(Swordman Journey)
Karya : Khu Lung
Disadur: Gan KL
Jilid 01 : Robekan kain sutera Tian Pek
Jalan itu lurus membentang sampai di sini, lalu melingkar. Tempat yang
dilingkari itu adalah sebidang hutan yang rada lebat, menyusur ke tengah hutan
itulah jalan ini terus menembus ke sana.
Meski sudah dekat senja, namun hawa musim panas bulan enam masih tetap
membuat orang kegerahan.
Desir angin sedikitpun tidak terdengar, suasana sunyi senyap. Semula jalanan
itu tiada nampak seorangpun, tapi dari kejauhan kini mendadak debu mengepul
tinggi, berbondong-bondong beberapa ekor kuda tampak dilarikan kemari setiba
di depan hutan, serentak para penunggang kuda itu berhenti.
Baik kelima ekor kudanya maupun para penunggangnya tampak rada aneh,
penunggangnya memakai seragam baju sutera hijau muda diberi wiru benang
emas. Bagi orang yang cukup makan asam garam, sekali pandang saja akan tahu
pakaian sutera mereka itu pasti tidak mungkin terbeli oleh orang biasa.
Yang lebih aneh adalah pedal pelana kelima ekor kuda itupun bercahaya
mengkilap keemasan. Di bawah sinar matahari, kelima orang itu dengan kuda
tunggangnya menjadi gemerlapan dengan cahaya keemasan yang menyilaukan
mata.
Sejenak kelima penunggang kuda itu berhenti di situ, lalu mereka menjalankan
kudanya pelahan-lahan ke dalam hutan.
Salah seorang laki-laki yang bergodek mendorong ke belakang ikat kepalanya
yang berhias sebutir mutiara, lalu memandang sekelilingnya sambil
berpegangan pelana, katanya kemudian kepada teman yang berada di
sampingnya:
"Tempat ini terasa sejuk dan tenang, kukira bolehlah kita mengaso saja di sini.
Toh sudah pasti sasaran kita itu akan lewat di sini, biarlah kita tunggu saja di sini
dari pada capai-capai mencegatnya ke sana. Jika sekali ulur tangan segera kita
padamkan 'lenteranya' (maksudnya matanya), nah, baru menyenangkan
rasanya"
Lelaki bercambang itu tidak saja tegap dan gagah, suaranya juga lantang, dari
logatnya dapat diketahui orang dari kota raja. Anehnya tokoh macam begini
mengapa memakai baju demikian? Di balik keanehannya menjadi rada-rada
ajaib pula.
Habis berkata, tanpa menunggu tanggapan orang lain, segera ia sisipkan
cambuknya pada sisi pelana, cepat ia melompat turun. Dari gerakannya yang
gesit dan tangkas itu agaknya kungfunya tidak rendah.
Kawannya, seorang lelaki tinggi kurus, lantas mendengus:
"Hm, coba lihat, jelas selama ini Loji telah menelantarkan kungfunya, baru
menempuh perjalanan sedikit saja dia sudah kepayahan, kalau bisa akan terus
menjatuhkan diri ke atas kasur. Cara bicaranya juga seenaknya saja seakan-akan
beberapa orang itu adalah anak buahnya, cukup sekali menjulur tangan dan
segalanya akan beres."
Orang yang disebut "Loji" (orang kedua) itu menyengir, ia tepuk pantat
kudanya sehingga binatang tunggangan itu lari ke samping sana. Dengan
tertawa lalu ia berkata:
"Toako, bicara terus terang aku memang rada payah Kalau saja tidak
mengingat kita telah makan tidur lebih setahun di tempat orang serta mendapat
pelayanan yang memuaskan, huh, siapa yang sudi bersusah payah lari ke sini di
bawah sinar matahari seterik ini?"
Lelaki godek tegap itu menjengek, lalu berkata pula: "Toako, rasanya beberapa
potong daging yang akan datang dari kota raja itu belum terpandang di mata
diriku si Ji pah-thian ini, sekalipun mereka menonjolkan juga orang dari Yan-keng
piaukiok, coba kau pikir, Toako, si tua bangka dari Yang-keng-piaukiok itu
mampu memperbantukan tenaga andalan macam apa kepada kawanan cakar
alap2 (istilah olok2 terhadap petugas yang sok menindas kaum kecil)."
Orang yang dipanggil sebagai "Toako" yang bertubuh tinggi kurus itu kembali
mendengus, tiba2 ia melirik ke sana dan membentak dengan suara tertahan:
"Loji, kurangilah ocehanmu!"
Ke empat kawannya serentak memandang ke arah lirikan si jangkung itu,
terlihatlah seorang lelaki dengan baju yang rombeng dan memegang sejilid buku
rongsokan sedang duduk bersandar pohon di tepi jalan sana, matanya tampak
terpejam, agaknya sudah tertidur, kedua kakinya yang bersepatu butut
diselonjorkan dengan setengah terpentang.
Si godek tadi bergelak tertawa, katanya sambil menuding lelaki rudin itu:
"Toako, terlalulah kau, Tampaknya kau menjadi tambah was-was sejak kita
terjungkal dahulu itu, masa kaum jembel begini juga kau kuatirkan?"
Si jangkung yang dipanggil sebagai Toako itu tidak menanggapinya, ia
melompat turun dari kudanya, lalu mendekati pohon yang agak jauh di sana
serta berduduk di situ sambil memejamkan mata untuk mengumpulkan
semangat.
Saat itu ada angin meniup, si godek yang mengaku berjuluk "Ji-pah-thian"
(gembong kedua) membuka dada bajunya agar bisa mendapat angin, Lalu ia
mengusap cambangnya yang berkeringat dengan tangannya yang kasar itu.
Gumamnya dengan tertawa: "Wah, alangkah nikmatnya jika dapat minum es
limun pada waktu panas begini."
Baru habis berkata, seketika matanya terbelalak, mendadak dilihatnya di
samping si jembel yang lagi tidur di bawah pohon itu tertaruh sebuah mangkuk
porselen bertutup. Di atas tutup mangkuk tampak mengembun butiran air,
agaknya di dalam mangkuk itu benar2 berisi "es limun" seperti apa yang
dikatakan si godek tadi.
Mangkuk bertutup itu berwarna biru saphir, halus mengkilap, jelas benda
tembikar yang bernilai tinggi. Tapi si godek ini orang kasar, tidak tahu barang
baik, yang diincar hanya butiran air di atas tutup mangkuk serta membayangkan
isi mangkuknya yang segar itu.
Waktu ia berpaling, dilihatnya ke empat saudaranya sedang tersenyum
padanya, Iapun menyengir, lalu mendekati si jembel, ia depak sebelah kaki
orang yang selonjor itu.
Keruan orang itu kaget dan terjaga bangun, dengan matanya yang sepat ia
pandang orang yang menyepaknya itu, tampaknya dia merasa bingung.
Sekarang si godek yang berjuluk Ji-pah-thian itupun dapat melihat jelas si
jembel ini masih sangat muda, wajahnya putih bersih, tergolong cakap, alisnya
panjang lentik menarik.
Namun Ji-pah-thian ini memang orang kasar dan juga dogol, suka
meremehkan urusan apapun juga. Melihat pemuda jembel itu sudah mendusin,
dengan menyeringai ia lantas tuding mangkuk biru itu dan bertanya dengan
suara kasar: "He, Siaucu (bocah), apa isi mangkuk itu!"
Dengan matanya yang masih ngantuk pemuda jembel itu menjawab:, "Isi
mangkuk ini adalah limun peras, sudah semalaman kudinginkan dengan es batu,
sampai sekarang belum lagi kuminum."
Si godek bergelak tertawa, tanpa terasa ia menelan air liurnya, katanya pula
sambil menuding mangkuk biru itu: "Bagus... bagus sekali! Tuanmu sedang
kehausan, lekas berikan es limunmu itu!"
Pemuda jembel itu kucek2 matanya yang masih sepat, tampaknya ia tidak
mengerti, dengan tergagap2 ia menjawab: "Tapi. . . . . tapi es limun ini akan ku
minum sendiri, tidak . . . . . tidak boleh kuberikan padamu."
"Apa kau bilang? Berani kau tolak permintaan Toaya!" bentak Ji-pah-thian
dengan mata melotot. "Ketahuilah, hari ini hatiku sedang gembira, maka
kuminta air es dengan baik. Hmm, kalau tak tahu diri, sekali tendang bisa keluar
kuning telurmu . . . ."
Belum selesai ia bicara, si jangkung di bawah pohon sana telah menghardik:
"Loji, jangan berisik." -- Lalu katanya pula: "Losam, coba dengarkan! Bukankah
sasaran kita, telah datang?"
Salah seorang yang kekar pendek segera mendekam dan menempelkan
telinganya di permukaan tanah, sesaat kemudian dengan wajah berseri dia
menjawab: "Toako, pendengaranmu memang tajam, sasaran kita telah datang!
Semuanya ada tiga kereta dan sembilan kuda, jaraknya masih ada satu panahan,
mungkin seperminum teh lagi akan tiba di sini."
Orang yang bernama Ji-pah-thian itu tak sempat pikirkan minum es lagi, ia
loncat ke luar hutan dan memandang ke depan.
Debu tebal menyebar di angkasa, lapat-lapat terdengar suara roda kereta dan
derap kuda, walaupun berangasan, gerak tubuh orang ini cukup cekatan, ia
menyusup kembali ke hutan, ia halau kawanan kuda yang sedang makan rumput
agar berlari menjauh. Lalu ia lolos golok dan berkata: "Hai, kawan baik, kau telah
istirahat cukup lama, sekarang kita harus cari rejeki."
Ke empat orang lainpun segera siap siaga, sementara derap kuda dan suara
putaran roda kian mendekat, paras merekapun bertambah tegang.
Rupanya kejadian itu mengejutkan pemuda rudin tadi, dengan tangan gemetar
keras ia tak tahu apa yang mesti dilakukannya.
Si godek tadi mendengus, ia meloncat ke depan orang dan tempelkan golok di
atas kuduknya seraya mengancam: "Anak muda, kalau ingin hidup duduklah di
sini dan jangan bergerak, kalau tak tahu diri, hm, bisa kutabas tubuhmu menjadi
dua."
Pemuda itu semakin gemetar, begitu takutnya sampai air es dalam mangkuk
tercecer. Dengan rasa sayang Ji-pah thian memandang sekejap air es yang
berceceran di tanah itu, sementara ke empat orang lainnya telah bersembunyi
di belakang pohon. salah satu di antaranya berseru: "Loji, sasaran telah
datang . . . . . . cepat sembunyi!"
Dalam keadaan begitu, Ji-pah-thian tak sempat mengurusi air es lagi, ia
bersembunyi di belakang pohon dan alihkan perhatian ke jalan raya.
Dua ekor kuda mendahului muncul di luar hutan, di atas pelana berduduk
seorang pria kurus dan seorang gemuk.
Setiba di dalam hutan, dua orang itu menarik napas panjang belum sempat
mengucapkan sesuatu, dari balik pohon bergema bentakan nyaring: "Sahabat,
berhenti! Yan-in ngo pah-thian (lima gembong dari Hopak) sudah lama
menunggu kedatangan kalian!"
Wajah pria gemuk itu berkerut, sedang air muka si kurus berubah pucat.
Sebelum mereka bertindak apa2, kelima orang tadi telah muncul di depan
mereka.
Pria gemuk itu terperanjat, hampir saja jatuh dari kudanya, ia pandang sekejap
sekitar sana, sedapatnya ia tenangkan hatinya yang tegang.
Si godek melompat maju dan menghardik: "Hei The gendut, hayo serahkan
barang kawalanmu, kemudian cawat ekormu dan enyah dari sini, mengingat
badanmu yang gemuk, aku Le Bun-pa bersedia mengampuni jiwamu."
Kiranya pria kasar ini adalah seorang bandit yang namanya tersohor di sungai
Tiang kang. Ji pah-thian atau gembong kedua dari Yan-in-ngo-pah-thian.
Kelima gembong bandit dari Ho-pak ini tak pernah mendirikan markas atau
bersarang, mereka adalah kawanan "Rimba hijau" yang tersohor karena
keganasannya, mereka pernah melakukan beberapa kali perampokan besar
hingga namanya kian menanjak.
Sementara itu si gemuk she The yang berdandan sederhana itu adalah opas
dari utara sungai Kuning yang terkenal sebagai Bang-leng-koan (Pembesar
gemuk) The Pek-siu, ia tak pernah menduga kalau Yan-in-ngo-pak-thian berani
membegal barang pemerintah yang dikawalnya di siang hari bolong.
Ia menjura dan tertawa, lalu katanya: "Ooh, kukira siapa, tak tahunya adalah
Le-tangkeh, ke mana saja selama ini Le-tangkeh, sebetulnya aku ingin
menyambangimu, sayang aku tak tahu alamat kalian, tak nyana kita bakal
berjumpa di sini."
Ia loncat turun dari kudanya, setelah memberi hormat lalu ia berkata pula: "Le-
tangkeh, tentunya kau tak marah bukan? Terimalah hormat kami berdua"
Le Bun-pa menengadah dan ter-bahak2, sikapnya congkak dan sama sekali tak
pandang sebelah mata terhadap lawan.
Muka Th Pek-siu berubah pucat kehijauan, jantungnya berdebar keras.
Walaupun barang yang dikawalnya adalah barang2 berharga, tapi pertama
lantaran tak ada orang yang menduga di jalan raya antara Ceng-wan dan Ki-lan
yang selamanya aman ini bakal terjadi pembegalan, maka orang yang dibawanya
tidak banyak. Kedua, belakangan ini tiada orang pandai di kalangan petugas,
maka ia sadar tak mungkin pihaknya sanggup menghadapi Yan-in-ngo-pak-thian.
Melihat gelagat tidak menguntungkan, dalam hati, dia menggerutu: "Tua bangka
dari Yan keng piaukiok itu memang terlalu, masa cuma utus seorang anak muda
dungu untuk bantu mengawal barang2 ini . . . . . Ai, bila barang ini sampai
dibegal, siapa yang akan bertanggung jawab?"
Sementara itu Le Bun-pa telah berhenti tertawa, dengan suara kasar ia
membentak lagi: "Hei, The gendut, sudah lama tak bertemu, lagakmu tak
berbeda seperti dulu. Hmmm, lebih baik jangan coba main tipu di hadapan Le-
toayamu. Kalau tahu diri, cepat angkat tangan dan enyah dari sini, toh barang
dalam kereta itu bukan milikmu."
Biasanya kalau bertemu dengan maling kecil atau bajingan cilik, cukup ia
melotot maka urusan akan beres. Tapi sekarang bertemu dengan perampok
besar, The gemuk ini cuma bisa menyengir saja sambil munduk2.
Sebenarnya ia ada hubungan baik dengan Yan-in-ngo-pak-thian, tapi sekarang
orang sama sekali tak memberi muka kepadanya, maka meskipun senyum masih
menghias wajahnya, namun senyum itu lebih tepat dikatakan sebagai
menyengir.
Dengan tajam Le Bun-pa menyapu pandang sekelilingnya, lalu ter-bahak2, ia
berpaling kepada si jangkung yang merupakan pemimpinnya, yaitu Toa-pak-
thian (gembong pertama) Le Bun-hou, katanya sambil tergelak: "Toako,
perkataanku tak keliru bukan? Coba lihat, sekali kucomot barang itu akan terus
berpindah tangan . . . . ."
Belum habis bicaranya, tiba2 dari belakang Bang-leng-koan muncul seorang
pemuda berwajah tampan, dengan suara nyaring ia membentak: "Bajingan
tengik darimana, berani membegal barang kawalan Yan keng piaukiok? Hmm,
besar benar nyalimu?""
Le Bun-pa menyurut mundur selangkah, diawasinya pemuda itu dari atas
hingga ke bawah dengan sorot mata tajam, kemudian ia menengadah dan ter
bahak2 tertawa yang penuh nada ejekan.
Walaupun pemuda itu berwajah tampan, namun pakaiannya amat sederhana
dan tindak tanduknya seperti orang desa, sama sekali tidak mirip seorang jago
pengawal.
Sebagai gembong bandit terkenal, sudah tentu Le Bun-pa tak pandang sebelah
mata terhadap pemuda ingusan seperti itu. Kembali ia ter-bahak2, lalu
membentak: "Bocah ingusan, kalau bosan hidup, carilah jalan lain untuk
mampus! Ketahuilah, golok pusakaku ini tak pernah kujagal bocah ingusan
seperti kau!"
Bang-leng-koan sendiripun mengerutkan dahinya sewaktu melihat
kemunculan pemuda itu, dalam hati diam2 ia memaki: "Bocah ingusan, benar2
tak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi, dengan sedikit ilmu silat seperti itu
berani menantang Yan-in-ngopah-thian? Huh, ingin mampus barangkali.
Sungguh tak tersangka Yan-keng-piau-kiok yang terkenal bisa mengangkat
seorang bocah ingusan sebagai Piausu ( juru kawal ), kalau terjadi peristiwa
seperti ini coba bagaimana akibatnya?"
Sembari berpikir, tiba2 ia tertawa dan berkata: "Le-tangkeh, sekarang
tentunya kau tahu bukan? Walaupun barang ini milik negara, tapi bukan
tanggung jawabku melainkan tanggung jawab perusahaan Yan-keng-piau- kiok,
kalau kau tidak percaya, coba periksa sendiri, bukankah pada setiap kereta
tertancap panji pengenal Ji-lopiauthau dari perusahaan Yan-keng?"
Dasar manusia licik, setelah tahu gelagat kurang menguntungkan, cepat2 ia
alihkan tanggung jawab itu kepada orang lain, sementara matanya mengerling
pemuda tampan tadi, dalam hati ia membatin: "Kau sendiri yang cari gara2,
akan kulihat bagaimana caramu mengatasi masalah ini!"
Pemuda tampan itu tertawa dingin, sekali tangannya bergerak, tahu2 ia telah
menghunus sebatang pedang yang bercahaya hijau tajam.
Air muka Le Bun-pa, The Pek-siu serta keempat Ngo pak-thian yang lain sama
berubah hebat, bahkan pemuda rudin yang berada di bawah pohonpun nampak
keheranan, siapapun tak menyangka seorang pemuda desa yang kelihatan
bodoh itu ternyata memiliki senjata yang tajam dan ampuh, siapapun tahu
pedang itu pasti pedang mestika.
Setelah menghunus pedangnya, pemuda itu kelihatan bertambah gagah,
dengan mata melotot ia awasi Le Bun-pa tanpa berkedip, kemudian tegurnya:
"Saudara, kalau kau hendak membegal barang kawalan kami, silakan bertanya
dulu kepada pedangku ini, apakah dia mengizinkan atau tidak!"
Le Bun-hou, si jangkung yang merupakan tertua dari Yan-in-ngo-pak-thian itu
maju selangkah ke depan, katanya dengan suara dalam: "Pandangan Jiteku
kurang tajam dan tak tahu siapakah sahabat cilik ini, untuk itu terimalah
permintaan maafku ini!"
Ia berhenti sebentar, lalu melirik sekejap ke arah The Pek-siu, kemudian
berkata pula: "Sahabat cilik, engkau masih muda dan tampan, aku yakin kau
berasal dari perguruan ternama, apa gunanya jual nyawa buat kaum cakar
alap2, masa kau tidak merasakan bahwa tindakanmu ini sama sekali tak ada
harganya?"
Pemuda itu melotot, ia tunggu setelah lawan selesai bicara baru menjawab
dengan lantang "Aku Tian Pek, masih muda dan tak berpengalaman, aku tak
kenal tata cara seperti itu, yang jelas Ji-lopiautau telah menyerahkan tanggung
jawab barang kawalan ini kepadaku, maka aku harus mengantar barang2 ini
hingga tiba di tempat tujuan dengan selamat, bila para sababat suka memberi
muka kepadaku, harap berilah jalan lewat bagi kami, di kemudian hari aku pasti
akan membalas budi kebaikan ini, kalau tidak . . . . ."
"Kalau tidak bagaimana?" tukas Le Bun pa dengan gusar.
Orang ini berwatak berangasan, walaupun ia tahu bahwa pedang mestika
pemuda itu tentu mempunyai asal usul yang besar, tapi sikap lawannya yang
jumawa membuat ia kehabisan sabar.
Sambil membentak ia menerjang maju, cahaya golok berkilauan, secepat kilat
ia membacok tubuh pemuda yang mengaku bernama Tian Pek.
Tian Pek mundur selangkah sambil egoskan bahunya ke samping, berbareng
pedang mestikanya diiringi cahaya hijau yang dingin menangkis ke atas.
Walaupun golok Le Bun-pa terbuat dari baja murni, namun ia tak berani adu
kekerasan dengan senjata lawan, ujung golok berputar membentuk gerakan
setengah lingkaran, dari jurus "membelah gunung Hoa- san" kini berubah
menjadi jurus "angin puyuh menderu-deru", golok menabas dari samping.
Tapi pemuda itupun tidak lemah, gerak-geriknya cukup gesit dan lincah,
sebelum serangan Le Bun pa tiba, cepat dia berputar, dengan jurus Hong Kong-
tian-ci (Burung Hong pentang sayap) pedangnya menerobos cahaya golok dan
mengancam dada lawan.
Cepat Le Bun-pa melompat mundur ke belakang, walau begitu peluh dingin
membasahi tubuhnya, sedikit terlambat ia menghindar niscaya pedang lawan
bersarang di dadanya.
Menyaksikan jalannya pertarungan itu, Le Bunhou berkerut dahi, ia tahu ilmu
pedang yang dimainkan pemuda she Tian hanya ilmu pedang Sam-cay kiam yang
sederhana dan umum. namun gerak tubuh lincah dan serangannya mantap.
Tapi setelah nyaris termakan ujung pedang musuh, Le Bun-pa menjadi murka,
ia membentak dan kembali menerjang maju, beruntun ia lancarkan dua kali
bacokan.
Menang pada jurus pertama, Tian Pek menjadi rada angkuh, matanya melotot
dan memandang ujung golok lawan tanpa berkedip, ketika lawan membacok
tiba, ia bergeser ke samping dengan mudah serangan itu terhindar lagi.
Tidak sampai sepuluh gebrakan, Le Bun pa yang dogol dan bengis itu sudah
keteter hingga hampir saja ia tak mampu bertahan.
Melihat pemuda itu berada di atas angin. The Pek-siu jadi gembira, pikirnya:
"Wah, tak nyana bocah ingusan ini memiliki ilmu silat yang tangguh kalau aku
bisa tarik dia jadi anggota petugas, tentu aku bakal mendapat pembantu yang
kuat."
Tapi ketika sorot raatanya terbentur pandang dengan keempat gembong
bandit yang lain, rasa gembira tadi seketika tersapu lenyap.
Rupanya Le Bun-hou sedang memberi tanda kepada "Losam", "Losu" dan
"Longo" ketika dilihatnya Loji mereka terdesak hebat.
Mereka segera mengeluarkan senjata andalan masing2, dipimpin oleh Le Bun-
hou yang bersenjatakan sepasang Poan-koan-pit, mereka menyerbu ke dalam
gelenggang sambil membentak: "Saudara2 sekalian, hayo kita bekuk dulu bocah
keparat itu!"
Kecuali Poan-koan-pit yang digunakan Le Bun-hou, Losam (orang ketiga)
bersenjata tombak Losu bertoya dan Longo (kelima) memakai pedang Song bun-
kiam, senjata mereka satu sama lain berbeda.
Sekalipun senjata yang dipakai beraneka ragam, akan tetapi kerja sama
mereka berlima cukup rapat, begitu Le Bun-hou membentak, keempat
saudaranya lantas putar senjata dan rnengerubut pemuda Tian Pek habis2an.
Tian Pek sendiri diam2 merasa gembira karena hasil jerih payahnya berlatih
selama ber tahun2 tanpa bimbingan guru ternyata tidak sia2 dan cukup
tangguh, bahkan salah seorang dari Yan-in-ngo-pah thian yang tersohor hampir
mampus di ujung pedangnya.
Siapa tahu baru saja timbul rasa senangnya, empat macam senjata segera
mengancam dari empat penjuru, keruan ia terkesiap, jantung berdebar keras.
Pemuda itu sadar untuk menghadapi salah satu di antara mereka mungkin
masih sanggup, tapi bila mereka maju berlima niscaya ia akan mati konyol.
Waktu itu Bang-leng-koan dan temannya go -kau, (monyet kurus), dua opas
kurus dan gemuk itu sudah dibikin ketakutan setengah mati, tubuh mereka
menggigil dengan peluh dingin membasahi tubuhnya.
Keadaan menjadi gawat, tampaknya pemuda she Tian itu akan binasa di ujung
senjata lawan nya ....
Pada saat itulah, tiba2 terdengar gelak tertawa yang nyaring berkumandang di
udara.
Lima bersaudara keluarga Le itu terkejut, apalagi setelah mengetahui bahwa
gelak tertawa itu berasal dari pemuda jembel yang bersandar di bawab pohon
tadi.
Dengan langkah sempoyongan, tangan sebelah membawa mangkuk biru,
sedang tangan lain memegang kitab butut, pemuda itu mendekati gelanggang
sambil tertawa bila orang tak melihat sendiri, siapapun tak akan menduga gelak
tertawa yang nyaring itu berasal dari pemuda jembel ini.
Le Bun- hou adalah seorang jago kawakan yang berpengalaman, alis bekernyit,
dalam hati ia berpikir: "Ah, kembali aku salah lihat, tak nyana pemuda jembel
itupun seorang jago lihay, nasibku benar2 lagi sial, kenapa aku harus bertemu
dengan orang macam begini dalam keadaan demikian?"
Tanpa terasa kedua pihak yang sedang bertempur sama berhenti, masing2
mundur ke belakang sambil memandang pemuda jembel itu dengan tercengang.
Pemuda itupun telah berhenti tertawa, matanya menyipit, ia angkat
mangkuknya dan menghirup seteguk air es dari celah2 mangkuk.
"He, kenapa berhenti?" serunya kemudian. "Hayolah, lanjutkan pertarungan
ini, aku ingin lihat cara bagaimana lima orang lawan seorang? Hihi, kalau kalian
berhenti, aku jadi kecewa . . . . . . . "
Le Bun-pa menjadi gusar, dengan napas terengah2 dan mata melotot ia
membentak: "Manusia rudin, tadi sudah kupesan supaya jangan sembarangan
bergerak dari tempatmu, mau apa kau campur urusan ini? Hoo, rupanya kau
ingin ditendang hingga keluar kuning telurmu?"
Walaupun sudah kecundang sekali, tapi ia belum kapok, tampaknya ia
malahan pentang tangan hendak mencengkeram pemuda jembel itu. Pemuda
itu menyipitkan matanya dan tertawa geli, katanya: "Eh, kulihat kau ini kereng
dan gagah, tapi kenapa bicaramu tak keruan, seperti anak liar yang tak
berpendidikan saja. Mari-mari, lekas meyembah tiga kali padaku, nanti kuberi
ajaran nabi kepadamu,' tanggung tingkahmu nanti akan berubah, tak akan liar
lagi seperti ini."
Keruan Le Bun-pa naik pitam, tanpa bicara lagi ia menubruk maju, tangannya
yang besar seperti kipas terus mencengkeram tengkuk orang.
Dengan ketakutan pemuda jembel itu mundur ke belakang, badannya gemetar
dan mukanya pucat, peluh dingin kelihatan membasahi keningnya.
Le Bun-hou rnengerut dahi meayaksikan perbuatan adiknya, cepat ia
membentak: "Jite, tahan!"
Segera ia hendak mendekati adiknya, siapa tahu tiba2 sinar tajam berkelebat
dari samping, ternyata pemuda she Tian itu telah melancarkan suatu tusukan
kedepan, ke arah Le Bun-pa..
"Sahabat!" pemuda itu berseru, "kalau pingin bergebrak, silakan berurusan
dengan aku, kenapa menyusahkan orang lain yang tak bersalah?"
"Benar, benar, ucapan sahabat memang tepat!" sambung si pemuda jembel
tadi sambil menyurut mundur, "kalau ingin pamer kekuatan, carilah orang lain,
kenapa cari diriku? Ketahuilah, kalau mangkuk biruku sampai pecah, maka aku
akan minta ganti padamu!"
Le Bun-hou berkerut kening pula, ia segera menghardik: "Sahabat she Tian,
harap tahan! Jite, kaupun berhenti!"
Dengan cepat ia menghadang di muka Le Bun pa, kemudian ia menjura kepada
pemuda jembel tadi, ujarnya: "Meski saudara tak mau perlihatkan aslimu, tapi
pandanganku belum lagi rabun, kutahu anda ini pasti seorang tokoh lihay. Ya,
perbuatan kami bersaudara mungkin kurang sedap dipandang, soalnya kami
mempunyai kesulitan yang tak dapat diucapkan, kuharap anda sudi memberi
muka kepada kami, setelah urusan di sini selesai, suatu ketika kami pasti akan
berkunjung ke tempat anda untuk menyampaikan rasa terima kasih kami."
Sebagai jago kawakan yang sudah cukup lama berkecimpung di dunia
persilatan ini memang tajam penglihatannya, berulang kali ia menjura dan minta
maaf kepada pemuda jembel itu, tujuannya tak lain adalah berharap agar orang
itu jangan turut campur dalam urusan ini, agar daging lezat yang sudah ada di
depan mulut ini jangan sampai terlepas lagi.
Siapa tahu pemuda itu lantas balas menghormat sambil berkata: "Ah, mana
aku berani menerima penghormatanmu ini. Apalagi kau hendak berkunjung ke
rumahku, wah, jangan, rumahku terlalu kecil, mungkin tempat untuk berdiri
bagimu saja tak muat."
Sambil berkata pemuda itupun mengerutkan dahi, rupanya tiba2 didengarnya
kumandang suara derap kuda dari balik hutan sana.
Air maka Le Bun-hou juga berubah hebat, buru2 ia menjura pula kepada
pemuda tadi sambil berkata: "Kalau begitu, aku mohon maaf lebih dulu! '
Pokoknya suatu ketika kami pasti akan berkunjung ke rumahmu untuk
menyatakap terima kasih." Kepada rekan2nya ia lantas membentak: "Saudara2
ku, hari sudah sore, hayo, cepat selesaikan tugas kita!"
Senjata Poan-koan-pitnya bergerak, kembali ia terjang pemuda she Tian itu
dengan ganas.
Siapa tahu sebelum senjata mengenai sasaran. mendadak pandangannya jadi
kabur dan tahu2 pemuda jembel tadi telah mengadang di depannya.
Dalam pada itu derap kaki kuda semakin mendekat, dari luar hutan muncul
tiga penunggang kuda.
Paras Yan-in-ngo-pak-thian, Bang leng-koan serta Soh-kau sama2 berubah
hebat setelah mengetahui siapa yang datang, Sesaat -kemudian, dengan muka
berseri Bang-leng-koan lantas menyongsong kedatangan ketiga orang itu.
Dengan tersenyum ia menjura dalam dan berkata: "Oooh, sudah lama tak
berjumpa dengan engkau orang tua, apakah baik2 saja selama ini? Hamba selalu
sibuk, maka sampai sekarang belum sempat menyambangi engkau orang tua!"
Ketiga orang yang baru muncul itu adalah tiga kakek2 berjubah ungu, usia
mereka di antara lima puluhan, sinar matanya tajam berwibawa.
Dalam pada itu Le Bun-hou juga sudah melewati pemuda rudin dan Tian Pek
yang mengadang di depannya terus mendekati ketiga kakek itu serta memberi
hormat.
"Angin apakah yang membawa para Locianpwe ke sini?" demikian ia menyapa.
"Le Bun-hou menyampaikan hormat kepada Cianpwe bertiga."
Kakek kurus kecil yang berada paling depan hanya mendengus tanpa
mengucapkan sepatab kata pun.
Tiba2 ia melayang turun dari kudanya, tanpa memandang sekejappun
terhadap Yan-in-ngo-pah-thian serta Ban-leng-koan yang ter-bungkuk2, ia
menghampiri pemuda jembel tadi serta memberi hormat.
Tindakan orang tua ini sangat mengejutkan semua orang, siapapun tak
menduga Mo-in-sin-jiu (tangan sakti di balik awan) Siang Cong-thian yang
tersohor di dunia persilatan karena ilmu meringankan tubuh serta tenaga
dalamnya kini ternyata bersikap munduk2 terhadap seorang pemuda jembel.
Sambil tertawa pemuda rudin itu menegakkan badannya, sinar tajam
terpancar dari matanya, tampangnva yang rudinpun seketika tersapu lenyap
mengikuti perubahan sikapnya itu.
"Siang-loko!" ia berkata sambil tercenyum, "sungguh kebetulan sekali
kedatanganmu, baru saja Yan-in-ngo-pah-thian hendak menyembe!ih diriku,
wah, kalau kau sedikit terlambat datang, niscaya jiwaku sudah melayang."
Mo-in-sin- jiu adalah seorang tokoh yang disegani baik dari kalangan hitam
maupun putih,
terutama setelah ia hajar mampus Tiat ki-kim-to (golok emas penunggang
kuda) Tay Tang gi, seorang perampok besar di gunung Gan tang-san.
Mendengar perkataan tersebut, dengan sorot mata yang tajam ditatapnya
wajah Le Bun-hou dengan penuh kegusaran.
Dipandang seperti itu, Le Bun-hou jadi ketakutan, paras mukanya kembali
berubah pucat bagai mayat.
Sementara itu Mo-in-sin-jiu telah menjura pula kepada pemuda rudin itu
seraya berkata: "Sungguh tak nyana, karena kedatanganku yang terlambat
sehingga Kongcu dihina oleh kawanan keroco ini, biarlah kubekuk mereka
semua untuk dijatuhi hukuman yang setimpal!"
Pemuda rudin itu tertawa geli, ia maju ke depan dan berkata: "Siang-heng, aku
cuma bergurau, masa kau anggap sungguhan?" - Lalu ia menghampiri Le Bun-
hou yang ada di sampingnya, sambil menyodorkan mangkuk biru itu, katanya
lagi: "Le-jihiap, bukankah kau minta air es kepadaku? Nah, sekarang minumlah!"
Sejak kemunculan tiga kakek tadi, sikap congkak Le Bun-pa sudah lenyap tak
berbekas. ia bertambah kikuk atas sikap pemuda itu, paras muka-nya berubah
merah seperti kepiting rebus, untuk sesaat ia tak mampu mengucapkan sepatah
katapun.
Pemuda rudin itu tertawa, ia tepuk bahu Tian Pekyeng masih melotot dengan
bukunya yang butut. lalu tegurnya: "Saudara Tian, ilmu pedangmu bagus sekali,
aku kagum pada kegagahanmu, jika tidak menolak bagaimana kalau mampir
dulu di rumahku setelah urusan selesai? Ketahuilah, meski aku ini miskin, tapi
aku gemar sekali mengikat persahabatan dengan siapapun."
Merah jengah wajah Tian Pek, jawabnya: "Kongcu terlalu memuji, atas
bantuan Kongcu yang telah menolongku dari maut, Tian Pek tak akan
melupakannya untuk selamanya, di kemudian hari aku pasti akan menyambangi
Kongcu sekalian menyampaikan rasa terima kasihku."
Pemuda rudin itu mengangguk sambil tertawa. "Bagus, bagus, akan kunantikan
kedatanganmu setiap waktu!" ucapnya. Kepada Le Bun-hou iapun berkata: "Le
tayhiap, apakah engkau sudi memberi muka kepadaku dan sudilah lepaskan
mereka pergi? Jika Le tayhiap cuma membutuhkan sekadar ongkos hidup,
seratus atau seribu tahil perak boleh minta kepadaku saja!"
Ucapan itu sangat melegakan hati The Pek-siu, sambil menarik napas panjang
ia berpikir: "Sungguh besar mulut pemuda ini, sekali buka suara lantas tawarkan
seribu tahil perak, jangan2 dia adalah salah satu diantara keempat pemuka
dunia persilatan?"
Waktu itu Le Bun hou sedang menjura dan menyengir, ia menjawab: "Perintah
Kongcu tak berani kami lawan, apalagi pemberian dari Kongcu, kami lebih2 tak
berani menerimanya, belehkah kami tahu siapa nama Kongcu yang mulia agar
hamba dapat memberi pertanggungan-jawab kepada majikan kami."
Semua orang kelihatan kaget, tak menduga kalau lima bersaudara keluarga Le
yang lihay ini ternyata masih mempunyai majikan.
Pemuda rudin itu menjawab sambil tersenyum: "O, sungguh tak kusangka,
sungguh tak kusangka, rupanya Yan- in-ngo-pah thian yang tersohor juga masih
mempunyai majikan." -- Lalu ia tatap Le Bun-hu tanpa berkedip dan
melanjutkan: "Apakah saudara Le bersedia untuk memberitahukan kepadaku,
siapa gerangan majikan kalian itu? Masa pembegalan yang kalian lakukan
sekarang ini atas perintah majikan kalian?"
"Kongcu, buat apa kau urusi manusia seperti itu?" seru Mo in-sin jiu tiba2
sambil menghampiri pemuda itu, "Perintahkan saja kepada pihak Yan keng
piaukiok untuk melanjutkan perjalanan! Kalau kau sungkan2 kepada manusia
seperti mereka bisa jadi kepala mereka akan makin bertambah besar."
Bagaimanapun juga Le Bun hou adalah seoprang jago kenamaan di dunia
persilatan, paras mukanya kontan berubah hijau ke-pucat2an karena olok2 itu,
namun ia tak berani mengumbar amarahnya.
Sedapatnya ia tahan perasaannya, katanya kemudian: "Walaupun kami
bersaudara tidak lebih cuma Bu-beng-siau-cut (manusia tak punya nama) dalam
dunia persilatan, namun majikan kami bukan orang persilatan biasa, setiap insan
persilatan kiranya akan memberi muka kepadanya. . . . . ."
'Omong kosong! Begitu banyak kau omong kosong," bentak Mo-in-sin-jiu
dengan mata melotot "Kalau mau, nama majikanmu cepat kaukatakan, kalau tak
suka bicara cepat enyah dari sini, beritahu kepadanya bahwa aku orang she
Siang telah mencampuri urusan ini, kalau dia tidak terima boleh cari saja
padaku."
Air muka Le Bun-hou berubah pucat hijau, tidak kepalang rasa gusarnya, tapi ia
tak berani bertindak apapun, sambil tertawa dingin ia lantas berseru: "Loji,
Loam, kalau toh Siang-locianpwe sudah berkata begini, mau apa kita tetap di
sini? Hayo, berangkat!"
Kemudian ia tambahkan kepada Bang-leng-koan yang masih berdiri di samping
sana: "Hehe, orang she The, anggaplah engkau masih untung! Tapi, hehehe,
ingin kuberitahu dulu kepadamu, dua buah peti dalam kereta itu tetap menjadi
incaran kami, mengenai siapa majikan kami pikirlah sendiri, yang pasti kalau kau
masih ingin berkecimpung di Kangouw, cepatlah persembahkan barang itu
kepada kami, kalau tidak . . . .hm, akibatnya kautahu sendiri."
Walaupun perkataan itu ditujukan kepada The Pek-siu, hakikatnya sengaja
diperdengarkan kepada Mo in-sin-jiu.
Si Tangan Sakti Siang Cong-thian, bukan orang bodoh, ia sudah tiga puluhan
tahun berkelana di dunia persilatan, tentu saja apa yang dimaksudkan orang
dapat dipahami olehnya segera ia melompat ke depan Le Bun-hou, bentaknya
sambil bertolak pinggang: "Keparat, besar amat nyalimu. Kata2 seperti itupun
berani kau ucapkan? Hmm," baik, hari ini justeru hendak kutahan kalian di sini,
akan kulihat macam apakah tampang majikanmu itu, apakah dia punya tiga
kepala dan enam tangan dan dapat berbuat apa padaku orang she Sang ini."
Habis berkata, sekali bergerak dengan tangan saktinya ia cengkeram dada Le
Bun-hou.
Cepat Lotoa dari Yan-in-ngo-pah-thian itu berkelit, tangan Siang Coug-thian
segera menekan ke bawah, tiba2 tangan kiri mengancam pergelangan lawan.
Buru2 Le Bun-hou mengebaskan tangan kirinya dan melompat mundur, siapa
tahu kecepatan gerak orang she Siang ini benar2 luar biasa sekali, belum sempat
ia ganti napas, tahu2 Siang Cong-thian telah membentak: "Roboh!"
Sambil mendesak maju tangan kirinya menyerang dengan gaya semula,
sementara tangan kanan berputar menggaet pergelangan tangan kanan Le Bun-
hou terus dibetotnya.
Seketika Le Bun-hou merasakan setengah badannya kaku, ia terbetot maju
beberapa langkah, untung kuda2nya cukup kuat sehingga tak sampai roboh
mencium tanah.
Betapa lihay ilmu silat Mo-in-sin-jiu terbukti dengan keoknya pemimpin Yan-in-
ngo-pah-thian hanya dalam satu gebrakan saja, diam2 semua orang tarik napas
dingin.
Pemuda yang bernama Tian Pek pun diam2 merasa malu sendiri, rasa kecewa
dan putus asa terlintas pada wajahnya, semula dia mengira dengan ilmu silatnya
sendiri mampu untuk cari nama di dunia persilitan, dendam berdarah sedalam
lautan pun akan dapat dibalas. Tapi sekarang tampaknya semua angan2nya akan
tersapu lenyap, ia tahu bahwa ilmu silat yang dimilikinya masih selisih jauh kalau
dibandingkan dengan orang lain. Ia menghela napas sedih dan tunduk kepala,
masa depannya terasa suram.
Tentu saja perasaan setiap orang pada waktu itu berbeda antara yang satu
dengan yang lain, terutama sekali keempat bersaudara keluarga Le, air muka
mereka berubah jadi merah padam seperti kepiting rebus, mau maju tak berani,
mau mundurpun malu, untuk sesaat mereka menjadi tak tahu apa yang harus
dilakukan.
Dengan pandangan tajam Siang Cong-thian tatap wajah keempat bersaudara
keluarga Le itu, bentaknya: "Kalian enyah semua dari sini, beritahu kepada
majikan kalian bahwa Le Bun-hou telah kutangkap, kalau dia punya kepandaian,
silakan cari aku orang she Siang, setiap waktu kutunggu kedatangannya!"
"Siang-heng, watak berangasanmu sama sekali tak berbeda seperti dulu." ucap
pemuda rudin itu dengan tersenyum, "pantas kawanan tikus dunia persilatan
sama gentar bila mendengar nama Mo-in-sin-jiu. Tapi, Siang-heng, buat apa sih
kau marah2 begitu?"
Ia bangunkan Le Bun-hou, lalu katanya lagi dengan tertawa: "Le-tangkeh,
engkau sendiri juga keterlaluan, masa nama majikan sendiripun tak sudi
diberitahukan pada orang? Cepatlah katakan, masa akupun tak berharga untuk
mengetahui nama majikanmu?"
Setelah dirobohkan hingga terkapar di tanah, pakaian mewah yang dikenakan
Le Bun-hou jadi kotor dan penuh debu, mukanya berubah jadi pucat kehijauan,
diam2 hatinya sangat gemas.
Sekian lama ia mengertak gigi menahan emosinya, akhirnya dengan gemas is
berkata: "Kekalahan yang kuderita ini hanya bisa menyalahkan ilmu silatku
sendiri yang tak becus, namun . . . . . . " Ia berpaling ke arah Siang Cong thian,
sambil gigit bibir katanya lebih jauh: "Siang-tayhiap, kalau engkau memang tak
puas dengan perkataanku tentang majikan kami, buat apa kau turun tangan
terhadap orang tak becus seperti kami ini? Kalau berani, silakan cari majikan
kami . . . . . hm, apakah kau merasa majikan kami juga tak berharga untuk kau
hajar?'
Siang Cong-tbian naik pitam, matanya melotot, bentaknya lantang: "Bangsat
she Le, rupanya kau bosan hidup. . . . . .
Pemuda rudin yang ada di sampingnya segera melerai, katanya sambil
tersenyum: "Siang-beng, jangan marah dulu, tenangkan hatimu, mari kita
dengarkan lebih jauh apa yang dia katakan, Siaute jadi mulai tertarik pada orang
ini, kalau dugaanku tidak keliru, sebeatar lagi tentu ada cerita yang menarik!"
Dalam pada itu dengan mata melotot Le Bun-hou masih menatap Siang Cong-
thian tanpa berkedip, ia unjuk empat jari tangannya dan melanjutkan ucapannya
dengan ketus: "Majikan kami berdiam di kota Lam-keng, she Kim, dia pula yang
perintahkan kami membegal barang tersebut. Siang locianpwe, kukira kau pasti
tahu bukan siapakah dia? Hai! Cuma kurasa, dengan kedudukan Siang-locianpwe
yang begitu terhormat, tentunya beliau tak kau pandang dengan sebelah mata
bukan?"
Mo-in-sin-jiu yang biasanya tinggi hati dan malang melintang tanpa tandingan,
tiba2 mengunjuk mimik wajah yang aneh, walaupun ia berusaha untuk
menyembunyikan perasaannya, namun getaran batin yang ia terima jelas
terlihat.
Air muka Ban leng- koan dan Soh-kau pun ikut berubah hebat, mereka
berpandangan sekejap dengan bibir bergerak seperti mau mengucapkan
sesSuatu. tapi tak sepatah katapun yang kedengaran.
Tiba2 pernuda rudin tadi menengadah dan terbahak2, suaranya nyaring
menggetar sukma, tanpa terasa semua orang alihkan perhatian terhadap
pemuda itu.
Le Bun-hou kelihatan tertegun, semula ia menduga semua orang akan kaget,
setelah tahu siapa majikannya, bisa jadi barang yang diincar itupun akan
diserahkan tanpa banyak cincong, walaupun ia juga menduga pemuda rudin itu
pasti punya asal usul yang luar biasa tapi jika dibandingkan majikannya tentu
sangat jauh.
Oleh sebab itulah betapa tercengangnya demi mendengar gelak tertawa
orang.
Sambil ter bahak2 pemuda rudin itu melangkah maju, ia buka tutup
mangkuknya yang berwarna biru dan ditunjukkan kepada orang she Le itu.
Le Bun-hou memandang sekejap tutup mangkuk itu, maka terbacalah
beberapa huruf yang tertera di tutup porselen itu: "An lok Kongcu paling
romantis".
Tulisan itu berwarna merah dengan gaya tulisan yang indah, di bawahnya
tertera pula beberapa huruf. "Untuk Ceng-heng, dari Hoan Hui".
Begitu habis membaca tulisan itu, Le Bun-hou merasa matanya jadi ber-
kunang2, hampir saja ia jatuh semaput.
Pelahan ia menengadah, dilihatnya pemuda rudin itu sedang memandangnya
sambil tersenyum, cepat ia tunduk kepalanya rendah2, sepatu butut yang
dikenakan pemuda itu kini terasa jauh lebih berharga daripada semula, siapakah
berani bilang sepatu butut An Lok Kongcu sama sekali tak ada harganya?
Le Bun hou yang gagah sekarang dibikin gelagapan, sekarang baru ia sadar
bahwa cukongnya belum apa2 kalau dibandingkan dengan pemuda rudin alias
An lok Kongcu tersebut.
Sementara An-lok Kongcu sedang ter bahak2, katanya: "Le tongkeh tentunva
kau sudah tahu siapakah diriku? Nah, sekarang cepatlah pulang dan beritahu
kepada Kim kongcu, katakan bahwa dalam peristiwa ini aku In Ceng telah ikut
campur, hahaha . . . . " sesudah berhenti tertawa lalu sambungnya: "Walaupun
aku belum pernah berjumpa dengan Siang-lin Kongcu, tapi sudah lama
kukagumi namanya, tolong sampaikan salamku untuk Kim-kongcu."
Setelah mengetihui siapa lawannya, Le Bun-hou tak berani berlagak lagi, ia
mengiakan berulang kali sambil munduk2.
An-lok Kongcu tersenyum, ujarnya: "Setelah urusan diselesaikan, akupun
takkan menahan Le-tangkeh lebih jauh, bila ada minat silakan mampir ke
rumahku di kota Soh ciu selama beberapa hari, haha .... Nah, saudara Le, kau
boleh berangkat sekarang."
Sikap Le Bun-hou sekarang telah berubah 180°, kembali ia munduk2 sambil
mengundurkan diri, sejenak kemudian merekapun tiba di tepi hutan. Yan-in-
ngo-pah-thian yang gagah dan garang kini harus berlalu dengan muka yang lesu
dan lemas. Selama peristiwa itu berlangsung, Tian Pek hanya mengikuti dari
samping dengan mata terbelalak, terurama ketika menyaksikan kehebatan An-
lok Kongcu, darah, dalam dadanya terasa bergolak, ia merasa malu pada
kemampuannya sendiri.
Sambil memandang bayangan Yan-in-ngo-pah-tbian yang mcnjauh, Mo-in-sin-
jiu tertawa dingin, ia berkata: "Tingkah laku orang yang bercokol di Lam keng itu
kian hari kian bertambab bruntal, In-kongcu .... engkau .... "
An lok Kongcu In Ceng tertawa, tukasnya' "Siang-losu, pohon besar
mendatangkan angin, nama besar mendatangkan iri, Bukan dia saja, namaku
yang busuk inipun mungkin juga tersebar di dunia persilatan. Maklumlah, berita
yang tersiar di dunia persilatan tak boleh dipercaya seratus persen."
Ia berhenti sebentar, kemudian sambungnya: "Kurasa orang yang bernama
Yan-in-ngo-pah-thian tadi mungkin hanya mencatut nama Siang-lin Kongcu
untuk bikin keonaran di luaran. Aku sudah sering menemui kejadian seperti ini,
Siang-losu, apa kau masih ingat keonaran diterbitkan Lu-loliok tempo hari?
Bukankah ia juga mencatut namaku? Kalau bukan Hoan-toaya mengetahui
watakku, entah apa yang bakal terjadi?"
Meski Mo-in-sin-jiu masih kelihatan sangsi, mau-tak-mau iapun mengiakan
berulang kali.
Tian Pek yang sudah kagum kini semakin tunduk melihat kebesaran jiwa An-
lok Kongcu, diam2 ia memuji akan kegagahan pemuda itu.
Sembilan orang petugas yang sejak tadi sembunyi di belakang kereta barang.
kini ber gegas2 maju ke depan, sambil memberi hormat mereka memuji tuan
penolongnya setinggi langit. "Hamba sekalian betul2 punya mata tapi lamur,"
kata mereka, "ternyata tak seorangpun yang tahu akan kehadiran engkau orang
tua. Ai untung In-kongcu sudi memberi bantuan sehingga tidak terjadi apa2,
untuk bantuan tersebut hamba sekalian mengucapkan terima kasih. Sayang
hamba masih ada tugas sehingga tak dapat mampir, lain bari kami tentu akan
menyambangi engkau orang tua." — Lalu mereka ber-paling dan mengucapkan
pula beberapa patah kata pujian terhadap Siang Cong-thian.
An-lok Kongcu tersenyum, dia ulapkan tangannya sambil berkata: “Kalian tak
perlu berterima kasih kepadaku, kebetulan saja aku menjumpai peristiwa ini,
apalagi sudah sepantasnya kalau kita saling tolong menolong."
Kiranya pemuda rudin ini tak lain tak bukan adalah salah satu di antara Su-toa-
kongcu (empat tuan muda) yang amat kaya raya di wilayah Kang lam. waktu itu
dengan sorot mata yang tajam ia sedang mengawasi wajah Tian Pek, lalu
katanya dengan tersenyum: "Suadara, ilmu silatmu bagus sekali, semoga di
kemudian hari kita bisa sering berkumpul, rumahku berada di luar kota Soh-ciu
yang disebut perkampungan In-bong-san-ceng, bila saudara kebetulan lewat di
Soh-ciu. jangan lupa untuk mampir beberapa hari di rumahku."
Setelah berhenti sebentar, lalu ia melanjutkan "Oya, setiba kembali nanti,
tolong sampaikan salamku kepada Ji-lopiautau."
Tian Pek mengangguk pelahan sambil masukkan kembali pedangnya ke
sarungnya, meskipun belum lama pemuda ini menjadi Piausu. tapi dia adalah
keturunan jago silat kenamaan, kebesaran jiwa orang membuatuya rikuh
sendiri.
Belum sempat ia mengucapkan sepatah kata, tiba2 terasa bayangan
berkelebat, entah bagaimana caranya, tahu2 pedang mestika yang sudah
dimasukkkan ke dalam sarungnya itu telah dirampas orang.
Tian Pek terperanjat, walaupun ilmu silatnya tidak tinggi, tapi kepandaian
yang dimilikinya sekarang cukup kiranya untuk membela diri, siapa tahu pedang
mestika kesayangannya dalam sekejap mata saja dapat dirampas orang. Waktu
ia menengadah, ternyata orang yang merampas pedangnya bukan lain adalah
seorang kakek kurus kecil yang datang bersama Mo-in-sin-jiu tadi.
Waktu itu si kakek sedang mempermainkan pedangnya dengan santai, se-
olah2 pedang tersebut adalah miliknya sendiri.
Tian Pek mengerutkan dahinya rapat2, dengan gusar ia mcnegur: "Sahabat,
siapa kau? Apa maksudmu merampas senjataku?"
An-lok Kongcu juga agak tercengang, iapun melangkah maju hendak mcnegur,
tapi sebelum bicara, kakek kurus itu telab menyentil pedang hingga mendenging
nyaring, dengan serius ia bertanya; 'Sahabat cilik, darimana kau dapatkan
pedang ini?"
"Bukan urusanmu!" jawab Tian Pek dengan gusar. Sambil membentak
kepalan kiri langsung menonjok dada kakek itu, sedang tangan kanan secepat
kilat hendak merampas kembali pedangnya.
Dasar anak muda yang berdarah panas, ia tak peduli apa maksud orang,
karena pedangnya dirampas, maka ia menyerang lebih dulu.
Siapa tahu baru saja telapak tangannya ber-gerak, tiba2 pandangannya jadi
kabur, kakek kurus itu telah lenyap. Tian Pek terkesiap, ia putar badan sambil
ayun tangannya lagi.
Tapi kedua tangannya lantas tak mampu bergerak pula, tahu2 sudah
dicengkeram orang hingga tenaganya punah dan tak bisa berkutik.
"Saudara, jangan terburu napsu," ujar seorang sambil tertawa, "ada urusan
boleh kita bicarakan secara baik!"
Kiranya orang yang memegang tangannya ada1ah An-lok Kongcu.
Tian Pek tertegun dan menarik kembali tangannya, semula ia mengira nama
besar An-lok Kongcu diperoleh berkat bantuan anak buahnya yang kebanyakan
orang kosen. Sekarang baru diketahui bahwa dugaannya keliru sama sekali, An-
lok Kongcu sendiri betul2 memiliki ilmu silat yang sangat tinggi.
Walaupun tahu kepandaian silatnya masih selisih jauh dibandingkan orang
lain, Tian Pek tetap tak tahan rasa gusarnya.
"In-kongcu, kau mau apa?" teriaknya "Bila Kongcu menghendaki pedangku,
katakan terus terang, pasti akan kuberikan dengan rela, kenapa Kongcu main
rampas pakai kekerasan?"
An-lok Kongcu tetap tersenyun, ucapan itu sama sekali tidak menyinggung
perasaannya "Saudara, kau salah paham . . . . " katanya sambil menepuk bahu
Tian Pek, lalu ia berpaling dan ujarnya kepada si kakek kurus tadi: "Hoa-losu,
janganlah bergurau dengan orang, hayolah kembalikan pedangnya!"
Kemudian ia ter-gelak2 sambil menuding kakek kurus itu, ujarnya lebih jauh:
"Saudaraku, kemarilah, kuperkenalkan jago tua ini kepadamu. Dia adalah Tui-
hong bu ing (mengejar angin tanpa bayangan) Hoa Ceng-cwan, Hoa-losu si
pencuri sakti nomor satu di dunia. Kau jangan kuatir, Hoa-losu takkan merampas
pedang orang dengan kekerasan."
Sikap Tui-hong-bu-ing tetap ketus dan dingin, pelahan ia mendekati Tian Pek,
tegurnya dengan suara dalam: "Hei, darimana kau dapatkan pedang ini? Siapa
namamu? Siapa yang memberi pelajaran ilmu silat padamu?"
Pertanyaan ini diucapkan dengan beruntun, ia sama sekali tak gubris
perkataan An-lok Kongcu se-olah2 tak mendengar perkataan pemuda itu, sikap
yang aneh ini bukan saja membuat air muka An-lok Kongcu berubah, Mo-in-sin-
jiu sendiri-pun mengunjuk rasa marah.
Air muka Tian Pek berubah jadi pucat, matanya melotot, jawabnya dengan
suara lantang: "Hoa locianpwe, aku, aku sudah lama mendengar nama-
besarmu, kutahu engkau adalah seorang jago kosen, tapi aku tetap tak
mengerti, berdasar apa kau ajukan pertanyaan2mu itu kepadaku?"
Tui-hong bu ing tertawa dingin. "Sahabat, kalau kau tidak menjawab
pertanyaanku, sekarang juga aku orang she Hoa akan cincang kau hingga ber-
keping2!" ancamnya.
Perkataan ini kembali membuat semua orang terperanjat.
An-lok Kongcu juga serba susah, katanya cepat: "Hoa-losu, apa yang kau
lakukan ini? Berilah muka kepadaku, kembalikan pedang itu kepadanya!"
Setelah berhenti sebentar lalu ia tambahkan: "Kalau tidak, orang tentu akan
meogira aku yang me-ngincar pedangnya!"
Tui-hong-bu-ing mundur selangkah ke belakang, air mukanya berubah jadi
hijiu membesi, bukan mengembalikan pedang itu, sebaliknya ia malah berkata:
“In-kongcu, banyak sekali musuhmu yang men-cari2 aku, dalam keadaan
kepepet aku lari kepadamu dan ternyata kau pandang diriku sebagai tamu ter-
hormat, untuk kebaikanmu itu selama hidup Hoa Ceng-cwan merasa berterima
kasih, setiap ucapan In-kongcu pasti akan kuturut walau aku harus terjun
kelautan api atau memanjat ke bukit golok, tapi ..."
Sinar matanym tiba2 beralih ke arah Tian Pek, lalu sambungnya dengan suara
dalam: "Tetapi dalam urusan ini aku tak dapat turut perkataanmu, aku harus
tanyakan asal-usul pedang ini hingga jelas, aku harus tahu asal-usul pemuda ini,
kalau ia tak mau menjawab, sekalipun aku bukan orang yang suka menganiaya
kaum muda, terpaksa hari ini aku barus melanggar kebiasanku ini."
Air muka pencuri sakti yang pernah menguras barang berharga tiga belas
keluarga kenamaan di ibu kota dalam waktu semalam ini, seketika berubah jadi
dingin menyeramkan, selesai bicara ia terus menubruk ke sana, sekali berputar,
cahaya pedang berkelebat, "Kraak", sebatang pohon besar telah ditebas kutung
menjadi dua bagian.
Ketika pohon itu tumbang, pencuri sakti itu kembali melejit ke udara, sebuah
pukulan dilepaskan hingga batang pohon ilu mencelat jauh, habis itu baru ia
melayang turun ke atas tanah.
Sesudah mendemontrasikan ilmu silatnya yang lihay, Hoa Ceng-cwan berdiri
tegak dengan kuda2 yang kuat, teriaknya dengan kereng: "Barang siapa berani
mencampuri urusanku, biarpun bapakku sendiri, tetap aku akan beradu jiwa
dengan dia!"
An-lok Kongcu terkenal karena kebesaran jiwa-nya, namun menghadapi
kejadian ini tak urung paras mukanya berubah hebat. Sebelum ia sempat
mengucapkan sesuatu, Mo-in-sin-jiu telah lompat ke depan seraya
mendamperat: “Hoa-losu! Apa yang kau lakukan ini? Kau berani bersikap kurang
ajar terhadap Kongcu?”
Hoa Ceng-cwan mendengus, ia berpaling dan berkata: “Siang Cong-hian, kita
sudah bersahabat selama puluhan tahun, masa kau tidak kenal pada watakku?
Coba lihat, pedang apakah ini? Pedang ini milik siapa?”
Karena emosi hingga napasnya kelihatan agak memburu.
Siang Cong-thian melengak, dia awasi pedang mestika itu beberapa kejap,
mendadak seperti teringat akan sesuatu air mukanya segera berubah hebat,
bibirnya bergetar seperti mau mengucapkan sesuatu tapi tidak jadi, ia menyurut
mundur sementara matanya tetap menatap pedang tersebut tanpa berkedip.
Waktu itu air muka Tian Pek juga berubah pucat hijau, tiba-tiba ia membentak:
“Hoa-tayhiap, kutahu engkau adalah jago kenamaan di dunia persilatan, sedang
aku tak lebih cuma seorang bocah ingusan, walau begitu aku tetap tak mau
bicara, ingin kulihat apa yang akan dilakukan seorang tokoh kenamaan seperti
kau ini atas diriku!”
Habis bicara berulang-ulang ia mendengus, dada sengaja dibusungkan tinggi-
tinggi dan mata melotot bulat.
Sejenak kemudian ia berkata lagi : “Hoa-tayhiap, kuharap pedang itu segera
dikembalikan kepadaku, Jika tidak, selama hayat masih dikandung badan, aku
tetap akan berusaha merebut kembali pedang itu walau jiwaku harus menjadi
taruhan."
"Jadi kau benar2 tak mau bicara?" tanya Hoa Ceng cwan sambil melangkah
maju.
“Tidak! Kau mau apa? Kembalikan pedangku!" jawab Tian Pek tegas.
“Hehehe. baik, hari ini juga kucabut jiwa anjingmu!” teriak jago tua itu sambil
menerjang maju. Sret! Sret! Dua kali babatan menyambar ke tubuh Tian Pek,
desiran angin tajam menderu-deru, siapa pun tak menduga seorang jago
kenamaan Bu-lim ternyata turun tangan keji terhadap seorang pemuda ingusan.
An-lok Kongcu tak tinggal diam, cepat ia maju mengadang, dengan mangkuk
birunya dia tangkis serangan orang sambil membentak: “Hoa-losu, kau sungguh-
sungguh mau turun tangan?”
Walau pun serangan yang dilancarkan Hoa Ceng-cwan secepat kilat itu sudah
setengah jalan, tapi mau tak mau terpaksa ia tahan serangannya, ujung pedang
seketika berhenti persis di depan mangkuk biru itu, maju beberapa senti lagi
niscaya mangkuk tersebut akan hancur.
An-lok Kongcu tampak berdiri tenang, katanya: "Hoa-losu, kalau engkau
benar2 mau turun tangan, sepantasnya katakan dulu alasan2nya!-'
Tangan Hoa Ceng cwan yang memegang pedang kelihatan gemetar, agaknya
ia sedang menahan gejolak emosinya, ujung pedang yang gemetar sampai
beradu dengan mangkuk biru itu bingga menimbulkan suara dentingan nyaring.
namun tangan An-lok Kongcu yang memegang mangkuk itu tetap tak bergerak.
Ketika sorot mata mereka saling bertemu, tanpa terasa Hoa Ceng-cwan
menyurut mundur selangkah, bagaimanapun juga ia tak berani bergebrak
dengan An-lok Kongcu.
Akhirnya sambil menghela napas dan menggeleng kepala ia berkata: "In-
kongcu, mengapa kau campur urusan ini?"
Sementara itu Siang Cong-thian telah memburu maju pula, ia sambut
mangkuk biru itu dari tangan An lok Kongcu, kemudian katanya dengan suara
berat: "In kongcu, perbuatan Hoa losu mempunyai alasan yang kuat, lebih baik
Kongcu jangan ikut campur urusan ini."
Pelahan An-lok Kongcu turunkan tangannya ia menjadi ragu2, ia tahu sudah
lama Siang Cong-thian berkelana di dunia persilatan, pengalaman dan
pengetahuannya sangat luas, diapun merupakan seorang jago kosen, kalau
tokoh seperti inipun menganjurkan kepadanya agar jangan mencampuri urusan
ini, agaknya dibalik peristiwa ini pasti ada hal2 yang luar biasa. Ia pun tahu Hoa
Ceng-cwan bukan orang yang suka bertindak secara gegabah, juga tak mungkin
ingin membunuh pemuda itu lantaran mengincar pedang mestikanya.
Musuh Hoa Ceng-cwan di dunia persilatan memang banyak, tapi An-lok
Kongcu yakin tak nant1 Pencuri Sakti ini mempunyai ikatan dendam atau sakit
hati dengan pemuda she Tian ini. Tapi mengapa ia memaksa pemuda itu untuk
bicara? Apa sebabnya dan apa alasannya?
Makin dipikir An-lok Kongcu jadi semakin bingung, akhirnya ia berdehem dan
berkata: "Hoa-losu, kalau kau anggap psrsoalan ini amat penting bagimu, maka
aku tak akan ikut campur lagi, tapi
" ia berhenti sebentar dan tarik napas
panjang2, kemudian melanjutkan: "Menurut pendapatku, lebih baik terangkan
persoalan ini secara blak2an, mumpung di sinipun hadir sahabat2 dari luar
kalangan kita, sebab kalau tidak, jika berita ini sampai tersiar, bukan saja nama
baik Hoa-losu akan tercemar, akupun jadi ikut2an dicemoohkan orang lain, Hoa-
losu, harap bicaralah terus terang, kalau kau anggap persolan ini tiada sesuatu
yang perlu dirahasiakan maka uraikan saja dengan blak-blakan."
Walaupun dimulut ia berkata begitu, dalam hati ia berpikir: "Hoa-losu ini
benar2 aneh sekali, apa sih manfaatnya memaksa orang untuk memberitahukan
asal-usul pedangnya dan apa pula gunanya mengetahui nama serta asal usul
orang lain? Ah, pasti-ada suatu rahasia dibalik persoalan ini!"
Sementara itu Tian Pek lantas berteriak pula: "Ya, benar, Hoa-tayhiap,
berdasar apa kau ajukan pertanyaan itu? Pedang mestika itu milikku. mengapa
kau merampasnya dariku? Hayo katakan, apa alasannya kau berbuat demikian?"
Tui-hong-bu-ing Hoa Cing-cwan mendengus dengan pandangan tajam ia
menatap pemuda itu dengan tak berkedip, hawa napsu membunuh menyelimuti
mukanya yang kurus, tiba2 ia menegur: "Benarkah kau tak tahu maksud
pertanyaanku ini? Jadi kau benar2 tak tahu apa alasannya? Sahabat, lebih baik
tak usah berlagak pilon dihadapanku, hehehe, kalau kau ingin menipuku,
perhitunganmu pasti salah besar!"
Tian Pek tertegun, untuk sesaat ia tak tahu apa yang harus dikatakannya.
An-lok Kongcu nenyapu pandang sekejap ke arah pemuda itu, mendadak ia
berkata pula: "Hoa-losu, walaupun antara aku dengan pendekar muda ini baru
berjumpa untuk pertama kalinya, tapi aku yakin dia bukan sebangsa munusia
licik yang suka ber-pura2, lebih baik Hoa-losu terangkan saja apa alasanmu, bila
alasan tersebut cukup baik dan jujur, aku percaya pendekar muda ini tak akan
membungkam terus!" — Bicara sampai di sini, ia mengerling sekejap ke arah
Tian Pek.
Dengan sorot mata penuh rasa terima kasih pemuda she Tian itu balas
pandangan orang, sinar matanya yang tajam memancarkan semangat seorang
ksatria, hal ini semakin meyakinkan An-lok Kongcu bahwasanya apa yang dilihat
memang tidak keliru-
Diam2 ia ambil keputusan bila Hoa Cing-cwan tak mampu mengucapkan
alasannya, maka ia lebih baik menyalahi jago tua tersebut daripada membiarkan
pemuda itu didesak terus menerus.
Tui-hong-bu-ing Hoa Cing-cwan menghela napas panjang, ujarnya: "Ai, setelah
Kongcu berkata begitu, terpaksa aku harus terangkan persoalan ini
sejelasnya, hanya saja.."
Sinar matanya beralih ke wajah Siang Cong-thian katanya pula: "Siang-heng,
kurasa kau sudah tahu bukan mengapa aku berbuat demikian? Lebih baik Siang-
heng saja yang tuturkan masalah ini. meskipun sahabatku itu sudah lama
meninggal, tapi setiap kali teringat masa lampau, hatiku menjadi pedih!"
Mendadak matanya terbelalak, dengan emosi ia berseru: "Bila kejadian ini
sudah kuterangkan dan ternyata masih ada orang menganggap perbuatanku tak
bertanggung-jawab, detik itu juga aku akan gorok leherku dan bunuh diri, tak
perlu orang lain turun tangan kepadaku."
Mendengar kata2 tegas demikian, Tian Pek mengerut kening, ia seperti
hendak mengucapkan sesuatu, tapi rasanya sukar keluar dari bibirnya.
Siang Cong-thian menghela napas panjang, sambil membelai jenggotnya yang
putih, katanya: "Kongcu, pernahkah kau dengar tentang peristiwa besar yang
terjadi pada dua-tiga puluhan tahun yang lalu? Peristiwa itu menyangkut nasib
seorang pendekar besar yang disegani dan dihormati oleh setiap insan
persilatan?"
Ia berhenti sebentar, ketika dilihatnya An-lok Kongcu mulai tertarik oleh
penuturannya, segera ia melanjutkao: "Dua-tiga puluh tahun berselang, di dunia
persilatan terdapat seorang pendekar besar yang disegani dan dihormati setiap
orang, selama hidupnya selalu berbuat jujur dan suka menolong sesamanya,
kawan persilatan dari mana pun banyak yang mendapat bantuannya, ratusan
tahun belakangan ini dalam dunia persilatan belum pernah terdapat manusia
berbudi seperti dia."
"Siang-losu, apakah kau maksudkan Pek lek-kiam si pedang geledek Tian In-
thian, Tian-tay-hiap?" tukas An-lok Kongcu.
Ketika mendengar nama tersebut air muka Tian Pek yang pada dasarnya
sudah putih kini kian pucat, tiba2 ia putar badan dan kabur keluar hutan. Siapa
tahu, baru saja ia bergerak, mendadak Hoa Cing-cwan membentak keras:
"Sahabat, mau lari ke mana? Berhenti kau!"
Entah dengan gerakan apa, tahu2 ia sudah melayang jauh ke sana, Tian Pek
merasakan pandangannya menjadi kabur dan Hoa Cing-cwan dengan muka
beringas telah mengadang di depannya.
Tian Pek terkesiap, ia putar badan dan hendak kabur lagi lewat samping orang.
Tapi betapapun cepatnya ia lari, apakah ia mampu menandingi ilmu
meringankan tubuh Hoa Cing-cwan yang tersohor? Bayangan orang berkelebat,
tahu2 jalannya teradang pula, dengnn tangan kirinya Pencuri Sakti itu terus
tutuk jalan darah Ing-coan-hiat di bawah tetek orang sambil membentak: "Anak
monyet, mau kabur? Huh, jangan mimpi di siang bolong."
Merasakan desiran tajam mengancam dada, Tian Pek geser kakinya sambil
meliuk pinggang, tangan kinnya memotong pergelangan tangan lawan,
sementara tubuhnya berputar, gerakan ini dilakukan dengan tak kalah cepatnya.
Walaupun Tian Pek berbakat sangat bagus untuk belajar silat, diapun rajin
beilatih secara tekun, tapi sayang tiada mendapatkan bimbingan guru pandai,
ilmu silatnya jika dibandingkan oraug lain boleh dibilang masih selisih jauh.
Baru saja serangan tersebut dilancarkao, mendadak sikutnya terasa kaku dan
sekujur tubuh tak dapat bergerak lagi, maka sadarlah pemuda itu bahwa jalan
darahnya tertutuk. Diam2 ia menghela napas, ia benci pada setiap manusia di
dunia ini, mengapa orang memaksa dia untuk mengaku asal-usulnya dikala ia
sendiri tak ingin mengungkapnya kembali?
Setelah mentutuk jalan darah di sikut Tian Pek, tangan Hoa Cing-cwan terus
rnencrobos ke bawah ketiaknya, dengan bentakan keras, dia lempar tubuh
pemuda itu ke arah Siang Cong-thian.
Mo-in-sin-jiu sambut datangnya tubuh dengan kedua tangannya, begitu
enteng ia sambut tubuh orang seakan-akan menerima benda yang enteng sekali,
lalu ia melemparkan tubuh pemuda itu ke tanah.
Hoa Cing-cwan sendiri sementara itu sudah melayang kembali ke tempat
semula, ditatapnya sekejap An lok Kongcu dengan dingin, sedang mulutuya
tetap membungkam.
An lok Kongcu berkerut kening, ia merasa bingung atas kejadian itu, apa yang
terjadi ini sama sekali di luar dugaannya, maka ia hanya melenggong belaka.
Ia tak mengira si anak muda itu akan kabur ter-birit2 demi mendengar nama
Pek-lek-kiam, ia tak tahu apa sebabnya, pikirnya di dalam hati: "Mungkinkah
pemuda yang masih muda belia ini mempunyai hubungan yang erat dengan
kematian Pek-lek-kiam Tian-tayhiap pada dua-tiga puluh tahun yang lalu itu?"
Ketika ia pandang pedang mestika yang masih herada di genggaman Hoa Cing
cwan, tiba2 terpikir pula olehnya: "Ah, jangan2 pedang mestiku ini adalah 'Pek-
hiat-kiam' milik Tian-tayhiap dahulu? '
Dalsm pada itu Tui-hong-bu-ing Hoa Cing-cwan sedang berkata dengan
dingin: "In kongcu, kukira sekarang engkaupun tahu sebabnya kupaksa dia
mengakui asal usul pedang ini? Dengan pedang hijau ini entah sudah berapa
banyak perbuatan mulia yang telah dilakukan Tian-tayhiap? Tapi rupanya Thian
kurang adil. Ia membiarkan Tian-tayhiap binasa dalam keadaan yang serba
misterius, siapapun tak tahu sebab2 kematiannya, In-kongcu
"
Suaranya lambat laun berubah keras dan nyaring, sambungnya pula:
"Maafkanlah kalau kataku agak kasar, engkau masih muda dan tak sempat
menyaksikan kematan Tian-tayhiap yang mengerikan di danau Tong-ting-ouw,
tapi aku telah menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Sudah terlalu banyak
budi kebaikan yang kuterima dari Tian-tayhiap, akan tetapi sewaktu kulihat
mayat Tian-tayhiap yang menggeletak di tepi Tong-ting-ouw dalam keadaan
mengenaskan itu, aku .... aku ternyata tak tahu siapakah pembunuhnya!"
Ia menghela napas sedih, sekuat tenaga ia ber-usaha menekan pergolakan
perasaannya, sesaat kemudian ia berkata kembali "Dua puluh tahun setelah
kejadian aku selalu berusaha mencari dan menyelidiki siapakah pembunuh Tian-
tayhiap, tapi semua usahaku ternyata gagal total, aku tetap tak berhasil
mengetahui siapakah pembunuh sadis itu-Tapi sekarang, rupanya Thian
melindungi aku, akhirnya aku berhasil menemukan titik terang dalam peristiwa
ini."
An-lok Kongcu yang mengikuti penuturan tersebut dengan seksama, pelahan
tundukkan kepala sambil menghela napas sedih, baru sekarang ia paham duduk
perkara yang sebenarnya.
Hoa Cing cwan yang kurus kecil itu menghela napas panjang, ia menengadah
sejenak, lalu berkata lagi dengan sedih: "In kongcu, apakah kau dapat
membayangkan bagaimana perasaanku tatkala ku-ketahui bahwa pedang yang
digunakan pemuda ini bukan lain adalah pedang milik Tian-tayhiap almarhum?
In-kongcu, apabila aku gagal untuk mengetahui asal-mula pedang ini dan
siapakah yang memperolehnya untuk pertama kali, bagaimanakah
pertanggungan-jawabku terhadap tuan penolongku di alam baka? Terhitung
seorang manusiakah bila kubiarkan dendam kesumat Tian-tayhiap ini tenggelam
begitu saja?"
An lok Kongcu jadi bungkam, ia tak tahu bagaimana harus menjawab
pertanyaan tersebut.
Berapi-api sinar mata Hoa Cing cwan, tiba2 ia berjongkok dan tepuk bahu
Tian Pek hingga tutukannya tadi bebas, setelah itu sambil menempelkan ujung
pedang di tenggorokan pemuda itu ia menghardik: "Sahabat, semua
pembicaraanku tentu dapat kau ikuti dengan jelas bukan? Kutahu engkau masih
muda dan tak mungkin tersangkut dalam pembunuhan berdarah atas diri Tian-
tayhiap, aku hanya ingin tahu darimana kau peroleh pedang ini? Kuharap kau
menjawab semua pertanyaanku dengan sejujurnya kalau berani bohong.....
Hmm!"
Sedikit menggetar, ujung pedang menggores lewat tiga senti di depan
tenggorokan pemuda itu, lalu sambungnya:' "Akan kugorok lehermu sehingga
darahmu bercucuran di ujung pedang ini!"
An-lok Kongcu menghela napas, ia lihat anak muda itu tetap bungkam dengan
sinar mata berkilat, sedikitpun tidak unjuk rasa takut atau ngeri, diam2 ia
memuji: "Bagaimanapun juga pemuda ini tak malu disebut sebagai seorang
lelaki sejati!"
Pada saat itulah tiba2 pemuda itu bergesar ke belakang dan bangkit berdiri.
"Kau cari mampus?" bentak Hoa Cing-cwan dengan gusar, cahaya pedang
hijau segera berkelebat.
Tapi pemuda Tian Pek tidak melakukan gerakan apa2, sebaliknya ia terus
berlutut dan menyembah tiga kali terhadap kakek Hoa dengan sikap yang sangat
menghormat.
An-lok Kongcu menghela napas panjang, diam2 ia menggeleng kepala dan
berlalu dari situ.
Senyura sinis tersungging pula di ujung bibir Mo-in-sin-jiu Siang Cong-thian,
andaikata pemuda itu tetap berkeras kepala sampai akhir, kemungkinan besar
mereka akan memberikan bantuannya, tapi tindakan pemuda itu sekarang
sungguh tindakan yang pengecut dan memalukan, tak heran kalau sikap kedua
orang itu seketika berubah jadi sinis, bahkan memandang hina pemuda itu.
Tui-hong-bu-ing Hoa Cing-cwan sendiripun tertegun, ia tarik kembali
pedangnya.
Perlahan pemuda itu merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kantongan
kecil, dari dalam kantongan ini dikeluarkannya sebuah bungkusan kecil yang
terbuat dari kain sutera karena sudah terlalu lama, warna kain tersebut sudah
luntur dan lusuh sekali. Dengai sikap yang serius dan hati2 ia angsurkan
bungkusan kain sutera itu kehadapan Hoa Cing-cwan, sedang mulutnya tetap
membungkam dalam seribu bahasa.
An-lok Kongcu telah berada di luar hutra, ia sedang berpaling sambil berseru.
"Siang- losu mari kita pcrgi,. .. ."
Belum habis ia berkata, tiba2 dilihatnya Hoa Cing-cwan sedang menjura kepada
pemuda Tian Pek dengan sikap yang kikuk dan sama sekali berbeda daripada
sikapnya tadi, sinar matanya penuh pancaran rasa kaget dan heran, ia sambut
kantong kain sutra itu dengan tangan yang gemetar.
Tian Pek tampak agak tertegun, tapi segera ia berkata dengan hormat:
"Locianpwe, bagaimana kalau kau kembalikan pedang itu kepadaku?"
Sementara itu An-lok Kongcu telah membatalkan niatnya untuk pergi, dengan
sorot mata heran2 kaget ia mengawasi kedua orang itu. demikian pula dengan
Siang Cong thian, ia pandang rekannya dengan keheranan.
Mengejar angin tanpa bayangan alias si Maling Sakti Hoa Cing-cwan sedang
memegang bungkusan kain tadi dsngan ter-mangu2, lama sekali tak berbicara,
akhirnya orang tua itu menghela napas panjang, secepat kilat ujung pedang
hijau berputar dan diarahkan ke tenggorokan sendiri, cahaya hijau berkelebat,
darah segarpun muncrat.
Tanpa bicara apapun tokoh kosen yang amat disegani dalam dunia persilatan
itu telah membunuh diri dan mati dalam keadaan mengenaskan, tangannya
yang kurus itu masih menggenggam kain sutera itu, pedang mestika yang
berwarna hijau bening tergeletak di atas dadanya, menyinari raut wajahnya
yang mengerikan.
Peristiwa ini berlangsung dengan cepat dan sama sekali di luar dugaan,
seketika semua orang termangu mangu, siapapun tak menduga Hoa Cing-cwan
bisa bunuh diri, sebab bukan saja ia tak mengucapkan sesuatu sebelum
perbuatan nekat itu, bahkan tanda2 ke situpun tak ada.
Mo in-sin-jiu adalah seorang jagoan yang ber-hati dingin, tak urung paras
mukanya berubah juga menyaksikan kejadian teisebut, segera ia angkat jenazah
rekannya, dilihatnya bekas luka di atas tenggorokan kakek itu sangat dalam,
kepalanya terkulai, kulit nukanya berkerut seperti menahan rasa sakit yang luar
biasa, mimik wajah itu entah disebabkan penderitaan sebelum ajal ataukah
karena pergolakan emosi.
Angin dingin berhembus membuat badan Siang Cong-thian bergidik, ia
berpaling, dilihatnya Tian Pek sedang berdiri kesima dengan muka pucat hijau,
saking kagetnya pemuda itu sampai tak mampu berkata2.
Persahabatan Siang Cong-thian dengan Hoa Cing-cwan telah berlangsung
puluhan tahun lamanya, memandangi jenasah rekannya yang berada dalam
pangkuannya pelbagai kejadian terbayang dalam benaknya, ia tahu betapa
watak Hoa Cing-cwan, kekerasan hati serta keteguhan iman mereka tak jauh
berbeda, tak mungkin kawannya ini bunuh diri lantaran sesuatu pukulan batin.
Tapi apa sebabnya ia bunuh diri setelah melihat kantong kain sutera vang
sudah lusuh tadi? Ia baringkan kembali mayat Hoa Cing-cwan, di-pentangnya
tangan yang menggeggam kain sutera yang telah merenggut nyawa seorang
tokoh dunia persilatan itu, kain itu diambilnya dan diperiksa dengan seksama.
----------------------------
Siapakah dan bagaimana asal-usul pemuda Tian Pek dengan pedang hijaunya?
Rahasia apa yang terkandung di dalam robekan kain sutera yang
mengakibatkan si Maling Sakti Hoa Cing cwan membunuh diri begitu melihat
kain itu ?
— Bacalah jilid ke - 2 —
------------------------------
HIKMAH PEDANG HIJAU
(Swordman Journey)
Karya : Gu Long
Penerbit : PANCA SATTA
Kotak Pos 1SS Semarang
Diceritakan Oleh : GAN KL
Jilid 2 : Leng-hong kongcu, si tanpa perasaan
Kain itu tidak lebih hanya secank kain biasa, meski pun dahulu warnanya
indah tapi sekarang sudah lusuh dan berubah jadi kuning, tiada sesuatu
keistimewaan. malahan jahitan sekeliling kain sudah terlepas mirip ditarik
dengan paksa.
Lalu apa rahasia yang terkandung di balik secarik kain kecil itu?
Mendadak Mo-in sin-jiu menubruk ke depan bagaikan sambaran elang,
telapak tangan yang kuat langsung mencengkeram dada pemuda itu.
Tian Pek sama sekali tidak bergerak, iapun tidak berusaha menghindar atau
menangkis, sinar matanya memandang ke tempat jauh, se-olah2 tak tahu kalau
dirinya sedang diserang.
Siang Cong-thian membentak, sikutnya bergetar keras, cengkeramannya
memutar ke bawah dan memegang pergelangan tangan si anak tnuda,
sementara kain kumal tadi ditunjukkan kehadapannya.
"Barang apa ini?" hardiknya.
Perlahan Tian Pek menengadah, sorot matanya tampak sayu, ia cuma
menggeleng tanpa menjawab-
Cengkeraman Mo in-sin jiu kian diperkeras dengan sorot mata tajam ia awasi
pemuda itu tanpa berkedip, kembali ia membentak: Sahabat, siapa kau
sebenarnya? Benda apakah kain lusuh ini?"
Rasa sakit yang merasuk tulang sumsum lengan kiri Tian Pek jadi kaku dan
kesemutan, namun ia tetap bertahan, tiada rintihan kesakitan yang keluar dan
mulutnya, kembali ia hanya menggeleng.
Walaupun kain lusuh itu berasal dari sakunya, tapi seperti pula orang lain, ia
sendiripun terkejut oleh peristiwa yang sama sekali di luar dugaan itu, ia kaget
oleh daya pengaruh kain lusuh itu, karena dia smdinpun tak tahu apa sebabnya?
Mo-in sin jiu berkerut dahi, ia puntir lengan lawan keras2 sehingga Tian Pek
mendengus kesakitan. Pemuda itu sadar bila puntiran itu diperkeras niscaya
pergelangan tangannya akan patah.
Dasar bandel dan keras kepala, pemuda itu tak sudi minta ampun apalagi me-
rengek2 minta di-lepaskan, ia sendiripun tak tahu apa yang mesti dikatakannya,
sebab kain lusuh itu memang berasal dari sakunya dan Hoa Cing-cwan bunuh
diri juga lantaran melihat kain lusuh itu.
Diam2 ia menghela napas dan berpikir: "Ai, hakikatnya aku sendiripun tak
tahu bakal terjadi peristiwa semacam ini, kalau kutahu Tui-hong-bu-ing bakal
bunuh diri karena kain lusuh itu, tak nanti kuperlihatkan kain itu kepadanya .. . .
"
Ia menengadah, dilihatnya An lok Kongcu sedang menghampirinya,
ditepuknya tangan kiri Siang Cong-thian yang masih memuntir tangannya itu,
terpaksa jago tua itu kendurkan puntirannya.
Air muka Siang Cong thian agak berubah, ia menegur dengan suara dalam:
"Kongcu, apa yang kau lakukan?"
An lok Kongcu tidak menjawab, ia berpaling dan berkata kepada Tian Pek:
"Saudara, engkau juga she Tian, apakah engkau adalah keturunan Pek-lek kiam
Tian-locianpwe?"
"Aku tak becus dan tak berani memalukan nama ayahku, Tapi, ai, tak nyana
Kongcu dapat menebaknya dengan tepat!" kata Tian Pek tegas. meskipun
pergelangan tangannya masih terasa sakit, namun ia tak mengeluh sedikitpun.
An-lok Kongcu tersenyum, katanya: "Nah, betul kan' Kalau saudara bukan
keturunan Tian-tayhiap, rasanya engkau takkan barlutut di hadapan Hoa-losu
tadi."
Kembali Tian Pek menghela napas: "Sejak mendiang ayahku terbunuh,
meskipun aku tak tahu siapakah pembunuhnya, tapi tak sedetikpun kulupakan
dendam berdarah ini."
Ia mamandang sekejap jenazah Hoa Cing-cwan yang membujur di tanah,
setelah menghela napas. ujarnya pula: "Hoa-locianpwe setia kawan. ia sangat
menghormati mendiang ayahku, siapa tahu dia ... . Ai!"
Helaan napas panjang mengakhiri perkataan itu, ia merasa amat berterima
kasih sekali terhadap An lok Kongcu, karena sejak dilahirkan nasibnya selalu
jelek, jarang ada orang yang menaruh perhatian kepadanya. Tapi sekarang
bukan saja An-lok Kongcu telah melindunginya berulang kali, lebih dari itu iapua
dapat memahami keadaannya walaupun perjumpaan itu baru terjadi untuk per-
tama kalinya.
'Kalau begitu, benda apakah ini?" tanya Mo in-sin jiu pula sambil
menyodorkan kain lusuh tadi.
Tian Pek menghela napas dan menggeleng. jawabnya: "Aku sendiri tak tahu,
akupun tak tahu kenapa Hoa-locianpwe bunuh diri setelah melihat kain itu . . . ."
Tiba2 sesuatu pikiran terlintas dalam benaknya, seketika ia membungkam.
An-lok Kongcu tersenyum: "Aku percaya saudara adalah seorang lelaki sejati
yang tak suka berdusta, kupercaya penuh keteranganmu, cuma. kejadian ini
memang saneat aneh, rasanya tak mungkin bisa dipecahkan dengan begitu saja"
Ia berhenti sebentar, ia jemput pedang mestika yang bersinar ke-hijau2an itu
dan menyerahkannya kembali ke tangan Tian Pek, lalu melanjutkan: "Pedang ini
adalah senjata yang amat tajam, kurasa tidak sedikit orang persilatan yang
mengetahui asal mulanya, selama pedang ini masih kau bawa, sulitlah bagimu
untuk merahasiakan asal-usulmu."
Pikiran Tian Pek amat kalut, ia sambut pedang itu, ucapnya: "Sungguh
beruntung aku dapat berkenalan dengan saudara, andaikata tiada bantuanmu
entah bagaimana jadinya diriku ini? Ai, aku tak becus dan tak punya kepandaian
apa2. entah bagaimana aku harus membalas budi kebaikanmu ini?"
Baru saja tanginnya menyentuh gagang pedang itu, mendadak dari tengah
hutan berkumandang suara gelak tertawa orang, sesosok bayangan dengan
kecepatan luar biasa tahu2 menyambar tiba, menyusul Tian Pek merasakan
sikutnya jadi kesemutan, sekilas terlihat seorang pria yang berperawakan
jangkung hanya dalam sekejap saja sudah lenyap di balik pepohonan sana.
Sungguh cepat gerak tubuh orang itu, ilmu meringankan tubuhnya boleh
dibilang sudah mcncapai puncak kesempurnaan, bukan saja Tian Pek tak sempat
mengikuti jalannya peristiwa, bahkan Mo-in-sin-jiu serta An-lok Kongcu pun
tercengang. Pedang mestika yang semula dipegang oleh An-lok Kongcu kini
sudah lenyap tak berbekas.
An lok Kongcu membentak keras, segera ia mengejar ke arah bayangan tadi,
Mo-in-sin-jiu mendengus, setelah menyapu pandang sekejap sekeliling tampat
itu, iapun menyusul mengejar ke sana.
Tian Pek berdiri ter-mangu2 memandangi kepergian beberapa orang itu,
sesaat kernudian baru sadar dari lamunannya, cepat2 iapun mengejar dari
belakang.
Teriakan2 gelisah berkumandang dari belakang, suara itu tentunya berasal
dari kawanan Piausu lain-nya, namun Tian Pek tak menggubris lagi, ia malah
percepat larinya.
Meski ia berlari kencang dengan penuh tenaga, tapi hanya sebentar saja ia
telah kehilangan jejak Mo-in-sin jiu, ia tak tahu kemanakah ketiga orang tadi.
Hutan itu cukup luas, tapi hanya sebentar saja ia telah menerabas ke balik
hutan sana, rembulan sudah bersinar di angkasa, suasana sunyi senyap, tiada
sesosok bayangan manusiapun kelihatan.
Tian Pek menarik napas panjang, ia lepaskan kancing bajunya agar angin
malam mengembus di dadanya, ia merasa pikirannva kalut, pelbagai kejadian ini
membuatnya bingung.
Yang paling aneh adalah kematian "Tui-hong-bu-ing" Hoa Cing-cwam, kalau dia
adalah sahabat karib mendiang ayahnya, mengapa setelah melihat
kain lusuh itu dia lantas bunuh diri? Kenapa sebelum bunuh diri, mimik
wajahnya diliputi pergolakan emosi?
Ia menghela napas, gumamnya sendiri: "Rahasia apakah yang tersimpan
dalam kain sutera itu?"
Suatu masalah belum beres, masalah lain lantas terjadi. Ia tahu Siang Cong
thian adalah jago kenamaan di dunia persilatan, An lok Kongcu juga tokoh sakti
yang disegani orang, lalu siapakah yang telah merampas pedang mestikanya itu
tepat di hadapan mereka berdua?
Dadanya terasa sesak bagaikan ditindih batu seberat ribuan kati, berbagai
kekesalan yang tertimbun selama ini kini menumpuk menjadi satu dan
membuatnya terkenang pada masa lalu ....
Dahulu, ketika ia masih seorang bocah yang tak tahu urusan, ia dan ibunya
merindukan ayahnya yang sudah lama tak pernah pulang. Malam itu udara amat
cerah, rcmbulan bersinar dengan terangnya di angkasa apa yang mereka
rindukan akhirnya terwujud juga, sebelum hari Tiong-ciu ayah-nya telah pulang.
Tapi ayahnya tidak pulang dengan wajah penuh senyum seperti tahun2
sebelumnya beliau pulang dengan badan penuh luka serta merintih tiada
hentinya.
Walaupun kejadian itu sudah lama berselang, Tian Pek mcrasa se akan2 baru
terjadi kemarin, ia masib ingat jelas sekujur tubuh ayahnya berpe-lepotan darah,
desir angin malam se-akan2 berubah jadi rintihan yang memilukan bati.
Pemuda itu menghela napas panning, ia keluar-kan lagi kantong kecil itu dari
sakunya. tanpa di-buka ia tahu apa isinya karena setiap hari benda itu selalu
digenggam dan dibuat mainan.
Isi kantung itu hanya secomot rambut, seutas benang sutera, sebiji gotri baja,
sebiji kancing tembaga, sebuah mata uang tembaga serta cabikan kain yang
lusuh itu.
Semua benda itu diterimanya waktu ayahnya raendekati ajalnva, waktu itu
beliau masih sempat mcnyebutkan nama enam orang dan berpesan agar
benda2 itu diberikan kepada mereka bila berjumpa dikemudian hari. Akhirnya ia
masih ingat ayahnya berbisik sambil menuding pedang hijau itu dengan tangan
gemetar: "Kau harus baik2..”
Tapi sebelum ucapan itu diselesaikan, ayahnya keburu meninggal. Meski
usianya ketika itu masib kecil, tapi ia tahu ayahnya bukan orang sembarangan, ia
heran mengapa ayahnya mati seperti orang biasa, bahkan mati dengan muka
yang berkerut menahan penderitaan?
"Kau harus menggunakan pedang ini baik2 untuk menuntut balas bagi
kematianku," demikian dengan penuh kesedihan ia merangkai kata2 sang ayah
yang tak sempat diselesaikan.
Sudah sekian tahun ia tak lupa pada perkataan itu, ia merasa sedih dan
menderita karena ucapan itu, sebab ia tak tahu siapakah pembunuh yang telah
membiaasakan ayahnya.
Itulah masa menderita yang tak terhingga, begitu menderitanya sehingga
hampir saja ia putus asa, ia dan ibunya tak pernah terjun ke dunia persilatan
juga tak seorangpun yang tahu kalau Pek-Lek-kiam Tian In-thian masih
mempunyai anak isteri, walaupun karena itu mereka tak sampai dibunuh oleh
pihak lawan, tapi karena itu pula mereka tak pernah memperoleh bantuan.
Maka mereka lantas berkelana kian kemari, mereka berharap bisa
mempelajari ilmu silat yang lihay, tapi kecewalah mereka, sampai ibunya
meninggal karena penderitaan hidup yang hebat, Tian Pek hanya sempat
mempelajari beberapa jurus-ilmu pedang yang sangat umum.
Kendatipun pemuda itu mempunyai bakat yang baik serta kemauan yang
keras, namun semua itu tidak membuat ilmu silatnya lebih tangguh, kalau
dibandingkan dengan ilmu silat tokoh2 persilatan sungguh masih selisih amat
jauh.
Berdiri di tengah hembusan angin malam, Tian Pek merasa malu, sedih dan
kecewa: "Walaupun aku tahu siapakah pembunuh ayahku, lalu apa yang dapat
kulakukan? Jangankan menuntut balas, untuk menjaga pedang warisannya saja
aku tak mampu, Ai, aku benar2 tak becus!"
Suasana tetap hening tak nampak sesosok bayangan manusiapun, yang
terdengar hanya suara cengkerik serta desir angin malam yang berpadu dengan
suara serangga itu dan menciptakan irama yang mengibakan hati.
Ia menghela napas panjang dan melanjutkan perjalanan dengan pelahan, ia
merasa masa depan-nya sesuram alam sekelilingnya sekarang, hampir saja ia
lupa akan segala-galanya. ia merasa kecewa dan putus asa sehingga persoalan
apapun tak dihiraukan lagi olehnya.
Setelah jenasah ibunya dikebumikan. ia berkelana seorang diri di dunia
Kangouw, untuk hidup saja amat sulit bagi pemuda tak berpengalaman seperti
dia, apalagi harus menyelesaikan tugas-tugasnya? Berkat tekadnya yang kuat,
akhirnya ia behasil bekerja pada sebuah perusahaan ekspedisi yang tersohor,
walaupun kejadian yang kebetulan, namun juga melalui perjuangan yang tidak
ringan.
Tapi sekarang, ia melupakan segalanya, lupa kalau ia masih memikul
tanggung-jawab atas pekerjaannya. ia terus berjalan tanpa tujuan.
Ia berharap An-lok Kongcu berhasil merebut kembali pedang pusaka itu
baginya, tapi andaikan pedang itu dapat direbut kembali, kejadian inipun
merupakan suatu pukulan batin bagi Tian Pek. Bagaimaoa tidak? ia adalah
seorang pemuda yang tinggi hati, tentu saja ia kerharap rebut kembali pedang
itu tanpa bantuan orang lain.
Cahaya rembulan menerangi malam yang gelap dan menciptakan bayangan
tubuhnya yang panjang, mendadak ia terperanjat ketika diketahui ada suatu
bayangan lain mengikut dibelakangnya, meskipun tidak kedengaran langkah
orang, tapi selain bayangan sendiri ada pula sesosok bayangan lain, ini
menunjukkan bahwa ada orang sedang menguntit perjalanannya.
Ia sangat terperanjat, sebelum ia putar badan, tiba2 orang yang ada di
belakangnya membentak; "Kurangajar. kau telah bocorkan jejakku, kuhajar kau
sampai mampus!"
Kembali Tian Pek terperanjat, pikirnya: "Kapan sih aku pernah bocorkan
rahasianya? Apa ia tidak saiah kenal orang?"
Dengan cepat ia berpaling, entah sejak kapan seorang kakek gemuk pendek
telah berdiri di hadapannya.
Dilihatnya kakek itu sedang melototi bayangan tubuh sendiri, kembali ia
memaki: "Kau berani membocorkan rahasiaku, kuhajar kau sampai mampus!"
Sebuah pukulan dahsyat segera dilontarkan pada bayangan tubuhnya yang
tercetak di permukaan tanah. Blung, pasir batu beterbangan, betapa dahsyat
pukulan itu terbukti dengan munculnya sebuah lubang besar di atas bayangan
tubuhnya itu sehingga merusak bentuk bayangan itu.
Kakek gemuk itu tidak berhenti sampai di situ, kembali ia lancarkan beberapa
pukulan sehingga angin pukulannya men-deru2, pasir muncrat mengotori tubuh
Tian Pek.
Tian Pek tertegun dan berdiri ter-mangu2 menyaksikan kehebatan orang,
dalam waktu singkat bayangan kakek itu semakin tak berbentuk bayangan
manusia lagi.
Dengan terkejut ia berpaling, dilihatnya kakek itu sedang memandangnya
dengan sinar mata tajam, ia tunjuk liang di tanah sambil ter bahak2, ujarnya:
"Hahaha, makhluk jelek begini harus di-mampuskan. Betul tidak bocah she
Tian?"
"Darimana ia tahu aku she Tian?" pikir Tian Pek dengan heran.
Tapi setelah wajah orang itu diamatiaya dengan seksama, tahulah Tian Pek
kakek itu bukan lain adalah kakek ketiga yang muncul bersama Hoa Cing-cwan
serta Siang Cong-thian tadi, hanya saja ia tidak terlalu memperhatikan orang ini,
maka setelah bertemu lagi jadi pangling.
Tapi apa maksudnya muncul di sini serta mengintil di belakangnya?
Sementara ia termenung, kakek itu telah ulur-kan tangannya yang kecil
gemuk ke arahnya dan berkata: "Bocah she Tian, serahkan benda itu kepadaku."
Ia ter bahak2 lalu melanjutkan: "Aku ingin tahu apa isi kantong itu sehingga
sekali dilihat saja lantas merenggut nyawa si tua she Hoa . . Hahaha, kalau aku
juga punya kantong wasiat seperti itu, wah, betapa bahagianya aku!"
Tanpa terasa Tian Pek mundur selangkah, ia memberi hormat dan berkata:
"Maaf Cianpwe, benda itu adalah barang peninggalan mendiang ayahku, tak
dapat kuserahkan kepada Cianpwe . . . . "
Kakek gemuk itu mendengus, senyum manis yang semula menghiasi
wajahnya lenyap eketika, ia menghardik; "Mau serahkan tidak?" — Kembali
terpancar sorot matanya yang bengis seperti ia melototi bayangan tubuh sendiri
tadi.
Jeri juga Tian Pek teringat pada pukulanya yang dahsyat tadi, ia menghela
napas dan diam2 mengeluh: "O, dasar sial, kenapa hari ini kujumpai kejadian2
yang sukar dimengerti serta manusia2 yang sukar diajak bicara?"
Karena hati kesal. sesaat ia tak mampu mengucapkan sepatah katapun.
Rupanya kakek itu menjadi tak sabar, perlahan ia menghampiri.
Selamanya tak pernah Tian Pek mengelak sesuatu persoalan, tapi lain
sikapnya sekarang, ia merasa apa gunanya berurusan dengan orang begini.
Ia bergeser ke belakang lalu berseru: "Maaf Cianpwe, aku tak dapat
menemani kau lagi, aku masih banyak urusan!" Tanpa menanti jawaban dia
putar badan dan kabur ke tengah hutan.
Mendadak terasa angin mendesir, pandangan Tian Pek jadi kabur, tahu2
kakek gemuk itu sudah mengadang di depsnnya dan menjengek: "Bocah cilik,
kau mau kabur? Hehehe, jangan mimpi! Kau kira kakimu bisa lebih cepat
daripada aku Hui It-tong?"
Sekalipun Tian Pek belum lama terjun ke dunia persilatan. setelah medengar
nama orang, tak urung tubuhnya menggigil juga, diam2 ia mengeluh "Ai, dasar
lagi sial, kenapa aku bisa ketemu manusia ini dalam keadaan seperti begini?"
batinnya.
Kakek yang bernama Hui It-tong ini bukan saja berilmu silat tinggi, tindak
tanduknya sukar diduga, jago kenamaan manapun sedikit-banyak jeri jugi
berbadapan dengan jago tua ini.
Tian Pek mengerling dan berusaha mencari akal, tiba2 ia melihat bayangan
Hui It-tong, segera ia tuding bayangan itu, serunva keras2: "Hui-locianpwe, coba
lihat! Makhluk yang tak tahu diri itu muncul kembali!"
Hui It tong melirik sekejap atas bayangan sendiri, telapak tangannya segera
diayun dan akan melancarkan serangan.
Tian Pek amat girang. asal jago tua itu melepaskan serangan segera ia akan
kabur pada kesempatan itu.
Siapa tahu tiba2 Lak-jiu tong-sim (Tangan keji berhati bocah) menarik kembali
serangannya lalu ter-bahak2: ''Hahaha, biarlah dia datang kalau memang sudah
datang, kau angggap aku ini goblok dan gumpang kau tipu? Hehehe, jangan
mimpi! Hayo serahkan benda itu kepadaku."
Bersamaan dengan selesainya ucapan tersebut, secepat kilat ia menyambar
kantong kecil di tangan Tian Pek.
Anak muda itu menbentak cepat2 ia melompat mundur ke belakang. Tapi Hui
It tong lantas ber-gelak tertawa, sekali meraih, Tian Pek merasakan pergelangan
tangan kirinya kesemutan, tahu2 kantong kecil itu sudah dirampas orang.
Pemuda itu kaget dan alihkan pandang kesana, dilihatnya Hui It tong sudah
berada dua tombak jauhnya dari tempat semula dan sedang berjalan ke dalam
hutan dengan berlenggang.
Betapa malu dan gusar Tian Pek ia menjadi kalap dan tak pedulikan segala
apa pun, segera ia mengejar ke dalam hutan.
Hotan itu cukup lebat, meskipun tampaknya Lak-jiu-tong-sim Hui It-tong
berjalan dengan santai, tapi dalam kenyataan kecepatannya sukar dilukiskan,
ketika Tian Pek mengitari beberapa batang pohon dan menerjang tiba, tahu2
Hui It-tong sudah kabur jauh dari tempat semula.
Waktu itu si kakek sedang ambil keluar secomot rambut dari dalam kantong
terus dibuang ke tanah, lalu makinya: "Wah, rupanya bocah ini agak sinting, tak
kusangka bocah ini seorang goblok! Tadinya aku mengira isi kantong ini adalah
barang-barang bagus, eh, tak tahunya cuma barang rongsongan begini, Huuh,
sialan!"
Sambil mengomel dia ambil keluar mata uang, gotri. biji kancing tembaga dan
serat Sutera itu lalu dicecer di tanah, setelah itu ia loncat ke atas tangan kirinya
menarik setangkai ranting lemas, sementara tangan kanan bergerak ke atas
menggantung kantong kain tersebut di ujung ranting pohon itu.
Tian Pek coba menengadah ke atas, ia lihat ranting itu tiga tombak tmgginya,
walau begitu Hui It-tong yang bergelantungan di atas ranting tersebut sama
sekali tidak sampci terperosot, tubuhnya bagaikan kapas yang enteng
bergelantung, Walaupun ranting itu lemas namun masih cukup kuat untuk
menahan badannya yang gemuk.
Tian Pek naik pitam. ia membentak dan segera meloncat keatas, tapi hanya
mencapai setinggi dua tombak. lalu merosot kembali ke bawah.
Hui It-tong terbahak-bahak geli, ia berjumpalitan dan berdiri di atas ranting
itu sementara sinar matanya yang penuh ejekan dilontarkan pada pemuda itu.
Tian Pek tampak murka, ilmu silat yang dimiliki makhluk tua itu jauh di atasnya,
tapi ia tak peduli, dengan nekat ia menerjang pula ke atas.
Kali ini ia herhasil mencapai ketinggian dua tombak lebih, ranting lemas itu
tak jauh lagi di atas kepalanya, cepat tangannya meraih ke atas, tapi sayang
ujung jarinya hanya sempat menyentuh ujung ranting dan tak mampu melayang
satu inci lebih tinggi ke atas, terpaksa dengan hati men-dongkol ia merosot
kembali ke bawah.
Lak-jiu-tong-sim Hui It-tong ter-bahak2 sambil bertepuk tangan kegirangan
seperti menyaksikan suatu pertunjukan yang lucu. mendadak badannya miring
ke belakang dan seperti terjungkal ke bawah.
Tian Pek mendengus, ia sudah siap asalkan tubuh orang tua itu terjatuh ke
tanah, secepat kilat dia akan sarangkan bogem mentahnya ke tubuh orang.
Tapi Tian Pek jadi kecelik, tampaknya saja Hui It tong terjungkal ke bawah,
tapi sekali berputar, tahu2 tubuhnya menegak lagi ke atas ia main akrobat
seperti kera dan sudah duduk kembali di atas ranting tadi.
Bahkan sambil tertawa ia mengejek: "Hahaha, bocah cilik, kecelik ya? Nah,
asal kau mampu melompat kesini, kantong rombengan ini segera ku-kembalikan
padamu."
Walaupun sepasang kakinya yang bergelantunpan di udara bergoyang ke sana
ke sini, ternyata ranting kecil yang lemas itu hanya tertekan sedikit ke bawah,
dari sini dapatlah dibuktikan bahwa orang itu meskipun suka gila2an, tapi
kenyataannya ilmu silatnya memang amat tinggi.
Tian Pek menghela napas, ia merasa putus asa dan tak punya semangat lagi,
tapi sebelnm ia berlalu dari situ, tiba2 satu pikiran berkelebat dalam benaknya,
diam2 ia memaki dirinya sendiri: "Tian Pek wahai Tian Pek, beginikah perbuatan
seorang lelaki sejati? Baru msngalami sedikit kesulitan sudah putus asa dan
patah semangat, dengan jiwa kerdil seperti ini mana kau mampu melakukan
perbuatan besar? Daripada hidup sebagai pengecut lebih baik kau mampus
saja!"
Darah panas seketika bergolak dalam dadanya ia terus menyerbu ke bawah
pohon, kali ini ia merambat naik lewat dahan pohon, tapi sebelum ia mencapai
sasarannya, terdengarlah manusia aneh itu tertawa terbahak-bahak, suara
tertawa itu kian lama kian bertambah jauh, tatkala Tian Pek menengadah,
ternyata kakek gemuk itu sudah lenyap tak berbekas.
Angin malam berhembus mengguncangkan ranting dan daun, gelak tertawa
yang mengandung nada mengejek serta perasaan bangga itu telah lenyap,
suasana kembali tenggelam dalam kesunyian.
Dengan termangu-mangu Tian Pek memandang sekeliling tempat itu, ia lihat
kantong kecil itu masih berkibar di ujung ranting, diam2 ia memanjat ke atas
untuk mengambilnya.
Apa lacur ranting itu panjangnya lebih lima kaki, sedang panjang tangannya
tak sampai tiga kaki, bagaimanapun kantong itu gagal ditangkapnya. Kantong itu
ber-goyang2 terembus angin, se-akan2 meng-gapai2 padanya.
Tian Pek menggertak gigi, ia tambah nekat, ia terus menubruk ke depan
tanpa perhitungan, ketika kantong itu berhasil disambar olehnya, ia sendiripun
terjatuh kebawah, untung kuda2nya cukup kuat hingga cuma ter-huyung2 dan
tak sampai jatuh terguling.
Untuk sesaat rasa malu, gusar, kecewa dan mendongkol bercampur-aduk, ia
tambah gemas ketika diketahui kantong tersebut kini sudah kosong, yang masih
tertinggal hanya cabikan kain yang lusuh itu.
Walaupun sinar bulan menembus daun pepohonan, namun pikiran pemuda
itu tetap diliputi kegelapan. Ia melanjutkan perjalanan tanpa tujuan, se- akan2
telah lupa darimana ia datang dan ke mana dia akan pergi. yang berkecambuk
dalam benaknya hanyalah rasa kesal serta kecewa yang menyayat hati, diam2 ia
memaki ketidak becusan sendiri. Bukan saja titipan sahabatnya tak dapat
dilaksanakan, pesan mendiang ayahnya pun tak mampu dilakukannya, semua
benda itu pemberian ayahnya sebelum meninggal sekarang telah lenyap, betapa
malu pemuda itu terhadap arwah ayahnya di alam baka.
Ia mulai melakukan pencarian di sekitar tempat itu, ia berharap dapat
menemukan kembali benda2 yang dicecerkan manusia aneh yang gila itu, tapi
mungkinkah usahanya itu berhasil? Dalam ke-adaan remang2, bayangan
manusia saja tak terlihat jelas, apalagi mencari benda sekecil itu?
Sekian lama sudah lewat tanpa terasa, akhir-nya ia berhenti mencari dan
berusaha menekan perasaannya yang kalut, kemudian ia lihat dirinya telah
berada kembili di tempat semula di mana ia bertemu dengan Yan-in-ngo-pah-
thian serta An-lok Kongcu tadi, suasana tetap amat sunyi, tak kelihatan sesosok
bayangan mauusiapun, bahkan jenazah Hoa Cing-cwan entah oleh siapa dan
sejak kapan juga sudah diangkut pergi.
Tian Pek menghela napas panjang, siapa yang menduga di tempat sunyi ini
belum lama berselang telah banyak terjadi peristiwa yang akan mempengaruhi
pula hidupnya di masa mendatang, banyak masalah yang tak dipahaminya di
waktu lampau sekarang telah dipahaminya, sebaliknya banyak masalah yang
telah dipahami dimasa lalu sekarang malah membuatnya bingung.
Ia menengadah, memandang rembulan yang bersinar di angkasa, pikirnyar
"Entah sekarang sudah jam berapa? Baiklah aku benstirahat sebentar di sini. bila
fajar menyingsing aku harus mencari kembali barang2 peninggalan ayah, Ai, toh
aku sudah tiada tempat tujuan, lebih lama berada disini juga bukan soal lagi."
Dengan limbung ia menemukan sepotong batu dan berduduk bersandar di
dahan pohon, pikiran-nya kian bertambah kusut dan tanpa terasa akhirnya ia
tertidur.
Fajar telab menyingsing, tapi Tian Pek masih pulas dalam impiannya, ia
merasa ibunda sedang membelai rambutnya dan menina bobokannya.
Lapat2 ia merasa bahunya di tepuk2 orang ketika ia membuka matanya,
suara teguran yang lembut segera berkumandang di sisi telinganya: "Angin
dingin berembus kencang, kenapa kau tidur di sini? Tidak takut masuk angin?"
Tian Pek membuka matanya, ia lihat seorang nyonya cantik setengah baya
berdiri di hadapannya dan sedang memandangnya dengan sinar mata yang
penuh kasih sayang.
Tian Pek gelagapan, ia tak tahu apa yang mesti dilakukan.
Perempuan cantik itu tersenyum ramah, katanya "Anak muda jika selagi
muda tidak sayang pada kesehatan sendiri, setelah tua nanti kau baru
menyesal!"
Tian Pek terkesiap, cepat ia merangkak bangun, ia jadi terharu mendengar
kelembutan suara serta perhatian perempuun itu terhadapnya, ingin sekali dia
ucapkan bebarapa patah kata, tapi tak tahu apa yang harus dikatakannya, ia
hanya bisa berdiri ter-mangu2 saja.
Nyonya cantik itu tersenyum, setelah menghela napas panjang, lalu berkata
pula: "Seorang pemuda harus mempunyai cita2 tinggi dan perlu banyak ke luar
rumah, tapi. ai, apakah di dunia ini masih ada tempat lain yang lebih hangat
daripada di rumah sendiri? Coba lihat mukamu yang lesu dan kusut, tampaknya
engkau sudah terlalu lama berkeliaran di luar. Anak muda, jangan kau anggap
aku terlalu cerewet, lebih baik, lebih baik pulanglah kau!"
Habis bicara dia putar badan terus berlalu dan situ.
Memandangi bayangan punggungnya yang makin menjauh, Tian Pek merasa
darah panas dalam dadanya bergolak keras, ia tak dapat menguasai diri lagi,
tiba2 ia berseru sambil menghela napas;
"Aku
aku tak punya rumah!"
Dua titik air mata tanpa terasa meleleh membasahi pipinya.
Perempuan cantik itu sudah berlalu jauh, tapi ketika mendengar perkataan
itu, mendadak berhenti dan berjalan balik.
Tian Pek menyeka air mata yang membasahi pipinya, katanya sambil
menghela napas: "Selama hidup, belum pernah kujumpai orang baik seperti
nyonya, aku
..aku jadi tak tahan
"
Sorot matanya beralih ke arah kejauhan, ia lihat di ujung hutan sana sebuah
kereta yang indah mentereng diparkir di sana, empat orang kekar bersenjata
lengkap duduk di atas kuda mengiring di samping kereta, dengan alis terkernyit
dan sikap tak senang mereka sedang berpaling ke sini.
Tergerak hati pemuda itn, buru2 ia berseru: "Nyonya, bila ada urusan silakan
berangkat, selanjutnya aku pasti akan menyayangi jiwaku."
Di mulut ia berkata begitu, dalam hati ia berpikir lain: "Huuh! Apa sih
harganya selembar jiwa? Kenapa mesti disayang? Coba kalau tidak mengingat
dendam kematian ayah, mati sekarangpun tak perlu kusesalkan Sayang aku
belum tahu siapa musuh besar ayahku, lagi barang peninggalan ayah telah
kucecerkan."
"Anak muda," nyonya cantik itu bertanya dengan lembut, "kulihat kau masih
muda, tapi mengapa ucapanmu begitu rawan se-olah2 ada kesulitan yang tak
dapat kaupecahkan? Ai, kebanyakan orang muda memang suka murung. Coba
kalau sudah tua seperti aku, meski menanggung kesusahan juga sungkan untuk
diucapkan. Anak muda, mengapa kau tidak tersenyum saja? Masa depanmu
masih cemerlang, bersemangatlah untuk menyambut kedatangan masa
depanmu dan menikmati dengan baik."
Ucapan perempuan itu sangat lembut, Tian Pek ingin selalu mendengarkan
perkataannya itu. Ia menengadah, dilihatnya kemurungan yang melekat di
wajah perempuan itu se-akan2 jauh lebih mendalam daripadanya. ia jadi heran.
"Pakaian yang dikenakan perempuan ini sangat indah, wajahnya agung, kalau
bukan isteri orang berpangkat tentu isteri saudagar besar, masa orang kaya
seperti diapun terdapat banyak kesulitan? Sungguh aneh!" demikian pikir Tian
Pek.
Setelah termenung sebentar, ia berpikir lebih jauh: "Aku tidak kenal dengan
dia, tapi sikapnya terhadap diriku begini baik dan simpatik, jelas dia adalah
seorang baik hati dan berbudi, jika ia sendiri sedang mengalami kesulitan.
kenapa aku tidak membantu untuk memecahkan kesulitannya?"
Anak muda ini hanya tahu bila ada orang baik kepadanya, maka sepuluh kali
lipat ia akan lebih baik kepada orang itu, untuk sementara kesulitan yang
mencekam benaknya dikesampingkannva, ia tak mau tahu apakah kesulitan
orang bisa di atasi atau tidak, sambil busungkan dada ia berkata pula: "Nyonya,
kulihat kau sendiripun menanggung sesuatu masalah yang merisaukan hatimu,
bagaimana kalau kau katakan padaku? Meskipun aku tak becus. tapi aku masih
mempunyai sedikit kekuatan, asal urusan itu dapat kukerjakan, pasti kubantu
nyonya dengan sepenuh tenaga."
Perempuan cantik setengah baya itu tertawa, katanya: "Aku tidak kenal
dengan kau, sebab apa kau ingin mmbantuku?"
Tian Pek tertegun, ia jadi gelagapan: "Nyonya, aku tak dapat menjawab
pertanyaanmu, sejak aku berkelana tak pernah ada orang yang memperhatikan
diriku, tapi sekarang nyonya sangat menaruh perhatian kepadaku, bila aku dapat
menyumbangkan tenaga untuk nyonya, o, betapa gembiranya aku!"
Nyonya cantik berusia setengah baya itu merasa terharu oleh perkataan Tian
Pek itu, ia menghela napas, katanya: "Ai, anak bodoh, kebetulan saja aku lewat
di sini dan melihat kau berbaring di udara terbuka, kukuatir kau kedinginan,
maka kubangunkan kau, apakah perbuatanku ini kau anggap luar biasa? Bila aku
ada kesulitan dan minta kau melakukannya bagiku, bukankah kau yang terlalu
bodoh?"
Tian Pek menghela napas. "Aku tak pintar bicara, apa yang kupikirkan
seringkali tak dapat kukatakan keluar!"
"Kalau tak dapat diucapkan lebih baik jangan kau katakan," sela nyonya cantik
itu sambil goyangkan tangannya. "Pokoknya aku tahu bahwa kau adalah seorang
anak baik. maksud baikmu akan selalu kuingat di dalam hati. Ai! Apabila hati
anak Jing bisa sebaik hatimu, sungguh aku akan bersyukur. Kenapa Thian selalu
membiarkan orang yang baik hati hidup menderita?"
Dengan sinar mata yang lembut dia awasi Tian Pek beberapa saat, kemudian
ia berkata lagi: "Jangan lupa pada perkataanku, buanglah jauh2 segala
kerisauan, di dunia masih banyak orang yang tak punya rumah, sebagai orang
muda janganlah cepat putus asa. ketahuilah segala keindahan yang ada dalam
hidupmu harus diciptakan dan dibangun dengan kekuatan sendiri, bila kau tak
ber-cita2 dan segan berjuang, maka sepanjang masa hidupmu akan selalu
sengsara."
Sambil tersenyum pelahan ia putar badan dan berlalu.
Memandangi bayangan punggung orang yang kian menjauh, Tian Pek merasa
se-akan2 baru saja ditinggalkan seorang yang dikasihinya, dia ingin memburu ke
sana dan bertanya mengapa ia sendiri tidak membuang jauh2 segala
keresahannya?
Tapi nyonya cantik itu telah masuk ke dalam keretanya, empat orang pria kekar
yang mengiring di sisi kereta berpaling dan melotot sekejap ke-arahnya penuh
kebencian, diiringi suara cambuk berangkatlah kereta itu meninggalkan hutan.
Dengan ter-mangu2 Tian Pek berdiri di bawah pohon, ucapan nyonya cantik
itu se-akan2 masih mendengung di sisi telinganya: " . . . . masa depanmu yang
cemerlang sedang menanti .... segala keindahan yang ada di dalam kebidupan
harus dicipta dan dibangun dengan perjuangan sendiri. . . . " ia meresapi makna
dari ucapan tersebut, tanpa terasa ia jadi melamun.
)****(
Derap kaki kuda yang ramai menyadarkan kembili pemuda itu dari
lamunannya, ia menengadah, terlihatlah tiga ekor kuda dengan kecepatan tinggi
sedang lari masuk ke hutan dan menghampirinya, ia kenal ketiga orang ini bukan
lain adalah laki2 kekar yang mengiringi nyonya setengah baya tadi.
Tian Pek merasa terkejut bercampur keheranan, ia tak tahu apa sebabnya
ketiga orang ini muncul kambali setelah berlalu.
Dengan gerak tubuh yang enteng ketiga orang itu melompat turun dari
kudanya, dengan langkah yang tegap sambil menyeringai mereka mendekati
Tian Pek.
Pelipis mereka tampak menonjol tinggi, badannya kekar dan menyandang
senjata dipunggung, sekilas pandang dapat diketahui ilmu silat mereka pasti
tidak lemah.
Sementara itu dengan air muka penuh rasa gusar mereka menghampiri Tian
Pek, tapi mulut membungkam tanpa bicara apa2.
Tian Pek keheranan: "Aneh, aku tak kenal mereka, mengapa tampaknya
mereka marah padaku? Aneh benar kejadian ini? Ai, mengapa aku selalu harus
bertemu dengan pelbagai kejadian yang memusingkan?"
Belum lenyap pikiran itu berkelebat dalam benaknya, ketiga orang kekar itu
membentak keras, dari tiga jurusan mereka terus menerjang.
Tian Pek terkejut, cepat mundur dua langkah, tubuhnya telah menempel di
dahan pohon, dengan sepenuh tenaga ia lancarkan dua pukulan dengan jurus
Pak ong-toat-ka ( raja bengis lepas jubah perang ) dan Ji hong-si-pit (seperti
tertutup seperti terkunci), untuk menangkis sekaligus balas menyerang.
Tiga orang itu tertawa dingin, bentaknya: "Bocah keparat, serahkan jiwa
anjingmu? Huh, mau adu jiwa dengan tuanmu hanya dengan ilmu silat cakar
ayam seperti ini? Jangan mimpi di siang bolong" Serentak mereka melancarkan
kembali tiga serangan berantai.
Pada dasarnya ilmu silat yang dimiliki Tian Pek tidak tinggi, apalagi pedangnya
telah hilang dan badannya penat tentu saja ia bukan tandingan ketiga orang itu
yang menyerang dengan sengit, setelah mematahkan beberapa jurus serangan
dengan susah payah. Tian Pek berpikir: "Aku toh tiada dendam atau sakit hati
apa2 dengan kalian, kenapa tanpa bicara kalian hendak merenggut nyawaku?"
Dasar pemuda yang keras kepala, sudah tentu pertanyaan semacam itu tak
sudi diutarakan, jika ia bertanya berarti akan menunjukkan kelemahan din
sendiri, matipun dia tidak sudi.
Di pihak lain, ketiga orang itu ber-ulang2 tertawa dingin, serangan yang
mereka lancarkan kian lama kian bertambah keji, arah yang mereka tuju pun
bagian2 berbahaya di tubuh munusia.
Suatu ketika Tian Pek kurang cermat. dadanya kena dihantam, "Duuk",
hampir saja tulang iganya patah. Namun pemuda itu tidak mengeluh atau
merintih kesakitan, dengan jurus Lek-pih hoa-san (Membelah bukit Hoa-san)
serta Hek hou-tau-sim (harimau hitam mencuri hati) tiba2 ia lepaskan dua
pukulan berantai diikuti gerakan Cin poh liau-in (maju ke depan membelah
mega), kakinya menendang pinggang orang yang ada di sebelah kanan.
Pukulun dan tendangan itu dilancarkan dengan seluruh kekuatan yang
dimilikinya, tiga orang kekar itu terdesak mundur selangkah, terutama sekali
orang yang ada disebelah kanan, nyaris perutnya termakan tendangan kilat tadi.
Dengan gusar segera ia cabut sebilah golok besar yang terselip
dipunggungnya, teriaknya sambil membacok: "Sasaran keras, gunakan senjata
dan bereskan dia!"
Berkelebat sinar golok diiringi desiran angin tajam langsung membacok tubuh
Tian Pek, sementara dua orang rekannya juga lolos senjata sambil menubruk
maju dengan ganas.
"Hei, keparat sialan!" seru mereka sambil ter-bahak2, "kau tahu, sebab apa
tuan2 akan menjagal dirimu? Hehehe, rupanya hidupmu yang lalu terlalu banyak
berbuat dosa, maka dalam penitisan ini kau harus mati sebagai setan
penasaran!"
Tian Pek terkejut bercampur gusur, ia berusaha berkelit ke kiri dan
menghindar ke kanan, dengan susah payah akhirnya ketiga serangan lawan
berhasil dihindari.
Siapa tahu baru saja ia menarik napas lega, cahaya golok kembali
menyambar. dalam keadaan begini tak mungkin lagi baginya untuk menghindar,
tanpa ampun kakinya termakan bacokan dengan telak.
Diam2 Tian Pek mengeluh, ia tahu gelagat jelek, walaupun mati-hidup tak
terpikir lagi, tapi teringat akan dendam kesumat ayahnya, pemuda itu merasa
mati tak tenteram bila tugas itu belum berhasil diselesaikan.
Semangatnya kembali berkobar, dengan sepenuh tenaga ia layani serangan
lawan, rasa sakit di kakinya tak dihiraukan lagi.
Mendadak, "ciass", lengan kirinya kembali tersambar golok musuh hingga
muncul sebuah luka panjang.
Dalam keadaan demikian. meskipun semangat tempurnya ber-kobar2 tapi
rasa sakit di tubuhnya membuat pemuda itu tak sanggup mempertahankan diri,
ia jadi nekat. sambil membentak ia menubruk ke depan dan memeluk pria
sebelah kanan erat2, ia hendak adu jiwa dengan musuhnya itu.
Keadaan amat kritis tampaknya jiwa pemuda itu bakal melayang di ujung
senjata lawan ....
Syukur pada saat itu mendadak dari luar hutan berlari masuk seekor kuda,
sebelum tiba orang yang ada di atas kuda lantas membentak: "Tan Cing. Tan
Heng, hentikan perbuatan kalian!"
Suara bentakan itu nyaring dan merdu. orang itu ternysta bukan lain daripada
nyonya cantik setengah baya tadi.
Ketiga orang itu saling pandang sekejap, lalu mundur ke belakang, orang yang
ada di kanan masih memaki: "Bocah keparat, kalau kau berani bicara lagi dengan
nyonya kami . .. "
"Plok", sebuah tamparan mendadak mampir di pipinya. Dengan terkejut
orang itu menengadah, wajahnya berubah hebat, tahu2 si nyonya cantik sudah
berada di depannya.
"Hei, apa katamu? tegur nyonya itu dengan gusar.
Pria kekar itu meringis kesakitan, namun tak berani menjawab sepatah
katapun.
Kembali nyonya cantik itu menjengek: "Hm, tingkah-laku kalian kian lama kian
tak genah. sedikit2 lantas main serang, coba pentang matamu, lihatlah, usianya
kan sebaya dengan Jing-siauya? Sekalipun Loya tahu aku berbicara dengan dia
juga tak nanti dia akan menegur, tapi kalian tidak lebih hanya budak2 hina yang
pandai menjilat, berani kalian campur urusanku? Untung aku segera memburu
kemari, kalau tidak bukankah anak muda ini sudah kalian bunuh?"
Paras ketiga orang itu berubah hebat, namun mereka tak berani bicara,
kepala mereka tertunduk rendah2.
"Cepat enyah dari sini!" kembali nyonya cantik itu membentak.
Dengan munduk2 ketiga orang itu mundur ke belakang. kemudian putar
badan dan kabur dari situ, bukan saja mereka tak berani berpaling, kuda
merekapun ditinggalkan begitu saja.
Tian Pek sama sekali tidak hiraukan rasa sakit pada lukanya walaupun
sebetulnya rasa sakit yang dideritanya terasa merasuk tulang, ketika berjumpa
untuk pertama kalinya tadi, ia mengira nyonya cantik ini adalah seorang
perempuan lemah malahan ia menyatakan akan membantu segala, tapi setelah
menyaksikan cara nyonya itu menampar pengiringnya, barulah diketahui bahwa
ilmu silat orang sebenarnya jauh lebih hebat daripada kepandaiannya.
Pemuda itu lebih kagum lagi setelah dilihatnya nyonya itu memaki anak
buahnya habis2an. sebalik-nya ketiga orang itu bukan saja tak berani
membantah, bahkan kelihatan sangat ketakutan.
"Siapa gerangan perempuan ini? Besar amat pengaruhnya!" demikian pikir
Tian Pek.
Serelah ketiga orang tadi keluar hutan barulah nyonya cantik itu berpaling
dan menghampiri Tian Pek.
"Terima kasih nyonya atas bantuanmu!" seru Tian Pek sambil menyengir.
"Kalau engkau tidak datang tepat pada waktunya
.."
Belum habis ucapannya, tiba2 nyonya itu menudingnya sambil berseru
tertahan.
Tian Pek tertegun dan menengadah, ia lihat nyonya cantik itu sedang
menatap wajahnya dengan penuh perhatian.
"Amk muda, tahukah kau
bahwa kau menderita sakit?" tegurnya lembut.
Tian Pek tersenyum getir dan menggeleng.
"Tadi aku tidak terlalu memperhatikan" ujar nyonya itu lagi, "aku hanya
merasa tidak sepantasnya kau tidur di udara terbuka, tapi sekarang
Ai, coba, kalau sampai hawa dingin merasuk ke dalam tulang bagaimana
jadinya.."
Tian Pek ter-mangu2, ia merasa betapa lembut dan kasih sayangnya nyonya
cantik ini, selama hidup belum pernah ia alami kejadian seperti ini-Seketika ia
menjadi kesima.
Akhirnya pemuda itu sadar dari lamunannya, buru2 ia menjura seraya
berkata: "Sejak muda aku mengembara seorang diri, kebaikan nyonya sungguh
sangat mengharukan hatiku, budi kebaikan ini akan selalu terukir di dalam
hatiku."
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya kemudian: "Aku merasa tubuhku cukup
kuat, walaupun sudah terluka, kuyakin masih sangeup mempertahankan diri,
nyonya tak usah merisaukan keadaanku!"
Nyonya cantik itu menggeleng kepala berulang kali, ucapnya; "Ai, anak muda,
tahukah kau, meskipun di luar tak kau rasakan, tapi sinar matamu telah pudar,
menurut pandanganku, bukan saja kau telah terluka, bahkan sakit bagian dalam
juga parah sekali. Ketahuilah, bagi orang yang belajar silat, kalau tidak sakit
mendingan, begitu sakit maka keadaannya akan jauh lebih parah daripada orang
biasa. Ai, kau masih muda, banyak masalah yang belum kau ketahui, percayalah
padaku, tak nanti kubohongi kau!"
"Benarkah aku terluka parah dan sakit?” batin Tian Pek.
Ia coba atur pernapasan, betul juga, bagian dada terasa sakit seperti sesak, ini
menandakan bagian dalam sudah terluka.
Nvonya cantik itu menghela napas, katanya lagi: "Turutilah perkataanku,
pulanglah ke rumah atau carilah seorang sahabat karibmu, baik2 beristirahat
dan rawatlah lukamu "
Ia keluarkan sebuah kotak kecil yang mungil dan tertatahkan mutu manikam,
dari dalam kotak itu dia ambil keluar sebuah bungkusan kecil, ketika kain
pembungkus itu dibuka, ternyata isinya adalah sebutir pil warna merah darah.
Diambilnya pil merah itu dengan jepitan jari, lalu diangsurkan ke depan mulut
Tian Pek.
"Karena kelalaianku, hampir saja nyawamu melayang di tangan manusia2
dungu itu dan sekarang kau terluka parah, ai
! Meskipun kau takkan
salahkan aku, tapi dalam hati aku merasa tidak enak, pil merah ini sudah banyak
tahun kusimpan, ambil dan makanlah, mungkin akan memberikan banyak
manfaat bagimu!"
Tian Pek terima obat itu, ia lihat pil yang berwarna merah itu bergelindingan
di tangannya, mendadak pemuda itu teringat pada nasibnya sendiri, dengan
sedih ia bergumam lirih: "Aku. . . aku tak punya rumah, juga tak punya sahabat,
aku tak punya rumah..tak punya sahabat!"
Rasa sedih yang melampaui batas membuat darah bergolak dalam dadanya, ia
merasa pil merah yang bergelindingan ditelapak tangannya makin lama semakin
cepat dan berubah menjadi bara yang membakarnya akhirnya darah segar
tertumpah keluar dari mulutnya, ia mundur dengan sempoyongan dan akhirnya
roboh.
Sesaat sehelum ia jatuh pingsan, ia masih sempat mendengar jeritan kaget si
nyonya cantik.
Dalam keadaan tak sadar, Tian Pek cuma merasakan guncangan dan suara
roda kereta, terdengar pula suara gemercik air, namun sebegitu jauh benaknya
tetap keruh, terkadang ia merasa dirinya telah kembali kepada masa kanak2
dulu dan berada dalam pangkuan ibunda yang tercinta, lain saat merasa dirinya
sedang bertempur dengan beberapa pengerubut yang bersenjata tajam,
sebentar menang. sebentar lagi dirinya malah dirobohkan musuh dan tubuh
sendiri seperti di-sayat2 oleh senjata musuh yang tajam itu.
Akhirnya semua khayalan itu lenyap, suasana menjadi hening kembali.
Dengan bimbang ia membuka matanya, benak-nya terasa kosong,
pandangannya juga buram. Selama beberapa hari ini memang dilewatkannya
dalam keadaan tak sadar. dengan sendirinya akan timbul keadaan demikian
sekarang.
Agak lama juga sorot matanya yang buram dan kaku itu bergerak sedikit,
lambat laun benda yang dipandangnya mulai kelihatan jeias.
Ternyata dirinya berada dalam sebuah kamar yang mewah, di tepi pembaringan
ada sebuah meja kecil yang terbuat dari batu kemala hijau, di atas meja terletak
sebuah hiolo kecil, asap dupa yang berbau harum mengepul memenuhi seluruh
ruangan.
"Rumah siapakah ini?" inilah ingatan pertama yang berkelebat dalam benaknya.
"Kenapa aku ini? Apa yang terjadi? Bukarkah aku sedang mengawal
Barang? Ah, tidak, aku sudah tinggalkan rombongan mereka."
Semua kejadian yang dialaminya malam itu, satu persatu terbayang kembali
dalam benaknya.
Tian Pek yakin pastilah nyonya cantik itu yang telah menolongnya ketika ia jatuh
pingsan waktu itu. "Tapi siapakah dia? Kenapa dia menolong aku?" Barang siapa
berjumpa dengan nyonya itu pasti akan menduga kalau dia adalah nyonya
seorang pembesar atau nyonya hartawan, tapi bila teringat kembali tindakannya
yang menghukum ketiga orang anak buahnya, jelas nyonya itu berkepandaian
tinggi, lalu siapa gerangan nyonya cantik itu?
Entah lewat berapa lama pula, Tian Pek merasa pikirannya bertambah ruwet, ia
coba meronta bangun tapi seluruh badan terasa lemas dan sama sekali tak
bertenaga, akhirnya ia menghela napas dan memandang keluar jendela.
"Andaikata ayahku tidak mati, o . . . . betapa bahagianya hidupku ini! O, ayah,
sebelum mengembuskan napas terakhir mengapa tak kaukatakan siapa
pembunuh yang telah membinasakan dirimu itu.
Tapi
sekaiipun aku tahu, lalu apa gunanya?
Aku tidak lebih cuma seorang pemuda yang tak berguna, untuk menjaga barang
peninggalan ayah-pun tak mampu, apalagi membalaskan sakit hatinya."
Rasa sedih dan pilu kembali menyelimuti benaknya, tanpa terasa ia menghela
napas panjang.
Tiba2 ia merasakan sesuatu yang aneh, hatinya berdebar keras sepasang
sorot mata yang dingin menyeramkan sedang mengawasi wajahnya tanpa
berkedip.
Ruangan itu tak bercahaya, tapi sinar rembulan memancar masuk lewat
jendela, ia lihat orang itu berjubah biru wajahnya tampan dan berkulit halus,
tapi juga keiihatan angkuh dan dingin.
Tian Pek merasakan jantungnya berdebar keras meskipun sedang sakit, ia
percaya pendengarannya masih cukup tajam, suara cengkerik dan embusan
angin di luar jendelapun masih dapat didengar dengan jelas, apalagi suara
langkah manusia.
Tapi sejak kapan orang itu muncul di sini? Bukan saja ia tak tahu, bahkan
sedikit suarapun tak terdengar olehnya. Pemuda yang tampan tapi bersikap
angkuh itu se-akan2 muncul dengan sendirinya seperti badan halus saja.
Dengan sinar mata yang dingin menyeramkan, pemuda itu menghampiri
pembaringan, lalu menegur ketus: "Siapa kau?"
"Aku .... aku..” Tian Pek gelagapan.
"Aku tak peduli siapa kau, hayo cepat enyah dari sini!" hardik pemuda itu lagi
dengan mata melotot.
Mendapat perlakuan yang kasar, Tian Pek menjadi gusar. ia tertawa dingin:
"Saudara, siapakah kau? Aku tak pernah kenal kau, bila bicara hendaknya tahu
aturan sedikit!"
Air muka pemuda itu kaku dingin, sinar matanya yang tajam menatap wajah
lawan bagaikan tusukan pedang ia mendengus, lalu berkata pula sepatah demi
sepatah: "Kau tahu siapakah diriku? Kau tahu tempat apakah ini?"
Kembali Tian Pek tertegun, dalam hati ia membatin: "Siapakah orang ini?
Tempat apakah ini? Mungkinkah dia tuan rumah tempat ini? Tapi... . mengapa
nyonya cantik yang berwajah agung itu membaringkan aku di sini tanpa
sepengetahuan-nya?"
Pelbagai kecurigaan timbul dalam benaknya, hawa amarahpun berangsur
mereda, ia berusaha meronta bangun, tapi sayang tubuhuya masih lemas tak
bertenaga, baru saja badannya terangkat sedikit, ia roboh kembali ke atas
pembaringan.
Agaknya pemuda itupun terkejut, tapi dengan cepat ia mendengus: "Hm,
rupanya kau terluka, lalu siapa yang membawa kau kemari?"
Ia maju mendekat dan membenarkan letak Hiolo di atas meja kecil itu,
kemudian dengan ketus katanya lagi: "Kurangajar, dupa liur-nagaku juga berani
dipasang!"
"Jadi engkau adalah tuan rumah tempat ini?" seru Tian Pek terperanjat.
"Hm, kalau aku bukan tuan rumah, memangnya kau tuan rumahnya?"
Tian Pek menjadi rikuh sendiri setelah mengetahui pemuda itu adalah tuan
rumahnya, cepat dengan nada minta maaf ia berkata: "O, ma .... maaf! Aku
benar2 tak tahu tempat manakah ini, dan tak tahu pula bagaimana caranya aku
bisa tiba di sini? Kalau engkau adalah tuan rumah di sini, tolong gotonglah aku
keluar dari sini. Ai, aku..."
"Apa? Jadi kau tidak tahu tempat apakah ini? Dan tak tahu cara bagaimana
tiba di sini? Huh, omong kosong!" damperat pemuda itu dengan mata melotot.
Tiba2 is putar badan lalu bentaknya lagi; "Aku tak peduii kau terluka atau
tidak, pokoknya segera enyah dari sini. Bila sampai aku sendiri yang turun
tangan . . . Hm, nasibmu bisa lebih mengenaskan!"
Dalam hati Tian Pek merasa menyesal, meski mendongkol, tapi iapun dapat
memaklumi sikap pemuda itu, sebab kalau dia sendiripun mengalami kejadian
ini, umpama ada orang tidur di atas pembaringannya tanpa sepengetahuannya,
tentu iapua akan marah.
Sedapatnya ia tahan peraenannya, ujarnya "Memang sepantasnya aku berlalu
dari sini bila engkau memang tuan rumah di sini, aku hanya mohon kepadamu
janganlah memaksa orang dengan kata2 yang kasar, ketahuilah kedatanganku
kemari bukan atas keinginanku sendiri!"
"Tak perlu banyak omong," sela pemuda itu, "pokoknya kalau dalam seminuman
teh kau belum enyah dari sini, terpaksa akan kuusir dengan kekerasan ... . "
Betapapun sabarnya Tian Pek juga ada batas-nya, setelah mendapat
perlakuan sekasar itu jadi tak tahan juga, jawabnya segera: "Huh, terhituns
Enghiong (ksatria) apa kau ini? Kukira kau cuma berani terhadap orang yang
sedang sakit."
"Hm, jadi kaukira bila kau tidak sakit lantas aku tak berani padamu?"
"Siapa tahu memang begitu?!" jengek Tian Pek.
Sebenarnya Tian Pek tidak ingin ribut, semula ia bermaksud memheritahu
kedatangannya ini mungkin dibawa oleh nyonya cantik itu, tapi sejauh itu ia
tidak tahu siapa nama orang, pula bila ingat pada sikap serta percakapan si
nyonya dengan pengiring2-nya, ia menjadi kuatir keterangannya mungkin akan
membikin susah orang.
"Tian Pek wahai Tian Pek, lebih baik kau dilempar keluar oleh pemuda ini
daripada menyusahkan oraag lain .. . . " deimkian ia membatin
Tak terpikir olehnya bila kedatangannya adalah kerena dibawa nyonya cantik
itu, besar kemungkinan nyonya itu mempunyai alasan yang kuat dan mungkin
pula nyonya itu mempunyai hubungan yang erat dengan pemuda ini, kalau tidak
bagaimana bisa terjadi seperti sekarang ini?.
Pemuda tadi memandang sekeliling tempat itu tiba2 ia menghampiri
pembaringan dan duduk di samping Tian Pek, dengan cepat ia cengkeram urat
nadinya.
Tian Pek terkejut bercampur heran, tapi badannnya memang lemas tak
bertenaga, mau melawanpun tak sanggup, dalam keadaan begini ia mandah
pergelangannya dipegang orang.
Waktu ia pandang lawannya, ia lihat pemuda itu berkerut kening rapat2,
sejenak kemudian ia cekal pula pergelangan tangan Tian Pek yang lain, sesudah
termenung sejenak, dengan rasa heran dan terperanjat ia berjalan mondar-
mandir dalam ruangan, akhirnya tanpa mengucapkan sepatah katapuin ia
berlalu dari situ.
Memandang bayangan punggungnya yang lenyap dibalik pintu, Tian Pek
keheranan, pikirnya: "Bukankah pemuda itu mengusir aku? Kenapa ia malah
pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun sesudah memeriksa denyut nadiku?
Mungkinkah ada sesuatu yang aneh?"
Ia berpikir lebih jauh: "Walaupun tidak terasa sakit, tapi sekujur badanku
amat lemas dan tak bertenaga, kesadaranku punah selama beberapa hari,
rupanya sakit yang kuderita cukup parah, meski begitu, kenapa aku tidak
merasakan penderitaan sehabis sakit? Kenapa bisa begini?"
Ia merasa apa yang dialaminya selama beberapa hari benar2 luar biasa, tidak
sebuah persoalan-pun yang berlangsung secara wajar, ia berusaha mem-buang
jauh2 ingatan tersebut dan tidak ingin memikirkan kembali, sorot matanya
dialihkan keluar jendela.
Angin mengembus sepoi2 menggoyangkan pohon liu, bau harum menyebar
di seluruh ruangan membuat suasana bertambah nyaman, sebagai orang miskin
belum pernah menjumpai kemewahan seperti ini, Tian Pek berpendapat asal-
usul nyonya cantik dan pemuda sombong itu tentu luar biasa, walaupun dihati ia
tak ingin memikirkan persoalan yang sama sekali tiada sangkut paut dengan
dirinya itu, tapi pikiran yang kalut membuatnya mau-tak-mau harus
memikirkannya juga.
Sementara dia masih melamun, tiba2 terdengar suara ketus si pemuda
sombong tadi berkumandang kembali dari luar pintu: "Beberapa hari ini udara
sangat panas, kukira kalian pasti malas untuk bekerja, lebih baik ambil cuti
musim panas saja!"
Bayangan orang berkelebat, sambil bergendong tangan, dengan memandang
langit2 ruangan pemuda sombong itu muncul kembali walaupun mukanya kaku
tanpa emosi namun cukup membuat jeri siapapun yang memandangnya.
Tian Pek pandang keluar sana, dilihatnya empat lelaki kekar yang berpakaian
ringkas mengikut jauh di belakangnya dengan tangan lurus ke bawah, walaupun
gerak-geriknya masih cekatan dan gagah, namun muka mereka pucat, rasa takut
jelas keiihatan pada wajah mereka, agaknya cuma beberapa patah kata si
pemuda sombong tadi telah cukup membuat mereka ngeri.
Sementara itu si pemuda congkak sedang mendengus. sambil menuding Tian
Pek yang berbaring di pembaringan ia bertanya dengan suara ketus: "Siapa
orang ini' Enak saja tidur di atas pembaringanku. Hm, kutahu kalian sudah biasa
hidup leha2, tapi mata kalian kan belum buta? Apakah kalian tak melihat semua
ini?"
Keempat orang kekar itu semakin ketakutan meski ucapan pemuda itu tidak
keras.
Dengan tak tenang Tian Pek ikuti jalannya peristiwa itu, timbul rasa kasihan
dalam hatinya dem1 melihat rasa takut keempat orang itu, pikirnya: "Ai, sama2
manusia, mengapa ada orang yang harus di-kasihani seperti mereka?"
Melihat kecongkakan pemuda itu, timbul juga rata dongkol dalam hati
kecilnya, pikirnya pula: "Orang ini masih muda belia, tapi lagaknya sok menang
sendiri, se-olah2 tiada seorangpun yang ter-pandang olehnya."
Tapi pikiran lain segera berkelebat dalam benaknya: "Hal inipun tak dapat
menyalahkan dia. Andaikata ada orang berbaring di atas pembaringanku dan
orang itu sama sekali tak kukenal, mungkin aku pun demikian."
Ia ingin segera bangkit dan meninggalkan tempat ini, ingin mengucapkan
beberapa patah kata untuk memberi penjelasan kepada pemuda sombong itu,
Tapi sayang, hasrat ada tenaga tak sampai, baik berdiri maupun bicara tak
sanggup dilakukan olehnya, untuk beberapa saat ia merasa malu, sedih. gusar
dan mendongkol, dia hanya bisa termangu sambil mengawasi orang.
Dengan sorot mata yang tajam pemuda itu kembali melotot ke arah keempat
pria kekar tadi, serunya: "Jika kalian sudah merasa cukup berisirahat silakan
segera turun tangan dan angkut orang ini keluar ruangan!"
Nadanya sungkan tapi suaranya ketus, matanya memandang langit2, sama
sekali tak di pandang lagi orang lain.
Dengan munduk2 keempat orang kekar itu mengiakan, mereka segera
menghampiri Tian Pek.
Tian Pek tahu sebentar lagi dirinya pasti akan digotong keluar oleh keempat
orang itu. seketika darahnya bergolak pula. dengan sepenuh tenaga ia
membentak: "Berhenti!"
Keempat orang itu berhenti serentak, sementara orang yang berjalan paling
akhir berpaling sekejap ke belakang dengan rasa jeri.
Namun pemuda jumawa itu masih tetap memandang langit2 ruangan tanpa
peduli, se-olah2 sama sekali tidak mendengar bentakan Tian Pek.
Rasa malu, gusar, mendongkol berkecamuk dalam dada Tian Pek, ia rela mati
di tempat daripada digotong keluar, sebab hal itu merupakan suatu penghinaan
yang besar baginya.
Sementara keempat orang kekar itu tadi telah melangkah maju pula
menghampiri pembaringan.
Sekali lagi Tian Pek membentak gusar, dengan sikutnya ia coba menopang
tubuhnya untuk bangkit, ia lebih rela merangkak keluar kamar itu daripada
harus digotong orang.
Tapi sayang, sepasang lengannya yang biasanya sangat kuat kini terasa lemas
tak bertenaga, Baru saja badannya meronta bangun, dengan lemas terkulai
kembali di atas pembaringan.
Dengan putus asa akhirnya ia pejamkan matanya rapat2, ia harus menerima
penghinaan dengan pasrah, sekalipun hatinya terasa amat sakit bagaikan di—
iris2.
Langkah yang berat dari keempat orang itu kian mendekat pembaringan.
"Tahan!" tiba2 dari luar jendela berkumandang suara bentakan nyaring.
Dengan hati berdebar Tian Pek membuka matanya, ia lihat sesosok bayangan
hitam melayang masuk.
Gerak tubuh orang sangat enteng dan cepat-nya sukar dilukiskan, baru saja
ia berkedip tahu2 orang sudah berdiri di depan pembaringan.
Empat orang kekar tadi menjerit kaget tertahan lalu sama berhenti dan
memberi hormat, sikap mereka sangat hormat dan tubuh yang dibungkukkan
hingga lama belum juga ditegakkan kembali.
Pemuda sombong itupun alihkan pandangannya dari langit2 rumah ke atas
tubuh si pendatang ini alis matanya berkernyit, ia melangkah maju dan
tegurnya: "Mau apa kau datang kemari?
Sekalipun nadanya tak senang hati, tapi tak sedingin dan seketus tadi.
Diam2 Tian Pek heran: "Siapakah orang ini? Kenapa sikap keempat orang
kekar itu begitu tunduk dan hormat padanya?"
Pendatang yang berbaju hitam itu berdiri membelakangi pembaringan.
walaupun Tian Pek tak dapat melihat raut wajahnya, tapi dari potongan
tubuhnya yang ramping ia tahu bahwa orang itu pasti perempuan.
"Mungkinkah dia ini nyonya cantik setengah baya yang agung dan berwibawa
itu?" pikir Tian Pek.
Ramping amat pinggang gadis itu, potongannya indah dan padat berisi,
rambutnva digelung dengan tusuk kundai yang indah, tangannya putih mulus
dengan jari yang panjang, bentuk badan seperti ini sama sekali berbeda dengan
potongan si nyonya cantik itu.
Tian Pek tambah sangsi, ia merasa bukan saja asal-usul si nyonya cantik,
pemuda sombong serta gadis baju hitam ini penuh teka-teki, bahkan bangunan
rumah yang megah ini se olah2 menyimpan sesuatu rahasia yang maha besar.
"Siapakah mereka sebenarnya? Tempat apakah ini?" pertanyaan ini
bcrkecamuk dalam benaknya. "Mungkinkah rumah seorang jago persiiatan?
Atau rumah orang kaya? Atau mungkin istana pembesar atau bangsawan?"
Ia lihat kecuali tangannya lurus ke bawah, perempuan baju hitam itu sama
sekali tak bergerak, dari tempat semula, tubuhnya berdiri kaku di depan
pembaringan, meskipun raut wajahnya tak nampak, tapi Tian Pek dapat
merasakan betapa dingin, angkuh tapi cantik dan agungnya.
Suasana jadi dingin memheku, keempat pria kekar tadi saling berpandangan
sekejap, diam2 mereka geser kaki dan rupanya bendak berlalu dari ruangan itu
Belum jauh mereka bergeser, tiba2 perempuan baju hitam itu membentak
lagi: "Berhenti!"
Dengan hati kebat-kebit empat orang itu berhenti, berdiri kaku di tempat dan
sama sekali tak berani berkutik lagi.
"Apa yang telah kalian lakukan tadi?" tegur perampuan baju hitam.
Walaupun suaranya lembut, tapi nadanya dingin dan kaku, jauh berbeda
dengan potongan tubuhnya yang menggiurkan.
"Ai, kenapa juga begini dingin dan ketus suara nona ini? Aneh, benar2 aneh!"
pikir Tian Pek. Ia hanya bisa berbaring saja tanpa berkutik kendati-pun apa yang
terjadi dalam kamar ini erat hubungannya dengan dia, akan tetapi kecuali
menonton saja boleh dikatakan apapun tak dapat dilakukan olehnya, bahkan
bicarapun tidak.
Sebaliknya orang2 yang berada dalam kamar tupun tak ada yang menaruh
perhatian lagi padanya, se-akan2 dalam ruangin itu tiada terdapat seorang
seperti dia.
Dengan sorot mata ketakutan keempat orang tadi memandang sekejap ke
arah nona baju hitam kemudian cepat2 mei unduk kembali, lalu dengan
suara gemetar menjawab: "Kongcuya memerintahkan kami untuk menggotong
keluar Siangkong (tuan muda) ini, maka maka "
"Hm, penurut amat kalian!" sindir nona baju hitam sambil mendengus. Ia
lantas berpaling ke arah pemuda jumawa itu, kemudian, tegurnya dengan
dingin: "Jadi kau yang suruh mereka menggotong keluar orang itu?"
"Mau apa kau ikut campur urusan ini7" kata pemuda jumawa itu dengan dahi
berkerut. "Apa aku tak boleh suruh orang menggotong keluar seorang yang
sama sekali tak kukenal dari atas pembaringanku? Apa sangkut-pautnya dengan
kau?"
Sambil mendengus ia berpaling dan melotot gusar ke arah keempat orang
tadi.
Empat orang itu semakin ketakutan, dengan sinar mata ngeri mereka melirik
sekejap pemuda jumawa itu, sebentar melirik pula ke arah si nona baju hitam,
bibir mereka bergetar seperti mau mengucapkan sesuatu, tapi tak sepatah-
katapun yang keluar.
"Begitu macamnya seorang tokoh persilatan yang termashur karena
kecerdasan dan akalnya?" omel si nona baju hitam dengan ketus. "Hm, kulihat
otakmu sebetulnya goblok dan akalmu terbatas sekali, apa kau tak dapat
berpikir jika pemuda ini tiada asal-usul tertentu bagaimana mungkin dia lari
kemari untuk merawat lukanya? Kau kira orang seisi rumah ini sudah mampus
semua?"
Sorot mata sang pemuda yang angkuh tetap menatap keempai pria kekar itu,
katanya tanpa menoleh: "Kukira lebih baik kalian mampus semua saja daripada
cuma setengah hidup setengah mati, hm . . . . "
"Siapa yang kau maksudkan?" tiba2 nona baju hitam itu melompat ke depan
pemuda jumawa tadi, "Jelaskan perkataanmu itu!"
Pemuda jumawa itu melirik sinis jawabnya kemudian: "Hm, kenapa mesti
bersitegang? Aku kan tidak maksudkan dirimu!'
"Hm, kutahu sekarang kau adalah seorang pahlawan besar, seoraang
pendekar tersohor dalam dunia persilatan, tentu saja tak kau pandang sebelah
mata pada encimu yang tolol seperti diriku ini! Tapi .... hm, masa kau juga tak
pandang sebelah mata terhadap ibu?"
Air muka pemuda jumawa itu berubah hebat, tiba2 ia berpaling: "Apa
katamu? Kau maksudkan beliau yang membawa pemuda asing ini untuk
merawat lukanya di sini?"
Setelah mendengar tanya-jawab itu baru Tian Pek tahu duduk perkara yang
sebenarnya pikirnya. "O, kiranya pemuda ini adalah putera nyonya cantik itu."
Teringat pada kemurungan si nyonya waktu bioara padanya, kembali ia
berpikir: "Kenapa ia murung dan kesal? Tidak seharusnya ia bersikap sedih
Begitu. Dari ucapannya, agaknya dia kecewa terhadap puteranya, mengapa
begitu? Bukankah puteranya ganteng dan muda, juga punya nama tersohor di
dunia persilatan, sedang aku "
Teringat keadaan sendiri, Tian Pek menghela napas dan tak berani berpikir lebih
jauh.
Pembaringan yang empuk, selimut yang halus membuat tubuhnya terasa
nyaman tapi sorot mata sang pemuda yang begitu dingin dan memandang hina.
membuat tubuhnya se-olah2 berada dalam gudang es.
Sementara itu si nona baju hitam sedang berkata lagi: "Jika bukan suruhan
ibu, siapa yang berani membawa orang ini masuk ke kamarmu "
Tiba2 bicaranya berhenti, Tian Pek merasa pandangannya jadi kabur dan tahu2
' plak-plok, plak-plok", suara tamparan nyaring berkumandang susul-menyusul
Dengan keheranan ia berpaling, dilihatnya keempat orang pria kekar itu tadi
berdiri di depan pintu sambil memegangi pipi sendiri, rasa kaget dan takut
tampak menyelimuti wajah mereka. Sedang si pemuda jumawa tampak melototi
si nona baju hitam dengan sorot mata gusar.
Tian Pek jadi terkejut, ia berpikir: "Mungkinkah dalam waktu sesingkat tadi ia
telah menempeleng keempat orang itu? Cepat benar gerak tubuhnya!"
Jelek2 Tian Pek pernah giat berlatih silat, tapi setelah menyaksikan kelihayan
nona baju hitam itu, hatinya jadi terperanjat, ia sadar jika kepandaian yang telah
dilatihnya selama ber-tahun2 itu dibandingkan dengan kepandaian si nona maka
ibaratnya cahaya rcmbulan berbanding cahaya kunang2.
Dengan tatapan tajam, pemuda jumawa itu awasi wajah si nona, lama sekali
baru ia berseru: "Cici, engkau tahu anak buah siapakah mereka itu?"
"Hm, kecuali Leng-hong Kongcu (Tuan muda angin dingin) Buyung Seng-yap.
siapa lagi yang sesuai menjadi majikan mereka?" jengek si nona.
Tian Pek terperanjat demi mendengar nama itu: "O, rupanya pemuda ini
adalah satu di antara empat Kongcu terkenal, yaitu Leng-hong Kongcu yang
paling tak berbudi."
Meskipun belum lama ia terjun ke dunia persilatan, tapi nama besar Bn-lim-
su-kongcu (empat tuan muda dari dunL persilatan) sudah amat tersohor hingga
diketahui oleh setiap orang, maka iapun tahu bahwa di antara ke empat orang
Kongcu itu maka An-lok Kongcu paling romantis, Toan-hong Kongcu piling susah
dicari jajaknya, Leng-hong Kongcu paling tak berperasaan dan tak berbudi,
Siang-lin Kongcu paling simpatik.
Berpikir sampai di sini, Tian Pek alihkan pandangannya pada wajah Leng-hong
Kongcu, ia lihat meskipun pemuda itu sedang gusar, namun wajahnya tetap
kaku tanpa emosi, dalam hati ia ia lantas berpikir "Ai orang bilang Leng-hong
Kongcu adalah seorang manusia tak berperasaan, ternyata berita ini bukan
berita kosong belaka, dalam kenyataan ia benar2 tak kenal arti perasaan."
Leng-hong Kongcu mencibir bibirnya yang tipis sambil mengawasi dara baju
hitam tanpa berkedip, lalu mendengus. katanya: "Hehe, bagus, bagus sekali,
suugguh tak nyana, bukan saja aku tak dapat mengatur kamarku sendiri, untuk
menghukum anak-buahku pun terpaksa harus merepotkan diri-mu, baik, baik ....
baik sekali . . .. " Diiringi suara teitawa dingin ia terus putar badan dan berlalu.
Melihat kepergian majikannya, keempat orang kekar tadi tampak agak
tertegun, mereka melirik sekejap ke arah si nona baju hitam dengan ketakutan,
keadaan mereka mengenaskan sekali, mau mundur takut tetap di situ salah,
terpaksa dengan air muka serba susah mereka berdiri melongo.
Dara baju hitam itu sendiri masih tetap berdiri tak bergerak di tempat
semula, tubuhnya tampak agak gemetar, lama sekali ia tertegun, akhirnya
sambil menghela napas sedih ia berkata kepada keempat orang itu: "Kongcu
sudah pergi, untuk apa kalian masih berdiri di situ?"
Seperti mendapat pengampunan besar, buru2 keempat orang itu mengiakan
dan segera berlari pergi.
Ruang yang indah dan mewah pulih kembali dalam kesunyian, Tian Pek
berbaring di atas pembaringan diam2 menarik napas lega, walaupun rasa tak
tenang masih menyelimuti hatinya.
Ia sadar kendatipun ancaman pengusiran untuk sementara waktu dapat
dihindari, namun itu tidak langgeng sifatnya, karena setiap saat ancaman serupa
dapat terjadi pula, padahal lukanya belum sembuh, maka diam2 ia cemas dan
kuatir.
Iapun sangat berterima kasih terhadap si nona biju hitam itu, tapi seketika ia
jadi gelagapan dan tak tahu cara bagaimana mengutarakan perasaannya.
Tiba2 nona baju hitam itu menghela napas panjang, dengan suara rawan ia
berkata: "Adikku tak tahu adat kemanusiaan, harap Siangkong suka memaafkan
kelatahan serta kejumawaannya itu!"
Tian Pek gelagapan dan tak tahu cara bagaimana mesti menjawab, sebab
bagaimanapun juga dialah yang bersalah dan dia yang harus minta maaf, karena
dia sendiri yang berbaring di pembaringan orang.
Dalam hati ia menyesal, dipandangnya bayangan punggung dara baju hitam itu
dengan ter-mangu2, lalu menjawab: "Aku hidup sebatang kara dan ter-
lunta2. O, betapa terima kasihku atas kebaikan nona, jika engkau ucapkan kata2
seperti itu pula, aku jadi malu sendiri."
Beberapa patah kata yang pertama diucapkan karena luapan rasa kecewa
dan menyesal, tapi segera ia merasa tak pantas mengucapkan kata2 semacam
itu dibadapan seorang gadis yang tak dikenal, maka nada ucapannya segera
berubah, sementara dalam hati ia menegur din sendiri: "Bagaimana sih aku ini?
Masa bicarapun tak becus?"
Tak tersangka si nona baju hitam juga lantas menghela napas setelah
mendengar perkataannya ia bergumam: "Hidup sebatang kara dan mengembara
ter-lunta2 juga tiada jeleknya? Hidup bebas begtu jauh lebih baik daripada hidup
dalam sangkar sekalipun sangkar itu terbuat dari emas " nada penyesalannya
ternyata jauh melebihi ucapan Tian Pek tadi.
Tian Pek jadi melongo, pikirnya: "Aneh benar gadis ini, dia toh hidup di
tengah keluarga orang kaya dan serba berkecukupan, minta apa saja pasti ada
orang yang berebut uutuk memenuhinva, tapi kenapa perkataannya begitu kesal
dan begitu sedih?"
Tanpa terasa ia teringat kembali pada kemurungan yang menyeiimuti wajah
si nyonya cantik itu, merasa se-akan2 setiap orang yang berdiam di dalam
gedung megah ini sama dirundung persoalan yang memusingkan kepala,
membuat mereka hidup tak bahagia. Tapi apa yang menjadi beban pikiran
mereka?
Sementara ia masih termenung, dara baju hitam itu telah putar badan,
jantung Tian Pek berdebar keras, tanpa terasa ia pandang wajahnya.
Seketika ia tertegun dan sorot matanya tak tergeser lagi. Sukar baginya untuk
melukiskau betapa cantiknya si nona.
Gadis itu berpakaian serba hitam, raut wajahnya yang ingin dilihat Tian Pek
tertutup oleh selembar sutera tipis warna hitam. yang terlihat hanyalah alisnya
yang lentik serta biji matanya yang bening, begitu indah dan mempersonakan
membuat anak muda itu benar2 tergiur, membuatnya merasa dunia ini hangat
kembali.
-------------------
Siapakah orang kosen yang membawa lari pedang pusaka Tian Pek itu?
Kemurungan apa yang meliputi si nyonya cantik serta anggota keluarganya yang
misterius ini?
— Bacalah jilid ke 3 —
--------------------
Iai di luar tanggung - jawab Perc. "PS", Semarang
AXD002
HIKMAH PEDANG HIJAU
(Swordman Jorney)
Karya : Gu Long
Oleh : Gan KL
Jilid 03 : Disekap di gua gelap
Ketika sorot mata mereka saling bertemu, nona baju hitam itu tundukkan
kepalanya rendah2, lama sekali ia baru menengadah dan berpandangan kembali
dengan Tian Pek. Keheningan kembali mencekam seluruh ruangan, dengan
pandangan yang penuh kesedihan tiba2 dara itu putar badan dan berjalan ke
arah pintu tanpa berpaling lagi.
Tian Pek terkesiap, diam2 ia menyesal dan malu sendiri karena bisa timbul
perasaan tergiur serta perasaan aneh yang timbul ketika pandangan mereka
bertemu tadi.
Ketika tiba di am bang pintu, gadis itu berhenti dan menghela napas panjang.
lalu berkata: “Kau sudah tidak sadarkan diri selama beberapa hari, badanmu
tentu lemah sekali, sebentar akan kusuruh orang meogantar makanan
untukmu....”
Setelah berhenti sebentar, ia berkata lagi: "Kau tak usah berterima kasih
kepadaku, kulakukan semua ini karena permintaan seseorang."
Habis berkata tanpa berpaling is terus berlalu dari situ. Beberapa patah
perkataan yang pertama diucapkan dengan lembut, tapi ucapan terakhir
berubah dingin dan ketus.
se-olah2 dua orang yang mengucapkan kata2 itu.
Memandangi bayangan punggung orang Tian Pek cuma melongo saja, beberapa
patah kata orang yang terakhir amat menusuk perasaannya. Pikirannya jadi
kalut, ia merasa ada banyak persoalan yang tak dapat di selami' olehnya, di
antara sekian banyak masalah. persoalan yang paling membingungkannya
adalah siapakah nona baju hitam yang sebentar hangat sebentar dingin itu.
"Kau tak usah berterima kasih kepadaku, kulakukan semua ini karena
permintaan seseorang." perkataan itu diulanginya sampai beberapa kali, tiba2ia
seperti terjerumus pula ke dalam kesepian dan kepedihan yang sukar dilukiskan.
Dengan perasaan gundah ia bereskan rambutnya yang kusut. Walaupun
lengannya masih terasa sakit, tapi hatinya jauh lebih sakit.
“Meski aku berutang kepada gadis itu, tapi dia sama sekali tiada hubungan apa2
denganku, siapa dia dan siapakah aku? sikapnya boleh dibilang sudah cukup
baik, buat apa aku mesti murung karena soal ini.?" Demikian walaupun dia ingin
melupakannya, tapi entah mengapa, hal ini selalu timbul lagi dalam benaknya.
Ia merasa sedih atas sikap dingin si dara baju hitam itu. diam2 ia berpikir pula:
"Dia bilang apa yang dilakukannya ini adalah karena mengingat permintaan
seseorang, siapakah orang itu? Kenapa ia terima permintaan orang itu dan apa
hubungan di antara mereka”
Suara deheman ringan berkumandang dan luar, seorang pelayan cilik berbaju
hijau melangkah masuk dengan membawa sebuah mangkuk bertutup yang
terbuat dari kemala hijau, setiba di depan Tian Pek dia memberi hormat, lalu
berkata: "Kongcu, sialahkan minum kuah ini”
Tutup mangkuk dibuka dan asap putih mengepul dari mangkuk kecil itu, bau
harum sedap memenuhi seluruh ruangan, sebelum ingatan lain berkelebat
dalam benaknya, tahu2 dayang baju hijau itu sudah angsurkan mangkuk
tersebut ke hadapannya, sementara tangan yang lain mengarnbil send ok dan
mulai menyuap kuah jinsom itu ke dalam mulut Tian Pek.
Dengan pikiran hampa Tian Pek menghabiskan kuah jinsom yang disuap ke
mulutnya itu, semangat terasa jadi segar kembali, tapi dalam hati tambah sedih,
la merasa se akan 2 sedang menerima sedekah dari orang lain, dan sedekah
yang diberikan kepadanya itu dilakukan karena atas permitaan seseorang,
padahal ia sendiripun tak tahu siapakah orang itu.
Terpikir sampai disini, hampir saja kuah jimson yang telah masuk perutnya
tertumpah kembali, tiba2 ia lihat sesosok bayangan muncul kembali di depan
pintu diikuti suara tertawa merdu yang memecahkan kesunyian.
Tian Pek mengerutkan dahi, dalam keadaan seperti ini tak enak baginya
mendengar suara tertawa bagini. Bayangan orang yang baru muncul itu
membawa pula sebuah mangkuk warna hijau, orang itu adalah seorang gadis
yang berwajah cantik jelita.
Dara itu tersenyum, tanyanya dengan lembut. '"Kongcu, apakah engkau ingin
makan sedikit ? Ai, tahukah kau sudah berapa hari engkau tidak makan apa2 ?"
Suara yang merdu itu terdengar oleh Tian Pek se-akan 2 ejekan yang menusuk
hati, ia berkerut dahi. "Hm, sedekah. Kembali sedekah. . . " demikian pikirnya
dengan mendongkol, mendadak ia berteriak: "Bawa keluar! Bawa keluar!"
Tertegun juga gadis itu, ia berhenti di depan ranjang dan berkata: "Eh, kenapa
sih kau ini?" Tegurnya dengan lembut, suaranya tetap merdu dan halus.
.
Diam2 Tian Pek menghela napas, ia rada menyesal bersikap kasar terhadap
gadis itu, bagaimanapun juga orang kan bermaksud baik, sikapnya itu jelas tidak
sopan dan tak tahu adat.
"Terima kasih atas kebaikan nona," ujar Tian Pek, "hanya saja.. . . .lebih baik
bawa keluar saja."
Sekalipun kata 2 nya sudah jauh lebih ramah, tapi ia belum berpaling, ia
berharap bila ia menoleh nanti, dalam ruangan itu akan tinggal dia sendiri, agar
ia bisa merenungkan semuanya itu dengan tenang.
Siapa tahu gadis itu lantas tertawa cekikikan, lalu berkata: "Eh, kalau memang
ogah makan ya sudahlah, kenapa bersikap begini segala"-? Tahukah kau, betapa
susah dan bingungnya orang membantu kau, tapi kau. . . . . . kau malah
mengusir aku keluar"
Tian Pek terkesiap, cepat ia berpaling , seorang gadis cantik berbaju sutera halus
dan bersanggut tinggi berdiri di tepi pembaringan, meski masih muda, namun
wajahnya menampilkan sikap yang agung.
Baru Tian Pek menyadari dirinya telah salah menduga, ternyata gadis ini
bukanlah dayang baju hijau tadi. "Tapi siapakah dia? Kenapa ia mengucapkan
kata 2 seperti itu?" demikian timbul kecurigaaan dalam hati Tian Pek.
Sementara itu dara cantik itu sedang mengamati wajahnya dengan pandangan
halus, tiba2 ia tertawa dan berkata pula: "Eh, bicara sesungguhnya, tidak pantas
kau bersikap begitu galak terhadapku. Tahukah kau, untuk membantu dirimu,
telah banyak mendatangkan kesulitan, bagiku tapi kau . . . . . kau ternyata tidak
tahu diri."
Ia taruh nampan yang dibawanya itu di atas meja kecil, kemudian ia berduduk di
tepi pembaringan, katanya lagi: "Hayolah makan dulu, biar kusuapi kau, kalau
ingin marah lagi marah saja padaku, tapi jangan kelewat batas, sebab kalau jadi
sakit, wah bisa susah."
Tian Pek jadi melongo, ditatapnya gadis itu dengan ter-mangu 2 . Ia merasa tak
pernah kenai gadis ini, bertemupun belum pernah, tapi sikap dan cara bicara
gadis ini seolah-olah sedang menghadapi sahabat karipnya yang sudah lama ia
kenaI.
"Bahkan ia mengaku membantu diriku!" pikirnya, tapi bantuan apa? Tian Pek
hanya bisa geleng kepala dengan penuh tanda tanya. Angin sejuk berhembus
masuk lewat jendela, terendus bau harum khas perempuan, ia merasa gadis itu
duduk semakin dekat dengan dirinya. bahkan raut wajahnya yang cantik hampir
saja menempel mukanya, meski dia tiada perasaan buruknya terhadap anak
dara itu, namun ia merasa
sikapnya yang terIalu berani ini sudah kelewat batas, hal ini menimbulkan rasa
jemu baginya.
Dengan serius ia lantas berkata: "Aku tak merasa kenal dengan nona, andaikata
aku memang utang budi kepadamu, suatu ketika budi kebaikan ini pasti akan
kubalas. Sekarang aku tidak ingin makan apapun, apalagi antara pria dan wanita
ada
batas2nya, kalau kita berada sendirian dalam satu kamar tanpa orang ketiga,
kemungkinan besar akan dicurigai orang untuk ini kuharap nona suka
memperhatikannya."
Dasarnya tidak pandai bicara, beberapa patah kata itu diucapkan dengan kaku
dan tak lanncar bahkan setiap kata yang hendak diucapkan harus dipikirkan
dulu.
Gadis itu sama sekali tak menjawab, tangannya yang satu menyanggah di sisi
poembaringan. sedang tangan yang lain bertopang dagu. sorot matanya bening
memandang langit2 ruangan. Se-akan2 tidak mendengar apa yang diucapkan
Tian Pek.
Sehabis anak muda itu bicara, baru dia mengerling sekejap padanya, sambil
memandang ujung kaki sendiri lalu bergumam: "Andaikata memang utang
budl kepadamu? Andaikata. . . :
Ia tertawa nyekikik dan mengerling pula wajah pemuda itu lalu ia menegas:
"Masa kaukira aku ini omong kosong?" Ia tuding anak muda itu dengan jarinya
yang lentik,
Kemudian menambahkan: '"Eh, terus terang kuberitahukan padamu, kalau tiada
aku. . . . . hihihi.... .. mungkin kau sudah digotong keluar dan ini."
Tian Pek memandangnya dengan terkesima, seketika ia tak tahu bagaimana
perasaannya, pikirnya: "Kalau begitu, dia inilah yang menyuruh nona baju hitam
itu datang kemari......" tapi segera terpikir pula: "Lalu siapakah dia ini? Apakah
iapun saudara sakandung Leng hong Kongcu?"
Diamati wajah gadis itu tajam2 ia merasa wajah gadis yang cantik manis ini jauh
berbeda dibandingkan dengan sikap ketus dara dengan si nona baju hitam serta
kejumawaan Leng-hong Kongcu, tapi ada juga kemiripan diantara wajah mereka.
Ia tak mengerti mengapa kakak-beradik yang berasal dari ayah ibu yang sama
bisa mempunyai sifat yang begini berbeda, lalu iapun merasa kasihan atas nasib
nyonya cantik yang malang itu bayangkan saja betapa risau dan beratnya pikiran
sang ibu
memikirkan sifat putera puterinya yang berlainan itu.
Sementara ia masih melamun, gadis itu menegurnya lagi sambil tertawa "He,
kau dengar tidak perkataanku tadi?" Tian Pek sadar dari lamunannya, dia baru
ingat pertanyaan orang tadi belum dijawabnya.
"Tapi, cara bagaimana aku harus menjawabnya?" demikian ia membatin.
"Haruskah berterima kasih?" Bagi pemuda yang keras kepala. Ia tak sudi berbuat
demikian, sulit baginya untuk mengutarakan perasaan seperti itu.
Otaknya berputar mencari jawaban, sementara ia berpikir pula: "Ibunya telah
menyelamatkan jiwaku, tapi kakaknya mengusir aku, encinya membebaskan aku
dari kesulitan itu dan ternyata dia ini lah yang suruh, tapi. . . . . aku tidak kenaI
gadis ini.
“Ai sebenarnya apa yang terjadi? Mereka toh sekeluarga, kenapa hubungan
mereka satu sama lain begitu ruwet dan kacau balau?" Pikiran yang sudah kalut
kini semakin kacau sehingga untuk beberapa saat ia tak mampu mengucapkan
sepatah katapun.
"Hei, kaudengar tidak perkataannya?" tiba 2 terdengar pula teguran yang dingin
berkumandang dari samping. Tian Pek terkesiap dan berpaling, entah sejak
kapan di sisi pembaringannya sudah bertambah lagi seorang, orang ini
mengenakan pakaian yang penuh tambalan, rambutnya kusut, jenggotnya lebat
tak terawat, terutama sorot matanya yang tajam membuat hatinya tercekat.
Kemunculan manusia aneh yang tak terduga serta teguran yang dingin
mencekat hati ini membuat Tian Pek tak manpu berbicara. Gadis ayu tadi tetap
duduk di tempat semula dengan tersenyum manis, ia tak pernah berpaling
untuk memandang manusia aneh itu, se-akan2 kehadirannya sudah
diketahuinya.
"Eh, kaudengar tidak perkataanku” kembali manusia aneh itu menegur. Tian Pek
tertegun sambil mengawasinya, ia tak mampu menjawab. Manusia aneh itu
mendengus, mendadak ia mencengkeram ke depan, ujung bajunya yang bekibar
membawa deru angin serangan yang dahsyat.
Senyum manis yang semula menghiasi bibir gadis itu seketika lenyap, cepat ia
putar badan sambil memeluk tangan manusia aneh itu, kemudian ia berbisik
apa2 di telinganya.
Sorot mata ganas yang semula terpancar dari mata manusia aneh itu seketika
lenyap tak berbekas, ditatapnya gadis itu dengan pandangan lembut, kemudian
tanpa berpaling secepat kilat ia melayang keluar kamar.
Jendela itu amat kecil dan tertutup separuh, namun hal itu bukan alangan bagi
manusia aneh itu untuk keluar. entah bagaimana caranya, tahu2 ia sudah
menerobos keluar.
Kedatangannya yang ,tiba2 perginya juga sangat mendadak, Tian Pek hanya
memandangi bayangan punggungnya dengan terkesima, ia merasa seperti
mimpi saja.
Setelah manusia aneh itu berlalu, pelahan gadis itu berpaling, sambil tertawa
cekikik ia menegur: "He, kau takut tidak padanya'?" "Siapa orang itu? Kenapa
aku mesti takut padanya?" sahut Tian Pek sambil menggeleng.
"Kau tidak takut? Tahukah kau betapa lihay ilmu silatnya? Jangankan aku, Toako
dan ayahpun sangat memuji kelihayan ilmu silatnya, cuma selama ini dia tak
pernah berkelahi dengan orang lain, maka tiada seorangpun yang tahu sampai
dimanakah kelihayan ilmu silatnya yang sebenarnya. Walau begitu, hehe, kalau
ada orang berani recoki diriku, langsung saja dia akan turun tangan dan
menghajar orang itu sampai setengah mati."
Ia berhenti sebentar dan duduk kembali di sisi pembaringan, kemudian
sambungnya: "Suatu hari dari Lu-pak datang seorang bernama Sam-er-oh tiap
(kupu kupu bersayap tiga) menyembangi ayah, ketika bertemu dengan aku di
kebun, dia anggap aku bisa dipermainkan dengan begitu saja, bahkan
mengucapkan beberapa patah kata yang tdk senonoh, sungguh hatiku malu
bercampur gusar, ingin sekali kuhajar mampus bangsat itu, tapi sebelum aku
turun tangan, paman Lui telah muncul, orang tua itu se-akan2 selalu berada di
sampingku. Huh, melihat kemunculan paman Lui, bukannya bangsat itu minta
maaf. dia malah jual tampang dan berlagak sok, tanpa
banyak omong paman Lui segera menghajar keparat itu sehingga mampus
dibawah semak2 bunga mawar, rupanya mampuspun ia ingin jadi setan
romantis."
kata2 itu diakhiri dengan suara tertawa cekikikan. Sambil mendengarkan
penuturannya, dalam hati Tian Pek berpikir: "Siapakah manusia aneh itu?
Kenapa ia bisa berdiam di tengah keluarga yang serba misterius ini dengan
leluasa?"
Kemudian iapun berpikir lagi: "Siapakah ayahnya? Kenapa sampai seorang Cay-
hoa-cat (Penjahat pemetik bunga, perusak perempuan) juga datang
menyembangi dia?"
Diam 2 iapun heran mengapa nona cantik ini tidak pantang omong, segala
apapun diucapkan begitu saja tanpa canggung.
Tian Pek tidak tahu bahwa sejak kecil gadis ini sudah terbiasa hidup manja, ia tak
kenal apa artinya malu, apalagi takut segala.
"Hihi, andaikata aku tidak berdiri di sampingmu tadi, mungkin sekali
dicengkeram paman Lui nyawamu sudah melayang," habis berkata, tiba2 si nona
menghela napas, dan memandang jauh keluar jendela.
Tian Pek tertegun, ia tak menduga sikap gadis itu sedemikian gampang berubah,
sebentar tertawa riang, sebentar kemudian menghela napas sedih.
Sementara dia masih keheranan, gadis itu berkata pula: “Sungguh aneh sekali,
sejak mama membawa pulang kau, pada pandangan pertama aku lantas
menyukai kau...."
Walaupun ia masih polos dan manja, namun perkataan selanjutnya tuk sanggup
diteruskan, pipinya menjadi merah dan kepalanya tertunduk.
Lama dia membungkam, kemudian sambil membelai rambut sendiri katanya
lagi: "Oleh karena itulah. ketika mama tak dapat menjenguk kau setiap hari,
akulah yang saban hari mendampingi dirimu”
“Hari ini Toako baru saja pulang dari Tay Ouw, ku tahu urusan bisa runyam,
karena dengan watak Toako yang buruk itu dia pasti akan melempar kau
keluar kamar, padahal mama tak di rumah, sedang aku amat jeri pada Toako,
setelah kupikir pulang pergi, akhirnya kuminta bantuan Toaci untuk
menanggulangi persoalan ini. Tahukah kau tabiat Toaci berbeda jauh daripada
watakku, dalam setahun belum tentu dia mengucapkan sepuluh patah kata.
Setelah bersusah payah setengah harian kumohon, akhirnya ia menyanggupi
juga permintaanku, tapi kau. " . ternyata kau tak tahu budi."
Dalam hati kecilnya Tian Pek merasa kurang senang dengan sikap si nona yang
binal, namun setelah mengetahui betapa baiknya gadis itu menaruh perhatian
kepadanya, tak urung timbul juga rasa terima kasihnya yang mendalam.
Ia tersenyum dan berkata: "Kebaikan nona sangat mengharukan hatiku, tentu
saja akan selalu kuingat kebaikanmu ini."
"Huh, siapa yang suruh kau berterima kasih padaku, siapa yang sudi menerima
budi kebaikanmu” tiba2 gadis itu mengomel dengan wajah cemberut.
Sementara Tian Pek tertegun, gadis itu kembali tertawa cekikikan, sambil
mempermainkan bajunya ia berkata: "Asal kautahu aku ini baik kepadamu, serta
jangan galak2 lagi bersikap kepadaku, itu, sudah cukup menggembirakan aku'"
Walaupun Tian Pek cukup prihatin, tak urung tergetar juga perasaanya, ia
merasa perasaan gadis itu begitu murni, begitu sungguh2 tanpa tedeng aling,
semua ini membuat hatinya sangat terharu.
Apalagi sejak kecil la sudah hidup sendirian, setelah dewasa belum pernah ia
merasakan kehangatan kasih sayang orang. Untuk beberapa waktu pemuda itu
hanya ter-mangu2 memandang gadis Itu tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Eh, siapa namamu?" gadis itu bertanya sambil mempermainkan ujung bajunya.
'"Aku sudah tanya mama, tapi mama sendiripun tak tahu. Aneh benar! Padahal
watak mama tak jauh berbeda dengan watak enciku, di hari biasa wajahnya
selalu dingin dan kaku, jarang kulihat beliau tertawa, tapi perhatiannya atas
dirimu sangat besar, ia sangat menguatirkan keselamatanmu, pada mulanya aku
mengira kalian pasti sudah kenal lama. Eh, tak tahunya beliau sendiripun tak
tahu siapa namamu, bukankah kejadian ini sangat mengherankan "
Tian Pek menghela napas. kejadian yang sudah lewat kembali berkelebat dalam
benaknya, la berpikir: "Ai, seandainya nyonya cantik itu tidak menolong aku
tepat pada waktunya, mungkin aku sudah mampus di tengah hutan yang sunyi
Itu. Begitu besar aku berutang budi kepadanya, ternyata aku belum tahu siapa
namanya yang mulia itu."
Ia lantas berpaling ke arah gadis itu, dengan suara lembut ia bertanya: "Ibumu
agung dan berbudi luhur, budi kebaikan yang telah beliau berikan kepadaku
takkan kulupakan untuk selamanya, bila nona tidak keberatan, dapatkah kau
beritahukan siapa nama beliau agar akupun. . . . "
Gadis cantik itu tertawa ngikik dan menyela: "Hihihi, tak nyana lagakmu waktu
bicara persis seperti seorang pelajar rudin, sungguh lucu, lucu sekali . . . . "
Merah jengah selembar muka Tian Pek, untuk sesaat, ia bungkam.
Melihat pemuda itu dibuatnya kikuk, anak dara itu berkata pula: "Ayahku she
Buyung, engkoh dan encik u juga she Buyung, coba kauterka, aku she apa ?”
Tian Pek jadi melengak, ia merasa gadis ini terlalu polos dan lucu, masa
pertanyaan semacam inipun diajukan kepadanya, memangnya dia dianggap
seorang yang tolol?
Kendatipun begitu, ia menjawab juga: "Nona tentu juga she Buyung seperti
kakak dan encimu!"
"Keliru, kau keliru besar," dara 1tu menggelengkan kepala dan bertepuk tangan,
"Aku tldak she Buyung, sku she Tian seperti juga she ibu."
Mukanya berseri2 , agaknya hal ini sangat menggirangkan hatinya. "Wah, kalau
begitu, pantaslah aku tidak bisa menebaknya, siapa yang bakal menduga sampai
ke situ?" kata Tian Pek sambil tertawa geli.
Sementara itu di dalam hati la berpikir: "0, tak kusangka Nyonya cantik itu
ternyata berasal satu marga dengan aku."
Terdengar anak dara itu tertawa cekiklkan dan berkata pula: "Tampaknya kau
bukan orang persilatan ya, masa nama keluarga kamipun belum pernah ka
dengar ?"
Tian Pek tertegun dan menatap wajahnya, kebetulan gadis itupun sedang
memandang kearahnya. Gadis itu tertawa, ujarnya: "Eh, kau ingin tahu namaku
tidak? Aku bernama Tian Wan-ji, dan siapa namamu? Apa aku juga boleh tahu?
Apakah orang tuamu masih ada? Di mana? Punya kakak dan adik? Punya. . . . . "
tiba2 gadis Itu berhenti dan tundukkan kepala sambil tersenyum kikuk,
tambahnya: "Dan punya isteri? . . . . . . "
Pertanyaan yang diajukan secara beruntun itu .semuanya menusuk perasaan
Tian Pek, ia tertegun untuk beberapa saat lamanya, kemudian menghela napas
dan menggeleng.
“Aku juga she Tian, namaku Tian Pek, ayah jbuku telah. . . . . telah meninggal
semua, aku hidup sebatangkara, tanpa sanak tanpa keluarga dan tidak punya
rumah, dendam sakit hati ayahku sampai sekarangpun belum sempat kutuntut
balas."
Sudah lama persoalan yang merisaukan ini terpendam di dalam hati, belum
pernah ia curahkan isi hatinya kepada orang lain, tapi sekarang setelah
berjumpa dengan gadis yang polos dan lincah ini tanpa sadar semua kekesalan
dan kemurungannya diutarakan seluruhnya.
Mendengar jawaban tersebut, mata Tian Wan-ji menjadi merah dan akhirnya
tak tahan lagi air mata jatuh bercucuran membasahi wajahnya yang cantik jelita
itu.
Begitulah perasaan manusia memang aneh. Ada sementara orang yang telah
bersahabat banyak tahun, tapi di antara mereka tak pernah saling
mengutarakan isi hatinya, sebaliknya ada sebagian orang yang baru saja
berkenalan, seluruh isi hatinya lantas di beberkan keluar.
Begitulah keadaan Tian Pek sekarang makin bicara semakin sedih hatinya hingga
sukar dikendalikan lagi, dia lupa lawan bicaranya adalah seorang gadis yang
belum lama dia kenal, seluruh isi hatinya diutarakan semua.
Sesaat itu kamar yang indah inipun se-akan2 dicekam suasana kemurungan.
Baru saja anak muda Itu selesai berkata, mendadak sesosok bayangan
berkelebat masuk lewat jendela dan langsung menerjang ke depan Tian Pek dan
mencengkeram lengannya.
"Siapa kau" dia menghardik. "Apa hubunganmu dengan Tian In-thian?" Tian Pek
amat terkejut dan sebelum ia sempat berbuat sesuatu, tahu2 pergelangan
tangannya telah dicengkeram orang, rasa sakit merasuk tulang la terkejut
bercampur heran, ia tidak tahu darimana orang ini bisa mengetahui nama
ayahnya, lebih2 tak tahu kenapa orang bersikap begitu kasar padanya.
Dengan cepat ia menengadah, ternyata orang yang mencengkeram tangannya
itu bukan lain adalah manusia aneh berambut kusut dan berpakaian compang-
camping yang dipangil paman Lui tadi.
Tian Pek adalah pemuda yang tinggi hati, semakin diperlakukan kasar, semakin
ngotot ia mempertahankan diri, apalagi kalau ada orang hendak memaksa
dirinya dengan kekerasan, sekalipun golok ditempelkan di atas kuduknya, tak
nanti ia berkerut dahi ataupun mengedipkan matanya.
Demikian sekalipun cengkeraman paman Lui ini sangat keras bagaikan japitan
baja sehingga membuat lengannya amat sakit bagaikan patah. namun ia tetap
tidak mengeluh atau menggubris. mulutnya tetap terkatup rapat2 .
"Hayo bicara, siapa kau?" hardik paman Lui pula dengan secara lantang,
matanya melotot dengan sinar tajam. "Apakah engkau keturunan Tian In-
Thian?"
Jelas sekali paman Lui sedang dipengaruhi emosi, tatkala mengucapkan
pertanyaan tersebut, sepasang tangannya gemetar keras dan tanpa disadari
tenaga cengkeramannya atas tangan Tian Pek pun bertambah berat beberapa
bagian.
Rasa sakit merasuk ke tulang sumsum, apalagi luka parah yang diderita Tian Pek
baru saja sembuh, berada dalam keadaan seperti ini, ia betul2 merasa tersiksa,
hampir saja ia jatuh tak sadarkan diri.
Sakalipun badannya kesakitan hebat, namun Tian Pek masih tetap mengertak
gigi dan tutup mulut. ia tak peduli apakah manusia aneh itu melotot bengis
padanya, dia tetap bungkam dalam seribu bahasa.
Tian Wan-ji yang duduk di sampingnya jadi tak tega, apalagi setelah dilihatnya
paras pemuda itu berubah jadi pucat pias bagaikan mayat, keringat sebesar
kacang kedelai menghias jidatnya.
Di samping kasihan iapun merasa kagum, ia kagum atas kejantanan pemuda itu,
sekalipun badannya tersiksa hebat dan sangat menderita, akan tetapi ia tak sudi
mohon ampun, bahkan merintih pun tidak.
Timbul rasa tak senang hati atas sikap kasar paman Lui nya, segera ia berseru:
"Paman, hayo cepat lepas tangan! Coba lihat, tangannya yang kau cengkeram
hampir patah, mana mungkin dia mau menjawab pertanyaanmu ?"
Biasanya paman Lui amat sayang kepada Wan-ji, segala permintaan gadis itu
selalu dipenuhinya tanpa membantah namun sekarang paman Lui sama sekali
tidak mengubris perkataannya, bahkan ketenangannya di hari biasapun lenyap.
Wan-ji makin mendongkol karena bukan saja paman Lui-nya tidak
mengendorkan cengkeraman, malahan dengan sorot mata yang tajam dan
penuh rasa kesedihan ia tatap wajah pemuda itu tanpa berkedip.
"Ooh . . In-thlan . . . . In-thlan . . . . benarkah Thian maha adil dan meninggalkan
keturunan bagimu . . . . ? Ah, dugaanku pasti tak meleset, memang engkaulah
orangnya . . . . Ya, engkaulah orangnya . . . . aku Lui . . . . ..”
Dengan gemas paman Lui melototi Tian Pek, kemudian menengadah dan
berkomat kamit seperti sedang berdoa dengan wajah serius.
"Aduh, celaka - . . !" tiba 2 Wan ji menjerit. "Hai, paman Lui . . . . paman Lui. .
lihatlah, dia telah mati ...”
Bagaikan baru sadar dari mimpi, paman Lui berpaling, ia lihat muka Tian Pek
pucat pasi seperti kertas. matanya terpejam rapat, napasnya kelihatan sudah
berhenti.
Perlu diketahui, paman Lui ini seorang jago silat yang lihay di dunia persilatan,
ketika Pek-Iek-kiam Tian In-thian masih hidup, mereka adalah saudara angkat
yang erat sekali hubungannya.
seringkali mereka berkelana bersama dan entah berapa banyak perbuatan mulia
yang mereka lakukan berdua . Tapi pada suatu perpisahan yang amat singkat,
tiba2 tersiar berita buruk yang mengatakan Pek-lek- kiam Tian In thian yang
gagah perkasa itu mati dibunuh orang.
.
Betapa sedih dan sakit hatinya paman Lui setelah mendengar berita tersebut, ia
segera berangkat ke tempat kejadian untuk melakukan penyelidikan tapi sayang,
bukan saja ia gagal menyelidiki siapa pembunuh Tian In-thian, bahkan jenasah
saudara angkat dan teman seperjuangan itupun tak berhasil ditemukan.
Walaupun begitu, di tempat kejadian ia lihat keadaan kacau balau. pohon
banyak tumbang rumput banyak yang terbabat, kutungan pedang dan senjata
rahasia yang tercerai berai berserakan di mana2, terutama sekali gumpalan
darah di sana-sini menunjukkan betapa dahsyat dan sengitnya pertarungan yang
telah berlangsung.
Setelah menyaksikan keadaan itu, sadarlah paman Lui bahwa apa yang tersiar di
dunia persilatan sedikitpun tak salah, sanking sedih dan penasarannya hampir
saja dia jadi gila. bahkan pernah terlintas pula pikirannya untuk bunuh diri
sebagai rasa setia kawannya.
Akan tetapi suatu keinginan yang jauh lebih besar dari kematian telah menahan
dia hidup sampai kini, keinginan tersebut ialah tekad membalas dendam, ia
hendak menyelidiki dan menemukan pembunuh Tian In-thian, kemudian
balaskan dendam kematian rekannya ini.
Seluruh jagat telah dijelajahi, tapi ia gagal mengetahui siapakah pembunuh
Thian In-thian, apalagi membalaskan sakit hatinya.
Dua puluh tahun sudah lewat tanpa terasa, ia mulai kecewa dab putus asa,
dalam keadaan begitulah ayah Leng hong Kongcu, yakni Buyung cengcu telah
mengundang jago tua ini untuk membantunya, maka menetaplah paman Lui
sebagai tamu undangan dalam perkampungan ini.
Sebenarnya paman Lui tiada bermaksud menjadi anak buah orang. Tapi
mengingat dia harus mencari pembunuh saudara angkatnya yang sebegitu jauh
belum ditemukan itu tatkala mana Bu-lim-su- toa-kongcu yang terkenal itu
sedang berebut pengaruh dan berlumba menarik tokoh2 terkemuka dunia
persilatan untuk memperkuat kedudukan masing2.
Buyung-cengcu adalah ayah Leng-hong Kongcu, di perkampungan keluarga
Buyung Itupun berkumpul tidak sedikit orang 2 Kangouw, paman Lui pikir
mungkin di situ akan dapat ditemui pembunuh yang dicarinya itu.
Kekayaan Buyung cengcu sukar dinilai, orangnya suka pada kemegahan, bukan
saja anggota keluarganya hidup mewah, bahkan setiap tamunya, setiap anak
buahnya juga serba perlente.
Hanya paman Lui saja yang tetap berbaju compang-camping dan tidak suka
merawat mukanya, namun Buyung cengcu tahu Kungfu paman Lui sangat tinggi,
berjiwa luhur dan sangat setia kawan maka terhadap gerak- gerik paman Lui
tidak pernah ada pembatasan. Bahkan diserahi tugas berat untuk menjaga
rumah tangganya.
Rumah tangga Buyung-cengcu sendiri tinggal di bagian paling dalam di komplek
perkampungan nya, penjagaan sangat keras, biarpun anak kecil kalau tidak
dipanggil juga dilarang masuk. Tapi paman Lui yang kelihatan dekil dan kasar itu
justeru bebas keluar masuk di situ, dia benar2 mendapatkan penghargaan lain
dari Buyung cengcu.
Bahwa paman Lui juga kerasan tinggal di perkampungan keluarga Buyung ini
bukan cuma lantaran mendapat penghargaan istimewa dari Buyung cengcu,
yang lebih penting adalah karena paman Lui sangat suka kepada Tian Wan-ji,
sayangnya kepada anak dara itu boleh dikatakan melebihi ayah bunda kandung
si nona.
Sebab itulah paman Lui sudah sekian lama berdiam dI perkampungan Buyung
ini, namun selama itu pula dia tidak pernah lupa menyelidiki pembunuh
saudara-angkanya itu.
Sesungguhnya, bahwa paman Liu tidak suka berdandan dan merawat mukanya
itu, sebabnya tidak lain adalah karena rasa dukanya atas kematian saudara
angkatnya. Meski kejadian itu sudah berpuluh tahun, tapi tidak satu saatpun
dilupakannya, senantiasa teringat oleh kejadian itu dan dia harus, menuntut
balas.
Sekarang, secara tidak terduga dia melihat pemuda yang diduganya adalah
keturunan Tian ln-thian, tentu saja bergolak perasaannya. Padahal dia tidak
pernah mendengar bahwa saudara-angkatnya itu mempunyai isteri dan
beranak. Tapi pemuda yang dilihatnya sekarang ini baik gerak-geriknya maupun
raut watahnya memang sangat mirip dengan mendiang Tian In-thian. Malahan
diluar jendela didengarnya pula pemuda itu berkata kepada Wan ji bahwa dia
juga she Tian serta tentang kematian ayahnya yang mengenaskan dan sebegitu
jauh musuh yang membunuh ayahnya juga belum diketahui.
Seketika bergolak darah di dada paman Lui, tak tahan lagi ia lantas menerobos
ke dalam dan mencengkeram pemuda itu kencang2 untuk ditanyai.
Karena dipengarui emosi, paman Lui. lupa kalau tenaga yang digunakan terlalu
besar; apalagi Tian Pek masih sakit, sudah tentu pemuda itu tak tahan hingga
akhirnya jatuh pingsan.
Setelah Wan-ji menjerit kaget baru paman Lui sadar dari lamunannya, betapa
terperanjatnya ketika diketahui Tian Pek jatuh pingsan karena kesakitan, cepat2
ia lepaskan cengkeramannya dan mengurut jalan darah pemuda itu.
Wan ji menjadi cemas menyaksikan keadaan Tian Pek, tanpa terasa air matanya
ber-linang2 Anak dara. yang cantik seperti bidadari ini hidup dimanja, banyak
pemuda tampan dari keluarga bangsawan dan hartawan yang mengejarnya,
namun anak dara ini tak pernah memandang sebelah mata kepada mereka.
Tapi kini ia malah jatuh cinta terhadap seorang pemuda gelandangan yang
sedang menderita sakit.
"Nona!" bisik paman Lui dengan perasaan menyesal. ia tak menduga akan
menyedihkan hati nona itu karena kecerobohannya, maka dengan lembut
dihiburnya: "Jangan kuatir, dia takkan mati, dia cuma jatuh pingsan."
"Aku. . . . . aku benci kau. . . . . " teriak wan-ji sedih air mata bercucuran dengan
derasnya, ia sakit hati karena Tian Pek dicengkeram paman Lui sampai jatuh
pingsan, tanpa disadari terluncurlah kata2 kasar itu
.
Setelah ucapan tersebut meluncur keluar, dara itu baru merasa kata2 itu tak
pantas diucapkan kepada seorang tua yang begitu menyayangi dirinya, ia
menjadi kikuk. Maka setelah berhenti sebentar, katanya lagi: "Kalau. . . kalau dia
sampai mati. . . . . aku takkan memaafkan engkau. . . ya, . takkan kumaafkan
perbuatanmu itu. ..."
Gadis itu berusaha melunakkan nada suaranya, ia tak ingin mengucapkan kata
yang menusuk hati paman Lui, tapi rasa kuatirnya atas diri Tian Pek membuat
kata2 nya tetap kedengaran ketus.
Paman Lui tertegun mendengar perkataan itu, sejak ia bermukim di
perkampungan keluarga Buyung ini, rasa sayangnya terhadap Wan-ji melebihi
kasih sayangnya kcpada puteri kandung sendiri, walaupun selama hidup ia tak
pernah kawin dan mempunyai anak. tapi dia percaya sekalipun Ia punya anak
sendiri, rasa sayangnya atas did Wan ji takkan berubah.
la sama sekali tak menyangka gadis yang amat disayanginya tega mengucapkan
kata2 kasar semacam itu, maka paman Lui jadi tertegun. Cuma saja hal itu hanya
berlangsung dalam waktu singkat, segera paman Lui mengurut pula jalan darah
Tian Pek sambil melirik sekejap ke arah gadis itu.
Dilihatnya Wan ji sedang mengawasi Tian Pek dengan rasa kuatir dan air mata
berlinang2 , maka tahulah paman Lui apa artinya itu.
"Ah, rupanya anak perempuan yang nakal ini telah jatuh cinta . . . . ehm, begitu
besar rasa cintanya kepada pemuda ini sehingga dia bersedia mengorbankan
segalanya . . . . Ai, aku memang tolol, makin tua makin goblok . . . . kenapa
pikiranku tidak sampai ke situ? Apalagi yang berharga di perhatikan oleh
seorang gadis remaja seperti dia kecuali soal cinta?
Setelah menyadari hal itu, bukan saja ia tak marah atas sikap Wan-ji yang kasar
tadi, la malahan ban tersenyum dan berkata: "Wan ji, jangan kuatir Paman
bertanggung jawab atas keselamatannya, tanggung akan kuserahkan seorang,
seorang kepadamu”
Seorang apa? Seorang kekasih? Seorang calon suami ?Paman Lui tidak
menerangkan lebih jauh, ia menjadi kikuk dan garuk2 kepala.
Dasarnya Wan ji memang polos dan binal, tingkah laku paman Lui yang kocak
menggelikan hatinya, tertawalah dia, malahan ia lantas tanya "Paman Lui,
seorang apa maksudmu? Kenapa tak kau lanjutkan perkataanmu?"
"Se . . . . seorang .. manusia yang hidup," setelah gelagapan akhirnya meluncur
juga kata-kata itu, ia kegirangan karena berhasil mencari kata yang tepat untuk
jawabannya.
"Hihihi. . . . . "Wan-ji tertawa cekikikan," tentu saja seorang manusia yang hidup,
masa kau anggap aku menyukai orang mati. . . . .., Lucu sekali paman ini. . . . . ..
Tiba2 mukanya berubah jadi merah, dengan tersipu ia tunduk kepala dan
memainkan
ujung baju sendiri.
Ketika ia melirik paman Lui, dilihatnva orang tua itu sedang memandang.nya
lekat 2 , cepat anak dara itu tunduk kepala pula lebih rendah, mukanya semakin
merah.... . . . .
Nyata paman Lui seudiripun tak tabu kenapa Wan-ji bersikap begitu? Kenapa si
nona jadi ter-sipu2?
Siapakah di dunia ini yang bisa menebak perasaan seorang gadis remaja. Kiranya
se-hari2 Wan-ji sering mendengar ibunya menyebut ayahnya dengan istilah
"orang mati", sebagai gadis yang masih hijau dan polos, dia mengira sebutan
"orang mati" adalah kata ganti dari "suami". Sekarang tanpa disadari ia telah
mengibaratkan Tian Pek sebagai "orang mati", pantas mukanya lantas merah.
Pada saat itulah T,an Pek telah siuman kembali dari pingsannya setelah jalan
darahnya diurut paman LIU, pelahan dia membuka matanya, pertama yang
masuk dalam pandangannya adalah Wan-ji yang cantik jelita bagaikan bidadari.
"Air. . . . . " bisik Tian Pek dengan lirih. Kesadaran pemuda ini belum pulih
kembali.
Meskipun ia depat melihat Wan-ji yang cantik ini, tapi ia lupa di manakah ia
berada, ia hanya merasa haus sekali maka cuma kata itu saja yang mampu
diucapkan.
Wan-ji kegirangan melihat pemuda itu telah ladar kembali, dengan wajab ber
seri 2 ia tuang semangkuk air, lalu bangunkan pemuda itu dan menyuapkan air
ke mulutnya . .
Paman Lui hanya menggeleng kepala sambil menghela napas ketika
menyaksikan perbuatan anak dara itu, tak tersangka puteri jelita kesayangan
keluarga Buyung yang selalu di manja dan tinggi hati ternyata bersikap mesra
terhadap seorang pemuda gelandangan, sungguh kejadian yang tak pernah di
duga siapapun juga.
Cinta memang mempunyai kekuatan yang maha besar dan sukar
dibayangkan...... "Te . . . . terima . . . . terima kasih. .. "bisik Tian Pek lirih.
Selelah minum, kesadaran anak muda itupun berangsur pulih kembali, pertama
yang dia rasakan adalah bau barum ciri khas orang perempuan. Menyusul ia
lihat ada selembar wajah yang jelita hampir menempel di samping wajah
sendiri.
Dan terakhir ia merasa.. badannya berada dalam dekapan seorang gadis yang
cantik jelita.Tian Pek menjadi malu sekali wajahnya berubah merah, suatu
perasaan yang aneh mengguncang hatiuya. Rasa empuk, halus dan hangat
seperti ini baru dirasakan untuk pertama kalinya., ia lihat gadis secantik itu
sedang merangkul tubuhnya sementara tangannya yang putih halus sedang
menyuapi air ke mulutnya, biji matanya yang bening dan halus sedang
memandangnya dengan perasaan kasih sayang yang tak terkatakan.
Pemuda itu merasa apa yang dialaminya sekarang bagaikan dalam mimpi
belaka, ia sangat terharu, saking terharunya sampai tak mampu berkata.
Setelah mengucapkan terima kasih ia berpaling dan tiba2 dilihatnya manusia
aneh itu berdiri pula di depan pembaringan sambil mengawasinya dengan
pandangan tajam, segera ia meronta hendak berduduk.
Kalau tidak meronta mungkin keadaannya masih mendingan, begitu badan
bergoyang, luka bekas bacokan pada lengan kirinya seketika terasa sakit sekali,
dengan lemas ia terjatuh kembali dalam rangkulan anak dara itu.
Sekalipun rasa sakit tak sampai membuat pemuda itu mengeluh, tapi ketika
untuk ketiga kalinya ia terjatuh kedalam rangkulan Wan ji, kebetulan tangan
gadis itu menyentuh bahunya, melihat darah segar yang mengucur dengan
derasnya, tak tahan lagi gadls itu menjerit. "Ada apa?" seru paman Lui dengan
terperajat, cepat ia memburu maju.
"Wan ji, kenapa....?" dari luar pintu berkumandang pula seruan kuatir, menyusul
Nyonya cantik yang berwajah agung itu lantas lari masuk.
"Kenapa dia . . . . ? Apa jang terjadi?" Tapi dengan cepat semuanya menjadi
jelas,
kiranya gerakan Tian Pek tadi mengakibatkan, lukanya merekah kembali, dengan
sendirinya darahpun mengucur keluar.
Dengan wajah kaget bereampur kuatir nyonya cantik itu menutuk Pit-ji-hiat
serta Sim-hi-hiat di tubuh Tian Pek, kemudian kepada puterinya ia berseru:
"Wan-ji, cepat ambilakan satu cawan kuah jinsom yang kental, lekas!"
Wan-ji mengiakan dan buru 2 turun dari pembaringan dan lari keluar. “Wan-ji,
tak usah kau pergi!" tiba2 paman Lui berseru. "Aku mempunyai sebutir obat
yang jauh lebih manjur, meskipun kuah jinsom dapat menambah darah, tapi
obatku ini beberapa kali lipat lebih mujarab daripada jinsom."
Sambil berkata ia mengeluarkan sebuah botol kecil yang dilipat ber-lapis2 ,
tampaknya sangat berharga.
"Paman, berikanlah obat itu kepadaya," teriak Wan-ji dari luar Pintu, "biar
kuambil pula kuah jinsom, agar lebih manjur"
“Aii bocah ini biasanya memang gesit dan simpatik," ujar si nyonya cantik
tertawa. Karena lukanya pecah kembali, Tian Pek merasa sakitnya tidak
kepalang sampai merasuk ke tulang sumsum, tapi kesadarannya tidak punah, ia
dapat menyaksikan betapa kasih sayangnya wanita setengah baya itu
memperhatikan dirinya dan dapat pula menyaksikan betapa cemasnya Wan ji
atas lukanya.
Dalam hati pemuda ini sangat terharu, orang2 ini adalah keluarga kaya, apa yang
mereka kehendaki selalu dilayani oleb pelayan, tapi sekarang karena seorang
pemuda gelandangan, mereka bersedia menurunkan derajat sendiri dan
melayani dia dengan begitu hangat, tak terkira rasa terima kasih yang timbul
dalam hati kecilnya
.
Sementara itu paman Lui telah membuka bungkusan dan mengeluarkan satu
botol porselin kecil ketika botol itu dlbuka penyumbatnya, maka
menggelindinglah sebutir obat warna merah sebesar buah kelengkeng, Bau
harum semerbak tersiar ke mana2 , dengan kejut bercampur girang nyonya
cantik itu berseru: "Wah, obat apa itu"! Baunya sedap sekali!"
"Pil ini adalah Liong hou-si-mia wan!" kata paman Lui. "Apa? Liong hou-si--mia-
wan?" tukas sang nyonya cantik dengan terperanjat. "Kalau tidak keliru, obat itu
bukankah berasal dari Siau-lim-si?"
"Betul:, obat ini memang berasal dari Siau-lim-si," "Aku tahu obat ini adalah.
obat mestika Siau lim-si yang jarang diberikan kepada orang lain, darimana
Hiante (adik) memperolehnya . . . ?"
Perlu diketahui Buyung-cengcu amat menaruh hormat terhadap paman Lui,
maka saling menyebut saudara dengan jago ini, lantaran itu nyonya cantik
inipun menyebut saudara padanya. Setetah ucapan tadi meluncur keluar;
nyonya itu baru merasa telah salah bicara, dengan pertanyaan tersebut
bukankah sama artinya ia telah mencurigai asal-usul dan cara mendapatkan
obat mestika itu? Dengan perasaan tak enak ia lantas membungkam.
"Lima belas tahun vang lalu aku pernah membantu ketua Siau.lim-si
menyelesaikan suatu perkara," paman Lui menerangkan. "karena rasa terima
kasihnya, maka ketua tersebut menghadiahkan tebutir pil Liong-hou-si-mia-wan
padaku. Tapi aku tak pernah memakainya dan sekarang. . . . . " - Dia angsurkan
obat itu ke hadapan Tian Pek, kemudian melanjutkan: "Boleh juga kuberikan
obat mestika ini padamu tapi sebelumnya harus kaujawab dulu pertanyaanku
tadi dengan sejujurnya” Tian Pek sendiri sama sekali tidak kenal siapa paman Lui
ini, dia hanya merasa betapa bengis dan garangnya orang ini, perbuatannya
agak sinting dan sukar dimengerti, sudah dua kali ia mencengkeram tangannya
di kala ia sedang sakit parah.
Karena perbuatannya itu, Tian Pek jadi tak senang terhadap orang ini, apalagi
sekarang orang itu bendak paksa dia menjawab pertanyaan dengan imbalan
obatnya.
Dasar Tian Pek adalah seorang yang angkuh, sudah kenyang menderita, baginya
lebih baik mati daripada menerima belas kasihan orang lain. Maka ia lantas
mendengus, tanpa bicara ia putar badan menghadap ke dinding, terhadap
perkataan paman Lui sama sekali tidak digubrisnya. Paman Lui jadi mencak2
gusar bagaikan kebakaran jenggot.
Nyonya cantik itupun agak tercengang melihat sikap Tian Pek, dengan lembut ia
lantas berkata: "Nak, pil Liong-hou-si-mia-wan ini amat berharga dan dapat
menyembuhkan penyakit apapun, bagi orang yang belajar silat obat ini bisa
memperkuat tenaga dalam, banyak orang persilatan ingin mendapatkan obat
ini, tapi mereka tak punya rejeki, sebaliknya kau yang diberi malah menolak, kan
lucu? Apa yang telah paman Liu tanyakan kepadamu? Hayo jawablah! Kemudian
makanlah obat itu, bukan saja penyakitmu akan sembuh bahkan amat
bermanfaat bagimu. . "
"Aku tak sudi!" jawab Tian Pek ketus, paman Lui tambah gusar, dia mencak2
seperti orang gila. "0, mati aku. . . mungkin mataku yang sudah buta, aku.. “
Sikap paman Lui makin lama makin diliputi emosi, sampai akhirnya tak ketahuan
apa yang sudah ia ucapkan. Sambil memegang obat mestika itu, ia menjadi
serba salah, pikirnya: "Banyak orang persilatan yang meng-impi2kan benda
mestika ini, untuk mendapatkan benda ini akupun harus pertaruhkan nyawa
tnembantu pihak Siau-lim-si, lima belas tahun lamanya kusimpan obat ini, siapa
tahu bocah ini kelewat tolol, masa kuberikan kepadanya tak diterima malahan
ditolak mentah 2 , sialan!"
Tentu saja obat mestika itu tak dapat disimpan kembali, sebab kalau dia
kembalikan ke dalam botol, niscaya orang lain akan menuduh ia kikir.
Akhirnya dengan gemas tercampur dongkol paman Lui membanting obat
mestika itu ke lantai. Nyonya cantik itu berdiri melongo dengan pandangan
kaget, untuk beberapa saat ia tak mampu mengucapkan sepatah katapun.
Dalam pada itu paman Lui tanpa berpaling lantas menorobm keluar.
Suara bantingan tadi mengejutkan Tian Pek, ia berpaling, dilihatnya manusia
aneh itu sudah tidak ada, sebaliknya nyonya cantik itu berdiri melenggong.
"Apa yang terjadi?' ia bertanya.
"Ai, kau telah menyakiti hati paman Lui” bisik nyonya cantik itu sedih.
"Menyakiti hati siapa?" tanya Wan-ji yang baru muncul dengan membawa
sebuah nampan kemala dengan sebuah mangkuk bertutup.
Begitu sampai di sisi pembaringan. ia taruh nampan itu di meja, kemudian
membuka tutup mangkuk dan meniup hawa panas dalam mangkuk dengan
mututnya yang mungil dengan mesra dia suapin Tian Pek seraya berkata
"Hayolah, cepat makan, biar kusuapi kau!"
Tian Pek menggeleng, ia pandang nyonya cantik itu dengan keheranan, lalu
bertanya: "Nyonya, aku tak mau makan obatnya, kenapa dia jadi sakit hati?"
Nyonya cantik itu tidak menjawab. ia termenung sejenak, kemudian sambil
menatap wajah Tian Pek ia balas bertanya: "Apa yang paman Lui tanyakan
padamu tadi?"
"Dia tanya siapa .. . siapakah diriku?" sahut Tian Pek tergagap. "Iapun bertanya .
“
"Bertanya apalagi?" desak nyonya cantik itu penuh perhatian.
"Ibu!" sela Wan-ji, "jangan bertanya melulu, biarkan dia makan dulu dong! Kalau
tidak, dia bisa . . . . " "Jangan mengganggu!" tukas si nyonya cantik dengan wajah
prihatin, matanya yaug jeli menetap tajam wajah pemuda itu.
"Dia tanya Tian " Tian Pak tergagap demi harus menyebut nama ayahnya, ".. .. .
Tian
In-thian itu ada hubungan apa dengan aku'!"
Air muka nyonya cantik itu berubah tegang, tubuhnya bergetar karena menahan
emosi, desaknya lebih lanjut: "Kalau begitu, apa hubunganmu dengan Tian . . . .
Tian In-thian? Mengapa tidak kau jawab pertanyaan paman Lui?"
Tiau Pek tertunduk sedih, berhadapan dengan nyonya cantik yang berulang kali
menolong jiwanya ia tak ingin berdusta, maka jawabnya dengan jujur:
“Sebetulnya Tlan . . . . Tian In- thian adalah mendiang ayahku” Terkenang pada
nasib ayahnva yang malang, penderitaannya semenjak kecil serta dendam
kesumat yang masih merupakan tanda tanya besar, si anak muda itu tak dapat
menahan rasa dukanya lagi, air mata jatuh bercucuran dan hati terasa pedih
bagaikan di-sayat2.
Semula nyonya cantik itu mengunjuk rasa kaget dan tercengang, kemudian
dengan wajah berseri ia seperti mau bicara, tapi akhirnya maksud itu dibatalkan.
Wan ji tak tahu siapa Tian In-thian yang dimaksudkan, iapun tak menaruh
perhatian terhadap perubahan air muka ibunya, ketika hendak menyuapi kuah
jiosom ke mulut Tian Pek, tiba2 ia lihat anak muda itu melelehkan air mata.
maka mangkuk itu diletakkan kembali ke meja. lalu ia ambil saputangan untuk
mengusap air mata anak muda itu.
"Janganlah menangis, ia menghibur dengan lembut. "Mari, kuseka air matamu,
makanlah buah jinsom ini agar sakitmu cepat sembuh, kau harus menurut. . . . . .
."
Lagak gadis ini se-akan! sedang menimang seorang anak kecil saja, keruan Tian
Pek jadi melongo dan merasakan sesuatu yang sukar dijelaskan.
Tiba2 dari luar lari masuk seorang dayang cilik dengan gugup ia mendekati
nyonya cantik itu, setelah memberi hormat ia berkata dengan gelisah: "Nyonya,
kiranya engkau berada di sini, hamba telah mencari ke mana2 .. ... Loya lagi
marah2 dan suruh mencari nyonya. . . harap nyonya lekas ke sana."
Saking gugup dan tegangnya muka dayang baju hijau itu jadi merah padam dan
napasnya ter sengal2. Dengan sikap tak senang hati nyonya cantik itu berkerut
dahi, ucapnya: "Ada urusan apa Loya mencari aku'!"
"Hamba.. .. hamba tidak tahu," jawab dayang itu, "Loya sedang marah dan
nyonya disuruh lekas ke sana."
Dengan perasaan apa boleb buat nkhirnya si nyonya cantik berdiri, ia melirik
sekejap pada Tian Pek. lalu pesannya kepada Wan-ji: "Rawat dia baik2, aku
segera akan kembali!"
Wan-ji mengiakan, nyonya cantik itupun berlalu diiringi dayang Cilik itu.
Setelah nyonya itu pergi, ruang tidur yang indah tinggal dua orang saja, dengan
manja Wan-ji menyuapi Tian Pek untuk menghabiskan kuah jinsom tadi.
Sejak ibunya meninggal. Tian Pek hidup luntang lantung tanpa kenal arti
kehangatan hidup, ia hanya tahu menderita dan tersiksa. Berbaring di
pembaringan yang empuk serta ditemani gadis cantik yang simpatik, membuat
pemuda itu hampir saja lupa daratan, apalagi kuah jiosom yang disuapkan ke
mulutnya mendatangkan rasa hangat dalam perut, membuat anak muda itu
terpesona dan terlena.
sambil menelan kuah jmsom yang disuapkan kemulutnya, diam2 Tian Pek
mengamati gadis cantik yang duduk di sampingnya itu. potongan tubuhnya yang
ramping dan pakaiannya yang indah berwarna biru, dara itu tampak agung dan
mempesona.
Berbaring di dalam rangkulan si nona yang hangat dengan bau harum menyusup
hidung, Tian Pek merasa bagaikan berada di alam mimpi, ia tak habis mengerti
apa sebabnya gadis cantik yang sebelumnya tidak pernah dikenal ini bersikap
begini hangat dan baik kepadanya.
.
Seperginya nyonya cantik itu, satu pikiran berkelebat dalam benak Tian Pek, ia
teringat kembali akan perasaan murung dan kesa! yang mengbiasi wajah nyonya
cantik itu? dia ingin tahu persoalan apakah yang dirisaukan nyonya itu? Ia pun
terbayang kembali pada kehangatan dan kebaikan Wan-ji, kalau dibandingkan
pemuda yang jumawa tadi serta gadis berbaju hitam yang dingin bagaikan es,
perbedaannya boleh dikatakan bagaikan langit dan bumi, padahal mereka
bersaudara,
kenapa tabiat mereka berbeda jauh?
Siapa pula yang disebut Loya oleh dayang baju hijau tadi? Diakah pemilik gedung
ini? Suami nyonya cantik ItU? Pelbagai kecurigaan berkecamuk dalam benaknya,
tanpa terasa ia bertanya: "Aku . . . . aku ingin tanya sesuatu, apakah nona . . . .
bersedia menjawab sejujurnya?"
Dasar pemuda polos, ia tak biasa menyelidiki rahasia orang, pertanyaanya
diajukan dengan ter-bata 2. "Ai, pakai nona'. . . . nona segala, lucu sekali kau ini .
. . ." goda Wan-ji sambit tertawa.
Merah muka T!an Pek. "Engkoh Pek, persoalan apakah yang ingin kau tanyakan?
Katakan saja terus terang'" seru Wan-ji palos.
Ketika dilibatnya Tian Pek merasa jengah hingga mukanya berubah merah
padam, dengan bersungguh-sungguh ia berkata lagi: "Asal adik tahu
masalahnya, tentu akan kukatakan padamu! Jangan Nona. . . . nona begitu lagi,
lucu dan tak enak didengar, panggil saja aku adik Wan!"
"Aku tak berani memanggil begitu.... "
"Ah, kita kan sama2 dari marga Tian, kenapa tidak berani? Sungkan? Jangan
urusi soa tetek bebgek seperti itu. Eugkoh Pek, apa yang ingin kau tanyakan?”
"Adik Wan ..." bisik pemuda itu lirih.
Wan-ji kegirangan, mukanya berseri, senyum manis menghiasi bibirnya: "Nah,
begitu baru enak didengar," serunya. Tian Pek tunduk ter-sipu2, sesaat
kemudian baru ia berkata lagi: "Loya yang dimaksudkan dayang tadi apakah
ayahmu? “
Wan-ji mengangguk. "Kulihat Ibumu tak senang hati apakah hubungan ayah-
ibumu", Senyum manis yang tersungging di bibir Wan-ji segera lenyap tak
berbekas, dengan wajah murung selanya: "Engkoh Pek, janganlah menanyakan
persoalan itu padaku, adik tak ingin membicarakan masalah orang tua . . . . . . "
Ucapan itu makin lirih bingga akhirnya hampir tak terdengar, kepalanya
tertunduk rendah. Dari sikap Wan-ji yang murung, Tian Pek tahu kalau masalah
itu tak ingin dibicarakannya, maka ia alihkan pembicaraan ke soal lain.
"Kalau adik Wan tak ingin menjawab, akupun tak akan bertanya lagi, hanya saja,
ada persoalan lagi yang membuat hatiku tak habis mengerti, kenapa Sikap adik
Wan begitu baik? Sedang engkohmu begitu jumawa dan eneimu begitu dmgin . .
. . . . ..
"Jangan bicara tentang mereka!" seru Wan-ji sambil menengadah, ditatapnya
pemuda itu dengan lekat. "Boleh adik bertanya pula padamu'! Engkoh Pek,
setelah engkau sembuh dari sakitmu, apa yang hendak kau lakulan?"
Tian Pek tertegun, untuk sesaat ia tak mampu mengucapkan sepatah katapun.
Tentu saja la hendak membalaskan dendam bagi kematian ayahnya, tapi ke
mana ia harus cari pembunuh itu? Tanpa sesuati bukti dan petunjuk, mana
mungkin sakit hati bisa di balas? Apalagi pedang mestika serta barang
peninggalan ayahnya telah tercerai- berai, ilmu silat yang dimilikipun amat
cetek. Tanpa bekal yang cukup sudah pasti semua harapan akan hampa belaka.
Terbayang kesulitan yang terbentang di depan mata, pemuda Itu merasakan
hatinya menjadi kosong dan pedih, tak kuasa titik air mata meleleh membasahi
wajahnya.
"Engkoh Pek!" Wan-ji segera berseru sambil memeluk pemuda itu erat2
"kemanapun kau akan pergi, adikmu takkan berpisab denganmu, aku akan
selalu menemani kau!"
Tian Pek sangat terharu, dalam kepedihannya timbul perasaan hangat yang
membuat pemuda itu tak dapat menguasai diri lagi, ia balas memeluk Wan-ji
dan bergumam: "Baik, selamanya kita takkan berpisah . . . . . . . selamanya. ya
selamanya takkan
berpidah. . . . . . . "
Tiba2 dari luar jendela berkumandang suara orang mendengus, dengusan itu
ibarat hembusan angin dingin yang menggugurkan bunga indah. "Budak tak
tahu malu, merusak nama baik keluarga . . . . . sungguh memalukan'" teguran
ketus dan dingin menyusul dari luar kamar.
"Toako, kau berani menghina aku!" teriak Wan-ji dengan merah, ia loncat
bangun dari rangkulan Tian Pek dan menerobos keluar. Suara ribut dan cekcok
mulut itu kian lama kian menjauh, akibatnya tak kedengaran lagi.
Suasana yang semula hangat kini berubah menjadi dingin bagaikan beku, Tian
Pek tak mampu berbuat sesuatu menghadapi kejadian itu kecuali membungkam
dan berbaring tak berkutik di tempatnya.
Ia menghela napas dan memejamkan mata ingin istirahat dengan tenang.
Suasana amat hening, tiba2 sesosok bayangan menerobos masuk ke dalam
kamar, gerakannya cepat luar biasa, tahu2 sudah berada di depan pembaringan,
kedua telapak tangannya sekaligus menepuk tubuh Tian Pek.
Mata Tian Pek terpejam, ia tidak merasakan ada orang masuk ke kamar, ketika
mendengar sesuatu suara baru ia membuka mata dan memandang kejut ke arah
orang itu: "Paman Lui, kau. . . . . . "
Dengan muka bengitu mengerikan paman Lui siap se-akan2 mencekik lehernya,
begitu menyeramkan wajahnya membuat anak muda itu terkesiap dan tak
mampu melanjutkan kata2nya.
Memang bayangan orang yang menerobos ke dalam kamar ini ialah paman Lui,
dia sendiripun tertegun ketika mendengar seruan kaget Tiau Pek, tangannya
terjulur terhenti di udara, apalagi ketika sorot mata mereka saling bertemu,
muka yang semula bengis mendadak tersapu lenyap, senyum ramah segera
tersungging di ujung bibirnya.
Dipandangnya pemuda itu beberapa saat, akhirnya ia memondong Tian Pek dan
secepat kilat menerohos keluar dan meninggalkan kamar itu. Tian Pek terkejut,
hampir saja ia menjerit. tapi jeritan itu dibatalkan sebab dia tidak ingin
menunjukkan kelemahan sendiri.
Setiba di tengah kebun, pemuda itu berusaha untuk meronta, namun sekujur
badan lemas tak bertenaga, dia ingin menegur paman Lui, namun tak tahu apa
yang mesti diucapkan, akhirnya pemuda ini ambil keputusan untuk tetap
membungkam.
Paman Lui terus melayang kc arah sebelah kanan taman. Sekilas pandang Tian
Pek melihat pepohonan tumbuh dengan rimbunnya di taman ini, aneka bunga
menyiarkan bau harum tampak bangunan gedung, tapi sebagian tertutup oleh
gunung2an dan pepohonan, maka pemandangan di situ tak begitu jelas, yang
pasti taman ini sangat luas, belum pernah ia jumpai taman seluas ini.
Sementara itu paman Lui telah melayang dengan cepat, pandangannya menjadi
kabur, dari sini dapat diketahui betapa cepatnya orang aneh itu berlari. Sesaat
kemudian ia merasakan tubuhnya se-akan2 dibawa lari melalui suatu serambi
panjang, ujung serambi itu ternyata adalah sebuah bukit kecil, bukit itu mirip
gunung2an buatan, tapi gunung2an tak mnngkin ..setinggi itu, kalau dibilang
bukit sungguhan tak mungkin begitu indah mungil.
Sebuah jalan berliku melintas ke atas bukit, pepohonan tumbuh dengan
lebatnya, suasana hening, udara sejuk, suatu tempat yang amat menarik. Tapi
paman Lui tidak melalui jalan bukit itu, ia menerobos masuk ke dalam hutan, hal
ini mengejutkan pemuda itu.
"Wah, celaka” batinnya. tapi ingin ia pasrah nasib. Tabu2 paman Lui berhenti
seraya berkata: "Sudah sampai!" Tian Pek membuka matanya, tempat itu
ternyata adalah sebuah gua, cahaya bintang memancar masuk dari luar, meski
gua ini gelap lengang,
namun di dalam gua ada meja dan kursi batu, semuanya terawat bersih, hal ini
sama sekali berbeda daripada paman Lui yang dekil tak terurus ini.
Diam2 Tian Pek merasa heran, pikirnya: "Tempat apakalh ini? Kenapa dia ajak
aku kemari? Mau diapakan aku ini?" Paman Lui sendiri hanya bungkam saja, ia
tidak ke memberi keterangan, juga tidak mengatakan apa2, suasana tetap
diliputi keheningan.
Paman Lui membaringkan dia di sebuah dipan batu, dengan perasaan apa boleh
buat pemuda itu menghela napas panjang, sekali lagi ia pejamkan mata sambil
membatin: "Peduli apa yang dia mau lakukan, akhirnya teka-teki ini pasti akau
terbongkar. . . “
Paman Lui berdiri di depan pembaringan, dengan sorot mata yang tajam ia
mengawasi Tian Pek, tiba2 ia ayun telapak tangannya dan menghantam tubuh
pemuda itu.
"Bluk!" Tian Pek merasa hantaman itu tepat mengenai dada, dan pinggangnya,
terasa sakit dan ngilu, ia menjerit keras dan membelalakkan matanya. Ia sempat
menyaksikan mimic wajah paman Lui yang aneh, apa yang kemudian terjadi, ia
tak
tabu lagi karena ia lantas tak sadarkan diri.
Entah berapa lama, pelahan Tian Pek sadar kembali dari pingsannya. Gua itu
tetap gelap gulita, bahkan jauh lebih gelap daripada semula.
Perlahan anak muda itu membuka matanya, ternyata tiada sesuatu yang
terlihat, buka mata atau terpejam sama sekali tak ada bedanya, karena tiada
sesuatu yang dapat terlihat, kenapa begitu? Apakah tengah malam saat ini? Tapi
sekalipun di tengah malam tentu juga ada setitik sinar.
Pemuda itu tak mengerti, kenapa bisa begitu? lapun tak tahu, apakah masih
berada dalam gua semula atau sudah pindah ke tempat lain. Ia berusaha untuk
meronta bangun dan berduduk, tubuhnya terasa enteng dan penuh bertenaga,
rasa sakit, penat serta lemas yang pernah dialaminya kini sudah lenyap, Tian Pek
sangat heran, hampir saja ia tak percaya pada kenyataan ini, bukan sekali saja ia
pernah sakit, tapi belum pernah penyakitnya lenyap dengan begitu saja dalam
waktu singkat.
Dengan perasaan heran dan penuh tanda tanya ia melompat. bangun, tiada
sesuatu yang terlihat olehnya, suasana tetap gelap gulita dan sepi.
Ia sangsi sejenak, akhirnya ia berseru: "Paman Lui". Tiada jawaban, paman Lui
yang aneh itu entah ke mana perginya? Jangankan muncul, menjawabpun tidak.
la tak berani sembarangan maju, walaupun saat itu sudah berdiri, tubuhnya
terasa segar dan enteng, jauh lebih enteng dari pada sediakala.
Lama sekali ia berdiri ter-mangu2, ia tak tahu apa yang harus dilakukan,
segulung angin dingin berembus lewat mengibarkan ujung bajunya.
"Aneh!" pikirnya, "darimana embusan angin di tempat yang begini gelap gullta?"
Dengan perasaan heran dan ingin tahu ia maju ke depan, menghampiri arah
datangnya embusan aogin tadi ukhirnya ditemukan angin itu berasal dari atas
sebuah batu cadas yang arnat besar.
"Aneh benar," pemuda itu makin tercengang "masa angin bisa berembus masuk
dari atas batu cadas?"
Dengan hati2 ia meraba sekitar batu cadas itu akhirnya pemuda itu jadi paham,
rupanya di sekitar batu itu terdapat belasan buah lubang kecil sebesar kelereng,
angin berembus masuk melalui lubang2 kecil itu.
"Kalau ada angin berembus masuk, sewajarnya sinarpun bisa menerobos masuk
ke dalam gua ini tapi mengapa suasana tetap gulita?" pemuda itu bergumam. ia
berusaha untuk menemukan jawabannya.
Ah, mestiinya lubang2 kecil itu berhubungan dengan gua lain yang gelap juga,
maka tiada sinar yang masuk kemari melainkan hanya embusan angin. Apa yang
ingin diketahuinya terjawab juga, namun keadaan gua itu tetap gelap lima jari
sendiripun sukar terlihat apalagi benda lain.
Pemuda itu merasa masgul, terpaksa ia duduk kembali sambil bertopang dagu,
apa yang dapat dilakukan dalam keadaan demikian? Ketika ia berbangkit
kembali, diam2 ia renungkan arah pembaringan, lalu membayangkan pula letak
mulut gua waktu dia datang, kemudian ia meraba2 ke sana.
Tapi, ah, tempat yang semula adalah mulut gua kini telah berubah menjadi
dinding, pemuda itu semakin panik, ia berusaha meraba dinding di sekelilingnya,
namun apa yang teraba hanya dinding batu yang halus, sama sekali tiada lubang
apapun.
Ke mana larinya mulut gua itu? Tak mungkin gua itu sebuah gua yang buntu,
darimana dia dapat masuk kesitu kalau tidak lewat pintu gua? Tian Pek benar2
kebingungan, sambil menempel dinding ia bergerak ke kanan, dari situ berbelok
lari ke kanan, mendadak tangannya menyentuh sesuatu.
Ketika ia meraba lebih seksama. ternyata benda itu adalah sebuah karung kecil,
isi karung itu adalah sebangsa biji2an bahan makanan, di samping karung
tersedia pula sekentong air bersih, ia coba mencium bau air itu, ternyata berbau
harum, mirip harum arak atau barum sayuran.
Tak tahan lagi, ia menghirup air itu seteguk, rasanya manis dan segar, walaupun
terasa agak sepat, namun semangat tubuhnya segera berkobar, hatipun terasa
jauh lebih tenang.
Pemuda itu lanjutkan kembali rabaannya, kecuali sebuah meja batu terdapat
pula dua buah kursi batu, meja itu kosong kecuali ada sejilid kitab yang .amat
tipis, ia mengambilnya untuk dilihat.
Tapi ketika teringat keadaan gelap gulita, ia letakkan kembali kitab itu ke atas
meja. Apa gunanya membawa buku di gua yang gelap?
Pemuda itu lanjutkan lagi rabaannya ke arah depan, kembali dia membelok di
sudut sana dan akhirnya kembali lagi ke dinding gua di mana angin berembus
masuk tadi.
Dengan kecewa dan putus asa pemuda itu kembali ke pembaringan batu, ia
makin kebingungan. masa gua itu benar buntu dan sama sekali tak ada pintu
masuknya.
Entah sudah berapa lama ia berduduk dan berbaring di pembaringan tersebut,
kembali pemuda itu bangkit dan mendekati gentong air, setelah minum dua
tegukan, ia comot segenggam biji2an dalam karung dan dimasukkan ke dalam
mulut, ternyata rasanya aneh sekali dan belum pernah dirasakan sebelumnya,
sambil menggeleng pemuda itu menghela napas panjang, ia tak habis mengerti
mengapa pengalamannya selama ini selalu aneh.
Karena pikiran kalut ia merasa iseng pula, ia ambil lagi kitab tadi dan kembali ke
pembaringan, ia sangat berharap dapat melewatkan waktu yang senggang itu
dengan membaca buku, tapi tiada sinar yang masuk, mana mungkin kitab itu
dapat dibaca?
Dengan perasaan apa boleh buat buku itu dibaliknya halaman demi halaman,
tiba2 ia temukan sesuatu yang aneh ternyata tulisan yang tercantum dalam
kitab itu menonjol keluar, mungkin tintanya terlalu tebal, maka menonjol dari
permukaan kertas.
Tian Pek sangat girang, sebab waktu senggangnya kini dapat terisi dengan
menikmati isi kitab tersebut. walaupun harus diraba satu persatu. Ia mulai
meraba huruf yang pertama, mula2 terasa amat sukar karena harus mengikuti
garis tulisan itu, baru sekarang ia merasakan betapa menderitanya orang buta
untuk mengenal tulisan.
Namun jerih payahnya tidak percuma, akhimya ia dapat kenali huruf yang
pertama sebagai huruf "khi" atau hawa.Semangatnya semakin berkobar,
pemuda itu meraba lagi huruf yang kedua dan dikenalinya huruf tersebut adalah
huruf "kun" atau membaur.
Setelah dua huruf itu dikenali pemuda itu makin percava pada kemampuan
sendiri, dengan seksama dan sabar ia meraba huruf berikutnya. Ternyata huruf
selanjutnya adalah "tun" atau murni, lalu "cing" atau bersih serta "tong" atau
mendidih.
Huruf keenam dapat dikenali jauh lebih cepat lagi karena huruf itu adalah huruf
"cing" lagi, huruf ketujuh adalah "seng" atau menguap huruf kedelapan kembali
kata "kun", huruf kesembilan "ciang" atau mengendap, huruf kesepuluh adalah
"to" atau ajaran.
Huruf kesebelas dapat dikenali dengan cepat sebab tulisan itu cuma satu garis,
yaitu Huruf "It" atau satu, huruf kedua belas adalah "hoat" atau cara, untuk
mengenal huruf ketiga belas pemuda ini harus membuang waktu agak lama,
sebab garis tulisannya rada rumit. Tapi akhirnya bisa dikenali pula sebagai
tulisan “ciong" atau umum.
Untuk membaca ulang ketlga beJas burut itu Tian Pek hanya membutuhkan
waktu yang singkat, tapi untuk mengenali huruf2 tadi ia membutuhkan waktu
yang cukup lama serta banyak kesulitan.
Ia mengembus napas lega, merenggangkan jari tangannya yang kaku dan
menyelami kembali arti dan ketigabelas huruf tersebut. Tapi apa artinya?
Pemuda itu tak habis mengerti dan tak mampu memecahkan, lama sekali ia
termenung dan memeras otak,
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya dia berpikir lagi: "Yang dimaksudkan
hawa di sini mungkin adalah sebangsa hawa murni, hawa murni memang tiada
berwujud, untuk menguapkan hawa bersih dan mengendapkan hawa mendidih,
teorinya hanya satu tapi caranya sangat banyak... ,"
"Aah, jangan2 beginilah arti ke 13 huruf ini...." tapi dia hanya dapat men-duga2
saja dan tidak tahu apakah dugaannya tepat atau tidak. Ia minum pula dua
tegukan air dan mencopot pula segenggam biji2an itu, kemudian melanjutkan
rabaannya, ia merasa kalimat berikutnya mempunyai arti yang kian lama kian
mendalam, setiap kali berhasil mengenal sebuah huruf dia harus berhenti
beberapa lama untuk direnungkan, kemudian sambil meraba huruf berikutnya ia
masih memikirkan makna dari huruf sebelumnya. karena itu semakin banyak
waktu yang dibutuhkan pemuda Itu untuk memahami maksud dari isi kitab
tersebut.
Waktupun berlalu, entah berapa lama sudah, air gentong yang semula hampir
penuh kini sudah sisa sedikit, isi biji2an dalam karungpun sudah tinggal tak
seberapa lagi.
Tapi pemuda itu tidak risau lagi memikirkan kebutuhan pokok se-hari2nya,
semua pikiran dan tenaga dipusatkan pada isi kitab tcrsebut, karena apa yang
dapat diperoleh dari kitab tersebut telah menghabiskan semua perhatiannya.
Mimpipun ia tak menyangka isi kitab yang amat tipis itu ternyata begitu dalam,
melebihi dalamnya lautan, setiap huruf yang tercantum dalam kitab itu se-olah2
mengandung suatu maksud yang istimewa, dan setiap maksud dari huruf itu
merupakan intisari pelajaran ilmu silat.
Pada dasarnya Tian Pek gemar berlatih silat hanya sayang selama ini tdk pernah
mendapat bimbingan guru pandai, bisa dibayangkan betapa gembiranya
pemuda itu setelah mengetahui bahwa isi kitab itu ternyata adalah pelajaran
kungfu yang maha sakti, persoalan lain segera tersingkir dari benaknya kecuali
mempelajari isi kitab itu.
Setelah menjadi biasa, pemuda itu tidak mengalaml banyak kesulitan lagi dalam
mengenali huruf2 berikutnya, tapi arti dan makna dari sctiap huruf itu makin
sukar dipahami, kadangkala untuk memecahkan arti dari sebuah huruf dia harus
peras otak beberapa waktu lamanya. bukan saja harus mengulang kembali arti
kalimat sebelumnya, diapun harus mengcnali dahulu huruf berikutnya,
kemudian baru mencari arti yang sebenarnya dari rangkaian kalimat tadi, oleh
sebab itulah kemajuan vang dicapai kian lama kian lambat.
Anak muda itu tidak putus asa, makin menjumpai kesulitan semakin
bersemangat, ia bertekad untuk menyelami isi kitab itu hingga huruf yang
terakhir.
Entah berapa lama pula, suatu hari akhirnya dia dapat mengenali huruf yang
terakhir dalam kitab tersebut, betapa gembiranya pemuda itu, dia berjingkrak
seperti orang gila, dia ulangi kembali pembacaan kitab itu dari permulaan hingga
akhir, setiap kalimat dia renungkan dan pikirkan lagi dengan lebih seksama,
bahkan tanpa mengalami kesukaran ia bisa mengapalkan isi kitab itu diluar
kepala.
Makin mendalam ia selami arti dari makna tulisan itu, semakin girang hatinya,
jantungnya pun berdebar keras, ia temukan kalimat itu mengandung keajaiban
serta kesaktian ilmu silat, mimpipun ia tak pernah menyangka akan menemui
keajaiban ini.
Dengan tekun dan rajin Tian Pek mulai mempelajari isi kitab pusaka itu dan
kemudiae melatihnya dengan scksama.
Selama mempelajari isi kitab itu banyak kesulitan yang telah dia alami, tapi
sekarang penderitaan itu menghasilkan buah yang manis, dan dia pula yang
merasai kemanisan buah tersebut.
Dalam waktu singkat tenaga dalamnya mengalami kemajuan yang amat pesat,
berbeda dengan dahulu, Tian Pek yang sekarang adalah Tian Pek yang kosen.
Dengan hasil yang luar biasa itu, waktu istirahat bagi pemuda itupun makin
sedikit, ia merasa semangat dan kekuatannya makin berlipat ganda la takmau
memlkirkan persoalan lain, sebab kesaktian ilmu silat yang pelajarinya telah
merampas semua pikiran dan tenaganya.
Beberapa hari telah dilewatkan lagi dalam kegelapan, ia mulai bersila diatas
pembaringan dan meneruskan pelajaran Lwekangnya.
Suatu ketika, tiba2 ia merasakan pembaringan batu yang diduduk itu mulai
bergetar keras, kemudian pelahan2 bergeser ke samping. Tian Pek amat
terperanjat, ia tarik napas dalam2 dan meloncat turun,tenaga saktinya dihimpun
dan siap menghadapi segala kemungkinan, ia tak tahy kejadian aneh apalagi
yang bakal ditemuinya.
Pembaringan batu itu masih bergeser terus ke samping, dari luar dinding batu
berkumandang gelak tertawa yang nyaring keras memekik telinga.
Tian Pek amat tegang, ia pusatkan seluruh perhatiannya ke arah datangnya
suara gelak tertawa itu.
"Blang!" terdengar suara gemuruh disertai cahaya terang memancar masuk ke
dalam ruangan di belakang pembaringan batu itu muncul sebuah mulut gua.
-------------------------------------------------------------------------
Tempat apakah Tian Pek berada sekang dan kitab Pusaka apakah yang dipelajari
anak muda itu?" Apa maksud paman Lui membawa Tian Pek ke gua itu dan ke
mana pula orang Tua itu?
- Bacalah jilid ke - 4 -
HIKMAH PEDANG HIJAU
Karya : Gu Long
Diceritakan Oleh : GAN K L
Scan djvu : axd002
Edited : Lovecan
Jilid 4 : Kitab pusaka bergambar porno
Menyaksikan kejadian ini, Tian Pek terperanjat, pikirnya: "Aneh. kekuatan apa
yang merobek dinding batu ini sehingga terbuka sebuah celah seebesar ini?"
Sebelum lenyap rasa kagetnya, sesosok bayangan orang telah muncul di
depan pintu.
Orang itu berdiri dengan membelakangi sinar, karena silau oleh cahaya yang
masuk, maka untuk beberapa saat Tian Pek tak dapat mengenali raut wajah
orang yang berdiri di depan pintu ibarat malaikat yang baru turun dari langit.
Setelah masuk ke dalam gua. orang itu masih tergelak tiada hentinya,
suaranya nyaring menggetar ruangan itu dan terasa memekikkan telinga.
Tiba2 dia melayang ke atas pembaringan, waktu Tian Pek memandang lebih
jelas, siapa lagi dia kalau bukan paman Lui.
Tian Pek melongo bingung ditatapnya paman Lui dengan sorot mata
keheranan.
Pamad Lui bergelak tertawa dia loncat turun dari pembaringan dan berkata:
"Kau tentu keheranan kenapa kubawa kau kemari, kemudian kutinggalkan kau
scorang diri di sini?"
Tian Pek melengak, kcmudian mcngangguk. Paman Lui bertanya: "Dan kaupun
merasa heran pada keanehan gua ini bukan?'
Kembali Tian Pek berdiri melongo, pikirnya: "Heran, darimana ia bisa
menebak suara hatiku?" — Maka dia mengangguk lagi, sebab dia memang
sedang memikirkun persoalan itu.
"Hahaha!" paman Lui ter-bahak2, ia duduk di sisi pembaringan dan
menjawab: "Persoalan pertama tentu tak dapat kauterka, sedang soal kedua.."
Ia berhnti sejenak, sambil menuding sekeliling ruangan lalu melanjutkan: "Coba
perhatikan lagi dengan seksama, sebetulnya gua ini tiada sesuatu yang
istimewa, waktu kau tertidur nyenyak aku cuma menggeser letak pembaringan
batu serta meja batu itu saja, kemudian menyumbat mulut gua dengan batu
raksasa. Hahaha, di tengah kegelapan kau tentu mengira mulut gua masih
berada di depan pembaringan bukan? Tak tahunya
hahaha "
Ia tuding mulut gua di sisi pembaringan itu, kemudian sambil tertawa bangga
menambahkan:
"Padahal mulut gua ini terletak di sebelah kanan pembaringan, asal kauraba
maka tempat itu akan kau temukan!"
Tian Pek berpaling, ia lihat sinar sang surya memang memancar masuk dari
sisi kanan pembaringan, sebuah batu tampak digeser ke samping. pahamlah
pemuda ini akan duduk persoalan yang sebenarnya.
Diam2 ia menghela napas dan berpikir: "Kenapa tidak terpikir olehku kalau
kesemuanya ini cuma tipuan belaka'"
Ingatan lain segera berkelebat pula dilain benaknva: "Setiap perkataan yang
diucapkan kakek aneh ini bukan saja jelas bahkan sangat masuk di-akal,
sedikitpun tak ada tanda2 sinting atau tak beres otaknya, jangan2 tingkah
lakunya tempo hari cuma sengaja dilakukan untuk menutupi keadaan yang
sebenarnya? Tapi kenapa ia berbuat begitu?"
Walaupun penuh tanda tanya, namun pemuda itu tak tahu bagaimana mesti
ajukan pertanyaan.
Sementara itu paman Lui telah alihkan sorot matanya pada kitab ilmu
silat yang terletak di meja, senyuman kembali tersungging di ujung bibirnya ia
menghampiri meja dan mengambil kitab tersebut.
Detik itulah untuk pertama kalinya Tian Pek melihat bentuk asli kitab ilmu
silat tersebut, kitab yang tipis ini punya halaman depan yang berwarna-warni.
Semula dia mengira kitab pusaka tersebut tentu berwarna kuning atau coklat,
setelah mengetahui bentuk yang sebenarnya ia jadi tertegun, tanpa terasa ia
teringat kemibali akan dongeng "orang buta meraba gajah" di masa kecil.
Waktu itu ibunya dengan penuh kasih sayang berpesan kepadanya bila selesai
bercerita: "Sebelum kau saksikan dengan mata kepala sendiri. sekalipun benda
itu telah kau raba, tapi janganlah menarik kesimpulan cepat atas hasil rabaanmu
itu, kalau tidak, maka engkau akan sama gobloknya dengan orang buta yang
meraba gajah!"
Tian Pek dapat meresapi makna yang mendalam dari petuah itu, diapun
dapat menyelami betapa pentingnya ucapan itu, untuk sesaat pikirannya jadi
melayang dan melamun kembali kejadian di masa silam.
Sementara itu paman Lui telah berkata lagi sambil membalik-balik halaman
kitab itu: "Maksudku membawa kau kemari adalah agar kau bisa membaca isi
kitab pusaka ini, tentunya selama beberapa waktu yang lalu kau telah membaca
isi kitab itu bukan?"
Dengan pikiran bingung Tian Pek mengangguk.
"Sengaja kubawa kau kemari dan mengurung kau dalam gua gelap ini seorang
diri, tujuanku tak lain agar kau bisa meresapi makna dari isi kitab ini tanpa
diganggu oleh siapapun, apakah selama ini
"
Mendengar perkataan itu Tian Pek merasa agak mendongkol, pikirnya: "Kalau
maksudmu agar kupelajari isi kitab ini, tidak sepantasnya kau sekap diriku dalam
gua yang gelap gulita begini. Hm. omongnya saja enak didengar "'
Berpikir sarnpai di sini, tak tahan lagi dia lantas berkata: "Wanpwe merasa
amat berterima kasih atas kebaikan hati Locianpwe, tapi Locianpwe mesti tahu,
sepasang mataku belum buta dan tak pernah mengidap penyakit apapun, di
tempat yang terang aku masih mampu membaca tulisan dengan jelas, kenapa
Locianpwe membawa diriku masuk ke gua ynng gelap seperti ini, bukankah cara
Locianpwe ini agak keterlaluan ....?"
Karena hatinya merasa mendongkol, pemuda ini tak peduli siapa lawan
bicaranya, serentetan kata2 pedas meluncur keluar, ia tak peduli bagaimana
akibatnya, pokoknya bicara dulu dan urusan belakang.
Paman Lui sama sekali tidak tersinggung atau marah, malahan tetap
tersenyum hambar, suatu perasaan aneh terlintas di wajahnya seperti teringat
akan sesuatu, ia menghela napas panjang. Gumamnya: "Ai, gayanya waktu
bicara, nadanya waktu menegur, wataknya yang keras kepala. tak ada yang
berbeda .... Persis sekali ....”
Tian Pek melongo, ia tidak tahu apa arti ucapan orang, sementara pikirannya
masih melayang paman Lui telah sodorkan kitab warna-warni itu ke tangannya
seraya berkata: "Anak muda memang harus bicara secara terus terang kepada
siapapun, tapi kau harus timbang dulu persoalan itu persoalan apa dan yang kau
ajak bicara itu siapa."
Tian Pek tertegun, ia tak bisa menangkap makna ucapan tersebut, ketika
terlihat kitab yang gemerlapan dengan aneka warna warni itu, cepat ia ambil
kitab itu.
"Buka kitab itu dan baca isinya!" perintah paman Lui dengan ketus.
Tian Pek tertegun bercampur keheranan, ia berpikir: "Masa tulisan dalam
kitap ini bisa lenyap kalau terkena sinar?"
Dia masih ingat, tulisan yang tercantum dalam kitab itu amat teratur dan rapi,
ia coba membuka halaman pertama kitab itu dan dilihat ....
Apa yang terlihat membuat pemuda itu melenggong, jantungya juga
berdebar keras dan mukanya juga berubah merah, hampir saja ia robek kitab
pusaka itu.
Tapi pera»aan ingin tahunya serta gelora nafsu berahi yang sangat kuat telah
menguasai pikiran pemuda itu, pandangannya tak mampu lagi bergeser lagi dari
kitab itu, matanya jadi berkunang-kunang dan napasnya mulai memburu,
hampir saja ia tak sanggup berdiri tegak.
Dengan tangan gemetar, mata merah dan nafsu menggelora segera ia hendak
membalik halaman kedua.
"Plok!" sebuah tamparan keras tiba2 bersarang telak di pipinya, menyusul
mana kitab pusaka itu lantas dirampas kembali oleh paman Lui,
Tian Pek terkesiap, kesadarannya pulih kembali dan keringat dingin
membasahi seluruh tubuh-nya, teringat sikapnya yang linglung, tanpa terasa
wajah pemuda itu jadi merah jengah.
Rupanya isi kitab tersebut bukan tulisan pelajaran ilmu silat melainkan
gambar2 perempuan cantik dalam keadaan telanjang bulat dengan pose amat
menggiurkan, ditambah pula gambar itu berwarna, maka bentuknya jadi lebih
merangsang.
Lukisan perempuan cantik itu ada yang sedang duduk, ada pula yang
berbaring, pantatnya yang bulat, putih dan berisi kelihatan amat merangsang,
apalagi lukisan itu sedemikian hidupnya. Jangankan Tian Pek hanya seorang
pemuda biasa, sekalipun manusia bajapun mungkin akan meleleh bila melihat
gambar2 itu.
Tian Pek berusaha pusatkan seluruh perhatiannya dan menekan debar
jantungnya, ia tak berani melirik lagi kearah buku itu.
Paman Lui lantas menjengek: "Sekarang tentu-nya kaudapat mengerti bukan?
Walaupun dalam kegelapan dan tiada sesuatu yang terlihat, kan jauh lebih baik
tidak melihat daripada melihatnya?"
Tian Pek merasa malu sekali, dengan perasaan menyesal dan jengah ia
tundukkan kepalanya rendah-rendah.
Paman Lui tersenyum, ia tepuk bahunya dan berkata dengan lembut: 'Engkau
tak usah bersedih hati karena perbuatanmu itu, ketahuilah sejak dulu hingga
sekaiang entah sudah berapa banyak orang g»gah dan pendekar besar yang
menemui ajalnya karena kitab pusaka So-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip (Kitab
pusaka Buddha pengunci tulang dan penggetar sukma) ini, engkau masih muda,
bukan apa2 perbuatanmu tadi."
Tian Pek sangat terharu, ia merasa perkataan. itu bukan saja menghibur
hatinya bahkan member1 dorongan semangat pula kepadanya untuk maju, ia
menengadah dan berkata ter-bata2: '"Paman Lui, aku .... aku masih muda dan
pengalamanku cetek, harap Paman Lui jangan menyalahkan diriku!"
Orang yang berwatak keras memang harus di-tundukkan dengan sikap yang
lembut, apabila orang lain memandang hina atau menganiaya dia, sampai
matipun anak muda ini tak sudi menyerah, tapi kalau orang lain baik kepadanya,
hatinya jadi lemas dan pemuda ittipun tunduk seratus persen.
Paman Lui tersenyum, kembali ia berkata: "Kitab pusaka penggetar sukma ini
adalah kitab paling aneh di dunia, mungkin karena usiamu yang masih muda
belum pernah kaudengar kata2 ini, tapi kalau . . . . ai, kalau orang2 sebaya
dengan aku yang mendengar nama tersebut, mereka pasti tahu bahwa kitab ini
benar2 kitab yang paling aneh di kolong langit, dengan susah payah dan
membuang tenaga dan pikiran aku berhasil mendapatkan kitab ini tapi aku
sendiripun hampir mengalami kelumpuhan karena menyelami isi kitab pusaka
tersebut!"
Ia berbenti sebentar, tiba2 kitab itu disodorkan pula ke depan Tian Pek dan
ujarnya lagi: "Sekarang periksalah kitab ini sekali lagi, keanehan kitab in1 tidak
terbatas sampai di sini saja."
Tapi Tian Pek lantas tunduk kepala, mata memandang ujung hidung, hidung
menuju ke hati, ia tak berani memandang lagi barang sekejappun kitab itu-
Paman Lui tersenyum menyaksikan kelakuan pemuda itu. ia tutup sebagian
halaman kitab itu dengan tangannya, lalu berkata lagi: "Coba bacalah tulisan
yang tercantum di dalam kitab ini!"
Tian Pek masih kuatir kalau terlihat lagi gambar saru itu, tapi iapun tahu
kakek aneh itu tentu mempunyai maksud yang mendalam dengan
perbuatannya, maka ia coba mengintip ke arah kitab itu dengan ragu2.
Apa yang dilihat sekarang tcrnvata hanya beberapa baris tulisan yang lembut
dan rapi, tulisan itu berbunyi demikian: '"Yang dimaksudkan gadis cantik adalah
gadis yang punya bodi menarik, punya api asmara yang membara, punya
keunikan dalam bercinta dan punya pengertian yang mendalam tentang pria,
makin matang gadis itu dalam pergaulan makin menarik dalam pandangan
pria ..."
Membaca sampai di sini, ia jadi heran, ia menengadah dan tak berani
membaca lebih jauh, serunya: "Paman Lui, waktu kuraba tulisan itu dalam
kegelapan, agaknya tulisan tidak berbunyi begitu, kenapa sekarang yang kulihat
sama sekali berbeda? Di manakah letak keanehannya "
"Coba pejamkan matamu dan rabalah sekali lagi?" kata paman Lui dengan
muka berseri.
Hati Tian Pek tergerak, ia pejamkan mata dan segera meraba kitab itu. Ketika
tonjolan huruf itu diikuti kembali dengan seksama, ternyata isinya sama seperti
rahasia ilmu silat yang telah dipelajarinya itu, dengan tercengang matanya
terbelalak lebar.
"Cianpwe, sebenarnya apa yang terjadi?" serunya.
Paman Lui tersenyum, aganya ia gembira sekali: "Semula aku masih kuatir
kalau engkau tak berhasil menemukan rahasia dibalik kitab ini, tak kusangka kau
memang cerdik dan rahasia ini akhirnya dapat kau ketahui juga."
"Selama beberapa hari belakangan ini, tiap hari Wanpwe meraba tulisan
tersebut, semua isi kitab ini telah kuapalkan di luar kepala."
"Sudah kau selami makna yang sebenarnya dari tulisan tersebut?" tanya
paman Lui dengan dahi berkerut.
Tian Pek menghela napas panjang: "Ai, sayang bakatku jelek, kecerdasanku
juga terbatas, apalagi isi kitab itu dalam sekali artinya, walaupun Wanpwe telah
berusaha sekian hari, baru sebagian kecil saja yang bisa kuselami, harap
Cianpwe bersedia memberi petunjuk kepadaku"
Paman Lui tidak langsung menjawab, ia menengadah memandang jauh ke
sana lalu menghela napas panjang. "Ai, segala sesuatu yang ada di dunia tak
dapat dipaksakan, semua telah di atur oleh Yang Maha Kuasa, untung jerih
payahku selama ini tidak sia2 belaka . . . . " bisiknya.
Ia duduk di pembaringan, lalu berkata lagi: "Kalau engkau telah menguasai
seluruh makna pelajaran kitab ini dan mslatihnya dengan tekun, tak selang
beberapa waktu mungkin akupun bukan tandinganmu lagi."
Tian Pek masih penasaran, ia berseru: "Locianpwe, kulihat isi kitap ini adalah
pelajaran ilmu silat yang amat tinggi, kenapa nama kitab ini tak sedap didengar?
Kukira si pembuat kitab ini bermaksud untuk mewariskan ilmu silatuya kepada
angkatan yang akan datang, kenapa kitab itu malahan dilukisi dengan gambar
perempuan bugil .... Ai, apa ia tidak merasa perbuatnya itu keliru besar?"
Makin berbicara suaranya makin keras, ia melanjutkan kata2nya: "Kukira
penulis kitab pusaka ini pasti bukan berasal dari kalangan yang baik, lebih baik
Wanpwe tidak belajar saja!"
Tian Pek adalah pemuda keras kepala yang suka bicara blak2an, apa yang
dipikir dalam hati langsung diutarakan tanpa tedeng aling2, dari sini dapat di
nilai bahwa pemuda ini benar2 orang yang polos dan jujur.
Paman Lui tersenyum, ucapnya: "Sepintas lalu kitab ini memang kelihatan
cabul dan menyesatkan, tapi dalam kenyataan pelajaran yang tercantum di
dalamnya adalah ajaran ilmu silat murni yang berasal dari pelbagai aliran, lagi
perbuatannya itu bukan tidak disertai dengan maksud yang dalam"
Tian Pek mendengus, dia hendak membantah, tapi paman Lui telah
melanjutkan kata2nya: "Berita yang tersiar di dunia persilatan mengenai asal-
usul kitap ini beraneka ragam dan tak ada yang sama, tapi sesungguhnya kitab
ini memang sudah berusia dua ratus tujuh puluhan tahun lamanya, pembuatnya
adalah seorang jago aneh dari dunia persilatan yang bernama Ciah-gan-long-kun
(pemuda tampan satu mata)."
"Siapa itu Ciah-gan-long-kun? Apakah dia meniang buta sebelah?" tanya Tian
Pek.
Paman Lui tersenyum: "Meskipun Ciah-gan-long knu memakai julukan'Ciah-
gan', tapi sebenarnya ia tidak bermata satu, sayang aku dilahirkan agak lambat
sehingga tak dapat berjumpa sendiri dengan tokoh sakti tersebut, menurut
berita yang tersiar di dunia Kangouw. bukan saja Ciah-gun-long kun
berkepandaiin tinggi, iapun amat gemar mencampuri urusan orang, dapat
menyelami perasaan sesamanya, simpatik dan pandai bergaul, banyak
pertikaian yang terjadi di dunia persilatan dapat di-lerai olehnya, banyak pula
kaum munafik yang ter-bongkar rahasia kemunafikannya oleh tokoh sakti ini."
"Kalau dia adalah seorang tokoh sakti, tak mungkin dibuatnya barang
peninggalan yang porno begini, menurut pendapat Wanpwe, jangan2 iapun
orang jahat yang pura2 baik, manusia munafik?'' sela Tian Pek dengan alis
berkernyit.
Paman Lui tersenyum: "Kebaikan seseorang baru dapat ditentukan bilamana
dia sudah membujur di dalam peti mati, lain halnya dengan tokoh tua ini,
meskipun 'peti mati' nya sudah lama di tutup, bahkan jenasahnya mungkin
sudah menjadi abu, tapi ia tetap tak bisa 'tenang' karena terlalu banyak kejadian
besar yang dilakukan selama hidupnya, kita tidak pedulikan apakah
perbuatannya baik atau buruk, karena pandangan tiap manusia berbeda satu
sama lainnya, tapi yang pasti kitab silat yang dia wariskan ini tak bisa disebut
sebagai benda yang mendatangkan celaka!"
Tian Pek mengerut dahi, ia tidak puas dengan keterangan tersebut, kembali
bantahnya: "Paman Lui, katamu tadi, entah sudah berapa banyak orang gagah
dan pendekar besar di dunia yang mampus karena kitab pusaka ini, masa barang
macam begini bukan barang yang mendatangkan celaka bagi umat manusia?"
"Sungguh tak kusangka pemuda seusia kau bisa keras kepala begini," omel
paman Lui sambil tersenyum, "kau harus ingat, keras kepala boleh2 saja, tapi
harus bisa membedakan mana yang benar dan mana yang keliru, hanya manusia
keras kepala yang bisa membedakan salah dan benarlah baru dapat disebut
seorang Kuncu, seorang lelaki sejati."
Ia berhenti sebentar, lalu melanjutkan: "Menurut apa yang kudengar, bukan
saja Ciah-gan-long-kun tidak bermata satu, wajabnya boleh dibilang tampan
sekali sehingga waktu itu merupakan pemuda tertampan di dunia persilatan,
karena kegantengannya, maka sepanjang hidup entah berapa kali mesti dibikin
pusing oleh masalah cinta, tapi untunglah ia berhati teguh bagaikan baja, maka
perasaannya sama sekali tidak tergoyah oleh bujuk rayu wanita2 cantik."
Sekali lagi Tian Pek mendengus karena tak puas, pikirnya: "Kalau hatinya
keras bagaikan baja, itu berarti dia tak kenal perasaan, kalau seseorang tidak
berperasaan lagi, pastilah orang itu bukan manusia baik2."
Ia sudab mempunyai pandangan sendiri terhadap tokoh sakti yang bernama
"Ciah-gan-long-kun" ini, maka bagaimanapun paman Lui melukiskan kebolehan
tokoh sakti itu, ia tetap tidak puas, tapi ia tak berani mengatakan sesuatu sebab
ia tahu paman Lui adalah salah seorang pemuja tokoh sakti tersebut.
Sementara itu paman Lui telah melanjutkan penuturannya: "Ketika mula2
Cianpwe itu berkelana di dunia persilatan, walau ilmu silatnya sangat tinggi, tapi
belum mencapai puncaknya kesempurnaan, tentu saja orang2 yang dibongkar
kemunafikannya jadi benci dan dendam, tapi karena banyak tokoh sakti jaman
itu ikut membelanya, maka orang2 jahat itupun tak mampu bertindak apa2, rasa
bencinya tak berani dilampiaskan apalagi membalas dendam, oleh sebab itu
mereka lantas cari akal untuk memancing tokoh sakti ini melakukan suatu
perbuatan terkutuk, kcmudian orang2 itu akan menggunakan alasan tersebut
untuk menyingkirkan dia dari nmka bumi, siapa tahu .... haha . . . . " manusia
aneh itu tergelak tertawa, terusnya: "Siapa tahu dia memang berhati keras
bagaikan baja, bagaimanapun orang berusaha menjebaknya, memancing
dengan wanita cantik, tak sebuah rencanapun yang mempan mempedayai dia."
Walaupun Tian Pek merasa tak puas, diam2 timbul juga rasa kagumnya
setelah mendengar penuturan tersebut, pikirnya: "Kalau dalam kenyataan ia
memang begitu hebat, dia tak malu disebut sebagai seorang lelaki sejati yang
patut di-kagumi"
Paman Lui melanjutkan kembali penuturannya; "Suatu ketika tiba2 ia berhasil
menemukan suatu rahasia ilmu silat. maka berangkatlah tokoh sakti ini ke suatu
tempat yang terpencil guna mendalami ilmu silat yang ditemunya itu, sayang
perhitungannya meleset, walaupun ia sudah cukup waspada, ia tetap dikhianati
seorang sahabatnya yang paling karib karena temannya itu iri dengan
kemampuan-nya, begitu tempat pengasingannya diketahui umum ber-
bondong2lah para iblis meluruk ke situ, di antara kawanan pengacau itu ada
seorang iblis wanita cantik jclita yang terhitung paling lihay, ia menggunakan
ilmu Ni-li-mi-hun-tay-hoat (ilmu sakti perawan pcnbius sukma) uutuk mengacau
ketenangan Ciak-gan-long-hun, akibatoya sebelum tenaga dalam yang dilatihnya
mencapai kcsempurnaan, tokoh sakti itu telah tergoda"
"Sayang!" seru Tian Pek tanpa sadar, ia ikut menghela napas panjang.
"Kalau latihannya saja yang gagal masih mendingan, "ujar paman Lui,
"ketahuilah makin tinggi ilmu yang dilatih seseorang makin besar pu!a risikonya.
Kalau seorang telah melatih ilmunya hingga mencapai tingkat yang tinggi, maka
dia harus menjaga diri dengan baik, sekali pikiran bercabang, bukan saja akan
mengalami kelumpuhan, jiwapun bisa meiayang."
Ia berhenti scbentar untuk ganti napas, lalu sambungnya: "Begitulah, pada
saat yang paling kritis dalam latihannya, tokoh sakti itu tergoda oleh wanita iblis
tersebut hingga napsu berahinya berkobar, dalam keadaan demikian bukan saja
hasil latihannya menjadi buyar, iapun mengalami kelumpuhan, seandainya Tiat-
sim Tojin dari Bu-tong pay dan Ko-swi Sangjin dan Siau-lim si tidak datang tepat
pada saatnya, andaikata jiwanya tidak melayang, paling sedikit dia akan jadi
lumpuh dan tak bisa bergerak lagi untuk selamanya."
Walaupun peristiwa itu sudah berlangsung lama sekali, tak urung Tian Pek
menarik napas lega. sambil mengusap keringat yang membasahi jidatnya ia
geleng kepala, katanya: "Wah, sungguh berbahaya!"
Paman Lui berkata pula dengan gegetun: "Ai, walaupun jiwanya tertolong dan
ilmu silatnya dapat diselamatkan, sayang karena peristiwa itu dia tak mampu
lagi memecahkan inti ilmu silat tingkat yang terakhtr hingga ikut terkubur ke
liang kubur, tapi iapun tak rela memberikannnya begitu saja kepada generasi
yang akan datang, karena itu dengan susah payah dibuatlah kitab aneh ini dan
kitab pusaka ini disembunyikan disuatu tempat yang sangat rahasia dipuncak
bukit Lo-hu-san, kepada dunia ia mengumumkan bahwa terdapat sejilid kitab
pusaka yang maha sakti, barang siapa ingin memperolehnya harus dinilai dulu
cukup kuatkah imannya . . . . "
Sampai di sini ia berpaling ke arah Tian Pek dan menambahkan: "Nah, apakah
perbuatannya itu keliru?"
Tian Pek melengak, ia tunduk kepala dan bungkam.
Paman Lui lantas melanjutkan: "Setelah menyadari ilmu silatnya tak bisa maju
lagi, tokoh sakti itu pun alihkan perhatiannya untuk mendalami ilmu membuat
syair serta ilmu melukis, dasar bakatnya memang bagus dan otaknya encer,
akhirnya diapun menjadi seorang pelukis kenamaan yang dikagumi, menurut
kabar yang tersiar, semua lukisan yang tercantum dalam kitab aneh ini bukan
saja merupakan hasil karyanya, orang yang digunakan sebagai model bukan lain
adalah perempuan iblis yang telah menghancurkan hasil latihannya itu."
Dia ayun kitab itu ke atas dan melanjutkan: "Perempuan bugil yang kau lihat
di dalam kitab ini bukan lain ialah wajah perempuan iblis tersebut, apakah
tingkah laku wanita itu persis seperti apa yang tercantum di sini akupun kurang
tahu, tapi yang pasti raut wajahnya memang persis sekali. Ai, perempuan iblis
itu memang cantik dan merangsang bati setiap orang, jangankan bertemu
sendiri dengan orangnya, lukisan di dalam kitab inipun cukup menggoyahkan
iman orang Ai, tak aneh kalau Ciah-gan-long-kun yang berhati sekeras baja
akhirnya tergoda juga olehnya”
Ia menghela napas panjang dan menghentikan ceritanya.
Cerita yang menarik itu membuat Tian Pek berdiri melongo, se-akan2 tokoh
yang disebut Ciah-gan long kun benar2 muncul di depan matanya.
Ia menunduk dan berpikir: "Lukisan dalam kitab ini sudah cukup bikin hatiku
berdebar dan napsu berahi berkobar, dari sini dapat ditarik kesimpulan bukan
saja Ciah-gan-long-kun adalah seorang tokoh sakti, perempuan iblis itupun
terhitung seorang yang luar biasa!"
Lama sekali kedua orang membungkam, rupa-nya mereka sedang
membayangkan kembali kejadian tersebut.
Kini Tian Pek sudah bertambah waspada, ketika angin berembus mengibarkan
ujung bajunya ia menengadah dan bertanya: "Bagaimana nasib dari kitab ajaib
itu selanjutnya? Dan cara bagaimana bisa terjatuh ke tangan Locianpwe?"
Se-olah2 baru sadar dari lamunan, paman Lu, menjawab: "Walaupun Ciah-
gan-long-kun telah memperingatkan kepada dunia agar mereka yang ber-iman
rendah jangan ikut memperebutkan kitab tersebut, tapi dalam kenyataan siapa
yang tidak terpikat ketika mengetahui bahwa isi kitab tersebut adalah pelajaran
tenaga dalam tingkat tinggi? Tak sampai setengah tahun, para jago dari berbagai
pelosok dunia telah berkumpul di puncak Lo-hu-san, semua orang bermaksud
mendapatkan kitab pusaka itu.
Setahun telah dilewatkan tanpa terasa, setiap gua yang ada di sekitar Lo-hu-san,
semua telah digeledah, akhirnya kitab pusaka yang diidamkan setiap umat
persilatan ini berhasil ditemukan oleh dua orang murid dari perguruan Hoat-
hoa-lam-cong."
Tian Pek mengerutkan dahinya dan menyela: "Setelah kitab itu ditemukan
mereka, tentu yang akan kecewa tak akan biarkan kedua orang itu ber-lalu
dengan mcmbawa kitab pusaka itu bukan? Dan lagi bagaimana keadaan mereka
setelah melihat kitab tersebut . . " Seraya berkata ia tuding kitab yang berwarna-
warni itu.
Paman Lui tersenyum: "Apa yang telah terjadi hanya sempat kudengar dari
cerita orang tua jaman dulu, bagaimana keadaan yang sejelasnya aku kurang
tahu, tapi ada satu hal yang kuketahui, kedua murid dari perguruan Hoat-hoa-
lam cong ini juga jago silat yang tergolong top di dunia Kangouw."
Bicara sampai di sini, ia berhenti sebentar dan menghela napas panjang,
kemudian melanjutkan: " Sejak kawanan jago persilatan berkumpul di Lo-hu san,
secara diam2 mereka sudah saling bertikai dan saling membunuh, entah berapa
banyak jago yang mampus sebelum pekerjaan pencarian dimulai, dua orang jago
dari perguruan Hoat hoa-lam cong ini bisa lolos dari hukum rimba. kecerdasan
otaknya harus dipuji."
"Benar! Pcrkataan Cianpwe memang tepat sekali," sahut Tian Pek sambil
mengangguk, diam2 ia merasa kagum atas ketelitian serta ketenangan paman
Lui dalam memecahkan persoalan. Tiba2 pikirannya tergerak pula.
"Paman Lui adalah seorang yang sangat cerdas, kenapa tempo hari ia pura2
sinting? Ai, sudah pasti iapun pernah mengalami sesuatu yang luar biasa, maka
wataknya berubah jadi begini. hal ini nanti perlu kutanyai dia"
Sementara itu paman Lui telab mengancungkan kitab pusaka itu sambil
melanjutkan ceritanya: "Ketika buku ini ditemukan oleh dua orang itu. konon
tersimpan dalam sebuah kotak kayu cendana yang sangat mungil dan indah,
pada permukaan kotak kayu itu terukir delapan huruf So kut-siau-hun thian-hud
pit-kip. dari sini pula lahirnya nama buku ini hingga sekarang. Ketika kitab
pusaka ini ditemukan. kedua orang itu sama sekali tidak bersuara, diam2 kotak
itu dibuka dan kitab pusakanya di ambil, mereka masukkan sejilid kitab ilmu
pukulan 'Tay-kek-kun-hoat' ke dalam kotak, lalu mengembalikan kotak tadi ke
tempat semula, setelah itu merekapun menggabungkan diri dengan rombongan
lain dalam pencarian kitab ini, mereka berlagak tak pernah terjadi sesuatu,
orang lain tentu saja tak tahu pula akan perbuatan mereka."
Tian Pek menghela napas panjang, selanya; "Kecerdasan otak kedua orang ini
memang patut dipuji, tapi masa air muka merekapun tidak meng-unjukkan
sesuatu perubahan?"
"Kawanan jago persilatan yang berkumpul d1 Lo hu-san waktu itu rata2
adalah jago kawakan yang berkepandaian tinggi," ujar paman Lui sambil
menganguk, "tentu saja jago2 lihay semacam mereka tak bisa dikibuli, sedikit
saja mereka ber-dua menunjukkan gerak gerik yayg mencurigakan orang lain
segera mengetahuinya."
"Sampai sekarang aku masih mengira perguruan Hoat hoa-lam-cong adalab
suatu perguruan besar dari aliran suci, sungguh tak kusangka murid merekapun
begitu licik," gumam Tian Pek.
Paman Lui tertawa: "Jangankan perguruan Hoat hoa lam cong, sekalipun
daiam tubuh Bu-tong-pay atau Siau-lim pay juga terdapat anasir jahat dan
sampah masyarakat!"
Tian Pek meaggeleng dan menghela napas, ia tak menyangka kalau kenyataan
seringkali berbeda dengan apa yang diduganya semula.
"Di antara jago2 persilatan yang ikut naik gunung mencari pusaka itu ada
sebagian yang mati terbunuh, ada yang pulang dengan kecewa, akhirnya hanya
tinggal belasan orang saja tetap bertahan," tutur paman Lui, "di antaranya
termasuk pula dua orang Hoat-hoa-lam-ciong tadi, mereka tetap membaurkan
diri dengan jago2 lain tanpa mengunjuk sesuatu sikap yang mencurigakgn, suatu
malam ketika musim dingin menjelang tiba, suasana di Lo-hu-san amat dingin
dan sepi, semua orang sedang duduk menghangatkan badan di sekitar api
unggun. tiba2 terdengar gelak tertawa latah berkumandang dari kejauhan,
semua orang terperanjat dan memburu kesana.
Di tengah malam yang amat dingin itu salah seorang di antara dua anggota Hoat
hoa-lam cong itu sedang bergelindingan dalam keadaan bugil dengan
memegang kitab pusaka aneh ini."
Hati Tian Pek bergetar keras sehingga tanpa terasa dia menjerit kaget.
Paman Lui menghela napas, katanya: "Rupanya orang itu tak dapat menahan
rasa ingin tahunya, setelah membawa kitab pusaka itu selama beberapa hari,
malam itu dia berpikir apa salahnya kucuri lihat dulu isi kitab ini? Ketika semua
orang tidak menaruh perhatian, diam2 ia kabur ke sebuah gua dan meucuri baca
kitab itu di bawah cahaya remang2.
Tapi sial baginya mendingan kalau dia tidak membaca begitu kitab itu dilihat,
kontan jantungnya berdebar keras, napsu berahinya berkobar, apalagi usianya
waktu itu masih muda, sebelum masuk perguruan Hoat hoa lam-cong dulunya
dia seorang bandit, maka bisa dibayangkan bagaimana jadinya waktu itu, Ai,
apalagi sudah ngebet setahun lebih di Lu hu-san yang terpencil, begitu
berahinya memuncak, ia tak mampu menguasai diri lagi, orang itu jadi kalap dan
ber-guling2 sendiri dalam keadaan bugil."
"Benarkah beberapa lembar lukisan cabul di dalam kitab itu bisa
mendatangkan daya kekuatan sedahsyat itu?" seru Tian Pek terperanjat.
Paman Lui menghela napas panjang, katanya: "Karena belum seluruhnya isi
kitab itu kaubaca, dengan sendirinya kau tidak tahu keajaibannya, menurut
berita yang tersiar, katanya dalam lukisan kitab itu dibuat sesuai dengan
pengaruh ilmu Ni li-mi-hun-toa hoat si iblis perempuan itu, terutama syair dalam
kitab . . . , Ai, bayangkan saja! Kalau kitab ini tiada kekuatan yang dapat
menggetar sukma, kenapa bisa membuat orang Hoat-hoa-lam-cong bergulingan
begitu?"
Setelah berhenti sebentar, ia menutur lagi: "Melihat keadaan itu, murid
perguruan Hoat-hoa-lam-cong yang lain jadi terperanjat, dengan gugup ia
memburu maju dan merampas kitab itu tanpa memperhatikan mati hidup rekan
seperguannya, karena perbuatannya itu timbul kecurigaan kawanan jago
persilatan lainnya, mereka segera turun tangan dan membekuk kedua saudara
seperguan itu, bahkan sebelumnya semua orang bersepakat tidak akan
membuka kitab itu, akhirnya kitab pusaka itu ditaruh di bawah sebuah batu
padas, dengan pelbagai cara yang keji kawanan jago silat itu menyiksa kedua
orang Hoat-hoa lam-cong agar mengaku, dalam keadaan tersiksa hebat akhirnya
merekapun mengaku dengan sejujurnya!"
"Setelah mengetahui duduknya perkara, kedua orang itupun pasti tak akan
lolos dari kematian!" ucap Tian Pek.
"Betul, bukan saja kedua orang itu menemui ajainya dalam keadaan
mengerikan, bahkan korban yang berjatuhan sesudah peristiwa itu jauh lebih
banyak lagi, suasana waktu itu jadi kacau-balau, menurut cerita, lima orang jago
yang berdiri paling depan mampus seketika itu dihajar oleh orang2 yang berada
di belakangnya, kemudian para jago yang lain tanpa membedakan kawan atau
lawan lagi segera membacok dan membunuh secara ngawur, dalam waktu
singkat mayat bergelimpangan di mana2, diantara sekian banyak jago lihay itu
terdapat seorang yang bernama Ngo jiau-leng-bou (Rase licik bercakar lima), dia
cerdik dan banyak akalnya, menyadari ilmu silatnya tidak memadai jika
dibandingkan yang lain, diam2 ia kabur lebih dulu dari tempat kejadian, tapi ia
tidak pergi terlalu jauh, hanya sembunyi di sekitar sana sambil mengikuti
jalannya pertumpahan darah itu, ia saksikan betapa dahsyatnya pertarungan
yang berlangsung, satu persatu tokoh silat yang hadir di situ menggeletak jadi
mayat, akhirnya tinggal seorang murid dari Khong-tong pay yaug masih
bertahan, sambil tertawa latah ia berhasil membereskan musuhnya yang
terakhir, lalu ia menyingkirkan batu padas dan mengambil kitab pusaka itu, siapa
tahu belum sampai kitab itu terpegang, sebuah bacokan golok bersarang lebih
dulu dipunggungnya hingga nyawanya melayang, rupanya Ngo jiau leng hou
tahu kalau jago Khong-tong pay itu sudah kehabisan tenaga, maka diam2 ia
bacok orang itu sampai mampus dan kitab pusaka inipun terjatuh ke tangan Ngo
jiau-leng-hou yang licik itu."
Bercerita sampai di sini, paman Lui mengembuskan napas dan berhenti
berkata.
Tian Pek merasakan sekujur badannya gemetar keras karena emosi,
mimpipun ia tak menyangka begitu kejam dan kejinya dunia persilatan, iapun
tak mengira begitu banyak nanusia berhati binatang yang berkeliaran di dunia
ini, hawa marah yang berkobar dalam dadanya sukar dibendung lagi.
Tiba2 ia himpun hawa murninya dan menyambar kitab tersebut, kemudian
dibetotnya dan hendak di-robek2nya kitab putaka itu.
"Tunggu sebentar!" cepat paman Lui berteriak dengan cemas.
Mendadak bayangan orang berkelebat, sesosok tubuh manusia telah muncul
di mulut gua.
Tian Pek berpaling. ia melengak setelah mengetahui siapa yang datang ini.
Kiranya orang yang datang ini adalah si nona baju hitam yang pernah muncul
di kamar Leng-hong Kongcu itu.
Sekilas rasa tak senang menghiasi wajah paman Lui, dengan dahi berkerut ia
menegur: "Ada apa?"
Gadis baju hitam itu mengerling sekejap ke arah Tian Pek, kemudian
menjawab ketus: "Tete (adik lelaki) dan Moay-moay (adik perempuan) telah
saling bertempur!"
"Kenapa tidak kaulerai?" seru paman Lui dengan kuatir.
"Aku tak mampu mengurus!" jawab si nona baju hitam dengan nada yang
tetap ketus.
Paman Lui mendengus, ia tidak percaya dengan ucapan dara itu. "Lalu di
manakah ibumu?"
"Apalagi ibu, masa dia mau menuruti perkataannya!"
"Di mana ayahmu? dan mana orang yang lain?" seru paman Lui tak senang
hati. "Masa urusan yang terjadi di rumahmu harus aku yang menyelesaikannya""
"Habis orang lain tak sanggup mengurus!"
Menyaksikan itu Tian Pek merasa heran, dia lihat paman Lui agak cemas, tapi
ucapan nona baju hitam itu tetap dingin dan ketus, se-akan2 urusan itu sama
sekali tak ada sangkut-pautnya dengan dia, padahal mereka adalah saudara
sekandung.
Tian Pek amat menguatirkan keselamatan Wan-ji, nona yang lincah dan polos
itu, apakah anak dara itu bertempur dengan kakaknya yang jumawa itu lantaran
membela dirinya?
"Baik, akan kutengok kesana," akhirnya paman Lui berseru setelah tertegun
sejenak, rupanya ia menguatirkan keselamatan Wan-ji, lalu kepada Tian Pek ia
berpesan: "Tunggu aku di sini!"
Diam2 ia memberi tanda agar kitab So kut siau hud pit-kip itu disimpan,
kemudian sekali enjot tubuh ia berlalu dari gua itu.
Sepeninggalnya paman Lui, nona baju hitam itu tidak ikut pergi, ia malahan
masuk ke gua dan bersandar di dinding, sepasang matanya yang bening
menatap wajah Tian Pek tanpa berkedip.
Cahaya terang yang memancar masuk dari luar tepat menyoroti raut
wajahnya, meski bibir dan hidungnya tertutup oleh kain cadar yang tipis, namun
matanya yang jeli dan bening kelihatan sangat indah dan mempesona.
"Nona, silakan masuk dan duduk" kata Tian Pek, ia merasa jengah ditatap orang
selekat itu.
Tapi segera ia ingat bahwa dia adalah seorang jejaka, tidaklah pantas untuk
mengundang seorang gadis muda masuk ke gua dan duduk berduaan, ia
menjadi kikuk, ia hendak garuk kepala dan ingin meraba hidung, konyolnya
tangannya tak sempat digunakan karena memegangi kitab tadi.
"Barang apa yang kau pegang? Boleh kulihat?" gadis ba)u hitam itu menegur
sambil memandang kitab pusaka itu.
Tian Pek makin panik, apalagi teringat isi kitab itu hanya lukisan gadis2 dalam
keadaan bugil, masa kitab cabul semacam itu boleh diperlihatkan kepada
seorang gadis? Ccpat2 kitab itu ia masukkan ke dalam
saku dan menjawab dengan tergagap: "Oo, tidak
"
..tidak ada apa2nya
"Kenapa kau sembunyikan?" seru si nona sambil mengerling sekejap. "Aku
kan cuma minta lihat sebentar saja lalu akan kukembalikan lagi padamu, masa
tidak boleh?"
"Nona kitab ini tidak. .... tidak pantas nona lihat
tergagap.
" seru Tian Pek dengan
Pembawaan Tian Pek sebenarnya angkuh. selama belasan tahun pemuda ini
bidup sengsara dan penuh penderitaan, ia paling takut dipandang hina orang,
ucapan dara baju hitam itu sangat menusuk perasaan hatinya, andaikata yang
dihadapi sekarang adalah orang lain, matipun barang itu pasti takkan
diperlihatkan, tapi kitab pusaka itu berisi gambar porno, betapapun ia tak berani
diperlihatkan kepada si nona baju hitam.
Nona baju hitam itu mendengus, ujarnya ketus: "Hm, aku tak pernah
memobon kepada orang lain, tak kusangka permohonanku yang pertama kali
telah kau tolak mentah2. Tentu kau masih ingat, jiwamu telah kutolong? Dengan
dasar itu, engkau harus per-lihatkan kitab itu kepadaku!"
Dengan langkah yang lemah gemulai nona baju hitam itu menghampiri Tian
Pek, kemudian sambil mengangsurkan tangan ia berseru: "Hayo, serahkan!"
Tian Pek mengendus bau harum yang memabukkan dari tubuh dara itu,
tatapan matanya yang tajam membuat hatinya berdebar keras, sambil mundur
ke belakang, serunya tergagap: "Nona..jangan kau lihat kiiab ini!
Dara baju hitam itu makin mendongkol karena Tian Pek tidak memberi muka
kepadanya, mcndadak ia menubruk maju secepat kilat, dua jari tangan kirinya
bergerak menusuk mata Tian Pek, tangan kanannya dengan jurus Yap-te-tau-tho
(mencuri buah Tho dari bawah daun) terus hendak rampas kitab pusaka itu.
Serangan ini dilancarkan sangat mendadak serta memakai jurus yang ampuh,
dalam keadaan tak siap Tian Pek hanya merasakan pandangan matanya jadi
kabur dan tahu2 desiran angin sudah tiba di depan mata.
Dalam keadaan begitu, Tian Pek tak bisa berbuat lain kecuali menghadapi
serangan itu sedapat mungkin, secara naluri kitab yang terpegang di tangan
kanan ia ketuk jalan darah" kwan-goan" di pergelangan si gadis, sedang telapak
tangan kirinya menabas ke bawah dan dengan tepat mematahkan serangan si
nona.
Kepandaian dara baju hitam ini terhitung kelas satu di dunia pcrsilatan, jarang
sekali ada orang yang mampu menandingi dia, bila Tian Pek sebelum masuk gua,
niscaya ia tak mampu menghindari jurus serangannya.
Tapi Tian Pek sekarang bukan lagi Tian Pek dahulu, sejak mempelajari ilmu
sakti yang tercantum daiam kitab pusaka So-kut-liau-hun-thiau-hud pit-kip,
kepandaiannya sudah memperoleh kemajuan yang amat pesat, serangan
balasan yang dilancarkan seketika memaksa si dara baju hitam membatalkan
serangannya dan terpaksa harus menyelamatkan diri lebih dulu.
Namun apapun juga ilmu silat si dara baju hitam itu memang jauh lebih tinggi
dari pada Tian Pek, pula meski tenaga dalam yang dimiliki pemuda itu
mengalami kemajuan yang pesat, namun ia sendiri tidak menyadari hal itu,
dengan sendirinya kehebatannya belum scmpat digunakan semaksimal
mungkin.
Setelah berhasil memaksa gadis itu batalkan serangannva, Tian Pek berdiri
tertegun, saat itulah tangan kiri si nona kembali menyambar tiba pula, tahu2
kitab pusaka Thian-hud-pit-kip itu telah ber-pindah tangan.
Tian Pek terkejut, sebelum ia sempat berbuat sesuetu, sambil membawa
kitab tadi si dara baju hitam itu sudah melayang keluar gua.
"Aku ingin tahu buku pusaka apakah ini? "omelnya "Masa begini berharga,
dilihat saja tak boleh "
Dengan langkah yang lemah gemulai dara baju hitam itu berjalan keluar gua,
menyusul ia lantas mcmbuka lembaran kitab tadi.
"Nona, jangan dilihat! "teriak Tian Pek gelisah sambil memburu keluar gua.
"Cis! "dara baju hitam itu menutup kembali kitab itu setelah melirik sekejap
isi buku itu, dengan muka merah padam karena malu, serunya: "Buku busuk
begini juga kau lihat! Ini, terimalah kembali."
Gadis itu putar badan sambil lemparkan kitab tadi ke dalam gua.
Siapa tahu Tian Pek kebetulan sedang mengejar keluar, tak bisa dihindari lagi
kedua orang itu saling menumbuk satu sama lain, keduanya sama menjent
kaget.
Dada nona itu tertumpuk Tian Pek, ia merasa dadanya jadi kesemutan dan
badan lemas separoh, selama hidup kejadian ini belum pernab dialaminya,
apalagi dia memang seorang perawan yang masih suci.
Walaupun tumbukan itu tidak terasa sakit, tapi cukup membuat dara itu
kaget bereampur malu, jantungnya ber debar2 dan mukanya merah, ia berdiri
melenggong, setaat lamauya tak mampu bersuara.
Tian Pek sendiri merasakan dadanya bangat seperti menumbuk daging lunak,
terguncang juga hatinya, cepat ia menyurut mundur tiga langkah-
Ketika ia menengadah, dilihatnya gadis itu sedang berdiri dengan muka
merah, matanya yang bening menatap wajahnya tak berkedip, sepertinya mau
marah tapi tak bisa. mau menegur juga kikuk.
"Oo, maaf nona, aku . ... aku tidak sengaja!" cepat Tian Pek memberi hormat,
kemudian ia pungut kembali kitab pusaka yang tergeletak di atas tanah.
Belum lagi ia berdiri, tiba2 dari samping berkumandang suara orang
mendengus,
Tian Pek terkesiap, cepat ia berpaling ke belakang.
Apa yang dilihatnya membuat pemuda itu terperanjat, entah sejak kapan
belasan orang telah berdiri berjajar di tanah lapang di luar gua itu.
Orang yang berdiri paling depan adalah seorang pemuda tampan berjubah
biru, walaupun ganteng tapi wajabnya dingin menyeramkan.
Sekilas pandang Tian Pek kenal orang ini adalah Leng-hong Kongcu yang
hendak melemparkannya keluar kamar itu.
Di belakang Leng hong Kongcu berdiri delapan orang pria kekar bersenjata,
dengan sorot mata bengis mereka sedang melototi Tian Pek.
Ditatapnya kedelapan orang itu dengan tenang. Tian Pek kenal dua di
antaranya adalah Tan Cing dan Tan Peng yang pernah membacoknya di hutan
tempo hari, yang lain rasanya pernah dijumpai di kamar tidur Leng hong Kongcu.
Di sebelah kanan pemuda jumawa itu berdiri pula seorang Tosu buta, jubah
berwarna abu2, pipi kempot mulutnya runcing seperti paruh burung, biji
matanya yang hanya kelihatan tinggal putihnya mengerling ke sana kemari
hingga mendatangkan rasa ngeri bagi yang memandangnya.
Di samping imam buta itu berdiri lagi seorang pelajar berusia setengah baya,
sikapnya latah dan jumawa sekali.
Sebelah kiri Leng-hong Kongcu berdiri pula dua orang, yang satu adalah kakek
gundul berlengan satu, mukanya pucat ke-hijau2an, sedang yang lain adalah
seorang pria berdandan perlente, gayanya persis seperti saudagar kaya raya.
Meskipun dandanan keempat orang itu ber-aneka ragam, namun pelipis
mereka menonjol tinggi kecuali imam buta, rata2 sinar matanya amat tajam,
dari sini dapat diketahui mereka adalah jago2 persilatan kelas wahid.
"Apa yang dikehendaki Leng hong Kongcu?" pikiran ini terlintas dalam benak
Tian Pek, "mau apa dia bawa jago sebanyak ini meluruk kemari?"
Namun si anak muda itu tetap membungkam, dia cuma memandang
lawannya salu persatu.
Sementara itu si gadis berbaju hitam itu telah mendengus: "Hm, setelah
menganiaya adik. sekarang mau cari gara2 dengan Taci?"
Leng hong Kongcu mengerut kening, ia tidak gubris sindiran orang, dengan
sikap yang angkuh dia berpaling pada Tian Pak dan menegur: "Kukira
penyakitmu telah sembuh bukan?"
"Terima kasih atas perbatianmu, penyakitku memang sudah sembuh!" jawab
Tian Pek.
"Ada pesan terakhir yang hendak kau tinggalkan?" ejek Leng-hong Kongcu
sambil mencibir sinis.
Tian Pek tertegun, untuk sesaat ia tak mampu menjawab.
"Hm! Kenapa mesti pura2 bodoh? Atau kau takut?" ejek Leng-hong Kongcu
lebih jauh. "Masih ingat bukan apa yang kaukatakan waktu berada di kamarku?"
Setelah di desak berulang kali, habislah kesabaran Tian Pek, iapun naik pitam
dan nekat, serunya dengan sama angkuhnya: "Aku tak pernah mengenal arti
kata takut, akupun tak tahu apa yang Kongcu maksudkan!"
Belum lagi Leng-hong Kongcu menjawab, sastrawan latah yang berdiri di
sisinya telah bergelak tertawa, suaranya keras memekik telinga, dari sini dapat
diketahui betapa sempurnanya tenaga dalam yang dimiliki orang ini.
"Bocah ingusan yang masih berbau pupuk, sikapmu terlalu angkuh dan kurang
ajar, siapa suruh kau bersikap tak sopan terhadap Kongcu? Hm! rupanya kau
sudah bosan hidup."
Diam2 Tian Pek merasa ngeri. tapi pembawaannya memang tidak mudah
tunduk begitu saja, walaupun sadar bukan tandingan orang, ia tidak menjadi
gentar, sambil mengerahkan hawa murninya ia tetap berdiri tegak.
Sebelum pria latah itu bertindak. dua orang kekar yang berdiri di belakang
Leng-hong Kongcu mendadak tampil ke depan, setelah menjura kata mereka:
"Kongcuya, untuk membunuh ayam kenapa mesti pakai pisau pemotong
kerbau? biarkan hamba berdua yang membekuk batang leher keparat ini!"
Kedua orang ini tak lain tak bukan adalah Tan Cing serta Tan Peng yang
pernah membacok si anak muda di hutan itu.
Tentu saja Tian Pek gusar, pikirnya: "Budak anjing yang tak tahu diri,
dianggapnya aku mudah dianiaya? Berani kau pandang hina diriku ..."
Dengan angkuh Leng-hong Kongcu memandang kedua orang itu sekejap, lalu
berkata: "Tangkap hidup2, jangan dibunuh!"
Tian Pek semakin gusar mendengar ucapan ini, darah dalam dadanya
bergolak dengan hebatnya.
Dalam pada itu Tan Cing dan Tan Peng telah mengiakan, mereka menjura
pula pada pria latah tadi sambil berkata: "Jiya, untuk membekuk seorang keroco
begini, tak perlu engkau turun tangan sendiri, biarkan hamba bekuk batang
lehernya!"
"Hahaha! Bagus, bagus!" seru pria latah itu sambil tergelak. "Kalau begitu
seorang saja yang maju, buat apa kalian maju berdua?"
Hawa amarah berkobar dalam dada Tian Pek, pikirnya: ''Mereka sama
memandang hina padaku, aku harus bunuh satu-dua orang di antaranya untuk
melampiaskan rasa dongkolku dan supaya mereka tahu rasa."
Tian Pek sudah kenyang dihina dan hidup menderita, betapapun ia pantang
menyerah, apalagi setelah dihina di depan orang banyak, timbul niatnya untuk
beradu jiwa.
Diam2 hawa murninya dikerahkan sepenuhnya, tapi mulut tetap
membungkam, ia telah memutus-kan, siapa saja yang maju segera akan
dihantamnya dengan sebuah pukulan yang mematikan.
Sementara itu Tan Cing dan Tan Peng jadi malu maju bersama setelah
mendengar perkataan pria latah tadi.
"Kalau begitu, biar aku saja yang bekuk cecunguk ini!" seru Tan Cing kemudian
sambil lolos goloknya.
Sekali lompat, Tan Cing sudah berdiri di depan Tian Pek, ia tuding pemuda itu
dengan ujung goloknya, lalu menghardik: "Bocah edan, “ cabut senjatamu!"
Rasa gusar Tian Pek sukar dikendalikan lagi terutama melihat sikap kurangajar
orang, ia menjengek: "Untuk melayani budak anjing macam kau. lebih baik
Siauya layani dengan bertangan kosong saja daripada mengotori senjataku!"
Padahal pedang hijau mestikanya telah hilang di tangan An-lok Kongcu.
sekalipun dia ingin pakai senjata juga tak ada, tentu saja untuk menghadapapi
Tan Cing yang jumawa itu ia tak sudi pakai senjata, ia sengaja bersikap terlebih
angkuh untuk meremehkan budak itu.
Semua orang sama2 mendongkol juga mendengar perkataan Tian Pek itu,
terutama Tan Cing, dengan menyeringai segera ia membentak: "Bocah takabur,
lihat serangan!"
Sewaktu berada di hutan tempo hari Tan Cing pernah merasakan kelihayan
pukulan Tian Pek, waktu itu dengan tiga lawan satupun mereka tak mampu
menang, apalagi sekarang satu lawan satu, tentu saja ia menyadari tak mampu
menandingi pemuda itu.
Karenanya walaupun Tian Pek mengejek dengan kata2 sinis. ia tak berani
melayaninya dengan bertangan kosong. Setelah membentak tadi dia putar
goloknya terus hendak menyerang.
"Tahan!" tiba2 si nona baju hitam tadi membentak nyaring. "Tan Cing, kau
tahu malu tidak? Orang lain bertangan kosong? Masa kau hendak layani dia
dengan bersenjata?"
Tan Cing tertegun, mukanya merah dan sesaat lamanya dia berdiri kesima
dengan serba salah.
"Kau tak perlu ikut campur urusan ini!" seru Leng hong Kongcu cepat. "Sudah
untung bagimu bila aku tidak mengatakan apa2 tentang perbuatanmu
mengadakan pertemuan gelap dengan pemuda asing di sini, masa sekarang kau
malah berani ikut campur urusanku?"
Dara baju hitam itu sangat mendongkol, sekujur badannya gemetar karena
keki, sambil menuding adiknya dengan gemetar teriaknya keras2: "Kau .... kau . .
. . " — Sampai lama ia tak mampu mengucapkan sepatah katapun.
Leng-hong Kongcu mendengus, ia tidak menggubris encinya lagi, bentaknya.
"Tan Cing. hajar bocah itu!"
Waktu itu Tan Cing sedang merasa serba salah, mendengar perintah dari
majikannya, segera ia putar golok dan membacok batok kepala Tian Pek.
Sedari tadi Tian Pek sudah siap sedia, melihat datangnya serangan, ia
mengegos ke samping, berbareng dengan jurus "lek-pi-hoa san (menggugurkan
bukit Hoa san) dia balas hajar dada Tan Cing.
"Duuk!" pukulan keras itu bersarang telak di dada lawan tersebut.
Tan Cing menjerit kesakitan, bagaikan terhantam martil, tubuhnya mencelat
dan terbanting. Darah segar berhamburan dari mulutnya dan terbanglah
nyawanya.
Selagi semua orang kaget tercampur heran, kembali terdengar suara
benturan keras.
Kiranya Tan Peng menjadi nekat demi menyaksikan kakaknya mati dalam
keadaan mengerikan, ia langsung menubruk maju dan membacok punggung
anak muda itu.
Merasa desiran angin tajam menyerang dari belakang, Tian Pek tahu ada
orang sedang menyergap, ia jadi gusar, tanpa berkelit ia putar badan sambil
menampar ke belakang dengan jurus To ta-kim-ciong (memukul balik genta
emas), dia gampar pelipis Tan Peng dengan keras. Tidak sempat menjerit lagi.
Tan Peng mencelat dan menyusul kakaknya ke alam baka.
Kalau diceritakan sangat lambat, tapi kejadian itu berlangsung dalam waktu
singkat, secara beruntun Tian Pek telah membereskan dua pengawal istana
keluarga Buyung yang disegani orang.
Berbicara sesungguhnya, meskipun Tan Cing dan Tan Peng hanya dua orang
pengawal keluarga Buyung, ilmu silat mereka tidak lemah, jangankan cuma satu
gebrakan, untuk merobohkan mereka dalam dua-tiga gebrakan juga sulit.
Tapi kini hanya satu gebrakan saja Tian Pek telah membinasakan mereka,
bukan saja Leng-hong Kongcu jadi melengak, kawanan jago lainpun sama
tertegun dan mengunjuk rasa kaget.
Sambil menatap Tian Pek dengan mata melotot, pikir mereka di dalam hati:
"Sungguh tak nyana pemuda ini mempunyai kepandaian yang begini tangguh
dan luar biasa!"
Padahal Tian Pek sendiripun diam2 merasa kaget dan heran, batinnya:
"Tempo hari ketika mereka hendak membunuh aku di hutan sana, kepandaianku
hanya berada dalam keadaan seimbang dengan mereka, tapi sekarang, kenapa
ilmu silat mereka jadi tak becus? Sekali tonjok saja mereka sudah keok semua?
Aneh, sungguh aneh!"
Kalau ilmu silatnya tidak maju pesat dan lihay, kitab pusaka So-kut-siau-hun-
thian-hud-pit-kip itu tentu tukkan dinamakan kitab paling aneh dikolong langit
ini, walaupun Tian Pek baru belajar belasan hari lamanya, namun tenaga dalam
yang diimilikinya telah mendapat kemajuan dan mencapai tingkatan tinggi.
Apalagi serangannya tadi mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya.
tentu saja Tan Cing dan Tan Peng tak tahan.
Air muka Leng hong Kongcu berubah hebat setelah melihat Tian Pek
membunuh dua orang anak buahnya, ia melotot penuh kegusaran.
Tapi sebelum pemuda itu tampil ke depan, pria setengah baya tadi sudah
bergelak tertawa dengan latahnya, gelak tertawa itu keras menusuk
pendengaran dan mendengung tiada hentinya di angkasa, membuat jantung
orang yang mendengar berdebar keras
"Anak muda!" seru pria latah itu dengan mendelik. "Kau cukup angkuh dan
takabur, berani membunuh dua orang centeng keluarga Buyung dihadapan
Kongcu, hm, nyalimu harus dipuji
"
Setelah membinasaksn kedua orang tadi, sebeharnya Tian Pek merasa agak
menyesal, tapi begitu ditegur hawa amarahnya kembali berkobar, dengan gagah
sahutnya: 'Aku tak peduli siapa mereka, barang siapa berani menghina aku,
terpaksa kubela diri dengan mempertaruhkan nyawa!"
"Bocah takabur, kau tahu siapakah aku?" hardik pria latah itu dengan sorot
mata berkilat.
"Maaf, aku tak tahu siapa kau!" sahut Tian Pek.
"Thian ya ong seng (manusia latah dari ujung langit)! Pernah kau dengar
nama ini? Thian-ya-ong-seng Tio Kiu-ciu ialah diriku ini, akulah manusia latah
dari ujung langit, Tio Kiu-ciu. Dalam tiga jurus, Cukup tiga jurus saja, akan
kucabut nyawa anjingmu!"
"Kalau aku tidak mati dalam tiga jurus? Apa yang akan kau lakukan lagi?" ejek
Tian Pek, meski dia tahu ilmu silatnya bukan tandingan lawan, namun ia tak sudi
menyerah begitu saja.
Pemuda ini pernah mendengar cerita tentang tokoh aneh ini, menurut cerita,
manusia latah dari ujung langit ini berasal dari perguruan Tiang pek-pay, baru
tiga tahun ia belajar silat, semua jago lihay seperguruannya telah dikalahkan,
bahkan guru-nya sendiripun harus menelan kekalahan di tangannya.
Karena merasa tiada yang bisa diperoleh lagi, dia lantas tinggalkan
perguruannya dan berkelana di dunia persilatan, kepada khalayak ramai dia
berkata, barang siapa bisa mengalahkan dia, maka dia akan mengangkat orang
itu sebagai gurunya.
Ia memang berbakat bugus, semua aliran ilmu silat yang pernah dilihatnya
takkan terlupa lagi dalam ingatannya, malahan dalam waktu singkat ia mampu
menciptakan jurus balasan untuk mematahkan serangan lawan.
Dengan kemampuan yang luar biasa itulah, moski dalam lima tahun terakhir
ini sudab banyak jago lihay yang menantang dia berduel, namun tak seorangpun
di antara mereka yang mampu menandingi kelihayannya.
Karena sudah kehabisan musuh, berangkatlah tokoh latah ini ke Siong-san
untuk melabrak barisan Lo-han-tin yang termashur di Siau-lim-si, kemudian
melabrak pula Bu-tong-sam-cu, tiga tokoh terlihay dan Bu-tong-pay, semua itu
dapat dilakukan dengan lancar dan mundur dengan selamat,
Karena perbuatannya ini, nama besar Manusia latah dari ujung langit semakin
terkenal dan menggetarkan dunia Kangouw.
Akhirnya entah karena apa, mendadak jejak jago latah ini lenyap tak
berbekas. Dan sungguh tak nyana puluhan tahun kemudian, Thian-ya-ongseng
kembali muncul didepan umum, bahkan telah mengabdi pula pada keluarga
Buyung yang tersohor, bagi orang yang kenal watak kelatahanoya, hal ini
sungguh sangat mencengangkan sekali.
Begitulah Manusia latah dari ujung langit Tio Kiu-ciu telah mengebaskan
ujung bajunya sambil berkata: "Kalau dalam tiga jurus aku tak mampu
merobohkan kau, julukanku segera kuhadiahkan kepadamu. Nah. bocah
temberang, ber-siap2lah untuk menerima kematian?"
Tian Pek sendiri sudah dibikin gusar oleh kelatahan orang, dengan dahi
berkerut ia menjawab: "Sejak tadi aku sudah siap, hayo seranglah?"
"Bagus, sambutlah serangan yang pertama!"
Bagai sambaran kilat cepatnya, Tio Kiu-ciu berputar setengah lingkaran, lengan
kirinya tertekuk, dengan menggunakan sikutnya dia tutuk Sam-yang-
hiat dan Hun-swi-hiat di dada Tian Pek, sementara telapak tangan kanannya
berputar di udara dan melepaskan satu pukulan dahsyat ke batok kepala musuh.
Tian Pek terkejut, selama hidup belum pernah ia hadapi jurus serangan
seaneh dan sehebat ini.
Karena tak kenal jurus serangan lawan, pemuda itu tak berani menyerang
secara gegabah, terpaksa dengan langkah Gua-be-kim-sau (naik
melintas bukit emas) ia mengegos ke samping.
Ketika Tian Pek menghindar ke samping, kebetulan sebelah kakinya
tersangkut oleh sepotong batu bulat hingga tergelincir, tubuhnya segara roboh
terjengkang.
"Jurus kedua!" bentak si Manusia latah dari ujung langit.
Serangan kedua ini jauh lebih aneh dan dahsyat, tubuhnya meluncur ke
depan dengan gerak mendatar, ibaratnya seekor capung sedang menutul
permukaan air, tanpa memandang lawan tangannya menabas dengan dahsyat.
Angin pukulan mendesing tajam di udara-
"Krak!" sebatang pohon cemara kecil tertabas kutung bagaikan terbacok golok
tajam dan seketika tumbang.
Walaupun serangan itu dahsyat, namun Tian Pek sana sekali tak terluka,
karena saat itu kebetulan dia jatuh tergelincir, hal ini justeru menyelamatkan dia
dan serangan maut manusia latah itu.
Ucapan manusia latah dari ujung langit memang bukan bualan belaka, jurus
serangan yang diancarkannya bukan saja cepat bahkan lihay luar biasa,
jangankan Tian Pek yang masih hijau, sekalipun tokoh kelas satu dari dunia
persilatan pun belum tentu sanggup menghindarinya.
Bayangkan saja, batang pohon Siong saja tertabas kutung, apalagi tubuh
manusia yang terdiri dari darah-daging.
Tapi nasib Tian Pek memang lagi mujur, di-saat yang kritis tadi ia tersangkut
batu dan tergelincir, sehingga serangan maut musuhnya bisa di-elakkan dengan
aneh dan lucu.
Rupanya dalam serangan yang pertama tadi, Manusia latah dari ujung langit
To Kiu-ciu telah memperhitungkan kemana Tian Pek akan berkelit, maka tanpa
memandang lebih jauh jurus kedua dilepaskan secepat kilat, andai kata Tian Pek
tidak tergelincir jatuh, sulitlah baginya untuk mnghindarkan diri.
Terkesiap juga minusia latah itu setelah menyaksikan dua serangannya
mengenai sasaran yang kosong, ia terperanjat dan berdiri tertegun, jago lihay ini
tak menduga kalau jatuhnya Tian Pek karena terpeleset, dia megira anak muda
itu telah menggunakan gerak tubuh yang sakti untuk menghindarkan dua jurus
serangan mautnya.
Akan tetapi setelah diamatinya posisi jatuh pemuda itu, mendadak manusia
latah itu tertawa ter-bahak2 karena geli, bentaknya: "Eh anak muda, hayo, cepat
merangkak bangun!" — Telapak tangannya kembali diayun ke depan.
Tian Pek terperanjat, ia merasakan desiran angin keras. ia mengira serangan
ketiga dari musuh telah dilancarkan, dalam gugupnya buru2 ia gunakan gerakan
"keledai malas bergulingan", ia menggelinding jauh ke sana, baru kemudian
meloncat bangun.
"Hahaha! Anak muda, tak usah gugup, seranganku yang ketika belum lagi
kulancarkan!" ejek manusia latah dari ujung langit sambil ter-bahak2 lalu
selangkah demi selangkah ia menghampiri anak muda itu.
"Paman Tio, kau curang!" tiba2 si nona baju hitam berseru. "Sebagai tokoh
kenamaan dunia per-silatan, ucapanmu bisa dipercaya atau tidak?"
"Setiap patah kata yaug kuucapkan tak pernah kuingkari, kalau aku suka main
curang dan ingkar janji, tak nanti aku dapat hidup tenteram dan terhormat
selama sepuluh tahun di tengah keluarga Buyung kalian. Nona Hong, betul tidak
ucapanku ini?"
Sekalipun sedang berbicara, manusia latah itu tidak menghentikan
langkahnya, setindek demi setindak ia menghampiri Tian Pek.
Dara berbaju hitam itu kembali mendengus: "Hm. bukankah paman Tio akan
membunuh dia dalam tiga jurus? Kini tiga jurus sudah lewat, kenapa kau masih
hendak menyerang lagi?"
Manusia latah dan ujung langit ini segera ber-henti, ia berpaling dan menatap
dara itu dengan tercengang. “Siapa bilang aku sudah melancarkan tiga jurus
serangan?" serunya penasaran. "Semua orang menyaksikan kalau aku baru
melepaskan dua kali pukulan saja!"
"Paman Tio, bukankah jurus pertama kau menyerang dengan gerakan
'menyumbat sungai membuat bendungan'? Lalu dalam serangan yang kedua
memakai jurus 'membendung Sungai memutuskan aliran'?"
"Benar, lalu apa jurus seranganku yang ketiga?"
Di luar ia berkata begitu, dalam hati diam2 manusia latah ini memuji
kecerdasan nona baju hitam ini, ia tak menyangka jurus serangan Tui-
hong-ki-beng-ciang (ilmu pukulan gerak aneh pengejar angin) yang
diciptakannya dapat dikenali oleh-nya.
Tapi tokoh ini yakin kalau dia baru menyerang sebanyak dua jurus, pikirnya:
"Hm! Sekalipun kau budak setan ini amat ccrdik, aku yakin kau takkan mampu
membuktikan bahwa aku sudah menyerang tiga kali!"
Dara baju hitam itu mengerling, lalu berkata: "Sewaktu dia berkelit ke
samping tadi, paman Tio telah melancarkan serangan yang ketiga!"
Manusaia latah dari ujung langit itu mendengus: "Hra! Aku tak pernah
menghajar orang yang sudah roboh di tanah, gerak tanganku tadi hanya
memerintahkan kepadanya untuk bangkit, masa gerak itupun kau anggap
scbagai jurus serangan?"
"Hah, bukankah itu jurus Long-ki-lm-sah (damparan ombak menghanyutkan
pasir), suatu jurus serangan mematikan, kalau pemuda itu tidak menghindar
dengan cekatan, niscaya ia sudah menemui ajalnya!" kata si nona.
Mendengar keterangan itu, Manusia latah dan ujung langit jadi teitegun.
Kiranya di antara ilmu pukulan Tui-hong ki~ heng ciang yang diciptakannya itu
memang benar terdapat jurus yang bernama "Long-ki liu sah", gerak tangannya
yang dilakukan tadi memang sangat mirip dengan gerak serangan tersebut, tapi
ia tidak menggunakan dengan maksud menyerang, sebab kalau jago sakti ini
mau menyerang sungguhan, niscaya Tian Pek sudah mati sejak tadi.
Walau begitu, Manusia latah dari ujung langit ini tak bisa membantah
tuduhan si nona, sekalipun ia hendak membantah namun pada kenyataannya
memang begitulah, terpaksa sambil menggeleng kepala ia berkata dengan sedih:
"Ah, baik! Anggaplah paman Tio kali ini telah kecundang, tapi kau harus tahu,
nona Hong, aku tidak kecundang di tangan bocah itu melainkan kecundang oleh
mulutmu yang tajam!"
Kepada Leng hong Kongcu ia lantas menjura dan menambahkan: "Orang she
Tio sudah sepuluh tahun berdiam di rumah Kongcu, bukan pahala yang kubuat
sebaliknya kekecewaan yang kuberikan kepada Kongcu, karenanya aku mohon
diri saja dan sampai berjumpa lain waktu!"
Selesai berkata dia terus melangkah pergi, dalam waktu singkat bayangannya
sudah lenyap.
Siapapun tak menyangka bahwa manusia latah dan ujung langit itu, bakal
berlalu dengan begitu saja, apalagi gerak tubuhnya teramat cepat, sebelum Leng
hong Kongcu sempat buka suara, jago sakti itu sudah lenyap dari pandangan.
Betapa gusar dan mendongkolnya Leng-hong Kongcu menghadapi kejadian
itu, semua rasa keki-nya segera dilampiaskan pada diri encinya.
Ia mendengus kepada dara baju hitam itu dan berkata: "Coba lihat, akibat
ulahmu yang tak genah paman Tio telah pergi karena marah, akan kulihat cara
bagaimana pertanggungan-jawabmu dihadapan ayah nanti!"
Dara baju hitam itu mengernyitkan alis, ia balas mendengus.
"Hm! Dia pergi sendiri, memangnya aku yang mengusir? Kalau dia ingin pergi,
masa aku bisa menahan dia?"
"Huh! Ulahmu hanya akan sia2 belaka," ejek Leng hong Kongcu. "Sekalipun
paman Tio kaubikin marah dan pergi, aku tetap takkan ampuni jiwanya?"
Dengan garang dan bengis Leng hong Kongcu lantas menghampiri Tian Pek.
"Kongcu, jangan ter-buru2!" tiba2 si lelaki yang berdandan perlente maju
mencegah. "Biar aku yang bereskan bocah itu!" Lalu kepada Tian Pek dia
menambahkan: "Aku hendak mainkan sebait lagu yang merdu, apakah engkoh
cilik berminat menikmatinya?"
Tian Pek tidak langsung menjawab, diamatinya pria berdandan perlente ini
dengan tajam, orang itu berusia empat puluhan, walaupun dandanannya
perlente tapi ucapannya merendah hati sehingga amat tidak serasi. Tapi Tian
Pek sadar, semakin sungkan sikap musuh yang dihadapinya berarti makin sukar
orang itu dilayani.
Ia tak kenal siapakah lelaki perlente ini, tapi dari sinar matanya yang tajam
bagaikan pisau itu ia tahu lawan pasti seorang jago persilatan yang ber-ilmu
tinggi.
Namun Tian Pek tidak jeri, iapun tak sudi tunduk kepada siapapun, ia
menyadari biarpun merengek minta ampun kepada mereka, bukan saja orang2
itu tak kenal belas kasihan, malahan akan lebih di hina dan dicemoohkan.
Karenanya dengan tegas dia menyahut: "Jangankan hanya menikmati lagu,
sekalipun hendak adu tenaga, aku pasti akan mengiringi kehendakmu!"
Diam2 si gadis baju hitam mengerut dahi, ia berpikir: "Bocah bodoh, kenapa
mencari susah sendiri? Masa kau tidak kenal orang ini adalah Gin-siau toh-hun
(seruling perak pembetot sukma) Ciang Su-peng? Dia lebih sulit dilayani
daripada manusia latah dari ujung langit tadi, kenapa kau malah tantang dia?
Benar2 bodoh."
"Bagus!" puji Gin-siau-toh hun Ciang Su-peng dengan muka berseri. "Sungguh
tak nyana engkoh cilik punya semangat jantan. Baik, akan kumainkan sebuah
lagu yang merdu untuk menghibur hatimu!"
Dari sakunya ia lantas keluarkan sebuah seruling perak yang memancarkan
sinar berkilat, setelah tersenyum, ia tempelkan seruling itu di ujung bibirnya lalu
mulai ditiup lembut: "Tit...tut...tiit..tutt " suaranya merdu, nadanya tinggi
melengking.
Tian Pek melongo, ia tak mengerti apa yang hendak dilakukan lawan itu.
Sementara para jago yang berada disekeliling gelanggang telah mengundurkan
diri ke belakang, masing2 mengeluarkan kain atau saputangan untuk
menyumbat lubang telinga sendiri.
Dara baju hitm itupun gelisah dan meng-gentak2 kaki. "Ai, celaka, dia pasti
celaka . . . . " keluhnya di dalam hati.
Dara baju hitam itu ingin mencegah, tapi Ciang Su peng sudah keburu
mainkan irama serulingnya dengan merdu.
Walaupun suaranya tidak begitu keras, tapi nyaring dan jelas, iramanya
menggetar kalbu.
Lagu yang dimainkan itu melukiskan seorang wanita sedang menangis dengan
sedihnya di tengah malam buta membuat pendengarnya ikut bersedih hingga
tak tahan dan melelehkan air mata.
Suasana yang sedih penuh duka nestapa ini sangat sesuai dengan perasaan
Tian Pek sekarang, tanpa sadar terbayang kembali kematian ayahnya yang
mengenaskan, kematian ibunya yang sengsara serta peristiwa2 sedih yang
pernah menimpa kehidupannya di masa lampau, ia jadi terbuai ke alam
kepedihan, pemuda itu jadi lupa kalau musuh tangguh ada di depan mata.
"Tiitt .... tuuut .... tiitt .... tutt . . . . " irama seruling itu kian lama kian
mengharukan, air muka Tian Pek jadi murung dan diliputi kepedihan, dengan
ter-mangu2 ia memandang kejauhan, entah ke mana kesadaran pemuda itu
dibawa? Air mata bercucuran membasahi wnjahnya.
Dara baju hitam itu sama sekali tidak terpengaruh oleh irama seruling maut
itu sebab ia tahu betapa lihaynya "irama seruling pembetot sukma" dari Ciang
Su-peng, maka sebelumnya ia telah pusatkan seluruh perhatiannya sehingga
sebegitu lama ia tetap tenang saja. Tapi ia menjadi cemas melihat kesedihan
Tian Pek yang terpengaruh oleh irama seruling sehingga akhirnya menangis
tersedu-sedan.
Dara baju hitam itu terperanjat dan kuatir, cepat ia berteriak: "Paman Ciang,
perbuatanmu tidak adil!"
Perlu diketahui bahwa Cengeu atau kepala perkampungan Pah-to-san-cung,
Ti-seng-jiu (tangan sakti pemetik bintang) Buyung Ham amat menghargai jago2
kenamaan dari dunia persilatan, setiap kali bertemu jago tangguh, maka
diundanglah jago itu untuk berdiam dalam perkampungannya, ia selalu
menghormati mereka ibarat saudara sendiri, karena itu putera-puterinya juga
memanggil paman kepada mereka.
Begitulah si seruling perak pembetot sukma Ciang Su-peng lantas
menghentikan permainan serulingnya dan tersenyum. "Nona Hong, apa lagi
yang hendak kau katakan?"
Merah jengah wajah si nona, untung mukanya tertutup oleh kain cadar
hitam, walau begitu ia jadi rikuh sebab rahasia hatinya se olah2 kena di-tebak
oleh senyum Ciang Su peng yang penuh arti.
Tapi dengan cepat ia lantas pusatkan perhatian-nya kembali, dengan nada
serius katanya: "Paman Ciang, engkau kan seorang jago kenamaan di dunia
persilatan, mengapa engkau tega mengerjai seorang muda yang masih hijau
begini?"
Si seruling perak pembetot sukma melengak, dari mukanya yang gemuk
terpancar rasa tak senang hati. "Nona Hong, apa maksudmu?" serunya.
"Irama toh hun-toa-hoat {Irama iblis pembetot sukma) milik paman Ciang
adalah suatu kepandaian yang ampuh dan dikenal setiap umat persilatan, tanpa
memberi keterangan engkau langsung menyerangnya dengan ilmu sakti
tersebut, kalau tidak dinamakan mengerjai lantas perbuatan paman ini harus
dinamakan apa?"
Seruling perak pembetot sukma Ciang Su-peng penasaran sekali karena
dituduh "mengerjai anak muda", dengan nada marah dan muka masam ia
menjawab: "Siapa bilang sebelumnya tidak kujelas-kan? Aku kan sudah
mempersilakan dia untuk menikmati irama serulingku, dan permintaanku ini
disanggupi olehnya, semua orang menyaksikan kejadian ini, semua orang
mendengar perkataanku ini, siapa bilang tidak kujelaskan? Hm! Masa kau
menyalahkan diriku malah?"
Si nona tahu apa yang diucapkan Ciang Su-peng memang betul tapi demi
menyelamatkan jiwa Tian Pek dan bahaya, dara yang cerdik ini segera berseru
pula: 'Walau begitu, paman Ciang kan tak pernah menerangkan bahwa engkau
hendak beradu kepandaian dengan menggunakan irama seruling? Kalau tidak
kau terangkan, mana orang lain bisa bersiap sedia sebelumnya?"
Bicara sampai di sini, ia berpaling ke arah Tian Pek dan melanjutkan: "Begitu
bukan? Tahukah kau bahwa irama seruling yang dimainkan
Ciang-locianpwe merupakan Kungfu yang maha lihay?"
Maksud si nona, dengan kata2nya itu dia hendak memperingatkan Tian Pek
agar meningkatkan kewaspadaannya agar tidak mengorbankan jiwanya secara
sia2.
Siapa tahu Tian Pek tetap membungkam bagaikan orang linglung dan
memandang jauh ke depan tanpa menghiraukan kata2 si nona, sementara air
matanya jatuh bercucuran membasahi sebagian dada bajunya.
Buyung Hong, si nona baju hitam terkejut, ia kuatir anak muda itu telah
terluka oleh pengaruh irama seruling lawan tadi, didorongnya pemuda itu
sambil menegurnya dengan suara lantang: "Hei, kau dengar tidak ucapanku?"
----------------------
Dapatkah Tian Pek menyelamatkan diri dari recokan Leng hong Kongcu dan
begundalnya ?
Siapakah dan tokoh macam apakah Buyung Ham, ayah Leng-hong Kongcu ?
— Bacalah jilid ke-5 —
-----------------------
Isi diluar tanggung-jawab Perc. "PS", Semarang
AXD002
HIKMAH PEDANG HIJAU
(THE SWORDSMAN JOURNEY)
KARYA : Gu Long
Diceritakan oleh : Gan KL
scan djvu : axd002
Edited : Agam+Lovecan
Jilid 05 : Buyung Hong membuat aib Keluarga Ti-seng-jiu
Sekujur badan Tian Pek bergetar keras, ia tersadar kembali dari pengaruh suara
seruling, dengan ter-mangu2 dipandangnya dara baju hitam itu, untuk sesaat ia
seperti tidak tahu apa yang baru terjadi atas dirinya?
Rupanya ketika mendorong tubuh pemuda itu, diam2 Buyung Hong telah
menotok Ce tay hiat dan Ki hu hiat di dada Tian Pek, getaran itu seketika
menyadarkan anak muda itu dari pengaruh irama seruling.
Melihat pemuda itu sudah mendusin. Buyung Hong berseru lagi dengan lantang:
"Gin-siau-toh-hun-ciang locianpwe akan menggunakan ilmu seruling im-mo-toh-
hun siau-hoat untuk beradu kepandaian denganmu, kau merasa punya
kemampuan untuk menerimanya tidak? Kalau tahu kekuatan sendiri belum
memadai, lebih baik janganlah mencari penyakit."
Buyung Hoog kuatir kalau Tian Pek tak sanggup menahan serangan orang
sehingga terluka, dengan ucapan tersebut ia sengaja memperingatkannya
betapa lihay dan ampuhnya ilmu seruling “im-mo-toh-hun-siau-hoat” Ciang Su-
peng itu, maksudnya agar TIan Pek jangan terlalu memaksa diri, kalau ia tidak
terima tantangan tersebut, dengan kedudukan Ciang Su-peng dalam dunia
persilatan tentu tak akan turun tangan untuk membinasakan seorang angkatan
muda tanpa perlawanan.
Sayangnya Tian Pek telah salah artikan maksud baik dara baju hitam itu.
Terpengaruh oleh irama Seruling yang ampuh, pemuda itu terjerumus dalam
kesedihan yang luar biasa, rasa sedih yang kelewat batas membuat ia putus asa
dan kecewa, hampir saja hawa murninya buyar dan tubuhnya menjadi cacat.
Seandainya Buyung Hong tidak pandai melihat gelagat dan segera
menghentikan permainan seruling “im-mo-toh-hun-siau-hoat” Ciang Su-peng
tadi niscaya Tian Pek sudah terluka oleh irama “iblis pembetot sukma" tersebut.
Walaupun sepintas lalu keadaan tidak kelihatan berbahaya, tapi sebenarnya
Tian Pek seperti baru saja berputar sekeliling di pintu neraka.
Setelah Tian Pek sadar dari pengaruh seruling dan mendengar ucapan Buyung
Hong , ia salah paham dan mengira gadis itu memandang enteng padarnya,
dengan alis berkerut ia berkata: "Aku orang she Tian tidak lebih hanya angkatan
muda di dunia persilatan, bisa mendapat kehormatan untuk mencoba
keampuhan ilmu seriling “im-mo-toh-hun-siau-hoat” dari Ciang-cianpwe, hal ini
merupakan sartu kebanggaan bagiku, kendati aku bukan tandingannya,
sekalipun mati juga mati dengan bangga"
Rupanya anak muda itu salah mengartikan maksud Buyung Hong, setelah
medusin dari sadihnya, diam ia menegur diri sendiri: "Tian Pek, wahai Tian Pek!
Lebih baik kau mati daripada merusak nama baik keluarga, betapa gagah
perwiranya ayahmu sewaktu malang-melintang di utara dan selatan sungai
dengan kesaktian pedang hijaunya? Sekalipun tak dapat meniru kegagahan
ayahmu, paling sedikit jangan mandah dihina orang!"
Dua puluh tahun yang lalu Gin-siau-toh-hun Ciang Su-peng pernah merobohkan
Tionggoan-sam-lo tiga pemimpin dunia. persilatan di puncak Hoasan, sejak Itu
namanya tersohor di-mana2. dia di segani dan semua orang menaruh hormat
kepadanya.
Tian Pek sendiri bukannya tak tahu kelihayan orang, tapi ia bertekad untuk
mengadu jiwa, ia merasa lebih berharga mati di tangan seorang kenamaan
daripada mandah dihina, karena itu tanpa ragu ia sambut tantangan jago lihay
itu.
"Bagus! Sungguh mengagumkan!" puji Ciang Su-peng dengan muka berseri, "jika
demikian, silahkan engkoh cilik menikmati sebuah laguku lagi"
Dengan santai jago tua itu lantas duduk di atas sepotong batu, ditatapnya
pemuda itu sekejap sambil tersenyum, lalu ia tempelkan serulingnya dibibir dan
mulai memainkan "irama pembetot sukma”. .
Dengan gemas Buyung Hong molotot orang tua itu sekejap, sia2 ia gelisah,
namun tdk mampu mencegah.
Semua orang telah mundur jauh ke sana, dengan prihatin mereka berharap akan
menyaksikan pertunjukan irama maut itu. Irama seruling mulai berkumandang.
Kali ini iramanya tidak sesedih tadi.
Irama yang dimainkan sekarang bernada gembira dan lincah, ibarat bunga
berkembang di musim semi membuat hati orang jadi lega dan bersukaria,
seakan2 ada seorang pemuda yang menanti kekasih nya di taman bunga, lalu
mereka menari, bernyanyi bersama dengan riang gembira, kemudian mereka
saling berpelukan dengan mesra, penuh kebahagiaan, kedamaian dan
ketenangan.
Kali ini Tian Pek sudah siap sedia, ia pusatkan pikirannya, sambil duduk bersila ia
jalankan latihan seperti yang diajarkan dalam kitab pusaka “So kut siau hun
thian-hud pit-kip”.
Ilmu yang tercantum dalam kitab itu memang hebat, hanya sebentar saja Tian
Pek sudah berada dalam keadaan lupa akan segala2nya, tentu saja irama
seruling itu tidak mempengaruhi pikirannya.
Berbeda dengan orang2 yang menyaksikan pertarungan itu dari samping,
walaupun telinga mereka tersumbat dengan kain, namun irama seruling masih
sempat menyusup ke dalam telinga, beberapa orang yang cetek tenaga
dalamnya mulai tak. Tahan bahkan mulai berjoget dan menari seperti orang gila.
Buyung Hong sendiri juga terpengaruh oleh Irama seruling itu, mukanya tampak
berseri2 hampir saja ia tak mampu mengendalikan diri. Irama seruling terus
mengalun, tapi Tian Pek tetap tenang, sedikitpun tidak terpengaruh.
Diam2 “seruling perak pembetot sukma" Ciang Su peng merasa heran,
dilihatnya pemuda itu tetap duduk tenang di atas tanah rumput tanpa
terpengaruh oleh irama serulingnya, dalam hati ia berpikir: "Walaupun bocah ini
berbakat bagus, namun ilmu silatnya jelas tidak begitu tinggi, tapi aneh kenapa
dia memiliki dasar tenaga dalam yang begini kuat dan tidak terpengaruh oleh
irama serulingku'?"
Permainan serulingnya segera berubah, dari irama gembira kini berubah
menjadi irama yang sedih, penuh duh nestapa, perubahan tersebut ibarat bunga
mekar di musim semi tiba2 terlanda badai salju yang dingin dan membeku,
bunga berguguran, suasana yang riang gembira telah lalu yang tersiksa hanya
kesedihan dan kedukaan.
Seolah2 mendadak ditinggal pergi kekasih yang tercinta, dunia terasa hampa,
semua harapan musnah, tiada gairah untuk hidup lagi, putus asa, kecewa, dan
kegelapan belaka.
Sampai detik itu Leng-hong Kougku, si Tocu buta, kakek berkepala botak dan
sekalian jago lihay yang lain masih belum terpengaruh, sebab bukan saja tenaga
dalam mereka sempurna, jaraknya juga agak jauh.
Lain halnya dengan keenam laki2 kekar di belakang majikannya, dasar Lwekang
mereka sangat cetek, mengikuti perubahan irama tersebut dari gerak menari
yang menggila kemudian mereka jadi lesu, bermuram durja dan duduk tepekur
air mata mulai mengalir membasahi wajahnya.
Dasar Lwekang yang dimiliki Buyung Hong sebetulnya terhitung tinggi tapi
karena ia bediri disamping Tian Pek, maka pengaruh irama seruling yang
menyerangnya jauh lebih hebat dari yang lain.
mula2 mukanya bersenyum gembira, setelah mengikuti perubahan irama
seruling kini muka menjadi murung dan diliputi kesedihan, air mata pun mulai
membasahi pipinya.
Tian Pek sendiri tetap duduk bersila ditempat semula, dia sama sekali tidak
terpengaruh meski nada Irama seruling semakin memuncak.
Ciang Su peng semakin terperanjat, irama lagu “hangatnya sang surya dan
musim semi” serta “beku salju dimusim dingin” telah dimainkan, ternyata
pemuda itu sama sekali tidak terpengaruh, ia jadi penasaran.
Sekali lagi irama seruling berubah dari nada “beku salju dimusim semi” kali ia
mainkan nada “angin musim gugur tajam bagaikan golok”. Dari irama sedih kini
berubah menjadi tinggi melengking dan penuh bernada hawa nafsu membunuh.
lrama itu kian meninggi, kian memburu ibaratnya pasukan berkuda yang
menyerbu datang dengan ganasnya, bumi se-olah 2 berguncang dan langit
serasa ambruk. Seperti bunyi senjata tajam saling beradu dengan ramainya.
Mengikuti perubahan irama itu, enam orang yang berada di belakang Leng Hong
Kongcu tadi mulai lolos senjata dan saling bacok membacok dengan sengitnya.
Darah segar berhamburan, kuntungan lengan, kutungan senjata berserakan,
bagaikan sudah kalap keenam orang itu saling bacok membacok, saling bunuh
membunuh dengan ganasnya. dalam waktu singkat empat di antaranya sudah
terluka parah.
Berulang kali Leng Hong Kongcu menghardik, namun bentakan itu tak mampu
menghentikan perbuatan nekat keenam anak buahnya, mereka tetap saling
membacok dan saling membunuh dengan ganasnya, menyaksikan kejadian itu,
kakek botak itu berkerut kenning, ia segera tutuk jalan darah keenam orang itu
hingga tak dapat berkutik lagi, walaupun begitu mereka tetap saling melotot
dengan gusarnya, hawa nafsu membunuh masih menyelimuti wajah mereka,
walau darah sudah berceceran dan tubuh sudah terluka, namun mereka tetap
garang dan siap menerjang
Buyung Hong sendiripun terpengaruh oleh irama tersebut, hawa nafsu
membunuh yang tebal terlintas di wajahnya. Namun sambil mengertak gigi
sekuatnya ia coba bertahan. Keringat mulai membasahi jidatnya, terlihat gadis
itu suara hatinya yang mulai tidak terkendali.
Lambat laun suasana mulai kritis, tosu buta ini pun mulai menyadari betapa
gawat keadaan saat itu. Ia pun tahu “Irama Pembetot Sukma” rekannya sama
sekali tidak terpengaruh bagi pemuda itu.
Akhirnya dengan ilmu gelombang suara ia mulai berbisik pada temannya itu: “
Ciang heng, kukira pemuda itu agak aneh, kalau ingin menaklukkan dia lebih
baik kita pindah lain tempat saja, jangan sampai permainan mu mengganggu
ketenangan loya”
Karena bisikan ini dikirim dengan gelombang suara, orang lain hanya melihat
bibirnya bergerak, tapi tidak tahu apa yang dibicarakan tapi ciang su peng dapat
mendengar dengan jelas sekali.
Namun bukan nya berhenti, ucapan ini segera membangkitkan rasa ingin
menang dalam hati jago sakti ini, ia jadi malu bercampur gusar karena irama
maut “Im-mo-toh-hun-siau-hoat” yang sangat diandalkan ternyata tidak mampu
merobohkan pemuda ingusan, kalau berita ini tersiar di luaran, bagaimana
jadinya nanti ? Karena itulah bukannya berhenti, ia malahan mainkan irama
mautnya semakin bernafsu.
Sekali kali lagi irama serulingnya berubah. Namun bagaimanapun dia ganti irama
serulingnya, Tian Pek tetap tenang saja, dia telah mainkan irama seruling nya
yang membawakan perasaaan gembira, marah, sedih, takut, benci dan nafsu
berahi, semuanya tidak mendatangkan hasil yang diharapkan. Tian Pek masih
tettap duduk bersila di atas tanah berumput, matanya terpejam rapat,
pikirannya terpusat menjadi satu, sekalipun langit ambruk di sampingnya tetap
tak diperdulikannya.
Semula Gin-siau toh- hun mengira cukup dengan irama “irama musim semi" dan
"musim dingin", si anak muda itu sudah bisa ditaklukkan, terutama mengingat
ilmu seruling yang dimilikinya telah memperoleh kemajuan yang amat pesat jika
dibandingkan dengan belasan tahun berselang. Dahulu Tiong goan-sam-lo yang
tersohor juga bisa ditundukkan apalagi Tian Pek yang dihadapinya kini tak lebih
cuma seorang pemuda ingusan?
Siapa tahu, sekalipun lalu musim semi, musim panas, musim gugur dan musim
dingin telah dimainkan seluruhnya (hanya musim duren aja belum dimainkan,
gagagak), kemudian juga menggunakan irama perasaan manusia untuk
menggoda ketenangan pemuda itu, ternyata Tian Pek masih tetap tidak
terpengaruh.
Hal ini sangat menggelisahkan Gin-siau toh-hun disamping rasa gusar yang
berkobar, akhirnya dia mengeluarkan jurus terampuh dari irama mautnya yakni
"Toh-bun-siau-boat" (seruling sakti pembetot sukma), untuk merobohkan anak
muda itu.
Watak manusia memang suka menang demikian pula dengan si seruling perak
pembetot sukma ketika dilihatnya Irama maut yang sangat terkenal di kolong
langit ini sama sekali tak mampu merobohkan seorang pemuda ingusan. tentu
saja ia
Jadi penasaran, dalam keadaan demikian maka semua kepandaian yang
dimilikinya segera dikerahkan dengan sepenuh tenaga.
Namun Tian Pek tetap tidak terpengaruh, diam2 Gin- siau-toh-hun Ciang Su
peng merasa heran, pikirnya: “Ah, masa kemampuan anak muda ini bisa lebih
hebat dari Tionggoan-sam-lo?"
Tentu saja mimpipun dia tak menduga kalau ilmu yang digunakan Tian Pek
untuk menanding irama mautnya bukan lain adalah Sim hoat ( ilmu batin) yang
paling top di dunia persilatan yang tercantum dalam kitab pusaka So kut-siau
hun thian- hud-pit- kip, sejak tergoda oleh Thian-sian- mo-li (Iblis wanita
bidadari dari langit) serta terperosot dalam ilmu Ni-li mi-hun-toa-hoat (gadis
pemikat sukma ), Ciah gan-long kun telah menciptakan semacam Sim Hoat
untuk melawan pengaruh iblis tersebut. apa yang diciptakan olehnya kemudian
dicatat dalam kitab pusaka "So-kut-siau-hun-thian hud pit- kip", maka dapat
dibayangkan setelah Tian Pek menguasai ilmu sakti itu, mungkinkah ia
terpengaruh oleh irama maut Ciang Su-peng? Padahal irama maut itu belum
apa2 kalau dibandingkan kelihaian Thian-sian- mo-li (Iblis wanita bidadari dari
langit)
Walau begitu, sudah tentu Gin siau-toh-hun sendiri tak mau menyerah dengan
begitu saja. dengan muka merah padam karena menahan emosi dan sinar mata
berkilat, ia mainkan irama im mo hoan keng (irama maut pembawa ke alam
khayal) yang merupakan tingkat paling hebat dari ilmu serulingnya.
Dalam waktu singkat iramanya yang merdu merayu membubung tinggi,
menembus segala rintangan, emaspun rasanya tertembus oleh getaran irama
itu, ketika membubung tinggi ke angkasa, tiba2 merendah kembali ke bawah.
Satu irama seketika terpecah menjadi bermacam2 seperti bidadari menabur
bunga lagi menari dengan indahnya, seperti
Air muka Leng Hong Kongcu berubah hebat rupanya iapun mulai terpengaruh
oleh irama maut itu, tubuhnya menggigil...
Melihat keadaan majikannya, kakek botak itu sangat terkejut, ia cengkeram
lengan pemuda itu dan berseru “Cepat mundur kebelakang” berbareng ia
melompat mundur beberapa tombak dengan menyeret Leng Hong Kongcu.
Agaknya si Tosu buta juga tahu Gin siau-toh-hun sudah mulai kalap, sambil
menghela napas dan menggeleng kepala, ia pun melayang mundur kebelakang
untuk melindungi Leng Hong Kongcu.
Irama seruling yang menggema ke empat penjuru mulai berubah lagi, ibarat
berpuluh2 gadis cantik dalam keadaan telanjang bulat sedang menari, mereka
tersenyum dan merangsang nafsu birahi.
Kaum pria mulai membayangkan gadis2 cantik yang mengerumuninya dalam
keadaan polos, dalam khayalnya rasanya ia adalah pemuda yang tampan di
dunia.
Bagi kaum wanita, mereka merasa se-akan2 tubuhnya dipeluk jejaka tampan
dan sedang dibelai dengan penuh kasih sayang. diraba dan diusap dengan
mesra, membuat berahinya terasa kian berkobar.
Bagi kaum hamba yang kemaruk harta, alam pikiran mereka terseret ke dalam
khayala yang lebih hebat, se-olah2 ada segudang emas, segudang intan permata
dan segala mutu manikam berserakan di hadapannya.
Setiap orang terbayang pada apa yang dikhayalkan siapa yang bisa melawan
hawa napsu diri sendiri? Siapa yang sanggup membendung hasrat pribadi?
Namun Tian Pek tetap tak terpengaruh, ia tetap duduk tenang seperti tak
pernah terjadi sesuatu apapun. Namun Buyung Hong, kakak perempuan Leng
Hong Kongcu, puteri sulung si "Tangan sakti pemetik bintang" Buyung Ham,
tampak sudah mulai kehilangan kesadarannya.
Tubuhnya yang ramping dan indah mulai gemetar, kulit mukanya yang putih
bersih bagaikan salju kini bersemu merah, alisnya bekernyit, tampaknya ia
sedang menahan penderitaan yang hebat, biji matanya yang bening mengerling
ke sana kemari dengan genitnya, muka yang semu merah dihiasi senyum yang
menawan, seolah-olah sedang mengharapkan sesuatu.
Api nafsu birahi yang membakar tubuh Buyung Hong makin berkobar, akhirnya
dara cantik itu tak mampu menguasai diri lagi, ia mulai melepaskan kain
kerudung yang menutupi wajahnya.
Bibir yang mungil bagai delima merekah, hidung mancung, parasnya yang cantik
jelita benar2 merupakan suatu perpaduan yang serasi. Buyung Hong, puteri
sulung Buyung Ham memang tak malu yang disebut sebagai gadis yang cantik
bagai bidadari.
Muka Buyung Hong tampak makin merah membara, sikap angkuh dan dingin
yang selalu menghiasi wajahnya kini sudah lenyap tak berbekas, yang tertinggal
adalah kegenitan dan pancaran mata yang penuh dengan nafsu birahi.
Irama seruling makin menggila, dara baju hitam itu semakin tak kuasa
mengendalikan diri, akhirnya dengan langkah gemulai ia menghampiri Tian Pek.
“Oo...oo...sayang sudah lama ku menantikan kau...........Ooooooo. betaaapa rindu
ku padamu.. engkoh sayang. . . . tahukah kau, betapa cintaku padamu ., .
sayaug ... aku ingin
Karena dorongan nafsu berahi yang membara, dengan bibir setengah merekah,
mata setengah terpejam dan keluhan yang berharap, gadis itu menjatuhkan
dirinya ke dalam pangkuan Tian Pek, ia rangkul pemuda itu penuh kemesraan,
lalu membelai wajahnya dengan penuh kasih sayang.
Tian Pek. merinding ketika mendadak terasa pipinya gatal2 geli karena tersentuh
sesuatu, perlahan ia membuka mata, tahu2 seorang gadis cantik berada dalam
rangkulannya, seketika jantungnya berdebar keras segulung hawa panas
memancar keluar dan pusarnya dan menerjang ke arah selangkangan,
konsentrasinya menjadi goyah dan api birahi terasa membakar.
Tanpa disadarinya daya pertahanannya menjadi buyar, saat itulah pengaruh
irama maut seruling mulai menyusup ke dalam tubuhnya. Tian Pek tak dapat
menguasai din lagi la merentang tangannya dan memeluk gadis baju hitam itu
erat2.
Dari kejauhkan Leng hong Kongcu dapat menyaksikan semua adegan mesra itu
dengan jelas. Malu dan gusarnya tidak kepalang, segera ia membentak:
"Cukup!"
Bentakan itu dilancarkan Leng hong Kongcu dengan segenap tenaga dalamnya,
suara menggelegar itu membuat si "Seruling perak pembetot sukma” jadi
melengak dan tanpa terasa menghentikan permainan serulingnya.
Ditengah bentakannya secepat kilat Leng Hong Kongcu lantas menerjang ke
depan Tian Pek serta Buyung Hong, ia tarik encinya dari rangkulan anak muda
itu, kemudian telapak tangannya diayukan dan menghajar dada Tian Pek.
'"Duuk!"' Tian Pek tidak tahu berkelit, dadanya terhantam telak oleh pukulan
Leng hong Kongcu itu.
Tian Pek tergetar dengan hebatnya, namun ia tetap duduk tidak roboh. Pukulan
dahsyat itu bagai martil ribuan kati menghatam dadanya, isi perut Tian Pek
kontan bergetar, hawa murninya bergolak dan menimbulkan rasa sakit yang luar
biasa seketika dia muntah darah.
"Plok!" sebuah tamparan keras tiba2 dilepaskan Buyung Hong dan telak
bersarang di pipi Leng -hong Kongcu, dengan sempoyongan anak muda itu
tergetar mundur beberapa langkah, hampir saja roboh terjengkang.
Lima jalur merah bekas jari menghiasi muka Leng Hong Kongcu yang tampan,
bahkan pipinya agak bengkak, darah meleleh di ujung bibirnya. Memang cukup
keras tamparan Buyung Hong itu, jangankan dipukul. sebesar ini belum pernah
Leng-hong Kongcu dimaki atau diperlakukan sekasar ini, untuk sesaat ia jadi
tertegun dan terpaku diam .
Setelah menampar, Buyung Hong tak lagi memandang adiknya, dengan
pandangan mesra ia tatap wajah Tian pek bisiknya lagi dengan lembut: "0,
Sakitkah kau? 0, kasihan. . . . . sayang . . coba kuperiksa lukamu . . !" dengan
lemah gemulai ia menghampiri anak muda itu, membuka pakaiannya dan
membesut darah di ujung bibirnya.
.
"Nona, pergilah dari sini! Sejak kecil aku sudah terbiasa hidup menderita, luka
sekecil itu takkan merengut nyawaku!' kata Tian Pek sambil menyingkirkan
tangan :anak dara itu, lalu bangkit berdiri dan melangka pergi dengan
sempoyongan.
"Engkoh sayang, tunggu, adik akan turut bersamammu!" seru Buyung Hong
sambil mengejar. Tapi Tian Pek tidak menggubrisnya ia melangkah terus dengan
sempoyongan. Buyung Hong menjadi gelisah, dengan air mata bercucuran ia
menyusul pemuda itu, merengek kepada anak muda itu agar membawa serta
dirinya.
Leng-hong Kongcu berdiri mematung dengan terkejut, bukan terkejut karena
pipinya digaplok, ia heran karena encinya yang selalu dingin, ketus dan jarang
bicara, ternyata mengejar dan merengek2 pada seorang pemuda asing. Ia jadi
melongo kesima hingga lupa rasa sakit dipipinya.
"Nona Hong!"
"Nona Buyung!" si Tosu buta, kakek botak serta sekalian jago yang ada di situ
menghalangi jalan pergi gadis itu, mereka bermaksud menarik perhatiannya,
dengan menyadarkan pikirannya agar menjaga harga diri.
Tidak tersangka Buyung Hong lantas melotot gusar, dengan marah ia
menghardik: "Hey, kalian mau apa? Enyah dari sini!" Tosu buta maupun kakek
botak merupakan jago persilatan yang berkedudukan tinggi, walaupun di dalam
istana keluarga Buyung mereka hanya sebagai tamu, namun mereka selalu
dihormati dan disegani orang. Sudah tentu bentakan Buyung Hong sangat
mencengangkan mereka, sesaat mereka berdiri melongo.
Akhirnya kakek botak itu berkata dengan suara berat: "Nona Hong!, walau kau
tidak pikirkan harga diri, !tapi tak kuizinkan kau berbuat seenaknya,"
"Betul nona!'" sambung si Tosu buta, "harus kau ingat pada kedudukan ayahmu,
jangan1ah berbuat menuruti watakmu, ., . .."
Bukan diterima baik, Buyung Hong semakin marah, ia paksa mundur kedua
orang dengan gerak "Ya-be hun cong" (kuda liar menyibak bulu suri), kemudian
ia mengejar Tian Pek dan berseru: "00. engkoh sayang.. . . , !tunggu aku. . . . .
Bahwa Buyung Hong dapat menyerang mereka hal ini sama sekali di luar dugaan
si Tosu buta dan si kakek botak, kontan mereka terdesak mundur dua langkah.
Merah padam wajah kedua orang itu, sekali berkelebat jalan Buyung Hong
kembali teradang.
Dara baju hitam itu menangis seperti anak kecil, serunya : "jangan urusi diriku. . .
. . , biarkan aku pergi, biarkan aku pergi” sambil berteriak dan menangis., tiba2
pakaian sendiri dirobek dan dilempaskan dari tubuhnya.
Cepat gerak tangan gadis itu, dalam waktu singkat pakaian sutra hitam sudah
hancur ber-keping2 dan bertebaran, ia jadi bugil, seluruh anggota tubuh nya
terpampang jelas.
Kakek botak itu kaget dan kelabakan, cepat ia menyurut mundur, walau
pengalamannya luas dan banyak kejadian besar yang pernah dihadapinya, tapi
selama hidup belum pernah mengalami kejadian seperti sekarang ini.
Meski sepasang mata tosu buta, pendengaran nya sungguh tajam sekali,
sekalipun semua kejadian tak dapat diikuti dengan mata, namun telinga bisa
mengikuti peristiwa itu dengan jelas. Ia pun terkesiap dan menyurut mundur
kebelakang, biji matanya yang putih mendelik, melongo dan untuk sesaat tidak
mampu berbicara.
Lebih2 Leng Hong Kongcu yang angkuh, saking gusarnya ia pun kelabakan,
mukanya pucat dan bergumam sendiri entah apa yang digerutunya. Sekalipun
Buyung Hong adalah kakak kandungnya, ia tak berani mencegah karena nona itu
dalam keadaan bugil, anak muda itu hanya bisa ber keok2 dan gelisah setengah
mati.
Mendengar ribut2 itu Tian Pek berpaling, ketika dilihat tubuh anak dara itu yang
telanjang bulat mulus itu, ia tertegun dan berdiri terkesima.
“jangan halangi aku, jangan urusi diriku, aku mencintai dia........” jerit Buyung
Hong seperti orang gila.
Setelah pakaiannya dirobeknva hancur dan telanjang, ia masih belum puas. Ia
muali mencabuti tusuk kundainya, gelangnya, anting2 dan semua perhiasan
yang menempel di tubuhnya, itu dibuang ke tanah.
Dalam waktu singkat ia berada dalam keadaan polos, kembali keasliannya yang
murni, rambutnya yang hitam gombyok terurai, sambil merentangkan
tangannya ia menubruk ke dalam pangkuan Tian Pek.
Pikiran aneh terlintas dalam pikiran anak muda itu, ia tidak menaruh prasangka
jelek atas tubuh Buyung Hong yang telanjang, tiada nafsu birahi yang menguasai
pikirannya. Ia malahan merasa manusia lebih wajar dalam keadaan bugil, sebab
tanpa dibebani belenggu apapun, semua terbuka dan bebas, suci dan murni
.
Pikiran itu mendorongnya untuk mencabik cabik pakaian sendiri, tapi sebelum
celana yang terakhir sempat dilepaskan. Buyung Hong telah berada di depannya.
Memandang tubuh Tian Pek yang kekar dan berotot, sekilas cahaya aneh
terpancar pada mata Buyung Hong, ia mengeluarkan suara keluhan gembira dan
kepuasan, Tian Pek juga sudah berada dalam keadaan telanjang kecuali sebuah
celana dalam yang masih menutupi bagian vitalnya, sesudah berhadapan
Buyung Hong lantas menubruk kedalam pelukan pemuda itu, ia merangkul
tubuhnya, ia berpekik gembira dan berlompatan seperti anak kecil, menari nari
seperti orang gila.
la benar kalap, sudah gila karena kebebasannya. belum pernah ia rasakan
kegembiraan seperti ini. kebebasan yang tak terbatas, kebahagiaan yang tanpa
belenggu apapun.
Leng-hong Kongcu, Ciang Su-peng, si Tosu buta maupun kakek botak sama2
berdiri melongo, apa yang mereka lihat sungguh sukar dipercaya dan tidak
pernah dibayangkan mereka.
Keenam pria kekar yang tertutuk jalan darahnya, walaupun tubuh mereka tak
bisa bergerak, namun mata mereka tidak buta, merekapun tercengang
menyaksikan kejadian yang luar biasa ini.
Di antara sekian banyak orang, Ciang Su peng yang paling sedih, sama sekali tak
terduga olehnya bahwa permainan seruling maut nya bisa menimbulkan
peristiwa seperti ini.
Semula Tian Pek juga sudah timbul rasa kegembiraan dan kebebasan seperti apa
yang diperlihatkan Buyung Hong, ketika pakaiannya juga dirobek hingga
akhirnya tinggal celana dalam saja, tiba2 tangannya menyentuh dua macam
benda, kedua benda itu tidak dibuangnya, sebaliknya malah membuat anak
muda itu segera tersadar kembali
kepada realita kehidupan ini.
Benda itu adalah kitab pusaka So kut-siau hun thian- hud-pit- kip, disinilah
tumpahan semua harapannya, ia masih ingat ucapan paman Lui: "lImu silat
tingkat tertinggi ini akan membuka masa depan mu yang cemerlang. akan
menuntun kau menuju kehidupan yang lebih bahagia, menuntut balas bagi
kematian ayahmu karena itu kitab ini tak dapat dibuang dengan begitu saja."
Benda kedua adalah kantung kecil yang diterima dari mendiang ayahnya, dari
situlah dia akan melacak jejak pembunuh ayahnya. Dua benda inilah yang
menyadarkan kembali anak muda itu dari alam khayalnya, sekalipun Buyung
Hong yang bugil dan cantik masih merangkul tubuhnya, mencium tubuhnya
dengan hangat, ia tak peduli yang terpikir kini cuma melepaskan diri dari godaan
orang2 itu untuk memperdalam ilmu dan mencari pembunuh ayahnya dan
membalas dendam.
Dengusan seorang tiba berkumandang memecah kesunyian, menyusul
serentetan teguran ketus menggema: "hm! Manusia2 yang tak berguna! Cepat
seret dia dari situ, bikin malu saja!"
"Anak Hong, kenapa kau? Anak Hong, kenapa kau?" jerit seorang perempuan
dengan suara melengking.
Suara langkah orang banyak hiruk-plkuk berkumandangg dari kejauhan Tian Pek
terperanjat dan tersadar, ia menengadah, dilihatnya belasan orang telah muncul
di depannya.
Seorang lelaki tinggi kekar, bermuka merah, berusia lima puluhan dan
berdandan perlente berjalan paling depan, orang itu memakai baju yang
gemerlapan, matanya besar dan mulutnya lebar, siapapun yang memandangnya
pasti akan terkesima oleh wibawanya yang besar. Nyonya cantik yang telah
beberapa kali ditemuinya juga berada di samping pria kekar itu.
Tiga puluhan orang lain menyusul di belakang, rata2 mereka bertubuh tegap,
rupanya sekawanan jago persilatan yang berilmu tinggi.
Dari dandanannya yang agung Tian Pek menduga orang ini tentu adalah Loya
yang pernah disebut 2 sebagai suami nyonya cantik itu.
Wajah pria perlente itu tampak sangat marah, sedang si nyonya tercengang
bercampur keheranan, ketika mereka tiba di situ Leng-hong Kongcu dan
lain2 sama kebat-kebit dan menahan napas. empat orang dayang baju hijau
segera menghampiri Buyung Hong, mereka melepaskan baju luar masing2 untuk
menutupi tubuhnya yang telanjang, lalu mereka hendak mengiring pulang si
nona.
"Aku tak mau . . aku tak mau pergi” jerit Buyung Hong dengan kalap, tapi
keempat dayang itu terus menggiringnya pergi dari situ, walau kesadarannya
belum pulih, agaknya Buyung Hang tek berani membantah perintah ayahnya,
sementara Buyung Hong digiring pergi, satu ingatan berkelebat dalam benak
Tian Pek, ia susupkan kitab dalam kantong kecil itu ke dalam celananya, celana
dalamnya sangat ketat sehingga.... benda2 tak mungkin terjatuh.
"Berikan pakaian kepadanya, suruh dia ikut padaku" kembali lelaki agung tadi
memerintah. Seorang pria bergolok segera melepaskan mantelnya dan
dilemparkan ke arah Tian Pok, mantel itu terbuat dari sutra hitam lemas, namun
sewaktu meluncur ke arah Tian Pek ternyata berubah menjadi kaku bagaikan
toya diiringi desing angin langsung menerjang dada anak muda itu, agaknya pria
bersenjata itu hendak pamer kekuatannya dan kalau bisa membunuh anak
muda itu sekalian.
Tian Pek tersenyum, dia salurkan hawa murninya pada jari tangan, sekali remas
dan sekali menyendal, seketika tenaga dalam musuh itu dipunahkan, malahan
mantel hltam itu lantas dikenakan dibadannya.
Demonstrasi kepandaian ini sebenarnya sangat mengagumkan, akan tetapi pria
agung itu tak memandang barang sekejappun, ia segera putar badan dan
berlalu. Agaknya lelaki itu yakin kalau Tian Pek tak berani membangkang
perintahnya dan tentu turut pergi bersama dia.
.Sikap angkuh lelaki tersebut menimbulkan anti pati dalam hati kecil Tian Pek,
namun dilihatnya kawanan jago yang hadir disitu sedang melotot gusar
padanya. Tian Pek menyadari kepandaiannya masih bukan tandingan lawan2 itu,
dilihatnya juga nyonya cantik itu sedang memandang kepadanya dengan sorot
mata penuh kasih sayang, pikirnya :” ah, kenapa kuurusi orang2 ini? peduli amat
apa yang kalian lakukan kepada ku, biarlah kuikuti kemana pergi kalian”
Tapi pada saat dia mulai melangkah ia merasa seperti tawanan yang sedang
digiring ketiang gantung, hatinya berontak, pikirnya didalam hati “ Tian Pek
dimana keberanianmu ? apa kau mandah digebuk dan disiksa orang tanpa
melawan? Apakah kau hendak menyerah sebagai seorang pengecut?
Walau hatinya panas dan ingin berontak namun anak muda itu sadar kekuatan
lawan, sudah pasti ilmu silatnya bukan tandingan orang, ia tak ingin mati konyol,
apalagi ia harus menunaikan tugas lain yang lebih penting.
Karena itulah Tian Pek menahan diri, diam2 dia ambil keputusan bilamana tidak
terpaksa ia tak ingin mengorbankan jiwanya dengan sia2.
Meskipun malu dan menyesal dalam hati,Tian Pek tetap membungkam, ia
meneruskan langkahnya dengan kepala tertunduk.
Ia iihat mantel hitam yang dikenakannya terbuat dari bahan sutera yang halus,
di dada sebelah kiri bersulamkan seekor macan tutul yang indah dan garang.
Selama ini ia memang mengherankan asal-usul si nyonya cantik, Buyung Hong
dan Leng-hong Kongcu tapi sekarang, lambang macan tutul di dada kiri mantel
hitam ini telah mengingatkan dia akan suatu nama yang cemerlang di kolong
langit.
"Pa-to-san-ceng!" pikir Tian Pek. "Kalau tebakanku tak keliru, orang tua yang
berbaju perlente itu pastilah ketua perkampungan Harimau Tutul (Pah to-san-
ceng) yang berjuluk Ti-seng-jiu (Tangan sakti pemetik bintang) Buyung Ham!"
Berpikir demikian, ia segera menengadah ke depan, ia ingin tahu keistimewaan
apakah yang di miliki Ti-seng-jiu Buyung Ham, dan keampuhan apakah yang
dimiliki jago kosen itu sehingga disegani jago2 dari kalangan putih maupun
golongan hitam.
Pria agung itu berjalan di depan, tiga puluhan orang jago persilatan mengikut di
belakangnya, di antara mereka termasuk pula Leng-hong Kongcu Tosu buta,
kakek botak, Gin-siau-toh-hun serta enam orang kekar yang saling bacok
membacok tadi.
Sementara itu jenazah Tan Cing serta Tan Ping telah diangkut pergi dari situ,
terhadap kematian anak buahnya, pria perlente itu sama sekali tidak menegur
atau bertanya, se-akan2 kematian hanyalah suatu kejadian yang biasa di situ.
Di antara deretan orang yang begitu banyak Tian Pek hanya sempat
menyaksikan bayangan punggungnya dari kejauhan, ia lihat pakaian perlente
yang bukan sutera dan bukan satin yang dikenakan orang itu gemerlapan ketika
tersorot cahaya sang surya.
Satu ingatan berkelebat dalam benak Tian Pek, ia merasa bahan pakaian yang
dikenakan orang ini sangat istimewa.
Di antara puluhan orang yang membuntuti di belakangnya banyak pula yang
mengenakan pakaian perlente, bahkan para centeng dan dayangpun
mengenakan pakaian dari bahan nomor satu di pasaran. tapi kalau dibandingkan
dengan bahan pakaian yang dikenakan orang tua itu, nyata benar
perbedaannya.
Tian Pek segera teringat pada cabikan kain yang ada di kantong kecil
peninggalan ayahnya: "'Hah?! Bukankab bahan pakaian yang dia kenakan itu
persis sama seperti cabikan kain itu? "
Penemuan yang sama sekali di luar dugaan ini menggetar hati Tian Pek, seperti
tersambar geledek, hampir saja ia tak mampu mengendalikan diri, darah panas
bergolak dalam dadanya, hampir saja ia menerjang maju untuk mengadu jiwa.
Tapi sedapatnya ia berusaha untuk menguasai diri, ia mengertak gigi dan
menahan emosi, pikirnya: "Mungkin bangsat tua inilah pembunuh ayahku”
Tapi ia lantas berpikir lebih jauh: "Sebelum menghembuskan napasnya yang
terakhir, ayah menyerahkan kantong kecil itu kepadaku, isi kantong itu adalah
secomot rambut, seutas serat, sebiji gotri baja, sebiji kancing tembaga, sebiji
mata uang tembaga dan secabik kain sutera yang jelas berasal dari robekan
pakaian, walaupun aku tak tahu apa arti dari benda2 tersebut, yang pasti bahan
pakaian itu persis bahan pakaian yang dikenakan keparat tadi. sekalipun dia
bukan pembunuh ayahku, paling sedikit dari dialah akan kudapatkan titik terang
yang bisa kugunakan untuk melakukan penyelidikan ..."
Dengan pikiran yang kalut Tian Pek melelanjutkan perjalanannya, entah sudah
berapa jauh mereka berjalan, entah berapa banyak pintu mereka lewati,
akhirnya tanpa ditanyai atau diperiksa anak muda itu terus dijebloskan ke dalam
sebuah penjara batu yang sangat kuat.
Tian Pek merasa kuatir dan tak tenang ketika dijebloskan ke dalam penjara,
sebab ia tak tahu apa yang hendak diperbuat Buyung Ham atas dirinya, tapi
setelah dipikir lebih jauh, iapun dapat berlega hati. untuk sementara ia harus
bersabar, dia menggunakan kesempatan yang baik itu untuk berlatih tekun serta
memperdalam ilmu yang dipelajarinya dari kitab pusaka So kut-siau-hun-thian-
hud-pit kip.
Mula2 karena Tian Pek ingin cepat menguasi ilmu sakti, ia berlatih dengan amat
tekun, setiap kesempatan ia gunakan untuk memperdalam ilmunya, di siang hari
ia membuka kitab itu, tapi lukisan percnipuan bugil yang merangsang napsu
lantas mengobarkan perasaannya, mcmbuat pemuda itu tak mampu
memusatkan perhatian untuk berlatih, apalagi ia telah lihat keindahan tubuh
Buyung Hong yang telanjang, seringkali dia jadi melamun dan mengkhayalkan
hal2 yang bukan2, membuat jantungnya berdebar dan napsu berahi berkobar.
Tapi kemudian Tian Pek sadar mendadak akan kesalahannya itu, ia tabu kalau
cara begini berlanjut terus, akhirnya dia akan mengalami kesesatan dalam ilmu
yang dilatihnya dan mungkin sekali akan cacat selamanya.
Maka pemuda itu lantas kembali ke sistim lama seperti yang dilakukannya di gua
itu, ia meraba isi kitab tersebut dengan mata terpejam, untung cara ini sudah
terbiasa baginya, maka tiada banyak kesulitan yang ditemui.
Dengan begitu maka pemuda itu tenggelam kembali dalam kesibukannya untuk
melatih ilmu, ia lupa waktu, lupa makan bahkan lupa kalau dirinya sedang
disekap dalam sebuah penjara . . .
*o* *o* *o* *o* *o*
Setelah menjebloskan Tian Pek ke dalam penjara, Ti-seng-jiu Buyung Ham tak
pernah memikirkan lagi pemuda yang tiada artinya itu.
Lain halnya dengan peristiwa yang memalukan bagi keluarganya itu, ia jadi
marah oleh perbuatan puterinya, ia menganggap kejadian itu menodai nama
baik keluarganya, merusak kehormatannya selaku pemimpm dunia persilatan di
lima propinsi utara.
Bersama dengan isterinya, mereka sekap Buyung Hong di sebuah ruang rahasia,
ia paksa puterinya mengaku, sebab apa ia melakukan perbuatan yang
memalukan itu?
Tapi Buyung Hong cuma menangis, sama sekali ia tidak menjawab pertanyaan
ayahnya.
Buyung Ham semakin gusar, akhirnya ia menggebrak meja hingga meja itu
hancur ber-keping2, kemudian ia cabut keluar sebilah pedang pendek.
"Kau telah memalukan nama keluarga, kau menodai namaku! Lebih baik kau
mampus saja daripada membuat malu!" teriaknya sambil melemparkan pedang
itu ke depan kaki puterinya, kemudian ia banting daun pintu dan tinggal pergi.
Air mata jatuh berderai membasahi seluruh wajah Buyung-Hong, tanpa berkata
diambilnya pedang pendek itu terus menggorok leher sendiri.
Untung si nyonya cantik itu bertindak cepat, ia rampas pedang itu dan memeluk
puterinya erat2.
"Anak Hong, jangan nekat . . .. jangan bunuh diri" ratap sang ibu dengan air
mata bercucuran. "Kemarahan ayahmu hanya berlangsung sebentar saja. nanti
dia akan baik lagi . . .'.
"Oo .... ibu!" seru Buyung Hong sambil memeluk ibunya dan menangis sedih.
xxxx
Dengan penuh kemarahan Ti-seng-jiu Buyung Ham menuju ke ruang dalam
sebelah timur, dia hendak mengumbar kegusarannya pada Buyung Seng-yap.
Ketika seorang kacung agak lambat membukakan pintu, dengan marah Buyung
Ham menendangnya hingga daun pintu mencelat dan hancur.
Cepat si kacung melongok keluar, dia ingin tahu apa yang terjadi, apa lacur
sebuah pukulan mendadak bersarang di batok kepalanya, tak sempat menjerit
kacung itu roboh binasa dengan kepala pecah.
Betapa kaget dan takutnya kawanan pelayan dan dayang lainnya menyaksikan
kejadian itu, dengan ketakutan mereka bersembunyi di ujung ruangan,
jangankan bicara, bernapas keras2pun tak berani.
Kebetulan Leng-hong Kongcu tak ada di ka-mar, kemarahan Ti-seng-jiu makin
menjadi, karena tiada sasaran pelampias hawa amarahnya, dengan kalap dia
hancurkan barang antik yang berjajar di dalam kamar.
Dalam waktu singkat suara hiruk pikuk memecahkan kesunyian, semua benda
hancur ber-keping2, ruangan jadi kacau balau.
Para pelayan semakin ketakutan, diam2 mereka mcngeluh dan serba salah, mau
melarang perbuatan Tuan Besar mereka jelas tak berani, kalau tidak melarang,
padahal barang2 antik itu adalah barang kesayangan Kongcu mereka, dengan
perangai Kongcu mereka yang lebih berangasan dan tak kenal perasaan. pasti
dia akan marah besar kepada para pelayan itu, sskaiipun diberi penjelasan
belum tentu dia mau terima.
Bisa dibayangkan betapa takut dan ngerinya kawanan pelayan yang bertugas di
kamar tidur Leng-hong Kongcu, mereka mengkeret dengan tubuh meggigil,
muka pucat dan mulut tatap membungkam.
"Kongcu pergi kemana?" hardik Buyung-cengcu sambil melangkah keluar.
Para pelayan ketakutan setengah mati, tak seorangpun berani menjawab.
"Kalian bisu semua? Kenapa tidak jawab pertanyaanku?!" kembali Buyung-
cengcu membentak.
Jangankan sedang marah2, pada hari2 biasapun para anggota keluarga Buyung
tak ada yang berani membangkang perintah Buyung-cengcu dan sangat takut
padanya, mereka memandang majikannya bagaikan malaikat dari khayangan.
"Kongcuya berada di ruang depan......." akhirnya seorang babu cilik berusia
belasan tahunan memberanikan diri untuk menjawab.
Buyung cengcu mendengus terus berlalu dari situ.
Setelah bavangan tubuhnya lenyap dari pandangan, kawanan pelayan itu baru
menghembuskan napas lega, mereka merasa se-olah2 nyawanya baru lolos dari
pintu neraka.
Ketika Ti seng-jiu Buyung Ham tinggalkan kamar puteranya menuju ke ruang
depan dengan uring2-an, hari sudah gelap, cahaya lampu terpancar dari setiap
rumah perkampungan Pah-to-san-ceng
Setiap halaman, setiap tikungan atau persimpangan jalan, para peronda dan
penjaga sama memberi hormat kepada sang Cengcu.
Ti seng jiu tidak mengacuhkan mereka, dengan langkah lebar ia lanjutkan
perjalanannya menuju ke depan.
Ketika melewati taman yang luas dengan pepohonan yang lebat, tiba2 tiga sosok
bayangan hitam secepat kilat berkelebat lewat.
"Siapa itu?" bentak Ti-seng-jiu dengan curiga.
Meskipun cuaca telah gelap, namun dengan ketajaman mata Buyung Ham ia
sempat menangkap berkelebatnya bayangan orang.
Angin mendesir, ketiga orang pejalan malam berkedok hitam itu melayang ke
depan Ti-seng-jiu dengan pedang terhunus.
Buyung Ham melengak heran, sama sekali tak diduganya ada Ya-heng-jin (orang
yang berjalan malam) yang berhasii menyusup ke dalam perkampungan Pah to
san-ceng yang angker dan dijaga ketat itu.
"Sungguh besar amat nyali orang2 ini! Apa mereka tak tahu siapakah aku?" pikir
Buyung Ham.
Semula dia mengira ketiga bayangan orang itu adalah jagoan dari
perkampungan sendiri, setelah mereka muncul dengan senjata terhunus,
barulah ia merasa tercengang bercampur kaget.
Ia pun heran darimana mereka bisa masuk ke dalam perkampungannya tanpa
dipergoki oleh para penjaganya?
"Sahabat dari mana?" kembali Buyung Ham menegur. "Ada urusan apa malam2
berkunjung ke Pah-to-san-ceng?'"
Buyung Ham memang tak malu sebagai seorang jago kawakan yang punya nama
besar di dunia per-silatan, walau berada dalam keadaan gusar, ia tak mau
kehilangan pamornya sebagai seorang tokoh terhormat dihadapan kawan
persilatan.
"Siapa lagi? Kalau sudah berkunjung ke perkampunganmu, tentu saja adalah
sahabat baik!" jawab Ya-heng-jin yang berdiri di tengah dengan lantang.
Berbareng dengan ucapan tersebut, dua orang berkerudung hitam yang berada
di sisinya segera melancarkan tusukan kilat maha dahsyat ke kiri kanan tubuh Ti-
seng-jiu.
Sungguh lihay ilmu silat kedua orang tamu tak diundang ini, terutama sekali
kerja sama mereka yang rapat. Dari gaya serangan mereka ini jelas mereka
berasal dari Bu tong-pay.
Buyung Ham tetap tenang, ia menunggu ujung pedang lawan hampir mengenai
tubuhnya. mendadak ia mendengus, dua jari tangan kirinya menyelentik pada
batang pedang lawan.
"Tring! Tring!" di tengah dentingan nyaring, kedua pedang lawan tergetar hingga
terpental beberapa senti ke samping.
Kedua orang berkerudung itu merasakan telapak tangan jadi kesemutan, hampir
saja pedang terlepas dari tangannya.
Menyadari keadaan tidak menguntungkan, segera mereka hendak tarik kembali
senjatanya dan berganti serangan. Tapi Ti-seng-jiu bertindak lebih cepat, setelah
menyingkirkan ancaman tadi, telapak tangan kanannya berputar setengah
lingkaran, kemudian diiringi deru angin kuat ia menghantam ke depan.
Segulung angin pukulan yang maha dahsyat langsung menekan dada kedua
orang berkerudung itu, untuk menghindar sudah tak mungkin lagi. "Dak! Duk!"
benturan dahsyat bersarang telak di dada mereka.
Bagaikan digodam, kedua orang berkerudung itu mencelat sejauh beberapa
tombak, muntah darah dan binasa.
Melihat rekannya mampus, orang ketiga menjadi panik, segera ia hendak angkat
langkah seribu.
Namun sudah terlambat, baru saja dia bergerak, tahu2 pergelangan tangan
kirinya sudah di-pencet oleh Ti-seng-jiu.
Dalam keadaan panik, pedang orang itu ber-putar lalu membabat lengan Ti-
seng-jiu, maksudnya hendak paksa lawan melepaskan cekalannya.
Ti-seng jiu mendengus, bentaknya: "Robohlah kau!"
Jalan darah Seng gi hiat di pinggang orang itu mendadak jadi kesemutan, tak
bisa dicegah lagi pedangnya terlepas dari genggaman dan tubuhnya terjungkal
ke tanah.
Ti seng jiu memang tidak malu menjadi pemimpin dunia persilatan untuk lima
propinsi di utara sungai, hanya sekali gebrak saja tiga orang Ya-heng jin yang
rata2 berilmu tinggi itu telah dibikin keok semua, dua mati satu teitawan.
Suara bentakan serta bentrokan senjata yang hiruk-pikuk dengan cepat
mengejutkan para peronda di sekitar tempat itu, enam-tujuh orang berpakaian
ringkas berlari datang. Demi mengetahui Cengcu mereka telah turun tangan
sendiri membereskan tamu2 yang tak diundang ini, mereka jadi
ketakutan hingga muka berubah menjadi pucat seperti mayat.
Sementara itu Ti-seng jiu telah menarik kain kerudung hitam yang menutupi
wajah Ya heng-jin tadi, ternyata orang itu masih muda, baru berusia likuran dan
sama sekali tak dikenal.
Ia mendengus, sebelum menegur tiba2 ia lihat gambar binatang Kilin yang
tersulam di kerah baju pemuda itu, air mukanya berubah seketika, segera
tegurnya: "Lambang Hoan Hui! Apakah kau anak buah Hoan Hui?"
Belum lagi pemuda itu menjawab, Buyung-cengcu telah membanting tubuh
orang ke depan para penjaga yang berdiri melengong di samping. "Ikat dia!"
perintahnya.
Sambil berseru segera ia melayang pergi. Kiranya lapat2 terdengar suara
bentrokan senjata yang ramai di halaman depan, itu menandakan tak sedikit
jumlah musuh yang menyatroni perkampungannya.
Dengan hati kebat-kebit karena takut, beberapa orang kekar tadi segera
meringkus pemuda itu erat2, kemudian menjebloskannya ke dalam penjara.
Waktu itu Tian Pek yang berada dalam penjara sedang berlatih ilmu saktinya
menurut catatan dalam kitab So-kut-siau-hun-thian pit-kip, ia merasa sekujur
tubuhnya amat segar pikiran jadi terang dan hawa murninya beredar.
Tiba2 terdengar pintu besi dibuka orang dan ..... "Blak!" sesosok tubuh manusia
dilempar ke dalam penjara, Tian Pek yang berada di tempat gelap ternyata
dapat menyaksikan semua itu dengan jelas.
"Ah! Aku bisa melihat di tengah kegelapan......" seru pemuda itu di dalam hati
dengan kegirangan.
Kiranya hampir saja Tian Pek mengalami celaka sewaktu ia sedang melawan
pengaruh irama maut im-mo-siau-hoat dari Ciang Su-peng karena mendadak
tubuhnya dirangkul Buyung Hong. Untung perbuatan Buyung Hong yang mesra
dan hangat itu telah membangkitkan amarah Leng-hong Kongcu sehingga
menghadiahkan pukulan dahsyat ke dadanya.
Pukulan itu bukan saja tidak menyebabkan Tian Pek terluka, sebaliknya malahan
urat nadinya yang tersumbat jadi tergetar dan beredar kembali dengan lancar,
darah yang menyumbat dadapun bisa dimuntahkan keluar.
Yang lebih menguntungkan lagi, ternyata akibat guncangan keras yang sama
sekali tak terduga itu, urat penting "Jin tok" dalam perutnya jadi tertembus,
padahal kedua buah urat penting itu paling sukar ditembusi bagi sebagian besar
orang yang belajar Lwekang.
Begitulah, karena bencana Tian Pek malahan mendapat rejeki, dalam suatu
penderitaan yang paling hebat, akhirnya kedua nadi penting itu tertembus.
Sampai detik itu Tian Pek sendiri tak tahu kalau kedua urat pentingnya sudah
tertembus, dan untuk mencapai taraf ilmu silat yang lebih tinggi bukan suatu
masalah yang sulit lagi baginya.
Walau begitu, semua itu hanya dapat dikatakan sebagai suatu kebetulan saja,
andaikata urat nadi di tubuhnya terhantam oleh Leng-hong Kongcu, namun ia
tidak bargerak lagi atau tetap duduk, tubuhnya niscava akan jadi lumpuh dan
selanjutnya tak mampu bergerak.
Kebetulan Buyung-cengcu tiba pula tepat pada waktunya dan membawa dia ke
perkampnngan, perjalanan yang cukup jauh itu membuat seluruh otot tubuhnya
bergerak dengan lancar.
Kalau hanya sampai di situ saja kejadiannya, Tian Pek belum dapat dikatakan
lolos dari ancaman lumpuh dan lemah badan, sebab setelah urat nadi dalam
tubuhnya lancar kembali, maka seseorang masih membutuhkan waktu
beristirahat dan mengatur kembali pernapasannya.
Dasar nasib Tian Pek memang lagi mujur, setibanya dalam perkampungan
ternyata Buyung-cengcu lantas menjebloskan dia ke dalam penjara, dengan
begitu tersedialah waktu yang cukup baginya untuk istirahat dan atur
pernapasan.
Berbicara sesungguhnya, kejadian yang sangat "kebetulan" itu memang sukar
terjadi secara beruntun, tapi rupanya Thian memang menghendaki Tian Pek
tetap hidup di dunia dan tumbuh menjadi seorang tokoh luar biasa dalam dunia
persilatan, bukan saja kejadian2 yang "kebetulan" itu telah di-alaminya secara
beruntun, bahkan kekuatan dalam tubuhnya kian lama kian bertambah tangguh.
Kim Tian Pek tidak saja dapat melihat sesuatu di tempat gelap, bahkan tenaga
dalamnya sudah bertambah lipat ganda, cuma hal ini tidak disadarinya,
bilamana diketahuinya kelak, mungkin saat itu dia sudah tiada tandingannya di
dunia ini.
Mula2 Tian Pek tidak percaya pada matanya sendiri, diamatinya cuaca di luar
terali besi, ketika dilihatnya udara sudah gelap dan bintang bertaburan di
angkasa ia gigit jari sendiri dan terasa sakit, ia baru yakin bukan sedang mimpi,
dengan kegirangan segera diamatinya kawan senasib yang baru dijebloskan ke
dalam penjara ini.
Orang ini mengenakan pakaian malam yang ringkas, tubuhnya diringkus oleh tali
yang sangat kuat, mukanya bersih dan tampan, bibirnya merah dan giginya rata
putih, sungguh wajah yang cakap.
Entah kenapa, Tian Pek merasakan sesuatu keanehan ketika memandang orang
itu, ia merasa ada jodoh dengan orang dan timbul perasaan karib yang sukar
dijelaskan, tanpa terasa ia bersenyum padanya.
Tapi orang itu malah menengadah memandang langit2 penjara, jangankan
membalas senyumnya, menggubris pun tidak.
Semula Tian Pek tertegun, kemudian ia tahu sebab musababnya. Pikirnya:
"Sekarang sudah malam dan gelap, dalam penjara tiada penerangan, aku dapat
melihat dia, tapi orang mungkin tidak tahu akan diriku."
Berpikir demikian, ia lantas menegur: "Saudara, kenapa kau dijebloskan ke
dalam penjara?"
"Siapa di situ? Siapa kau?" dengan terperanjat dan bingung orang itu
menengadah dan memandang ke sana kemari.
"Aku bernama Tian Pek, boleh kutahu namamu?"
Orang itu berpikir sejenak, ia merasa di dunia persilatan tiada orang yang
bernama Tian Pek, tampaknya ia merasa lega.
Setelah menghela napas, orang itu menjawab: "Ai, aku sudah menjadi tawanan
orang, apa gunanya menyebut nama Sahabat, bicara terus terang, kita sudah
terjeblos di kubangan naga dan sarang harimau, yang bisa kita lakukan hanya
menunggu tibanya kematian, apa gunanya saling memperkenalkan diri?"
Habis berkata ia kembali menghela napas panjang.
Tian Pek tersenyum, katanya: "Mati atau hidup sudah diatur oleh Yang Maha
Kuasa, apa yang perlu kita sedihkan? Kita dilahirkan dengan gembira; kenapa
mesti mati dengan sedih? Asal semua perbuatan dan tindak tanduk kita tak
melanggar hati nuraci sendiri, sekalipun ujung golok mengancam di depan mata
juga tidak perlu takut? Selain itu, kita kan masih dapat berusaha untuk hidup
dengan kecerdasan serta kekuatan kita sendiri? Kalau akhirnya kematian tak
dapat dihindari, sedikitnya hati akan sedikit terhibur bila sebelum mati bisa
bersahabat lebih dulu!"
Mendengar uraian Tian Pek yang panjang lebar ini, pemuda itu merasa teman
baru ini mempunyai pengetahuan yang tinggi, maka rasa murung dan kesalnya
yang mengganjal dalam hati banyak berkurang. Segera ia menjawab: "Terima
kasih atas petunjukmu, aku bernama Hoan Soh.....", sebelum kata lain
diucapkan, tiba2 pemuda itu teringat urusan rahasia pribadinya, seketika tutup
mulut dan tidak menyambung.
Tian Pek mengira pemuda itu bernama "Hoan Soh", tanpa pikir ia berkata: "Oh,
rupanya saudara Hoan Soh! Tunggu sebentar, akan kulepaskan tali pengikat
tubuhmu." — Seraya berkata ia hampiri Hoan Soh dan melepaskan tali yang
meringkus tubuh orang itu.
Agaknya orang itu tak menyangka kalau Tian Pek akan menyentuh tubuhnya,
ingin menghindarpun sudah tak keburu.
Muka orang itu jadi merah, teringat selama hidupnya yang senantiasa tinggi hati
dan angkuh, tak tersangka sekarang diperlakukan sekehendak orang tanpa bisa
melawan, hatinya sakit seperti di-iris2, air matapun lantas bercucuran.
Tentu Tian Pek tak tahu perasaan orang, selesai melepaskan tali pengikat, ketika
dilihatnya orang malah mengucurkan air mata, ia lantas menghiburnya: "Hoan-
heng, kenapa kau kesal hanya karena terikat sedikit saja7 Anggaplah kejadian ini
sebagai pengalaman."
Kemudian iapun menceritakan pengalaman sendiri tentang penderitaannya
serta penghinaan yang pernah dialaminya selama ini.
Mendengar ceritanya, Hoan Soh sangat terharu, iapun berterima kasih atas
simpati oraug, tanpa terasa timbul kesan baiknya terhadap diri Tian Pek.
Setelah tali belenggunya terlepas, ternyata Hoan Soh belum juga mampu
bergerak, Tian Pek baru tahu kalau jalan darahnya tertutuk, ia hendak meng-
urut Hiat-to yang tertutuk itu, namun bagaimana pun juga Hoan Soh menolak
bantuan tersebut.
Meski merasa heran. apalagi dilihatnya air muka pemuda itu berubah menjadi
merah, tapi Tian Pek adalah pemuda yang masih polos dan bersih, tak pernah
terpikir olehnya akan hal2 lain.
Karena bantuannya selalu ditolak, akhirnya ia gunakan "Leng gong hut hiat"
(Membebaskan jalan darah dengan kebutan dari jauh) untuk membebaskan
jalan darah Hoan Soh yang tertutuk.
Kepandaian sakti ini baru berhasil dipelajari oleh Tian Pek dari kitab pusaka So-
kut siau hun-thian hut-pit-kip, ia hanya melakukan gerakan seperti apa yang
tercatat dalam kitab itu, ia tak menyangka kalau kepandaian tersebut
mempunyai daya guna sehebat ini.
Diam2 Hoan Soh terperanjat, ia tak menyangka dalam penjara ini terdapat
seorang jago persilatan yang berilmu silat tinggi.
Pada saat itu, tiba2 cahaya api berkilau di luar jendela, menyusul terdengar
suara bentakan serta suara bentrokan senjata yang ramai berkumandang
semakin dekat ...
Mereka tertegun, belum lagi sempat berpikir, terdengar suara benda berat jatuh
ke lantai di luar penjara, agaknya ada orang roboh tertutuk.
Menyusul mana pintu penjara dibuka orang dan sesosok bayangan muncul di
depan pintu. "Cepat lari!" orang itu berseru.
Sekilas pandang Tian Pek mengenali orang sebagai paman Lui yang berambut
awut2an.
Sebelum pemuda itu sempat berbicara, paman Lui telah lari kembali ke sana.
Tanpa pikir Tian Pek tarik tangan Hoan Soh dan lari keluar penjara. "Heyo
kabur!" serunya.
Dengan cepat mereka kabur keluar penjara, sementara cahaya api telah men-
jilat2 ruang serambi sekitar penjara, sinar golok dan bayangan pedang
berkelebat di udara, puluhan orang sedang terlibat dalam pertarungan yang
sengit di sana.
Suara bentrokan senjata, bentakan menggelegar memecahkan kesunyiao
malam, pertarungan berlangsung dengan sengitnya. Korban sudah banyak yang
berjatuhan, suara rintihan dan jerit kesakitan berkumandang silih berganti,
kutungan badan dan ceceran darah membuat suasana amat mengerikan.
Tian Pek celingukan kesana kemari berusaha mencari jejak paman Lui, namun
tak nampak lagi bayangan orang tua itu.
Hoan Soh sendiri kelihatan gelisah, sebab ia lihat orang dari pihaknya sudah
banyak jatuh korban, sambil bertempur sembari mundur, tampaknya keadaan
mereka sudah payah sekali.
Sebaliknya orang2 Pah-to-san-ceng makin lama semakin gagah berani. terutama
seorang Tosu buta, ilmu pukulannya sangat dahsyat dan sukar dilawan.
Hoan Soh tak kenal siapa Tosu buta itu. Dilihatnya Tosu itu dikerubut tiga orang
yaitu kedua saudara Kim dari Peng-gu-san serta kakak kedua-nya Tui-hong-kiam
( pedang pengejar angin ) Hoan Kiat, namun Tosu buta itu masih dapat
bertempur dengan gagah berani, pedang ketiga orang ternyata tak mampu
mendekati si Tosu buta, sebaliknya mereka malah tercecar oleh pukulan si Tosu
yang dahsyat.
Suatu ketika, tiba2 Tui hong-kiam Hoan Kiat mengeluarkan jurus serangan yang
ampuh Ki-hong-can-ceng-cu (Angin puyuh menyapu rumput kering), sekaligus ia
menusuk tiga Hiat-to. yaitu Sam-kiat, Hong wan serta Sin-tong di punggung Tosu
buta itu.
Pada waktu itu si Tosu buta sedang mencengkeram muka Lotoa keluarga Kim
dengan jarinya yang terpentang lebar, sedang tabasan telapak tangan kanannya
membacok Kim-loji.
Kedua saudara keluarga Kim itu segera merasakan daya tekanan yang maha
dahsyat menyerang tubuh mereka. Dalam keadaan demikian, uatuk menghindar
sudah tak sempat lagi, tampaknya mereka segera akan roboh ditangan Tosu
buta itu.
Untung serangan Tui-hong-kiam tiba tepat pada saat yang gawat itu, ujung
pedang secepat kilat mengancam tiga Hiat-to di punggung Tosu buta itu.
Meskipun matanya buta, namun Tosu itu cukup tangguh, punggungnya se-olah2
mempunyai mata cadangan, ketika ujung pedang Tui-hong-kiam hampir
"mencium" punggungnya. tiba2 ia putar badan sambil bergeser.
Dengan gerakan tersebut tusukan Tui-hong-kiam jadi meleset.
"Kena!" hardik Tosu buta itu sambil mendelik, secepat kilat ia tabas tubuh Tui-
hong-kiam Hoan-kiat.
Pada serangan tadi Tui hong-kiam telah mengerahkan segenap kekuatannya,
menurut perkiraannya serangan tersebut pasti akan bersarang telak di
punggung musuh. Siapa tahu Tosu buta itu mahir mendengar angin
membedakan arah, ketajaman pendengarannya melebihi ketajaman matanya,
bukan saja serangan maut Hoan Kiat berhasil dihindarkan, malahan
menghadiahkan pula sebuah pukulan maut.
Terkesiap Tui hong kiam Hoan kiat, padahal tubuhnya masih terapung di udara,
jelas tak mungkin berpindah keduduknn lagi, keluhnya di dalam hati: "Mati
aku!"
Keadaan amat gawat. tampaknya Tui-hong kiam bakal mampus di bawah
pukulan lawan, mendadak sesosok bayangan melesat tiba dan menangkis
serangan ampuh si Tosu dengan keras lawan keras.
"Bluk!" benturan keras menggelegar, jiwa Hoan Kiat dapat diselamatkan.
Tui-hong-kiam buru2 melayang turun ke tanah. dan menyingkir jauh2.
Karena adu pukulan dahsyat tadi, tubuh penolong itupun mencelat sejauh dua
tombak, setelah berjumpalitan di udara, ia baru hinggap ke bawah, itupun harus
mundur sempoyongan lagi keberapa langkah.
Tian Pek dapat mengikuti semua kejadian itu dengan jelas, iapun melihat orang
yang berhasil menolong jiwa Tui-hong-kiam Hoan Kiat tak lain tak bukan adalah
Hoan Soh yang tadi berdiri di sampingnya.
Setelah lolos dari kematian, rasa kaget dan ngeri masih terbayang di wajah Hoan
Kiat, pcluh dingin membasahi badan, sambil silangkan pedang di depan dada ia
berdiri tertegun.
Hoan Soh sendiri merasa lengannya jadi kesemutan, darah bergolak di dalam
dadanya, meekipun tak sampai roboh terjungkal, darah hampir menyembur
keluar dari tenggorokannya, sinar matanya pudar, mukanya yang tampan
menjadi pucat.
"Hahaha, anak hebat!" teriak si Tosu buta sambil tertawa keras. 'Berapa banyak
komplotan kalian? Hayo maju semua! Akan Toya antar kalian ke surga."
Di mulut ia bicara, tangannya juga tidak menganggur, telapak tangan kirinya
kembali didorong ke muka melancarkan satu pukulan yang dahsyat ke arah
kedua Kim bersaudara serta Hoan Kiat, sementara tangan kanannya diangkat
tinggi2, ketika bergoyang tulangnya berbunyi gemerutuk, telapak tangan itu
segera berubah semu hijau, lalu dengan gerakan menabok ia hantam batok
kepala Hoan Soh.
Rupanya Tosu buta itu penasaran dan marah karena Hoan Soh mengalangi
serangannya tadi, maka sekarang ia hendak mencabut nyawanya, pukulan ini
dilancarkan dengan sepenuh tenaga.
Hoan Soh terperanjat, ia lihat angin pukulan yang dilancarkan Tosu buta itu
ibarat gulungan ombak samudera, uutuk menghindar jelas tak mungkin lagi,
terpaksa sambil mengertak gigi Hoan Soh kerahkan segenap tenaga untuk
menangkis hantaman lawan dengan gerakan Pak-ong-ki teng (Raja lalim
mengangkat wajan).
Pukulan dahsyat yang mengincar kedua Kim bersaudara dan Hoan Kiat tadi
membuat mereka ngeri, ketiga orang cepat melompat mundur ke belakang.
Sewaktu menangkis serangan pertama tadi Hoan Soh telah menderita luka
dalam yang cukup parah, dalam keadaan begini mana sanggup ia terima
serangan kedua yang maha dahsyat ini? Sekuatnya ia menangkis pula, segera
dirasakan daya tekanan maha dahsyat mendadak menekan tubuhnya, kontan ia
merasakan pandangannya menjadi gelap, darah segar tertumpah, tubuhpun
roboh terkapar.
"Tahan! Lihat serangan!" bentak Tian Pek sambil menerjang maju. Dengan cepat
ia tonjok dada Tosu buta itu.
Merasakan datangnya serangan dari depan, Tosu buta itu menjadi murka, napsu
membunuh menyelimuti wajahnya.
Ia paling benci terhadap segala macam main kerubut dan main sergap, sebab
matanya menjadi buta justeru akibat dikerubut dan disergap oleh musuh yang
berjumlah banyak. Setelah menjadi buta ia tidak putus asa, dengan tekad yang
teguh ia memperdalam ilmu silatnya semakin tinggi.
Tiga puluh tahun lamanya ia mengasingkan diri di gunung yang sepi, ketika
kepandaian silatnya sudah berhasil mencapai apa yang dinamakan
menggunakan telinga menggantikan mata, ia baru terjun kembali ke dunia
persilatan, tentu saja ilmu silatnya kini entah berapa kali lipat lebih tangguh
daripada tiga puluh tahun yang lalu.
Waktu ia terjun lagi ke dunia persilatan, suasana Kangouw sudah banyak
mengalami perubahan, musuh yang pernah mengerubutnya sudah banyak yang
mati, sisanya telah dibunuh pula olehnva, dalam keadaan terluntang-lantung
tanpa tujuan akhirnya ia diserap masuk ke Pah to-san-ceng dan
jadilah salah satu di antara sepuluh jago tertangguh di bawah pimpinan Ti seng
jiu Buvung Ham.
Malam ini Pah-to-san-ceng diserbu musuh, untuk membalas budi kebaikan yang
diterima dari Buyung-cengcu selama ini, Biau-bok Tojin atau si Tosu buta
bertempur mati2an dengan ilmu silatnya yang tinggi, hanya beberapa gebrak
saja banyak musuh yang dibinasakan olehnya.
Melihat ketangguhan lawan, Tui-hong-kiam Hoan Kiat yang berkedudukan
nomor dua di antara urutan Hoan-bun-sam-kiat ( tiga orang gagah dari keluarga
Hoan ) segera menghadapi musuhnya, tapi ia memang bukan tandingan Biau-
bok Tojin, hanya beberapa gebrakan saja ia sudah terdesak.
Melihat majikan mudanya terdesak, kedua Kim bcrsauda dari Peng-gu-san
segera ikut mengerubut. Justeru kerubutan inilah menimbulkan dendam si Tojin
buta, ia melancarkan pukulan maut "Hek-sat-ciang" yang terkenal, setelah ketiga
orang itu melompat mundur, mendadak sasaran pukulannya beralih pada Hoan
Soh.
Dalam keadaan payah, mana Hoan Soh mampu menahan pukulan itu? Seketika
matanya menjadi gelap dan muntah darah terus terkapar di tanah. Si Tosu buta
itu masih penasaran, dia menghantam pula, bila pukulan ini kena pada
sasarannya, mustahil badan Hoan Soh tidak hancur lebur.
Syukurlah Tian Pek cepat bertindak, sambil membentak ia menerjang maju
menyambut pukulan itu, meski tidak pakai jurus serangan, tetapi tenaga murni
yang dimilikinya telah dikerahkan sepenuhnya. "Blang!" benturan keras
menggeletar pukulan Tian Pek dan si Tosu buta yang sama2 tangguhnya saling
membentur. pancaran angin keras tersebar keempat penjuru, batu dan pasir
beterbangan, suasana sungguh sangat mengerikan.
Tergentar pukulan Hek-sat-ciang yang ampuh, beruntun Tian Pek menyurut
mundur lima enam langkah, pandangannya menjadi gelap, telinganya
mendengung, diam2 ia mengakui betapa lihaynya pukulan lawan.
Ia tidak tahu bahwa berkat ilmu dari "Thian-hud pit-kip" yang dilatihnya itulah
dia mampu menahan serangan si Tosu, andainya peristiwa ini terjadi sebelum ia
berlatih ilmu itu, jangankan melawan mungkin sedari tadi jiwanya sudah
melayang.
Si Tosu buta itupun tersentak mundur dengan sempoyongan, jubah yang
dikenakan menggelembung, diam2 ia merasa terperanjat.
"Sungguh kuat tenaga pukulannya, rasanya mengandung daya pukulan dari
kalangan Budha, entah siapakah orang ini? Belum pernah kujumpai manusia
setangguh ini!" demikian pikir Biau bok Tojin.
Di tengah bentakan Tui-hong-kiam serta kedua Kim bersaudara dari Peng-gu-san
serentak mereka menyergap maju pula, tiga pedang sekaligus menusuk tubuh si
Tosu.
Akibat getaran tenaga pukulan si Tosu buta, Tian Pek merasa kepalanya pening,
sesaat lamanya ia baru pulih kembali, segera dilihatnya Hoan Soh terkapar
ditanah dengan muka pucat seperti mayat, darah merembes di ujung bibirnya.
Lalu dilihatnya Tui-hong-kiam serta kedua Kim bersaudara sedang bertempur
pula. Tian Pek tidak ingin terlibat dalam pertempuran lagi, segera ia merangkul
tubuh Hoan Soh dan dibawa kabur ke tempat gelap.
"Keparat! Jangan kabur!" terdengar bentakan nyaring menggema di udara.
Berbareng sesosok bayangan meluncur tiba, sewaktu masih di udara, telapak
tangannya terus melepaskan satu pukulan dahsyat.
Posisi Tian Pek tidak menguntungkan karana dia membawa seorang, ia
merasakan dahsyatnya ancaman, ia tak berani menyambut secara gegabah,
cepat ia meluncur kembali ke bawah.
Gesit sekali gerak tubuh pendatang itu, sambil menyerang dari jauh secepat
terbang iapun melayang tiba di atas kepala Tian Pek, jari tangannya seperti
cakar, dengan gaya In-liong-hian-jiau (Naga sakti unjuk cakar dan balik awan ), ia
mencengkeram kepala Tian Pek.
Cepat sekali serangan itu, jarak lingkupnya juga cukup luas, kemanapun
musuhnya mau kabur, pasti tak dapat lolos dari ancaman tersebut.
Dalam keadaan begini tak mungkin bagi Tian Pek untuk berkelit, mau menangkis
juga tiada tenaga yang cukup, apalagi dia tak ingin Hoan Soh yang ada dalam
rangkulannya itu terluka oleh serangan musuh.
Sedikit dia ragu, desiran angin tajam sudah menyambar tiba, rasa sakit
menyengat kulit kepala dan tenaga dahsyat menekan.
"Celaka....." keluh Tian Pek di dalam hati-
Syukurlah pada saat terakhir sesosok bayangan kembali meluncur tiba, gerak
tubuh orang ini jauh lebih cepat, setelah meluncur tiba dan berputar setengah
lingkaran di udara, lalu mcnerjang bayangan orang yang sedang menyerang Tian
Pek itu.
"Bluk!" benturan nyaring terjadi, dengan cepat kedua sosok bayangan itu
melayang tuiun ke samping.
Bayangan orang pertama yang melancarkan serangan maut itu kiranya si kakek
botak adanya, sedang bayangan yang muncul kemudian bukan lain adalah
paman Lui yang berambut awut2an.
Dengan muka hijau pucat si kakek botak melototi paman Lui, teriaknya
kemudian: "Lui Ceng-wan! Kau 'pagar makan tanaman’ bukan bantu rekan
sejawat malahan membantu orang luar?"
"Suma Keng! Kau jangan ngaco belo. kau anggap aku orang she Lui ini manusia
rendah begitu?" bentak paman Lui dengan murka.
Tian Pek terkesiap, baru sekarang ia tahu kakek botak itu adalah Tui-hun-leng
(genta pengejar sukma) Suma Keng yang tersohor dua puluhan tahun yang lalu.
Dahulu Tui-hun-leng Suma Keng adalah seorang iblis kenamaan di Wilayah
barat-laut, bersama Tok kka-hui-mo (kaki tunggal iblis terbang) Li Ki disebut
sebagai Say-gwa-siang-jan (dua manusia cacat dan luar perbatasan). Bukan saja
ilmu silatnya sangat tinggi, hatipun keji, tindak tanduknya aneh sekali, bila
seseorang sampai terikat sengketa dengan dia, sebelum dia berhasil
membinasakan lawannya, persoalan takkan disudahi.
Karena wataknya yang aneh itu, kebanyakan jago silat baik dari kalangan putih
maupun dari golongan hitam sama jeri kepadanya, memandang kedua orang itu
sebagai ular berbisa, binatang beracun, siapapun tak berani cari sctori pada
mereka.
Entah mengapa, ternyata tokoh sakti yang berwatak aneh inipun dapat ditarik
oleh Buyung-cengcu untuk mengabdi kepadanya.
Begitulah Tui-hun leng Suma Keng telah ber-seru dengan suara ketus: "Kalau kau
bukan 'pagar makan tanaman', kenapa kau alangi aku membekuk buronan dari
perkampungan kita ini?"
"Mungkin Suma-heng salah lihat orang. pemuda ini adalah seorang angkatan
muda kerabatku, masa dia jadi buronan?"
"Hehehe, aku dan Cengcu sendiri yang membekuk bangsat itu dan
menjebloskannya ke penjara, masa bisa salah lihat?" teriak Suma Keng sambil
tertawa dingin. "Lui Ceng-wan, kulihat kau ini memang 'pagar makan tanaman',
tak tahu balas budi . . . . "
"Tutup mulutmu!" bentak paman Lui dengan gusar, "Andaikan aku Lui Ceng-wan
betul2 'pagar makan tanaman', apa sangkut pautnya dengan kau? Berdasar apa
kau setan botak ini berani urus diriku?"
Tui hun-leug Suma Keng paling benci katau orang mencemoohkan dia sebagai
setan botak, mendengar makian tersebut, mukanya menjadi beringas, dengan
sinar mata garang ia berteriak lantang "Lui gila, orang kira mungkin jeri
kepadamu, tapi aku Suma Keng tak nanti gentar padamu. Hm, jangan kau kira
iimu pukulanmu Jit-cap ji-hok-thian-hud-ciang (tujuh puluh dua jalan pukulan
Budha langit) tiada tandingannya dikolong langit ini, padahal bagiku tidak lebih
hanya permainan anak kecil saja."
"Bagus. kalau kau tidak percaya, hayo majulah! Kita buktikan saja siapa lebih
unggul!" tantang paman Lui sambil pasang kuda2.
---------------------
Cara bagaimana paman Lui atau Lui Ceng wan akan mcnyelamatkan Tian Pek?
Apa latar belakang penyerbuan orang2 she Hoan ini dan tokoh macam apakah
Hoan Hui itu ?
---------------------
Bacalah jilid ke 6 —
Isi diluar tanggung - jawab Perc. "PS", Semarang
AXD002
Penerbit : PANCA SATYA
HIKMAH PEDANG HIJAU
Diceritakan Oleh: GAN K L
Jilid ke - 6
'"Baik! Akan kucoba sampai di mana kehebatan ilmu pukulan orang gila seperti
kau ini!" bentak Tui hun-leng sambil merentangkan tangan — tunggalnya,
secepat kilat ia hantam dada paman Lui. Angin pukulan menderu, udara serasa
sesak, sungguh mengejutkan daya pukulannya. Paman Lui tetap tersenyum, ia
berdiri tegak kukuh bagaikan bukit, walaupun serangan musuh amat dahsyat,
akan tetapi ia seperti tidak menghiraukannya.
Pukulan Tui-hun-!eng tampaknya segera akan bersarang di dada paman Lui, tapi
pada detik terakhir itulah mendadak pikulan telapak tangan berubah menjadi
cengkeraman. Segara ia hendak mencengkeram bagian mematikan di perut
pamanLui.
Tian Pek ikut tegang melihat kelihaian serangan tersebut, ia tak menduga hanya
dengan satu tangan ternyata Thi-hun-lenh Sunia Keng mampu melancarkan
serangan yang beraneka ragam dalam waktu sekejap.
Tapi paman Lui tetap berdiri tegak, ia sama sekali tak gugup oleh ancaman maut
tersebut. Ia tunggu begitu cengkeraman lawan mendekat dadanya, mendadak ia
bergerak, begitu cepatnya sampai Tian Pek tidak dapat mengikuti dengan jelas.
Dia merasakan pandangannya jadi kabur dan tahu2 paman Lui telah lolos dari
cengkeraman musuh, berbareng itu pula telapak tangan kanan paman Lui
bagaikan golok membacok jalan darah "Hong-hu-hiat" di belakang kepala kakek
botak itu, sedang kaki kirinya mendepak Wi sui-hiat bagian perut, satu jurus dua
gerakan, cepat dan lihainya luar biasanya.
Paman Lui bertarung dengan tangkas, serangan dibalas dengan serangan lebih
hebat, pukulan dan tendangan digunakan sekaligus. Tian Pek amat tertarik, ia
mengikuti pertarungan itu dengan cermat.
Dalam pada itu si kakek botak sempat melompat jauh ke samping, ia berhasil
lolos dari Suatu pukulan paman Lui yang maha dahsyat, ia menjadi murka,
matanya merah membara dan mukanya menyeringai seram.
Tanpa bicara, kembali si kakek botak menerjang maju.
Pertarungan sengit segera berkobar pula, dua orang itu sebentar bergebrak
sebentar berpisah, semuanya dilakukan dengan gerak cepat dan jurus serangan
ampuh.
Tian Pek sampai kabur pandangannya menyaksikan pertarungan itu, iapun
kegirangan hingga niatnya menolong orang judi terlupakan. Matanya terbelalak,
mulutnya melongo, tanpa berkedip dia ikuti semua jurus pertarungan yang
dikeluarkan kedua orang itu.
Pepatah bilang: "Bisa menyaksikan jago lihai bertempur, lebih untung daripada
berguru selama tiga tahun".
Tian Pek sangat mendambakan ilmu silat yang tinggi untuk membalas dendam
Kematian ayahnya, sayang selama ini tak pernah bertemu dengan guru yang
pandai, ilmu silat yang sempat dipelajari-pun tak lebih cuma silat kampungan
yang kasar, untuk menjagoi dunia persilatan tentu saja masih terpaut jauh sekali
Untung paman Lui menyekap nya di dalam gua batu itu, bahkan memberinya
kitab paling sakti di kolong langit itu, walaupun cuma meraba-2 dalam
kegelapan toh akhirnya kepandaian tersebut berhasil dikuasainya.
Sekalipun tenaga dalam yang dia miliki sekarang sudah mencapai tingkatan
tinggi, apalagi telah digembleng pula oleh suara seruling maut dan pukulan
dahsyat Leng hong Kongcu yang tak kenal ampun, tapi sayang ia belum tahu
cara bagai mana menggunakan ilmunya.
Kini terpampang kesempatan yang sangat baik baginya untuk menikmati
pertarungan antara dua tokoh silat sakti, tentu saja dia terkesima dan lupa
daratan, setiap gerak tipu kedua jago sakti itu benar benar membuatnya
keranjingan.
Baik paman Lui maupun Tui hun leng Suma Keng sama tergolong jago lihai dari
dunia Kangouw, tenaga dalam mereka sempurna dan Kungfunya tinggi,
walaupun mereka sama2 dihargai di Pah to-sanceng, tapi dalam hati masing2
saling tidak mau kalah.
Hanya semasa damai saja mereka bisa rukun dan berteman, dikala pertengkaran
tak bisa dihindari lagi, maka merekapun saling menyerang tanpa kenal ampun.
Untung saja jumlah musuh yang menyerang ke perkampungan malam ini banvak
jumlahnya, apalagi sang Cengcu dan bawahannya sama turun ke gelanggang
sana sehingga tak ada yang menaruh perhatian pada pertarungan dua jago tua
ini.
Pertarungan bertambah seru, baik paman Lui maupun Tui hun leng Suma Keng
sama2 mengeluarkan seluruh kepandaiannya, pertarungan berjalan cepat dan
ganas, hanya dalam sekejap berpuluh gebrakan sudah dilewatkan.
Tian Pek terkesima sambil memondong Hoan Soh yang tak sadar, suasana
gempar di sebelah sana seakan2 tak terdengar olehnya, iapun lupa dirinya masih
berada di tempat yang berbahaya.
"Besar amat nyalimu! Tidak lekas lari, tunggu apalagi di sini?!' demikian Tian Pek
mendengar bentakan tertahan mengiang di tepi telinganya, lalu ujung baju
seperti ditarik orang Tian Pek kaget dan cepat berpaling, dia lihat bayangan
seseorang lagi kabur ke tempat kegelapan.
Baru Tian Pek ingat kalau dirinya masih berada dalam sarang naga dan gua
harimau, apalagi Hoan Soh yang pingsan masih berada dalam pelukannya,
cepat dia kabur mengikuti bayangan kecil tadi.
Bayangan itu sangat apal dengan jalan2 di dalam perkampungan ini, jalan yang
di tempuh rata2 adalah jalan yang remang2 dan sepi.
Cepat dan gesit gerak tubuhnya, hanya sebentar saja bayangan itu membawa
anak muda itu keluar dari perkampungan menuju hutan lebat di depan sana.
Mata Tian Pek yang kini awas dalam kegelapan itu segera dapat mengenali
bayangan di depan seperti Wan-ji yang masih ke-kanak2an itu
Sekarang bayangan orang itu sudah berhenti di atas bukit kecil, di tengah
embusan angin malam, rambutnya yang panjang tertiup angin, siapa lagi dia
kalau bukan Tian Wan-ji.
"Eeh, siapa itu yang kau pondong?" tanya si nona dengan mata terbelalak.
"O, dia adalah teman baruku, namanya Hoan Soh" jawab Tian Pek terus terang.
"Nona, kau ..."
"He, dia she Hoan? Dia pasti salah seorang musuh keluargaku, coba kulihat siapa
dia?"
Sambil berkata ia lantas melompat maju dan mencengkeram muka Hoan Soh.
Kaget Tian Pek, dia mengira Wan-ji hendak menyerang Hoan Soh, cepat ia
menyingkir ke samping menghindarkan tubrukan itu. Meski Hoan Soh belum
lama dikenalnya, na mun ia merasa cocok setelah ber-cakap2 dalam penjara,
sudah tentu ia tak membenarkan temannya dilukai orang
Tian Pek menghindar dengan cepat, tapi Wan-ji bertindak lebih cepat lagi. sekali
sambar, tahu2 ikat kepala Hoan Soh kena diraihnya hingga terlepas. "Haah.....!"
jerit Tian Pek kaget.
Wan-ji juga berseru terkejut, dia lantas mencibir dan mendengus gusar "Huh,
rupanya seorang gadis, pantas kau membelanya mati2an. Cemburu adalah sifat
pembawaan setiap perempuan, apalagi yang memondong gadis itu adalah
kekasihnya, tentu saja hati Wan ji panas sekali Rupanya sewaktu ikat kepala
Hoan Soh tersambar lepas tadi, maka tampaklah rambutnya yang hitam
panjang, ternyata dia adalah seorang gadis yang menyamar jadi lelaki.
"Aku. . . . aku benar2 tidak tahu, aku ti..tidak tahu kalau dia seorang gadis....."
seru Tian Pek gelagapan.
"Huh, tak perlu berlagak pilon!" ejek Wan ji mukanya masam dan bibirnva tetap
mencibir.
Dasar perempuan, makin besar cintanya pada seorang lelaki, makin besar pula
rasa cemburunya, apalagi kalau dia anggap kekasihnya berlagak bodoh. tentu
saja makin panas hatinya
Walaupun Wan-ji masih polos, namun ia tetap perempuan yang punya rasa
cemburu, kesan selama berkumpul waktu Tian Pek sakit sudah membekas
dalam hatinya, diam2 ia mencintai pemuda itu, kini melihat seorang gadis lain
berada dalam pelukan pemuda itu, tentu saja timbul rasa syiriknya.
"Huh, tadinya tak tahu, tapi sekarang kan sudah tahu kalau dia adalah
perempuan?" serunya lagi dengan tak senang hati.
Dengan perkataan ini jelas dia suruh Tian Pek menurunkan Hoan Soh dari
pondongannya. Dasar Tian Pek adalah pemuda lugu yang tak tahu perasaan
anak dara, ia tak bisa menangkap maksud orang, ia melirik sekejap Hoan Soh
yang masih pingsan, kemudian memandang pula sekitar tempat itu, lalu
bergumam: "Lukanya teramat parah, aku harus menyembuhkan dulu lukanya."
Seraya berkata, tanpa menyelami lagi bagaimana perasaan Wan-ji, dia lantas
membawa Hoan Soh ke dalam gua.
Rupanya waktu itu mereka berada di depan gua di mana ia pernah disekap
paman Lui selama beberapa hari.
Tindakan Tian Pek ini makin menjengkelkan Wan-ji, sungguh ia tak mengira anak
muda itu akan membawa seorang gadis ke dalam gua.
"Kau.....?" teriaknya dengan tercengang, ingin menghalangi, tapi lantas teringat
sesuatu, sejenak dia berdiri tertegun, akhirnya dengan mendongkol dia
meninggalkan anak muda itu berduaan dengan gadis lain. Cepat nian gerak
tubuhnya, hanya sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap di balik hutan
sana.
Tian Pek tidak memperhatikan perubahan air muka Wan-ji dan Kepergiannya,
yang diperhatikan olehnya sekarang hanyalah keadaan luka Hoan Soh. Setelah
membawanya masuk ke gua, ia baringkan gadis itu dipembaringan batu yang
pernah digunakannya, kemudian pernapasannya diperiksa, ia merasa napas
gadis itu sangat lemah sehingga boleh dibilang tak jauh dari liang kubur.
Dalam keadaan begini, Tian Pek tidak memikirkan soal pembatasan antara laki2
dan perempuan lagi, sesungguhnya iapun tak sempat berpikir sampai ke situ,
menolong orang lebih penting. Isi perut gadis itu sudah terguncang oleh pukulan
sakti si kakek botak, sekarang Tian Pek ber usaha menggeser kembali isi
perutnya ke tempat semula, semua jalan darah penting' di tubuh anak dara itu
diurut dengan seksama.
Soh-kut-siau-hu memang ilmu yang tiada ta ranya, dalam waktu singkat saja
Hoan Soh mulai merintih dan tersadar kembali dari pingsannya. Tian Pek sendiri
karena baru pertama kali ini menolong orang, banyak tenaganya yang terkuras
hingga keadaannya sangat lelah.
Hoan Soh menarik napas panjang, ia membuka mata terasa suasana amat gelap,
tiada sesuatu yang tertampak, ia tidak tahu di mana ia berada sekarang Lapat-
lapat ia masih ingat bagaimana ia dilukai pukulan seorang Tosu buta, lalu
pemuda yang senasib dalam penjara telah menolongnya dari ancaman maut,
bagaimana selanjutnya ia tak tahu lagi karena keburu jatuh pingsan......
Di mana aku berada sekarang? ingatan ini terlintas dalam benaknya. "Aneh,
siapa yang membawaku ke sini?"
Ia coba bergerak sedikit, ia merasa dada dan lambungnya tidak sakit sekalipun
baru saja terluka siapa yang menyembuhkan lukanya itu? Pelbagai pertanyaan
berkecamuk dalam benaknya, apalagi di dalam gua yang gelap gulita, hampir
saja gadis itu mengira dirinya sedang bermimpi.
Ketika meraba rambutnya yang terurai, gadis itu baru teringat bagaimana
dirinya menyusup ke perkampungan Pah-io-san ceng bersama tiga kakak
lelakinya untuk balas dendam bagi kematian ibunya, bagaimana ia menyaru
sebagai lelaki dan bagaimana mereka berangkat di luar tahu ayahnya.
"Jika lukaku sudah baik, apa yang kutunggu lagi?" kembali ia berpikir. "Kalau
sekarang tidak kabur, bukan mustahil urusan bisa runyam nanti?"
Ia coba memandang sekitar tempat itu, meski Tian Pek yang ada di sampingnya
tidak terlihat olehnya, tapi setitik cahaya ditemuinya di mulut gua sana.
Rupanya Tian Pek sedang bersemadi mengikuti pelajaran kitab pusaka itu, waktu
itu hawa murni nya sedang berputar kembali kepusar hingga sama sekali tidak
mengeluarkan suara, sampai suara napaspun tak kedengaran, tak heran kalau
Hoan Soh tidak tahu hadirnya anak muda itu.
Pada saat Hoan Soh hendak keluar gua, waktu itu pula Tian Pek menyelesaikan
latihannya, dia lantas menegur; "Hoan heng......eh, salah, nona
Hoan, engkau hendak ke mana?"
Hoan Soh terperanjat, agaknya dia tak men duga bahwa di dalam gua yang gelap
itu masih ada orang lain, bukannya berhenti, dara itu malah cepat melayang
keluar gua.
Maklum, seorang anak perawan mendadak mengetahui dirinya berada dalam
gua yang gelap, dan tiba2 mendengar suara lelaki, tentu saja dia jadi panik dan
sedapatnya ingin menghindarkan segala kemungkinan.
Tian Pek yang polos tentu saja tak berpikir sampai ke situ, dia cuma
menguatirkan keadaan Hoan Soh dan kuatir kalau gadis itu ketemu musuh lagi
setiba di luar gua. padahal lukanya baru saja sembuh, maka tanpa berpikir anak
muda itu segera menyusul keluar.
Angin berembus sepoi, bintang dan bulan sudah lenyap dari angkasa, ufuk
sebelah timur sudah mulai memutih, sebentar lagi fajar akan menyingsing Ketika
Tian Pek melompat keluar, Hoan Soh belum pergi jauh, dia berdiri di atas bukit
dengan gaya yang menggiurkan, sekalipun pakaiannya adalah dandanan orang
lelaki, namun semakin menambah kegagahannya di antara keayuannya
"O, kiranya Tian-heng yang menyelamatkan aku!" seru Hoan Soh dingin, "banyak
terima kasih atas bantuanmu"
Dengan gaya wajar tanpa kikuk sedikitnya, dan lantas menjura kepada anak
muda itu.
"Tak usah banyak adat!" cepat Tian Pek balas memberi hormat "Luka nona ...
.nona Hoan baru sembuh? Sebaiknya jangan banyak bergerak"
"Jangan kuatir, aku sudah sehat kembali!" dengan ketus Hoan Soh menjawab,
lalu melangkah pergi.
"Eeh . . nona, tunggu sebentar!" tiba2 Tian Pek mengejar dari belakang.
"Memangnya kenapa?" dengan marah Hoan Soh berpaling, "Apa Tian-heng
mengharapkan imbalan diriku karena engkau telah sembuhkan lukaku?"
Sungguh kata2 yang tajam dan menusuk perasaan, Tian Pek menjadi heran apa
sebabnya sikap si nona mendadak berubah sedingin ini. Pikirnya: "Aku toh tidak
menyalahi kau, kenapa kau bersikap ketus padaku? Apakah aku salah karena
telah menolong kau ... .?"
Selagi anak muda itu masih melengak, tiga sosok bayangan orang mendadak
muncul dari sudut hutan sana.
Sungguh cepat gerak tubuh mereka, hanya sekejap tahu2 sudah tiba di depan
Tian Pek, mereka mengenakan baju ringkas warna Jingga, tiga bilah pedang
serentak mengancam di dada anak muda itu, bukan saja cepat dalam gerakan,
ancaman itupun datang di luar dugaan, sebelum Tian Pek sempat berpikir
sesuatu dia sudah terkepung dan terancam pedang ketiga orang pendatang itu.
Mereka berusia antara dua puluh sampai tiga puluhan tahun, muka tampan dan
sorot matanya terang, dengan pandangan tajam serta nafsu membunuh yang
tebal ketiga orang itu mengawasi Tian Pek lekat2.
ketiga orang pemuda ini tak dikenal Tien Pek, hanya pemuda yang berada di
tengah yang pernah dijumpainya, yaitu orang yang bertempur melawan Tosu
buta semalam, dari sini bisa ditebak kalau ketiga orang ini bukan orang dari Pah
to-san-ceng.
"Toako." cepat Hoan Soh berseru, "dia bukan antek Pah to-san ceng.
."
"Anak muda, siapa gurumu? Kau berasal dari mana? Dan apa sebabnya kau
melarikan adikku?" serentetan pertanyaan diajukan oleh lelaki yang pa ling tua
usianya di antara ketiga pemuda itu. "Lekas kau mengaku terus terang agar tidak
menjadi setan penasaran
Betapa mendongkol Tian Pek mendengar tegur itu, ia telah mengorbankan hawa
murninya untuk menolong orang, bukan terima kasih yang diperoleh, malahan
orang menggertaknya secara kasar.
Dasar Tian Pek juga pemuda angkuh dan tinggi hati, tentu saja ia tak sudi tunduk
di bawah ancaman
orang, ia semakin membandel, seolah2 ancaman tersebut sama sekali tak
diketahui olehnya,
Ketiga pemuda berpakaian ringkas itu saling melirik dengan sinar mata
menghina, mereka hanya mendengus dan tiada yang sudi buka suara.
Anggota yang termuda berwatak paling berangasan, ia tak tahan menyaksikan
keangkuhan Tian Pek, dengan gusar ia berteriak: 'Toako, coba lihat pakaian yang
dikenakan bocah ini, sudah terang dia ini kaki tangan musuh, kita bereskan saja
dia secepatnya, buat apa banyak omong?"'
Mulut bicara, tanganpun segera bergerak, ujung pedangnya langsung menusuk
ke dada Tian Pek.
Tian Pek memang mengenakan mantel hitam yang melambangkan
perkampungan Pah-io-san-ceng yaitu pemberian seorang anggota pengawal
lawan sewaktu dia dipergoki berada: dalam keadaan polos tempo hari.
Sementara itu ujung pedang musuh telah menyambar tiba dengan kecepatan
luar biasa, sedetik kemudian pedang itu telah merobek dada baju anak muda
itu.
Merasa dadanya sakit, segera Tian Pek melakukan serangan balasan, telapak
tangannya menghantam batang pedang lawan sekuatnya.
Robeklah mantel hitam yang dipakai Tian Pek tersambar ujung pedang musuh,
untung tidak sampai melukai otot tulangnya, darah bercucuran dari lukanya,
tapi pedang lawan juga tergetar ke samping Pendekar muda itu tak menyangka
kalau lawan yang masih muda belia itu memiliki tenaga dalam sekuat ini, ia
merasa telapak tangan sendiri kesemutan dan sakit, hampir saja pedang
terlepas dari genggamannya.
"He, hebat juga kau, rasakan pedangku ini!' teriak pendekar muda itu dengan
penasaran.
Diiringi bentakan, pedangnya berputar satu lingkaran dengan kilatan cahaya
emas, dengan jurus Poat-cau-heng-eoa (membabat rumput mencari ular), dia
babat pinggang lawan.
Tian Pek mengegos ke samping, berbareng itu telapak tangannya
direnggangkan, dengan gerakkan Poat-in-hian-jit (menyingkap awan tampak
sang surya ), dia balas mebalas dada lawan.
Kedua pemuda lain sama sekali sak menyangka kalau ilmu silat Tian Pek
sedemikian tangguh, sekalipun dikerubuti tiga orang bersenjata tetap dapat
balas menyerang. Sementara itu pemuda pertama tadi telah melancarkan
kembali sebuah babatan kilat ke arah pinggang Tian Pek, merasakan
berbahayanya serangan itu, cepat Tian Pek bertindak, tangan kiri dan tangan
kanan serentak menolak ke depan, dengan angin pukulannya memaksa senjata
lawan terguncang ke samping, menyusul sebuah tendangan kilat dilepaskan
mengarah perut musuh.
Terpaksa pemuda itu melompat mundur untuk menghindari tendangan musuh,
sebelum ia sambung dengan serangan balasan, tiba2 Tian Pek juga melompat
mundur, serunya dengan lantang: "Percuma aku layani manusia tak tahu diri
macam kalian Hm, hanya pandai main kerubut, selamat tinggali" — Tanpa
menunggu jawaban, segera Tian Pek hendak melayang pergi.
Tiga pendekar muda itu adalah jago pedang tersohor di sekitar daerah Tinkang,
orang Kangouw menyebut mereka sebagai Hoan-si-sam-kiat ( tiga orang gagah
keluarga Hoan ).
Malam ini mereka membawa anak buahnya menyatroni Pah-to-san-ceng,
meskipun perkampungan yang amat disegani orang itu berhasil mereka obrak-
abrik, akan tetapi tiada keuntungan apapun yang berhasil mereka dapatkan.
Dari dua puluh tiga orang jago yang dibawa mereka, kini tinggal mereka bertiga
yang masih hidup, selebihnya sudah dibunuh habis oleh pihak lawan. menyadari
bahaya yang mengancam mereka, dengan hati yang berat merekapun
undurkan diri dari perkampungan musuh.
Mereka tidak langsung mengundurkan diri dan pulang kandang, sebab Tui -
hong - kiam Hdn Kiat sempat menyaksikan adik perempuan mereka dilarikan
seorang pemuda tatkala ia bergebrak melawan si Tosu buta, kejadian ini segera
dilaporkan kepada Toako dan Samtenya yang bernama Coh-citig kian (pedang tik
kenal ampun) Hoan Cun serta Mo in-kiam (pedang gumpalan awan) Hoan Ing.
Karena menguatirkan keselamatan adik perempuannya, merekapun masih
berkeliaran di bukit sebelah belakang perkampungan untuk melakukan
pencarian.
Kebetulan mereka melihat seorang anak muda benda bersama adik
perempuannya, maka dengan cepat mereka bermaksud merobohkan Tian Pek.
Mereka tak menduga ilmu silat Tian Pek sedemikian lihainya, bukan saja usaha
mereka gagal malahan pihak lawan sempat lolos dari situ.
Pada mulanya keluarga Hoan dan keluarga Buyung berteman akrab, tapi dalam
suatu pertikaian urusan perempuan hubungan menjadi retak, waktu itu
banyak berita sensasi tersiar diluaran, karena malunya Hoan hujin (nyonya
Hoan) melakukan bunuh diri hingga mengakibatkan permusuhan di antara
kedua keluarga.
Hoan-toaya ada maksud mengesampingkan persoalan itu daripada menerbitkan
hal2 yang tak diinginkan, ia ambil keputusan untuk melupakan sakit hati itu.
Maksudnya memang baik, yaitu agar urusan jadi selesai dan mereka pun bisa
hidup dengan damai. Sayang putra-putrinya tak dapat melupakan kematian sang
ibu, setiap saat mereka merencanakan pembalasan dendam.
Kebetulan karena ada urusan penting Hoan-toaya berangkat ke selatan,
kesempatan yang baik ini segera dimanfaatkan oleh keempat putera-puterinya
untuk melakukan balas dendam kesumat. Mereka pimpin jago2
perkampungannya dan menyergap perkampungan Pah-to sam-ceng di tengah
malam buta, sayang mereka salah menaksirkan kekuatan musuh, bukan saja
sakit hati tak terbaiat, kekuatan yang mereka bawapun kocar kacir tak keruan,
Ketika mereka jumpai Tian Pek mengenakan mantel dengan lambang Pah to
sang-ceng, segera anak muda itu hendak dibunuhnya, tapi dugaan merekapun
meleset, Tian Pek yang dianggap enteng ternyata memiliki ilmu silat yang tinggi.
Betapa penasarannya ketiga orang itu melihat Tian Pek hendak kabur, serentak
mereka membentak sambil memburu, ketika masih berada di udara, tiga bilah
pedang diiringi kilatan cahaya tajam langsung mengurung tubuh Tian Pek
dari tiga arah.Setelah mempelajari isi kitab Thian-hud-pit-kip, ilmu silat Tian Pek
mengalami kemajuan yang pesat, tenaga dalamnya amat tinggi, cuma sayang ia
tak pernah memperoleh petunjuk dari guru pandai, selain itu pengalaman
tempur juga belum banyak, maka ilmu sakti yang dilatihnya tak dapat di man-
faatkan dengan leluasa.
Baru saja ia meloncat ke udara, bayangan pedang disertai kilatan cahaya tajam
lantas mengurung sekujur badannya. "Tahan dulu, para kakak . .. ." syukurlah
segera terdengar seruan nyaring. Mendengar seruan Hoan Soh itu, ketiga jago
keluarga Hoan itu merendek sebentar di udara.
Tian Pek sendiri sudah nekat, pada waktu itu juga ia melepaskan serangan
balasan dengan jurus Hong-ta-ku-ho (hembusan angin merontokan bunga
teratai) serta Pah-in-lam-sau (macan tutul sembunyi di bukit selatan), serangan
hebat dan dahsyat, sekaligus ia menyerang tiga jurus.
Ketiga jago keluarga Hoan amat terperanjat, mimpi pun mereka tak menyangka
serangan anak muda yang tak menarik ini bisa sedemikian hebat nya, cepat
mereka putar pedang untuk melindungi dada, berbareng menyusut mundur
beberapa langkah ke belakang, namun mereka masih tetap mengepung Tian Pek
di tengah.
"Anak muda, hebat juga ilmu silatmu," seru si "pedang tak kenal ampun" Hoan
Cun dengan dahi berkerut.
Mo-in kiam Hoan Ing mendengus. ia tuding Tian Pek dengan ujung pedangnya,
serunya; "Hm, sekalipun bebat kepandainmu, itu tidak berarti kau bisa kabur
dari kepungan kami dengan begitu saja Hayolah, bersiap2lah untuk menyambut
kematianmu!"
"Engkoh bertiga, jangan salah paham, kanan jangan menuduh orang tanpa
dasar" seru Hoan Soh-
ing cepat "Dia.....Tian-siauhiap adalah tuan penolongku, dialah yang
membantu aku lolos dari penjara, dia . . dia pula yang telah menyembuhkan
luka.....luka yang kuderita!"
Hoan Soh sebenarnya bernama Hoan Soh-ing, ketika saling menyebut nama
dalam penjara, dara itu baru sempat menyebut Hoan Soh sehingga Tian Pek
mengira "pemuda" itu bernama Hoan Soh.
Biasanya dia gagah berani sepeti lelaki, lagak lagunya juga terbuka dan tidak
malu2 seperti anak gadis umumnya. Tapi entah mengapa sekarang ia bicara
dengan rada kikuk3.
Dengan pandangan tak percaya ketiga kakaknya memandang sekejap pada
adiknya dengan ragu, seperti percaya dan juga seperti tidak percaya. "Apakah
betul keteranganmu?" Hoan Cun bertanya dengan sangsi.
"Pedang tak kenal ampun" tersohor karena kesadisannya, ketika pertanyaan
tersebut diajukan, sorot matanya memandang wajah Tian Pek sehingga
membuat orang jadi tak tahu siapa yang ditanya, Tian Pek atau adik
perempuan?
Padahal pertolongan yang diberikan Tian Pek hanya atas dorongan rasa simpatik
dan kasihan, ia tak menyangka perbuatannya malah mendatangkan begitu
banyak peristiwa yang ruwet, karena penasaran dan mendongkol ia cuma
mendengus saja dengan menahan perasaannya.
"O, Toako! Apakah kaukira adikmu berbohong?" tanya Hoan Soh ing dengan
rawan.
Ketiga jago pedang keluarga Hoan masih menatap tajam Tian Pek tanpa
berkedip, tapi mau-
tak-mau mereka mesti percaya pada apa yang dikatakan adiknya itu, malahan
Hoan Cun menyesal karena sikapnya yang terlalu banyak curiga mungkin akan
menyinggung perasaan halus adik perempuannya.
"Pedang tak kenal ampun" Hoan Cun berwatak kaku dan aneh, tapi dia amat
sayang terhadap adik perempuannya, apalagi setelah mendengar suara adiknya
yang rawan itu.
"Kalau memang betul begitu, aku pun takkan banyak bicara lagi, biarkan dia
pergi!" katanya kemudian sambil tarik pedangnya.
Kedua saudaranya sudah tentu tak berani banyak bicara, mereka pun tarik
kembali senjatanya dan menyingkir.
"Hayo kita pergi!" seru Hoan Cun kemudian. Tanpa pamit berangkatlah keempat
orang itu meninggalkan Tian Pek yang berdiri melongo sendirian. Kembali timbul
perasannya yang menyesali hidupnya ini: "Ai, nasibku memang jelek, semua
yang kujumpai selalu orang2 yang sukar diajak bicara, maksudku menolong
orang, siapa tahu malah mendatangkan kedongkolan melulu, sungguh sebal."
Memandangi bayangan Hoan Soh-ing yang menjauh, tiba2 anak muda itu
merasa berat hati ditinggal pergi, ia berdiri tertegun sampai lama sekali tetap
tak tahu apa yang harus dilakukannya. "Mau lari? Hm, tidak gampang kawan!"
tiba2 didengarnya di hutan sana ada orang mendengus. "Memangnya kalian
anggap perkampungan Pah to san-ceng adalah rumah kalian sendiri? Mau da-
tang lantas datang, mau pergi lantas pergi? Hm, jangan mimpi di siang hari
bolong ..."
Dingin ucapan tersebut, berbareng dengan perkataan itu lantas muncul belasan
orang dari balik hutan yang lebat, beberapa orang itu berpakaian ringkas semua,
senjata terhunus dan tampangnya garang, hanya sejenak empat bersaudara dari
keluarga Hoan yang pergi belum jauh itu sudah terjebak dalam kepungan
mereka.
Sekilas rasa kaget terbayang di wajah keempat orang itu, mereka segera
berhenti dan lintangkan pedangnya di depan dada, kemudian mereka
mengurung Hoan Soh-ing di tengah, tampaknya ketiga pemuda itu rela
berkorban asal adik perempuannya selamat.
Tersirap darah Tian Pek demi mengetahui siapa yang muncul itu. Orang yang
berjalan paling depan berbadan tinggi besar dengan pakaian sutera yang
mentereng, mukanya merah, hidung besar dan mata bersinar tajam, orang itu
tak lain adalah ketua Pah to-san ceng, Buyung Ham. Sebenarnya Tian Pek tidak
kenal jago lihai she Buyung ini, tapi pakaian yang dikenakan orang itu tidak
berbeda dengan cabikan kain yang ditinggalkan mendiang ayahnya, maka timbul
suatu perasaan aneh di dalam hatinya, Sudah tentu Tian Pek tak berani
menuduh Tiseng jiu Buyung Ham sebagai pembunuh ayahnya, tapi ia yakin dari
orang inilah jejak pembunuh itu akan diketahui.
Sementara Tian Pek termenung, di sana Ti-seng jiu Buyung Ham telah
membentak keras; "Bocah bernyali besar, mengapa tidak cepat lemparkan
pedangmu dan menyerah? Hm, jangan kalian anggap Pah-to-san-ceng adalah
tempat umum yang boleh dikunjungi setiap orang. Hayo cepat menyerah!
Memangnya kalian hendak menunggu sampai aku turun tangan sendiri?"
"Bangsat tua, tak perlu berlagak!" teriak Hoan Cun dengan gusar. "Jangan kau
kira dengan jumlah kalian yang lebih banyak maka kami lantas jeri, ketahuilah
tiga jago keluarga Hoan tidak kenal apa artinya takut!"
Ti-seng-jiu tertawa tergelak mendengar perkataan itu, sahutnya: "Bocah yang
tak tahu diri. ke-matian sudah di ambang pintu, masih berani berkaok2 dan
omong besar? Bila tahu diri lekas menyerah, mengingat hubunganku dengan
ayah kalian mungkin akan kuberi jalan hidup, tapi kalau kalian tetap
membandel.....hm, Siau-koh-san ini akan menjadi liang kubur kalian."
Empat bersaudara dari keluarga Hoan menyadari apa yang diucapkan Ti-seng-jiu
bukan gertak sambal belaka, apa yang telah dikatakannya tentu akan
dilaksanakan, apalagi memandang tampangnya yang bengis penuh nafsu
membunuh, bulu roma mereka jadi berdiri.
Dilihat pula di belakang Buyung Ham berdiri sepuluh tokoh Pah-to-san-ceug
serta berpuluh jago lainnya, semuanya melototi mereka, jelas urutan sangat
gawat, bukan mustahil jiwa mereka akan melayang di sini
Tapi rasa jeri hanya sebentar terlintas di dalam hati mereka, ketika terbayang
kembali Kematian ibu mereka yang dibikin malu oleh Buyung Ham, seketika
darah bergolak, rasa takut mati seketika tersapu lenyap.
"Bangsat tua!" jerit Hoan Cun dengan penuh kebencian "Bila mampu boleh coba
kau tangkap tuan muda."
Ti-seng-jiu mendongkol, ia tidak bicara lagi. ia segera memberi tanda kepada
anak buahnya yang berada di belakang, lima enam orang di antaranya segera
menerjang ke depan.
Kesepuluh tokoh besar Pah-to-san-ceng rata2 adalah jago kelas satu di dunia
persilatan, mereka berilmu tinggi dan berpengalaman luas, menurut
anggapan mereka tak mungkin ada orang berani mengganggu keamanan
perkampungan tersebut dengan hadirnya mereka di sana, siapa tabu dugaan
mereka meleset, bukan saja ada yang berani menyerbu perkampungan Pah-to-
san-ceng, malahan kawanan penyerbu itu pun berani membakar
perkampungan itu, peristiwa ini dianggap sebagai suatu penghinaan bagi
mereka, sejak tadi hati mereka sudah panas, maka begitu sang majikan
memberi tanda, serentak mereka menyerbu ke depan.
Sudah tentu mereka pantang main kerubut. Gin-siau-toh-hun Ciang Su-peng
mendahului menjura kepada rekan2nya dan berkata: "Saudara sekalian,
izinkanlah kakakmu yang sudah tua ini untuk bertarung pada babak pertama,
tentunya kalian tidak merasa keberatan bukan?" — Dia lantas keluarkan seruling
peraknya dan siap tempur.
'Eh, Ciang-heng" tiba2 Si Tosu buta tampil ke depan sambil tertawa, "ilmu
seruling pembetot sukmamu sudah tersohor di seluruh kolong langit ini, apa
gurunya Ciang-heng bersusah payah pula turun gelanggang? Untuk menghadapi
beberapa orang kawanan tikus itu kurasa lebih baik serahkan saja kepadaku si
buta yang reyot ini."
Tapi sebelum Tosu buta itu turun tangan, si kakek botak menyela pula dari
samping: "To-heng tak usah membuang tenaga percuma, serahkan saja babak
pertama ini kepadaku!"
Kakek botak itu adalah Tui-hui; leng Suma Keng, habis berkata dia lantas
melepaskan suatu pukulan dahsyat dengan jurus Heng-sau-cian-kun (menyapu
habis selaksa prajurit).
Hoan Soh-ing bertindak cekatan, dia melancarkan hantaman balasan lewat
samping Tui-hong-kiam Hoan Kiat sementara Tui-hong-kiam sendiri putar
pedang hingga menciptakan selapis dinding pertahanan untuk membendung
angin pukulan lawan yang maha dahsyat itu.
Berbareng itu Coh ceng kiam Hoan Cun dan Mo-in kiam Hom Ing meluncur ke
depan, pedang mereka ibarat ular sakti keluar dari gua, satu dari kiri dan yang
lain dari kanan langsung menyergap kedua sisi Tui hun-leng Suma Keng. Kerja
sama keempat orang bersaudara ini amat bagus dan sangat rapat, kontan
pukulan gencar Tui-hun-leng dapat dibendung.
Rupanya kerja sama yang sangat lihai ini merupakan ilmu barisan pedang Kun-
goan-sam cay kiam- tin keluarga Hoan yang maha dahsyat, setiap hari keempat
kakak beradik itu saling berlatih dengan rajinnya, tak heran kalau permainan
barisan pedang mereka sangat cepat dan juga berdaya tekan kuat.
Tui-hun-leng sendiri terhitung jago kenamaan di wilayah barat laut, ilmu silatnya
tinggi, tabiatnya keji tak kenal ampun, bersama To-kah-hui mo (iblis terbang
berkaki tunggal) Kaki mereka disebut Say gwa siang jan (sepasang manusia cacat
dari luar perbatasan .
Sekarang ia hendak pamerkan kelihaiannya di hadapan Ti-seng-jtu Buyung Ham,
maka sekali serang dia lantas lepaskan pukulan dahsyat, ia pikir empat pemuda
yang masih ingusan itu tentu akan terpukul roboh, tak terduga kerja sama ilmu
pedang keempat orang itu amat rapat, ia jadi kecelik dan rada kelabakan malah
dikerubuti lawan.
Begitu merasakan tibanya dua tusukan pedang dari samping, Tui-hun-leng
menyadari gelagat jelek,
untung pengalamannya amat luas, begitu merasa keadaan tidak
menguntungkan, cepat ia melompat mundur.
Tidak kepalang gusar Tui-hun-leng Suma Keng, mendadak ia mengeluarkan
sebuah genta tembaga berwarna kuning. Genta kuning itu sama sekali tidak
istimewa bentuknya persis seperti genta yang biasanya digunakan tukang obat
kelilingan, hanya saja bentuknya lebih besar.
Ketika genta tadi dibunyikan hingga menerbitkan suara kelintang-kelinting yang
nyaring, maka terasalah suatu kekuatan gaib memancar keluar dari balik suara
tersebut, suaranya serasa memekakkan telinga dan mengilukan, membikin hati
orang berdebar dan darah tersirap. Kawanan jago persilatan lainnya cepat
mundur ke belakang, rupanya mereka pun berusaha menghindari pengaruh
suara genta, dari sini dapat diketahui bahwa genta kecil ini pasti luar biasa,
apalagi Suma Keng barjuluk Tui huu leng (Genta pengejar sukma) tentu julukan
ini bukanlah omong kosong belaka.
Air muka tiga pendekar pedang keluarga Hoan berubah hebat begitu melihat
genta tembaga yang dikeluarkan musuhnya, segera mereka teringat pada
seseorang tokoh yang amat lihai.
Dalam pada itu Suma Keng telah membunyikan genta mautnya berulang kali,
suaranya nyaring ibarat setan pembetot sukma, berbareng itu pula secepat kilat
ia menubruk musuhnya
Betapa terperanjatnya ketiga pendekar pedang muda itu, cepat mereka
gunakan gerakan Sam-seng cay hui (tiga bintang di dalam satu tempat) untuk
menahan serangan musuh.
Tiga pedang bergabung menjadi satu garis, getaran ujung senjata seketika
menimbulkan tiga kuntum bunga warna perak menyongsong sambaran Tui
hun-leng.
Hoan Soh ing tidak tahu kelihaian musuh, pada waktu yang sama ketika tiga
pedang kakaknya menyerang dia pun melepaskan dua pukulan gencar dengan
jurus Kiam-lim giok tiap (kupu kemala hutan pedang) untuk mengimbangi Sam-
cay-kiam-tin ketiga kakaknya. Telapak tangannya yang putih bersih bagaikan
kemala, seperti sepasang kupu2 putih berkelebat kian kemari terus mengancam
jalan darah penting di sekitar ulu hati musuh.
Suma Keng menjadi gemas, ia bersuit nyaring bagaikan sambaran kilat cepatnya
"genta pengejar sukma" bergetar menciptakan serangkaian cahaya keemasan
yang menyilaukan mata disertai suara kelintang kelinting nyaring.
"Ting! Ting! Tingl" ditengah suara kelintingau yang memekak telinga, terjadilah
benturan keras hingga mengakibatkan letupan api.
Ketiga pedang Hoan si sam-kiat kontan tergetar ke samping, ketiga orang itu
juga terhuyung mundur lima-enam langkah ke belakang, untung tidak cidera,
walau begitu air muka merekapun menjadi pucat, sinar matanya pudar.
Tui hun leng tidak berhenti sampai di situ saja, belum lagi kaki menginjak
kembali ke tanah ia terus menubruk ke arah Hoan Soh-ing, genta mautnya
diguncang hingga menimbulkan suara dentingan yang memekak telinga.
Tenaga serangan Hoan Soh ing seketika lenyap, ia merasa suara genta musuh
memekak telinga dan membikin jantung berdebar, kosentrasinya buyaar, ia tak
mampu menghimpun tenaga lagi untuk melakukan perlawanan.
Dalam pada itu gulungan cahaya kuning telah menerjang tiba dengan cepatnya,
sinar itu menyilaukan dan suara genta membisingkan sehingga lawan menjadi
bingung, badan jadi lemas, kepala pusing,
Hoan Soh tidak tahan, ia menjerit dan roboh terjengkang. Genta maut Suma
Keng. memang luar biasa lihaynya, dengan jurus, Ci Hun To Pok (hilangkan
sukma mencabut nyawa ), bukan saja berhasil menjebol pertahanan Kun goan-
sam cay-kiam-tin, malahan Hoan Soh-ing akan dicelakainya 'Tahan!" mendadak
suara bentakan nyaring .menggelegar di udara, menyusul sebuah pukulan
dahsyat menggulung tiba.
Cepat Suma Keng melompat mundur, tahu-tahu seorang pemuda sederhana
berada di depannya.
Pemuda ini ialah Tian Pek. Rupanya irama genta maut Suma Keng telah
menyadarkan kembali anak muda ini dari lamunannya, ketika ia lihat Hoan Soh
in terancam bahaya, ia sangat terkejut, bagamianapun gadis itu adalah gadis
pujaannya, sejak perkenalan pertama ia sudah merasa suka kepada nona ini.
Sudah tentu ia tak tinggal diam melihat gadis itu terancam bahaya, dalam
keadaan demikian ia telah melupakan segala tindakan kasar yang baru
diterimanya dari ketiga kakak si nona, apa yang terpikir olehnya sekarang adalah
bagaimana caranya menolong gadis itu dari bahaya maut.
Tanpa pikir panjang lagi ia lantas membentak, sambil melayang ke udara,
pukulan dahsyat segera dilancarkan.
Semula Suma Keng mengira dia disergap oleh seorang tokoh silat yang lihay,
begitu mengetahui siapa orangnya ia menjadi gusar dan kaget, rupanya yang
menyerang ini adalah pemuda yang menyebabkan salah paham antara dia dan si
Lui gila itu.
Dengan gusar ia lantas membentak: "Bocah keparat! Katanya kau ini kerabat Lui
Ceng- wan, kenapa berulang kali kau memusuhi perkampungan ini? Apakah kau
sudah bosan hidup?"
Tian Pek bukan anak bodoh, dari nada pembicaraan lawan in tahu Suma Keng
bermaksud menfitnah paman Lui di depan umum. Sebagai pemuda jujur, tentu
saja ia tak dapat menyangkal bahwa dia tak kenal paman Lui. apalagi banyak
budi yang diterimanya dari paman itu, untuk mengakui punya hubungan dengan
paman Lui, ia pun menyadari betapa sulitnya posisi paman Lui di Pah-to-san-
ceng, karena itu untuk beberapa saat ia cuma bisa berdiri mematung dengan
mata terbelalak seputah katapun tak mampu bicara.
Dalam pada itu, ketiga pendekar muda keluarga Hoan telah berhasil menguasai
kembali perasaannya yang kaget, mereku jadi malu bercampur menyesal setelah
mengetahui kembali Tian Pek yang menyelamatkan jiwa adik perempuannya.
Hoan Soh-ing berdiri dengan tertegun, ia memandang Tian Pek dengan muka
merah dan entah apa ysng harus dikatakannya. Ti-seng-jiu Buyung Ham
mengerut dahi dengan wajah muram .
''Sahabat cilik, ilmu- silatmu sungguh hebat!" demikian Gin-siau-toh huh Cian Su-
peng tampil ke depan sambil berseru. "Bolehkah kutahu siapa namamu? Berasal
dari perguruan mana?"
Gin-siau-toh hun menyadari akan hebatnya ilmu silat anak muda itu, sebab ia
pernah menjajal kemampuannya dengan ilmu seruling lm-mo-toh-hun-siuu-hoat
tempo hari, tidak sembarang orang mampu tahan serangan suara serulingnya
jika tidak memiliki tenaga dalam yang sempurna, maka dia ingin tahu asal usul
lawan muda ini.
Sebelum Tian Pek menjawab, tiba2 seorang berteriak: '"Ciang-heng, apa
gunanya banyak omong, bekuk saja bangsat cilik ini, masakah nanti dia tidak
mengaku terus terang?''
Cepat sekali gerak tubuh orang itu, ibarat segulung asap hitam tahu2
menyambar tiba, selagi masih mengapung di udara, kelima jari tangannya
bagaikan cakar elang terus mencengkram Keng ci-biat di lengan kanan Tian Pek.
Anak muda itu merasakan pandangannya menjadi gelap, serangan belum
sampai, namun desir angin yang berembus serasa menyayat badan, ia sadar
kalau musuh ini sangat lihay, ia tak berani menyambut secara kekerasan, cepat
ia mengegos sambil balas menahan dengan tangan kirinya.
Orang itu bergelak tertawa, serunya: "Robohlah kau!" Sambil berputar di udara
tiba2 orang itu menubruk maju, tangan kirinya segera mencengkeram
pergelangan tangan Tian Pek.
Aneh gerak serangan orang itu, cepat Tian Pek tarik kembali serangannya.sambil
melompat mundur, untung dia bertindak cepat, hampir saja tangan kena
dicengkeram musuh.
Sekalipun begitu, tak urung pergelangan tangan -kirinya terserempet oleh
serangan mutub, rasa sakit pedas menyayat badan, tulangnya seperti mau
patah, separo badannya se-akan2 lumpuh.
Anak muda itu terperanjat, ia lihat lawan itu adalah kakek berkaki buntung satu
dan bercambang, mukanya bengis sekali.
Kakek bengis iui tak lain adalah Tok kah hui mo Li Ki, rekan Suma Keng yang
sama2 dipanggil sebagai "Sepasang manusia cacat dari luar perbatasan".
Orang ini bukan saja ganas dalam perbuatan, banyak pula akal busuknya yang
keji.
Ketika dilihatnya Tui-hun-leng yang lihay sekali gebrak sampai terpental oleh
Tian Pek, ia jadi melengak juga, tapi sebigai orang yang cerdik segera diketahui
olehnya pemuda yang lihay ini hanya sempurna dalam tenaga dalam, sedang ge-
rak serangan yang ampuh boleh dibilang sama sekali belum paham.
Segera ia mendapat akal, ia hendek menggunakan kesempatan yang baik ini
untuk membekuk lawan dengan ilmu Siam-tian-tui-hong-kim-na-jiu (ilmu
cengkeraman kilat pemburu angin yang maha dahsyat).
Maka pada waktu Gin-siau-'oh-hun bertanya jawab dengan Tian Pek, segera ia
membentak dan secepat kilat meluncur ke depan terus menyerang Keng ci-hiat
Tian Pek dengau jurus Kim-pah-loh-jiau (macan tutul emas unjukkan cakar).
Tapi Tian Pek sempat menghindar dan melancarkan terangau balasan yang
cukup dahsyat. Tok-kah-hui-mo tak mau adu keras, ia melayang ke atas. tiba2
tangan kirinya melancarkan pukulan lagi dengan gerakan Hun-wan-liat-hau
(menyayat monyet membunuh harimau).
Menurut perkiraan iblis berkaki tunggal ini. ke dua serangan berantai yang
dilepaskan itu cukup untuk merobohkan musuhnya, Siapa tahu ia salah terka,
pemuda yang tampaknya Iamban dalam gerakan ini ternyata memiliki kegesitan
yang luar biasa, sekali mengegos tahu2 semua ancamannya berhasil
dipunahkan.
Tok-kah-hui-mo semakin kalap, ia meraung dan secara beruntun melancarkan
lagi serangan berantai dengan jurus Cia-kwan-tuim-go.in (potong urat tutuk
perut), Toan-C'u-csy-meh (memotong otot memutuskan nadi) serta Oh-kui-ho-
hun (setan lapar menerkam sukma).
Jangan kira iblis tua ini cuma berkaki satu, kenyataannya kegesitan maupun
kecepatan geraknya sangat luar biasa, kalau tidak, tak mungkin orang menyebut
"iblis terbang berkaki tunggal" kepadanya. Salah satu ilmu yang paling
diandalkan iblis kaki satu ini adalah Kim-na-jiu (ilmu cengkeram) yang diberi
nama "sambaran kilat pemburu angin", kecepatannya ibarat embusan angin
atau sambaran kilat, luar biasa dahsyatnya dan sukar untuk menghindarnya.
Tapi perkiraannya kembali meleset, pemuda yang dianggap pasti akan
dirobohkan ini ternyata sanggup menghindarkan semua serangannya dengan
mudah.
Diam2 semua orang merasa heran, mereka sempat menyaksikan anak muda itu
berdiri tenang, ke tika serangan berantai yang dilancarkan Tok-kah-hui mo itu
tiba, semuanya dapat dihindari, jelas pemuda itu tidak menggunakan gerakan
yang aneh, tapi ke nyataanya ia dapat lolos dari ancaman, inilah yang membuat
mereka tercengang. Sikap pemuda itu ibaratnya seorang guru yang sedang
memberi pelajaran silat kepada muridnya, sudah tentu sebagai guru dia tak
perlu kuatir serangan muridnya akan bersarang di tubuh sendiri sebab semua
jurus telah apal di luar kepala, dia hanya mengamati perakan muridnya apa
benar utau keliru.
Melihat gelagatnya, ilmu silat pemuda ini seakan2 jauh lebih hebat daripada
Tok-kah-hui-mo Li Ki yang sudah tersohor selama puluhan tahun di dunia
persilatan. Tentu saja Tok-kah-hui-mo terlebih kaget, sambil melepaskan
serangan berantai (dalam hati ia berpikir: "Sialan, aku benar2 ketemu setan,
masa ilmu cengkeraman-mautku gagal membekuk anak ingusan begini?
Sungguh tidak masuk diakal Wah, kalau aku gagal membekuk keparat ini, ke
mana akan kutaruh wajahku ini?"
Takut nama baiknya ternoda, Tok-kah-hui-mo semakin gencar menyerang, ia
menggunakan serangan yang paling keji dan mematikan.
Padahal cara Tian Pek menghindari setiap se rangan itu dilakukan di bawah
sadarnya, dalam hati sama sekali tidak tahu di mana letak kehebatannya. Sudah
tentu semua itu lantaran ilmu Thian-hud-pit-kip yang telah dikuasainya sehingga
tenaga dalamnya mengalami kemajuan pesat, mata makin awas dan
pendengaran makin tajam
Sekalipun begitu, Tian Pek lupa melancarkan serangan balasan, dia hanya
berkelit, menghindar dan berputar mengikuti gerak serangan musuh, sedang
mata terbelalak mengawasi dan menyelami se tiap gerak serangan Tok-kah-hui-
mo yang ganas dan ampuh.
Tian Pek memang bukan anak bodoh, ia dapat memanfaatkan kesempatan yang
baik ini untuk kepentingan sendiri, jangan dianggap dia hanya berkelit dan
menghindar terus, kenyataan secara diam2 ia sedang belajar gerakan sakti
musuhnya. Sudah tentu Tok-kah-hui-mo tak menyangka kalau ilmu silatnya yang
paling diandalkan itu sudah disadap oieh Tian Pek secara diam2, ia menyerang
terlebih gencar dan hanya sekejap dua tiga puluh jurus sudah dilancarkan.
Kawanan jago persilatan yang hadir disekitar gelanggang itu, rata2 adalah tokoh
kawakan yang sudah berpengalaman, meski begitu belum pernah mereka
saksikan pertarungan seaneh ini. Tanpa disadari, semua orang alihkan
perhatiannya ke tengah gelanggang se-akan2 sedang menonton keramaian
sehingga lupa kalau pertarungan yang sedang berlangsung sebenarnya adalah
pertarungan yang menentukan mati hidup.
Sementara itu Tui-hun-leng yang licik sedang putar otak untuk mencari akal
guna menjebak lawannya, ia merasa kehilangan muka karena serangan anak
muda tadi dapat memaksa dia melompat mundur. Walau begitu, tapun tak sudi
mengerubuti Tian Pek bersama Tok-kah-hui-mo, karena perbuatan demikian
hanya akan turunkan gengsi dan merosotkan bobot kedudukan mereka berdua.
Tiba2 sorot matanya tertuju ke arab keempat muda-muda keluarga Hoan yang
sedang mengikuti jalannya pertarungan dengan mata terbelalak dan tercengang
itu, satu pikiran cepat melintas dalam benaknya.
Pikirnya: "Bukankah kesempatan baik terbentang di depan mata? Kenapa tidak
kubereskan dulu keempat bocah itu, habis itu baru kubereskan bocah tolol itu?"
Sambil tertawa dingin selangkah demi selangkah ia menghampiri keempat
bersaudara keluarga Hoan itu, bentaknya: "Empat ekor tikus kecil, apa kalian
anggap tempat ini panggung sandiwara? Hayo serahkan nyawa kalian. . . . !"
Dentingan suara genta maut yang keras dan memekakkan telinga menyadarkan
Hoan Cun ber tiga, dengan terkejut mereka berpaling, dilihatnya Tui hun leng
sedang maju menghampiri, cepat mereka lintangkan pedangnya dan menyurut
mundur Hoan Soh ing masih terus mengikuti jalannya pertarungan di tengah
gelanggang se-akan2 kehadiran Suma Keng sama sekali tidak terasa olehnya.
Genta maut itu terus berbunyi, mendadak Suma Keng membentak keras, dia
melakukan gerakan se akan2 hendak menerjang maju.
Tiga pendekar pedang dari keluarga Hoan terkejut, mereka mundur lagi
selangkah ke belakang. Tupi Suma Keng tidak melakukan serangan, rupanya
dia cuma menggertak belaka, ketika dili hatnya ketiga orang itu ketakutan
setengah mati, ia jadi senang dan tertawa terbahak2. Malu dan marah ketiga
pendekar muda keluarga Hoan itu karena merasa dipermainkan orang, mereka
saling pandang sekejap, pada waktu musuh masih tertawa senang itulah pedang
mereka menyerang bersama, sekaligus mengancam jalan darah Sian ki-hiat di
tenggorokan., Sam-yang-hiat di dada serta K i -hay-hiat di lambung iblis tua itu.
Ilmu pedang ketiga orang itu adalah serangkaian ilmu pedang Tui hong kiam
hoat yang ampuh, kepandaian tersebut mengutamakan kecepatan dalam
gerakan serta kerja sama yang rapat, maka Sam-ca-y kiam tin mereka cukup
disegani orang dan jarang ada tandingannya.
"Kurang ajar, kalian sudah bosan hidup?" bentak Suma Keng.
Sambil mengegos dan sedikit mendak ke bawah, dia hindarkan diri dari
ancaman pedang yaug datang dari depan, menyusul mana genta Tui hun-li'iig
dia tangkiskan serangan lain.
"Tring!"' dengan sempoyongan Tui- hong kiam Hoan Kiat tergetar mundur lima-
enem langkah, untung tak sampai terjungkal, kendatipun begitu tangannya
terasa panas kesemutan, hampir saja pedangnya terlepas dari genggaman.
Suma Keng tertawa, genta maut diguncang lebih kencang dan menimbulkan
irama sadis yang memekak telinga, dengan jurus Ceng leng-keng-liong (getaran
genta mengejutkan naga) dia memburu ke depan dan langsung menghantam
kepala Tui-hong kiam. Serangan gencar itu tak mungkin bisa dihindari oleh Hoan
Kiat, sedangkan kedua orang saudaranya jauh tertinggal di belakang, tampaknya
jago kedua keuarga Hoan itu akan mati di tangan lawan . .Untung Hoan Soh-ing
berpaling tepat pada waktunya, ketika dilihatnya maut mengincar Jiko-nya, ia
menjerit kaget sambil melompat maju, ke dua telapak tangannya langsung
menahas ke tubuh musuh,
Bersamaan itu pula, Hoan Cun seria Hoan Ing juga membentak keras, pedang
mereka menyergap terentak ke depan, yang satu menusuk iga kiri sedang yang
hia menusuk punggung Suma Keng.
Mendadak genta Suma Keng menekan ke bawah, Hoan Kiat bersuara tertahan,
dia masih sempat mendak ke bawah untuk menghindar, namun tidak urung ia
merasakan pundak kanan se akan2 kejatuhan martil seberat ribuan kati,
sakitnya tidak kepalang, kontan ia terguling hingga jauh ke sana.
Selesai menghajar Tui-hong-kiam, Suma Keng tarik kembali gentanya dan
menangkis kedua pedang yang menyergap tiba dari belakang, "Tring,
Tring . . . !” getaran keras mengguncang pergi kedua pedang lawan.
Bukan saja sergapan mereka gagal, Hoan Cun dau Hoan Ing sampai tergetar
mundur dengaa sempoyongan.
Suma Keng memang lihay, setelah melukai Hoan Kiat dan menghindari
sergapan Hoan Cun dan Hoan Ing iapun sempat putar badan dan
menghindarkan pukulan Hoan Soh-ing yang dahsyat.
Ia bergolak tertawa, telapak tangannya segera mencengkeram dada Hoan Soh-
ing. Kepandaian Hoan Soh ing paling lemah, kalau ketiga kakaknya tak mampu
mengimbangi keganasan Tui-hun leng, apalagi cuma dia sendiri. Ketika
serangannya mengenai tempat kosong, tahu2 suara genta yang memekak
telinga berdentang di sisi telinganya, sebelum ia bertindak sesuatu,
cengkeraman musuh telah tiba di depan dada. Pucat wajahnya, gadis itu
menjerit kaget dan tak tahu apa yang harus dilakukan.
"Hei, kunyuk she Suma! Kau berani mengganas terhadap seorang anak dara?
Cepat hentikan perbuatanmu itu!" tiba2 bentakan nyaring menggema dari
kejauhan, walaupun suara itu tidak terlampau keras, namun setiap katanya
kedengaran dengan jelas. Suma Keng terperanjat, cepat ia tarik kembali,
serangannya dan berpaling. Sebelum mengetahui siapa yang bersuara itu tiba2
sesosok tubuh yang tinggi besar menerjang tiba di depannya, cepat Suma Keng
menahan dengan genta mautnya. Ketika orang itu dapat berdiri, ia baru tahu
orang ini adalah kawan sendiri, yakni Tok-kah-hui mo Li Ki Tok-kah-hui-mo yang
kosen itu berada dalam keadaan payah, muka pucat, bibir terkatup rapat,
tampaknya menderita luka dalam yang cukup parah, kejadian ini sangat
membingungkan Suma Keng sehingga untuk sesaat ia berdiri dengan
melenggong. !Aa, masa rekanku ini dipukul keok oleh pemuda ingusan itu?" pikir
Suma Keng dengan heran betapapun ia tak perciya dengan keajaiban demikian.
Cepat ia pandang pemuda itu, dilihatnya Tian Pek berdiri dengan mata
terbelalak, sinar matanya mencorong terang.
Suma Keng terperanjat, sekarang ia baru percaya tenaga dalam yang dimiliki
anak muda itu sudah mencapai puncaknya, sebab hanya orang memiliki
Lwekang tinggi saja yang mempunyai sinar mata setajam itu. Kendatipun
demikian, ia tak percaya kalau Tok-kah-hui-mo Li Ki yang kosen, telah dikalahkan
oleh pemuda itu. Sebenarnya apa yang terjadi? Kiranya Tian Pek kian lama kian
tertarik oleh kesaktian serta keampuhan serangan Tok-kah-hui-mo hingga ia
lupa melancarkan serangan balasan sebaliknya hanya mengawasi saja setiap
serangan musuh. Dalam keadaan begitu, teatu saja Tok-kah-hui-mo tak mengira
kalau pihak musuh lagi menyadap kepandaian silatnya, dia merasa cara
bertempur Tian Pek belum pernah dialaminya selama puluhan tahun mi.
Makhluk tua itu berpengalaman luas, ia menjadi heran dan curiga mengapa
setiap serangan selalu dipat dihindarkan lawan. Lama kelamaan, akhirnya
diketahui juga, rupanya pihak musuh sedang menyadap ilmu silatnya tanpa
disadarinya, tentu saja kejadian ini membangkitkan marahnya. "Kurangajarl"
pikirnya, "rupanya kau sedang menyadap ilmu silatku, sialan! Memangnya aku
nenek moyangmu? Tampaknya kalau tidak kuberi hajaran setimpal kepadanya,
aku bakal menderita ke rugian besar!"
Karena penasaran bercampur mendongkol, Tok-kah-hui-mo Li Ki segera
menghantam muka anak muda itu dengan jurus Kay-bun-kian-sau (buka pintu
memandang bukit), suatu jurus serangan jarak dekat yang lihay. Cepat Tian Pek
berkelit ke samping sehingga mukanya tak sampai termakan oleh serangan iblis
tua itu. Walau begitu, tajam juga angin pukulan itu, Tian Pek merasa pipi rada
sakit, ia tertegun dan tak menduga kalau serangan tersebut hanya pancingan
belaka.
Baru saja Tian Pek mengegos ke samping, iblis tua itu putar badan secepat kilat,
segera ia menjotos Ciang-ki-hiat di sisi telinga kiri Tian Pek, Cepat dan ganas
sekali serangan ini, hampir saja Tian Pek tak mampu menghindar, sedapat nya
ia merida k ke bawah. "Hahaha .... robohlah kau sekarang .... " seru Tok-kah-hui-
mo sambil bergelak, berbareng telapak tangannya membacok ke dada Tiau Pek.
Bukan saja Tok-kah-hui-mo sendiri yakin serangan itu akan mengenai
sasaranunyu, kawanan jago lainpun percaya anak muda itu tak bakal lolos dari
maut. Tian Pek sendiripun lerkesiap, baru saja ia menunduk, desiran angin tajam
menyambar lewat di atas kepalanya, menyusul pukulan yang dahsyat juga
menggulung ke arah dadanya. Cepat Tian Pek merangkap telapak tangannya ke
depan dada, kali ini dia menangkis dengan jurus Hud-co-jamsian (Budha suci
memberi hormat) suatu geraksn dari Thian-hud-ciang yang tangguh. "Duk!"
benturan keras terjadi, Tian Pek berdiri dengan badan bergetar keras, sebaliknya
Tok-kah hui-mo terpental sejauh enam-tujuh langkah ke belakang.
Lantaran iblis tua itu cuma berkaki satu, wataknya juga tidak mau pakai tongkat,
kalau berjalan hanya main loncat saja, maka getaran pukulan Tian Pek ini
membuatnya ter-huyung2 sampai di depan Suma Keng, kalau tidak dipegang
rekannya ini pasti dia terguling ke tanah.
Tok-kah-hui-mo menjadi malu, apalagi peristiwa ini berlangsung di depan sang
Cengcu dari Pah-to-san-ceng, ia menjadi kalap, dengan menggeram gusar ia
hendak menerjang pula. Cepat Tui-hun-leng Suma Keng merintangi rekannya,
lalu alihkan pandangnya ke arah hutan di depan sana, mukanya yang semula
diliputi rasa penasaran kini berubah jadi pucat dan penuh rasa kejut dan
takut.
Tanpa terasa Tok-kah-hui-mo ikut memandang ke sana, maka tertampaklah
seorang tukang loak kelilingan dengan menunggang keledai muncul dari hutan
sana. Tukang loak itu sudah tua, rambut maupun alis matanya sudah putih,
jenggot kambingnya juga putih perak, tampaknya umurnya sudah delapan
sembilan puluh tahunan, badan knrus kecil dan mukanya penuh keriput, tapi
sorot matanya mencorong terang menggidikkan orang. Dia memakai baju dan
celana satin putih, sepatu kain dan kaos kaki warna putih pula, rambutnya yang
telah beruban diikat dengan benang merah sehingga menjadi kuncir kecil.
Dengan tenangnya kakek itu duduk di atas keledai kecil, beberapa tumpuk
kain termuat di belakang punggung binatang itu, sambil ayun cambuk ia
manghalau keledainya agar berlari lebih cepat. Tapi keledai itu tak mau maju ke,
depan,-malahan menyepak dan munbur ke belakang, mungkin takut pada orang
yang berkerumun di atas bukit hingga tak berani maju ke depan.
Melihat keledainya tak mau maju, kakek itu tampak gelisah, ia membentak dan
menyabat dengan cambuknya. Keledai kecil itu letap membangkang, malahan
berpekik keras, meski badanya cuma lebih besar sedikit daripada anjing, tapi
suaranya keras menggema. "Binatang sialan!" tukang loak itu raenggerutus
"kenapa tak mau jalan? Memangnya takut di situ banyak orang.?" Ia cambuki
keledai itu, lalu menggerutu pula: "Keledai busuk, kakek masih ada urusan
penting, tahu? Jika kau tidak lekas lari mungkin urusan bisa runyam!"
Munculnya kakek tukang loak ini membuat muka kedua manusia cacat, yaitu
Suma Keng dan Li Ki menjadi pucat dan berkeringat dingin, diam2 Suma Keng
berpikir: "Tak aneh kalau aku merasa suara orang itu sudah kukenal, ternyata
memang dia ini orangnya! Wah, aku benar2 lagi sial, kenapa bisa bertemu
dengan dia di sini. Tok-kah-hui-mo tak kalah kagetnya, malahan boleh dibilang
jauh melebihi Tui-hun-leng, iapun sedang berpikir: "Habislah riwayatku sekali ini,
aku pasti akan dibuat lebih kehilangan muka .
Bukan saja sepasang manusia cacat dari luar perbatasan ini dibikin ketakutan,
malahan air muka belasan jago lihay dari Pah-to-san-ceng serta Ti-seng-jiu
sendiripun berubah hebat. Ti-seng-jiu Buyung Ham adalah tokoh keluarga
persilatan terkemuka di dunia persilatan dengan anak buah beratus orang,
disegani dan dihormati, walau begitu air mukanya juga menunjuk rasa jeri pada
tukang loak tua ini, hal ini boleh dibilang kejadian aneh. Tian Pek segera berpikir:
"Entah siapa kakek ini? Rasanya sudah beberapa kali kubertemu dengan dia di
tengah jalan semenjak aku mengawal barang tempo hari, jelas pekerjaannya
bukan cuma menjual kain, siapa tahu kalau diapun tokoh silat yang lihay? Kalau
tidak, tak mungkin ia selalu muncul di tempat yang banyak jago silatnya . . “
Selagi Tian Pek keheranan, tiba2 keledai kecil yang ditumpangi kakek itu kabnr
ke depan dengan kencangnya, arah yang dituju tak lain adalah tempat
berkerumunnya para jago Pak to san ceng.
Kakek tukang loak itu tampak panik, dengan kelabakan berteriak keras; 'Waduh,
saudara sekalian, teman sekampung, bantulah aku! Wah, celaka. . . . keledaiku
kaget dan kesetanan! O tolong.. . aku bisa terbanting ke tanah. Wah, celaka. .
habislah riwayatku......"
Begitulah kakek itu kerepotan seolah2 benar2 akan terjatuh dari punggung
keledai. Cepat sekali lari keledai itu, bagaikan terbang saja binatang itu
membedal dan menerjang kerumunan orang banyak Tak seorangpun yang
berani mengalangi larinya keledai itu, malahan mereka pada menyingkir jauh2
"Aduh, kenapa tidak memberi pertolongan?" kembali kakek itu berteriak kaget.
"Apa kalian mau menyaksikan kakek terbanting mampus? Tolong. ..- kenapa hati
kalian begitu kejam. O.....hati kalian memang busuk, kejam......."
Tiba2 ia menjerit kaget lagi, badannya yang duduk di atas punggung keledai
merosot ke bawah dan tampaknya ia bakal terlempar jatuh ke tanah. Segera Ti-
seng-jiu Buyung Ham maju ke depan, ia memberi hormat dan menyapa dengan
sikap munduk2: "Bukankah engkau orang tua ini Sin-lu tiat tau (keledai sakti
peluru baja) Tang locianpwe? Wan-pwe Buyung Ham menyampaikan salam
hormat padamu!"
Setelah disapa, kakek itu mendadak tertawa cekikikan, aneh juga, bukan saja
keledai kecil itu lantas berhenti, malahan berhentinya persis di depan Ti-seng-
jiu, si kakek masih duduk tenang di atas keledai, se-akan2 tak pernah terjadi
sesuatu peristiwa apapun. Mendengar ucapan Buyung Ham tadi, air muka para
hadirin seketikapun berubah hebat.
Waktu kakek tukang loak ini muncul tidi, yang terkesiap hanya tokoh2 yang tua
saja, sedangkan yang lebih muda tetap bersikap tenang, sebab mereka tak kenal
siapakah kakek ini. Lain halnya sekarang, setelah Buyung cengcu menyapa, muka
semua orang lantas tahu kalau kakek itu tak lain adalah Sin-lutiat-tau Tang Cian-
li yang sudah tersohor sejak lima puluh tahun yang lalu, kontan suasana menjadi
sepi, semua orang tak berani bersuara. Asal-usul tokoh lihay ini jarang diketahui
umum, orang hanya tahu jago tua ini bukan saja lihay ilmu silatnya,
kecerdikannya juga luar biasa. Konon lengan kiri Suma Keng dan kaki kanan Li Ki
adalah dikutungi Sin lu-tiat-tan Tang Cian-ll.
Satelah peristiwa tersebut, Tui-hun-leng Suma Keng serta Tok-kah-hui-mo Li Ki
pulang dan melaporkan musibah yang menimpa mereka kepada gurunya
masing2
Tentu saja dalam laporan tersebut mereka merahasiakan perbuatan ganas yang
mereka lakukan, mereka hanya mengisahkan bagaimana anggota badan mereka
dikutungi Sin-lu-tist-tan dan bagaimana pula musnh menghina nama guru
mereka, tentu pula di sana-sini diberi tambahan bumbu, hal ini mengakibatkan
guru mereka judi murka dan segera masuk ke Tionggoan untuk melakukan
pembalasan dendam.
Guru kedua manusia cacat itu terhitung jago kelas atas pada jaman itu, tapi
mereka sadar akan kekuatan sendiri masih belum mampu merobohkan Sin-lu-
tiat tan. Karena itulah mereka lantas mengundang pentolan iblis dari kalangan
hitam untuk bersama2 menghadapi tokoh lihay itu, jumlah mereka mencapai
belasan orang banyaknya. Merekapun membuat tantangan kepada Sin-lu tiat-
tan untuk beradu kekuatan di puncak Tay-heng san pada hari Tiong yang.
Pertandingan yang berlangsung di puncak Ki-ko-hong itu merupakan
pertempuran paling besar bagi dunia persilatan waktu itu, hampir seluruh umat
persilatan dari delapan penjuru dunia sama berkumpul di atas gunung itu. Sin-
lu-tiat-tan ternyata sangat lihay, dalam per tarungan itu bukan saja kedua guru
dari Tui-hun-leng dan Tok-kah-hui-mo berhasil dirobohkan, malahan jago lihay
dari kalangan Hek-to yang hadirpun mati atau terluka parah oleh ketiga biji
peluru sakti dan ke-64 jurus pukulan Ki-heng-ciang si kakek penunggang keledai,
yang lebih hebat lagi ternyata tak seorangpun di antara lawannya yang mampu
bertahan sampai sepuluh gebrakan.
Sejak peristiwa itu, nama besar Sin-lu-tiat-tan makin menggetarkan Kangouw
tapi sejak itu pula jejaknya lenyap tak berbekas. Sungguh tak nyana Sin-lu-tiat-
tan Tang Cian-h yang maha lihay itu kini muncul kembali di hutan sini, tidak
heran kalau semua orang dibikin kaget Begitulah si kakek tukang loak itu sedang
tertawa ter-bahak2, dia melirik sekitarnya, lalu berkala kepada Ti-seng-jiu:
"Wah, kau ,salah lihat, jangan kira aku menunggang keledai maka kau lantas
anggap aku adalah si keledai sakti. Kalian sebut aku peluru baja? Hahaha, yang
benar aku cuma peluru tahu, aku paling takut melihat orang berkelahi ......hihihi,
jangan begitu ah!"
Perlahan ia jalankan keledainya menghampiri keempat bersaudara keluarga
Hoan, waktu itu Hoan Can, Hoan Ing dan Hoan Soh-ing sedang sibuk menolong
Hoan Kiat yang teriuka oleh pukulan Tui-hun-leng.
Mo-in-kiani Hoan Ing memapah tubuh saudara nya yang luka, Hoan Cun
mengurut jalan darah penting disekitar badannya, sedangkan Hoan Soh-ing
memberi minum obat mujarab Kakek aneh itu melihat sekejap ke arah Hoan
Kiat, kemudian omelnya: "Coba lihat, mengerikan tidak kalau suka berkelahi,
untung kalau cuma terluka, jika mampus apa tidak konyol?"
Lalu ia pandang Suma Keng dan Li Ki, tegurnya lagi: "Hayo mengaku, siapa yang
melukai bocah ini?"
Pucat wajah kedua manusia cacat itu. mereka ketakutan setengah mati sampai
badanpun menggigil, mereka tak berani bohong, tapi juga takut untuk mengaku,
yang dapat dilakukan kedua orang itu hanya saling pandang dengan inenyengir.
Dalam pada itu sorot mata si kakek lantas beralih ke arah Tian Pek, tiba2 ia
tertawa lebar.
Tiau Pek tak tahu kenapa kakek tukang loak ini tertawa padanya, sebab tiap kali
mereka berjumpa di tengah jalan, kakek itu selalu tertawa lebar padanya. "Eh,
engkoh cilik!" tiba2 kekek itu menegur, "agaknya kita memang ada jodoh, ke
mana pun kita selalu bertemu!"
"Memang kejadian yang sangat kebetulan!" ja wab Tian Pek sambil tersenyum,
"ke mana kupergi, di sitn pula Losianseng juga berada!" Kakek itu tertawa, ia
turun dari keledainya dan menghampiri tiga bersaudara keluarga Hoan, tiba2 ia
tuding bahu kanan Hoan Kiat dan berkata: "Bahu kanan ini terluka persis pada
jalan darah Peng-houg-hiatnya, kalau tidak cepat diobati, bisa jadi tubuhnya
akan Poau sui (mati setengah bagian)."
Waktu itu Hoan Cun sedang kepayahan dan keringat membasahi tubuhnya, dia
sudah berusaha untuk membebaskan jalan darah adiknya yang tertutuk, namun
usahanya selalu gagal, ini membuatnya gelisah dan panik. Mendadak kakek itu
menuding dengan jari tangannya, Hoan Cun berdekatan dengan kakek itu. ia
merasakan angin dingin mendesir lewat di sisi tubuhnya, ini membuatnya
terkejut.
Untung pemuda itu tidak bertindak gegebah, sebab segera ingat kepandaian itu
sangat mirip de ngan ilmu Leng-gong-hut-hia. (membebaskan jalan darah lewat
kebasan dari jauh) yang jarang terlihat. Tiba2 Hoan Kiat bersin sekali lalu sadar
kembali dari pingsannya. Baru sekarang Hoan Cun bergirang, pikirnya: "Wah,
untung aku tidak bertindak gegabah, kalau tidak, entah bagaimana jadinya?"
Di samping itu iapun sangat kagum atas ilmu sakti si kakek, setengah harian dia
berusaha membebaskan jalan darah adiknya, namun usahanya sia2, tak tahunya
kakek tua itu cuma sekali tuding, lalu semuanya jadi beres. Setelah kakek itu
turun dari keledainya tadi, Tian Pek jadi tertegun, ia lihat sebilah pedang ter
gantung di pelana keledai itu, karena tadi tertutup oleh kaki si kakek, maka ia
tidak melihatnya, sekarang setelah kakek itu turun dari keledainya pedang
itupun tertampak jelas. Hati tergetar seketika. Pedang itu tidak asing lagi
baginva, sarung kulit ikan hiu dengan kemala hijau melapisi gagang pe dang,
bukankah pedang itu adalah Pedang Hijau pusaka warisan ayahnya yaug dibawa
kabur orang ketika sedang dilihat An-lok Kongcu tempo hari.
Tian Pek tak dapat menguasai emosinya lagi, terutama karena pedang itu
penting sekali artinya baginya, tanpa pikir ia lantas melompat ke sana dan
menyambar pedang itu. "Losianseng. pedang ini kan milikku ....?" berbareng
iapun berteriak. Gerak tubuh Tian Pek sangat cepat, tapi kakek itu ternyata lebih
cepat, sebelum anak muda itu mencapai sasarannya, kakek tadi sudah lompat
kembali ke atas punggung keledainya sambil berseru: "Eeeh, engkoh cilik, apaan
kau ini? Kenapa kau hendak rampas pedang-pusakaku?"
"Hm," Tian Pek menjengek, bentaknya marah: "pedang mi jelas milikku,
sepanjang jalan kau selalu mengikuti jejakku, rupanya kau memang ingin me-
rampas pedang iui. Sekarang setelah kau mendapatkan, kau malah sengaja
dipamerkan di hadapanku?" Sambil berteriak marah Tian Pek terus menge jar,
namun kakek itu tidak tinggal diam. dia mem-bedal keledainya dan kabur dari
situ. Kali ini Tian Pek bertindak lebih cekatan, dia kuatir ketinggalan lagi, dengan
ilmu Pat-poh-kan sian (delapan langkah mengejar tonggeret) ia melayang ke
atas dan mendadak melontarkan pukulan dahsyat ke punggung kakek.
"Aduh mak, tolong!" kakek itu menjerit panik, tubuhnya tampak bergerak ke
sana kemari macam orang ketakutan dan akan terperosot. Tapi pukulan Tian
Pek ternyata mengenai tempat kosong.
"Tolong, tolong!" kakek itu menjerit. "Eng koh cilik ini mata gelap setelah
melihat barang pusaka. Wah, tolonglah aku engkoh cilik ini mau rebut barangku!
He, begitu banyak orang berkumpul di situ, kenapa tak seorangpun yang mau
membantu aku?"
"Hei, kakek, tidak perlu kau pura2 dungu dan berlagak edan!" bentak Tian Pek
dengan mendongkol, sambil mengejar ia lepaskan dua kali pukulan berantai.
Lalu ia mendamperat: "Bila kau tidak tanggalkan pedang pusaka itu, sampai ke
ujung langitpun Siauya akau mengejar terus!"
"Aduh! Tolong .... tolong....." tanpa berpaling lagi kakek itu kabur secepat
terbang. Betapa penasarannya Tian Pek meayaksikan tingkah laku kakek itu,
beberapa kali ia melancar kan serangan, tapi selalu mengenai tempat kosong,
tiap kali kakek itu goyangkan badannya ke sana ke mari dengan lagak orang
panik. Ketika Tian Pek menghajar pantat keledai itu, tapi juga tidak
mendatangkan hasil, sebab keledai itupun ber-jingkrak2 sehingga pukulannya
luput.
Dalam waktu singkat dua orang dan seekor keledai itu sudah berada puluhan
tombak jauhnya dari tempat semula, sebentar lagi mereka akan lenyap di balik
hutan sana. Beberapa jago Pah-to-san-ceng bermaksud mengejar anak muda itu,
tapi Ti-seng-jiu lantas menghalangi niat mereka itu.
Hanya sekejap saja Tian Pek dan kakek itu sudah makin jauh meninggalkan
terapat itu, akhirnya bayangan merekapun lenyap di balik pepohonan......Empat
lima puluh li sudah Tian Pek melakukan pengejaran di belakang kakek itu, tapi
mendadak ia kehilangan jejak kakek itu di balik hutan lebat sana.
j Siapakah sebenarnya tokoh aneh Sin
j lu tiat-tan Tang Cian li ini? Kawan atau
j lawan bagi Tian Pek ?
J Mengapa Pedang Hijau pusaka Tian
} Pek itu bisa berada pada orang tua ini ?
j Bacalah jilid ke - 7
Isi di luar tanggung - jawab Ferc. "PS", Semarang
AXD002
HIKMAH PEDANG HIJAU
(THE SWORDSMAN JOURNEY)
Karya : Gu Long
Diceritakan oleh : Gan KL
Edited : Lovecan
Jilid 7 : Manusia Mati Hidup dan Hidup Mati
Anehnya, walaupun kakek bersama keledainya hilang tak berbekas, akan
tetapi pedang pusaka hijau itu kelihatan tergantung di atas sebuah dahan pohon
siong yang tinggi.
Hampir saja Tian Pek tidak percaya pada pandangan sendiri, masa barang
yang telah hilang dan dikejar setengah mati, tahu2 tergantung di atas pohon
dengan begitu saja.
Tapi kenyataan memang begitu, pedang yang dibawa lari itu jelas2 berada di
atas pohon.
Tian Pek masih juga sangsi, ia kucek-kucek matanya dan menengadah lagi,
ternyata pedang mestika itu memang benar2 tergantung di dahan pohon.
Pedang itu tergantung pada ketinggian kurang lebih empat tombak dari
permukaan tanah, keadaan ini persis seperti kejadian tempo hari di mana Hui It-
tong juga menggantungkan kantong-kosongnya di pucuk pohon yang tinggi,
malahan sekarang pedang, tergantung terlebih tinggi.
Tapi Tian Pek sama sekali tidak berpikir, begitu melihat pedang tcrgantung di
dahan, dia segera meloncat ke atas.
Dengan gaya "capung hinggsp di tiang", ia jumpalitan di udara kemudian ia
sambar gagang pedang tersebut, lalu melayang turun kembali ke permukaan
tanah.
"Gerakan yang indah!" mendadak seoraug memuji dari belakang.
Terperanjat Tian Pek mendengar suara itu, ia sama sekali tidak menaruh
perhatian atas kehebatan Ginkangoya sendiri, yang diperhatikan hanyalah
pedang mestika itu, tak heran kalau kehadiran orang itu tidak diketahuinya.
Sudah dua kali pedang mestika itu dirampas orang, pengaaman pahit
membuat anak muda ini bertindak lebih waspada, dia kuatir pedang yang baru
saja diperoleb kembali akan dirampas orang lagi, maka begitu mencapai
permukaan tanah dia lantas melolos pedang itu.
"Cring", diiringi dentingan nyaring, cahaya hijau terpancar, begitu pedang itu
tercabut keluar, dia memutar pedangoya ke belakang dengan gerak Ya cian-pat-
hong (pertempuran malam di delapan penjuru), setelah membentuk satu
lingkaran baru pemuda itu megawasi sekitarnya dengan seksama.
Tapi apa yang kemudian terlihat olehnya hampir saja membuat anak muda
itu terkesiap, bulu romanya pada berdiri.
Kiranya dua orang manusia yang berdiri di belakang Tian Pek ini adalah
makhluk aneh yang bermuka pucat seperti mayat, mereka mengenakan baju
kain belacu warna putih dengan ikat pinggang tali rami, rambutnya panjang
terurai, mukanya kaku tanpa emosi.
Kemunculan mereka sama sekali tidak menimbulkan suara, se-akan2 arwah
gentayangan, tidak cuma begitu saja, dari tubuh kedua orang makhluk aneh
itupun menyiarkan hawa seram dan membuat orang jadi ngeri dan takut.
Sekalipun tatkala mana sang surya mencorong terang di langit, tak urung Tian
Pek merasa seram juga.
Yang lebih aneh lagi, muka kedua manusia ini ibarat pinang dibelah dua,
boleh dibilang sama sekali tak ada bedanya, bentuk pakaian yang mereka
kenakan juga sama, bila mereka muncul satu persatu tentu orang tak bisa
menebak mana si A dan mana si B.
Sementara Tian Pek masih berdiri terkesima, salah seorang dari manusia
aneh itu menyangir seram, mimik wajahnya sangat mengerikan, dikala tertawa
kulit pipinya sama sekali tak bergoyang hingga yang kelihatan hanyalah dua
baris giginya yang putih.
"Hayo bawa kemari!" seru manusia aneh itu sambil menjulurkan tangannya
ke depan.
Tian Pek mundur selangkah dan melintangkan pedang di depan dada, kali ini
ia sudah bulatkan tekad, betapapun juga pedang mestika itu tak boleh direbut
orang lagi, sekalipun untuk itu dia harud mengorbankan jiwanya.
"Aku tidak kenal dengan kalian berdua, apa yang kalian minta?" seru Tian
Pek. "Aku tidak mengerti apa maksud ucapanmu!"
'Hehehe . . hihihi. . . . !" kedua makhluk aneh itu tertawa aneh, seram suara
tertawanya hingga membuat siapa saja ysmg mendengar jadi bergidik-
Sesaat kemudian, salah seorang aneh itu menjawab: "Pertama, serahkan
pedang itu! Kedua, serahkan jiwamu. Untuk sederhanakan pekerjaan kami, lebih
baik serahkan dulu pedangmu, dengan demikian jika kau mati nanti kami tak
perlu bersusah payah untuk berjongkok menjemput pedang."
Hawa amarah membakar dada Tian Pek, alis matanya bekernyit dan mukanya
merah padam karena emosi, perkataan orang dirasakannya terlalu latah, masa
dirinya diremehkan secara begini?
Sungguh anak muda itu sangat mendongkol tanpa menghiraukan mati-
hidupnya lagi ia tertawa-katanya: "Sombong amat perkataan kalian berdua.
Jangan dikira aku Tian Pek jeri pada mu? Hm, sebutkan dulu siapa nama kalian,
selamanva aku tak pernah membunuh manusia tak bernama!"
Mendengar nama anak muda itu, mereka berdua saling berpandangan, air
mukanya yang kaku sedikit berubah, kemudian hampir berbareng mereka
berkata: "O. kau juga she Tian? Tidak bohong?"
"Sialan, memangnya aku suka memakai she orang lain?" Tian Pek membatin
di dalam hati.
Ia lantas mendengus, dengan angkuh menjawab: "Mungkin kalian berdua
sering memalsukan nama orang lain, makanya sekarang mcncurigai orang
lainpun menggunakan nama palsu."
Rupanya perkataan itu sangat menusuk perasaan kedua makhluk aneh ini.
satu diantaranya segera memperkenalkan diri: "Aku adalah Hoat-si-jin (orang
mati hidup)!"
"Dan aku Si-hoat-jin (orang hidup mati)!" sambung yang lain dengan cepat.
Kemudian hampir secara bersama kedua orang itu melanjutkan kata2nya:
"Kami berdua memang tak punya nama yang_asli, tapi bila nama julukan kami
sudah disebut, maka tiba pula saat ajalmu."
Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, mereka terus menerjang maju,
telapak tangan dan cakar yang dahsyat segera menyambar kepala Tian Pek.
Tian Pek terperanjat, cepat ia putar pedangnya melakukan perlawanan, untuk
mendesak mundur terjangan kedua orang aneh itu terpak&a dia harus
melancarkan lima enam jurus serangan dengan gencar.
Akhir2 ini sudah banyak jurus serangan ampuh yang dilihat Tian Pek dari
berbagai jago kosen, namun belum pernah ia jumpai serangan yang aneh dan
sakti seperti sekarang.
Serangan yang dilancarkan kedua orang itu tampaknya lambat, tapi ternyata
cepat luar biasa, sewaktu bergerak telapak tangan kelihatan lambat, tapi sampai
setengah jalan segera tubuh lawan di-cecar dengan serangan gencar. Sebaliknya
serangan itu bisa secepat kilat, tetapi sewaktu tiba di depan musuh, mendadak
berubah lagi menjadi lambat sekali.
Lambat atau cepatnya serangan mereka, Tian Pek tetap kewalahan, dia harus
menggunakan tiga sampai lima jurus untuk bisa memunahkan ancaman yang
datang, karena itulah baru dua-tiga gebrakan pertarungan itu berlangsung, Tian
Pek sudah dibikin kalang kabut dan terdesak hebat.
Ketenangan yang dimiliki anak muda itu kini jadi lenyap, ia tak dapat
melayani musuhnya seperti waktu berlangsungnya pertarungan melawan Tok
kah-hui-mo, iapun tak dapat menyadap jurus serangan lawan sebab serangan
yang dipakai kedua lawan-tidak teratur.
Bahwasanya ilmu silat yang dipelajari Tian Pek memang campur-aduk, ia
pernah melatih ilmu silat— nya sendiri selama belasan tahun dengan tekun, tapi
tiada guru pandai yang memberi petunjuk, karenanya jurus serangan yang
dipelajari waktu itupun beraneka ragam dan cuma iimu silat kembangan belaka.
Kemudian ia belajar Sim hoat (tenaga dalam) menurut catatan dalam kitab
Thian-hud-pit-kip, tenaga dalamnya memang mendapat kemajuan pesat,
matanya makin tajam dan pendengarannya hebat, bahkan boleh dikatakan
mendekati puncak kesempurnaan, tapi sayang dia kurang praktek dan tidak tahu
cara penggunaannya.
Sesudah beruntun melakukan pertarungan sengit melawan beberapa jago
lihay, hasil dari penyadapan tersebut dapatlah ia menggunakan beberapa jurus
serangan.
Tapi sekarang Tian Pek menghadapi kedua orang aneh yang kosen jelas dia
masih ketinggalan jauh sekali.
Belasan gebrakan baru lewat, Tian Pek lantas tercecar, setiap kali pedangnya
bermaksnd mengancam tubuh musuh, setiap kali pula ia harus menarik kembali
serangannya karena terdesak oleh angin pukulan musuh yang ampuh.
Lambat laun Tian Pek mulai kewalahan, ia tambah terperanjat melihat
kelihayan lawan, dalam waktu singkat dia merasa bayangan putih memenuhi
sekitarnya, serangan musuh se-olah2 datang dari segenap penjuru, ini membuat
matanya jadi ber-kunang2 dan kepala mulai pusing tujuh keliling.
Baik eepat atau lambat, serangan itu membawa desiran angin tajam, angin
pukulan itu dingin merasuk tulang. di manapun dia berpaling di situ terdapat
bavangan putih.
Tian Pek merasa disekitarnya dipenuhi bayangan musuh, makin lama
bayangan itu makin banyak, hanya sekejap mata kemudian seluruh gelanggang
telah dipenuhi bayangan musuh.
Tian Pek bukan orang bodoh, tentu saja dia paham darimana munculnya
begitu banyak bayangan musuh, ia pun tahu bayangan itu hanya suatu tipuan
belaka karena kecepatan gerak lawan, lama2 ia tak mampu lagi membedakan
bayangan mana yang asli dan mana yang tipuan.
Hanya satu hal yang dapat dikerjakan olehnya ketika itu, yakni memutar
pedang sedemikian rupa sebingga serangan musuh tak mampu menembus
pertahanannya.
Ilmu pedang Sam-cay-kiam-hoat yang dipahami Tian Pek adalah ilmu pedang
yang sangat umum, tapi di bawah permainan Tian Pek sekarang menjadi hebat
luar biasa, hal ini pertama disebabkan karena pedang yang dipakainya adalah
pedang mestika, kedua karena tenaga dalam yang dimilikinya sudah
memperoleh kemajuan yang pesat.
Oleh sebab itulah ilmu pedang Sam-cay-kiam-hoat yang sebenarnya amat
sederhana, dalam permainan anak muda itu menjadi hebat sekali, sinar tajam
tampak menggulung kesana-kemari ibarat ombak di tengah samudra. hawa
pedang yang dingin berembus menimbulkan suara mendengung bagaikan
guntur menggelegar.
Betapapun dua orang manusia aneh itu jadi terperanjat, ilmu silat yang
diyakinkan mereka adalah suatu ilmu pukulan yang dinamakan Tay-kek-ciang-gi-
li hun-ciang (pukulan dua unsur pembetot nyawa), bukan saja hebat dalam
serangan juga ampuh dalam kekuatan, jarang sekali orang bisa bertahan
sebanyak sepulah gebrakan dengan mereka, tapi kenyataannya sekarang, bukan
saja Tian Pek mampu bertahan sampai puluhan gebrakan, malahan untuk
merobohkannya juga sukar rasanya.
Hanya sekejap lima enam gebrakan kembali telah lewat.
"Orang mati bidup" masih bisa bersabar, sejurus demi sejurus dia menyerang
terus secara gencar. Sebaliknya "orang hidup mati" yang berangasan, lama2
menjadi habis sabarnya, ketika dilihatnya Tian Pek masih bertahan secara rapat
dan meyakinkan, ia bersuit nyaring, tiba2 dengan jurus Im-yang gi-liok (jalan
berbeda antara dunia dan akhirat) telapak tangan kirinya membabat ke depan,
menyusul telapak tangan kanan membacok bagaikan kampak ke atas kepala
musuh, dalam sekejap lima tempat jalan darah penting anak nmda itu sudah
terkurung oleh bayangan pukulannya.
Serangan itu sungguh ampuh, kontan Tian Pek merasakan kepalanya pusing
dan matanya berkunang-kunang, ia tak bisa membedakan lagi dar1 mana
munculnya serangan ampuh kedua lawannya.
Dalam keadaan demikian terpaksa dia mengembangkan permainan
pedangnya sedemikian rupa hingga jangankan angin pukulan, hujanpun
mungkin tak akan menembus pertahanannya itu, kini ia lebih mementingkan
keselamatan sendiri daripada melukai musuh, ia tidak memusingkan lagi
serangan musuh yang gencar dan dahsyat itu.
Keadaan anak muda ini sekarang ibaratnya orang buta menunggang kuda,
sekalipun kudanya sudah berada di tepi jurang, namun dia masih tidak
menyadari akan bahaya yang sedang menanti.
Mendadak "orang msti hidup" melihat sesuatu untaian yang tergantung di
gagang pedang mestika itu, hatinya tergetar, seperti tidak sengaja dia menarik
tubuh rekannya kebelakang hingga serangan maut yang sebenarnya hampir
bersarang di tubuh anak muda itu mengenai tempat kosong.
Selagi si "orang hidup mati" akan umbar rasa gusarnya, tahu2 si "orang mati
hidup" dengan cepat meraih benda yang tergantung di gagang pedang tadi,
menyusul ia lantas melompat mundur.
Tentu saja "orang hidup mati" tak tahu apa maksud rekannya, tapi ketika
dilihatnya "orang mati hidup" melompat mundur dari gelanggang, meski dengan
hati tak senang terpaksa iapun ikut melayang mundur dari situ.
Dengan mundurnya kedua orang itu, Tian Pek merasa daya tekanan yang
mengurungnya lantas berkurang, akhirnya bayangan putih yang memenuhi
sekitar gelanggangpun lenyap tak berbekas, dia tarik kembali pedangnya lalu
berdiri dengan pedang melintang di depan dada.
Dalam pada itu kantong kecil yang dirampas kedua orang aneh itu sudah
dibuka. mereka ambil keluar secomot rambut manusia, lalu saling pandang
sekejap kemudian rambut itu disodorkan ke depan Tian Pek sambil membentak:
"Apakah ini?"
Ttntu saja Tian Pek tahu gumpalan rambut itu adalah barang tinggalan
ayahnya, ia menjadi murka, dengan mata melotot dia melangkah muju seraya
membentak: "Kembalikan kepadaku! Darimana kalian msndapatkan benda ini?"
Kedua orang aneh itu tertegun, mereka tak menyangka secara tiba2 anak
muda itu bisa ber-ubah segalak itu, sambil mencibir mereka lantas buang
gumpalan rambut itu ke arah Tian Pek.
"Huh, memangnya benda mestika apa, ambil kembali!" jengek kedua orang
itu.
Lalu dari bungkusan itu mereka keluarkan pula seutas tali serat, mereka saling
pandang lagi sekejap, tanpa bicara mereka berseru ke arah Tian Pek dan
bertanya dengan sangsi: "Dan benda apa pula ini?"
"Tak usah banyak bicara, hayo kembalikan padaku!" teriak Tian Pek lagi
dengan penasaran.
Rupanya anak muda itu tak menyangka kalau bungkusan tersebut di peroleh
"orang mati hidup" dari gagang pedangnya. dia cuma heran darimana kedua itu
bisa mendapatkan barang peninggalan ayahnya itu, sebab dia masih ingat
barang2 itu dulu dicecerkan di sepanjang jaian oleh Hui It-tong.
"Jangan kalian bongkar isi kantong itu!" kembali anak muda itu berteriak.
"Semua itu milikku!"
Kalau ucapan itu digubris masih mendingan bukannya menuruti
permintaannya, kedua orang itu malahan makin cepat membongkar isi kantong
itu, sehabis melempar seutas serat tadi, mereka melemparkan pula sebiji gotri
baja dan sebiji kancing tembaga, semuanya dilemparkan kembali kepada Tian
Pek.
Akhirnya kedua orang aneh itu ambil keluar sebiji mata uang tembaga dari
kantong itu, tiba2 seperti kena dipagut ular berbisa mereka melonjak
kaget sambil meraung seperti orang kalap dan me-narik2 rambut sendiri.
Kedua orang itu benar2 seperti orang gila, menjerit dengan histeris, banyak
rambut mereka yang rontok dan beterbangan di udara.
Sekali ini giliran Tian Pek yang terkejut, sudah tentu ia tak tahu apa sebabnya
secara tiba2 kedua orang aneh itu menjadi gila.
Sesudah menjambak, mereka mulai memukuli dada sendiri, setelah itu
menghajar pula kepala sendiri dengan keras, teriakan sedih menggema dari
mulut kedua orang itu bagaikan lolongan serigala di tengah malam, kemudian
mereka saling berpelukan. kepala mereka saling diadu dengan kerasnya sampai
berbunyi: "Duuk-duuk", sekalipun sangat keras benturan itu, namun mereka
tidak merasakan sakit.
Tian Pek berdiri melongo, kebinguugan oleh tingkah laku orang yang aneh
itu, ia tak tahu sebab musababnya dan apa yang mesti dilakukannya.
Mendadak kedua orang aneh itu mendekatinya, yang satu pegang lengan
kirinya dan yang lain pegang lengan kanannya.
Tian Pek tidak menduga sama sekali, pula gerakan kedua orang aneh itu
memang cepat luar biasa, tahu2 ia sudah terpegang kencang oleh mereka.
Sungguh luar biasa kaget anak muda itu, ia merasa tulangnya amat sakit
seperti mau patah, tapi dia tetap membungkam, bertahan sekuatnya.
"Hayo jawab, apakah pedang ini Pedang Hijau Bu-ceng-pek-kiam?" teriak si
"orang mati hidup" yang berada di sebelah kanan dengan nada pedih.
"Lepaskan aku!" bukan menjawab, Tian Pek malahan berteriak marah.
"Apakah kau keturunan Tian In Thian. Tian tayhiap?" kembali "orang hidup
mati" yang ada di sebelah kiri menjerit dengan suara pilu.
Meskipun sedih dihati, Tian Pek tetap membungkam.
Tiba2 kedua orang itu lepaskan cengkeramannya dan serentak memberi
hormat kepada Tian Pek.
"O Thian memang punya mata, akhirnya kutemukan juga keturunan In jin
(tuan penolong)!" jerit "orang hidup mati" dengan berduka.
"O Thian tak punya mata, dendam kesumat Injin tetap tenggelam di lautan!"
sambut si "orang hidup mati'" tak kalah sedihnya. "Kemana kami mencari
pembunuh terkutuk itu?'
"Tidak!" tiba2 si "orang mati hidup" mendorong "orang hidup mati" sambil
memperlihatkan mata uang tembaga itu, serunya. "Saudaraku, coba lihat
apakah ini?"
"Orang hidup mati" memandang sekejap benda itu kemudian menangis ter-
gerung2, suaranya memilukan membuat orang ikut iba hati.
Selang sesaat kemudian, "orang hidup mati" berkeluh dengan sedihnya:
"Karena kematian Injin yang tidak jelas dan untuk menyelidiki jejak
pembunuhnya terpaksa kita hidup menderita lahir batin, kalau tak dapat
membalas budi, lebih baik mati daripada hidup. Karena itu kita mengasingkan
diri dan mengganti nama jadi Hoat-si jin dan Si-hoat jin. tapi kini setelah melihat
benda ini... ."
Sambil menuding mata uang tembaga di tangan si "orang mati hidup",
kembali "orang hidup mati" melanjutkan kata2nya dengan air mata bercucuran:
"Sekarang kita sudah tahu siapa pembunuhnya, sayang kita tak mampu balaskan
dendam bagi Injin, coba kemana mesti ditaruh muka kita ini?"
"Benar, saudaraku," keluh "orang mati hidup" pula sambil menangis, "kita
kehilangan muka, apalagi artinya hidup kita ini, lebih baik mati saja....!"
Kedua orang aneh itu lantas saling rangkul dan meng-gerung2, suaranya
memilukan hati ....
Tian Pek berdiri tercengang, tak tersangka olehnya manusia aneh yang lihay
bagaikan sukma gentayangan itu ternyata memiliki perasaan yang hangat dan
simpati, bahkan meuurut pembicaraan mereka jelas kedua orang ini adalah
sahabat karib mendiang ayahnya.
Rasa benci, dendam dan dongkol yang semula menyelimuti hatinya kini
tersapu lenyap, sebaliknya malah timbul suatu perasaan aneh, perasaan akrab
terhadap sanak keluarga sendiri.
Melihat mereka menangis sedih, serta merta Tian Pek menghiburnya dengan
suara lembut: "Kalian tak usah bersedih. Sekalipun sekarang kita tak bisa
membalas dendam, toh kesempatan di masa mendatang masih amat panjang.
Kalian tentu pernah mendengar pepatah kuno yang mengatakan: Balas dendam
bagi seorang kuncu, sepuluh tahun juga belum terhitung lambat. Asalkan kalian
punya tekad yang bulat, maka aku Tian Pek dan juga arwah ayah di alam baka
pun akan berterima kasih kepada kalian!"
Seandainya Tian Pek tidak menghibur, mungkin kedua orang aneh itu cuma
menangis saja, sekarang mendadak mereka malah ber-teriak2 dengan air mata
bercucuran: "O . . . .' kami malu terhadap sababat lama..kami malu terhadap
sahabat lama ....!"
Sembari berteriak kalap, si "orang mati hidup" lari mendekati sebatang pobon
yang cukup besar, kemudian membenturkan kepalanya pada batang pohon
tersebut sekerasnya.
Rupanya saking berdukauya dia hendak bunuh diri dengan membenturkan
kepalanya pada pobon.
Tian Pek menjadi kelabakan, dia ingm mencegah perbuatan nekat orang itu,
tapi di sebelah sini si "Manusia hidup mati" yang sedang menangis tiba2 juga
menghampiri pohon yang lain terus menumbukkan kepalanya.
"Kraak! Kraak!" bukan mereka yang roboh karena benturan itu, sebaliknya
pohon besar dan kuat itulah yang tertumbuk patah jadi dua bagian, daun
berguguran, pasir beterbangan, tumbanglah pohon itu.
Sungguh lucu, kedua manusia aneh itu gagal membunuh diri, sebaliknya
pohon yang diseruduknya malahan tumbang berantakan.
Diam2 Tian Pek menjulurkan lidahnya karena kagum bercampur kaget, bukan
sembarangan orang dapat berbuat demikian jika mereka tidak mempunyai
tenaga ribuan kati.
Kedua manusia aneh itu semakin penasaran, melihat maksud mereka untuk
membunuh diri tidak berhasil, mereka lantas menumbuk-numbukkan lagi
kepalanya pada pohon yang lain.
Gempuran keras menggelegar di sana-sini, suaranya memekak telinga, setiap
kali mereka menumbuk batang pohon, maka pohon besar itupun tumbang,
hanya sekejap saja sudah berpuluh batang pohon berserakan di tanah, keadaan
jadi porak-poranda dan mendatangkan rasa ngeri bagi yang melihat.
Untung di sekitar tempat itu tak ada orang lewat, kalau tidak pasti mereka
akan mengira di tempat itu baru terjadi gempa hebat, makanya pohon raksasa
itu sama bertumbangan.
Lambat laun kedua manusia aneh itu mulai sadar, tak mungkin mereka bisa
menghabisi jiwa sendiri dengan menumbukkan kepala pada batang pohon,
akhirnya sambil menangis ter-gerung2 mereka kabur tinggalkan tempat itu.
Cepat nian gerak tubuh kedua orang aneh itu, hanya sekejap saja mereka
sudah lenyap, hanya ter-dengar suara tangisan mereka yang memilukan hati
menggema di angkasa.
Tian Pek berdiri ter-mangu2 mengawasi berlalunya kedua orang itu. Sama
sekali tak terduga bahwa kedua orang aneh itu sangat perasa dan besar
emosinya....
Tian Pek menghela napas, pikirnya: "Dari pembicaraan mereka, tampaknya
kedua orang itu tahu siapa pembunuh ayabku, tapi kenapa mereka bilang tak
sanggup membalaskan dendam kematian ayah .,..?"
Mendadak teringat akan sesuatu, anak muda itu membanting kaki dan
berseru dengan gegetun: "Ai, aku memang tolol, kenapa tidak kutanyakan
kepada mereka siapakah orangnya ....?"
“He, bocah, kau lupa tanya siapa?" tiba2 seseorang menanggapi dari
belakang. "Memangnya kau sudah sinting, masa bicara sendirian di sini?"
Cepat Tian Pek berpaling, ia lihat orang itu tak lain adalah Lak jiu-tong-sin
(tangan keji berhati bocah) Hui It-tong.
Terkesiap hati anak muda itu, dahinya langsung berkerut. ia tahu orang tua
ini paling susah dilayani sebab dia tak kenal aturan baik dalam pembicaraan
maupun dalam perbuatan.
Sementara itu Hui It tong sedang tertawa ter-bahak2 tampaknya dia sangat
senang, sambil picingkan mata dia menggoda: "Eh, bocsh cilik, kenapa kau unjuk
muka tak senang, kau tidak suka berjumpa dengan aku si orang tua?"
Tian Pek tidak menggubrisnya.
Kembali orang tua itu berseloroh: "Tapi kita justeru bertemu lagi, tampaknya
kita memang ada jodoh, hibihi.... Coba lihat, bukankah kita bertemu lagi di
tempat yang sama dulu?"
Tian Pek tertegun. ia jadi teringat kembali bahwa hutan ini memang tempat
di mana ia berjumpa dengan Yan in ngo-pak-thian yang mau membegal barang
kawalannya dahulu. Tempatnya masih seperti sediakala, tapi selama lebih
sebulan ini entah sudah berapa banyak pengalaman aneh yang ditemuinya.
'Hihihi .. ..!" kembali Hui It-tong tertawa, "kalau memang kita ada jodoh, nah,
serahkan saja padaku!"
"Ini dia, penyakitnya kumat lagi!" demikian pikir Tian Pek di dalam hati, cepat
dia mundur selangkah sambil menyengir.
"Locianpwe!" ucapnya, "belum cukupkah engkau menggoda diriku? barangku
sudah kau cerai-beraikan di tanah, sekarang kau datang menggoda lagi.
Katakanlah! Apa yang kau kehendaki? Aku sudah tak punya barang apa2 lagi”
"Hihihi.. jangan kuatir nak, aku tak bakal mengincar barang rongsokanmu itu,
kali ini aku minta yang lain saja" sambil cekikikan Hui It-tong menunjuk pedang
pusaka di tangan anak muda itu. Lalu menyambung: "Coba, pedang itu saja
berikan kepadaku?"
Tian Pek naik darah, ia pikir: "Keparat, memangnya aku Tian Pek boleh
diperlakukan sesukamu."
Dengan mata melotot ia lantas berkata: "Locianpwe, tentunya kau tahu
pameo yang mengatakan: Senjata merupakan nyawa kedua bagi orang yang
belajar silat. Apakah engkau tidak merasa permintaanmu itu kelewat batas"
Seketika air muka si kakek berhati bocah itu berubah, ia membentak: "Kurang
ajar, tak usah banyak bicara, jawab saja, mau kau serahkan atau tidak?"
Tian Pek tertawa dingin: "Kalau tidak, lantas kau mau apa?" tantangnya
dengan angkuh.
Hawa napsu membunuh terlintas di wajah Hui It-tong.
Tian Pek mengira orang akan rebut pedangnya, cepat iapun menghimpun
tenaga dan bersiap siaga.
Tidak terduga setelah mengerling sekejap ke sana, tiba2 air muka kakek itu
berubah menjadi lembut, dia memandang batang pohon yang berserakan itu.
lalu sambil menuding batang pohon itu ia bertanya: "Bocah, apa yang terjadi di
sini? Mengapa pepohonan itu pada tumbang begini?"
Tian Peng sangat mendongkol, ia merasa di permainkan orang, setengah
harian dia merasa tegang tak tahunya orang itu malah bertanya secara santai,
ingatan lain cepat melintas dalam benaknya: "Kenapa aku mesti melayani orang
tua ini dan buang waktu percuma?"
Maka cepat dia menjawab: "Kalau Cianpwe tertarik pada kejadian ini, silakan
tetap tinggal d1 sini dan selidikilah sendiri, maaf aku tak bisa menemani lebih
lama, aku harus pergi karena ada urusan penting lainnya, selamat
tinggal. . . . . !"
Seiesai bicara, anak muda itu lantas angkat kaki.
"Eh, bocah, kau ingin kabur begitu saja?" terdengar suara jengekan, tahu2 Hui
It-tong mengadang lagi di depannya. "Lebih baik jangan main2 denganku, kalau
masih nekat, hm, itu namanya cari penyakit sendiri!"
"Baik, kalau Ciaupwe ingin main kekerasan, hayo seranglab, akan kuhadapi
sekarang," teriak Tian Pek ketus.
Hui It tong mendengus, lalu memandang lawannya dengan sikap menghina.
"Anak muda, apa kau bilang? Kau menantang aku untuk main kekerasan? Baik,
kau memang bernyali!"
Tian Pek tak gentar. dia busungkan dada dan menjawab: "Kalau Locianpwe
tidak keberatan, silakan beri petunjuk beberapa jurus kepadaku!"
Hui It tong tidak menanggapi, biji matanya mengerling liar dengan mimik
yang sukar diraba.
Tian Pek tahu Lak-ji-tong-sim Hui It-tong ini meski kelihatan angin2an, tapi
hatinya sangat keji dan banyak tipu akalnya, ia kuatir oring mendadak
menyerangnya maka diam2 ia bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Lak-jiu-tong-sim memang aneh orangnya. dikala ketegangan sudah mencapai
puncaknya dan pertaruanan segera akan berlangsung, tiba2 ia kendurkan
kembali sikap tegangnya, dia berpaling dan mengamati sesuatu di sana, se-olah2
dia telah lupa pada Tian Pek yang menantangnya bertempur barusan.
Segera ia melangkah kesana sambil bergumam-"Aneh. sungguh aneh, siapa
yang menulis di atas tanah ini?"
Sikap si kakek yang sebentar keras dan sebentar lunak itu membuat Tian Pek
juga sebentar tegang dan sebentar kendur, anak muda itu menjadi serba
runyam.
Tian Pek tidak lagi gubris apa yang membuat heran Hui It-tong, sambil
menjinjing pedang dia terus berlalu keluar hutan dengan langkah lebar.
Diam2 Tian Pek sudah ambil keputusan apabila Hui It-tong berani mengalangi
jalan perginya lagi, maka dia akan lancarkan tusukan maut ke dada lawan
andaikan dada kakek itu harus ditembus ujung pedang juga ia takkan menyesal.
Di luar dugaan meski tahu kepergian anak muda itu, ternyata si kakek tidak
bagi mengalanginya. Malahan terdengar ia sedang membaca tulisan yang
tertera di atas tanah, cuma tulisan itu dibaca dengan ter-putus2 hingga sukar
dirangkai menjadi suatu kalimat yang utuh.
"Pembunuh.. ayah. , . , berdiam .. . Kimleng . .kekuasaannya. . kolong
langit..jangan bertindak gegabah. . . . . Lu. . Tan. . " demikian terdengar Hui It
tong sedang membaca tulisan itu.
Sampai berepa kali tulisan itu dibaca ulang. tapi tetap kabur artinya, lama2
kakek itu jadi jengkel dan mencak-mencak gusar: "Sialan, tulisan apa ini ... . tak
keruan seperti kentut anjing . . kunyuk !"
Tian Pek terkesiap mendengar ocehan itu pikirnya: "Ai, bukankah tulisan itu
ditulis oleh si kakek penunggang keledai? Dia tentu bsrmaksud memberi
petunjuk kepadaku tentang jejak pembunuh ayahku?"
Cepat anak muda itu putar balik dan lari menghampiri Hui It-tong, tapi
sayang, kedatangannya terlambat sejenak. sambil mencaci maki kalang kabut
kakek itu telah menghapus tulisan di tanah itu dengan telapak kakinya.
"Locianpwe, jangan kau hapus tulisan itu!'' pinta Tian Pek dengan gelisah sambil
memburu ke sana.
Tapi Hui It-tong telah menghapus semua tulisan tadi rata dengan tanah,
kemudian dengan mata mendelik ia tatap anak muda itu.
"Anak muda, kau mau apa?" teriaknya dengan marah. "Apakah kau yang
tinggalkan tulisan ini? Sungguh tak becus kau menulis, kalau dilihat kau
sudah dewasa, tak tahunya baru belajar menulis sekarang ini makanya tulisan di
tanah tadi sukar dibaca, corat-coret seperti cakar ayam!"
Tian Pek tak berminat melayani ocehan orang, cepat dia periksa permukaan
tanah, tapi tulisan di situ sudah lenyap.
Sungguh tidak kepalang menyesal Tian Pek, sambil banting kaki ia berseru:
"Ai, Locianpwe, kenapa kau selalu memusuhi aku? Apa kau tidak merasa
perbuatanmu itu kebangetan. . . . "
Lak jiu-tong-sim berkeplok senang karena melihat anak muda itu menggerutu
kalang kabut.
Dongkol sekali Tian Pek. dia menghela napas dan berpikir: "Kenapa aku mesti
layani si tua gila ini? Lebih baik cepat kutinggalkan tempat ini. Ai, tampaknya
kakek penunggang keledai itu memang berhasrat membantu aku, kalau tidak,
tak nanti ia tinggalkan pedangku dan meninggalkan tulisan, sayang tulisannya
sudah dihapus si tua gila itu. Tapi meski begitu, dari apa yang dibaca si gila tadi,
dari kata Kim-leng agaknya pembunuh ayahku berdiam di kota Lam-keng, apa
salahnya kalau kukunjungi kota tersebut sekalian mencari berita? Siapa tahu
kalau aku akan temukan sesuatu petunjuk yang penting artinya,
Berpikir sampai di sini, dia lantas putar badan dan hendak berltalu.
Tak terduga, Lak-jiu-tong-sim Hui It-tong kembali mengadang pula jalan
perginya.
"Hei, bocah busuk, mau ke mana kau?" teriaknya dengan marah, "Pedang itu
kan belum kau tinggalkan? Memangnya kau anggap gampang untuk kabur dari
sini?"
Hati Tian Pek menjadi panas, dia tak mau banyak bicara lagi, begitu orang itu
mengadang, dengan jurus Kiam-ci-thian-larn (pedang menunjuk langit selatan ),
langsung dia menusuk jalan darah Bi-sim-hiat di dahi kakek she Hui itu.
"Bagus!!" teriak Hui It-tong.
Ia mengegos ke samping untuk menghindarkan ujung pedang anak muda itu,
kemudian ia mendesak maju ke depan, tangan kiri menjulur untuk
mencengkeraram urat nadi tangan kanan Tian Pek, gerakan yang dipakai adalah
ilmu "merampas senjata dengan bertangan kosong,"
Tidak sampai di situ saja. berbareng tangan kanannya membabat dada kiri si
anak muda.
Lak-jiu-tong-sim memang lihay, nama-besarnya bukan omong kosong belaka,
meski baru satu gebrakan, jurus serangan yang dipakai ternyata tangguh dan
sukar diraba ke mana arahnya.
Terperanjat Tian Pek, tak disangkanya kalau ilmu tangan kosong Hui It-tong
sanggup digunakan untuk melayani serangan pedangnya malah orang tua itu
terus mendesak.
Tian Pek jadi panik, sebab serangannya sudah dilancarkan setengah jalan,
untuk ditarik kembali jelas tak mungkin, padahal ancaman musuh telah di depan
mata. Cepat pcrgelangan tangan kanannya ditekan ke bawah, menyusul ia
mengipatkan tangannya ke samping.
Serangan tepat memang bisa dihindarkan, namun terserempet juga
pergelangan tangannya dan sakitnya tidak kepalang, separoh badannya
kesemutan dan hampir saja pedangnya terlepas dari genggaman.
Untung cengkeraman musuh tak kena telak namun pukulan lain yang
dilancarkan Hui It-tog mengarah dadanya telah tiba pula, kali ini Tian Pek tak
bisa berkelit lagi.
Dalam keadaan kepepet, mau-tak-mau Tian Pek menangkis dengan tangan
kirinya, "plak", benturan keras terjadi, kedua orang sama2 tergetar mundur
beberapa langkah.
Walaupun pertarungan berlangsung dari jarak dekat dan keduanya tidak
memakai tenaga penuh. akan tetapi siapapnn tidak memperoleh sesuatu
keuntungan.
Bagi Tian Pek kejadian yang berlangsung barusan tidak terasa seberapa
hebat, tapi bagi Lak-jiu-iong-sim yang angkuh, ia tercengang melihat anak muda
itu sanggup menerima serangannya dengan keras-lawan-keras, iapun heran
karena pemuda yang diketahui lemah pada sebulan yang lalu tahu-tahu muncul
kembali dengan kekuatan yang luar biasa, kejadian ini dianggapnya sebagai
sesuatu yang tidak masuk akal.
"Bocah keparat, engkau memang hebat, tak ku-sangka kau masih punya ilmu
simpanan!" teriak Hui It-tong dengan mata melotot dan alis bekernyit. "Sambut
lagi pukulan ini!"
Habis ucapannya telapak tangannya lantas menyodok ke depan dengan
mengerahkan delapan bagian tenaga saktinya.
Nama besar Lak-jiu-tong-sim memang bukan nama kosong, angin pukulan
yang terpancar dari telapak tangannya sangat mengejutkan.
Tian Pek semakin yakin pada kekuatan sendiri setelah berhasil mengimbangi
kekuatan lawan dalam bentrokan pertama tadi, tatkala dilihatnya Hui It tong
menyerang lagi dengen dahsyat, cepat ia pindahkan pedang ke tangan kiri, lalu
dengan telapak tangan kanan dia sambut pukulan lawan dengan keras lawan
keras.
"Blang!!" benturan dahsyat tak dapat dicegah lagi, debu pasir beterbangan.
suasana terasa mengerikan sekali.
Kali ini Tian Pek cuma merasakan tubuhnya bergetar keras, sedang badan
sama sekali tak bergeser dari tempat semula. Sebaliknya Lak-jiu-tong-sim Hui It-
tong beruntun tergetar mundur lima-enam langkah dengan sempoyongan, habis
itu baru bisa berdiri tegak.
Betapa kejut Hui It-tong menyaksikan kedahsyatan tenaga anak muda itu,
sudah belasan tahun dia mengembara di dunia persilatan tanpa tandingan, siapa
tahu kali ini dia mesti menelan pil pahit di tangan seorang pemuda ingusan,
bukan saja pukulannya tak mempan, malahan ia sendiri yang kena tergetar ke
belakang, kalau tidak mengalaminya sendiri munkin sampai matipun dia tak
percaya.
Bukankah satu bulan yang lalu merekapun bertemu di sini? Ia masih ingat
ilmu silat pemuda itu biasa2 saja kalau tak mau dikatakan rendah sekali tapi apa
yang terjadi sekarang? Bukan saja ilmu silat-nya jadi lihay, malahan Lwekangnya
mendadak menjadi kuat berpuluh kali lipat.
Watak Hui It-tong memang tinggi hati dan suka meremehkan orang lain,
bahwa dia sampai tergetar mundur oleh seorang pemuda ingusan, bila berita ini
tersiar, maka nananya pasti akan runtuh habis2an.
Terbayang hal itu, Hui It-tong marah bercampur kaget, matanya melotot,
rambut yang putih pada berdiri seperti landak, nyata tenaga dalamnya memang
luar biasa.
"Hehe boleh juga kau, sambut pula pukulanku ini!" teriaknya dengan gusar.
Kali ini dia tidak langsung menerjang, tapi maju beberapa langkah ke depan dan
pasang kuda2nya, setelah itu dia pejamkan mata dan meluruskan tangan ke
muka sambil menyalurkan tenaga dalamnya, lalu telapak tangan ditarik kembali
pelahan dan disilangkan di depan dada.
Dengan gerakan itu, hawa murninya menyebar ke seluruh tubuhnya, otot
dagingnya mengeras dan membesar, sementara ruas tulangnya gemertuk keras,
tampangnya beringas.
Keadaan kakek itu ibarat seekor ayam jago yang siap diadu, semua tenaganya
terhimpun, lalu dengan mata melotot dia berputar pelahan mencari kesempatan
untuk menubruk.
Diam2 Tian Pek terkejut. ia menyadari betapa gawatnya keadaan.
"Tampaknya tua bangka ini sudah nekat sehingga siap melakukan
pertarungan dengan sepenuh tenaga," demikian pikirnya. "Apa salahnya kalau
akupun manfaatkan kesempatan ini untuk mengukur sampai dimanakah tarap
tenaga dalam yang kumiliki?"
Pedang mestikanya lantas dimasukkan ke dalam sarungnya di punggung,
kemudian setelah pasang kuda2 dan memusatkan tenaga, pelahan ilmu sakti
"Thian hud-sin-kang" di kerahkan sepenuhnya.
Dalam pada itu Hui It-tong sudah selesai mempersiapkan diri, dia membuka
matanya, sinar mata yang tajam segera menyorot dengan seramnya,
"Anak muda, sudah siap kau?” tegur Hui It-tong dengan tertawa demi melihat
anak muda itu sedang menghimpun tenaga.
"Locianpwe tak perlu sungkan, silakan turun tangan!" jawab Tian Pek.
Baru habis ucapannya, secepat kilat Hui It-tong melepaskan pukulannya yang
dahsyat.
Hui It-tong memang licik, ia sengaja mengajak bicara anak muda itu hingga
hawa murni yang terhimpun jadi buyar, pada kesempatan itu pukulan dahsyat
lantas dilontarkan.
Tian Pek terkejut, cepat ia tutup mulut dan menggunakan sisa kekuatan yang
masih tertinggal untuk menyambut datangnya serangan.
"Blang", benturan dahsyat tak dapat dihindarkan, benturan hebat, Tian Pek
merasakan telinganya mendengung keras, matanya ber-kunang2 dan dadanya
jadi sesak, hampir saja ia tak sanggup berdiri tegak.
Malahan daya tekanan lawan yang maha kuat masih terus mengalir tiba tiada
habisnya bagaikan arus sungai Tiangkang yang tak ter-putus2. Tian Pek
menyadari keadaan yang berbahaya itu, bila dia tidak bertahan sekuatnya,
niscaya jiwanya akan amblas.
Tian Pek memang pemuda yang ulet, segera ia pusatkan tenaga dan
memantek kakinya di atas tanah, secepatnya tenaga yang masih ada dihimpun
pada kedua tangan, sambil mengertak gigi dia bertahan sekuat tenaga.
Pada mulanya Lak jiu tong-sim memang pandang enteng musuhnya, malah
boleh dibilang Tian Pek tak dipandang sebelah mata olehnya, tapi setelah terjadi
dua kali adu kekerasan, pikiran itu segera berubah, dia menyadari akan
kemampuan yang di-miliki lawannya dan tak berani pandang enteng lagi.
Maka untuk ketiga kalinya mereka beradu pukulan, ia bertindak licik, terlebih
dahulu dipancing-nya Tian Pek bersuara sehingga hawa murninya buyar, setelah
itu dia nenyerang dengan sekuat tenaga, ia pikir serangan ini pasti berhasil
membunuh anak muda itu atau paling sedikit melukainya, dengan begitu nama
baiknya dapat dipertahankan.
Maka segenap Lwekangnya yang dilatihnya selama puluhan tahun sekaligus
dilontarkan, katika dilihatnya Tian Pek sambut serangan itu dengan kekerasan,
diam2 ia bergirang di dalam hati.
"Bocah keparat, mampus kau kali ini," demikian ia membatin.
Siapa tahu tenaga pukulan Tian Pek mendadak terpancar tiba pula dan
bahkan balas mendesaknya.
Hui It-tong terperanjat, cepat ia pusatkan kembali pikirannya. sisa kekuatan
yang belum terpakai buru2 dikerahkan pula pada telapak tangannya.
Tian Pek tidak mau kalah, makin besar pihak lawan menekan, semakin keras
pula anak muda itu memberikan perlawanannya.
Suatu pertarungan adu tenaga dalampun ber-langsung dengan serunya,
kedua pihak sama2 bertahan dengan gigih, siapapun tak mau menyerah kalah
dengan begitu saja,
Jarak kedua orang itu cuma lima kaki. kuda2 mereka setengah berjongkok
dengan tangan lurus ke depan, empat telapak tangan saling menempel, bila
orang yang tak tahu duduknya perkara mungkin akan mengira kedua orang itu
sedang bermain sesuatu.
Tapi jika orang menghampiri tempat kejadian itu, maka terlihatlah betapa
tegangnya wajah kedua orang itu. Yang tua berdiri dengan mata melotot,
rambut sama berdiri seperti duri landak dan otot daging sama ber-kerut2.
Sebaliknya yang muda berdiri dengan muka merah dan mata melotot, bibir
terkatup rapat dan dengusan napas amat berat.
Tentu saja bagi jago silat yang berpengalaman segera akan tahu bahwa
mereka sedang saling adu tenaga dalam, suatu pertarungan yang paling
berbahaya di dunia persilatan.
Dalam keadaan mengadu tenaga dalam begitu tiada soal untung2an lagi,
apabila salah satu pihak kehabisan tenaga celakalah dia, bisa binasa seketika.
Tapi kalau tenaga mereka seimbang, maka kedua pihak akan saling bertahan
hingga tenaga masing2 sama terkuras habis. waktu itulah kedua pihak akan
ambruk dan sama2 terluka parah.
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar