2, Tian Pek yang bersembunyi di belakang

pohon hampir saja tak dapat menahan gelinya.

"Baiklah, sebelum diberi hajaran tampaknya kalian tak mau percaya," sera Kui-

kok-in-siu marah-marah. "Sekarang juga akan kusuruh kalian rasakan sendiri

betapa lihaynya kami!"

Diiringi bentakan keras dia cengkeram dada Wan-ji dengan jurus Kui-ong-bong-

ciong (raja setan menumbuk lonceng) dari ilmu pukuian Im-hong-ciang,

serangan ini tergolong kotor terhadap seorang gadis. tapi kakek itu tak segan2

menggunakannya.

Merah wajah Wan-ji, ia bertambah gusar, dengan ilmu langkah Cian-hoan-biau-

hiang poh dia berputar ke samping.

Sejak dulu, ilmu andalan Wan-ji adalah kegesitan, setelah mempelajari ilmu

Cian-hoan -biau-hiang poh, keadaanya ibarat harimau tumbuh sayap, maka

setiap serangan maut Kui-kok-in-siu dapat dielakkannya.

Kui-kok-in siu terkejut, tapi semakin membangkitkan rasa gusarnya, ia

menyerang makin bernafsu, beruntun tujuh kali pukulan berantai dilepaskan.

Ketujuh serangan itu dilancarkan dengan tenaga dahsyat, meski begitu, di

bawah gerak tubuh Wan-ji yang lincah, semua ancaman maut itu bisa

dihindarkan dengan baik dan manis. Akan tetapi, tidak urung ia terdampar

mundur juga oleh angin pukulan musuh.

Wan -ji menjadi gusar, ia membentak lalu mengeluarkan ilmu Soh-hun ci,

beruntun ia balas menutuk tiga Hiat-to penting tubuh lawan.

Serangan jari tangan itu sangat lihay, Kui-Kok in-siu tak berani menyambut

dengan kekerasan, cepat ia melompat mundur, pada kesempatan tersebut Wan-

ji segera memperbaiki posisinya, beruntun iapun menutuk pula tiga kali dan

empat kali pukulan.

Di bawah tekanan ketujuh serangan berantai ini, Kui-kok-in-siu juga terdesak

mundur.

Demikianlah dalam waktu singkat kedua orang itu sudah terlibat delam

pertarungan sengit, belasan jurus sudah lewat, namun menang kalah masih

belum bisa ditentukan.

Sementara pertarungan itu berlangsung, Ci-hoat leng-kau melirik Buyung Hong,

ia berkata dengan suara menyeramkan: "Mereka berdua sudah mulai

bertempur, sebaiknya kitapun jangan menganggur, hayolah kitapun ber-main2

sebentar.

Ucapan itu bernada kotor, Buyung Hong jadi mendongkol, dengan muka

sedingin es ia menyindir: "Hm katanya dalam sepuluh jurus kami akan dibekuk?'

Kenapa sudah 20 jurus lebih kawanmu itu masih belum mampu gmengapa-

apakan adikku ...."

"Hehehe, apa bedanya sepuluh jurus atau dua puluh jurus? kalina berduakan

seperti benda dalam saku kami?" Begitu selesai berkata, dengan jurus Hek-jiu-

tan-bun (tangan hitam merampas sukma), dia cengkeram bagian bawah perut

nona itu.

Merah wajah Buyung Hong, ia tak menyangka kedua orang tua yang dihormati

ini ternyata tak lebih hanya manusia2 rendah yang bermoral bejat, menghadapi

serangan kotor ini, Buyung Hong sendiripun tak sungkan2 lagi, dengan jurus

Hong-ceng-lui-beng ia balas menghantam batok kepala musuh.

Ci-hoat-leng-kau menyambut pukulan itu dengan serangan kilat, dalam sekejap

saja mereka sudah bertempur berpuluh gebrakan.

Bicara soal kungfu maka ilmu silat Kanglam ji-ki pada dasarnya memang lihay,

apalagi setelah berhasil mencelakai gurunya sendiri, yakni Sin kau Tiat Leng dan

mencuri kitab pusaka Bu hak-cinkeng serta mempelajarinya dengan tekun, boleh

dibilang kungfu mereka berlipat kali lebih lihay daripada Buyung Hong berdua.

Untungnya kedua nona ini belum lama berselang sempat mendapat pelajaran

silat dari Tian Pek, dengan kungfu dari kitab Soh-kut-siau hun yang maha

dahsyat, walau agak memeras keringat kedua nona itu masih mampu bertahan.

Tapi setelah bertarung lama, Buyung Hong mulai kewalahan, ia tak sanggup lagi

melayani serangan2 maut Ci-hoat leng-kau.

Di antara Kanglam-ji- ki, ilmu silat kunyuk berambut merah ini memang lebih

lihay daripada saudaranya, sedangkan Buyung Hong lebih lemah jika

dibandingkan Wan ji, bisa dibayangkan bagaimana akibatnya ketika yang kuat

bertemu dengan yang lemah, puluhan gebrakan lewat, Buyung Hong sudah

keteter hingga napasnya tersengal dan sekujur badan mandi keringat.

Di pihak lain, pertarungan antara Wan-ji melawan Kui-kok-in-siu masih berjalan

dengan seimbang. Sebagaimana diceritakan tadi, Wan-ji pernah belajar dari

guru lain, yakni Sin-kau Tiat Leng, yang sebetulnya adalah guru Kui-kok-in-siu,

meskipun hanya belajar seratus hari, namun banyak jurus serangan mereka

ternyata sama dan kembar.

Kejadian ini membuat keduanya sama2 keheranan, mereka merasah belum

pernah bertemu dengan lawannya, tapi mengapa jurus serangan mereka

serupa?

Tentu saja keheranan itu hanya tersimpan di dalam hati saja, siapapun tak

menyangka kungfu mereka sebenarnya berasal dari guru yang sama.

Dalam pada itu Buyung Hong sudah terlibat dalam posisi yang berbahaya,

jiwanya berada diujung tanduk dan tiap saat pukulan mematikan musuh bisa

menghabisi nyawanya.

Setelah jelas kemenangan sudah diambang pintu, Ci-hoat-leng-kau mulai

bermulut usil, ia memuji kecantikan Buyung Hong, memuji bentuk tubuhnya

yang ramping dan kungfunya tangguh.

Padahal usia si "kunyuk berambut merah" itu pantas menjadi kakeknya Buyung

Hong, tapi dasar bermuka badak, tua2 keladi, tidak tahu diri.

Menghadapi godaan seperti itu, Buyung Hong jadi malu bercampur kheki, suatu

ketika mendadak Ci-hoat-leng-kau menggunakan ilmu Hek-sat-jiu untuk

mencengkeram mukanya, padahal ia sudah kehabisan tenaga, tak kuat rasanya

untuk menangkis ancaman tersebut. sekalipun begitu dia tak sudi tubuhnya

dicengkeram musuh sehingga akan merugikan nama baik Tian Pek.

Dalam keadaan begini, ia jadi nekat, timbul niatnya untuk beradu jiwa dengan

musuh, maka ketika serangan musuh hampir mengenai tubuhnya, berbareng itu

juga ia menerkam ke depan sambil menyerang dengan jurus Hwe-hong-ci-lip,

(mengambil kacang di tengah bara), suatu jurus serangan mematikan andalan Ti-

seng-jiu suara benturan dan bentakan keras menggelegar, menyusul seseorang

menjerit kesakitan ....

Bayangan manusia yaug bertarung itupun berpisah, seorang sambil memegang

pergelangan tangannya yang kesakitan tergetar mundur dengan sempoyongan.

Orang yang terluka itu bukan Buyung Hong sebaliknya adalah Ci-hoat-leng-kau

Siang Ki-ok.

Buyung Hong sendiri berdiri dengan napas tersengal dan muka pucat, meski

demikian wajahnya kelihatan berseri, kiranya di tengah arena pertempuran

telah bertambah dengan seseorang.

Orang itu adalah seorang pemuda yang sangat tampan dengan tubuh yang tinggi

tegap, dia masih muda tapiw berwibawa, ketyika Ci-hoat-lenxg-kau tergeser

mundur dalam keadaan mengenaskan, anak muda itu hanya memandangnya

sambil tertawa, tertawa mengejek.

Kiranya ketika Buyung Hong terancam bahaya, Tian Pek yang bersembunyi

dibalik pepohonan telah muncul dan menghajar Ci-hoat-leng-kau yang jumawa

dan sombong itu sehingga mencelat.

Wan-ji sangat gembira setelah melihat kemunculan Tian Pek, secara beruntun ia

lepaskan dua pukulan dahsyat untuk mendesak mundur Kui-kok-in-siu, pada

kesempatan tersebut nona itu menubruk ke pangkuan pemuda itu seraya

berseru: "Engkoh Tian. . . .."

Rasa cintanya yang selama ini tertimbun dalam hati tak bisa dikendalikan lagi,

dengan diliputi emosi yang meluap2 ia berseru dan menghampirinya, untunglah

dengan cepat ia teringat akan encinya, apalagi bila teringat kerelaan encinya

yang akan mengawini seorang suami bersama dengan dia, hal ini membuat

pipinya menjadi merah, untuk sesaat ia tak bisa berucap.

Tian Pek balas memberikan senyuman mesra kepadanya, kemudian berpaling ke

arah Kui-kok ji-ki seraya berkata: "Kalau kalian ada urusan menceari padaku,

mengapa tidak mencari langsung dan buat apa kalian merecoki dua orang anak

gadis dengan cara sekeji ini, begitukah perbuatan kalian sebagai tokoh

persilatan?"

Waktu itu Ci-hoat-leng-kau sedang menyembuhkan lukanya, ia tak dapat

menjawab. maka Kui-kok-in-siu yang menanggapi ucapan tersebut.

"Orang she Tian, sewaktu di lembah kematian, untung kau bisa lolos, tapi malam

ini hmm, jangan harap kau bisa lolos dari cengkeraman kami lagi!"

Tian Pek tertawa, katanya: "Aku orang she Tian tidak merasa pernah dikalahkan

oleh kalian, jika kali ini kalian mengincar jiwaku, maka silakan saja untuk

mencobanya, tapi kukira tidak segampang apa yang kau pikirkan!"

Diam2 Kui-kok in-su melirik sekejap ke arah suhengnya, ketika melihat Ci-hoat

leng-kau masih duduk bersila sambil mengatur pernapasan, sadarlah dia bahwa

kekuatannya seorang belum tentu bisa menandingi kelihayan Tian Pek, meski

demikian ia tidak sudi menyerah, apalagi unjuk kelemahan sendiri.

Kembali kakek kurus kecil itu tertawa seram, katanya: "Bocah keparat, jika kau

bersedia menyerahkan kitab Soh kut-siau-hun thian hud pit-kip itu kepada kami,

dengan senang hati akan kulupakan sengketa kita di masa lalu, bahkan sejak

detik ini tak akan kuungkat lagi tentang kematian muridku si Sam-cun-teng!"

"Jika kau bersedia melepaskan soal dendam, dengan senang hati akupun akan

menerimanya, tapi bila kau menghendaki kitab pusaka Soh-kut-siau hun-pit kip

tersebut, maka aku hanya bisa mengatakan sayang seribu kali sayang, sebab

kedatangan kalian sudah terlambat."

"Kalau begitu, kau tidak bersedia menyerahkan kitab itu kepada kami?"

"Mau percaya atau tidak terserah padamu, yang pasti kitab itu sudah

kumusnahkan di hadapan kawan2 dari seluruh kolong langit!"

Dalam pada itu Ci-hoat-leng-kau telah menyelesaikan semedinya, dengan muka

garang ia menghampiri anak muda itu, lalu serunya dengan bengis "Jangan kau

anggap tipu muslihatmu itu dapat membohongi kami berdua Hmm, mungkin

orang lain bisa kautipu, tapi kami tidak, sekarang aku hanya ingin bertanya, mau

serahkan pada kami atau tidak" Ucapannya garang, kasar dan mendesak, se-

akan2 bila pemuda itu tak bersedia menyerahkan kitab itu, maka mereka akan

segera melakukan penyerangan.

Kui-kok-in-siu semakin berani setelah luka suhengnya berhasil disembuhkan,

dengan menghimpun segenap tenaga dia melangkah maju, bentaknya; "Apakah

kau memaksa kami untuk menggunakan kekerasan?"

Mendongkol juga hati Tian Pok menghadapi kedua orang yang garang dan tak

pakai aturan ini, ia balas menjengek: "Jangankan kitab pusaka itu memang

sudah musnah, kendati masih utuh tak nanti kuserahkan kepada manusia bejat

yang berani mengkhianati guru sendiri seperti kalian ini."

Kejadian ini tak ubahnyga seperti mengorek borok di tuhbuh mereka, kontan

saja mereka naik darah, teriaknya kalap: "Bangsat, kau ingin mampus agaknya!"

Disertai bentakan nyaring, yang satu memakai ilmu pukulan Hek-sat-jiu

sedangkan yang lain memakai tin-hong-ciang, dengan dua jenis tenaga pukulan

yang berbeda serentak mereka serang Tian Pek. .

Anak muda itu sedikitpun tak gentar, dengan ilmu langkah Cian-hoan-biau-

hiang-poh dia berputar ke samping dan tahu2 sudah lolos dari cengkereaman

musuh, meski ada kesempatan untuk membalas namun ia tidak

mempergunakannya.

"Bila mau sungguh2 bertarung, belum tentu aku jeri pada kalian berdua,"

katanya sambil tertawa dingin, "tapi sebagaimana telah kukatakan, orong she

Tian telah mengundurkan diri dari dunia persilatan, aku tak ingin mengikat tali

permusuhan lagi dengan kalian!"

Kedua orang tua itu makin gusar, dengan muka merah padam Ci-hoat-leng-kau

menghardik:

"Tak peduli kau sudah mundur dari dunia persilatan atau tidak, pokoknya

sambut dulu pukulan ini.'

"Benar!" sambung Kui-kok-in-siu, "sebelum kitab Soh-hun-siau-hun kauserahkan

kepada kami, selamanya urusan kita tidak akan berakhir!".

Begitulah sambil berseru marah, kedua orang tua dari lembah setan ini mulai

menyerang dengan gencar.

Tian Pek tetap tidak membalas, dia hanya berkelit dan menghindar melulu,

sekalipun demikian tak satu pukulan musuhpun yang dapat mengenai tubuhnya.

Sekejap saja lima-enam jurus sudah lewat, dikerubut kedua musuh tangguh,

Tian Pek mendemonstrasikan kelihayan ilmu Iangkah Cian-hoan-biau-hiang-poh

yang diimbangi dengan gerakan tubuh Bu-sik-bu-siang-sin-hoat, dengan enteng

dan lincah ia mangegos ke kiri dan menghindar ke kanan, walaupun begitu dia

sudah terdesak mundur puluhan kaki dari posisi semula.

Tian Pek terdesak sehingga terpaksa harus balas menyerang, sementara itu

Wan-ji dan Buyung Hong telah memburu datang dan siap memberi bantuan,

tapi sebelum mereka melancarkan serangan balasan, tiba2 dari kgejauhan

berkumandang suara gelak tertawa yang amat nyaring disusul raungan yang

mendirikan bulu roma.

Mereka sama tertegun, bahkan Kanglam-ji-ki lantas menghentikan serangannya

dan melompat mundur serta berpaling ke arah suara itu . . . .

Suara itu sangat seram, se-akan2 suatu bencana besar segera akan terjadi.

Selagi orang2 itu melenggong, tiba2 sesosok bayangan hitam melayang tiba

dengan cepat sambil berseru: "Engkoh Tian . . . . Tian-siauhiap, ada orang datang

mencarimu!"

Tian Pek kenal itulah suara Kim Cay-hong yang berjulukan Kanglam-tee-it-bi-jin,

dari suara nona itu Tian Pek dapat merasakan nadanya gugup diliputi rasa kejut,

se-akan2 baru saja menemui suatu bencana besar.

"Ada orang mencari aku?" serunya, "kejadian apa membuat nona kelihatan

kaget dan gugup"

Rasa kaget masih menghiasi wajah Kim Cay-hong yang cantik, dengan napas

tersengal sahutnya. "Sembilan aliran besar dan . . . . dari banyak lagi jago2 lihay

Lam-hay-bun telah datang mencari Tian -siauhiap!"

"Masa begitu banyak orang datang mencari diriku?" seru anak muda itu heran.

Kim Cay-hong mengangguk, katanya lagi: Tampaknya sebelum datang mencari

Tian-siauhiap mereka telah berkumpul lebih dulu disuatu tempat kemudian

datang ber-sama2, paman Lui mengatakan Tian-siauhiap tidak berada di tempat,

tapi mereka tak percaya dan bermaksud melakukan penggeledahan, orang2 dari

perkumpulan pengemis mengalangi niat mereka, tapi dengan kekerasan mereka

turun tangan dan melukai beberapa orang, bahkan

katanya bila Tian-siauhiap tidak berhasil ditemukan maka semua orang yang

berkumpul di sana akan mereka bantai sampai habis . . . . "

"Ai, ada peristiwa begitu?" kata Tian Pek dengan gelisah, "aku akan segera

kesana!"

Tanpa membuang waktu lagi ia putar badan dan berlari pergi.

"Eeh, bangsat cilik! mau kabur kemana?" bentak Kanglam-ji-ki dengan gusar,

segera mereka mengejar.

Wan-ji, Buyung Hong serta Kim Cay-hong tak mau ketinggalan, merekapun

menyusul dari belakang.

Kira2 belasan tombak sebelum pagar pekarangan Tian Pek tak sabar lagi, dengan

gerakan Ci-sang-cing-in (melambung langsung ke atas mega) dia melejit ke atas

dan melayang masuk ke dalam halaman.

Halaman yang luas itu sekarang dipenuhi oleh dua tiga ratus jago silat dan yang

hebat adalah sedang berlangsung pertempuran yang mengerikan.

Deru angin pukulan, kelebatan bayangan tangan serta kilatan cahaya senjata

membuat udara terasa sesak dan kacau, jerit kesakitan, keluhan dan rintihan

berkumandang dari sana sini, yang lebih ngeri lagi adalah berpuluh sosok mayat

tanpa kepala atau anggota badan yang tak lengkap terkapar di sana- sini.

"Tahan!" bentak Tian Pek, suaranya keras seperti guntur membuat orang2 yang

sedang bertempur itu kaget, dan segera menarik kembali seranganya sambil

melompat mundur.

Beruntun melayang masuk enam sosok bayangan ke dalam halaman itu, orang

pertama yang tiba lebih dulu adalah Tan Pek, pemuda yang tampan dan gagah

perkasa itu, di belakangnya menyusul Kanglam-ji-ki, Wan-ji, Buyung Hong serta

Kim Cay-hong.

Begitu tiba di arena pertempuran, Tian Pek memandang sekejap mayat yang

bergelimpangan di tanah, lalu dengan penuh emosi ia berseru lantang: "Jago

lihay dari manakah yang datang mencariku? Dengan dasar apakah kalian

melakukan pembantaian keji di sini? Pantas dan adilkah perbuatanmu ini?"

"Omitohud!" dari kerumunan orang banyak muncul seorang Hwesio tua yang

bertubuh tegap ia memakai jubah pendeta warna abu2, alis mata nya sudah

putih tapi mukanya masih segar.

Setelah memberi hormat, iapun berkata: "Jika dugaanku tidak keliru, tentunya

kau yang bernama Tian Pek, keturunan Pak-lek-kiam Tian In-thian Tian tayhiap

bukan?"

Anak muda itu mengangguk tanda membenarkan.

"Aku adalah Hong-tiang Siau-lim si dewasa ini yang bergelar Ci-hay," kata paderi

tua itu lebih lebih jauh, "dan sekarang atas nama ketua dari sembilan aliran

besar khusus datang kemari untuk memimjam sesuatu benda pada Tian-

siauhiap, sudikah kiranya Tian siauhrap mengabulkan permintaan kami ini?"

Sebelum ketua Siau-lim ini menyelesaikan kata-katanya, para ketua kedelapan

golongan besar, yakni ketua Go-bi, Khong-tong, Bu-tong, Kun-lun, Tiam-jong,

Hoa-san, Tiang-pek serta Hoat-hoa serentak maju dua langkah dan berdiri

berjajar di belakang Ci-hay Siansu, dengan tatapan tajam mereka awasi anak

muda itu tanpa berkedip.

Tian Pek tidak segera menjawab, ia mendongkol setelah mendengar perkataan

ketua Siau-lim yang jelas nadanya mengandung paksaan itu, apalagi setelah

menyaksikan sikap ketua kedelapan golongan persilatan yang sama2

menatapnya dengan garang, agaknya bila ia tidak meluluskan permintaannya

maka mereka akan segera menggunakan kekerasan.

"Benar2 tak kusangka!" demikian ia berpikir di dalam hati, "sembilan aliran

besar yang sudah harum namanya semenjak ratusan tahun berselang ternyata

tempat bercokol manusia tamak akan harta pusaka. Ai, kalau manusia2 begini

diserahi memegang tampuk pimpinan, darimana mereka dapat melakukan tugas

dengan se- baik2nya . . . . "

Berhubung sejak pandangan pertama sikap kesembilan orang ketua persilatan

itu sudah memberi kesan yang jelek pada Tian Pek, apalagi sikap main gertak

yang mereka tunjukkan telah membuat anak muda itu mendongkol, maka sikap

Tian Pek juga tak sungkan2 lagi.

Ditatapnya kesembilan orang itu dengan pandangan sinis, sambil tertawa dingin

ia berkata: "Apa permintaan kalian? Silakan Taysu utarakan dengan cepat! Asal

permintaan kalian tidak melanggar keadilan serta kebengaran, pasti akain

kupenuhi!"

Beberapa patah kata itu diucapkan Tian Pek dengan keren dan penuh wibawa,

nadanya tidak sombong juga tidak merendahkan diri sendiri, ini membuat

sebagian besar jago yang hadir sama merasa kagum.

"Gagah amat pemuda ini!" begitulah mereka membatin, "tidak perlu soal ilmu

silat, cukup ditinjau dari sikap serta cara berbicaranya sudah cukup membuat

orang takluk. Kelak besar harapannya akan memimpin dunia persilatan.. . ."

Sebagai orang persilatan yang berpengalaman, tentu saja merekapun dapat

menangkap arti ganda dari ucapan itu, tapi jelas ucapan itu bernada sindiran

dan yang disindir tak lain adalah cara berbicara maupun cara bertindak ketua

Siau-lim yang tak sopan itu.

Sebagai ketua Siau-lim-pay sudah tentu Ci-hay Slansu dapat menangkap arti

sindiran tersebut, tapi ia tak berani bertindak gegabah lantaran disadari betapa

pentingnya persoalan ini.

Dengan wajah merah kemudian ia berkata: "Sebenarnya permintaan yang

hendak kuajukan juga tidak terlampau berlebihan, aku cuma berharap agar Siau

sicu bersedia menyerahkan Soh-kutsiau-hun-thian-hud-pit-kip itu kepadaku dan

aku beserta ketua kedelapan aliran besar segera akan berlalu dari sini."

Mendengar permintaan itu, Tian Pek tertawa dingin. "Seandainya kitab pusaka

itu masih ada niscaya akan kuserahkan kepada Ciangbunjin untuk dibawa

pulang. sayang kedatangan kalian terlambat sedikit, beberapa hari yang lalu

kitab pusaka itu sudah kumusnahkan di hadapan umum, kukuatir kedatangan

Ciangbunjin hanya akan sia2 belaka!"

Sebenarnya apa yang diucapkan Tian Pek adalah kejadian yang sesungguhnya,

tapi diterima oleh Ci-hay Siansu dengan arti yang lain, paderi itu melanjutkan

kata2nya:

"Tian-sicu, terus terang saja kukatakan, pada hakikatnya kitab pusaka itu adalah

milik Siau-lim kami dan Bu-tong-pay. Dua ratus tahun yang lalu Ko-sui Taysu,

ketua kami yang lampau beserta Tiat-sin Totiang dari Butong-pay telah

melepaskan budi portolongan kepada seorang jago aneh dari kolong langit yang

bernama Ciah-gan-longkun, maka sebagai rasa terima kasihnya atas budi

pertolongan tersebut, Ciah-gan longkun telah menghadiahkan sejilid kitab

pusaka kepada kami, kitab pusaka itu tak

lain adalah Soh-kut-sigau-hun-thian-huid-pit-kip.

"Walaupun kitab itu milik Siau-lim dan Bu-tong, tapi oleh karena kitab tersebut

berpengaruh terhadap keamanan dan pergolakan dunia persilatan, maka

setelah melalui suatu perundingan akhirnya kedua Ciangbunjin kami

memutuskan untuk menyimpan kitab pusaka tersebut di dalam kuil kami. Turun-

temurun kitab pusaka tersebut selalu kami simpan diloteng penyimpanan kitab,

maka tatkala di dunia persilatan tersiar berita

yang mengatakan kitab tersebut telah terjatuh ke tangan Siau sicu, serentak

kulakukan pengecekan ke atas loteng kitab itu, benar juga ternyata kitab pusaka

itu sudah lenyap tak berbekas!"

Berbicara sampai di sini, Ci-hay Siansu menghela napas panjang. tampaknya ia

merasa sayang karena lenyapnya kitab pusaka itu dari kuilnya, sebab ber-tahun2

selalu aman, tak tahunya sewaktu ia memegang jabatan ketua peristiwa yang

tak diinginkan itu telah terjadi.

Semua orang belum pernah mendengar rahasia yang menyangkut peristiwa

pada dua ratus tahun berselang ini, keterangan tersebut membikin mereka jadi

tercengang, mata mereka terbelalak lebar dan alihkan perhatiannya ke wajah

ketua Siau-lim-pay itu.

Sesudah tarik napas panjang, Ci-hay Siansu melanjutkan ceritanya: "Kendati aku

belum pernah berjumpa dengan Siau sicu, akan tetapi dari laporan anak

muridku serta dari berita yang tersiar dt dunia persilatan dan kuketahui bahwa

Siau sicu sebenarnya adalah putera Pek-lek-kiam Tian In-thian, Siau sicu terkenal

jujur dan gagah perkasa, aku yakin pasti bukan kalian yang mencuri kitab

tersebut dari kuil kami melainkan

didapatkannya dari orang lain. Untuk menanamkan kepercayaan orang lain atas

kejujuranku, maka sengaja kundang pula kedatangan kedelapan ketua yang lain

untuk menjadi saksi, aku harap Siau sicu suka memberi muka kepada kami dan

serahkan kembali kitab pusaka yang merupakan benda mestika simpanan kuil

kami turun temurun itu. atas kesedian Siau sicu, bukan saja aku pribadi merasa

berterima kasih, bahkan seluruh

anak murid Siau-lim-pay juga tak akan melupakan budi kebaikan Siau sicu!"

Selesai berkata, dengan tatapan tajam ia mengawasi Tian Pek tanpa berkedip,

agaknya ia sedang menunggu anak muda itu memberikan jawaban yang

memuaskan.

Tian Pak tersenyum, katanya "Aku kuatir kenyataannya bukan seperti apa yang

kaututurkan!"

Air muka Ci-hayw Siansu berobahy masam, alis matanya berkerut, jelas paderi

itu merasa tak senang hati: "Sicu, apa yang kuceritakan barusan merupakan

rahasia kuil kami, jika bukan terpaksa tak nanti kuceritakan kepada orang luar,

apakah kau anggap aku sengaja membohongimu?"

"Sebagai ketua Siau-lim-pay, kupercaya Taysu tidak berbohong," sahut Tian Pak

dengan serius, "tapi kenyataannya, menurut apa yang kuketahui, kejadiannya

berbeda jauh dengan apa yang Taysu tuturkan barusan."

Tian Pek sangat menghormati paman Lui, ia percaya apa yang diceritakan paman

Lui kepadanya ketika berada di dalam gua rahasia tempo dulu tak bakal salah,

maka walaupun sekarang Ci hay Siansu si ketua Siau-lim-pay mempunyai cerita

dalam versi lain tentang kitab pusaka Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit kip,

betapapun ia lebih percaya pada keterangan paman Lui.

Bisa dibayangkan betapa marahnya Ci hay Siansu mendengar sanggahan itu,

mukanya jadi merah padam, matanya melotot dan jenggotnya bergetar tanpa

terembus angin, serunya dengan ketus: "Bagaimana bedanya? Coba terangkan!"

"Ketika Ciah-gan-long-kun berlatih sejenis tenaga dalam tingkat tinggi dan

mendapat gangguan dari Thian-sian-mo-li dengan ilmu To-li-mi-hun-tay-hoatnya

sehingga mengalami kelumpuhan, beliau memang mendapat pertolongan Ko-sui

Siangjin, ketua Siau-lim serta Tiat-siu Totiang dari Bu tongpay!"

"Hm, jadi aku tidak membohong, kenyataannya memang begitu bukan?" dengus

paderi itu dengan mendongkol.

Tian Pek tidak memperdulikan ocehannya, ia melanjutkan kisahnya: "Akan

tetapi, setelah Ciah-gan-long-kun sembuh dari lukanya, ia tidak pernah

menyerahkan kitab pusaka hasil pemikirannya itu kepada ketua Siau-lim-pay!''

Air muka Ci-hay Siansu berubah hebat, tapi Tian Pek lantas berkata lebih jauh:

"Kitab pusaka itu ia simpan di sebuah gua rahasia di Lo-hu-san, bahkan sesaat

sebelum mengembuskan napasnya yang penghabisan sengaja ia bocorkan

rahasia ini kepada orang lain. Karena peristiwa itulah tak terhindar lagi dunia

persilatan waktu itu menjadi kacau, banjir darah melanda di-mana2, semua

orang berusaha mencari dan memperebutkan kitab pusaka itu!"

Dengan kisah ini Tian Pek hendak membuktikan kepada umum bahwa cerita Ci

hay Siansu tidaklah jujur, hal ini seketika itu juga membuat paderi Siau lim si ini

naik pitam, ia maju ke muka seraya membentak: "Jadi menurut Siau-sicu, ketua

kami yang lalu berhasil mendapatken kitab pusaka itu dari suatu perebutan

dengan kawanan jago yang lain?"

Siau-lim si amat tersohor di dunia persilatan, bukan saja karena jumlah

anggotanya yang banyak, terutama sikap mereka yang lebih mengutamakan

keadilan dan kebenaran daripada kemaruk nama serta harta, Andaikata apa

yang dikisahkan Tian Pek terbukti kebenarannya, ini sama artinya pemuda itu

sudah mencoreng moreng sejarah Siau lim-si yang sudah cemerlang selama be-

ratus2 tahun ini.

Waktu itu Ci-hay Siansu telah menghimpun segenap tenaga dalamnya pada

telapak tangannya, asal pertanyaannya itu dijawab Tian Pek dengan "ya" atau

anggukan kepala, maka dia akan segera melancarkan sarangan maut dengan

segenap kekuatannya itu.

Tian Pek tidak melayani kemarahan paderi itu, meski ia tahu kegusaran Ci-hay

Siansu sudah mencapai puncaknya, dengan tak acuh ia berkata lagi: "Taysu tak

perlu cemas atau gelisah, padamkan dulu hawa amarahmu itu, sebab berbicara

sesungguhnya aku sendiri belum pernah mendengar ketua kalian yang lampau

ikut pula memperebutkan kitab pusaka itu dengan jago2 lainnya. Tapi yang pasti

kutahu bahwa kitab pusaka itu akhirnya terjatuh ke tangan anak murid

perguruan Hoat hoa-lam-cong!" .

Ucapan ini kembali membuat suasana jadi gaduh, terutama sekali para

Ciangbunjin dari perguruau Hoat-hoa aliran selatan dan perguruan Hoat-hoa

aliran utara, serentak mereka melompat maju ke depan.

Ketua Hoat-hoa-lam-cong, yang bergelar Tan-cing-kek (jago pemetik kecapi)

Thio Jiang lantas tertawa ter-babak2, serunya: "Hahaha, jadi berbicaria pulang

pergi, akhirnya pemilik yang sebenarnya kitab pusaka Soh-kut-siau-hun-thian-

hud-pit-kip adalah perguruan kami! Hahaha, benar2 tak tersangka!"

Ketua Hoat-hoa-pak-cong (aliran utara) yang berjuluk Tiat-pi-pa-jiu (tangan sakti

kecapi baja) Hoan Wan ikut menimbrung pula: "Jika memang begitu

keadaannya, harap Tian-siauhrap bersedia mengembalikan kitab yang sudah

hilang selama dua ratus tahun itu kepada pemilik yang sebenarnya!"

Tian Pek tersenyum, ia tidak menanggapi pernyataan kedua orang itu melainkan

meneruskan lagi kisahnya: "Sayang sekali, anak murid Hoat-hoa-lam-cong tak

dapat mempertahankan kitab pusaka itu terlampau lama, dalam suatu

perkelahian akhirnya mereka tewas dalam keadaan yang mengerikan dan kitab

pusaka itupun dirampas oleh Ngo-jiu-leng-hou (rase licik bercakar lima) yang

sebenarnya tidak berilmu tinggi! '

Kembali kawanan jago itu tertegun, Tiat-pi-pa Hoan Wan segera berseru:

"Walaupun kami tidak menyaksikan sendiri jalannya pertarungan itu, tapi kami

yakin jago2 yang ikut serta dalam perebutan kitab pusaka itu pasti terdiri dari

jago2 yang berilmu tinggi, bagaimana penjelasanmu tentang cerita ini? Masa

kitab pusaka itu malahan kena didapatkan oleh jago yang tidak berilmu tinggi?'

"Sederhana sekali penjelasannya, jika jago2 berilmu tinggi saling

memperebutkan kitab itu lebih dulu sehingga banyak yang terluka dan tewas,

sementara Ngo-jiau-leng-hou sendiri cuma berpeluk tangan menyaksikan

harimau bertempur, sudah tentu akhinya dia yang heruntung! Sudah pernah

mendengar kisah Bu Cong membunuh harimau? Bu Ceng merasa

tak mampu melawan dua ekor harimau, ia sengaja menyingkir ke samping dan

membiarkan kedua ekor harimau yang akan menerkamnya saling berkelahi lebih

dulu, akhirnya setelah kedua ekor harimau itu sama2 terluka, ia baru turun

tangan membinasakan binatang tersebut. Begitu juga siasat yang digunakan

Ngo-jiau-leng-hou, maka dengan sangat mudah ia berhasil mendapatkan kitab

pusaka Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit kip tersebut!"

Bersama dengan selesainya ucapan tersebut, tiba2 terdengar seseorang tertawa

seram, menyusul seorang kakek kurus kering tinggal kulit membungkus tulang

melayang masuk ke gelanggang, begitu tiba di arena dia lantas berseru:

"Sungguh tak nyana!. Sungguh tak kuduga, rupanya kitab pusaka yang luar biasa

itu adalah milik perguruan Khong -tong-pay kami!"

Ia lantas berpaling ke arah Tian Pek dan menjulurkan tangannya: "Pemiliknya

sudah datang, hayo kembalikan kepadaku!"

Kakek kurus kering ini cukup dikenal oleh jago2 yang hadir, sebab dia tak lain

adalah ketua perguruan Khong-tong-pay saat ini yang berjuluk Bay-kut-sian

(Dewa tulang iga) Ong Gi-to.

Dengan kemunculan jago kurus ini, baru semua orang mengerti Ngo-jiau-leng-

hou yang disebut oleh Tian Pek tadi tak lain adalah jago yang berasal dari Khong-

tong-pay.

Meski Khong-tong-pay terhitung salah satu di antara sembilan aliran besar di

dunia persilatan dan orang persilatan menganggapnya sebagai suatu parguruan

dari aliran putih, karena mereka tak pernah mencuri, membegal, tidak

menyelenggarakan tempat bordil, tidak menjadi penyamun serta melakukan

jual-beli tanpa modal, tapi muridnya terdiri dari manusia yang beraneka ragam,

peraturan perguruannya tidak ketat, banyak anggotanya berbuat se-wenang2.

Karenanya meski termasuk dalam deretan sembilan besar, namun sebenarnya

perguruannya terhitung perguruan paling rendah di antara yang lain.

Tidak heran tatkala Tian Pek menyatakan bahwa kitab pusaka Soh-kut-siau-hun-

thian- hud-pit-kip adalah milik Khong-tong-pay, bukan saja kedelepan besar

lainnya segera tak senang hati, bahkan hampir setiap jago yang hadir di situ

mempunyai perasaan yang sama.

====

Dapatkah Tian Pek mengatasi kemelut yang menyangkut kitab pusaka itu?

Darimana datangnya tokoh2 sembilan besar ini dan siapa dalangnya?

Jilid-26.

Sekalipun tak senang hati, apa mau dikata lagi kalau kenyataannya memang

demikian? Sebab itu menurut adat yang berlaku dalam dunia persilatan, barang

siapa berhasil mendapatkan benda pusaka yang tak bertuan, maka dialah yang

dianggap sebagai pemiliknya.

Ci-hay Siancu kuatir uraian Tian Pak akan menggugat hal milik Siau-lim-pay atas

benda itu, bahkan akan membuyarkan pula persatuan dari sembilan besar, maka

biji matanya lantas berputar, sambil menahan gelora perasaannya ia berkata lagi

kepada pemuda itu:

"Siau-sicu, coba lanjutkan cerita menurut versimu! Bagaimanakah nasib kitab

pusaka Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip itu selanjutnya? Dengan dibayangi

oleh demikian banyak jago lihay belum tentu Ngo-jiau-leng-hou bisa melindungi

kitab itu untuk selamanya meskipun untuk sementara berhasil ia rampas

bagaimana kisah selanjutnya? Akhirnya kitab itu berhasil didapatkan siapa?"

"Bagaimana kisah selanjutnya aku kurang begitu tahu, sebatas yang kuketahui

hanya terbatas sampat di sini saja!"

Mendengar itu, Ci-hay Siansu tertawa dingin: "Hehehe, kalau ucapan Siau-sicu

ada kepala tanpa ekor, ini membuktikan bahwa kau sengaja mengarang cerita

bohong untuk mengangkangi sendiri kitab pusaka itu!"

Keadaan yang sebenarnya memang tak diketahui Tian Pek, sebab dari paman Lui

ia hanya diberitahu sampai di situ saja, tapi sekarang ketua Siau lim-pay ini,

memaki dan memfitnah seenaknya sendiri, 'kontan saja anak itu naik darah.

"Taysu, ingatlah pada kedudukanmu yang tinggi dan jangan merendahkan

gengsimu sendiri dengan menfitnah orang seenaknya!"

"Hmm, orang persilatan mengatakan Siau-sicu jujur dan berjiwa besar, tapi

setelah perjumpaan hari ini baru kuketahui bahwa apa yang tersiar di dunia

persilatan tak dapat dipercaya!" seru Ci-hay Siansu pula dengan gusar.

"Apa maksud perkataanmu itu?" tanya Tian Pek.

"Sungguh mengecewakan Siau-sicu mempunyai nama pendekar, pada

hakekatnya tak lebih adalah manusia munafik. Perbuatanmu ini sama dengan

mencorengi nama baik Pek-lek-kiam Tian-tayhiap dimasa lalu . . . ."

"Tutup mulut!" bentak Tian Pek dengan gusar.

Dengan cepat Ci-hay Siansu mundur selangkah dia mengira musuh akan turun

tangan, cepat telapak tangannya siap diangkat keatas, untuk menghadapi segala

kemungkinan.

Sebagai anak yang berbakti, Tian Pek benci bila ada orang menghina nama baik

mendiang ayahnya, segera ia hendak melabrak orang, akan tetapi ketika tenaga

pukulannya terhimpun, tiba2 teringat olehnya bahwa ia sudah berjanji pada

pahak Lam-hay-bun untuk tidak mencampuri urusan dunia persilatan lagi, maka

hawa murni yang sudah dihimpun segera dibuyarkan kembali, telapak tangan

yang sudah terangkat pelahan-lahan diturunkan.

"Hm, kuhormati Taysu sebagai seorang Ciangbunjin, tapi Taysu malah menghina

mendiang ayahku, andaikata aku tiada janji dengan orang lain untuk tidak

mencampuri urusan dunia persilatan lagi, hm, tentu aku tidak sungkan2 lagi

kepadamu! Sekarang akupun tak ingin banyak bicara hendaklah kalian segera

tinggalkan tempat ini!" kata Tian Pek dengan gemas.

Sebagai ketua Siau lim-pay, kedudukan Ci-hay Siansu di dalam dunia persilatan

sangat tinggi dan terhormat, tapi sekarang di hadapan orang banyak ia dibentak

oleh Tian Pek dengan kasar, hal ini membuat paderi tersebut jadi tertegun.

Tian Pek sendiripun tidak sungkan2, sehabis berkata ia tak pedulikan lawannya

lagi dan segera berlalu.

Tiba2 Bay-kut sian membentak: "Bocah keparat, jangan pergi dulu? Hmm, berani

kau bersikap kurangajar terhadap ketua sembilan besar? Sambut dulu

pukulanku ini!"

Di iringi bentakan nyaring, tubuhnya melambung ke udara, dari atas telapak

tangannya menghantam punggung Tian Pek.

Cepat Tian Pek melompat ke depan, dengan begitu serangan maut Bay-kut-sian

mengenai sasaran yang kosong.

"Blang!" di tengah dentuman heras, debu pasir beterbangan, pukulan dahsyat

Bay-kut-sian itu menghantam permukaan tanah hingga menimbulkan sebuah

liang besar.

Tak malu ia sebagai ketua Khong-tong-pay, ditinjau dari kekuatan serangannya

dapatlah diketahui tenaga dalamnya cukup sempurna, meski demikian banyak

orang diam2 mencemooh sebab sebagai seorang ketua yang mempunyai

kedudukan torhormat, tidaklah pantas baginya untuk menyergap orang dari

belakang.

Tian Pek sendiri tak ingin melanggar janjinya, maka ia tidak melancarkan

serangan balasan, setelah lolos dari ancaman itu ia meneruskan langkahnya

untuk berlalu dari situ.

Tan-ceng-kek, ketua Hoat-hoa-lam-cong, sama Tiat-pi-pa-jiu, ketua Hoat-hoa-

pak-cong melompat maju dan mengadang jalan pergi Tian Pek.

"Mau kabur dari sini? Tidak gampang sobat!?? jengek mereka " Boleh saja kalau

ingin pergi, tapi serahkan dulu kitab pusaka Soh-kut-siau-hun-thian hud-pit-kip!"

Dalam pada itu Ci-hay Siansu serta beberapa orang ketua lainnya sudah

memburu maju pula ke depan Tian Pak sepera terkepung lagi di tengah.

Walaupun jago2 yang hadir terdiri dari ketua sembilan besar, tapi yang

mengepung Tian Pek sekarang ada sepuluh orang, sebab dari pihak perguruan

Hoat-hoa-bun terbagi menjadi Lam-cong (sekte selatan) dan Pakcong (sekte

utara), bisa dibayangkan bagaimana tegangnya suasana waktu itu.

"Siau-sicu!" kembali Ci-hay Siansu berkata, "bila Soh-kut-siau-hun-thian-hud-lok

tidak kau serahkan, jangan salahkan kami akan turun tangan bersama!"

Tian Pek tertawa dingin, ia tidak menanggapi ancaman tersebut, sungguh dia

ingin menghajar musuh habis2an, akan tetapi iapun tak mau me-langgar janji,

keadaannya jadi serba salah, untuk sesaat ia menjadi bingung.

Dalam keadaan begitu, untunglah paman Lui tampil dan berdiri di depan Ci hay

Siansu, tegurnya: "Siau-lim Ciangbun kan kenal padaku?"

Dengan tajam Ci-hay Siansu mengawasi paman Lui dari atas sampai ke bawah,

orang ini berambut awut2an, berwajah kereng dan bermata tajam, sudah pasti

tenaga dalamnya sangat hebat, tapi selama ini belum pernah kenal, apalagi

dalam keadaan mendongkol, tanpa pikir sabutnya ketus: "Maaf, pengetahuanku

cetek, tidak kukenal siapa gerangan anda ini!"

"Apakah, mendiang Ciangbunjinmu tidak meninggalkan pesan apa2 waktu kau

menerima jabatan ketua?" kata paman Lui.

Pertanyaan yang diajukan tanpag ujung pangkal iini, membuat Cih-hay Siansu

tertegun, kembali ia mengamati paman Lui, lalu sahutnya: "Masa urusan

pengangkatan Ciangbunjin kami ada sangkut pautnya dengan diri Sicu?"

"Aku kira memang ada sedikit sangkut pautnya" kata paman Lui tersenyum.

Ucapan ini dirasakan sebagai suatu penghinaan bagi Siau-lim-pay, kontan saja

Ci-hay Siansu naik darah, teriaknya: "Aku tak pernah kenal kau, mengapa kau

bilang ada sangkut pautnya dengan kami? Hmm, jika kau tidak jelaskan

duduknya perkara, akan kuadu jiwa dengan kau!"

Paman Lui tertawa, katanya: "Taysu, ucapanmu ini terlalu emosi, bila kau benar2

menghendaki aku bicara terus terang, kukuatir masalah ini akan mempengaruhi

kebersihan nama baik Siau-Iim-pay yang sudah terpupuk selama ratusan tahunl"

"Coba terangkan, masalah apakah itu?" seru Ci-hay Siansu semakin gusar.

"Masalah ini menyangkut nama baik serta kebersihan biara kalian selama

ratusan tahun, kurasa kurang leluasa untuk diterangkan di hadapan umum,

bagaimana kalau kita berdua mencari tempat yang sunyi saja dan membicarakan

persoalan ini di bawah empat mata!"

Ci-hay Siansu hampir saja tak dapat mengendalikan amarahnya, ia berteriak:

"Tampaknya kau ini seorang pendakar, kenapa cara bicaramu ber-tele2 begini?

Kalau ingin bicara cepat katakan kalau tidak lekas enyah dari sini!"

Sesungguhnya paman Lui memang pernah terlibat dalam satu persoalan yang

menyangkut ketua Siau-lim-pay dari generasi yang lalu, bahkan pernah

membantu kesukaran biara itu, sebenarnya dia tak ingin membongkar masalah

yang memalukan Siau-lim itu dihadapan umum.

Tapi sekarang, urusan kedua pihak telah buntu, dalam keadasn begini tak

mungkin Ci-hay Siansu akan menerima usul paman Lui, sedangkan paman Lui

sendiri karena terpaksa harus menguraikannya secara blak2an.

"Hei, hwesio tua, kau yang memaksa aku membeberkannya, maka segala risiko

adalah tanggung jawabmu." kata paman Lui. "Sekali lagi ingin kutanya padamu,

tahukah kau cara bagaimama Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip itu terjatuh ke

tangan Siau-lim-pay?"

Ci-hay Siansu swedang marah, maka tanpa pikir dia menjawab, "Tadi sudah

kuterangkan, kitab itu dihadiahkan kepada Ko-sui Siangjin, ketua kami yang lalu

lantaran Ciah-gan-long-kun Locianpwe merasa berutang budi kepada ketua kami

itu!"

"Lalu bagaimana penjelasanmu tentang apa yang dituturkan Tian-siauhiap tadi?"

"Hmm, apa lagi yang perlu kujelaskan? Dia sengaja memutar balikkan duduknya

persoalan dan bicara ngawur?"

"Tutup mulut . . , . " teriak Tian Pek sambil maju ke muka, belum pernah ia di

maki orang secara begini.

Paman Lui segera mengalangi anak muda itu, lalu kepada Ci-hay Sian-su ia

berkata lagi: "Kalau kau tidak percaya, maka sekarang ingin kutegaskan

kepadamu bahwa apa yang diucapkan Tian-siauhiap sedikitpun tidak salah,

akhirnya Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip itu diperoleh Ngo-jiau-leng-hou

yang dipandang berkepandaiaan rendah itu."

Bay-kut-sian terkejut bercampur girang mendengar pengakuan itu.

Ci-hay Siansu tertawa dingin, teriaknya: "Ah, omong kosong, sekalipun kau

mengulangi kembali kisah itu sampai beberapa ratus kali juga percuma, tak

nanti aku percaya!"

"Tapi kejadian yang sebenarnya memang begitu, tidak mau percaya juga harus

percaya,"seru paman Lui.

Wajah Ci-hay Siarau makin kaku, katanya: "Menurut keteranganmu, bagaimana

akhirnya kitab pusaka tersebut dapat terjatuh kembali ke tangan Ciaugbunjin

kami? Dan mengapa bisa menjadi pusaka turun temurun biara kami? Apakah

Siaulim-si kami mesti meniru cara Ngo-jiau-leng-hou merampas kitab tersebut

dari tangan orang lain?"

Karena gusar Ci-hay Siansu hanya memaki dan membantah, ia tidak

membayangkan bahwa ucapan itu akan menyinggung perasaan ketua Khong-

tong-pay.

Benar juga, air muka Bay-kut-sian, ketua Khong-tong itu berubah hebat, dengan

tatapan tajam dia melototi wajah paderi itu, hawa nafsu membunuh

menyelimuti mukanya.

Tapi sebalum ia bersuara, paman Lui telah menanggapi dengan cepat:

"Perkataanmu memang tepat sekali!"

Kini air muka Ci-hay Siansu yang berubah hebat.

Paman Lui lantas berkata lebih jauh: 'Berbicara sesungguhnya. kendati Ko-sui

Siangjin juga menggunakan cara yang sama untuk merampas kitab pusaka itu,

namun maksud dan tujuannya berbeda jauh dengan apa yang dipikirkan Ngo-

jiau-leng-hou. Kalau Ngo-jiau-leng-hou merampas kitab itu demi kepentingan

pribadi agar dapat malang melintang di dunia persilatan, maka Ko-sui Siangjin

merampas kitab itu dengan harapan mencegah badai pembunuhan di dunia

persilatan, bahkan setelah kitab itu berhasil dirampas, ia tak memandangnya

barang sekejap jua dan kemudian disimpan ke dalam gudang. Sejak itulah kitab

pusaka itu menjadi kitab yang tidak pernah diwariskan kepada orang, demikian

pula dengan anak murid Siau-lim-si, tak seorangpun pernah berlatih kepandaian

sakti itu, sebab Ciangbunjin mereka secara turun temurun melarang siapapun

membuka kitab tadi, barang siapa berani mencuri lihat akan dianggap sebagai

pengkhianat perguruan. Yaa, hanya satu pikiran sesaat dapat menerbitkan

bencana

besar, aku tidak membantah bahwa maksud ketua Siau-lim-pay yang lalu

memang baik dan mulia!"

Persoalan ini hakikatnya adalah rahasia perguruan dan cuma Ciangbunjin saja

yang mengetahuinya, rahasia tersebut hanya diberitahukan kepada Ciangbunjin

yang baru pada waktu dilantik menjadi ketua, tak heran kalau tiada orang luar

yang mengetahuinya lagi.

Tapi sekarang rahasia tersebut terbongkar dari mulut orang lain, dapat

dibayangkaa betapa rasa kaget dan heran Ci-hay Siansu.

"Bangsat, besar amat nyalimu!" hardiknya dengan murka, "darimana kau

mengetahui persoalan ini??"

"Keledai gundul, hendaklah sikapmu sedikit tahu diri!" ujar paman Lui dengan

gusar,

"aku ingin bertanya lagi padamu, tahukah gkau apa sebabnya tiga orang suheng

mendiang Ciangbunjinmu tewas secara mengenaskan?"

Pertanyaan ini membuat Ci-hay Siansu terbelalak dan sama sekali tak mampu

menjawab.

Ciangbunjin Siau-lim-si yang dulu bergelar Ceng sim Siansu, dia tak lain adalah

gurunya Ci-hay, sedangkan ketiga orang Supeknya, yakni Thian-sim, Jing-sim

serta Beng-sim justeru mati karena dijatuhi hukuman yang paling berat menurut

peraturan perguruan. Tapi mengapa mereka sampai dihukum mati? Hal ini

merupakan rahasia besar yang tak diketahui orang luar, bahkan ketika Ceng-sim

Siansu melimpahkan jabatan ketuanya kepada Ci-hay, persoalan ini tak pernah

disinggung, dengan sendirinya Ci-hay Siansu tak tahu.

Dan sekarang, pertanyaan itu diajukan oleh paman Lui, pantas kalau ketua Siau-

lim-pay ini jadi gelagapan.

Sekalipun demikian, tentu saja ia tak mau mengatakan dia tidak tahu, sambil

mengernyitkan alis ia membentak dengan gusar: "Masa kau tahu jelas sebab

musabab kematian ketiga orang Supekku?"

"Hahaha, kalau aku tidak jelas, siapa lagi yang tahu? Aku berani memastikan

bahwa setelah Ceng-sim mati, di dunia ini hanya aku seorang yang mengetahui

rahasia ini!"

"Omong kosong, tak mungkin kau tahu!" teriak Ci hay Siansu semakin gusar.

"Hmm, agaknya kau memaksa kubongkar semua rahasia ini dihadapan umum!"

kata paman Lui dengan mata melotot.: "Baiklah, kalau memang begitu, terpaksa

akupun harus bicara terus terang. Ketahuilah, ketiga orang Supekmu itu bunuh

diri dengan menghantam ubun2 sendiri karena mereka melanggar pantangan

Siau-lim-si, yaitu diam2 mencuri lihat Soh-kut-siau-hun-thian-hud-lok!"

Air muka Ci-hay Siansu berubah hebat, bentaknya: Ketiga orang Supekku adalah

Suheng Ciangbunjin yang dulu, sekalipun mereka mencuri melihat kitab pusaka

itu, kesalahannya tak sampai dijatuhi hukuman mati Huh! Ketahuan sekarang,

tampaknya kau memang sengaja bicara ngawur untuk menutupi maksud busuk

pribadimu sendiri . . ."

Paman Lui menjengek, katanya: "Umpama jika tiga Supekmu mencuri lihat kitab

pusaka itu, kemudian perbuatan mereka diketahui Ciangbunjin, tapi mereka

tidak menurut perintah ketuanya sebaliknya malahan menyerang

Ciangbunjinnya, coba jawab, perbuatan semacam ini pantas tidak kalau dijatuhi

hukuman mati?"

Ci-hay Siansu tertegun dan tak bisa bicara lagi. Kedudukan seorang Ciangbunjin

adalah tampuk pimpinan tertinggi, jangankan sesama saudara seperguruan,

sekalipun Supek atau Susioknya juga akan dijatuhi hukuman mati bila berani

mencelakai sang ketua.

Sementara itu perhatian semua, orang sama tertuju pada tanya jawab ini,

meskipun bukan suatu pertempuran seru, tapi masalahnya menyangkut suatu

rahasia besar yang terjadi pada dua ratus tahun berselang, bahkan ada

hubungannya dengan nasib Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip, maka tak heran

kalau semua orang ikut tegang.

Agak lama Ci-hay Siansu termangu, tapi satu ingatan terlintas dalam benaknya,

cepat ia berkata: "Hmm, sedangkan aku sebagai Ciangbunjinnya tidak

mengetahui rahasia ini, darimana kau bisa mengetahui rahasia tersebut sejelas

itu? kalyau bukan bicara ngawur dan memfitnah, apa lagi namanya?"

"Oleh sebab aku hadir di sana waktu itu, sudah tentu aku mengetahui persoalan

ini dengan jelas!"

"Apa? Kau hadir di sana waktu itu?"'

"Benar!" dengan meyakinkan paman Lui mengangguk "Bila aku tak hadir ketika

itu, mungkin Ceng-sim Hongtiang, sudah tamat jiwanya! Justeru akulah yang

menyelamatkan jiwanya, maka gurumu sempat mencaci maki ketiga Supekmu

sehingga mereka jadi malu dan menyesal, akhirnya untuk menebus dosanya

mereka telah bunuh diri dengan menghancurkan batok kepalanya sendiri!"

Ci-hay Siansu kaget, saking tegangnya sampai dada terasa sesak Demikian pula

kawanan jago yang lain, mereka sama terbelalak, suasaana jadi sepi, tatapan

semua orang tertuju ke muka paman Lui.

Setelah berhenti sejenak, paman Lui berkata lagi: "Karena peristiwa itu, gurumu

Ceng-sim Hong-tiang mulai menaruh perhatian pada kitab pusaka itu dan

membaca isinya, kemudian karena merasa kitab itu terlampau kotor dan tak

pantas disimpan di dalam biara, mengingat pula aku yang telah menyelamatkan

jiwanya hingga Siau-lim si yang sudah berusia ratusan tahun tidak berantakan di

tengah jalan, kitab tersebut lalu dihadiahkan kepadaku sebagai rasa terima

kasihnya, selain itu ia menghadiahkan pula

tiga biji obat Liong hou si-mia-wan yang tak ternilai harganya itu kepadaku!"

Sekujur badan Ci-hay Siansu sudah basah kuyup seperti diguyur air dingin.

Kiranya Siau-lim-si kini telah jatuh dalam kekuasaan Lam-hay-bun, untuk

berusaha merampas kembali Siau-lim-si yang sudah bersejarah ratusan tahun

dari tangan Lam-hay-bun, terpaksa Ci-hay membawa anak muridnya kabur dari

biara itu untuk mencari kembali kitab pusaka yang berisikan pelajaran ilmu silat

maha tinggi itu, sebab dengan ke-72 jenis ilmu silat andalan Siau-lim masih

belum mampu mengalahkan lawan.

Dalam penyelidikannya kemudian diketahui bahwa kitab pusaka yang di-cari2 itu

sudah terjatuh ke tangan seorang jago muda yang bernama Tian Pek, namun

tersiar pula berita yang mengatakan bahwa kungfu Tian Pek amat tinggi, bukan

saja dapat menghadapi Hay-gwa-sam-sat, bahkan Hek-to-su-hiong yang lihay

juga dikalahkan. Maka untuk mewujudkan cita2nya, dengan macam2 alasan

serta bujukan ia minta dukungan ketua kedelapan aliran

persilatan lain agar kitab Soh-kut-siau-hun tesebut bisa diperoleh kembali.

Tapi sekarang, setelah mendengar penjelasan paman Lui, ia tak bisa berkutik

lagi, sebab hakikatnya pihak Siau-lim-si telah melimpahkan hak memiliki kitab

itu kepada orang lain..

Begitulah, maka sesudah paman Lui bercerita tentang rahasia Siau-lim-si yang

tak diketahuinya, maka Ci-hay Siansu jadi kaget dan tertegun, malahan iapun

merasa gusar karena nama baik Siau-lim-si yang sudah cemerlang selama

ratusan tahun itu se-akan2 terletak pada tangan paman Lui.

"Siapa kau?" bentaknya dengan gusar.

Paman Lui tersenyum: "Aku hanya seorang Bu-beng-siau-cut orang kecil yang

tak ternama, orang2 menyebut diriku Thian-hud-ciang Lui Ceng-Wan!"

Air muka Ci-hay Siansu berubah, buru2 dia memberi hormat seraya berkata:

"Omitohud! Siancay! Siancay! Kiranya Lui-inkong, harap dimaafkan

kekasaranku . . .."

Paman Lui merasa tak enak hati melihat sikap ketua Siau-lim-si ini berubah

menghormat setelah mendengar namanya, cepat dia balas menghormat.

Tapi tiba2 satu ingatan terlintas dalam benak Ci-hay Siansu, ia merasa

tindakannya ini tak benar, bila ia minta maaf kepada paman Lui, bukankah

berarti Siau-lim-si tidak berhak lagi untuk menuntut kembali kitab pusaka itu?

Lalu cara bagaimana pula ia akan mengalahkan orang2 Lam hay-bun serta

merebut kembali kuilnya?.

Maka cepat ia berkata: "Cuma, kita baru berjumpa untuk pertama kali ini, kukira

perlu kau menunjukkan sesuatu bukti yang meyakinkan."

Paman Lui melengak, tak disangkanya ketua Siau-lim-pay ini gampang berubah

sikap, tanyanya tercengang: "Bukti apa yang kau inginkan?"

"Bukankah kau mengatakan bahwa Ciangbunjin kami yang lalu telah

menghadiahkan tiga butir Liong-hou-si-mia-wan dan menyerahkan pula kitab

Soh-kut-siau-hun-thian hud-lok kepadamu? Asal kedua macam barang ini dapat

kau pertunjukan kepadaku, maka akupun akan percaya semua penuturanmu

Sebaliknya jika barang bukti tak dapat kau tunjukkan .

. . . Hm, itu berarti kau cuma mengibul untuk mempermainkan diriku, maka

jangan salahkan aku takkan sungkan2 lagi kepadamu!"

"Barang bukti apa yang bisa kuperlihatkan kepadamu?" paman Lui berpikir

dalam hati, "dari tiga biji Liong-hou-si-mia-wan, dua biji sudah kugunakan untuk

menolong orang, sedang yang ketiga telah kuserahkan kepada Tian Pek sewaktu

berada di perkampungan Pah-to-san-ceng, waktu itu Tian Pek tak mau

menerimanya dan sudah kubuang ke tanah, sebaliknya kitab pusaka Thian-hud

pit-kip sudah dimusnahkan Tiang Pek, darimana pula

aku bisa mhemiliki benda2 itu lagi?"

Tapi paman Lui pun mengerti, kendati kedua macam benda itu masih utuh, tak

nanti Ci-hay Siansu akan menyudahi persoalan ini sampai di sini saja.

Kiranya ketika paman Lui berkelana di dunia persilatan untuk mencari jejak Pek-

lek-kiam Tian In-thian dahulu tanpa sengaja ia mampir di Siau-lim-si, kebetulan

juga malam itu di sana terjadi huru-hara, apa yang terjadi waktu itu, kecuali

Ceng-sim Hongtiang, ketua Siau lim-pay yang dulu, tiada orang kedua yang ikut

manyaksikan, maka andaikata Ci-hay Siansu tak mau mengakui sekalipun ada

barang bukti, paman Lui juga tak bisa berbuat apa2.

Berpikir sampai di sini, paman Lui menengadah dan tertawa ter-bahak2,

serunya: "Meski aku Lui Ceng-wan hanya seorang Bu-bing-siau-cut, akan tetapi

semua perbuatan yang pernah kulakukan selama ini diketahui pula oleh

sahabat2 dunia Kangouw, cuma tanyakan saja kepada orang lain, pernahkah aku

berbohong? Eh, Hwesio tua, aku tidak memaksa

kau harus percaya pada perkataanku, tapi apa yang bisa kukatakan hanya ini

saja, percaya atau tidak terserah padamu."

Sebelum Ci-hay Siansu sempat menjawab, Bay-kut-sian dari Khong-tong-pay

sudah maju ke depan, ujarnya dengan muka dingin: "Siansu, apa gunanya kita

omong melulu dengan orang ini, tanyakan saja Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-

kip sekarang berada pada siapa?

"Hehehe, kau ingin tahu? Belum berhak, sobat . . . . ." jengek paman Lui sambil

tertawa dingin.

Bay-kut-sian adalah lelaki yang gemar main perempuan, bila malam tiba dan di

sampingnya tak ada perempuan yang mendampinginya, semalaman dia tak bisa

tidur nyenyak, karena itulah akhirnya ia jadi kurus kering tinggal kulit

membungkus tulang dan tersohor sebagai Bay-kut-sian si dewa tulang iga.

Sesuai dengan julukannya, orang ini tidak jujur hidupnya, orang persilatan dari

golongan putih rata2 membenci padanya.

Paman Lui berwatak keras, ia memandang hina manusia2 sebangsa itu, maka

ketika Bay-kut sian tampil ke depan, serta merta iga naik darah, otomatis

ucapannhya juga ketus dan tak sungkan2.

Tapi justeru karena sikapnya ini, Bay-kut sian makin marah, mukanya yang ke-

pucat2an berkerut, matanya melotot, lalu makinya dengan gusar: "Lui sinting,

kau jangan takabur! Sambut dulu pukulanku ini .......

Dengan segenap tenaganya ia lepaskan pukulan dahsyat ke dada musuh, angin

serangan yang kuat men-deru2.

"Huh! Pukulan macam ini juga dipamerkan" jengek paman Lui, tangan kanannya

diayun ke muka untuk menyambut serangan tersebut.

"Blang!" kedua gulung tenaga beradu, terjadilah suara keras, beruntun Bay-kut-

sian tergetar mundur tiga langkah, sebaliknya paman Lui tak geming di tempat

semula.

Kecundang didepan orang banyak, Bay-kut-sian jadi kalap, dia meraung seperti

harimau gila, diterjangnya paman Lui dengan garang, secara beruntun ia

melepaskan tiga pukulan dan dua tendangan kilat.

"Bangsat! Rupanya kau sudah bosan hidup!" teriak paman Lui dengan marah, ia

mainkan Thian hud-ciang dengan rapat, semua pukulan dan tendangan lawan

dipapaki dengan kekerasan.

Dua sosok tubuh mereka se-olah2 bergumul menjadi satu, diantara benturan

keras tiba2 tubuh mereka berpisah satu lama lainnya.

Paman Lui yang gagah perkasa masih berdiri tegak, sebaliknya Bay-kut-sian yang

kurus kering seperti lidi berdiri sempoyongan, mukanya makin pucat, dengan

beringas ia melototi musuh, tiba2 Bay kut-sian mundur dengan sempoyongan,

setelah muntah darah lantas roboh terjungkal .....

Untung Ci-hay Siansu ber-jaga2 disampingnya, paderi itu segera melompat maju

dan menyambar tubuh Bay-kut-sian yang hampir mencium tanah, dia keluarkan

sebutir pil dan dijejalkan ke mulut ketua Khong-tong-pay itu, kemudian

berpaling dan serunya kepada paman Lui dengan marawh:. "Lui Ceng-wyan, keji

amat txindakanmu! Ong-ciangbun datang atas undanganku dan sekarang ia

terluka, hehehe. itu berarti kau telah memusuhi sembilan besar . . . . '

Belum habis Ci-hay Siansu berkata, ketua Hoat hoa-lam-cong, yakni Tan-ceng-

kek Thio Jiang serta Tiat-pi-pa-jiu Hoan Wan, ketua Hoat-hoa-pak-cong serentak

membentak dan menerjang ke depan, yang satu dengan ilmu jari Tan-ceng-ci

sedangkan yang lain mainkan pukulan Pi-pa-jiu, dari kiri kanan mereka

menyergap paman Lui.

Sebagaimana tadi, Paman Lui tidak menghindar, ia sambut serangan tersebut

dengan kekerasan kemudian ejeknya sambil tertawa dingin: "Hehehe, sungguh

tak nyana sembilan besar yang tersohor namanya tak lebih hanya manusia

keroco yang mencari kemenangan dengan mengandalkan jumlah banyak!"

Perkataan ini hakikatnya menyinggung perasaan semua ketua sembilan aliran

besar, tak heran ketujuh ketua lainpun serentak menerjang maju dengan murka.

Ci-hay Siansu, ketua Siau-lim-pay sendiri setelah membaringkan Bay-kut-sian di

atas tanah, lalu menerjang pula ke tengah arena, serunya dengan gusar: "Lui-

sicu, persoalan ini mempengaruhi mati hidupnya dunia persilatan, jika So-kut-

hun-thian-hud-pit-kip tidak kau serahkan, jangan salahkan kesembilan ketua

dari sembi!an besar akan menyerang kau secara bersama2!"

Paman Lui ayun tangannya untuk mematahkan serangan ketua Hoat-hoa-lam-

cong dan ketua Hoat-hoa-pak-cong, kemudian menengadah dan tertawa:

"Hahaha, di masa usia lanjut seperti ini orang sheLui memperoleh kesempatan

menjajal kelihayan ketua sembilan besar, kesempatan ini betu12 suatu surprise

bagiku. Hayo silakan kalian bersembilan maju bersama!" jengeknya berbareng

dengan selesainya sindiran tersebut, tiba2 ia melepaskan tujuh kali pukulan.

Sekaligus paman Lui menghadapi kedelapan ketua perguruan besar, maka dapat

dibayangkan sampai betapa hebat pertempuran ini.

Tiba2 dari sisi kalangan muncul scorang, secepat kilat orang itu menerjang ke

tengah arena pertarungan.

Padahal pada saat itu pertarungan sedang memuncak ketegangannya, setiap

pukulan yang mereka lancarkan merupakan serangan mematikan, angin pukulan

men-deru2, kesembilan orang tangguh yang bertarung itu seperti lengket

menjadi satu. Lalu siapakah yang berani menerjang masuk ke tengah kalangan

pertarungan yang amat sengit dan berbahaya itu? Waktu semua orang menjerit

kaget, bayangan orang itu dengan kesepatan luar biasa sudah meluncur ke

tengah arena.

Tiada searangpun yang tahu jurus serangan apakah yang dipergunakan orang

itu, yang pasti kedelapan ketua perguruan yang mcngerubuti paman Lui itu

bagaikan terpagut ular, segera menjert kaget dan melompat keluar arena

pertarungan.

Sebentar kernudian di tengah gelanggang hanya berdiri dua orang saja, mereka

adalah paman Lui, dan seorang pemuda tampan yang tak lain adalah Tian Pek.

Kejadian ini membuat semua orang terkejut, tapi tak sedikit pula yang bersorak

memuji.

Dalam pertarungan paman Lui melawan kedelapan ketua dari delapan besar

sudah cukup menggemparkan, itupun karena paman Lui adalah jago tangguh

yang sudah terkenal semenjak puluhan tahun yang lalu, tapi sekarang Tian Pek

hanya pemuda baru berusia likuran tahunan dan dengan satu jurus saja telah

berhasil, memaksa mundur kedelapan ketua itu, siapa yang tak heran

menyaksikan kejadian ini?

Hakikatnya belum lama Tian Pek terjun ke dunia persilatan, sekalipun ia berhasil

mengalahkan Hay-gwa-sam-sat dan Hek-to-su-hiong, tapi tak banyak jago yang

menyaksikan peristiwa itu.

Dan sekarang mata mereka boleh dibilang dibikin melek, sebab terbuktilah

pemuda itu memiliki keampuhan yaug luar biasa, sehingga cukup satu pukulan

ini bisa memaksa mundur lawan2 tangguh.

Dalam pada itu, setelah berhasil pukul mundur kedelapan orang ketua

perguruan besar itu dengan jurus Hud--kong pu-ciaug (sinar Buddha imemancar

ke manha2), lalu Tian Pek berdiri di sisi paman Lui, mukanya tampak kereng

berwibawa, gagah perkasa.

Ditatapnya sekejap kedelapan ketua perguruan besar itu dengan tajam, lalu

berkata:

'Semenjak ratusan tahun yang lalu, sembilan perguruan besar selalu menjadi

pemimpin dunia persilatan, Hm, setelah berada pada giliran pimpinan kalian,

bukannya membawa perguruan sendiri ke puncak ketenaran, sebaliknya

melakukan perbuatan tak senonoh dan menuduh orang tanpa dasar, kalau

begini terus caranya, kuyakin tak sampai beberapa tahun lagi nama sembilan

besar pasti akan berubah sebusuk sampah!"

Sejak tahu kelihayan anak muda itu, Ci hay Siansu tak berani bertindak gegabah

sekalipun hatinya marah sekali mendengar sindiran tadi, dengan gusar ia

membentak:

"maksudmu?"

"Sedari awal sudah kukatakan bahwa kitab pusaka Soh-kut-siau-hun telah

kumusnakan menjadi abu, persoalan ini sama sekali tak ada hubungannya

dengan paman Lui, atas dasar apakah kalian mengerubuti paman Lui? Begitukah

perbuatan ketua2 perguruan besar . . . . ?"

Belum selesai pemuda itu menegur dan belum sempat Ci-hay Siansu menjawab,

kembali ada dua sosok bayangan orang menerjang ke tengah arena.

Sewaktu masih di udara. salah satu bayangan itu telah berseru lebih dulu:

"Bocah keparat she Tian! Kalau kitab pusaka Soh-kut-siau-hun masih berada

padamu, hayo cepat serahkan kepada kami!"

Orang yang baru datang ini tak lain adalah Kanglam-ji-ki, dengan dandanan

mereka yang menyolok, kungfu yang tinggi, perbuatan mereka yang busuk den

tindak tanduk mereka yang seenaknya sendiri, Ci-hoat-leng-kau Siang Ki-ok serta

Kui-kok-in-siu Bun Ceng-ki sudah tersohor sebagai gembong iblis yang disegani

orang. Tak heran kalau kemunculan mereka segera mengejutkan kawanan jago

yang berkumpul ini.

Ci hay Siansu sendiripun terkejut, cepat ia berkata: "Kitab pusaka Soh-kut-siau-

hun adalah benda pusaka Siau-lim-si, aku tidak mengharapkan campur tangan

kalian berdua!"

"Hehehe, Apa itu Siau-lim-si? Cuma nama kosong belaka!" jengek Ci-hoat-leng-

kau Siang Ki-ok sambil tertawa dingin, "untuk melindungi kuili sendiripun takh

becus, mau apa kau gembar gembor di sini?"

"kami bertekad akan mendapatkannya, barang siapa tidak mau tunduk, hmm,

inilah contohnya" seru Kui-kok-in-siu Bun Ceng-ki sambil tertawa seram,

mendadak telapak tangannya dengan membawa desing angin dingin langsung

menebas ke tubub Han-ceng-cu, itu ketua Bu-tong-pay.

Sebelum angin pukulan itu menyambar tiba, lebih dulu terasa hawa dingin yang

merasuk tulang sumsum, Hian-ceng-cu menjerit kaget.

Untung gerak tubuh ketua Bu-tong-pay itu cukup cekatan, baru saja ia

menyingkir ke samping, angin pukulan itu menyambar lewat, seketika ia

menggigil ngeri.

Kasihan dua orang anggota perkumpulan pengemis yang berada di belakangnya,

mereka tak dapat menghindar, di mana angin pukulan itu menyambar lewat,

mereka menjerit ngeri, air mukanya berubah pucat roboh dengan kejang,

setelah berkelejet beberapa saat lalu tak berkutik untuk selamanya.

Itulah pukulan Im-hong-ciang yarg baru saja diyakinkan kui-kok-in-siu, sekalipun

dari jarak jauh, Cukup suatu pukulan ia dapat membinasakan dua orang, dari sini

bisa diketahui betapa beracun dan hebatnya pukulan maut tersebut.

Kiranya pertapa dari lembah setan ini ingin "membunuh ayam menakuti

monyet", dengan Im-hong-ciang yang lihay dan beracun itu ia serang ketua Bu-

tong pay itu dengan harapan tindakannya ini akan bikin takut sembilan ketua

perguruan lainnya.

Siapa tahu Hian-sing cu juga bukan tokoh lemah sebagai seorang Ciangbunjin

dari suatu perguruan besar, dia memiliki ilmu silat yang ampuh, kendatipun

diserang tanpa terduga, pada saat terakhir masih sempat menghindarkan diri

dengan gerakan cepat.

Sial dua orang anggota perkumpulan pengemis itu, tanpa mengetahui sebab

musababnya mereka menjadi setan pengganti ketua Bu tong-pay itu. .

Hong-jam-sam-kay menjadi murka, ketiga orang pengemis tua itu melompat

maju dan melancarkan pukwulan dahsyat.

Tiga gulung angxin pukulan dahsyat segera menerjang dada Kui-kok-in-siu

dengan hebatnya.

Belum sempat Kui-kok-in-siu turun tangan, Ci-hoat-leng-kau yang berada di

sampingnya telah mengebaskan ujung bajunya seraya membentak. "Pengemis

sialan! Di sini tak ada urusan kalian, hayo enyah dari sini!"

Jangan kira kebutan Ci-hoat-leng-kau itu enteng dan sederhana, se-olah2 tak

bertenaga, tapi sebenarnya membawa tenaga Hek-sat-jiu yang maha dahsyat,

serta merta tenaga pukulan gabungan Hong-jan-sam-kay terpunahkan. .

Sebagai tokoh perkumpulan pengemis, bukan saja Hong-jan-sam-kay memiliki

kungfu tinggi, nama dan kedudukan mereka di dunia persilatanpun amat

cemerlang, akan tetapi tenaga gabungan yang mereka lancarkan berhasil

ditangkis dengan mudah oleh Ci-hoat-leng-kau, hal ini menyebabkan ketiga

pengemis tua itu terkesiap.

"Tak nyana kakek bertampang kunyuk ini memiliki kungfu yang lihay, belum

pernah kujumpai jago sehebat ini . .. . ." pikir mereka.

Sementara ketiga pengemis itu termanggu, jago2 Lam hay-bun yang selama ini

hanya berpeluk tangan belaka, dengan berjajar menjadi satu baris perlahan

mulai bergerak ke depan.

Di antara sekian jago Lam-hay-bun yang hadir ini, dipimpin oleh Sin-liong-taycu

yang berbaju putih dan berkipas perak serta Lam-hay-liong-li yang cantik jelita

bak bidadari dari kahyangan.

Di sebelah kiri kedua muda-mudi itu adalah Hay gwa-sam-sat, sedangkan di

sebelah kanannya adalah Hek-to-su-hiong, tujuh jago paling tangguh dari Lam-

hay-bun itu bertugas melindungi keselamatan pemimpin mereka dari kedua

sayap.

Sembilan orang dengan langkak yang tegap mantap, maju ke muka, ketegangan

mencekam setiap orang, membuat kawanan jago itu merasa dada jadi sesak

menahan napas.

Setibanya di tengah arena, Sin-liong-taycu menudung Kanglam ji ki seraya

berkata seenaknya: "Eh, kalian berdua cepat menyingkir!"

Semenjak terjun ke dunia persilatan dan malang melintang scbagai dua

gembong iblis yang disegani orang, belum pernah Kanglam-ji ki diperlakukan

orang sekasar ini, keruan gusarnya tidak kepalang.

"Anak keparat! Kau bicara dengan siapa?" bentak mereka dengan mata

mendelik.

"Ucapan itu ditujukan kepada kalian berdua kunyuk tua ini, mau apa? Tidak

paham?" jengek nenek berambut putih dari Hay--gwa-sam-sat sambil

melangkah maju.

Ci-hoat-leng-kau tidak banyak berbicara, dengan jurus Hek- jiu toh-hun (tangan

hitam meraih sukma), ia cengkeram batok kepala nenek rambut putih itu.

"Bangsat, kau bosan hidup!" teriak si nenek berambut putih dengan gusar,

bagaikan gurdi ujung jarinya menutuk jalan darah di telapak tangan Ci-hboat-

leng kau.

"Criit!" bagaikan dipagut ular, Ci hoat lengkau menjerit kesakitan dan segera

melompat mundur. Ketika telapak tangannya diperiksa, muncul sebuah bisul

merah sebesar mata uang, rupanya sudah terluka oleh tutukan Soh-hun-ci si

nenek.

Kejut dari gusar Ci hoat-leng-kau, cepat dia ambil obat mujarab dan dikunyah

lalu dibubuhkan pada telapak tangannya yang bengkak.

"Blang!" kembali sesosok bayangan tergetar mundur sempoyongan dan

langsung menerjang Ci-hoat-leng-kau.

Menghadapi terjangan itu, Ci-hoat leng-kau segera mengayun telapak tangan

kirinya yang tak terluka untuk menabas tubuh lawan, tapi dengan cepat

diketahuinya bahwa orang itu adalah Kui-kok-in-siu, adik seperguruannya

sendiri, ia batalkan serangan itu dan cepat memayangnya agar tak sampai

roboh.

Wajah Kui-kok-in-siu pucat pasi, meski tubuhnya tak sampai jatuh, tak urung

kakek kurus kecil ini tak dapat menahan pergolakan darah di dadanya, ia

muntah darah.

Ci-hoat-leng kau terperanjat, siapa gerangan yang berhasil merobohkan mereka

dalam sekali gebrakan ini? Cepat ia menjejalkan pula sebutir obat mujarab ke

mulut saudaranya.

apa yang sebenarnya terjadi? Kiranya sewaktu si nenek berhasil melukai Ci-hoat-

leng-kau dengan Soh-hun ci, Kui-kok-in-siu segera menyergap dari belakang, tapi

keburu dicegat oleh Hud-in Hoatsu, dengan suatu pukulan dahsyat yang tepat

bersarang dipunggung lawan, jago lihay dari lembah setan itu kena dihajar

hingga mencelat.

Begitulah, setelah secara beruntun orang2 Lam-hay-bun menaklukkan kedua

jago tanggub, dengan sikap se-olah2 tak pernah terjadi apapun, mereka

lanjutkan langkahnya menghampiri Tian Pek.

Ketika tiba di hadapan sembilan ketua perguruan besar, Lam-hay liong-li

menuding mereka dan berkata: "Hayo, kalian juga menyingkir semua!".

Kesaktian jago2 Lam-hay-bun telah menggetarkan hati sembilan orang ketua

perguruan besar itu, tanpa mengucap sepatah katapun masing2 monyurut

mundur beberapa langkah.

Setibanya di depan Tian Pek barulah Sin -liong-taycu menegur sambil menunjuk

lawannya dengan kipas perak: "Saudara, kuminta kitab pusaka Soh-kut-siau-hun

itu segera kau serahkan kepadaku!"

Meski suara pembicaraannya tetap lembut tanpa emosi, namun nadanya ketus

dan mengandung paksaan, se -akan2 musuhnya harus menyerahkan apa yang di

mintanya itu.

Tian Pek tersenyum sahutnya: "Dengan dasar apakah anda berani mengucapkan

kata2 seangkuh ini? Dan dengan alasan apa kitab pusaka Soh-kut-siau hun itu

harus kuserahkan kepadamu?"

Dengan matanya yang jeli Lam-hay-liong-li menatap tajam anak muda itu,

tatapan yang mesra dan penuh arti, pelbagai perasaan berkecamuk dalam sinar

matanya, dan diantara sekian banyak orang yang hadir mungkin hanya Tian-Pek

saja yang dapat merasakan arti tatapan itu.

Tian Pek jago muda yang berjiwa ksatria dan selalu membela keadilan dan

kebenaran ini tak takut langit juga tak takut bumi, tapi hanya takut sesuatu saja,

yakni takut dipandang oleh anak dara dengan sinar mata semacam ini.

Baik Wan-ji, Buyung Hong, Hoan Soh-ing Liu Cui-cui serta Kim-Cay-hong yang

berjuluk Kanglam-te-it-bi-jin, semuanya pernah memandangnya dengan sinar

mata seperti itu, dari mereka juga terlibat dalam permainan api asmara

dengannya dan membuatnya tak tahu bagaimana harus mengatasi masalah ini.

Mula pertama ia bermain cinta dengan Liu Cui-cui, meski belum resmi menjadi

suami-isteri, namun prakteknya sudah berbuat sebagai suami-isteri, setelah itu

ia mengikat jodoh dengan Buyung Hong dan sekarang iapun tahu Wan-ji telah

bertekad menjadi isterinya.

Karena permainan nasib, tanpa disadari ia mempunyai tiga orang isteri yang tak

mungkin bisa ditinggalkan dengan begitu saja, berada di tengah gadis2 yang

bersaing cinta itu, entah bagaimana selanjutnya mereka akan hidup bersama?

Persoalan ini cukup memusingkan kepalanya.

Dan sekarang Lam-hay-liong-li memandangnya pula dengan sorot mata seperti

itu, tentu saja ia merasa ngeri, buru2 ia tunduk kepala dan berusaha

menghindari tatapan Lam-hay-liong-li yang berapi2 itu.

Sementara itu Lam-hay-liong-li masih memandangnya, melihat pemuda itu

menunduk, ia lantas menegur: "Masa kau tidak tahu bahwa kitab pusaka Soh-

kut-siau-hun sebenarnya adalah barang pusaka Lam-hay-bun kami?"

Semua orang melengak, begitu juga Tian Pek, keterangan ini belum pernah

terpikir olehnya.

Anak muda itu segera menengadah, ucapnya dengan tertawa: "Nona, kau

pandai benar bergurau. Mana mungkin kitab pusaka Soh-kut-siau-hun menjadi

hak milik Lam hay-bun.”

Tatkala dirasakan betapa tajam sinar mata Lam hay-liong-li yang menatapnya

bagaikan sebilah pisau yang menembus ulu hatinya, pemuda itu terkesiap dan

cepat menunduk lagi.

Melihat anak muda itu ter-sipu2, Lam-hay-liong-li tertawa, ia berkata: "Sudah

pernah kaulihat lukisan di dalam kitab pusaka itu bukan?"

"Ehm, pernah!" Jawab Tian Pek dengan muka merah.

"Kau tahu siapa yang dilukis di dalam kitab itu?"

"Thian-sian-mo-!i!"

"Siapakah Thian-sian-mo li itu?"

Tian Pek tertegun. "Thian sian-mo-li ya Thian-sian-mo-li, masa perlu dijelaskan

tentang siapakah Thian sian-mo-li itu?" demikian ia berpikir.

Rupanya Lam-hay-liong-li dapat melihat keraguan orang, ia lantas tertawa dan

menerangkan. ""Terus terang kuberitahukan kepadamu, Thian-sian-mo-li itu tak

lain adalah Sucou (cakal bakal) perguruan Lam-hay-bun kami! Maka adalah

menjadi kewajiban kami untuk menarik kembali kitab tersebut dari peredaran!"

"Oh, iya?" kata Tian Pek sambil tertawa, belum pernah kudengar orang

mengatakan Thian-sian-mo-li adalah Sucou perguruan Lam hay bun."

Jawaban ini menggusarkan anak buah Lam-hay-bun, dengan wajah beringas

hampir saja mereka melancarkan serangan.

Lam-hay-liong-li segera memberi tanda kepada anak buahnya agar jangan

bergerak, lalu katanya kepada Tian Pek dengan tak senang hati: "Guruku adalah

Kui-bin-kiau-wa dan Kui-bin-kiau-wa adalah murid Thian-sian-mo-li, bila Thian-

sian-mo-li bukan Sucou kami lantas aku harus menyebut apa kepadanya? Masa

aku mesti mengaku orang lain sebagai Sucou? Pokoknya kitab pusaka Soh-kut-

siau-hun itu harus kauserahkan kepadaku, kalau

tidak . . . . Hmm, akan kumampuskan kau tanpa terkubur di sini!"

Dengan keterangan itu, kawanan jago yang berkumpul ini sama terkejut,

sekarang mereka baru tahu asal perguruan Lam-hay bun adalah dari Thian-sian-

mo-li.

Mendingan gadis itu bersikap lembut, tentu saja Tian Pek tak mau diperlakukan

kasar oleh orang2 itu, baru saja Lam -hay-liong-li menyelesaikan kata2nya,

dengan dahi berkerut pemuda itu tertawa dingin: "Hehehe, kuulangi sekali lagi

perkataanku, kedatangan kalian semuanya sudah terlambat!"

"Bagi orang2 Lam-hay-bun tak kenal apa artinya terlambat!" tukas Sin-liong-

taycu.

"Sekalipun kau tidak percaya juga percuma, selamanya jangan harap lagi akan

melihat kitab paling aneh itu, sebab beberapa hari yang lalu kitab pusaka Soh-

kut-siau-hun itu telah kumusnakan di hadapan umum?"

"Boleh saja kau ulangi perkataan semacam itu sampai beberapa ratus kali, tapi

coba tanyakan kepada setiap hadirin, siapa yang percaya pada pengakuanmu?"

kata Sin-liong-taycu dengan tenang sambil menggoyangkan kipasnya secara

santai.

Tian Pek memandang wajah kawanan jago itu, benar juga ia temukan muka yang

penuh diliputi kesangsian, sadarlah ia bahwa pengakuannya tidak nanti diterima

oleh orang2 itu sebagai suatu kenyataan, akhirnya ia menghela napas panjang:

"Ai, apa mau dikatakan lagi jika kalian tidak percaya, toh kenyataaanya kitab

pusaka itu memang sudah kumusnahkan dari muka bumi ini!"

"Tian-siauhiap, kurasa lebih baik serahkan saja kitab itu kepada kami" Lam-hay-

liong li membujuk pula sambil tersenyum.

Karena orang tetap tidak mau percaya pada pengakuancya, akhirnya: Tian Pek,

naik darah, serunya dengan gusar: "Hmm, kalian jangan memaksa terus,

ketahuilah jangankan kitab pusaka Soh-kut-siau-hun itu benar sudah

kumusnahkan, kendati masih adapun tidak nanti kuserahkannya kepada kalian

sebangsa manusia2 dari luar lautan yang keji dan kejam ini."

Air muka Sin liong taycu berubah suram, napsu membunuh menyelimuti

wajahnya, ia berseru: "Hmm, baik! Katanya, kalau tidak menggunakan kekerasan

kau takkan jera ... . ."

Kipas peraknya memberi tanda ke belakang, Hay-gwa-sam sat dan Hek-to-su

hiong lantas maju ke depan dan siap melancarkan serangan.

Tian Pek tak gentar, dia memandang sekejap ketujuh orang lihay itu, kemudian

tegurnya: "Apakah kalian lupa bahwa antara aku dan kalian sudah terikat oleh

janji?"

"Hehehe, kalau jeri, lebih baik serahkan saja kitab pusaka itu sekarang juga!"

jengek Sin liong-taycu sambil tertawa dingin.

"Jeri? Selama hidup Tian Pek tak kenal arti takut, aku hanya ingin memegang

teguh janjiku dan tak mau berurusan lagi dengan orang2 persilatan!"

Nenek berambut putih dari Hay gwa-sam-sat cepat menanggapi sambil tertawa

seram:

"Hehehe, tak menjadi soal, boleh saja kami bertiga menarik kembali janji

tersebut!"

"Betul!" Hud-in Hoat-su menambahkan, "tentunya engkoh cilik tak puas dengan

kekalahan yang kau derita tempo hari? Sekarang kita boleh ulangi kembali

pehrtarungan itu!"

"Dan kami yakin, kali ini kau tak dapat pergi dari sini dengan hidup!" Ciong-nia-

ci-eng menambahkan.

Tian Pek mengerutkan dahi, ia betu12 terpengaruh oleh emosi . . .

Tay-pek-siang-gi dapat melihat bahwa inilah kesempatan yang terbaik bagi Tian

Pek untuk mencuci bersih kekalahan yang diterimanya tempo hari.

mereka menerjang ke muka dan serunya kepada Tian Pek: "Siau-In-kong, terima

tantangan mereka! Inilah saat yang baik bagimu untuk balas menghajar

mereka!"

Tian Pek memang ingin cepat2 melepaskan diri dari belenggu janji itu, maka

iapun mengangguk, ujarnya kepada Hay-gwa-sam-sat: "Kalau kalian memaksa

terus, Tian Pek bersedia melayani kalian dengan pertaruhan nyawa! Tolong

tanya, apakah kalian bertiga lagi yang akan turun ke gelanggang untuk melayani

diriku ini?"

"Engkoh cilik, kau memang hebat, kau ksatria sejati . . . ." puji si kakek

berjenggot panjang sambil acungkan jempolnya.

Sin-liong-taycu berkata juga dengan napsu membunuh menyelimuti wajahnya:

"Lam-hay-bun bersumpah akan mendapatkan kembali kitab pusaka Soh-kut-

siau-hun itu, sekarang atas nama Kaucu kutitahkan Hay-gwa-sam-sat dan Hek-

to-su-hiong untuk maju ber-sama2!"

Suasana seketika menjadi gempar, kawanan jago yang hadir sama terperanjat,

terutama mereka yang punya hubungan akrab dengan Tian Pek, kuatir mereka.

Seandainya satu lawan satu, sudah pasti Tian Pek akan menang atau sekalipuu

harus bertarung melawan Hay-gwa-sam-sat atau Hek-to-su-hiong, anak muda

itu masih ada harapan untuk menang, tapi sekarang dia harus bertempur

melawan tujuh orang lihay dari Lam-hay-bun sekaligus, jangankan kesempatan

untuk menang tipis sekali, jiwanya justru terancam bahaya.

Dalam keadaan begini, sekalipun kawanan jago itu berniat memberi bantuan,

kecuali paman Lui dan Wan-ji yang mungkin dapat menandingi satu-dua orang di

antara Hay-gwa-sam-sat atau Hek-to-su-hiong, jago2 lain boleh bilang tak

mungkin bisa menyumbangkan tenaganya.

Apalagi kecuali beberapa orang yang berasal satu rombongan dengan Tian Pek,

kawanan jago lainnya masih terlibat dalam persengketaan dengan pemuda itu,

tak mungkin mereka akan membantu anak muda itu. Atau dengan perkataan

lain, posisi Tian Pek ketika itu sangat tidak menguntungkan, tak heran kalau

diam2 orang menguatirkan keselamatan anak muda itu.

Agaknya Sin liong-taycu sudah memperhitungkan langkahnya dengan se-

cermat2nya, sebab itu sebelum Ciu Ji hay atau si kakek berjenggot panjang itu

habis kata2nya, ia lantas mengumumkan lebih dahulu niatnya untuk

menurunkan ketujuh jago tangguh guna mengeroyok pemuda itu.

Sebagai jago yang berpengalaman, kebanyakan orang mengerti Sin-liong-taycu

licik dan banyak tipu muslihatnya, jelas ia sedang memasang perangkap untuk

memancing Tian Pek.

Siapa tahu Tian Pek sendiri malah bersikap tenang2 saja, ia tertawa angkuh, lalu

katanya: "Inilah kesempatan yang terbaik bagi Tian Pek untuk merasakan sampai

dimanakah ketangguhan ketujuh jago Lam-hay-bun, kejadian ini benar2

merupakan suatu kehormatan besar bagiku!"

Mendengar taaggapan ini, si kakek berjenggot itu kembali mengacungkan

jempolnya dan berulang kali memuji: "Bagus! Bagus! Kuhormati kau sebagai

tokoh nomor wahid dari dunia persilatan!"

"Ciu kong kong, jangan mengobarkan perbawa musuh dan meruntuhkan

semangat sendiri!" tegur Sin-liong-taycu dengan tak senang hati, "Kalian

bertujuh majulah segera, bagaimanapun juga kalian harus bunuh bangsat yang

takabur ini.”

Lam hay-liong-li dapat merasakan betapa tebalnya napsu membunuh dari

kakaknya, sebagal pimpinan sudah tentu ia tak dapat mengunjuk sikap tak

setuju di hadapan anak buahnya, maka ketika ketujuh jago lihaynya maju ke

arena; cepat ia menambahkan:

"Cukup asal kitab pusaka Soh-kut-siau-hun itu kita dapatkan!"

Entah ketujuh orang lihay itu dapat meresapi maksud perkataan Lam-hay-liong-li

atau tidak, tampaklah mereka lantas pasang kuda2 dan menghimpun tenaga

dengan wajah kereng, tapi sebelum pertempuran dimulai, si kakek berjenggot

panjang itu berkata lagi: ' Engkoh cilik, pertarungan yanwg akan dilangsungkan

ini adalah pertarungan terakhir yang paling sengit, boleh kau melancarkan

serangan lebih dahulu!"

"Tunggu sebentar!" sebelum Tian Pek menjawab, tiba2 Wan-ji maju kedepan,

ditatapnya sekejap pemuda itu dengan pandangan lembut dam mesra, lalu

bisiknya: "Engkoh Pek, adik bersedia membantumu!"

"Jangan adik Wan!" sahut Tian Pek dengan berterima kasih, "biarlah kuhadapi

sendiri ketujuh orang ini!'

Selesai berkata, telapak tangannya lantas diangkat sebatas dada dan siap

menghadapi serangan.

Buyung Hong ikut maju ke muka, katanya: "Orang2 ini tak tahu malu semuanya..

Hmm, pandainya hanya main kerubut, engkoh Tian, biar kubantu kau

menghadapi mereka!"

Tian Pek terharu sekali oleh kesediaan Buyung Hong kakak beradik yang akan

membantunya, tapi mengikuti adatnya, bagaimanapun ia takkan membiarkan

kedua anak dara itu ikut menyempet bahaya.

Pemuda itu tertawa getir, lalu sahutnya: "Adik Hong, kau juga tak usah

membantu aku, biarlah kuhadapi mereka seorang diri!"

Kim Cay- hong yang berdiri di samping diam2 membenci ketidak becusannya

sendiri, ia merasa tak punya keberanian untuk mengikuti jejak Buyung Hong

berdua yang berani menyatakan cinta kasihnya di hadapan umum. Kenapa

dirinya tak berani tampil secara terang2an Mungkinkah ia merasa kedudukan

dan asal-usulnya kurang pantas? Ataukah karena alasan lain?

Dasar sudah sangsi, apalagi melihat Tian Pek menampik bantuan Buyung Hong

berdua, ia semakin tak punya keberanian untuk maju.

Hoan Soh-ing juga ada maksud maju ke depan untuk menyatakan sikapnya, tapi

perasaan itu segera ditekan di dalam hati. "Kenapa aku harus ikut kontes ini?

Toh sudah begitu banyak nona yang mencintainya . . . . " demikian ia berpikir.

Tay-pek-siang-gi dan Ji-lopiautau terhitung pula ksatria2 yang berwatak keras,

mereka rela herkorban demi sahabat. Kendati tahu bahwa Kungfu mereka tak

mampu menandingi kelihayan Hay-gwa-saw-sat dan Hek-to-su-hiong, toh

mereka maju juga dan berdiri di samping anak muda itu.

"Kami semua siap membantu perjuangan Tian-siauhiap!" kata mereka

serempak.

Hanya paman Lui saja tak bergerak dari tempat semula, sebab ia cukup

memahami watak anak muda itu, tak mungkin membiarkan orang lain ikut

menempuh bahaya bila tugas tersebut dirasakan dapat ditanggulanginya sendiri.

Solidaritas yang diperlihatkan beberapa orang itu segera memancing cemoohan

dari pihak Hay-gwa-sam-sat dan Hek-to-su-hiong, sambil tertawa dingin mereka

menjengek:

"Huh, banyak yang membantu juga percuma, paling2 dalam perjalanan menuju

akhirat akan bertambah lagi beberapa setan baru!"

Tian Pek merasa cemoohan itu ada benarnya juga, maka ia coba menilai

kekuatan pihaknya dengan kekuatan lawan ia merasa kawan2nya hanya akan

mengantar kematian dengan percuma, boleh jadi kehadiran mereka justeru

akan mengganggu keleluasannya bertempur.

Akhirnya, ia tertawa pongah seraya berkata: "Kalian tak perlu bersilat lidah, toh

tiada manfaatnya. Ketahuilah sekali Tian Pek berkata akan menghadapi kalian

seorang diri, maka tetap aku akan maju sendiri, akan kulihat seberapa tinggi

kungfu sejati Hay-gwa-sam-sat dan Hek-to-su-hiong!"

Kemudian ia berpaling dan berkata pula kepada Tay-pek-siang-gi dan Ji-

lopiautau:

"Maksud baik Cianpwe sekalian biarlah kuterima di dalam hati saja, maafkan,

sebab setiap urusan yang telah kuputuskan selamanya takkan kutarik kembali,

harap Cianpwe sekalian suka mengundurkan diri dari sini!"

Tay-pek-siang-gi dan Ji lopiaugtau tak berdayai, mereka cuma bhisa menggeleng

dengan sedih dan mundur dari situ.

"Ksatria sejati! Pahlawan tulen! Hebat . . . mengagumkan . . . . "kembali kakek

berjenggot itu memuji sambil mengacungkan jempolnya.

"Silakan menyerang!" kata Tian Pek sambil merentangkan kedua telapak

tangannya.

Nenek berambut putih tidak sabar lagi, begitu lawan mempersilakan, tanpa

bicara terus menutuk Sam-yang-hiat lawan dengan jari Soh-hun ci.

"Sambutlah serangan nenekmu ini!" bentaknya setelah serangan dilancarkan.

Sudah dua kali nenek ini dikalahkan Tian Pek, bencinya pada pemuda ini sudah

merasuk tulang, maka begitu menyerang lantas menggunakan jurus serangan

mematikan.

Tian Pek mengegos kesamping, berbareng itu juga ia pukul jalan darah Kwan-

goan-hiat pergelangan tangan kanan musuh, menghindar sambil menyerang,

semuanya dilakukan dengan cepat.

Nenek itu terperanjat, tak diduganya kungfu Tian Pek kembali mendapat

kemajuan pesat, cepat ia melompat mundur.

Desing angin pukulan menyambar, si tikus gunung tiba2 menyergap dari

belakang dan membacok kepala anak muda itu.

Sambil menyingkir Tian Pek berputar badan, tanpa memandang ia potong

lengan kiri si tikus gudang, setiap serangan dibalas dengan serangan,

kecepatannya berlipat dari pada lawannya.

Menghadapi tabasan kilat itu, Tay-tong-ci-ju menjerit kaget dan melompat

mundur.

Sementara itu Hud-in Hoat-su di sebelah kiri dan Ciong-nia-ci-eng juga

menyergap maju bersama.

Tian Pek keluarkan pukulan berantai dengan gerakan ringan, tabasan telapak

tangan kiri dan tendangan kaki kanan bekerja cepat, seketika Hudin Hoat-su dan

Ciong-nia-ci-eng terdesak mundur.

Tapi pada saat itulah si Rase dari gurun dan serigala dari Im-san yang berada

didepan dan belakang serentak menyerang dengan dahsyat. Selain itu, si kakek

berjenggot dengan Tay-jiu-in andalannya juga menghantam batgok kepala

pemudia itu.

Menghadapi kerubutan dari depan, belakang, kiri, kanan dan atas yang disertai

pula dengan tenaga pukulan beribu kati, tak ada peluang lagi bagi Tian Pek

untuk menghindar.

Agaknya Tian Pak terancam bahaya, bila ia tak bisa mengatasi kesulitan itu

niscaya dia akan terluka atau binasa.

Banyak orang berkeringat dingin menguatirkan keselamatan pemuda itu, meski

banyak yang kaget dan ngeri, namun orang2 itu hanya terbelalak belaka, untuk

menjerit pun rasenya tak sempat . . . . .

Tapi Tian Pek tidak menjadi gugup, ditengah kepungan musuh yang rapat, ia

menghantam dan menyabet ke depan dan belakang, kemudian dengan jurus

Sim-hong-ki-lui (angin puyuh sambaran geledek) dia sambut pukulan si kakek

berjenggot.

"Blang!" benturan keras tak terhindar lagi, jago lihay Lam-hay-bun yang amat

sempurna tenaga dalamnya ini terhajar sampai mundur dengan sempoyongan.

Kakek berjenggot itu tertawa keras, serunya: "Hahaha, anak muda, kuat betul

tenaga pukulanmu! Nyata kungfumu mendapat kemajuan pesat!" Untuk kedua

kalinya, ia menerjang lagi kedepan.

Tian Pek keluaikan Bu sik-bu- siang-sin-hoat yang diimbangi dengan ilmu langkah

Cian-hoan-biau-hiang-poh ia berkelebat kian kemari dengan cepat sementara

tangannya memainkan ilmu pukulan Thian-hud-hang-mo-ciang disertai pula

dengan ilmu pukulan Hong-lui-pat-ciang untuk mengimbangi serangan lawan.

Baru tiga-lima gebrakan, debu pasir sudah menyelimuti udara, banyak batang

pohon dan rerumputan yang tersambar patah. Sekitar arena pertempuran se-

olah2 diselimuti lapisan hawa pukulan yang kuat, banyak penonton yang tak

tahan dan terdorong mundur.

Ketangkasan Tian Pek ibaratnya seekor naga sakti mengaduk samudera,

ibaratnya pula seekor harimau garang, bertarung melawan segerombolan

binatang liar, gagah perkasa dan cekatan gerak geriknya.

Ketujuh jago lihay Lam-hay-bun tak kalah hebatnya, hampir semua pukulan dan

tendangan yang melayang disertwai tenaga yang ykuat, tertuju bxagian2

mematikan di tubuh lawan.

Demikian sengitnya suasana dalam gelanggang membuat cuaca berubah

mendung, bintang dan rembulan se-olah2 tak bercahaya lagi.

Dalam waktu singkat, puluhan gebrak sudah lewat, namun pertempuran masih

berlangsung dengan serunya, menang kalah belum dapat ditentukan. Kawanan

jago yang mengikuti jalannya pertarungan itu mulai terperanjat, mereka

bergidik.

Sin-liong-taycu yang telah kehilangan ketenangannya, kipas peraknya

digenggam kencang2, matanya melotot mengikuti jalannya pertarungan dcngan

rasa tegang.

Begitu pula keadaannya dengan Lam-hay-liong-li yang cantik, sebentar mukanya

tampak berseri sebentar lagi tampak murung, jelas hatinya juga tak tenang.

Paman Lui melotot dengan rambut awut2an, Tay-pek-siang-gi dan Ji-lopiautau

terbelalak tegang, Buyung Hong dan Wan-ji bermuka pucat, sedangkan Kim Cay-

hong dan Hoan Soh-ing meski tegang di hati tapi tenang di wajah, bila

memperhatikan tangan mereka yang tergenggam serta dada mereka yang

terengah baru dapat diketahui sampai di manakah

ketegangan mereka.

Makin lama Hay-gwa-sam-sat dan Hek-to-su-hiong makin terperanjat, baru

pertama kali ini mereka turun tangan bersama untuk mengerubut seorang

pemuda, mungkin sepanjang hidupnya hanya sekali ini mereka menjumpai

keadaan semacam ini.

Tapi sekarang, walaupun mereka sudah manguras segenap kepandaian mereka,

namun bukan saja mereka tidak di atas angin, malahan Tian Pek yang dikerubuti

masih bisa membalas serangan mereka dengan mantap, ini membuat mereka

jadi gusar bercampur gelisah, di antaranya Ciu Ji-hay, si kakek berjenggot

panjang merasa paling terkejut.

Dengan ilmu Tay-jiu-in beruntun ia telah beradu tenaga lima-enam kali dengan

Tian Pek, tapi kenyataannya bukan saja pemuda itu tidak terpengaruh oleh

serangannya, sebaliknya ia sendiri yang terdesak mundur sempoyongan.

Teringat pertarungannya tempo hari, waktu itu hanya tiga pukulan saja ia

berhasil menghajar anak muda itu sampai muntah darah, sekarang dalam waktu

yang singkat, ia heran tenaga dalam pemuda itu bisa mendapat kemajuan yang

demikiau pesat.

Kakek itu tak tahu Tian Pek telah minum Ci-tam-hoa, sejenis obat mujarab yang

bersifat panas, dalam pertempurannya tempo hari darah beku dalam perutnya

berhasil ditumpahkan keluar, sehingga semakin melancarkan aliran tenaga

dalamnya, maka percumalah kakek berjenggot itu mengumbar nafsunya, sebab

kekuatannya tidak mampu menandingi kekuatan Tian Pek.

Setelah posisi anak muda itu semakin mantap dan di atas angin, baik paman Lui,

Tay pek siang-gi, Ji-lopiautau maupun Buyung Hong dan Wan-ji dapat merasa

agak lega.

Sembilan ketua perguruan besar, Bu-lim-sukongcu dan kawanan jago lain berdiri

terkesima oleh sengitnya pertempuran itu, mimpipun tak pernah mereka sangka

di dunia persilatan sebenarnya terdapat seorang tokoh muda yang berilmu silat

sedemikian tinggi.

Seorang melawan tujuh tokoh sakti Lam-hay bun.

Hampir saja orang tak percaya dengan apa yang dilihatnya, Sin-liong-taycu jadi

tergetar hatinya, menurut perkiraannya semula meski kungfu Tian Pek tinggi

dan mampu mengalahkan Hay-gwa-sam-sat dan Hek-to su-hiong di masa lalu,

sekarang kalau ketujuh tokoh sakti itu turun tangan bersama, niscaya pemuda

itu dapat dikalahkan dan kitab pusaka Soh kut siau-hun bisa dirampas.

Tapi kenyataan berbicara lain, walaupun Hay-gwa-sam-sat telah bekerja sama

dengan Hek-to-su-hiong, toh mereka tak mampu merobohkan Tian Pek.

Ia mulai kuatir akan kelanggengan kekuasaan yang baru saja berhasil dia raih

dari tangan orang-orang persilatan, ia kuatir Tian Pek akan merusak pondasi

kekuasaannya untuk menjajah daratan Tionggoan.

Sekarang ia baru merasakan betapa pentingnya arti pertarungan yang

berlangsung ini, bisa dibayangkan betapa terkejut dagn kuatirnya sekiarang, tapi

jugha makin besar hasratnya untuk melenyapkan anak muda itu dari muka

bumi.

Air mukanya mulai berubah-ubah, biji matanya jelalatan mencari akal, diam-

diam ia mulai menyusun rencana keji untuk membunuh Tian Pek.

Akhirnya ia mendapatkan akal, dengan lantang Sin-liong taycu lantas

bersenandung:

"Setitik warna merah diantara lautan hijau!"

Semua orang tertegun, siapapun tak dapat menebak apa arti senandung dari

Sin-liong taycu, mereka heran dalam suasana pertarungan seru ini mengapa Sin-

liong taycu sempat bersyair.

Sementara orang-orang sama termangu, situasi dalam arena pertarungan telah

mengalami perubahan, di antara lintasan bayangan manusia, tiba-tiba si tikus

gudang mencicit nyaring, tubuhnya melejit dan membentuk gerakan lingkaran di

tengah udara, kemudian telapak tangannya menghantam dada Tian Pek.

Anak muda itu tak tahu mengapa secara tiba-tiba si Tikus menjadi nekat dan

mengadu jiwa begini, pula pukulan gencar ke enam orang lainnya membuatnya

tak mampu menghindar, terpaksa ia kerahkan segenap kekuatan untuk

menangkis.

"Blang!" benturan keras terjadi, tubuh si tikus gudang mencelat oleh pukulan

Tian Pek yang keras itu.

Tiba-tiba terdengar pekikan nyaring, Im-san ci-long juga menyerang dengan

gerakan yang sama sepeti Tay-cong-cu-yu. Tapi Tian Pek juga dapat menghalau

serangan si serigala.

Begitulah seterusnya, dengan cara bergilir Hek-to su-hiong dan Hay-gwa-sam-sat

melancarkan serangan, semua dengan keras lawan keras dan gaya yang sama.

Sekarang baru semua orang mengerti, rupanya syair yang disenandungkan Sin-

liong-taycu tadi adalah kode yang memberi petunjuk kepada Hay gwa-sam-sat

dan Hek to-su-hiong untuk melancarkan taktik serangan.

Berbicara tentang tenaga dalam, tentu saja ketujuh orang itu masih belum

mampu menandingi kehebatan Tian Pek, sekalipun setiap kali terjadi bentrokan

mengakibatkan mereka merasakan kepala pusing dan mata berkunang, isi

perutpun terguncang keras, namun ketujuh orang itu masih ada kesempatan

untuk bergganti napas dani mengatur tenaga lagi.

Berbeda dengan keadaan Tian Pek, anak muda ini tidak mendapat kesempatan

untuk berganti napas, sebab secara bergilir ia harus menerima sercangan musuh

dengan kekerasan.

Baru saja giliran itu berlangsung tiga putaran sekaligus Tian Pek telah

menyambut 21 kali pukulan, dalam keadaan seperti ini walaupun anak muda itu

bertubuh baja dan berotot kawat, akhirnya kewalahan juga, ia mulai keteter dan

tak kuat bertahan lagi.

Sin-liong-taycu memang licik dan banyak tipu muslihatnya, taktik yang

digunakan ini benar2 amat jitu, pada mulanva hadil yang di harapkan belum

tertampak, tapi setelah putaran keempat dan kelima kalinya, taktik ini mulai

menunjukkan hasilnya, peluh sebesar kacang kedelai mulai membasahi jidat

Tian Pek, tenaga pukulannya juga makin lemah, sekarang setiap pukulan yang

dilancarkan tak mampu lagi memukul mundur musuhnya.

Kawanan jago lainnya yang berpengalaman dapat pula menebak tujuan utama

taktik serangan itu, rupanya dengan taktik keras lawan keras ini untuk memeras

kekuatan Tian Pek sehingga akhirnya kehabisan tenaga sendiri.

Wan-ji paling menguatirkan keselamatannya, menyaksikan keadaan kekasihnya

sudah payah, ia menjerit: "Eeh, pertarungan macam apakah yang kalian gunakan

ini?"

Buyung Hong juga gelisah, dengan gemas iapun memaki: "Bangsat terkutuk,

kalian betul2 tak tahu malu!"

Berbeda dengan Sin-liong-taycu, demi menyaksikan tipu muslihatnya

mendatangkan hasil seperti harapannya, ia jadi gembira, dengan muka berseri

dan menggoyangkan kipas peraknya ia berkata:

"Hahaha, siapa berhasil dialah raja, siapa gagal dialah bangsat! Masa untuk

menghadapi pertarungan orang mesti menganut sistim yang sama? Hah. . ."

Wan-ji tak tahan, serunya kepada Buyung Hong: "Cici, Hayo kita terjang

mereka!"

Buyung Hong setuju, tapi baru selangkah mereka maju ke depan, dengan muka

garang Lam-hay-liong-li telah mengadang mereka, bentaknya: "Kalau ingin

selamat berdirilah di tempat, barang siapa berani maju selangkah, jangan

salahkan nonamu bila kalian akan mampus tak terkubur!"

"Hmm! Masa iya?" jengek Buyung Hong ketus.

Wan-ji tak sabar lagi, mendadak ia membentak dengan ilmu jari Soh-hun-ci yang

hebat, ia menutuk ke bawah iga Lam-hay-liong-li.

"Rupanya kau memang ingin mampus!" bentak nona pujaan Lam-hay-bun itu

dengan gusar, sambil memutar tubuh ia lepaskan suatu pukulan dahsyat yang

kontan membuat Wan-ji mencelat sejauh satu tombak.

Melihat adiknya dihantam sampai mencelat, Buyung Hong membentak dengan

gusar: "Nonamu akan beradu jiwa denganmu. . ."

Selagi ia siap menerjang ke tengah arena, tiba-tiba terdengar Tian Pek menjerit

kesakitan, menyusul terdengar suara benturan yang keras.

Kiranya satu pukulan Tian Pek telah membuat si tikus gudang mencelat. Akan

tetapi karena adu pukulan itu si tikus gudang telah menggunakan segenap

kekuatannya, Tian Pek sendiripun tergetar keras.

Pada saat itulah Wan-ji memburu maju untuk membantu, tapi ia terhajar oleh

Lam-hay-liong-li.

Hanya meleng sedikit, suatu pukulan dahsyat menyambar tiba pula dari depan.

Dalam keadaan seperti ini Tian Pek jadi gelisah, tanpa pikir ia lancarkan tabasan

kilat disertai segenap tenaga untuk menangkis hantaman itu.

"Blang!" Benturan dahsyat terjadi, diantara desingan angin terdengar seseorang

mendengus tertahan, menyusul sesosok bayangan tinggi besar mencelat

terhajar oleh pukulan anak muda itu.

Karena Tian Pek menggunakan segenap kekuatannya, bayangan tinggi besar itu

mencelat sejauh tiga tombak dan terbanting keras-keras di tanah.

Begitu mencium tanah, tubuh tinggi besar itu segera merangkak bangun dengan

sempoyongan, segera darah segar tersembur dari mulutnya. Ia pandang Tian

Pek dengan menyeringai seram, orang ini tak lain ialah Im-san-ci-long atau

serigala dari Im-san.

Tian Pek sendiripun tergetar mundur satu langkah, belum sempat anak muda itu

berganti napas, Hud-in Hoat-su juga bertindak, ia berjongkok, perutnya

dikembungkan seperti guci, sambil berkaok keras, kedua kakinya menjejak

permukaan tanah, secepat kilat ia menerjang musuh.

Selagi di udara, Ha-mo-kang yang sudah dihimpun pada telapak tangannya

segera dilontarkan ke dada anak muda itu bagai gugur gunung dahsyatnya.

Tian Pek menguatirkan keselamatan Wan-ji, apa daya Hay-gwa-sam-sat dan

Hek-to-su-satmenerjang terus tanpa memberi kesempatan baginya untuk

berganti napas, ini membuatnya gelisah bercampur dongkol, maka waktu Hud-in

Hoat-su menerjang pula, sekuatnya telapak tangannya menabas.

"Blang!" tubuh Hud-in Hoat-su yang gemuk pendek bagaikan bola seketika

terlempar ke udara dan jatuh beberapa tombak jauhnya.

Terkesiap kawanan jago yang menonton jalannya pertarungan itu, baik lawan

maupun kawan diam-diam mengagumi kelihaian Tian Pek yang memiliki tenaga

dalam yang tiada habisnya, saking kagumnya sampai mereka lupa bersorak.

Tian Pek sendiri sudah diperas habis-habisan segenap tenaganya, tak mampu

mempertahankan pula kuda-kudanya, ia sendiri tergetar tiga langkah ke

belakang.

Tatkala Tian Pek menghajar mencelat Im-san ci-long kemudian menghajar pula

Hud-in Hoat-su tadi, Buyung Hong, Tay-pek siang-gi dan Ji-lopiauthau secara

terpisah juga menerjang ke tengah arena untuk membantu anak muda itu.

Sayang beberapa orang itu bukan tandingan Lam-hay-liong-li, baru saja mereka

menerjang ke muka, pukulan gencar yang dilepaskan gadis itu memaksa mereka

harus mundur kembali.

Sementara itu paman Lui sedang menolong Wan-ji, ia menjadi gusar dan gelisah,

tapi tak sempat membantu.

Suara benturan keras pukulan dgahsyat masih beirkumandang, baahtu pasir

beterbangan, keadaannya mengerikan sekali.

Itulah suara pukulan yang masih terus dilancarkan Hay-gwa-sam-sat dan Hek-to-

su-hiong secara bergilir untuk menghantam Tian Pek.

Meskipun tenaga dalam Tian Pek sekarang sudah mencapai tingkatan yang tak

terhingga, tapi bagaimanapun juga dia hanya seorang diri, setelah beradu

tenaga sebanyak ratusan jurus dengan ke tujuh jago lihay Lam-hay-bun itu,

kendati tubuhnya terbuat dari baja juga akhirnya akan lelah.

Apalagi Hay-gwa-sam-sat dan Hek-to-su-hiong bukan jago biasa, sekalipun

kungfu Tian Pek sangat lihay dan sering menghajar mereka sampai mencelat,

tapi lama kelamaan ia sendiripun tak tahan, langkahnya mulai sempoyongan dan

terdorong ke belakang.

Selain itu, pihak musuh mempunyai waktu yang cukup untuk mengatur

pernapasan serta menyusun kekuatan kembali, sebaliknya Tian Pek boleh

dikatakan tak mempunyai kesempatan sama sekali.

Ketika beberapa kali anak muda itu berhasil menghajar musuhnya sampai

terluka, Sin-liong Taycu yang berada di samping arena segera melolohkan obat

berwarna merah ke mulut si terluka itu, hanya cukup mengatur napas, sebentar

saja si terluka lantas sembuh kembali dan bisa ikut mengerubuti musuh lagi.

Sekarang pertarungan itu sudah mencapai pada perputaran yang ke sekian,

berturut-turut Tay-cong ci-ju dan Im-san-ci-long menerjang tiba pula walaupun

secara beruntun Tian Pek dapat menghajar mundur kedua orang itu, namun ia

sendiri mulai merasakan telapak tangannya mulai panas dan sakit, lengannya

kesemutan dan kaku, sementara darah dalam dadanya bergolak keras.

Tay-cong-ci-ju dan Im-san-ci-long juga terluka parah, mereka mencelat dan

meloncat bangun dengan muntah darah.

Sin-liong taycu segera menghampiri mereka, ia keluarkan dua biji obat berwarna

merah yang besar dan dijejalkan ke mulut mereka, inilah obat mujarab bikinan

Lam-hay-bun, obat khusus untuk menyembuhkan segala luka dan menambah

siemangat, namanya Liong-hou-toa-lek-wan (pil penambah tenaga naga

harimau).

Selain untuk menyembuhkan luka, obat inipun mempunyai khasiat lain yang

lebih hebat, yakni sebagai obat perangsang yang kuat, bila orang biasa menelan

obat itu maka kekuatan tubuhnya akan berlipat kali daripada keadaan biasa,

berada dalam keadaan demikian mereka akan mencari orang untuk berkelahi

atau mencari pekerjaan yang berat-berat untuk menyalurkan napsunya

berkobar itu. Sedang bila orang persilatan yang minum pil tersebut, mereka

baru akan merasa segar tubuhnya bila sudah menemukan orang untuk beradu

tenaga.

Justeru karena Sin-liong taycu berulang kali mencekoki obat perangsang kepada

ke tujuh jagonya, tidaklah heran kalau ketiga 'malaekat maut' dan keempat

"manusia bengis" itu menyerang musuh terus menerus tanpa mempedulikan

keadaan luka mereka.

Sementara itu, Sin-liong-taycu telah menjentikkan dua biji obat ke arah si Tikus

gudang serta Serigala dari Im-san, kedua orang itu segera menyambar obat tadi,

tanpa diperiksa lagi terus ditelan. Lalu mereka meraung dan kembali menerjang

musuh.

Dalam pada itu Tian Pek baru saja menghajar mundur Hud-in Hoat-su dan Ciong-

nia-ci-eng, dengan masuknya Tay-tong- ci-ju dan Im-san-ci-long maka

kekosongan segera terisi kembali.

Nenek berambut putih paling berangasan, rambutnya sudah awut-awutan

hampir menutupi wajahnya, yang terlihat hanya matanya yang merah berapi-api

dan beringas, sambil tertawa seram ia berteriak: 'Engkoh cilik, sambut lagi

pukulan nenekmu ini!"

Seperti orang gila ia menerkam Tian Pek, dengan segenap kekuatannya ia tutuk

jalan darah Sam-yang-hiat anak muda itu dengan Soh-hun-ci.

Berbareng itu, si kakek berjenggot, Rase dari gurun, Tikus dari gudang, Serigala

dari Im-san segera memutar telapak tangan mereka menciptakan bukit telapak

tangan dan mengancam dari kiri kanan muka dan belakang anak muda itu.

Tian Pek sudah mandi keringat, dengan ilmu langkah Cian hoan-biau-hiang-poh

ia berusaha menerjang ke kiri dan menubruk ke kanan untuk menghindari

ancaman musuh, namun usahanya untuk membendung pukulan gabungan

empat jago lihay itu gagal, sementara tutukan jari Soh-hun-ciw si nenek

beramybut putih mengaxncam tiba, terpaksa ia mengertak gigi, dengan jurus

Hud-cou-jin-siam (Buddha suci berbuat amal) dari ilmu pukulan Thian-hud-hang-

mo-ciang disertai sepenuh tenaga, ia sambut serangan si nenek.

"Criit! Blang!" di tengah benturan keras, sinenek berambut putih itu mencelat

jauh, berada di udara ia muntah darah, setelah terguling di tanah. sekali ini ia

tak mampu merangkak bangun lagi.

Cepat Sin-liong-taycu memburu maju, dia angkat kepala nenek itu, cepat ia

mencekoki tiga biji Liong-hou-toa-lek-wan, lalu menyalurkan hawa murninya ke

dalam tubuh nenek tersebut, selang sesaat nenek berambut putih itu bangkit

kembali, sesudah tarik napas panjang, ia berpekik nyaring dan menerjang maju

pula.

Sekarang giliran Sah-mo-ci-hu untuk menerjang musuh.

Dalam bentrokan melawan nenek berambut putih tadi, tangkisan si anak muda

itu agaknya menyebabkan telapak tangannya terluka oleh tutukan Soh-hun-ci

musuh, ini dapat dilihat ketika Tian Pek meringis sambil menahan sakit

tangannya, sadarlah ia sudah terluka, diam2 ia mengeluh.

Bicara soal tenaga, tentunya tenaga jari tak lebih kuat daripada kepalan, sedang

kepalan tak bisa menangkan telapak tangah, sebaliknya bicara soa1 ketajaman

serangan, maka tiada yang lebih hebat daripada ilmu jari.

Dalam serangan tadi, pukulan Tian Pek berhasil merobohkan nenek berannbut

putih itu, malahan menyebabkan musuh tumpah darah dan untuk sesaat tak

bisa bangun, tapi ilmu jari Soh-hun-ci si nenek juga luar biasa, ilmu jari itu dapat

menembus Khikang (kekuatan dalam perut) dan melukai orang.

Demikianlah, sementara anak muda itu sedang kesakitan karena telapak

tangannya terluka. Sah-mo-ci hou telah menerjang tiba..

Terjangan ini berbeda dengan biasanya, lebih garang dan menyeramkan, biji

tasbihnya yang tinggal sembilan puluh delapan biji (semula ada seratus delapan

biji, tapi sepuluh biji di antaranya terampas Wan-ji) menegang bagaikan ular,

langsung menghantam muka Tian Pek, sementara telapak tangan kiri dengan

gerakan Kay-pit-ciang-lek (bacokan tangan membelah tugu) menghantam batok

kepala lawan. Satu jurus dengan dua gerakan, serangan berbahaya sekali.

Telapak tangan kanan Tian Pek sedang terluka dan kesakitan untuk sesaat ia tak

dapat mengerahkan tenaga, terpaksa sambil membentak tangan kirinya

berusaha merebut tasbih musuh.

Begitu tasbih musuh terpegang segera dibetot kuat2 ke belakang. Berbareng itu

kepalanya miring ke samping menghindari tabasan tangan lawan.

Si rase dari gurun menjerit kaget ketika tahu gelagat tidak menguntungkan.

Dalam keadaan mati langkah dan kehilangan keseimbangan, suatu tendangan

keras Tian Pek dengan telak bersarang di perutnya.

"Duk!" seperti layang2 yang putus benangnya Sah-mo-ci-hou mencelat tinggi

dan terbanting dengan keras.

Sin liong-taycu menjerit kaget, untung ia memburu maju tepat pada saatnya dan

menerima tubuh si rase dari gurun, bila ia tak cepat meraih tubuhnya, niscaya

rase tersebut akan mati terbanting.

Cepat Sin-liong-taycu menjejalkan tiga biji pil merah ke mulutnya, lalu ia

turunkan jagonya ke tanah, Sah-mo-ci-hou ternyata belum sanggup berdiri

tegak, dengan mata mendelik dan tubuh sempoyongan ia roboh ke atas tanah.

Keadaan tersebut menunjukkan bahwa nasibnya lebih banyak celaka daripada

selamatnya.

Kejadian ini makin mengejutkan Sin-liongtaycu, ia lihat Tian Pek masih bertarung

melawan ketujuh jagonya dengan tetap gagah perkasa, Cepat ia membentak:

"Gunung nan gersang air menjadi kering, jalan terasa buntu!"

Ia bersenandung lagi dengan tujuan memberi tanda kepada jago-jagonya untuk

ganti taktik pertempuran.

Tian Pek memang tangguh dan nasibnya terhitung mujur, berulangkali tanpa

sengaja ia mendapat penemuan aneh, bukan saja ia berhasil menemui tenaga

dalam tingkat tinggi dalam kitab pusaka Soh-kut-siau-hun, iapun beruntung

sempat menelan bunga Ci-tham hoa berusia ribuan tahun, kemudian

mendapatkan pengobatan Sun-im toh yang selama enam puluh hari dari Liu Cui

cui, semua ini membuat daya mujarab Ci-tham-hoa meresap lebih

cepat ke organ tubuh yang terkecil-pun.

Dengan kelebihan inilah, sekalipun dikerubuti tujuh jago tangguh toh ia masih

dapat berdiri tegak sekukuh gunung.

Walaupun begitu, manusia tetap terdiri dari darah dan daging, apalagi ia tidak

mendapat kesempatan untuk mengatur napas. Sebaliknya ketujuh lawan tiada

hentinya mendapat bantuan pil Liong-hoa-toa-lek wan sebagai penambah

tenaga, sekalipun obat itu semacam obat perangsang yang berpengaruh buruk

bagi kesehatan, namun bagi orang yang terluka bukan saja rasa lukanya segera

lenyap, kekuatan tubuhpun bertambah secara cepat.

Sekarang Sin-liong taycu ganti taktik, segera tertampak serangan yang makin

kalap ketujuh jagonya. Entah perputaran keberapa kalinya, secara bergilir ketiga

'malaikat maut' dari keempat 'manusia bengis' maju mundur secara beratur,

pertempuran semakin tegang.

Tian Pek terpaksa melayani serangan mereka dengan sekuat tenaga, baru saja

Im-san-ci-long dan Ciong-nia-ci-eng, berhasil dihajar mundur, isi perut Tian Pek

terasa bergolak keras, akhirnya pemuda itu tak tahan dan tumpah darah.

Nenek berambut putih menemukan kesempatan baik, tiba2 ia berpekik nyaring,

tangan kiri memukul, sedang tangan kanan dengan jari Soh-hun-ci serentak

menerjang pemuda itu.

Tian Pek tak berani menyambut serangan Soh-hun-ci yang dahsyat itu, cepat ia

menyingkir ke samping. "Sret!", desing angin tajam menyambar lewat di sisi

telinganya.

"Sungguh berbahaya!" diam-diam Tian Pak terperanjat.

Meskipun serangan jari itu dapat dihindari, namun pukulan tangan kiri si nenek

tak terhindar olehnya, terpaksa Tian Pak menangkis.

"Duk!" nenek berambut putih itu terdesak mundur, sedangkan Tian Pak

berguncang keras.

"Kok! Kok!" tiba2 terdengar bunyi katak dari belakang, menyusul dua gulung

angin serangan menerjang punggungnya, itulah Hud-in Hoat-su yang

menyergapnya dari belakang.

====

Bagaimana pada akhirnya Tian Pek akan menyikat habis semua lawan tangguh

itu?

Apa daya Tian Pek menyelesaikan kisah cintanya dengan lima nona jelita itu?

Jilld 27 : Cinta tak kan pernah berubah (Tamat)

Serangan dari belakang ini memang mengejutkan, akan tetapi di sinilah

kelihatan kelihayan Tian Pek, sedikit berkisar, dengan miring iapun menabas ke

arah Hud-in Hoat-su.

"Blang!" paderi yang berbadan pendek gemuk itu terhajar mencelat cukup jauh.

Tian Pek sendiri tergetar oleh tenaga pukulan itu, ia sempoyongan mundur tiga

langkah, pandangannya gelap dan sekali lagi muntah darah.

"Saudara cilik! Sambutlah sekali lsgi!" mendadak si kakek berjenggot panjang itu

membentak.

Dengan kekuatan penuh, kakek itu memutar telapak tangasnya dari

menghantam batok kepala anak muda itu dengan Tay-jiu-in. Sungguh hebat

tenaga pukulannya, ibaratnya gugur gunung dahsyatnya.

Karena dari kiri kanan dan belakang dihadang pukulan maut musuh2nya, Tian

Pek mengertak gigi, dengan jurus Hud-keng-bu-ciau ia sambut serangan itu

dengan sepenuh tenaga.

"Blang!" benturan keras terjadi, Ciu-kongkong yang tinggi besar itu tergetar

mundur lima langkah, rambutnya yang beruban berdiri kaku bagaikan kawat, isi

perutnya teeguncang dan tumpah darah.

Rupanya dalam serangan barusan si kakek berjenggot panjang itu menggunakan

tenaga terlampau besar, maka hawa murni Sian-thian-khi-kangnya tergetar balik

oleh tenaga pukulan lawan.

Tian Pek sendiri pun terguncang keras oleh adu pukulan itu, tapi ia masih

mampu menahan pergolakan darahnya sehingga tak sampai tumpah darah pula.

Tapi ia lupa akan luka pada telapak tangan kanannya, karena gugup serangan

tersebut disambut sekenanya, tak heran luka yang sudah membengkak besar

tambah sakit, pukulan si kakek berjenggot panjang membuat lukanya semakin

parah, keringat dingin pun membasahi tubuhnya.

Ciong nia ci eng dan Im-san-ci-long dapat melihat kesempatan yang sangat

menguntungkan mereka, serentak kedua gembong iblis itu mengerahkan ilmu

sakti masing2, satu dari kiri dan yang lain dan kanan, serentak menerjang ke

depan.

Tian Pek merasakan pandangannya menjadi gelap, sekalipun darah tak sampai

tumpah keluar, tapi guncangan isi perutnya membuatnya ber-kunang2.

Dalam keadaan kepepet, tanpa berpikir lagi ia membentak dan menyambut

serangan lawan dengan jurus Sau-cing-yau-hun (menyapu bersih hawa siluman).

Ciong-nia-ci-eng kena dihantam sampai mencelat mundur sejauh sepuluh

langkah, tapi Im-san-ci-long yang menyerang dengan tabasan Ciang-jin-

jiat-bok barhasil menghajar lengan kiri pemuda itu.

"Kraak!" Tian Pek terhajar telak dan mundur dengan sempoyongan, sekali lagi ia

muntah darah.

Kedua lengan tak mampu menandingi empat tangan, laki2 mana pun tak tahan

dikerubut, tapi Tian Pek tidak roboh, anak muda itu masih tetap berdiri tegap

dengan angkernya.

Im-san-ci-long tertawa bangga, kembali ia membentak: "Roboh!"

Ciang-jin-jiat-bok untuk kedua kalinya menabas tubuh Tian Pek, banyak orang

menjerit kuatir menyaksikan adegan yang mengerikan itu.

Sekujur tubuh Tian Pek sudah be-lepotan darah, beberapa bagian anggota

tubuhnya sudah terluka, kesadaran pun berangsur menurun, agaknya ia sudah

tak mampu lagi untuk menangkis serangan Im-san-ci-long yang luar biasa itu.

Pada saat yang berbahaya itulah, mendadak Tian Pek mendelik, ia tidak

menghindari serangan lawan sebaliknya ia gunakan sikutnya untuk menyodok

ulu hati Im-san-ci-long.

Serangan itu tak diduga oleh Im-san-ci-long, padahal Tian Pek sudah terluka

parah dan masih mampu melancarkan sodokan maut.

Dalam keadaan begitu, Im-san-ci-long tak dapat menghindar lagi, "duuk!”

dengan telak sodokan itu mengenai ulu hatinya.

Serigala dari Im-san itu menjerit, darah muncrat keluar dari mulutnya, tubuhnya

roboh terkapar dan tak mampu bangkit kembali.

Sin-liong-taycu terkesiap, cepat ia memburu maju dan menjejalkan beberapa biji

obat mujarab ke mulut jagonya, akan tetapi Im-san-ci-long sudah tak mampu

membuka mulutnya.

Sin-liong taycu coba memeriksa nadi gembong iblis itu, setelah diperiksa dengan

seksama barulah diketahui bahwa urat nadinya telah putus dan jiwanya telah

melayang.

Kejadian ini sangat menggusarkan Sin-liong taycu. ia bersenandung pula dengan

suara keras "Remang2 pohon Liu terangnya bunga, sebuah dusun muncul di

depan!"

Sementara itu Tian Pek juga merasakan lengan kirinya sakit sekali, ia coba

memeriksanya, baru di ketahui bahwa tulang lengannya telah patah oleb

serangan Im-san-ci long yang hebat tadi, padahal tangan kanannya sudah

terluka, dengan patah tulang tangan kirinya berarti habislah modalnya, diam2 ia

mengeluh: "Habislah riwayatku kali ini.”

Baru saja ingatan itu timbul, Sin liong-taycu telah menurunkan perintah

penyerangan lebih gencar. Hud-in-hoat-su ber-kaok2 nyaring terus menerjang

maju dengan pukulan Ha-mo-kang yang lihay.

Tian Pek menjadi nekat, ia tahu lawan teramat lihay dan terpaksa harus

bertindak keji, ibarat harimau, manusia tidak berniat membunuh harimau,

harimau pasti akan makan manusia.

Maka Tian Pek tidak kenal ampun lagi, begitu terhindar dari sergapan maut Hud-

in Hoat-su ia melompat ke udara, kaki terus mendepak dan tepat mengenai

batok kepala lawan yang gundul itu.

"Prak!" kontan kepala Hoat-in pecah berantakan, otak bercampur darah

berhamburan ke-mana2, tak sempat menjerit lagi Hud-in Hoat-su roboh ke

tanah dan tewas seketika itu juga.

Sudah terlalu banyak kekejaman yang dilakukaa Hud-in Hoat-su, iapun tak

terhindar dari hukum karma, ia sering membunuh orang, maka sekarang ia

harus menemui kematian dan menebus dosanya.

Dengan demikian maka dari tujuh jago tangguh yang mengerubut Tian Pek,

seorang dari Hay-gwa-sam-sat dan seorang dari Hek-to-su-hiong telah menemui

ajalnya, sementara salah seorang Su-hiong yang lain terluka parah dan tak

sanggup berdiri lagi.

Dari tujuh orang kini tinggal dua dari Hay-gwa-sam-sat dan dua lagi dari Hek-to-

su-hiong. Ke-empat orang menjadi murka dan menyerang terlebih nekat.

Tian Pek sendiri terluka parah, telapak tangan kanannya membengkak, sakitnya

sampai merasuk tulang dan hampir tak dapat digunakan untuk menyerang lagi.

sedangkan tulang lengan kirinya patah. praktis sudah lumpuh total, ditambah

pula darah dalam rongga dadanya bergolak dan ingin tumpah, matanya jadi

berkunang, keadaan pemuda itu bertambah lemah. Namun sekuat tenaga ia

masih bertahan dan tidak membiarkan tubuhnya roboh.

Dalam keadaan payah, anak muda itu tetsp melayani keempat musuh dengan

ilmu langkah serta gerakan tubuhnya yang gesit, selain itu sikut dan kakinya juga

dipakai untuk bertahan dan menyerang.

Kawanan jago yang menyaksikan pertarungan ini makin terpesona, meski rata2

mereka sudah berpengalaman, namun pertarungan sengit seperti ini belum

pernah dijumpainya.

Selama pertarungan itu berlangsung, hanya Buyung Hong, Tay-pek-siang-gi serta

Ji-lopiautau yang beberapa kali bermaksud maju untuk menolong Tian Pek, tapi

setiap kali mereka selalu di-gagalkan oleh pengadangan Lam-hay-liong-li.

Wan-ji sudah sembuh kembali setelah diurut jalan darahnya oleh paman Liu,

ketika dilihatnya Tian Pek masih bertarung dengan sengit, ia ikut gelisah, tiba2 ia

membentak terus menerjang ke dalam arena pertarungan.

Tapi sebelum mendekat Lam hay-liong-li telah menbentak dari samping: "Budak

ingusan, berdiri saja di samping " berbareng ia menghantam dari jauh.

Wan-ji lagi gelisah, tanpa pikir ia sambut pukulan lawan dengan kekerasan.

"Blang!" Wan ji tergetar mundur.

Pengadangan ber-ulang2 oleh musuh yang sama ini membuat kemarahan Wan-ji

memuncak, ia menyerang pula dengan ilmu jari Soh-hun-ci dan mengincar Sim-

gi-hiat di tubuh Lam-hay-liong li.

Tapi Lam hay liong li juga bukan lawan empuk, sebagai ahli waris Kui-bin-kiau

wa, kungfu-nya berada satu tingkat dengan Liu Cui-cui, bila dibandingkan Wan-ji

jelas tingkatannya lebih tinggi.

Maka meski serangan Wan-ji sangat lihay, ia sama sekali tak gentar, ia malah

membentak: "Budak cilik, tampaknya kau bosan hidup!'

Ia mengegos ke samping, kemudian lengan bajunya dikebutkan ke muka uutuk

mengancam bahu kanan Wan-ji. Menghindar sambil menyerang, suatu gerakan

yang cepat dan lihay.

Kebasan lengan baju Lam-hay-liong-li ini menggunakan ilmu Liu-im-tiat-siu

(lengan baju baja awan melayang) yang hebat, kebutan itu lebih berat dari

pukulan tongkat baja. Jangankan terhajar telak, ke-serenipet saja mungkin bahu

Wan-ji bisa hancur.

Wan-ji tak berani menyambut dengan kekerasan, ia mengegos dengan gerakan

Ni-gong-hoan-im, dengan gaya manis ia meloloskan diri dari serangan tersebut.

Di luar dugaan, kebasan lengan baju Lam-hay-liong-li itu hanya tipuan belaka,

baru saja Wan-ji menghindarkan diri, ia lantas membentak keras : "Lihat

serangan!" — Secepat kilat telapak tangan kanannya menghantam dada Wan-ji.

Wan-ji terkejut, untungnya belakangan ini dia sering mendapat petunjuk dari

Tian Pek sehingga kungfunys memperoleh kemajuan pesat.

Menghadapi serangan yang sama sekali di luar dugaan dan tak mungkin

terhindar ini, cepat Wan-ji merangkap kedua telapak tangannya di depan dada,

dengan jurus Pi-bun cia-kek (Tutup pintu menampik tamu), terpaksa ia sambut

serangan Lam-hay-liong-li itu dengan keras lawan keras.

"Blang" Wan-ji terdorong mundur, mukanya pucat dan air matanya berlinang, ia

sadar tipis harapannya untuk membantu Tian Pek.

Pertarungan antara Tian Pek melawan keempat jago sudah mencapai puncak

ketegangan, sudah belasan kali pemuda itu muntah darah, keadaannya payah

sekali, meski ia masih mampu mendesak mundur setiap serangan lawan.

Si nenek berambut putih memainkan ilmu jari Soh-hun-ci, masih terus

mengincar bagian mematikan di tubuh Tian Pek.

Ciong-nia-ci-eng mengembangkan Yu-kut-ciang, setiap pukulannya membawa

gelombang hawa panas yang menyengat badan, lihaynya bukan kepalang.

Tay-cong-ci-ju dengan Sut-cing kangnya, kedua lengannya terjulur panjang

sekali, bagakan sepasang jepitan besi ia pun selalu mengancam tempat2

mematikan musuh.

Dan diantara keempat jago itu si kakek berjenggot dengan ilmu pukulan Tay jiu-

in terhitung paling lihay, telapak tangannya yang besar seperti roda kereta

berputar dan me-nari2 menerbitkan deru angin yang kencang, setiap saat

pukulannya itu mampu membelah tubuh sesorang menjadi dua bagian.

Tian Psk sendiri sudah kepayahan, kesadarannya mulai berkurang, darah

menghiasi bibir dan dadanya, mukanya pucat. Meski begitu, ia masih bertarung

terus dengan gigihnya.

Beru saja pemuda itu menghindari tutukan Soh-hun-ci si nenek, mendesak

mundur Ciong-nia-ci-eng serta Tay-cong-ci-ju, "blang", ia adu pukulan pula

dengan si kakek.

Kakek berjenggot panjang itu tergetar mundur dan hampir saja jatuh

terjengkang. sebaliknya Tian Pek sempoyongan dan muntah darah pula.

Pusaran angin menyebar keempat penjuru, dengan mata melotot si kakek

menatap musuh tsnpa berkedip, agaknya ia sedang menanti robohnya anak

muda itu.

Tapi Tian Pek tetap berdiri tegap, tidak roboh dan tidak terkulai seperti apa yang

diharapkannya.

Kagum sekali si kakek berjenggot panjang, ia memuji: "Saudara cilik, engkau

adalah jago nomor satu di kolong langit ini!"

"Terima kasih," sahut Tian Pek seraya menyeka darah di bibirnya.

Kakek berjenggot itu juga mengusap darah yang mengotori jenggotnya, lalu

berkata lagi: "Saudara cilik. ketahuilah sepanjang hidupku tak pernah bersikap

lunak dan tak pernah memuji musuh, tapi hari ini harus kukatakan dengan jujur,

usiamu masih begini muda, ternyata memiliki kungfu setinggi ini, bukan saja kau

merupakan jago paling tangguh di kolong langit ini, kau pantas disebut pula

sebagai Malaikat ilmu silat!"

"Tak berani kuterima pujian ini!" kata Tian Pek tambil tertawa getir.

Ucapan si kakek berjenggot yang ramah ini banyak pula mengurangi rasa

permusuhannya. Bahkan si nenek berambut putih yang angkuh serta Tay-cong-

ci-ju dan Ciong-nia-ci-eng yang ganaspun sama mengunjuk perasaan kagum.

Lam-hay-liong-li juga memandaug anak muda itu, mukanya kelihatan berseri.

Semua ini tak lepas dari pengawasan Sin-liong taycu, ia jadi panik, ia tahu

keadaan sangat tidak menguntungkan, maka cepat ia keluarkan sebuah lencana

"naga emas", sambil diangkat tinggi2 katanya dengan lantang: "Perintah naga

emas! Kepada Hay-gwa-sam-sat dan Hek-to-su-hiong agar segera menbinasakan

pemuda she Tian itu, barang siapa berani melanggar perintah ini akan dijatuhi

hukuman berat!"

Air muka si kakek berubah, ia memandang sekejap lencana "naga emas' yang

diangkat tinggi2 oleh Sin-liong-taycu itu, kemudian menghela napas. ia berpaling

dan berkata kepada Tian Pek: "Anak muda, ber-siap2lah menyambut

seranganku. Sebelum salah seorang di antara kita tewas, pertarungan ini tak

bisa diakhiri!"

Hawa murninya dihimpun pada telapak tangannya, pelahan telapak tangannya

membesar, lalu diangkat ke atas.

Telapak tangannya membesar seperti roda, otot2 hijau yang besar menonjol

seperti berpuluh ekor ular kecil berwarna hijau, seram sekali tampaknya.

"Tunggu sebentar . . . .! "tiba2 Wan-ji berteriak. Kakek itu menghentikan

serangannya, lalu menatap Wan-ji sekejap tanpa mengucapkan sepatah

katapun.

Melihat kakek itu membatalkan serangannya. Wan-ji berpaling dan memandang

kawanan jago yang berkumpul di sekitar arena, lalu teriaknya dengan lantang:

"Kalian manusia2 yang menyebut dirinva sebagai Bu-lim-su-kongcu! Ketua

serabilan besar! Pcrkumpulan pengemis yang tersohor! Apakah kalian hanya

berdiri belaka menyaksikan Tian-siauhiap berjuang sendirian dan menjual nyawa

demi kepentingan kalian semua?"

Seruan Wan-ji menyentak perasaan orang2 itu, banyak yang merasa malu, ada

pula yang ber-siap2 terjun ke arena pertempuran, tapi kelihatan ragu, akhirnya

tak seorangpun yang berani ikut terjun ke tengah gelanggang.

Wan ji melirik sekejap ke arah Tian Pek yang pucat dan berdarah serta berdiri

sempoyongan itu, sedangkan si kakek jenggot panjang masih juga angkat

telapak tangannya dan siap melancarkan serangan, Tay cong-ci ju, Ciong-nia-ci

eng dan si nenek berambut putih juga masih berada di sekitarnya dan siap

menyergap pemuda itu, ini mencemaskan perasaannya.

Maka kembali ia berseru dengan setengah memaki: "Huh, kalian tak lebih hanya

kaum pengecut yang takut mati! Bila Tian-siauhiap gugur dalam pertempuran,

kalianpun jangan harap akan lolos dari sini dengan hidup"

Ancaman biasanya memang lebih manjur daripada memohon. Baru saja Wan-ji

selesai berkata, kawanan jago itupun menyadari keadaan mereka yang

berbahaya. Mereka mengerti pertarungan Tian Pek itu tak lain adalah bertujuan

menentang kekuasaan Lam hay-bun dan mempertahankan keadilan serta

kebenaran di dunia persilatan.

Maka serentak kawanan jago itupun menyerbu maju ke tengah gelanggang

pertempuran ....

Sin-liong-taycu tak menyangka beberapa patah kata Wan-ji itu akan berhasil

mengobarkan semangat juang kawanan jago, ia menjadi panik, dengan

wibawanya ia berusaha mempengaruhi situasi yang semakm gawat itu.

"Berhenti!" hardiknya lantang. "Barang siapa berani maju selangkah lagi akan

dibunuh tanpa ampun!"

Bentakan itu keras sekali ibaratnya guntur membelah bumi, seketika itu juga

kawanan jago yang sedang bergerak maju menghentikan langkahnya.

"Huuh, pengecut . . . lebih baik cepat kabur saja menyelamatkan diri," ejek Wan

ji dengan gusar. "Biarlah nonamu beradu jiwa sendiri dengan mereka ..."

Sambil membentak ia menerjang maju, telapak tangan kirinya menabas muka

Lam-hay-liong li sedangkan tangan kanan dengan ilmu jari Soh-hun-ci menutuk

Sin-liong taycu.

Wan-ji adalah nona yang cerdik, dari lencana "naga emas" yang dipegang Sin-

liong taycu, ia tahu pemuda inilah merupakan pimpinan musuh, maka ketika

menerjang ke depan, ia pura2 menyerang Lam hay-liong-li, padahal kekuatan

yang sesungguhnya tertuju ke arah Sin-liong-taycu.

Maksud nona itu, kalau bisa musuh ini akan dibinasakan dalam satu kali

serangan, asal orang sudah mampus maka ular takkan bisa berjalan tanpa

kepala, dalam suasana kalut nyawa engkoh Tian akan dapat diselamatkan.

Rencana ini memang bagus. cuma sayang nona itu melupakan sesuatu hal, ia

terlampau rendah msnaksir kekuatan Sin-liong taycu berdua, sebagai komandan

yang memimpin penyerbuan ke daeatan Tionggoan, mana mungkin kungfu

mereka hanya sedang2 saja? Jika mereka dapat dibunuh dalam satu kali serang,

tidaklah mungkin kedua orang ini akan dipilih sebagai pimpinan.

Baru saja Wan-ji melompat maju, Lsm-hay-liong-li telah membentak keras:

"Budak ingusan! Kau benar2 sudah bosan hidup rupanya . . ."

Seceoat kilat ia mengebaskan lengan bajunya ke muka "Sreet!" kebasan yang

keras itu tepat menghantam pinggang Wan-ji.

Nona itu menjerit tertahan, tubuhnya mencelat jauh dan jatuh tak sadarkan diri.

Tapi karena kejadian inilah, kawanan jago jadi marah, sambil meraung, serentak

mereka menyerbu ke depan.

Sin-liong-taycu semakin panik menyaksikan gelagat yang tidak menguntungkan,

cepat ia angkat tinggi2 lencana "naga emas" dan berseru: "Ciu-kongkong!

Dengarkan perintah, bocah keparat she Tian itu kuserahkan kepadamu,

ketahuilah perintah Kim-liong-leng tak ada yang ditarik kembali, jika bocah she

Tian itu masih hidup sampai malam ini, engkaulah yang bertanggung jawab!"

Selesai memberi perintah, ia simpan kembali lencananya, lalu bersama Lam-hay-

liong-li melakukan perlawanan terhadap serbuan kawanan jago persilatan itu.

Dengan ilmu siiat mereka yang tinggi serta hati mereka yang keji, mana kawanan

jago itu dapat menandingi mereka? Jerit ngeri berkumandang susul menyusul,

baru tiga gebrakan sudah beberapa orang menemui ajalnya.

Di tengah pertarungan yang serba kalut inilah, tiba2 terdengar tiga kali benturan

keras menggelegar.

Di tengah benturan itu, deru angin pukulan menyambar ke empat penjuru, debu

pasir beterbangan, banyak orang yang tergetar mundur!' mereka yang agak

lemah bahkan sampai terpental dan jatuh terguling.

Semua orang kaget mereka saling pandang dan mencari sumber benturan keras

itu. Kiranya si kakek berjenggot panjang di bawah tekanan perintah Kim-liong-

leng telah menghimpun segenap kekuatannya dan melancarkan tiga kali

serangan.

Tian Pek sendiri sama sekali tidak menghindar, ia menyambut ketiga serangan

tersebut dengan keras.

Setelah tiga kali benturan. kedua pihak berdiri berhadapan dengan air muka

serius dan mata saling melotot tanpa berkedip, agaknya mereka sedang

menunggu pihak manakah yang akan roboh terlebih dahulu.

Setelah bertempur semalam suntuk, apalagi terluka parah dan muntah darah,

semua jago yang ada disitu dapat menerka bahwa tiga kali pukulan yang

dilancarkan Tian Pek maupun si kakek berjenggot panjang itu pasti telah

menggunakan segenap sisa tenaga dalam mereka yang masih ada.

Namun kedua pihak masih tetap berdiri berhadapan dengan mata melotot,

tiada seorangpun diantara mereka yang roboh, dengan sendirinya tiada yang

tahu siapa gerangan di antara mereka yang lebih unggul.

Seketika suasana di seputar arena jadi sunyi, tak terdengar suara apapun,

kawanan jago yang sedang bertempur segera berhenti bertempur, dengan mata

terbelalak dan rasa ingin tahu semua orang alihkan perhatiannya ke sana serta

menunggu hasil terakhir pertarungen itu.

Suasana amat sepi, begitu sepinya mungkin jarum jatuh saja akan terdengar

jelas.

Siapa yang menang dan siapa yang kalah? Siapa yang hidup dan siapa yang

mati? Sebelum salah satu orang itu roboh, siapapun tak tabu jawabannya.

Semua orang menantikan salah seorang itu roboh ke tanah.

Akhirnya Tian Pek mulai ter-huyung2 dan si kakek juga sempoyongan.

"Blang!" bagaikan ambruknya sebuah bukit, akhirnya seorang di antaranya

roboh juga.

Suasana jadi gempar, kawanan jago sama menjerit, ada yang menjerit kaget,

tapi sebagian menjerit karena kegirangan.

Siapa yang akhirnya roboh? Kiranya dia adalaah Ciu Ji-hay, si kakek berjenggot

panjang.

Tian Pek sendiripun sampoyongan, kemudian tumpah darah. Pemuda itu sempat

melirik sekejap ke arah kakek berjenggot panjang yang terkapar di bawah

kakinya, iapun sempat berguman lirih "Aih, orang tua, semoga kau tidak mati . . .

."

Butiran air mata meleleh keluar, dengan membawa badan yang luka serta hati

yang pedih ia berlalu dari situ dengan langkah sempoyongan.

Kekasihnya, calon isterinya, sahabat karibnya, musuh dan kawanan jago lainnya,

bahkan terhadap paman Lui pun ia tak memandang, sorot matanya yang kaku

hanya memandang ke tempat kejauhan dan melangkah terus ke depan.

Pemuda itu tundukkan kepala, ketika lewat di samping orang2 itu, ia mengusap

pelahan pundak tiap2 orang itu.

Meski pemuda itu tak ber-kata2, tapi siapa-pun tahu bahwa pertumpahan darah

yang sama sekali tak ada manfaatnya itu sangat menyedihkan pemuda yang

jujur ini.

Maka tak ada orang yang mencegah, semua orang memandang kepergiannya

dengan termenung.

Tiba2 pekik tangis yang memilukan hati berkumandang, memecah kegelapan

yang mencekam itu, isak tangis itu amat memilukan hari, membuat orang ikut

bersedih dan meneteskan air mata.

Semua orang tertegun, mereka berpaling.

Ternyata dia adalah Leng Yan-hong, si nenek berambut putih dari Hay-gwa-sam-

sat. Dengan kalap nenek itu menubruk ke atas badan si kakek ber-jenggot

panjarg tadi, dengan tangannya yang gemetar ia meraba detak jantung kakek

tersebut.

Tapi apa yang ditemui? Tubuh kakek itu sudah dingin dan kaku detak jantungnys

telah berhenti, rupanya Ciu Ji-hay atau si kakek berjenggot panjang yang berilmu

silat sangat tinggi itu telah tewas.

Pedih hati si nenek berambut putih, hatinya bagaikan di-sayat2 Sesaat itu,

baginya dunia se-olah2 berhenti berputar.

Terkenang kembali semasa mudanya, dikala ia masib remaja, dengan ilmu

silatnya yang tinggi ia malang melintang di dunia persilatan tanpa tandingan,

kemudian berjumpa dengan pemuda tampan yang berilmu silat lebih tinggi yaitu

Ciu Ji-hay, s1 kakek berjenggot panjang yang kini terkapar di atas tanah sebagai

mayat itu.

Ia jatuh cinta pada pandangan pertama, mereka saling mencintai dan akhirnya

menikah sebagai suami istri, namun ia, pemuda tampan itu mempunyai dendam

sakit hati sedalam lautan, maka ia memakai nama yang aneh, Ciu Ji-hay (dendam

sedalam lautan) Ia membantu pemuda itu membalas dendam, kemudian ber-

sama2 berkelana, menjelajahi tempat2 yang indah di dunia ini, dengan wajah

mereka yang menarik serta ilmu silat mereka yang lihay, mereka menjadi pusat

perhattan dan rasa kagum muda-mudi lainnya.

Hidup mereka bagaikan dewa-dewi di kayangan, satu dan tak lain pernah

berpisah, puluban tahun bagaikan sehari.

Sebagai muda-mudi yang berilmu tinggi mereka pun mempunyai pandangan

yang angkuh. tak memandang sebelah mata terhadap orang lain, sifat2 ini

akhirnya mendatangkrn akibat yang tak menguntungkan.

Musuh mereka kian lama kian bertambah banyak, sedangkan kawan kian lama

kian sedikit. akhirnya musuh2 mereka mulai melancarkan serangan. bersama

puluhan jago lihay lainnya mereka di kerubuti.

Karena tak dapat menancapkan kakinya lagi di daratan Tionggoan, mereka

melarikan diri ke luar lautan, perjalanan itu di iringi pula oleh seorang sahabat

baiknya, yakni Hud-in Hoat-su.

Kehidupan di rantau yang semula dibayangkan sengsara justeru terjadi

kebalikannya, mereka sempat mencicipi kehidupan yang aman tenteram dan

tidak terganggu oleh persoalan apapun. Tiap hari kerja mereka hanya berdayung

sampan, mendaki bukit, duduk di bawah pepohonan, bermain di bawah air

terjun. ..semua kebahagiaan hidup mereka cicipi.

Tspi kemudian, ketika usia mereka mulai melanjut, tiba2 Lam-hay-it-kun yang

memberikan semua keperluan mereka itu mempunyai ambisi untuk menguasai

daratan Tionggoan.

Sebagai tamu yang menumpang di rumah orang dan makan nasi orang,

sewajarnya kalau mereka menyumbang tenaga baginya, sudah tentu kedua

suami isteri ini tak dapat menampik pemohonannya agar ikut serta dalam

gerakannya, lagipuia timbul juga niat mereka untuk pamer kelihayan mereka di

daratan Tionggoan. Mereka mengira setelah berlatih tekun selama puluhan

tahun di pulau terpencil, kungfu mereka yang pada dasarnya sudah hebat pasti

tambah lihay hingga tiada tandingannya di dunia ini.

Tapi akhirnya, apa yang mereka dapatkan? Nenek berambut putih itu harus

melihat si kakek berjenggot panjang yang dicintanya terkapar tak bernyawa, bisa

dibayangkan betapa pedih dan hancur perasaan si nenek.

"Bocah keparat she Tian, berhenti kau!" mendadak ia membentak keras.

Tian Pek tidak menggubris bentakan itu, se-olah2 tidak mendengar ia

melanjutkan langkahnya dengan sempoyongan.

Malam telah berakhir, fajar telah menyingsing. Di ufuk timur mulai remang2

putih, sinar matahari yang lembut mulai memancarkan cahayanya, menyoroti

mayat2 yang bergelimpangan, mendatangkan pemandangan yang seram.

Si nenek atau Leng Yan hon menjadi murka melihat Tian Pek tidak menggubris

bentakannya, ia berpekik nyaring, tiba2 ia menerjang pemuda itu dengan kalap.

Soh hun-ci menutuk dengan sekuat tenaga.

Berbicara sebenarnya, keadaan Tian Pek sudah sangat payah, setelah beradu

tenaga tiga kali dengan kakek berjenggot panjang, ia sendiripun tak percaya

akhirnya yang roboh binasa adalah kakek itu.

Rupanya pantulan hawa sakti Sin-thian-khi-kang dalam tubuhnya itulah yang

merenggut nyawa Cu Ji hay, cuma Tian Pek sendiri tidak mengetahui rahasia

tersebut.

Setelah minum Ci-tham-hoa berusia ribuan tahun, kemudian oleh Liu Cui-cui

selama enam puluh hari ia dikeram bagaikan ayam yang mengerami telurnya,

tubuh anak muda itu se-olah2 sudah dicuci sedemikian rupa hingga hampir

terwujud apa yang dinamakan tubuh yang tak terusakkan, timbul tenaga Sian-

thian khi-kang yang maha dahsyat di dalam perutnya.

Yang lebih hebat lagi, Sian-tbian-khi-kang yang tersimpan di dalam perut itu tak

akan terpancar keluar bila tubuhnya tidak terkena hantaman keras dari luar,

bahkan semakin besar daya serangan dari luar, semakin kuat pula daya pantulan

yang dihasilkan, kelebihannya ini tak diketahui olehnya, tentu saja tak diketahui

pula oleh orang lain. Dan sebab itulah meski dalam keadaan terluka parah, Tian

Pek masih mampu menyambut ketiga kali pukulan si kakek berjenggot panjang

yang maha hebat itu.

Jadi sesungguhnya kakek berjenggot panjang itu binasa oleh daya pantulan yang

dihasilkin dari tenaga serangan mautnya sendiri.

Sekalipun demikian, Tian Pek sendiripun harus membayar mahal kejadian itu,

kedua lengannya harus menjadi korban, apakah dikemudian hari kungfunya bisa

pulih kembali sulit untuk diramal.

Saat itu, bukan saja lukanya amat parah, perasaannya, hatinya juga terluka. luka

yang tidak ringan.

Pertempuran sengit tadi se-akan2 masih terbayang ia merasa pembunuhaa

seoara besar2an yang mengerikan itu sebenarnya tiada artinya.

Ia mulai bertanya kepada diri sendiri: “Kenapa harus terjadi pertumpahan darah

sekeji ini? Mengapa sampai terjadi dan apa tujuannya? Demi nama? Karena

kedudukan? Atau lantaran kitab pusska Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip yang

dikatakan sebagai kitab paling aneh d dunia ini?’

"Padahal kitab pusaka Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pi-kip sudah di

musnahkannya di depan umum, tapi mereka yang rakus tetap tidak mau

mempercayai ucapanku, mereka rela korbankau nyawa hanya untuk

memperebutkan suatu benda yang sebetulnya sudah tak ada "

"Semuanya kosong , . hampa . tiada ada apa2nya, nama dan kedudukan kan juga

hal yang kosong? Bersusah payah mencari nama, akhirnya tetap juga tak

berbekas"

"Sekalipun punya harta setinggi bukit, punya kedudukan mulia, semua itu apa

gunanya? Bila usia manusia telah berakhir, bukankah semuanya hanya kosong

belaka? Apa yang dapat dibawa serta ke alam baka.."

Dia terluka lahir batin, maka ia tak menghiraukan siapapun, ingin cepat

tinggalkan tempat itu, meninggalkan kelompok manusia dungu ini,

meninggalkan arena pertempuran yang berbau darah.

Mendadak angin tajam menyambar dari belakang, secara naluri ia mengegos ke

samping. tapi sayang, dalam keadaan terluka parah ia kehilangan kelincahannya,

meski berkelit, ia tak dapat menghindarkan diri dari serangan itu.

"Bluk!" walaupun tidak mengenai tempat mematikan di punggungnya, tapi bahu

kanannya terasa sakit bagaikan dihantam martil.

Tian Pek tak tahan lagi, pandangannya jadi gelap. ia roboh terkulai. Sekali ini

Tian Pek benar2 roboh.

Akhirnya pemuda yang gagah perkasa ini roboh juga, pelbagai luka yang parah,

aneka ragam pukulan batin yang berat membuat pikirannya berhenti, membuat

jantungnya berhenti berdenyut, membuat sukmanya terjerumus ke dalam

kegelapan.. . .

Penyerang yang membinasakan Tian Pek ialsh Leng Yan-hong, si nenek

berambut putih.

Nenek itu termangu memandang tubuh Tian Pek yang membujur tak bergerak,

tiada rasa kebanggaan karena unggul, tiada kegembiraan karena menang, ia

malah menubruk ke sisi jenasah suaminya, lalu mengakhiri hidupnya di sana ....

Nenek berambut putih, Leng Yan-hong, telah menghembuskan pula napasnya

yang penghabisan. ia sedih karena kematian suami, ia mati karena sedih.

Tubuhnya berbaring di samping jenasah suaminya, malahan kedua tangannya

memeluk leher si kakek berjenggot panjang itu erat2.

Cinta memang agung, siapa yang bilang nenek itu tak tahu apa artinya cinta?

Perubahan mendadak ini membuat semua orang tertegun, membuat semua

orang termangu.

Manusia yang benar2 baik, orang yang suka berkorban demi membantu

kepentingan orang lain, ia tak akan kesepian meski telah mati, karena banyak

orang akan tetap mengenangnya, mengenang kebaikan dan jasa2nya.

Per-tama2 Buyung Hong yang tak tahan, ia menangis dan menubruk ke atas

tubuh Tian Pek. Menyusul Kim Cay hong yang terkena1 sebagai Kang lam te-it-bi

jin, nona yang agung dan cantik ini biasanya suka mengekang perasaannya, tapi

kini setelah orang yang dicintainya tewas, ia tak dapat mengendalikan

perasaannya lagi, sambil mendekap tubuh Tian Pek nona itupun menangis sedih.

Untuk pertama kalinya ia memperlihatkan rasa cintanya di depan umum, tapi

sayang orang yang dicintainya telah mati, telah meninggalkan dunia yang fana

ini untuk selamanya.

Buyung Hong menengadah memandang nona yang cantik bak bidadari ini,

namun aorot matanva halus dan ramah, sedikitpun tidak membawa rasa

cemburu atau perasaan lain.

Ia malah merasa nona itu senasib dan sependeritaan dengannya dan patut

dikasihani.

Hoan Soh-ing, nona yang berjiwa laki2 itupun tak dapat menahan rasa sedihnya,

ia menghampiri jenasah Tian Pek dan menyeka darah yang membasahi wajah

pemuda itu dengan saputangannya.

Ia tidak menangis terisak, hanya air mata berlinang di kelopak matanya, ia

berduka karena kematian Tian Pek, berduka seperti kehilangan seorang sahabat

yang paling karib.

Untung Wan-ji sudah pingsan lebih dulu, kalau tidak entah bagaimana pedih

perasaan gadis itu?

Tay-pek-siang-gi juga ikut menangis ter-gerung2, sebab pemuda itu adalah

"Siau-in-kong" (penolong cilik) mereka.

Dahulu kedua orang ini mendapat pertolongan Pek-lek kiam Tian In-tbian,

setelah pendekar besar itu mati penasaran dan kedua bersaudara ini merasa tak

mampu membalaskan dendam baginya, mereka lantas menyebut dirinya

sebagai "Orang mati hidup" dan 'Orang bidup mati"

Kemudian setelah bertcmu dengan Tian Pek dan mengetahui anak muda ini

adalah keturunan tuan penolongnya, maka mereka pun berusaha membalas

budi kebaikan yang pernah diterimanya dari Tian In-thian kepada pemuda ini.

Siapa tahu Siau-in-kong mereka akhirnya tewas juga dalam pertempuran, tentu

saja kedua bersaudara ini amat sedih dan menangis keras.

Ji-lopiautau juga berduka, air matanya bercucuran membasahi wajahnya yang

berkeriput, tapi ia masih dapat mengendalikan rasa sedihnya, berulang kali ia

berseru. "Jangan menangis dulu! Mari kita periksa keadaan Tian-siauhiap, siapa

tahu kalau jiwanya masih bisa ditolong?"

Tapi setelah ia periksa keadaan anak muda itu, ia jadi putus asa, ternyata Tian

Pek memang sudah mati.

Hanya paman Lui saja tidak mengalirkan air mata, dia berdiri kaku sambil komat-

kamit bergumam sendiri: "Hiantit, kau mati dengan gagah, kematianmu sangat

berharga, tak malu sebagai keturunan Tian In-thian "

Pengorbanan yaag gagah perkasa dari Tian Pek menggetarkan pula perasaan

kawanan jago yang hadir di situ, tanpa sadar mereka ikut maju ke muka dan

berdiri di sekeliling jenasah Tian Pek untuk menyatakan perasaan duka cita

mereka yang dalam.

"Mingir!" tiba2 terdengar bentakan nyaring dari belakang, bentakan itu keras

dan semua orang sereniak berpaling.

Sin-liong-taycu dengan angkuh sudah berdiri di belakang mereka, wajahnya

bengis diliputi hawa napsu membunuh.

Di belakang pemuda itu berdiri pula Tay-cong-ci-ju dan Ciong-nia-ci-eng. wajah

mereka tampak garang dan menyeramkan seperti setan.

Lam hay-liong li berdiri di samping dengan wajah melengos ke arah lain,

bahunya nampak bergerak naik turun, agaknya ia pun sedang menangis tapi

entah siapa yang ditangisi?

Pertanyaan ini hanya dia yang dapat menjawab, rupanya diam2 ia pun mencintai

Tian Pek, sudah tentu tak dapat ia menangis secara terang2an bagi kematian

musuh.

Semua orang cukup mengetahui sampai dimanakah kelihayan kungfu Sin-liong-

taycu maupun kedua orang pembantunya, kematian Tian Pek berarti pula tiada

orang yang sanggup menandingi kelihayan mereka lagi.

Kebanyakan orang jadi ketakutan, tanpa terasa mereka menyurut mundur ketika

Sin-liong taycu beserta pengiringnya maju mendekat.

Hanya ketiga nona cantik itu yaag masih menangis, tak seorang pun di antara

mereka yang menggubris bentakan Sin-liong-taycu.

Hal ini sangat menggusarkan "Pangeran naga sakti" dari Lam-hay-bun ini, alisnya

bekernyit, mendadak ia menghantam.

Angin pukulan dahsyat menyapu ke depan, ketiga nona itu berseru kaget dan

cepat melomput mundur.

Paman Lui menjadi gusar melihat kekasaran orang, bentaknya: "Keparat, jangsn

temberang akan kusambut pukulanmu!'

Kedua telapak tangannya terus menangkis serangan tersebut.

"Blang!" di tengah benturan keras, paman Lui terdesak mundur tiga langkah

dengan sempoyongan.

Sin-liong-taycu tidak ayal lagi, beruntun ia melancarkan lagi tiga kali pukulan

berantai.

Paman Lui memang bukan tandingan "pangeran naga sakti" setelah serangan

berantai itu lalu, tahu2 ia sudah berada tiga-empat tombak jauhnya dari tempat

semula.

Sin-liong-taycu menghentikan serangannya, lalu ia berpaling kepada kedua

begundalnya, serunya: "Geledah tubuh bocah she Tian itu! Periksa apakah kitab

pusaka itu masih berada dalam sakunya?"

Tay-cong-ci-ju dan Ciong-nia-ci-eng segera menghampiri jenasah Tian Pek dan

akan merogoh sakunya.

"Jangan sentuh dia!" tiba2 seorang membentak, menyusul sesosok bayangan

tubuh kecil ramping mengadang di depan Tian Pek, dia tak lain adalah Buyung

Hong yang mukanya basah oleh air mata,

Dengan gusar ia berteriak lagi kepada kedua orang manusia jahat itu: "Bila

kalian berani menyentuh tubuhnya, segera nona beradu jiwa dengan kalian!"

Meski nona itu lemah lerrtbut, tapi demi melindungi jenasah suaminya ia rela

mempertaruhkan jiwanya, wibawa yarg terpancar dari wajahnya membuat

orang tak berani sembarangan bergerak.

Si Tikus gudang dan Elang dari Ciong-nia adalab gembong iblis yang angkuh dan

berilmu tinggi, tak urung mereka tertegun juga dan tidak berani berbuat

apa2 . . .

Tiba2 terdengar dengusan orang. dengan wajah dingin Lam-hay-liong-li

menerjang maju ke muka, bentaknya: "Apa hubunganmu dengan dia? Mengapa

kau beradu jiwa baginya?"

Air mata Buyung Hpng ber-linang2, menekan perasaannya, didepan musuh ia

tak ingin mengucurkan air mata, sambil membusungkan dada ia menyahut: "Dia

adalah suamiku...."

"Mampus kamu!" bentak Lam-hay-liong-li sebelum habis Buyung Hong

menjawab, dengan berbareng ia melancarkan sesuatu pukulan dahsyat ke dada

nona itu.

Buyung Hong sambut serangan itu dengan kedua tangannya, "Blang! "Blang!" ia

terdesak mundur belasan langkah jauhnya.

Begitu Buyung Hong terdesak mundur, Lam-hay-liong-li tidak mengejar lebih

jauh, setelah membetulkan rambutnya yarg kusut, it meraba dsda Tian Pek

tangan gemetar.

Dada yang bidang, betapa kekarnya tubuh anak muda itu, meski hanya sesosok

jenasah yang dingin dan kaku, namun bagi Lam-hay-liong-li yang tak pandang

sebelah mata terhadap laki2 lain di dunia ini, seketika hatinya tergetar, ia

merasa bagaikan kena aliran listrik, sekujur tubuh bergemetar.

Selama bidupnya baru kali ini dia menyentuh tubuh lawan jenisnya, dan orang

itu adalah laki2 yang pertama kali menarik perhatiannya, kepada nya ia jatuh

cinta dan sekarang sudah berwujud menjadi mayat.

Tanpa terasa merahlah pipinya, belum pernah timbul perasaan seaneh ini,

dengan tangan gemetar ia meraba sekeliling tubuh anak muda itu. .. .

"Moaymoay, apakah kitab itu ada padanya?" tiba2 Sin-liong-taycu menegur.

Lam-hay-liong-li terkejut dan menengadah, ketika dilihatnya "pangeran naga

sakti" sedang menatapnya, merahlah pipinya, ia tenggelam dalam lamunannya

hingga lupa memeriksa apakah kitab pusaka itu berada pada Tian Pek atau tidak.

Ia tidak menjawab ia berbangkit terus melangkah pergi, ia malu bila ingat akan

kedudukannya, ia tak tahu apa yang harus dikatakan, maka diambilnya

keputusan untuk pergi saja dari situ.

"Adakah dalam sakunya?" kembali Sin-liong-taycu bertanya.

"Tidak!" sahut Lam hay-liong~li tanpa berpaling.

"Ah, masa tak ada? Aku tak percaya!" seru Sin-liong taycu sambil mendekati

jenasah Tian Pek.

Kim Cay-hong cepat mengadangnya, dengan suara yang rawan dan setengah

memohon ia berkata: "Ia sudah tewas, janganlah engkau menyentuhnya lagi

sehingga ia mati tak tenang!"

Dengan wajahnya yang cantik jelita, beberapa patah kata itu jadi lebih menarik

dan menggetarkan kalbu orang. Kontan Sin liong-taycu terbeliak, kecantikan Kim

Cay-hong membuatnya terpesona.

Dasar Sin liong-taycu memang pemuda yang suka bermain perempuan, ketika

untuk pertama kali menduduki rumah keluarga Kim, ia telah membius Kim Cay-

hong sehingga nona itu bertelanjang bulat di hadapannya dan hampir saja

kehormatan nona itu ternoda.

Tapi daya tarik Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip jauh lebih besar daripada

perempuan. Sin-liong-taycu memang tak malu disebut seorang pemimpin yang

hebat, kendati suka main perempuan, namun pikirannya tak sampai

terpengaruh oleh perempuan cantik, ia lebih memberatkan kitab pusaka yang

maha hebat itu dan kalau bisa mendapatkan pula si cantik.

Maka tatkala Kim Cay-hong selesai berkata, ia tertawa dan menjawab: "Nona,

sayang sekali tempo hari aku telah melewatkan suatu kesempatan yang sangat

baik, bila ingat kembali sungguh aku sangat menyesal, ingin kubicara terus

terang, kecantikan nona memang tiada keduanya di dunia ini!"

Hati Kim-cay-hong berdebar keras, siapa yang tak suka dipuji cantik, apalagi

anak perempuan.

Sin-liong-taycu memang tampan dan menawan hati terutama senyumnya yang

mendebarkan boleh dibilang melebihi ketampanan Tian Pek, cuma sayang

senyum dan sorot matanya membawa sifat jahat inilah yang berbeda dengan

kejujuran serta kepolossn Tian Pek.

Merah wajah Kim Cay-hong, apalagi bila terbayang kembali bagaimana ia nyaris

dilalap oleh pemuda itu, jantungnya berdetak, untuk sesaat ia tak tahu apa yang

harus dilakuksn.

Tiba2 Sin liong taycu mendekatinya, ia colek pipi Kim Cay-hong yang halus

seraya berkata: "Sekarang Taycu tak bergairah untuk bermain cinta, haahaha,

bila urusan di sini sudah selesai, nanti akan kucari lagi dirimu ... "

Malu dan gusar hati Kim Cay hong, tak disangkanya Sin-liong-taycu yang

terhormat itu ternyata berani melakukan tindakan rendah di hadapan orang

banyak, sebagai nona yang tinggi hati sudah tentu ia merasa tindakan orang itu

merupakan suatu penghinaan besar.

Tanpa bicara, telapak tangannya balas menggampar pipi "pangeran naga sakti",

"plok!" tempelengan itu bersarang telak, pipi Sin-liong-taycu yang tampan

tertera bekas jari tangan yang merah.

Bila kejadian itu berlangsung dalam keadaan biasa, tak mungkin tempelengan

Kim Cay-hong akan mengenai sasarannya, tapi waktu itu Sin-liong-taycu tak

menduga, kedua ia asik terkesima oleh kecantikan si nona sehingga hatinya tak

tenang, maka dengan gampang tamparan itu mengenai mukanya.

Air muka Sin liong taycu berubah merah padam, ia marah sekali karena

ditampar orang di hadapan umum. "Budak-ingusan, kau cari mampus!" ia

membentak.

Dengan jari tangan yang direntangkan lebar2, ia ccngkeram batok kepala nona

itu, sementara telapak tangan kanan meraba ke dada,

Satu jurus dua serangan, semuanya dilancarkan dengan cepat luar biasa,

tampaknya kemarahan pemuda itu sudah mencapai puncaknya sehingga ia tak

segan2 mencabut nyawa nona itu.

Ilmu silat Kim Cay hong adalah ajaran langsung dari ayahnya, tapi dibandingkan

dengan Sin-liong-taycu jelas bukan tandingannya.

Tatkala desing angin tajam menolak tiba dan bayangsn telapak tangan 1awan

sudah berada di depan mata, gadis itu merasa tak mampu beekelit lagi, ia

pasrah nasib dan berdiri tak bergerak, mata dipejamkan sementara dalam hati ia

berdoa: "Engkoh Tian, tunggulah sebentar, adik segera akan menyusul engkau!

Meski kita tak dapat hidup bersama di dunia ini, biarlah kita berdampingan di

a1am baka.."

Sekarang ia tidak jeri lagi menghadapi kematian, dia malah berharap pukulan

Sin-liong-taycu itu dapat mencabut nyawanya sehingga ia dapat menyusul Tian

Pek ke alam baka. Walaupun hidup tak bisa berdampingan dengan kekasihnya,

tapi mereka akan bertemu di alam baka, kejadian ini cukup menghibur hatinya.

Siapa tahu kematian tak kunjung datang, sekalipun ia sudah pejamkan mata dan

menunggu pukulan itu, namun pukulan yang dahsyat itu tak pernah menimpa

badannya, nona itu jadi heran dan membuka matanya, apa yang tertampak

olehnya membuat nona itu jadi tercengang.

Ternyata Sin-liong-taycu telah menyurut mundur sejauh beberapa tombak dari

tempat semula dengan wajah kaget bercampur kuatir.

Sedang di depannya entah sejak kapan telah bertambah seorang kakek berbaju

pertapa serta seorang nona yang cantik.

Kakek berbaju pertapa itu berusia lima puluhan, mukanya bulat dengan jenggot

cabang lima, sikapnya agung berwibawa, jubahnya berwarna abu2, sepatu

dengan kaos putih, dandanannya persis seperti dewa, siapapun akan tahu orang

ini pasti seorang tokoh sakti yang berilmu tinggi.

Nona yang cantik itu memakai baju yang sederhana, perutnya kelihatan besar,

agaknya sedang mengandung.

Air mukanya tenang, tidak bergincu, rambut-pun tidak dikepang tapi dibiarkan

terurai di belakang. Kecantikannya adalab kecantikan alam, semakin tidak

berdandan, kelihatan semakin menawan hati.

Saat itu wajahnya diliputi kemurungan, terutama matanya yang jeli, berulang

kali melirik Tian Pek yang terkapar di tanah.

Sekilas pandang Kim Cay-hong segera mengenal siapa nona cantik ini sebab dia

tak lain adalah Liu Cui-cui yang pernah menolong jiwanya.

"Masakah ia sedang mengandung . . .?" nona Kim ini berpikir.

Sementara itu, kakek berdandan pertapa itu sedang berkata dengan nyaring:

"Taycu, lebih baik cepatlah pulang, banyak urusan sedang menantikan

kedatanganmu untuk diselesaikan!"

Sin-liong-taycu berusaha menenangkan diri, dengan gusar ia menegur: "Paman

Liu, kau suruh aku pulang? Memangnya ada apa? Apa maksudmu menangkis

seranganku barusan?"

Dari tanya jawab itu Kim Cay hong baru tahu bahwa jiwanya telah diselamatkan

oleh kakek berdandan pertapa ini.

"Banyak persoalan tak dapat kujelaskan satu demi satu," sahut kakek itu dengan

alis berkerut.

"Tapi ada satu hal dapat kuberitahukan kepada Taycu, waktu Kaucu

menyeberangi samudera, kapal mereka telah tertimpa angin topan dan

tenggelam, Kiucu beserta dua ratus orang lebih yang berada di dalam kapal

telah tewas semua "

"Benarkah uoapanmu ini?" sebelum kakek itu menyelesaikan kata2nya, Sin-

liong-taycu telah berseru kaget.

“Masa aku bohong?" jawab si kakek.

Sin-liong taycu dan Lam-hay liong-li saling pandang sekejap, rupanya mereka

tahu si kakek tidak berbohong, dengan cemas bercampur kuatir kedua orang itu

segera berlalu dengan cepat tanpa bicara.

Tay cong-ci-ju dan Ciong-nia ci-eng melirik sekejap mayat Hay-gwa-sam-sat serta

kedua rekannya yang terkapar di tanah, tapi mereka tak berani mengurusnya,

sebab mereka tahu dengan berlalunya Sin-liong taycu berdua, tak nanti mereka

mampu menandingi kerubutan orang banyak. Maka kedua gembong iblis inipun

buru2 kabur.

"Selain itu, harap Taycu waspada dan cepat membuat persiapan. Mo-kui-to

sudah diserbu musuh dan sekarang telah diduduki mereka!" demikian si kakek

berseru pula.

Ketika ucapan tersebut diutarakan, baik Sin-liong-taycu dan Lam-hay-liong-li

maupun Tay-cong ci-ju dan Ciong nia-ci-eng keempat orang itu sudah berada

puluhan tombak jauhnya, tapi ucapan tadi disampaikan dengan ilmu Cian-li-

coan-im (ilmu menyampaikan suara dari jauh), maka pasti keempat orang itu

dapat mendengar dengan jelas.

Sesudab bayangan keempat orang itu lenyap dari pandangan, paman Lui baru

maju ke depan dan memberi hormat kepada kakek pertapa itu sembari

menyapa: "Jika mataku belum lamur, bukankah Totiang ini Gin-san-cu (si kipas

perak) Liu Tiong-ho, Liu-hiante?"

Dengan wajah berseri kakek pertapa itu menggenggam tangan paman Lui,

kemudian terbahak-bahak: "Haha, hebat amat ketajaman matamu saudara Lui!

Hanya sekilas pandang saja lantas mengenali kembali diriku, padahal sudah

puluhan tshun aku tak pernah menongol di daratan. Baik2kah semua sobat

kita?"

Paman Lui menghela napas panjang, ia menuding mayat yang bergelimpangan di

tanah dan menjawab: "Ai, susah untuk melukiskan keadaan

kami dengan sepatah dua patah kata. Coba iihatlah mayat yang begitu banyak!

Di antara Kanglam-jit-hiap mungkin tinggal Hiante seorang yang masih hidup "

Sementara paman Lui berbicara, pelahan Liu Cui-cui msnghampiri Tian Pek,

ketika melihat jenasab anak muda itu penuh luka, ia tampak tertegun, tak

sepatah katapun diucapkan, tak setitik air matapun menetes, dia berdiri kaku

seperti patung ....

Tapi siapapun dapat merasakan kepedihan hatinya, duka yang tak bersuara,

kepedihan yang tak kentara, menangis tanpa air mata.

Dalam pada itu kawanan jago yang hadir telah mengetahui bahwa orang tua

yang baru datang ini adalah Gin-san-cu Liu Tiong-ho, orang keenam dari

Kangiam-jit-hiap, semua orang sama memberi hormat dan kagum.

Gin-san-cu Liu Tiong-ho sendiri sedang ber-cakap2 dengan paman Lui, namun

perhatiannya tak pernah lepas dari tubuh puterinya, tentu saja ia pun dapat

merasakan pula kesedihan puterinya itu.

Ia memang sudah menjadi pertapa dan menjauhkan diri dari keramaian dunia,

tapi manusia tetap manusia, dapatkah ia melupakan se-gala2nya?

Apalagi nona itu adalah puteri kesayangannya.

Ia maju ke sana, setelah memandang sekejap Tian Pek ya«g terkapar tak

bergerak, lalu berkata:

"Anak Cui, pemuda inikah yang menjadi tumpuan hidupmu?"

Cui-cui mengangguk, butiran air mata maleleh dan membasahi pipinya yang

halus.

Paman Lui ikut maju, katanya dengan sedih:

"Liu-hiante, bocah ini tiada lain adalah satu2nya keturunan kakak angkatmu Pek-

lek-kiam Tian In-tian!"

Di luar dugaan, Gin-san-cu Liu Tiong-ho tidak menunjukkan rasa berduka,

dengan tatapan tajam ia perhatikan sekejap jenasah Tian Pek, lalu serunya

dengan dingin: "Ehm, bocah ini memang berbakat luar biasa!"

Lalu kepada putrinya ia bertanya: "Ia sudah mati, apakah kau masih berkeras

ingin kawin dengan dia?"

Dengan pasti Cui-cui mengangguk, meski tidak menjawab, tapi dari sikapnya

yang serius, siapapun tahu tekadnya yang bulat dan tak muugkin berubah lagi.

"Nak, kau masih muda!" kembaii Liu Tiong ho berkata, "Untuk bidup menjanda

se-lama2nya bukanlah suatu pekerjaan yang gampang, menurut pendapat ayah

lebih baik. . . "

"Ayah, apa maksudmu mengucapkan kata2 semacam itu . . .?" sela Cui-cui

dengan kurang senang. "Sekali anak sudah kawin dengan dia, selama hidup

pikiranku tak akan berubah, apalagi dalam perutku sudah ada janin yang

merupakan darah daging keturunannya!"

Keterangan ini cukup menggemparkan, terutama Buyung Hong, Kim Cay-hong

dan Hoan Soh-ing, mereka sama melenggong.

Beberapa orang nona itu tidak tahu bahwa antara Tian Pek dan Cui-cui telah

melakukan hubungan badan ketika berada di dalam sampan di sungai Hway,

mereka hanya heran darimana munculnya jabang bayi Tian Pek di dalam perut

Cui-cui?

"Ai, anak bodoh ..." bisik Liu Tiong-ho kemudian sambil berdehem. Ia tak tega

menegur puterinya meski sebelum menikah resmi dengan Tian Pek telah

mengandung lebih dahulu.

Maklumlah, Cui-cui dibesarkan di suatu pulau yang terpencil, Liu Tiong-ho

sendiri sangat sayang pada puteri tunggalnya ini, ia sibuk urusan bertapa, hidup

Cui-cui terlampau bebas, tak pernah ia didik puterinya sesuai dengan adat

istiadat Tsonggoan, gadis ini semenjak kecil sudah terbiasa hidup bebas tanpa

ikalan, maka setelah dewasa Cui-cui pun tetap polos, lincah dan tidak terikat

oleh segala macam adat.

Kendatipun demikian, peristiwa ini memhuat Liu Tiong-ho jadi malu, ia lantas

berusaha mengalihkan pembicaraan ke soal lain, tiba2 tanyanya: "Aku dengar

masih ada beberapa orang nona yang mencintai pemuda she Tian ini, entah

nona2 yang kau maksudksn hadir di sini atau tidak?”

Serta merta Buyung Hong tampil ke depan, ia memberi hormat kepada orang

tua itu, katanya; 'Keponakan adalah janda Tian-siauhiap yang ditinggalkan!"

Selagi Liu Tiong-ho tertegun, paman Lui cepat menambahkan: "Dia bernama

Buyung Hong puteri sulung Losam (saudara ketiga) Ti-seng-jiu Buyung Hong'

"O, Hiant-titli jangan banyak adat!" kata Liu Tiong-ho cepat, kemudian kepada

paman Lui dia bertanya: "Apakah ia sudah menikah dengan putera saudara Tian

ini?"

"Menikah memang belum, tapi mereka sudah dijodohkan dengan resmi, akulah

yang menjadi combang bagi mereka berdua!" sahut paman Lui sedih.

"Selain itu, aku telah menjodohksn pula adik-ku kepada Tian-siauhiap!' tiba2

Buyung Hong menambahkan.

Liu Tiong-ho semakin bingung: "Ah. jadi kau menjodohkan pula adikmu dengan

suamimu? Di mana adikmu sekarang?"

Pertanyaan ini membuat Buyung Hong jadi sedih, air matapun bercucuran,

jawabnya: "Ia telah gugur dalam pertempuran, sekarang berbaring disana" ia

menuding ke arah Wan-ji yang masih menggeletak itu,

Liu Tiong-ho segera menghampjri Wan-ji, membuka kelopak mata gadis itu dan

memeriksanya sebentar, kemudian memeriksa pula denyut nadi pada

pergelangan tangannya, setelah itu baru menjawab: "O, dia belum mati, hanya

hawa amarah menyerang jantung dan membuat isi perutnya terluka parah,

napas yang tersumbat membuat ia tak sadarkan diri!"

Jadi ia masih bisa tertolong?" hampir serentak Buyung Hong dan paman Lui

berseru.

Liu Tiong-ho tidak menjawab, dia menepuk batok kepala Wan-ji.

Karena tepukan yang cukup keras itu, sekujur badan Wan ji bergetar, mulutnya

terpentang lebar, cepat Liu Tiong-ho keluarkan sebuah botol kecil dari sakunya

dan kemudian meneteskan tiga tetes cairan putih ke mulut nona itu. Selang

beberapa saat kemudian Wan-ji berseru tertahan dan membuka matanya

kembali.

Dengan sebuah tepukan dan tiga tetes cairan ternyata Wan-ji dapat ditolong

jiwanya, peristiwa semacam ini cukup menggemparkan, paman Lui dan Buyung

Hong segera memburu maju dan memayang nona itu untuk bangun.

Tapi Liu Tiong-ho segera mencegah perbuatan mereka, serunya: "Jangan

bangunkan dia, biarlah ia duduk tenang dan mengatur pernapasannya. . . ."

Buyung Hong membantu adiknya mengatur pernapasan, sedang paman Lui

lantas memuji: "Liu hiante, tampaknya ilmu pertabibanmu makin lama makin

ssmpurna. Obat mujarab apa yang kau simpan dalam botol itu? agaknya manjur

sekali."

"O. cairan ini adalah Leng-ci-sian-ek berusia ribuan tahun, dapat menumbuhkan

kembali daging dan bisa menghidupkan orang yang telah mati!"

"Kalau begitu, bukankah Tian-hiantit bisa pula kita selamatkan jiwanya?"

sambung paman Lui cepat.

Liu Tiong-ho tidak menjawab, ia menghampiri Tian Pek dan memeriksa kelopak

mata serta denyut jautungnya, setelah itu baru menyahut sambil menggeleng

“Lukanya terlalu parah, nadinya sudah putus, tak mungkin jiwanya diselamatkan

lagi!"

Ucapan tersebut segera disambut dengan isak tangis yang memilukan hati,

hampir bersamaan waktunya keempat nona yang berkumpul di situ menangis

ter-sedu2.

Liu Cui-cui, Buyung Hong, Kim Cay-hong dan Hoan Soh-ing mendekap muka

masing2 dan menangis dengan sedihnya, sedang Wan-ji yang sadar hanya

membelalakkan matanya memandang dengan heran keempat nona yarg sedang

menangis itu, rupanya ia tak mengerti apa sebabnya keempat orang itu

menangis.

Kejadian ini makin mencengangkan Liu Tiong-ho, ditatapnya sekejap wajah Kim-

Cay-hong dan Hoan Soh-ing, kemudian bertanya: “Puteri siapakah kedua nona

ini? Apakah keduanya juga jatuh cinta kepada Tian-hiantit?"

Dengan air mata bercucuran paman Lui mengangguk: "Kedua nona ini juga

bukan orang luar!"

Ia menunjuk Kim Cay-hong dan berkata: "Dia bernama Kim Cay-hong, puteri Loji

Cing-hu-sin Kim Kiu,” Kemudian sambil menuding Hoan Soh-ing katanya pula:

"Dia ini Hoan Soh-ing, puteri Pah-ong-pian Hoan Hui!"

Baik Kim Cay-hong maupun Hoan Soh-ing tahu bahwa Liu Tiong-ho adalah

saudara angkat ayah mereka, maka sambil menahan isak tangis kedua nona itu

lantas menberi hormat.

Gin San-cu Liu Tiong-ho mengawasi kedua nona itu dengan seksama, ia lihat baik

Kim Cay-hong maupun Hoan Soh-ing sama2 berparas cantik, sedikitpun tak

berada di bawah kecantikan puterinya, maka serunya sambil mengangguk:

"Hian-tit-li berdua jangan banyak adat!"

Kemudian ia berpaling kepada paman Lui dan berkata lagi: "Sungguh tak nyana

beberapa orang saudaraku itu mempunyai puteri yang cantik jelita. Oya.

kudengar mereka juga punya anak laki2 yang semuanya punya nama besar di

dunia persilatan, apakah mereka juga hadir di sini?"

Belum habis ucapannya, Bu-lim su-kongcu lantas tampil ke depan seraya

memberi hormat.

Paman Lui lantas memperkenalkan mereka satu persatu.

Melihat kegagahan dan ketampanan Bu~lim-su-kongcu, tiada hentinya Liu

Tiong-ho mengangguk dan memuji: "Hebat! Hebat! Sulit benar menemukan

jago2 muda yang begini hebat dan begini gagah, Hian tit sekalian tak usah

banyak adat!"

Kemudian kepada paman Lui ia berkata lagi. "Ehm, keponakan2 semua adalah

tunas muda harapan bangsa, yang laki2 hebat dan yang perempuan cantik.

Mengapa di antara mereka tidak dijodohkan satu dengan yang lain? Kenapa

begitu banyak anak gadis hanya tertuju pada putera saudara Tian seorang?

Masa dia mempunyai sesuatu keistimewaan yang luar biasa?"

Sambil tertawa getir paman Lui menggrleng kepala, katanya: "Darimana aku

tahu? Selamanya aku tidak paham cinta muda-mudi? Kalau mau tahu jelas boleh

kau tanyakan sendiri kepada mereka itu?"

Bu-lim-su-kongcu menundukkan kepala dengan wajah malu dan menyesal.

mereka tak berani mangucapkan sepatah kata pun.

Senentara itu Wan-ji telah paham duduknya persoalan serta apa yang telah

terjadi. Di antara sekian gadis, cintanya yang paling besar dan mendalam itulah

sebabnya ia tak sudi menerima lamaran Toan-hong Kong-cu sebaliknya rela

mempunyai suami yang sama dengan Tacinya.

Selain itu ia paling muda, cara bicaranya tidak pakai tedeng aling2, ketika

mendengar pertanyaan itu dia lantas maju dan menyahut: “Paman, dalam hal

mana kau tidak paham, memangnya siapakah yang dapat memaksa cinta yang

tumbuh dari lubuk hati seseorang? Siapa yang bisa memaksa orang lain untuk

mencinatai seseorang? Kalau seorang sudah mencintai seorang tertentu

mungkinkah cinta itu dialihkan kepada orang lain?"

Sebagaimana diketahui, paman Lui paling sayang pada Wan-ji, mendengar

jawaban tersebut bukannya menentang, dia malah berkata kepada Liu Tiong-ho

sambil tertawa: "Aku pikir, mungkin itulah jawaban yang paling tepat!"

Kembsli Liu Tiong-ho menggeleng, selang sesaat barulah menuding kelima nona

itu secara bergilir dan berkata: "Kau, kau, kau, kau dan kau! Apakah kalian

semua ingin kawin dengan Tian-hiantit?"

Wan-ji, Buyung Hong, Cui-cui dan Kim cay-hong sama mengangguk, hanya Hoan

Soh-ing seorang yang membungkam dan tidak mengangguk.

Mengangguk artinya mengaku, maka ketika melihat ada yang tak mengangguk,

Liu Tiong-ho berkata: "Ai. hanya nona Hoan seorang yang pikirannya masih

tenang, hanya dia saja yang tidak setuju pada cara demikian. Masa sekian

banyak anak gadis menikah dengan seorang suami yang sama?"

Tak terduga, mendadak Hoan Soh-ing menengadah dan berkata: "Paman, kau

salah mengartikan maksud keponakan. Kendati Titli tidak harus kewin dengan

Tian-siaubiap, tapi aku pasti akan menjadi seorang sahabat Tian-siauhiap!"

Lui Tiong-ho tertawa mendengar perkataan ini, serunya cepat: "Andaikata tiada

peristiwa tragis di Tong-Ting-oh, tentu kalian masih berhubungan erat sekali

antara keluarga yang satu dengan yang lain, tapi hubungan sebagai sahabat

ataukah sebagai famili ....!"

"Bukan begitu maksudku," tukas Hoan Soh-ing cepat "Maksudku ingin menjadi

sahabat paling karib Tian-siauhiap, tiap hari berkumpul dan selamanya takkan

berpisah lagi ... ."

Ketika mengucapkan kata2 terakhir, suaranya berubah lirih, merah pipipun

semakin tebal.

Melengak Liu Tiong-ho mcndengar jawaban itu. "Ah, belum pernah kudengar

ada persahabatan yang akrab begitu!" serunya, "kecuali menjadi suami-isteri,

masa ada teman yaag berkumpul pagi sampai malam dan tak berpisah untuk

selamanya?"

"Persahabatan macam begitulah yang Titli inginkan dengan Tian-siauhiap!"

sambung Hoan Soh-ing.

Liu Tiong-ho mengamati tubuh si nona yang tinggi semampai. wajahnya yang

cantik dan gerak-geriknya yang bersifat ke-laki2an, mendadak ia seperti

memahami sesuatu.

Hubungan antara laki dan perempuan, di atas cinta sebagai kekasih, cinta

persahabatan adalah cinta yang paling luhur dan paling suci! Sebelum bertapa,

Liu Tiong-ho sendiripun seorang laki2 yang mudah jatuh cinta, ia dapat

merasakan betapa suci bersihnya cinta persahabatan seperti yang dimaksudkan.

Maka tiba2 ia jadi memahami apa yang dimaksudkan "sahabat" oleh Hoan Soh-

ing.

Cinta nona ini jauh di atas napsu berahi dan sifat mementingkan diri sendiri, ia

rela mengorbankan dirinya bagi sahabat, tiada maksud memilikinya sendiri,

tiada cemburu.

Kejadian ini memang langka sekali di dunia ini, adat umumnya juga tidak

memungkinkan adanya cinta semacam ini. Karenanya orang tua itu hanya

tertawa getir sambil menggeleng kepala.

"Hian-tit-li!" katanya kemudian, "mungkin kau telah melupakan sesuatu,

sekarang Tian-hiantit telah meninggal dunia, apa yang kau harapkan mungkin

tak bisa terwujud untuk selamanya!"

"Tak apalah!" jawab nona itu tanpa berpikir, "aku akan mengubur jenasahnya,

kemudian membuat rumah gubuk di depan kuburannya dan menemani dia

selama hidupku."

Sekali lagi Liu Tiong-ho melengak Inilah pernyataan cinta yang tulus dan ikhlas,

penyataan suci tentang cinta dari mulut seorang dara cantik, pernyataan ini

membuat hatinya terharu, ia mulai berpikir tentang Tian Pek, dengan apakah ia

berhasil merebut hati gadis yang cantik dan perkasa ini?

Akhirnya dia menghela napas, sambil berpaling ke arah keempat nona lainnya ia

berkata: "Baiklah, urusan Tian-hiantit sudah ada yang akan menyelesaikannya,

nona Hoan telah menyanggupi untuk merawat kuburannya, aku rasa kalian pun

boleh tinggalkan tempat ini dan pulang ke rumah

masing2."

"Ayah, apa maksud ucapanmu itu?" tiba2 Cui-cui berseru menentang. "urusan

penguburan engkoh Tian sudah menjadi kewajiban bagiku untuk mengurusnya”

Buyung Hong dan Wan-ji maju pula ke depan seraya berseru 'Kami berdua

dijodohkan secara resmi kepada Tian-siauhiap, soal penguburan jenasahnya

adalah tugas kami berdua."

Liu Tiong-ho betul2 heran, seorarg laki2 yang telah meninggal masih dicintai

oleh sekian banyak anak dara, daya tarik apakah yang dimiliki anak muda itu

sehingga begitu banyak gadis yang ter-gila2 kepadanya?

Tapi ia sudah mempunyai perhitungan sendiri, segera ia bertanya pula: "Apa

yang akan kalian kerjakan setelah mengubur jenasah Tian-hiantit?"

"Kami akan mengikuti jejak enci Hoan, mendirikan gubuk di depan kuburannya

dan menemaninya selama hidup!" jawab Cui-cui, Buyung Hong dan Wan-ji

hampir berbareng.

"Empat gadis menemani sebuah kuburan?" Liu Tiong-ho tertawa getir, "dunia

seluas ini mungkin tidak banyak terjadi hal menarik seperti ini!"

Belum selesai ucapannya, Kim Cay-hong telah maju dan menanggapi:

"Keponakanmu yang bodoh juga ingin mengikuti jejak keempat saudara yang

lain!"

Kali ini bukan Liu Tiong-ho saja yang melenggong, bahkan semua orang, setiap

jago yang hadir di situ terrcengang.

"Benar2 kejadian yang aneh!' demikian mereka berpikir, "lima orang gadis cantik

rela hidup menjanda karena kematian seorang laki2 . . betul2 peristiwa yang

belum pernah terjadi sebelumnya . . "

Mencorong sinar mata Liu Tiong-ho, ia memandang sekejap wajah Kim Cay-

hong, Wan-ji, Buyung Hong, Hoan Soh-ing serta puterinya, kemudian

bergumam: "Memang sulit untuk menyelesaikan persoalan semacam ini Ai,

agaknya terpaksa harus suruh Tian-hiantit menyelesaikan sendiri urusan ini!"

Sungguh aneh! Orang mati mana bisa mengurusi persoalannya lagi?

Selagi semua orang tertegun heran Liu Tiong-ho telah menghampiri tubuh Tian

Pek, beruntun ia menepuk tiga kali di-umbun2 kepala anak muda itu.

Liu Tiong-ho tersohor karena iimu pertabibannya yang sakti, sebelum menjadi

pertapa, ketika masih tergabung dalam Kanglam-jit-hiap, ia tersohor dalam

dunia persilatan karena ilmu pertabibannya dan ilmu berenangnya yang tinggi.

Setelah menjadi pertapa, ia semakin memperdalam kepandaian pertabibannya

itu dengan harapan bisa banyak menolong jiwa manusia. Dengan sendirinya

ilmu pengobatannya sekarang sudah mencapai kemajuan yang pesat, iapun

memiliki cara pengobataan yang berbeda dengan ilmu pengobatan biasa.

Kebanyakan orang persilatan mengobati orang dengan ilmu Tui-kiong-Khi-hiat

(menguruti nadi menghidupkan jalan darah atau Lwe-kong-liau-siang

(menyalurkan tenaga dalam untuk menyembuhkan luka). Caranya menekan

batok kepala si penderita yang dilakukennya itu jarang ditemui di dunia.

Hakikatnya tepukan tersebut mengandung hawa sakti Bu-siang-hian-kang-ceng-

khi, hawa sakti itu disalurkan masuk melewati Hoa-kay-hiat di ubun2, dengan

menembus jalan darah Thian-leng dan Ci-hu-hiat akhirnya mencapai Ni wan-hiat

serta Hoan-bun-hiat sehingga semua nadi penting si penderita menjadi lancar

dan darahpun mengalir lagi.

Dalam keadaan begitu, betapa parahnya luka seseorarag segera akan sadar

kembali, kemudian bila diberi tetesan Leng ci yang berusia ribuan tahun, luka si

penderita seketika akan sembuh dengan cepat.

Semua orang sudah menyaksikan kehebatannya waktu menolong Wan-ji, maka

ketika melihat dia akan menyembuhkan Tian Pek yang jelas2 telah disiarkan

sudah mati, serta merta semua orang maju dan mengerumuninya.

Ketika itu Liu Tiong-ho sudah menepuk tiga kali, hawa sakti Hian-kang ceng-khi

tingkat tinggi telah disalurkan menembusi jalan darah di ubun2 terus menembus

semua jalan darah. Sekujur tubuh Tian Pek segera bsrgetar keras, giginya yang

terkatup tiba2 membuka dengan sendirinya.

Dengan cepat Liu Tiong-ho membuka tutup botolnya dan meneteskan cairan

Leng-ci ke dalam mulutnya, setetes. ... dua tetes , . tiga tetes sampai sembilan

tetes kemudian, Tian Pek baru merintih dan pelahan membuka matanya.

Semua orang berseru kaget, paman Lui acungkan jempolnya sambil bersorak

kegirangan: "Liu-hiante, kau memang hebat sekali!"

"Hahaha, saudara Lui terlalu memuji! Andaikata beberapa hari yang lelu aku

tidak menemukan Lengci berusia ribuan tahun di suatu gua rahasia dan

membuat satu botol cairan Lengci yang hebat, sekalipun ada malaikat yang

turun dari kayangan pun belum tentu dapat menyelamatkan jiwa Tian-hiantit!"

Tiba2 paman Lui seperti teringat sesuatu, ia berseru: "Berbicara pulang pergi,

tampaknya sejak tadi Liu hiante sudah menemukan cara untuk menyembubkan

Tian hiantit kita ini. Tapi sengaja tidak kau katakan karena kau mempunyai

tujuan tertentu?"

Kali ini Liu Tiong-ho tidak tertawa, ia memandang sekejap ke arah Tian Pek, lalu

mengangguk: "Tebakan Lui heng memang betul! Aku memang sengaja

menyiarkan bahwa Tian hiantit tak tertolong lagi dengan tujuan agar ia bisa

terlepas dari belenggu cinta, tapi bukti telah berbicara lain,

sekalipun keponakan Tian benar2 sudah meninggal, benang cinta yang

membelenggunya tetap tak bisa dilepaskan."

Dalam pada itu kelima gadis cantik tadi sedang mengerumuni Tian Pek, ada yang

membersihkan noda darah di tubuhnya, ada yang membalutkan lukanya, ada

pula yang menguruti jalan darahnya. . , . .

Keadaan Tian Pek waktu itu seperti seorang pangeran yang baru mendusin dari

tidur yang nyenyak, di bawah pelayanan lima orang nona cantik jelita, ia duduk

bersila di tanah, ia kelihatan melongo bingung,

Jangankau Tian Pek, sekalipun orang lain juga akan terbelalak dan tak habis

mengerti bila menghadapi kejadian seperti ini, mereka pasti akan mengira

dirinya sedang bermimpi.

Akhirnya kesadaran Tian Pek pulih kembali seperti sedia kala, ia memandang

wajah kelima nona itu secara bergantian, kemudian air mukanya berubah

merah, ia merasa bahagia karena mendapat pelayanan kelima orang gadis

cantik, tapi ia pun merasa malu karena semua itu dialaminya di badapan orang

banyak.

Ia bergerak dengan alis bekernyit.

"Engkoh Tian, badanmu masih sakit?" segera Wan-ji menegur.

"Engkoh Pek! Bagaimana rasa isi perutmu sekarang?" tanya Buyung Hong.

"Engkoh. . . .Tian-siauhiap, lukamu sudah sembuh?" sambung Kim Cay-hong.

Hanya Hoan Soh-ing yang tidak bersuara, matanya yang jeli memandang

pemuda itu dengan mesra, mukanya berseri, tapi air matanya mengembeng di

kelopak matanya.

Cui-cui memayang anak muda itu dan berbisik lembut: "Beristirahatlah sejenak

lagi! Lukamu tidak ringan. . .."

Lima orang nona cantik dengan perhatian yang sama, pelayanan yang sama,

serta kemesraan yang sama pula.

"Aku sudah sehat!" ujar Tian Pek seraya menggeleng kepala, di bawah

bimbingan kelima nona, pelahan ia bangkit berdiri.

Ketika ia memandang ke depan. ia lihat seorang pertapa tua sedang berdiri di

samping paman Lui, mereka sedang memandangnya sambil tersenyum.

Tian Pek jadi malu, di samping itu iapun lantas mengerti bahwa jiwanya pasti

telah ditolong oleh orang tua itu.

Sebelum ia maju untuk memberi hormat, paman Lui telah berkata lebih dahulu:

"Keponakan Tian, hayo kemari dan mamberi hormat kepada pamanmu yang

keenam! Beliau ini tak lain adalah saudara angkat ayahmu di masa lalu, Gin-san-

cu Liu Tiong-ho!"

"Lukanya belum sembuh tuntas, biarkan dia duduk bersila lebih dulu, tak perlu

banyak adat. . . " cepat Liu Tiong-ho mencegah.

Tapi Tian Pek sudah keburu melangkah maju dan berlutut seraya bekata:

"Paman, terimalah penghormatan keponakan, Tian Pek!"

"Keponakanku, tak perlu banyak adat!" Meski di mulut orang tua itu berkata

demikian, tapi diam2 ia menaruh simpatik kepada anak muda itu.

Sama2 putera saudara angkatnya, sama2 memberi hormat kepada Cianpwe

yang baru ditemui untuk pertama kalinya, tapi Bu-lim-su-kongcu hanya menjura

sekadarnya, sebaliknya Tian Pek melakukan penghormatan besar dengan

menyembah. Meski hanya soal tata adat, namun dari sini dapat diketahui bahwa

Bu-lim-su-kongcu angkuh dan tak tahu adat, bcrsikap tak hormat terhadap

Cianpwe. Sebaliknya Tian Pek jujur dan polos, dia menghormati kaum tua, dan

dari sini pula Liu Tiong-ho lantas memahami sebab apa kelima nona cantik itu

hanya mencintai Tian Pek seorang dan tidak mencintai pemuda lainnya.

Semcntara itu Tian Pek telah berkata. "Tatkala mendiang ayahku mendapat

celaka, Lak-siok (Paman keenam) adalah satu2nya orang yang membantu

mendiang ayahku, terimalah hormat dan terima kasihku, paman!” Kembali ia

berlutut dan menyembah tiga kali.

Bu-lim-su-koogeu sudah mengetahui pula cerita tentang Kanglam-jit-hiap,

mereka pun memahami perbuatan tidak pantas mendiang ayah2 mereka.

Ketika mendengar ucapan Tian Pek mereka jadi malu dan menyesal.

Di pihak lain, ketika sembilan orang ketua sembilan besar melihat Gin-san-cu Liu

Tiong-ho mempunyai kemampuan menghidupkan kembali orang yang telah

mati, mereka juga lantas maju ke muka dan mohon penyembuhan bagi anak

buahnya. Tentu saja Liu Tioug-ho tak dapat menolak-nya, maka ia pun menolong

mereka yang terluka.

Sementara ia menyembuhkan luka jago2 silat itu, paman Lui menggunakan

kesempatan itu untuk mengecek kebenaran berita tenggelamnya Kaucu Lam-

hay-bun yang teetimpa angin topan.

"Aku tidak bohong!" demikian Liu Tiong-ho menjawab. "Hal itu memang benar2

terjadi. Ai, untung aku tidak ikut rombongan mereka, kalau tidak aku pasti akan

ikut terkubur di dasar lautan!"

Ia lantas menceritakan pula apa yang sudah terjadi di pulau Mo-kui-to.

Kiranya setelah Hay-liong-sin Liong Siau-thian mengutus putera puterinya

menyerbu ke daratan Tionggoan dalam dua gelombang, kemudian ia mendapat

laporan dari Sin-liong-taycu bahwa sebagian besar dunia persilatan Tionggoan

telah jatuh ke dalam cengkereman mereka, dalam pertemuan Enghiong-tay-hwe

yang akan diselenggarakan di Siau-lim-si pada bulan sebilan tanggal sembilan

nanti, semua jago persilatan yang menentang mereka akan dapat ditumpas dan

dunia persilatan akan terjatuh ke tangan mereka.

Girang sekali Hay-liong-sin mendapat kabar itu, serentak ia kumpulkan dua ratus

anak buah, dengan menumpang tiga buah kapal berangkatlah ke daratan

Tionggoan.

Liu Tiong-ho sendiri karena sudah ada persetujuan dengan Hay-liong-sin, ia

tetap tinggal di pulau itu untuk meneruskan pertapaannya dan tidak

mcncampuri urusan dunia persilatan lagi.

Tapi tak lama setelah Hay-liong-sin dan rombongan berangkat, tiba2 Liu Tiong-

ho mendapat firasat tidak enak, merasa rindu pada puteruinya si Cui-cui yang

merantau di daratan, suatu hari dia menumpang perahu dan tinggalkan pulau

tersebut.

Di tengah laut ia bertemu dengan beberapa perahu besar yang mendekati Mo-

kui to, perahu kaum bajak laut, sudah lama mereka mengincar Mo-kui-to dan

ingin dijadikan markas mereka, sudah beberapa kali menyerbu ke pulau

tersebut, tapi setiap kali mereka dipukul mundur oleh Hay-liong-sin dan

begundalnya.

Liu Tiong-ho tak nau cari gara2, pertama karena jumlah lawan sangat banyak.

kedua ia pun tak ingin melakukan pembunuhan, maka ia hanya memperingatkan

perampok laut itu agar hati2 terhadap pembalasan dendam dari Hay-liong-sin.

Mendengar nasihat itu, kawanan perompak itu mentertawakannya dan berkata:

"Hay-liong sin sudah tercebur ke dalam laut, ia tak akan kembali lagi untuk

selamanya. Hahaha, jangan mimpi lagi akan munculnya dalam keadaan hidup!"

Liu Tiong-ho belum mau pcreaya, tapi sepanjang perjalanan betul ditemuinya

banyak mayat yang mengapung di lautan, di antaraya tampak pula pecahan

kayu perahu, sampai di daratan ia mendengar cerita orang tentang banyaknya

perahu yang tenggeiam tertimpa angin topan, barulah ia psrcaya apa yang

didengarnya itu memang betul.

Mendengar centa ini semua orang merasa senang dan lega, kata mereka dengan

wajah berseri "Kalau begitu, daratan Tionggoan masih ada harapan untuk

diselamatkan dari badai pembunuhan asal Sin-liong-taycu diusir pergi, dunia

tentu akan aman!"

"Tak perlu diusir lagi," kata Liu Tiong-ho, "sekarang Sin-liong-taycu tentu lebih

menguatirkan keselamatan sarangnya, saat ini dia pasti sudah berangkat

menyeberangi lautan dan kembali ke pulaunya!"

Semua orang jadi gembira dan merasa lega karena badai pembunuhan yang

mengerikan bisa terhindar tanpa diduga.

Liu Tiong-ho lantas berkata kepada Tian Pek: "Mungkin dunia persilatan akan

mengalami masa damai untuk sekian waktu. Hian-tit, apa rencanamu

selanjutnya"

Tian Pek tidak lantas menjawab, ia pikir sakit hati ayahnya sudah terbalas,

hidupnya sebatang-kara, pertempuran yang baru dialaminya telah mengubah

cara berpikir pemuda ini, melihat keagungan Liu Tiong-ho, tiba2 timbul

ingatannya untuk bertapa.

Maka ia menjawab: "Siau-tit merasa tak ada gunanya mencampuri urusan dunia

ramai lagi, maka ingin meniru Lak-siok dan hidup bertapa di tempat

pengasingan!"

Ter-bahak2 Liu Tiong-ho, ia menuding kelima nona yang berkerumun di sana,

katanya: "Siapapun boleh menjadi pertapa, hanya kau seorang yang tak

mungkin bisa melaksanakan niatmu. Coba lihatlah, bibit cinta yang kau tanam

kini telah mulai bersemi dan berbuah.'

Mula2 kelima nona itu tertegun mendengar jawaban Tian Pek, tapi wajah

mereka jadi merah sesudah mendengar ucapan Liu Tiong-ho.

Tian Pek berpaling dan memandang sekejap kelima nona itu, ia mengerti apa

yanp telah terradi, alisnya langsung bekernyit.

Lima pasang mata sedang memandangnya dengan pandangan mesra, pikirannya

jadi kalut ia merasa bingung dan tak tahu bagaimana mengatasi

masalah tersebut.

Liu Cui-cui telah mengandung, nona ini tidak berdandan, rambutnya tidak disisir,

tampangnya kelihatan kuyuh. Buyung Hong yang semampai, kelihatan lemah tak

bertenaga, Wan-ji yang polos, Kim Cay-hong yang lembut, Hoan Soh-ing yang

mengulum senyum.

Lima nona dengan kemesraan yang sama hangatnya, dengan cinta yang sama

dalamnya telah membelenggu dirinya, ini membuat anak muda itu tak bisa

berbuat apa2.. ..

Setelah putar otak dan mencari akal, akhirnya dia keraskan hati, mendadak ia

lolos Pedang Hijau dari sarungnya.

Kilatan cahaya hijau berkilau membuat semua orang tertegun, tak seorangpun

mengerti apa sebabnya Tian Pek melolos Pedang Hijau yang tak pernah

digunakan meski waktu bertempur melawan ketujuh jago Lam-hay-bun.

"Hian-tit, apa yang akan kaulakukan?"* Liu Tiong-ho segera menegur.

“Orang kuno pernah memutus benang cinta dengan Hui-kiam (pedang

bijaksana), maka sekarang aku juga ingin meniru cara orang kuno memutuskan

benang cinta dengan Pedang Hijau ini!"

Seraya berkata ia lantas angkat Pedang Hijau keatas.

"Cinta kasih para nona biarlah Tian Pek terima di dalam hati!' demikian ia

berkata. “Mulai detk ini hubungan kita putus sampai di sini, kita akan hidup

dengan menempuh caranya masing2, siapapun tidak ada hubungan lagi satu

dengan yang lain"

Begitu habis berkata ia lantas berlalu.

Liu Cui-sui menjerit tertahan, cepat ia memburu ke sana dan mengadang jalan

pergi anak muda itu sambil berseru: "Orang lain boleh tak dihiraukan olehmu,

tapi aku tak dapat kau tinggalkan! Sebab dalam perutku telah ada anakmu! Anak

yang kukandung ini adalah darah dagingmu!"

"Anakku? Darah dagingku...?” gumam Tian Pek dengan bingung.

Buyung Hong dan Wan-ji juga melompat ke depan, seru mereka: 'Kami berdua

telah kau nikahi secara resmi, kami berdua tak dapat kau tinggalkan dengan

begini saja!”

Hoan Soh-ing tidak tinggal diam, iapun melompat ke depan seraya berseru: "Kau

boleh menjadi pendeta, boleh tak beristeri tapi aku kan sahabat karibmu, kalau

aku ikut pergi bersamamu tentunya tak beralangan bukan?"

Pelahan Kim Cay-hong juga maju ke depan, bisiknya dengan kepala tertunduk:

"Ke ujung langit atau ke dasar lautan kau akan pergi, selamanya akan

kudampingimu!"

Tian Pek benar2 bingung oleh kenyataan itu!

Liu Tiong-ho tak dapat menahan rasa gelinya lagi, ia tertawa ter-bahak2:

“Hahaha, meski pedangmu tak berperasaan, tapi sayang tak dapat memutuskan

tali cinta yang halus dan ulet!"

Tian Pek mendepakkan kakinya ke tanah, serunya: "Ah, terserah kemauan

kalian!”

Dengan menahan rasa sakit di badan, selangkah demi selangkah ia pergi dari

situ, sementara lima orang nona cantik mengikut di belakangnya.

"Siau-in-kong..!" tiba2 Tay-pek-siang-gi berteriak sambil mengejar, tapi Liu

Tiong-ho segera menarik tangan kedua orang itu sambil menggoda: "Hei, mau

ke mana kalian? Masa kalian orang laki2 juga mau minta bagian. .?"

Gelak tertawa lah orang banyak bergemuruh.

Setelah urusan terselesaikaa seluruhnya, kawanan jago pun mulai berpamitan

dan berlalu.

Akhirnya paman Lui menarik Liu Tiong-ho dan mengajaknya: "Sudah belasan

tahun kita tak berkumpul, marilah kita minum sepuasnys!"

"Sayang, kini aku pantang makan dan pantang minum," kata Liu Tiong-ho

dengan tertawa.

"Tidak minum arak, minum air juga boleh, hayo kita minum tiga gentong besar!"

paksa paman Lui.

—oOo— —oOo—

Sang surya telah berada di tengah angkasa, suasana di tempat itu sunyi kembali,

tak seorang-pun yang tinggal di situ.

Beberapa tahun kemudian suasana di dunia persilatan benar2 aman tenteram

dan sejahtera tak pernah terjadi peristiwa apapun.

Rakyat di sekitar danau Tong-ting-oh seringkali menjumpai seorang pemuda

tampan sedang menemani lima nyonya cantik bermain sampan di tengah telaga.

Yang aneh adalah ternyata kelima nyonya cantik itu masing2 menimang seorang

bayi yang montok dan mungil, mereka saling bercanda dengan gembiranya.

Siapakah mereka? Tentu pembaca dapat menebak bukan? Mereka tak lain

adalah Tian Pek beserta kelima isterinya yang cantik, Liu Cui-cui, Buyung Hong

Tian Wan-ji, Kim Cay-hong serta Hoan Soh-ing.

Seorang laki2 dengan lima orang isteri cantik plus lima anak “Hopo tumon”?

Agar sementara pembaca tidak merasa penasaran, perlu dimaklumi bahwa pada

jaman feodal dahulu soal poligami memang tak terbatas. satu dan lain

bergantung pada "sikon", situasi dan kondisi.

Situasi sudah jelas diterangkan di atas, kondisi, barangkali Tian Pek memang

"superman", seorang pencinta yang adil dan bijakssna.

Sampai di sinilah kisah Hikmah Pedang Hijau pun berakhir, moga2 Anda puas

dan sampai berjumpa pada lain kesempatan.

TAMAT
Anda sedang membaca artikel tentang Cersil : Hikmah Pedang Hijau 4 dan anda bisa menemukan artikel Cersil : Hikmah Pedang Hijau 4 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/10/cersil-hikmah-pedang-hijau-4_07.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil : Hikmah Pedang Hijau 4 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil : Hikmah Pedang Hijau 4 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil : Hikmah Pedang Hijau 4 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/10/cersil-hikmah-pedang-hijau-4_07.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar